Pencarian

Matahari Esok Pagi 18

Matahari Esok Pagi Karya S H Mintardja Bagian 18


"Baiklah" berkata Lamat kemudian "aku akan berusaha untuk selalu melindungi Nyai De mang dari dala m. Tetapi kalian harus tetap mengawasi keadaan. Jika aku terpaksa terlibat dala m sikap yang keras, ma ka ka lian harus segera berusaha me mbantu. Kalau tidak, dalam waktu yang sekejap saja, kepalaku akan terpenggal oleh Ki Reksatani bersama orang-orangnya. "Apalagi apabila Manguri berdiri di pihak mereka" Pa mot mengangguk-anggukkan kepalanya. "Ya. Aku selalu siap bersama dengan kawan-kawan Rajab, adalah salah seorang anak muda Kali Mati yang berpengaruh" Lamat mengangguk-anggukkan kepalanya. Mudah-mudahan kita dapat menyela matkan" "Apa yang harus kita kerjakan se karang?" "Kalian harus me ngawasi aku" "Apakah isyaratmu?" Lamat berpikir sejenak. Ke mudian "A ku akan berteriak me manggil ka lian. Aku tidak me mpunyai tanda apapun, dan barangkali aku juga tidak akan se mpat me mpergunakan tanda tanda lain" Pamot dan kawan-kawannya menganggukkan kepa lanya. Dan Pa motpun ke mudian bertanya "Kapan ha l itu terjadi?" "Aku belum dapat mengatakan" La mat berhenti sejenak, lalu t iba-tiba ia bertanya "Berapa orang ka lian se karang?" "Ena m orang" "Hanya enam orang?" "Tetapi dengan isyarat, kami dapat me manggil lebih dari lima belas orang saat ini" "Lima belas" La mat mengangguk-anggukkan kepa lanya. Tetapi jumlah itu masih meragukan. Meskipun jumlah itu "Sokurlah.
sudah seimbang, bahkan sedikit lebih banyak dari jumlah orang-orang yang berkumpul di ha la man ini, namun orangorang yang ada di hala man ini adalah orang upahan yang me mang menyewakan dirinya untuk berkelahi. Mereka me mang hidup dari ke ma mpuan mereka bertempur. Baik mereka orang-orang Ki Reksatani, maupun orang-orang Manguri yang biasanya mengawal di daerah-daerah yang berbahaya. Sedang anak-anak Sembojan dan sekitarnya adalah petani-petani dan mungkin satu dua diantara mereka adalah pengawal-pengawal Kade mangan dan pengawalpengawal khusus seperti Pa mot dan Punta. "Bagaimana?" bertanya Pamot. "Di dala m ha la man rumah ini berkumpul lebih dari sepuluh orang" berkata La mat "Maksudmu" kekerasan?" Apakah kita a kan merebut dengan
"Berbahaya sekali. Kalian hanya akan mene mukan mayat Nyai De mang di Kepandak" Lamat tida k segera menyahut. Ia mencoba me mbayangkan, bagaimanakah kira-kira ke kuatan penjaga pintu bilik Nyai De mang itu. Kalau ia berhasil me mbungka mnya, maka ia akan dapat me mbuka pintu bilik itu. Pintu butulan. Tetapi La matpun sadar, untuk mendekati pintu bilik itu pasti sangat sulit. Kecuali kalau penjaganya tidur. Agaknya ayah Manguri cukup berpengala man, sehingga ia sudah me mbersihkan beberapa puluh langkah dari pintu itu, sehingga orang yang mendekatinya, akan segera dapat diketahui sebelum ia menjadi de kat. "Baiklah kalian menunggu" berkata La mat "tetapi bahwa aku tahu kalian disini, aku menjadi se makin mantap. Percayalah kepadaku. Selagi aku masih hidup, Nyai De mang
akan selalu aku awasi. me mbantu aku"
Namun demikian kalian harus
"Jangan cemas. Beberapa orang diantara kami selalu de kat dengan rumah ini. Salah seorang dari ka mi t inggal di rumah sebelah. Dan aku, Punta beserta kedua kawan dari Gemulung, tinggal di rumah itu pula, meskipun harus sela lu berse mbunyi" "Baiklah" desis La mat "sekarang pergilah. Awasilah dari rumah itu saja. Disini ka lian selalu dibayangi oleh bahaya. Siapa tahu, Ki Reksatanipun berkeliaran di mala m begini di sekitar rumah ini. Kalian baru akan menyadari setelah leher kalian tercekik dari belakang" Anak-anak muda itu mengangguk-anggukkan kepalanya. "Akupun akan ke mbali ke rumah itu. Tetapi aku sudah me mpunyai pegangan, sehingga aku tidak menjadi ragu-ragu bertindak" "Baiklah" desis Pa mot. Lalu nada suaranya menurun "Aku mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga La mat. Kau selalu baik kepadaku" "Ah, jangan menjadi cengeng. Pergilah" Anak-anak muda itupun ke mudian merayap pergi meninggalkan tempat itu. Na mun Rajab masih juga se mpat bertanya "Apakah hubungannya dengan kalian, atau dengan Nyai De mang?" Pamot ragu-ragu sejenak. Tetapi ke mudian ia menjawab "Tida k ada hubungan apa-apa diantara kami dan juga diantara Lamat, raksasa yang baru bangun dari tidurnya itu, dengan Nyai De mang di Kepandak. Tetapi ada se maca m dorongan dari dala m dirinya sendiri untuk melindungi pere mpuan yang ma lang itu" "Seperti ka lian juga?"
Pamot tidak segera dapat menjawab. Ternyata pertanyaan itu telah me lontarkannya pada suatu pengakuan, bahwa ia tidak berusaha me mbebaskan Sindangsari dengan alasan yang sama dengan La mat. Sekedar karena rasa keadilannya tersinggung, tanpa pamrih apapun. La mat benar-benar telah berusaha melindungi Sindangsari karena percikan rasa keadilan dan kebenaran di dala m hatinya, meskipun sebelumnya ia merasa terikat oleh ikatan budi yang seakanakan tidak dapat diputuskannya. Tetapi bagi dirinya, ada sesuatu yang lain yang mendorongnya berbuat de mikian. Ia me mpunyai bekal yang masih tergores di hatinya, dan ia me mpunyai kepentingan langsung dengan perempuan itu, karena benihnya yang tertabur di perse maian itu telah tumbuh. Karena Pamot tidak segera menjawab, maka Puntalah yang menolongnya menjawab "Ya. Kami juga berusaha menyela matkannya. Bedanya, kami adalah orang-orang yang berada di luar lingkungan mereka, sedang Lamat adalah orang dalam, yang oleh lingkungan mere ka pasti a kan disebut pengkhianat. Tetapi ia yakin bahwa apa yang dilakukan itu benar, demi ke manusiaan" Rajab mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia tahu kini, bahwa ia telah terseret pula untuk melakukan perbuatan serupa itu. Dengan kata sehari-hari, menolong sesa ma yang sedang dalam kesulitan. Dan ia adalah perwujudan dari rasa ke manusiaan. Seperti yang selalu didengarnya orang tua-tua mengajari agar setiap orang suka tolong-menolong di dala m kesulitan. Bukan sekedar kata-kata yang merdu didengar, tetapi yang lebih penting adalah mela kukannya. Dan rajab merasa, kini ia telah me lakukannya. Demikianlah maka merekapun ke mudian saling berdia m diri. Perlahan dan hati-hati seka li mereka bergeser setapak demi setapak. Kemudian merekapun meloncati pagar-pagar batu beberapa kali, sebelum mereka sa mpa i ke hala man
rumah seorang kawan yang bertetangga dengan rumah yang dipergunakan oleh Sindangsari. "Kita harus sela lu mengawasi rumah itu" berkata salah seorang dari mereka. Yang la in mengangguk-anggukkan kepalanya. "Bagaimana dengan Ki Jagabaya" "Ia sedang tidur. Ia berada di bilik tengah" "Biarlah ia tidur. Kalau keadaan me munca k, barulah ia kita bangunkan. Tetapi kita sudah berhasil menghubungi orang di dalam lingkungan mereka " Pamot sendiri tidak menyahut pembicaraan itu. Ia duduk di sudut amben, di dala m kegelapan, karena sinar pelita yang menyangkut pada tiang. Tetapi tidak seorangpun yang menghiraukannya selain Punta. "Kasihan ana k itu" berkata Punta di da la m hatinya, seolaholah ia mengetahui apa yang bergolak di da la m hati Pa mot. "Apakah yang telah mendorong aku bersusah payah mencarinya?" pertanyaan itu me mang tumbuh di hati Pa mot "Sindangsari bukan apa-apa lagi bagiku. Apakah ada seorangpun yang dapat meyakinkan bahwa anak di dala m kandungannya itu ada sangkut pautnya dengan aku?" Berbagai bayangan di dalam angan-angannya telah me mbuatnya berkeringat. Bahkan tumbuh pula di dala m dadanya seruan "Kenapa tidak kau serahkan saja kepada Ki Demang di Kepandak yang telah mera mpas perempuan itu dari tanganmu" Apa pedulimu seandainya perempuan itu mati, atau diperisterikan oleh Manguri dengan paksa, atau sebabsebab yang lain" Namun ketika tanpa sengaja ia melihat anak-anak muda yang ada di dalam ruangan itu, dan terlebih-lebih lagi
terbayang wajah Lamat yang keras seperti batu, dada Pamot tergetar karenanya. "Apa pula hubungan mereka dengan Sindangsari" Apa pula kepentingan mereka atas perempuan itu dan bukankah mereka dapat tidak me mpedulikannya sama sekali seperti kita me lihat seekor t ikus yang hanyut di kali?" "Tida k, tidak" Pamot menggera m di dala m hati "pere mpuan itu me merlukan pertolongan. Kenal atau tidak kenal, berkepentingan atau tidak berkepentingan" Tiba-tiba saja angan-angannya terputus ketika ia mendengar hiruk pikuk di ruma h sebelah. Ha mpir berbareng anak-anak muda yang ada di dala m ruangan itu berloncatan ke pintu. Dada mereka berdesir ketika mereka melihat api yang menyala di rumah sebelah, rumah yang dipergunakan untuk menyimpan Sindangsari. "Kebakaran" Punta berguma m. "Ya, kebakaran" sahut Pa mot. Tetapi dengan de mikian mere ka tidak segera dapat menga mbil sikap. Kebakaran tida k termasuk di dala m perhitungan mereka. Mereka hanya menunggu isyarat Lamat. Kalau mereka mendengar isyarat, mereka harus bertindak cepat. Kalau tidak, maka tidak a kan terjadi apa-apa di rumah itu. Tetapi kini rumahitu terbakar. Anak-anak muda itu untuk sesaat hanya, berdiri me matung di hala man sambil me mandang api yang mulai menjilat atap. Beberapa bagian di sisi bela kang telah mulai berkobar. Orangorang yang ada di rumah itu menjadi sibuk. Mereka yang sedang tertidur oleh kelelahan, terperanjat bangun. Sejenak mereka saling berpandangan. Na mun sejenak ke mudian merekapun segera berloncatan ke luar. "Kebakaran, kebakaran"
Ayah Manguri yang ada di dalampun segera berlari keluar diikuti oleh isteri mudanya. Manguri dan orang-orangnya, juga Ki Reksatani dan pengiringnya, telah berkumpul di hala man. Sejenak mereka menilai keadaan, dan sejenak kemudian merekapun segera berloncatan. "Air, air" teria k salah seorang dari mere ka. Hala man rumah itupun ke mudian menjadi hiruk pikuk. Api yang menyala di bagian bela kang sema kin la ma menjadi semakin besar. Diantara mereka yang berlari-larian kian ke mari mencari air dan alat-alat untuk me mada m kan kebakaran itu, Ki Reksatani berdiri termangu-mangu. Ia ingat, bahwa di bagian belakang rumah itu disimpan Sindangsari, nalurinya telah mendorongnya untuk menolong pere mpuan itu. Tetapi tibatiba ia berdiri tegak seperti patung. Bahkan kemudian ia berdesis "Biarlah pere mpuan itu mati dimakan api. Itu lebih baik daripada aku harus me mbunuhnya" Karena itu, diurungkannya. niatnya untuk menolong Sindangsari
Tetapi selain Ki Reksatani, Manguripun menyadari hal itu. Karena itu, berlari-lari ia me lingkar rumah itu sa mbil berteriak me manggil "La mat, Lamat" Tetapi tidak ada seorangpun yang menyahut "lamat, Lamat" Suaranya seakan-akan tenggelam di dala m hiruk pikuk orang-orang yang berusaha me madamkan api yang berkobar semakin besar. Bahkan kemudian orang-orang di sekitar rumah itupun berlari-larian me mberikan pertolongan. Mereka menebang batang-batang pisang dan dilontarkannya ke dalam api. Selagi Manguri sedang kebingungan, dan selagi Ki Reksatani me mandangnya dengan senyum kecil di bibirnya,
mereka telah terkejut ketika dinding di sudut bela kang rumah itu terdorong oleh suatu kekuatan yang besar dari dalam. Dinding sudut yang sudah ha mpir termakan api pula itu, ke mudian roboh, sementara sebuah bayangan telah me loncat keluar dari dala m. Semua orang terpukau sejenak me mandangnya. Orang itu adalah La mat yang mendukung Sindangsari. Meskipun beberapa bagian pakaian dan kulitnya telah tersentuh api, namun La mat tidak menghiraukannya. Dan ia berhasil menyela matkan Sindangsari. Tetapi perempuan itu sela lu meronta-ronta. Bahkan ia berteriak-teriak "Lepaskan, lepaskan. Biarlah aku mati di dalam api itu. Lepaskan" Orang-orang yang mendengar teriakan itupun segera menduga bahwa pere mpuan gila itulah agaknya yang telah me mba kar rumah itu. Sebenarnyalah bahwa Sindangsari yang menjadi bingung dan gelap hati itu, tidak tahu lagi apa yang sebaiknya dilakukan. Apalagi ketika ia mengetahui bahwa Manguri telah berada di dalam ruma h itu pula. Oleh kebingungan yang tidak terpecahkan, maka hatinya benar-benar menjadi kela m. Ia lupa akan dirinya, lupa akan kandungannya, dan sejenak ia lupa akan adanya Tuhan Yang Maha Bija ksana. Ia telah mencoba menyelesaikan kesulitannya itu dengan caranya sendiri. Ternyata Sindangsari itu telah menyira m dinding biliknya dengan minyak la mpu di dala m biliknya, ke mudian me mba karnya dari dala m tanpa menghiraukan keadaan dirinya sendiri. Karena itulah, ia melawan ketika La mat ingin menolongnya dari lidah api yang sudah menjalar se ma kin besar.
