Pelangi Dilangit Singosari 1
02 Pelangi Di Langit Singasari Karya S H. Mintarja Bagian 1
Pelangi Di Langit Singasari
Karya SH. Mintarja Jilid : 26 " 30 ________________________________________
Jilid 26 KEN AROK itupun -kemudian mendengar Mahisa Agni menjawab " Tidak cantrik. Aku sudah lama tinggal didalam sanggar.
"Oh, baiklah " sahut cantrik itu.
"Kini aku akan kembali keserambi samping.
"Marilah. Keduanyapun kemudian berjalan meninggalkan sanggar itu beriringan setelah Mahisa Agni menutup pintu rapat-rapat. Ma bisa Agni berjalan didepan dan cantrik itu berjalan dibelakang. Dalam keremangan sinar pelita dikejauhan Ken Arok melihat keduanya semakin lama semakin jauh dari padanya.
Tetapi darah Ken Arok itupun kemudian seakan-akan berhenti mengalir.- Kali ini ia melihat sesosok bayangan yang meng-endap-endap dibelakang Mahisa Agni dan cantrik yang mengikutinya. Bayangan itu meloncat dari sisi sanggar ketempat terlindung yang lain dibelakang cantrik yang berjalan dibelakang Mahisa Agni. Sebelum Ken Arok sempat berbuat sesuatu, ia melihat bayangan itu mcnyambar cantrik yang berjalan dibelakang Ma bisa Agni tanpa menimbulkan suara apapun.
Ken Arok adalah seorang yang memiliki tanggapan yang cepat menghadapi persoalan yang demikian. Ia adalah seorang pelayan dalam istana Tumapel dan sebelum itu ia adalah seorang hantu yang menakutkan. Karena itu segera ia tahu, bahwa sekejap lagi, maka Mahisa Agnilah yang akan mendapat sergapan dari bayangan itu.
Karena itu dengan serta merta ia berteriak " Agni. Awas dibelakangmu. Aku kira ia bukan seorang cantrik.
Dengan gerak naluriah, segera Mahisa Agni yang mendengar teriakan Ken Arok meloncat kesamping. Dengan serta pula tangannya menarik hulu pedangnya dan terjulur lurus, tepat kearah bayangan yang handak menerkamnya.
Dalam pada itu tubuh cantrik yang berjalan dibelakang Mahisa Agni telah terbaring ditanah. Terdengar ia merintih, tetapi suara itupun segera berhenti.
Dada Mahisa Agni yang memang telah diliputi oleh kemarahan dan kegelisahan itu rasa-rasanya meledak melihat kehadiran orang yang sama sekali tak dikehendakinya. Apalagi ketika ia me lihat cantrik yang sama sekali tidak tahu menahu tentang segala macam persoalan itu terbaring diam ditanah. Meskipun Mahisa Agni masih mendengar deru nafasnya, namun serangan yang licik itu telah membakar segenap urat darahnya-.
Dengan suara bergetar terdengar Mahisa Agni bertanya "Siapakah kau?"
Orang-orangyang berdiri dihadapannya itu tidak segera menja wab. Dalam keremangan tampaklah wajahnya membeku seperti wajah sesosok mayat. Selangkah orang itu maju, dan selangkah Mahisa Agni surut.
"Siapa kau?" Orang itu masih juga berdiam diri. Wajahnya masih juga membeku mengerikan.
Ken Arok yang melihat kehadiran orang itu tidak dapat tinggal diam. Namun ketika ia akan melangkahkan kakinya terdengar desis dibelakangnya " Kau akan kemana anak muda?"
Pertanyaan itupun telah benar-benar mengejutkan hati Ken Arok. Cepat ia meloncat dan memutar tubuhnya. Kini ia berdiri berhadapan dengan seorang yang bertubuh kekar meskipun tidak cukup tinggi. Wajahnya yang kasar memancarkan sinar kebencian. Tetapi orang itu tertawa. Katanya pula"Jangan terkejut Apakah kau belum pernah mengenal aku?"
Ken Arok tidak segera menjawab. Dipandanginya wajah itu dengan tajamnya. Ternyata sinar mata Ken Arok tidak dapat ditundukkan oleh orang itu, sehingga orang itu berhenti tertawa. Terdengar suaranya parau "He, anak muda. Sebut namamu.
Ken Arok masih tetap tidak menyahut. Kakinya yang merenggang se-olah-olah dalam-dalam menghunjam kepusat bumi. Tangannya tanpa sesadarnya telah berada dihulu pedangnya.
"Kau tidak mau menjawab "bentak orang yang berdiri dihadapan Ken Arok itu"- Baik. Kalau kau tidak mau menjawab, akulah yang akan menyebutkan namaku. Wong Sarimpat.
"Hem "Ken Arok menggeram. Segera ia menyangka bahwa yang berdiri dihadapan Mahisa Agni adalah Kebo Sindet. Karena itu maka hatinya menjadi. semakin ber-debar-debar. Kecemasan dan kegelisahan yang dirasakannya sejak mereka berang kat dari padang Karautan kini ternyata terjadi.
Dalam pada itu Kebo Sindet dan Wong Sarimpat tidak segera berbuat sesuatu. Mereka masih saja berdiri ditempat-nya. Agaknya mereka masih menunggu.
"Mereka menunggu Empu Sada "pikir Ken Arok. "Hem, apakah Mahisa Agni harus mengalami bencana itu.
Tiba-tiba Ken Arok terkejut ketika Wong Sarimpat sekali lagi membentaknya keras-keras "Ayo, sebut namamu.
Ken Arok yang berdiri seperti batu karang itu masih berdiam diri. Ia tidak beranjak dari tempatnya ketika Wong Sarimpat maju selangkah mendekatinya.
Tetapi langkah Wong Sarimpat tiba-tiba terhenti ia mendengar seseorang menegurnya "Wong Sarimpat, tunggu. Jangan hanya berani mengganggu anak-anak.
Kini Wong Sarimpatlah yang memutar tubuhnya menghadap suara itu. Dari dalam kegelapan ia melihat sesosok tubuh berjalan dengan tenang mendekatinya. Empu Gandring.
"Hem, kau pande keris itu pula. " desis Wong Sarimpat. -Ya.
Tiba-tiba mereka mendengar Kebo Sindet berkata "Nah. Sekarang sudah lengkap. Kami sengaja menunggu Empu Gandring, supaya kami tidak kau sangka hanya berani mengganggu anak-anak.
"Jadi bagaimana" "sahut Empu Gandring. Dilihat nya beberapa langkah dari padanya Kebo Sindet berdiri berhadapan dengan Mahisa Agni yang se-olah-olah membeku dengan pedang terjulur. Empu Gandring segera dapat menduga, apa yang kira-kira akan terjadi atas kemanakannya. Sekali dipandanginya Pelayan-dalam yang bernama Ken Arok itu. Apakah berdua dengan Mahisa Agni mereka mampu se-tidak-tidaknya menyelamatkan diri mereka"
Tetapi ia tidak dapat berbuat lain dari menghadapi ke nyataan itu Meskipun Empu Gandring tampaknya masih tenang2 saja, namun gejolak didalam dadanya terasa me-nyentuh2 dinding jantungnya. Bahaya. yang kini dihadapinya, bukan sekedar bermain-main seperti pada saat-saat ia menghadapi seorang Wong Sarimpat dan seorang Empu Sada. Ia masih sempat mengganggu kedua orang itu sebelum mereka harus bertempur.
Kini yang dihadapi adalah dua orang sekaligus. Wong Sarimpat dan Kebo Sindet, bahkan mungkin Empu Sada yang segera akan menyusul.
"Empu Gandring "terdengar suara Kebo Sindet da lam nada yang datar "aku tebenarnya tidak ingin mengganggumu. Aku hanya akan mengambil Mahisa. Agni. Kali ini kau jangan menghalangi aku lagi. Sebab pasti tidak akan ada gunanya. Dengarlah, jangan menjawab dahulu. Kalau kau melawan, dan kita berkelahi, maka sementara kau melawan Wong Sarimpat, maka aku telah sempat membunuh anak muda dari istana Tumapel itu. Kemudian membuat Mahisa Agni lumpuh. Sesudah itu kami berdua, aku dan Wong Sarimpat akan membunuhmu ber-sama-sama. Nah bagaimana pertimbanganmu Empu Gandring.
Empu Gandring meng-angguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia menjawab masih dalam ketenangan "Rencana itu kedengarannya baik sekali. Beberapa hari kau perlukan waktu untuk menyusun rencana itu" Aku kira kau telah mengaturnya jauh sebelum hari ini. Sejak lumbung itu terbakar. Kemudian kau membuat orang-orang Panawijen gelisah dan menjemput Mahisa Agni kepadang Karautan. Akhirnya rencana itu sampai pada puncaknya seperti yang kau katakan itu.
"Tepat "jawab Kebo Sindet singkat.
"Dan kau merasa bahwa kau mampu melakukannya?"
"Bagaimana penilaianmu Empu?"
Yang menyahut kemudian adalah Ken Arok. Suaranya bergetar seperti guruh yang menggetarkan udara "Hem. Ternyata kalian berhasil menyelesaikan sebagian dari rencana itu. tetapi bagaimana selanjutnya?"
Kebo Sindet tidak segera menjawab. Terasa didadanya pengaruh suara Ken Arok yang akak aneh. Anak muda itu ternyata memiliki beberapa kelainan dengan anak-anak muda sebayanya. Dengan Mahisa Agni misalnya atau Kuda-Sempana.
Tetapi sebelum Kebo Sindet menyahut, terdengar suara tertawa Wong Satimpat "O, kau juga berani mengucap kan kata-kata itu" Kau benar-benar anak yang luar biasa.
Ken Arok tidak menyahut. Ditatapnya wajah Wong Sarimpat yang kasar dan liar itu.
Yang berkata kemudian adalah Kebo Sindet. Suaranya ber-gulung-gulung se-olah-olah me-lingkar-lingkar saja didalam perutn2a "Jangan memungkiri kenyataan. Kalian akan mati hari ini. Kau anak muda, kaupun akan mati pula apabila kau berpihak kepada Mahisa Agni.
Belum lagi mulut Kebo Sindet terkatup rapat, orang itu menjadi terkejut Ternyata Ken Arok tidak mau terlampau banyak berbicara. Seperti tatit ia meloncat menyerang, bukan Wong Sarimpat tetapi justru Kebo Sindet yang berdiri agak jauh dari padanya.
Dalam waktu yang pendek itu Ken Arok berusaha membuat pertimbangan. Baginya lebih baik melepaskan Wong Sarimpat yang sudah berdiri berhadapan dengan Empu Gandring. la percaya bahwa Empu Gandring akan mampu menyelesaikannya, se-tidaknya untuk mengikat demit dari Kemundungan itu. Sedang dipihak lain Mahisa Agni benar-benar berada dalam bahaya. Meskipun dirinya sendiri tidak yakin bahwa ia dapat bertahan melawan Kebo Sindet, namun ia mengharap bahwa berdua dengan Mahisa Agni, ia dapat menggabungkan kekuatan.
Kebo Sindet sendiri terkejut bukan buatan menerima serangan itu. Ia tidak menyangka sama sekali bahwa anak muda itu mampu membuat gerakan demikian cepatnya. Jauh lebih cepat dari apa yang dapat dilakukan oleh Kuda-Sempana,
Tetapi Kebo Sindet adalah setan tua yang memiliki pengalaman sedalam lautan. Dengan cekatan pula ia meloncat meng hindari serangan Ken Arok. Bahkan dengan menjejakkan ka kinya, ia melingkar dan alangkah anehnya gerak Kebo Sindet itu. Sebelum Ken Arok mampu berdiri tegak diatas tanah, maka serangan lawannya itu telah melandanya seperti angin taufan.
Alangkah dahsyatnya serangan itu. Empu Gandring masih sempat melihat apa yang terjadi. Seperti Kebo Sindet ia heran melihat kemampuan Ken Arok. Tetapi keheranan dan kekagumannya itu dibarengi oleh perasaan cemas yang menghentak da danya. Ia tahu akibat dari perbuatan anak muda itu. Kebo Sindet pasti akan marah Dan setan tua yang berwajah beku itu akan segera memberikan serangan balasan. Tidak tanggung-tanggung. Serangan itu pasti serangan mematikan.
Dan kini ia m lihat Kebo Sindet benar-benar berbuat demiki an. la melihat tangan Kebo Sindet terayun dengan kecepatan yang luar biasa. Sudah pasti diluar kemampuan Ken Arok un tuk menghindarinya. Orang tua itu hanya dapat menahan nafasnya. Jarak antara keduanya tidak terlampau dekat, sedang disampingnya berdiri Wong Sarimpat yang pasti akan mampu menghalanginya apabila ia ingin berbuat sesuatu.
Serasa dada Empu Gandring itulah yang tersentuh tangan Kebo Sindet. Dengan wajah yang tegang ia melihat apa yang akan terjadi atas anak muda dari istana Tumapel itu. Apa lagi- ketika ia mendengar ledakan tertawa Wong Sarimpat yang gila.
Tetapi tiba-tibasuara tertawa Wong Sarimpat terputus. Selangkah ia maju dengan mata yang menyala. Bahkan tanpa sesadarnya Empu Gandringpun meloncat maju mendekati Ken Arok yang terbanting diatas tanah kerena sentuhan tangan Kebo Sindet.
Kedua orang tua yang telah masak itu hampir-hampir tidak percaya melihat apa yang terjadi. Bahkan Kebo Sindet sendiri seolah-olah terpaku ditempatnya. Adalah tidak mungkin sama sekali bahwa ia melihat anak muda yang bernama Ken Arok; yang terbanting dengan kerasnya karena dorongan tangan Kebo Sindet yang sedang marah, setelah terguling beberapa kali, segera berusaha bangun kembali.
Meskipun mula-mula Ken Arok kehilangan keseimbangannya dan ter-huyung-huyung hampir terjatuh lagi, tetapi akhirnya ia mampu tegak berdiri dengan garangnya seperti batu karang di-te ngah2 lautan. Dengan tangannya ia mengusap dadanya yang te rasa panas bukan buatan seperti terbakar karena sentuhan ta ngan Kebo Sindet yang sedang marah. Namun lambat laun ia berhasil menguasai rasa sakit itu.
Ketika Ken Arok itu telah berhasil berdiri tegak kembali, maka tanpa sesadarnya terdengar Kebo Sindet berdesis " Setan manakah yang manjing kedalam tubuhmu itu anak muda. Kau berhasil menyelamatkan dirimu meskipun aku dapat menyentuh tubuhmu. Kalau kau tidak bernyawa rangkap, maka nal itu tidak akan mungkin terjadi pada seprang manusia biasa. Bah kan Empu Gandringpun pasti tidak akan mampu bertahan apa bila tanganku berhasil mengenai, dadanya.
Ken Arok yang masih berdiri tegak itu menggeram. Kini kemarahannyapun memuncak sampai ke-ubun-ubun. Tubuhnya yang dibakar oleh kemarahan itu menggigil seperti orang kedingin an. Per-lahan-lahan mulutnya bergerak dan terdengarlah ia berkata. Mahisa Agni yang seakan-akan membeku ditempatnya melihat peristiwa itu menjadi terkejut. Yang didengarnya itu adalah suara yang pernah didengarnya di padang Karautan. Suara hantu yang menakutkan.
"Kebo Sindet "suara itu terdengar parau dan dalam. Lontaran getarannya menghantam dada mereka yang mendengar nya "jangan menyombongkan diri dengan kekuatan Aji-ajimu.
Meskipun aku tidak memiliki ilmu macam apapun, tetapi ke jahatan yang kau lakukan pasti akan mencelakakanmu Kalau tidak saat ini, pasti akan datang suatu ketika kau hancur menjadi debu.
"Ancaman seseorang yang telah berputus asa "jawab Kebo Sindet dalam nada datar. Kata-kata ita seakan-akan ber-gulung-gulung saja didalam perutnya " adalah hanya kebetulan saja bahwa kau terlepas dari bahaya maut. Tetapi kalau aku mengulang nya sekali lagi, maka kau tidak akan lagi dapat menyebut na ma ayah bundamu.
Ken Arok tidak menjawab. Dengan tangan gemetar di-julurkannya pedangnya sambil berkata "Aku sudah siap.
Agaknya kemarahan Kebo Sindet sudah tidak tertahankan lagi. Hampir tak tertangkap oleh pandangan mata biasa ia me lenting,.meloncat kearah Ken Arok. Demikian cepatnya sehin ga kali inipun Ken Arrok tidak sempat berbuat banyak. Ia hanya mampu menggerakkan ujung pedangnya mengarah kepada lawannya. Tetapi sekali lagi gerakan Kebo Sindet tak dapat diikutinya. Sekali lagi Kebo Sindet melenting, dan kali ini Ken Arok benar-benar tidak mampu mengikuti kecepatan gerak itu2.
Empu Gandring berdesis perlahan. Terasa bulu-bulunya meremang membayangkan kemungkinan yang dapat terjadi atas Ken Arok. Kini ia ingin mencoba mempengaruhi gerak Kebo Sindet, tetapi dengan tiba-tiba Wong Sarimpat menghalangnya dengan sebuah sambaran kaki pada lambung Empu Gandring. Terpaksa Empu Gandring menghindari serangan itu, dan terpaksa ia tidak dapat berbuat sesuatu atas Kebo Sindet. Yang dilihatnya adalah sekali lagi Ken Arok terpelanting jatuh sesudah pedangnya terloncat dari tangannya.
Mahisa Agni masih saja berdiri membeku. Kesadaran nya se-olah-olah terhisap habis-habis oleh peristiwa itu. Ia hanya mapu menggerakkan biji-biji matanya, mengikuti bayangan Ken Arok terbanting jatuh.
Tetapi sekali lagi mereka menjadi heran dan kagum bercampur-baur. Mereka melihat Ken Arok itu berguling beberapa kali. Lalu dengan ter-tatih-tatih ia berdiri diatas kedua lututnya. Bahkan kemudian anak muda itu telah tegak kem bali. Tegak seperti tonggak baja yang kokoh kuat.
Orang-orang tua yang melihat peristiwa itu hampir tidak dapat memperlyayai penglihatannya. Mereka melihat tata gerak Ken Arok tidak terlampau jauh terpaut dari Mahisa Agni dan anak-anak muda yang memiliki kelebihan yang lain. Tetapi bahwa Ken Arok tidak lumat karena tangan Kebo Sindet adalah benar-benar diluar dugaan.
Kebo Sindet sendiri yang telah dua kali mengenainya, sejenak terpaku seperti patung. Bahkan tanpa sesadarnya ia berdesis "Luar biasa. Anak itu benar-benar anak setan.
Yang terdengar kemudian adalah gemeretak gigi Ken Arok. Suaranya menjadi semakin parau dan dalam, sedang nyalamatanya menjadi semakin membara. Seperti mengani bang diudara terdengar suaranya "Marilah Agni, marilah kita hadapi jahanam ini. Ternyata hidup dan mati sama sekali tidak berada d2dalam kekuasaan tangannya yang telah ber noda itu.
Mahisa Agni benar-benar seperti terbangun dari mimpi. Dua kali ia melihat Ken Arok terpelanting. Dua kali ia melihat anak itu bangkit. Dan ia sendiri belum berbuat apa-apa. Karena itu, maka dengan dada yang bergelora ia menyahut "Aku sudah siap Ken Arok. Kalau saja kulitnya tidak kebal oleh senjatanya.
Belum lagi Kebo Sindet sempat menyahut, maka Ken Arok itupun telah meloncat menyerang. Kini sikapnya menjadi semakin garang. Ia sama sekali tidak memungut pedang nya yang terjatuh, tetapi ditangannya tergenggam sebilah pisau belati yang kasar.
"Pisau itu "desis Mahisa Agni didalam hatinya yang berdesir "pisau itu adalah pisau hantu Karautan.
Kebo Sindet yang memiliki berbagai macam ilmu itu tidak lengah sama sekali Dengan cekatan ia menghindarinya. Namun kali ini serangan Ken Arok benar-benar seperti angin ribut. Geraknya semakin lama menjadi semakin bertambah kasar. Meskipun Mahisa Agni tidak lagi melihat gerakan yang mengerikan seperti ketika ia berkelahi melawan anak itu dipadang Karautan, tetapi kini ia melihat gerak-gerak yang serupa, bahkan bersumber pada gerakan-akan yang aneh itu, namun dalam tingkatan yang lebih dahsyat.
Meskipun Kebo Sindet adalah seorang yang telah menyimpan perbendaharaan pengalaman hampir tak terhitung jumlahnya, teetapi ia terkejut melihat tandang lawannya. Ia tidak melihat unsur-unsur yang tersusun rapi betapapun kasar nya, tetapi ia merasakan bahaya yang me-matuk2nya. Karena itu maka iapun berkata didalam hatinya "Anak ini benar anak setan atau jin tetekan. Bagaimana mungkin ia bisa ber kelahi dengan cara itu.
Kini Kebo Sindet tidak hanya merasakan seorang anak muda yang sombong sedang membunuh dirinya. Tetapi ia kini berasa berhadapan dengan anak iblis yang mengerikan. Karena itu, maka orang tua itu segera melayaninya dengan penuh kemarahan.
Sejenak Mahisa Agni melihat keduanya yang sedang bertempur itu. Ia melihat Ken Arok tidak sebagai seorang prajurit atau seorang Pelayan-dalam yang berkelahi sebagai seorang prajurit dengan pedangnya. Tetapi kini Mahisa Agni melihat hantu Karautan hidup kembali, berkelahi dengan sebilah pisau ditangan.
Namun Mahisa Agni tidak dapat berdiam diri lebih lama lagi. Betapa kecil kemampuannya, ia merasa wajib untuk ikut serta dalam perteMpuran yang dahsyat itu. Karena itu, maka dengan hati-hati ia mendekat, menjulurkan pedangnya, dan se"jenak kemudian maka pedang itupun mulai bergetar. Dengan bekal ilmu yang dimilikinya dari gurunya ia ikut bertempur Di pusatkannya segenap kemampuan lahir dan batin, tersalur da lam jalur2 urat-nadinya, menggerakkan pedang didalam geng gamannya. Meskipun Mahisa Agni adalah seorang anak kecil saja dibandingkan dengan Kebo Sindet, namun terasa juga serangannya agak mengganggu selagi setan tua dari Kemundungan itu berusaha membinasakan hantu dari padang Ka rautan.
Tetapi setiap kali Kebo Sindet menjadi kecewa. Selan-jutnya ia belum berbasil mengenai lawannya tepat seperti yang dikehendakinya. Bahkan tenaga lawannya yang semakin liar itu pun serasa menjadi semakin bertambah.
"Kekuatan apakah yang telah menyelusup kedalam tubuh setan kecil ini "Kebo Sindet mengumpat-umpat didalam ha tinya. Sekali-sekali ia berhasil menyentuh tubuh Ken Arok sehingga anak itu terpental beberapa langkah, tetapi setiap kali anak muda itu langsung meloncatinya kembali dengan ujung pisau ditangan kanannya dan ujung kuku-kuku jari tangan kirinya.
Dengan demikian maka kemarahan Kebo Sindetpun semakin menjadi-jadi. Sekali dua kali ia harus menghindari pedang Mahisa Agni. Tetapi ia tidak menyerangnya. Betapa gelap hatinya namun ia masih berusaha membiarkan saja anak muda itu. Sebab apabila ia membalasnya dengan serangan-angan ia takut apabila ia tidak berhasil menguasai tenaganya, sehingga Mahisa Agni itu justru yang terbunuh.
Wong Sarimpat dan Empu Gandring untuk beberapa saat masih berdiri keheranan. Bahkan tanpa dikehendakinya Wong Sarimpat berdesis "Apakah yang telah menggerakkan anak itu sehingga ia dapat berkelahi dengan cara itu?"
Empu Gandring tanpa sesadarnya menyahut "Alangkah keras dan kasar unsur-unsur yang dipergunakannya. Bahkan jauh le bih kasar dari Empu Sada. Hampir sekasar kau dan kakakmu Kebo Sindet.
"Tidak "gumam Wong Sarimpat "lihat, betapa kasar nya. Tidak kalah kasar dari kakang Kebo Sindet. Tetapi yang gila adalah simpanan tenaga dan kekuatan, sehingga ia mampu bertahan terhadap sentuhan tangan kakang Kebo Sindet.
Empu Gandring meng-angguk-anggukkan kepalanya dan Wong Sarimpat memandanginya dengan mata yang hampir tidak berkedip. Mereka melihat betapa perkelahian antara Kebo Sindet melawan Ken Arok dan Mahisa Agni menjadi semakin dahsyat. Setelah mapan, maka tandang Mahisa Agnipun menja di bertambah lincah. Pedangnya me-nyambar-nyambar dari berbagai arah, sehingga mau tidak mau Kebo Sindet harus memperhitungkannya. Tetapi ia tidak dapat dengan garang menyerang kembali anak muda itu. Kebo Sindet yang sedang berkelahi itu merasa sangat sulit untuk mengukur tenaganya, sehingga Mahisa Agni tidak terbunuh oleh sentuhan tangannya. Seandainya ia tidak sedang berkelahi dengan iblis yang kasar itu, maka ia akan segera dapat menjajagi kekuatan tubuh Ma bisa Agni. Ia akan dapat mengendalikan tangannya, menyentuh urat nadi kesadaran Mahisa Agni sehingga anak itu ping san. Tetapi tidak mati.
Tetapi kini ia berkelahi dengan anak muda yang tidak dapat diduga kekuatannya. Meskipun ia hampir mempergunakan segenap kekuatannya. namun anak muda yang bernama Ken Arok itu tidak hancur lumat. Tulang-tulang iganya tidak menjadi rontok karenanya Bahkan setiap kali ia berbasil menghindarkan simpul-simpul sarafnya yang berbahaya dari sentuhan tangan Kebo Sindet, sehingga setiap kali ia terbanting jatuh, setiap kali ia dapat bangun kembali. Justru semakin sering ia terpelanting, maka tubuhnya se-akan-akan menjadi semakin liat, dan semakin cepatlah ia bangkit kembali meloncat dengan garang dan liar, menyerang membabi buta.
"Tidak " desis. Kebo Sindet didalam hatinya "anak itu tidak membabi buta. Tetapi ilmu yang gila ini belum pernah aku kenal. Belum pernah aku temui seorang sakti yang berkelahi dengan cara ini.
Dengan demikian, maka Mahisa Agni itu bagi Kebo Sindet terasa benar-benar mengganggu usahanya membinasakan Ken Arok. Karena itu maka tiba-tibaia berteriak nyaring "Kuda-Sempana, Jangan Bersembunyi saja. Ini, aku sudah berhasil memanggil orang yang selama ini kau cari. Kau tidak usah menunggu gurumu. Selesaikan Mahisa Agni ini lebih dahulu Tetapi ingat, biarkan ia hidup. Ia akan mengalami masa-masa yang tidak dikehendakinya.
Panggilan itu benar menggetarkan dada Empu Gandring, Mahisa Agni dan Ken Arok. Mereka merasa bahwa bahaya semakin lama akan menjadi semakin besar. Menurut dugaan me reka, sebentar lagi akan datang Empu Sada, guru Kuda-Sempana untuk membantu mereka menangkap Mahisa Agni.
Belum lagi mereka sempat mempertimbangkan sesuatu, maka dari dalam kegelapan meloncatlah sesosok tubuh yang telah menggenggam pedang ditangan. Orang itu adalah Kuda-Sempana. Sejenak ia berdiri dengan penuh kebimbangan. Be tapa dendam dan bencinya kepada Mahisa Agni pada saat-saat yang lampau. Betapa ia ingin membunuh dan mencincangnya. Tetapi tiba-tibakini, setelah ia berhadapan dibawah lindungan kedua iblis dari Kemundungan, nafsunya itu susut hampir ke ring sama sekali.
Tetapi seperti apa yang selama ini dilakukannya. Berbuat apa saja yang dikatakan oleh Kebo Sindet dan Wong Sarim pat. Demikian pula kali ini. Menurut Kebo Sindet ia harus bertempur melawan Mahisa Agni. Karena itu, maka segera iapun mencoba membulatkan hatinya. Bertempur tanpa sesuatu tujuan.
Mahisa Agni yang melihat kehadiran Kuda"Sempana menggeretakkan giginya. Ia tidak dapat melupakan apa yang telah dilakukan oleh anak muda itu, sehingga keadaan menjadi semakin lama semakin jelek. Tidak saja baginya sendiri, tetapi juga bagi seluruh Panawijen. Dan kini, Kuda-Sempana itu datang lagi, membuat orang-orang Panawijen ketakutan.
Karena itu, ketika kemudian Kuda-Sempana menyerang nya, maka dengan serta-merta ditinggalkannya Kebo Sindet yang masih berkelahi dengan Ken Arok dalam nada yang semakin lama semakin kasar dan liar. Keduanya adalah hantu yang mengerikan, dan keduanya dapat berbuat diluar bemampuan orang-orang biasa.
Sejenak kemudian Mahisa Agni telah terlibat dalam perkelahian dengan Kuda-Sempana. Kuda-Sempana yang semula ragu-ragu, kini ia harus menghadapi serangan Mahisa Agni yang membadai. Serangan-angan yang dilambari oleh berbagai perasaan bercampur baur. Kebencian kemarahan dan kegelisahan. Na mun justru karena itu, maka kejernihan hatinya menjadi agak terganggu. Tata geraknya menjadi ter-gesa-gesa dan dalam beberapa kesempatan, ia membuat kesalahan-lahan. Tetapi berhadapan dengan Kuda-Sempana Mahisa Agni masih mempunyai kesempatan. Betapa Kuda-Sempana dapat menambah ilmunya dengan ilmu yang diberikan oleh Kebo Sindet dan Wong Sarimpat, namun melawan Mahisa Agni ia masih harus berbuat terlampau banyak. Apalagi pada saat-saat perkelahian itu dimulai. Kuda-Sempana bertempur asal saja ia tidak tertusuk oleh ujung pedang lawannya. Namun semakin lama nafsunya per lahan-lahan tumbuh kembali. Bukan sekedar menyelamatkan diri, tetapi dalam lingkaran perkelahian, maka hasratnya untuk membinasakan lawannya terasa seperti api tertiup angin. Semakin lama menjadi semakin menyala didalam dadanya.
Peristiwa itu telah membuat Ken Arok menjadi semakin marah. Setiap kali ia terlempar jatuh, setiap kali ia merasa bahwa tenaga yang tersimpan didalam tubuhnya mengalir menyelusuri urat-urat nadinya. Semakin besar nyala kemarahannya, maka tubuhnya terasa semakin ringan dan geraknyapun menjadi semakin cepat. Tetapi yang dihadapinya adalah Kebo Sindet. Betapa besar kemampuan yang tersimpan didalam dirinya, namun Ken Arok bagi Kebo Sindet se-olah-olah tidak lebih dari sebutir kemiri dalam permainan jirak. Sekali terlempar kesam ping, sekali terdorong surut dan sekali terbanting jatuh.
