Pencarian

Misteri Tengkorak Berbicara 1

Trio Detektif 11 Misteri Tengkorak Berbicara Bagian 1


MISTERI TENGKORAK BERBICARA
Alfred Hitchcock Download Ebook Jar Lainnya Di
http://mobiku.tk http://inzomnia.wapka.mobi
PENDAHULUAN SELAMAT datang, Para Penggemar Misteri!
Kita bertemu lagi untuk bersama-sama menyimak suatu kasus baru yang mengasyikkan dari Trio Detektif. Kegiatan mereka didasarkan pada semboyan 'Kami Menyelidiki Apa Saja'. Jika mereka dari semula sudah tahu apa yang akan dihadapi ketika mulai menangani kasus aneh yang melibatkan 'tengkorak bersuara', ada kemungkinan semboyan itu cepat-cepat mereka tukar dengan yang lain. Pokoknya sekali ini mereka terlibat dalam kasus yang di samping misterius juga berbahaya. Dari teka-teki yang satu mereka beranjak ke teka-teki berikut, sampai akhirnya - ah, aku sudah berjanji takkan terlalu banyak bercerita, dan sebaiknya kutepati saja janjiku itu.
Aku hanya masih ingin mengatakan - bagi yang belum kenal - bahwa Trio Detektif terdiri dari tiga pemuda, yang masing-masing bernama Jupiter Jones, Pete Crenshaw, dan Bob Andrews. Mereka tinggal di Rocky Beach, suatu kota kecil di California, hanya beberapa mil dari Hollywood. Mereka merupakan kesatuan yang tangguh. Otaknya Jupiter, yang keahliannya menarik kesimpulan. Pete lebih bisa diandalkan keberanian dan kekuatan jasmaninya. Sedangkan Bob, tekun mengemban tugas riset. Selama ini sudah cukup banyak misteri pelik yang berhasil mereka usut sampai tuntas. Hanya itu saja yang ingin kukatakan pada kesempatan ini, karena aku tahu bahwa kalian sudah ingin cepat-cepat mulai menyimak kasus mereka.
ALFRED HITCHCOCK Bab 1 JUPITER MEMBELI PETI
AWALNYA karena Jupiter Jones membaca surat kabar. Saat itu ia sedang bersantai-santai di bengkelnya yang terletak di satu sudut Jones Salvage Yard bersama Bob Andrews dan Pete Crenshaw, kedua rekannya dari Trio Detektif. Bob sedang menulis catatan tentang kasus mereka yang terakhir ditangani. Pete menikmati kehangatan matahari pagi, yang di California umumnya bersinar cerah. Sedang Jupiter membaca koran. Setelah beberapa lama asyik dengan kesibukan itu, ia mendongak.
"Kalian pernah ke pelelangan"" tanyanya.
"Belum," kata Bob.
Pete menggelengkan kepalanya.
"Aku juga belum pernah," kata Jupiter lagi. "Di sini ditulis bahwa pagi ini ada pelelangan di Perusahaan Lelang Davis, di Hollywood. Yang akan dilelang barang-barang yang ketinggalan di sejumlah hotel. Menurut koran ini barang-barang itu antara lain koper-koper dan peti-peti dengan isi yang tidak diketahui, yang lupa dibawa dan pemiliknya tidak pernah datang lagi, atau milik tamu hotel yang tidak sanggup membayar sewa kamar. Kurasa asyik juga melihat-lihat kesibukan di tempat lelang."
"Kenapa asyik"" tanya Pete. "Aku tidak perlu koper berisi pakaian tua orang lain."
"Aku juga tidak," kata Bob. "Mendingan kita pergi berenang."
"Kita perlu mencari pengalaman-pengalaman baru," ujar Jupiter. "Setiap pengalaman baru akan ikut memperluas dasar pengetahuan kita selaku penyelidik. Sebentar, akan kutanyakan pada Paman Titus apakah Hans bisa mengantar kita ke Hollywood dengan truk yang kecil."
Hans, satu dari dua pemuda bersaudara asal Jerman pembantu Paman Titus, saat itu sedang tidak ada tugas. Karenanya sejam kemudian ketiga remaja itu sudah berada di dalam sebuah ruangan besar. Banyak orang di situ. Mereka memperhatikan seorang juru lelang bertubuh pendek gemuk, yang sambil berdiri di atas semacam panggung sibuk menyerocos, melelang peti-peti dan koper-koper dengan cepat sekali. Saat itu di depannya ada sebuah peti. Juru lelang berusaha menaikkan penawaran sekali lagi.
"Satu kali! Yak, satu kali!" serunya. "Tidak ada lagi yang menawar" Dua kali! Dua kali!... Yak, terjual dengan penawaran dua bel as dolar lima puluh sen pada tuan itu, yang memakai dasi merah!"
Kata terakhir disertai hentakan palu di atas meja mimbar, sebagai tanda bahwa penjualan sudah sah. Kemudian ia berpaling, untuk melihat giliran barang apa yang akan dilelang.
"Sekarang kita sampai pada obyek nomor 98!" seru juru lelang dengan lantang. "Barang yang sangat menarik, Tuan-tuan dan Nyonya-nyonya. Menarik dan lain dari yang lain. Tolong angkatkan kemari, supaya semua bisa melih
atnya!" Dua pekerja bertubuh kekar menjunjung sebuah koper kecil model kuno ke atas panggung. Pete mulai gelisah. Hawa hari itu panas. Apalagi di dalam ruangan yang penuh orang. Menyesakkan napas! Beberapa orang laki-laki yang hadir nampaknya tertarik untuk ikut menawar peti yang tak ketahuan isinya itu. Tapi Pete tidak mau peduli.
"Yuk, Jupe, kita pergi!" gumam Pete pada temannya yang bertubuh gempal itu.
"Sebentar," balas Jupe sambil berbisik pula. "Obyek ini kelihatannya menarik. Aku kepingin juga ikut menawar."
"Kau tertarik pada itu"" Pete menatap peti di atas panggung dengan bingung. "Kau sinting!"
"Pokoknya, aku ingin mencoba memperolehnya. Jika nanti di dalamnya ternyata ada yang berharga, akan kita bagi-bagi bertiga."
"Berharga" Apa sih isinya" Paling-paling pakaian usang yang akhir abad lalu pun sudah tidak modern lagi," kata Bob.
Peti yang dilelang saat itu memang nampak sudah usang. Terbuat dari kayu dengan pengikat serta sambungan kulit. Bagian tutupnya bundar, seperti silinder terpotong. Peti itu kelihatannya terkunci rapat.
"Tuan-tuan dan Nyonya-nyonya," seru juru lelang, "saya minta perhatian Anda pada peti bagus ini. Sungguh, peti seperti ini tidak dibuat lagi sekarang!"
Hadirin terdengar tertawa geli. Memang benar, peti pakaian seperti itu sudah tidak dibuat lagi. Umurnya paling sedikit sudah setengah abad.
"Kurasa pemiliknya dulu aktor," kata Jupiter berbisik-bisik pada kedua rekannya. "Pemain sandiwara keliling dulu biasa memakai peti semacam itu sebagai tempat mengangkut kostum."
"Kita sama sekali tidak memerlukan kostum usang," balas Pete sambil menggerutu. "Sudahlah, Jupe ."
Sementara itu juru lelang melanjutkan aksinya. "Perhatikanlah, Tuan-tuan dan Nyonya-nyonya!" serunya. "Mohon diperhatikan peti ini. Memang, bukan barang baru dan modern juga tidak! Obyek ini harus dinilai sebagai barang antik. Anda harus memandangnya sebagai kenangan indah pada zaman kakek kita dulu. Dan apa kiranya yang ada di dalamnya""
Juru lelang mengetuk-ngetuk peti dengan buku jarinya. Bunyinya mantap.
"Siapa yang bisa tahu apa isinya" Bisa apa saja, Tuan-tuan dan Nyonya-nyonya. Mungkin saja harta permata Tsar Rusia! Saya tidak mengatakan pasti begitu, tapi kemungkinan itu ada saja. Sekarang, berapa penawaran yang saya dengar" Silakan menawar, Tuan-tuan dan Nyonya-nyonya jangan malu-malu!"
Hadirin membisu. Kelihatannya tidak ada yang tertarik pada peti tua itu. Juru lelang nampak agak kesal.
"Ayo, Tuan-tuan dan Nyonya-nyonya!" katanya dengan gaya membujuk. "Silakan menawar! Jangan tunggu lama-lama lagi. Peti antik bagus ini, kenangan indah pada masa silam, peti yang-" Ocehannya terhenti, karena saat itu Jupiter Jones melangkah setapak ke depan.
"Satu dolar!" serunya dengan suara agak parau karena terpengaruh perasaan tegang.
"Satu dolar!" sambut juru lelang dengan segera. "Saya mendengar satu dolar dari pemuda berparas cerdas yang di barisan pertama itu. Dan Anda mau tahu apa yang akan saya lakukan sekarang, Tuan-tuan dan Nyonya-nyonya" Saya akan menunjukkan penghargaan pada kecerdasannya itu, dengan menjual peti ini seharga satu dolar padanya! Yak - terjual!"
Ia mengatakannya sambil memukulkan palu ke mimbar. Hadirin terkekeh pelan. Selain Jupiter tidak ada lagi yang menginginkan peti itu, dan juru lelang tidak mau membuang-buang waktu, berusaha memperoleh penawaran yang lebih tinggi. Jupiter Jones sendiri agak kaget ketika menyadari bahwa ia kini menjadi pemilik sebuah peti antik terkunci yang isinya tidak diketahui. Tapi saat itu tahu-tahu terjadi keributan sedikit di bagian belakang ruangan. Seorang wanita berusaha menerobos maju - seorang wanita tua berambut putih, bertopi model kuno, dan memakai kaca mata berbingkai emas.
"Tunggu!" serunya. "Saya ingin menawar. Sepuluh dolar! Saya menawar sepuluh dolar untuk peti itu!"
Hadirin berpaling ke arahnya. Mereka heran mendengar ada orang mau membayar sepuluh dolar untuk peti usang seperti itu.
"Dua puluh dolar!" seru wanita berambut putih itu sambil melambai-lambaikan tangan. "Saya menawar dua puluh dolar!"
"Sayang sekali, Nyonya," balas juru lelang, "barang itu sudah te
rjual, dan penjualan tidak bisa dibatalkan lagi."
Juru lelang menyapa kedua pekerja yang menunggu. di dekat panggung, "Turunkan barang ini. Masih banyak lagi yang harus dilelang!"
Kedua pekerja itu menurunkan peti dan membawanya ke tempat Jupiter.
"Ini," kata seorang dari mereka. Pete dan Jupiter maju untuk menerimanya.
"Yah, jadi sekarang kita memiliki sebuah peti tua," kata Pete menggerutu, sambil menggenggam pegangan peti. "Lalu akan kita apakan""
"Kita bawa pulang, lalu dibuka," jawab Jupiter. Tangannya meraih pegangan yang satu lagi.
"Eh, tunggu sebentar!" kata pekerja yang satu lagi. "Sebelum kalian pergi, bayar dulu! Urusan sepenting itu jangan sampai dilupakan!"
"O ya, betul juga, Jupiter melepaskan pegangan peti lalu mengeluarkan dompet dari kantungnya. Diambilnya uang satu dolar dan diserahkannya pada pekerja itu, yang menulis sesuatu pada secarik kertas dan menyodorkannya pada Jupiter.
"Nih, tanda pembayarannya," kata orang itu. "Sekarang peti ini sudah menjadi milikmu. Jika di dalamnya ternyata ada intan permata raja, kau boleh memilikinya.
SambiI tertawa diperhatikannya Jupe dan Pete mengangkat peti itu. Keduanya berjalan menerobos orang banyak menuju ke arah belakang ruang lelang, didului oleh Bob. Ketika sudah sampai di tepi belakang kerumunan, mereka didekati wanita tua berambut putih yang tadi datang terlambat untuk ikut menawar. Wanita itu bergegas-gegas.
Tunggu dulu, Anak-anak," katanya. "Kubeli peti itu dari kalian, dengan harga dua puluh lima dolar. Aku ini pengumpul peti kuno, dan aku menginginkan peti itu untuk melengkapi koleksiku."
"Wah! Dua puluh lima dolar!" seru Pete kaget.
"Terima, Jupe!" kata Bob.
"Kau mendapat untung besar, dan bagi pengumpul pun nilainya takkan sesen lebih tinggi dari itu," kata wanita tadi. "Nih - dua puluh lima dolar!"
Ia mengatakannya sambil menyodorkan beberapa lembar uang kertas pada Jupiter, yang dikeluarkan dari tasnya yang besar. Bob dan Pete melongo, ketika melihat Jupiter menggelengkan kepala.
"Maaf, Bu," katanya, "kami tidak bermaksud menjualnya. Kami ingin melihat apa isinya."
"Tidak ada sesuatu yang berharga di dalamnya," kata wanita itu dengan sikap gelisah. "Nih kubayar tiga puluh dolar.
"Terima kasih, tapi saya sungguh-sungguh tidak hendak menjualnya," kata Jupiter sambil menggeleng lagi. Wanita itu mendesah kecewa. Ia hendak mengatakan sesuatu. Tapi tidak jadi. Ia berpaling dengan cepat lalu bergegas pergi, menyelinap ke tengah orang banyak yang ada di dalam ruangan. Kelihatannya ia kaget melihat ada seorang pemuda yang mendekat dengan menenteng kamera.
"Hi, boys," ujar pemuda itu menyapa Jupiter serta kedua temannya. "Aku Fred Brown, reporter harian The Hollywood News. Aku sedang mencari berita menarik tentang kejadian sehari-hari. Aku ingin membuat foto kalian dengan peti itu. Soalnya, cuma kejadian tadi itu saja yang tidak lumrah dalam lelang ini. Ya angkat sedikit peti itu - ya, begitu! Dan kau -" ucapan itu ditujukannya pada Bob, "berdirilah di belakangnya, supaya ikut masuk dalam foto.
Bob dan Pete bersikap agak sangsi. Tapi dengan cepat Jupiter memberi isyarat agar mereka berpose seperti yang dimaui reporter itu. Saat berdiri di belakang peti, Bob melihat bahwa pada tutup peti ada tulisan dengan cat putih yang sudah pudar. Dibacanya tulisan itu. THE GREAT GULLIVER. Sementara itu reporter tadi mengarahkan kamera pada mereka. Jepret! Dengan kilatan sinar terang, mereka sudah difoto.
"Trims," kata repoter itu. "Sekarang kalau boleh kuketahui nama-nama kalian" Dan kenapa kau tadi menolak sewaktu wanita itu menyodorkan uang tiga puluh dolar" Menurutku, keuntungannya kan lumayan""
"Soalnya hanya karena kami ingin tahu," jawab Jupiter. "Menurut perkiraanku, ini peti yang dulu biasa dipakai orang teater, dan kami ingin tahu apa isinya. Kami tadi membelinya karena iseng saja, bukan untuk memperoleh laba."
"Jadi kalau begitu kau tidak beranggapan bahwa di dalamnya ada permata Tsar Rusia"" kata Fred Brown sambil tertawa-tawa.
"Ah, itu kan cuma omong kosong," kata Pete. "Kemungkinannya peti ini isinya kostum-kostum usang."
"Mungkin juga," kata pemuda itu
sependapat. "Nama yang tertulis di atas peti itu memang seperti nama orang teater. Great Gulliver! Ngomong-ngomong. tentang nama, siapa tadi nama kalian""
"Kami tadi tidak mengatakannya," jawab Jupiter. "Tapi ini kartu nama kami. Kami ini - hmm, yah kami ini penyelidik."
Ia menyodorkan kartu nama Trio Detektif yang selalu ada di dalam kantung ketiga remaja itu Reporter tadi membacanya.
TRIO DETEKTIF " Kami Menyelidiki Apa Saja"
" " " Penyelidik Pertama Jupiter Jones
Penyelidik Kedua Pete Crenshaw
Catatan dan Riset Bob Andrews
"Jadi kalian ini penyelidik, ya," kata Fred Brown. Alisnya terangkat. "Dan tanda tanya ini, apa pula artinya""
"Itu lambang kami," kata Jupiter menjelaskan. "Ketiga tanda tanya itu artinya misteri yang belum dipecahkan, teka-teki yang tak terjawab, dan masalah apa saja. Kami menggunakannya sebagai tanda pengenal kami. Kami menyelidiki segala macam jenis misteri."
"Dan kini kalian menyelidiki peti teater usang ini." Reporter yang masih muda itu memasukkan kartu nama Trio Detektif ke dalam kantungnya.
Ia tersenyum. "Terima kasih atas keterangan kalian. Mungkin foto kalian akan sudah terpampang dalam koran malam ini. Itu tergantung, apakah editor yang berwenang menyukai kisahku atau tidak."
