Pencarian

Rahasia Pengkhianatan Baladewa 1

Putri Bong Mini 06 Rahasia Pengkhianatan Baladewa Bagian 1


RAHASIA PENGKHIANATAN BALADEWA Oleh D. Mahardhika
Cetakan pertama
Penerbit Alam Budaya, Jakarta
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
1 Matahari telah bergeser ke arah barat. Sinarnya
yang siang tadi terasa menyengat, kini berubah redup dan hangat. Pertanda malam
akan segera turun.
Halaman Rumah Makan Hin-Hin, satu-satunya ru-
mah makan di Kota Girik, tampak banyak dikunjungi
para pendekar yang datang dari berbagai negeri. Mere-ka datang ke rumah makan
itu bukan hendak menik-
mati hidangan, melainkan menyaksikan pertempuran
seorang wanita cantik dengan gadis bertubuh mungil.
Wanita cantik yang mengaku bernama Nyi Genit itu
tampak terkejut ketika mengetahui siapa gadis mungil yang berdiri di hadapannya.
Gadis itulah yang meng-gagalkan niatnya untuk mengisap darah enam pemuda
itu di Bukit Buncit (untuk jelasnya, baca serial Putri Bong Mini dalam episode:
'Sengketa Darah Para Tumbal'). Dan sekarang, gadis itu pula yang kembali
menghalangi niatnya untuk mengisap darah Tiga Pendekar
Mata Dewa yang berhasil dilumpuhkan.
Kegemaran Nyi Genit mengisap darah pemuda dan
bayi merupakan satu syarat untuk menambah kesak-
tiannya. Apalagi jika ia berhasil mengisap darah, sumsum, dan otak bayi yang
baru lahir, maka dalam sekejap penampilannya akan berubah muda seperti seka-
rang. Saat ini, ketika ia hendak mencengkeram tiga pe-
muda, niatnya terhalang oleh kehadiran gadis bertu-
buh mungil. Nyi Genit menjadi lebih marah lagi mana-kala teringat kalau gadis
itu pula yang telah memotong rambut kesayangannya ketika bertanding di Bukit
Buncit. "Kalau aku tahu kau bernama Nyi Genit, kau sudah
kubikin mampus ketika bertanding di Bukit Buncit!"
geram Bong Mini. Matanya berkilat-kilat ketika menatap tajam pada lawannya.
"Phuih! Kau pikir akan menang berhadapan de-
nganku?" dengus Nyi Genit pula, tak kalah geram.
"Kalau kau merasa menang, kenapa lari ketika ber-
tanding di Bukit Buncit?" kilah Bong Mini.
"Aku lari karena tidak ingin menyakitimu!" Nyi Ge-
nit berdalih. "Kalau begitu, sekarang saja kita adu nyawa, Nenek
Peot!" tantang Bong Mini dengan darah mendidih di sekujur tubuhnya.
Mendengar sebutan nenek peot, Nyi Genit tertawa
cekikikan. "Sayang sekali. Usiamu masih muda dan cantik tapi
ternyata matamu rabun. Tubuh muda, indah, dan can-
tik seperti ini dibilang nenek peot!" kata Nyi Genit sambil melenggak-lenggokkan
tubuhnya. "Phuih! Nenek peot tidak tahu diri!" ketus Bong Mi-
ni. Kemudian matanya menyebar pada dua puluh pen-
dekar yang hadir di situ. Di antaranya Lima Pendekar Teluk Naga dan lima belas
orang dari Perkumpulan
Pengemis Sakti.
"Tahukah para pendekar sekalian bahwa kecanti-
kan yang dimiliki wanita ini hanyalah tipu daya belaka.
Sebenarnya dia seorang nenek yang umurnya menca-
pai enam puluh tahun. Tapi karena dia sering minum
darah pemuda, sumsum, dan otak bayi maka ia men-
jelma menjadi muda seperti ini. Oleh karena itu dia sangat bernafsu terhadap
tiga pemuda yang tidak berdaya ini untuk diisap darahnya agar dapat menambah
kecantikan dan kesaktian ilmu 'Hitam Pesona Darah'
yang dimilikinya!" celoteh Bong Mini tanpa rasa gentar sedikit pun.
Dua puluh pendekar yang terdiri dua perkumpulan
yang hadir di tempat ini tampak terkejut mendengar
penuturan lantang Bong Mini. Terutama Lima Pende-
kar Teluk Naga. Mereka geram atas kelakuan Nyi Genit yang dipaparkan Bong Mini
tadi. Nyi Genit sangat murka mendengar ucapan Bong
Mini yang dianggapnya kurang ajar telah membongkar
rahasia kecantikannya, termasuk perbuatan mengisap
darah lelaki muda.
"Bocah sundal! Kali ini mulutmu harus kurobek
agar tidak nyinyir lagi!" geram Nyi Genit disertai terjangan setinggi satu meter
ke arah lawan. "Hiaaat!"
Desss! Kaki kanan Nyi Genit yang melakukan tendangan
ke wajah Bong Mini disambut oleh Kok Thai Ki yang
cepat menghadang di depan Bong Mini dan memukul
telapak kaki Nyi Genit dengan tangan kanannya.
Nyi Genit tersentak sambil menarik kakinya kemba-
li. "Perempuan jalang yang tak tahu diri! Beraninya hanya pada seorang anak
kecil!" ejek Kok Thai Ki, Ketua Pendekar Teluk Naga sambil mencabut pedangnya.
"Bedebah! Majulah kalian berlima jika ingin meng-
antarkan nyawa padaku!" geram Nyi Genit. Nafsunya
sudah tak dapat dibendung lagi. Sehingga sepasang
matanya yang tadi bekerjap-kerjap mengandung bira-
hi, berubah merah menyala.
"Serbuuu...!"
Kok Thai Ki memberi aba-aba pada empat temannya
yang masing-masing bernama Hong Tan Tosu, Tang
Hu, Cu Han Bu, dan Cu Seng Bu. Mereka bergerak se-
rempak menyerang lawan. Pedang para pendekar dari
daerah di sebelah barat Tiongkok itu tampak me-
mancarkan sinar berkilau ketika bergerak menyambar-
nyambar tubuh Nyi Genit. Jurus 'Pedang Seratus De-
wa' yang dilancarkan Lima Pendekar Teluk Naga berge-
rak sangat cepat dan dahsyat. Membuat para pendekar lain yang menyaksikan
pertempuran itu berdiri tegang.
Siuuut...! Trakkk...!
Crattt! Crattt! Crattt!
Gulungan sinar pedang dari Lima Pendekar Teluk
Naga dapat ditangkis dengan gulungan sinar tongkat
hitam, hingga menimbulkan rasa panas dan nyeri di
tangan Lima Pendekar Teluk Naga. Karena pedang me-
reka selalu bergetar keras setiap menyentuh tongkat hitam milik Nyi Genit yang
diputar dengan kecepatan tinggi, hingga menimbulkan bayang-bayang tongkat-nya
saja. Betapa terkejutnya mereka ketika mengetahui kalau
tongkat Nyi Genit ternyata terbuat dari selendang hitam yang digunakan untuk
membelit Tiga Pendekar
Mata Dewa (baca episode 5: 'Sengketa Darah Para
Tumbal'). Selendang itu dibelit-belit hingga panjangnya mencapai dua meter.
Melihat kenyataan itu, sadarlah Lima Pendekar Te-
luk Naga kalau wanita yang mereka hadapi benar-
benar memiliki kesaktian yang luar biasa. Sehingga selendang yang ukurannya
mencapai dua meter itu da-
pat menegang kuat bagai tongkat kayu. Malah tongkat dari selendang hitam itu
lebih berbahaya lagi. Karena pada kesempatan tertentu ujungnya dapat membeng-kok
seperti lengkungan gagang payung, hingga bisa
menjerat leher lawan.
Lima Pendekar Teluk Naga melompat ke belakang,
lalu berdiri gagah mengepung Nyi Genit. Benak mereka terus berpikir untuk
mencari serangan lain setelah serangan pertama gagal.
"Bentuk serangan 'Pedang Berantai'!" Kok Thai Ki
memberi aba-aba.Seketika itu juga keempat temannya
bergerak mengepung lawan lebih dekat lagi. Namun
kepungan kali ini tidak tetap di tempat, melainkan ber-
lari-lari kecil mengelilingi lawan. Sedangkan pedang di genggaman tangan mereka
terus menyambar-nyambar
tubuh Nyi Genit.
Nyi Genit terkejut melihat serangan aneh itu. Piki-
rannya bingung melihat serangan berantai yang datang susul-menyusul dari
berbagai arah. Apalagi gerak lari mereka yang semakin cepat, membuat kepala Nyi
Genit agak pusing. Namun dalam keadaan begitu, mulut
Nyi Genit tiba-tiba mengeluarkan tawa aneh. Tawa
yang membuat orang ketakutan.
"Hi hi hi...!"
Tawa Nyi Genit bagai orang digelitik, keras dan me-
nyeramkan! Menimbulkan gema susul-menyusul, se-
akan semua iblis dan setan yang selama ini dipujanya berdatangan membantu Nyi
Genit. Begitu tawanya
berhenti, berhenti pula gerak tubuh Lima Pendekar Teluk Naga. Mereka diam
mematung seperti terkena si-
hir. Dan pada saat itu Nyi Genit melompat keluar dari kurungan lawan sambil
melakukan serangan menotok.