Meskipun demikian Ken Arok masih juga mampu bangkit berdiri, melenting dan meloncat menycrang dengan liarnya. Kuku-kukunya mengembang seperti kuku seekor garuda yang buas, sedang ditangan yang lain sebilah pisau se-akan-akan melekat pada jari2 tangannya, sehingga pisau itu tidak dapat terpelanting lepas dari genggamannya.
Apa yang dilakukan Ken Arok itu benar-benar tidak dapat di mengerti nalar orang-orang tua yang mengitarinya. Wong Sarimpat, Empu Gandring dan Kebo Sindet sendiri. Bagaimana mungkin Ken Arok itu mampu bertahan lama melawan Kebo Sindet.
Menilik tata gerak dan unsur-unsur yang dipergunakan oleh Ken Arok, maka mereka merasakan, betapa sedikit pengertian yang dimilikinya. Menurut perhitungan mereka, ilmu yang dimiliki oleh Ken Arok dalam tata gerak dan tata berkelahi, tidak banyak terpaut dari Mahisa Agni, meskipun dalam bentuk yang berbeda. Tetapi kekuatan tenaga, kecepatan bergerak dan ke tahanan tubuhnya, benar-benar mengagumkan. Dan orang-orang tua itu menganggap bahwa semuanya itu lama sekali bukan dilambari oleh sesuatu ilmu apapun, tetapi apa yang dimilikinya itu ada lah pembawaan sejak ia dilahirkan.
Dalam keheranan dan kekagumannya, maka Wong Sarim pat dan Empu Gandring masih saja berdiri tegak. Wong Sarimpat tidak lagi menyerang Empu Gandring selagi Empu Gandring tidak berusaha membantu Ken Arok atau Mahisa Agni.
Meskipun demikian Empu Gandring masih juga selalu di selubungi oleh perasaan cemas dan gelisah. Betapa ketahanan tubuh Ken Arok itu, namun serangan Kebo Sindet yang datang .seperti badai, menghantam terus-menerus itu suatu ketika pasti akan dapat melumpuhkan Ken Arok. Bahkan mungkin membunuhnya.
Orang tua itu masih saja melihat Ken Arok terlempar, terbanting dan ber-guling-guling menghindari serangan lawannya. Sekali ia melenting sambil menerkam lawannya, untuk kemudian terlempar kembali beberapa langkah.
Sekali-sekali terdengar ia mengeluh pendek, tetapi lambat laun suara itu terdengar seperti hantu yang sedang marah.
Tiba-tiba Empu Gandring menjadi tegang ketika ia melihat sesuatu. Darahnya serasa berhenti mengalir. Selangkah ia maju sambil menajamkan matanya. Bukan saja mata wadagnya, tetapi juga mata batinnya. Terasa dadanya kemudian bergetar semakin cepat. Tanpa sesadarnya ia berpaling memandangi wajah Wong Sarimpat. Dan wajah itupun menegang seperti seutas tali yang hampir putus karena tarikan kedua ujungnya.
"He, tukang keris "Wong Sarimpat itu hampir berteriak "kau lihat itu?"
Empu Gandring tidak segera menyahut. Ternyata Wong Sarimpat betapapun kasarnya, namun ia telah berhasil melihat pula. Agaknya kekuatan yang tersimpan didalain diri orang itu pun telah mampu menerima getaran yang aneh, yang memancar dari diri Ken Arok.
"Ternyata anak itu benar-benar anak setan.
"Kau melihatnya?" "desis Empu Gandring.
"Ya. Itulah sebabnya maka tubuhnya kuat seperti seekor gajah kerdil.
Empu Gandring terdiam. Tetapi debar didalam dadanya menjadi semakin lama semakin cepat. Dan apa yang dilihatnya menjadi semakin jelas. Tidak sekedar dengan mata wadagnya.
Dengan jantung yang bergolak Empu Gandring dan Wong Sarimpat melihat sebuah bayangan warna ke-merah-merahan yang seakan-akan memancar dari ubun-ubun Ken Arok. Tidak begitu jelas. Tetapi keduanya yakin bahwa mereka telah melihatnya. Seperti yang pernah dilihat oleh Empu Purwa dipadang Karautan.
Perlahan-lahan Empu Gandring berdesis "Adalah manusia yang terpilihlah yang memiliki tanda demikian.
"Anak iblis "geram Wong Sarimpat.
Empu Gandring tidak menjawab. Namun timbullah sedikit harapan padanya, bahwa Ken Arok memiliki kelebihan yang meyakinkan dari anak-anak muda sebayanya. Tanda itu telah memberitahukan kepadanya, bahwa Ken Arok bukanlah anak-anak muda kebanyakan saja meskipun tandangnya kasar sekasar Kebo Sindet dan Wong Sarimpat.
Wong Sarimpatpun melihat kelebihan itu, meskipun Dengan mulut yang meng-umpat-umpat. Ia tidak tahu pasti, apakah2 yang telah menimbulkan bayangan kemerahan diatas ubun-ubun anak itu. Tetapi iapun pernah mendengar dongeng2 tentang anak-anak terpilih. Karena itu, maka ia menjadi sedemikian ma rahnya, bahwa anak muda yang memiliki kelebihan itu memi hak Mahisa Agni.
"He, pande keris "teriaknya "apakah kau sangka warna itu akan dapat menyelamatkannya"
"Aku tidak tahu "sahut Empu Gandring "warna itu adalah warna keberanian.
"Setan, iblis "lagi-lagi orang itu meng-umpat-umpat dengan mulutnya yang kotor "ia akan mati terbunuh oleh kakang Kebo Sindet, dan warna itu akan padam dari kepalanya.
"Marilah kita lihat.
"Tidak. Aku tidak hanya ingin sekedar melihat, tetapi aku ingin berkelahi seperti orang lain. Ayo, bersiaplah Empu tua.
Belum lagi Empu Gandring menjawab, Wong Sarimpat telah melompat menyerangnya sambil berteriak "Aku akan segera membunuhmu. Kemudian aku ingin turut membuktikan, apakah anak muda itu benar-benar tak dapat dicincang kulit da gingnya.
Tetapi Empu Gandringpun telah cukup mempersiapkan diri. Karena itu, maka iapun sempat menghindari serangan Wong Sarimpat. Bahkan dengan cepatnya, tangannya menyambar tengkuk lawannya.
"Kaupun anak setan "teriak Wong Sarimpat ketika terasa sebuah sambaran tangan Empu Gandring hampir menyentuh tengkuknya, Orang itu terpaksa menghindar, sehingga hampir-hampir, ia kehilangan keseimbangan. Tetapi ia tidak meneruskan kataynya, sebab ia melibat Empu Gandring tidak membiarkannya. Orang itupun segera bersiap untuk menghindari serangan-angan berikutnya, yang datang seperti banjir menghantam tebing.
"Kaupun menjadi gila dan liar "teriak Wong Sarimpat. Tetapi dirinya sendirilah yang menjadi semakin liar dan buas. Tata geraknya segera menjadi kasar, sekasar kakak nya Kebo Sindet. Namun Empu Gandring tidak menjadi bingung. Ia tahu, apa yang harus dilakukan melawan orang-orang liar seperti Kebo Sindet dan Wong Sarimpat, sehingga betapa liarnya lawannya, namun Empu Gandring masih juga tetap tenang. Sekali-sekali ia sempat melihat perkembangan keadaan Ken Arok dan Kebo Sindet yang bertempur semakin ribut.
Kebo Sindet sendiri, yang berkelahi dengan Ken Arok tidak segera melihat warna kemerah-merahan di ubun-ubun lawannya. Dengan penuh kemarahan Kebo Sindett berusaha melumatkan la wannya dengan tangannya. Meskipun ber-kali-kali ia tidak berhasil memecahkan dada anak muda itu, tetapi ia masih percaya bahwa Ken Arok tak akan dapat dihancurkannya. Itulah sebabnya Kebo Sindet masih saja berkelahi dengan tangannya. Ia tahu benar bahwa ilmu lawannya sama sekali tidak berarti untuk melawannya. Namun ketahanan tubuh anak itu benar-benar memusingkan kepalanya. Bahkan kadang-kadang timbul kecemas an didalam dirinya, apakah ilmunya telah lebur?"
Demikianlah maka perkelahian itu menjadi kian seru. Tandang Ken Arok benar-benar menjengkelkan sekali bagi Kebo Sindet yang garang dan buas. Seakan-akan ia sedang berhadapan Dengan Aji Candra Birawa. Ia pernah mendengar, bahwa seseorang mampu membangunkan kekuatan yang tanpa batas. Kadang-kadang dapat berwujud seorang raksasa. Kalau, raksasa itu terbunuh, maka mayatnya akan membelah, dan datanglah ke mudian dua orang raksasa. Demikianlah setiap kali di binasa kan, maka kekuatan itupun menjadi berlipat.
"Apakah anak ini memiliki aji ini?" "desisnya didalam hati "Setiap kali kekuatannya terhantam, maka se-akan-akan tu"buhnya menjadi semakin kuat- Kalau ia terbanting jatuh, maka segera ia bangkit dengan kesigapan yang berlipat.
"Tetapi anak setan ini barus mati "geramnya sambil mempertajam serangan-angannya, sehingga semakin lama menjadi semakin dabsyat.
Namun akhirnya Kebo Sindet itu mampu melihat bayangan ke-merah-merahan diatas ubun-ubun Ken Arok. Semula orang itu me nyangka, bahwa kemarahannya telah menumbuhkan bayangan-angan yang tak dikenalnya. Tetapi ternyata warna merah itu meloncat, melontar dan meluncur ber-sama-sama dengan kepala lawan nya. Warna itu memancar dari ubun-ubun kepala itu.
"Gila "desisnya "apakah anak ini anak pilihan?"
Kebo Sindet meng-umpat-umpat didalam hatinya. Selama ini ia tidak pernah mem kirkan persoalan serupa itu. Ia tidak me"ngenal kepada kekuatan2 diluar dirinya dan lingkungannya yang kasat mata maupun yang tidak kasat mata. Tetapi ia tidak me ngenal suatu kekuasaan yang Agung meskipun pernah didengar nya. Tiba-tiba sekarang ia berhadapan dengan warna itu. Menurut dongeng yang pernah didengarnya, warna yang memancar dari ubun-ubun adalah pertanda bahwa orang itu adalah orang pilihan. Orang pinuji. Itulah sebabnya maka ia memiliki kekuatan dan ketahanan tubuh melampui manusia biasa.
Sejenak perasaan Kebo Sindet dilanda oleh kebimbangan. Namun kembali ia menguatkan hatinya. Dengan gigi ge"meretak ia menggeram didalam dadanya "Betapapun juga ia adalah manusia. Berapa kuat ketahanan tubuhnya, tetapi kulit dagingnya pasti akan dapat menjadi lumat.
Dengan demikian, maka tandang Kebo Sindet menjadi semakin buas dan liar. Demikian juga Ken Arok. Semakin garang ia berkelahi, nyala diatas ubun-ubunnya seolah-olah menjadi semakin terang.
Disisi lain, Kuda-Sempanapun berkelahi dengan nafsu yang semakin menyala. Kini ia tidak lagi sekedar digerakkan oleh perintah Kebo Sindet, tetapi ia benar-benar berusaha membunuh Mahisa Agni. Ia tidak lagi mengingat apakah dendamnya bertimbun setinggi gunung, namun dalam perkelahian ini, ia ingin membunuh se-cepat-cepatnya.
Tetapi Mahisa Agnipun berkelahi dengan kemarahan yang meluap-luap. Ia ingin menghentikan petualangan anak muda itu. Ia ingin Kuda-Sempana tidak lagi dapat melakukan kejahat an. Baik terhadap dirinya sendiri, terhadap Ken Dedes, ter hadap, orang-orang Panawijen maupun terhadap bendungan yang sedang dikerjakannya. Karena itu, maka ia harus dapat me lumpuhkan lawannya. Menangkap atau kalau terpaksa anak muda itu terbunuh, adalah bukan se-mata2 karena kebencian dan dendam, tetapi ia didorong oleh suatu kuwajiban untuk suatu kepentingan yang lebih besar dari kepentingannya sen diri.
Dorongan itulah yang telah memaksa Mahisa Agni bertempur mati-matian. Apalagi kalau diingatnya, bahwa sebentar lagi, tangan-angan Kebo Sindet atau Wong Sarimpat pasti akan mencekiknya. Itulah sebabnya. ia merasa bahwa ia harus segera menyelesaikan tugasnya sebelum Ken Arok tidak lagi berdaya melawan Kebo Sindet.
Tetapi Kuda-Sempana sekarang sudah lain dengan Kuda-Sempana yang selalu dikalahkannya. Kuda-Sempana kini, adalah Kuda-Sempana yang menjadi bertambah kasar, liar tetapi bertambah kuat dan cekatan. Kuda-Sempana itu mampu me-loncat secepat burung sikatan dan menyambar segarang elang diudara. Merangsangnya seliar serigala dan menerkam sebuas harimau lapar.
Dengan demikian maka Mahisa Agni itupun harus bertempur sekuat tenaganya, setinggi kemampuannya. Dikerahkannya segenap ilmunya lahir dan batin untuk mengalahkan la wannya. Tetapi pekerjaan itu bukanlah pekerjaan yang mudah, semudah memijat wohing ranti. Tetapi ia harus berjuang memeras segenap kemampuan yang ada padanya. Na mun sampai beberapa lama, ia sama sekali belum melihat tanda-tanda bahwa usahanya itu akan segera berhasil. Bahkan setiap kali ia harus meloncat menghindari ujung pedang Kuda-Sempana yang me-matuk-matuk seperti seribu kepala ular yang menyerangnya ber-sama-sama dari segala penjuru.
Tetapi Kuda-Sempanapun telah dibasahi oleh keringat yang mengalir dari segenap lubang kulitnya. Betapa ia berusaha membinasakan lawannya, tetapi lawannya bukan dengan suka rela menyerahkan kepalanya, pasrah pati-urip. Karena itu, maka pekerjaannya adalah sesulit menangkap kijang dipadang rumput dengan tangannya.
Tidak kalah, ributnya adalah Wong Sarimpat. Sekali-sekali terdengar orang itu berteriak nyaring, sehingga suaranya mem bentur dinding-dinding halaman, me-lingkar-lingkar memenuhi padukuhan yang sepi. Namun sejenak kemudian Panawijen itu telah diterkam oleh ketakutan yang amat sangat. Beberapa orang akhirnya mendengar hiruk pikuk perkelahian dan teriakan-akan Wong Sarimpat yang liar itu.
Mereka yang terbangun mula-mula menjadi bingung. Mereka belum tahu, suara apakah yang memecah sepinya malam, melingkar-lingkar diseluruh padepokannya.
Beberapa orang-orang laki-laki tua keluar dari rumah-rumah mereka, membawa golok dan parang pembelah kelapadan kayu. Mengendapendap mereka pergi kearah suara yang hiruk pikuk dan ribut di padepokan Empu Purwa. Tetapi ketika mereka menjadi semakin dekat, maka tubuh mereka menjadi gemetar. Dalam keremangan cahaya pelita dihalaman padepokan itu, mereka melihat lingkaran-lingkaran perkelahian. Perkelahian yang belum pernah mereka lihat.
Sejenak mereka terpaku dibalik dinding halaman. Sekali-sekali mereka mengintip dari atas dinding sambil berdiri diatas bongkahan batu padas. Namun kemudian merekapun kemba li bersembunyi di balik dinding-dinding itu. Tak sepatah kata yang dapat mereka ucapkan diantara mereka. Sekali-sekali mereka saling berpandangan. Namun kemudian mereka menggigil ketakutan.
Dada mereka serasa akan pecah ketika tiba-tibamereka men dengar teriakan Wong Sarimpat nyaring "He yang berdiri di balik dinding. Ayo, jangan bersembunyi. Kalau kalian cukup jantan. Inilah Wong Sarimpat dari Kemundungan.
Tetapi kata-kata itu terhenti ketika serangan Empu Gandring hampir merobek mulutnya. Dengan lincahnya ia meloncat mundur. Golok yang kini telah berada ditangannya berputar seperti baling-baling. Tetapi setiap kali bunga api memercik tinggi apa bila golok itu membentur keris Empu Gandring. Keris yang tidak kalah besarnya dari golok itu.
Ketika ketiga orang yang menjemput Mahisa Agni sam pai ditempat itu pula, maka mereka menjadi gemetar. Teri ngatlah apa yang dirisaukan oleh orang tua yang ternyata ada lah paman Mahisa Agni dan pemimpin prajurit dari Tuma pel. Kini mereka menyadari kebenaran dari kecemasan orang-orang itu. Sehingga karena itu, maka alangkah mereka menyesal. Apa bila terjadi sesuatu atas Mahisa Agni, maka mereka menja di salah satu sebab dari bencana itu.
"Siapakah mereka?" bisik salah seorang dari ketiga orang itu.
Kawannya menggelengkan kepalanya. Tetapi kembali me reka terkejut ketika Wong Sarimpat sempat menjawab sambil bertiak "Kami adalah Wong Satimpat, Kebo Sindet dan Kuda-Sempana dari Kemundungan.
Ketiga orang itu terbungkam. Tetapi disamping ketakut an dan kecemasannya, terbayanglah wajah ayah Kuda-Sempana yang se-olah-olah telah mendorong mereka menjemput Mahisa Agni Dan kini tiba-tiba mereka mendengar bahwa diantara mereka terdapat Kuda-Sempana.
Ketiga orang-orang tua yang menjemput Mahisa Agni kepadang Karautan itu merasakan sesuatu yang tidak pada tempatnya dengan ayah Kuda Sempana. Apakah ayah Kuda-Sempana itu telah menjadi alat anaknya untuk menciderai Mahisa Agni"
Tiba-tiba salah seorang dari mereka menggamit kawannya. Kawannya itupun mengangguk dan mereka bertigapun mening galkan tempat itu.
Setelah cukup jauh dari padepokan Empu Purwa, maka salah seorang dari mereka berkata "Kita kerumah ayah Kuda-Sempana. la harus bertanggung jawab atas semua peristi wa ini.
"Marilah kakang "jawab yang lain, tetapi nada suara nya terasa diselubungi oleh kebimbangan "tetapi apakah tidak ada orang lain dirumah itu. Kawan-kawan orang yang datang dari Kemundungan itu.
Yang lain menjadi ragu-ragu pula, katanya"Ya, apakah di rumah itu tidak ada orang lain lagi yang akan dapat memeng gal leher kami.
Sejenak mereka berdiam diri. Hanya langkah mereka sajalah yang terdengar gemerisik diatas tanah berbatu. Lamat-lamat mereka masih mendengar suara Wong Sarimpat men-jerit-jerit. Dan tiba-tiba Kuda Sempana yang menjadi semakin kasarpun sekali-sekali memekik tinggi pula.
Tetapi orang-orang tua itupun kemudian dijalari oleh perasa an yang aneh. Karena mereka merasa, bahwa mereka telah turut serta menjerumuskan Mahisa Agni, maka merekapun seakan-akan mendapat suatu keberanian untuk berbuat sesuatu. Mereka yang selama ini tidak pernah menggenggam senjata, ki ni parang pembelah kayu itu merupakan senjata yang mem beri mereka ketabahan. Ayah Kuda-Sempana harus bertanggung jawab "desis mereka didalam hati
Dengan hati-hati mereka berjalan menyelusuri jalan-jalan padu kuhan menuju kerumah Kuda-Sempana. Karena didalam per kelahian itu hadir Kuda-Sempana, maka mereka mengharap bahwa ayahnya akan dapat mereka temui seorang diri.
Dari kejauhan mereka melibat pelita yang menyala dida lam rumah Kuda-Sempana.. Beberapa berkas sinarnya melontar menyelusup lubang-lubang dinding jatuh dihalaman yang gelap gulita.
Rumah itu tidak terlampau besar, tetapi juga tidak ter lampau kecil. Pada saat Kuda-Sempana masih seorang Pela-yan-dalam, maka rumah itupun tampak terpelihara baik. Teta pi kini, semak-semak yang liar tumbuh disekeliling halaman. Bahkan regol dan pintunya kini sama sekali sudah hampir tidak ter"bentuk lagi.
"Muda-mudaan orang itu ada dirumahnya "gumam salah seorang.
"Aku kira ia ada dirumah "sahut yang lain.
Per-lahan-lahan mereka mendekati pintu rumah itu. Salah seorang dari mereka mencoba mengintip kedalamnya lewat lubang dinding yang menganga selebar hitam mata. Tetapi tak sesuatu yang dilihatnya.
"Apakah kita ketuk pintunya" bertanya salah seorang.
"Ketuklah pintu "sahut yang lain.
Salah seorang dari merekapun segera mengetuk pintu. Sekali dua kali, tetapi tidak terdengar jawaban.
"Apakah orang itu sudah tidur?"
Yang lain tidak sabar lagi. Diketuknya semakin keras. Na mun masih belum ada jawaban.
Akhirnya mereka tidak dapat menahan diri. Sejenak me reka berbincang. Dan akhirnya mereka memutuskan untuk me mecah. pintu itu dengan paksa.
Meskipun dengan agak bersusah payah, akhirnya ketiga nya berhasil merusak pintu. Dengan hati-hati mereka masuk ke dalamnya. Senjata-senjata mereka telah berada didalam genggam an, seperti seorang pahlawan yang sedang mencari lawannya yang bersembunyi.
Tetapi ternyata rumah itu telah menjadi kosong. Me reka sama sekali tidak menemukan seorangpun didalamnya.
"Kosong "desis salah seorang dari mereka.2
"Mungkin bersembunyi "sahut yang lain.
Dengan sangat hati-hati mereka bertiga mencari ayah Kuda-Sempana. Beriritan kesegenap sudut. Namun meskipun pelita terpasang hampir disetiap ruang, mereka tidak menemukan seorangpun.
"Gila. Orang itu telah merasa dirinya bersalah. Karena itu maka ia melarikan dirinya.
"Hem "yang lain menggeram. Tetapi tidak ada sesuatu yang dapat dilakukannya.
Meskipun demikian sekali lagi mereka meneliti setiap su dut. Dibawah kolong-kolong amben, dibelakang gledeg dan di-sisi2 paga. Tetapi mereka tetap tidak menemukan seseorang.
"Lalu "desis salah seorang dari mereka "apa yang akan kita kerjakan"
Sejenak mereka bertiga terdiam. Sementara itu angin malam berhembus masuk kedalam rumah itu lewat pintu yang masih menganga. Diluar gelap yang pekat se-akan-akan menyum bat setiap lubang dinding rumah.
"Kita kembali "tiba-tiba salah seorang berkata.
"Kembali kemana?" "bertanya yang lain.
"Kembali ketempat perkelahian tadi. Kuda-Sempana lah yang harus bertanggung jawab atas semua peristiwa ini. Karena kebodohan kita, maka kita telah menjadi alatnya. Maka kitapun harus menebus kebodohan itu.
"Apa yang akan kita lakukan?"
"Membunuh Kuda-Sempana.
"He?" "seorang yang lain menjadi ngeri mendengar jawaban itu, se-akan-akan mereka mampu membunuh Kuda-Sempana.
"Ya. Kita membunuh Kuda-Sempana bersama angger Mahisa Agni.
"Anak itu bukan lawan kita.
"Kita hanya membantu. Membantu angger Mahisa Agni. Betapapun lemah tenaga kita, tetapi kita akan dapat membantu mengurangi kesungguhan perhatian Kuda-Sempa na atas Mahisa Agni.
-Tetapi bukan sekedar menarik perhatiannya, bahkan mungkin ujung pedangnya.
"Kalau ujung pedangnya menghunjam kedada kita itu adalah sekedar akibat dari kebodohan kita. Kenapa kita telah memanggil angger Mahisa Agni kepedukuhan ini"
Kedua kawannya yang lain menjadi tegang. Namun ke mudian merekapun berkata -"Mari. Kita kembali kepadepok an Empu Purwa. Kita lihat, siapakah yang menang dalam per kelahian itu.
"Kita tidak akan hanya sekedar melihat.
"Baik. Kita ikut berkelahi.
"Sampai akibat yang paling parah.
"Sampai mati. Maka bulatlah tekad mereka untuk bertempur memban tu Mahisa Agni. Mereka merasa, bahwa mau mereka telah menyeret Mahisa Agni kedalam bencana.
Dengan ter-gesa-gesa, mereka meninggalkan rumah Kuda-Sempana. Dibiarkannya pintu rumah itu menganga. Dan dibiar kannya lampu-lampu rumah itu menyala se-besar-besarnya.
Scjenak kemudian merekapun telah sampai kembali di tempat perkelahian antara raksasa-raksasa itu terjadi. Per-lahan-lahan mereka mendekati dinding halaman Padepokan Empu Purwa. Beberapa orang masih saja mengerumuni tempat itu dari jauh. Mereka tidak berani mendekat, apalagi melihat. Teta pi merekapun tidak mau meninggalkannya, karena mereka ingin tahu, apakah yang akan terjadi.
Ketika mereka bertiga, mencongakkan kepala-kepala mereka hampir saja mereka terpelanting jatuh ketika mereka mendengar suara Wong Sarimpat "Ayo, siapa yang akan membantu, Kemarilah.
Ketiganya menjadi seakan-akan membeku pada dinding ha laman. Kebulatan tekad mereka sama sekali tidak lagi mereka ingat. Apalagi turut berkelahi dipihak Mahisa Agni, sedang melihat kilatan senjata mereka yang sedang berkelahi itupun mereka seolah-olah telah menjadi mati kaku.
Meskipun demikian, mereka masih sempat melihat per kelahian yang mengerikan itu. Mereka masih melihat betapa Ken Arok berkelahi seperti orang kesurupan. Tanpa menghi raukan apapun anak muda itu mengamuk se-jadi-jadinya. Me loncat menerkam, memukul, menerjang dan segalamacam gerak yang memosingkan kepala. Kebo Sindetpun menjadi pusing pula karenanya. Hampir-hampir ia kehilangan akal untuk menjatuhkan lawannya yang gila dan liar. Lebih liar dan buas dari dirinya sendiri.
"Anak setan ini benar-benar mengerikan "desis Kebo Sindet didalam hatinya. Meskipun demikian, ia sama sekali belum mempergunakan senjatanya. Kini keinginannya bukan saja ingin menghancurkan dan membunuh lawannya, namun timbul pula keinginannya untuk melihat, sampai dimana kekalian dan ketahanan tubuh anak muda yang ubun-ubunnya bercahaya ke-merah-merahan. Karena itu, betapapun juga, Kebo Sindet masih saja melawannya dengan anggauta badannya. Sekali-sekali dihantamnya dada anak muda itu sehingga terpelan ting beberapa langkah. Baru saja anak muda itu melenting berdiri, maka kakinya telah mengenai lambungnya, sehingga Ken Arok terangkat tinggi, melayang diudara untuk jatuh seperti sepotong tonggak yang basah. Tetapi sekali lagi ia me loncat bangkit dengan pisaunya ditangan kanan dan kuku2nya yang mengembang ditangan kiri.
"Gila. Benar-benar gila "Kebo Sindet menggeram. Ia adalah seorang yang pilih tanding. Seorang yang sudah kenyang mencicipi segala macam bentuk kehidupan. Yang paling lu nak sampai yang paling kasar. Tetapi belum pernah dijumpainya sejenis manusia seperti yang kini sedang dilawannya.
Orang yang kini berkelahi melawannya dan bernama Ken Arok itu memiliki ketabahan tubuh yang luar biasa. Namun justru karena itu, maka ia menjadi semakin tertarik kepada anak muda itu. Semakin sulit ia menjatuhkan lawannya, semakin tajam keinginannya untuk mengukur titik akhir dari ke tahanan tubuh Ken Arok.
Tetapi akhirnya Kebo Sindet menyadari, bahwa kunci dari pertempuran itu ada padanya. Adiknya, Wong Sarimpat yang bertempur melawan Empu Gandring. rasa-rasanya tidak akan sege ra dapat mengakhiri perkelahian. Bahkan menurut penilaian Kebo Sindet, maka sampai seminggupun adiknya tidak akan memenangkan perteMpuran itu. Menilik ketenangan dan keya kinan setiap geraknya, maka agaknya Empu Gandring masih le bih banyak menyimpan tenaga daripada adiknya. Sehingga apa bila perkelahian itu dibiarkannya sampai sehari dua hari, maka adiknya, Wong Sarimpatlah yang akan lebih dahulu susut tenaganya.
Sedang Kuda-Sempana pasti tidak akan dapat mengalahkan Mahisa Agni. Kebo Sindet masih sempat melihat sekilas2 perkelahian antara kedua anak muda itu. Dan Kebo Sindet masih melihat beberapa kekurangan Kuda-Sempana.
Dengan demikian, maka ia harus segera mengakhiri perke lahian itu. Kalau ia berhasil melumpuhkan lawannya atau mem bunuhnya sekali, maka ia akan segera dapat membantu ka"wan-kawannya yang lain.
Tiba-tibaKebo Sindet itupun menggeram. Ia kini tidak mau bermain-main lagi. Ia sudah cukup lama merasakan keliatan tu buh lawannya. Dan kini ia benar-benar ingin menghancurkannya. Tetapi tidak dengan senjata tajam. Ken Arok harus lumat dengan tangannya.
Kebo Sindet itupun segera memusatkan segenap kekuatan lahir dan kekuatan yang tersimpan didalam dirinya- Kekuatan yang bersumber pada kekuatan sesat. Meskipun dalam ungkap annya, se-akan-akan ia memiliki kelebihan dari orang-orang lain, tetapi kelebihannya itu didapatkannya dari dunia yang hitam; yang bertentangan dengan jalan yang seharusnya dilalui oleh manu sia, titah Yang Maha Agung.
Demikianlah maka Kebo Sindet telah membangun kekuat annya. Kekuatan yang dinamainya sendiri Aji Bajang. Keku atan yang tidak kasat mata, tetapi mempunyai akibat yang me ngerikan.
Ketika tiba-tibatubuh Kebo Sindet itu bergetar dan kedua tangannya mengembang, maka berdesirlah dada Empu Gandring. Orang tua itu tahu betapa mengerikan akibat sentu kekuatan raksasa yang tersimpan dalam Aji yang justru di namainya Aji Bajang. Hanya mereka yang menyimpan kekuatan-kekuatan yang seimbang sajalah yang akan menyelamatkan diri daripada kekuatan itu meskipun tidak akan dapat terlepas dari luka-luka didalam tubuhnya. Apabila seseorang yang memiliki kekuatan seimbang dan sempat melawan Aji itu dengan ke kuatan yang sama, maka benturan yang terjadi itupun akan berakibat pula bagi orang itu. Apalagi mereka yang tidak me miliki daya tahan yang cukup, maka ia akan hancur lumat menjadi ndeg-pangamun-amun.
