Matahari Esok Pagi 3
Matahari Esok Pagi Karya S H Mintardja Bagian 3
itu. Namun untuk menangkapnya dan me mbawanya ke Lumbung di bela kang rumah, me mang diperlukan beberapa orang kawan. "Sekarang kalian boleh pergi" berkata Manguri "besok siang kalian ke mba li lagi ke mari sebelum di mala m harinya kalian harus me lakukan pekerjaan itu. Awas, kalau kalian gagal, maka tidak sekeping uangpun aku berikan kepada kalian" "Jangan takut. Apalagi seekor tikus, seekor serigalapun tidak akan lepas dari tanganku" Sepeninggal orang-orang itu, maka Manguripun berkata kepada La mat "Nanti mala m kau pergi bersa ma aku melihat apakah Pamot masih dala m kebiasaannya, pergi ke gubugnya. Sekarang pergilah. Kau terla mpau bodoh untuk mengerti persoalanku, sehingga karena itu aku terpaksa me mperguna kan orang lain" Lamat tidak menjawab. Wajahnya yang tampak bengis namun terlalu bodoh itu tertunduk dala m-dala m. Perlahanlahan ia meningga lkan Manguri ke mbali ke pekerjaannya. Namun dala m pada itu, sesuatu bergolak di dadanya. Meskipun ia berusaha untuk tidak menghiraukannya, tetapi setiap kali jantungnya serasa dituntut oleh suatu keharusan untuk berbuat sesuatu. Ia sudah terlalu biasa dipergunakan oleh keluarga Manguri untuk menakut-nakuti orang yang la mbat me mbayar hutang. Bahkan kadang-kadang dengan sedikit kekerasan. Tetapi kali ini ia tidak dapat menahan hati me mbiarkan Pa mot menga la mi nasib yang terlampau jelek, justru ia yakin bahwa anak itu tidak bersalah. "Anak itu bukan sanak bukan kadang" ia mencoba menghilangkan kerisauan perasaannya itu. Tetapi kemudian ia mengge lengkan kepalanya "Aku harus me mberitahukan kepadanya"
Demikianlah, ketika pada sore hari, seperti kebiasaannya Lamat pergi ke sungai, dengan tergesa-gesa ia berusaha singgah ke rumah Pa mot. Ia menunggu hari mula i gelap, supaya tidak seorangpun yang melihatnya, setidak-tidaknya me lihatnya dengan pasti. "Mudah-mudahan Pa mot masih ada di rumahnya" desisnya "anak yang berani itu sama sekali tidak gentar, meskipun Manguri menganca mnya seribu kali. Dengan ragu-ragu Lamat berdiri di muka pintu rumah Pamot. Sejenak ia me matung. Namun sejenak ke mudian tangannyapun bergerak mengetuk pintu rumah itu. "Siapa?" terdengar seseorang menyapa dari dalam. Tetapi suara itu bukan suara Pamot. Meskipun de mikian La mat sudah tidak dapat mundur lagi. Waktunya sudah menjadi terlampau sempit. "Aku" jawabnya. Kemudian perlahan-lahan pintu rumah itu terbuka. Ketika ayah Pamot yang me mbuka pintu itu melihat, siapa yang berada di luar, terasa dadanya seolah-olah berguncang. Lamat. Sejenak ia berdia m diri sa mbil me mandangi raksasa yang berdiri tegak di dala m kere mangan mala m. Na mun dala m pada itu keringat dingin telah me mbasahi seluruh tubuhnya. "Siapa yang di luar" bertanya ibu Pa mot. Suaminya tidak segera menjawab. Bahkan selangkah ia surut. Ia mengerti betul bahwa La mat adalah pe mbantu setia Manguri yang sangat ditakuti orang. Ia mempunyai ke kuatan seperti seekor gajah. Ayah Pamot itu semakin tergetar hatinya ketika mendengar La mat bertanya "Dimana kah Pa mot?" ia
Sejenak ia tidak menjawab. Dan isterinya bertanya sekali lagi "Siapa yang di luar ?" Ayah Pamot tidak menjawab. Ia tidak menjawab pertanyaan istrinya, dan tidak menjawab pertanyaan Lamat. Namun dala m pada itu, Pamot yang ada di ruang dalam mendengar pe mbicaraan mereka. Karena itu, maka iapun segera mendatanginya. Tetapi ia terkejut ketika begitu ia muncul ayahnya hampir berteriak berkata kepadanya "Pergi, pergi kau Pa mot" "Kenapa ?" "Pergi kau" Tetapi Pamot masih berdiri di tempatnya. Ia mencoba me lihat siapakah yang berdiri di luar pintu, yang telah me mbuat ayahnya ketakutan. Namun sebelum Pamot berhasil mengenal orang itu, terdengar suara di luar pintu "Aku, Pa mot, La mat" "O, kau. Masuklah" "Pamot " ayahnya menahannya ketika ia mendekati pintu. "Ia tidak apa-apa ayah. Lamat orang yang baik" "Tetapi" desis ayahnya. "Biarlah ia masuk" Ayahnya tidak dapat mencegahnya lagi. Ibunya terkejut pula ketika dari balik pintu muncul seseorang yang tinggi besar dan berkepala botak. "Maafkah aku" berkata Lamat "barangkali aku sudah mengejutkan ka lian" Ayah dan ibu Pamot tidak menjawab. Kakek Pamot yang ke mudian datang pula keruang itu menjadi bertanyaannya di dalam hati.
"Aku hanya sebentar Pamot" berkata La mat ke mudian "apakah kau akan pergi ke sawah ma la m ini" "Ya" Pa mot menganggukkan kepalanya tanpa ragu-ragu. "Baiklah. Aku bersama Manguri akan mengintai, apakah kau ada di gubugmu atau tidak" berkata Lamat selanjutnya "tetapi untuk besok ma la m, kau benar-benar akan diintai oleh bahaya. Manguri telah menyewa lima orang untuk menangkapmu" "He" Pa mot me mbelala kkan matanya, sedang orang tuanya menjadi pucat. "He m" Pa mot ke mudian menggera m "ia mendenda mku. Tetapi apaboleh buat" benar-benar
"Kau harus berhati-hati Pa mot. Lima orang yang disilaukan oleh uang itu dapat berbuat apa saja di luar sadar mereka" "Terima kasih. Aku akan berhati-hati" "Sudahlah. Aku harus segera berada di rumah. Nanti menje lang tengah mala m aku a kan pergi bersama Manguri, me lihat apakah kau berada di da la m gubugmu itu" "Baiklah. Aku akan berada di sana. Dan besukpun aku akan berada di sana pula" "Pamot " berkata Lamat "menghadapi ke lima orang itu kau jangan menuruti perasaanmu saja. Kau harus mau melihat kenyataan, bahwa kau tidak akan dapat melawan mereka. Sependengaranku, kau akan ditangkap dan dibawa ke lumbung di be lakang rumah Manguri. Manguri sendirilah yang akan mengurusmu ke lak. Aku tida k begitu tahu, apakah yang akan dilakukannya" Pamot menggeretakkan giginya., "Ingat, jangan kau biarkan perasaanmu bergejolak tanpa kendali. Kau tidak a kan dapat menghindari kenyataan. Kau
akan menyesal kalau kau tidak mencari jalan keluar dari kesulitan itu" Pamot mengangguk-anggukkan kepalanya "Terima kasih Lamat" Dan La matpun ke mudian segera minta diri, meningga lkan seisi rumah yang keheran-heranan. "Aku tida k mengerti" desah ayah Pa mot "apakah kau t idak mengenalnya?" "Tentu, aku mengena lnya dengan baik" "Bukankah aku tidak salah lihat, bahwa orang itu adalah Lamat pe mbantu ke luarga Manguri?" "Ya, bukankah ia telah menyebut na manya pula?" "Tetapi, tetapi aku tidak tahu apa yang kalian bicarakan" ayah Pamot masih bingung "menurut pendengaranku ia justru me mberimu peringatan bahwa kau terancam bahaya" "Ya ayah" jawab Pa mot. "Aku menjadi bingung. Aku kira ia akan menyeretmu keluar dan me mukulmu sampai pingsan. Wajahnya yang bengis tetapi bodoh itu benar-benar meyakinkan bahwa ia adalah seekor kerbau yang telah dicocok hidungnya" "Tetapi dugaan itu ternyata me leset. Akupun se mula menduganya de mikian pula. Aku kira ia adalah seorang keja m yang bodoh., Namun ternyata sebaliknya. Hatinya lunak dan bahkan perasa. Ia sama sekali bukan seorang yang bodoh. Ia dapat menasehati aku dan me mberi arah ja lan keluar" "Aku tidak menyangka. Selama ini La mat adalah sesosok hantu raksasa bagi orang-orang Ge mulung dan ha mpir di seluruh Kade mangan Kepandak. Bahkan orang-orang Mangirpun menyebut-nyebut namanya, sampai orang-orang di pesisir Se latan"
"Aku tida k tahu, kenapa ka li ini ia bersikap lain" "Tetapi apakah kau dapat mempercayainya?" bertanya ayahnya tiba-tiba. Pamot termenung sejenak. Namun ke mudian ia mengangguk "Aku me mpercayainya. Kalau ia ingin berbuat jahat, maka ia pasti sudah melakukannya" Ayah Pamot tidak segera menjawab. "Ia telah melanggar perintah Manguri untuk melakukan pembalasan. Aku me mang tida k mengatakan kepada keluarga di rumah ini sebelumnya, bahwa aku telah sa lah paha m pula" Orang tua Pamot dan kakeknya se makin terheran-heran. Apalagi ketika mereka mendengar Pa mot menceriterakan apa yang sebenarnya telah terjadi, ketika pipinya menjadi bengkak. "Kau berdusta saat itu Pa mot?" bertanya ayahnya. "Ya ayah" Jawabnya "Aku bingung, bagaimana a ku harus mengatakannya. Ayahnya mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya "Kalau kau dapat me mpercayainya, maka kau benarbenar harus berhati-hati besok mala m. Manguri yang hatinya masih dibakar oleh kekalahannya itu telah menyewa lima orang yang menurut Lamat tidak akan dapat kau lawan. Kalau begitu sebaiknya kau telah berada di rumah saja. Tetapi Pamot mengge lengkan kepa lanya "Tidak ayah. Aku akan mencari jalan lain. Tetapi tidak tetap tinggal di rumah seperti perempuan yang takut mendengar suara anjing menggonggong" "Bukan begitu Pa mot, La mat sudah mengatakan kepada mu, bahwa kau harus melihat kenyataan. Kau tidak akan dapat me lawan mereka"
"Ya. Aku me mang harus mencari jalan ke luar. Dan aku akan berusaha" "Tetapi kau jangan menuruti perasaanmu saja Pamot. Aku ikut menjadi ce mas" berkata ibunya "kalau kau masih anakanak, aku akan me ndukungmu ke mana aku pergi. Tetapi kau sekarang hampir t idak dapat disentuh ujung kainmu" "Ibu jangan ce mas. Aku akan berhati-hati. Tetapi tidak sepantasnya anak seperti Manguri itu dibiarkan untuk berbuat sesuka hatinya" "Ia me mpunyai uang Pa mot" "Tida k selalu bahwa uang itu me mpunyai nilai yang paling tinggi di dala m pergaulan hidup ini" Ibunya yang berkaca-kaca akhirnya berkata "Aku hanya mengharap kau sela mat. Tidak lebih dari itu" Pamot tidak menjawab lagi. Kepalanya tertunduk dala mdalam. Tetapi ia sa ma sekali tidak berhasrat untuk bersembunyi dimanapun. "Kau sudah cukup dewasa Pa mot" kakeknyalah yang ke mudian berbicara "kau dapat me mbuat pertimbanganpertimbangan yang waras. Tidak terlalu dibumbui oleh darah muda mu seperti Manguri" "Ya ka kek" "Aku percaya kepada mu" Pamotpun mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun kepercayaan kakeknya itu justru menumbuhkan kesungguhan kepadanya. Bahwa ia me mang bukan ana k-anak lagi. "Biarlah ia mencari jalan" berkata ka keknya ke mudian kepada kedua orang tua Pamot "sebenarnya aku me mang lebih senang me lihat ia berhasil me mbebaskan dirinya secara jantan. Tidak dengan menyembunyikan diri. Sebab dengan
demikian, Manguri pasti masih akan me ncarinya, sehingga persoalannya sebenarnya masih belum selesai" Ayah Pamot mengangguk-anggukkan kepa lanya. Tetapi ibunya dia m saja. "Aku tahu, bahwa kalian sangat cemas akan nasib anakmu, karena kebetulan bahwa ia berselisih dengan Manguri. Me mang Manguri me mpunyai harta dan kekayaan untuk mendapat kawan., Tetapi Pamotpun me mpunyai kelebihan yang lain. Ia me mang me mpunyai kawan yang sebenarnya kawan" Pamot mengangkat wajahnya. Memang sudah terkilas di kepalanya, bahwa ia akan menghubungi beberapa kawan dekatnya. Kawan yang setiap kali bersama-sa ma pergi ke kademangan. "Mereka pasti bersedia me mbantu aku" kata Pamot di dalam hatinya "Mereka akan ikhlas berbuat apapun tanpa upah seperti yang dilakukan oleh Manguri. Orang-orang upahan akan segera meningga lkan majikannya apabila ada orang lain yang mengupahnya lebih banyak lagi. Hubungan diantara mereka tidak ubahnya seperti hubungan jual belu saja. Yang satu me mberikan jasa, yang lain me mbayarnya" "Nah, sekarang biarlah Pamot me mpersiapkan dirinya" berkata kakeknya yang sudah tua itu "sebentar lagi kau akan ke sawah melihat air" "Tetapi" potong ibunya. "Tida k apa-apa. Akupun akhirnya percaya, bahwa Lamat berkata dengan jujur" Ibunya tidak mencegahnya lagi, sedang ayahnya duduk saja termangu-mangu. Na mun sebenarnya iapun mulai dapat me mpercayai, bahwa La mat tida k akan me njerumuskan anaknya ke dalam bencana. Kalau ia ingin me lakukannya, maka kese mpatan itu telah pernah dimilikinya.
"Sekarang, kalian dapat tidur dengan tenang. Setidaktidaknya mala m nant i tidak akan terjadi sesuatu atas Pamot, meskipun itu bukan berarti bahwa ia dapat berbuat sesuka hatinya. Ia tetap harus berhati-hati dan bersiaga. Segala kemungkinan me mang dapat terjadi karena sifat Manguri itu sendiri" berkata kakek Pa mot. Ke mudian "Aku me mang lebih senang melihat anak-anak muda yang berani. Tetapi itu hanya karena pengaruh hidupku di masa muda dahulu. Pada masa anak-anak muda itu dapat dikekang lagi. Begitu Mataram berdiri, ka mi langsung ikut berjuang menegakkannya. Tetapi kemudian ka mi kehilangan sasaran ketika Mataram sudah t idak diguncang-guncang lagi. Akibatnya me mang tidak menyenangkan" Orang tua itu agaknya merasakan kerinduan yang mendala m kepada masa mudanya, masa yang me mberinya kebanggaan. "Tetapi sekarang harus sudah lain. Sekarang Mataram me mang sedang me merlukan tenaga anak-anak mudanya. Bukankah Pa mot setiap kali harus pergi ke Kade mangan" Disana ia menerima latihan-latihan yang perlu, apabila setiap saat Mataram me manggilnya. Pamot mengangguk-anggukkan kepalanya. Demikian juga kedua orang tuanya. "Nah, pergilah Pamot. Tetapi kau jangan menjadi besar kepala, karena kepala mu itu masih dapat juga dibe li dengan uang Manguri" Pamotpun ke mudian berdiri. Kini ia tidak saja me mbawa sabit, tetapi diselipkannya goloknya di pinggangnya. "Kau bersenjata" bertanya ayahnya. Pamot mengangguk. Kakeknya kengerutkan keningnya sejenak. Tetapi katanya ke mudian "Sebenarnya senjata tidak selalu me mbuat kau menjadi lebih a man. Ada dua ke mungkinan yang dapat terjadi.
Kau menjadi liar karena kau merasa kuat, sehingga akhirnya kau terperosok ke dala m suatu tindakan yang tidak kau harapkan. Misalnya, tidak dengan sengaja kau telah me lakukan pe mbunuhan. Atau kemungkinan yang lain, senjata itu telah me mba kar hati lawan-lawanmu dan me mancing senjata-senjata mereka keluar dari wrangkanya. Kau mengerti maksudku?" Pamot mengangguk "Ya kakek" "Apa" "Aku dapat me mbunuh atau dibunuh karenanya" "Nah pertimbangkan" "Tetapi ka lau lawan-lawanku bersenjata dan aku t idak bersenjata sama sekali, maka aku tidak akan dapat melawan mereka" -)))de-wi(((-
Matahari Esok Pagi Karya : SH Mintardja Jilid 2 "MESKIPUN de mikian, mereka tidak akan dengan serta merta me mbunuh kau" Pamot mengerutkan keningnya. Ia memang dapat mengerti maksud ka keknya. Tetapi apakah orang-orang yang me mbayanginya itu me mpunyai pertimbangan-pertimbangan yang waras. Kakeknya melihat keragu-raguan di wajah Pa mot, sehingga ia merasa perlu menje laskan "Pa mot, perkelahian bersenjata selamanya selalu mence maskan. Kalau kau kalah kau akan dikubur, tetapi kalau kau menang, ma ka dengan banyak cara, orang kaya itu dapat menyeretmu ke dalam hukuman yang berat" Pamot mengangguk-anggukkan kepalanya "Baik. Aku tidak akan me mbawa senjata" Ketika Pa mot meletakkan goloknya, ayahnyalah yang bertanya "Apakah me mang de mikian seharusnya?" "Begitulah menurut pertimbanganku" Ayah Pamotpun mengangguk-anggukkan kepa lanya. Namun ke mudian ia berkata "kau pergi dengan aku Pa mot" "Jangan ayah" pinta Pamot "Aku ingin agar mereka me mpunyai kesan bahwa aku me mang sela lu seorang diri di gubug itu" Ayahnya mengerutkan keningnya "Tetapi kalau terjadi sesuatu atasmu, aku bukan sekedar penonton Pa mot" "Mala m ini pasti tidak ayah" jawab Pa mot. Ayahnya termangu-mangu mengangguk "Baiklah. Tetapi ke mbali, aku terpaksa pergi. persoalan anak-anak. Tetapi sejenak. Tetapi ke mudian ia kalau pada saatnya kau belum Aku tau, persoalan ini adalah Manguri telah me manfaatkan
kekayaan ayahnya. Sedang yang dapat aku berikan kepadamu Pamot, adalah sekedar tenagaku" Pamot menundukkan kepalanya. Ia justru terdiam sejenak. Dengan nada yang datar iapun kemudian berkata "Maafkan ayah, ibu dan kake k. Aku sa ma seka li tidak bermaksud me mbuat ayah, ibu dan ka kek menjadi ge lisah" "Aku tahu" jawab ayahnya "tetapi yang sudah terlanjur terjadi ini akan berkepanjangan. Pada suatu saat memang diperlukan penyelsaian yang tuntas" Pamot mengangguk-angguk. "Sudahlah" berkata ka keknya "berangkatlah" "Baik kakek" jawab Pa mot. Anak muda itupun ke mudian minta diri kepada kedua orang tuanya beserta kakeknya,. Meskipun ha mpir setiap ma la m ia me lakukan pekerjaan ini tanpa ada persoalan apapun, na mun kali ini Pa mot seolah-olah sedang bersiap untuk berangkat ke medan perang. Dengan hati yang berdebar-debar orang tuanya dan kakeknya melepaskannya. Sejenak ke mudian Pa motpun telah menyusup ke dala m gelap. Melintasi hala man dan berjalan menyusur jalan pedukuhan. Jalan yang sudah setiap hari dilaluinya. Tetapi rasa-rasanya jalan ini seperti menjadi berta mbah panjang. Langkah-langkahnya serasa menjadi terla mpau pende k atau kakinya me mang ge metar". Namun Pamot berjalan terus. Di tangannya tergenggam sebilah sabit. Hanya itu. Senjata yang selalu dibawanya ke sawah dan ke pategalan. Kadang-kadanga ia me mang harus me motong kayu dan me mbelahnya sama sekali. Kalau ia sengaja pergi menebang kayu ma ka ia sela lu me mbawa sebuah kapak yang besar.
Tetapi sudah tentu tidak di mala m hari, sehingga karena itu maka Pa mot tidak dapat me mbawa kapak, meskipun kapak merupakan senjata yang lebih baik dari hanya sebuah sabit. Ternyata bagaimanapun juga ia mencoba me maha mi pesan kakeknya, namun Pa mot pasti akan merasa dirinya lebih aman apabila ia bersenjata, bukan sekedar sebuah sabit. Tetapi dengan sebuah sabit, masih juga lebih baik daripada ia sama sekali t idak bersenjata apapun. Namun agaknya apa yang dikatakan oleh La mat me mang benar. Malam itu t idak ada apa-apa terjadi. Ketika ia duduk me me luk lututnya justru di bawah gubugnya yang berkaki agak tinggi, ia melihat dua orang berjalan di pe matang sawahnya. Seorang yang bertubuh tinggi besar sedangkan yang lain anak muda sebayanya. "Manguri dan La mat" desis Pa mot. Tetapi Pamot itupun menjadi berdebar-debar ketika keduanya berhenti beberapa langkah dari gubugnya. Manguri mencoba me ma ndangi gubug itu tajam-taja m. Tetapi ia sama sekali tidak menyangka, bahwa Pamot duduk di pe matang justru di bawah gubug yang kegelapan. Tiba-tiba tanpa di-sangka-sangka menanggilnya. "Pa mot, Pamot" Manguri justru
Pamot menarik nafas dalam-dala m. Perlahan-lahan ia berdiri dan keluar dari bawah gubugnya sambil terbungkukbungkuk. "Kau mencari aku Manguri" "O" Manguri agak terkejut "Kenapa kau berse mbunyi?" "Aku tida k berse mbunyi. Aku sedang me lihat tinggi air di sawahku" Manguri tertawa "Benar begitu?" "Apa gunanya aku menipumu?"
"Aku sangka kau sudah menjadi seorang pengecut sehingga kau sudah tida k berani lagi berada di atas gubugmu" "Apa yang aku takuti?" "Bagaimana kalau sekarang La mat sekali lagi mere mukkan tulang kepala mu" Kau pasti t idak akan dapat lari lagi. Kalau kami berdua berkelahi bersama-sa ma ma ka kau dapat me mbayangkan, apa yang akan terjadi atasmu" "Jangan menghina " potong Pamot "apakah kalian ingin mencoba?" Manguri tertawa. Benar-benar menyakitkan hati. "Kau me mang terla mpau sombong. Tetapi aku seka li-sekali me mang ingin melihat kepala mu retak. Apakah kau mau mencoba?" Lamatlah yang menjadi berdebar-debar. Kalau Pamot t idak dapat mengendalikan diri, maka keadaan akan menjadi lain dari rencana semula. Mungkin mereka akan terlibat dalam perkelahian yang sulit. Dan ternyata Pamotpun Begitukah yang kau inginkan" menjawab "Apaboleh buat.
Suara tertawa Manguri tiba-tiba terputus. Dipandanginya wajah La mat. Namun ke mudian ia berkata "Kita tinggalkan saja anak gila itu. Jangan layani" Lamat menarik nafas dalam-dala m. Apalagi ketika ia me lihat Manguri sudah melangkahkan kakinya dengan tergesa-gesa, maka Lamatpun segera mengikutinya pula. Ketika ia berpaling, dilihatnya Pamot masih tetap berdiri tegak di te mpatnya. Lamat menjadi heran ketika ia melihat Manguri tiba-tiba berhenti, sehingga ha mpir saja ia melanggarnya. "Kenapa" tanpa sesadarnya ia bertanya.
Manguri tida k mengacuhkannya. Tetapi ia berkata kepada Pamot dibarengi dengan suara tertawanya yang serasa menusuk-nusuk jantung "kau tidak perlu menjadi de mikian ketakutan dan bersembunyi di bawah gugubmu anak manis. Kau lihat, bahwa kami bukan harimau-harimau ke laparan yang siap menerka mmu. Besok kau akan berjalan lewat pe matang sawahmu ini pula, untuk melihat, apakah kau juga masih bersembunyi di bawah gubugmu" Manguri tidak menunggu jawaban Pa mot. Suara tertawanya tiba-tiba meninggi. Na mun ke mudian hilang di telan sepinya ma la m. Lamat berjalan dengan patuh di belakang Manguri ketika ia meninggalkan sawah keluarga Pa mot itu. Sekali-seka li masih terdengar Manguri tertawa kecil. Na mun ke mudian katanya "Anak yang sombong itu besok pasti akan datang lagi. Biarlah ia merasakan, bahwa ia tidak dapat bermain-main sekehendak hatinya dengan Manguri,. Besok ia akan ditangkap dan dibawa ke lumbung yang sudah tidak penuh lagi itu. Aku akan me ma ksanya berjanji untuk menjauhi Sindangsari. Setelah itu, baru aku akan mencari cara untuk menjerat burung liar itu" Lamat sa ma sekali tida k menjawab. Ia berja lan saja dengan kepala menunduk. Ikat kepalanya, yang membelit saja tanpa menutupi botaknya itu, berjuntai hampir sa mpai ke pundaknya. Sepeninggal Manguri dan La mat, Pamot menarik nafas dalam-da la m. Begitulah cara Manguri mengintai. Ia sama sekali tida k bersembunyi di balik tanaman, atau di balik batang-batang jarak di pojok-pojok sawah. Tetapi ia datang dengan dada tengadah, dan bahkan me manggil manggil namanya. Pamotpun ke mudian naik ke gubugnya perlahan-lahan. Kini ia sudah dapat beristirahat, justru setelah ia tahu, Manguri telah mendatanginya. Ia sadar, bahwa Manguri sengaja
menge litik harga dirinya, supaya besok ia benar-benar datang ke gubugnya. "He m, ternyata Lamat berkata sebenarnya" Pamotpun ke mudian merebahkan dirinya di atas galar yang kering, dialasi oleh se le mbar tikar yang kasar. Perlahan-lahan silirnya angin telah me mbelai keningnya, sehingga tanpa disadarinya, anak muda itupun akhirnya tertidur betapa ia mencoba untuk tidak lengah sekejappun. Pamot terkejut ketika ia mendengar derit di tangga gubugnya, sehingga gubugnya yang kecil itu berguncang. Dengan serta-merta ia bangkit sambil menyambar sabit di sampingnya. Namun ternyata bahwa sinar ke merah-merahan di timur telah menyilaukannya. "Pamot " ia mendengar seseorang me manggil. Kemudian sebuah kepala tersembul di hadapannya. Kepala ayahnya. Pamot menarik nafas dalam-dala m. Perlahan-lahan ia terhenyak duduk ke mbali. Sa mbil me letakkan sabitnya ia berkata "Ayah mengejutkan aku" "Kau mence maskan seluruh ke luarga di rumah. Kau t idak ke mbali pada saatnya" "Aku tertidur ayah" "Anak dungu" ayahnya mengumpat "ka mi yang di rumah tidak sekejappun dapat tidur. Kau tidur mendekur disini sampai matahari ha mpir terbit" Pamot menundukkan kepalanya. Tetapi ia tersenyum. Ia beringsut ketika ayahnya duduk di sa mpingnya. Diletakkannya paculnya di sudut gubugnya yang kecil itu. "Tida k terjadi sesuatu apapun ayah" berkata Pa mot. "Kau mengetahui bahwa tidak terjadi sesuatu. Tetapi kami tidak"
Pamot mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya "Aku tertidur disini" "Kau lengah Pa mot. Kalau selagi kau tidur terjadi sesuatu atasmu, maka kesalahan terbesar terletak padamu sendiri" "Tetapi aku tertidur setelah aku merasa, bahwa tidak akan terjadi sesuatu" "Bagaimana kau tahu?" "Setelah La mat mengantarkan Manguri datang ke mari" "Mereka datang?" Pamot mengangguk-anggukkan kepa lanya. Diceriterakannya tentang Manguri dan La mat yang lewat di pematang sawahnya sambil menyindir-nyindirnya. Ayahnya mengangguk-anggukkan kepalanya "Ka lau begitu ma la m nanti aga knya Manguri benar-benar mengharap kau berada di gubug ini Pa mot" "Ya ayah. Aku akan me menuhi keinginannya itu" Ayahnya menarik nafas dala m-dala m "kau terlalu dikuasai oleh perasaanmu. Perasaan seorang anak muda" "Tida k ayah. Aku akan me mbuat perhitungan seba ikbaiknya supaya aku tida k terjebak karenanya" "Perhitunganmu adalah perhitungan dipengaruhi oleh sifat-sifatmu" yang terlampau
Pamot mengerutkan keningnya. Terdengar ia berkata lirih "Aku akan mencoba untuk lebih dewasa berpikir ayah" Ayahnya mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun ke mudian ia berkata lirih "Aku sadar, bahwa pada suatu saat yang tua-tua inipun tidak akan dapat tinggal dia m. Aku lebih senang kalau kau tidak terlibat dala m persoalan se macam ini, apalagi dengan Manguri. Tetapi karena masalahnya sudah terlanjur, apaboleh buat"
Pamot tida k menjawab. Tetapi kepalanya menjadi se makin tunduk. "Pulanglah. Ibumu dan kake kmu menunggu. Mereka sama sekali t idak t idur sekejappun" "Baik ayah" Pamotpun ke mudian turun dari gubugnya, menjinjing sabitnya dan berjalan pulang. Di sepanjang jalan ia berusaha untuk mencari ja lan agar ia terhindar dari malapetaka tetapi tanpa menye mbunyikan diri di rumah atau dimanapun. "Aku bukan pengecut" desisnya. Langkah Pa mot tiba-tiba terhenti ketika ia melihat seseorang berjalan sambil berkerudung kain panjangnya. Sejenak ia berpikir dan sejenak ke mudian iapun me langkah semakin cepat me motong jalan orang itu, lewat pe matangpematang yang membujur lintang diantara tanaman-tanaman di sawah. "Punta" Pa mot me manggil. Yang dipanggil itupun ke mudian berhenti. Seorang anak muda sebaya dengan Pamot. Tetapi anak itu agak lebih pendek, namun ta mpaklah otot-ototnya menjelu-juri seluruh tubuhnya. "He, kau dari sawah?" bertanya Punta. Pamot mengangguk "Dari mana kau?" "Dari Kade mangan. Bukankah ma la m ini aku me ndapat giliran ronda?" Pamot mengingat-ingat "O, ya Aku masih tiga hari lagi" Punta mengangguk-anggukkan kepalanya. "Punta" berkata Pamot sungguh-sungguh "apakah kau mau menolong a ku?"
