Pencarian

Pelangi Dilangit Singosari 21

01 Pelangi Di Langit Singasari Karya S H. Mintarja Bagian 21


Sepasang anak-anak muda itu tidak membiarkan dirinya diserang, sehingga merekalah yang melancarkan serangan beruntun berganti-ganti. Tetapi lawannya adalah seorang guru yang namanya cukup dikenal, meskipun kurang sedap. Sehingga karena itu, maka serangan-serangan mereka berdua, seolah-olah tidak lebih dari suatu permainan yang menjemukan bagi Empu Sada.
Tetapi kedua anak muda itu pun tidak terlampau mengecewakan. Sekali-sekali serangan mereka berbahaya juga, sehingga kadang-kadang Empu Sada pun terpaksa berloncatan ke samping.
Demikianlah, maka Witantra dan Mahendra bertempur berpasangan dengan serasi. Mereka dapat isi mengisi dan benar-benar menggabungkan kekuatan mereka dalam suatu kesatuan seolah-olah Empu Sada kini berhadapan dengan seorang lawan yang memiliki kemampuan dua kali lipat dari apabila harus dilawannya seorang demi seorang.
Namun Empu Sada itu masih juga sempat tertawa sambil berkata, "Huh, aku benar-benar iri melihat cara kalian bertempur. Serasi benar seperti otak kalian dihubungkan dengan satu perintah, sehingga gerak dari yang seorang merupakan rangkaian gerak dari yang lain."
Witantra dan Mahendra sama sekali tidak menjawab. Tetapi mereka merasa bahwa Empu Sada belum benar-benar hendak menjatuhkan mereka. Mereka sadar, bahwa kini Empu Sada sedang mencoba menjajaki, sampai di mana kemampuan mereka berdua dibandingkan dengan murid-muridnya sendiri.
Sementara itu terdengar Empu Sada berkata pula, "Di manakah saudara seperguruanmu yang satu lagi" Apabila kalian bertempur bertiga alangkah dahsyatnya. Mungkin kalian bertiga akan merupakan pasangan yang paling serasi yang pernah aku lihat."
Witantra dan Mahendra masih tetap berdiam diri. Namun di dalam dada Witantra bergolaklah kebimbangan hatinya. Apakah ia harus memanggil beberapa orang untuk menemaninya bertempur, atau ia harus menghadapi setan itu berdua. Masing-masing mempunyai bahayanya sendiri-sendiri.
Dalam pada itu, Kebo Ijo telah menyampaikan pesan Witantra kepada perwira bawahannya, Sidatta. Perwira itu mengerutkan keningnya sambil bertanya perlahan-lahan, "Di mana Kakang Witantra sekarang?"
"Masih di tempatnya. Mungkin Kakang Witantra ingin menangkap orang itu."
"Bukankah itu cukup berbahaya" Orang itu mungkin sengaja memancing Kakang Witantra untuk menjauhkannya dari rombongan ini."
"Mungkin." "Kalau demikian, apakah kita perlu datang menolongnya?"
Kebo Ijo terdiam sejenak, otaknya pun tidak terlalu tumpul betapapun bengalnya anak itu. Karena itu maka ia pun bertanya kembali, "Apakah kita akan meninggalkan Ken Dedes itu bersama-sama?"
Sidatta terdiam. Tentu ia tidak dapat melepaskan prajurit ini tanpa pimpinan. Namun di antara mereka masih ada seorang lagi yang dapat diserahinya. Tetapi Sidatta kini menjadi ragu-ragu. Ketika ia menengadahkan wajahnya dan memandang berkeliling, dilihatnya hutan di sekitarnya terlampau sepi. Dilihatnya beberapa orang prajurit berbaring di tempat yang berserakan. Sedang beberapa orang yang lain, masih berjaga-jaga di tempat yang sudah ditentukan. Adalah lebih baik demikian daripada mereka berkumpul menjadi satu. Dalam keadaan yang demikian, maka apabila mereka harus menghadapi bahaya, maka kesempatan akan menjadi lebih banyak.
Sementara itu Kebo Ijo pun menjadi gelisah pula. Witantra dan Mahendra tidak segera kembali membawa atau tidak membawa orang yang akan ditangkapnya itu.
Karena itu maka tiba-tiba ia berkata kepada Sidatta, "Aku akan melihat Kakang Witantra dan Mahendra. Kenapa ia terlampau lama tidak juga kembali."
"Lalu bagaimana menurut pertimbanganmu?" bertanya Sidatta, "apakah aku ikut serta pula?"
Kebo Ijo mengerutkan keningnya. Ditatapnya wajah perwira itu. Sebenarnya perwira itulah yang harus mengambil keputusan. Tetapi karena Kebo Ijo yang dianggapnya lebih mengetahui persoalannya, maka Sidatta merasa perlu mendengar pertimbangannya.
Sejenak kemudian Kebo Ijo itu menjawab, "Aku akan pergi sendiri lebih dahulu. Ken Dedes masih perlu mendapat pengawalan yang kuat."
"Baiklah," sahut Sidatta, "tetapi hati-hatilah."
Kebo Ijo pun kemudian melangkah pergi. Tidak tergesa-gesa, seakan-akan tidak ada suatu keperluan apapun, sehingga langkahnya tidak menimbulkan kesan apa-apa bagi para prajurit yang lain dan bagi Ken Dedes yang duduk di samping tandunya.
Ketika Kebo Ijo telah menghilang dibalik dedaunan, maka Sidatta pun berdiri pula dan berjalan mendekati perwira yang lain. Mereka bercakap-cakap sebentar. Kemudian kembali Sidatta meninggalkan kawannya. Tetapi Sidatta tidak kembali ke tempatnya, namun ia pergi menemui Ken Dedes. Katanya, "Tuan Putri, apakah Tuan Putri tidak ingin beristirahat" Mungkin Tuan Putri dapat berbaring melepaskan lelah, meskipun barangkali tempat ini sama sekali tidak menyenangkan bagi Tuan Putri."
Ken Dedes mengangguk, katanya, "Aku belum mengantuk Kakang Sidatta."
Sidatta mengangguk kepalanya, kemudian katanya, "Sebaiknya Tuan putri beristirahat sebaik-baiknya, supaya besok tidak terlampau lelah. Perjalanan ke Panawijen sebenarnya sudah tidak begitu jauh lagi. Sebelum matahari sepenggalah, kita besok pasti sudah sampai. Meskipun begitu, perjalanan yang sehari ini barangkali terlampau melelahkan."
"Terima kasih," sahut Ken Dedes.
Tetapi Ken Dedes tidak segera berbaring atau bersandaran diri pada tandunya. Ia masih saja duduk bersimpuh memandangi nyala perapian di hadapannya.
Sidatta tidak mempersilakannya lagi. Namun ia segera bergeser dan duduk tidak terlampau jauh dari gadis itu.
Di sisi yang lain tanpa setahu Ken Dedes, dan bahkan hampir tidak mendapat perhatian dari siapa pun juga, perwira yang seorang lagi bergeser pula mendekati Ken Dedes. mereka berdua harus selalu berhati-hati menghadapi setiap kemungkinan yang dapat terjadi. Titik puncak dari pertanggungjawaban mereka kali ini adalah bakal permaisuri Akuwu Tunggul Ametung itu.
Kebo Ijo yang telah hilang dibalik dedaunan, segera meloncat dengan tangkasnya mencari kedua kakak seperguruannya. Dengan hati-hati dicarinya kembali jalan yang dilampauinya ketika ia meninggalkan kedua kakak seperguruannya. Tetapi ketika ia sampai ke tempat yang dicarinya, Witantra dan Mahendra telah tidak ada di tempat itu.
Kebo Ijo menjadi ragu-ragu sejenak. Dipasangnya telinganya baik-baik, barangkali ia mendengar sesuatu. Dan ternyata ia memang mendengar sesuatu. Tidak terlampau jauh, karena itu segera ia meloncat ke arah suara itu.
Suara itu adalah suara batang-batang perdu yang terinjak kaki-kaki mereka yang sedang bertempur. Ranting-ranting yang patah dan kadang-kadang diselingi dentang senjata beradu. Pedang Witantra dan Mahendra, berbenturan dengan tongkat Empu Sada. Tongkat itu tampaknya terlampau kecil dan panjang, namun ternyata tongkat itu pun mempunyai kekuatan yang mengagumkan.
Ketika Kebo Ijo muncul di dekat perkelahian itu, terdengar suara Empu Sada tertawa. Katanya, "Nah, ternyata adikmu datang pula Witantra. Ayo, jadilah pasangan yang manis."
Kebo Ijo menggeram. Sekali ia meloncat maju langsung menerkam Empu Sada dengan pedangnya.
Kini Witantra bertempur bertiga dengan adik-adik seperguruannya. Kekuatan mereka pun bertambah pula dengan Kebo Ijo. Namun mereka bertiga hampir-hampir tidak berdaya menghadapi Empu Sada yang jauh terlampau sakti daripada mereka. Empu Sada adalah seorang guru yang setingkat dengan guru mereka sendiri.
Yang tertua dari mereka adalah Witantra kecuali tertua dalam perguruannya, umurnya pun tertua pula di antara mereka bertiga. Pengalamannya pun yang terbanyak pula. Sehingga otak daripada ketiga bersaudara seperguruan itu terletak padanya. Ialah yang mengambil sikap dari pasangan mereka bertiga, dan ialah yang mengatur serangan dan perlawanan mereka terhadap Empu Sada yang sakti itu. Dengan berbagai tanda Witantra berusaha untuk berbuat sebaik-baiknya, memberikan perintah-perintah kepada kedua adik seperguruannya.
Empu Sada heran melihat kerapihan kerja sama di antara mereka. Ketiganya benar-benar murid yang sangat baik. Murid yang mempunyai ikatan yang cukup dalam berbagai segi. Bahkan saja dan segi ilmu mereka, Tetapi juga ikatan ketaatan yang muda terhadap yang lebih tua. Sehingga dengan demikian, maka mereka bertiga benar merupakan satu gabungan kekuatan yang dahsyat.
Meskipun demikian Empu Sada masih juga sempat tertawa sambil berkata, "Bukan main. Aku sudah menyangka, bahwa kalian bertiga akan merupakan kekuatan yang tangguh. Aku juga akan membuat murid-muridku menjadi sebaik kalian. Aku juga ingin melihat murid-muridku dapat bertempur berpasangan dengan rapi seperti murid Panji Bojong Santi ini. Alangkah baik cara Panji kurus itu mengajari muridnya."
Witantra dan kedua adiknya sama sekali tidak menyahut. Mereka berusaha untuk memperketat serangan mereka terhadap lawannya. Namun usaha mereka itu seakan-akan sia-sia saja. Empu Sada setiap kali mampu melepaskan diri dari kepungan mereka. Setiap kali orang tua itu sudah berada di belakang mereka, menyerang dengan tongkatnya yang panjang.
Demikianlah pertempuran itu semakin lama menjadi semakin sengit. Tetapi Empu Sada agaknya masih belum ingin mengakhiri pertempuran itu. Bahkan ia masih berkata, "Witantra, kalau kau memanggil bawahanmu yang bernama Sidatta dan barangkali ada beberapa kawan lain yang cukup bernilai untuk bertempur, kau masih mempunyai kesempatan untuk melarikan dirimu, untuk menyelamatkan nyawamu. Nah, apakah kau tidak akan mencoba memanggilnya?"
Witantra menggeretakkan giginya. Kini semakin jelas baginya, bahwa Empu Sada berusaha untuk melepaskan Ken Dedes dari pengawasan yang baik. Mungkin Empu Sada saat itu datang bersama dengan Kuda Sempana dan murid-muridnya yang lain, namun mereka masih tetap bersembunyi. Apabila pengawasan atas Ken Dedes telah menjadi kian lemah, baru mereka akan berbuat sesuatu. Menculik gadis itu.
Karena itu Witantra pun segera menjawab, "Aku tidak akan mengumpankan orang lain untuk keselamatanku. Empu, jangan mencoba mengelabui kami. Aku tidak akan memanggil seorang pun lagi dari rombonganku meskipun nyawaku terancam. Bukankah dengan demikian muridmu akan mendapat kesempatan menculik gadis itu."
Empu Sada tertawa. Jawabnya, "Ternyata otakmu tidak setumpul otak udang. Tetapi meskipun kau tidak memanggil orang-orangmu, maka akhir daripada cerita ini akan sama saja. Kalian bertiga akan mati aku bunuh. Aku dan murid-muridku kemudian akan mengambil gadis itu. Bukankah sama saja" Karena itu lebih baik bagimu untuk mencoba menyelamatkan dirimu."
Witantra sekali lagi menggeram. Tetapi ia tidak menjawab. Bahkan serangannya menjadi bertambah garang. Kini Witantra itu menyadari benar-benar, apakah yang sedang dihadapi. Karena itu, semuanya akan tergantung kepadanya, kepada kemampuannya melawan Empu Sada itu.
Dengan demikian maka seakan-akan Witantra menjadi semakin tangguh. Kini ia semakin didorong oleh tekadnya. Tekad memeluk tugasnya dengan penuh tanggung jawab.
Melihat tandang Witantra, Empu Sada mengumpat di dalam hati. Perwira prajurit pengawal Akuwu itu benar-benar memiliki kemampuan jasmaniah yang luar biasa. Bukan saja Witantra, tetapi kedua saudaranya yang lain pun segera mengerahkan segenap kemampuan mereka. Mereka harus mencoba bertahan sejauh mungkin. Mereka tidak ingin gagal dalam tugasnya. Ken Dedes itu benar-benar telah dipercayakan kepada mereka oleh Akuwu Tunggul Ametung. Tetapi kalau mereka tidak mampu melawan Empu Sada, maka berarti mereka gagal menjalankan tugas mereka. Karena itu, maka hanya mautlah yang dapat menghentikan perjuangan mereka, melakukan tugas mereka dengan penuh tanggung jawab.
Witantra bertiga dengan kedua saudara seperguruannya itu pun kemudian menyerang Empu Sada seperti angin pusaran. Mereka berputaran dalam satu lingkaran mengelilingi orang tua itu. Setiap kali mereka melontarkan serangan berganti-ganti.
Namun berkali-kali mereka menjadi kecewa. Apabila mereka menekan orang tua itu dengan segenap kemampuan mereka, tiba-tiba Empu Sada itu melenting, dan sesaat kemudian orang itu telah berada di luar lingkaran mereka. Bahkan kemudian Empu Sadalah yang mengambil sikap, menyerang ketiganya dalam gerak yang beruntun.