Karena itu, maka meskipun dirinya sendiri sibuk melayani Wong Sarimpat yang melibatnya seperti angin pusaran, namun sempat pula ia bertiak "Angger. Ken Arok. Hindarilah tangannya. Orang itu siap melontarkan kekuatan terakhirnya.
Ken Arok yang sedang waringuten itupun mendengar teriakan itu. Terasa dadanya yang sedang bergelora itupun ber desir. Sejenak ia memandang lawannya yang bergetar seperti orang kedinginan. Tangannya mengembang dan matanya menjadi merah menyala.
Sejenak Ken Arok yang liar itu tertegun diam. Meskipun ia tidak tahu, kekuatan apa yang akan memancar dari tangan Kebo Sindet, namun terasa pula olehnya bahwa kekuatan itu adalah kekuatan yang akan dapat menentukan hidup matinya.
Tetapi Ken Arok sama sekali tidak ingin menghindarinya. Tekadnya telah bulat untuk melawan Kebo Sindet itu sampai kekuatannya yang terakhir. Sebagai hantu yang pernah hidup dipadang Karautan yang buas, maka Ken Arok telah menjadi seorang yang sama sekali tidak mengenal takut. Hidupnya dimasa lampau yang penuh dengan kekerasan, liar dan buas, kini se-akan-akan telah muncul lagi keatas permukaan sikapnya. Namun demikian ada sesuatu yang lain tersimpan didalam ha tinya. Yang justru dahulu belum pernah dikenalnya, meskipun pernah dirasakannya. Ia pernah terlepas dari kepungan orang-orang yang marah kepadaya, karena ia menryuri di Pamalantenan. Hanya dengan dua helai daun tal ia berhasil menyeberangi sebuah sungai dan lari ke Nagamasa.
Saat itu ia sama sekali tidak tahu, kenapa ia dapat berbuat demikian. Dan ia sama sekali tidak tahu, suara apakah yang didengarnya dan memberinya petunjuk itu.
Tetapi sekarang ia telah mengenalnya. Dari Empu Purwa, guru Mahisa Agni, ia pernah mendapatkan setitik terang yang kemudian menjadi semakin jelas baginya ketika ia bertemu dengan seorang Brahmana yang bernama Lohgawe, yang membawanya keistana Tumapel, dan menyerahkannya sebagai seorang abdi dari Akuwu Tunggul Ametung.
Dengan demikian, maka ia sama sekali tidak gentar melihat sikap Kebo Sindet. Ia sama sekali tidak gentar, seandainya ia akan hancur lumat dan mati. Tak pernah ia berbuat seperti saat ini. Pasrah kepada Kekuasaan Tertinggi. Pasrah, sama sekali pasrah. Ken Arok merasa pernah dilepaskan dari maut justru sebelum ia mengenal-Nya. Kalau kini ia harus hancur dan lumat menjadi debu, maka apapun yang dilaku kannya, justru lari sekalipun, maka ia pasti tidak akan terhindar dari padanya.
Ken Arok sendiri tidak sadar, apa yang kemudian dilaku kannya. Tiba-tiba saja, tanpa dikehendakinya sendiri, ia berdiri tegak pada kedua kakinya. Dengan pasrah diri se-pasrah-pasrahnya, ia memusatkan segenap daya rasadan nalarnya. Tanpa sesadarnya pula ia telah membangunkan segenap kekuatan yang ada padanya dalam pemusatan diri diluar kehendaknya. Itu adalah suatu bentuk pemusatan kekuatan yang justru dilam bari oleh kepercayaan yang bulat kepada Yang Maha Agung, tanpa dimengertinya sendiri.
Justru Empu Gandringlah yang menjadi sangat cemas melihat sikap Ken Arok yang sama sekali tidak berusaha untuk menghindar. Bahkan orang tua itu melihat, Ken Arok dengan tenangnya menanti serangan Kebo Sindet. Hilanglah kesan yang liar dan buas dari wajah anak itu, justru pada saat ia menghadapi kekuatan terakhir dari hantu Kemudung an. Wajah itu kini memancarkan keagungan dan kesentausaan tiada taranya.
Wong Sarimpat yang melibat kakaknya telah membangun kan kekuatan terakhir itu menjadi ber-debar-debar pula. Apakah anak muda serupa itu benar-benar anak pilihan yang tiada tara bandingnya, sehingga seorang K ebo Sindet perlu mempergu nakan Aji Bajangnya" Wong Sarimpat masih melihat cahaa kemerah-merahan diatas kepala Ken Arok, seolah-olah bahkan menjadi semakin terang.
Dalam pada itu, karena keduanya ingin melihat akibat dari benturan Aji Bajang, maka tanpa berjanji perkelahian antara Empu Gandring dan Wong Sarimpat itupun menjadi semakin kendor. dan bahkan akhirnya berhenti sama sekali.
Hanya Kuda-Sempana dan Mahisa Agnilah yang kemudian masih saja bertempur dengan sengitnya desak mendesak, seperti sepasang Garuda yang berlaga diudara.
Pada saat yang demikian itulah, Kebo Sindet meloncat, mirip dengan seekor burung Alap-alap yang menyambar mang. sanya dilangit, menukik dan tangannya tcrayun deras sekali kedada lawannya yang kini masih saja berdiri mematung.
Empu Gandring dan Wong Sarimpat menahan nafasnya. Sejenak kemudian mereka se-akan-akan membeku melihat akibat dari pukulan Aji Bajang. Ketika tangan Kebo Sindet menyentuh dada Ken Arok, maka seakan-akan terjadilah sebuah benturan yang mengerikan. Kebo Sindet, hantu Kemundungan yang mengerikan itu tergetar dan terpaksa meloncat beberapa langkah surut untuk menyalurkan tekanan pada pangkal tangannya.
Sedang dalam pada itu Ken Arok terlempar beberapa langkah dan dengan kerasnya ia terbanting diatas tanah. Bulat-bulat seperti sebuah batu yang besar. Sama sekali tidak terdengar ia mengaduh atau berteriak kesakitan. Tak ada sama sekali terdengar ia mengeluh atau mengumpat.
Empu Gandring yang melihat anak muda itu terbanting jatuh tanpa sesadarnya, segera meloncat memburu. Dengan serta merta ia berjongkok disampingnya dan memegang ta ngannya. Per-lahan-lahan ia berdesis "Angger?"
Ken Arok tidak menjawab. Wajahnya pucat pasi, seperti mayat. Tetapi Empu Gandring masih saja melihat warna yang kemerah-merahan itu tidak padam. Karena itu, harapannya masih tebal didalam dadanya, bahwa anak itu masih mendapat perlindungan dari Yang Maha Agung.
Sejenak kemudian Empu Gandring mendengar Ken Arok menarik nafas per-lahan-lahan. Sangat per-lahan-lahan. Tetapi sejalan dengan itu, harapan Empu Gandringpun menjadi semakin tebal. Dicobanya menempelkan telinganya pada dada anak tu, dan ia masih mendengar jantungnya berdetak.
"Ia masih hidup "desis Empu Gandring.
Tetapi dengan demikian Empu Gandring menjadi lengah. Ia masih akan mendengar dan sempat membela diri seandainya Kebo Sindet dan Wong Sarimpat menyerangnya bersama-sama Tetapi tidak demikian yang terjadi. Empu Gandring hanya sejenak mendengar keributan. Terlampau pendek. Dan ketika ia meloncat bangkit, darahnya benar-benar serasa terhenti. Yang di lihalnya adalah Mahisa Agni yang pingsan berada ditangan Kebo Sindet.
"Gila kau "teriak Empu Gandring "lepaskan anak itu. Marilah kita bertempur secara jantan, meskipun sean dainya kau berdua akan berkelahi berpasangan.
Wajah Kebo Sindet sama sekali tidak bergerak. Beku. Tetapi yang terdengar adalah suara tertawa Wong Sarimpat "Apakah kau sedang mengigau Empu. Sekian lama kita ber kelahi, tetapi tak seorangpun yang dapat mengalahkan lawan nya. Kini kau menantang kami berdua melawanmu. Apakah kau benar-benar akan membunuh dirimu.
"Aku tidak peduli apa yang terjadi. Tetapi lepaskan anak itu "suara Empu Gandring terasa bergetar karena ke marahannya. Senjatanya, sebilah keris raksasa tiba-tibamenjadi bergetar pula.
Kebo Sindet yang berwajah beku seperti mayat itu men jawab dengan suara yang ber-gulung didalam perutnya "Mpu Gandring. Kami tidak mempunyai kepentingan dengan kau. Karena itu pergilah. Jangan ganggu kami lagi.
"Aku berkepentingan dengan anak itu. Ia adalah ke manakanku. Kalau kau bergerak selangkah membawanya pergi, maka aku tidak tahu, apakah alu akan berbuat curang pula seperti kalian.
Kebo Sindet dan Wong Sarimpat saling berpandangan sejenak. Mereka tidak dapat membayangkan, apa yang dapat dilakukan oleh Empu Gandring, meskipun dirinya sendiri me nyebutnya curang. Namun dengan demikian kemarahan Kebo Sindet menjadi semakin menyala didalam dadanya. Sehingga karena itu maka katanya "Baik. Baik Empu gila. Aku dan adikku akan bersama-sama membunuhmu. Tetapi jangan kau sangka, bahwa aku akan melepaskan kemanakanmu ini "Kebo Sindet diam sejenak. Lalu katanya kepada Kuda-Sempana "Bawa anak ini dengan kudamu mendahului kami ke Kemundungan. Aku akan segera menyusul. Pekerjaan kami tidak lagi begitu berat. Membunuh Empu gila ini berdua.
Kuda-Sempana tidak menjawab sepatah katapun. Di terimanya tubuh Mahisa Agni yang lepas dari tangan Kebo Sindet.
"Gila. Kau benar-benar setan alasan "teriak Empu Gandring sambil selangkah maju. Tetapi Wong Sarimpat telah berdiri dimukanya dengan golok ditangannya "Jangan maju lagi Empu.
"Persetan. Aku penggal lehermu.
"Lakukanlah. Empu Gandring yang marah itu maju setapak lagi. Seakan-akan ia sama sekali tidak menghiraukan Wong Sarimpat. Dengan marahnya ia menggeram "Aku tidak peduli, apakah aku berbuat curang atau kejam atau liar. Tetapi jagalah, sen"tuhan seujung rambut dari kerisku yang satu ini telah cukup mencabut nyawamu. "Dan ternyata ditangan kiri orang tua itu telah tergenggam sebilah keris yang kecil.
Kebo Sindet dan Wong Sarimpat tertegun melihat keris itu. Keris itu agak lebih kecil dari keris biasa, tetapi keris yang kecil itu seakan-akan memancarkan cabaya yang hijau suram.
Kedua hantu dari Kemendungan itu segera tahu pula, bahwa pada keris yang kecil itu tersimpan semacam bisa yang tajamnya melampaui bisa ular. Itulah sebabnya maka sejenak mereka menjadi ragu-ragu.
"Aku tidak pernah bermimpi untuk mempergunakan ke ris ini "desis Empu Gandring "karena itu maka keris ini tidak pernah terpisah dari padaku, supaya keris ini tidak jatuh ketangan orang lain. Tetapi, mungkin aku sekarang benar-benar telah menjadi gila. Aku terpaksa nganggar keris ini. Meskipun demikian aku masih cukup sadar memberi kalian peringatan.
Terdengar Kebo Sindet menggeram. Tetapi wajah beku nya masih juga membeku. Namun terdengar ia mcnjawab "Jangan menakut2i kami seperti me-nakuti anak-anak dengan kelabang. Betapa tajamnya racun kerismu itu Empu, namun keris itu tidak akan dapat menyentuh tubuhku.
"Jangan terlalu sombong "sahut Empu Gandring "kau sudah dapat menduga babwa keris ini mengandung bisa. Memang, aku telah memberi bisa yang se-tajam-tajamnya pada keris ini, sekedar sebagai suatu percobaan. Tetapi menghadapi setan-setan tidak berjantung seperti kalian, maka aku terpaksa mempergunakannya. Semoga aku tidak terkutuk karenanya.
Kebo Sindet dan Wong Sarimpat masih ragu-ragu sejenak. Tetapi ketika mereka menyadari bahwa Kuda-Sempana belum beranjak dari tempatnya, maka Kebo Sindet itupun member tak "Ayo, lekas, bawa anak itu pergi supaya bukan kau yang akan menjadi korban per-tamas dari keris itu.
Kuda-Sempana terkejut. Sejenak ia ragu-ragu, tetapi kemu dian ia melangkah pergi.
"Berhenti "teriak Empu Gandring.
"Jangan hiraukan "sahut Kebo Sindet.
02 Pelangi Di Langit Singasari Karya S H. Mintarja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dalam kebimbangan dan ke-ragu-raguan, Kuda-Sempana ber jalan menuju ketempat kudanya disembunyikan.
Dalam pada itu Empu Gandring sudah tidak bersabar la gi. Cepat ia meloncat menyerang Kebo Sindet dengan sepa"sang keris dikedua tanpannya. Sebilah keris raksasa ditangan kanan, dan sebilah keris yang berwarna hijau suram ditangan kirinya.
Tetapi lawannya adalah sepasang bantu dari Kemundu ngan. Hantu yang telah kenyang menghisap darah dan keri ngat sesama. Itulah sebabnya, maka serangannya yang pertama itu tidak mengenai serangannya. Sedang kedua iblis itupun segera berloncatan memencar. Ketika kemudian perkelahian pula dengan sengitnya, ditangan Kebo Sindet telah tergeng gam sebilah golok.
Empu Gandring yang tua, yang dibakar oleh kemarahan itupun bertempur dengan sepenuh kemampuan dan ilmunya. Sedang kedua lawannya yang oerkelahi berpasangan itupun ter lampau bernafsu pula untuk segera membunuh Empu Gandring.
Dengan demikian maka perkelahian itupun menjadi semakin dahsyat. Tenaga mereka bagaikan angin taufan yang saling berbenturan diatas lautan, sehingga kemudian timbul lah gelombang yang mengerikan, hantam-menghantam, hempas-menghempas tiada henti-hentinya.
Tetapi Empu Gandring bertempur seorang diri. Lawannya, dua iblis dari Kemundungan itu berkelahi berpasangan. Hanya karena senjatanya yang mengerikan itu sajalah maka Empu Gandring masih tetap mampu bertahan. Betapa berani dan gilanya Wong Sarimpat dan Kebo Sindet, namun mereka benar-benar tidak mau tersentuh oleh keris Empu Gandring yang berwarna bijau suram itu. Itu pulalah sebabnya maka Empu Gandring masih mampu bertahan melawan keduanya. Setiap kali kerisnya itu menyambar seperti sikatan, sedang kerisnya yang lain menebas seperti baling-baling.
Namun bagaimanapun juga, ternyata kekuatan kedua orang lawannya, Kebo Sindet dan Wong Sarimpat yang ber gabung itu, terlampau sukar ditandinginya. Setelah beberapa saat mereka bertempur, maka terasa, bahwa akhirnya Empu Gandring itupun terdesak mundur. Dengan demikian maka ia tidak segera berhasil menahan Kuda Sempana, bahkan untuk mempertahankan dirinya sendiripun, orang tua itu harus bertempur mati-matian.
Dengan hati yang pedih, Empu Gandring terpaksa membi arkan Kuda-Sempana menghilang membawa Mahisa Agni yang sedang pingsan. Sejenak kemudian ia mendengar kaki kuda berderap, dan lenyap pulalah semua harapannya untuk menyelamatkan anak muda itu.
Tetapi dengan, demikian, kemarahannya menjadi semakin memuncak membakar ubun-ubunnya. Orang tua itu seolah-olah tidak lagi menghiraukan keseimbangan perkelahian itu. Seperti Orang yang kesurupan, Empu Gandring mengamuk sejadi-jadinya. Dan justru karena itulah, maka kedua lawannya terpaksa mengerahkan kemampuan mereka pula. Apalagi menghadapi keris yang satu yang berwarna hijau suram itu.
Perkelahian itupun kemudian menjadi semakin mengerikan. Orang-orang yang menyaksikannya dari kejauhan menggigil ketakutan. Mereka melibat dedaunan berguguran ditanah dan pepohonan menjadi tumbang, seperti padepokan itu sedang dilanda oleh angin taufan yang maha dahsyat.
Tetapi mereka yang bertempur itu tiba-tiba terkejut ketika mereka melihat Ken Arok yang terbaring diam itu mulai ber gerak. Per-lahan-lahan ia menggeliat, dan tiba-tibasaja ia bangkit berdiri. Sekali lagi anak muda itu mengeliat. Seperti orang yang baru terbangun dari tidurnya ia memandang berkeliling. Keti ka tiba-tibadilihatnya Empu Gandring yang sedang bertempur me lawan kedua bantu dari Kemundungan itu, tampak wajahnya menjadi tegang.
Ken Arok yang bangkit dengan serta-merta itu benar-benar me ngejutkan ketiga orang-orang tua yang sedang berkelahi. Mereka menganggap bahwa hal itu tidak akan mungkin dapat terja di. Anak muda itu baru saja terbanting jatuh dan pingsan. Bahkan hampir mati. Nafasnya hanya terdengar lemah sekali, dan detak jantungnya hampir berhenti. Tetapi tiba-tibasaja ia bangkit dan seperti bangun saja dari tidur yang nikmat.
Apa yang t-rjadi atas diri Ken Arok itu, benar-benar telah menggetarkan jantung Kebo Sindet. Dengan kekuatan yang selama ini dibanggakan ia memukul dada Ken Arok tanpa perlawanan yang berarti. Ia melihat anak itu terlempar dan terbanting jatuh. Tetapi tiba-tibaanak itu bangun kembali ha nya dalam waktu yang tidak terlalu lama.
"Anak setan " Kebo Sindet mengumpat dadalam hatinya paakah dadanya berlapis baja"
Namun dengan dengan demikian orang yang selama ini hidup di dalam dunia yang kelam, didalam lingkungan yang liar dan buas sebuas rimba belantara, hampir setiap hari bermain-main dengan maut, tetapi menghadapi Ken Arok terasa kengerian merayapi hatinya. Bukan karena ia takut melawan Ken Arok, sebab meskipun anak itu mempunyai daya tahan yang tiada taranya, tetapi ia pingsan juga karena pukulan Aji Bajang.
Tetapi kini ia menghadapi dua orang yang mempunyai kelebihannya masing-masing. Empu Gandring dengan kerisnya yang ber warna hijau suram dan Ken Arok yang se-akan-akan menyimpan tujuh nyawa rangkap didalam dirinya
Karena itu maka Kebo Sindet mengambil keputusan untuk melepaskan saja lawannya. Lebih baik ia pergi meninggalkan setan2 Panawijen itu. Lebih baik ia masih sempat me nikmati kemenaigannya. Menyembunyikan Mahisa Agni untuk memeras Ken Dedes dengan segalamacam kelicikan.
"Tetapi setan-setan ini menjadi saksi bahwa Empu Sada tidak ada disini " katanya didalam hati "tetapi tidak apa. Muridnya telah mereka lihat. Mudah-mudahan mereka berpendapat bahwa kehadiranku ini adalah karena permintaan Empu Sada. Bukankah Empu Gandring pernah juga bertemu dengan Empu Sada dipadang Karautan.
Akhirnya keputusan Kebo Sindetpun mrnjadi bulat. Ia mengangap bahwa Kuda-Sempana telah cukup jauh mengam bil jarak seandainya Empu Gandring akan mengejar mereka.
Tiba-tibaKebo Sindet itupun memberi isyarat kepada adik-nya. Dengan serta merta mereka berloncatan mundur, meski pun mereka masih tetap berkelahi.
Empu Gandring yang melihat sikap itu megjadi semakin marah. Alangkah licik lawannya. Mereka akan meninggalkan gelanggang meskipun mereka telah berkelahi berpasangan.
Dan apa yang diduga itupun segera terjadilah. Kedua orang itupun segera berloncatan meninggalkan halaman, me langkahi dinding batu. Tetapi sudah tentu Empu Gandring tidak membiarkannya. Segera ia mengejarnya. Namun kedua iblis dari Kemundungan itu tidak banyak menemukan kesukaran. Sambil melawan mereka kemudian sempat mencapai kuda-kuda mereka. Bergantian mereka meloncat keatas punggung2 ku da itu, dan sejenak kemudian terdengar derap kedua kuda itu memecah sepi malam.
"Pengecut " Empu Gandring berteriak mengatasi derap kaki-kaki kuda itu Tetapi suara itu disaut oleh suara tertawa Wong Sarimpat, berkepanjangan menyusur sepanjang jalan padukuhan Panawijen.
Ken Arok melihat juga kelicikan itu. Kemarahan yang memang sudah menyala didalam dadanya serasa berkobar se"makin besar. Tanpa disadarinya, iapun segera meloncat ingin mengejar mereka. Tetapi segera langkahnya terhenti. Dadanya serasa akan pecah, dan tulang-tulang iganya se-olah-olah sudah tidak terpaut lagi didadanya.
Baru kini terdengar ia mengaduh per-lahan-lahan sekali. Dite kankannya kedua telapak tangannya pada dadanya. Perasaan sakit itu seakan-akan dengan tiba-tibasaja menerkamnya. Perasaan itu serasa baru saja melanda dirinya.
Ken Arok berdiri dengan menahan sakitnya. Ia tidak dapat berlari mengejar orang-orang yang melarikan Mahisa Agni. Karena itu betapa ia menyesal.
Dadanya berdentang keras sekali ketika ia melihat Empu Gandring dengan ter-gesa-gesa kembali. Tetapi ketika orang tua itu melihatnya, maka iapun berhenti.
"Kenapa engkau ngger?" bertanya Empu Gandring.
Nafas Ken Arok menjadi simakin deras mengalir. Terputus-putus ia menyahut "Dadaku Empu.
Empu Gandring menjadi cemas melihat keadaan Ken Arok. Karena itu maka anak muda itupun didekatinya. "Ba gaimana dengan dadamu?"
Ken Arok menggigit bibirnya. Tetapi ketika disadarinya bahwa Empu Gandring agaknya bermaksud mengejar kedua orang Kemundungan itu, maka jawabnya "Tidak apa-apa Empu, hanya sedikit terasa nyeri.
Empu Gandring meng-angguk-anggukkan kepalanya. Ia menjadi bingung. Apakah ia akan meninggalkan Ken Arok yang sedang terluka itu, ataukah ia harus membiarkan Mahisa Agni hilang dibawa oleh Kebo Sindet dan Wong Sarimpat.?"
Agaknya Ken Arok melihat kebimbangan dihati orang tua itu, maka katanya "Mpu, tinggalkanlah aku disini. Barangkali Empu Gandring dapat menyusul Kebo Sindet, se-tidak-tidaknya Empu mengetahui kemana Mahisa Agni itu dibawa. Kalau be nar ia dibawa ke- Kemundungan, maka besok Kemundungan akan aku kepung dengan prajurit Tumapel segelar sepapan. Meskipun didalam sarang mereka ada Kebo Sindet, Wong Sarimpat dan Empu Sada sekalipun, namun prajurit-prajurit Tumapel cukup banyak untuk merampok mereka, seperti orang-orang padesan merampok macan.
Empu Gandring masih ragu-ragu sejenak. Dan Ken Arok ber kata pula "Marilah Empu, aku ikut. Tetapi barangkali aku tidak dapat berkuda terlampau cepat. Biarlah Empu pergi lebih dahulu. Aku harap disepanjang perjalanan sakitku sudah jauh berkurang, sehingga apabila perlu aku masih dapat mem bantu Empu menghadapi orang-orang itu.
"Jangan ngger. Sembuhkan dahulu lukamu.
"Jangan hiraukan aku Empu. Setan-setan itu akan menja di semakin jauh.
Empu Gandring termenung sejenak. Anak muda yang ber nama Ken Arok ini memang sangat mengherankan baginya. Anak muda itu sama sekali tidak memutahkan darah dari mu lut dan hidungnya. Justru karena itu, maka Empu Gandring merasa tidak berkeberatan untuk meninggalkannya menyusul Kebo Sindet dan Wong Sarimpat.
Tetapi meskipun demikian, untuk sejenak Empu Gandring berdiri termangu-mangu. Ditataprya saja Ken Arok yang masih menekan dadanya dengan kedua telapak tangannya. Namun Ken Aroklah yang mendesaknya "Silahkan Empu, silahkan Empu mendahului. Aku akan segera menyusul.
Empu Gandring itu seperti tersedar dari mimpinya. Maka jawabnya sambil meloncat mencari kudanya "Baiklah ngger.
Aku akan pergi dahulu. Tetapi kalau angger masih merasa sa kit, sebaiknya angger beristirahat
Dengan ter-gesa-gesa Empu Gandring pergi ketempat kudanya ditambatkan. Sejenak ia masih harus membenahi pelana ku da itu, dan sejenak kemudian terdengar kaki-kaki kuda itu ber derap meninggalkan halaman padepokan Empu Purwa.
"Mereka menuju kearah ini desis Empu Gandring yang dengan serta merta melecut kudanya yang terasa terlam pau lambat berlari.
Ken Arok kini masih tegak seorang diri dihalaman pa depokan Empu Purwa. Setelah keadaan menjadi agak reda, maka barulah satu dua orang cantrik berani mendekatinya. Salah seorang dari mereka bertanya "Apakah tuan terluka?"
"Ambilkan aku air "desis Ken Arok.
"Air apa?" "Air. Air dingin. Cantrik itupun segera ber-lari2 mengambil sebuah gendi yang berisi air. Sementara itu Ken Arok minta kepada seorang cantrik yang lain untuk menyiapkan kudanya.
"Inilah air itu tuan.
Ken Arok menerima gendi itu. Ia tidak tahu, apakah obat yang paling baik untuk menyembuhkan luka-lukanya. Tetapi ia ingin minum, dan muda-mudaan air yang dingin itu dapat me ringankan sakit dadanya itu.
Per-lahan-lahan Ken Arok mengangkat gendi itu. Per-lahan-lahan sekali karena gerak tangannya ternyata menyebabkan dadanya semakin sakit. Diangkatnya wajahnya, dan dengan hati-hati di tuangkannya air gendi itu kedalam mulutnya.
"Hem " desisnya " alangkah segarnya.
Tetapi anak muda itupun terkejut ketika tiba-tibarasa sa kit didadanya menjadi agak berkurang oleh segarnya air yang diminumnya. Sekali lagi ia mengangkat gendi itu. Kini gerak langannya telah tidak terasa terlampau sakit, dan diteguknya air itu sehingga habis,
" Heh " ia menarik nafas dalam-dalam. Rasa nyeri pada dada itu sudah sangat berkurang. Diberikannya kendi itu kepada cantrik yang membawanya sambil bertanya " Air apakah ini"
"Air. Air dingin biasa tuan.
"Alangkah segar air dari padepokan Panawijen. Air itu ternyata telah mengurangi rasa sakit pada dadaku. Terima kasih. Kini aku telah mampu berkuda menyusul Empu Gandring.
"Kemanakah mereka itu tuan"
"Aku tidak tahu. Dan aku ingin mengetahuinya.
Ken Arok itupun kemudian per-lahan-lahan berjalan kearah kudanya.
"Dadaku sudah agak baik " katanya kepada para can trik yang mengerumuninya " aku akan pergi menyusul Empu Gandring. Terima kasih, agaknya air padepokan ini memang me ngandung obat. Aku hampir sembuh.
Ken Arok itupun kemudian menyentuh perut kudanya. Per-tahan2 kuda itu berjalan meninggalkan halaman padepo kan itu. Semakin lama semakin kencang. Ketika Ken Arok merasa bahwa sakit dadanya tidak menjadi semakin parah ka rena darap kudanya, maka kuda itupun kemudian meluncur lebih cepat. Meskipun demikian sekali-sekali Ken Arok masih harus meraba dada itu dengan tangannya. Kadang-kadang masih terasa nyeri didalamnya. Tetapi agaknya angin malam yang sejuk telah banyak membantu meringankan rasa sakit itu.
Dalam keheningan malam terdengar hiruk pikuk derap kaki-kaki kuda. Orang-orang yang membenamkan dirinya dibawah selembar kain karena dingin dan ketakutan menjadi semakin menggigil karenanya. Mereka mendengar derap kuda bertu rutan. Semula mereka mendengar seekor kuda lari seperti di kejar hantu. Kuda itu adalah kuda yang dilarikan oleh Ku da-Sempana membawa Mahisa Agni. Kemudian disusul oleh kuda-kuda Wong Sarimpat dan Kebo Sindet. Sejenak kemudian sekali lagi mereka mendengar derap kaki kuda. Agaknya kuda itu adalah kuda Empu Gandring. Dan kini lagi mereka ber getar karena suara kaki-kaki kuda yang berlari kencang.
Sedang dalam pada itu, orang-orang laki-laki yang mencoba me lihat apa iang terjadi dan melihat perkelahian dipadepokan Empu Purwa dari kejauhan, satu demi satu keluar dari per sembunyian mereka. Dengan hati yang cemas mereka mem perbincangkan apa yang telah merekalihat. Tetapi mereka tidak jelas atas apa yang terjadi. Mereka tidak banyak me ngerti, bagaimana akhir dari perkelahian itu. Tetapi ketiga orang yang telah menjemput Mahisa Agni yang mengintip lewat dinding batu halaman padepokan itu dapat mengatakan apa yang dilihatnya. Meskipun mereka tidak tahu selurubnya, tetapi mereka melihat Mahisa Agni menjadi pingsan dan dibawa oleh Kuda-Sempana. Setelah itu maka yang terjadi adalah keributan yang tidak dimengcrtinya. Mereka tahu bahwa Empu Gandring bertempur melawan Kebo Sindet dan Wong Sarimpat, tetapi yang merekalihat se-olah-olah hanyalah sebuah angin pusaran yang dahsyat.
Malam yang dingin menjadi semakin dingin. Dilangit bintang-bintang bertaburan merata disegenap penjuru. Sekali-sekali selembar awan putih yang lembut mengucap wajah langit yang biru, membelai gemerlapnya bintang-bintang yang bergayutan.
Tetapi Kuda-Sempana sama sekali, tidak menghiraukannya. Seperti orang yang kehilangan akal ia berpacu ke Kemundungan. Mahisa Agni yang pingsan masih juga tersang kut dipunggung kuda itu pula. Sejenak kemudian ia telah meninggalkan padukuhan Panawijen. Namun ia sama sekali tidak menyangka bahwa dari jurusan yang berlawanan sedang berpacu pula seekor kuda menuju kepadukuban Pana wijen.
Demikianlah didalam malam yang semakin jauh itu, ber pacu beberapa ekor kuda saling berkejaran. Mereka sama sekali tidak menghiraukan dinginnya angin malam. Betapa tubuh-tubuh mereka basah oleh keringat dan embun.
