Pencarian

Geger Pantai Rangsang 1

Pendekar Kembar 16 Geger Pantai Rangsang Bagian 1


1 GEGER di Pantai Rangsang diawali dengan di-
temukannya sepotong kepala orang yang terpenggal.
Kepala itu ditancapkan pada sebatang bambu yang
tinggi dan besarnya seukuran dengan tongkat pramu-
ka. Bambu berlumur darah itu tertancap dl pasir Pan-
tai Rangsang, sedangkan kepala orang yang habis di-
penggal tertancap di atas bambu tersebut.
Entah ke mana badan orang yang dipenggal ke-
palanya itu, yang jelas beberapa penduduk desa ne-
layan di sekitar Pantai Rangsang hanya bisa menonton
kekejian tersebut. Mereka sudah berusaha mencari
badan orang itu, tapi tetap tak ditemukan. Agaknya
badan si korban dilemparkan ke lautan lepas dan
mungkin sudah habis dimakan ikan-ikan ganas.
Orang yang mengerumuni tempat kepala ditan-
capkan itu tak ada yang berani menyentuh atau me-
nyingkirkan. Mereka masih saling berkasak-kusuk
dengan tegang, sampai akhirnya muncul dua orang
pemuda berpakaian putih.
Dua pemuda itu sama-sama berwajah tampan,
rambutnya sama-sama sepundak tanpa ikat kepala,
badannya sama-sama tegap dan gagah, bajunya sama-
sama buntung berwarna putih, juga celananya sama-
sama putih sebatas betis, tubuhnya sama-sama tinggi,
pedangnya sama-sama terbuat dari kristal bening se-
perti beling mudah pecah, dan... mereka itulah yang
dikenal dengan nama Pendekar Kembar: Raka Pura
dan Soka Pura. Soka Pura, sebagai adik, merasa terkejut meli-
hat potongan kepala yang ditancapkan pada sebatang
bambu itu. Agaknya Soka Pura lebih mengenali sang
korban daripada kakaknya. Suara Soka pun menyen-
tak menunjukkan kekagetannya.
"Edan! Mengapa ia ada di sini"!" Raka Pura
yang sempat tegang menyaksikan potongan kepala itu
segera ajukan tanya kepada si Pendekar Kembar bung-
su. "Apakah kau kenal dengan korban itu?" "Apakah kau tidak"!" Soka ganti
bertanya. "Pandanglah baik-balk wajah itu. Seharusnya kau yang lebih kenali si
korban, karena kau lebih dulu bertemu dengannya."
"Siapa..."!" gumam Raka Pura sambil pandangi kepala yang tertancap di bambu itu.
Bahkan ia melangkah lebih mendekat, dan diperhatikan oleh orang-
orang yang mengerumuni tempat itu.
Korban kesadisan tersebut berusia sekitar em-
pat puluh tahun. Hidungnya agak bundar, matanya
yang terbelalak mengerikan itu tampak lebar, rambut-
nya pendek tegak seperti bulu landak. Korban tidak
punya jenggot tapi punya kumis sedikit tebal. Kumis-
nya juga kaku seperti kumis landak, seandainya lan-
dak berkumis. Karena wajah korban berlumur darah, maka
Raka Pura terpaksa memperhatikan sampai beberapa
saat lamanya. Setelah beberapa saat baru ia mengenali
si korban dengan tersentak kaget kembali.
"Astaga...! Bukankah dia adalah si Batara Ja-
brik?" "Tepat sekali!" jawab Soka Pura. "Dia adalah si Batara Jabrik. Menurut
pengakuannya, dia bekas
orang Tebing Bencana, anak buah Pangeran Laknat,
tapi sudah lama memisahkan diri dan bergabung den-
gan orang-orang Kedai iblis!"
"Ya, seingatku dia mengaku bergabung dengan
orang-orang Kedai iblis dan tetap menjalankan peker-
jaannya sebagai pembunuh bayaran," tambah Raka
sambil mengenang masa pertemuannya dengan Batara
Jabrik saat Batara Jabrik ingin membunuh Raka aki-
bat Raka diduga sebagai Wisnu Galang. Pada akhirnya
justru Batara Jabrik menaruh simpati kepada Raka
Pura dan ingin pelajari ilmunya Raka Pura, namun
Raka tak bersedia memberikan ilmunya, (Baca serial
Pendekar Kembar dalam episode: "Iblis Pemburu Wani-ta").
"Siapa yang melakukannya kekejaman seperti
ini"!" ujar Raka pelan, seperti hanya bicara pada adik kembarnya saja.
"Seingatku, Batara Jabrik pernah diburu oleh
Dewi Binal karena mencuri Permata Manik Jingga dari
Candi Apung. Ia bekerja sama dengan Bunga Dewi, ta-
pi mungkin neneknya Bunga Dewi si Tupai Siluman
alias Nyai Gantari memburunya karena Batara Jabrik
di anggap mengkhianati Bunga Dewi," tutur Soka sambil mengenang persoalan
tersebut, (Baca serial Pende-
kar Kembar dalam episode: "Tantangan Mesra").
"Jadi menurutmu Nyai Gantari yang lakukan
kekejaman seperti ini" Ah, kurasa Nyai Gantari tak
mungkin sekejam ini! Apalagi Bunga Dewi, juga tak
mungkin lakukan pembunuhan setega ini!"
Soka Pura merenung sambil pandangi kepala
Batara Jabrik yang sudah memutih dengan darah su-
dah mulai mengering itu. Raka Pura masih berdiri di
samping adiknya, lebih dekat dengan korban ketim-
bang orang-orang yang berkerumun sejak tadi.
"Siapa pelakunya"!" gumam Raka.
"Coba kau tanyakan sendiri kepada Batara Ja-
brik." "Konyol kau! Mana mungkin dia mau menjawab"!" "Paksa dengan ancaman,
mungkin dia mau menjawab!"
"Aaah...!" Raka mendesah tak mau menanggapi
kekonyolan adiknya yang cengar-cengir untuk hilang-
kan ketegangan itu.
"Jangan-jangan dia bunuh diri. Soka?"
"Eh, kalau kau tak mau konyol juga jangan
berkata begitu!" sergah Soka Pura. "Mana mungkin seseorang lakukan bunuh diri
dengan memenggal kepa-
lanya dan menancapkannya pada sebatang bambu!"
Raka Pura ikut tersenyum, tak berani tertawa keras,
karena tak enak dilihat orang-orang di sekitarnya.
Pendekar Kembar bergegas temui sesepuh di
desa nelayan itu untuk meminta kesediaannya mema-
kamkan kepala Batara Jabrik. Sambil melangkah, Ra-
ka Pura sempat ungkapkan kecurigaannya lagi.
"Jangan-jangan Dewi Binal sendiri yang mem-
bunuh Batara Jabrik, karena ingin dapatkan Permata
Manik Jingga yang dicuri Batara Jabrik itu"!"
"Tapi setahuku persoalan itu sudah selesai,
Raka. Dewi Binal dan kakeknya sudah berhasil mere-
but kembali tongkat pusaka Suryapati yang mempu-
nyai Permata Manik Jingga itu dan sudah dikembali-
kan ke Candi Apung!"
"Hmmm... kalau begitu, kita perlu curigai ke-
luarga Nyai Gantari dan...."
"Hei, aku ingat, dulu dia pernah ceritakan bah-
wa dia punya masalah dengan anak buah Pangeran
Laknat!" "O, ya. Benar, aku pun sekarang ingat, Batara
Jabrik punya persoalan dengan si Congor Setan. Me-
nurutnya, persoalan itu menyangkut tentang dendam
si Congor Setan kepada Batara Jabrik yang telah
membunuh dua adiknya."
"Hmmm, kalau begitu kita cari saja si Congor
Setan! Apakah dia masih menjadi orang kepercayaan
Pangeran Laknat di Tebing Bencana?"
"Yang perlu kita tanyakan adalah: apakah kita
harus melibatkan diri dalam persoalan kematian Bata-
ra Jabrik ini?"
"Iya, ya...," gumam Soka Pura. "Batara Jabrik adalah pembunuh bayaran, Congor
Setan juga pembunuh bayaran, jika kita melibatkan diri mencari siapa
pembunuhnya, apakah berarti kita juga penyelidik
bayaran?" Setelah menemui sesepuh desa nelayan dan
meminta untuk memakamkan kepala Batara Jabrik,
kedua pemuda tampan kembar rupa itu segera berge-
gas pergi. Mereka bermaksud untuk temui Nyai Ganta-
ri di Tanah Keramat. Raka Pura yang ajukan usul un-
tuk temui Nyai Gantari, karena rasa ingin tahunya
menimbulkan kegelisahan tersendiri sehingga ia men-
jadi sangat penasaran.
"Kita hanya sekadar ingin tahu saja, Soka. Tak
perlu mencampuri urusan mereka!" ujar Raka Pura
pada saat adik kembarnya menolak usul tersebut. Ak-
hirnya sang adik kembar pun menuruti keinginan ka-
kaknya. Mereka melangkah menelusuri Pantai Rang-
sang. Beberapa saat setelah jauh dari desa nelayan
tersebut, langkah mereka terhenti kembali. Jantung
mereka tersentak kaget dengan mata terbelalak.
"Gila! Apa-apaan ini"!" gumam Raka Pura me-
nenga. Mereka melihat sebatang bambu ditancapkan
di pasir pantai. Di atas bambu itu ada kepala manusia
seperti tadi. Mereka segera dekati dan mencoba men-
genali wajah kepala yang terpenggal seperti nasib Ba-
tara Jabrik itu.
Soka Pura lebih tegang, karena ia mengenali
wajah Kepala yang ditancapkan pada bambu itu. Raka
Pura tidak mengenali wajah tersebut, namun ia ikut
tegang karena menemukan pemandangan yang serupa
dengan yang baru saja ditinggalkan.
Kali ini korban yang terpenggal adalah seorang
lelaki berusia sekitar empat puluh tahun dengan ram-
but sepundak botak bagian tengahnya. Alis lelaki itu
tebal, mata lebar, kumis lebat, dan berkesan angker.
Secara tak sadar Soka Pura menyebut nama si korban.
"Jurik Tunggon..."!"
"Siapa Jurik Tunggon itu"!"
"Orang dari Suku Ampar yang pernah kuserang
saat ia ingin membunuh Nilawesti!" jawab Soka Pura, (Baca serial Pendekar Kembar
dalam episode: "Tantangan Mesra").
"Orang ini adalah musuh bebuyutannya Nila-
westi!" tambah Soka, kemudian ia termangu sesaat.
Raka Pura memeriksa keadaan sekeliling den-
gan pandangan mata. Tapi suasana di sekitar tempat
itu sangat sepi. Tak ada tanda-tanda yang mencuriga-
kan. Satu-satunya tanda yang mencurigakan hanyalah
sebuah benda yang mengapung di lautan. Sang ombak
mempermainkan benda tersebut. Ketika Raka pertegas
penglihatannya dengan mengangkat tangannya untuk
menahan silau sinar matahari, maka ia pun dapat
memandang benda yang mengapung itu dengan sedikit
jelas. "Raga orang ini ada di sana, Soka!"