Tetapi betapa tekanan Empu Sada atas mereka bertiga, namun Witantra sama sekali tidak berhasrat memanggil seorang atau dua orang bawahannya. Ia yakin, bahwa di dalam semak-semak itu masih bersembunyi beberapa orang yang siap untuk bertindak. Bahkan Witantra yakin, bahwa Kuda Sempana ada di antara mereka. Apabila para pengawal lengah, Kuda Sempana sendiri akan mengambil Ken Dedes. Sikap itu adalah sikap yang dapat memberinya kepuasan, seakan-akan ia sendirilah yang berhasil menyergap rombongan bakal permaisuri itu. Sedang apabila ada satu dua orang yang berhasil menyampaikan kejadian ini kepada akuwu, maka Kuda Sempana sendirilah yang harus bertanggung jawab. Bagi Kuda Sempana yang telah melarikan diri dari istana itu, maka baginya hampir tak ada bedanya. Memberontak seperti keadaannya sekarang, atau memberontak karena melarikan Ken Dedes. Ia pasti telah mempunyai perhitungannya sendiri. Ke mana ia harus bersembunyi.
Ternyata perhitungan Witantra itu sebagian besar adalah benar, Empu Sada sengaja memperlambat serangan-serangannya, supaya Witantra berusaha untuk memanggil orang-orangnya, atau orang-orangnyalah yang akan bertebaran mencarinya. Tetapi agaknya Kebo Ijo telah menyampaikan pesan Witantra dan para perwira berhasil membuat perhitungan pula, sehingga mereka sama sekali tidak berusaha mencari Witantra dan kedua saudara seperguruannya. Karena itu, maka segera Empu Sada membuat cara lain untuk memancing orang-orang Witantra yang hampir tidak tahu sama sekali apa yang telah terjadi selain kedua perwiranya. Empu Sada akan berusaha menekan Witantra dan kedua saudaranya justru mendekati perkemahan rombongannya.
Demikianlah maka sesaat kemudian gerak Empu Sada itu pun menjadi semakin lincah. Dengan tongkat panjangnya ia menyerang ketiga bersaudara seperguruan itu semakin sengit.
Tongkat panjangnya berputar dari satu arah, seolah-olah ia sedang menggembalakan itik dan membawanya ke dalam air yang tergenang.
Apabila orang-orang di dalam rombongan itu melihat pemimpinnya bertempur, maka mau tidak mau, mereka pasti akan tergerak dengan sendirinya. Pada saat itulah Kuda Sempana dan kawan-kawannya harus bertindak. Setelah mereka berhasil membawa Ken Dedes, maka rombongan prajurit itu harus segera ditinggalkan. Apabila mungkin jangan ada korban satu pun yang jatuh. Dengan demikian, maka peristiwa itu pasti akan menggemparkan Tumapel. Peristiwa itu bagi Empu Sada dan murid-muridnya akan merupakan suatu permainan yang sangat menggembirakan. Sebab yang akan terjadi kemudian adalah, Witantra, Mahendra, Kebo Ijo dan kawan-kawannya pasti dinyatakan bersalah, dan kemungkinan yang terbesar adalah, dihukum gantung di alun-alun. Hukuman itu pasti lebih baik daripada apabila Witantra dan kawan-kawannya mati di dalam pertempuran ini. Sebab dengan demikian, maka Witantra masih akan mendapat kehormatan, sebagai seorang yang gugur dalam melakukan tugasnya.
Tetapi Witantra yang cukup berpengalaman itu dapat menebak maksud Empu Sada, sehingga dengan demikian, ia berusaha sekuat-kuatnya, untuk menghindari tekanan Empu Sada itu. Apabila mungkin Witantra berusaha untuk mengelak dan meloncat ke arah yang lain. Tidak ke arah rombongannya.
Namun Empu Sada ternyata benar-benar sakti. Dengan berbagai macam unsur gerak dan serangan-serangan, tanpa dikehendakinya, bahkan tanpa disadarinya, Witantra semakin lama menjadi semakin dekat dengan perkemahan Ken Dedes. Bahkan Witantra itu pun terkejut bukan buatan, ketika di ujung pepohonan, sekali-sekali ia melihat sinar api yang menyentuh dedaunan. Dengan demikian, Witantra segera mengerti bahwa ia telah berada semakin dekat dengan rombongannya.
Dengan marahnya Witantra menggeram. Tetapi yang terdengar adalah suara Empu Sada, "Nah, aku sekarang mempunyai rencana yang lain. Aku tidak memancingmu menjauhi rombonganmu, supaya kawan-kawanmu mencarimu, tetapi justru aku mendekatkan kalian kepada rombongan kalian. Apabila ada di antara mereka yang mendengar suara pertempuran pasti mereka akan menjadi ribut dan mau tidak mau mereka pasti akan mencoba membantumu.
Witantra tidak menjawab. Namun ia masih berusaha menjauhi rombongannya sebelum seorang pun dari mereka mengetahui. Tetapi alangkah marahnya perwira prajurit itu. Ternyata Empu Sada benar-benar licik. Dengan lantangnya ia berkata, "Ha, Witantra, apakah kau masih mengharap untuk dapat hidup?"
Suara Empu Sada itu menggema seakan-akan memenuhi seluruh hutan. Sehingga dengan demikian, maka suara itu telah mengejutkan para prajurit yang berada di perkemahan. beberapa di antara mereka segera berloncatan bangun dengan menggenggam senjata mereka, sedang beberapa orang yang lain, masih mencoba mendengarkan dari mana arah suara itu.
Sidatta yang telah mendengar pesan Witantra lewat Kebo Ijo, terkejut pula mendengar suara itu. Suara itu sama sekali bukan suara Witantra. Karena itu, maka ia pun berdiri pula sambil memperhatikan perkembangan keadaan dengan seksama. Demikian pula perwira yang seorang lagi. Segera ia pun berdiri pula, dan tanpa sesadarnya tangannya telah hinggap di hulu-hulu pedangnya.
Ken Dedes mendengar pula suara Empu Sada itu. Terasa dadanya bergetar. Namun kemudian dilihatnya para pengawalnya yang telah bersiap menghadapi kemungkinan. Karena itu hatinya menjadi agak tenteram.
Witantra yang tahu benar maksud Empu Sada mengumpat di dalam hatinya. Apabila pancingan itu berhasil maka akan lemahlah pengawalan atas Ken Dedes, sehingga akan memberi kesempatan kepada Kuda Sempana untuk menculiknya.
Dalam pada itu sekali lagi terdengar Empu Sada berkata sambil tertawa, "Jangan lari Witantra. Di sinilah gelanggang untuk mengadu tenaga. Bukan di situ."
"Setan!" Witantra tidak dapat lagi menahan hati. Untuk mencegah anak buahnya berlarian ke pertempuran itu segera ia pun berteriak, "Tetap di tempatmu Sidatta. Aku hanya menangkap kelinci tua. Aku tidak perlu orang-orang lain."
Empu Sada tertawa terkekeh-kekeh. Namun tongkatnya masih saja berputar, bahkan melanda ketiga saudara seperguruan itu seperti badai. Tekanan Empu Sada benar-benar terasa sangat ketatnya, sehingga pertempuran itu pun setapak demi setapak beringsut ke tempat yang tidak dikehendaki oleh Witantra.
Betapa marahnya hati perwira tertinggi pasukan pengawal istana itu. Tetapi betapa ia telah mencurahkan segenap kemampuannya bersama kedua adik seperguruannya, namun ia sama sekali tidak berhasil mendorong Empu Sada masuk ke dalam hutan yang lebih dalam. Bahkan Empu Sada itu pun menjadi semakin cepat bergerak, seperti sebuah bayangan yang meloncat-loncat mengitari ketiga bersaudara itu.
Tetapi Witantra dan kedua saudaranya tidak berputus asa. Mereka masih tetap dalam perlawanan yang rapi. Betapa saktinya Empu Sada, tetapi melawan ketiga anak-anak muda itu, diperlukan pula hampir segenap kemampuannya.
Para prajurit di perkemahan menjadi gelisah. Apalagi ketika mereka menunggu beberapa saat, Witantra masih belum muncul di antara mereka. Berbagai pertimbangan melingkar di dalam kepala Sidatta.
Apalagi ketika terdengar kembali suara tertawa Empu Sada semakin dekat. "Lihat Witantra. Betapa buruk perangaimu. Tak, seorang pun di antara anak buahmu, yang bukan seperguruan denganmu, bersedia membantumu. Betapa luka hampir memenuhi tubuhmu, namun mereka akan bergembira, apabila kau mati di hutan ini. Sidatta akan segera mendapat pengangkatan, menggantikan kedudukanmu, sedang yang lain pun akan desak mendesak setingkat ke atas.
"Jangan berputus asa," tiba-tiba terdengar Witantra memotong, "Bertempurlah dengan senjata, jangan dengan kata. Mungkin kau kecewa setelah kau melihat cara Witantra mempertahankan dirinya. Kau semula pasti menyangka bahwa pasukan pengawal Akuwu adalah semacam pasukan kehormatan, yang hanya mampu memanggul panji-panji dan tunggul. Tetapi sekarang kau menghadapi salah seorang daripadanya dalam suatu perkelahian."
Empu Sada menggeram. Kemarahannya semakin lama semakin menyala membakar ubun-ubunnya.
"Kau jangan gila Witantra," katanya, "kalau aku menjadi benar-benar marah, maka kau benar-benar akan aku bunuh bertiga."
Kini Witantralah yang tertawa, "Kalau kau mampu membunuh kami, maka pasti sudah kau lakukan."
Tetapi suara Witantra itu terputus, ketika tongkat Empu Sada menyambar keningnya. Untunglah bahwa ia masih sempat menghindar meskipun tergesa-gesa. Dalam keadaan itu, hampir-hampir saja ia kehilangan keseimbangannya.
Empu Sada yang sudah menjadi semakin marah, melihat kesempatan terbuka baginya. Kalau ia ingin membunuh Witantra, itulah saat yang sebaik-baiknya. Ia dapat menusuk dada Witantra dengan ujung tongkatnya yang meskipun tidak terlampau runcing. Namun kekuatannya cukup untuk melubangi dada panglima pasukan pengawal itu. Tetapi sesaat Empu Sada ragu-ragu. Ia ingin Witantra mati di tiang gantungan sebagai seorang pengkhianat yang tidak mampu melakukan tugasnya dengan baik, tidak di medan peperangan. Namun kalau kesempatan ini tidak dipergunakan, apakah akan datang kesempatan yang sama, dan apakah benar Witantra dianggap bersalah nanti oleh Akuwu.
Tiba-tiba Empu Sada menggeram. Ternyata kemarahannya telah menggelapkan perhitungannya. Witantra, apakah perlu akan dibunuhnya saat itu juga.
Tetapi waktu yang sekejap itu ternyata telah menyelamatkan Witantra. Ketika Empu Sada sedang diragukan oleh perasaannya sendiri. Witantra sudah sempat memperbaiki keadaannya. Apalagi demikian Empu Sada mengambil sikap, Mahendra dan Kebo Ijo datang bersama-sama dalam sebuah serangan berpasangan yang berbahaya. Sehingga Empu Sada terpaksa meloncat menghindar. Namun demikian kakinya menjejak tanah, demikian ia melenting sambil mengayunkan tongkatnya. Sekali lagi pelipis Witantra hampir disambar oleh tongkat itu. Sekali lagi Witantra meloncat surut beberapa langkah untuk menghindari tongkat itu. Namun Empu Sada pun kemudian menyerangnya seperti banjir bandang.
Witantra menjadi kesulitan pula menghindari serangan-serangan itu. Serangan yang semakin cepat dan berbahaya. Tetapi kembali Mahendra dan Kebo Ijo mencoba memotong setiap serangan Empu Sada dengan serangan-serangan yang cukup berbahaya pula. Kedua anak muda itu bertempur seperti sepasang alap-alap di udara. Sedang Witantra itu pun kemudian memimpin kembali perlawanan atas Empu Sada sebagai seekor rajawali.
Namun yang tidak dikehendaki oleh Witantra adalah, mereka menjadi semakin dekat dengan perkemahannya. ketika sekali lagi ia terdorong surut bersama Mahendra, maka mereka ternyata telah meloncat ke dalam daerah cahaya perapian dari kawan-kawan mereka.
Para prajurit Tumapel terkejut melihat perkelahian itu. Apalagi mereka melihat Witantra dan Mahendra berada dalam bahaya. Namun mereka segera melihat, Kebo Ijo melontarkan diri seperti tatit menyambar di langit, menusuk langsung lambung Empu Sada. Meskipun serangan Kebo Ijo itu dapat dielakkan, namun saat yang pendek itu telah memberi kesempatan kepada Witantra dan Mahendra untuk memperbaiki kedudukannya.
Dalam pada itu terdengar Empu Sada tertawa kembali dengan lantangnya ia berkata, "He para prajurit Tumapel yang perkasa. Inilah pemimpin yang sedang menangkap kelinci tua itu. Lihatlah, apakah ia mampu melawan Empu Sada yang sudah tua ini. Tidak hanya seorang diri, tetapi bertiga dengan kedua saudara seperguruannya."
Semua mata melihat perkelahian itu. Semua hati menjadi berdebar-debar pula karenanya.
Ken Dedes pun kemudian dengan serta-merta berdiri. dengan penuh kekhawatiran ia melihat perkelahian yang kemudian berkobar kembali dengan sengitnya.
Sidatta masih berdiri terpaku di tempatnya. Sesaat ia dicengkam oleh keragu-raguan. Ingin ia meloncat membantu Witantra melawan Empu Sada, Tetapi segera teringat olehnya, Ken Dedes yang berdiri gemetar. Gadis itu harus mendapat pengawalan yang baik menurut pesan Witantra.
Namun sekian lama ia menjadi semakin cemas melihat perkelahian yang berlangsung. Ia membiarkan beberapa orang prajurit mencoba membantu, Witantra. Namun Witantra sendiri berkata, "Jangan mempersulit pekerjaan kami. Minggir, jangan dekati orang tua gila ini."
Empu Sada tertawa, katanya, "Mari, marilah beramai-ramai menangkap kelinci."
Witantra menggeram, namun Empu Sada mendesaknya terus.
Akhirnya Sidatta tidak tahan lagi melihat pertempuran itu. Dengan lantang ia berkata kepada perwira yang seorang lagi, "Bawa beberapa orang prajurit pilihan kemari. Pagari Tuan putri dengan pedang dan tombak. Aku akan ikut serta dalam perkelahian itu."
Perwira yang satu itu pun segera mengatur beberapa orang prajurit, berdiri rapat melingkari Ken Dedes dengan senjata telanjang di tangannya. Mereka telah bersiap menghadapi setiap kemungkinan. Beberapa orang prajurit yang lain dengan ragu-ragu berlari-lari kian kemari, mencoba membantu Witantra menghadapi Empu Sada. Tetapi apa yang mereka lakukan, hampir tak berarti sama sekali.
Setelah Sidatta melihat persiapan yang dapat dipercaya dalam pengawalan Ken Dedes, barulah ia meloncat mendekati Empu Sada. Dengan garangnya segera ia menerjunkan diri ke dalam pertempuran itu. Dengan tenaganya yang masih segar, Sidatta berusaha untuk berjuang sekuat-kuat tenaganya.
Witantra yang juga melihat cara Sidatta memagari Ken Dedes tidak menolak bantuan Sidatta itu. Bagaimanapun juga ia harus mengakui, betapa mereka bertiga mengalami banyak kesulitan untuk melawan Empu Sada.
