Pencarian

Misteri Puri Setan 3

Trio Detektif 01 Misteri Puri Setan Bagian 3


Bab 14 HANTU DALAM CERMIN
"Terror Castle menjulang dalam gelap, di hadapan Pete dan Jupiter, Malam itu tidak ada bulan, Hanya beberapa bintang saja kemerlip, memecah kegelapan ngarai.
"Malam tidak akan lebih gelap lagi dari sekarang," kata Jupiter dengan suara tertahan, "Jadi kita masuk sajalah."
Pete menenteng senternya yang baru dan bercahaya terang, Senter itu dibelinya dengan uang sakunya. Sedang senternya yang lama masih tertinggal dalam perpustakaan,
Kedua remaja itu mendaki jenjang yang sudah retak-retak, lalu melintasi teras. Jupiter agak pincang jalannya, karena ia belum berani terlalu membebani pergelangan kaki yang baru sembuh dan masih dibalut erat.
Langkah kaki mereka terdengar nyaring dalam gelap. Di salah satu tempat seekor binatang kecil kaget karena kedatangan mereka. Binatang itu melesat pergi dari persembunyiannya, melarikan diri dari cahaya senter yang terang.
"Apa pun juga binatang itu, pokoknya dia pintar," kata Pete, "Dia lari dari sini."
"Jupiter diam saja, Tangannya meraih tombol pintu depan, lalu menarik-narik, Tapi daun pintu tidak bisa dibuka,
"Agak macet rupanya," katanya. "Coba tolong sebentar. "
Pete ikut menarik, Tahu-tahu tombol yang terbuat dari kuningan itu terlepas. Pete dan Jupiter terjungkir ke belakang, jatuh bergelimpangan di ubin.
"Uuu!" desah Pete dengan napas sesak. "Kau berbaring di atas perutku. Aku tidak bisa bergerak - tidak bisa bemapas,"
Jupiter berguling ke samping, lalu berdiri lagi, Pete ikut bangkit. Dipegang-pegangnya seluruh tubuhnya, untuk memeriksa kalau-kalau ada yang patah atau terkilir.
"Rupanya semua beres," katanya kemudian,
"Kecuali akal sehatku, yang rupanya ketinggalan di rumah."
"Jupiter tidak mengacuhkan sindiran temannya itu, la memperhatikan tombol pintu dengan bantuan cahaya senternya,
"Lihatlah," katanya. "rupanya sekrup yang menahan tombol ini ke batang itu terlepas."
"Mungkin aus," gumam Pete. "Habis, belakangan ini banyak sekali orang lalu-lalang lewat pintu ini."
"Hmm. Jupiter nampak sedang berpikir. Keningnya berkerut. "Jangan-jangan ada yang sengaja melepaskannya."
""Siapa sih yang mau berbuat begitu"" tanya Pete. Pokoknya, sekarang kita tidak bisa masuk! Jadi lebih baik kita kembali saja."
"Kurasa kita akan bisa berhasil masuk lewat jalan lain," kata Jupiter. "Kita coba saja lewat pintu angin yang di sana itu."
Ia langsung menyusur dinding depan bangunan itu. Berseberangan dengan teras, terdapat enam pintu angin yang tinggi. Pintu angin sebenarnya jendela, tapi ambang bawahnya rendah sekali sehingga lebih tepat disebut pintu,
Lima di antaranya ternyata terkunci dari dalam. Tapi yang keenam ternganga sedikit. Jupiter menariknya. Ternyata bisa dibuka dengan gampang. Ruangan di belakangnya gelap gulita.
Kegelapan itu sesaat kemudian ditembus cahaya senter Jupiter yang masih berdiri di luar. Diterangi cahayanya, nampak sebuah meja panjang dengan kursi-kursi di sekelilingnya. Di satu ujung meja nampak samar tumpukan piring.
"Ini kamar makan," kata Jupiter dengan suara pelan. "Kita bisa masuk lewat sini,"
Sesampai di dalam, kedua remaja itu menyorotkan senter mereka ke sana kemar
i. Mereka melihat kursi-kursi bagus penuh ukiran meja panjang dari kayu mahoni, sebuah bufet besar serta dinding kamar berlapis papan berukir-ukir.
"Kelihatannya di sini ada beberapa pintu," kata Jupiter. "Lalu kita masuk lewat mana""
""Bagiku sih sama - Huhh!" Pete berseru dengan suara tercekik, Ketika ia hendak menjawab pertanyaan Jupiter, ia menoleh sedikit ke samping. Saat itu dilihatnya seorang wanita memakai gaun panjang terjela-jela, datang ke arah mereka. Gaun yang dipakai berpotongan kuno. Pete pernah melihat lukisan yang dibuat sekitar tiga abad yang lalu, menampakkan seorang wanita memakai gaun semacam itu.
Seutas tali terbelit di leher wanita itu. Ujungnya tergantung ke depan, terulur menyentuh kaki. Tangannya terselip ke dalam gaun yang lebar. Wanita itu menatap kedua remaja itu dengan pandangan pilu.
Pete menarik lengan jaket Jupiter.
"Ada apa"" tanya Jupiter.
"Li-li-lihatlah," kata Pete gugup, "Kita tidak sendiri di sini."
Dengan cepat Jupiter berpaling. Pete merasa tubuh temannya itu mengejang. Itu berarti Jupiter juga melihatnya - melihat wanita yang menatap mereka tanpa bergerak-gerak. Wanita itu tidak kelihatan seperti bernapas. Ia hanya berdiri saja, sambil menatap. Pete merasa tahu siapa wanita itu. Pasti hantu gadis yang menurut cerita Mr. Rex menggantung dirinya sendiri, karena tidak mau dipaksa menikah dengan pria pilihan ayahnya.
Sesaat kedua remaja itu berdiri seperti terpaku di tempat masing-masing. Sedang bayangan mengerikan itu juga tidak bergerak atau pun berbicara.
""Sorotkan sentermu ke arahnya," bisik Jupiter, Tunggu sampai aku memberi aba-aba... ya!
Keduanya serempak mengarahkan sorotan senter mereka pada wanita itu, Tapi seketika itu juga bayangan itu lenyap. Mereka hanya menatap sebuah cermin, yang memantulkan sinar senter ke mata mereka.
"Cermin!" seru Pete kaget. "Kalau begitu, selama ini ia ada di belakang kita.
Dengan cepat ia berbalik, sambil mengarahkan sinar senternya ke belakang, Tapi di situ pun tidak ada apa-apa, Hanya mereka berdua saja yang ada dalam ruangan itu.
"Dia sudah pergi," kata Pete. "Dan aku juga mau pergi! Itu tadi hantu!"
Tunggu!" Jupiter menggenggam pergelangan tangan Pete, "Kelihatannya kita tadi melihat bayangan hantu dalam cermin, tadi mungkin juga kita keliru. Aku menyesal tadi bertindak terlalu tergesa-gesa. Padahal seharusnya kejadian tadi perlu kita selidiki dengan lebih tenang,"
"Lebih tenang"" teriak Pete, "Tapi kenapa kau tadi tidak memotretnya" Kan kau yang membawa kamera."
"Ya, betul juga!" Dari suaranya, terdengar bahwa Jupiter agak menyesal. "Aku lupa!"
"Kalau kaupotret pun, pasti takkan kelihatan apa-apa. Hantu tidak bisa dipotret.
"Dan juga tidak kelihatan bayangannya dalam cermin," balas Jupiter, "Dan yang tadi itu kelihatan bayangannya pada cermin itu! Atau kalau tidak, ia berada dalam cermin itu sendiri. Tapi aku belum pernah mendengar ada hantu cermin. Coba dia muncul lagi sekarang."
"Itu kemauanmu, Jupe - kalau aku sih lebih baik jangan," tukas Pete, "Sudahlah, kita sudah membuktikannya bahwa Terror Castle ini benar-benar berhantu. Kita laporkan saja pada Mr. Hitchcock. "
"Kita kan baru saja mulai," balas Jupiter. "Masih banyak lagi yang perlu diselidiki. Dan mulai sekarang, aku takkan lupa memotret. Aku kepingin memotret Hantu Biru sedang memainkan orgel rusak."
"Sikapnya yang tetap tenang meredakan kegugupan Pete, la mengangkat bahu.
"Ya deh," katanya pasrah, "Tapi apa tidak perlu kita membuat tanda dengan kapur, supaya jangan tersesat nanti""
Jupiter berseru dengan nada kesal.
"Lagi-lagi aku lupa!" katanya, "Tapi masih belum terlambat."
"Dihampirinya pintu angin tempat mereka masuk tadi, lalu dibubuhkannya tanda tanya yang besar dengan kapur di situ. Lalu dibubuhkannya pula tanda yang sama di atas meja makan yang besar. Ia melakukannya dengan hati-hati, supaya permukaan daun meja yang mengkilat itu tidak rusak. Kemudian ia mendekati cermin besar yang terpasang di dinding, untuk membubuhkan tanda Trio Detektif di situ.
""Jadi kalau Worthington dan Bob nanti mencari kita, mereka akan melihatnya," kata Jupiter
pada Pete, sementara ia menekankan kapur keras-keras ke permukaan cermin supaya tandanya nampak jelas di situ.
"Maksudmu, apabila kita berdua lenyap tanpa bekas"" tanya Pete,
Jupiter tidak menjawab. Ketika tangannya menekan, tahu-tahu cermin tinggi itu bergerak ke belakang, seperti pintu, Dan di belakangnya menganga sebuah gang gelap.
Bab 15 KABUT KENGERIAN "Pete dan Jupiter menatap lubang gelap itu sambil melongo,
"Astaga!" kata Pete. "Lorong rahasia!"
"Tersembunyi di balik cermin," Kening Jupiter berkerut. "Kita perlu memeriksanya.
Sebelum Pete sempat membantah, Jupiter sudah melangkah masuk sambil menyorotkan senternya ke depan - ke dalam lorong yang sempit dan kelihatannya panjang. Kelihatannya hanya sebuah gang saja, Dindingnya dari batu kasar. Di kiri kanannya tidak ada pintu, kecuali di ujung.
"Yuk," kata Jupiter, "Kita harus memeriksa, ke mana arah gang ini."
Pete mengikuti dari belakang. Ia sebenarnya enggan masuk ke lorong rahasia itu. Tapi ditinggal sendiri, juga tidak mau! Lebih baik berdua daripada seorang diri, pikirnya.
Sementara itu Jupiter sibuk meneliti dinding batu lorong itu dengan bantuan senternya. Kemudian ia berpaling, memeriksa ambang pintu yang berupa cermin. Cerminnya sendiri nampak biasa saja, terpasang pada daun pintu kayu. Padanya tidak terpasang tombol atau gerendel.
""Aneh," gumamnya. "Mestinya ada satu cara tertentu untuk membuka pintu ini.
Sambil berkata begitu, pintu didorongnya sampai tertutup. Terdengar bunyi detakan yang agak keras, Mereka terkurung dalam gang yang gelap.
"Nah, sekarang kau mengurung kita di sini," seru Pete cemas.
"Hmm. Jupiter berusaha mencari pegangan, supaya bisa membuka pintu kembali. Tapi tidak ada yang bisa dijadikan pegangan. Sisi belakang daun pintu rata dan persis sekali menutup lubang masuk tadi. Sedikit pun tak ada celah, ke dalam mana bisa diselipkan jari, Jangankan jari, kuku saja pun tidak bisa masuk!
"Pasti ada salah satu jalan untuk membuka pintu ini," kata Jupiter, "Tadi kenapa begitu gampang terbuka" Padahal cuma kusentuh saja!"
"Sudahlah, jangan pakai heran-heran segala," tukas Pete, "Pokoknya sekarang kaubuka lagi. Aku ingin ke luar!"
"Aku yakin jika keadaan betul-betul mendesak, kita bisa memecahkan daun pintu ini serta cermin yang ada di sebelah depannya," kata Jupiter sambil meraba-raba kayu daun pintu, "Tapi itu tidak perlu, karena kita sekarang pergi ke arah sana."
"Pete sudah hendak mengatakan bahwa ia tidak sependapat. Tapi Jupiter sudah pergi menyusur gang sempit itu, sambil mengetuk-ngetuk dinding.
"Seluruhnya dari batu," katanya sambil berjalan. "Tapi ada kesan bahwa di belakangnya kosong. Coba kaudengarkan.
