Pencarian

Pelangi Dilangit Singosari 2

02 Pelangi Di Langit Singasari Karya S H. Mintarja Bagian 2


Kuda-Sempana tidak lagi sempat berbuat apapun juga untuk memperingatkan gurunya. Kedua kuda iblis dari Ke mundungan itupun, sudah menjadi semakin dekat.
Kuda-Sempana melihat Empu Sada mempersiapkan diri untuk menyongsong keduanya. Dan tiba-tibaorang tua itu meng gerakkan kendali kudanya maju beberapa langkah.
Yang terdengar adalah suara Wong Sarimpat berteriak nyaring "He, bukankah kau Kuda-Sempana, kenapa kau berhenti, dan siapakah orang itu?"
Tak ada jawaban. Dan yang terdengar adalah suara Wong Sarimpat itu pula dengan nada yang aneh karena ter kejut "Aku melihat tongkat panjang itu. Apakah kau Empu Sada?"
Kuda-kuda merekapun menjadi semakin dekat. Tetapi Empu Sada tidak mau berteriak menjawab pertanyaan Wong Sarimpat. Dibiarkannya mereka menjadi lebih dekat lagi.
"Setan tua itu agaknya masih hidup "teriak Wong Sarimpat pula. Mereka sudah menjadi semakin dekat "tetapi kali ini kau tidak akan lepas lagi dari tangan kami. He, Empu yang malang. Ternyata betapa jauh kau bersembunyi, namun tiba-tibakita telah bertemu lagi.
Keduanya kini sudah demikian dekatnya, dan sejenak kemudian kedua kuda itupun berhenti.
Empu Sada melihat wajah kedua orang itu didalam ke samaran sinar bulan. Tanpa disengajanya ia menengadahkan wajahnya, dan dilihatnya bulan itu masih saja berkalang. Bahkan semakin jelas. Dada orang tua itupun tiba-tibapula berdesir karenanya.
"Hem "terdengar suara Kebo Sindet menggeram di dalam perutnya "ternyata kau masih hidup Empu.
"Ya, aku masih hidup "sahut Empu Sada dengan nada yang datar. "Apakah kau heran?"
Wajah Kebo Sindet yang beku itu sama sekali tidak berubah. Hanya matanya sajalah yang se-olah-olah membara me mandangi Empu Sada yang duduk tenang diatas punggung kudanya.
"Tetapi apakah sekarang kau dengan sengaja menjumpai kami?" "bertanya Kebo Sindet.
"Ya, aku sengaja menjumpai kalian. Aku mendengar cara kalian memancing Mahisa Agni. Dan aku agaknya dapat memperhitungkan dengan tepat apa yang akan kalian lakukan atasnya.
"Sekarang apa maksudmu.
"Aku minta Mahisa Agni. Sebenarnya aku dapat merampasnya dari tangan Kuda-Sempana. Tetapi aku masih ingin berhadapan langsung dengan kalian, supaya aku mendapat kepuasan melihat hasil usahaku itu.
Terdengar Keho Sindet menggeram seperti gunung yang akan meledak. Meskipun wajahnya yang beku tetap membeku, tetapi nafsu untuk segera membunuh Empu Sada telah me mancar dari kedua biji matanya yang berwarna semakin me rah membara.
Namun dalam pada itu terdengar Wong Sarimpat tertawa menyakitkan hati. Dengan nada tinggi ia berkata "O Alangkah malang nasibmu Empu. Kau masih juga tidak menyadari keadaanmu. Apakah kau akan sekali lagi berkelahi dengan cu rang?" Meskipun demikian kalau tidak ada setan yang menyem bunyikan kau waktu itu, maka kau pasti akan menjadi bang kai makanan anjing2 liar. Sekarang kau masih juga akan mencobanya lagi. Apalagi kita berhadapan beradu dada. Maka umurmu tidak akan lebih dari sepemakan sirih.
Empu Sada mengangkat alisnya. Dengan tenang ia menja wab "Apa kita akan berhadapan beradu dada?"
Wong Sarimpat terdiam sejenak. Tampaklah wajahnya yang kasar menjadi berkerut-merut. Sejenak ditatapnya wa jah Kebo Sindet yang membeku, se-olah-olah ia ingin bertanya, apakah yang harus dilakukannya. Apakah ia akan melayani tan tangan Empu Sada itu yang maknanya diketahuinya dengan baik.
Namun terdengar Kebo Sindet menjawab dengan kata-kata yang se-olah-olah bergumul didalam perutnya "Apakah artinya kau Empu. Apakah kau sangka bahwa kami menganggap kau cukup bernilai untuk kami layani dengan menjunjung kehormatan kami, dengan perang tanding misalnya?" Selamanya kau pasti akan berbuat curang dan licik. Kami sudah mengenal kau dengan baik. Pada saat yang lampau itu dapat menjadi peringatan bagi kami, siapakah Empu Sada itu, dan bagaimana kali caranya melayani lawannya, meskipun lawannya berbuat se-jujur-jujurnya. Pada perkelahian kita yang terakhir itu adalah peringatan yang terakhir pula bagi kami, bahwa kami untuk seterusnya tidak akan mempercayai kau lagi, apabila kau masih akan bertemu lagi dengan kami, seperti saat ini.
Empu Sada tersenyum mendengar kata-kata Kebo Sindet. Ja wabnya "Kau dapat berkata demikian kepada orang lain yang tidak melihat apa yang terjadi sesungguhnya. Kau dapat membual dan memutar balik keadaan terhadap orang lain. Tetapi jangan kepadaku. Dan jangan kepada Kuda-Sempana. Sebab kalianpun pasti mengerti bahwa kami, aku dan Kuda-Sempana, tahu benar apa yang telah terjadi. Sehingga ceriteramu itu benar-benar seperti ceritera yang kau hisap dari ujung kelingkingmu.
Sekali lagi terdengar Kebo Sindet menggeram. Yang menyahut kemudian adalah Wong Sarimpat "Kakang, kenapa kita membuang waktu untuk mendengarkan kata-katanya yang tidak berujung pangkal itu" Seperti yang diigaukan oleh seseorang yang sedang sekarat?" Marilah kita selesaikan saja orang ini. Kita bunuh dan kita cincang sampai lumat.