Tetapi La mat tidak menghiraukannya. Sindangsari itupun ke mudian dibawa menjauhi api yang semakin besar berkobar me mba kar rumah isteri muda ayah Manguri. Pedagang ternak itu berdiri termangu-mangu di hala man yang merah karena nyala api. Di sampingnya isteri mudanya menangis sa mbil berpegangan lengannya "Rumahku, rumahku" Ayah Manguri menarik nafas dalam-da la m. Ia hanya dapat me mandang api yang semakin besar, bahkan hampir menelan seluruh bagian rumah itu. Lambat tetapi pasti, maka rumah itu akan menjadi abu sa ma seka li, karena pertolongan tetangga yang hampir seluruh padukuhan telah menge lilingi api dan mencoba me mada mkannya, namun tida k berhasil. -ooo0dw0ooo-
Matahari Esok Pagi Karya : SH Mintardja Jilid 9 MANGURI sa ma seka li t idak menghiraukan lagi api yang seakan-akan melonjak-lonjak dala m tarian maut menyentuh langit yang hitam. Yang menjadi pusat perhatiannya adalah Sindangsari. Karena itu dengan tergesa-gesa ia mengikuti Lamat yang kemudian meletakkan Sindangsari di sudut halaman belakang, diatas rerumputan yang kekuningkuningan. Oleh ketegangan yang luar biasa, maka Sindangsari yang sedang mengandung itupun telah menjadi pingsan. Dala m pada itu, Ki Re ksatanipun menjadi bingung. Ia kecewa sekali me lihat La mat berhasil menolong pere mpuan yang telah menyalakan api di dalam hatinya pula. Ki Reksatani mengharap Sindangsari mati. Tetapi kini ia dapat di selamatkan. Apalagi hala man itu penuh dengan orang-orang dari padukuhan Se mbojan. Apabila ia tidak dapat menyingkirkan Sindangsari, dan apabila karena sesuatu hal rahasia ini mere mbes keluar lingkungannya, maka ia akan menga la mi bencana yang tidak terkirakan. Dala m kebingungan itu tiba-tiba ia menga mbil keputusan. Perempuan itu harus mati. Manguri, ayahnya dan orangorangnyapun harus mati "Tetapi bagaima na dengan orangorang Sembojan?" pertanyaan itu melonjak di dala m kepalanya "mereka pasti akan berceritera tentang perkelahian yang timbul di rumah ini. Mereka Pasti akan bercerita tentang ke matian de mi ke matian. Mereka akan berceritera tentang orang-orang yang datang dan berselisih disini. Ga mbarangambaran yang mereka berikan akan menunjukkan bahwa yang berkelahi dan yang saling berbunuhan adalah orangorang Kepandak. "Persetan" ia menggeram "padukuhan ini cukup jauh. Di dalam hiruk pikuk ini aku harus cepat melakukannya. Mungkin tidak ada orang yang mengetahui, siapakah yang telah me lakukan pe mbunuhan itu. Dengan diam-dia m aku akan mende kati mereka seorang demi seorang. Dan aku akan
me mbunuhnya tanpa menimbulkan suara apapun. Aku dapat menusuk setiap punggung. Kemudian meninggalkannya terbaring di tanah. Orang-orang yang sibuk dengan api itu, pasti tidak a kan segera menyadari apa yang terjadi. Ki Reksatanipun ke mudian menggera m. Dibisikkannya rencana itu kepada seorang pengikutnya. Dan rencana itupun segera menjalar. "Kau serahkan Manguri dan ayahnya serta raksasa itu kepadaku. Kalian tidak akan dapat berbuat banyak atas mereka. Lakukanlah atas pengiring-pengiringnya. Cepat, selagi orang-orang Sembojan dan pengiring Manguri itu sibuk me mada mkan api. Aku akan mencari pere mpuan itu" Ki Reksatani tidak perlu mengulangi perintahnya. Orangorangnya yang segera mengetahui hal itu, mulai berusaha me lakukan tugasnya. Dengan pisau-pisau belati pendek, mereka mende kati para pengiring Manguri dari be lakang. Kemudian, mereka me mbena mkan pisau belati mereka di punggung di da la m kegelapan, selagi orang-orang itu sibuk menga mbil air, atau mencari batang-batang pisang, atau selagi mereka berbuat apapun juga. Mereka mendorong mayat-mayat itu ke dalam rimbunnya halaman yang kurang terpelihara. Dan me mbaringkannya di tanah. Sementara itu, Manguri berdiri termangu-mangu di belakang La mat yang sedang berjongkok merenungi wajah Sindangsari yang pucat. Dicobanya untuk menggerakkan tangannya perlahan-lahan. Kemudian menggerakkan kepalanya pula. Seperti seorang ibu yang menyentuh bayinya, Lamat me mijit punda k Sindangsari dengan hati-hati. Tetapi perempuan itu masih saja pingsan. Manguri masih berdiri di belakangnya. Dibiarkannya La mat berusaha me mbangunkannya. Bahkan dengan gelisahnya Manguripun ma ju selangkah. Tetapi ia berhenti ketika La mat merentangkan tangannya tanpa berkata apapun juga.
Semula Manguri tidak menghiraukannya. Tetapi ketika setiap kali ia ingin mende kat, Lamat selalu berusaha mencegahnya, ma ka iapun ke mudian berkata "Biarlah aku yang mencoba me mbangunkannya" Alangkah terkejut Manguri mendengar jawaban La mat. Dadanya hampir me ledak karenanya dan jantungnya serasa berhenti mengalir. La mat yang kemudian berdiri menghadangnya itu berkata "Jangan kau sentuh pere mpuan itu" "La mat" Manguri me ma ndanginya "apakah kau menjadi gila?" "Jangan kau sentuh" "Pergi, pergi kau. Aku Perempuan itu masih pingsan" akan me mbangunkannya. dengan taja mnya
"Akulah yang menolongnya dari api. Kalau t idak ia sudah mati menjadi bara di dala m api itu. Kau tidak berhak lagi atasnya" Manguri berdiri me mbeku sejenak. Ia menjadi bingung menghadapi raksasa yang jinak, tetapi tiba-tiba menjadi buas. "Apakah kau kerasukan setan Sembojan, he La mat. Jangan dungu. Perempuan itu akan mati ka lau ia tidak segera mendapat pertolongan" "Serahkan ia kepadaku. Kau persoalanku dengan pere mpuan itu" jangan mencampuri
"He La mat. Apakah kau benar-benar menjadi gila he?" Lamat t idak me njawab. Ia masih berdiri saja me matung di tempatnya. Namun di dala m keremangan cahaya api yang ke merah-merahan, mata La mat ta mpak menyala seperti bara. Manguri menjadi ragu-ragu sejenak. Seperti me melihara seekor harimau, betapapun jinaknya, pada suatu saat menggera m juga. Karena itu, maka ia harus berhati-hati. Ia
tidak tahu, kenapa tiba-tiba saja La mat telah berubah sama sekali. Sebenarnyalah bahwa Manguri tidak mengetahui apa yang tersimpan di dala m hati La mat. Ia tidak mengerti perkembangan perasaan raksasa itu. Apalagi kini, di saat-saat terakhir, Lamat sudah tidak dapat membiarkan perlakuan yang me mua kkan itu berlangsung terus sebelum terlanjur terjadi akibat yang tidak akan dapat dihapus seumur hidupnya. Semula La mat masih ragu-ragu untuk bertindak. Tetapi ketika ia me mbawa Sindangsari ke sudut hala man, maka ia mendengar suara berbisik di balik dinding batu "La mat, aku disini. Ka mi sudah siap. Agaknya saat ini merupakan salah satu saat yang baik untuk me mbebaskannya. Sindangsari sudah berada di tanganmu. Kemungkinan untuk me mbunuhnya dapat dibatasi sekecil-kecilnya" Lamat mengangguk-anggukkan menjawab "Ba iklah Kita akan mula i" kepalanya sambil
Pembicaraan itu terhenti ketika mereka melihat Manguri berlari-lari mende kati La mat. Namun se muanya sudah jelas. Semuanya sudah pasti. Sindangsari harus dibebaskan. Sementara itu Pamot dan kawan-kawannyapun segera surut beberapa langkah. Mereka berloncatan kebalik dinding di dalam kegelapan. Agaknya oleh hiruk pikuk di hala man, tidak seorangpun yang me mperhatikan mereka. Seandainya ada orang yang melihat mereka berloncatan, orang itu pasti mengira bahwa mereka adalah tetangga-tetangga terdekat yang akan menolong kebakaran itu pula. Dala m pada itu, Ki Reksatanipun dengan dia m-dia m telah mende kati Manguri yang sedang berbantah dengan Lamat. Sejenak ia menjadi heran. Kenapa tiba-tiba saja mere ka tidak sependapat. Biasanya Lamat tidak pernah me mbantah, apapun yang dikatakan oleh Manguri. Namun kini tiba-tiba Lamat telah mencegah Manguri mendekati Sindangsari.
Sejenak Ki Reksatani berpikir. Apakah kira-kira yang akan dilakukan oleh La mat atas perempuan itu. Kalau ia sudah je mu mengawasinya dan akan membunuhnya, maka biarlah raksasa itu melakukannya. Tetapi hal itu tida k akan mungkin terjadi. Raksasa itu pulalah yang telah me mbebaskan pere mpuan itu dari jilatan api. "Mereka sedang me mperebutkan perempuan itu" berkata Ki Reksatani di dalam hatinya. Namun perke mbangan keadaan itu mena mbahkannya menjadi ce mas. Rahasia ini akan semakin cepat menja lar dan diketahui orang. Karena itu, iapun segera mengambil keputusan. Bukankah keduanya harus dimusnahkannya dan ke mudian pere mpuan yang pingsan itu pula" Ki Reksatani dapat berpura-pura me mihak salah satu dari keduanya. Kemudian setelah yang seorang selesai, maka yang lain a kan diselesaikannya pula. Menurut perhitungan Ki Reksatani, maka untuk me mbunuh Manguri tida k akan ada kesulitan apapun. Tetapi untuk me mbunuh ra ksasa itu, mungkin ia me merlukan waktu. Apalagi agaknya orang-orang lain tidak akan mengganggunya. Misalnya ayah Manguri dan orang-orang yang sudah mengenal anak itu. Termasuk orang-orang Se mbojan. Karena itu, maka ia me mutuskan untuk berpihak kepada Manguri. Dengan demikian, rencananya akan dapat dilakukannya dengan lancar. Dengan keputusan itulah, maka Ki Reksatani melangkah mendekati keduanya yang masih berdiri berhadapan. "Apa yang terjadi?" ia bertanya seolah-olah ia tidak tahu apa yang sedang mereka percakapkan. Dada La mat berdesir. Ia sadar bahwa ia harus berhadapan dengan orang yang tidak terkalahkan dari Kepandak itu. Tetapi ia sudah me nyerahkan dirinya untuk menolong Nyai Demang. Ia sudah bulat bertekad untuk menyelamatkan jiwa
perempuan itu, bahkan ka lau perlu menukar dengan jiwanya yang sudah tidak berharga itu. "La mat menjadi gila" desis Manguri. "Ia mendengar percakapan kita. Ia mengetahui bahwa kita tidak sependapat, aku tahu, bahwa orang ini sudah la ma me mperhatikan kita" Ki Reksatani mengerutkan keningnya. Selangkah ia maju sambil berkata "Ya, aku mendengar sebagian dari percakapan kalian. Tetapi aku tidak tahu, alasan apakah yang mendorong kalian untuk me mperebutkan pere mpuan itu" "Aku akan menyela matkannya. Menyelamatkannya dari tangan laki-laki yang dibakar oleh nafsunya dan menyela matkannya dari laki-laki yang digelut oleh ketama kan" "La mat" berkata Manguri "siapakah yang mengajarimu demikian?" "Tida k ada. Tetapi aku adalah seorang manusia seperti kebanyakan manusia yang lain. Mempunyai perasaan, harga diri dan perike manusiaan. Apakah aku dapat membiarkan perempuan yang tidak berdaya ini menjadi korban kalian. Ia akan binasa lahir dan batinnya. Kalau ia t idak dibunuh secara badaniah, ia akan mati secara batiniah. Hidupnya bukan hidup lagi, meskipun ia tidak dapat segera dikubur. Karena itu, menyingkirlah kalian. Aku akan menyelamatkannya dan menge mba likannya kepada Ki De mang di Kepandak" Darah Manguri serasa berhenti mengalir mendengar jawaban itu. Namun sebelum ia menjawab, terdengar suara Ki Reksatani tertawa betapapun terasa pahitnya "Kau gila Lamat. Benar kata Manguri, bahwa kau sudah gila. Apakah kau sadar, bahwa dengan demikian, kau akan dapat mengala mi akibat yang tidak pernah kau perhitungkan" Apakah kau sangka, begitu mudahnya menge mbalikan Nyai De mang itu kepada suaminya?"
"Aku tahu, bahwa tidak begitu mudah untuk me lakukannya. Tetapi aku akan mencoba " Ki Reksatani me mandang wajah La mat yang tegang, sorot matanya me mancarkan kebulatan hatinya yang me mbara. Karena itu, Ki Reksatani tidak dapat me mperpanjang waktu lagi. Ia harus segera berbuat sesuatu. "La mat" Ki Reksatani menggeram "aku terpaksa me mbunuhmu. Aku kira Manguripun tidak berkeberatan, karena sela ma ini kau adalah seekor kerbau dungu yang dipeliharanya diantara ternak yang diperdagangkan oleh ayahnya. Tetapi ternyata kau jauh lebih dungu dari yang aku duga semula. Ternyata saat ini kau sudah mela kukan kesalahan yang tidak termaafkan" Lamat justru mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya "Aku menyadari, bahwa kau akan me nga mbil keputusan itu" Ki Reksatani maju selangkah lagi. Tetapi ia tertegun sejenak ketika ia mendengar dengan nafas di sektarnya. Tetapi Ki Reksatani tidak mengerti, siapakah orang-orang yang sedang mengerumuninya. Mungkin orang-orangnya, mungkin orang-orang lain yang me lihat perselisihan itu, atau mungkin orang-orang Manguri. Tetapi Ki Reksatani t idak ma u mengorbankan dirinya dan apalagi kepentingannya. Kalau orang-orang yang berada di sekitarnya itu tidak menguntungkannya, pasti akan mengganggu usahanya membunuh raksasa itu. Karena itu, maka tiba-tiba terdengar ia bersuit nyaring beberapa kali. Ia berharap bahwa orang-orangnya akan segera datang me mpercepat penyelesaian se muanya. "Mudah-mudahan mereka sudah selesai" katanya di dalam hati. Orang-orang Ki Reksatani yang mendengar suitan itupun segera menyahut, sekaligus me mberi isyarat bagi kawankawannya yang belum mendengar di tempat yang bertebaran.