"Sadarkan diri kalian! Jangan terpengaruh oleh ira-
ma tawa iblis jalang itu!" tiba-tiba Bong Mini berteriak keras menyadarkan Lima
Pendekar Teluk Naga. Dia
tahu kalau tawa yang keluar dari mulut Nyi Genit merupakan tawa yang disertai
kekuatan tenaga iblis. Itulah salah satu kehebatan dari ilmu 'Hitam Pesona
Darah' yang dimiliki Nyi Genit
Teriakan Bong Mini berhasil menyadarkan Lima
Pendekar Teluk Naga. Namun sebelum mereka sempat
membentuk posisi kembali, Nyi Genit telah menda-
ratkan totokan pada dua orang pengepungnya.
Tuk! Tuk! Dua orang yang terkena totokan 'Lampah Lumpuh'
langsung roboh dalam keadaan lumpuh. Hanya dua
matanya saja yang berkedip-kedip seperti meminta
pertolongan. "Mundurlah kalian! Bebaskan dua temanmu dan
Tiga Pendekar Mata Dewa itu dari pengaruh totokan.
Biar kulayani nenek peot ini!" cetus Bong Mini seraya melompat ke tengah
pertempuran. Tiga orang Pendekar Teluk Naga terkejut dan hen-
dak menahan Bong Mini agar tidak turut bertempur.
Tapi terlambat. Bong Mini telah menerjang Nyi Genit, sehingga mereka hanya dapat
berdiri tertegun menyaksikan pertempuran antara Nyi Genit dengan gadis bertubuh
mungil itu. "Iblis hina! Hari ini akan kutamatkan riwayatmu!"
geram Bong Mini sambil menerjang Nyi Genit dengan
tendangan di udara setinggi dua meter.
"Uts!"
Tendangan kaki kanan Bong Mini yang lurus ke
muka Nyi Genit segera dielakkan oleh lawannya de-
ngan memiringkan tubuh sedikit ke belakang. Sedang-
kan tangan kirinya menyilang di depan dada dan ta-
ngan kanannya bergerak ke atas untuk menangkap
kaki kanan Bong Mini.
"Hup!"
Bong Mini menarik kaki kanannya kembali ketika
mengetahui tangan kanan lawan mencoba menyambar.
"Tikus kecil! Rasakan pukulanku!" geram Nyi Genit.
Dengan telapak terkembang ia menghentakkan kedua
tangannya ke arah Bong Mini, disertai pengerahan il-mu 'Pukulan Tangan Iblis'.
Wuttt! Angin keras yang bergulung-gulung dari telapak ta-
ngan Nyi Genit bergerak menghantam Bong Mini. Na-
mun dengan lincah Bong Mini menghindari serangan
itu dengan cara melompat setinggi dua meter.
"Hiaaat!"
Brakkk! Bummm! Angin dahsyat yang dikerahkan Nyi Genit menghan-
tam sebuah pohon besar hingga tumbang.
Para pendekar yang menyaksikan pertandingan itu
tampak tercengang melihat pengerahan ilmu Nyi Genit.
Mereka membayangkan kalau pukulan itu mengenai
sasarannya, tentu tubuh gadis itu akan terpental keras. Sedangkan mereka yang
menonton saja dapat me-
rasakan desiran angin yang cepat dan keras ketika Nyi Genit mengerahkan ilmu
'Pukulan Tangan Iblis'.
Bong Mini yang tadi melompat menghindari sera-
ngan, kini telah kembali berdiri gagah menghadap Nyi Genit. Ia benar-benar
waspada dan bersikap hati-hati menghadapi musuh yang satu ini. Pertempuran
beberapa waktu lalu di Bukit Buncit belum bisa dijadikan pegangan untuk mengukur
kesaktian Nyi Genit. Ia merasa yakin bahwa saat itu Nyi Genit tidak sepenuhnya
mengeluarkan ilmu andalannya. Terbukti dari serangan-serangannya tadi. Begitu
dahsyat dan memati-
kan! Kini keduanya sudah saling berhadapan. Sepasang
mata mereka saling mencorong, penuh ledakan kema-
rahan. Tiba-tiba saja Nyi Genit melompat menerjang
Bong Mini disertai lengkingan tinggi.
"Hiyaaat...!"
Plekkk! Telapak tangan Nyi Genit yang hendak mencengke-
ram kepala Bong Mini berhasil dielakkannya dengan
cara menggeserkan tubuh ke samping. Sedangkan ta-
ngan kanannya menyambut tangan Nyi Genit. Terlihat-
lah dua telapak tangan yang halus mulus bertemu di-
sertai pengerahan ilmu kebatinan masing-masing. Nyi Genit mengerahkan ilmu
kebatinan 'Sinar Mata Iblis'
yang diperolehnya ketika bertapa di Bukit Setan. Sedangkan Bong Mini mengerahkan
ilmu 'Sinar Mata Ha-
lilintar' yang didapat ketika bertapa di Gunung Muda.
Setelah beberapa saat telapak tangan mereka me-
nempel, tiba-tiba mulut keduanya mengeluarkan leng-
kingan tinggi disertai tarikan tangan yang cukup keras.
"Hiyaaa...!"
Dukkk! Kedua tubuh itu melompat dengan ketinggian men-
capai lima meter. Kemudian tubuh mereka berputar
cukup deras ke belakang, lalu meluncur turun dengan posisi duduk.
Kini kedua wanita itu duduk bersila di atas tanah
dengan jarak sekitar enam meter. Mereka saling me-
mandang tajam dengan pemusatan pikiran.
Cuat cuat cuat!
Tiba-tiba sepasang mata mereka mengeluarkan ca-
haya berbentuk bulat sebesar telur ayam. Kemudian
kedua cahaya itu bergerak ke arah lawan masing-ma-
sing. Tepat pada pertengahan jarak antara Bong Mini dan Nyi Genit, kedua cahaya


Putri Bong Mini 06 Rahasia Pengkhianatan Baladewa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu bertemu. Cahaya hi-jau yang keluar dari mata Bong Mini mendorong ca-
haya merah yang keluar dari mata Nyi Genit. Begitu
pula sebaliknya. Sehingga kedua cahaya itu bergerak saling mendorong. Sedangkan
Bong Mini dan Nyi Genit memandang cahaya milik mereka masing-masing, se-akan
memberi kekuatan pada masing-masing cahaya
yang dikerahkannya. Inilah puncak ilmu kekuatan ba-
tin 'Sinar Mata Iblis' dan 'Sinar Mata Halilintar'.
Para pendekar yang sejak tadi menyaksikan pertem-
puran tampak tercengang dan takjub melihat dua wa-
nita sakti yang sedang mengadu kekuatan itu. Dan kekaguman mereka lebih
ditonjolkan kepada Putri Bong
Mini. Karena meski masih berusia muda dan bertubuh
mungil, namun dia mampu menandingi kekuatan la-
wan. Dari peristiwa tersebut mereka sadar kalau wa-
nita bertubuh mungil itu tidak bisa dianggap remeh
dalam hal ilmu kesaktian atau jurus-jurus silat.
Lima Pendekar Teluk Naga yang semula mengkha-
watirkan keselamatan Bong Mini, kini berubah kagum
pada kedigdayaan gadis itu.
Duarrr! Dua cahaya berbeda yang sedang mengadu kekua-
tan, tiba-tiba menimbulkan ledakan yang demikian keras. Kemudian dua cahaya
berbentuk bulat telur itu
pecah berhamburan bagai manik-manik. Sebelum me-
nyentuh tanah, manik-manik cahaya itu lenyap entah
ke mana. Bersamaan dengan terdengarnya ledakan, tubuh
Bong Mini dan Nyi Genit terhentak keras ke belakang.
Duk! Duk! Tubuh mereka membentur tanah cukup keras. Na-
mun tidak lama kemudian keduanya kembali berdiri
dan saling berhadapan, tanpa memberikan kesan luka
atau sakit sedikit pun juga.
Beberapa saat keduanya hanya berdiri tegak diser-
tai tatapan tajam. Mereka mengagumi kekuatan lawan
masing-masing. Karena kalau bukan pendekar sakti,
tentu satu di antara mereka sudah tewas akibat ledakan tadi.
"Kepandaian dan kehebatanmu memang sangat me-
ngagumkan! Tapi jangan dulu merasa bangga. Kau be-
lum tahu ilmu-ilmuku yang lain!" dengus Nyi Genit.
Kemudian kedua tangannya membuka selendang yang
membelit pinggangnya. Kemudian selendang berwarna
hitam itu dilipat dan diputar-putar. Dalam waktu sekejap, selendang tersebut
berubah menjadi sebuah tongkat sepanjang dua meter.
