Misteri Jejak Bernyala 1
Trio Detektif 15 Misteri Jejak Bernyala Bagian 1
THE MYSTERY OF THE FLAMING FOOTPRINTS
by Alfred Hitchcock Text by M.V. Carey
TRIO DETEKTIF MISTERI JEJAK BERNYALA
Alihbahasa: Agus Setiadi Penerbit: PT. Gramedia, Agustus 1985
PESAN ALFRED HITCHCOCK AGAK kikuk juga, memperkenalkan orang yang sudah dikenal. Jadi pembaca yang sudah tahu siapa Trio Detektif, tidak perlu lagi membaca pendahuluan ini. Terus saja mulai dengan Bab 1, saat petualangan dimulai.
Tapi bagi yang baru sekarang akan berjumpa dengan Jupiter Jones, Pete Crenshaw, dan Bob Andrews, tidak ada jeleknya jika pada kesempatan ini kupaparkan sedikit penjelasan tentang ketiga remaja yang luar biasa itu.
Pembicaraan tentang Trio Detektif selalu dimulai dengan Jupiter Jones. Ia ini remaja yang bertubuh - yah, katakanlah, montok! Tapi jangan diremehkan, karena otaknya sangat cerdas: Ia tidak segan-segan mengatakan bahwa ialah pemimpin tiga sekawan itu. Ialah penyelidik pertama Trio Detektif - dan menurut pendapat sementara orang, ia pulalah 'perusuh nomor wahid' di antara mereka bertiga. Dalam kegiatannya, Jupiter - atau Jupe, untuk teman-teman dekatnya - dibantu oleh Pete Crenshaw. Remaja ini bertubuh kekar, tapi ia selalu berusaha menghindar dari segala jenis bahaya - kalau bisa! Tapi keinginannya ini sering terpaksa ditekan, jika ada kasus yang ingin diselidiki oleh Jupiter. Anggota Trio Detektif yang ketiga bernama Bob Andrews. Anaknya tenang, dan lebih cenderung menggemari ilmu pengetahuan. Dalam waktu senggangnya ia bekerja di perpustakaan kota Rocky Beach. Pekerjaannya itu menyebabkan Trio Detektif bisa dengan cepat memperoleh informasi yang bisa diandalkan, tentang soal apa saja.
Ketiga remaja ini tinggal di Rocky Beach, sebuah kota kecil di pesisir Samudra Pasifik. Letaknya tidak begitu jauh dari Hollywood, kota pusat perfilman di negara bagian California, di wilayah barat Amerika Serikat. Bob Andrews dan Pete Crenshaw tinggal di rumah orang tua masing-masing. Tapi Jupiter Jones sudah kehilangan orang tuanya ketika ia masih kecil sekali. Karenanya ia kini tinggal bersama paman dan bibinya, Paman Titus dan Bibi Mathilda. Mereka menjadi pengganti orang tuanya. Jupiter membantu mereka mengelola usaha perjualbelian barang bekas yang paling rapi pengaturannya di kawasan itu, yaitu The Jones Salvage Yard.
Tapi kadang-kadang Jupiter agak melalaikan tugas-tugasnya di perusahaan itu, jika ada urusan lain yang lebih mengasyikkan dan dianggapnya perlu ditangani - misalnya saja urusan yang menyangkut orang yang menyendiri dan dikenal dengan julukan "Potter"; begitu pula beberapa orang yang kebingungan, yang semula ingin menikmati liburan musim panas yang menyenangkan di Rocky Beach, tapi kemudian menyadari bahwa mereka menempati sebuah rumah berhantu. Hantu yang gentayangan tanpa sepatu!
Atau jangan-jangan ada lagi makhluk yang lebih menyeramkan, yang menghantui tempat itu"
Satu sudah dapat kukatakan di sini: apa pun misteri yang dihadapi, Jupiter Jones beserta kedua sahabatnya pasti akan mampu menanganinya sampai tuntas.
Nah - rasanya cukup sekian saja pendahuluan ini, dan sekarang nikmatilah kisah petualangan mereka bertiga!
ALFRED HITCHCOCK Bab 1 DATANG - DAN MENGHILANG JUPITER mendengar bunyi truk membelok dari jalan raya. Tidak mungkin keliru - yang datang pasti Potter. Saat itu Jupe sedang meratakan kerikil putih yang terhampar dijalan masuk Jones Salvage Yard dengan penggaruk. Ia berhenti bekerja, lalu memasang telinga. "Ia menuju kemari," katanya kemudian.
Bibi Mathilda ada di dekatnya. Wanita setengah umur itu sedang menyirami tumbuhan geranium yang ditanamnya di sepanjang tepi jalan masuk itu. Bibi Mathilda memutar sendi penyemprot pada pipa yang dipegangnya, sehingga air berhenti mengalir. Ia memandang ke arah ruas jalan pendek yang menghubungkan tempat itu dengan jalan raya.
"Mau apa ia kemari"" ucapnya dengan nada heran.
Truk tua yang datang bergerak dengan susah payah, menyusuri jalan penghubung antara jalan raya dengan tempat perdagangan barang-barang bekas milik paman dan bibi Jupiter. Padahal jalan itu hanya sedikit saja menanjak. "Takkan mungkin bisa," kata Bibi Mathilda.
Jupiter meringis. Orang yang di kota Rocky Beach hanya dikenal dengan julukan Potter - 'Pembuat Tembikar' sudah biasa menyebabkan timbulnya kegelisahan pada diri bibinya itu. Setiap Sabtu pagi, Potter selalu datang ke kota dengan truknya yang sudah tua dan reyot, untuk membeli bekal yang diperlukannya selama seminggu. Bibi Mathilda sering sedang berada di pasar kota, saat truk itu memasuki tempat parkir di situ, diiringi bunyi mesin yang terbatuk-batuk. Melihat hal itu Bibi Mathilda selalu merasa yakin bahwa kendaraan bobrok yang dikemudikan Potter pasti nanti takkan mampu mendaki jalan menanjak, kembali ke jalan raya. Tapi Bibi Mathilda selalu salah tebak.
Sabtu ini pun begitu. Truk reyot itu sampai di ujung jalan yang agak menanjak itu dengan uap mengepul-ngepul dari radiatornya. Potter melambai, sambil membelokkan kendaraannya di tikungan, memasuki perusahaan barang-barang bekas itu. Jupiter bergegas meloncat ke pinggir, sementara truk lewat di dekatnya, lalu berhenti dengan bunyi mendesah, seperti kehabisan tenaga, tidak jauh dari gerbang masuk.
"Halo, Jupiter!" seru orang itu. "Apa kabar" Dan Anda, Mrs. Jones - Anda nampak begitu berseri, pagi hari bulan Juni ini!"
Potter turun dengan lincah dari kabin truknya. Jubahnya yang putih mulus melambai-lambai di sekeliling tubuhnya.
Bibi Mathilda agak bimbang mengenai pendapatnya tentang orang itu. Memang - Potter merupakan salah seorang pengrajin yang paling trampil, di kawasan pesisir barat. Orang-orang dari tempat-tempat jauh, seperti San Diego di selatan, dan Santa Barbara di utara, mendatangi Potter untuk membeli pot kendi, guci, dan jambangan bunga buatannya, yang indah-indah. Bibi Mathilda mengagumi ketrampilan membuat benda-benda kerajinan tangan yang indah. Tapi ia juga berkeyakinan bahwa semua manusia yang tergolong jenis lelaki harus memakai celana panjang.
Dan jubah yang dipakai oleh Potter, mengusik perasaan Bibi Mathilda mengenai kepatutan. Demikian pula halnya dengan rambut putih orang itu, yang dibiarkan tumbuh panjang, serta jenggotnya yang selalu tersisir rapi. Belum lagi medalion dari keramik, yang digantungkan dengan tali kulit ke lehernya. Medalion itu dihiasi gambar rajawali berwarna merah menyala, dengan kepala kembar. Menurut Bibi Mathilda, rajawali seharusnya cukup jika satu saja kepalanya. Rajawali berkepala dua merupakan suatu keanehan selera Potter lagi.
Kini Bibi Mathilda memandang ke arah kaki orang itu, dengan tatapan mata tidak senang. Seperti biasanya, Potter tidak memakai sepatu.
"Awas - nanti menginjak paku!" kata Bibi Mathilda memperingatkan.
Potter tertawa. "Aku tidak pernah menginjak paku, Mrs. Jones," katanya. "Anda kan juga tahu, itu tak pernah terjadi! Tapi hari ini aku memerlukan bantuan kalian. Aku sedang menunggu -"
Ia tertegun. Matanya menatap ke arah pondok, yang merupakan kantor Jones Salvage Yard. "Apa itu"" tanyanya.
"Eh-Anda baru sekarang ini melihatnya"" seru Bibi Mathilda. "Padahal sudah tidak baru lagi - sudah berbulan-bulan." Ia mengambil sebuah papan yang dipasang dalam bingkai dari dinding kantor, lalu menyodorkannya pada Potter. Pada papan di balik kaca itu tertempel sejumlah gambar foto berwarna, dengan teks di bawahnya. Gambar-gambar itu digunting dari majalah. Satu di antaranya menampakkan bagian depan Jones Salvage Yard. Dalam foto itu nampak Paman Titus yang sedang berpose dengan sikap gagah, di depan pagar kayu yang mengelilingi perusahaannya. Pagar kayu itu dihiasi dengan gambar sebuah kapal layar yang sedang mengarungi laut hijau yang berombak besar. Gambar itu dibuat oleh sejumlah seniman dari Rocky Beach. Dalam foto itu nampak jelas seekor ikan aneh yang menyembulkan kepala di tengah ombak, memandang ke arah kapal.
Di bawah gambar foto perusahaan barang bekas milik Paman Titus, terpasang foto Mr. Dingler, pengrajin perak yang bekerja di sanggarnya yang kecil di Rocky Beach. Foto lainnya menampakkan Hans Jorgenson, seorang pelukis. Ia difoto saat sedang membuat pemandangan laut. Lalu ada pula foto Potter. Foto orang tua itu dibuat dari jarak dekat, saat ia sedang melangkah keluar dari pasar. Jenggotnya nampak berkilat kena sinar m
atahari. Medalionnya, dengan hiasan rajawali berkepala dua, nampak jelas sekali dengan latar belakang jubahnya yang putih. Potter sedang membawa belanjaan, yang ditaruh di dalam sebuah kantung kertas. Teks di bawah foto itu menyatakan bahwa penduduk Rocky Beach merasa biasa saja, jika teman sekota mereka dari golongan seniman cenderung untuk berbusana lain dari yang lain.
"Masa Anda tidak mengenal foto-foto ini," kata Bibi Mathilda lagi. "Ini kan dari majalah Westways, yang beberapa waktu yang lalu memuat laporan dengan foto-foto, mengenai seniman-seniman yang tinggal di kota-kota pantai!"
"Aku tidak tahu apa-apa tentang itu," kata Potter. Keningnya berkerut. "Aku cuma ingat, dulu pernah ada seorang pria muda datang, membawa kamera foto. Aku tidak begitu memperhatikan dirinya. Soalnya, begitu banyak wisatawan yang datang, dan semua rasanya seperti membawa-bawa kamera. Asal saja..."
"Asal apa, Mr. Potter"" tanya Bibi Mathilda.
"Ah - tidak apa-apa," kata Potter. "Sudah terlanjur sekarang." Ia berpaling, lalu memegang bahu Jupiter. "Aku ingin melihat-lihat daganganmu, Jupiter," katanya. "Aku akan kedatangan tamu - dan aku khawatir mereka akan menganggap rumahku agak... yah, katakanlah agak kosong."
"Anda akan kedatangan tamu"" kata Bibi Mathilda, mengulangi ucapan orang itu. "Wah, wah!"
Walau Potter selalu riang dan ramah-tamah, tapi sepengetahuan orang-orang yang mengenalnya di Rocky Beach, ia tidak punya teman dekat. Jupiter bisa menduga, bibinya pasti bertanya-tanya dalam hati, siapakah tamu laki-laki tua itu, yang akan datang berkunjung. Tapi Bibi Mathilda tidak menanyakannya. Ia menyuruh Jupiter untuk mengantar Potter melihat-lihat.
"Pamanmu paling cepat baru sejam lagi kembali dari Los Angeles," katanya, lalu bergegas pergi untuk menutup keran air yang dari tadi masih terbuka.
Jupiter sama sekali tidak berkeberatan, mengantar Potter melihat-lihat. Bibi Mathilda boleh saja merasa sangsi mengenai sikapnya terhadap laki-laki tua itu, tapi Jupe jelas suka padanya. Jupiter memang berwatak toleran. Menurut pendapatnya, apa salahnya jika Potter suka bertelanjang kaki serta memakai jubah putih. Itu kan urusannya sendiri!
"Pertama-tama, aku memerlukan dua buah tempat tidur," kata Potter.
"Yes, Sir," kata Jupiter.
Jones Salvage Yard merupakan perusahaan barang-barang bekas yang sangat rapi pengaturannya. Mengingat peranan Bibi Mathilda di situ, sukar rasanya membayangkan keadaan yang lain dari rapi. Jupe mengajak Potter ke gudang tempat menaruh perabotan bekas, supaya jangan terserang kelembaban yang datang dari arah laut. Di situ ada sejumlah meja tulis, meja biasa, kursi, dan tempat tidur. Di antaranya ada yang sudah rusak atau bahkan patah. Maklumlah, barang bekas yang sudah bertahun-tahun dipakai dengan segala macam cara. Tapi ada juga yang sudah dipelitur atau dicat lagi oleh Jupe, atau oleh Paman Titus, begitu pula oleh Hans dan Konrad. Mereka berdua ini pemuda asal Jerman, yang bekerja sebagai pembantu di perusahaan itu.
Potter melihat-lihat kumpulan tempat tidur yang ditaruh bertumpuk-tumpuk dekat dinding gudang. Ia bercerita pada Jupe bahwa ia sudah membeli kasur. Tapi ia merasa bahwa kasur saja memberikan kesan pembaringan darurat, kalau tidak dilengkapi dengan tempat tidur yang kokoh.
Jupiter tidak mampu lagi menahan rasa ingin tahunya.
"Tamu Anda itu akan lama tinggal di tempat Anda, Mr. Potter"" tanyanya.
"Belum tahu, Jupiter," jawab laki-laki tua itu. "Kita lihat saja nanti! Nah - sekarang bagaimana pendapatmu, kalau aku memilih tempat tidur dari kuningan itu - yang di bagian kepalanya dihiasi dengan ukir-ukiran"" "Kuno sekali kelihatannya," jawab Jupiter agak sangsi.
"Pendapatku juga begitu," kata Potter. "Tapi siapa tahu - mungkin tamuku itu ternyata menyukai gaya yang begitu." Diangkatnya bagian kepala tempat tidur itu, lalu diguncang-guncangnya sebentar. "Berat dan kokoh," katanya mengomentari. "Barang seperti ini, sekarang tidak dibuat lagi. Berapa""
Jupiter merasa heran. Tempat tidur itu berasal dari sebuah rumah tua, di daerah pegunungan yang mengelilingi Hollywood. Paman Titus baru saja membelinya satu min
ggu sebelumnya. Dan ia tidak tahu, berapa harga yang akan diminta pamannya.
"Biarlah," kata Potter, ketika melihat Jupiter ragu-ragu, "aku tidak perlu sekarang ini juga mengetahui harganya. Tapi tolong sisihkan dulu - nanti akan kutanyakan pada pamanmu, jika ia sudah kembali." Laki-laki tua itu memandang berkeliling.
"Aku masih memerlukan satu tempat tidur lagi," katanya pada Jupe. "Untuk anak laki-laki, yang umurnya sebaya denganmu. Jika kau hendak membeli tempat tidur, kau pilih yang mana, Jupiter""
Kini Jupiter tidak menampakkan kesangsian lagi. Dengan segera ditariknya sebuah tempat tidur dari kayu yang dicat putih, dengan rak buku di bagian kepala.
"Jika anak itu gemar membaca, rasanya ini paling cocok untuknya," katanya pada Potter. "Kayunya memang bukan dari jenis yang terbaik - tapi sudah dicat oleh Hans, setelah diamplas dulu sebelumnya. Menurutku, sekarang kelihatannya malah lebih bagus, dibandingkan dengan keadaannya sewaktu masih baru."
"Bagus! Kurasa ini memang cocok!" kata Potter dengan gembira. "Dan jika anak itu tidak suka membaca sambil berbaring-baring, ia bisa saja menaruh koleksinya di rak ini."
"Koleksi"" tanya Jupiter ingin tahu.
"Ya, koleksi! Ia pasti mempunyai koleksi," balas Potter. "Anak laki-laki kan biasanya mempunyai koleksi" Kumpulan apa saja - kulit kerang, atau perangko, atau batu-batuan, atau tutup botol! Pokoknya, koleksi!"
Jupiter hampir saja hendak mengatakan bahwa ia tidak mengumpulkan apa-apa. Tapi ia lantas teringat pada markas, karavan usang yang disembunyikan letaknya di bawah tumpukan barang bekas, di bagian belakang Jones Salvage Yard. Jupiter sadar bahwa ia pun sebenarnya juga memiliki koleksi, yaitu kumpulan catatan tentang segala kasus yang berhasil diselidiki oleh Trio Detektif. Semua catatan itu disimpan di dalam karavan itu, teratur rapi dalam berbagai map.
"Memang, Mr. Potter - kurasa anak laki-laki semuanya memang mempunyai koleksi," katanya. "Masih ada lagi yang Anda perlukan pagi ini""
Potter nampaknya tidak tahu pasti apa lagi yang masih diperlukannya, setelah urusan tempat tidur beres.
"Perabotan di rumahku tidak banyak," katanya terus terang. "Kurasa ada baiknya, jika aku menambahnya dengan dua kursi lagi."
"Kursi di rumah Anda sekarang ada berapa, Mr. Potter"" tanya Jupiter dengan sopan.
"Satu," kata laki-laki tua itu. "Selama ini aku cuma memerlukan satu kursi saja. Aku tidak mau hidupku direpotkan dengan barang-barang yang tidak kuperlukan."
Tanpa mengatakan apa-apa, Jupiter menghampiri tumpukan kursi yang terdapat di sisi kanan gudang, lalu memilih dua di antaranya, yang bersandaran lurus. Diletakkannya kedua kursi itu di hadapan pembelinya.
"Bagaimana dengan meja"" katanya menawarkan. Potter menggeleng.
"Kalau meja, aku sudah punya," katanya. "Tapi itu, Jupiter - barang yang namanya televisi - kudengar benda itu sangat disenangi orang. Mungkin kedua tamuku suka menonton televisi! Kalau di sini ada -"
"Tidak, Mr. Potter," Jupiter memotong dengan segera. "Pesawat televisi yang sampai di sini, biasanya cuma bisa kami ambil beberapa suku cadangnya saja. Jika ingin punya pesawat televisi, kenapa tidak beli saja yang baru""
Potter nampak bimbang. "Pesawat baru ada jaminannya," kata Jupiter menjelaskan. "Jika rusak, bisa dikembalikan ke toko, untuk dibetulkan."
"Begitu ya! Yah - kau pasti benar, Jupiter. Tapi untuk sementara sudah cukuplah sepasang tempat tidur serta kedua kursi ini. Setelah itu -"
Potter tidak melanjutkan kalimatnya, karena saat itu terdengar bunyi tuter mobil yang nyaring berulang-ulang di luar, di pekarangan.
Jupiter melangkah ke pintu gudang tempat penimbunan perabot rumah tangga itu, diikuti Potter. Mereka melihat sebuah mobil Cadillac hitam berkilat. Mobil itu berhenti dijalan masuk, dekat sekali di belakang truk tua milik Potter. Tutter mobil besar itu dibunyikan lagi. Pengemudinya turun, memandang berkeliling dengan sikap tidak sabar, lalu menuju ke kantor Jones Salvage Yard.
Jupiter bergegas menyongsong orang itu.
"Bisakah saya membantu"" serunya.
Laki-laki yang baru datang itu berhenti. Ditunggunya sampai Jupiter dan Potter sudah berada di d
ekatnya. Jupiter menaksir penampilan orang itu. Air mukanya tidak menampakkan gerak perasaan, katanya dalam hati. Wataknya pasti sangat tertutup! Orang yang baru datang itu jangkung, langsing, dan belum begitu tua, walau rambutnya yang berwarna gelap dan ikal, sudah menampakkan uban di sana-sini.
"Anda memerlukan sesuatu, barangkali"" tanya Jupiter.
"Aku mencari Hilltop House," kata orang itu. "Aku tadi rupanya salah membelok, ketika keluar dari jalan raya." Ia berbicara dengan bahasa Inggris yang rapi, menunjukkan bahwa ia orang Eropa yang terpelajar.
"Rumah itu sekitar satu mil di sebelah utara dari sini," kata Jupiter. "Anda kembali dulu ke jalan raya, dan di situ membelok ke kanan. Lalu terus saja, sampai terlihat rumah Potter. Terus sedikit lagi, lalu akan terlihat jalan yang menuju ke Hilltop House. Tidak mungkin terlewat, karena di situ ada pintu pagar kayu yang digembok."
Orang itu menganggukkan kepalanya sedikit sebagai ganti ucapan terima kasih, lalu kembali ke mobilnya. Saat itu barulah Jupiter menyadari bahwa di dalam mobil itu masih ada seseorang lagi. Orang itu bertubuh agak gempal. Ia duduk tanpa bergerak sedikit pun, di bangku belakang. Kini ia menyentuh bahu orang yang mengemudi, lalu mengatakan sesuatu dalam bahasa asing. Jupiter tidak mengenal bahasa itu. Orang yang duduk di belakang itu tidak bisa diduga umurnya. Tidak tua, tidak muda - setengah umur juga tidak! Ia menampakkan kesan seperti tak berumur. Setelah sesaat barulah Jupiter menyadari penyebabnya. Kepala orang itu sama sekali tak berambut. Botak, sampai alisnya - itu kalau ia pernah punya alis. Sedang kulitnya cokelat mengkilat, mirip kulit yang disamak halus.
Orang yang seperti tak berumur itu memandang sekilas ke arah Jupiter. Setelah itu diarahkannya tatapan matanya yang agak sipit pada Potter, yang selama itu berdiri tanpa berkata apa-apa di samping Jupiter. Potter mendesis pelan. Jupiter menoleh dengan cepat ke arahnya. Dilihatnya laki-laki tua itu menelengkan kepalanya agak ke samping, seperti sedang mendengarkan dengan seksama. Tangan kanannya bergerak ke atas, lalu memegang medalion yang tergantung pada tali kulit yang melilit lehernya.
Laki-laki tak beralis yang duduk di dalam mobil menyandarkan tubuhnya ke belakang, sementara kendaraan itu bergerak mundur, keluar dari jalan masuk. Di seberang jalan yang melintas di depan perusahaan, Bibi Mathilda keluar dari rumahnya. Ia sempat melihat mobil Cadillac yang besar itu lewat melaju ke arah jalan raya lagi.
Potter menjamah lengan Jupiter.
"Nak," katanya, "tolong mintakan air minum pada bibimu, ya" Aku tahu-tahu merasa pusing." Laki-laki tua itu terhenyak, duduk di atas tumpukan kayu. Ia memang nampak seperti sakit. "Akan segera kuambilkan, Mr. Potter," kata Jupiter, lalu bergegas ke seberang jalan. "Siapa orang-orang itu tadi"" tanya Bibi Mathilda, ketika Jupiter sudah ada di dekatnya.
"Mereka mencari Hilltop House," kata Jupiter. Ia pergi ke dapur. Diambilnya botol berisi air yang selalu disediakan oleh bibinya dalam lemari es, lalu dituangkannya ke dalam gelas.
"Aneh," kata Bibi Mathilda, yang mengikutinya masuk ke dapur. "Hilltop House itu kan sudah sejak bertahun-tahun kosong, tidak ada penghuninya lagi."
"Ya, aku tahu," kata Jupiter. Ia bergegas keluar, membawa gelas berisi air. Tapi ketika tiba di pekarangan tempat penimbunan barang bekas, dilihatnya Potter tidak ada lagi di situ.
Bab 2 PENGGELEDAHAN TRUK bobrok milik Potter masih ada di jalan masuk, ketika Paman Titus kembali dari Los Angeles bersama pembantunya, Hans, membawa kursi-kursi dan meja kebun yang sudah berkarat. Dengan susah payah Paman Titus mengemudikan truknya melewati kendaraan Potter yang menghalangi. Kemarahannya meledak.
"Kenapa barang bobrok ini ada di tengah jalan"" tukasnya.
"Potter tahu-tahu menghilang, tanpa membawa kendaraannya," jawab Jupiter menjelaskan. "Dia kenapa""
"Menghilang," kata Jupe mengulangi.
Paman Titus duduk di undak-undakan truknya.
"Tidak mungkin orang menghilang begitu saja, Jupiter," katanya.
"Tapi itulah yang terjadi dengan Potter," kata Jupiter. "Ia tadi kemari, membeli beberapa pera
bot untuk tamunya. Kemudian ia mengatakan, kepalanya pusing. Aku lantas masuk ke rumah untuk mengambilkan segelas air. Ketika aku pergi itulah ia menghilang."
Paman Titus menarik-narik kumisnya yang melintang.
"Tamu, katamu"" katanya. "Dan Potter menghilang" Menghilang ke mana""
"Tidak sulit melacak jejak kaki orang yang tidak memakai sepatu," kata Jupiter. "Ia keluar lewat gerbang depan. Bibi Mathilda tadi menyirami tanaman, dan karenanya kaki Potter basah kena air. Sesampainya di tikungan ia membelok, menuju Coldwell Hill. Nampak jelas bekas tapak kakinya dijalan yang berdebu di luar. Arahnya menuju ke bukit itu. Tapi sayang, sekitar lima puluh meter kemudian ia meninggalkan jalan, menuju ke utara. Setelah itu tidak kulihat lagi jejaknya, karena ia lewat di tempat yang berbatu-batu."
Kini Paman Titus bangkit, sambil menarik-narik kumis. Ia memandang truk bobrok yang menghalang di tengah jalan.
"Kita singkirkan saja dulu kendaraan reyot ini, supaya tidak merintangi orang yang datang berbelanja. Mudah-mudahan saja Potter segera kembali untuk menjemput kendaraannya."
Setelah itu ia duduk di belakang kemudi truk bobrok itu, lalu mencoba menghidupkan mesinnya. Empat kali ia melakukannya. Tapi mesin kendaraan yang sudah uzur itu seakan-akan merajuk. Pokoknya, tidak bisa dihidupkan.
"Siapa bilang mesin tidak bisa berpikir," kata Paman Titus. "Aku berani bertaruh, cuma Potter saja satu-satunya orang yang bisa membujuknya agar mau berjalan."
Ia turun lagi. Digamitnya Jupiter, disuruh duduk di belakang kemudi. Sementara remaja itu mengemudi, Paman Titus dibantu oleh Hans, mendorong kendaraan itu ke tempat parkir di samping kantor.
Sementara itu Bibi Mathilda bergegas-gegas datang dari seberang jalan.
"Sebaiknya kusimpan saja dulu belanjaan Potter dalam lemari es," katanya. "Bisa busuk nanti, kalau dibiarkan kepanasan terus. Aku tidak mengerti, apa sebabnya orang itu tahu-tahu pergi. Jupiter! Apakah ia tadi mengatakan, kapan tamu-tamunya datang""
"Tidak." Bibi Mathilda mengambil kantung kertas berisi belanjaan dari bak belakang truk.