Punta mengerutkan keningnya "Apakah kau me mpunyai kesulitan" "Kau pasti sudah mendengar" jawab Pa mot. "Persoalanmu dengan Manguri?" "Ya" Pa mot menganggukkan kepalanya. Punta menarik nafas dala m-dala m. Sambil menganggukanggukkan kepalanya ia berkata "Pa mot. Aku adalah kawanmu yang dekat, seperti beberapa kawan yang lain. Tetapi untuk menca mpuri persoalanmu secara langsung, ka mi agak berkeberatan. Dengan demikian persoalan yang seharusnya semakin la ma menjadi sema kin pada m, justru akan menjadi sebaliknya. Aku me mbantumu, dan Manguri akan mencari kawan-kawan pula. Dengan de mikian persoalannya tidak akan dapat selesai" Punta berhenti sejenak "apakah tidak ada suatu cara yang baik untuk menyelesaikan masalah itu?" "Aku sudah berusaha me lupakannya Punta. Tetapi tiba-tiba aku dihadapkan pada suatu keharusan untuk melawan. Manguri terla mpau tinggi hati untuk berbicara sebagai seorang kawan. Semala m ia datang ke gubugku di sawah bersama Lamat. Agaknya ia memang akan me mbuat persoalan ini menjadi besar" Punta mengerutkan dilakukannya?" keningnya "Apa yang akan
Pamot ragu-ragu sejenak. Namun ke mudian ia berkata "Punta. Aku akan berkata sebenarnya dan apa yang ada. Terserah tanggapanmu atas persoalan itu" Pamot berhenti sejenak. Ketika Punta menganggukkan kepa lanya, maka Pamotpun menceriterakan masalahnya kepada Punta. Punta mengerutkan keningnya. Wajahnya kian la ma menjadi kian tegang. Sehingga akhirnya ia bertanya "kau berkata sebenarnya"
"Sudah aku katakan" jawab Pa mot "kau mengenal aku sejak kanak-kanak. Kau mengenal tabiat dan sifat-sifatku, sehingga seharusnya kau dapat menebak apakah aku berbohong ataukah aku berkata sebenarnya" "Pamot " jawab Punta "dalam persoalan sehari-hari kau me mang tidak pernah, atau katakanlah, jarang sekali berbohong. Tetapi dalam persoalan-persoalan yang khusus, kebiasaan kadang-kadang tidak berlaku lagi. Seseorang dapat berbuat aneh-aneh, dan bahkan bertentangan sama sekali dengan kebiasaan dan pandangan hidupnya sendiri. Apalagi seseorang yang sudah terlanjur terdorong masuk ke dala m suatu perbuatan. Biasanya ia akan terlalu sulit untuk menarik diri, meskipun untuk bertahan ia akan me mpergunakan caracara yang ditentang oleh hati nuraninya sendiri" Pamot mengangguk-anggukkan kepalanya. Terkilas sepintas diangan-angannya bayangan seorang raksasa botak yang bernama La mat. "Bukankah begitu?" bertanya Punta. "Kau benar Punta" jawab Pamot "tetapi bagaimana aku dapat meyakinkan kau, bahwa aku berkata sebenarnya?" Punta mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian iapun bertanya "Jadi bagaimana maksudmu sebenarnya?" "Sudah aku katakan bahwa aku akan mengatakan yang akan terjadi. Kemudian aku justru mengharap sikapmu" jawab Pamot "apakah kau menganggap bahwa hal itu sudah wajar, dan sudah wajar pula untuk dibiarkan tanpa tanggapan apapun, atau sudah wajar pula bahwa aku harus bersembunyi atau bagaimana?" Punta menepuk bahu Pa mot sambil tersenyum. Katanya "Baik Pa mot. Kau berhasil me maksa a ku menurut cara mu untuk melibatkan diri dala m persoalan ini" berkata Punta ke mudian "tetapi aku tidak akan bersikap mutlak. Aku akan me lihat perke mbangan keadaan. Seandainya ada perbedaan
antara ceriteramu dengan apa yang akan terjadi, aku dapat me lakukan tindakan-t indakan darurat" "Sudah aku katakan, terserah kepadamu" Punta mengangguk-anggukkan kepalanya "Me mang, agaknya kau tidak sedang bermain-main. Baiklah. Aku akan me mbantumu" "Ingat, Manguri akan me mbawa lima orang kawankawannya "Pamot berdesis, namun segera disusulinya "Bukan. Sama sekali bukan kawan-kawannya, tetapi orang-orang upahannya" Punta mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia bertanya "Pamot, apa yang akan kau lakukan seandainya kau tidak menjumpai a ku pagi ini?" Pamot mengerutkan keningnya. Katanya "Pada dasarnya aku me mang akan minta bantuan kepada kawan-kawanku. Tetapi seandainya aku tidak mene muimu disini, mungkin aku akan langsung menghubungi pe mimpin kelompok kita di Kademangan" Punta tersenyum. Katanya "kau sudah benar-benar kebingungan. Tetapi kau dapat me mpercayai aku. Aku tidak akan ingkar, selagi kau tidak menjerumuskan aku ke dala m kesulitan sekedar untuk me muaskan hatimu. Maksudku, kaulah yang mencari perkara. Tetapi selagi kau dala m sikap me mpertahankan dirimu dan kehormatanmu, aku akan me mbantumu" Pamot mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia berdesis "Terima kasih. Apakah aku harus datang ke rumahmu untuk me mberikan penjelasan tentang keadaanku dan tentang kelima orang itu?" " Aku kira keteranganmu sudah cukup jelas. Aku akan mencoba menyesuaikan diriku, mengenai tempat dan waktu. Kalau ada
keragu-raguan, biarlah aku datang ke rumahmu. Kalau aku sudah yakin, maka a ku tida k perlu lagi me nanyakan sesuatu" "Terima kasih" "Mudah-mudahan kita berhasil. Sebenarnya akupun tidak dapat melihat Manguri berbuat sekehendak hatinya lebih la ma lagi. Tetapi sudah tentu aku tidak akan berselisih dengan siapapun tanpa sebab" Pamot mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekali lagi ia berkata "Terima kasih. Aku percaya kepadamu" Keduanyapun ke mudian berpisah. Pamot sudah me njadi agak lega, bahwa ia sudah berhasil mene mukan jalan yang mungkin dapat menghindarkannya dari bencana. Bukan sekedar bersembunyi dan menunda penyelesaian. Kalau kali ini ia dan kawan-kawannya berhasil, maka hal itu akan merupakan peringatan bagi keluarga Manguri" "Tetapi bagaimana ka lau Punta gagal?" desisnya "Kalau Punta tidak dapat mengatasi dan mengalahkan orang-orang Manguri, maka mereka akan menjadi se makin besar kepa la" Kembali keragu-raguan me mbayang di hati Pamot. Namun meskipun de mikian ia tidak lagi terombang-a mbing dala m keadaan yang tidak menentu. Kalah atau menang, entahlah. Tetapi kalau ia tidak seorang diri, maka persoalannya akan. Manguri tidak lain akan dapat berbuat terlampau banyak terhadap beberapa orang sekaligus. Ketika ia me masuki hala man rumahnya, matahari sudah menjenguk dari balik perbukitan. Kakeknya sudah mulai menyapu hala man dan ibunya sudah sibuk menuang air panas ke dala m mangkuk. Ketika mereka melihat Pamot pulang, dengan serta merta merekapun segera menyongsongnya. "Bagaimana dengan kau Pa mot?" bertanya kakeknya. "La mat berkata sebenarnya, kakek. Tidak ada apa-apa yang terjadi atasku"
"Tetapi kenapa kau jauh terlambat pulang" Apakah kau tidak berte mu dengan ayahmu" "Ketika ayah sa mpai ke gubug, aku masih ada disana. Agaknya aku tertidur se mala m" "He m" kakeknya menarik nafas dalam-dala m "dala m keadaan serupa itu kau masih juga dapat tidur. Bukan ma in. Kamilah yang se mala m se lalu gelisah. Ka lau aku tahu, akulah yang menyusul kau ke sawah. Aku ikat kaki dan tanganmu dengan tiang-tiang gubug" Pamot tida k menjawab. Tetapi ia tersenyum di dala m hati. Namun dengan demikian ia kini menyadari, bahwa seluruh keluarga telah ikut menjadi gelisah karena pokalnya. Ayahnya, ibunya dan kakeknya yang sudah tua itupun mence maskannya. Bahkan semala m suntuk mereka sama sekali t idak tertidur. "Aku telah me mbuat mereka selalu gelisah" katanya di dalam hati. Tetapi sudah tentu Pa mot tidak dapat berbuat lain. Ia masih tetap merasa sebagai seorang anak la ki-laki yang tidak boleh melarikan diri dari kesulitan. "Minumlah" berkata ibunya ke mudian. Pamotpun ke mudian masuk keruang dala m dan duduk di atas sebuah amben besar. Sambil menyeka keringat dinginnya yang mengalir karena berbagai masalah yang bergejolak di dalam dadanya, ia melepaskan ikat kepalanya. Ke mudian menggantungkannya pada dinding di sebelah pintu masuk ke dalam bilik kiri. Sambil bertelekan pada la mbungnya ia mengge liat. "Kalau kau akan mencuci muka, pergilah kesumur lebih dahulu" berkata ibunya. "Baik bu" jawab Pa mot sa mbil mengangguk. Ibunya ternyata begitu banyak menaruh perhatian kepadanya. Hal itu
sudah berjalan bertahun-tahun sejak ia masih kanak-kanak masih bayi dan bahkan sejak di dalam kandungan. Tetapi dalam keadaan yang demikian, kece masan seorang ibu menjadi semakin terasa. Bahkan mungkin kegelisahan ibunya me la mpaui kegelisahannya sendiri. Pamotpun ke mudian pergi kesumur me mbersihkan dirinya. Ia tidak melupa kan tanaman sirihnya. Disira mnya batangbatang sirih itu dengan beberapa timba air yang dialirkannya lewat sebuah parit kecil. Setelah minum beberapa teguk air hangat, Pamot tidak me lewatkan tugas-tugasnya di rumah. Me mbersihkan kebun belakang, kandang kerbau dan me ngisi te mpat air di dapur. "Beristirahatlah" berkata ibunya "kau tentu lelah" Pamot mengerutkan keningnya. Setiap mala m ia pergi ke sawah. Setiap mala m ia mela kukan pekerjaan serupa, bahkan kadang-kadang ia sama sekali tida k tidur menunggui air. Di pagi harinya kerja yang itu-itu juga yang dilakukannya. Bahkan kadang-kadang me mbe lah kayu. Tetapi kini tiba-tiba ibunya menyusurnya beristirahat. Karena itu, maka Jawabnya "Aku t idak lelah ibu" Ibunya tidak segera menyahut. Dipandanginya wajah anaknya. Wajah itu sama sekali tidak me mbayangkan kecemasan, kegelisahan dan ke lelahan, karena Pa mot me mang berusaha untuk menyembunyikannya di hadapan ibunya. "Ibulah yang agaknya lelah" berkata Pamot kemudian "bukankah aku sudah biasa melakukan pekerjaan ini. Bahkan semakin a ku dapat tidur di atas gubug" Ibunya menjadi heran pula. Kenapa tiba-tiba ia menganggap ana knya menjadi terla mpau sibuk dan banyak sekali me mbuang tenaga.
"Pamot benar" katanya di dalam hati "A ku sendirilah yang kebetulan le lah sekali. Lelah, ge lisah, dan ce mas" Hari itu Pa mot sa ma sekali tidak menunjukkan tanda-tanda yang aneh. Ia melakukan pekerjaannya sehari-hari seperti biasanya. Di siang hari ia masih juga pergi ke pategalan me mbawa sebuah kapak untuk mencari kayu bakar. Tetapi tidak setahu keluarganya, ketika ia pulang dari pategalan ia me merlukan singgah juga ke rumah Punta. "Bagaimana Punta?" bertanya Pamot" "Darimana kau?" bertanya Punta pula. "Dari pategalan" "Jangan cemas. Aku sudah berusaha. Mudah-mudahan usahaku berhasil" "Terima kasih" "Aku akan berada di te mpat yang baik. Aku akan datang jauh sebelum saat yang kita duga itu" "Terima kasih" Pamot merasa menjadi se makin ringan. Beban yang menghimpit jantungnya telah tersalurkan untuk sebagian, sehingga dadanya tidak lagi terasa seakan-akan pepat. Ketika ia sa mpai di rumah, ayahnya telah berada di rumah pula. Sejenak ke mudian merekapun ma kan bersama-sa ma. Dan sudah tentu pula mereka berbicara tentang ke mungkinan yang dapat terjadi atas Pamot, ma la m nanti" "Aku sudah menghubungi kawanku" berkata Pamot. "Siapa?" "Punta"
Ayahnya mengangguk-anggukkan kepalanya, Katanya "Anak baik. Aku percaya kepadanya, meskipun keadaannya tidak lebih dari keadaan keluarga kita" Kakeknyapun mengangguk-anggukkan "'Mudah-mudahan ia dapat menolongmu" pula. Katanya
Semakin sore, ibu Pa mot menjadi se makin gelisah. Meskipun Pamot sendiri dan ayahnya masih juga pergi ke sawah. Berbagai macam bayangan hilir mudik di kepalanya. Kalau terjadi sesuatu atas anaknya, maka hatinya pasti akan hancur seperti mangkuk yang terjatuh di atas batu puala m. "Kakek" berkata Pamot kepada kakeknya, ketika kakeknya berada di hala man bela kang tanpa ada orang lain "apakah ma la m nanti aku juga tida k boleh bersenjata?" Kakeknya mengerutkan keningnya. Sejenak kemudian ia berdesis "Pa mot, mala m nanti kau a kan menghadapi orang orang yang lain dari Manguri sendiri. Mereka adalah orangorang upahan yang tidak me mpergunakan nalar sa ma se kali" Pamot mengangguk-angguk. "Mereka hanya sekedar menjalankan perintah Manguri. Bukankah mere ka diperintahkan menangkap kau hidup-hidup dan me mbawa ke rumah Manguri?" "Ya" Mereka tidak akan me mpergunakan senjata yang akan dapat me mbahayakan nyawamu" "Ya, tetapi aku sendiri baga imana" Apakah aku boleh me mbawa senjata atau tidak?" Sekali lagi ka kek itu merenung sa mbil mengerutkan keningnya. Sejenak kemudian ia menjawab "Ba iklah. Orangorang yang akan kau hadapi adalah orang-orang liar. Mereka tidak mau gagal, sehingga mereka kehilangan upah yang sudah dijanjikan"
Pamot mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tahu benar maksud kata-kata kakeknya. Orang-orang itu menggantungkan hasil kerjanya pada usaha mereka menangkap Pamot. Kalau mereka berhasil, mereka akan mendapat upah, kalau tidak, mereka tidak akan mendapat apa-apa. Jadi dengan demikian, tujuan mereka hanyalah menangkap Pa mot, tanpa menghiraukan apapun juga. "Maka dari itu, kau harus benar-benar siap me nghadapi keadaan" berkata kakeknya pula "apakah Punta sudah benar benar dapat kau percaya?" "Aku percaya kek" "Dima na mereka akan menunggu kau?" "Mereka tidak menyebutkannya. Tetapi mereka akan datang jatuh sebelum saat-saat yang aku duga itu tiba, tengah ma la m" "Bagus" berkata kakeknya "sekarang beristirahatlah. Sebentar lagi hari akan gelap. Kau harus bersiap-siap untuk pergi. Ibumu pasti tidak akan dapat tidur se mala m suntuk" Pamot menganggukkan kepa lanya. Maka sejenak kemudian Pamotpun segera pergi ke sumur. Setelah me mbersihkan diri, sebagaimana biasa setelah matahari terbena m, merekapun duduk di atas amben yang besar di ruang tengah mengitari makan mala m. Tetapi tidak seorangpun yang dapat makan dengan enaknya. Semuanya sudah mulai dibayangi oleh kegelisahan tentang keadaan Pamot pada mala m yang sudah mulai meraba pedukuhan Ge mulung itu. Namun dengan de mikian, mereka justru tida k terla mpau banyak berbicara seperti biasanya. Pamot menyuapi mulutnya sambil menunduk. Ibunya ha mpir tidak me nelan nasi sama sekali, sedang ayah dan kakeknya hanya berbicara satu-satu.
Dan pe mbicaraan mereka itupun berkisar pada keadaan Pamot, Manguri, Punta dan La mat. "Kau me mang harus berhati-hati Pamot" desis kakeknya ke mudian. Sedang ayahnya menyambung "Ka lau Punta salah hitung, maka keadaan akan sangat berla inan. Dala m keadaan yang demikian, kau jangan terla mpau me mbiarkan hatimu berbicara, tetapi otakmu" "Baik ayah" "Nah, sekarang kau masih me mpunyai waktu untuk beristirahat atau me lakukan apa-apa yang perlu buat mu" "Aku akan berangkat agak awal ayah. Mungkin aku me merlukan sesuatu" "Bagaimana dengan Punta?" kakeknya masih mencoba menegaskan. "Ia akan datang lebih awal juga" Ayahnya mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya ke mudian "Kalau hal itu kau anggap menguntungkan, maka terserahlah kepadamu" "Baiklah ayah" jawab Pa mot "aku a kan dapat melihat keadaan sebelumnya " Pamotpun ke mudian me mpersiapkan dirinya, meskipun hatinya juga dirayapi oleh kegelisahan. Ia masih juga cemas, bagaimana kalau Punta tidak dapat me menuhi janjinya. Tetapi ia me mang keras hati. Ia tidak mau surut selangkah. Apapun yang akan terjadi, harus dihadapinya. Mala m itu Pamot berangkat jauh sebelum waktu yang biasa dilakukannya. Ia berjalan berkerudung ka in panjangnya untuk menye mbunyikan sarung parangnya yang mencuat di la mbung kirinya.
"He, kemana kau Pa mot?" bertanya seorang kawannya, seorang anak muda yang bertubuh tinggi tegap. "Melihat air di sawah" jawab Pa mot. "Masih terlalu sore. Marilah kita duduk-duduk di gardu" "Terima kasih. Nanti, setelah aku pulang dari sawah, aku akan duduk-duduk di gardu" "Ah kau" berkata anak muda itu "Kenapa tergesa-gesa?" "Sore tadi aku tidak pergi ke sawah. Sekarang aku harus menengoknya " "Aku me lihat kau pergi dengan ayahmu" Pamot mengerutkan keningnya. Tetapi kemudian ia berguma m "O, ya. Aku lupa. Tetapi se karang aku perlu se kali" Kawannya tidak segera menjawab. Dan Pamotpun terdiam sejenak. Ia menjadi ragu-ragu. Anak muda yang bertubuh tinggi tegap itu adalah kawannya bermain sejak kecil. Kawan yang baik. Kalau ia me mberitahukan kesulitannya, maka ia pasti akan me mbantunya seperti Punta. "Tetapi aku sudah menyerahkan se mua persoalan kepada Punta" berkata Pamot di dala m hatinya "kalau aku masih menghubungi orang la in, ma ka aku akan dianggapnya kurang me mpercayainya. Akupun, menurut pendapatku, sudah tidak keliru lagi, karena Punta adalah tetua, meskipun tida k resmi, dari anak-anak muda ge mulung yang setiap ka li ikut pergi ke Kademangan termasuk anak ini" "Maaf" Pamot ke mudian berkata "lain kali kita bermainma in. Sekarang aku takut ayah marah" Pamot menjadi heran ketika ia melihat anak muda yang bertubuh tinggi itu tertawa "Kau Pamot. Ada-ada saja yang kau la kukan" "Kenapa?" Pa mot menjadi heran.
Tiba-tiba saja, tanpa di sangka-sangka anak muda itu meraba la mbung Pa mot, sehingga Pa mot terkejut. "Apa yang kau bawa itu" Parang" Golok?" "Hus" Pa mot berdesis. "Aku sudah curiga. Biasanya kau membawa sabit atau cangkul atau kapak. Tetapi sekarang kau me mbawa parang di dalam sarungnya. Kenapa?" Pamot menjadi ragu-ragu sejenak. Tetapi ke mudian ia menjawab "Aku me mang sering me mbawa parang, sejak babi hutan itu mengganggu tana man. Bahkan akhir-akhir ini aku mendengar ada seekor harimau yang berkeliaran di daerah persawahan" Tetapi Pamot menjadi se makin heran ketika kawannya itu tertawa semakin keras. Katanya "Baik, baik. Pergilah. Sebentar lagi a ku juga akan pergi ke sekitar sawahmu" "Kenapa?" dada Pa mot berdesir. Tetapi anak itu masih saja tertawa. "Kenapa?" Pa mot mendesak. Akhirnya anak muda itu berkata "Jangan gelisah. Aku tahu semua persoalan yang sedang kau hadapi. Bukankah kau akan berkelahi" Kau sudah bersiaga dengan senjata itu" "Kau mimpi" jawab Pa mot. "Punta sudah mene mui aku. Bukankah kau harus menghadapi lima orang bayaran yang akan dikirim oleh Manguri?" Wajah Pamot menjadi tegang. Tetapi anak muda itu masih tertawa juga "Aku adalah salah seorang dari kawan-kawan kita yang akan pergi bersa ma Punta" Kini Pa mot menarik nafas dala m. Sambil me mukul lengan kawannya yang tinggi besar itu ia berdesis "Kau me mbuat aku
hampir gila" katanya "terima kasih. Mudah-mudahan kita berhasil" "Aku me mang sudah muak pula melihat tingkah laku Manguri. Kadang-kadang aku me mang menunggu, kapan aku mendapat kese mpatan serupa ini tanpa me mula inya. Kini kita tidak akan dapat dipersalahkan oleh siapapun, karena kita me mang me mbela diri. Setidak-tidaknya kau sedang me mbela dirimu" "Terima kasih. Aku me mang mengharap bantuan kalian. Aku tidak dapat me lawannya seorang diri. Manguri me mpunyai uang untuk mela kukan apa saja. Tetapi aku me mpunyai kawan" Anak yang tinggi tegap itu masih saja tertawa "Pergilah. Aku akan menyusul ke lak" Pamotpun segera melanjut kan perjalanannya. Kini hatinya menjadi semakin tenteram. Setidak-tidaknya ia sudah me mpunyai dua orang kawan. Yang tinggi tegap itu beserta Punta sendiri. Bertiga dengan dirinya sendiri. "Kalau mereka benar-benar hanya berlima, maka tiga dari kami sudah cukup untuk menghadapinya" desis Pamot di dalam hatinya. Namun ke mudian "Tetapi aku be lum tahu, siapakah yang lima itu?" Di sepanjang jalan Pamot selalu me mbayangkan apa yang kira-kira bakal terjadi. Ia sama sekali tidak menghiraukan lagi gemericik air di parit, di bawah kakinya. Batang-batang jagung muda yang hijau dan kunang-kunang yang bertebaran seakan-akan tidak ta mpak di matanya. Tetapi Pa mot menarik nafas dala m-dala m ketika terasa angin yang silir mengusap wajahnya yang berkeringat. "He m" Pa mot menarik nafas sekali lagi dan sekali lagi, seakan-akan akan di hirupnya udara mala m di seluruh padang.
Sebenarnya Pamot sama sekali t idak menghenda ki ha l-hal yang dapat mengguncangkan ketenteraman hidup rakyat Gemulung. Tetapi apabila tida k ada sikap apapun, ma ka yang sudah berjalan itu akan berjalan terus tanpa batas. Khususnya di lingkungan anak-anak muda dan gadis-gadis. Perbuatan Manguri benar-benar tidak dapat dibiarkannya. "Tetapi apakah aku sudah bertindak tepat" bertanya Pamot kepada diri sendiri "Aku seolah-olah sekedar menuruti perasaan. Kawan-kawan akan terlibat dalam bentrokan karena hubunganku dengan Sindangsari. Kalau ha l itu yang akan dijadikan sumber dari benturan ini, ma ka akulah yang telah menyeret kawan-kawan itu ke dalam kesulitan. Apalagi apabila di antaranya ada yang cidera" Pamot justru menjadi termangu-ma ngu. "Tetapi semuanya sudah terlanjur, "untuk menentera mkan hatinya Pamotpun berkata kepada diri sendiri "mereka tidak sekedar me mbantuku. Tetapi mereka me mang berpendirian, bahwa kelakuan Manguri itu sudah tidak pantas lagi" Pamotpun ke mudian menaiki gubugnya jauh sebelum masanya, seperti yang dilakukannya sehari-hari. Tetapi dengan demikian ia masih se mpat mengatur getar di dadanya. Dari atas gubugnya ia mencoba melihat-lihat berkeliling. Tetapi ia tidak melihat sesuatu, selain hitamnya ma la m dan daun-daun yang hijau gelap me njorok ke da la m ke la m. Tanpa sesadarnya Pamot meraba-raba hulu parangnya. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata kepada diri sendiri "Aku tidak me mulainya" Sementara itu, agak jauh dari padukuhan Gemulung, di bawah sebatang pohon nyamplung yang besar dan rimbun, beberapa orang sedang duduk sambil berke lakar. Di antara mereka terdapat Manguri dikawani oleh La mat. "Sebentar lagi kalian harus berangkat ke gubug itu" berkata Manguri "biasanya hampir tengah mala m ia baru datang,
Jangan terlalu banyak menimbulkan kegaduhan, karena kadang-kadang ada juga orang lain yang berkeliaran di sepanjang pematang menyusur air. Kalian harus bertindak cepat, dan membawa anak itu ma la m ini juga ke rumah. Ia harus benar-benar jera. Bukan saja tidak lagi mengganggu gadis itu, tetapi ia tidak boleh me mbuka mulutnya kalau ia ingin sela mat" Orang-orang yang duduk di bawah pohon nyamplung itu mengangguk-angguk. Salah seorang menjawab "Kau masih saja ragu-ragu. Seharusnya kau sudah mengenal ka mi dengan baik" Manguri menggelengkan kepa lanya. Jawabnya "Di dala m setiap persoalan yang baru, aku harus menganggapnya kalian orang-orang baru. Persoalan kita bukan sekedar persoalan yang dapat diselesaikan dengan kebiasaan, karena kerja yang kita hadapipun bukan masalah kebiasaan pula. Orang-orang yang kau hadapi adalah orang-orang yang berbeda-beda yang kadang-kadang kau belum tahu, sampai dimana ke ma mpuannya" "Meskipun seandainya anak itu dapat menangkap angin, kami t idak a kan gagal" Manguri mudahan" mengangguk-anggukan kepa lanya "Mudah-
"Nah, kapan ka mi harus berangkat?" "Kau dapat saja berangkat se karang. Tetapi awas jangan sampai seorangpun yang mengetahui kehadiran kalian. Ka lian akan tampak sebagai orang-orang asing di padukuhan ini. Kecurigaan yang dapat timbul pasti akan mengganggu pekerjaanmu" "Baiklah. Ka mi akan berangkat saja sekarang. Ka mu sudah tahu benar letak gubug yang kau katakan.