Jupiter mengetuk-ngetuk dinding lagi, sementara Pete mendengarkan. Kemudian terdengar olehnya bunyi lain.
Ia mendengar bunyi orgel tua yang rusak. Bunyinya seperti jauh sekali. Nada-nadanya yang aneh dan menghembus-hembus rasanya seperti mengisi lorong sempit itu, datang dari segala arah sekaligus.
"Dengar!" seru Pete, "Hantu Biru mulai main musik lagi!"
"Aku juga mendengarnya," kata Jupiter. Anak itu mendekatkan telinga ke dinding lorong selama beberapa waktu.
"Musiknya seperti merembes lewat dinding ini," katanya kemudian. "Kuduga kita saat ini berada langsung di belakang orgel yang di ruangan proyeksi itu,"
"Maksudmu, Hantu Biru ada di balik dinding ini"" kata Pete. Napasnya tersentak karena kaget.
"Mudah-mudahan saja begitu," kata Jupiter. Karena tujuan kita kemari malam-malam ini kan untuk mencari dia dan memotretnya. Dan kalau bisa juga mengajaknya bicara.
"Bicara dengan dia"" Pete mengeluh, "Maksudmu, kita benar-benar akan bicara dengan dia""
"Kalau kita bisa memergokinya,"
"Bagaimana kalau kita yang dipergoki olehnya" tanya Pete. "Itu yang kukhawatirkan selama ini."
""Perlu kukatakan sekali lagi -" nada suara Jupiter terdengar agak galak, "- berdasarkan catatan yang ada pada kita, Hantu Biru belum pernah mengapa-apakan siapa pun juga. Seluruh rencana tindakanku berdasarkan pada kenyataan itu. Ketika aku terpaksa berbaring di tempat tidur, aku menarik beberapa kesimpulan mengenai kas
us ini. Selama ini belum pernah kuceritakan, karena masih memerlukan bukti, Dan kurasa sebentar lagi kita akan tahu, segala kesimpulanku itu benar atau tidak."
"Tapi bagaimana jika kau ternyata keliru"" tanya Pete cemas. "Bagaimana jika kesimpulanmu salah, dan Hantu Biru ingin agar kita turut menjadi bala hantu di sini" Kalau begitu, bagaimana""
"Kalau itu yang terjadi, aku akan mengaku salah," kata Jupiter, ''Tapi saat ini aku akan meramalkan sesuatu. Sebentar lagi kita akan merasakan kengerian yang luar biasa."
"Sebentar lagi"" Nyaris saja Pete berteriak. "Kaukira perasaanku sekarang ini bagaimana""
"Kau baru merasakan kegelisahan yang sangat. Tapi sebentar lagi kau akan merasakan kengerian yang luar biasa."
"Kalau begitu sudah waktunya aku pergi dari sini. Ayo, kita pecahkan saja cermin tadi, lalu cepat-cepat lari dari sini."
''Tunggu!'' Jupiter menggenggam pergelangan tangan Pete, "Kuingatkan padamu, takut ngeri itu cuma perasaan belaka. Kau memang akan merasa ngeri - tapi kecuali itu kau takkan mengalami apa-apa lagi."
Sementara Pete menjawab, tahu-tahu dirasakannya perubahan aneh dalam lorong rahasia itu, Tanpa disadari, sementara mereka sedang mendengarkan musik yang datang dari balik dinding, secara tiba-tiba saja ada kabut tipis bergerak-gerak di situ. Di segala penjuru lorong nampak kabut. Di lantai, sepanjang dinding, merayapi sisi atasnya.
Pete menggerakkan senternya ke atas dan ke bawah. Diterangi cahaya senter, nampak kabut berputar-putar pelan-pelan, bergabung dan terurai lagi, bergulung-gulung dan melingkar. Sementara Pete menatap terus, ia mendapat kesan seperti melihat berbagai wujud aneh dan menyeramkan.
"Lihat!" katanya dengan suara gemetar, "Aku merasa . seperti melihat muka-muka menyeramkan, Dan itu ada naga - harimau - dan bajak laut bertubuh gendut......
"Tenang!" kata Jupiter, "Aku juga melihat berbagai bayangan - tapi itu cuma khayalan kita sendiri. Ini kan sama saja seperti sedang berbaring di luar sambil menatap awan, Lama-kelamaan kita mendapat kesan, seolah-olah awan yang bertumpuk-tumpuk menjelma menjadi berbagai makhluk. Kabut ini tidak apa-apa, Tapi kurasa kita sudah mulai merasakan kengerian yang luar biasa."
Jupiter dan Pete saling bergenggaman tangan. Ternyata ramalan Jupiter tepat. Tahu-tahu Pete merasakan kengerian merambati seluruh tubuhnya. mulai dari ubun-ubun sampai ke ujung kaki. Bulu romanya meremang. Tapi karena Jupiter mestinya juga merasakannya tapi tetap teguh. Pete lantas menahan dengan kuat keinginannya untuk lari kembali dan memecahkan cermin yang merintangi jalannya menuju ke luar.
Sementara rasa ngeri menyelubungi, kabut semakin tebal, berputar-putar dalam lorong yang sempit.
"Kabut Kengerian," kata Jupiter. Suaranya agak gemetar. Tapi walau begitu ia maju terus.
"Mengenainya pernah ada laporan. beberapa tahun yang lalu. Penjelmaan yang paling menyeramkan di Puri Setan. Sekarang kita harus berusaha memergoki Hantu Biru, sementara ia mengira kita lumpuh karena ketakutan.
"Aku tidak bisa," desis Pete di sela giginya yang dirapatkan supaya jangan gemeletuk, "aku memang lumpuh. Aku tidak bisa menyuruh kakiku melangkah."
Jupiter berhenti. "Sudah waktunya sekarang untuk menceritakan kesimpulan yang kuambil sewaktu masih berbaring di tempat tidur, Pete," katanya. "Waktu itu aku menarik kesimpulan bahwa Terror Castle ini memang dihantui -"
"Itulah yang selama ini selalu kukatakan!"
"- benar-benar dihantui, tapi bukan oleh hantu. Tempat ini dihantui seseorang yang masih hidup. Menurut hasil pemikiranku, hantu Puri Setan itu sebenarnya Stephen Terrill sendiri, yang dianggap sudah mati."
"Apa"" Pete begitu terperanjat, sampai lupa pada rasa takutnya, "Maksudmu, selama ini ia masih hidup""
"Tepat! Hantu yang sebenarnya masih hidup. Menakut-nakuti supaya tidak ada yang berani ke sini, sehingga rumah ini bisa tetap dimilikinya."
"Tapi mana mungkin"" tanya Pete, "Maksudku, kita kan sama-sama tahu, di sini sama sekali tidak ada tanda-tanda bahwa ada orang yang keluar-masuk. Bagaimana caranya memperoleh makanan serta perbekalan lainnya""
"Entahlah, aku juga tida
k tahu. Dan justru itulah yang ingin kutanyakan padanya. Tapi pokoknya sekarang kau mengerti - ia memang sengaja menakut-nakuti kita, supaya jangan datang ke sini. Ia sama sekali tidak bermaksud mencelakakan siapa pun juga, Nah - sudah lebih enak perasaanmu sekarang""
"Ya, lumayanlah. kata Pete, "walau aku masih tetap merasa kakiku ingin pergi ke tempat lain."
"Kalau begitu kita sempurnakan saja penyelidikan ini, dengan menyingkapkan tabir rahasia hantu itu," kata Jupiter.
Dengan segera ia menuju ke pintu yang terdapat di ujung lorong, Tahu-tahu tanpa ia sendiri menyadarinya, Pete sudah menyusul. Pete merasa semua bisa dimengerti, setelah dijelaskan oleh Jupiter. Jadi rupanya Stephen Terrill, Raja Kengerian itu sendiri yang selama itu tinggal dalam purinya, menakut-nakuti orang supaya tidak ada yang berani datang!
Kedua remaja itu sampai di depan pintu di ujung lorong. Berlawanan dengan sangkaan mereka, pintu itu ternyata bisa dibuka dengan gampang. Mereka melewati ambangnya, memasuki tempat yang benar-benar gelap gulita. Bunyi musik orgel semakin nyaring. Dari gemanya mereka tahu, saat itu mereka berada dalam ruangan yang jauh lebih luas dari lorong tadi.
"Ini ruang proyeksi. bisik Jupiter. "Jangan nyalakan sentermu. Kita akan menyergap Bayangan Biru."
Mereka seiring, beringsut-ingsut sepanjang dinding, lalu menikung di pojok ruangan. Tiba-tiba Pete terpekik. Ia merasa ada sesuatu yang lembut dan licin mengayun ke bawah lalu menyelubungi muka dan kepalanya. Tapi ternyata itu cuma potongan tirai beludru yang sudah lapuk, yang robek ketika tersentuh sedikit. Tanpa bersuara lagi Pete membebaskan diri dari tirai tua itu.
Sekali lagi mereka menikung. Dan di depan mereka kira-kira di pertengahan ruangan besar itu mereka melihat gumpalan kabut bercahaya biru di dekat orgel besar yang sudah rusak. Langkah mereka tertegun. Dalam gelap, Pete merasa bahwa temannya sedang menyiapkan kamera untuk memotret.
"Kita akan menyelinap dan menghampirinya. bisik Jupiter, "lalu memotretnya."
"Pete memandang sinar biru pendar itu. Tiba-tiba ia merasa kasihan pada Mr. Terrill. Setelah bertahun-tahun sendiri terus dalam puri seram itu, pasti akan sangat mengejutkan bagi dirinya apabila rahasianya terbongkar secara tiba-tiba,
"Nanti dia malah takut lari," bisik Pete pada Jupiter. "Kenapa tidak kita panggil saja dia, supaya tahu bahwa kita ada di sini, dan ia sempat mengerti bahwa kita sama sekali tidak bermaksud jahat."
"Idemu bagus sekali....Kita berjalan pelan-pelan menghampirinya, sementara aku memanggil-manggil."
Keduanya lantas melangkah maju, menghampiri gumpalan cahaya biru di dekat orgel.
"Mr. Terrill!" seru Jupiter. "Mr. Terrill, kami cuma ingin bicara dengan Anda. Kami tidak bermaksud jahat.
Tapi musik masih terus saja terdengar, sementara gumpalan cahaya biru masih terus berpendar-pendar. Mereka maju lagi beberapa langkah. Jupiter mencoba sekali lagi,
"Mr. Terrill," serunya, "saya Jupiter Jones. Saya ditemani Pete Crenshaw. Kami cuma ingin bicara sebentar dengan Anda."
Saat itu dengan tiba-tiba musik terhenti. Gumpalan kabut bercahaya biru nampak bergerak. Menjulang ke atas, ke arah langit-langit, lalu tergantung di situ.
Sementara Jupiter dan Pete masih ternganga melihat wujud aneh yang tadinya bermain orgel itu tanpa disangka-sangka melayang ke atas, tiba-tiba mereka merasakan ada orang lain di dekat mereka. Jupiter sungguh-sungguh kaget saat itu. Sedang Pete masih sempat memencet tombol senter untuk menyalakannya. Cahayanya menerangi sosok tubuh dua orang laki-laki. Yang satu berukuran sedang, sedang temannya pendek. Keduanya memakai jubah panjang, pakaian orang Arab. Keduanya melemparkan sesuatu berwarna putih ke udara.
"Tahu-tahu kepala Pete sudah terselubung jala yang lebar. Senter yang dipegangnya terpental, lalu padam. Dan jala menyelubungi seluruh tubuhnya. Ia masih berusaha lari. Tapi kakinya tersangkut ke jala, dan ia jatuh terjerembab ke lantai yang berlapis permadani. Ia meronta-ronta, tapi sementara itu ia juga sadar bahwa tubuhnya teringkus jala yang makin merapat. Ia terperangkap, persis seekor ika
n. ""Jupe!" teriaknya. "Tolong!"
Tapi temannya itu tidak menjawab. Pete memutar tubuh lalu berpaling untuk menengok. Saat itu juga ia melihat, apa sebabnya Jupiter tidak memberikan jawaban.
Kedua laki-laki yang tahu-tahu muncul tadi menjunjung Jupiter, seperti mengangkat karung kentang. Jupiter juga terbungkus rapat dalam jala yang menjerat tubuhnya. Dengan bantuan sinar lentera kecil, kedua orang itu menggotong Jupiter, dibawa pergi lewat sebuah pintu. Mereka kelihatannya agak kewalahan. Maklumlah, Jupiter tidak bisa dibilang enteng tubuhnya.
