Pencarian

Meraba Matahari 8

Meraba Matahari Karya S H. Mintarja Bagian 8


Terasa jantung Madyasta berdegup lebih cepat. Ia menjadi lebih tegang dari saat ia menghadapi Saminta yang menantangnya berkelahi itu.
Tiba-tiba saja Madyasta itupun berkata kepada Wismaya"Kakang, marilah kita kembali ke rumah bibi."
"Marilah Raden" sahut Wismaya. Ketika Wismaya akan meninggalkan tempat itu, ia masih berkata kepada Saminta"obati luka saudara seperguruanmu. Pada saat obat itu ditaburkan, ia akan disengat rasa pedih di lukanya itu. Tetapi darahnya akan segera mampat"
Saminta tidak menjawab. Di tangannya masih digenggam bumbung kecil yang berisi serbuk obat
Sejenak kemudian, maka dua ekor kuda itupun berderap meninggalkan tempat itu. Semakin lama menjadi semakin jauh.
Saminta masih memandang debu yang mengepul di belakang kaki kuda yang berlari kencang itu. Ternyata harus mengalami kenyataan pahit. Meskipun ia merasa sudah tuntas menyadap ilmu kanuragan dari perguruannya, tetapi ketika ia benar-benar terjun di kerasnya dunia olah kanuragan, maka ia merasa bahwa ia masih terlalu kecil dibandingkan dengan orang-orang yang telah lebih dahulu terjun daripadanya
Saminta itu seperti terbangun dari mimpinya ketika ia mendengar saudara seperturuannya mengerang. Iapun segera mendekatinya
"Bagaimana dengan lukamu?"
"Sakitnya kakang."
"Berbaringlah. Aku akan menaburkan obat ini di lukamu. Mula-mula akan terasa pedih. Tetapi obat ini akan memampatkan darah yang mengalir dari lukamu itu."
Sementara itu, Raden Madyasta dan Wismaya yang melarikan kuda mereka seperti anak panah yang terlepas dari busurnya sudah menjadi semakin dekat dengan regol halaman rumah bibinya Karena itu, maka Raden Madyastapun memberikan isyarat kepada Wismaya untuk memperlambatnya
Beberapa saat kemudian, merekapun menghentikan kuda mereka dan menuntunnya masuk ke regol rumah Raden Ayu Prawirayuda
Namun Madyasta yang sengaja tidak memberi tahukan kepergiannya kepada bibinya itu menjadi gelisah ketika ia melihat bibinya berdiri di pendapa Dan bahkan kemudian melangkah menuruni tangga sambil bertanya "Darimana ngger?"
Madyasta menjadi agak bingung. Namun kemudian iapun menjawab" Berputar-putar sebentar bibi Mencoba kuda dimas Wignyana yang baru."
"Apakah angger Wignyana disini?"
"Ya, bibi. Ia baru saja datang memamerkan kudanya kepadaku. Lalu aku mencobanya bersama kakang Wismaya
"Angger Wignyana membawa dua ekor kuda?"
"Ya, bibi. Wignyana Ingin memamerkan kedua-duanya"
Untunglah, bahwa Wignyana yang sedangg berada di gandok itu mendengar pembicaraan itu, sehingga ia akan dapat menyesuaikannya jika bibinya bertanya kepadanya
Dalam pada itu, bibinya itupun bertanya" Dimana angger Wignyana sekarang?"
"Tadi dimas Wignyana ada digandok." Sebenarnyalah Wignyanapun segera muncul di serambi gandok sambil bertanya" Bagaimana kangmas. Bukankah kuda itu kuda yang baik?"
"Ya dimas" jawab Madyasta Lalu Madyasta itupun berkata kepada bibinya"Maaf bibi. Aku akan pergi ke serambi gandok."
Raden Ayu Prawirayuda tidak menjawab. Tetapi ia justru bertanya kepada Raden Wignyana"Aku tidak tahu angger Wignyana ada disini"
"Aku belum lama bibi" jawab Wignyana"aku hanya ingin menunjukkan kuda yang kemarin aku beli kepada kakangmas Madyasta Aku tidak ingin mengganggu bibi."
"Baiklah, ngger. Silahkan. Aku akan pergi ke belakang."
"Silahkan bibi" sahut Wignyana sambil mengangguk hormat.
Sepeninggal bibinya Wismayapun menambatkan kedua ekor kuda itu di sebatang pohon perdu di halaman.
"Apa yang sudah terjadi, kangmas?" bertanya Wignyana demikian Madyasta duduk di serambi
"Anak yang baru saja menyelesaikan laku dimasa berguru. Demikian ia selesai dan tuntas, maka ia merasa bahwa tidak ada orang yang dapat mengimbangi kemampuannya Agaknya anak itu sengaja mencari lawan untuk menunjukkan kemampuannya yang menurut pendapamya tidak ada duanya di dunia selain gurunya"
"Apa yang kangmas lakukan terhadap orang itu?"
"Aku memaksanya mengakui, bahwa ia bukan orang terbaik didunia. Bahkan ilmunya itu tidak lebih dari sebutir pasir di luasnya pantai"
"Anak itu mengakuinya?"
"Ia harus melihat kenyataan itu." Wignyana tersenyum. Katanya"Waktu kita pulang dari perguruan, rasa-rasanya ingin juga segera menunjukkan kelebihan kita kepada semua orang. Tetapi untunglah, bahwa guru telah membekali kita bukan saja kemampuan ilmu kanuragan, tetapi juga bekal pesan-pesan, bagaimana kita mengetrapkan kemampuan yang telah kita pelajari selama kita berguru."
"Ya. Agaknya itulah yang dilupakan oleh guru Saminta. Semakin tinggi ilmu seseorang, tetapi tanpa dibekali pesan, untuk apa ilmu itu dimilikinya, maka akan dapat terjadi salah kedaden. Ilmu yang seharusnya bermanfaat bagi banyak orang itu, akan dapat menjadi sebaliknya Ilmu itu akan dapat menjadi racun bagi banyak orang."
"Tetapi kangmas sudah meredamnya Mudah-mudahan pengalamannya mengetrapkan ilmunya yang pertama kali itu akan menjadi pengalaman yang sangat berharga baginya"
"Mudah-mudahan, dimas."
Sementara itu, Wismaya yang tidak melihat Sasangka di Serambi itupun bertanya"Dimana Sasangka Raden."
Tadi aku melihai Sasangka sedang bercengkerama"
"Bercengkerama?"
"Ya. Dengan kangmbok Rantamsari. Tetapi sudah sejak tadi aku melihamya, tidak lama setelah kangmas dan kakang Wismaya pergi. Entahlah sekarang. Sejak aku melihatnya, kakang Sasangka belum kembali ke gandok. Mungkin ia tertidur di lincak di halaman belakang. Agaknya kangmbok Rantamsari sudah melantunkan tembang yang lembut,"
Wismaya menarik nafas panjang. Tetapi ia tidak menyahui lagi. Sedangkan Raden Madyasta nampak mengerutkan dahinya. Nampaknya pernyataan Wignyana itu menyentuh hatinya, meskipun ia tidak mengatakan apa-apa
Namun dalam pada itu, sejenak kemudian, Wignyanapun berkata"Kangmas. Jika kangmas telah dapat menyelesaikan persoalan kangmas, ijinkan aku pulang ke kadipaten."
Madyasta mengangguk-angguk Katanya kemudian"Baiklah dimas. Aku mengucapkan terima kasih. Biarlah kakang Wismaya mengantar dimas pulang."
"Apakah aku harus diantar?"
"Maksudku bukan mengantar dimas yang ketakutan lewat bulak sempit disebelah. Tetapi mengembalikan kuda yang satu itu, agar dimas tidak usah harus menuntunnya"
Wignyana tertawa Namun Wismayapun kemudian mengingatkan"Apakah Raden tidak minta diri kepada Raden Ayu Prawirayuda yang telah melihat Raden berada disini?"
"Sebaiknya kau minta diri, dimas."
"Baiklah, kangmas. Tetapi besok atau lusa bibi tentu akan memberitahukan kepada ayahanda, bahwa aku berada disini tanpa menyatakan kehadiranku kepada bibi."
"Jangan hiraukan itu."
Wignyanapun kemudian mencari bibinya di longkangan. Tetapi ternyata bibinya berada di gladri belakang. Rantamsari yang juga berada di gladri, sedang sibuk membatik.
Raden Ayu Prawirayuda yang melihat kehadiran Wignyana di gladri segera bangkit berdiri sambil mempersilahkannya" Marilah ngger."
"Aku hanya akan mohon diri, bibi."
"Begitu tergesa-gesa. Baru disiapkan minuman bagi angger. Jika saja aku tahu angger sudah sejak tadi berada di gandok."
"Terima kasih bibi. Seperti aku katakan, aku hanya ingin memamerkan kudaku yang baru kepada kangmas Madyasta Aku tidak sabar menunggu kangmas Madyasta datang di kadipaten."
"Baiklah ngger. Salamku kepada dimas Adipati Prangkusuma"
Dada Raden Wignyana menjadi berdebar-debar. Agaknya bibinya dapat mempermasalahkan kehadirannya tanpa menyatakan diri kepada bibinya itu jika bibinya bertemu dengan ayahandanya. Tetapi apaboleh buat la sudah melakukannya
Karena itu, maka Raden Wignyana itupun menjawab"Baik, bibi Aku akan menyampaikannya kepada ayahanda" lalu katanya kepada Rantamsari yang meletakkan cantingnya dan bangkit berdiri pula "Aku minta diri kangmbok"
"Aku belum sempat menemuimu dimas."
Hampir saja Wignyana mengatakan, bahwa ia tidak ingin mengganggu Rantamsari yang sedang bercengkerama dengan Sasangka, seorang Senapati muda yang bertugas di rumah itu. Tetapi niatnya diurungkan. Ia tidak ingin menimbulkan persoalan di rumah itu.
"Kapan-kapan aku akan berkunjung kemari. Bukan saja saat ayahanda memberikan perintah kepadaku untuk datang kemari. Tetapi aku akan menyisihkan waktuku untuk berada di sini sehari penuh. Tentu saja jika tidak mengganggu kangmbok."
"Kenapa menggangguku?" bertanya Rantamsari"aku senang jika dimas berkenan berada disini sehari penuh."
Wignyana mengangguk hormat. Katanya"Terima kasih. Pada kesempatan lain aku akan datang."
Demiklanlah, maka sejenak kemudian, Wignyanapun telah meninggalkaan rumah Raden Ayu Prawirayuda. Seperti yang dikatakan oleh Madyasta, maka Wismaya telah pergi bersamanya untuk mengembalikan kuda yang dibawanya
Sementara itu, Madyasta yang letih, duduk di serambi gandok. Sasangka agaknya masih dibelakang. Tetapi Madyasta tidak mencarinya.
Sebenarnyalah Sasangka masih berada di halaman belakang, Ketika Rantamsari di panggil oleh ibunya, maka Sasangka rasa-rasanya segan untuk meninggalkan tempatnya. Karena itu untuk beberapa saat ia masih duduk di tempatnya itu. Bahkan rasa-rasanya Sasangka masih mengharap agar Raden Ajeng Rantamsari kembali menemuinya
Tetapi Raden Ajeng Rantamsari kemudian tetap berada di gladri karena ibunya minta ia meneruskan membatik kain yang sudah dimulainya
"Jika tidak kau kerjakan, maka kain itu tidak akan selesai" berkata ibunya
Sebenarnyalah bahwa Raden Ajeng Rantamsari memang ingin kembali ke halaman belakang. Tetapi ia merasa segan terhadap ibunya. Karena itu, maka akhirnya Raden Ajeng Rantamsari duduk saja dibelakang gawangan batiknya
Baru beberapa saat kemudian, Sasangka melangkah dengan segan menuju ke gandok. Baru ketika ia melihat Raden Madyasta sudah duduk di serambi, Sasangka itu dengan tergesa-gesa mendapatkannya
"Aku tidak tahu, bahwa Raden sudah kembali" berkata Sasangka sambil duduk di sebelah Raden Madyasta
"Kakang berada di halaman belakang?" bertanya Madyasta
"Ya, Raden. Aku masih saja cemas, bahwa Raden Wicitra tiba-tiba saja muncul."
"Ya Kakang harus semakin berhati-hati."
"Tetapi bagaimana dengan persoalan yang Raden hadapi dengan orang yang menantang Raden itu?"
"Aku sudah memaksanya untuk menghentikan kegilaannya itu. Namaknya ia tidak lebih dari seorang anak yang merasa dirinya tidak terkalahkan setelah menyelesaikan laku di perguruannya"
"Sukurlah. Tetapi apakah anak itu jujur menurut Raden?"
"Aku kira ia bersungguh-sungguh. Pengalamannya masih terlalu sempit sehingga agaknya ia masih belum mempunyai banyak akal untuk mengelabui orang lain."
"Mudah-mudahan ia benar-benar jujur."
"Aku berharap begitu, kakang."
"Tetapi dimana Raden Wignyana dan Wismaya?""Wignyana sudah pulang ke kadipaten. Sedangkan Wismaya pergi bersamanya untuk mengembalikan kuda yang dipakainya"
Sasangka mengangguk-angguk. Sementara Raden Madyastapun berkata pula"Maaf, bahwa dimas Wignyana agaknya tidak sempat minta diri kepada kakang Sasangka."
"Tidak apa Raden. Mungkin Raden Wismaya agak tergesa-gesa Dan bukankah Raden Madyasta sendiri dan Wismaya tidak mengalami sesuatu" Maksudku, Raden dan Wis-maya baik-baik saja?"
"Ya. Kami baik-baik saja Mudah-mudahan anak itu tidak menimbulkan masalah lagi dibelakang hari. Mudah-mudahan ia tidak mengganggu Rara Menur sebagaimana dijanjikannya"
Sasangka termangu-mangu sejenak. Namum hampir diluar sadarnya iapun bertanya"Tetapi bagaimana dengan sikap KangjengAdipati?"
Wajah Raden Madyasta menegang sejenak. Namun kemudian sambil menarik nafas panjang iapun berkata"Entahlah. Aku belum dapat membayangkan, apa yang akan terjadi kemudian"
Sejenak kemudian, maka Raden Madyastapun pergi ke pakiwan. Di serambi gandok, Sasangka duduk berangan-angan. Tiba-tiba saja ia sampai pada suatu pertanyaan "Jika Kangjeng Adipati melarang hubungan Raden Madyasta dengan gadis Panjer, apakah Kangjeng Adipati berniat menjodohkan Raden Madyasta dengan Raden Ajeng Rantamsari.?"
Jantung Sasangka terasa berdentang semakin keras. Wajah Raden Ajeng Rantamsari itu justru semakin terbayang di pelupuk malanya
Beberapa saat kemudian, Raden Madyastapun telah selesai mandi dan berbenah diri. Sementara itu, Wismayapun telah kembali pula dan kadipaten.
Malam Itu, setelah makan malam, maka Raden Madyastalah yang berada di serambi belakang. Raden Madyasta harus sangat berhati-hati. Jika orang yang membunuh Rembana itu masih saja berkeliaran di halaman rumah ilu, maka orang itu akan dapat merunduknya sebagaimana ia rnerunduk Rembana
Dalam pada itu, di serambi gandok, Sasangka duduk bersama Wismaya. Beberapa saat mereka saling berdiam diri dengan angan-angan mereka masing-masing. Wismaya masih memikirkan orang yang telah dilukainya di dekat kuburan tua itu. Namun menurut pendapatnya, anak muda itu tidak akan mati. Apalagi setelah obat yang diberikan oleh Raden Madyasta itu ditaburkan di lukanya itu.
Sementara itu, Sasangka rasa-rasanya bagaikan berada di dunia mimpi. Angan-angannya terbang jauh menembus batas langjt lapis ketujuh. Jika saja ia benar-benar dapat bersanding dengan Raden Ajeng Rantamsari.
Sasangka terkejut ketika tiba-tiba saja Wismaya itu berkata" Sasangka.Sebelumnya aku minta maaf. Ada sesuatu yang ingin aku katakan kepadamu."