Karena itu, maka sejenak kemudian mere kapun telah bergeser dari tempatnya mencari sumber bunyi isyarat itu, sementara beberapa dari mereka telah berhasil me mbinasakan orangorang Manguri yang ada di hala man. Ternyata suara suitan itu telah menimbulkan berbagai tanggapan pada penduduk Sembojan. Apalagi ketika salah seorang dari mereka yang berlari-lari terjatuh karena kakinya terantuk sesosok mayat. Maka sejenak ke mudian hiruk pikuk di hala man itu telah berubah menjadi kegemparan yang kisruh. Tida k seorangpun yang dapat bertindak dengan mapan. Semuanya hanya menjadi kebingungan dan kehilangan aka l. Sementara itu, Ki Reksatani sudah mulai bertindak. Dengan garangnya ia mende kati La mat yang sudah bersiap pula menghadapi setiap ke mungkinan. Seperti Ki Re ksatani, Lamatpun sadar, bahwa beberapa orang telah mengerumuninya. Ia juga mendengar dengus nafas sebelum Ki Reksatani bersuit. Dan La matpun yakin, bahwa orang-orang yang bersembunyi di sekitarnya itu pastilah Pamot dan kawan-kawannya, sehingga dengan demikian La mat berharap, bahwa Sindangsari benar-benar akan dapat disela matkan, meskipun mungkin ia sendiri tidak. Sejenak kemudian, ma ka Ki Reksatanipun menyerang dengan cepatnya. Tetapi Lamat agaknya benar-benar telah bersiap menghadapi setiap ke mungkinan. Demikianlah, maka perkelahian diantara dua orang yang luar biasa itu segera mulai. Ki Re ksatani yang sela ma ini hanya dikenal sebagai seorang yang tidak terkalahkan di Kepandak bersama Ki De mang, maka kini ia benar-benar telah me libatkan diri dala m suatu perkelahian melawan seorang raksasa yang selama ini dianggapnya terlampau jina k. Namun segera tampak, bahwa La mat bukan seorang raksasa yang terlampau dungu. Ia bukan sekedar seekor
kerbau yang menurut kemana saja ia dituntun oleh pemiliknya. Kini La mat seakan-akan telah bangun dari tidurnya, dan mulai menyadari dirinya sendiri. Pada langkah-langkah permulaan dari perkelahian ternyata, bahwa Lamat ma mpu mengimbangi kecepatan bergerak Ki Reksatani yang selama ini seakan-akan merupakan tokoh di dalam dongeng-dongeng tentang seorang yang tiada duanya didunia. Meskipun de mikian, perkelahian itu ternyata telah me mukau setiap orang yang menyaksikannya. Serangan Ki Reksatani datang bagaikan badai yang melanda dengan dahsyatnya. Tetapi Lamat adalah ra ksasa yang berdiri tegak bagaikan batu karang. Manguri yang menyaksikan perkelahian itu berdiri termangu-mangu. Kini ia melihat kebenaran dari ceritera yang mera mbat dari mulut ke mulut tentang Ki Reksatani. Tangannya dapat bergerak secepat tatit diudara. Sedang kakinya ma mpu me loncat mela mpaui loncatan belalang. Yang tidak diduganya adalah justru La mat. Manguri mengetahui bahwa orang itu me miliki kekuatan tubuh yang luar biasa. Tetapi ia tidak menyangka sama sekali, bahwa Lamat ma mpu melawan Ki Reksatani tidak se kedar me mperguna kan kekuatan yang diterimanya dari ala m. Tetapi ia ma mpu melawan dengan ilmu olah kanuragan yang mengagumkan. Lamatpun ma mpu berkelahi dengan dahsyatnya seperti juga yang dilakukan oleh Ki Re ksatani, di samping kekuatannya yang mela mpaui kekuatan seorang manusia biasa. Demikianlah perke lahian itupun segera berlangsung dengan dahsyatnya. Perkelahian antara dua orang raksasa di dalam olah kanuragan. Perkelahian yang jarang terjadi, apalagi di padukuhan kecil seperti padukuhan Se mbojan.
Itulah sebabnya, maka perkelahian itu benar-benar telah mengge mparkan orang Sembojan. Mereka me lihat dua orang yang berkelahi dengan dahsyatnya. Mereka me lihat di sudut halaman itu pere mpuan yang mereka sangka perempuan gila itu masih terbaring dia m. Na mun, tidak seorangpun dari mereka yang berani mendekati perkelahian itu. Tidak seorangpun yang berani berbuat sesuatu di dalam perkelahian itu. Dengan de mikian, ma ka orang-orang yang se mula sibuk dengan api yang hampir menelan seluruh bangunan itu perhatian menjadi terbagi. Sebagian me mperhatikan api yang masih melonjak sa mpai ke langit, dan sebagian perhatian mereka tera mpas oleh perkelahian yang se makin la ma menjadi se makin dahsyat itu. Perlawanan Lamat benar-benar tidak diduga pula oleh Ki Reksatani. Ia memang sudah me mperhitungkan bahwa me mbunuh La mat bukanlah pe kerjaan-pekerjaan yang mudah. Tetapi bahwa Lamat ma mpu me lawan dengan caranya, benarbenar telah menggetarkan dadanya. Namun demikian, ke marahannyapun menjadi se makin berkobar di dadanya. "Dari mana setan gundul ini mendapatkan ilmunya "Ki Reksatani menggeram di dala m hatinya. Namun na ma Ki Reksatani benar-benar bukan sekedar sebutan yang kosong. Semakin la ma menjadi sema kin nyata, betapa ia menguasai ilmunya dengan matang. Kedua tangannya yang bergerak berputaran, benar-benar me mbingungkan. Sekali-seka li ia me loncat bagaikan terbang dengan tangannya yang menga mbang. Ke mudian me nukik sambil mengayunkan serangan mautnya. Tandangnya bagaikan seekor burung garuda raksasa yang dengan garangnya menyerang mangsanya. Namun La mat sama seka li tida k menjadi gentar karenanya. Bagaikan seekor naga yang perkasa ia me lawan kuku-kuku
garuda yang ganas yang menya mbarnya dari segenap arah. Namun dengan taringnya yang tajam, naga raksasa itu berhasil mengha lau lawannya yang mengerikan itu. Tetapi Ki Reksatani ma mpu menyerang lawannya dengan kedua tangannya yang menjulur ke depan, bagaikan seekor harimau yang menerkam lawannya. Dengan kuku-kukunya yang tajamnya dan giginya yang runcing ia siap untuk merobek tubuh mangsanya. Namun La mat ma mpu pula bertempur bagaikan banteng ketaton. Tanpa menghiraukan keadaan tubuhnya sendiri La mat menga muk dengan dahsyatnya. Demikianlah perke lahian itu se makin la ma menjadi se makin seru. Kaki-kaki mereka yang berloncatan telah mengha mburkan debu yang putih keudara. Pepohonan perdu menjadi berserakan. Ranting-ranting berpatahan dan batubatu berterbangan tersentuh oleh kaki-kaki mereka. Manguri benar-benar me mbe ku di tempatnya. Ia adalah seorang anak muda yang me mpunyai pengetahuan tentang olah kanuragan. Tetapi ia t idak dapat me mbayangkan, bahwa perkelahian yang terjadi adalah perkelahian yang sedemikian dahsyatnya. Dala m pada itu, ketika keduanya sedang dicengkam oleh nafas maut yang berhembus di jalan pernafasan mereka, Manguri melihat Sindangsari mulai bergerak-gerak. Tiba-tiba timbullah niatnya untuk mendekatinya. Apapun yang akan terjadi dengan perkelahian itu, namun Sindangsari harus disela matkan. Demikianlah, dengan dia m-dia m ia bergeser dari tempatnya. Sekali-sekali ia me ma ndangi perkelahian yang hampir tidak dapat diikutinya itu. Kemudian dipandanginya sekelilingnya. Orang-orang yang menyaksikan perke lahian itu dari kejauhan, diterangi oleh sinar api yang ke merahmerahan.
Tetapi ketika Manguri berjongkok di samping Sindangsari ia merasa bahunya digamit seseorang. Ketika ia berpaling maka darahnya bagaikan berhenti mengalir. Dilihatnya seperti bayangan hantu yang tersembul dari dala m api yang menyala itu. Wajah yang keras tegang berwarna tembaga. Dengan gerak naluriah Manguri meloncat berdiri. Kemudian berdiri tegak diatas kakinya yang renggang. Wajahnyapun ke mudian menegang. Dengan tajamnya ia me mandang seorang anak muda yang berdiri di hadapannya. Pamot. "Kita berte mu disini Manguri" geram Pa mot. "Gila" Manguripun menggera m "kenapa kau sampai juga ke tempat ini?" Pamot me mandang Manguri dengan tajamnya. Sejenak ia mencoba untuk mengendapkan perasaannya, agar ia tidak terseret oleh arus darahnya yang bergolak seperti banjir. Dala m pada itu, Ki Reksatanipun terkejut pula ketika ia me lihat Pamot telah berada di halaman itu pula. Sejenak ia me loncat mundur untuk mendapat kese mpatan meyakinkan penglihatannya. Dan ia tidak salah lagi. Orang itu adalah Pamot. Dengan demikian, ma ka Ki Reksatanipun harus menga mbil keputusan segera. Ternyata ia benar-benar menghadapi persoalan yang tidak diduganya sama seka li. Bukan saja Pamot tetapi beberapa anak-anak muda dari Ge mulung telah ada di sekitar arena itu. Punta juga sudah berdiri tegak dengan wajah yang tegang. Ki Reksatani tidak mendapat kese mpatan lagi. Ia harus segera mega mbil sikap karena La mat telah menyerangnya pula dengan garangnya. "Sela matkan berteriak. perempuan itu" tiba-tiba Ki Reksatani
Beberapa orang yang berdiri di sekitar arena itu menjadi termangu-mangu. Ia tida k begitu jelas mendengar perintah yang diteriakkan oleh Ki Reksatani. Bahkan mereka menangkap maksud kata-kata itu berlainan satu dengan yang lain. Bukankah Ki Reksatani merencanakan untuk me mbunuh Manguri dan orang-orangnya, kemudian sudah tentu juga Sindangsari" Apakah perintah itu berarti, bahwa mereka harus me lakukannya sekarang, me mbunuh Sindangsari". Dala m keragu-raguan itu se kali lagi terdengar Ki Reksatani berteriak "Jangan biarkan pere mpuan itu jatuh ke tangan anak-anak Ge mulung" Kini barulah mere ka menjadi jelas Merekapun segera me loncat menyerang Pamot yang berdiri berhadapan dengan Manguri. Tetapi Pamot tidak seorang diri. Bukan sekedar bersama Lamat. Tetapi Pamot berada di halaman itu bersama beberapa orang kawannya. Dari Gemulung, dari Kali Mati dan dari Sembojan sendiri. Bahkan Ki Jagabaya di Prambananpun telah ada di te mpat itu pula. Dengan demikian, ketika serangan itu datang, bukan Pamot yang harus me lawan mereka, tetapi anak-anak muda itupun segera berloncatan menyongsong mere ka. "Gila" desis Ki Reksatani yang sa mbil bertempur sempat juga menyaksikan perkelahian yang segera me mbakar ha mpir seluruh hala man belakang "dari mana mereka mendapat kawan sebanyak itu?" Sejenak timbullah penyesalannya bahwa beberapa orang Manguri pasti sudah terlanjur terbunuh oleh orang-orangnya di dala m ke kisruhan itu, sehingga apabila diperlukan, sulitlah baginya untuk mendapatkan bantuan dari pihak manapun juga. "Bagaimana mereka dapat sampai ke tempat ini" berkata Ki Reksatani di dala m hatinya. Namun tiba-tiba saja darahnya
bagaikan mengge legak ketika terpandang olehnya wajah Lamat yang kasar sekasar padas. "Pasti kaulah pengkhianat itu" gera m Ki Reksatani. Terasa dada Lamat berdesir tajam. Sungguh pahit untuk mendengar tuduhan itu. Pangkhianat. Apalagi ketika sejenak ke mudian ia me lihat ayah Manguri datang dengan tergesa-gesa ke arena itu. diikuti oleh isterinya yang berlari-lari kecil. Sejenak ayah Manguri itu me mbeku ketika ia melihat La mat sedang bertempur dengan dahsyatnya me lawan Ki Reksatani. Hampir tidak dapat di bayangkan, bahwa perkelahian yang de mikian dapat terjadi. Sejenak ke mudian ayah Manguri itupun me langkah mende kati Manguri yang berdiri tegak dengan tegangnya berhadapan dengan Pamot. Perlahan-lahan ayah Manguri itu berkata "Kita sudah dikhianati" "La matlah yang telah berkhianat" desis Manguri. Wajah ayah Manguri menjadi merah padam. Kini ia berdiri menghadap perkelahian antara La mat dan Ki Reksatani. Perkelahian yang sa ma seka li tidak dapat diduga, siapakah yang akan menang dan siapakah yang akan ka lah. Mereka adalah orang-orang yang tangkas ian kuat. Bahkan Ki Reksatani dan La mat yang ingin segera me menangkan perkelahian sebelum nafas mereka menjadi sema kin terengahengah itu telah mencabut senjata masing masing. Ki Reksatani menggengga m senjata di kedua tangannya. Sebilah pedang di tangan kanan dan keris pusakanya di tangan kiri. Sedang Lamatpun telah menggengga m senjatanya yang mengerikan, sebuah golok yang besar dan tebal. "La mat" desis ayah Manguri "kenapa kau khianati ka mi?" Lamat tida k menyahut. Tetapi kata-kata itu sangat berpengaruh di hatinya. Meskipun demikian ia masih berusaha untuk me lepaskan diri dari pengaruh kata-kata itu.
