Empu Jangkar Bumi 1
Dewa Arak 95 Empu Jangkar Bumi Bagian 1
EMPU JANGKAR BUMI Oleh Aji Saka Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting: Tuti S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Aji Saka Serial Dewa Arak
Dalam episode Empu Jangkar Bumi
128 hal ; 12 x 18 cm
http://duniaabukeisel.blogspot.com
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
1 Sang surya baru saja muncul di ufuk timur dengan
sinarnya yang menyala. Perlahan sinarnya yang hangat itu menyeruak ke persada
alam. Sementara itu kicau
riang burung-burung terdengar riuh mengiringi lang-
kah tiga sosok tubuh yang baru keluar dari dalam Hu-
tan Karet. Mereka terdiri dari dua orang lelaki dan seorang wanita berusia
sekitar empat puluhan. Gerakan
mereka sigap dan gesit. Senjata-senjata yang tersampir di punggung dan terselip
di pinggang cukup menjadi
petunjuk, kalau mereka memiliki ilmu bela diri!
Kini mereka berhadapan dengan padang ilalang
yang cukup luas. Tinggi ilalang yang hanya sebatas
pinggang itu, tak mengganggu pemandangan mereka.
Beberapa tindak sebelum melintasi padang ilalang,
tiga sosok itu menghentikan langkahnya. Pandangan
mereka tertuju lurus ke depan, di tengah-tengah ke-
rimbunan rerumputan. Di tempat itu tampak tertancap
sebuah tongkat hitam kelam. Pada bagian atas tongkat terdapat tengkorak kepala
manusia berwarna merah
darah! Tampak mengiriskan!
"Apakah aku tak salah lihat"!" desis salah seorang lelaki yang berpakaian
coklat. Tubuhnya jangkung dan kurus.
Suaranya terdengar bergetar seperti tengah mena-
han luapan perasaan. Paras dan sinar matanya tam-
pak memperlihatkan keterkejutan, kegentaran, dan
kengerian hati!
"Apa artinya, Kang Abiyasa"!" tanya wanita berpakaian hijau pupus yang berwajah
cukup cantik meski
sudah berusia cukup lanjut. Tahi lalat cukup besar
yang terdapat di dagunya menambah kecantikannya.
Lelaki satunya lagi, yang mengenakan pakaian
abu-abu dan berkulit kehitaman, tak mengajukan per-
tanyaan. Tapi, paras dan sorot matanya yang tertuju
pada Abiyasa, menandakan pengertian yang sama.
Abiyasa malah menghela napas berat sebelum
memberikan jawaban. Seakan-akan ada sesuatu yang
memberatkan hatinya.
"Aku juga tak yakin akan dugaanku ini, Wati," ujar lelaki berpakaian coklat itu
bernada tak yakin. "Hanya saja..., sepengetahuanku... ciri seperti itu merupakan
pertanda adanya Setan Tengkorak Merah...."
"Setan Tengkorak Merah"!" ulang lelaki berkulit kehitaman, tanpa bisa
menyembunyikan perasaan kagetnya.
"Setan Tengkorak Merah" Siapa dia, Kang Antase-
na" Julukannya demikian mengerikan?" tanya wanita yang bernama lengkap
Jembawati, lagi. Kali ini ditujukan pada lelaki berpakaian abu-abu.
Antasena mengangkat kedua bahunya, ketika ben-
trok pandangan dengan Jembawati yang sinar ma-
tanya menghendaki jawaban. Lelaki berkulit kehita-
man itu malah melemparkan pandangan pada Abiyasa.
"Entahlah, Wati. Aku hanya sedikit mengetahui pe-rihal Setan Tengkorak Merah.
Tapi, aku yakin Kakang
Abiyasa tahu banyak tentang tokoh yang terkenal sakti dan amat kejam itu, jelas
lelaki berkulit kehitaman ini, sekadarnya.
"Tahu banyak sih, tidak, Anta," jawab Abiyasa, merendah.
"Yang jelas berita tentang Setan Tengkorak Merah yang kudengar. Dan, menurut
berita yang sampai ke
telingaku, Setan Tengkorak Merah adalah seorang da-
tuk sesat yang memiliki kepandaian menakjubkan,
dan kekejaman yang tak masuk akal. Selentingan ka-
bar mengatakan kalau dia berasal dari pulau di sebe-
rang lautan. Tokoh itu berasal dari Aceh. Dia melarikan diri dari wilayah
Kerajaan Aceh karena diburu oleh orang-orang kerajaan. Dia dijuluki Setan
Tengkorak Merah setelah menginjakkan kakinya ke tanah Jawa
Barat ini dan menyebarkan kekacauan! Entah siapa
nama aslinya, kurasa tak ada seorang pun yang tahu.
Bukan tak mungkin, iblis itu sendiri pun lupa, karena dia berada di tanah Jawa
Barat ini sudah hampir dua
puluh tahun."
"Apakah di tanah kelahirannya dia juga termasuk tokoh hitam, Kang"!" tanya
Jembawati lagi, penuh rasa ingin tahu.
"Menurut berita yang kudengar sih, tidak," jawab Abiyasa, ragu-ragu. "Dia diburu
karena dulu sewaktu Kerajaan Aceh masih di bawah kekuasaan Kerajaan
Pedir, Setan Tengkorak Merah adalah seorang algojo,
yang mengirim banyak orang dari Kerajaan Aceh ke
akhirat." Jembawati dan Antasena mengangguk-anggukkan
kepala seperti layaknya orang yang mengerti.
"Berarti..." Antasena membuka suara, lambat-lambat. "Sudah lebih dari dua puluh
tahun Setan Tengkorak Darah tinggal di tanah Jawa Barat ini,
Kang"! Nama besarnya saja sudah terdengar dan men-
gakui dirinya sebagai salah seorang dari pentolan
kaum sesat sekitar dua puluh tahun."
"Ya, kira-kira demikianlah," ujar Abiyasa membenarkan, "Waktu pastinya aku tak
yakin, tapi yang jelas sekitar dua puluh tahunan," tambahnya.
Suasana kembali hening ketika Abiyasa tak berbi-
cara lagi. Keheningan yang tak menyenangkan, karena
ketiga orang itu tak berani melanjutkan langkahnya
lagi dan hanya terpaku menatap tongkat bergagang
tengkorak kepala manusia berwarna merah!
"Kudengar...," ujar Antasena tiba-tiba memecah keheningan. "Setan Tengkorak
Merah lenyap dari dunia persilatan beberapa bulan yang lalu."
"Benar, Anta," Abiyasa menganggukkan kepala.
"Menurut selentingan kabar, datuk sesat itu dikalahkan oleh seorang tokoh sakti!
Setelah itu, beritanya sudah tak terdengar lagi. Lenyap begitu saja bagai
ditelan bumi."
"Ah...!" desis Antasena dan Jembawati, kaget.
Kedua orang itu saling berpandangan. Wajah me-
reka menampakkan perasaan terkejut. Sungguh tak
pernah disangka, terutama sekali oleh Antasena, kalau Setan Tengkorak Merah
dapat juga dikalahkan orang!
"Oleh karena itu," lanjut Abiyasa tanpa mempedulikan keterkejutan yang masih
membelit hati Jemba-
wati dan Antasena. "Aku masih tak yakin kalau benda itu ditancapkan oleh Setan
Tengkorak Merah! Bukankah dia sudah cukup lama lenyap"!"
*** "Ha ha ha...!"
Tawa keras yang menggelegar tiba-tiba, membuat
Abiyasa menghentikan ucapannya. Semula, lelaki itu
masih hendak melanjutkan bicaranya dan mencari ka-
ta-kata yang tepat untuk menyambung pendapatnya.
Abiyasa terkejut bukan main. Bahkan bukan
hanya dia saja. Antasena dan Jembawati pun demi-
kian. Tidak hanya rasa kaget, tapi juga perasaan tegang menyelimuti hati mereka
semua. "Benarkah Setan Tengkorak Merah yang datang"!
Setan Tengkorak Merahkah yang tertawa"!" tanya mereka dalam hati.
Dengan jantung berdetak kencang, mereka me-
nunggu keluarnya pemilik tawa itu. Tapi, sampai beberapa lama menunggu, orang
yang mereka harapkan
tak juga keluar. Bahkan tanda-tanda kemunculannya
pun tak terlihat sama sekali.
Perasaan tak sabar untuk segera mengetahui pemi-
lik tawa itu membuat Abiyasa, Antasena, dan Jemba-
wati, mencoba untuk mengira-ngira tempat beradanya
orang yang mereka maksudkan. Setidak-tidaknya, asal
tawa itu. Tapi, betapapun ketiga orang itu sudah mengerahkan seluruh
kemampuannya, tetap saja tak
mampu mengetahui asal suara itu. Tawa itu seperti berasal dari delapan penjuru.
"Aku tak bisa memperkirakan asal tawa ini, Kang,"
ujar Antasena dengan suara putus asa.
"Aku pun tak bisa, Anta," sahut Antasena dengan bola mata berputaran ke sana
kemari untuk mencari
tahu keberadaan si pemilik tawa. "Tapi, aku yakin kalau pemilik tawa itu adalah
Setan Tengkorak Merah!"
"Mengapa kau menduga demikian, Kang"!"
Kali ini Jembawati yang mengajukan pertanyaan
tanpa menyembunyikan perasaan takutnya.
"Menurut kabar yang kudengar, Setan Tengkorak
Merah memiliki Tenaga Dalam Delapan Sudut. Dan
aku yakin, Iblis itu menggunakan tenaga istimewanya
ketika tertawa sehingga membuat asal tawanya seperti berasal dari delapan
penjuru. Jadi, kupikir..., tak ada gunanya lagi kita bertindak seperti ini.
Lebih baik kita menunggu dan bersikap waspada. Aku yakin, iblis ini
akan datang menemui kita, bila dia memang merasa
mempunyai keperluan dengan kita bertiga."
Antasena dan Jembawati tidak memberikan tang-
gapan sama sekali. Tapi, dari wajah mereka tampak
bahwa mereka membenarkan ucapan Antasena.
Setelah Antasena menghentikan ucapannya, secara
tiba-tiba saja suara tawa itu lenyap. Sesaat kemudian, berkelebat sesosok
bayangan dari kerimbunan ilalang.
Gerakannya secepat kilat sehingga tak terlihat jelas bentuknya. Yang tampak
hanya sekelebatan bayangan
hitam. Dan terlihat jelas ketika sudah menghentikan
gerakannya dan berdiri di atas tongkat yang tertancap di tanah dengan
mempergunakan kepala. Sementara
kedua kaki sosok hitam itu menjulang ke angkasa.
Abiyasa, Antasena, dan Jembawati terperanjat me-
lihat tingkah sosok hitam yang aneh itu. "Mendarat sa-ja kok, mesti menggunakan
kepala. Apakah berlari pun mempergunakan kepala"! Berjalan pun demikian"!"
tanya ketiga orang itu dalam hati
Keterkejutan akhirnya melanda mereka, karena
mengetahui sosok hitam itu memiliki kepandaian ting-
gi. Karena, hanya tokoh berkepandaian tinggi sajalah yang dapat mendarat di
ujung tongkat tanpa tubuh
atau pun tongkat bergeming sedikit pun juga.
Di samping terkejut, kelegaan hati pun melanda
ketiga orang itu, terutama Abiyasa. Semula mereka
mengira sosok yang akan muncul adalah sosok ringkih
seorang kakek. Ternyata dugaan mereka itu, keliru!
Di atas tongkat, menempel seorang pemuda bertu-
buh kecil pada bagian atas tengkorak kepala manusia
itu. Wajahnya cukup tampan, tapi karena kurusnya
dan juga kulitnya yang pucat seperti orang penyakitan, sehingga kelihatan
menyolok dan menyeramkan!
"Apakah kalian murid-murid dari Empu Jangkar
Bumi"!" tanya pemuda berwajah pucat itu bernada mengancam.
Sambil bertanya demikian, pemuda berpakaian hi-
tam itu mengedarkan pandangan. Ditatapnya Abiyasa,
Antasena, dan Jembawati satu persatu dengan sinar
mata penuh selidik tapi terkesan memandang rendah!
Tetapi ketiga orang itu tidak memberikan jawaban.
Jembawati dan Antasena menyerahkan seluruh uru-
san pada Abiyasa. Di lain pihak, lelaki berpakaian coklat itu masih balas
memperhatikan orang yang menga-
jukan pertanyaan padanya.
Pemuda kecil itu ternyata bukan termasuk orang
yang memiliki kesabaran besar. Sepasang matanya
memancarkan maut saat menatap tiga orang di hada-
pannya yang belum juga memberikan jawaban atas
pertanyaannya. "Anjing-anjing Tuli...! Apakah kalian murid-murid anjing buduk yang bernama
Keparat Empu Jangkar
Bumi"!" tanya pemuda berpakaian hitam lagi. Suaranya kali ini lebih keras dan
kasar. "Tutup mulutmu, Manusia Penyakitan!" bentak Abiyasa karena tak kuasa menahan
amarahnya dihina
seperti itu. "Dengar baik-baik, kami bukan anjing-anjing dan juga tidak tuli!
Matamulah yang harus diperiksa karena salah melihat! Pasang telingamu, agar tak
salah mendengar! Benar, kami adalah murid-murid da-ri Empu Jangkar Bumi! Lalu,
kau mau apa"!"
"Ha ha ha...! Kebetulan sekali! Memang sudah lama aku ingin bertemu dengan empu
keparat itu atau dengan muridnya. Tak kusangka bisa bertemu di sini. Jadi aku
tak perlu repot-repot untuk mendatangi tempat
kalian yang buruk!" ejek pemuda berpakaian hitam dengan suara lantang dan keras.
Abiyasa menggertakkan giginya menahan geram.
Ejekan yang diberikan pemuda jangkung terlalu me-
nyakitkan. Meskipun sudah dapat menduga kalau pe-
muda berpakaian hitam itu memiliki kepandaian luar
biasa, Abiyasa tak menjadi gentar. Kemarahannya ru-
panya menghilangkan pertimbangannya. Apalagi sete-
lah diyakini kalau pemuda yang berada di depannya
bukan Setan Tengkorak Merah! Tokoh sakti pelarian
dari Aceh itu diyakini Abiyasa sudah berusia lanjut!
Dan, pemuda di depannya paling banyak baru berusia
dua puluh delapan tahun!
Kemarahan besar yang melandanya dan keyakinan
kalau sosok di depannya itu bukan Setan Tengkorak
Merah, mendorong keberanian Abiyasa. Bahkan seka-
rang lelaki berpakaian coklat itu mengayunkan kaki
mendekati calon lawannya.
"Mulutmu terlalu lancang, Manusia Penyakitan!"
bentak Abiyasa dengan suara bergetar karena kemara-
han yang menggelora. "Kami tak mengenalmu, dan
kami yakin, guru kami, Empu Jangkar Bumi pun tak
mengenalmu! Mengapa kau bersikap demikian kurang
ajar dan lancang"! Kami, selaku murid-murid beliau
tak bisa membiarkan hal ini! Kalau tak segera menca-
but ucapan-ucapanmu, terpaksa kami akan membuat
Dewa Arak 95 Empu Jangkar Bumi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
perhitungan denganmu!"
Pemuda berpakaian hitam tertawa dengan nada
menghina sekali. Ia tidak melakukan tindakan apa
pun, tapi tongkat di mana kepalanya bertumpu, sedikit demi sedikit amblas ke
dalam tanah! Tubuh si pemuda
itu sendiri tak bergeming sama sekali. Malah, ketika yang tampak di permukaan
tanah hanya tinggal tengkorak kepala manusia, tubuh pemuda pucat itu tetap
tak bergoyang sama sekali!
Abiyasa dapat melihat itu secara jelas. Walaupun
begitu dia tak merasa gentar atau memperlihatkan ke-
kaguman. Tapi tidak demikian halnya dengan Antase-
na dan Jembawati. Kedua orang ini jelas-jelas memperlihatkan keterkejutan dan
kekaguman yang bercampur
dengan kengerian!
Pemuda berpakaian hitam itu tak terlalu mempe-
dulikan tanggapan Abiyasa. Dengan kepala tetap di
bawah, ditatapnya Abiyasa yang sekarang sudah
menghentikan langkahnya ketika berjarak dua tombak
darinya. "Kau hendak membuat perhitungan denganku"!
Mengapa hanya sendiri majunya"! Ajak kawan-
kawanmu biar urusan ini cepat selesai!" tantang pemuda bertubuh jangkung itu
penuh kesombongan.
"Kalau hanya menghadapi kecoak-kecoak seperti kalian, aku, Tengku Daud, dengan
tanpa bergerak dari
tempat pun. Akan dapat mengusir kalian semua sekali
pun kalian maju berbarengan!" lanjutnya lagi.
"Sombong...!" seru Abiyasa keras, seraya melompat menerjang Tengku Daud. Lelaki
berpakaian coklat itu
tak bisa menahan kemarahannya lagi melihat sikap si
pemuda yang kelewatan menghinanya.
Diawali suara keras melengking nyaring, Abiyasa
menyerang Tengku Daud. Lelaki itu membuka seran-
gannya dengan sebuah cengkeraman tangan bertubi-
tubi ke arah leher. Dan memang seharusnya leher
yang menjadi sasaran cengkeraman Abiyasa. Tapi, ka-
rena Tengku Daud berdiri dengan kepala di bawah, se-
rangan itu jadi meluncur ke arah bawah pusar. Sasa-
ran serangan ini tak kalah besar akibatnya dibanding dengan serangan terhadap
leher. Menurut perhitungan
bila mengenai sasaran, nyawa Tengku Daud pasti akan
melayang karenanya.
Tapi, sebelum serangan Abiyasa mengenai sasa-
ran, ia merasakan adanya sebuah kekuatan tak tam-
pak yang menghimpit tubuhnya dari berbagai penjuru.
Himpitan itu kuat sekali tekanannya sehingga mem-
buat dada Abiyasa terasa sangat sesak.
Semakin dekat tubuh Abiyasa ke arah tubuh pe-
muda itu, kekuatan tak tampak yang menekannya se-
makin membesar pula. Betapapun sudah dikerahkan
seluruh kemampuannya untuk membebaskan diri dan
tekanan itu, tetap saja tak mampu.
Abiyasa segera sadar kalau kekuatan tak tampak
yang menekannya dari berbagai arah adalah hasil per-
buatan lawannya. Seketika itu pula ia teringat akan
'Tenaga Dalam Delapan Sudut'! Ya, seperti inilah akibat serangan 'Tenaga Dalam
Delapan Sudut'! Dengan
demikian, Tengku Daud pasti mempunyai hubungan
dengan Setan Tengkorak Merah! Pikir lelaki itu tersadar. "Mengapa aku demikian
pelupa"!" maki Abiyasa dalam hati, ketika teringat akan nama pemuda di hada-
pannya. Bukankah nama atau gelar Tengku hanya di-
miliki oleh orang Aceh"! Setan Tengkorak Merah ada-
lah orang Aceh! Jadi, kemungkinan besar pemuda
sombong ini mempunyai hubungan dengan datuk yang
merupakan orang pelarian itu! Tak aneh kalau Tengku
Daud juga memiliki tenaga dalam khas milik Satan
Tengkorak Merah!"