"Kurasa sebaiknya kau pergi saja sebentar dengan sepeda ke rumahnya, Jupiter," katanya. "Mungkin saja Potter sekarang ada di sana. Atau kalau tidak, barangkali tamu-tamunya sudah datang. Jika betul begitu, ajak mereka kemari. Kan tidak enak, datang ke rumah yang kosong."
Sebenarnya Jupiter sudah hendak mengatakan, apakah tidak sebaiknya jika ia pergi ke rumah Potter. Karenanya ia hanya nyengir saja, lalu bergegas mengambil sepeda.
"Tapi jangan lama-lama!" seru Bibi Mathilda pada keponakannya yang sudah menjauh. "Banyak pekerjaan yang harus dilakukan di sini!"
Jupiter terbahak ketika mendengar seman itu. Dikayuhnya sepeda menuju jalan raya. Ia bersepeda di pinggir, supaya jangan terserempet mobil-mobil yang menuju ke utara. Ia merasa yakin, jika tamu Potter yang remaja sudah datang, hari itu juga ia sudah menambah jumlah tenaga kerja di Jones Salvage Yard. Bibi Mathilda tahu persis, apa yang harus dilakukan dengan anak laki-laki yang sebaya dengan Jupiter. Bibinya itu akan menyuruhnya bekerja.
Di Evanston Point jalan membelok. Rumah tempat tinggal Potter langsung nampak di depan. Warnanya yang putih menyolok di depan latar belakang daerah perbukitan California yang hijau gelap. Jupiter tidak mengayuh sepedanya lagi, karena jalanan menurun. Perhatiannya terarah ke tempat tinggal Potter. Rumah itu dulu didiami keluarga berada, sehingga penampilannya anggun. Tapi kini kesan yang dirasakan Jupiter biasa-biasa saja, walau gaya bangunan abad kesembilan belas dengan ukir-ukirannya terasa janggal di tengah kesunyian daerah itu.
Sesampainya di gerbang masuk pekarangan rumah itu, Jupiter mengerem sepedanya. Sebuah papan pengumuman di pagar memberi tahu bahwa toko Potter ditutup sebentar, selama orang itu pergi. Jupiter berpikir-pikir. Mungkin saja saat itu Potter sudah kembali, tapi tokonya tetap tidak dibuka, karena ia merasa tidak mampu menghadapi para pembeli yang biasanya selalu ramai setiap Sabtu pagi. Orang tua itu memang kelihatan kurang sehat, ketika Jupiter pergi mengambilkan air minum untuknya.
Jupite r menyandarkan sepedanya ke pagar, lalu masuk lewat pintu gerbang. Halaman depan rumah yang dimasukinya itu dilapisi batu-batu pipih. Banyak sekali meja di situ, tempat memajang benda-benda tembikar yang besar-besar: guci-guci, lempengan-lempengan besar dengan hiasan bunga atau buah-buahan, jambangan-jambangan yang di atasnya ada patung burung yang dibuat dalam posisi sedang terbang.
"Mr. Potter"" seru Jupiter memanggil.
Tidak ada jawaban. Jendela-jendela berbentuk tinggi dan sempit di rumah itu tidak mencerminkan kehidupan di dalamnya. Gudang tempat Potter menaruh bahan-bahan kerjanya terkunci. Kelihatannya tidak ada orang di situ. Di
seberang jalan ada sebuah mobil Ford berwarna cokelat. Mobil itu penuh debu, diparkir di tepi jalan yang berbatasan dengan tebing yang menjulang di atas pantai. Di dalam mobil tidak ada orang. Mungkin pemiliknya sedang berada di pantai, main selancar, atau memancing ikan.
Jalan pribadi yang menghubungkan jalan raya di atas bukit dengan Hilltop House, hanya beberapa meter saja jaraknya dari pekarangan rumah Potter. Jupiter melihat bahwa pintu gerbang yang membatasi jalan pribadi itu terbuka. Hilltop House sendiri tidak kelihatan dari rumah Potter. Tapi Jupiter bisa melihat tembok batu yang menopang teras bangunan itu. Ada seseorang di situ, berdiri dekat tembok batu. Dari jarak sejauh itu, Jupiter tidak bisa memastikan apakah orang itu pengemudi Cadillac, yang berambut ikal - atau penumpangnya yang aneh, yang tidak bisa ditebak umurnya.
Jupiter bergegas melewati benda-benda yang dipajang di atas meja-meja kayu, lalu menaiki dua jenjang rendah yang diapit sepasang guci yang tingginya hampir sama dengan Jupiter. Kedua guci itu dihias dengan kawanan burung rajawali berkepala dua, serupa dengan rajawali yang menghiasi medalion yang tergantung di dada Potter. Kawanan rajawali itu dibuat mengelilingi masing-masing guci. Mata burung-burung itu nampak berkilat putih, sedang paruh mereka ternganga, seakan-akan berteriak saling menantang.
Lantai kayu di beranda terdengar agak berderak-derak ketika Jupiter melangkah di situ.
"Mr. Potter!" serunya. "Anda ada di dalam""
Tidak ada yang menjawab di dalam. Kening Jupiter berkerut. Pintu depan rumah menganga sedikit. Jupiter tahu, Potter tidak begitu mempedulikan keamanan benda-benda yang ada di halaman depan, karena ukurannya yang besar-besar menyebabkan barang-barang itu tidak gampang diambil orang. Tapi Jupiter juga tahu, milik Potter yang lain-lainnya selalu disimpan dengan seksama. Jadi jika pintu depan rumah terbuka, maka itu berarti Potter mestinya ada di situ.
Tapi ruang depan ternyata kosong, ketika Jupiter melangkah masuk lewat pintu depan. Benar-benar kosong juga tidak - karena ruangan itu penuh dengan rak-rak yang tingginya sampai ke langit-langit. Dan rak-rak itu penuh sesak berisi piring, mangkuk, cawan, tempat gula dan susu, jambangan-jambangan kecil, begitu pula piring-piring semarak tempat kembang gula. Segala benda tembikar itu berkilauan, bersih tak berdebu, dan teratur rapi untuk menarik minat calon pembeli.
"Mr. Potter!" Kini Jupiter sudah tidak memanggil lagi. Ia berteriak.
Tapi hanya dengung lemari es di dapur saja yang terdengar. Jupiter memandang ke arah tangga rumah. Ia menimbang-nimbang, apakah sebaiknya ia memberanikan diri naik ke tingkat atas. Karena siapa tahu, mungkin saja Potter langsung merebahkan diri di tempat tidur, begitu ia pulang. Bahkan mungkin juga ia pingsan!
Kemudian terdengar bunyi pelan. Ada sesuatu yang bergerak di dalam rumah. Di sebelah kiri Jupiter, yang masih berdiri di ruang depan, ada sebuah pintu. Pintu itu tertutup. Jupiter tahu, ruangan di balik pintu itu merupakan kantor Potter. Dan bunyi pelan tadi berasal dari situ.
"Mr. Potter!" Jupiter mengetuk pintu dengan keras.
Tidak terdengar jawaban dari dalam. Jupiter menjamah tombol pembuka pintu. Ternyata bisa dibuka dengan gampang. Ruang kantor itu kosong, kecuali meja tulis dengan rak kecil di sudut, serta rak-rak dengan tumpukan buku kas serta formulir pengiriman. Usaha penjualan Potter banyak yang dilakukan lewat pos. Jupiter juga melihat tumpukan daft
ar harga serta formulir pesanan. Sebuah kotak berisi sampul surat ditaruh di pinggir salah satu rak.
Kemudian napas Jupiter tersentak, karena melihat sesuatu yang tidak biasa. Ia melihat bahwa tutup meja tulis Potter dibuka secara paksa. Nampak goresan-goresan yang masih baru pada permukaan kayunya, serta di sekitar kunci. Satu laci meja itu terbuka, tanpa isi. Berkas-berkas surat berserakan di atas daun meja.
Rupanya ada yang menggeledah kantor itu.
Jupiter berpaling. Maksudnya hendak keluar lagi. Tapi tiba-tiba ada yang memegang bahunya. Kakinya dikait dari belakang, sedang tubuhnya didorong ke depan. Jupiter terhuyung ke sudut ruangan. Kepalanya membentur pinggiran sebuah rak. Ia jatuh tersungkur, dihujani kertas-kertas yang berhamburan dari atas rak.
Hanya samar-samar saja Jupiter mendengar pintu ditutup, disusul bunyi anak kunci diputar dalam lubangnya. Setelah itu terdengar langkah bergegas-gegas pergi lewat beranda yang berlantai kayu.
Dengan susah payah, Jupiter menegakkan tubuh. Ia berhasil duduk. Ia menunggu sesaat, karena takut akan pusing jika cepat-cepat berdiri.
Ketika sudah yakin sarapannya tadi pagi yang ada dalam perut takkan tumpah ke lantai, dan pikirannya sudah normal lagi, Jupiter berdiri. Ia berjalan terhuyung-huyung, menghampiri jendela.
Di halaman depan tidak ada siapa-siapa. Orang yang menggeledah kantor tadi sudah minggat dari situ.
Bab 3 KELUARGA POTTER Mestinya ada peraturan yang mewajibkan di semua rumah harus ada pesawat telepon, kata Jupiter dalam hati. Bahkan pembuat tembikar dengan kebiasaan serba aneh pun harus diwajibkan memilikinya!
Tapi kalaupun Potter memiliki pesawat telepon, kini takkan banyak gunanya lagi. Orang yang tadi mengacak-acak isi kantor pembuat tembikar itu, mungkin sekarang sudah satu mil jauhnya dari tempat kejadian.
Jupiter menarik tombol pembuka pintu. Tapi daun pintu tidak bergerak sedikit pun. Jupiter berlutut, lalu mengintip keluar lewat lubang kunci. Ternyata anak kunci masih ada di dalamnya. Kini Jupiter pergi ke meja tulis. Diambilnya pisau pembuka surat yang ada di situ. Dengan alat itu ia mencoba membuka pintu.
Ia sebenarnya bisa saja keluar lewat jendela. Tapi ia tidak mau. Jupiter sangat menjaga harga diri. Kecuali itu ia juga sadar bahwa perbuatan itu pasti akan menimbulkan kecurigaan, kalau kebetulan ada orang di jalan yang melihatnya keluar lewat jendela.
Ketika sedang sibuk mengorek-ngorek kunci, tiba-tiba ia mendengar langkah orang berjalan di beranda. Dengan segera ia menghentikan kesibukannya.
"Kakek!" seru seseorang.
Dari arah dapur terdengar bunyi bel berdering parau. "Kakek! Kami sudah datang!" Kini terdengar pintu diketuk.
Jupiter menuju ke jendela. Ia membukanya, lalu menjulurkan tubuh ke luar untuk melihat. Seorang anak laki-laki berambut pirang berdiri di beranda. Anak itu menggedor-gedor pintu. Di belakangnya ada seorang wanita yang nampaknya masih muda. Rambutnya yang pirang dan dipotong pendek acak-acakan kena angin. Wanita itu memegang kaca mata pelindung sinar matahari, serta menyandang sebuah tas kulit berwarna cokelat yang menggembung karena terisi penuh.
"Selamat pagi!" seru Jupiter menyapa.
Kedua orang yang berdiri di beranda menoleh dengan cepat ke arahnya. Mereka tidak menjawab sapaannya.
Jupiter keluar lewat jendela, walau semula ia tidak berniat begitu. Tapi keadaannya kini sudah berubah. Ia sudah ketahuan, ada di dalam rumah.
"Aku terkunci di dalam," kata Jupiter menjelaskan dengan singkat. Ia masuk lagi lewat pintu depan. Dibukanya pintu kantor yang dikunci dari luar.
Wanita dan anak laki-laki tadi nampak bimbang sesaat. Tapi kemudian mereka menyusul masuk.
"Tadi ada orang menggeledah kantor ini - lalu aku dikuncinya di dalam," kata Jupiter lagi. Ia memperhatikan anak laki-laki yang berdiri di depannya. Umurnya kira-kira sebaya dengan Jupiter.
"Mestinya kalianlah tamu-tamu Mr. Potter," kata Jupiter menebak.
"Betul! - Tapi, eh - siapa kau ini sebenarnya"" kata anak laki-laki itu. "Dan mana kakekku"" "Kakek"" tanya Jupiter. Ia memandang berkeliling, mencari kursi. Tapi tidak ada kursi di situ. Akhirnya ia duduk saja di kaki tang
ga. "Mr. Alexander Potter!" kata anak itu dengan ketus. "Ini rumahnya, 'kan" Di Rocky Beach tadi aku bertanya pada petugas pompa bensin, dan ia mengatakan..."
Jupiter menyandarkan dagunya ke tangan yang ditopangkan ke lutut. Kepalanya terasa sakit. "Kakek"" katanya sekali lagi. "Maksudmu - Potter punya cucu""
Jupiter takkan lebih heran, jika ada yang mengatakan bahwa Potter memelihara dinosaurus jinak di ruang bawah tanah rumahnya.
Wanita yang ikut datang memakai kaca mata hitamnya lagi. Tapi kemudian dibuka, karena ternyata ruang depan itu terlalu gelap.
Wajahnya menarik, kata Jupiter dalam hati.
"Aku tidak tahu di mana Potter saat ini," katanya terus terang. "Tadi pagi aku berjumpa dengannya, tapi sekarang ia tidak ada di sini."
"Itukah sebabnya kau tadi memanjat jendela"" tanya wanita itu dengan nada curiga. Ia menoleh ke arah anak laki-laki tadi. "Tom! Panggil polisi!"
Anak yang rupanya bernama Tom itu memandang berkeliling dengan sikap bingung.
"Dijalan raya ada bilik telepon umum," kata Jupiter dengan sopan, "tidak jauh di luar halaman depan."
"Maksudmu, ayahku tidak punya telepon"" tanya wanita itu.
"Jika Mr. Potter Ayah Anda," kata Jupiter, "betul - ia tidak punya telepon."
"Tom!" kata wanita itu lagi, sambil mencari-cari dalam dompetnya.
"Ibu saja yang menelepon," kata Tom. "Aku di sini saja - mengawasi dia ini!"
"Aku tidak bermaksud pergi," kata Jupiter.
Wanita itu pergi. Mula-mula dengan langkah lambat, tapi kemudian berlari-lari ke luar, ke jalan raya.
"Jadi Potter itu kakekmu, ya"" kata Jupiter.
Anak laki-laki yang bernama Tom memandangnya dengan sengit.
"Apa anehnya"" kata anak itu dengan ketus. "Siapa pun juga, pasti punya kakek!"
"Memang betul," kata Jupiter. "Tapi tidak setiap orang punya cucu - dan Potter itu kan... yah, orangnya lain dari yang lain!"
"Ya, aku tahu. Dia seniman." Tom memandang rak-rak yang penuh dengan benda-benda tembikar, yang ada di sekeliling ruangan itu. "Ia selalu mengirimkan hasil karyanya pada kami," katanya lagi pada Jupiter.
Jupiter menerima keterangan itu sambil membisu. Ia berpikir-pikir. Sudah berapa lamakah Potter tinggal di Rocky Beach" Paling sedikit dua puluh tahun, menurut Bibi Mathilda. Pasti ia sudah lama mapan di situ, jauh sebelum Bibi Mathilda dan Paman Titus membuka usaha mereka. Wanita yang nampak bingung tadi bisa saja memang anak orang tua itu. Tapi kalau begitu, ke mana saja ia selama ini" Dan apa sebabnya Potter tidak pernah berbicara mengenai anaknya"
Sementara itu wanita tadi sudah kembali. Ia memasukkan dompetnya ke dalam tas. "Sebentar lagi mobil patroli polisi akan tiba," katanya. "Untunglah," kata Jupiter Jones.
"Dan kau nanti harus memberi penjelasan!" tukas wanita tadi padanya. "Dengan senang hati, Mrs. - Mrs...." "Dobson," ujar wanita itu menyebut namanya. Jupiter cepat-cepat berdiri.
"Nama saya Jupiter Jones, Mrs. Dobson," katanya.
"How do you do"" Kalimat itu sudah keluar dari Mrs. Dobson, sebelum ia sempat menyadarinya. Memang begitulah kebiasaan saat berkenalan. Ucapan itu sebanding dengan kata-kata, 'Apa kabar"' Dan Jupiter langsung menanggapi dengan serius.
"Tidak begitu baik, saat ini," katanya. "Soalnya, saya kemari mencari Potter, tapi tahu-tahu ada orang yang mendorong diri saya sampai terjatuh, lalu saya dikuncinya di dalam kantor."
Dari air muka Mrs. Dobson nampak bahwa ia tidak percaya. Saat itu terdengar bunyi sirene mobil polisi mengaung-ngaung dari arah jalan raya.
"Di Rocky Beach tidak sering terjadi peristiwa mendadak," kata Jupiter dengan tenang. "Bawahan Chief Reynolds pasti merasa senang, karena mendapat kesempatan membunyikan sirene mobil mereka!" "Kau ini keterlaluan!" tukas Tom Dobson sambil mendengus.
Bunyi sirene melambat, dan akhirnya terhenti di depan rumah. Lewat pintu depan, Jupiter melihat sebuah mobil patroli polisi berwarna hitam-putih berhenti. Dua petugas polisi cepat-cepat turun, lalu bergegas ke arah rumah.
Jupiter duduk lagi di kaki tangga. Wanita yang masih muda tadi memperkenalkan dirinya pada kedua petugas polisi yang datang. Namanya Eloise - Eloise Dobson, katanya, disusul dengan hamburan kata-kata. Ia datan
g dari jauh, naik mobil langsung dari Belleview, Illinois, untuk menjenguk ayahnya, Alexander Potter. Tapi saat ini Mr. Potter sedang tidak ada di rumah, dan ketika datang tadi ia melihat - remaja berandal ini keluar lewat jendela. Ia menuding dengan sikap menuduh ke arah Jupiter, sambil mengatakan bahwa sebaiknya polisi menggeledah remaja itu.
Salah seorang petugas polisi yang datang, Officer Haines, seumur hidupnya tinggal di Rocky Beach. Sedang rekan sejawatnya, Sergeant McDermott, belum lama berselang merayakan ulang tahun kelima belas masa dinasnya di kepolisian kota itu. Keduanya mengenal Jupiter Jones. Mereka juga tahu, siapa Mr. Potter. Sergeant McDermott mencatat sebentar, lalu menoleh ke arah Eloise Dobson.
"Anda bisa membuktikan bahwa Potter ayah Anda"" tanya petugas polisi itu.
Wajah Mrs. Dobson berubah-ubah warna - mula-mula merah, lalu pucat. Pucat karena marah.
"Apa kata Anda"" teriaknya.
"Saya mengatakan, bisakah Anda -" kata Sergeant McDermott.
"Saya sudah mendengarnya tadi!"
"Nah - kalau begitu, jika Anda jelaskan -"
"Menjelaskan apa" Sudah kukatakan tadi, ketika kami datang, kami melihat... melihat pencoleng remaja ini...." Sergeant McDermott mengeluh.
"Jupiter Jones ini mungkin saja memang menyebalkan," katanya mengakui, "tapi ia bukan pencuri." Ditatapnya Jupiter dengan sikap lesu. "Apakah yang terjadi tadi, Jones"" tanya petugas itu. "Sedang mengapa kau di sini"" "Aku harus mulai dari awal"" tanya Jupiter. "Kami punya waktu sehari penuh," kata McDermott.
Jupiter bercerita, mulai dari awal. Mulai dari Potter datang di Jones Salvage Yard, untuk membeli perabotan yang diperlukannya, karena ia akan kedatangan tamu.
Sergeant McDermott mengangguk-angguk. Sementara itu Officer Haines mengambil kursi di dapur, lalu menyilakan Mrs. Dobson duduk.
Jupiter meneruskan laporannya. Tahu-tahu Potter pergi begitu saja, sedang truknya ditinggal di perusahaan pamannya. Dari jejak kakinya nampak bahwa ia pergi ke arah bukit, di belakang Rocky Beach.
"Aku kemudian kemari, untuk melihat barangkali ia pulang," kata Jupe. "Pintu rumah ternyata terbuka, dan karenanya aku langsung masuk. Aku tidak menjumpai Potter di sini, tapi ada orang lain yang bersembunyi di kantornya. Orang itu rupanya berdiri di belakang pintu, ketika aku masuk tadi. Aku melihat bahwa tutup meja tulis Potter dibuka secara paksa. Tahu-tahu kakiku disengkelit dari belakang, dan aku didorong sehingga jatuh terjerembab. Kemudian orang itu lari ke luar. Aku dikuncinya di dalam kantor. Karena itulah aku terpaksa keluar lewat jendela, saat Mrs. Dobson muncul bersama putranya, dan membunyikan bel."
Sergeant McDermott diam sesaat, lalu mendengus.
"Kantor Potter digeledah orang," kata Jupiter berkeras. "Bisa Anda lihat sendiri - kertas-kertas pentingnya berantakan."
McDermott menghampiri pintu kantor, lalu memandang ke dalam. Dilihatnya berkas-berkas berserakan di atas meja, serta sebuah laci tertarik ke luar.
"Potter biasanya sangat rapi," kata Jupiter. "Ia takkan mau meninggalkan kantornya dalam keadaan begini." McDermott berpaling lagi.
"Akan kita datangkan ahli sidik jari," katanya. "Sementara itu, Mrs. Dobson -"
Tahu-tahu wanita itu menangis.
"Aduh, Bu!" Anaknya datang menghampiri, lalu merangkul. "Jangan menangis, Bu!"
"Ia kan ayahku!" kata Mrs. Dobson sambil terisak-isak. "Biar bagaimanapun, ia tetap ayahku - dan kita sudah setengah mati naik mobil kemari untuk menjenguknya, tanpa mampir untuk melihat-lihat Grand Canyon, karena aku ingin... karena aku bahkan tak bisa ingat..."
"Bu," kata Tom Dobson memelas.
Mrs. Dobson mencari-cari sapu tangan di dalam dompetnya.
"Aku tak menduga sedikit pun bahwa aku harus membuktikannya!" katanya sambil menangis terus. "Aku tidak menyangka, untuk datang ke Rocky Beach diperlukan surat lahir!"
"Tenanglah, Mrs. Dobson!" Sergeant McDermott mengantungi buku catatannya. "Kalau begini keadaannya, lebih baik jika Anda serta putra Anda tidak tinggal di sini."
"Tapi Alexander Potter benar-benar ayahku!"
"Mungkin saja," kata polisi itu mengalah, "tapi nampaknya ia memutuskan untuk menghilang - setidak-tidaknya untuk sementara. Da
n nampaknya ada orang yang memasuki rumahnya, tanpa diundang. Saya yakin, Pot... eh, Mr. Potter nanti akan muncul juga kapan-kapan, lalu menjelaskan duduk perkara sebenarnya. Tapi sementara itu lebih aman jika Anda serta putra Anda tinggal saja di kota. Di sana ada hotel kecil, namanya Seabreeze Inn. Tempatnya sangat menyenangkan, dan -"
"Bibi Mathilda dengan senang hati bersedia menampung Anda," kata Jupiter menyela.
Tapi Mrs. Dobson tidak mempedulikannya. Wanita itu masih terisak-isak terus. Air matanya diusap dengan tangan yang gemetar.
"Di samping itu," sambung McDermott, "sebentar lagi ahli sidik jari kami akan datang, dan kami tidak ingin ada sesuatu yang berubah letak di sini."
Mrs. Dobson berdiri, lalu mengenakan kaca mata hitamnya.
"Mungkin Chief Reynolds nanti ingin berbicara dengan Anda," kata McDermott. "Akan saya katakan padanya, Anda untuk sementara menginap di Seabreeze Inn."
Mrs. Dobson menangis lagi. Anaknya bergegas membimbingnya ke luar, ke jalan. Mereka menghampiri sebuah mobil biru dengan pelat nomor negara bagian Illinois. Mrs. Dobson duduk di belakang kemudi.
"Sama sekali tak kukira!" kata Sergeant McDermott. "Potter ternyata punya anak!"
"Itu kalau ia memang benar anaknya," kata Officer Haines.
"Untuk apa ia mengaku-ngaku, kalau tidak benar begitu"" kata McDermott. "Potter kan orang aneh - dan tidak memiliki apa-apa yang mungkin diingini orang lain."
"Ia mestinya mempunyai sesuatu," kata Jupiter Jones. "Kalau tidak - untuk apa orang yang menyerangku tadi mau repot-repot membongkar isi kantornya""
Bab 4 ADA ORANG BARU LAGI JUPITER menolak, ketika Officer Haines mengajaknya ikut naik mobil polisi, kembali ke Rocky Beach. "Terima kasih, tapi aku tadi datang naik sepeda," kata Jupiter. "Dan aku tidak apa-apa."
"Kau yakin"" tanya petugas polisi yang menawari, sambil memandang kening Jupiter yang benjol karena terantuk tadi.
"Ya, aku yakin! Cuma benjol saja." Jupiter melangkah pergi.
"Hati-hati saja, Jones!" seru Sergeant McDermott dari dalam rumah. "Jika kau terus menyusup-nyusupkan hidungmu ke mana-mana, nanti tahu-tahu sudah putus terpotong! Dan jangan pergi jauh-jauh dari rumah, ya! Mungkin Chief ingin bicara juga denganmu."
Jupiter melambai tanda mengerti. Diambilnya sepedanya yang masih tersandar ke pagar. Ia menunggu lalu lintas agak renggang, karena ia harus menyeberang jalan. Mobil Ford cokelat yang dilihatnya tadi, masih tetap diparkir di tepi jalan, di atas pantai. Beberapa saat kemudian ia melihat ada kesempatan, lalu cepat-cepat lari menuntun sepeda ke seberang. Di sana ia berdiri di dekat mobil cokelat itu, lalu memandang ke arah pantai di bawah. Pasang sedang surut, menampakkan bidang pasir yang lebar. Seorang laki-laki berjalan menyusuri jalan setapak yang mendaki, menuju ke tempat Jupiter. Ia belum pernah melihat pemancing ikan yang penampilannya sehebat orang itu. Berbaju hangat putih dengan leher tinggi yang digulung, dibungkus jaket sport biru muda yang sangat necis, dengan lambang yang disulam pada kantung atas. Jaket sport itu sewarna dengan celana panjangnya yang terbuat dari kain katun tebal, begitu pula dengan sepatu santai yang membungkus kakinya. Orang itu memakai topi pet pelayar yang nampak sangat mulus, seakan-akan baru saja sehari yang lalu dibeli di toko alat-alat olahraga.
"Halo!" sapa orang itu, ketika sudah sampai di dekat Jupiter. Jupe menatap wajah kurus berkulit kecokelatan dibakar sinar matahari. Wajah itu ditutupi kaca mata pelindung sinar matahari berukuran besar. Di bawah hidungnya ada kumis kelabu melintang. Kumis itu berwarna kelabu, dan disemir dengan obat yang membuatnya kaku. Ujung-ujungnya mencuat ke atas, ke arah telinga orang itu.
Joran yang dibawa orang itu hebat dan nampak bersih mengkilat - serupa seperti yang membawa.
"Dapat ikan"" tanya Jupiter Jones.
"Tidak - rupanya hari ini tidak berselera." Laki-laki itu membuka tutup bagasi mobil Ford yang berlapis debu, lalu memasukkan alat-alat penangkap ikannya ke dalam. "Mungkin aku keliru memilih umpan. Aku orang baru dalam soal olahraga memancing."
