Pencarian

Misteri Puri Setan 2

Trio Detektif 01 Misteri Puri Setan Bagian 2


"Aku cuma tertarik pada yang ada hantunya saja""," kata Pete berterus terang.
Nah, menurut berita itu, dalam kehidupan sehari-hari Stephen Terrill sangat pemalu. Ia hampir tidak pernah bicara dengan orang lain karena lidahnya yang pelat. Karena itu ia mengontrak Pembisik untuk menangani segala urusan bisnis. Manajernya itu sama sekali tidak mengalami kesulitan untuk menggolkan persyaratan yang diinginkannya."
"Itu bisa kubayangkan'" kata Pete. "Kalau melihat tampangnya, aku tidak heran apabila ia langsung main pisau, jika ada orang berani membantah."
"Kalau kita bisa menemukan dia, kurasa pasti ia akan bisa menceritakan segala hal yang ingin kita ketahui.
Ya, betul - kalau bisa! Kau punya akal""
Pakal buku telepon. Mungkin ia masih tinggal di daerah sini."
Pete berhasil menemukan nama itu.
"Ini dia!" serunya setelah beberapa saat. Jon"than Rex, Winding Valley Road, nomor sembilan ratus lima belas. Kita menelepon dia sekarang""
""Kurasa lebih baik kita datang saja, tanpa menelepon dulu. Tapi kita perlu menelepon mobil untuk menjemput." .
"Memang dasar nasib sedang mujur, memenangkan hak memakai mobil itu," kata Pete, sementara Jupiter sibuk memutar nomor telepon.
"Aku tak tahu bagaimana nanti, jika masa tiga puluh hari sudah lewat."
"Aku sudah punya rencana." kata patnernya. "Tapi itu soal nanti. Sebaiknya kita bilang dulu pada Bibi Mathilda, kita tidak bisa pulang tepat saat makan malam."
Mrs. Jones menyimpankan makan malam untuk mereka. Tapi kemudian ia menggeleng-gelen
g, ketika melihat mobil Rolls-Royce yang berkilat-kilat memasuki pintu gerbang, ,
"Astaga!" katanya, "Aku bingung, bagaimana seterusnya dengan dirimu, Jupiter. Petantang-petenteng naik mobil bekas raja minyak. Lama-kelamaan kau bisa menjadi manja karenanya. Percayalah kataku!"
Tapi Mrs. Jones tidak mengatakan, apa yang menurut dugaannya menyebabkan Jupiter bisa menjadi manja. Dan keponakannya itu sendiri kelihatannya tidak khawatir membayangkan kemungkinan itu. Dengan santai ia menyandarkan punggungnya ke jok belakang.
Worthington terpaksa meneliti beberapa lembar peta dulu, sebelum akhirnya mengatakan bahwa ia sudah tahu di mana letak jalan yang bernama Winding Valley Road itu. Rupanya berawal agak jauh di luar kota, di seberang bukit -bukit. Ketika mobil sudah meluncur ke arah itu, tiba-tiba Jupiter mendapat ilham mendadak.
"Worthington," katanya, "kalau tidak salah, jalan ini pada salah satu tempat jaraknya cukup dekat dari mulut ngarai Black Canyon. Jaraknya cuma sekitar satu mil dari situ."
"Betul, Master Jones," jawab Worthington. tidak jauh sebelum kita mendaki bukit menuju ke lembah."
Kalau begitu dalam perjalanan ke sana, kita mampir sebentar di Black Canyon, Ada sesuatu yang ingin kuperiksa di sana,"
"Dalam waktu singkat mereka sudah sampai di mulut ngarai sempit yang mereka datangi malam belumnya - dan yang kemudian mereka tinggalkan lagi dengan tergesa-gesa. Siang hari, keadaan di situ kelihatannya agak lumayan sedikit. Tapi cuma sedikit! Ketika mobil sudah sampai di mana jalan tertutup palang yang rusak tertimpa batu longsor, tiba-tiba Worthington berseru kaget.
"Lihatlah!" katanya, "Ada jejak roda mobil lain memotong bekas kita! Saat itu saya agak ragu untuk mengatakannya, Master Jones - tapi kemarin saya mendapat kesan bahwa ada yang membuntuti kita. Tapi waktu itu saya tidak yakin betul. "
"Ada yang membuntuti" Pete dan Jupiter saling berpandangan,
""Ada lagi misteri yang perlu dipikirkan," kata Jupiter. "Tapi itu nanti saja. Saat ini aku ingin memeriksa lokasi di luar Puri Setan.
"Beres!'" kata Penyelidik Dua, alias Pete Crenshaw. "Aku setuju saja, selama kita tetap berada di luar."
"Karena tempat itu terang, mereka bisa maju dengan cukup lancar, mendaki jalan sempit yang penuh dengan batu-batu bertaburan, Akhirnya Terror Castle nampak menjulang tinggi di depan.
"Bayangkan - kita memasuki tempat itu malam-malam!" seru Pete. "Huh!"
Jupiter mendului berjalan, mengeliling bangunan tua itu. Semua tempat diteliti olehnya termasuk bagian belakang serta lereng terjal di atasnya.
"Kita mencari tanda-tanda adanya manusia yang mungkin memakai tempat ini sebagai persembunyian," katanya. "Jika benar ada, pasti mereka meninggalkan bekas-bekas! Jejak kaki di lumpur - puntung rokok yang dibuang sembarangan ,...
Tapi mereka tidak menemukan apa-apa, walau sudah mencari dengan sangat teliti. Akhirnya kedua remaja itu beristirahat sebentar di sisi puri
"Jelas di sini tidak ada jejak kaki orang yang datang atau pergi," kata Jupiter dengan nada puas "Jika puri ini ada penghuninya, penghuni itu mungkin hantu. Dan itulah yang hendak kita buktikan!"
""Aku mau saja percaya, tanpa perlu bukti-bukti lagi," kata Pete.
"Saat itu mereka dikagetkan suara orang berteriak. Itu jelas suara manusia biasa! Keduanya berpaling dengan cepat, memandang ke arah gerbang depan Terror Castle. Mereka melihat dua orang lari ke luar sambil menjerit-jerit ketakutan. Kedua orang itu lari pontang-panting, menuju ke arah mulut ngarai. Tapi tiba-tiba seorang dari mereka tersandung lalu tersungkur. Sesuatu benda berkilat terlepas dari pegangannya, jatuh ke tepi jalan. Orang itu tidak mempedulikan barang yang jatuh. Ia bergegas bangun, lalu lari lagi menyusul temannya yang sudah agak jauh berlari.
"Cepat!" seru Jupiter. Ia sudah lari menuruni lereng. Walau tubuhnya gen - eh, gempal, larinya cukup kencang. "Kita harus berusaha melihat siapa mereka!"
""Yang jelas, bukan hantu," kata Pete sambil ikut lari mengejar, "Tapi dari kelakuan mereka, mungkin baru saja melihat hantu!"
Kedua orang yang lari itu sudah tidak kelihatan lagi. Jupit
er sampai di tempat salah seorang dari keduanya tersungkur tadi. Dipungutnya senter dari tepi jalan. Itulah benda yang tadi terjatuh. Barang itu nampak mahal, dan ada pelat nama pada tabungnya, Pada pelat itu terukir tiga huruf. E.S.N.
"E.S,N.,.. kata Jupiter sambil membaca, "Kau lantas ingat pada siapa""
""E. Skinner Norris!" tukas Pete. "Skinny Norris - si ceking itu! Tapi mana mungkin" Bagaimana ia tahu-tahu ada di sini""
"Kau ingat cerita Bob, bahwa Skinny bolak-balik terus di dekatnya ketika Bob sedang sibuk mengumpulkan informasi" Lalu Bob kehilangan kartu nama kita yang ada tulisannya, Terror Castle'" Dan bagaimana dengan kata Worthington tadi, bahwa kemarin malam ia merasa ada orang membuntuti kita" Cocok kalau anak kayak Skinny mau setengah mati berusaha menyelidiki apa yang sedang kita lakukan! Mungkin ia berniat mendului kita, atau kalau tidak, mengacau pekerjaan itu!"
"Ya," kata Pete setelah berpikir sebentar. "Skinny memang tidak segan berbuat apa saja, asal bisa sekali saja mengalahkanmu. Tapi jika memang dia serta salah seorang pengikutnya yang masuk ke Terror Castle, keluarnya cepat sekali!" '
Pete terkekeh-kekeh. Tapi tampang Jupiter serius, sementara ia mengantongi senter yang baru saja dipungutnya.
"Kita kemarin malam juga lari terbirit-birit," katanya mengingatkan. "Cuma bedanya, kita akan masuk lagi - sedang aku yakin, Skinny tak mungkin berani! Aku bahkan sudah memutuskan, kita masuk sekarang juga. Kita memeriksa tempat ini, sementara hari masih siang!"
Sebelum Pete sempat membantah, terdengar bunyi berdebam-debam, jauh di atas mereka. Keduanya cepat-cepat mendongak.
"Sebongkah batu besar terbanting-banting di lereng ngarai, jatuh tepat ke arah mereka.
Pete sudah cepat-cepat lari, tapi dicegah oleh Jupiter.
Tunggu!" katanya. "Jatuhnya jauh dari kita.
Dugaannya tepat. Batu itu membentur jalanan sekitar sepuluh meter dari tempat mereka berdiri. beton alas jalan pecah beserpihan, sementara batu besar itu menggelinding terus ke bawah.
"Kalau kita tadi kena, malam ini Terror Castle mendapat tambahan dua hantu lagi!" kata Pete dengan wajah pucat pasi."
"Lihatlah!" kata Jupiter dengan tiba-tiba, sambil menarik lengan Pete "Di atas sana ada orang! Itu, bersembunyi di balik semak. Pasti Skinny Norris lagi. Mestinya ia menyelinap naik ke atas, lalu menggulingkan batu tadi ke arah kita.
"Kalau benar dia, anak itu perlu diajar sopan santun," kata Pete dengan marah. Yuk, Jupe - kita kejar dia!"
Kedua remaja itu bergegas mendaki lereng berbatu-batu. Gerak mereka disulitkan batu-batu longgar serta semak belukar. Sedang orang yang ada di atas mereka, dengan cepat menjauhkan diri. Jupiter dan Pete berhenti sebentar untuk mengatur napas. sesudah melewati batu besar yang menonjol. Di depan mereka nampak suatu celah sempit berdinding batu serba runcing. Celah itu menjorok masuk ke dalam bukit. Rupanya dulu pernah terjadi gempa di situ, dan membelah bukit batu itu.
"Sementara mereka sedang memperhatikan celah yang dalam itu, tiba-tiba mereka dikejutkan bunyi menggeresek keras di atas kepala. Keduanya cepat-cepat mendongak. Dari tempat yang lebih tinggi di atas lereng, batu-batu bergulingan jatuh, meluncur tepat ke arah mereka. Pete terpaku karena kagetnya. Tapi Jupiter langsung bertindak tanpa ayal sedetik juga. Diseretnya Pete maju, masuk sedalam mungkin ke celah. Sesaat kemudian, dengan bunyi gemuruh batu-batu dan tanah menggelincir lewat mulut celah di mana kedua remaja itu berlindung, Beberapa bongkah batu berjatuhan ke dalam. Beberapa bongkah lagi bertumpukan di tempat datar yang ada diluar celah itu, sehingga terbentuk semacam tembok yang padat. Kini Pete dan Jupiter terkurung dalam celah yang menyelamatkan jiwa mereka.
Bab 8 LAKI-LAKI DENGAN BEKAS LUKA DJ LEHER
"Deru batu longsor sudah lenyap. Sekeliling mereka gelap gulita. Debu beterbangan, kering dan mengandung pasir halus,
"Kita tidak bisa keluar lagi, Jupe," kata Pete sambil terbatuk-batuk, "Kita terjebak di sini. Kita akan mati tercekik!"
"Tutup mulut dan hidung dengan sapu tangan, sampai udara sudah bersih dari debu," kata Jup
iter menasihatkan. Ia meraba-raba dalam gelap mencari temannya. Setelah ketemu, diletakkannya tangan ke bahu Pete, untuk menenangkannya.
Mengenai udara, jangan khawatir! Celah ini kurasa cukup dalam, jadi untuk sementara kita bisa bernapas dengan bebas. Kecuali itu berkat Skinny Norris, kita juga punya senter."
"Berkat Skinny Norris kita terjebak di sini!" tukas Pete dengan marah, "Awas kalau sampai ketemu, Akan kuputar lehernya yang ceking itu!"
"Sayangnya kita tidak bisa membuktikan, betul-betul dia yang menyebabkan batu-batu tadi merosot," kata Jupiter.
Sambil bicara, ia menyalakan senter. Seketika itu juga sinar terang memecah kegelapan dalam celah. Jupiter meneliti tempat itu dengan seksama. Ternyata merupakan semacam gua. Tingginya hampir dua meter, sedang lebarnya satu meter lebih sedikit. Ke arah belakang celah itu sangat menyempit. Jadi tidak bisa dimasuki, walau nampaknya dalam sekali.