Ia mengangkat tangannya sebagai ganti ucapan selamat berpisah, lalu pergi meninggalkan mereka. Jupiter meraih pegangan peti lagi.
"Yuk, Jupe! Kita harus membawanya ke luar," katanya. "Hans tidak boleh sampai terlalu lama menunggu."
Ia bersama Pete menjinjing peti itu menuju pintu ke luar, didului oleh Bob. Pete masih saja menggerutu. "Untuk apa kaukatakan nama kita pada orang itu tadi"" katanya.
"Supaya terkenal dong," jawab Jupiter. "Setiap bisnis memerlukan publisitas, agar dikenal orang. Belakangan ini jarang ada misteri sedang kita perlu aktif terus, jika tidak ingin berkarat." Mereka melewati pintu keluar yang besar, lalu melintasi trotoar, menuju truk kecil yang diparkir di tepi jalan. Peti yang baru dibeli dijunjung ke atas bak belakang, lalu anak-anak naik ke kabin depan, duduk di samping Hans.
"Sekarang pulang, Hans," kata Jupiter. "Kita tadi membeli sesuatu dan kini ingin menelitinya."
"Oke, Jupe," kata Hans sambil menghidupkan mesin mobil. "Jadi kau membeli sesuatu, ya""
"Ya, sebuah peti tua," kata Pete. "Bagaimana cara kita membukanya nanti, Pertama""
"Di rumah kan banyak berserakan anak kunci," kata Jupiter. "Jika kita bernasib mujur, mungkin ada salah satu yang cocok."
"Mungkin juga kita terpaksa membukanya secara paksa," kata Bob.
"Wah, jangan," kata Jupiter sambil menggelengkan kepala. "Nanti rusak petinya! Pokoknya kita harus berhasil membuka kuncinya."
Setelah itu tidak ada yang berbicara lagi sepanjang perjalanan. Setibanya di tempat jual-beli barang bekas yang diusahakan Titus Jones, paman Jupiter bersama istrinya di Rocky Beach, Pete dan Jupiter membantu Hans menurunkan peti dari truk. Peti itu oleh Hans diletakkan di tepi. Saat itu Mrs. Jones muncul dari pondok yang dipakai sebagai kantor perusahaan Jones Salvage Yard.
"Aduh, apa itu yang kaubeli"" tanyanya. "Peti itu kelihatannya sudah begitu tua, pantas jika pemiliknya nenek moyang kita yang dulu pertama datang ke Amerika dengan kapal Mayflower!"
"Setua itu juga tidak, Bibi Mathilda," kata Jupiter. Tapi memang tua. Kami membayar satu dolar untuknya. "
"Yah, setidak-tidaknya kau tidak terlalu banyak menghamburkan uang untuk membelinya," kata bibinya.
"Kurasa untuk mencoba membukanya, kalian pasti memerlukan kumpulan kunci kita. Ambil saja sendiri - tergantung di paku, di sebelah atas meja."
Bob bergegas masuk ke kantor untuk mengambilnya. Kemudian Jupiter memilih-milih anak kunci yang dirasanya mungkin cocok. Setelah setengah jam mencoba, akhirnya ia menyerah. Tidak satu pun anak kunci pada kumpulan itu yang cocok untuk membuka peti kuno itu.
"Sekarang bagaimana"" tanya Pete.
"Kita congkel saja"" usul Bob.
"Jangan dulu," kata Jupiter. "Kurasa Paman Titus masih punya kumpulan kunci lagi. Tapi entah di mana disimpannya. Kita harus menunggu sampai ia sudah pulang."
Saat itu bibi Jupiter muncul lagi dari dalam kantor.
"Nah, Anak-anak," katanya,
"jangan sampai sepanjang hari terbuang untuk itu saja. Sudah waktunya lagi untuk bekerja. Makan siang dulu, dan setelah itu bekerja. Peti tua itu harus menunggu sampai nanti sore."
Dengan segan-segan ketiga remaja itu pergi makan siang di rumah apik bertingkat dua yang letaknya di samping tempat penimbunan barang bekas. Di situlah Jupiter tinggal bersama Bibi Mathilda dan Paman Titus. Selesai makan, mereka mulai bekerja, membetulkan barang-barang yang rusak dan masih bisa diperbaiki. Barang-barang itu kemudian ditawarkan untuk dijual oleh Paman Titus. Kalau laku, Jupiter beserta kedua rekannya mendapat bagian dari laba yang diperoleh. Pekerjaan yang harus dilakukan menyibukkan mereka sampai sore, saat mana Titus Jones kembali. Paman Jupiter itu naik truk besar yang dikemudikan oleh Konrad, saudara Hans yang juga bekerja di situ. Mereka membawa muatan barang bekas yang dibeli Paman Titus hari itu di berbagai tempat. Titus Jones yang bertubuh kecil, berhidung besar, dan berkumis hitam melintang, meloncat turun dari truk dengan gerakan lincah seperti anak muda. Ia pergi menghampiri istrinya, lalu merangkul wanita itu. Kemudian ia melambai-lambaikan surat kabar yang ada di tangannya.
"Kemari, Anak-anak!" serunya pada Jupe, Pete, dan Bob. "Kalian masuk koran!"
Dengan rasa ingin tahu, ketiga remaja itu menghampiri Mr. Jones yang berdiri di sisi istrinya. Paman Titus membentangkan harian The Hollywood News, untuk menunjukkan halaman pertama dari lembaran kedua pada anak-anak. Benar juga, foto mereka terpasang di halaman itu. Jupe dan Pete menjinjing peti tua, sementara Bob tegak di belakangnya. Foto itu jelas sekali. Sampai tulisan THE GREAT GULLIVER yang ada pada tutup peti pun bisa dibaca dengan jelas. Kepala berita yang menyertai berjudul:
PENYELIDIK REMAJA MENGUSUT RAHASIA PETI MISTERIUS.
Tulisan di bawahnya yang disusun dengan nada segar bercerita tentang Jupiter yang membeli peti dan kemudian menolak menjualnya lagi walau akan mendapat untung besar. Dikemukakan pula bahwa ketiga remaja itu memperkirakan akan menemukan sesuatu yang sangat misterius atau sangat berharga di dalamnya. Tentu saja yang terakhir itu sebenarnya hanya dugaan reporter yang menulis karangan itu, dan memang sengaja ditambahkan untuk membuat kisah itu lebih menarik. Anak-anak sendiri sama sekali tidak punya dugaan apa-apa tentang isi peti tua itu. Dalam berita itu juga disebutkan nama mereka, begitu pula bahwa Markas Besar mereka di Rocky Beach, tepatnya di Jones Salvage Yard.
"Ya, dengan ini kita memang bisa menjadi terkenal," kata Pete. "Tapi ada kesan bahwa kita ini agak konyol, karena dikatakan menduga bahwa ada sesuatu yang berharga di dalam peti."
"Itu kan karena juru lelang tadi mengoceh tentang harta permata kebesaran Tsar Rusia," kata Jupiter. "Berita ini harus kita gunting, untuk dimasukkan dalam buku kumpulan berita tentang Trio Detektif."
"Nanti saja," kata Mrs. Jones dengan tegas. "Sekarang sudah waktunya makan malam. Simpan saja dulu peti kalian itu, lalu cuci tangan. Bob, Pete - ikut makan, yuk"" Bob dan Pete sering makan di rumah Jupiter, hampir sesering makan di rumah sendiri. Tapi sekali itu mereka memilih makan di rumah sendiri.
Mereka lantas pergi, naik sepeda masing-masing. Jupiter mendorong petinya ke sudut kantor supaya tidak menghalangi jalan. Setelah itu ia masuk ke rumah, untuk makan malam. Mr. Jones pulang belakangan, setelah mengunci pintu gerbang pekarangan tempat penimbunan barang-barang bekas. Pintu gerbang itu besar, terbuat dari teralis yang dibentuk indah. Asalnya dari pekarangan sebuah gedung besar yang terbakar.
Malam itu berjalan dengan biasa saja. Tapi ketika Jupiter hendak pergi tidur, tahu-tahu pintu rumah diketuk dari luar. Ternyata yang datang Hans dan Konrad. Kedua pemuda bersaudara itu tinggal di sebuah rumah kecil, di bagian belakang.
"Kami cuma ingin memberi tahu, Mr. Jones," kata Hans dengan suara pelan. "Kami baru saja melihat ada cahaya di pekarangan kantor. Kami lantas mengintip lewat celah di pagar. Ternyata di dalam ada orang. Entah sedang apa dia di situ. Mungkin lebih baik jika kita periksa saja!"
"Aduh, aduh, mati aku," kata Mrs. Jones terkejut. "Pencuri!"
"Kita periksa saja sebentar, Mathilda sayang," kata Titus Jones. "Dengan Hans dan Konrad, kita tidak perlu gentar menghadapi pencuri yang bagaimanapun. Akan kita sergap mereka dengan tiba-tiba!"
Bersama kedua pembantunya yang bertubuh kekar, Mr. Jones menyelinap menuju gerbang depan, diikuti oleh Jupiter dari belakang. Tidak ada yang menyuruhnya ikut. Tapi juga tidak ada yang melarangnya. Lewat celah-celah pagar yang mengelilingi kompleks, mereka dapat melihat sinar terang di dalam. Kelihatannya sinar senter. Mereka maju sambi! berjingkat-jingkat. Tapi tahu-tahu Hans jatuh terjerembab, karena kakinya tersandung sesuatu.
"Uhh!" seru pemuda itu karena kaget.
Orang tak dikenal yang ada di dalam rupanya mendengar suaranya. Saat itu juga mereka yang masih ada di luar mendengar langkah orang berlari. Dua sosok gelap lari ke luar lewat gerbang depan, meloncat masuk ke dalam sebuah mobil yang diparkir di seberang jalan. Dengan cepat mobil itu melesat pergi. Mr. Jones bergegas lari ke gerbang depan, diikuti oleh Konrad dan Jupiter. Pintu besi di situ terbuka. Rupanya dibuka dengan kunci palsu, atau dikorek dengan salah satu alat. Orang yang masuk tanpa diundang tadi sudah tidak kelihatan lagi. Tiba-tiba Jupiter mendapat firasat yang tidak enak. Ia cepat-cepat lari ke tempat ia tadi menaruh peti. Peti misterius itu tidak ada lagi di situ!
Bab 2 TAMU YANG LUAR BIASA
BOB membelokkan sepedanya, memasuki pekarangan Jones Salvage Yard lewat gerbang depan. Pagi saat ujung musim panas itu cerah. Hari itu kelihatannya akan panas. Pete dan Jupiter sudah sibuk di pekarangan. Pete sedang membongkar sebuah mesin pemotong rumput yang karatan. Sedang Jupiter menyapukan cat anti karat berwarna putih pada beberapa kursi taman dari besi yang sudah diamplas dulu untuk mengikis karatnya. Keduanya menoleh dengan sikap lesu ketika Bob datang mendekat, setelah menaruh sepedanya.
"Hai, Bob," sapa Jupiter. "Ambil kuas, lalu mulailah bekerja. Cukup banyak kursi yang perlu dicat."
"Kau berhasil membuka peti itu"" tanya Bob dengan cepat. "Lalu, apa isinya""
"Peti"" Pete tertawa hambar. "Peti mana maksudmu, Bob""
"Masa tidak tahu," kata Bob bingung. "Peti yang dibeli Jupiter kemarin, di tempat lelang! Menurut ibuku, foto kita bertiga itu bagus sekali. Ia juga ingin sekali tahu isi peti itu.
"Semua orang kelihatannya ingin tahu," kata Jupiter, sambil terus sibuk mengecat. "Terlalu ingin tahu! Kita kemarin itu seharusnya cepat-cepat menjualnya lagi, sehingga masih bisa untung."
"Apa sih, yang kauomongkan"" tanya Bob.
"Maksudnya, peti itu tidak ada," kata Pete. "Tidak ada lagi. Dicuri orang, tadi malam!"
"Dicuri"" Bob memandang Pete dengan mulut ternganga.
"Siapa yang mencurinya"" "Tidak tahu," kata Jupiter, lalu bercerita tentang kejadian malam sebelumnya. "Kami hanya melihat dua laki-laki lari," katanya mengakhiri cerita. "Dan peti itu lenyap. Rupanya kedua orang itulah yang mencurinya."
"Astaga! Aku ingin tahu, kenapa mereka menginginkannya," kata Bob. "Apa sih isinya, kalau menurut dugaanmu""
"Barangkali mereka pun hanya ingin tahu pula," kata Pete menebak "Mereka membaca berita mengenainya dalam koran, lalu datang untuk melihat."
"Kurasa bukan begitu hal yang sebenarnya," kata Jupiter sambil menggeleng. "Mana ada orang yang mau mencuri peti seharga satu dolar hanya karena ingin tahu saja. Risikonya terlalu besar. Tidak, menurutku mereka mestinya tahu persis bahwa di dalamnya ada barang berharga. Kini aku mulai merasa bahwa peti itu memang pantas diteliti isinya. Sayang tidak ada lagi."
Pembicaraan itu terputus, karena saat itu sebuah mobil mewah berwarna biru memasuki pekarangan. Seorang laki-laki berbadan kurus tinggi dengan alis melengkung ke atas turun dari dalamnya, lalu menghampiri mereka.
"Selamat pagi," sapa orang itu. Ia memandang Jupiter, lalu menyambung, "Mestinya kau Jupiter Jones."
"Betul, Sir," kata Jupiter. "Anda memerlukan sesuatu, barangkali" Paman dan Bibi sedang pergi sebentar, tapi jika ada sesuatu di sini yang menarik minat Anda, saya bisa mewakili mereka menjualnya pada An
da." "Aku hanya tertarik pada satu barang saja," kata laki-laki jangkung itu. "Menurut berita dalam surat kabar setempat, kemarin kau membeli sebuah peti tua. Di tempat lelang. Dengan harga mahal sekali. Satu dolar! Benarkah fakta-fakta yang kusebutkan ini""
"Betul, Sir," jawab Jupiter sambil menatap orang itu. Baik penampilan maupun gaya bicaranya agak aneh. "Itu memang betul."
"Bagus," kata laki-laki jangkung itu. "Untuk tidak membuang-buang waktu lagi dengan berbicara, aku ingin membeli peti itu. Kuharapkan sekali bahwa kau belum menjualnya."
"Memang tidak," kata Jupiter mengaku. "Kami tidak menjualnya, tapi-"
"Kalau begitu beres," kata orang tak dikenal itu. Ia mengibaskan tangannya, dan tahu-tahu di tangannya itu ada sejumlah uang kertas yang dikembangkan seperti kipas. "Lihat," katanya. "Seratus dolar, dalam lembaran sepuluh dolar. Ini kutawarkan untuk membayar peti itu. ia meneruskan karena melihat Jupiter bersikap ragu,
"Itu kan sudah cukup" Tidak bisa kauharapkan aku membayar lebih dari ini untuk peti usang yang isinya cuma barang-barang tak berarti!"
"Memang tidak, Sir," kata Jupiter. Ia berusaha menjelaskan maksudnya. "Tapi-"
"Tak usah kauulangi terus tapimu itu!" sergah laki-laki tadi. "Aku menawarkan harga yang pantas. Aku menginginkan peti itu karena alasan pribadi. Menurut berita di surat kabar, peti itu dulu milik The Great Gulliver. Betul begitu""
"Yah," jawab Jupiter, sementara Bob dan Pete mengikuti pembicaraan itu dengan penuh minat, "nama itu memang tertulis di tutupnya. Tapi-"
"Lagi-lagi tapi!" Laki-laki jangkung itu mengernyitkan kening, menunjukkan kekesalannya. "Jangan kausodorkan terus kata itu padaku. Orang yang bernama panggung The Great Gulliver itu kawan lamaku. Sudah bertahun-tahun aku tidak pernah berjumpa lagi dengan dia. Kukhawatirkan bahwa ia sudah tidak ada lagi. Atau kasarnya, sudah mati. Aku ingin memiliki peti pribadinya itu sebagai kenang-kenangan padanya. Ini kartu namaku."
Ia menjentikkan jari. Lembaran uang yang dipegang tahu-tahu sudah menjelma menjadi kartu nama berwarna putih mulus. Ia menyodorkan kartu itu pada Jupiter, yang menerimanya. Pada kertas putih itu tertulis Maximilian the Mystic. Di bawahnya tertera alamatnya: Klub Sulap, di salah satu jalan di kota Hollywood.
"Anda ahli sulap!" seru Jupiter. Orang yang memakai nama Maximilian the Mystic itu membungkuk dengan sikap anggun.