Soka ikut memandang ke perairan laut yang
berombak putih kebiruan.
"Rupanya si pembunuh lebih suka memajang
kepala korbannya dan membuang raga korban ke tem-
pat lain."
Soka Pura kembali memandang ke arah kepala
Jurik Tunggon. Ia memperhatikan darah yang membe-
kas pada sebatang bambu itu masih agak basah. Sedi-
kit lembab. Tapi keadaan itu dapat disimpulkan bahwa
pemenggalan kepala Jurik Tunggon dilakukan dalam
waktu belum lama. Tak sampai satu hari. Mungkin ta-
di pagi, atau kemarin malam.
Raka Pura cenderung menelusuri jejak tapak
kaki yang ada di pasir pantai. Jejak tapak kaki itu menuju ke perairan pantai
dan menghilang di sana.
"Soka, jejak tapak kaki ini hanya dimiliki oleh
satu orang!" seru Raka dari tepi perairan pantai.
"Apa maksudmu"!" tanya Soka ketika Raka
mendekatinya lagi.
"Tampaknya hanya satu orang yang melewati
perairan pantai. Di sekitar sini tak ada jejak kaki lain, kecuali kaki kita
sendiri. Aku yakin pertarungan mereka tidak terjadi di sini. Jika terjadi dl
sini, maka jejak tapak kakinya pun akan tampak banyak. Setidaknya
bekas-bekas pertarungan itu tampak di sekitar sini!"
Setelah diam sebentar sambil pandangi sekelil-
ing nya, Soka Pura pun berkata seperti orang mengu-
mam. "Lalu apa maksud si pembunuh memajang ke-
pala korbannya di pantai ini?"
Raka lebih dekati adiknya lagi.
"Apakah menurutmu... antara Batara Jabrik
dengan Jurik Tunggon punya masalah yang sama"!"
"Aku tak tahu. Yang jelas, Batara Jabrik bukan
orang Suku Ampar."
Tiba-tiba sekelebat bayangan melesat hampiri
mereka dari arah tempat mereka datang tadi. Kedatan-
gan bayangan itu diawali dengan hembusan angin ke-
cil yang berlawanan dengan arah angin sebenarnya.
Wees...! Jleeg...!
"Ooh..."!" Raka Pura terkejut sampai mundur
satu langkah. Soka Pura tetap di tempat walau ma-
tanya terkesip pandangi kemunculan seorang lelaki
tua berbaju hijau celana hitam. Pak Tua yang berjeng-
got pendek warna abu-abu dan mengenakan tudung
pandan itu tak lain adalah sesepuh desa nelayan yang
tadi ditemui Raka dan Soka.
Sang sesepuh segera memandang ke arah kepa-
la Jurik Tunggon. Tudung pandannya diangkat ke atas
sedikit, sehingga ia dapat memandang lebih jelas dan
wajahnya pun dapat dipandang lebih jelas pula.
"Celaka! Ternyata dugaanku benar. Ada lagi
korban seperti tadi," gumam sang sesepuh.
"Apakah kau kenal dengan korban yang ini, Pak
Tua?" "Tidak. Sama seperti korban yang ada di sana, juga tak kukenal. Tapi...
bagaimana dengan kalian"
Apakah kalian kenal dengan korban yang ini?"
"Aku mengenalinya," jawab Soka Pura sebelum
kakaknya perdengarkan suara. "Orang ini adalah Suku Ampar yang bernama Jurik
Tunggon!" "Suku Ampar..."!" gumam Pak Tua bertudung
pandan. Soka Pura masih perhatikan orang itu, semen-
tara orang itu sendiri lebih dekati bambu berkepala
manusia. Soka Pura sempat membatin dalam hatinya,
"Kurasa orang ini punya ilmu simpanan yang
cukup tinggi. Kemunculannya yang begitu cepat dan


Pendekar Kembar 16 Geger Pantai Rangsang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

disertai hembusan angin pasti menggunakan ilmu pe-
ringan tubuh yang bukan rendahan. Hmmm... siapa
sebenarnya Pak Tua ini"!"
Setelah pandangi kepala Jurik Tunggon, lelaki
berusia sekitar tujuh puluh tahun itu perdengarkan
suara seperti bicara pada diri sendiri. Tapi Pendekar
Kembar mendengarnya dengan jelas.
"Ini sudah keterlaluan. Apa maksudnya menan-
tangku dengan cara begini?"
Raka Pura buru-buru berujar dengan sopan.
"Maaf, Pak Tua... apakah kau tahu siapa pela-
kunya"!"
Pak Tua itu melangkah jauhi kepala Jurik
Tunggon. la tidak langsung menjawab, sepertinya san-
gat berat untuk mengatakan hal yang sebenarnya.
Pendekar Kembar mengikuti langkahnya yang mema-
suki hutan pantai. Di bawah pohon rindang, kakek
berkulit hitam akibat banyak terbakar sinar matahari
itu hentikan langkahnya. Raka dan Soka pun berhenti
di situ. Mereka ikut memandang ke arah pantai di ma-
na kepala Jurik Tunggon masih kelihatan jelas dari
tempat mereka berada.
"Seandainya aku tahu siapa pelakunya, lantas
apa yang ingin kalian lakukan"!" tanya Pak Tua itu.
Pemuda kembar wajah dan penampilan itu sa-
ma-sama bungkam, saling pandang beberapa saat. So-
ka Pura tarik napas, setelah itu baru perdengarkan
suaranya yang bernada serius, bukan main-main se-
perti biasanya.
"Apa yang kau harapkan dari kami, Pak Tua"!"
"Tidak ada," jawab si Pak Tua dengan kalem.
"Tidak ada yang kuharapkan dari kalian, karena kalian bukan apa-apa ku!"
"Apakah kedua korban itu ada hubungannya
dengan pribadimu, Pak Tua?" tanya Raka.
"Jika dugaanku benar, kedua korban yang ke-
palanya dipajang di Pantai Rangsang ini memang ditu-
jukan untukku! Seseorang telah menantang pertarun-
gan denganku. Tandanya adalah dengan membuang
mayat siapa pun di daerah ku ini!"
"Apakah pantai ini wilayah kekuasaanmu, Pak
Tua"!" pancing Raka untuk mengetahui siapa sebenarnya sesepuh desa nelayan itu.
"Pantai Rangsang ini memang bukan daerah
kekuasaanku, melainkan daerah kekuasaan Ratu Se-
dap Malam. Tapi keberadaanku di desa nelayan tadi
membuat seseorang sengaja memancingku untuk ke-
luar dari pengasingan."
Soka Pura dapat menyimpulkan, Pak Tua itu
sebenarnya seorang tokoh di dunia persilatan yang su-
dah mengasingkan diri. Desa nelayan adalah tempat
pengasingannya, menjauhi dunia persilatan. Tetapi
agaknya seseorang telah memaksa si Pak Tua agar ke-
luar dari pengasingannya untuk lakukan sesuatu.
Mungkin menyelesaikan persoalan masa lalu.
"Apa salahnya jika aku hanya ingin tahu siapa
pelakunya, Pak Tua" Setidaknya aku dan adikku: So-
ka, bisa lebih berhati-hati lagi jika bertemu orang keji itu," pancing Raka
kembali dengan rasa ingin tahu makin menggelitik.
"Kalian ini sebenarnya siapa"!"
"Kami dari Gunung Merana, anak angkat Pa-
wang Badai," jawab Raka. Ia sengaja sebutkan nama ayah angkat mereka untuk
memancing sejauh mana
Pak Tua itu mengetahui tentang rimba persilatan.
Ternyata Pak Tua itu justru terperanjat dan
menatap kedua pemuda kembar secara bergantian.
"Pawang Badai adalah sahabatku! Jika benar
kalian anak angkatnya, berarti kalian adalah Pendekar
Kembar yang bernama Raka Pura dan Soka Pura"!"
Senyum kedua pemuda itu mengembang seba-
gai jawaban membenarkan dugaan orang tersebut.
"Dari mana kau tahu nama lengkap kami, Pak
tua"!" Kini si kakek yang masih kenakan tudung agak membuka ke atas itu ganti
tersenyum ramah.
"Beberapa sahabatku yang sempat singgah di
Pantai Rangsang ini menceritakan tentang perkemban-
gan baru di rimba persilatan, terutama munculnya se-
pasang anak kembar yang berjuluk Pendekar Kembar
dari Gunung Merana, anak angkat si Pawang Badai.
Tentu saja aku kenal betul dengan orangtua angkat
kalian, Nak!"
Pak Tua itu tampak senang dan manggut-
manggut. "Kalau kalian tak percaya bahwa aku adalah
sahabat si Pawang Badai, katakan kepada ayah angkat
kalian bahwa kalian bertemu dengan si Lahar Jalanan.
Aku yakin beliau akan langsung ingat padaku dan me-
nanyakan kabar ku pada kalian."
"Kami percaya. Ayah pasti akan banyak berceri-
ta tentang dirimu, Paman Lahar Jalanan," ujar Raka yang segera memanggilnya
'paman' sebagai panggilan
kehormatan kepada sahabat ayah angkat mereka itu.
"Kurasa ayah kalian juga tahu dengan nama:
Iblis Tambak Getih."
"Siapa orang yang berjuluk Iblis Tambak Getih
itu, Paman?" desak Raka secara halus.
"Dia musuh lamaku yang gemar membuang
mayat sebagai tantangan bagi lawannya."
"Kalau begitu, Iblis Tambak Getih adalah orang
yang memenggal Batara Jabrik dan Jurik Tunggon itu
Paman?" "Hmmm..., akhirnya kalian mengetahuinya ju-
ga! gumam Lahar Jalanan seperti orang menggerutu.
Di dalam hatinya, Soka berkecamuk sendiri.
"Ketika tadi kutemui orang ini di desa nelayan,
ia tampak lugu dan polos, sebagaimana layaknya seo-
rang nelayan yang tak mengenal dunia persilatan.
Bahkan ia tak menanyakan siapa diriku dan Raka. Ta-
pi sekarang ia tampak berwibawa dan pancaran ma-
tanya menandakan orang berilmu tinggi. Hmmm.
sungguh pandai ia menempatkan diri. Di dunia ne-
layan, ia menjadi nelayan. Di dunia persilatan, ia menjadi tokoh berilmu tinggi.
Rasa-rasanya aku patut me-
niru sikap seperti itu."
Setelah mereka bertiga sama-sama diam dan
lemparkan pandangan ke pantai, Raka Pura segera
memecah kebisuan tersebut dengan suaranya yang ka-
lem. "Paman Lahar Jalanan, jika aku boleh tahu,
apakah Paman akan melayani tantangan ini"!"
"Mestinya si Iblis Tambak Getih sudah perda-
lam ilmunya, sehingga ia berani menantangku. Jika
tantangan ini tidak kulayani, maka la akan bikin ulah
seperti ini, dan itu berarti mengorbankan orang tak
bersalah," ujar si Lahar Jalanan dengan kalem juga.