Sebongkah batu besar terselip dalam mulut celah itu, menyumbat bagian bawahnya. Di atasnya bertumpuk-tumpuk lagi batu-batu. Sedang celah-celah di antara batu terisi penuh dengan tanah.
"Jalan ke luar tersumpal sama sekali karena batu-batu longsor tadi," kata Jupiter.
"Dalam keadaan begini pun, kau masih saja suka bicara panjang lebar," keluh Pete. "Kenapa tidak bilang saja, 'kita tidak bisa keluar'" Kita terperangkap!"
"Aku tidak mau bilang begitu, karena belum terbukti," kata Jupiter. Tolong aku mendorong batu-batu itu ... kalau bisa didorong
Ternyata tidak bisa. Walau sudah dicoba sekuat tenaga, tapi sia-sia belaka. Keduanya menghentikan usaha itu, Napas mereka tersengal-sengal.
"'Worthington nanti pasti mencari kita," kata Pete dengan suram, Tapi mana mungkin bisa ketemu! Lalu ia minta pertolongan polisi dan pramuka, Mereka lantas sibuk, ikut mencari. Tapi takkan mungkin ada yang bisa mendengar kita berteriak-teriak di sini. Kalau akhirnya kita bisa juga akhirnya ditemukan, jangan-jangan baru minggu depan. Dan itu pun kita sudah - He! Apa yang kaulakukan di situ""
Dilihatnya Jupiter berlutut sambil menatap ke arah sebelah belakang celah. Senternya disorotkan ke situ untuk menerangi.
"Aku melihat abu bekas api unggun di bawah debu," katanya. "Kelihatannya pernah ada pengembara berlindung di sini."
Jupiter meraihkan tangannya ke depan. Ia menepis-nepiskan debu sebentar, lalu menarik sebatang dahan yang panjangnya kira-kira semeter, sedang besarnya lima senti. Salah satu ujungnya nampak diruncingkan. Dahan itu sebagian hangus menjadi arang, sedang ujungnya yang runcing patah.
"Dan ini," katanya, "ini dahan yang dipakainya untuk memanggang makanannya di atas api. Kita bernasib baik, menemukan dahan ini.
Pete memperhatikan dahan itu dengan perasaan sangsi, Kelihatannya sudah tua dan rapuh,
Masa kuat untuk mencongkel batu," katanya. Itu jika kau bermaksud begitu!"
"Tidak," kata Jupiter singkat.
Jupiter kalau punya niat, biasanya tidak suka repot-repot menjelaskannya lebih dulu. Ia lebih senang melihat bagaimana niatnya itu terlaksana dulu. Jadi Pete tidak bertanya-tanya lagi, sementara temannya yang gempal itu mengambil pisau saku buatan Swiss yang bermata delapan, yang tergantung di ikat pinggangnya.
"Dengan pisau itu diruncingkannya kembali bagian dahan yang hangus. Setelah runcing, ia lantas menghampiri dinding batu dan tanah yang menyebabkan mereka terkurung dalam celah. Mula-mula diteranginya seluruh permukaan dinding itu dengan cahaya senter. Dipilihnya suatu tempat di dekat pojok, lalu ditusukkannya ujung dahan ke tanah yang menyumpal di situ. Dengan segera tusukannya menemui rintangan, Dahan dicabut lagi, lalu ditusukkan beberapa senti lebih jauh.
Jupiter mendorong dahan sambil memutarnya dengan pelan, mencari-cari celah di antara batu-batu yang menyumbat. Setelah semenit dua begitu, dahan bisa ditusukkan maju dengan gampang, Jupiter menarik dahan itu kembali ke dalam. Tanah berguguran sedikit. Kini nampak cahaya terang dari luar, masuk lewat lubang yang dibuat Jupiter.
Remaja itu kembali menusuk-nusuk dinding tanah dan batu longsor itu. Berulang kali ia menjumpai rintangan, Tapi ia tidak putus
asa. Beberapa waktu kemudian sudah cukup banyak tanah yang terdorong, sehingga nampak batu kecil berbentuk agak lonjong di sebelah teratas tembok.
"Sekarang," kata Jupiter dengan nada puas, "jika kau mendorong sisi kiri bawah batu itu agak ke arah kanan, kurasa rencanaku bisa berhasil. Tapi hati-hati, dorong agak ke kanan - jangan lurus ke depan.
"Pete berdiri di atas sebongkah batu yang terletak di tanah, lalu mendorong seperti disuruh Jupiter. Mula-mula tidak bisa. Tapi tahu-tahu batu yang didorongnya bergerak, lalu terjatuh ke luar. Langsung berguling-guling di lereng, menyeret batu-batu lain. Dan di depan kedua remaja itu nampak lubang yang besarnya sekitar setengah meter, di ujung atas tembok batu longsor itu,
"Kau memang jenius, Jupe!" seru Pete dengan gembira,
"Aduh - jangan bilang aku jenius," kata Jupiter sambil mengernyit. "Aku cuma berusaha memanfaatkan kecerdasanku dengan sebaik-baiknya."
"Ya deh," kata Pete, "Tapi kau berhasil mengeluarkan kita dari sini - nanti, kalau kita sudah berhasil merangkak lewat lubang yang di atas itu."
Tapi ketika akhirnya mereka berhasil dan sudah berdiri di luar sambil membersihkan tanah dan debu yang melekat pada pakaian, Pete mulai bingung lagi.
"Aduh - coba lihat kotornya diri kita!" katanya cemas,
"Kita bisa mencuci badan dan membersihkan pakaian sebisa-bisa kita di pompa bensin," kata Jupiter. "Setelah itu kita melanjutkan perjalanan ke tempat tinggal Mr. Rex,"
"Kita masih mau ke Mr. Rex"" tanya Pete, sementara Jupiter sudah mendului berjalan menuruni lereng yang semakin banyak diliputi batu berhamburan. Mereka kembali ke tempat Rolls-Royce tadi diparkir.
"Ya," kata Jupiter pada Pete, "sekarang sudah terlalu sore, tidak bisa lagi memeriksa Terror Castle dalam keadaan terang, Tapi kita masih sempat mendatangi Mr. Rex."
Worthington berseru lega, ketika melihat kedua remaja itu muncul. Sebelumnya ia mondar-mandir terus dengan gelisah di samping mobil.
"Master Jones!" katanya. "Saya sudah mulai cemas, Anda mengalami kecelakaan"" sambungnya, begitu melihat keadaan Jupiter dan Pete.
"Cuma kecelakaan kecil saja," kata Jupiter.
"Anda sekitar empat puluh menit yang lalu melihat dua orang pemuda keluar dari Black Canyon, atau tidak""
"Waktunya agak lama sedikit dari itu," jawab Worthington, sementara mereka masuk ke mobil.
"Dua orang pemuda berlari-lari ke arah sini, tapi dengan segera melesat ke samping begitu melihat saya. Mereka menyusup masuk ke semak di sebelah sana, Rupanya mereka menyembunyikan mobil di situ, karena sesaat kemudian sebuah mobil sport biru nampak meluncur pergi."
Pete dan Jupiter saling berpandangan sejenak. Kedua-duanya mengangguk, mobil Skinny Norris berwarna biru.
"Kemudian saya mendengar bunyi batu longsor," kata Worthington meneruskan laporannya, "Ketika Anda berdua tidak muncul-muncul setelah itu, saya lantas mulai khawatir. Soalnya diinstruksikan tidak boleh meninggalkan mobil ini tanpa penjaga - tapi jika Anda tadi belum muncul juga, saya sudah bermaksud mencari."
"Jadi bunyi batu-batu longsor Anda dengar setelah kedua pemuda itu pergi dari sini"" tanya Jupiter.
"Ya, jelas sesudah itu," kata Worthington. "Ke mana kita sekarang, Sir""
"Ke Winding Valley Road, rumah nomor 915," kata Jupiter sambil lalu. Jelas remaja itu sedang sibuk dengan pikirannya sendiri. Dan Pete tahu apa yang sedang dipikirkannya. Jika Skinny Norris beserta temannya sudah pergi sebelum batu-batu tadi longsor, lalu siapa yang menyebabkannya"
Pete melirik Jupiter. Dilihatnya teman itu sedang menekan-nekan bibir bawah, tanda ia sedang berpikir.
"Rasanya misteri jejak roda yang satu lagi sudah terpecahkan," kata Jupiter, "rupanya itu jejak mobil Skinny.. Tapi kalau begitu, siapa yang kita lihat dalam ngarai, setelah Skinny serta temannya lari""
"Mungkin orang yang sebetulnya tidak ada," kata Pete. "Pokoknya bukan hantu, setan atau roh halus."
"Memang, yang kita lihat itu manusia," kata Jupiter sependapat. "Worthington, nanti kalau ada pompa bensin kita mampir sebentar, ya. Kami Ingin membersihkan badan, "
Setelah selesai mencuci badan dan membersihkan pakaian
di suatu pompa bensin, mobil meluncur lagi, Mereka menyusur jalan berkelok-kelok, mendaki punggung gunung, lalu menurun lagi ke lembah yang ada di belakangnya.
Mobil membelok ke kanan, dan setelah berjalan satu mil sampai di awal jalan yang bernama Winding Valley Road. Jalan itu pada bagian awalnya lebar dan bagus, di kiri kanannya diapit rumah-rumah yang kelihatan mahal. Tapi kemudian makin sempit dan berkelok-kelok, sementara arahnya kembali mendaki punggung gunung yang baru saja diseberangi. Di kiri kanan menjulang tebing terjal, pada beberapa bagian nyaris tegak lurus. Di sana sini ada bidang yang agak datar, hanya cukup untuk sebuah rumah kecil atau pondok,
Tapi Winding Valley Road masih belum berakhir. Jalan itu menanjak terus, makin lama semakin sempit. Dan berakhir di depan lereng terjal berbatu-batu. Di situ ada tempat memutar yang sempit.
Worthington menghentikan mobil. Kelihatannya ia agak bingung,
"Kita sudah sampai di ujung jalan," katanya, "Tapi saya tidak melihat tanda-tanda tempat ini didiami orang."
"Itu ada kotak surat!" seru Pete sambil menuding. "Dan ada tulisannya - Rex 915. Mestinya rumah itu letaknya di sekitar sini!"
Pete turun dari mobil, bersama Jupiter. Kotak surat yang dilihatnya, terpasang miring di samping semak yang tak terawat. Di belakang semak ada
jenjang batu mendaki sisi bukit, di sela semak dan pepohonan yang tidak begitu tinggi. Kedua remaja itu mulai mendaki meninggalkan mobil serta Worthington di bawah.
Mereka mengitari rumpun semak. Kemudian mereka melihat sebuah rumah bergaya Spanyol dengan atap genteng merah, dekat sekali ke sisi bukit. Di sisinya yang dekat ke dinding ngarai terdapat sejumlah kandang yang besar -besar, berisi burung parkit beratus-ratus,. Burung-burung itu beterbangan dari satu tempat bertengger ke tempat lain, sambil berteriak-teriak membisingkan telinga.
Pete dan Jupiter berhenti melangkah. Mereka memandang kandang yang penuh dengan burung itu. Tiba-tiba terdengar langkah orang di belakang mereka, Keduanya terkejut. lalu cepat-cepat berpaling.
Mereka menatap seorang laki-laki, yang saat itu datang menghampiri. Orang itu jangkung dan berkepala botak. Matanya tidak kelihatan di balik kaca mata hitam besar. Di lehernya nampak bekas luka memanjang, dari telinga memanjang ke bawah, hampir sampai di tulang dada.
Laki-laki itu membuka mulut. Terdengar suara parau, nyaris berbisik.
"Jangan bergerak! Berdiri di tempat!"
Kedua remaja itu tegak seperti terpaku. Sementara itu laki-laki tadi terus mendekat, sambil menggenggam parang, Benda tajam itu berkilat-kilat matanya, kena cahaya matahari.
Bab 9 ARWAH-ARWAH GENTAYANGAN
"Laki-laki jangkung botak itu datang bergegas, "Kalian jangan bergerak!" bisiknya. "Jangan bergerak, jika masih ingin hidup!"
Pete tidak perlu diperingatkan lagi, ia memang sudah tidak mampu berkutik. Parang berkelebat, mengiris udara antara dia dan Jupiter. Lalu menghunjam ke tanah dekat kaki mereka. Laki-laki yang melontarkannya berseru kecewa.
"Meleset!" Setelah itu ia melepaskan kaca mata hitamnya. Ia terkejap-kejap sesaat. Ternyata matanya bersinar ramah, Karenanya tampangnya juga tidak begitu menyeramkan, seperti semula.