Sasangka mengerutkan dahinya. Wismaya telah, merusak angan-angannya. Rasa-rasanya Sasangka itu telah terlempar menukik dan jatuh dikehidupan nyata yang dijalaninya
"Apa yang ingin kau katakan, Wismaya?"
"Sekali lagi aku minta maaf sebelumnya."
Jantung Sasangka mulai berdebaran.
"Sasangka. Aku ingin mengingatkanmu, apa yang pernah kau katakan kepada Rembana sebelum ia terbunuh."
Sasangka terkejut Kata-kata Wismaya itu benar-benar telah menghempaskannya dari dunia angan-angannya.
Sebelum Wismaya berkata lebih jauh lagi, maka Sasangka-pun menyahut "Sudahlah Wismaya Kita sudah sama-sama dewasa. Biarlah kita menempuh jalan kita sendiri-sendiri."
"Sasangka. Sebagaimana yang kau katakan kepada Rembana, bahwa kita bukanlah sekedar kawan yang kebetulan bersama-sama menjalankan tugas. Tetapi hubungan kita lebih dari itu. Kita memasuki dunia pengabdian kita bersama-sama. Kita merangkak dari tataran terbawah di lingkungan keprajuritan bersama-sama. Sekarang kita bersama-sama pula berada disini dalam tugas yang khusus. Bukankah wajar jika aku menganggap bahwa hubungan kita lebih dari sekedar hubungan kerja"
"Terima kasih Wismaya. Aku juga merasa bahwa hubungan kita lebih dekat dari sekedar hubungan kerja. Meskipun demikian bukan berarti bahwa diantara kita tidak ada lagi batasnya"
"Aku mengerti, Sasangka. Tetapi seperti juga kau katakan kepada Rembana waktu itu, bahwa langkah yang diambilnya perlu dipertimbangkan lebih jauh lagi. Bukankah waktu itu kau bertanya kepada Rembana, siapakah Rembana itu dan siapakah Raden Ajeng Rantamsari itu."
"Sudahlah, Wismaya. Kau tidak usah mengusik ketenanganku. Biarlah aku berada di jalanku sendiri."
"Pada waktu itu, kau masih sempat berpikir bening. Kau masih melihat kemungkinan-kemungkinan yang pahit yang akan dapat terjadi atas Rembana dalam hubungannya dengan Raden Ajeng Rantamsari. Tetapi patut dipertanyakan, kenapa kau tidak menasehati dirimu sendiri sebagaimana kau katakan kepada Rembana."
"Wismaya. Aku minta kau hentikan sesorahmu itu."
"Bukan aku yang sesorah Sasangka. Tetapi kau sendiri. Aku hanya ingin mengingatkanmu isi sesorahmu kepada Rembana beberapa waktu yang lalu."
"Akupun ingin mengingatkan kau Wismaya. Waktu itu kau tidak dengan tegas membenarkan sikapku. Waktu itu tersirat dari kata-katamu, bahwa Rembana berhak menentukan jalannya sendiri. Nah, sekarang akupun akan berkata sebagaimana tersirat dari kata-katamu waktu itu."
Wismaya menarik nafas panjang. Dengan nada berat iapun berkata" Kita tinggal berdua disini Sasangka. Aku tidak ingin kawanku berkurang satu lagi."
"Kau mengancamku?"
"Tidak. Sama sekali tidak. Bukan aku bermaksud menakut-nakutimu, apalagj mengancammu. Aku hanya ingin mengatakan, bahwa Rembana kemudian terbunuh. Aku tidak tahu, apakah kematian Rembana itu ada hubungannya dengan ikatan yang dijalinnya dengan Raden Ajeng Rantamsari atau tidak."
"Sudahlah Wismaya. Sekali lagi aku minta, hentikan pembicaraan ini. Persoalannya adalah persoalan yang sangat pribadi, sehingga kau memang tidak akan dapat mencampurinya, sebagaimana aku waktu itu tidak dapat mencampuri persoalan yang di-hadapi Rembana"
"Akupun ingin memperingatkan sekali lagi, bahwa Rembana kemudian terbunuh."
"Apakah kau menuduhku, bahwa aku telah membunuh Rembana karena aku inginkan Raden Ajeng Rantamsari."
"Tidak. Jangan salah mengartikan peringatanku itu. Yang ingin aku katakan, bahwa ada pihak lain yang memang menginginkan Raden Ajeng Rantamsari. Ia telah membunuh Rembana karena Rembana menjadi semakin akrab dengan Raden Ajeng Rantamsari itu. Jika sekarang kau menjadi akrab, maka bukankah bencana yang menimpa Rembana itu akan dapat menimpamu juga?"
"Jangan cemaskan aku, Wismaya. Asal tidak terjadi pengkhianatan, aku tidak akan terbunuh seperti Rembana"Sasangka itu berhenti sejenak. Lalu katanya pula"Ingat Wismaya, sejak kita belum berada disini. Sejak belum ada seorangpun yang berhubungan dengan Raden Ajeng Rantamsari, rumah ini sudah menjadi sasaran laku kejahatan. Justru karena itulah maka kita berada disini."
Wismaya menarik nafas panjang. Dengan nada berat iapun berkata "Aku sudah mencoba memperingatkanmu Sasangka Seandainya kau tidak akan mengalami nasib seperti Rembana, mungkin yang kau cemaskan akan terjadi pada Rembana waktu itu dapat juga terjadi atasmu."
"Apa maksudmu?"
"Jika kau sudah terlalu dalam dicengkam oleh perasaanmu, namun tiba-tiba saja Raden Ajeng Kantanisari iiu direnggut dari hatimu justru karena kedudukannya sebagai anak seorang Adipati meskipun sudah wafat, kau akan tersiksa sekali."
"Aku bukan seorang yang mencemaskan hari esok, Wismaya. Jika itu terjadi, maka aku akan berjuang unatuk mencegahnya. Sebagai seorang laki-laki, maka nyawaku akan menjadi taruhan."
"Tetapi jika Raden Ajeng Rantamsari menerima kemungkinan itu dengan penuh kebanggaan, bahwa ia akan mendapatkan seorang laki-laki yang berderajat jauh lebih tinggi dari seorang Senapati kecil seperti kita?"
"Kenapa kau bayangkan masa depan itu seperti sisi gelap dunia ini, Wismaya Kenapa kau tidak membayangkan bahwa aku akan diterima dengan baik didalam keluarga Raden Ayu Prawirayuda" Bahkan direstui oleh Kangjeng Adipati Prangkusuma" Kenapa kau tidak membayangkan, bahwa Kangjeng Adipati akan memberiku hadiah seekor kuda yang tegar serta mengangkat aku menjadi seorang Rangga di kadipaten Parang Anom?"
Wismaya menarik nafas dalam-dalam. Namun ia masih saja bergumam" Kau bermimpi, Sasangka"
"Ya Biarlah aku nikmati mimpiku. Jangan menggangguku sehingga aku akan terbangun serta mimpiku itu akan terlepas."
Wismaya menarik nafas panjang. Terasa debar jantungnya memukul-mukul dinding dadanya. Namun Wismaya masih mencoba menahan diri. Ia sadar bahwa ia memang tidak berhak untuk mencampuri persoalan yang sangat pribadi itu.
Tetapi Wismaya sudah berusaha memperingatkannya. Jika terjadi sesuatu kelak, apakah peristiwa yang terjadi pada Rembana itu terulang, atau kelak Sasangka itu akan dihempaskan oleh kenyataan bahwa Raden Ajeng Rantamsari itu akan direnggut dari sisinya untuk diperbandingkan dengan seseorang yang dianggap memiliki derajat yang seimbang, ia sudah pernah memperingatkannya
Wismaya tidak lagi berkata apa-apa ketika kemudian Sasangka itu berdiri dan melangkah ke dalam kegelapan
Namun tiba-tiba terbersit sebuah pertanyaan"Apakah justru Sasangka sendiri yang telah menghabisi Rembana?"
Pertanyaan seperti itu memang pernah mengganggunya. Bahkan Wismayapun menangkap pertanyaan serupa tersirat dari kata-kata Raden Madyasta dan bahkan Raden Wignyana
Namun sementara itu, di dalam kegelapan, Sasangkapun bertanya kepada dirinya sendiri"Apakah sebenamya Wismaya sendiri mengingini Raden Ajeng Rantamsari sehingga ia menjadi sangat iri melihat aku menjadi semakin akrab dengan gadis itu?"
Sasangka tiba-tiba menggertakkan giginya sambil menggeram"Aku akan mempertaruhkan nyawaku untuk mendapatkannya. Siapapun yang menghalangiku, akan aku singkirkan."
Di serambi belakang, Raden Madyasta duduk sendiri. Ia bangkit berdiri ketika ia melihat bibinya datang mendekatinya
"Sendiri ngger?" bertanya Raden Ayu Prawirayuda
"Ya, bibi. Kakang Wismaya dan kakang Sasangka ada di gandok."
"Silahkan duduk ngger."
Raden Madyastapun kemudian duduk kembali. Bahkan bibinyapun duduk pula disebelahnya.
"Dingin, ngger"
"Dingin bibi. Tetapi aku sudah terbiasa berada dalam segala cuaea"
Raden Ayu Prawirayuda tersenyum. Sementara itu Raden Madyastalah yang berkata" Bibi nanti kedinginan. Udara terasa lembab. Langit nampak gelap. Mungkin hujan akan turun"
"Ya Ngger. Angin basah bertiup semakin kencang."
"Ya, bibi. Sebaiknya bibi berada didalam."
"Sebenarnya aku tidak sampai hati membiarkan angger Madyasta kedinginan di serambi seperti ini."
"Aku sudah terbiasa bibi. Seperti aku katakan, aku terbiasa berada di segala macam cuaea Bahkan kehujanan sekalipun. Di padepokan aku membiasakan diri berada di dinginnya malam, basah kuyup kehujanan, tetapi juga dipanggang diteriknya sinar matahari. Menahan haus dan lapar. Karena itu, bibi tidak usah memikirkan aku dan para Senapati. Dalam menjalankan tugas, kami tidak memilih tempat, waktu, suasana dan cuaea."
"Tetapi jika ada kemungkinan yang lebih baik, bukankah tidak ada salahnya jika angger memilih?"
"Maksud bibi?" "Angger tidak harus berada di serambi seperti ini. Angger dapat berada diruang dalam."
Madyasta tersenyum. Katanya "Lebih baik berada di sini bibi. Jika sesuatu terjadi, aku akan cepat bertindak"
"Tetapi menurut pendapatku, justru sangat berbahaya bagi angger. Disini angger dapat dilihat dari kegelapan. Jika ada orang bemiat buruk, orang itu dapat melihat angger dengan jelas. Tetapi sebaliknya angger tidak dapat melihatnya."
"Aku tidak akan berada disini terus bibi. Aku akan turun pula ke halaman."
"Tetapi bukankah sangat berbahaya bagi angger. Angger Rembana telah terbunuh tanpa sempat memberikan perlawanan."
"Petaka itu memang telah terjadi padanya" desis Raden Madyasta"namun dengan demikian, aku akan menjadi lebih berhati-hati, bibi."
"Raden, apakah salahnya jika Raden berada di dalam" Jika ada orang bermaksud jahat, sebagaimana yang pernah mereka lakukan, membunuh seekor kueing untuk menakut-nakuti kami, bukankah mereka akan masuk ke dalam. Jika mereka berada di luar, bukankah kita dapat mengabaikannya?"
"Bibi. Aku adalah bagian dari para prajurit yang ditugaskan oleh ayahanda di rumah ini. Karena itu, maka aku tidak dapat di pisahkan dari mereka."
"Angger adalah putera Kangjeng Adipati di Parang Anom. Yang bahkan akan menggantikan kedudukan ayahandanya. Sedangkan mereka adalah prajurit sebagaimana prajurit-prajurit yang lain."
"Aku sebagai seorang prajurit, tidak berbeda dengan mereka, bibi."
Raden Ayu Prawirayuda menarik nafas panjang. Katanya; "Angger memang seorang prajurit sejati."
"Aku adalah satu diantara prajurit Paranganom."
Raden Ayu Prawirayuda mengangguk-angguk. Namun kemudian Raden Ayu itupun berkata "Ngger. Mumpung ada waktu luang, aku ingin bertanya, apakah Dimas Adipati masih marah kepada Raden?"
Raden Madyasta menarik nafas panjang. Dengan nada rendah iapun menjawab "Tidak bibi. Ayahanda tidak marah lagi kepadaku."
"Apakah dengan demikian berarti Dimas Adipati membiarkan hubungan angger Madyasta dengan gadis Panjer itu?"
"Kami belum pernah membicarakannya lagi, bibi."
Raden Ayu Prawirayuda mengangguk-angguk. Katanya"Ngger. Bagaimanapun juga sebaiknya angger mendengarkan nasehat orang tua. Sekaligus seorang Adipati yang memegang kuasa di kadipaten ini. Jika angger menentangnya, maka akibatnya akan dapat menjadi jauh sekali."
Raden Madyasta menundukkan wajahnya
"Aku adalah bibimu, ngger. Aku merasa berkewajiban untuk memberi nasehat kepada angger Madyasta Apalagi persoalan sisihan adalah persoalan yang sangat rumit."
"Ya, bibi" jawab Madyasta
"Angger adalah seorang anak muda yang tampan putera seorang Adipati yang sekaligus akan menggantikan kedudukannya. Karena itu, maka anggerpun harus berhati-hati memilih sisihan Gadis Panjer itu mungkin memang sangat menarik perhatian angger. Mungkin ia cantik dan lembut Tetapi gadis itu tidak lebih dari anak seorang Demang. Jika angger kehendaki, angger dapat mengambilnya menjadi garwa ampeyan."
Terasa degup jantung Raden Madyasta menjadi semakin cepat Sebenarnya ia tidak ingin mendengar nasehat bibinya itu. Tetapi ia tidak dapat memaksa agar bibinya itu berhenti berbicara
Untuk beberapa saat Raden Ayu Prawirayuda itu masih menasehatinya. Raden Ayu itu memberi beberapa petunjuk tentang hubungan suami isteri. Tentang cinta dan sekedar nafsu.
Raden Madyasta hanya dapat mengangguk-angguk saja. Sekali-sekali ia mengiakannya. Dengan demikian Raden Madyasta berharap agar bibinya itu segera berhenti berbicara
Setelah beberapa lama Raden Ayu Prawirayuda itu duduk di serambi belakang bersama Raden Madyasta, maka kemudian Raden Ayu itupun berkata "Semakin lama, malam terasa menjadi semakin dingin, ngger."
"Bibi. Agaknya lebih baik bagi bibi untuk masuk saja keruang dalam. Angin malam akan dapat berakibat buruk bagi bibi."
Raden Ayu Prawirayuda tersenyum. Katanya "Akupun sudah sering menjalani laku prihatin, ngger. Bahkan aku pernah tidur tiga malam di pasareyan eyang.kakung."
"Tetapi bukankah itu bibi lak-ukan waktu bibi masih muda."
Raden Ayu Prawirayuda itu masih saja tersenyum sambil berkata"Aku sekarang memang sudah tua ngger."
Dengan serta-merta Raden Madyasta menyahut "Bukan itu maksudku bibi. Tetapi mungkin ketahanan tubuh bibi sudah rnenyusut"
"Sebenarnya masih banyak yang ingin aku sampaikan kepada angger. Justru karena aku bibi angger."
"Terima kasih, bibi."
"Jika saja angger bersedia duduk di ruang dalam. Rantamsari akan menyediakan minuman hangat bagi angger."
"Terima kasih, bibi. Terima kasih biarlah kangmbok Rantamsari beristirahat."
Raden Ayu Prawirayuda itupun kemudian bangkit berdiri. Dilayangkannya pandangan matanya ke kegelapan di halaman belakang. Sementara itu nyala lampu minyak di serambi itu bergoyang di sentuh angin.
"Selamat malam ngger."
"Selamat malam, bibi."