Manguri mengangguk-anggukkan kepalanya. Na mun ke mudian ia berpalingkepada Lamat sambil berkata "Apakah kalian me merlukan seorang penunjuk jalan?" Orang-orang upahan itu menjadi ragu-ragu sejenak. Merekapun me mandang La mat dengan wajah bertanya-tanya. Sementara itu, dada La mat menjadi berdebar-debar. Kalau ia langsung dilibatkan ke da la m masalah yang rumit ini, ia pasti tidak akan dapat menghindar lagi. Bersa ma-sama dengan kelima orang itu ia tidak akan dapat berpura-pura. Ia harus ikut bersa ma mereka menangkap Pa mot dan me mbawanya ke rumah Manguri. Tetapi setitik e mbun serasa jatuh ke dinding jantungnya ketika ia mendengar salah seorang dari kelima orang itu berkata "Tida k perlu. Kehadirannya akan me ngurangi nilai kerja kami. Seakan-akan tanpa orang lain kami tidak ma mpu menyelesaikannya, sehingga tidak akan ada alasan bagimu untuk me motong upah yang sudah kau janjikan" "Gila" Manguri berdesis "kau kira a ku berpikir sa mpai kesana?" Kelima orang itu tertawa "Jangan tersinggung" berkata salah seorang dari mereka "ka mi pernah menga la mi hal serupa itu" "Tetapi bukan aku" "Ya, bukan kau" "Baik. La mat tidak akan menyertai kalian. Tetapi ingat, jangan gagal" Sekali lagi ke lima orang itu tertawa hampir berbareng. Salah seorang dari mereka menjawab "Kau tampaknya kurang percaya kepada kami" Manguri tida k menjawab. Dicobanya menga mati kelima orang itu satu demi satu. Sambil mengangguk-anggukkan
kepalanya ia berkata di dalam hati "Mereka sudah terlampau biasa mela kukan pekerjaan ini. Mudah-mudahan mereka berhasil" Sejenak ke mudian ma ka ke lima orang itupun minta diri. Mereka berjalan menyusur ja lan kecil di pinggir parit sebelum me loncat ke sebuah pe matang. "La mat" desis Manguri "apakah kau dapat me mpercayai mereka, bahwa mereka akan berhasil" "Sudah tentu" sahut La mat. "Bohong" tiba-tiba Manguri me mbentak "jawab yang sebenarnya. Apakah kelima orang itu lebih kuat dari kau seorang diri menghadapi Pa mot" "Ya, ya" Lamat tergagap "aku kira mereka pasti lebih kuat daripada aku seorang diri. Mereka dapat menghadapi lawannya yang hanya seorang itu dari lima arah yang akan sangat me mbingungkan" Manguri mengangguk-anggukkan kepa lanya. Katanya "Kalau kau tida k terla mpau dungu, aku tidak perlu me mperguna kan orang-orang semaca m monyet-monyet itu. Seharusnya kau dapat memutar leher Pamot. tetapi kau gagal. Mudah-mudahan orang-orang itu tidak gagal" Lamat tidak menjawab. Wajahnya yang keras seolah-olah tambah mengeras seperti sebongkah batu asahan. Namun terasa goresan-goresan yang pedih pada dinding hatinya yang lunak. Perlahan-lahan kepalanya menunduk-meskipun ia masih tetap berdiri tegak di atas kakinya yang renggang. Manguri masih berdiri di te mpatnya, me mandang ke arah kelima orang upahannya itu menghilang di ba lik tana man. Terbayang orang-orang yang kasar dan kuat itu mengepung Pamot yang ketakutan.
"Huh" tiba-tiba ia berguma m "salahnya sendiri. Kalau ia tidak me mbuat persoalan dengan Manguri, ma ka tida k akan terjadi bencana baginya" Lamat mengangkat wajahnya. Di pandanginya saja Manguri yang masih berdiri tegak sa mbil mengangguk-anggukkan kepalanya. "La mat" katanya "bagaimana, seandainya kau seorang diri harus berkelahi me lawan kelima nya" Apakah kau akan mampu menga lahkannya?" Dada Lamat menjadi berdebar-debar ke mbali. Ia tidak tahu maksud itu. Apakah sesudah mereka menangkap Pa mot, ke mudian ia harus mengusir ke lima orang itu" "He, apakah kau sudah mati?" bentak Manguri "kenapa kau dia m saja?" Lamat menarik nafas dalam-da la m. Ke mudian jawabnya "Aku belum dapat mengatakan. Aku belum mengetahui, sampai dimana ke ma mpuan mereka seorang de mi seorang. "Tetapi apakah kau berani me lawan mereka berlima" "Aku tidak pernah takut terhadap apapun dan siapapun. Tetapi aku tida k dapat mengatakan, apakah aku akan dapat me menangkan perke lahian itu?" Manguri mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya "Kau me mang berani. Tetapi kau terla mpau bodoh. Kau tidak dapat menangkap Pa mot, meskipun kau dapat menyakitinya" Sekali lagi La mat menarik nafas. Sudah lebih dari seribu kali Manguri menyebutnya sebagai seorang yang bodoh karena tidak dapat menangkap Pa mot. Untunglah tida k tersengaja, Pamot telah me mbentur batu, sehingga wajahnya menjadi bengkak dan biru pengab. Kalau Manguri tidak melihat bengkak itu, maka ia akan me ngumpatinya setiap saat.
"Marilah kita pulang. Aku mengharap kelimanya berhasil. Menilik badan mereka yang kekar. Wajah mereka yang keras dan bengis. Mata yang menyala seperti mata kucing. Dan nafsu yang tidak terkendalikan untuk mendapatkan uang" Manguri menarik nafas dalam-dala m. Ke mudian "yang bertubuh jangkung meskipun agak kurus itu me miliki sepasang mata seperti mata setan. Sedang yang berjambang lebat dan berkumis jarang itu bagaikan seriga la yang kelaparan" Manguri tertawa berkepanjangan. Sambil mengayunkan kakinya ia berkata di sela-sela tertawanya "Aku akan melihat, bagaimana Pa mot menjadi ketakutan. Aku akan me mbuatnya jera. Sebenarnya jera" Dan suara tertawa Manguri melengking di sepinya ma la m, di tengah-tengah bulak yang sunyi. Keduanyapun ke mudian berjalan se ma kin la ma se makin cepat, pulang ke rumah Manguri. Di sudut desa mereka me lihat beberapa orang anak-anak muda yang meronda. Salah seorang dari anak muda itu menyapanya "Siapa he?" "Buka matamu" jawab Manguri "aku Manguri bersama Lamat" Anak muda yang bertanya itu serasa tersentuh api di ujung telinganya. Tiba-tiba saja ia meloncat turun dari gardu. Na mun ketika terpandang wajah La mat yang kasar, dan matanya yang serasa akan menelannya, anak muda itu menahan dirinya. "Darimana kau Manguri?" bertanya anak muda itu. "Itu urusanku" "Biasanya kau tidak sekasar itu" berkata anak muda yang berada di gardu. Kawan-kawannyapun satu persatu turun dan berdiri berjajar di muka gardu. Empat orang. di Manguri tidak segera menjawab. Na mun tiba-tiba terbersit hatinya, kemungkinan-ke mungkinan yang tidak
menyenangkan. Kini ia sedang menghadapi Pa mot, yang jauh lebih dekat pada anak-anak muda itu daripadanya sendiri. Karena itu, maka iapun ke mudian me njawab "a ku tergesagesa. Maaf mungkin a ku terla mpau kasar" Anak-anak muda yang berdiri di muka gardu itu menarik nafas. "Aku akan pulang" Tidak seorangpun yang menjawab. Dan tiba-tiba Manguri bertanya "He, apakah kalian sudah mendapat minum dan makanan?" Anak-anak muda yang sedang meronda itu saling berpandangan sesaat. Salah seorang dari mereka menjawab "Nanti, tengah mala m" "Kenapa kalian tidak be li saja gula kelapa dan ketela pohung" Ke mudian merebus air dan ketela sambil duduk menge lilingi perapian" Tidak seorangpun yang menjawab. "Mungkin ka lian me merlukan uang" Manguri menga mbil beberapa keping uang dari sa ku ikat pinggangnya "ka lian dapat me mbelinya" Anak-anak muda yang sedang berdiri di muka gardu itu menjadi termangu-mangu. Na mun slah seorang dari mereka menjawab "Terima kasih Manguri. Tetapi tida k ada penjual gula ke lapa dan pohung yang masih ada di ma la m begini" "O" Manguri mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya "Aku akan mengirimkan dari rumah" "Tengah ma la m ka mi sudah mendapatkannya " "Sebelum tengah mala m, agar ka lian tidak kedinginan"
Manguri tidak menunggu jawaban anak-anak muda itu. Ia berjalan terus dengan tergesa-gesa. Di belakangnya Lamat mengayunkan kakinya sa mbil menundukkan kepalanya. Begitu Manguri masuk ke hala man rumahnya, langsung ia pergi ke belakang, me mbangunkan pe mbantu rumah tangganya. "Rebus ketan hitam seberuk" Lamat mengerutkan keningnya. Di gardu hanya ada empat orang. Betapa besar perut mereka, namun mereka tidak akan dapat menghabiskan ketan seberuk. Tetapi ia tidak berkata apapun. Ia duduk saja di muka pintu dapur menunggui orang-orang yang merebus ketan sambil bersungut-sungut. Ia tahu benar, bahwa ialah yang nanti harus mengantarkan ketan itu ke gardu. Sepeninggal Manguri, anak-anak muda yang berada di gardu itupun menjadi terheran-heran. Sikap Manguri agak terasa asing bagi mereka. Biasanya, meskipun tida k terlampau baik. Manguri bukanlah orang yang bersikap terlalu kasar, meskipun ana k-anak muda itu mengetahui, bahwa wataknya terlampau sombong. Tetapi ia tidak juga akan seramah mala m itu. Menyediakan uang untuk me mbeli pohung dan gula kelapa. "Biasanya hanya gadis-gadislah yang sering diberinya uang disiang hari untuk me mbe li rujak nanas, atau rujak degan" desis salah seorang dari mereka. "Aneh" berkata yang lain "pasti pada sesuatu yang sedang dipikirkannya. Mungkin ia tergila-gila kepada seorang gadis, dan mala m ini baru saja pergi me la marnya. Kawannya tersenyum. Katanya "Anak itu sedang tergila-gila kepada Sindangsari. Bukankah ia pernah berkelahi melawan Pamot karena ia me ncegat Sindangsari di sawah dan kebetulan Pa mot me lihatnya"
"Itu hanya karena salah paham" berkata yang lain, yang seakan-akan mengetahui persoalannya dengan pasti. Tetapi pe mbicaraan itu terhenti, ketika ha mpir tengah ma la m, Lamat datang dengan ketan yang masih hangat. Beberapa tangkep gula kelapa dan sebungkus ke lapa parut. "Aku disuruh Manguri menyampa ikan ini kepada kalian" suara Lamat da la m dan datar. Sekali lagi anak-anak muda yang sedang bertugas ronda itu saling berpandangan. "Terima lah. Tida k ada apa-apanya " Salah seorang dari para peronda itu menerimanya sa mbil berkata "Terima kasih" "Kalian akan menjadi hangat. Kemudian ka lian akan dapat tidur dengan nyenyak" "Ka mi sedang ronda. Ka mi tida k akan tidur" "Manguri berpesan, agar kalian ma kan ketan itu dan menghabiskannya" "Terima kasih" Lamatpun ke mudian meningga lkan gardu itu dengan langkah yang la mban. Kee mpat anak-anak muda yang berada di gardu itu me ma ndanginya dengan mata yang ha mpir tidak berkedip. "Hantu yang mena kutkan" desis salah seorang dari mereka "kalau tanganmu dapat dire masnya, maka tulang-tulangmu pasti akan remuk. Selain bertubuh raksasa, ia me mang me mpunyai tenaga raksasa" "Ia merupakan pengawal yang sangat patuh kepada Manguri. Apapun yang dikatakannya. Bahkan kadang-kadang ia di bentak-bentaknya"
Anak-anak itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ke mudian merekapun segera me mbuka bungkusan ketan ireng, kelapa parut dengan sedikit gara m dan gula kelapa. Dengan lahapnya mereka ma kan kiriman itu, tanpa menghiraukan lagi apa yang telah terjadi di bagian-bagian lain dari padukuhannya. Menjelang tengah mala m, di tengah-tengah sawahnya Pamot menjadi gelisah. Ia tidak me lihat seorangpun di sekitarnya. Ia tidak melihat Punta, tetapi juga tidak melihat orang-orang Manguri yang lima. Dengan dada yang berdebar-debar Pamot turun dari gubugnya. Ia lebih merasa aman di bawah daripada di atas. Di bawah ia banyak mendapat kesempatan, kalau perlu untuk bekejar-kejaran. Kalau lawannya lebih banyak jumlahnya, maka bekejar-kejaran adalah permainan yang me ngasikkan. Dengan dada berdebar-debar Pa mot berdiri tegak bersandar tiang gubugnya. Tangannya sudah melekat di hulu parangnya. Setiap saat ia siap untuk menghadapi setiap ke mungkinan. Tetapi Pamot rasa-rasanya masih dihadapkan pada suatu teka-teki. Apakah yang dikatakan Lamat seluruhnya benar, atau seandainya benar, apakah Manguri tidak merubah rencananya" Seandainya tidak, apakah Punta dapat menepati janjinya". Teka-teki itu telah me mbuat Pa mot menjadi se makin gelisah. Dadanya serasa sesak oleh bayangan-bayangan yang tidak menentu. Ingin rasanya ia berteriak sekuat-kuatnya untuk melepaskan himpitan di dala m dadanya yang sudah hampir tida k tertahankan lagi. Di rumahnya Manguripun selalu diganggu oleh kegelisahan. Semakin dekat dengan tengah mala m, hatinya menjadi semakin berdebar-debar. Ia mengharap kelima orang suruhannya itu segera menyelesaikan tugasnya dan membawa
Pamot ke lumbung di belakang. Ia akan dapat berbuat apa saja atas anak muda itu, dan menganca mnya untuk tidak mengatakannya kepada siapapun. Di bilik bela kang, Lamatpun menjadi gelisah pula. Terbayang kesulitan yang bakal diala mi oleh Pa mot, yang menurut penilaiannya pasti tidak bersalah. Lamat menarik nafas dalam-dala m. Ia tahu benar apa yang telah terjadi dengan gadis-gadis yang pernah berhubungan dengan Manguri. Kasar atau halus, mereka telah terpaksa mengorbankan apa saja yang mereka miliki. Ke mudian kasar atau halus, mereka harus pergi dengan tuduhan yang hina lari bersama la ki-laki. Dada Lamat menjadi berdebar-debar semakin keras, seperti juga Manguri dan Pa mot. Ia sadar, bahwa ia telah turut ambil bagian di dala m segala maca m kecurangan yang telah dilakukan oleh Manguri meskipun hanya sekedar menakutnakuti. "Apakah hidupku untuk seterusnya tidak akan mengalami perubahan?" pertanyaan itu selalu mengganggunya "sa mpai saat ini aku tida k lebih dari sesosok hantu yang dapat menakut-nakuti setiap orang di Ge mulung" Tanpa sesadarnya Lamat berjalan hilir mudik di dala m biliknya Pada saat yang bersamaan Manguripun telah sa mpai pada puncak kegelisahannya. Di kejauhan sudah mulai terdengar ayam jantan berkokok untuk yang pertama kalinya. Tengah mala m. "O, apakah orang-orang sudah mati dice kik hantu" geramnya. Tetapi tengah mala m adalah waktu yang dipilih oleh kelima orang upahan Manguri itu untuk merayap mendekati gubug Pamot. Pamot sendiri ha mpir tidak sabar menunggu, apa yang bakal terjadi atasnya. Seperti Lamat dan Manguri dibilik masing-masing.
Pamotpun ke mudian melangkah beberapa langkah mondarmandir di bawah gubugnya dengan penuh kewaspadaan. Ia mendengarkan setiap desir yang tertangkap oleh telinganya, dan menga mati setiap gerak yang tertangkap oleh matanya. Tetapi ia masih belum mendengar dan me lihat sesuatu. Tetapi ketika la mat-la mat ia mendengar kokok ayam jantan di padukuhan, sahut menyahut, maka ia berdesis "Tengah ma la m. Waktu inilah agaknya yang telah dipilih oleh Manguri" Ternyata dugaan Pamot itu tepat. Belum lagi ia mengatupkan bibirnya rapat-rapat, terdengar suara cengkerik yang berderik di sudut sawahnya. "Kalau benar-benar cengkerik yang berderik itu, maka cengkerik itu adalah cengkerik raksasa" guma m Pa mot "Cengkerik tidak akan ma mpu berderik sekeras itu" Tetapi cengkerik yang berderik itu me mang tidak berusaha untuk menyembunyikan dirinya. Suara itu hanya sekedar abaaba untuk me manggil kawan-kawannya yang lain. Karena sejenak ke mudian bermunculan di segenap penjuru, lima orang yang seakan-akan telah mengepungnya. Pamot berdiri tegak di tempatnya. Kini ia benar-benar telah menggengga m hulu pedangnya, meskipun masih belum ditariknya dari sarungnya. "Kaukah yang bernama Pa mot?" terdengar salah seorang dari mereka bertanya. Pamot tidak segera menjawab. Ada niatnya untuk menge labui orang-orang itu, dengan mengingkari na manya. Tetapi itu tidak akan ada gunanya, karena mereka pasti sudah yakin, bahwa dirinyalah yang berna ma Pa mot. Manguri pasti sudah berpesan pula, ciri-ciri tentang dirinya. Karena itu, maka ke mudian dengan tabah ia menjawab "Ya, Aku Pamot. Siapakah kalian?"
"Ka mi berlima. Masing-masing me mpunyai na ma sendirisendiri. Tetapi aku kira ka mi tidak me mpunyai waktu untuk menyebutnya satu demi satu. Karena itu, maka sama sekali tidak ada gunanya kau bertanya tentang nama ka mi. Sekarang, menyerahlah. Ka mi tidak akan berbuat apa-apa" Pamot mengerutkan keningnya. Kini ia yakin, bahwa La mat me mang berkata dengan jujur. Ternyata pula, bahwa La mat bukanlah seorang yang bengis dan dungu seperti yang terbayang di wajahnya. Di dalam hati, tersirat ucapan terima kasih Pa mot yang tidak ada taranya kepada raksasa yang ma lang itu. Namun ke mudian, apakah Punta sudah ada disekitar te mpat itu pula". Karena Pamot tidak segera menjawab, kata-kata orangorang upahan itu, ma ka salah seorang dari kelima orang itu berkata seterusnya "Menyerahlah. Jangan banyak tingkah. Kami me mang benar-benar tidak akan berbuat apa-apa atasmu. Kami hanya sekedar ingin me mbawa mu kepada seseorang yang sangat ingin berte mu denganmu" "Siapa orang itu ?" bertanya Pamot. "Apakah kau perlu me ngetahuinya?" "Tentu. Baru aku dapat mengambil keputusan apakah aku bersedia atau tidak" "Jangan begitu. Jangan menentukan pilihan, bersedia atau tidak, karena kami me mang tida k me mberikan kese mpatan kepadamu untuk me milih. Ka mi hanya sekedar me mberitahukan kepada mu, bahwa kami akan me mbawa mu, karena seseorang me merlukan kau" Dada Pamot berdesir. Kata-kata itu benar-benar telah menyinggung perasaannya, sehingga tanpa berpikir lagi ia menjawab "Kau siapa, dan aku siapa" Apakah ada hakmu untuk me mperla kukan aku de mikian" Tida k seorangpun dapat me merintah aku dala m persoalan yang tidak je las. Ki Demangpun tidak. Hanya dalam hubungan tugas-tugasku
sajalah Ki De mang, pemimpin pengawal Kade mangan, dan tetua anak-anak muda pedukuhan Ge mulung dapat me merintah aku" Dada Pamot menjadi serasa bengkah ketika ia mendengar beberapa orang dari ke lima orang itu tertawa bersama-sama. "Benar kata orang, bahwa Pamot adalah anak yang berani. Kau me mang luar biasa, Pamot, tidak seorangpun yang berani berbuat seperti kau terhadap ka mi berlima. Me mang agaknya kau belum mengena l ka mi. Karena itu sebaiknya kau mendengar na ma ka mi. Salah seorang dari ka mi bernama Sura Sapi. Nah, karena itu maka gerombolan ka mi yang lima ini disebut gerombolan Sura Sapi. Kau sadar sekarang, dengan siapa kau berhadapan?" Sebuah desir yang tajam terasa seakan-akan me mbelah jantung Pamot. Yang di hadapannya itu adalah gerombolan Sura Sapi "Gila " ia mengumpat di dalam hatinya "begitu jauh tindakan Manguri sehingga ia telah menghubung gerombolan Sura Sapi" "Apa katamu sekarang?" Tetapi Pamot bukan seorang yang berhati kecil. Karena itu, maka dihentakkannya kakinya sambil menggeretakkan gigi. Jawabnya lantang "Siapapun kau, aku t idak akan menyerah. Aku me mang pernah mendengar nama Sura Sapi. Tetapi kalianpun pasti pernah mendengar na ma pengawal khusus Kademangan Kepandak. Aku adalah salah seorang anggautanya. Tidak sepantasnya anggauta pengawal khusus Kademangan Kepandak menyerah kepada gerombolan Sura Sapi" "Persetan" ternyata salah seorang dari kelima orang itu, yang bertubuh pendek dan berjambang tidak sabar lagi. Setapak ia maju sambil berkata "Kenapa kita terlampau banyak berbicara" Aku sudah muak mendengar kata-katanya.
Marilah kita me mberi kese mpatan terakhir" Ke mudian kepada Pamot ia berkata "Le mparkan senjata mu, dan ikuti ka mi" "Tida k" jawab Pa mot tegas. "Setan alas. Kau mau ka mi me mperguna kan ke kerasan" "Itu urusanmu" Orang yang pendek itu sudah tidak sabar lagi. Perlahanlahan ia maju mende kat. Dala m pada itu kawan-kawannya yang me mencar itupun me langkah maju pula, sehingga kepungan kelima orang itu menjadi se makin la ma se ma kin sempit. Pamot me mang menjadi ge lisah. Tetapi ia sudah bertekad, dengan atau tidak dengan orang lain, ia akan melawan. Melawan sekuat-kuatnya. Dengan de mikian ma ka suasanapun meningkat se makin la ma semakin tegang, seperti wajah-wajah yang terpaku pada tubuh Pa mot yang berdiri tegak seperti patung di bawah gubugnya. Tetapi Pamot telah bertekad bulat. Bahkan ia sudah tidak dapat menimbang-nimbang lagi seperti yang dikatakan kakeknya. Dengan serta-merta ia menarik parangnya sambil menggera m "Ka lian hanya akan mene mukan mayatku. Bawalah mayatku ke mana kalian kehendaki" "Kau me mang bodoh" sahut yang jangkung agak kekuruskursan "sebenarnya kau t idak perlu me lakukan hal itu" Pamot tidak menyahut. Tetapi hatinya berguncang ketika ia me lihat orang-orang itupun mulai mencabut senjatanya masing-masing. "Benar kata kakek" desis Pa mot. Tetapi semuanya sudah terlanjur. Kini ia berhadapan dengan lima orang yang bersenjata pula.
"Tugas ka mi menangkap kau hidup-hidup" berkata orang yang jangkung itu "tetapi kalau kau menghina ka mi, persoalannya jadi lain. Persoalannya adalah ka mi akan tetap me mpertahankan kehormatan nama gerombolan. Sura Sapi tidak pernah gagal. Kegagalan yang paling jauh kami ala mi adalah, karena kami tidak berhasil me nangkap seseorang hidup-hidup. Tetapi itu adalah salahnya sendiri, seperti kau sekarang" Pamot tetap berdiri di te mpatnya. Namun wajahnya semakin la ma menjadi se makin tegang. Ketika mereka telah berada di puncak ketegangan yang hampir me ledak itu, tiba-tiba mereka dikejutkan oleh langkah seseorang menyelusuri pe matang. Seseorang berjalan dengan cangkul di pundaknya. Seperti tidak terjadi sesuatu orang itu berhenti sambil berkata "He, Pamot, apakah kau ada disitu?" Dada Pamot yang ha mpir me ledak tiba-tiba serasa terpecik air e mbun. Ia mengena l suara itu. Suara Punta. Tetapi kehadiran seseorang itu telah semakin menegangkan urat syaraf dari kelima orang yang menyebut dirinya gerombolan Sura Sapi. Tiba-tiba salah seorang menggera m "Kita terlampau la ma berbicara. Marilah kita selesaikan sebelum orang yang lain datang" "Bagaimana dengan orang itu?" "Terpaksa, kita harus berbuat sesuatu. Biarlah ia pingsan dan tidak me ngetahui apa yang terjadi" Orang yang pendek tidak lagi menunggu perintah. Segera ia meloncat ke arah bayangan yang berdiri di pe matang sa mbil menyandang cangkul di pundaknya itu. "Tidurlah anak muda" berkata orang yang pendek itu sambil mengayunkan sarung pedangnya ke arah tengkuk Punta.
Tetapi orang yang pendek itu terkejut. Terasa sarung pedangnya me mbentur sesuatu. Tangka i pacul. "Maaf" berkata Punta "aku masih me mpunyai banyak pekerjaan, sehingga aku masih be lum berhasrat untuk tidur" "Persetan" desis orang yang pendek itu. Kini ia tidak lagi me mperguna kan sarung pedangnya, tetapi pedangnyalah yang sudah mula i bergetar. "Marilah kita selesaikan bersama-sa ma" katanya kepada keempat kawannya. Tetapi sekali lagi orang-orang itu terganggu. Tiba-tiba saja mereka mendengar suara tertawa di balik batang-batang jagung muda. Sejenak orang-orang yang ada di ladang Pamot itu seakanakan me mbe ku. Dan suara tertawa di belakang tanaman jagung muda itu menjadi se makin jelas. "Kau curang" tiba-tiba bersembunyi disitu" terdengar suatu suara "kau
"Apa pedulimu" jawab yang lain "aku boleh berse mbunyi dimana saja. Sekarang kau harus me mbayar taruhan itu. Kau mene mukan aku sudah lewat tengah mala m" "Belum" sahut yang lain. "Sudah. Aku sudah mendengar ayam jantan berkokok. Dan bintang gubug penceng sudah tegak di selatan" "Baiklah. Aku akan minta barang taruhan itu kepada Pamot" Suara itu berhenti sejenak. Namun tiba-tiba salah seorang dari kelima orang upahan itu berkata lantang "Setan alas. Jangan me mperbodoh ka mi. Sekarang aku tahu, bahwa kalian me mang sudah menunggu kedatangan ka mi. Ini suatu kebodohan. Apakah Manguri yang bodoh, atau ia memang sengaja menjerumuskan ka mi. Tetapi mungkin juga ka milah
yang bodoh, sehingga satu dua orang me lihat jejak atau bayangan kami. Tetapi itu ka mi tidak akan peduli lagi. Ka mi sudah siap berke lahi. Gerombolan Sura Sapi t idak pernah kalah. Disini ka mi mungkin akan terpaksa me mbunuh" Pamot, Punta dan dua orang lainnya yang muncul dari balik tanaman jagung kini berdiri tegak sambil me mandang lawanlawan mereka yang terpencar. Ke mudian terdengar lagi seseorang yang menguap keras-keras, dan muncullah seorang anak muda yang tinggi besar. Ialah yang berte mu dengan Pamot ketika ia berangkat ke sawah. Tetapi agaknya Punta tidak mau bermain-ma in menghadapi orang-orang upahan, sehingga masih ada dua orang lagi yang datang ke sawah Pamot itu. Semuanya ada enam orang, dan ditambah Pa mot sendiri" "Kita sudah lengkap" berkata Punta ke mudian. "Kenapa jangkung. kalian turut campur" bertanya orang yang
"Sebagian dari ka mi ada lah pengawal khusus Kade mangan Kepandak. Adalah tugas kami untuk mencegah tindakan sewenang-wenang" Orang-orang upahan itu menggera m. Salah seorang yang berjambang berkata "Anak-anak yang malang. Jangan merasa diri kalian terla mpau kuat, hanya karena kalian menjadi pengawal khusus. Tujuh orang pengawal khusus sa ma sekali tidak akan berarti apa-apa bagi ka mi" "Jangan menakut-nakuti. Ka mi dipersiapkan untuk melawan orang-orang asing di Betawi. Pada suatu saat ka mi akan berangkat. Menyesal sekali bahwa ka mi harus berbenturan dengan saudara-saudara kita sendiri" "Kalau begitu kenapa hal ini kalian la kukan?" "Pertanyaan yang aneh" Punta menjawab "aku me mang tidak segera mena mpakkan diri, karena aku ingin meyakinkan,
apakah yang sebenarnya terjadi. Aku tidak dapat me mpercayai begitu saja aduan-aduan yang kurang ka mi yakini. Tetapi kini ka mi melihat sendiri. Kalian telah berbuat sewenang-wenang, meskipun ka lian sekedar orang upahan Manguri" "Ka mi tida k ingkar. Tetapi kami me merlukan uang itu. Kami tidak dapat hidup tanpa makan. Dan sekarang, ka mi sedang mencari ma kan. Ternyata kalian telah mengganggu ka mi, sedang ka mi tidak pernah mengganggu ka lian" "Jangan me mutar balik keadaan" jawab Punta "aku sudah menyaksikan sendiri. Kau mencari ma kan dengan mengorbankan orang lain. Kau tidak me mpedulikan nasib orang lain itu. Padahal masih banyak jalan yang terbuka. Tanah garapan masih luas" "Ka mi tidak biasa melakukan pekerjaan-pekerjaan yang tidak berarti apa-apa bagi seorang la ki-laki jantan" jawab salah seorang dari mere ka. "Bagus" sahut Punta "ka mipun sedang melakukan tugas kami sebagai lelaki jantan. Kami harus me merangi kesewenang-wenangan. Kami harus me merangi tindak kekerasan seperti yang akan kalian la kukan itu" Orang-orang yang tergabung dalam gerombolan Sura Sapi itu sama sekali sudah tidak melihat ke mungkinan lain daripada berkelahi. Anak-anak muda yang sebagian terdiri dari apa yang mereka sebut pengawal khusus Kade mangan Kepandak itu agaknya me mang bersungguh-sungguh. Karena itu, maka orang yang tertua, yang sebenarnya bernama Sura Sapi itupun segera berteriak "Hancurkan saja mereka " "Bagus" sahut Punta "kalian sudah terperosok ke dala m lingkaran setan. Kalau kalian ka lah, kalian akan ka mi ikat dan kami bawa ke Kademangan. Tetapi kalau kalian menang, maka Manguri a kan segera ditangkap, dan ia akan dipa ksa
mene mukan kalian. Kalian akan dira mpok seperti macan dialun-alun Mataram" Tetapi orang-orang itu tidak menyahut lagi. Tiba-tiba saja mereka telah berloncatan menyerang. Namun agaknya, anak-anak muda yang sebagian terdiri dari pengawal-pengawal khusus yang me mang dipersiakan apabila Mataram me merlukan sewaktu-waktu itu, sudah benar-benar mempersiapkan dirinya. Karena itu, maka merekapun segera menanggapi serangan kelima orang-orang upahan yang tergabung dala m kelompok yang sesat itu. Sejenak ke mudian ma ka perke lahianpun segera berkobar. Anak muda Ge mulung berjumlah lebih banyak. Tetapi ternyata bahwa orang-orang upahan itu me mang me mpunyai kecakapan dan pengala man lebih banyak dari mereka, sehingga dengan demikian, maka benturan bersenjata itu menjadi se makin la ma se makin seru. Namun demikian ternyata anak-anak muda Ge mulung itu juga tidak mengecewakan. Satu dua orang dapat me manfaatkan setiap keadaan. Mereka yang tidak me mpunyai lawan, berusaha untuk mengisi setiap kekurangan. Bahkan kadang-kadang mereka dapat bertukar tempat dan bertukar lawan. Kelima orang-orang upahan itu me njadi se ma kin marah. Mereka tidak menyangka bahwa anak-anak muda itu telah me miliki ke ma mpuan yang tidak mereka sangka-sangka. Apalagi Pamot. Meskipun Pa mot bukan tetua anak-anak muda Gemulung, na mun ia me miliki beberapa kelebihan. Ia kadangkadang melontarkan unsur-unsur gerak yang sama sekali tidak dimiliki oleh kawan-kawannya. Sehingga orang-orang upahan yang berpengalaman itu segera mengetahui, bahwa Pamot tidak sekedar mendapatkan ilmunya dari para pelatih yang didatangkan dari lingkungan keprajuritan Matara m.