"Tadi ada ular dalam rumput, di belakang kalian," katanya. "Di sini kadang-kadang berkeliaran ular berbisa. Aku mencoba mengenainya dengan lemparan parang tadi, tapi rupanya aku terlampau terburu-buru.
Laki-laki itu mengambil selembar sapu tangan berwarna merah putih, lalu menyeka kening.
"Aku tadi sedang membersihkan semak di atas bukit," katanya lagi. "Semak yang kering cepat sekali terbakar, jadi perlu disingkirkan. Tapi pekerjaan begitu sangat memeras keringat. Bagaimana - kalian mau minum limun bersamaku""
Sementara itu Pete dan Jupiter sudah mulai terbiasa mendengar suaranya yang berbisik-bisik Menurut dugaan mereka, penyebabnya pasti luka yang bekasnya nampak jelas di leher orang itu
Jonathan Rex berjalan mendului ke bungalonya. Dalam sebuah ruangan yang satu sisinya berdinding kawat nyamuk, nampak kursi-kursi santai serta sebuah meja. Di atas meja terletak kendi gelas berisi minuman dengan bongk
ah-bongkah es di atasnya. Kandang-kandang burung yang berisik bunyinya terdapat di balik kawat nyamuk.
"Aku hidup dari usaha mengembangbiakkan burung parkit," kata Mr. Rex, sementara ia menuangkan limun ke dalam gelas. Setelah menyuguhkan pada Pete dan Jupiter, ia pergi sebentar ke kamar sebelah.
Jupiter meneguk limunnya sambil termenung. "Bagaimana pendapatmu tentang Mr. Rex"' tanyanya setelah beberapa saat pada Pete.
"Kelihatannya ia ramah," jawab Pete "Maksudku, apabila sudah terbiasa mendengar suaranya. "
"Ya, ia memang sangat ramah. Cuma aku agak heran, apa sebabnya ia mengatakan baru saja merambah semak dengan parang" Padahal kelihatan jelas, tangan dan lengannya bersih. Kalau ia tadi benar-benar habis memotong semak kering, tentunya ada ranting-ranting kecil tersangkut ke tangannya
Tapi untuk apa ia repot -repot tidak mengatakan yang sebenarnya pada dua remaja yang baru sekali ini dilihatnya" Untuk apa ia bohong pada kita""
Jupiter menggeleng. Aku juga tidak mengerti sebabnya, Tapi jika ia tadi cukup lama sibuk merambah belukar, bagaimana mungkin di sini sudah tersedia kendi berisi limun, dan es di dalamnya boleh dibilang masih utuh""
"Aduh, kau ini!" tukas Pete, "Mungkin jawabannya gampang saja. Mungkin ia memang senang limun."
"Jawaban selalu gampang, apabila sudah diketahui. Hanya apabila belum diketahui, itu yang sulit!"
Jupiter langsung membungkam, karena saat itu Mr. Rex datang lagi. Ia sudah berganti baju, Kini memakai baju sport berkerah, sementara lehernya terlihat syal.
"Ada orang yang merasa kurang enak melihat bekas lukaku," bisiknya. "Karenanya aku biasa menutupinya dengan syal. kalau ada tamu. Luka ini tanda mata perlawatanku ke Indonesia, ketika aku masih muda. Aku terlibat dalam perkelahian di sana, Tapi ngomong-ngomong, ada perlu apa sebetulnya kalian kemari""
Jupiter menyodorkan kartu nama Trio Detektif. Jonathan Rex menerima kartu itu dan mengamat-amatinya sesaat.
""Trio Detektif. Hm," katanya. "Lalu kalian sedang menyelidiki apa sekarang""
Jupiter lantas menjelaskan bahwa kedatangan mereka untuk meminta keterangan tentang Stephen Terrill, Sementara itu Mr. Rex memakai lagi kaca mata hitamnya.
"Mataku tidak tahan kena cahaya terang, bisiknya. "Aku paling awas melihat kalau malam. Dalam hal apa perhatian kalian terhadap Stephen Terrill, sahabat lamaku itu""
"Kami ingin tahu," kata Jupiter, "apakah Mr. Terrill mungkin menjelma menjadi hantu jahat yang mengusir setiap orang yang berani memasuki rumah tempat ia tinggal semasa hidupnya, "
Di balik kaca mata hitam, mata laki-laki jangkung itu seakan-akan sedang meneliti kedua remaja itu dengan waspada.
"Pertanyaanmu itu bagus sekali," katanya kemudian, "Sebaiknya kujawab begini saja. Temanku Stephen, sebetulnya sangat pemalu dan berhati lembut - walau dalam film ia selalu memainkan peranan hantu dan monster, baja, laut dan macam-macam makhluk aneh. Karena wataknya yang pemalu itulah aku dikontraknya menjadi pengelola bisnisnya. Ia sendiri tidak sanggup menghadapi orang lain dalam hubungan dengan bisnis. Coba lihat saja foto ini."
Mr. Rex meraih ke belakang, mengambil sebuah foto besar yang dipajang di atas meja. Foto itu menampakkan dua orang laki-laki yang sedang berdiri di ambang pintu sambil bersalaman. Yang satu jelas Pembisik. Sedang yang satu lagi tidak begitu tinggi, dan kelihatannya lebih muda. Rupanya itulah foto asli dari foto dalam koran yang disertakan dalam berkas laporan Bob Andrews.
Foto itu dibubuhi tulisan: Untuk sahabat karibku, J.R., dari Steve.
Dari ini bisa kalian lihat, akulah yang menangani segala urusan bisnisnya," kata Mr. Rex. Aku bisa menghadapi orang-orang! Mereka segan berbantah dengan aku. Dengan begitu Steve bisa mencurahkan seluruh tenaga dan bakatnya untuk bermain film. Steve sangat serius mengenainya. Ia senang bisa mengasyikkan penonton dan menakut-nakuti mereka. Tapi ketika dalam filmnya yang terakhir para penonton terpingkal-pingkal mendengar suaranya yang melengking, ia patah semangat. Satu-satunya yang paling tidak disukainya, ialah ditertawakan orang. Kurasa kalian tentu bisa memahami
hal itu." Ya., Sir," kata Jupiter. "Saya bisa membayangkan perasaannya. Saya juga tidak senang ditertawakan."
"Ya, begitulah," kata Mr. Rex dengan suaranya yang berbisik-bisik. "Berminggu-minggu lamanya setelah film itu beredar, Steve tidak mau keluar rumah, Semua pelayannya diberhentikan olehnya. Aku yang selalu berbelanja untuknya. Laporan tidak henti-hentinya mengalir masuk, memberitakan bahwa penonton selalu terpingkal-pingkal, di mana saja filmnya dipertunjukkan, Aku mendesaknya agar melupakan saja kejadian itu. Tapi ia tetap saja murung.
"Akhirnya aku disuruhnya menarik semua copy film-film lamanya yang masih ada, Steve bertekad film-film itu tidak boleh dilihat siapa pun lagi. Aku berhasil mengumpulkan film-film itu, dengan biaya, tidak sedikit Dan semua film itu kubawa ke tempatnya. Kemudian aku terpaksa melaporkan padanya, bahwa bank yang membiayai pembangunan rumahnya sudah mengancam hendak menyita puri itu, Soalnya, waktu itu masih muda dan mengharapkan masih bisa lebih banyak membuat film lagi Karenanya ia boleh dibilang tidak punya uang tabungan.
"Saat itu hanya kami berdua saja yang ada di ruang utama puri, Aku ditatapnya dengan mata bernyala-nyala, 'Mereka takkan bisa mengusir aku dari sini,' katanya. Tak peduli apa yang terjadi dengan jasadku, tapi arwahku tetap akan ada di sini untuk selama-lamanya.
Suara berbisik-bisik itu terdiam. Kaca mata gelap menghadap ke arah Jupiter dan Pete, seperti tatapan mata makhluk asing. Pete bergidik.
"Hii," katanya seram. "Dari cerita Anda kedengarannya seperti ia sudah berniat hendak menjadi hantu!"
"Ya, betul," sambut Jupiter. "Tapi Mr. Rex - Anda tadi mengatakan Mr. Terrill lemah lembut wataknya. Orang seperti itu sulit bisa dibayangkan akan menjelma menjadi roh jahat, yang menimbulkan kengerian luar biasa dalam hati setiap orang yang memasuki puri itu.
"Kau benar, Nak," kata laki-laki botak itu. "Tapi makhluk-makhluk gaib yang menimbulkan kengerian orang-orang itu, mungkin bukan arwah kawanku. Barangkali saja yang menakut-nakuti itu hantu lain yang lebih menyeramkan. Keras sekali dugaanku, tempat itu kini dihuni hantu-hantu lain."
"Hantu-hantu lain - yang lebih jahat"" Pete meneguk ludah beberapa kali,
"Ya, betul," jawab Mr. Rex. "Sebetulnya, kemungkinannya ada dua! Kalian tentunya tahu, waktu itu mobil Stephen Terrill ditemukan hancur di kaki tebing karang""
"Pete dan Jupiter mengangguk.
"Dan kalian juga mendengar tentang pesan tertulis yang ditinggalkan dalam puri, dalam pesan di mana dikatakan bahwa tempat itu terkutuk untuk selama-lamanya""
Kedua remaja itu sekali lagi mengangguk, sementara mata mereka tertatap terus ke wajah Jo"nathan Rex.
"Polisi merasa pasti, kawanku itu membunuh diri dengan jalan menjatuhkan mobilnya ke kaki tebing," kata orang itu. "Dan kurasa dugaan mereka tepat. Tapi aku sendiri tidak pernah lagi melihat Steve sejak pembicaraan terakhir kami yang sudah kuceritakan tadi. Aku disuruhnya pergi setelah diminta berjanji tidak menginjak tempat itu lagi.
""Aku ingin tahu, apa yang dipikirkannya pada saat ia menulis surat itu. Ingat, semasa hidupnya ia kerjanya membuat orang takut. Lalu kemudian orang-orang menertawakan dirinya, Mungkin saja kan, ia bertekat setelah mati melanjutkan kerjanya menakut-nakuti, untuk menunjukkan bahwa dirinya tidak bisa seenaknya saja dijadikan bahan tertawaan""
"Anda tadi mengatakan, ada dua kemungkinan," kata Jupiter mengingat, ketika laki-laki berkepala botak itu kelihatannya termenung. "Anda juga bicara tentang hantu-hantu lain, yang lebih menyeramkan.
"O ya, betul," kata Mr. Rex. "Ketika Steve membangun purinya, dari segala penjuru dunia didatangkannya bahan-bahan yang berasal dari bangunan-bangunan yang kabarnya berhantu. Dari Jepang didatangkan balok-balok kayu dari sebuah kuil kuno yang penuh hantu, di mana pernah ada sekeluarga kaum bangsawan tumpas ketika terjadi gempa bumi.
"Ia juga memberi bahan bangunan dari puing-puing gedung tua di Inggris, di mana seorang gadis cantik mati menggantung diri karena tidak mau dinikahkan dengan laki-laki pilihan orang tuanya. Ia mengimpor batu yang be
rasal dari sebuah puri di tepi Sungai Rhein di Jerman, yang kabarnya berpenghuni hantu seorang pemain musik yang mati di situ setelah dikurung selama bertahun-tahun dalam sel bawah tanah di situ, Menurut riwayatnya, pemain musik itu dihukum bangsawan yang berkuasa di situ, karena memainkan musik yang tidak sesuai dengan seleranya. Setelah pemain musik itu meninggal, lagu yang menyebabkan kebinasaannya sering terdengar mengalun dari dalam kamar musik yang selalu terkunci."
"Aduh!" seru Pete. "Apabila segala arwah itu kini gentayangan dalam Terror Castle, tidak mengherankan jika tempat itu tidak bisa ditinggali lagi dengan aman."
"Itu mungkin benar, tapi mungkin juga tidak," kata Jonathan Rex dengan suaranya yang nyaris berbisik. "Yang kuketahui dengan pasti cuma bahwa bahkan kaum gelandangan dan pencuri pun tidak ada yang berani mendekati Terror Castle. Sekali sebulan aku datang ke sana lalu berdiri di depannya, untuk melihat keadaan satu-satunya peninggalan kawan karibku. Dan selama bertahun-tahun, belum pernah kulihat ada tanda-tanda orang pernah ke situ."
"Jupiter mengangguk. Keterangan Mr. Rex sesuai dlengan pengamatannya sendiri bersama Pete. Tapi ia tidak menyebutkan orang tak dikenal yang menggelindingkan batu sehingga nyaris mencelakakan mereka.
"Lalu bagaimana dengan kabar dalam koran-koran yang memberitakan tentang musik aneh yang kedengarannya seperti berasal alat orgel kepunyaan Mr. Terrill" Dan juga tentang Hantu Biru"" tanya Jupiter.