"Apakah mungkin kami berdua mencegah tin-
dakan keji si iblis Tambak Getih itu, Paman?" tanya Raka. "Aku sangsi, apakah
dia mau melayani kalian.
Sebab, sepanjang hidupnya, Iblis Tambak Getih hanya
mempunyai dua musuh utama, yaitu aku dan seorang
lagi dari Bukit Gamping: si Tabib Kubur!"
"Hahh..."!" Soka Pura terkejut lebih kuat ke-timbang kakaknya.
Tentu saja Pendekar Kembar terkejut menden-
gar nama Tabib Kubur sebagai: salah satu musuh
utama si Iblis Tambak Getih. Pendekar Kembar sangat
kenal dengan Tabib Kubur, kakeknya Dewi Binal. Bah-
kan beberapa waktu yang lalu, Tabib Kubur menyela-
matkan Soka dan Raka dari perkawinan adat yang se-
mestinya harus dilakukan atau dibatalkan melalui per-
tumpahan darah, (Baca serial Pendekar Kembar dalam
episode:"Tantangan Mesra").
Kini kedua pemuda itu menjadi punya beban
untuk lindungi Tabib Kubur, sekalipun mungkin Tabib
Kubur bisa atasi sendiri dendam si Iblis Tambak Getih
itu. Namun sebagai balas jasa Pendekar Kembar, me-
reka harus bisa cegah si Iblis Tambak Getih agar tidak menyentuh Tabib Kubur,
yang sudah dianggap seperti
kakek sendiri oleh Raka dan Soka itu.
"Oh..."!" Lahar Jalanan terperanjat sendiri tan-
pa sebab tak pasti. Yang jelas ia segera tertegun den-
gan wajah sedikit tegang. Hal itu memancing perhatian
dan rasa ingin tahu bagi Raka Pura.
"Ada apa, Paman?"
"Hatiku Jadi tak enak. Jangan-jangan Tabib
Kubur sudah berhasil dibunuh oleh si Iblis Tambak
Getih itu"! Kini Raka Pura dan adiknya ikut-ikutan te-
gang. Mereka saling pandang dan sama-sama punya
niat untuk lekas-lekas pergi ke Bukit Gamping.
* * * 2 PADA mulanya Lahar Jalanan ingin merahasia-
kan tempat tinggal si Iblis Tambak Getih. Lahar Jala-
nan tak ingin kedua pemuda kembar itu terlibat dalam
urusan dendam pribadinya.
Tapi setelah Pendekar Kembar pamit mau ke
Bukit Gamping untuk membantu Tabib Kubur, Lahar
Jalanan berubah pikiran. Ia pun akhirnya ikut ke Bu-
kit Gamping. Mereka menelusuri tepian hutan Pantai
Rangsang. Tiba-tiba Soka Pura berseru mengagetkan,
"Tunggu sebentar, Paman!"
Langkah mereka berhenti. Dua orang itu mena-
tap Soka, sementara Soka menatap ke arah pantai.
Rupanya di pantai ada pemandangan yang menarik
perhatian Soka. Pandangan mata Raka dan Lahar Ja-
lanan segera diarahkan ke pantai.
"Ada dua kepala lagi, Paman!" "Gila!" gumam Lahar Jalanan, kemudian mendahului
Pendekar Kembar melesat ke pasir pantai.
Lahar Jalanan memandang dengan mata tak
berkedip ke arah dua kepala yang tertancap di atas
dua batang bambu. Dua kepala yang terpenggal itu
adalah kepala gadis berusia sekitar dua puluh tiga ta-
hun. Masing-masing korban berambut pendek dan
berwajah cantik.
Raka Pura merasa sedang dipermainkan oleh si
pemenggal kepala, karena kali ini Jantung Raka berde-
tak lebih kuat lagi. Bahkan tak bisa berucap kata ka-
rena tak tega melihat dua wajah cantik yang terpenggal secara sadis itu.
"Darahnya masih basah, Paman," ujar Soka Pu-
ra dengan dada bergemuruh. Kemarahannya mulai
terpancing begitu melihat kedua korban kali ini adalah gadis-gadis cantik yang
tampaknya berilmu sedang-sedang saja itu. Baik Raka maupun Soka tidak men-
genal kedua korban tersebut, tapi kemarahan mereka
sama-sama terpancing, sehingga hasrat untuk beradu
muka dengan si pembunuh sadis membuat mereka
sangat penasaran.
"Kali ini kami tidak tahu siapa kedua gadis itu,
Paman." "Pengawalnya Ratu Sedap Malam," Jawab Lahar
Jalanan dengan datar. Agaknya Pak Tua itu juga me-
nahan kegeraman dalam hatinya, karena menaruh ra-
sa haru dan tak tega melihat korban masih muda-
muda. Dua kepala gadis cantik yang dipajang berjeje-
ran itu berlumur darah basah, sekalipun sudah tidak
segar lagi. Tapi mereka dapat memperkirakan pemeng-
galan itu terjadi dalam waktu kurang dari setengah ha-
ri. Sementara itu, tetesan darah di sekitar tempat tersebut tidak ada. Tetesan
darah hanya ada di sekitar
kedua batang bambu yang dipakai menancapkan ke-
pala yang terpenggal itu.
Raka Pura perhatikan jejak telapak kaki yang
menuju ke perairan pantai. Ternyata badan kedua ga-
dis ada di lautan, agak jauh dari pantai, namun kelihatan sedang terapung-apung
dipermainkan ombak.
Jejak kaki itu hanya milik satu orang yang se-
pertinya melangkah dari tempat ditancapkannya kepa-
la itu menuju ke perairan laut, setelah sampai di sana ia tak kembali lagi ke
hutan pantai, karena tak ada jejak telapak kaki yang kembali ke arah semula.
"Paman, coba perhatikan Jejak telapak kaki ini.
Sepertinya si pelaku berjalan dari tempat kepala ini ke perairan sana, lalu
menghilang di sana tanpa kembali
lagi kemari. Aneh sekali, Paman," ujar Raka Pura.
Lahar Jalanan memperhatikan Jejak telapak
kaki tersebut. Untuk sesaat ia diam merenunginya.
Soka Pura pun ikut memikirkan jejak telapak kaki itu.
Sepintas dugaannya mengatakan, pelaku pemenggalan
kepala itu adalah orang yang mampu berjalan di atas
air, membuang raga korban dan lenyap di tengah sa-
mudera. Seolah-olah pelakunya adalah orang yang
mampu hidup di kedalaman laut.
"Bagi si iblis Tambak Getih, bukan hal yang su-
lit untuk melompat dari tepian perairan kembali ke hu-
tan. Ia bisa melayang seperti terbang sejauh sepuluh
tombak lebih," ujar si Lahar Jalanan yang membuat Pendekar Kembar segera
perhatikan ke arahnya.
"Maksud Paman, Iblis Tambah Getih mem-
buang raga ke lautan, kemudian kembali ke hutan
dengan cara melayang seperti terbang?" ujar Raka Pu-ra.
"Benar. Tapi... tapi mengapa kedua pengawal
Nyai Ratu yang dijadikan korban"!" Lahar Jalanan
menggumam seperti bicara sendiri.
"Seharusnya ia tidak lakukan terhadap orang-
nya Ratu Sedap Malam," tambah Lahar Jalanan dalam
gumamannya. "Mengapa seharusnya demikian, Paman?" de-
sak Raka. "Iblis Tambak Getih pantang membunuh pe-
rempuan, kecuali hanya melukai atau mencederai. ia
punya ilmu yang akan hilang jika membunuh kaum
perempuan. Ilmu itu bernama ilmu 'Taring Betina',
yang membuat ia selalu dikasihani oleh kaum wanita."
"Mungkin... mungkin ilmu itu sudah punah,


Pendekar Kembar 16 Geger Pantai Rangsang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sehingga ia tega lakukan kekejamannya terhadap ke-
dua gadis malang ini, Paman," ujar Soka Pura.
"Hmmm, ya. Mungkin saja begitu," Lahar Jala-
nan pun manggut-manggut. "Sebaiknya hal ini kula-
porkan dulu kepada Nyai Ratu, agar ia perintahkan
kepada para pengawalnya untuk berhati-hati jika ber-
temu iblis Tambak Getih!"
"Aku ikut mendampingimu, Paman!" sergah So-
ka Pura. Kemudian ia berkata kepada kakaknya.
"Sebaiknya kau lekas ke Bukit Gamping, Raka.
Siapa tahu Iblis Tambak Getih sedang menuju ke sana.
Kalau bisa kau temui Kakek Tabib sebelum Iblis Tam-
bak Getih menemui beliau."
"Kurasa itu gagasan yang bagus. Aku akan ke
Bukit Gamping sekarang juga!" ujar Raka Pura merasa tak keberatan dengan usul
adiknya yang selaras dengan jalan pikirannya.
Raka Pura pun segera berkelebat ke Bukit
Gamping dengan gerakan secepat hembusan badai
yang paling cepat, karena ia menggunakan jurus 'Jalur
Badai'-nya. Sementara itu, Soka Pura mendampingi si
Lahar Jalanan untuk menghadap Ratu Sedap Malam,
memberitahukan tentang nasib kedua gadis itu. Raka
potong kompas menerabas hutan, sedangkan Soka dan
Lahar Jalanan menelusuri tepian hutan pantai. Karena
menurut Lahar Jalanan, letak pesanggrahan Ratu Se-
dap Malam yang mirip Istana kecil itu ada di hutan te-
pian pantai. Tapi sebelum mereka tiba di pesanggrahan
sang Ratu, mereka kembali temukan kepala tiga orang
gadis yang dipajang seperti yang sudah-sudah. Soka
Pura semakin gemetar menahan kemarahan melihat
tiga kepala gadis muda yang ditusukkan pada tiga ba-
tang bambu. Darah mereka masih tampak segar, per-
tanda peristiwa pemenggalan itu terjadi belum lama.
Mungkin juga pelakunya belum seberapa jauh dari
tempat tersebut.
"Jangan-jangan iblis Tambak Getih menuju ke
pesanggrahan sang Ratu, Paman!" ujar Soka dengan
napas mulai memburu karena menahan kemarahan.
"Jika begitu kita harus cepat-cepat sampai di
pesanggrahan sebelum iblis Tambak Getih membantai
habis orang-orangnya Nyai Ratu Sedap Malam!"
Soka Pura dan Lahar Jalanan cepat-cepat ber-
kelebat ke arah pesanggrahan. Kecepatan gerakan La-
har Jalanan ternyata bisa mengimbangi kecepatan Ju-
rus 'Jalur Badai'-nya Pendekar Kembar bungsu, se-
hingga dalam waktu singkat mereka sudah sampai di
batas pesanggrahan yang diberi tanda bangunan gapu-
ra berbatu tinggi. Di depan gerbang yang menjadi sim-
bol batas pesanggrahan atau istana kecil itu ada tiga
orang penjaga. Satu di antaranya seorang pemuda be-
rusia sebaya dengan Soka Pura bersenjata tombak,
dua penjaga lainnya gadis cantik bersenjata pedang di
pinggang. Agaknya tingkatan ilmu kedua gadis itu le-
bih tinggi dari pemuda tersebut.