Kenyataan yang terjadi pada dirinya dan nama
Tengku Daud, membuat Abiyasa yakin kalau telah
berhadapan sendiri dengan tenaga dalam unik yang
membuat Setan Tengkorak Merah amat ditakuti,
'Tenaga Dalam Delapan Sudut'!
Selama ini, Abiyasa hanya mendengar cerita ten-
tang kehebatan 'Tenaga Dalam Delapan Sudut', dan
belum pernah membuktikannya. Sama sekali tak dis-
angka kalau akan sedahsyat ini! Belum apa-apa, dia
sudah dibuat tak berdaya. Tubuhnya bagaikan digen-
cet kekuatan raksasa. Padahal, Tengku Daud sama se-
kali tak menyerang. Bahkan tak terlihat adanya tanda-tanda kalau ia melakukan
perlawanan. Pemuda itu te-
tap diam di tempatnya seakan pasrah pada serangan
yang akan dilancarkan lawan.
Tapi Abiyasa tahu, kalau Tengku Daud tak berdiam
diri saja. Meskipun tampaknya tak melakukan apa
pun, lelaki berpakaian coklat itu yakin kalau Tengku Daud memberikan sambutan
atas serangannya. Setidak-tidaknya, pemuda berpakaian hitam itu bersiap
untuk menerima serangan dengan menggunakan tena-
ga dalamnya. Dan, pengerahan tenaga dalam itulah
yang membuat Abiyasa mengalami tekanan berat.
Akibat tekanan yang melanda dari berbagai arah,
serangan Abiyasa akhirnya kandas sebelum mencapai
sasaran. Tekanan dari berbagai arah itu tak hanya
membuat dadanya sesak. Tapi juga membuat tenaga
dalamnya lenyap begitu saja. Seluruh urat-uratnya terasa lemas dan sakit-sakit.
Lelaki berpakaian coklat itu sadar, kalau hal ini terus berlangsung nyawanya
pasti akan pergi mening-
galkan raganya. Dan, Abiyasa tak menginginkan hal
itu. Ia masih belum ingin mati.
Di saat yang gawat dan saat lelaki itu tengah me-
mutar otak mencari jalan untuk menyelamatkan nya-
wanya, terdengar tepukan tangan secara tiba-tiba. Tak nyaring, tapi menggema ke
sekitar tempat itu.
"Luar biasa...! Betapa gagahnya...! Seseorang yang memiliki kemampuan,
menggunakan kelebihan itu untuk mempermainkan nyawa orang! Nyawa yang hanya
satu-satunya dan tak mampu dibuat oleh siapa pun!
Betapa kejinya...!"
Perkataan yang dikeluarkan dengan tenang dan tak
lantang itu juga menimbulkan gema ke seluruh penju-
ru. Bahkan ucapan yang terlontar seiring dengan le-
nyapnya bunyi tepukan tangan itu, mampu membuat
dada Antasena dan Jembawati tergetar hebat.
Akibat yang ditimbulkan memang luar biasa. Teng-
ku Daud merasakan pengerahan tenaga dalamnya
membuyar ketika tepukan itu usai. Dan, ketika perka-
taan yang melanjutkan tepukan tadi lenyap, tengkorak yang menjadi tempat
bertumpu kepalanya, hancur berantakan!
Untungnya, Tengku Daud sudah lebih dulu bertin-
dak cepat. Sebelum ledakan tengkorak kepala itu terjadi, dan saat pengerahan
tenaga dalamnya mem-
buyar, ia melenting ke atas dan melompat menjauh.
Pemuda sombong itu pun selamat dari maut.
Pada saat yang bersamaan, Abiyasa pun melompat
mundur ketika kekuatan tak tampak yang menekan-
nya lenyap. Lelaki itu kembali pada dua rekannya dan bersikap waspada untuk
menjaga segala kemungkinan
yang akan terjadi.
"Apa yang telah terjadi, Kang"!" tanya Jembawati tak sabar, ingin segera tahu.
"Aku juga belum tahu, Wati," jawab Abiyasa seraya menggelengkan kepala. "Tapi,
yang jelas orang yang baru datang ini bermaksud baik. Setidak-tidaknya
kemunculannya, dan tindakannya telah menyelamatkan
nyawaku...."
Ucapan Abiyasa terhenti di tengah jalan karena di-
lihatnya sesosok bayangan ungu berkelebat menda-
ratkan kaki di depannya, di tengah-tengah antara di-
rinya dengan Tengku Daud.
Abiyasa, Antasena, dan Jembawati tak bisa melihat
jelas sosok ungu itu. Karena ia berdiri membelakangi mereka. Yang dapat mereka
lihat hanya tubuh kekar-nya, dari pakaian ungu yang membungkus tubuhnya.
Serta rambut putih panjang berkibaran yang sebagian
di antaranya menutupi guci yang tersampir di pung-
gungnya. Berbeda dengan murid-murid Empu Jangkar Bumi,
Tengku Daud dapat melihat dengan jelas sosok yang
telah mencampuri urusannya itu. Sinar mata Tengku
Daud penuh dengan kemarahan, dan bahkan seperti
memancarkan api. Pemuda berkulit kehitaman itu be-
nar-benar murka, karena maksudnya yang sudah
hampir tercapai untuk membunuh Abiyasa, kandas.
Sementara itu sosok bayangan ungu yang menjadi
penyelamat Abiyasa, sama sekali tak terpengaruh den-
gan sikap Tengku Daud. Sosok yang ternyata adalah
seorang pemuda tampan berwajah jantan itu, tetap
bersikap tenang. Sikap si pemuda berpakaian ungu,
semakin membuat amarah Tengku Daud berkobar.
"Siapa kau, Keparat"! Sungguh berani kau men-
campuri urusanku! Tak tahukah kau siapa aku"!" bentak Tengku Daud setengah
mengancam, Dalam hatinya Tengku Daud merasa heran ketika
melihat orang yang mencampuri urusannya. Melihat
dari bentuk tubuhnya yang kekar dan wajahnya yang
tampan dengan kulit yang masih kencang, sosok itu
adalah seorang pemuda. Tapi, bila melihat rambutnya, sosok itu lebih pantas
orang yang sudah berusia amat lanjut, karena seluruh rambutnya sudah berwarna
putih keperakan!
"Namaku Arya Buana. Aku sengaja mencampuri
urusanmu karena kulihat kau hendak bertindak sewe-
nang-wenang. Asal kau tahu saja, pantang bagiku
membiarkan terjadinya penindasan di depanku! Dan,
untuk menegakkan kebenaran, aku tak peduli siapa
adanya orang yang harus ku tentang! Sekarang kata-
kanlah, siapa kau agar aku bisa mengenalmu!" jawab pemuda berpakaian ungu yang
tidak lain Dewa Arak.
*** 2 Tengku Daud malah mengangguk-anggukkan ke-
pala, kemudian meludah di tanah dengan sikap me-
mandang rendah.
"Sekarang aku mengerti, mengapa kau mempunyai
sikap demikian sombong! Bukankah kau orang yang
berjuluk Dewa Arak"! Pendekar muda yang memiliki
julukan menggetarkan dunia persilatan"!" tanya si pemuda kecil kurus bernada
mengejek. "Dugaanmu sama sekali tak salah, Sobat, aku me-
mang orang yang kau maksudkan. Kuharap kau ber-
sedia mengenalkan diri. Aku yakin, orang dengan tingkat kepandaian sepertimu
pasti terkenal di dunia persilatan. Setidak-tidaknya, orang yang mengajarimu
sampai mencapai tingkat kepandaian seperti ini, mem-
punyai julukan yang menggemparkan dunia persila-
tan," sahut Arya kalem.
Tengku Daud malah tertawa tergelak-gelak. Mem-
buat semua yang berada di tempat itu, kecuali Dewa
Arak, jadi terkejut bercampur heran. Mengapa Tengku
Daud malah tertawa-tawa"! Gilakah dia"! Abiyasa dan
rekan-rekannya menatap Tengku Daud dengan dahi
berkernyit. "Aku gembira mendengar jawabanmu Dewa Arak,
oleh karena itu aku tertawa. Perlu kau ketahui, sudah lama aku mendengar nama
besarmu. Sudah lama pula
aku ingin bertemu denganmu! Aku ingin tahu, apakah
kebesaran julukanmu sebanding dengan tingkat ke-
pandaian yang kau miliki! Aku memang belum terkenal
sepertimu karena aku baru saja selesai berguru. Tapi mungkin kau pernah
mendengar nama ayahku. Dia dijuluki orang Setan Tengkorak Merah! Sedangkan aku,
Tengku Daud!" jelas pemuda kecil kurus itu panjang lebar.
Dewa Arak memang sudah mendengar julukan Iblis
Penghisap Darah. Dan, di dalam hatinya, pemudi itu
kaget bukan main. Ia juga tahu kalau Setan Tengkorak Merah adalah pentolan kaum
sesat yang terkenal memiliki kepandaian amat tinggi. Kendati demikian, Arya
mampu menyembunyikan keterkejutannya sehingga
tak tampak di wajahnya.
"Jadi kau putra dari datuk sesat yang terkenal
itu"!" Ujar Arya dengan suara hambar. "Rupanya kau mengikuti jejak orangtua mu!
Kau calon setan pula
Daud! Dan, sudah merupakan tekadku untuk mele-
nyapkan orang-orang semacammu!"
"Kalau begitu, kau yang akan kusingkirkan, Dewa Arak!" sentak Tengku Daud,
keras. "Hiyaaat...!"
Tengku Daud berseru keras, menutup ucapannya.
Pada saat yang bersamaan, ia menerjang Dewa Arak.
Kedua tangannya yang terkembang membentuk cakar,
meluncur berbareng ke arah dada lawannya.
Cit, cit! "Heh..."!"
Dewa Arak tersentak kaget ketika merasakan ada
kekuatan tak tampak yang menekan tubuhnya dari
berbagai penjuru. Begitu kuat tekanan itu menghimpit dadanya. Dan, seiring
dengan semakin mendekatnya
serangan, kekuatan tak tampak yang menekan itu se-
makin kuat, dan bahkan menyesakkan dada Arya.
Keadaan yang tadi menimpa Abiyasa, kini berulang
pada Dewa Arak. Hanya saja, pemuda berambut putih
keperakan ini mampu memberikan perlawanan yang
berarti. Sekali Dewa Arak mengerahkan tenaga dalam-
nya, kekuatan yang menekannya pun berkurang jauh.
Dan secepat kilat Arya menolak serangan yang melun-
cur ke arah dadanya,
Prattt! "Aah.,!"
Jeritan kesakitan tertahan itu keluar dari mulut
Tengku Daud, ketika benturan dua pasang tangan ter-
jadi. Tubuh putra Setan Tengkorak Merah itu ter-
huyung ke belakang dua langkah dengan tangan tera-
sa sakit. Di lain pihak, Arya hanya terhuyung selangkah. Rasa sakit pada
tangannya yang berbenturan ta-
di, membuat Tengku Daud tak mampu menahan pekik
tertahannya. Tengku Daud menggeram keras karena lawannya
berhasil mematahkan kekuatan yang membuat tubuh-
nya terhuyung. Ia sama sekali tak pernah mimpi akan
Dewa Arak 95 Empu Jangkar Bumi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengalami kejadian seperti itu, terhuyung-huyung da-
lam benturan tenaga melawan seorang pemuda. Kare-
na dirinya adalah putra tunggal Setan Tengkorak Me-
rah, jadi pantang baginya disaingi orang. Apalagi dia bertekad untuk menjadi
datuk kaum sesat nomor satu!
*** Bunyi lengkingan nyaring dan tinggi, membuat
Tengku Daud yang telah bersiap untuk melancarkan
serangan kembali, jadi mengurungkan maksudnya.
Lengkingan itu memang luar biasa, cukup membuat
pendengaran Abiyasa, Antasena, dan Jembawati sakit
seperti ditusuk-tusuk jarum. Mereka terpaksa menu-
tup kedua telinga untuk sekadar mencegah pengaruh
teriakan itu. Berbeda dengan murid-murid Empu Jangkar Bumi,
Dewa Arak dan Tengku Daud sama sekali tak terpen-
garuh dengan bunyi lengkingan itu. Dengan tenaga da-
lam mereka yang sudah mencapai tingkatan amat
tinggi, pengaruh lengkingan itu dapat ditangkal, se-
hingga tak mampu masuk dan mempengaruhi bagian
dalam telinga. Sebelum bunyi lengkingan itu usai, sesosok bayan-
gan tiba-tiba berkelebat dan menjejakkan kakinya di
sisi Dewa Arak dan Tengku Daud yang saling berhada-
pan. Keberadaan sosok bayangan yang baru muncul
itu membentuk empat mata angin, bila di depannya
berdiri sesosok lagi.
Sosok yang baru muncul dan menebarkan wangi
yang menyelimuti sekitar tempat itu, memiliki tubuh
ramping yang terbungkus pakaian hijau. Ternyata seo-
rang wanita. Wajahnya cantik dengan kulit yang putih halus, dan mulus. Bentuk
tubuhnya yang menggiur-kan semakin menambah daya tariknya. Apalagi ditam-
bah dengan rambutnya yang panjang hitam dan me-
nyebarkan wangi aneka bunga-bungaan.
Perhatian mereka semua yang ada di situ segera
beralih pada wanita yang usianya kira-kira baru dua
puluh tahun itu. Semuanya sama-sama mengernyitkan
dahi karena tak mengenai wanita berambut wangi itu.
Hanya Tengku Daud yang menampakkan sikap seperti
orang yang mempunyai dugaan.
"Hey, Denok! Rupanya kau mempunyai hubungan
yang erat dengan Dewi Berambut Wangi"! Kau ini mu-
ridnya atau putrinya, Denok"!" tanya pemuda dari aneh itu tanpa mengurangi
perasaan sombong yang
terpancar jelas.
Hi hi hik...! Wanita berpakaian hijau itu tertawa dengan sikap
dibuat-buat. Tampak seperti wanita jalang dan genit.
"Kau rupanya cerdik juga, Monyet Pucat! Memang, aku mempunyai hubungan dengan
Dewi Berambut Wangi yang kau katakan itu. Sayangnya kau terlalu
buruk untuk mendapatkan jawaban dariku. Kau tahu,
hanya pemuda-pemuda berwajah tampan yang akan
mendapatkan jawaban atas pertanyaan yang diaju-
kannya padaku!" seru wanita itu mengejek.
Tengku Daud menggeram keras seperti seekor ha-
rimau yang sedang marah mendapatkan tanggapan
yang sama sekali tak disangkanya itu. Ia merasa ter-
singgung sekali dengan jawaban yang jelas-jelas menghinanya itu. Sementara Dewa
Arak dan Abiyasa terpe-
ranjat ketika mengetahui wanita pendatang baru itu
mempunyai hubungan dengan Dewi Berambut Wangi.
Baik Dewa Arak maupun Abiyasa memang belum
pernah berjumpa dengan Dewi Berambut Wangi. Ken-
dati demikian, julukan tokoh itu telah lama mereka
dengar. Seperti juga Setan Tengkorak Merah, Dewi Be-
rambut Wangi muncul di dunia persilatan sekitar dua
puluh tahun lalu. Tak berbeda dengan tokoh pelarian
dari Aceh itu, Dewi Berambut Wangi juga menyebar
kekacauan. Tak terhitung sudah tokoh-tokoh persila-
tan yang tewas di tangannya. Dan, menurut kabar
yang tersiar, Dewi Berambut Wangi belum pernah di-
kalahkan orang. Hanya saja sekitar dua tahun lalu,
kabarnya lenyap begitu saja. Dewi Berambut Wangi
seakan telah mati.
Hampir tak ada orang yang mengenal nama asli
Dewi Berambut Wangi. Orang-orang hanya mendengar
selentingan kabar kalau wanita sakti itu berasal dari pulau seberang lautan
pula, dari Bone, Sulawesi Sela-tan. Oleh karena itu, Dewa Arak dan Abiyasa
terkejut ketika mengetahui wanita yang baru datang itu mempunyai hubungan dengan
Dewi Berambut Wangi. Arya
tahu, kalau wanita itu bisa bergabung dengan Tengku
Daud, akan merupakan lawan yang teramat tangguh
dan berat baginya. Putra Setan Tengkorak Merah itu
saja sudah memiliki tingkat kepandaian yang hanya
berselisih sedikit dari padanya. Arya bisa memperkirakan kalau tingkat
kepandaian wanita berpakaian hijau itu juga tak kalah dibanding Tengku Daud.
Sedikit-sedikitnya setingkat dengan putra Setan Tengkorak
Merah. "Kau melakukan sebuah kesalahan yang teramat
besar, Wanita Liar!" maki Tengku Daud sambil menggeram marah. "Kau kira karena
kau mempunyai hu-
bungan dengan Dewi Berambut Wangi lalu boleh ber-
tindak dan berbicara seenaknya"! Kau tahu, bagi
Tengku Daud, tak ada yang perlu ditakuti atau disega-ni! Bahkan kalau saat ini
Dewi Berambut Wangi ada di depanku, aku mewakili ayahku, Setan Tengkorak Merah,
untuk membunuhnya. Agar dia tahu kalau Setan
Tengkorak Merahlah yang merupakan datuk kaum se-
sat yang sebenarnya!"
"Hi hi hik...!"
Wanita berpakaian hijau tertawa mengikik.
"Kau mengigau, Daud! Jangankan menghadapi
Dewi Berambut Wangi, menghadapi aku saja kau atau
ayahmu, atau sekaligus bersama-sama mengeroyok
tak akan mampu menang. Sayangnya, aku sedang tak
minat bertarung. Aku mempunyai urusan lain yang le-
bih penting ketimbang menghadapi cecoro sepertimu!"
"Tak perlu kau jelaskan pun aku sudah bisa mem-
perkirakannya dan pasti benar, Wanita Sundal! Kau
hendak berurusan dengan keturunan Empu Jangkar
Bumi, bukan"!" sergah Tengku Daud dengan nada
mengejek. Senyum memikat yang sejak tadi menghias bibir
Wanita berpakaian hijau itu kini buyar. Sepasang ma-
tanya yang indah, seperti mengeluarkan api ketika
menatap putra Setan Tengkorak Merah itu.
Dewa Arak yang sejak tadi memperhatikan kedua
tokoh golongan hitam itu, jadi kaget ketika melihat
tanggapan yang diberikan Wanita Berambut Wangi.
Rahasia apakah yang terkandung dalam diri Empu
Jangkar Bumi, sehingga si wanita demikian marah ke-
tika Tengku Daud mengutarakan dugaannya. Aku ya-
kin ada hal-hal besar yang tersembunyi di sini"! Pikir Arya, penuh perasaan
tertarik. "Mengapa masih berada di sini, Kang"!" tanya Arya pada Abiyasa dengan
menggunakan ilmu mengirim suara dari jauh. "Mumpung orang-orang yang mengincar
kau dan kawan-kawanmu itu tengah bersitegang, kurasa lebih baik kau segera pergi
dari sini. Aku tak yakin akan mampu mencegah maksud mereka jika me-
reka bergabung melawanku. Cepat, mumpung ada
waktu...."