Dengan tongkat buatan itu, Nyi Genit langsung me-
nyerang Bong Mini disertai ilmu 'Tangan Iblis Samber Nyawa'. Sebuah ilmu
kesaktian yang luar biasa. Karena dengan ilmu tersebut, tongkat dari selendang
Nyi Genit dapat menjulur lurus dan dapat pula membelok
seperti lengan manusia yang hendak melakukan gera-
kan menotok. Menyadari tongkat buatan itu mengandung tenaga
sakti yang luar biasa, Bong Mini pun segera mencabut Pedang Teratai Merah yang
sejak tadi tersandang di
punggungnya. Sreset! Cuat cuat cuat!
Sinar merah berbentuk bunga teratai berkelip-kelip
ketika Bong Mini menarik pedang dari sarungnya.
"Pedang Teratai Merah!" cetus para pendekar yang
menyaksikan pertempuran itu dengan wajah kagum
dan tak henti-hentinya memandangi Pedang Teratai
Merah yang masih memancarkan sinar. Mereka me-
ngetahui nama pedang itu lewat sinar yang dipancar-
kannya. Nyi Genit yang sejak tadi sudah siap dengan tongkat buatannya tampak tercengang
melihat pedang di tangan Bong Mini. Baru kali ini matanya melihat pedang yang
memancarkan sinar menakjubkan! Tapi segera ia
tersadar dan langsung menyerang Bong Mini ke arah
kepala dan kakinya.
Wut wut wut! Bong Mini mengelak dan melompat ke belakang ke-
tika tongkat buatan itu menyambar tubuhnya. Sambil
meloncat, tangannya memutar Pedang Teratai Merah,
sehingga terdengar desingan melengking.
Wing wing wing!
Trakkk! Pedang yang diputar Bong Mini menyambar ke leher
lawan. Tapi dengan cepat, Nyi Genit menangkis dengan tongkat buatannya.
Akibatnya pedang dan tongkat buatan itu bertumbukan hebat.
"Hup!"
Kedua lawan tadi melompat dua langkah ke bela-
kang sambil mengagumi kesaktian dan ketangguhan
lawan masing-masing.
Beberapa detik mereka terdiam dan menghela na-
pas. Kemudian Nyi Genit kembali menerjang ke depan.
Tongkat buatannya berubah menjadi selendang hitam
kembali. Lalu selendang itu disampirkan di kedua ba-hunya. Menakjubkan!
Selendang yang disampirkan itu
berubah menjadi cahaya merah yang menyelimuti tu-
buhnya. Itulah ilmu 'Tipuan Mata Iblis'.
Para pendekar yang menyaksikan pertarungan itu
menjadi berdebar. Mereka sangat mengkhawatirkan
keselamatan Bong Mini.
"Bagaimanapun hebatnya gadis itu, tidak mungkin
mengungguli Nyi Genit," pikir mereka. Karena Nyi Genit telah berusia matang dan
penuh pengalaman. Me-
reka lupa kalau umur tidak jadi ukuran kekuatan ilmu bela diri seseorang.
Sambil memberikan penilaian terhadap dua wanita
sakti yang bertempur itu, para pendekar tadi melangkah mundur sejauh sepuluh
meter. Maksudnya untuk
menjaga keselamatan jiwa masing-masing agar terhin-
dar dari serangan nyasar yang ditimbulkan oleh pertarungan dua orang sakti itu.
Para pendekar kembali terkejut melihat pertarungan
dahsyat tersebut. Apalagi ketika menyadari hawa pa-
nas yang datang dari kancah pertempuran menyambar
pula ke arah mereka. Mereka mundur kembali dua tin-
dak dengan perasaan was-was, khawatir terhadap ke-
selamatan Bong Mini.
"Hiyaaa!"
Cuat cuat cuat!
Tubuh Nyi Genit yang bermandikan cahaya mener-
jang lawan sambil menghujamkan tendangan dan pu-
kulan ke dada dan wajah Bong Mini.
Wut wut wut! Pukulan dan tendangan Nyi Genit hanya menim-
bulkan angin saja. Sebab ketika ia menerjang, Bong
Mini telah menggunakan ilmu 'Halimun Sakti'. Sehing-ga pada saat Nyi Genit
menendang dan memukul, tu-
buh Bong Mini hanya berupa bayangan. Dengan ilmu
'Halimun Sakti', Bong Mini dapat melakukan serangan balik berupa totokan dua
jarinya yang diberi nama jurus 'Totok Besi'.
Tuk! Tuk! Jurus 'Totok Besi' yang dilancarkan Bong Mini tepat mengenai pundak lawan. Namun
totokan itu tidak
memberikan reaksi apa-apa terhadap tubuh Nyi Genit.
Malah dianggapnya sebagai colekan belaka. Dan ketika Nyi Genit membalikkan
tubuhnya, ia langsung melancarkan serangan gencar dengan 'Pukulan Tangan Iblis'.
Wes wes wes! Gulungan angin menyerang tubuh Bong Mini susul-
menyusul. Gadis mungil itu terus mengelak, meloncat, dan bersalto. Membuat pasir
dan tanah halus di sekitar pertempuran mengepul bagai asap. Termasuk
daun-daun pepohonan yang jatuh berguguran akibat
hembusan angin pukulan Nyi Genit.
Para pendekar yang menyaksikan pertarungan se-
ngit itu terpaksa mundur beberapa langkah, menghin-
dari kepulan debu.
*** 2 Pertarungan antara Bong Mini dengan Nyi Genit te-
rus berlangsung. Setiap serangan yang mereka lancarkan menciptakan perkelahian
yang amat seru dan
dahsyat, tanpa ada tanda-tanda kekalahan di antara
mereka. Para pendekar, termasuk Ong Lie dan Seyton, yang
menyaksikan pertarungan itu tidak sedikit pun me-
nunjukkan rasa jenuh. Mereka malah terlihat berse-
mangat setiap melihat jurus yang dikeluarkan oleh
Bong Mini atau Nyi Genit.
Nyi Genit dan Bong Mini kini sama-sama berdiri te-
gak. Dan tiba-tiba Nyi Genit melakukan serangan dengan melecutkan selendang yang
masih memancarkan
sinar merah ke arah Bong Mini.
Wuttt! Trak trak trakkk!
Lecutan selendang lawan segera disambut pedang
Bong Mini. Pertemuan antara selendang yang meman-
carkan sinar merah dengan Pedang Teratai Merah
menjadikan pertarungan semakin tampak mempesona.
Karena pertemuan kedua senjata yang masing-masing
mengandung tenaga sakti itu menciptakan pijaran api tiada henti, serta
menimbulkan hawa panas di sekitar mereka berdua, hingga tubuh keduanya
bermandikan peluh. "Hup!"
"Hait!"
Nyi Genit dan Bong Mini menarik senjata saktinya
masing-masing. Crat crat crat!
Pijaran api terlihat berlompatan ketika mereka me-
narik senjata masing-masing. Kemudian tubuh kedua
wanita yang sedang mengadu kesaktian itu terpental
keras ke belakang.
Buk buk bukkk! "Oekkk!"
Nyi Genit langsung memuntahkan darah segar keti-
ka tubuhnya yang padat berisi itu membentur sebuah
batu besar. Begitu pula dengan Bong Mini. Namun ka-
rena ia hanya membentur tanah, maka lukanya tidak
separah Nyi Genit.
Dengan mulut bersimbah darah serta tenaga yang
mulai berkurang, kedua wanita tangguh itu kembali
bangkit terhuyung-huyung. Namun begitu, sinar mata
keduanya tetap memancarkan kemarahan yang ter-
amat sangat. Nyi Genit yang tadinya merasa yakin akan menang
dalam pertarungan itu menjadi kecewa dan murka bu-
kan main ketika melihat lawan bau kencurnya masih
sanggup meneruskan pertarungan. Ketika melihat da-
rah mengucur dari mulut Bong Mini, ia semakin ber-
nafsu untuk menghabiskan nyawa gadis bertubuh mu-
ngil itu. Sehingga pada saat tubuhnya dapat berdiri tegak, Nyi Genit langsung
mengeluarkan lengkingan
tinggi yang amat panjang.
"Hiaaat...!"
Wuttt! Nyi Genit menyabetkan selendang hitam yang su-
dah tidak memancarkan cahaya ke arah lawan.
Mendapat serangan selendang hitam itu, Bong Mini
tampak tetap tenang. Karena ia telah tahu cara me-
nangkis dan membalikkan serangan lawan.
Wut wut wut! Bong Mini membiarkan ujung selendang Nyi Genit
membelit dan menarik tubuhnya mendekati pemilik-
nya. Namun ketika sampai pertengahan selendang, ia
langsung merobeknya dengan pedang yang masih ter-
genggam di tangan.
Bret! Selendang hitam yang membelit tubuh Bong Mini
terputus menjadi dua.
Nyi Genit terkejut bukan main melihat selendang
kesayangannya putus. Sebelum sadar dari keterkeju-
tannya, Bong Mini menyusulkan serangannya.
Plakkk! "Hegh!"
Tubuh Nyi Genit terhenyak dan langsung jatuh te-
lentang ketika telapak tangan kanan Bong Mini men-
darat di dada kiri Nyi Genit yang membusung. Bagian baju yang terkena pukulan
robek seketika, memperlihatkan buah dadanya yang besar.