"Kau jugakah yang telah membunuh beberapa orang kami di hala man ini?" bertanya ayah Manguri "a ku sudah mene mukan tiga mayat dari mereka. Semuanya telah ditusuk di punggungnya. Suatu pembunuhan yang licik dan pengecut" Kata-kata itu benar-benar bagaikan duri yang menusuk dinding jantung raksasa yang sedang berkelahi itu. Tetapi Lamat berusaha agar ia sama sekali tidak terpengaruh oleh kata-kata. "La mat" ayah Manguri seakan-akan telah berbisik di telinganya "Kenapa kau sa mpai hati berbuat de mikian?" Lamat me ngatupkan giginya rapat-rapat. "Jawablah La mat. Jawablah" Apakah salah kami sekeluarga kepadamu" Apakah aku sudah me nyakiti hatimu" Atau barangkali anakku atau isteriku atau siapapun juga?" Lamat t idak me njawab. Ia tetap mengatubkan mulutnya rapat-rapat. Namun de mikian terasa sesuatu menggelitik hatinya justru pada saat ia bertempur me lawan seorang yang pilih tanding, Ki Reksatani. Untuk menghalau kegelisahan yang mula i menyentuh perasaannya tiba-tiba Lamat berteriak nyaring "Pa mot, cepat bawa nyai De mang kepada sua minya, sebelum kita terlambat" "Gila" Ki Reksatanipun berteriak pula "kalau kau sentuh perempuan itu, aku a kan me mbunuh kalian secepatnya" Namun Pa mot mengerti, bahwa untuk melawan La mat Ki Reksatani harus me meras segenap ke ma mpuannya. Tetapi di dekat Sindangsari itu berdiri Manguri. Karena itu Lamat sadar, bahwa ia harus Mengambil Sindangsari dengan kekerasan. Apalagi ketika ia sadar, bahwa ia telah berada di tengah-tengah arena perkelahian yang seru. Anak-anak muda Gemulung yang datang bersamanya telah terlibat di dala m perkelahian. Bahkan Rajab dan kawan-kawannyapun telah
me mbantu mere ka, me lawan orang-orang Ki Reksatani dan orang-orang Manguri yang tersisa. "Jangan sentuh perempuan itu" Manguri yang juga mendengar suara La mat itupun menggera m. Tetapi Pamot maju selangkah, Manguri baginya adalah musuh bebuyutan. Manguri pernah berusaha untuk me mbinasakannya. Sehingga dengan demikian, maka ke marahannya itu serasa kini telah terungkat. "Manguri" gera m Pa mot "jangan halangi a ku supaya kau tidak terlibat terla mpau parah di dala m masalah ini" berkata Pamot. "Persetan" sahut Manguri "aku masih tetap akan me mbunuhmu. Ternyata kegagalan yang pernah terjadi adalah karena pengkhianatan La mat. Aku tidak menyangka, bahwa ia seorang yang licik dan pengecut. "Jangan salahkan La mat. Ia me lihat bahwa kau berdiri di jalan yang sesat. Tetapi ia tidak mendapat kese mpatan untuk me mbawa mu ke mba li ke ja lan yang benar. Ia selalu kau anggap sebagai seekor kerbau yang dungu. Seekor kerbau yang telah dicocok hidungnya. Apapun yang kau lakukan, ia tidak boleh me mbantah. Dan bahkan bertanyapun tidak ada kesempatan" "Bohong" teriak Manguri. "Sudahlah" berkata Pamot "jangan ganggu aku. Aku akan menge mba likan pere mpuan ini kepada sua minya" Manguri menggeretakkan giginya. Ketika ia berpaling sejenak, dilihatnya Sindangsari megge liat. Namun ia tidak sempat berbuat apa-apa, karena Pamot telah melangkah maju* sa mbil berkata "Menyingkirlah, dan jangan ganggu pere mpuan itu lagi"
Dada Manguri serasa meledak karenanya. Ia tidak menjawab lagi. Na mun dengan tiba-tiba saja ia telah menyerang Pa mot dengan garangnya. Serangan itu telah mengejutkan Pa mot. Tetapi ia segera menguasai perasaannya, sehingga ia masih se mpat menghindari serangan Manguri yang datang dengan tiba-tiba itu. Dengan de mikian, maka keduanyapun ke mudian telah terlibat dala m perkelahian pula. Manguri mencoba berjuang sekuat-kuatnya untuk dapat mengimbangi Pa mot. Sela ma ini ia tidak pernah menjadi ce mas, karena ia selalu dilindungi oleh Lamat. Tetapi kini La mat telah me milih jalannya sendiri. Sehingga dengan de mikian ia harus berjuang sendiri untuk menyingkirkan Pa mot. Tetapi Manguri masih berpengharapan, karena ayahnya masih berdiri bebas. Ia mengharap bahwa ayahnya akan me mbantunya dan bersa ma-sa ma me mbinasakan Pa mot. Dengan de mikian ma ka, Manguripun telah mencoba menggeser diri sambil bertempur mende kati ayahnya yang berdiri termangu-mangu me mandang perkelahian itu. Tetapi ternyata bahwa ayah Manguri tidak dapat berbuat apa-apa. Meskipun ia me lihat anaknya bertempur melawan Pamot, namun ia masih tetap berdiri saja di tempatnya. Di sampingnya berdiri seorang yang berdahi lebar dan bermata tajam, Orang itu adalah Jagabaya di Pra mbanan. "Biarkan saja mereka berke lahi" berkata Ki Jagabaya "kau tidak perlu menca mpurinya. Bukankah kau sua mi pere mpuan yang rumahnya terbakar itu?" Ayah Manguri tidak menyahut. "Perempuan itu ha mpir diusir dari padukuhan ini" berkata Ki Jagabaya selanjutnya "tetapi aku masih mencegahnya. Aku
masih ingin menunggu, barangka li sua minya dapat berbuat sesuatu untuk me mperbaiki tingkah la kunya" Ayah Manguri mengerutkan keningnya. Tiba-tiba saja ia tertarik kepada ceritera Ki Jagabaya. "Tetapi kau juga ikut bersalah, karena kau terla mpau la ma meninggalkan setiap ka li. Kau jarang-jarang datang ke rumah ini. Justru karena ia pernah bersuami, dan suaminya tidak pernah datang kepadanya itulah yang telah me mbuatnya berbuat tidak senonoh di padesan ini. Tetapi ketika ia dipanggil oleh tetua padukuhan, ia sudah berjanji untuk me mperbaiki ke lakuannya" Dada ayah Manguri menjadi semakin berdebar-debar. Namun tiba-tiba ia seakan-a kan terbangun dari tidurnya. Anaknya sedang bertempur mati-matian me lawan Pamot. Tidak selayaknya ia me mikirkan kepentingannya sendiri. Kalau perempuan ini me mang pernah berbuat gila, biarlah rumahnya terbakar, dan ia tidak a kan datang lagi ke padukuhan ini. "Sebaiknya kau tidak usah ikut ca mpur" desis Ki Jagabaya. "Tetapi itu anakku" jawabnya. Anakmu bersalah. Ia mengelabui orang-orang di sekitar rumah ini. Kau katakan pere mpuan yang dilarikan oleh anakmu itu perempuan gila. Aku tahu sekarang, bahwa perempuan itu adalah isteri Ki De mang di Kepandak. Adalah tugas kami untuk saling menolong. Suatu saat, kami me merlukan pertolongan Ki De mang di Kepandak ka lau terjadi sesuatu atas Kademangan ini, dan pelakunya berada di Kepandak" Ayah Manguri hanya dapat mengatupkan giginya rapatrapat. Ia tidak tahu, apakah Ki Jagabaya me mpunyai ke ma mpuan cukup untuk melawannya. Tetapi Ki Jagabaya me mpunyai pengaruh yang besar di padukuhan ini, sehingga apabila ia me mberi isyarat sedikit saja, maka orang-orang
yang semula ketakutan, pasti akan berpikir sekali lagi. Apalagi apabila mereka sudah melihat Ki Jagabaya itu ikut berte mpur. Perkelahian di ha la man bela kang rumah isteri muda ayah Manguri itu menjadi semakin seru. Ki Reksatani dan Lamatpun seolah-olah telah sampa i pada puncak ke ma mpuan masingmasing. Sedang di bagian lain anak-anak muda Kali Mati dan Sembojan berkelahi dengan sengitnya pula. Ternyata bahwa orang-orang Ki Reksatani dan sisa-sisa orang-orang Manguri me mpunyai pengala man berkelahi lebih banyak dari anak-anak muda itu. Hanya beberapa orang yang benar-benar telah menga la mi te mpaan lahir batin di dala m perjalanan ke Betawi sajalah yang sama sekali tidak gentar menghadapi lawan-lawan mereka, betapapun buas dan kasarnya tandang mereka. Sedang Pamot yang telah pernah menyimpan denda m kepada Manguri, seolah-olah kini teraduk ke mbali. Dengan penuh ke marahan ia mengerahkan segenap ke ma mpuannya untuk segera mengalahkan Manguri, agar anak itu tidak mengganggunya lagi, apabila ia akan membawa Sindangsari ke mbali ke Kepandak. Tetapi Manguripun berusaha me lawan sebaik-ba iknya. Ia telah me meras seluruh tenaganya. Ia sama sekali tida k rela, apabila Pamot masih juga menyentuh Sindangsari yang selama ini seakan-akan telah menjadi wewenangnya. Namun, bagaimanapun juga Manguri berjuang, ternyata Pamot me miliki ilmu yang lebih tinggi. Dengan de mikian, maka Manguripun segera dapat didesaknya. Dala m pada itu, Ki Reksatani yang bertempur melawan Lamatpun telah sa mpai pada ujung ke ma mpuan mereka Ki Reksatani yang tidak terkalahkan itu ternyata mengala mi kesulitan me lawan raksasa yang tiba-tiba menjadi de mikian garangnya. Apalagi Lamat me miliki kekuatan jasmaniah yang luar biasa.
Tetapi meskipun ayah Manguri tida k dapat ikut bertempur, namun ia tidak tingga l dia m. Ia sadar, bahwa kata-katanya dapat menyentuh hati La mat. Dengan de mikian ia akan dapat me mperle mah perlawanannya, meskipun ayah Manguri itu masih belum tahu, apa yang akan terjadi ke mudian. "La mat" berkata ayah Manguri ke mudian "apakah kau sudah benar-benar melupa kan ke luargaku" Mungkin kau tidak bersangkut paut dengan Ki Reksatani, tetapi kau tidak dapat berbuat demikian kepadaku" Lamat menggeretakkan giginya. Ia memusatkan segenap perhatiannya kepada sepasang senjata Ki Reksatani yang sangat berbahaya baginya. Kalau keris pusaka itu berhasil menyentuh kulitnya, maka itu akan berarti maut baginya. "La mat" Ayah Manguri masih berkata terus "ingatlah. Di saat kau diterkam oleh maut di masa kecilmu, akulah yang menolongmu. Saat itu rumahmu terbakar, ayahmu dan ibumu tidak dapat menghindarkan dirinya karena pera mpokperampok yang datang ke rumahmu itu. Akulah yang se mpat menyela matkan kau, meskipun menyesal sekali, aku tidak dapat menolong ayah dan ibumu. Aku telah me nyabung nyawaku melawan pera mpok-pera mpok itu. Akhirnya kau selamat. Aku telah me meliharamu sa mpai kau menjadi dewasa, dan kini kau telah tumbuh menjadi seorang raksasa yang perkasa" "Cukup, cukup" tiba-tiba La mat mengge legar me menuhi ha la man. berteriak. Suaranya
Namun dengan de mikian ayah Manguri yakin, bahwa usahanya akan berhasil. Karena itu ia berniat untuk terus me mpengaruhi perasaan raksasa itu. Tetapi sebelum ia berkata sesuatu lagi, Ki Jagabaya berdesis "Kau me mang orang yang cerdas. Kau dapat bertempur tanpa bergeser dari tempat mu. Bukankah dengan demikian kau telah ikut me nentukan kekalahan ra ksasa itu?"
"Tida k. Aku berkata sebenarnya. Aku menyayanginya. Aku mencoba untuk menyadarkannya dari kekhilafan itu" Dada La mat benar-benar telah bergelora. Karena itu, sekali lagi ia berteriak "Pa mot, bawa Sindangsari pergi. Bawa ia secepatnya kepada suaminya, Ki Demang di Kepandak, sebelum aku kehilangan ke ma mpuanku me lawan hantu ini" "Dia m kau, diam" bentak Ki Reksatani. Tetapi Ki Reksatanipun tidak dapat berbuat banyak selain me mbentakbentak, karena Lamat masih ma mpu menjaga keseimbangan perkelahian itu, betapapun perasaannya mulai dirayapi oleh kepahitan hidup di masa kanak-kana knya. Pamot mendengar suara Lamat itu. Tetapi ia masih bertempur melawan Manguri meskipun ia yakin bahwa ia akan dapat mengalahkannya. Namun ia me merlukan waktu. Ia me merlukan waktu untuk menumpahkan ke marahan yang selama ini telah terangkat ke mbali di dadanya. "Aku bunuh anak ini" ia menggeram. Segores luka telah menyilang di pundak Manguri yang menyeringai kesakitan. Tetapi ia tidak dapat mengaba ikan suara La mat, sehingga dengan demikian, ia justru menjadi termangu-mangu sejenak, sehingga kadang-kadang ia kehilangan penga matan diri di dalam perke lahian itu. Bahkan sekali-seka li ia harus me loncat surut ketika ujung pedang Manguri ha mpir menyobek dadanya. Selagi Pa mot menggera m sa mbil me musatkan segenap perhatiannya kepada ujung senjata lawannya, tiba-tiba seseorang meloncat di hadapannya dengan pedang telanjang. Orang itu langsung bertempur me lawan Manguri sa mbil berkata "Pamot, kau dengar suara La mat?" Orang itu adalah Punta. agaknya ia dapat membebaskan diri dari lawannya, dan berusaha untuk menggantikan Pa mot.