Ketika Raden Ayu Prawirayuda itu akan masuk ke ruang dalam, iapun masih berdesis"Kadang-kadang aku merasa bersalah, bahwa karena permohonanku, angger harus berjaga-jaga di serambi dalam dinginnya udara malam."
Raden Madyasta tertawa. Katanya"Aku sudah ditempa untuk melakukan tugas seperti ini."
"Berhati-hatilah, ngger."
"Ya,bibi." Sejenak kemudian, Raden Ayu Prawirayuda itupun telah hilang di balik pintu yang kemudian tertutup rapat.
Raden Madyasta menarik nafas panjang. Iapun kemudian duduk kembali di amben kayu di serambi dibawah cahaya lampu minyak. Pandangan matanya terlempar menusuk ke kegelapan di halaman belakang yang terhitung luas itu.
*** Dalam pada itu, di malam yang semakin dalam, di rumah Ki Tumenggung Reksadrana telah kedatangan seorang tamu yang tidak diinginkan. Tetapi Ki Tumenggung yang sedang duduk-duduk bersama Sura Branggah itu tidak dapat menolaknya.
"Marilah, duduklah Raden Wicitra"
"Terima kasih, Ki Tumenggung. Ternyata kau ada disini Sura Branggah."
"Sudah sejak senja tadi,Raden"
"Sudah agak lama kita tidak bertemu, Raden" berkata Ki Tumenggung Reksadrana kemudian.
"Ya. Sejak sebelum Sura Branggah menemui aku waktu itu."
"Ya Waktu itu aku minta Raden datang menemui aku. Tetapi Raden tidak menjawab apa-apa"
"Aku sudah menjawab."
"Menjawab apa?"
"Aku katakan kepada Sura Branggah bahwa pada suatu hari aku akan menemui Ki Tumenggung Reksadrana"
"Pada suatu hari. Bukankah jawaban itu tidak jelas?"
"Nah, pada suatu hari itu adalah sekarang. Aku sekarang datang menemui Ki Tumenggung Reksadrana"
"Raden datang ketika segala sesuatunya sudah berantakan. Ketika anakku sudah meninggal."
"Aku baru mempunyai kesempatan sekarang, Ki Tumenggung. Tetapi aku kira kedatanganku belum teriambat"
"Apa yang akan Raden katakan sekarang?"
"Ternyata Senapati-senapati yang masih ingusan itu memiliki kemampuan yang tinggi."
"Apa maksud Raden?"
"Aku kira berkelahi melawan Senapati muda yang berada di rumah kangmbok Prawirayuda itu tidak memerlukan tenaga dan waktu. Tetapi ternyata aku tidak berhasil membunuhnya"
Ki Tumenggung Reksadrana memandang Raden Wicitra dengan mata setengah terpejam. Dengan nada tinggi iapun berkata"Bukan senapati ingusan itu yang memiliki kemampuan tinggi. Tetapi Radenlah yang sama sekali tidak bertenaga"
"Ki Tumenggung. Kata-kata Ki Tumenggung itu menyinggung perasaanku."
"Bukankah kenyataannya memang demikian."
"Jangan berkata begitu Ki Tumenggung. Bagaimana jika aku menantangmu untuk memperbandingkan kemampuan kita."
"Apakah alasan Raden menantangku?"
"Tidak ada alasannya Sekedar untuk membuktikan kata-kata Ki Tumenggung. Apakah aku memang tidak bertenaga"
"Kalau Raden memang ingin menjajagi kemampuan prajurit Kateguhan, aku sama sekali tidak berkeberatan."
"Kita coba saja Ki Tumenggung."
"Bagus. Dibelakang ada tempat untuk bermain binten. Meskipun aku sudah tua, tetapi aku masih akan sanggup mematahkan kaki Rade"
"Jangan sesumbar, Ki Tumenggung. Mari, kita coba saja."
Ketika Raden Wicitra bangkit berdiri, maka Ki Tumeng-gungpun segera berdiri pula.
"Bagus. Kita peigi ke belakang?"geram Ki Tumenggung.
Namun tiba-tiba saja Sura Branggah itupun tertawa Katanya"Aku bukan seorang Tumenggung. Aku juga bukan keluarga berdarah biru. Tetapi aku tidak terlalu mudah untuk memuntahkan gejolak perasaanku. Bukankah seperti kanak-kanak yang berpapasan di jalan, saling berpandangan, kemudian berkelahi tanpa sebab?"
"Tetapi aku tidak mau direndahkan seperti itu Sura Branggah. Aku tidak mau dikatakan tidak bertenaga."
"Sekarang silahkan Raden duduk. Silahkan mengatakan, apa yang akan Raden katakan sehingga Raden datang kemari."
"Tetapi Ki Tumenggung nampaknya tidak mau mendengarkan"
"Begitu Ki Tumenggung?" bertanya Sura Branggah.
"Jika Raden Wicitra itu berbicara, tentunya aku akan mendengarkan. Tetapi jika Raden Wicitra ingin berkelahi, aku tidak berkeberatan"
Ketika Raden Wicitra bangkit lagi, Sura Branggah itupun menahannya sambil beikata"Sudahlah. Sekarang katakan saja maksud Raden datang kemari."
Wicitra termangu-mangu, sementara Ki Tumenggungpun telah duduk pula.
"Nah, sekarang katakan Raden. Agaknya Ki Tumenggung sudah siap untuk mendengarkan"
Raden Wicitra termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun beikata"Aku dengar Ki Tumenggung masih berniat untuk mengganggu ketentraman Paranganom."
"Apa kepentingan Raden dengan ontran-ontran yang masih akan aku timbulkan di Paranganom itu?" bertanya Ki Tumenggung
Dahi Raden Wicitra berkerut Namun kemudian iapun menjawab"Aku memang mempunyai kepentingan, Ki Tumenggung"
"Kepentingan itulah yang aku tanyakan."
"Kita dapat bekerja sama"
"Maksud Raden."
"Apa yang Ki Tumenggung lakukan sekarang sebenarnya tanggung. Belum tentu bahwa yang membunuh putera Ki Tumenggung itu Rembana. Mungkin Sasangka, mungkin Wismaya atau bahkan Madyasta sendiri."
"Aku tidak tahu arah bicara Raden."
"Kita bekerja sama. Kita bunuh semuanya"
"Kami memang akan melakukannya Semua itu akan menjadi makanan kami. Tanpa kerja samapun kami akan dapat melakukannya"
"Tetapi sampai sekarang yang baru berhasil kau bunuh baru Rembana"
"Apa?" "Bukankah kau belum terlalu tua, Ki Tumenggung. Tetapi pendengaranmu nampaknya sudah berkurang."
"Kau mulai lagi, Raden."
"Dengarlah baik-baik. Kalian tidak usah menyombongkan diri bahwa kalian akan membunuh para Senapati muda itu termasuk Madyasta. Jika kalian mampu, maka tentu sudah kalian lakukan. Ternyata sampai sekarang kau baru dapat membunuh seorang saja diantara mereka. Rembana."
"O. Jadi Raden Wicitra datang kemari sekedar untuk menyombongkan diri, bahwa Raden sudah berhasil membunuh Rembana. Raden, aku menyesali keberhasilan Raden Aku berniat untuk mendapatkan semuanya. Aku ingin membunuh keempat Senapati muda itu. Tetapi Raden Wicitra sudah mencuri seorang diantara mereka."
"Nanti dulu, Ki Tumenggung. Bukankah Ki Tumenggung, meskipun mungkin tidak dengan tangan sendiri, sudah berhasil membunuh Rembana" Sekarang aku menawarkan kerja sama untuk membunuh yang lain. Bahkan jika perlu, aku dapat memberikan imbalan kepada Sura Branggah dan kawan-kawannya yang mampu dihimpunnya lagi."
"Raden tidak usah berputar-putar seperti itu untuk menyombongkan diri. Katakan saja bahwa Raden sudah membunuh Rembana. Raden ingin pengakuanku bahwa Raden orang yang berilmu tinggi tanpa tanding karena dapat membunuh Senapati ingusan itu. Sedangkan Senapati ingusan itu ternyata berilmu tinggi"
"Kenapa kau terlalu berprasangka Ki Tumenggung. Jika aku datang sekedar untuk menyombongkan diri, lalu apa gunanya" Apa keuntunganku dengan tindakan bodoh itu."
"Lalu apa maksud Raden sebenarnya."
"Sudah aku katakan berulang-ulang. Marilah bekerja sama membunuh para Senapati yang tersisa itu."


Meraba Matahari Karya S H. Mintarja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ki Tumenggung memandang Sura Branggah sejenak. Namun Sura Branggah itu menggelengkan kepalanya
"Raden" berkata Ki Tumenggung" sebaiknya kita tidak usah bekerja sama. Lakukan apa yang ingin Raden lakukan. Aku lakukan apa yang ingin aku lakukan."
"Apakah keberatan Ki Tumenggung" Bukankah kita mempunyai sasaran yang sama meskipun dasar kepentingan kita berbeda"
"Terus-terang Raden, aku tidak percaya kepada Raden. Mungkin saja Raden dapat bekerja sama dengan kami untuk sesaat Namun setelah itu Raden berkhianat Raden memfitnah kami, sehingga kami ditangkap dan bahkan dihukum. Sedangkan Raden akan dapat menikmati hasilnya"
"Aku bukan jenis seorang pengkhianat"
"Sebaiknya kita bekerja sendiri-sendiri saja, Raden. Jika Raden ingin membunuh, bunuhlah jika mampu. Sementara itu, jika kami ingin melakukannya, biarlah kami melakukannya."
"Jadi Ki Tumenggung tetap berkeberatan untuk bekerja sama meskipun aku sudah berjanji untuk menyediakan upah sekedarnya bagi Sura Branggah dan kelompoknya yang baru nanti?"
"Ya. Aku tetap berkeberatan."
"Raden" berkata Ki Sura Branggah kemudian"kenapa Raden harus berpikir macam-macam. Tidur sajalah di rumah. Tanpa kerja samapun sebenarnya akan tetap menguntungkan Raden. Raden tidur sajalah di rumah. Nanti para Senapati itu akan mati sendiri karena tangan kami, sehingga Raden justru tidak kehilangan upah, tidak kehilangan waktu dan tidak diperlukan keberanian apa-apa."
Jilid 08 Bab 26 - Gugurnya Lurah Sasangka
"Edan kau Sura Branggah. Aku ingin membunuh Sasangka dengan tanganku."
"Kenapa tidak Raden lakukan?"
"Jika kita bekerja sama, kalian dapat menjerat para Senapati yang lain dalam pertempuran."
"Nanti Raden kalah lagi. Nanti malah Raden yang mati."
"Aku sumbat mulutmu dengan tumitkii ini Sura Branggah. Sebenarnya aku tidak kalah. Tetapi aku terlalu merendahkannya, sehingga aku telah kehilangan kesempatan yang pertama."
"Bukankah Raden sendiri yang mengaiakan bahwa bagi Raden, para Senapati muda itu ilmunya ternyata tidak dapat Raden atasi."
"Apakah aku berkata begitu?"
"Sekarang, apapun yang Raden katakan, kami tidak dapat bekerja sama dengan Raden."
"Ki Tumenggung memang keras kepala."
"Jangan berkata begitu Raden. Nanti aku benturkan kepalaku yang keras ini ke kepalamu."
"Tetapi kau tidak dapat menolak, Ki Tumenggung."
"Kenapa" Apakah Raden bermaksud mengancam?"
"Ya. Aku memang akan mengancam Ki Tumenggung. Jika Ki Tumenggung tetap tidak mau bekerja sama, maka aku akan membuka rahasia Ki Tumenggung."
"Rahasia apa" Aku tidak mempunyai rahasia apa-apa."
"Jangan memperbodoh orang Ki.Tumenggung. Rencanamu untuk tetap menimbulkan kekacauan dengan Paranganom tentu tidak disetujui oleh Kangjeng Adipati. Karena itu, jika Kangjeng Adipati mengetahui, maka kau tentu akan dihukum berat, karena yang kau lakukan ini akan dapat merendahkan nama Kangjeng Adipati."
"Jadi Raden akan melaporkan rencanaku kepada Kangjeng Adipati?"
"Jika Ki Tumenggung tidak mau bekerja sama."
"Raden tentu tidak akan berani melakukannya."
"Kenapa aku tidak berani melakukannya" Aku akan mohon waktu untuk menghadap. Karena Kangjeng Adipati mempunyai persoalan khusus dengan kangmbok Prawirayuda, aku tentu akan diterima. Bahkan segera pada saat aku mengajukan permohonan. Kangjeng Adipati tentu mengira bahwa persoalannya menyangkut kangmbok Prawirayuda. Tetapi setelah aku menghadap, aku akan mengatakan bahwa ternyata Ki Tumenggung Reksadrana tidak tunduk kepada perintah Kangjeng Adipati. Ternyata Ki Tumenggung masih tetap berusaha untuk membuat kericuhan di Paranganom. Nah, saat itu juga Kangjeng Adipati akan memanggil Ki Tumenggung. Jika Ki Tumenggung menolak, maka Ki Tumenggung akan ditangkap. Jika tidak ada prajurit yang berani menangkap Ki Tumenggung, maka akulah yang akan mohon diperintahkan melakukannya dengan sekelompok prajurit pilihan. Ki Tumenggung akan diadili oleh Kangjeng Adipati pribadi. Ki Tumenggung akan dihukum gantung di alun-alun. Atau setidak-tidaknya Ki Tumenggung akan dihukum kerja paksa seumur hidup. Kaki Ki Tumenggung akan diikat dengan rantai bersama-sama dengan para gegedug kecu, brandal, begal dan sebagainya."
Namun tiba-tiba saja Ki Tumenggung itu tertawa berkepanjangan, sehingga Raden Wicitra menjadi terheran-heran. Bahkan Sura Branggahpun memandanginya dengan mulut ternganga.
" Ada apa dengan Ki Tumenggung?" bertanya Sura Branggah didalam hatinya.
Namun sebenarnyalah bahwa Sura Branggah sendiri menjadi cemas. Jika Raden Wicitra benar-benar melaporkan-nya kepada Kangjeng Adipati, maka bukan hanya Ki Tumenggung yang ditangkap. Tetapi tentu dirinya juga akan ditangkap. Di gantung di alun-alun atau dihukum dengan kerja paksa seumur hidup.
Sura Branggah tidak akan merasa ngeri bercampur dengan para gegedug brandal, kecu dan begal, karena namanya cukup dikenal dan ditakuti. Tetapi Sura Branggah membayangkan bahwa sepanjang umumya ia tidak akan melihat lagi ramainya pasar Kliwon. Lezatnya nasi tumpang dengan telur pindang. Ia tidak lagi dikerubuti perempuan-perempuan cantik yang haus keping-keping uang yang dibawanya atau berbagai perhiasan emas dan permata hasil rampokannya.
Baru sejenak kemudian suara tertawa Ki Tumenggung itu mereda. Disela-sela suara tertawanya yang masih tersisa, iapun berkata"Raden memang jenis seorang pengkhianat. Seorang yang suka memfitnah."
"Ini bukan fitnah. Bukankah yang terjadi sebenarnya memang demikian?"
"Baik, baik Raden. Yang terjadi sebenarnya memang demikian. Tetapi bukankah aku juga berhak untuk memberikan laporan kepada Kangjeng Adipati?"
"Apa yang akan kau laporkan?"
Ki Tumenggung memandangi wajah Raden Wicitra yang tegang sambil tersenyum-senyum. Katanya"Raden. Sudah ada berapa macam benda-benda berharga di keputren yang Raden curi. Ketika Raden Ayu Prawirayuda masih tinggal di istana, jika Raden datang mengunjunginya, maka sepularig Raden dari keputren, Raden langsung pergi ke tukang tadah barang-barang berharga yang Raden curi dari keputren." .
"Bohong. Kalau ini benar-benar fitnah" Raden Wicitra hampir berteriak sambil bangkit dari tempat duduknya"apa maksud Ki Tumenggung dengan fitnah itu?"
"Jadi menurut Raden, apa yang aku katakan ini fitnah?"
" Ya." "Raden kenal dengan Ki Citraprana, saudagar barang-barang kuno yang mempunyai nilai yang tinggi itu?"