""Aku tidak bisa mengatakan apa-apa tentang itu Aku belum pernah melihat Hantu Biru. Yang kuketahui, sewaktu ia masih hidup Steve pernah mengatakan bahwa ia beberapa kali mendengar bunyi musik aneh dari orgel yang terdapat dalam ruangan proyeksi film, Sekali ia pernah mencoba untuk memeriksa. Ruangan itu dikunci dari luar. Semua peralatan listrik orgel itu dilepaskan. Tapi musik masih tetap saja terdengar. Namun langsung berhenti, begitu ia memasuki ruangan.
Pete meneguk ludah karena merasa ngeri. Mr Rex melepaskan kaca mata hitamnya, sementara matanya terkejap-kejap.
"Aku tidak bisa mengatakan dengan pasti Terror Castle dihantui arwah sahabatku, atau arwah orang lain," bisiknya, "tapi aku sendiri, biar diupah sepuluh ribu dollar pun, tetap tidak mau menginap di tempat itu semalam."
Bab 10 "TERPELESET ""Jupiter!" suara Mathilda Jones berkumandang lantang pada hari yang cerah itu. Tumpukkan batang-batang besi itu ke pagar. Peter! Kau membantu Jupiter mengangkut batang-batang Itu, Dan kau, Bob - semua sudah kaucatat""
Suasana di Jones Salvage Yard hari itu sibuk sekali. Bob Andrews duduk di atas bak mandi yang ditelungkupkan. Sambil mencatat jumlah bermacam-macam barang, ia berpikir apakah mereka sempat menyelinap pergi sebentar ke Markas Besar, untuk mengadakan pertemuan. Sudah dua hari berlalu sejak Pete dan Jupiter mengunjungi Pembisik. Tapi sejak itu mereka belum sempat mengadakan pertemuan. Mrs. Jones tidak henti-hentinya menyuruh mereka bekerja. Dan kalau tidak, Bob masih ada tugas pula di perpustakaan, sedang Pete ada kesibukannya sendiri di rumah.
Mr. Jones baru saja habis memborong barang-barang. Karenanya banyak sekali barang dagangan baru mengalir ke tempat penimbunannya. Melihat gejala-gejalanya, mungkin baru seminggu lagi ketiga remaja itu agak luang sedikit waktu mereka sehingga sempat membicarakan hal-hal misterius yang sedang mereka hadapi.
Menjelang tengah hari terjadi selingan, Mrs. Jones menoleh, ketika untuk kesekian kalinya truk besar perusahaannya masuk lewat gerbang besar. Titus Jones, paman Jupiter duduk di atas sebuah kursi kayu berukir indah. Laki-laki kecil berhidung besar dan berkumis melintang itu duduk seperti bertakhta di atas tumpukan barang yang baru dibeli. Mr. Jones kalau pergi berbelanja barang bekas, apa saja yang menarik perhatiannya selalu langsung dibeli. Istrinya terpekik truk itu berhenti di dekatnya.
"Masya Allah!" teriaknya. Titus Andronicus Jones! Apa lagi yang kaubeli kali ini" Lama-lama kita bisa bangkrut, kalau begini terus!"
Mr. Jones melambai dengan pipanya ke arah mereka, sambil berpegang erat pada sejumlah t
abung logam besar yang menjulur berbentuk kipas, Tabung-tabung itu merupakan bagian dari suatu orgel, yang tingginya sekitar dua setengah meter.
"Aku membeli orgel, Mathilda," seru Mr. Jones. Walau tubuhnya kecil, suaranya berat sekali. "Aku hendak belajar main orgel. Ayo, Hans... Konrad! Alat musik antik yang berharga ini harus kita turunkan dengan hati-hati sekali, supaya jangan rusak."
Mr. Jones meloncat turun dengan gembira, disusul oleh Hans. Konrad menggeser orgel itu ke landasan lift yang terpasang di sebelah belakang truk. Ketika letaknya sudah beres, Hans menggerakkan kendali, dan dengan pelan landasan dengan muatannya turun ke tanah.
"Kau membeli orgel!" Mathilda Jones begitu tercengang, sampai lupa menyuruh Jupiter serta kedua sahabatnya bekerja terus. Wanita bertubuh besar itu menyumpah-nyumpah. "Mau apa kau dengan orgel""
Titus Jones menyedot pipanya, lalu mengepulkan asap tembakau,
"Mau apa" Belajar memainkannya, Sayang," katanya. "Aku dulu pernah menjadi pemain alat semacam itu di sirkus."
Dipimpin Mr. Jones, Hans dan Konrad menurunkan bagian-bagian selebihnya dari orgel itu. Kedua laki-laki itu orang Jerman yang berasal dari daerah Bayern. Keduanya bertubuh kekar dan langsing sekali, nyaris dua meter. Mereka sangat kuat. Apa saja bisa mereka angkat. Kecuali gunung, tentunya!
Mr. Jones memutuskan, orgel harus ditaruh di sisi pagar yang terdekat ke rumah. Hans dan Konrad sibuk mengangkut, sampai akhirnya semua bagian orgel sudah dipindahkan ke situ, tinggal dipasang saja lagi.
"Ini orgel asli, yang dibunyikan dengan jalan menghembuskan udara ke dalam pipa," kata Mr. Jones dengan bangga pada Jupiter serta kedua temannya. "Aku menemukannya dalam sebuah teater kecil yang akan digusur, di jalan menuju Los Angeles."
"Masya Allah," desah Mrs. Jones. "Untung saja tempat ini jauh dari tetangga."
"Kalau orgel yang benar-benar besar. kata Mr. Jones menyambung ceritanya, "bisa dipasang pipa yang ukurannya begitu rupa besarnya, sehingga bunyinya berat sekali, tidak bisa ditangkap lagi oleh telinga manusia."
"Kalau tidak bisa didengar, masa masih disebut bunyi, Paman"" tanya Jupiter.
"Masih ada yang bisa mendengarnya - mungkin gajah, karena mereka bertelinga besar," jawab Mr. Jones sambil terkekeh.
"Apa gunanya orgel yang bunyinya tidak bisa didengar"" tanya Pete, "Maksudku, mana ada orgel yang spesial dibangun untuk dinikmati gajah."
"Entahlah, Nak - aku juga tidak tahu," jawab Titus Jones, "'Kurasa ada saja gunanya bagi ilmu pengetahuan."
"Ya - misalnya saja ada peluit untuk anjing, yang bunyinya tidak bisa kita dengar, karena nadanya tinggi sekali," sela Bob.
"Ya, betul," kata Mr. Jones. "Mungkin sirkus bisa membuat peluit untuk gajah, dengan nada rendah - kebalikan dari nada tinggi untuk anjing."
"Subsonik," sela Jupiter, "Bunyi, atau tepatnya getaran bunyi yang sangat rendah disebut getaran subsonik. Sedang yang terlalu tinggi untuk telinga manusia, namanya getaran ultrasonik."
Perhatian mereka terpusat pada orgel, sehingga tidak ada yang melihat sebuah mobil sport berwarna biru memasuki pekarangan lalu berhenti "dengan mengejut di belakang mereka. Pengemudinya, seorang remaja bertubuh kurus jangkung dengan hidung seperti Petruk, menekan tuter. Bunyinya mengejutkan ketiga remaja yang sedang asyik dengan orgel. Ketiga-tiganya berpaling dengan cepat, disambut suara tertawa terbahak-bahak. Remaja kurus jangkung itu yang tertawa, ditimpali kedua temannya yang duduk di sampingnya.
Skinny Norris!" seru Pete, sementara remaja kurus jangkung itu menggeser tubuhnya ke samping, keluar dari mobil.
"Mau apa ia ke sini"" tanya Bob.
Skinny Norris beserta keluarganya hanya beberapa bulan saja dalam setahun tinggal di Rocky Beach. Tapi bagi Jupiter serta kedua temannya, waktu beberapa bulan itu pun sudah terlalu lama rasanya. Skinny merasa dirinya cerdas sekali. Ditambah keuntungan sudah bisa menyetir mobilnya sendiri, ia yang nama lengkapnya E, Skin"er Norris berusaha keras untuk menjadi kepala kaum remaja yang sebaya dengan dia. Tapi kaum remaja Rocky Beach, pada umumnya tidak peduli terhadapnya. Hanya beb
erapa anak tanggung saja yang karena terpikat keroyalannya serta pesta-pesta yang diadakan olehnya, lantas mau menjadi pengikutnya. Dan pengikut yang sedikit itu, bagi Skinny sudah CUKUP untuk merasa dirinya hebat.
Skinny Norris menghampiri Trio Detektif sambil tertawa-tawa geli, sementara kedua kawannya memperhatikan dari dalam mobil. Ia menjinjing sebuah kotak sepatu yang tertutup, Ketika sudah hampir sampai di tempat Jupiter berdiri, dengan cepat diambilnya alat pembesar yang besar dari kantongnya, lalu pura-pura memeriksa keadaan sekitarnya dengan alat itu. Sementara itu Paman Jones sudah pergi dengan bagian-bagian orgel, dibantu Hans dan Konrad,
Ah, yes. " Skinny menirukan gaya bicara orang Inggris, tapi sama sekali tidak kena. "Kurasa inilah tempatnya. Ciri khas barang rombengan yang hanya bisa ditemukan di tempat jual beli barang rombengan milik keluarga Jones."
Ucapan sok lucu itu disambut tertawa terkekeh-kekeh dari kedua remaja yang ada di mobil. Pete mengepalkan tinjunya.
"Kau mau apa kemari, Skinny"" tanyanya dengan geram. Tapi E. Skinner Norris berbuat seperti tidak mendengar. Dengan lensa pembesarnya ia pura-pura meneliti Jupiter. Setelah itu dikembalikannya ke kantong.
"Jelas, tidak salah lagi - Andalah Jupiter MacSherlock, detektif yang kenamaan itu,' katanya. Ia masih terus sok berlogat Inggris, walau kedengarannya payah. "Ini saat yang sangat menyenangkan bagiku. Aku datang dengan suatu kasus, yang membingungkan seluruh Scotland Yard. Pembunuhan keji terhadap korban yang tidak bersalah, Aku yakin, Anda pasti bisa menyingkapkan rahasia ini.
"Sambil berkata begitu, disodorkannya kotak sepatu tertutup pada Jupiter. Tanpa membukanya pun, ia serta kedua temannya sudah bisa menebak isinya. Penciuman mereka yang memberitahukan. Tapi walau begitu Jupiter masih juga membuka kotak itu dan melihat isinya, sementara Skinny Norris memperhatikan dengan cengiran lebar.
Dalam kotak itu tergeletak bangkai seekor tikus putih yang besar. Dari baunya bisa diketahui bahwa binatang itu sudah lama mati,
"Anda merasa bisa berhasil mengusut kejahatan keji ini, MacSherlock"" tanya E, Skinner Norris. "Aku menyediakan hadiah besar bagi barang siapa yang berhasil membekuk pelakunya. Lima puluh kupon toko serba ada!"
Teman-temannya yang di mobil tertawa terkekeh-kekeh mendengarnya. Rupanya mereka menganggap ucapan itu lucu. Tapi air muka Jupiter Jones sedikit pun tidak kelihatan berubah. Ia hanya mengangguk dengan pelan, dengan sikap berwibawa.
"Aku bisa mengerti bahwa kau ingin menuntut keadilan, Skinny," katanya, "karena kulihat korban ini salah satu teman karibmu.
Begitu kalimat itu terdengar, kedua remaja yang ada . dalam mobil langsung berhenti tertawa. Sedang anak jangkung kurus yang tadi meringis, kini merah padam mukanya.
"Menurut pengamatanku secara sambil lalu," kata Jupiter melanjutkan, "kurasa sahabatmu ini mati karena sakit perut. Mungkin karena terus-menerus terpaksa menelan omongan besar seseorang yang identitasnya untuk sementari masih tersembunyi di belakang huruf-huruf E.S.N."
"Kau mau kocak, ya"" tukas Skinny Norris.
Sayangnya remaja itu selalu lenyap kemampuannya bersilat lidah, justru pada saat yang paling diperlukan.
"Aku lantas teringat, ada sesuatu padaku yang harus kuserahkan padamu," kata Jupiter. Kotak sepatu berisi tikus mati digeletakkannya di atas tumpukan besi itu, lalu ia bergegas ke kantor perusahaan yang letaknya hanya beberapa langkah dari situ. Ia kembali ia membawa senter yang dipungutnya di Black Canyon.
"Di sini terukir huruf-huruf E.S.N.," katanya. "Mungkin singkatan E. Skinner Norris""
"Atau mungkin pula singkatan, Ee, Skinny Ngabur," sambung Pete sambil nyengir. "Kau sempat latihan lari belakangan ini, Skinny""
"Kemarikan senter itu!" tukas Skinny, sambil menyambarnya dari tangan Jupiter, lalu berbalik kembali ke mobilnya.
"Detektif!" ejeknya kemudian, "Uahh, detektif konyol. Anak-anak pasti tertawa setengah mati membayangkan kalian sebagai penyelidik."