Rupanya mereka sudah kenali si Lahar Jala-
nan, sehingga sikap mereka menjadi ramah dan penuh
hormat. Tapi terhadap Soka Pura, pandangan mata
mereka tampak penuh curiga, membuat Soka tak enak
hati. "Siapa pemuda ini, Ki Lahar"!" tanya salah seorang gadis penjaga yang berpakaian
abu-abu. "Dia adalah satu dari Pendekar Kembar yang
bernama Soka Pura."
Kedua gadis itu memandang dengan terperan-
gah, tapi si pemuda bersenjata tombak kerutkan dahi.
sepertinya tak percaya bahwa Soka Pura adalah salah
satu dari Pendekar Kembar. Kedua gadis itu sungging-
kan senyum kikuk ketika membalas senyuman Soka,
tapi pemuda berompi coklat dengan celana hitam itu
tak membalas senyuman Soka sedikit pun. Justru
tombaknya sedikit diarahkan kepada Soka. Lahar Ja-
lanan mengetahui hal itu, tapi ia bersikap pura-pura
tidak tahu. "Kami ingin menghadap Nyai Ratu. Ada berita
penting yang harus kami sampaikan," ujar Lahar Jalanan kepada kedua gadis
berambut pendek itu.
"Gusti Ratu sedang ada tamu, Ki Lahar. Sudi
kiranya menunggu beberapa saat," tutur si gadis berpakaian kuning kunyit itu.
Pemuda berompi coklat menyahut, "Kurasa
buat Ki Lahar Jalanan bisa saja langsung masuk dan
menunggu di regol dalam. Tapi untuk pemuda itu, ha-
rus tetap dl sini."
"Mengapa ia tak kau izinkan ikut denganku"!"
tanya si Lahar Jalanan kepada pemuda berompi cok-
lat. "Kami belum tahu persis siapa dia. Bisa saja
dia mengaku-aku sebagai salah satu dari Pendekar
Kembar yang namanya sedang ramai dibicarakan
orang itu. Demi keamanan, sebaiknya pemuda itu te-
tap tinggal di sini, Ki Lahar!"
Soka Pura tersenyum kalem. Hatinya memba-
tin. "Heh, heh, heh... belum tahu dia"!"
Lahar Jalanan menyapa pemuda itu lagi, "Siapa
namamu, Nak?"
"Prawira, Ki!"
"Hmmm, begin! maksudku, Prawira...," Lahar
Jalanan tetap kalem. "Kau boleh saja tidak percaya dengan pengakuannya, tapi kau
harus mencoba dulu
ilmunya. Jika orang mengaku-aku sebagai Pendekar
Kembar, maka ia tak akan dapat tumbangkan dirimu.
Tapi jika ia benar salah satu dari Pendekar Kembar
tentunya ia dapat tumbangkan dirimu dengan mudah."
Lahar Jalanan menatap Soka, "Bukankah begi-
tu Soka?" "Itu terlalu muluk-muluk, Paman. Mungkin
memang aku tak bisa tumbangkan sobat kita itu. Tapi
jika hanya membuatnya sekarat, kurasa aku masih bi-
sa. Itu pun untung-untungan," ujar Soka Pura merendah dengar sindiran.
"Kau dengar sendiri, Prawira"!" ujar Lahar Jalanan. Prawira semakin tajam
menatap Soka. Sikap
permusuhannya kian ditonjolkan. ia bicara dengan
menuding Soka seenaknya saja.
"Hei, kau pikir siapa aku sehingga akan mudah
kau buat sekarat, hah"! Coba rasakan jurus tombakku
ini! Hiaaah...!"
Prawira menyentakkan tombaknya ke depan.
Arahnya ke dada Soka. Tapi tusukan tombak itu di-
hindari Soka dengan memiringkan badan secara cepat.
Seet, wuut...! Tombak yang tak kenai sasaran itu segera di
sambarkan ke kanan, sedikit naik. Sasarannya ingin
merobek dagu Soka. Namun dengan cepat Soka Pura
sentakkan kepala ke belakang dengan sedikit leng-
kungkan tubuh. Wees...! Tombak itu lolos dari sasa-
ran. Prawira lompat ke samping, agar berhadapan
dengan lawannya lagi. Tombak pun dihujamkan ke
leher Soka. Wuuut...! Soka Pura kembali miringkan
tubuhnya ke kiri, dan tangan kirinya segera menyam-
bar tombak tersebut. Seet...!
Tangan itu sedikit melilit di batang tombak, dan
sikunya menghentak ke bawah. Krrakk...! Gerakan ce-
pat yang nyaris tak terlihat itu mematahkan tombak
bergagang kayu jati besi yang seharusnya sulit dipa-
tahkan. Prawira dan dua gadis temannya terbelalak me-
lihat tombak itu patah. Kedua gadis itu lebih kaget lagi setelah melihat Soka
Pura memutar tubuh dan kakinya menjejak ke belakang. Beet...! Dada Prawira ter-
kena jejakkan itu dengan telak. Buuhk...!
Wees...! Bruuuk...!
Prawira terpental sejauh lima tombak. Tubuh-
nya jatuh terbanting dengan dada memar membiru.
Pemuda itu tersengal-sengal nyaris tak bisa bernapas.
Sementara Soka Pura berdiri dengan tegak, kedua ka-
kinya sedikit merenggang. Ia tampil dalam keadaan ga-
gah dan tampak perkasa.
Kedua gadis itu segera membantu Prawira un-
tuk bangkit. Pemuda tersebut terbatuk-batuk, lalu ke-
luarkan darah kental dari mulutnya.
"Ki Lahar.... Prawira terluka! Kurasa ini lukanya cukup berbahaya, Ki Lahar!
Tolonglah dia!"
"Biarkan saja dia merasakan rasa tidak per-
cayanya!" "Ta... tapi...," gadis berpakaian abu-abu tak jadi bicara, karena Lahar Jalanan
segera berkata kepada
Soka. "Apakah luka itu akan mematikan"!"
"Tidak, Paman!" tegas Soka. "Hanya akan membuat tulang dadanya sedikit retak,
namun tujuh hari
kemudian ia akan sehat kembali!"
"Perlu diobati?"
"Kurasa tidak perlu, Paman. Prawira sudah cu-
kup sakti. Aku yakin dia bisa mengobati lukanya itu."
Prawira yang mendengar percakapan tersebut
merasa dongkol sekali, namun ia tak bisa lakukan
apa-apa, karena sekujur tubuhnya kini merasa seperti
dicambuki. Sakit semua.
"Sebaiknya minta tukar saja," kata Soka kepada gadis berpakaian kuning kunyit.
"Mintalah tukar teman jaga yang kokoh dan tidak selembek getuk macam
dia." Gadis berpakaian kuning kunyit itu hanya menarik napas. Ia serba salah
dalam bersikap, karena ia
pun sebenarnya kurang suka dengan sikap Prawira
yang selalu merasa sok jago itu.
"Apakah kami masih tak boleh masuk bersama-
sama?" tanya Lahar Jalanan kepada gadis berpakaian abu-abu.
"Hmm, eeh... sebaiknya memang Ki Lahar Jala-
nan masuk bersama Pendekar Kembar itu. Kurasa...
kurasa sebentar lagi tamu kami akan pulang dan Ki
Lahar bisa segera menghadap Gusti Ratu!"
"Baik. Terima kasih atas izinmu, Nona Manis,"
ujar Lahar Jalanan dengan tudungnya yang tadi sedi-
kit diangkat, kini diturunkan lagi hingga menutupi se-
bagian wajahnya.
Sebelum melangkah, Soka Pura sempat ajukan
tanya kepada gadis berpakaian abu-abu.
"Maaf, kalau boleh kami ingin tahu, siapa tamu
yang menghadap Nyai Ratu kalian itu"!"
"Nyai Sangkal Putung!"
"Siapa...?"!" Lahar Jalanan tersentak kaget
mendengar jawaban gadis berpakaian abu-abu itu. Ia
segera dekati gadis yang masih pegangi lengan Prawira
itu. "Nyai Sangkal Putung datang bertamu kema-
ri"!"
"Benar, Ki! Beliau datang bersama muridnya
yang bernama Mata Bidadari," tegas gadis itu.
Soka Pura merasa heran melihat Lahar Jalanan
sedikit tegang, bahkan beberapa kejap setelah terte-
gun, Lahar Jalanan segera melangkah memasuki ga-
pura tersebut. "Cepat kita temui Nyai Ratu!" ujar Lahar Jalanan kepada Soka Pura. Tentu saja
Soka hanya ikut-
ikutan bergegas dengan langkah cepat.
Namun di ambang gapura, langkah Pak Tua itu
terhenti lagi. Ia berpaling memandang gadis berpa-
kaian abu-abu. "Panggil penjaga lainnya untuk perkuat penja-
gaan. Jangan biarkan Nyai Sangkal Putung atau mu-
ridnya tinggalkan tempat ini tanpa bersamaku!" "Apa maksudmu, Ki?"
"Lakukan apa yang kuperintahkan tadi demi
keselamatan kalian dan Nyai Ratu!"
Setelah berkata demikian, Lahar Jalanan te-
ruskan langkah yang segera disusul oleh Soka Pura.
"Agaknya ada sesuatu yang menegangkan hati
Paman Lahar Jalanan. Siapa sebenarnya orang yang
bernama Nyai Sangkal Putung itu, Paman"!" tanya So-ka sambil mengiringi langkah
Pak Tua itu. "Sangkal Putung adalah adik dari Iblis Tambak
Getih!" "Oo..."!" Soka Pura sedikit terperanjat.
"Besar kemungkinan ia membantu kakaknya
dalam pemenggalan itu. Mungkin sekarang sasarannya
adalah Ratu Sedap Malam sendiri!"
"Apakah Nyai Ratu tidak bisa selamatkan diri
sendiri jika hal itu sampai terjadi, Paman?"
"Ratu Sedap Malam akan tumbang di tangan
Sangkal Putung, karena ilmu silatnya tidak lebih tinggi dari ilmu silat yang
dimiliki Sangkal Putung!" Jawab Lahar Jalanan dengan nada masih terkesan tegang.
"Bagaimana dengan muridnya; si Mata Bidadari
itu, Paman?"
"Kurasa kau bisa mengurusnya sendiri. Aku
akan mengurus si Sangkal Putung!" tegas Lahar Jalanan. "Tapi pertama kali kita
harus timbulkan kesan baik-baik
saja. Jangan tampakkan permusuhan agar
Sangkal Putung tidak curiga terhadap kehadiran kita,
Soka!" "Bagaimana jika ternyata Nyai Sangkal Putung sudah menyerang Ratu Sedap
Malam"!"
"Apa boleh buat! Kita membaur dalam perta-
rungan itu! Apakah kau sudah siap, Soka"!"
"Aku sudah slap, Paman!" tegas Soka Pura dengan menarik napas panjang dan
mengencangkan dada
serta kedua tangannya.