"Dulu pernah termasyhur," katanya sebagai pengiaan. "Tampil di hadapan raja-raja benua Eropa. Sekarang pensiun, dan menyibukkan diri dengan penulisan sejarah ilmu sulap. Sekali-sekali memperagakan keahlian di depan kalangan terbatas, di antara para sahabat saja. Tapi tidak lagi mengadakan pertunjukan secara profesional."
Tukang sulap itu kembali menjentikkan jari, dan sekali lagi lembaran uang puluhan dolar mengembang seperti kipas di tangannya. "
Kita selesaikan saja urusan kita," katanya. "Aku punya uang. Aku menginginkan peti itu. Usahamu berjual-beli. Urusannya gampang sekali. Kau menjual, aku membeli. Kenapa kau masih ragu-ragu juga""
"Karena saya tidak bisa menjual peti itu pada Anda!" ucap Jupiter dengan cepat. "Itulah yang dari tadi hendak saya katakan.
"Tidak bisa"" Alis tukang sulap yang melengkung kini merapat. Tampangnya nampak masam lagi. "Tentu saja kau bisa. Jangan membuat aku marah, Anak muda! Aku masih memiliki kekuatan gaib. Bagaimana -" ia mendekatkan mukanya ke Jupiter, sementara matanya yang hitam nampak berkilat-kilat- "bagaimana jika aku menjentikkan jariku dan kau tahu-tahu lenyap" Cakk - begitu saja, lenyap tanpa pernah bisa kembali lagi. Kalau itu terjadi, barulah kau menyesal karena membuat aku marah."
Bob dan Pete meneguk ludah karena kecut mendengar kata-kata bernada ancaman itu. Bahkan Jupiter pun nampak agak gelisah.
"Saya tidak bisa menjual peti itu," katanya menjelaskan, "karena sekarang tidak ada lagi pada saya. Kemarin malam dicuri orang!"
"Dicuri! Betulkah itu, Anak muda""
"Betul, Sir." Untuk ketiga kalinya pagi itu Jupiter kemudian menuturkan kejadian malam sebelumnya, sementara Maximilian mendengarkan dengan penuh perhatian. Akhirnya ia hanya bisa mendesah
dengan kecewa. "Aduh, sayang!" katanya. "Aku seharusnya langsung kemari, begitu membaca berita itu dalam surat kabar. Kalian tidak punya petunjuk sedikit pun tentang siapa pencuri-pencuri itu""
"Mereka sudah lari sebelum sempat kami hampiri," kata Jupiter.
"Sayang! Sayang sekali," gumam tukang sulap itu. "Kalau dibayangkan, peti milik The Great Gulliver tahu-tahu muncul lagi dengan begitu saja, tapi kemudian lenyap kembali! Aku ingin tahu apa sebabnya orang-orang itu menginginkannya."
"Mungkin karena memang ada sesuatu yang berharga di dalamnya," kata Bob menduga-duga.
"Omong kosong!" kata Maximilian. The Great Gulliver belum pernah memiliki sesuatu yang berharga. Orang malang itu harta satu-satunya adalah pertunjukan sulapnya. Mungkin di dalam peti itu ada beberapa peralatannya, tapi itu hanya berharga bagi sesama ahli sulap, seperti aku misalnya. Sudahkah kukatakan bahwa The Great Gulliver itu ahli sulap" Tapi kalian tentu juga sudah bisa menebak hal itu.
"Ia sebetulnya tidak benar-benar besar, walau memakai nama The Great. Orangnya pendek gemuk, dengan wajah bulat dan rambut hitam. Kadang-kadang memakai jubah panjang, supaya kelihatan seperti ahli sihir dari negeri timur. Ia memiliki satu nomor pertunjukan yang benar-benar istimewa, dan semula aku berharap akan - ah, sudahlah! Peti itu toh tidak ada lagi sekarang."
Ia terdiam. Kelihatannya sedang berpikir. Kemudian sambil mengangkat bahu dilenyapkannya lagi uang yang semula masih dipegang.
"Kedatanganku kemari ternyata sia-sia belaka," katanya. Tapi masih ada kemungkinan bahwa kalian akan berhasil memperoleh peti itu kembali. Dan kalau itu terjadi, harap ingat - Maximilian the Mystic menginginkannya!"
Ditatapnya Jupiter dengan tajam. "Mengerti, Anak muda" Aku menginginkan peti itu. Aku akan membelinya, jika kalian berhasil memperolehnya kembali. Hubungi aku di Klub Sulap. Bagaimana - setuju""
"Tidak bisa kubayangkan bagaimana kita bisa mendapatnya kembali," kata Pete.
"Walaupun begitu, itu mungkin saja terjadi," kata Maximilian berkeras. "Dan jika benar terjadi, aku yang paling dulu mengatakan ingin membelinya. Setuju, Anak muda""
"Jika kami berhasil memperolehnya kembali," balas Jupiter, "kami takkan menjualnya pada orang lain sebelum berbicara dulu dengan Anda, Mr. Maximilian. Cuma itu saja yang bisa saya janjikan. Seperti kata Pete tadi, saya juga tidak melihat kemungkinan akan memperoleh peti itu lagi. Para pencurinya sekarang mungkin sudah jauh.
"Ya, kurasa memang begitu." Nada suara ahli sulap itu murung. "Yah, kita lihat saja apa yang terjadi selanjutnya. Kartu namaku jangan sampai hilang." Ia memasukkan tangannya ke dalam kantung. Dengan air muka seperti heran, ia mengeluarkan sebutir telur.
"Eh - kenapa tahu-tahu ada telur dalam kantungku"" tanyanya. "Aku tidak perlu telur. Nih, tangkap!"
Telur itu dilemparkannya ke arah Pete, yang dengan cepat menadahkan tangan untuk menyambut. Tapi telur itu seakan-akan lenyap saat sedang melayang di udara. Begitu saja, dalam sekejap mata.
"Hmm, rupanya itu telur burung dodo," gumam tukang sulap itu. "Maklumlah, burungnya pun sudah lama lenyap dari permukaan bumi. Nah, aku harus pergi lagi sekarang. Jangan lupa hubungi aku. Laki-laki kurus jangkung itu melangkah ke mobilnya. Anak-anak takkan heran apabila kemudian terjadi sesuatu yang ajaib. Tapi tidak - ahli sulap itu mengemudikan mobilnya ke luar lewat gerbang depan, lalu membelok ke jalan raya.
"Wow!" kata Pete. "Dia itu benar-benar calon pembeli yang lain dari yang lain!"
"Jelas sekali bahwa ia sangat ingin memiliki peti itu," kata Jupiter menambahkan. "Aku ingin tahu, apakah sebabnya memang hanya karena ia dan The Great Gulliver dulu sama-sama ahli sulap atau mungkin karena ada sesuatu yang istimewa di dalam peti itu, yang ingin dimilikinya."
Ketiga remaja itu masih memikirkan hal itu, ketika sebuah mobil lagi masuk. Mula-mula mereka menyangka itu tukang sulap tadi, yang kembali lagi. Tapi mobil yang datang itu ukurannya lebih kecil. Buatan luar negeri. Mobil berhenti, dan dari dalamnya keluar seorang laki-laki muda.Anak-anak mengenalinya dengan segera. Itu kan
reporter yang mengambil foto mereka di tempat lelang kemarin.
"Halo," sapa pemuda itu, "masih ingat padaku" Fred Brown!"
"Tentu saja masih," jawab Jupiter. "Ada apa
"" Aku ingin melihat apakah kalian sudah berhasil membuka peti yang kemarin itu," kata reporter itu. "Kurasa aku bisa menulis berita lagi mengenainya. Siapa tahu, mungkin di dalamnya ada sesuatu yang istimewa. Menurutku, isinya tengkorak yang bisa berbicara!"
Bab 3 MISTERI YANG SEMAKIN MISTERIUS
"TENGKORAK" Tengkorak yang - bisa bicara"" seru anak-anak serempak.
Fred Brown mengangguk "Betul! Tengkorak asli, yang berbicara. Adakah benda itu di dalam peti kalian""
Jupiter terpaksa mengaku bahwa mereka tidak menemukan apa-apa, karena peti tersebut sudah dicuri orang sebelum sempat dibuka. Reporter muda itu mengerutkan keningnya.
"Sialan!" umpatnya. "Kalau begitu lenyaplah kisahku! Siapa ya, yang mengambilnya" Mungkin orang yang membaca kisah mengenainya dalam koran."
"Kurasa begitulah, Mr. Brown," kata Jupiter sependapat. "Mungkin ada orang lain yang juga tahu tentang tengkorak yang bisa bicara itu, dan ia menginginkannya. Apakah tengkorak itu betul-betul bisa bicara""
"Sebut saja Fred padaku," kata reporter itu. "Tidak bisa kukatakan apakah tengkorak itu benar-benar bisa bicara atau tidak Aku cuma tahu bahwa seharusnya begitu. Begini setelah kita berpisah kemarin, aku lantas berpikir-pikir tentang nama yang tertulis di atas tutup peti. Rasanya seperti pernah kudengar nama The Great Gulliver. Tapi aku tidak tahu pasti, di mana. Aku lantas mencari-cari di dalam arsip kami. Nah, ternyata di situ kutemukan beberapa kisah tentang dia. Ia rupanya tidak begitu hebat sebagai tukang sulap. Tapi hanya satu nomornya yang benar-benar istimewa. Nomor itu menampilkan tengkorak yang bisa bicara.
"Setahun yang lalu, Gulliver dengan tiba-tiba saja menghilang. Lenyap dengan begitu saja, seperti benda-benda dalam berbagai nomor pertunjukan sulapnya. Tapi peti teaternya rupanya tertinggal di hotel. Itu peti yang dilelang kemarin, dan yang kemudian kalian beli. Lantas timbul dugaanku bahwa peti itu mungkin berisi alat-alat sulapnya, termasuk tengkoraknya. Kalau dugaanku benar, itu kan kisah yang hebat""
"Kata Anda tadi, ia dengan begitu saja lenyap"" tanya Bob.
"Semakin misterius saja segala urusan ini," kata Jupiter sambil mengerutkan kening. "Tukang sulap yang menghilang, peti yang lenyap, dan tengkorak yang katanya bisa ngomong. Benar-benar misterius!"
"Eh, tunggu - tunggu dulu!" sela Pete cepat-cepat. "Aku curiga melihat gelagatmu, Jupe. Kau pasti berniat untuk mengusut urusan ini, sedang aku tidak ingin mencari jejak tengkorak yang bisa ngomong! Bagiku barang seperti itu tidak mungkin ada, dan aku tidak mau tahu bahwa anggapanku itu keliru."
"Kita tidak bisa memeriksa apa-apa, karena peti itu tidak ada lagi pada kita," balas Jupiter. "Tapi aku masih ingin tahu lebih banyak tentang The Great Gulliver, Fred."
"Boleh," kata reporter itu, sambil duduk di salah satu kursi besi yang belum dicat. "Akan kuberikan informasi latar belakang tentang dia. Gulliver itu tukang sulap yang tidak terkenal. Tapi ia memiliki tengkorak yang katanya bisa bicara itu. Tengkorak itu diletakkan di atas meja kaca tanpa ada alat apa-apa yang nampak di sekitarnya, lalu menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan penonton."
"Bagaimana dengan ventrilokuisme"" kata Jupiter mengajukan dugaannya. "Yang berbicara sebenarnya Gulliver, tapi tanpa menggerakkan bibir""
Itu mungkin saja. Tapi tengkorak itu tetap bisa bicara sementara Gulliver duduk di seberang ruangan! Kadang-kadang bahkan saat tukang sulap itu berada di luar. Ahli-ahli sulap lainnya pun tidak bisa mengetahui teknik yang dipergunakan. Tapi itu kemudian menyebabkan ia berurusan dengan polisi."
"Bagaimana kejadiannya"" tanya Bob. "Yah, sebagai tukang sulap Gulliver tidak bisa dibilang berhasil. Karena itu ia berpindah bidang ke peramalan nasib, yang sebetulnya terlarang. Dan ia tidak menyebut kegiatannya meramal nasib. Ia menyebut dirinya konsultan. Tapi ia berdandan memakai jubah panjang. Kegiatannya dilakukan di ruang sempit yang dihiasi dengan
lambang-lambang mistik. Orang-orang yang percaya pada tahyul datang kepadanya dan bertanya macam-macam pada tengkorak - tentu saja dengan membayar dulu. Tengkorak itu bahkan diberi nama, menurut seorang filsuf Yunani kuno. Socrates."
"Dan tengkorak itu menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan"" tanya Bob. "Begitulah kabarnya. Katanya bahkan juga memberikan saran-saran yang berguna bagi orang-orang yang mempunyai berbagai masalah. Socrates kemudian mulai memberi nasihat tentang pasaran saham dan hal-hal lain seperti itu. Orang-orang yang dinasihati tapi kemudian menderita rugi, mengadu pada polisi. Gulliver didakwa melakukan ramalan nasib yang melanggar undang-undang, lalu dijatuhi hukuman penjara.
"Ia mendekam di penjara selama setahun. Ketika akhirnya keluar, ia berpindah pekerjaan, menjadi karyawan. Tahu-tahu, pada suatu hari ia menghilang. Begitu saja - tahu-tahu lenyap. Menurut desas-desus, ada beberapa penjahat kelas berat yang menaruh minat terhadapnya. Tidak ada yang tahu alasannya. Mungkin para penjahat itu merencanakan salah satu tindakan jahat, dan Socrates hendak mereka libatkan di dalamnya. Lalu karena itu Gulliver menghilang, untuk menjauhkan diri dari mereka."
"Tapi petinya tidak dibawa pergi. Jupiter menekan-nekan bibirnya yang sebelah bawah. Begitulah kebiasaannya kalau otaknya sedang bekerja. "Itu menimbulkan kesan bahwa ada sesuatu yang terjadi pada dirinya, atau ia lari tanpa sempat berpikir panjang lagi."
"Itu penarikan kesimpulan yang baik," kata Fred. "Mungkin ia mengalami kecelakaan, tanpa ada yang mengetahui siapa dia."
"Kurasa itulah sebabnya kenapa Maximilian menginginkan peti itu," sela Pete. "Ia ingin memperoleh tengkorak itu lalu mengusut rahasianya, untuk kemudian dipakai dalam pertunjukannya. Mungkin memang benar ia pernah berteman dengan Gulliver, tapi kemudian karena beranggapan bahwa Gulliver tidak ada lagi, tidak ada salahnya jika ia memakai nomor-nomor sulapnya."
"Maximilian" Siapa itu"" tanya Fred Brown. Jupiter menceritakan kunjungan ahli sulap yang kurus tinggi, sebelum reporter itu datang.
"Jika ia berusaha membeli peti itu, maka dapat dipastikan bahwa bukan dia yang mendalangi pencurian tadi malam," kata Fred. "Aku ingin tahu, apakah pencuri-pencuri itu menyangka akan bisa menyuruh Socrates bekerja untuk mereka. Tapi sudahlah, kenapa soal itu dipikirkan. Aku sebenarnya tadi berharap akan bisa memperoleh kisah yang bagus, dengan foto kalian bersama tengkorak, dan kalau bisa kau, Jupiter, mengenakan jubah Gulliver. Tapi kini ternyata bahwa rencanaku itu tidak bisa kulaksanakan. Jadi aku pergi saja lagi. Senang juga, bisa bertemu lagi dengan kalian."
Setelah itu Fred Brown masuk ke mobilnya, lalu pergi. "Sebenarnya urusan ini merupakan misteri yang menarik untuk diusut," kata Jupiter dengan tampang sedih. "Sayang peti itu lenyap.
"Aku sama sekali tidak menyesalinya," kata Pete. "Bagiku, peti yang di dalamnya ada tengkorak yang bisa berbicara, biar saja hilang! Tapi ngomong-ngomong, bagaimana tengkorak sampai bisa bicara, ya""
"Misterinya antara lain justru itu," balas Jupiter. "Tapi tak ada gunanya berpikir tentang itu sekarang, karena - nah, itu Paman Titus pulang."
Anak-anak melihat truk besar memasuki pekarangan. Baknya penuh dengan muatan barang bekas. Paman Jupiter meloncat turun lalu mendatangi ketiga remaja itu.
"Sedang sibuk ya," katanya sambil mengedipkan mata, melihat mereka tidak berbuat apa-apa. "Untung Mathilda tidak ada di sini. Coba ada, pasti ada saja tugasnya untuk kalian. Tapi kalian ini kelihatannya seperti sedang banyak pikiran. Soal penting, barangkali""
"Ya, kami sedang memikirkan peti itu, yang lenyap tadi malam," kata Jupiter. "Kami baru saja mendengar hal yang menarik mengenainya."
"Ah, peti itu," Titus Jones terkekeh sebentar.