Dengan kehadiran Sidatta, maka tekanan-tekanan Empu Sada pun menjadi berkurang. Meskipun Sidatta bukan saudara seperguruan Witantra, namun karena keterampilannya, segera ia berhasil menyesuaikan dirinya dalam pertempuran bersama itu.
Meskipun beberapa, orang prajurit yang mencoba membantu mereka melawan Empu Sada hampir tak berarti, namun ternyata mereka telah mempengaruhi gerak orang tua itu, sehingga dengan geramnya ia berkata, "Hem, apakah cucurut-cucurut ini juga ingin melawan Empu Sada. Pergilah sebelum ada di antara kalian yang mati terinjak-injak kaki."
Tetapi para prajurit itu tidak meninggalkan perkelahian. mereka tetap berlari berputaran, mencari kesempatan. Namun kesempatan itu seakan-akan tidak pernah datang kepada mereka. Bahkan ada di antara mereka yang saling berbenturan dan saling berdesak-desakan. Apabila salah seorang dari mereka mencoba menghindari ayunan tongkat Empu Sada maka tanpa disengaja ia telah mendorong kawannya sehingga mereka berdua jatuh berguling-guling.
Sekali Empu Sada melihat juga seluruh daerah perkemahan itu. Dilihatnya beberapa orang prajurit siap rapat mengelilingi Ken Dedes hanya di bawah pimpinan seorang perwira. Sedang yang lain, yang tidak ikut dalam perkelahian ini, mencoba menjaga setiap sudut perkemahan itu.
Tiba-tiba Empu Sada itu tersenyum. Perwira yang menjaga Ken Dedes adalah perwira bawahan Sidatta, sehingga setinggi-tinggi ilmunya, masih belum melampaui Kuda Sempana atau murid-muridnya yang lain. Karena itu Empu Sada itu menganggap bahwa waktunya telah cukup masak untuk memanggil Kuda Sempana dan kawan-kawannya, untuk bertindak. Mereka akan datang dari jurusan yang berbeda. Beberapa orang murid dari murid-muridnya, di antaranya murid-murid orang yang menamakan Bahu Reksa Kali Elo, dan murid-murid dari seorang saudara seperguruannya yang lain, Sungsang.
Murid-murid itu tidak perlu bertempur mati-matian untuk membinasakan prajurit-prajurit Tumapel itu. Mereka hanya berkewajiban untuk memancing perhatian para prajurit. Apabila mereka telah terlibat dalam satu pertempuran, maka adalah kewajiban Kuda Sempana, Cundaka dan Sungsang untuk mengambil Ken Dedes.
"Semuanya akan berjalan dengan lancar," berkata Empu Sada di dalam hatinya, "perhitunganku tidak terlampau jauh dari keadaan kini. Tiga orang muridku telah cukup. Aku tidak perlu memanggil mereka yang bertempat tinggal terlampau jauh. Dan murid-muridku itu telah membawa murid-muridnya cukup banyak untuk keperluan ini."
Empu Sada itu tersenyum. Kuda Sempana akan mendapatkan Ken Dedes, sedang muridnya yang lain akan mendapatkan perhiasan gadis itu yang tidak ternilai harganya. Perhiasan yang dikenakan oleh seorang bakal permaisuri.
Dalam pada itu terdengar Empu Sada itu berteriak nyaring melontarkan aba-aba untuk segera melakukan rencana mereka.
Beberapa orang terkejut mendengar teriakan itu, tetapi setiap orang segera menyadari, bahwa bahaya yang lebih besar lagi segera akan menimpa rombongan itu.
Perwira yang satu, yang bertugas mengamankan Ken Dedes menangkap pula isyarat itu sebagai suatu perintah kepadanya, untuk menyiapkan diri menghadapi setiap kemungkinan. karena itu, maka segera ia meloncat semakin dekat di samping tandu Ken Dedes sambil berbisik, "Tuan putri, jangan cemas. Namun Tuan putri pun sebaiknya bersiap-siap di samping tandu. Mungkin Tuan putri harus segera naik dan melakukan perjalanan yang tergesa-gesa di malam hari ini."
Wajah Ken Dedes pun segera menjadi pucat. Peringatan itu baginya justru suatu berita, bahwa bahaya yang sebenarnya adalah cukup besar. Namun gadis itu tidak menjawab. Setapak ia beringsut mendekati tandunya, sedang para pengusung pun segera bersiap pula di sampingnya. Setiap saat para pengusung itu harus memanggul tandu Ken Dedes, mungkin dengan berlari-lari, bahkan mungkin mereka harus memegangi tandu dengan sebelah tangan, sedang tangan yang lain harus menggenggam senjata mereka.
Apa yang mereka tunggu-tunggu itu pun segera datang. Dari dalam semak-semak di sekitar mereka, segera berloncatan beberapa orang dengan pedang di tangan. Mereka berteriak-teriak dengan riuhnya seperti kanak-kanak sedang mengejar tupai.
Sidatta yang sedang bertempur bersama-sama dengan Witantra dan kedua saudara seperguruannya menjadi bimbang. Apakah ia harus meninggalkan perkelahian itu, atau ia harus tetap berkelahi bersama dengan Witantra. kedua-duanya baginya sama beratnya.
Tetapi segera ia mengambil keputusan di dalam hatinya, "Aku akan melihat apa yang terjadi. Apabila prajurit Tumapel tidak berdaya menghadapi orang-orang itu, maka aku harus segera membantu mereka."
Dalam pada itu, para pengawal segera berloncatan pula menyongsong penyerangnya. Beberapa orang benar-benar telah bersiap di sudut-sudut perkemahan, sedang yang lain masih tetap dalam lingkaran di sekitar Ken Dedes bersama seorang perwiranya.
Wajah Ken Dedes menjadi bertambah pucat melihat orang-orang yang ganas dan kasar itu menyerang para pengawalnya sambil berteriak mengerikan. Dengan pedang yang terayun-ayun di atas kepalanya, mereka benar-benar telah menggemparkan hati para prajurit Tumapel. Untunglah bahwa sebagian dari para prajurit itu pun telah cukup berpengalaman, sehingga sesaat kemudian mereka telah menemukan keseimbangan mereka kembali. Dengan demikian maka mereka kemudian dapat bertempur dalam sikap yang wajar.
Segera terjadi hiruk-pikuk di perkemahan itu. Hampir di segala sudut terjadi perkelahian-perkelahian yang ribut. Orang yang menyerang perkemahan itu benar bertempur menurut kehendak mereka sendiri. Di manapun dan dalam sikap yang bagaimana pun juga.
Tetapi ketika perkelahian telah berlangsung beberapa lama segera Witantra melihat, bahwa orang-orang itu sengaja memancing perkelahian menjauhi gadis bakal permaisuri Akuwu Tumapel itu.
Witantra menjadi semakin cemas menghadapi gerombolan yang tampaknya benar-benar liar. Tetapi Witantra menyadari, bahwa sebenarnya orang-orang yang menyerang rombongannya bukanlah orang-orang yang terlampau liar, namun sengaja mereka membuat kesan, bahwa mereka adalah orang-orang yang berbuat sekehendak hati mereka tanpa ada orang lain yang dapat mencegahnya. Liar, kasar dan ganas.
Ternyata bukan saja Witantra yang menjadi cemas, tetapi juga Mahendra dan Sidatta, bahkan Kebo Ijo yang hampir tidak menaruh perhatian apapun terhadap Ken Dedes, bahkan kadang-kadang ia menghina di dalam hatinya, namun kali ini hatinya dicengkam oleh kecemasan juga. Cemas bahwa akuwu pasti akan menimpakan kesalahan kepada Witantra, dan cemas bahwa nilainya sebagai seorang laki-laki dan prajurit, apalagi dalam satu rombongan, benar-benar dibinasakan oleh sebuah gerombolan dari orang-orang yang tidak mempunyai kedudukan dan nama.
Perwira yang masih tetap berdiri di samping Ken Dedes menyadari pula atas apa yang sedang terjadi. Karena itu, ia sama sekali tidak bergeser dari tempatnya. Di tangan kanannya tergenggam sebuah pedang yang mengkilap, sedang di tangan kirinya sebuah pisau belati panjang. Sesuatu pasangan senjata yang selama ini diandalkannya di medan-medan perang.
Beberapa orang yang berdiri memagari Ken Dedes pun diperintahkannya untuk tetap berada di tempatnya. Selama keadaan mereka yang bertempur tidak terlampau jelek, maka setiap orang yang berjaga-jaga di sekitar Ken Dedes masih harus tetap di tempatnya.
Dalam pada itu pertempuran di sekitar tempat itu semakin lama menjadi semakin ribut. Orang-orang Empu Sada bertempur tanpa mengingat nilai-nilai yang biasanya menjadi pegangan bagi setiap orang yang merasa dirinya cukup jantan. Mereka bertempur sambil berlari-lari, berteriak-teriak dan kadang-kadang mempergunakan senjata-senjata yang kotor. Batu dan pasir.
Witantra mengumpat di dalam hatinya. Tetapi ia sama sekali tidak dapat melepaskan Empu Sada. Orang itu bertempur semakin lama justru menjadi semakin dahsyat, meskipun kini ia harus berhadapan melawan empat orang terbaik dari rombongan pengawal Ken Dedes.
Bahkan orang tua itu masih sempat tertawa dan berkata, "Nah. Apakah yang dapat kalian lakukan untuk melawan orang-orangku?"
"Orang-orang seliar serigala," bentak Witantra, "mereka tidak menghormati sama sekali nilai-nilai perseorangan."
"Apa pedulimu," sahut Empu Sada, "tetapi sadarilah, bahwa apabila kau tidak memerintahkan menghentikan perlawanan, maka semua orang-orangmu akan tertumpas habis."
"Persetan!" teriak Witantra.
Empu Sada itu pun masih saja tertawa. Tiba-tiba sekali lagi ia berteriak, "Jangan terlampau lama bersembunyi. Nah, kini sudah waktunya bagi kalian untuk memetik bunga itu. Di sampingnya hanya ada seorang yang perlu kalian perhatikan, yang lain adalah semudah mematahkan ranting-ranting kering."
Kata-kata Empu Sada itu terdengar benar-benar seperti petir menyambar di atas kepala Witantra, Mahendra, Kebo Ijo, Sidatta dan para prajurit Tumapel yang lain. Dengan demikian, segera mereka menyadari bahwa lawan mereka segera akan bertambah. Dan yang akan datang pasti bukan sekedar gerombolan liar yang hanya mampu berlari-lari dan berteriak-teriak, tetapi pasti orang-orang terpilih dari antara orang-orang Empu Sada itu.
Perwira yang berdiri di samping Ken Dedes pun menyadarinya, sehingga karena itu segera pula keluar perintahnya, "Hadapi setiap kemungkinan tanpa ada kesempatan meninggalkan tempat ini bagi kalian dan kami semuanya."
Perintah itu tegas dan jelas bagi setiap prajurit Tumapel. Perintah itu sama bunyinya dengan, "Bertempur sampai mati!"
Setiap prajurit Tumapel mengatupkan mulutnya rapat-rapat, namun gigi mereka bergemeretak. Mereka menyadari sepenuhnya apa yang harus mereka lakukan demi tugas mereka. Ken Dedes bagi mereka hampir sama nilainya dengan akuwu sendiri, sebab gadis itu kini dalam sikap kebesaran seorang permaisuri.
Orang-orang Empu Sada yang lain, yang mendengar perintah itu, segera bersorak semakin riuh. Mereka berteriak-teriak seperti serigala kelaparan. Namun dalam pada itu, serangan-serangan mereka pun meningkat semakin garang pula.
Dari dalam semak-semak segera muncul beberapa orang berloncatan menerjunkan diri ke dalam pertempuran itu. Seperti orang-orang yang terdahulu, segera mereka pun berteriak-teriak dan memutar senjata-senjata mereka. Namun belum seorang pun dari mereka yang menyerang para prajurit Tumapel yang berdiri melingkari Ken Dedes.
Witantra dan para prajurit Tumapel yang melihat datangnya orang-orang baru itu menjadi heran. Tidak ada tanda-tanda bahwa mereka adalah orang-orang yang terpilih. Gerak, tandang serta cara mereka bertempur tak ubahnya dengan cara-cara yang dipergunakan oleh kawan-kawan mereka sebelumnya. Namun karena itu, maka Witantra dan para prajurit yang lain itu masih harus menunggu, bahwa akan datang saatnya, lawan-lawan yang lebih berat akan berdatangan.
Tetapi pertempuran itu sudah berjalan beberapa saat. Sedang keadaan medan masih belum berubah. Empu Sada masih harus menghadapi keempat lawannya yang tidak dapat dianggap seperti sedang bermain kucing-kucingan, sedang orang-orang lain masih bertempur dengan riuhnya. Namun prajurit yang bertugas khusus di sekitar Ken Dedes beserta pimpinannya, sama sekali belum tersentuh oleh lawan. Mereka masih tetap berdiri kaku tegang. Bahkan mereka hampir tidak tahan lagi menunggu terlampau lama, siapakah yang harus menjadi lawan-lawan mereka.
Dalam kegelisahan Witantra sempat memperhatikan sikap Empu Sada yang gelisah pula. Sekali-sekali orang tua itu memerlukan waktu untuk menjauhi lawannya, dan menebarkan matanya berkeliling. Kesimpulan Witantra adalah, Empu Sada masih menunggu orang-orangnya yang lain.
Sebenarnyalah bahwa Empu Sada menjadi gelisah. Seharusnya orang-orangnya yang terpenting dalam rencana ini, sudah mulai berbuat sesuatu. Mungkin mereka segera akan berhasil.
Tetapi orang yang ditunggunya itu sama sekali belum menampakkan dirinya.
"Apakah perubahan kecil ini telah mempengaruhi mereka?" pertanyaan itu menyentuh dinding hati Empu. Sada. Tetapi kemudian dijawabnya sendiri, "Perubahan itu tidak terlalu sulit. Orang-orang lain, bahkan orang-orang yang lebih bodoh dari mereka, dapat mengerti keadaan yang tidak tepat mengerti keadaan yang tidak tepat seperti rencana semula ini, dan mereka dapat segera menyesuaikan dirinya pula. Orang-orang ini dapat mengerti, bahwa aku tidak jadi membawa Witantra dan orang-orang penting lainnya meninggalkan perkemahan, justru aku membawa mereka masuk ke dalamnya namun mengikat mereka dalam suatu pertempuran. Mustahil, mustahil kalau perubahan kecil ini menjadikan mereka kebingungan."