Kebo Sindet tidak menjawab. Tetapi sikapnya yang kaku tegang menunjukkan, bahwa ia sependapat dengan pikiran adiknya itu.
Dalam pada itu maka Empu Sadapun berkata "Apakah sudah kalian pikirkan masak-masak keputusan kalian itu?"
Terdengar Wong Sarimpat tertawa berkepanjangan. Ka tanya "O, ternyata kau sudah mulai ketakutan. Agaknya kau mengharap bahwa kau akan dapat mencoba mengungkat harga diri kami, dan kemudian dengan licik akan kau manfaatkan. Sekarang Empu yang malang, kau tidak akan dapat lepas lagi dari tangan kami. Nyawamu benar-benar sudah berada diujung ubun-ubun. Sebenarnya bagimu lebih baik kau menyerah saja, dan kau akan mati dengan cepat tanpa merasakan le lah lebih dahulu, daripada kau harus bertempur matimatian, namun akibatnya tidak akan berbeda. Sebab kali ini kami sudah tidak akan " "tiba-tibakata-kata Wong Sarimpat itu terputus. Ternyata Empu Sada melakukan apa yang dikatakannya. Untuk menyelamatkan Mahisa Agni, apapun akan dikorbankannya. Nyawanya, kehormatannya dan apa saja. Kali ini Empu Sada menyadari, betapa ia berlaku licik. Tetapi ia sudah tidak mempertimbangkannya lagi. Dengan serta merta selagi Wong Sarimpat tertawa berkepanjangan sambil berkata dengan sombongnya, tiba-tiba orang tua itu melepaskan sebilah keris kecil, hampir sekecil kelingkingnya. Demikian cepat dan tiba-tiba, serta dilambari tenaga Empu Sada yang sedang diamuk oleh kebencian, dendam, kemarahan dan segalamacam perasaan, dan bahkan lebih dari pada itu adalah perasaan bersalah atas tertangkapnya Mahisa Agni, maka tenaga lontarannyapun seakan-akan menjadi berlipat ganda.
Kedua iblis dari Kemundungan itu terkejut bukan kepa lang. Sekali lagi mereka didahului oleh kelicikan Empu Sada. Kebo Sindet yang berwajah beku itupun tampak menggerak kan dahinya sambil berteriak "Sarimpat, hindari senjata itu.
Wong Sarimpatpun melihat sebilah keris yang kecil itu meluncur kearahnya. Tetapi demikian tiba-tiba. Hanya karena ke lincahan dan pengalaman yang tidak terhitung itulah, maka ia dapat menghindarkan senjata itu menembus dada langsung menghunjam kejantungnya. Namun meskipun demikian, senjata itu masih juga mengenai pangkal lengan kirinya.
Terdengar orang itu mengaduh pendek, namun kemudian terdengar ia mengumpat dengan kata-kata yang kotor.
Tetapi sekali lagi Wong Sarimpat harus menutup mulut nya ketika dengan dahsyatnya Empu Sada menyerang tanpa mengucapkan kata-kata apapun. Kali ini tongkat panjangnya menyambar dengan cepatnya, seperti lidah api meloncat diudara.
Namun sekali lagi Empu Sada berbuat curang. Ternyata ia lidak menyerang lawannya, tetapi ternyata tongkatnya menyam barkaki kuda Kebo Sindet. Kuda itu terkejut bukan kepa lang. Terdengar ia meringkik tinggi, namun sejenak kemudian kuda itupun robohlah ketanah.
"Setan licik teriak Wong Sarimpat sambil meraba pangkal lengannya. Terasa cairan yang hangat meleleh dari luka nya Kini ia melihat Kebo Sindet tidak berkuda lagi. Tetapi meskipun demikian, ia merasa mendapat kesempatan untuk mencabut keris yang hampir tenggelam sampai kehulu itu dari pangkal lengannya.
Kebo Sindet yang terpaksa meloncat dari kudanya menja di marah bukan buatan. Sekilas ia melihat kudanya begetar, namun sejenak kemudian didengarnya kuda itu me-ringkik-ringkik. Agaknya kakinya terasa demikian sakitnya, sehingga kuda itu tidak lagi mampu berdiri.
Sambil menggenggam goloknya erat-erat Kebo Sindet itu menh geram "Kau benar-benar setan yang licik. Pengecut yang tidak pu nya malu. Apakah kau sangka caramu itu cukup bernilai un tuk mendapat pelayanan yang jujur. Sekarang akupun akan berbuat apa saja untuk membunuhmu.
Kini Empu Sadalah yang tertawa. Sambil memutar kudanya ia berkata " Lakukan apa saja yang dapat kau lakukan, Akupun akan berbuat serupa Licik, pengecut, curang dan apa saja. Kita adalah orang-orang dari daerah yang hitam. Dari daerah yang penuh dengan noda. Dimana tidak ada lagi ukuranyang dapat memberi penilaian terhadap apa yang kita lakukan. Tak ada lagi ikatan2 dan keharusan, apalagi tata ke sopanan. Kebo Sindet dan Wong Sarimpat. Kita adalah binatang-binatang liar yang buas yang hidup ditengah-tengah rimba yang lebat. Jangan me-nyebut-nyebut lagi tentang kelicikan, kecurangan, pengetcut dan sebagainya. Itu adalah sandangan kita. Itu adalah sikap dan sifat-sifat yang memang kita miliki sejak lama. Ayo, sekarang, marilah kita berbuat apa saja.
"Setan alas "Kebo Sindet itu mengumpat "aku terima tantanganmu Empu. Kita akan berbuat apa saja.
Empu Sada tidak menunggu Kebo Sindet itu mengatupkan mulutnya. Kudanya segera meluncur seperti anak panah menye rang iblis dari Kemundungan itu. Tetapi kali ini Kebo Sindet sudah bersiap mcnerimanya. Goloknya yang besar segera berputar. Ia ingin berbuat seperti Empu Sada, menjatuhkan kuda lawannya. Tetapi ternyata tongkat Empu Sada lebih panjang dari goloknya, sehingga ia tidak sempat maju lebih dekat lagi pada kuda lawannya itu. Bahkan ia melihat ujung tongkat Empu Sada menyambar kepalanya, sehingga dengan demikian ia harus menangkisnya.