"Jadi sampai sekarang belum kalian temukan kembali"" ""Belum," kata Jupiter. "Rasanya kita takkan pernah melihatnya lagi."
"Belum tentu," kata Mr. Jones. "Peti itu dulu kan kepunyaan tukang sulap, ya" Yah, kalau begitu kita mungkin bisa memperolehnya kembali dengan menggunakan ilmu sulap."
Ketiga remaja itu menatap paman Jupiter
sambil melongo. "Apa maksud Paman"" tanya Jupiter sesaat kemudian. "Sulapan macam mana yang bisa mengembalikannya""
"Mungkin yang begini," kata Titus Jones dengan sikap misterius. Ia menjentikkan jarinya tiga kali berturut-turut, memutar tubuh sambil memejamkan mata dan mengucapkan kata-kata, "Simsalabim, kita kehilangan peti, yang sekarang harus kembali."
"Nah, itu tadi mantera sihir," katanya. "Kalau dengan itu tidak berhasil, mungkin juga kita bisa memperolehnya kembali dengan memakai logika."
"Logika"" Kini Jupiter benar-benar bingung. Pamannya berwatak periang, dan gemar bercanda. Kelihatannya saat itu ia sedang berkelakar. Tapi siapa tahu-
"Kau kan menyukai teka-teki dan misteri, Jupiter," kata Mr. Titus lagi. "Kau gemar memecahkan hal-hal begitu dengan memakai logika. Kau mengandalkan akalmu! Nah, sekarang coba pikirkan apa yang terjadi tadi malam. Paparkan padaku."
Yah..... kata Jupiter, sementara ia masih berusaha menebak apa sebenarnya yang dimaksudkan pamannya, "saat itu kita masih di luar, datang ke arah sini. Tahu-tahu dua orang laki-laki bergegas lari dari dalam sini. Mereka cepat-cepat minggat dengan mobil. Dan peti itu lenyap."
"Dicuri oleh kedua orang itu"" tanya pamannya.
"Mestinya begitu," kata Jupiter. "Mereka membuka pintu gerbang dengan kunci palsu, lalu - eh, nanti dulu!" serunya. Mukanya yang bulat memerah, karena bersemangat dan juga agak malu. "Ketika kita datang, mereka masih ada di dalam sini! Seakan-akan masih mencari peti itu. Begitu kita muncul, mereka langsung lari ke mobil dan cepat-cepat minggat dengannya. Mereka lari tanpa membawa peti. Jadi mana mungkin mereka yang mencuri" Karena jika sudah ada di dalam mobil, untuk apa lagi mereka masih berkeliaran di sini. Kesimpulannya cuma ada satu: peti itu sudah dicuri sebelum kedua laki-laki itu datang!" Mr. Jones terkekeh.
"Jupiter," katanya, "kau anak pintar. Tapi kadang-kadang ada juga gunanya mengetahui bahwa kita tak sepintar sangkaan kita sendiri. Masih ada kesimpulan lain yang ternyata tidak kaupikirkan. Mungkin saja peti itu sama sekali tidak dicuri. Mungkin kedua laki-laki itu tidak bisa menemukannya."
"Tapi kan kutinggalkan di luar, di samping kantor," kata Jupiter. "Di tempat yang menyolok! Mungkin aku kemarin lebih baik menguncinya di dalam, tapi saat itu aku tidak menyangka bahwa barang itu cukup berharga."
"Lalu ketika kau sudah masuk ke rumah untuk mencuci tangan sebelum makan malam, dan saat aku dan Hans sedang menutup toko," kata Mr. Jones, "aku berpikir-pikir, 'Itu kan peti milik tukang sulap! Jupiter tentu tercengang jika barang itu tahu-tahu lenyap dengan begitu saja . Saat itu timbul niatku untuk berbuat iseng sedikit terhadapmu, Jupiter. Peti itu kusembunyikan. Lalu ketika kita memergoki kedua orang yang hendak mencuri tadi malam, aku lantas memutuskan untuk membiarkan peti itu di tempat aku menyembunyikannya sampai pagi ini, untuk berjaga-jaga kalau mereka mencoba lagi. Aku tadi sebenarnya sudah hendak menceritakannya padamu. Tapi kemudian kuputuskan untuk melihat dulu, apakah kau sendiri mampu menarik kesimpulan yang benar. Untuk merangsangmu mengasah otak sedikit."
"Jadi Anda menyembunyikannya"" kata Bob dengan cepat.
"Di mana, Mr. Jones"" Pete ikut -ikut bertanya, "Di mana""
"Tempat mana yang cocok untuk menyembunyikan peti, agar jangan ketahuan"" tanya Titus Jones. Tapi sementara itu Jupiter sudah celingukan ke mana-mana, memperhatikan tumpukan kayu, mesin-mesin bekas, serta barang-barang lain yang memenuhi tempat itu. Peti itu bisa disembunyikan di mana saja. Tapi pandangan Jupiter akhirnya berhenti pada sesuatu yang terdapat di sisi pagar, yaitu atap yang lebarnya hampir dua meter, dari tepi atas pagar menjorok ke pekarangan. Di bawah atap itu ditaruh benda-benda yang dinilai berharga, agar jangan sampai basah kena hujan yang di California Selatan pun sekali-sekali turun. Pada satu tempat di bawah atap itu nampak berjejer sekitar setengah lusin peti tua. Semuanya kokoh dan masih dalam keadaan utuh. Dan semuanya berukuran besar.
Tempat terbaik untuk menyembunyikan peti kecil ialah dalam peti besar!" kata Jupiter be
rsemangat "Itukah yang Paman lakukan""
"Periksa saja sendiri," kata pamannya. Jupiter beranjak, hendak mendatangi peti-peti yang berjejer. Tapi ia didului Pete, yang langsung membuka peti yang terdekat. Kosong!
Peti kedua dibuka oleh Jupiter. Juga kosong.
Peti ketiga dan keempat - sama saja.
Saat peti kelima dibuka, Bob sudah menggabungkan diri. Mata ketiga remaja itu terbelalak, begitu tutup peti terbuka. Mereka menatap peti The Great Gulliver yang mengandung teka-teki itu. Pas sekali tempatnya di dalam peti besar.
Bab 4 SOCRATES MUNCUL "SEKARANG kita lihat, apakah di antara kumpulan anak kunci yang diberikan Paman Titus ada yang cocok untuk membukanya," kata Jupiter.
Ketiga remaja itu sudah berada di bengkel Jupiter yang terletak di bagian pekarangan. Letaknya terpisah dari bagian depan, ditutupi tumpukan barang bekas. Mereka tadi dengan cepat mengangkut peti ke tempat itu, di mana mereka bisa bekerja tanpa dilihat orang lain. Beberapa orang yang sedang mencari-cari barang bekas berkeliaran di bagian depan pekarangan tempat penimbunan barang usang itu. Mathilda melayani mereka seorang diri, karena suaminya sudah pergi lagi. Paman Titus tadi mengatakan pada Jupiter bahwa mereka bertiga dibebaskan dari tugas sampai saat ia nanti kembali dengan barang-barang bekas yang baru dibeli. Sambil mencoba-coba anak kunci, Jupiter masih saja kesal pada dirinya sendiri. Kenapa tidak sampai menduga bahwa peti yang disangka lenyap sebenarnya ada di pekarangan. Ia dipermainkan oleh Paman Titus. Itu memalukan, tapi di pihak lain ada juga manfaatnya. Ia seharusnya tidak boleh lekas-lekas asal menarik kesimpulan saja malam sebelumnya. Paling lambat pagi tadi ia mestinya sudah bisa menebak apa sebetulnya yang terjadi. Ia membiarkan dirinya terkecoh oleh kesan sepintas lalu.
"Aku kemarin malam salah, tidak menimbang-nimbang kenyataan secara cermat, katanya. "Kejadian ini lebih bermanfaat, daripada langsung melakukan hal yang tepat pada kesempatan pertama. Paman Titus memberi pelajaran baik padaku."
Bob dan Pete mengangguk sambil tersenyum. "Sekarang bagaimana dengan Mr. Maximilian"" tanya Bob. "Kita kan sudah berjanji akan memberi tahu dia kalau peti ini sudah ada lagi."
"Yang kita janjikan ialah memberi tahu dia sebelum kita menjualnya pada orang lain, kata Jupiter membetulkan. "Kita tidak berniat menjualnya - setidak-tidaknya, sekarang kita tidak berniat" .
"Aku lebih setuju jika kita jual saja, kata Pete. "Maximilian kan menawarkan laba besar bagi kita."
Tapi bayangan akan memiliki tengkorak yang bisa berbicara ternyata lebih besar artinya bagi Jupiter.


Trio Detektif 11 Misteri Tengkorak Berbicara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Saat ini jangan kita pikirkan dulu hal itu," katanya. "Sebelumnya aku ingin tahu dulu apakah Socrates benar-benar bisa bicara."
"Justru itu yang kukhawatirkan," kata Pete sambil mengeluh. "Sementara itu Jupiter terus mencoba-coba anak kunci. Akhirnya satu ternyata pas. Kunci peti terbuka. Dengan cepat kedua ban kulit panjang yang mengikat peti dilepaskan. Setelah itu Jupiter menjunjung tutupnya ke atas. Ketiga remaja itu menjulurkan kepala, memandang ke dalam peti. Isinya ditutup kain sutra berwarna merah. Di bawahnya terdapat semacam tatakan selebar bagian dalam peti. Pada tatakan itu terletak beberapa barang, yang sebagian di antaranya dibungkus kain sutra yang bermacam-macam warnanya. Ada kandang burung yang bisa dilipat-lipat, sebuah bola kristal kecil dengan tempatnya, sejumlah bola merah berukuran kecil, beberapa pak kartu untuk main truf, serta beberapa mangkuk logam. Mangkuk-mangkuk itu berukuran sedemikian rupa, sehingga mangkuk yang terkecil pas masuk di mangkuk berikut yang lebih besar. Mangkuk itu pas masuk dalam mangkuk berikut, dan begitu seterusnya sampai mangkuk yang paling besar. Tapi mereka tidak menemukan tengkorak. Atau bungkusan yang cukup besar, sehingga bisa diperkirakan isinya tengkorak.
"Ini pasti siasat sulap Gulliver pula," kata Jupiter menduga. "Jika ada barang penting di sini, letaknya pasti di bawah."
Bersama Pete diangkatnya tatakan yang menutupi peti dan meletakkannya ke samping. Isi peti sebelah bawah kelihatannya terutama pakaian. Tapi bukan pakaian b
iasa, karena ketika diangkat satu per satu, itu terdiri dari sejumlah jas sutra, sehelai jubah panjang berwarna keemasan, sebuah serban, serta pakaian lain bergaya timur. Bob yang paling dulu melihat benda yang mereka cari.
"Itu dia!" katanya. "Itu, di samping - di bawah bungkusan ungu ada benda bundar, Pasti itu tengkorak- yang kita cari!"
"Kurasa kau benar, Bob," kata Jupiter sambil mengangkat bungkusan yang dimaksudkan temannya Itu. Bob cepat-cepat membuka bungkusan yang dipegang Jupiter. Remaja bertubuh gempal itu ternyata memegang sebuah tengkorak kepala manusia. Warnanya putih kemilau. Sepasang rongga tak berbiji mata lagi seakan-akan menatap ke arahnya. Tengkorak itu sama sekali tidak menyeramkan kelihatannya. Malah bisa dibilang ramah. Melihatnya anak-anak lantas teringat pada kerangka di ruang biologi di sekolah, yang oleh anak-anak diberi nama Pak Tulang. Jupiter serta kedua rekannya sudah biasa menghadapi Pak Tulang. Jadi mereka tidak gugup lagi, ketika tahu-tahu menatap tengkorak milik ahli sihir yang lenyap itu.
"Mestinya memang inilah Socrates," kata Bob.
"Dalam peti di bawahnya tadi ada sesuatu," kata Jupiter sambil menyerahkan Socrates pada Bob. Ia meraih ke dalam peti, mengambil semacam piring yang tebalnya lima senti dan bergaris tengah sekitar lima bel as senti. Piring itu kelihatannya terbuat dari gading gajah. Pada pinggirnya nampak ukiran berupa lambang-lambang aneh.
"Ini kelihatannya merupakan tempat meletakkan Socrates," kata Jupiter. "Cekungan di tengah ini pas untuk menaruhnya di situ."
Piringan gading itu diletakkannya di atas meja yang ada di dekat situ,lalu Bob menaruh tengkorak pada bagian yang cekung. Anak-anak memperhatikan Socrates yang kelihatannya seperti meringis.
"Nampaknya memang seakan-akan hendak bicara," kata Pete. "Tapi jika itu benar-benar terjadi, aku nanti ada urusan di tempat lain."
"Barangkali cuma Gulliver saja yang bisa membuatnya berbicara," kata Jupiter. "Menurut dugaanku, di dalamnya ada semacam alat untuk itu."
Diangkatnya tengkorak itu,lalu ditelitinya bagian sebelah dalamnya.
Tidak kelihatan apa-apa," gumam Jupiter. "Jika di dalam ada apa-apa, aku pasti bisa melihatnya. Mestinya ada salah satu petunjuk. Tapi ini sama sekali tidak ada! Benar-benar aneh.
Diletakkannya Socrates ke tempatnya.
"He, Socrates," katanya. "Katakanlah sesuatu, jika kau memang benar bisa bicara."
Tapi Socrates membisu. "Rupanya sedang enggan," kata Jupiter setelah beberapa saat. "Coba kita periksa, ada apa lagi dalam peti."
Bersama kedua temannya, dikeluarkannya beberapa lembar kostum lagi yang bergaya timur. Setelah itu menyusul tongkat sulap, serta beberapa "bilah pedang pendek. Mereka sedang meneliti barang-barang itu sambil membelakangi Socrates, ketika tiba-tiba terdengar bunyi bersin pelan. Ketiga remaja itu berpaling dengan cepat Mereka kaget sekali. Tapi tidak ada siapa-siapa di situ. Yang ada hanya Socrates. Socrates yang bersin!
Bab 5 PEREMBUKAN ANEH DALAM GELAP
ANAK-ANAK berpandang-pandangan dengan mata terbelalak.
"Ia bersin!" kata Pete. "Itu sudah bisa dibilang bicara. Jika ada tengkorak bisa bersin, kemungkinannya dia juga bisa berpidato!"
"Hmm.." Kening Jupiter berkerut. "Kau yakin bahwa bukan kau tadi yang bersin, Bob""
"Pasti bukan salah seorang dari kita," kata Bob. "Aku jelas sekali mendengarnya tadi. Bunyinya datang dari belakang kita."
"Aneh," gumam Jupiter. "Jika yang membuat tengkorak ini berbicara atau mengeluarkan suara adalah salah satu teknik sulap Gulliver, yang jelas aku tidak tahu rahasianya. Tapi Gulliver tidak ada di sini. Bahkan mungkin sudah mati. Aku tidak habis heran, bagaimana tengkorak bisa bersin sendiri. Coba kita periksa sekali lagi.
Dipungutnya tengkorak itu, lalu dibalik-balik untuk diteliti dengan cermat. Ia bahkan menghadapkannya ke tempat terang supaya bisa lebih jelas melihat. Tapi sama sekali tidak nampak tanda-tanda bahwa Socrates pernah diutik-utik dengan cara mana pun juga.
Tidak nampak kawat atau barang lain," kata Jupiter. "Ini benar-benar misterius."
"Kudukung pendapatmu itu!" kata Pete sepenuh perasaan.
Tapi kenapa tengkorak bersin""
tanya Bob. Kan tidak ada alasannya."
"Aku tidak tahu kenapa, dan juga tidak tahu caranya," kata Jupiter. "Tapi ini merupakan misteri yang mengasyikkan bagi kita, untuk menyelidikinya. Aku yakin, misteri macam beginilah yang disukai Alfred Hitchcock."
Ia berbicara tentang sutradara film terkenal yang sudah beberapa kali mengarahkan mereka pada sejumlah kasus mereka yang paling misterius, serta menaruh minat besar pada pekerjaan mereka.
"Eh, nanti dulu!" seru Pete. "Kemarin malam ada dua orang yang mencoba mencuri peti ini. lalu hari ini kita membukanya dan menemukan tengkorak yang bisa bersin di dalamnya. Nanti tahu-tahu -"
Kata-katanya terpotong oleh suara Bibi Mathilda, yang dengan lantang memanggil-manggil mereka. "Jupiter! Anak-anak! Aku tahu, kalian ada di belakang! Ayo cepat kemari! Ini, ada pekerjaan yang harus kalian lakukan!"
"Wah!" kata Bob. "Kita dicari bibimu.