* * * 3 PANTAS jika penguasa Pantai Rangsang itu
bernama Ratu Sedap Malam. Soka Pura melihat ba-
nyak tanaman bunga Sedap Malam yang tumbuh di
sepanjang perjalanan dari gerbang utama sampai ke
pesanggrahan atau istana kecil itu. Bunga putih itu tidak menyebarkan harum
wangi pada siang hari. Tapi
pada malam hari, bunga itu akan menyebarkan aroma
wangi, yang jika angin bertiup ke arah laut, maka


Pendekar Kembar 16 Geger Pantai Rangsang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

orang-orang kapal yang sedang berlayar melalui lautan
itu akan mencium aroma wanginya.
Rupanya sang Ratu adalah pecinta bunga Se-
dap Malam, sehingga nama bunga itu dipakai sebagai
ganti nama aslinya. Menurut si Lahar Jalanan, sang
Ratu mempunyai nama asli Wulandani. Ia putri seo-
rang raja yang terbuang karena dianggap sebagai anak
haram hasil hubungan gelap antara ibunya dengan
seorang lelaki simpanan. Ia diasingkan ke pantai ter-
sebut, sampai akhirnya ia berhasil membangun istana
kecil yang sering disebut sebagai pesanggrahan. Se-
mentara sanak saudaranya sekarang sudah tiada. Ke-
rajaan milik ayahnya sudah dikuasai oleh raja lain,
dan Wulandani tak berani merebut takhta kekuasaan
tersebut karena tak memiliki kekuatan cukup diband-
ing lawannya. Kekuasaan sang Ratu meliputi seluruh Pantai
Rangsang sebelah timur dan sebelah barat. Desa ne-
layan tempat si Lahar Jalanan tinggal bersama masya-
rakat nelayan itu termasuk daerah kekuasaan sang
Ratu untuk wilayah timur. Menurut penuturan si La-
har Jalanan, sang Ratu sering membantu penduduk
desa yang kekurangan sandang maupun pangan.
Hampir semua penduduk yang tinggal di sekitar wi-
layah Pantai Rangsang bersikap memihak kepada Ratu
Sedap Malam, menaruh hormat dan mengagungkan
sang Ratu. Bagi sang Ratu sendiri, nama Lahar Jalanan
bukanlah nama asing lagi. Sang Ratu yang juga terma-
suk tokoh di rimba persilatan itu mempunyai seorang
guru, dan gurunya itu adalah sahabat dengan si Lahar
Jalanan. Namun sang Ratu sangat paham dengan pen-
gasingan diri si Lahar Jalanan, sehingga ia tak pernah bicara kepada tokoh
lainnya tentang di mana tempat
tinggal Lahar Jalanan sekarang. Sang Ratu sering ber-
kunjung ke rumah Lahar Jalanan atau sesekali me-
nyuruh pengawalnya menjemput Lahar Jalanan untuk
dibawa ke istana kecilnya hanya sekadar untuk dimin-
tai pendapat dalam beberapa hal yang akan dilakukan
sang Ratu. Oleh sebab itu, kehadiran si Lahar Jalanan se-
gera disambut oleh pengawal gerbang dalam. Biasanya
Jika sang Ratu sedang ada tamu, maka tamu lain di-
persilakan menunggu di ruangan lain. Tapi kali ini ka-
rena Lahar Jalanan mendesak, maka sang pengawal
pun sampaikan desakan itu kepada Ratu Sedap Ma-
lam. Penyampaian tersebut dilakukan secara bisik-
bisik, karena Lahar Jalanan memang berpesan agar si
pengawal melakukannya demikian.
Kejap kemudian, si pengawal kembali kepada
Lahar Jalanan dan Soka Pura. Kemudian ia memandu
ke dua tamunya itu untuk masuk ke ruang paseban
alias ruang pertemuan yang biasa untuk menerima
tamu atau mengadakan rapat antara sang Ratu den-
gan bawahannya.
"Selamat datang, Paman Lahar Jalanan! Men-
gapa tak memberi kabar lebih dulu jika ingin datang
kemari" sapa Ratu Sedap Malam dengan senyum ra-
mah. Lahar Jalanan bersikap kalem. Tudung kepa-
lanya dilepas dan digantungkan di punggungnya. Ratu
Sedap Malam lemparkan pandangan kepada pemuda
tampan yang masih asing baginya. Pemuda tersebut
juga pandangi sang Ratu dengan senyum ramah dan
hati menggumam penuh pujian.
"Cantik juga rupanya. Kurasa ia masih berusia
sekitar tiga puluh lima tahun. Tapi kecantikannya be-
lum pudar sedikit pun. Hmmm... mana suaminya"!"
Sambil luncurkan gumam hati yang nakal, So-
ka Pura pandangi perempuan bersanggul indah den-
gan wajah cantiknya yang berkulit putih itu. Rupanya
Ratu Sedap Malam bukan saja mempunyai kecantikan
yang menawan, namun juga mempunyai bentuk tubuh
yang sintal dan sekal. Cukup menarik perhatian kaum
pria. Ratu Sedap Malam kenakan jubah sutera war-
na jingga dengan pakaian dalam pinjung sutera den-
gan bintik-bintik emas. Selain perhiasannya lengkap
walau ini berlebihan, ia juga mengenakan mahkota ke-
cil dari batu-batu berkilauan.
"Nyai Ratu, kedatanganku ini memang tak
sempat kuberitahukan sebelumnya, karena sifatnya
sangat mendadak," ujar Lahar Jalanan. "Ada sesuatu yang umat penting untuk kita
bicarakan, Nyai Ratu.
Tapi sebelumnya... perkenalkan, aku membawa seo-
rang pemuda yang ternyata adalah murid sahabatku
sendiri. Pemuda ini bernama Soka Pura, dia adalah...."
Soka Pura buru-buru menyahut sebelum di-
perkenalkan sebagai Pendekar Kembar.
"Aku hanya seorang pengelana biasa, Nyai Ra-
tu! Kebetulan aku...."
Soka Pura belum selesai bicara sudah disahut
seorang tamu tua yang sejak tadi sudah ada di depan
sang Ratu. "Tak perlu merendahkan diri dan sembunyikan
nama besarmu, Anak Muda. Soka Pura adalah nama
salah satu dari Pendekar Kembar. Aku tahu persis hal
itu." Soka Pura terpaksa nyengir tersipu. Sang Ratu sedikit terperangah dan
matanya tak berkedip pandangi Soka Pura. Sementara itu, ada juga sepasang mata
yang tak berkedip pandangi Soka dari arah samping
kanan. Sepasang mata itu milik seorang gadis berusia
sekitar dua puluh dua tahun, namun bertubuh tinggi,
sekal, padat, dan montok. Gadis itu mempunyai mata
yang indah dan bening. Jika memandang, pandangan
matanya menyejukkan hati, menghadirkan bunga-
bunga indah dalam hati lawan jenisnya. Si gadis cantik berbaju buntung warna
merah tua dengan celana ketatnya yang merah tua juga itu tak lain adalah si Mata
Bidadari, murid Nyai Sangkal Putung yang ada di
samping kirinya.
Soka Pura semakin berdebar-debar ketika pan-
dangan matanya beradu dengan tatapan pandang si
Mata Bidadari. Ia sempat rasakan hadirnya keindahan
yang menggelisahkan, namun rasa itu segera dikuasai
dan pandangannya segera dialihkan kepada Ratu Se-
dap Malam. Karena pada saat itu, sang Ratu pun sege-
ra menyapa Soka Pura dengan penyambutannya yang
ramah. "Selamat datang di pesanggrahan ku, Pendekar Kembar. Senang sekali
menerima kunjungan mu yang
sangat di luar dugaan ini."
"Terima kasih atas sambutan mu, Nyai Ratu.
Tapi perlu diketahui, bahwa kunjungan ku ini hanya
sekadar mendampingi Paman Lahar Jalanan. Jadi ku-
rasa tak perlu ada sambutan yang berlebihan, Nyai Ra-
tu." Nenek berusia tujuh puluh tahun kurang yang
berjubah biru tua kusam itu segera perdengarkan sua-
ranya lagi, khususnya ditujukan kepada Ratu Sedap
Malam. "Rupanya nasibmu sedang beruntung, Sedap
Malam. Kedua tamumu yang datang kali ini siap dija-
dikan tumbal apa yang kubicarakan tadi."
"Jaga mulutmu, Sangkal Putung!" sergah si Lahar Jalanan. "Apa maksudmu berkata
demikian"!"
Nyai Sangkal Putung yang bertubuh kurus,
tinggi, dan bermata cekung itu sunggingkan senyum
sinis. Sambil pegangi tongkat berukir kepala singa
dengan diberi rambut-rambut palsu dari serat rami,
Nyai Sangkal Putung pindah posisi agar lebih dekat
dengan si Lahar Jalanan.
"Apakah kau tahu, ada bahaya sedang mengin-
car Pantai Rangsang"!"
"Tentu saja kau lebih tahu, karena kakakmu
yang menjadi pelakunya!" ketus Lahar Jalanan. Nyai Sangkal Putung menggeram
dengan mata cekungnya
menatap tajam sekali.
"Jangan sebut-sebut lagi mendiang kakakku.
Lahar Jalanan! Bisa kubunuh di sini kau!"
Soka Pura sedikit berkerut dahi mendengar
ucapan Nyai Sangkal Putung.
"Aku bicara apa adanya, Sangkal Putung! Kepa-
la-kepala yang terpenggal dan ditancapkan di sepan-
jang Pantai Rangsang itu adalah pekerjaan kakakmu;
si iblis Tambak Getih!"
"Lahar Jalanan...!!" geram Nyai Sangkal Putung dengan tangan menggenggam
tongkatnya kuat-kuat.
Geram yang bernada ancaman itu tidak membuat La-
har Jalanan merasa gentar sedikit pun. Pak Tua itu ju-
stru tersenyum sinis dan memandang ke arah Ratu
Sedap Malam. "Mengapa kau tidak segera menugaskan orang-
orang untuk memakamkan mereka yang menjadi kor-
ban terpenggal itu, Nyai"!"
"Korban terpenggal bagaimana maksudmu,
Paman"!" Ratu Sedap Malam kerutkan dahi dan sedikit tegang. "Jadi kau belum tahu
kalau lima orangmu, gadis-gadis muda itu, kepalanya dipenggal dan dipajang
di sepanjang pantai bagian timur"!"
"Ooh..."! Benarkah itu?" Ratu Sedap Malam
semakin gusar. "Bahkan ada dua kepala dari pihak lain yang
ikut dipajang di dekat desa ku sana! Justru aku da-
tang kemari bersama Soka Pura untuk memberitahu-
kan padamu tentang hal itu!"
Ternyata bukan hanya Ratu Sedap Malam yang
menjadi tegang, melainkan si Mata Bidadari dan Nyai
Sangkal Putung juga menjadi tegang, sepertinya guru
dan murid itu baru tahu tentang adanya kepala-kepala
yang terpenggal di wilayah timur Pantai Rangsang itu.
Sang Ratu pun segera memanggil utusannya.