Tetapi kuda yang datang dari arah yang berlawanan itu pun berpacu pula seperti angin. Penunggangnya adalah seorang tua yang menjinjing sebuah tongkat ranjang. Orang itu ada lah Empu Sada. Setiap kali ia melecut kudanya, supaya berlari ri lebih cepat. Orang itu se-akan-akan takut kehilangan waktu wa laupun hanya sekejap.
Karena itulah maka jarak antara Empu Sada dan Kuda-Sempana menjadi sangat cepat surut. Keduanya berpacu dalam satu jalur jalan, namun pada arah yang berlawanan. Yang satu meninggalkan Panawijen sedang yang lain menuju ke Panawijen.
Akhirnya ketika jarak itu menjadi semakin dekat, maka Empu Sada menengadahkan wajahnya. Lamat-lamat ia mendengar derap kaki kuda dibadapannya. Semakin lama menjadi sema kin dekat.
"Hem "desis orang tua itu "mudah-mudahan aku berjum pa dengan mereka.
Empu Sada menarik nafas dalam-dalam. Dihirupnya udara ma"lam se-puas2nya, se-akan-akan untuk yang terakhir kalinya. Diamati nya bintang-bintang dilangit satu demi satu. Tetapi bintang gemintang itu terlampau banyak. Ribuan, jutaan dan bahkan tidak ter hitung.
Tiba-tibadada Empu Sada berdesir. Ia melihat bulan tua yang baru tumbuh mengambang dilangit. Kemudian dilihatnya pula sebuah Lingkaranyang luas disekitar bulan yang sudah tua itu.
"Bulan berkalang "desisnya pula "agak tidak lajim. Biasanya bulan purnamalah yang berkalang. Tetapi kini, bulan yang sudah tipis, setipis alis perawan, berkalang pula.
Tetapi Empu Sada tidak memperlambat langkah kudanya. Bahkan berkali-kali ia melecut kuda itu. Pan kuda itu menja di semakin menggila. Ditembusnya keremangan malam dengan derapnya yang hiruk-pikuk.
"Kuda itu semakin dekat. Tetapi tidak lebih dari se"ekor "gumam Empu Sada kepada diri sendiri.
Tiba-tiba Empu Sada menarik tali kekang kudanya. Dan Kudanyapun mengurangi kecepatan lajunya.
"Lebih baik aku menunggu "gumam Empu Sada itu pula.
Tetapi ternyata penunggang kuda yang datang dari arah yang berlawanan itupun telah mendengar langkah kudanya Dengan hati yang ber debar-debar Kuda-Sempana mencoba meyakin kari pendengarannya Dan kemudian iapun pasti, bahwa derap kuda itu adalah derap kuda dihadapannya, bukan kuda yang menyusul dibelakang.
"Siapakah yang berkuda itu" desisnya.
Persetan " Kuda-Sempana menggeretakan giginya. Tanpa sesadarnya tangannya telah meraba hulu pedangnya " mungkin aku akan bertemu dengan seseorang yang ingin membunuh dirinya.
Kuda-Sempana sama sekali tidak memperlambat langkah kaki kudanya. Bahkan dibiarkannya kudanya berlari semakin kencang se-akan-akan berpacu dengan angin malam yang silir Na mun meskipun demikian, terasa debar jantungnyapun men jaj semakin cepat.
Tetapi Kuda-Sumpana itupun kemudian mengerinyitkan alisnya. Suara derap kuda yang didengarnya tiba-tibaberhenti seperti ditelan hantu.
"Apakah telingaku sudah tidak beres lagi "desis Ku da-Sempana "tetapi mungkin orang yang berkuda itu berhenti setelah mendengar derap kudaku. Atau mungkin bersembunyi.
Karena angan-angannya itu maka tiba-tibaKuda-Sempanapun mem perlambat kudanya. Ia harus ber-hati-hati, Mungkin seseorang yang bersembunyi sedang mengintainya, untuk dengan tiba-tibamener kam dari balik gerumbul ditepi jalan.
Dengan wajah yang tegang Kuda-Sempana mencoba melihat dalam malam yang semakin remang-remang. Bulan yang tersembul dilangit telah menolong Kuda-Sempana untuk dapat me libat agak lebih terang.
Tiba-tibadarah anak muda itu berdesir. Kini ia melihat sebuah bayangan yang remang-remang berada ditengah jalan. Orang berkuda.
"Itulah dia "desis Kuda-Sempana yang darahnya serasa menjadi semakin cepat mengalir. Tanpa dikehendakinya maka dengan gerak yang menyentak ia mempercepat lagi lang ah kudanya, dan pedangnyapun telah berada didalam genggamannya. Dengan garangnya ia mendekati bayangan yang ber henti tepat di-tengahs jalan yang akan dilaluinya.
Sebelum Kuda-Sempana melihat jelas siapakah yang berada dipunggung kuda itu, maka dengan kerasnya ia berteriak sekasar Wong Sarimpat "He, siapakah yang berhenti ditengah jalan. Minggir, supaya kepalamu tidak terinjak kaki-kaki kudaku.
Dada Empu Sada bergetar mendengar suara itu. la segera dapat mengenal siapakah yang berteriak menyapanya. Teta pi ia terkejut mendengar nada suara anak muda yang pernah diasuh sebagai murid yang sangat dimanjakannya. Alangkah kasarnya.
Kuda-Sempana kini sudah menjadi semakin dekat, tetapi Empu Sada masih belum menjawab.
"Minggir "Empu Sada mendengar Kuda-Sempana berteriak lagi "cepat sebelum aku kehabisan kesabaran.
Empu Sada menarik nafas dalam-dalam. Kemudian jawabnya tenang "Berhentilah Kuda-Sempana.
Kini Kuda-Sempanalah yang terkejut bukan buatan. Ia pun dapat mengenali suara itu. Suara gurunya. Karena itu, maka dengan sekuat tenaganya ia menarik kekang kudanyasam/ bil derdesis "Guru. Adakah itu Empu Sada.
"Ya. Aku adalah gurumu, Kuda-Sempana. Apakah kau masih mengenalku.
Kuda Kuda-Sempana berhenti beberapa langkah "lari ku da gurunya. Dengan dada yang ber-debar-debar Kuda-Sempana ber kata ter-patah-patah "Guru. Jadi guru masih hidup?"
"Seperti kau lihat kini Kuda-Sempana. Yang duduk di atas punggung kuda ini sama sekali bukan sebuah kerangka yang hidup. Tetapi aku adalah Empu Sada yang masih utuh. Yang terdiri dari kulit daging seperti yang dapat kau lihat, seperti kau, seperti Kebo Sindet dan Wong Sarimpat.
Darah Kuda-Sempana terasa berdeburan didalam jantungnya. Gurunya yang disangkanya sudah mati itu kini berada beberapa langkah saja dihadapannya. Namun justru karena itu maka seolah-olah membeku diatas punggung kudanya.
Anak muda itu terkejut ketika ia mendengar gurunya ber tanya "Apakah yang kau bawa itu Kuda-Sempana?"
Tiba-tiba terasa sepercik kebanggaan didalam hati anak mu da itu, Dengan dada tengadah ia menjawab "Guru. Setelah kita berusaha sekian lama dengan sia, akhirnya maksud itu tercapai juga. Ini adalah tubuh Mahisa Agni.
"He?" sejenak kemudian Empu Sada itupun terbungkam. Ia melihat tubuh terkulai, tersangkut menelungkup dipunggung Kuda-Sempana itu pula. Dengan ter-bata2 ia kemudian berta nya "Apakah anak itu sudah mati"
"Belum guru. Ia baru pingsan. Paman Kebo Sindet dan paman Wong Sarimpat menghendaki ia tetap hidup.
Empu Sada menarik nafas dalam-dalam. Serasa urat2nya yang menegang itupun mengendor kembali. Ternyata ia masih sempat bertemu dengan Mahisa Agni yang masih hidup.
"Jadi Mahisa Agni masih hidup?"
"Ya guru. "Kenapa ia tidak dibunuh saja?" Olehmu atau oleh kedua iblis dari Kemundungan itu?"
"Paman Kebo Sindet dan paman Wong Sarimpat ingin melihat Mahisa Agni ketakutan. Mati terlampau cepat bagi Mahisa Agni agaknya terlampau menyenangkan.
"Apa yang akan mereka kerjakan?"
"Aku akan membuat perhitungan dengan anak ini.
"Apa yang akan kau lakukan?" Kau akan melakukan perang tanding dibawah saksi pamanmu Kebo Sindet dan Wong Sarimpat?"
Kuda-Sempana terdiam sejenak. Ia menjadi ragu-ragu un tuk menjawab. Tetapi gurunya mendesaknya "Begitu?"
"Tidak guru "sahut Kuda-Sempana "dalam keada annya, aku akan dapat berbuat apa saja atasnya.
"Dan kau akan melakukannya juga.
Kuda-Sempana merasakan pertanyaan gurunya itu agak aneh. Ya tidak melihat kegembiraan pada sikap dan kata-kata Empu Sada. Sejak lama mereka berusaha untuk dapat berbu at seperti ini, menangkap Mahisa Agni untuk melepaskan den dam yang membara dihati. Tetapi setelah ia berhasil menang kap anak muda itu, terasa pertanyaan-pertanyaan gurunya agak sumbang.
"Bagaimana Kuda-Sempana, kau akan melakukan?" Tiba-tiba Kuda Sempana menjadi demikian bingung. Karena itu maka jawabnya "Aku tidak tahu, guru.
"Kuda-Sempana "desis Empu Sada "sebaiknya kau menilai dirimu sendiri. Apakah kau dapat bersikap jantan atau tidak. Kalau kau merasa dirimu Iaki-laki, jangan kau berbuat seperti itu. Berbuatlah seperti seorang laki-laki.
Kuda-Sempana bertambah bingung mendengar kata-kata gurunya. Ia tidak segera menangkap maksudnya. Bukankah gu runya sendiri pernah berbuat hal-hal yang dapat disebut licik dan sama sekali tidak jantan. Adalah tidak dapat dibangga kan kemenangan Empu Sada atas Mahisa Agni seandainya pada saat itu Empu Gandring tidak hadir dan seandainya saat itu Empu Sada berhasil menangkap atau membunuh anak muda itu. Sekarang gurunya itu bertanya tentang kejantanan dan sikapnya sebagai seorang laki-laki.
Karena Kuda-Sempana tidak segera menjawab, maka Empu Sada berkata selanjutnya " Kuda-Sempana, sebaiknya kau hentikan perbuatanmu semacam itu. Seperti kau juga kini menyesal, bahwa aku pernah berbuat gila2an.
Kuda-Sempana tidak segera menjawab. dadanya masih diliputi oleh perasaan yang bersimpang siur, bahkan tidak di kenalnya sama sekali. Itulah sebabnya maka ia masih saja du duk mematung.
Empu Sada seterusnya masih berkata pula " Kuda-Sempana Apakah kau mengalami berbagai macam peristiwa berurutan itu hatimu masih jaga membeku sekeras batu.
Kuda-Sempana masih juga membeku dan Empu Sada ma sih melanjutkan " Apakah yang telah kau mulai dalam per jalanan hidupmu setelah kau terpisah daripadaku Kuda-St m pana. Ditanganku kau telah aku jadikan seorang yang licik dan pendendam. Kemudian kau bergaul dengan orang-orang Kebo-Sindet dan Wong Sarimpat. Apakah kira-kira yang kemudian ter gores pada dinding hatimu" Apakah kau kemudian menyadari keadaanmu atau bahkan kau menjadi semakin buas dan ga rang"
Kuda-Sempana menundukkan wajahnya. Tidak disengajanya ia memandangi tubuh Mahisa Agni yang masih saja pingsan. Beberapa hari yang lewat ia kehilangan segalama cam pertimbangan dan kehendak. Bahkan hatinya benar-benar serasa membeku. Bukan karena ia ingin melakukan apa saja un tuk melepaskan dendamnya, tetapi serasa ia telah kehilangan arah dan pedoman hidupnya. Ia berbuat apa saja tanpadapat mempertimbangkan tujuan dan akibatnya. Ia berbuat seperti alat yang digerakkan oleh tenaga orang lain. Sehingga akhirnya ia berbasil berhadapan kembali dengan Mahisa Agni. Ketika ia berkelahi dengan Mahisa Agni itulah, maka keingi nannya untuk membunuh ternyata telah terungkat kembali. Meskipun tidak sedahsyat semula.
"Kuda-Sempana " panggil Empu Sada kemudian.
Kuda-Sempana mengangkat wajahnya. Dipadanginya ma ta gurunya yang tajam, se-akans langsung menembus pusat, jantunya. Sehingga Kuda-Sempana itupun tiba-tibamenundukkan kepalanya kembali.
"Berikanlah Mahisa Agni itu kepadaku.
Kuda-Sempana terkejut mendengar permintaan gurunya itu. Wajahnya menjadi tegang dan jantungnya berdebaran. Bukan saja karena ia sendiri ingin berbuat sesuatu atas Mahisa Agni, tetapi Mahisa Agni itu kini seakan-akan bukan milik nya. Mahisa Agni itu seakan hanyalah barang titipan.
"Kuda-Sempana, berikan Mahisa Agni itu kepadaku -ulang gurunya.
Dalam kesuraman sinar bulan yang tinggal secabik itu" Empu Sada melihat wajah Kuda-Sempana meinancarkan beri bu pertanyaan. Wajah yang menjadi kian tegang itu sekali-sekali terangkat dan kemudian kembali menunduk.
"Apakah kau berkeberatan Kuda-Sempana?" "bertanya gurunya.
"Guru "sahut Kuda-Sempana kemudian dengan penuh kebimbangan "Aku membawa Mahisa Agni atas perintah paman Kebo-Sindet.
"Hem "Empu Sada meng-angguk-anggukkan kepalanya "karena perintah Kebo Sindet maka kau tidak akan memberi kannya kepada siapapun juga, meskipun kepada gurumu?" Adakah lebih baik bagimu melakukan perintah Kebo Sindet atau memenuhi permintaanku"
Sekali lagi Kuda-Sempana terbungkam. Ia tidak dapat menjawab pertanyaan itu. Bahkan terasa jantungnya menjadi semakin keras berdentang didalam dadanya dan kepalanya menjadi pening.
"Kuda-Sempana "berkata Empu Sada selanjutnya "aku tidak akan memperhitungkan pendirianmu. Aku tetap pada pendirianku bahwa aku harus mendapatkan Mahisa Agni itu. Kalau perlu dengan segalamacam cara.
"Guru "Kuda-Sempana hampir menjerit karena ke bingungan dan sesak yang menyumbat dadanya "aku tidak tahu apakah yang sebaiknya aku lakukan.
"Apakah kau tidak dapat mendengar kata-kataku" Berikan Mahisa Agni kepadaku. Itulah yang harus kau lakukan.
"Bagaimana kalau paman Kebo Sindet marah.
"Itu tanggung jawabku.
"Untuk apakah sebenarnya guru memerlukan Mahisa Agni" Apakah guru ingin membunuhnya?"
"Kau tidak usah bertanya, untuk apakah Mahisa Agni itu bagiku. Tetapi aku tidak akan mempergunakannya untuk memeras bakal permaisuri yang kau gilai itu. Kau tahu maksudku.
Kuda-Sempana menggelengkan kepalanya. Jawabnya "Aku tidak tahu guru.
"Kaupun telah masuk kedalam perangkapnya. Kalau kau masih mau mendengarkan nasehatku, serahkan Mahisa Agni kepadaku dan tinggalkan Kebo Sindet dan Wong Sarimpat.
Kuda-Sempana terpaku diatas punggung kudanya seje nak. Kata-kata gurunya itu amat asing bagi telinganya dan bagi hatinya. Ia tidak dapat membayangkan, apakah yang akan dilakukan kemudian.
"Bagaimana" "bertanya Empu Sada "aku tahu, selama ini kau pasti mendapat banyak petunjuk dan ajaran2 dari kedua iblis itu, yang tanpa kau sadari telah ikut ber pengaruh membentuk dirimu. Tetapi itu bukan karena salah mu. Itu juga karena salahku. Aku telah membuat kau tanah yang subur bagi ajaran2 Kebo Sindet dan Wong Sarimpat. Tetapi aku sempat melepaskan diri. Aku harap kaupun mau mendengar kata-kataku.
Kuda-Sempana duduk membeku ditempatnya. Serasa ia mendengar kata-kata gurunya itu didalam mimpi yang mengam bang. Ia tidak segera menangkap maksud dan maknanya. Tetapi Empu Sada menjelaskannya "Maksudku Kuda-Sempana. Hentikan segala kesesatan. Jalan yang kau tempuh telah terlampau jauh. Sekarang kembalilah. Mari kita mencari jalan bersama-sama. Jalan yang terang, yang tidak digelimangi oleh segalamacam noda.
Kuda-Sempana merasakan sentuhan kata-kata gurunya. Teta pi sentuhan itu agak terlampau lemah. Hatinya selama ini telah menjadi semakin keras, sekeras batu selama ia berada di dalam lingkungan Kebo Sindet dan Wong Sarimpat.
Namun Kuda-Sempana itu menjawab "Guru, meskipun seandainya aku ingin kembali mencari jalan lain, aku kira tak ada dunia yang sanggup menerima aku. Aku telah terdorong dalam duniaku yang sekarang. Dan aku tidak akan dapat kembali.
Empu Sada mengerutkan keningnya. Jawabnya"Kuda-Sempana, kau masih cukup muda Umurmu, menurut tang gapan lahirilah, masih lebih panjang dari umurku. Tetapi aku merasa, bahwa aku dapat menemukan jalan itu. Kaupun pasti akan menemukannya. Tak ada batas yang dapat menutup kemungkinan itu sampai saat terakhir dari hidup. Selama ki ta masih sempat merasa diri kita bersalah dan dengan ikhlas dan bersungguh-sungguh mengakui segala kesalahan untuk bertaubat, maka jalan itu selalu terbuka bagi kita.
Sekali lagi Kuda-Sempana merasakan sentuhan kata-kata itu. Secercah goresan yang tipis telah mewarnai perasaannya. Sejenak anak muda itu termenung.
"Pikirkan Kuda Sempana, sementara itu serahkan Mahisa Agni kepadaku. Aku akan menyelamatkannya. f idak akan membunuhnya seperti apa yang akan aku lakukan beberapa waktu yang lampau. Ini adalah satu bentuk perbuatan yang bersumber pada penyesalanku itu. Kalau kau sependapat Dengan aku maka lakukanlah hal yang serupa. Maka kau akan sampai kejalan yang kau kehendaki, kedunia yang kau ragu kan apakah masih akan menerima kau kembali.
Kuda-Sempana masih duduk membeku. Wajahnya menjadi semakin lama semakin tegang, seperti pergolakan yang terjadi didalam dadanya, semakin lama semakin dahsyat.
"Kuda-Sempana. Kau tidak usah menjadi cemas, seandainya apa yang kau lakukan itu tidak dapat dimengerti oleh orang lain. Bahkan seandainya orang lain tetap menganggap mu sebagai seorang yang bersalah. Tetapi bukankah bentuk duniawi ini kadang-kadang bertentangan dengan kepentingan hidup yang kekal kelak?" Jangan hiraukan sikap orang lain atas ke putusanmu untuk meninggalkan duniamu yang sekarang. Kau akan menemukan jalan menuju kedalam ketenteraman dan kedamaian yang abadi. Seandainya kau tetap dianggap bersa lah dan mendapat hukuman badani, tetapi berbahagialah kau dengan hukuman badani itu. Jika kau hayati arti dari pengertian itu, maka kau akan menemukan yang seharusnya kau cari. Yang kekal, bukan yang semu. Akupun sedang mencari yang kekal itu sekarang.
Dada Kuda-Sempana serasa menjadi semakin sesak, bah kan serasa akan meledak. Terdengar suara gurunya itu gemu ruh didalam jantungnya. Tetapi bukan itu saja. Yang terdengar pula adalah suara gemuruh derap kaki-kaki kuda semakin lama menjadi semakin dekat.
Ternyata derap kaki kuda itu telah membuatnya terlampau gugup. Sentuhan kata-kata Empu Sada yang sedikit demi sedikit tergores dihatmya, tiba-tiba menjadi terpecah-belah, bercerai-berai seperti asap dihembus angin.
Yang didengarnya kini hanyalah derap kaki-kaki kuda. Kuda-Sempana segera dapat menebak, bahwa deru kaki-kaki kuda itu adalah Kebo Sindet dan Wong Sarimpat. Tetapi Kuda-Sempana tidak dapat menduga, bagaimanakah akhir dari perkelahian antara kedua iblis itu dengan kedua lawan-lawannya. Apakah Ken Arok benar-benar dapat dibunuh oleh Kebo Sindet dan kemudian ber-sama-sama dengan Wong Sarimpat membunuh Empu Gandring, atau kedua hantu itu sekedar menghindari lawan-lawannya.
Empu Sadapun mendengar pula derap kaki-kaki kuda itu. Di tengadahkannya wajahnya dan per-lahan-lahan ia berdesis "Aku kira yang aku dengar adalah derap dua ekor kuda.
Tak ada yang menyahut. Kuda-Sempana terbungkam seperti membeku ditempatnya. Hanya desir angin malam yang menyentuh dedaunan liar terdengar gemerisik, seperti suara orang yang berbisik ditel nga Empu Sada " Ya, dua ekor kuda.
"Kuda-Sempana "berkata Empu Sada kemudian "apakah kau tahu, siapakah yang kira-kira akan datang?"
Seperti tidak sadar Kuda-Sempana menyahut "Paman Kebo Sindet dan Wong Sarimpat guru.
"Hem "Empu Sada meng-angguk-anggukkan kepalanya. Terasa jantungnya menjadi semakin cepat berdentang. Apakah ia akan mengulangi perkelahian yang pernah dilakukan nya melawan kedua orang itu?" Kalau sekarang ia harus ber tempur melawan keduanya, maka ia yakin, bahwa ia akan mati terbunuh dengan sia-sia. Tetapi apakah ia akan lari menghindar?" Lalu apakah gunanya ia berpacu dengan ter-gesa-gesa dari padepokannya sampai kedaerah Panawijen ini"
"Kuda-Sempana. "berkata orang tua itu tiba-tiba"masih ada kesempatan. Berikan Mahisa Agni kepadaku.
Sekali lagi teraSadada Kuda-Sempana menjadi pepat. la tidak dapat segera mengambil keputusan. Sedang Empu Sada mendesaknya. "Cepat, sebelum mereka datang.
"Aku takut guru "tiba-tibaterdengar suara Kuda- Sempana parau.
"Baiklah. Kau takut kepada kedua iblis itu?" "geram Empu Sada "kalau demikian, akulah yang akan membunuhmu. Bagiku kau memang sudah tidak ada gunanya lagi.
"Guru "suara Kuda-Sempana tersekat dikerongkongan.
"Atau kau berikan Mahisa Agni.
Kuda-Sempana tiba-tibamenjadi gemetar. Seperti seseorang yang sedang berdiri pada tanah yang rapuh ditepi jurang. Sedikit saja ia bergerak, maka ia akan terperosok kedalam nya. Maju atau. mundur.
Tiba-tibasaja, tanpa diketahuinya sendiri, Kuda-Sempana mengharap kuda-kuda yang berderap itu datang semakin cepat. Ia mengharap bahwa Kebo Sindet dan Wong Sarimpat akan melindunginya.
"Ayo Kuda-Sempana suara Empu Sada semakin tajam menusuk jantungnya "cepat, serahkan Mahisa Agni atau kau aku bunuh sekarang juga.
Kini Kuda-Sempana benar-benar menggigil karena gelora dida lam dadanya yang menjadi semakin dahsyat. Apalagi, ketika ia melihat gurunya mengangkat tongkatnya. Maka darahnya sera sa telah membeku.
"Kau benar-benar akan membunuh dirimu Kuda-Sempana.
Kuda-Sempana tidak menjawab. Meskipun sekali dua kali tangannya menyentuh hulu pedangnya, tetapi ia tidak dapat berbuat apapun menghadapi gurunya. Seandainya ia ingin me lawan, maka perlawannya itu akan tidak berguna sama sekali. Karena itu maka anak muda yang telah kehilangan gairah menghadapi masa-masa depannya itu, kini benar-benar menjadi putus asa. Ia tidak merasa sesuatu kepentingan apapun untuk mem pertahankan dirinya. Apalagi terhadap gurunya. Kalau gurunya menginginkan Mahisa Agni, biarlah ia dihunuhnya. Itu lebih baik baginya dari pada ia akan mati dalam kengerian ditangan Kebo Sindet dan Wong Sarimpat yang pasti menjadi sangat marah.
Dengan demikian, maka Kuda-Sempana itupun menjadi pasrah. Ia tidak ingin lagi berusaha sesuatu untuk menyelamatkan dirinya. Dengan dada yang membeku mati ia menun dukkan kepalanya. Ia tidak akan mengelak meskipun ia melihat Empu Sada telah mengangkat tongkatnya.
Derap kedua ekor kuda yang didengar oleh Empu Sadapun menjadi semakin dekat. Ia sudah semakin terdesak waktu. Hatinya yang bergelora telah mendorongnya maju beberapa, lang kah. Ia melihat Mahisa Agni yang pingsan, dan ia mengenang kan semua peristiwa yang pernah dialaminya. Kini ia sadar sesadar2nya menghadapi keadaan, la datang ke Panawijen untuk mengurangi kesalahannya dan berusaha menyelamatkan Mahisa Agni Karena itu siapapun yang menghalangnya harus disingkirkan.
Kini yang berada dihadapannya adalah Kuda-Sempana yang telah menundukkan kepalanya. Dengan mudah ia dapat menyentuh kepala anak itu dengan tongkatnya, dan anak itu akan terpelanting jatuh. Bahkan mati.
Namun tiba-tibadadanya menjadi semakin bergelora. Kuda-Sempana itu adalah muridnya. Betapapun juga, maka ia tidak segera dapat melupakan hubungan yang selama ini telah terjalin. Dan tiba-tibapula ia melihat anak muda yang pasrah itu dengan hati yang jujur. Kesalahan ini tidak seluruhnya dapat ditumpahkan kepada Kuda-Sempana. Justru kesalahan terbesar adalah terletak pada dirinya sendiri. Ia adalah orang yang harus bertanggung jawab, kenapa anak muda itu menjadi liar dan buas. Ia adalah seorang yang catut menanggung segala akibat dari kebinalan Kuda-Sempana karena Kuda-Sempana adalah muridnya.
Empu Sada yang sudah mendekati muridnya itupun menjadi tertegun. Iapun kemudian membeku seperti Kuda-Sempana. Tetapi kemudian hatinyapun menjadi bulat. Ia tidak akan meletakkan tanggung jawab kepada Kuda-Sempana, tetapi kepada diri sendiri. Dengan tekad yang menyala didalam dadanya ia bergumam "Aku akan hadapi kedua iblis itu Dengan mempertaruhkan nyawa.
Kuda-Sempana yang telah menundukkan wajahnya Dengan pasrah, mendengar gumam yang lirih itu Tiba-tiba dada anak muda itupun terdesir pula. Ia tahu benar arti kata-kata gu runya, sehingga tanpa dikehendakinya sendiri ia berkata " Guru, mereka adalah orang-orang yang sangat buas.
Empu Sada mengerutkan keningnya. Dipandanginya muridnya dengan pandangan yang suram. Ternyata betapapun anak itu jauh tersesat, tetapi ia masih mampu membuat perbeda an antara sifat-sifat seseorang. Dengan nada yang detar Empu Sada menjawab " Terima kasih akan peringatamu itu Kuda-Sempana. Agaknya kau masih juga menyayangkan nyawaku. Tetapi aku sudah bertekad untuk berbuat sesuatu. Aku sudah bertekad untuk menyelamatkan Mahisa Agni. Nah kemudian terserah padamu. Kalau aku mati dalam perkelahi ini maka aku akan mati dengan dada yang lapang, sebab aku mati selagi aku berusaha untuk berbuat sesuatu yang bermanfaat bagi manusia dan kemanusiaan. Sebab menurut perhitunganku keselamatan Mahisa Agni bukanlah sekedar Mahisa Agni seorang, tetapi dibelakangnya adalah seluruh penghuni paduku han Panawijen yang mengalami kekeringan. Sedang apabila aku berhasil keluar dari perteMpuran ini dengan selamat, aku sudah memberitahukan kepadamu bahwa aku memerlukan Mahisa Agni itu.
Kepala Kuda-Sempana terasa menjadi semakin pepat. Semua yang akan terjadi sama sekali tidak dikehendakinya. Ia tidak ingin gurunya, Empu Sada itu mati. Tetapi kalau ia hi dup, maka Mahisa Agni itu akan dimintanya. Justru untuk menyelamatkannya. Dalam kepepatan itu terdengar Empu Sada berkata " Menepilah Kuda-Sempana. Jadilah saksi perkelahian ini. Kalau aku mati, mungkin kau masih juga bersedia untuk menguburkan mayatku.
Kuda-Sempan tidak menjawab kata-kata gurunya. Tetapi gelora didalam dadanya menjadi kian gumuruh me-ledak2.
"Menepilah " lagi terdengar suara Empu Sada " itulah mereka sudah datang.
Dengan dada yang hampir meledak Kuda-Sempana men dengar derap kuda semakin dekat. Seperti didorong oleh sebuah pengaruh yang tak ddimengertinya ia menggerakkan kudanya menepi Ketika ia memalingkan kepalanya, maka dilihatnya dua ekor kuda berpacu dalam kesuraman sinar bulan tua yang kekuning-kuningan. Segera Kuda-Sempana mengetahui kahwa keduanya itu adalah Kebo Sindet dan Wong Sarimpat.
Sekali lagi, terdorong oleh parasaan yang tak dikenalnya anak muda itu berdesis " Guru, mereka adalah orang-orang yang sangat buas.
"Ya, aku sudah mengenal mereka dengan baik " jawab Empu Sada sekali lagi, terima kasih akan peringatanmu.
"Sebaiknya guru meniggalkan mereka.
Empu Sada menggeleng "Aku akan menyelamatkan Mahisa Agni. Aku akan berbuat apa saja untuk kepentingan itu. Mungkin aku akan berbuat curang atau berbuat apa saja. Mungkin juga aku akan menjadi sangat licik. Aku 2 tidak peduli lagi akan harga diriku Aku tidak peduli lagi, apakah yang akan dikatakan orang atas diriku. Tetapi aku sudah mempertimbangkan masak. Untuk menyelamatkan Mahisa Agni, maka Empu Sada yang telah penuh dengan noda-noda disepanjang hidupnya ini sudah tidak berarti tapi. Mahisa Agni adalah lambang dari masa-masa mendatang, sedang aku adalah cermin dari kerapuhan di-masa-masa lalu.