Hal itu sudah diduga oleh Jupiter. Penangkap ikan yang
berpengalaman, kebanyakan penampilan mereka seperti gelandangan.
Laki-laki itu memandang ke seberang jalan, ke arah mobil patroli polisi yang diparkir di depan rumah Potter. "Ada keributan di sana"" tanya orang itu. "Sedikit," jawab Jupiter. "Pencuri, mungkin."
"Uh - tidak menarik." Orang itu menutup tutup bagasi mobil. Setelah itu ia menghampiri pintu depan kendaraan itu, lalu membukanya.
"Bukankah itu toko milik Potter yang terkenal itu"" katanya dengan nada bertanya. Jupiter mengangguk.
"Kenalanmu"" tanya penangkap ikan amatir itu lagi. "Kau tinggal di sekitar sini""
"Ya, aku tinggal di dekat sini. Dan aku kenal padanya. Orang kota ini, tidak ada yang tidak mengenal Potter." "Hm. Kurasa memang begitu. Kabarnya, hasil karyanya indah-indah." Laki-laki itu memperhatikan Jupiter dari balik kaca mata hitamnya yang besar. "Kepalamu benjol." "Terjatuh tadi," jawab Jupiter singkat. "Oh! Kau mau kuantarkan dengan mobil." "Terima kasih - tidak usahlah," kata Jupiter.
Trio Detektif 15 Misteri Jejak Bernyala di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tidak mau" Ya, kau memang benar. Jangan mau, kalau ada orang tak dikenal mengajakmu."
Laki-laki itu tertawa, seolah-olah ucapannya itu sangat lucu. Setelah itu ia menghidupkan mesin mobilnya. Kendaraan itu diundurkannya ke jalan raya. Sambil melambai ke arah Jupiter, orang itu pergi dengan mobilnya.
Jupiter bersepeda kembali ke perusahaan barang bekas milik pamannya. Tapi ia tidak masuk lewat gerbang utama. Ia bersepeda terus, menyusuri pagar yang dihiasi dengan lukisan indah, sampai ke gambar ikan aneh yang tersembul di tengah ombak, memandang kapal layar yang terombang-ambing dipermainkan badai. Jupiter turun dari sepedanya, lalu menekan mata gambar ikan. Seketika itu juga dua lembar papan terjungkit ke atas, membuka jalan masuk ke kompleks perusahaan barang-barang bekas itu Jupiter masuk sambil mendorong sepedanya.
Jupiter masuk lewat Gerbang Hijau Satu. Seluruhnya ada empat jalan rahasia untuk memasuki pekarangan perusahaan itu. Tapi tak ada satu pun yang diketahui oleh Bibi Mathilda. Jupiter muncul di sudut pekarangan itu, dekat bengkel kerjanya yang di luar. Ia mendengar suara Bibi Mathilda, yang rupanya saat itu sedang berada di belakang gudang tempat penyimpanan perabotan. Bibi Mathilda sedang sibuk membersihkan kursi-kursi dan meja kebun yang baru dibeli suaminya. Tapi ia tidak bekerja tanpa bersuara. Ia berseru-seru, menyuruh Hans membantunya. Bibi Mathilda tidak bisa melihat Jupiter, karena di depan bengkel kerja keponakannya itu ada tumpukan barang bekas yang menghalangi pandangan. Barang-barang itu memang sengaja ditempatkan oleh Jupiter di situ.
Jupiter tertawa nyengir. Disandarkannya sepeda ke mesin cetak yang sudah usang, lalu ditariknya terali dari besi cor yang tersandar pada sebuah bangku kerja yang terdapat di belakang mesin cetak. Ia membungkuk, lalu menyusup masuk ke dalam Lorong Dua.
Lorong Dua itu berupa pipa saluran, terbuat dari seng gelombang. Sisi dalamnya dilapisi potongan-potongan permadani bekas. Ujung pipa itu berakhir di sebuah tingkap yang terdapat di lantai sebuah karavan. Dan karavan itulah
Markas Trio Detektif. Jupiter merangkak-rangkak di dalam Lorong Dua, menyusup naik lewat tingkap, dan begitu masuk ke dalam karavan langsung meraih gagang pesawat telepon yang terletak di atas meja tulis.
Pesawat telepon itu satu tambahan lagi di perusahaan barang-barang bekas pamannya, yang tidak diketahui oleh Bibi Mathilda. Jupiter beserta kedua temannya, Bob Andrews dan Pete Crenshaw, mengusahakan sendiri sambungannya dengan uang yang mereka peroleh sebagai pembayaran untuk pekerjaan mereka membetulkan barang-barang bekas yang rusak, ditambah dengan penghasilan yang didapat Trio Detektif dari kegiatan mereka selaku penyelidik.
Jupiter memutar nomor rumah Pete. Temannya itu sudah menerima, ketika telepon baru dua kali berdering. "He, Jupe!" Pete kedengaran senang karena Jupiter menelepon. "Siang ini, saat pasang naik laut akan berombak besar. Yuk, kita berselancar."
"Kurasa hari ini aku takkan bisa," kata Jupiter dengan suara masam. "O ya" Maksudmu, bibimu sudah sibuk lagi""
"Tadi Paman Titus membeli beberapa kursi dan meja kebun," kata Ju
piter. "Perabotan itu penuh karat, dan saat ini Bibi Mathilda sedang sibuk memanggil-manggil Hans, menyuruhnya mengikis karat serta cat yang lama. Aku yakin, begitu Bibi melihatku, aku juga disuruhnya membantu."
Pete mengucapkan selamat mengikis cat.
"Bukan karena itu aku menelepon," kata Jupiter. "Bisakah kau datang ke markas nanti malam" Pukul sembilan"" Pete bisa, dan ia juga mau.
"Kelana Gerbang Merah," kata Jupiter dengan singkat, lalu mengembalikan gagang telepon ke tempatnya. Setelah itu ia memutar nomor rumah Bob Andrews. Mrs. Andrews, ibu Bob, yang menerima. Ia mengatakan bahwa Bob ada di Perpustakaan Umum Rocky Beach, di mana ia bekerja sebagai tenaga lepas pada waktu senggangnya. "Bisakah saya meninggalkan pesan untuknya"" tanya Jupiter.
"Ya, tentu saja! Tapi tunggu sebentar - kuambil pensil dulu. Habis, kalian rasanya tidak pernah mengatakan sesuatu dalam bahasa biasa."
Jupiter tidak menanggapi ucapan itu. Ia menunggu, sementara Mrs. Andrews mengambil pensil dan secarik kertas. Ketika ibu Bob sudah terdengar lagi suaranya di telepon, Jupe menyampaikan pesannya. "Kelana Gerbang Merah, pukul sembilan."
"Kelana Gerbang Merah, pukul sembilan." Mrs. Andrews mengulangi pesan itu. "Entah apa lagi artinya. Tapi baiklah, Jupiter - nanti akan kusampaikan pada Bob, begitu ia pulang."
Jupiter mengucapkan terima kasih. Gagang pesawat telepon diletakkannya kembali ke tempatnya. Setelah itu ia keluar lagi, lewat Lorong Dua. Ia membuka Gerbang Hijau Satu, lalu mendorong sepedanya ke jalan. Setelah itu ia bersepeda lagi, menuju gerbang utama dan masuk ke pekarangan Jones Salvage Yard.
Bibi Mathilda menunggu di samping kantor, dengan tangan terbungkus sarung tangan karet yang nampak kotor.
"Hampir saja aku memanggil polisi untuk mencarimu," kata Bibi Mathilda. "Ke mana saja kau tadi""
"Potter tidak ada di rumahnya," kata Jupiter memberi tahu. "Tapi tamu-tamunya sudah datang."
"O ya" Kenapa tidak kauajak kemari" Kau ini bagaimana, Jupiter - kan tadi sudah kukatakan agar kauundang mereka kemari!"
Jupiter menaruh sepedanya di samping kantor.
"Mereka sangsi terhadap diriku, dikira penjahat," katanya. "Mereka sekarang sudah ke Seabreeze Inn. Satu di antaranya seorang wanita, bernama Mrs. Dobson. Katanya, ia anak Potter. Sedang yang satu lagi anak wanita itu. Namanya Tom."
"Anak Potter" Itu kan tidak mungkin, Jupiter - Potter sama sekali tidak punya anak!" "Bibi tahu pasti"" tanya Jupe.
"Ya, tentu saja. Potter tidak pernah menyebut-nyebut... ia tidak pernah... He, Jupiter! Apa sebabnya mereka sampai menyangka kau penjahat""
Jupiter bercerita sesingkat mungkin, tentang orang tak dikenal yang membongkar kantor Potter. "Mereka menyangka aku memasuki rumah itu dengan niat jahat," katanya mengakhiri.
"Keterlaluan!" Bibi Mathilda sangat tersinggung. "Dan kepalamu benjol! Ayo - masuk ke rumah, sekarang juga. Akan kubuatkan kompres untukmu."
"Ah - aku tidak apa-apa, Bi. Sungguh!"
"Apa, tidak apa-apa"! Ayo masuk, sekarang juga! Cepat!"
Jupiter tidak membantah. Bibi Mathilda membawakan es yang dibungkus dalam kain, untuk mengompres benjolan di kening Jupiter. Ia juga membawakan roti yang dilapisi dengan selai kacang, serta susu segelas. Tapi saat makan siang, Bibi Mathilda menarik kesimpulan bahwa benjolan itu tidak lebih parah dari sekian banyak benjolan yang pernah dialami keponakannya. Ia mencuci piring dengan terburu-buru. Kemudian disuruhnya Jupiter mengelap dan membereskan semuanya, sementara ia sendiri mengeramas rambutnya.
Paman Titus duduk dengan tenang di depan pesawat televisi. Tidak lama kemudian ia sudah tertidur. Kumisnya yang melintang bergetar seirama dengan dengkurannya, sementara Jupiter pergi ke luar dengan berjingkat-jingkat.
Jupiter pergi ke seberang, lalu berjalan menyusuri tepi pagar, sampai ke sisi belakang perusahaan. Pagar di situ dihiasi lukisan yang sama semaraknya seperti di bagian depan. Lukisan di situ menggambarkan bencana kebakaran besar yang melanda kota San Francisco tahun 1906, dengan orang-orang yang lari ketakutan dari gedung-gedung yang terbakar. Di latar depan adegan itu ada gambar seekor anjing kecil.
Anjing itu digambarkan sedang duduk sambil memandang api yang berkobar-kobar. Satu matanya memang merupakan mata - tapi mata kayu papan pagar. Jupiter mencongkel mata kayu itu, lalu merogoh lewat lubang pada papan untuk melepaskan suatu kait. Tiga lembar papan bergerak ke samping. Itulah yang diberi nama sandi Kelana Gerbang Merah. Di sebelah dalam ada papan dengan
gambar panah hitam yang menunjuk ke "Kantor". Jupiter mengikuti arah panah itu, tapi kemudian merangkak ke bawah tumpukan kayu. Ia tiba di semacam lorong, diapit tumpukan barang loak. Ditelusurinya lorong itu, sampai tiba di depan sejumlah papan kokoh, yang merupakan atap Pintu Empat. Ia tinggal menyusup ke bawahnya, merangkak sejauh beberapa meter, lalu mendorong sebuah panel dan sampailah ia di markas.
Pukul sembilan kurang lima belas menit. Sambil menunggu, dikenangnya kembali segala kejadian hari itu. Lima menit kemudian Bob Andrews menyusup masuk, disusul oleh Pete Crenshaw yang datang tepat pukul sembilan malam.
"Trio Detektif mendapat klien baru lagi"" tanya Pete bersemangat. Dipandangnya kening Jupiter yang benjol. "Kau sendiri, barangkali""
"Mungkin," kata Jupiter. "Potter menghilang, tadi siang."
"Aku sudah mendengarnya," kata Bob. "Bibimu menyuruh Hans untuk mengambil apa-apa di pasar. Di sana Hans berjumpa dengan ibuku. Jadi Potter pergi begitu saja, meninggalkan truknya di tempat kalian"" Jupiter mengangguk.
"Ya, itulah yang terjadi! Truknya masih diparkir di samping kantor. Sementara Potter menghilang, sejumlah orang lain muncul."
"Maksudmu, antara lain wanita yang datang untuk tinggal di Seabreeze Inn, sesudah kepalamu benjol"" tanya Pete.
"Rocky Beach ini ternyata memang kota kecil," gumam Jupiter. Begitu cepat berita tersebar!
"Aku tadi berjumpa dengan Officer Haines," kata Pete menjelaskan. "Wanita itu mengaku anak Potter. Jika itu benar, maka anak laki-laki itu mestinya cucu pak tua itu. Edan! Potter itu memang orang aneh. Siapa mengira, ia punya anak perempuan!""
"Ia kan juga pernah muda," kata Jupiter. "Tapi pendatang baru di kota ini bukan cuma Mrs. Dobson beserta anak laki-lakinya saja. Ada dua orang laki-laki di Hilltop House."
"Hilltop House"" Minat Pete langsung tergugah. "Ada orang menempati rumah itu" Hilltop House kan tidak bisa didiami lagi!"
"Setidak-tidaknya, tadi siang ada orang datang ke sana," kata Jupiter. "Kebetulan sekali mereka mampir sebentar di perusahaan ini, untuk menanyakan jalan ke sana. Saat itu Potter masih ada. Itu pun merupakan kebetulan yang menarik. Kedua orang itu melihatnya, dan Potter juga melihat mereka. Sedang Hilltop House, letaknya tepat di atas toko Potter."
"Apakah Potter mengenal mereka"" tanya Bob.
Jupiter menarik-narik bibir bawahnya, berusaha mengingat-ingat.
"Aku tidak berani memastikan bahwa ia kenal mereka, atau mereka mengenalnya. Orang yang mengemudikan mobil, yang kalau dilihat dari penampilannya kurasa orang Eropa, turun untuk menanyakan jalan. Lalu penumpangnya - tampangnya aneh, kepalanya benar-benar botak - bersikap seperti ada yang menggelisahkan dirinya. Kedua orang itu berbicara sebentar, dalam bahasa asing. Sedang Potter tetap berdiri, sambil memegang medalion yang selalu dipakainya. Ketika kedua orang itu sudah pergi, ia berkata bahwa ia merasa pusing. Aku masuk ke rumah untuk mengambilkan air. Tapi ketika aku keluar lagi, tahu-tahu Potter sudah lenyap."
"Ketika datang, ia tidak apa-apa"" tanya Bob.
"Segar-bugar," kata Jupiter menegaskan. "Katanya ia akan kedatangan tamu. Ia kelihatan bergembira. Tapi setelah kedua orang itu datang dan menanyakan jalan ke Hilltop House -" "Iamenghilang!" sambung Bob.
"Ya! Ia pergi, dengan berjalan kaki. Sekarang aku ingin tahu, apakah ia tadi memegang-megang medalionnya karena kebiasaannya saja - atau karena ingin menutupi benda itu""
"Hiasan medalion itu gambar rajawali, 'kan"" tanya Bob meminta penegasan.
"Rajawali, dengan kepala kembar," kata Jupiter. "Bisa saja itu merupakan gambar ciptaan Potter sendiri. Tapi mungkin pula ada artinya - suatu lambang yang mengandung makna tertentu bagi kedua orang yang kemudian datang."
"Seperti tanda, misalnya"
" tanya Pete. "Atau lambang," kata Bob dengan nada pasti. "Orang Eropa kan sangat menggemari lambang. Bermacam-macam lambang ada di sana, seperti singa, kuda bertanduk tunggal, burung elang, dan macam-macam lagi." "Bisakah kau melacaknya"" tanya Jupiter. "Kau ingat tidak, wujud gambar itu"" Bob mengangguk.
"Di perpustakaan ada buku baru tentang lambang-lambang kebangsawanan. Jika aku melihat gambar rajawali berkepala dua itu, aku pasti akan mengenalinya kembali." "Bagus," kata Jupiter, lalu menyapa Pete. "Kau kenal baik dengan Mr. Holtzer"" tanyanya.
"Pengusaha yang bergerak di bidang tanah dan rumah itu" Kadang-kadang aku bekerja untuknya, memotong rumput di halamannya, jika ia sendiri sedang malas. Kenapa""
"Ia satu-satunya agen yang menangani urusan sewa dan jual-beli rumah di Rocky Beach," kata Jupiter. "Jika ada orang yang menempati Hilltop House, ia pasti tahu. Bahkan mungkin pula ia tahu alasan orang itu pindah ke situ."
"Mungkin besok Mr. Holtzer tidak memerlukan tenagaku untuk memotong rumput halamannya," kata Pete, "tapi kantornya hari Minggu pun tetap dibuka. Aku akan mampir ke sana besok."
"Bagus," kata Jupiter. "Kurasa Bibi Mathilda besok akan pergi ke Seabreeze Inn, bertindak selaku panitia penyambutan Mrs. Dobson serta anak laki-lakinya. Dan aku akan menemani Bibi ke sana, sambil melihat-lihat kalau di sana juga ada pemancing ikan amatiran yang naik mobil Ford berwarna cokelat."
"Dia juga pendatang baru"" tanya Bob.
"Mungkin," jawab Jupiter sambil mengangkat bahu. "Atau mungkin juga cuma kemarin saja ia datang kemari, dari Los Angeles. Tapi jika ternyata ia tinggal di Rocky Beach, dan jika Hilltop House memang disewa orang untuk ditinggali, maka kita tahu bahwa dalam satu hari ada lima pendatang baru di kota kita ini - dan satu dari mereka mungkin orang yang memasuki rumah Potter dan membongkar laci meja tulisnya."
Bab 5 JEJAK KAKI BERNYALA "PAKAI kemeja putihmu, Jupiter," kata Bibi Mathilda, "serta jas santaimu yang biru." "Hawa terlalu panas," kata Jupe.
"Pakai, kataku," kata Bibi Mathilda berkeras. "Aku tidak suka jika kau kelihatan seperti perampok, saat kita nanti mendatangi Mrs. Dobson."
Jupiter mengeluh. Dikancingkannya kemeja putih yang kaku karena kanji, hampir sampai ke leher. Tapi kancing paling atas dibiarkannya terlepas. Kalau itu juga dikancingkan, bisa sesak napasnya nanti. Setelah itu dikenakannya jas santainya yang biru.
"Sudah siap, Bi"" katanya pada bibinya.
Bibi Mathilda meratakan roknya yang terbuat dari kain tweed tebal, lalu menyampirkan jaket wol cokelat ke bahunya.
"Bagaimana kelihatannya"" tanya Bibi Mathilda pada Jupiter. "Sedikit pun Bibi tidak seperti seorang perampok," kata Jupiter.
"Memang begitu mestinya," kata Bibi Mathilda. Ia turun bersama Jupiter, lalu keluar lewat ruang duduk. Paman Titus memilih lebih baik tidak ikut dalam rombongan penyambutan Mrs. Dobson serta putranya. Ia menikmati kenyamanan tidur Minggu siang di sofa.
Angin segar bertiup, mengusir kabut pagi. Air laut nampak kemilau kena sinar matahari, saat Bibi Mathilda berjalan seiring dengan Jupiter menuju ke jalan raya, lalu membelok ke arah selatan. Tidak banyak orang yang berjalan kaki di trotoar kawasan bisnis di kota Rocky Beach. Tapi mobil bersesak-sesakan, maju beringsut-ingsut di jalan-jalan tengah kota. Jupiter serta bibinya melewati toko roti dan toko kue-kue. Akhirnya mereka sampai di seberang Seabreeze Inn.
"Hotel itu dipelihara dengan baik oleh Miss Hopper," kata Bibi Mathilda. Ia melangkah ke jalur penyeberangan, sambil memelototkan mata ke arah sebuah mobil Buick yang datang. Pengemudi mobil itu cepat-cepat mengerem. Rupanya ngeri menghadapi sikap galak wanita yang hendak menyeberang itu. Bibi Mathilda melangkah dengan gagah ke seberang, diikuti dengan tergesa-gesa oleh Jupiter.
Bibi Mathilda masuk ke kantor Seabreeze Inn, lalu menekan tombol bel kecil yang ada di meja resepsionis.
Pintu yang ada di belakang meja itu terbuka.
"Mrs. Jones!" seru wanita yang muncul. Itulah Miss Hopper. Ia keluar sambil merapikan seberkas rambut yang sudah putih. Kemunculannya disertai hamburan bau sedap ayam pan
ggang. "Kau juga ikut, Jupiter. Apa kabar""
"Kudengar Mrs. Dobson menginap di sini, bersama anaknya," kata Bibi Mathilda, tanpa berbasa-basi lagi.
"Ya, betul! Kasihan - ia bingung sekali, ketika datang kemari kemarin. Setelah itu Chief Reynolds datang untuk menemuinya. Bayangkan - di sini, di hotel ini!"
Miss Hopper menghargai jasa kepala polisi itu demi keamanan warga Rocky Beach. Tapi terasa jelas, ia tidak suka jika polisi mengusik ketenangan hotel kecilnya. Ia khawatir, nama baik Seabreeze Inn akan menurun karenanya.
Bibi Mathilda mendecak-decak, sebagai pernyataan ia bisa memahami sikap Miss Hopper. Kemudian ditanyakannya di mana Mrs. Dobson saat itu. Miss Hopper menunjuk ke teras kecil, di belakang hotel.
"Ia di sana bersama putranya, ditemani Mr. Farrier, yang berusaha menghiburnya," kata Miss Hopper.
"Mr. Farrier"" kata Jupiter mengulangi nama itu.
"Ia juga tamu hotel," kata Miss Hopper menjelaskan. "Orangnya simpatik. Kelihatannya ia sungguh-sungguh menaruh perhatian pada Mrs. Dobson. Senang rasanya melihat hal itu. Sekarang ini, orang-orang rasanya seperti saling tak peduli. Tapi Mrs. Dobson juga sangat cantik, sih - apalagi masih muda!"
"Ya, itu selalu menguntungkan," kata Bibi Mathilda.
Diajaknya Jupiter meninggalkan kantor. Mereka berjalan menyusuri beranda hotel, melewati deretan pintu bernomor serta jendela-jendela bertingkap biru, menuju teras kecil yang menghadap ke pantai.
Mrs. Dobson, yang memang masih muda, duduk menghadapi sebuah meja bundar berukuran kecil, bersama anak laki-lakinya. Di depan mereka ada minuman segar, dalam gelas plastik. Dan mereka ditemani seorang laki-laki berkumis kaku melintang. Ternyata ia pemancing ikan amatir yang sehari sebelumnya sudah dilihat Jupiter di pinggir jalan di depan toko Potter. Penampilannya hari itu lebih semarak lagi, dibandingkan dengan ketika Jupiter pertama kali berjumpa dengannya. Jaket dan celana katunnya kini berwarna putih mulus dan disetrika licin. Topi layarnya disorong ke belakang, sehingga nampak rambutnya yang berwarna kelabu kebiruan. Orang itu sedang bercerita tentang kehebatan kota Hollywood. Ia menawarkan diri sebagai pemandu, jika Mrs. Dobson ingin pesiar. Kelihatannya sudah agak lama juga orang itu mengoceh, kalau melihat sinar mata Mrs. Dobson yang sudah pudar.
Mr. Farrier bukannya menghibur Mrs. Dobson, tapi malah membuatnya bosan setengah mati, kata Jupiter dalam hati. Dan nampak jelas kelegaan pada diri Eloise Dobson, ketika ia melihat Jupiter muncul di teras bersama bibinya.
"Hai!" seru Tom Dobson. Remaja itu cepat-cepat berdiri, mengambilkan dua buah kursi.
"Mrs. Dobson," kata Jupiter, "saya dan bibi saya -"
Tapi Bibi Mathilda langsung memotong. Ia sendiri bisa memperkenalkan diri. Dan itu dilakukannya dengan ketegasan sikap seperti biasanya.
"Saya Mrs. Titus Jones," ucapnya pada Mrs. Dobson, "bibi Jupiter. Saya datang untuk menegaskan bahwa Jupiter takkan mungkin memasuki rumah Mr. Potter dengan maksud jahat."
Bibi Mathilda duduk di kursi yang diletakkan oleh Tom Dobson dekat meja.
Senyuman lesu muncul di wajah Eloise Dobson.
"Saya juga tahu," katanya. "Maaf, jika aku kemarin melabrakmu, Jupiter. Kurasa karena saat itu aku capek sekali, dan juga gugup. Kami melintasi wilayah Arizona tanpa berhenti sama sekali - dan aku tidak pernah lagi melihat
ayahku, sejak masih bayi." Ia menengkurapkan gelas plastik yang sudah kosong. "Bisa dibilang, aku belum pernah melihat ayahku itu; apa sih yang masih bisa diingat dari masa ketika kita masih berumur tiga tahun! Aku tidak tahu pasti apa yang akan kujumpai di sini. Lalu ketika kami tiba dan melihatmu keluar lewat jendela, kusangka - yah, kusangka kau masuk ke situ dengan niat jahat."
"Ya, itu memang masuk akal," kata Jupiter. Ia duduk di kursi yang diambilkan, sementara Tom Dobson bergegas menuju alat otomatis penghidang minuman segar, dengan segenggam mata uang receh.
"Setelah itu polisi bersikap begitu aneh, dan nampaknya tidak ada yang mau mempercayai identitas diriku," kata Mrs. Dobson menyambung. "Sedang Ayah menghilang dengan cara begitu. Tadi malam aku sama sekali tidak bisa tidur. Sungguh
!" "Itu bisa kubayangkan," gumam Mr. Farrier. Tangannya bergerak, seakan-akan hendak memegang tangan Mrs. Dobson. Tapi Mrs. Dobson lekas-lekas menggeser tangannya ke bawah meja.
"Ini Mr. Farrier," kata wanita muda itu, tanpa memandang langsung ke arah orang yang namanya disebut. "Mr. Farrier, ini Mrs. Jones - dan Jupiter Jones."
"Jupiter Jones sudah saya kenal," kata Farrier dengan gaya ramah. "Bagaimana kepalamu sekarang, Anak muda""
"Sudah biasa lagi - terima kasih," jawab Jupiter.
"Akibat jatuh tidak boleh diremehkan," kata Farrier lagi. "Aku ingat sewaktu aku di Kairo -"
"Belum pernah ke sana!" tukas Bibi Mathilda. Ia tidak ingin pengganggu itu melantur lebih jauh.
Dan Mr. Farrier memang langsung bungkam.
"Apa rencana Anda sekarang, Mrs. Dobson"" tanya Bibi Mathilda.
Wanita yang ditanya mendesah.
"Saya jelas takkan kembali ke Belleview, sebelum tahu persis apa sebetulnya yang terjadi," katanya dengan sikap tabah. "Untungnya ada surat dari Ayah, yang mengatakan bahwa saya boleh tinggal di sini selama musim panas - jika saya berkeras ingin datang. Bukan undangan yang sangat ramah - tapi pokoknya, itu merupakan undangan juga! Saya sudah memperlihatkannya pada Chief Reynolds tadi pagi. Surat itu ditulis di kertas surat resmi Ayah, jadi Chief Reynolds boleh yakin bahwa saya tidak bohong. Sementara ini ada seorang polisi yang bertugas menjaga di rumah. Tapi Chief Reynolds mengatakan jika para petugas sidik j ari sudah selesai dengan pekerjaan mereka di sana, ia takkan melarang jika kita ingin tinggal di rumah itu. Tapi saya kira ia sebetulnya tidak begitu setuju."
