Misteri Jejak Bernyala 2
Trio Detektif 15 Misteri Jejak Bernyala Bagian 2
"Maaf, Bi, aku keasyikan mengobrol dengan Tom." Bibi Mathilda mendengus.
"Sejak tadi aku berusaha membujuk Mrs. Dobson agar mau kembali ke hotel. Tapi ia berkeras terus, ingin tetap di sini. Menurut anggapannya, ayahnya setiap saat bisa kembali." "Itu mungkin saja," kata Jupiter. "Ini kan rumahnya."
Mrs. Dobson keluar. Wajahnya masih pucat. Tapi ketabahannya sudah agak pulih, setelah menikmati secangkir teh panas.
"Yah," kata Bibi Mathilda, "kami pulang saja sekarang, jika tidak ada lagi yang bisa kami lakukan untuk Anda. Jika Anda nanti merasa takut, telepon saja ke rumah. Hati-hati sajalah!"
Eloise Dobson berjanji akan berhati-hati, dan rumah akan dikunci dengan baik.
"Mereka perlu mendatangkan tukang kunci," kata Bibi Mathilda, ketika truk yang dinaikinya bersama Hans dan Jupiter sudah meluncur ke arah Rocky Beach. "Soalnya, mereka bisa mengunci pintu-pintu rumah itu dari dalam, tapi tidak bisa membukanya dari luar. Potter edan itu rupanya membawa seluruh anak kunci! Dan mereka juga perlu memasang pesawat telepon. Risikonya terlalu besar, tinggal sendiri di situ tanpa telepon."
Jupiter sependapat dengannya.
Ketika truk sudah sampai lagi d
i Jones Salvage Yard, Jupiter menyelinap pergi dengan diam-diam. Ia masuk ke markas lewat Lorong Dua, lalu menelepon Pete Crenshaw dan Bob Andrews.
"Trio Detektif mendapat klien baru!" katanya pada Pete. "Dan namanya bukan Jupiter Jones!"
Bab 7 TRAGEDI DI KERAJAAN KETIKA Trio Detektif berkumpul dalam karavan yang merupakan markas mereka, hari sudah sore. Sudah pukul lima lewat. Secara singkat Jupiter menyampaikan laporan tentang kepindahan Mrs. Dobson beserta anaknya ke rumah Potter, lalu tentang jejak menyala yang tahu-tahu nampak di lantai dapur.
"Astaga!" seru Pete. "Jangan-jangan Potter sudah meninggal dunia, lalu arwahnya kembali untuk menghantui rumah itu!"
"Itulah yang dikatakan oleh Hans," kata Jupiter. "Tapi jejak-jejak itu tidak dibuat oleh Potter. Setidak-tidaknya, itu bukan jejak kakinya. Potter sudah bertahun-tahun tidak memakai sepatu. Mungkin kalian pernah memperhatikan, bahwa kakinya menjadi lebar. Sedang jejak kaki yang nampak itu langsing dan kecil - seperti tapak kaki laki-laki yang kecil, atau wanita."
"Mrs. Dobson"" kata Pete.
"Ia tidak punya waktu untuk itu," kata Jupiter, "Ia turun dari tingkat atas, lalu langsung keluar untuk mengambil belanjaan dari bak belakang truk. Dan aku langsung menyusulnya. Ia sudah mengambil belanjaan dan hendak melangkah masuk ke dapur, ketika ia melihat nyala api itu. Dan aku ada di belakangnya. Kecuali itu, untuk apa ia berbuat begitu" Dan dengan cara bagaimana""
"Bagaimana dengan kedua orang yang di Hilltop House"" kata Pete lagi.
"Itu bisa saja," kata Jupiter. "Mereka pergi ke pantai, ketika kami mulai memasukkan barang-barang untuk Mrs. Dobson serta anaknya. Kita tidak tahu pasti, apakah kedua orang itu terus ada di pantai. Bisa saja mereka masuk ke rumah lewat pintu depan yang tidak ditutup, lalu dengan salah satu cara menyebabkan jejak-jejak kaki itu menyala, dan kemudian menyelinap ke luar lagi, kembali ke pantai. Keterangan apa saja yang berhasil kauperoleh tentang Hilltop House, Pete""
Pete mengeluarkan sebuah buku catatan kecil dari kantungnya.
"Belum pernah kulihat Mr. Holtzer begitu senang," katanya pada kedua temannya. "Aku tadi mampir di kantornya, untuk menanyakan apakah ia memerlukan tenagaku untuk memotong rumput halaman rumahnya - dan ia mengatakan tidak - dan selanjutnya aku tidak perlu bertanya lagi. Ia langsung menceritakannya. Hilltop House itu ternyata sudah lima belas tahun termasuk dalam daftarnya. Bangunan itu sudah sangat rusak, sehingga ia tidak bisa menjual, atau menyewakannya. Bahkan diberi pun, tidak ada yang mau! Kemudian muncul seseorang yang mengatakan bahwa itu satu-satunya rumah di Rocky Beach yang cocok dengan seleranya, dan bahwa ia harus berhasil memperolehnya. Orang itu mengontraknya untuk satu tahun, dengan pembayaran sewa di muka untuk tiga bulan. Surat kontrak rumah itu ada di atas meja Mr. Holtzer - kurasa saat itu ia sedang menghitung uang komisi untuknya -jadi aku sempat membaca nama penyewanya yang baru."
"Siapa namanya""
"Mr. Ilyan Demetrieff," kata Pete. "Atau mungkin juga Demetrioff. Aku tidak tahu pasti, karena aku membacanya dari posisi terbalik. Dan Mr. Holtzer menyuruh mesin tiknya dibersihkan. Pokoknya, orang itu bernama Demetrieff atau Demetrioff, dan alamatnya yang lama Wilshire Boulevard nomor 2901, Los Angeles."
Bob mengambil buku telepon besar yang terletak di atas sebuah lemari arsip, membalik-balik halamannya, lalu menggeleng.
"Ia tidak terdaftar di sini."
"Banyak orang yang tidak terdaftar dalam buku telepon," kata Jupiter. "Nanti bisa kita telusuri kebenaran alamat itu, serta mengadakan penyelidikan tentang Mr. Demetrieff." Ia menarik-narik bibirnya. "Aku ingin kita tahu lebih banyak tentang rajawali berkepala dua itu. Kurasa itu mungkin sangat penting! Wujud itu tidak cuma ada di medalion yang selalu dipakai Potter, tapi juga terdapat pada dua guci di halaman depan rumahnya, serta pada lempeng tembikar besar yang terpasang di dalam salah satu kamar tidurnya. Kelihatannya bentuk itu sangat menarik bagi Potter."
Bob Andrews tertawa nyengir.
"Tentang itu, nasib kita sedang mujur," katanya pada Jupiter. "Apa
maksudmu"" "Kita tidak perlu menunggu sampai perpustakaan dibuka besok," kata Bob. "Ayahku baru saja membeli sebuah buku penghias meja kopi." "Apa"" kata Pete bingung.
"Buku penghias meja kopi - itu, buku-buku bergambar berukuran besar, yang reklamenya biasa dikirimkan lewat pos. Ayahku gampang sekali terbujuk untuk membelinya." Dekat kaki Bob ada sebuah kardus. Sambil tersenyum bangga diletakkannya kardus itu di atas meja, lalu dibuka. Pete dan Jupiter melihat sebuah buku yang indah, dengan sampul mengkilat. Judulnya, Harta Kaum Ningrat. Studi Foto tentang Makota-makota Kerajaan di Eropa, Disertai Komentar oleh E. P. Farnsworth.
"Bukankah itu makota Kerajaan Inggris"" kata Jupiter, sambil memandang benda indah yang menghiasi sampul buku. Makota itu terletak di atas kain beledu merah tua, dan difoto dari jarak dekat.
"Salah satu dari makota kerajaan," kata Bob menegaskan. "Kerajaan Inggris memiliki beberapa makota, ditambah sekian banyak tongkat kebesaran, bentuk bulatan dunia dengan salib, begitu pula pedang. Buku ini disusun mencakup kawasan yang luas. Ada foto-foto perhiasan Kerajaan Inggris, lalu makota Charlemagne, yang disimpan di Austria, serta makota St. Stephen dari Hongaria. Lalu ada pula makota Lombardia, yang terbuat dari besi. Selanjutnya sedikit tentang Rusia. Pada masa kekuasaan Tsar, orang Rusia sangat menggemari lambang burung rajawali - tapi kurasa rajawali inilah yang kita cari."
Sambil berbicara, Bob membalik-balik halaman buku itu, sampai lewat dari separuh, lalu menyodorkannya pada Jupiter.
"Makota Kerajaan Lapatia," katanya singkat. Pete ikut melihat dari balik bahu Jupiter. "Ya, betul!" katanya.
Makota Kerajaan Lapatia lebih mirip helm - tapi helm yang terbuat dari emas, dan penuh dengan hiasan batu permata berwarna biru. Pada bagian atasnya, empat simpai emas melingkari sebutir batu delima berukuran besar. Dan di atas batu permata itu terpasang bentuk seekor burung rajawali. Rajawali berwarna merah, dan berkepala kembar. Sayapnya yang cemerlang terbentang lebar, sedang kepalanya yang sepasang memandang ke kiri dan ke kanan. Matanya yang dari intan nampak gemerlapan, sedang kedua paruhnya ternganga, seakan-akan menantang bertarung.
"Kelihatannya memang sangat mirip dengan rajawali yang dibuat oleh Potter," kata Jupiter.
"Teks mengenainya ada di halaman sebelah," kata Bob.
Jupiter membalik halaman, lalu membaca teks yang tertera di situ dengan suara lantang,
"Makota Kerajaan Lapatia diciptakan oleh seorang seniman bernama Boris Kerenov, sekitar tahun 1543. Bentuk makota itu oleh Kerenov diambil dari helm yang dipakai oleh Pangeran Federic Azimov, dalam pertempuran di Karlon. Kemenangan Azimov dalam pertempuran itu mengakhiri perang saudara yang selama itu melanda dan memporak-porandakan Kerajaan Lapatia. Setelah dikalahkan balatentara Azimov, para bangsawan daerah selatan mengucapkan sumpah, untuk tidak lagi melanggar perdamaian di Lapatia. Tahun berikutnya, Pangeran Federic mengundang kaum bangsawan untuk datang ke Puri Madanhoff, di mana ia kemudian menyatakan dirinya sendiri menjadi raja Lapatia. Para bangsawan yang terkurung di dalam puri dan terpisah dari pasukan masing-masing, menyatakan patuh pada Pangeran Federic, serta mengucapkan sumpah setia padanya, selaku penguasa yang berdaulat. Tapi seorang pembangkang, yang dikenal dengan julukan Ivan yang Gagah, tidak mau mengucapkan sumpah setia. Menurut legenda, pejuang yang tidak mau tunduk itu kemudian dihukum mati di balairung Madanhoff, lalu kepalanya ditancapkan di ujung tombak, dan dipasang di atas tembok pertahanan puri.
"Penobatan Federic I dari Lapatia berlangsung di ruang gereja Puri Madanhoff, tahun 1544. Makota yang dirancang dan dibuat oleh Kerenov, selama hampir 4 abad berada di tangan keluarga Azimov, dan terakhir kali dipakai dalam penobatan Raja William IV, tahun 1913. Setelah wangsa Azimov digulingkan tahun 1925, makota itu dinyatakan menjadi milik rakyat Lapatia, dan kini dipamerkan di Museum Nasional Madanhoff, ibu kota yang kemudian berkembang, dengan puri Pangeran Federic sebagai pusatnya.
"Makota Azimov yang terbuat dari e
mas murni dan bertatahkan batu permata biru, atau lapis lazuli, bagian atasnya dihias dengan batu delima besar. Batu permata ini dikatakan dulunya milik Ivan yang Gagah. Segala harta milik bangsawan ini, setelah ia dihukum mati, disita oleh Federic Azimov. Rajawali berkepala kembar yang bertengger di atas batu permata itu merupakan lambang kebesaran wangsa Azimov. Kerenov membuatnya dari emas yang kemudian diupam. Mata rajawali itu berupa batu intan, yang masing-masing beratnya lebih dari dua karat."
Jupiter berhenti membaca. Dibaliknya halaman, lalu sekali lagi mengamat-amati foto makota.
"Begitulah salah satu cara memperoleh kekuasaan tertinggi," kata Pete. "Bunuh saja mereka yang membangkang."
"Tapi tindakan menyabet batu delima milik orang yang nyalang itu, lalu menancapkannya ke makota, bukan merupakan sikap terpuji," kata Bob.
"Di masa itu orang memang biasa main kasar," kata Jupiter.
"Tahun 1925 pun masih tetap begitu," kata Bob, sambil mengeluarkan buku catatannya. "Aku sudah mencari Lapatia dalam ensiklopedi. Kalian boleh percaya atau tidak - tapi Lapatia ternyata masih ada sekarang." "Belum dicaplok salah satu negara besar"" kata Jupe.
"Tidak - tapi sekarang sudah berbentuk republik. Ini, kubacakan sebentar. Republik Lapatia, luas wilayah 73 mil persegi, jumlah penduduk sekitar 20.000 jiwa. Keju merupakan penghasil devisa terpenting. Balatentara tetap berjumlah 350 orang, 35 di antaranya berpangkat jenderal."
"Jadi satu jenderal untuk setiap sepuluh prajurit," kata Pete tercengang.
"Yang jelas, mereka tidak bisa dibilang kurang pimpinan," kata Jupiter mengomentari sambil tertawa. "Apa lagi yang ada dalam catatanmu, Bob""
"Majelis Nasional Lapatia merupakan lembaga pemerintahan, dan beranggotakan para jenderal yang 35 orang, ditambah wakil-wakil departemen, atau provinsi, yang masing-masing menunjuk seorang utusan. Jumlah provinsinya ada sepuluh -jadi bisa kita tebak bagaimana hasilnya, jika diadakan pemungutan suara."
"Negara dikuasai para jenderal," kata Jupiter.
"Mereka juga yang memilih presiden," kata Bob.
"Tapi bagaimana dengan nasib wangsa Azimov"" tanya Pete.
"Nah - mereka tidak ada lagi di sana. Sudah kukatakan tadi, tahun 1925 mereka di sana masih tetap main kasar. William IV - kalian ingat, dialah keturunan Azimov terakhir yang masih menyandang makota kerajaan - waktu itu berpendapat, kas kerajaan mulai mengering. Ia menikah dengan wanita bangsawan Lapatia - masih sepupunya sendiri, jadi juga termasuk wangsa Azimov. Nah, permaisuri ini seleranya sangat tinggi! Gemar mengumpulkan gelang intan berlian, serta busana ciptaan Paris. Anaknya ada empat, masing-masing dengan guru pribadi, begitu pula kereta lengkap dengan kuda-kudanya. Raja William banyak utangnya. Sebagai jalan keluar dari kemelut itu, ia mengenakan pajak atas setiap bongkah keju yang dihasilkan di Lapatia. Tentu saja rakyat tidak senang. Dan para jenderal melihat peluang itu. Mereka menunggu sampai hari ulang tahun Raja William, saat mana seluruh keluarga besar Azimov berkumpul di ibu kota. Waktu itulah mereka menyerbu istana, lalu mengatakan pada William bahwa mulai saat itu ia bukan raja lagi."
"Apa yang terjadi kemudian"" tanya Jupiter.
"Kemungkinannya serupa seperti yang dialami Ivan yang Gagah," kata Bob. "Menurut catatan resmi, Baginda Raja gugup mendengar maklumat itu, lalu melompat dari sebuah balkon, tindakan mana menyebabkan ia tewas." "Ia didorong orang!" kata Pete dengan perasaan kecut.
"Kemungkinannya memang begitu," kata Bob. "Sedang anggota keluarga yang selebihnya ikut ketakutan, lalu mencabut nyawa masing-masing dengan berbagai cara. Permaisuri dikatakan bunuh diri dengan jalan minum racun." "Lalu rakyat mau saja percaya"" seru Pete.
"Siapalah yang berani meragukan, menghadapi jenderal sebanyak itu"" kata Bob dengan ketus. "Kecuali itu, dewan jenderal juga langsung membatalkan peraturan pajak atas keju - dan tindakan itu berhasil menenangkan gejolak perasaan yang mungkin ada. Istana kerajaan dijadikan museum nasional, sedang harta perhiasan kerajaan disumbangkan pada rakyat, agar semua bisa ikut menikmati."
"Tanpa ada yang bisa memakainya," sela Jupiter. "Cerita yang luar biasa! Tapi di pihak lain, mungkin juga tidak terlalu luar biasa, karena revolusi Amerika juga ada sangkut pautnya dengan pajak, yaitu yang dikenakan atas kiriman teh. Adakah anggota keluarga Azimov yang masih tersisa sekarang""
"Nantilah, akan kuteliti lebih lanjut besok, di perpustakaan," kata Bob menjanjikan. "Menurut ensiklopedi yang kubaca, wangsa itu tumpas dengan tewasnya Raja William, yang melompat dari atas balkon."
Jupiter merenung. "Menurut Tom Dobson, kakeknya berasal dari Ukraina. Bagaimana jika Tom ternyata keliru" Potter nampaknya sangat akrab dengan rajawali lambang wangsa Azimov. Jangan-jangan ada hubungan antara dirinya dengan keluarga kerajaan itu."
"Atau bisa juga, dengan parajenderal yang berontak," kata Bob menimpali. Pete bergidik.
"Mana mungkin, satu keluarga besar melakukan tindakan bunuh diri secara serempak," katanya. "Ingat saja apa yang terjadi dengan wangsa Romanov, yang dulu berkuasa di Rusia." "Mereka dibantai kaum pemberontak," kata Jupe.
"Betul! Dan jika Potter ada sangkut pautnya dengan kejadian itu, aku tidak ingin mengenalnya lebih dekat."
Bab 8 WORTHINGTON BERJASA "AKU yakin," ujar Jupiter Jones dengan nada mantap, "apa pun yang dulu pernah terjadi, Tom Dobson serta ibunya hanya tahu bahwa Potter sangat ahli dalam menciptakan benda-benda tembikar, dan bahwa saat ini ia lenyap. Begitu pula bahwa seseorang, atau sesuatu, meninggalkan jejak kaki yang menyala di dapur Potter siang tadi. Mrs. Dobson sangat terganggu perasaannya, sedang Tom juga bingung menghadapi situasi ini. Aku menyarankan padanya, sebaiknya salah seorang anggota Trio Detektif bermalam di rumah itu, menemani mereka. Dengan begitu mereka akan merasa lebih aman, dan salah seorang dari kita akan selalu ada jika terjadi sesuatu yang luar biasa. Lalu ada satu jalur penyelidikan lain yang ingin kubicarakan denganmu, Bob. Pete, coba kautelepon ibumu untuk mengatakan -"
"Aku" Kenapa aku"" seru Pete kaget. "He, Jupe - rumah itu bisa saja terbakar, karena jejak-jejak berapi itu! Sedang jendela-jendela di tingkat atas, sangat tinggi letaknya. Jika didorong ke bawah dari situ, ada kemungkinan nyawa melayang!"
"Kau takkan sendiri di sana," kata Jupiter mengingatkan.
"Raja William juga tidak sendirian."
"Yah, kalau kau tidak mau, sudahlah," kata Jupiter. "Cuma aku semula berharap..."
"Ya deh! Ya deh, aku mau," kata Pete bersungut-sungut. "Selalu saja aku yang diserahi tugas-tugas asyik." Diraihnya pesawat telepon, lalu diputarnya nomor rumahnya.
"Bu," katanya setelah hubungan tersambung, "aku sekarang di tempat Jupiter. Bolehkah aku malam ini menginap di sini""
Teman-temannya menunggu. "Ya, menginap!" kata Pete lagi. "Kami sedang mencari-cari sesuatu. - Sebuah medalion. - Ya, hilang!" Terdengar suara Mrs. Crenshaw, bernada khawatir.
"Kata Jupiter, bibinya takkan berkeberatan," kata Pete, lalu menyambung, "Ya - besok pagi-pagi aku pulang." Lalu, "Ya, aku tahu - besok aku harus memotong rumput halaman."
Dan akhirnya, "Baik, Bu. Terima kasih, sampai besok." Pete mengembalikan gagang pesawat telepon ke tempatnya.
"Hebat!" kata Bob mengomentari.
"Dan alasannya tadi memang benar," kata Jupiter menimpali. "Kita memang mencari medalion yang hilang - yaitu yang tergantung di leher Potter."
Setelah itu Bob disuruh oleh Jupiter menelepon ke rumahnya. Dan ia pun diizinkan tinggal, untuk makan malam di rumah Jupiter.
"Jupiter!" Suara Bibi Mathilda terdengar lantang, masuk lewat lubang udara yang ada di langit-langit karavan. "Jupiter Jones! Di mana kau""
"Untung kita sudah selesai!" kata Jupiter. Ketiga remaja itu bergegas keluar lewat Lorong Dua. Setelah membersihkan debu yang menempel di lutut, mereka lalu ke pekarangan.
Bibi Mathilda berdiri di dekat kantor perusahaan barang bekas itu. Ia menyumpah-nyumpah.
"Apa sih yang kalian kerjakan - kelihatannya sibuk terus di bengkel kalian" Makan malam sudah siap, Jupiter!"
"Bibi Mathilda," kata Jupe, "bolehkah Pete dan Bob ikut..."
"Ya, mereka bisa saja ikut makan malam dengan kita," Bibi Mathilda memotong. "Kali ini hidangan cuma sosis dengan roti d
adar. Tapi cukup untuk kita semua!"
Pete dan Bob menerima ajakan itu, sambil mengucapkan terima kasih.
"Tapi beri tahu dulu orang tua kalian," kata Bibi Mathilda lagi. "Pakai saja pesawat telepon di kantor. Kalau sudah, kunci pintunya, ya! Lima menit lagi kalian harus sudah hadir di meja makan." Setelah itu Bibi Mathilda bergegas masuk ke rumah. "Mungkinkah ia bisa membaca pikiran orang"" tanya Pete. "Mudah-mudahan saja tidak," kata Jupiter bersungguh-sungguh.
Lima menit kemudian ketiga remaja itu sudah menghadapi meja di ruang makan keluarga Jones, asyik melahap roti dadar dengan sosis goreng yang masih berasap, sambil mendengar cerita Paman Titus tentang masa lampau, ketika Rocky Beach masih merupakan tanah lapang luas di pinggir jalan lintas.
Sehabis makan, anak-anak bergegas membantu Bibi Mathilda membereskan meja serta mencuci piring. Ketika sudah selesai, dan bak cuci juga sudah digosok sampai mengkilat lagi, mereka beranjak ke arah pintu.
"Mau ke mana lagi sekarang"" tanya Bibi Mathilda.
"Pekerjaan kami belum selesai," kata Jupiter.
"Tapi jangan sampai terlalu larut, ya," kata Bibi Mathilda memperingatkan. "Dan kalau sudah selesai, jangan lupa mematikan lampu di bengkel. Dan ingat - pintu gerbang harus dikunci lagi."
Jupiter berjanji akan menuruti segala petunjuk itu. Kemudian mereka bergegas ke seberang jalan. Pete mengambil sepedanya.
"Apakah Tom Dobson nanti bisa mengenali aku"" tanya Pete.
"Katakan saja padanya namamu," kata Jupiter menyarankan. "Ia sudah kuberi kartu nama kita." "Baiklah." Pete mendorong sepedanya meninggalkan pekarangan, lalu mengayuhnya ke arah jalan raya. "Sekarang kita mengecek Mr. Demetrieff, yang menyewa Hilltop House," kata Jupiter. "Kurasa Worthington pasti bisa membantu kita."
Beberapa waktu yang lalu, Jupiter memenangkan hadiah dalam suatu sayembara yang disponsori sebuah perusahaan penyewaan mobil, yaitu Rent- 'n-Ride Auto Rental Company. Hadiahnya berupa hak penggunaan sebuah mobil Rolls-Royce bersepuh emas, lengkap dengan sopirnya, untuk masa tiga puluh hari. Worthington, sopir
kendaraan mewah itu yang berkebangsaan Inggris, dan selalu anggun sikapnya, sudah sering mengantar Jupiter beserta kedua temannya dalam kegiatan mereka selaku detektif remaja. Akhirnya ia ketularan menggemari pekerjaan itu. Minatnya sangat besar terhadap kasus-kasus yang sedang ditangani ketiga detektif remaja itu. Bob memandang arlojinya. Sudah hampir setengah delapan malam.
"Sekarang sudah terlalu malam - Worthington tidak bisa lagi kita minta agar datang," katanya. "Sekarang kan Minggu malam."
"Kita tidak perlu memintanya kemari," kata Jupiter. "Worthington tinggal di distrik Wilshire. Jadi bisa mendatangi alamat di distriknya itu - kecuali jika ia sedang sangat sibuk dengan urusan lain. Hasil penyelidikannya mungkin akan memberi petunjuk pada kita tentang diri Mr. Demetrieff itu."
Bob sependapat, tidak ada salahnya jika mereka mencoba. Kedua remaja itu masuk lagi ke markas lewat Lorong Dua. Setelah melihat catatan dalam buku telepon pribadinya, ia memutar nomor rumah Worthington.
"Master Jupiter"" Worthington kedengarannya sangat senang, mendengar suara Jupiter lewat telepon. Tapi sikapnya yang selalu menjaga kesopanan, tetap dipertahankannya. Ia tetap menyapa Jupiter dengan sebutan "Master", yang berarti Tuan muda. "Apa kabar""
"Baik-baik saja," jawab Jupiter.
"Sayang - malam ini Rolls-Royce kita tidak bisa dipakai," kata Worthington dengan nada menyesal. "Ada pesta besar di Beverly Hills. Mobil itu disewa orang yang hendak ke sana, dikemudikan oleh Perkins."
"Kami tidak memerlukan mobil itu malam ini, Worthington," kata Jupe. "Aku cuma ingin bertanya, mungkinkah Anda punya waktu untuk melakukan sesuatu bagi Trio Detektif""
"Saya sebetulnya sangat sibuk saat ini," kata Worthington, "bermain kartu seorang diri - dan kalah terus! Jadi selingan pasti disambut dengan senang hati. Apakah yang bisa saya lakukan untuk kalian""
"Kami memerlukan keterangan mengenai seseorang yang bernama Mr. Ilyan Demetrieff," kata Jupiter, lalu mengejakan nama itu. "Bisa juga namanya Demetrioff-dengan huruf 'o'," katanya mena
mbahkan. "Kami tidak begitu yakin tentang itu. Tapi alamat yang diberikannya, Wilshire Boulevard nomor 2901. Kami ingin tahu, betulkah orang itu sampai saat ini tinggal di alamat tersebut. Kami juga ingin tahu, seperti apa wujud rumah di Wilshire nomor 2901 itu."
"Tempat itu tidak jauh dari sini di balik tikungan," kata Worthington. "Saya akan jalan kaki ke sana, lalu membunyikan bel di situ."
"Syukurlah jika Anda mau, Worthington," kata Jupiter. "Tapi apa yang akan Anda katakan nanti, jika ada yang membukakan pintu""
Dengan cepat Worthington sudah menemukan alasan yang masuk akal.
"Saya akan mengatakan, saya ini ketua Panitia Sukarelawan Penyemarak Wilshire Boulevard," kata Worthington. "Saya akan meminta pendapatnya tentang kemungkinan menghias kaki lima dengan tanaman dalam pot. Jika ia setuju, saya akan mengajaknya masuk menjadi anggota panitia kami."
"Hebat, Worthington!" seru Jupiter.