Peter tergeletak di lantai. Ia nyaris tidak bisa berkutik sedikit pun dalam jala. Ia juga tidak bisa melihat apa-apa di tempat gelap itu, kecuali gumpalan cahaya biru yang melayang di atas, seperti menempel ke langit-langit ruangan.
Gumpalan itu nampak seperti berdenyut-denyut. Kadang-kadang membesar, lalu menciut lagi. Seolah-olah Bayangan Biru sedang menertawakan dirinya.
Bab 16 TERTAWAN DJ BAWAH TANAH
"Kemudian cahaya biru itu lenyap. Kegelapan menyelimuti Pete. Ia berusaha kembali membebaskan diri. Tapi sebagai akibatnya, ia malah semakin terlibat dalam jala.
Gawat! Begitulah pikirnya. Bukannya mereka yang menangkap laki-laki tua tak berbahaya yang memainkan peranan sebagai hantu, kini malah mereka sendiri yang tertangkap. Kedua laki-laki yang menjala mereka tadi, kelihatannya galak-galak. Dan rupanya mereka memang sudah siap untuk menyergap.
Pete teringat pada Bob dan Worthington yang menunggu dalam ngarai. Masih bisakah dia bertemu kembali dengan mereka" Masih bisakah dia berjumpa lagi dengan ayah ibunya"
Saat itu Pete benar-benar merasa dirinya sengsara. Dalam keadaan begitu, kemudian dilihatnya ada cahaya bergerak-gerak menghampirinya. Setelah dekat, barulah nampak bahwa cahaya itu berasal dari lentera yang dipegang seorang laki-laki jangkung. Laki-laki itu juga memakai jubah. Tapi jubahnya terbuat dari sutra, seperti yang dipakai bangsawan Cina jaman dulu.
"Orang itu membungkuk di depan Pete lalu menjamahnya. Sinar lentera menerangi mukanya. Pete melihat mata sipit yang menatap bengis, serta bergigi emas berderet-deret.
"Anak-anak konyol," kata orang itu, Kenapa kalian tidak menjauhi tempat ini, seperti dilakukan yang lain-lainnya" Sekarang kalian terpaksa kami bereskan.
"Sambil berkata begitu ia menggerakkan jarinya seperti mengiris leher teriring suara menakutkan. Pete langsung merasa darahnya seperti membeku. Ia mengerti maksud orang itu.
"Kau siapa"" tanya Pete tergagap. "Kalian mau apa""
'''Hah!'' sergah laki-laki itu. "Kau kubawa ke kolong puri ini!" Pete dijunjungnya dengan seenaknya, seperti memikul karung kentang. lalu kembali ke arah datangnya tadi.
Pete yang dipanggul orang itu, tidak bisa banyak melihat karena mereka terus berada dalam keadaan gelap gulita. Ia hanya tahu bahwa mereka melewati pintu, menyusur lorong, lalu menuruni tangga putar. Rasanya tinggi sekali tangga itu.
Akhirnya sampai di suatu lorong. Lorong yang lembab dan dingin itu ditelusuri lewat beberapa pintu, sambil di sebuah bilik kecil seperti sel. Sel bawah tanah. Di dindingnya tertancap gelang-gelang besi yang sudah karatan.
Sesuatu yang putih seperti kepompong tergeletak di salah satu pojok bilik itu. Laki-laki Arab "yang kecil duduk di samping benda putih itu, sibuk mengasah belati.
"Mana Abdul"" tanya laki-laki berpakaian Cina. Pete dijatuhkannya ke lantai di samping kepompong putih, yang ternyata Jupiter. Wujudnya yang seperti kepompong disebabkan karena tubuhnya masih terbalut jala yang meringkusnya tadi.
"Ia pergi menjemput Zelda," kata si Arab dengan suara berat dan serak. "Zelda sedang menyembunyikan mutiara, bersama Gypsy Kate. Kami bermaksud hendak memutuskan, akan kita apakan kedua bocah yang tertangkap ini."
"Aku setuju jika kita tinggalkan saja mereka di sini, sedang pintunya kita kunci dari luar," kata laki-laki yang bermata sipit. "Takkan ada yang datang ke sini, dan tak lama lagi puri ini akan benar-benar ada hantunya. Sekaligus dua!"
"Bagus juga idemu," kata si Arab dengan suara serak. "Tapi supaya aman, tidak ada salahnya jika ada darah mengalir.
" Pete meneguk ludah dengan susah-payah, melihat laki-laki berjubah itu menggeserkan jempolnya ke mata pisau yang tajam. Ia sebenarnya ingin membisikkan sesuatu pada Jupiter. Tapi temannya itu tidak berkutik sedikit pun di sisinya. Pete lantas takut. Jangan-jangan Jupiter mengalami cedera.
"Kulihat sebentar, di mana Zelda sekarang." Laki-laki Arab itu memasukkan belati ke sarungnya, lalu berdiri, Ia melirik Pete dan Jupiter "yang tergeletak di lantai, lalu berkata pada temannya, "Tolong aku menghapuskan jejak kita. Ikan-ikan ini takkan bisa membebaskan diri dari jeratan jala."
"Ya, betul - kita harus cepat-cepat." laki-laki jangkung yang kelihatannya orang Cina itu menggantungkan lenteranya ke dinding, sehingga cahayanya menerangi Pete dan Jupiter. Kemudian kedua laki-laki itu bergegas. Pete mendengar langkah mereka semakin menjauh. Lalu didengarnya bunyi menggeresek berat, seperti bunyi batu besar digeserkan. Setelah itu senyap. Sampai Jupiter membuka mulut.
"Kau baik-baik saja, Pete"" tanyanya
"Tergantung apa yang kaumaksudkan," jawab Pete. Kalau maksudmu tidak ada tulang patah, ya - aku baik-baik saja, Sehat, segar bugar."
"Syukurlah kalau begitu." Dari nada suaranya, Pete mendapat kesan bahwa Jupiter menyesal.
Temannya itu berkata lagi, Aku harus minta maaf karena mengajakmu ke dalam marabahaya yang tidak disangka-sangka. Aku semula begitu yakin pada kesimpulan yang kutarik."
"Ah, itu kan bisa saja terjadi pada siapa saja, jawab Pete. "Maksudku. pertimbanganmu masuk akal. Siapa mengira kita akan berhadapan dengan suatu gerombolan yang mungkin penjahat" Apalagi di luar kita sama sekali tidak menemukan tanda-tanda bahwa ada yang memakai puri ini sebagai sarang.
""Ya, dan aku begitu yakin bahwa segala hal yang terjadi di sini disebabkan oleh Mr. Terrill - sampai tak terbayang sedikit pun adanya kemungkinan lain," kata Jupiter. "He, kau bisa menggerakkan tanganmu atau tidak""
"Aku terjerat dalam jala ini," kata Pete. "Tapi jari-jariku masih bisa kugerak-gerakkan, apabila itu ada gunanya bagimu."
"Untung tangan kananku masih bisa kugerakkan dengan cukup leluasa," kata Jupiter. "Saat ini aku sedang berusaha membebaskan diriku sendiri. Mungkin kau bisa membantu dengan jalan mengatakan mana selanjutnya yang harus kupotong."
Pete merebahkan diri ke samping. Jupiter juga melakukan hal yang sama, sehingga punggungnya berada di depan Pete. Saat itu barulah Pete melihat bahwa temannya itu berhasil mengambil pisau lipatnya yang tergantung pada ikat pinggang. Pisau lipat Jupiter itu ada delapan perlengkapannya, termasuk obeng serta gunting kecil. Dengan gunting itu Jupiter menggunting tali jala, sehingga tangannya bisa dikeluarkan.
"Sekarang potong yang sebelah kiri, supaya tangan kirimu bebas," bisik Pete. "Ya, begitu!"
Gunting yang dipakai kecil, sedang jala kelihatannya terbuat dari benang nylon yang kokoh, Tapi dengan bantuan petunjuk Pete, tidak lama kemudian Jupiter sudah berhasil membebaskan kedua tangannya. Setelah itu semua berjalan lebih lancar. Ketika Jupiter masih sibuk memotong seluruh bagian bawah jala, tiba-tiba terdengar langkah orang yang datang.
Sesaat mereka tertegun, karena kaget dan ngeri. Tapi dengan segera otak Jupiter sudah bekerja kembali. Ia bergegas menelentangkan tubuh, menutupi bagian jala yang sudah tergunting, Sekarang tinggal menunggu perkembangan selanjutnya, dengan jantung berdebar-debar karena gugup.
Sesaat kemudian seorang wanita tua berpunggung bungkuk masuk sambil menjunjung lentera tinggi-tinggi. Ia memakai pakaian kaum pengembara yang sudah lusuh. Di kedua telinganya tergantung sepasang anting-anting berupa cincin emas yang besar-besar.
"Nah, Anak-anak manis, enak rasanya istirahat di sini"" katanya sambil terkekeh-kekeh. "Kalian tidak mengindahkan peringatan Gypsy Kate, yang telah begitu baik hati terhadap kalian! Nah, sekarang lihatlah apa yang terjadi! Peringatan kaum pengembara perlu diperhatikan dan dituruti anak-anak manis, apabila ingin selamat!
Tiba-tiba perhatian wanita tua bangka itu tertarik pada sikap Pete dan Jupiter yang nampak kaku. Ia bergegas-gegas perg
i ke dekat mereka. "Kalian mau main-main. Anak-anak manis"" katanya sambil terkekeh terus. Dengan sigap Jupiter dibalikkannya dengan segera dilihatnya bagian jala yang sudah putus tergunting,
"Ah, begitu ya! Bocah-bocah ini ingin melarikan diri," Wanita tua itu menggenggam pergelangan tangan Jupiter lalu memutarnya, sehingga pisau lipat terlepas dari pegangan dan jatuh ke lantai.
Dengan segera wanita tua itu memungutnya. "Sekarang kalian terpaksa dihajar, Anak-anak manis," katanya. "Zelda!" Wanita tua itu berseru, memanggil-manggil. "Zelda! Bawa tali kemari! Burung-burung kita mau minggat!"
"Ya, ya, aku datang!" Seseorang menjawab dari luar. Dari logatnya, Pete menebak orang itu pasti seorang wanita Inggris. Sesaat kemudian seorang wanita bertubuh tinggi dan berpakaian, apik muncul di ambang pintu. Ia membawa seutas tali.
"Mereka ini ternyata cerdik sekali," kata wanita tua dengan suara seperti bernyanyi. "Kita harus mengikat mereka erat-erat. Tolong pegangkan yang seorang ini dulu, sementara aku mengikatnya."
Pete hanya bisa melihat saja, sementara kedua wanita itu dengan gerak-gerik cekatan mengikat temannya kembali. Mula-mula jala dipotong dulu sampai terlepas. Setelah itu tangan Jupiter diikatkan di belakang punggung, disusul dengan kedua kakinya. Dan akhirnya pergelangan tangan anak itu yang sudah terikat, ditambatkan pula ke sebuah gelang besi karatan yang terpasang ke dinding bilik.
Karena jala yang menjerat Pete masih utuh, tali cuma dibebatkan beberapa kali melilit tubuhnya, lalu disimpulkan kuat-kuat.
"Sekarang mereka pasti tidak bisa membebaskan diri lagi., Zelda." Wanita pengembara yang sudah tua bangka itu terkekeh-kekeh. "Aku sudah meyakinkan kedua kawan kita bahwa mereka tidak boleh bertindak kejam. Tidak, kita tidak boleh kejam, jangan sampai menumpahkan darah. Kita tinggal saja kedua bocah ini di sini, sedang pintu kita kunci dari luar. Mereka tidak akan bisa bercerita pada siapa-siapa tentang kejadian yang mereka alami di sini."
"Sayang," kata wanita yang logatnya seperti orang Inggris. "Kelihatannya mereka anak-anak yang baik."
"Kau tidak boleh lemah, Zelda, pekik wanita pengembara. "Kita sudah menjatuhkan pilihan, dan kau tidak boleh melawan keputusan bersama itu. Sekarang cepatlah sedikit - kita masih harus menghapus jejak lalu pergi dari sini,"
Sambil berkata begitu diambilnya lentera yang tergantung di dinding, lalu pergi ke luar. Wanita yang orang Inggris memegang lentera yang satu lagi. Ia mengangkatnya tinggi-tinggi, menerangi kedua remaja yang terkapar di lantai dalam keadaan terikat erat.