"Apakah jika aku mengenalnya berani aku menjual barang-barang curian kepadanya?"
"Aku akan menangkap Ki Citraprana. Aku masih mempuyai wewenang sekarang ini, sebelum aku di rantai di penjara karena pengkhianatan Raden. Aku akan memaksanya berbicara dan berusaha menemukan bukti-bukti benda-benda berharga yang sekarang masih ada di rumahnya."
Wajah Raden Wicitra menjadi pucat. Katanya" Kenapa kau menjadi dengki kepadaku" Itu adalah persoalanku dengan kangmbok Prawirayuda."
"Benda-benda yang, kau curi bukan milik Raden Ayu Prawirayuda. Tetapi milik Kangjeng Adipati. Nah, percaya atau tidak percaya, sekarang aku tahu, bahwa Raden sering mencuri di kadipaten. Jika aku mendorongnya dengan ujung jari kelingkingku saja, maka Kangjeng Adipati tentu akan menangkap Raden. Apalagi sekarang Raden Ayu Prawirayuda, kakang perempuan Raden yang dapat sedikit memberikan perlindungan kepada Raden itu sudah tidak ada di kadipaten."
"Setan kau Tumenggung Reksadrana. Kaulah yang mempunyai tampang seorang penghianat."
"Bukan hanya aku. Tetapi kita berdua. Kau dan aku sama-sama orang-orang licik. Bendanya aku adalah seorang yang cerdik. Sedangkan Raden adalah seorang pencuri yang bodoh."
"Cukup." "Raden tidak usah berteriak. Sebaiknya Raden sekarang keluar dari rumahku.
"Persetan kau Ki Tumenggung. Kau akan menyesali sikapmu ini."
"Kalau aku memang harus menyesal, biarlah aku menyesal."
Wajah Raden Wicitra menjadi merah bagaikan membara. Namun betapapun kemarahannya membakar jantungnya, tetapi ia tidak dapat berbuat banyak. Di rumah itu ada Sura Branggah. Jika ia berselisih dan bahkan kemudian harus berkelahi melawan Ki Tumenggung, maka Sura Branggah tidak akan tinggal diam. Iapun akan ikut melibatkan diri dan bahkan mungkin Sura Branggahlah yang akan membunuhnya dan kemudian melemparkan mayatnya di sungai sebelah. Baru besok orang-orang yang turun ke kali menemukan mayatnya itu.
Karena itu, maka dengan serta-merta Raden Wicitrapun meninggalkan rumah itu sambil bergeramang" Persoalan kita belum tuntas, Ki Tumenggung."
Namun yang menyahut adalah Sura Branggah"Kaulah yang tidak lumrah, Raden. Gadis puteri Raden Ayu itu adalah kemanakan Raden sendiri. Kenapa Raden akan memaksa untuk mengambilnya sebagai istri."
"Diam kau perampok buruk."
Sura Branggah tertawa. Katanya"Seorang perampok masih memerlukan keberanian untuk menjalankan pekerjaannya. Tetapi tidak bagi seorang pencuri. Ia mengambil justru pada saat pemiliknya lengah dan tidak melihatnya."
"Seorang pencuri jauh lebih berharga dari seorang perampok. Seorang pencuri harus memiliki ketrampilan yang tinggi. Selebihnya seorang pencuri adalah orang-orang yang lembut hati yang tidak menginginkan kekerasan, sehingga memungkinkan untuk jatuh korban. Seorang pencuri melakukan kekerasan hanya pada saat-saat ia tersudut. Karena itu, jika pada saatnya aku tersudut, maka aku juga akan melakukan kekerasan."
"Kenapa tidak kau lakukan Raden" Apakah sekarang Raden belum tersudut?" bertanya Sura Branggah.
Kemarahan Raden Wicitra benar-benar telah membakar dadanya. Tetapi Raden Wicitra tidak dapat mengingkari kenyataan, bahwa ia memang agak merasa ngeri karena di rumah itu ada Ki Tumenggung Reksadrana serta Sura Branggah.
Karena itu, maka Raden Wicitra itupun segera meninggalkan rumah itu.
Ketika ia keluar dari pintu pringgitan, ia masih mendengar suara tertawa berkepanjangan. Agaknya Ki Tumenggung Reksadrana dan Sura Branggah masih saja mentertawakannya.
Raden Wicitra ternyata tidak mampu lagi menahan kemarahannya yang menggelegak. Karena itu, demikian ia turun ke halaman, maka iapun segera meraih batu sebesar kepalan tangannya.
Sejenak ia termangu-mangu. Tetapi suara tertawa yang lamat-lamat di ruang dalam Ki Tumenggung itu masih memanaskan darahnya.
Karena itu, maka Raden Wicitra itu telah melemparkan batu sebesar kepalan tangannya itu ke atap rumah Ki Tumenggung.
Ki Tumenggung terkejut. Bersama Sura Branggah merekapun berlari keluar. Tetapi Raden Wicitra telah hilang dibalik pintu regol rumah Ki Tumenggung Reksadrana.
"Gila orang itu" geram Ki Tumenggung.
"Ternyata tingkahnya masih seperti kanak-kanak. Ia hanya berani melemparkan batu ke atas rumah."
"Bukan itu yang aku pikirkan. Bahwa ia melemparkan batu itu adalah pertanda Wicitra hampir menjadi gila oleh kemarahannya. Karena itu, maka ia akan dapat berbuat apa saja untuk menghancurkan kita kelak."
"Jika demikian, maka orang itu sangat berbahaya Ki Tumenggung."
"Ya. Orang itu sangat berbahaya."
"Jika demikian, kenapa orang itu tidak dilenyapkan saja
"Aku masih berpikir, bahwa ia akan dapat kita manfaatkan, Ia akan dapat menjadi sasaran tuduhan pembunuhan alas para Senapati di rumah Raden Ayu Prawirayuda justru karena Wicitra itu menjadi gila untuk mengambil kemanakannya sendiri menjadi isterinya."
"Kenapa Ki Tumenggung menolak bekerja bersama?"
"Orang itu tentu berpikir seperti yang aku pikirkan. Ia berharap bahwa kitalah yang dituduh membunuh para Senapati di rumah itu untuk memberikan kesan kekacauan di Paranganom. Tetapi jika benar demikian, maka Kangjeng Adipati Yudapati sendiri yang akan menghabisi kita"
"Lalu apa yang sebaiknya kita lakukan?"
"Aku memang ragu-ragu."
"Jika demikian, kita lenyapkan saja orang itu. Habis perkara."
"Kau akan melakukannya?"
"Mumpung belum jauh, Ki Tumenggung."
"Terserah saja kepadamu."
"Baik. Aku akan menyusulnya. Lidah orang itu tentu sangat berbisa."
Ki Tumenggung mengangguk sambil berkata"Berhati-hatilah. Orang itu tentu licik licin dan tidak tahu malu. Ia akan dapat berbuat apa saja."
"Baik, Ki Tumenggung."
Sura Branggah itupun kemudian telah turun pula ke halaman. Dengan cepat ia keluar dari regol halaman menyusul Raden Wicitra yang telah menyusup kedalam kegelapan.
Namun Sura Branggah sudah menduga, kemana Raden Wicitra itu akan pergi. Raden Wicitra itu mempunyai seorang selir yang tinggal di padukuhan sebelah berantara dua bulak yang tidak terlalu panjang.
"Aku harus menyusulnya pada saat Raden Wicitra berada di bulak yang kedua itu lebih panjang sehingga jaraknya dari padukuhan disebelah menyebelah tidak terlalu dekat. Seandainya Raden Wicitra itu berteriak, suaranya tidak akan terdengar dari padukuhan.
Sebenarnya Sura Branggah sudah dapat melihat sosok Raden Wicitra sesaat sebelum ia memasuki padukuhan. Tetapi Sura Branggah membiarkannya saja. Dengan hati-hati ia terus mengikutinya sampai Raden Wicitra itu muncul dari gerbang padukuhan di sebelah lain dan memasuki bulak yang lebih panjang.
Ketika Raden Wicitra sampai di tengah-tengah bulak, maka Sura Branggahpun mempercepat langkahnya, sehingga jaraknyapun menjadi semakin dekat.
"Kenapa tergesa-gesa Raden" sapa Sura Branggah ketika Raden Wicitra sampai di simpang empat di tengah tengah bulak itu.
Raden Wicitra terkejut. Iapun segera berhenti dan memutar tubuhnya.
Dalam keremangan malam Raden Wicitra itu melihat Sura Branggah berdiri beberapa langkah di hadapannya.
"Sura Branggah" desis Raden Wicitra.
"Ya. Raden." "Apakah kau menyusulku atau kau memang akan pergi searah dengan aku?"
"Aku memang sengaja menyusul Raden."
"Apakah ada pesan dari Ki Tumenggung."
"Tidak Raden. Tidak ada pesan apa-apa."
"Jadi?" "Keperluanku sendiri."
"Keperluanmu sendiri.?"
"Ya" "Keperluan apa?"
"Aku ingin membunuh Raden."
"He?"Raden Wicitra terkejut sehingga sesaat ia tidak dapat berbicara apa-apa.
"Jangan menyesali nasib burukmu Raden. Kau merupakan ancaman bagi kami. Maksudku Ki Tumenggung Reksadrana serta aku dan gerombolanku yang baru akan aku susun kembali."
"Kenapa aku kau anggap ancaman bagimu dan Ki Tumenggung?"
"Lidah Raden itu sangat tajam dan bahkan beracun. Karena itu, untuk mengamankan diri, Ki Tumenggung dan aku menganggap lebih baik jika Raden ditiadakan saja sehingga tidak akan mungkin dapat memfttnah kami. Tentang para Senapati di rumah Raden Ayu Prawirayuda itu jangan dicemaskan. Kami akan membunuh mereka semuanya. Sayang bahwa seorang diantara mereka sudah mati."
|"Nampaknya kau dan Ki Tumenggung Reksadrana sudah gila. Kau kira dengan membunuh aku, kalian dapat melakukan rencana kalian dengan baik" Sura Branggah. Ada atau tidak ada, aku tidak akan mempengaruhi rencanamu yang kau susun dengan Ki Tumenggung Reksadrana."
"Kau tidak dapat membela diri lagi Raden. Sekarang sudah saatnya kau mati. Karena itu, kau harus mengikhlaskan nyawamu."
Jantung Wicitra terasa berdegup semakin keras. Kemarahannya kepada Ki Tumenggung Reksadrana dan Sura Branggah masih belum mengendap. Kini Sura Branggah itu telah menantangnya.
Karena itu, maka Raden Wicitra itupun berkata" Sura Branggah. Jangan meremehkan orang lain. Kau kira aku silau melihat tampangmu serta gemetar mendengar namamu. Jika kau menang ingin menantangku, baiklah. Aku juga laki-laki seperti kau. Kau kira akan takut menghadapimu?"
"Aku tidak mengira bahwa Raden akan menjadi ketakutan Aku tahu bahwa Raden tentu akan menerima tantanganku.
"Bagus Sura Branggah. Jika demikian, kau akan aku yang akan mati disini."
Sura Branggah tertawa pendek. Katanya"Jika memang demikian, bersiaplah Raden. Aku datang untuk membunuhmu. Hanya jika kau berhasil membunuhku sajalah maka kau akan selamat. Tetapi jika kau tidak berhasil membunuhku, maka kaulah yang akan mati."
"Kita sama-sama laki-laki Sura Branggah. Meskipun kau pemimpin brandal yang namamu menakuikan, tetapi jangan bermimpi akan dapat mengalahkan aku."
"Bersiaplah untuk mati Raden." /
Raden Wicitra menggeram. Namun iapun segera mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan.
Sura Branggahpun segera meloncat menyerang. Tanganya terjulur menggapai kearah dada. Namun Raden Wicitra menangkis sambil meloncat kesamping.
Dernikdanlah, maka keduanyapun segera terlibat dalam pertempuran yang sengit. Ternyata tidak seperti yang diduga oleh Sura Branggah, bahwa Raden Wicitra akan dapat dengan mudah dikalahkannya. Tetapi ternyata bahwa Raden Wicitra juga seorang yang tangkas.
Raden Wicitra tidak hanya sekedar mampu mengelak dan berloncatan surut. Tetapi dengan garang Raden Wicitrapun telah membalas menyerang.
Dengan demikian, maka telah terjadi benturan-benturan antara dua kekuatan yang ternyata seimbang Sehingga keduanya berganti-ganti harus bergeser surut.
"Ternyata orang ini juga mempunyai kemampuan yang tinggi" berkata Sura Branggah didalam hatinya.
Sementara itu, Raden Wicitrapun harus mengakui kenyataan yang dihadapinya, bahwa Sura Branggah memiliki kekuatan yang besar serta ketahanan tubuh yang tinggi.
Dengan demikian pertempuran ini semakin menjadi semakin seru. Keduanya saling menyerang dengan mengerahkan segenap tenaga dan kemumpuan mereka
Ketika kaki Raden Wicitra itu menyambar dada Sura Branggah, maka Sura Branggahpun telah terdorong beberapa langkah surut. Dengan cepat Raden Wicitra memburunya. Dengan loneatan panjang, maka sekuli lagi kaki Raden Wicitra terayun rnendatar, justru menyambar kening Sura Branggah.
Sura Branggah tidak mampu lagi mempertahankan keseimbangannya. Tubuhnyapuh terlempai dan terguling jatuh menimpa tanggul parit.
Tetapi dengan cepat Sura Branggah melenting bangkit. Ketika Raden Wicitra meloncat mendekatinya, Sura Branggahlah justru menyongsongnya. Sura Branggahlah yang mendahului menyerang Raden Wicitra. Tangannya tetap menghantam perut.
Raden Wicitra mengaduh tertahan. Diluar sadarnya Raden Wicitra itu membongkok sambil memegangi perutnya dengan kedua belah tangannya.
Pada saat itu Sura Branggah dengan cepat menekan kepala Raden Wicitra serta membentumya dengan lututnya.
Sekali lagi Raden Wicitra mengaduh. Tetapi ia tidak membiarkan kepalanya sekali lagi dibenturkan ke lutut Sura Branggah. Karena itu, maka iapun segera menggeliat. Raden Wicitra justru telah menjatuhkan dirinya berguling beberapa kali untuk mengambil jarak.
Sura Branggah yang marah dengan cepat meloncat menerkam. Kedua tangannya terjulur Turus menggapai leher Raden Wicitra.
Tetapi tubuh Sura Branggah justru menerpa kedua kaki Raden Wicitra yang merapat. Ketika kedua kaki itu dihentakkannya, maka Sura Branggah telah teriempar beberapa langkah. Sekali lagi Sura Branggah terpelanting jatuh menimpa tanggul parit.
Sekejap kemudian, keduanya telah meloncat bangkit berdiri dan bersiap menghadapi segala kemungkinan.
Keduanyapun kemudian bergeser beberapa langkah. Kepala Raden Wicitra yang terantuk lutut Sura Branggah masih terasa pening. Perutnyapun masih mual. Sementara itu, punggung Sura Branggahpun terasa nyeri setelah dua kali menimpa tanggul parit di pinggir jalan.
Namun keduanya berusaha untuk mengatasinya dengan mengerahkan daya tahan masing-masing.
"Tubuhmu liat juga Raden" geram Sura Branggah.
"Setan kau Sura Branggah. Ternyata tulang-tulangmu liat juga. Tetapi jangan mirnpi kau dapat keluar dengan selamat. Besok orang-orang yang lewat akan menemukan tubuh gegedug brandal yang ditakuti itu terbaring di simpang empat ini. Tetapi itu sudah nasibmu. Kau sendirilah yang datang kepadaku untuk mengantarkan nyawamu."
"Mulutmu sajalah yang besar Raden. Tetapi tenagamu tidak lebih besar dari tenaga seorang pepempuan tua sakit-sakitan."
"Tetapi kau tidak dapat menahannya. Dengan mudah aku melemparkanmu menghantam tanggul parti itu.