Pembicaraan selesai, setelah Worthington berjanji akan menelepon lagi dalam waktu setengah jam.
"Kadang-kadang timbul perasaan dalam diriku, sebaiknya Worthington kita jadikan anggota Trio Detektif," kata Jupiter sambil tertawa, setelah menceritakan rencana pengemudi mobil Rolls-Royce itu pada Bob.
"Ia sendiri sudah merasa menjadi anggota," kata Bob. "Menurut perkiraanmu, apakah yang akan dijumpainya di alamat itu""
"Kemungkinannya, ia takkan menjumpai apa-apa," kata Jupiter. "Mungkin rumah yang kosong, atau apartemen tanpa penghuni. Tapi setidak-tidaknya, ia nanti akan bisa bercerita tentang lingkungan di situ. Idenya tentang Panitia Sukarelawan Penyemarak Wilshire Boulevard menurutku sangat baik. Tidak ada salahnya jika kita menggabungkan diri dalam panitia itu, lalu mendatangi rumah-rumah di lingkungan yang pernah menjadi tempat tinggal Mr. Demetrieff, untuk mencari-cari keterangan tentang orang itu."
"Orang kota, mana pernah mengenal tetangga," kata Bob.
"Tapi kadang-kadang tahu - dan bahkan lebih banyak dari yang kita kira." Jupiter melipat tangannya di belakang kepala, sambil menyandarkan punggung ke kursi. "Misalnya saja di lingkungan yang didiami orang-orang yang sudah berumur lanjut," sambungnya. "Orang-orang itu sepanjang hari ada di rumah terus. Mereka duduk di belakang jendela, memandang ke luar untuk menonton kesibukan di jalan. Mereka selalu tahu apa yang terjadi. Entah berapa banyak kasus kejahatan berhasil dibongkar, karena seorang wanita tua yang tidak bisa lagi tidur nyenyak, malam-malam bangun untuk melihat bunyi mencurigakan yang terdengar dijalan!"
"Tolong ingatkan aku agar berhati-hati, jika lewat di depan rumah Miss Hopper," kata Bob sambil nyengir.
"Kurasa tidak banyak yang tidak diketahuinya," kata Jupiter. Ia membuka buku tentang harta perhiasan kaum ningrat Eropa yang dibawa Bob, lalu mengamat-amati makota Azimov. "Kurasa cocok dengan watak Pangeran Federic, bahwa makota ini dibuat berbentuk helm."
"Orang itu, tingkah lakunya pasti sangat luar biasa," kata Bob. Ia bergidik. "Menghukum mati Ivan yang Gagah kan merupakan tindakan yang cukup menggentarkan. Untuk apa kepala yang sudah terpisah dari tubuh, kemudian ditancapkan di atas tembok puri""
"Itu memang kebiasaan zaman dulu," kata Jupiter. "Kurasa gunanya sebagai penggertak - dan aku yakin gertakan itu berhasil. Wangsa Azimov bisa bertahan sampai empat abad setelah itu"
Pesawat telepon berdering.
"Panitia Penyemarak Wilshire Boulevard tidak mungkin selekas itu," kata Bob. Tapi ternyata memang Worthington yang menelepon.
"Sayang, Master Jupiter," kata sopir mobil mewah itu, "tidak ada yang tinggal di Wilshire Boulevard nomor 2901, karena itu merupakan bangunan kantor kecil, dan saat ini sudah tutup." "Begitu ya," kata Jupiter menanggapi.
"Tapi lampu di ruang depan menyala, sehingga saya bisa membaca papan nama yang terpasang di situ," sambung Worthington dengan nada senang. "Saya mencatat perusahaan-perusahaan yang menempati bangunan itu. Sebentar, akan saya bacakan - Acme Photostat Service, lalu Dr. H. H. Carmichael, lalu Jensen Secretarial Bureau, Kamar Dagang Lapatia, Sherman Editorial -"
"Tunggu, tunggu!" seru Jupiter memotong dengan cepat. "Apa yang te
rakhir"" "Sherman Editorial Bureau," kata Worthington.
"Bukan - bukan yang itu, tapi sebelumnya! Anda menyebut kata Lapatia -" "O, yang itu! Kamar Dagang Lapatia," kata Worthington.
"Kurasa, Anda telah memberi informasi yang kami inginkan, Worthington," kata Jupiter.
"O ya"" Suara Worthington bernada heran. "Tapi tidak ada nama Mr. Demetrieff pada daftar itu," katanya mengingatkan.
"Jika Anda bertanya tentang orang itu di Kamar Dagang Lapatia," kata Jupiter, "mungkin mereka akan mengatakan, saat ini ia sedang berlibur di Rocky Beach. Tapi mungkin juga tidak. Terima kasih, Worthington. Sampai lain kali!"
Jupiter meletakkan gagang telepon.
"Orang yang baru menyewa Hilltop House, ternyata datang dari Kamar Dagang Lapatia," katanya pada Bob. Kemudian ia mengalihkan perhatiannya lagi pada foto makota Azimov. "Rajawali merah, dulu merupakan lambang Kerajaan Lapatia, dan saat ini nampaknya sangat digemari Potter. Lalu seseorang dari Kamar Dagang Lapatia menyewa sebuah rumah, yang letaknya di atas toko Potter. Kedua kenyataan ini mengandung beberapa kemungkinan yang menarik."
"Misalnya, bahwa Potter sebenarnya orang Lapatia"" kata Bob.
"Dan bahwa kita mungkin perlu mendatangi Hilltop House, malam ini," kata Jupiter dengan mantap.
Bab 9 HILLTOP HOUSE BOB dan Jupe menyelinap keluar dari Jones Salvage Yard lewat Kelana Gerbang Merah, lalu bergegas-gegas menuju suatu jalan setapak untuk penggemar olahraga jalan kaki. Jalan itu berkelok-kelok, menuju puncak bukit yang bernama Coldwell Hill.
"Kita bisa saja mengambil jalan penakut," kata Bob sambil mendongak, memandang ke arah puncak bukit itu. "Kita naik sepeda ke tempat Potter, dan dari situ baru berjalan kaki ke Hilltop House."
"Itu tidak bisa dibilang jalan penakut," kata Jupiter. "Kita tidak tahu, apa yang menyebabkan kedua orang itu datang ke Hilltop House. Aku lebih suka mendatangi tempat itu tanpa ketahuan. Kemungkinannya kecil bahwa kedua orang itu mengamat-amati jalan setapak. Tapi dengan mudah mereka akan melihat kita, jika kita naik lewat jalan pribadi, dari jalan raya."
"Kau benar," kata Bob. Ia berpaling, memandang ke arah laut. Matahari sudah menghilang di balik selimut kabut yang mengambang di depan pantai. "Sebelum kita kembali kemari, hari pasti sudah gelap."
"Tapi kurasa kita takkan mengalami kesulitan untuk melihat jalan," kata Jupiter Jones. "Sebentar lagi bulan sudah terbit."
"Kau mengeceknya di penanggalan"" tanya Bob.
"Ya, aku sudah mengeceknya di penanggalan," jawab Jupiter.
"Itu sebenarnya tak perlu kutanyakan lagi," kata Bob, lalu melangkahkan kaki memasuki jalan setapak. Jupiter menyusul dengan langkah lebih lambat. Napasnya tersengal-sengal ketika tanjakan mulai bertambah terjal. Sebentar-sebentar berhenti, untuk beristirahat. Tapi sepuluh menit kemudian tenaganya sudah pulih kembali, sehingga langkahnya lebih mantap.
"Ini dia," kata Bob kemudian. Ia berpaling, lalu mengulurkan tangan untuk menolong Jupiter naik ke jalan sempit yang menyusur puncak bukit. Jalan itu merupakan lintasan yang dipakai kalau ada kebakaran hutan. "Dari sini gampang, karena menurun terus sampai Hilltop House," katanya.
Jupiter berdiri sambil memandang ke arah utara untuk beberapa saat. Pandangannya menyelusuri jalan yang akan ditempuh. Saat itu sudah hampir gelap, sedang bulan belum terbit. Tapi jalan tanah yang lebarnya hampir dua setengah meter itu nampak jelas, seperti pita cokelat yang terjulur di sepanjang puncak perbukitan. Semak yang tumbuh rapat di sisi jalan nampak hitam dan seakan-akan mengancam di tengah keremangan senja.
"Apa yang kauharapkan akan kita jumpai malam ini"" tanya Bob.
"Yang pasti, dua orang asing yang kemarin mampir di Jones Salvage Yard," kata Jupiter. "Dan seorang di antaranya, menurut dugaan kita bernama Mr. Demetrieff, dari Kamar Dagang Lapatia. Sedang yang satu lagi, bisa siapa saja. Pasti menarik melihat bagaimana mereka menyibukkan diri di Hilltop House."
Jupiter mulai melangkah, seiring dengan Bob yang berjalan dengan bersemangat. Bulan mulai tersembul dari balik perbukitan, menyepuh jalan dengan warna perak, serta menciptakan bayangan hitam kel
am di samping kedua remaja yang sedang berjalan itu. Mereka tidak banyak berbicara, sampai bentuk Hilltop House yang besar dan gelap nampak di depan mereka, di sisi kiri. Ruangan-ruangan di tingkat atas bangunan itu gelap. Tapi dari salah satu kamar di tingkat bawah nampak sinar samar memancar ke luar.
"Aku dulu pernah memasuki rumah itu," kata Bob. "Kalau tidak salah, lampu yang menyala itu di ruang yang dulunya kamar baca."
"Jendela-jendelanya perlu dibersihkan," gumam Jupiter, "dan yang menyala itu kelihatannya bukan lampu listrik." "Ya - memang, mestinya lentera, atau lampu minyak tanah. Kita harus maklum, karena mereka kan baru kemarin pindah ke situ."
Alur sebuah sungai kecil menjulur dari atas bukit ke bawah, mulai dari jalan di puncak, dan berkelok lewat Hilltop House. Saat musim panas itu, sungai tadi tidak berair. Tanpa berkata apa-apa, Bob dan Jupiter masuk lalu berjalan di dasarnya. Mereka berjalan sambil meraba-raba pada setiap langkah karena khawatir akan menginjak kerikil lepas yang bisa membuat mereka jatuh terguling-guling ke bawah. Sepanjang hampir lima puluh meter terakhir mereka boleh dibilang merangkak-rangkak, sebelum sungai tak berair itu membelok dan menyusur di samping tanggul yang membatasi jalan masuk ke Hilltop House.
Jupiter menarik tubuhnya ke atas tanggul, lalu melangkah ke pelataran berkerikil yang terdapat di bagian belakang rumah. Mobil Cadillac besar diparkir di luar sebuah garasi yang bisa memuat tiga mobil. Jupiter mengelilingi mobil itu, yang ternyata kosong.
Jendela-jendela yang menghadap ke belakang semuanya gelap. Di sana ada sebuah pintu yang bagian atasnya berkaca. Pintu itu terkunci.
"Dapur," kata Jupiter dengan singkat. "Kamar-kamar pembantu ada di atas," kata Bob.
"Mereka pasti belum sempat mengusahakan pembantu," kata Jupiter. "Sebaiknya kita langsung saja mendatangi ruang baca."
"Aduh, Jupe! Kau kan tidak berniat masuk"" bisik Bob dengan nada kaget bercampur ngeri.
"Tidak, karena itu bisa menyebabkan kesulitan yang tidak perlu," kata Jupiter. "Sudah cukup jika kita mengitari rumah, lalu memandang ke dalam lewat jendela kamar baca."
"Baiklah, asal kita tetap di luar," kata Bob. "Jadi jika ada sesuatu yang tidak beres, kita akan bisa cepat-cepat lari."
Jupiter tidak menanggapinya. Ia berjalan mendului, lewat dapur yang gelap, menuju jendela kamar baca yang terang. Mereka melalui jalan setapak yang disemen. Tanaman semak yang semula menghiasi sisi rumah itu sudah lama mati, karena tidak ada yang memelihara dan menyirami.
Seperti dikatakan oleh Jupiter, jendela-jendela kamar baca memang perlu dibersihkan. Kedua remaja itu mengintip ke dalam, sambil berlutut di tanah. Di balik kaca jendela yang kotor nampak samar kedua orang asing yang mampir di Jones Salvage Yard, sehari sebelumnya. Dalam ruangan lapang itu ada dua tempat tidur lipat. Kaleng, piring kertas, begitu pula serbet kertas ditumpukkan secara sembarangan di atas rak-rak, yang dulunya ditempati buku-buku. Api berkobar dalam pendiangan. Laki-laki yang lebih muda - pengemudi mobil Cadillac - berlutut di depan api. Ia memanggang sosis, yang ditancapkan pada kawat panjang. Sedang laki-laki yang botak dan tidak bisa ditebak umurnya, duduk di kursi lipat, menghadap meja tempat main kartu. Ia menampakkan kesan seperti sedang duduk di restoran, menunggu pelayan menghidangkan santapan.
Bob dan Jupiter memperhatikan laki-laki yang lebih muda memutar sosis yang sedang dipanggang di atas api. Kemudian laki-laki yang berkepala botak melakukan gerakan yang menunjukkan sikap tidak sabar. Ia berdiri, lalu berjalan lewat ambang yang melengkung, masuk ke ruang gelap yang ada di belakang kamar baca. Ketika ia kembali beberapa menit kemudian, sosis sudah matang. Laki-laki yang lebih muda menyelipkan sosis itu ke dalam roti bundar panjang yang sudah dibelah. Roti itu diletakkannya di atas sebuah piring kertas, lalu ditaruhnya di hadapan laki-laki yang berkepala botak.
Jupiter nyaris terkekeh, ketika melihat air muka si Botak saat memandang hidangan itu. Ia pernah melihat reaksi seperti itu di wajah Bibi Mathilda, ketika seorang kenalan di R
ocky Beach yang berbangsa Denmark mengundangnya makan, menyajikan belut dingin dengan telur aduk yang digoreng.
Bob dan Jupiter beringsut mundur, lalu kembali ke sisi belakang rumah.
Di sana Bob menyandarkan punggung ke mobil Cadillac.
"Sekarang kita sudah tahu, apa yang sedang mereka kerjakan," katanya. "Baru sekali ini aku melihat orang berkemah dengan cara yang begitu serampangan."
"Tapi mestinya bukan untuk itu saja mereka ada di sini," kata Jupiter dengan pasti. "Takkan ada orang yang menyewa rumah besar - tidak peduli betapa tuanya pun rumah itu - hanya agar bisa merebahkan diri di tempat tidur lipat, serta memanggang sosis di dalam ruang baca. Ke manakah laki-laki botak tadi pergi, ketika ia menuju ke ruang di belakang kamar baca""
"Ruang duduk terletak di sisi rumah yang menghadap ke arah laut," kata Bob.
"Teras juga ada di sebelah sana," kata Jupiter mengingatkan. "Yuk, kita ke sana!"
Bob mengikuti Jupiter, pergi ke sudut rumah. Letak teras langsung bersambungan dengan jalan masuk. Teras itu mengisi seluruh bagian depan rumah. Lebarnya hampir lima meter. Lantainya dari semen, dibatasi tembok batu yang tingginya sekitar satu meter.
"Ada sesuatu terpasang di situ," bisik Jupiter. "Kelihatannya semacam instrumen, di atas tripod."
"Teropong"" kata Bob menduga.
"Mungkin! - Ssst, deengar, ada yang berbicara!"
Kedua remaja itu mendengar suara seorang laki-laki. Jupiter cepat-cepat merapatkan diri ke dinding rumah. Laki-laki yang lebih muda muncul di teras yang saat itu sudah diterangi sinar bulan. Ia menghampiri instrumen yang terpasang di atas tripod, membungkukkan tubuh, memandang ke dalam bagian belakang instrumen itu, lalu mengatakan sesuatu dengan suara agak keras. Ia mengintip lagi ke dalam instrumen, tertawa, lalu mengatakan sesuatu lagi. Kening Jupiter berkerut.
Orang itu berbicara dengan irama suara aneh, seakan-akan menyanyi dengan nada datar.
Sesaat kemudian terdengar jawaban dari dalam rumah. Jawaban itu bersuara berat, dan kedengarannya sangat capek. Laki-laki yang berkepala botak melangkah ke teras. Ia menghampiri tripod, lalu mengintip ke dalam instrumen yang terpasang di situ. Ia mengucapkan beberapa patah kata sambil mengangkat bahu, lalu masuk lagi ke rumah. Laki-laki yang lebih muda bergegas menyusul, sambil berbicara dengan cepat, serta dengan nada mendesak. 'Bukan bahasa Prancis," kata Jupiter, ketika kedua laki-laki itu sudah masuk.
'Jerman juga bukan," kata Bob, yang di sekolah pernah mendapat pelajaran bahasa itu selama setahun. 'Aku ingin tahu, bagaimana bunyi bahasa Lapatia," kata Jupiter. 'Dan aku ingin tahu, apa yang mereka amat-amati tadi," kata Bob menimpali.
'Kalau itu, kita bisa menyelidikinya sekarang juga," kata Jupiter. Ia menyelinap dengan cepat ke teras, lalu mengendap-endap mendekati instrumen yang terpasang di atas tripod. Dugaan Bob ternyata benar. Instrumen itu memang teropong. Jupiter membungkuk, tanpa menyentuh instrumen itu, lalu mengintip lewat lensanya.
Ia melihat jendela-jendela sisi belakang rumah Potter. Lampu di kamar-kamar tidur menyala semua. Ia bisa dengan jelas melihat Pete yang duduk di tempat tidur, sambil bercakap-cakap dengan Tom Dobson. Kedua remaja itu menghadapi papan permainan dam. Tom menggerakkan batunya, memakan salah satu batu lawan. Pete mengernyitkan muka, lalu termenung. Rupanya memikirkan langkah berikut. Sesaat kemudian Mrs. Dobson masuk, membawa baki dengan tiga mangkuk. Pasti susu cokelat, kata Jupiter dalam hati. Jupiter menegakkan tubuh, lalu kembali ke sudut rumah.
"Sekarang kita tahu, apa kesibukan mereka di sini," katanya pada Bob. "Mereka mengintai rumah Potter." "Seperti yang kauduga," kata Bob. "Yuk, kita pergi dari sini, Jupe. Aku ngeri melihat kedua orang itu." "Ya, memang," kata Jupiter Jones. "Lagi pula, saat ini tidak ada lagi yang masih bisa kita ketahui di sini." Kedua remaja itu melewati mobil Cadillac, menuju ke tanggul. Maksud mereka hendak kembali lewat sungai yang sedang tak berair.
"Kurasa lewat sini lebih dekat," kata Bob. Ia mengambil jalan memotong, lewat sebidang tanah kosong. Mungkin, tanah itu dulu merupakan kebun sayur.
Tahu-tahu Bob terpekik. Kedua lengannya terangkat. Saat berikut ia tidak kelihatan lagi.
Bab 10 KETAHUAN "HE, Bob! Kau cedera""
Jupiter berlutut di samping lubang yang menganga. Hanya samar-samar saja dilihatnya Bob yang berusaha bangkit dengan susah payah, di dalam sebuah ruangan yang nampaknya merupakan gudang bawah tanah.
Bob mengumpat. "Kau cedera, Bob""
Bob berdiri, sambil melengkungkan bahu. "Kayaknya sih, tidak!"
Jupiter merebahkan diri ke tanah, lalu mengulurkan tangan ke dalam lubang. "Ayo, kutolong kau naik!" katanya pada Bob.
Bob berusaha memanjat ke atas, sambil berpegangan pada tangan Jupiter, serta menopangkan satu kaki ke sebuah rak. Tapi rak yang dipijak itu ambruk. Bob jatuh terjengkang. Nyaris saja Jupiter ikut tertarik ke dalam lubang.
Bob mengumpat. Tapi kemudian terkesiap, karena tiba-tiba ada sinar terang disorotkan ke arah mereka.
"Jangan bergerak!" kata seseorang. Ditilik dari suaranya, orang itu penghuni Hilltop House yang lebih muda.
Jupiter tidak bergerak, sedang Bob tetap duduk di tanah di dasar lubang. Ia menatap ke atas, lewat jajaran papan lapuk yang pecah karena terinjak olehnya tadi.
"Apa yang kalian lakukan di sini"" tanya laki-laki yang memegang senter.
Hanya Jupiter saja yang masih bisa mempertahankan sikap berwibawa, sambil berbaring tertelungkup.
"Saat ini saya sedang berusaha menolong teman saya keluar dari lubang ini," katanya. "Saya harapkan bantuan Anda, agar kita bisa selekas mungkin mengetahui apakah ia mengalami cedera."
"Kurang ajar-!" sergah laki-laki itu. Suara berat yang tertawa terkekeh memotong kalimatnya.
"Sabar, Demetrieff," kata orang yang tertawa itu, yaitu laki-laki yang berkepala botak. Ia berlutut, dengan ketangkasan yang tak terduga, mengingat tubuhnya yang tidak bisa dibilang langsing. Ia mengulurkan tangannya ke arah Bob. "Kau bisa meraih tanganku"" katanya. "Di tempat ini tidak ada tangga."
Bob berdiri, lalu mengulurkan tangan ke atas. Dengan cepat ia sudah ditarik laki-laki botak itu ke atas.
"Nah, bagaimana keadaanmu"" tanya orang itu pada Bob. "Tidak ada tulang yang patah" Syukurlah. Patah tulang, bukan merupakan hal yang menyenangkan, kalau kuingat ketika aku jatuh tertindih kudaku. Baru dua bulan kemudian aku bisa menunggang kuda lagi. Sangat menyebalkan, jika harus berbaring saja, tanpa bisa berbuat apa-apa." Si Botak diam sejenak, lalu menyambung dengan nada datar, "Tentu saja kuda itu kutembak mati."
Bob meneguk ludah. Sedang Jupiter merasa tubuhnya merinding.
"Kias Kaluk memang terkenal tidak sabar menghadapi kecerobohan," kata laki-laki yang lebih muda.
Jupiter berdiri lambat-lambat, sambil membersihkan debu yang menempel. "Kias Kaluk"" ucapnya dengan nada bertanya.
"Bisa juga kaukatakan, Jenderal Kaluk," kata laki-laki yang muda itu lagi. Saat itu barulah Jupiter melihat, bahwa kecuali senter, orang itu juga menggenggam pistol.
"Jenderal Kaluk." Jupiter menganggukkan kepala ke arah laki-laki yang botak, lalu menoleh lagi ke arah pemegang pistol. "Dan Anda Mr. Demetrieff," katanya.
"Dari mana kau tahu"" tanya Demetrieff.
"Jenderal Kaluk tadi menyapa Anda dengan nama itu," kata Jupiter. Si Botak yang ternyata jenderal, terkekeh lagi.
"Daya tangkap telingamu hebat, Sobatku yang montok," katanya pada Jupiter. "Aku menaruh minat pada remaja begitu, karena banyak yang mereka dengar. Bagaimana jika kita sekarang masuk ke rumah, untuk membicarakan apa saja yang mungkin kaudengar malam ini""
"He, Jupe," sela Bob dengan cepat, "kita kan tidak berniat begitu! Maksudku, aku tidak apa-apa, jadi kita pergi saja -" Ia terdiam, karena laki-laki yang bernama Demetrieff menggerakkan pistol ke arahnya.
"Tidaklah bijaksana, jika lubang menganga di halaman Anda ini kita biarkan begini," kata Jupiter. "Mungkin saja nanti ada lagi anggota Klub Olahraga Jalan Kaki Chaparral yang mengambil jalan pintas lewat sini, lalu terperosok ke dalamnya. Kalau itu sampai terjadi, siapakah yang bertanggung jawab jika ada tuntutan" Anda, Mr. Demetrieff" Atau Jenderal Kaluk""
Jenderal berkepala botak itu tertawa lagi.
"Pikiranmu lincah, Sobat," katanya pada Jupiter. "Tapi kurasa pemili
k rumah inilah yang harus bertanggung jawab. Walau begitu patah tulang bukan merupakan hal yang menyenangkan, seperti sudah kukatakan tadi. Demetrieff, di belakang istal ada beberapa lembar papan."
"Kurasa bukan istal, tapi garasi," sela Bob.
"Pokoknya, itulah yang kumaksudkan. Ambil papan-papan itu, lalu tutup lubang ini dengannya." Laki-laki botak yang rupanya lebih tua itu memandang ke dalam lubang, memperhatikan rak yang patah serta lantai tanah di bawah. "Kelihatannya ada sambungan dasar bangunan yang menjorok ke dalam kebun. Kurasa gudang tempat menyimpan minuman anggur."
Demetrieff mengambil dua lembar papan yang lembab dan dekil dari belakang garasi, yang kemudian cepat-cepat diletakkan menutupi lubang.
"Itu sudah cukup - setidak-tidaknya untuk sementara waktu," kata Jenderal Kaluk. "Sekarang kita masuk ke rumah, di mana kau nanti kuminta bercerita tentang Klub Olahraga Jalan Kaki Chaparral yang kausebut-sebut tadi. Sebutkan pula sekaligus nama kalian, dan apa sebabnya kalian memilih jalan pintas lewat halaman ini."
"Dengan senang hati," kata Jupiter.
Laki-laki yang bernama Demetrieff menggerakkan tangannya, menunjuk ke arah pintu dapur. Jenderal Kaluk berjalan di depan, diikuti oleh Jupe dan Bob. Mereka masuk lewat dapur yang nampak berdebu dan tak terurus, menuju ke ruang baca. Sesampainya di sana Jenderal Kaluk langsung duduk di kursi lipat. Disuruhnya Bob dan Jupiter duduk di tempat tidur lipat yang ada di ruangan itu.
"Kami tidak bisa melayani kedatangan kalian dengan lebih baik," kata jenderal itu. Kepalanya yang botak berkilat kena sinar api yang berkobar dalam pendiangan. "Kalian mau minum teh panas, barangkali""
"Terima kasih, Sir," kata Jupiter sambil menggeleng, "saya tidak biasa minum teh."
"Saya juga tidak," kata Bob.
"O ya, aku lupa," kata jenderal itu. "Anak-anak Amerika tidak biasa minum teh atau kopi - begitu pula anggur. Kalian umumnya minum susu. Ya, kan"" Jupiter membenarkan pertanyaan itu.
"Yah - kami tidak punya susu di sini," kata Jenderal Kaluk. Demetrieff berdiri di sampingnya agak ke belakang.
"Demetrieff," kata Jenderal Kaluk, "pernahkah Anda mendengar klub itu"" "Tidak," jawab Demetrieff singkat.
"Itu klub setempat," kata Jupiter cepat-cepat. "Berjalan kaki merintis chaparral lebih menyenangkan jika dilakukan siang hari. Tapi anggota perkumpulan kami kadang-kadang iseng, malam-malam merintis jalan-jalan di hutan, jika cuaca sedang cerah seperti sekarang ini. Sambil berjalan, bisa didengar suara-suara binatang dalam semak belukar. Kadang-kadang mereka juga bisa dilihat jika kita berdiri diam-diam. Saya pernah melihat seekor rusa, dan beberapa kali ada skunk melintas di depan saya."
"Sangat menarik," kata laki-laki yang bernama Demetrieff. "Mestinya kalian juga mengamat-amati burung, ya""
"Kalau malam hari, tidak," kata Jupiter dengan jujur. "Kadang-kadang memang terdengar suara celepuk, tapi kalau melihat, tidak pernah. Siang hari banyak burung di chaparral, tapi
Ia tertegun, karena saat itu Jenderal Kaluk memberi isyarat dengan tangan, menyuruhnya berhenti.