Jilid 17 NAMUN SESAAT kemudian kembali timbul pertanyaan. Tetapi kenapa Kuda Sempana, Cundaka dan Sungsang belum juga menampakkan dirinya" Kalau para prajurit Tumapel ini dibiarkan terlampau lama menunggu, maka mereka akan berhasil menguasai keadaan. Tetapi kalau sekarang ketiganya datang dan menyerang beberapa orang prajurit yang mengawal Ken Dedes itu, maka agaknya Kuda Sempana akan berhasil membawa gadis itu. Sebab Empu Sada yakin, bahwa ketiga muridnya akan dapat mengalahkan beberapa orang prajurit yang berjaga-jaga di sekitar Ken Dedes.
Tetapi Kuda Sempana, Cundaka dan Sungsang yang ditunggu-tunggunya tidak juga segera datang. Apakah mereka tidak mendengar segala macam keributan ini karena mereka terlampau jauh bersembunyi, atau tiba-tiba mereka tertidur di tempat persembunyian mereka"
Dalam kegelisahan itu maka terdengar Empu Sada berteriak nyaring, "Kuda Sempana. Telah sampai saatnya kau melakukan tugasmu."
Suara Empu Sada itu menggelora seolah-olah memenuhi hutan itu. Daun-daunan bergetaran dan ranting-ranting bergoyang-goyang karena gelombang suara orang tua itu. Gemanya memukul setiap pepohonan dan membuat bunyi ulangan yang serupa melingkari sampai jarak yang sangat jauh.
Tetapi Empu Sada tidak segera melihat ketiga muridnya. Bahkan yang dilihatnya, para prajurit Tumapel semakin lama semakin menguasai keadaan. Apalagi ketika Empu Sada kemudian melihat, bahwa orang-orangnya telah mulai lelah karena gerak dan tandang mereka yang berlebih-lebihan. Sebab menurut perhitungan mereka, apa yang terjadi dengan mereka, tidak akan berlangsung lama.
Witantra dan kawan-kawannya pun menjadi heran. Kenapa Kuda Sempana yang telah dipanggil oleh gurunya itu tidak juga muncul. Namun dengan demikian timbullah berbagai dugaan di antara mereka. Di antaranya menyangka bahwa Kuda Sempana sengaja menunggu sampai orang-orang Tumapel menjadi lengah benar-benar, sedang yang lain menganggap bahwa apa yang terjadi itu telah berubah dari rencana semula.
Tetapi bagi Ken Dedes sendiri, nama Kuda Sempana itu telah hampir membuatnya pingsan. Kuda Sempana bagi Ken Dedes sungguh menakutkan, melampaui hantu yang paling mengerikan sekalipun.
Ternyata kini orang yang menakutkan itu datang kembali kepadanya, bahkan kali ini dengan membawa sejumlah kawan yang bersedia membantunya.
Meskipun Ken Dedes merasa, bahwa para prajurit Tumapel telah berusaha melindunginya sejauh mungkin, namun melihat keributan perkelahian itu, hati Ken Dedes pun menjadi sangat cemas karenanya. Ia menyesal bahwa ia telah menyebut Kuda Sempana sebagai alasan untuk memohon kepada akuwu sejumlah pengawal yang akan mengantarnya. Ternyata ucapannya itu kini terjadi, seperti sebuah mimpi daradasih.
Karena itu maka kini Ken Dedes telah berpegangan erat-erat pada tandunya, seolah-olah ia ingin segera meloncat masuk dan dengan cepat-cepat berjalan ke Panawijen.
Dalam keadaan yang demikian, teringat olehnya murid ayahnya, Mahisa Agni yang sudah dianggapnya sebagai kakak kandungnya sendiri. Telah beberapa kali Mahisa Agni melepaskannya dari tangan Kuda Sempana. Meskipun kemudian Kuda Sempana berhasil membawanya, namun yang terjadi itu adalah benar-benar di luar kemampuan Mahisa Agni. Kini Kuda Sempana itu kembali menghantuinya. Dan di sini tidak ada Mahisa Agni. Justru ia sedang berjalan ke padukuhan Mahisa Agni, untuk menunjukkan kebesarannya, supaya Mahisa Agni menyadari, bahwa ia telah salah menafsirkan maksud Akuwu Tunggul Ametung.
Pertempuran yang hiruk-pikuk masih terjadi. Orang-orang Empu Sada masih saja bertempur sambil berteriak-teriak. Namun Kuda Sempana dan kedua saudara seperguruannya masih belum menampakkan dirinya.
Empu Sada yang gelisah, sekali lagi berseru, "He, Kuda Sempana! Apakah kau tertidur" Cepat bangunlah, pertempuran telah hampir selesai. Pintu telah terbuka bagimu."
Suara Empu Sada itu pun melontar memenuhi hutan. Di kejauhan terdengar suara anjing hutan menggonggong berkepanjangan, seakan-akan menyahut seruan orang tua bertongkat panjang itu. Namun Kuda Sempana belum juga tampil ke medan peperangan.
Empu Sada pun menjadi semakin gelisah. Namun dengan demikian kemarahannya pun semakin menyala di dalam dadanya. Dalam kegelisahan itu Empu Sada mencoba membuat perhitungan atas anak buahnya dan para prajurit Tumapel. Ketika ia mendengar salah seorang dari orangnya memekik tinggi dan kemudian jatuh terguling karena dadanya tersobek oleh ujung tombak, maka matanya yang cekung, tiba-tiba seperti memancarkan api. Korban telah jatuh di pihaknya, sedang Kuda Sempana belum juga menampakkan dirinya. Di samping kemarahannya, orang tua itu pun menjadi jengkel pula kepada Kuda Sempana.
Tetapi tempat yang paling baik untuk menumpahkan kemarahannya itu adalah Witantra dan kawan-kawannya. Karena itu, maka segera ia mengambil keputusan, untuk secepat-cepatnya membinasakan Witantra dan kawan-kawannya, kemudian membinasakan segenap prajurit Tumapel sebelum orang-orangnya menjadi punah. Bersama-sama dengan orang-orangnya itu, maka ia pasti segera akan dapat melumpuhkan pasukan Tumapel itu, untuk seterusnya dengan kasar mengambil gadis bakal Permaisuri Akuwu Tumapel untuk muridnya. Tetapi apabila diingatnya, bahwa muridnya kini sama sekali tidak menampakkan dirinya, maka Empu Sada pun menjadi ragu-ragu untuk melakukan keputusannya dan bahkan menjadi acuh tak acuh akan gadis itu. Namun berbagai pertimbangan yang lain telah mendorongnya untuk meneruskan rencananya.
"Kalau Kuda Sempana tidak meneruskan rencananya, biarlah. Aku sudah terlanjur melawan pemimpin prajurit Tumapel ini. Mau tidak mau aku harus mengambil alih pertanggungjawabannya. Sehingga wajarlah kalau aku yang akan mengambil kentungan dari pencegatan ini. Bukankah bakal permaisuri itu memiliki perhiasan yang tiada tara nilai harganya."
Dengan ketetapan hati, Empu Sada itu pun kemudian bertempur dengan hampir segenap kemampuannya supaya pekerjaannya cepat selesai sebelum orang-orangnya semakin banyak menjadi korban. Meskipun orang-orang itu adalah murid-murid dari murid-muridnya, namun ia tidak dapat membiarkan korban berjatuhan apabila hal itu masih mungkin dihindari.
Demikianlah pertempuran antara Empu Sada dan keempat lawannya menjadi semakin dahsyat. Terasa bagi keempat lawannya, bahwa Empu Sada telah benar-benar hampir sampai puncak kewajaran ilmunya, meskipun ia belum mempergunakan ilmu pemungkasnya, seperti yang telah diturunkannya kepada murid-muridnya, Kuda Sempana, Cundaka dan beberapa orang yang lain.
Witantra dan ketiga kawannya terpaksa memeras tenaganya pula. Namun bagaimanapun juga, terasa bahwa suatu ketika mereka pasti akan dibinasakan oleh Empu Sada itu Kemudian akan lenyap pulalah gadis yang harus dipertanggungjawabkan.
Witantra itu pun kemudian menggeram. Alangkah sial namanya. Ketika ia bertugas untuk mengawal Ken Dedes, seorang bakal permaisuri Tumapel, hanya dalam jarak antar. Tumapel dan Panawijen, ia telah gagal. Kematiannya bukanlah hal yang dicemaskannya. Tetapi dengan hilangnya Ken Dedes, maka namanya akan menjadi buah pembicaraan setiap prajurit dan bahkan setiap orang Tumapel, bahwa hilangnya Ken Dedes, adalah karena tidak kemampuan Witantra, pimpinan pasukan pengawal istana.
Tetapi ternyata bahwa kegelisahan Empu Sada berpengaruh juga dalam pertempuran itu. Sekali-sekali orang tua itu masih mencoba mencari Kuda Sempana di antara orang-orang yang sedang bertempur hiruk-pikuk itu. Namun setiap kali orang itu menjadi kecewa dan menggeram marah. Dalam hal demikian, kembali orang tua itu memperketat serangannya.
Sehingga akhirnya tenaga Kebo Ijo semakin lama semakin menjadi surut. Nafas Mahendra pun menjadi semakin terengah-engah, bahkan seluruh tubuhnya telah basah oleh keringat. Tangkai pedangnya pun menjadi basah pula, dan terasa seolah-olah pedang itu ingin meloncat dari genggamannya. Sidatta pun tidak kalah cemasnya ketika tangannya seakan menjadi semakin lemah.
Tetapi Empu Sada pun tidak pula kalah cemasnya. Ia pun dapat menduga bahwa sebentar lagi, korban akan berjatuhan di pihaknya apabila Kuda Sempana dan kawan-kawannya tidak segera tampil ke medan. Betapa ia mengerahkan kemampuannya untuk membunuh Witantra dan kawan-kawannya sebelum ia berhasil membantu orang-orangnya, namun ia memerlukan waktu pula.
Karena itu dengan nada penuh kejengkelan sekali lagi ia berteriak, "He, Kuda Sempana, di mana kau?"
Pertanyaan itu telah menimbulkan pikiran baru bagi para perwira yang berdiri di samping Ken Dedes. Pertanyaan itu meyakinkannya bahwa ada sesuatu yang tidak semestinya terjadi. Sehingga karena itu ia telah mengambil suatu sikap untung-untungan. Kepada seorang prajurit yang dipercayainya ia berkata, "Gantikan tempatku. Berdua, sebelah menyebelah. Aku akan membantu Kakang Witantra dan Kakang Sidatta, kalau terjadi sesuatu, cepat, panggil aku kemari."
"Baik," sahut prajurit itu yang kemudian berdua dengan seorang kawannya mereka berdiri sebelah menyebelah tandu Ken Dedes di dalam lingkaran beberapa kawannya yang lain. Di tangan prajurit itu tergenggam sebatang tombak pendek dan prajurit yang lain menggenggam pedang yang panjang.
Ketika kedua Prajurit itu telah bersiap di kedua sisi tandu itu, maka berkatalah perwira itu kepada Ken Dedes, "Tuan Putri, hamba mohon izin untuk membantu Kakang Witantra yang agaknya mengalami kesulitan. Apabila terjadi sesuatu di sini, biarlah hamba segera datang kemari."
Ken Dedes ragu-ragu sesaat, tetapi ketika ia melihat kedua prajurit yang bertubuh besar kekar dan berwajah keras berdiri di kedua sisi tandunya ia mengangguk sambil berkata, "Tetapi kau harus segera kembali apabila kami di sini memerlukan."
"Hamba Tuan Putri," jawab perwira itu. Dan tanpa menunggu lagi segera ia meloncat menembus lingkaran prajurit yang dibuatnya. Dengan tangkasnya segera ia terjun dalam pertempuran bersama dengan Witantra dengan kawan-kawannya. Sepasang senjatanya segera berputaran. Dengan kesegaran tenaganya cepat ia dapat mempengaruhi keadaan.
Witantra terkejut melihat kehadirannya. Karena itu dengan serta-merta ia bertanya, "Kau datang juga kemari?"
"Aku telah menyerahkannya kepada para prajurit pilihan. Aku akan segera kembali ke sana kalau diperlukan."
Witantra tidak menjawab. Ia memang memerlukan bantuan itu. Dan ia sependapat, apabila diperlukan, biarlah ia meninggalkan arena ini.
Dengan kehadiran lawan barunya, maka pekerjaan Empu Sada menjadi kian berat. Namun dengan demikian ia menjadi semakin marah. Orang baru itu hanya akan mampu memperpanjang waktu, tetapi tidak akan mampu menyelamatkan mereka dari bencana.
Tetapi memperpanjang waktu itu pun benar-benar telah mencemaskan hati Empu Sada. Di sekitarnya ia melihat bahwa orang-orangnya pun telah menjadi kian sulit. Kalau semua mereka sengaja membuat kegaduhan dengan serangan-serangan yang tidak teratur, maka semakin lama mereka benar-benar menjadi tidak teratur bukan karena kesengajaan. Ternyata prajurit Tumapel lebih berpengalaman dalam pertempuran bersama. Mungkin orang-orang Empu Sada itu seorang-seorang tidak kalah dari para prajurit Tumapel, tetapi kerja sama dan bertempur dalam pasangan-pasangan yang serasi, ternyata para prajurit Tumapel telah melampaui mereka.
Orang tua bertongkat panjang itu pun menggeram. Kemarahannya kini telah memuncak. Dengan demikian maka tidak lagi dapat mengekang dirinya dalam pertempuran itu. Namun melawan lima orang perwira prajurit pengawal Akuwu Tumapel, ternyata Empu Sada memerlukan waktu pula.
Sampai demikian jauh, ternyata Kuda Sempana dan kawan-kawannya masih belum menampakkan dirinya pula. Bahkan sampai saat-saat yang sangat mencemaskan Empu Sada, sehingga akhirnya Empu Sada mengambil keputusan untuk menyelesaikan perkelahian itu menurut seleranya sendiri. Ia tidak tertarik lagi kepada rencananya yang telah disusunnya bersama Kuda Sempana.
"Aku musnahkan saja semua orang Tumapel ini," katanya di dalam hati. Dan ia benar-benar ingin melaksanakannya.
Ken Dedes yang melihat perkelahian itu, hatinya benar-benar menjadi cemas. Ia tidak tahu apa yang sedang berlangsung antara Empu Sada dan kelima lawannya. Namun menurut penilaian Ken Dedes, apabila lawan Witantra bukan benar-benar orang yang sangat sakti, maka ia pasti tidak memerlukan tiga orang untuk mencoba melawannya. Bahkan lima orang pun tidak segera dapat mengatasi keadaan. Mereka seakan-akan hanya mampu berlari-lari melingkari Empu Sada, untuk kemudian berloncatan menjauh bersama-sama sebelum satu dua orang menyerangnya dari arah yang berbeda.
Tetapi apabila Ken Dedes melihat pertempuran di sudut-sudut yang lain, ia melihat para prajurit Tumapel selalu berusaha mendesak dan bahkan mengejar orang-orang liar itu berlari-lari melingkar-lingkar. Tetapi para penyerang itu masih saja berteriak-teriak tak menentu dengan nada yang menyakitkan telinga, meskipun suara teriakan-teriakan itu tidak sekeras pada saat-saat mereka datang.