Ia mengundurkan mobilnya dengan kasar. Kendaraan itu melesat ke luar lewat gerbang besar, diperhatikan oleh Jupiter,
Pete dan Bob. "Sudah kusangka dialah yang mengambil kartu itu di perpustakaan," kata Bob. "Kenyataannya, ia tahu bahwa kita mendirikan biro Trio Detektif."
Memang kita menginginkan semua orang tahu, kata Jupiter. Sekarang kita harus semakin berusaha agar jangan gagal dalam menangani kasus pertama ini."
Ia memandang berkeliling, Dilihatnya pamannya sedang sibuk memasang orgel dekat pagar, dibantu oleh Hans dan Konrad. Sedang bibinya sudah masuk ke rumah, menyiapkan makanan siang,
"Saat ini tidak ada yang memperhatikan kita," katanya. "Jika kita bergegas sedikit, kita sempat mengadakan rapat sebentar sebelum disuruh makan siang."
Ia mendului berjalan menuju ke Terowongan Dua.
Dan tepat pada saat itu terjadi kesialan. Tanpa disengaja, Jupiter menginjak sebatang pipa yang langsung tergulir ke samping. Jupiter terpeleset dan. terbanting keras ke tanah. Pete dan Bob melihat teman mereka itu menggeretakkan geraham karena kesakitan, ketika mencoba bangkit.
"Pergelangan kakiku terkilir," katanya. Ditariknya kaki celananya ke atas untuk memeriksa. Ternyata pergelangan kakinya nampak mulai bengkak.
"Kurasa aku perlu ke dokter," katanya kesal.
Bab 11 PERINGATAN WANITA PENGEMBARA
"Dua hari berlalu sejak Jupiter mengalami kecelakaan. Waktu itu ia cepat-cepat diantarkan Paman Titus ke rumah sakit, di mana sehari penuh Jupiter sibuk diperiksa pergelangan kakinya. Setelah ternyata tidak patah, kakinya lantas direndam dalam semacam larutan. Ia diperbolehkan pulang. Menurut Dokter Alvarez yang memeriksa, sebentar lagi Jupiter sudah boleh berjalan lagi, walau untuk sementara masih pincang. Dokter itu malah menyarankan agar ia dengan segera mencoba berjalan,
Tapi untuk sementara Jupiter masih terkapar di tempat,tidur, dengan kaki terbalut.
Sedang sementara itu ada kemungkinan Mr. Hitchcock sudah berhasil menemukan rumah berhantu yang diperlukan untuk lokasi pembuatan filmnya. Kelihatannya Trio Detektif akan terhenti usahanya, sebelum sempat benar-benar memulainya,
Pete dan Bob duduk di sisi tempat tidur Jupiter. Keduanya merasa agak lesu.
"Sakit, ya"" tanya Pete, ketika dilihatnya muka Jupiter mengernyit sewaktu bergeser sedikit di tempat tidur,
" Ini salahku sendiri, kenapa tidak hati-hati," katanya, "Tapi kita lanjutkan saja rapat yang tidak jadi di waktu itu. Pembahasan pertama mengenai suara misterius yang menelepon, segera setelah kita pergi ke Terror Castle. Kata Worthington, ia merasa malam itu ada yang membuntuti kita. Besar kemungkinannya, orang itu Skinny Norris.
Memang," kata Bob. "Ia tahu, kita tertarik pada tempat itu."
"Tapi Skinny mana mungkin bisa mengubah suaranya, sehingga kedengarannya kayak begitu," bantah Pete. "Berat, seperti suara dari dalam kubur! Padahal Skinny suaranya kan lebih mirip suara kuda meringkik."
"Memang benar - tapi cuma itu satu-satunya kemungkinan yang bisa kubayangkan," kata Jupiter. Ia mengernyit kesakitan, sementara memindahkan letak kaki. "Sampai ada bukti-bukti nyata, aku tidak mau percaya bahwa makhluk halus bisa menelepon."
"Ya, baiklah," kata Bob, "Lalu seterusnya, bagaimana" Siapa orang misterius yang menyebabkan batu-batu longsor"'


Trio Detektif 01 Misteri Puri Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ya, siapa"" tukas Pete, "Aku kepingin sekali bisa membekuk leher orang itu!"
"Untuk sementara, kuanggap saja persoalan itu tidak ada," kata Jupiter. "Kita sekarang tahu pasti, dia bukan Skinny Norris, Mungkin saja orang itu sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan urusan kita. Mungkin cuma seseorang yang sedang berjalan-jalan di tepi ngarai, dan ia menyebabkan batu longsor itu secara tidak sengaja."
"Kalau tidak sengaja, bidikannya hebat sekali," gumam Pete tidak percaya.
"Untuk sementara ia harus tetap misterius, sampai sudah ada fakta-fakta lebih jauh mengenai dirinya. Saat ini aku lebih tertarik pada hal-hal tidak benar yang dikatakan Mr. Rex pada kami, ketika aku bersama Pete datang ke tempatnya. Kenapa ia mengatakan habis merambah semak kering, padahal kelihatannya jelas bahwa hal itu tidak benar" Dan apa sebabnya sudah tersedia kendi berisi limun dingin di rumahnya, seakan-akan ia sudah menyangka kita akan datang""
Kedua pertanyaan itu menyibukkan mereka, tanpa ditemukan jawabannya. Jupiter menggaruk-garuk kepala.
"Aduh, semakin dalam kita mengusut perkara ini, semakin banyak misteri yang muncul," katanya.
Saat itu Bibi Mathilda masuk bergegas-gegas, "Hampir saja aku lupa memberi tahu kalian," katanya, "kemarin pagi ada kejadian aneh, sebelum kau kembali dari rumah sakit, Jupiter! Tapi saat itu begitu repot, sampai aku lupa lagi."
"Kejadian aneh" Apa, Bibi"" tanya Jupiter.
Kedua temannya ikut tertarik.
"Ada seorang wanita tua datang, kelihatannya dia dari kaum pengembara. Tapi aku tak tahu, perlu atau tidak kukatakan pada kalian."
"Kini perhatian Trio Detektif benar-benar tergugah,
"Aku ingin sekali tahu, Bibi Mathilda.
Ah, sebetulnya apa yang dikatakan toh omong kosong belaka. Pokoknya, saat itu datang seorang wanita tua berpakaian seperti kaum pengembara. Ia mengetuk pintu, lalu dalam logat mereka yang aneh mengatakan bahwa ia mendapat firasat bahwa kau mengalami kecelakaan, Jupiter. Karena itu ia datang untuk menyampaikan peringatan."
Peringatan - dari seorang wanita pengembara! Ketiga remaja itu saling melirik.
"Pokoknya," sambung Mrs. Jones, "akhirnya aku mengerti bahwa ketika ia sedang membaca nasib lewat kartu, tiga kali berturut-turut datang pesan untuk memperingatkan dirimu. Kau disuruhnya menghindarkan diri dari huruf-huruf T.C., atau orang-orang yang singkatan namanya begitu, Kata wanita itu, kecelakaan yang kaualami disebabkan oleh T.C., dan T.C. akan terus membawa bencana bagi dirimu jika kau tidak menghindarinya. Aku cuma tertawa saja. Kukatakan pada wanita tua itu, ia benar. Kukatakan, T.C. itu singkatan dari Terlalu Ceroboh. Setelah itu ia pergi lagi. Kasihan - orangnya sudah tua sekali dan serampangan, sampai timbul dugaanku ia tidak begitu beres otaknya."
Setelah itu Mrs. Jones pergi lagi, meninggalkan ketiga remaja itu saling berpandangan.
"T.C.," kata Bob dengan suara serak, "singkatan dari Terror Castle."
""Mungkin wanita itu sengaja disewa Skinny Norris untuk menakut-nakuti kita," kata Jupiter, dengan muka agak pucat "Cuma kurasa akal si ceking itu tidak begitu panjang, Membawa tikus mati kemari - itu sudah merupakan keisengannya yang paling hebat."
"Ada orang -" kata Pete, "keliru, ada sesuatu yang tidak suka kita datang ke Terror Castle. Mula-mula kita mendapat peringatan lewat telepon. Lalu sesuatu itu memakai perantaraan kartu-kartu ramalan wanita pengembara itu, untuk menyampaikan peringatan lagi pada kita. Kurasa sesuatu itu tidak main-main! Karenanya aku menyarankan kita sekarang mengadakan pemungutan suara, apakah kita menjauhi Terror Castle atau tidak. Siapa setuju, bilang ya!"
Ya," kata Bob Andrews.
"Ya," kata Pete. "Jadi mayoritas mengatakan setuju!"
Jupiter menatap kedua temannya.
"Jadi kalian mau saja ditertawakan Skinny Norris"" katanya. "Sekarang pun ia sudah menganggap kita gagal menjadi detektif, Dan ia sudah menunggu-nunggu kesempatan untuk menyebarluaskan kegagalan kita. Karena itu kita terus bertindak cepat, menduluinya. Kecuali itu," tambahnya, "kan jelas bahwa kedua peringatan itu menambah misteri kasus yang sedang kita hadapi""
"Apa maksudmu"" tanya Pete.
"Orang-orang lain yang juga mengusut rahasia Terror Castle, tidak seorang pun mendapat peringatan. Baru kita yang diperingatkan agar menghindari tempat itu. Ini menyebabkan timbul dugaanku bahwa tanpa kita sadari, kita saat ini sudah hampir berhasil menyibakkan misteri kengerian aneh yang menyelubungi Puri Setan."
"Katakanlah kau benar - apa gunanya bagi kita"" kata Pete, "Kau terkapar di tempat tidur! Kita tidak bisa berbuat apa-apa, selama kakimu masih sakit."
"Itu tidak seluruhnya benar,'" bantah Jupiter. "Kemarin malam, karena tidak bisa tidur menahan sakit, aku lantas mengatur rencana lain. Kalian berdua harus meneruskan kegiatan kita memeriksa Terror Castle, sementara aku di sini memikirkan misteri-misteri selebihnya""
"Aku kausuruh memeriksa Terror Castle" Puri Setan itu"" teriak Bob kaget. "Membaca kasusnya aja aku sudah setengah mati ketakutan!"
"Menurut dugaanku, takkan banyak yang bisa kaujumpai di tempat
itu," kata Jupiter, Tapi mudah-mudahan kalian juga akan mengalami perasaan gelisah tak menentu, yang lambat laun melarut menjadi kengerian yang luar biasa. Lalu kalau perasaan itu telah kalian rasakan, aku ingin agar kalian menguji sampai sejauh mana kalian merasakannya."
"Sejauh mana" kata Pete terpekik. "Waktu itu aku merasakannya dari ubun-ubun sampai ke ujung kaki, Dari dalam ke luar, dan dari luar ke dalam. Pokoknya, seluruh tubuhku merasakannya. Kau ini bagaimana - kausangka sementara tangan kananku merasa ngeri, tangan kiriku bisa tenang-tenang saja""
"Bukan begitu maksudku," kata Jupiter menjelaskan, "Maksudku tadi, sampai seberapa jauh dari Terror Castle rasa ngeri itu masih kalian rasakan. Itulah yang ingin kuketahui.
"Waktu itu, sekitar lima belas mil, sampai aku sudah berbaring di tempat tidur," kata Pete.
"Sekali ini apabila mulai terasa kengerian, rasa takut seperti akan terjadi bencana, kuinginkan kalian pergi dengan tenang, Sekali-kali berhenti, untuk merasakan apakah rasa ngeri itu berkurang atau tidak"
"Ah, begitu - kau menginginkan agar kami pergi dengan tenang. Sudah ketakutan setengah mati, tapi pergi dengan tenang. Enak saja kau ngomong!" Pete tertawa hambar.
"Mungkin juga kalian sama sekali tidak merasakan apa-apa," sambung Jupiter, "karena kalian besok harus pergi siang hari. Kalian harus memeriksa tempat itu sementara hari masih terang, Kalau kalian mau, kalian juga bisa berdiri dekat pintu pada saat senja, untuk memeriksa apakah kalian juga merasakan kengerian itu di situ."
"Dia ini memang baik hati," kata Pete pada Bob, "Kita cuma dimintanya berdiri di dalam, dekat pintu.
Bob Andrews mendesah lega.
"Aku tidak bisa ikut, karena besok sehari penuh sibuk terus di perpustakaan," katanya, "Dan lusa juga!"
"Ngomong-ngomong, aku baru ingat sekarang - aku pun besok sibuk sekali," kata Pete. "Apa boleh buat, tugas itu tidak bisa kita laksanakan.
Jupiter mencubiti bibir bawahnya, pertanda otaknya sedang bekerja keras. Kemudian ia mengangguk
"Kalau begitu, rencana perlu kita ubah," katanya.
"Itulah yang selama ini ingin kami tegaskan padamu," tukas Pete.