Sura Branggah tidak menjawab lagi, Dengan garangnya Sura Branggah telah meloncat menyerang
Pertempuran diantara keduanya segera menyala lagi. Keduanya berloncatan dengan cepat, melingkar lingkar di gelapnya malam. Mereka saling menyerang dan saling menghindar. Benturan-benturan terjadi semakin sering. Serangan-seranganpun semakin sering pula mengenai sasarannya.
Setelah mengerahkan tenaga dan kemampuan mereka beberapa lama, maka nafas merekapun mulai memburu di lubang hidung mereka. Keringatpun bagaikan diperas dari tubuh mereka. Pakaian mereka telah basah kuyup dilekati debu yang semakin tebal.
Namun tidak segera dapat diketahui, siapakah yang akan memenangkan pertempuran itu.
Akhimya Wicitra merasa bahwa tidak ada gunanya untuk bertempur terus. Wicitrapun meragukan kemampuannya sendiri untuk dapat mengalahkan Sura Branggah yang bertempur semakin kasar. Dan bahkan menjadi buas dan liar.
Meskipun demikian, Wicitrapun meragukan kemampuan Sura Branggah, bahwa ia akan dapat mengalahkannya.
Sebenarnyalah, bahwa beberapa saat kemudian, tenaga merekapun telah menjadi semakin menyusut. Ketika Sura Branggah terpelanting jatuh, maka ia memerlukan waktu beberapa saat untuk bangkit. Tetapi Wicitrapun tidak mampu lagi untuk mendekatinya dengan cepat untuk menyerang pada saat Sura Branggah bangkit dan belum bersiap menghadapi serangannya.
Namun Wicitrapun terdorong jatuh dan terjerembab ke dalam parit yang mengalir ketika serangannya tidak mengenai sasaran. Bahkan Sura Branggah sempat mendorongnya dengan sisa tenaganya.
Ketika Wicitra itu kemudian bangkit. maka iapun berkata"Tidak ada gunanya perkelahian ini diteruskan. Aku akan pergi. Pada kesempatan Iain, aku akan menikammu dengan kerisku ini."
Sura Branggah termangu-mangu sejenak. Sura Branggah melihat keris di tangan Raden Wicitra. Karena itu. maka iapun telah menarik pisau belatinya.
Tetapi Raden Wicitra itu tidak meiiyerangnya. Tertatih-tatih Raden Wicitra itu justru melangkah menjauh samhil berkata"Kita cari kesempatan yang lebih baik. Sura Branggah. Aku akan benar-benar membunuhmu."
"Kenapa tidak kita selesaikan sekarang saja Raden ." geram Sura Branggah.
"Tanganmu tidak lagi kuat menekankan pisaumu itu didadaku. Akupun sudah kehabisan tenaga untuk menikam jantungmu. Aku menyesal bahwa aku terlambat menarik kerisku."
"Aku akan menunggu, Raden."
"Bagus. Kapanpun saatnya kita akan menyelesaikan persoalan diantara kita ini. Setelah aku membunuhmu, maka aku akan membunuh Ki Tumenggung Reksadrana yang tamak itu."
"Persetan dengan celotehmu itu."
Raden Wicitrapun kemudian dengan langkah gontai meninggalkan simpang empat di bulak panjang itu. Sementara Sura Branggahpun tidak mengejarnya. Sura Branggah sendiri sudah merasa kehabisan tenaga, Sehingga seandainya mereka bertempur terus, maka mereka tentu hanya akan saling melukai. Tubuh mereka akan terkapar di simpang ampat itu. Jika besok mereka diketemukan oleh orang lewat, maka mereka ternyata masih belum mati.
"Ternyata anak iblis itu mampu mempertahankan hidupnya" geram Sura Branggah.
Sementara itu, Raden Wicitrapun melangkah semakin lama semakin jauh menusuk masuk ke dalam gelapnya malam.
Sejenak kemudian, simpang empat itu sudah menjadi lengang. Sura Branggah masih berada di simpang empat itu, duduk katas tanggul parit yang basah.
Namun sejenak kemudian, Sura Branggah yang letih itupun bangkit berdiri. Kakinya terasa menjadi sangat berat ketika ia melangkah untuk kembali ke rumah Ki Tumenggung Reksadrana.
Di dini hari, Sura Branggah itu telah berada di rumah Ki Tumenggung Reksadrana. Sura Branggah duduk di lantai. Di bawah cahaya lampu minyak ia melihat noda-noda darah pada pakaiannya.
Ternyata di tubuhnya terdapat goresan-goresan luka. Ketika ia terjatuh menimpa tanggul parit serta beberapa kali tubuhnya terdorong dan tersandar pada pohon turi yang tumbuh di pinggir jalan, agaknya batu-batu padas, serta kulit batang turi yang kasar itu telah melukai kulilnya.
Ki Tumenggung Reksadrana yang berjalan hilir mudik diruang itu dengan geram bertanya"Jadi kau gagal membunuh iblis yang lidahnya bercabang itu?"
"Aku mohon maaf, Ki Tumenggung. Ternyata nyawa Raden Wicitra itu liat juga. Ia mampu mempertahankan diri untuk beberapa lama sebelum ia meninggalkan arena pertempuran."
"Kau tidak mengejarnya?"
"Aku sendiri hampir kehabisan tenaga, Ki Tumenggung. Jika aku mengejarnya dan perkelahian itu berlanjut, mungkin kami berdua akan pingsan di simpang empat itu. Jika tubuh kami berdua di temukan oleh orang lewat, maka tentu akan menjadi bahan pembicaraan yang panjang.
"Orang-orang akan mengira bahwa kau berusaha menyamun Raden Wicitra. Tetapi Raden Wicitra lelah melawan sehingga kalian berdua menjadi pingsan.
"Dengan demikian, aku akan dipenjara. dan bahkan akan timbul kesan, bahwa Kateguhanpun telah menjadi tidak aman seperti Paranganom
"Tetapi Wicitra itu tentu akan rrienyebai racun dengan lidahnya yang bercabang itu
"Tetapi sudah banyak orang yang mongenalnya sebagai iblis yang lidahnya bercabang, Ki Tumenggung,
"Kau sudah mulai Sura Branggah. Kau harus menyelesaikannya.
"Tentu Ki Tumenggung, Aku akan menyolesaikannya."
"Jangan terlalu lama."
"Ya. Tentu tidak terlalu lama. Tetapi bukan hari ini."
Ki Tumenggung itupun kemudian menggeran"Aku mau tidur. Terserah apakah kau akan tidur atau tidak."
"Aku akan tidur di lincak panjang diserambi itu saja Ki Tumenggung."
Disisa malam itu, Raden Wicitra telah mengetuk rumah seorang perempuan. Rumah perempuan yang memang menjadi tempat persinggahannya.
"Siapa diluar?" terdengar suara seorang perempuan bertanya dari dalam.
"Aku Nyi, Wicitra"
Raden Wicitra menarik nafas panjang, ketika ia menderigar langkah kaki ke pintu. Sejenak kemudian, maka pintu itupun telah terbuka.
Seorang perempuan berdiri termangu-mangu di belakang pintu yang terbuka itu.
Tertatih-tatih Raden Wicitra melangkah masuk.
"Raden, kenapa?" bertanya perempuan itu ketika ia melihat keadaan Wicitra yang wajahnya nampak pengab kebiru-biruan.
Setelah pintu itu ditutup kembali, maka perempuan itu telah menggandeng Raden Wicitra ke sebuah lincak panjang.. .
Raden Wicitra yang letih itupun segera duduk di lincak itu sambil berdesah.
"Tubuhku terasa sakit semuanya. Tulang-tulangku bagaikan menjadi retak. Isi rongga dadaku seakan-akan telah rontok berguguran"
"Kenapa" Raden telah berkelahi lagi memperebutkan puteri yang bernama Rantamsari itu?"
"Tidak." "Bohong. Raden tentu berkelahi lagi seperti beberapa waktu yang lalu. Waktu itu Raden datang sambil mengeluh. Raden minta aku memijit tubuh Raden yang terasa sakit. Tetapi Raden berbicara terus-menerus tentang perempuan yang bernama Rantamsari itu. Bukankah hatiku menjadi sakit"
"Kau tidak usah menjadi sakit hati. Aku tidak akan meninggalkanmu, meskipun aku akan menikah dengan Rantamsari kelak."
"Sekarang, dalam keadaan seperti ini, kenapa Raden tidak pergi saja ke rumah Rantamsari."
"Rantamsari rumahnya jauh sekali. Ia tinggal di Paranganom, sementara kita berada di Kateguhan."
"Sekarang Raden kemari mau apa?"
"Kau lihat keadaanku" Tolong, obali luka-lukaku. Aku juga memerlukan ganti pakaian. Bukankah ada pakaianku yang aku tinggalkan disini."
Perempuan itupun kemudian telah merawat Raden Wicitra. Ia telah merebus air untuk mandi. Kemudian menyediakan ganti pakaian serta menyiapkau minuman hangat.
Namun ketika ia menerima pakaian Wicitra yang kotor, yang basah oleh keringat dan dilekati debu yang tebal, maka yang pertama-tama dicarinya adalah uang di kantong baju itu.
Tetapi perempuan itu hanya.menemukan beberapa keping uang kecil saja, sehingga ia masih bernafsu untuk mendapatkan yang lebih banyak lagi.
Baru ketika Raden Wicitra tertidur setelah mandi air hangat, berganti pakaian dan minum minuman panas, perempuan itu sempat membuka kantong ikal pinggang Raden. Wicitra.
Di kantong ikat pinggang itu, ia menemukan uang lebih banyak lagi.
Demikianlah, maka dendam Raden Wicitra kepada Ki Tumenggung Reksadrana dan kepada Sura Branggahpun menjadi semakin dalam. Demikian pula sehaliknya, Ki Tumenggung Reksadrana dan Sura Branggahpun menjadi semakin benci kepada Raden Wicitra. Bagi Ki Tumenggung Reksadrana dan bagi Sura Branggah, RadenWicitra harus disingkirkan.
Namun demikian, baik Raden Wicitra maupun Ki Tumenggung tidak ada yang berani memberikan laporan kepada Kangjeng Adipati Yudapati tentang-kejahatan yang pernah mereka lakukan.
Mereka berniat membuat penyelesaian sendiri atas persoalan diantara mereka.
*** Dalam pada itu, di Paranganom, Wismaya melihat hubungan antara Raden Ajeng Rantamsari dan Sasangka menjadi semakin rapat. Bahkan Wismayapun pernah. menyampaikan persoalannya kepada Raden Madyasta. Tetapi Raden Madyasta sendiri merasa agak binguiig, apa yang harus dilakukannya.
"Sasangka sama sekali sudah tidak lagi. merasa malu, Raden" berkata Wismaya.
"Aku tidak tahu, apa yang sebaiknya aku lakukan, kakang."
"Mungkin kematian Rembana tidak ada hubungannya dengan Raden Ajeng Rantamsari, tetapi bukan berarti bahwa kemungkinan itu tidak ada sama sekali."
"Kakang Sasangka memang menimbulkan beberapa pertanyaan. Kadang-kadang aku merasa takut memikirkannya."
"Mungkin apa yang Raden tatkutkan itu, sama seperti yang aku takutkan pula."
"Apa yang kakang takutkan?"
"Pernah tersirat dalam pembicaraan kita sebelumnya, Raden. Tetapi kita masing-masing tidak mengatakannya dengan terbuka."
"Hubungan antara kematian kakang Rembana dengan apa yang dilakukan oleh Sasangka sekarang?"
"Ya, Raden." "Tegasnya, dugaan bahwa kakang Sasangkalah yang telah membunuh kakang Rembana?"
"Ya, Akupun menjadi curiga, karena sebelumnya Sasangka pernah memperingatkan Rembana agar tidak berhubungan terlalu rapat dengan Raden Ajeng Rantamsari.
"Tetapi waktu itu menurut kakang Wismaya, kakang Sasangka mengueapkan peringatannya dengan jujur. Maksudnya, kakang Sasangka benar-benar memperingatkan Rembana agar Rembana tidak menjadi sangat kecewa di kemudian hari. Hatinya tidak menjadi sangat pedih, jika Raden Ajeng Rantamsari itu tiba-tiba telah direnggut dari sisihnya."
" Ya. Menurut tanggapanku waktu itu memang demikian, Raden. Tetapi apa yang terjadi kemudian membuat aku menjadi ragu-ragu."
"Aku harus berhati-hati menghadapi persoalan ini, kakang."
"Raden. Bagaimana menurut pendapat Raden, jika Raden berusaha berdiri diantara Sasangka dan Raden Ajeng Rantamsari?"
"Aku tidak dapat melakukannya, kakang. Nanti akan dapat timbul salah paham pada bibi."
"Raden akan berterus-lerang mengatakan kepada Raden Ayu Prawirayuda.
"Raden Madyasta menarik nafas panjang. Selama ini bibinya bersikap amat baik kepadanya. Apalagi menurut ayahandanya, Kangjeng Adipati Prangkusuma dan Paranganom, bibinya pernah berniat untuk menempatkan Raden Ajeng Rantamsari disisi Kangjeng Adipati Yudapati di Kateguhan. Padahal menurut penglihatan orang orang Keteguhan, Raden Ajeng Rantamsari adalah adik Kangjeng Adipati Yudapati, meskipun sebenarnya hanyalah adik tiri yang berbeda ayah dan ibu.
Karena Raden Madyasta tidak segera menjawab, Wismaya itupun bertanya pula"Bagaimana menurut Raden?"
Raden Madyasta masih termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun justru bertanya"Bagaimana menurut tanggapan kakang Wismaya terhadap sikap bibi Prawirayuda" Nampaknya bibi sama sekali tidak menaruh keberatan."
"Pada saat Raden Ajeng Rantamsari berhubungan dengan Rembaria, Raden Ayu Prawirayuda juga tidak berusaha mencegahnya."
"Seharusnya bibi tidak membiarkan kangmbok Rantamsari bersikap seperti itu."
Wismaya terdiam. Sementara Raden Madyasta itu berkata didalam hatinya"Mungkin bibi merasa sangat kecewa, bahwa kakangmas Adipati Yudapati telah menolaknya, sehingga akhirnya bibi justru menjadi tidak peduli lagi atas apa yang dilakukan oleh kangmbok Rantamsari dalam hubungannya dengan seorang laki-laki. Tetapi jika itu benar, maka malanglah nasib kangmbok Rantamsari."
Dengan demikian maka keduanya tidak menemukan kesimpulan apa-apa yang akan dapat mereka sampaikan kepada Sasangka. Sehingga untuk sementara baik Wismaya maupun Raden Madyasta masih akan tetap berdiam diri.
Dalam pada itu, Raden Madyastapun telah teringat akan dirinya sendiri yang telah menjalin hubungan dengan anak perempuan Ki Demang Panjer. Ayahandanya masih tetap berpegang kepada ajaran orang-orang tua, bahwa keturunan akan memegang peran penting dalam kehidupan rumah tangga. Sebagai putera seorang Adipati, maka tidak sepatutnya, ia mengambil anak perempuan Demang Panjer itu untuk menjadi sisihannya.
"Jika pada saatnya, seandainya hubungan Sasangka dan kangmbok Rantamsari dapat diterima oleh bibi Prawirayuda, sehingga kemudian disampaikan kepada ayahanda, aku tidak yakin, bahwa ayahanda akan menyetujuinya. Ayahanda tentu menghendaki, bahwa kangmbok Rantamsari mendapat jodoh seorang yang mempunyai derajad yang setidak-tidaknya tidak berada pada lapisan yang terlalu jauh dari kangmbok Rantamsari sendiri. Bukan hanya sekedar seorang Senapati kecil yang masih berpangkat Lurah Prajurit" berkata Raden Madyasta didalam hatinya.
Sebenarnyalah, dari hari ke hari hubungan Sasangka dengan Raden Ajeng Rantamsari menjadi semakin dekat. Sementara itu, Raden Ayu Prawirayuda memang tidak berusaha mencegahnya. Hanya setiap kali Raden Ayu sempat memperhatikan tingkah laku puterinya itu dari bilik pintu butulan yang sedikit terbuka, Raden Ajeng Rantamsari duduk bersama Sasangka di longkangan atau di halaman belakang.