"Nanti dulu," kata laki-laki botak itu. "Chaparral - baru sekarang aku mendengarnya. Tolong jelaskan artinya!"
"Chaparral berasal dari bahasa Spanyol, artinya 'belantara'," kata Jupiter. "Segala tumbuhan yang ada di lereng sini, yaitu pohon-pohon yang kerdil serta semak belukar, semuanya merupakan bagian dari chaparral. Tumbuh-tumbuhan itu sangat tahan hidup di kawasan yang gersang, di mana hujan jarang turun. California merupakan satu di antara sedikit kawasan yang punya chaparral. Karena itulah timbul minat yang besar terhadap tumbuh-tumbuhan yang hidup di sini."
Bob duduk sambi! mendengarkan. Dalam hati ia mengagumi daya ingat Jupiter, yang hafal hampir seluruh ulasan tentang chaparral, yang belum lama berselang pernah dimuat dalam majalah Nature. Tapi Bob juga tahu, daya ingat sehebat itu tidak jarang terdapat di kalangan aktor, karena biasa menghafal teks. Dan Jupiter ketika masih kecil, pernah menjadi aktor film.
Sementara itu Jupiter melanjutkan penjelasannya. Ia mengoceh tentang bau chaparral saat musim semi, sehabis hujan.
Ketika ia sedang menjelaskan tentang akar-akar yang membuat tanah di lereng tidak gampang longsor, Jenderal Kaluk mengangkat tangannya lagi.
"Cukup," katanya. "Aku bisa mengerti, kekagumanmu terhadap tumbuh-tumbuhan chaparral. Tumbuhan yang tabah, jika tumbuh-tumbuhan bisa dikatakan memiliki ketabahan. Tapi sekarang mengenai persoalan kita. Siapa nama kalian""
"Jupiter Jones," kata Jupe.
"Bob Andrews," kata Bob menimpali.
Trio Detektif 15 Misteri Jejak Bernyala di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Baiklah! Sekarang coba katakan, mau apa kalian di pekaranganku."
"Kami mengambil jalan pintas," kata Jupiter menjelaskan, tanpa berbohong. "Kami tadi naik ke bukit dari Rocky Beach melalui jalan setapak, lalu menyusuri puncak sampai kemari. Dari atas kami bisa turun ke jalan raya, lewat jalan pribadi Anda."
"Tapi itu kan jalan pribadi!"
"Memang, Sir - kami juga tahu. Tapi Hilltop House ini sudah bertahun-tahun tidak ada penghuninya, dan sementara itu penggemar olahraga jalan kaki sudah biasa memintas lewat jalan rumah Anda."
"Mulai sekarang kebiasaan itu harus dihilangkan," kata Jenderal Kaluk. "Tapi kurasa kita sudah pernah berjumpa sebelum ini, Jupiter Jones."
"Kalau berjumpa, sebetulnya belum, Sir," kata Jupe. "Tapi Mr. Demetrieff kemarin berbicara dengan saya, ketika mobil Anda salah membelok dari jalan raya."
"Ya, betul juga katamu! Dan saat itu di tempatmu ada seorang laki-laki tua berjenggot. Siapa dia""
"Kami mengenalnya dengan julukan Potter," kata Jupiter. "Saya rasa, itu memang namanya yang sebenarnya - Alexander Potter." "Temanmu"" tanya Jenderal Kaluk.
"Kenalan," kata Jupiter mengakui. "Semua orang di Rocky Beach mengenal Potter." Jenderal Kaluk mengangguk.
"Aku rasanya pernah mendengar tentang dia." Ia menoleh ke arah Demetrieff. Cahaya api di pendiangan menyebabkan kulitnya yang cokelat nampak berkilat-kilat. Jupiter melihat bahwa pipi orang itu penuh kerut yang halus sekali. Kaluk ternyata bukan tak berumur. Ia sudah tua.
"Demetrieff," kata jenderal itu, "bukankah Anda yang bercerita bahwa di daerah sini ada pengrajin tembikar terkenal yang membuat guci"" "Dan macam-macam lagi," sela Bob menambahkan.
"Aku ingin sekali bertemu dengan orang itu," kata Jenderal Kaluk. Ia tidak bertanya. Tapi walau begitu, ia berhenti berbicara dengan sikap seolah-olah menunggu jawaban. Tapi Jupiter diam saja, begitu pula Bob.
"Tokonya terletak di kaki bukit tempatku ini," kata jenderal itu setelah beberapa saat. "Itu tokonya," kata Jupiter.
"Dan saat ini ia sedang kedatangan tamu," sambung Jenderal Kaluk. "Seorang wanita muda, bersama seorang anak laki-laki. Kalau aku tidak salah, kau kemarin membantu mereka, sewaktu mereka datang di toko itu."
"Ya, betul," kata Jupiter.
"Begitulah seharusnya, bantu-membantu," kata jenderal itu. "Kau mengenal mereka""
"Tidak, Sir," kata Jupiter. "Mereka kenalan Mr. Potter, yang datang dari salah satu tempat di kawasan Midwest."
"Kenalan," kata Jenderal Kaluk. "Senang, jika banyak kenalan. Tapi mestinya pembuat guci - dan macam-macam lagi itu - ada di bawah, untuk menyambut kedatangan kedua kenalannya."
"Orang itu... yah, ia agak aneh. Eksentrik!"
"Kelihatannya memang begitu. Ya, aku ingin sekali bisa berjumpa dengan dia. - Bukan cuma ingin, tapi aku harus bisa berjumpa dengan dia!" Tiba-tiba si Botak meluruskan sikap duduknya, sambil mencengkeram lengan kursi. "Di mana dia"" tanyanya. "Hah"" Bob melongo.
"Kau sudah mendengar pertanyaanku tadi. Di mana orang yang kalian sebut Potter itu"" "Kami tidak tahu," kata Jupiter.
"Mustahil!" tukas Jenderal Kaluk. Pipinya yang kering nampak memerah, "Ia ada bersamamu kemarin. Dan hari ini kau membantu kenalan-kenalannya, ketika mereka tiba di rumahnya. Kau tahu di mana orang itu berada!"
"Tidak, Sir," kata Jupiter. "Kami tidak tahu ke mana perginya, setelah ia meninggalkan perusahaan kami kemarin."
"Ia yang menyuruh kalian kemari!" Dakwaan itu diucapkan dengan ketus.
"Itu tidak benar!" bantah Bob dengan keras.
"Jangan coba membual, tentang mengembara di tengah chaparral!" teriak jenderal itu. Ia menggamit pendampingnya. "Demetrieff! Mana pistolmu!" Laki-laki yang lebih muda itu menyerahkan senjatanya pada Jenderal Kaluk. "Kau tahu tu
gasmu," kata Jenderal Kaluk dengan sengit. Demetrieff mengangguk. Ia mulai membuka ikat pinggangnya. "Eh, tunggu dulu!" seru Bob.
"Duduk!" tukas Jenderal Kaluk. "Demetrieff - yang gendut itu, yang pandai berbicara. Aku ingin mendengar ia berbicara lebih banyak lagi."
Demetrieff pergi ke belakang tempat tidur yang diduduki oleh Bob dan Jupiter. Jupiter merasakan ikat pinggang yang terbuat dari kulit dililitkan ke kepalanya.
"Sekarang kau bicara tentang Potter," kata Jenderal Kaluk. "Di mana orang itu""
Lilitan ikat pinggang diperkencang. "Aku tidak tahu," kata Jupiter.
"Ia dengan begitu saja pergi meninggalkan itu - eh, itu, perusahaanmu, dan sejak itu kau tidak melihatnya lagi"" Kata-kata itu diucapkan oleh si Botak dengan nada nyaris mengejek.
"Tepat, itulah yang terjadi kemarin."
Lilitan ikat pinggang diperkencang sedikit lagi.
"Dan ia saat itu menunggu kedatangan tamu-tamu - kenalannya, seperti kaukatakan tadi - yang telah kaubantu dengan begitu baik hati"" "Ya, betul!"
"Lalu polisi kalian tidak berbuat apa-apa"" desak Kaluk. "Mereka tidak mencari orang itu, yang pergi begitu saja""
"Kita ini hidup di negara bebas," kata Jupiter. "Tidak ada yang berhak mencegah, jika Potter sendiri ingin pergi."
"Negara bebas"" Mata jenderal itu berkedip-kedip. Ia mengusap-usap dagunya yang tidak ditumbuhi rambut. "Ya. Ya, aku pernah mendengar tentang itu. Tapi waktu itu ia tidak mengatakan apa-apa padamu" Kau berani bersumpah""
"Ia sama sekali tidak mengatakan apa-apa," kata Jupiter dengan mantap. Ditatapnya jenderal itu, tanpa berkedip.
"Begitu." Jenderal Kaluk berdiri, lalu menghampiri Jupiter. Ditatapnya remaja itu selama beberapa saat. Kemudian ia mendesah. "Baiklah. Kita harus membebaskan mereka, Demetrieff. Anak ini mengatakan yang sebenarnya."
Pendampingnya yang lebih muda, berusaha membantah.
"Tidak mungkin bisa begitu banyak hal-hal yang kebetulan," katanya.
"Mereka ini cuma anak-anak, yang ingin tahu saja," kata Jenderal Kaluk sambil mengangkat bahu, "sama saja seperti anak-anak pada umumnya, yang suka ingin tahu. Mereka tidak tahu apa-apa."
Jupiter dibebaskan dari ikat pinggang yang selama itu melilit kepalanya. Bob menghembuskan napas lega. Tidak disadarinya bahwa selama itu ia menahan napas.
"Kalian seharusnya kami serahkan pada polisi kalian yang hebat, yang tidak berusaha mencari orang yang menghilang," tukas Demetrieff. "Akan kami katakan pada mereka bahwa kalian telah melakukan pelanggaran. Kalian memasuki tanah pribadi tanpa izin."
"Seenaknya saja Anda bicara tentang melanggar hukum!" tukas Bob. "Jika kami laporkan apa yang terjadi tadi di sini..."
"Kau takkan melapor," kata Jenderal Kaluk. "Apa yang telah terjadi di sini tadi" Aku tadi bertanya tentang seorang seniman termashur, dan kalian memberi tahu bahwa kalian tidak tahu di mana orang itu berada. Itu kan biasa saja" Orang itu terkenal, dan pernah ada tulisan dalam majalah-majalah tentang dirinya. Sedang tentang ini -" Jenderal Kaluk menimang-nimang pistol yang ada di tangannya, "tentang benda ini, Mr. Demetrieff punya izin memilikinya, dan kalian tadi memang masuk ke tanah pribadi tanpa izin. Tapi tidak terjadi apa-apa di sini tadi. Kami malah bermurah hati! Kalian boleh pergi sekarang - dan jangan kembali lagi!"
Dengan segera Bob berdiri, sambil menarik Jupiter agar ikut dengannya.
"Sebaiknya kalian turun lewat jalan yang biasa," kata Jenderal Kaluk. "Dan ingat, kami akan terus mengamat-amati."
Kedua remaja itu tidak berbicara, sampai sudah meninggalkan rumah itu, dan bergegas-gegas menuruni jalan pribadi yang menghubungkan Hilltop House dengan jalan raya di bawah.
"Biar diupah pun, aku takkan mau lagi ke sana!" kata Bob dengan sepenuh hati.
Jupiter menoleh, memandang ke arah tembok batu yang menopang teras Hilltop House. Diterangi sinar bulan, nampak jelas jenderal tadi berdiri bersama Demetrieff di sana. Kedua orang itu berdiri seperti patung, mengamat-amati.
"Pasangan jahat," kata Jupiter. "Aku yakin sekali, Jenderal Kaluk pasti sudah sering mengetuai proses pemeriksaan."
"Jika maksudmu ia sudah biasa memaksa orang agar mengaku, aku setuju sekali dengan pe
ndapatmu," kata Bob. "Untung saja kau bertampang jujur!"
"Lebih menyenangkan lagi bisa bicara tanpa berbohong," kata Jupiter.
"Kau memang sama sekali tidak bohong," kata Bob menyindir.
"Sejauh mungkin, aku sudah berusaha begitu. Anak bisa juga kan disebut kenalan""
Mereka sampai di bagian jalan yang menikung. Hilltop House tidak nampak lagi, tertutup semak yang ada di sisi kiri jalan. Saat itu, dari arah sebelah bawah bukit itu nampak kilatan sinar, langsung disusul bunyi yang tidak begitu nyata. Sesuatu - yang mungkin juga lebih dari satu - melesat lewat di atas kepala Bob, dan berhamburan dalam semak.
"Tiarap!" seru Jupiter.
Bob langsung menelungkup, bersebelahan dengan Jupiter. Kedua remaja itu menunggu, tanpa berani bergerak. Mereka mendengar bunyi berderak-derak di tengah belukar. Arahnya datang dari kanan. Setelah itu sunyi, kecuali suara seekor burung malam.
"Peluru mimis"" tanya Bob menebak.
"Melihat bunyinya tadi, begitulah," kata Jupiter menarik kesimpulan. Ia merangkak maju, sampai ke tikungan berikut di sebelah bawah. Bob mengikutinya. Mereka terus merangkak, menuruni bukit. Ketika sudah sekitar lima puluh meter, kedua remaja itu meloncat bangkit, lalu cepat-cepat lari ke arah jalan raya.
Pintu pagar di ujung bawah jalan pribadi itu tertutup. Tanpa memeriksa lagi apakah pintu itu digembok atau tidak, Jupiter langsung memanjatnya ke seberang. Bob bahkan melewatinya dengan jalan melompat. Mereka lari ke jalan raya, menuju gerbang pagar rumah Potter. Mereka langsung masuk, dan baru berhenti ketika sudah sampai di serambi depan.
"Tembakan tadi!" kata Jupiter tersengal-sengal. "Datangnya tidak mungkin dari arah Hilltop House. Jenderal Kaluk dan Demetrieff masih berdiri di teras, saat kita menikung." Ia mengatur napas sebentar, lalu menyambung, "Ada orang mengintai di bukit, dengan senapan. Bob! Ada orang lain yang terlibat dalam urusan ini!"
Bab 11 HANTU DATANG LAGI JUPITER Jones menekan tombol bel di samping pintu rumah Potter. Tiba-tiba sebuah jendela di tingkat atas terbuka. Terdengar suara Eloise Dobson berseru, Siapa r
Jupiter mundur dari naungan atap serambi, kembali ke halaman. "Jupiter Jones, Mrs. Dobson, bersama Bob Andrews." "O," kata Mrs. Dobson. "Tunggu sebentar."
Jendela ditutupnya lagi. Sesaat kemudian terdengar bunyi anak kunci diputar, disusul suara gerendel ditarik. Pintu rumah terbuka, dan Pete menjenguk ke luar. "Ada apa"" tanya Pete.
"Tenang sajalah - biar kami masuk dulu," kata Jupiter dengan suara pelan.
"Aku kan tenang. Ada apa""
Jupe dan Bob melangkah masuk ke ruang depan.
"Aku tidak ingin menimbulkan kecemasan Mrs. Dobson," kata Jupiter cepat-cepat, "tapi orang-orang di Hilltop House itu -"
Ia tidak meneruskan, karena saat itu Mrs. Dobson muncul di ujung atas tangga, lalu menuruninya.
"Kau mendengar letusan nyaring semenit yang lalu, Jupiter"" tanya wanita muda itu. "Bunyinya seperti tembakan."
"Cuma suara knalpot mobil, dijalan raya," kata Jupiter cepat-cepat. "Mrs. Dobson, ini teman kami, Bob Andrews."
"Apa kabar, Mrs. Dobson," sapa Bob.
Mrs. Dobson tersenyum, lalu membalas sapaan itu.
"Kenapa kalian berdua selarut ini kemari"" tanyanya, ketika sudah sampai di bawah. Saat itu Tom Dobson muncul di atas tangga, lalu menuruninya. Ia membawa baki, dengan cangkir-cangkir kosong bertumpuk-tumpuk di atasnya. "He, Jupe!" katanya menyapa. Jupiter memperkenalkan Bob pada Tom. "Wah!" kata Tom. "Penyelidik ketiga!" "Apa katamu"" kata Mrs. Dobson.
"Ah, tidak apa-apa, Bu - aku cuma main-main saja," kata Tom.
"Hm!" Mrs. Dobson menatap anaknya dengan pandangan menyelidik, seperti yang biasa dilakukan para ibu. "Sekarang bukan waktunya main-main," katanya kemudian. "Ada apa lagi dengan kalian sekarang" Aku bukannya tidak menghargai usaha kalian. Aku bahkan senang sekali, Pete menginap di sini untuk menemani kami. Tapi aku tidak suka kalau kalian main rahasia-rahasiaan!"
"Maaf, Mrs. Dobson," kata Jupiter. "Saya dan Bob sebenarnya tidak bermaksud datang kemari. Tapi kami tadi berjalan-jalan menyusuri jalan darurat di puncak bukit, dan kemudian kami melihat kedua orang yang ada di Hilltop House."
Bob ters edak, karena kaget. Sedang Jupiter melanjutkan dengan tenang.
"Hilltop House itu rumah besar yang ada di belakang rumah ini, tapi letaknya lebih tinggi, hampir di puncak bukit. Rumah itu sejak kemarin ditempati dua orang penyewa baru. Dari teras sana, mereka bisa langsung melihat ke dalam kamar-kamar tidur sebelah belakang rumah ini. Karenanya kami merasa perlu memberi tahu Anda, agar Anda menurunkan kerai-kerai jendela di kamar-kamar itu."
"Hebat!" Mrs. Dobson terduduk di jenjang pangkal tangga. "Sempurnalah kejadian-kejadian sepanjang hari ini. Mula-mula jejak kaki berapi, lalu si Sinting dari hotel, dan sekarang sepasang pengintip."
"Si Sinting dari hotel"" tanya Bob. "Siapa yang sinting, dan dari hotel mana""
"Seorang pria, bernama Farrier," kata Pete menjawab. "Ia muncul di sini sekitar setengah jam yang lewat. Katanya, ingin melihat apakah semua sudah beres, dan apakah ada yang bisa dilakukannya untuk Mrs. Dobson."
"Pemancing ikan yang periang," kata Jupiter.
"Terlalu periang, bagiku," kata Mrs. Dobson. "Entah kenapa, tapi perasaanku tidak enak menghadapi orang itu. Kenapa ia begitu ngotot" Senyumannya tak pernah lepas, sampai melihatnya saja pun otot-otot mukaku sudah terasa pegal. Dan ia selalu begitu... begitu..."
"Rapi"" tebak Jupiter.
"Yah - bisa juga dikatakan begitu." Mrs. Dobson duduk bertopang dagu. "Penampilannya seperti... yah, seperti boneka-boneka pajangan di toko-toko besar. Kurasa ia sama sekali tidak pernah berkeringat. Pokoknya, ia tadi mencoba memancing ajakan untuk minum kopi di sini. Tapi kukatakan bahwa aku ingin berbaring sambil mengompres kepala dengan lap basah. Ia langsung mengerti, lalu pergi lagi."
"Ia kemari naik mobil"" tanya Jupiter.
"Ya, tentu saja," jawab Pete. "Mobil Ford tua, berwarna cokelat. Ia kemudian pergi, lewat jalan raya."
"Hmm," kata Jupiter. Kemudian, "Bisa saja ia berpesiar, menyusuri pantai. Nah - kurasa sebaiknya kami pulang saja sekarang. Sampai besok, Mrs. Dobson."
"Selamat malam, Anak-anak," kata Mrs. Dobson. Diambilnya baki berisi tumpukan cangkir dari tangan Tom, lalu pergi ke dapur.
Jupiter memanfaatkan kesempatan itu. Ia cepat-cepat bercerita pada Tom dan Pete, tentang kejadian di Hilltop House, serta tembakan yang kemudian menyusul. Sekali lagi ia berpesan pada keduanya, agar menurunkan kerai jendela-jendela. Setelah itu ia keluar, bersama Bob. Mereka mendengar bunyi anak kunci diputar, serta gerendel disorongkan.
"Lega hatiku mengetahui bahwa Potter melengkapi rumahnya dengan banyak kunci-kunci pengaman," kata Jupiter.
Kedua remaja itu menyusuri tepi jalan raya, kembali ke Rocky Beach.
"Apakah menurutmu, mereka yang di rumah itu benar-benar dalam bahaya"" tanya Bob.
"Tidak," kata Jupiter. "Kurasa tidak. Kedua laki-laki di Hilltop House itu mungkin saja ingin tahu tentang mereka, tapi kita sekarang tahu bahwa minat mereka sebenarnya terarah pada Potter. Dan mereka tahu, Potter tidak ada di rumahnya."
"Bagaimana dengan orang yang di bukit tadi"" kata Bob. "Itu - yang melepaskan tembakan ke arah kita!"
"Kitalah yang diancam," kata Jupiter. "Tidak ada tanda-tanda bahwa ia menakut-nakuti keluarga Dobson. Dan Mr. Farrier begitu ngotot mencurahkan perhatiannya pada Mrs. Dobson, padahal Mrs. Dobson jelas tidak memberi hati padanya. Bibi Mathilda bahkan terang-terangan bersikap kasar padanya siang tadi. Itu menarik, karena orang pada umumnya takkan mendesak-desakkan diri lagi, jika sudah jelas kelihatan bahwa kedatangannya tidak disukai. Lalu mobil Ford cokelat itu juga menarik."
"Kenapa begitu"" kata Bob. "Kan ada jutaan mobil seperti itu""
"Soalnya, tidak cocok dengan penampilan pemiliknya," kata Jupiter menjelaskan. "Penampilannya terlalu rapi seperti yang diakui oleh Mrs. Dobson. Jadi bisa dibayangkan, mestinya ia naik mobil yang lebih anggun - seperti mobil sport yang diimpor dari luar negeri, misalnya. Kecuali itu, sementara ia nampak begitu seksama mengurus penampilan dirinya, tapi mobilnya dibiarkan berselimut debu. Dicuci saja pun tidak!"
Sementara itu mereka sudah hampir sampai di Rocky Beach. Kedua remaja itu mempercepat langkah, karena tahu-tahu khawatir ka
lau dicari-cari oleh Bibi Mathilda. Tapi
ketika mereka sampai di rumah keluarga Jones, tempat itu sepi. Jupiter mengintip ke dalam lewat jendela. Dilihatnya Paman Titus masih tetap tertidur dengan nikmat, sementara di televisi sedang diputar film tua.
"Temani aku sebentar," kata Jupiter pada Bob. "Aku masih harus menutup pintu gerbang perusahaan."
Mereka pergi ke seberang, lalu masuk lewat pintu gerbang besar. Lampu menyala terang di bengkel Jupiter di luar. Ketika Jupiter hendak memadamkannya, ia melihat lampu merah yang terdapat di atas mesin cetak berkelip-kelip. Itu tanda bahwa pesawat telepon di markas berdering.
"Selarut ini"" kata Bob dengan heran. "Siapa-"
"Pete!" kata Jupiter. "Pasti Pete." Dengan cepat disingkirkannya terali penutup Lorong Dua, dan beberapa saat kemudian kedua remaja itu sudah berada di dalam markas. Jupiter menyambar gagang telepon, mendekatkannya ke telinga.
"Cepat kembali!" Suara Pete terdengar tegang. "Kejadian itu berulang lagi!"
"Ada jejak kaki lagi"" tanya Jupiter.
"Ya - tiga, di tangga," kata Pete. "Cepat-cepat kupadamkan tadi. Tercium bau aneh. Dan Mrs. Dobson mengalami gangguan syaraf."
"Kami akan segera datang," kata Jupiter, lalu mengembalikan gagang telepon ke tempatnya.
"Ada jejak kaki menyala lagi," katanya pada Bob. "Sekali ini di tangga. Pete juga mengatakan bahwa saat ini Mrs. Dobson sedang galau pikirannya. Itu bisa kumengerti." "Kita kembali ke sana"" tanya Bob. "Ya, kita kembali," jawab Jupiter.
Keduanya bergegas-gegas keluar lagi, lewat Lorong Dua. Ketika mereka sedang mengunci pintu gerbang, Bibi Mathilda membuka pintu rumah. "Apa saja yang kalian lakukan di sana selama itu"" serunya.
"Ada yang perlu kami atur," kata Jupiter membalas pertanyaan itu, lalu bergegas menghampiri bibinya. "Kami ingin menjenguk Mrs. Dobson serta anaknya sebentar," katanya. "Bibi tidak berkeberatan, 'kan""
"Aku keberatan," kata Bibi Mathilda. "Malam sudah larut, tidak sopan kalau sekarang masih datang berkunjung. Kecuali itu, kau kan tahu bahwa aku tidak senang jika kau malam-malam masih ada dijalan raya."
"Sepeda kami kan ada lampunya," kata Jupiter, "dan kami akan berhati-hati. Mrs. Dobson tadi siang kelihatannya begitu bingung. Karena itu kami ingin melihat sebentar ke sana, apakah semuanya sudah beres."
"Yah... baiklah, Jupiter. Tapi kalian berdua hati-hati, ya!" Bibi Mathilda tertegun sekejap, lalu bertanya, "Mana Pete""
"Sudah pergi," jawab Jupiter singkat.
"Baiklah. Jika kalian masih ingin pergi, cepatlah sedikit - karena malam semakin larut. Dan ingat - hati-hati dijalan!"
"Kami akan berhati-hati," kata Jupiter.
Perjalanan kembali ke rumah Potter hanya memakan waktu beberapa menit saja, karena kali ini mereka naik sepeda. Sesampainya di sana mereka menggedor-gedor pintu depan, sambil memanggil-manggil. Pete membukakan pintu.
"Seluruh rumah sudah kauperiksa"" tanya Jupiter, begitu sudah ada di dalam rumah.
"Aku" Seorang diri"" kata Pete. "Aku tidak senekat itu! Tanpa itu pun aku sudah cukup sibuk - memadamkan jejak kaki yang menyala, lalu lari ke telepon umum dijalan untuk menelepon kalian, sedang Mrs. Dobson sedang histeris, tidak bisa diajak bicara secara normal."
Benarlah. Mrs. Dobson saat itu sedang galau pikirannya. Bob dan Jupiter mengikuti Pete naik ke tingkat atas, menuju ke kamar tidur besar di depan.
Mereka menjumpai Mrs. Dobson tertelungkup di atas tempat tidur, sambil menangis tersedu-sedu. Anaknya duduk di sampingnya. Tom menepuk-nepuk bahu ibunya. Anak itu nampak sangat gugup.
Bob pergi ke kamar mandi. Dibukanya keran air, lalu dibasahinya selembar lap penyeka tubuh.
"Nah! Itu, mulai lagi!" teriak Mrs. Dobson. "Apa yang mulai lagi"" tanya Jupiter.
"Sekarang berhenti," kata Mrs. Dobson. "Baru saja ada bunyi air mengalir."
"Saya yang menyebabkannya, Mrs. Dobson." Bob masuk sambil menenteng lap basah. "Saya rasa Anda mungkin perlu ini."
"Oh." Mrs. Dobson menerima lap basah yang disodorkan, lalu menyeka wajah dengannya.
"Kalian belum lama pergi," kata Pete menjelaskan, "ketika tahu-tahu terdengar bunyi air mengalir dalam pipa-pipa. Padahal tidak ada satu keran pun yang dibuka! L
alu ketika kami sudah ada di kamar tidur masing-masing, terdengar bunyi gedebuk di bawah. Mrs. Dobson keluar untuk memeriksa. Saat itulah nampak tiga jejak kaki berapi di jenjang. Cepat-cepat kulemparkan selimut di atasnya, sehingga api padam. Tapi bekasnya masih kelihatan."