"Sekarang kan masih siang, Masih ada waktu beberapa jam lagi sebelum gelap," katanya. "Kalian cepat-cepat saja makan malam, lalu pergi ke Terror Castle. Hari ini juga " karena kata kalian sendiri, besok dan lusa tidak sempat.
Kedua temannya hanya bisa melongo.
"Bab 12 HANTU BIRU "Pete mengumpat-umpat.
"Sialan!" katanya, "Kenapa kalau kita berdebat, selalu Jupiter terus yang akhirnya menang""
"Sekali ini memang dia yang menang," kata Bob sependapat. Terror Castle tegak di depan mereka, kelihatannya seperti bertengger di tebing ngarai, Menara-menaranya, jendela-jendela yang sudah pecah kacanya, begitu pula tanaman menjalar yang menyelubungi, semua nampak jelas diterangi sinar matahari sore.
"Bob agak bergidik. "Kurasa sekarang saja kita masuk," katanya, Tinggal dua jam lagi, matahari terbenam, Nanti tahu-tahu sudah gelap."
Pete menoleh ke belakang, ke arah jalanan yang penuh dengan batu-batu bertaburan. Worthington menunggu dalam mobil, di balik tikungan. Tadi ia membantu Bob melewati tempat-tempat yang paling parah keadaannya. Setelah itu ia harus kembali menjaga mobil, menaati instruksi majikannya.
"Bagaimana - apakah rasanya Skinny Norris membuntuti kita lagi kali ini"" tanya Pete,
""Tidak, aku dari tadi menengok terus ke belakang," kata Bob, "Lagipula, Jupe merasa yakin bahwa mulai sekarang Skinny pasti tidak berani datang lagi ke Puri Setan ini."
"Tapi kita - kita disuruh membuktikan lebih tabah daripada Skinny," kata Pete sambil menarik napas panjang.
Bob berbekal kamera, sedang tape recorder disandang oleh Pete. Kedua remaja itu membawa senter, yang digantungkan pada ikat pinggang masing-masing, Keduanya melangkah serempak, menaiki jenjang yang menuju ke pintu depan yang besar. Ternyata pintu itu tertutup.
"Aneh," kata Pete dengan kening berkerut. "Aku yakin Skinny tidak menutup pintu, ketika kami melihat dia lari tunggang-langgang keluar waktu itu."
"Mungkin tertutup karena angin," kata Bob.
Pete memutar tomb ol pintu. Dan pintu terbuka, diiringi bunyi berderit menyeramkan. Kedua remaja itu agak kaget karenanya.
"Itu kan cuma bunyi engsel yang sudah karatan," kata Bob. "Tidak perlu kita gugup karenanya. "
"Siapa bilang aku gugup"" kata Pete. "Aku cuma takut!"
Mereka masuk ke serambi besar, sementara pintu depan dibiarkan terbuka, Di satu sisi serambi itu terdapat sebuah ruangan luas, penuh dengan barang-barang kuno. Kursi serta meja besar dari kayu penuh ukiran, serta pediangan yang besar sekali. Jupiter menugaskan untuk memeriksa tempat itu, serta membuat foto di situ, Bob tidak melihat keistimewaan ruangan itu. Walau demikian dibuatnya juga beberapa foto dengan memakai lampu blitz.
"Kemudian mereka menuju ke serambi bundar, di mana Jupiter dan Pete mendengar gema. Tempat itu rasanya aneh dan suram, terisi pakaian zirah serta lukisan-lukisan Mr. Terrill dengan berbagai jenis kostum yang dipakainya dalam film-filmnya. Tapi kesuraman tempat itu agak dikurangi cahaya matahari yang masuk lewat jendela berdebu yang terdapat dekat tangga menuju ke atas, kira-kira pada pertengahannya.
"Kita pura-pura saja tempat ini museum," kata Bob pada Pete. "Kau kan tahu, bagaimana rasanya apabila sedang berada dalam museum. Suram, tapi sama sekali tidak menakutkan."
"Betul," kata Pete. Tempat ini rasanya memang mirip museum! Berdebu, kuno dan mati."
"Mati-mati-mati-mati!"
Kata Pete yang terakhir menggema dari segala arah.
"Aduh - gema!" kata Bob.
"Gema-gema-gema-gema!" berulang-ulang kata itu terpantul pada dinding.
Pete menarik temannya agak ke pinggir.
"Kita ke sini," katanya. "Gema itu hanya kedengaran kalau kita berdiri di tempat tadi itu saja."
"Bob biasanya senang mendengar gema. Ia paling senang meneriakkan kata, "halo", lalu mendengarkan gemanya sayup sampai. Tapi dalam Ruang Gema, ia sama sekali tidak ingin mencobanya.
"Kita periksa saja lukisan-lukisan sekarang," katanya. "Yang mana yang katamu menatap dengan mata yang nampaknya hidup"'"
"Itu - di sebelah sana." Pete menuding ke seberang ruangan, menunjuk lukisan bajak laut bermata satu. "Sesaat mata itu nampak hidup, lalu detik berikutnya merupakan lukisan belaka."
"Itu sesuatu yang bisa kita periksa," kata Bob. Coba berdiri di alas kursi. mungkin kau bisa meraihnya.
Pete mendorong sebuah kursi ke bawah lukisan itu, lalu berdiri di atasnya. Tapi walau dengan berjingkat sekalipun, ternyata ia tidak bisa meraihnya.
"Di atas ada semacam balkon," katanya. "Lukisan-lukisan ini digantungkan dari sana, dengan kawat panjang. Mungkin jika kita naik ke sana, nanti lukisan ini bisa kita tarik ke atas."
Sementara Pete turun dari kursi. Bob berpaling hendak menuju ke tangga. Tepat saat itu dirasakannya ada yang memegang tali penggantung kamera yang tersandang di bahunya. Sekilas dilihatnya sesosok tubuh tinggi berdiri dalam relung gelap yang ada di belakangnya. Bob terpekik karena kaget dan ngeri, lalu bergegas hendak lari ke pintu.
"Tapi larinya tidak jauh. Tali kamera yang terpegang menyebabkan geraknya tertahan. Bob kehilangan keseimbangannya, lalu jatuh ke lantai yang berubin batu pualam. Sementara jatuh, ia masih sempat melihat sesosok tubuh yang kekar bergerak, seperti hendak menyambar ke arahnya. Sosok itu berbaju zirah, dan mengayunkan pedang besar tepat ke arah kepalanya.
Sekali lagi Bob menjerit, sambil cepat-cepat menggeser tubuh ke samping. Pedang panjang itu mengenai lantai disertai bunyi berdentang, tepat di mana Bob tadi terkapar. Dan sosok tubuh berbaju zirah menyusul, ambruk ke lantai diiringi bunyi berisik Kedengarannya seperti tong yang penuh berisi kaleng jatuh ke dalam jurang.
Sementara itu tali kamera sudah terlepas dari bahu Bob. Karenanya Bob tergelincir terus ke lantai yang licin, sampai akhirnya terhenti karena membentur dinding. Ia cepat-cepat berpaling. Menurut perkiraannya, orang berbaju zirah itu pasti mengejarnya. Tapi apa yang dilihatnya saat itu jauh lebih menyeramkan lagi.
Kepala orang yang berbaju zirah, jadi ketopongnya, copot dari leher, dan terguling-guling di lantai. Nyaris saja Bob terpekik untuk ketiga kalinya. Tapi ia sempat mem
andang lebih jelas. Dengan segera dilihatnya, baju zirah itu ternyata kosong. Tidak ada siapa-siapa di dalamnya. Dan topi ketopong itu terlepas ketika terbanting ke lantai, lalu terguling-guling ke arahnya.
"Bob berdiri sambil mengibas-ngibaskan debu dari bajunya. Kameranya tergeletak di samping baju zirah, dan talinya masih tetap tersangkut ke situ. Itulah rupanya yang terasa seperti menariknya tadi, ketika Bob bergerak mundur dan agak masuk ke relung.
Bob memungut kamera lalu memotret Pete yang sedang tertawa terpingkal-pingkal.
"Sekarang aku sudah membuat foto Hantu Tertawa dari Puri Setan," katanya. "Mudah-mudahan Jupiter senang melihatnya."
"Sorry, Bob," Pete menyeka air matanya yang mengalir karena terlalu banyak tertawa. "Tapi kau tadi lucu sekali. menyeret-nyeret baju zirah karatan itu sambil berteriak-teriak!"
Bob memperhatikan baju zirah yang tergeletak di lantai. Pakaian perang jaman kuno itu tadinya tegak di atas semacam panggung kecil yang terdapat dalam relung. Dan kini tentunya berantakan di lantai, Baju zirah itu memang agak berkarat, tapi selebihnya masih dalam keadaan lumayan. Bob memotretnya. Setelah itu dipotretnya pula lukisan bajak laut bermata satu yang terpanjang di dinding, serta lukisan-lukisan lainnya.
"Kalau kau sudah selesai tertawa." katanya pada Pete, "ini ada pintu yang tidak kita lihat tadi, Dan ini ada tulisan -" Bob memicingkan mata, supaya bisa membaca tulisan yang terukir pada pelat kuningan yang terpasang pada daun pintu itu, "Ruang proyeksi."
"Pete datang menghampiri.
"Menurut cerita ayahku, jaman dulu bintang-bintang film yang top, semuanya punya ruang proyeksi sendiri di rumah mereka. Di situlah mereka mempertunjukkan film mereka yang terbaru pada para sahabat. Yuk, kita periksa kayak apa ruangan itu."
Bob menarik tombol pintu. Ia harus mengerahkan tenaga, barulah pintu terbuka dengan pelan. Seolah-olah ada yang menahan dari balik pintu. Begitu pintu terbuka, tercium bau udara pengap. Kedua remaja itu menatap sebuah ruangan yang gelap, segelap dalam perut buaya. Pokoknya, sama-sama menyeramkan.
Pete mengambil senter yang tergantung pada ikat pinggang, lalu menyorotkannya ke dalam ruangan itu; Ternyata yang bernama ruang proyeksi itu sebuah kamar yang luas, dengan sekitar seratus kursi beralas empuk di dalamnya, Di seberang ruangan nampak samar bentuk sebuah orgel yang berukuran besar.
"Ruangan ini perlengkapannya persis sama kayak bioskop jaman dulu," kata Pete, "Lihat saja orgel itu, ukurannya ada sepuluh kali lebih besar daripada orgel yang dibeli Mr. Jones. Yuk, kita memeriksanya sebentar,"
Bob mencoba menyalakan senternya, Tapi tidak menyala. Rupanya rusak ketika ia terjatuh tadi. Untung saja senter yang dipegang Pete terang sekali sinarnya.
"Kedua remaja itu menghampiri orgel kuno yang terdapat di seberang ruangan. Keduanya sudah tidak gugup lagi, Semangat mereka sudah bangkit kembali, setelah mengalami kejadian Bob bergulat melawan baju zirah,
Orgel kuno itu, yang pipa-pipanya menjulang tinggi sampai ke langit-langit ruangan, nampak penuh debu serta jaring laba-laba. Bob memotretnya sekali, untuk dipertunjukkan pada Jupiter.
Setelah itu mereka meneruskan pemeriksaan. Alas kursi yang nampaknya empuk, ternyata sudah lapuk semuanya. Kain yang robek-robek tergantung di tempat yang dulunya merupakan layar putih. Semakin lama Bob dan Pete berada dalam ruangan itu, hawa rasanya semakin pengap.
"Di sini tidak ada apa-apa," kata Pete. "Sekarang kita periksa apa yang ada di atas,"
Mereka kembali ke Bilik Gema, lalu menaiki tangga yang melengkung ke atas pada satu sisi bilik itu, Setelah sampai setengah jalan, di tempat yang ada jendelanya yang berdebu, mereka berhenti untuk melihat sebentar ke luar. Mereka melihat bahwa dinding puri letaknya bersebelahan dengan tebing curam Black Canyon.
"Masih cukup banyak waktu sebelum gelap, kata Bob,
"Kalau begitu, kita periksa lukisan-lukisan itu dengan lebih seksama," usul Pete. "Kita tarik ke atas, lalu kita periksa kalau-kalau ada sesuatu yang aneh."
"Sesampai di balkon, mereka melihat bahwa lukisan-lukisan itu semuanya te
rgantung pada sebuah papan yang terpasang di bawah balkon.
Bersama-sama mereka menarik kawat penggantung lukisan bajak laut. Bingkai lukisan itu berat. Tapi akhirnya mereka berhasil juga menariknya ke atas. Lalu mereka memeriksanya dengan bantuan sinar senter.
Lukisan itu sebenarnya biasa saja. Permukaannya agak mengkilat, karena lukisan itu dibuat dengan cat minyak. Menurut Bob, mungkin kilatan cat itu yang menyebabkan Pete mengira mata yang menatapnya hidup, Tapi Pete masih agak sangsi,
"Aku sungguh-sungguh mendapat kesan bahwa mata yang menatapku itu hidup," katanya, "Tapi rupanya aku salah lihat. Sudahlah, kita kembalikan saja lukisan ini ke tempatnya semula."