"Kenapa kalian harus keras kepala, anak-anak" tanyanya. "Orang lain semuanya ketakutan lalu tidak berani datang lagi, Sekali saja mendengar bunyi orgel hantu, langsung tak ada yang berani kembali. Tapi kalian - kenapa harus keras kepala dan datang lagi"
"Trio Detektif tidak mengenal kata menyerah," kata Jupiter,
""Kadang-kadang lebih baik tidak terus nekat," jawab wanita itu, "Yah, sudah waktunya bagiku untuk mengucapkan selamat tinggal pada kalian. Mudah-mudahan kalian tidak takut berada dalam gelap. Aku harus pergi sekarang,"
"Sebelum Anda pergi, bolehkah saya bertanya sedikit"" kata Jupiter. Pete merasa kagum, karena temannya itu terdengar tenang saja suaranya,
"Ya, tentu saja, Nak," jawab wanita Inggris itu.
"Anda serta sekutu-sekutu Anda, tergabung dalam organisasi kejahatan yang mana"" tanya Jupiter.
Wanita Inggris itu tertawa.
"Aduh, panjangnya kalimatmu," katanya. "Kalau mau tahu, kami ini penyelundup. Kami menyelundupkan barang-barang berharga dari Asia, kebanyakan berupa mutiara. Bangunan tua ini kami pergunakan sebagai markas. Bertahun-tahun kami berhasil menjauhkan orang dari sini, dengan membuatnya seakan-akan ada hantunya. Selama itu, tempat ini merupakan persembunyian yang bagus sekali."
" Tapi kenapa Anda semuanya mengenakan pakaian yang begitu menyolok" tanya Jupiter lagi. "Siapa pun yang melihat Anda, pasti akan langsung tertarik perhatiannya.
"Tidak ada yang melihat kami, Anak muda," kata wanita itu, "Aku sebaiknya jangan menjawab segala pertanyaanmu - karena nant
i tidak ada lagi yang bisa dipikirkan untuk mengisi waktumu. Nah, selamat berpisah - jika kita tidak bertemu lagi. Dan kurasa kita takkan pernah bertemu lagi."
Wanita itu bergegas pergi, sambil membawa lentera. Begitu pintu ditutup, bilik sempit itu langsung gelap gulita. Kerongkongan Pete terasa kering.
"Jupe! Ngomong dong!" katanya, "Seram rasanya kalau sunyi terus."
"Maaf - aku tadi sedang berpikir," jawab Jupiter dengan nada agak linglung.
"Berpikir! Dalam keadaan begini, kau masih berpikir""
"Ya, memang," kata Jupiter. "Kau memperhatikan atau tidak tadi - ketika Gypsy Kate meninggalkan kita beberapa saat yang lalu, ia membelok ke kanan dan menyusur gang ke arah itu."
"Tidak, aku tidak memperhatikannya. Lagipula, apa bedanya pergi ke kanan atau ke kiri""
"Ke kanan kan berarti arah yang berlawanan dengan dari mana kita datang tadi. Jadi ia tidak kembali ke tangga, untuk naik ke puri. Ia menuju ke tempat yang semakin jauh ke bawah tanah. Itu berarti di sebelah sana ada jalan masuk yang tersembunyi. Dan itu juga menjelaskan, apa sebabnya selama ini tidak pernah kelihatan ada orang keluar-masuk puri,"
Bukan main! Bahkan dalam keadaan terikat dan ditinggal dalam sel bawah tanah supaya mati kelaparan, ternyata Jupiter masih tetap mampu berpikir secara cerdas.
""Sementara kau memikirkan hal-hal itu, kurasa kau tentunya tidak sempat memikirkan jalan keluar bagi kita," kata Pete.
"Memang tidak," kata Jupiter. "Aku sama sekali tidak bisa menemukan jalan keluar dari sini, tanpa bantuan orang lain, Maafkan aku, Pete. Dalam hal ini, aku benar-benar telah salah duga."
Pete tidak bisa mengatakan apa-apa lagi. Sambil membisu, kedua remaja itu hanya bisa mendengarkan bunyi-bunyi yang tertangkap dalam gelap. Terdengar langkah kaki seekor tikus berlari-lari. Di suatu tempat ada air menetes. Bunyi tetesannya yang pelan, seolah-olah menakar menit-menit yang masih tersisa.
Bab 17 JEJAK TANDA TANYA "Worthington sudah semakin gelisah saja, Begitu pula halnya dengan Bob Andrews. Sudah sejam mereka menunggu dalam Rolls-Royce, menunggu Jupiter dan Pete kembali. Tapi selama itu keduanya masih belum kelihatan juga, Setiap lima menit, Bob meloncat keluar dari mobil, lalu menatap ke arah ngarai, Dan setiap sepuluh menit Worthington ikut keluar dan mengamat-amati Black Canyon, Rasanya seperti menatap tenggorokkan naga raksasa,
"Master Andrews," kata Worthington pada akhirnya, "saya rasa lebih baik saya menyusul mereka saja sekarang,"
Tapi Anda kan tidak boleh meninggalkan mobil," kata Bob mengingatkan, "Anda harus selalu berada di dekatnya,"
"Keselamatan Master Jones dan Master Crenshaw lebih penting daripada mobil," jawab Worthington. "Saya akan mencari mereka sekarang."
Ia keluar dari mobil, lalu membuka tempat bagasi di belakang. Ia mengambil sebuah lampu darurat yang besar dari situ. Sementara itu Bob sudah ada di sampingnya.
""Aku ikut, Worthington," kata Bob, "Mereka sahabatku, "
"Baiklah, kalau begitu kita pergi bersama-sama." Worthington masih mengambil pula sebuah palu besar untuk senjata apabila diperlukan.
Setelah itu mereka masuk ke ngarai, Karena kakinya yang belum pulih sama sekali, Bob agak kewalahan mengikuti langkah supir yang jangkung itu. Tapi pada bagian-bagian yang sangat berbatu-batu, Worthington besar sekali gunanya. Bob setengah dijunjungnya untuk melewati tempat-tempat sulit itu. Tidak lama kemudian mereka sudah sampai di Puri Setan.
Dengan segera mereka melihat bahwa tombol pintu depan sudah tidak ada lagi, dan pintu itu tidak bisa dibuka dari luar, Worthington kemudian melihat tombol itu tergeletak di atas ubin.
"Rupanya mereka tadi tidak masuk lewat pintu," katanya, "Kita harus mencari jalan masuk lainnya."
Mereka mondar-mandir di depan puri, sambil menyorot lampu ke jendela-jendela. Tiba-tiba Bob melihat tanda tanya besar yang dibuat dengan kapur putih, pada pintu angin yang ternganga sedikit.
""Rupanya mereka masuk lewat sini!" serunya. Dijelaskannya pada Worthington tentang tanda sandi Trio Detektif, Pintu angin itu dibuka, lalu mereka masuk ke dalam. Sesampai di dalam, Worthington menyoro
tkan lampu berkeliling. Nampak bahwa saat itu mereka berada dalam kamar makan.
"Entah ke mana mereka dari sini," kata Worthington gelisah. "Saya lihat ada beberapa pintu, tapi tak ada yang dibubuhi tanda."
Saat itu Bob melihat cermin yang besar. Pada bagian tengahnya nampak sebuah tanda tanya.
"Masa mereka masuk ke dalam cermin," kata Worthington, "Tapi walau begitu, kita periksa sajalah!"
Sambil berkata begitu, dipegangnya bingkai cermin, ia melongo, ketika cermin itu langsung bergerak ke belakang, seperti pintu. Bob tidak kalah heran. Ternyata di balik cermin itu ada sebuah lorong sempit.
"Pintu rahasia!" kata Worthington. "Rupanya 'mereka masuk ke sini. Kita harus mengikuti mereka.
Bob tahu pasti, kalau seorang diri ia takkan berani masuk ke lorong yang gelap gulita itu. Tapi karena Worthington langsung dengan langkah pasti, tidak ada pilihan lain bagi Bob kecuali mengikuti. Keduanya menemukan tanda tanya yang dibuat oleh Jupiter di pintu yang terdapat di ujung lorong itu. Mereka memasukinya, dan sampai di ruang proyeksi film. Worthington menerangi tempat itu dengan sorotan lampunya. Nampak tirai beludru yang sudah lapuk, kursi-kursi usang, serta orgel tua berselubung debu, Tapi baik Jupiter maupun Pete tidak ada di situ.
Kemudian Bob Andrews melihat sesuatu yang berkilat di bawah salah satu kursi, lalu memungut benda itu.
"Worthington!" serunya. "Ini senter Pete yang baru dibelinya."
"Tak mungkin Master Crenshaw meninggalkannya di sini dengan sengaja," kata supir itu. "Jadi tentunya tadi terjadi sesuatu di sini. Kita harus mencari kalau ada tanda-tanda.
Bob dan Worthington merangkak-rangkak di gang antara deretan kursi-kursi, sementara Worthington menyorotkan lampunya dekat ke lantai.
"Lihatlah! Di sini debu berserakan!"
Ucapan Worthington memang benar. Dan di tengah debu yang seperti terhapus itu nampak tanda tanya yang dibuat secara tergesa-gesa. Worthington kelihatannya gelisah menemukan tanda tanya itu. Tapi ia tidak mengatakan apa yang dipikirkannya pada Bob. Ia tegak lagi, sambil mencari-cari. Akhirnya ditemukan jejak kaki di atas debu, menuju ke depan, lalu mengitar ke belakang kain layar yang sudah robek-robek, melewati sebuah pintu yang terdapat di belakangnya.
Mereka sampai di sebuah serambi. Di situ ada tangga putar yang menurun, ke dalam lubang yang gelap gulita. Tapi di serambi itu ada pula sebuah lorong, yang menuju entah ke mana.
Bob dan Worthington ragu-ragu sesaat, tidak tahu mereka harus menyusul ke mana. Menuruni tangga,atau menyusur lorong. Kemudian Worthington melihat tanda tanya yang samar-samar pada pangkal tangga.
"Kita harus lewat tangga," katanya. "Master Jones sangat panjang akalnya - ia meninggalkan jejak yang harus kita ikuti."
"Tapi apa kiranya yang terjadi dengan mereka, Worthington"" tanya Bob, sementara mereka menuruni tangga yang berputar-putar terus ke arah bawah, Bob agak pusing kepalanya karena tak henti-hentinya berjalan memutar ke arah sama.
"Kita hanya bisa menduga-duga," kata Worthington. Ia berhenti sebentar, memperhatikan tanda tanya yang nampak pada suatu landasan tangga. "Jika Master Jones tadi berjalan sambil menuruni tangga, tanda ini pasti dibuatnya di dinding, kira-kira setinggi mata. Jadi saya terpaksa menarik kesimpulan bahwa ia membuatnya sementara dirinya digendong - dan ia melakukannya pada setiap kesempatan orang atau orang yang menggendongnya berhenti sebentar untuk beristirahat. Mungkin saat itu ia sempat menyentuh lantai tanpa ketahuan."
"Tapi siapa yang menggendongnya ke sini"" tanya Bob cemas. "Ini kelihatannya kayak penjara di bawah tanah."
"Ya - persis seperti yang ada di sebuah puri kuno di Inggris, di mana saya pernah bekerja," kata Worthington, "Tempat itu tidak enak! Mengenai siapa yang menggendong Master Jones ke sini, saya tidak tahu. Sayangnya - kita sekarang kelihatannya kehilangan jejak."
"Sementara itu mereka sudah sampai di kaki tangga. Dari tempat itu ada tiga lorong yang menuju ke berbagai arah. Semuanya sama gelapnya. Dan di mana-mana tidak nampak tanda tanya yang dibuat dengan kapur.
"Kita padamkan saja lampu sebentar,
lalu memasang telinga," kata Worthington. "Dalam gelap, mungkin akan terdengar sesuatu."
Begitu lampu dipadamkan, kegelapan langsung menyelubungi mereka. Tercium bau udara pengap dan lembab. Tiba-tiba terdengar bunyi yang asing, kedengarannya seperti batu bergeser di atas batu. Sesaat kemudian nampak sinar cahaya remang. Datangnya dari ujung lorong sebelah tengah.