"Lalu Anda akan pindah ke sana"" tanya Bibi Mathilda.
"Rasanya, begitulah! Biaya perjalanan kami cukup tinggi, dan tinggal di hotel ini kan tidak bisa cuma-cuma. Belum lagi Tom - jangan-jangan sebentar lagi ia berkotek-kotek, jika masih harus makan ayam goreng lagi di restoran pinggir jalan. Mrs. Jones - tidak bisakah kepala polisi mengerahkan regu pencari ke bukit-bukit, untuk mencari ayah saya""
Kini Jupiter membuka mulut.
"Itu tak praktis, Mrs. Dobson," katanya. "Kelihatannya ayah Anda lenyap karena ia sendiri yang menginginkannya. Sedang di daerah perbukitan ada ribuan tempat di mana ia bisa menyembunyikan diri. Dengan kaki telanjang pun, ia bisa -"
"Kaki telanjang"" kata Eloise Dobson dengan nada heran. Suasana menjadi kikuk, karena tidak ada yang membuka mulut. "Anda tidak tahu"" kata Bibi Mathilda kemudian.
"Tidak tahu apa" Apakah ayah saya melepaskan sepatunya - atau bagaimana"" "Potter tidak pernah memakai sepatu," kata Bibi Mathilda. "Ah - Anda pasti bercanda!"
"Maaf," kata Bibi Mathilda sepenuh hati. "Tapi Potter memang benar-benar tidak pernah memakai sepatu. Ia biasa pergi ke mana-mana tanpa sepatu, dan mengenakan jubah putih." Bibi Mathilda berhenti sebentar. Rupanya ia merasa tidak enak, karena keterangan selanjutnya pasti akan menambah kekusutan pikiran Mrs. Dobson. Tapi kemudian pikirannya berubah. "Rambutnya yang sudah putih dibiarkan tumbuh panjang, begitu pula berewoknya."
Saat itu Tom Dobson datang, membawakan minuman untuk Bibi Mathilda dan Jupiter.
"Seperti Nabi Eliah saja," kata remaja itu mengambil kesimpulan.
"Dengan kata lain," kata Mrs. Dobson, "ayahku merupakan manusia eksentrik di kota ini."
"Satu di antara sekian banyak," kata Jupiter dengan nada menenangkan. "Di Rocky Beach sini banyak orang eksentrik."
"Begitu." Di atas meja terletak sebatang sedotan. Mrs. Dobson memungutnya, lalu mematah-matahkannya membentuk lipatan. "Pantas ia tidak pernah mengirimkan fotonya. Mungkin ia gelisah, karena aku akan datang. Mungkin ia tidak begitu suka - tapi aku ingin sekali bertemu dengannya. Jadi ketika waktu sudah mendesak, kurasa rasa ngerinya timbul, lalu ia menghilang. Nah - takkan kubiarkan ia berbuat begitu! Aku anaknya - yang sekarang ada di sini dan akan tetap berada di sini. Jadi lebih baik jika ia muncul!"
"Ya - betul, Bu!" kata Tom bersemangat.
"Jadi tidak ada gunanya membuang-buang waktu," sambung ibunya. "Tom, tolong katakan pada Miss Hopper, siang ini kita akan keluar dari hotel. Dan telepon kepala polisi itu. Ia harus menginstruks
ikan bawahannya yang menjaga di rumah Kakek, bahwa kita harus diperbolehkan masuk."
"Anda yakin, tindakan itu bijaksana"" tanya Jupiter. "Saya kemarin tidak bermaksud jahat, ketika masuk ke rumah ayah Anda. Tapi ada orang lain yang begitu. Ini buktinya!" Ia berkata begitu sambil meraba benjolan yang masih menghias keningnya.
Eloise Dobson berdiri. "Aku akan berhati-hati," katanya pada Jupiter. "Dan kalau ada orang datang dengan maksud jahat, kunasihatkan saja padanya agar juga berhati-hati. Aku tidak suka pada senjata api - tapi aku cukup mampu mengayunkan tongkat pemukul. Bukan itu saja, aku juga membawanya."
Bibi Mathilda menatap wanita muda itu. Ia tidak menyembunyikan kekagumannya.
"Hebat!" katanya. "Saya sendiri takkan berpikir ke situ."
Nyaris saja Jupiter terbahak. Bibinya takkan memerlukan tongkat pemukul. Jika ada yang berani mencoba masuk ke Jones Salvage Yard dengan niat jahat, mungkin Bibi Mathilda malah akan menggebuk orang itu dengan lemari bekas.
Bibi Mathilda bangkit. "Jika Anda hendak pindah ke rumah Potter hari ini, Anda pasti memerlukan perabotan Anda," katanya. "Potter kemarin datang ke perusahaan kami, dan di sana memilih satu tempat tidur untuk Anda, serta satu lagi untuk putra Anda - di samping beberapa barang lagi. Kami berdua akan mengurusnya nanti. Setengah jam lagi kami akan mendatangi Anda di rumah. Cukupkah waktunya""
"Lebih dari cukup," kata Mrs. Dobson. "Anda baik hati! Tidak enak rasanya, merepotkan Anda."
"Ah, ini kan bukan apa-apa," kata Bibi Mathilda. "Yuk, Jupiter." Ia berjalan ke serambi, menuju jalan raya. Tapi kemudian tertegun seperti teringat pada sesuatu, lalu berpaling ke arah teras. "Selamat siang, Mr. Farrier," serunya.
Ketika sudah separuh jalan, barulah kegelian Jupiter meledak. Ia tertawa keras-keras.
"Aku ingin tahu, pernah atau tidak Farrier mengalami dirinya dianggap sepi seperti tadi," katanya pada bibinya. "Bibi melindasnya, seperti tank raksasa melindas cacing."
"Badut!" bentak Bibi Mathilda. "Soalnya aku tahu pasti, wanita malang itu merasa terganggu olehnya! Laki-laki... - huhh!" Bibi Mathilda mendengus.
Begitu sampai, Bibi Mathilda langsung bergegas masuk ke rumah, membangunkan Paman Titus yang sedang enak-enak tidur. Paman bangun dengan gontai, lalu memanggil Hans dan Konrad. Dalam waktu lima belas menit, truk pengangkut sudah dimuati kedua tempat tidur yang dipilih oleh Potter, ditambah dua kursi dengan sandaran lurus, lalu dua lemari kecil yang diambil sendiri oleh Bibi Mathilda dari gudang tempat penyimpanan perabotan.
"Ia pasti memerlukan sesuatu untuk menaruh barang bawaannya," katanya.
Hans dan Jupiter mengambil belanjaan Potter dari lemari es. Setelah itu keduanya masuk ke kabin truk bersama Bibi Mathilda. Dengan segera kendaraan pengangkut itu sudah bergerak dijalan raya, menuju rumah Potter.
Mobil biru dengan pelat nomor Illinois diparkir dekat gudang tempat Potter menyimpan bahan-bahan keperluannya. Ketika truk yang membawa Bibi Mathilda bersama kedua asistennya membelok dari jalan raya, Tom Dobson sedang berjalan menuju rumah sambil menjinjing dua buah kopor. Sedang Mrs. Dobson berdiri di serambi depan. Rambutnya yang pendek tergerai dipermainkan angin.
"Semuanya beres"" seru Bibi Mathilda dari kabin truk.
"Yah - kalau Anda belum tahu, bubuk yang dipakai petugas sidik jari berwarna kelabu," kata Eloise Dobson. "Dan bubuk itu terserak di mana-mana di dalam rumah. Kurasa itu bisa dibersihkan. Tapi kecuali cawan yang seabrek banyaknya, tidak ada apa-apa lagi di tempat ini. Kosong, seperti lumbung sebelum panen!"
"Potter memang tidak suka membebani diri dengan harta benda," kata Jupiter menjelaskan.
Eloise Dobson memandangnya dengan sikap heran.
"Selalu begitukah caramu berbicara"" tanyanya pada Jupiter.
"Jupiter gemar sekali membaca," kata Bibi Mathilda menerangkan, lalu menghampiri bak belakang truk untuk mengawasi pekerjaan menurunkan perabotan.
Jupiter sibuk dengan bagian kepala tempat tidur. Ia kewalahan, karena benda yang terbuat dari kuningan itu berat. Tapi tiba-tiba dilihatnya dua orang laki-laki berjalan dengan santai, menuruni jalan pribadi Hillt
op House. Ia sudah pernah melihat mereka, ketika keduanya datang ke Jones Salvage Yard sehari sebelum itu. Laki-laki langsing berambut ikal yang menyetir mobil, serta penumpangnya yang bertubuh gempal dan berkepala botak. Kedua orang itu memakai setelan yang rapi, serta sepatu hitam. Mereka memandang sebentar ke arah halaman depan rumah Potter yang sedang penuh dengan kesibukan, lalu menyeberang jalan dan menuruni jalan setapak yang menuju ke pantai.
Tom Dobson menghampiri Jupiter, untuk membantunya.
"Siapakah mereka itu"" tanya Tom. "Tetangga kami""
"Aku juga tidak tahu," jawab Jupiter. "Mereka orang baru."
Tom memegang satu sisi bagian kepala tempat tidur, sementara Jupiter menjunjung sisi yang satu lagi. "Pakaian aneh, untuk berjalan-jalan di pantai," kata Tom.
"Tidak semua orang menyesuaikan pakaiannya dengan apa yang akan dilakukan," kata Jupiter. Ia teringat pada Mr. Farrier yang semarak dandanannya.
Kedua remaja itu terhuyung-huyung masuk ke rumah sambil menggotong bagian kepala tempat tidur yang berat. Mereka membawanya ke tingkat atas. Saat itu Jupiter melihat bahwa kata Eloise Dobson tadi memang benar. Rumah Potter bahkan lebih kosong daripada lumbung-lumbung pada umumnya. Di tingkat atas ada empat kamar tidur, serta sebuah kamar mandi di mana terdapat bak mandi model kuno yang tinggi, dengan penyangga berbentuk kaki binatang. Di dalam salah satu kamar tidur ada sebuah katil yang tidak seberapa lebar dan ditutup rapi dengan seprai putih. Potter juga memiliki sebuah meja kecil yang terletak di samping pembaringan, lalu sebuah lampu, sebuah jam weker, dan sebuah bupet kecil berlaci tiga buah. Bupet itu dicat putih. Hanya itu saja. Ketiga kamar tidur lainnya nampak sangat rapi dan bersih. Tapi kosong melompong!
"Ibu memilih kamar ini, Bu"" tanya Tom, sambil menjengukkan kepala ke dalam kamar yang terletak di sebelah depan.
"Yang mana sajalah," kata Mrs. Dobson.
"Ada perapian di sini," kata Tom. "Dan coba lihat barang luar biasa itu!"
Tom dan Jupe menyandarkan bagian kepala tempat tidur ke dinding, lalu memperhatikan "barang luar biasa" yang menarik perhatian Tom. Benda itu sebuah lempengan dari tembikar selebar satu setengah meter, yang dipasang menempel ke dinding di atas perapian.
"Rajawali berkepala dua!" kata Jupiter.
Tom menelengkan kepala, mengamat-amati burung tembikar berwarna merah menyala, yang kedua paruh runcingnya menganga lebar.
"Teman lamamu"" kata Tom pada Jupiter.
"Mungkin kenalan lama kakekmu," kata Jupiter. "Ia selalu berkalung medalion dengan hiasan rajawali seperti ini. Mestinya ada makna khusus baginya. Kedua guci besar di sisi jenjang di depan rumah juga dihiasi rajawali berkepala dua. Kau melihatnya tadi""
"Aku tadi sibuk," kata Tom. "Kami harus memindahkan sebuah tempat tidur."
Saat itu terdengar langkah Bibi Mathilda yang berat, menaiki tangga.
"Mudah-mudahan persediaan seprai orang itu mencukupi," kata Bibi Mathilda dengan nada prihatin. "Begitu pula alas tempat tidur. Kau melihat kasur-kasur, Jupiter""
"Ada, di kamar belakang," seru Tom. "Masih baru semuanya. Masih dibungkus kertas."
"Syukurlah," kata Bibi Mathilda. Setelah itu ia sibuk membuka pintu demi pintu, sampai akhirnya menemukan lemari tempat penyimpanan seprai dan taplak. Di situ ada seprai yang juga masih baru, lalu alas tempat tidur, serta selimut. Dan juga dua buah bantal, yang masih terbungkus dalam plastik.
Bibi Mathilda membuka salah satu jendela sebelah depan.
"Hans!" serunya memanggil ke bawah.
"Ya, saya datang!" Hans naik ke rumah, sambil menjunjung bagian kaki tempat tidur kuningan. "Pasti repot memasangnya nanti," kata Tom Dobson.
Kenyataannya memang begitu. Hans baru berhasil memasang tempat tidur berat itu, setelah dibantu sekuat tenaga oleh Jupe dan Tom. Setelah itu kasur-kasur diambil dari kamar belakang lalu dipasang di tempatnya, sementara Bibi Mathilda sibuk membentangkan seprai. Tiba-tiba ia berseru dengan kaget.
"Belanjaan masih ada di bak belakang!"
"Belanjaan"" kata Mrs. Dobson. "Kok Anda repot-repot""
"Bukan aku yang berbelanja," kata Bibi Mathilda. "Ayah Anda begitu banyak membeli bekal bahan pangan - r
asanya mencukupi untuk memberi makan sepasukan tentara. Selama ini kutaruh di dalam lemari es, supaya jangan busuk."
Eloise Dobson nampak kaget mendengar keterangan itu.
"Ayah rupanya sudah menyiapkan diri, setelah tahu kami akan datang. Tapi kalau begitu, kenapa ia kemudian minggat" Yah..., kuambil saja belanjaan itu," katanya menyambung dengan cepat, lalu ke bawah. "Tolong dia sebentar, Jupiter," kata Bibi Mathilda.
Jupiter baru sampai di pertengahan tangga ketika Mrs. Dobson masuk kembali sambil menjinjing kantung-kantung kertas.
"Yang jelas, kami takkan kelaparan," kata wanita itu, lalu menuju ke dapur.
Jupiter mengikutinya. Tiba-tiba Mrs. Dobson tertegun. Kedua lengannya terkulai lemas, sehingga kantung-kantung yang dijinjingnya jatuh ke lantai. Eloise Dobson menjerit.
Jupiter mendorongnya ke samping, sementara pandangannya terarah ke dapur. Ada sesuatu yang luar biasa di situ, dekat pintu sepen. Tiga kobaran api berwarna hijau!
"Ada apa"" Bibi Mathilda bergegas menuruni tangga, seiring dengan Tom. Hans menyusul di belakang keduanya.
Jupe dan Mrs. Dobson masih tegak seperti terpaku di tempat masing-masing, sambil menatap nyalang ke arah ketiga lidah api aneh yang berwarna hijau menyeramkan.
Bibi Mathilda mengucap-ucap.
Nyala api berkelip-kelip lalu padam, tanpa sedikit pun meninggalkan bekas asap. "Apa-apaan itu"" kata Tom Dobson.
Jupiter masuk ke dapur, diikuti oleh Hans dan Tom. Hampir semenit lamanya mereka terpaku memandang lantai linoleum - ke tempat nyala api yang menari-nari tadi. Kemudian Hans berkata, "Itu Potter! Ia kembali! Ia kembali untuk menghantui rumah ini!"
"Tidak mungkin!" kata Jupiter Jones. Tapi ia tidak bisa membantah kenyataan yang ada. Di lantai linoleum nampak bekas nyala api - berbentuk tiga tapak kaki. Tapak kaki telanjang!
Bab 6 TUGAS UNTUK TRIO DETEKTIF
HANS cepat-cepat disuruh ke telepon umum di pinggir jalan raya untuk memanggil polisi. Dan sepuluh menit kemudian polisi sudah datang. Seluruh rumah diperiksa, dari ruang loteng sampai ke ruang bawah tanah. Tapi tidak ada sesuatu pun yang ditemukan - kecuali ketiga jejak kaki yang hangus di lantai dapur.
Officer Haines mengendus bau jejak-jejak itu. Ia juga melakukan pengukuran. Dicongkelnya sedikit linoleum yang hangus terbakar, lalu dimasukkannya ke dalam sebuah sampul. Petugas polisi itu menatap Jupiter dengan pandangan dingin.
"Jika ada sesuatu tentang urusan ini yang kauketahui, tapi tidak kaukatakan pada kami -" katanya dengan sikap curiga. Tapi Bibi Mathilda langsung memotong.
"Omong kosong!" tukasnya. "Mana mungkin Jupiter bisa mengetahui sesuatu yang tidak kami ketahui" Sepanjang hari ia ada bersamaku, dan tadi ia baru saja turun untuk membantu. Mrs. Dobson memasukkan belanjaan, ketika tahu-tahu muncul anu - eh, jejak-jejak itu."
"Oke, oke," kata petugas polisi itu. "Cuma ia selalu saja kebetulan hadir, jika ada suatu kejadian, Mrs. Jones."
Haines memasukkan sampul berisi cukilan linoleum hangus ke dalam kantungnya.
"Jika saya ini Anda, Mrs. Dobson," katanya, "saya akan keluar dari sini, dan kembali ke hotel."
Eloise Dobson duduk terhenyak, lalu menangis. Sedang Bibi Mathilda menggeratak dengan geram. Diisinya sebuah cerek dengan air, untuk membuat teh panas. Ia yakin, tidak banyak kesulitan dalam hidup ini yang tidak bisa diperingan dengan secangkir teh panas.
Polisi kembali ke markas besar mereka. Tom dan Jupiter pergi ke halaman depan yang luas, lalu duduk di jenjang tangga, di antara kedua guci besar.
"Aku cenderung berpendapat bahwa kata Hans tadi benar," kata Tom. "Bisa saja kakekku sudah meninggal dunia, lalu..."
"Aku tidak percaya pada hantu," kata Jupiter tegas. "Bukan itu saja - aku pun tidak percaya bahwa kau percaya hantu itu ada. Lagi pula, Potter kan sudah begitu repot bersiap-siap menyambut kedatangan kalian. Untuk apa ia kini kembali dan menakut-nakuti ibumu dengan cara seperti tadi""
"Aku juga takut," kata Tom terus terang. "Jika kakekku masih hidup, di mana ia sekarang""
"Paling akhir kita ketahui, ia ada di bukit," kata Jupiter.
"Tapi kenapa"" tanya Tom.
"Alasannya tergantung dari banyak hal," kata Jupiter. "B
erapa banyak sebenarnya yang kauketahui tentang kakekmu""
"Tidak banyak," kata Tom dengan jujur. "Cuma yang kudengar dari ibuku saja. Sedang ia sendiri juga tidak banyak tahu tentang Kakek. Salah satu di antaranya ialah bahwa dulu namanya bukan Potter."
"Ah!" kata Jupiter. "Aku pun sudah sering bertanya-tanya dalam hati tentang itu, karena rasanya terlalu kebetulan - pembuat tembikar bernama Potter."
"Kakek sebenarnya berasal dari Ukraina, di sebelah timur Eropa. Tapi ia sudah lama pindah ke Amerika Serikat," kata Tom. "Datangnya kemari kalau tidak salah tahun 1931. Nama sebenarnya banyak huruf 'c' dan 'z', sehingga orang sini tidak mampu menyebutnya. Ia bertemu dengan nenekku ketika ia sedang mengikuti kursus kerajinan tembikar di sebuah sekolah malam di New York. Nenekku tidak ingin menjadi Mrs.... Mrs.... ah entah siapa nama sebenarnya, dan karena itu Kakek lantas mengganti namanya dengan Potter."
"Nenekmu orang New York"" tanya Jupiter.
"Kalau aslinya, bukan," kata Tom. "Ia dilahirkan di Belleview, seperti kami juga. Ia pergi ke New York, dengan maksud hendak menjadi perancang busana - atau semacam itulah! Kemudian Nenek berjumpa dengan pria bernama Alexander Anu itu lalu menikah dengannya. Kurasa waktu itu Kakek belum punya kebiasaan mengenakan jubah panjang berwarna putih. Nenek pasti tidak suka. Pandangannya kuno!"
"Kau masih ingat padanya""
"Sedikit-sedikit. Nenek sudah lama meninggal dunia, sewaktu aku masih kecil. Sakit radang paru-paru. Dari pembicaraan yang kudengar dalam keluarga kami, sejak awal Nenek sudah tidak bisa cocok dengan kakekku. Kakek benar-benar hebat selaku pengrajin tembikar. Ia waktu itu memiliki toko kecil. Tapi Nenek mengatakan, suaminya sangat penggugup, dan setiap pintu dilengkapi dengan kunci sampai rangkap tiga. Nenek juga mengatakan, ia tidak tahan mencium bau tanah liat yang lembab. Jadi ketika hendak melahirkan ibuku, Nenek kembali ke Belleview, dan sejak itu tetap tinggal di sana."
"Ia tidak pernah kembali ke suaminya""
"Tidak. Kalau tidak salah, Kakek pernah satu kali datang menjenguk ketika ibuku masih sangat kecil. Tapi Nenek dan Kakek tidak pernah berkumpul kembali."
Jupiter menarik-narik bibirnya. Terbayang olehnya betapa sepinya kehidupan Potter, tinggal seorang diri di rumahnya, di tepi laut.
"Tapi Kakek tidak pernah melupakan Nenek," kata Tom. "Setiap bulan ia mengiriminya uang - untuk ibuku! Dan ketika kemudian orang tuaku menikah, Kakek menghadiahi mereka perlengkapan yang hebat untuk minum teh. Ia juga selalu menulis surat. Bahkan ketika nenekku sudah meninggal dunia pun ia masih suka menulis - pada ibuku. Sampai akhir-akhir ini."
"Bagaimana dengan ayahmu"" tanya Jupiter.
"Wah - ayahku hebat," kata Tom. Terdengar jelas bahwa ia sangat menyukai ayahnya. "Ia memiliki sebuah toko besi di Belleview. Ia tidak begitu gembira ketika Ibu memutuskan untuk datang menjenguk Kakek kemari - tapi akhirnya Ibu berhasil memaksakan kemauannya."
"Kau tahu tidak, apa sebabnya kakekmu kemudian pindah ke California sini"" tanya Jupiter.
"Kurasa karena cuacanya," kata Tom. "Bukankah kebanyakan orang pindah kemari karena alasan itu""
"Masih ada alasan lainnya," kata Jupiter. Matanya tertatap ke arah jalan setapak yang menuju pantai. Kedua laki-laki yang bersetelan gelap nampak mendaki dengan susah payah di sana, kemudian menyeberang, lalu memasuki jalan pribadi Hilltop House.
Jupiter berdiri. Ia bersandar ke guci besar yang ada di dekatnya. Ditelusurinya bentuk kawanan rajawali merah menyala di situ dengan jarinya.
"Kita menghadapi serangkaian teka-teki menarik," katanya. "Pertama, apa sebabnya Potter tahu-tahu menghilang" Lalu kedua, siapa yang mengacak-acak kantornya kemarin" Selanjutnya, siapa, atau apa, yang menimbulkan tapak kaki berapi di dapur tadi" Dan untuk apa" Lalu tidakkah aneh, bahwa selama ini tak seorang pun di Rocky Beach ini yang tahu bahwa kalian ada""
"Itu kan tidak aneh, jika Kakek hidup seperti pertapa," balas Tom. "Maksudku, orang yang cuma punya sebuah kursi saja di rumahnya, bisa dibilang tidak suka bergaul."
"Pertapa atau tidak, tapi ia kan tetap seorang kakek," kata Ju
piter Jones. "Beberapa orang kenalan Bibi Mathilda juga punya cucu, dan mereka gemar sekali memperlihatkan foto-foto cucu mereka. Sedang Potter tidak pernah sekali pun melakukannya. Ia bahkan tidak pernah menyebut-nyebut tentang dirimu atau ibumu, pada siapa pun juga."
Tom Dobson memeluk lututnya.
"Aku rasanya seperti tidak kelihatan karenanya," kata remaja itu. "Kejadian ini seperti mimpi buruk! Kurasa lebih baik kami cepat-cepat pulang ke Belleview. Cuma -"
"- jika itu kalian lakukan, kau takkan pernah mengetahui jawaban segala teka-teki ini. Ya, kan"" kata Jupiter menyambung. "Kusarankan agar kalian sebaiknya menghubungi perusahaan detektif swasta."
"Mana mungkin!" kata Tom dengan kaget. "Kami memang bukan orang miskin, tapi dibilang kaya juga tidak. Untuk menyewa tenaga detektif swasta, kan memerlukan uang cukup banyak!"
"Kalau perusahaan yang ini, pasti akan kaunilai pantas," kata Jupiter. Ia merogoh kantungnya, lalu mengeluarkan selembar kartu nama yang langsung disodorkannya pada Tom. Ukuran kartu itu agak besar, dan di situ tertulis:
TRIO DETEKTIF "Kami Menyelidiki Apa Saja" " " "
Penyelidik Satu - Jupiter Jones Penyelidik Dua - Pete Crenshaw Catatan dan Riset - Bob Andrews
Tom membacanya, lalu tersenyum hambar. "Kau bercanda," katanya.
"Tidak - aku serius," kata Jupiter pada remaja itu. "Hasil kegiatan kami selama ini sangat mengesankan." "Tapi kenapa di sini ada tiga tanda tanya"" tanya Tom.
"Sudah kusangka kau akan menanyakannya," kata Jupiter. "Tanda tanya kan simbol yang umum, untuk sesuatu yang tidak diketahui. Ketiga tanda tanya itu merupakan semacam lambang Trio Detektif, yang berarti kami selalu siap untuk menyelidiki setiap misteri yang diajukan pada kami."
Tom Dobson melipat kartu nama itu, lalu mengantunginya.
"Baiklah," katanya. "Lalu bagaimana jika kasus lenyapnya kakekku ditangani oleh Trio Detektif"" "Pertama-tama, kusarankan bahwa sebaiknya itu merupakan urusan sesama kita saja. Ibumu saat ini pun sudah agak kacau pikirannya. Jadi bisa saja ia nanti secara tidak sengaja mengacaukan hal-hal yang sudah kita atur." Tom mengangguk.
"Orang dewasa, kadang-kadang memang malah suka menambah kerepotan," katanya.
"Selanjutnya, aku beranggapan bahwa pendapat Officer Haines tadi benar. Kuanggap tidak bijaksana jika kau dan ibumu tetap tinggal di rumah ini, berdua saja."
"Maksudmu, kau menghendaki agar kami kembali ke Seabreeze Inn""
"Itu tentu saja tergantung dari ibumu," kata Jupiter. "Tapi jika kalian tetap di sini, mungkin kalian akan lebih merasa tentram jika salah seorang penyelidik ikut tinggal di sini bersama kalian."
"Aku tidak tahu pendapat Ibu," kata Tom, "tapi aku sudah jelas akan jauh lebih senang." "Jadi urusan itu beres," kata Jupiter. "Nanti akan kubicarakan dengan Bob dan Pete." Saat itu Bibi Mathilda muncul bergegas-gegas.
"Jupiter!" katanya. "Kami sudah selesai memasang tempat tidur yang satu lagi. Tidak ada salahnya jika kau agak lebih rajin membantu!"