Jupiter dan Bob kembali ke tangga, untuk memeriksa bekas jejak yang hangus itu.
"Persis seperti yang didapur," kata Jupiter. Disentuhnya salah satu jejak itu dengan ujung jari. Lalu diciumnya bau yang menempel di ujung jarinya itu. "Baunya aneh - seperti bahan kimia tertentu."
"Lalu apa kesimpulan kita, kalau begitu"" tanya Pete. "Kita menghadapi hantu yang sarjana kimia""
"Saat ini sebenarnya sudah terlalu larut," kata Jupiter, "tapi kusarankan untuk memeriksa seluruh rumah ini."
"Takkan ada yang bisa masuk kemari tadi, Jupe," kata Pete berkeras. "Rumah ini terkunci rapat, melebihi lemari besi di Bank Sentral."
Tapi Jupiter tetap ingin memeriksa. Rumah itu diteliti dengan seksama, dari ruang bawah tanah sampai ke ruang loteng. Tapi tidak ada apa-apa lagi di situ, kecuali Mrs. Dobson beserta putranya, Trio Detektif, serta koleksi benda seni tembikar yang banyak jumlahnya.
"Aku ingin pulang," keluh Eloise Dobson.
"Ya, kita pulang, Bu," kata Tom berjanji. "Besok pagi, ya""
"Kenapa tidak sekarang ini juga"" tanya Mrs. Dobson.
"Ibu kan capek!"
"Kau sangka aku bisa tidur di tempat ini"" tanya Mrs. Dobson.
"Anda akan merasa lebih aman jika kami semua menginap di sini malam ini"" tanya Jupiter Jones.
Eloise Dobson menggigil. Ia merentangkan tubuh di tempat tidur, menendang-nendang kaki pembaringan itu.
"Aku akan merasa lebih aman," katanya mengaku. "Bisakah barisan pemadam kebakaran juga diminta ikut menginap""
"Moga-moga saja kita tidak memerlukan mereka," kata Jupiter.
"Sekarang Ibu beristirahat saja dulu, ya Bu"" Tom Dobson pergi ke lemari di gang, mengambilkan selimut bagi ibunya. Mrs. Dobson masih berpakaian seperti siangnya.
"Aku harus berganti pakaian dulu," kata Mrs. Dobson dengan suara lesu. Tapi ia tidak berdiri. Ia menutupi mata dengan lengan. "Jangan padamkan lampu," katanya.
"Tidak," kata Tom.
"Dan jangan pergi," gumam ibunya.
"Aku tetap di sini, Bu," kata Tom.
Mrs. Dobson tidak mengatakan apa-apa lagi. Wanita malang itu tertidur, karena sangat capek.
Anak-anak berjingkat-jingkat keluar, lalu berkelompok di ujung tangga sebelah atas.
"Akan kuambil selembar selimut lagi, lalu tidur di lantai, di kamar ibuku," kata Tom dengan suara pelan. "Kalian benar-benar akan menginap semalaman di sini""
"Bibi Mathilda bisa kutelepon," kata Jupiter. "Akan kuberi tahu bahwa ibumu sedang galau pikirannya, dan ingin ditemani. Setelah itu Bibi Mathilda mungkin bisa memberi tahu Mrs. Andrews."
"Biar aku sendiri yang menelepon ibuku," kata Bob. "Akan kukatakan padanya, aku menginap di rumahmu."
"Barangkali sebaiknya kita menelepon polisi," kata Tom.
"Selama ini, itu tidak banyak gunanya," kata Jupiter. "Kunci pintu baik-baik, begitu kami keluar untuk menelepon sebentar." "Jangan khawatir," kata Pete.
"Nanti kalau kami kembali, akan kuketuk pintu tiga kali berturut-turut," kata Jupiter lagi. "Kutunggu sebentar, lalu kuketuk lagi tiga kali."
"Oke, mengerti." Pete memutar anak kunci dan menarik gerendel, untuk membukakan pintu. Bob dan Jupiter menyelinap ke dalam kegelapan, menuju ke bilik telepon umum di pinggir jalan raya.
Bibi Mathilda sangat prihatin ketika mendengar bahwa Mrs. Dobson kacau pikirannya, dan ingin ada yang menemani. Jupiter tidak mengatakan apa-apa, tentang jejak kaki berapi yang muncul lagi. Waktu menelepon selama tiga menit hampir seluruhnya dipakai oleh Jupiter untuk mencegah Bibi Mathilda, yang hendak membangunkan Paman Titus, dan mengajaknya menjemput Mrs. Dobson serta anaknya dengan truk, untuk diamankan di rumah mereka.
"Mrs. Dobson sudah tidur sekarang," kata Jupiter akhirnya. "Ia tadi cuma mengatakan, ia akan merasa lebih aman jika kami semua menemaninya di rumah ini."
"Tapi tempat tidur di situ kan tidak banyak," kata Bibi Mathilda keberatan. "Ah, itu tidak jadi soal," kata Jupiter. "Seadanya sajalah!"
Akhirnya Bibi Mathilda mengalah. Jupi
ter diperbolehkannya menginap. Setelah itu ganti Bob yang menelepon. Ibunya ternyata langsung mengizinkan, ketika diberi tahu bahwa ia malam itu diajak Jupiter menginap. Bob tidak mengatakan, di mana ia menginap.
Setelah itu keduanya kembali ke rumah Potter. Pintu depan diketuk dengan cara yang sudah disepakatkan. Pete membukakan pintu.
Seperti kata Bibi Mathilda, di situ memang tidak cukup tempat tidur - biarpun Tom Dobson sudah berbaring di lantai, di kamar tidur ibunya. Tapi menurut Pete, itu soal kecil. Secara bergilir, seorang dari mereka harus bangun untuk menjaga, sementara yang dua lagi tidur. Bob dan Jupiter menyetujui saran itu, dan Jupiter secara sukarela mengatakan bahwa ia saja yang pertama-tama menjaga selama tiga jam berikut sejak saat itu. Bob masuk ke kamar tidur Potter, lalu merebahkan diri di pembaringan sempit dan rapi yang ada di situ. Sedang Pete masuk ke kamar tidur yang sebetulnya disediakan untuk Tom Dobson.
Jupiter duduk di lantai, di kaki tangga. Ia menyandarkan punggung ke dinding, sementara matanya menatap bekas-bekas hangus yang nampak di jenjang tangga. Jejak kaki tanpa sepatu. Ia berpikir, sambil mencium-cium ujung jari-jarinya. Bau bahan kimia yang tercium ketika tadi ia menyentuh jejak-jejak itu, kini sudah tidak ada lagi.
Pasti untuk menimbulkan nyala api tadi dipakai bahan yang gampang sekali menguap. Jupiter berpikir-pikir, berusaha mengetahui jenis bahan itu. Tapi kemudian ia menarik kesimpulan, yang penting bukan bahan itu. Tapi kenyataan ada orang yang masuk ke rumah yang terkunci rapat-rapat dari dalam, untuk menimbulkan kesan yang menyeramkan itu. Bagaimanakah cara melakukannya" Dan siapa yang melakukannya"
Jupiter Jones merasa pasti tentang satu hal, yaitu bukan hantu yang melakukan keisengan itu. Jupiter tetap tidak percaya bahwa hantu itu ada.
Bab 12 PUSTAKA TERSEMBUNYI JUPITER terbangun. Didengarnya bunyi kesibukan di dapur yang terletak di bawah. Ia mengerang pelan, lalu memutar tubuhnya yang tergeletak di tempat tidur Tom Dobson. Jupiter memandang arlojinya. Pukul tujuh lewat sedikit.
"Kau sudah bangun"" Bob Andrews menjenguk ke dalam dari ambang pintu.
"Ya, sekarang aku sudah bangun." Jupiter bangkit dengan gerakan lambat.
"Mrs. Dobson marah-marah," kata Bob. "Sekarang ia sedang masak, di dapur."
"Bagus - aku memang sudah lapar. Tapi kenapa ia marah-marah" Tadi malam katanya ingin lekas-lekas pulang."
"Tapi sekarang tidak lagi. Pagi ini ia sudah siap untuk mengobrak-abrik kota Rocky Beach. Bukan main, pengaruh tidur nyenyak satu malam. Yuk, ikut aku ke bawah. Kau pasti asyik melihatnya. Aku teringat pada Bibi Mathilda-mu, jika ia sedang giat-giatnya."
Jupiter tertawa geli. Ia masuk ke kamar mandi, untuk mencuci muka. Kemudian ia memasang sepatunya kembali - hanya itu saja yang sempat dibukanya sebelum tidur - lalu ikut dengan Bob ke dapur.
Pete dan Tom sudah ada di situ. Mereka memperhatikan Mrs. Dobson, yang sibuk menggoreng telur sambil mengoceh. Macam-macam yang diocehkannya. Tentang Potter, tentang rumah, jejak kaki yang menyala, serta ayah yang tidak tahu diri, menghilang sementara anak satu-satunya sudah repot-repot naik mobil melintasi hampir sepanjang benua, untuk menjenguknya.
"Dan jangan kalian sangka, ibu akan diam saja," kata Mrs. Dobson. "Tidak! Pagi ini juga aku akan ke kantor polisi untuk menyampaikan laporan kehilangan mengenai dirinya. Dengan begitu polisi harus mencarinya."
"Tapi apakah akan ada gunanya, Mrs. Dobson"" tanya Jupiter agak sangsi. "Jika Potter menghilang karena kemauannya sendiri, sulit sekali rasanya-"
"Aku tidak mau ia hilang," potong Mrs. Dobson. Ia meletakkan piring berisi telur dan daging goreng di atas meja. "Aku ini anaknya, dan ia ayahku, dan ia harus membiasakan diri pada kenyataan itu. Sedang kepala polisi kalian harus melakukan sesuatu terhadap jejak-jejak kaki itu. Itu pasti suatu kejahatan."
"Kemungkinannya, percobaan pembakaran," kata Bob.
"Apa pun sebutannya, pokoknya harus berhenti. Sekarang kalian makan. Aku hendak ke kota."
"Ibu sendiri belum sarapan," kata Tom.
"Aku tidak perlu sarapan!" tukas ibunya. "Sekarang makan! Ay
o! Dan jangan ke mana-mana. Aku cuma sebentar!"
Mrs. Dobson menyambar dompetnya, yang diletakkan di atas lemari es. Ia mencari-cari kunci mobil di dalamnya, lalu bergegas keluar. Sedetik kemudian terdengar bunyi mesin mobil biru dihidupkan di luar.
"Ibuku bangkit lagi semangatnya," kata Tom. Ia merasa agak kikuk.
"Telur ini enak," kata Jupiter. Ia makan sambil berdiri, menyandar ke ambang pintu. "Sebaiknya kita cepat-cepat saja mencuci piring yang kotor, sebelum ia kembali."
"Pengalamanmu bertahun-tahun tinggal bersama Bibi Mathilda, ternyata membuatmu sangat mampu menyelami perasaan seseorang," kata Bob.
"Memang sudah sepantasnya, jika ibumu marah pada kakekmu," kata Jupiter pada Tom. "Tapi menurutku, Potter tidak berniat menyakiti hatinya. Ia sama sekali tidak ingin menyakiti hati siapa pun. Ia memang suka menyendiri, tapi kurasa wataknya sangat lembut." Jupiter menaruh piringnya di bak cuci. Ia teringat lagi pada kedua laki-laki yang naik mobil Cadillac, serta perjumpaan mereka dengan Potter. Jupiter ingat, bagaimana
Potter saat itu berdiri di jalan masuk Jones Salvage Yard, sambil menggenggam medalionnya.
"Rajawali berkepala kembar," kata Jupiter. "Tom, kau mengatakan bahwa kakekmu kadang-kadang mengirim hasil ciptaannya pada kalian. Pernahkah ia mengirimkan sesuatu dengan hiasan rajawali berkepala kembar""
Tom mengingat-ingat sebentar, lalu menggeleng.
"Ibuku menyukai burung," katanya pada Jupiter. "Kakek biasanya mengirimkan barang-barang dengan hiasan burung, tapi burung biasa saja - bukan yang aneh-aneh, seperti lempengan di kamar tidur atas itu."
"Tapi bentuk rajawali itu dipakainya di medalionnya," kata Jupiter. "Ia juga memakainya sebagai hiasan lempengan yang kausebutkan. Hmm - hiasan untuk kamar kosong. - Kenapa ia mau repot-repot membuat benda sebesar itu, kemudian memasangnya di kamar kosong""
Jupiter mengeringkan tangannya dengan lap, lalu bergegas pergi ke atas. Seketika itu juga anak-anak yang lain berhenti sarapan. Mereka menyusul Jupiter, yang sementara itu sudah memasuki kamar yang ditempati Mrs. Dobson.
Rajawali yang berwarna merah seakan-akan menatap marah, dari atas pendiangan.
Jupiter meraba-raba tepi lempeng tembikar itu.
"Kelihatannya disemenkan ke dinding," katanya.
Tom Dobson pergi sebentar ke kamarnya. Ia kembali dengan membawa kikir kuku. "Coba dengan ini," katanya.
Jupiter mengambil kikir itu. Dengan alat itu ia mencongkel-congkel pinggir lempeng tembikar berukuran besar itu.
"Tidak bisa," katanya setelah beberapa saat. "Kurasa Potter menambahkan lapisan semen lagi pada dinding di atas pendiangan ini - dan hiasan besar ini juga ikut disemen."
Jupe mundur beberapa langkah. Diperhatikannya bentuk rajawali besar yang paruhnya terbuka itu.
"Pasti bukan pekerjaan enteng," katanya mengomentari. "Ukurannya besar sekali." "Tapi memang sudah hobinya, kok," kata Tom.
"Eh - nanti dulu!" kata Jupiter. Dihampirinya lempeng tembikar itu. "Rupanya tidak terdiri dari satu bagian yang utuh! Tolong ambilkan kursi, supaya aku bisa berdiri di atasnya."
Pete bergegas ke dapur di tingkat bawah, untuk mengambil kursi.
Jupiter berdiri di atas kursi. Tangannya meraih ke atas, ke arah kepala rajawali yang sebelah kanan.
"Mata ini tidak sama dengan yang satunya lagi," katanya. "Dibuat secara terpisah." Ditekannya bulatan porselen putih yang merupakan bola mata. Bulatan itu tertekan ke belakang. Terdengar bunyi detakan pelan, dan seluruh bagian dinding di atas pendiangan bergerak membuka sedikit.
"Pintu rahasia," kata Jupiter. "Kalau dipikir-pikir, memang masuk akal." Ia turun dari kursi. Dipegangnya hiasan yang merupakan bagian pinggir panel dinding itu, lalu ditarik. Panel itu terbuka dengan mudah. Engselnya ternyata selalu diminyaki.
Para remaja yang ada di dalam kamar itu berkerumun, memandang ke dalam semacam rongga yang dalamnya sekitar lima belas senti. Lemari rahasia yang tingginya mulai dari sisi atas pendiangan sampai ke langit-langit itu dibagi oleh empat papan rak. Pada papan-papan itu terdapat tumpukan surat kabar. Jupiter mengambil selembar di antaranya.
"Wah - ini kan koran daerah kami, tapi sudah tua!
" seru Tom. Diambilnya surat kabar yang dipegang oleh Jupiter, lalu diamat-amatinya sekilas. "Yang ini memuat berita tentang aku," katanya.
"Kenapa sampai ada berita mengenai dirimu"" tanya Bob.
"Waktu itu aku memenangkan hadiah dalam perlombaan mengarang," kata Tom.
Jupiter membuka surat kabar lagi, yang jauh lebih usang. "Iklan pernikahan ibumu," katanya pada Tom.
Tumpukan surat kabar itu memang semuanya terbitan Belleview, kota asal Mrs. Dobson serta anaknya, Tom. Dan surat-surat kabar tersebut ternyata memuat berita-berita tentang kehidupan keluarga Dobson. Kelahiran Tom, serta berita dukacita ketika neneknya meninggal. Ada berita tentang perayaan pembukaan toko yang dikelola ayah Tom, serta satu lagi tentang pidato ayahnya itu pada kesempatan Hari Veteran. Segala kesibukan keluarga Dobson yang dimuat dalam harian itu, ternyata disimpan oleh Potter.
"Pustaka rahasia," kata Pete. "Dan kau serta ibumulah yang merupakan rahasia besar di dalamnya."
"Rasanya diperhatikan karenanya," kata Tom.
"Ia sangat tertutup," kata Jupiter. "Tidak ada yang tahu selama ini bahwa kalian itu ada. Aneh! Dan yang lebih aneh lagi, dalam koleksi rahasianya ini sama sekali tidak ada apa-apa tentang Potter sendiri."
"Itu kan tidak aneh," kata Pete. "Potter tidak suka namanya dimuat dalam pers - sepanjang ingatanku."
"Betul," kata Jupiter. "Tapi kedua orang di Hilltop House kemarin mengatakan, ulasan mengenai karya seninya pernah dimuat dalam majalah. Dan apabila cerita tentang karya seni kita dimuat dalam majalah, maka sudah wajar jika majalah yang memuat cerita itu kita simpan. Ya, 'kan""
"Betul," kata Bob.
"Jadi ada dua dugaan yang mungkin benar," kata Jupiter. "Kemungkinan pertama, Potter sedikit pun tidak memiliki rasa bangga pada diri sendiri. Atau, sebenarnya sama sekali tidak ada berita mengenai dirinya dalam majalah - kecuali foto di majalah Westways. Dan tentang itu, Potter sama sekali tidak tahu-menahu, sampai hari Sabtu yang lalu. Ia tidak senang ketika melihat fotonya dimuat dalam majalah."
"Apa arti semuanya itu"" tanya Tom Dobson.
"Artinya, Potter selama ini ingin merahasiakan eksistensi kalian. Dan ia juga sama sekali tidak ingin dirinya dikenal di kalangan luas. Mungkin ia mempunyai alasan kuat untuk bersikap begitu. Kami tidak tahu apa alasannya, Tom - tapi kemarin malam kami mendengar kedua orang yang menyewa Hilltop House menunjukkan minat yang sangat besar terhadap kakekmu. Mereka datang di Rocky Beach, hampir dua bulan setelah lembaran Westways muncul dengan foto kakekmu. Ada kesimpulan yang bisa kautarik dari situ""
"Ada kemungkinan Kakek melarikan diri," kata Tom. "Tapi melarikan diri dari apa"" "Apa yang kauketahui tentang Lapatia"" tanya Jupiter. "Belum pernah kudengar. Apa itu""
"Lapatia itu nama negara - sebuah negara kecil, di benua Eropa. Di sana pernah terjadi pembunuhan politik, bertahun-tahun yang silam." Tom Dobson hanya mengangkat bahu. "Kata Nenek, Kakek berasal dari Ukraina," katanya. "Kau pernah mendengar nama Azimov"" tanya Jupiter lagi. "Tidak."
"Mungkinkah itu nama kakekmu, sebelum ia menukarnya menjadi Potter"" "Tidak. Nama kakekku yang asli sangat panjang. Panjang sekali. Kau takkan bisa mengucapkannya." Jupiter berdiri sambil mencubiti bibir bawahnya.
"Ia sudah begitu repot, hanya untuk menyembunyikan setumpuk koran tua saja," kata Tom. "Padahal ada cara yang jauh lebih mudah, jika memang begitu penting artinya. Ia bisa saja memasukkannya ke dalam suatu berkas bersama rekening-rekening tua - itu, seperti dalam kisah Surat yang Dicuri, karangan Edgar Allan Poe."
Pete menjamah lempeng tembikar yang berat itu.
"Itu akan lebih bisa diterima akal sehat," katanya. "Benda seperti ini dalam kamar kosong, sudah pasti akan menarik perhatian - kalau memang itu yang dikehendaki."
"Sedang Potter tidak menghendakinya," kata Jupiter. "Ia malah sama sekali tidak suka jika ada perhatian terarah padanya."
Jupiter membungkuk. Ia memperhatikan perapian yang ada di bawah lempeng tembikar itu. Tempat itu benar-benar bersih. Nampak jelas bahwa perapian itu belum pernah dipakai. Jupiter berjongkok. Dimasukkan kepalanya ke da
lam tempat itu. Ia memandang ke atas.
"Tidak ada cerobong asap," katanya. "Ini perapian bohong-bohongan."
"Mungkin Potter sendiri yang membuatnya," kata Bob menduga.
"Kalau begitu, apa gunanya katup kecil ini"" tanya Jupiter. Dibukanya sebuah klep dari logam, yang terpasang di dasar perapian itu. "Pada pendiangan yang benar, katup ini gunanya untuk membuang abu. Jadi untuk apa dipasang pada perapian palsu, yang tak pernah berabu""
Jupiter menyusupkan tangannya ke dalam lubang yang tadi tertutup katup. Ia merogoh-rogoh lantai pendiangan yang terbuat dari batu bata. Tiba-tiba ujung jarinya menyentuh benda yang terbuat dari kertas.
"Ada sesuatu di sini!" serunya. "Sebuah sampul!" Sampul itu dicongkelnya sehingga ke luar, lalu katup dari logam itu dibiarkannya menutup kembali.
Trio Detektif 15 Misteri Jejak Bernyala di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sampul yang dikeluarkannya terbuat dari kertas tebal dan disegel.
"Lemari rahasia di balik lempeng tembikar di atas sebenarnya hanya untuk mengalihkan perhatian saja," kata Jupiter menarik kesimpulan. Diacungkannya sampul yang ada di tangannya. "Kurasa rahasia sebenarnya ada di sini. Nah, apa yang akan kita lakukan sekarang, Tom" Barang ini milik kakekmu. Saat ini ia menghilang, sedang kau klien kami. Apa yang kita lakukan sekarang""
"Kita buka," kata Tom, tanpa ragu-ragu.
"Aku sudah berharap-harap, semoga itulah yang akan kaukatakan," gumam Bob. Jupiter membuka segel penutup sampul. "Apaan -"" tanya Tom ingin tahu.
Jupiter menarik selembar kertas kulit tebal yang dilipat tiga, dan membentangkannya dengan hati-hati sekali. "Apa itu"" tanya Tom lagi. Kening Jupiter berkerut.
"Entah! Kelihatannya seperti semacam sertifikat," katanya. "Mungkin ijazah - tapi untuk itu, ukurannya kurang besar." Anak-anak yang lain mengerubunginya. "Tulisannya dalam bahasa apa"" tanya Pete. Bob menggeleng.
"Aku tidak mengenalnya," katanya. "Aku belum pernah melihat bahasa seperti ini." Jupiter pergi ke jendela. Di situ didekatkannya dokumen dengan tulisan tangan itu ke matanya.
"Hanya ada dua yang bisa kukenali," katanya setelah mengamat-amati selama beberapa saat. "Yang satu, cap yang ada di bagian bawah. Bentuknya sudah kita kenal, yaitu rajawali berkepala kembar. Sedang yang satunya adalah tulisan nama ini - Kerenov. Rupanya pada suatu ketika ada yang menyampaikan suatu penghargaan tertentu pada seseorang bernama Alexis Kerenov. Kau pernah mendengar nama itu, Tom""
"Tidak," kata Tom. "Tapi tidak mungkin itu nama Kakek. Seperti sudah kukatakan, nama aslinya panjang. Sangat panjang!"
"Tapi kau kan ingat nama ini, Bob"" kata Jupiter.
"Ya, tentu saja," kata Bob. "Kerenov adalah seniman pengrajin yang menciptakan mahkota untuk Federic Azimov."
Tom memandang kedua anak itu silih berganti. "Federic Azimov" Siapa itu""
"Dia itu raja Lapatia yang pertama," kata Jupiter menjelaskan. "Hidupnya sekitar empat abad yang lalu." Tom Dobson menatap Trio Detektif dengan sikap bingung. "Tapi apa hubungannya dengan kakekku"" tanyanya.
"Kami juga tidak tahu," jawab Jupiter, "tapi kami berniat akan menyelidikinya."
Bab 13 RAJAWALI YANG LAIN JUPITER menumpukkan koran-koran tua terbitan Belleview di rak yang ada di atas pendiangan dengan rapi, lalu menutup kembali panelnya.
"Ibumu sebentar lagi akan sudah kembali," katanya pada Tom Dobson, "dan kurasa ia akan ditemani Chief Reynolds. Aku cenderung beranggapan bahwa kita takkan bisa menolong kakekmu, jika dokumen yang kita temukan tadi kita serahkan pada Chief Reynolds. Trio Detektif sedang melacak alur-alur penyelidikan tertentu, yang ada hubungannya dengan negara Lapatia, serta wangsa Azimov. Bagaimana, Tom - setujukah kau kalau kita melanjutkannya, sampai sudah cukup bukti-bukti yang nanti bisa diserahkan pada polisi""
Tom menggaruk-garuk kepalanya dengan sikap bingung.
"Apa pun yang sedang kalian lakukan saat ini, yang jelas kalian sudah jauh berada di depanku," katanya. "Baiklah. Kalian tahan saja dokumen itu - untuk sementara waktu. Dan bagaimana dengan koran-koran yang ada di balik lempeng tembikar""
"Mungkin polisi akan menemukan tempat penyimpanan rahasia itu," kata Jupiter. "Tapi kurasa tidak apa-apa kalau itu terjadi, karena mestinya
untuk itulah lemari rahasia itu dibuat - untuk mengalihkan perhatian dari rahasia yang sebenarnya."
"Mudah-mudahan saja aku masih bisa berjumpa dengan kakekku," kata Tom. "Mestinya ia sangat luar biasa."
"Pengalaman itu pasti akan menarik," kata Jupiter.
Bob menjenguk ke luar, lewat jendela.
"Mrs. Dobson sudah kembali," katanya.
"Dengan Chief Reynolds"" tanya Jupe.
"Di belakangnya ada mobil patroli," kata Bob.
"Astaga! Piring-piring bekas sarapan!" seru Pete.
"Ya, betul!" kata Jupiter Jones. Keempat remaja itu bergegas menuruni tangga. Saat Mrs. Dobson sudah memarkir mobil, melintasi halaman muka, lalu masuk lewat pintu depan, saat itu pula Jupiter membuka keran air panas dan mengalirkannya ke dalam bak cuci, sementara Tom mengorek-ngorek sisa-sisa sarapan yang menempel di piring, dan Bob sudah siap untuk mengeringkan dengan lap.
"Wah, terima kasih," kata Mrs. Dobson dengan senang, ketika melihat kesibukan mereka di dapur.
"Sarapannya tadi enak, Mrs. Dobson," ujar Pete.
Chief Reynolds masuk ke dapur, diikuti oleh Officer Haines. Kepala polisi Rocky Beach itu tidak mempedulikan anak-anak yang lain. Ia mencurahkan kejengkelannya pada Jupiter. "Kenapa aku tidak kauberi tahu kemarin malam"" tukas Chief Reynolds. "Saat itu Mrs. Dobson sedang kacau pikirannya," kata Jupiter.
"Dan sejak kapan kau menjadi anggota Lembaga Bantuan Kaum Wanita"" tanya kepala polisi itu. "Jupiter Jones - kalau kau tidak berjaga-jaga, nanti tahu-tahu kepalamu bisa terpental dari tubuhmu."
"Ya, Sir," kata Jupe.
"Jejak kaki berapi!" dengus kepala polisi itu. Ia berpaling pada bawahannya. "Periksa rumah ini, Haines," katanya.
"Kami sudah melakukannya, Chief," kata Jupiter melaporkan. "Tidak ada siapa-siapa di sini."