Terjadilah benturan antara keduanya, dan keduanya me rasakan betapa kekuatan lawannya terpusat pada senjata-senjata itu, dilambari oleh kemarahan dan nafsu yang hampir tak terkendali.
Sementara itu Wong Sarimpat sedang sibuk berusaha me narik keris yang menghunjam dipangkal lengannya. Terdengar ia berdesis diatas punggung kuda. Ketika ia melihat kakaknya bertempur dengan gigihnya, maka ia merasa aman untuk me lakukannya.
Sambil memejamkan matanya Wong Sarimpat menjepit hulu keris yg banya mencuat tidak lebih dari senyari itu, dengan kadua ujung jarinya. Per-lahan-lahan ditariknya keris itu sambil berdesis menahan sakit. Namun kadang-kadang mulutnya masih juga sempat mengumpat-umpat dengan kotornya.
"Iblis laknat " orang itu berteriak ketika ia berhasil me narik keris itu dari pangkal lengannya. Tetapi sejenak kemu dian sekali lagi ia menyeringai kesakitan. Darah yang merah ke-hitam2an kemudian ber-gumpal-gumpal meleleh dari luka yang tidak seberapa besar itu.
Wong Sarimpat itu mengangkat wajahnya ketika ia mendengar suara Empu Sada"Kerisku mengandung warangan yang tajam Sarimpat. Kau lihatlah darahmu dengan saksama.
"Aku sudah mengira "teriak Wong Sarimpat sambil melihat Empu Sada itu bertempur terus melawan kakaknya. Tetapi Empu Sada yang berada dipunggung kuda itu masih juga mempunyai kesempatan lebih banyak. Kebo Sindet, seakan-akan hanya dapat menunggu serangan-angan yang datang me-nyambar-nyambar. Tetapi ia tidak banyak mendapat kesempatan untuk menyerang lawannya, karena setiap kali kuda Empu Sada itu menyambar, lalu dengan cepatnya berlari menjauh untuk kemudian berputar dan sekali lagi menyambarnya dengan dahsyat seperti badai.
"Tetapi warang yang betapapun tajamnya tidak akan berarti apaa bagiku Empu "teriak Wong Sarimpat itu pula.
Empu Sada yang mendengar teriakan itu sempat berpaling. Dalam kesuraman cahaya bulan yang redup ia melihat Wong Sarimpat mengambil sebilah pisau. Dengan pisau itu ia melukai pangkal lengannya sendiri disekitar lukanya karena keris Empu Sada; sehingga dengan demikian darah yang merah segar menjadi semakin banyak mengalir.
"Tak ada gunanya "berkata Empu Sada "sentuhan warang itu dengan setetes darahmu telah cukup membuatmu, beku.
Tetapi Empu Sada itupun kemudian melihat Wong Sarimpat menelan segumpal obat reramuan pencegah racun. Sambil menelan orang itu masih juga mengambil raramuan yang lain untuk diusapkan pada lukanya, sehingga luka itu terasa agak menjadi dingin.
"O iblis itu benar-benar telah mempersiapkan diri untuk menghadapi setiap kemungkinan "geram Empu Sada didalam hatinya.
Dalam pada itu ia mendengar Wong Sarimpat berteriak
"Tak ada racun yang dapat membunuh Wong Sarimpat." katanya "Aku sudah menemukan obat untuk mengobati segalamacam warangan dan racun karena gigitan ular sekalipun. Bahkan sengatan lebah biru dari kaki gunung Semeru. Apalagi sejenis waranganmu yang tidak berart apa-apa itu bagiku.
Empu Sada tidak menyahut. Ia memang melihat lamat2 darah semakin banyak mengalir. Dengan demikian, maka racun itupun akan dapat dipunahkannya.
Tetapi meskipun demikian, ia telah berhasil melukai Wong Sarimpat. Luka yang kemudian dibuat menjadi besar oleh orang itu sendiri. Mengalirkan darah dari tubuhnya, berarti mengurangi kekuatan tubuh itu dan daya tahannya.
Sejenak kemudian Wong Sarimpat yang merasa, bahwa racun Empu Sada sudah tidak berbahaya lagi bagi tubuhnya, segera melumuri lukanya itu dengan semacam obat yang lain, obat yang dapat menghentikan arus darahnya.
Kemudian terdengar Wong Sarimpat itu tertawa. Digerakkannya kudanya beberapa langkah maju. Katanya diantara suara tertawanya yang menyakitkan hati "Sekarang aku sudah selesai Empu. Aku akan berkelahi bersama kakang Kebo Sindet, dan kaupun akan segera mati terbunuh. Begitu?"
Empu Sada sama sekali tidak menjawab kata-kata Wong Sarimpat. Ia sedang berusaha untuk menekan Kebo Sindet selagi ia masih mendapat kesempatan. Kudanya masih saja rae-nyambar2 seperti burung elang diudara. Tetapi Kebo Sindet bukanlah seekor anak ayam yang ketakutan melihat elang. Dengan garangnya ia menyambut setiap serangan seperti seekor harimau yang kelaparan.
Demikianlah pertempuran itu semakin lama menjadi semakin dahsyat. Keduanya adalah orang-orang sakti yang sukar di cari bandingnya. Adalah suatu keuntungan bagi Empu Sada, bahwa kelincahan kudanya dapat membantunya mempersulit kedudukan lawannya. Meskipun demikian Empu Sada masih juga belum mendapat kesempatan untuk berbuat banyak.
Wong Sarimpat yang telah selesai mengobati luka-lukanya itu tidak segera masuk kedalam perkelahian. Ia melihat kakaknya masih akan dapat bertahan seorang diri. Dibiarkannya tubuh nya menjadi lebih baik dan kuat setelah beberapa saat ia harus berjuang untuk melawan racun.
Bahkan Wong Sarimpat itu kemudian mendekati Kuda-Sempana yang melihat perkelahian itu dengan mata tanpa berkedip, tetapi dengan jantung yang berdegupan dengan gemuruh.
Anak muda itu terkejut ketika Wong Sarimpat meng gamitnya "He Kuda-Sempana. Kau lihat perkelahian itu?"
Kuda-Sempana mengangguk. "Katakan, siapakah yang bakal menang?"