Sengketa Tahta Leluhur 1 Dewa Linglung 24 Jeratan Ilmu Iblis Son Of Neptune 2
Pelangi Di Langit Singasari
Karya SH. Mintarja Jilid : 26 " 30 ________________________________________
Jilid 26 KEN AROK itupun -kemudian mendengar Mahisa Agni menjawab " Tidak cantrik. Aku sudah lama tinggal didalam sanggar.
"Oh, baiklah " sahut cantrik itu.
"Kini aku akan kembali keserambi samping.
"Marilah. Keduanyapun kemudian berjalan meninggalkan sanggar itu beriringan setelah Mahisa Agni menutup pintu rapat-rapat. Ma bisa Agni berjalan didepan dan cantrik itu berjalan dibelakang. Dalam keremangan sinar pelita dikejauhan Ken Arok melihat keduanya semakin lama semakin jauh dari padanya.
Tetapi darah Ken Arok itupun kemudian seakan-akan berhenti mengalir.- Kali ini ia melihat sesosok bayangan yang meng-endap-endap dibelakang Mahisa Agni dan cantrik yang mengikutinya. Bayangan itu meloncat dari sisi sanggar ketempat terlindung yang lain dibelakang cantrik yang berjalan dibelakang Mahisa Agni. Sebelum Ken Arok sempat berbuat sesuatu, ia melihat bayangan itu mcnyambar cantrik yang berjalan dibelakang Ma bisa Agni tanpa menimbulkan suara apapun.
Ken Arok adalah seorang yang memiliki tanggapan yang cepat menghadapi persoalan yang demikian. Ia adalah seorang pelayan dalam istana Tumapel dan sebelum itu ia adalah seorang hantu yang menakutkan. Karena itu segera ia tahu, bahwa sekejap lagi, maka Mahisa Agnilah yang akan mendapat sergapan dari bayangan itu.
Karena itu dengan serta merta ia berteriak " Agni. Awas dibelakangmu. Aku kira ia bukan seorang cantrik.
Dengan gerak naluriah, segera Mahisa Agni yang mendengar teriakan Ken Arok meloncat kesamping. Dengan serta pula tangannya menarik hulu pedangnya dan terjulur lurus, tepat kearah bayangan yang handak menerkamnya.
Dalam pada itu tubuh cantrik yang berjalan dibelakang Mahisa Agni telah terbaring ditanah. Terdengar ia merintih, tetapi suara itupun segera berhenti.
Dada Mahisa Agni yang memang telah diliputi oleh kemarahan dan kegelisahan itu rasa-rasanya meledak melihat kehadiran orang yang sama sekali tak dikehendakinya. Apalagi ketika ia me lihat cantrik yang sama sekali tidak tahu menahu tentang segala macam persoalan itu terbaring diam ditanah. Meskipun Mahisa Agni masih mendengar deru nafasnya, namun serangan yang licik itu telah membakar segenap urat darahnya-.
Dengan suara bergetar terdengar Mahisa Agni bertanya "Siapakah kau?"
Orang-orangyang berdiri dihadapannya itu tidak segera menja wab. Dalam keremangan tampaklah wajahnya membeku seperti wajah sesosok mayat. Selangkah orang itu maju, dan selangkah Mahisa Agni surut.
"Siapa kau?" Orang itu masih juga berdiam diri. Wajahnya masih juga membeku mengerikan.
Ken Arok yang melihat kehadiran orang itu tidak dapat tinggal diam. Namun ketika ia akan melangkahkan kakinya terdengar desis dibelakangnya " Kau akan kemana anak muda?"
Pertanyaan itupun telah benar-benar mengejutkan hati Ken Arok. Cepat ia meloncat dan memutar tubuhnya. Kini ia berdiri berhadapan dengan seorang yang bertubuh kekar meskipun tidak cukup tinggi. Wajahnya yang kasar memancarkan sinar kebencian. Tetapi orang itu tertawa. Katanya pula"Jangan terkejut Apakah kau belum pernah mengenal aku?"
Ken Arok tidak segera menjawab. Dipandanginya wajah itu dengan tajamnya. Ternyata sinar mata Ken Arok tidak dapat ditundukkan oleh orang itu, sehingga orang itu berhenti tertawa. Terdengar suaranya parau "He, anak muda. Sebut namamu.
Ken Arok masih tetap tidak menyahut. Kakinya yang merenggang se-olah-olah dalam-dalam menghunjam kepusat bumi. Tangannya tanpa sesadarnya telah berada dihulu pedangnya.
"Kau tidak mau menjawab "bentak orang yang berdiri dihadapan Ken Arok itu"- Baik. Kalau kau tidak mau menjawab, akulah yang akan menyebutkan namaku. Wong Sarimpat.
"Hem "Ken Arok menggeram. Segera ia menyangka bahwa yang berdiri dihadapan Mahisa Agni adalah Kebo Sindet. Karena itu maka hatinya menjadi. semakin ber-debar-debar. Kecemasan dan kegelisahan yang dirasakannya sejak mereka berang kat dari padang Karautan kini ternyata terjadi.
Dalam pada itu Kebo Sindet dan Wong Sarimpat tidak segera berbuat sesuatu. Mereka masih saja berdiri ditempat-nya. Agaknya mereka masih menunggu.
"Mereka menunggu Empu Sada "pikir Ken Arok. "Hem, apakah Mahisa Agni harus mengalami bencana itu.
Tiba-tiba Ken Arok terkejut ketika Wong Sarimpat sekali lagi membentaknya keras-keras "Ayo, sebut namamu.
Ken Arok yang berdiri seperti batu karang itu masih berdiam diri. Ia tidak beranjak dari tempatnya ketika Wong Sarimpat maju selangkah mendekatinya.
Tetapi langkah Wong Sarimpat tiba-tiba terhenti ia mendengar seseorang menegurnya "Wong Sarimpat, tunggu. Jangan hanya berani mengganggu anak-anak.
Kini Wong Sarimpatlah yang memutar tubuhnya menghadap suara itu. Dari dalam kegelapan ia melihat sesosok tubuh berjalan dengan tenang mendekatinya. Empu Gandring.
"Hem, kau pande keris itu pula. " desis Wong Sarimpat. -Ya.
Tiba-tiba mereka mendengar Kebo Sindet berkata "Nah. Sekarang sudah lengkap. Kami sengaja menunggu Empu Gandring, supaya kami tidak kau sangka hanya berani mengganggu anak-anak.
"Jadi bagaimana" "sahut Empu Gandring. Dilihat nya beberapa langkah dari padanya Kebo Sindet berdiri berhadapan dengan Mahisa Agni yang se-olah-olah membeku dengan pedang terjulur. Empu Gandring segera dapat menduga, apa yang kira-kira akan terjadi atas kemanakannya. Sekali dipandanginya Pelayan-dalam yang bernama Ken Arok itu. Apakah berdua dengan Mahisa Agni mereka mampu se-tidak-tidaknya menyelamatkan diri mereka"
Tetapi ia tidak dapat berbuat lain dari menghadapi ke nyataan itu Meskipun Empu Gandring tampaknya masih tenang2 saja, namun gejolak didalam dadanya terasa me-nyentuh2 dinding jantungnya. Bahaya. yang kini dihadapinya, bukan sekedar bermain-main seperti pada saat-saat ia menghadapi seorang Wong Sarimpat dan seorang Empu Sada. Ia masih sempat mengganggu kedua orang itu sebelum mereka harus bertempur.
Kini yang dihadapi adalah dua orang sekaligus. Wong Sarimpat dan Kebo Sindet, bahkan mungkin Empu Sada yang segera akan menyusul.
"Empu Gandring "terdengar suara Kebo Sindet da lam nada yang datar "aku tebenarnya tidak ingin mengganggumu. Aku hanya akan mengambil Mahisa. Agni. Kali ini kau jangan menghalangi aku lagi. Sebab pasti tidak akan ada gunanya. Dengarlah, jangan menjawab dahulu. Kalau kau melawan, dan kita berkelahi, maka sementara kau melawan Wong Sarimpat, maka aku telah sempat membunuh anak muda dari istana Tumapel itu. Kemudian membuat Mahisa Agni lumpuh. Sesudah itu kami berdua, aku dan Wong Sarimpat akan membunuhmu ber-sama-sama. Nah bagaimana pertimbanganmu Empu Gandring.
Empu Gandring meng-angguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia menjawab masih dalam ketenangan "Rencana itu kedengarannya baik sekali. Beberapa hari kau perlukan waktu untuk menyusun rencana itu" Aku kira kau telah mengaturnya jauh sebelum hari ini. Sejak lumbung itu terbakar. Kemudian kau membuat orang-orang Panawijen gelisah dan menjemput Mahisa Agni kepadang Karautan. Akhirnya rencana itu sampai pada puncaknya seperti yang kau katakan itu.
"Tepat "jawab Kebo Sindet singkat.
"Dan kau merasa bahwa kau mampu melakukannya?"
"Bagaimana penilaianmu Empu?"
Yang menyahut kemudian adalah Ken Arok. Suaranya bergetar seperti guruh yang menggetarkan udara "Hem. Ternyata kalian berhasil menyelesaikan sebagian dari rencana itu. tetapi bagaimana selanjutnya?"
Kebo Sindet tidak segera menjawab. Terasa didadanya pengaruh suara Ken Arok yang akak aneh. Anak muda itu ternyata memiliki beberapa kelainan dengan anak-anak muda sebayanya. Dengan Mahisa Agni misalnya atau Kuda-Sempana.
Tetapi sebelum Kebo Sindet menyahut, terdengar suara tertawa Wong Satimpat "O, kau juga berani mengucap kan kata-kata itu" Kau benar-benar anak yang luar biasa.
Ken Arok tidak menyahut. Ditatapnya wajah Wong Sarimpat yang kasar dan liar itu.
Yang berkata kemudian adalah Kebo Sindet. Suaranya ber-gulung-gulung se-olah-olah me-lingkar-lingkar saja didalam perutn2a "Jangan memungkiri kenyataan. Kalian akan mati hari ini. Kau anak muda, kaupun akan mati pula apabila kau berpihak kepada Mahisa Agni.
Belum lagi mulut Kebo Sindet terkatup rapat, orang itu menjadi terkejut Ternyata Ken Arok tidak mau terlampau banyak berbicara. Seperti tatit ia meloncat menyerang, bukan Wong Sarimpat tetapi justru Kebo Sindet yang berdiri agak jauh dari padanya.
Dalam waktu yang pendek itu Ken Arok berusaha membuat pertimbangan. Baginya lebih baik melepaskan Wong Sarimpat yang sudah berdiri berhadapan dengan Empu Gandring. la percaya bahwa Empu Gandring akan mampu menyelesaikannya, se-tidaknya untuk mengikat demit dari Kemundungan itu. Sedang dipihak lain Mahisa Agni benar-benar berada dalam bahaya. Meskipun dirinya sendiri tidak yakin bahwa ia dapat bertahan melawan Kebo Sindet, namun ia mengharap bahwa berdua dengan Mahisa Agni, ia dapat menggabungkan kekuatan.
Kebo Sindet sendiri terkejut bukan buatan menerima serangan itu. Ia tidak menyangka sama sekali bahwa anak muda itu mampu membuat gerakan demikian cepatnya. Jauh lebih cepat dari apa yang dapat dilakukan oleh Kuda-Sempana,
Tetapi Kebo Sindet adalah setan tua yang memiliki pengalaman sedalam lautan. Dengan cekatan pula ia meloncat meng hindari serangan Ken Arok. Bahkan dengan menjejakkan ka kinya, ia melingkar dan alangkah anehnya gerak Kebo Sindet itu. Sebelum Ken Arok mampu berdiri tegak diatas tanah, maka serangan lawannya itu telah melandanya seperti angin taufan.
Alangkah dahsyatnya serangan itu. Empu Gandring masih sempat melihat apa yang terjadi. Seperti Kebo Sindet ia heran melihat kemampuan Ken Arok. Tetapi keheranan dan kekagumannya itu dibarengi oleh perasaan cemas yang menghentak da danya. Ia tahu akibat dari perbuatan anak muda itu. Kebo Sindet pasti akan marah Dan setan tua yang berwajah beku itu akan segera memberikan serangan balasan. Tidak tanggung-tanggung. Serangan itu pasti serangan mematikan.
Dan kini ia m lihat Kebo Sindet benar-benar berbuat demiki an. la melihat tangan Kebo Sindet terayun dengan kecepatan yang luar biasa. Sudah pasti diluar kemampuan Ken Arok un tuk menghindarinya. Orang tua itu hanya dapat menahan nafasnya. Jarak antara keduanya tidak terlampau dekat, sedang disampingnya berdiri Wong Sarimpat yang pasti akan mampu menghalanginya apabila ia ingin berbuat sesuatu.
Serasa dada Empu Gandring itulah yang tersentuh tangan Kebo Sindet. Dengan wajah yang tegang ia melihat apa yang akan terjadi atas anak muda dari istana Tumapel itu. Apa lagi- ketika ia mendengar ledakan tertawa Wong Sarimpat yang gila.
Tetapi tiba-tibasuara tertawa Wong Sarimpat terputus. Selangkah ia maju dengan mata yang menyala. Bahkan tanpa sesadarnya Empu Gandringpun meloncat maju mendekati Ken Arok yang terbanting diatas tanah kerena sentuhan tangan Kebo Sindet.
Kedua orang tua yang telah masak itu hampir-hampir tidak percaya melihat apa yang terjadi. Bahkan Kebo Sindet sendiri seolah-olah terpaku ditempatnya. Adalah tidak mungkin sama sekali bahwa ia melihat anak muda yang bernama Ken Arok; yang terbanting dengan kerasnya karena dorongan tangan Kebo Sindet yang sedang marah, setelah terguling beberapa kali, segera berusaha bangun kembali.
Meskipun mula-mula Ken Arok kehilangan keseimbangannya dan ter-huyung-huyung hampir terjatuh lagi, tetapi akhirnya ia mampu tegak berdiri dengan garangnya seperti batu karang di-te ngah2 lautan. Dengan tangannya ia mengusap dadanya yang te rasa panas bukan buatan seperti terbakar karena sentuhan ta ngan Kebo Sindet yang sedang marah. Namun lambat laun ia berhasil menguasai rasa sakit itu.
Ketika Ken Arok itu telah berhasil berdiri tegak kembali, maka tanpa sesadarnya terdengar Kebo Sindet berdesis " Setan manakah yang manjing kedalam tubuhmu itu anak muda. Kau berhasil menyelamatkan dirimu meskipun aku dapat menyentuh tubuhmu. Kalau kau tidak bernyawa rangkap, maka nal itu tidak akan mungkin terjadi pada seprang manusia biasa. Bah kan Empu Gandringpun pasti tidak akan mampu bertahan apa bila tanganku berhasil mengenai, dadanya.
Ken Arok yang masih berdiri tegak itu menggeram. Kini kemarahannyapun memuncak sampai ke-ubun-ubun. Tubuhnya yang dibakar oleh kemarahan itu menggigil seperti orang kedingin an. Per-lahan-lahan mulutnya bergerak dan terdengarlah ia berkata. Mahisa Agni yang seakan-akan membeku ditempatnya melihat peristiwa itu menjadi terkejut. Yang didengarnya itu adalah suara yang pernah didengarnya di padang Karautan. Suara hantu yang menakutkan.
"Kebo Sindet "suara itu terdengar parau dan dalam. Lontaran getarannya menghantam dada mereka yang mendengar nya "jangan menyombongkan diri dengan kekuatan Aji-ajimu.
Meskipun aku tidak memiliki ilmu macam apapun, tetapi ke jahatan yang kau lakukan pasti akan mencelakakanmu Kalau tidak saat ini, pasti akan datang suatu ketika kau hancur menjadi debu.
"Ancaman seseorang yang telah berputus asa "jawab Kebo Sindet dalam nada datar. Kata-kata ita seakan-akan ber-gulung-gulung saja didalam perutnya " adalah hanya kebetulan saja bahwa kau terlepas dari bahaya maut. Tetapi kalau aku mengulang nya sekali lagi, maka kau tidak akan lagi dapat menyebut na ma ayah bundamu.
Ken Arok tidak menjawab. Dengan tangan gemetar di-julurkannya pedangnya sambil berkata "Aku sudah siap.
Agaknya kemarahan Kebo Sindet sudah tidak tertahankan lagi. Hampir tak tertangkap oleh pandangan mata biasa ia me lenting,.meloncat kearah Ken Arok. Demikian cepatnya sehin ga kali inipun Ken Arrok tidak sempat berbuat banyak. Ia hanya mampu menggerakkan ujung pedangnya mengarah kepada lawannya. Tetapi sekali lagi gerakan Kebo Sindet tak dapat diikutinya. Sekali lagi Kebo Sindet melenting, dan kali ini Ken Arok benar-benar tidak mampu mengikuti kecepatan gerak itu2.
Empu Gandring berdesis perlahan. Terasa bulu-bulunya meremang membayangkan kemungkinan yang dapat terjadi atas Ken Arok. Kini ia ingin mencoba mempengaruhi gerak Kebo Sindet, tetapi dengan tiba-tiba Wong Sarimpat menghalangnya dengan sebuah sambaran kaki pada lambung Empu Gandring. Terpaksa Empu Gandring menghindari serangan itu, dan terpaksa ia tidak dapat berbuat sesuatu atas Kebo Sindet. Yang dilihatnya adalah sekali lagi Ken Arok terpelanting jatuh sesudah pedangnya terloncat dari tangannya.
Mahisa Agni masih saja berdiri membeku. Kesadaran nya se-olah-olah terhisap habis-habis oleh peristiwa itu. Ia hanya mapu menggerakkan biji-biji matanya, mengikuti bayangan Ken Arok terbanting jatuh.
Tetapi sekali lagi mereka menjadi heran dan kagum bercampur-baur. Mereka melihat Ken Arok itu berguling beberapa kali. Lalu dengan ter-tatih-tatih ia berdiri diatas kedua lututnya. Bahkan kemudian anak muda itu telah tegak kem bali. Tegak seperti tonggak baja yang kokoh kuat.
Orang-orang tua yang melihat peristiwa itu hampir tidak dapat memperlyayai penglihatannya. Mereka melihat tata gerak Ken Arok tidak terlampau jauh terpaut dari Mahisa Agni dan anak-anak muda yang memiliki kelebihan yang lain. Tetapi bahwa Ken Arok tidak lumat karena tangan Kebo Sindet adalah benar-benar diluar dugaan.
Kebo Sindet sendiri yang telah dua kali mengenainya, sejenak terpaku seperti patung. Bahkan tanpa sesadarnya ia berdesis "Luar biasa. Anak itu benar-benar anak setan.
Yang terdengar kemudian adalah gemeretak gigi Ken Arok. Suaranya menjadi semakin parau dan dalam, sedang nyalamatanya menjadi semakin membara. Seperti mengani bang diudara terdengar suaranya "Marilah Agni, marilah kita hadapi jahanam ini. Ternyata hidup dan mati sama sekali tidak berada d2dalam kekuasaan tangannya yang telah ber noda itu.
Mahisa Agni benar-benar seperti terbangun dari mimpi. Dua kali ia melihat Ken Arok terpelanting. Dua kali ia melihat anak itu bangkit. Dan ia sendiri belum berbuat apa-apa. Karena itu, maka dengan dada yang bergelora ia menyahut "Aku sudah siap Ken Arok. Kalau saja kulitnya tidak kebal oleh senjatanya.
Belum lagi Kebo Sindet sempat menyahut, maka Ken Arok itupun telah meloncat menyerang. Kini sikapnya menjadi semakin garang. Ia sama sekali tidak memungut pedang nya yang terjatuh, tetapi ditangannya tergenggam sebilah pisau belati yang kasar.
"Pisau itu "desis Mahisa Agni didalam hatinya yang berdesir "pisau itu adalah pisau hantu Karautan.
Kebo Sindet yang memiliki berbagai macam ilmu itu tidak lengah sama sekali Dengan cekatan ia menghindarinya. Namun kali ini serangan Ken Arok benar-benar seperti angin ribut. Geraknya semakin lama menjadi semakin bertambah kasar. Meskipun Mahisa Agni tidak lagi melihat gerakan yang mengerikan seperti ketika ia berkelahi melawan anak itu dipadang Karautan, tetapi kini ia melihat gerak-gerak yang serupa, bahkan bersumber pada gerakan-akan yang aneh itu, namun dalam tingkatan yang lebih dahsyat.
Meskipun Kebo Sindet adalah seorang yang telah menyimpan perbendaharaan pengalaman hampir tak terhitung jumlahnya, teetapi ia terkejut melihat tandang lawannya. Ia tidak melihat unsur-unsur yang tersusun rapi betapapun kasar nya, tetapi ia merasakan bahaya yang me-matuk2nya. Karena itu maka iapun berkata didalam hatinya "Anak ini benar anak setan atau jin tetekan. Bagaimana mungkin ia bisa ber kelahi dengan cara itu.
Kini Kebo Sindet tidak hanya merasakan seorang anak muda yang sombong sedang membunuh dirinya. Tetapi ia kini berasa berhadapan dengan anak iblis yang mengerikan. Karena itu, maka orang tua itu segera melayaninya dengan penuh kemarahan.
Sejenak Mahisa Agni melihat keduanya yang sedang bertempur itu. Ia melihat Ken Arok tidak sebagai seorang prajurit atau seorang Pelayan-dalam yang berkelahi sebagai seorang prajurit dengan pedangnya. Tetapi kini Mahisa Agni melihat hantu Karautan hidup kembali, berkelahi dengan sebilah pisau ditangan.
Namun Mahisa Agni tidak dapat berdiam diri lebih lama lagi. Betapa kecil kemampuannya, ia merasa wajib untuk ikut serta dalam perteMpuran yang dahsyat itu. Karena itu, maka dengan hati-hati ia mendekat, menjulurkan pedangnya, dan se"jenak kemudian maka pedang itupun mulai bergetar. Dengan bekal ilmu yang dimilikinya dari gurunya ia ikut bertempur Di pusatkannya segenap kemampuan lahir dan batin, tersalur da lam jalur2 urat-nadinya, menggerakkan pedang didalam geng gamannya. Meskipun Mahisa Agni adalah seorang anak kecil saja dibandingkan dengan Kebo Sindet, namun terasa juga serangannya agak mengganggu selagi setan tua dari Kemundungan itu berusaha membinasakan hantu dari padang Ka rautan.
Tetapi setiap kali Kebo Sindet menjadi kecewa. Selan-jutnya ia belum berbasil mengenai lawannya tepat seperti yang dikehendakinya. Bahkan tenaga lawannya yang semakin liar itu pun serasa menjadi semakin bertambah.
"Kekuatan apakah yang telah menyelusup kedalam tubuh setan kecil ini "Kebo Sindet mengumpat-umpat didalam ha tinya. Sekali-sekali ia berhasil menyentuh tubuh Ken Arok sehingga anak itu terpental beberapa langkah, tetapi setiap kali anak muda itu langsung meloncatinya kembali dengan ujung pisau ditangan kanannya dan ujung kuku-kuku jari tangan kirinya.
Dengan demikian maka kemarahan Kebo Sindetpun semakin menjadi-jadi. Sekali dua kali ia harus menghindari pedang Mahisa Agni. Tetapi ia tidak menyerangnya. Betapa gelap hatinya namun ia masih berusaha membiarkan saja anak muda itu. Sebab apabila ia membalasnya dengan serangan-angan ia takut apabila ia tidak berhasil menguasai tenaganya, sehingga Mahisa Agni itu justru yang terbunuh.
Wong Sarimpat dan Empu Gandring untuk beberapa saat masih berdiri keheranan. Bahkan tanpa dikehendakinya Wong Sarimpat berdesis "Apakah yang telah menggerakkan anak itu sehingga ia dapat berkelahi dengan cara itu?"
Empu Gandring tanpa sesadarnya menyahut "Alangkah keras dan kasar unsur-unsur yang dipergunakannya. Bahkan jauh le bih kasar dari Empu Sada. Hampir sekasar kau dan kakakmu Kebo Sindet.
"Tidak "gumam Wong Sarimpat "lihat, betapa kasar nya. Tidak kalah kasar dari kakang Kebo Sindet. Tetapi yang gila adalah simpanan tenaga dan kekuatan, sehingga ia mampu bertahan terhadap sentuhan tangan kakang Kebo Sindet.
Empu Gandring meng-angguk-anggukkan kepalanya dan Wong Sarimpat memandanginya dengan mata yang hampir tidak berkedip. Mereka melihat betapa perkelahian antara Kebo Sindet melawan Ken Arok dan Mahisa Agni menjadi semakin dahsyat. Setelah mapan, maka tandang Mahisa Agnipun menja di bertambah lincah. Pedangnya me-nyambar-nyambar dari berbagai arah, sehingga mau tidak mau Kebo Sindet harus memperhitungkannya. Tetapi ia tidak dapat dengan garang menyerang kembali anak muda itu. Kebo Sindet yang sedang berkelahi itu merasa sangat sulit untuk mengukur tenaganya, sehingga Mahisa Agni tidak terbunuh oleh sentuhan tangannya. Seandainya ia tidak sedang berkelahi dengan iblis yang kasar itu, maka ia akan segera dapat menjajagi kekuatan tubuh Ma bisa Agni. Ia akan dapat mengendalikan tangannya, menyentuh urat nadi kesadaran Mahisa Agni sehingga anak itu ping san. Tetapi tidak mati.
Tetapi kini ia berkelahi dengan anak muda yang tidak dapat diduga kekuatannya. Meskipun ia hampir mempergunakan segenap kekuatannya. namun anak muda yang bernama Ken Arok itu tidak hancur lumat. Tulang-tulang iganya tidak menjadi rontok karenanya Bahkan setiap kali ia berbasil menghindarkan simpul-simpul sarafnya yang berbahaya dari sentuhan tangan Kebo Sindet, sehingga setiap kali ia terbanting jatuh, setiap kali ia dapat bangun kembali. Justru semakin sering ia terpelanting, maka tubuhnya se-akan-akan menjadi semakin liat, dan semakin cepatlah ia bangkit kembali meloncat dengan garang dan liar, menyerang membabi buta.
"Tidak " desis. Kebo Sindet didalam hatinya "anak itu tidak membabi buta. Tetapi ilmu yang gila ini belum pernah aku kenal. Belum pernah aku temui seorang sakti yang berkelahi dengan cara ini.
Dengan demikian, maka Mahisa Agni itu bagi Kebo Sindet terasa benar-benar mengganggu usahanya membinasakan Ken Arok. Karena itu maka tiba-tibaia berteriak nyaring "Kuda-Sempana, Jangan Bersembunyi saja. Ini, aku sudah berhasil memanggil orang yang selama ini kau cari. Kau tidak usah menunggu gurumu. Selesaikan Mahisa Agni ini lebih dahulu Tetapi ingat, biarkan ia hidup. Ia akan mengalami masa-masa yang tidak dikehendakinya.
Panggilan itu benar menggetarkan dada Empu Gandring, Mahisa Agni dan Ken Arok. Mereka merasa bahwa bahaya semakin lama akan menjadi semakin besar. Menurut dugaan me reka, sebentar lagi akan datang Empu Sada, guru Kuda-Sempana untuk membantu mereka menangkap Mahisa Agni.
Belum lagi mereka sempat mempertimbangkan sesuatu, maka dari dalam kegelapan meloncatlah sesosok tubuh yang telah menggenggam pedang ditangan. Orang itu adalah Kuda-Sempana. Sejenak ia berdiri dengan penuh kebimbangan. Be tapa dendam dan bencinya kepada Mahisa Agni pada saat-saat yang lampau. Betapa ia ingin membunuh dan mencincangnya. Tetapi tiba-tibakini, setelah ia berhadapan dibawah lindungan kedua iblis dari Kemundungan, nafsunya itu susut hampir ke ring sama sekali.
Tetapi seperti apa yang selama ini dilakukannya. Berbuat apa saja yang dikatakan oleh Kebo Sindet dan Wong Sarim pat. Demikian pula kali ini. Menurut Kebo Sindet ia harus bertempur melawan Mahisa Agni. Karena itu, maka segera iapun mencoba membulatkan hatinya. Bertempur tanpa sesuatu tujuan.
Mahisa Agni yang melihat kehadiran Kuda"Sempana menggeretakkan giginya. Ia tidak dapat melupakan apa yang telah dilakukan oleh anak muda itu, sehingga keadaan menjadi semakin lama semakin jelek. Tidak saja baginya sendiri, tetapi juga bagi seluruh Panawijen. Dan kini, Kuda-Sempana itu datang lagi, membuat orang-orang Panawijen ketakutan.
Karena itu, ketika kemudian Kuda-Sempana menyerang nya, maka dengan serta-merta ditinggalkannya Kebo Sindet yang masih berkelahi dengan Ken Arok dalam nada yang semakin lama semakin kasar dan liar. Keduanya adalah hantu yang mengerikan, dan keduanya dapat berbuat diluar bemampuan orang-orang biasa.
Sejenak kemudian Mahisa Agni telah terlibat dalam perkelahian dengan Kuda-Sempana. Kuda-Sempana yang semula ragu-ragu, kini ia harus menghadapi serangan Mahisa Agni yang membadai. Serangan-angan yang dilambari oleh berbagai perasaan bercampur baur. Kebencian kemarahan dan kegelisahan. Na mun justru karena itu, maka kejernihan hatinya menjadi agak terganggu. Tata geraknya menjadi ter-gesa-gesa dan dalam beberapa kesempatan, ia membuat kesalahan-lahan. Tetapi berhadapan dengan Kuda-Sempana Mahisa Agni masih mempunyai kesempatan. Betapa Kuda-Sempana dapat menambah ilmunya dengan ilmu yang diberikan oleh Kebo Sindet dan Wong Sarimpat, namun melawan Mahisa Agni ia masih harus berbuat terlampau banyak. Apalagi pada saat-saat perkelahian itu dimulai. Kuda-Sempana bertempur asal saja ia tidak tertusuk oleh ujung pedang lawannya. Namun semakin lama nafsunya per lahan-lahan tumbuh kembali. Bukan sekedar menyelamatkan diri, tetapi dalam lingkaran perkelahian, maka hasratnya untuk membinasakan lawannya terasa seperti api tertiup angin. Semakin lama menjadi semakin menyala didalam dadanya.
Peristiwa itu telah membuat Ken Arok menjadi semakin marah. Setiap kali ia terlempar jatuh, setiap kali ia merasa bahwa tenaga yang tersimpan didalam tubuhnya mengalir menyelusuri urat-urat nadinya. Semakin besar nyala kemarahannya, maka tubuhnya terasa semakin ringan dan geraknyapun menjadi semakin cepat. Tetapi yang dihadapinya adalah Kebo Sindet. Betapa besar kemampuan yang tersimpan didalam dirinya, namun Ken Arok bagi Kebo Sindet se-olah-olah tidak lebih dari sebutir kemiri dalam permainan jirak. Sekali terlempar kesam ping, sekali terdorong surut dan sekali terbanting jatuh.