Sekali-sekali Raden Ayu memang memanggil puterinya. Tetapi karena Raden Ayu menjadi kesal, bahwa Raden Ajeng Rantamsari seakan-akan melupakan kain yang sedang dibatiknya
"Kapan kainmu itu selesai Rantamsari?" bertanya ibunya.
"Aku sedang letih ibu."
"Apa yang kau lakukan, sehingga kau menjadi letih"
"Mungkin aku sedang tidak enak badan. Udara terasa terlalu panas, sehingga rasa-rasanya aku lebih senang duduk di taman atau di bawah pepohonan di halaman belakang."
"Tetapi kainmu itu jangan dilupakan Rantamsari. Setiap hari, meskipun hanya sedikit, sebaiknya kau coret kainmu itu. Jika kelak kain itu sudah siap, maka kau akan dengan bangga mengenakannya, karena kain itu kau batik sendiri." Raden Ajeng Rantamsari yang menjadi muram itu menjawab"Aku akan mengerjakannya malam nanti; ibu."
"Jangan terlalu sering mengerjakan di malam hari. Terangnya lampu minyak dan terangnya cahaya matahari itu berbeda, Rantamsari."
"Baiklah, ibu. Besok aku akan mulai membatik di pagi hari."
"Kenapa besok?"
"Hari ini aku akan beristirahat. Hari ini aku tidak akan mengerjakan apa-apa."
Raden Ayu Prawirayuda hanya dapat menarik nafas panjang. Sementara itu, Raden Ajeng Rantamsaripun segera meninggalkannya.
Selain kegelisahan yang timbul karena hubungan Sasangka dengan Raden Ajeng Rantamsari, maka agaknya tidak pernah lagi terjadi gangguan di rumah Raden Ayu Prawirayuda. Raden Wicitrapun tidak pernah datang lagi mengganggu kemanakannya.
Meskipun demikian, Raden Madyasta masih saja ragu-ragu untuk meninggalkan rumah bibinya untuk pergi ke Panjer. Jika pada saat ia pergi terjadi sesuatu di rumah itu, maka ayahandanya tentu akan menjadi sangat marah kepadanya"
Yang dapat dilakukan oleh Raden Madyasta jika ia merasa jemu berada di rumah bibinya, maka iapun minta diri untuk pulang ke kadipaten. Tetapi tidak terlalu lama ia harus sudah berada di rumah bibinya lagi. Di kadipaten Madyasta dapat bermain-main kuda bersama Raden Wignyana, seorang penggemar kuda. Tetapi ketika ia sudah berada di rumah bibinya lagi, maka ia akan berada dalam suasana yang tegang. Bukan saja karena setiap saat akan dapat muncul orang-orang yang berniat jahat, tetapi juga karena hubungan antara Sasangka dan Raden Ajeng Rantamsari yang mendebarkan itu.
Namun Raden Madyasta masih juga merasa heran, bahwa bibinya, Raden Ayu Prawirayuda tidak berbuat apa-apa Raden Ayu Prawirayuda itu seakan-akan tidak mengetahui, bahwa Raden Ajeng Rantamsari sudah tenggelam dalam mimpinya
"Raden" berkata Wismaya yang menjadi semakin tegang" apakah kita masih akan tetap berdiam diri" Sasangka telah melampaui batas tugasnya. Jika pada suatu saat, Raden Ajeng Rantamsari itu di renggut dari sampingnya karena berbagai macam alasan, maka Sasangka akan dapat menjadi gila."
"Baiklah, kakang. Biarlah besok aku berbicara dengan kakang Sasangka. Aku juga merasa bertanggung jawab jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan disini, justru oleh .prajurit Paranganom sendiri. Sekarang, selagi masih ada kesempatan, aku harus mencegahnya."


Meraba Matahari Karya S H. Mintarja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Raden dapat membawa perintah dari Kangjeng Adipati, bahwa Sasangka dipindahkan dari tugasnya yang sekarang. Agar tidak terlalu melukai hatinya, maka sebaiknya kita bersama-sama digeser dari tugas kita ini dan digantikan dengan orang-orang baru sama sekali, namun yang dapat dipercaya."
"Tetapi sebelumnya, aku akan berterus-terang, kakang. Mungkin kakang Sasangka akan menjadi kecewa atau bahkan marah kepadaku. Mungkin kakang Sasangka akan menjadi salah sangka. Mungkin kakang Sasangka mengira, bahwa aku sendiri menginginkan kangmbok Rantamsari sehingga aku berusaha memisahkannya gadis itu. Dalam keadaan yang demikian, maka aku akan mempergunakan kuasaku sebagai putera Adipati Paranganom yang diserahi memimpin para Senapati yang beriugas disini.
Namun yang akan menyulitkan adalah jika bibi justru menginginkan hubungan itu berlanjut."
"Jika demikian, segala sesuatunya terserah saja kepada Raden Ayu Prawirayuda. Kita memang tidak akan dapat mencampurinya."
Raden Madyasta mengangguk-angguk.
Dalam pada itu, suasana di rumah Raden Ayu Prawirayuda itu terasa agak berbeda dengan hari-hari sebelumnya. Terasa sekat yang membatasi hubungan antara Wismaya dan Sasangka menjadi semakin tegal. Keduanya tidak banyak lagi berbicara, sehingga seakan-akan diantara keduanya telah timbul persoalan yang gawat. Sementara itu Raden Madyasta juga membatasi dirinya. Iapun tidak banyak berbicara, baik dengan Sasangka niaupun dengan Wismaya.
Ketika kemudian malam turun, maka Raden Madyasta itupun berkata kepada keduanya "Aku akan berada di serambi belakang, kakang. Sebaiknya salah seorang dari kakang berdua beristirahat saja dahulu, agar setelah lewat tengah malam ada diantara kita yang berjaga-jaga."
"Baik, Raden" jawab Sasangka "biarlah aku berjaga-jaga sekarang. Aku akan membangunkan Wismaya setelah lewat tengah malam nanti."
Sementara itu Wismaya menyahut "Raden sendiri juga haras beristirahat. Hampir setiap malam Raden berjaga-jaga semalam suntuk, sedangkan kami dapat membagi waktu."
Raden Madyasta tersenyum. Katanya Biarlah. Jika aku merasa letih dan mengantuk, aku akan tidur."
Sejenak kemudian, maka Raden Madyastapun telah meninggalkan serambi gandok. Sementara dengan tidak banyak berbicara lagi. Wismayapun masuk ke dalam biliknya di gandok.
Di serambi gandok Sasangka duduk sendiri. Dipandanginya daun pepohonan di halaman yang bergoyang di terpa angin malam yang basah.
Namun Sasangkapun kemudian bangkit berdiri dan turun ke halaman.
Terasa angin bertiup semakin keras. Ketika Sasangka kemudian menengadahkan wajahnya ke langit, maka dilihatnya langit gelap. Tidak ada sepercik bintangpun yang nampak. Bahkan sekali-sekali kilat mulai merebak. cahayanya memancar sekilas menyilaukan. Disusul oleh gelegar guruh yang bagaikan melingkar-lingkar menyusuri lereng-lereng pegunungan.
Sasangka menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya pintu bilik di gandok yang tertutup. Bilik yang satu berisi Wismaya. Sedangkan bilik yang lain kosong.
Sasangkapun kemudian melangkah menyusuri halaman depan rumah Raden Ayu Prawirayuda. Rumah yang terhitung besar itu berdiri bagaikan membeku. Meskipun angin bertiup semakin kencang, tetapi rumah itu sama sekali tidak tergoyahkan. Hanya nyala lampu minyak dipendapa yang terombang-ambing oleh hembusan angin.
Kilat masih sekali-sekali menyambar disusul oleh suara guruh yang menderu.
Ketika hujan turun, maka Sasangkapun telah berada di tangga pendapa. Terasa percikan air hujan yang dihembus angin mengusap ketubuhnya.
Dingin malam menjadi semakin dalam menusuk kulit.
Beberapa saat lamanya Sasangka berdiri di pendapa. Tiba-tiba saja ia merasa bertanggung jawab atas rumah itu.
Seakan-akan rumah itu adalah rumahnya sendiri. Rumahnya yang akan dihuninya bersama seorang perempuan yang bemama Rantamsari.
Sasangka itupun kemudian telah naik ke pendapa. Dipandanginya saka guru yang beridiri tegak menyangga atap pendapa rumah yang terhitung besar itu.
Pintu pringgitan yang tertutup, gebyok kayu yang tebal serta hiasan dinding yang serasi dengan warna kayu nangka yang sudah tua. Kuning kecoklat-coklatan.
Tiba-tiba saja Sasangka merasa wajib untuk mengelilingi rumah itu. Ia merasa bertanggung-jawab atas keselamatan seisi rumah itu, melampaui tanggung jawab seorang prajurit yang bertugas. Sasangka merasa seakan-akan ia sedang prajurit yang bertugas. Sasangka merasa seakan-akan ia sedang melindungi keluarganya sendiri dari kemungkinan buruk yang dapat terjadi setiap saat.
Hujanpun menjadi semakin lebat. Kilat menjadi semakin sering memancar di langit. Angin berhembus semakin kencang mengguncang pepohonan.
Diluar sadarnya, Sasangka memandang pintu bilik di gandok yang nampak dari pendapa. Pintu itu kedua-duanya masih tertutup rapat. Wismaya tertu masih berada di dalamnya. Bahkan orang itu sudah tertidur melingkar dibawah selimutnya yang kusut.
"Aku harus mengelilingi rumah ini" berkata Sasangka didalam hati "Raden Madyasta tentu duduk saja di serambi. Pemalas itu tentu segan turun ke dalam lebatnya htijan. Atau mungkin Raden Madyasta malah masuk ke dalam rumah, duduk-duduk sambil bergurau dengan Raden Ayu Prawirayuda dan Raden Ajeng Rantamsari sambil minum minuman hangat.
Jantung Sasangka bergetar. Di dalam hatinya ia berkata "Jika Raden Ajeng Rantamsari membuat mmuman hangat, seharusnya akulah yang dilayaninya. Bukan Raden Madyasta."
Tiba-tiba saja Sasangka itu ingin pergi ke serambi belakang.
Untuk beberapa saat ia masih mencoba menahan diri. Ia tidak dapat pergi ke serambi belakang melewati pintu pringgitan, masuk ke ruang dalam, kemudian lewat serambi samping sampai ke serambi belakang. Jika ia akan pergi ke serambi belakang, maka ia harus.melingkari rumah yang terhitung besar itu.
Tetapi ternyata Sasangka tidak dapat menahan dirinya lagi. Ada dorongan yang sangat kuat yang memaksanya untuk turun ke halaman meskipun hujan menjadi semakin lebat.
Sementara itu, ternyata Raden Madyasta juga tidak duduk saja di serambi. Hujan yang semakin lebat itu telah membuat hatinya menjadi tidak tenang. Ada sesuatu yang menggelitiknya, agar Raden Madyasta itu turun untuk melihat-lihat keadaan.
Dengan demikian maka Raden Madyastapun telah masuk ke dalam kegelapan, menyusuri dinding rumah. Dibawah emper yang tidak terlalu lebar Raden Madyasta bergeser ke arah longkangan..
Malam terasa sepi. Meskipun Raden Madyasta . menyusuri emperan rumah, namun pakaiannya masih juga menjadi basah.
Ketika Raden Madyasta itu berada di longkangan, dilihatnya longkangan itu sepi sekali. Lampu minyak di serambi samping agaknya telah padam oleh tiupan angin yang kencang.
Sejenak Raden Madyasta berdiri termangu-mangu. Namun sejenak kemudian, iapun mulai bergerak dalam kegelapan menuju ke seketeng. Ketika kilat menyambar di langit, Raden Madyasta melihat bahwa pintu seketeng itu sedikit terbuka.
"Apakah pintu itu lupa tidak ditutup?"
Dari longkangan Raden Madyasta melihat bilik tempat para pembantu di rumah itu yang berada disebelah dapur, sudah gelap. Agaknya para pembantu di rumah itupun sudah tertidur nyenyak.
Jantung Raden Madyasta terasa menjadi semakin berdebaran. Ia tidak tahu, apa yang telah menyebabkannya. Ia sudah beberapa lama berada di rumah bibinya. Ia sudah mengalami berkali-kali mengelilingi rumah itu di malam hari. Bahkan pada saat hujan yang lebat sekalipun seperti malam itu.
Raden Madyasta itu bergeser terus melekat dinding agar air hujan tidak tercurah langsung ke tubuhnya. Emperan diatasnya masih juga serba sedikit melindunginya dari hempasan air hujan yang seperti tertuang dari langit.
Tetapi untuk pergi ke seketeng maka Raden Madyasta tidak dapat menghindari curahan air hujan.
Berlari-lari kecil Raden Madyasta menuju ke seketeng. Meskipun jaraknya tidak terlalu panjang tetapi pakaian Raden Madyasta menjadi basah kuyup.
Namun demikian Raden Madyasta keluar dari pintu seketeng, ia menjadi sangat terkejut. Ia melihat sesosok tubuh yang menelungkup di tangga serambi gandok.
Dengan cepat Raden Madyasta itu berlari. Tanpa menghiraukan air hujan, maka Raden Madyastapun segera berjongkok di samping tubuh itu. Ketika ia menelentangkannya, maka sekali lagi Raden Madyasta terkejut, sehingga terasa jantungnya bagaikan berhenti berdetak.
"Kakang Sasangka" Raden Madyasta hampir berteriak.
"Raden" suara Sasangka lemah sekali.
"Kakang Wismaya. Kakang Wismaya" teriak Raden Madyasta.
Tetapi suaranya larut oleh deru derasnya hujan.
Raden Madyasta tidak meninggalkan Sasangka yang menjadi sangat lemah. Karena itu, maka Raden Madyastapun segera memungut sebuah batu sebesar telur. Dilemparkannya batu itu kepintu bilik Wismaya.
Derak batu yang mengenai pintu itu telah mengejutkan Wismaya yang memang sedang tidur nyenyak. Justru karena hujan yang deras sehingga dinginnya udara malam membuatnya semakin terlena
Dengan cepat Wismaya meloncat bangkit dari pembaringannya, la sempat menibenahi pakaiannya sejenak. Kemudian diraihnya keris yang tergolek di penibaringan nya.
Sejenak kemudian, maka pintu bilik itupun terbuka. Tetapi Wismaya tidak segera meloncat keluar. Peristiwa yang telah merenggut nyawa Rembana membuatnya berhati-hati.
Tetapi demikian pintu terbuka, maka didengarnya diantara deru air hujan suara memanggil "Kakang Wismaya. Kakang Wismaya."
Suara itu suara Raden Madyasta. Meskipun berbaur dengan hujan yang deras, namun Wismaya tetap dapat mengenalinya.
Karena itu, maka Wismayapun segera berlari ke tangga. Dengan serta merta iapun berjongkok pula disisi Sasangka.
"Sasangka" suara Wismayapun ditelan oleh deru air hujan. Dengan berteriak lebih keras lagi Wismaya itu bertanya" Apa yang terjadi dengan Sasangka Raden?"
Madyasta menempelkan mulutnya ke telinga Sasangka.
"Apa yang terjadi, kakang?"
Suara Sasangka menjadi semakin lemah. Tetapi Raden Madyasta dan Wismaya masih mendengarnya.
"Aku diserang dengan licik, Raden."
"Kakang tidak sempat membela diri sama sekali;?"
Sasangka menggelengkan kepalanya. Suaranya lemah sekali "Aku tidak menduganya. Tiba-tiba saja aku merasa tertusuk di lambungku" suaranya menjadi tersendat "ketika aku berpaling, aku tidak melihat apa-apa. Kemudian aku menjadi semakin lemah. Aku mencoba melangkah ke serambi."
"Kakang Wismaya" panggil tabib yang manapun juga untuk memberikan pertolongan, setidak-tidaknya pertolongan sementara kepada kakang Sasangka."