"Master Jones!" seru Worthington. "Andakah itu""
Sekilas mereka melihat seorang wanita membawa lentera. Tapi dengan segera lentera itu dipadamkan. Terdengar lagi bunyi batu tergeser. Sedang sekeliling mereka sudah gelap gulita lagi,
"Kejar dia!" seru Worthington sambil lari memasuki lorong. Bob menyusul dengan langkah terpincang-pincang. Ketika akhirnya tersusul, Worthington sudah sibuk memukul-mukul dinding batu. Rupanya lorong itu berakhir di situ.
Wanita tadi masuk ke sini!" kata Worthington, "Saya tahu pasti. Saya terpaksa menggunakan kekerasan sekarang. Diambilnya palu besar yang terselip di pinggang, lalu memukul-mukulkannya ke dinding itu. Ternyata pada satu bagian, terdengar bunyi seakan-akan di belakangnya kosong,
Worthington menghantam palunya beberapa kali ke bagian itu. Semen berguguran. Dengan cepat ia sudah berhasil melubangi dinding, yang ternyata tebalnya cuma lima belas senti di situ. Dan dinding itu hanya terbuat dari semen yang dilapiskan pada dasar kawat. Dinding itu sebenarnya pintu-pintu rahasia! Worthington menggoncang-goncangnya. Akhirnya lepas terenggut. Di belakangnya ada lorong lagi, yang nampaknya menuju ke perut bukit karena seluruh sisinya dari batu,
"Ini terowongan!" seru Worthington. "Orang yang menyekap Master Jones dan Master Crenshaw, pergi lewat terowongan ini. Wanita tadi rupanya seorang dari mereka. Cepat - sebelum ia berhasil melarikan diri."
"Worthington membimbing Bob, agar mereka bisa lebih cepat berjalan. Setelah beberapa langkah, dasar terowongan itu terasa kasar sekali. Langit-langitnya rendah, sehingga Worthington terpaksa berjalan terbungkuk-bungkuk di situ.
Tahu-tahu lampunya jatuh karena terantuk dinding, lalu padam. Sementara Bob menggerayangi lantai mencari lampu itu, didengarnya bunyi kelepak sayap serta suara mencicit-cicit. Tiba-tiba sesuatu yang lembut membentur dirinya dalam gelap, disusul sambaran dekat kepala.
""Kelelawar!" seru Bob ketakutan. "Worthington! Kita diserang kawanan kelelawar raksasa.


Trio Detektif 01 Misteri Puri Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tenang. Nak! Jangan panik," kata Worthington. la berlutut lalu mencari-cari lampunya yang jatuh tadi, sementara Bob menutupi kepalanya dengan lengan. Di sekelilingnya beterbangan makhluk-makhluk besar bertubuh lembut. Seekor di antaranya hendak hinggap di kepala Bob. Ia menjerit ngeri, sambil buru-buru mengibaskan binatang itu.
"Worthington!" teriaknya. "Mereka bukan kelelawar biasa, tapi vampir raksasa! Badannya sebesar burung dara!"
"Ah, saya rasa bukan, Master Andrews," kata Worthington. Ia sudah menemukan lampunya, yang langsung disorotkan ke atas. Nampak berlusin-lusin binatang bersayap beterbangan di atas kepala mereka, Tapi bukan kelelawar, melainkan burung, Begitu melihat ada cahaya bersinar, burung-burung itu dengan segera datang menghampiri sambil menciap-ciap. Worthington cepat-cepat memadamkan lampu lagi.
"Mereka tertarik cahaya terang,'" serunya pada Bob. "Kita harus berusaha kembali dalam gelap ini. Sini, pegang tangan saya."
Bob memegang tangan Worthington, dan orang Inggris itu berjalan mendului, sambil meraba-raba sepanjang dinding batu yang kasar. Burung burung tadi tidak kedengaran lagi. Bob dan Worthington berhasil kembali ke ruang bawah tanah Terror Castle, tanpa ada yang merintangi. Pintu rahasia ditutup kembali, supaya burung-burung itu tidak bisa ikut masuk.
"Saya rasa Master Jones dan Master Crenshaw tidak dibawa lewat terowongan itu," kata Worthington. "Soalnya, kalau mereka digotong lewat situ orang-orang yang membawa tentunya harus meletakkan mereka sebentar ke tanah sewaktu hendak membuka pintu. Dan saat itu Master Jones tentunya sempat meninggalkan tanda di sini. Tapi kenyataannya, di sini sama sekali tidak ada tanda."
Di situ memang tidak ada tanda. Tapi tah
u-tahu ada yang berteriak-teriak. Dan tidak salah lagi, itu suara Jupiter, yang segera diikuti oleh Pete. Suara mereka kedengarannya datang dari lorong gelap yang baru saja ditinggalkan oleh Bob dan Worthington. Supir Rolls-Royce itu bergegas masuk kembali ke lorong itu. Di situ ditemukannya sebuah pintu yang tadi tidak nampak, karena terburu-buru mengejar wanita yang membawa lentera. Ketika pintu itu dibuka, di dalamnya nampak sebuah sel sempit, lengkap dengan gelang-gelang besi terpasang di dinding, Pete dan Jupiter ada dalam sel itu, terikat erat seperti bingkisan Natal. Keduanya sama sekali kelihatan senang karena ditolong, Mereka malah jengkel, karena teriakan-teriakan mereka tidak sudah didengar dari tadi.
Sambil membebaskan keduanya dari ikatan, Worthington menjelaskan bahwa ia tidak bisa mendengar teriakan mereka, sebab sibuk mengejar wanita misterius tadi, serta ribut menghantam pintu terowongan supaya bisa masuk.
"Kita h,arus segera keluar dari sini lalu memberitahukan pihak berwajib, kata Worthington, sementara Jupiter dan Pete sibuk membersihkan diri dari debu. "Mereka itu berbahaya. Kalian ditinggalkan di sini, supaya mati kelaparan.
Jupiter tidak begitu memperdulikannya.
Perhatiannya lebih tertarik pada kisah Bob yang mengatakan tadi diserang burung-burung dalam terowongan.
"Burung-burung jenis apa"" tanyanya.
"Jenis apa"" seru Bob dengan kesal. "Aku tak sempat menanyakannya tadi pada mereka. Pokoknya cara mereka menyerang, kayak garuda ukuran mini."
""Mereka sebetulnya tidak berbahaya," kata Worthington. "Mereka tadi hanya tertarik pada cahaya terang. Menurut perasaan saya, burung-burung tadi itu parkit, Master Jones.
"Parkit"" Jupiter terlonjak, seperti disengat kalajengking, "Ayo, ikut aku! Kita harus bertindak cepat!"
Sambi mengambil senter yang tergantung pada ikat pinggang, ia bergegas ke luar.
"Kenapa dia"" tanya Pete heran, sementara Bob menyodorkan senter kepadanya.
""Kurasa ia menemukan jejak," jawab Bob. "Pokoknya, ia tidak bisa kita biarkan pergi sendiri.
"Sudah jelas tidak," kata Worthington sependapat. "Kita harus menyusulnya!"
Mereka bergegas menyusul Jupiter, yang walau pergelangan kakinya masih dibalut, sementara itu sudah sekitar lima puluh meter jauhnya di depan mereka. Dengan cepat Pete meninggalkan Worthington, karena ia masih harus membantu Bob. Ketika keduanya masuk ke terowongan, nampak cahaya senter Jupiter dan Pete bergerak-gerak di depan. Mula-mula menanjak, lalu turun, kemudian menikung.
Mereka berjalan secepat yang mungkin dilakukan, tanpa mengacuhkan burung-burung parkit yang beterbangan sekeliling mereka. Di beberapa tempat Worthington harus berjalan terbungkuk-bungkuk, karena sisi atas terowongan di situ sangat rendah. Akhirnya mereka sampai di bagian yang lurus. Nampak di kejauhan kedua senter tidak bergerak lagi. Worthington dan Bob bergegas menyusul. Sesampai di tempat kedua senter tadi berhenti bergerak, ternyata di situ ada pintu dari kayu. Pintu itu terpentang lebar. Mereka melewatinya, menggabungkan diri dengan Jupiter serta Pete yang sudah lebih dulu keluar, Ternyata mereka berada dalam sebuah kandang kawat yang besar, dikerubungi sejumlah besar burung parkit yang menggelepar-gelepar ketakutan,
"Kita berada dalam kandang besar tempat Mr. Rex memelihara burung-burung parkit!" seru "Jupiter, mengalahkan kebisingan suara burung,
"Ujung Black Canyon rupanya tepat sejajar dengan ujung Winding Valley Road, hanya dipisahkan oleh bukit batu yang tidak seberapa lebar. Aku sama sekali tidak menduga kemungkinan itu - karena awalnya terpisah begitu jauh, pada sisi gunung yang berlawanan,"
Jupiter mendorong pintu kawat kandang itu sampai terbuka. Mereka berempat bergegas ke luar. Ternyata mereka dekat sekali dengan bungalo Mr. Rex. Lewat jendela rumah itu, mereka melihat Mr. Rex sedang bermain kartu dengan seorang laki-laki berbadan kecil dan berambut gondrong. Mereka nampaknya santai sekali.
"Kita akan mengagetkan mereka," bisik Jupiter. "Padamkan senter."
Jupiter menyelinap ke pintu depan, diikuti yang lainnya. Sesampai di situ, ia menekan bel. Dengan sege
ra pintu terbuka. Mr. Rex muncul di ambangnya, sambil menatap mereka dengan kening berkerut. Baru sekali itu Bob melihat tampang orang itu. Ia ngeri melihat keseramannya, dengan kepalanya yang botak serta bekas luka memanjang di leher.
"Ada apa"" bisik Mr. Rex dengan nada menakutkan,
"Kami ingin bicara sebentar dengan Anda, Mr. Rex," kata Jupiter.
"Bagaimana jika aku saat ini tidak mau diganggu""
"Kalau begitu -" kini Worthington yang berbicara, kami terpaksa minta pihak berwajib untuk mengadakan pengusutan."
Mr. Rex nampak kaget. "Itu tidak perlu!" katanya terburu-buru. "Ayo, masuklah!"
Jupiter, Pete, Bob. dan Worthington mengikutinya, masuk ke dalam ruangan di mana laki-laki yang bertubuh kecil masih duduk menghadap meja. Orang itu kecil sekali, tingginya paling-paling satu setengah meter.
"Ini teman lamaku, Charles Grant," kata Jonathan Rex. "Charlie, ini mereka, para remaja yang mengadakan penyelidikan di Terror Castle. Nah, sudah berhasilkah kalian menjumpai hantu-hantu di situ""
"Ya, sudah," kata Jupiter. "Kami sudah berhasil mengetahui rahasia puri itu." Nadanya begitu yakin, sampai Bob dan Pete tercengang mendengarnya. Baru saat itu mereka tahu bahwa mereka berhasil dengan penyelidikan mereka.
"O ya"" kata Pembisik, alias Mr. Rex. "Lalu apa rahasianya""
"Anda berdualah hantu yang selama ini menghantui puri, sehingga tidak ada yang berani datang ke sana," kata Jupiter. "Dan beberapa saat yang lalu, Anda berdua pula yang meringkus diriku serta temanku, Pete Crenshaw lalu meninggalkan kami berdua dalam sel bawah tanah.
Muka pembisik begitu masam, sehingga secara otomatis Worthington menggenggam palunya lebih erat.
""Itu tuduhan berat, Nak," bisik Mr. Rex. "Dan aku berani bertaruh, kau tidak mungkin bisa membuktikannya. "
Pete juga berpendapat begitu, walau tidak dikatakan olehnya. Jangan-jangan Jupiter sudah sinting! Mereka tadi kan diikat dua orang wanita. Seorang Inggris. serta seorang wanita tua kaum pengembara.
"Lihat saja ujung sepatu Anda," kata Jupiter. "Aku menandai sepatu-sepatu Anda berdua dengan tanda rahasia kami, sementara Anda berdiri di dekat kami ketika sedang mengikat kami dengan tali."
Kedua orang itu memandang sepatu mereka. Di ujung sepatu kanan keduanya yang hitam mengkilat, nampak tulisan yang dibuat dengan kapur. Sepasang tanda tanya!
Bab 18 WAWANCARA DENGAN HANTU
"Kedua laki-laki itu kelihatannya kaget. Begitu pula halnya dengan Pete, Bob dan Worthington.
"Tapi -" kata Pete, namun Jupiter langsung memotong.