Abiyasa yang mendapat pemberitahuan itu, tersen-
tak. Tanpa berpikir lebih lama, ia segera dapat mendu-ga kalau pengirim suara ke
telinganya itu adalah Dewa Arak. Sekilas, dikerlingnya Antasena, Jembawati, dan
Tengku Daud serta wanita berambut harum itu. Ia
khawatir kalau-kalau orang-orang itu, terutama sekali Tengku Daud dan
saingannya, mendengarnya. Tapi,
ternyata ia tak melihat adanya hal-hal yang dikhawa-
tirkannya itu. Ia pun segera tahu kalau pemberitahuan itu dikirim hanya untuk
dirinya. "Benar-benar tak berlebihan berita yang mengatakan kalau Dewa Arak merupakan
tokoh yang luar bi-
asa," puji Abiyasa dalam hati, penuh rasa kagum.
Murid Empu Jangkar Bumi ini mengerling sebentar
ke arah Arya karena ingin memberi isyarat sebagai
ucapan terima kasih. Tapi, maksud baiknya itu tak
terkabul. Dewa Arak kelihatan tengah sibuk memper-
hatikan Tengku Daud dan saingannya.
"Jangan membuat hal-hal yang dapat menimbul-
kan kecurigaan, Kang. Segeralah tinggalkan tempat ini mumpung ada kesempatan."
Suara yang sama mengiang kembali di telinga Ab-
iyasa. Lelaki ini pun tahu kalau maksudnya tak akan
terkabul. Keinginannya untuk menunggu Arya meno-
leh dan mengucapkan terima kasih dengan isyarat di-
urungkannya. Pemuda berambut putih keperakan itu
yang justru melarangnya.
Abiyasa mengerti maksud larangan yang diberikan.
Maka, ia tak merasa tersinggung. Justru kekaguman
yang mendera hatinya semakin besar. Bukti nyata ten-
tang kebenaran hati Dewa Arak yang tak mempeduli-
kan terima kasih orang, telah dialaminya sendiri. Ma-ka, tanpa membuang-buang
waktu lagi, dengan gerak
isyarat, diajaknya Antasena dan Jembawati mening-
galkan tempat itu.
Keberuntungan tengah berpihak pada Abiyasa, An-
tasena dan Jembawati, tanpa banyak tanya atau apa
pun, segera mengikuti kemauannya. Dengan pelahan-
lahan dan mengendap-endap murid-murid Empu
Jangkar Bumi itu semakin menjauh.
"Hey...!"
Seruan keras bernada kaget itu keluar berbarengan
dari mulut Tengku Daud dan wanita berpakaian hijau.
Kedua tokoh muda sesat itu kaget bukan main ketika
melihat orang-orang yang mereka ributkan dan dijadi-
kan urusan, malah melarikan diri meninggalkan tem-
pat itu. Seketika itu juga, pertentangan yang terjadi di antara mereka terhenti.
Bagaikan berlomba keduanya
melesat mengejar.
Arya sudah memperhitungkan kejadian seperti itu.
Maka, dia dapat bertindak cepat. Cemas jika bertindak lambat akan membuat
keadaan menjadi runyam, Dewa
Arak segera melesat, menghalangi tujuan Tengku
Daud. Jika putra Setan Tengkorak Merah itu mene-
ruskan maksudnya, maka ia akan menumbuk tubuh
Arya. Pada saat yang hampir bersamaan, sekejap sebe-
lumnya, Dewa Arak menghentakkan kedua tangannya
bergantian ke arah wanita berpakaian hijau. Angin
berhawa panas menyengat ke arah sasaran yang dituju
pemuda berambut putih keperakan itu.
Perhitungan Dewa Arak tak meleset. Tengku Daud
tak berani meneruskan langkahnya ketika dihadang.
Pemuda kecil kurus itu bersalto ke belakang, menjauh.
Putra Setan Tengkorak Merah itu tak berani mengadu
tenaga dalam karena tahu kalau pemuda di hadapan-
nya memiliki tenaga dalam yang amat kuat.
Tapi, Dewa Arak tak sepenuhnya berhasil. Seran-
gan yang diberikannya terhadap wanita berpakaian hi-
jau ternyata. kandas. Dua kali pukulan jarak jauh
yang dilepaskannya kandas ketika wanita itu menge-
butkan rambutnya yang panjang. Angin-angin pukulan
berhawa panas itu lenyap begitu saja bagai ditelan oleh sesuatu yang tidak
tampak. Lalu secepat kilat wanita itu melesat mengejar
Adiyasa dan rombongannya yang telah berjarak bela-
san tombak darinya.
Dewa Arak segera melihat adanya bahaya terhadap
murid-murid Empu Jangkar Bumi itu. Ia pun tahu ka-
lau kecepatan lari wanita berpakaian hijau itu jauh di atas Abiyasa dan rekan-
rekannya. Dalam waktu singkat mereka pasti akan terkejar. Dan, Arya tak
menginginkan hal itu terjadi. Pemuda berambut pun kepera-
kan itu segera bersalto ke belakang dan diteruskannya
dengan lompatan untuk mengejar wanita itu
Ternyata bukan Arya saja yang punya keinginan
itu. Tengku Daud pun tak ingin Abiyasa, Antasena dan Jembawati diringkus oleh
saingannya. Tapi, jaraknya
dengan wanita berpakaian hijau terlalu jauh. Arya saja yang lebih dekat belum
tentu dapat mencegah tindakan wanita itu, apalagi dirinya. Karena itu, Tengku
Daud segera mengibaskan tangannya setelah terlebih
dulu memasukkannya ke balik pakaiannya.
Sing, sing, singng...!
Bunyi berdesing terdengar ketika beberapa buah
gelang putih mengkilat, meluncur dengan kecepatan
menakjubkan ke arah punggung dan belakang kepala
wanita berpakaian hijau.
Wanita berambut panjang itu menyadari akan
adanya bahaya mengancam. Ia yakin, kalau maksud-
nya dilanjutkan, sebelum tercapai, senjata-senjata
yang di lepaskan Tengku Daud akan lebih dulu men-
genainya. Dan, ia tak menginginkan hal itu terjadi.
Untuk kedua kalinya, wanita berambut panjang itu
melakukan tindakan yang menakjubkan. Sambil mem-
balikkan tubuh, rambutnya dikibaskan. Padahal, ge-
lang-gelang baja itu masih berjarak cukup jauh dari
sasaran. Tak terdengar bunyi hembusan angin. Tapi, luncu-
ran gelang-gelang Tengku Daud terhenti di tengah ja-
lan, bagaikan menabrak dinding yang tak tampak oleh
mata. Saat itu pula, gelang-gelang tersebut berjatuhan ke tanah. Serangan putra
Setan Tengkorak Merah
kembali dapat digagalkan oleh lawannya.
Hanya sekejap saja wanita berpakaian hijau itu
menghentikan ayunan kakinya untuk menangkis se-
rangan lawannya tadi. Tapi, kesempatan yang sedikit
itu cukup bagi Dewa Arak. Dengan gerakan cepat pe-
muda berambut putih keperakan itu bersalto melewati
atas kepala wanita itu. Dan begitu menjejakkan ka-
kinya, dia sudah berdiri di hadapan saingan Tengku
Daud. "Kau boleh mengejar mereka bila sudah melangka-
hi mayatku dulu, Sobat!" seru Arya mantap.
Dewa Arak 95 Empu Jangkar Bumi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pemuda berambut putih keperakan itu tahu kalau
wanita berpakaian hijau memiliki kepandaian amat
tinggi. Oleh karena itu, ia bersikap waspada. Sekujur urat-urat saraf dan otot-
otot tubuhnya menegang, bersiap untuk menghadapi segala kemungkinan yang tak
diinginkan. "Hi hi hik...!"
Wanita berpakaian hijau itu tertawa mengikik den-
gan nada genit. Bibir dan sepasang matanya menyam-
bar ke arah Dewa Arak dengan penuh daya pikat.
"Gagah nian sikapmu, Tampan! Aku jadi ingin tahu apakah besarnya sesumbar mu dan
ketampanan wa-jahmu, sepadan dengan kepandaian yang kau miliki!
Siapa kau sebenarnya, Tampan"! Dan, apa hubun-
ganmu dengan keturunan Empu Jangkar Bumi se-
hingga kau demikian mati-matian membelanya"!"
"Tingkahmu saja yang kelewatan, Wanita Sundal!"
Tengku Daud yang memberikan jawaban dengan nada
memaki. "Si tampan usilan sialan itu saja tidak kau kenal"! Dia Dewa Arak! Orang
yang selalu merasa dirinya paling suci dan benar di dunia ini!" timpalnya la-gi.
Sepasang mata wanita berambut panjang itu me-
nyipit. Roman wajahnya tampak terkejut mendengar
pemberitahuan Tengku Daud yang sudah berdiri tak
jauh darinya. "Benarkah itu, Tampan"!" tanya wanita berpakaian hijau penuh selidik.
Tanpa ragu-ragu Arya menganggukkan kepala.
"Kau sendiri siapa, Wanita Sundal"! Aku dan si
dewa sialan itu sudah memperkenalkan diri. Hanya
kau sendiri yang belum. Ataukah.., kau tak berani
memperkenalkan dirimu"!" ejek Tengku Daud, me-
mancing amarah saingannya.
Wanita berpakaian hijau menatap Tengku Daud
dengan sinar mata seperti mengeluarkan api. Tampak
jelas di wajahnya kalau ia merasa tersinggung oleh hinaan putra dari Setan
Tengkorak Merah itu.
"Mulutmu terlalu lancang, Monyet Kerdil! Akan ku-buat kau menyesali sikapmu
ini!" dengus wanita itu keras. "Semula memang aku tak ingin memperkenalkan diri!
Tapi, bukan karena aku takut! Kau tak pan-
tas untuk mengenalku, tahu"! Karena kau terlalu
mendesak, aku tak punya pilihan lagi. Namaku Dewi
Lanjar! Kau dengar"! Dan, sebagai ganjaran atas ke-
lancanganmu, kau akan pergi ke neraka, Monyet Ker-
dil! Sekarang ini juga seharusnya!" teriaknya lantang.
"Mengapa tidak kau lakukan, Wanita Sundal"!"
tantang Tengku Daud, tenang.
"Karena membunuhmu semudah aku membuang
ludah ke tanah!" jawab Dewi Lanjar lantang. "Jika tidak sekarang pun, masih
banyak kesempatan untuk
mengirim nyawamu ke neraka! Lagi pula, saat ini aku
sedang tidak berselera untuk bertarung dengan orang
yang memiliki kepandaian serendah dirimu! Kau terla-
lu hina dan rendah! Berbeda dengan Dewa Arak! Kalau
kesempatan kali ini ku lewatkan, bukan tak mungkin
seumur hidupku tak akan mendapatkannya lagi! Dia
bisa berada di mana saja bagaikan angin! Oleh karena itu, sepatutnya kau
berterima kasih padanya! Keberadaan dirinya menyebabkan nyawamu yang tak berhar-
ga itu tetap bertahan di badan!"
Tengku Daud dapat merasakan kebenaran mutlak
yang terkandung dalam ucapan Dewi Lanjar. Tapi, ke-
marahan besar yang melandanya karena tersinggung
mendengar ucapan Dewi Lanjar yang tajam, membuat
pemuda berpakaian hitam itu mengenyampingkan akal
sehatnya. Tengku Daud yang sedang diamuk amarah, tak bi-
sa menahan diri lagi. Ia langsung melesat untuk me-
nerjang Dewi Lanjar. Tapi, tindakan itu terpaksa di-
urungkannya karena orang yang diserangnya, telah
terlebih dulu melesat menyerang Dewa Arak!
*** 3 Wukkk Angin berhembus keras ketika Dewi Lanjar meng-
goyangkan kepalanya. Rambutnya yang panjang, hi-
tam, dan harum, menegang kaku laksana tongkat, me-
layang ke arah kepala Dewa Arak! Bunyi yang ditim-
bulkan babatan rambut itu, tak ubahnya babatan se-
batang tongkat baja yang berat dan diayunkan dengan
tenaga kuat! Dewa Arak tak berani bertindak main-main. Wa-
laupun yang mengancam kepalanya hanya rambut; ka-
lau yang menggerakkannya adalah orang yang berte-
naga dalam kuat seperti Dewi Lanjar, serangan itu tak kalah bahayanya dengan
hantaman tongkat baja. Jangankan kepala manusia, batu karang yang paling ke-
ras pun bisa hancur berantakan!
Atas dasar pertimbangan itulah, pemuda berambut
putih keperakan itu tak berani bertindak gegabah.
Dengan bertumpu pada kedua kaki, dilemparkannya
tubuhnya ke belakang untuk mengelak serangan la-
wan. Dan, saat berada di udara, Arya bersalto bebera-pa kali, untuk berjaga-jaga
dari serangan susulan lawannya.
Tindakan yang diambil Dewa Arak ternyata berala-
san! Begitu serangan pertamanya kandas, Dewi Lanjar
melesat mengejar lawannya. Wanita berpakaian Hijau
itu menggulingkan tubuhnya di tanah beberapa kali.
Kemudian, dengan sebuah gerakan indah, dia melent-
ing ke atas. "Haiiitt...!"
Dibarengi jeritan keras yang mampu membuat te-
linga sakit seperti ditusuk puluhan jarum, Dewi Lanjar melancarkan sampokan
bertubi-tubi ke arah pelipis.
Sikap jari-jari kedua tangannya terkembang memben-
tuk cakar! Arya yang baru saja menjejakkan kakinya di tanah,
tak kekurangan akal untuk menyelamatkan nyawa.
Secepat kilat tubuhnya dirundukkan sehingga seran-
gan lawan menyambar tempat kosong beberapa jari di
atas kepalanya.
Kali ini Dewa Arak tak berdiam diri. Berbarengan
dengan lewatnya serangan Dewi Lanjar di atas kepa-
lanya, pemuda itu mengirimkan tendangan lurus ke
arah pusar lawannya. Serangan balasan yang cepat
dan tak terduga-duga datangnya itu membuat Dewi
Lanjar agak kelabakan, namun dapat mematahkannya
dengan melakukan lompatan harimau ke samping.
Wanita berpakaian hijau, itu mempergunakan kedua
tangannya untuk bertumpu pada tanah sebelum
menggulingkan tubuhnya menjauh.
"Kiranya berita besar tentang dirimu tak terlalu berlebihan, Dewa Arak!" ucap
Dewi Lanjar setelah ber-
diri tegak di tanah.
Sepasang matanya menatap Arya dengan kekagu-
man yang semakin besar. Kepalanya pun mengangguk-
angguk seperti orang yang baru mengerti.
"Kepandaian yang kau miliki cukup hebat! Meski-
pun demikian, kau jangan besar kepala dulu! Tak akan pernah ada orang yang bisa
menandingi ku, tak terke-cuali kau, Dewa Arak! Jelas! Akulah yang akan menja-
di orang tersakti di dunia persilatan! Hi hi hik..,!"
Dewa Arak hanya menyunggingkan senyum pahit
di bibirnya mendengar sesumbar Dewi Lanjar. Pemuda
berambut putih keperakan itu tampaknya tak terpen-
garuh dengan kesombongan sikap wanita itu. Yang ke-
labakan justru Tengku Daud! Terdengar bunyi bergere-
takan nyaring pada tubuhnya, seakan-akan ada tu-
lang-tulang tubuhnya yang berpatahan! Padahal, pe-
muda berpakaian hitam itu tak melakukan tindakan
apa pun. Tenaga dalamnya yang berkeliaran sendiri
karena Tengku Daud tengah murka.
Tapi, sebelum terjadi tindakan selanjutnya, atau
tercetusnya ucapan dari salah satu tiga tokoh sakti
dunia persilatan itu, tiba-tiba terdengar pekikan nyaring seseorang yang sedang
berada di ambang maut.
Pekikan yang cukup panjang itu bagaikan orang yang
sedang sekarat.
Sesaat ketiga orang itu masih terpaku di tempat-
nya. Tapi Dewa Arak cepat segera memberikan tangga-
pan. Pemuda berambut putih keperakan itu langsung
melesat ke arah asal jeritan yang didengarnya. Tak di-pedulikan lagi dua tokoh
sesat yang bakal menjadi lawan tangguhnya. Dugaan tengah terjadinya tindak ke-
jahatan dan kekejian, yang membuat Arya lebih me-
mentingkan jeritan menyayat hati yang didengarnya
itu. Dewi Lanjar dan Tengku Daud tak sempat mence-
gah kepergian Dewa Arak. Di samping karena jarak
pemuda itu cukup jauh juga kecepatan lesatannya
yang dalam sekejap sudah mencapai puluhan tombak,
membuat Dewi Lanjar dan Tengku Daud hanya sempat
melontarkan seruan pendek.
"Hey...!"
Seruan yang dilontarkan secara keras itu tentu sa-
ja terdengar jelas oleh Dewa Arak! Tapi pemuda be-
rambut putih keperakan itu tak mempedulikannya. Ia
tetap terus berlari dengan kecepatan tinggi. "Urusan dengan Dewi Lanjar dan
Tengku Daud dapat kuurus
belakangan. Toh, urusan itu tak terlalu mendesak. Tidak demikian halnya dengan
pemilik jeritan itu. Aku
yakin tengah terjadi tindakan kekerasan dan keribu-
tan. Bukan tak mungkin ada banyak orang yang nya-
wanya terancam!" pikir Arya, seiring dengan ayunan kakinya Pemuda berambut putih
keperakan itu terus
berlari tanpa mempedulikan seruan kaget Tengku
Daud dan Dewi Lanjar. Bahkan ketika dua tokoh sesat
yang sakti dan saling bersaingan itu memaki-makinya
ia tetap tak peduli. Toh, murid-murid Empu Jangkar
Bumi sudah tak terancam lagi!
"Dewa Arak...! Jangan lari kau, Pengecut...! Pertarungan di antara kita belum
selesai...!" jerit Dewi Lanjar keras, sehingga membuat sekitar tempat itu
bergetar hebat bak digoyang gempa.
"Hoi, Dewa Sialan...! Keberanianmu ternyata tak sebesar julukanmu! Kalau kita
bertemu lagi, aku,
Tengku Daud, akan mengirimmu ke akhirat! Kau tak
akan mempunyai kesempatan untuk kabur lagi, Dewa
Sialan...!" timpal putra Setan Tengkorak Merah, tak mau kalah gertak dengan
saingannya. *** Arya terpaku bagai orang terkena sihir ketika meli-
hat pemandangan yang terpampang di hadapannya
yang berjarak tiga tombak. Pemuda berambut putih
keperakan yang biasanya dapat menguasai perasaan-
nya, kali ini ternyata tak mampu. Mata dan parasnya
memperlihatkan keterkejutan yang amat sangat. Pa-
dahal, biasanya Arya bisa meredamnya.
Pemandangan yang terpampang memang menge-
jutkan hati dan menggetarkan jantung. Belasan sosok
bergeletakan di tanah bermandikan darah, Sekali lihat saja, Dewa Arak tahu kalau
sosok-sosok itu adalah
manusia. Tapi yang membuat pemuda itu terkejut bu-
kan alang kepalang, tak satu pun yang berada dalam
keadaan utuh. Sosok-sosok itu bergeletakan dalam
keadaan bagian-bagian tubuhnya tercerai-berai.