Ketika mereka kemudian telah sampai ke puncak yang paling gawat dari pertempuran itu, baik bagi Witantra dan kawan-kawannya, maupun bagi orang Empu Sada, yang masing-masing selalu terdesak oleh lawan-lawan mereka, di kejauhan terdengar sebuah suitan nyaring. Sekali, dua kali dan kemudian diulangi lagi sekali, sehingga menjadi tiga kali. Suara itu seperti suara seekor burung yang melengking memecah gelap malam.
Ternyata suara itu telah mengejutkan semua orang yang berada di arena pertempuran itu.
Bagi Witantra dan para prajurit Tumapel suara itu seakan-akan suara hantu yang telah siap menerkam mereka dan sikap yang sangat mengerikan. Dalam kesulitan itu, maka mereka masih harus menunggu bencana yang bakal datang.
Para prajurit yang berada di sekitar Ken Dedes pun segera merapatkan diri, seakan-akan mereka mendapat perintah untuk menghadapi kemungkinan yang paling akhir dari perjuangan mereka.
Tetapi Witantra, Mahendra, Kebo Ijo dan kedua perwira bawahan Witantra menjadi semakin terkejut melihat sikap Empu Sada. Ternyata orang tua itu pun terkejut bukan buatan mendengar suara suitan tiga kali berturut-turut. Seperti disengat seribu lebah biru Empu Sada itu melontar surut beberapa langkah. Diangkatnya wajahnya sambil memanjangkan lehernya.
Witantra dan kawan-kawannya yang menjadi keheranan, justru berdiri saja tegak di tempatnya. Seolah-olah mereka melihat sesuatu yang bukan seharusnya. Mereka menyangka bahwa suara suitan itu adalah pertanda kehadiran Kuda Sempana dan kawan-kawannya yang mungkin bukan saja tiga orang, tapi dengan beberapa orang lain. Namun menilik sikap Empu Sada, maka kemungkinan itu pasti berbeda dari peristiwa yang akan mereka hadapi.
Terdengar Empu Sada itu menggeram. Sekali dilayangkannya pandangan matanya kepada orang-orangnya yang masih bertempur melawan prajurit-prajurit Tumapel. Ternyata mereka semakin lama menjadi semakin terdesak.
Dalam ketegangan itu sekali lagi di kejauhan terdengar suara itu. Suara suitan tiga kali berturut-turut.
"Setan!" geram Empu Sada, "Apa pula yang terjadi dengan anak cengeng itu?"
Witantra masih tegak di tempatnya. Kawannya pun masih belum berbuat sesuatu. Namun di dalam dada mereka berdetaklah berbagai pertanyaan tentang sikap orang tua yang mengerikan itu.
Tiba-tiba Witantra dan kawan-kawannya dikejutkan oleh suitan Empu Sada itu. Mirip dengan sebuah siulan panjang. Suaranya menyusup menembus gelap malam melingkar-lingkar di dalam hutan.
Witantra dan kawan-kawannya tidak tahu sama sekali sasmita sandi semacam itu. Karena itu, mereka harus mempersiapkan diri mereka menghadapi setiap kemungkinan yang dapat terjadi. Mungkin siulan Empu Sada itu memperdengarkan kidung kematian bagi mereka dan para prajurit Tumapel.
Tetapi yang terjadi adalah berbeda dengan dugaan mereka. Mendengar suara siulan itu. maka serentak orang-orang Empu Sada berteriak semakin keras, namun apa yang mereka lakukan justru sebaliknya. Mereka berlari-larian di arena itu untuk sesaat, kemudian dengan cepatnya mereka meloncat menyusup ke dalam gerumbul-gerumbul yang gelap dibalik rimbunnya hutan.
Beberapa orang prajurit Tumapel berusaha mengejar mereka, namun terdengar Witantra memberi aba-aba, "Biarkan mereka!"
Para prajurit Tumapel terhenti di tempatnya. Terasa pula oleh mereka itu, suasana yang seolah-olah menyimpan rahasia. Suara-suara suitan dan siulan, kegelapan malam di antara batang-batang pepohonan, Empu Sada yang masih berdiri di tempatnya dan suara teriakan-teriakan orang-orang yang berbuat seakan-akan orang-orang liar itu yang semakin lama menjadi semakin lemah. Keadaan itu pulalah yang memaksa Witantra mencegah anak buahnya terjerumus di dalam keadaan yang tak mereka kenal.
Sesaat setiap orang di perkemahan itu berdiri tegak di tempatnya. Wajah-wajah mereka menjadi semakin tegang, namun mulut mereka terkatup rapat-rapat. Witantra, Mahendra, Kebo Ijo, kedua perwira bawahan Witantra. Para prajurit, Ken Dedes dan bahkan Empu Sada sendiri.
Mereka seakan-akan sedang menunggu suatu peristiwa yang akan meledak setiap saat.
Tetapi yang terdengar kemudian sekali lagi suara suitan kini menjadi kian dekat. Tiga kali berturut-turut. Bahkan kini tidak saja dilontarkan oleh seseorang, tetapi dua orang hampir bersamaan.
Sekali lagi terdengar Empu Sada menggeram. Di antara suaranya yang berat terdengar ia mengumpat, "Setan manakah yang berani mengganggu Empu Sada dan murid-muridnya?"
Kata-kata Empu Sada itu pun mengejutkan Witantra dan kawan-kawannya. Terasa bahwa Empu Sada merasa terganggu karena suara-suara suitan itu. Karena itu maka Witantra dan kawan-kawannya menjadi semakin tidak mengerti, apakah yang sedang terjadi.
Namun mereka terkejut ketika Empu Sada itu berteriak lantang, "He, Kuda Sempana. Di mana kau" Siapakah yang telah berani mencoba menghalangi rencana kita itu?"
Suara Empu Sada menggelegar seperti suara guruh di musim kesanga.
Tetapi suara Empu Sada itu tidak segera mendapat jawaban. Sejenak mereka terpaku menunggu, apakah yang bakal terjadi, dan apakah jawaban yang akan mereka dengar atas pertanyaan Empu Sada itu. Namun jawaban itu tidak segera mereka dengar.
Empu Sada yang masih berdiri tegak itu sekali lagi menggeram. Wajahnya menjadi semakin tegang dan tubuhnya gemetar menahan marah. Tetapi dengan demikian, Witantra dan kawan-kawannya perlahan-lahan dapat mengurai keadaan. Ternyata dugaan mereka benar, ada sesuatu yang tidak wajar menurut rencana Empu Sada.
Ketika sejenak kemudian masih juga tidak ada jawaban, maka sekali lagi terdengar Empu Sada berteriak, "Kuda Sempana, sekali lagi aku beri tanda. Aku akan segera datang."
Alangkah terkejut mereka bersama-sama ketika sekali lagi terdengar suara tidak begitu jauh dari tempat mereka. Meskipun suara itu tidak jelas, namun terdengar juga lamat-lamat, "Aku di sini guru. Ada orang gila yang menghalang aku."
Empu Sada tidak menunggu lebih lama lagi. Cepat-cepat ia meloncat meninggalkan Witantra dan kawan-kawannya. Hilang di dalam semak-semak. Adalah pasti bahwa Empu Sada berusaha untuk menolong muridnya. Agaknya suitan-suitan itu adalah tanda dari murid-murid Empu Sada untuk menyatakan, bahwa mereka berada dalam bahaya.
Witantra masih berdiri sejenak di tempatnya. Tetapi tanggapannya atas peristiwa itu telah memaksanya untuk mencoba mengikuti Empu Sada. Karena itu maka katanya, "Sidatta, tetaplah di sini berdua. Aku, Mahendra dan Kebo Ijo akan mencoba melihat apa yang terjadi dengan orang tua itu."
Wajah Sidatta yang masih tegang tampak berkerut. Ia masih lihat peristiwa ini diliputi oleh suatu keragu-raguan yang tidak menentu. Karena itu katanya, "Kakang Witantra, apakah tidak terlampau berbahaya bagi Kakang untuk pergi ke dalam semak-semak yang tidak Kakang kenal."
"Aku tidak akan pergi terlampau jauh. Kalau Kuda Sempana dapat kami dengar dari sini, maka suaraku pun pasti akan kalian dengar apabila kalau aku memerlukan kalian." jawab Witantra.
Sidatta menganggukkan kepalanya. Sebenarnya di dalam hatinya sendiri terpancar keinginannya untuk melihat, kenapa Kuda Sempana tidak dapat menyelesaikan rencananya dengan baik. Tetapi ia tidak dapat meninggalkan perkemahan itu tanpa penjagaan. Karena itu maka katanya, "Silakan Kakang. Tetapi Kakang, kita akan saling memberikan tanda apabila kita saling memerlukan."
"Baik," sahut Witantra, yang kemudian bersama dengan kedua adik seperguruannya, menyusup ke dalam semak-semak dan hilang dibalik rimbunnya dedaunan.
Tetapi mereka bertiga tidak segera dapat menemukan arah, ke mana mereka harus pergi. Mereka hanya mampu membuat ancar-ancar arah suara Kuda Sempana. Tetapi suara itu pun tidak begitu jelas bagi mereka. Karena itu untuk sesaat mereka berjalan dengan hati-hati ke arah itu.
Mereka menyibak dedaunan dan menyusup di bawah akar-akar pepohonan. Mereka tidak dapat mencari jalan lain. Mereka hanya dapat memintas lurus ke tempat yang mereka sangka akan didatangi oleh Empu Sada pula. Namun dalam pada itu, mereka tetap dalam kewaspadaan, sebab mereka masih belum dapat menentukan apa yang sebenarnya telah terjadi. Mungkin mereka masih tetap berada dalam jebakan Empu Sada yang membuat rencana demikian berbelit-belit.
Tetapi setelah mereka berjalan beberapa lama, mereka sama sekali belum menemukan apa-apa. Mereka tidak mendengar suara apapun dan bahkan mereka seolah-olah terkurung dalam sebuah gua yang gelap pepat. Hitam dan kelam di sekeliling mereka. Yang dapat mereka lihat hanyalah bayangan dedaunan yang menggapai-gapai ditiup angin malam, seperti tangan-tangan hantu raksasa yang akan menerkam mereka.
Namun tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara tertawa yang seakan-akan meledak-ledak tidak begitu jauh dari tempat mereka. Suara itu adalah suara Empu Sada dalam nada yang tinggi menyakitkan telinga. Di antara suara tertawa itu terdengar ia berkata, "He, rupanya kau yang datang kelinci kurus."
Tak ada suara menyahut. Yang terdengar masih saja suara tertawa Empu Sada. Bukan karena orang tua itu menjadi bergembira, atau menemukan permainan yang menyenangkan, tetapi nada suaranya melontarkan keheranan dan kebencian yang melonjak-lonjak di dalam dadanya.
Witantra memasang telinganya baik-baik. Perlahan-lahan ia menemukan arah yang harus dianutnya. Karena itu maka segera ia berbisik kepada adik-adik seperguruannya, "Kita menerobos ke utara."
Mahendra dan Kebo Ijo tidak menjawab. Dengan pedang terhunus mereka berjalan terbungkuk-bungkuk menghindari sulur-sulur yang bergayutan pada pepohonan. Tetapi kini mereka melangkah dengan pasti. Mereka telah menemukan arah.
Semakin dekat mereka dengan arah suara tertawa Empu Sada, mereka menjadi semakin berdebar-debar. Apalagi kemudian suara tertawa itu tidak mereka dengar lagi. Meskipun demikian mereka berjalan terus.
Tiba-tiba mereka tertegun ketika beberapa puluh langkah lagi di hadapan mereka, terdengar suara Empu Sada, "Kuda Sempana, kenapa tidak kau bunuh saja kelinci ini he" Kenapa kau dan kedua saudara seperguruanmu itu berteriak-teriak memanggil aku" Bukankah membunuhnya tidak lebih sulit daripada membantai ayam sakit-sakitan."
Tidak terdengar jawaban. Seolah-olah yang berada di tempat itu hanyalah Empu Sada seorang diri. Setiap kali ia berbicara, maka tak ada suara yang menyahut. Kali ini Kuda Sempana itu pun tidak menjawab.
Kembali tumbuh keragu-raguan di dalam hati Witantra. Apakah ini bukan salah satu pokal Empu Sada untuk memisahkannya dari para prajurit yang lain, ataukah memang ada tujuan tersembunyi yang tidak dimengertinya" Tetapi jarak itu sudah dekat, sehingga Witantra pun memutuskan untuk maju beberapa langkah lagi.
Ketika mereka maju meloncati beberapa dahan-dahan yang rontok dan melintang di hadapan mereka, maka segera mereka melihat, bagian yang luang dari hutan itu. Bagian yang meskipun sempit namun cukup memberikan tempat untuk bertempur seperti tempat yang mereka pergunakan untuk berkemah.
Dengan hati-hati Witantra melangkah lagi beberapa langkah. Dari sela-sela rimbunnya dedaunan ia mencoba melihat, apa yang ada di tempat yang agak longgar itu.
Namun malam gelapnya bukan kepalang. Tetapi di tempat yang longgar itu, kepekatan malam seakan-akan menipis. Sinar bintang-bintang di langit tidak tertutup oleh dedaunan dan dahan-dahan kayu yang rimbun di atasnya.
Dan apa yang dilihatnya benar-benar menggetarkan hatinya, meskipun seakan-akan hanyalah bayangan-bayangan hantu yang hitam legam.
Mereka terdiri dari lima orang. Namun Witantra dapat memastikan, bahwa seorang di antaranya adalah Empu Sada. yang tiga adalah murid-murid Empu Sada sendiri. Namun yang satu, berdiri agak terlampau ke sudut, sehingga Witantra hampir tidak dapat melihatnya, seandainya bayangan itu tidak bergerak. Yang tampak hanya hitam. Bahkan garis-garis bentuknya pun tak dapat dikenalnya.
Namun betapa terkejut Witantra yang tiba-tiba mendengar Empu Sada berteriak, "He, siapa yang mencoba mengintip pertemuan ini?"
Sebelum Witantra menjawab, ia melihat salah seorang dari kelima bayangan itu memutar tubuhnya dan maju selangkah, tepat ke arah Witantra dan adik-adik seperguruannya bersembunyi.
Tetapi Witantra lebih terkejut lagi ketika ia mendengar bayangan yang di sudut itu berkata, "Biarkan mereka berada di sana."
Sesaat Witantra terpaku di tempatnya. Bukan saja Witantra, namun kedua saudara seperguruannya pun terkejut pula mendengar suara itu. Bahkan Kebo Ijo, yang termuda di antara mereka bertiga tidak dapat menahan perasaannya. Setelah sekian lama mereka berjuang melawan Empu Sada, dan bahkan hampir saja mereka mengalami bencana, tiba-tiba mereka melihat kehadiran orang itu. Karena itu, meledaklah kegembiraan Kebo Ijo. Hampir berteriak ia memanggil orang yang berdiri di dalam bayangan yang kelam itu, "Guru! Gurukah itu?"