Menyadari pakaian di bagian dadanya terkoyak, Nyi
Genit langsung melesat meninggalkan kancah perta-
rungan. "Heh, Iblis! Hendak lari ke mana kau!" bentak Bong
Mini seraya bergerak hendak mengejarnya. Namun be-
lum sempat niatnya terlaksana, tiba-tiba lima belas pendekar yang sejak tadi
menyaksikan pertempuran
segera menghadang.
"Siapa kalian!" bentak Bong Mini. Napasnya masih
turun naik karena begitu bernafsu hendak menghabisi nyawa Nyi Genit
"Kami dari Perkumpulan Pengemis Sakti!" sahut
Siangkoan Kun Hok yang menjadi pemimpin perkum-
pulan itu. Tubuhnya tinggi kurus, berpakaian com-
pang-camping dan kumal hingga menimbulkan bau
yang kurang sedap. Sedangkan rambutnya yang pan-
jang tak terurus digelung kecil. Mereka berasal dari negeri Manchuria. Datang ke
negeri Selat Malaka karena diutus oleh Thiang Tok, Raja Manchuria untuk
membantu gerakan Perguruan Topeng Hitam.
"Apa tujuanmu menghalangiku!" ketus Bong Mini
lagi. Siangkoan Kun Hok tersenyum.
"Menangkapmu dan mempersembahkan kepada Ke-
tua Perguruan Topeng Hitam. Baik hidup maupun ma-
ti!" tegas Siangkoan Kun Hok.
Bong Mini tersentak. Ia tidak mengira kalau lima
belas orang berpakaian pengemis yang sejak tadi me-
nyaksikan pertarungannya dengan Nyi Genit justru ingin bersekutu dengan
Perguruan Topeng Hitam.
"Aku memang belum bertemu dengan Ketua Pergu-
ruan Topeng Hitam kecuali dari pertempuran tadi. Tapi sebagai orang yang hendak
bersekutu dengan mereka,


Putri Bong Mini 06 Rahasia Pengkhianatan Baladewa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

aku harus memperlihatkan bakti dan kesetiaan. Nah,
bersiaplah!" usai berkata begitu, lima belas orang tadi langsung mengepung Bong
Mini dengan mempergunakan pedang dan tongkat masing-masing.
Menyadari Bong Mini masih letih karena pertaru-
ngan dengan Nyi Genit, Ong Lie dan Seyton segera
menjura pada Bong Mini.
"Kejarlah wanita yang bernama Nyi Genit tadi. Biar
kunyuk-kunyuk ini kami yang hadapi!" kata Ong Lie.
Bong Mini setuju. Lalu ia segera melompat setinggi
dua meter dan melesat meninggalkan arena pertaru-
ngan dengan melampaui kepala para pengepungnya.
Sedangkan Ong Lie dan Seyton segera melancarkan se-
rangan ke arah lima belas pengemis. Dibantu pula oleh Lima Pendekar Teluk Naga
dan Tiga Pendekar Mata
Dewa. *** Bong Mini sudah jauh meninggalkan tempat per-
tempuran tadi, namun wanita sesat yang dikejarnya tidak berhasil ditemukan.
Padahal dia sudah menge-
rahkan ilmu 'Halimun Sakti', sebuah ilmu yang mem-
buat larinya secepat angin.
Dengan perasaan jengkel, Bong Mini kembali ke
tempat semula. Di sana para pendekar tengah berta-
rung melawan lima belas orang Pengemis Sakti.
Ketika Bong Mini hendak kembali ke tempat semu-
la, tiba-tiba sepasang matanya melihat seorang wanita berpakaian kuning tengah
tersuruk-suruk di sebuah
bukit. "Hm..., itu dia!" gumam Bong Mini ketika yakin ka-
lau wanita yang berjalan tersuruk-suruk itu orang
yang sedang dicarinya, Nyi Genit. Tanpa membuang
waktu lagi, Bong Mini segera melesat ke atas Bukit Me-rapi untuk menghadangnya.
"Heh, Nenek Peot! Mau ke mana kau!" bentak Bong
Mini. Dia berdiri dalam jarak lima meter dari wanita tadi.
Wanita yang dibentak terkejut bukan main men-
dengar suara Bong Mini yang demikian keras. Apalagi ketika mengetahui kalau
orang yang memanggil ternyata gadis lawan bertarungnya tadi.
"Kau tak akan dapat menyelamatkan diri, Iblis Peot!
Hari ini juga aku akan mengirim nyawamu untuk san-
tapan para iblis yang selama ini kau puja!" geram Bong Mini lagi.
"Bocah tengik! Akan kupotong lidahmu yang lan-
cang itu!" geram Nyi Genit.
"Hup!"
Nyi Genit menghentakkan selendang hitamnya yang
tinggal satu meter. Dalam waktu sekejap, selendang itu berubah menjadi sebilah
pedang berwarna hitam. Rupanya pada saat menghentakkan selendang tadi, ia telah
mengerahkan ajian 'Tipu Daya Setan'. Sebuah ilmu sesat yang mengandung kekuatan
sihir. Melihat pedang hitam yang mengeluarkan sinar me-
nyeramkan itu, Bong Mini terkejut sekali. Namun dia tetap berusaha tenang.
Bahkan bibirnya tersenyum
mengejek, memancing kemarahan Nyi Genit.
"Huh! Pedang warna jelek begitu dibanggakan!"
"Tikus jelek, makanlah pedangku ini!" bentak Nyi
Genit setelah mendengar penghinaan itu. Kemudian ia membacok ke bahu Bong Mini
dengan gerakan menyilang.
Wut! Bong Mini mengelak serangan pedang itu dengan
memiringkan tubuh ke belakang. Kemudian tangan
kanannya yang sudah memegang Pedang Teratai Me-
rah bergerak, menangkis pedang hitam milik Nyi Genit.
Cringngng...! Trangngng...!
Nyi Genit terkejut bukan main ketika kedua ta-
ngannya terasa tergetar keras saat pedangnya bertemu dengan pedang Bong Mini. Ia
segera menarik pedangnya dan kembali menyerang Bong Mini dengan jurus
'Ekor Naga Membelit Mangsa'. Pedangnya menyambar-
nyambar dahsyat ke seluruh bagian tubuh Bong Mini.
Mirip gerakan ekor naga yang ganas menyerang lawan.
Wut wut wut! Sing sing singngng...!
Sambaran-sambaran pedang Nyi Genit tak sekali-
pun dapat menyentuh bagian tubuh Bong Mini. Karena
setiap serangan gencar yang mematikan itu selalu berhasil dielakkan Bong Mini
begitu cepat dengan ilmu
peringan tubuh yang sudah hampir mencapai kesem-
purnaan. Tubuhnya yang mungil itu dengan lincah
bergerak ke sana kemari, menghindari serangan. Sam-
bil menghindar, Bong Mini segera mengerahkan ilmu
'Pedang Samber Nyawa' dan jurus 'Walet Terbang Ren-
dah' pemberian papanya ketika ia berumur sebelas tahun. Tubuhnya yang mungil dan
ringan berkelebat di
seputar lawan mencari pertahanan lawan yang lowong.
Nyi Genit agak terkejut melihat serangan lawan
yang demikian cepat dan lincah berputar-putar di atas kepalanya. Membuatnya
sulit untuk mengawasi gerakan lawan secara cermat.
"Hiyaaat..!"
Mulut Nyi Genit tiba-tiba mengeluarkan lengkingan
panjang. Kemudian pedangnya diputar sedemikian ru-
pa, hingga tubuhnya tergulung oleh sinar pedangnya
sendiri. Kemudian dari gulungan sinar itu mencuat sa-
tu sinar menyambar ke dada Bong Mini yang sudah
menginjakkan kakinya di tanah.
"Uts!"
Dengan tenang Bong Mini meloncat ke belakang.
Ketika Nyi Genit mengejar, Bong Mini segera memba-
bat pedangnya. Wut! Trangngng!
Selarik sinar pedang menyambar leher lawan. Nyi
Genit yang tadi meloncat ke depan mengejar Bong Mini terpaksa menangkis dengan
pedangnya. Sing sing singngng...!
Bong Mini yang mengetahui pedangnya akan di-
tangkis, segera menarik kembali. Kemudian dilancar-
kannya serangan pedang kembali ke atas dan kiri tu-
buh lawan. Nyi Genit kaget. Terpaksa ia memutar pergelangan
tangannya yang memegang pedang untuk menangkis.
Trangngng! Trangngng!
Dentang nyaring terdengar dua kali. Kemudian pe-
dang Nyi Genit terlepas dan terlempar sejauh tiga meter. Sedangkan tangannya
terasa panas dan perih saat menangkis pedang Bong Mini.
Tanpa banyak cakap lagi tubuhnya meloncat ke be-
lakang dan melarikan diri. Nyi Genit sadar kalau bocah perempuan yang menjadi
lawannya itu mempunyai kepandaian yang melebihi kemampuannya. Kalau ia me-
lanjutkan pertarungan, tentu ia akan kalah dan tewas di tangan lawan yang amat
tangguh! "Hei, Iblis Betina Pengecut! Hendak lari ke mana
kau!" maki Bong Mini sambil mengejar. Karena saat
mengejar Bong Mini mengerahkan ilmu peringan tu-
buh, maka dalam waktu singkat ia dapat menyusul Nyi Genit yang tengah berlari
ketakutan. "Hep!"