Kuda-Sempana terbungkam. Ia tidak dapat menjawab pertanyaan itu. Ia mengharap gurunya tidak mati, tetapi ia mengharap pula bahwa Kebo Sindet akan melindunginya dari keinginan gurunya untuk menyelamatkan Mahisa Agni. Meski pun ia tidak lagi dapat mempertimbangkan, apa yang sebaik nya dilakukan atas Mahisa Agni, tetapi kini yang dipikirkan nya adalah, bahwa Mahisa Agni itu akan selalu merupakan hantu baginya di-masa-masa mendatang apabila ia masih akan tetap hidup. Mahisa Agni akan selalu membayanginya dengan penuh dendam dan kebencian. Karena itu, maka baginya ki ni, lebih baik apabilamahisa Agni itu lenyap saja sama sekali.
Karena Kuda-Sempana tidak menjawab, maka berkatalah Wong Sarimpat "Mungkin kau tidak cukup mampu menilai perkelahian itu Kuda-Sempana. Baiklah aku beritahu bahwa keduanya dalam keadaan seimbang. Kelebihan Empu Sada hanyalah terletak pada kudanya itu. Meskipun demikian kudanya itupun tidak akan banyak menolong, sebab segalamacam geraknya mau tidak mau harus diperhitungkan pula dengan setiap kemungkinan yang dilakukan oleh kudanya, sebab kuda itu mempunyai otaknya sendiri. Kalau kuda itu tidak mempunyai otak dan kemauan sendiri, maka Empu Sada pasti akan segera memenangkan perkelahian itu.
Kuda-Sempana masih saja berdiam diri.
"Tetapi "Wong Sarimpat meneruskan "aku akan segera terjun kedalam arena. Nah, kau akan dapat memper timbangkan, apakah yang kira-kira akan terjadi. Mungkin kau tidak akan sampai hati melihat gurumu mati terbunuh, bahkan untuk meyakinkannya, mungkin aku akan mencincang nya.
Kuda-Sempana sama sekali tidak menjawab-
"Nah "Wong Sarimpat berkata lebih lanjut "Apakah kau akan menyaksikannya, apakah kau akan pergi lebih dahulu membawa Mahisa Agni itu ke Kemundungan?" Atau kau akan mencoba berbuat sesuatu"
Kuda-Sempana seolah-olah telah benar-benar membeku diatas punggung kudanya. Karena itu ia sama sekali tidak menjawab.
"Jangan takut kepada Mahisa Agni. Urat nadinya terganggu karena sentuhan tangan kakang Kebo Sindet. Ia akan menjadi sadar, apabila kakang Kebo Sindet menghendakinya.
Kuda-Sempana masih tetap mengatupkan mulutnya.
"Hem, kau menjadi bisu agaknya. Baiklah. Duduk sajalah disitu.
Wong Sarimpat itupun kemudian memutar kudanya. Kini ia melihat perkelahian antara kakaknya melawan Empu Sada telah bergeser beberapa langkah. Tetapi ia masih melihat bahwa keduanya sama sekali belum banyak mendapat kemaju /an. Meskipun demikian, agaknya keadaan Empu Sada masih lebih baik dari kakaknya yang harus berloncatan menghindari derap kuda Empu Sada dan tongkatnya yang ter-ayun2 menge"rikan. Sedang Kebo Sindet itu sendiri hanya mendapat sedikit saja kesempatan melakukan- serangan-angan atas lawannya,
"Pertempuran itu tidak adil "desis Wong Sarimpat. "Aku harus membantunya. "Tetapi orang itu tidak pernah mempertimbangkan, bahwa untuk melawan mereka berdua adalah perbuatan yang tidak adil pula.
Demikianlah maka Wong Sarimpat itu perlahan-lahan mendekati arena perkelahian. Ia melihat sekali-sekali kakaknya terpaksa meloncat jauh surut. Sekali-sekali bahkan ia terdorong dengan kerasnya. Namun meskipun demikian, Kebo Sindet masih juga .tetap memberikan perlawanan yang sengit.
Wong Sarimpat itupun kemudian berhenti beberapa langkah dari titik perteMpuran. Diamatinya keadaan dengan seksama, seperti seorang saksi yang sedang memperhatikan sebuah perang tanding yang seru. Diperhatikannya cara Empu Sada menggerakkan kudanya menyambar lawannya, dan diper hatikannya bagaimana ia menghindar apabila Kebo Sindet membalas menyerangnya.
"Ternyata Empu tua itu ahli pula ber main2 dengan kuda Agak lebih baik dari Empu Gandring "desisnya didalam hal i.
Beberapa langkah lagi ia maju. Hampir pada garis serangan Empu Sada. Sambil menyeringai maka Wong Sarimpat menggerakkan pedangnya berputaran.
Empu Sada melibat bagaimana Wong Sarimpat ingin me-motong garis serangannya. Karena itu, maka segera diputarnya kudanya menghindar, dan ditempuhnya sebuah garis serangan yang lain.
"Huh "Wong Sarimpat berdesis "pengecut. Kau tidak berani menghadapi aku yang sama-sama berada diatas, punggung kuda.
Tetapi Empu Sada tidak menjawab. Namun segera ia bersiap untuk menghadapi lawannya yang baru.
Ternyata Wong Sarimpat tidak melepaskan waktu terbuang lebih banyak. Segera ia menggerakkan kendali kudanya dan kuda itupun meluncur dengan cepatnya menyerang Empu Sada. Agaknya kali ini Wong Sarimpat telah memperhitungkan banyak kemungkinan. Ia telah memperhitungkan kemung kinan-kemungkinan untuk bertempur diatas punggung kudanya. Karena itu, maka kudanya kali ini diberinya berpelana.
Serangan Wong Sarimpat itupun cukup dahsyat. Meski pun pangkal lengan kirinya telah terluka, namun tenaga tangan kanannya masih cukup menggetarkan tongkat lawannya.
Kini2 Empu Sada harus menghadapi dua orang lawan yang masing-masing memiliki kekuatan setingkat dengan dirinya. Ia hanya sempat mengurangi kelincahan Wong Sarimpat dengan me lukai tangannya. Meskipun demikian, tetapi Wong Sarimpat masih tetap garang dan buas.