Witantra menggamit tangan Kebo Ijo, tetapi anak muda itu tidak memperhatikannya. Bahkan selangkah ia meloncat maju dan sekali lagi memanggil, "Guru. Kami bertiga dengan Kakang Witantra dan Kakang Mahendra."
Orang yang berdiri di sudut yang gelap itu menyahut, "Kemarilah!"
Kebo Ijo menjadi ragu-ragu. Dilihatnya Empu Sada berdiri tegak seperti patung. Kalau ia berjalan ke tempat gurunya berdiri, Empu Sada itu dapat dengan tiba-tiba memotong jalannya, dan dengan sebuah serangan mungkin ia telah terpelanting untuk tidak bangun lagi. Tongkat yang panjang itu pasti mampu mematahkan tulang-tulang rusuknya. Sehingga dengan demikian, anak muda itu berpaling kepada kedua saudaranya. Kalau mereka berjalan bersama-sama, maka kemungkinan untuk mempertahankan diri menjadi lebih besar.
Agaknya gurunya melihat keragu-raguan itu, sehingga katanya mengulangi, "Kemarilah. Witantra, Mahendra dan Kebo Ijo. Jangan hiraukan Empu Sada. Ia orang yang baik hati. Ia pasti tidak akan berbuat sesuatu."
Empu Sada menggeram. Selangkah ia maju sambil bergumam, "Kalau kalian bergerak selangkah, maka kalian akan berkubur di hutan ini."
"Kita akan terlampau banyak pekerjaan Empu," berkata bayangan di kegelapan, yang ternyata adalah guru Witantra yang kekurus-kurusan dan bernama Panji Bojong Santi, "Kalau kau membunuh murid-muridku, maka sedikitnya kita harus mengubur enam orang sekaligus di sini."
"Kenapa enam?" teriak Empu Sada.
"Apakah kau tidak mengerti hitungan sama sekali" Bukankah tiga ditambah dengan tiga itu berjumlah enam?"
"Kenapa enam?" sekali lagi Empu Sada berteriak, "aku hanya membunuh tiga orang."
"Kau membunuh muridku tiga orang dan aku membunuh muridmu tiga orang. Bukankah jumlahnya enam."
Sekali lagi Empu Sada menggeram. Kali ini lebih keras lagi. Tetapi ia tidak menyahut.
"Nah, Witantra, kemarilah!" ulang Panji Bojong Santi.
Witantra, Mahendra, dan Kebo Ijo kemudian melangkah bersama-sama. Pedang-pedang mereka masih erat di dalam genggaman tangan mereka. Dengan penuh kesiapsiagaan mereka berjalan beberapa langkah di samping Empu Sada. Tetapi Empu Sada itu berdiri saja seperti tonggak.
Ketika mereka telah berada di samping guru mereka, maka Kebo Ijo menarik nafas dalam-dalam sambil berkata, "Untung guru segera datang. Kalau tidak, maka kami pasti akan ditelan oleh anak-anak Empu Sada."
Panji Bojong Santi tidak menjawab. Tetapi ia berkata kepada Empu Sada, "Anak-anak ayam kini telah kembali ke induk masing-masing. Nah, Empu yang baik. Apakah sebenarnya yang kau kehendaki?"
Empu Sada memutar tubuhnya. Ditatapnya Panji Bojong Santi dengan penuh kebencian. Namun ia tidak segera menjawab. Ketika kemudian ia berpaling, dilihatnya ketiga murid-muridnya, Kuda Sempana, Cundaka yang lebih senang disebut Bahu Reksa Kali Elo dan Sungsang pun masih menggenggam pedangnya masing-masing.
Sesaat suasana menjadi sepi tegang. Mereka berdiri berhadapan di dalam kelompok masing-masing, seolah-olah mereka telah berjanji untuk mengadakan perang tanding. Seorang guru dengan tiga orang murid masing-masing.
Yang terdengar kemudian adalah suara angin malam yang mengalir di antara dedaunan. Suara burung malam di kejauhan dan suara anjing-anjing liar berebutan makan.
Dalam keheningan itulah maka Empu Sada mencoba membuat perimbangan dari dua kekuatan yang sudah berhadap-hadapan. Tetapi ia tidak dapat mengingkari kenyataan. Orang-orangnya tidak akan mampu menghadapi para prajurit Tumapel yang lebih banyak berpengalaman dan terlatih cukup baik. Apalagi kini ia tidak sempat mengikat para pemimpinnya dalam satu perkelahian, karena kehadiran Panji Bojong Santi. Karena itu, yang terdengar kemudian adalah suara giginya yang gemeretak.
Yang berbicara kemudian adalah Panji Bojong Santi, "Bagaimana Empu, apakah kita masih sempat untuk melihat anak-anak kita berkelahi, atau kau mempunyai keputusan lain?"
Empu Sada menggelengkan kepalanya.
"Tidak," katanya dalam nada yang keras, "Kali ini rencanaku telah kau rusakkan. Aku tidak dapat berkata lain daripada itu. Tetapi kesalahan yang telah kau lakukan ini membuat aku mendendammu, seperti aku mendendam Empu Gandring yang mengganggu aku pula."
"Aku telah mendengar dari Mahendra," sahut Panji Bojong Santi, "tetapi seperti Empu Gandring aku ingin memperingatkanmu, jangan bermain-main bersama Kebo Sindet dan Wong Sarimpat. Kau akan dapat ditelannya Empu. Seperti Empu Gandring, menurut Mahendra, aku menganggapmu lain dari kedua orang-orang liar itu."
Sekali lagi Empu Sada berteriak, "Apa pedulimu?"
"Aku hanya memperingatkan. Aku masih mengharap kau lepaskan segala macam keinginanmu yang aneh-aneh itu. Jangan terlampau kau manjakan muridmu yang bernama Kuda Sempana. Seandainya Mahendra yang berbuat seperti Kuda Sempana, maka ia akan aku lepaskan untuk berbuat sendiri, atas tanggung jawabnya sendiri. Tetapi Mahendra tidak berbuat demikian. Ia menyadari keadaannya."


01 Pelangi Di Langit Singasari Karya S H. Mintarja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Empu Sada tertawa, meskipun nadanya pahit. Katanya, "Kau menjadi ketakutan seperti Empu Gandring itu juga."
Panji Bojong Santi tidak segera menjawab. Dilihatnya Empu Sada berdiri dengan gemetar menahan marah. Tetapi kemarahan itu benar-benar tidak mampu dilepaskannya, karena ia berhadapan dengan Panji yang kurus itu. Kalau ia memaksa diri untuk bertempur, maka pasti tidak akan mencapai penyelesaian. Perkelahian itu tidak akan berkesudahan. Tetapi apakah murid-muridnya mampu melawan ketiga murid Bojong Santi itu"
Empu Sada menggeram. Ia menyesal bahwa selama ini ia tidak benar-benar menempa muridnya dengan kesadaran. Ia memberikan ilmunya dengan acuh tak acuh. Meskipun murid-muridnya menjadi orang-orang yang melampaui orang kebanyakan, namun mereka tidak dapat menyamai murid-murid Bojong Santi dan murid Empu Purwa yang bernama Mahisa Agni. Empu Sada menyesal. Namun waktu telah berjalan terlampau jauh. Saat-saat itu ia hanya sekedar menjual ilmunya. Dengan sedikit harta dan benda, Empu Sada telah dengan mudahnya menerima seseorang menjadi muridnya. Tetapi murid-murid itu pun tidak mempunyai tingkatan yang serasi menurut urutan-urutannya. Siapa yang lebih banyak memberinya sesuatu, ialah yang lebih banyak menerima ilmu.
Tetapi ketika ia harus berhadapan dengan perguruan lain, terasa bahwa apa yang dilakukannya itu keliru. Kini harga dirinya langsung tersentuh, ketika ia berhadapan dalam jumlah yang sama. Namun sudah pasti, bahwa ketiga muridnya tidak akan mampu berhadapan dengan ketiga murid Panji Bojong Santi.
Untuk menenteramkan dirinya sendiri, Empu Sada itu berkata di dalam hatinya. "Belum terlambat. Aku masih dapat menempa beberapa orang di antara murid-muridku untuk menyamai ketiga murid Panji yang gila ini. Mungkin ketiga muridku ini, mungkin yang lain lagi. Namun kelebihanku adalah, aku mempunyai banyak murid, sedang Panji yang gila ini hanya tiga dan Empu Purwa hanya satu. Apalagi Gandring tukang membuat keris itu. Ia hampir tidak pernah memedulikan apa-apa selain keris-kerisnya."
Keheningan yang sejenak itu kemudian dipecahkan oleh suara Panji Bojong Santi, "Empu Sada, apakah kau masih tetap berkeinginan bekerja bersama-sama dengan kedua orang liar itu?"
"Tentu," jawab Empu Sada, "aku sudah melihat kalian menjadi ketakutan. Kau dan Empu Gandring."
"Ya, aku memang takut," sahut Bojong Santi.
"Nah. Kau sudah mengaku. Karena itu, jangan menghalangi aku."
"Kau belum tahu apa yang aku takutkan. Bukan Kebo Sindet dan Wong Sarimpat."
"Apa yang kau takutkan?"
"Kau." "Kenapa aku?" Empu Sada menjadi heran.
"Aku takut kalau kau akan menjadi korban ketamakanmu. Aku takut kalau kau akan lenyap ditelan oleh kedua orang itu setelah kau mencoba menghubunginya."
Sekali lagi Empu Sada tertawa. Tetapi tiba-tiba terdengar ia bersiul panjang.
Apa yang terjadi kemudian adalah terlampau cepat sehingga Witantra dan saudara-saudara seperguruannya berdiri saja memandangi mereka yang tiba-tiba meloncat dan menghilang ke dalam semak-semak. Baru sejenak kemudian Witantra menyadari keadaan. Dengan serta-merta ia berkata, "Apakah kita biarkan mereka lari?"
"Jangan hiraukan mereka kini," jawab gurunya, "bukankah kalian mempunyai tanggungan" Kalau kalian berhasil menyelamatkan gadis itu, kalian harus sudah mengucap syukur atas lindungan Yang Maha Agung."
Witantra mengangguk-anggukkan kepalanya. Gumamnya, "Ya, Guru."
Tetapi Kebo Ijolah yang kemudian bertanya, "Kenapa Guru tiba-tiba saja berada di tempat ini?"
Panji Bojong Santi mengerutkan keningnya. Kemudian jawabnya, "Aku sudah menyangka bahwa hal ini akan terjadi. Sejak aku mendengar cerita Mahendra yang bertemu dengan Empu Sada di padang Karautan. Berita tentang perjalanan Ken Dedes ini sudah didengar oleh hampir setiap orang Tumapel yang pasti telah didengar pula oleh salah seorang saudara seperguruan Kuda Sempana yang tersebar di mana-mana. Aku sudah menyangka bahwa Empu Sada akan melakukan pencegatan ini. Karena itu, aku memerlukan mengikuti arak-arakan sejak dari Tumapel."
"Kenapa Guru tidak berjalan saja bersama-sama kami dalam satu rombongan?"
"Aku lebih senang berjalan sendiri. Aku tidak biasa berjalan menurut irama yang ditentukan oleh Witantra."
Witantra tersenyum. Katanya, "Terima kasih, Guru. Kalau Guru tidak hadir di sini, maka aku dan semua anak buahku akan musnah. Bukan saja itu, tetapi namaku akan hancur pula bersama lenyapnya bakal permaisuri."
Tiba-tiba Bojong Santi menggeleng, "Tidak. Kau salah sangka."
"Kenapa?" bertanya ketiga muridnya hampir serentak.
"Ketika aku menahan Kuda Sempana dan kedua kawan-kawannya, aku melihat seseorang di sekitar tempat itu. Aku sudah mengenalnya meskipun belum terlampau akrab."
"Siapa?" "Ayah gadis itu."
"Empu Purwa?" "Ya. Ia berada di tempat ini juga sekarang. Mungkin Empu Purwa mendengar pula percakapan ini. Kalau aku tidak ada di tempat ini, orang tua itu tidak akan sampai hati membiarkan gadisnya diambil oleh Kuda Sempana."
"Tetapi kenapa Empu Purwa itu tidak menampakkan dirinya di hadapan putrinya."
Panji Bojong Santi menarik nafas dalam-dalam. Tiba-tiba dilayangkan pandangan matanya berkeliling, seakan-akan mencari seseorang di dalam gelapnya malam. Tetapi yang dikatakan adalah, "Kembalilah kepada tugasmu. Cepat! Sebelum Empu Sada mendahuluimu. Kalau orang itu datang, beri aku tanda. Panggil saja namaku keras, tanpa siul-siulan atau segala macam tanda sandi. Aku tetap di sini."
Witantra segera menyadari keadaannya. Saat itu ia masih harus mempertanggung jawabkan seorang gadis bakal permaisuri Akuwu Tunggul Ametung, Karena itu tiba-tiba ia menyahut, "Ya, Guru. Aku akan segera kembali ke perkemahan."
"Pergilah." Witantra pun kemudian segera mohon diri bersama saudara-saudara seperguruannya. Dengan tergesa-gesa mereka menyusuri dedaunan dan ranting-ranting perdu, kembali ke tempat para prajurit Tumapel menunggu dengan cemas.
Ternyata jalan kembali itu agak lebih mudah ditempuhnya daripada saat mereka mencari Empu Sada. Mereka kini dapat melihat bayangan api di ujung pepohonan sebagai penunjuk arah, meskipun kadang-kadang bayangan itu sama sekali tidak dapat mereka lihat karena rimbunnya batang-batang kayu. Tetapi sekali-sekali cahaya yang kemerah-merahan dapat menunjukkan ke mana mereka harus pergi. Agaknya beberapa orang prajurit tetap memelihara supaya api tidak padam, sehingga mereka dapat lebih cermat mengawasi keadaan.
Sepeninggal Witantra dan kedua saudara seperguruannya. Panji Bojong Santi masih saja berdiri tegak seperti patung, seakan-akan sengaja ia membiarkan dirinya tidak bergerak dan tidak dikenal di antara batang-batang kayu. Tetapi Panji Bojong Santi itu agaknya sedang menunggu seseorang, ia yakin bahwa orang yang ditunggunya itu pasti akan datang.
Ternyata Bojong Santi tidak menjadi kecewa karenanya. Sejenak kemudian ia mendengar gemeresik halus di sampingnya. Namun orang tua yang kurus itu sama sekali tidak bergeser dari tempatnya.
Ketika dari semak-semak muncul seseorang, maka dengan serta-merta Panji Bojong Santi itu memutar tubuhnya sambil mengangguk dalam-dalam, katanya, "Selamat malam Empu."
"Terpujilah Tuan, karena Tuan telah menolong anakku dari bencana. Langsung atau tidak langsung."