Nyi Genit menghentikan gerakan kakinya, ketika di
depannya menganga sebuah jurang terjal dan amat da-
lam. Kemudian kepalanya menengok ke belakang, ter-
nyata Bong Mini makin dekat ke arahnya, membuat
wanita itu bingung.
"Hi hi hi, Nyi Genit, Nyi Genit! Mau lari ke mana lagi kau?" ejek Bong Mini saat
melihat wajah Nyi Genit di-cekam ketakutan.
Nyi Genit sadar kalau dirinya kini tidak bisa lolos dari kejaran lawan yang siap
menghabisi nyawanya.
Dalam ketakutannya, ia menjadi nekat dan meloncat
ke depan. Siuttt...! Tubuh Nyi Genit meluncur deras ke jurang.
"Eh, jangan nekat!" seru Bong Mini, sambil melon-
cat ke bibir jurang. Di sana matanya sempat melihat tubuh Nyi Genit yang
meluncur deras ke bawah.
Bong Mini menarik napas panjang sambil menya-
rungkan kembali pedangnya.
"Iblis setan itu tak mungkin hidup. Tubuhnya pasti
hancur terbentur batu-batu terjal!" gumam Bong Mini.
Kemudian tubuhnya melesat pergi menuju tempat di
mana kedua temannya, Ong Lie dan Seyton serta pen-
dekar dari dua perkumpulan tengah bertempur mela-
wan lima belas orang dari Perkumpulan Pengemis Sak-
ti. *** Sampai di tempat, Bong Mini melihat gejolak per-
tempuran sudah mulai menurun. Dari masing-masing
pihak sudah ada yang mati atau terluka. Dua pemuda
dari Lima Pendekar Teluk Naga terlihat tergeletak dengan tubuh berlubang akibat
tusukan pedang lawan.
Sedangkan dari pihak Pengemis Sakti sudah terkapar
tujuh orang dengan tubuh bersimbah darah.
"Hiyaaat!"
Trang trang trang!
Senjata kedua belah pihak kembali beradu keras,
hingga menimbulkan denting nyaring disertai pijaran api yang cukup terang.
"Aaakh...!"
"Aaakh...!"
"Aaakh...!"
Tiga di antara delapan orang dari Perkumpulan
Pengemis Sakti mengerang panjang saat pedang Hong
Tan Tosu dan Kok Thai Ki dari Lima Pendekar Teluk
Naga menebas perut dan lehernya. Mereka terhuyung
sebentar, lalu roboh tanpa dapat berkutik lagi.
"Haiiit..!"
Kao Cin Liong dan Kui Lok memekik tinggi sambil
menghujamkan pedang ke arah lawan masing-masing
dengan gerakan menusuk.
Creb! Creb! "Aaakh!"
"Aaakh!"
Dua orang dari Perkumpulan Pengemis Sakti roboh
ketika ujung pedang Kao Cin Liong dan Kui Lok dari
Pendekar Mata Dewa menusuk perut mereka.
Siangkoan Kun Hok terkejut ketika menyadari te-
mannya banyak yang tewas dan hanya tersisa dua
orang yang masih gigih menghadapi lawan-lawannya.
Dengan licik, ia segera melompat dan melesat meninggalkan tempat pertempuran
itu. Dua temannya yang sedang gigih menghadapi Ong
Lie dan Seyton terperanjat kaget melihat temannya lari dari pertempuran.
Keterkejutan mereka segera dimanfaatkan oleh Seyton dan Ong Lie untuk
membabatkan pedangnya ke arah lawan.
Crokkk! "Aaakh!"
"Aaakh!"
Dengan sadis pedang Ong Lie dan Seyton membabat
leher lawan, hingga kepala dua lawan mereka terlepas dari badan masing-masing.
Keduanya terhuyung sebentar, lalu roboh.
Tiga Pendekar Mata Dewa, Tiga Pendekar Teluk Na-
ga serta Ong Lie dan Seyton menghela napas ketika
mata mereka menatap mayat-mayat lawan. Kemudian
mereka memasukkan pedang ke sarungnya masing-
masing sambil melangkah menghampiri Bong Mini
yang sejak tadi menyaksikan pertarungan mereka.
"Terima kasih atas bantuan kalian yang telah mem-
bantuku dalam membasmi orang-orang sesat itu!" u-
cap Bong Mini, menyambut kedatangan para pendekar
gagah yang umurnya rata-rata sekitar tiga puluh ta-
hun. "Seharusnya kami yang mengucapkan terima kasih
kepada Nona, karena telah menghindari kami dari ke-
kejaman wanita sesat tadi!" kata Kok Thai Ki, Ketua Pendekar Teluk Naga. Dia
bertubuh sedang dengan jubah kuning tua. Rambut panjangnya digelung di atas
kepala. Begitu pula dengan dua temannya.
"Apa yang dikatakan Saudara...!"
"Kok Thai Ki!" kata Ketua Pendekar Teluk Naga itu,
memperkenalkan diri.
"Ya. Bila tidak ada Nona, tentu darah kami sudah
habis diisap wanita iblis itu!" sela Kao Cin Liong, Ketua Pendekar Mata Dewa.
Lelaki itu berpakaian putih setengah jubah dengan lukisan sepasang merpati
memba- wa tiga butir padi di bagian dadanya. Begitu pula dengan kedua temannya.
Bong Mini tersenyum ramah menyambut ucapan
Kao Cin Liong. "Tak ada kelebihan yang kuperbuat. Apa yang kula-
kukan tadi hanya satu kewajiban kita sebagai manusia yang harus hidup tolong-
menolong!" kata Bong Mini
merendah. Sepasang matanya berpijar-pijar meman-
dang enam pemuda gagah yang berdiri di hadapannya.
"Aku sangat kagum melihat pertempuran tadi!" puji
Kok Thai Ki. "Sebagai gadis muda belia, kau sanggup menghadapi dan mengimbangi
kesaktian wanita iblis
itu!" Bong Mini tersipu-sipu mendapat pujian barusan.
Tak ada yang bisa diucapkannya untuk menanggapi
pujian Kok Thai Ki, kecuali tersenyum seraya menun-
duk. "Kalau boleh aku tahu, dari mana sebenarnya Sau-
dara-saudara ini?" tanya Bong Mini, mengalihkan percakapan.
"Kami Pendekar Teluk Naga. Berasal dari negeri
Jenghoa, sebelah barat Tiongkok!" ujar Kok Thai Ki.
"Kedua temanku ini bernama Hong Tan Tosu dan Cu
Han Bu!" Dua teman Kok Thai Ki membungkuk hormat sam-
bil tersenyum pada Bong Mini.
Bong Mini mengangguk-angguk sambil tersenyum.
Kemudian dia memalingkan pandangannya pada tiga
pendekar lain. Sebelum ia bertanya, salah seorang dari mereka telah mendahului
dengan menyebutkan nama
perkumpulannya.
"Kami Pendekar Mata Dewa berasal dari negeri
Manchuria. Namaku Kao Cin Liong dan kedua teman-
ku ini bernama Sin Hong dan Kui Lok!"
Mendengar nama negeri Manchuria, Bong Mini jadi
tertegun. Ingatannya langsung terlempar pada negeri kelahirannya.
"Nama Nona sendiri siapa dan kenapa tiba-tiba ter-


Putri Bong Mini 06 Rahasia Pengkhianatan Baladewa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

cenung?" Kao Cin Liong balik bertanya.
Bong Mini terhenyak dari ketertegunannya. Kemu-
dian ia merubah sikap dengan mengembangkan se-
nyum terpaksa. "Namaku Bong Mini!" sahut Bong Mini memperke-
nalkan namanya. "Aku tertegun karena teringat negeri kelahiranku, Manchuria."
"Nona Mini berasal dari negeri Manchuria?" tanya
Kao Cin Liong ganti terkejut.
"Begitulah. Bagaimana keadaan rakyat di sana"
Apakah mereka masih hidup menderita?" tanya Bong
Mini. "Nona Mini tahu juga penderitaan rakyat di sana?"
Kao Cin Liong balik bertanya.
"Aku mengetahuinya dari seorang pendekar berna-
ma Khian Liong!"
"Khian Liong?" tanya Tiga Pendekar Mata Dewa se-
rentak. Sedangkan wajah mereka menunjukkan keter-
kejutan. "Hei, kenapa kalian terkejut seperti itu?" Bong Mini tak mengerti melihat
perubahan wajah Tiga Pendekar
Mata Dewa. "Ketahuilah, Non Mini. Kedatangan kami ke sini ju-
stru hendak mencari dia dan membunuhnya!" kata
Kao Cin Liong, penuh tekanan.
"Apa salahnya?" tanya Bong Mini masih dalam ke-
heranan. "Dia orang kepercayaan Raja Liang Tok yang ditu-
gaskan untuk memungut upeti rakyat Manchuria. Dua
tahun yang lalu dia ditugaskan Raja Liang Tok untuk menangkap bekas panglimanya
yang melarikan diri ke
negeri ini dengan menjalankan siasat yang terencana.