"Keji...! Hanya iblis saja yang dapat melakukan perbuatan sekejam ini!" desis
Arya menahan geram setelah dapat menenangkan perasaannya.
Dengan sikap waspada, Arya melangkah mendekati
hamparan potongan tubuh-tubuh manusia itu. Seku-
jur urat-urat saraf pemuda itu menegang penuh ke-
waspadaan ia tahu, siapa pun pelakunya, di samping
memiliki kekejaman pasti juga memiliki kepandaian
tinggi. Menilik dari potongan tubuh dan pakaian sebagian
kecil di antara mereka yang bisa dilihat. Arya yakin mereka adalah tokoh-tokoh
persilatan. Malah, sebuah
dugaan kecil bermain di benak pemuda berambut pu-
tih keperakan itu. Dewa Arak memperkirakan kalau
para korban itu berasal dari satu kelompok, karena ia melihat pakaian para
korban yang bisa dikenali mempunyai keseragaman satu sama lainnya.
Begitu berada di dekat potongan-potongan tubuh
manusia itu, Arya berjongkok agar bisa memeriksa se-
cara lebih jelas. Jantungnya berdetak jauh lebih cepat ketika melihat adanya
kelainan pada para korban yang berjumlah belasan orang itu. Bagian dadanya
berlubang, sehingga memperlihatkan bagian tubuh di sebe-
lah dalamnya yang hilang.
"Makhluk apakah yang telah melakukan kekejian
seperti ini"!" tanya Arya dalam hati, bingung. "Mungkinkah manusia"! Jika benar,
untuk apa"! Ataukah ini perbuatan binatang buas"! Kalau betul, binatang macam
apa yang dapat membunuh belasan tokoh persila-
tan ini"!" hatinya terus bertanya-tanya.
Pertanyaan-pertanyaan itu menggayuti benaknya,
tanpa Dewa Arak mampu menjawabnya. Jangankan
jawaban, titik terang untuk mengungkap rahasia itu
saja belum didapatkannya, meskipun pemuda itu su-
dah menyapu sekitar tempat itu dengan pandangan
matanya. "Aaarrrggghhh...!"
Geraman yang tak layak keluar dari mulut manu-
sia, membuat Dewa Arak berjingkat bagai disengat ular berbisa. Dalam sekejap
pemuda itu sudah melesat meninggalkan tempat itu menuju ke arah asal suara tadi.
Pemuda berambut putih keperakan itu tak ingin ter-
lambat tiba di tempat kejadian, seperti sebelumnya.
Berbeda dengan sebelumnya, geraman itu berasal
dari tempat yang lebih jauh, dan melalui kerimbunan
semak-semak berduri yang lebat. Tapi hambatan itu
tak berarti sama sekali bagi Dewa Arak. Dengan kece-
patan larinya, jarak yang jauh dapat ditempuhnya da-
lam waktu sangat singkat. Dan, karena tenaga dalam
yang dimilikinya sudah mencapai tingkatan tinggi,
membuat sekujur kulitnya tak terkoyak sedikit pun
meski menerabas kerimbunan semak-semak berduri.
Pemuda berpakaian ungu itu mengernyitkan alis-
nya ketika mendengar bunyi berkerosokan nyaring dari rerimbunan semak di saat
tengah berlari. Tak membutuhkan banyak waktu bagi Dewa Arak untuk mengeta-
hui arahnya. Masih di depannya, agak di sebelah kiri dilihatnya
kerimbunan semak-semak bergoyang-goyang bersera-
Dewa Arak 95 Empu Jangkar Bumi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
butan, seakan-akan ada sosok besar yang tengah me-
lintas di sekitar tempat itu.
Dewa Arak segera meningkatkan kewaspadaannya
sewaktu berlari. Tujuannya kini beralih ke arah rim-
bunan semak-semak yang seakan-akan tengah di lalui
oleh segerombolan binatang besar dan liar. Pemuda
berpakaian ungu itu sampai mengerahkan tenaga da-
lam pada kedua tangannya, bersiap-siap untuk melan-
carkan serangan dahsyat. Penemuan mayat-mayat
manusia dalam keadaan tercerai-berai tadi, membuat
Arya bersikap luar biasa waspada.
"Aaarrrggghhh..;!"
Tiba-tiba terdengar geraman luar biasa keras yang
mampu membuat sekitar tempat itu tergetar hebat
Dewa Arak pun sampai terjingkat kaget. Seiring den-
gan geraman itu, melesat sesosok bayangan besar ke
arah Dewa Arak. Sosok itu melesat dari kerimbunan
semak-semak di sebelah kanan si pemuda.
Arya menyadari akan adanya serangan gelap. Keti-
dakadaan deru angin sewaktu sosok itu melesat yang
membuat Arya tak mengetahui kedatangannya. Berkat
nalurinya yang setajam binatang buas, karena terbiasa terlibat dalam pertarungan
dan mempertaruhkan nyawa, yang membuat Dewa Arak mengetahui keberadaan
sosok bayangan besar pemilik geraman yang mengi-
riskan hati itu.
Secepat kilat tubuhnya dibalikkan ke kanan, sece-
pat itu pula Dewa Arak mengirimkan pukulan jarak
jauh dengan mempergunakan jurus 'Pukulan Bela-
lang'! Wusss...! Angin keras berhawa panas menyengat, menyebar
dari hentakan tangan Arya. Angin yang mampu mem-
buat semak-semak dan pepohonan yang letaknya be-
rada di sekitar tempat itu, mengering dan layu mendadak bagaikan terbakar.
Bresss! Dengan telak dan keras, pukulan jarak jauh Dewa
Arak menghantam sosok bayangan besar yang ben-
tuknya tak jelas karena gerakannya sangat cepat. Arya sendiri yang memiliki
sepasang mata tajam tak mampu
melihat jelas, dan hanya tahu kalau sosok itu besar
dan kecoklatan.
Ciri-ciri sosok itu lebih dapat diketahuinya ketika
pukulan jarak jauhnya mengenai sasarannya secara
telak. Sosok kecoklatan itu terpental kembali ke belakang, terguling-guling di
tanah sambil memperdengar-
kan pekikan yang tak layak keluar dari mulut manu-
sia. Hanya sedikit ciri-ciri sosok bayangan itu yang dapat diketahui Dewa Arak.
Karena, begitu tubuhnya terguling-guling, sosok itu langsung menambahkannya
dengan gulingannya sendiri. Kemudian melesat cepat,
menerobos kerimbunan semak-semak dan pepohonan
lebat di dekatnya.
Dewa Arak tak tinggal diam. Rasa penasaran besar
untuk mengetahui sosok kecoklatan, yang diyakini
memiliki tubuh jauh lebih tinggi dan lebih besar daripada manusia pada umumnya,
membuatnya segera
melesat mengejar. Kerimbunan semak-semak dan pe-
pohonan yang tadi dilalui sosok itu diterobosnya.
Tapi Dewa Arak agak kebingungan. Ia tak melihat
adanya tanda-tanda arah yang ditempuh sosok bayan-
gan yang luar biasa besar itu. Diperhatikannya baik-
baik semak-semak dan pepohonan yang ada. Pemuda
itu mencoba mencari semak-semak yang bergoyang-
goyang, karena menjadi pertanda kalau sosok bayan-
gan yang luar biasa besarnya itu baru saja melaluinya.
Namun, usaha Arya sia-sia. Tanda-tanda yang dimak-
sudkannya sama sekali tak diketemukannya. Kenya-
taan itu membuatnya tak mempunyai patokan arah
untuk melakukan pengejaran.
Walau demikian Dewa Arak tak kehilangan akal.
Kegagalan dengan mempergunakan mata, tak mem-
buatnya putus asa. Ia segera menggunakan sepasang
telinganya. Arya mencoba untuk menangkap bunyi-
bunyi langkah kaki atau gerakan sosok bayangan itu
Kembali, Dewa Arak gagal. Tak sedikit pun telinganya menangkap bunyi. Yang
tertangkap hanya bunyi sepoi-sepoi angin yang bertiup. Lainnya tidak!
Kenyataan seperti itu benar-benar mengejutkan
Dewa Arak. Sebagai tokoh persilatan yang mempunyai
tingkat kepandaian tinggi, Arya tahu kalau apa yang
dialaminya kali ini sepertinya mustahil. Betapapun
tingginya ilmu meringankan tubuh seseorang, tak
akan mungkin dalam sekejap langsung lenyap. Apalagi
tanpa menimbulkan tanda-tanda, baik yang terlihat
mau pun yang terdengar.
Rasa penasaran dan keingintahuannya yang besar,
membuat pemuda berambut putih keperakan itu tetap
berada di situ. Seluruh akal sehatnya diputar untuk
memecahkan keanehan yang ditemuinya kali ini.
Arya berpikir keras untuk mendapatkan jawaban
atas rahasia besar yang ditemuinya ini. Walaupun be-
gitu, kewaspadaannya tak ditinggalkan, untuk berjaga-jaga terhadap kejadian-
kejadian yang tak diinginkan.
Dewa Arak sempat tersentak ketika terpikir olehnya
kalau kejadian yang dilihatnya tadi terjadi karena sosok bayangan itu
menggunakan ilmu sejenis 'Ilmu Ha-
limun' atau 'Sirna Raga'. (Untuk jelasnya mengenai il-mu-ilmu seperti itu
silakan baca episode: "Ilmu Hali-mun"). Tapi, dugaan itu mulai diragukan ketika
diketemukannya hal-hal yang memberatkan. Cukup lama
ia berada di situ, tak didengarnya sedikit pun gerakan atau dengus napas.
Pemuda berambut putih keperakan itu hanya sedi-
kit bimbang. Kecurigaan yang melanda hatinya tetap
tak sirna. Sebagai tokoh persilatan yang memiliki kepandaian menakjubkan, Arya
tahu kalau bagi tokoh
tingkat tinggi, membuat gerakan tak terdengar atau
menahan napas bukan pekerjaan yang sulit.
"Hanya ada satu cara yang dapat membuktikan ka-
lau sosok bayangan itu sudah tak berada di sini lagi,"
pikir Arya yakin. "Dan, bila dengan cara ini sosok itu tak juga menampakkan
diri, atau menunjukkan tanda-tanda keberadaannya, baru aku yakin kalau dia sudah
tak berada di sini. Entah dengan cara bagaimana..."
Usai berpikir demikian, Dewa Arak mengerahkan
tenaga dalamnya yang khas. 'Tenaga Dalam Inti Mata-
hari'. Tidak lama kemudian, dari sekujur tubuhnya
menyebar hawa panas yang kian meningkat kadar ke-
panasannya. Semak-semak dan pepohonan yang berja-
rak sekitar lima tombak dari pemuda berambut putih
keperakan itu, layu seperti lama tak tersiram air. Sesaat kemudian, tetumbuhan
itu mengering dan han-
gus! Cukup lama Dewa Arak mengerahkan tenaga da-
lamnya, menciptakan hawa panas dengan sebuah ha-
rapan besar, sosok bayangan itu akan menampakkan
diri karena terpaksa melakukan perlawanan, untuk
menahan serangan hawa panas itu. Jika perlawanan
diberikan, sekecil apa pun dilakukan, dan sesedikit
apa pun gerakan yang dilakukan, akan tertangkap oleh telinga Dewa Arak.
Dan jika itu terjadi, sekalipun tak dapat menang-
kap, mengalahkan, atau membunuhnya, Arya akan
merasa lega. Karena keberadaan sosok yang belum di-
ketahuinya jelas ada di situ. Dan ini akan mele-
nyapkan rasa bingungnya.
Ketidakberadaan penyerang gelapnya di tempat itu,
akan membuat Arya bingung. Bagaimana sosok itu bi-
sa lenyap tanpa meninggalkan bekas sama sekali"
Akibat yang ditimbulkan dari tindakan Dewa Arak
memang hebat. Tak hanya pepohonan dan semak-
semak yang layu, kering, dan mati. Tanah di sekitar
tempat Arya berada pun hangus. Di tempat itu seakan-
akan baru terjadi kebakaran besar. Dan, pemuda ini
pun menyadari kalau tindakannya terus dilakukan,
bukan tak mungkin medan di sekitar tempatnya bera-
da akan semakin rusak.
Arya tak menginginkan hal itu terjadi. Apalagi, ia
yakin kalau sosok yang luar biasa besar itu memang
tak berada di situ. Sosok itu tak bersembunyi dari
pandangan Dewa Arak dengan mempergunakan ilmu
menghilang. Kalau benar mempergunakan 'Ilmu Hali-
mun' atau 'Sirna Raga', pasti akan terkena pengaruh
serangan hawa panas Dewa Arak yang dahsyat, dan
sosok itu akan melakukan perlawanan.
Perlawanan yang diberikan tentu akan membuat
Arya mengetahui keberadaannya. Kenyataannya, Dewa
Arak tak mendengar suara gerakan sosok itu selirih
apa pun, selain dari hembusan angin, gemeretaknya
tetumbuhan yang layu, mengering, hangus, dan mati
karena pengaruh serangan tenaga dalamnya yang ber-
hawa panas. Dewa Arak pun segera menghentikan pengerahan
tenaga dalamnya. Ia hanya menghela napas berat, tan-
da kecewa dan bingung. Hasil dari usahanya itu me-
nimbulkan tanda tanya besar di benak Arya. "Kemana-kah perginya sosok tinggi
besar itu" Bagaimana dia bi-sa menghilang demikian cepat" Ilmu apa yang diper-
gunakannya?" Hatinya terus bertanya-tanya.
Karena menyadari kalau pertanyaan itu akan sulit
dijawabnya, Dewa Arak segera melupakannya. Ia juga
menyadari, titik terang untuk mengungkap rahasia itu belum didapatkannya. Hanya
dalam waktu singkat, ia
menghadapi dua masalah yang tak terjawab.
"Dua masalah"! Mungkinkah ada hubungannya sa-
tu sama lain"!"
Pertanyaan itu muncul begitu saja di benak Dewa
Arak, pemuda ini hendak beranjak meninggalkan tem-
patnya berada. "Memang bukan tak mungkin kalau masalah ini
mempunyai hubungan satu sama lain. Bukan tak
mungkin kalau pelaku pembantaian keji adalah sosok
besar itu!"
Untuk ke sekian kalinya jawaban pasti bagi perta-
nyaan itu tak ditemukan Dewa Arak. Setelah menga-
mati keadaan sekitarnya sejenak. Arya melesat me-
ninggalkan tempat itu. Ia ingin kembali ke tempat di mana asal geraman yang
pertama kali tadi didengarnya. Memang, Arya tak terlalu berharap akan menemu-
kan sosok besar pemilik geraman itu di sana. Tap bu-
kan tak mungkin kalau akan ditemukannya lagi kor-
ban dari keganasan sosok besar itu. Dan, hal itu bu-
kan mustahil. Bukankah sosok yang belum diketahui
Arya secara pasti jenisnya itu cukup ganas"! Bukti jelas sendiri sudah
didapatkannya. Sosok besar itu me-
nyerangnya! Padahal, bukan tak mungkin antara me-
reka berdua sama sekali tak ada urusan! Jangankan
urusan saling kenal pun belum tentu!
*** Abiyasa berdiri dengan kepala tertunduk. Hatinya
benar-benar sangat terpukul. Berjarak tiga tombak di depannya, tergolek sesosok
mayat yang sudah tak
utuh lagi. Bagian-bagian tubuh mayat malang itu tea
cerai-berai. Darah yang masih segar membasahi tanah
membuat pemandangan semakin menyeramkan.
"Anta...," keluh Abiyasa, penuh rasa duka. "Tak kusangka nasibmu demikian buruk.
Aku berjanji akan
membalas dendam atas kematianmu, siapa pun
adanya pelaku pembunuhan keji ini!"
Cukup lama Abiyasa tenggelam dalam kedukaan-
nya. Berdiri terpaku bagaikan patung batu. Hanya ge-
rakan pada bagian dadanya yang menunjukkan kalau
lelaki itu bukan patung. Sejenak Abiyasa mengalihkan pandangan ke sekeliling
tempat itu. Helaan napas berat yang keluar dari mulut dan hidungnya mengiringi
gerakan bola matanya.
"Sama sekali tak kusangka kalau nasibmu demi-
kian buruk, Anta mudah-mudahan saja Jembawati tak
mengalami nasib seperti yang kau alami," gumam lelaki jangkung itu lagi dengan
wajah menengadah ke atas menatap langit.
Abiyasa baru mengalihkan perhatian, dan memba-
likkan tubuhnya ketika mendengar bunyi batuk-batuk
kecil di belakangnya. Batuk yang diketahuinya pasti
adalah batuk buatan.
"Ah... kiranya kau, Dewa Arak...!" seru Abiyasa gembira.
Wajah lelaki itu kelihatan berseri-seri. Sungguh
pun demikian, kedukaan yang membayang pada wajah
dan sinar matanya tetap tampak.
"Kau mengejutkan ku saja. Hampir saja putus jan-tungku karena tindakanmu...!"
lanjutnya lagi.
Arya mengembangkan senyumnya. Tidak terlalu
lebar, dan tidak menampakkan perasaan yang terlalu
gembira. Pemuda berambut putih keperakan ini tahu
kalau Abiyasa tengah bersedih. Jadi, ia pun ikut me-
nunjukkan perasaan berkabungnya.
"Aku minta maaf kalau kau jadi terkejut karena kedatanganku, Kang. Mungkin
seharusnya tadi ku-tunggu hingga kau selesai dengan urusanmu," sahut Arya,
sekenanya. "Itu tak menjadi soal, Dewa Arak," timpal Abiyasa buru-buru. "Aku memang kaget.
Tapi perasaan gembira atas kedatanganmu, jauh lebih besar dari perasaan
terkejutku. Kau datang pada saat yang tepat!"
"Apa yang sebenarnya terjadi, Kang?" tanya Arya seraya mengayunkan langkah
mendekat dan memperhatikan mayat Antasena. Dan, seperti yang diduga De-
wa Arak, bagian dada Antasena berlubang besar,
memperlihatkan isi bagian dalam dada yang sudah ti-
dak terlihat lagi.
"Aku juga kurang begitu jelas dengan apa yang telah terjadi, Dewa Arak," keluh
Abiyasa. "Bukan tak mungkin apa yang kuketahui sama dengan yang kau
ketahui...."
"Heh...",!" Arya terkejut. "Mengapa bisa begitu Kang?" tanyanya heran.
Abiyasa menghela napas berat sebelum memberi-
kan jawaban. "Ini semua karena salahku, Dewa Arak. Kalau saja aku tak keliru mengambil
keputusan, mungkin semua
ini tak akan terjadi. Antasena tak perlu tewas dengan cara demikian mengerikan,
dan Jembawati tak pernah
lenyap bagai ditelan bumi...," jelas lelaki jangkung ini penuh perasaan menyesal
dan bergejolak.