"Biarlah aku me mbunuhnya" Pa mot menggera m "aku sudah me lukainya. Sebentar lagi ia akan kehilangan segenap darahnya, dan ia akan mati terkapar di tanah" Manguri berdesir mendengar suara Pamot. Suara itu seakan-akan bukan suara Pa mot sehari-hari. Seakan-akan suara yang geram itu bergetar dari dasar api yang paling panas, dan siap menyeretnya ke dalamnya. Manguri me njadi ngeri karenanya. Selama ini ia t idak pernah gentar berhadapan dengan siapapun. Tetapi kini ia sadar, bahwa hal itu bukan karena kepercayaannya kepada diri sendiri. Tetapi sela ma itu ia me mpercayakan dirinya kepada Lamat. Raksasa yang jinak itu, tetapi yang pada suatu saat telah terbangun dan menjadi seakan-akan liar bagi Manguri. Dan kini, dalam keadaan yang dirasakannya terlampau le mah itu ia berdiri berhadapan dengan Pa mot yang sedang dia muk oleh ke marahan. Na mun dengan de mikian, Manguri yang merasa dirinya tidak dapat mengelak lagi itupun menjadi seperti orang kesurupan. Dibayangi oleh keputus-asaan ia berkelahi seperti serigala kelaparan. Kini Punta datang untuk menggantikan Pa mot. Bagi Manguri Punta dan Pamot ha mpir tidak ada bedanya. Keduanya adalah hantu-hantu bertangan maut yang dapat saja setiap saat mencabut nyawanya. Namun yang lebih menyakitkan hatinya ke mudian adalah kata-kata Punta "Pa mot, jangan hiraukan kelinci ini. Tanpa Lamat ia tidak berarti apa-apa. Sekarang, selamatkan Sindangsari. Seorang kawan Rajab telah menyiapkan seekor kuda buat mu, dan seekor lagi buat seseorang yang akan mengawanimu. Cepat, bawa Sindangsari kepada suaminya sebelum mengala mi sesuatu disini" Pamot ragu-ragu sejenak. Justru karena itu, hampir saja sekali lagi senjata Manguri mengenainya. Untunglah Punta
sudah siap menga mbil alih perke lahian itu, sehingga senjata Manguri itu telah me mbentur senjata Punta. Pamotpun ke mudian terdesak ke samping ketika Punta mulai me nggerakkan senjatanya. Sekali lagi Punta berkata "Jangan termangu-mangu seperti orang linglung. Cepat berbuatlah sesuatu" Pamot mundur selangkah. Dan kini ia mendengar suara Lamat "Cepat Pamot. Lakukanlah. Aku akan menahan iparnya yang telah berkhianat" "Dia m kau" bentak Ki Reksatani "kau juga telah berkhianat" "Ya. Kita sama-sama pengkhianat. Karena itu, apapun yang akan terjadiatas kita berdua, tidak sepantasnya mendapat perhatian. Kita akan sama-sama mati dan dica mpakkan ke dalam te mpat sa mpah dan akan dikubur di bawah timbunan kotoran yang paling hina" "Dia m, dia m" bentak Ki Reksatani "aku bukan pengkhianat, tetapi aku didorong oleh cita-cita" "Darimana kita me mandang, aku dapat menyebut diriku sedang me mperjuangkan sendi-sendi ke manusiaan yang akan kau tumbangkan bersa ma orang-orangmu di Kepandak" "Omong kosong" teriak Ki Reksatani sa mbil menyerang semakin garang. Pamot masih saja termangu-mangu. Na mun sejenak ke mudian seorang anak muda mengga mitnya sambil berbisik "Pamot, kuda itu sudah siap" Pamot menjadi berdebar-debar. Dilihatnya Sindangsari yang masih terbaring, meskipun seka li-seka li ia sudah mengge liat. "Cepat" Pamot masih berdiri termangu-mangu. Bahkan sejenak disapunya halaman belakang itu dengan tatapan matanya. Ia
me lihat perke lahian yang tersebut di ha la man itu. Agaknya anak-anak muda Kali Mati dan Se mbojan telah me mbantu mereka dengan segenap hati, ditunggui oleh Ki Jagabaya sendiri. Sedang beberapa puluh orang Sembojan yang dengan cemas-ce mas menyaksikan perkelahian itu dari kejauhan, seakan-akan semuanya me mandang ke arahnya. "Percayalah. Semuanya akan dapat dibatasi disini" desis anak muda itu "Kalau perlu, Ki Jagabaya tidak akan segansegan berbuat sesuatu. Orang-orang yang ketakutan itu akan segera terbangun apabila mereka mendengar perintah Ki Jagabaya di saat-saat yang berbahaya" Pamot mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ketika ia me langkah maju mende kati, langkahnyapun tertegun. Tibatiba saja ia merasa, ada dinding penyekat yang kuat me mbatasinya dengan perempuan itu. Sendangsari kini sudah menjadi isteri orang lain. "Cepat Pamot. Kenapa kau menjadi bingung" teriak Punta yang tidak sabar lagi melihat sikap Pa mot yang termangumangu "Apakah kau menunggu Sindang sari mat i di pertempuran ini?" Tiba-tiba Pa mot tersadar. Ia harus menolong pere mpuan itu. Siapapun juga. Na mun ia adalah isteri Ki De mang di Kepandak. Seperti juga yang lain, mereka menyerahkan dirinya di dala m suatu sikap itu. Menolong sesama. Pamotpun ke mudian menggeretakkan giginya. Ia mencoba mengusir segenap perasaan yang ada padanya. Ia mencoba me lepaskan dirinya dari kenangan dan ikatan yang pernah ada. Meskipun ia masih juga ragu-agu, tetapi iapun kemudian mende kati Sindangsari dan berjongkok di sa mpingnya. Dadanya berdesir ketika ia melihat Sindangsari mulai menggerakkan kepalanya. Namun ia tida k se mpat berpikir lagi, ketika sekali lagi anak muda itu mengga mitnya "Kuda mu
sudah siap, dan seorang kawanmu dari Ge mulungpun sudah siap pula mengantar kau ke mbali me mbawa Nyai De mang di Kepandak" Pamot tidak lagi mau berpikir. Dengan hampir me meja mkan matanya, Pamot mulai berbuat sesuatu. Ia bergeser maju, dan sambil menggeretakkan giginya, untuk mendorong ke kuatan hatinya, Sindangsaripun ke mudian diangkatnya diatas kedua tangannya. Perempuan yang masih sangat lemah itupun sa ma sekali be lum me nyadari sepenuhnya apa yang telah terjadi atasnya. Ketika ujung jari-jari Pa mot menyentuh tubuh Sindangsari, terasa, seakan-akan darahnya berhenti menga lir. Hanya dengan menghentakkan diri ia mendapatkan kekuatan untuk mendukung Sindangsari itu keluar dari ha la man belakang rumah isteri muda ayah Manguri itu. Ki Reksatani masih se mpat me lihat Pa mot me mbawa Sindangsari yang lemah itu diatas kedua tangannya. Terasa jantung seolah-olah telah tersayat. Betapa kemarahan yang tidak tertahankan meledak-ledak di dala m dadanya. "He, anak gila" Ki Reksatani berteriak "lepaskan pere mpuan itu. Kau akan menyesal ka lau kau tidak ma u mendengar katakataku" Tetapi Pa mot sama sekali tidak berpaling. Apalagi ketika ia mendengar kata-kata La mat "Jangan hiraukan Pa mot. Cepat, tinggalkan nereka ini" Pamot melangkah sema kin cepat. Dan ia masih mendengar Ki Reksatani berteriak kepada anak buahnya "Tahan anak itu. Jangan biarkan pere mpuan itu dibawa pergi" Tetapi tidak seorangpun dari anak buahnya yang dapat mencegah Pa mot meningga lkan hala man itu. Dengan hati-hati ia meloncati pagar dibantu oleh anak muda yang menyediakan kuda untuknya.
"Pergilah" berkata anak muda itu "itu kuda mu" Pamot melihat dua ekor kuda yang besar di halaman rumah tempat ia bersembunyi bersama kawan-kawannya. Kuda itu seperti kudanya yang ditingga lkannya di Ka li Mati. Kuda yang didapat dari Mataram. "Ka mi kudaku" akan me melihara kuda mu baik-ba ik. Pakailah
Pamot me mandang anak muda itu. Ia belum begitu mengenalnya. Mungkin ia pernah melihatnya di dalam perjalanan ke Betawi. Tetapi ia tidak ingat lagi. "Jangan hiraukan orang-orang yang kini sedang bertempur itu. Aku kira anak-anak muda Sembojan dan Kali Mati akan dapat menguasainya Apalagi ada Punta dan seorang anak Gemulung" anak muda itu berhenti sejenak, la lu "terlebih-lebih lagi seorang yang bertubuh raksasa itu. Tanpa orang itu, aku kira me mang sulit untuk menguasai orang yang bernama Reksatani itu" Pamot menganggukkan kepalanya. Bersama seorang kawannya yang datang dari Gemulung. Iapun ke mudian naik ke punggung kudanya sambil mendukung Sindangsari. Ditolong oleh kawannya, perlahan-lahan Sindangsari diletakkannya di dala m tangan Pa mot. "Sela mat jalan" berkata anak muda itu "berhati-hatilah. Bukan perjalanan yang dekat. Kau akan me la mpaui ma la m ini dan mungkin kau masih harus berpacu besok sampai matahari sampai ke puncak. Kau tidak dapat terlampau cepat, dan mungkin pere mpuan ini dapat menimbulkan pertanyaan di sepanjang perjalananmu" Pamot mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia sadar bahwa perjalanannya bukanlah perjalanan ta masya dengan seorang gadis menjelang hari perkawinan.
"Aku akan menga mbil jalan me mintas. Mungkin ja lannya kurang baik. Tetapi sejauh mungkin dapat menghindari kecurigaan orang lain. Mudah-mudahan aku dapat sampai ke Kademangan Kepandak dengan sela mat" Pamot menarik nafas dalam-dala m. Ketika tanpa disadarinya ia me mandang wajah Sindangsari yang pucat, terasa dadanya berdesir. Namun diha launya segala macam perasaannya yang melonjak di dadanya. sebala macam perasaan yang melonjak di dadanya. Kini ia berada dalam keadaan yang serba cepat. Karena itu maka iapun ke mudian berkata "Terima kasih atas semua pertolonganmu, Rajab dan kawan-kawan yang la in dari Kade mangan ini. Terima kasih pula kepada Ki Jagabaya dan para bebahu yang telah me lindungi ka mi. Aku akan segera minta diri. Mudah-mudahan Tuhan Yang Kuasa me lindungi perjalananku" Anak muda itu mengangguk. Dengan hati yang berat ia me lepaskan Pa mot me mbawa Sindangsari meninggalkan halaman ruma h itu, dikawani oleh seorang anak muda dari Gemulung pula. Sejenak ke mudian, ma ka kedua ekor kuda itupun sudah berderap di kegelapan ma la m meninggalkan daerah peperangan yang semakin kisruh, serta menjauhi api yang seakan-akan menyala dari da la m neraka. Tetapi api itu semakin la ma menjadi sema kin susut. Rumah isteri muda ayah Manguri itupun telah habis menjadi abu. Satu-satu masih terdengar sepotong ba mbu yang me ledak, ke mudian ge mersik sisa-sisa kayu dan dinding yang masih menyala. Sepeninggal Pa mot, maka kemarahan Ki Reksatani bagaikan me mecahkan dinding dadanya. Hampir tidak masuk diakalnya, bahwa yang terjadi sama sekali jauh dari yang diduganya. Ia sama sekali tidak me mperhitungkan pengkhianatan La mat, tidak me mperhitungkan kekuatan anak-
anak Sembojan dan sekitarnya. Tetapi kini se muanya itu harus dihadapinya. Sambil menggera m Ki Reksatani mengerahkan segenap ke ma mpuan yang ada padanya. Bukan sia-sia ia disebut orang yang tidak terkalahkan di Kade mangan Kepandak. Semua ilmu yang ada padanya, semua kekuatan dan kemampuan, semua tenaga cadangannya lelah dikerahkannya untuk segera dapat menga lahkan lawannya. Namun La mat me lawannya dengan segenap ke ma mpuan yang ada padanya pula. Dengan demikian, ma ka perkelahian merekapun menjadi semakin la ma se makin seru. Seolah-olah mereka sa ma sekali bukan terdiri dari daging dan tulang yang dapat kehilangan kekuatan dan ke ma mpuan apabila telah sa mpai pada batas ke mungkinannya. Derap kaki-kaki kuda Pa mot me mbuat darah Ki Reksatani benar-benar mendidih. Ha mpir di luar sadarnya, iapun berteriak "Sedia kan kudaku" Beberapa orangnya mendengar teriakan itu. Tetapi mereka masih terikat dala m perkelahian sehingga sulitlah bagi mereka untuk me lepaskan diri. Namun de mikian, mereka menyadari, bahwa Ki Reksatani harus dapat menyusul Pa mot yang me mbawa Sindangsari itu. Kalau keduanya berhasil mencapai Kademangan Kepandak, maka Ki Reksatani dan orang-orangnya tidak akan banyak menga la mi kesulitan. Karena itu, bagaimanapun juga, salah seorang dari orang Ki Reksatani itupun dengan susah payah berhasil menyelinap diantara perkelahian itu. Dengan tergesa-gesa ia berlari ke tempat kuda mereka tertambat. Yang ke mudian dipersiapkan, bukan saja kuda Ki Reksatani, tetapi kuda-kuda yang lainpun telah dipersiapkan pula. Ia menyadari, apabila perlu, maka kuda-kuda itupun pasti akan dipergunakan juga.
Tetapi ternyata terlampau sulit bagi Ki Reksatani untuk dapat menyelesaikan pertempuran itu dengan segera. Betapa ia mencoba mengerahkan se mua kekuatan yang ada, namun ia tidak dapat me ma ksakan kehendaknya dengan cepat, sesuai dengan ke inginannya. Dengan demikian, betapapun ke marahan, kecewa dan dendam me mbara di hatinya, tetapi ia masih harus tetap bertempur terus dengan sekuat tenaganya. Dala m pada itu, Pamot telah berusaha memacu kudanya secepat dapat dilakukan. Di belakangnya seorang kawannya selalu mengikutinya. Mungkin di perjalanan Pa mot me merlukan bantuannya, dan mungkin pula Pa mot me merlukan seorang saksi apabila ia menghadap Ki De mang di Kepandak untuk menyerahkan Sindangsari, bahwa bukan Pamotlah yang telah menyembunyikannya. Mereka telah memilih jalan melintas. Jalan yang lain dari yang ditempuhnya ketika mereka berangkat ke Kali Mati. Meskipun jalan yang ditempuhnya kini agak lebih je lek dari jalan di saat mereka berangkat, tetapi Pamot menganggap bahwa jalan ini adalah ja lan yang paling a man. "Asal aku t idak tersesat" desisnya di dala m hati. Dan kudanyapun berlari terus, melalui pategalan dan jalan setapak di hutan rindang. Kadang-kadang mereka mela lui bulak yang panjang di tengah-tengah padang rumput dan tanah-tanah tandus mereka harus menyusup rimbunnya daundaun perdu yang berserakan, sulur-sulur batang-batang merayap dan batang-batang ila lang. "Aku agak bingung" desis Pa mot ke mudian. "Jalan terus" berkata kawannya "kita akan sa mpai ke Tanjung Sari, kemudian kita akan menyusup hutan dan me lingkari rawa-rawa. Kita akan sampai ke Tegal Payung. Kita akan melingkar kekanan"
"Kalau sudah sa mpa i di sana, barangkali aku tida k akan bingung lagi" "Nah, teruslah" Pamot berpacu terus. Tetapi terasa tangannya yang menahan tubuh Sindangsari menjadi lelah. Meskipun de mikian ia harus berusaha melayaninya terus, agar perempuan itu tidak terjatuh. Ternyata angin yang silir telah me mbuat tubuh Sindangsari menjadi sema kin segar. Perlahan-lahan ia mula i menyadari dirinya. Tetapi ia tidak segera dapat menangkap getaran di luar dirinya itu. Ia tidak segera mengerti, dimanakah ia, dan dalam keadaan bagaimana. Sindangsari merasa tubuhnya seakan akan telah diguncang-guncang. Ke mudian sebuah desir angin yang halus mengusap wajahnya, seolah-olah belaian tangan ibunya di masa kanak-kanaknya. Tetapi Sindangsari tida k segera berani me mbuka matanya. Ia mencoba me mulihkan kesadarannya sepenuhnya. Karena itu meskipun ia telah sadar, tetapi ia masih tetap me meja mkan matanya. Ia mencoba mengingat-ingat apa yang telah terjadi atas dirinya. Tiba-tiba bulu-bulunya mere mang ketika ia berhasil mengingat di saat-saat terakhir. Ia dapat mengingatnya ke mbali, bagaimana ia menuangkan minyak pada dinding dari la mpu yang ada di da la m biliknya. Ke mudian menimbuninya dengan kayu-kayu yang ada di dalam bilik itu. Dingklik, petipeti kayu, pembaringan dan tikar. Bahkan semuanya yang ada di dala m bilik itu. Kemudian dengan api pelita itu pula, semuanya itu dibakarnya. Api yang menyala itupun segera menya mbar dinding. Karena api yang me mang sudah berkobar, maka dengan cepatnya, dinding biliknya itupun menyala pula.