Dia berpura-pura meminta bantuan Kapten Kang un-
tuk menyelamatkan penderitaan rakyat negeri Man-
churia. Dengan demikian, pihak kerajaan akan mela-
kukan penangkapan terhadap Kapten Kang. Karena
sebagian prajurit kerajaan telah dikirim ke sini untuk melakukan penangkapan
bila berhasil membawa Kapten Kang ke dalam kapal yang dibawa Khian Liong. Se-
karang para prajurit kerajaan itu berada di markas
Perguruan Topeng Hitam. Karena perguruan tersebut
mempunyai hubungan dekat dengan Kerajaan Man-
churia," tutur Kao Cin Liong menjelaskan.
"Bangsat! Aku tidak menyangka kalau dia utusan
dari pihak kerajaan!" geram Bong Mini. Matanya berkilat-kilat menahan marah.
Kemudian ia berpaling pada Seyton. "Rupanya benar apa yang kau laporkan tempo
hari kalau Khian Liong bersekutu dengan Perguruan
Topeng Hitam!"
Seyton membalas ucapan itu dengan mengangguk-
kan kepala. Begitu pula dengan Ong Lie.
"Tahukah kalian, siapa Kapten Kang itu sebenar-
nya?" tanya Bong Mini kepada Tiga Pendekar Mata
Dewa. "Dia adalah papaku sendiri yang sekarang me-
rubah namanya dengan sebutan Bongkap!"
Tiga Pendekar Mata Dewa terkejut mendengar pen-
jelasan Bong Mini. Ketiganya tidak mengira kalau gadis di hadapan mereka adalah
putri seorang mantan Panglima Kerajaan Manchuria yang terkenal dengan julu-
kan 'Singa Perang' itu. "Pantas kalau tadi ia begitu gagah berhadapan dengan Nyi
Genit," begitu pikir Tiga Pendekar Mata Dewa.
"Jika memang tahu kalau Khian Liong mata-mata
Raja Manchuria dan bersekutu dengan Perguruan To-
peng Hitam, kenapa baru sekarang kalian datang men-
carinya?" tanya Bong Mini ingin tahu.
"Kami baru mengetahuinya saat Raja Manchuria
mencari para pendekar untuk dikirim ke Perguruan
Topeng Hitam dan membantu gerakannya di negeri ini.
Oleh karena itu kami pura-pura bersedia bersekutu
dengan Perguruan Topeng Hitam agar bisa memper-
oleh biaya untuk menginjak negeri ini!" kata Kao Cin Liong menjelaskan.
Bong Mini mengangguk-angguk.
"Begitu pula dengan kami. Tatkala mendengar Raja
Manchuria mencari para pendekar, kami langsung
menyatakan diri untuk bersekutu dengan pihaknya.
Lalu aku dikirim ke sini!" celetuk Kok Thai Ki, Ketua Pendekar Teluk Naga.
"Lalu sebenarnya apa tujuanmu datang ke negeri
ini?" tanya Bong Mini.
"Sama dengan Tiga Pendekar Mata Dewa. Aku ingin
membantu rakyat negeri ini dari kebiadaban orang-
orang sesat seperti yang dilakukan Perguruan Topeng Hitam!" sahut Kok Thai Ki.
Bong Mini kembali mengangguk-angguk.
"Kalau begitu, sekarang kita berangkat menemui
papaku. Kita bicarakan persoalan ini dengannya!" kata Bong Mini, mengajak para
pendekar yang berpihak kepadanya itu.
Dua perkumpulan tersebut langsung menyetujui.
Dan tidak lama kemudian mereka pun berangkat me-
nuju Kampung Dukuh, tempat tinggal Bongkap dan
pengikutnya. *** 3 Waktu telah merangkak dalam denyut malam. Bu-
lan tampak bagai di atas dahan, menampakkan dirinya setengah badan. Disemarakkan
oleh kumpulan bintang di sekelilingnya, membuat alam tampak remang.
Bentuk pepohonan dan rumah-rumah penduduk yang
biasanya tak terlihat saat malam turun, kini tampak walau hanya samar-samar.
Meskipun malam itu terasa indah, para penduduk
Kampung Dukuh tampaknya malas untuk keluar. Su-
asana malam itu di Kampung Dukuh terasa sunyi dan
mencekam. Terlihat dari jalan-jalan yang lengang.
Dalam suasana yang remang itu, dua puluh lima
penunggang kuda memasuki Kampung Dukuh dari
arah utara. Mereka adalah pasukan Perguruan Topeng
Hitam yang mendapat perintah dari Kidarga untuk me-
lakukan pembakaran rumah-rumah penduduk di seki-
tar tempat tinggal Bongkap, sekaligus menangkap lela-ki itu baik hidup atau
mati. Sebelumnya Kidarga memang telah menyerahkan
persoalan penangkapan Bongkap kepada Khian Liong.
Berhubung cara kerja Khian Liong memakan waktu
lama karena harus melakukan pendekatan secara
baik-baik, maka ia pun memutuskan untuk menye-
rang dan menangkap Bongkap secara terang-terangan.
Dia sudah tidak ingin membiarkan Bongkap dan peng-
ikutnya hidup lebih lama. Apalagi ambisinya untuk
menguasai negeri Selat Malaka secara mutlak terus
berkobar-kobar. Sehingga menghilangkan pikiran jer-
nihnya untuk melakukan taktik jitu dalam upaya me-
lakukan penangkapan terhadap Bongkap.
"Berhenti!" ucap Khian Liong tiba-tiba dengan suara setengah berbisik.
Mendengar aba-aba itu, teman-temannya serentak
menghentikan langkah kuda mereka.
"Giwang," ujar Khian Liong kepada pemimpin pasu-
kan berkuda yang berada di sebelahnya. "Aku mengan-
tarmu bersama pasukan sampai di sini. Selanjutnya,
kau bersama pasukanmu yang akan melakukan pe-
nyerangan terhadap Bongkap dan pengikutnya. Letak-
nya seratus meter dari sini," lanjut Khian Liong.
"Kau sendiri hendak ke mana?" tanya Giwang.
"Aku akan melakukan penangkapan terhadap Putri
Bong Mini dengan caraku sendiri," sahut Khian Liong menjelaskan.
Giwang mengangguk-angguk.
"Baiklah kalau begitu. Semoga berhasil!" ucap Gi-
wang. "Selamat berjuang!" balas Khian Liong. Lalu ia me-
macu kuda melewati jalan yang tadi dilaluinya.
"Lanjutkan perjalanan!" perintah Giwang kepada
pasukan yang dipimpinnya. Seketika itu juga, derap
kaki kuda mereka terdengar memecah kesunyian ma-
lam. Namun baru lima puluh meter mereka memacu
kuda, Giwang kembali memberi aba-aba kepada pasu-
kannya untuk berhenti.
"Lima orang di antara kalian bergerak ke sana!" pe-
rintah Giwang seraya menunjuk ke arah jajaran ru-
mah-rumah penduduk. "Lakukan apa yang telah di-
rencanakan!" lanjut Giwang.
Lima orang bertopeng hitam segera turun dari kuda.
Tubuh mereka melesat ke arah rumah-rumah pendu-
duk dengan membawa kaleng minyak yang sejak tadi
dipersiapkan di atas punggung kuda. Sedangkan dua
puluh orang lain tetap duduk di atas punggung kuda, menunggu perintah
selanjutnya. Malam semakin hening. Suara jangkrik ramai ber-
sahutan, seolah bernyanyi tiada henti.
Kelima orang bertopeng hitam yang menuju rumah-
rumah penduduk tadi telah selesai menyiramkan mi-
nyak ke sekeliling rumah di sekitar tempat itu. Selanjutnya, mereka menyalakan
api pada tempat yang te-
lah diberi minyak. Dalam sekejap, terlihatlah kobaran api yang menjilat-jilat
rumah penduduk. Kemudian kelima orang tadi segera kembali ke tempat di mana
Giwang dan teman-temannya menyaksikan kobaran api
dari jarak lima puluh meter.
"Api! Api! Kebakaran!"
Teriakan nyaring penduduk terdengar. Mereka ba-
ngun dari tidurnya ketika merasakan udara panas di
sekitar tempat mereka. Ketika melihat api, mereka pun segera berteriak-teriak
sambil menyelamatkan diri masing-masing. Ada pula yang berlari keluar sambil
menggendong anak mereka yang masih kecil. Sedang-
kan sebagian penduduk lain ada yang mati tertimpa
reruntuhan rumah dan terbakar api saat berusaha
menyelamatkan hartanya.
Bongkap dan pengikutnya terbangun pula dari ti-
durnya. Kemudian mereka meloncat ke luar saat meli-
hat api berkobar di sekeliling tempat tinggal mereka.
"Seraaang!" tiba-tiba Giwang memberi perintah pada
pasukannya. Pasukan berkuda yang terdiri dari orang-orang bertopeng hitam itu
segera bergerak ke tengah hiruk-pikuk warga yang sedang menyelamatkan diri.
"Sang Piao, selamatkan Ratih dan Thong Mey dari
tempat ini!" perintah Bongkap saat melihat pasukan
berkuda mengarah kepadanya.