"Jadi Jembawati lenyap" Pantas tak kulihat keberadaannya di sini," pikir Arya,
Dewa Arak 95 Empu Jangkar Bumi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tiga Naga Sakti 6 Pedang Dewa Naga Sastra Bun Liong Sian Kiam Karya Rajakelana Bukit Pemakan Manusia 21
EMPU JANGKAR BUMI Oleh Aji Saka Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting: Tuti S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Aji Saka Serial Dewa Arak
Dalam episode Empu Jangkar Bumi
128 hal ; 12 x 18 cm
http://duniaabukeisel.blogspot.com
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
1 Sang surya baru saja muncul di ufuk timur dengan
sinarnya yang menyala. Perlahan sinarnya yang hangat itu menyeruak ke persada
alam. Sementara itu kicau
riang burung-burung terdengar riuh mengiringi lang-
kah tiga sosok tubuh yang baru keluar dari dalam Hu-
tan Karet. Mereka terdiri dari dua orang lelaki dan seorang wanita berusia
sekitar empat puluhan. Gerakan
mereka sigap dan gesit. Senjata-senjata yang tersampir di punggung dan terselip
di pinggang cukup menjadi
petunjuk, kalau mereka memiliki ilmu bela diri!
Kini mereka berhadapan dengan padang ilalang
yang cukup luas. Tinggi ilalang yang hanya sebatas
pinggang itu, tak mengganggu pemandangan mereka.
Beberapa tindak sebelum melintasi padang ilalang,
tiga sosok itu menghentikan langkahnya. Pandangan
mereka tertuju lurus ke depan, di tengah-tengah ke-
rimbunan rerumputan. Di tempat itu tampak tertancap
sebuah tongkat hitam kelam. Pada bagian atas tongkat terdapat tengkorak kepala
manusia berwarna merah
darah! Tampak mengiriskan!
"Apakah aku tak salah lihat"!" desis salah seorang lelaki yang berpakaian
coklat. Tubuhnya jangkung dan kurus.
Suaranya terdengar bergetar seperti tengah mena-
han luapan perasaan. Paras dan sinar matanya tam-
pak memperlihatkan keterkejutan, kegentaran, dan
kengerian hati!
"Apa artinya, Kang Abiyasa"!" tanya wanita berpakaian hijau pupus yang berwajah
cukup cantik meski
sudah berusia cukup lanjut. Tahi lalat cukup besar
yang terdapat di dagunya menambah kecantikannya.
Lelaki satunya lagi, yang mengenakan pakaian
abu-abu dan berkulit kehitaman, tak mengajukan per-
tanyaan. Tapi, paras dan sorot matanya yang tertuju
pada Abiyasa, menandakan pengertian yang sama.
Abiyasa malah menghela napas berat sebelum
memberikan jawaban. Seakan-akan ada sesuatu yang
memberatkan hatinya.
"Aku juga tak yakin akan dugaanku ini, Wati," ujar lelaki berpakaian coklat itu
bernada tak yakin. "Hanya saja..., sepengetahuanku... ciri seperti itu merupakan
pertanda adanya Setan Tengkorak Merah...."
"Setan Tengkorak Merah"!" ulang lelaki berkulit kehitaman, tanpa bisa
menyembunyikan perasaan kagetnya.
"Setan Tengkorak Merah" Siapa dia, Kang Antase-
na" Julukannya demikian mengerikan?" tanya wanita yang bernama lengkap
Jembawati, lagi. Kali ini ditujukan pada lelaki berpakaian abu-abu.
Antasena mengangkat kedua bahunya, ketika ben-
trok pandangan dengan Jembawati yang sinar ma-
tanya menghendaki jawaban. Lelaki berkulit kehita-
man itu malah melemparkan pandangan pada Abiyasa.
"Entahlah, Wati. Aku hanya sedikit mengetahui pe-rihal Setan Tengkorak Merah.
Tapi, aku yakin Kakang
Abiyasa tahu banyak tentang tokoh yang terkenal sakti dan amat kejam itu, jelas
lelaki berkulit kehitaman ini, sekadarnya.
"Tahu banyak sih, tidak, Anta," jawab Abiyasa, merendah.
"Yang jelas berita tentang Setan Tengkorak Merah yang kudengar. Dan, menurut
berita yang sampai ke
telingaku, Setan Tengkorak Merah adalah seorang da-
tuk sesat yang memiliki kepandaian menakjubkan,
dan kekejaman yang tak masuk akal. Selentingan ka-
bar mengatakan kalau dia berasal dari pulau di sebe-
rang lautan. Tokoh itu berasal dari Aceh. Dia melarikan diri dari wilayah
Kerajaan Aceh karena diburu oleh orang-orang kerajaan. Dia dijuluki Setan
Tengkorak Merah setelah menginjakkan kakinya ke tanah Jawa
Barat ini dan menyebarkan kekacauan! Entah siapa
nama aslinya, kurasa tak ada seorang pun yang tahu.
Bukan tak mungkin, iblis itu sendiri pun lupa, karena dia berada di tanah Jawa
Barat ini sudah hampir dua
puluh tahun."
"Apakah di tanah kelahirannya dia juga termasuk tokoh hitam, Kang"!" tanya
Jembawati lagi, penuh rasa ingin tahu.
"Menurut berita yang kudengar sih, tidak," jawab Abiyasa, ragu-ragu. "Dia diburu
karena dulu sewaktu Kerajaan Aceh masih di bawah kekuasaan Kerajaan
Pedir, Setan Tengkorak Merah adalah seorang algojo,
yang mengirim banyak orang dari Kerajaan Aceh ke
akhirat." Jembawati dan Antasena mengangguk-anggukkan
kepala seperti layaknya orang yang mengerti.
"Berarti..." Antasena membuka suara, lambat-lambat. "Sudah lebih dari dua puluh
tahun Setan Tengkorak Darah tinggal di tanah Jawa Barat ini,
Kang"! Nama besarnya saja sudah terdengar dan men-
gakui dirinya sebagai salah seorang dari pentolan
kaum sesat sekitar dua puluh tahun."
"Ya, kira-kira demikianlah," ujar Abiyasa membenarkan, "Waktu pastinya aku tak
yakin, tapi yang jelas sekitar dua puluh tahunan," tambahnya.
Suasana kembali hening ketika Abiyasa tak berbi-
cara lagi. Keheningan yang tak menyenangkan, karena
ketiga orang itu tak berani melanjutkan langkahnya
lagi dan hanya terpaku menatap tongkat bergagang
tengkorak kepala manusia berwarna merah!
"Kudengar...," ujar Antasena tiba-tiba memecah keheningan. "Setan Tengkorak
Merah lenyap dari dunia persilatan beberapa bulan yang lalu."
"Benar, Anta," Abiyasa menganggukkan kepala.
"Menurut selentingan kabar, datuk sesat itu dikalahkan oleh seorang tokoh sakti!
Setelah itu, beritanya sudah tak terdengar lagi. Lenyap begitu saja bagai
ditelan bumi."
"Ah...!" desis Antasena dan Jembawati, kaget.
Kedua orang itu saling berpandangan. Wajah me-
reka menampakkan perasaan terkejut. Sungguh tak
pernah disangka, terutama sekali oleh Antasena, kalau Setan Tengkorak Merah
dapat juga dikalahkan orang!
"Oleh karena itu," lanjut Abiyasa tanpa mempedulikan keterkejutan yang masih
membelit hati Jemba-
wati dan Antasena. "Aku masih tak yakin kalau benda itu ditancapkan oleh Setan
Tengkorak Merah! Bukankah dia sudah cukup lama lenyap"!"
*** "Ha ha ha...!"
Tawa keras yang menggelegar tiba-tiba, membuat
Abiyasa menghentikan ucapannya. Semula, lelaki itu
masih hendak melanjutkan bicaranya dan mencari ka-
ta-kata yang tepat untuk menyambung pendapatnya.
Abiyasa terkejut bukan main. Bahkan bukan
hanya dia saja. Antasena dan Jembawati pun demi-
kian. Tidak hanya rasa kaget, tapi juga perasaan tegang menyelimuti hati mereka
semua. "Benarkah Setan Tengkorak Merah yang datang"!
Setan Tengkorak Merahkah yang tertawa"!" tanya mereka dalam hati.
Dengan jantung berdetak kencang, mereka me-
nunggu keluarnya pemilik tawa itu. Tapi, sampai beberapa lama menunggu, orang
yang mereka harapkan
tak juga keluar. Bahkan tanda-tanda kemunculannya
pun tak terlihat sama sekali.
Perasaan tak sabar untuk segera mengetahui pemi-
lik tawa itu membuat Abiyasa, Antasena, dan Jemba-
wati, mencoba untuk mengira-ngira tempat beradanya
orang yang mereka maksudkan. Setidak-tidaknya, asal
tawa itu. Tapi, betapapun ketiga orang itu sudah mengerahkan seluruh
kemampuannya, tetap saja tak
mampu mengetahui asal suara itu. Tawa itu seperti berasal dari delapan penjuru.
"Aku tak bisa memperkirakan asal tawa ini, Kang,"
ujar Antasena dengan suara putus asa.
"Aku pun tak bisa, Anta," sahut Antasena dengan bola mata berputaran ke sana
kemari untuk mencari
tahu keberadaan si pemilik tawa. "Tapi, aku yakin kalau pemilik tawa itu adalah
Setan Tengkorak Merah!"
"Mengapa kau menduga demikian, Kang"!"
Kali ini Jembawati yang mengajukan pertanyaan
tanpa menyembunyikan perasaan takutnya.
"Menurut kabar yang kudengar, Setan Tengkorak
Merah memiliki Tenaga Dalam Delapan Sudut. Dan
aku yakin, Iblis itu menggunakan tenaga istimewanya
ketika tertawa sehingga membuat asal tawanya seperti berasal dari delapan
penjuru. Jadi, kupikir..., tak ada gunanya lagi kita bertindak seperti ini.
Lebih baik kita menunggu dan bersikap waspada. Aku yakin, iblis ini
akan datang menemui kita, bila dia memang merasa
mempunyai keperluan dengan kita bertiga."
Antasena dan Jembawati tidak memberikan tang-
gapan sama sekali. Tapi, dari wajah mereka tampak
bahwa mereka membenarkan ucapan Antasena.
Setelah Antasena menghentikan ucapannya, secara
tiba-tiba saja suara tawa itu lenyap. Sesaat kemudian, berkelebat sesosok
bayangan dari kerimbunan ilalang.
Gerakannya secepat kilat sehingga tak terlihat jelas bentuknya. Yang tampak
hanya sekelebatan bayangan
hitam. Dan terlihat jelas ketika sudah menghentikan
gerakannya dan berdiri di atas tongkat yang tertancap di tanah dengan
mempergunakan kepala. Sementara
kedua kaki sosok hitam itu menjulang ke angkasa.
Abiyasa, Antasena, dan Jembawati terperanjat me-
lihat tingkah sosok hitam yang aneh itu. "Mendarat sa-ja kok, mesti menggunakan
kepala. Apakah berlari pun mempergunakan kepala"! Berjalan pun demikian"!"
tanya ketiga orang itu dalam hati
Keterkejutan akhirnya melanda mereka, karena
mengetahui sosok hitam itu memiliki kepandaian ting-
gi. Karena, hanya tokoh berkepandaian tinggi sajalah yang dapat mendarat di
ujung tongkat tanpa tubuh
atau pun tongkat bergeming sedikit pun juga.
Di samping terkejut, kelegaan hati pun melanda
ketiga orang itu, terutama Abiyasa. Semula mereka
mengira sosok yang akan muncul adalah sosok ringkih
seorang kakek. Ternyata dugaan mereka itu, keliru!
Di atas tongkat, menempel seorang pemuda bertu-
buh kecil pada bagian atas tengkorak kepala manusia
itu. Wajahnya cukup tampan, tapi karena kurusnya
dan juga kulitnya yang pucat seperti orang penyakitan, sehingga kelihatan
menyolok dan menyeramkan!
"Apakah kalian murid-murid dari Empu Jangkar
Bumi"!" tanya pemuda berwajah pucat itu bernada mengancam.
Sambil bertanya demikian, pemuda berpakaian hi-
tam itu mengedarkan pandangan. Ditatapnya Abiyasa,
Antasena, dan Jembawati satu persatu dengan sinar
mata penuh selidik tapi terkesan memandang rendah!
Tetapi ketiga orang itu tidak memberikan jawaban.
Jembawati dan Antasena menyerahkan seluruh uru-
san pada Abiyasa. Di lain pihak, lelaki berpakaian coklat itu masih balas
memperhatikan orang yang menga-
jukan pertanyaan padanya.
Pemuda kecil itu ternyata bukan termasuk orang
yang memiliki kesabaran besar. Sepasang matanya
memancarkan maut saat menatap tiga orang di hada-
pannya yang belum juga memberikan jawaban atas
pertanyaannya. "Anjing-anjing Tuli...! Apakah kalian murid-murid anjing buduk yang bernama
Keparat Empu Jangkar
Bumi"!" tanya pemuda berpakaian hitam lagi. Suaranya kali ini lebih keras dan
kasar. "Tutup mulutmu, Manusia Penyakitan!" bentak Abiyasa karena tak kuasa menahan
amarahnya dihina
seperti itu. "Dengar baik-baik, kami bukan anjing-anjing dan juga tidak tuli!
Matamulah yang harus diperiksa karena salah melihat! Pasang telingamu, agar tak
salah mendengar! Benar, kami adalah murid-murid da-ri Empu Jangkar Bumi! Lalu,
kau mau apa"!"
"Ha ha ha...! Kebetulan sekali! Memang sudah lama aku ingin bertemu dengan empu
keparat itu atau dengan muridnya. Tak kusangka bisa bertemu di sini. Jadi aku
tak perlu repot-repot untuk mendatangi tempat
kalian yang buruk!" ejek pemuda berpakaian hitam dengan suara lantang dan keras.
Abiyasa menggertakkan giginya menahan geram.
Ejekan yang diberikan pemuda jangkung terlalu me-
nyakitkan. Meskipun sudah dapat menduga kalau pe-
muda berpakaian hitam itu memiliki kepandaian luar
biasa, Abiyasa tak menjadi gentar. Kemarahannya ru-
panya menghilangkan pertimbangannya. Apalagi sete-
lah diyakini kalau pemuda yang berada di depannya
bukan Setan Tengkorak Merah! Tokoh sakti pelarian
dari Aceh itu diyakini Abiyasa sudah berusia lanjut!
Dan, pemuda di depannya paling banyak baru berusia
dua puluh delapan tahun!
Kemarahan besar yang melandanya dan keyakinan
kalau sosok di depannya itu bukan Setan Tengkorak
Merah, mendorong keberanian Abiyasa. Bahkan seka-
rang lelaki berpakaian coklat itu mengayunkan kaki
mendekati calon lawannya.
"Mulutmu terlalu lancang, Manusia Penyakitan!"
bentak Abiyasa dengan suara bergetar karena kemara-
han yang menggelora. "Kami tak mengenalmu, dan
kami yakin, guru kami, Empu Jangkar Bumi pun tak
mengenalmu! Mengapa kau bersikap demikian kurang
ajar dan lancang"! Kami, selaku murid-murid beliau
tak bisa membiarkan hal ini! Kalau tak segera menca-
but ucapan-ucapanmu, terpaksa kami akan membuat
Dewa Arak 95 Empu Jangkar Bumi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
perhitungan denganmu!"
Pemuda berpakaian hitam tertawa dengan nada
menghina sekali. Ia tidak melakukan tindakan apa
pun, tapi tongkat di mana kepalanya bertumpu, sedikit demi sedikit amblas ke
dalam tanah! Tubuh si pemuda
itu sendiri tak bergeming sama sekali. Malah, ketika yang tampak di permukaan
tanah hanya tinggal tengkorak kepala manusia, tubuh pemuda pucat itu tetap
tak bergoyang sama sekali!
Abiyasa dapat melihat itu secara jelas. Walaupun
begitu dia tak merasa gentar atau memperlihatkan ke-
kaguman. Tapi tidak demikian halnya dengan Antase-
na dan Jembawati. Kedua orang ini jelas-jelas memperlihatkan keterkejutan dan
kekaguman yang bercampur
dengan kengerian!
Pemuda berpakaian hitam itu tak terlalu mempe-
dulikan tanggapan Abiyasa. Dengan kepala tetap di
bawah, ditatapnya Abiyasa yang sekarang sudah
menghentikan langkahnya ketika berjarak dua tombak
darinya. "Kau hendak membuat perhitungan denganku"!
Mengapa hanya sendiri majunya"! Ajak kawan-
kawanmu biar urusan ini cepat selesai!" tantang pemuda bertubuh jangkung itu
penuh kesombongan.
"Kalau hanya menghadapi kecoak-kecoak seperti kalian, aku, Tengku Daud, dengan
tanpa bergerak dari
tempat pun. Akan dapat mengusir kalian semua sekali
pun kalian maju berbarengan!" lanjutnya lagi.
"Sombong...!" seru Abiyasa keras, seraya melompat menerjang Tengku Daud. Lelaki
berpakaian coklat itu
tak bisa menahan kemarahannya lagi melihat sikap si
pemuda yang kelewatan menghinanya.
Diawali suara keras melengking nyaring, Abiyasa
menyerang Tengku Daud. Lelaki itu membuka seran-
gannya dengan sebuah cengkeraman tangan bertubi-
tubi ke arah leher. Dan memang seharusnya leher
yang menjadi sasaran cengkeraman Abiyasa. Tapi, ka-
rena Tengku Daud berdiri dengan kepala di bawah, se-
rangan itu jadi meluncur ke arah bawah pusar. Sasa-
ran serangan ini tak kalah besar akibatnya dibanding dengan serangan terhadap
leher. Menurut perhitungan
bila mengenai sasaran, nyawa Tengku Daud pasti akan
melayang karenanya.
Tapi, sebelum serangan Abiyasa mengenai sasa-
ran, ia merasakan adanya sebuah kekuatan tak tam-
pak yang menghimpit tubuhnya dari berbagai penjuru.
Himpitan itu kuat sekali tekanannya sehingga mem-
buat dada Abiyasa terasa sangat sesak.
Semakin dekat tubuh Abiyasa ke arah tubuh pe-
muda itu, kekuatan tak tampak yang menekannya se-
makin membesar pula. Betapapun sudah dikerahkan
seluruh kemampuannya untuk membebaskan diri dan
tekanan itu, tetap saja tak mampu.
Abiyasa segera sadar kalau kekuatan tak tampak
yang menekannya dari berbagai arah adalah hasil per-
buatan lawannya. Seketika itu pula ia teringat akan
'Tenaga Dalam Delapan Sudut'! Ya, seperti inilah akibat serangan 'Tenaga Dalam
Delapan Sudut'! Dengan
demikian, Tengku Daud pasti mempunyai hubungan
dengan Setan Tengkorak Merah! Pikir lelaki itu tersadar. "Mengapa aku demikian
pelupa"!" maki Abiyasa dalam hati, ketika teringat akan nama pemuda di hada-
pannya. Bukankah nama atau gelar Tengku hanya di-
miliki oleh orang Aceh"! Setan Tengkorak Merah ada-
lah orang Aceh! Jadi, kemungkinan besar pemuda
sombong ini mempunyai hubungan dengan datuk yang
merupakan orang pelarian itu! Tak aneh kalau Tengku
Daud juga memiliki tenaga dalam khas milik Satan
Tengkorak Merah!"