Meskipun demikian Ken Arok masih juga mampu bangkit berdiri, melenting dan meloncat menycrang dengan liarnya. Kuku-kukunya mengembang seperti kuku seekor garuda yang buas, sedang ditangan yang lain sebilah pisau se-akan-akan melekat pada jari2 tangannya, sehingga pisau itu tidak dapat terpelanting lepas dari genggamannya.
Apa yang dilakukan Ken Arok itu benar-benar tidak dapat di mengerti nalar orang-orang tua yang mengitarinya. Wong Sarimpat, Empu Gandring dan Kebo Sindet sendiri. Bagaimana mungkin Ken Arok itu mampu bertahan lama melawan Kebo Sindet.
Menilik tata gerak dan unsur-unsur yang dipergunakan oleh Ken Arok, maka mereka merasakan, betapa sedikit pengertian yang dimilikinya. Menurut perhitungan mereka, ilmu yang dimiliki oleh Ken Arok dalam tata gerak dan tata berkelahi, tidak banyak terpaut dari Mahisa Agni, meskipun dalam bentuk yang berbeda. Tetapi kekuatan tenaga, kecepatan bergerak dan ke tahanan tubuhnya, benar-benar mengagumkan. Dan orang-orang tua itu menganggap bahwa semuanya itu lama sekali bukan dilambari oleh sesuatu ilmu apapun, tetapi apa yang dimilikinya itu ada lah pembawaan sejak ia dilahirkan.
Dalam keheranan dan kekagumannya, maka Wong Sarim pat dan Empu Gandring masih saja berdiri tegak. Wong Sarimpat tidak lagi menyerang Empu Gandring selagi Empu Gandring tidak berusaha membantu Ken Arok atau Mahisa Agni.
Meskipun demikian Empu Gandring masih juga selalu di selubungi oleh perasaan cemas dan gelisah. Betapa ketahanan tubuh Ken Arok itu, namun serangan Kebo Sindet yang datang .seperti badai, menghantam terus-menerus itu suatu ketika pasti akan dapat melumpuhkan Ken Arok. Bahkan mungkin membunuhnya.
Orang tua itu masih saja melihat Ken Arok terlempar, terbanting dan ber-guling-guling menghindari serangan lawannya. Sekali ia melenting sambil menerkam lawannya, untuk kemudian terlempar kembali beberapa langkah.
Sekali-sekali terdengar ia mengeluh pendek, tetapi lambat laun suara itu terdengar seperti hantu yang sedang marah.
Tiba-tiba Empu Gandring menjadi tegang ketika ia melihat sesuatu. Darahnya serasa berhenti mengalir. Selangkah ia maju sambil menajamkan matanya. Bukan saja mata wadagnya, tetapi juga mata batinnya. Terasa dadanya kemudian bergetar semakin cepat. Tanpa sesadarnya ia berpaling memandangi wajah Wong Sarimpat. Dan wajah itupun menegang seperti seutas tali yang hampir putus karena tarikan kedua ujungnya.
"He, tukang keris "Wong Sarimpat itu hampir berteriak "kau lihat itu?"
Empu Gandring tidak segera menyahut. Ternyata Wong Sarimpat betapapun kasarnya, namun ia telah berhasil melihat pula. Agaknya kekuatan yang tersimpan didalain diri orang itu pun telah mampu menerima getaran yang aneh, yang memancar dari diri Ken Arok.
"Ternyata anak itu benar-benar anak setan.
"Kau melihatnya?" "desis Empu Gandring.
"Ya. Itulah sebabnya maka tubuhnya kuat seperti seekor gajah kerdil.
Empu Gandring terdiam. Tetapi debar didalam dadanya menjadi semakin lama semakin cepat. Dan apa yang dilihatnya menjadi semakin jelas. Tidak sekedar dengan mata wadagnya.
Dengan jantung yang bergolak Empu Gandring dan Wong Sarimpat melihat sebuah bayangan warna ke-merah-merahan yang seakan-akan memancar dari ubun-ubun Ken Arok. Tidak begitu jelas. Tetapi keduanya yakin bahwa mereka telah melihatnya. Seperti yang pernah dilihat oleh Empu Purwa dipadang Karautan.
Perlahan-lahan Empu Gandring berdesis "Adalah manusia yang terpilihlah yang memiliki tanda demikian.
"Anak iblis "geram Wong Sarimpat.
Empu Gandring tidak menjawab. Namun timbullah sedikit harapan padanya, bahwa Ken Arok memiliki kelebihan yang meyakinkan dari anak-anak muda sebayanya. Tanda itu telah memberitahukan kepadanya, bahwa Ken Arok bukanlah anak-anak muda kebanyakan saja meskipun tandangnya kasar sekasar Kebo Sindet dan Wong Sarimpat.
Wong Sarimpatpun melihat kelebihan itu, meskipun Dengan mulut yang meng-umpat-umpat. Ia tidak tahu pasti, apakah2 yang telah menimbulkan bayangan kemerahan diatas ubun-ubun anak itu. Tetapi iapun pernah mendengar dongeng2 tentang anak-anak terpilih. Karena itu, maka ia menjadi sedemikian ma rahnya, bahwa anak muda yang memiliki kelebihan itu memi hak Mahisa Agni.
"He, pande keris "teriaknya "apakah kau sangka warna itu akan dapat menyelamatkannya"
"Aku tidak tahu "sahut Empu Gandring "warna itu adalah warna keberanian.
"Setan, iblis "lagi-lagi orang itu meng-umpat-umpat dengan mulutnya yang kotor "ia akan mati terbunuh oleh kakang Kebo Sindet, dan warna itu akan padam dari kepalanya.
"Marilah kita lihat.
"Tidak. Aku tidak hanya ingin sekedar melihat, tetapi aku ingin berkelahi seperti orang lain. Ayo, bersiaplah Empu tua.
Belum lagi Empu Gandring menjawab, Wong Sarimpat telah melompat menyerangnya sambil berteriak "Aku akan segera membunuhmu. Kemudian aku ingin turut membuktikan, apakah anak muda itu benar-benar tak dapat dicincang kulit da gingnya.
Tetapi Empu Gandringpun telah cukup mempersiapkan diri. Karena itu, maka iapun sempat menghindari serangan Wong Sarimpat. Bahkan dengan cepatnya, tangannya menyambar tengkuk lawannya.
"Kaupun anak setan "teriak Wong Sarimpat ketika terasa sebuah sambaran tangan Empu Gandring hampir menyentuh tengkuknya, Orang itu terpaksa menghindar, sehingga hampir-hampir, ia kehilangan keseimbangan. Tetapi ia tidak meneruskan kataynya, sebab ia melibat Empu Gandring tidak membiarkannya. Orang itupun segera bersiap untuk menghindari serangan-angan berikutnya, yang datang seperti banjir menghantam tebing.
"Kaupun menjadi gila dan liar "teriak Wong Sarimpat. Tetapi dirinya sendirilah yang menjadi semakin liar dan buas. Tata geraknya segera menjadi kasar, sekasar kakak nya Kebo Sindet. Namun Empu Gandring tidak menjadi bingung. Ia tahu, apa yang harus dilakukan melawan orang-orang liar seperti Kebo Sindet dan Wong Sarimpat, sehingga betapa liarnya lawannya, namun Empu Gandring masih juga tetap tenang. Sekali-sekali ia sempat melihat perkembangan keadaan Ken Arok dan Kebo Sindet yang bertempur semakin ribut.
Kebo Sindet sendiri, yang berkelahi dengan Ken Arok tidak segera melihat warna kemerah-merahan di ubun-ubun lawannya. Dengan penuh kemarahan Kebo Sindett berusaha melumatkan la wannya dengan tangannya. Meskipun ber-kali-kali ia tidak berhasil memecahkan dada anak muda itu, tetapi ia masih percaya bahwa Ken Arok tak akan dapat dihancurkannya. Itulah sebabnya Kebo Sindet masih saja berkelahi dengan tangannya. Ia tahu benar bahwa ilmu lawannya sama sekali tidak berarti untuk melawannya. Namun ketahanan tubuh anak itu benar-benar memusingkan kepalanya. Bahkan kadang-kadang timbul kecemas an didalam dirinya, apakah ilmunya telah lebur?"
Demikianlah maka perkelahian itu menjadi kian seru. Tandang Ken Arok benar-benar menjengkelkan sekali bagi Kebo Sindet yang garang dan buas. Seakan-akan ia sedang berhadapan Dengan Aji Candra Birawa. Ia pernah mendengar, bahwa seseorang mampu membangunkan kekuatan yang tanpa batas. Kadang-kadang dapat berwujud seorang raksasa. Kalau, raksasa itu terbunuh, maka mayatnya akan membelah, dan datanglah ke mudian dua orang raksasa. Demikianlah setiap kali di binasa kan, maka kekuatan itupun menjadi berlipat.
"Apakah anak ini memiliki aji ini?" "desisnya didalam hati "Setiap kali kekuatannya terhantam, maka se-akan-akan tu"buhnya menjadi semakin kuat- Kalau ia terbanting jatuh, maka segera ia bangkit dengan kesigapan yang berlipat.
"Tetapi anak setan ini barus mati "geramnya sambil mempertajam serangan-angannya, sehingga semakin lama menjadi semakin dabsyat.
Namun akhirnya Kebo Sindet itu mampu melihat bayangan ke-merah-merahan diatas ubun-ubun Ken Arok. Semula orang itu me nyangka, bahwa kemarahannya telah menumbuhkan bayangan-angan yang tak dikenalnya. Tetapi ternyata warna merah itu meloncat, melontar dan meluncur ber-sama-sama dengan kepala lawan nya. Warna itu memancar dari ubun-ubun kepala itu.
"Gila "desisnya "apakah anak ini anak pilihan?"
Kebo Sindet meng-umpat-umpat didalam hatinya. Selama ini ia tidak pernah mem kirkan persoalan serupa itu. Ia tidak me"ngenal kepada kekuatan2 diluar dirinya dan lingkungannya yang kasat mata maupun yang tidak kasat mata. Tetapi ia tidak me ngenal suatu kekuasaan yang Agung meskipun pernah didengar nya. Tiba-tiba sekarang ia berhadapan dengan warna itu. Menurut dongeng yang pernah didengarnya, warna yang memancar dari ubun-ubun adalah pertanda bahwa orang itu adalah orang pilihan. Orang pinuji. Itulah sebabnya maka ia memiliki kekuatan dan ketahanan tubuh melampui manusia biasa.
Sejenak perasaan Kebo Sindet dilanda oleh kebimbangan. Namun kembali ia menguatkan hatinya. Dengan gigi ge"meretak ia menggeram didalam dadanya "Betapapun juga ia adalah manusia. Berapa kuat ketahanan tubuhnya, tetapi kulit dagingnya pasti akan dapat menjadi lumat.
Dengan demikian, maka tandang Kebo Sindet menjadi semakin buas dan liar. Demikian juga Ken Arok. Semakin garang ia berkelahi, nyala diatas ubun-ubunnya seolah-olah menjadi semakin terang.
Disisi lain, Kuda-Sempanapun berkelahi dengan nafsu yang semakin menyala. Kini ia tidak lagi sekedar digerakkan oleh perintah Kebo Sindet, tetapi ia benar-benar berusaha membunuh Mahisa Agni. Ia tidak lagi mengingat apakah dendamnya bertimbun setinggi gunung, namun dalam perkelahian ini, ia ingin membunuh se-cepat-cepatnya.
Tetapi Mahisa Agnipun berkelahi dengan kemarahan yang meluap-luap. Ia ingin menghentikan petualangan anak muda itu. Ia ingin Kuda-Sempana tidak lagi dapat melakukan kejahat an. Baik terhadap dirinya sendiri, terhadap Ken Dedes, ter hadap, orang-orang Panawijen maupun terhadap bendungan yang sedang dikerjakannya. Karena itu, maka ia harus dapat me lumpuhkan lawannya. Menangkap atau kalau terpaksa anak muda itu terbunuh, adalah bukan se-mata2 karena kebencian dan dendam, tetapi ia didorong oleh suatu kuwajiban untuk suatu kepentingan yang lebih besar dari kepentingannya sen diri.
Dorongan itulah yang telah memaksa Mahisa Agni bertempur mati-matian. Apalagi kalau diingatnya, bahwa sebentar lagi, tangan-angan Kebo Sindet atau Wong Sarimpat pasti akan mencekiknya. Itulah sebabnya. ia merasa bahwa ia harus segera menyelesaikan tugasnya sebelum Ken Arok tidak lagi berdaya melawan Kebo Sindet.
Tetapi Kuda-Sempana sekarang sudah lain dengan Kuda-Sempana yang selalu dikalahkannya. Kuda-Sempana kini, adalah Kuda-Sempana yang menjadi bertambah kasar, liar tetapi bertambah kuat dan cekatan. Kuda-Sempana itu mampu me-loncat secepat burung sikatan dan menyambar segarang elang diudara. Merangsangnya seliar serigala dan menerkam sebuas harimau lapar.
Dengan demikian maka Mahisa Agni itupun harus bertempur sekuat tenaganya, setinggi kemampuannya. Dikerahkannya segenap ilmunya lahir dan batin untuk mengalahkan la wannya. Tetapi pekerjaan itu bukanlah pekerjaan yang mudah, semudah memijat wohing ranti. Tetapi ia harus berjuang memeras segenap kemampuan yang ada padanya. Na mun sampai beberapa lama, ia sama sekali belum melihat tanda-tanda bahwa usahanya itu akan segera berhasil. Bahkan setiap kali ia harus meloncat menghindari ujung pedang Kuda-Sempana yang me-matuk-matuk seperti seribu kepala ular yang menyerangnya ber-sama-sama dari segala penjuru.
Tetapi Kuda-Sempanapun telah dibasahi oleh keringat yang mengalir dari segenap lubang kulitnya. Betapa ia berusaha membinasakan lawannya, tetapi lawannya bukan dengan suka rela menyerahkan kepalanya, pasrah pati-urip. Karena itu, maka pekerjaannya adalah sesulit menangkap kijang dipadang rumput dengan tangannya.
Tidak kalah, ributnya adalah Wong Sarimpat. Sekali-sekali terdengar orang itu berteriak nyaring, sehingga suaranya mem bentur dinding-dinding halaman, me-lingkar-lingkar memenuhi padukuhan yang sepi. Namun sejenak kemudian Panawijen itu telah diterkam oleh ketakutan yang amat sangat. Beberapa orang akhirnya mendengar hiruk pikuk perkelahian dan teriakan-akan Wong Sarimpat yang liar itu.
Mereka yang terbangun mula-mula menjadi bingung. Mereka belum tahu, suara apakah yang memecah sepinya malam, melingkar-lingkar diseluruh padepokannya.
Beberapa orang-orang laki-laki tua keluar dari rumah-rumah mereka, membawa golok dan parang pembelah kelapadan kayu. Mengendapendap mereka pergi kearah suara yang hiruk pikuk dan ribut di padepokan Empu Purwa. Tetapi ketika mereka menjadi semakin dekat, maka tubuh mereka menjadi gemetar. Dalam keremangan cahaya pelita dihalaman padepokan itu, mereka melihat lingkaran-lingkaran perkelahian. Perkelahian yang belum pernah mereka lihat.
Sejenak mereka terpaku dibalik dinding halaman. Sekali-sekali mereka mengintip dari atas dinding sambil berdiri diatas bongkahan batu padas. Namun kemudian merekapun kemba li bersembunyi di balik dinding-dinding itu. Tak sepatah kata yang dapat mereka ucapkan diantara mereka. Sekali-sekali mereka saling berpandangan. Namun kemudian mereka menggigil ketakutan.
Dada mereka serasa akan pecah ketika tiba-tibamereka men dengar teriakan Wong Sarimpat nyaring "He yang berdiri di balik dinding. Ayo, jangan bersembunyi. Kalau kalian cukup jantan. Inilah Wong Sarimpat dari Kemundungan.
Tetapi kata-kata itu terhenti ketika serangan Empu Gandring hampir merobek mulutnya. Dengan lincahnya ia meloncat mundur. Golok yang kini telah berada ditangannya berputar seperti baling-baling. Tetapi setiap kali bunga api memercik tinggi apa bila golok itu membentur keris Empu Gandring. Keris yang tidak kalah besarnya dari golok itu.
Ketika ketiga orang yang menjemput Mahisa Agni sam pai ditempat itu pula, maka mereka menjadi gemetar. Teri ngatlah apa yang dirisaukan oleh orang tua yang ternyata ada lah paman Mahisa Agni dan pemimpin prajurit dari Tuma pel. Kini mereka menyadari kebenaran dari kecemasan orang-orang itu. Sehingga karena itu, maka alangkah mereka menyesal. Apa bila terjadi sesuatu atas Mahisa Agni, maka mereka menja di salah satu sebab dari bencana itu.
"Siapakah mereka?" bisik salah seorang dari ketiga orang itu.
Kawannya menggelengkan kepalanya. Tetapi kembali me reka terkejut ketika Wong Sarimpat sempat menjawab sambil bertiak "Kami adalah Wong Satimpat, Kebo Sindet dan Kuda-Sempana dari Kemundungan.
Ketiga orang itu terbungkam. Tetapi disamping ketakut an dan kecemasannya, terbayanglah wajah ayah Kuda-Sempana yang se-olah-olah telah mendorong mereka menjemput Mahisa Agni Dan kini tiba-tiba mereka mendengar bahwa diantara mereka terdapat Kuda-Sempana.
Ketiga orang-orang tua yang menjemput Mahisa Agni kepadang Karautan itu merasakan sesuatu yang tidak pada tempatnya dengan ayah Kuda Sempana. Apakah ayah Kuda-Sempana itu telah menjadi alat anaknya untuk menciderai Mahisa Agni"
Tiba-tiba salah seorang dari mereka menggamit kawannya. Kawannya itupun mengangguk dan mereka bertigapun mening galkan tempat itu.
Setelah cukup jauh dari padepokan Empu Purwa, maka salah seorang dari mereka berkata "Kita kerumah ayah Kuda-Sempana. la harus bertanggung jawab atas semua peristi wa ini.
"Marilah kakang "jawab yang lain, tetapi nada suara nya terasa diselubungi oleh kebimbangan "tetapi apakah tidak ada orang lain dirumah itu. Kawan-kawan orang yang datang dari Kemundungan itu.
Yang lain menjadi ragu-ragu pula, katanya"Ya, apakah di rumah itu tidak ada orang lain lagi yang akan dapat memeng gal leher kami.
Sejenak mereka berdiam diri. Hanya langkah mereka sajalah yang terdengar gemerisik diatas tanah berbatu. Lamat-lamat mereka masih mendengar suara Wong Sarimpat men-jerit-jerit. Dan tiba-tiba Kuda Sempana yang menjadi semakin kasarpun sekali-sekali memekik tinggi pula.
Tetapi orang-orang tua itupun kemudian dijalari oleh perasa an yang aneh. Karena mereka merasa, bahwa mereka telah turut serta menjerumuskan Mahisa Agni, maka merekapun seakan-akan mendapat suatu keberanian untuk berbuat sesuatu. Mereka yang selama ini tidak pernah menggenggam senjata, ki ni parang pembelah kayu itu merupakan senjata yang mem beri mereka ketabahan. Ayah Kuda-Sempana harus bertanggung jawab "desis mereka didalam hati
Dengan hati-hati mereka berjalan menyelusuri jalan-jalan padu kuhan menuju kerumah Kuda-Sempana. Karena didalam per kelahian itu hadir Kuda-Sempana, maka mereka mengharap bahwa ayahnya akan dapat mereka temui seorang diri.
Dari kejauhan mereka melibat pelita yang menyala dida lam rumah Kuda-Sempana.. Beberapa berkas sinarnya melontar menyelusup lubang-lubang dinding jatuh dihalaman yang gelap gulita.
Rumah itu tidak terlampau besar, tetapi juga tidak ter lampau kecil. Pada saat Kuda-Sempana masih seorang Pela-yan-dalam, maka rumah itupun tampak terpelihara baik. Teta pi kini, semak-semak yang liar tumbuh disekeliling halaman. Bahkan regol dan pintunya kini sama sekali sudah hampir tidak ter"bentuk lagi.
"Muda-mudaan orang itu ada dirumahnya "gumam salah seorang.
"Aku kira ia ada dirumah "sahut yang lain.
Per-lahan-lahan mereka mendekati pintu rumah itu. Salah seorang dari mereka mencoba mengintip kedalamnya lewat lubang dinding yang menganga selebar hitam mata. Tetapi tak sesuatu yang dilihatnya.
"Apakah kita ketuk pintunya" bertanya salah seorang.
"Ketuklah pintu "sahut yang lain.
Salah seorang dari merekapun segera mengetuk pintu. Sekali dua kali, tetapi tidak terdengar jawaban.
"Apakah orang itu sudah tidur?"
Yang lain tidak sabar lagi. Diketuknya semakin keras. Na mun masih belum ada jawaban.
Akhirnya mereka tidak dapat menahan diri. Sejenak me reka berbincang. Dan akhirnya mereka memutuskan untuk me mecah. pintu itu dengan paksa.
Meskipun dengan agak bersusah payah, akhirnya ketiga nya berhasil merusak pintu. Dengan hati-hati mereka masuk ke dalamnya. Senjata-senjata mereka telah berada didalam genggam an, seperti seorang pahlawan yang sedang mencari lawannya yang bersembunyi.
Tetapi ternyata rumah itu telah menjadi kosong. Me reka sama sekali tidak menemukan seorangpun didalamnya.
"Kosong "desis salah seorang dari mereka.2
"Mungkin bersembunyi "sahut yang lain.
Dengan sangat hati-hati mereka bertiga mencari ayah Kuda-Sempana. Beriritan kesegenap sudut. Namun meskipun pelita terpasang hampir disetiap ruang, mereka tidak menemukan seorangpun.
"Gila. Orang itu telah merasa dirinya bersalah. Karena itu maka ia melarikan dirinya.
"Hem "yang lain menggeram. Tetapi tidak ada sesuatu yang dapat dilakukannya.
Meskipun demikian sekali lagi mereka meneliti setiap su dut. Dibawah kolong-kolong amben, dibelakang gledeg dan di-sisi2 paga. Tetapi mereka tetap tidak menemukan seseorang.
"Lalu "desis salah seorang dari mereka "apa yang akan kita kerjakan"
Sejenak mereka bertiga terdiam. Sementara itu angin malam berhembus masuk kedalam rumah itu lewat pintu yang masih menganga. Diluar gelap yang pekat se-akan-akan menyum bat setiap lubang dinding rumah.
"Kita kembali "tiba-tiba salah seorang berkata.
"Kembali kemana?" "bertanya yang lain.
"Kembali ketempat perkelahian tadi. Kuda-Sempana lah yang harus bertanggung jawab atas semua peristiwa ini. Karena kebodohan kita, maka kita telah menjadi alatnya. Maka kitapun harus menebus kebodohan itu.
"Apa yang akan kita lakukan?"
"Membunuh Kuda-Sempana.
"He?" "seorang yang lain menjadi ngeri mendengar jawaban itu, se-akan-akan mereka mampu membunuh Kuda-Sempana.
"Ya. Kita membunuh Kuda-Sempana bersama angger Mahisa Agni.
"Anak itu bukan lawan kita.
"Kita hanya membantu. Membantu angger Mahisa Agni. Betapapun lemah tenaga kita, tetapi kita akan dapat membantu mengurangi kesungguhan perhatian Kuda-Sempa na atas Mahisa Agni.
-Tetapi bukan sekedar menarik perhatiannya, bahkan mungkin ujung pedangnya.
"Kalau ujung pedangnya menghunjam kedada kita itu adalah sekedar akibat dari kebodohan kita. Kenapa kita telah memanggil angger Mahisa Agni kepedukuhan ini"
Kedua kawannya yang lain menjadi tegang. Namun ke mudian merekapun berkata -"Mari. Kita kembali kepadepok an Empu Purwa. Kita lihat, siapakah yang menang dalam per kelahian itu.
"Kita tidak akan hanya sekedar melihat.
"Baik. Kita ikut berkelahi.
"Sampai akibat yang paling parah.
"Sampai mati. Maka bulatlah tekad mereka untuk bertempur memban tu Mahisa Agni. Mereka merasa, bahwa mau mereka telah menyeret Mahisa Agni kedalam bencana.
Dengan ter-gesa-gesa, mereka meninggalkan rumah Kuda-Sempana. Dibiarkannya pintu rumah itu menganga. Dan dibiar kannya lampu-lampu rumah itu menyala se-besar-besarnya.
Scjenak kemudian merekapun telah sampai kembali di tempat perkelahian antara raksasa-raksasa itu terjadi. Per-lahan-lahan mereka mendekati dinding halaman Padepokan Empu Purwa. Beberapa orang masih saja mengerumuni tempat itu dari jauh. Mereka tidak berani mendekat, apalagi melihat. Teta pi merekapun tidak mau meninggalkannya, karena mereka ingin tahu, apakah yang akan terjadi.
Ketika mereka bertiga, mencongakkan kepala-kepala mereka hampir saja mereka terpelanting jatuh ketika mereka mendengar suara Wong Sarimpat "Ayo, siapa yang akan membantu, Kemarilah.
Ketiganya menjadi seakan-akan membeku pada dinding ha laman. Kebulatan tekad mereka sama sekali tidak lagi mereka ingat. Apalagi turut berkelahi dipihak Mahisa Agni, sedang melihat kilatan senjata mereka yang sedang berkelahi itupun mereka seolah-olah telah menjadi mati kaku.
Meskipun demikian, mereka masih sempat melihat per kelahian yang mengerikan itu. Mereka masih melihat betapa Ken Arok berkelahi seperti orang kesurupan. Tanpa menghi raukan apapun anak muda itu mengamuk se-jadi-jadinya. Me loncat menerkam, memukul, menerjang dan segalamacam gerak yang memosingkan kepala. Kebo Sindetpun menjadi pusing pula karenanya. Hampir-hampir ia kehilangan akal untuk menjatuhkan lawannya yang gila dan liar. Lebih liar dan buas dari dirinya sendiri.
"Anak setan ini benar-benar mengerikan "desis Kebo Sindet didalam hatinya. Meskipun demikian, ia sama sekali belum mempergunakan senjatanya. Kini keinginannya bukan saja ingin menghancurkan dan membunuh lawannya, namun timbul pula keinginannya untuk melihat, sampai dimana kekalian dan ketahanan tubuh anak muda yang ubun-ubunnya bercahaya ke-merah-merahan. Karena itu, betapapun juga, Kebo Sindet masih saja melawannya dengan anggauta badannya. Sekali-sekali dihantamnya dada anak muda itu sehingga terpelan ting beberapa langkah. Baru saja anak muda itu melenting berdiri, maka kakinya telah mengenai lambungnya, sehingga Ken Arok terangkat tinggi, melayang diudara untuk jatuh seperti sepotong tonggak yang basah. Tetapi sekali lagi ia me loncat bangkit dengan pisaunya ditangan kanan dan kuku2nya yang mengembang ditangan kiri.
"Gila. Benar-benar gila "Kebo Sindet menggeram. Ia adalah seorang yang pilih tanding. Seorang yang sudah kenyang mencicipi segala macam bentuk kehidupan. Yang paling lu nak sampai yang paling kasar. Tetapi belum pernah dijumpainya sejenis manusia seperti yang kini sedang dilawannya.
Orang yang kini berkelahi melawannya dan bernama Ken Arok itu memiliki ketabahan tubuh yang luar biasa. Namun justru karena itu, maka ia menjadi semakin tertarik kepada anak muda itu. Semakin sulit ia menjatuhkan lawannya, semakin tajam keinginannya untuk mengukur titik akhir dari ke tahanan tubuh Ken Arok.
Tetapi akhirnya Kebo Sindet menyadari, bahwa kunci dari pertempuran itu ada padanya. Adiknya, Wong Sarimpat yang bertempur melawan Empu Gandring. rasa-rasanya tidak akan sege ra dapat mengakhiri perkelahian. Bahkan menurut penilaian Kebo Sindet, maka sampai seminggupun adiknya tidak akan memenangkan perteMpuran itu. Menilik ketenangan dan keya kinan setiap geraknya, maka agaknya Empu Gandring masih le bih banyak menyimpan tenaga daripada adiknya. Sehingga apa bila perkelahian itu dibiarkannya sampai sehari dua hari, maka adiknya, Wong Sarimpatlah yang akan lebih dahulu susut tenaganya.
Sedang Kuda-Sempana pasti tidak akan dapat mengalahkan Mahisa Agni. Kebo Sindet masih sempat melihat sekilas2 perkelahian antara kedua anak muda itu. Dan Kebo Sindet masih melihat beberapa kekurangan Kuda-Sempana.
Dengan demikian, maka ia harus segera mengakhiri perke lahian itu. Kalau ia berhasil melumpuhkan lawannya atau mem bunuhnya sekali, maka ia akan segera dapat membantu ka"wan-kawannya yang lain.
Tiba-tibaKebo Sindet itupun menggeram. Ia kini tidak mau bermain-main lagi. Ia sudah cukup lama merasakan keliatan tu buh lawannya. Dan kini ia benar-benar ingin menghancurkannya. Tetapi tidak dengan senjata tajam. Ken Arok harus lumat dengan tangannya.
Kebo Sindet itupun segera memusatkan segenap kekuatan lahir dan kekuatan yang tersimpan didalam dirinya- Kekuatan yang bersumber pada kekuatan sesat. Meskipun dalam ungkap annya, se-akan-akan ia memiliki kelebihan dari orang-orang lain, tetapi kelebihannya itu didapatkannya dari dunia yang hitam; yang bertentangan dengan jalan yang seharusnya dilalui oleh manu sia, titah Yang Maha Agung.
Demikianlah maka Kebo Sindet telah membangun kekuat annya. Kekuatan yang dinamainya sendiri Aji Bajang. Keku atan yang tidak kasat mata, tetapi mempunyai akibat yang me ngerikan.
Ketika tiba-tibatubuh Kebo Sindet itu bergetar dan kedua tangannya mengembang, maka berdesirlah dada Empu Gandring. Orang tua itu tahu betapa mengerikan akibat sentu kekuatan raksasa yang tersimpan dalam Aji yang justru di namainya Aji Bajang. Hanya mereka yang menyimpan kekuatan-kekuatan yang seimbang sajalah yang akan menyelamatkan diri daripada kekuatan itu meskipun tidak akan dapat terlepas dari luka-luka didalam tubuhnya. Apabila seseorang yang memiliki kekuatan seimbang dan sempat melawan Aji itu dengan ke kuatan yang sama, maka benturan yang terjadi itupun akan berakibat pula bagi orang itu. Apalagi mereka yang tidak me miliki daya tahan yang cukup, maka ia akan hancur lumat menjadi ndeg-pangamun-amun.