Trio Detektif 15 Misteri Jejak Bernyala di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Siasat Dewi Kasmaran 1 Jago Pedang Tak Bernama Bu Beng Kiam Hiap Karya Kho Ping Hoo Legenda Kelelawar 4
THE MYSTERY OF THE FLAMING FOOTPRINTS
by Alfred Hitchcock Text by M.V. Carey
TRIO DETEKTIF MISTERI JEJAK BERNYALA
Alihbahasa: Agus Setiadi Penerbit: PT. Gramedia, Agustus 1985
PESAN ALFRED HITCHCOCK AGAK kikuk juga, memperkenalkan orang yang sudah dikenal. Jadi pembaca yang sudah tahu siapa Trio Detektif, tidak perlu lagi membaca pendahuluan ini. Terus saja mulai dengan Bab 1, saat petualangan dimulai.
Tapi bagi yang baru sekarang akan berjumpa dengan Jupiter Jones, Pete Crenshaw, dan Bob Andrews, tidak ada jeleknya jika pada kesempatan ini kupaparkan sedikit penjelasan tentang ketiga remaja yang luar biasa itu.
Pembicaraan tentang Trio Detektif selalu dimulai dengan Jupiter Jones. Ia ini remaja yang bertubuh - yah, katakanlah, montok! Tapi jangan diremehkan, karena otaknya sangat cerdas: Ia tidak segan-segan mengatakan bahwa ialah pemimpin tiga sekawan itu. Ialah penyelidik pertama Trio Detektif - dan menurut pendapat sementara orang, ia pulalah 'perusuh nomor wahid' di antara mereka bertiga. Dalam kegiatannya, Jupiter - atau Jupe, untuk teman-teman dekatnya - dibantu oleh Pete Crenshaw. Remaja ini bertubuh kekar, tapi ia selalu berusaha menghindar dari segala jenis bahaya - kalau bisa! Tapi keinginannya ini sering terpaksa ditekan, jika ada kasus yang ingin diselidiki oleh Jupiter. Anggota Trio Detektif yang ketiga bernama Bob Andrews. Anaknya tenang, dan lebih cenderung menggemari ilmu pengetahuan. Dalam waktu senggangnya ia bekerja di perpustakaan kota Rocky Beach. Pekerjaannya itu menyebabkan Trio Detektif bisa dengan cepat memperoleh informasi yang bisa diandalkan, tentang soal apa saja.
Ketiga remaja ini tinggal di Rocky Beach, sebuah kota kecil di pesisir Samudra Pasifik. Letaknya tidak begitu jauh dari Hollywood, kota pusat perfilman di negara bagian California, di wilayah barat Amerika Serikat. Bob Andrews dan Pete Crenshaw tinggal di rumah orang tua masing-masing. Tapi Jupiter Jones sudah kehilangan orang tuanya ketika ia masih kecil sekali. Karenanya ia kini tinggal bersama paman dan bibinya, Paman Titus dan Bibi Mathilda. Mereka menjadi pengganti orang tuanya. Jupiter membantu mereka mengelola usaha perjualbelian barang bekas yang paling rapi pengaturannya di kawasan itu, yaitu The Jones Salvage Yard.
Tapi kadang-kadang Jupiter agak melalaikan tugas-tugasnya di perusahaan itu, jika ada urusan lain yang lebih mengasyikkan dan dianggapnya perlu ditangani - misalnya saja urusan yang menyangkut orang yang menyendiri dan dikenal dengan julukan "Potter"; begitu pula beberapa orang yang kebingungan, yang semula ingin menikmati liburan musim panas yang menyenangkan di Rocky Beach, tapi kemudian menyadari bahwa mereka menempati sebuah rumah berhantu. Hantu yang gentayangan tanpa sepatu!
Atau jangan-jangan ada lagi makhluk yang lebih menyeramkan, yang menghantui tempat itu"
Satu sudah dapat kukatakan di sini: apa pun misteri yang dihadapi, Jupiter Jones beserta kedua sahabatnya pasti akan mampu menanganinya sampai tuntas.
Nah - rasanya cukup sekian saja pendahuluan ini, dan sekarang nikmatilah kisah petualangan mereka bertiga!
ALFRED HITCHCOCK Bab 1 DATANG - DAN MENGHILANG JUPITER mendengar bunyi truk membelok dari jalan raya. Tidak mungkin keliru - yang datang pasti Potter. Saat itu Jupe sedang meratakan kerikil putih yang terhampar dijalan masuk Jones Salvage Yard dengan penggaruk. Ia berhenti bekerja, lalu memasang telinga. "Ia menuju kemari," katanya kemudian.
Bibi Mathilda ada di dekatnya. Wanita setengah umur itu sedang menyirami tumbuhan geranium yang ditanamnya di sepanjang tepi jalan masuk itu. Bibi Mathilda memutar sendi penyemprot pada pipa yang dipegangnya, sehingga air berhenti mengalir. Ia memandang ke arah ruas jalan pendek yang menghubungkan tempat itu dengan jalan raya.
"Mau apa ia kemari"" ucapnya dengan nada heran.
Truk tua yang datang bergerak dengan susah payah, menyusuri jalan penghubung antara jalan raya dengan tempat perdagangan barang-barang bekas milik paman dan bibi Jupiter. Padahal jalan itu hanya sedikit saja menanjak. "Takkan mungkin bisa," kata Bibi Mathilda.
Jupiter meringis. Orang yang di kota Rocky Beach hanya dikenal dengan julukan Potter - 'Pembuat Tembikar' sudah biasa menyebabkan timbulnya kegelisahan pada diri bibinya itu. Setiap Sabtu pagi, Potter selalu datang ke kota dengan truknya yang sudah tua dan reyot, untuk membeli bekal yang diperlukannya selama seminggu. Bibi Mathilda sering sedang berada di pasar kota, saat truk itu memasuki tempat parkir di situ, diiringi bunyi mesin yang terbatuk-batuk. Melihat hal itu Bibi Mathilda selalu merasa yakin bahwa kendaraan bobrok yang dikemudikan Potter pasti nanti takkan mampu mendaki jalan menanjak, kembali ke jalan raya. Tapi Bibi Mathilda selalu salah tebak.
Sabtu ini pun begitu. Truk reyot itu sampai di ujung jalan yang agak menanjak itu dengan uap mengepul-ngepul dari radiatornya. Potter melambai, sambil membelokkan kendaraannya di tikungan, memasuki perusahaan barang-barang bekas itu. Jupiter bergegas meloncat ke pinggir, sementara truk lewat di dekatnya, lalu berhenti dengan bunyi mendesah, seperti kehabisan tenaga, tidak jauh dari gerbang masuk.
"Halo, Jupiter!" seru orang itu. "Apa kabar" Dan Anda, Mrs. Jones - Anda nampak begitu berseri, pagi hari bulan Juni ini!"
Potter turun dengan lincah dari kabin truknya. Jubahnya yang putih mulus melambai-lambai di sekeliling tubuhnya.
Bibi Mathilda agak bimbang mengenai pendapatnya tentang orang itu. Memang - Potter merupakan salah seorang pengrajin yang paling trampil, di kawasan pesisir barat. Orang-orang dari tempat-tempat jauh, seperti San Diego di selatan, dan Santa Barbara di utara, mendatangi Potter untuk membeli pot kendi, guci, dan jambangan bunga buatannya, yang indah-indah. Bibi Mathilda mengagumi ketrampilan membuat benda-benda kerajinan tangan yang indah. Tapi ia juga berkeyakinan bahwa semua manusia yang tergolong jenis lelaki harus memakai celana panjang.
Dan jubah yang dipakai oleh Potter, mengusik perasaan Bibi Mathilda mengenai kepatutan. Demikian pula halnya dengan rambut putih orang itu, yang dibiarkan tumbuh panjang, serta jenggotnya yang selalu tersisir rapi. Belum lagi medalion dari keramik, yang digantungkan dengan tali kulit ke lehernya. Medalion itu dihiasi gambar rajawali berwarna merah menyala, dengan kepala kembar. Menurut Bibi Mathilda, rajawali seharusnya cukup jika satu saja kepalanya. Rajawali berkepala dua merupakan suatu keanehan selera Potter lagi.
Kini Bibi Mathilda memandang ke arah kaki orang itu, dengan tatapan mata tidak senang. Seperti biasanya, Potter tidak memakai sepatu.
"Awas - nanti menginjak paku!" kata Bibi Mathilda memperingatkan.
Potter tertawa. "Aku tidak pernah menginjak paku, Mrs. Jones," katanya. "Anda kan juga tahu, itu tak pernah terjadi! Tapi hari ini aku memerlukan bantuan kalian. Aku sedang menunggu -"
Ia tertegun. Matanya menatap ke arah pondok, yang merupakan kantor Jones Salvage Yard. "Apa itu"" tanyanya.
"Eh-Anda baru sekarang ini melihatnya"" seru Bibi Mathilda. "Padahal sudah tidak baru lagi - sudah berbulan-bulan." Ia mengambil sebuah papan yang dipasang dalam bingkai dari dinding kantor, lalu menyodorkannya pada Potter. Pada papan di balik kaca itu tertempel sejumlah gambar foto berwarna, dengan teks di bawahnya. Gambar-gambar itu digunting dari majalah. Satu di antaranya menampakkan bagian depan Jones Salvage Yard. Dalam foto itu nampak Paman Titus yang sedang berpose dengan sikap gagah, di depan pagar kayu yang mengelilingi perusahaannya. Pagar kayu itu dihiasi dengan gambar sebuah kapal layar yang sedang mengarungi laut hijau yang berombak besar. Gambar itu dibuat oleh sejumlah seniman dari Rocky Beach. Dalam foto itu nampak jelas seekor ikan aneh yang menyembulkan kepala di tengah ombak, memandang ke arah kapal.
Di bawah gambar foto perusahaan barang bekas milik Paman Titus, terpasang foto Mr. Dingler, pengrajin perak yang bekerja di sanggarnya yang kecil di Rocky Beach. Foto lainnya menampakkan Hans Jorgenson, seorang pelukis. Ia difoto saat sedang membuat pemandangan laut. Lalu ada pula foto Potter. Foto orang tua itu dibuat dari jarak dekat, saat ia sedang melangkah keluar dari pasar. Jenggotnya nampak berkilat kena sinar m
atahari. Medalionnya, dengan hiasan rajawali berkepala dua, nampak jelas sekali dengan latar belakang jubahnya yang putih. Potter sedang membawa belanjaan, yang ditaruh di dalam sebuah kantung kertas. Teks di bawah foto itu menyatakan bahwa penduduk Rocky Beach merasa biasa saja, jika teman sekota mereka dari golongan seniman cenderung untuk berbusana lain dari yang lain.
"Masa Anda tidak mengenal foto-foto ini," kata Bibi Mathilda lagi. "Ini kan dari majalah Westways, yang beberapa waktu yang lalu memuat laporan dengan foto-foto, mengenai seniman-seniman yang tinggal di kota-kota pantai!"
"Aku tidak tahu apa-apa tentang itu," kata Potter. Keningnya berkerut. "Aku cuma ingat, dulu pernah ada seorang pria muda datang, membawa kamera foto. Aku tidak begitu memperhatikan dirinya. Soalnya, begitu banyak wisatawan yang datang, dan semua rasanya seperti membawa-bawa kamera. Asal saja..."
"Asal apa, Mr. Potter"" tanya Bibi Mathilda.
"Ah - tidak apa-apa," kata Potter. "Sudah terlanjur sekarang." Ia berpaling, lalu memegang bahu Jupiter. "Aku ingin melihat-lihat daganganmu, Jupiter," katanya. "Aku akan kedatangan tamu - dan aku khawatir mereka akan menganggap rumahku agak... yah, katakanlah agak kosong."
"Anda akan kedatangan tamu"" kata Bibi Mathilda, mengulangi ucapan orang itu. "Wah, wah!"
Walau Potter selalu riang dan ramah-tamah, tapi sepengetahuan orang-orang yang mengenalnya di Rocky Beach, ia tidak punya teman dekat. Jupiter bisa menduga, bibinya pasti bertanya-tanya dalam hati, siapakah tamu laki-laki tua itu, yang akan datang berkunjung. Tapi Bibi Mathilda tidak menanyakannya. Ia menyuruh Jupiter untuk mengantar Potter melihat-lihat.
"Pamanmu paling cepat baru sejam lagi kembali dari Los Angeles," katanya, lalu bergegas pergi untuk menutup keran air yang dari tadi masih terbuka.
Jupiter sama sekali tidak berkeberatan, mengantar Potter melihat-lihat. Bibi Mathilda boleh saja merasa sangsi mengenai sikapnya terhadap laki-laki tua itu, tapi Jupe jelas suka padanya. Jupiter memang berwatak toleran. Menurut pendapatnya, apa salahnya jika Potter suka bertelanjang kaki serta memakai jubah putih. Itu kan urusannya sendiri!
"Pertama-tama, aku memerlukan dua buah tempat tidur," kata Potter.
"Yes, Sir," kata Jupiter.
Jones Salvage Yard merupakan perusahaan barang-barang bekas yang sangat rapi pengaturannya. Mengingat peranan Bibi Mathilda di situ, sukar rasanya membayangkan keadaan yang lain dari rapi. Jupe mengajak Potter ke gudang tempat menaruh perabotan bekas, supaya jangan terserang kelembaban yang datang dari arah laut. Di situ ada sejumlah meja tulis, meja biasa, kursi, dan tempat tidur. Di antaranya ada yang sudah rusak atau bahkan patah. Maklumlah, barang bekas yang sudah bertahun-tahun dipakai dengan segala macam cara. Tapi ada juga yang sudah dipelitur atau dicat lagi oleh Jupe, atau oleh Paman Titus, begitu pula oleh Hans dan Konrad. Mereka berdua ini pemuda asal Jerman, yang bekerja sebagai pembantu di perusahaan itu.
Potter melihat-lihat kumpulan tempat tidur yang ditaruh bertumpuk-tumpuk dekat dinding gudang. Ia bercerita pada Jupe bahwa ia sudah membeli kasur. Tapi ia merasa bahwa kasur saja memberikan kesan pembaringan darurat, kalau tidak dilengkapi dengan tempat tidur yang kokoh.
Jupiter tidak mampu lagi menahan rasa ingin tahunya.
"Tamu Anda itu akan lama tinggal di tempat Anda, Mr. Potter"" tanyanya.
"Belum tahu, Jupiter," jawab laki-laki tua itu. "Kita lihat saja nanti! Nah - sekarang bagaimana pendapatmu, kalau aku memilih tempat tidur dari kuningan itu - yang di bagian kepalanya dihiasi dengan ukir-ukiran"" "Kuno sekali kelihatannya," jawab Jupiter agak sangsi.
"Pendapatku juga begitu," kata Potter. "Tapi siapa tahu - mungkin tamuku itu ternyata menyukai gaya yang begitu." Diangkatnya bagian kepala tempat tidur itu, lalu diguncang-guncangnya sebentar. "Berat dan kokoh," katanya mengomentari. "Barang seperti ini, sekarang tidak dibuat lagi. Berapa""
Jupiter merasa heran. Tempat tidur itu berasal dari sebuah rumah tua, di daerah pegunungan yang mengelilingi Hollywood. Paman Titus baru saja membelinya satu min
ggu sebelumnya. Dan ia tidak tahu, berapa harga yang akan diminta pamannya.
"Biarlah," kata Potter, ketika melihat Jupiter ragu-ragu, "aku tidak perlu sekarang ini juga mengetahui harganya. Tapi tolong sisihkan dulu - nanti akan kutanyakan pada pamanmu, jika ia sudah kembali." Laki-laki tua itu memandang berkeliling.
"Aku masih memerlukan satu tempat tidur lagi," katanya pada Jupe. "Untuk anak laki-laki, yang umurnya sebaya denganmu. Jika kau hendak membeli tempat tidur, kau pilih yang mana, Jupiter""
Kini Jupiter tidak menampakkan kesangsian lagi. Dengan segera ditariknya sebuah tempat tidur dari kayu yang dicat putih, dengan rak buku di bagian kepala.
"Jika anak itu gemar membaca, rasanya ini paling cocok untuknya," katanya pada Potter. "Kayunya memang bukan dari jenis yang terbaik - tapi sudah dicat oleh Hans, setelah diamplas dulu sebelumnya. Menurutku, sekarang kelihatannya malah lebih bagus, dibandingkan dengan keadaannya sewaktu masih baru."
"Bagus! Kurasa ini memang cocok!" kata Potter dengan gembira. "Dan jika anak itu tidak suka membaca sambil berbaring-baring, ia bisa saja menaruh koleksinya di rak ini."
"Koleksi"" tanya Jupiter ingin tahu.
"Ya, koleksi! Ia pasti mempunyai koleksi," balas Potter. "Anak laki-laki kan biasanya mempunyai koleksi" Kumpulan apa saja - kulit kerang, atau perangko, atau batu-batuan, atau tutup botol! Pokoknya, koleksi!"
Jupiter hampir saja hendak mengatakan bahwa ia tidak mengumpulkan apa-apa. Tapi ia lantas teringat pada markas, karavan usang yang disembunyikan letaknya di bawah tumpukan barang bekas, di bagian belakang Jones Salvage Yard. Jupiter sadar bahwa ia pun sebenarnya juga memiliki koleksi, yaitu kumpulan catatan tentang segala kasus yang berhasil diselidiki oleh Trio Detektif. Semua catatan itu disimpan di dalam karavan itu, teratur rapi dalam berbagai map.
"Memang, Mr. Potter - kurasa anak laki-laki semuanya memang mempunyai koleksi," katanya. "Masih ada lagi yang Anda perlukan pagi ini""
Potter nampaknya tidak tahu pasti apa lagi yang masih diperlukannya, setelah urusan tempat tidur beres.
"Perabotan di rumahku tidak banyak," katanya terus terang. "Kurasa ada baiknya, jika aku menambahnya dengan dua kursi lagi."
"Kursi di rumah Anda sekarang ada berapa, Mr. Potter"" tanya Jupiter dengan sopan.
"Satu," kata laki-laki tua itu. "Selama ini aku cuma memerlukan satu kursi saja. Aku tidak mau hidupku direpotkan dengan barang-barang yang tidak kuperlukan."
Tanpa mengatakan apa-apa, Jupiter menghampiri tumpukan kursi yang terdapat di sisi kanan gudang, lalu memilih dua di antaranya, yang bersandaran lurus. Diletakkannya kedua kursi itu di hadapan pembelinya.
"Bagaimana dengan meja"" katanya menawarkan. Potter menggeleng.
"Kalau meja, aku sudah punya," katanya. "Tapi itu, Jupiter - barang yang namanya televisi - kudengar benda itu sangat disenangi orang. Mungkin kedua tamuku suka menonton televisi! Kalau di sini ada -"
"Tidak, Mr. Potter," Jupiter memotong dengan segera. "Pesawat televisi yang sampai di sini, biasanya cuma bisa kami ambil beberapa suku cadangnya saja. Jika ingin punya pesawat televisi, kenapa tidak beli saja yang baru""
Potter nampak bimbang. "Pesawat baru ada jaminannya," kata Jupiter menjelaskan. "Jika rusak, bisa dikembalikan ke toko, untuk dibetulkan."
"Begitu ya! Yah - kau pasti benar, Jupiter. Tapi untuk sementara sudah cukuplah sepasang tempat tidur serta kedua kursi ini. Setelah itu -"
Potter tidak melanjutkan kalimatnya, karena saat itu terdengar bunyi tuter mobil yang nyaring berulang-ulang di luar, di pekarangan.
Jupiter melangkah ke pintu gudang tempat penimbunan perabot rumah tangga itu, diikuti Potter. Mereka melihat sebuah mobil Cadillac hitam berkilat. Mobil itu berhenti dijalan masuk, dekat sekali di belakang truk tua milik Potter. Tutter mobil besar itu dibunyikan lagi. Pengemudinya turun, memandang berkeliling dengan sikap tidak sabar, lalu menuju ke kantor Jones Salvage Yard.
Jupiter bergegas menyongsong orang itu.
"Bisakah saya membantu"" serunya.
Laki-laki yang baru datang itu berhenti. Ditunggunya sampai Jupiter dan Potter sudah berada di d
ekatnya. Jupiter menaksir penampilan orang itu. Air mukanya tidak menampakkan gerak perasaan, katanya dalam hati. Wataknya pasti sangat tertutup! Orang yang baru datang itu jangkung, langsing, dan belum begitu tua, walau rambutnya yang berwarna gelap dan ikal, sudah menampakkan uban di sana-sini.
"Anda memerlukan sesuatu, barangkali"" tanya Jupiter.
"Aku mencari Hilltop House," kata orang itu. "Aku tadi rupanya salah membelok, ketika keluar dari jalan raya." Ia berbicara dengan bahasa Inggris yang rapi, menunjukkan bahwa ia orang Eropa yang terpelajar.
"Rumah itu sekitar satu mil di sebelah utara dari sini," kata Jupiter. "Anda kembali dulu ke jalan raya, dan di situ membelok ke kanan. Lalu terus saja, sampai terlihat rumah Potter. Terus sedikit lagi, lalu akan terlihat jalan yang menuju ke Hilltop House. Tidak mungkin terlewat, karena di situ ada pintu pagar kayu yang digembok."
Orang itu menganggukkan kepalanya sedikit sebagai ganti ucapan terima kasih, lalu kembali ke mobilnya. Saat itu barulah Jupiter menyadari bahwa di dalam mobil itu masih ada seseorang lagi. Orang itu bertubuh agak gempal. Ia duduk tanpa bergerak sedikit pun, di bangku belakang. Kini ia menyentuh bahu orang yang mengemudi, lalu mengatakan sesuatu dalam bahasa asing. Jupiter tidak mengenal bahasa itu. Orang yang duduk di belakang itu tidak bisa diduga umurnya. Tidak tua, tidak muda - setengah umur juga tidak! Ia menampakkan kesan seperti tak berumur. Setelah sesaat barulah Jupiter menyadari penyebabnya. Kepala orang itu sama sekali tak berambut. Botak, sampai alisnya - itu kalau ia pernah punya alis. Sedang kulitnya cokelat mengkilat, mirip kulit yang disamak halus.
Orang yang seperti tak berumur itu memandang sekilas ke arah Jupiter. Setelah itu diarahkannya tatapan matanya yang agak sipit pada Potter, yang selama itu berdiri tanpa berkata apa-apa di samping Jupiter. Potter mendesis pelan. Jupiter menoleh dengan cepat ke arahnya. Dilihatnya laki-laki tua itu menelengkan kepalanya agak ke samping, seperti sedang mendengarkan dengan seksama. Tangan kanannya bergerak ke atas, lalu memegang medalion yang tergantung pada tali kulit yang melilit lehernya.
Laki-laki tak beralis yang duduk di dalam mobil menyandarkan tubuhnya ke belakang, sementara kendaraan itu bergerak mundur, keluar dari jalan masuk. Di seberang jalan yang melintas di depan perusahaan, Bibi Mathilda keluar dari rumahnya. Ia sempat melihat mobil Cadillac yang besar itu lewat melaju ke arah jalan raya lagi.
Potter menjamah lengan Jupiter.
"Nak," katanya, "tolong mintakan air minum pada bibimu, ya" Aku tahu-tahu merasa pusing." Laki-laki tua itu terhenyak, duduk di atas tumpukan kayu. Ia memang nampak seperti sakit. "Akan segera kuambilkan, Mr. Potter," kata Jupiter, lalu bergegas ke seberang jalan. "Siapa orang-orang itu tadi"" tanya Bibi Mathilda, ketika Jupiter sudah ada di dekatnya.
"Mereka mencari Hilltop House," kata Jupiter. Ia pergi ke dapur. Diambilnya botol berisi air yang selalu disediakan oleh bibinya dalam lemari es, lalu dituangkannya ke dalam gelas.
"Aneh," kata Bibi Mathilda, yang mengikutinya masuk ke dapur. "Hilltop House itu kan sudah sejak bertahun-tahun kosong, tidak ada penghuninya lagi."
"Ya, aku tahu," kata Jupiter. Ia bergegas keluar, membawa gelas berisi air. Tapi ketika tiba di pekarangan tempat penimbunan barang bekas, dilihatnya Potter tidak ada lagi di situ.
Bab 2 PENGGELEDAHAN TRUK bobrok milik Potter masih ada di jalan masuk, ketika Paman Titus kembali dari Los Angeles bersama pembantunya, Hans, membawa kursi-kursi dan meja kebun yang sudah berkarat. Dengan susah payah Paman Titus mengemudikan truknya melewati kendaraan Potter yang menghalangi. Kemarahannya meledak.
"Kenapa barang bobrok ini ada di tengah jalan"" tukasnya.
"Potter tahu-tahu menghilang, tanpa membawa kendaraannya," jawab Jupiter menjelaskan. "Dia kenapa""
"Menghilang," kata Jupe mengulangi.
Paman Titus duduk di undak-undakan truknya.
"Tidak mungkin orang menghilang begitu saja, Jupiter," katanya.
"Tapi itulah yang terjadi dengan Potter," kata Jupiter. "Ia tadi kemari, membeli beberapa pera
bot untuk tamunya. Kemudian ia mengatakan, kepalanya pusing. Aku lantas masuk ke rumah untuk mengambilkan segelas air. Ketika aku pergi itulah ia menghilang."
Paman Titus menarik-narik kumisnya yang melintang.
"Tamu, katamu"" katanya. "Dan Potter menghilang" Menghilang ke mana""
"Tidak sulit melacak jejak kaki orang yang tidak memakai sepatu," kata Jupiter. "Ia keluar lewat gerbang depan. Bibi Mathilda tadi menyirami tanaman, dan karenanya kaki Potter basah kena air. Sesampainya di tikungan ia membelok, menuju Coldwell Hill. Nampak jelas bekas tapak kakinya dijalan yang berdebu di luar. Arahnya menuju ke bukit itu. Tapi sayang, sekitar lima puluh meter kemudian ia meninggalkan jalan, menuju ke utara. Setelah itu tidak kulihat lagi jejaknya, karena ia lewat di tempat yang berbatu-batu."
Kini Paman Titus bangkit, sambil menarik-narik kumis. Ia memandang truk bobrok yang menghalang di tengah jalan.
"Kita singkirkan saja dulu kendaraan reyot ini, supaya tidak merintangi orang yang datang berbelanja. Mudah-mudahan saja Potter segera kembali untuk menjemput kendaraannya."
Setelah itu ia duduk di belakang kemudi truk bobrok itu, lalu mencoba menghidupkan mesinnya. Empat kali ia melakukannya. Tapi mesin kendaraan yang sudah uzur itu seakan-akan merajuk. Pokoknya, tidak bisa dihidupkan.
"Siapa bilang mesin tidak bisa berpikir," kata Paman Titus. "Aku berani bertaruh, cuma Potter saja satu-satunya orang yang bisa membujuknya agar mau berjalan."
Ia turun lagi. Digamitnya Jupiter, disuruh duduk di belakang kemudi. Sementara remaja itu mengemudi, Paman Titus dibantu oleh Hans, mendorong kendaraan itu ke tempat parkir di samping kantor.
Sementara itu Bibi Mathilda bergegas-gegas datang dari seberang jalan.
"Sebaiknya kusimpan saja dulu belanjaan Potter dalam lemari es," katanya. "Bisa busuk nanti, kalau dibiarkan kepanasan terus. Aku tidak mengerti, apa sebabnya orang itu tahu-tahu pergi. Jupiter! Apakah ia tadi mengatakan, kapan tamu-tamunya datang""
"Tidak." Bibi Mathilda mengambil kantung kertas berisi belanjaan dari bak belakang truk.