Kenyataan yang terjadi pada dirinya dan nama
Tengku Daud, membuat Abiyasa yakin kalau telah
berhadapan sendiri dengan tenaga dalam unik yang
membuat Setan Tengkorak Merah amat ditakuti,
'Tenaga Dalam Delapan Sudut'!
Selama ini, Abiyasa hanya mendengar cerita ten-
tang kehebatan 'Tenaga Dalam Delapan Sudut', dan
belum pernah membuktikannya. Sama sekali tak dis-
angka kalau akan sedahsyat ini! Belum apa-apa, dia
sudah dibuat tak berdaya. Tubuhnya bagaikan digen-
cet kekuatan raksasa. Padahal, Tengku Daud sama se-
kali tak menyerang. Bahkan tak terlihat adanya tanda-tanda kalau ia melakukan
perlawanan. Pemuda itu te-
tap diam di tempatnya seakan pasrah pada serangan
yang akan dilancarkan lawan.
Tapi Abiyasa tahu, kalau Tengku Daud tak berdiam
diri saja. Meskipun tampaknya tak melakukan apa
pun, lelaki berpakaian coklat itu yakin kalau Tengku Daud memberikan sambutan
atas serangannya. Setidak-tidaknya, pemuda berpakaian hitam itu bersiap
untuk menerima serangan dengan menggunakan tena-
ga dalamnya. Dan, pengerahan tenaga dalam itulah
yang membuat Abiyasa mengalami tekanan berat.
Akibat tekanan yang melanda dari berbagai arah,
serangan Abiyasa akhirnya kandas sebelum mencapai
sasaran. Tekanan dari berbagai arah itu tak hanya
membuat dadanya sesak. Tapi juga membuat tenaga
dalamnya lenyap begitu saja. Seluruh urat-uratnya terasa lemas dan sakit-sakit.
Lelaki berpakaian coklat itu sadar, kalau hal ini terus berlangsung nyawanya
pasti akan pergi mening-
galkan raganya. Dan, Abiyasa tak menginginkan hal
itu. Ia masih belum ingin mati.
Di saat yang gawat dan saat lelaki itu tengah me-
mutar otak mencari jalan untuk menyelamatkan nya-
wanya, terdengar tepukan tangan secara tiba-tiba. Tak nyaring, tapi menggema ke
sekitar tempat itu.
"Luar biasa...! Betapa gagahnya...! Seseorang yang memiliki kemampuan,
menggunakan kelebihan itu untuk mempermainkan nyawa orang! Nyawa yang hanya
satu-satunya dan tak mampu dibuat oleh siapa pun!
Betapa kejinya...!"
Perkataan yang dikeluarkan dengan tenang dan tak
lantang itu juga menimbulkan gema ke seluruh penju-
ru. Bahkan ucapan yang terlontar seiring dengan le-
nyapnya bunyi tepukan tangan itu, mampu membuat
dada Antasena dan Jembawati tergetar hebat.
Akibat yang ditimbulkan memang luar biasa. Teng-
ku Daud merasakan pengerahan tenaga dalamnya
membuyar ketika tepukan itu usai. Dan, ketika perka-
taan yang melanjutkan tepukan tadi lenyap, tengkorak yang menjadi tempat
bertumpu kepalanya, hancur berantakan!
Untungnya, Tengku Daud sudah lebih dulu bertin-
dak cepat. Sebelum ledakan tengkorak kepala itu terjadi, dan saat pengerahan
tenaga dalamnya mem-
buyar, ia melenting ke atas dan melompat menjauh.
Pemuda sombong itu pun selamat dari maut.
Pada saat yang bersamaan, Abiyasa pun melompat
mundur ketika kekuatan tak tampak yang menekan-
nya lenyap. Lelaki itu kembali pada dua rekannya dan bersikap waspada untuk
menjaga segala kemungkinan
yang akan terjadi.
"Apa yang telah terjadi, Kang"!" tanya Jembawati tak sabar, ingin segera tahu.
"Aku juga belum tahu, Wati," jawab Abiyasa seraya menggelengkan kepala. "Tapi,
yang jelas orang yang baru datang ini bermaksud baik. Setidak-tidaknya
kemunculannya, dan tindakannya telah menyelamatkan
nyawaku...."
Ucapan Abiyasa terhenti di tengah jalan karena di-
lihatnya sesosok bayangan ungu berkelebat menda-
ratkan kaki di depannya, di tengah-tengah antara di-
rinya dengan Tengku Daud.
Abiyasa, Antasena, dan Jembawati tak bisa melihat
jelas sosok ungu itu. Karena ia berdiri membelakangi mereka. Yang dapat mereka
lihat hanya tubuh kekar-nya, dari pakaian ungu yang membungkus tubuhnya.
Serta rambut putih panjang berkibaran yang sebagian
di antaranya menutupi guci yang tersampir di pung-
gungnya. Berbeda dengan murid-murid Empu Jangkar Bumi,
Tengku Daud dapat melihat dengan jelas sosok yang
telah mencampuri urusannya itu. Sinar mata Tengku
Daud penuh dengan kemarahan, dan bahkan seperti
memancarkan api. Pemuda berkulit kehitaman itu be-
nar-benar murka, karena maksudnya yang sudah
hampir tercapai untuk membunuh Abiyasa, kandas.
Sementara itu sosok bayangan ungu yang menjadi
penyelamat Abiyasa, sama sekali tak terpengaruh den-
gan sikap Tengku Daud. Sosok yang ternyata adalah
seorang pemuda tampan berwajah jantan itu, tetap
bersikap tenang. Sikap si pemuda berpakaian ungu,
semakin membuat amarah Tengku Daud berkobar.
"Siapa kau, Keparat"! Sungguh berani kau men-
campuri urusanku! Tak tahukah kau siapa aku"!" bentak Tengku Daud setengah
mengancam, Dalam hatinya Tengku Daud merasa heran ketika
melihat orang yang mencampuri urusannya. Melihat
dari bentuk tubuhnya yang kekar dan wajahnya yang
tampan dengan kulit yang masih kencang, sosok itu
adalah seorang pemuda. Tapi, bila melihat rambutnya, sosok itu lebih pantas
orang yang sudah berusia amat lanjut, karena seluruh rambutnya sudah berwarna
putih keperakan!
"Namaku Arya Buana. Aku sengaja mencampuri
urusanmu karena kulihat kau hendak bertindak sewe-
nang-wenang. Asal kau tahu saja, pantang bagiku
membiarkan terjadinya penindasan di depanku! Dan,
untuk menegakkan kebenaran, aku tak peduli siapa
adanya orang yang harus ku tentang! Sekarang kata-
kanlah, siapa kau agar aku bisa mengenalmu!" jawab pemuda berpakaian ungu yang
tidak lain Dewa Arak.
*** 2 Tengku Daud malah mengangguk-anggukkan ke-
pala, kemudian meludah di tanah dengan sikap me-
mandang rendah.
"Sekarang aku mengerti, mengapa kau mempunyai
sikap demikian sombong! Bukankah kau orang yang
berjuluk Dewa Arak"! Pendekar muda yang memiliki
julukan menggetarkan dunia persilatan"!" tanya si pemuda kecil kurus bernada
mengejek. "Dugaanmu sama sekali tak salah, Sobat, aku me-
mang orang yang kau maksudkan. Kuharap kau ber-
sedia mengenalkan diri. Aku yakin, orang dengan tingkat kepandaian sepertimu
pasti terkenal di dunia persilatan. Setidak-tidaknya, orang yang mengajarimu
sampai mencapai tingkat kepandaian seperti ini, mem-
punyai julukan yang menggemparkan dunia persila-
tan," sahut Arya kalem.
Tengku Daud malah tertawa tergelak-gelak. Mem-
buat semua yang berada di tempat itu, kecuali Dewa
Arak, jadi terkejut bercampur heran. Mengapa Tengku
Daud malah tertawa-tawa"! Gilakah dia"! Abiyasa dan
rekan-rekannya menatap Tengku Daud dengan dahi
berkernyit. "Aku gembira mendengar jawabanmu Dewa Arak,
oleh karena itu aku tertawa. Perlu kau ketahui, sudah lama aku mendengar nama
besarmu. Sudah lama pula
aku ingin bertemu denganmu! Aku ingin tahu, apakah
kebesaran julukanmu sebanding dengan tingkat ke-
pandaian yang kau miliki! Aku memang belum terkenal
sepertimu karena aku baru saja selesai berguru. Tapi mungkin kau pernah
mendengar nama ayahku. Dia dijuluki orang Setan Tengkorak Merah! Sedangkan aku,
Tengku Daud!" jelas pemuda kecil kurus itu panjang lebar.
Dewa Arak memang sudah mendengar julukan Iblis
Penghisap Darah. Dan, di dalam hatinya, pemudi itu
kaget bukan main. Ia juga tahu kalau Setan Tengkorak Merah adalah pentolan kaum
sesat yang terkenal memiliki kepandaian amat tinggi. Kendati demikian, Arya
mampu menyembunyikan keterkejutannya sehingga
tak tampak di wajahnya.
"Jadi kau putra dari datuk sesat yang terkenal
itu"!" Ujar Arya dengan suara hambar. "Rupanya kau mengikuti jejak orangtua mu!
Kau calon setan pula
Daud! Dan, sudah merupakan tekadku untuk mele-
nyapkan orang-orang semacammu!"
"Kalau begitu, kau yang akan kusingkirkan, Dewa Arak!" sentak Tengku Daud,
keras. "Hiyaaat...!"
Tengku Daud berseru keras, menutup ucapannya.
Pada saat yang bersamaan, ia menerjang Dewa Arak.
Kedua tangannya yang terkembang membentuk cakar,
meluncur berbareng ke arah dada lawannya.
Cit, cit! "Heh..."!"
Dewa Arak tersentak kaget ketika merasakan ada
kekuatan tak tampak yang menekan tubuhnya dari
berbagai penjuru. Begitu kuat tekanan itu menghimpit dadanya. Dan, seiring
dengan semakin mendekatnya
serangan, kekuatan tak tampak yang menekan itu se-
makin kuat, dan bahkan menyesakkan dada Arya.
Keadaan yang tadi menimpa Abiyasa, kini berulang
pada Dewa Arak. Hanya saja, pemuda berambut putih
keperakan ini mampu memberikan perlawanan yang
berarti. Sekali Dewa Arak mengerahkan tenaga dalam-
nya, kekuatan yang menekannya pun berkurang jauh.
Dan secepat kilat Arya menolak serangan yang melun-
cur ke arah dadanya,
Prattt! "Aah.,!"
Jeritan kesakitan tertahan itu keluar dari mulut
Tengku Daud, ketika benturan dua pasang tangan ter-
jadi. Tubuh putra Setan Tengkorak Merah itu ter-
huyung ke belakang dua langkah dengan tangan tera-
sa sakit. Di lain pihak, Arya hanya terhuyung selangkah. Rasa sakit pada
tangannya yang berbenturan ta-
di, membuat Tengku Daud tak mampu menahan pekik
tertahannya. Tengku Daud menggeram keras karena lawannya
berhasil mematahkan kekuatan yang membuat tubuh-
nya terhuyung. Ia sama sekali tak pernah mimpi akan
Dewa Arak 95 Empu Jangkar Bumi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengalami kejadian seperti itu, terhuyung-huyung da-
lam benturan tenaga melawan seorang pemuda. Kare-
na dirinya adalah putra tunggal Setan Tengkorak Me-
rah, jadi pantang baginya disaingi orang. Apalagi dia bertekad untuk menjadi
datuk kaum sesat nomor satu!
*** Bunyi lengkingan nyaring dan tinggi, membuat
Tengku Daud yang telah bersiap untuk melancarkan
serangan kembali, jadi mengurungkan maksudnya.
Lengkingan itu memang luar biasa, cukup membuat
pendengaran Abiyasa, Antasena, dan Jembawati sakit
seperti ditusuk-tusuk jarum. Mereka terpaksa menu-
tup kedua telinga untuk sekadar mencegah pengaruh
teriakan itu. Berbeda dengan murid-murid Empu Jangkar Bumi,
Dewa Arak dan Tengku Daud sama sekali tak terpen-
garuh dengan bunyi lengkingan itu. Dengan tenaga da-
lam mereka yang sudah mencapai tingkatan amat
tinggi, pengaruh lengkingan itu dapat ditangkal, se-
hingga tak mampu masuk dan mempengaruhi bagian
dalam telinga. Sebelum bunyi lengkingan itu usai, sesosok bayan-
gan tiba-tiba berkelebat dan menjejakkan kakinya di
sisi Dewa Arak dan Tengku Daud yang saling berhada-
pan. Keberadaan sosok bayangan yang baru muncul
itu membentuk empat mata angin, bila di depannya
berdiri sesosok lagi.
Sosok yang baru muncul dan menebarkan wangi
yang menyelimuti sekitar tempat itu, memiliki tubuh
ramping yang terbungkus pakaian hijau. Ternyata seo-
rang wanita. Wajahnya cantik dengan kulit yang putih halus, dan mulus. Bentuk
tubuhnya yang menggiur-kan semakin menambah daya tariknya. Apalagi ditam-
bah dengan rambutnya yang panjang hitam dan me-
nyebarkan wangi aneka bunga-bungaan.
Perhatian mereka semua yang ada di situ segera
beralih pada wanita yang usianya kira-kira baru dua
puluh tahun itu. Semuanya sama-sama mengernyitkan
dahi karena tak mengenai wanita berambut wangi itu.
Hanya Tengku Daud yang menampakkan sikap seperti
orang yang mempunyai dugaan.
"Hey, Denok! Rupanya kau mempunyai hubungan
yang erat dengan Dewi Berambut Wangi"! Kau ini mu-
ridnya atau putrinya, Denok"!" tanya pemuda dari aneh itu tanpa mengurangi
perasaan sombong yang
terpancar jelas.
Hi hi hik...! Wanita berpakaian hijau itu tertawa dengan sikap
dibuat-buat. Tampak seperti wanita jalang dan genit.
"Kau rupanya cerdik juga, Monyet Pucat! Memang, aku mempunyai hubungan dengan
Dewi Berambut Wangi yang kau katakan itu. Sayangnya kau terlalu
buruk untuk mendapatkan jawaban dariku. Kau tahu,
hanya pemuda-pemuda berwajah tampan yang akan
mendapatkan jawaban atas pertanyaan yang diaju-
kannya padaku!" seru wanita itu mengejek.
Tengku Daud menggeram keras seperti seekor ha-
rimau yang sedang marah mendapatkan tanggapan
yang sama sekali tak disangkanya itu. Ia merasa ter-
singgung sekali dengan jawaban yang jelas-jelas menghinanya itu. Sementara Dewa
Arak dan Abiyasa terpe-
ranjat ketika mengetahui wanita pendatang baru itu
mempunyai hubungan dengan Dewi Berambut Wangi.
Baik Dewa Arak maupun Abiyasa memang belum
pernah berjumpa dengan Dewi Berambut Wangi. Ken-
dati demikian, julukan tokoh itu telah lama mereka
dengar. Seperti juga Setan Tengkorak Merah, Dewi Be-
rambut Wangi muncul di dunia persilatan sekitar dua
puluh tahun lalu. Tak berbeda dengan tokoh pelarian
dari Aceh itu, Dewi Berambut Wangi juga menyebar
kekacauan. Tak terhitung sudah tokoh-tokoh persila-
tan yang tewas di tangannya. Dan, menurut kabar
yang tersiar, Dewi Berambut Wangi belum pernah di-
kalahkan orang. Hanya saja sekitar dua tahun lalu,
kabarnya lenyap begitu saja. Dewi Berambut Wangi
seakan telah mati.
Hampir tak ada orang yang mengenal nama asli
Dewi Berambut Wangi. Orang-orang hanya mendengar
selentingan kabar kalau wanita sakti itu berasal dari pulau seberang lautan
pula, dari Bone, Sulawesi Sela-tan. Oleh karena itu, Dewa Arak dan Abiyasa
terkejut ketika mengetahui wanita yang baru datang itu mempunyai hubungan dengan
Dewi Berambut Wangi. Arya
tahu, kalau wanita itu bisa bergabung dengan Tengku
Daud, akan merupakan lawan yang teramat tangguh
dan berat baginya. Putra Setan Tengkorak Merah itu
saja sudah memiliki tingkat kepandaian yang hanya
berselisih sedikit dari padanya. Arya bisa memperkirakan kalau tingkat
kepandaian wanita berpakaian hijau itu juga tak kalah dibanding Tengku Daud.
Sedikit-sedikitnya setingkat dengan putra Setan Tengkorak
Merah. "Kau melakukan sebuah kesalahan yang teramat
besar, Wanita Liar!" maki Tengku Daud sambil menggeram marah. "Kau kira karena
kau mempunyai hu-
bungan dengan Dewi Berambut Wangi lalu boleh ber-
tindak dan berbicara seenaknya"! Kau tahu, bagi
Tengku Daud, tak ada yang perlu ditakuti atau disega-ni! Bahkan kalau saat ini
Dewi Berambut Wangi ada di depanku, aku mewakili ayahku, Setan Tengkorak Merah,
untuk membunuhnya. Agar dia tahu kalau Setan
Tengkorak Merahlah yang merupakan datuk kaum se-
sat yang sebenarnya!"
"Hi hi hik...!"
Wanita berpakaian hijau tertawa mengikik.
"Kau mengigau, Daud! Jangankan menghadapi
Dewi Berambut Wangi, menghadapi aku saja kau atau
ayahmu, atau sekaligus bersama-sama mengeroyok
tak akan mampu menang. Sayangnya, aku sedang tak
minat bertarung. Aku mempunyai urusan lain yang le-
bih penting ketimbang menghadapi cecoro sepertimu!"
"Tak perlu kau jelaskan pun aku sudah bisa mem-
perkirakannya dan pasti benar, Wanita Sundal! Kau
hendak berurusan dengan keturunan Empu Jangkar
Bumi, bukan"!" sergah Tengku Daud dengan nada
mengejek. Senyum memikat yang sejak tadi menghias bibir
Wanita berpakaian hijau itu kini buyar. Sepasang ma-
tanya yang indah, seperti mengeluarkan api ketika
menatap putra Setan Tengkorak Merah itu.
Dewa Arak yang sejak tadi memperhatikan kedua
tokoh golongan hitam itu, jadi kaget ketika melihat
tanggapan yang diberikan Wanita Berambut Wangi.
Rahasia apakah yang terkandung dalam diri Empu
Jangkar Bumi, sehingga si wanita demikian marah ke-
tika Tengku Daud mengutarakan dugaannya. Aku ya-
kin ada hal-hal besar yang tersembunyi di sini"! Pikir Arya, penuh perasaan
tertarik. "Mengapa masih berada di sini, Kang"!" tanya Arya pada Abiyasa dengan
menggunakan ilmu mengirim suara dari jauh. "Mumpung orang-orang yang mengincar
kau dan kawan-kawanmu itu tengah bersitegang, kurasa lebih baik kau segera pergi
dari sini. Aku tak yakin akan mampu mencegah maksud mereka jika me-
reka bergabung melawanku. Cepat, mumpung ada
waktu...."