Sindangsari masih ingat, seseorang telah berteriak di luar biliknya. Tetapi ia tidak me nghiraukannya lagi. Ia sudah pasrah diri, bahwa api pasti a kan mene lannya. Tetapi tiba-tiba dinding biliknya seakan-akan menjadi pecah Seseorang telah meloncat masuk dan menya mbarnya. Betapapun ia berusaha me lepaskan diri, namun akhirnya ia harus menyerah. Menerobos api yang berkobar, mereka berhasil ke luar meskipun sebagian dari tubuh dan pa kaiannya telah terbakar. Sesudah itu, ia tida k ingat apa-apa lagi. Pingsan. "Apakah aku sudah mati?" Ia bertanya kepada diri sendiri "dan sekarang aku sedang dala m perjalanan ke sorga atau ke dalam api neraka?" Terasa dada Sindangsari berdebaran. Perlahan-lahan ia mencoba merasakan, apa yang telah terjadi atas dirinya kini. "Aku sedang didukung oleh ma laikat ke surga atau ke neraka" katanya pula di da la m hati. Perlahan-lahan ia mencoba me mbuka matanya. Namun sebelum ia melihat sesuatu, matanya telah di pejamkannya lagi. Ia tidak berani me mandang wajah pendukungnya. Mungkin wajah itu putih dan bersinar, tetapi mungkin merah seperti api dengan lidahnya yang terjulur panjang. Tetapi Sindangsari itu terkejut ketika ia mendengar suara "Langit sudah menjadi merah" "Ya" jawab suara yang lain. Sindangsari mencoba untuk me mpertaja m kesadarannya. Ketika angin yang sejuk mengusap wajahnya, ia menarik nafas dalam-dala m. Na mun kepalanya masih terasa pening, dan ingatannya kadangkadang masih seperti bayangan di dala m mimpi, meskipun sudah lengkap.
"Sebentar lagi, matahari akan terbit" suara itu terdengar lagi. Dan terasa oleh Sindangsari bahwa ia menjadi se ma kin terguncang. Bahkan kini ia mendengar derap kaki kuda. "Aku harus sampai katanya di dalam menyenangkan, tetapi paling panas di dasar diri" ke tujuan sebelum matahari terbit?" hati "mungkin ke tempat yang mungkin aku mendapat tempat yang neraka, karena aku telah me mbunuh
Tiba-tiba terasa tubuhnya mere mang. Na mun derap kaki kuda yang didengarnya itupun merupa kan persoalan baginya. Akhirnya Sindangsari me ma ksa dirinya untuk me mbuka matanya. Perlahan-lahan sekali. Di dala m kesura man cahaya fajar ia me lihat seraut wajah. Sema kin la ma me njadi se ma kin jelas. Wajah yang tegang dan basah oleh keringat dan e mbun. Tiba-tiba bibir Sindangsari bergerak. Tetapi tidak ada suara yang meloncat dari mulutnya, meskipun ia mengucapkan nama "Pa mot. Apakah aku me lihat Pa mot" Pamot masih belum mengetahui, bahwa Sindangsari sudah me mbuka matanya. Ia masih me macu kudanya sambil mengerutkan wajahnya yang tegang. Dipandanginya jalan sempit yang menje lujur dihadapan kaki-kaki kudanya. Jalan setapak yang berbatu-batu. Sindangsari me mandang wajah Pamot tanpa berkedip. Seakan-akan ia tidak percaya kepada matanya. Namun sejenak kemudian timbullah dugaan di dala m hatinya "Oh, aku benar-benar sudah mati. Agaknya Pamot juga sudah mati di perjalanan ke Betawi. Dan kini ia menje mput aku" Tanpa sesadarnya Sindangsari menarik nafas dalam-da la m. Ketika sekali lagi ia terguncang agak keras, tiba-tiba saja tangannya sudah berpegangan pada la mbungi Pa mot. Pamot terkejut. Ditundukkan kepalanya, dan dilihatnya bahwa Sindangsari sudah me mbuka matanya.
Ketika tatapan mata mereka berte mu, terasa dada mereka berdesir tajam. Sejenak mereka terpukau oleh keadaan itu. Namun sejenak ke mudian Pa mot berhasil menguasai perasaannya dan berkata "kau sudah sadar Sari?" "Dima nakah aku sekarang?" bertanya Sindangsari. "Kau berada di perjalanan" "Apakah kita akan pergi ke surga?" Pamot mengerutkan keningnya. Katanya "Kau belum sadar sepenuhnya. Kau masih mengigau" "Aku sudah sadar sepenuhnya. Tetapi apakah aku masih tetap hidup bersa ma wadagku. Dan apakah a ku masih hidup?" "Ya, kau masih hidup, seperti aku juga masih hidup" "O" Sindangsari mencoba mengangkat wajahnya. Kini ia me lihat dengan jelas, pepohonan yang tumbuh di sebelah menyebelah ja lan yang mereka lalui. Maka Sindangsari mulai yakin, bahwa ia me mang masih hidup. Apalagi ketika terasa kulitnya yang pedih karena sentuhan api yang ha mpir me mba karnya hidup-hidup. "Jadi" suara Sindangsari tertahan. "Ya, kau sela mat" Sindangsari menarik nafas dalam-dala m. Namun ke mudian terasa sesuatu melonjak di hatinya. Hampir di luar sadarnya ia bertanya "Kenapa kau dapat mene mukan aku?" "Kelak a ku akan mengatakannya. Kini tidak ada waktu. Kita harus menyelamatkan diri kita" "Kita a kan pergi ke mana?" "Ke mbali ke Kepanda k" "Kepandak" "Ya"
Terasa dada Sindangsari berdesir. Nafasnya menjadi tersengal-sengal. Perasaan pedih di kulitnya semakin la ma justru menjadi se ma kin terasa. "Kau sudah dapat duduk sendiri?" bertanya Pamot. Sindangsari tida k menjawab. Na mun ke mudian wajahnya tertunduk. Ia baru menyadari, bahwa ia bersandar pada tangan Pamot yang menjaganya agar tidak terjatuh. "Aku akan duduk sendiri" berkata Sindangsari. Pamotpun ke mudian menolongnya untuk duduk sendiri. Tetapi ketika kudanya meloncati sebuah batu, hampir saja Sindangsari tele mpar jatuh, sehingga tanpa disengaja oleh gerak naluriah ia berpegangan pada leher Pamot, dan Pamotpun menangkapnya pula. Terasa sesuatu menjalari urat darah mereka sampai ke jantung, sehingga seakan-akan dada mere ka menjadi sesak. Sekilas Pa mot me ma ndang wajah Sindangsari yang ketakutan dan seakan-akan mengharap perlindungan kepadanya. Sepenuhnya. Tetapi perlahan-lahan Sindangsari melepaskan tangannya. Sekali lagi perempuan itu me ncoba duduk sendiri, miring, diatas punggung kuda. Keduanya kemudian tidak berbicara lagi. Tetapi dada mereka lah yang bergelora dengan dahsyatnya. Tanpa mereka kehendaki sendiri, maka kenangan masa-masa la mpau mereka terbayang kembali di dala m kepala mereka, seakan-akan baru saja ke marin terjadi. Bagaimana mereka pertama ka li bertemu. Bagaimana Pamot telah menjauhkannya dari Manguri yang mula-mula dikaguminya. Dan bagaimana akhirnya hatinya telah tersangkut pada anak muda itu. Terbayang pula, di saat-saat Ki De mang di Kepandak mengunjunginya untuk yang pertama kali, setelah terjadi perselisihan antara Manguri dan Pa mot.
Bagaimana akhirnya Ki De mang me ma ksakan kehendaknya, menga mbilnya sebagai isterinya. Dan hampir berbareng, terkenang pula oleh keduanya, saat-saat Pamot minta diri kepada Sindangsari di suatu mala m. Saat-saat mereka kehilangan kenda li dan terjerumus ke dala m suatu perbuatan yang dapat menodai kesucian hubungan mereka, sehingga Sindangsari sadar sepenuhnya bahwa karena itu ia mengandung. Dan kini ia telah berada ke mbali bersa ma-sama anak muda yang bernama Pa mot itu, tetapi justru setelah ia menjadi isteri Ki De mang di Kepandak. Tiba-tiba Sindangsari me nutup wajahnya yang menjadi ke merah-merahan dengan kedua tangannya. Semuanya itu seakan-akan terjadi ke mba li di saat itu di hadapan matanya. Pamot yang juga tenggela m di ala m angan-angannya, terkejut melihat tingkah Sindangsari. Tiba-tiba saja perempuan itu telah menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Tetapi Pamotpun segera sadar, bahwa seperti dirinya sendiri, Sindangsari pasti sedang mengenangkan peristiwa yang mema lukan itu. Namun keduanya tidak berkata apapun juga. Kuda mereka masih berderap terus. Untunglah bahwa kuda itu adalah kuda yang tegar dan kuat, sehingga meskipun harus me mbawa dua orang sekaligus diatas punggungnya, namun kuda itu dapat juga berlari cepat, meskipun tidak secepat apabila hanya ada seorang saja yang duduk di punggungnya. Kawan Pa mot yang berkuda di belakangnya, me lihat juga bahwa agaknya Sindangsari telah mendapatkan seluruh kesadarannya kembali. Tetapi justru karena itu, maka ia me mperla mbat lari kudanya, dan membuat jarak yang agak jauh. Sejenak kemudian fajar menjadi se makin terang. Warna merah di langit telah menjadi ke kuning-kuningan oleh cahaya matahari yang se makin naik mendekati cakrawala.
Ketika cahaya matahari pagi yang pertama terle mpar keatas pepohonan, Sindangsari menundukkan kepalanya. Terasa dadanya berdesir, ketika ia melihat dan menyadari, bahwa pakaiannya sama sekali sudah tidak lengkap lagi. Hampir saja ia terpekik kecil me lihat kenyataan itu. Tetapi agaknya Pamot menyadarinya, sehingga ia berkata "Jangan hiraukan apapun juga. Kau harus selamat sampai ke Kepandak. Kita harus menyadari sepenuhnya bahwa setiap saat Ki Reksatani dapat mengejar kita dan menangkap kita hidup atau mati. Tetapi hampir pasti, bahwa ia menghendaki ke matian kita, terutama kau" Sindangsari mengerutkan keningnya. Sesaat ia melupakan pakaiannya yang sebagian sudah terbakar hangus. Wajahnya menjadi sema kin pucat, dan dengan suara gemetar ia bertanya "Kenapa Ki Reksatani ingin me mbunuh a ku" Apakah aku sudah mela kukan kesalahan terhadapnya atau terhadap siapapun?" ia berhenti sejenak, lalu "atau, atau memang Ki Demang di kepandak yang menyuruhnya me mbunuhku karena kenyataan yang tidak dapat dilupa kannya. Kenyataan tentang diriku?" Pamot mengerutkan keningnya, Tetapi ia tidak sempat menanyakan apakah yang dimaksud oleh Sindangsari itu. Bahkan ia berkata "Jangan salahkan diri sendiri. Dan pembunuhan itu sa ma sekali t idak ada sangkut pautnya dengan Ki De mang. Ki Demang sedang berusaha dengan sekuat tenaganya untuk mencarimu. Siapapun yang mencoba mengha langi, akan dibunuhnya tanpa ampun lagi" "Tetapi kenapa aku dibiarkannya dibawa oleh adiknya?" "Tentu tidak. Ki De mang tidak tahu, bahwa kau telah dibawa oleh Ki Reksatani" Sindangsari merenung sejenak. Meskipun sa mar-sa mar ada juga dugaan di dalam hatinya, bahwa Ki Demang sengaja menyingkirkannya, tetapi dengan cara yang tidak diketahui oleh orang lain.
Pamot seolah-olah melihat keragu-raguan itu, sehingga ia masih berusaha menje laskan "Ki De mang ha mpir kehilangan keseimbangan berpikir. Bahkan ha mpir saja ia melawan seorang Senapati dari Mataram justru karena pikirannya sedang disaput oleh kebingungan" Sindangsari tidak menjawab, anggukkan kepalanya. tetapi ia mengangguk-
Matahari yang ke mudian bertengger di punggung bukit tampak begitu cerahnya dipagi yang segar. Angin berhembus dari Selatan menyusup dedaunan, me mbe lai wajah-wajah mereka yang sedang berpacu diatas punggung kuda. Di bela kang Pa mot, kawannya mengikutinya dari kejauhan. Tetapi setiap kali ia mengerutkan keningnya. Agaknya kuda Pamot se makin la ma menjadi se makin la mbat. Pasti bukan karena kelelahan. Kuda itu adalah kuda yang kuat dan tegar. Jarak yang mereka te mpuhpun belum terla mpau jauh buat seekor kuda, meskipun kuda itu harus mendukung dua orang sekaligus. Kawannya itu menarik nafas dalam-dala m. Meskipun ia masih terlalu muda, tetapi ia mengetahui, bahwa sesuatu pasti bergolak di dala m dada kedua orang itu. Dua orang yang pernah terlibat dala m suatu ikatan perasaan anak-anak muda. Tetapi pada suatu saat, anak muda itu merasa bahwa mereka benar-benar berada di dala m bahaya. Matahari yang semakin tinggi seakan-akan me mperingatkannya, bahwa mereka harus berpacu semakin cepat. Apalagi jalan di hadapan mereka, bukan saja sebuah lapangan yang penuh dengan batang ilalang diseling oleh pohon-pohon perdu yang lebat, namun mereka masih harus me lingkari rawa-rawa, menyusup hutan-hutan rindang dan meskipun hanya di bagian ujungnya, mereka akan me lalui hutan yang agak lebat juga, sebelum mere ka sampa i ke daerah yang lapang dan berpenghuni. Tetapi di daerah itupun mereka masih me mpunyai beberapa persoalan. Bagaimana dengan
perempuan yang duduk dipunggung kuda bersa ma-sama dengan Pamot itu" Apakah hal itu tidak akan menimbulkan persoalan, setidak-tidaknya di dala m hati mereka yang me lihatnya" Apalagi me nilik paka ian Sindangsari yang sudah tidak lengkap lagi itu?" Persoalan-persoalan itulah yang ke mudian me ma ksanya untuk mende kat pada Pa mot. Meskipun ia harus mendeha m beberapa kali sebelum ia benar-benar berada di belakang kedua orang itu. "Pamot " katanya kemudian me mpercepat perjalanan kita?" "apakah kita dapat
Pamot tergagap. Seolah-olah ia baru terbangun dari tidur. Terbata-bata ia menjawab "O tentu. Tentu" Na mun ke mudian ia berkata "tetapi barangka li kuda ini me mang sudah lelah" "Mungkin" kata kawannya "karena itu, supaya kudamu tidak terlalu le lah, kita tukar kuda kita" Pamot mengerutkan keningnya. Lalu Jawabnya "Baiklah. Marilah kita tukar" Merekapun ke mudian berhenti. Dengan tergesa-gesa kawannya me loncat turun sa mbil berkata "Kita sampa i ke daerah rawa-rawa. Kita harus berpacu se makin cepat" "Ya, kita harus mempercepat perjalanan ini" Pa motpun ke mudian turun pula dari kudanya. Kemudian ditolongnya Sindangsari perlahan-lahan turun pula dari kuda itu. Ketika pere mpuan itu ke mudian berdiri terhuyung-huyung diatas tanah, semakin sadarlah ia bahwa pakaiannya benarbenar sudah tidak pantas lagi, sehingga karena itu, maka tibatiba ia berjongkok sambil menyilangkan kedua tangannya di dadanya "Pakaianku sa ma sekali tidak pantas lagi. Aku malu sekali" desis Nyai De mang di Kepanda k.