"Baik, Raden." Tetapi Sasangkapun berkata "Tidak ada gunanya, luka ini terlalu dalam dan darah sudah banyak yang mengalir "
"Kita harus berusaha" sahut Raden Madyasta" cepatlah kakang."
Tetapi ketika Wismaya bergeser, Sasangka itupun berdesis" Raden. Aku minta maaf bahwa aku tidak dapat menjalankan tugasku dengan baik."
"Kakang...." "Sasangka...." Nafas Sasangkapun terhenti. Sasangka telah tiada.
Terdengar gemeretak gigi Raden Madyasta. Iapun segera bangkit berdiri sambil menarik kerisnya. Sambil berdiri tegak dengan keris yang bergetar di tangannya Raden Madyasta itupun berteriak "He, jangan berbuat licik dan curang. Jika kau memang laki-laki sejati, keluarlah dari persembunyianmu. Kita akan berhadapan beradu dada. Jangan bersembunyi dan menyerang dari belakang. Itu bukan watak laki-laki."
Suara Raden Madyasta meninggi. Bahkan Raden Madyasta itupun kemudian berlari ke tengah tengah halaman. Ia masih saja berteriak-teriak dengan marahnya.
Namun tidak terdengar sahulan Yang terdengar masih saja deru air hujan.
Sementara itu Wismaya mengangkat tubuh Sasangka dan dibaringkannya di serambi gandok. Iapun kemudian mendatangi Raden Madyasta sambil berkata "Sudahlah Raden. Orang itu tidak akan menampakkan dirinya. Orang yang licik itu tidak akan tergelitik mendengar tantangan Raden. Karena itu, marilah. Kita rawat tubuh Sasangka. Kita memberitahukan kepada Raden Ayu Prawirayuda, bahwa bencana itu telah terjadi lagi. Setelah Rembana, maka kini giliran Sasangka."
"Aku tidak dapat menerima keadaan ini, kakang."
"Tetapi kita tidak dapat berbuat apa-apa, Raden. Mungkin orang yang menusuk Sasangka sekarang sudah berada di bulak sebelah.
Nafas Raden Madyasta yang marah itu mengalir semakin cepat. Raden Madyasta bahkan menjadi terengah-engah seperti seseorang yang baru saja bekerja berat sehari suntuk.
"Marilah, Raden. Silahkan memberitahukan hal ini kepada Raden Ayu Prawirayuda."
Raden Madyasta menarik nafas dalam-dalam seakan-akan berusaha mengendapkan perasaannya yang bergejolak.
"Baiklah kakang. Aku akan menghadap bibi. Aku minta kakang menunggui tubuh kakang Sasangka."
"Baik Raden." Wismayapun kemudian telah kembali ke gandok. Iapun kemudian duduk bersila di sebelah tubuh Sasangka yang terbaring diam. Pisau belati yang tertancap di lambungnya telah dilepas oleh .Wismaya atas persetujuan Raden Madyasta. Namun Raden Madyasta minta Wismaya mengingal-ingat letak pisau belati yang tertancap itu.
Raden Madyastapun kemudian telah naik ke pendapa. Namun kemudian diurungkan niatnya untuk mengetuk pintu pringgitan. Bibinya akan lebih cepat mendengarnya jika ia mengetuk pintu butulan.
Perlahan-lahan Madyastapun mengetuk pintu yang terdekat dengan bilik tidur bibinya. Sekali dua kali, bibinya masih belum mendengarnya.
"Bibi tentu tidur dengan nyenyak" berkata Raden Madyasta didalam hatinya.
Karena itu, maka Madyastapun mengetuk semakin keras.
Baru kemudian Madyasta mendengar suara bibinya "Siapa diluar?"
"Aku bibi, Madyasta."
Raden Ayu Prawirayuda mengenal suara itu. Karena itu, maka dengan tergesa-gesa Raden Ayu Prawirayuda pergi ke pintu dan mengangkat selaraknya.
Demikian pintu terbuka, ia melihat Raden Madyasta berdiri termangu-mangu dengan pakaian yang basah kuyup.
"Ada apa ngger" Angger kehujanan?"
"Maaf bibi. Mungkin aku mengejutkan bibi."
"Ada apa, ngger?" wajah Raden Ayu Prawirayuda menjadi tegang.
"Yang telah terjadi itu terulang lagi, bibi."
"Maksud angger?" suara Raden Ayu Prawirayuda meninggi.
"Seperti kakang Rembana, kakang Sasangkapun telah terbunuh pula."
"Angger Sasangka terbunuh?" suara Raden Ayu itu tinggi melingking.
"Ya, bibi. Kami mohon maaf, bahwa yang tidak kita harapkan itu terjadi lagi."
"Tetapi bagaimana hal itu dapat terjadi, ngger" Bagaimana mungkin" Dimana angger Sasangka pada saat terjadinya bencana itu, ngger?"
"Kami masih belum mengamatinya lebih jauh, bibi."
Aku menemukan kakang Sasangka terluka parah di tangga serambi gandok. Nampaknya kakang Sasangka berusaha untuk meneapai gandok dan memberitahukan kepada kakang Wismaya. Tetapi ia sudah menjadi terlalu lemah dan terkapar di tangga. Ketika aku menemukannya,.kakang Sasangka masih hidup. Tetapi ia sudah sangat lemah sehingga tidak banyak yang sempat dikatakannya. Aku telah minta kakang Wismaya pergi menjemput seorang tabib dari manapun juga. Tetapi sebelum kakang Wismaya berangkat, kakang Sasangka sudah meningal..
"Apa yang akan aku katakan kepada Rantamsari?" ,
Raden Madyasta tidak menjawab. Bahkan iapun segera menundukkan wajahnya.
Ternyata pembicaraan yang agak keras diantara deru hujan itu telah terdengar oleh Raden Ajeng Rantamsari. Karena itu, maka dengan tergesa-gesa Raden Ajeng Rantamsari itupun keluar dari biliknya pula.
"Ada apa dimas. Aku mendengar pembicaraan dimas dengan itu. Nampaknya ada sesuatu yang penting?"
Raden Madyasta memandang wajah bibinya dengan jantung yang berdebaran.
Raden Ayu Prawirayudapun tidak segera dapat mengatakan, apa yang telah terjadi. Karena itu untuk beberapa saat suasana menjadi tegang.
"Ibu, apa yang terjadi?"
"Ngger..." "Ibu" Raden Ajeng Rantamsaripun segera mendekap ibunya "apa yang terjadi ibu?"
"Kita hanya dapat berusaha, Rantamsari. Tetapi keputusan akhir berada di luar jangkauan kuasa kita."
"Tetapi apa yang terjadi?"
Raden Ayu Prawirayuda itu mengusap matanya yang . basah. Kemudian diapun berdesis "Adalah diluar kemauan kita semuanya, Rantamsari."
"Apa" Apa" Ibu belum mengatakannya."
"Yang pernah terjadi itu ternyata lagi, Rantamsari."
"Yang pernah terjadi yang mana?"
"Yang pernah terjadi atas angger Rembana, kini terjadi lagi atas angger Sasangka."
"Ibu" Raden Ajeng Rantamsari itu terpekik "maksud ibu ..."
Raden Ayu Prawirayuda mengangguk.
"Ibu, dimana kakang Sasangka sekarang. Dimana?"
Raden Ajeng Rantamsari tidak menunggu jawaban ibunya. Namun ketika ia meloncat untuk berlari menghabur di longkangan dalam hujan yang lebat, Raden Ayu Prawirayuda sempat memeluknya sambil berkata "Rantamsari, tenanglah. Tenanglah. Mungkin bahaya itu masih berada disekitar kita sekarang ini.
"Kangmbok berkata Raden Madyasta "sebaiknya kangmbok jangan keluar dahulu. Tutup saja kembali pintu ini dan diselarak dari dalam."
"Tidak. Tidak. Aku ingin melihat keadaan kakang Sasangka."
"Jangan sekarang kangmbok" cegah Raden Madyasta.
Tetapi Raden Ajeng Rantamsari meronta, sehingga lepas dari pelukan ibunya
"Dimana kakang Sasangka" Dimana?"
Raden Madyasta tidak berniat memberitahukarmya. Tetapi Raden Ajeng Rantamsari itu telah berlari ke gandok. Ia tahu bahwa bilik Sasangka dan Wismaya berada di gandok itu.
Raden Madyasta tidak dapat berbuat lain kecuali berlari menyusulnya Demikian pula Raden Ayu Prawirayuda.
Di serambi gandok, Wismaya tidak sempat mencegah Raden Ajeng Rantamsari menjatuhkan diri diatas tubuh Sasangka yang telah tidak bernafas lagi sambil menangis menjerit-jerit.
"Kakang, kakang. Kenapa kau juga pergi meninggalkan aku."
Raden Ajeng Prawirayudapun kemudian berusaha membangunkan anaknya. Sekali-sekali Raden Ayu Prawirayuda itupun mengusap air matanya pula.
"Duduklah yang baik, Rantamsari."
Raden Ajeng Rantamsari memeluk ibunya erat-erat sambil menangis "Ibu, kenapa hal ini harus terjadi padaku?"
"Tenanglah Rantamsari. Sudah aku katakan, bahwa segala sesuatunya itu bergantung kepada Yang Maha Agung. Kita tidak akan dapat mengelakannya. Kita harus menerima dengan ikhlas"
"Tetapi tidak seperti ini ibu. Aku tidak akan mampu memikul beban seberat ini."
"Kita akan bertanya kepada Yang Maha Agung, apa sebenarnya yang dikehendaki-Nya. Lewat banyak "Tetapi aku tidak mau hal ini terjadi, ibu" Rantamsari memeluk ibunya semakin erat. Demikian pula Raden Ayu Prawirayuda. Tetapi Raden Ayu sendiri tidak dapat menahan air matanya yang meleleh dari pelupuknya.
***** Jilid 09 Bab 27 " Rencana Reksadrana
KETIKA tangis Raden Ajeng Rantamsari sedikit mereda, maka ibunyapun berkata "Rantamsari. Aku mengerti, betapa pedih hatimu. Ibarat luka yang terdahulu masih belum sembuh, maka hatimu telah terluka lagi, sehingga tentu akan terasa semakin pedih. Tetapi marilah kita mengambil hikmahnya saja. Kau masih dapat mengucap sukur, bahwa hal ini terjadi sebelum terlanjur."
"Maksud ibu?" "Baik yang terjadi sekarang, maupun yang terjadi sebelumnya. Untunglah bahwa kau belum menjadi seorang isteri. Jika itu terjadi, maka kau telah menjadi janda dua kali."
"Tetapi hal seperti ini tidak terjadi, ibu."
"Kita tidak akan dapat mengelak, Rantamsari. Meskipun dipagari dengan dinding baja, jika maut itu datang menjemput, tidak seorangpun dapat lari dari padanya. Yang terjadi ini tentu akan terjadi. Demikian pula dengan angger Rembana. Kematian itu tentu akan datang kepada mereka sebagaimana yang telah terjadi."
Raden Ajeng Rantamsari mengusap matanya yang basah. Yang dikatakan oleh ibunya itu memang dapat masuk di akalnya. Tetapi perasaannya benar-benar merasa betapa pedihnya.
"Kenapa Yang Maha Agung itu telah memanggil mereka yang diharapkan akan dapat menjadi tangkai bagi hidupku di masa mendatang?"
Air mata masih saja meleleh dari pelupuk mata Rantamsari. Bahkan ibunyapun sekali-sekali masih mengusap matanya pula dengan lengan bajunya.
Seperti yang pernah terjadi, hari itu di rumah Raden Ayu Prawirayuda menjadi sangat sibuk. Kangjeng Adipatipun telah berada di rumah itu pula. Demikian pula Raden Wignyana.
Kangjeng Adipati sendiri telah mencoba meredakan gejoIak perasaan Raden Ajeng Rantamsari, yang setiap saat masih saja menangis. Yang dialaminya itu benar-benar merupakan beban yang sangat berat baginya.
Siang itu juga, tubuh Sasangka telah dibawa ke baraknya. Ki Tumenggung Wiradapa dan Ki Tumenggung Sanggayuda merasa agak kesulitan untuk menenangkan para prajurit yang bergejolak.
"Kita harus menemukan pembunuhnya" berkata seorang pemimpin kelompok barak Sasangka
"Ki Tumenggung" berkata yang lain "berikan tugas kepada kami untuk berada di rumah itu Kami akan menangkap pembunuh Ki i.urah Sasangka dan mambantainya di halaman barak ini.
" Di Parang Anom Ini ada tatanan dan paugeran yang
mengatur tingkah laku rakyatnya" berkata Ki Tumenggung Wiradapa "segala sesuatunya harus sesuai dengan tatanan dan paugeran itu"
"Kita tidak dapat membiarkan para Senapati kita dibunuh dengan cara yang licik."
"Aku tahu. Bukan hanya kalian saja yang tersinggung. Tetapi, kami yang tua-tua inipun merasa tersinggung pula. Karena itu, tenanglah. Kita akan berusaha menemukan pembunuh itu."
"Jangan biarkan jatuh korban lagi, Ki Tumenggung. Yang tersisa di rumah itu hanyalah Ki Lurah Wismaya dan justru Raden Madyasta sendiri. Karena itu, biarlah kami. sekelompok prajurit menjaga rumah itu"
Ki Tumenggung Sanggayudalah yang menjawab "Kita akan memikirkan langkah yang sebaik-baiknya yang harus kita ambil."
Namun bagaimanapun juga nampak di wajah para prajurit itu ungkapan perasaan mereka. Nampaknya mereka benar-benar menjadi marah karena kematian Lurahnya yang mereka anggap seorang Senapati muda yang berilmu linggi.,
Disamping para prajurit di barak Sasangka yang bergejolak, ternyata para prajurit di barak Rembanapun bagaikan terungkit lagi kemarahan mereka. Namun para pemimpin prajurit Paranganom berhasil meredamnya.
Hari itu, Sasangka dimakamkan dengan upacara kebesaran seorang prajurit yang gugur dalam tugasnya. Rakyat Paranganom harus berduka sekali lagi. Ternyata peristiwa yang menyakitkan itu telah terjadi lagi di rumah Raden Ayu Prawirayuda.
"Apakah perempuan itu memang membawal sial" bertanya seseorang kepada kawannya yang berdiri disebelahnya ketika keduanya ikut memberikan penghormatan terakhir kepada Sasangka.
Kawannya menggeleng. Namun demikian iapun menjawab "Petaka seperti ini terjadi dua kali di rumah itu. Apakah masih akan disusul dengan peristiwa yang sama di kemudian hari?"
"Memang menyakitkan" berkata kawannya yang lain "kesalahan yang sama telah terjadi."
"Ya. Sedangkan keledai yang dungupun kakinya tidak akan teratuk batu yang sama untuk kedua kalinya."
"Tetapi justru karena mereka bukan keledai."
"Hus " Merekapun terdiam. Mereka melihat, wajah-wajah prajurit yang geram, yang berjalan disebelah menyebelah jenazah Sasangka ketika dibawa ke makam.
Hari itu, Kangjeng Adipati telah memanggil Madyasta dan Wismaya, justru pada saat di rumah Raden Ayu Prawirayuda masih banyak orang yang sibuk membenahi perabot rumah yang telah digeser-geser pada saat mempersiapkan jenazah Sasangka untuk dibawa ke baraknya. Beberapa orang prajuril masih berada di rumah itu sehingga kepergian Wismaya dan Raden Madyasia tidak menimbulkan kecemasan bagi keluarga Raden Ayu Prawirayuda.
"Bagaimana pendapatmu, Madyasia?" bertanya Kangjeng Adipali.
"Kami harus merasa malu atas peristiwa ini, ayahanda. dua orang Senupali muda yang dianggap mempunyai kelebihan di Paranganom telah terbunuh"
"Aku ingin mendengar pendapatmu, Madyasta. Apakah kau memerlukan kawan baru untuk bertugas di rumah bibimu", Temyala tugas itu bukan tugas yang sederhana. Jika semula kita menganggap bahwa keberadaan kalian di rumah bibimu hanya sekedar menuruti keinginannya, namun ternyata sekarang kila berpendapat lain"
"Hamba ayahanda, tetapi hamha mohon, biarlah kami berdua sajalah yang bertugas dl rumah bibi, Hamba lidak dapat ingkar, bahwa aku menaruh dendam kepada orang yang telah membunuh Rembana dan Sasangka Dua orang prajurit yang namanya mulai dikenal sejak perang besar di sebelah Bengawan Rahina itu."