"Mereka memakai pakaian wanita serta rambut palsu," katanya. "Aku menyadari hal itu ketika teraba olehku sepatu mereka, Mana ada wanita memakai sepatu pria! Saat itu aku langsung sadar, kelima anggota komplotan yang meringkus kita, sebenarnya hanya dua orang saja yang berganti-ganti pakaian."
"Maksudmu, kedua orang Arab, laki-laki bangsa Cina serta kedua wanita tadi - sebenarnya mereka itu semua cuma Mr. Rex dan Mr. Grant saja"" tanya Pete tercengang,
Ya, dia benar," kata Mr. Rex dengan nada lesu. "Kami memainkan peranan suatu komplotan besar, supaya kalian berdua benar-benar ketakutan. Kami mengenakan kostum jubah dan gaun, karena dengan begitu kami bisa menukar peranan dengan cepat. Tapi jangan kalian menyangka, kami benar-benar bermaksud hendak mencelakakan kalian. Aku tadi datang kembali hendak membebaskan kalian, ketika mereka berdua ini melihat aku." Sambil berkata begitu ia, ia menuding Bob dan Worthington.
"Kami bukan pembunuh," kata Mr. Grant. teman Jonathan Rex yang bertubuh kecil. "Juga bukan benar-benar penyelundup. Kami cuma hantu."
Ia tertawa geli. Tapi Jonathan Rex tetap kelihatan serius.
"Kalau aku, aku pembunuh," katanya. "Aku menewaskan Stephen Terrill.'
"O ya, betul juga," Mr. Grant mengatakannya dengan sambil lalu, seolah-olah melupakan sesuatu hal yang sepele. "Kau menyingkirkan dia. Tapi itu kan soal kecil."
"Mungkin polisi lain pendapatnya," kata Worthington. "Saya rasa lebih baik kita menghubungi pihak berwajib saja."
"Jangan! Tunggu." Pembisik mengangkat tangannya. "Tunggu sebentar - nanti kalian bisa berbicara sendiri dengan Ste
phen Terrill." "Maksud Anda, dengan arwahnya"" seru Pete.
"Tepat - dengan hantunya. Ia akan menjelaskan nanti, apa sebabnya aku menyingkirkannya. "
Sebelum ada yang sempat menghalang-halangi, Mr. Rex sudah menyelinap lewat sebuah pintu ke kamar sebelah.
"Jangan khawatir," kata Mr. Grant. "Ia bukannya hendak melarikan diri. Sebentar lagi ia sudah kembali. O ya, ini pisaumu, Jupiter Jones.
"Terima kasih," kata Jupiter, ia merasa " senang karena ia sayang pada pisau lipat yang bagus itu.
"Tak sampai semenit kemudian, pintu yang dimasuki Mr. Rex tadi terbuka lagi. Seorang laki-laki muncul dari situ. Tapi bukan Pembisik!
Orang yang baru muncul itu lebih pendek, dan kelihatannya lebih muda. Rambutnya yang berwarna coklat sudah beruban, tersisir rapi. Ia memandang orang-orang yang berkumpul sambil tersenyum ramah.
"Selamat malam," sapanya. "Aku Stephen Terrill. Kalian ingin bicara dengan aku""
Semua menatapnya dengan mulut ternganga. Bahkan Jupiter pun sekali itu tidak tahu akal. Akhirnya Mr. Grant yang membuka mulut.
"Dia memang Stephen Terrill," katanya.
Tampang Jupiter masam. Ia jengkel terhadap dirinya sendiri.
"Mr. Terrill," katanya, "Anda juga Jonathan Rex, alias Pembisik. Betul, kan""
"Dia - Pembisik"" seru Pete kaget. "Dia kan kalah tinggi, rambutnya masih ada, dan -"
"Itu soal gampang," kata Stephen Terrill.
Dengan tiba-tiba ia menyentakkan rambutnya, menunjukkan kepala botak di bawahnya. Ia juga meluruskan tegaknya, sehingga langsung nampak bertambah tinggi. Matanya dipicingkan, sedang bibirnya dirapatkan. Ia mendesis, "Jangan bergerak, jika masih sayang nyawa!
Nadanya begitu meyakinkan, sehingga semua kaget dibuatnya. Ia memang Pembisik! Tapi ia juga bintang film yang dikabarkan- sudah lama meninggal dunia. Setidak-tidaknya itu masih bisa disimpulkan sendiri oleh Bob dan Pete.
Mr. Terrill alias Jonathan Rex mengambil suatu benda aneh dari kantongnya. Tiruan bekas luka, terbuat dari plastik.
"Kalau ini kutempelkan ke leherku, lalu rambut palsuku ini tidak kupakai dan dalam sepatu kupasang alas tumit, Stephen Terrill langsung lenyap," katanya. "Dengan suara berbisik-bisik kalau bicara, aku menjelma menjadi laki-laki menyeramkan, yang dikenal dengan julukan Pembisik."
Mr. Terrill mengenakan rambut palsunya kembali. Langsung tampangnya berubah lagi, kelihatan seperti manusia biasa.
Anak-anak berebut-rebut mengajukan pertanyaan, Tapi Mr. Terrill mengangkat tangannya, menyuruh mereka tenang,
"Lebih baik kita duduk dulu," katanya, "nanti kujelaskan semuanya. Kalian lihat foto itu"" Ia menuding foto di atas meja, yang menunjukkan dirinya bersalaman dengan Pembisik. Padahal ia bersalaman dengan dirinya sendiri.
"Kalian tentu tahu juga, itu dibuat dengan teknik tipuan, untuk menambah kesan bahwa Terrill dan Rex itu memang dua orang yang berlainan. Soalnya, ketika aku dulu baru saja menjadi bintang film, aku merasa kewalahan dalam menangani urusan bisnisku, karena kecuali pemalu aku ini juga berlidah pelat. Aku paling tidak senang bicara dengan orang lain. Aku tidak bisa menangani segala urusanku dengan sebaik-baiknya.
"Karena itu lantas kuciptakan tokoh Pembisik, lalu kujadikan pengelola urusan bisnisku. Pembisik kalau bicara selalu sambil berbisik-bisik dengan nada menyeramkan. Itu gunanya supaya lidahku yang pelat tidak kentara. Tampangnya begitu galak, sehingga aku sama sekali tidak pernah mengalami kesulitan dalam menghadapi orang-orang yang ada urusan dengan aku. Tak ada yang tahu bahwa Terrill dan Rex sebenarnya cuma aku sendiri - kecuali temanku ini, Charlie Grant. Charlie dulu periasku. Dialah yang selalu membantu aku menjelma dari Stephen Terrill menjadi Pembisik.
"Siasat itu berhasil baik, sampai aku membuat film bicaraku yang pertama. Saat itu aku menjadi tertawaan orang! Harga diriku terpukul. Aku menarik diri dari dunia ramai, mengunci diriku dalam puriku. Ketika kemudian aku mendapat kabar bahwa rumah itu akan . disita bank, aku bertambah bingung.
"Pada saat puriku sedang dibangun, para pekerja menemukan celah dalam batu tebing Black Canyon. Celah itu memanjang menembus punggung bukit
sampai ke sisi seberang, sampai di ujung Winding Valley Road. Para pekerja kusuruh menembok terowongan alam itu. Tapi secara diam-diam kupasang sebuah pintu rahasia di situ. Kemudian, selaku Jonathan Rex aku membeli tanah yang letaknya di ujung seberang lorong alam itu, lalu membangun rumah kecil di situ. Ini dia rumahnya," katanya sambil melambaikan tangan ke sekelilingnya. Dengan begitu aku bisa mondar-mandir dengan bebas, tanpa ada yang mencurigai identitas gandaku.
"Waktu itu aku sering berkeliaran naik mobil sendiri, untuk melenyapkan perasaan murung yang menghinggapi diriku. Suatu hari, ketika aku sedang naik mobil menyusur tebing jauh di atas pantai, aku mendapat akal yang hebat. Timbul pikiranku untuk membuat kecelakaan pura-pura."
"Anda sendiri kan, yang menjatuhkan mobil Anda ke bawah tebing"" sela Jupiter.
Mr. Terrill mengangguk "Ya, betul," katanya. "Mula-mula aku menulis surat dan meninggalkannya di tempat yang menyolok sehingga pasti kemudian ditemukan orang. Lalu pada suatu malam yang gelap, pada saat hujan deras, aku melaksanakan rencanaku itu. Mobilku kujatuhkan ke kaki tebing - tentu saja tanpa diriku. Bagi kalangan umum, dengan kecelakaan itu tamatlah riwayat Stephen Terrill. Juga bagiku, sejak saat itu Terrill tidak ada lagi. Bagiku ia sudah mati, dan harus tetap mati. Kecuali itu aku ingin tetap memiliki puriku. Tak enak rasanya membayangkan ada orang lain memilikinya, atau tinggal di situ.
"Walau sejak kecelakaan palsu itu puri kosong, tapi aku bisa setiap saat ke sana lewat terowongan dalam batu. Karenanya aku bisa hadir dalam keadaan tersembunyi di sana ketika polisi datang memeriksa, sehingga mereka kubuat lari terbirit-birit. Dulu, ketika puri itu kubangun, aku memasang berbagai perlengkapan di situ, untuk mengagetkan kawan-kawanku dengan berbagai tipuan teknik. Dan segala perlengkapan itu kemudian besar sekali manfaatnya untuk menimbulkan kesan bahwa tempat itu berhantu,
"Setelah berhasil mengusir polisi, aku melakukan pengacauan lagi dengan bayangan hantu, ketika bank menyuruh orang-orang mereka untuk mengangkut barang-barang milikku untuk dilelang, Dengan segera aku tidak perlu berbuat apa-apa lagi, untuk menakut-nakuti orang-orang yang masuk ke puri. Mereka takut sendiri. Tapi walau begitu aku selalu waspada, jangan sampai kengerian orang pada tempat itu berkurang. Sekali-kali aku menggulingkan batu-batu ke dalam ngarai, supaya orang semakin tidak ingin membeli Terror Castle,
"Siasatku berhasil. Bank tidak bisa menjual puriku, Sementara itu aku rajin menabung, supaya bisa menebusnya. Sebagai Jonathan Rex, pedagang burung-burung eksotik, aku berhasil mengumpulkan cukup banyak uang untuk cicilan pertama ... Tapi kemudian muncul..."
Aktor itu menarik napas panjang,
"Kalian ternyata jauh lebih nekat dari semua orang sebelum kalian," katanya,
"Mr. Terrill," kata Jupiter, yang selama itu mendengarkan dengan penuh perhatian, "Anda menelepon kami setelah kunjungan kami yang pertama, lalu menirukan suara hantu untuk menakut-nakuti kami""
Mr. Terrill mengangguk. "Kusangka dengan begitu kalian pasti bertambah takut."
"Tapi dari mana Anda bisa tahu bahwa kami akan datang malam itu, dan dari mana Anda tahu kami ini siapa"" tanya Jupiter lagi.
Mr. Terrill tersenyum sekilas,
"Temanku inilah yang menjadi pengawas untukku," katanya, Charles Grant mengangguk.
"Di mulut Black Canyon ada sebuah bungalo kecil, yang tidak begitu nampak dari jalanan. Charlie tinggal di situ. Setiap ia melihat orang memasuki ngarai, dengan segera ia menelepon aku. Dan aku bergegas ke puri lewat lorong rahasia, untuk menyambut tamu tak diundang itu.
"Hari itu, ketika ia melihat ada mobil Rolls-Royce memasuki jalan ngarai lalu melaporkannya padaku, aku langsung teringat pada berita surat kabar mengenai seorang remaja yang memenangkan hak memakai mobil itu.
"Malam itu kalian terpaksa lari tunggang-langgang dari puri. Harap jangan kecil hati, karena orang lain masih lebih takut lagi! Setelah kalian pergi, aku kembali ke sini, Kucari nama kalian dalam buku telepon, tapi tidak ada, Aku lantas menghubungi bagian penera
ngan kantor telepon. Ternyata kau baru saja memasang telepon, Jupiter Jones, Aku lantas meneleponmu."
""Oh, begitu," kata Jupiter. Pete menggaruk garuk kepala. Ia teringat pada ucapan Jupiter yang menyatakan bahwa misteri-misteri jawabannya sederhana saja - apabila sudah diketahui. Tapi sebelumnya - repot!
"Itu rupanya sebabnya kenapa Skinny Norris -- maksudku kedua remaja yang juga datang ke puri - lari lagi terburu-buru, ketika aku datang bersama Pete untuk menemui Anda, kata Jupiter.