"Ya, dan dengan suaranya yang berarti, 'Jangan sampai aku harus menunggu,' kata Pete menambahkan, sementara suara Mrs. Jones yang senyaring terompet terdengar lagi. "Lebih baik kita cepat-cepat saja ke depan."
"Ya, betul," kata Jupiter dengan gugup. Dimasukkannya lagi Socrates ke dalam peti yang kemudian ditutup dan dikunci. Setelah itu mereka bergegas-gegas ke pekarangan sebelah muka. Mrs. Jones menunggu di situ sambil bertolak pinggang.
"Nah, itu kalian!" katanya. "Kenapa lama sekali! Paman kalian bersama Hans dan Konrad sudah menurunkan barang-barang yang baru saja dibawanya pulang. Kini kalian harus menyortir dan menumpukkannya."
Ketiga remaja itu mengeluh panjang, begitu melihat barang-barang bekas yang tertumpuk di depan kantor. Takkan sebentar waktu yang diperlukan untuk menaruh semuanya itu, sedang Mrs. Jones sangat mementingkan kerapian. Jones Salvage Yard memang berjual-beli barang bekas. Tapi barang bekas bermutu dan lain dari yang lain. Dan Mathilda sama sekali tidak menyukai keadaan acak-acakan yang disebabkan karena pekerjaan yang ceroboh. Jadi sampai sore ketiga remaja itu sibuk terus. Jupiter sebenarnya sudah ingin sekali kembali ke peti serta isinya yang aneh. Tapi sama sekali tidak ada kesempatan untuk itu.
Akhirnya sudah waktunya bagi Bob dan Pete untuk pulang ke rumah masing-masing. Pete mengatakan akan kembali pagi-pagi sekali besok. Bob baru bisa datang kemudian, karena paginya harus bekerja dulu di perpustakaan. Malam itu Jupiter makan dengan lahap. Sesudah itu ia sudah mengantuk sekali, sehingga tidak mampu banyak berpikir tentang misteri peti tukang sulap yang lenyap serta tengkorak yang katanya bisa berbicara. Walau begitu terpikir juga kemungkinan peti itu dicuri orang, karena sebelumnya juga sudah hampir terjadi. Karena itu ia keluar lagi untuk mengambil Socrates beserta tempatnya dari dalam peti, yang setelah dikunci lagi lalu disembunyikan di belakang mesin cetak dan ditutupi terpal. Tempat itu cukup aman, kata Jupiter dalam hati. Tapi ia tidak mau mengambil risiko dengan Socrates. Tengkorak itu dibawanya masuk ke rumah. Bibinya menoleh ketika ia masuk. Begitu melihat Socrates, Bibi Mathilda terpekik.
"Aduh, Jupiter!" pekiknya. "Barang apa itu yang kaubawa masuk""
"Cuma Socrates saja, Bi," kata Jupiter. "Dia ini kabarnya bisa bicara."
"Bisa bicara, ya"" Titus Jones mengalihkan perhatiannya dari surat kabar yang sedang dibaca. Ia terkekeh geli. "Lalu apa katanya" Tampangnya sih cerdas."
"Sampai sekarang sama sekali belum bicara," kata Jupiter. "Aku mengharapkannya, walau tidak benar-benar percaya bahwa dia bisa."
"Yah, asal jangan padaku saja dia bicara, kalau tidak kepingin kusemprot!" kata Bibi Mathilda galak. "Cepat bawa pergi, Jupiter. Aku tidak ingin melihatnya. Macam-macam saja!"
Jupiter membawa Socrates ke kamar tidurnya di tingkat atas, lalu menaruhnya di atas meja, dengan landasan piringan gading. Setelah itu ia kembali lagi ke bawah, untuk ikut nonton televisi. Saat ia naik untuk tidur, ia sudah yakin bahwa Socrates mustahil bisa berbicara. Penjelasannya ialah bahwa pemiliknya yang dulu, The Great Gulliver, sangat pandai memindahkan suara. Jupiter sudah hampir pulas. Tiba-tiba ia dikagetkan bunyi siulan pelan. Se
saat kemudian bunyi itu terdengar lagi. Datangnya seperti dari ruang tidur itu sendiri. Jupiter duduk lurus-lurus di tempat tidur. Kantuknya lenyap.
"Siapa itu" Paman Titus, ya"" katanya. Sesaat ia menduga bahwa pamannya yang iseng lagi, mengganggunya.
"Ini aku," Suara yang menjawab dalam gelap itu pelan dan agak melengking. Datangnya dari arah meja tulis. "Socrates."
"Socrates"" Jupiter meneguk ludah saking kagetnya. "Waktunya sudah datang... untuk bicara. Jangan nyalakan... lampu. Dengarkan saja dan... jangan takut. Kau... mengerti""
Suara itu berbicara terputus-putus. Jupiter menatap dalam gelap ke arah meja di mana Socrates diletakkan. Tapi ia tidak bisa melihat apa-apa.
"Yah - baiklah," Jupiter mengatakannya dengan gugup.
"Bagus," kata suara aneh itu. "Pergilah... besok... ke King Street 311. Kata pengenal... Socrates. Sudah... mengerti""
"Sudah," jawab Jupiter, yang kini sudah bertambah keberaniannya. Tapi ini sebenarnya urusan apa" Siapa yang berbicara' itu""
"Aku... Socrates." Suara itu melemah. Dengan cepat Jupiter menjangkau sakelar lalu menghidupkan lampu meja di sebelah tempat tidur. Begitu ruangan sudah terang, ia memandang ke arah Socrates. Tengkorak itu seakan-akan memandangnya sambil nyengir. Tapi benda mati itu membisu. Tidak mungkin Socrates yang berbicara tadi, kata Jupiter dalam hati. Tapi - yang bersuara tadi jelas ada di dalam kamar itu. Datangnya bukan dari arah jendela. Begitu terkilas ingatan pada jendela, Jupiter lantas cepat-cepat mengintip ke luar. Pekarangan di situ terbuka, dan tidak nampak siapa-siapa di tempat itu. Dengan perasaan sangat heran, Jupiter kembali ke tempat tidurnya. Pesan yang disampaikan suara tadi menyuruhnya pergi ke King Street nomor 311 keesokan harinya. Mungkin lebih baik hal itu tidak dilakukannya. Tapi Jupiter sendiri tahu bahwa ia pasti akan ke sana. Misteri yang dihadapi bertambah membingungkan sekarang. Sedang Jupiter paling suka pada misteri yang mengasyikkan!
Bab 6 PESAN MISTERIUS "KAU yakin bahwa aku tidak perlu ikut masuk, Jupe"" tanya Pete.
Saat itu ia sedang duduk bersama Jupiter di bangku depan truk kecil, dengan mana - Hans mengantar mereka ke Los Angeles. Kedua remaja itu memandang ke luar, memperhatikan bangunan nomor 311 di King Street. Sebuah bangunan yang nampak tak terawat.
Pada sebuah papan tertera tulisan yang sudah memudar: MENYEWAKAN KAMAR.
Di bawahnya ada papan lebih kecil sedikit, dengan tulisan, Tidak ada kamar kosong'.
Lingkungan situ nampak lusuh. Masih ada lagi bangunan-bangunan lain dengan kamar-kamar yang disewakan, serta beberapa toko. Segala-galanya kelihatan perlu dicat dan diperbaiki. Orang-orang yang tidak banyak di jalanan, semuanya sudah berumur lanjut. Jalan itu nampaknya dihuni golongan usia lanjut berpendapatan sedikit.
"Kurasa itu tidak perlu, Dua," kata Jupiter membalas pertanyaan temannya. "Kau tunggu saja di sini bersama Hans. Kurasa takkan ada bahaya yang menunggu di dalam."
Pete meneguk ludah dengan gugup. "Kaubilang tadi, tengkorak itu yang menyuruhmu datang kemari"" katanya. "Begitu saja, sambil nangkring di atas meja ia berbicara padamu""
"Begitu kejadiannya, atau aku yang bermimpi aneh semalam," kata Jupiter. "Tapi saat itu aku tidak sedang tidur, jadi tidak mungkin aku mimpi. Aku masuk saja sekarang, untuk melihat apa sebetulnya urusan ini. Jika dua puluh menit ragi aku masih juga belum keluar, kau nanti menyusul masuk bersama Hans."
"Baiklah, kalau begitu," kata Pete. "Tapi banyak hal yang tidak mengenakkan perasaanku dalam urusan ini."
"Jika nanti ada bahaya, aku akan berteriak keras-keras minta tolong, kata Jupiter.
"Hati-hati, Jupe," kata Hans. Wajahnya menampakkan rasa was-was. "Kalau kau nanti memerlukan bantuan, kami akan cepat-cepat datang!"
Pemuda Jerman itu menggerak-gerakkan otot lengannya yang kekar, seperti hendak menunjukkan bahwa kalau perlu pintu pun akan didobraknya, untuk menyelamatkan Jupiter. Penyelidik Pertama Trio Detektif mengangguk
"Kuandalkan bantuan kalian berdua," katanya sambil turun dari truk Jupiter berjalan menuju serambi depan yang sempit, menaiki tangga rendah lalu menekan tombol be
l. Agak lama juga rasanya ia menunggu, sebelum terdengar langkah orang datang di dalam rumah. Pintu depan terbuka. Seorang laki-laki berkulit kecoklatan, berkumis melintang, dan bertubuh gempal menatap dirinya.
"Ya"" kata orang itu. "Mau apa" Di sini tidak ada kamar kosong. Semua penuh."
Ia berbicara dengan logat asing. Jupiter tidak bisa menebak logat mana. Air mukanya ditololkan, hal mana kadang-kadang dilakukannya jika ingin menimbulkan kesan pada orang-orang dewasa bahwa ia cuma seorang remaja gendut yang tidak begitu cerdas.
"Saya ingin bertemu dengan Mr. Socrates," katanya, menyebutkan kata pengenal itu.
"Ha!" Lama juga laki-laki di depannya menatap dirinya. Kemudian orang itu mundur selangkah. "Masuklah! Dia mungkin ada di sini, tapi mungkin juga tidak. Tergantung! Akan Lonzo tanyakan dulu."
Jupiter melangkah masuk. Matanya terkejap-kejap dalam keremangan ruangan depan yang sempit dan berdebu. Di satu sisinya ada ruangan besar, di mana nampak beberapa orang laki-laki lagi. Ada yang sedang membaca surat kabar, dan ada pula - yang main dam. Semua berkulit kecoklatan. berambut hitam pekat serta bertubuh kekar berotot. Semua berpaling dan menatap ke arah Jupiter dengan sikap tak acuh. Jupiter menunggu di ruang depan. Akhirnya laki-laki berkumis melintang tadi muncul lagi dari sebuah ruangan yang terletak di batik ujung belakang ruang depan.
"Ayo ikut, kata orang itu. "Zelda akan menerimamu."
Ia mengantar Jupiter masuk ke kamar yang di belakang, lalu pergi lagi sambil menutup pintu. Mata Jupiter terkejap-kejap. Ruangan itu cerah disinari cahaya matahari yang masuk. Karena datang dari ruang masuk yang remang-remang, setelah sesaat barulah ia melihat wanita tua yang duduk di kursi goyang yang besar. Wanita itu sedang merajut. sementara matanya menatap Jupiter dari balik kaca mata model kuno. Wanita yang sudah berumur itu memakai syal berwarna merah dan kuning yang menyolok. Ia memakai anting-anting berwujud. sepasang cincin emas yang besar di telinga. Sementara wanita itu masih terus menatapnya dari tempat ia duduk, Jupiter menyadari bahwa orang yang dihadapinya itu seorang gypsy - suku kelana, yang tidak diketahui asal-usulnya. Dugaannya ternyata benar, ketika wanita tua itu mulai berbicara.
"Aku Zelda, si Gypsy," kata wanita itu. Suaranya pelan dan agak serak. "Kau ingin apa, Anak muda" Ingin nasibmu kuramalkan"".
Tidak, bukan itu maksudku kemari," kata Jupiter dengan sopan. "Aku disuruh datang oleh Mr. Socrates."
"Ah, Mr. Socrates," kata wanita kelana itu. "Tapi Mr. Socrates kan sudah meninggal."
Itu harus diakui oleh Jupiter, apabila mengingat tengkoraknya. Socrates memang sudah mati.
"Tapi walau begitu ia masih berbicara padamu," kata Zelda dengan suara menggumam. "Aneh, sangat aneh! Duduklah, Anak muda. Di situ, menghadap meja. Aku hendak menanyai bola kristal dulu."
Jupiter duduk menghadap sebuah meja kecil dari kayu. Daun meja itu berukir-ukir, dihiasi tatahan lambang aneh-aneh yang terbuat dari gading. Zelda meninggalkan kursi goyangnya, lalu duduk di meja menghadapi Jupiter. Ia mengambil sebuah kotak kecil dari bawah meja. Dari kotak itu dikeluarkannya sebuah bola kaca kristal. Bola itu diletakkan di tengah-tengah meja.
Tenang!" desis Zelda. "Jangan bicara. Jangan ganggu bola kristal."
Jupiter mengangguk sambil membisu. Wanita kelana tua itu menaruh kedua tangannya pada permukaan daun meja. Ia mencondongkan tubuhnya ke depan. Matanya ditatapkan dengan penuh perhatian ke dalam bola kristal yang kemilau. Zelda sama sekali tidak berbicara lagi. Ia bahkan seakan-akan tidak bernapas lagi. Beberapa menit berlalu dalam keheningan. Kemudian bibir Zelda bergerak, mengucapkan kata-kata.
"Aku melihat sebuah peti," gumamnya. "Aku melihat orang laki-laki - banyak orang lelaki yang menginginkan peti itu. Aku melihat seorang lelaki lagi. Orang itu ketakutan. Namanya dimulai dengan huruf B - tidak, huruf G. Ia ketakutan dan mencari pertolongan. Ia memintamu agar menolongnya. Kristal semakin jernih! Aku melihat uang - banyak uang. Banyak orang menginginkan uang itu. Tapi tempatnya tersembunyi. Di balik awan. Hilang, entah ke
mana. " Kristal samar kembali. Laki-laki yang namanya dimulai dengan huruf G lenyap. Ia meninggalkan dunianya. Ia mati, tapi masih hidup. - Aku tidak bisa melihat apa-apa lagi." Wanita kelana yang selama itu menatap ke dalam bola kristal dengan tubuh condong ke depan, kini meluruskan punggungnya. Ia mendesah.
"Mengamati bola kristal merupakan beban yang berat," katanya. "Aku tidak mampu melihat lebih banyak hari ini. Apakah penglihatanku tadi itu ada artinya bagimu, Anak muda""
Kening Jupiter berkerut. "Sebagian," katanya sambil merenung. "Yang mengenai peti. Padaku ada peti, yang kelihatannya diingini banyak orang. Dan huruf G tadi, bisa merupakan huruf depan dari nama Gulliver. The Great Gulliver, tukang sulap."
"The Great Gulliver," gumam wanita kelana tua itu. "Itu bisa! la sahabat kaum kelana. Tapi kemudian menghilang."
"Kata Anda tadi, ia meninggalkan dunianya," kata Jupiter. "Ia mati, tapi masih hidup. Bagian yang itu tidak kumengerti. Apa maksudnya"" "Aku tidak bisa menjelaskannya." Wanita kelana itu menggelengkan kepala. 'Tapi bola kristal tidak pernah berdusta. Kami, kaum kelana, ingin mencari Gulliver sampai dapat, karena ia sahabat kami. Mungkin kau bisa membantu. Kau pintar, dan walaupun kau masih remaja, tapi matamu awas. Kau melihat hal-hal yang kadang-kadang tidak kelihatan bagi orang lain."
"Aku tidak tahu bagaimana aku bisa membantu," bantah Jupiter. "Aku sama sekali tidak tahu apa-apa tentang Gulliver. Dan yang sudah pasti, aku tidak pernah mendengar sesuatu tentang uang yang mana pun juga. Aku hanya membeli peti Gulliver di pelelangan. Di dalamnya ada Socrates, tengkorak milik Gulliver yang bisa bicara. Dan Socrates menyuruh aku kemari. Cuma itu saja yang kuketahui."
"Perjalanan jauh dimulai dengan satu langkah pertama." kata Zelda. "Sekarang pergilah. Lalu tunggu! Barangkali saja akan ada lagi yang kauketahui nanti. Simpan peti itu baik-baik. Jika Socrates berbicara, dengarkan dengan seksama. Pergilah, Anak muda."
Jupiter bangkit dari kursinya, lalu pergi dengan perasaan semakin bingung. Lonzo, lelaki yang berkumis melintang tadi mengantarkannya sampai ke pintu depan. Pete dan Hans masih menunggu di dalam truk. Pete memandang arloji tangannya.