Salah seorang dari gerombolan Sura Sapi itu berkata di dalam hatinya "Pantas bahwa Manguri tidak dapat menga lahkannya, dan bahkan anak ini berhasil melepaskan dirinya dari tangan La mat, raksasa yang menakutkan itu" Sedang yang lain berkata pula kepada diri sendiri "Pa mot me mang me miliki ke lebihan" Demikianlah ma ka Pamot telah berhasil melawan dengan gigih. Ia tida k berada di bawah ke ma mpuan gerombolan itu seorang demi seorang, sehingga karena itu. ma ka ia tidak me merlukan orang la in untuk me mbantunya. Bahkan sejenak ke mudian ternyata bahwa Pamot benarbenar dapat menguasai keadaan. Selain Pa mot, Punta, tetua anak-anak muda Ge mulung itupun me mpunyai ke ma mpuan yang cukup untuk bertahan. Ia me mpunyai tenaga yang kaut dan pengamatan yang baik atas lawannya. Karena itu, maka ia tidak segera dapat didesak oleh lawannya. Demikian pula anak muda yang tinggi tegap, yang bertemu dengan Pamot pada saat ia berangkat ke sawahnya. Tetapi selain mereka, kawan-kawannya merasa berat me lawan orang-orang yang cukup berpengala man itu. Untunglah bahwa jumlah anak-anak muda itu agak lebih banyak, sehingga kelebihan itu dapat me mbantu, mena mbah kekuatan anak-anak muda yang bukan dari pengawal khusus Kademangan Kepandak. Demikianlah perke lahian itu se makin la ma menjadi se makin seru. Mereka sudah tidak lagi saling me ngekang diri. Ke lima orang upahan itu sama sekali sudah tidak dapat mengingat lagi pesan Manguri, bahwa mereka harus menangkap Pa mot hidup-hidup. Kini mereka masing-masing sedang bertahan karena anak-anak muda Ge mulung agaknya me mang tidak dapat mereka abaikan. Mereka sedang berusaha untuk me mpertahankan hidup mereka masing-masing.
Manguri yang menunggu kedatangan orang-orangnya itu di rumahnya, menjadi se makin la ma se makin gelisah. Sekalisekali ia menjengukkan kepalanya, lewat daun pintu yang tidak dise laraknya. Tetapi yang dilihatnya hanyalah sekedar cahaya lampu di regol hala man rumahnya. Selainnya sepi. Di bilik be lakang, La matpun tidak ka lah gelisahnya. Apakah Pamot dapat mencari ja lan ke luar dari kesulitan ini" Terloncat pula keinginannya untuk melihat, apakah yang sudah terjadi. Tetapi ia tida k dapat meningga lkan ha la man itu. Setiap saat Manguri akan me manggilnya. Dengan demikian, yang dapat dilakukannya, adalah berjalan saja hilir mudik di dala m bilik yang sempit. Menarik nafas panjang-panjang, ke mudian duduk perlahan-lahan di a mben ba mbunya. Bukan saja Manguri dan La mat yang menjadi gelisah. Tetapi seisi rumah Pa mot, tidak seorangpun yang dapat tidur. Ayahnya, ibunya dan kakeknya. Merekapun sedang me mbayangkan, apa yang terjadi atas Pa mot saat itu. Tiba-tiba saja ayah Pamot berdiri. Perlahan-lahan ia berjalan kesudut ruang. Sejenak ia berdiri me mperhatikan sesuatu yang tergantung pada dinding di bawah ajug-ajug la mpu. Namun sejenak ke mudian tangannya terjulur menya mbar benda itu. Sebuah golok. "He" bertanya kakek Pa mot "apa yang akan kau lakukan?" "Ayah, aku tidak dapat menunggu saja dengan ge lisah di rumah ini, sedang aku tahu, saat ini anakku di dala m bahaya" "Pamot sudah tahu, apa yang harus dikerjakan" "Tetapi aku masih saja selalu gelisah. Aku ingin melihatnya" "Yang aku ce maskan" berkata kakek Pa mot ke mudian "masalah ini akan berke mbang se makin luas. Masalah ini akan menjadi masalah orang tua-tua. Sampai saat ini, biarlah parsoalannya dibatasi pada persoalan anak-anak muda saja"
"Tetapi Manguri telah mencari orang-orang upahan. Itu tidak jujur" "Dan Pa motpun sudah menghubungi kawan-kawannya. Anak-anak muda. Aku kira anak-anak muda Ge mulung akan dapat menilai, apa yang sudah terjadi" "Tetapi kita tidak tahu ayah, siapakah orang-orang upahan Manguri itu. Kalau mereka terdiri dari orang-orang yang me mang mene mpatkan diri mereka dala m dunia yang buas itu. maka anak-anak Ge mulung pasti akan menga la mi kesulitan. Belum lagi dapat dikatakan kalau jatuh korban diantara mereka. Jika demikian, maka persoalannya tidak akan menjadi sederhana lagi" Kakek Pa mot mengangguk-anggukkan kepa lanya. Kemudian iapun bertanya "Sekarang, apa ma ksudmu?" "Aku ingin melihat dahulu ayah. Apa yang telah terjadi, baru ke mudian menga mbil sikap" Ibu Pamot yang kece masan duduk di a mben dengan kaki gemetar. Dengan suara parau ia bertanya "Kau akan pergi ke mana pak?" "Aku akan pergi ke sawah" "Tetapi, kau tidak me mbawa seorang temanpun" "Aku hanya akan sekedar melihat. Tetapi apabila keadaan me ma ksa, aku pasti bukan sekedar seorang penonton" "Itulah yang aku ce maskan. Pedagang ternak itupun pasti akan turut campur. Ia dapat me mpargunakan uangnya untuk maksud-maksud yang jahat" "Tetapi apaboleh buat. Aku tidak akan dapat me mbiarkan anak itu berada da la m kesulitan" Kakeknya mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya "Baiklah. Tetapi kaupun harus berhati-hati. Bersikaplah sebagai seorang tua"
"Ya ayah. Aku akan berhati-hati. Aku akan menimbang setiap keadaan. Kalau aku tidak perlu berbuat sesuatu, sudah tentu aku tidak akan berbuat apapun juga" Kakek Pa mot mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi itu Pamotlah yang agaknya menjadi se ma kin gelisah. "Tenanglah di rumah" berkata sua minya "aku akan me lihat ke sawah. Aku kita itu lebih baik daripada aku tetak duduk dia m di rumah dengan hati berdebar-debar" Isterinya menjawab. menganggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak
"Sudahlah. Aku a kan pargi sekarang" Isterinya menganggukkan kepalanya pula, sedang kakek Pamot berdesis "Jangan mena mbah suasana menjadi se ma kin kisruh" Sambil menggeleng ayah Pamot me njawab "Aku akan me mperhitungkan setiap ke mungkinan. Sejenak ke mudian ma ka ayah Pamot itupun telah tenggelam di dala m kegelapan, menyusur jalan menuju ke pinggir padukuhan. Dala m pada itu, perkelahian yang terjadi di tengah-tengah sawah itupun sema kin menjadi sengit. Kedua pihak sudah mengerahkan segenap ke ma mpuan yang ada. Pamot masih tetap bertahan dan bahkan ia sa ma sekali tidak berada dala m pengaruh lawannya. Puntapun masih selalu berhasil me mpertahankan dirinya. Tetapi kawan Pa mot yang tinggi itu ternyata masih belum dapat mengimbangi pengala man lawannya. Lawannya yang kasar dan liar sedikit de mi sedikit berhasil mendesaknya, meskipun belum me mbahayakan. Namun agaknya, anak muda itu terla mpau bernafsu sehingga semua tenaganya seolah-olah sudah dikurasnya. Dalam saatsaat terakhir, ia seolah-olah sudah kehilangan sebagian dari kekuatannya.
Tetapi kee mpat kawan-kawannya yang lain, yang berkelahi me lawan dua orang anggauta gerombolan Sura Sapi masih tetap dapat bertahan dengan baik. Mereka dapat berke lahi berpasangan, sehingga keadaan mereka tidak mence maskan. Namun keseluruhan dari perkelahian itu adalah perke lahian yang seru, semakin la ma se ma kin seru. Selagi orang-orang di tengah sawah itu bertempur tanpa menghiraukan tanaman-tana man yang terinjak-injak kaki, yang patah dan berserakan, maka di bagian lain, seorang tua dengan tekunnya menunggui air yang mengalir diparit yang kecil. Tetapi agaknya air itu tidak me menuhi ke inginannya. Dengan penuh kesungguhan ia menelit i tanaman-tanaman yang masih muda itu. Bahkan parlahan-lahan ia berdesis "Kalau a ku tidak mendapat cukup air, kasihan. Batang-batang padi muda ini akan kehausan. Besok kalau matahari menjadi terik, daun-daunnya akan layu. Masih agak baik batangbatang jagung itu. Seandainya air tidak terla mpau banyak, mereka masih dapat bertahan lebih kuat dari batang-batang padi ini. Orang tua itupun ke mudian sa mbil bersungut-sungut menga mbil cangkulnya sambil berkata "Aku harus melihat ke sidatan air ini. Apakah airnya me mang terlampau sedikit, atau tambak di sidatan sobek" Tertatih-tatih orang itu ke mudian berjalan di sepanjang tanggul yang sempit. Apalagi di mala m hari. Meskipun demikian, ia tidak mau sawahnya kekurangan air. Sehingga betapapun gelapnya ia berjalan juga ke sidatan parit yang menga liri sawahnya. Tetapi ketika sampa i dike lokan, orang tua itu berhenti sejenak. Namun ke mudian ia berdesis "Lebih ba ik aku menga mbil jalan me mintas"
Maka ke mudian dia mbilnya jalan pa matang yang akan langsung sa mpa i ke sidatan, tanpa mengikuti tanggul parit yang berkelok-ke lok seperti ular yang sedang bera mbat. Dengan hati-hati ia melangkah di atas pematang yang agak licin sa mbil menyandang cangkulnya. Kini ia berjalan di sepanjang batas tanaman jagung yang juga masih muda. Sekali-seka li orang tua itu me mandang ke langit yang ditaburi oleh bintang-bintang yang gemerlapan. Binatang gubug penceng di ujung Se latan telah bergeser sedikit kebarat. Namun tiba-tiba langkah orang tua itu terhenti. Ketika ia menyusup se makin dala m di daerah tanaman jagung muda itu, ia menjadi sangat berdebar-debar. Tiba-tiba saja ia mendengar suara yang t idak dimengertinya. "He, suara apakah itu?" orang tua itu bertanya kepada diri sendiri. Tiba-tiba teringat olehnya, bahwa kadang-kadang masih saja ada babi hutan yang sering mengganggu tanaman. Karena itu, maka dirabanya sabit yang terselip dipunggungnya. Perlahan-lahan ia berdesis "Kalau suara itu suara babi hutan, biarlah aku gedig kepalanya" Tetapi suara itu sama sekali bukan suara babi hutan. Semakin dekat orang tua itu justru se makin tidak mengerti. Meskipun de mikian ia ingin juga tahu, apakah yang telah menimbulkan bunyi yang aneh itu. Namun tiba-tiba matanya terbelalak. Kini ia me lihat bahwa beberapa orang sedang berkelahi. Tanaman jagung di sekitarnya telah terinjak-inja k tida k menentu. Meskipun demikian orang tua itu tidak menjadi le mas dan terduduk di tanah. Justru ia ke mudian me le mparkan cangkulnya dan berlari kencang-kencang. Tetapi karena kakinya yang la mah, karena ketuaannya, maka sekali-seka li iapun tergelincir dan jatuh terguling di samping pe matang.
Orang-orang upahan yang liar itu melihat juga kehadiran seorang lagi di dekat arena. Namun ke mudian orang itu berlari-lari meninggalkan perkelahian. Sekilas mereka dapat menerka, bahwa orang itu sa ma sekali bukan kawan Pa mot. Namun de mikian orang itu telah menumbuhkan debar pula di dada mereka. Tetapi tidak seroangpun dari kelima orang itu sempat mencegah. Mereka harus berhadapan dengan lawan masingmasing. Lawan yang tidak dapat segera dikalahkannya. Karena itu, maka yang mereka la kukan adalah me meras ke ma mpuan mereka, untuk segera mengalahkan lawan masing-masing. Dala m pada itu, orang tua yang melihat perkelahian itupun berlari-lari se kencang-kencangnya dapat dilakukannya. Ketika ia meloncat kejalan yang lebih lebar, begitu ia tergesa-gesa, sehingga ia jatuh terjerembab. Tetapi iapun segera bangkit berdiri dan berlari kesudut desa. Belum lagi ia mende kat, ia sudah berteriak-teriak labih dahulu "He, ada orang berke lahi. Orang berke lahi" Para peronda yang ada di dala m gardu di sudut desa terkejut karenanya. Diantara mereka adalah ayah Pamot yang baru saja duduk di gardu sebelum melanjut kan perjalanannya ke tengah sawah. Ia ingin mendengar lebih dahulu apa bila para peronda itu mendengar sesuatu tentang anaknya. Tetapi ternyata mereka tidak mengerti apa-apa. Kini justru seseorang telah berlari-lari sa mbil berteriak-teria k. Serentak setiap orang yang ada di gardu itupun berloncatan turun. Seorang anak muda yang sedang bertugas ronda segera menyongsong orang tua itu sambil bertanya "Dima na?" Nafas orang tua itu menjadi terengah-engah. Sambil berdiri bertelekan punggung ia menjawab terputus-putus "Di tengah sawah"
"Siapa yang berke lahi?" bertanya anak muda itu. Orang tua itu menggelengkan kepa lanya "Aku tida k tahu. Banyak orang berke lahi bersa ma-sa ma. Mereka bersenjata" Anak muda itu berdiri termangu-mangu. Beberapa orang yang menyusulnyapun sa ling berpandangan sejenak. "Bagaimana?" bertanya anak muda itu kepada seseorang yang lebih tua daripadanya. "Marilah kita lihat" jawab yang ditanya. "Tetapi, tetapi" orang tua itu me motong "yang berke lahi adalah orang banyak. Bukan hanya sekedar dua orang" "Kita tengok bersa ma-sama" sahut yang la in. "Lalu gardu ini kita kosongkan?" Sejenak mereka termangu-mangu. Tiba-tiba salah seorang berkata "Kita pukul kentongan" "Jangan" tiba-tiba ayah Pamot ikut dalam pe mbicaraan "seluruh penduduk akan menjadi ge mpar. Kita bangunkan saja satu dua orang di sekitar gardu itu. Kita minta mereka menjaga gardu sejenak. Kita bersama-sa ma pergi ke sawah, untuk me lihat perke lahian itu" "Bagaimana kalau mereka ingin ikut pula?" "Paling sedikit dua orang harus t inggal" Sejenak mereka saling me mandang. Na mun ke mudian merekapun mengangguk-anggukkan kepala mereka. "Cepat. Marilah kita me mbangunkan mereka" "Kita me merlukan kawan. Kalau keadaan menjadi sangat berbahaya, biarlah salah seorang dari kita akan me mbunyikan kentongan. Terpaksa" Beberapa orangpun kemudian berlari-larian me mbangunkan beberapa orang saja yang rumahnya paling
dekat dengan gardu perondan. Dengan terkantuk-kantuk mereka mendengar beberapa penjelasan yang tidak banyak mereka mengerti. Yang mereka dengar hanyalah permintaan para peronda untuk me mbantu mere ka tinggal di gardu, sedangkan anak-anak muda yang sedang bertugas ronda akan pergi ke tengah sawah melihat siapakah yang sudah berkelahi itu. Sambil berselimut kain panjang, orang-orang yang baru saja terbangun itupun berjalan tertatih-tatih ke gardu di pinggir desa. Tetapi ketika mereka sudah na ik, maka merekapun segera merebahkan diri melingkar berselimut kain. "He m" anak-anak muda yang sudah segera ingin pergi itu menarik nafas dala m-da la m. "Biarlah" berkata salah seorang dari mereka. "Apakah bapak akan tinggal disini ?" bertanya salah seorang anak muda kepada ayah Pamot. Tetapi ayah Pamot me nggeleng "Aku ikut bersa ma ka lian" Tidak seorangpun yang dapat mencegahnya. Karena itu, maka merekapun segera pergi berlari-lari ke sawah yang ditunjukkan oleh orang tua itu. Ke sawah keluarga Pa mot. Mereka sampa i ke tempat perkelahian itu sejenak, sebelum keseimbangan benar-benar akan bergeser. Anak muda yang tinggi tegap itu justru telah benar-benar terdesak, meskipun belum sampa i pada bahaya yang sebenarnya. Tetapi empat anak-anak muda yang bertempur me lawan dua orang gerombolan Sura Sapi justru dapat mendesak lawan mereka, sedang Punta dan Pamot masih tetap bertahan dalam keseimbangan. Meskipun de mikian ternyata bahwa orang upahan itu lebih pandai mene mpatkan diri. Mereka agaknya sengaja me mancing seluruh tenaga lawan-lawan mereka, sehingga akhirnya Puntapun kelihatan menjadi berangsur le mah.
Dala m keadaan itulah, terdengar suara mereka yang berlari-lari mendekati te mpat perkelahian itu. Orang tua yang pertama-tama me lihat, berteriak lantang "Disitu, disitu" Teriakan-teriakan itu me mbuat orang-orang upahan yang tergabung dalam gerombolan yang menyebut dirinya Sura Sapi itu berpikir. Kehadiran orang-orang itu sudah pasti tidak akan menguntungkan mereka. Kalau jumlah mereka cukup banyak, lima orang atau lebih, maka keadaan mereka, gerombolan yang tidak terkalahkan itu menjadi gawat. Lima orang dengan kema mpuan seperti mereka yang sudah datang lebih dahulu. Untunglah, bahwa gerombolan itu tidak tahu banyak tentang anak-anak muda Ge mulung. Hanya beberapa orang sajalah yang me mpunyai ke ma mpuan berkelahi sebaik itu. Mereka adalah anggauta-anggauta pengawal yang setiap kali berkumpul di Kade mangan untuk me ndapatkan latihan keprajuritan. Apalagi pengawal khusus, yang me mang dipersiapkan untuk kepentingan Mataram. Setiap saat mereka dapat diambil dan dibawa ke medan, seperti para prajurit yang lain Karena itu, ketika mereka melihat beberapa orang berlarilari di sepanjang pe matang, dan menurut hitungan mereka lebih dari lima orang, maka merekapun harus segera menga mbil sikap. Betapa sakit hati mereka, na mun mere ka tidak dapat berbuat lain. Selain mereka kehilangan upah yang sudah dijanjikan oleh Manguri, merekapun harus menga la mi kegagalan dan ke kalahan. Kalau mereka t idak mau melihat kenyataan itu. maka akibatnya pasti akan lebih parah bagi mereka. Mungkin satu dua dian-tara mereka masih dapat lolos. Tetapi meskipun hanya seorang saja dari mereka yang tertangkap, namun na ma mereka pasti akan menjadi se ma kin cemar dala m lingkungan gerombolan-gerombolan yang seakan-akan hidup di luar lingkungan masyarakat dan
peradabannya. Mereka pasti tidak akan mendapat te mpat lagi di dala m lingkungan mereka itu. Lingkungan yang tidak terikat oleh peraturan apapun, selain terikat oleh tajamnya pedang dan runcingnya ujung tombak. Karena senjata dan kekuatan bagi mereka akan menentukan tinggi rendahnya martabat mereka di dala m lingkungannya. Demikianlah, maka orang yang sebenarnya bernama Sura Sapi, yang memimpin gerombolan itu harus segera mengambil keputusan. Dan keputusan itu adalah me nyingkir dari arena, karena mereka tidak dapat melawan orang-orang Gemulung dalam jumlah yang jauh lebih banyak. Sejenak ke mudian, terdengar Sura Sapi berteriak me mberikan tanda, bahwa semua anggauta gerombolan yang berjumlah lima orang itu harus me larikan diri. Perintah itu ternyata tidak perlu diulangi. Setiap orang di dalam gerombolan itu me mpunyai perhitungan yang serupa, sehingga sejenak ke mudian merekapun segera berloncatan mundur. Pada saat orang-orang Gemulung menyerbu ke arena, orang-orang itu seakan-akan telah lenyap tenggelam ke dalam tanaman jagung yang masih muda. Apalagi gelapnya mala m agaknya sangat membantu, sehingga dala m beberapa saat, orang-orang Gemulung itu sudah kehilangan lawan-lawan mereka. Punta dan kawan-kawannya me mang t idak mengejar mereka. Mereka menyadari, bahwa orang-orang upahan itu dalam keadaan terpaksa, akan berbuat apa saja. Termasuk perbuatan-perbuatan yang sangat licik. Namun de mikian, meskipun orang-orang upahan itu telah me larikan diri, Pamot dan Punta masih saja berdiri termangumangu. Kini mereka pasti akan dihadapkan pada persoalan yang lain. Orang-orang yang baru saja datang itu pasti akan
bertanya tentang pekerlahian itu. Sebab-sebabnya dan siapa saja yang telah terlibat. "Apaboleh buat" berkata Punta di dala m hatinya "me mang agaknya hal ini lebih baik diketahui oleh setidaktidaknya bebahu Kade mangan yang berada di Ge mulung atau ma lahan Ki Jagabaya sama seka li" Dan ternyata dugaan itu benar-benar terjadi. Belum lagi Pamot dan kawan-kawannya menyeka peluh mere ka, maka seperti bunyi seribu ekor burung betet, orang-orang Gemulung itu bertanya menurut se lera masing-masing. "Ka mi a kan melaporkannya kepada Ki Jagabaya" berkata Punta kepada mereka "besok kalian akan mendengar apa yang telah terjadi" Namun mereka tidak puas dengan jawaban itu, sehingga mereka justru me mutari anak-anak mudayang baru saja berkelahi itu dengan seribu maca m partanyaan yang bersimpang siur. "Ka mi menjadi bingung" berkata anak muda yang tinggi "tetapi pada dasarnya, kami telah berkelahi melawan gerombolan Sura Sapi" "He" beberapa orang menjadi terbelalak. Bahkan dada ayah Pamotpun me njadi berdebar-debar. Ternyata yang dilawan oleh anak-anak muda itu adalah gerombolan Sura Sapi. Namun de mikian sepercik kebanggaan telah menge mbang di dalam dada orang tua itu. Anak-anak muda Ge mulung telah ma mpu bertahan terhadap orang-orang yang me mang ditakuti karena kebuasan mereka. "Kenapa tiba-tiba bertanya yang lain. saja mereka telah berada disini?"
"Entahlah" jawab anak muda yang tinggi besar itu.
Tetapi orang lain bertanya "Kenapa kalian berada disini pula bersa ma-sama " Anak yang tinggi, yang nafasnya masih terengah-engah itu berdesah. Namun pertanyaan-pertanyaan itu harus dijawab. Katanya "Kebetulan saja, kebetulan aku sedang berada di gubug Pa mot. Ka mi sedang bermain kotekan" "Tetapi ka mi tidak mendengar kotekan itu" jawab orang tua yang pertama kali me lihat perkelahian itu. Anak muda itu menarik nafas. Desahnya "Aku lelah sekali. Ini tanganku berdarah tersentuh senjata orang-orang gila itu" Tetapi orang-orang yang mengerumuninya me mpedulikan. Mereka masih bertanya terus. tidak
Namun ternyata bahwa tidak semua anak-anak muda itu menyimpan persoalan yang sebenarnya telah terjadi. Satu dua diantara mereka, tanpa mereka sadari telah mengatakan apa yang sebenarnya terjadi itu. Bahkan dengan berterus terang, seorang anak muda yang bertubuh kecil berkata "Mereka telah mendapat upah dari Manguri untuk menangkap Pa mot" Demikianlah maka berita itupun segera tersebar. Orangorang Gemulung yang ke mbali ke padukuhan merekapun segera berceritera dan berbincang yang satu dengan yang lain. Karena jawaban anak-anak muda yang berkelahi itu tidak sama, karena mereka belum bersepakat apakah yang harus mereka katakan, maka berita tentang perke lahian itupun menjadi bersimpang siur. "Tetapi yang lebih dekat dengan nalar, adalah ceritera tentang orang-orang upahan itu" berkata seseorang "bukankah beberapa saat yang lampau Manguri pernah berkelahi dengan Pa mot dan ke mudian raksasa itu pula ?" Yang lain mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun diantara mereka masih juga ada dugaan-dugaan yang berbeda satu dengan yang lain.
Ketika ayah Pamot kemudian lewat di depan gardu yang penuh dengan orang-orang yang sedang berbincang, maka salah seorang telah menarik tangannya sambil berkata "Nah, kalau ayah Pamot ini, aku kira mengerti persoalanpersoalannya dengan baik. Sekarang ceriterakanlah apa yang telah terjadi dengan anakmu" Ayah Pamot mengerutkan keningnya. Sejenak ia membuat pertimbangan-pertimbangan. Namun ke mudian ia menganggap, bahwa lebih baik ia berkata sebenarnya. Dengan de mikian ma ka tidak akan ada salah pengertian lagi tentang apa yang sudah terjadi itu. Adalah sangat me mbingungkan apabila setiap orang me mpunyai ceritera tersendiri tentang perkelahian di tengah sawah itu. Maka ayah Pamotpun ke mudian menceriterakan apa yang sesungguhnya telah diala mi oleh anaknya. Na mun de mikian, ayah Pamot masih juga me mbatasi pe mbicaraannya. Ia sama sekali t idak me nyinggung-nyinggung La mat sa ma sekali. Pada waktu yang bersamaan, anak-anak muda Ge mulung yang baru saja berkelahi itu telah mengetuk pintu rumah Ki Jagabaya. Meskipun mereka agak ragu-ragu, tetapi adalah lebih baik bahwa Ki Jagabaya mendengar peristiwa itu dari merika sendiri, daripada dari sumber yang bersimpang siur. Ki Jagabaya yang baru tidur dengan nyenyaknya, mengge liat sa mbil menguap. La mat-la mat ia mendengar pintu rumahnya diketuk perlahan-lahan Tetapi suara itu serasa menga mbang di dala m mimpinya. Baru ketika ia mendengar ketukan pintu untuk kedua kalinya ia me mbuka matanya. Sekali lagi ketukan pintu itu terdengar. "Huh, benar-benar tidak tahu aturan "ia menggeramang "mala m-mala m begini mengetuk rumah orang" Sambil terkantuk-kantuk ia bangkit dan duduk di pinggir pembaringannya.