"Kurasa sebaiknya kau pergi saja sebentar dengan sepeda ke rumahnya, Jupiter," katanya. "Mungkin saja Potter sekarang ada di sana. Atau kalau tidak, barangkali tamu-tamunya sudah datang. Jika betul begitu, ajak mereka kemari. Kan tidak enak, datang ke rumah yang kosong."
Sebenarnya Jupiter sudah hendak mengatakan, apakah tidak sebaiknya jika ia pergi ke rumah Potter. Karenanya ia hanya nyengir saja, lalu bergegas mengambil sepeda.
"Tapi jangan lama-lama!" seru Bibi Mathilda pada keponakannya yang sudah menjauh. "Banyak pekerjaan yang harus dilakukan di sini!"
Jupiter terbahak ketika mendengar seman itu. Dikayuhnya sepeda menuju jalan raya. Ia bersepeda di pinggir, supaya jangan terserempet mobil-mobil yang menuju ke utara. Ia merasa yakin, jika tamu Potter yang remaja sudah datang, hari itu juga ia sudah menambah jumlah tenaga kerja di Jones Salvage Yard. Bibi Mathilda tahu persis, apa yang harus dilakukan dengan anak laki-laki yang sebaya dengan Jupiter. Bibinya itu akan menyuruhnya bekerja.
Di Evanston Point jalan membelok. Rumah tempat tinggal Potter langsung nampak di depan. Warnanya yang putih menyolok di depan latar belakang daerah perbukitan California yang hijau gelap. Jupiter tidak mengayuh sepedanya lagi, karena jalanan menurun. Perhatiannya terarah ke tempat tinggal Potter. Rumah itu dulu didiami keluarga berada, sehingga penampilannya anggun. Tapi kini kesan yang dirasakan Jupiter biasa-biasa saja, walau gaya bangunan abad kesembilan belas dengan ukir-ukirannya terasa janggal di tengah kesunyian daerah itu.
Sesampainya di gerbang masuk pekarangan rumah itu, Jupiter mengerem sepedanya. Sebuah papan pengumuman di pagar memberi tahu bahwa toko Potter ditutup sebentar, selama orang itu pergi. Jupiter berpikir-pikir. Mungkin saja saat itu Potter sudah kembali, tapi tokonya tetap tidak dibuka, karena ia merasa tidak mampu menghadapi para pembeli yang biasanya selalu ramai setiap Sabtu pagi. Orang tua itu memang kelihatan kurang sehat, ketika Jupiter pergi mengambilkan air minum untuknya.
Jupite r menyandarkan sepedanya ke pagar, lalu masuk lewat pintu gerbang. Halaman depan rumah yang dimasukinya itu dilapisi batu-batu pipih. Banyak sekali meja di situ, tempat memajang benda-benda tembikar yang besar-besar: guci-guci, lempengan-lempengan besar dengan hiasan bunga atau buah-buahan, jambangan-jambangan yang di atasnya ada patung burung yang dibuat dalam posisi sedang terbang.
"Mr. Potter"" seru Jupiter memanggil.
Tidak ada jawaban. Jendela-jendela berbentuk tinggi dan sempit di rumah itu tidak mencerminkan kehidupan di dalamnya. Gudang tempat Potter menaruh bahan-bahan kerjanya terkunci. Kelihatannya tidak ada orang di situ. Di
seberang jalan ada sebuah mobil Ford berwarna cokelat. Mobil itu penuh debu, diparkir di tepi jalan yang berbatasan dengan tebing yang menjulang di atas pantai. Di dalam mobil tidak ada orang. Mungkin pemiliknya sedang berada di pantai, main selancar, atau memancing ikan.
Jalan pribadi yang menghubungkan jalan raya di atas bukit dengan Hilltop House, hanya beberapa meter saja jaraknya dari pekarangan rumah Potter. Jupiter melihat bahwa pintu gerbang yang membatasi jalan pribadi itu terbuka. Hilltop House sendiri tidak kelihatan dari rumah Potter. Tapi Jupiter bisa melihat tembok batu yang menopang teras bangunan itu. Ada seseorang di situ, berdiri dekat tembok batu. Dari jarak sejauh itu, Jupiter tidak bisa memastikan apakah orang itu pengemudi Cadillac, yang berambut ikal - atau penumpangnya yang aneh, yang tidak bisa ditebak umurnya.
Jupiter bergegas melewati benda-benda yang dipajang di atas meja-meja kayu, lalu menaiki dua jenjang rendah yang diapit sepasang guci yang tingginya hampir sama dengan Jupiter. Kedua guci itu dihias dengan kawanan burung rajawali berkepala dua, serupa dengan rajawali yang menghiasi medalion yang tergantung di dada Potter. Kawanan rajawali itu dibuat mengelilingi masing-masing guci. Mata burung-burung itu nampak berkilat putih, sedang paruh mereka ternganga, seakan-akan berteriak saling menantang.
Lantai kayu di beranda terdengar agak berderak-derak ketika Jupiter melangkah di situ.
"Mr. Potter!" serunya. "Anda ada di dalam""
Tidak ada yang menjawab di dalam. Kening Jupiter berkerut. Pintu depan rumah menganga sedikit. Jupiter tahu, Potter tidak begitu mempedulikan keamanan benda-benda yang ada di halaman depan, karena ukurannya yang besar-besar menyebabkan barang-barang itu tidak gampang diambil orang. Tapi Jupiter juga tahu, milik Potter yang lain-lainnya selalu disimpan dengan seksama. Jadi jika pintu depan rumah terbuka, maka itu berarti Potter mestinya ada di situ.
Tapi ruang depan ternyata kosong, ketika Jupiter melangkah masuk lewat pintu depan. Benar-benar kosong juga tidak - karena ruangan itu penuh dengan rak-rak yang tingginya sampai ke langit-langit. Dan rak-rak itu penuh sesak berisi piring, mangkuk, cawan, tempat gula dan susu, jambangan-jambangan kecil, begitu pula piring-piring semarak tempat kembang gula. Segala benda tembikar itu berkilauan, bersih tak berdebu, dan teratur rapi untuk menarik minat calon pembeli.
"Mr. Potter!" Kini Jupiter sudah tidak memanggil lagi. Ia berteriak.
Tapi hanya dengung lemari es di dapur saja yang terdengar. Jupiter memandang ke arah tangga rumah. Ia menimbang-nimbang, apakah sebaiknya ia memberanikan diri naik ke tingkat atas. Karena siapa tahu, mungkin saja Potter langsung merebahkan diri di tempat tidur, begitu ia pulang. Bahkan mungkin juga ia pingsan!
Kemudian terdengar bunyi pelan. Ada sesuatu yang bergerak di dalam rumah. Di sebelah kiri Jupiter, yang masih berdiri di ruang depan, ada sebuah pintu. Pintu itu tertutup. Jupiter tahu, ruangan di balik pintu itu merupakan kantor Potter. Dan bunyi pelan tadi berasal dari situ.
"Mr. Potter!" Jupiter mengetuk pintu dengan keras.
Tidak terdengar jawaban dari dalam. Jupiter menjamah tombol pembuka pintu. Ternyata bisa dibuka dengan gampang. Ruang kantor itu kosong, kecuali meja tulis dengan rak kecil di sudut, serta rak-rak dengan tumpukan buku kas serta formulir pengiriman. Usaha penjualan Potter banyak yang dilakukan lewat pos. Jupiter juga melihat tumpukan daft
ar harga serta formulir pesanan. Sebuah kotak berisi sampul surat ditaruh di pinggir salah satu rak.
Kemudian napas Jupiter tersentak, karena melihat sesuatu yang tidak biasa. Ia melihat bahwa tutup meja tulis Potter dibuka secara paksa. Nampak goresan-goresan yang masih baru pada permukaan kayunya, serta di sekitar kunci. Satu laci meja itu terbuka, tanpa isi. Berkas-berkas surat berserakan di atas daun meja.
Rupanya ada yang menggeledah kantor itu.
Jupiter berpaling. Maksudnya hendak keluar lagi. Tapi tiba-tiba ada yang memegang bahunya. Kakinya dikait dari belakang, sedang tubuhnya didorong ke depan. Jupiter terhuyung ke sudut ruangan. Kepalanya membentur pinggiran sebuah rak. Ia jatuh tersungkur, dihujani kertas-kertas yang berhamburan dari atas rak.
Hanya samar-samar saja Jupiter mendengar pintu ditutup, disusul bunyi anak kunci diputar dalam lubangnya. Setelah itu terdengar langkah bergegas-gegas pergi lewat beranda yang berlantai kayu.
Dengan susah payah, Jupiter menegakkan tubuh. Ia berhasil duduk. Ia menunggu sesaat, karena takut akan pusing jika cepat-cepat berdiri.
Ketika sudah yakin sarapannya tadi pagi yang ada dalam perut takkan tumpah ke lantai, dan pikirannya sudah normal lagi, Jupiter berdiri. Ia berjalan terhuyung-huyung, menghampiri jendela.
Di halaman depan tidak ada siapa-siapa. Orang yang menggeledah kantor tadi sudah minggat dari situ.
Bab 3 KELUARGA POTTER Mestinya ada peraturan yang mewajibkan di semua rumah harus ada pesawat telepon, kata Jupiter dalam hati. Bahkan pembuat tembikar dengan kebiasaan serba aneh pun harus diwajibkan memilikinya!
Tapi kalaupun Potter memiliki pesawat telepon, kini takkan banyak gunanya lagi. Orang yang tadi mengacak-acak isi kantor pembuat tembikar itu, mungkin sekarang sudah satu mil jauhnya dari tempat kejadian.
Jupiter menarik tombol pembuka pintu. Tapi daun pintu tidak bergerak sedikit pun. Jupiter berlutut, lalu mengintip keluar lewat lubang kunci. Ternyata anak kunci masih ada di dalamnya. Kini Jupiter pergi ke meja tulis. Diambilnya pisau pembuka surat yang ada di situ. Dengan alat itu ia mencoba membuka pintu.
Ia sebenarnya bisa saja keluar lewat jendela. Tapi ia tidak mau. Jupiter sangat menjaga harga diri. Kecuali itu ia juga sadar bahwa perbuatan itu pasti akan menimbulkan kecurigaan, kalau kebetulan ada orang di jalan yang melihatnya keluar lewat jendela.
Ketika sedang sibuk mengorek-ngorek kunci, tiba-tiba ia mendengar langkah orang berjalan di beranda. Dengan segera ia menghentikan kesibukannya.
"Kakek!" seru seseorang.
Dari arah dapur terdengar bunyi bel berdering parau. "Kakek! Kami sudah datang!" Kini terdengar pintu diketuk.
Jupiter menuju ke jendela. Ia membukanya, lalu menjulurkan tubuh ke luar untuk melihat. Seorang anak laki-laki berambut pirang berdiri di beranda. Anak itu menggedor-gedor pintu. Di belakangnya ada seorang wanita yang nampaknya masih muda. Rambutnya yang pirang dan dipotong pendek acak-acakan kena angin. Wanita itu memegang kaca mata pelindung sinar matahari, serta menyandang sebuah tas kulit berwarna cokelat yang menggembung karena terisi penuh.
"Selamat pagi!" seru Jupiter menyapa.
Kedua orang yang berdiri di beranda menoleh dengan cepat ke arahnya. Mereka tidak menjawab sapaannya.
Jupiter keluar lewat jendela, walau semula ia tidak berniat begitu. Tapi keadaannya kini sudah berubah. Ia sudah ketahuan, ada di dalam rumah.
"Aku terkunci di dalam," kata Jupiter menjelaskan dengan singkat. Ia masuk lagi lewat pintu depan. Dibukanya pintu kantor yang dikunci dari luar.
Wanita dan anak laki-laki tadi nampak bimbang sesaat. Tapi kemudian mereka menyusul masuk.
"Tadi ada orang menggeledah kantor ini - lalu aku dikuncinya di dalam," kata Jupiter lagi. Ia memperhatikan anak laki-laki yang berdiri di depannya. Umurnya kira-kira sebaya dengan Jupiter.
"Mestinya kalianlah tamu-tamu Mr. Potter," kata Jupiter menebak.
"Betul! - Tapi, eh - siapa kau ini sebenarnya"" kata anak laki-laki itu. "Dan mana kakekku"" "Kakek"" tanya Jupiter. Ia memandang berkeliling, mencari kursi. Tapi tidak ada kursi di situ. Akhirnya ia duduk saja di kaki tang
ga. "Mr. Alexander Potter!" kata anak itu dengan ketus. "Ini rumahnya, 'kan" Di Rocky Beach tadi aku bertanya pada petugas pompa bensin, dan ia mengatakan..."
Jupiter menyandarkan dagunya ke tangan yang ditopangkan ke lutut. Kepalanya terasa sakit. "Kakek"" katanya sekali lagi. "Maksudmu - Potter punya cucu""
Jupiter takkan lebih heran, jika ada yang mengatakan bahwa Potter memelihara dinosaurus jinak di ruang bawah tanah rumahnya.
Wanita yang ikut datang memakai kaca mata hitamnya lagi. Tapi kemudian dibuka, karena ternyata ruang depan itu terlalu gelap.
Wajahnya menarik, kata Jupiter dalam hati.
"Aku tidak tahu di mana Potter saat ini," katanya terus terang. "Tadi pagi aku berjumpa dengannya, tapi sekarang ia tidak ada di sini."
"Itukah sebabnya kau tadi memanjat jendela"" tanya wanita itu dengan nada curiga. Ia menoleh ke arah anak laki-laki tadi. "Tom! Panggil polisi!"
Anak yang rupanya bernama Tom itu memandang berkeliling dengan sikap bingung.
"Dijalan raya ada bilik telepon umum," kata Jupiter dengan sopan, "tidak jauh di luar halaman depan."
"Maksudmu, ayahku tidak punya telepon"" tanya wanita itu.
"Jika Mr. Potter Ayah Anda," kata Jupiter, "betul - ia tidak punya telepon."
"Tom!" kata wanita itu lagi, sambil mencari-cari dalam dompetnya.
"Ibu saja yang menelepon," kata Tom. "Aku di sini saja - mengawasi dia ini!"
"Aku tidak bermaksud pergi," kata Jupiter.
Wanita itu pergi. Mula-mula dengan langkah lambat, tapi kemudian berlari-lari ke luar, ke jalan raya.
"Jadi Potter itu kakekmu, ya"" kata Jupiter.
Anak laki-laki yang bernama Tom memandangnya dengan sengit.
"Apa anehnya"" kata anak itu dengan ketus. "Siapa pun juga, pasti punya kakek!"
"Memang betul," kata Jupiter. "Tapi tidak setiap orang punya cucu - dan Potter itu kan... yah, orangnya lain dari yang lain!"
"Ya, aku tahu. Dia seniman." Tom memandang rak-rak yang penuh dengan benda-benda tembikar, yang ada di sekeliling ruangan itu. "Ia selalu mengirimkan hasil karyanya pada kami," katanya lagi pada Jupiter.
Jupiter menerima keterangan itu sambil membisu. Ia berpikir-pikir. Sudah berapa lamakah Potter tinggal di Rocky Beach" Paling sedikit dua puluh tahun, menurut Bibi Mathilda. Pasti ia sudah lama mapan di situ, jauh sebelum Bibi Mathilda dan Paman Titus membuka usaha mereka. Wanita yang nampak bingung tadi bisa saja memang anak orang tua itu. Tapi kalau begitu, ke mana saja ia selama ini" Dan apa sebabnya Potter tidak pernah berbicara mengenai anaknya"
Sementara itu wanita tadi sudah kembali. Ia memasukkan dompetnya ke dalam tas. "Sebentar lagi mobil patroli polisi akan tiba," katanya. "Untunglah," kata Jupiter Jones.
"Dan kau nanti harus memberi penjelasan!" tukas wanita tadi padanya. "Dengan senang hati, Mrs. - Mrs...." "Dobson," ujar wanita itu menyebut namanya. Jupiter cepat-cepat berdiri.
"Nama saya Jupiter Jones, Mrs. Dobson," katanya.
"How do you do"" Kalimat itu sudah keluar dari Mrs. Dobson, sebelum ia sempat menyadarinya. Memang begitulah kebiasaan saat berkenalan. Ucapan itu sebanding dengan kata-kata, 'Apa kabar"' Dan Jupiter langsung menanggapi dengan serius.
"Tidak begitu baik, saat ini," katanya. "Soalnya, saya kemari mencari Potter, tapi tahu-tahu ada orang yang mendorong diri saya sampai terjatuh, lalu saya dikuncinya di dalam kantor."
Dari air muka Mrs. Dobson nampak bahwa ia tidak percaya. Saat itu terdengar bunyi sirene mobil polisi mengaung-ngaung dari arah jalan raya.
"Di Rocky Beach tidak sering terjadi peristiwa mendadak," kata Jupiter dengan tenang. "Bawahan Chief Reynolds pasti merasa senang, karena mendapat kesempatan membunyikan sirene mobil mereka!" "Kau ini keterlaluan!" tukas Tom Dobson sambil mendengus.
Bunyi sirene melambat, dan akhirnya terhenti di depan rumah. Lewat pintu depan, Jupiter melihat sebuah mobil patroli polisi berwarna hitam-putih berhenti. Dua petugas polisi cepat-cepat turun, lalu bergegas ke arah rumah.
Jupiter duduk lagi di kaki tangga. Wanita yang masih muda tadi memperkenalkan dirinya pada kedua petugas polisi yang datang. Namanya Eloise - Eloise Dobson, katanya, disusul dengan hamburan kata-kata. Ia datan
g dari jauh, naik mobil langsung dari Belleview, Illinois, untuk menjenguk ayahnya, Alexander Potter. Tapi saat ini Mr. Potter sedang tidak ada di rumah, dan ketika datang tadi ia melihat - remaja berandal ini keluar lewat jendela. Ia menuding dengan sikap menuduh ke arah Jupiter, sambil mengatakan bahwa sebaiknya polisi menggeledah remaja itu.
Salah seorang petugas polisi yang datang, Officer Haines, seumur hidupnya tinggal di Rocky Beach. Sedang rekan sejawatnya, Sergeant McDermott, belum lama berselang merayakan ulang tahun kelima belas masa dinasnya di kepolisian kota itu. Keduanya mengenal Jupiter Jones. Mereka juga tahu, siapa Mr. Potter. Sergeant McDermott mencatat sebentar, lalu menoleh ke arah Eloise Dobson.
"Anda bisa membuktikan bahwa Potter ayah Anda"" tanya petugas polisi itu.
Wajah Mrs. Dobson berubah-ubah warna - mula-mula merah, lalu pucat. Pucat karena marah.
"Apa kata Anda"" teriaknya.
"Saya mengatakan, bisakah Anda -" kata Sergeant McDermott.
"Saya sudah mendengarnya tadi!"
"Nah - kalau begitu, jika Anda jelaskan -"
"Menjelaskan apa" Sudah kukatakan tadi, ketika kami datang, kami melihat... melihat pencoleng remaja ini...." Sergeant McDermott mengeluh.
"Jupiter Jones ini mungkin saja memang menyebalkan," katanya mengakui, "tapi ia bukan pencuri." Ditatapnya Jupiter dengan sikap lesu. "Apakah yang terjadi tadi, Jones"" tanya petugas itu. "Sedang mengapa kau di sini"" "Aku harus mulai dari awal"" tanya Jupiter. "Kami punya waktu sehari penuh," kata McDermott.
Jupiter bercerita, mulai dari awal. Mulai dari Potter datang di Jones Salvage Yard, untuk membeli perabotan yang diperlukannya, karena ia akan kedatangan tamu.
Sergeant McDermott mengangguk-angguk. Sementara itu Officer Haines mengambil kursi di dapur, lalu menyilakan Mrs. Dobson duduk.
Jupiter meneruskan laporannya. Tahu-tahu Potter pergi begitu saja, sedang truknya ditinggal di perusahaan pamannya. Dari jejak kakinya nampak bahwa ia pergi ke arah bukit, di belakang Rocky Beach.
"Aku kemudian kemari, untuk melihat barangkali ia pulang," kata Jupe. "Pintu rumah ternyata terbuka, dan karenanya aku langsung masuk. Aku tidak menjumpai Potter di sini, tapi ada orang lain yang bersembunyi di kantornya. Orang itu rupanya berdiri di belakang pintu, ketika aku masuk tadi. Aku melihat bahwa tutup meja tulis Potter dibuka secara paksa. Tahu-tahu kakiku disengkelit dari belakang, dan aku didorong sehingga jatuh terjerembab. Kemudian orang itu lari ke luar. Aku dikuncinya di dalam kantor. Karena itulah aku terpaksa keluar lewat jendela, saat Mrs. Dobson muncul bersama putranya, dan membunyikan bel."
Sergeant McDermott diam sesaat, lalu mendengus.
"Kantor Potter digeledah orang," kata Jupiter berkeras. "Bisa Anda lihat sendiri - kertas-kertas pentingnya berantakan."
McDermott menghampiri pintu kantor, lalu memandang ke dalam. Dilihatnya berkas-berkas berserakan di atas meja, serta sebuah laci tertarik ke luar.
"Potter biasanya sangat rapi," kata Jupiter. "Ia takkan mau meninggalkan kantornya dalam keadaan begini." McDermott berpaling lagi.
"Akan kita datangkan ahli sidik jari," katanya. "Sementara itu, Mrs. Dobson -"
Tahu-tahu wanita itu menangis.
"Aduh, Bu!" Anaknya datang menghampiri, lalu merangkul. "Jangan menangis, Bu!"
"Ia kan ayahku!" kata Mrs. Dobson sambil terisak-isak. "Biar bagaimanapun, ia tetap ayahku - dan kita sudah setengah mati naik mobil kemari untuk menjenguknya, tanpa mampir untuk melihat-lihat Grand Canyon, karena aku ingin... karena aku bahkan tak bisa ingat..."
"Bu," kata Tom Dobson memelas.
Mrs. Dobson mencari-cari sapu tangan di dalam dompetnya.
"Aku tak menduga sedikit pun bahwa aku harus membuktikannya!" katanya sambil menangis terus. "Aku tidak menyangka, untuk datang ke Rocky Beach diperlukan surat lahir!"
"Tenanglah, Mrs. Dobson!" Sergeant McDermott mengantungi buku catatannya. "Kalau begini keadaannya, lebih baik jika Anda serta putra Anda tidak tinggal di sini."
"Tapi Alexander Potter benar-benar ayahku!"
"Mungkin saja," kata polisi itu mengalah, "tapi nampaknya ia memutuskan untuk menghilang - setidak-tidaknya untuk sementara. Da
n nampaknya ada orang yang memasuki rumahnya, tanpa diundang. Saya yakin, Pot... eh, Mr. Potter nanti akan muncul juga kapan-kapan, lalu menjelaskan duduk perkara sebenarnya. Tapi sementara itu lebih aman jika Anda serta putra Anda tinggal saja di kota. Di sana ada hotel kecil, namanya Seabreeze Inn. Tempatnya sangat menyenangkan, dan -"
"Bibi Mathilda dengan senang hati bersedia menampung Anda," kata Jupiter menyela.
Tapi Mrs. Dobson tidak mempedulikannya. Wanita itu masih terisak-isak terus. Air matanya diusap dengan tangan yang gemetar.
"Di samping itu," sambung McDermott, "sebentar lagi ahli sidik jari kami akan datang, dan kami tidak ingin ada sesuatu yang berubah letak di sini."
Mrs. Dobson berdiri, lalu mengenakan kaca mata hitamnya.
"Mungkin Chief Reynolds nanti ingin berbicara dengan Anda," kata McDermott. "Akan saya katakan padanya, Anda untuk sementara menginap di Seabreeze Inn."
Mrs. Dobson menangis lagi. Anaknya bergegas membimbingnya ke luar, ke jalan. Mereka menghampiri sebuah mobil biru dengan pelat nomor negara bagian Illinois. Mrs. Dobson duduk di belakang kemudi.
"Sama sekali tak kukira!" kata Sergeant McDermott. "Potter ternyata punya anak!"
"Itu kalau ia memang benar anaknya," kata Officer Haines.
"Untuk apa ia mengaku-ngaku, kalau tidak benar begitu"" kata McDermott. "Potter kan orang aneh - dan tidak memiliki apa-apa yang mungkin diingini orang lain."
"Ia mestinya mempunyai sesuatu," kata Jupiter Jones. "Kalau tidak - untuk apa orang yang menyerangku tadi mau repot-repot membongkar isi kantornya""
Bab 4 ADA ORANG BARU LAGI JUPITER menolak, ketika Officer Haines mengajaknya ikut naik mobil polisi, kembali ke Rocky Beach. "Terima kasih, tapi aku tadi datang naik sepeda," kata Jupiter. "Dan aku tidak apa-apa."
"Kau yakin"" tanya petugas polisi yang menawari, sambil memandang kening Jupiter yang benjol karena terantuk tadi.
"Ya, aku yakin! Cuma benjol saja." Jupiter melangkah pergi.
"Hati-hati saja, Jones!" seru Sergeant McDermott dari dalam rumah. "Jika kau terus menyusup-nyusupkan hidungmu ke mana-mana, nanti tahu-tahu sudah putus terpotong! Dan jangan pergi jauh-jauh dari rumah, ya! Mungkin Chief ingin bicara juga denganmu."
Jupiter melambai tanda mengerti. Diambilnya sepedanya yang masih tersandar ke pagar. Ia menunggu lalu lintas agak renggang, karena ia harus menyeberang jalan. Mobil Ford cokelat yang dilihatnya tadi, masih tetap diparkir di tepi jalan, di atas pantai. Beberapa saat kemudian ia melihat ada kesempatan, lalu cepat-cepat lari menuntun sepeda ke seberang. Di sana ia berdiri di dekat mobil cokelat itu, lalu memandang ke arah pantai di bawah. Pasang sedang surut, menampakkan bidang pasir yang lebar. Seorang laki-laki berjalan menyusuri jalan setapak yang mendaki, menuju ke tempat Jupiter. Ia belum pernah melihat pemancing ikan yang penampilannya sehebat orang itu. Berbaju hangat putih dengan leher tinggi yang digulung, dibungkus jaket sport biru muda yang sangat necis, dengan lambang yang disulam pada kantung atas. Jaket sport itu sewarna dengan celana panjangnya yang terbuat dari kain katun tebal, begitu pula dengan sepatu santai yang membungkus kakinya. Orang itu memakai topi pet pelayar yang nampak sangat mulus, seakan-akan baru saja sehari yang lalu dibeli di toko alat-alat olahraga.
"Halo!" sapa orang itu, ketika sudah sampai di dekat Jupiter. Jupe menatap wajah kurus berkulit kecokelatan dibakar sinar matahari. Wajah itu ditutupi kaca mata pelindung sinar matahari berukuran besar. Di bawah hidungnya ada kumis kelabu melintang. Kumis itu berwarna kelabu, dan disemir dengan obat yang membuatnya kaku. Ujung-ujungnya mencuat ke atas, ke arah telinga orang itu.
Joran yang dibawa orang itu hebat dan nampak bersih mengkilat - serupa seperti yang membawa.
"Dapat ikan"" tanya Jupiter Jones.
"Tidak - rupanya hari ini tidak berselera." Laki-laki itu membuka tutup bagasi mobil Ford yang berlapis debu, lalu memasukkan alat-alat penangkap ikannya ke dalam. "Mungkin aku keliru memilih umpan. Aku orang baru dalam soal olahraga memancing."