Tanpa berkata lagi, Sang Piao segera naik ke pung-
gung kuda. Diikuti oleh Thong Mey dan Ratih Purbasa-ri. Mereka turut naik ke
punggung kuda yang ditung-
gangi Sang Piao. Dan setelah tangan mereka saling
berpegangan, Sang Piao segera memacu kudanya de-
ngan cepat. Sementara itu, Bongkap dan Ashiong serta empat
orang Perguruan Topeng Hitam yang telah sadar dan
menjadi pengikut Bongkap (baca episode 4: 'Iblis Pulau Neraka'), sibuk
menghadapi serangan dua puluh lima
orang berkuda. Sehingga malam di Kampung Dukuh
menjadi penuh dengan ringkik kuda, jerit kematian,
darah, dan kobaran api yang membakar seluruh ru-
mah penduduk. Trang trang trang!
Bret! "Aaakh!"
Denting pedang berbaur dengan pekik kematian
yang susul-menyusul.
Para penduduk yang sebelumnya tunggang-lang-
gang menyelamatkan diri dan barang-barangnya, turut membantu pihak Bongkap
melawan pasukan Perguruan Topeng Hitam. Dengan parang maupun kayu pe-
mukul, mereka menyerang membabi-buta. Penuh api
kebencian dan kemarahan yang meledak-ledak.
Trang trang trang!
Benturan senjata yang datang dari arah berlawanan
menimbulkan pijaran api yang cukup terang. Kemu-
dian disusul dengan teriakan-teriakan kematian dari kedua belah pihak.
Sementara itu, dengan ganas Bongkap memutar-
mutar pedang lewat jurus 'Pedang Samber Nyawa'. Pe-
dangnya begitu cepat berputar bagai baling-baling
kapal. Saking cepatnya, pedang itu hanya meninggal-
kan cahaya dan desing angin.
Sing sing singngng!
"Aaakh!"
"Aaakh!"
"Aaakh!"
Tiga orang bertopeng memekik tertahan ketika pe-
dang Bongkap yang berputar itu membabat mereka.
Dalam sekejap, ketiganya jatuh dari punggung kuda
dan tak dapat bangkit kembali.
"Hiaaat...!"
Sebuah lengkingan panjang tiba-tiba datang dari
kejauhan. Disusul dengan derap kaki kuda menuju
tempat pertempuran.
Sing sing sing...!
Pedang panjang yang diputar oleh penunggang kuda
itu menimbulkan suara desingan yang menggidikkan.
Sret sret sret!
"Aaakh!"
"Aaakh!"
"Aaakh!"
Pekik kematian kembali terdengar dari mulut tiga
orang bertopeng. Disusul dengan robohnya tubuh keti-ga orang itu dari punggung
kuda. Mereka mati di
ujung pedang Sang Piao yang baru datang ke tengah
pertempuran setelah membawa Ratih Purbasari dan
Thong Mey ke tempat yang lebih aman. Dan ketika
kembali, dia langsung memacu kuda ke tengah per-
tempuran seraya memutar-mutar pedangnya di atas
kepala dan langsung menghujam tiga orang bertopeng
dengan ganas. Melihat kedatangan tiba-tiba Sang Piao dengan per-
mainan jurus 'Pedang Samber Nyawa' yang demikian
dahsyat, orang-orang bertopeng tampak terkejut hing-ga serangan mereka menjadi
tak karuan. Keadaan itu
dimanfaatkan oleh Bongkap, Ashiong, dan pengikut
lainnya untuk mendesak mereka dengan gencar.
Wut wut wuttt...!
Sreset.... Bret!
Angin yang ditimbulkan senjata pedang yang di-
arahkan ke tubuh lawan, terdengar mendesing di sekitar tempat pertempuran.
Kemudian disusul dengan ro-
beknya perut dan leher lawan.


Putri Bong Mini 06 Rahasia Pengkhianatan Baladewa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aaakh!"
Lima orang dari pasukan bertopeng terlempar dari
punggung kuda dengan perut dan leher bersimbah da-
rah, terkena sabetan pedang atau parang yang diayunkan lawan ke arahnya. Belum
lagi yang mengalami lu-
ka-luka. Melihat pasukannya banyak yang mati dan terluka,
Giwang yang sejak tadi hanya menonton dari pung-
gung kuda segera menggebah kudanya untuk maju ke
depan dengan pedang di tangan. Dia langsung menye-
rang Bongkap dengan jurus 'Pedang Iblis Mencabut
Nyawa'. Bongkap mengetahui serangan itu. Dia langsung
menyambut dengan jurus 'Pedang Samber Nyawa'.
Trang trang trangngng...!
Benturan senjata mereka menimbulkan pijaran te-
rang. Giwang membalikkan kudanya dan menyerang
Bongkap kembali.
Wut! Trang! Senjata mereka kembali bertemu. Tetapi kali ini Gi-
wang hampir terjatuh dari punggung kudanya, karena
tenaga Bongkap ternyata lebih besar. Dia tidak tahu kalau setiap menyerang dan
menangkis, Bongkap selalu menyertakan ilmu andalannya yang disebut ilmu
'Pembangkit Tenaga'.
"Masih muda tenagamu sudah payah!" ejek Bong-
kap sambil menangkis serangan lawan.
"Monyet buntung! Rasakan seranganku!" usai ber-
kata begitu, ia langsung mengeluarkan cambuk sepan-
jang tiga meter dari balik bajunya, lalu memecut Bongkap.
Ctar ctar ctar!
Serangan cambuk Giwang begitu dahsyat diarahkan
ke tubuh lawan, hingga Bongkap terpaksa menghinda-
ri serangan itu dengan cara bersalto dan bergulingan di tanah.
"Ha ha ha...! Mampuslah kau hari ini, Bongkap!" Gi-
wang tertawa terbahak melihat lawan kewalahan
menghindari serangan dahsyat cambuknya. Serangan
itu terus beruntun tiada henti, karena Giwang mengi-tari tubuh lawannya di atas
kuda tunggangannya.
"Hiyaaat..!"
Tiba-tiba Bongkap yang bergulingan di atas tanah
melakukan terjangan ke arah Giwang. Ditubruknya
lawan hingga terjungkal.
Desss! "Aaakh!"
Tubuh Giwang terlempar dari punggung kuda. Se-
dangkan cemetinya terlepas pula dari tangannya ka-
rena kaget mendapat serangan yang tak terduga itu.
Bongkap yang sudah kalap tidak menyia-nyiakan
kesempatan itu. Ia langsung menghujamkan tenda-
ngan dahsyatnya lewat jurus kungfu 'Tanpa Baya-
ngan'. "Hiaaat...!"
Duk duk dukkk! Tendangan kaki Bongkap begitu cepat mendarat di
wajah Giwang yang sedang berusaha bangkit. Tatkala
mendapat tendangan itu, ia kembali terpental ke belakang.
"Aaakh...!"
Bukkk! Giwang jatuh dengan mulut berlumur darah. Dan
saat itu pula Bongkap mengejar dan menjejakkan kakinya ke dada lawan dengan
keras. "Hiaaat!"
"Hegh!"
Giwang mengeluarkan suara tertahan. Bersamaan
dengan itu tubuhnya terkulai tak berdaya dengan mu-
lut dipenuhi darah dan mata mendelik.
Melihat pemimpinnya tewas di tangan Bongkap, tiga
orang Perguruan Topeng Hitam yang masih hidup
langsung menjadi gentar. Ketiganya berusaha melari-
kan diri. Namun dua di antara mereka berhasil ter-
tangkap penduduk yang turut bertempur. Kemudian
keduanya dihajar beramai-ramai dengan kayu pemu-
kul, hingga mereka mati dengan bentuk wajah yang
tak jelas lagi. Begitulah keadaan masyarakat yang sudah dibakar api amarah.
Mereka bisa lebih buas dari harimau. Apalagi jika teringat pada tempat tinggal
mereka yang habis dibakar oleh orang-orang bertopeng
tadi. Setelah puas menghabisi nyawa Ketua Pasukan Per-
guruan Topeng Hitam, Bongkap melangkah mengham-
piri kerumunan penduduk yang terlihat bingung. Me-
reka bingung karena tidak tahu lagi di mana harus
tinggal. Karena rumah mereka telah habis terbakar.
Yang tersisa hanya potongan-potongan arang di antara rambahan kepulan asap
tebal. Bongkap terdiam beberapa saat. Sepasang mata si-
pitnya memandang para penduduk satu persatu. Ha-
tinya terenyuh melihat wajah-wajah penduduk yang
demikian memelas seperti menggantungkan harapan
kepadanya. "Apa rencana kalian selanjutnya?" tanya Bongkap
dengan suara bergetar karena menahan haru. Ia me-
mang terkenal sadis terhadap lawan dan menjadi 'Sin-ga Perang' dalam
pertempuran, namun jika melihat
wajah-wajah derita seperti itu hatinya langsung tersen-tuh.
"Kami tidak tahu, Tuan. Untuk tidur malam ini pun
kami tidak tahu entah di mana!" sahut seorang penduduk bertubuh tinggi kurus
serta wajah pipih. Umurnya sekitar lima puluh tahun. Dia dan penduduk lainnya
tidak tahu kalau orang di hadapannya adalah rajanya sendiri. Karena selama ini,
Bongkap memang selalu
menyamar sebagai penduduk biasa agar dapat akrab
dan leluasa bercakap-cakap dengan para penduduk
tanpa merasa risih. Baik bagi diri Bongkap maupun
penduduk yang diajak bicara.