Jodoh Rajawali 5 Menuntut Balas Karya Wu Lin Qiao Zi The First Fall 2
"Maaf, Bi, aku keasyikan mengobrol dengan Tom." Bibi Mathilda mendengus.
"Sejak tadi aku berusaha membujuk Mrs. Dobson agar mau kembali ke hotel. Tapi ia berkeras terus, ingin tetap di sini. Menurut anggapannya, ayahnya setiap saat bisa kembali." "Itu mungkin saja," kata Jupiter. "Ini kan rumahnya."
Mrs. Dobson keluar. Wajahnya masih pucat. Tapi ketabahannya sudah agak pulih, setelah menikmati secangkir teh panas.
"Yah," kata Bibi Mathilda, "kami pulang saja sekarang, jika tidak ada lagi yang bisa kami lakukan untuk Anda. Jika Anda nanti merasa takut, telepon saja ke rumah. Hati-hati sajalah!"
Eloise Dobson berjanji akan berhati-hati, dan rumah akan dikunci dengan baik.
"Mereka perlu mendatangkan tukang kunci," kata Bibi Mathilda, ketika truk yang dinaikinya bersama Hans dan Jupiter sudah meluncur ke arah Rocky Beach. "Soalnya, mereka bisa mengunci pintu-pintu rumah itu dari dalam, tapi tidak bisa membukanya dari luar. Potter edan itu rupanya membawa seluruh anak kunci! Dan mereka juga perlu memasang pesawat telepon. Risikonya terlalu besar, tinggal sendiri di situ tanpa telepon."
Jupiter sependapat dengannya.
Ketika truk sudah sampai lagi d
i Jones Salvage Yard, Jupiter menyelinap pergi dengan diam-diam. Ia masuk ke markas lewat Lorong Dua, lalu menelepon Pete Crenshaw dan Bob Andrews.
"Trio Detektif mendapat klien baru!" katanya pada Pete. "Dan namanya bukan Jupiter Jones!"
Bab 7 TRAGEDI DI KERAJAAN KETIKA Trio Detektif berkumpul dalam karavan yang merupakan markas mereka, hari sudah sore. Sudah pukul lima lewat. Secara singkat Jupiter menyampaikan laporan tentang kepindahan Mrs. Dobson beserta anaknya ke rumah Potter, lalu tentang jejak menyala yang tahu-tahu nampak di lantai dapur.
"Astaga!" seru Pete. "Jangan-jangan Potter sudah meninggal dunia, lalu arwahnya kembali untuk menghantui rumah itu!"
"Itulah yang dikatakan oleh Hans," kata Jupiter. "Tapi jejak-jejak itu tidak dibuat oleh Potter. Setidak-tidaknya, itu bukan jejak kakinya. Potter sudah bertahun-tahun tidak memakai sepatu. Mungkin kalian pernah memperhatikan, bahwa kakinya menjadi lebar. Sedang jejak kaki yang nampak itu langsing dan kecil - seperti tapak kaki laki-laki yang kecil, atau wanita."
"Mrs. Dobson"" kata Pete.
"Ia tidak punya waktu untuk itu," kata Jupiter, "Ia turun dari tingkat atas, lalu langsung keluar untuk mengambil belanjaan dari bak belakang truk. Dan aku langsung menyusulnya. Ia sudah mengambil belanjaan dan hendak melangkah masuk ke dapur, ketika ia melihat nyala api itu. Dan aku ada di belakangnya. Kecuali itu, untuk apa ia berbuat begitu" Dan dengan cara bagaimana""
"Bagaimana dengan kedua orang yang di Hilltop House"" kata Pete lagi.
"Itu bisa saja," kata Jupiter. "Mereka pergi ke pantai, ketika kami mulai memasukkan barang-barang untuk Mrs. Dobson serta anaknya. Kita tidak tahu pasti, apakah kedua orang itu terus ada di pantai. Bisa saja mereka masuk ke rumah lewat pintu depan yang tidak ditutup, lalu dengan salah satu cara menyebabkan jejak-jejak kaki itu menyala, dan kemudian menyelinap ke luar lagi, kembali ke pantai. Keterangan apa saja yang berhasil kauperoleh tentang Hilltop House, Pete""
Pete mengeluarkan sebuah buku catatan kecil dari kantungnya.
"Belum pernah kulihat Mr. Holtzer begitu senang," katanya pada kedua temannya. "Aku tadi mampir di kantornya, untuk menanyakan apakah ia memerlukan tenagaku untuk memotong rumput halaman rumahnya - dan ia mengatakan tidak - dan selanjutnya aku tidak perlu bertanya lagi. Ia langsung menceritakannya. Hilltop House itu ternyata sudah lima belas tahun termasuk dalam daftarnya. Bangunan itu sudah sangat rusak, sehingga ia tidak bisa menjual, atau menyewakannya. Bahkan diberi pun, tidak ada yang mau! Kemudian muncul seseorang yang mengatakan bahwa itu satu-satunya rumah di Rocky Beach yang cocok dengan seleranya, dan bahwa ia harus berhasil memperolehnya. Orang itu mengontraknya untuk satu tahun, dengan pembayaran sewa di muka untuk tiga bulan. Surat kontrak rumah itu ada di atas meja Mr. Holtzer - kurasa saat itu ia sedang menghitung uang komisi untuknya -jadi aku sempat membaca nama penyewanya yang baru."
"Siapa namanya""
"Mr. Ilyan Demetrieff," kata Pete. "Atau mungkin juga Demetrioff. Aku tidak tahu pasti, karena aku membacanya dari posisi terbalik. Dan Mr. Holtzer menyuruh mesin tiknya dibersihkan. Pokoknya, orang itu bernama Demetrieff atau Demetrioff, dan alamatnya yang lama Wilshire Boulevard nomor 2901, Los Angeles."
Bob mengambil buku telepon besar yang terletak di atas sebuah lemari arsip, membalik-balik halamannya, lalu menggeleng.
"Ia tidak terdaftar di sini."
"Banyak orang yang tidak terdaftar dalam buku telepon," kata Jupiter. "Nanti bisa kita telusuri kebenaran alamat itu, serta mengadakan penyelidikan tentang Mr. Demetrieff." Ia menarik-narik bibirnya. "Aku ingin kita tahu lebih banyak tentang rajawali berkepala dua itu. Kurasa itu mungkin sangat penting! Wujud itu tidak cuma ada di medalion yang selalu dipakai Potter, tapi juga terdapat pada dua guci di halaman depan rumahnya, serta pada lempeng tembikar besar yang terpasang di dalam salah satu kamar tidurnya. Kelihatannya bentuk itu sangat menarik bagi Potter."
Bob Andrews tertawa nyengir.
"Tentang itu, nasib kita sedang mujur," katanya pada Jupiter. "Apa
maksudmu"" "Kita tidak perlu menunggu sampai perpustakaan dibuka besok," kata Bob. "Ayahku baru saja membeli sebuah buku penghias meja kopi." "Apa"" kata Pete bingung.
"Buku penghias meja kopi - itu, buku-buku bergambar berukuran besar, yang reklamenya biasa dikirimkan lewat pos. Ayahku gampang sekali terbujuk untuk membelinya." Dekat kaki Bob ada sebuah kardus. Sambil tersenyum bangga diletakkannya kardus itu di atas meja, lalu dibuka. Pete dan Jupiter melihat sebuah buku yang indah, dengan sampul mengkilat. Judulnya, Harta Kaum Ningrat. Studi Foto tentang Makota-makota Kerajaan di Eropa, Disertai Komentar oleh E. P. Farnsworth.
"Bukankah itu makota Kerajaan Inggris"" kata Jupiter, sambil memandang benda indah yang menghiasi sampul buku. Makota itu terletak di atas kain beledu merah tua, dan difoto dari jarak dekat.
"Salah satu dari makota kerajaan," kata Bob menegaskan. "Kerajaan Inggris memiliki beberapa makota, ditambah sekian banyak tongkat kebesaran, bentuk bulatan dunia dengan salib, begitu pula pedang. Buku ini disusun mencakup kawasan yang luas. Ada foto-foto perhiasan Kerajaan Inggris, lalu makota Charlemagne, yang disimpan di Austria, serta makota St. Stephen dari Hongaria. Lalu ada pula makota Lombardia, yang terbuat dari besi. Selanjutnya sedikit tentang Rusia. Pada masa kekuasaan Tsar, orang Rusia sangat menggemari lambang burung rajawali - tapi kurasa rajawali inilah yang kita cari."
Sambil berbicara, Bob membalik-balik halaman buku itu, sampai lewat dari separuh, lalu menyodorkannya pada Jupiter.
"Makota Kerajaan Lapatia," katanya singkat. Pete ikut melihat dari balik bahu Jupiter. "Ya, betul!" katanya.
Makota Kerajaan Lapatia lebih mirip helm - tapi helm yang terbuat dari emas, dan penuh dengan hiasan batu permata berwarna biru. Pada bagian atasnya, empat simpai emas melingkari sebutir batu delima berukuran besar. Dan di atas batu permata itu terpasang bentuk seekor burung rajawali. Rajawali berwarna merah, dan berkepala kembar. Sayapnya yang cemerlang terbentang lebar, sedang kepalanya yang sepasang memandang ke kiri dan ke kanan. Matanya yang dari intan nampak gemerlapan, sedang kedua paruhnya ternganga, seakan-akan menantang bertarung.
"Kelihatannya memang sangat mirip dengan rajawali yang dibuat oleh Potter," kata Jupiter.
"Teks mengenainya ada di halaman sebelah," kata Bob.
Jupiter membalik halaman, lalu membaca teks yang tertera di situ dengan suara lantang,
"Makota Kerajaan Lapatia diciptakan oleh seorang seniman bernama Boris Kerenov, sekitar tahun 1543. Bentuk makota itu oleh Kerenov diambil dari helm yang dipakai oleh Pangeran Federic Azimov, dalam pertempuran di Karlon. Kemenangan Azimov dalam pertempuran itu mengakhiri perang saudara yang selama itu melanda dan memporak-porandakan Kerajaan Lapatia. Setelah dikalahkan balatentara Azimov, para bangsawan daerah selatan mengucapkan sumpah, untuk tidak lagi melanggar perdamaian di Lapatia. Tahun berikutnya, Pangeran Federic mengundang kaum bangsawan untuk datang ke Puri Madanhoff, di mana ia kemudian menyatakan dirinya sendiri menjadi raja Lapatia. Para bangsawan yang terkurung di dalam puri dan terpisah dari pasukan masing-masing, menyatakan patuh pada Pangeran Federic, serta mengucapkan sumpah setia padanya, selaku penguasa yang berdaulat. Tapi seorang pembangkang, yang dikenal dengan julukan Ivan yang Gagah, tidak mau mengucapkan sumpah setia. Menurut legenda, pejuang yang tidak mau tunduk itu kemudian dihukum mati di balairung Madanhoff, lalu kepalanya ditancapkan di ujung tombak, dan dipasang di atas tembok pertahanan puri.
"Penobatan Federic I dari Lapatia berlangsung di ruang gereja Puri Madanhoff, tahun 1544. Makota yang dirancang dan dibuat oleh Kerenov, selama hampir 4 abad berada di tangan keluarga Azimov, dan terakhir kali dipakai dalam penobatan Raja William IV, tahun 1913. Setelah wangsa Azimov digulingkan tahun 1925, makota itu dinyatakan menjadi milik rakyat Lapatia, dan kini dipamerkan di Museum Nasional Madanhoff, ibu kota yang kemudian berkembang, dengan puri Pangeran Federic sebagai pusatnya.
"Makota Azimov yang terbuat dari e
mas murni dan bertatahkan batu permata biru, atau lapis lazuli, bagian atasnya dihias dengan batu delima besar. Batu permata ini dikatakan dulunya milik Ivan yang Gagah. Segala harta milik bangsawan ini, setelah ia dihukum mati, disita oleh Federic Azimov. Rajawali berkepala kembar yang bertengger di atas batu permata itu merupakan lambang kebesaran wangsa Azimov. Kerenov membuatnya dari emas yang kemudian diupam. Mata rajawali itu berupa batu intan, yang masing-masing beratnya lebih dari dua karat."
Jupiter berhenti membaca. Dibaliknya halaman, lalu sekali lagi mengamat-amati foto makota.
"Begitulah salah satu cara memperoleh kekuasaan tertinggi," kata Pete. "Bunuh saja mereka yang membangkang."
"Tapi tindakan menyabet batu delima milik orang yang nyalang itu, lalu menancapkannya ke makota, bukan merupakan sikap terpuji," kata Bob.
"Di masa itu orang memang biasa main kasar," kata Jupiter.
"Tahun 1925 pun masih tetap begitu," kata Bob, sambil mengeluarkan buku catatannya. "Aku sudah mencari Lapatia dalam ensiklopedi. Kalian boleh percaya atau tidak - tapi Lapatia ternyata masih ada sekarang." "Belum dicaplok salah satu negara besar"" kata Jupe.
"Tidak - tapi sekarang sudah berbentuk republik. Ini, kubacakan sebentar. Republik Lapatia, luas wilayah 73 mil persegi, jumlah penduduk sekitar 20.000 jiwa. Keju merupakan penghasil devisa terpenting. Balatentara tetap berjumlah 350 orang, 35 di antaranya berpangkat jenderal."
"Jadi satu jenderal untuk setiap sepuluh prajurit," kata Pete tercengang.
"Yang jelas, mereka tidak bisa dibilang kurang pimpinan," kata Jupiter mengomentari sambil tertawa. "Apa lagi yang ada dalam catatanmu, Bob""
"Majelis Nasional Lapatia merupakan lembaga pemerintahan, dan beranggotakan para jenderal yang 35 orang, ditambah wakil-wakil departemen, atau provinsi, yang masing-masing menunjuk seorang utusan. Jumlah provinsinya ada sepuluh -jadi bisa kita tebak bagaimana hasilnya, jika diadakan pemungutan suara."
"Negara dikuasai para jenderal," kata Jupiter.
"Mereka juga yang memilih presiden," kata Bob.
"Tapi bagaimana dengan nasib wangsa Azimov"" tanya Pete.
"Nah - mereka tidak ada lagi di sana. Sudah kukatakan tadi, tahun 1925 mereka di sana masih tetap main kasar. William IV - kalian ingat, dialah keturunan Azimov terakhir yang masih menyandang makota kerajaan - waktu itu berpendapat, kas kerajaan mulai mengering. Ia menikah dengan wanita bangsawan Lapatia - masih sepupunya sendiri, jadi juga termasuk wangsa Azimov. Nah, permaisuri ini seleranya sangat tinggi! Gemar mengumpulkan gelang intan berlian, serta busana ciptaan Paris. Anaknya ada empat, masing-masing dengan guru pribadi, begitu pula kereta lengkap dengan kuda-kudanya. Raja William banyak utangnya. Sebagai jalan keluar dari kemelut itu, ia mengenakan pajak atas setiap bongkah keju yang dihasilkan di Lapatia. Tentu saja rakyat tidak senang. Dan para jenderal melihat peluang itu. Mereka menunggu sampai hari ulang tahun Raja William, saat mana seluruh keluarga besar Azimov berkumpul di ibu kota. Waktu itulah mereka menyerbu istana, lalu mengatakan pada William bahwa mulai saat itu ia bukan raja lagi."
"Apa yang terjadi kemudian"" tanya Jupiter.
"Kemungkinannya serupa seperti yang dialami Ivan yang Gagah," kata Bob. "Menurut catatan resmi, Baginda Raja gugup mendengar maklumat itu, lalu melompat dari sebuah balkon, tindakan mana menyebabkan ia tewas." "Ia didorong orang!" kata Pete dengan perasaan kecut.
"Kemungkinannya memang begitu," kata Bob. "Sedang anggota keluarga yang selebihnya ikut ketakutan, lalu mencabut nyawa masing-masing dengan berbagai cara. Permaisuri dikatakan bunuh diri dengan jalan minum racun." "Lalu rakyat mau saja percaya"" seru Pete.
"Siapalah yang berani meragukan, menghadapi jenderal sebanyak itu"" kata Bob dengan ketus. "Kecuali itu, dewan jenderal juga langsung membatalkan peraturan pajak atas keju - dan tindakan itu berhasil menenangkan gejolak perasaan yang mungkin ada. Istana kerajaan dijadikan museum nasional, sedang harta perhiasan kerajaan disumbangkan pada rakyat, agar semua bisa ikut menikmati."
"Tanpa ada yang bisa memakainya," sela Jupiter. "Cerita yang luar biasa! Tapi di pihak lain, mungkin juga tidak terlalu luar biasa, karena revolusi Amerika juga ada sangkut pautnya dengan pajak, yaitu yang dikenakan atas kiriman teh. Adakah anggota keluarga Azimov yang masih tersisa sekarang""
"Nantilah, akan kuteliti lebih lanjut besok, di perpustakaan," kata Bob menjanjikan. "Menurut ensiklopedi yang kubaca, wangsa itu tumpas dengan tewasnya Raja William, yang melompat dari atas balkon."
Jupiter merenung. "Menurut Tom Dobson, kakeknya berasal dari Ukraina. Bagaimana jika Tom ternyata keliru" Potter nampaknya sangat akrab dengan rajawali lambang wangsa Azimov. Jangan-jangan ada hubungan antara dirinya dengan keluarga kerajaan itu."
"Atau bisa juga, dengan parajenderal yang berontak," kata Bob menimpali. Pete bergidik.
"Mana mungkin, satu keluarga besar melakukan tindakan bunuh diri secara serempak," katanya. "Ingat saja apa yang terjadi dengan wangsa Romanov, yang dulu berkuasa di Rusia." "Mereka dibantai kaum pemberontak," kata Jupe.
"Betul! Dan jika Potter ada sangkut pautnya dengan kejadian itu, aku tidak ingin mengenalnya lebih dekat."
Bab 8 WORTHINGTON BERJASA "AKU yakin," ujar Jupiter Jones dengan nada mantap, "apa pun yang dulu pernah terjadi, Tom Dobson serta ibunya hanya tahu bahwa Potter sangat ahli dalam menciptakan benda-benda tembikar, dan bahwa saat ini ia lenyap. Begitu pula bahwa seseorang, atau sesuatu, meninggalkan jejak kaki yang menyala di dapur Potter siang tadi. Mrs. Dobson sangat terganggu perasaannya, sedang Tom juga bingung menghadapi situasi ini. Aku menyarankan padanya, sebaiknya salah seorang anggota Trio Detektif bermalam di rumah itu, menemani mereka. Dengan begitu mereka akan merasa lebih aman, dan salah seorang dari kita akan selalu ada jika terjadi sesuatu yang luar biasa. Lalu ada satu jalur penyelidikan lain yang ingin kubicarakan denganmu, Bob. Pete, coba kautelepon ibumu untuk mengatakan -"
"Aku" Kenapa aku"" seru Pete kaget. "He, Jupe - rumah itu bisa saja terbakar, karena jejak-jejak berapi itu! Sedang jendela-jendela di tingkat atas, sangat tinggi letaknya. Jika didorong ke bawah dari situ, ada kemungkinan nyawa melayang!"
"Kau takkan sendiri di sana," kata Jupiter mengingatkan.
"Raja William juga tidak sendirian."
"Yah, kalau kau tidak mau, sudahlah," kata Jupiter. "Cuma aku semula berharap..."
"Ya deh! Ya deh, aku mau," kata Pete bersungut-sungut. "Selalu saja aku yang diserahi tugas-tugas asyik." Diraihnya pesawat telepon, lalu diputarnya nomor rumahnya.
"Bu," katanya setelah hubungan tersambung, "aku sekarang di tempat Jupiter. Bolehkah aku malam ini menginap di sini""
Teman-temannya menunggu. "Ya, menginap!" kata Pete lagi. "Kami sedang mencari-cari sesuatu. - Sebuah medalion. - Ya, hilang!" Terdengar suara Mrs. Crenshaw, bernada khawatir.
"Kata Jupiter, bibinya takkan berkeberatan," kata Pete, lalu menyambung, "Ya - besok pagi-pagi aku pulang." Lalu, "Ya, aku tahu - besok aku harus memotong rumput halaman."
Dan akhirnya, "Baik, Bu. Terima kasih, sampai besok." Pete mengembalikan gagang pesawat telepon ke tempatnya.
"Hebat!" kata Bob mengomentari.
"Dan alasannya tadi memang benar," kata Jupiter menimpali. "Kita memang mencari medalion yang hilang - yaitu yang tergantung di leher Potter."
Setelah itu Bob disuruh oleh Jupiter menelepon ke rumahnya. Dan ia pun diizinkan tinggal, untuk makan malam di rumah Jupiter.
"Jupiter!" Suara Bibi Mathilda terdengar lantang, masuk lewat lubang udara yang ada di langit-langit karavan. "Jupiter Jones! Di mana kau""
"Untung kita sudah selesai!" kata Jupiter. Ketiga remaja itu bergegas keluar lewat Lorong Dua. Setelah membersihkan debu yang menempel di lutut, mereka lalu ke pekarangan.
Bibi Mathilda berdiri di dekat kantor perusahaan barang bekas itu. Ia menyumpah-nyumpah.
"Apa sih yang kalian kerjakan - kelihatannya sibuk terus di bengkel kalian" Makan malam sudah siap, Jupiter!"
"Bibi Mathilda," kata Jupe, "bolehkah Pete dan Bob ikut..."
"Ya, mereka bisa saja ikut makan malam dengan kita," Bibi Mathilda memotong. "Kali ini hidangan cuma sosis dengan roti d
adar. Tapi cukup untuk kita semua!"
Pete dan Bob menerima ajakan itu, sambil mengucapkan terima kasih.
"Tapi beri tahu dulu orang tua kalian," kata Bibi Mathilda lagi. "Pakai saja pesawat telepon di kantor. Kalau sudah, kunci pintunya, ya! Lima menit lagi kalian harus sudah hadir di meja makan." Setelah itu Bibi Mathilda bergegas masuk ke rumah. "Mungkinkah ia bisa membaca pikiran orang"" tanya Pete. "Mudah-mudahan saja tidak," kata Jupiter bersungguh-sungguh.
Lima menit kemudian ketiga remaja itu sudah menghadapi meja di ruang makan keluarga Jones, asyik melahap roti dadar dengan sosis goreng yang masih berasap, sambil mendengar cerita Paman Titus tentang masa lampau, ketika Rocky Beach masih merupakan tanah lapang luas di pinggir jalan lintas.
Sehabis makan, anak-anak bergegas membantu Bibi Mathilda membereskan meja serta mencuci piring. Ketika sudah selesai, dan bak cuci juga sudah digosok sampai mengkilat lagi, mereka beranjak ke arah pintu.
"Mau ke mana lagi sekarang"" tanya Bibi Mathilda.
"Pekerjaan kami belum selesai," kata Jupiter.
"Tapi jangan sampai terlalu larut, ya," kata Bibi Mathilda memperingatkan. "Dan kalau sudah selesai, jangan lupa mematikan lampu di bengkel. Dan ingat - pintu gerbang harus dikunci lagi."
Jupiter berjanji akan menuruti segala petunjuk itu. Kemudian mereka bergegas ke seberang jalan. Pete mengambil sepedanya.
"Apakah Tom Dobson nanti bisa mengenali aku"" tanya Pete.
"Katakan saja padanya namamu," kata Jupiter menyarankan. "Ia sudah kuberi kartu nama kita." "Baiklah." Pete mendorong sepedanya meninggalkan pekarangan, lalu mengayuhnya ke arah jalan raya. "Sekarang kita mengecek Mr. Demetrieff, yang menyewa Hilltop House," kata Jupiter. "Kurasa Worthington pasti bisa membantu kita."
Beberapa waktu yang lalu, Jupiter memenangkan hadiah dalam suatu sayembara yang disponsori sebuah perusahaan penyewaan mobil, yaitu Rent- 'n-Ride Auto Rental Company. Hadiahnya berupa hak penggunaan sebuah mobil Rolls-Royce bersepuh emas, lengkap dengan sopirnya, untuk masa tiga puluh hari. Worthington, sopir
kendaraan mewah itu yang berkebangsaan Inggris, dan selalu anggun sikapnya, sudah sering mengantar Jupiter beserta kedua temannya dalam kegiatan mereka selaku detektif remaja. Akhirnya ia ketularan menggemari pekerjaan itu. Minatnya sangat besar terhadap kasus-kasus yang sedang ditangani ketiga detektif remaja itu. Bob memandang arlojinya. Sudah hampir setengah delapan malam.
"Sekarang sudah terlalu malam - Worthington tidak bisa lagi kita minta agar datang," katanya. "Sekarang kan Minggu malam."
"Kita tidak perlu memintanya kemari," kata Jupiter. "Worthington tinggal di distrik Wilshire. Jadi bisa mendatangi alamat di distriknya itu - kecuali jika ia sedang sangat sibuk dengan urusan lain. Hasil penyelidikannya mungkin akan memberi petunjuk pada kita tentang diri Mr. Demetrieff itu."
Bob sependapat, tidak ada salahnya jika mereka mencoba. Kedua remaja itu masuk lagi ke markas lewat Lorong Dua. Setelah melihat catatan dalam buku telepon pribadinya, ia memutar nomor rumah Worthington.
"Master Jupiter"" Worthington kedengarannya sangat senang, mendengar suara Jupiter lewat telepon. Tapi sikapnya yang selalu menjaga kesopanan, tetap dipertahankannya. Ia tetap menyapa Jupiter dengan sebutan "Master", yang berarti Tuan muda. "Apa kabar""
"Baik-baik saja," jawab Jupiter.
"Sayang - malam ini Rolls-Royce kita tidak bisa dipakai," kata Worthington dengan nada menyesal. "Ada pesta besar di Beverly Hills. Mobil itu disewa orang yang hendak ke sana, dikemudikan oleh Perkins."
"Kami tidak memerlukan mobil itu malam ini, Worthington," kata Jupe. "Aku cuma ingin bertanya, mungkinkah Anda punya waktu untuk melakukan sesuatu bagi Trio Detektif""
"Saya sebetulnya sangat sibuk saat ini," kata Worthington, "bermain kartu seorang diri - dan kalah terus! Jadi selingan pasti disambut dengan senang hati. Apakah yang bisa saya lakukan untuk kalian""
"Kami memerlukan keterangan mengenai seseorang yang bernama Mr. Ilyan Demetrieff," kata Jupiter, lalu mengejakan nama itu. "Bisa juga namanya Demetrioff-dengan huruf 'o'," katanya mena
mbahkan. "Kami tidak begitu yakin tentang itu. Tapi alamat yang diberikannya, Wilshire Boulevard nomor 2901. Kami ingin tahu, betulkah orang itu sampai saat ini tinggal di alamat tersebut. Kami juga ingin tahu, seperti apa wujud rumah di Wilshire nomor 2901 itu."
"Tempat itu tidak jauh dari sini di balik tikungan," kata Worthington. "Saya akan jalan kaki ke sana, lalu membunyikan bel di situ."
"Syukurlah jika Anda mau, Worthington," kata Jupiter. "Tapi apa yang akan Anda katakan nanti, jika ada yang membukakan pintu""
Dengan cepat Worthington sudah menemukan alasan yang masuk akal.
"Saya akan mengatakan, saya ini ketua Panitia Sukarelawan Penyemarak Wilshire Boulevard," kata Worthington. "Saya akan meminta pendapatnya tentang kemungkinan menghias kaki lima dengan tanaman dalam pot. Jika ia setuju, saya akan mengajaknya masuk menjadi anggota panitia kami."
"Hebat, Worthington!" seru Jupiter.