"Wah, Jupe - kami sudah bersiap-siap untuk menyusulmu ke dalam," katanya, sementara Jupiter duduk di sampingnya. "Lega hatiku melihat kau dalam keadaan selamat. Apa yang terjadi di dalam""
"Entahlah, aku tidak begitu tahu," jawab Jupiter, sementara kendaraan itu mulai bergerak meninggalkan tempat itu. "Maksudku, aku tahu apa yang terjadi - tapi apa artinya, itulah yang tidak begitu kuketahui."
Diceritakannya pengalamannya selama beberapa menit yang baru lewat. Pete bersiul kagum ketika Jupiter selesai bercerita.
"Memang membingungkan,"kata Pete. "Guiliver, lalu uang yang tersembunyi, dan Gulliver yang mati tapi hidup. Aku sama sekali tak mengerti."
"Aku juga tidak," kata Jupiter. "Sangat membingungkan."
"He!" seru Pete dengan tiba-tiba. "Jangan-jangan ada uang dalam jumlah besar yang disembunyikan di dalam peti Gulliver! Kita kan tidak begitu cermat lagi memeriksa isinya, setelah menemukan Socrates. Jika di dalamnya ada uang, maka bisa dimengerti apa sebabnya begitu banyak orang yang ingin mengambil peti itu."
"Pikiranku juga ke arah itu," kata Jupiter mengaku. "Mungkin sama sekali bukan Socrates yang diinginkan orang-orang itu. Kita periksa lagi isi peti jika kita sudah kembali.... Ada apa, Hans" Kenapa mobil kaupercepat jalannya""
"Ada orang membuntuti kita," gumam Hans. Pedal gas diinjaknya lebih dalam lagi, sehingga mereka bertiga terguncang dan terlambung-lambung di dalam truk yang melaju. "Mobil hitam berisi dua laki-laki mengikuti kita, sejak dua blok yang lewat."
Pete dan Jupiter menoleh, mengintip lewat kaca belakang. Di belakang ternyata memang ada mobil hitam, yang kini berusaha mengejar dan mendului. Tapi jalan yang dilewati sedang lengang. Hans mengemudikan truk di tengah-tengah jalan, sehingga mobil hitam itu tidak bisa lewat. Kedua kendaraan itu beriring-iringan dengan cara demikian sejauh setengah mil selanjutnya. Kemudian nampak jalan bebas h
ambatan di depan. Di Los Angeles banyak jalan-jalan seperti itu dengan empat sampai delapan jalur, untuk menyalurkan kendaraan bermotor lewat kota yang padat itu tanpa harus berhenti pada persimpangan jalan atau lampu lalu lintas. Beberapa di antaranya merupakan jalan layang, dan yang di depan itu juga jalan seperti itu.
"Aku naik ke atas!" gumam Hans. "Di sana mereka yang di belakang itu takkan berani memberhentikan kita, karena lalu lintas terlalu ramai"
Hampir tanpa mengurangi kecepatan, Hans membelokkan truk memasuki lintasan pengantar menuju jalan layang itu. Kendaraan itu membelok dalam posisi miring, tapi sesaat kemudian sudah sampai dijalan layang yang lebar, di mana banyak mobil lalu-lalang. Mobil yang di belakang tidak berusaha menyusul. Rupanya pengemudinya menyadari bahwa ia tidak bisa menghentikan truk yang dikejar di tengah lalu-lintas yang begitu ramai- - jika memang begitu niatnya semula. Apalagi di jalan layang kendaraan tidak diizinkan berhenti. Mobil hitam itu meluncur terus, menghilang lewat jalan yang menerobos di bawah.
"Kita berhasil meloloskan diri," kata Hans. "Ingin rasanya bisa membekuk mereka tadi dan saling membenturkan kepala mereka. Sekarang kita ke mana, Jupe""
"Pulang," kata Jupiter. "Ada apa, Pete" Kenapa keningmu berkerut begitu""
"Perasaanku tidak enak," kata Pete. "Ada tengkorak yang berbicara padamu saat tengah malam. Orang-orang yang berusaha mencuri peti, lalu membuntuti kita. Segalanya itu membuat aku gelisah. Sebaiknya kita lupakan saja urusan ini, Jupe!"
"Kurasa itu tidak mungkin," kata Jupiter sambil merenung. "Nampaknya kita menghadapi misteri, yang mau tidak mau terpaksa kita selidiki."
Bab 7 SELAMAT BERPISAH, SOCRATES!
BIBI Mathilda sudah menunggu dengan tugas untuk Jupiter, ketika mereka akhirnya tiba kembali di tempat perusahaan jual-beli barang bekas itu. Pete tinggal untuk membantu Jupiter. Mereka sibuk terus sampai sehabis makan siang, saat mana Bob muncul dari pekerjaan setengah harinya di perpustakaan. Ketiga remaja itu kemudian menuju ke belakang, ke bengkel Jupiter. Peti antik itu masih ada di sana, di bawah terpal yang diselubungkan Jupiter di atasnya. Jupiter bercerita pada Bob mengenai kejadian yang dialami pagi sebelum itu.
"Menurut Zelda, wanita kelana tua itu nampaknya ada sejumlah uang yang lenyap dengan cara yang entah bagaimana," katanya mengakhiri cerita, "dan urusan itu kelihatannya ada sangkut-pautnya dengan menghilangnya The Great Gulliver. "
"Mungkin dia yang mengambil uang itu, lalu pergi ke Eropa atau begitulah," kata Bob menduga.
"Tidak," Jupiter menggelengkan kepala. "Kata Zelda tadi ia memerlukan pertolongan. Gulliver dikatakannya meninggalkan dunianya. Ia mati tapi hidup. Zelda menambahkan bahwa ia beserta kaumnya ingin membantu Gulliver agar bisa kembali. Kedengarannya sangat membingungkan. Tapi menurut kesimpulanku Gulliver tidak menghilang dengan uang itu, tapi disebabkan oleh uang itu."
"Mungkin ia menyembunyikannya di dalam peti ini," saran Pete, "lalu muncul orang-orang berwatak kasar yang hendak merebut. Kalian ingat saja - bukankah Fred Brown mengatakan bahwa ada kawanan penjahat yang menaruh minat pada Gulliver, sebelum orang itu menghilang! Bisa jadi ia menyembunyikan diri dari mereka."
"Tapi untuk apa uang itu ditinggalkannya di dalam peti ini"" tanpa Jupiter. "Walau begitu kemungkinan itu ada saja! Jadi yang pertama-tama harus kita lakukan ialah memeriksa dengan cermat."
Tapi setengah jam kemudian, sesudah peti dibongkar dan diperiksa segala isinya dengan teliti, ketiga remaja itu ternyata tidak berhasil menemukan uang ataupun salah satu barang berharga di dalamnya.
"Nah, begitulah," kata Pete. "Tidak ada apa-apa."
"Uang kertas bisa saja disembunyikan tanpa ketahuan di balik pelapis peti," kata Jupiter. "Lihatlah - di sudut bawah sini ada sobekan kecil."
"Menurutmu uang itu mungkin disembunyikan di situ"" tanya Bob. "Benjolannya tidak cukup tebal."
la menyelipkan salah satu jarinya ke dalam sobekan itu, meraba di balik kain pelapis.
"Eh - ada sesuatu di sini!" serunya bersemangat. "Rasanya seperti kertas! Barangkali saja uang!"
Denga n hati-hati sekali ditariknya kertas yang tersentuh tadi ke luar, lalu didekatkan ke matanya.
"Bukan uang, tapi sampul surat tua," katanya kecewa.
"Hmm," kata Jupiter menggumam. "Coba kulihat sebentar. Ditujukan pada Gulliver dengan alamat di salah satu hotel. Capnya menunjukkan bahwa pengirimannya sekitar satu tahun yang lalu. Jadi ia menerimanya sekitar saat ia menghilang. Rupanya setelah menerimanya lalu disembunyikannya di balik kain pelapis peti ini yang disobeknya sedikit. Itu berarti bahwa surat ini dianggapnya penting.
"Mungkin merupakan petunjuk tentang uang yang disebut Zelda padamu tadi, Jupe," kata Bob.
"Mungkin di dalam surat ini terdapat peta atau sesuatu seperti itu."
Bob dan Pete menunggu dengan penuh minat, sementara Jupiter mengeluarkan selembar kertas dari sampul surat itu. Pada kertas itu tertulis surat singkat.
Jupiter membacakan isi surat itu, -Rumah Sakit Peryara, 17 JuLi "Gulliver yang baik hati, Beberapa patah kata dari kawan lamamu Spike Neely, yang pernah mendekam dalam satu sel denganmu. Aku saat ini dirawat di rumah sakit, dan nampaknya umurku takkan panjang lagi. Aku mungkin masih bisa bertahan Lima hari, atau tiga minggu, atau bahkan dua bulan - para dokter tidak bisa menentukan dengan pasti. Tapi pokoknya sudah waktunya bagiku untuk mengucapkan selamat berpisah. Kapan-kapan jika kau ke Chicago, datangilah sepupuku Danny Street. Sampaikan salamku padanya. Aku sebenarnya masih ingin mengatakan lebih banyak. tapi cuma ini saja yang bisa kutulis. "Temanmu. Spike
"Ah, cuma surat biasa saja," kata Pete. "Dari seorang kenalan Gulliver. Kurasa ia kenal orang itu sewaktu dipenjarakan karena meramal nasib tanpa izin. Tidak ada artinya sama sekali.
"Mungkin begitu, tapi mungkin juga tidak," kata Jupiter menyatakan kesangsian.
"Jika tidak ada artinya sama sekali, lalu kenapa disembunyikan oleh Gilliver"" tanya Bob.
Tepat, itulah yang menimbulkan keraguanku," "kata Jupiter. "Kenapa ia menyembunyikannya" Kelihatannya seolah-olah dinilai penting olehnya."
"Yah - tapi di dalamnya tidak disinggung-singgung tentang uang," kata Pete sambil menggaruk-garuk kepala.
"Spike Neely ini menulisnya di rumah sakit penjara, kata Bob. "Kalau tidak salah, surat narapidana selalu disensor dulu oleh pengurus penjara sebelum diposkan. Jadi karena itu Spike tidak mungkin. bisa mengatakan sesuatu tentang uang, karena pasti akan ikut dibaca oleh para petugas."
"Kecuali jika ia mengatakannya dengan memakai sandi, kata Jupiter menduga.
"Maksudmu dengan tinta yang tidak kelihatan, atau siasat lain seperti itu"" tanya Pete. "Itu kan mungkin saja. Kurasa sebaiknya kita periksa saja surat ini dengan lebih cermat di Markas Besar."
Jupiter menghampiri kisi besi yang seolah-olah tersandar dengan begitu saja pada mesin cetak yang sudah diperbaiki beberapa waktu yang lalu. Ia menggeser kisi itu ke samping. Kini nampak lubang masuk ke Lorong Dua yang merupakan jalan masuk utama ke Markas Besar. Lorong Dua merupakan pipa besi bergaris tengah sekitar enam puluh sentimeter, seperti yang biasa dipakai untuk saluran air di bawah jalan raya. Pipa itu sebagian lewat di bawah tumpukan barang rongsokan, dan berakhir di bawah Markas Besar. Sedang Markas "Besar itu sendiri berupa karavan tua yang letaknya tersembunyi di tengah rongsokan.
Jupiter masuk paling dulu, disusul oleh Bob, dan paling belakang Pete. Ketiga remaja itu merangkak-rangkak dalam Lorong Dua yang dilapisi selimut-selimut usang agar lutut mereka tidak sampai lecet saat merangkak di situ. Mereka masuk ke ruang kantor mereka yang sempit, lewat tingkap yang ada di lantai. Ketiga remaja itu membangun laboratorium kecil-kecilan di dalam karavan mereka, lengkap dengan mikroskop serta peralatan lainnya yang diperlukan. Ruang laboratorium mereka itu hanya memuat satu orang saja. Jadi Jupiter yang masuk dengan surat tadi, sementara Pete dan Bob memperhatikan dari ambang pintu yang sempit. Mula-mula Jupiter meletakkan surat itu di bawah mikroskop, lalu menelitinya dengan seksama.
"Tidak ada apa-apa," katanya beberapa saat kemudian. "Sekarang akan kuperiksa, apakah ada tulisan dengan t
inta yang tidak kelihatan. Kumulai saja dengan yang paling umum."
Diambilnya sebuah botol berisi asam cuka. Ia menuangkannya sedikit ke dalam sebuah bejana dari kaca. Surat yang dipegangnya digerak-gerakkannya di atas bejana tadi, supaya terkena uap asam cuka. Tapi tidak terjadi apa-apa dengannya.
"Seperti sudah kusangka," katanya. "Berdasarkan logika, seseorang di rumah sakit penjara takkan bisa memperoleh tinta yang tidak kelihatan. "Tapi kalau jeruk nipis masih mungkin - sedang air jeruk nipis merupakan tinta tak kelihatan yang paling sederhana. Tulisan dengan air jeruk tidak bisa dilihat, tapi apabila kertasnya dipanaskan, tulisan itu akan muncul. Sekarang kita coba saja meneliti kemungkinan itu."
Ia menyalakan kompor gas kecil. Kemudian dipegangnya surat pada ujung-ujungnya, lalu digerak-gerakkannya di atas nyala api.
"Sama saja, tidak kelihatan apa-apa," katanya setelah beberapa saat. "Coba kemarikan sampul suratnya. Aku hendak menelitinya sekarang."
Tapi segala macam pengujian yang dilakukan pada sampul surat itu juga tidak membawa hasil apa-apa. Air muka Jupiter menampakkan kekecewaan hatinya.
"Rupanya memang surat biasa saja," katanya. "Tapi Gulliver menyembunyikannya. Apa alasannya""
"Mungkin karena menyangka mengandung petunjuk, tapi ia belum berhasil menemukannya," kata Bob mengajukan dugaan. "He - mungkin sewaktu ia masih di penjara, orang yang bernama Spike Neely itu mengatakan sesuatu padanya tentang uang yang disembunyikan, tapi tanpa memberi tahu di mana. Mungkin orang itu bahkan mengatakan karena Gulliver kawannya, maka apabila terjadi apa-apa dengan dirinya, ia akan memberi tahu rahasianya pada Gulliver. Dan kemudian Gulliver menerima surat ini, yang dikirim dari rumah sakit penjara. Di sini Spike mengatakan bahwa ajalnya sudah dekat. Lalu Gulliver menduga bahwa Spike pasti mengirim petunjuk padanya tentang di mana uang itu. Tapi ia tidak berhasil menemukan petunjuk tersebut. Lantas surat ini disembunyikan olehnya, dengan maksud hendak menelitinya lagi. Beberapa penjahat yang tahu bahwa Spike ada di penjara, entah dengan cara bagaimana memperoleh kabar bahwa orang itu menulis surat pada Gulliver. Mereka menduga bahwa Spike menceritakan rahasianya pada kawannya itu. Lantas mereka mendatangi Gulliver, yang karenanya menjadi sangat ketakutan. Ia tidak melapor pada polisi, karena tidak tahu apa yang harus dilaporkan. Tapi ia takut- kalau para penjahat beranggapan bahwa ia tahu di mana uang itu disembunyikan, dan mungkin akan menyiksa dirinya untuk memaksanya membuka mulut. Karena itu ia menghilang. Nah - bagaimana kalau begitu""
"Penalaran yang masuk akal, Bob," kata Jupiter. "Kurasa barangkali itulah yang terjadi. Tapi di pihak lain, kita sudah meneliti surat ini - tanpa menemukan pesan apa-apa di dalamnya. Karenanya aku menarik kesimpulan bahwa Spike Neely tidak mengirimkan pesan yang demikian. Ia tidak melakukannya, karena tahu bahwa semua surat dari narapidana disensor dulu oleh polisi sebelum dikirimkan. "
"Walau begitu ada pihak-pihak yang beranggapan bahwa ada petunjuk tertentu dalam peti Gulliver," kata Pete. "Mereka menghendaki peti itu karena memperkirakan dengannya akan bisa menemukan petunjuk itu. Jadi jika kita tidak ingin berurusan dengan orang-orang kasar yang kemungkinannya akan berusaha terus untuk menguasai peti itu, sebaiknya barang itu lekas-lekas kita singkirkan."
"Benar, juga kata Pete itu," kata Bob. "Kita tidak bisa mengusut misteri ini, karena tidak ada petunjuk apa-apa mengenainya. Sebaiknya kita singkirkan saja peti itu, apabila ingin terhindar dari kesulitan. Bagaimanapun, peti itu kan sama sekali tidak ada gunanya bagi kita."