Pamot menarik nafas dala m-da la m. Dilontarkannya pandangan matanya jauh-jauh. Yang dilihatnya hanyalah batang-batang ilalang setinggi lututnya, dan di sana-sini pohon-pohon perdu yang berserakan. "Tetapi kita harus berja lan terus" berkata kawannya. "Aku tidak dapat meneruskan perjalanan dengan pakaian begini "Sindangsari berhenti sejenak, lalu "bagaimana aku nanti apabila kita sampai di Kepandak. Apa kata orang tentang diriku" "Nyai De mang" berkata kawan Pa mot "se mua orang dapat me lihat, bahwa pakaian Nyai berlubang oleh api. Bekasnya sudah mengatakan, kenapa pakaian Nyai menjadi compangcamping" Sindangsari t idak me nyahut. Tetapi tanpa disadarinya, iapun menga mati paka iannya yang telah sebagian dima kan api. "Pamot " berkata Sindangsari ke mudian "apakah aku akan kau biarkan dala m keadaan ini?" Pamot menarik nafas dalam-da la m. Ia tidak mengerti, bagaimana ia dapat menolong keadaan Sindangsari itu. "Nyai" berkata anak muda kawan Pa mot itu "sebentar lagi Ki Reksatani akan sa mpai di te mpat ini. Kalau sekarang Nyai Demang segan me makan pakaian yang telah sobek dan berlubang-lubang oleh api itu" ma ka Ki Reksatani nanti akan me lepaskan seluruh pakaian Nyai. Nyai akan terbaring di tanah ini tanpa sele mbar paka ianpun, selain noda-noda darah yang akan membasahi tubuh nyai dan me merahi rerumputan ini, dan kita akan terbunuh disini" Bulu-bulu Sindangsari meremang. Pamot yang kemudian menyadari keadaannya berkata "Marilah. Kita jangan terlambat"
Sindangsari termangu-mangu sejenak, namun ke mudian kawan Pamot itu berkata "Baiklah, pakailah kain panjangku. Pakailah ikat kepalaku, supaya Nyai Demang menjadi seperti seorang laki-laki. Banyak keuntungan yang akan kita dapatkan dari kesan itu. Di perjalanan nanti, apabila ada orang yang me lihat kita berpacu, tidak akan menyangka, kita me larikan seorang perempuan. Mungkin mereka bertanya, kemana kita pergi. Tetapi kesan yang kita tingga lkan, tiga orang laki-la ki berpacu diatas punggung kuda dala m keadaan yang aneh. Dua orang di antaranya naik diatas seekor kuda, sedang yang lain, tidak me makai ka in panjang dan ikat kepala" Pamot berpikir sejenak, lalu "Jangan kau. Biarlah pakaianku saja yang dipakainya" Tetapi anak muda itu menggeleng "Sa ma seka li t idak pantas. Bagi yang belum mengenalmu, me mang tidak akan menimbulkan kesan apapun. Tetapi apabila kita me masuki Kepandak, maka akan dapat tumbuh dugaan yang kurang mapan. Tanpa kain panjang dan ikat kepala, kau berkuda bersama. Nyai De mang di Kepanda k, sedangkan setiap orang tahu, maaf, bahwa pernah ada sesuatu diantara kalian berdua di masa kegadisan Nyai De mang" Pamot menundukkan kepalanya, sedang wajah Sindangsari menjadi merah pada m. "Cepatlah Pamot, a mbillah keputusan" "Baiklah" "Tetapi kain panjangku terla mpau kotor. Debu dan lumpur me lekat di sana-sini" Anak muda itupun ke mudian me lepas kain panjangnya. Ia hanya sekedar me ma kai ce lana dari sele mbar baju panjang. Kemudian menyerahkan kain dan ikat kepalanya kepada Sindangsari. "Pakailah"
Sindangsari menerima ka in dan ikat kepalanya itu. Tetapi ia masih tetap berjongkok di te mpatnya. "Cepat Sari, pakailah" Sambil me mandang kekejauhan Pa mot dan kawannya menunggu Sindangsari se lesai mengenakan kain itu merangkapi pakaiannya yang telah sobek dan terbakar. Kemudian dipa kainya pula ikat kepala yang diberikan kepadanya. Dengan demikian, maka Sindangsari tidak lagi jelas sebagai seorang perempuan, meskipun pa kaiannya tampak me mbingungkan. Tetapi diatas punggung kuda bersama Pamot, ma ka kesan yang pertama-tama, ia seorang laki-laki muda yang tampan. Sejenak ke mudian, mereka telah berada diatas punggung kuda yang sudah saling ditukar. Mereka sadar, bahwa waktu yang ada sangat berharga. Karena itu, merekapun segera berpacu ke mbali meneruskan perjalanan. Tetapi setiap kali kawan Pa mot yang berkuda di belakang menarik nafas dalam-dala m. Pamot tidak dapat berkuda cukup cepat. Bahkan kadang-kadang terla mpau la mbat. "Mereka harus sadar, bahwa bahaya ada di belakang kita" desis kawan Pa mot kepada diri sendiri. Dala m pada itu, di Se mbojan masih terjadi perke lahian yang seru. Ki Reksatani masih bertempur melawan La mat. Di bagian yang lain, Manguri berkelahi dengan gigihnya melawan Punta. Sedang bertebaran di hala man be lakang rumah isteri muda ayah Manguri itu pertempuran masih berlangsung terus. Beberapa orang laki-laki berusaha mendekati arena, meskipun mereka tidak berani berbuat apa-apa, karena mereka merasa t idak cukup ma mpu untuk terjun di dala m pertempuran yang seru itu. Namun beberapa orang lain justru telah bersembunyi di da la m rumah masing-masing, menutup pintu dan me maksa anaknya untuk tetap berada di dalam biliknya masing-masing.
"Apakah yang terdengar ribut itu ayah?" bertanya seorang anak laki-la ki yang terbangun. "Tidur, tidur sajalah" Anak itu menjadi heran. Tetapi ia menjadi se makin heran me lihat ibunya yang ge metar "Tidur sajalah sayang" Anak itu berbaring ke mbali di pe mbaringannya. Tetapi ia tidak lagi dapat tidur. Suara hiruk pikuk itupun se makin je las terdengar di telinganya. Ki Jagabaya di Prambanan masih berdiri di sisi ayah Manguri yang gelisah. Setiap kali ia bergerak, Ki Jagabaya itupun berkata "Kau disini saja. Perkelahian ini akan segera selesai" Ayah Manguri itu mengumpat-umpat di dala m hatinya. Apalagi ketika ia melihat anaknya terdesak terus Apalagi lukalukanya menjadi se makin parah. Bukan saja luka yang timbul oleh bekas senjata Pamot, tetapi Puntapun telah berhasil me lukainya pula. "Anak itu terluka" desis ayahnya. Ki Jagabaya mengerutkan keningnya. Ia sadar, bahwa setiap saat ayah Manguri itu akan kehilangan kesabaran dan me loncat ke da la m perte mpuran. Apalagi setelah dilihatnya anaknya menjadi se makin le mah. Tetapi dengan demikian, maka iapun akan terjun pula melawannya. Bukan saja menunggui penyelesaian itu. Dengan dada berdebar-debar Ki Jagabaya dan ayah Manguri itu menyaksikan pertempuran yang berlangsung dengan serunya. Apalagi pertempuran antara Ki Reksatani dan Lamat. Namun ayah Manguri ternyata masih juga berusaha me le mahkan pertahanan Lamat dengan caranya "Lamat, apakah kau masih dapat melihat api yang me mbakar sisa rumah itu" Api itu ha mpir pada m. Tetapi ketika aku
menyela matkan kau, api itu seakan-akan justru akan me mba kar langit. Tetapi kau sela mat saat itu, meskipun aku sendiri terluka ha mpir di segenap tubuhku" Tiba-tiba saja La mat berteriak pula "Dia m, dia m" Ayah Manguri tidak mau dia m. Katanya "Sekarang, kebakaran telah terjadi lagi. Tetapi tidak oleh perampokperampok yang mera mpok se isi rumah dan me mbunuh ayah ibumu. Aku t idak pula perlu menolong kau, karena kau ternyata seorang yang memiliki ke ma mpuan luar biasa, yang barangkali kau dapat dari setan-setan di pinggir kuburan. Bahkan kau sudah dapat menolong dan menyela matkan Nyai Demang di Kepanda k" "Cukup, cukup" La mat berteriak-teriak seperti orang yang dihantui oleh bayangan-bayangan yang menakutkan. Dengan demikian, maka pe musatan pikiran dan tenaganyapun tertanggu. Kadang-kadang seakan-akan sekilas me mbayang di rongga matanya, saat-saat ia dikepung oleh api yang menyala menelan rumahnya, ayah dan ibunya, dan seluruh isi rumahnya. Seakan-akan ia merasa dirinya disambar oleh seseorang yang kemudian menyela matkannya. Orang itu adalah ayah Manguri" "Pengkhianat" suara Ki Reksatani yang menggera m itu bagaikan guruh yang meledak di dala m kepalanya. Lamat yang me miliki tenaga raksasa itupun mulai terdesak. Kini ia harus berte mpur menghadapi dua lawan. Ia harus me lindungi dirinya sendiri dari sengatan senjata Ki Reksatani, tetapi yang lebih berbahaya. Lamat harus berjuang melawan perasaan sendiri. Perasaan yang seakan-akan dihe mbushembuskan ke dala m dadanya oleh ayah Manguri. "Kau me mang licik sekali" Ki Jagabaya berdesis "Aku tidak mengetahui latar belakang hubunganmu dengan orang yang bertubuh raksasa itu. Tetapi tampaknya kau mengetahui kele mahan perasaannya. Kau akan me mpergunakan
kele mahan itu untuk me mbantu lawannya. Dan itu adalah suatu tindakan yang paling tidak terpuji. Bahkan yang paling aku benci" Tetapi ayah Manguri menyahut "Dengan atau tidak dengan cara itu, kau pasti sudah me mbenci aku. Aku tidak berkeberatan" "Jangan berkata begitu. Isterimu ada di dala m wilayah kekuasaanku. Apalagi ia sudah mendapat cela yang tidak akan dapat dilupakan oleh tetangga-tetangganya. Kalau akhir-akhir ini ia sudah mencoba me mperbaiki kesalahan itu, namun tibatiba timbullah persoalan yang me mbuat daerah kekuasaanku menjadi kisruh seperti ini" Jawabnya benar-benar di luar dugaan Ki Jagabaya itu. Katanya "Aku sudah tidak me merlukan lagi Ki Jagabaya. Aku masih me mpunyai isteri di mana-mana" "Kau mungkin tida k berbohong. Tetapi jangan kau sangka bahwa aku tida k dapat menghubungi Kade mangankademangan yang lain. Juga Kademangan Kepanda k" Kalau jalan perdagangan ternakmu tertutup, maka akan tamatlah ceritera petualanganmu di kalangan pere mpuan muda yang dapat kau beli dengan uang" Ayah Manguri tertawa. Betapapun pahitnya. Namun tibatiba matanya terbelalak ketika ia melihat. Manguri terle mpar beberapa langkah dan jatuh berguling di tanah. Meskipun ia dapat dengan tangkas berdiri, tetapi tampak oleh ayahnya, bahwa ia sudah menjadi sangat le mah. "Gila" Ia menggera m di da la m hatinya. Iapun ke mudian me mutuskan untuk berbuat sesuatu. Ia belum mengenal Ki Jagabaya di dalam olah kanuragan. Sedangkan semua yang terjadi di padukuhan ini adalah akibat dari tingkah anaknya. Anak laki-lakinya. Karena itu, apapun yang dapat terjadi, tidak boleh dihindarinya. Ia sendiri sudah me mberikan perlindungan atas usaha menyembunyikan Sindangsari terhadap anaknya.
Kini iapun harus me mberikan perlindungan pula terhadap akibat yang timbul karenanya. Dala m pada itu, cahaya matahari pagi sudah mengua kkan kehita man ma la m. Perkelahian di hala man belakang itupun menjadi semakin nyata. Beberapa orang menjadi sema kin menggigil karenanya dan dengan gemetar meninggalkannya. Mereka menjadi jelas,bagaimana mereka yang sedang bertempur itu benar-benar berusaha me mbunuh lawannya. Beberapa orang anak-anak muda Se mbojan dan Ka li Mati masih juga berkelahi dengan gigihnya. Punta dan seorang kawannya yang datang dari Gemulung sa ma sekali tidak mengecewakan, sebagai anak-anak muda yang pernah mendapat te mpaan dari sebuah perjalanan yang berat. Diantara mereka, Lamat masih juga berusaha mengatasi getaran perasaannya, sehingga ia masih dapat berkelahi sebaik-baiknya, meskipun kadang-kadang seperti orang yang kehilangan kesadaran, ia menjadi bingung. Untunglah, di dalam setiap keadaan itu, La mat selalu masih dapat menghindarkan diri, meskipun ia harus me loncat jauh-jauh. Tetapi perasaan yang ditiup-tiupkan oleh ayah Manguri itu terasa semakin mengge litik hatinya. Setiap kali ia harus menghentakkan giginya untuk mengatasi perasaan itu. Namun perlawanan La mat terhadap perasaannya sendiri itupun menjadi se makin le mah sehingga perlahan-lahan perlawanannya terhadap Ki Reksatanipun mula i terpengaruh pula. Pada saat kecemasan di dada ayah Manguri me muncak me lihat kadaan anaknya, tiba-tiba terdengar sebuah keluhan tertahan. Lamat meloncat jauh-jauh surut sambil meraba pundaknya. Titik darah telah me merah di tangannya. Ternyata pedang Ki Reksatani telah berhasil menggoreskan luka yang cukup da la m selagi La mat diterka m oleh kebimbangan perasaan.