"Bintari...!" serunya kepada sang utusan yang cepat menghadap begitu mendengar
panggilannya. "Periksa daerah timur! Buktikan berita tentang
lima orang kita yang terpenggal kepalanya di sana!"
"Baik, Gusti Ratu!" Bintari pun bergegas pergi dengan langkah tegap, penuh
keberanian dan ketaatan
terhadap ratunya.
"Sedap Malam," ujar Nyai Sangkal Putung.
"Jangan mau terkecoh oleh kabar yang hanya akan bikin suasana di sini menjadi
semakin keruh! Apa yang
dikatakan si tua busuk Lahar Jalanan itu hanya
omong kosong belaka!"
"Nyai Sangkal Putung, seingatku Paman Lahar
Jalanan tak pernah dusta dalam ucapannya. Aku per-
caya dengan apa yang dikatakan beliau tadi!"
"Kau akan menyesal mempercayainya, Sedap
Malam! Bahaya yang ku maksud tadi bukan soal pe-
menggalan kepala! Mungkin si tua busuk itu punya ca-
ra sendiri untuk memperkeruh keadaan di Pantai
Rangsang ini!"
"Mengapa kau takut kalau kabar dariku ini
menjadi kenyataan, Sangkal Putung"!" potong si Lahar Jalanan. "Apakah kau takut
kalau kekejaman kakakmu: si Iblis Tambak Getih, diketahui oleh Nyai Ratu
ini"! Hmmm...! Sudah bukan rahasia lagi bagiku,
Sangkal Putung! Kakakmu selalu melemparkan mayat
di sekitar orang yang ditantangnya! Kali ini ia ingin
menantangku kembali dengan memajang kepala-
kepala orang tak bersalah itu di sekitar tempat tinggal-ku! Katakan kepadanya,
aku tidak akan mundur seta-
pak pun jika harus bertarung kembali dengannya se-
kalipun usiaku sudah semakin tua begini!"
"Keparat kau, Lahar Jalanan!" geram Nyai
Sangkal Putung, kemudian ia menyodokkan ujung
tongkatnya dari samping kiri ke arah rahang si Lahar
Jalanan. Wuuut...! Taap...! Dengan gerakan tak kenta-
ra, tangan Lahar Jalanan menadah ke rahangnya dan
ujung tongkat pun berhasil ditangkap kuat-kuat.
Nyai Sangkal Putung kerahkan tenaga untuk
menekan tongkatnya, tapi Lahar Jalanan segera mem-
buka genggamannya dan sentakkan tangannya dengan
tenaga dalam, sehingga tubuh Nyai Sangkal Putung
tersentak ke belakang. Wuuut...!
"Guru...!" pekik si Mata Bidadari yang segera menangkap tubuh gurunya hingga tak
jadi terpelanting
jatuh. "Biar kuhadapi dia, Guru!" tambah si gadis setelah sang Guru tegak
kembali. Ia segera maju ke de-
pan gurunya, menghadap ke arah Lahar Jalanan.
Soka Pura tersenyum kalem. Ia mencolek pun-
dak si Lahar Jalanan.
"Paman, agaknya sekarang giliranku! Mundur-
lah sedikit, Paman!" ujarnya dengan kalem sekali. Lahar Jalanan pun mundur dan
berikan tempat untuk
Soka Pura yang ingin berhadapan dengan si Mata Bi-
dadari. "Hentikan! Hentikan semua ini!" seru sang Ratu sambil bergegas bangkit
dari tempat duduknya.
"Aku tak ingin tempat ini menjadi arena perta-
rungan!" tambahnya lagi dengan tegas, membuat Soka Pura menjadi hembuskan napas
dan menyisih, semen-
tara si Mata Bidadari pun ikut kendorkan ketegangan-
nya. "Paman Lahar Jalanan...," ujar sang Ratu. "Nyai Sangkal Putung datang
kemari untuk sampaikan kabar penting tentang bahaya yang akan melanda Pantai
Rangsang! Mengapa Paman bersikap bermusuhan ke-
pada Nyai Sangkal Putung"!"
"Kakaknya punya dendam pribadi denganku.
Tapi aku tak suka jika ia menantangku dengan cara
memenggal kepala orang lain sebagai undangan ke
pertarungannya. Terlebih yang menjadi korban ter-
penggal adalah lima orangmu, Nyai Ratu. Aku sangat
tak suka dengan cara seperti itu!"
"Lahar Jalanan!" sentak Nyai Sangkal Putung.
"Ku ingatkan padamu sekali lagi, jangan sangkut
pautkan masalah ini dengan mendiang kakakku: si Ib-
lis Tambak Getih! Dia memang musuh bebuyutan mu.
Tapi itu dulu, semasa ia masih hidup!"
Lahar Jalanan mulai sadar dengan ucapan itu.
"Apa maksudmu" Semasa dia masih hidup"!


Pendekar Kembar 16 Geger Pantai Rangsang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Apakah sekarang dia...."
"Jangan berlagak tolol, Lahar Jalanan! Kakak-
ku sudah terkubur satu tahun yang lalu!"
Lahar Jalanan terkejut, dahinya berkerut tajam
sekali. Pandangan matanya segera beralih kepada Soka
Pura. Ternyata pemuda itu berwajah heran. Lahar Ja-
lanan melangkah dekati Soka dan bicara dengan pelan
sekali. "Menurutmu, apakah aku harus percayai kata-katanya?"
"Sebaiknya begitu, Paman. Dari tadi sebenarnya
ia tersinggung karena Paman sangkut pautkan nama
mendiang kakaknya itu."
"Paman," ujar Ratu Sedap Malam. "Apa yang dikatakan Nyai Sangkal Putung itu
memang benar. Ib-
lis Tambak Getih sudah tewas sekitar satu tahun yang
lalu. Apakah Paman belum mendengar tewasnya Iblis
Tambak Getih itu"!"
Lahar Jalanan mulai salah tingkah dan sedikit
menggeragap karena merasa bersalah. Nyai Sangkal
Pulung segera berujar kembali kepada Lahar Jalanan.
"Kalau kau tak percaya, kau bisa kubawa ke makam-
nya dan bongkarlah makam itu! Maka kau akan me-
nemukan kerangka kakakku bersama beberapa senja-
ta pusakanya yang ikut dikuburkan juga!"
Soka Pura berbisik dari belakang Lahar Jala-
nan. "Paman, agaknya kita salah duga!" Dengan suara jelas didengar oleh siapa
saja, Lahar Jalanan berkata
dengan nada sesal.
"Barangkali kepikunan ku sudah terlalu berle-
bihan. Tapi jika bukan dia. lalu siapa yang lakukan
pemenggalan kepala sekejam itu"!"
Si Mata Bidadari berbisik kepada gurunya. Tak
jelas apa yang dibisikkan, tapi Soka Pura memperhati-
kan terus dengan penuh waspada. Kejap berikut, Nyai
Sangkal Putung bicara kepada Ratu Sedap Malam.
"Kalau begitu apa yang baru saja kusampaikan pada-mu sudah terjadi, Sedap Malam!
Sebaiknya bersiap-
siaplah!" * * * 4 PEMBANTAIAN lima gadis cantik itu membuat
Ratu Sedap Malam merasa terpukul jiwanya. Lima ga-
dis yang tewas dengan kepala dipenggal itu adalah
orang-orang andalannya yang selalu memperkuat ben-
teng pertahanan Pantai Rangsang.
Pulangnya Bintari dan kawan-kawan yang
membawa lima potong kepala itu telah membuat Nyai
Sangkal Putung sendiri menjadi tercengang dan nyaris
tak bisa berkata apa pun. Ia sendiri tidak menyangka
sedikit pun bahwa apa yang dikatakan Lahar Jalanan
itu benar-benar terjadi. Sang Nyai pun ikut berduka
atas musibah yang menimpa Ratu Sedap Malam.
"Mengapa Nyai Sangkal Putung justru tampak
bersahabat sekali dengan Ratu Sedap Malam, Paman?"
tanya Soka membisik, ketika mereka memakamkan ke-
lima gadis tersebut. Sebagian ada yang dimakamkan
bersama raganya, sebagian lagi raganya tak ditemu-
kan. Mungkin sudah hanyut terbawa ombak ke tengah
lautan lepas sana.
"Setahuku...," ujar Lahar Jalanan, menjawab
pertanyaan Soka. ".... Iblis Tambak Getih dulu pernah bentrok dengan Sedap
Malam, karena perkara sepele.
Tapi Sedap Malam pernah berguru kepada Sangkal Pu-
tung, terutama dalam mempelajari ilmu pengobatan."
"O, Nyai Sangkal Putung ahli dalam pengobatan?"
"Termasuk ahli, karena ia pernah berguru dengan gurunya si Tabib Kubur, tapi
hanya sebentar."
Soka Pura menggumam dan manggut-manggut.
"Jika melihat keakrabannya sekarang, aku dapat simpulkan bahwa ketika Iblis
Tambak Getih bentrok den-
gan Sedap Malam, yang saat itu masih muda belia,
mungkin segera ditengahi oleh Sangkal Putung dan di-
aku sebagai muridnya, sehingga Iblis Tambak Getih
sungkan untuk lanjutkan persoalannya dengan Sedap
Malam. Barangkali hubungan itu masih berlanjut
hingga sekarang. Aku tak tahu persis kalau Sedap Ma-
lam berhubungan baik dengan Sangkal Putung."
"Lalu, kabar bahaya apa yang dibawa oleh Nyai
Sangkal Putung kepada sang Ratu, Paman" Sebab
agaknya Nyai Sangkal Putung sendiri kaget melihat li-
ma gadis itu terpenggal sekejam itu."
"Benar. Agaknya ia memang tidak tahu menahu
tentang kelima gadis yang terpenggal itu. Tapi... entahlah, aku sendiri belum
tahu tentang kabar adanya ba-
haya yang dibawa oleh Sangkal Putung itu. Sebaiknya
kutanyakan saja setelah pemakaman nanti selesai."
Pemakaman itu selesai ketika senja makin pu-
dar, sebentar lagi gelap petang akan datang. Ratu Se-
dap Malam yang sedang berduka mengharap para ta-
munya bermalam di pesanggrahannya, setidaknya
akan ada penghibur bagi hati sang Ratu cantik yang
duka itu. Soka Pura merasa tidak keberatan, mengin-
gat jika ia harus menyusul kakaknya ke Bukit Gamp-
ing pun perjalanannya akan memakan waktu sampai
lewat tengah malam. Ia tak akan dapat tempat untuk
tidur senyaman di dalam istana kecilnya Ratu Sedap
Malam. Pada kesempatan itulah, Lahar Jalanan sempat
bicara dengan Nyai Sangkal Putung yang didengarkan
oleh Soka dan si Mata Bidadari. Percakapan itu mere-
ka lakukan tanpa Ratu Sedap Malam. Mereka ada di
taman belakang pesanggrahan, ketika malam mulai
hembuskan udara dingin dan suara deburan ombak
menjadi irama khas dari Pantai Rangsang.
"Pemenggalan kepala itu hanya suatu awal dari
bencana yang akan melanda wilayah kekuasaan si Wu-
landani," ujar Nyai Sangkal Putung.