Pembicaraan selesai, setelah Worthington berjanji akan menelepon lagi dalam waktu setengah jam.
"Kadang-kadang timbul perasaan dalam diriku, sebaiknya Worthington kita jadikan anggota Trio Detektif," kata Jupiter sambil tertawa, setelah menceritakan rencana pengemudi mobil Rolls-Royce itu pada Bob.
"Ia sendiri sudah merasa menjadi anggota," kata Bob. "Menurut perkiraanmu, apakah yang akan dijumpainya di alamat itu""
"Kemungkinannya, ia takkan menjumpai apa-apa," kata Jupiter. "Mungkin rumah yang kosong, atau apartemen tanpa penghuni. Tapi setidak-tidaknya, ia nanti akan bisa bercerita tentang lingkungan di situ. Idenya tentang Panitia Sukarelawan Penyemarak Wilshire Boulevard menurutku sangat baik. Tidak ada salahnya jika kita menggabungkan diri dalam panitia itu, lalu mendatangi rumah-rumah di lingkungan yang pernah menjadi tempat tinggal Mr. Demetrieff, untuk mencari-cari keterangan tentang orang itu."
"Orang kota, mana pernah mengenal tetangga," kata Bob.
"Tapi kadang-kadang tahu - dan bahkan lebih banyak dari yang kita kira." Jupiter melipat tangannya di belakang kepala, sambil menyandarkan punggung ke kursi. "Misalnya saja di lingkungan yang didiami orang-orang yang sudah berumur lanjut," sambungnya. "Orang-orang itu sepanjang hari ada di rumah terus. Mereka duduk di belakang jendela, memandang ke luar untuk menonton kesibukan di jalan. Mereka selalu tahu apa yang terjadi. Entah berapa banyak kasus kejahatan berhasil dibongkar, karena seorang wanita tua yang tidak bisa lagi tidur nyenyak, malam-malam bangun untuk melihat bunyi mencurigakan yang terdengar dijalan!"
"Tolong ingatkan aku agar berhati-hati, jika lewat di depan rumah Miss Hopper," kata Bob sambil nyengir.
"Kurasa tidak banyak yang tidak diketahuinya," kata Jupiter. Ia membuka buku tentang harta perhiasan kaum ningrat Eropa yang dibawa Bob, lalu mengamat-amati makota Azimov. "Kurasa cocok dengan watak Pangeran Federic, bahwa makota ini dibuat berbentuk helm."
"Orang itu, tingkah lakunya pasti sangat luar biasa," kata Bob. Ia bergidik. "Menghukum mati Ivan yang Gagah kan merupakan tindakan yang cukup menggentarkan. Untuk apa kepala yang sudah terpisah dari tubuh, kemudian ditancapkan di atas tembok puri""
"Itu memang kebiasaan zaman dulu," kata Jupiter. "Kurasa gunanya sebagai penggertak - dan aku yakin gertakan itu berhasil. Wangsa Azimov bisa bertahan sampai empat abad setelah itu"
Pesawat telepon berdering.
"Panitia Penyemarak Wilshire Boulevard tidak mungkin selekas itu," kata Bob. Tapi ternyata memang Worthington yang menelepon.
"Sayang, Master Jupiter," kata sopir mobil mewah itu, "tidak ada yang tinggal di Wilshire Boulevard nomor 2901, karena itu merupakan bangunan kantor kecil, dan saat ini sudah tutup." "Begitu ya," kata Jupiter menanggapi.
"Tapi lampu di ruang depan menyala, sehingga saya bisa membaca papan nama yang terpasang di situ," sambung Worthington dengan nada senang. "Saya mencatat perusahaan-perusahaan yang menempati bangunan itu. Sebentar, akan saya bacakan - Acme Photostat Service, lalu Dr. H. H. Carmichael, lalu Jensen Secretarial Bureau, Kamar Dagang Lapatia, Sherman Editorial -"
"Tunggu, tunggu!" seru Jupiter memotong dengan cepat. "Apa yang te
rakhir"" "Sherman Editorial Bureau," kata Worthington.
"Bukan - bukan yang itu, tapi sebelumnya! Anda menyebut kata Lapatia -" "O, yang itu! Kamar Dagang Lapatia," kata Worthington.
"Kurasa, Anda telah memberi informasi yang kami inginkan, Worthington," kata Jupiter.
"O ya"" Suara Worthington bernada heran. "Tapi tidak ada nama Mr. Demetrieff pada daftar itu," katanya mengingatkan.
"Jika Anda bertanya tentang orang itu di Kamar Dagang Lapatia," kata Jupiter, "mungkin mereka akan mengatakan, saat ini ia sedang berlibur di Rocky Beach. Tapi mungkin juga tidak. Terima kasih, Worthington. Sampai lain kali!"
Jupiter meletakkan gagang telepon.
"Orang yang baru menyewa Hilltop House, ternyata datang dari Kamar Dagang Lapatia," katanya pada Bob. Kemudian ia mengalihkan perhatiannya lagi pada foto makota Azimov. "Rajawali merah, dulu merupakan lambang Kerajaan Lapatia, dan saat ini nampaknya sangat digemari Potter. Lalu seseorang dari Kamar Dagang Lapatia menyewa sebuah rumah, yang letaknya di atas toko Potter. Kedua kenyataan ini mengandung beberapa kemungkinan yang menarik."
"Misalnya, bahwa Potter sebenarnya orang Lapatia"" kata Bob.
"Dan bahwa kita mungkin perlu mendatangi Hilltop House, malam ini," kata Jupiter dengan mantap.
Bab 9 HILLTOP HOUSE BOB dan Jupe menyelinap keluar dari Jones Salvage Yard lewat Kelana Gerbang Merah, lalu bergegas-gegas menuju suatu jalan setapak untuk penggemar olahraga jalan kaki. Jalan itu berkelok-kelok, menuju puncak bukit yang bernama Coldwell Hill.
"Kita bisa saja mengambil jalan penakut," kata Bob sambil mendongak, memandang ke arah puncak bukit itu. "Kita naik sepeda ke tempat Potter, dan dari situ baru berjalan kaki ke Hilltop House."
"Itu tidak bisa dibilang jalan penakut," kata Jupiter. "Kita tidak tahu, apa yang menyebabkan kedua orang itu datang ke Hilltop House. Aku lebih suka mendatangi tempat itu tanpa ketahuan. Kemungkinannya kecil bahwa kedua orang itu mengamat-amati jalan setapak. Tapi dengan mudah mereka akan melihat kita, jika kita naik lewat jalan pribadi, dari jalan raya."
"Kau benar," kata Bob. Ia berpaling, memandang ke arah laut. Matahari sudah menghilang di balik selimut kabut yang mengambang di depan pantai. "Sebelum kita kembali kemari, hari pasti sudah gelap."
"Tapi kurasa kita takkan mengalami kesulitan untuk melihat jalan," kata Jupiter Jones. "Sebentar lagi bulan sudah terbit."
"Kau mengeceknya di penanggalan"" tanya Bob.
"Ya, aku sudah mengeceknya di penanggalan," jawab Jupiter.
"Itu sebenarnya tak perlu kutanyakan lagi," kata Bob, lalu melangkahkan kaki memasuki jalan setapak. Jupiter menyusul dengan langkah lebih lambat. Napasnya tersengal-sengal ketika tanjakan mulai bertambah terjal. Sebentar-sebentar berhenti, untuk beristirahat. Tapi sepuluh menit kemudian tenaganya sudah pulih kembali, sehingga langkahnya lebih mantap.
"Ini dia," kata Bob kemudian. Ia berpaling, lalu mengulurkan tangan untuk menolong Jupiter naik ke jalan sempit yang menyusur puncak bukit. Jalan itu merupakan lintasan yang dipakai kalau ada kebakaran hutan. "Dari sini gampang, karena menurun terus sampai Hilltop House," katanya.
Jupiter berdiri sambil memandang ke arah utara untuk beberapa saat. Pandangannya menyelusuri jalan yang akan ditempuh. Saat itu sudah hampir gelap, sedang bulan belum terbit. Tapi jalan tanah yang lebarnya hampir dua setengah meter itu nampak jelas, seperti pita cokelat yang terjulur di sepanjang puncak perbukitan. Semak yang tumbuh rapat di sisi jalan nampak hitam dan seakan-akan mengancam di tengah keremangan senja.
"Apa yang kauharapkan akan kita jumpai malam ini"" tanya Bob.
"Yang pasti, dua orang asing yang kemarin mampir di Jones Salvage Yard," kata Jupiter. "Dan seorang di antaranya, menurut dugaan kita bernama Mr. Demetrieff, dari Kamar Dagang Lapatia. Sedang yang satu lagi, bisa siapa saja. Pasti menarik melihat bagaimana mereka menyibukkan diri di Hilltop House."
Jupiter mulai melangkah, seiring dengan Bob yang berjalan dengan bersemangat. Bulan mulai tersembul dari balik perbukitan, menyepuh jalan dengan warna perak, serta menciptakan bayangan hitam kel
am di samping kedua remaja yang sedang berjalan itu. Mereka tidak banyak berbicara, sampai bentuk Hilltop House yang besar dan gelap nampak di depan mereka, di sisi kiri. Ruangan-ruangan di tingkat atas bangunan itu gelap. Tapi dari salah satu kamar di tingkat bawah nampak sinar samar memancar ke luar.
"Aku dulu pernah memasuki rumah itu," kata Bob. "Kalau tidak salah, lampu yang menyala itu di ruang yang dulunya kamar baca."
"Jendela-jendelanya perlu dibersihkan," gumam Jupiter, "dan yang menyala itu kelihatannya bukan lampu listrik." "Ya - memang, mestinya lentera, atau lampu minyak tanah. Kita harus maklum, karena mereka kan baru kemarin pindah ke situ."
Alur sebuah sungai kecil menjulur dari atas bukit ke bawah, mulai dari jalan di puncak, dan berkelok lewat Hilltop House. Saat musim panas itu, sungai tadi tidak berair. Tanpa berkata apa-apa, Bob dan Jupiter masuk lalu berjalan di dasarnya. Mereka berjalan sambil meraba-raba pada setiap langkah karena khawatir akan menginjak kerikil lepas yang bisa membuat mereka jatuh terguling-guling ke bawah. Sepanjang hampir lima puluh meter terakhir mereka boleh dibilang merangkak-rangkak, sebelum sungai tak berair itu membelok dan menyusur di samping tanggul yang membatasi jalan masuk ke Hilltop House.
Jupiter menarik tubuhnya ke atas tanggul, lalu melangkah ke pelataran berkerikil yang terdapat di bagian belakang rumah. Mobil Cadillac besar diparkir di luar sebuah garasi yang bisa memuat tiga mobil. Jupiter mengelilingi mobil itu, yang ternyata kosong.
Jendela-jendela yang menghadap ke belakang semuanya gelap. Di sana ada sebuah pintu yang bagian atasnya berkaca. Pintu itu terkunci.
"Dapur," kata Jupiter dengan singkat. "Kamar-kamar pembantu ada di atas," kata Bob.
"Mereka pasti belum sempat mengusahakan pembantu," kata Jupiter. "Sebaiknya kita langsung saja mendatangi ruang baca."
"Aduh, Jupe! Kau kan tidak berniat masuk"" bisik Bob dengan nada kaget bercampur ngeri.
"Tidak, karena itu bisa menyebabkan kesulitan yang tidak perlu," kata Jupiter. "Sudah cukup jika kita mengitari rumah, lalu memandang ke dalam lewat jendela kamar baca."
"Baiklah, asal kita tetap di luar," kata Bob. "Jadi jika ada sesuatu yang tidak beres, kita akan bisa cepat-cepat lari."
Jupiter tidak menanggapinya. Ia berjalan mendului, lewat dapur yang gelap, menuju jendela kamar baca yang terang. Mereka melalui jalan setapak yang disemen. Tanaman semak yang semula menghiasi sisi rumah itu sudah lama mati, karena tidak ada yang memelihara dan menyirami.
Seperti dikatakan oleh Jupiter, jendela-jendela kamar baca memang perlu dibersihkan. Kedua remaja itu mengintip ke dalam, sambil berlutut di tanah. Di balik kaca jendela yang kotor nampak samar kedua orang asing yang mampir di Jones Salvage Yard, sehari sebelumnya. Dalam ruangan lapang itu ada dua tempat tidur lipat. Kaleng, piring kertas, begitu pula serbet kertas ditumpukkan secara sembarangan di atas rak-rak, yang dulunya ditempati buku-buku. Api berkobar dalam pendiangan. Laki-laki yang lebih muda - pengemudi mobil Cadillac - berlutut di depan api. Ia memanggang sosis, yang ditancapkan pada kawat panjang. Sedang laki-laki yang botak dan tidak bisa ditebak umurnya, duduk di kursi lipat, menghadap meja tempat main kartu. Ia menampakkan kesan seperti sedang duduk di restoran, menunggu pelayan menghidangkan santapan.
Bob dan Jupiter memperhatikan laki-laki yang lebih muda memutar sosis yang sedang dipanggang di atas api. Kemudian laki-laki yang berkepala botak melakukan gerakan yang menunjukkan sikap tidak sabar. Ia berdiri, lalu berjalan lewat ambang yang melengkung, masuk ke ruang gelap yang ada di belakang kamar baca. Ketika ia kembali beberapa menit kemudian, sosis sudah matang. Laki-laki yang lebih muda menyelipkan sosis itu ke dalam roti bundar panjang yang sudah dibelah. Roti itu diletakkannya di atas sebuah piring kertas, lalu ditaruhnya di hadapan laki-laki yang berkepala botak.
Jupiter nyaris terkekeh, ketika melihat air muka si Botak saat memandang hidangan itu. Ia pernah melihat reaksi seperti itu di wajah Bibi Mathilda, ketika seorang kenalan di R
ocky Beach yang berbangsa Denmark mengundangnya makan, menyajikan belut dingin dengan telur aduk yang digoreng.
Bob dan Jupiter beringsut mundur, lalu kembali ke sisi belakang rumah.
Di sana Bob menyandarkan punggung ke mobil Cadillac.
"Sekarang kita sudah tahu, apa yang sedang mereka kerjakan," katanya. "Baru sekali ini aku melihat orang berkemah dengan cara yang begitu serampangan."
"Tapi mestinya bukan untuk itu saja mereka ada di sini," kata Jupiter dengan pasti. "Takkan ada orang yang menyewa rumah besar - tidak peduli betapa tuanya pun rumah itu - hanya agar bisa merebahkan diri di tempat tidur lipat, serta memanggang sosis di dalam ruang baca. Ke manakah laki-laki botak tadi pergi, ketika ia menuju ke ruang di belakang kamar baca""
"Ruang duduk terletak di sisi rumah yang menghadap ke arah laut," kata Bob.
"Teras juga ada di sebelah sana," kata Jupiter mengingatkan. "Yuk, kita ke sana!"
Bob mengikuti Jupiter, pergi ke sudut rumah. Letak teras langsung bersambungan dengan jalan masuk. Teras itu mengisi seluruh bagian depan rumah. Lebarnya hampir lima meter. Lantainya dari semen, dibatasi tembok batu yang tingginya sekitar satu meter.
"Ada sesuatu terpasang di situ," bisik Jupiter. "Kelihatannya semacam instrumen, di atas tripod."
"Teropong"" kata Bob menduga.
"Mungkin! - Ssst, deengar, ada yang berbicara!"
Kedua remaja itu mendengar suara seorang laki-laki. Jupiter cepat-cepat merapatkan diri ke dinding rumah. Laki-laki yang lebih muda muncul di teras yang saat itu sudah diterangi sinar bulan. Ia menghampiri instrumen yang terpasang di atas tripod, membungkukkan tubuh, memandang ke dalam bagian belakang instrumen itu, lalu mengatakan sesuatu dengan suara agak keras. Ia mengintip lagi ke dalam instrumen, tertawa, lalu mengatakan sesuatu lagi. Kening Jupiter berkerut.
Orang itu berbicara dengan irama suara aneh, seakan-akan menyanyi dengan nada datar.
Sesaat kemudian terdengar jawaban dari dalam rumah. Jawaban itu bersuara berat, dan kedengarannya sangat capek. Laki-laki yang berkepala botak melangkah ke teras. Ia menghampiri tripod, lalu mengintip ke dalam instrumen yang terpasang di situ. Ia mengucapkan beberapa patah kata sambil mengangkat bahu, lalu masuk lagi ke rumah. Laki-laki yang lebih muda bergegas menyusul, sambil berbicara dengan cepat, serta dengan nada mendesak. 'Bukan bahasa Prancis," kata Jupiter, ketika kedua laki-laki itu sudah masuk.
'Jerman juga bukan," kata Bob, yang di sekolah pernah mendapat pelajaran bahasa itu selama setahun. 'Aku ingin tahu, bagaimana bunyi bahasa Lapatia," kata Jupiter. 'Dan aku ingin tahu, apa yang mereka amat-amati tadi," kata Bob menimpali.
'Kalau itu, kita bisa menyelidikinya sekarang juga," kata Jupiter. Ia menyelinap dengan cepat ke teras, lalu mengendap-endap mendekati instrumen yang terpasang di atas tripod. Dugaan Bob ternyata benar. Instrumen itu memang teropong. Jupiter membungkuk, tanpa menyentuh instrumen itu, lalu mengintip lewat lensanya.
Ia melihat jendela-jendela sisi belakang rumah Potter. Lampu di kamar-kamar tidur menyala semua. Ia bisa dengan jelas melihat Pete yang duduk di tempat tidur, sambil bercakap-cakap dengan Tom Dobson. Kedua remaja itu menghadapi papan permainan dam. Tom menggerakkan batunya, memakan salah satu batu lawan. Pete mengernyitkan muka, lalu termenung. Rupanya memikirkan langkah berikut. Sesaat kemudian Mrs. Dobson masuk, membawa baki dengan tiga mangkuk. Pasti susu cokelat, kata Jupiter dalam hati. Jupiter menegakkan tubuh, lalu kembali ke sudut rumah.
"Sekarang kita tahu, apa kesibukan mereka di sini," katanya pada Bob. "Mereka mengintai rumah Potter." "Seperti yang kauduga," kata Bob. "Yuk, kita pergi dari sini, Jupe. Aku ngeri melihat kedua orang itu." "Ya, memang," kata Jupiter Jones. "Lagi pula, saat ini tidak ada lagi yang masih bisa kita ketahui di sini." Kedua remaja itu melewati mobil Cadillac, menuju ke tanggul. Maksud mereka hendak kembali lewat sungai yang sedang tak berair.
"Kurasa lewat sini lebih dekat," kata Bob. Ia mengambil jalan memotong, lewat sebidang tanah kosong. Mungkin, tanah itu dulu merupakan kebun sayur.
Tahu-tahu Bob terpekik. Kedua lengannya terangkat. Saat berikut ia tidak kelihatan lagi.
Bab 10 KETAHUAN "HE, Bob! Kau cedera""
Jupiter berlutut di samping lubang yang menganga. Hanya samar-samar saja dilihatnya Bob yang berusaha bangkit dengan susah payah, di dalam sebuah ruangan yang nampaknya merupakan gudang bawah tanah.
Bob mengumpat. "Kau cedera, Bob""
Bob berdiri, sambil melengkungkan bahu. "Kayaknya sih, tidak!"
Jupiter merebahkan diri ke tanah, lalu mengulurkan tangan ke dalam lubang. "Ayo, kutolong kau naik!" katanya pada Bob.
Bob berusaha memanjat ke atas, sambil berpegangan pada tangan Jupiter, serta menopangkan satu kaki ke sebuah rak. Tapi rak yang dipijak itu ambruk. Bob jatuh terjengkang. Nyaris saja Jupiter ikut tertarik ke dalam lubang.
Bob mengumpat. Tapi kemudian terkesiap, karena tiba-tiba ada sinar terang disorotkan ke arah mereka.
"Jangan bergerak!" kata seseorang. Ditilik dari suaranya, orang itu penghuni Hilltop House yang lebih muda.
Jupiter tidak bergerak, sedang Bob tetap duduk di tanah di dasar lubang. Ia menatap ke atas, lewat jajaran papan lapuk yang pecah karena terinjak olehnya tadi.
"Apa yang kalian lakukan di sini"" tanya laki-laki yang memegang senter.
Hanya Jupiter saja yang masih bisa mempertahankan sikap berwibawa, sambil berbaring tertelungkup.
"Saat ini saya sedang berusaha menolong teman saya keluar dari lubang ini," katanya. "Saya harapkan bantuan Anda, agar kita bisa selekas mungkin mengetahui apakah ia mengalami cedera."
"Kurang ajar-!" sergah laki-laki itu. Suara berat yang tertawa terkekeh memotong kalimatnya.
"Sabar, Demetrieff," kata orang yang tertawa itu, yaitu laki-laki yang berkepala botak. Ia berlutut, dengan ketangkasan yang tak terduga, mengingat tubuhnya yang tidak bisa dibilang langsing. Ia mengulurkan tangannya ke arah Bob. "Kau bisa meraih tanganku"" katanya. "Di tempat ini tidak ada tangga."
Bob berdiri, lalu mengulurkan tangan ke atas. Dengan cepat ia sudah ditarik laki-laki botak itu ke atas.
"Nah, bagaimana keadaanmu"" tanya orang itu pada Bob. "Tidak ada tulang yang patah" Syukurlah. Patah tulang, bukan merupakan hal yang menyenangkan, kalau kuingat ketika aku jatuh tertindih kudaku. Baru dua bulan kemudian aku bisa menunggang kuda lagi. Sangat menyebalkan, jika harus berbaring saja, tanpa bisa berbuat apa-apa." Si Botak diam sejenak, lalu menyambung dengan nada datar, "Tentu saja kuda itu kutembak mati."
Bob meneguk ludah. Sedang Jupiter merasa tubuhnya merinding.
"Kias Kaluk memang terkenal tidak sabar menghadapi kecerobohan," kata laki-laki yang lebih muda.
Jupiter berdiri lambat-lambat, sambil membersihkan debu yang menempel. "Kias Kaluk"" ucapnya dengan nada bertanya.
"Bisa juga kaukatakan, Jenderal Kaluk," kata laki-laki yang muda itu lagi. Saat itu barulah Jupiter melihat, bahwa kecuali senter, orang itu juga menggenggam pistol.
"Jenderal Kaluk." Jupiter menganggukkan kepala ke arah laki-laki yang botak, lalu menoleh lagi ke arah pemegang pistol. "Dan Anda Mr. Demetrieff," katanya.
"Dari mana kau tahu"" tanya Demetrieff.
"Jenderal Kaluk tadi menyapa Anda dengan nama itu," kata Jupiter. Si Botak yang ternyata jenderal, terkekeh lagi.
"Daya tangkap telingamu hebat, Sobatku yang montok," katanya pada Jupiter. "Aku menaruh minat pada remaja begitu, karena banyak yang mereka dengar. Bagaimana jika kita sekarang masuk ke rumah, untuk membicarakan apa saja yang mungkin kaudengar malam ini""
"He, Jupe," sela Bob dengan cepat, "kita kan tidak berniat begitu! Maksudku, aku tidak apa-apa, jadi kita pergi saja -" Ia terdiam, karena laki-laki yang bernama Demetrieff menggerakkan pistol ke arahnya.
"Tidaklah bijaksana, jika lubang menganga di halaman Anda ini kita biarkan begini," kata Jupiter. "Mungkin saja nanti ada lagi anggota Klub Olahraga Jalan Kaki Chaparral yang mengambil jalan pintas lewat sini, lalu terperosok ke dalamnya. Kalau itu sampai terjadi, siapakah yang bertanggung jawab jika ada tuntutan" Anda, Mr. Demetrieff" Atau Jenderal Kaluk""
Jenderal berkepala botak itu tertawa lagi.
"Pikiranmu lincah, Sobat," katanya pada Jupiter. "Tapi kurasa pemili
k rumah inilah yang harus bertanggung jawab. Walau begitu patah tulang bukan merupakan hal yang menyenangkan, seperti sudah kukatakan tadi. Demetrieff, di belakang istal ada beberapa lembar papan."
"Kurasa bukan istal, tapi garasi," sela Bob.
"Pokoknya, itulah yang kumaksudkan. Ambil papan-papan itu, lalu tutup lubang ini dengannya." Laki-laki botak yang rupanya lebih tua itu memandang ke dalam lubang, memperhatikan rak yang patah serta lantai tanah di bawah. "Kelihatannya ada sambungan dasar bangunan yang menjorok ke dalam kebun. Kurasa gudang tempat menyimpan minuman anggur."
Demetrieff mengambil dua lembar papan yang lembab dan dekil dari belakang garasi, yang kemudian cepat-cepat diletakkan menutupi lubang.
"Itu sudah cukup - setidak-tidaknya untuk sementara waktu," kata Jenderal Kaluk. "Sekarang kita masuk ke rumah, di mana kau nanti kuminta bercerita tentang Klub Olahraga Jalan Kaki Chaparral yang kausebut-sebut tadi. Sebutkan pula sekaligus nama kalian, dan apa sebabnya kalian memilih jalan pintas lewat halaman ini."
"Dengan senang hati," kata Jupiter.
Laki-laki yang bernama Demetrieff menggerakkan tangannya, menunjuk ke arah pintu dapur. Jenderal Kaluk berjalan di depan, diikuti oleh Jupe dan Bob. Mereka masuk lewat dapur yang nampak berdebu dan tak terurus, menuju ke ruang baca. Sesampainya di sana Jenderal Kaluk langsung duduk di kursi lipat. Disuruhnya Bob dan Jupiter duduk di tempat tidur lipat yang ada di ruangan itu.
"Kami tidak bisa melayani kedatangan kalian dengan lebih baik," kata jenderal itu. Kepalanya yang botak berkilat kena sinar api yang berkobar dalam pendiangan. "Kalian mau minum teh panas, barangkali""
"Terima kasih, Sir," kata Jupiter sambil menggeleng, "saya tidak biasa minum teh."
"Saya juga tidak," kata Bob.
"O ya, aku lupa," kata jenderal itu. "Anak-anak Amerika tidak biasa minum teh atau kopi - begitu pula anggur. Kalian umumnya minum susu. Ya, kan"" Jupiter membenarkan pertanyaan itu.
"Yah - kami tidak punya susu di sini," kata Jenderal Kaluk. Demetrieff berdiri di sampingnya agak ke belakang.
"Demetrieff," kata Jenderal Kaluk, "pernahkah Anda mendengar klub itu"" "Tidak," jawab Demetrieff singkat.
"Itu klub setempat," kata Jupiter cepat-cepat. "Berjalan kaki merintis chaparral lebih menyenangkan jika dilakukan siang hari. Tapi anggota perkumpulan kami kadang-kadang iseng, malam-malam merintis jalan-jalan di hutan, jika cuaca sedang cerah seperti sekarang ini. Sambil berjalan, bisa didengar suara-suara binatang dalam semak belukar. Kadang-kadang mereka juga bisa dilihat jika kita berdiri diam-diam. Saya pernah melihat seekor rusa, dan beberapa kali ada skunk melintas di depan saya."
"Sangat menarik," kata laki-laki yang bernama Demetrieff. "Mestinya kalian juga mengamat-amati burung, ya""
"Kalau malam hari, tidak," kata Jupiter dengan jujur. "Kadang-kadang memang terdengar suara celepuk, tapi kalau melihat, tidak pernah. Siang hari banyak burung di chaparral, tapi
Ia tertegun, karena saat itu Jenderal Kaluk memberi isyarat dengan tangan, menyuruhnya berhenti.