Ketika sekali lagi ia mendengar pintu diketuk, ma ka iapun berteriak "Tunggu he" Apakah kau takut diterka m hantu" Pamot, Punta dan kawan-kawannya saling berpandangan sejenak. Tetapi merekapun kemudian mengerutkan kening mereka. "Siapa?" terdengar suara Ki Jagabaya pula. "Aku" "Aku siapa" Setan, gendruwo atau de mit?" "Punta" "Punta siapa?" "Anak Ge mulung" Ki Jagabayapun kemudian berdiri. Sejenak ia ragu-ragu. Dipandanginya bindinya yang tergantung pada dinging. Sekali lagi ia menguap. Tetapi tangannya menyambar bindinya itu. Tertatih-tatih ia berja lan menuju ke pintu pringgitan sa mbil bersungut-sungut. Tetapi ketika ia berdiri di muka pintu, ma ka langkahnyapun telah menjadi mantap. Dipandanginya pintu itu sejenak, ke mudian dibenahinya pakaiannya. Dengan tangan kirinya ia menarik se larak dan perlahan-lahan me mbuka pintu. "He, kau" desisnya. "Ya Ki Jagabaya. Kami me mpunyai keperluan yang menurut pendapat kami tida k sebaiknya ditunda sa mpai besok. Karena itu, maafkan kami, apabila ka mi sudah mengganggu" berkata Pamot. "Apakah kalian anak-ana k Ge mulung?" "Ya" "Masuklah"
Dyah Ratnawulan 1 Trio Detektif 11 Misteri Tengkorak Berbicara Patung Emas Kaki Tunggal 2
itu. Namun untuk menangkapnya dan me mbawanya ke Lumbung di bela kang rumah, me mang diperlukan beberapa orang kawan. "Sekarang kalian boleh pergi" berkata Manguri "besok siang kalian ke mba li lagi ke mari sebelum di mala m harinya kalian harus me lakukan pekerjaan itu. Awas, kalau kalian gagal, maka tidak sekeping uangpun aku berikan kepada kalian" "Jangan takut. Apalagi seekor tikus, seekor serigalapun tidak akan lepas dari tanganku" Sepeninggal orang-orang itu, maka Manguripun berkata kepada La mat "Nanti mala m kau pergi bersa ma aku melihat apakah Pamot masih dala m kebiasaannya, pergi ke gubugnya. Sekarang pergilah. Kau terla mpau bodoh untuk mengerti persoalanku, sehingga karena itu aku terpaksa me mperguna kan orang lain" Lamat tidak menjawab. Wajahnya yang tampak bengis namun terlalu bodoh itu tertunduk dala m-dala m. Perlahanlahan ia meningga lkan Manguri ke mbali ke pekerjaannya. Namun dala m pada itu, sesuatu bergolak di dadanya. Meskipun ia berusaha untuk tidak menghiraukannya, tetapi setiap kali jantungnya serasa dituntut oleh suatu keharusan untuk berbuat sesuatu. Ia sudah terlalu biasa dipergunakan oleh keluarga Manguri untuk menakut-nakuti orang yang la mbat me mbayar hutang. Bahkan kadang-kadang dengan sedikit kekerasan. Tetapi kali ini ia tidak dapat menahan hati me mbiarkan Pa mot menga la mi nasib yang terlampau jelek, justru ia yakin bahwa anak itu tidak bersalah. "Anak itu bukan sanak bukan kadang" ia mencoba menghilangkan kerisauan perasaannya itu. Tetapi kemudian ia mengge lengkan kepalanya "Aku harus me mberitahukan kepadanya"
Demikianlah, ketika pada sore hari, seperti kebiasaannya Lamat pergi ke sungai, dengan tergesa-gesa ia berusaha singgah ke rumah Pa mot. Ia menunggu hari mula i gelap, supaya tidak seorangpun yang melihatnya, setidak-tidaknya me lihatnya dengan pasti. "Mudah-mudahan Pa mot masih ada di rumahnya" desisnya "anak yang berani itu sama sekali tidak gentar, meskipun Manguri menganca mnya seribu kali. Dengan ragu-ragu Lamat berdiri di muka pintu rumah Pamot. Sejenak ia me matung. Namun sejenak ke mudian tangannyapun bergerak mengetuk pintu rumah itu. "Siapa?" terdengar seseorang menyapa dari dalam. Tetapi suara itu bukan suara Pamot. Meskipun de mikian La mat sudah tidak dapat mundur lagi. Waktunya sudah menjadi terlampau sempit. "Aku" jawabnya. Kemudian perlahan-lahan pintu rumah itu terbuka. Ketika ayah Pamot yang me mbuka pintu itu melihat, siapa yang berada di luar, terasa dadanya seolah-olah berguncang. Lamat. Sejenak ia berdia m diri sa mbil me mandangi raksasa yang berdiri tegak di dala m kere mangan mala m. Na mun dala m pada itu keringat dingin telah me mbasahi seluruh tubuhnya. "Siapa yang di luar" bertanya ibu Pa mot. Suaminya tidak segera menjawab. Bahkan selangkah ia surut. Ia mengerti betul bahwa La mat adalah pe mbantu setia Manguri yang sangat ditakuti orang. Ia mempunyai ke kuatan seperti seekor gajah. Ayah Pamot itu semakin tergetar hatinya ketika mendengar La mat bertanya "Dimana kah Pa mot?" ia
Sejenak ia tidak menjawab. Dan isterinya bertanya sekali lagi "Siapa yang di luar ?" Ayah Pamot tidak menjawab. Ia tidak menjawab pertanyaan istrinya, dan tidak menjawab pertanyaan Lamat. Namun dala m pada itu, Pamot yang ada di ruang dalam mendengar pe mbicaraan mereka. Karena itu, maka iapun segera mendatanginya. Tetapi ia terkejut ketika begitu ia muncul ayahnya hampir berteriak berkata kepadanya "Pergi, pergi kau Pa mot" "Kenapa ?" "Pergi kau" Tetapi Pamot masih berdiri di tempatnya. Ia mencoba me lihat siapakah yang berdiri di luar pintu, yang telah me mbuat ayahnya ketakutan. Namun sebelum Pamot berhasil mengenal orang itu, terdengar suara di luar pintu "Aku, Pa mot, La mat" "O, kau. Masuklah" "Pamot " ayahnya menahannya ketika ia mendekati pintu. "Ia tidak apa-apa ayah. Lamat orang yang baik" "Tetapi" desis ayahnya. "Biarlah ia masuk" Ayahnya tidak dapat mencegahnya lagi. Ibunya terkejut pula ketika dari balik pintu muncul seseorang yang tinggi besar dan berkepala botak. "Maafkah aku" berkata Lamat "barangkali aku sudah mengejutkan ka lian" Ayah dan ibu Pamot tidak menjawab. Kakek Pamot yang ke mudian datang pula keruang itu menjadi bertanyaannya di dalam hati.
"Aku hanya sebentar Pamot" berkata La mat ke mudian "apakah kau akan pergi ke sawah ma la m ini" "Ya" Pa mot menganggukkan kepalanya tanpa ragu-ragu. "Baiklah. Aku bersama Manguri akan mengintai, apakah kau ada di gubugmu atau tidak" berkata Lamat selanjutnya "tetapi untuk besok ma la m, kau benar-benar akan diintai oleh bahaya. Manguri telah menyewa lima orang untuk menangkapmu" "He" Pa mot me mbelala kkan matanya, sedang orang tuanya menjadi pucat. "He m" Pa mot ke mudian menggera m "ia mendenda mku. Tetapi apaboleh buat" benar-benar
"Kau harus berhati-hati Pa mot. Lima orang yang disilaukan oleh uang itu dapat berbuat apa saja di luar sadar mereka" "Terima kasih. Aku akan berhati-hati" "Sudahlah. Aku harus segera berada di rumah. Nanti menje lang tengah mala m aku a kan pergi bersama Manguri, me lihat apakah kau berada di da la m gubugmu itu" "Baiklah. Aku akan berada di sana. Dan besukpun aku akan berada di sana pula" "Pamot " berkata Lamat "menghadapi ke lima orang itu kau jangan menuruti perasaanmu saja. Kau harus mau melihat kenyataan, bahwa kau tidak akan dapat melawan mereka. Sependengaranku, kau akan ditangkap dan dibawa ke lumbung di be lakang rumah Manguri. Manguri sendirilah yang akan mengurusmu ke lak. Aku tida k begitu tahu, apakah yang akan dilakukannya" Pamot menggeretakkan giginya., "Ingat, jangan kau biarkan perasaanmu bergejolak tanpa kendali. Kau tidak a kan dapat menghindari kenyataan. Kau
akan menyesal kalau kau tidak mencari jalan keluar dari kesulitan itu" Pamot mengangguk-anggukkan kepalanya "Terima kasih Lamat" Dan La matpun ke mudian segera minta diri, meningga lkan seisi rumah yang keheran-heranan. "Aku tida k mengerti" desah ayah Pa mot "apakah kau t idak mengenalnya?" "Tentu, aku mengena lnya dengan baik" "Bukankah aku tidak salah lihat, bahwa orang itu adalah Lamat pe mbantu ke luarga Manguri?" "Ya, bukankah ia telah menyebut na manya pula?" "Tetapi, tetapi aku tidak tahu apa yang kalian bicarakan" ayah Pamot masih bingung "menurut pendengaranku ia justru me mberimu peringatan bahwa kau terancam bahaya" "Ya ayah" jawab Pa mot. "Aku menjadi bingung. Aku kira ia akan menyeretmu keluar dan me mukulmu sampai pingsan. Wajahnya yang bengis tetapi bodoh itu benar-benar meyakinkan bahwa ia adalah seekor kerbau yang telah dicocok hidungnya" "Tetapi dugaan itu ternyata me leset. Akupun se mula menduganya de mikian pula. Aku kira ia adalah seorang keja m yang bodoh., Namun ternyata sebaliknya. Hatinya lunak dan bahkan perasa. Ia sama sekali bukan seorang yang bodoh. Ia dapat menasehati aku dan me mberi arah ja lan keluar" "Aku tidak menyangka. Selama ini La mat adalah sesosok hantu raksasa bagi orang-orang Ge mulung dan ha mpir di seluruh Kade mangan Kepandak. Bahkan orang-orang Mangirpun menyebut-nyebut namanya, sampai orang-orang di pesisir Se latan"
"Aku tida k tahu, kenapa ka li ini ia bersikap lain" "Tetapi apakah kau dapat mempercayainya?" bertanya ayahnya tiba-tiba. Pamot termenung sejenak. Namun ke mudian ia mengangguk "Aku me mpercayainya. Kalau ia ingin berbuat jahat, maka ia pasti sudah melakukannya" Ayah Pamot tidak segera menjawab. "Ia telah melanggar perintah Manguri untuk melakukan pembalasan. Aku me mang tida k mengatakan kepada keluarga di rumah ini sebelumnya, bahwa aku telah sa lah paha m pula" Orang tua Pamot dan kakeknya se makin terheran-heran. Apalagi ketika mereka mendengar Pa mot menceriterakan apa yang sebenarnya telah terjadi, ketika pipinya menjadi bengkak. "Kau berdusta saat itu Pa mot?" bertanya ayahnya. "Ya ayah" Jawabnya "Aku bingung, bagaimana a ku harus mengatakannya. Ayahnya mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya "Kalau kau dapat me mpercayainya, maka kau benarbenar harus berhati-hati besok mala m. Manguri yang hatinya masih dibakar oleh kekalahannya itu telah menyewa lima orang yang menurut Lamat tidak akan dapat kau lawan. Kalau begitu sebaiknya kau telah berada di rumah saja. Tetapi Pamot mengge lengkan kepa lanya "Tidak ayah. Aku akan mencari jalan lain. Tetapi tidak tetap tinggal di rumah seperti perempuan yang takut mendengar suara anjing menggonggong" "Bukan begitu Pa mot, La mat sudah mengatakan kepada mu, bahwa kau harus melihat kenyataan. Kau tidak akan dapat me lawan mereka"
"Ya. Aku me mang harus mencari jalan ke luar. Dan aku akan berusaha" "Tetapi kau jangan menuruti perasaanmu saja Pamot. Aku ikut menjadi ce mas" berkata ibunya "kalau kau masih anakanak, aku akan me ndukungmu ke mana aku pergi. Tetapi kau sekarang hampir t idak dapat disentuh ujung kainmu" "Ibu jangan ce mas. Aku akan berhati-hati. Tetapi tidak sepantasnya anak seperti Manguri itu dibiarkan untuk berbuat sesuka hatinya" "Ia me mpunyai uang Pa mot" "Tida k selalu bahwa uang itu me mpunyai nilai yang paling tinggi di dala m pergaulan hidup ini" Ibunya yang berkaca-kaca akhirnya berkata "Aku hanya mengharap kau sela mat. Tidak lebih dari itu" Pamot tidak menjawab lagi. Kepalanya tertunduk dala mdalam. Tetapi ia sa ma sekali tidak berhasrat untuk bersembunyi dimanapun. "Kau sudah cukup dewasa Pa mot" kakeknyalah yang ke mudian berbicara "kau dapat me mbuat pertimbanganpertimbangan yang waras. Tidak terlalu dibumbui oleh darah muda mu seperti Manguri" "Ya ka kek" "Aku percaya kepada mu" Pamotpun mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun kepercayaan kakeknya itu justru menumbuhkan kesungguhan kepadanya. Bahwa ia me mang bukan ana k-anak lagi. "Biarlah ia mencari jalan" berkata ka keknya ke mudian kepada kedua orang tua Pamot "sebenarnya aku me mang lebih senang me lihat ia berhasil me mbebaskan dirinya secara jantan. Tidak dengan menyembunyikan diri. Sebab dengan
demikian, Manguri pasti masih akan me ncarinya, sehingga persoalannya sebenarnya masih belum selesai" Ayah Pamot mengangguk-anggukkan kepa lanya. Tetapi ibunya dia m saja. "Aku tahu, bahwa kalian sangat cemas akan nasib anakmu, karena kebetulan bahwa ia berselisih dengan Manguri. Me mang Manguri me mpunyai harta dan kekayaan untuk mendapat kawan., Tetapi Pamotpun me mpunyai kelebihan yang lain. Ia me mang me mpunyai kawan yang sebenarnya kawan" Pamot mengangkat wajahnya. Memang sudah terkilas di kepalanya, bahwa ia akan menghubungi beberapa kawan dekatnya. Kawan yang setiap kali bersama-sa ma pergi ke kademangan. "Mereka pasti bersedia me mbantu aku" kata Pamot di dalam hatinya "Mereka akan ikhlas berbuat apapun tanpa upah seperti yang dilakukan oleh Manguri. Orang-orang upahan akan segera meningga lkan majikannya apabila ada orang lain yang mengupahnya lebih banyak lagi. Hubungan diantara mereka tidak ubahnya seperti hubungan jual belu saja. Yang satu me mberikan jasa, yang lain me mbayarnya" "Nah, sekarang biarlah Pamot me mpersiapkan dirinya" berkata kakeknya yang sudah tua itu "sebentar lagi kau akan ke sawah melihat air" "Tetapi" potong ibunya. "Tida k apa-apa. Akupun akhirnya percaya, bahwa Lamat berkata dengan jujur" Ibunya tidak mencegahnya lagi, sedang ayahnya duduk saja termangu-mangu. Na mun sebenarnya iapun mulai dapat me mpercayai, bahwa La mat tida k akan me njerumuskan anaknya ke dalam bencana. Kalau ia ingin me lakukannya, maka kese mpatan itu telah pernah dimilikinya.
"Sekarang, kalian dapat tidur dengan tenang. Setidaktidaknya mala m nant i tidak akan terjadi sesuatu atas Pamot, meskipun itu bukan berarti bahwa ia dapat berbuat sesuka hatinya. Ia tetap harus berhati-hati dan bersiaga. Segala kemungkinan me mang dapat terjadi karena sifat Manguri itu sendiri" berkata kakek Pa mot. Ke mudian "Aku me mang lebih senang melihat anak-anak muda yang berani. Tetapi itu hanya karena pengaruh hidupku di masa muda dahulu. Pada masa anak-anak muda itu dapat dikekang lagi. Begitu Mataram berdiri, ka mi langsung ikut berjuang menegakkannya. Tetapi kemudian ka mi kehilangan sasaran ketika Mataram sudah t idak diguncang-guncang lagi. Akibatnya me mang tidak menyenangkan" Orang tua itu agaknya merasakan kerinduan yang mendala m kepada masa mudanya, masa yang me mberinya kebanggaan. "Tetapi sekarang harus sudah lain. Sekarang Mataram me mang sedang me merlukan tenaga anak-anak mudanya. Bukankah Pa mot setiap kali harus pergi ke Kade mangan" Disana ia menerima latihan-latihan yang perlu, apabila setiap saat Mataram me manggilnya. Pamot mengangguk-anggukkan kepalanya. Demikian juga kedua orang tuanya. "Nah, pergilah Pamot. Tetapi kau jangan menjadi besar kepala, karena kepala mu itu masih dapat juga dibe li dengan uang Manguri" Pamotpun ke mudian berdiri. Kini ia tidak saja me mbawa sabit, tetapi diselipkannya goloknya di pinggangnya. "Kau bersenjata" bertanya ayahnya. Pamot mengangguk. Kakeknya kengerutkan keningnya sejenak. Tetapi katanya ke mudian "Sebenarnya senjata tidak selalu me mbuat kau menjadi lebih a man. Ada dua ke mungkinan yang dapat terjadi.
Kau menjadi liar karena kau merasa kuat, sehingga akhirnya kau terperosok ke dala m suatu tindakan yang tidak kau harapkan. Misalnya, tidak dengan sengaja kau telah me lakukan pe mbunuhan. Atau kemungkinan yang lain, senjata itu telah me mba kar hati lawan-lawanmu dan me mancing senjata-senjata mereka keluar dari wrangkanya. Kau mengerti maksudku?" Pamot mengangguk "Ya kakek" "Apa" "Aku dapat me mbunuh atau dibunuh karenanya" "Nah pertimbangkan" "Tetapi ka lau lawan-lawanku bersenjata dan aku t idak bersenjata sama sekali, maka aku tidak akan dapat melawan mereka" -)))de-wi(((-
Matahari Esok Pagi Karya : SH Mintardja Jilid 2 "MESKIPUN de mikian, mereka tidak akan dengan serta merta me mbunuh kau" Pamot mengerutkan keningnya. Ia memang dapat mengerti maksud ka keknya. Tetapi apakah orang-orang yang me mbayanginya itu me mpunyai pertimbangan-pertimbangan yang waras. Kakeknya melihat keragu-raguan di wajah Pa mot, sehingga ia merasa perlu menje laskan "Pa mot, perkelahian bersenjata selamanya selalu mence maskan. Kalau kau kalah kau akan dikubur, tetapi kalau kau menang, ma ka dengan banyak cara, orang kaya itu dapat menyeretmu ke dalam hukuman yang berat" Pamot mengangguk-anggukkan kepalanya "Baik. Aku tidak akan me mbawa senjata" Ketika Pa mot meletakkan goloknya, ayahnyalah yang bertanya "Apakah me mang de mikian seharusnya?" "Begitulah menurut pertimbanganku" Ayah Pamotpun mengangguk-anggukkan kepa lanya. Namun ke mudian ia berkata "kau pergi dengan aku Pa mot" "Jangan ayah" pinta Pamot "Aku ingin agar mereka me mpunyai kesan bahwa aku me mang sela lu seorang diri di gubug itu" Ayahnya mengerutkan keningnya "Tetapi kalau terjadi sesuatu atasmu, aku bukan sekedar penonton Pa mot" "Mala m ini pasti tidak ayah" jawab Pa mot. Ayahnya termangu-mangu mengangguk "Baiklah. Tetapi ke mbali, aku terpaksa pergi. persoalan anak-anak. Tetapi sejenak. Tetapi ke mudian ia kalau pada saatnya kau belum Aku tau, persoalan ini adalah Manguri telah me manfaatkan
kekayaan ayahnya. Sedang yang dapat aku berikan kepadamu Pamot, adalah sekedar tenagaku" Pamot menundukkan kepalanya. Ia justru terdiam sejenak. Dengan nada yang datar iapun kemudian berkata "Maafkan ayah, ibu dan kake k. Aku sa ma seka li tidak bermaksud me mbuat ayah, ibu dan ka kek menjadi ge lisah" "Aku tahu" jawab ayahnya "tetapi yang sudah terlanjur terjadi ini akan berkepanjangan. Pada suatu saat memang diperlukan penyelsaian yang tuntas" Pamot mengangguk-angguk. "Sudahlah" berkata ka keknya "berangkatlah" "Baik kakek" jawab Pa mot. Anak muda itupun ke mudian minta diri kepada kedua orang tuanya beserta kakeknya,. Meskipun ha mpir setiap ma la m ia me lakukan pekerjaan ini tanpa ada persoalan apapun, na mun kali ini Pa mot seolah-olah sedang bersiap untuk berangkat ke medan perang. Dengan hati yang berdebar-debar orang tuanya dan kakeknya melepaskannya. Sejenak ke mudian Pa motpun telah menyusup ke dala m gelap. Melintasi hala man dan berjalan menyusur jalan pedukuhan. Jalan yang sudah setiap hari dilaluinya. Tetapi rasa-rasanya jalan ini seperti menjadi berta mbah panjang. Langkah-langkahnya serasa menjadi terla mpau pende k atau kakinya me mang ge metar". Namun Pamot berjalan terus. Di tangannya tergenggam sebilah sabit. Hanya itu. Senjata yang selalu dibawanya ke sawah dan ke pategalan. Kadang-kadanga ia me mang harus me motong kayu dan me mbelahnya sama sekali. Kalau ia sengaja pergi menebang kayu ma ka ia sela lu me mbawa sebuah kapak yang besar.
Tetapi sudah tentu tidak di mala m hari, sehingga karena itu maka Pa mot tidak dapat me mbawa kapak, meskipun kapak merupakan senjata yang lebih baik dari hanya sebuah sabit. Ternyata bagaimanapun juga ia mencoba me maha mi pesan kakeknya, namun Pa mot pasti akan merasa dirinya lebih aman apabila ia bersenjata, bukan sekedar sebuah sabit. Tetapi dengan sebuah sabit, masih juga lebih baik daripada ia sama sekali t idak bersenjata apapun. Namun agaknya apa yang dikatakan oleh La mat me mang benar. Malam itu t idak ada apa-apa terjadi. Ketika ia duduk me me luk lututnya justru di bawah gubugnya yang berkaki agak tinggi, ia melihat dua orang berjalan di pe matang sawahnya. Seorang yang bertubuh tinggi besar sedangkan yang lain anak muda sebayanya. "Manguri dan La mat" desis Pa mot. Tetapi Pamot itupun menjadi berdebar-debar ketika keduanya berhenti beberapa langkah dari gubugnya. Manguri mencoba me ma ndangi gubug itu tajam-taja m. Tetapi ia sama sekali tidak menyangka, bahwa Pamot duduk di pe matang justru di bawah gubug yang kegelapan. Tiba-tiba tanpa di-sangka-sangka menanggilnya. "Pa mot, Pamot" Manguri justru
Pamot menarik nafas dalam-dala m. Perlahan-lahan ia berdiri dan keluar dari bawah gubugnya sambil terbungkukbungkuk. "Kau mencari aku Manguri" "O" Manguri agak terkejut "Kenapa kau berse mbunyi?" "Aku tida k berse mbunyi. Aku sedang me lihat tinggi air di sawahku" Manguri tertawa "Benar begitu?" "Apa gunanya aku menipumu?"
"Aku sangka kau sudah menjadi seorang pengecut sehingga kau sudah tida k berani lagi berada di atas gubugmu" "Apa yang aku takuti?" "Bagaimana kalau sekarang La mat sekali lagi mere mukkan tulang kepala mu" Kau pasti t idak akan dapat lari lagi. Kalau kami berdua berkelahi bersama-sa ma ma ka kau dapat me mbayangkan, apa yang akan terjadi atasmu" "Jangan menghina " potong Pamot "apakah kalian ingin mencoba?" Manguri tertawa. Benar-benar menyakitkan hati. "Kau me mang terla mpau sombong. Tetapi aku seka li-sekali me mang ingin melihat kepala mu retak. Apakah kau mau mencoba?" Lamatlah yang menjadi berdebar-debar. Kalau Pamot t idak dapat mengendalikan diri, maka keadaan akan menjadi lain dari rencana semula. Mungkin mereka akan terlibat dalam perkelahian yang sulit. Dan ternyata Pamotpun Begitukah yang kau inginkan" menjawab "Apaboleh buat.
Suara tertawa Manguri tiba-tiba terputus. Dipandanginya wajah La mat. Namun ke mudian ia berkata "Kita tinggalkan saja anak gila itu. Jangan layani" Lamat menarik nafas dalam-dala m. Apalagi ketika ia me lihat Manguri sudah melangkahkan kakinya dengan tergesa-gesa, maka Lamatpun segera mengikutinya pula. Ketika ia berpaling, dilihatnya Pamot masih tetap berdiri tegak di te mpatnya. Lamat menjadi heran ketika ia melihat Manguri tiba-tiba berhenti, sehingga ha mpir saja ia melanggarnya. "Kenapa" tanpa sesadarnya ia bertanya.
Manguri tida k mengacuhkannya. Tetapi ia berkata kepada Pamot dibarengi dengan suara tertawanya yang serasa menusuk-nusuk jantung "kau tidak perlu menjadi de mikian ketakutan dan bersembunyi di bawah gugubmu anak manis. Kau lihat, bahwa kami bukan harimau-harimau ke laparan yang siap menerka mmu. Besok kau akan berjalan lewat pe matang sawahmu ini pula, untuk melihat, apakah kau juga masih bersembunyi di bawah gubugmu" Manguri tidak menunggu jawaban Pa mot. Suara tertawanya tiba-tiba meninggi. Na mun ke mudian hilang di telan sepinya ma la m. Lamat berjalan dengan patuh di belakang Manguri ketika ia meninggalkan sawah keluarga Pa mot itu. Sekali-seka li masih terdengar Manguri tertawa kecil. Na mun ke mudian katanya "Anak yang sombong itu besok pasti akan datang lagi. Biarlah ia merasakan, bahwa ia tidak dapat bermain-main sekehendak hatinya dengan Manguri,. Besok ia akan ditangkap dan dibawa ke lumbung yang sudah tidak penuh lagi itu. Aku akan me ma ksanya berjanji untuk menjauhi Sindangsari. Setelah itu, baru aku akan mencari cara untuk menjerat burung liar itu" Lamat sa ma sekali tida k menjawab. Ia berja lan saja dengan kepala menunduk. Ikat kepalanya, yang membelit saja tanpa menutupi botaknya itu, berjuntai hampir sa mpai ke pundaknya. Sepeninggal Manguri dan La mat, Pamot menarik nafas dalam-da la m. Begitulah cara Manguri mengintai. Ia sama sekali tida k bersembunyi di balik tanaman, atau di balik batang-batang jarak di pojok-pojok sawah. Tetapi ia datang dengan dada tengadah, dan bahkan me manggil manggil namanya. Pamotpun ke mudian naik ke gubugnya perlahan-lahan. Kini ia sudah dapat beristirahat, justru setelah ia tahu, Manguri telah mendatanginya. Ia sadar, bahwa Manguri sengaja
menge litik harga dirinya, supaya besok ia benar-benar datang ke gubugnya. "He m, ternyata Lamat berkata sebenarnya" Pamotpun ke mudian merebahkan dirinya di atas galar yang kering, dialasi oleh se le mbar tikar yang kasar. Perlahan-lahan silirnya angin telah me mbelai keningnya, sehingga tanpa disadarinya, anak muda itupun akhirnya tertidur betapa ia mencoba untuk tidak lengah sekejappun. Pamot terkejut ketika ia mendengar derit di tangga gubugnya, sehingga gubugnya yang kecil itu berguncang. Dengan serta-merta ia bangkit sambil menyambar sabit di sampingnya. Namun ternyata bahwa sinar ke merah-merahan di timur telah menyilaukannya. "Pamot " ia mendengar seseorang me manggil. Kemudian sebuah kepala tersembul di hadapannya. Kepala ayahnya. Pamot menarik nafas dalam-dala m. Perlahan-lahan ia terhenyak duduk ke mbali. Sa mbil me letakkan sabitnya ia berkata "Ayah mengejutkan aku" "Kau mence maskan seluruh ke luarga di rumah. Kau t idak ke mbali pada saatnya" "Aku tertidur ayah" "Anak dungu" ayahnya mengumpat "ka mi yang di rumah tidak sekejappun dapat tidur. Kau tidur mendekur disini sampai matahari ha mpir terbit" Pamot menundukkan kepalanya. Tetapi ia tersenyum. Ia beringsut ketika ayahnya duduk di sa mpingnya. Diletakkannya paculnya di sudut gubugnya yang kecil itu. "Tida k terjadi sesuatu apapun ayah" berkata Pa mot. "Kau mengetahui bahwa tidak terjadi sesuatu. Tetapi kami tidak"
Pamot mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya "Aku tertidur disini" "Kau lengah Pa mot. Kalau selagi kau tidur terjadi sesuatu atasmu, maka kesalahan terbesar terletak padamu sendiri" "Tetapi aku tertidur setelah aku merasa, bahwa tidak akan terjadi sesuatu" "Bagaimana kau tahu?" "Setelah La mat mengantarkan Manguri datang ke mari" "Mereka datang?" Pamot mengangguk-anggukkan kepa lanya. Diceriterakannya tentang Manguri dan La mat yang lewat di pematang sawahnya sambil menyindir-nyindirnya. Ayahnya mengangguk-anggukkan kepalanya "Ka lau begitu ma la m nanti aga knya Manguri benar-benar mengharap kau berada di gubug ini Pa mot" "Ya ayah. Aku akan me menuhi keinginannya itu" Ayahnya menarik nafas dala m-dala m "kau terlalu dikuasai oleh perasaanmu. Perasaan seorang anak muda" "Tida k ayah. Aku akan me mbuat perhitungan seba ikbaiknya supaya aku tida k terjebak karenanya" "Perhitunganmu adalah perhitungan dipengaruhi oleh sifat-sifatmu" yang terlampau
Pamot mengerutkan keningnya. Terdengar ia berkata lirih "Aku akan mencoba untuk lebih dewasa berpikir ayah" Ayahnya mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun ke mudian ia berkata lirih "Aku sadar, bahwa pada suatu saat yang tua-tua inipun tidak akan dapat tinggal dia m. Aku lebih senang kalau kau tidak terlibat dala m persoalan se macam ini, apalagi dengan Manguri. Tetapi karena masalahnya sudah terlanjur, apaboleh buat"
Pamot tida k menjawab. Tetapi kepalanya menjadi se makin tunduk. "Pulanglah. Ibumu dan kake kmu menunggu. Mereka sama sekali t idak t idur sekejappun" "Baik ayah" Pamotpun ke mudian turun dari gubugnya, menjinjing sabitnya dan berjalan pulang. Di sepanjang jalan ia berusaha untuk mencari ja lan agar ia terhindar dari malapetaka tetapi tanpa menye mbunyikan diri di rumah atau dimanapun. "Aku bukan pengecut" desisnya. Langkah Pa mot tiba-tiba terhenti ketika ia melihat seseorang berjalan sambil berkerudung kain panjangnya. Sejenak ia berpikir dan sejenak ke mudian iapun me langkah semakin cepat me motong jalan orang itu, lewat pe matangpematang yang membujur lintang diantara tanaman-tanaman di sawah. "Punta" Pa mot me manggil. Yang dipanggil itupun ke mudian berhenti. Seorang anak muda sebaya dengan Pamot. Tetapi anak itu agak lebih pendek, namun ta mpaklah otot-ototnya menjelu-juri seluruh tubuhnya. "He, kau dari sawah?" bertanya Punta. Pamot mengangguk "Dari mana kau?" "Dari Kade mangan. Bukankah ma la m ini aku me ndapat giliran ronda?" Pamot mengingat-ingat "O, ya Aku masih tiga hari lagi" Punta mengangguk-anggukkan kepalanya. "Punta" berkata Pamot sungguh-sungguh "apakah kau mau menolong a ku?"