Hal itu sudah diduga oleh Jupiter. Penangkap ikan yang
berpengalaman, kebanyakan penampilan mereka seperti gelandangan.
Laki-laki itu memandang ke seberang jalan, ke arah mobil patroli polisi yang diparkir di depan rumah Potter. "Ada keributan di sana"" tanya orang itu. "Sedikit," jawab Jupiter. "Pencuri, mungkin."
"Uh - tidak menarik." Orang itu menutup tutup bagasi mobil. Setelah itu ia menghampiri pintu depan kendaraan itu, lalu membukanya.
"Bukankah itu toko milik Potter yang terkenal itu"" katanya dengan nada bertanya. Jupiter mengangguk.
"Kenalanmu"" tanya penangkap ikan amatir itu lagi. "Kau tinggal di sekitar sini""
"Ya, aku tinggal di dekat sini. Dan aku kenal padanya. Orang kota ini, tidak ada yang tidak mengenal Potter." "Hm. Kurasa memang begitu. Kabarnya, hasil karyanya indah-indah." Laki-laki itu memperhatikan Jupiter dari balik kaca mata hitamnya yang besar. "Kepalamu benjol." "Terjatuh tadi," jawab Jupiter singkat. "Oh! Kau mau kuantarkan dengan mobil." "Terima kasih - tidak usahlah," kata Jupiter.
Trio Detektif 15 Misteri Jejak Bernyala di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tidak mau" Ya, kau memang benar. Jangan mau, kalau ada orang tak dikenal mengajakmu."
Laki-laki itu tertawa, seolah-olah ucapannya itu sangat lucu. Setelah itu ia menghidupkan mesin mobilnya. Kendaraan itu diundurkannya ke jalan raya. Sambil melambai ke arah Jupiter, orang itu pergi dengan mobilnya.
Jupiter bersepeda kembali ke perusahaan barang bekas milik pamannya. Tapi ia tidak masuk lewat gerbang utama. Ia bersepeda terus, menyusuri pagar yang dihiasi dengan lukisan indah, sampai ke gambar ikan aneh yang tersembul di tengah ombak, memandang kapal layar yang terombang-ambing dipermainkan badai. Jupiter turun dari sepedanya, lalu menekan mata gambar ikan. Seketika itu juga dua lembar papan terjungkit ke atas, membuka jalan masuk ke kompleks perusahaan barang-barang bekas itu Jupiter masuk sambil mendorong sepedanya.
Jupiter masuk lewat Gerbang Hijau Satu. Seluruhnya ada empat jalan rahasia untuk memasuki pekarangan perusahaan itu. Tapi tak ada satu pun yang diketahui oleh Bibi Mathilda. Jupiter muncul di sudut pekarangan itu, dekat bengkel kerjanya yang di luar. Ia mendengar suara Bibi Mathilda, yang rupanya saat itu sedang berada di belakang gudang tempat penyimpanan perabotan. Bibi Mathilda sedang sibuk membersihkan kursi-kursi dan meja kebun yang baru dibeli suaminya. Tapi ia tidak bekerja tanpa bersuara. Ia berseru-seru, menyuruh Hans membantunya. Bibi Mathilda tidak bisa melihat Jupiter, karena di depan bengkel kerja keponakannya itu ada tumpukan barang bekas yang menghalangi pandangan. Barang-barang itu memang sengaja ditempatkan oleh Jupiter di situ.
Jupiter tertawa nyengir. Disandarkannya sepeda ke mesin cetak yang sudah usang, lalu ditariknya terali dari besi cor yang tersandar pada sebuah bangku kerja yang terdapat di belakang mesin cetak. Ia membungkuk, lalu menyusup masuk ke dalam Lorong Dua.
Lorong Dua itu berupa pipa saluran, terbuat dari seng gelombang. Sisi dalamnya dilapisi potongan-potongan permadani bekas. Ujung pipa itu berakhir di sebuah tingkap yang terdapat di lantai sebuah karavan. Dan karavan itulah
Markas Trio Detektif. Jupiter merangkak-rangkak di dalam Lorong Dua, menyusup naik lewat tingkap, dan begitu masuk ke dalam karavan langsung meraih gagang pesawat telepon yang terletak di atas meja tulis.
Pesawat telepon itu satu tambahan lagi di perusahaan barang-barang bekas pamannya, yang tidak diketahui oleh Bibi Mathilda. Jupiter beserta kedua temannya, Bob Andrews dan Pete Crenshaw, mengusahakan sendiri sambungannya dengan uang yang mereka peroleh sebagai pembayaran untuk pekerjaan mereka membetulkan barang-barang bekas yang rusak, ditambah dengan penghasilan yang didapat Trio Detektif dari kegiatan mereka selaku penyelidik.
Jupiter memutar nomor rumah Pete. Temannya itu sudah menerima, ketika telepon baru dua kali berdering. "He, Jupe!" Pete kedengaran senang karena Jupiter menelepon. "Siang ini, saat pasang naik laut akan berombak besar. Yuk, kita berselancar."
"Kurasa hari ini aku takkan bisa," kata Jupiter dengan suara masam. "O ya" Maksudmu, bibimu sudah sibuk lagi""
"Tadi Paman Titus membeli beberapa kursi dan meja kebun," kata Ju
piter. "Perabotan itu penuh karat, dan saat ini Bibi Mathilda sedang sibuk memanggil-manggil Hans, menyuruhnya mengikis karat serta cat yang lama. Aku yakin, begitu Bibi melihatku, aku juga disuruhnya membantu."
Pete mengucapkan selamat mengikis cat.
"Bukan karena itu aku menelepon," kata Jupiter. "Bisakah kau datang ke markas nanti malam" Pukul sembilan"" Pete bisa, dan ia juga mau.
"Kelana Gerbang Merah," kata Jupiter dengan singkat, lalu mengembalikan gagang telepon ke tempatnya. Setelah itu ia memutar nomor rumah Bob Andrews. Mrs. Andrews, ibu Bob, yang menerima. Ia mengatakan bahwa Bob ada di Perpustakaan Umum Rocky Beach, di mana ia bekerja sebagai tenaga lepas pada waktu senggangnya. "Bisakah saya meninggalkan pesan untuknya"" tanya Jupiter.
"Ya, tentu saja! Tapi tunggu sebentar - kuambil pensil dulu. Habis, kalian rasanya tidak pernah mengatakan sesuatu dalam bahasa biasa."
Jupiter tidak menanggapi ucapan itu. Ia menunggu, sementara Mrs. Andrews mengambil pensil dan secarik kertas. Ketika ibu Bob sudah terdengar lagi suaranya di telepon, Jupe menyampaikan pesannya. "Kelana Gerbang Merah, pukul sembilan."
"Kelana Gerbang Merah, pukul sembilan." Mrs. Andrews mengulangi pesan itu. "Entah apa lagi artinya. Tapi baiklah, Jupiter - nanti akan kusampaikan pada Bob, begitu ia pulang."
Jupiter mengucapkan terima kasih. Gagang pesawat telepon diletakkannya kembali ke tempatnya. Setelah itu ia keluar lagi, lewat Lorong Dua. Ia membuka Gerbang Hijau Satu, lalu mendorong sepedanya ke jalan. Setelah itu ia bersepeda lagi, menuju gerbang utama dan masuk ke pekarangan Jones Salvage Yard.
Bibi Mathilda menunggu di samping kantor, dengan tangan terbungkus sarung tangan karet yang nampak kotor.
"Hampir saja aku memanggil polisi untuk mencarimu," kata Bibi Mathilda. "Ke mana saja kau tadi""
"Potter tidak ada di rumahnya," kata Jupiter memberi tahu. "Tapi tamu-tamunya sudah datang."
"O ya" Kenapa tidak kauajak kemari" Kau ini bagaimana, Jupiter - kan tadi sudah kukatakan agar kauundang mereka kemari!"
Jupiter menaruh sepedanya di samping kantor.
"Mereka sangsi terhadap diriku, dikira penjahat," katanya. "Mereka sekarang sudah ke Seabreeze Inn. Satu di antaranya seorang wanita, bernama Mrs. Dobson. Katanya, ia anak Potter. Sedang yang satu lagi anak wanita itu. Namanya Tom."
"Anak Potter" Itu kan tidak mungkin, Jupiter - Potter sama sekali tidak punya anak!" "Bibi tahu pasti"" tanya Jupe.
"Ya, tentu saja. Potter tidak pernah menyebut-nyebut... ia tidak pernah... He, Jupiter! Apa sebabnya mereka sampai menyangka kau penjahat""
Jupiter bercerita sesingkat mungkin, tentang orang tak dikenal yang membongkar kantor Potter. "Mereka menyangka aku memasuki rumah itu dengan niat jahat," katanya mengakhiri.
"Keterlaluan!" Bibi Mathilda sangat tersinggung. "Dan kepalamu benjol! Ayo - masuk ke rumah, sekarang juga. Akan kubuatkan kompres untukmu."
"Ah - aku tidak apa-apa, Bi. Sungguh!"
"Apa, tidak apa-apa"! Ayo masuk, sekarang juga! Cepat!"
Jupiter tidak membantah. Bibi Mathilda membawakan es yang dibungkus dalam kain, untuk mengompres benjolan di kening Jupiter. Ia juga membawakan roti yang dilapisi dengan selai kacang, serta susu segelas. Tapi saat makan siang, Bibi Mathilda menarik kesimpulan bahwa benjolan itu tidak lebih parah dari sekian banyak benjolan yang pernah dialami keponakannya. Ia mencuci piring dengan terburu-buru. Kemudian disuruhnya Jupiter mengelap dan membereskan semuanya, sementara ia sendiri mengeramas rambutnya.
Paman Titus duduk dengan tenang di depan pesawat televisi. Tidak lama kemudian ia sudah tertidur. Kumisnya yang melintang bergetar seirama dengan dengkurannya, sementara Jupiter pergi ke luar dengan berjingkat-jingkat.
Jupiter pergi ke seberang, lalu berjalan menyusuri tepi pagar, sampai ke sisi belakang perusahaan. Pagar di situ dihiasi lukisan yang sama semaraknya seperti di bagian depan. Lukisan di situ menggambarkan bencana kebakaran besar yang melanda kota San Francisco tahun 1906, dengan orang-orang yang lari ketakutan dari gedung-gedung yang terbakar. Di latar depan adegan itu ada gambar seekor anjing kecil.
Anjing itu digambarkan sedang duduk sambil memandang api yang berkobar-kobar. Satu matanya memang merupakan mata - tapi mata kayu papan pagar. Jupiter mencongkel mata kayu itu, lalu merogoh lewat lubang pada papan untuk melepaskan suatu kait. Tiga lembar papan bergerak ke samping. Itulah yang diberi nama sandi Kelana Gerbang Merah. Di sebelah dalam ada papan dengan
gambar panah hitam yang menunjuk ke "Kantor". Jupiter mengikuti arah panah itu, tapi kemudian merangkak ke bawah tumpukan kayu. Ia tiba di semacam lorong, diapit tumpukan barang loak. Ditelusurinya lorong itu, sampai tiba di depan sejumlah papan kokoh, yang merupakan atap Pintu Empat. Ia tinggal menyusup ke bawahnya, merangkak sejauh beberapa meter, lalu mendorong sebuah panel dan sampailah ia di markas.
Pukul sembilan kurang lima belas menit. Sambil menunggu, dikenangnya kembali segala kejadian hari itu. Lima menit kemudian Bob Andrews menyusup masuk, disusul oleh Pete Crenshaw yang datang tepat pukul sembilan malam.
"Trio Detektif mendapat klien baru lagi"" tanya Pete bersemangat. Dipandangnya kening Jupiter yang benjol. "Kau sendiri, barangkali""
"Mungkin," kata Jupiter. "Potter menghilang, tadi siang."
"Aku sudah mendengarnya," kata Bob. "Bibimu menyuruh Hans untuk mengambil apa-apa di pasar. Di sana Hans berjumpa dengan ibuku. Jadi Potter pergi begitu saja, meninggalkan truknya di tempat kalian"" Jupiter mengangguk.
"Ya, itulah yang terjadi! Truknya masih diparkir di samping kantor. Sementara Potter menghilang, sejumlah orang lain muncul."
"Maksudmu, antara lain wanita yang datang untuk tinggal di Seabreeze Inn, sesudah kepalamu benjol"" tanya Pete.
"Rocky Beach ini ternyata memang kota kecil," gumam Jupiter. Begitu cepat berita tersebar!
"Aku tadi berjumpa dengan Officer Haines," kata Pete menjelaskan. "Wanita itu mengaku anak Potter. Jika itu benar, maka anak laki-laki itu mestinya cucu pak tua itu. Edan! Potter itu memang orang aneh. Siapa mengira, ia punya anak perempuan!""
"Ia kan juga pernah muda," kata Jupiter. "Tapi pendatang baru di kota ini bukan cuma Mrs. Dobson beserta anak laki-lakinya saja. Ada dua orang laki-laki di Hilltop House."
"Hilltop House"" Minat Pete langsung tergugah. "Ada orang menempati rumah itu" Hilltop House kan tidak bisa didiami lagi!"
"Setidak-tidaknya, tadi siang ada orang datang ke sana," kata Jupiter. "Kebetulan sekali mereka mampir sebentar di perusahaan ini, untuk menanyakan jalan ke sana. Saat itu Potter masih ada. Itu pun merupakan kebetulan yang menarik. Kedua orang itu melihatnya, dan Potter juga melihat mereka. Sedang Hilltop House, letaknya tepat di atas toko Potter."
"Apakah Potter mengenal mereka"" tanya Bob.
Jupiter menarik-narik bibir bawahnya, berusaha mengingat-ingat.
"Aku tidak berani memastikan bahwa ia kenal mereka, atau mereka mengenalnya. Orang yang mengemudikan mobil, yang kalau dilihat dari penampilannya kurasa orang Eropa, turun untuk menanyakan jalan. Lalu penumpangnya - tampangnya aneh, kepalanya benar-benar botak - bersikap seperti ada yang menggelisahkan dirinya. Kedua orang itu berbicara sebentar, dalam bahasa asing. Sedang Potter tetap berdiri, sambil memegang medalion yang selalu dipakainya. Ketika kedua orang itu sudah pergi, ia berkata bahwa ia merasa pusing. Aku masuk ke rumah untuk mengambilkan air. Tapi ketika aku keluar lagi, tahu-tahu Potter sudah lenyap."
"Ketika datang, ia tidak apa-apa"" tanya Bob.
"Segar-bugar," kata Jupiter menegaskan. "Katanya ia akan kedatangan tamu. Ia kelihatan bergembira. Tapi setelah kedua orang itu datang dan menanyakan jalan ke Hilltop House -" "Iamenghilang!" sambung Bob.
"Ya! Ia pergi, dengan berjalan kaki. Sekarang aku ingin tahu, apakah ia tadi memegang-megang medalionnya karena kebiasaannya saja - atau karena ingin menutupi benda itu""
"Hiasan medalion itu gambar rajawali, 'kan"" tanya Bob meminta penegasan.
"Rajawali, dengan kepala kembar," kata Jupiter. "Bisa saja itu merupakan gambar ciptaan Potter sendiri. Tapi mungkin pula ada artinya - suatu lambang yang mengandung makna tertentu bagi kedua orang yang kemudian datang."
"Seperti tanda, misalnya"
" tanya Pete. "Atau lambang," kata Bob dengan nada pasti. "Orang Eropa kan sangat menggemari lambang. Bermacam-macam lambang ada di sana, seperti singa, kuda bertanduk tunggal, burung elang, dan macam-macam lagi." "Bisakah kau melacaknya"" tanya Jupiter. "Kau ingat tidak, wujud gambar itu"" Bob mengangguk.
"Di perpustakaan ada buku baru tentang lambang-lambang kebangsawanan. Jika aku melihat gambar rajawali berkepala dua itu, aku pasti akan mengenalinya kembali." "Bagus," kata Jupiter, lalu menyapa Pete. "Kau kenal baik dengan Mr. Holtzer"" tanyanya.
"Pengusaha yang bergerak di bidang tanah dan rumah itu" Kadang-kadang aku bekerja untuknya, memotong rumput di halamannya, jika ia sendiri sedang malas. Kenapa""
"Ia satu-satunya agen yang menangani urusan sewa dan jual-beli rumah di Rocky Beach," kata Jupiter. "Jika ada orang yang menempati Hilltop House, ia pasti tahu. Bahkan mungkin pula ia tahu alasan orang itu pindah ke situ."
"Mungkin besok Mr. Holtzer tidak memerlukan tenagaku untuk memotong rumput halamannya," kata Pete, "tapi kantornya hari Minggu pun tetap dibuka. Aku akan mampir ke sana besok."
"Bagus," kata Jupiter. "Kurasa Bibi Mathilda besok akan pergi ke Seabreeze Inn, bertindak selaku panitia penyambutan Mrs. Dobson serta anak laki-lakinya. Dan aku akan menemani Bibi ke sana, sambil melihat-lihat kalau di sana juga ada pemancing ikan amatiran yang naik mobil Ford berwarna cokelat."
"Dia juga pendatang baru"" tanya Bob.
"Mungkin," jawab Jupiter sambil mengangkat bahu. "Atau mungkin juga cuma kemarin saja ia datang kemari, dari Los Angeles. Tapi jika ternyata ia tinggal di Rocky Beach, dan jika Hilltop House memang disewa orang untuk ditinggali, maka kita tahu bahwa dalam satu hari ada lima pendatang baru di kota kita ini - dan satu dari mereka mungkin orang yang memasuki rumah Potter dan membongkar laci meja tulisnya."
Bab 5 JEJAK KAKI BERNYALA "PAKAI kemeja putihmu, Jupiter," kata Bibi Mathilda, "serta jas santaimu yang biru." "Hawa terlalu panas," kata Jupe.
"Pakai, kataku," kata Bibi Mathilda berkeras. "Aku tidak suka jika kau kelihatan seperti perampok, saat kita nanti mendatangi Mrs. Dobson."
Jupiter mengeluh. Dikancingkannya kemeja putih yang kaku karena kanji, hampir sampai ke leher. Tapi kancing paling atas dibiarkannya terlepas. Kalau itu juga dikancingkan, bisa sesak napasnya nanti. Setelah itu dikenakannya jas santainya yang biru.
"Sudah siap, Bi"" katanya pada bibinya.
Bibi Mathilda meratakan roknya yang terbuat dari kain tweed tebal, lalu menyampirkan jaket wol cokelat ke bahunya.
"Bagaimana kelihatannya"" tanya Bibi Mathilda pada Jupiter. "Sedikit pun Bibi tidak seperti seorang perampok," kata Jupiter.
"Memang begitu mestinya," kata Bibi Mathilda. Ia turun bersama Jupiter, lalu keluar lewat ruang duduk. Paman Titus memilih lebih baik tidak ikut dalam rombongan penyambutan Mrs. Dobson serta putranya. Ia menikmati kenyamanan tidur Minggu siang di sofa.
Angin segar bertiup, mengusir kabut pagi. Air laut nampak kemilau kena sinar matahari, saat Bibi Mathilda berjalan seiring dengan Jupiter menuju ke jalan raya, lalu membelok ke arah selatan. Tidak banyak orang yang berjalan kaki di trotoar kawasan bisnis di kota Rocky Beach. Tapi mobil bersesak-sesakan, maju beringsut-ingsut di jalan-jalan tengah kota. Jupiter serta bibinya melewati toko roti dan toko kue-kue. Akhirnya mereka sampai di seberang Seabreeze Inn.
"Hotel itu dipelihara dengan baik oleh Miss Hopper," kata Bibi Mathilda. Ia melangkah ke jalur penyeberangan, sambil memelototkan mata ke arah sebuah mobil Buick yang datang. Pengemudi mobil itu cepat-cepat mengerem. Rupanya ngeri menghadapi sikap galak wanita yang hendak menyeberang itu. Bibi Mathilda melangkah dengan gagah ke seberang, diikuti dengan tergesa-gesa oleh Jupiter.
Bibi Mathilda masuk ke kantor Seabreeze Inn, lalu menekan tombol bel kecil yang ada di meja resepsionis.
Pintu yang ada di belakang meja itu terbuka.
"Mrs. Jones!" seru wanita yang muncul. Itulah Miss Hopper. Ia keluar sambil merapikan seberkas rambut yang sudah putih. Kemunculannya disertai hamburan bau sedap ayam pan
ggang. "Kau juga ikut, Jupiter. Apa kabar""
"Kudengar Mrs. Dobson menginap di sini, bersama anaknya," kata Bibi Mathilda, tanpa berbasa-basi lagi.
"Ya, betul! Kasihan - ia bingung sekali, ketika datang kemari kemarin. Setelah itu Chief Reynolds datang untuk menemuinya. Bayangkan - di sini, di hotel ini!"
Miss Hopper menghargai jasa kepala polisi itu demi keamanan warga Rocky Beach. Tapi terasa jelas, ia tidak suka jika polisi mengusik ketenangan hotel kecilnya. Ia khawatir, nama baik Seabreeze Inn akan menurun karenanya.
Bibi Mathilda mendecak-decak, sebagai pernyataan ia bisa memahami sikap Miss Hopper. Kemudian ditanyakannya di mana Mrs. Dobson saat itu. Miss Hopper menunjuk ke teras kecil, di belakang hotel.
"Ia di sana bersama putranya, ditemani Mr. Farrier, yang berusaha menghiburnya," kata Miss Hopper.
"Mr. Farrier"" kata Jupiter mengulangi nama itu.
"Ia juga tamu hotel," kata Miss Hopper menjelaskan. "Orangnya simpatik. Kelihatannya ia sungguh-sungguh menaruh perhatian pada Mrs. Dobson. Senang rasanya melihat hal itu. Sekarang ini, orang-orang rasanya seperti saling tak peduli. Tapi Mrs. Dobson juga sangat cantik, sih - apalagi masih muda!"
"Ya, itu selalu menguntungkan," kata Bibi Mathilda.
Diajaknya Jupiter meninggalkan kantor. Mereka berjalan menyusuri beranda hotel, melewati deretan pintu bernomor serta jendela-jendela bertingkap biru, menuju teras kecil yang menghadap ke pantai.
Mrs. Dobson, yang memang masih muda, duduk menghadapi sebuah meja bundar berukuran kecil, bersama anak laki-lakinya. Di depan mereka ada minuman segar, dalam gelas plastik. Dan mereka ditemani seorang laki-laki berkumis kaku melintang. Ternyata ia pemancing ikan amatir yang sehari sebelumnya sudah dilihat Jupiter di pinggir jalan di depan toko Potter. Penampilannya hari itu lebih semarak lagi, dibandingkan dengan ketika Jupiter pertama kali berjumpa dengannya. Jaket dan celana katunnya kini berwarna putih mulus dan disetrika licin. Topi layarnya disorong ke belakang, sehingga nampak rambutnya yang berwarna kelabu kebiruan. Orang itu sedang bercerita tentang kehebatan kota Hollywood. Ia menawarkan diri sebagai pemandu, jika Mrs. Dobson ingin pesiar. Kelihatannya sudah agak lama juga orang itu mengoceh, kalau melihat sinar mata Mrs. Dobson yang sudah pudar.
Mr. Farrier bukannya menghibur Mrs. Dobson, tapi malah membuatnya bosan setengah mati, kata Jupiter dalam hati. Dan nampak jelas kelegaan pada diri Eloise Dobson, ketika ia melihat Jupiter muncul di teras bersama bibinya.
"Hai!" seru Tom Dobson. Remaja itu cepat-cepat berdiri, mengambilkan dua buah kursi.
"Mrs. Dobson," kata Jupiter, "saya dan bibi saya -"
Tapi Bibi Mathilda langsung memotong. Ia sendiri bisa memperkenalkan diri. Dan itu dilakukannya dengan ketegasan sikap seperti biasanya.
"Saya Mrs. Titus Jones," ucapnya pada Mrs. Dobson, "bibi Jupiter. Saya datang untuk menegaskan bahwa Jupiter takkan mungkin memasuki rumah Mr. Potter dengan maksud jahat."
Bibi Mathilda duduk di kursi yang diletakkan oleh Tom Dobson dekat meja.
Senyuman lesu muncul di wajah Eloise Dobson.
"Saya juga tahu," katanya. "Maaf, jika aku kemarin melabrakmu, Jupiter. Kurasa karena saat itu aku capek sekali, dan juga gugup. Kami melintasi wilayah Arizona tanpa berhenti sama sekali - dan aku tidak pernah lagi melihat
ayahku, sejak masih bayi." Ia menengkurapkan gelas plastik yang sudah kosong. "Bisa dibilang, aku belum pernah melihat ayahku itu; apa sih yang masih bisa diingat dari masa ketika kita masih berumur tiga tahun! Aku tidak tahu pasti apa yang akan kujumpai di sini. Lalu ketika kami tiba dan melihatmu keluar lewat jendela, kusangka - yah, kusangka kau masuk ke situ dengan niat jahat."
"Ya, itu memang masuk akal," kata Jupiter. Ia duduk di kursi yang diambilkan, sementara Tom Dobson bergegas menuju alat otomatis penghidang minuman segar, dengan segenggam mata uang receh.
"Setelah itu polisi bersikap begitu aneh, dan nampaknya tidak ada yang mau mempercayai identitas diriku," kata Mrs. Dobson menyambung. "Sedang Ayah menghilang dengan cara begitu. Tadi malam aku sama sekali tidak bisa tidur. Sungguh
!" "Itu bisa kubayangkan," gumam Mr. Farrier. Tangannya bergerak, seakan-akan hendak memegang tangan Mrs. Dobson. Tapi Mrs. Dobson lekas-lekas menggeser tangannya ke bawah meja.
"Ini Mr. Farrier," kata wanita muda itu, tanpa memandang langsung ke arah orang yang namanya disebut. "Mr. Farrier, ini Mrs. Jones - dan Jupiter Jones."
"Jupiter Jones sudah saya kenal," kata Farrier dengan gaya ramah. "Bagaimana kepalamu sekarang, Anak muda""
"Sudah biasa lagi - terima kasih," jawab Jupiter.
"Akibat jatuh tidak boleh diremehkan," kata Farrier lagi. "Aku ingat sewaktu aku di Kairo -"
"Belum pernah ke sana!" tukas Bibi Mathilda. Ia tidak ingin pengganggu itu melantur lebih jauh.
Dan Mr. Farrier memang langsung bungkam.
"Apa rencana Anda sekarang, Mrs. Dobson"" tanya Bibi Mathilda.
Wanita yang ditanya mendesah.
"Saya jelas takkan kembali ke Belleview, sebelum tahu persis apa sebetulnya yang terjadi," katanya dengan sikap tabah. "Untungnya ada surat dari Ayah, yang mengatakan bahwa saya boleh tinggal di sini selama musim panas - jika saya berkeras ingin datang. Bukan undangan yang sangat ramah - tapi pokoknya, itu merupakan undangan juga! Saya sudah memperlihatkannya pada Chief Reynolds tadi pagi. Surat itu ditulis di kertas surat resmi Ayah, jadi Chief Reynolds boleh yakin bahwa saya tidak bohong. Sementara ini ada seorang polisi yang bertugas menjaga di rumah. Tapi Chief Reynolds mengatakan jika para petugas sidik j ari sudah selesai dengan pekerjaan mereka di sana, ia takkan melarang jika kita ingin tinggal di rumah itu. Tapi saya kira ia sebetulnya tidak begitu setuju."