"Nanti dulu," kata laki-laki botak itu. "Chaparral - baru sekarang aku mendengarnya. Tolong jelaskan artinya!"
"Chaparral berasal dari bahasa Spanyol, artinya 'belantara'," kata Jupiter. "Segala tumbuhan yang ada di lereng sini, yaitu pohon-pohon yang kerdil serta semak belukar, semuanya merupakan bagian dari chaparral. Tumbuh-tumbuhan itu sangat tahan hidup di kawasan yang gersang, di mana hujan jarang turun. California merupakan satu di antara sedikit kawasan yang punya chaparral. Karena itulah timbul minat yang besar terhadap tumbuh-tumbuhan yang hidup di sini."
Bob duduk sambi! mendengarkan. Dalam hati ia mengagumi daya ingat Jupiter, yang hafal hampir seluruh ulasan tentang chaparral, yang belum lama berselang pernah dimuat dalam majalah Nature. Tapi Bob juga tahu, daya ingat sehebat itu tidak jarang terdapat di kalangan aktor, karena biasa menghafal teks. Dan Jupiter ketika masih kecil, pernah menjadi aktor film.
Sementara itu Jupiter melanjutkan penjelasannya. Ia mengoceh tentang bau chaparral saat musim semi, sehabis hujan.
Ketika ia sedang menjelaskan tentang akar-akar yang membuat tanah di lereng tidak gampang longsor, Jenderal Kaluk mengangkat tangannya lagi.
"Cukup," katanya. "Aku bisa mengerti, kekagumanmu terhadap tumbuh-tumbuhan chaparral. Tumbuhan yang tabah, jika tumbuh-tumbuhan bisa dikatakan memiliki ketabahan. Tapi sekarang mengenai persoalan kita. Siapa nama kalian""
"Jupiter Jones," kata Jupe.
"Bob Andrews," kata Bob menimpali.
Trio Detektif 15 Misteri Jejak Bernyala di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Baiklah! Sekarang coba katakan, mau apa kalian di pekaranganku."
"Kami mengambil jalan pintas," kata Jupiter menjelaskan, tanpa berbohong. "Kami tadi naik ke bukit dari Rocky Beach melalui jalan setapak, lalu menyusuri puncak sampai kemari. Dari atas kami bisa turun ke jalan raya, lewat jalan pribadi Anda."
"Tapi itu kan jalan pribadi!"
"Memang, Sir - kami juga tahu. Tapi Hilltop House ini sudah bertahun-tahun tidak ada penghuninya, dan sementara itu penggemar olahraga jalan kaki sudah biasa memintas lewat jalan rumah Anda."
"Mulai sekarang kebiasaan itu harus dihilangkan," kata Jenderal Kaluk. "Tapi kurasa kita sudah pernah berjumpa sebelum ini, Jupiter Jones."
"Kalau berjumpa, sebetulnya belum, Sir," kata Jupe. "Tapi Mr. Demetrieff kemarin berbicara dengan saya, ketika mobil Anda salah membelok dari jalan raya."
"Ya, betul juga katamu! Dan saat itu di tempatmu ada seorang laki-laki tua berjenggot. Siapa dia""
"Kami mengenalnya dengan julukan Potter," kata Jupiter. "Saya rasa, itu memang namanya yang sebenarnya - Alexander Potter." "Temanmu"" tanya Jenderal Kaluk.
"Kenalan," kata Jupiter mengakui. "Semua orang di Rocky Beach mengenal Potter." Jenderal Kaluk mengangguk.
"Aku rasanya pernah mendengar tentang dia." Ia menoleh ke arah Demetrieff. Cahaya api di pendiangan menyebabkan kulitnya yang cokelat nampak berkilat-kilat. Jupiter melihat bahwa pipi orang itu penuh kerut yang halus sekali. Kaluk ternyata bukan tak berumur. Ia sudah tua.
"Demetrieff," kata jenderal itu, "bukankah Anda yang bercerita bahwa di daerah sini ada pengrajin tembikar terkenal yang membuat guci"" "Dan macam-macam lagi," sela Bob menambahkan.
"Aku ingin sekali bertemu dengan orang itu," kata Jenderal Kaluk. Ia tidak bertanya. Tapi walau begitu, ia berhenti berbicara dengan sikap seolah-olah menunggu jawaban. Tapi Jupiter diam saja, begitu pula Bob.
"Tokonya terletak di kaki bukit tempatku ini," kata jenderal itu setelah beberapa saat. "Itu tokonya," kata Jupiter.
"Dan saat ini ia sedang kedatangan tamu," sambung Jenderal Kaluk. "Seorang wanita muda, bersama seorang anak laki-laki. Kalau aku tidak salah, kau kemarin membantu mereka, sewaktu mereka datang di toko itu."
"Ya, betul," kata Jupiter.
"Begitulah seharusnya, bantu-membantu," kata jenderal itu. "Kau mengenal mereka""
"Tidak, Sir," kata Jupiter. "Mereka kenalan Mr. Potter, yang datang dari salah satu tempat di kawasan Midwest."
"Kenalan," kata Jenderal Kaluk. "Senang, jika banyak kenalan. Tapi mestinya pembuat guci - dan macam-macam lagi itu - ada di bawah, untuk menyambut kedatangan kedua kenalannya."
"Orang itu... yah, ia agak aneh. Eksentrik!"
"Kelihatannya memang begitu. Ya, aku ingin sekali bisa berjumpa dengan dia. - Bukan cuma ingin, tapi aku harus bisa berjumpa dengan dia!" Tiba-tiba si Botak meluruskan sikap duduknya, sambil mencengkeram lengan kursi. "Di mana dia"" tanyanya. "Hah"" Bob melongo.
"Kau sudah mendengar pertanyaanku tadi. Di mana orang yang kalian sebut Potter itu"" "Kami tidak tahu," kata Jupiter.
"Mustahil!" tukas Jenderal Kaluk. Pipinya yang kering nampak memerah, "Ia ada bersamamu kemarin. Dan hari ini kau membantu kenalan-kenalannya, ketika mereka tiba di rumahnya. Kau tahu di mana orang itu berada!"
"Tidak, Sir," kata Jupiter. "Kami tidak tahu ke mana perginya, setelah ia meninggalkan perusahaan kami kemarin."
"Ia yang menyuruh kalian kemari!" Dakwaan itu diucapkan dengan ketus.
"Itu tidak benar!" bantah Bob dengan keras.
"Jangan coba membual, tentang mengembara di tengah chaparral!" teriak jenderal itu. Ia menggamit pendampingnya. "Demetrieff! Mana pistolmu!" Laki-laki yang lebih muda itu menyerahkan senjatanya pada Jenderal Kaluk. "Kau tahu tu
gasmu," kata Jenderal Kaluk dengan sengit. Demetrieff mengangguk. Ia mulai membuka ikat pinggangnya. "Eh, tunggu dulu!" seru Bob.
"Duduk!" tukas Jenderal Kaluk. "Demetrieff - yang gendut itu, yang pandai berbicara. Aku ingin mendengar ia berbicara lebih banyak lagi."
Demetrieff pergi ke belakang tempat tidur yang diduduki oleh Bob dan Jupiter. Jupiter merasakan ikat pinggang yang terbuat dari kulit dililitkan ke kepalanya.
"Sekarang kau bicara tentang Potter," kata Jenderal Kaluk. "Di mana orang itu""
Lilitan ikat pinggang diperkencang. "Aku tidak tahu," kata Jupiter.
"Ia dengan begitu saja pergi meninggalkan itu - eh, itu, perusahaanmu, dan sejak itu kau tidak melihatnya lagi"" Kata-kata itu diucapkan oleh si Botak dengan nada nyaris mengejek.
"Tepat, itulah yang terjadi kemarin."
Lilitan ikat pinggang diperkencang sedikit lagi.
"Dan ia saat itu menunggu kedatangan tamu-tamu - kenalannya, seperti kaukatakan tadi - yang telah kaubantu dengan begitu baik hati"" "Ya, betul!"
"Lalu polisi kalian tidak berbuat apa-apa"" desak Kaluk. "Mereka tidak mencari orang itu, yang pergi begitu saja""
"Kita ini hidup di negara bebas," kata Jupiter. "Tidak ada yang berhak mencegah, jika Potter sendiri ingin pergi."
"Negara bebas"" Mata jenderal itu berkedip-kedip. Ia mengusap-usap dagunya yang tidak ditumbuhi rambut. "Ya. Ya, aku pernah mendengar tentang itu. Tapi waktu itu ia tidak mengatakan apa-apa padamu" Kau berani bersumpah""
"Ia sama sekali tidak mengatakan apa-apa," kata Jupiter dengan mantap. Ditatapnya jenderal itu, tanpa berkedip.
"Begitu." Jenderal Kaluk berdiri, lalu menghampiri Jupiter. Ditatapnya remaja itu selama beberapa saat. Kemudian ia mendesah. "Baiklah. Kita harus membebaskan mereka, Demetrieff. Anak ini mengatakan yang sebenarnya."
Pendampingnya yang lebih muda, berusaha membantah.
"Tidak mungkin bisa begitu banyak hal-hal yang kebetulan," katanya.
"Mereka ini cuma anak-anak, yang ingin tahu saja," kata Jenderal Kaluk sambil mengangkat bahu, "sama saja seperti anak-anak pada umumnya, yang suka ingin tahu. Mereka tidak tahu apa-apa."
Jupiter dibebaskan dari ikat pinggang yang selama itu melilit kepalanya. Bob menghembuskan napas lega. Tidak disadarinya bahwa selama itu ia menahan napas.
"Kalian seharusnya kami serahkan pada polisi kalian yang hebat, yang tidak berusaha mencari orang yang menghilang," tukas Demetrieff. "Akan kami katakan pada mereka bahwa kalian telah melakukan pelanggaran. Kalian memasuki tanah pribadi tanpa izin."
"Seenaknya saja Anda bicara tentang melanggar hukum!" tukas Bob. "Jika kami laporkan apa yang terjadi tadi di sini..."
"Kau takkan melapor," kata Jenderal Kaluk. "Apa yang telah terjadi di sini tadi" Aku tadi bertanya tentang seorang seniman termashur, dan kalian memberi tahu bahwa kalian tidak tahu di mana orang itu berada. Itu kan biasa saja" Orang itu terkenal, dan pernah ada tulisan dalam majalah-majalah tentang dirinya. Sedang tentang ini -" Jenderal Kaluk menimang-nimang pistol yang ada di tangannya, "tentang benda ini, Mr. Demetrieff punya izin memilikinya, dan kalian tadi memang masuk ke tanah pribadi tanpa izin. Tapi tidak terjadi apa-apa di sini tadi. Kami malah bermurah hati! Kalian boleh pergi sekarang - dan jangan kembali lagi!"
Dengan segera Bob berdiri, sambil menarik Jupiter agar ikut dengannya.
"Sebaiknya kalian turun lewat jalan yang biasa," kata Jenderal Kaluk. "Dan ingat, kami akan terus mengamat-amati."
Kedua remaja itu tidak berbicara, sampai sudah meninggalkan rumah itu, dan bergegas-gegas menuruni jalan pribadi yang menghubungkan Hilltop House dengan jalan raya di bawah.
"Biar diupah pun, aku takkan mau lagi ke sana!" kata Bob dengan sepenuh hati.
Jupiter menoleh, memandang ke arah tembok batu yang menopang teras Hilltop House. Diterangi sinar bulan, nampak jelas jenderal tadi berdiri bersama Demetrieff di sana. Kedua orang itu berdiri seperti patung, mengamat-amati.
"Pasangan jahat," kata Jupiter. "Aku yakin sekali, Jenderal Kaluk pasti sudah sering mengetuai proses pemeriksaan."
"Jika maksudmu ia sudah biasa memaksa orang agar mengaku, aku setuju sekali dengan pe
ndapatmu," kata Bob. "Untung saja kau bertampang jujur!"
"Lebih menyenangkan lagi bisa bicara tanpa berbohong," kata Jupiter.
"Kau memang sama sekali tidak bohong," kata Bob menyindir.
"Sejauh mungkin, aku sudah berusaha begitu. Anak bisa juga kan disebut kenalan""
Mereka sampai di bagian jalan yang menikung. Hilltop House tidak nampak lagi, tertutup semak yang ada di sisi kiri jalan. Saat itu, dari arah sebelah bawah bukit itu nampak kilatan sinar, langsung disusul bunyi yang tidak begitu nyata. Sesuatu - yang mungkin juga lebih dari satu - melesat lewat di atas kepala Bob, dan berhamburan dalam semak.
"Tiarap!" seru Jupiter.
Bob langsung menelungkup, bersebelahan dengan Jupiter. Kedua remaja itu menunggu, tanpa berani bergerak. Mereka mendengar bunyi berderak-derak di tengah belukar. Arahnya datang dari kanan. Setelah itu sunyi, kecuali suara seekor burung malam.
"Peluru mimis"" tanya Bob menebak.
"Melihat bunyinya tadi, begitulah," kata Jupiter menarik kesimpulan. Ia merangkak maju, sampai ke tikungan berikut di sebelah bawah. Bob mengikutinya. Mereka terus merangkak, menuruni bukit. Ketika sudah sekitar lima puluh meter, kedua remaja itu meloncat bangkit, lalu cepat-cepat lari ke arah jalan raya.
Pintu pagar di ujung bawah jalan pribadi itu tertutup. Tanpa memeriksa lagi apakah pintu itu digembok atau tidak, Jupiter langsung memanjatnya ke seberang. Bob bahkan melewatinya dengan jalan melompat. Mereka lari ke jalan raya, menuju gerbang pagar rumah Potter. Mereka langsung masuk, dan baru berhenti ketika sudah sampai di serambi depan.
"Tembakan tadi!" kata Jupiter tersengal-sengal. "Datangnya tidak mungkin dari arah Hilltop House. Jenderal Kaluk dan Demetrieff masih berdiri di teras, saat kita menikung." Ia mengatur napas sebentar, lalu menyambung, "Ada orang mengintai di bukit, dengan senapan. Bob! Ada orang lain yang terlibat dalam urusan ini!"
Bab 11 HANTU DATANG LAGI JUPITER Jones menekan tombol bel di samping pintu rumah Potter. Tiba-tiba sebuah jendela di tingkat atas terbuka. Terdengar suara Eloise Dobson berseru, Siapa r
Jupiter mundur dari naungan atap serambi, kembali ke halaman. "Jupiter Jones, Mrs. Dobson, bersama Bob Andrews." "O," kata Mrs. Dobson. "Tunggu sebentar."
Jendela ditutupnya lagi. Sesaat kemudian terdengar bunyi anak kunci diputar, disusul suara gerendel ditarik. Pintu rumah terbuka, dan Pete menjenguk ke luar. "Ada apa"" tanya Pete.
"Tenang sajalah - biar kami masuk dulu," kata Jupiter dengan suara pelan.
"Aku kan tenang. Ada apa""
Jupe dan Bob melangkah masuk ke ruang depan.
"Aku tidak ingin menimbulkan kecemasan Mrs. Dobson," kata Jupiter cepat-cepat, "tapi orang-orang di Hilltop House itu -"
Ia tidak meneruskan, karena saat itu Mrs. Dobson muncul di ujung atas tangga, lalu menuruninya.
"Kau mendengar letusan nyaring semenit yang lalu, Jupiter"" tanya wanita muda itu. "Bunyinya seperti tembakan."
"Cuma suara knalpot mobil, dijalan raya," kata Jupiter cepat-cepat. "Mrs. Dobson, ini teman kami, Bob Andrews."
"Apa kabar, Mrs. Dobson," sapa Bob.
Mrs. Dobson tersenyum, lalu membalas sapaan itu.
"Kenapa kalian berdua selarut ini kemari"" tanyanya, ketika sudah sampai di bawah. Saat itu Tom Dobson muncul di atas tangga, lalu menuruninya. Ia membawa baki, dengan cangkir-cangkir kosong bertumpuk-tumpuk di atasnya. "He, Jupe!" katanya menyapa. Jupiter memperkenalkan Bob pada Tom. "Wah!" kata Tom. "Penyelidik ketiga!" "Apa katamu"" kata Mrs. Dobson.
"Ah, tidak apa-apa, Bu - aku cuma main-main saja," kata Tom.
"Hm!" Mrs. Dobson menatap anaknya dengan pandangan menyelidik, seperti yang biasa dilakukan para ibu. "Sekarang bukan waktunya main-main," katanya kemudian. "Ada apa lagi dengan kalian sekarang" Aku bukannya tidak menghargai usaha kalian. Aku bahkan senang sekali, Pete menginap di sini untuk menemani kami. Tapi aku tidak suka kalau kalian main rahasia-rahasiaan!"
"Maaf, Mrs. Dobson," kata Jupiter. "Saya dan Bob sebenarnya tidak bermaksud datang kemari. Tapi kami tadi berjalan-jalan menyusuri jalan darurat di puncak bukit, dan kemudian kami melihat kedua orang yang ada di Hilltop House."
Bob ters edak, karena kaget. Sedang Jupiter melanjutkan dengan tenang.
"Hilltop House itu rumah besar yang ada di belakang rumah ini, tapi letaknya lebih tinggi, hampir di puncak bukit. Rumah itu sejak kemarin ditempati dua orang penyewa baru. Dari teras sana, mereka bisa langsung melihat ke dalam kamar-kamar tidur sebelah belakang rumah ini. Karenanya kami merasa perlu memberi tahu Anda, agar Anda menurunkan kerai-kerai jendela di kamar-kamar itu."
"Hebat!" Mrs. Dobson terduduk di jenjang pangkal tangga. "Sempurnalah kejadian-kejadian sepanjang hari ini. Mula-mula jejak kaki berapi, lalu si Sinting dari hotel, dan sekarang sepasang pengintip."
"Si Sinting dari hotel"" tanya Bob. "Siapa yang sinting, dan dari hotel mana""
"Seorang pria, bernama Farrier," kata Pete menjawab. "Ia muncul di sini sekitar setengah jam yang lewat. Katanya, ingin melihat apakah semua sudah beres, dan apakah ada yang bisa dilakukannya untuk Mrs. Dobson."
"Pemancing ikan yang periang," kata Jupiter.
"Terlalu periang, bagiku," kata Mrs. Dobson. "Entah kenapa, tapi perasaanku tidak enak menghadapi orang itu. Kenapa ia begitu ngotot" Senyumannya tak pernah lepas, sampai melihatnya saja pun otot-otot mukaku sudah terasa pegal. Dan ia selalu begitu... begitu..."
"Rapi"" tebak Jupiter.
"Yah - bisa juga dikatakan begitu." Mrs. Dobson duduk bertopang dagu. "Penampilannya seperti... yah, seperti boneka-boneka pajangan di toko-toko besar. Kurasa ia sama sekali tidak pernah berkeringat. Pokoknya, ia tadi mencoba memancing ajakan untuk minum kopi di sini. Tapi kukatakan bahwa aku ingin berbaring sambil mengompres kepala dengan lap basah. Ia langsung mengerti, lalu pergi lagi."
"Ia kemari naik mobil"" tanya Jupiter.
"Ya, tentu saja," jawab Pete. "Mobil Ford tua, berwarna cokelat. Ia kemudian pergi, lewat jalan raya."
"Hmm," kata Jupiter. Kemudian, "Bisa saja ia berpesiar, menyusuri pantai. Nah - kurasa sebaiknya kami pulang saja sekarang. Sampai besok, Mrs. Dobson."
"Selamat malam, Anak-anak," kata Mrs. Dobson. Diambilnya baki berisi tumpukan cangkir dari tangan Tom, lalu pergi ke dapur.
Jupiter memanfaatkan kesempatan itu. Ia cepat-cepat bercerita pada Tom dan Pete, tentang kejadian di Hilltop House, serta tembakan yang kemudian menyusul. Sekali lagi ia berpesan pada keduanya, agar menurunkan kerai jendela-jendela. Setelah itu ia keluar, bersama Bob. Mereka mendengar bunyi anak kunci diputar, serta gerendel disorongkan.
"Lega hatiku mengetahui bahwa Potter melengkapi rumahnya dengan banyak kunci-kunci pengaman," kata Jupiter.
Kedua remaja itu menyusuri tepi jalan raya, kembali ke Rocky Beach.
"Apakah menurutmu, mereka yang di rumah itu benar-benar dalam bahaya"" tanya Bob.
"Tidak," kata Jupiter. "Kurasa tidak. Kedua laki-laki di Hilltop House itu mungkin saja ingin tahu tentang mereka, tapi kita sekarang tahu bahwa minat mereka sebenarnya terarah pada Potter. Dan mereka tahu, Potter tidak ada di rumahnya."
"Bagaimana dengan orang yang di bukit tadi"" kata Bob. "Itu - yang melepaskan tembakan ke arah kita!"
"Kitalah yang diancam," kata Jupiter. "Tidak ada tanda-tanda bahwa ia menakut-nakuti keluarga Dobson. Dan Mr. Farrier begitu ngotot mencurahkan perhatiannya pada Mrs. Dobson, padahal Mrs. Dobson jelas tidak memberi hati padanya. Bibi Mathilda bahkan terang-terangan bersikap kasar padanya siang tadi. Itu menarik, karena orang pada umumnya takkan mendesak-desakkan diri lagi, jika sudah jelas kelihatan bahwa kedatangannya tidak disukai. Lalu mobil Ford cokelat itu juga menarik."
"Kenapa begitu"" kata Bob. "Kan ada jutaan mobil seperti itu""
"Soalnya, tidak cocok dengan penampilan pemiliknya," kata Jupiter menjelaskan. "Penampilannya terlalu rapi seperti yang diakui oleh Mrs. Dobson. Jadi bisa dibayangkan, mestinya ia naik mobil yang lebih anggun - seperti mobil sport yang diimpor dari luar negeri, misalnya. Kecuali itu, sementara ia nampak begitu seksama mengurus penampilan dirinya, tapi mobilnya dibiarkan berselimut debu. Dicuci saja pun tidak!"
Sementara itu mereka sudah hampir sampai di Rocky Beach. Kedua remaja itu mempercepat langkah, karena tahu-tahu khawatir ka
lau dicari-cari oleh Bibi Mathilda. Tapi
ketika mereka sampai di rumah keluarga Jones, tempat itu sepi. Jupiter mengintip ke dalam lewat jendela. Dilihatnya Paman Titus masih tetap tertidur dengan nikmat, sementara di televisi sedang diputar film tua.
"Temani aku sebentar," kata Jupiter pada Bob. "Aku masih harus menutup pintu gerbang perusahaan."
Mereka pergi ke seberang, lalu masuk lewat pintu gerbang besar. Lampu menyala terang di bengkel Jupiter di luar. Ketika Jupiter hendak memadamkannya, ia melihat lampu merah yang terdapat di atas mesin cetak berkelip-kelip. Itu tanda bahwa pesawat telepon di markas berdering.
"Selarut ini"" kata Bob dengan heran. "Siapa-"
"Pete!" kata Jupiter. "Pasti Pete." Dengan cepat disingkirkannya terali penutup Lorong Dua, dan beberapa saat kemudian kedua remaja itu sudah berada di dalam markas. Jupiter menyambar gagang telepon, mendekatkannya ke telinga.
"Cepat kembali!" Suara Pete terdengar tegang. "Kejadian itu berulang lagi!"
"Ada jejak kaki lagi"" tanya Jupiter.
"Ya - tiga, di tangga," kata Pete. "Cepat-cepat kupadamkan tadi. Tercium bau aneh. Dan Mrs. Dobson mengalami gangguan syaraf."
"Kami akan segera datang," kata Jupiter, lalu mengembalikan gagang telepon ke tempatnya.
"Ada jejak kaki menyala lagi," katanya pada Bob. "Sekali ini di tangga. Pete juga mengatakan bahwa saat ini Mrs. Dobson sedang galau pikirannya. Itu bisa kumengerti." "Kita kembali ke sana"" tanya Bob. "Ya, kita kembali," jawab Jupiter.
Keduanya bergegas-gegas keluar lagi, lewat Lorong Dua. Ketika mereka sedang mengunci pintu gerbang, Bibi Mathilda membuka pintu rumah. "Apa saja yang kalian lakukan di sana selama itu"" serunya.
"Ada yang perlu kami atur," kata Jupiter membalas pertanyaan itu, lalu bergegas menghampiri bibinya. "Kami ingin menjenguk Mrs. Dobson serta anaknya sebentar," katanya. "Bibi tidak berkeberatan, 'kan""
"Aku keberatan," kata Bibi Mathilda. "Malam sudah larut, tidak sopan kalau sekarang masih datang berkunjung. Kecuali itu, kau kan tahu bahwa aku tidak senang jika kau malam-malam masih ada dijalan raya."
"Sepeda kami kan ada lampunya," kata Jupiter, "dan kami akan berhati-hati. Mrs. Dobson tadi siang kelihatannya begitu bingung. Karena itu kami ingin melihat sebentar ke sana, apakah semuanya sudah beres."
"Yah... baiklah, Jupiter. Tapi kalian berdua hati-hati, ya!" Bibi Mathilda tertegun sekejap, lalu bertanya, "Mana Pete""
"Sudah pergi," jawab Jupiter singkat.
"Baiklah. Jika kalian masih ingin pergi, cepatlah sedikit - karena malam semakin larut. Dan ingat - hati-hati dijalan!"
"Kami akan berhati-hati," kata Jupiter.
Perjalanan kembali ke rumah Potter hanya memakan waktu beberapa menit saja, karena kali ini mereka naik sepeda. Sesampainya di sana mereka menggedor-gedor pintu depan, sambil memanggil-manggil. Pete membukakan pintu.
"Seluruh rumah sudah kauperiksa"" tanya Jupiter, begitu sudah ada di dalam rumah.
"Aku" Seorang diri"" kata Pete. "Aku tidak senekat itu! Tanpa itu pun aku sudah cukup sibuk - memadamkan jejak kaki yang menyala, lalu lari ke telepon umum dijalan untuk menelepon kalian, sedang Mrs. Dobson sedang histeris, tidak bisa diajak bicara secara normal."
Benarlah. Mrs. Dobson saat itu sedang galau pikirannya. Bob dan Jupiter mengikuti Pete naik ke tingkat atas, menuju ke kamar tidur besar di depan.
Mereka menjumpai Mrs. Dobson tertelungkup di atas tempat tidur, sambil menangis tersedu-sedu. Anaknya duduk di sampingnya. Tom menepuk-nepuk bahu ibunya. Anak itu nampak sangat gugup.
Bob pergi ke kamar mandi. Dibukanya keran air, lalu dibasahinya selembar lap penyeka tubuh.
"Nah! Itu, mulai lagi!" teriak Mrs. Dobson. "Apa yang mulai lagi"" tanya Jupiter.
"Sekarang berhenti," kata Mrs. Dobson. "Baru saja ada bunyi air mengalir."
"Saya yang menyebabkannya, Mrs. Dobson." Bob masuk sambil menenteng lap basah. "Saya rasa Anda mungkin perlu ini."
"Oh." Mrs. Dobson menerima lap basah yang disodorkan, lalu menyeka wajah dengannya.
"Kalian belum lama pergi," kata Pete menjelaskan, "ketika tahu-tahu terdengar bunyi air mengalir dalam pipa-pipa. Padahal tidak ada satu keran pun yang dibuka! L
alu ketika kami sudah ada di kamar tidur masing-masing, terdengar bunyi gedebuk di bawah. Mrs. Dobson keluar untuk memeriksa. Saat itulah nampak tiga jejak kaki berapi di jenjang. Cepat-cepat kulemparkan selimut di atasnya, sehingga api padam. Tapi bekasnya masih kelihatan."