Karena itu, maka meskipun dirinya sendiri sibuk melayani Wong Sarimpat yang melibatnya seperti angin pusaran, namun sempat pula ia bertiak "Angger. Ken Arok. Hindarilah tangannya. Orang itu siap melontarkan kekuatan terakhirnya.
Ken Arok yang sedang waringuten itupun mendengar teriakan itu. Terasa dadanya yang sedang bergelora itupun ber desir. Sejenak ia memandang lawannya yang bergetar seperti orang kedinginan. Tangannya mengembang dan matanya menjadi merah menyala.
Sejenak Ken Arok yang liar itu tertegun diam. Meskipun ia tidak tahu, kekuatan apa yang akan memancar dari tangan Kebo Sindet, namun terasa pula olehnya bahwa kekuatan itu adalah kekuatan yang akan dapat menentukan hidup matinya.
Tetapi Ken Arok sama sekali tidak ingin menghindarinya. Tekadnya telah bulat untuk melawan Kebo Sindet itu sampai kekuatannya yang terakhir. Sebagai hantu yang pernah hidup dipadang Karautan yang buas, maka Ken Arok telah menjadi seorang yang sama sekali tidak mengenal takut. Hidupnya dimasa lampau yang penuh dengan kekerasan, liar dan buas, kini se-akan-akan telah muncul lagi keatas permukaan sikapnya. Namun demikian ada sesuatu yang lain tersimpan didalam ha tinya. Yang justru dahulu belum pernah dikenalnya, meskipun pernah dirasakannya. Ia pernah terlepas dari kepungan orang-orang yang marah kepadaya, karena ia menryuri di Pamalantenan. Hanya dengan dua helai daun tal ia berhasil menyeberangi sebuah sungai dan lari ke Nagamasa.
Saat itu ia sama sekali tidak tahu, kenapa ia dapat berbuat demikian. Dan ia sama sekali tidak tahu, suara apakah yang didengarnya dan memberinya petunjuk itu.
Tetapi sekarang ia telah mengenalnya. Dari Empu Purwa, guru Mahisa Agni, ia pernah mendapatkan setitik terang yang kemudian menjadi semakin jelas baginya ketika ia bertemu dengan seorang Brahmana yang bernama Lohgawe, yang membawanya keistana Tumapel, dan menyerahkannya sebagai seorang abdi dari Akuwu Tunggul Ametung.
Dengan demikian, maka ia sama sekali tidak gentar melihat sikap Kebo Sindet. Ia sama sekali tidak gentar, seandainya ia akan hancur lumat dan mati. Tak pernah ia berbuat seperti saat ini. Pasrah kepada Kekuasaan Tertinggi. Pasrah, sama sekali pasrah. Ken Arok merasa pernah dilepaskan dari maut justru sebelum ia mengenal-Nya. Kalau kini ia harus hancur dan lumat menjadi debu, maka apapun yang dilaku kannya, justru lari sekalipun, maka ia pasti tidak akan terhindar dari padanya.
Ken Arok sendiri tidak sadar, apa yang kemudian dilaku kannya. Tiba-tiba saja, tanpa dikehendakinya sendiri, ia berdiri tegak pada kedua kakinya. Dengan pasrah diri se-pasrah-pasrahnya, ia memusatkan segenap daya rasadan nalarnya. Tanpa sesadarnya pula ia telah membangunkan segenap kekuatan yang ada padanya dalam pemusatan diri diluar kehendaknya. Itu adalah suatu bentuk pemusatan kekuatan yang justru dilam bari oleh kepercayaan yang bulat kepada Yang Maha Agung, tanpa dimengertinya sendiri.
Justru Empu Gandringlah yang menjadi sangat cemas melihat sikap Ken Arok yang sama sekali tidak berusaha untuk menghindar. Bahkan orang tua itu melihat, Ken Arok dengan tenangnya menanti serangan Kebo Sindet. Hilanglah kesan yang liar dan buas dari wajah anak itu, justru pada saat ia menghadapi kekuatan terakhir dari hantu Kemudung an. Wajah itu kini memancarkan keagungan dan kesentausaan tiada taranya.
Wong Sarimpat yang melibat kakaknya telah membangun kan kekuatan terakhir itu menjadi ber-debar-debar pula. Apakah anak muda serupa itu benar-benar anak pilihan yang tiada tara bandingnya, sehingga seorang K ebo Sindet perlu mempergu nakan Aji Bajangnya" Wong Sarimpat masih melihat cahaa kemerah-merahan diatas kepala Ken Arok, seolah-olah bahkan menjadi semakin terang.
Dalam pada itu, karena keduanya ingin melihat akibat dari benturan Aji Bajang, maka tanpa berjanji perkelahian antara Empu Gandring dan Wong Sarimpat itupun menjadi semakin kendor. dan bahkan akhirnya berhenti sama sekali.
Hanya Kuda-Sempana dan Mahisa Agnilah yang kemudian masih saja bertempur dengan sengitnya desak mendesak, seperti sepasang Garuda yang berlaga diudara.
Pada saat yang demikian itulah, Kebo Sindet meloncat, mirip dengan seekor burung Alap-alap yang menyambar mang. sanya dilangit, menukik dan tangannya tcrayun deras sekali kedada lawannya yang kini masih saja berdiri mematung.
Empu Gandring dan Wong Sarimpat menahan nafasnya. Sejenak kemudian mereka se-akan-akan membeku melihat akibat dari pukulan Aji Bajang. Ketika tangan Kebo Sindet menyentuh dada Ken Arok, maka seakan-akan terjadilah sebuah benturan yang mengerikan. Kebo Sindet, hantu Kemundungan yang mengerikan itu tergetar dan terpaksa meloncat beberapa langkah surut untuk menyalurkan tekanan pada pangkal tangannya.
Sedang dalam pada itu Ken Arok terlempar beberapa langkah dan dengan kerasnya ia terbanting diatas tanah. Bulat-bulat seperti sebuah batu yang besar. Sama sekali tidak terdengar ia mengaduh atau berteriak kesakitan. Tak ada sama sekali terdengar ia mengeluh atau mengumpat.
Empu Gandring yang melihat anak muda itu terbanting jatuh tanpa sesadarnya, segera meloncat memburu. Dengan serta merta ia berjongkok disampingnya dan memegang ta ngannya. Per-lahan-lahan ia berdesis "Angger?"
Ken Arok tidak menjawab. Wajahnya pucat pasi, seperti mayat. Tetapi Empu Gandring masih saja melihat warna yang kemerah-merahan itu tidak padam. Karena itu, harapannya masih tebal didalam dadanya, bahwa anak itu masih mendapat perlindungan dari Yang Maha Agung.
Sejenak kemudian Empu Gandring mendengar Ken Arok menarik nafas per-lahan-lahan. Sangat per-lahan-lahan. Tetapi sejalan dengan itu, harapan Empu Gandringpun menjadi semakin tebal. Dicobanya menempelkan telinganya pada dada anak tu, dan ia masih mendengar jantungnya berdetak.
"Ia masih hidup "desis Empu Gandring.
Tetapi dengan demikian Empu Gandring menjadi lengah. Ia masih akan mendengar dan sempat membela diri seandainya Kebo Sindet dan Wong Sarimpat menyerangnya bersama-sama Tetapi tidak demikian yang terjadi. Empu Gandring hanya sejenak mendengar keributan. Terlampau pendek. Dan ketika ia meloncat bangkit, darahnya benar-benar serasa terhenti. Yang di lihalnya adalah Mahisa Agni yang pingsan berada ditangan Kebo Sindet.
"Gila kau "teriak Empu Gandring "lepaskan anak itu. Marilah kita bertempur secara jantan, meskipun sean dainya kau berdua akan berkelahi berpasangan.
Wajah Kebo Sindet sama sekali tidak bergerak. Beku. Tetapi yang terdengar adalah suara tertawa Wong Sarimpat "Apakah kau sedang mengigau Empu. Sekian lama kita ber kelahi, tetapi tak seorangpun yang dapat mengalahkan lawan nya. Kini kau menantang kami berdua melawanmu. Apakah kau benar-benar akan membunuh dirimu.
"Aku tidak peduli apa yang terjadi. Tetapi lepaskan anak itu "suara Empu Gandring terasa bergetar karena ke marahannya. Senjatanya, sebilah keris raksasa tiba-tibamenjadi bergetar pula.
Kebo Sindet yang berwajah beku seperti mayat itu men jawab dengan suara yang ber-gulung didalam perutnya "Mpu Gandring. Kami tidak mempunyai kepentingan dengan kau. Karena itu pergilah. Jangan ganggu kami lagi.
"Aku berkepentingan dengan anak itu. Ia adalah ke manakanku. Kalau kau bergerak selangkah membawanya pergi, maka aku tidak tahu, apakah alu akan berbuat curang pula seperti kalian.
Kebo Sindet dan Wong Sarimpat saling berpandangan sejenak. Mereka tidak dapat membayangkan, apa yang dapat dilakukan oleh Empu Gandring, meskipun dirinya sendiri me nyebutnya curang. Namun dengan demikian kemarahan Kebo Sindet menjadi semakin menyala didalam dadanya. Sehingga karena itu maka katanya "Baik. Baik Empu gila. Aku dan adikku akan bersama-sama membunuhmu. Tetapi jangan kau sangka, bahwa aku akan melepaskan kemanakanmu ini "Kebo Sindet diam sejenak. Lalu katanya kepada Kuda-Sempana "Bawa anak ini dengan kudamu mendahului kami ke Kemundungan. Aku akan segera menyusul. Pekerjaan kami tidak lagi begitu berat. Membunuh Empu gila ini berdua.
Kuda-Sempana tidak menjawab sepatah katapun. Di terimanya tubuh Mahisa Agni yang lepas dari tangan Kebo Sindet.
"Gila. Kau benar-benar setan alasan "teriak Empu Gandring sambil selangkah maju. Tetapi Wong Sarimpat telah berdiri dimukanya dengan golok ditangannya "Jangan maju lagi Empu.
"Persetan. Aku penggal lehermu.
"Lakukanlah. Empu Gandring yang marah itu maju setapak lagi. Seakan-akan ia sama sekali tidak menghiraukan Wong Sarimpat. Dengan marahnya ia menggeram "Aku tidak peduli, apakah aku berbuat curang atau kejam atau liar. Tetapi jagalah, sen"tuhan seujung rambut dari kerisku yang satu ini telah cukup mencabut nyawamu. "Dan ternyata ditangan kiri orang tua itu telah tergenggam sebilah keris yang kecil.
Kebo Sindet dan Wong Sarimpat tertegun melihat keris itu. Keris itu agak lebih kecil dari keris biasa, tetapi keris yang kecil itu seakan-akan memancarkan cabaya yang hijau suram.
Kedua hantu dari Kemendungan itu segera tahu pula, bahwa pada keris yang kecil itu tersimpan semacam bisa yang tajamnya melampaui bisa ular. Itulah sebabnya maka sejenak mereka menjadi ragu-ragu.
"Aku tidak pernah bermimpi untuk mempergunakan ke ris ini "desis Empu Gandring "karena itu maka keris ini tidak pernah terpisah dari padaku, supaya keris ini tidak jatuh ketangan orang lain. Tetapi, mungkin aku sekarang benar-benar telah menjadi gila. Aku terpaksa nganggar keris ini. Meskipun demikian aku masih cukup sadar memberi kalian peringatan.
Terdengar Kebo Sindet menggeram. Tetapi wajah beku nya masih juga membeku. Namun terdengar ia mcnjawab "Jangan menakut2i kami seperti me-nakuti anak-anak dengan kelabang. Betapa tajamnya racun kerismu itu Empu, namun keris itu tidak akan dapat menyentuh tubuhku.
"Jangan terlalu sombong "sahut Empu Gandring "kau sudah dapat menduga babwa keris ini mengandung bisa. Memang, aku telah memberi bisa yang se-tajam-tajamnya pada keris ini, sekedar sebagai suatu percobaan. Tetapi menghadapi setan-setan tidak berjantung seperti kalian, maka aku terpaksa mempergunakannya. Semoga aku tidak terkutuk karenanya.
Kebo Sindet dan Wong Sarimpat masih ragu-ragu sejenak. Tetapi ketika mereka menyadari bahwa Kuda-Sempana belum beranjak dari tempatnya, maka Kebo Sindet itupun member tak "Ayo, lekas, bawa anak itu pergi supaya bukan kau yang akan menjadi korban per-tamas dari keris itu.
Kuda-Sempana terkejut. Sejenak ia ragu-ragu, tetapi kemu dian ia melangkah pergi.
"Berhenti "teriak Empu Gandring.
"Jangan hiraukan "sahut Kebo Sindet.
02 Pelangi Di Langit Singasari Karya S H. Mintarja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dalam kebimbangan dan ke-ragu-raguan, Kuda-Sempana ber jalan menuju ketempat kudanya disembunyikan.
Dalam pada itu Empu Gandring sudah tidak bersabar la gi. Cepat ia meloncat menyerang Kebo Sindet dengan sepa"sang keris dikedua tanpannya. Sebilah keris raksasa ditangan kanan, dan sebilah keris yang berwarna hijau suram ditangan kirinya.
Tetapi lawannya adalah sepasang bantu dari Kemundu ngan. Hantu yang telah kenyang menghisap darah dan keri ngat sesama. Itulah sebabnya, maka serangannya yang pertama itu tidak mengenai serangannya. Sedang kedua iblis itupun segera berloncatan memencar. Ketika kemudian perkelahian pula dengan sengitnya, ditangan Kebo Sindet telah tergeng gam sebilah golok.
Empu Gandring yang tua, yang dibakar oleh kemarahan itupun bertempur dengan sepenuh kemampuan dan ilmunya. Sedang kedua lawannya yang oerkelahi berpasangan itupun ter lampau bernafsu pula untuk segera membunuh Empu Gandring.
Dengan demikian maka perkelahian itupun menjadi semakin dahsyat. Tenaga mereka bagaikan angin taufan yang saling berbenturan diatas lautan, sehingga kemudian timbul lah gelombang yang mengerikan, hantam-menghantam, hempas-menghempas tiada henti-hentinya.
Tetapi Empu Gandring bertempur seorang diri. Lawannya, dua iblis dari Kemundungan itu berkelahi berpasangan. Hanya karena senjatanya yang mengerikan itu sajalah maka Empu Gandring masih tetap mampu bertahan. Betapa berani dan gilanya Wong Sarimpat dan Kebo Sindet, namun mereka benar-benar tidak mau tersentuh oleh keris Empu Gandring yang berwarna bijau suram itu. Itu pulalah sebabnya maka Empu Gandring masih mampu bertahan melawan keduanya. Setiap kali kerisnya itu menyambar seperti sikatan, sedang kerisnya yang lain menebas seperti baling-baling.
Namun bagaimanapun juga, ternyata kekuatan kedua orang lawannya, Kebo Sindet dan Wong Sarimpat yang ber gabung itu, terlampau sukar ditandinginya. Setelah beberapa saat mereka bertempur, maka terasa, bahwa akhirnya Empu Gandring itupun terdesak mundur. Dengan demikian maka ia tidak segera berhasil menahan Kuda Sempana, bahkan untuk mempertahankan dirinya sendiripun, orang tua itu harus bertempur mati-matian.
Dengan hati yang pedih, Empu Gandring terpaksa membi arkan Kuda-Sempana menghilang membawa Mahisa Agni yang sedang pingsan. Sejenak kemudian ia mendengar kaki kuda berderap, dan lenyap pulalah semua harapannya untuk menyelamatkan anak muda itu.
Tetapi dengan, demikian, kemarahannya menjadi semakin memuncak membakar ubun-ubunnya. Orang tua itu seolah-olah tidak lagi menghiraukan keseimbangan perkelahian itu. Seperti Orang yang kesurupan, Empu Gandring mengamuk sejadi-jadinya. Dan justru karena itulah, maka kedua lawannya terpaksa mengerahkan kemampuan mereka pula. Apalagi menghadapi keris yang satu yang berwarna hijau suram itu.
Perkelahian itupun kemudian menjadi semakin mengerikan. Orang-orang yang menyaksikannya dari kejauhan menggigil ketakutan. Mereka melibat dedaunan berguguran ditanah dan pepohonan menjadi tumbang, seperti padepokan itu sedang dilanda oleh angin taufan yang maha dahsyat.
Tetapi mereka yang bertempur itu tiba-tiba terkejut ketika mereka melihat Ken Arok yang terbaring diam itu mulai ber gerak. Per-lahan-lahan ia menggeliat, dan tiba-tibasaja ia bangkit berdiri. Sekali lagi anak muda itu mengeliat. Seperti orang yang baru terbangun dari tidurnya ia memandang berkeliling. Keti ka tiba-tibadilihatnya Empu Gandring yang sedang bertempur me lawan kedua bantu dari Kemundungan itu, tampak wajahnya menjadi tegang.
Ken Arok yang bangkit dengan serta-merta itu benar-benar me ngejutkan ketiga orang-orang tua yang sedang berkelahi. Mereka menganggap bahwa hal itu tidak akan mungkin dapat terja di. Anak muda itu baru saja terbanting jatuh dan pingsan. Bahkan hampir mati. Nafasnya hanya terdengar lemah sekali, dan detak jantungnya hampir berhenti. Tetapi tiba-tibasaja ia bangkit dan seperti bangun saja dari tidur yang nikmat.
Apa yang t-rjadi atas diri Ken Arok itu, benar-benar telah menggetarkan jantung Kebo Sindet. Dengan kekuatan yang selama ini dibanggakan ia memukul dada Ken Arok tanpa perlawanan yang berarti. Ia melihat anak itu terlempar dan terbanting jatuh. Tetapi tiba-tibaanak itu bangun kembali ha nya dalam waktu yang tidak terlalu lama.
"Anak setan " Kebo Sindet mengumpat dadalam hatinya paakah dadanya berlapis baja"
Namun dengan dengan demikian orang yang selama ini hidup di dalam dunia yang kelam, didalam lingkungan yang liar dan buas sebuas rimba belantara, hampir setiap hari bermain-main dengan maut, tetapi menghadapi Ken Arok terasa kengerian merayapi hatinya. Bukan karena ia takut melawan Ken Arok, sebab meskipun anak itu mempunyai daya tahan yang tiada taranya, tetapi ia pingsan juga karena pukulan Aji Bajang.
Tetapi kini ia menghadapi dua orang yang mempunyai kelebihannya masing-masing. Empu Gandring dengan kerisnya yang ber warna hijau suram dan Ken Arok yang se-akan-akan menyimpan tujuh nyawa rangkap didalam dirinya
Karena itu maka Kebo Sindet mengambil keputusan untuk melepaskan saja lawannya. Lebih baik ia pergi meninggalkan setan2 Panawijen itu. Lebih baik ia masih sempat me nikmati kemenaigannya. Menyembunyikan Mahisa Agni untuk memeras Ken Dedes dengan segalamacam kelicikan.
"Tetapi setan-setan ini menjadi saksi bahwa Empu Sada tidak ada disini " katanya didalam hati "tetapi tidak apa. Muridnya telah mereka lihat. Mudah-mudahan mereka berpendapat bahwa kehadiranku ini adalah karena permintaan Empu Sada. Bukankah Empu Gandring pernah juga bertemu dengan Empu Sada dipadang Karautan.
Akhirnya keputusan Kebo Sindetpun mrnjadi bulat. Ia mengangap bahwa Kuda-Sempana telah cukup jauh mengam bil jarak seandainya Empu Gandring akan mengejar mereka.
Tiba-tibaKebo Sindet itupun memberi isyarat kepada adik-nya. Dengan serta merta mereka berloncatan mundur, meski pun mereka masih tetap berkelahi.
Empu Gandring yang melihat sikap itu megjadi semakin marah. Alangkah licik lawannya. Mereka akan meninggalkan gelanggang meskipun mereka telah berkelahi berpasangan.
Dan apa yang diduga itupun segera terjadilah. Kedua orang itupun segera berloncatan meninggalkan halaman, me langkahi dinding batu. Tetapi sudah tentu Empu Gandring tidak membiarkannya. Segera ia mengejarnya. Namun kedua iblis dari Kemundungan itu tidak banyak menemukan kesukaran. Sambil melawan mereka kemudian sempat mencapai kuda-kuda mereka. Bergantian mereka meloncat keatas punggung2 ku da itu, dan sejenak kemudian terdengar derap kedua kuda itu memecah sepi malam.
"Pengecut " Empu Gandring berteriak mengatasi derap kaki-kaki kuda itu Tetapi suara itu disaut oleh suara tertawa Wong Sarimpat, berkepanjangan menyusur sepanjang jalan padukuhan Panawijen.
Ken Arok melihat juga kelicikan itu. Kemarahan yang memang sudah menyala didalam dadanya serasa berkobar se"makin besar. Tanpa disadarinya, iapun segera meloncat ingin mengejar mereka. Tetapi segera langkahnya terhenti. Dadanya serasa akan pecah, dan tulang-tulang iganya se-olah-olah sudah tidak terpaut lagi didadanya.
Baru kini terdengar ia mengaduh per-lahan-lahan sekali. Dite kankannya kedua telapak tangannya pada dadanya. Perasaan sakit itu seakan-akan dengan tiba-tibasaja menerkamnya. Perasaan itu serasa baru saja melanda dirinya.
Ken Arok berdiri dengan menahan sakitnya. Ia tidak dapat berlari mengejar orang-orang yang melarikan Mahisa Agni. Karena itu betapa ia menyesal.
Dadanya berdentang keras sekali ketika ia melihat Empu Gandring dengan ter-gesa-gesa kembali. Tetapi ketika orang tua itu melihatnya, maka iapun berhenti.
"Kenapa engkau ngger?" bertanya Empu Gandring.
Nafas Ken Arok menjadi simakin deras mengalir. Terputus-putus ia menyahut "Dadaku Empu.
Empu Gandring menjadi cemas melihat keadaan Ken Arok. Karena itu maka anak muda itupun didekatinya. "Ba gaimana dengan dadamu?"
Ken Arok menggigit bibirnya. Tetapi ketika disadarinya bahwa Empu Gandring agaknya bermaksud mengejar kedua orang Kemundungan itu, maka jawabnya "Tidak apa-apa Empu, hanya sedikit terasa nyeri.
Empu Gandring meng-angguk-anggukkan kepalanya. Ia menjadi bingung. Apakah ia akan meninggalkan Ken Arok yang sedang terluka itu, ataukah ia harus membiarkan Mahisa Agni hilang dibawa oleh Kebo Sindet dan Wong Sarimpat.?"
Agaknya Ken Arok melihat kebimbangan dihati orang tua itu, maka katanya "Mpu, tinggalkanlah aku disini. Barangkali Empu Gandring dapat menyusul Kebo Sindet, se-tidak-tidaknya Empu mengetahui kemana Mahisa Agni itu dibawa. Kalau be nar ia dibawa ke- Kemundungan, maka besok Kemundungan akan aku kepung dengan prajurit Tumapel segelar sepapan. Meskipun didalam sarang mereka ada Kebo Sindet, Wong Sarimpat dan Empu Sada sekalipun, namun prajurit-prajurit Tumapel cukup banyak untuk merampok mereka, seperti orang-orang padesan merampok macan.
Empu Gandring masih ragu-ragu sejenak. Dan Ken Arok ber kata pula "Marilah Empu, aku ikut. Tetapi barangkali aku tidak dapat berkuda terlampau cepat. Biarlah Empu pergi lebih dahulu. Aku harap disepanjang perjalanan sakitku sudah jauh berkurang, sehingga apabila perlu aku masih dapat mem bantu Empu menghadapi orang-orang itu.
"Jangan ngger. Sembuhkan dahulu lukamu.
"Jangan hiraukan aku Empu. Setan-setan itu akan menja di semakin jauh.
Empu Gandring termenung sejenak. Anak muda yang ber nama Ken Arok ini memang sangat mengherankan baginya. Anak muda itu sama sekali tidak memutahkan darah dari mu lut dan hidungnya. Justru karena itu, maka Empu Gandring merasa tidak berkeberatan untuk meninggalkannya menyusul Kebo Sindet dan Wong Sarimpat.
Tetapi meskipun demikian, untuk sejenak Empu Gandring berdiri termangu-mangu. Ditataprya saja Ken Arok yang masih menekan dadanya dengan kedua telapak tangannya. Namun Ken Aroklah yang mendesaknya "Silahkan Empu, silahkan Empu mendahului. Aku akan segera menyusul.
Empu Gandring itu seperti tersedar dari mimpinya. Maka jawabnya sambil meloncat mencari kudanya "Baiklah ngger.
Aku akan pergi dahulu. Tetapi kalau angger masih merasa sa kit, sebaiknya angger beristirahat
Dengan ter-gesa-gesa Empu Gandring pergi ketempat kudanya ditambatkan. Sejenak ia masih harus membenahi pelana ku da itu, dan sejenak kemudian terdengar kaki-kaki kuda itu ber derap meninggalkan halaman padepokan Empu Purwa.
"Mereka menuju kearah ini desis Empu Gandring yang dengan serta merta melecut kudanya yang terasa terlam pau lambat berlari.
Ken Arok kini masih tegak seorang diri dihalaman pa depokan Empu Purwa. Setelah keadaan menjadi agak reda, maka barulah satu dua orang cantrik berani mendekatinya. Salah seorang dari mereka bertanya "Apakah tuan terluka?"
"Ambilkan aku air "desis Ken Arok.
"Air apa?" "Air. Air dingin. Cantrik itupun segera ber-lari2 mengambil sebuah gendi yang berisi air. Sementara itu Ken Arok minta kepada seorang cantrik yang lain untuk menyiapkan kudanya.
"Inilah air itu tuan.
Ken Arok menerima gendi itu. Ia tidak tahu, apakah obat yang paling baik untuk menyembuhkan luka-lukanya. Tetapi ia ingin minum, dan muda-mudaan air yang dingin itu dapat me ringankan sakit dadanya itu.
Per-lahan-lahan Ken Arok mengangkat gendi itu. Per-lahan-lahan sekali karena gerak tangannya ternyata menyebabkan dadanya semakin sakit. Diangkatnya wajahnya, dan dengan hati-hati di tuangkannya air gendi itu kedalam mulutnya.
"Hem " desisnya " alangkah segarnya.
Tetapi anak muda itupun terkejut ketika tiba-tibarasa sa kit didadanya menjadi agak berkurang oleh segarnya air yang diminumnya. Sekali lagi ia mengangkat gendi itu. Kini gerak langannya telah tidak terasa terlampau sakit, dan diteguknya air itu sehingga habis,
" Heh " ia menarik nafas dalam-dalam. Rasa nyeri pada dada itu sudah sangat berkurang. Diberikannya kendi itu kepada cantrik yang membawanya sambil bertanya " Air apakah ini"
"Air. Air dingin biasa tuan.
"Alangkah segar air dari padepokan Panawijen. Air itu ternyata telah mengurangi rasa sakit pada dadaku. Terima kasih. Kini aku telah mampu berkuda menyusul Empu Gandring.
"Kemanakah mereka itu tuan"
"Aku tidak tahu. Dan aku ingin mengetahuinya.
Ken Arok itupun kemudian per-lahan-lahan berjalan kearah kudanya.
"Dadaku sudah agak baik " katanya kepada para can trik yang mengerumuninya " aku akan pergi menyusul Empu Gandring. Terima kasih, agaknya air padepokan ini memang me ngandung obat. Aku hampir sembuh.
Ken Arok itupun kemudian menyentuh perut kudanya. Per-tahan2 kuda itu berjalan meninggalkan halaman padepo kan itu. Semakin lama semakin kencang. Ketika Ken Arok merasa bahwa sakit dadanya tidak menjadi semakin parah ka rena darap kudanya, maka kuda itupun kemudian meluncur lebih cepat. Meskipun demikian sekali-sekali Ken Arok masih harus meraba dada itu dengan tangannya. Kadang-kadang masih terasa nyeri didalamnya. Tetapi agaknya angin malam yang sejuk telah banyak membantu meringankan rasa sakit itu.
Dalam keheningan malam terdengar hiruk pikuk derap kaki-kaki kuda. Orang-orang yang membenamkan dirinya dibawah selembar kain karena dingin dan ketakutan menjadi semakin menggigil karenanya. Mereka mendengar derap kuda bertu rutan. Semula mereka mendengar seekor kuda lari seperti di kejar hantu. Kuda itu adalah kuda yang dilarikan oleh Ku da-Sempana membawa Mahisa Agni. Kemudian disusul oleh kuda-kuda Wong Sarimpat dan Kebo Sindet. Sejenak kemudian sekali lagi mereka mendengar derap kaki kuda. Agaknya kuda itu adalah kuda Empu Gandring. Dan kini lagi mereka ber getar karena suara kaki-kaki kuda yang berlari kencang.
Sedang dalam pada itu, orang-orang laki-laki yang mencoba me lihat apa iang terjadi dan melihat perkelahian dipadepokan Empu Purwa dari kejauhan, satu demi satu keluar dari per sembunyian mereka. Dengan hati yang cemas mereka mem perbincangkan apa yang telah merekalihat. Tetapi mereka tidak jelas atas apa yang terjadi. Mereka tidak banyak me ngerti, bagaimana akhir dari perkelahian itu. Tetapi ketiga orang yang telah menjemput Mahisa Agni yang mengintip lewat dinding batu halaman padepokan itu dapat mengatakan apa yang dilihatnya. Meskipun mereka tidak tahu selurubnya, tetapi mereka melihat Mahisa Agni menjadi pingsan dan dibawa oleh Kuda-Sempana. Setelah itu maka yang terjadi adalah keributan yang tidak dimengcrtinya. Mereka tahu bahwa Empu Gandring bertempur melawan Kebo Sindet dan Wong Sarimpat, tetapi yang merekalihat se-olah-olah hanyalah sebuah angin pusaran yang dahsyat.
Malam yang dingin menjadi semakin dingin. Dilangit bintang-bintang bertaburan merata disegenap penjuru. Sekali-sekali selembar awan putih yang lembut mengucap wajah langit yang biru, membelai gemerlapnya bintang-bintang yang bergayutan.
Tetapi Kuda-Sempana sama sekali, tidak menghiraukannya. Seperti orang yang kehilangan akal ia berpacu ke Kemundungan. Mahisa Agni yang pingsan masih juga tersang kut dipunggung kuda itu pula. Sejenak kemudian ia telah meninggalkan padukuhan Panawijen. Namun ia sama sekali tidak menyangka bahwa dari jurusan yang berlawanan sedang berpacu pula seekor kuda menuju kepadukuban Pana wijen.
Demikianlah didalam malam yang semakin jauh itu, ber pacu beberapa ekor kuda saling berkejaran. Mereka sama sekali tidak menghiraukan dinginnya angin malam. Betapa tubuh-tubuh mereka basah oleh keringat dan embun.