"Maximilian the Mystic ingin agar kita menjualnya pada dia," desak Pete. "Menurutku, sebaiknya kita kembalikan saja Socrates ke dalam peti, lalu kita serahkan segala-galanya pada Mr. Maximilian. Kita lepaskan saja urusan ini, karena kurasa terlalu berbahaya bagi kita. Bagaimana, Jupe""
"Hmm," Jupiter mencubiti bibir bawahnya. "Zelda kelihatannya berpendapat bahwa kita bisa membantu. Tapi itu nampaknya tidak benar. Seperti kaukatakan tadi, Pete, kita tidak
berhasil menemukan petunjuk apa pun. Tadi dalam perjalanan pulang dari tempat Zelda kita dibuntuti dua orang laki-laki. Perasaanku juga tidak enak karenanya:"
Jupiter termenung sejenak, lalu meneruskan, "Baiklah! Kita telepon saja Mr. Maximilian, karena ia begitu menginginkan peti itu. Tapi kita perlu memperingatkan bahwa ada pihak lain yang ingin merebut, supaya ia waspada. Dan aku takkan meminta bayaran seratus dolar - melainkan satu dolar saja, yaitu harga yang kubayar."
"Kan asyik, kalau punya uang seratus dolar," sela Pete.
Itu tidak patut, jika peti itu berbahaya," kata Jupiter. "Sebentar lagi ia akan kutelepon. Sebelumnya kupotret dulu surat ini, karena siapa tahu aku tahu-tahu mendapat ide baru. Jupiter memotret surat dan peti Gulliver beberapa kali. Kemudian diteleponnya Maximilian the Mystic yang mengatakan bahwa ia akan segera datang. Setelah itu anak-anak keluar lagi. Surat dari Spike Neely pada qulliver diselipkan ke balik kain pelapis peti. Selanjutnya peti dikemaskan lagi isinya dengan rapi. Akhirnya Jupiter pergi ke kamarnya, untuk mengambil tengkorak yang diberi nama Socrates. Ketika ia masuk, dilihatnya Bibi Mathilda berdiri seperti terpaku sambil menatap tengkorak yang ada di atas meja tulis dengan pandangan ngeri.
"Jupiter Jones!" kata bibinya, begitu Jupiter memasuki kamar. "Benda itu - benda itu...
Ia tidak sanggup meneruskan kalimatnya. Hanya telunjuknya saja yang menuding-nuding Socrates.
Ada apa, Bi"" tanya Jupiter.
"Barang itu!" seru Bibi Mathilda. "Mau tahu apa yang baru saja dilakukannya" Ia menghardik!
'Huhhl' katanya padaku!"
"Socrates mengatakan 'Huhhl' pada Bibi"" tanya Jupiter. ""Ya, betul! Aku baru saja masuk kemari untuk membereskan. Aku berkata, 'Aku tidak tahu di mana Jupiter menemukanmu, Jelek - tapi satu hal kukatakan sekarang dengan jelas. Aku tidak ingin lebih lama melihatmu dalam rumahku ini. Habis perkara! Aku tidak mau!' Lalu - lalu-" Suara Bibi Mathilda mulai bergetar lagi - "benda itu menghardikku. Jelas sekali ia mengatakan, 'Huhh!' padaku!"
"Socrates kabarnya memang tengkorak yang bisa berbicara," kata Jupiter sambil menyembunyikan senyum. "Pemiliknya yang dulu tukang sulap. Hardikannya tadi mungkin untuk iseng saja, mengajak Bibi bercanda."
"Iseng" Bercanda" Seperti tadi itu kaukatakan bercanda" Tengkorak yang meringis, sambil menyerukan, 'Huhh!'" Tidak peduli apakah itu tengkorak atau kuda yang pintar bicara, pokoknya benda itu sekarang juga harus keluar dari sini. Aku tidak mau melihatnya lagi!"
"Baiklah, Bibi Mathilda," kata Jupiter. "Aku akan menyingkirkannya. Maksudku memang begitu."
"Benar-benar ya!"
Sambil berpikir-pikir, Jupiter kembali ke luar dengan membawa Socrates serta landasannya yang dari gading. Diceritakannya pada Pete dan Bob, apa yang baru saja dialami Mrs. Jones.
"Kejadian yang benar-benar aneh," katanya mengakhiri cerita. "Harus kuakui bahwa aku sungguh-sungguh bingung menghadapinya. Untuk apa Socrates menyerukan 'Huhh' pada Bibi Mathilda""
"Mungkin ia suka bercanda," kata Pete. "Sudahlah - kita masukkan saja dia sekarang ke dalam peti."
"Setelah ada perkembangan baru ini, kurasa mungkin ada baiknya jika Socrates dan peti ini kita tahan dulu untuk sementara di sini," kata Jupiter. "Siapa tahu, ia akan berbicara lagi."
"Tidak bisa!" seru Pete.
Disambarnya Socrates dari tangan Jupiter, lalu cepat-cepat dibungkus dan dimasukkan ke dalam peti. "Bibimu bilang kita harus menyingkirkannya, dan kau sudah mengatakan ya. Kita tadi juga sudah setuju untuk menyerahkannya pada Mr. Maximilian. Kita tidak boleh mengingkari kata yang sudah diucapkan. Aku tidak kepingin mendengar tengkorak berbicara. Ada misteri-misteri yang tidak menimbulkan keinginanku untuk mengusutnya.
Pete menutup peti dan menguncinya sekaligus. Sementara Jupiter masih berpikir-pikir mencari alasan, terdengar suara Hans memanggil-manggil dari arah depan.
"Jupe! He, Jupe! Ini - ada orang mencarimu!"
"Pasti itu Mr. Maximilian," kata Bob, sementara ia bersama kedua rekannya berjalan menuju ke depan. Orang itu ternyata memang ahli sulap bertubuh kurus jangkung, yang berdiri menunggu mereka tanpa
mengacuhkan orang-orang lain yang berkeliaran di sekitar tumpukan barang-barang bekas yang menarik perhatian mereka.
"Nah, Anak muda," seru ahli sulap itu sambil menatap Jupiter dengan mata terpicing, "jadi peti Gulliver ternyata muncul kembali, ya""
"Ya," jawab Jupiter, "dan Anda bisa membelinya, jika memang benar-benar mau. Tentu saja aku mau. Kan sudah kukatakan begitu" Ini uangnya - seratus dolar."
"Saya tidak meminta bayaran seratus dolar untuknya," kata Jupiter. "Saya membelinya seharga satu dolar - jadi Anda boleh memilikinya dengan pembayaran satu dolar pula"
Maximilian mendengus. "Aku ingin tahu, apa sebabnya kau bermurah hati," katanya. "Ada barang berharga yang kauambil dari dalamnya""
"Tidak, Sir. Peti itu keadaannya sama seperti waktu kami memperolehnya. Tapi ada misteri menyelubunginya, dan ada orang lain yang sangat ingin memperolehnya. Barang itu mungkin berbahaya untuk dimiliki. Saya agak sangsi, apakah tidak sebaiknya diserahkan saja pada polisi. "
"Ah, apa! Omong kosong! Aku tidak peduli, kalau soal berbahaya atau-tidak. Aku bisa menjaga diriku sendiri. Aku sudah mengajukan penawaran, dan kini kuminta agar kau menjualnya padaku. Ini - satu dolar.
Ahli sulap itu mengulurkan lengannya yang panjang, menjentikkan jari dan menunjukkan mata uang satu dolar - yang seakan-akan diambil dari telinga Jupiter.
"Sekarang peti itu sudah menjadi milikku," katanya. "Mana barangnya""
Tolong ambilkan, Bob - bersama Pete," kata Jupiter.
"Beres!" kata Pete sambil bergegas ke arah belakang. Tidak sampai semenit kemudian ia sudah kembali lagi, menjinjing peti bersama Bob. Mr. Maximilian menyuruh keduanya menaruh barang itu di bangku belakang mobil birunya yang diparkir dekat gerbang depan. Mereka berempat begitu sibuk dengan urusan itu, sehingga tidak ada yang melihat ada dua laki-laki yang mengamat-amati mereka dengan diam-diam. Mr. Maximilian kemudian masuk ke mobil, duduk di belakang setir.
"Nantilah - kalian akan kukirimi karcis untuk menonton pertunjukanku yang berikut," kata ahli sulap itu. "Nah, sampai berjumpa lagi saat itu!"
Mobil birunya bergerak, keluar lewat gerbang. Pete menghembuskan napas lega setelah kendaraan itu tidak kelihatan lagi.
"Sekarang Socrates sudah tidak ada lagi di sini," katanya "Kurasa Mr. Maximilian pasti mengharapkan akan berhasil mengetahui rahasia bagaimana tengkorak itu sampai bisa bicara. Lalu kalau sudah diketahui, akan dimasukkan sebagai nomor tambahan dalam pertunjukannya. Bagiku sih, silakan! Pokoknya aku sekarang lega, karena tidak berurusan lagi dengan peti serta tengkorak itu."
Ia takkan begitu senang, apabila mengetahui bahwa perkiraannya keliru.
Bab 8 "MEREKA LOLOS!"
SETELAH itu tidak ada lagi kejadian yang istimewa. Sorenya Bob pulang agak "cepat dari biasanya. Ayahnya, Mr. Andrews, penulis artikel untuk suatu surat kabar terkemuka di Los Angeles, jarang pulang sebelum larut malam. Tapi sekali itu ia tidak ke mana-mana. Dan Bob gemar mengobrol dengan ayahnya.
"Nah, Bob," kata ayahnya saat makan malam, "aku melihat fotomu dalam koran terbitan Hollywood, dengan cerita tentang temanmu Jupiter yang membeli peti antik di suatu pelelangan. Lalu bagaimana - ada barang menarik yang kalian temukan di dalamnya""
"Kami menemukan tengkorak yang dikatakan bisa berbicara," jawab Bob. "Namanya Socrates."
Tengkorak berbicara"" kata ibunya kaget. "Macam-macam saja! Mudah-mudahan saja tidak berbicara padamu."
"Padaku tidak Bu," kata Bob. Mulanya ia hendak bercerita bahwa Socrates berbicara dengan Jupiter. Tapi tidak jadi. Apalagi karena ayahnya langsung menimpali sambil tersenyum.
"Itu pasti merupakan nomor yang biasa saja dari tukang sulap yang kabarnya dulu pemiliknya. Siapa sih namanya" Alexander""
"Gulliver," kata Bob membetulkan. "The Great Gulliver."
"Mestinya dia itu ahli memindahkan suara," kata Mr. Andrews. "Lalu akan diapakan sekarang oleh Jupiter" Kan tidak disimpan terus""
"Tidak, sudah dijualnya lagi," kata Bob. "Pada seorang ahli sulap yang mengaku pernah kenal dengan Gulliver. Ia menamakan dirinya Maximilian the Mystic."
"Maximilian the Mystic"" Kening Mr. Andrews berkerut "
Sebelum aku pulang tadi masih ada berita masuk. Orang itu terlibat dalam kecelakaan lalu-lintas siang tadi. Ia cedera." Maximilian cedera dalam kecelakaan lalu-lintas. Pasti kecelakaan mobil. Bob bertanya-tanya dalam hati, jangan-jangan tengkorak bersuara itu membawa sial. Renungannya terpotong pertanyaan ayahnya.
"Eh, mau ikut berlayar hari Minggu mendatang ini"" tanya Mr. Andrews. "Salah seorang kawanku mengajak kita semua pesiar dengan perahu layarnya, di sekitar Pulau Catalina."
Asyik!" seru Bob dengan gembira. Berita tentang kecelakaan yang menimpa Maximilian tersingkir dari pikirannya. Ia bahkan tidak ingat lagi keesokan paginya, ketika pergi ke tempat Jupiter. Pete sudah lebih dulu datang. Ketiga remaja itu kemudian disibukkan tugas membongkar mesin cuci bekas yang dibeli Titus Jones. Dengan memanfaatkan bagian-bagian yang masih baik dari suatu mesin cuci lain, ketiganya berhasil membuat mesin itu bekerja kembali. Mereka baru saja selesai dengan tugas itu, ketika sebuah mobil patroli polisi setempat memasuki pekarangan. Anak-anak menoleh ke arah kendaraan itu. Mereka tercengang, karena yang datang ternyata Chief Reynolds, kepala polisi Rocky. Beach. Petugas hukum bertubuh gempal itu keluar dari mobil, lalu menghampiri mereka.
"Halo, Anak-anak," sapanya. Wajahnya serius. "Ada beberapa pertanyaan yang ingin kuajukan pada kalian."
"Pertanyaan pada kami, Sir"" tanya Jupiter. Matanya terkejap karena heran.
"Ya - tentang peti yang kemarin kaujual pada seorang lelaki yang menamakan dirinya Maximilian the Mystic. Ia mengalami kecelakaan, dalam perjalanan pulang. Mobilnya rusak berat, sedang ia sendiri luka parah. Ia sekarang di rumah sakit. Kami mulanya mengira bahwa itu kecelakaan biasa saja. Maximilian sendiri tidak bisa langsung dimintai keterangan, karena ia pingsan. Tapi ketika ia siuman tadi pagi, ia mengatakan pada kami bahwa mobilnya didesak ke tepi oleh mobil lain yang di dalamnya ada dua pria, sehingga keluar dari jalan. Ia juga melaporkan tentang peti itu. Rupanya kedua pria itu mencurinya, karena tidak ada di dalam mobilnya ketika kendaraan itu kami tarik ke bengkel."
"Kalau begitu kedua lelaki itu sengaja menyebabkan Mr. Maximilian mengalami kecelakaan, supaya bisa merampas peti yang ada di mobilnya!" seru Jupiter.
"Begitulah kesimpulan kami," kata Chief Reynolds. "Maximilian sendiri tidak bisa banyak memberi keterangan - dilarang dokter, mengingat keadaannya yang masih payah. Tapi ia sempat mengatakan bahwa peti itu dibelinya darimu, Jupiter. Karena itulah aku kemari, untuk mengetahui apa isi peti itu, sehingga menyebabkan ada orang yang begitu nekat merampasnya.
"Yah," kata Jupiter, sementara kedua temannya ikut mendengarkan dengan penuh perhatian, "isinya kebanyakan pakaian. Lalu peralatan sulap. Tapi yang terpenting, tengkorak kepala manusia yang dikabarkan bisa berbicara.
"Tengkorak yang bisa bicara!" seru Chief Reynolds kaget. "Sinting! Mana mungkin tengkorak bisa berbicara!"
"Memang tidak, Sir," kata Jupiter mengakui. Tapi yang ini dulu milik seorang tukang sulap bernama The Great Gulliver, dan -"
Jupiter menuturkan pengalaman mereka pada Chief Reynolds, mulai dari saat membeli peti di pelelangan, lalu keterangan yang diperoleh tentang Gulliver, bahwa orang itu pernah meringkuk di penjara, lalu menghilang setelah dibebaskan kembali. Chief Reynolds mendengarkan dengan kening berkerut serta sambil menggigit-gigit bibir.
"Urusan yang berbelit-belit," katanya ketika Jupiter selesai bercerita. "Tapi pasti hanya sangkaanmu saja bahwa kau mendengar tengkorak itu berbicara padamu malam-malam itu. Atau mungkin pula kau mimpi."
"Kemungkinan itu memang sudah terlintas dalam pikiran saya, Sir. Tapi ketika saya kemudian mendatangi alamat yang disebut olehnya, saya menjumpai Zelda, seorang wanita gypsy, yang kelihatannya kenal dengan Gulliver. Wanita itu mengatakan bahwa Gulliver sudah meninggal dunia."
Chief Reynolds mendesah sambil mengusap kening. "Lalu perempuan itu mengoceh tentang uang tersembunyi, yang menurut dia dilihatnya di dalam bola kristal, ya"" gumamnya. "Yah, memang benar-benar aneh! Sekarang ten
tang surat yang kalian temukan dalam peti, lalu kaumasukkan kembali ke situ. Katamu kau memotretnya. Coba kulihat sebentar."
"Sebentar, saya ambilkan, Sir," kata Jupiter. Ia bergegas pergi ke bagian bengkel, lalu menyusup masuk ke Markas Besar lewat Lorong Dua. Paginya ia sudah mencetak foto yang dibuatnya satu hari sebelumnya. Hanya satu kopi yang dibuatnya saat itu. Tapi kalau- perlu ia masih bisa membuatnya lagi. Foto-foto yang sudah kering dimasukkannya ke dalam sampul. Tidak lama kemudian ia sudah kembali ke depan. Diserahkannya sampul berisi "foto-foto itu pada Chief Reynolds. Kepala polisi itu memperhatikan gambar-gambar itu sebentar, lalu menggeleng.