Untuk menghadapi keduanya maka Empu Sada harus benar-benar berkelahi dengan licik. Setiap kali ia melawan Wong Sarimpat sambil berputaran menjauhi Kebo Sindet yang meloncat-loncat mengejarnya. Tetapi tetnyata tenaga kuda Empu Sada masih lebih cepat dari tenaga wajar Kebo Sindet, sehingga dengan demikian, maka Kebo Sindet tidak dapat mendekatinya. Setiap kali ia mendekat, maka Empu Sada mendorong kudanya untuk berlari menjauh sambil menyerang Wong Sarimpat atau menghindari serangannya.
"He, Empu Sada "Kebo Sindet akhirnya tidak dapat, menahan kemarahannya "kau benar-benar pengecut. Jauh lebih pengecut lagi dari yang aku sangka. Kau sama sekali tidak berani berhadapan langsung melawan aku. Kau selalu melarikan kudamu menjauh, setiap kali menjauh.
"Jangan ber-teriak Kebo Sindet "jawab Empu Sada "aku masih sibuk melayani adikmu yang tangannya hampir menjadi patah ini.
"Tutup mulutmu "teriak Wong Sarimpat "aku masih mempunyai kemungkinan yang cukup untuk membelah dadamu yang penuh dengan kesombongan, tetapi licik, curang, pengecut, penakut, penipu ..
Wong Sarimpat tidak sempat meneruskan kata-kata umpatan nya. Tiba-tibasaja tongkat Empu Sada mematuk hampir tepat masuk kemulutnya. Dengan ter-gesa-gesa Wong Sarimpat mem bungkukkan badannya dan dengan cekatan digerakkan golok nya menangkis serangan yang datangnya dengan tiba-tibaitu. Hanya oleh keahliannya mengendalikan kudanya, maka Wong Sarimpat dapat menghindari serangan Empu Sada berikutnya. Serangan yang hampir membabi buta. Namun Empu Sada masih memiliki kesadaran menghadapi kedua iblis yang mengerikan itu.
Demikianlah perkelahian itu menjadi semakin lama semakin seru. Empu Sada dan Wong Sarimpat bertempur seperti sepasang burung Rajawali yang sedang berebut sarang. Sedang Kebo Sindet dengan dada yang bergelora hampir meledak tidak banyak mendapat kesempatan untuk ikut serta dalam perkelahian berkuda itu. Hanya kadang" saja ia sempat meloncat pada garis perkelahian itu, dan dengan goloknya yang dahsyat menyerang Empu Sada. Namun kuda Empu Sada ternyata dengan lincahnya, selalu menghindarinya. Berlari dan membuat sebuah putaran yang panjang.
Empu Sada " Kebo Sindet menjadi semakin marah " Apakah kau menyadari apa yang kau lakukan itu?" Sebenarnya le bih baik bagimu, bersembunyi saja dibelakang pekiwan dari pada kau datang kemari. Apakah sebenarnya maksudmu menjumpai aku he?" Sekarang kau selalu menghindari setiap ben turan. Benturan kekuatan, ilmu atau tenaga dan senjata.
Empu Sada yang menjadi semakin jauh dari Kebo Sindet masih saja sibuk melayani serangan-angan Wong Sarimpat. Ke duanya adalah orang-orang yang hampir mumpuni bermain-main diatas punggung kuda. Sehingga dengan demikian maka perkelahian itupun menjadi semakin seru.
Meskipun demikian Empu Sada masih sempat menjawab "Kebo Sindet, jangan ter-gesa-gesa. Aku bunuh dahulu adik mu. Kemudian kita akan berhadapan. Dan aku akan segera turun pula dari kudaku.
"Persetan " teriak Wong Sarimpat "mulutmu sama sekali tidak berarti lagi bagi kami. Mampuslah kau orang tua yang tidak tahu diri.
Kuda-Sempana yang membeku diatas punggung kudanya melihat perkelahian itu dengan hati yang bergolak dengan dahsyatnya, seperti badai yang mengamuk didalam dadanya. Gemu ruh se-olah-olah akan merontokkan tulang2 iganya.
Gurunya adalah seorang yang dikenal dan dikaguminya sejak lama. Tongkat panjangnya itu adalah ciri kebesaran dan keperkasaannya. Kuda-Sempana tidak pernah melihat gurunya mempergunakan senjata lain daripada tongkat panjang itu. Tongkat panjang yang telah berada ber-sama-sama dengan guru nya sejak ia bertemu untuk pertama kalinya dengan orang itu. Senjata yang telah mengawaninya melawan seribu macam sen jata lawan-lawannya. Dan Kuda-Sempana tetap menyangka bahwa tongkat panjang pusaka gurunya itulah yang tetap bersama nya sampai saat ini.
Sedang kedua hantu dari Kemundungan itu adalah orang-orang yang tidak kalah dahsyatnya. Goloknya adalah golok yang luar biasa pula. Kuda-Sempana pernah menyaksikan Kebo Sindet memukul sebatang besi gligen dengan goloknya itu. Dan besi itupun terpatahkan, sedang golok itu sama sekali tidak menja di cacat. Bahkan semenirpun golok itu tidak gempil.
Kini Kuda-Sempana melihat kedua macam senjata itu. beradu dalam genggaman tangan-tangan yang mengerikan.
Kebo Sindet yang akhirnya kehilangan kesabaran, tidak lagi ingin menunggu lebih lama. Tiba-tiba ia berteriak nyaring sambil menggetarkan tubuhnya. Dipusatkannya segenap kekuat annya yang kasat mata dan yang tidak kasat mata. Dengan ke marahan yang me luap-luap maka disalurkannya kekuatannya yang bersumber pada kekuatan sesat itu pada tangan kanannya yang menggenggam goloknya. Dan dengan penuh nafsu ia melenting seperti seekor bilalang raksasa, melampaui kecepatan loncat seekor kuda menyerang Empu Sada dengan kekuatan Aji Bajang.
Tetapi Empu Sada yang tua itu telah melihatnya. Dengan demikian maka ia tidak membiarkan dirinya lumat Maka di benturnya Aji Bajang itu dengan kekuatan Ajinya, Kala Bama.
Kedua aji itu adalah kekuatan yang dahsyat, sedahsyat guntur dan petir. Itulah maka sebabnya ketika Kuda-Sempana melihat keduanya bersiap dalam kekuatan tertingginya, maka hatinya se-akan-akan menjadi meledak pula karenanya. Hampir ia berteriak, tetapi suaranya tidak terdengar oleh siapapun. Bahkan oleh dirinya sendiri.