Setelah lukisan diturunkan kembali, mereka melanjutkan langkah, menaiki tangga, Mereka bermaksud hendak mulai memeriksa dari tingkat paling atas, lalu pelan-pelan turun ke tingkat bawah.
Mereka mendaki tangga putar itu terus, sampai akhirnya tiba dalam sebuah menara kecil berbentuk bulat. Menara itu letaknya tinggi di puncak puri. Jendelanya kecil-kecil, persis puri yang sebenarnya, Bedanya cuma bahwa jendela-jendela itu berkaca.
Bob dan Pete memandang ke bawah. Mereka berada di tempat yang lebih tinggi daripada sisi atas tebing ngarai, Di kejauhan nampak bukit berderet-deret, bukit di balik bukit sejauh mata memandang, Tiba-tiba Pete berseru kaget.
"Lihat - ada antena televisi," katanya, Di atas tebing yang paling dekat dengan tempat mereka nampak tiang antena televisi. Rupanya dipasang di situ oleh seseorang yang tinggal dalam ngarai berikutnya, dan yang dari situ penerimaan pesawat televisinya kurang baik.
'Ternyata di dekat sini ada ngarai lagi," kata Pete. "Rupanya tempat ini tidak begitu terpencil seperti sangkaan kita."
"Pegunungan sini banyak sekali ngarainya," kata Bob. "Tapi coba kauperhatikan, tebingnya terjal sekali, Cuma kambing gunung saja yang bisa mendakinya sampai ke puncak Kalau manusia hendak ke ngarai seberang, terpaksa mengambil jalan memutar."
"Betul juga," kata Pete. "Yah, di sini tidak ada apa-apa, Yuk, kita mulai turun saja sekarang, sambil memeriksa kalau-kalau ada sesuatu yang mungkin ingin diketahui oleh Jupiter,"
Di lantai berikut sebelah bawah mereka sampai di sebuah serambi. Di ujung serambi ada pintu terbuka. Pete dan Bob menjenguk sebentar ke dalam. Rupanya kamar di sebelah serambi itu ruang perpustakaan Stephen Terrill, di mana ia meninggalkan surat sebelum menjatuhkan diri dengan mobilnya ke bawah tebing. Soalnya, dalam kamar itu nampak buku-buku berjejer-jejer di atas rak. Sedang di salah satu dindingnya tergantung lukisan-lukisan yang sejenis dengan yang dipajang dalam Bilik Gema, tapi berukuran lebih kecil.
"Sebaiknya kita periksa tempat ini," kata Pete. Mereka lantas masuk ke ruang perpustakaan itu, Lukisan-lukisan yang terpajang, semua menampakkan Stephen Terrill yang berpose menurut berbagai peranan filmnya. Setiap lukisan menunjukkan dirinya dalam wujud lain. Ada Terrill sebagai bajak laut, pembegal, jadi-jadian, mayat hidup, vampir pengisap darah, makhluk seram dari dasar laut. Melihat segala lukisan itu. Bob lantas merasa ingin bisa melihat segala film itu.
"Ia dijuluki 'Orang dengan Sejuta wajah'," katanya pada Pete, sementara kedua remaja itu memperhatikan lukisan-lukisan itu satu per satu,
"Astaga - coba lihat itu!"
Mereka sampai di depan sebuah relung yang tidak dalam, Di situ terpajang peti mumi. Sebuah peti mayat asli Mesir, seperti yang ada di museum-museum, Peti itu tertutup, dan di atasnya terpasang sebuah pelat dari perak, Pete menyorotkan senternya ke pelat itu, Dengan mata terpicing, Bob membaca tulisan yang terukir di situ,
"ISI PETI INI DIWARISKAN PEMILlKNYA, MR. HUGH WILSON,
KEPADA ORANG YANG TELAH BEGITU SERING MENYAJIKAN HIBURAN MENARIK BAGINYA
"MR. STEPHEN TERRILL
""Astaga!" kata Pete, "Menurutmu, apa kira-kiranya isi peti ini""
"Mungkin mumi," tebak Bob, "Atau mungkin pula sesuatu yang berharga. Yuk, kita lihat sebentar."
Berdua mereka berusaha mengangkat tutup peti mumi itu, Tidak begitu mudah, karena tutup itu berat. Ketika sudah terangkat sampai separuh, tiba-tiba Pete menjer
it. Tutup peti itu dilepaskannya, sehingga terbanting dan menutup peti kembali.
"Kau juga melihatnya tadi"" kata Pete.
Bob mereguk ludah dulu beberapa kali sebelum bisa menjawab.
"Ya, aku juga melihatnya, isinya kerangka manusia," katanya, "Kerangka putih bersih, dengan tengkorak yang menyeringai."
"Kurasa itulah yang diwariskan orang yang bernama Hugh Wilson itu pada Stephen Terrill sebagai tanda terima kasih karena merasa sering terhibur dengan film-filmnya," kata Bob. "Ia mewariskan kerangkanya sendiri! Kita buka saja lagi peti itu, supaya kubuat fotonya - untuk Jupe,"
Pete sebetulnya segan, Tapi Bob mengingatkannya, kerangka kan cuma tulang-belulang yang tidak bisa apa-apa. Akhirnya peti itu mereka buka lagi. Bob memotret kerangka dengan tengkorak yang meringis. la yakin, Jupiter pasti berminat.
Sementara Bob sibuk memutar rol film dan memasang lampu blitz baru, Pete menghampiri jendela. Begitu memandang ke luar, ia langsung berseru dengan nada kaget.
"He! Kita perlu cepat-cepat sedikit!" katanya, "Di luar sudah mulai gelap,"
Bob memandang jarum arlojinya, Tidak mungkin," katanya, "masih ada waktu satu jam lagi sebelum matahari terbenam."
"Mungkin matahari tidak tahu melihat jam - pokoknya sekarang sudah mulai gelap, Lihat saja sendiri."
Bob menghampiri jendela, Benar juga, di luar mulai gelap. Matahari mulai menghilang di balik tebing ngarai. Tapi cahayanya masih kelihatan dari jendela, karena Terror Castle tinggi letaknya di lereng tebing.
"Aku lupa bahwa dalam ngarai cepat gelap," kata Bob,
"Yuk, kita pergi sekarang," kata Pete. "Ini satu-satunya tempat di mana aku tidak kepingin berada setelah gelap."
Mereka bergegas ke serambi yang tadi. Sesampai di situ mereka memandang ke kiri dan ke kanan, ke gang yang menjulur ke dua arah di situ. Di kedua ujung gang nampak tangga. Mereka tidak ingat lagi, tangga mana yang mereka pakai tadi. Akhirnya Pete memilih tangga yang paling dekat saja.
Cahaya matahari sudah semakin remang-remang ketika mereka sampai di tingkat berikut yang sebelah bawah lagi, Mereka tidak bisa menemukan tangga lagi di situ, yang menuju ke bawah, Setelah mencari-cari, akhirnya mereka sampai di pangkal jenjang yang sempit. Jenjang itu letaknya di ujung serambi, di belakang sebuah pintu,
"Kita tadi naik tidak lewat sini," kata Bob, "Lebih baik kembali saja ke tempat semula."
"Ah, tangga ini kan juga menuju ke bawah," jawab Pete, "Dan kita kan maunya ke bawah - selekas mungkin! Ayolah, tunggu apa lagi""
Mereka menginjakkan kaki ke anak tangga pertama. Tapi begitu daun pintu dilepaskan, pintu itu langsung tertutup kembali. Tempat jenjang itu kini gelap gulita,
"Sebaiknya kita cari saja tangga yang kita lewati tadi sewaktu naik," kata Bob gelisah. "Tidak enak perasaanku di tempat gelap ini. Kau saja tidak bisa kulihat, padahal kau ada di dekatku,"
"Perasaanmu tidak enak Perasaanku juga tidak enak. Jadi cocok," kata Pete. "Kau di mana, Bob""
Tangannya menggapai-gapai mencari Bob. Akhirnya ketemu, "Oke, jangan sampai kita terpisah. Kita kembali ke atas sekarang, lalu kita buka lagi pintu tadi."
Keduanya merayap kembali ke atas, langkah demi langkah. Mereka tiba di belakang pintu. Tapi pintu itu tidak bisa dibuka.
"Rupanya dari dalam tidak bisa dibuka," kata Bob Andrews. Dipaksanya dirinya agar tidak terdengar gugup. "Jadi mau tidak mau, kita harus turun lewat jenjang ini."
""Kita perlu lampu!" kata Pete. "Jika kita bisa menemukan -Aduh, aku ini bagaimana sih" Kan ada senter! Masih baru lagi,"
"Kalau begitu cepatlah nyalakan," kata Bob. "Kegelapan ini rasanya menyesakkan. Dan juga semakin bertambah pekat."
'Ternyata aku tidak punya senter. Suara Pete terdengar agak bergetar. "Masih ingat, ketika kita tadi menutup kembali peti mumi" Rupanya senterku tertinggal di tempat itu."
"Hebat!" tukas Bob. "Bagus! Sedang senterku rusak, ketika aku tadi terjatuh karena baju zirah keparat itu!"
"Ah, mungkin tidak rusak - cuma agak longgar," kata Pete, "Kadang-kadang itu bisa terjadi."
Diraihnya senter yang tergantung pada ikat pinggang Bob Andrews. Terdengar bunyi tangan Pete menepuk-nepuk ala
t itu. Lama tidak terjadi apa-apa. Tapi kemudian senter itu bisa menyala juga. Tapi tidak terang, melainkan remang-remang saja,
"Hubungannya tidak baik," kata Pete. "Terangnya sama seperti cahaya lilin. Ah, pokoknya tidak segelap tadi. Yuk, kita terus!"
Keduanya melanjutkan langkah, menuruni jenjang sempit yang berputar-putar. Bob sama sekali tidak menyangka ia bisa berjalan begitu cepat, dengan kakinya yang belum sembuh betul.
Pete berada di depan, menuruni jenjang dengan bantuan cahaya senter yang cuma remang-remang. Akhirnya mereka sampai di kaki tangga. Menurut dugaan mereka, pasti mereka sudah sampai di lantai dasar. Senter disorotkan berkeliling. Dengan cahayanya yang lemah, mereka masih bisa mengenali bahwa saat itu mereka berada dalam sebuah bilik kecil berbentuk persegi empat. Dalam bilik itu terdapat dua buah pintu. Sementara mereka masih bimbang pintu mana yang dipilih, tiba-tiba Pete menyambar lengan Bob.
"He! Kaudengar tidak"" katanya,
Bob Andrews menajamkan pendengarannya, Didengarnya bunyi musik orgel. Samar-samar. Aneh bunyinya! Ada orang yang sedang memainkan orgel tua yang terdapat dalam ruang proyeksi. Tiba-tiba Bob merasakan kegelisahan luar biasa, yang diceritakan Jupiter.
"Bunyinya datang dari sana," bisik Pete, sambil menuding salah satu pintu.
"Kalau begitu kita ke sana. Bob menuding pintu yang satu lagi.
"Tidak! Ke sini," kata Pete. "Karena lewat sini, kita akan sampai di ruang proyeksi. Dan kita tahu, pintu depan letaknya di luar ruangan itu. Kalau kita lewat pintu itu yang satu lagi, jangan-jangan nanti tersesat. Lebih baik merasa seram, daripada tidak bisa keluar."
Pete membuka pintu yang dimaksudkan olehnya, lalu melangkah dengan tegas memasuki sebuah serambi gelap, sambil terus memegang tangan Bob. Semakin jauh mereka melangkah, semakin nyaring pula bunyi musik orgel. Tapi walau begitu tetap terdengar seperti jauh sekali, diselingi bunyi geresek dan lengkingan. Persis musik hantu!
Bob melangkah terus, karena Pete tidak mau melepaskan tangannya. Tapi semakin dekat mereka ke sumber bunyi musik, semakin gelisah saja perasaannya. Akhirnya Pete mendorong sebuah pintu. Mereka sudah sampai di ruang proyeksi.
Mereka mengetahuinya, karena sinar senter yang redup menerangi punggung deretan kursi paling belakang, Jauh di depan, dekat orgel, nampak semacam cahaya pendar berwarna biru.
Cahaya itu tergantung kira-kira semeter dari lantai. Kelihatannya seperti gumpalan bercahaya. Sementara itu orgel terus terdengar dimainkan, disertai bunyi desah dan pekikan.
"Hantu Biru!" kata Bob dengan suara tercekik.
Tepat pada saat itu kegelisahannya yang semakin memuncak, beralih menjadi kengerian yang luar biasa, Persis seperti yang diharapkan Jupiter akan terjadi.