Punta mengerutkan keningnya "Apakah kau me mpunyai kesulitan" "Kau pasti sudah mendengar" jawab Pa mot. "Persoalanmu dengan Manguri?" "Ya" Pa mot menganggukkan kepalanya. Punta menarik nafas dala m-dala m. Sambil menganggukanggukkan kepalanya ia berkata "Pa mot. Aku adalah kawanmu yang dekat, seperti beberapa kawan yang lain. Tetapi untuk menca mpuri persoalanmu secara langsung, ka mi agak berkeberatan. Dengan demikian persoalan yang seharusnya semakin la ma menjadi sema kin pada m, justru akan menjadi sebaliknya. Aku me mbantumu, dan Manguri akan mencari kawan-kawan pula. Dengan de mikian persoalannya tidak akan dapat selesai" Punta berhenti sejenak "apakah tidak ada suatu cara yang baik untuk menyelesaikan masalah itu?" "Aku sudah berusaha me lupakannya Punta. Tetapi tiba-tiba aku dihadapkan pada suatu keharusan untuk melawan. Manguri terla mpau tinggi hati untuk berbicara sebagai seorang kawan. Semala m ia datang ke gubugku di sawah bersama Lamat. Agaknya ia memang akan me mbuat persoalan ini menjadi besar" Punta mengerutkan dilakukannya?" keningnya "Apa yang akan
Pamot ragu-ragu sejenak. Namun ke mudian ia berkata "Punta. Aku akan berkata sebenarnya dan apa yang ada. Terserah tanggapanmu atas persoalan itu" Pamot berhenti sejenak. Ketika Punta menganggukkan kepa lanya, maka Pamotpun menceriterakan masalahnya kepada Punta. Punta mengerutkan keningnya. Wajahnya kian la ma menjadi kian tegang. Sehingga akhirnya ia bertanya "kau berkata sebenarnya"
"Sudah aku katakan" jawab Pa mot "kau mengenal aku sejak kanak-kanak. Kau mengenal tabiat dan sifat-sifatku, sehingga seharusnya kau dapat menebak apakah aku berbohong ataukah aku berkata sebenarnya" "Pamot " jawab Punta "dalam persoalan sehari-hari kau me mang tidak pernah, atau katakanlah, jarang sekali berbohong. Tetapi dalam persoalan-persoalan yang khusus, kebiasaan kadang-kadang tidak berlaku lagi. Seseorang dapat berbuat aneh-aneh, dan bahkan bertentangan sama sekali dengan kebiasaan dan pandangan hidupnya sendiri. Apalagi seseorang yang sudah terlanjur terdorong masuk ke dala m suatu perbuatan. Biasanya ia akan terlalu sulit untuk menarik diri, meskipun untuk bertahan ia akan me mpergunakan caracara yang ditentang oleh hati nuraninya sendiri" Pamot mengangguk-anggukkan kepalanya. Terkilas sepintas diangan-angannya bayangan seorang raksasa botak yang bernama La mat. "Bukankah begitu?" bertanya Punta. "Kau benar Punta" jawab Pamot "tetapi bagaimana aku dapat meyakinkan kau, bahwa aku berkata sebenarnya?" Punta mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian iapun bertanya "Jadi bagaimana maksudmu sebenarnya?" "Sudah aku katakan bahwa aku akan mengatakan yang akan terjadi. Kemudian aku justru mengharap sikapmu" jawab Pamot "apakah kau menganggap bahwa hal itu sudah wajar, dan sudah wajar pula untuk dibiarkan tanpa tanggapan apapun, atau sudah wajar pula bahwa aku harus bersembunyi atau bagaimana?" Punta menepuk bahu Pa mot sambil tersenyum. Katanya "Baik Pa mot. Kau berhasil me maksa a ku menurut cara mu untuk melibatkan diri dala m persoalan ini" berkata Punta ke mudian "tetapi aku tidak akan bersikap mutlak. Aku akan me lihat perke mbangan keadaan. Seandainya ada perbedaan
antara ceriteramu dengan apa yang akan terjadi, aku dapat me lakukan tindakan-t indakan darurat" "Sudah aku katakan, terserah kepadamu" Punta mengangguk-anggukkan kepalanya "Me mang, agaknya kau tidak sedang bermain-main. Baiklah. Aku akan me mbantumu" "Ingat, Manguri akan me mbawa lima orang kawankawannya "Pamot berdesis, namun segera disusulinya "Bukan. Sama sekali bukan kawan-kawannya, tetapi orang-orang upahannya" Punta mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia bertanya "Pamot, apa yang akan kau lakukan seandainya kau tidak menjumpai a ku pagi ini?" Pamot mengerutkan keningnya. Katanya "Pada dasarnya aku me mang akan minta bantuan kepada kawan-kawanku. Tetapi seandainya aku tidak mene muimu disini, mungkin aku akan langsung menghubungi pe mimpin kelompok kita di Kademangan" Punta tersenyum. Katanya "kau sudah benar-benar kebingungan. Tetapi kau dapat me mpercayai aku. Aku tidak akan ingkar, selagi kau tidak menjerumuskan aku ke dala m kesulitan sekedar untuk me muaskan hatimu. Maksudku, kaulah yang mencari perkara. Tetapi selagi kau dala m sikap me mpertahankan dirimu dan kehormatanmu, aku akan me mbantumu" Pamot mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia berdesis "Terima kasih. Apakah aku harus datang ke rumahmu untuk me mberikan penjelasan tentang keadaanku dan tentang kelima orang itu?" " Aku kira keteranganmu sudah cukup jelas. Aku akan mencoba menyesuaikan diriku, mengenai tempat dan waktu. Kalau ada
keragu-raguan, biarlah aku datang ke rumahmu. Kalau aku sudah yakin, maka a ku tida k perlu lagi me nanyakan sesuatu" "Terima kasih" "Mudah-mudahan kita berhasil. Sebenarnya akupun tidak dapat melihat Manguri berbuat sekehendak hatinya lebih la ma lagi. Tetapi sudah tentu aku tidak akan berselisih dengan siapapun tanpa sebab" Pamot mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekali lagi ia berkata "Terima kasih. Aku percaya kepadamu" Keduanyapun ke mudian berpisah. Pamot sudah me njadi agak lega, bahwa ia sudah berhasil mene mukan jalan yang mungkin dapat menghindarkannya dari bencana. Bukan sekedar bersembunyi dan menunda penyelesaian. Kalau kali ini ia dan kawan-kawannya berhasil, maka hal itu akan merupakan peringatan bagi keluarga Manguri" "Tetapi bagaimana ka lau Punta gagal?" desisnya "Kalau Punta tidak dapat mengatasi dan mengalahkan orang-orang Manguri, maka mereka akan menjadi se makin besar kepa la" Kembali keragu-raguan me mbayang di hati Pamot. Namun meskipun de mikian ia tidak lagi terombang-a mbing dala m keadaan yang tidak menentu. Kalah atau menang, entahlah. Tetapi kalau ia tidak seorang diri, maka persoalannya akan. Manguri tidak lain akan dapat berbuat terlampau banyak terhadap beberapa orang sekaligus. Ketika ia me masuki hala man rumahnya, matahari sudah menjenguk dari balik perbukitan. Kakeknya sudah mulai menyapu hala man dan ibunya sudah sibuk menuang air panas ke dala m mangkuk. Ketika mereka melihat Pamot pulang, dengan serta merta merekapun segera menyongsongnya. "Bagaimana dengan kau Pa mot?" bertanya kakeknya. "La mat berkata sebenarnya, kakek. Tidak ada apa-apa yang terjadi atasku"
"Tetapi kenapa kau jauh terlambat pulang" Apakah kau tidak berte mu dengan ayahmu" "Ketika ayah sa mpai ke gubug, aku masih ada disana. Agaknya aku tertidur se mala m" "He m" kakeknya menarik nafas dalam-dala m "dala m keadaan serupa itu kau masih juga dapat tidur. Bukan ma in. Kamilah yang se mala m se lalu gelisah. Ka lau aku tahu, akulah yang menyusul kau ke sawah. Aku ikat kaki dan tanganmu dengan tiang-tiang gubug" Pamot tida k menjawab. Tetapi ia tersenyum di dala m hati. Namun dengan demikian ia kini menyadari, bahwa seluruh keluarga telah ikut menjadi gelisah karena pokalnya. Ayahnya, ibunya dan kakeknya yang sudah tua itupun mence maskannya. Bahkan semala m suntuk mereka sama sekali t idak tertidur. "Aku telah me mbuat mereka selalu gelisah" katanya di dalam hati. Tetapi sudah tentu Pa mot tidak dapat berbuat lain. Ia masih tetap merasa sebagai seorang anak la ki-laki yang tidak boleh melarikan diri dari kesulitan. "Minumlah" berkata ibunya ke mudian. Pamotpun ke mudian masuk keruang dala m dan duduk di atas sebuah amben besar. Sambil menyeka keringat dinginnya yang mengalir karena berbagai masalah yang bergejolak di dalam dadanya, ia melepaskan ikat kepalanya. Ke mudian menggantungkannya pada dinding di sebelah pintu masuk ke dalam bilik kiri. Sambil bertelekan pada la mbungnya ia mengge liat. "Kalau kau akan mencuci muka, pergilah kesumur lebih dahulu" berkata ibunya. "Baik bu" jawab Pa mot sa mbil mengangguk. Ibunya ternyata begitu banyak menaruh perhatian kepadanya. Hal itu
sudah berjalan bertahun-tahun sejak ia masih kanak-kanak masih bayi dan bahkan sejak di dalam kandungan. Tetapi dalam keadaan yang demikian, kece masan seorang ibu menjadi semakin terasa. Bahkan mungkin kegelisahan ibunya me la mpaui kegelisahannya sendiri. Pamotpun ke mudian pergi kesumur me mbersihkan dirinya. Ia tidak melupa kan tanaman sirihnya. Disira mnya batangbatang sirih itu dengan beberapa timba air yang dialirkannya lewat sebuah parit kecil. Setelah minum beberapa teguk air hangat, Pamot tidak me lewatkan tugas-tugasnya di rumah. Me mbersihkan kebun belakang, kandang kerbau dan me ngisi te mpat air di dapur. "Beristirahatlah" berkata ibunya "kau tentu lelah" Pamot mengerutkan keningnya. Setiap mala m ia pergi ke sawah. Setiap mala m ia mela kukan pekerjaan serupa, bahkan kadang-kadang ia sama sekali tida k tidur menunggui air. Di pagi harinya kerja yang itu-itu juga yang dilakukannya. Bahkan kadang-kadang me mbe lah kayu. Tetapi kini tiba-tiba ibunya menyusurnya beristirahat. Karena itu, maka Jawabnya "Aku t idak lelah ibu" Ibunya tidak segera menyahut. Dipandanginya wajah anaknya. Wajah itu sama sekali tidak me mbayangkan kecemasan, kegelisahan dan ke lelahan, karena Pa mot me mang berusaha untuk menyembunyikannya di hadapan ibunya. "Ibulah yang agaknya lelah" berkata Pamot kemudian "bukankah aku sudah biasa melakukan pekerjaan ini. Bahkan semakin a ku dapat tidur di atas gubug" Ibunya menjadi heran pula. Kenapa tiba-tiba ia menganggap ana knya menjadi terla mpau sibuk dan banyak sekali me mbuang tenaga.
"Pamot benar" katanya di dalam hati "A ku sendirilah yang kebetulan le lah sekali. Lelah, ge lisah, dan ce mas" Hari itu Pa mot sa ma sekali tidak menunjukkan tanda-tanda yang aneh. Ia melakukan pekerjaannya sehari-hari seperti biasanya. Di siang hari ia masih juga pergi ke pategalan me mbawa sebuah kapak untuk mencari kayu bakar. Tetapi tidak setahu keluarganya, ketika ia pulang dari pategalan ia me merlukan singgah juga ke rumah Punta. "Bagaimana Punta?" bertanya Pamot" "Darimana kau?" bertanya Punta pula. "Dari pategalan" "Jangan cemas. Aku sudah berusaha. Mudah-mudahan usahaku berhasil" "Terima kasih" "Aku akan berada di te mpat yang baik. Aku akan datang jauh sebelum saat yang kita duga itu" "Terima kasih" Pamot merasa menjadi se makin ringan. Beban yang menghimpit jantungnya telah tersalurkan untuk sebagian, sehingga dadanya tidak lagi terasa seakan-akan pepat. Ketika ia sa mpai di rumah, ayahnya telah berada di rumah pula. Sejenak ke mudian merekapun ma kan bersama-sa ma. Dan sudah tentu pula mereka berbicara tentang ke mungkinan yang dapat terjadi atas Pamot, ma la m nanti" "Aku sudah menghubungi kawanku" berkata Pamot. "Siapa?" "Punta"
Ayahnya mengangguk-anggukkan kepalanya, Katanya "Anak baik. Aku percaya kepadanya, meskipun keadaannya tidak lebih dari keadaan keluarga kita" Kakeknyapun mengangguk-anggukkan "'Mudah-mudahan ia dapat menolongmu" pula. Katanya
Semakin sore, ibu Pa mot menjadi se makin gelisah. Meskipun Pamot sendiri dan ayahnya masih juga pergi ke sawah. Berbagai macam bayangan hilir mudik di kepalanya. Kalau terjadi sesuatu atas anaknya, maka hatinya pasti akan hancur seperti mangkuk yang terjatuh di atas batu puala m. "Kakek" berkata Pamot kepada kakeknya, ketika kakeknya berada di hala man bela kang tanpa ada orang lain "apakah ma la m nanti aku juga tida k boleh bersenjata?" Kakeknya mengerutkan keningnya. Sejenak kemudian ia berdesis "Pa mot, mala m nanti kau a kan menghadapi orang orang yang lain dari Manguri sendiri. Mereka adalah orangorang upahan yang tidak me mpergunakan nalar sa ma se kali" Pamot mengangguk-angguk. "Mereka hanya sekedar menjalankan perintah Manguri. Bukankah mere ka diperintahkan menangkap kau hidup-hidup dan me mbawa ke rumah Manguri?" "Ya" Mereka tidak akan me mpergunakan senjata yang akan dapat me mbahayakan nyawamu" "Ya, tetapi aku sendiri baga imana" Apakah aku boleh me mbawa senjata atau tidak?" Sekali lagi ka kek itu merenung sa mbil mengerutkan keningnya. Sejenak kemudian ia menjawab "Ba iklah. Orangorang yang akan kau hadapi adalah orang-orang liar. Mereka tidak mau gagal, sehingga mereka kehilangan upah yang sudah dijanjikan"
Pamot mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tahu benar maksud kata-kata kakeknya. Orang-orang itu menggantungkan hasil kerjanya pada usaha mereka menangkap Pamot. Kalau mereka berhasil, mereka akan mendapat upah, kalau tidak, mereka tidak akan mendapat apa-apa. Jadi dengan demikian, tujuan mereka hanyalah menangkap Pa mot, tanpa menghiraukan apapun juga. "Maka dari itu, kau harus benar-benar siap me nghadapi keadaan" berkata kakeknya pula "apakah Punta sudah benar benar dapat kau percaya?" "Aku percaya kek" "Dima na mereka akan menunggu kau?" "Mereka tidak menyebutkannya. Tetapi mereka akan datang jatuh sebelum saat-saat yang aku duga itu tiba, tengah ma la m" "Bagus" berkata kakeknya "sekarang beristirahatlah. Sebentar lagi hari akan gelap. Kau harus bersiap-siap untuk pergi. Ibumu pasti tidak akan dapat tidur se mala m suntuk" Pamot menganggukkan kepa lanya. Maka sejenak kemudian Pamotpun segera pergi ke sumur. Setelah me mbersihkan diri, sebagaimana biasa setelah matahari terbena m, merekapun duduk di atas amben yang besar di ruang tengah mengitari makan mala m. Tetapi tidak seorangpun yang dapat makan dengan enaknya. Semuanya sudah mulai dibayangi oleh kegelisahan tentang keadaan Pamot pada mala m yang sudah mulai meraba pedukuhan Ge mulung itu. Namun dengan de mikian, mereka justru tida k terla mpau banyak berbicara seperti biasanya. Pamot menyuapi mulutnya sambil menunduk. Ibunya ha mpir tidak me nelan nasi sama sekali, sedang ayah dan kakeknya hanya berbicara satu-satu.
Dan pe mbicaraan mereka itupun berkisar pada keadaan Pamot, Manguri, Punta dan La mat. "Kau me mang harus berhati-hati Pamot" desis kakeknya ke mudian. Sedang ayahnya menyambung "Ka lau Punta salah hitung, maka keadaan akan sangat berla inan. Dala m keadaan yang demikian, kau jangan terla mpau me mbiarkan hatimu berbicara, tetapi otakmu" "Baik ayah" "Nah, sekarang kau masih me mpunyai waktu untuk beristirahat atau me lakukan apa-apa yang perlu buat mu" "Aku akan berangkat agak awal ayah. Mungkin aku me merlukan sesuatu" "Bagaimana dengan Punta?" kakeknya masih mencoba menegaskan. "Ia akan datang lebih awal juga" Ayahnya mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya ke mudian "Kalau hal itu kau anggap menguntungkan, maka terserahlah kepadamu" "Baiklah ayah" jawab Pa mot "aku a kan dapat melihat keadaan sebelumnya " Pamotpun ke mudian me mpersiapkan dirinya, meskipun hatinya juga dirayapi oleh kegelisahan. Ia masih juga cemas, bagaimana kalau Punta tidak dapat me menuhi janjinya. Tetapi ia me mang keras hati. Ia tidak mau surut selangkah. Apapun yang akan terjadi, harus dihadapinya. Mala m itu Pamot berangkat jauh sebelum waktu yang biasa dilakukannya. Ia berjalan berkerudung ka in panjangnya untuk menye mbunyikan sarung parangnya yang mencuat di la mbung kirinya.
"He, kemana kau Pa mot?" bertanya seorang kawannya, seorang anak muda yang bertubuh tinggi tegap. "Melihat air di sawah" jawab Pa mot. "Masih terlalu sore. Marilah kita duduk-duduk di gardu" "Terima kasih. Nanti, setelah aku pulang dari sawah, aku akan duduk-duduk di gardu" "Ah kau" berkata anak muda itu "Kenapa tergesa-gesa?" "Sore tadi aku tidak pergi ke sawah. Sekarang aku harus menengoknya " "Aku me lihat kau pergi dengan ayahmu" Pamot mengerutkan keningnya. Tetapi kemudian ia berguma m "O, ya. Aku lupa. Tetapi se karang aku perlu se kali" Kawannya tidak segera menjawab. Dan Pamotpun terdiam sejenak. Ia menjadi ragu-ragu. Anak muda yang bertubuh tinggi tegap itu adalah kawannya bermain sejak kecil. Kawan yang baik. Kalau ia me mberitahukan kesulitannya, maka ia pasti akan me mbantunya seperti Punta. "Tetapi aku sudah menyerahkan se mua persoalan kepada Punta" berkata Pamot di dala m hatinya "kalau aku masih menghubungi orang la in, ma ka aku akan dianggapnya kurang me mpercayainya. Akupun, menurut pendapatku, sudah tidak keliru lagi, karena Punta adalah tetua, meskipun tida k resmi, dari anak-anak muda ge mulung yang setiap ka li ikut pergi ke Kademangan termasuk anak ini" "Maaf" Pamot ke mudian berkata "lain kali kita bermainma in. Sekarang aku takut ayah marah" Pamot menjadi heran ketika ia melihat anak muda yang bertubuh tinggi itu tertawa "Kau Pamot. Ada-ada saja yang kau la kukan" "Kenapa?" Pa mot menjadi heran.
Tiba-tiba saja, tanpa di sangka-sangka anak muda itu meraba la mbung Pa mot, sehingga Pa mot terkejut. "Apa yang kau bawa itu" Parang" Golok?" "Hus" Pa mot berdesis. "Aku sudah curiga. Biasanya kau membawa sabit atau cangkul atau kapak. Tetapi sekarang kau me mbawa parang di dalam sarungnya. Kenapa?" Pamot menjadi ragu-ragu sejenak. Tetapi ke mudian ia menjawab "Aku me mang sering me mbawa parang, sejak babi hutan itu mengganggu tana man. Bahkan akhir-akhir ini aku mendengar ada seekor harimau yang berkeliaran di daerah persawahan" Tetapi Pamot menjadi se makin heran ketika kawannya itu tertawa semakin keras. Katanya "Baik, baik. Pergilah. Sebentar lagi a ku juga akan pergi ke sekitar sawahmu" "Kenapa?" dada Pa mot berdesir. Tetapi anak itu masih saja tertawa. "Kenapa?" Pa mot mendesak. Akhirnya anak muda itu berkata "Jangan gelisah. Aku tahu semua persoalan yang sedang kau hadapi. Bukankah kau akan berkelahi" Kau sudah bersiaga dengan senjata itu" "Kau mimpi" jawab Pa mot. "Punta sudah mene mui aku. Bukankah kau harus menghadapi lima orang bayaran yang akan dikirim oleh Manguri?" Wajah Pamot menjadi tegang. Tetapi anak muda itu masih tertawa juga "Aku adalah salah seorang dari kawan-kawan kita yang akan pergi bersa ma Punta" Kini Pa mot menarik nafas dala m. Sambil me mukul lengan kawannya yang tinggi besar itu ia berdesis "Kau me mbuat aku
hampir gila" katanya "terima kasih. Mudah-mudahan kita berhasil" "Aku me mang sudah muak pula melihat tingkah laku Manguri. Kadang-kadang aku me mang menunggu, kapan aku mendapat kese mpatan serupa ini tanpa me mula inya. Kini kita tidak akan dapat dipersalahkan oleh siapapun, karena kita me mang me mbela diri. Setidak-tidaknya kau sedang me mbela dirimu" "Terima kasih. Aku me mang mengharap bantuan kalian. Aku tidak dapat me lawannya seorang diri. Manguri me mpunyai uang untuk mela kukan apa saja. Tetapi aku me mpunyai kawan" Anak yang tinggi tegap itu masih saja tertawa "Pergilah. Aku akan menyusul ke lak" Pamotpun segera melanjut kan perjalanannya. Kini hatinya menjadi semakin tenteram. Setidak-tidaknya ia sudah me mpunyai dua orang kawan. Yang tinggi tegap itu beserta Punta sendiri. Bertiga dengan dirinya sendiri. "Kalau mereka benar-benar hanya berlima, maka tiga dari kami sudah cukup untuk menghadapinya" desis Pamot di dalam hatinya. Namun ke mudian "Tetapi aku be lum tahu, siapakah yang lima itu?" Di sepanjang jalan Pamot selalu me mbayangkan apa yang kira-kira bakal terjadi. Ia sama sekali tidak menghiraukan lagi gemericik air di parit, di bawah kakinya. Batang-batang jagung muda yang hijau dan kunang-kunang yang bertebaran seakan-akan tidak ta mpak di matanya. Tetapi Pa mot menarik nafas dala m-dala m ketika terasa angin yang silir mengusap wajahnya yang berkeringat. "He m" Pa mot menarik nafas sekali lagi dan sekali lagi, seakan-akan akan di hirupnya udara mala m di seluruh padang.
Sebenarnya Pamot sama sekali t idak menghenda ki ha l-hal yang dapat mengguncangkan ketenteraman hidup rakyat Gemulung. Tetapi apabila tida k ada sikap apapun, ma ka yang sudah berjalan itu akan berjalan terus tanpa batas. Khususnya di lingkungan anak-anak muda dan gadis-gadis. Perbuatan Manguri benar-benar tidak dapat dibiarkannya. "Tetapi apakah aku sudah bertindak tepat" bertanya Pamot kepada diri sendiri "Aku seolah-olah sekedar menuruti perasaan. Kawan-kawan akan terlibat dalam bentrokan karena hubunganku dengan Sindangsari. Kalau ha l itu yang akan dijadikan sumber dari benturan ini, ma ka akulah yang telah menyeret kawan-kawan itu ke dalam kesulitan. Apalagi apabila di antaranya ada yang cidera" Pamot justru menjadi termangu-ma ngu. "Tetapi semuanya sudah terlanjur, "untuk menentera mkan hatinya Pamotpun berkata kepada diri sendiri "mereka tidak sekedar me mbantuku. Tetapi mereka me mang berpendirian, bahwa kelakuan Manguri itu sudah tidak pantas lagi" Pamotpun ke mudian menaiki gubugnya jauh sebelum masanya, seperti yang dilakukannya sehari-hari. Tetapi dengan demikian ia masih se mpat mengatur getar di dadanya. Dari atas gubugnya ia mencoba melihat-lihat berkeliling. Tetapi ia tidak melihat sesuatu, selain hitamnya ma la m dan daun-daun yang hijau gelap me njorok ke da la m ke la m. Tanpa sesadarnya Pamot meraba-raba hulu parangnya. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata kepada diri sendiri "Aku tidak me mulainya" Sementara itu, agak jauh dari padukuhan Gemulung, di bawah sebatang pohon nyamplung yang besar dan rimbun, beberapa orang sedang duduk sambil berke lakar. Di antara mereka terdapat Manguri dikawani oleh La mat. "Sebentar lagi kalian harus berangkat ke gubug itu" berkata Manguri "biasanya hampir tengah mala m ia baru datang,
Jangan terlalu banyak menimbulkan kegaduhan, karena kadang-kadang ada juga orang lain yang berkeliaran di sepanjang pematang menyusur air. Kalian harus bertindak cepat, dan membawa anak itu ma la m ini juga ke rumah. Ia harus benar-benar jera. Bukan saja tidak lagi mengganggu gadis itu, tetapi ia tidak boleh me mbuka mulutnya kalau ia ingin sela mat" Orang-orang yang duduk di bawah pohon nyamplung itu mengangguk-angguk. Salah seorang menjawab "Kau masih saja ragu-ragu. Seharusnya kau sudah mengenal ka mi dengan baik" Manguri menggelengkan kepa lanya. Jawabnya "Di dala m setiap persoalan yang baru, aku harus menganggapnya kalian orang-orang baru. Persoalan kita bukan sekedar persoalan yang dapat diselesaikan dengan kebiasaan, karena kerja yang kita hadapipun bukan masalah kebiasaan pula. Orang-orang yang kau hadapi adalah orang-orang yang berbeda-beda yang kadang-kadang kau belum tahu, sampai dimana ke ma mpuannya" "Meskipun seandainya anak itu dapat menangkap angin, kami t idak a kan gagal" Manguri mudahan" mengangguk-anggukan kepa lanya "Mudah-
"Nah, kapan ka mi harus berangkat?" "Kau dapat saja berangkat se karang. Tetapi awas jangan sampai seorangpun yang mengetahui kehadiran kalian. Ka lian akan tampak sebagai orang-orang asing di padukuhan ini. Kecurigaan yang dapat timbul pasti akan mengganggu pekerjaanmu" "Baiklah. Ka mi akan berangkat saja sekarang. Ka mu sudah tahu benar letak gubug yang kau katakan.