Abiyasa yang mendapat pemberitahuan itu, tersen-
tak. Tanpa berpikir lebih lama, ia segera dapat mendu-ga kalau pengirim suara ke
telinganya itu adalah Dewa Arak. Sekilas, dikerlingnya Antasena, Jembawati, dan
Tengku Daud serta wanita berambut harum itu. Ia
khawatir kalau-kalau orang-orang itu, terutama sekali Tengku Daud dan
saingannya, mendengarnya. Tapi,
ternyata ia tak melihat adanya hal-hal yang dikhawa-
tirkannya itu. Ia pun segera tahu kalau pemberitahuan itu dikirim hanya untuk
dirinya. "Benar-benar tak berlebihan berita yang mengatakan kalau Dewa Arak merupakan
tokoh yang luar bi-
asa," puji Abiyasa dalam hati, penuh rasa kagum.
Murid Empu Jangkar Bumi ini mengerling sebentar
ke arah Arya karena ingin memberi isyarat sebagai
ucapan terima kasih. Tapi, maksud baiknya itu tak
terkabul. Dewa Arak kelihatan tengah sibuk memper-
hatikan Tengku Daud dan saingannya.
"Jangan membuat hal-hal yang dapat menimbul-
kan kecurigaan, Kang. Segeralah tinggalkan tempat ini mumpung ada kesempatan."
Suara yang sama mengiang kembali di telinga Ab-
iyasa. Lelaki ini pun tahu kalau maksudnya tak akan
terkabul. Keinginannya untuk menunggu Arya meno-
leh dan mengucapkan terima kasih dengan isyarat di-
urungkannya. Pemuda berambut putih keperakan itu
yang justru melarangnya.
Abiyasa mengerti maksud larangan yang diberikan.
Maka, ia tak merasa tersinggung. Justru kekaguman
yang mendera hatinya semakin besar. Bukti nyata ten-
tang kebenaran hati Dewa Arak yang tak mempeduli-
kan terima kasih orang, telah dialaminya sendiri. Ma-ka, tanpa membuang-buang
waktu lagi, dengan gerak
isyarat, diajaknya Antasena dan Jembawati mening-
galkan tempat itu.
Keberuntungan tengah berpihak pada Abiyasa, An-
tasena dan Jembawati, tanpa banyak tanya atau apa
pun, segera mengikuti kemauannya. Dengan pelahan-
lahan dan mengendap-endap murid-murid Empu
Jangkar Bumi itu semakin menjauh.
"Hey...!"
Seruan keras bernada kaget itu keluar berbarengan
dari mulut Tengku Daud dan wanita berpakaian hijau.
Kedua tokoh muda sesat itu kaget bukan main ketika
melihat orang-orang yang mereka ributkan dan dijadi-
kan urusan, malah melarikan diri meninggalkan tem-
pat itu. Seketika itu juga, pertentangan yang terjadi di antara mereka terhenti.
Bagaikan berlomba keduanya
melesat mengejar.
Arya sudah memperhitungkan kejadian seperti itu.
Maka, dia dapat bertindak cepat. Cemas jika bertindak lambat akan membuat
keadaan menjadi runyam, Dewa
Arak segera melesat, menghalangi tujuan Tengku
Daud. Jika putra Setan Tengkorak Merah itu mene-
ruskan maksudnya, maka ia akan menumbuk tubuh
Arya. Pada saat yang hampir bersamaan, sekejap sebe-
lumnya, Dewa Arak menghentakkan kedua tangannya
bergantian ke arah wanita berpakaian hijau. Angin
berhawa panas menyengat ke arah sasaran yang dituju
pemuda berambut putih keperakan itu.
Perhitungan Dewa Arak tak meleset. Tengku Daud
tak berani meneruskan langkahnya ketika dihadang.
Pemuda kecil kurus itu bersalto ke belakang, menjauh.
Putra Setan Tengkorak Merah itu tak berani mengadu
tenaga dalam karena tahu kalau pemuda di hadapan-
nya memiliki tenaga dalam yang amat kuat.
Tapi, Dewa Arak tak sepenuhnya berhasil. Seran-
gan yang diberikannya terhadap wanita berpakaian hi-
jau ternyata. kandas. Dua kali pukulan jarak jauh
yang dilepaskannya kandas ketika wanita itu menge-
butkan rambutnya yang panjang. Angin-angin pukulan
berhawa panas itu lenyap begitu saja bagai ditelan oleh sesuatu yang tidak
tampak. Lalu secepat kilat wanita itu melesat mengejar
Adiyasa dan rombongannya yang telah berjarak bela-
san tombak darinya.
Dewa Arak segera melihat adanya bahaya terhadap
murid-murid Empu Jangkar Bumi itu. Ia pun tahu ka-
lau kecepatan lari wanita berpakaian hijau itu jauh di atas Abiyasa dan rekan-
rekannya. Dalam waktu singkat mereka pasti akan terkejar. Dan, Arya tak
menginginkan hal itu terjadi. Pemuda berambut pun kepera-
kan itu segera bersalto ke belakang dan diteruskannya
dengan lompatan untuk mengejar wanita itu
Ternyata bukan Arya saja yang punya keinginan
itu. Tengku Daud pun tak ingin Abiyasa, Antasena dan Jembawati diringkus oleh
saingannya. Tapi, jaraknya
dengan wanita berpakaian hijau terlalu jauh. Arya saja yang lebih dekat belum
tentu dapat mencegah tindakan wanita itu, apalagi dirinya. Karena itu, Tengku
Daud segera mengibaskan tangannya setelah terlebih
dulu memasukkannya ke balik pakaiannya.
Sing, sing, singng...!
Bunyi berdesing terdengar ketika beberapa buah
gelang putih mengkilat, meluncur dengan kecepatan
menakjubkan ke arah punggung dan belakang kepala
wanita berpakaian hijau.
Wanita berambut panjang itu menyadari akan
adanya bahaya mengancam. Ia yakin, kalau maksud-
nya dilanjutkan, sebelum tercapai, senjata-senjata
yang di lepaskan Tengku Daud akan lebih dulu men-
genainya. Dan, ia tak menginginkan hal itu terjadi.
Untuk kedua kalinya, wanita berambut panjang itu
melakukan tindakan yang menakjubkan. Sambil mem-
balikkan tubuh, rambutnya dikibaskan. Padahal, ge-
lang-gelang baja itu masih berjarak cukup jauh dari
sasaran. Tak terdengar bunyi hembusan angin. Tapi, luncu-
ran gelang-gelang Tengku Daud terhenti di tengah ja-
lan, bagaikan menabrak dinding yang tak tampak oleh
mata. Saat itu pula, gelang-gelang tersebut berjatuhan ke tanah. Serangan putra
Setan Tengkorak Merah
kembali dapat digagalkan oleh lawannya.
Hanya sekejap saja wanita berpakaian hijau itu
menghentikan ayunan kakinya untuk menangkis se-
rangan lawannya tadi. Tapi, kesempatan yang sedikit
itu cukup bagi Dewa Arak. Dengan gerakan cepat pe-
muda berambut putih keperakan itu bersalto melewati
atas kepala wanita itu. Dan begitu menjejakkan ka-
kinya, dia sudah berdiri di hadapan saingan Tengku
Daud. "Kau boleh mengejar mereka bila sudah melangka-
hi mayatku dulu, Sobat!" seru Arya mantap.
Dewa Arak 95 Empu Jangkar Bumi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pemuda berambut putih keperakan itu tahu kalau
wanita berpakaian hijau memiliki kepandaian amat
tinggi. Oleh karena itu, ia bersikap waspada. Sekujur urat-urat saraf dan otot-
otot tubuhnya menegang, bersiap untuk menghadapi segala kemungkinan yang tak
diinginkan. "Hi hi hik...!"
Wanita berpakaian hijau itu tertawa mengikik den-
gan nada genit. Bibir dan sepasang matanya menyam-
bar ke arah Dewa Arak dengan penuh daya pikat.
"Gagah nian sikapmu, Tampan! Aku jadi ingin tahu apakah besarnya sesumbar mu dan
ketampanan wa-jahmu, sepadan dengan kepandaian yang kau miliki!
Siapa kau sebenarnya, Tampan"! Dan, apa hubun-
ganmu dengan keturunan Empu Jangkar Bumi se-
hingga kau demikian mati-matian membelanya"!"
"Tingkahmu saja yang kelewatan, Wanita Sundal!"
Tengku Daud yang memberikan jawaban dengan nada
memaki. "Si tampan usilan sialan itu saja tidak kau kenal"! Dia Dewa Arak! Orang
yang selalu merasa dirinya paling suci dan benar di dunia ini!" timpalnya la-gi.
Sepasang mata wanita berambut panjang itu me-
nyipit. Roman wajahnya tampak terkejut mendengar
pemberitahuan Tengku Daud yang sudah berdiri tak
jauh darinya. "Benarkah itu, Tampan"!" tanya wanita berpakaian hijau penuh selidik.
Tanpa ragu-ragu Arya menganggukkan kepala.
"Kau sendiri siapa, Wanita Sundal"! Aku dan si
dewa sialan itu sudah memperkenalkan diri. Hanya
kau sendiri yang belum. Ataukah.., kau tak berani
memperkenalkan dirimu"!" ejek Tengku Daud, me-
mancing amarah saingannya.
Wanita berpakaian hijau menatap Tengku Daud
dengan sinar mata seperti mengeluarkan api. Tampak
jelas di wajahnya kalau ia merasa tersinggung oleh hinaan putra dari Setan
Tengkorak Merah itu.
"Mulutmu terlalu lancang, Monyet Kerdil! Akan ku-buat kau menyesali sikapmu
ini!" dengus wanita itu keras. "Semula memang aku tak ingin memperkenalkan diri!
Tapi, bukan karena aku takut! Kau tak pan-
tas untuk mengenalku, tahu"! Karena kau terlalu
mendesak, aku tak punya pilihan lagi. Namaku Dewi
Lanjar! Kau dengar"! Dan, sebagai ganjaran atas ke-
lancanganmu, kau akan pergi ke neraka, Monyet Ker-
dil! Sekarang ini juga seharusnya!" teriaknya lantang.
"Mengapa tidak kau lakukan, Wanita Sundal"!"
tantang Tengku Daud, tenang.
"Karena membunuhmu semudah aku membuang
ludah ke tanah!" jawab Dewi Lanjar lantang. "Jika tidak sekarang pun, masih
banyak kesempatan untuk
mengirim nyawamu ke neraka! Lagi pula, saat ini aku
sedang tidak berselera untuk bertarung dengan orang
yang memiliki kepandaian serendah dirimu! Kau terla-
lu hina dan rendah! Berbeda dengan Dewa Arak! Kalau
kesempatan kali ini ku lewatkan, bukan tak mungkin
seumur hidupku tak akan mendapatkannya lagi! Dia
bisa berada di mana saja bagaikan angin! Oleh karena itu, sepatutnya kau
berterima kasih padanya! Keberadaan dirinya menyebabkan nyawamu yang tak berhar-
ga itu tetap bertahan di badan!"
Tengku Daud dapat merasakan kebenaran mutlak
yang terkandung dalam ucapan Dewi Lanjar. Tapi, ke-
marahan besar yang melandanya karena tersinggung
mendengar ucapan Dewi Lanjar yang tajam, membuat
pemuda berpakaian hitam itu mengenyampingkan akal
sehatnya. Tengku Daud yang sedang diamuk amarah, tak bi-
sa menahan diri lagi. Ia langsung melesat untuk me-
nerjang Dewi Lanjar. Tapi, tindakan itu terpaksa di-
urungkannya karena orang yang diserangnya, telah
terlebih dulu melesat menyerang Dewa Arak!
*** 3 Wukkk Angin berhembus keras ketika Dewi Lanjar meng-
goyangkan kepalanya. Rambutnya yang panjang, hi-
tam, dan harum, menegang kaku laksana tongkat, me-
layang ke arah kepala Dewa Arak! Bunyi yang ditim-
bulkan babatan rambut itu, tak ubahnya babatan se-
batang tongkat baja yang berat dan diayunkan dengan
tenaga kuat! Dewa Arak tak berani bertindak main-main. Wa-
laupun yang mengancam kepalanya hanya rambut; ka-
lau yang menggerakkannya adalah orang yang berte-
naga dalam kuat seperti Dewi Lanjar, serangan itu tak kalah bahayanya dengan
hantaman tongkat baja. Jangankan kepala manusia, batu karang yang paling ke-
ras pun bisa hancur berantakan!
Atas dasar pertimbangan itulah, pemuda berambut
putih keperakan itu tak berani bertindak gegabah.
Dengan bertumpu pada kedua kaki, dilemparkannya
tubuhnya ke belakang untuk mengelak serangan la-
wan. Dan, saat berada di udara, Arya bersalto bebera-pa kali, untuk berjaga-jaga
dari serangan susulan lawannya.
Tindakan yang diambil Dewa Arak ternyata berala-
san! Begitu serangan pertamanya kandas, Dewi Lanjar
melesat mengejar lawannya. Wanita berpakaian Hijau
itu menggulingkan tubuhnya di tanah beberapa kali.
Kemudian, dengan sebuah gerakan indah, dia melent-
ing ke atas. "Haiiitt...!"
Dibarengi jeritan keras yang mampu membuat te-
linga sakit seperti ditusuk puluhan jarum, Dewi Lanjar melancarkan sampokan
bertubi-tubi ke arah pelipis.
Sikap jari-jari kedua tangannya terkembang memben-
tuk cakar! Arya yang baru saja menjejakkan kakinya di tanah,
tak kekurangan akal untuk menyelamatkan nyawa.
Secepat kilat tubuhnya dirundukkan sehingga seran-
gan lawan menyambar tempat kosong beberapa jari di
atas kepalanya.
Kali ini Dewa Arak tak berdiam diri. Berbarengan
dengan lewatnya serangan Dewi Lanjar di atas kepa-
lanya, pemuda itu mengirimkan tendangan lurus ke
arah pusar lawannya. Serangan balasan yang cepat
dan tak terduga-duga datangnya itu membuat Dewi
Lanjar agak kelabakan, namun dapat mematahkannya
dengan melakukan lompatan harimau ke samping.
Wanita berpakaian hijau, itu mempergunakan kedua
tangannya untuk bertumpu pada tanah sebelum
menggulingkan tubuhnya menjauh.
"Kiranya berita besar tentang dirimu tak terlalu berlebihan, Dewa Arak!" ucap
Dewi Lanjar setelah ber-
diri tegak di tanah.
Sepasang matanya menatap Arya dengan kekagu-
man yang semakin besar. Kepalanya pun mengangguk-
angguk seperti orang yang baru mengerti.
"Kepandaian yang kau miliki cukup hebat! Meski-
pun demikian, kau jangan besar kepala dulu! Tak akan pernah ada orang yang bisa
menandingi ku, tak terke-cuali kau, Dewa Arak! Jelas! Akulah yang akan menja-
di orang tersakti di dunia persilatan! Hi hi hik..,!"
Dewa Arak hanya menyunggingkan senyum pahit
di bibirnya mendengar sesumbar Dewi Lanjar. Pemuda
berambut putih keperakan itu tampaknya tak terpen-
garuh dengan kesombongan sikap wanita itu. Yang ke-
labakan justru Tengku Daud! Terdengar bunyi bergere-
takan nyaring pada tubuhnya, seakan-akan ada tu-
lang-tulang tubuhnya yang berpatahan! Padahal, pe-
muda berpakaian hitam itu tak melakukan tindakan
apa pun. Tenaga dalamnya yang berkeliaran sendiri
karena Tengku Daud tengah murka.
Tapi, sebelum terjadi tindakan selanjutnya, atau
tercetusnya ucapan dari salah satu tiga tokoh sakti
dunia persilatan itu, tiba-tiba terdengar pekikan nyaring seseorang yang sedang
berada di ambang maut.
Pekikan yang cukup panjang itu bagaikan orang yang
sedang sekarat.
Sesaat ketiga orang itu masih terpaku di tempat-
nya. Tapi Dewa Arak cepat segera memberikan tangga-
pan. Pemuda berambut putih keperakan itu langsung
melesat ke arah asal jeritan yang didengarnya. Tak di-pedulikan lagi dua tokoh
sesat yang bakal menjadi lawan tangguhnya. Dugaan tengah terjadinya tindak ke-
jahatan dan kekejian, yang membuat Arya lebih me-
mentingkan jeritan menyayat hati yang didengarnya
itu. Dewi Lanjar dan Tengku Daud tak sempat mence-
gah kepergian Dewa Arak. Di samping karena jarak
pemuda itu cukup jauh juga kecepatan lesatannya
yang dalam sekejap sudah mencapai puluhan tombak,
membuat Dewi Lanjar dan Tengku Daud hanya sempat
melontarkan seruan pendek.
"Hey...!"
Seruan yang dilontarkan secara keras itu tentu sa-
ja terdengar jelas oleh Dewa Arak! Tapi pemuda be-
rambut putih keperakan itu tak mempedulikannya. Ia
tetap terus berlari dengan kecepatan tinggi. "Urusan dengan Dewi Lanjar dan
Tengku Daud dapat kuurus
belakangan. Toh, urusan itu tak terlalu mendesak. Tidak demikian halnya dengan
pemilik jeritan itu. Aku
yakin tengah terjadi tindakan kekerasan dan keribu-
tan. Bukan tak mungkin ada banyak orang yang nya-
wanya terancam!" pikir Arya, seiring dengan ayunan kakinya Pemuda berambut putih
keperakan itu terus
berlari tanpa mempedulikan seruan kaget Tengku
Daud dan Dewi Lanjar. Bahkan ketika dua tokoh sesat
yang sakti dan saling bersaingan itu memaki-makinya
ia tetap tak peduli. Toh, murid-murid Empu Jangkar
Bumi sudah tak terancam lagi!
"Dewa Arak...! Jangan lari kau, Pengecut...! Pertarungan di antara kita belum
selesai...!" jerit Dewi Lanjar keras, sehingga membuat sekitar tempat itu
bergetar hebat bak digoyang gempa.
"Hoi, Dewa Sialan...! Keberanianmu ternyata tak sebesar julukanmu! Kalau kita
bertemu lagi, aku,
Tengku Daud, akan mengirimmu ke akhirat! Kau tak
akan mempunyai kesempatan untuk kabur lagi, Dewa
Sialan...!" timpal putra Setan Tengkorak Merah, tak mau kalah gertak dengan
saingannya. *** Arya terpaku bagai orang terkena sihir ketika meli-
hat pemandangan yang terpampang di hadapannya
yang berjarak tiga tombak. Pemuda berambut putih
keperakan yang biasanya dapat menguasai perasaan-
nya, kali ini ternyata tak mampu. Mata dan parasnya
memperlihatkan keterkejutan yang amat sangat. Pa-
dahal, biasanya Arya bisa meredamnya.
Pemandangan yang terpampang memang menge-
jutkan hati dan menggetarkan jantung. Belasan sosok
bergeletakan di tanah bermandikan darah, Sekali lihat saja, Dewa Arak tahu kalau
sosok-sosok itu adalah
manusia. Tapi yang membuat pemuda itu terkejut bu-
kan alang kepalang, tak satu pun yang berada dalam
keadaan utuh. Sosok-sosok itu bergeletakan dalam
keadaan bagian-bagian tubuhnya tercerai-berai.