"Apa sebenarnya bencana atau bahaya yang
kau maksud itu, Sangkal Putung"!"
"Muridku baru pulang dari Pulau Kucil. Di sana
ia mendengar rencana makar dari si Raja Amuk Jagal.
Ia akan menyerang Pantai Rangsang untuk rebut wi-
layah ini. Karena ia ingin berjaya lagi di tanah Jawa, seperti pada waktu
sebelum kekuasaannya di Lembah
Gerhana direbut oleh Ratu Rias Rindu."
"Amuk Jagal..."!" gumam Lahar Jalanan den-
gan wajah sedikit tegang. Cahaya obor penerang taman
menampakkan pula wajah Soka Pura yang terkejut
mendengar nama Raja Amuk Jagal. Wajah yang terke-
jut itu diperhatikan oleh si Mata Bidadari secara diam-diam. Pendekar Kembar
pernah dengar tentang nama
Raja Amuk Jagal. Mereka mendapat penjelasan seperti
itu ketika terlibat dalam kasus perebutan pedang pu-
saka yang kini ada di tangan si Dewa Perintang. Penje-
lasan tersebut sama seperti yang dituturkan oleh Nyai
Sangkal Putung, tentang Raja Amuk Jagal yang mela-
rikan diri ke Pulau Kucil karena wilayah kekuasaannya
direbut oleh Ratu Rias Rindu, (Baca serial Pendekar
Kembar dalam episode: "Pedang Bulan Madu").
Lahar Jalanan juga mengenal nama itu dan ta-
hu persis tentang Raja Amuk Jagal. Wajahnya meman-
carkan sedikit ketegangan yang ditutupi dengan tari-
kan napas penenang hati itu. Mungkin juga di dalam
hati si Lahar Jalanan tersimpan kecemasan, karena
agaknya Lahar Jalanan tak suka jika Raja Amuk Jagal
berkuasa kembali ke tanah Jawa, terlebih dengan cara
merebut wilayah Pantai Rangsang.
"Apakah kabar ini tidak keliru, Sangkal Pu-
tung" Atau mungkin hanya suatu tipuan belaka?"
"Aku tak pernah mendidik muridku menjadi
seorang pembohong!" tegas Nyai Sangkal Putung. "Kuharap kau tidak menilai dengan
kepicikan mu, Sela Gi-
ri! Soka Pura sempat merasa sedikit aneh men-
dengar Nyai Sangkal Putung menyebut Lahar Jalanan
dengan nama Sela Giri. Tapi anak muda yang dari tadi
dilirik si Mata Bidadari itu segera tanggap bahwa Sela Giri pasti nama asli dari
si Lahar Jalanan.
"Jika benar begitu, maka Sedap Malam benar-
benar dalam ancaman maut, sebab kekuatan Sedap
Malam tidak setanding dengan kekuatan si Raja Amuk
Jagal," ujar Lahar Jalanan.
"Itulah sebabnya aku datang kemari, bukan sa-
ja untuk mengabarkan datangnya ancaman maut ter-
sebut, namun juga akan ikut memperkuat pertahanan
si Sedap Malam."
"Tunggu dulu!" sergah Ki Sela Giri. "Mengapa Raja Amuk Jagal mengincar tempat
ini" Bukankah ada
wilayah lain yang lebih luas dari wilayah Pantai Rang-
sang"!" "Amuk Jagal menilai tempat ini mudah dijangkau dari Pulau Kucil. Amuk
Jagal juga tahu, kekuatan
Sedap Malam mudah dilumpuhkan. Mungkin bagi
Amuk Jagal, melumpuhkan Wulandani lebih muda da-
ripada melumpuhkan pihak lain. Barangkali saja sete-
lah ia berhasil kuasai Pantai Rangsang, ia akan lebar-
kan sayap dengan menguasai daerah-daerah lain, teru-
tama yang terdekat dari tempat ini."
"Termasuk akan kuasai Bukit Bangkai, tempat
tinggalmu itu?" potong Lahar Jalanan.
"Kurasa begitulah rencana dalam otak si jaha-
nam Amuk Jagal itu!"
Pendekar Kembar bungsu berujar dalam ha-
tinya, "Ooo... gadis ini tinggal bersama gurunya di Bukit Bangkai"! Hmmm...
kapan-kapan aku akan bertan-
dang ke sana jika suasana hubungan tetap baik."
Sejak tadi Soka Pura memang hanya diam saja,
tak ikut dalam pembicaraan itu. Demikian pula yang
dilakukan oleh si Mata Bidadari. Dia tidak akan bicara jika tidak ditanya. Soka
Pura dan si Mata Bidadari sa-ma-sama bersikap sebagai pendengar yang baik, yang
selalu menyimak percakapan dua tokoh tua tersebut.
Menurut dugaanku...," sambung Nyai Sangkal
Putung."... pemenggal kepala yang dipajang di sepanjang Pantai Rangsang itu
adalah si Amuk Jagal sendiri.
Setidaknya ia mengutus orang kepercayaannya untuk
lakukan tindakan keji seperti itu."
"Lalu menurutmu, dengan maksud apa si
Amuk Jagal memenggali kepala manusia dan mema-
jangnya di sepanjang Pantai Rangsang itu?"
"Aku tidak tahu apa maksudnya. Tapi secara
mudah saja, terpajangnya kepala-kepala korban di se-
panjang Pantai Rangsang akan membuat Sedap Malam
menjadi panik dan kacau. Dalam keadaan panik dan
kacau, siapa pun akan mudah ditumbangkan, lebih-
lebih si Wulandani yang ilmunya di bawah ilmu silat si Amuk Jagal. Pasti akan
sangat lebih mudah lagi untuk
dihancurkan."
"Berarti Amuk Jagal punya mata-mata di sini,
di dalam pesanggrahan ini!" ujar Ki Sela Girl setelah diam sesaat bersama
renungannya. "Kurasa memang begitu. Tapi aku tak berani
bicara kepada Sedap Malam, takut disangka memfit-
nah orang-orangnya."
"Kalau begitu, aku saja yang bicara padanya.
Mata-mata itu harus disingkirkan sebelum ia buka
mulut kepada Amuk Jagal tentang keberadaan kita di
pihak Sedap Malam," sambil Lahar Jalanan bangkit
berdiri dari duduknya, hendak bergegas temui sang
Ratu. "Kurasa bukan sekarang saatnya bicara den-
gannya, Sela Giri! Ia sedang dalam masa berkabung!"
"Tidak ada waktu lagi buat menunda hal sema-
cam ini, Sangkal Putung! Aku akan bicara sekarang
juga!" "Jika begitu, aku akan membantumu meyakin-kan dia!" ujar Nyai Sangkal
Putung sambil bergegas mengikuti langkah Lahar Jalanan.
"Apakah aku perlu ikut, Guru?" si Mata Bida-
dari perdengarkan suaranya. Sang Guru hentikan
langkah sebentar dan menatapnya.
"Tetaplah di tempat. Aku akan kembali lagi se-
telah sampaikan pesan-pesan berikut ini!"
Nyai Sangkal Putung pun pergi temui Ratu Se-
dap Malam bersama si Lahar Jalanan. Si Mata Bidada-
ri duduk di batu taman yang berseberangan dengan
tempat duduk Soka Pura. Pandangan matanya tertuju
pada langkah sang Guru, sementara pandangan mata
Soka tertuju ke arah gadis itu. Sikap duduknya yang
tegak dengan kaki sedikit merenggang membuat si Ma-
ta Bidadari kelihatan tegar dan tegas. Postur tubuhnya yang tinggi, padat
berisi, menimbulkan kesan sebagai
gadis pemberani yang tak punya rasa takut kepada
siapa pun. Soka Pura amat terkesan dengan si Mata
Bidadari. Bukan saja terkesan karena kecantikan dan
kesemokan tubuhnya, namun juga terkesan dengan
sikap pendiamnya yang mirip air: diam-diam mengha-
nyutkan. Gadis berambut sepanjang punggung keriting
lembut yang diikat dengan ikat kepala warna kuning
itu tiba-tiba arahkan pandangan mata indahnya kepa-
da Soka Pura. Deerr...! Jantung Soka Pura bergetar se-
ketika itu juga. Hampir saja ia salah tingkah jika tidak segera kuasai diri
dengan nekat tetap memandang ma-ta pemikat itu.
"Mengapa pandangi ku terus?" tegur si Mata
Bidadari dengan nada sedikit ketus. Soka Pura terse-
nyum, lebih tepat dikatakan: cengar-cengir.
Agaknya sekalipun Nyai Sangkal Putung den-
gan Lahar Jalanan sudah kurangi sikap permusuhan-
nya, namun Mata Bidadari masih bersikap ketus ke-
pada Soka Pura. Anggapannya, Soka Pura adalah
orangnya Lahar Jalanan yang siap bersaing dengan-
nya. Gadis itu memang kelihatan angkuh di depan
Soka Pura. Tapi pemuda itu tak kaget dengan sikap
angkuhnya. Ia sudah sering temukan gadis bersikap
angkuh, namun pada akhirnya tak kuasa lepas dari


Pendekar Kembar 16 Geger Pantai Rangsang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pelukannya. "Terus terang saja, mengapa sejak tadi kau
mencuri pandang padaku"!" tegur si Mata Bidadari lagi dengan nada ketus belum
berkurang. "Apakah bukan sebaliknya; kau yang mencuri
pandang padaku sejak tadi?"
"Hmmm... terus terang saja, aku mencuri pan-
dang padamu lantaran aku tak suka melihat sikapmu
yang berlagak jadi pembela di depan Ki Selo Giri, si
Lahar Jalanan itu," sambil si gadis alihkan pandangan ke arah lain.
Soka lebarkan senyum. "Begitu pun aku, jika
aku sering mencuri pandang kepadamu, terus te-
rang...." Karena ucapan Soka terhenti dengan kesan ra-gu, maka si Mata Bidadari
mendesak dengan perta-
nyaan ketusnya.
"Terus terang apa"!"
"Terus terang... wajahmu memang terang te-
rus!" jawab Soka Pura bernada konyol. Ia nyengir sendiri, sedangkan si gadis
mendengus kecil sambil buang
muka. Beer...! Untung mukanya tak benar-benar ter-
buang. Muka itu sekalipun ketus dan angkuh, namun
masih memancarkan kecantikan yang memikat. Daya
pikat tertinggi terletak pada sepasang matanya yang
tak terlalu lebar, namun juga tak begitu kecil. Bening dan memancarkan keteduhan
aneh yang jarang dimiliki oleh gadis lain.
"Sejak kapan kau pulang dari Pulau Kucil?" So-ka Pura memecah kebisuan dl antara
mereka. "Kau tidak perlu tahu!" jawab si Mata Bidadari.
"Tapi aku perlu tahu tentang orang yang ber-
nama Raja Amuk Jagal itu. Aku belum pernah bertemu
dengannya."