Manguri mengangguk-anggukkan kepalanya. Na mun ke mudian ia berpalingkepada Lamat sambil berkata "Apakah kalian me merlukan seorang penunjuk jalan?" Orang-orang upahan itu menjadi ragu-ragu sejenak. Merekapun me mandang La mat dengan wajah bertanya-tanya. Sementara itu, dada La mat menjadi berdebar-debar. Kalau ia langsung dilibatkan ke da la m masalah yang rumit ini, ia pasti tidak akan dapat menghindar lagi. Bersa ma-sama dengan kelima orang itu ia tidak akan dapat berpura-pura. Ia harus ikut bersa ma mereka menangkap Pa mot dan me mbawanya ke rumah Manguri. Tetapi setitik e mbun serasa jatuh ke dinding jantungnya ketika ia mendengar salah seorang dari kelima orang itu berkata "Tida k perlu. Kehadirannya akan me ngurangi nilai kerja kami. Seakan-akan tanpa orang lain kami tidak ma mpu menyelesaikannya, sehingga tidak akan ada alasan bagimu untuk me motong upah yang sudah kau janjikan" "Gila" Manguri berdesis "kau kira a ku berpikir sa mpai kesana?" Kelima orang itu tertawa "Jangan tersinggung" berkata salah seorang dari mereka "ka mi pernah menga la mi hal serupa itu" "Tetapi bukan aku" "Ya, bukan kau" "Baik. La mat tidak akan menyertai kalian. Tetapi ingat, jangan gagal" Sekali lagi ke lima orang itu tertawa hampir berbareng. Salah seorang dari mereka menjawab "Kau tampaknya kurang percaya kepada kami" Manguri tida k menjawab. Dicobanya menga mati kelima orang itu satu demi satu. Sambil mengangguk-anggukkan
kepalanya ia berkata di dalam hati "Mereka sudah terlampau biasa mela kukan pekerjaan ini. Mudah-mudahan mereka berhasil" Sejenak ke mudian ma ka ke lima orang itupun minta diri. Mereka berjalan menyusur ja lan kecil di pinggir parit sebelum me loncat ke sebuah pe matang. "La mat" desis Manguri "apakah kau dapat me mpercayai mereka, bahwa mereka akan berhasil" "Sudah tentu" sahut La mat. "Bohong" tiba-tiba Manguri me mbentak "jawab yang sebenarnya. Apakah kelima orang itu lebih kuat dari kau seorang diri menghadapi Pa mot" "Ya, ya" Lamat tergagap "aku kira mereka pasti lebih kuat daripada aku seorang diri. Mereka dapat menghadapi lawannya yang hanya seorang itu dari lima arah yang akan sangat me mbingungkan" Manguri mengangguk-anggukkan kepa lanya. Katanya "Kalau kau tida k terla mpau dungu, aku tidak perlu me mperguna kan orang-orang semaca m monyet-monyet itu. Seharusnya kau dapat memutar leher Pamot. tetapi kau gagal. Mudah-mudahan orang-orang itu tidak gagal" Lamat tidak menjawab. Wajahnya yang keras seolah-olah tambah mengeras seperti sebongkah batu asahan. Namun terasa goresan-goresan yang pedih pada dinding hatinya yang lunak. Perlahan-lahan kepalanya menunduk-meskipun ia masih tetap berdiri tegak di atas kakinya yang renggang. Manguri masih berdiri di te mpatnya, me mandang ke arah kelima orang upahannya itu menghilang di ba lik tana man. Terbayang orang-orang yang kasar dan kuat itu mengepung Pamot yang ketakutan.
"Huh" tiba-tiba ia berguma m "salahnya sendiri. Kalau ia tidak me mbuat persoalan dengan Manguri, ma ka tida k akan terjadi bencana baginya" Lamat mengangkat wajahnya. Di pandanginya saja Manguri yang masih berdiri tegak sa mbil mengangguk-anggukkan kepalanya. "La mat" katanya "bagaimana, seandainya kau seorang diri harus berkelahi me lawan kelima nya" Apakah kau akan mampu menga lahkannya?" Dada Lamat menjadi berdebar-debar ke mbali. Ia tidak tahu maksud itu. Apakah sesudah mereka menangkap Pa mot, ke mudian ia harus mengusir ke lima orang itu" "He, apakah kau sudah mati?" bentak Manguri "kenapa kau dia m saja?" Lamat menarik nafas dalam-da la m. Ke mudian jawabnya "Aku belum dapat mengatakan. Aku belum mengetahui, sampai dimana ke ma mpuan mereka seorang de mi seorang. "Tetapi apakah kau berani me lawan mereka berlima" "Aku tidak pernah takut terhadap apapun dan siapapun. Tetapi aku tida k dapat mengatakan, apakah aku akan dapat me menangkan perke lahian itu?" Manguri mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya "Kau me mang berani. Tetapi kau terla mpau bodoh. Kau tidak dapat menangkap Pa mot, meskipun kau dapat menyakitinya" Sekali lagi La mat menarik nafas. Sudah lebih dari seribu kali Manguri menyebutnya sebagai seorang yang bodoh karena tidak dapat menangkap Pa mot. Untunglah tida k tersengaja, Pamot telah me mbentur batu, sehingga wajahnya menjadi bengkak dan biru pengab. Kalau Manguri tidak melihat bengkak itu, maka ia akan me ngumpatinya setiap saat.
"Marilah kita pulang. Aku mengharap kelimanya berhasil. Menilik badan mereka yang kekar. Wajah mereka yang keras dan bengis. Mata yang menyala seperti mata kucing. Dan nafsu yang tidak terkendalikan untuk mendapatkan uang" Manguri menarik nafas dalam-dala m. Ke mudian "yang bertubuh jangkung meskipun agak kurus itu me miliki sepasang mata seperti mata setan. Sedang yang berjambang lebat dan berkumis jarang itu bagaikan seriga la yang kelaparan" Manguri tertawa berkepanjangan. Sambil mengayunkan kakinya ia berkata di sela-sela tertawanya "Aku akan melihat, bagaimana Pa mot menjadi ketakutan. Aku akan me mbuatnya jera. Sebenarnya jera" Dan suara tertawa Manguri melengking di sepinya ma la m, di tengah-tengah bulak yang sunyi. Keduanyapun ke mudian berjalan se ma kin la ma se makin cepat, pulang ke rumah Manguri. Di sudut desa mereka me lihat beberapa orang anak-anak muda yang meronda. Salah seorang dari anak muda itu menyapanya "Siapa he?" "Buka matamu" jawab Manguri "aku Manguri bersama Lamat" Anak muda yang bertanya itu serasa tersentuh api di ujung telinganya. Tiba-tiba saja ia meloncat turun dari gardu. Na mun ketika terpandang wajah La mat yang kasar, dan matanya yang serasa akan menelannya, anak muda itu menahan dirinya. "Darimana kau Manguri?" bertanya anak muda itu. "Itu urusanku" "Biasanya kau tidak sekasar itu" berkata anak muda yang berada di gardu. Kawan-kawannyapun satu persatu turun dan berdiri berjajar di muka gardu. Empat orang. di Manguri tidak segera menjawab. Na mun tiba-tiba terbersit hatinya, kemungkinan-ke mungkinan yang tidak
menyenangkan. Kini ia sedang menghadapi Pa mot, yang jauh lebih dekat pada anak-anak muda itu daripadanya sendiri. Karena itu, maka iapun ke mudian me njawab "a ku tergesagesa. Maaf mungkin a ku terla mpau kasar" Anak-anak muda yang berdiri di muka gardu itu menarik nafas. "Aku akan pulang" Tidak seorangpun yang menjawab. Dan tiba-tiba Manguri bertanya "He, apakah kalian sudah mendapat minum dan makanan?" Anak-anak muda yang sedang meronda itu saling berpandangan sesaat. Salah seorang dari mereka menjawab "Nanti, tengah mala m" "Kenapa kalian tidak be li saja gula kelapa dan ketela pohung" Ke mudian merebus air dan ketela sambil duduk menge lilingi perapian" Tidak seorangpun yang menjawab. "Mungkin ka lian me merlukan uang" Manguri menga mbil beberapa keping uang dari sa ku ikat pinggangnya "ka lian dapat me mbelinya" Anak-anak muda yang sedang berdiri di muka gardu itu menjadi termangu-mangu. Na mun slah seorang dari mereka menjawab "Terima kasih Manguri. Tetapi tida k ada penjual gula ke lapa dan pohung yang masih ada di ma la m begini" "O" Manguri mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya "Aku akan mengirimkan dari rumah" "Tengah ma la m ka mi sudah mendapatkannya " "Sebelum tengah mala m, agar ka lian tidak kedinginan"
Manguri tidak menunggu jawaban anak-anak muda itu. Ia berjalan terus dengan tergesa-gesa. Di belakangnya Lamat mengayunkan kakinya sa mbil menundukkan kepalanya. Begitu Manguri masuk ke hala man rumahnya, langsung ia pergi ke belakang, me mbangunkan pe mbantu rumah tangganya. "Rebus ketan hitam seberuk" Lamat mengerutkan keningnya. Di gardu hanya ada empat orang. Betapa besar perut mereka, namun mereka tidak akan dapat menghabiskan ketan seberuk. Tetapi ia tidak berkata apapun. Ia duduk saja di muka pintu dapur menunggui orang-orang yang merebus ketan sambil bersungut-sungut. Ia tahu benar, bahwa ialah yang nanti harus mengantarkan ketan itu ke gardu. Sepeninggal Manguri, anak-anak muda yang berada di gardu itupun menjadi terheran-heran. Sikap Manguri agak terasa asing bagi mereka. Biasanya, meskipun tida k terlampau baik. Manguri bukanlah orang yang bersikap terlalu kasar, meskipun ana k-anak muda itu mengetahui, bahwa wataknya terlampau sombong. Tetapi ia tidak juga akan seramah mala m itu. Menyediakan uang untuk me mbeli pohung dan gula kelapa. "Biasanya hanya gadis-gadislah yang sering diberinya uang disiang hari untuk me mbe li rujak nanas, atau rujak degan" desis salah seorang dari mereka. "Aneh" berkata yang lain "pasti pada sesuatu yang sedang dipikirkannya. Mungkin ia tergila-gila kepada seorang gadis, dan mala m ini baru saja pergi me la marnya. Kawannya tersenyum. Katanya "Anak itu sedang tergila-gila kepada Sindangsari. Bukankah ia pernah berkelahi melawan Pamot karena ia me ncegat Sindangsari di sawah dan kebetulan Pa mot me lihatnya"
"Itu hanya karena salah paham" berkata yang lain, yang seakan-akan mengetahui persoalannya dengan pasti. Tetapi pe mbicaraan itu terhenti, ketika ha mpir tengah ma la m, Lamat datang dengan ketan yang masih hangat. Beberapa tangkep gula kelapa dan sebungkus ke lapa parut. "Aku disuruh Manguri menyampa ikan ini kepada kalian" suara Lamat da la m dan datar. Sekali lagi anak-anak muda yang sedang bertugas ronda itu saling berpandangan. "Terima lah. Tida k ada apa-apanya " Salah seorang dari para peronda itu menerimanya sa mbil berkata "Terima kasih" "Kalian akan menjadi hangat. Kemudian ka lian akan dapat tidur dengan nyenyak" "Ka mi sedang ronda. Ka mi tida k akan tidur" "Manguri berpesan, agar kalian ma kan ketan itu dan menghabiskannya" "Terima kasih" Lamatpun ke mudian meningga lkan gardu itu dengan langkah yang la mban. Kee mpat anak-anak muda yang berada di gardu itu me ma ndanginya dengan mata yang ha mpir tidak berkedip. "Hantu yang mena kutkan" desis salah seorang dari mereka "kalau tanganmu dapat dire masnya, maka tulang-tulangmu pasti akan remuk. Selain bertubuh raksasa, ia me mang me mpunyai tenaga raksasa" "Ia merupakan pengawal yang sangat patuh kepada Manguri. Apapun yang dikatakannya. Bahkan kadang-kadang ia di bentak-bentaknya"
Anak-anak itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ke mudian merekapun segera me mbuka bungkusan ketan ireng, kelapa parut dengan sedikit gara m dan gula kelapa. Dengan lahapnya mereka ma kan kiriman itu, tanpa menghiraukan lagi apa yang telah terjadi di bagian-bagian lain dari padukuhannya. Menjelang tengah mala m, di tengah-tengah sawahnya Pamot menjadi gelisah. Ia tidak me lihat seorangpun di sekitarnya. Ia tidak melihat Punta, tetapi juga tidak melihat orang-orang Manguri yang lima. Dengan dada yang berdebar-debar Pamot turun dari gubugnya. Ia lebih merasa aman di bawah daripada di atas. Di bawah ia banyak mendapat kesempatan, kalau perlu untuk bekejar-kejaran. Kalau lawannya lebih banyak jumlahnya, maka bekejar-kejaran adalah permainan yang me ngasikkan. Dengan dada berdebar-debar Pa mot berdiri tegak bersandar tiang gubugnya. Tangannya sudah melekat di hulu parangnya. Setiap saat ia siap untuk menghadapi setiap ke mungkinan. Tetapi Pamot rasa-rasanya masih dihadapkan pada suatu teka-teki. Apakah yang dikatakan Lamat seluruhnya benar, atau seandainya benar, apakah Manguri tidak merubah rencananya" Seandainya tidak, apakah Punta dapat menepati janjinya". Teka-teki itu telah me mbuat Pa mot menjadi se makin gelisah. Dadanya serasa sesak oleh bayangan-bayangan yang tidak menentu. Ingin rasanya ia berteriak sekuat-kuatnya untuk melepaskan himpitan di dala m dadanya yang sudah hampir tida k tertahankan lagi. Di rumahnya Manguripun selalu diganggu oleh kegelisahan. Semakin dekat dengan tengah mala m, hatinya menjadi semakin berdebar-debar. Ia mengharap kelima orang suruhannya itu segera menyelesaikan tugasnya dan membawa
Pamot ke lumbung di belakang. Ia akan dapat berbuat apa saja atas anak muda itu, dan menganca mnya untuk tidak mengatakannya kepada siapapun. Di bilik bela kang, Lamatpun menjadi gelisah pula. Terbayang kesulitan yang bakal diala mi oleh Pa mot, yang menurut penilaiannya pasti tidak bersalah. Lamat menarik nafas dalam-dala m. Ia tahu benar apa yang telah terjadi dengan gadis-gadis yang pernah berhubungan dengan Manguri. Kasar atau halus, mereka telah terpaksa mengorbankan apa saja yang mereka miliki. Ke mudian kasar atau halus, mereka harus pergi dengan tuduhan yang hina lari bersama la ki-laki. Dada Lamat menjadi berdebar-debar semakin keras, seperti juga Manguri dan Pa mot. Ia sadar, bahwa ia telah turut ambil bagian di dala m segala maca m kecurangan yang telah dilakukan oleh Manguri meskipun hanya sekedar menakutnakuti. "Apakah hidupku untuk seterusnya tidak akan mengalami perubahan?" pertanyaan itu selalu mengganggunya "sa mpai saat ini aku tida k lebih dari sesosok hantu yang dapat menakut-nakuti setiap orang di Ge mulung" Tanpa sesadarnya Lamat berjalan hilir mudik di dala m biliknya Pada saat yang bersamaan Manguripun telah sa mpai pada puncak kegelisahannya. Di kejauhan sudah mulai terdengar ayam jantan berkokok untuk yang pertama kalinya. Tengah mala m. "O, apakah orang-orang sudah mati dice kik hantu" geramnya. Tetapi tengah mala m adalah waktu yang dipilih oleh kelima orang upahan Manguri itu untuk merayap mendekati gubug Pamot. Pamot sendiri ha mpir tidak sabar menunggu, apa yang bakal terjadi atasnya. Seperti Lamat dan Manguri dibilik masing-masing.
Pamotpun ke mudian melangkah beberapa langkah mondarmandir di bawah gubugnya dengan penuh kewaspadaan. Ia mendengarkan setiap desir yang tertangkap oleh telinganya, dan menga mati setiap gerak yang tertangkap oleh matanya. Tetapi ia masih belum mendengar dan me lihat sesuatu. Tetapi ketika la mat-la mat ia mendengar kokok ayam jantan di padukuhan, sahut menyahut, maka ia berdesis "Tengah ma la m. Waktu inilah agaknya yang telah dipilih oleh Manguri" Ternyata dugaan Pamot itu tepat. Belum lagi ia mengatupkan bibirnya rapat-rapat, terdengar suara cengkerik yang berderik di sudut sawahnya. "Kalau benar-benar cengkerik yang berderik itu, maka cengkerik itu adalah cengkerik raksasa" guma m Pa mot "Cengkerik tidak akan ma mpu berderik sekeras itu" Tetapi cengkerik yang berderik itu me mang tidak berusaha untuk menyembunyikan dirinya. Suara itu hanya sekedar abaaba untuk me manggil kawan-kawannya yang lain. Karena sejenak ke mudian bermunculan di segenap penjuru, lima orang yang seakan-akan telah mengepungnya. Pamot berdiri tegak di tempatnya. Kini ia benar-benar telah menggengga m hulu pedangnya, meskipun masih belum ditariknya dari sarungnya. "Kaukah yang bernama Pa mot?" terdengar salah seorang dari mereka bertanya. Pamot tidak segera menjawab. Ada niatnya untuk menge labui orang-orang itu, dengan mengingkari na manya. Tetapi itu tidak akan ada gunanya, karena mereka pasti sudah yakin, bahwa dirinyalah yang berna ma Pa mot. Manguri pasti sudah berpesan pula, ciri-ciri tentang dirinya. Karena itu, maka ke mudian dengan tabah ia menjawab "Ya, Aku Pamot. Siapakah kalian?"
"Ka mi berlima. Masing-masing me mpunyai na ma sendirisendiri. Tetapi aku kira ka mi tidak me mpunyai waktu untuk menyebutnya satu demi satu. Karena itu, maka sama sekali tidak ada gunanya kau bertanya tentang nama ka mi. Sekarang, menyerahlah. Ka mi tidak akan berbuat apa-apa" Pamot mengerutkan keningnya. Kini ia yakin, bahwa La mat me mang berkata dengan jujur. Ternyata pula, bahwa La mat bukanlah seorang yang bengis dan dungu seperti yang terbayang di wajahnya. Di dalam hati, tersirat ucapan terima kasih Pa mot yang tidak ada taranya kepada raksasa yang ma lang itu. Namun ke mudian, apakah Punta sudah ada disekitar te mpat itu pula". Karena Pamot tidak segera menjawab, kata-kata orangorang upahan itu, ma ka salah seorang dari kelima orang itu berkata seterusnya "Menyerahlah. Jangan banyak tingkah. Kami me mang benar-benar tidak akan berbuat apa-apa atasmu. Kami hanya sekedar ingin me mbawa mu kepada seseorang yang sangat ingin berte mu denganmu" "Siapa orang itu ?" bertanya Pamot. "Apakah kau perlu me ngetahuinya?" "Tentu. Baru aku dapat mengambil keputusan apakah aku bersedia atau tidak" "Jangan begitu. Jangan menentukan pilihan, bersedia atau tidak, karena kami me mang tida k me mberikan kese mpatan kepadamu untuk me milih. Ka mi hanya sekedar me mberitahukan kepada mu, bahwa kami akan me mbawa mu, karena seseorang me merlukan kau" Dada Pamot berdesir. Kata-kata itu benar-benar telah menyinggung perasaannya, sehingga tanpa berpikir lagi ia menjawab "Kau siapa, dan aku siapa" Apakah ada hakmu untuk me mperla kukan aku de mikian" Tida k seorangpun dapat me merintah aku dala m persoalan yang tidak je las. Ki Demangpun tidak. Hanya dalam hubungan tugas-tugasku
sajalah Ki De mang, pemimpin pengawal Kade mangan, dan tetua anak-anak muda pedukuhan Ge mulung dapat me merintah aku" Dada Pamot menjadi serasa bengkah ketika ia mendengar beberapa orang dari ke lima orang itu tertawa bersama-sama. "Benar kata orang, bahwa Pamot adalah anak yang berani. Kau me mang luar biasa, Pamot, tidak seorangpun yang berani berbuat seperti kau terhadap ka mi berlima. Me mang agaknya kau belum mengena l ka mi. Karena itu sebaiknya kau mendengar na ma ka mi. Salah seorang dari ka mi bernama Sura Sapi. Nah, karena itu maka gerombolan ka mi yang lima ini disebut gerombolan Sura Sapi. Kau sadar sekarang, dengan siapa kau berhadapan?" Sebuah desir yang tajam terasa seakan-akan me mbelah jantung Pamot. Yang di hadapannya itu adalah gerombolan Sura Sapi "Gila " ia mengumpat di dalam hatinya "begitu jauh tindakan Manguri sehingga ia telah menghubung gerombolan Sura Sapi" "Apa katamu sekarang?" Tetapi Pamot bukan seorang yang berhati kecil. Karena itu, maka dihentakkannya kakinya sambil menggeretakkan gigi. Jawabnya lantang "Siapapun kau, aku t idak akan menyerah. Aku me mang pernah mendengar nama Sura Sapi. Tetapi kalianpun pasti pernah mendengar na ma pengawal khusus Kademangan Kepandak. Aku adalah salah seorang anggautanya. Tidak sepantasnya anggauta pengawal khusus Kademangan Kepandak menyerah kepada gerombolan Sura Sapi" "Persetan" ternyata salah seorang dari kelima orang itu, yang bertubuh pendek dan berjambang tidak sabar lagi. Setapak ia maju sambil berkata "Kenapa kita terlampau banyak berbicara" Aku sudah muak mendengar kata-katanya.
Marilah kita me mberi kese mpatan terakhir" Ke mudian kepada Pamot ia berkata "Le mparkan senjata mu, dan ikuti ka mi" "Tida k" jawab Pa mot tegas. "Setan alas. Kau mau ka mi me mperguna kan ke kerasan" "Itu urusanmu" Orang yang pendek itu sudah tidak sabar lagi. Perlahanlahan ia maju mende kat. Dala m pada itu kawan-kawannya yang me mencar itupun me langkah maju pula, sehingga kepungan kelima orang itu menjadi se makin la ma se ma kin sempit. Pamot me mang menjadi ge lisah. Tetapi ia sudah bertekad, dengan atau tidak dengan orang lain, ia akan melawan. Melawan sekuat-kuatnya. Dengan de mikian ma ka suasanapun meningkat se makin la ma semakin tegang, seperti wajah-wajah yang terpaku pada tubuh Pa mot yang berdiri tegak seperti patung di bawah gubugnya. Tetapi Pamot telah bertekad bulat. Bahkan ia sudah tidak dapat menimbang-nimbang lagi seperti yang dikatakan kakeknya. Dengan serta-merta ia menarik parangnya sambil menggera m "Ka lian hanya akan mene mukan mayatku. Bawalah mayatku ke mana kalian kehendaki" "Kau me mang bodoh" sahut yang jangkung agak kekuruskursan "sebenarnya kau t idak perlu me lakukan hal itu" Pamot tidak menyahut. Tetapi hatinya berguncang ketika ia me lihat orang-orang itupun mulai mencabut senjatanya masing-masing. "Benar kata kakek" desis Pa mot. Tetapi semuanya sudah terlanjur. Kini ia berhadapan dengan lima orang yang bersenjata pula.
"Tugas ka mi menangkap kau hidup-hidup" berkata orang yang jangkung itu "tetapi kalau kau menghina ka mi, persoalannya jadi lain. Persoalannya adalah ka mi akan tetap me mpertahankan kehormatan nama gerombolan. Sura Sapi tidak pernah gagal. Kegagalan yang paling jauh kami ala mi adalah, karena kami tidak berhasil me nangkap seseorang hidup-hidup. Tetapi itu adalah salahnya sendiri, seperti kau sekarang" Pamot tetap berdiri di te mpatnya. Namun wajahnya semakin la ma menjadi se makin tegang. Ketika mereka telah berada di puncak ketegangan yang hampir me ledak itu, tiba-tiba mereka dikejutkan oleh langkah seseorang menyelusuri pe matang. Seseorang berjalan dengan cangkul di pundaknya. Seperti tidak terjadi sesuatu orang itu berhenti sambil berkata "He, Pamot, apakah kau ada disitu?" Dada Pamot yang ha mpir me ledak tiba-tiba serasa terpecik air e mbun. Ia mengena l suara itu. Suara Punta. Tetapi kehadiran seseorang itu telah semakin menegangkan urat syaraf dari kelima orang yang menyebut dirinya gerombolan Sura Sapi. Tiba-tiba salah seorang menggera m "Kita terlampau la ma berbicara. Marilah kita selesaikan sebelum orang yang lain datang" "Bagaimana dengan orang itu?" "Terpaksa, kita harus berbuat sesuatu. Biarlah ia pingsan dan tidak me ngetahui apa yang terjadi" Orang yang pendek tidak lagi menunggu perintah. Segera ia meloncat ke arah bayangan yang berdiri di pe matang sa mbil menyandang cangkul di pundaknya itu. "Tidurlah anak muda" berkata orang yang pendek itu sambil mengayunkan sarung pedangnya ke arah tengkuk Punta.
Tetapi orang yang pendek itu terkejut. Terasa sarung pedangnya me mbentur sesuatu. Tangka i pacul. "Maaf" berkata Punta "aku masih me mpunyai banyak pekerjaan, sehingga aku masih be lum berhasrat untuk tidur" "Persetan" desis orang yang pendek itu. Kini ia tidak lagi me mperguna kan sarung pedangnya, tetapi pedangnyalah yang sudah mula i bergetar. "Marilah kita selesaikan bersama-sa ma" katanya kepada keempat kawannya. Tetapi sekali lagi orang-orang itu terganggu. Tiba-tiba saja mereka mendengar suara tertawa di balik batang-batang jagung muda. Sejenak orang-orang yang ada di ladang Pamot itu seakanakan me mbe ku. Dan suara tertawa di belakang tanaman jagung muda itu menjadi se makin jelas. "Kau curang" tiba-tiba bersembunyi disitu" terdengar suatu suara "kau
"Apa pedulimu" jawab yang lain "aku boleh berse mbunyi dimana saja. Sekarang kau harus me mbayar taruhan itu. Kau mene mukan aku sudah lewat tengah mala m" "Belum" sahut yang lain. "Sudah. Aku sudah mendengar ayam jantan berkokok. Dan bintang gubug penceng sudah tegak di selatan" "Baiklah. Aku akan minta barang taruhan itu kepada Pamot" Suara itu berhenti sejenak. Namun tiba-tiba salah seorang dari kelima orang upahan itu berkata lantang "Setan alas. Jangan me mperbodoh ka mi. Sekarang aku tahu, bahwa kalian me mang sudah menunggu kedatangan ka mi. Ini suatu kebodohan. Apakah Manguri yang bodoh, atau ia memang sengaja menjerumuskan ka mi. Tetapi mungkin juga ka milah
yang bodoh, sehingga satu dua orang me lihat jejak atau bayangan kami. Tetapi itu ka mi tidak akan peduli lagi. Ka mi sudah siap berke lahi. Gerombolan Sura Sapi t idak pernah kalah. Disini ka mi mungkin akan terpaksa me mbunuh" Pamot, Punta dan dua orang lainnya yang muncul dari balik tanaman jagung kini berdiri tegak sambil me mandang lawanlawan mereka yang terpencar. Ke mudian terdengar lagi seseorang yang menguap keras-keras, dan muncullah seorang anak muda yang tinggi besar. Ialah yang berte mu dengan Pamot ketika ia berangkat ke sawah. Tetapi agaknya Punta tidak mau bermain-ma in menghadapi orang-orang upahan, sehingga masih ada dua orang lagi yang datang ke sawah Pamot itu. Semuanya ada enam orang, dan ditambah Pa mot sendiri" "Kita sudah lengkap" berkata Punta ke mudian. "Kenapa jangkung. kalian turut campur" bertanya orang yang
"Sebagian dari ka mi ada lah pengawal khusus Kade mangan Kepandak. Adalah tugas kami untuk mencegah tindakan sewenang-wenang" Orang-orang upahan itu menggera m. Salah seorang yang berjambang berkata "Anak-anak yang malang. Jangan merasa diri kalian terla mpau kuat, hanya karena kalian menjadi pengawal khusus. Tujuh orang pengawal khusus sa ma sekali tidak akan berarti apa-apa bagi ka mi" "Jangan menakut-nakuti. Ka mi dipersiapkan untuk melawan orang-orang asing di Betawi. Pada suatu saat ka mi akan berangkat. Menyesal sekali bahwa ka mi harus berbenturan dengan saudara-saudara kita sendiri" "Kalau begitu kenapa hal ini kalian la kukan?" "Pertanyaan yang aneh" Punta menjawab "aku me mang tidak segera mena mpakkan diri, karena aku ingin meyakinkan,
apakah yang sebenarnya terjadi. Aku tidak dapat me mpercayai begitu saja aduan-aduan yang kurang ka mi yakini. Tetapi kini ka mi melihat sendiri. Kalian telah berbuat sewenang-wenang, meskipun ka lian sekedar orang upahan Manguri" "Ka mi tida k ingkar. Tetapi kami me merlukan uang itu. Kami tidak dapat hidup tanpa makan. Dan sekarang, ka mi sedang mencari ma kan. Ternyata kalian telah mengganggu ka mi, sedang ka mi tidak pernah mengganggu ka lian" "Jangan me mutar balik keadaan" jawab Punta "aku sudah menyaksikan sendiri. Kau mencari ma kan dengan mengorbankan orang lain. Kau tidak me mpedulikan nasib orang lain itu. Padahal masih banyak jalan yang terbuka. Tanah garapan masih luas" "Ka mi tidak biasa melakukan pekerjaan-pekerjaan yang tidak berarti apa-apa bagi seorang la ki-laki jantan" jawab salah seorang dari mere ka. "Bagus" sahut Punta "ka mipun sedang melakukan tugas kami sebagai lelaki jantan. Kami harus me merangi kesewenang-wenangan. Kami harus me merangi tindak kekerasan seperti yang akan kalian la kukan itu" Orang-orang yang tergabung dalam gerombolan Sura Sapi itu sama sekali sudah tidak melihat ke mungkinan lain daripada berkelahi. Anak-anak muda yang sebagian terdiri dari apa yang mereka sebut pengawal khusus Kade mangan Kepandak itu agaknya me mang bersungguh-sungguh. Karena itu, maka orang yang tertua, yang sebenarnya bernama Sura Sapi itupun segera berteriak "Hancurkan saja mereka " "Bagus" sahut Punta "kalian sudah terperosok ke dala m lingkaran setan. Kalau kalian ka lah, kalian akan ka mi ikat dan kami bawa ke Kademangan. Tetapi kalau kalian menang, maka Manguri a kan segera ditangkap, dan ia akan dipa ksa
mene mukan kalian. Kalian akan dira mpok seperti macan dialun-alun Mataram" Tetapi orang-orang itu tidak menyahut lagi. Tiba-tiba saja mereka telah berloncatan menyerang. Namun agaknya, anak-anak muda yang sebagian terdiri dari pengawal-pengawal khusus yang me mang dipersiakan apabila Mataram me merlukan sewaktu-waktu itu, sudah benar-benar mempersiapkan dirinya. Karena itu, maka merekapun segera menanggapi serangan kelima orang-orang upahan yang tergabung dala m kelompok yang sesat itu. Sejenak ke mudian ma ka perke lahianpun segera berkobar. Anak muda Ge mulung berjumlah lebih banyak. Tetapi ternyata bahwa orang-orang upahan itu me mang me mpunyai kecakapan dan pengala man lebih banyak dari mereka, sehingga dengan demikian, maka benturan bersenjata itu menjadi se makin la ma se makin seru. Namun demikian ternyata anak-anak muda Ge mulung itu juga tidak mengecewakan. Satu dua orang dapat me manfaatkan setiap keadaan. Mereka yang tidak me mpunyai lawan, berusaha untuk mengisi setiap kekurangan. Bahkan kadang-kadang mereka dapat bertukar tempat dan bertukar lawan. Kelima orang-orang upahan itu me njadi se ma kin marah. Mereka tidak menyangka bahwa anak-anak muda itu telah me miliki ke ma mpuan yang tidak mereka sangka-sangka. Apalagi Pamot. Meskipun Pa mot bukan tetua anak-anak muda Gemulung, na mun ia me miliki beberapa kelebihan. Ia kadangkadang melontarkan unsur-unsur gerak yang sama sekali tidak dimiliki oleh kawan-kawannya. Sehingga orang-orang upahan yang berpengalaman itu segera mengetahui, bahwa Pamot tidak sekedar mendapatkan ilmunya dari para pelatih yang didatangkan dari lingkungan keprajuritan Matara m.