"Ya aku diberi tahu oleh Charlie, dan aku sudah menunggu mereka. Tapi kedatangan kalian yang nyaris serempak, membuat kami agak bingung. Tampang Mr. Grant kelihatan malu.
"Aku ingin menjelaskan sedikit tentang kejadian itu," katanya. "Ketika kalian datang, aku tidak sempat lagi memberi tahu Steve - maksudku Mr. Terrill. Karenanya aku lantas masuk ke ngarai jalan samping, untuk mengawasi kalian.. Aku melihat kedua remaja yang datang lebih dulu lari meninggalkan puri, lalu kalian mengejar mereka. Saat itu dengan tidak kusengaja aku menginjak batu sehingga batu itu terguling-guling ke bawah, Kalian berdua mendongak dan melihat aku."
"Jadi Anda rupanya yang kami kejar waktu itu!" tukas Pete, "Dan Anda yang menyebabkan batu-batu longsor. Nyaris kami mati tertimbun.
"Itu benar-benar tak kusengaja," kata Mr. Grant dengan nada menyesal. "Batu-batu itu memang ditumpukkan di situ. Gunanya untuk digulingkan ke bawah, untuk menggetarkan orang yang datang hendak membeli puri. Waktu itu aku cemas sekali. Aku khawatir kalau-kalau kalian cedera parah, walau aku melihat kalian cepat-cepat berlindung ke dalam celah di tebing. Ketika kemudian kulihat dahan kayu tersembul dari tengah-tengah tanah yang tertimbun menutupi mulut celah itu, aku lantas menarik kesimpulan bahwa kalian selamat. Aku bersembunyi sambil menunggu sampai kalian sudah berhasil ke luar. Kalau saat itu kalian nampaknya mengalami kesulitan, aku pasti datang membantu."
Kening Jupiter Jones masih tetap berkerut. "Kurasa aku bisa memahami sebagian besar dari kejadian itu," katanya, "Tapi ada beberapa hal yang masih belum jelas."
"Tanya saja semaumu," kata Mr. Terrill. "Kau berhak mengetahui semua jawabannya."
"Sore itu, ketika kami mendatangi Anda sebagai Jonathan Rex," kata Jupiter, "di sini sudah tersedia limun dengan es. Seolah-olah Anda memang memperkirakan kami akan datang, Anda juga mengatakan waktu itu bahwa Anda habis merambah semak kering, Padahal itu tidak benar. Ini memang soal kecil, tapi aku ingin mengetahui kejelasannya.
Mr. Terrill tertawa pelan,
"Setelah kalian berhasil membebaskan diri dari timbunan batu dan tanah, kalian begitu sibuk sehingga tidak melihat Charlie membuntuti kalian kembali ke mobil," katanya, "Saat itu persembunyiannya cukup dekat, sehingga ia mendengar ucapanmu menyebutkan alamatku "pada supir. Dan begitu kalian pergi, Charlie lantas menelepon ke sini.
"Dengan segera aku bersiap-siap. Dari jendela sini aku bisa melayangkan pandangan jauh menyusur WindingValley Ras. Dan mobil kalian yang antik itu gampang sekali dikenali. Begitu aku melihatnya datang, aku cepat-cepat menyiapkan minuman, lalu pergi ke semak. Parang kubawa, supaya ada alasan kenapa aku ke sana. Padahal aku memperhatikan kalian, sementara kalian menuju kemari.
"Saat itu aku belum pasti, apa tindakanku terhadap kalian. Tapi akhirnya aku memutuskan untuk bersikap ramah, tapi juga menambahkan kesan bahwa Terror Castle memang ada hantunya. Dengan begitu aku berharap, kalian dengan sendirinya akan menjauhi tempat itu. Aku waktu itu kan tidak banyak berdusta, kan" Memang, aku memang mengatakan bahwa Stephen Terrill sudah mati. Bagiku, dia memang sudah mati.
"Waktu itu aku juga mengatakan, aku tidak pernah lagi melangkahkan kaki melewati ambang pintu gerbang puri. Kenyataannya memang begitu! Aku selalu datang dan pergi lewat terowongan rahasia. Jalan masuk ke situ letaknya dalam kandang burung, jadi tidak ada orang lain yang bisa melihat apabila aku pergi ke sana. Tapi malam ini aku begitu terburu-buru ke luar, sehingga lupa menutup pintu kembali. Sebagai akibatnya, burung-burungku ma
suk ke dalam terowongan."
"Jupiter mencubit-cubit bibir bawahnya,
"Lalu wanita pengembara yang datang untuk memperingatkan kami - itu kan Mr. Grant sebenarnya, Mr. Terrill"" katanya,
"Tepat! Ketika kuketahui bahwa kalian detektif, aku lantas merasa bahwa kalian tidak gampang mundur. Karena itu Charlie lantas menyamar sebagai wanita tua, lalu datang ke tempatmu untuk memperingatkan kalian. Kusangka kalian pasti takkan berani datang lagi setelah itu.
"Aku malah ingin tahu karenanya, Mr. Terrill," kata Jupiter. "Orang-orang lain, tak ada yang pernah diperingatkan. Aku menjadi heran, kenapa justru kami diberi tahu, jangan datang lagi. Hantu mana mungkin mau repot-repot memperingatkan manusia! Karenanya aku menarik kesimpulan, pasti manusia yang tidak ingin kami datang ke Terror Castle.
"Lalu dari foto-foto yang dibuat oleh Bob, kulihat bahwa baju zirah yang ada dalam Ruang Gema tidak begitu berkarat. Begitu pula perpustakaan tidak begitu banyak debu di tempat itu. Padahal rumah yang sudah lama kosong, tentunya banyak debu, Aku mendapat kesan, Terror Castle biarpun kosong, tapi ada yang merawatnya.
"Dan satu-satunya orang yang paling berkepentingan merawat tempat itu, tentu saja pemiliknya sendiri. Stephen Terrill! Karenanya aku menarik kesimpulan, Anda pasti masih hidup, Sir. Harus kuakui, malam ini Anda nyaris menipu diriku, ketika Anda berperan sebagai kawanan penyelundup internasional. Waktu itu aku tertipu sesaat. Kurasa Anda yang menjadi orang Arab yang tingginya sedang, lalu orang Cina dan wanita Inggris. Sedang Mr. Grant menjadi Arab yang pendek serta wanita tua."
"Betul," kata Stephen Terrill berkilat-kilat jenaka. "Kami memakai koleksi rambut palsu dan kostum milikku. Kami ingin menakut-nakuti kalian, biar benar-benar kapok kemari. Menurut pendapatku, jika diancam pembalasan dendam kawanan penyelundup, besar kemungkinannya kalian takkan mau lagi datang ke puri. Soalnya, aku sudah kewalahan menghadapi kenekatan kalian. Nah, begitulah ceritanya. Masih ada lagi yang ingin kalian ketahui""
"Wah - masih banyak!" sekarang barulah Pete membuka mulut lagi. "Misalnya saja, mata yang menatap dari lukisan bajak bermata satu."
"Itu mataku," kata Stephen Terrill. "Di belakang lukisan-lukisan itu ada lorong rahasia, dan tepat pada bagian mata lukisan itu terdapat sebuah lubang untuk mengintip."
"Tapi ketika aku bersama Bob kemudian datang dan memeriksa lukisan itu, kami sama sekali tidak menemukan lubang di situ," kata Pete.
"Setelah kalian lari pada malam pertama, lukisan itu kuganti dengan lukisan lain yang sama," kata Stephen Terrill. "Aku berjaga-jaga, karena menduga kalian pasti kembali memeriksanya."
"Lalu bagaimana dengan Hantu Biru"" tanya Pete. "Dan orgel tua yang memperdengarkan musik aneh itu" Lalu kabut kengerian" Hantu dalam cermin" Hembusan angin dingin dalam Ruang Gema""
"Aku segan memaparkannya," kata Mr. Terrill. "Itu sama saja seperti tukang sulap, yang disuruh menceritakan bagaimana caranya bermain sulap! Kalau diceritakan, tidak asyik lagi menontonnya. Tapi kalian berhak mengetahuinya, dan apabila kalian benar-benar ingin -"
"Kurasa beberapa metode yang Anda pakai, sudah bisa kuketahui sendiri, Sir," sela Jupiter. "Hembusan hawa dingin, sebetulnya gas yang mengalir dari es kering yang meleleh, dan datangnya dari lubang di dinding. Musik aneh itu rekaman yang dimainkan terbalik, dengan pengeras suara. Hantu Biru, mungkin kain kelambu yang dilumuri cat yang bercahaya. Kabut Kengerian, sudah jelas asap dari semacam bahan kimia yang dimasukkan ke dalam lorong tersembunyi lewat lubang-lubang kecil."
"Kau benar, Nak," kata Stephen Terrill. "Dan tentunya begitu kau menyadari bahwa segala penjelmaan aneh itu disebabkan oleh manusia, kau lantas bisa menarik kesimpulan sendiri tentang cara-cara menciptakan segala efek itu.
"Betul, Sir," kata Jupiter, "Sedang hantu dalam cermin, mungkin merupakan proyeksi gambar. Tapi mengenai satu hal, saya tidak begitu pasti. Bagaimana cara Anda menimbulkan perasaan gelisah dan ngeri pada diri orang yang berada dalam puri""
""Janganlah kau minta aku menceritakan sega
la-galanya padamu," pinta Mr. Terrill, Aku ingin menyimpan sebagian dari rahasiaku. Begini saja pun, rencanaku sudah berantakan. Ia berhenti sebentar, lalu melanjutkan, "Aku ingin memperlihatkan sesuatu padamu, Lihatlah!"
Sambil berkata begitu, dibukanya pintu dari mana ia. tadi muncul, setelah bersalin rupa dari Pembisik yang menyeramkan, menjelma menjadi Stephen Terrill. Ternyata di balik pintu itu ada sebuah ruangan besar yang merupakan kamar pakaian. Nampak berbagai kostum bergantungan di dinding. Rambut palsu bertumpuk-tumpuk. Dan di satu sudut terdapat tumpukan kaleng-kaleng bundar, yang biasanya dipakai sebagai tempat menaruh film.
"Di situ, dalam kamar itu .., di situlah Stephen Terrill yang sejati. Segala kostum itu, rambut palsu, segala film yang disimpan dalam kaleng-kaleng - itulah diriku yang sejati. Sedang diriku ini cuma alat belaka, yang menjelmakan segala kostum dan rambut palsu itu menjadi tokoh-tokoh aneh yang menghidangkan keasyikan menonton bagi berjuta-juta orang di seluruh dunia.
"Bertahun-tahun Terror Castle merupakan kebanggaanku yang terakhir. Di situ aku masih bisa menakut-nakuti orang, dan bukan menjadi bahan tertawaan. Dan selama itu aku berlatih keras, menghilangkan ucapan kata-kata dengan lidah pelat. Aku juga sudah berbicara dengan suara lebih berat. Aku melatih diri bersuara sebagai hantu, wanita, bajak laut, orang Arab, orang Cina - dan macam-macam lagi. Aku mengidam-idamkan akan tampil kembali dan membuat film baru.
"Tapi ternyata film-film seperti yang kubuat dulu, sekarang sudah tidak digemari lagi. Sekarang film-film hantu malah sering dibuat sebagai lelucon. Film-film hantu lama yang dihidangkan di televisi diberi suara kocak serta ditambah suara-suara lucu, supaya orang tertawa. Aku tidak mau jika bakatku dijadikan tertawaan!"
Mr. Terrill nampak bergejolak perasaannya. Dipukulkannya tinjunya ke telapak tangan. Napasnya memburu. "Sekarang aku tidak punya apa-apa lagi. Aku tidak bisa lagi menjadi hantu Puri Setan. Bahkan puri akan terlepas dari tanganku. Aku tidak lagi bisa menjadi Pembisik! Aku tidak tahu, apa yang harus kulakukan sekarang!"
Ia berhenti berbicara, untuk menenangkan perasaannya. Saat itu Jupiter menyela. Selama itu ia nampak berpikir keras.
Mr. Terrill. katanya, "kaleng-kaleng itu, isinya segala film seram yang pernah Anda perani dan yang sejak bertahun-tahun tidak pernah dilihat orang lain""
Mr. Terrill mengangguk. "Kenapa kau bertanya begitu"" katanya.