Panji Bojong Santi tersenyum. Jawabnya, "Empu terlampau merendahkan diri. Apakah artinya tenagaku dibanding dengan Empu sendiri. Kalau aku tahu bahwa Tuan ada di sini, maka aku tidak akan bersombong diri, mencegah perbuatan Kuda Sempana. Sebab pasti Tuan sendiri akan berbuat jauh lebih baik dari yang aku lakukan. Aku melihat kehadiran Tuan setelah aku terlanjur mengikat Kuda Sempana dalam perkelahian."
Orang yang baru datang itu, yang ternyata adalah Empu Purwa, kini tersenyum pula. Katanya, "Tetapi aku memang tidak dapat berbuat secepat Tuan. Tuan telah mendahuluiku. Namun adalah lucu sekali, bahwa agaknya maksud kita bersamaan. Aku pun sebenarnya ingin memanggil Empu Sada dan ketiga muridnya seperti yang Tuan lakukan."
Panji Bojong Santi tertawa.
"Aku sudah menyangka," jawabnya, "kalau tidak Tuan pasti langsung menolong putri Tuan di perkemahan. Dan inilah yang tidak aku ketahui. Ketika Witantra bertanya kepadaku, kenapa Tuan tidak menampakkan diri, bahkan langsung di arena, maka aku tidak dapat menjawabnya."
Empu Purwa kini tidak tersenyum lagi. Bahkan kemudian ia menarik nafas dalam. Namun segera ia berusaha menghilangkan segala macam kesan yang mencengkam perasaannya. Katanya, "Aku mendengarkan percakapan Tuan dengan murid-murid Tuan. Aku sebenarnya ingin tahu, apakah jawab Tuan atas pertanyaan itu."
"Tentu aku tidak akan dapat menjawab," sahut Panji Bojong Santi.
Sekali lagi Empu Purwa menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Aku hanya ingin bermain-main sembunyi-sembunyian seperti Tuan."
Panji Bojong Santi menangkap kesan yang suram dalam kata-kata Empu Purwa. Terasa sebuah sentuhan halus pada perasaan orang tua itu. Sehingga karena itu, maka berkata Panji kurus itu, "Maaf Empu. Mungkin pertanyaan itu tidak berkenan di hati Tuan."
"Oh, tidak," jawab Empu Purwa tergesa-gesa, "tidak. Tidak apa-apa. Mungkin ada baiknya aku mengatakan kepada Tuan supaya beban yang menyumbat dadaku dapat melimpah keluar. Selama ini tak ada seorang pun yang dapat membantu meringankan perasaanku."
Panji Bojong Santi sama sekali tidak menyahut. Ia menyesal bahwa pertanyaannya agaknya telah mengungkap kepahitan perasaan Empu Purwa. Tetapi pertanyaan itu sudah terlanjur diucapkan.
"Tuan," berkata Empu Purwa kemudian, "pertanyaan adalah pertanyaan yang wajar. Kadang-kadang aku sendiri bertanya demikian. Kenapa aku tidak langsung menemui anakku yang mungkin sangat mengharap hal itu terjadi."
Panji Bojong Santi hanya menganggukkan kepalanya saja. Tetapi ia sama sekali tidak mengucapkan sepatah kata pun.
"Tetapi aku tidak dapat melakukannya," berkata Empu Purwa seterusnya, "meskipun sebenarnya keinginan yang demikian melonjak-lonjak pula di dalam dadaku."
Empu Purwa terdiam sesaat, sehingga suasana menjadi sepi hening. Di kejauhan lamat-lamat terdengar suara burung engkak menusuk-nusuk telinga dengan suaranya yang parau menyakitkan.
"Tuan," berkata Empu Purwa kemudian, "betapa rinduku kepada putriku, namun betapa kecewanya aku terhadapnya. Sejak anak itu hilang, aku sudah tidak mengharap dapat bertemu lagi. Aku tidak mau kehilangan, tetapi apakah aku harus melawan Akuwu Tunggul Ametung" Bukan karena Tunggul Ametung mempunyai kesaktian tanpa batas, tetapi ia adalah pemimpin pemerintahan. Perlawananku akan dapat menimbulkan malapetaka bagi Tumapel. Tiba-tiba aku mendengar kemudian, bahwa anak itu telah menjadi seorang bakal Permaisuri. Alangkah kecewanya hatiku. Tetapi aku tidak ingin mengecewakan hati putriku. Kalau telah berkenan di hatinya, biarlah ia menemukan kebahagiaan. Tetapi kekecewaanku terhadap tingkah laku Tunggul Ametung yang melindungi Kuda Sempana mengambil anakku, tidak akan dapat terhapus dari dinding hatiku. Karena itu, lebih baik aku tidak bertemu lagi dengan putriku. Biarlah ia menemukan kebahagiaan yang dikehendakinya, aku adalah orang tua. Hari depannya masih jauh lebih panjang dari hari depanku."
Bojong Santi tidak berkata sepatah kata pun. Ia dapat merasakan betapa pedih hati orang tua itu. Ia dihadapkan kepada keadaan yang serba salah.
Betapa rindunya orang tua itu kepada putrinya, tetapi betapa kecewanya ia menghadapi perkembangan keadaan putrinya itu. Mungkin ia dapat melepaskan perasaan rindunya dengan menemui gadis itu, memeluknya seperti masa-masa lampau sambil menghibur dan membesarkan hati gadis itu. Tetapi apabila disadarinya bahwa di sisi gadis itu kelak akan berdiri Tunggul Ametung, maka dadanya pasti segera akan menyala kembali.
Sesaat kedua orang tua itu saling berdiam diri. Dibiarkannya angin malam membelai tubuh-tubuh yang sudah mulai dihiasi lengan keriput-keriput kulit. Betapa mereka sakti tiada tandingnya, namun mereka tidak dapat melawan kekuasaan tangan Penciptanya. Mereka tidak akan mampu melawan umur mereka sendiri yang semakin lama menjadi semakin tua. Meskipun mereka mampu bertempur melawan setiap orang sakti, namun mereka tidak dapat melawan kekuasaan maut yang semakin tua menjadi semakin mendekat.
Empu Purwa pun menyadari hal itu pula. Apabila orang tua itu sedang merenungi kepahitan hidupnya, maka kelak ia kembali kepada Sumber hidup itu sendiri. Dicarinya ketenteraman dan hiburan yang sejati. Sehingga dengan demikian, maka hatinya pun menjadi mengendap. Ia tidak lagi bernafsu membiarkan dirinya dikuasai oleh kemarahan dan kekecewaan. Sehingga dengan demikian, kemudian ia dapat menempatkan kepentingan anaknya yang masih muda itu di atas kepentingannya sendiri.
Tetapi sebagai manusia, Empu Purwa adalah manusia perasa. Manusia yang kadang-kadang hanyut dilanda perasaannya sendiri. Perasaan yang tersinggung oleh sentuhan-sentuhan yang kadang-kadang dapat mengguncangkan keseimbangan berpikir.
Empu Purwa pun menyadari pula. Ia menyesal bahwa karena guncangan perasaan, ia telah mengutuk orang-orang Panawijen, bahkan memecahkan bendungannya pula. Ia kini menyesal bahwa ia mengutuk setiap orang yang turut melarikan anaknya, bahwa mereka akan mati dengan keris.
Tetapi semuanya telah terjadi. Dan orang tua itu tidak mau terjadi pula peristiwa-peristiwa serupa. Karena itu, lebih baik ia tidak bertemu dengan putrinya, supaya ia tidak mengalami guncangan perasaan, dan berbuat di luar keseimbangan berpikir.
Malam yang sunyi itu pun menjadi semakin malam. Di langit bintang-bintang yang gemerlapan seolah-olah ditaburkan di atas layar yang hitam legam. Suara-suara burung engkak yang parau sekali-sekali masih terdengar, menjerit-jerit.
Dalam kesunyian itu, kembali terdengar Empu Purwa berkata, "Aku lebih baik menemani Tuan di sini."
Panji Bojong Santi mengangguk-anggukkan kepalanya. Terasa betapa dalam luka di hati Empu Purwa. Karena itu maka jawabnya kemudian, "Terima kasih Tuan. Aku akan senang sekali apabila Tuan bersedia menemani aku di sini."
"Bukankah kita tidak lagi mempunyai pekerjaan?" berkata Empu Purwa, "dan bukankah Tuan berjanji kepada murid-murid Tuan, bahwa Tuan akan tetap berada di sini."
Bojong Santi menjawab, "Ya. Itulah sebabnya, aku bergembira bahwa Tuan sudi menemani aku."
Empu Purwa tersenyum. Tetapi senyumnya terasa hambar. Katanya kemudian, "Aku akan beristirahat. Mungkin Tuan juga lelah setelah bermain kejar-kejaran dengan murid-murid Empu Sada."
Panji Bojong Santi pun tersenyum. Jawabnya, "Ya. Aku juga ingin duduk."
Keduanya kemudian duduk berhadapan di atas rumput-rumput kering. Namun sejenak mereka tidak berbicara apapun. Empu Purwa masih mencoba menenangkan perasaannya yang terasa mulai bergolak. Sedang Panji Bojong Santi mencoba memahami sepenuhnya semua kata-kata Empu Purwa.
"Bersyukurlah aku, bahwa gadisku tidak mengalami banyak persoalan seperti gadis Empu Purwa," berkata Bojong Santi itu di dalam hatinya. Ia berdoa semoga anaknya kelak akan mendapatkan jalan yang baik, meskipun tidak usah menjadi seorang permaisuri akuwu. Karena Panji Bojong Santi itu pun mempunyai seorang anak gadis pula, maka apa yang dirasakan Empu Purwa, seolah-olah dapat dirasakannya pula. Namun di samping itu, Panji Bojong Santi itu pun menyimpan perasaan iba terhadap Ken Dedes yang malang. Garis hidupnya seakan-akan selalu diliputi oleh duka dan derita. Mudah-mudahan, seperti Empu Purwa menginginkan, berbahagialah gadis itu kelak setelah ia menjadi seorang permaisuri.
Sejenak kemudian barulah mereka mulai berbicara kembali. Tetapi mereka sudah tidak membincangkan Ken Dedes lagi. Apa yang mereka percakapkan adalah soal-soal yang tidak berarti, menjelang hari-hari tua mereka. Tetapi akhirnya pembicaraan itu sampai pula kepada Empu Sada, yang akan mencoba mempergunakan Kebo Sindet dan Wong Sarimpat.
"Kasihan Empu Sada," gumam Empu Purwa, "ia akan terjerumus ke dalam kesulitan yang besar."
"Mudah-mudahan ia mengurungkan niatnya," sahut Panji Bojong Santi.
Kembali mereka berdiam sejenak. Kembali Bojong Santi mencoba merasakan perasakan Empu Purwa. Betapapun kekecewaan membakar hati seorang ayah, namun ternyata ia tidak sampai hati melihat anaknya mengalami bencana. Empu Purwa, meskipun tidak mau menemui gadisnya, namun ia berada hampir di segala tempat untuk mengawasi anaknya. demikianlah cinta orang tua terhadap anaknya, dan adakah demikian pula sebaliknya"
Dalam pada itu Witantra dan kedua saudara seperguruannya telah berada kembali di antara anak buahnya. Sidatta segera menanyakan apakah yang sebenarnya terjadi dengan Kuda Sempana.
Sebelum Witantra menjawab, maka Kebo Ijo telah menyahut dengan lantangnya. Diceritakannya apa yang dilihatnya dan apa yang dialaminya. Lancar dan penuh tekanan, sehingga setiap orang menjadi sangat asyik mendengarnya. Tidak terkecuali Ken Dedes sendiri.
Gadis bakal permaisuri Akuwu Tunggul Ametung itu mendengarkan dengan hati yang berdebar-debar. Ia tidak dapat membayangkan, apa yang akan terjadi dengan dirinya, apabila Kuda Sempana berhasil dengan rencananya. Mungkin ia telah mengambil keputusan untuk membunuh diri.
"Untunglah bahwa Guru datang," berkata Kebo Ijo, "kalau tidak, kita semua pasti akan musnah dibakar oleh kemarahan Empu Sada."
Yang mendengar cerita itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka pun mengucapkan terima kasih di dalam hati mereka.
"Guruku adalah seorang yang bijaksana, yang dapat memperhitungkan apa yang kira-kira akan terjadi dengan kita di perjalanan ini," berkata Kebo Ijo pula. Dan setiap orang pun menjadi semakin kagum.
Tetapi dalam pada itu Witantra berkata, "Sudahlah kebo Ijo jangan membual."
"Bukankah sebenarnya demikian Kakang?" sahut Kebo Ijo, "Langsung apa tidak langsung, bukankah Guru kita yang telah menyelamatkan putri" Guru berbuat demikian tanpa pamrih. Kita adalah prajurit-prajurit Tumapel. Adalah kewajiban kita untuk mempertahankan Tuan Putri, tetapi Guru, sama sekali tidak mempunyai kepentingan apa-apa. Namun ia telah berbuat, dan bahkan menentukan."
"Kau sendiri telah mengurangi nilai dari perbuatan Guru kita, Kebo Ijo," berkata Witantra.
"Kenapa?" "Hanya orang-orang yang ingin menerima pujian, ingin menerima balas jasa sajalah yang dengan bangganya memamerkan jasa itu kepada orang lain," potong Mahendra, "Apakah Guru akan senang mendengar kau bercerita semacam itu?"
Kebo Ijo mengerutkan keningnya. Wajahnya tiba-tiba menjadi murung, tetapi ia tidak berkata apapun lagi.
"Bukankah guru berkata, "Mahendra meneruskan, "bahwa seandainya Guru tidak hadir, maka ada orang lain yang dapat berbuat serupa. Bahkan orang itu adalah ayah Tuan Putri sendiri."
"Mahendra," potong Witantra.
Mahendra terkejut mendengar suara kakak seperguruannya. Sesaat ia tidak mengerti maksud kakaknya, kenapa ia memotong kata-katanya. Tetapi kemudian disadarinya, bahwa ia telah terdorong menyebut ayah Ken Dedes, sedangkan orang tua itu sengaja tidak mau menunjukkan dirinya. Meskipun Witantra dan Mahendra tidak tahu sebabnya, kenapa orang tua itu tidak hadir di perkemahan ini, namun pastilah ada sesuatu sebab, kenapa orang tua itu lebih baik bersembunyi di belakang rumpun-rumpun liar.
Tetapi segera Mahendra terkejut ketika didengarnya suara Ken Dedes dengan serta-merta, "Mahendra, apakah kau bertemu dengan Ayah?"
Mahendra memandang Ken Dedes sesaat. Hanya sesaat, kemudian ia menundukkan wajahnya. Hatinya menjadi berdebar-debar. Bukan saja karena pertanyaan Ken Dedes itu, tetapi sesaat ia melihat wajah yang pernah mengguncangkan hatinya itu, maka jantungnya seakan-akan semakin cepat berdenyut.
Sementara itu, yang menjawab adalah Witantra, "Tidak Tuan Putri. Kami tidak bertemu dengan ayah Tuan Putri. Kami hanya membayangkan dan menduga, bahwa ayah Tuan Putri tidak akan sampai hati apabila bencana menimpa diri Tuan Putri."