Tetapi luka itu agaknya telah menyadarkannya. Seperti orang yang terbangun. Lamat menggeretakkan giginya. Mulailah perlawanannya yang garang dan bahkan seranganserangannya yang dahsyat melanda lawannya. Namun lawannya itu adalah Ki Re ksatani. Itulah sebabnya, maka setiap kali La mat bagaikan me mbentur dinding baja yang tidak tertembus. Ki Reksatanipun se makin menjadi gelisah pula. Pamot pasti sudah menjadi se makin jauh. Karena itu, ma ka lapun me mperkuat serangan-serangannya atas raksasa yang mulai liar itu. Apalagi pundak kanan La mat sudah tergores oleh senjata. "He" seru ayah Manguri. Ia sengaja berkata keras-keras, agar beberapa orang mendengarnya "kau terluka La mat" Sayang, aku kali ini tidak dapat menyela matkanmu lagi seperti di masa kanak-kanakmu. Sekarang aku yakin, bahwa memang tidak sepatutnya aku menolong dan apa lagi me me lihara dan me mbesarkanmu, karena akhirnya kau hanya akan menerka m kami yang me me liharamu dengan ba ik" Lamat yang sudah terluka itu menggeram "Kau pasti akan mendapat hukuman dari penghianatan ini La mat" "Cukup" teriak La mat "apakah yang pernah kau berikan kepadaku selain pertolonganmu yang tidak aku minta itu. Apakah kau benar-benar telah meme lihara aku baik-ba ik selama a ku tinggal di rumahmu dan ana kmu telah me mperlakukan aku tidak lebih dari seekor kerbau?" Ayah Manguri mengerutkan keningnya. Ia sadar, bahwa kelakuan Manguri kadang-kadang me mang berlebih-lebihan. Dan itulah yang dice maskannya, bahwa pada suatu saat, jiwa Lamat yang selama ini tertekan itu akan meledak. Dan ternyata saat itu telah datang. Namun, betapapun juga Lamat mencoba mencari kebenaran landasan sikapnya itu, dan bahkan ia yakin bahwa
demikian kata nuraninya, namun ia sa ma sekali tidak dapat me lawan arus perasaannya. Perasaan berhutang budi, perasaan yang telah diungkit-ungkit oleh ayah Manguri itu, sehingga selain luka di pundaknya, seolah-olah jantungnyapun telah menjadi parah. Itulah sebabnya, maka La matpun la mbat laun telah terdesak. Agaknya Ki Reksatani ma mpu me mpergunakan kesempatan itu sebaik-ba iknya. Dengan dahsyatnya ia menyerang La mat yang terus-menerus terdesak surut. Darah raksasa itupun se makin banyak mengalir dari lukanya yang mulai terasa pedih. Matahari yang semakin terangpun me mbuat Ki Reksatani semakin bernafsu. Kini ia ha mpir pasti, bahwa ia akan dapat menga lahkan La mat. Yang penting baginya adalah me mpercepat ke kalahan raksasa itu. Tetapi La mat tidak segera menyerah pada keadaan. Bahkan ketika luka di pundaknya menjadi se makin pedih, perlawanannyapun menjadi se ma kin gigih. Na mun setiap ka li perasaannya tergetar oleh kenangan masa kecilnya, maka iapun kadang-kadang menjadi lengah. Bahkan La matpun ke mudian berpikir "Mudah-mudahan Pamot sudah jauh. Mudah-mudahan Pa mot mendapat kesempatan me mbawa Nyai De mang ke mbali ke Kepandak, ke mbali kepada sua minya" Sejalan dengan harapan itu, maka perlawanannyapun menjadi sema kin susut. Darahnya tidak lagi dapat tertahan. Semakin banyak ia bergerak, sema kin banyak arus darah dari lukanya. Beberapa orang anak-anak muda Se mbojan, dan juga Punta. melihat luka di pundak La mat. Sejenak mereka tergetar oleh kece masan. Tanpa Lamat, maka perlawanan mereka akan menjadi tidak seimbang lagi, meskipun Ki Jagabaya ikut serta di dala m perkelahian itu. Mereka sadar, bahwa ternyata
Ki Reksatani benar-benar seorang yang tidak terkalahkan. Bukan saja di Kade mangan Kepanda k, tetapi juga di daerah sekitarnya. Di Kade mangan-kade mangan yang la in me mang sulitlah dicari orang-orang yang ma mpu mengimbanginya. Karena itu, mereka harus menga mbil kebijaksanaan la in, Semula atas persetujuan Ki Jagabaya, anak-anak Sembojan dan Kali Mati yang merasa cukup kuat menghadapi orangorang yang telah membuat keributan di padukuhan mereka itu, tidak ingin mengge mparkan seluruh Kade mangan. Mereka bersepakat untuk tidak me mukul tanda bahaya. Tetapi apabila Lamat dapat dika lahkan, ma ka anak-anak muda itu me merlukan lebih banyak kawan lagi untuk me lawan Ki Reksatani. Karena itu, salah seorang dari mereka segera menghubungi Ki Jagabaya. Dengan nafas terengah-engah ia berkata "Keadaan bertambah gawat Ki Jagabaya" Sebelum Ki Jagabaya menyahut, ayah Mangurilah yang menjawab "Jangan ingkari kenyataan. Karena itu jangan menjadi kebiasaan menca mpuri persoalan orang la in" "Persetan" geram Ki Jagabaya "sebentar lagi anakmu akan dibunuh oleh kawan sepadukuhannya, lalu katanya kepada anak muda yang datang kepadanya "usahakan bantuan" "Dengan kentongan?" Ki Jagabaya menganggukkan kepa lanya. "Gila" potong ayah Manguri "kau akan me libatkan seluruh Kademangan?" "Apaboleh buat" jawab Ki Jagabaya "Ki Reksatani itu ternyata sangat berbahaya bagi kita disini" "Yang akan datang hanyalah akan memperbanyak korban" berkata ayah Manguri "aku me mpunyai saran yang baik. Tariklah seluruh anak Se mbojan dan Kali Mati dari perkelahian ini. Mereka akan menjadi korban yang sia-sia. Biarlah anak-
anak Ge mulung itu mati terbunuh disini. Bahkan La mat itu sama seka li" "Cepat" berkata Ki Jagabaya tanpa menghiraukan kata-kata ayah Manguri "bunyikan tanda itu. Lamat benar-benar sudah terdesak. Tetapi itu bukan karena Ki Reksatani t idak terlawan olehnya. Ia mampu mengimbangi kegarangan Ki Reksatani itu. Tetapi karena kelicikan pedagang ternak yang tamak inilah, maka ia kehilangan keseimbangan perlawanannya" "Omong kosong" sahut ayah Manguri. Tetapi ia t idak sempat mengatakan kelanjutannya, karena Ki Jagabaya berkata lantang "Cepat. Jangan hiraukan apapun lagi" Anak muda itupun segera berlari-lari ke gardu di simpang tiga. Sementara Lamat menjadi se makin terdesak, maka terdengarlah suara titir dari gardu beberapa puluh langkah dari hala man rumah itu. "Gila" Ki Reksatani menggera m. Ia sadar akan bunyi tanda itu. Karena itu, serangannyapun menjadi se ma kin garang. Apalagi ketika suara titir itu telah disahut oleh bunyi kentongan dari gardu yang lain. Sa mbung menyambung, mera mbat dari gardu yang satu ke gardu yang lain. Ki Reksatani benar-benar telah kehilangan pengekangan diri. Ia berkelahi seperti setan takut kesiangan. Apalagi ketika sinar matahari mula i menyentuh tubuhnya, dan suara titir itu sudah me menuhi udara pagi di padukuhan Se mbojan dan sekitarnya. Sejenak kemudian La mat telah benar-benar terdesak. Tenaganya menjadi semakin le mah, karena darah yang semakin banyak mengalir. Bahkan sejenak ke mudian, ujung senjata Ki Reksatani telah menyentuhnya sekali lagi. Meskipun tidak begitu dalam, na mun ujung pedang yang menyobek kulit la mbungnya. tu me mbuatnya semakin terdesak surut.
"Kau akan mati pagi ini" geram Ki Reksatani. Tetapi La mat tidak gentar, karena akibat itu sudah disadarinya. Jawabnya "Aku tida k takut me lihat ma ut yang sudah menje mputku. Tetapi aku merasa bahwa aku sudah berbuat arti di dalam hidupku yang hina ini. Arti bagi perike manusiaanku" "Tutup mulut mu" bentak Ki Reksatani sa mbil menyerang dengan cepatnya. Untunglah Lamat masih se mpat me ma lingkan kepalanya. Namun de mikian ujung pedang Ki Reksatani masih juga menyentuh pipinya. Setitik darah menga lir dari luka di pipinya. Sekali lagi tangan Lamat menjadi merah oleh darah ketika ia meraba luka di pipinya itu. Namun de mikian ia masih tetap berusaha menyela matkan diri dari sentuhan senjata Ki Reksatani yang satu lagi. Keris pusakanya. Karena La mat sadar bahwa sentuhan keris itu akibatnya adalah maut. Racun pada keris itu akan segera bekerja di dala m tubuhnya tanpa ampun. Karena itu, perlawanannya kini ditujukan lebih banyak pada serangan-serangan keris itu daripada ujung pedangnya. Ternyata Ki Reksatani masih berhasil melukai lawannya lagi. Lengan La matpun telah tersobek pula. Kemudian pahanya, sehingga tubuhnya seakan-akan menjadi merah karena darah dan keringat yang mengaliri wajah, dada dan kakinya. Ki Jagabaya me lihat luka-luka itu dengan tubuh yang bergetar karena marah. Ia bukan sanak bukan kadang dengan raksasa itu, bahkan mengenal secara pribadipun belum. Tetapi Ki Jagabaya telah meyakini kebenaran perjuangan Lamat, sehingga karena itu, dadanya serasa telah terbakar, melihat luka-luka yang seolah-olah telah me me nuhi tubuh ra ksasa itu. "Licik" Ki Jagabaya menggeram "kaulah yang menyebabkan kekalahannya. Kalau kau tidak menyerang perasaannya, maka ia tidak akan dapat dikalahkan oleh Ki Reksatani. Karena itu, kaulah yang harus bertanggung jawab"
Tetapi ayah Manguri sama sekali tidak menjawab. Ketika Ki Jagabaya berpaling kepada orang itu, ia terkejut bukan buatan. Wajah itu menjadi pucat dan tegang. Bahkan tubuhnyapun menjadi ge metar pula. Ki Jagabaya menjadi heran. Apalagi ketika tiba-tiba ayah Manguri itu berpaling sa mbil berdesah "Tahan. Tahanlah dia. Jangan disakiti anak itu. Jangan diperlakukan anak itu dengan semena-mena meskipun ia sudah berkhianat. Bunuh atau lepaskan. Jangan dikupas seperti mengupas pisang" Ki Jagabaya menjadi termangu-mangu sejenak. Bahkan ia bertanya "Kenapa kau" Apakah kau sudah menjadi gila" "Tolonglah anak itu" Ki Jagabaya menjadi bingung me lihat tingkah laku ayah Manguri itu. Namun ia tidak melepaskan kewaspadaan. Ia masih saja curiga karena kelicikan ayah Manguri itu. Dala m pada itu, suara titir telah me menuhi seluruh Kademangan. Ki Reksatanipun menjadi se makin gelisah karenanya. Meskipun luka di tubuh La mat, seolah-olah telah menjadi arang kranjang, tetapi raksasa itu sa ma sekali tidak menyerah. Ia masih tetap bertempur terus meskipun ia selalu terdesak mundur. "Gila, apakah kau Reksatani menggeram. me nyimpan nyawa rangkap?" Ki
Lamat tida k menjawab. Betapa perasaan sakit telah mencengka m seluruh tubuhnya, namun ia tidak mau menyerah. Akhirnya Ki Reksatani tidak sabar lagi. Ketika ia me lihat orang yang pertama datang ke arena itu, kemudian disusul oleh beberapa orang lagi, yang agaknya sudah dipanggil oleh suara titir itu, hatinya berdesir. Mereka ternyata bukan penakut-penakut seperti orang-orang yang berdiri saja di kejauhan. Mereka agaknya pengawal-pengawal dari
padukuhan-padukuhan di se kitar padukuhan Se mbojan, seperti anak-anak muda yang telah berkelahi lebih dahulu. Sejenak Ki Reksatani me mpertimbangkan keadaannya, Ia masih melihat beberapa orang-orangnya berkelahi dengan gigihnya. Karena itu, ia harus memilih. Melepaskan ke marahan dan dendamnya kepada Lamat, atau mengejar Sindangsari yang sudah dilarikan oleh Pa mot dan akan diserahkan kepada suaminya. "Persetan dengan padukuhan Sembojan. Aku harus meninggalkan neraka ini. Persoalanku adalah persoalan Kademangan Kepandak. Aku tidak perlu terjerumus dala m perangkap orang-orang Se mbojan yang suka menca mpuri persolan orang la in ini" Karena itu, ma ka Ki Reksatanipun segera me mberikan isyarat kepada anak buahnya yang masih ada beserta orangorang Manguri. Merekapun segera berloncatan dari arena, dan sambil me mpertahankan diri, merekapun berlari- larian ke kuda masing-masing. Untunglah bahwa kuda-kuda itu sudah dipersiapkan sehingga merekadengan segera dapat berloncatan dan langsung me macunya. Ki Reksatani masih berusaha melindungi anak buahnya sejenak. Dengan kudanya ia menyerang anak-anak muda yang mencoba mengha langi anak buahnya yang akan naik ke punggung kudanya. Tidak seorangpun yang berani melawannya langsung. Karena itu maka seorang de mi seorang, anak buahnya berhasil meninggalkan hala man rumah itu, meskipun beberapa diantara mereka telah terbunuh. Diantaranya adalah mereka yang justru terbunuh oleh kawan-kawan sendiri. Meskipun mendapat kesempatan tetapi ayah Manguri sama sekali t idak berniat untuk meninggalkan hala man rumah itu. Dengan wajah yang bura m ia me lihat beberapa orang berlarilarian dikejar oleh anak-anak muda Se mbojan. Tetapi hanya karena ketangkasan Ki Reksatani me ngayunkan senjatanya sambil mengendalikan kudanya sajalah, sebagian terbesar dari
Empu Jangkar Bumi 1 Atheis Karya Achdiat Karta Mihardja Si Tangan Sakti 4
^