"Lalu Anda akan pindah ke sana"" tanya Bibi Mathilda.
"Rasanya, begitulah! Biaya perjalanan kami cukup tinggi, dan tinggal di hotel ini kan tidak bisa cuma-cuma. Belum lagi Tom - jangan-jangan sebentar lagi ia berkotek-kotek, jika masih harus makan ayam goreng lagi di restoran pinggir jalan. Mrs. Jones - tidak bisakah kepala polisi mengerahkan regu pencari ke bukit-bukit, untuk mencari ayah saya""
Kini Jupiter membuka mulut.
"Itu tak praktis, Mrs. Dobson," katanya. "Kelihatannya ayah Anda lenyap karena ia sendiri yang menginginkannya. Sedang di daerah perbukitan ada ribuan tempat di mana ia bisa menyembunyikan diri. Dengan kaki telanjang pun, ia bisa -"
"Kaki telanjang"" kata Eloise Dobson dengan nada heran. Suasana menjadi kikuk, karena tidak ada yang membuka mulut. "Anda tidak tahu"" kata Bibi Mathilda kemudian.
"Tidak tahu apa" Apakah ayah saya melepaskan sepatunya - atau bagaimana"" "Potter tidak pernah memakai sepatu," kata Bibi Mathilda. "Ah - Anda pasti bercanda!"
"Maaf," kata Bibi Mathilda sepenuh hati. "Tapi Potter memang benar-benar tidak pernah memakai sepatu. Ia biasa pergi ke mana-mana tanpa sepatu, dan mengenakan jubah putih." Bibi Mathilda berhenti sebentar. Rupanya ia merasa tidak enak, karena keterangan selanjutnya pasti akan menambah kekusutan pikiran Mrs. Dobson. Tapi kemudian pikirannya berubah. "Rambutnya yang sudah putih dibiarkan tumbuh panjang, begitu pula berewoknya."
Saat itu Tom Dobson datang, membawakan minuman untuk Bibi Mathilda dan Jupiter.
"Seperti Nabi Eliah saja," kata remaja itu mengambil kesimpulan.
"Dengan kata lain," kata Mrs. Dobson, "ayahku merupakan manusia eksentrik di kota ini."
"Satu di antara sekian banyak," kata Jupiter dengan nada menenangkan. "Di Rocky Beach sini banyak orang eksentrik."
"Begitu." Di atas meja terletak sebatang sedotan. Mrs. Dobson memungutnya, lalu mematah-matahkannya membentuk lipatan. "Pantas ia tidak pernah mengirimkan fotonya. Mungkin ia gelisah, karena aku akan datang. Mungkin ia tidak begitu suka - tapi aku ingin sekali bertemu dengannya. Jadi ketika waktu sudah mendesak, kurasa rasa ngerinya timbul, lalu ia menghilang. Nah - takkan kubiarkan ia berbuat begitu! Aku anaknya - yang sekarang ada di sini dan akan tetap berada di sini. Jadi lebih baik jika ia muncul!"
"Ya - betul, Bu!" kata Tom bersemangat.
"Jadi tidak ada gunanya membuang-buang waktu," sambung ibunya. "Tom, tolong katakan pada Miss Hopper, siang ini kita akan keluar dari hotel. Dan telepon kepala polisi itu. Ia harus menginstruks
ikan bawahannya yang menjaga di rumah Kakek, bahwa kita harus diperbolehkan masuk."
"Anda yakin, tindakan itu bijaksana"" tanya Jupiter. "Saya kemarin tidak bermaksud jahat, ketika masuk ke rumah ayah Anda. Tapi ada orang lain yang begitu. Ini buktinya!" Ia berkata begitu sambil meraba benjolan yang masih menghias keningnya.
Eloise Dobson berdiri. "Aku akan berhati-hati," katanya pada Jupiter. "Dan kalau ada orang datang dengan maksud jahat, kunasihatkan saja padanya agar juga berhati-hati. Aku tidak suka pada senjata api - tapi aku cukup mampu mengayunkan tongkat pemukul. Bukan itu saja, aku juga membawanya."
Bibi Mathilda menatap wanita muda itu. Ia tidak menyembunyikan kekagumannya.
"Hebat!" katanya. "Saya sendiri takkan berpikir ke situ."
Nyaris saja Jupiter terbahak. Bibinya takkan memerlukan tongkat pemukul. Jika ada yang berani mencoba masuk ke Jones Salvage Yard dengan niat jahat, mungkin Bibi Mathilda malah akan menggebuk orang itu dengan lemari bekas.
Bibi Mathilda bangkit. "Jika Anda hendak pindah ke rumah Potter hari ini, Anda pasti memerlukan perabotan Anda," katanya. "Potter kemarin datang ke perusahaan kami, dan di sana memilih satu tempat tidur untuk Anda, serta satu lagi untuk putra Anda - di samping beberapa barang lagi. Kami berdua akan mengurusnya nanti. Setengah jam lagi kami akan mendatangi Anda di rumah. Cukupkah waktunya""
"Lebih dari cukup," kata Mrs. Dobson. "Anda baik hati! Tidak enak rasanya, merepotkan Anda."
"Ah, ini kan bukan apa-apa," kata Bibi Mathilda. "Yuk, Jupiter." Ia berjalan ke serambi, menuju jalan raya. Tapi kemudian tertegun seperti teringat pada sesuatu, lalu berpaling ke arah teras. "Selamat siang, Mr. Farrier," serunya.
Ketika sudah separuh jalan, barulah kegelian Jupiter meledak. Ia tertawa keras-keras.
"Aku ingin tahu, pernah atau tidak Farrier mengalami dirinya dianggap sepi seperti tadi," katanya pada bibinya. "Bibi melindasnya, seperti tank raksasa melindas cacing."
"Badut!" bentak Bibi Mathilda. "Soalnya aku tahu pasti, wanita malang itu merasa terganggu olehnya! Laki-laki... - huhh!" Bibi Mathilda mendengus.
Begitu sampai, Bibi Mathilda langsung bergegas masuk ke rumah, membangunkan Paman Titus yang sedang enak-enak tidur. Paman bangun dengan gontai, lalu memanggil Hans dan Konrad. Dalam waktu lima belas menit, truk pengangkut sudah dimuati kedua tempat tidur yang dipilih oleh Potter, ditambah dua kursi dengan sandaran lurus, lalu dua lemari kecil yang diambil sendiri oleh Bibi Mathilda dari gudang tempat penyimpanan perabotan.
"Ia pasti memerlukan sesuatu untuk menaruh barang bawaannya," katanya.
Hans dan Jupiter mengambil belanjaan Potter dari lemari es. Setelah itu keduanya masuk ke kabin truk bersama Bibi Mathilda. Dengan segera kendaraan pengangkut itu sudah bergerak dijalan raya, menuju rumah Potter.
Mobil biru dengan pelat nomor Illinois diparkir dekat gudang tempat Potter menyimpan bahan-bahan keperluannya. Ketika truk yang membawa Bibi Mathilda bersama kedua asistennya membelok dari jalan raya, Tom Dobson sedang berjalan menuju rumah sambil menjinjing dua buah kopor. Sedang Mrs. Dobson berdiri di serambi depan. Rambutnya yang pendek tergerai dipermainkan angin.
"Semuanya beres"" seru Bibi Mathilda dari kabin truk.
"Yah - kalau Anda belum tahu, bubuk yang dipakai petugas sidik jari berwarna kelabu," kata Eloise Dobson. "Dan bubuk itu terserak di mana-mana di dalam rumah. Kurasa itu bisa dibersihkan. Tapi kecuali cawan yang seabrek banyaknya, tidak ada apa-apa lagi di tempat ini. Kosong, seperti lumbung sebelum panen!"
"Potter memang tidak suka membebani diri dengan harta benda," kata Jupiter menjelaskan.
Eloise Dobson memandangnya dengan sikap heran.
"Selalu begitukah caramu berbicara"" tanyanya pada Jupiter.
"Jupiter gemar sekali membaca," kata Bibi Mathilda menerangkan, lalu menghampiri bak belakang truk untuk mengawasi pekerjaan menurunkan perabotan.
Jupiter sibuk dengan bagian kepala tempat tidur. Ia kewalahan, karena benda yang terbuat dari kuningan itu berat. Tapi tiba-tiba dilihatnya dua orang laki-laki berjalan dengan santai, menuruni jalan pribadi Hillt
op House. Ia sudah pernah melihat mereka, ketika keduanya datang ke Jones Salvage Yard sehari sebelum itu. Laki-laki langsing berambut ikal yang menyetir mobil, serta penumpangnya yang bertubuh gempal dan berkepala botak. Kedua orang itu memakai setelan yang rapi, serta sepatu hitam. Mereka memandang sebentar ke arah halaman depan rumah Potter yang sedang penuh dengan kesibukan, lalu menyeberang jalan dan menuruni jalan setapak yang menuju ke pantai.
Tom Dobson menghampiri Jupiter, untuk membantunya.
"Siapakah mereka itu"" tanya Tom. "Tetangga kami""
"Aku juga tidak tahu," jawab Jupiter. "Mereka orang baru."
Tom memegang satu sisi bagian kepala tempat tidur, sementara Jupiter menjunjung sisi yang satu lagi. "Pakaian aneh, untuk berjalan-jalan di pantai," kata Tom.
"Tidak semua orang menyesuaikan pakaiannya dengan apa yang akan dilakukan," kata Jupiter. Ia teringat pada Mr. Farrier yang semarak dandanannya.
Kedua remaja itu terhuyung-huyung masuk ke rumah sambil menggotong bagian kepala tempat tidur yang berat. Mereka membawanya ke tingkat atas. Saat itu Jupiter melihat bahwa kata Eloise Dobson tadi memang benar. Rumah Potter bahkan lebih kosong daripada lumbung-lumbung pada umumnya. Di tingkat atas ada empat kamar tidur, serta sebuah kamar mandi di mana terdapat bak mandi model kuno yang tinggi, dengan penyangga berbentuk kaki binatang. Di dalam salah satu kamar tidur ada sebuah katil yang tidak seberapa lebar dan ditutup rapi dengan seprai putih. Potter juga memiliki sebuah meja kecil yang terletak di samping pembaringan, lalu sebuah lampu, sebuah jam weker, dan sebuah bupet kecil berlaci tiga buah. Bupet itu dicat putih. Hanya itu saja. Ketiga kamar tidur lainnya nampak sangat rapi dan bersih. Tapi kosong melompong!
"Ibu memilih kamar ini, Bu"" tanya Tom, sambil menjengukkan kepala ke dalam kamar yang terletak di sebelah depan.
"Yang mana sajalah," kata Mrs. Dobson.
"Ada perapian di sini," kata Tom. "Dan coba lihat barang luar biasa itu!"
Tom dan Jupe menyandarkan bagian kepala tempat tidur ke dinding, lalu memperhatikan "barang luar biasa" yang menarik perhatian Tom. Benda itu sebuah lempengan dari tembikar selebar satu setengah meter, yang dipasang menempel ke dinding di atas perapian.
"Rajawali berkepala dua!" kata Jupiter.
Tom menelengkan kepala, mengamat-amati burung tembikar berwarna merah menyala, yang kedua paruh runcingnya menganga lebar.
"Teman lamamu"" kata Tom pada Jupiter.
"Mungkin kenalan lama kakekmu," kata Jupiter. "Ia selalu berkalung medalion dengan hiasan rajawali seperti ini. Mestinya ada makna khusus baginya. Kedua guci besar di sisi jenjang di depan rumah juga dihiasi rajawali berkepala dua. Kau melihatnya tadi""
"Aku tadi sibuk," kata Tom. "Kami harus memindahkan sebuah tempat tidur."
Saat itu terdengar langkah Bibi Mathilda yang berat, menaiki tangga.
"Mudah-mudahan persediaan seprai orang itu mencukupi," kata Bibi Mathilda dengan nada prihatin. "Begitu pula alas tempat tidur. Kau melihat kasur-kasur, Jupiter""
"Ada, di kamar belakang," seru Tom. "Masih baru semuanya. Masih dibungkus kertas."
"Syukurlah," kata Bibi Mathilda. Setelah itu ia sibuk membuka pintu demi pintu, sampai akhirnya menemukan lemari tempat penyimpanan seprai dan taplak. Di situ ada seprai yang juga masih baru, lalu alas tempat tidur, serta selimut. Dan juga dua buah bantal, yang masih terbungkus dalam plastik.
Bibi Mathilda membuka salah satu jendela sebelah depan.
"Hans!" serunya memanggil ke bawah.
"Ya, saya datang!" Hans naik ke rumah, sambil menjunjung bagian kaki tempat tidur kuningan. "Pasti repot memasangnya nanti," kata Tom Dobson.
Kenyataannya memang begitu. Hans baru berhasil memasang tempat tidur berat itu, setelah dibantu sekuat tenaga oleh Jupe dan Tom. Setelah itu kasur-kasur diambil dari kamar belakang lalu dipasang di tempatnya, sementara Bibi Mathilda sibuk membentangkan seprai. Tiba-tiba ia berseru dengan kaget.
"Belanjaan masih ada di bak belakang!"
"Belanjaan"" kata Mrs. Dobson. "Kok Anda repot-repot""
"Bukan aku yang berbelanja," kata Bibi Mathilda. "Ayah Anda begitu banyak membeli bekal bahan pangan - r
asanya mencukupi untuk memberi makan sepasukan tentara. Selama ini kutaruh di dalam lemari es, supaya jangan busuk."
Eloise Dobson nampak kaget mendengar keterangan itu.
"Ayah rupanya sudah menyiapkan diri, setelah tahu kami akan datang. Tapi kalau begitu, kenapa ia kemudian minggat" Yah..., kuambil saja belanjaan itu," katanya menyambung dengan cepat, lalu ke bawah. "Tolong dia sebentar, Jupiter," kata Bibi Mathilda.
Jupiter baru sampai di pertengahan tangga ketika Mrs. Dobson masuk kembali sambil menjinjing kantung-kantung kertas.
"Yang jelas, kami takkan kelaparan," kata wanita itu, lalu menuju ke dapur.
Jupiter mengikutinya. Tiba-tiba Mrs. Dobson tertegun. Kedua lengannya terkulai lemas, sehingga kantung-kantung yang dijinjingnya jatuh ke lantai. Eloise Dobson menjerit.
Jupiter mendorongnya ke samping, sementara pandangannya terarah ke dapur. Ada sesuatu yang luar biasa di situ, dekat pintu sepen. Tiga kobaran api berwarna hijau!
"Ada apa"" Bibi Mathilda bergegas menuruni tangga, seiring dengan Tom. Hans menyusul di belakang keduanya.
Jupe dan Mrs. Dobson masih tegak seperti terpaku di tempat masing-masing, sambil menatap nyalang ke arah ketiga lidah api aneh yang berwarna hijau menyeramkan.
Bibi Mathilda mengucap-ucap.
Nyala api berkelip-kelip lalu padam, tanpa sedikit pun meninggalkan bekas asap. "Apa-apaan itu"" kata Tom Dobson.
Jupiter masuk ke dapur, diikuti oleh Hans dan Tom. Hampir semenit lamanya mereka terpaku memandang lantai linoleum - ke tempat nyala api yang menari-nari tadi. Kemudian Hans berkata, "Itu Potter! Ia kembali! Ia kembali untuk menghantui rumah ini!"
"Tidak mungkin!" kata Jupiter Jones. Tapi ia tidak bisa membantah kenyataan yang ada. Di lantai linoleum nampak bekas nyala api - berbentuk tiga tapak kaki. Tapak kaki telanjang!
Bab 6 TUGAS UNTUK TRIO DETEKTIF
HANS cepat-cepat disuruh ke telepon umum di pinggir jalan raya untuk memanggil polisi. Dan sepuluh menit kemudian polisi sudah datang. Seluruh rumah diperiksa, dari ruang loteng sampai ke ruang bawah tanah. Tapi tidak ada sesuatu pun yang ditemukan - kecuali ketiga jejak kaki yang hangus di lantai dapur.
Officer Haines mengendus bau jejak-jejak itu. Ia juga melakukan pengukuran. Dicongkelnya sedikit linoleum yang hangus terbakar, lalu dimasukkannya ke dalam sebuah sampul. Petugas polisi itu menatap Jupiter dengan pandangan dingin.
"Jika ada sesuatu tentang urusan ini yang kauketahui, tapi tidak kaukatakan pada kami -" katanya dengan sikap curiga. Tapi Bibi Mathilda langsung memotong.
"Omong kosong!" tukasnya. "Mana mungkin Jupiter bisa mengetahui sesuatu yang tidak kami ketahui" Sepanjang hari ia ada bersamaku, dan tadi ia baru saja turun untuk membantu. Mrs. Dobson memasukkan belanjaan, ketika tahu-tahu muncul anu - eh, jejak-jejak itu."
"Oke, oke," kata petugas polisi itu. "Cuma ia selalu saja kebetulan hadir, jika ada suatu kejadian, Mrs. Jones."
Haines memasukkan sampul berisi cukilan linoleum hangus ke dalam kantungnya.
"Jika saya ini Anda, Mrs. Dobson," katanya, "saya akan keluar dari sini, dan kembali ke hotel."
Eloise Dobson duduk terhenyak, lalu menangis. Sedang Bibi Mathilda menggeratak dengan geram. Diisinya sebuah cerek dengan air, untuk membuat teh panas. Ia yakin, tidak banyak kesulitan dalam hidup ini yang tidak bisa diperingan dengan secangkir teh panas.
Polisi kembali ke markas besar mereka. Tom dan Jupiter pergi ke halaman depan yang luas, lalu duduk di jenjang tangga, di antara kedua guci besar.
"Aku cenderung berpendapat bahwa kata Hans tadi benar," kata Tom. "Bisa saja kakekku sudah meninggal dunia, lalu..."
"Aku tidak percaya pada hantu," kata Jupiter tegas. "Bukan itu saja - aku pun tidak percaya bahwa kau percaya hantu itu ada. Lagi pula, Potter kan sudah begitu repot bersiap-siap menyambut kedatangan kalian. Untuk apa ia kini kembali dan menakut-nakuti ibumu dengan cara seperti tadi""
"Aku juga takut," kata Tom terus terang. "Jika kakekku masih hidup, di mana ia sekarang""
"Paling akhir kita ketahui, ia ada di bukit," kata Jupiter.
"Tapi kenapa"" tanya Tom.
"Alasannya tergantung dari banyak hal," kata Jupiter. "B
erapa banyak sebenarnya yang kauketahui tentang kakekmu""
"Tidak banyak," kata Tom dengan jujur. "Cuma yang kudengar dari ibuku saja. Sedang ia sendiri juga tidak banyak tahu tentang Kakek. Salah satu di antaranya ialah bahwa dulu namanya bukan Potter."
"Ah!" kata Jupiter. "Aku pun sudah sering bertanya-tanya dalam hati tentang itu, karena rasanya terlalu kebetulan - pembuat tembikar bernama Potter."
"Kakek sebenarnya berasal dari Ukraina, di sebelah timur Eropa. Tapi ia sudah lama pindah ke Amerika Serikat," kata Tom. "Datangnya kemari kalau tidak salah tahun 1931. Nama sebenarnya banyak huruf 'c' dan 'z', sehingga orang sini tidak mampu menyebutnya. Ia bertemu dengan nenekku ketika ia sedang mengikuti kursus kerajinan tembikar di sebuah sekolah malam di New York. Nenekku tidak ingin menjadi Mrs.... Mrs.... ah entah siapa nama sebenarnya, dan karena itu Kakek lantas mengganti namanya dengan Potter."
"Nenekmu orang New York"" tanya Jupiter.
"Kalau aslinya, bukan," kata Tom. "Ia dilahirkan di Belleview, seperti kami juga. Ia pergi ke New York, dengan maksud hendak menjadi perancang busana - atau semacam itulah! Kemudian Nenek berjumpa dengan pria bernama Alexander Anu itu lalu menikah dengannya. Kurasa waktu itu Kakek belum punya kebiasaan mengenakan jubah panjang berwarna putih. Nenek pasti tidak suka. Pandangannya kuno!"
"Kau masih ingat padanya""
"Sedikit-sedikit. Nenek sudah lama meninggal dunia, sewaktu aku masih kecil. Sakit radang paru-paru. Dari pembicaraan yang kudengar dalam keluarga kami, sejak awal Nenek sudah tidak bisa cocok dengan kakekku. Kakek benar-benar hebat selaku pengrajin tembikar. Ia waktu itu memiliki toko kecil. Tapi Nenek mengatakan, suaminya sangat penggugup, dan setiap pintu dilengkapi dengan kunci sampai rangkap tiga. Nenek juga mengatakan, ia tidak tahan mencium bau tanah liat yang lembab. Jadi ketika hendak melahirkan ibuku, Nenek kembali ke Belleview, dan sejak itu tetap tinggal di sana."
"Ia tidak pernah kembali ke suaminya""
"Tidak. Kalau tidak salah, Kakek pernah satu kali datang menjenguk ketika ibuku masih sangat kecil. Tapi Nenek dan Kakek tidak pernah berkumpul kembali."
Jupiter menarik-narik bibirnya. Terbayang olehnya betapa sepinya kehidupan Potter, tinggal seorang diri di rumahnya, di tepi laut.
"Tapi Kakek tidak pernah melupakan Nenek," kata Tom. "Setiap bulan ia mengiriminya uang - untuk ibuku! Dan ketika kemudian orang tuaku menikah, Kakek menghadiahi mereka perlengkapan yang hebat untuk minum teh. Ia juga selalu menulis surat. Bahkan ketika nenekku sudah meninggal dunia pun ia masih suka menulis - pada ibuku. Sampai akhir-akhir ini."
"Bagaimana dengan ayahmu"" tanya Jupiter.
"Wah - ayahku hebat," kata Tom. Terdengar jelas bahwa ia sangat menyukai ayahnya. "Ia memiliki sebuah toko besi di Belleview. Ia tidak begitu gembira ketika Ibu memutuskan untuk datang menjenguk Kakek kemari - tapi akhirnya Ibu berhasil memaksakan kemauannya."
"Kau tahu tidak, apa sebabnya kakekmu kemudian pindah ke California sini"" tanya Jupiter.
"Kurasa karena cuacanya," kata Tom. "Bukankah kebanyakan orang pindah kemari karena alasan itu""
"Masih ada alasan lainnya," kata Jupiter. Matanya tertatap ke arah jalan setapak yang menuju pantai. Kedua laki-laki yang bersetelan gelap nampak mendaki dengan susah payah di sana, kemudian menyeberang, lalu memasuki jalan pribadi Hilltop House.
Jupiter berdiri. Ia bersandar ke guci besar yang ada di dekatnya. Ditelusurinya bentuk kawanan rajawali merah menyala di situ dengan jarinya.
"Kita menghadapi serangkaian teka-teki menarik," katanya. "Pertama, apa sebabnya Potter tahu-tahu menghilang" Lalu kedua, siapa yang mengacak-acak kantornya kemarin" Selanjutnya, siapa, atau apa, yang menimbulkan tapak kaki berapi di dapur tadi" Dan untuk apa" Lalu tidakkah aneh, bahwa selama ini tak seorang pun di Rocky Beach ini yang tahu bahwa kalian ada""
"Itu kan tidak aneh, jika Kakek hidup seperti pertapa," balas Tom. "Maksudku, orang yang cuma punya sebuah kursi saja di rumahnya, bisa dibilang tidak suka bergaul."
"Pertapa atau tidak, tapi ia kan tetap seorang kakek," kata Ju
piter Jones. "Beberapa orang kenalan Bibi Mathilda juga punya cucu, dan mereka gemar sekali memperlihatkan foto-foto cucu mereka. Sedang Potter tidak pernah sekali pun melakukannya. Ia bahkan tidak pernah menyebut-nyebut tentang dirimu atau ibumu, pada siapa pun juga."
Tom Dobson memeluk lututnya.
"Aku rasanya seperti tidak kelihatan karenanya," kata remaja itu. "Kejadian ini seperti mimpi buruk! Kurasa lebih baik kami cepat-cepat pulang ke Belleview. Cuma -"
"- jika itu kalian lakukan, kau takkan pernah mengetahui jawaban segala teka-teki ini. Ya, kan"" kata Jupiter menyambung. "Kusarankan agar kalian sebaiknya menghubungi perusahaan detektif swasta."
"Mana mungkin!" kata Tom dengan kaget. "Kami memang bukan orang miskin, tapi dibilang kaya juga tidak. Untuk menyewa tenaga detektif swasta, kan memerlukan uang cukup banyak!"
"Kalau perusahaan yang ini, pasti akan kaunilai pantas," kata Jupiter. Ia merogoh kantungnya, lalu mengeluarkan selembar kartu nama yang langsung disodorkannya pada Tom. Ukuran kartu itu agak besar, dan di situ tertulis:
TRIO DETEKTIF "Kami Menyelidiki Apa Saja" " " "
Penyelidik Satu - Jupiter Jones Penyelidik Dua - Pete Crenshaw Catatan dan Riset - Bob Andrews
Tom membacanya, lalu tersenyum hambar. "Kau bercanda," katanya.
"Tidak - aku serius," kata Jupiter pada remaja itu. "Hasil kegiatan kami selama ini sangat mengesankan." "Tapi kenapa di sini ada tiga tanda tanya"" tanya Tom.
"Sudah kusangka kau akan menanyakannya," kata Jupiter. "Tanda tanya kan simbol yang umum, untuk sesuatu yang tidak diketahui. Ketiga tanda tanya itu merupakan semacam lambang Trio Detektif, yang berarti kami selalu siap untuk menyelidiki setiap misteri yang diajukan pada kami."
Tom Dobson melipat kartu nama itu, lalu mengantunginya.
"Baiklah," katanya. "Lalu bagaimana jika kasus lenyapnya kakekku ditangani oleh Trio Detektif"" "Pertama-tama, kusarankan bahwa sebaiknya itu merupakan urusan sesama kita saja. Ibumu saat ini pun sudah agak kacau pikirannya. Jadi bisa saja ia nanti secara tidak sengaja mengacaukan hal-hal yang sudah kita atur." Tom mengangguk.
"Orang dewasa, kadang-kadang memang malah suka menambah kerepotan," katanya.
"Selanjutnya, aku beranggapan bahwa pendapat Officer Haines tadi benar. Kuanggap tidak bijaksana jika kau dan ibumu tetap tinggal di rumah ini, berdua saja."
"Maksudmu, kau menghendaki agar kami kembali ke Seabreeze Inn""
"Itu tentu saja tergantung dari ibumu," kata Jupiter. "Tapi jika kalian tetap di sini, mungkin kalian akan lebih merasa tentram jika salah seorang penyelidik ikut tinggal di sini bersama kalian."
"Aku tidak tahu pendapat Ibu," kata Tom, "tapi aku sudah jelas akan jauh lebih senang." "Jadi urusan itu beres," kata Jupiter. "Nanti akan kubicarakan dengan Bob dan Pete." Saat itu Bibi Mathilda muncul bergegas-gegas.
"Jupiter!" katanya. "Kami sudah selesai memasang tempat tidur yang satu lagi. Tidak ada salahnya jika kau agak lebih rajin membantu!"
Trio Detektif 15 Misteri Jejak Bernyala di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Siasat Dewi Kasmaran 1 Jago Pedang Tak Bernama Bu Beng Kiam Hiap Karya Kho Ping Hoo Legenda Kelelawar 4