"Kakang Witantra," berkata Ken Dedes kemudian," berkatalah sebenarnya."
"Hamba berkata sebenarnya Tuan Putri," sahut Witantra sambil membungkukkan kepalanya dalam-dalam, "Guru hambalah yang berkata kepada kami bertiga, bahwa kemungkinan besar adalah ayah Tuan Putri akan selalu membayangi ke mana Tuan Putri pergi. Namun itu hanyalah dugaan semata-mata."
Ken Dedes mengerutkan keningnya. Wajahnya yang pucat karena peristiwa yang mendebarkan jantung itu kini menjadi semakin suram, perlahan-lahan gadis itu duduk di sisi tandunya. Sesaat ia memandangi api yang masih menyala, namun kemudian tiba-tiba ia menundukkan kepalanya dan mengusap matanya dengan selendangnya. Hati Ken Dedes itu tiba-tiba serasa tersayat ketika ia mengenangkan keadaan ayahnya dibandingkan dengan keadaannya sendiri, "Apakah Ayah bergembira melihat keadaanku?" katanya di dalam hati, "atau Ayah kini telah membenciku?"
Perkemahan itu kini menjadi sunyi senyap. Mahendra yang menundukkan wajahnya, mencoba untuk menguasai perasaannya. Ia tidak mau menjadi gila seperti Kuda Sempana. Ketika sekali ia memandang Ken Dedes dengan sudut matanya, ia terkejut. Gadis itu menangis meskipun ditahannya.
Mahendra menyesal bukan kepalang. Perkataannyalah yang telah menuntun gadis itu ke dalam suatu kenangan yang pahit. Ia kehilangan ayahnya.
Tak seorang pun yang kemudian berbicara di antara mereka. Para prajurit itu pun kemudian beristirahat di dekat perapian, berkelompok-kelompok. Beberapa orang telah menyingkirkan beberapa korban dari orang-orang Empu Sada. Seorang dari mereka yang terluka, telah dicoba oleh para prajurit Tumapel untuk mengobatinya dengan reramuan yang memang telah tersedia. Namun karena lukanya terlampau parah, maka orang itu pun tidak tertolong pula. Tiga orang yang terbunuh dalam pertempuran itu. Sedang dua orang prajurit Tumapel mendapat luka-luka. Tetapi untunglah bahwa luka itu tidak terlampau parah sehingga keadaan mereka tidak berbahaya.
Semalam itu hampir tak seorang pun yang dapat memejamkan matanya. Meskipun Ken Dedes berusaha sambil bersandar pada sisi tandunya, namun semua yang pernah terjadi seakan-akan selalu membayang. Bahkan menjadi sedemikian jelasnya, sehingga terasa seolah-olah baru siang tadi terjadi. berturut-turut sehingga saat yang terakhir, yang baru saja terjadi. Kuda Sempana baginya benar-benar seperti hantu yang selalu menakut-nakutinya ke mana ia pergi dan di mana saja ia berada.
Tetapi Witantra sendiri saat itu dapat beristirahat dengan tenangnya meskipun tidak juga sempat tertidur. Ia tahu benar bahwa gurunya berada tidak terlampau jauh daripadanya, bahkan ia pun percaya bahwa ayah gadis itu pun berada di sana pula.
Meskipun demikian, perasaan Witantra masih juga diganggu oleh pembicaraan antara gurunya dengan Empu Sada. Gurunya telah menyebut-nyebut nama Kebo Sindet dan Wong Sarimpat. Witantra pernah mendengar nama-nama itu disebut gurunya sebelumnya sebagai nama-nama yang telah dilumuri oleh noda-noda hitam. Jauh lebih kotor dari nama Empu Sada. Tetapi Witantra belum pernah mendengar, apa yang pernah dilakukan oleh orang-orang itu.
Tidak bedanya dengan Witantra, Mahendra pun selalu digelisahkan oleh nama-nama yang belum banyak dikenalnya itu. ketika ia mendengar nama itu dipercakapkan oleh Empu Sada dan Empu Gandring, ia tidak begitu menghiraukannya. Tetapi gurunya telah menyebut nama itu pula. Bahkan ketika ia menceritakan nama-nama itu kepada gurunya, tampak kerut-kerut kening orang tua itu.
Di sebelah lain, Kebo Ijo berbaring di atas rerumputan kering. Ia sama sekali tidak memikirkan apa yang akan dilakukan Empu Sada kemudian. Ia sama sekali tidak memedulikan nama-nama Kebo Sindet dan Wong Sarimpat. Anak muda itu sedang mengenangkan apa yang telah terjadi. Bahkan tiba-tiba bulu-bulu tengkuknya berdiri. Apakah jadinya seandainya gurunya tidak datang menolong mereka"
"Hem," desahnya di dalam hati, "hampir aku menjadi daging. Alangkah kecewanya bakal istriku nanti. Ayah dan ibunya pasti menjadi pingsan. Mereka urung mendapat seorang menantu seperti aku. Seorang prajurit pengawal Akuwu Tumapel."
Kebo Ijo itu tersenyum sendiri. Diamatinya bayangan nyala api yang bermain-main di dedaunan. Ketika angin menghembus tubuhnya disertai dengan suara gemeresik di sela-sela pepohonan, Kebo Ijo mencoba memejamkan matanya. Tetapi ia tidak berhasil. Yang bermain-main di rongga angan-angannya adalah, beberapa hari lagi ia menjadi seorang mempelai. Namun dengan demikian, ia selalu digelisahkan oleh kekhawatiran tentang dirinya. Katanya kemudian di dalam hatinya, "Kalau aku harus bertempur kembali, sebaiknya kelak, apabila aku telah melampaui hari-hari perkawinan itu. Mudah-mudahan Empu Sada tidak mencegat perjalanan ini sekali lagi. Apalagi bersama-sama dengan orang-orang yang disebutnya bernama Kebo Sindet dan Wong Sarimpat."
Berbeda dengan mereka. Sidatta dan para prajurit yang lain masih selalu dibayangi oleh kegelisahan. Mereka belum dapat memastikan bahwa bencana tidak akan kembali malam nanti. Meskipun Kebo Ijo telah mengatakan bahwa gurunya akan selalu mengawasi iring-iringan itu, namun hatinya masih juga dicemaskan oleh bayangan-bayangan yang selalu mendebarkan jantungnya. Sebagai seorang prajurit ia merasa bahwa seluruh pasukan itu bertanggung jawab atas keselamatan Ken Dedes.
Malam berjalan menurut iramanya yang ajeg. Sesaat demi sesaat, menjelang ujung hari berikutnya. Meskipun betapa lambatnya, namun pagi hari yang mereka tunggu itu pun pasti akan datang. Meskipun demikian, terasa bahwa tubuh-tubuh mereka menjadi sangat penat. Bukan karena mereka baru saja bertempur, justru karena mereka harus menunggu. Menunggu bagi mereka adalah pekerjaan yang menjemukan. Mereka tidak dapat berjalan di malam yang gelap. Akibatnya akan lebih berbahaya. Di belakang dedaunan dan di belakang pepohonan, mungkin bersembunyi bahaya yang telah siap menerkam mereka.
Namun akhirnya langit pun menjadi semburat merah. Bintang-bintang semakin lama menjadi semakin kabur, satu demi satu bersembunyi dibalik cahaya yang semakin cerah di langit.
Demikian cahaya fajar menyentuh hutan itu, maka segera Witantra mempersiapkan diri beserta seluruh iring-iringan. Setelah mereka mengemasi semua perlengkapan dan membenahi diri, maka segera iring-iringan itu berangkat meninggalkan hutan. Perlahan-lahan mereka maju menyusup di antara pepohonan dan akar-akar yang bergayutan dari cabang-cabang pohon yang besar.
Sekali-sekali Witantra yang kemudian berjalan di paling depan bersama Sidatta, mencoba memperhatikan keadaan di sekitarnya. Bahkan sekali-sekali Witantra mencoba mengetahui, apakah gurunya ikut juga berangkat ke Panawijen meskipun tidak berada di dalam rombongan itu.
Meskipun kemudian mereka berjalan dalam limpahan cahaya matahari, namun bahaya masih juga dapat datang setiap saat. Empu Sada mungkin akan menganggap bahwa di siang hari mereka akan dapat lebih berhasil daripada di malam hari. Mungkin mereka telah berhasil menghubungi Kebo Sindet dan Wong Sarimpat untuk kemudian mereka datang bersama-sama untuk menebus kekalahan semalam.
Tetapi ternyata mereka tidak lagi bertemu dengan Empu Sada. Hutan itu pun semakin lama menjadi semakin tipis. Perjalanan mereka sebenarnya termasuk perjalanan yang sulit. Namun daerah yang paling pepat telah mereka lampaui.
Bahkan sekali-sekali mereka sempat melihat binatang-binatang buruan yang berlari-lari ketakutan melihat barisan itu menerobos sarang-sarang mereka.
Apabila mereka nanti meninggalkan hutan itu, mereka masih juga harus melewati padang Karautan, meskipun tidak terlampau panjang. Mereka akan melewati desa Talrampak untuk kemudian sampai pada sebuah bulak panjang. Bulak itulah bulak yang terakhir harus mereka lalui. Di ujung bulak itulah terletak padukuhan Panawijen.
Ken Dedes yang duduk di atas tandu, merasa betapa penatnya pula. Tandu itu bergetar apabila para pengusungnya harus meloncati batang-batang yang roboh melintang perjalanan. Kadang-kadang bergoyang demikian kerasnya apabila mereka harus menyusup dan kemudian mendaki batu-batu padas. Bahkan sekali-sekali kepala gadis itu terpaksa terantuk pada tiang-tiang tandunya sehingga terdengar ia memekik kecil.
Kebo Ijo, yang kadang-kadang mendengar pula pekik itu tersenyum di dalam hati. Kadang-kadang bahkan ia mengumpat, "Anak itu seolah kurang saja yang dikerjakan. Kenapa ia ingin menempuh perjalanan yang sesulit ini."
Namun lepas dari bahaya yang datang dari Empu Sada, berjalan lewat hutan ini agak lebih baik daripada apabila mereka dibakar terik matahari di padang Karautan.
Kini, padang yang harus mereka lewati hanyalah beberapa tonggak saja. Sebelum matahari naik terlampau tinggi, mereka pasti sudah meninggalkan padang itu sampai di sebuah padang perdu yang agak dingin. Seterusnya mereka akan memasuki daerah persawahan dari padukuhan Talrampak
Ketika iring-iringan itu lewat daerah padukuhan Talrampak, maka seperti dihisap oleh sebuah tenaga gaib, seluruh penduduk padukuhan kecil itu, keluar dari rumah-rumah mereka. Dengan kagumnya mereka melihat iring-iringan itu. Iring-iringan yang belum pernah dilihatnya. Hanya satu dua orang tua-tua yang pernah mengunjungi Tumapel berkata, "Aku dahulu pernah melihat pula di Tumapel. Tetapi sudah terlalu lama."
"Tetapi waktu itu iring-iringan yang megah semacam ini tidak pernah keluar dari dinding kota," sahut orang tua yang lain.
Orang pertama menganggukkan kepalanya sambil menyahut, "Ya. Iring-iringan itu hanya berkeliling kota."
Kemudian tak seorang pun yang dapat memberi penjelasan, kenapa kali ini iring-iringan yang megah dikawal oleh prajurit-prajurit yang perkasa lewat dekat dengan padukuhan mereka.
Ketika orang-orang Talrampak melihat iring-iringan itu memasuki jalan di tengah-tengah bulak, maka segera mereka tahu bahwa iring-iringan itu akan menuju ke Panawijen.
"Mereka pergi ke Panawijen," berkata salah seorang dari mereka.
Yang lain mengangguk. Katanya, "Apakah iring-iringan itu datang dari Tumapel untuk melihat keadaan Panawijen sekarang?"
Tetapi iring-iringan itu seakan-akan tidak memedulikannya. Iring-iringan itu berjalan terus dalam irama yang tetap. Langkah para prajurit masih juga berderap dengan gagahnya. Satu dua ekor kuda yang turut dalam barisan itu pun kadang-kadang terdengar meringkik.
Ken Dedes yang sudah cukup lama tidak melihat kampung halamannya, semakin dekat dengan Panawijen, terasa justru semakin rindu. Seakan-akan ia ingin meloncat mendahului iring-iringan yang dirasanya terlampau lambat. Namun ia berada di atas tandu, sehingga ia tidak akan dapat mempercepat perjalanan menurut kehendaknya.
Kini iring-iringan itu sudah memasuki sebuah bulak yang panjang. Bulak terakhir yang harus mereka lalui, di sana-sini masih terbentang lapangan-lapangan rumput dan perdu yang belum diusahakan tangan. Sawah-sawah dari padukuhan Talrampak ternyata tidak terlampau luas. Kemampuan penduduknya untuk menggarap sawah sangat terbatas. Namun Ken Dedes tahu, bahwa di sebelah yang lain, akan terbentanglah sawah-sawah yang subur, pategalan yang hijau segar dan kemudian padukuhan yang aman damai.
Tetapi gadis itu mengeluh di dalam hatinya. Padukuhan yang damai itu pernah diguncangkan oleh peristiwa yang mengerikan. Peristiwa yang berkisar pada dirinya.
"Mudah-mudahan Panawijen tidak kehilangan sifat-sifatnya," desahnya di dalam hati.
Matahari yang beredar di langit semakin lama menjadi semakin tinggi, dan iring-iringan itu pun menjadi semakin mendekati Panawijen. Lapangan-lapangan rumput dan perdu itu pun semakin lama menjadi semakin tipis. Beberapa tonggak lagi, mereka akan sampai ke daerah garapan orang-orang Panawijen. Tegalan dan sawah-sawah yang mendapat saluran air yang dibuat oleh orang-orang Panawijen. Sawah-sawah yang lebih subur dan baik daripada sawah dan tegalan orang-orang Talrampak.
Tetapi semakin lama mereka berjalan, timbullah berbagai pertanyaan di hati Ken Dedes. Lapangan rumput itu pun semakin lama menjadi semakin tipis dan kering. Gerumbul-gerumbul perdu liar yang rimbun yang hijau semakin lama menjadi semakin jarang.
"Apakah orang-orang Panawijen kini mampu untuk mencoba menjadikan daerah ini sebuah tegalan," berkata Ken Dedes di dalam hatinya, "apakah orang-orang Panawijen sudah mencoba merambah pepohonan liar di lapangan perdu ini?"
Tetapi Ken Dedes tidak segera dapat menjawab. Namun yang dilihatnya kemudian adalah sebuah lapangan yang kering.
Hati Ken Dedes menjadi berdebar-debar. Jauh-jauh ia memandang ke depan, tetapi ia belum melihat warna-warna hijau segar yang dirindukan. Bahkan yang terbentang di hadapannya seolah-olah padang rumput Karautan yang kering.
Tiga Dara Pendekar 23 Kau Aku Dan Sepucuk Angpau Merah Karya Tere Liye Sepasang Pedang Iblis 8
^