Salah seorang dari gerombolan Sura Sapi itu berkata di dalam hatinya "Pantas bahwa Manguri tidak dapat menga lahkannya, dan bahkan anak ini berhasil melepaskan dirinya dari tangan La mat, raksasa yang menakutkan itu" Sedang yang lain berkata pula kepada diri sendiri "Pa mot me mang me miliki ke lebihan" Demikianlah ma ka Pamot telah berhasil melawan dengan gigih. Ia tida k berada di bawah ke ma mpuan gerombolan itu seorang demi seorang, sehingga karena itu. ma ka ia tidak me merlukan orang la in untuk me mbantunya. Bahkan sejenak ke mudian ternyata bahwa Pamot benarbenar dapat menguasai keadaan. Selain Pa mot, Punta, tetua anak-anak muda Ge mulung itupun me mpunyai ke ma mpuan yang cukup untuk bertahan. Ia me mpunyai tenaga yang kaut dan pengamatan yang baik atas lawannya. Karena itu, maka ia tidak segera dapat didesak oleh lawannya. Demikian pula anak muda yang tinggi tegap, yang bertemu dengan Pamot pada saat ia berangkat ke sawahnya. Tetapi selain mereka, kawan-kawannya merasa berat me lawan orang-orang yang cukup berpengala man itu. Untunglah bahwa jumlah anak-anak muda itu agak lebih banyak, sehingga kelebihan itu dapat me mbantu, mena mbah kekuatan anak-anak muda yang bukan dari pengawal khusus Kademangan Kepandak. Demikianlah perke lahian itu se makin la ma menjadi se makin seru. Mereka sudah tidak lagi saling me ngekang diri. Ke lima orang upahan itu sama sekali sudah tidak dapat mengingat lagi pesan Manguri, bahwa mereka harus menangkap Pa mot hidup-hidup. Kini mereka masing-masing sedang bertahan karena anak-anak muda Ge mulung agaknya me mang tidak dapat mereka abaikan. Mereka sedang berusaha untuk me mpertahankan hidup mereka masing-masing.
Manguri yang menunggu kedatangan orang-orangnya itu di rumahnya, menjadi se makin la ma se makin gelisah. Sekalisekali ia menjengukkan kepalanya, lewat daun pintu yang tidak dise laraknya. Tetapi yang dilihatnya hanyalah sekedar cahaya lampu di regol hala man rumahnya. Selainnya sepi. Di bilik be lakang, La matpun tidak ka lah gelisahnya. Apakah Pamot dapat mencari ja lan ke luar dari kesulitan ini" Terloncat pula keinginannya untuk melihat, apakah yang sudah terjadi. Tetapi ia tida k dapat meningga lkan ha la man itu. Setiap saat Manguri akan me manggilnya. Dengan demikian, yang dapat dilakukannya, adalah berjalan saja hilir mudik di dala m bilik yang sempit. Menarik nafas panjang-panjang, ke mudian duduk perlahan-lahan di a mben ba mbunya. Bukan saja Manguri dan La mat yang menjadi gelisah. Tetapi seisi rumah Pa mot, tidak seorangpun yang dapat tidur. Ayahnya, ibunya dan kakeknya. Merekapun sedang me mbayangkan, apa yang terjadi atas Pa mot saat itu. Tiba-tiba saja ayah Pamot berdiri. Perlahan-lahan ia berjalan kesudut ruang. Sejenak ia berdiri me mperhatikan sesuatu yang tergantung pada dinding di bawah ajug-ajug la mpu. Namun sejenak ke mudian tangannya terjulur menya mbar benda itu. Sebuah golok. "He" bertanya kakek Pa mot "apa yang akan kau lakukan?" "Ayah, aku tidak dapat menunggu saja dengan ge lisah di rumah ini, sedang aku tahu, saat ini anakku di dala m bahaya" "Pamot sudah tahu, apa yang harus dikerjakan" "Tetapi aku masih saja selalu gelisah. Aku ingin melihatnya" "Yang aku ce maskan" berkata kakek Pa mot ke mudian "masalah ini akan berke mbang se makin luas. Masalah ini akan menjadi masalah orang tua-tua. Sampai saat ini, biarlah parsoalannya dibatasi pada persoalan anak-anak muda saja"
"Tetapi Manguri telah mencari orang-orang upahan. Itu tidak jujur" "Dan Pa motpun sudah menghubungi kawan-kawannya. Anak-anak muda. Aku kira anak-anak muda Ge mulung akan dapat menilai, apa yang sudah terjadi" "Tetapi kita tidak tahu ayah, siapakah orang-orang upahan Manguri itu. Kalau mereka terdiri dari orang-orang yang me mang mene mpatkan diri mereka dala m dunia yang buas itu. maka anak-anak Ge mulung pasti akan menga la mi kesulitan. Belum lagi dapat dikatakan kalau jatuh korban diantara mereka. Jika demikian, maka persoalannya tidak akan menjadi sederhana lagi" Kakek Pa mot mengangguk-anggukkan kepa lanya. Kemudian iapun bertanya "Sekarang, apa ma ksudmu?" "Aku ingin melihat dahulu ayah. Apa yang telah terjadi, baru ke mudian menga mbil sikap" Ibu Pamot yang kece masan duduk di a mben dengan kaki gemetar. Dengan suara parau ia bertanya "Kau akan pergi ke mana pak?" "Aku akan pergi ke sawah" "Tetapi, kau tidak me mbawa seorang temanpun" "Aku hanya akan sekedar melihat. Tetapi apabila keadaan me ma ksa, aku pasti bukan sekedar seorang penonton" "Itulah yang aku ce maskan. Pedagang ternak itupun pasti akan turut campur. Ia dapat me mpargunakan uangnya untuk maksud-maksud yang jahat" "Tetapi apaboleh buat. Aku tidak akan dapat me mbiarkan anak itu berada da la m kesulitan" Kakeknya mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya "Baiklah. Tetapi kaupun harus berhati-hati. Bersikaplah sebagai seorang tua"
"Ya ayah. Aku akan berhati-hati. Aku akan menimbang setiap keadaan. Kalau aku tidak perlu berbuat sesuatu, sudah tentu aku tidak akan berbuat apapun juga" Kakek Pa mot mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi itu Pamotlah yang agaknya menjadi se ma kin gelisah. "Tenanglah di rumah" berkata sua minya "aku akan me lihat ke sawah. Aku kita itu lebih baik daripada aku tetak duduk dia m di rumah dengan hati berdebar-debar" Isterinya menjawab. menganggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak
"Sudahlah. Aku a kan pargi sekarang" Isterinya menganggukkan kepalanya pula, sedang kakek Pamot berdesis "Jangan mena mbah suasana menjadi se ma kin kisruh" Sambil menggeleng ayah Pamot me njawab "Aku akan me mperhitungkan setiap ke mungkinan. Sejenak ke mudian ma ka ayah Pamot itupun telah tenggelam di dala m kegelapan, menyusur jalan menuju ke pinggir padukuhan. Dala m pada itu, perkelahian yang terjadi di tengah-tengah sawah itupun sema kin menjadi sengit. Kedua pihak sudah mengerahkan segenap ke ma mpuan yang ada. Pamot masih tetap bertahan dan bahkan ia sa ma sekali tidak berada dala m pengaruh lawannya. Puntapun masih selalu berhasil me mpertahankan dirinya. Tetapi kawan Pa mot yang tinggi itu ternyata masih belum dapat mengimbangi pengala man lawannya. Lawannya yang kasar dan liar sedikit de mi sedikit berhasil mendesaknya, meskipun belum me mbahayakan. Namun agaknya, anak muda itu terla mpau bernafsu sehingga semua tenaganya seolah-olah sudah dikurasnya. Dalam saatsaat terakhir, ia seolah-olah sudah kehilangan sebagian dari kekuatannya.
Tetapi kee mpat kawan-kawannya yang lain, yang berkelahi me lawan dua orang anggauta gerombolan Sura Sapi masih tetap dapat bertahan dengan baik. Mereka dapat berke lahi berpasangan, sehingga keadaan mereka tidak mence maskan. Namun keseluruhan dari perkelahian itu adalah perke lahian yang seru, semakin la ma se ma kin seru. Selagi orang-orang di tengah sawah itu bertempur tanpa menghiraukan tanaman-tana man yang terinjak-injak kaki, yang patah dan berserakan, maka di bagian lain, seorang tua dengan tekunnya menunggui air yang mengalir diparit yang kecil. Tetapi agaknya air itu tidak me menuhi ke inginannya. Dengan penuh kesungguhan ia menelit i tanaman-tanaman yang masih muda itu. Bahkan parlahan-lahan ia berdesis "Kalau a ku tidak mendapat cukup air, kasihan. Batang-batang padi muda ini akan kehausan. Besok kalau matahari menjadi terik, daun-daunnya akan layu. Masih agak baik batangbatang jagung itu. Seandainya air tidak terla mpau banyak, mereka masih dapat bertahan lebih kuat dari batang-batang padi ini. Orang tua itupun ke mudian sa mbil bersungut-sungut menga mbil cangkulnya sambil berkata "Aku harus melihat ke sidatan air ini. Apakah airnya me mang terlampau sedikit, atau tambak di sidatan sobek" Tertatih-tatih orang itu ke mudian berjalan di sepanjang tanggul yang sempit. Apalagi di mala m hari. Meskipun demikian, ia tidak mau sawahnya kekurangan air. Sehingga betapapun gelapnya ia berjalan juga ke sidatan parit yang menga liri sawahnya. Tetapi ketika sampa i dike lokan, orang tua itu berhenti sejenak. Namun ke mudian ia berdesis "Lebih ba ik aku menga mbil jalan me mintas"
Maka ke mudian dia mbilnya jalan pa matang yang akan langsung sa mpa i ke sidatan, tanpa mengikuti tanggul parit yang berkelok-ke lok seperti ular yang sedang bera mbat. Dengan hati-hati ia melangkah di atas pematang yang agak licin sa mbil menyandang cangkulnya. Kini ia berjalan di sepanjang batas tanaman jagung yang juga masih muda. Sekali-seka li orang tua itu me mandang ke langit yang ditaburi oleh bintang-bintang yang gemerlapan. Binatang gubug penceng di ujung Se latan telah bergeser sedikit kebarat. Namun tiba-tiba langkah orang tua itu terhenti. Ketika ia menyusup se makin dala m di daerah tanaman jagung muda itu, ia menjadi sangat berdebar-debar. Tiba-tiba saja ia mendengar suara yang t idak dimengertinya. "He, suara apakah itu?" orang tua itu bertanya kepada diri sendiri. Tiba-tiba teringat olehnya, bahwa kadang-kadang masih saja ada babi hutan yang sering mengganggu tanaman. Karena itu, maka dirabanya sabit yang terselip dipunggungnya. Perlahan-lahan ia berdesis "Kalau suara itu suara babi hutan, biarlah aku gedig kepalanya" Tetapi suara itu sama sekali bukan suara babi hutan. Semakin dekat orang tua itu justru se makin tidak mengerti. Meskipun de mikian ia ingin juga tahu, apakah yang telah menimbulkan bunyi yang aneh itu. Namun tiba-tiba matanya terbelalak. Kini ia me lihat bahwa beberapa orang sedang berkelahi. Tanaman jagung di sekitarnya telah terinjak-inja k tida k menentu. Meskipun demikian orang tua itu tidak menjadi le mas dan terduduk di tanah. Justru ia ke mudian me le mparkan cangkulnya dan berlari kencang-kencang. Tetapi karena kakinya yang la mah, karena ketuaannya, maka sekali-seka li iapun tergelincir dan jatuh terguling di samping pe matang.
Orang-orang upahan yang liar itu melihat juga kehadiran seorang lagi di dekat arena. Namun ke mudian orang itu berlari-lari meninggalkan perkelahian. Sekilas mereka dapat menerka, bahwa orang itu sa ma sekali bukan kawan Pa mot. Namun de mikian orang itu telah menumbuhkan debar pula di dada mereka. Tetapi tidak seroangpun dari kelima orang itu sempat mencegah. Mereka harus berhadapan dengan lawan masingmasing. Lawan yang tidak dapat segera dikalahkannya. Karena itu, maka yang mereka la kukan adalah me meras ke ma mpuan mereka, untuk segera mengalahkan lawan masing-masing. Dala m pada itu, orang tua yang melihat perkelahian itupun berlari-lari se kencang-kencangnya dapat dilakukannya. Ketika ia meloncat kejalan yang lebih lebar, begitu ia tergesa-gesa, sehingga ia jatuh terjerembab. Tetapi iapun segera bangkit berdiri dan berlari kesudut desa. Belum lagi ia mende kat, ia sudah berteriak-teriak labih dahulu "He, ada orang berke lahi. Orang berke lahi" Para peronda yang ada di dala m gardu di sudut desa terkejut karenanya. Diantara mereka adalah ayah Pamot yang baru saja duduk di gardu sebelum melanjut kan perjalanannya ke tengah sawah. Ia ingin mendengar lebih dahulu apa bila para peronda itu mendengar sesuatu tentang anaknya. Tetapi ternyata mereka tidak mengerti apa-apa. Kini justru seseorang telah berlari-lari sa mbil berteriak-teria k. Serentak setiap orang yang ada di gardu itupun berloncatan turun. Seorang anak muda yang sedang bertugas ronda segera menyongsong orang tua itu sambil bertanya "Dima na?" Nafas orang tua itu menjadi terengah-engah. Sambil berdiri bertelekan punggung ia menjawab terputus-putus "Di tengah sawah"
"Siapa yang berke lahi?" bertanya anak muda itu. Orang tua itu menggelengkan kepa lanya "Aku tida k tahu. Banyak orang berke lahi bersa ma-sa ma. Mereka bersenjata" Anak muda itu berdiri termangu-mangu. Beberapa orang yang menyusulnyapun sa ling berpandangan sejenak. "Bagaimana?" bertanya anak muda itu kepada seseorang yang lebih tua daripadanya. "Marilah kita lihat" jawab yang ditanya. "Tetapi, tetapi" orang tua itu me motong "yang berke lahi adalah orang banyak. Bukan hanya sekedar dua orang" "Kita tengok bersa ma-sama" sahut yang la in. "Lalu gardu ini kita kosongkan?" Sejenak mereka termangu-mangu. Tiba-tiba salah seorang berkata "Kita pukul kentongan" "Jangan" tiba-tiba ayah Pamot ikut dalam pe mbicaraan "seluruh penduduk akan menjadi ge mpar. Kita bangunkan saja satu dua orang di sekitar gardu itu. Kita minta mereka menjaga gardu sejenak. Kita bersama-sa ma pergi ke sawah, untuk me lihat perke lahian itu" "Bagaimana kalau mereka ingin ikut pula?" "Paling sedikit dua orang harus t inggal" Sejenak mereka saling me mandang. Na mun ke mudian merekapun mengangguk-anggukkan kepala mereka. "Cepat. Marilah kita me mbangunkan mereka" "Kita me merlukan kawan. Kalau keadaan menjadi sangat berbahaya, biarlah salah seorang dari kita akan me mbunyikan kentongan. Terpaksa" Beberapa orangpun kemudian berlari-larian me mbangunkan beberapa orang saja yang rumahnya paling
dekat dengan gardu perondan. Dengan terkantuk-kantuk mereka mendengar beberapa penjelasan yang tidak banyak mereka mengerti. Yang mereka dengar hanyalah permintaan para peronda untuk me mbantu mere ka tinggal di gardu, sedangkan anak-anak muda yang sedang bertugas ronda akan pergi ke tengah sawah melihat siapakah yang sudah berkelahi itu. Sambil berselimut kain panjang, orang-orang yang baru saja terbangun itupun berjalan tertatih-tatih ke gardu di pinggir desa. Tetapi ketika mereka sudah na ik, maka merekapun segera merebahkan diri melingkar berselimut kain. "He m" anak-anak muda yang sudah segera ingin pergi itu menarik nafas dala m-da la m. "Biarlah" berkata salah seorang dari mereka. "Apakah bapak akan tinggal disini ?" bertanya salah seorang anak muda kepada ayah Pamot. Tetapi ayah Pamot me nggeleng "Aku ikut bersa ma ka lian" Tidak seorangpun yang dapat mencegahnya. Karena itu, maka merekapun segera pergi berlari-lari ke sawah yang ditunjukkan oleh orang tua itu. Ke sawah keluarga Pa mot. Mereka sampa i ke tempat perkelahian itu sejenak, sebelum keseimbangan benar-benar akan bergeser. Anak muda yang tinggi tegap itu justru telah benar-benar terdesak, meskipun belum sampa i pada bahaya yang sebenarnya. Tetapi empat anak-anak muda yang bertempur me lawan dua orang gerombolan Sura Sapi justru dapat mendesak lawan mereka, sedang Punta dan Pamot masih tetap bertahan dalam keseimbangan. Meskipun de mikian ternyata bahwa orang upahan itu lebih pandai mene mpatkan diri. Mereka agaknya sengaja me mancing seluruh tenaga lawan-lawan mereka, sehingga akhirnya Puntapun kelihatan menjadi berangsur le mah.
Dala m keadaan itulah, terdengar suara mereka yang berlari-lari mendekati te mpat perkelahian itu. Orang tua yang pertama-tama me lihat, berteriak lantang "Disitu, disitu" Teriakan-teriakan itu me mbuat orang-orang upahan yang tergabung dalam gerombolan yang menyebut dirinya Sura Sapi itu berpikir. Kehadiran orang-orang itu sudah pasti tidak akan menguntungkan mereka. Kalau jumlah mereka cukup banyak, lima orang atau lebih, maka keadaan mereka, gerombolan yang tidak terkalahkan itu menjadi gawat. Lima orang dengan kema mpuan seperti mereka yang sudah datang lebih dahulu. Untunglah, bahwa gerombolan itu tidak tahu banyak tentang anak-anak muda Ge mulung. Hanya beberapa orang sajalah yang me mpunyai ke ma mpuan berkelahi sebaik itu. Mereka adalah anggauta-anggauta pengawal yang setiap kali berkumpul di Kade mangan untuk me ndapatkan latihan keprajuritan. Apalagi pengawal khusus, yang me mang dipersiapkan untuk kepentingan Mataram. Setiap saat mereka dapat diambil dan dibawa ke medan, seperti para prajurit yang lain Karena itu, ketika mereka melihat beberapa orang berlarilari di sepanjang pe matang, dan menurut hitungan mereka lebih dari lima orang, maka merekapun harus segera menga mbil sikap. Betapa sakit hati mereka, na mun mere ka tidak dapat berbuat lain. Selain mereka kehilangan upah yang sudah dijanjikan oleh Manguri, merekapun harus menga la mi kegagalan dan ke kalahan. Kalau mereka t idak mau melihat kenyataan itu. maka akibatnya pasti akan lebih parah bagi mereka. Mungkin satu dua dian-tara mereka masih dapat lolos. Tetapi meskipun hanya seorang saja dari mereka yang tertangkap, namun na ma mereka pasti akan menjadi se ma kin cemar dala m lingkungan gerombolan-gerombolan yang seakan-akan hidup di luar lingkungan masyarakat dan
peradabannya. Mereka pasti tidak akan mendapat te mpat lagi di dala m lingkungan mereka itu. Lingkungan yang tidak terikat oleh peraturan apapun, selain terikat oleh tajamnya pedang dan runcingnya ujung tombak. Karena senjata dan kekuatan bagi mereka akan menentukan tinggi rendahnya martabat mereka di dala m lingkungannya. Demikianlah, maka orang yang sebenarnya bernama Sura Sapi, yang memimpin gerombolan itu harus segera mengambil keputusan. Dan keputusan itu adalah me nyingkir dari arena, karena mereka tidak dapat melawan orang-orang Gemulung dalam jumlah yang jauh lebih banyak. Sejenak ke mudian, terdengar Sura Sapi berteriak me mberikan tanda, bahwa semua anggauta gerombolan yang berjumlah lima orang itu harus me larikan diri. Perintah itu ternyata tidak perlu diulangi. Setiap orang di dalam gerombolan itu me mpunyai perhitungan yang serupa, sehingga sejenak ke mudian merekapun segera berloncatan mundur. Pada saat orang-orang Gemulung menyerbu ke arena, orang-orang itu seakan-akan telah lenyap tenggelam ke dalam tanaman jagung yang masih muda. Apalagi gelapnya mala m agaknya sangat membantu, sehingga dala m beberapa saat, orang-orang Gemulung itu sudah kehilangan lawan-lawan mereka. Punta dan kawan-kawannya me mang t idak mengejar mereka. Mereka menyadari, bahwa orang-orang upahan itu dalam keadaan terpaksa, akan berbuat apa saja. Termasuk perbuatan-perbuatan yang sangat licik. Namun de mikian, meskipun orang-orang upahan itu telah me larikan diri, Pamot dan Punta masih saja berdiri termangumangu. Kini mereka pasti akan dihadapkan pada persoalan yang lain. Orang-orang yang baru saja datang itu pasti akan
bertanya tentang pekerlahian itu. Sebab-sebabnya dan siapa saja yang telah terlibat. "Apaboleh buat" berkata Punta di dala m hatinya "me mang agaknya hal ini lebih baik diketahui oleh setidaktidaknya bebahu Kade mangan yang berada di Ge mulung atau ma lahan Ki Jagabaya sama seka li" Dan ternyata dugaan itu benar-benar terjadi. Belum lagi Pamot dan kawan-kawannya menyeka peluh mere ka, maka seperti bunyi seribu ekor burung betet, orang-orang Gemulung itu bertanya menurut se lera masing-masing. "Ka mi a kan melaporkannya kepada Ki Jagabaya" berkata Punta kepada mereka "besok kalian akan mendengar apa yang telah terjadi" Namun mereka tidak puas dengan jawaban itu, sehingga mereka justru me mutari anak-anak mudayang baru saja berkelahi itu dengan seribu maca m partanyaan yang bersimpang siur. "Ka mi menjadi bingung" berkata anak muda yang tinggi "tetapi pada dasarnya, kami telah berkelahi melawan gerombolan Sura Sapi" "He" beberapa orang menjadi terbelalak. Bahkan dada ayah Pamotpun me njadi berdebar-debar. Ternyata yang dilawan oleh anak-anak muda itu adalah gerombolan Sura Sapi. Namun de mikian sepercik kebanggaan telah menge mbang di dalam dada orang tua itu. Anak-anak muda Ge mulung telah ma mpu bertahan terhadap orang-orang yang me mang ditakuti karena kebuasan mereka. "Kenapa tiba-tiba bertanya yang lain. saja mereka telah berada disini?"
"Entahlah" jawab anak muda yang tinggi besar itu.
Tetapi orang lain bertanya "Kenapa kalian berada disini pula bersa ma-sama " Anak yang tinggi, yang nafasnya masih terengah-engah itu berdesah. Namun pertanyaan-pertanyaan itu harus dijawab. Katanya "Kebetulan saja, kebetulan aku sedang berada di gubug Pa mot. Ka mi sedang bermain kotekan" "Tetapi ka mi tidak mendengar kotekan itu" jawab orang tua yang pertama kali me lihat perkelahian itu. Anak muda itu menarik nafas. Desahnya "Aku lelah sekali. Ini tanganku berdarah tersentuh senjata orang-orang gila itu" Tetapi orang-orang yang mengerumuninya me mpedulikan. Mereka masih bertanya terus. tidak
Namun ternyata bahwa tidak semua anak-anak muda itu menyimpan persoalan yang sebenarnya telah terjadi. Satu dua diantara mereka, tanpa mereka sadari telah mengatakan apa yang sebenarnya terjadi itu. Bahkan dengan berterus terang, seorang anak muda yang bertubuh kecil berkata "Mereka telah mendapat upah dari Manguri untuk menangkap Pa mot" Demikianlah maka berita itupun segera tersebar. Orangorang Gemulung yang ke mbali ke padukuhan merekapun segera berceritera dan berbincang yang satu dengan yang lain. Karena jawaban anak-anak muda yang berkelahi itu tidak sama, karena mereka belum bersepakat apakah yang harus mereka katakan, maka berita tentang perke lahian itupun menjadi bersimpang siur. "Tetapi yang lebih dekat dengan nalar, adalah ceritera tentang orang-orang upahan itu" berkata seseorang "bukankah beberapa saat yang lampau Manguri pernah berkelahi dengan Pa mot dan ke mudian raksasa itu pula ?" Yang lain mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun diantara mereka masih juga ada dugaan-dugaan yang berbeda satu dengan yang lain.
Ketika ayah Pamot kemudian lewat di depan gardu yang penuh dengan orang-orang yang sedang berbincang, maka salah seorang telah menarik tangannya sambil berkata "Nah, kalau ayah Pamot ini, aku kira mengerti persoalanpersoalannya dengan baik. Sekarang ceriterakanlah apa yang telah terjadi dengan anakmu" Ayah Pamot mengerutkan keningnya. Sejenak ia membuat pertimbangan-pertimbangan. Namun ke mudian ia menganggap, bahwa lebih baik ia berkata sebenarnya. Dengan de mikian ma ka tidak akan ada salah pengertian lagi tentang apa yang sudah terjadi itu. Adalah sangat me mbingungkan apabila setiap orang me mpunyai ceritera tersendiri tentang perkelahian di tengah sawah itu. Maka ayah Pamotpun ke mudian menceriterakan apa yang sesungguhnya telah diala mi oleh anaknya. Na mun de mikian, ayah Pamot masih juga me mbatasi pe mbicaraannya. Ia sama sekali t idak me nyinggung-nyinggung La mat sa ma sekali. Pada waktu yang bersamaan, anak-anak muda Ge mulung yang baru saja berkelahi itu telah mengetuk pintu rumah Ki Jagabaya. Meskipun mereka agak ragu-ragu, tetapi adalah lebih baik bahwa Ki Jagabaya mendengar peristiwa itu dari merika sendiri, daripada dari sumber yang bersimpang siur. Ki Jagabaya yang baru tidur dengan nyenyaknya, mengge liat sa mbil menguap. La mat-la mat ia mendengar pintu rumahnya diketuk perlahan-lahan Tetapi suara itu serasa menga mbang di dala m mimpinya. Baru ketika ia mendengar ketukan pintu untuk kedua kalinya ia me mbuka matanya. Sekali lagi ketukan pintu itu terdengar. "Huh, benar-benar tidak tahu aturan "ia menggeramang "mala m-mala m begini mengetuk rumah orang" Sambil terkantuk-kantuk ia bangkit dan duduk di pinggir pembaringannya.
Ketika sekali lagi ia mendengar pintu diketuk, ma ka iapun berteriak "Tunggu he" Apakah kau takut diterka m hantu" Pamot, Punta dan kawan-kawannya saling berpandangan sejenak. Tetapi merekapun kemudian mengerutkan kening mereka. "Siapa?" terdengar suara Ki Jagabaya pula. "Aku" "Aku siapa" Setan, gendruwo atau de mit?" "Punta" "Punta siapa?" "Anak Ge mulung" Ki Jagabayapun kemudian berdiri. Sejenak ia ragu-ragu. Dipandanginya bindinya yang tergantung pada dinging. Sekali lagi ia menguap. Tetapi tangannya menyambar bindinya itu. Tertatih-tatih ia berja lan menuju ke pintu pringgitan sa mbil bersungut-sungut. Tetapi ketika ia berdiri di muka pintu, ma ka langkahnyapun telah menjadi mantap. Dipandanginya pintu itu sejenak, ke mudian dibenahinya pakaiannya. Dengan tangan kirinya ia menarik se larak dan perlahan-lahan me mbuka pintu. "He, kau" desisnya. "Ya Ki Jagabaya. Kami me mpunyai keperluan yang menurut pendapat kami tida k sebaiknya ditunda sa mpai besok. Karena itu, maafkan kami, apabila ka mi sudah mengganggu" berkata Pamot. "Apakah kalian anak-ana k Ge mulung?" "Ya" "Masuklah"
Dyah Ratnawulan 1 Trio Detektif 11 Misteri Tengkorak Berbicara Patung Emas Kaki Tunggal 2