"Aku dapat mengerti, Madyasia."
"Ampun Kangjeng Adipati" berkata Wismaya "jika di rumah itu terdapat beberapa orang prajurit baru, maka pembunuh itu mungkin akan menghindar. Tetapi biarlah kami berdua berusaha untuk menangkapnya."
"Keadaan menjadi semakin gawat, Wismaya. Ketika kalian masih bertiga, kalian tidak dapat menangkap pembunuh Rembana. Bahkan Sasangka telah terbunuh pula."
"Itu merupakan tantangan bagi kami, ayahanda. Meskipun sekarang kami hanya berdua, tetapi kami justru yakin, apabila pembunuh itu kembali lagi, kami akan dapat menangkapnya."
"Satu permainan yang sangat berbahaya, Madyasta."
"Tetapi itu adalah jalan terbaik untuk menangkap pembunuh itu ayahanda."
Kangjeng Adipati menarik nafas dalam-dalam. Katanya "Aku mengerti, bahwa harga diri kalian berdua akan tersinggung, seakan-akan kalian hanya dapat merengek minta perlindungan. Tetapi untuk menghadapi perbuatan yang licik itu, bukankah tidak ada salahnya jika kita menjadi lebih berhati-hati."
"Kami akan sangat berhati-hati, ayahanda." Kangjeng Adipati tereenung sejenak, la tahu, bahwa darah muda yang mengalir di tubuh Raden Madyasta dan Wismaya bagaikan sudah mendidih oleh peristiwa yang membuat keduanya menjadi malu. Dengan demikian, maka mereka akan berusaha untuk menebusnya tanpa bantuan orang lain.
Kangjeng Adipati tidak dapat memaksa keduanya dengan menempatkan prajurit-prajurit baru di rumah Raden Ayu Prawirayuda. Jika Kangjeng Adipati itu mencoba memaksa, maka keduanya akan kecewa, sehingga keduanya justru akan dapat menjadi lengah.
Karena itu, maka Kangjeng Adipati itupun berkata "Baiklah. Madyasta dan Wismaya. Jika kalian berkeras untuk bertugas berdua saja. Tetapi Srkali lagi aku pesan, kalian harus sangat berhati-hati. Bahaya itu selalu mengintip kalian berdua. Setiap saat bahaya itu akan rnenerkam tanpa kalian ketahui kapan dan dimana mereka merunduk, Aku percaya, bahwa kalian tentu akan dapat mengalasinya jika kalian berhadapan beradu dada. Tetapi pembunuh itu tidak berbuat demikian. Dengan licik ia merunduk, kemudian menikam dari belakang."
"Hamba berjanji ayahanda. Kami akan menjadi sangat berhati-hati.
Demikianlah, maka keduanyapun segera kembali ke rumah Raden Ayu Prawirayuda yang masih dibenahi. Namun beberapa saat kemudian, segala sesuatunya telah mapan. Perabot-perabot rumah, alat-alat dapur dan bahkan sampah di halamanpun telah dibersihkan.
Malam itu, terasa suasana di rumah Raden Ayu Prawirayuda itu menjadi semakin sepi. Beberapa orang keluarga Sasangka yang datang disaat pemakamannya, ternyata lebih senang berada di barak. Ternyata ada beberapa orang prajurit yang sejak sebelum berada di barak itu sudah mengenal keluarga Sasangka dengan baik. Karena itu, maka merekapun berusaha untuk membantu dan bahkan menenangkan kepedihan hati yang telah mencengkam.
Malam itu, Raden Ayu Prawirayuda telah menemui Madyasta sekali lagi, untuk menawarkan agar Madyasta tidak berada di bilik yang ada di gandok.
"Keadaan nampaknya menjadi semakin gawat, ngger. Aku minta angger tidur di ruang dalam saja."
"Apakah aku harus membiarkan kakang Wismaya sendiri?"
"Apakah anger Wisama akan menjadi ketakutan?"
"Bukan soal ketakutan atau tidak bibi. Aku yakin, bahwa kakang Wismaya tidak akan ketakutan. Tetapi bukankah perasaan ini menjadi tidak enak, jika kami berdua dan berada di bilik tidur yang berbeda. Maksudku, satu di gandok dan yang lain di ruang dalam"
"Angger Madyasta. Bagaimanapun juga kedudukan kalian berdua memang berbeda. Wismaya adalah seorang Lurah prajurit dan angger Madyasta adalah putera seorang Adipati" Jika pada dasarnya sudah berbeda, bukankah tidak ada salahnya jika angger Madyasta dan angger Wismaya berada di bilik yang berbeda pula."
"Terima kasih bibi. Tetapi keberadaanku disini bersama kakang Wismaya tidak mengenal perbedaan itu. Aku dan kakang Wismaya adalah prajurit yang mengemban tugas yang sama."
Kerut di dahi Raden Ayu Prawirayuda menjadi semakin dalam. Setelah memandang kesekitarnya iapun berkata perlahan "Maaf, ngger. Sebenarnyalah aku mencurigai semua orang dalam peristiwa yang telah terjadi."
"Maksud bibi?" "Ketika angger Rembana terbunuh, aku sama sekali tidak dapat menuduh siapakah pembunuhnya. Tetapi perkembangan keadaan telah mendorongku untuk mencurigai angger Sasangka. Aku menduga, bahwa angger Sasangkalah yang telah membunuh angger Rembana. Namun tiba-tiba angger Sasangka telah terbunuh dengan cara dan senjata yang sama dengan cara dan senjata pada saat angger Rembana terbunuh."
"Ya, bibi. Aku mengerti."
"Maaf, ngger. Aku minta maaf. Bagaimana pendapat angger Madyasta tentang angger Wismaya.?"
"Kita tidak dapat mencurigai Wismaya, bibi."
"Kenapa?" "Pada saat Rembana terbunuh, Wismaya ada bersamaku."
"Apakah itu benar?"
"Seingatku, bibi."
"Mungkin angger lupa. Peristiwanya sudah agak lama." Raden Madyasta menunduk. Namun kemudian katanya
"Tetapi aku yakin, tentu bukan kakang Wismaya. Jika se-andainya cara dan senjata pembunuhnya tidak sama, mungkin aku dapat mencurigai Wismaya sekarang ini."
Raden Ayu Prawirayuda mengangguk-angguk. Katanya
"Sukurlah jika perhitungan angger itu benar. Yang aku cemaskan, jika yang melakukan itu angger Wismaya, maka akan mudah sekali terjadi pula atas angger Madyasta jika angger berada di gandok bersama angger Wismaya."
"Tidak, bibi. Aku yakin tentu bukan kakang Wismaya."
"Sukurlah. Namun begitu, aku masih juga minta angger bersedia berada di bilik di ruang dalam. Bukankah kami hanya berdua saja di rumah ini?"
"Terima kasih, bibi."
"Ngger. Aku lebih condong mengangap angger sebagai anakku sendiri daripada seorang prajurit yang bertugas di rumah ini."
"Terima kasih, bibi."
"Itulah sebabnya, bahwa aku merasa lebih cemas memikirkan angger daripada para Senapati yang lain, meskipun aku tahu, bahwa angger memiliki kemampuan lebih tinggi dari para Senapati itu."
"Biarlah aku berada di gandok bersama kakang. Wismaya saja bibi."
"Jika demikian, terserahlah kepada angger. Bukan niatku untuk tidak menghormati angger sebagai putera seorang Adipati di Paranganom ini."
Namun bagaimanapun juga bibinya memintanya, Raden Madyasta merasa lebih baik berada di gandok bersama Wismaya.
Dalam pada itu, yang mencemaskan keselamatan Raden Madyasta dan Wismaya bukan saja Kangjeng Adipati Paranganom. Sebagai seorang ayah sebenarnya Kangjeng Adipati memang wajar sekali menjadi cemas memikirkan keselamatan anaknya. Tetapi ia juga harus bersikap sebagai seorang Adipati.
Sebenarnyalah bahwa kedua orang Tumenggung yang terdekat dengan Kangjeng Adipati juga merasa sangat cemas terhadap keselamatan Raden Madyasta dan Wismaya. Agaknya mereka berhadapan dengan satu kemampuan yang sangat tinggi, namun yang terselubung.
Karena itu, maka keduanya telah datang menghadap Kangjeng Adipati untuk menyampaikan pendapat mereka.
"Ampun Kangjeng" berkata Ki Tumenggung Wiradapa "kami berdua sangat mencemaskan keselamatan Raden Madyasta dan Wismaya yang masih berada di rumah Raden Ayu Prawirayuda."
"Ya, kakang. Akupun mencemaskannya. Tetapi ketika aku panggil keduanya, keduanya mohon agar aku memberi kesempatan kepada mereka berdua untuk menjalankan tugas mereka tanpa orang lain. Mereka berniat untuk menangkap pembunuh Rembana dan Sasangka. Tetapi jika di rumah itu ditempatkan orang lain, maka pembunuh itu tentu tidak akan datang kembali, sehingga mereka akan kehilangan jejaknya."
"Tetapi kemungkinan buruk dapat terjadi atas mereka berdua, Kangjeng."
"Aku sudah mengatakannya. Tetapi keduanya berkeras untuk tetap berada di rumah kangmbok Prawirayuda berdua saja."
"Kangjeng" berkata Ki Tumenggung Sanggayuda "kami mohon maaf sebelumnya. Kami berdua ingin menyampaikan permohonan jika Kangjeng Adipati memperkenankan."
"Apa kakang ?" "Hamba sudah membicarakaiinya dengan kakang Wiradapa. Jika Kangjeng berkenan memberikan perintah kepada kami berdua untuk mengawasi rumah Raden Ayu Prawirayuda itu."
"Kakang akan berada di rumah itu pula ?"
"Tidak, Kangjeng. Kami akan tetap berada di luar dinding halaman rumah Raden Ayu Prawirayuda. Kami akan mengawasi rumah itu dari luar. Mungkin keberadaan kami itu tidak akan berarli apa apa Tetapi dalam keadaan yang gawat, mungkin akan berarti pula.
"Baikiah, kakang, Aku mengucapkan terima kasih atas kesediaan kakang berdua untuk langsung ikut campur dalam persoalan yang sangal khusus ini"
"Aku masih menghubungkan dengan keberadaan segerombolan perampok yang berada di Panjer. Bahkan aku tidak berhasil melupakan, bahwa persoalan yang terjadi di Paranganom ini ada sangkut pautnya dengan kadipaten Kateguhan. Kebencian orang-orang Kaleguhan terhadap orang-orang Paranganom itu sudah sangat berlebihan, sehingga menimbulkan dugaan-dugaan yang buruk."
Kangjeng Adipati mengangguk-angguk.
Sementara itu, Ki Tumenggung Wiradapapun berkat "Raden Ayu Prawirayuda termasuk orang yang tidak disukai di Kateguhan, Kangjeng. Sehingga setelah berada di Paranganompun Raden Ayu Prawirayuda masih saja diganggu."
"Tetapi apakah kemampuan orang-orang Kateguhan demikian tinggi, sehingga mereka dapat mempermainkan para prajurit pilihan di Paranganom ?"
"Ada satu dua orang berilmu tinggi di Kateguhan,* Kangjeng. Kehadiran Raden Wicitra di rumah Raden Ayu Prawirayuda juga merupakan persoalan tersendiri."
"Aku mengerti kakang. Karena itu aku sama sekali tidak berkeberatan atas niat kakang. berdua untuk ikut mengamati rumah kangmbok Prawirayuda itu."
"Kami mohon perintah Kangjeng Adipati."
"Baik. Aku perintahkan kakang berdua untuk ikut mengawasi rumah Kangmbok Prawirayuda serta mengambil langkah-langkah yang perlu dalam keadaan yang gawat."
"Terima kasih, Kangjeng. Kami berdua akan menjalankan perintah ini dengan sebaik-baiknya."
Demikianlah, sejenak kemudian, kedua orang Tumeng-gung itupun mohon diri dari hadapan Kangjeng Adipati Prangkusuma.
Sepeninggal kedua Tumenggung itu, maka Kangjeng Adipatipun sempat duduk termenung. Sebenarnyalah bahwa Kangjeng Adipati sendiri sulit untuk dapat melepaskan persoalan yang terjadi di rumah Raden Ayu Prawirayuda itu dengan kebencian orang-orang Kateguhan terhadap orang-orang Paranganom.
Sementara itu, Raden Ayu Prawirayuda adalah orang yang sangat dibenci di Kateguhan, sehingga Kangjeng Adipati di Kateguhan telah mengusirnya. Atau justru sebaliknya, karena Raden Ayu itu sudah diusir dari Kateguhan. Maka orang-orang Kateguhan menjadi sangat membencinya.
*** Dalam pada itu, di Kateguhan, Ki Tumenggung Reksadrana telah kehabisan kesabarannya. Dengan jantung yang bagaikan membara iapun berkata kepada Sura Branggah yang dipanggilnya menghadap "Sura Branggah. Satu lagi pembunuh anakku itu sudah mati."
"Ya, Ki Tumenggung. Nampaknya Raden Wicitra tidak dapat dihentikan lagi."
"Aku tidak mau kehilangan sasaranku yang semakin menyusut itu, Sura Branggah."
"Bukankah satu kebetulan bagi kita " Kita tidak usah bersusah payah. Sementara itu orang-orang yang akan menjadi sasaran kita sudah mati satu demi satu."
"Edan kau Sura Branggah" bentak Ki Tumenggung sambil mencengkam baju Sura Branggah "apa maumu pemalas. Kau memeras uangku, tetapi kau tidak mau bekerja keras."
"Maaf, Ki Tumenggung. Tetapi itu bukan kemauanku. Bukankah Raden Wicitra sudah melakukannya atas kehendaknya sendiri."
"Tidak" didorongnya Sura Brangga yang duduk di lantai itu sehingga terlentang "aku akan membunuh dua orang yang lain. Untunglah Madyasta itu masih belum sempat dibunuh oleh Wicitra. Akulah yang akan membunuhnya. Dengan tanganku sendiri. Aku harus membalaskan dendam anakku yang telah mereka bunuh. Aku akan mencincangnya menjadi sewalang-walang."
Sura Branggah yang kemudian bangkit sambil membenahi pakaiannya berkata "Maaf Ki Tumenggung. Bukan maksudku untuk tidak mau bekerja keras. Tetapi jika Ki Tumenggung akan membunuhnya dengan tangan Ki Tumenggung sendiri, maka aku tidak akan berkeberatan."


Meraba Matahari Karya S H. Mintarja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kita akan datang ke rumah Raden Ayu yang tamak itu. Kita bunuh Wismaya, kemudian kita tangkap Madyasta hidup-hidup. Kita bawa Madyasta keluar dari rumah itu dan kita akan dapat berbuat apa saja sekehendak kita atas anak itu."
"Bagaimana dengan Raden Ayu Prawirayuda dan anak gadisnya yang yang cantik itu?"
"Jika saja anakku masih ada, aku akan membawa Rantamsari baginya. Tetapi karena anakkku sudah mati, aku akan membunuh mereka pula."
"Maksud Ki Tumenggung?"
"Aku akan membunuh Raden Ayu Prawirayuda dan anak perempuannya itu. Biarlah kekacauan yang terjadi di Paranganom itu lengkap. Paranganom akan menjadi gempar. Kematian Raden Ayu yang tamak itu gemanya tentu akan sampai ke Tegallangkap. Mau tidak mau penilaian Kangjeng Sultan Tegallangkap terhadap Kangjeng Adipali di Paranganom tentu akan terpengaruh juga."
Rahasia Pengkhianatan Baladewa 1 Pendekar Perisai Naga 1 Hantu Lereng Lawu Perjodohan Busur Kumala 2
^