Sementara itu Wong Sarimpatpun mengerutkan keningnya. Dibiarkannya kakaknya membenturkan Aji Bajang. Ia yakin bahwa kekuatan Aji Bajang sedemikian dahsyatnya, sehingga hampir tak dapat dibayangkau akibatnya. Meskipun Wong Sarimpat tahu pula bahwa Empu Sadapun pasti memiliki simpanan kekuatan, namun se-tidak-tidaknya Aji Bajang tidak akan dapat dikalahkan.
"Hanya setan dari Tumapel itu yang tidak lumat karena Aji Bajang "desis Wong Sarimpat "tetapi apabila Aji Bajang itu diulang, maka prajurit Tumapel yang sombong itu pasti akan menjadi debu.
Dalam pada itu Kuda-Sempana yang benar-benar membeku itu melihat Kebo Sindet meloncat seperti petir menyambar dilangit. Namun dalam pada itu ia melihat Empu Sada seperti sebuah gunung karang yang kokoh kuat, yang tak tergetarkan oleh petir yang betapapun dahsyatnya.
Demikianlah maka Empu Sada segera menyongsong Kebo Sindet. Kali ini dihempaskannya segenap kekuatannya pada tongkat panjangnya. Apapun yang akan terjadi. Ia merasa pula bahwa Kala Bama tidak akan berada dibawah kekuatan iblis dari Kemundungan itu.
Sejenak kemudian terjadilah sebuah benturan yang me ngerikan. Demikian kerasnya, sehingga bunga api memercik diudara, meloncat dari kedua senjata yang sedang beradu.
Sesaat mereka yang menyaksikan benturan itu dicengkam oleh ketegangan yang memuncak. Seperti merekapun ikut pula dalam benturan yang dahsyat itu.
Akibat dari benturan itupun dahsyat pula. Kebo Sindet terlempar beberapa langkah surut. Dengan kerasnya ia terbanting jatuh. Beberapa kali ia berguling, kemudian dengan ter-huyung-huyung iblis itu mencoba tegak berdiri. Goloknya yang besar masih berkilat2 didalam genggamannya.
Sedang Empu Sadapun kemudian terpelanting dari kudanya. Dengan kerasnya kuda itu meringkik. Terasa pula dorong an kekuatan benturan itu, sehingga kuda itu tegak berdiri. Namun kuda itu tidak berlari meninggalkan penunggangnya yang jatuh ber-guling2 ditanah.
Seperti Kebo Sindet, Empu Sadapun segera mencoba berdiri. Ia masih menggenggam tongkatnya, tetapi kftika ia tegak sambil mengamati tongkatnya itu, maka dadanya berdesir.
Ia berpaling ketika ia mendengar Wong Sarimpat tertawa berkepanjangan sambil ber-teriak-teriak "He, Empu. Ternyata tongkatmu terpatahkan.
Kuda-Sempana terkejut mendengar teriakan itu. Ketika ia memandangi gurunya yang berdiri dengan nafas ter engah-engah, maka dadanya berguncang dengan dahsyat. Iapun kini melihat bahwa tongkat gurunya, yang selama ini selalu menemani nya, melawan segalamacam senjata yang ada didunia ini tanpa dapat dilukai apalagi patah, maka kini dalam benturan dengan golok Kebo Sindet, tongkat itu patah menjadi dua hampir ditengah-tengah.
Apa yang dilihatnya itu benar telah membuat Kuda-Sempana hampir kehilangan kesadaran. Ia menjadi bingung dan merasa se-akan-akan berada dalam sebuah mimpi, yang dahsyat. Tetapi ketika ia melihat gurunya menimang tongkatnya yang patah itu, segera ia tersadar, bahwa yang terjadi itu bukan lab. sebuah mimpi.
Yang terdengar adalah suara tertawa Wong Sarimpat di samping kata-katanya "Hayo Empu yang sakti. Apakah sekarang kau masih juga menyombongkan diri sambil menengadahkan dadamu untuk melawan sepasang Garuda dari Kemundungan" Menyerahlah, supaya kau mati dengan tenang.
Terdengar Empu Sada menggeram. Tetapi segera ia bersiap menghadapi setiap kemungkinan. Sekali-sekali di-amat-amatinya tongkatnya yang patah itu. Teiapi ya tidak terkejut seperti Kuda-Sempana. Seharusnya ia telah melihat kemungkinan itu dapat terjadi.
Tetapi Empu Sada tidak sempat merenung terlampau Iama. Tiba-tibaia melihat kuda Wong Sarimpat datang menyerang nya benar-benar seperti seekor Garuda menyambar anak kambing yang kehilangan induknya. Tetapi Empu Sada bukan seekor anak kambing. Betapapun juga ia masih mampu menghin dari serangan itu. Dipungutnya potongan tongkatnya yang lain. sehingga dengan demikian kini ia bersenjata sepasang potong an tongkatnya.
Serangan Wong Sarimpat itupun kemudian datang ber gelombang seperti ombak dilautan. Beruntun tak henti2nya menghantam tebing, sehingga beberapa kali Empu Sada ter desak semakin jauh.
Sekali lagi dada Empu Sada berdesir ketika ia melibat Kebo Sindet dengan tiba-tiba meloncat keatas punggung kudanya Ya, kuda yang telah terlepas dari tangannya karena benturan kekuatan. Terdengarlah orang tua itu menggeram semakin keras.
Tiba-tiba ia mendengar Kuda Sempana berteriak "Guru, pakai kudaku"
Empu Sada terkejut mendengar teriakan itu. kemudian disusul oleh teriakan Kebo Sindet, "Kuda Sempana, apakah kau sadari perbuatanmu itu"
Dengan tiba-tiba Empu Sada melihat Kuda Sempana telah berada di sampingnya. Sekali lagi ia berkata, "Pakaialah kudaku".
Empu Sada menjadi ragu-ragu. Di atas punggung kuda itu terdapat Mahisa Agni. Tetapi apakah ia dapat melepaskan diri dari kedua iblis itu" Apakah dengan demikian ia tidak mempercepat kematian Mahisa Agni?".
Dalam keragu-raguan itu ia mendengar muridnya bertanya lirih "Guru, kenapa tongkat itu terpatahkan?".