"Kelihatannya sama sekali tidak ada artinya bagiku," katanya menggerutu. "Tapi kuteliti saja nanti. Selain ini masih ada satu lagi permintaanku padamu. Aku ingin agar kau berbicara lagi dengan Zelda, wanita kelana itu. Kau ikut dengan aku sekarang ke sana, Jupiter. Kita lihat saja apa yang akan dikatakannya nanti. Kuduga ia lebih banyak tahu dari yang dikatakannya."
Bob dan Pete mengharapkan bahwa Chief Reynolds akan mengajak mereka pula. Tapi ternyata tidak. Setelah mengatakan pada kedua rekannya untuk meneruskan pekerjaan selama ia tidak ada, Jupiter kemudian masuk ke mobil polisi bersama Chief Reynolds. Polisi yang mengemudikan kendaraan itu mengambil jalan menuju Los Angeles.
"Kedatangan kita ini tidak secara resmi," kata Chief Reynolds dalam perjalanan pada Jupiter. "Kurasa Zelda nanti pasti membungkam, tidak mau mengatakan apa-apa. Kaum kelana paling tahan menyimpan rahasia. Tapi kita coba saja nanti. Aku sebenarnya bisa saja meminta bantuan pihak kepolisian kota Los Angeles, cuma sampai sekarang belum ada sedikit pun yang bisa kujadikan pegangan dalam urusan ini. Zelda waktu itu tidak meramal nasibmu, jadi ia tidak berbuat sesuatu yang melanggar peraturan. Tapi jika nanti aku sudah kembali di kantorku, aku akan dengan segera menugaskan pengusutan tentang Spike Neely itu, yang menulis surat pada Gulliver. Kita lihat saja apa yang ada di balik segalanya ini. Yang jelas pasti bukan tanpa alasan apabila dua penjahat sampai nekat mendesak mobil lain sampai terpental keluar dari jalan raya, hanya untuk mengambil peti yang ada di dalamnya. Rupanya sebelum itu mereka sudah mengamat-amati tempat kalian. Dan melihat kalian memasukkan peti itu ke dalam mobil Maximilian, lalu membuntutinya."
Jupiter diam saja. Saat itu ia masih juga belum berhasil memperoleh ide baru. Harus diakuinya bahwa ia benar-benar bingung menghadapi kasus itu. Mobil patroli polisi itu meluncur dengan cepat menuju Los Angeles. Tidak lama kemudian sudah sampai di depan bangunan tak terawat, di mana Jupiter berjumpa dengan Zelda. Chief Reynolds bergegas mendului naik ke serambi yang sempit, lalu menekan tombol bel kuat-kuat Mereka menunggu jawaban yang tidak kunjung datang. Chief Reynolds mulai masam. Seorang wanita tua yang sedang menyapu tangga rumah sebelah berseru ke arah mereka.
"Jika kalian mencari kaum kelana" serunya "mereka sudah pergi!"
"Pergi"" seru Chief Reynolds dengan nada terkejut "Ke mana"" "Siapa sih yang tahu, ke mana tujuan kaum kelana kalau pergi""
Wanita tua itu terkekeh. "Mereka pergi dengan membawa segala barang mereka tadi pagi, naik beberapa mobil tua. Mereka tidak mengatakan apa-apa pada siapa pun juga. Begitu saja - pergi."
Chief Reynolds mengumpat keras. "Satu-satunya petunjuk kita menghilang," gerutunya. "Mereka meloloskan diri!"
Bab 9 CHIEF REYNOLDS MEMBERI PERINGATAN
"RAPAT ,dibuka," kata Jupiter. Bob Andrews dan Pete Crenshaw sudah duduk di kursi masing-masing. Jupiter mengetukkan pensil yang dipegangnya ke daun meja yang dihadapi, dalam ruang kantor Markas Besar yang sempit.
"Sekarang Trio Detektif akan membahas proyek-proyek baru," katanya. "Siapa yang punya usul""
Karena baik Bob maupun Pete diam saja, ia menambahkan, "Hari ini kita bebas tugas. Apa yang akan kita lakukan untuk mengisi waktu yang luang ini""
Saat itu sudah dua hari berlalu sejak kunjungan Chief Reynolds ke tempat mereka. Dua hari yang tenang, selama saat mana ketiga remaja itu sibuk bekerja, membet
ulkan berbagai barang bekas yang ada di perusahaan paman dan bibi Jupiter. Selama itu tidak ada orang yang datang meminta bantuan pada mereka, untuk mengusut salah satu misteri. Bagi Bob dan Pete, itu malah ditanggapi dengan perasaan lega. Enak juga rasanya, sekali-sekali tenang. Mereka terutama merasa senang karena masalah tengkorak yang bisa berbicara serta peti yang misterius sudah bukan merupakan urusan mereka lagi.
"Aku punya usul! Bagaimana jika hari ini kita menyelam di laut," kata Pete. "Cuaca saat ini enak untuk itu. Lagi pula, kita sudah agak lama tidak menyelam lagi. Nanti karatan!"
"Aku mendukung usul itu," sambung Bob. "Hawa hari ini panas. Di air pasti nyaman rasanya."
Saat itu pesawat telepon berdering. Ketiga remaja itu menoleh ke arah pesawat itu dengan sikap kaget. Pesawat itu, yang sewa bulanannya dibayar dengan hasil kerja mereka di perusahaan Paman Titus, terdaftar atas nama Jupiter Jones. Hanya beberapa orang saja mengetahui bahwa itu pesawat telepon Trio Detektif. Dan kalau berdering - hal mana jarang terjadi - pasti ada urusan penting! Jupiter meraihnya, ketika terdengar deringannya sekali lagi.
"Halo," katanya, "di sini Jupiter Jones, di kantor Trio Detektif."
"Halo, Jupiter. Itu suara Chief Reynolds! Ketiga remaja itu mendengarnya dengan jelas, lewat alat pengeras suara yang dipasang Jupiter pada telepon. "Aku tadi menelepon ke rumahmu, lalu bibimu menyarankan agar aku mencoba nomor ini."
"Ada apa, Chief"" tanya Jupiter bersemangat.
"Waktu itu aku kan mengatakan akan menugaskan pengusutan," kata kepala polisi itu. "Itu, tentang surat yang kaupotret, serta tentang Spike Neely dan The Great Gulliver. Nah, sekarang aku sudah memperoleh beberapa jawaban. Aku tidak begitu pasti tentang maknanya, tapi aku kepingin bicara lagi denganmu. Bisakah kau datang ke kantorku""
"Tentu saja, Sir!' jawab Jupiter bersemangat. "Sekarang, Chief Reynolds""
"Kapan saja kau bisa," jawab kepala polisi itu. "Pagi ini aku tidak sibuk"
"Dua puluh menit lagi kami akan sudah ada di sana," kata Jupiter mengakhiri pembicaraan itu.
"Nah," katanya kemudian kepada kedua rekannya, "dengan begitu urusan apa yang akan kita lakukan pagi ini sudah terjawab. Chief Reynolds mempunyai informasi baru."
Pete mengeluh. "Segala-galanya yang kita ketahui sudah kita sampaikan padanya. Tepatnya, kau yang menyampaikannya. Kalau bagiku, segala urusan yang menyangkut peti serta tengkorak itu sudah selesai. Tamat. Lepas dari tangan kita. Bukan urusan kita lagi."


Trio Detektif 11 Misteri Tengkorak Berbicara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Yah - tentu saja, jika kalian tidak ingin ikut, kurasa aku sendiri pun bisa menanganinya," kata Jupiter.
Bob tertawa meringis, sementara air muka Pete menampakkan perasaan yang bermacam-macam. Ia tidak suka dikesampingkan dari urusan apa saja, walau ia sendiri mengatakan tidak mau tahu.
"Ya deh, kami ikut," katanya. "Trio Detektif harus selalu bersikap setia kawan. Barangkali saja urusan ini tidak terlalu banyak makan waktu, sehingga setelah itu kita masih sempat menyelam di laut."
"Kalau begitu rapat sekarang ditutup," kata Jupiter. "Yuk, kita berangkat!"
Setelah memberi tahu Paman Titus bahwa mereka akan pergi agak lama, ketiga remaja itu kemudian naik sepeda ke kota. Perusahaan jual-beli barang bekas milik paman dan bibi Jupiter terletak di pinggir kota kecil itu, yang jaraknya tidak jauh dari pusat kota tempat Markas Besar Kepolisian Rocky Beach. Setelah menaruh sepeda, ketiga remaja itu masuk Mereka disambut polisi yang bertugas di balik meja besar.
"Langsung saja masuk," kata petugas itu, "Chief sudah menunggu di dalam."
Jupiter beserta kedua rekannya melalui suatu gang yang pendek Sesampainya di depan pintu yang di daun pintunya ada tulisan Kepala Polisi, mereka mengetuknya lalu masuk ke dalam. Chief Reynolds duduk di belakang meja kerjanya, mengepul-ngepulkan asap cerutu sambil merenung. Anak-anak yang masuk dipersilakannya duduk dengan lambaian tangan.
"Nah," katanya kemudian, "aku sudah berhasil memperoleh jawaban yang menarik sehubungan dengan pertanyaanku tentang orang yang bernama Spike Neely itu. Seperti sudah kalian ketahui, ia pernah satu sel dengan Gulliver di penjara. Te
rnyata dia itu perampok bank"
"Perampok bank"!" seru Jupiter.
"Ya, betul!" kata Chief Reynolds sambil mengangguk. "Ia dipenjarakan itu karena merampok bank di San Francisco, enam tahun berselang. Waktu itu ia berhasil melarikan diri dengan sekitar lima puluh ribu dolar, yang terdiri dari uang besar semuanya. Akhirnya ia tertangkap juga, kira-kira sebulan sesudah kejadian itu. Di Chicago. Soalnya, salah seorang kasir bank yang dirampok sempat memperhatikan ketika Spike menyuruhnya menyerahkan uang, bahwa orang itu agak cedal. Sukar menyebutkan huruf L. Nah - petunjuk itulah yang menyebabkan ia tertangkap, yaitu ketika ia ditanyai seorang polisi di Chicago. Tapi - dan kelihatannya inilah yang penting - uang hasil perampokannya tidak ditemukan kembali. Disembunyikan dengan baik sekali oleh Spike Neely! Bukan itu saja - ia bahkan tetap tidak mau mengaku bahwa ia yang merampok. Rupanya ia berniat menunggu sampai sudah keluar dari penjara, lalu lari dengan uang itu. Sekarang baiklah kita maju langkah demi langkah. Enam tahun yang lewat Spike tertangkap di Chicago, sekitar satu bulan setelah peristiwa perampokan. Uang hasil perampokan itu mungkin disembunyikan olehnya di Chicago. Tapi bisa juga di daerah Los Angeles sini. Soalnya, polisi berhasil mengorek keterangan bahwa sebelum lari ke Chicago, selama seminggu Spike menyembunyikan diri di rumah saudara perempuannya, di Los Angeles. Nama saudara "perempuan itu Mrs. Miller. Mrs. Mary Miller. Waktu itu ia sudah diperiksa, tapi keterangannya tidak bisa banyak membantu pengusutan polisi. Mrs. Miller itu orang baik-baik. Sebelum polisi mendatanginya, ia bahkan sama sekali tidak menduga bahwa Spike sebenarnya perampok bank. Polisi kemudian menggeledah rumah Mrs. Miller dengan cermat, karena menduga bahwa ada kemungkinan Spike menyembunyikan uang itu di situ sebelum lari ke Chicago. Tapi mereka tidak menemukan apa-apa di situ. Sedang uang itu pasti ada padanya, karena ia datang ke situ pada hari yang sama, setelah melakukan perampokan di San Francisco. Jadi menurut dugaan polisi, uang itu disembunyikan Spike di Chicago."
"Dalam surat yang ditulisnya pada Gulliver setahun yang lalu, ia menyebut nama seorang sepupunya di Chicago, yaitu Danny Street," sela Jupiter. "Barangkali uang itu dititipkannya di sana!"
"Itu sudah diduga pula oleh pihak yang berwenang di penjara waktu itu, Jupiter. Seperti tentu bisa kauduga, mereka membaca dulu surat yang dialamatkan pada Gulliver itu, sebelum mengirimkannya. Mereka langsung mengirim kawat ke Chicago, dengan pesan agar dilakukan pengusutan terhadap seseorang yang bernama Danny Street di sana. Tapi pihak kepolisian di Chicago tidak berhasil menemukan seseorang bernama Street, yang mempunyai hubungan dengan Spike Neely. "Jadi pihak penjara akhirnya memutuskan bahwa surat itu tidak ada artinya, sehingga kemudian diposkan. Mereka sebelumnya juga sudah menelitinya untuk mencari-cari kalau ada pesan rahasia. Tapi mereka tidak menemukan apa-apa."
"Saya pun tidak berhasil," kata Jupiter mengaku. Ia mencubiti bibir, untuk melancarkan putaran otaknya. Walau begitu saya menarik kesimpulan bahwa ada kawanan penjahat yang setelah mendengar tentang surat itu, lantas merasa bahwa di dalamnya pasti ada keterangan tentang tempat uang itu disembunyikan. Mereka pun mulai membayang-bayangi The Great Gulliver. Itu menyebabkan Gulliver ketakutan, lalu menghilang."
"Menghilang, atau dibunuh," kata Chief Reynolds dengan wajah serius. "Kurasa sudah pasti bahwa Gulliver sendiri tidak menemukan uang itu. Tapi ada orang yang memaksanya mengatakan di mana tempatnya, lalu marah ketika Gulliver tidak mau mengatakan - karena memang tidak tahu. Atau mungkin juga ia hanya ketakutan, lalu lari menyembunyikan diri dengan meninggalkan peti kostumnya. "
"Rupanya ia menduga bahwa Spike Neely pasti hendak menyampaikan suatu pesan padanya," kata Jupiter dengan kening berkerut, tanda bahwa ia sedang sibuk berpikir. "Kalau bukan begitu, untuk apa surat itu disembunyikan olehnya" Sekarang kita anggap saja ia menghilang. Kemudian para penjahat yang masih mencari-carinya di sekitar sini, me
mbaca berita dalam koran tentang kejadian saya membeli peti Gulliver di pelelangan. Para penjahat itu menarik kesimpulan, barangkali saja di dalam peti itu ada salah satu petunjuk tentang uang hasil rampokan itu. Mulanya mereka berusaha mencurinya malam-malam. Tapi gagal, karena peti itu disembunyikan Paman Titus. Sesudah itu mereka mencoba membuntuti saya ke mana-mana. Mereka sedang mengamat-amati tempat kami sambil mencari-cari akal untuk merampas peti itu, ketika mereka melihat kami menjualnya pada Maximilian the Mystic. Mereka lantas membuntuti Mr. Maximilian, lalu merampas peti itu setelah membuat ahli sulap itu mengalami kecelakaan."
"Rupanya mereka ingin sekali memperoleh peti itu!" kata Pete. "Untung saja kita cepat-cepat melepaskannya!"
"Kalian seharusnya membawanya padaku," kata Chief Reynolds dengan nada agak mengecam.
"Kami juga sudah menyarankannya, Sir, pada Mr. Maximilian," kata Jupiter. Tapi ia tidak mau. Ia ingin memiliki peti itu. Dan tentu saja saat itu kami sama sekali tidak menduga bahwa ada orang yang sampai hati mengakibatkan dia cedera, dengan tujuan merampas barang itu dari tangannya. Lagi pula, kami tidak berhasil menemukan petunjuk apa pun di dalamnya."
"Yah - apa boleh buat, nasi sudah menjadi bubur," kata Chief Reynolds. "Tapi pembicaraan kita ini menuju pada satu pokok yang penting sekali artinya. Kurasa kita sekarang sudah sependapat, bahwa para penjahat itu menganggap di dalam peti itu ada petunjuk tentang uang yang lenyap. Betul begitu""
Ketiga remaja itu mengangguk.
"Nah - sekarang peti itu sudah ada di tangan mereka," kata Chief Reynolds menyambung. "Mereka sudah memeriksanya dengan teliti, tapi tidak menemukan petunjuk apa-apa di dalamnya. Sekarang apa pikiran mereka, menurut kalian""
Jupiter yang paling dulu mencapai kesimpulan. Ia terkesiap, tanpa mengatakan apa-apa. Kemudian, ketika melihat bahwa Pete tidak menangkap maksud kepala polisi itu, Bob mengatakan, "Mereka menduga kita berhasil menemukan petunjuk itu dan mengambilnya dari dalam peti, sebelum peti itu kita jual pada Mr. Maximilian! Mereka beranggapan bahwa kita - bahwa kita memiliki petunjuk tentang di mana uang yang banyak itu!"
The Wednesday Letters 4 Be My Perfect One Love Karya Angelia Putri Tujuh Pembunuh 3
^