"Keji...! Hanya iblis saja yang dapat melakukan perbuatan sekejam ini!" desis
Arya menahan geram setelah dapat menenangkan perasaannya.
Dengan sikap waspada, Arya melangkah mendekati
hamparan potongan tubuh-tubuh manusia itu. Seku-
jur urat-urat saraf pemuda itu menegang penuh ke-
waspadaan ia tahu, siapa pun pelakunya, di samping
memiliki kekejaman pasti juga memiliki kepandaian
tinggi. Menilik dari potongan tubuh dan pakaian sebagian
kecil di antara mereka yang bisa dilihat. Arya yakin mereka adalah tokoh-tokoh
persilatan. Malah, sebuah
dugaan kecil bermain di benak pemuda berambut pu-
tih keperakan itu. Dewa Arak memperkirakan kalau
para korban itu berasal dari satu kelompok, karena ia melihat pakaian para
korban yang bisa dikenali mempunyai keseragaman satu sama lainnya.
Begitu berada di dekat potongan-potongan tubuh
manusia itu, Arya berjongkok agar bisa memeriksa se-
cara lebih jelas. Jantungnya berdetak jauh lebih cepat ketika melihat adanya
kelainan pada para korban yang berjumlah belasan orang itu. Bagian dadanya
berlubang, sehingga memperlihatkan bagian tubuh di sebe-
lah dalamnya yang hilang.
"Makhluk apakah yang telah melakukan kekejian
seperti ini"!" tanya Arya dalam hati, bingung. "Mungkinkah manusia"! Jika benar,
untuk apa"! Ataukah ini perbuatan binatang buas"! Kalau betul, binatang macam
apa yang dapat membunuh belasan tokoh persila-
tan ini"!" hatinya terus bertanya-tanya.
Pertanyaan-pertanyaan itu menggayuti benaknya,
tanpa Dewa Arak mampu menjawabnya. Jangankan
jawaban, titik terang untuk mengungkap rahasia itu
saja belum didapatkannya, meskipun pemuda itu su-
dah menyapu sekitar tempat itu dengan pandangan
matanya. "Aaarrrggghhh...!"
Geraman yang tak layak keluar dari mulut manu-
sia, membuat Dewa Arak berjingkat bagai disengat ular berbisa. Dalam sekejap
pemuda itu sudah melesat meninggalkan tempat itu menuju ke arah asal suara tadi.
Pemuda berambut putih keperakan itu tak ingin ter-
lambat tiba di tempat kejadian, seperti sebelumnya.
Berbeda dengan sebelumnya, geraman itu berasal
dari tempat yang lebih jauh, dan melalui kerimbunan
semak-semak berduri yang lebat. Tapi hambatan itu
tak berarti sama sekali bagi Dewa Arak. Dengan kece-
patan larinya, jarak yang jauh dapat ditempuhnya da-
lam waktu sangat singkat. Dan, karena tenaga dalam
yang dimilikinya sudah mencapai tingkatan tinggi,
membuat sekujur kulitnya tak terkoyak sedikit pun
meski menerabas kerimbunan semak-semak berduri.
Pemuda berpakaian ungu itu mengernyitkan alis-
nya ketika mendengar bunyi berkerosokan nyaring dari rerimbunan semak di saat
tengah berlari. Tak membutuhkan banyak waktu bagi Dewa Arak untuk mengeta-
hui arahnya. Masih di depannya, agak di sebelah kiri dilihatnya
kerimbunan semak-semak bergoyang-goyang bersera-
Dewa Arak 95 Empu Jangkar Bumi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
butan, seakan-akan ada sosok besar yang tengah me-
lintas di sekitar tempat itu.
Dewa Arak segera meningkatkan kewaspadaannya
sewaktu berlari. Tujuannya kini beralih ke arah rim-
bunan semak-semak yang seakan-akan tengah di lalui
oleh segerombolan binatang besar dan liar. Pemuda
berpakaian ungu itu sampai mengerahkan tenaga da-
lam pada kedua tangannya, bersiap-siap untuk melan-
carkan serangan dahsyat. Penemuan mayat-mayat
manusia dalam keadaan tercerai-berai tadi, membuat
Arya bersikap luar biasa waspada.
"Aaarrrggghhh..;!"
Tiba-tiba terdengar geraman luar biasa keras yang
mampu membuat sekitar tempat itu tergetar hebat
Dewa Arak pun sampai terjingkat kaget. Seiring den-
gan geraman itu, melesat sesosok bayangan besar ke
arah Dewa Arak. Sosok itu melesat dari kerimbunan
semak-semak di sebelah kanan si pemuda.
Arya menyadari akan adanya serangan gelap. Keti-
dakadaan deru angin sewaktu sosok itu melesat yang
membuat Arya tak mengetahui kedatangannya. Berkat
nalurinya yang setajam binatang buas, karena terbiasa terlibat dalam pertarungan
dan mempertaruhkan nyawa, yang membuat Dewa Arak mengetahui keberadaan
sosok bayangan besar pemilik geraman yang mengi-
riskan hati itu.
Secepat kilat tubuhnya dibalikkan ke kanan, sece-
pat itu pula Dewa Arak mengirimkan pukulan jarak
jauh dengan mempergunakan jurus 'Pukulan Bela-
lang'! Wusss...! Angin keras berhawa panas menyengat, menyebar
dari hentakan tangan Arya. Angin yang mampu mem-
buat semak-semak dan pepohonan yang letaknya be-
rada di sekitar tempat itu, mengering dan layu mendadak bagaikan terbakar.
Bresss! Dengan telak dan keras, pukulan jarak jauh Dewa
Arak menghantam sosok bayangan besar yang ben-
tuknya tak jelas karena gerakannya sangat cepat. Arya sendiri yang memiliki
sepasang mata tajam tak mampu
melihat jelas, dan hanya tahu kalau sosok itu besar
dan kecoklatan.
Ciri-ciri sosok itu lebih dapat diketahuinya ketika
pukulan jarak jauhnya mengenai sasarannya secara
telak. Sosok kecoklatan itu terpental kembali ke belakang, terguling-guling di
tanah sambil memperdengar-
kan pekikan yang tak layak keluar dari mulut manu-
sia. Hanya sedikit ciri-ciri sosok bayangan itu yang dapat diketahui Dewa Arak.
Karena, begitu tubuhnya terguling-guling, sosok itu langsung menambahkannya
dengan gulingannya sendiri. Kemudian melesat cepat,
menerobos kerimbunan semak-semak dan pepohonan
lebat di dekatnya.
Dewa Arak tak tinggal diam. Rasa penasaran besar
untuk mengetahui sosok kecoklatan, yang diyakini
memiliki tubuh jauh lebih tinggi dan lebih besar daripada manusia pada umumnya,
membuatnya segera
melesat mengejar. Kerimbunan semak-semak dan pe-
pohonan yang tadi dilalui sosok itu diterobosnya.
Tapi Dewa Arak agak kebingungan. Ia tak melihat
adanya tanda-tanda arah yang ditempuh sosok bayan-
gan yang luar biasa besar itu. Diperhatikannya baik-
baik semak-semak dan pepohonan yang ada. Pemuda
itu mencoba mencari semak-semak yang bergoyang-
goyang, karena menjadi pertanda kalau sosok bayan-
gan yang luar biasa besarnya itu baru saja melaluinya.
Namun, usaha Arya sia-sia. Tanda-tanda yang dimak-
sudkannya sama sekali tak diketemukannya. Kenya-
taan itu membuatnya tak mempunyai patokan arah
untuk melakukan pengejaran.
Walau demikian Dewa Arak tak kehilangan akal.
Kegagalan dengan mempergunakan mata, tak mem-
buatnya putus asa. Ia segera menggunakan sepasang
telinganya. Arya mencoba untuk menangkap bunyi-
bunyi langkah kaki atau gerakan sosok bayangan itu
Kembali, Dewa Arak gagal. Tak sedikit pun telinganya menangkap bunyi. Yang
tertangkap hanya bunyi sepoi-sepoi angin yang bertiup. Lainnya tidak!
Kenyataan seperti itu benar-benar mengejutkan
Dewa Arak. Sebagai tokoh persilatan yang mempunyai
tingkat kepandaian tinggi, Arya tahu kalau apa yang
dialaminya kali ini sepertinya mustahil. Betapapun
tingginya ilmu meringankan tubuh seseorang, tak
akan mungkin dalam sekejap langsung lenyap. Apalagi
tanpa menimbulkan tanda-tanda, baik yang terlihat
mau pun yang terdengar.
Rasa penasaran dan keingintahuannya yang besar,
membuat pemuda berambut putih keperakan itu tetap
berada di situ. Seluruh akal sehatnya diputar untuk
memecahkan keanehan yang ditemuinya kali ini.
Arya berpikir keras untuk mendapatkan jawaban
atas rahasia besar yang ditemuinya ini. Walaupun be-
gitu, kewaspadaannya tak ditinggalkan, untuk berjaga-jaga terhadap kejadian-
kejadian yang tak diinginkan.
Dewa Arak sempat tersentak ketika terpikir olehnya
kalau kejadian yang dilihatnya tadi terjadi karena sosok bayangan itu
menggunakan ilmu sejenis 'Ilmu Ha-
limun' atau 'Sirna Raga'. (Untuk jelasnya mengenai il-mu-ilmu seperti itu
silakan baca episode: "Ilmu Hali-mun"). Tapi, dugaan itu mulai diragukan ketika
diketemukannya hal-hal yang memberatkan. Cukup lama
ia berada di situ, tak didengarnya sedikit pun gerakan atau dengus napas.
Pemuda berambut putih keperakan itu hanya sedi-
kit bimbang. Kecurigaan yang melanda hatinya tetap
tak sirna. Sebagai tokoh persilatan yang memiliki kepandaian menakjubkan, Arya
tahu kalau bagi tokoh
tingkat tinggi, membuat gerakan tak terdengar atau
menahan napas bukan pekerjaan yang sulit.
"Hanya ada satu cara yang dapat membuktikan ka-
lau sosok bayangan itu sudah tak berada di sini lagi,"
pikir Arya yakin. "Dan, bila dengan cara ini sosok itu tak juga menampakkan
diri, atau menunjukkan tanda-tanda keberadaannya, baru aku yakin kalau dia sudah
tak berada di sini. Entah dengan cara bagaimana..."
Usai berpikir demikian, Dewa Arak mengerahkan
tenaga dalamnya yang khas. 'Tenaga Dalam Inti Mata-
hari'. Tidak lama kemudian, dari sekujur tubuhnya
menyebar hawa panas yang kian meningkat kadar ke-
panasannya. Semak-semak dan pepohonan yang berja-
rak sekitar lima tombak dari pemuda berambut putih
keperakan itu, layu seperti lama tak tersiram air. Sesaat kemudian, tetumbuhan
itu mengering dan han-
gus! Cukup lama Dewa Arak mengerahkan tenaga da-
lamnya, menciptakan hawa panas dengan sebuah ha-
rapan besar, sosok bayangan itu akan menampakkan
diri karena terpaksa melakukan perlawanan, untuk
menahan serangan hawa panas itu. Jika perlawanan
diberikan, sekecil apa pun dilakukan, dan sesedikit
apa pun gerakan yang dilakukan, akan tertangkap oleh telinga Dewa Arak.
Dan jika itu terjadi, sekalipun tak dapat menang-
kap, mengalahkan, atau membunuhnya, Arya akan
merasa lega. Karena keberadaan sosok yang belum di-
ketahuinya jelas ada di situ. Dan ini akan mele-
nyapkan rasa bingungnya.
Ketidakberadaan penyerang gelapnya di tempat itu,
akan membuat Arya bingung. Bagaimana sosok itu bi-
sa lenyap tanpa meninggalkan bekas sama sekali"
Akibat yang ditimbulkan dari tindakan Dewa Arak
memang hebat. Tak hanya pepohonan dan semak-
semak yang layu, kering, dan mati. Tanah di sekitar
tempat Arya berada pun hangus. Di tempat itu seakan-
akan baru terjadi kebakaran besar. Dan, pemuda ini
pun menyadari kalau tindakannya terus dilakukan,
bukan tak mungkin medan di sekitar tempatnya bera-
da akan semakin rusak.
Arya tak menginginkan hal itu terjadi. Apalagi, ia
yakin kalau sosok yang luar biasa besar itu memang
tak berada di situ. Sosok itu tak bersembunyi dari
pandangan Dewa Arak dengan mempergunakan ilmu
menghilang. Kalau benar mempergunakan 'Ilmu Hali-
mun' atau 'Sirna Raga', pasti akan terkena pengaruh
serangan hawa panas Dewa Arak yang dahsyat, dan
sosok itu akan melakukan perlawanan.
Perlawanan yang diberikan tentu akan membuat
Arya mengetahui keberadaannya. Kenyataannya, Dewa
Arak tak mendengar suara gerakan sosok itu selirih
apa pun, selain dari hembusan angin, gemeretaknya
tetumbuhan yang layu, mengering, hangus, dan mati
karena pengaruh serangan tenaga dalamnya yang ber-
hawa panas. Dewa Arak pun segera menghentikan pengerahan
tenaga dalamnya. Ia hanya menghela napas berat, tan-
da kecewa dan bingung. Hasil dari usahanya itu me-
nimbulkan tanda tanya besar di benak Arya. "Kemana-kah perginya sosok tinggi
besar itu" Bagaimana dia bi-sa menghilang demikian cepat" Ilmu apa yang diper-
gunakannya?" Hatinya terus bertanya-tanya.
Karena menyadari kalau pertanyaan itu akan sulit
dijawabnya, Dewa Arak segera melupakannya. Ia juga
menyadari, titik terang untuk mengungkap rahasia itu belum didapatkannya. Hanya
dalam waktu singkat, ia
menghadapi dua masalah yang tak terjawab.
"Dua masalah"! Mungkinkah ada hubungannya sa-
tu sama lain"!"
Pertanyaan itu muncul begitu saja di benak Dewa
Arak, pemuda ini hendak beranjak meninggalkan tem-
patnya berada. "Memang bukan tak mungkin kalau masalah ini
mempunyai hubungan satu sama lain. Bukan tak
mungkin kalau pelaku pembantaian keji adalah sosok
besar itu!"
Untuk ke sekian kalinya jawaban pasti bagi perta-
nyaan itu tak ditemukan Dewa Arak. Setelah menga-
mati keadaan sekitarnya sejenak. Arya melesat me-
ninggalkan tempat itu. Ia ingin kembali ke tempat di mana asal geraman yang
pertama kali tadi didengarnya. Memang, Arya tak terlalu berharap akan menemu-
kan sosok besar pemilik geraman itu di sana. Tap bu-
kan tak mungkin kalau akan ditemukannya lagi kor-
ban dari keganasan sosok besar itu. Dan, hal itu bu-
kan mustahil. Bukankah sosok yang belum diketahui
Arya secara pasti jenisnya itu cukup ganas"! Bukti jelas sendiri sudah
didapatkannya. Sosok besar itu me-
nyerangnya! Padahal, bukan tak mungkin antara me-
reka berdua sama sekali tak ada urusan! Jangankan
urusan saling kenal pun belum tentu!
*** Abiyasa berdiri dengan kepala tertunduk. Hatinya
benar-benar sangat terpukul. Berjarak tiga tombak di depannya, tergolek sesosok
mayat yang sudah tak
utuh lagi. Bagian-bagian tubuh mayat malang itu tea
cerai-berai. Darah yang masih segar membasahi tanah
membuat pemandangan semakin menyeramkan.
"Anta...," keluh Abiyasa, penuh rasa duka. "Tak kusangka nasibmu demikian buruk.
Aku berjanji akan
membalas dendam atas kematianmu, siapa pun
adanya pelaku pembunuhan keji ini!"
Cukup lama Abiyasa tenggelam dalam kedukaan-
nya. Berdiri terpaku bagaikan patung batu. Hanya ge-
rakan pada bagian dadanya yang menunjukkan kalau
lelaki itu bukan patung. Sejenak Abiyasa mengalihkan pandangan ke sekeliling
tempat itu. Helaan napas berat yang keluar dari mulut dan hidungnya mengiringi
gerakan bola matanya.
"Sama sekali tak kusangka kalau nasibmu demi-
kian buruk, Anta mudah-mudahan saja Jembawati tak
mengalami nasib seperti yang kau alami," gumam lelaki jangkung itu lagi dengan
wajah menengadah ke atas menatap langit.
Abiyasa baru mengalihkan perhatian, dan memba-
likkan tubuhnya ketika mendengar bunyi batuk-batuk
kecil di belakangnya. Batuk yang diketahuinya pasti
adalah batuk buatan.
"Ah... kiranya kau, Dewa Arak...!" seru Abiyasa gembira.
Wajah lelaki itu kelihatan berseri-seri. Sungguh
pun demikian, kedukaan yang membayang pada wajah
dan sinar matanya tetap tampak.
"Kau mengejutkan ku saja. Hampir saja putus jan-tungku karena tindakanmu...!"
lanjutnya lagi.
Arya mengembangkan senyumnya. Tidak terlalu
lebar, dan tidak menampakkan perasaan yang terlalu
gembira. Pemuda berambut putih keperakan ini tahu
kalau Abiyasa tengah bersedih. Jadi, ia pun ikut me-
nunjukkan perasaan berkabungnya.
"Aku minta maaf kalau kau jadi terkejut karena kedatanganku, Kang. Mungkin
seharusnya tadi ku-tunggu hingga kau selesai dengan urusanmu," sahut Arya,
sekenanya. "Itu tak menjadi soal, Dewa Arak," timpal Abiyasa buru-buru. "Aku memang kaget.
Tapi perasaan gembira atas kedatanganmu, jauh lebih besar dari perasaan
terkejutku. Kau datang pada saat yang tepat!"
"Apa yang sebenarnya terjadi, Kang?" tanya Arya seraya mengayunkan langkah
mendekat dan memperhatikan mayat Antasena. Dan, seperti yang diduga De-
wa Arak, bagian dada Antasena berlubang besar,
memperlihatkan isi bagian dalam dada yang sudah ti-
dak terlihat lagi.
"Aku juga kurang begitu jelas dengan apa yang telah terjadi, Dewa Arak," keluh
Abiyasa. "Bukan tak mungkin apa yang kuketahui sama dengan yang kau
ketahui...."
"Heh...",!" Arya terkejut. "Mengapa bisa begitu Kang?" tanyanya heran.
Abiyasa menghela napas berat sebelum memberi-
kan jawaban. "Ini semua karena salahku, Dewa Arak. Kalau saja aku tak keliru mengambil
keputusan, mungkin semua
ini tak akan terjadi. Antasena tak perlu tewas dengan cara demikian mengerikan,
dan Jembawati tak pernah
lenyap bagai ditelan bumi...," jelas lelaki jangkung ini penuh perasaan menyesal
dan bergejolak.
"Jadi Jembawati lenyap" Pantas tak kulihat keberadaannya di sini," pikir Arya,
Dewa Arak 95 Empu Jangkar Bumi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tiga Naga Sakti 6 Pedang Dewa Naga Sastra Bun Liong Sian Kiam Karya Rajakelana Bukit Pemakan Manusia 21