"Jangan heran Kuda Sempana. Tongkat ini bukan tongkat ciri kebesaranku selama ini. Tongkat itu telah aku serahkan kepada adikmu, Sumekar. Tongkat ini adalah tongkat rangkapan, yang biasa kita pakai di padepokan."
"Oh", dada Kuda Sempana berdesir, "jadi ?".
"Ya. Aku tidak biasa mempergunakan senjata jenis yang lain. Tetapi tongkat ini tidak sekuat tongkat ciri kebesaran Empu Sada sendiri."
Terasa jantung Kuda Sempana menghentak-hentak di dalam dadanya. Betapapun ia menjadi sangat cemas melihat gurunya kini hanya bersenjata tongkatnya yang telah patah menjadi dua. Apalagi Empu Sada kini sudah tidak berada di punggung kuda, sedang Kebo Sindet justru telah mendapatkan kudanya. Dengan demikian maka Empu Sada harus berhadapan dengan dua orang lawan yang masing-masing memiliki ilmu setingkat dengan dirinya dan mereka berada di punggung kuda kedua-duanya.
Sementara itu Empu sada sendiri berada dalam keragu-raguan. Ia mendengar tawaran muridnya untuk mempergunakan kudanya. Tetapi ia tidak segera dapat menerimannya. Dengan demikian, maka tindakan Kuda Sempana itu pasti akan menimbulkan kemarahan yang tak terkendali pada Kebo Sindet dan Wong Sarimpat atasnya. Kalau Empu Sada tidak berhasil mempertahankan dirinya, maka Kuda Sempana pun pasti akan menjadi korban. Mungkin Empu Sada dapat mengambil cara yang lain tanpa menghiraukan nasib orang lain. Mungkin ia dapat dengan serta merta melarikan diri sambil membawa tubuh Mahisa Agni yang pingsan itu. Tetapi dengan demikian ia pasti akan mengorbankan Kuda Sempana. Ia berhasil menyelamatkan satu nyawa, tetapi ia akan mengorbankan nyawa seorang yang lain. Meskipun ia dapat membedakan nilai kedua anak muda itu, tetapi ia masih belum sampai hati berbuat demikian, betapapun ia menjadi benci dan muak melihat muridnya itu. Namun pada saat-saat terakhir muridnya masih juga merasa cemas aka keselamatannya. Dan agaknya sikap itulah yang telah melunakkan hati Empu Sada atas Kuda Sempana.
Sejenak Empu Sada berada dalam kebimbangan dan kegelisahan. Dalam pada itu ia mendengar Kebo Sindet berteriak, "Kuda Sempana, apakah kau ingin mengalami nasib seperti bekas gurumu itu nanti" Kalau kau mengurungkan niatmu memberikan kudamu kepada setan tua itu, maka aku akan memaafkan kesalahanmu".
Kuda Sempana tidak menjawab. Tiba-tiba iapun dilanda oleh kecemasan yang tajam. Terasa dadanya bergelora semakin keras. Dipandanginya gurunya dan kedua hantu Kemundungan itu berganti-ganti. Sementara bulan yang tua beredar dengan malasnya, semakin tinggi menggapai puncak langit.
Tiba-tiba Kuda Sempana itu mendengar gurunya berdesis, "Terima kasih Kuda Sempana. Pikirkanlah nasibmu sendiri. Sokurlah kalau kau mampu melupakan dendammu kepada Mahisa Agni dan mencoba menyelamatkannya".
Yang di dengar adalah suara Wong Sarimpat, sambil berkata "Apa yang akan kau lakukan Kuda Sempana" Apakah kau akan mencoba lari" Kau harus menyadari bahwa hal itu akan tidak berguna sama sekali bagimu. Salah seorang dari kami akan mengejarmu, menangkap dan menyeret kau di belakang kaki-kaki kuda sampai kulitmu terkelupas seperti pisang yang telanjang. Apakah kau pernah membayangkan betapa pedihnya luka-luka itu apabila di sentuh oleh air asam atau air jeruk dan garam?".
Bulu-bulu Kuda Sempana meremang mendengar ancaman itu. Baik Kuda Sempana maupun Empu Sada merasa bahwa hal yang demikian itu sebenarnya dapat terjadi atas Kuda Sempana apabila ia melanggar perintah kedua iblis itu. Kebo Sindet dan Wong Sarimpat sebelumnya akan dapat berlaku apa saja atas seseorang yang mengecewakannya. Tak ada lagi perasaan apapun pada kedua orang itu menghadapi kekejaman yang bagaimanapun juga.
Dengan demikian, maka Empu Sada tidak akan sampai hati membiarkan hal itu terjadi atas Kuda Sempana, betapapun sifat dan watak anak muda itu.
Namun, Empu Sada itu pun kemudian menjadi semakin bulat tekatnya menghadapi kedua iblis itu dengan tangannya. Meskipun ia menyadari bahwa keduanya bukanlah anak-anak yang sedang belajar bermain-main di atas punggung kuda dengan golok di tangan, tetapi Empu Sada itu tidak mempunyai pilihan lain.
Sekali lagi ditimang-timangnya kedua potongan senjatanya. Ternyata tongkatnya tidak dapat bertahan terhadap golok Kebo Sindet. Meskipun tongkat itu bukan tongkat kebesaran perguruannya, tetapi Senjata yang patah itu telah menyentuh perasaannya, seperti ketika ia menengadahkan wajahnya ke langit, maka bulan masih juga berkalang.
Jilid 27 "ALAMAT yang kurang menyenangkan" desis Empu Sada didalam hatinya. Tetapi hati itu telah bulat. Tekad di dalam dadanya telah mengendap.
"Aku akan bertempur sampai aku tidak mampu lagi menggerakkan tubuhku." katanya di dalam hati "aku akan mempertaruhkan nyawaku untuk menenteramkan perasaanku. Kematian yang demikian adalah kematian yang paling menyenangkan.
Dan tiba-tiba Empu Sada itu berkata "Minggirlah Kuda-Sempana. Jangan pikirkan aku lagi."
"Tetapi Empu sekarang tidak bersenjata lagi. Bagaimana Empu akan melawan keduanya?"