Pete dan Bob cepat-cepat lari menuju pintu. Pete bergegas mendorongnya, dan mereka berdua sampai di Bilik Gema, Mereka tidak berhenti di situ, tapi langsung menuju ke pintu besar di depan yang masih terbuka seperti tadi. Sesampai di teras pun mereka tidak berhenti. Keduanya lari terus. Tapi kaki Bob yang bekas patah agak terseret-seret. Tiba-tiba ia tersandung dan jatuh. Pete lari begitu cepat, sehingga tidak tahu bahwa temannya tertinggal. Bob terjungkir dan jatuh di atas setumpuk daun kering yang terdapat di sudut teras. Remaja itu langsung menyusup masuk ke dalam tumpukan itu, seperti seekor tikus yang hendak menyelamatkan diri.
Dengan hati berdebar, ditunggunya Hantu Biru tadi datang mengejar. Ia tidak bisa mendengar apa-apa, karena dikalahkan napasnya yang tersengal-sengal. Ketika hal itu disadarinya, ia lantas menahan napas. Di tengah kesunyian yang tiba-tiba mencekam, didengarnya makhluk gaib itu mencari-cari dirinya. Terdengar bunyi langkahnya menggeleser di atas ubin teras, makin lama makin dekat. Napasnya tersentak-sentak, Menyeramkan!
Tiba-tiba bunyi langkah itu terhenti. Makhluk itu tegak tepat di depan Bob bersembunyi. Lama sekali ia berdiri di situ, sementara napasnya masih tersengal-sengal. Tapi kemudian ia meraih bahu Bob, Begitu Bob merasa bahunya dipegang, seketika itu juga terpekik. Suaranya melengking tinggi, membahan
a dalam ngarai dan terpantul pada lereng bukit terdekat.
Bab 13 TANDA SANDI ""Lalu apa yang terjadi setelah Hantu Biru menyentuh bahumu, Bob""
"Pertanyaan itu diajukan oleh Jupiter. Saat itu Trio Detektif sedang mengadakan rapat mereka yang pertama sejak tiga hari, dalam Markas Besar. Selama itu Pete bepergian ikut orang tuanya, mengunjungi keluarga di San Francisco. Sedang Bob sibuk sekali di perpustakaan, menyusun kembali daftar buku-buku. Kebetulan salah seorang pembantu lainnya sakit, jadi Bob terpaksa bekerja terus sampai malam, Jupiter berbaring di tempat tidur, memberi kesempatan agar pergelangan kakinya betul-betul sembuh, Untuk melewatkan waktu, ia membaca buku. Dan setelah tiga hari, barulah mereka sempat berkumpul kembali dan berunding dengan tenang,
""Nah"" tanya Jupiter lagi. "Setelah itu, apa yang terjadi"".
"Maksudmu, setelah aku menjerit"" Bob Andrews kelihatannya akan segan membicarakan hal itu.
"Tepat... sesudah kau berteriak."
""Kenapa tidak tanya saja pada Pete"" kata Bob. mengelakkan pemberian jawaban, "Ia kan juga mengalaminya, "
"Baiklah! Kau saja yang menceritakan apa yang terjadi, Pete.
Pete kelihatan agak malu-malu. Tapi ia menjawab juga.
"Aku jatuh," katanya. "Bob menjerit begitu keras ketika aku menjamah bahunya, sampai aku kaget dan menimpanya. Ia meronta-ronta sambil menjerit-jerit. Ia berteriak, 'Lepaskan aku, Hantu! Ayo, kembali ke tempatmu di dalam, kalau tidak ingin menyesal nanti." Lenganku sampai sakit rasanya karena berusaha menahannya! Akhirnya aku berhasil juga menyadarkan bahwa akulah yang datang kembali untuk melihat apa yang terjadi dengan dirinya.
"Bob, biar anaknya kecil, tapi berhati singa," kata Jupiter. Ia berkata lagi pada Pete, "Jadi setelah kau sadar bahwa ia tidak ada lagi di sampingmu, kau lantas kembali untuk mencari. Sedang dia mendengar napasmu yang tersengal-sengal, mengira kau Hantu Biru ketika kau membungkuk menjamahnya. Betul begitu""
Bob mengangguk, tanpa mengatakan apa-apa. Ia merasa agak konyol ketika itu, setelah akhirnya menyadari bahwa yang datang itu Peter. Selama beberapa saat Bob benar-benar menyangka sedang bergulat melawan Hantu Biru.
Jupiter menekan-nekan bibir bawahnya. Ia kelihatannya puas.
""Lalu setelah kalian tidak bergulat lagi, kalian menyadari sesuatu," katanya, "Kalian kan menyadari bahwa rasa ngeri yang luar biasa itu tahu-tahu sudah lenyap""
Pete dan Bob saling berpandang-pandangan. Dari mana lagi Jupiter mengetahuinya" Padahal mereka sendiri tadi sudah berniat untuk menyimpan informasi itu sampai saat terakhir.
"Betul," kata Pete, "Perasaan itu tahu-tahu lenyap."
"Jadi hanya terasa dalam batas-batas dinding Terror Castle," kata Jupiter, "Itu penemuan penting, "
"Penting"" tanya Bob tidak mengerti.
"Aku yakin, kata Jupiter, "Kurasa foto-foto sudah siap untuk diteliti sekarang, ToIong ambilkan dari kamar gelap, Pete - sementara lubang hawa kututup, Paman Titus berisik sekali di luar!"
Mr. Jones memang berisik sekali. Akhirnya ia berhasil memasang bagian-bagian orgel yang dibelinya, Ketika Jupiter masih terbaring di tempat tidur, ia menyibukkan diri dengan membaca buku tentang orgel, yang dipinjam dari perpustakaan. Karenanya ia bisa membantu Paman Titus dengan saran-saran mengenai pemasangan alat musik itu. Dan kini pamannya itu sedang menguji coba orgel yang telah dipasang. Ia memainkan sebuah lagu pelaut, yang sangat disenangi Hans dan Konrad. Nada-nada yang paling rendah dimainkannya dengan hembusan angin sebanyak mungkin, disertai nada-nada iringan yang bergetar.
Lubang hawa di atas Markas Besar dibiarkan terbuka oleh ketiga remaja yang sedang berembuk. Jadi bunyi musik terdengar jelas sekali di dalam ruangan itu. Pada saat Mr. Jones memainkan nada-nada rendah, segala benda yang ada di dalam ikut bergetar. Bob sampai merasa seakan-akan musik itu hendak menjunjungnya ke atas.
Sementara Jupiter menutup lubang hawa, Pete sudah kembali dari kamar gelap. Ia membawa foto-foto yang dibuat oleh Bob di Puri Setan. Foto-foto itu masih belum kering benar, tapi sudah bisa dilihat.
Jupiter meneliti foto-foto itu dengan b
antuan kaca pembesar. Setelah itu diteruskannya pada Bob dan Pete. Ia paling lama meneliti foto-foto yang diambil dalam ruangan perpustakaan Mr. TerrilI, begitu pula baju zirah yang menguber Bob.
"Bagus sekali, Bob," katanya kemudian. "Dengan satu kekecualian. Kau tidak membuat foto Hantu Biru, yang sedang memainkan orgel kuno itu,"
"Maksudmu, kau mengharapkan aku menghampiri gumpalan cahaya biru itu, yang sedang memainkan orgel yang sebetulnya sudah rusak"" tukas Bob Andrews.
"Siapa pun juga, takkan sempat berhenti sebentar untuk memotret," sela Pete. "Saat itu suasana di situ penuh kengerian. Kurasa kau pun takkan mampu, Jupe.
"Ya, kurasa betul juga katamu," kata Jupiter. "Memang sulit bertindak tenang, jika hati tercengkam rasa takut. Tapi walau begitu, jika kita punya fotonya, akan jauh lebih gampang bagi kita untuk memecahkan misteri itu,"
Pete dan Bob diam saja. Mereka menunggu, Jupiter selama tiga hari itu banyak waktunya untuk berpikir-pikir. Dan kelihatannya banyak hal yang dipikirkannya, yang belum diceritakan.
"Begini," kata Jupiter menjelaskan, "pengalaman kalian di sana itu dalam satu hal lain dari biasanya. Hantu Biru Puri Setan muncul ketika hari masih siang.
"Tapi di dalam sudah gelap," kata Pete. "Liang tambang batubara pun masih kalah gelap.
"Walau begitu, di luar matahari masih bersinar. Selama ini belum pernah ada laporan tentang hantu itu muncul sebelum malam. Yah, kita periksa saja apa yang bisa disimpulkan dari foto-foto lainnya."
Dipungutnya foto salah satu baju zirah.
"Pakaian perang kuno ini kelihatannya masih baik," katanya. "Belum begitu berkarat."
"Ya - karatnya cuma di sana-sini saja," kata Bob.
"Lalu buku-buku di perpustakaan ini, juga tidak terlalu berdebu."
"Ada juga debu di situ, tapi tidak terlalu tebal," kata Pete.
""Hmm," Jupiter kini mengamat-amati kerangka manusia yang terbaring dalam peti mumi,
"Kerangka ini! Warisan yang lain sekali dari kelaziman, "
Saat ini seluruh karavan terasa bergetar keras, Sepotong besi yang tersandar di dinding luar bergeser dan memukul-mukul sisinya. Ketiga remaja itu merasa seolah-olah terangkat ke atas dengan tiba-tiba. Penyebabnya" Hembusan orgel yang sedang di mainkan oleh Mr. Jones, yang rupanya menghembuskan udara sebanyak-banyaknya ke dalam pipa bunyi.
"Wow! Kusangka ada gempa!" kata Pete kaget.
"Paman Titus kalau main orgel tidak setengah-setengah," kata Jupiter, "Kalau begini terus, percuma saja kita melanjutkan rapat ini. Tapi sebelum bubar, ini ada sesuatu untuk kalian."
Jupiter mengambil dua batang kapur panjang, lalu menyerahkannya masing-masing satu pada Bob dan Pete. Kapur itu sama seperti yang biasa dipakai di sekolah, Hanya warna yang diserahkan pada Pete biru, sedang yang diterima Bob berwarna hijau.
"Ini untuk apa"" tanya Pete,
"Untuk menandai jejak dengan lambang Trio Detektif. Jupiter mengambil sepotong kapur putih, lalu membuat tanda tanya yang besar di dinding karavan.
"Tanda ini berarti salah seorang anggota Trio Detektif pernah lewat di sini," katanya. "Dari warnanya yang putih bisa diketahui bahwa yang membuatnya Penyelidik Pertama. Tanda tanya berwarna biru berarti yang membuatnya kau, Pete. Jadi Penyelidik Kedua. Sedang hijau berarti kau, Bob. Coba ide ini sudah kuperoleh lebih dulu, kalian takkan tersesat dalam Terror Castle.
Soalnya, dengan tanda ini kalian bisa menandai jalan yang dilewati, sehingga sewaktu kembali tinggal menyusurnya saja ke tempat awal."
"Wah! Betul juga," kata Pete,
"Perhatikan saja kesederhanaannya," kata Jupiter lebih lanjut. "Tanda tanya kan merupakan tanda yang paling tidak aneh. Kalau ada orang melihat tanda tanya dibuat dengan kapur di dinding atau ambang pintu, pasti dikira yang membuatnya anak-anak yang lupa menghapusnya sehabis bermain-main. Tapi bagi kita, tanda tanya merupakan pesan yang berarti. Kita bisa memakainya untuk menandai jalan yang dilewati, begitu pula tanda persembunyian, atau menandai tempat tinggal orang yang dicurigai. Mulai saat ini, kalian harus selalu membawa kapur khusus ini.
Bob dan Pete berjanji tidak akan pernah melupakannya. Setelah itu Ju
piter mengemukakan pokok persoalan utama,
"Aku sudah menelepon kantor Mr. Alfred Hitchcock," katanya, "Kata Henrietta, besok pagi Mr. Hitchcock akan mengadakan rapat dengan stafnya, guna memutuskan apakah mereka akan ke Inggris atau tidak, untuk membuat filmnya di lokasi rumah berhantu di sana. Itu berarti. besok pagi laporan kita sudah harus masuk. Dan itu berarti pula bahwa -"
'Tidak! Aku tidak mau!" teriak Pete. "Bagiku, Terror Castle sudah pasti ada hantunya. Tidak perlu dibuktikan lagi!"
"Ketika aku masih terbaring di tempat tidur, aku menarik beberapa kesimpulan yang masih perlu diuji kebenarannya," kata Jupiter, tanpa mengacuhkan protes temannya, "Dan kita harus bertindak cepat, supaya tidak terlambat menyampaikan laporan pada Mr. Hitchcock. Karena itu kalian harus minta ijin pada orang tua masing-masing, agar diperbolehkan keluar sampai larut malam ini. Malam ini kita melakukan gebrakan terakhir untuk menyibakkan rahasia Puri Setan!"
Pendekar Sakti 15 Pendekar Rajawali Sakti 164 Istana Tulang Emas Irama Seruling Menggemparkan Rimba Persilatan 13
^