Dalam kebingungan itu, tiba-tiba Bongkap teringat
akan sahabatnya, Prabu Jalatunda yang tinggal di De-sa Padomorang. Pikirnya,
"Hanya ke tempat Prabu Ja-
latunda ia meminta perlindungan untuk penduduk
yang kehilangan tempat tinggalnya itu."
"Apakah kalian ingin ikut serta dengan kami?" ta-
nya Bongkap kepada penduduk yang memperlihatkan
wajah duka itu.
"Ke mana, Tuan?" tanya lelaki tua tadi.
"Ke Desa Padomorang. Di sana, selain aku punya
sahabat seorang saudagar kaya, tempatnya juga agak
aman dari tindakan orang-orang Perguruan Topeng Hi-
tam," kata Bongkap menjelaskan.
Untuk beberapa saat para penduduk terdiam. Me-
reka tampak saling berpandangan satu dengan yang
lainnya. "Kami setuju, Tuan. Daripada hidup telantar tanpa
tempat tinggal dan harta benda," sahut lelaki tua tadi setelah mendapat
kesepakatan penduduk lain.
"Kalau begitu, malam ini juga kita berangkat ke sa-
na. Dan untuk mempercepat perjalan, kita gunakan
kuda-kuda milik orang-orang bertopeng itu," kata
Bongkap. Lalu ia mengalihkan pandangannya ke arah
Sang Piao. "Di mana Ratih dan Thong Mey kau tem-
patkan?" "Tidak jauh dari sini. Kita bisa menjemputnya sam-
bil berangkat ke Desa Padomorang!" sahut Sang Piao.
Bongkap mengangguk.
"Ayolah kita berangkat sekarang!" ajak Bongkap la-
gi. Kemudian ia melangkah menuju dua puluh ekor
kuda milik pasukan Perguruan Topeng Hitam. Begitu
pula dengan yang lain. Mereka masing-masing naik ke atas punggung kuda.
Selanjutnya, mereka segera menarik tali kekang kuda, memacu menembus kegelapan
malam. *** Waktu terus berjalan tanpa terasa.
Bulan purnama di cakrawala masih tampak. Namun
cahayanya telah pias. Pertanda kalau waktu telah
menjelang pagi.
Dalam suasana pagi yang masih diselimuti kabut,
delapan lelaki muda dan seorang wanita cantik berpakaian merah ketat, tampak
berjalan gagah memasuki
Kampung Dukuh dari arah timur. Wajah mereka me-
nampakkan keletihan yang amat sangat. Menunjukkan
kalau mereka telah melakukan perjalanan yang sangat jauh.
Sembilan orang itu tidak lain Putri Bong Mini dan
pengikutnya, Ong Lie, Seyton, Pendekar Mata Dewa,
dan Pendekar Teluk Naga. Sejak seharian kemarin me-
reka melakukan perjalanan dari Kota Girik menuju
Kampung Dukuh. Tujuannya tidak lain hendak berte-
mu dengan Bongkap.
Bong Mini dan delapan pendekar lain terus melang-
kah tanpa menghiraukan serangan rasa letih. "Biarlah mereka beristirahat bila
sudah sampai di rumah Ratih Purbasari yang dijadikan tempat tinggal sementara
Bongkap dan pengikutnya," pikir Bong Mini. Namun
betapa terkejutnya Bong Mini dan kedelapan pendekar lain ketika melihat rumah
yang dituju telah berubah menjadi arang bersama rumah-rumah penduduk lain
di sekitar tempat itu.
"Papa!" keluh Bong Mini sambil berlari mendekati
reruntuhan rumah yang dulu dijadikan tempat tinggal papanya. Di sana ia termangu
memandang reruntuhan
rumahnya yang masih meninggalkan bara api. Seakan-
akan ia tidak percaya terhadap penglihatannya sendiri.
Begitu pula dengan delapan pendekar lain. Mereka
hanya dapat berdiri terpaku tanpa tahu apa yang ha-
rus diperbuat. "Jahanam! Orang-orang Perguruan Topeng Hitam
benar-benar iblis terkutuk!" maki Bong Mini dengan
mata berbinar-binar ketika melihat puluhan orang bertopeng tergeletak dengan
tubuh bermandi darah.
"Pasti semalam mereka membakar rumah pendu-
duk kampung ini!" geram Bong Mini sambil menga-
lihkan pandangan ke arah mayat-mayat penduduk
yang tak berdosa. Ditelitinya mayat-mayat itu satu
persatu. Khawatir ada pengikut papanya yang terbu-
nuh dalam pertempuran itu. Namun setelah semua
mayat diperhatikan, ia tidak mendapatkan seorang
mayat pun dari pihak papanya.
"Adakah dari mayat-mayat ini yang kau kenal?"
tanya Kok Thai Ki, Ketua Pendekar Teluk Naga.
"Mereka adalah penduduk dan orang-orang Pergu-
ruan Topeng Hitam," sahut Bong Mini.
"Pengikut papamu tak ada yang tewas?" tanya Kao
Cin Liong, Ketua Pendekar Mata Dewa.
Bong Mini menggeleng lemah.
"Rupanya papaku dan pengikut lainnya pergi ke
tempat lain setelah berhasil menumpas iblis-iblis jaha-nam ini!" kata Bong Mini
setengah geram.
"Kira-kira ke mana papamu dan pengikutnya per-
gi?" tanya Kok Thai Ki.
"Entahlah! Tapi menurut perkiraanku pasti ke Desa
Padomorang!"
"Ke tempat siapa?" tanya Kok Thai Ki lagi.
"Ke rumah Prabu Jalatunda, seorang pengusaha ka-
ya di tempat itu!" sahut Bong Mini menjelaskan.
"Kalau begitu kita segera menyusul ke sana. Kita
harus secepatnya menyusun kekuatan untuk menum-
pas orang-orang Perguruan Topeng Hitam!" usul Kao
Cin Liong. "Memang itu yang menjadi rencana kita. Ayo be-
rangkat!" timpal Bong Mini. Dan tanpa membuang
waktu lagi mereka segera melangkah ke arah selatan, menuju Desa Padomorang, di
mana Prabu Jalatunda
dan istrinya berada.
*** 4 Kidarga berjalan mondar-mandir di sekitar halaman
markas Perguruan Topeng Hitam di Bukit Setan yang
dikelilingi benteng setinggi lima meter. Pikirannya terus tertuju pada istrinya,
Nyi Genit yang belum juga kembali.
"Ke mana lagi istriku pergi hingga sampai saat ini
belum juga kembali" Apakah di sana ia mendapat tan-
tangan?" pikirannya bertanya.
"Ah, tidak mungkin! Kalaupun ada, ia pasti dapat
mengatasinya dengan ilmu kesaktian yang dimilikinya.
Lalu kenapa dia pergi begitu lama?" tanya hatinya lagi-Di saat ia asyik bermain-
main dengan pikirannya,
tiba-tiba muncul seorang anak buahnya yang berhasil meloloskan diri dari amukan
penduduk Kampung Dukuh.
Kidarga menoleh sekilas pada anak buahnya itu, la-
lu kembali melangkah perlahan sambil bertanya.
"Sudah selesai menjalankan tugas, Gembil?"
"Sudah, Ketua!" sahut Gembil seraya berjalan ta-
kut-takut mengikuti langkah pemimpinnya.
"Bagus!" ucap Kidarga. Dihentikan langkahnya un-
tuk memandang Gembil. "Giwang mana?"
Gembil terdiam. Wajahnya menunduk takut-takut.
"Kenapa diam" Ada apa dengan Giwang?" tanya Ki-
darga seraya menatap tajam anak buahnya.
"Giwang..., tewas!" sahut Gembil terbata. Tanpa be-
rani mengangkat wajahnya.
Kidarga terperanjat mendengar keterangan itu. Di-
pandangnya Gembil dengan sorot mata mengandung
kemarahan. "Kalau kau telah melaksanakan tugas, kenapa Gi-
wang bisa mati?" tanya Kidarga dengan amarah me-
luap-luap. "Kami memang sudah membakar rumah-rumah
penduduk Kampung Dukuh, termasuk rumah Bong-
kap dan pengikutnya. Namun pada saat penyerangan,
Bongkap bersama pengikutnya melakukan perlawanan
gigih. Bahkan tanpa diduga, para penduduk pun mem-
bantu menyerang pasukan kami!" sahut Gembil menje-
laskan. "Lalu bagaimana dengan Bongkap dan pasukan-
nya?" "Mereka berhasil memenangkan pertempuran itu!"


Putri Bong Mini 06 Rahasia Pengkhianatan Baladewa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jelas Gembil. "Goblok!" bentak Kidarga dengan suara meninggi.
Membuat tubuh Gembil tersentak kaget.
"Tak ada gunanya kalian membakar habis rumah
Pengemban Dosa Turunan 2 Dewa Linglung 8 Pertarungan Dua Naga Bulan Berdarah 2
^