"Hmmm...!" Mata Bidadari mencibir. "Kalau kau bertemu dengannya kau akan lari
terbirit-birit! Dia
orang yang paling kejam yang pernah kutemui, terlebih
setelah ia kuasai ilmu baru yang diperdalam selama di
Pulau Kucil!"
"O, jadi karena Raja Amuk Jagal merasa sudah
dapatkan ilmu baru, dan merasa kekuatannya lebih
besar dari sebelumnya, maka ia mulai lancarkan kega-
nasannya ke tanah Jawa ini"!"
"Yah, kurasa memang begitu jalan pikirannya!"
"Kau pernah menjadi pengikutnya?"
"Jangan bicara seenak mulutmu!" hardik si Ma-ta Bidadari.
"Kau banyak mengetahui tentang dia, termasuk
rencana yang ingin merebut Pantai Rangsang. Jika kau
bukan bekas orangnya, tak mungkin kau mengetahui
rencana rahasia tersebut!"
Gadis itu tampak ngotot. "Aku ke Pulau Kucil
karena mengejar musuhku! Ternyata ia adalah orang-
nya Raja Amuk Jagal. Aku sempat tertangkap di sana,
Tolol!" "Oh, kau tertangkap"! Kasihan!" gumam Soka Pura sambil geleng-geleng
kepala bernada menyindir.
"Lalu kau dibebaskan setelah memenuhi syarat yang diminta Raja Amuk Jagal"!"
"Sekali lagi kau bicara seenaknya di depanku,
ku rontokkan semua gigimu!" ancam si Mata Bidadari dengan berang. Soka justru
senang dan tertawa tanpa
suara, senyumnya kian melebar.
"Aku berhasil meloloskan diri karena bantuan
teman yang dijadikan budak paksa! Bukan merengek-
rengek dan memenuhi syarat apa pun yang diminta di
manusia terkutuk itu!"
"Oooo...," Soka Pura sengaja menggumam agak
keras dan manggut-manggut. Tapi senyumnya masih
berkesan senyum mengejek dan membuat si Mata Bi-
dadari simpan kedongkolan dalam hatinya.
"Bahkan aku tahu, Amuk Jagal mengirim orang
pilihannya untuk mempersiapkan segala sesuatunya
sebelum penyerangan itu tiba! Ku tahu hal itu dari te-
manku yang dijadikan budak paksaan itu!"
Wajah tampan Pendekar Kembar bungsu itu
segera berubah menjadi serius, walau tak sampai ber-
kerut dahi dan menjadi tegang.
"Apakah kau tahu siapa orang utusannya itu"!"
"Mandrakala, yang dikenal dengan julukan si Dewa
Pancung!" Kali ini Soka baru berkerut dahi. "Dewa Pan-
cung"!" "Ya. Apakah kau kenal" Agaknya kau memang sahabatnya!"
"Jangan bicara seenak mulutmu!" Soka berla-
gak menghardik. "Sekali lagi kau bicara seenak mulutmu di depanku... kulumat
habis bibirmu!"
"Hmm, dasar otak kotor!" kecam si Mata Bida-
dari sambil mendengus sinis. Soka nyengir sebentar,
lalu bicara dengan serius.
"Apakah kau sudah bicara dengan Nyai Sangkal
Putung tentang si Dewa Pancung itu?"
"Belum. Kurasa itu tak perlu. Yang perlu dike-
tahui oleh Guru hanya rencana Raja Amuk Jagal ingin
merebut kekuasaan Ratu Sedap Malam di Pantai
Rangsang ini!"
"Bodoh!" gumam Soka pelan, tapi kedengaran
pula oleh Mata Bidadari. Gadis itu menjadi gusar.
"Siapa yang bodoh"! Kaukah yang bodoh"!"
"Kau...!" Jawab Soka Pura masih kalem tapi serius Mata Bidadari bangkit lag!
ingin melabrak Soka
karena tersinggung dikatakan bodoh. Tapi sebelum
Mata Bidadari bergerak, Soka Pura sudah lebih dulu
berkata dengan suaranya yang tegas.
"Mestinya kau ceritakan pula tentang Dewa
Pancung yang menjadi utusan Raja Amuk Jagal itu!"
"Apa perlunya" Diceritakan atau tidak, Nyai Ra-
tu tetap akan diserang oleh Raja Amuk Jagal!"
"Tapi setidaknya Nyai Sangkal Putung bisa
mengambil kesimpulan bahwa pemenggalan kepala ini
pasti dilakukan oleh si Dewa Pancung itu!"
"Hmmm!" Mata Bidadari mencibir sinis. "Sok tahu! Belum tentu Dewa Pancung yang
melakukannya!" "Nama julukannya saja 'Dewa Pancung'. Berarti kerjanya memancung
orang alias memenggal kepala
orang!" Mata Bidadari diam, ia duduk lagi dengan sikap tegak, mirip gadis jagoan
tak takut mati. Agaknya ka-ta-kata Soka Pura itu direnungkan baik-baik. Hati pun
berkecamuk walau bibir terkatup rapat.
"Kupikir... benar juga apa kata si tampan ko-
nyol itu! Dewa Pancung... jelas kerjanya memancung
orang. Hmmm... kurasa tugas Dewa Pancung adalah
membuat suasana Pantai Rangsang ini menjadi tegang
lebih dulu. Dengan dipancungnya beberapa pengawal
Ratu Sedap Malam, dan dengan dipajangnya kepala
mereka, diharapkan dapat membuat sang Ratu menja-
di panik atau gugup. Dalam keadaan sang Ratu gugup,
Raja Amuk Jagal akan datang menyerang dan mem-
buat suasana semakin bertambah kacau! Hmmm... bi-
ar konyol, agaknya pemuda itu punya otak yang lu-
mayan cerdasnya."
Soka Pura berani mendekat karena ia punya
alasan untuk bicara pelan kepada Mata Bidadari. Si
gadis hanya memandang dengan dahi berkerut, tak Je-
las maksud pendekatan Soka itu. Ia tampak sedikit cu-
riga dan bersiap lakukan gebrakan jika Soka ingin ber-
tingkah macam-macam padanya.
"Apakah kau tahu di mana si Dewa Pancung
bersembunyi?"
"Kau sangka aku begundalnya"!" ketus Mata
Bidadari. Sikap itu masih diterima Soka dengan sabar.
Pendekar Kembar bungsu justru sunggingkan senyum
kecil. "Kalau begitu, aku akan mencari Dewa Pancung malam ini juga! Katakan
kepada gurumu atau Paman
Lahar Jalanan atau kepada Nyai Ratu, aku pergi men-
cari Dewa Pancung!"
Soka Pura bergegas tinggalkan taman, tapi Ma-
ta Bidadari cepat mencegat langkah pemuda itu.
"Malam-malam begini kau ingin pergi menca-
rinya"!" "Jika tertunda, maka akan muncul kepala-kepala korban lainnya yang
dipancung oleh utusan Ra-
ja Amuk Jagal itu!"
"Memang benar. Tapi tindakanmu ini tindakan
yang tolol!" kecam Mata Bidadari. "Kau tidak akan menemukan dia dalam keadaan
gelap begini! Kau hanya
akan...." "Jadi apa maumu"!" potong Soka Pura.
Mata Bidadari sempat salah tingkah sesaat ke-
tika ditatap Soka yang sunggingkan senyum tipis. Se-
nyuman itu bagaikan menembus relung hati Mata Bi-
dadari dengan kelembutan yang mendesis menggeli-
sahkan. "Kita bicarakan dulu kepada Guru dan yang
lainnya itu! Jangan bertindak bodoh, karena hal itu
akan merugikan dirimu sendiri!" ujar Mata Bidadari menutupi kegelisahannya.
"Kalau aku nekat pergi malam ini juga, apa tin-
dakanmu"!"
Mata Bidadari agak jengkel, karena Soka diang-
gap pemuda yang suka ngotot dan tak mau terima sa-
ran orang. Padahal sikap ngotot itu sengaja dilakukan
Soka sebagai pancingan untuk mengetahui sejauh
mana perasaan Mata Bidadari terhadap dirinya. Ter-
nyata gadis itu seperti merasa tak ingin diri Soka cela-ka dengan melakukan
tindakan sembrononya.
"Terserah kalau kau mau nekat pergi! Kalau
kau celaka, kau sendiri yang merasakannya! Tapi ka-
lau kau bukan pemuda gila, kau akan turuti saran ku
untuk tidak mencari Dewa Pancung malam ini juga!"
Soka Pura ingin tertawa, namun hanya bisa di-
lakukan dalam hati. Soka takut membuat Mata Bida-
dari merasa semakin malu dan akhirnya akan berang
jika ucapannya itu ditertawakan. Namun Soka senang
sekali menggoda perasaan gadis itu dengan permainan
kata-katanya. "Aku tak betah tinggal di sini. Bagiku di sini
terlalu sepi. Yang kudengar hanya suara ombak dan
desiran angin pantai saja."
"Dasar tuli!" gerutu Mata Bidadari dengan ber-sungut-sungut. "Apakah kau tak
mendengar suaraku
ini"!" "Suaramu akan hilang sebentar lagi, ketika malam semakin larut dan rasa
kantukmu mulai tiba!"
"Kalau kau menantangku untuk melek sema-
laman, akan kulayani tantanganmu. Kau pikir aku ga-
dis yang tak kuat menahan kantuk"!"
"Untuk apa melek semalaman jika tidak disertai
percakapan yang enak didengar dan indah dirasakan
dalam hati."
"Apa maumu sebenarnya, hah"!" hardik Mata
Bidadari dengan jengkel. "Kau memancingku untuk
ngobrol semalam suntuk" Kau merasa suka ngobrol
denganku"! Kau menyimpan maksud di balik obrolan
itu"! Jawab terus terang! Jawab!" sambil si gadis makin mendekat.
Soka Pura geragapan dicecar pertanyaan bertu-
bi-tubi. Setiap ia ingin bicara, baru membuka mulut
sudah diburu oleh pertanyaan berikutnya. Akhirnya
Soka pun hembuskan napas dan tak mau menjawab
pertanyaan itu sepatah kata pun. Soka justru berbalik
ke tempat duduknya semula, dan duduk di situ den-
gan senyum geli menghiasi bibirnya.
Setelah mereka saling membisu sekitar lima he-
laan napas, Mata Bidadari melangkah dekati Soka Pu-
ra. Gadis itu memandang dengan pancaran mata yang
sepertinya menghadirkan sejuta ketenangan di batin
Soka. "Aku mulai sadar, malam ini kau butuh teman bicara!" "Mungkin benar juga
kesadaranmu itu."
"Baik. Aku akan menjadi lawan bicaramu! Apa
yang ingin kau bicarakan. Hmmm...?" sambil Mata Bidadari duduk di samping Soka
Pura. Tantangan itu justru membuat Soka menjadi
salah tingkah. Soka hanya berkata dalam hatinya.
"Ternyata ia lebih berani terus terang daripada
aku. Sialan!"
* * * 5 MATAHARI memancarkan cahaya fajar ke per-
Naga Dari Selatan 6 Rahasia Dewi Purbosari Karya Aryani W Persekutuan Tusuk Kundai Kumala 11
^