Tetapi kuda yang datang dari arah yang berlawanan itu pun berpacu pula seperti angin. Penunggangnya adalah seorang tua yang menjinjing sebuah tongkat ranjang. Orang itu ada lah Empu Sada. Setiap kali ia melecut kudanya, supaya berlari ri lebih cepat. Orang itu se-akan-akan takut kehilangan waktu wa laupun hanya sekejap.
Karena itulah maka jarak antara Empu Sada dan Kuda-Sempana menjadi sangat cepat surut. Keduanya berpacu dalam satu jalur jalan, namun pada arah yang berlawanan. Yang satu meninggalkan Panawijen sedang yang lain menuju ke Panawijen.
Akhirnya ketika jarak itu menjadi semakin dekat, maka Empu Sada menengadahkan wajahnya. Lamat-lamat ia mendengar derap kaki kuda dibadapannya. Semakin lama menjadi sema kin dekat.
"Hem "desis orang tua itu "mudah-mudahan aku berjum pa dengan mereka.
Empu Sada menarik nafas dalam-dalam. Dihirupnya udara ma"lam se-puas2nya, se-akan-akan untuk yang terakhir kalinya. Diamati nya bintang-bintang dilangit satu demi satu. Tetapi bintang gemintang itu terlampau banyak. Ribuan, jutaan dan bahkan tidak ter hitung.
Tiba-tibadada Empu Sada berdesir. Ia melihat bulan tua yang baru tumbuh mengambang dilangit. Kemudian dilihatnya pula sebuah Lingkaranyang luas disekitar bulan yang sudah tua itu.
"Bulan berkalang "desisnya pula "agak tidak lajim. Biasanya bulan purnamalah yang berkalang. Tetapi kini, bulan yang sudah tipis, setipis alis perawan, berkalang pula.
Tetapi Empu Sada tidak memperlambat langkah kudanya. Bahkan berkali-kali ia melecut kuda itu. Pan kuda itu menja di semakin menggila. Ditembusnya keremangan malam dengan derapnya yang hiruk-pikuk.
"Kuda itu semakin dekat. Tetapi tidak lebih dari se"ekor "gumam Empu Sada kepada diri sendiri.
Tiba-tiba Empu Sada menarik tali kekang kudanya. Dan Kudanyapun mengurangi kecepatan lajunya.
"Lebih baik aku menunggu "gumam Empu Sada itu pula.
Tetapi ternyata penunggang kuda yang datang dari arah yang berlawanan itupun telah mendengar langkah kudanya Dengan hati yang ber debar-debar Kuda-Sempana mencoba meyakin kari pendengarannya Dan kemudian iapun pasti, bahwa derap kuda itu adalah derap kuda dihadapannya, bukan kuda yang menyusul dibelakang.
"Siapakah yang berkuda itu" desisnya.
Persetan " Kuda-Sempana menggeretakan giginya. Tanpa sesadarnya tangannya telah meraba hulu pedangnya " mungkin aku akan bertemu dengan seseorang yang ingin membunuh dirinya.
Kuda-Sempana sama sekali tidak memperlambat langkah kaki kudanya. Bahkan dibiarkannya kudanya berlari semakin kencang se-akan-akan berpacu dengan angin malam yang silir Na mun meskipun demikian, terasa debar jantungnyapun men jaj semakin cepat.
Tetapi Kuda-Sumpana itupun kemudian mengerinyitkan alisnya. Suara derap kuda yang didengarnya tiba-tibaberhenti seperti ditelan hantu.
"Apakah telingaku sudah tidak beres lagi "desis Ku da-Sempana "tetapi mungkin orang yang berkuda itu berhenti setelah mendengar derap kudaku. Atau mungkin bersembunyi.
Karena angan-angannya itu maka tiba-tibaKuda-Sempanapun mem perlambat kudanya. Ia harus ber-hati-hati, Mungkin seseorang yang bersembunyi sedang mengintainya, untuk dengan tiba-tibamener kam dari balik gerumbul ditepi jalan.
Dengan wajah yang tegang Kuda-Sempana mencoba melihat dalam malam yang semakin remang-remang. Bulan yang tersembul dilangit telah menolong Kuda-Sempana untuk dapat me libat agak lebih terang.
Tiba-tibadarah anak muda itu berdesir. Kini ia melihat sebuah bayangan yang remang-remang berada ditengah jalan. Orang berkuda.
"Itulah dia "desis Kuda-Sempana yang darahnya serasa menjadi semakin cepat mengalir. Tanpa dikehendakinya maka dengan gerak yang menyentak ia mempercepat lagi lang ah kudanya, dan pedangnyapun telah berada didalam genggamannya. Dengan garangnya ia mendekati bayangan yang ber henti tepat di-tengahs jalan yang akan dilaluinya.
Sebelum Kuda-Sempana melihat jelas siapakah yang berada dipunggung kuda itu, maka dengan kerasnya ia berteriak sekasar Wong Sarimpat "He, siapakah yang berhenti ditengah jalan. Minggir, supaya kepalamu tidak terinjak kaki-kaki kudaku.
Dada Empu Sada bergetar mendengar suara itu. la segera dapat mengenal siapakah yang berteriak menyapanya. Teta pi ia terkejut mendengar nada suara anak muda yang pernah diasuh sebagai murid yang sangat dimanjakannya. Alangkah kasarnya.
Kuda-Sempana kini sudah menjadi semakin dekat, tetapi Empu Sada masih belum menjawab.
"Minggir "Empu Sada mendengar Kuda-Sempana berteriak lagi "cepat sebelum aku kehabisan kesabaran.
Empu Sada menarik nafas dalam-dalam. Kemudian jawabnya tenang "Berhentilah Kuda-Sempana.
Kini Kuda-Sempanalah yang terkejut bukan buatan. Ia pun dapat mengenali suara itu. Suara gurunya. Karena itu, maka dengan sekuat tenaganya ia menarik kekang kudanyasam/ bil derdesis "Guru. Adakah itu Empu Sada.
"Ya. Aku adalah gurumu, Kuda-Sempana. Apakah kau masih mengenalku.
Kuda Kuda-Sempana berhenti beberapa langkah "lari ku da gurunya. Dengan dada yang ber-debar-debar Kuda-Sempana ber kata ter-patah-patah "Guru. Jadi guru masih hidup?"
"Seperti kau lihat kini Kuda-Sempana. Yang duduk di atas punggung kuda ini sama sekali bukan sebuah kerangka yang hidup. Tetapi aku adalah Empu Sada yang masih utuh. Yang terdiri dari kulit daging seperti yang dapat kau lihat, seperti kau, seperti Kebo Sindet dan Wong Sarimpat.
Darah Kuda-Sempana terasa berdeburan didalam jantungnya. Gurunya yang disangkanya sudah mati itu kini berada beberapa langkah saja dihadapannya. Namun justru karena itu maka seolah-olah membeku diatas punggung kudanya.
Anak muda itu terkejut ketika ia mendengar gurunya ber tanya "Apakah yang kau bawa itu Kuda-Sempana?"
Tiba-tiba terasa sepercik kebanggaan didalam hati anak mu da itu, Dengan dada tengadah ia menjawab "Guru. Setelah kita berusaha sekian lama dengan sia, akhirnya maksud itu tercapai juga. Ini adalah tubuh Mahisa Agni.
"He?" sejenak kemudian Empu Sada itupun terbungkam. Ia melihat tubuh terkulai, tersangkut menelungkup dipunggung Kuda-Sempana itu pula. Dengan ter-bata2 ia kemudian berta nya "Apakah anak itu sudah mati"
"Belum guru. Ia baru pingsan. Paman Kebo Sindet dan paman Wong Sarimpat menghendaki ia tetap hidup.
Empu Sada menarik nafas dalam-dalam. Serasa urat2nya yang menegang itupun mengendor kembali. Ternyata ia masih sempat bertemu dengan Mahisa Agni yang masih hidup.
"Jadi Mahisa Agni masih hidup?"
"Ya guru. "Kenapa ia tidak dibunuh saja?" Olehmu atau oleh kedua iblis dari Kemundungan itu?"
"Paman Kebo Sindet dan paman Wong Sarimpat ingin melihat Mahisa Agni ketakutan. Mati terlampau cepat bagi Mahisa Agni agaknya terlampau menyenangkan.
"Apa yang akan mereka kerjakan?"
"Aku akan membuat perhitungan dengan anak ini.
"Apa yang akan kau lakukan?" Kau akan melakukan perang tanding dibawah saksi pamanmu Kebo Sindet dan Wong Sarimpat?"
Kuda-Sempana terdiam sejenak. Ia menjadi ragu-ragu un tuk menjawab. Tetapi gurunya mendesaknya "Begitu?"
"Tidak guru "sahut Kuda-Sempana "dalam keada annya, aku akan dapat berbuat apa saja atasnya.
"Dan kau akan melakukannya juga.
Kuda-Sempana merasakan pertanyaan gurunya itu agak aneh. Ya tidak melihat kegembiraan pada sikap dan kata-kata Empu Sada. Sejak lama mereka berusaha untuk dapat berbu at seperti ini, menangkap Mahisa Agni untuk melepaskan den dam yang membara dihati. Tetapi setelah ia berhasil menang kap anak muda itu, terasa pertanyaan-pertanyaan gurunya agak sumbang.
"Bagaimana Kuda-Sempana, kau akan melakukan?" Tiba-tiba Kuda Sempana menjadi demikian bingung. Karena itu maka jawabnya "Aku tidak tahu, guru.
"Kuda-Sempana "desis Empu Sada "sebaiknya kau menilai dirimu sendiri. Apakah kau dapat bersikap jantan atau tidak. Kalau kau merasa dirimu Iaki-laki, jangan kau berbuat seperti itu. Berbuatlah seperti seorang laki-laki.
Kuda-Sempana bertambah bingung mendengar kata-kata gurunya. Ia tidak segera menangkap maksudnya. Bukankah gu runya sendiri pernah berbuat hal-hal yang dapat disebut licik dan sama sekali tidak jantan. Adalah tidak dapat dibangga kan kemenangan Empu Sada atas Mahisa Agni seandainya pada saat itu Empu Gandring tidak hadir dan seandainya saat itu Empu Sada berhasil menangkap atau membunuh anak muda itu. Sekarang gurunya itu bertanya tentang kejantanan dan sikapnya sebagai seorang laki-laki.
Karena Kuda-Sempana tidak segera menjawab, maka Empu Sada berkata selanjutnya " Kuda-Sempana, sebaiknya kau hentikan perbuatanmu semacam itu. Seperti kau juga kini menyesal, bahwa aku pernah berbuat gila2an.
Kuda-Sempana tidak segera menjawab. dadanya masih diliputi oleh perasaan yang bersimpang siur, bahkan tidak di kenalnya sama sekali. Itulah sebabnya maka ia masih saja du duk mematung.
Empu Sada seterusnya masih berkata pula " Kuda-Sempana Apakah kau mengalami berbagai macam peristiwa berurutan itu hatimu masih jaga membeku sekeras batu.
Kuda-Sempana masih juga membeku dan Empu Sada ma sih melanjutkan " Apakah yang telah kau mulai dalam per jalanan hidupmu setelah kau terpisah daripadaku Kuda-St m pana. Ditanganku kau telah aku jadikan seorang yang licik dan pendendam. Kemudian kau bergaul dengan orang-orang Kebo-Sindet dan Wong Sarimpat. Apakah kira-kira yang kemudian ter gores pada dinding hatimu" Apakah kau kemudian menyadari keadaanmu atau bahkan kau menjadi semakin buas dan ga rang"
Kuda-Sempana menundukkan wajahnya. Tidak disengajanya ia memandangi tubuh Mahisa Agni yang masih saja pingsan. Beberapa hari yang lewat ia kehilangan segalama cam pertimbangan dan kehendak. Bahkan hatinya benar-benar serasa membeku. Bukan karena ia ingin melakukan apa saja un tuk melepaskan dendamnya, tetapi serasa ia telah kehilangan arah dan pedoman hidupnya. Ia berbuat apa saja tanpadapat mempertimbangkan tujuan dan akibatnya. Ia berbuat seperti alat yang digerakkan oleh tenaga orang lain. Sehingga akhirnya ia berbasil berhadapan kembali dengan Mahisa Agni. Ketika ia berkelahi dengan Mahisa Agni itulah, maka keingi nannya untuk membunuh ternyata telah terungkat kembali. Meskipun tidak sedahsyat semula.
"Kuda-Sempana " panggil Empu Sada kemudian.
Kuda-Sempana mengangkat wajahnya. Dipadanginya ma ta gurunya yang tajam, se-akans langsung menembus pusat, jantunya. Sehingga Kuda-Sempana itupun tiba-tibamenundukkan kepalanya kembali.
"Berikanlah Mahisa Agni itu kepadaku.
Kuda-Sempana terkejut mendengar permintaan gurunya itu. Wajahnya menjadi tegang dan jantungnya berdebaran. Bukan saja karena ia sendiri ingin berbuat sesuatu atas Mahisa Agni, tetapi Mahisa Agni itu kini seakan-akan bukan milik nya. Mahisa Agni itu seakan hanyalah barang titipan.
"Kuda-Sempana, berikan Mahisa Agni itu kepadaku -ulang gurunya.
Dalam kesuraman sinar bulan yang tinggal secabik itu" Empu Sada melihat wajah Kuda-Sempana meinancarkan beri bu pertanyaan. Wajah yang menjadi kian tegang itu sekali-sekali terangkat dan kemudian kembali menunduk.
"Apakah kau berkeberatan Kuda-Sempana?" "bertanya gurunya.
"Guru "sahut Kuda-Sempana kemudian dengan penuh kebimbangan "Aku membawa Mahisa Agni atas perintah paman Kebo-Sindet.
"Hem "Empu Sada meng-angguk-anggukkan kepalanya "karena perintah Kebo Sindet maka kau tidak akan memberi kannya kepada siapapun juga, meskipun kepada gurumu?" Adakah lebih baik bagimu melakukan perintah Kebo Sindet atau memenuhi permintaanku"
Sekali lagi Kuda-Sempana terbungkam. Ia tidak dapat menjawab pertanyaan itu. Bahkan terasa jantungnya menjadi semakin keras berdentang didalam dadanya dan kepalanya menjadi pening.
"Kuda-Sempana "berkata Empu Sada selanjutnya "aku tidak akan memperhitungkan pendirianmu. Aku tetap pada pendirianku bahwa aku harus mendapatkan Mahisa Agni itu. Kalau perlu dengan segalamacam cara.
"Guru "Kuda-Sempana hampir menjerit karena ke bingungan dan sesak yang menyumbat dadanya "aku tidak tahu apakah yang sebaiknya aku lakukan.
"Apakah kau tidak dapat mendengar kata-kataku" Berikan Mahisa Agni kepadaku. Itulah yang harus kau lakukan.
"Bagaimana kalau paman Kebo Sindet marah.
"Itu tanggung jawabku.
"Untuk apakah sebenarnya guru memerlukan Mahisa Agni" Apakah guru ingin membunuhnya?"
"Kau tidak usah bertanya, untuk apakah Mahisa Agni itu bagiku. Tetapi aku tidak akan mempergunakannya untuk memeras bakal permaisuri yang kau gilai itu. Kau tahu maksudku.
Kuda-Sempana menggelengkan kepalanya. Jawabnya "Aku tidak tahu guru.
"Kaupun telah masuk kedalam perangkapnya. Kalau kau masih mau mendengarkan nasehatku, serahkan Mahisa Agni kepadaku dan tinggalkan Kebo Sindet dan Wong Sarimpat.
Kuda-Sempana terpaku diatas punggung kudanya seje nak. Kata-kata gurunya itu amat asing bagi telinganya dan bagi hatinya. Ia tidak dapat membayangkan, apakah yang akan dilakukan kemudian.
"Bagaimana" "bertanya Empu Sada "aku tahu, selama ini kau pasti mendapat banyak petunjuk dan ajaran2 dari kedua iblis itu, yang tanpa kau sadari telah ikut ber pengaruh membentuk dirimu. Tetapi itu bukan karena salah mu. Itu juga karena salahku. Aku telah membuat kau tanah yang subur bagi ajaran2 Kebo Sindet dan Wong Sarimpat. Tetapi aku sempat melepaskan diri. Aku harap kaupun mau mendengar kata-kataku.
Kuda-Sempana duduk membeku ditempatnya. Serasa ia mendengar kata-kata gurunya itu didalam mimpi yang mengam bang. Ia tidak segera menangkap maksud dan maknanya. Tetapi Empu Sada menjelaskannya "Maksudku Kuda-Sempana. Hentikan segala kesesatan. Jalan yang kau tempuh telah terlampau jauh. Sekarang kembalilah. Mari kita mencari jalan bersama-sama. Jalan yang terang, yang tidak digelimangi oleh segalamacam noda.
Kuda-Sempana merasakan sentuhan kata-kata gurunya. Teta pi sentuhan itu agak terlampau lemah. Hatinya selama ini telah menjadi semakin keras, sekeras batu selama ia berada di dalam lingkungan Kebo Sindet dan Wong Sarimpat.
Namun Kuda-Sempana itu menjawab "Guru, meskipun seandainya aku ingin kembali mencari jalan lain, aku kira tak ada dunia yang sanggup menerima aku. Aku telah terdorong dalam duniaku yang sekarang. Dan aku tidak akan dapat kembali.
Empu Sada mengerutkan keningnya. Jawabnya"Kuda-Sempana, kau masih cukup muda Umurmu, menurut tang gapan lahirilah, masih lebih panjang dari umurku. Tetapi aku merasa, bahwa aku dapat menemukan jalan itu. Kaupun pasti akan menemukannya. Tak ada batas yang dapat menutup kemungkinan itu sampai saat terakhir dari hidup. Selama ki ta masih sempat merasa diri kita bersalah dan dengan ikhlas dan bersungguh-sungguh mengakui segala kesalahan untuk bertaubat, maka jalan itu selalu terbuka bagi kita.
Sekali lagi Kuda-Sempana merasakan sentuhan kata-kata itu. Secercah goresan yang tipis telah mewarnai perasaannya. Sejenak anak muda itu termenung.
"Pikirkan Kuda Sempana, sementara itu serahkan Mahisa Agni kepadaku. Aku akan menyelamatkannya. f idak akan membunuhnya seperti apa yang akan aku lakukan beberapa waktu yang lampau. Ini adalah satu bentuk perbuatan yang bersumber pada penyesalanku itu. Kalau kau sependapat Dengan aku maka lakukanlah hal yang serupa. Maka kau akan sampai kejalan yang kau kehendaki, kedunia yang kau ragu kan apakah masih akan menerima kau kembali.
Kuda-Sempana masih duduk membeku. Wajahnya menjadi semakin lama semakin tegang, seperti pergolakan yang terjadi didalam dadanya, semakin lama semakin dahsyat.
"Kuda-Sempana. Kau tidak usah menjadi cemas, seandainya apa yang kau lakukan itu tidak dapat dimengerti oleh orang lain. Bahkan seandainya orang lain tetap menganggap mu sebagai seorang yang bersalah. Tetapi bukankah bentuk duniawi ini kadang-kadang bertentangan dengan kepentingan hidup yang kekal kelak?" Jangan hiraukan sikap orang lain atas ke putusanmu untuk meninggalkan duniamu yang sekarang. Kau akan menemukan jalan menuju kedalam ketenteraman dan kedamaian yang abadi. Seandainya kau tetap dianggap bersa lah dan mendapat hukuman badani, tetapi berbahagialah kau dengan hukuman badani itu. Jika kau hayati arti dari pengertian itu, maka kau akan menemukan yang seharusnya kau cari. Yang kekal, bukan yang semu. Akupun sedang mencari yang kekal itu sekarang.
Dada Kuda-Sempana serasa menjadi semakin sesak, bah kan serasa akan meledak. Terdengar suara gurunya itu gemu ruh didalam jantungnya. Tetapi bukan itu saja. Yang terdengar pula adalah suara gemuruh derap kaki-kaki kuda semakin lama menjadi semakin dekat.
Ternyata derap kaki kuda itu telah membuatnya terlampau gugup. Sentuhan kata-kata Empu Sada yang sedikit demi sedikit tergores dihatmya, tiba-tiba menjadi terpecah-belah, bercerai-berai seperti asap dihembus angin.
Yang didengarnya kini hanyalah derap kaki-kaki kuda. Kuda-Sempana segera dapat menebak, bahwa deru kaki-kaki kuda itu adalah Kebo Sindet dan Wong Sarimpat. Tetapi Kuda-Sempana tidak dapat menduga, bagaimanakah akhir dari perkelahian antara kedua iblis itu dengan kedua lawan-lawannya. Apakah Ken Arok benar-benar dapat dibunuh oleh Kebo Sindet dan kemudian ber-sama-sama dengan Wong Sarimpat membunuh Empu Gandring, atau kedua hantu itu sekedar menghindari lawan-lawannya.
Empu Sadapun mendengar pula derap kaki-kaki kuda itu. Di tengadahkannya wajahnya dan per-lahan-lahan ia berdesis "Aku kira yang aku dengar adalah derap dua ekor kuda.
Tak ada yang menyahut. Kuda-Sempana terbungkam seperti membeku ditempatnya. Hanya desir angin malam yang menyentuh dedaunan liar terdengar gemerisik, seperti suara orang yang berbisik ditel nga Empu Sada " Ya, dua ekor kuda.
"Kuda-Sempana "berkata Empu Sada kemudian "apakah kau tahu, siapakah yang kira-kira akan datang?"
Seperti tidak sadar Kuda-Sempana menyahut "Paman Kebo Sindet dan Wong Sarimpat guru.
"Hem "Empu Sada meng-angguk-anggukkan kepalanya. Terasa jantungnya menjadi semakin cepat berdentang. Apakah ia akan mengulangi perkelahian yang pernah dilakukan nya melawan kedua orang itu?" Kalau sekarang ia harus ber tempur melawan keduanya, maka ia yakin, bahwa ia akan mati terbunuh dengan sia-sia. Tetapi apakah ia akan lari menghindar?" Lalu apakah gunanya ia berpacu dengan ter-gesa-gesa dari padepokannya sampai kedaerah Panawijen ini"
"Kuda-Sempana. "berkata orang tua itu tiba-tiba"masih ada kesempatan. Berikan Mahisa Agni kepadaku.
Sekali lagi teraSadada Kuda-Sempana menjadi pepat. la tidak dapat segera mengambil keputusan. Sedang Empu Sada mendesaknya. "Cepat, sebelum mereka datang.
"Aku takut guru "tiba-tibaterdengar suara Kuda- Sempana parau.
"Baiklah. Kau takut kepada kedua iblis itu?" "geram Empu Sada "kalau demikian, akulah yang akan membunuhmu. Bagiku kau memang sudah tidak ada gunanya lagi.
"Guru "suara Kuda-Sempana tersekat dikerongkongan.
"Atau kau berikan Mahisa Agni.
Kuda-Sempana tiba-tibamenjadi gemetar. Seperti seseorang yang sedang berdiri pada tanah yang rapuh ditepi jurang. Sedikit saja ia bergerak, maka ia akan terperosok kedalam nya. Maju atau. mundur.
Tiba-tibasaja, tanpa diketahuinya sendiri, Kuda-Sempana mengharap kuda-kuda yang berderap itu datang semakin cepat. Ia mengharap bahwa Kebo Sindet dan Wong Sarimpat akan melindunginya.
"Ayo Kuda-Sempana suara Empu Sada semakin tajam menusuk jantungnya "cepat, serahkan Mahisa Agni atau kau aku bunuh sekarang juga.
Kini Kuda-Sempana benar-benar menggigil karena gelora dida lam dadanya yang menjadi semakin dahsyat. Apalagi, ketika ia melihat gurunya mengangkat tongkatnya. Maka darahnya sera sa telah membeku.
"Kau benar-benar akan membunuh dirimu Kuda-Sempana.
Kuda-Sempana tidak menjawab. Meskipun sekali dua kali tangannya menyentuh hulu pedangnya, tetapi ia tidak dapat berbuat apapun menghadapi gurunya. Seandainya ia ingin me lawan, maka perlawannya itu akan tidak berguna sama sekali. Karena itu maka anak muda yang telah kehilangan gairah menghadapi masa-masa depannya itu, kini benar-benar menjadi putus asa. Ia tidak merasa sesuatu kepentingan apapun untuk mem pertahankan dirinya. Apalagi terhadap gurunya. Kalau gurunya menginginkan Mahisa Agni, biarlah ia dihunuhnya. Itu lebih baik baginya dari pada ia akan mati dalam kengerian ditangan Kebo Sindet dan Wong Sarimpat yang pasti menjadi sangat marah.
Dengan demikian, maka Kuda-Sempana itupun menjadi pasrah. Ia tidak ingin lagi berusaha sesuatu untuk menyelamatkan dirinya. Dengan dada yang membeku mati ia menun dukkan kepalanya. Ia tidak akan mengelak meskipun ia melihat Empu Sada telah mengangkat tongkatnya.
Derap kedua ekor kuda yang didengar oleh Empu Sadapun menjadi semakin dekat. Ia sudah semakin terdesak waktu. Hatinya yang bergelora telah mendorongnya maju beberapa, lang kah. Ia melihat Mahisa Agni yang pingsan, dan ia mengenang kan semua peristiwa yang pernah dialaminya. Kini ia sadar sesadar2nya menghadapi keadaan, la datang ke Panawijen untuk mengurangi kesalahannya dan berusaha menyelamatkan Mahisa Agni Karena itu siapapun yang menghalangnya harus disingkirkan.
Kini yang berada dihadapannya adalah Kuda-Sempana yang telah menundukkan kepalanya. Dengan mudah ia dapat menyentuh kepala anak itu dengan tongkatnya, dan anak itu akan terpelanting jatuh. Bahkan mati.
Namun tiba-tibadadanya menjadi semakin bergelora. Kuda-Sempana itu adalah muridnya. Betapapun juga, maka ia tidak segera dapat melupakan hubungan yang selama ini telah terjalin. Dan tiba-tibapula ia melihat anak muda yang pasrah itu dengan hati yang jujur. Kesalahan ini tidak seluruhnya dapat ditumpahkan kepada Kuda-Sempana. Justru kesalahan terbesar adalah terletak pada dirinya sendiri. Ia adalah orang yang harus bertanggung jawab, kenapa anak muda itu menjadi liar dan buas. Ia adalah seorang yang catut menanggung segala akibat dari kebinalan Kuda-Sempana karena Kuda-Sempana adalah muridnya.
Empu Sada yang sudah mendekati muridnya itupun menjadi tertegun. Iapun kemudian membeku seperti Kuda-Sempana. Tetapi kemudian hatinyapun menjadi bulat. Ia tidak akan meletakkan tanggung jawab kepada Kuda-Sempana, tetapi kepada diri sendiri. Dengan tekad yang menyala didalam dadanya ia bergumam "Aku akan hadapi kedua iblis itu Dengan mempertaruhkan nyawa.
Kuda-Sempana yang telah menundukkan wajahnya Dengan pasrah, mendengar gumam yang lirih itu Tiba-tiba dada anak muda itupun terdesir pula. Ia tahu benar arti kata-kata gu runya, sehingga tanpa dikehendakinya sendiri ia berkata " Guru, mereka adalah orang-orang yang sangat buas.
Empu Sada mengerutkan keningnya. Dipandanginya muridnya dengan pandangan yang suram. Ternyata betapapun anak itu jauh tersesat, tetapi ia masih mampu membuat perbeda an antara sifat-sifat seseorang. Dengan nada yang detar Empu Sada menjawab " Terima kasih akan peringatamu itu Kuda-Sempana. Agaknya kau masih juga menyayangkan nyawaku. Tetapi aku sudah bertekad untuk berbuat sesuatu. Aku sudah bertekad untuk menyelamatkan Mahisa Agni. Nah kemudian terserah padamu. Kalau aku mati dalam perkelahi ini maka aku akan mati dengan dada yang lapang, sebab aku mati selagi aku berusaha untuk berbuat sesuatu yang bermanfaat bagi manusia dan kemanusiaan. Sebab menurut perhitunganku keselamatan Mahisa Agni bukanlah sekedar Mahisa Agni seorang, tetapi dibelakangnya adalah seluruh penghuni paduku han Panawijen yang mengalami kekeringan. Sedang apabila aku berhasil keluar dari perteMpuran ini dengan selamat, aku sudah memberitahukan kepadamu bahwa aku memerlukan Mahisa Agni itu.
Kepala Kuda-Sempana terasa menjadi semakin pepat. Semua yang akan terjadi sama sekali tidak dikehendakinya. Ia tidak ingin gurunya, Empu Sada itu mati. Tetapi kalau ia hi dup, maka Mahisa Agni itu akan dimintanya. Justru untuk menyelamatkannya. Dalam kepepatan itu terdengar Empu Sada berkata " Menepilah Kuda-Sempana. Jadilah saksi perkelahian ini. Kalau aku mati, mungkin kau masih juga bersedia untuk menguburkan mayatku.
Kuda-Sempan tidak menjawab kata-kata gurunya. Tetapi gelora didalam dadanya menjadi kian gumuruh me-ledak2.
"Menepilah " lagi terdengar suara Empu Sada " itulah mereka sudah datang.
Dengan dada yang hampir meledak Kuda-Sempana men dengar derap kuda semakin dekat. Seperti didorong oleh sebuah pengaruh yang tak ddimengertinya ia menggerakkan kudanya menepi Ketika ia memalingkan kepalanya, maka dilihatnya dua ekor kuda berpacu dalam kesuraman sinar bulan tua yang kekuning-kuningan. Segera Kuda-Sempana mengetahui kahwa keduanya itu adalah Kebo Sindet dan Wong Sarimpat.
Sekali lagi, terdorong oleh parasaan yang tak dikenalnya anak muda itu berdesis " Guru, mereka adalah orang-orang yang sangat buas.
"Ya, aku sudah mengenal mereka dengan baik " jawab Empu Sada sekali lagi, terima kasih akan peringatanmu.
"Sebaiknya guru meniggalkan mereka.
Empu Sada menggeleng "Aku akan menyelamatkan Mahisa Agni. Aku akan berbuat apa saja untuk kepentingan itu. Mungkin aku akan berbuat curang atau berbuat apa saja. Mungkin juga aku akan menjadi sangat licik. Aku 2 tidak peduli lagi akan harga diriku Aku tidak peduli lagi, apakah yang akan dikatakan orang atas diriku. Tetapi aku sudah mempertimbangkan masak. Untuk menyelamatkan Mahisa Agni, maka Empu Sada yang telah penuh dengan noda-noda disepanjang hidupnya ini sudah tidak berarti tapi. Mahisa Agni adalah lambang dari masa-masa mendatang, sedang aku adalah cermin dari kerapuhan di-masa-masa lalu.
Sengketa Tahta Leluhur 1 Dewa Linglung 24 Jeratan Ilmu Iblis Son Of Neptune 2