Jupiter dan Bob kembali ke tangga, untuk memeriksa bekas jejak yang hangus itu.
"Persis seperti yang didapur," kata Jupiter. Disentuhnya salah satu jejak itu dengan ujung jari. Lalu diciumnya bau yang menempel di ujung jarinya itu. "Baunya aneh - seperti bahan kimia tertentu."
"Lalu apa kesimpulan kita, kalau begitu"" tanya Pete. "Kita menghadapi hantu yang sarjana kimia""
"Saat ini sebenarnya sudah terlalu larut," kata Jupiter, "tapi kusarankan untuk memeriksa seluruh rumah ini."
"Takkan ada yang bisa masuk kemari tadi, Jupe," kata Pete berkeras. "Rumah ini terkunci rapat, melebihi lemari besi di Bank Sentral."
Tapi Jupiter tetap ingin memeriksa. Rumah itu diteliti dengan seksama, dari ruang bawah tanah sampai ke ruang loteng. Tapi tidak ada apa-apa lagi di situ, kecuali Mrs. Dobson beserta putranya, Trio Detektif, serta koleksi benda seni tembikar yang banyak jumlahnya.
"Aku ingin pulang," keluh Eloise Dobson.
"Ya, kita pulang, Bu," kata Tom berjanji. "Besok pagi, ya""
"Kenapa tidak sekarang ini juga"" tanya Mrs. Dobson.
"Ibu kan capek!"
"Kau sangka aku bisa tidur di tempat ini"" tanya Mrs. Dobson.
"Anda akan merasa lebih aman jika kami semua menginap di sini malam ini"" tanya Jupiter Jones.
Eloise Dobson menggigil. Ia merentangkan tubuh di tempat tidur, menendang-nendang kaki pembaringan itu.
"Aku akan merasa lebih aman," katanya mengaku. "Bisakah barisan pemadam kebakaran juga diminta ikut menginap""
"Moga-moga saja kita tidak memerlukan mereka," kata Jupiter.
"Sekarang Ibu beristirahat saja dulu, ya Bu"" Tom Dobson pergi ke lemari di gang, mengambilkan selimut bagi ibunya. Mrs. Dobson masih berpakaian seperti siangnya.
"Aku harus berganti pakaian dulu," kata Mrs. Dobson dengan suara lesu. Tapi ia tidak berdiri. Ia menutupi mata dengan lengan. "Jangan padamkan lampu," katanya.
"Tidak," kata Tom.
"Dan jangan pergi," gumam ibunya.
"Aku tetap di sini, Bu," kata Tom.
Mrs. Dobson tidak mengatakan apa-apa lagi. Wanita malang itu tertidur, karena sangat capek.
Anak-anak berjingkat-jingkat keluar, lalu berkelompok di ujung tangga sebelah atas.
"Akan kuambil selembar selimut lagi, lalu tidur di lantai, di kamar ibuku," kata Tom dengan suara pelan. "Kalian benar-benar akan menginap semalaman di sini""
"Bibi Mathilda bisa kutelepon," kata Jupiter. "Akan kuberi tahu bahwa ibumu sedang galau pikirannya, dan ingin ditemani. Setelah itu Bibi Mathilda mungkin bisa memberi tahu Mrs. Andrews."
"Biar aku sendiri yang menelepon ibuku," kata Bob. "Akan kukatakan padanya, aku menginap di rumahmu."
"Barangkali sebaiknya kita menelepon polisi," kata Tom.
"Selama ini, itu tidak banyak gunanya," kata Jupiter. "Kunci pintu baik-baik, begitu kami keluar untuk menelepon sebentar." "Jangan khawatir," kata Pete.
"Nanti kalau kami kembali, akan kuketuk pintu tiga kali berturut-turut," kata Jupiter lagi. "Kutunggu sebentar, lalu kuketuk lagi tiga kali."
"Oke, mengerti." Pete memutar anak kunci dan menarik gerendel, untuk membukakan pintu. Bob dan Jupiter menyelinap ke dalam kegelapan, menuju ke bilik telepon umum di pinggir jalan raya.
Bibi Mathilda sangat prihatin ketika mendengar bahwa Mrs. Dobson kacau pikirannya, dan ingin ada yang menemani. Jupiter tidak mengatakan apa-apa, tentang jejak kaki berapi yang muncul lagi. Waktu menelepon selama tiga menit hampir seluruhnya dipakai oleh Jupiter untuk mencegah Bibi Mathilda, yang hendak membangunkan Paman Titus, dan mengajaknya menjemput Mrs. Dobson serta anaknya dengan truk, untuk diamankan di rumah mereka.
"Mrs. Dobson sudah tidur sekarang," kata Jupiter akhirnya. "Ia tadi cuma mengatakan, ia akan merasa lebih aman jika kami semua menemaninya di rumah ini."
"Tapi tempat tidur di situ kan tidak banyak," kata Bibi Mathilda keberatan. "Ah, itu tidak jadi soal," kata Jupiter. "Seadanya sajalah!"
Akhirnya Bibi Mathilda mengalah. Jupi
ter diperbolehkannya menginap. Setelah itu ganti Bob yang menelepon. Ibunya ternyata langsung mengizinkan, ketika diberi tahu bahwa ia malam itu diajak Jupiter menginap. Bob tidak mengatakan, di mana ia menginap.
Setelah itu keduanya kembali ke rumah Potter. Pintu depan diketuk dengan cara yang sudah disepakatkan. Pete membukakan pintu.
Seperti kata Bibi Mathilda, di situ memang tidak cukup tempat tidur - biarpun Tom Dobson sudah berbaring di lantai, di kamar tidur ibunya. Tapi menurut Pete, itu soal kecil. Secara bergilir, seorang dari mereka harus bangun untuk menjaga, sementara yang dua lagi tidur. Bob dan Jupiter menyetujui saran itu, dan Jupiter secara sukarela mengatakan bahwa ia saja yang pertama-tama menjaga selama tiga jam berikut sejak saat itu. Bob masuk ke kamar tidur Potter, lalu merebahkan diri di pembaringan sempit dan rapi yang ada di situ. Sedang Pete masuk ke kamar tidur yang sebetulnya disediakan untuk Tom Dobson.
Jupiter duduk di lantai, di kaki tangga. Ia menyandarkan punggung ke dinding, sementara matanya menatap bekas-bekas hangus yang nampak di jenjang tangga. Jejak kaki tanpa sepatu. Ia berpikir, sambil mencium-cium ujung jari-jarinya. Bau bahan kimia yang tercium ketika tadi ia menyentuh jejak-jejak itu, kini sudah tidak ada lagi.
Pasti untuk menimbulkan nyala api tadi dipakai bahan yang gampang sekali menguap. Jupiter berpikir-pikir, berusaha mengetahui jenis bahan itu. Tapi kemudian ia menarik kesimpulan, yang penting bukan bahan itu. Tapi kenyataan ada orang yang masuk ke rumah yang terkunci rapat-rapat dari dalam, untuk menimbulkan kesan yang menyeramkan itu. Bagaimanakah cara melakukannya" Dan siapa yang melakukannya"
Jupiter Jones merasa pasti tentang satu hal, yaitu bukan hantu yang melakukan keisengan itu. Jupiter tetap tidak percaya bahwa hantu itu ada.
Bab 12 PUSTAKA TERSEMBUNYI JUPITER terbangun. Didengarnya bunyi kesibukan di dapur yang terletak di bawah. Ia mengerang pelan, lalu memutar tubuhnya yang tergeletak di tempat tidur Tom Dobson. Jupiter memandang arlojinya. Pukul tujuh lewat sedikit.
"Kau sudah bangun"" Bob Andrews menjenguk ke dalam dari ambang pintu.
"Ya, sekarang aku sudah bangun." Jupiter bangkit dengan gerakan lambat.
"Mrs. Dobson marah-marah," kata Bob. "Sekarang ia sedang masak, di dapur."
"Bagus - aku memang sudah lapar. Tapi kenapa ia marah-marah" Tadi malam katanya ingin lekas-lekas pulang."
"Tapi sekarang tidak lagi. Pagi ini ia sudah siap untuk mengobrak-abrik kota Rocky Beach. Bukan main, pengaruh tidur nyenyak satu malam. Yuk, ikut aku ke bawah. Kau pasti asyik melihatnya. Aku teringat pada Bibi Mathilda-mu, jika ia sedang giat-giatnya."
Jupiter tertawa geli. Ia masuk ke kamar mandi, untuk mencuci muka. Kemudian ia memasang sepatunya kembali - hanya itu saja yang sempat dibukanya sebelum tidur - lalu ikut dengan Bob ke dapur.
Pete dan Tom sudah ada di situ. Mereka memperhatikan Mrs. Dobson, yang sibuk menggoreng telur sambil mengoceh. Macam-macam yang diocehkannya. Tentang Potter, tentang rumah, jejak kaki yang menyala, serta ayah yang tidak tahu diri, menghilang sementara anak satu-satunya sudah repot-repot naik mobil melintasi hampir sepanjang benua, untuk menjenguknya.
"Dan jangan kalian sangka, ibu akan diam saja," kata Mrs. Dobson. "Tidak! Pagi ini juga aku akan ke kantor polisi untuk menyampaikan laporan kehilangan mengenai dirinya. Dengan begitu polisi harus mencarinya."
"Tapi apakah akan ada gunanya, Mrs. Dobson"" tanya Jupiter agak sangsi. "Jika Potter menghilang karena kemauannya sendiri, sulit sekali rasanya-"
"Aku tidak mau ia hilang," potong Mrs. Dobson. Ia meletakkan piring berisi telur dan daging goreng di atas meja. "Aku ini anaknya, dan ia ayahku, dan ia harus membiasakan diri pada kenyataan itu. Sedang kepala polisi kalian harus melakukan sesuatu terhadap jejak-jejak kaki itu. Itu pasti suatu kejahatan."
"Kemungkinannya, percobaan pembakaran," kata Bob.
"Apa pun sebutannya, pokoknya harus berhenti. Sekarang kalian makan. Aku hendak ke kota."
"Ibu sendiri belum sarapan," kata Tom.
"Aku tidak perlu sarapan!" tukas ibunya. "Sekarang makan! Ay
o! Dan jangan ke mana-mana. Aku cuma sebentar!"
Mrs. Dobson menyambar dompetnya, yang diletakkan di atas lemari es. Ia mencari-cari kunci mobil di dalamnya, lalu bergegas keluar. Sedetik kemudian terdengar bunyi mesin mobil biru dihidupkan di luar.
"Ibuku bangkit lagi semangatnya," kata Tom. Ia merasa agak kikuk.
"Telur ini enak," kata Jupiter. Ia makan sambil berdiri, menyandar ke ambang pintu. "Sebaiknya kita cepat-cepat saja mencuci piring yang kotor, sebelum ia kembali."
"Pengalamanmu bertahun-tahun tinggal bersama Bibi Mathilda, ternyata membuatmu sangat mampu menyelami perasaan seseorang," kata Bob.
"Memang sudah sepantasnya, jika ibumu marah pada kakekmu," kata Jupiter pada Tom. "Tapi menurutku, Potter tidak berniat menyakiti hatinya. Ia sama sekali tidak ingin menyakiti hati siapa pun. Ia memang suka menyendiri, tapi kurasa wataknya sangat lembut." Jupiter menaruh piringnya di bak cuci. Ia teringat lagi pada kedua laki-laki yang naik mobil Cadillac, serta perjumpaan mereka dengan Potter. Jupiter ingat, bagaimana
Potter saat itu berdiri di jalan masuk Jones Salvage Yard, sambil menggenggam medalionnya.
"Rajawali berkepala kembar," kata Jupiter. "Tom, kau mengatakan bahwa kakekmu kadang-kadang mengirim hasil ciptaannya pada kalian. Pernahkah ia mengirimkan sesuatu dengan hiasan rajawali berkepala kembar""
Tom mengingat-ingat sebentar, lalu menggeleng.
"Ibuku menyukai burung," katanya pada Jupiter. "Kakek biasanya mengirimkan barang-barang dengan hiasan burung, tapi burung biasa saja - bukan yang aneh-aneh, seperti lempengan di kamar tidur atas itu."
"Tapi bentuk rajawali itu dipakainya di medalionnya," kata Jupiter. "Ia juga memakainya sebagai hiasan lempengan yang kausebutkan. Hmm - hiasan untuk kamar kosong. - Kenapa ia mau repot-repot membuat benda sebesar itu, kemudian memasangnya di kamar kosong""
Jupiter mengeringkan tangannya dengan lap, lalu bergegas pergi ke atas. Seketika itu juga anak-anak yang lain berhenti sarapan. Mereka menyusul Jupiter, yang sementara itu sudah memasuki kamar yang ditempati Mrs. Dobson.
Rajawali yang berwarna merah seakan-akan menatap marah, dari atas pendiangan.
Jupiter meraba-raba tepi lempeng tembikar itu.
"Kelihatannya disemenkan ke dinding," katanya.
Tom Dobson pergi sebentar ke kamarnya. Ia kembali dengan membawa kikir kuku. "Coba dengan ini," katanya.
Jupiter mengambil kikir itu. Dengan alat itu ia mencongkel-congkel pinggir lempeng tembikar berukuran besar itu.
"Tidak bisa," katanya setelah beberapa saat. "Kurasa Potter menambahkan lapisan semen lagi pada dinding di atas pendiangan ini - dan hiasan besar ini juga ikut disemen."
Jupe mundur beberapa langkah. Diperhatikannya bentuk rajawali besar yang paruhnya terbuka itu.
"Pasti bukan pekerjaan enteng," katanya mengomentari. "Ukurannya besar sekali." "Tapi memang sudah hobinya, kok," kata Tom.
"Eh - nanti dulu!" kata Jupiter. Dihampirinya lempeng tembikar itu. "Rupanya tidak terdiri dari satu bagian yang utuh! Tolong ambilkan kursi, supaya aku bisa berdiri di atasnya."
Pete bergegas ke dapur di tingkat bawah, untuk mengambil kursi.
Jupiter berdiri di atas kursi. Tangannya meraih ke atas, ke arah kepala rajawali yang sebelah kanan.
"Mata ini tidak sama dengan yang satunya lagi," katanya. "Dibuat secara terpisah." Ditekannya bulatan porselen putih yang merupakan bola mata. Bulatan itu tertekan ke belakang. Terdengar bunyi detakan pelan, dan seluruh bagian dinding di atas pendiangan bergerak membuka sedikit.
"Pintu rahasia," kata Jupiter. "Kalau dipikir-pikir, memang masuk akal." Ia turun dari kursi. Dipegangnya hiasan yang merupakan bagian pinggir panel dinding itu, lalu ditarik. Panel itu terbuka dengan mudah. Engselnya ternyata selalu diminyaki.
Para remaja yang ada di dalam kamar itu berkerumun, memandang ke dalam semacam rongga yang dalamnya sekitar lima belas senti. Lemari rahasia yang tingginya mulai dari sisi atas pendiangan sampai ke langit-langit itu dibagi oleh empat papan rak. Pada papan-papan itu terdapat tumpukan surat kabar. Jupiter mengambil selembar di antaranya.
"Wah - ini kan koran daerah kami, tapi sudah tua!
" seru Tom. Diambilnya surat kabar yang dipegang oleh Jupiter, lalu diamat-amatinya sekilas. "Yang ini memuat berita tentang aku," katanya.
"Kenapa sampai ada berita mengenai dirimu"" tanya Bob.
"Waktu itu aku memenangkan hadiah dalam perlombaan mengarang," kata Tom.
Jupiter membuka surat kabar lagi, yang jauh lebih usang. "Iklan pernikahan ibumu," katanya pada Tom.
Tumpukan surat kabar itu memang semuanya terbitan Belleview, kota asal Mrs. Dobson serta anaknya, Tom. Dan surat-surat kabar tersebut ternyata memuat berita-berita tentang kehidupan keluarga Dobson. Kelahiran Tom, serta berita dukacita ketika neneknya meninggal. Ada berita tentang perayaan pembukaan toko yang dikelola ayah Tom, serta satu lagi tentang pidato ayahnya itu pada kesempatan Hari Veteran. Segala kesibukan keluarga Dobson yang dimuat dalam harian itu, ternyata disimpan oleh Potter.
"Pustaka rahasia," kata Pete. "Dan kau serta ibumulah yang merupakan rahasia besar di dalamnya."
"Rasanya diperhatikan karenanya," kata Tom.
"Ia sangat tertutup," kata Jupiter. "Tidak ada yang tahu selama ini bahwa kalian itu ada. Aneh! Dan yang lebih aneh lagi, dalam koleksi rahasianya ini sama sekali tidak ada apa-apa tentang Potter sendiri."
"Itu kan tidak aneh," kata Pete. "Potter tidak suka namanya dimuat dalam pers - sepanjang ingatanku."
"Betul," kata Jupiter. "Tapi kedua orang di Hilltop House kemarin mengatakan, ulasan mengenai karya seninya pernah dimuat dalam majalah. Dan apabila cerita tentang karya seni kita dimuat dalam majalah, maka sudah wajar jika majalah yang memuat cerita itu kita simpan. Ya, 'kan""
"Betul," kata Bob.
"Jadi ada dua dugaan yang mungkin benar," kata Jupiter. "Kemungkinan pertama, Potter sedikit pun tidak memiliki rasa bangga pada diri sendiri. Atau, sebenarnya sama sekali tidak ada berita mengenai dirinya dalam majalah - kecuali foto di majalah Westways. Dan tentang itu, Potter sama sekali tidak tahu-menahu, sampai hari Sabtu yang lalu. Ia tidak senang ketika melihat fotonya dimuat dalam majalah."
"Apa arti semuanya itu"" tanya Tom Dobson.
"Artinya, Potter selama ini ingin merahasiakan eksistensi kalian. Dan ia juga sama sekali tidak ingin dirinya dikenal di kalangan luas. Mungkin ia mempunyai alasan kuat untuk bersikap begitu. Kami tidak tahu apa alasannya, Tom - tapi kemarin malam kami mendengar kedua orang yang menyewa Hilltop House menunjukkan minat yang sangat besar terhadap kakekmu. Mereka datang di Rocky Beach, hampir dua bulan setelah lembaran Westways muncul dengan foto kakekmu. Ada kesimpulan yang bisa kautarik dari situ""
"Ada kemungkinan Kakek melarikan diri," kata Tom. "Tapi melarikan diri dari apa"" "Apa yang kauketahui tentang Lapatia"" tanya Jupiter. "Belum pernah kudengar. Apa itu""
"Lapatia itu nama negara - sebuah negara kecil, di benua Eropa. Di sana pernah terjadi pembunuhan politik, bertahun-tahun yang silam." Tom Dobson hanya mengangkat bahu. "Kata Nenek, Kakek berasal dari Ukraina," katanya. "Kau pernah mendengar nama Azimov"" tanya Jupiter lagi. "Tidak."
"Mungkinkah itu nama kakekmu, sebelum ia menukarnya menjadi Potter"" "Tidak. Nama kakekku yang asli sangat panjang. Panjang sekali. Kau takkan bisa mengucapkannya." Jupiter berdiri sambil mencubiti bibir bawahnya.
"Ia sudah begitu repot, hanya untuk menyembunyikan setumpuk koran tua saja," kata Tom. "Padahal ada cara yang jauh lebih mudah, jika memang begitu penting artinya. Ia bisa saja memasukkannya ke dalam suatu berkas bersama rekening-rekening tua - itu, seperti dalam kisah Surat yang Dicuri, karangan Edgar Allan Poe."
Pete menjamah lempeng tembikar yang berat itu.
"Itu akan lebih bisa diterima akal sehat," katanya. "Benda seperti ini dalam kamar kosong, sudah pasti akan menarik perhatian - kalau memang itu yang dikehendaki."
"Sedang Potter tidak menghendakinya," kata Jupiter. "Ia malah sama sekali tidak suka jika ada perhatian terarah padanya."
Jupiter membungkuk. Ia memperhatikan perapian yang ada di bawah lempeng tembikar itu. Tempat itu benar-benar bersih. Nampak jelas bahwa perapian itu belum pernah dipakai. Jupiter berjongkok. Dimasukkan kepalanya ke da
lam tempat itu. Ia memandang ke atas.
"Tidak ada cerobong asap," katanya. "Ini perapian bohong-bohongan."
"Mungkin Potter sendiri yang membuatnya," kata Bob menduga.
"Kalau begitu, apa gunanya katup kecil ini"" tanya Jupiter. Dibukanya sebuah klep dari logam, yang terpasang di dasar perapian itu. "Pada pendiangan yang benar, katup ini gunanya untuk membuang abu. Jadi untuk apa dipasang pada perapian palsu, yang tak pernah berabu""
Jupiter menyusupkan tangannya ke dalam lubang yang tadi tertutup katup. Ia merogoh-rogoh lantai pendiangan yang terbuat dari batu bata. Tiba-tiba ujung jarinya menyentuh benda yang terbuat dari kertas.
"Ada sesuatu di sini!" serunya. "Sebuah sampul!" Sampul itu dicongkelnya sehingga ke luar, lalu katup dari logam itu dibiarkannya menutup kembali.
Trio Detektif 15 Misteri Jejak Bernyala di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sampul yang dikeluarkannya terbuat dari kertas tebal dan disegel.
"Lemari rahasia di balik lempeng tembikar di atas sebenarnya hanya untuk mengalihkan perhatian saja," kata Jupiter menarik kesimpulan. Diacungkannya sampul yang ada di tangannya. "Kurasa rahasia sebenarnya ada di sini. Nah, apa yang akan kita lakukan sekarang, Tom" Barang ini milik kakekmu. Saat ini ia menghilang, sedang kau klien kami. Apa yang kita lakukan sekarang""
"Kita buka," kata Tom, tanpa ragu-ragu.
"Aku sudah berharap-harap, semoga itulah yang akan kaukatakan," gumam Bob. Jupiter membuka segel penutup sampul. "Apaan -"" tanya Tom ingin tahu.
Jupiter menarik selembar kertas kulit tebal yang dilipat tiga, dan membentangkannya dengan hati-hati sekali. "Apa itu"" tanya Tom lagi. Kening Jupiter berkerut.
"Entah! Kelihatannya seperti semacam sertifikat," katanya. "Mungkin ijazah - tapi untuk itu, ukurannya kurang besar." Anak-anak yang lain mengerubunginya. "Tulisannya dalam bahasa apa"" tanya Pete. Bob menggeleng.
"Aku tidak mengenalnya," katanya. "Aku belum pernah melihat bahasa seperti ini." Jupiter pergi ke jendela. Di situ didekatkannya dokumen dengan tulisan tangan itu ke matanya.
"Hanya ada dua yang bisa kukenali," katanya setelah mengamat-amati selama beberapa saat. "Yang satu, cap yang ada di bagian bawah. Bentuknya sudah kita kenal, yaitu rajawali berkepala kembar. Sedang yang satunya adalah tulisan nama ini - Kerenov. Rupanya pada suatu ketika ada yang menyampaikan suatu penghargaan tertentu pada seseorang bernama Alexis Kerenov. Kau pernah mendengar nama itu, Tom""
"Tidak," kata Tom. "Tapi tidak mungkin itu nama Kakek. Seperti sudah kukatakan, nama aslinya panjang. Sangat panjang!"
"Tapi kau kan ingat nama ini, Bob"" kata Jupiter.
"Ya, tentu saja," kata Bob. "Kerenov adalah seniman pengrajin yang menciptakan mahkota untuk Federic Azimov."
Tom memandang kedua anak itu silih berganti. "Federic Azimov" Siapa itu""
"Dia itu raja Lapatia yang pertama," kata Jupiter menjelaskan. "Hidupnya sekitar empat abad yang lalu." Tom Dobson menatap Trio Detektif dengan sikap bingung. "Tapi apa hubungannya dengan kakekku"" tanyanya.
"Kami juga tidak tahu," jawab Jupiter, "tapi kami berniat akan menyelidikinya."
Bab 13 RAJAWALI YANG LAIN JUPITER menumpukkan koran-koran tua terbitan Belleview di rak yang ada di atas pendiangan dengan rapi, lalu menutup kembali panelnya.
"Ibumu sebentar lagi akan sudah kembali," katanya pada Tom Dobson, "dan kurasa ia akan ditemani Chief Reynolds. Aku cenderung beranggapan bahwa kita takkan bisa menolong kakekmu, jika dokumen yang kita temukan tadi kita serahkan pada Chief Reynolds. Trio Detektif sedang melacak alur-alur penyelidikan tertentu, yang ada hubungannya dengan negara Lapatia, serta wangsa Azimov. Bagaimana, Tom - setujukah kau kalau kita melanjutkannya, sampai sudah cukup bukti-bukti yang nanti bisa diserahkan pada polisi""
Tom menggaruk-garuk kepalanya dengan sikap bingung.
"Apa pun yang sedang kalian lakukan saat ini, yang jelas kalian sudah jauh berada di depanku," katanya. "Baiklah. Kalian tahan saja dokumen itu - untuk sementara waktu. Dan bagaimana dengan koran-koran yang ada di balik lempeng tembikar""
"Mungkin polisi akan menemukan tempat penyimpanan rahasia itu," kata Jupiter. "Tapi kurasa tidak apa-apa kalau itu terjadi, karena mestinya
untuk itulah lemari rahasia itu dibuat - untuk mengalihkan perhatian dari rahasia yang sebenarnya."
"Mudah-mudahan saja aku masih bisa berjumpa dengan kakekku," kata Tom. "Mestinya ia sangat luar biasa."
"Pengalaman itu pasti akan menarik," kata Jupiter.
Bob menjenguk ke luar, lewat jendela.
"Mrs. Dobson sudah kembali," katanya.
"Dengan Chief Reynolds"" tanya Jupe.
"Di belakangnya ada mobil patroli," kata Bob.
"Astaga! Piring-piring bekas sarapan!" seru Pete.
"Ya, betul!" kata Jupiter Jones. Keempat remaja itu bergegas menuruni tangga. Saat Mrs. Dobson sudah memarkir mobil, melintasi halaman muka, lalu masuk lewat pintu depan, saat itu pula Jupiter membuka keran air panas dan mengalirkannya ke dalam bak cuci, sementara Tom mengorek-ngorek sisa-sisa sarapan yang menempel di piring, dan Bob sudah siap untuk mengeringkan dengan lap.
"Wah, terima kasih," kata Mrs. Dobson dengan senang, ketika melihat kesibukan mereka di dapur.
"Sarapannya tadi enak, Mrs. Dobson," ujar Pete.
Chief Reynolds masuk ke dapur, diikuti oleh Officer Haines. Kepala polisi Rocky Beach itu tidak mempedulikan anak-anak yang lain. Ia mencurahkan kejengkelannya pada Jupiter. "Kenapa aku tidak kauberi tahu kemarin malam"" tukas Chief Reynolds. "Saat itu Mrs. Dobson sedang kacau pikirannya," kata Jupiter.
"Dan sejak kapan kau menjadi anggota Lembaga Bantuan Kaum Wanita"" tanya kepala polisi itu. "Jupiter Jones - kalau kau tidak berjaga-jaga, nanti tahu-tahu kepalamu bisa terpental dari tubuhmu."
"Ya, Sir," kata Jupe.
"Jejak kaki berapi!" dengus kepala polisi itu. Ia berpaling pada bawahannya. "Periksa rumah ini, Haines," katanya.
"Kami sudah melakukannya, Chief," kata Jupiter melaporkan. "Tidak ada siapa-siapa di sini."
Jodoh Rajawali 5 Menuntut Balas Karya Wu Lin Qiao Zi The First Fall 2