"Kurasa aku tahu akal, bagaimana Anda bi"sa memperoleh puri Anda kembali, serta hal mengasyikkan orang lain dengan jalan menakut-nakuti mereka," kata Jupiter, "Begini maksudku..
"Dan seperti biasa, ternyata Jupiter Jones mendapat ide gemilang.
Bab 19 MR. HITCHCOCK MENGADAKAN KOMPROMI
"Keesokan paginya, ketika mobil Rolls-Royce sedang meluncur membawa mereka ke Hollywood untuk mengunjungi Alfred Hitchcock. Jupiter kelihatannya tidak begitu bahagia. Pete tahu kenapa kawannya itu begitu, Jupiter masih jengkel terhadap dirinya sendiri, karena tidak bisa menarik kesimpulan bahwa Pembisik dan Stephen Terrill sebenarnya orangnya itu-itu juga.
Bob Andrews tidak ikut sekali itu, karena masih ada pekerjaan lain,
"Begitu Worthington mengatakan bahwa dalam lorong rahasia di bawah puri banyak burung parkit beterbangan," kata Jupiter setelah agak lama diam saja, "aku langsung menyadari, burung-burung itu pasti kepunyaan Mr. Rex - dan terowongan bawah tanah itu tentu ujungnya dalam kandang di mana ia memelihara burung-burung itu. Dan Mr. Rex lupa menutup pintunya! Tapi aku sama sekali belum menduga, Mr. Rex itu sebenarnya Mr. Terrill.
"Tapi yang lain-lainnya, kan berhasil kauketahui semuanya," kata Pete, "Sampai dengan kenyataan bahwa Stephen Terrill masih hidup - walau selama beberapa waktu kau sempat terkecoh. Kau bisa bangga terhadap dirimu.
"Tapi Jupiter- hanya menggelengkan kepala.
"*** "Kali ini mereka tidak mengalami kesulitan untuk berjumpa dengan Mr. Hitchcock. Penjaga di gerbang besar melambai sebagai tanda bahwa mereka boleh terus. Beberapa saat kemudian, kedua remaja itu sudah duduk dalam kan
tor sutradara kenamaan itu
"Nah," kata Mr. Hitchcock dengan suara yang berat. "ada yang hendak kalian laporkan""'
"Kami berhasil menemukan rumah yang ada hantunya, Sir," kata Jupiter.
"Ah - begitu"" Alis sutradara itu naik ke atas, seakan-akan heran. Lalu hantu yang ada di situ seperti apa jenisnya""'
"Itulah repotnya," kata Jupiter berterus terang. "Hantunya seseorang yang masih hidup, bukan arwah orang mati."
"Hmm - menarik juga kedengarannya," kata Mr. Hitchcock. Ia menyandarkan diri ke punggung kursinya. "Coba ceritakan."
Mr. Hitchcock mendengarkan dengan tekun, sementara Jupiter bercerita dengan asyik Ketika remaja itu selesai memaparkan pengalamannya bersama kedua temannya, sutradara itu mengatakan, "Aku senang mendengar bahwa Stephen Terrill ternyata masih hidup. Ia pemain film yang ternama pada jamannya. Tapi terus terang saja, aku ingin tahu bagaimana caranya "menimbulkan suasana ngeri dalam purinya, sehingga perasaan itu menghinggapi setiap orang yang masuk ke situ."
"Katanya, ia segan menceritakan pada kami, Sir," jawab Jupiter. "Tapi saya rasa, saya tahu bagaimana caranya. Saya mempelajari sebuah buku tentang orgel, karena ingin membantu paman saya yang sibuk memasang orgel tua yang dibeli olehnya. Saat itu saya menemukan keterangan bahwa getaran sub-sonik- - jadi getaran bunyi rendah yang tak tertangkap lagi oleh telinga manusia - menimbulkan pengaruh aneh terhadap sistem syaraf kita.
"Menurut dugaan saya, Sir, di antara pipa-pipa suara orgel Mr. Terrill yang katanya rusak itu ada beberapa yang menimbulkan getaran tak terdengar, yang mempengaruhi syaraf manusia. Kalau orang yang merasakannya masih agak jauh, ia menjadi gelisah, Tapi semakin dekat ke sumber getaran itu, ia menjadi semakin gelisah, dan akhirnya merasa ngeri yang makin lama semakin memuncak. Tapi tentu saja perasaan itu lenyap apabila kita berada di luar puri. Itu sudah diuji teman-teman saya pada suatu malam."
Pete melirik Jupiter. Jadi itu rupanya sebabnya, kenapa Jupiter berkeras menyuruhnya beserta Bob datang ke Terror Castle pada hari itu! Pete hendak mengucapkan kata-kata pedas. Tapi tidak sempat, karena Mr. Hitchcock sudah lebih dulu berbicara lagi.
""Anak muda," katanya pada Jupiter, "kalian kelihatannya berhasil baik dalam menyibakkan rahasia Terror Castle, Tapi kini, bagaimana dengan Steve Terrill" Menurut pendapatku, kalian tidak menolong dia dengan penyingkapan rahasianya itu."
Jupiter nampak agak tidak enak mendengar kecaman itu.
"Mr. Terrill punya gagasan, yang nampaknya sangat digandrunginya," katanya berusaha menjelaskan, "Ia bermaksud hendak menyerahkan uang yang selama ini ditabungnya dari hasil penjualan burung-burung parkit ke bank, sebagai cicilan pertama pembayaran harga purinya. Ia hendak membeli kembali puri itu dari bank. Ia mempunyai rencana tertentu, dan saya yakin bank pasti bersedia memberi kredit lagi padanya apabila mendengar penjelasannya mengenai rencananya itu.
Begini, Sir - mula-mula ia hendak muncul kembali sebagai Stephen Terrill, bintang film yang lama dikira sudah mati, dan bertempat tinggal lagi di purinya. Pasti akan banyak berita sensasi mengenai dirinya dalam koran-koran."
''Tentu saja," kata Mr. Hitchcock sambil melirik Jupiter dengan hidung terangkat. "Lalu setelah itu""
"Ia bermaksud akan membuka purinya sebagai tempat tontonan. Tentu saja dengan menarik uang masuk. Ia hendak mempertunjukkan film-film seramnya dalam ruang proyeksi. Ia juga akan mengizinkan para pengunjung berkeliaran dalam purinya, yang dibiarkan keadaannya seperti sekarang. Para turis pasti akan datang berduyun-duyun untuk menonton film-filmnya, dan untuk menikmati rasa ngeri yang ditimbulkan oleh Kabut Kengerian serta perlengkapan lainnya yang ada dalam puri itu.
"Mr. Terrill juga akan mendemonstrasikan peranannya sebagai berbagai tokoh seram yang pernah dimainkannya dalam berbagai film, dengan memakai berbagai kostum yang masih disimpan olehnya. Saya merasa pasti, rencananya itu akan sangat sukses."
"Hmm." Mr. Hitchcock mengamat-amati remaja bertubuh gempal yang duduk di depannya,
"Kurasa rencana yang baru saj
a kaupaparkan itu berasal dari gagasanmu, pemuda Jones. Tapi biarlah! Trio Detektif telah menunaikan tugasnya dengan, sangat baik, walau tidak berhasil menemukan rumah yang sungguh-sungguh berhantu bagiku. Walau begitu aku akan menepati janji. Aku akan menuliskan kata pengantar untuk kisah pengalaman kalian ini, apabila sudah dibukukan kelak."
"Terima kasih, Sir," kata Jupiter. "Bagi kami, itu besar sekali artinya,"
"Mungkin ini bisa menghibur perasaan kalian," kata Mr. Hitchcock. "Ternyata menemukan rumah yang benar-benar berhantu sulit sekali, sehingga akhirnya aku terpaksa melepaskan rencanaku itu, Sekarang, apa rencana kalian selanjutnya""
"Mulut Pete sudah gatal saja, ingin mengatakan bahwa rencana mereka sekarang hidup tenang dan santai. untuk melupakan berbagai pengalaman seram yang dialami ketika sedang mengusut misteri Puri Setan, Tapi lagi-lagi Jupiter lebih dulu membuka mulut.
"Kami ini penyelidik, Mr. Hitchcock. Karenanya kami akan langsung mencari kasus lain yang perlu diusut rahasianya."
Mr. Hitchcock melirik ke arahnya. Rupanya sutradara itu menyimpan maksud tertentu, "Kalian kan tidak bermaksud hendak meminta padaku agar mau menuliskan kata pendahuluan untuk kisah kalian yang berikut, jika itu ada"" katanya
'Tidak. Sir," kata Jupiter. Ia menjaga gengsi. "Saya sama sekali tidak bermaksud begitu. Tapi jika Anda sendiri yang mau -"
"Nanti dulu!" bentak Mr. Hitchcock, sehingga Jupiter langsung terdiam. "Aku sama sekali tidak mengatakan begitu. Sama sekali tidak!"
"Memang tidak, Sir," kata Jupiter lirih.
Sutradara itu menatapnya selama beberapa saat, lalu meneruskan kata-katanya.
"Aku sebetulnya hendak mengajukan kasus satu lagi pada kalian," katanya, "Seorang kawan lamaku, dia dulunya biasa memainkan peran dalam pementasan karya-karya Shakespeare, kawanku itu mempunyai seekor burung nuri. Burung itu sekarang hilang, entah ke mana. Kawanku sedih sekali, karena ia sangat sayang pada nuri itu. Polisi kelihatannya tidak bisa banyak membantu. Harus kuakui, kalian telah menunjukkan kecerdikan dalam mengusut misteri yang kalian hadapi selama ini. Jadi mungkin saja kalian bisa berhasil menemukan nuri yang lenyap itu. Kecuali -" sambil berkata begitu ia memandang Pete dan Jupiter dengan kening berkerut, "kecuali jika kalian menganggap mencari burung nuri yang hilang merupakan tugas yang terlalu gampang bagi Trio Detektif!"
"Wah, sama sekali tidak, Sir!" Sekali ini Pete berhasil lebih dulu menyerobot. Bagi dirinya, mencari seekor nuri merupakan tugas yang paling cocok untuk saat itu. Tugas santai! "Semboyan kami kan, 'Kami menyelidiki apa saja!' .
"Dengan senang hati kami mau membantu kawan Anda itu, Sir," kata Jupiter.
Mr. Hitchcock tersenyum. Senyumnya agak aneh. Seakan-akan menyembunyikan sesuatu. Tapi mungkin juga, itu cuma perasaan Pete dan Jupiter saja.
"Kalau begitu, aku mau memperkenalkan kisah kasus itu pula."
"Terima kasih, Sir!" kata Pete dan Jupiter serempak.
"Tapi dengan satu syarat!" kata Mr. Hitchcock dengan tegas. "Kasus itu harus menarik untuk diceritakan. Menurut pendapatku, kalau cuma menemukan burung nuri, biarpun nuri itu yang tidak cukup menarik untuk diceritakan. Kalau kasus itu ternyata gampang dan biasa saja "persoalannya, dengan sendirinya aku akan lepas tangan."
"Anda mengatakan tadi, burung itu gagap, Sir"" tanya Jupiter, Matanya bersinar, menandakan bahwa minatnya mulai timbul.
"Betul, begitulah kataku," jawab sutradara itu, "Kau juga mendengar kata-kataku yang selanjutnya""
"Ya, Sir!" jawab Jupiter, "Selama ini saya belum pernah mendengar ada nuri gagap. Yuk, Pete - kita sudah mendapat kasus baru!"
"Tunggu sebentar!" kata Mr. Hitchcock. Kedua remaja itu tertegun di kursi masing-masing, sementara sutradara kenamaan itu melanjutkan kata-katanya, "Kurasa kalian perlu mengetahui nama dan alamat kawan lamaku itu." Ia menuliskannya pada secarik kertas. "Ini dia!"
"Terima kasih, Sir," kata Jupiter, Dimasukkannya kertas itu ke dalam kantong, lalu menuju ke luar bersama Pete, "Kami akan memberi kabar nanti, bagaimana hasil pengusutan kami, Sir.
Mr. Hitchcock memperhatikan mer
eka pergi. Ia tersenyum simpul. Hebat juga kisah pengalaman para remaja itu, pikirnya. Rahasia Puri Setan. Hm!
"TAMAT tamat Pertarungan Dua Datuk 2 Pendekar Rajawali Sakti 34 Jari Malaikat Rahasia Bunga Cubung Biru 1
^