Dengan wajah yang tegang Empu Sada memandangi kedua potongan tongkatnya sambil berdesis "Aku mengharap bahwa aku dapat mempergunakannya."
Dan tiba-tiba saja, tanpa diduga-duga oleh siapapun, baik oleh Kuda-Sempana, maupun oleh Kebo Sindet dan Wong Sarim pat, maka Empu Sada dengan serta merta melemparkan sepotong dari potongan tongkatnya itu. Demikian keras dan tiba-tiba sehingga Wong Sarimpat tidak sempat untuk berbuat sesuatu. Ia melihat tongkat itu meluncur kearah pahanya. Demikian cepatnya. Betapapun ia cakap mengendalikan kudanya, tetapi kali ini ia tidak sempat apa-apa. Ia hanya mampu menghindarkan pahanya dari sambaran potongan tongkat Empu Sada.
Namun kedudukannya kurang menguntungkannya. Tongkat itu menyambar dari sisi sebelah kiri. Meskipun tangan kirinya tidak kalah cepatnya menggerakkan goloknya dari tangan ka nan, tetapi goloknya saat itu berada ditangan kanannya, sehingga Wong Sarimpat itu tidak pula sempat menangkis dengan mempergunakan goloknya. Sehingga yang terjadi sangat mengejutkannya. Terdengar kuda Wong harimpat itu memekik tinggi, kemudian jatuh terbanting ditanah. Dilambung kuda itu menancap potongan tongkat Empu Sada menembus tubuhnya.
Wajah Kebo Sindet yang beku sebeku wajah mayat itu tampak berkerut melihat kejadian itu. Sejenak ia terpukau ditempatnya dengan desah nafas yang memburu semakin cepat. Terdengar ia menggeram dalam nada yang berat.
Sementara itu Wong Sarimpat telah meloncat turun sambil mengumpat keras2 "He setan tua yang licik. Kenapa kau berusaha membunuh hanya seekor binatang. Kenapa kau tidak membidik kepalaku atau tengkukku"
"Tak akan ada gunanya" sahut Empu Sada "kau pasti mampu menghindarinya. Tetapi kuda itu tidak. Dan ternyata kau kini sudah tidak berkuda lagi. Dengan demikian maka pekerjaanku akan menjadi semakin ringan. Kini aku tinggal berusaha untuk membunuh kudaku yang dicuri oleh Kebo Sindet itu, supaya kita dapat berhadapan dengan kaki kita masing-masing berjejak diatas tanah.
"Persetan dengan seseorahmu. Ayo kita selesaikan per soalan ini.
"Jangan hanya banyak bicara" potong Empu Sada "aku sudah siap menunggu kalian.
Wong Sarimpat yang dilanda oleh arus kemarahan itupun maju setapak demi setapak mendekati Empu Sada. Terdengar ia berkata "Kuda-Sempana. Pergilah, supaya aku dapat dengan leluasa membunuh Empu tua yang tak tahu diri ini.
Kuda-Sempana tidak menyahut. Sekali ia berpaling ke pada Empu Sada yang berdesis "Menepilah.
Tetapi Kuda-Sempana masih tetap ditempatnya.
"Empu Sada" berkata Wong Sarimpat "selagi tongkatmu masih utuh, kau tidak mampu melawan kami berdua. Kini tongkatmu itu tinggal sepotong. Apakah kau masih akan mencoba melawan" Apalagi salah seorang dari kami berada dipunggung kuda. Nah, umurmu akan menjadi semakin singkat. Dan kau akan mati dengan cara yang barangkali belum pernah kau bayangkan.
Ancaman Wong Sarimpat itu ternyata memberi kesadaran kepada Empu Sada, bahwa senjatanya memang tidak akan banyak berarti lagi untuk melawan sepasang golok yang ber ada ditangan sepasang hantu dari Kemundungan itu. Tetapi apakah yang akan dilakukannya" Ia tidak akan dapat meng ambil potongan Senjatanya yang lain, sebab potongan itu terletak terlampau jauh dari padanya.
Sementara itu ia melihat kuda Kebo Sindetpun telah bergerak pula. Bahkan orang itu telah mempersiapkan diri untuk menyambarnya dengan kuda itu. Sambil meng-ayun-ayunkan goloknya Empu Sada melihat Kebo Sindet telah siap me nyerangnya.
Dalam waktu yang singkat itu Empu Sada mencoba ber pikir untuk mendapatkan cara yang se-baik-baiknya melawan ke dua orang yang liar itu. Tongkatnya yang tinggal sepotong itu tidak akan dapat membantunya. Tetapi apa yang dapat dila kukannya"
Dalam ketegangan itu, maka suasana dicengkam oleh ke senyapan yang mengerikan. Tak seorangpun yang telah mulai dengan sergapan dan serangan, se-akan-akan mereka menunggu perkembangan keadaan. Tetapi wajah-wajah mereka menjadi semakin keras sekeras batu karang. Sedang senjata-senjata mereka menjadi semakin erat didalam genggaman.
Ketegangan itu tiba-tiba dipecahkan oleh derap kuda Kebo Sindet yang meluncur seperti badai menyambar Empu Sada. Golok Kebo Sindet terayun dengan cepatnya mengarah kepada lawannya.
Namun Empu Sadapun telah bersiap pula menerima serangan itu. Dengan lincahnya ia meloncat kesamping menghindari sambaran golok Kebo Sindet, namun kemudian ia melenting menyerang dengan potongan tongkatnya.
Tetapi potongan tongkat itu ternyata terlampau pendek. Meskipun tangannya sudah terjulur lurus, tetapi ujung tongkatnya yang sepotong itu masih belum mcnyentuh tubuh lawan nya sama sekali, meskipun Kebo Sindet sama sekali tidak berusaha untuk menangkisnya. Dengan menggeser tubuhnya sedi kit saja, maka iblis itu telah dapat membebaskan dirinya dari lawannya.
Terdengar Empu Sada berdesis. Senjata yang selama ini dipergunakan adalah sebuah tongkat yang panjang. Sebenar nya ia telah meletakkan senjatanya itu. Ia tidak ingin lagi melibatkan diri dengan persoalan yang harus diselesaikan de ngan senjata. Tetapi persoalan Mahisa Agni, anak Jun Ru manti itu, telah memaksanya untuk mengangkat sebatang tongkat lagi. Tetapi tongkat itu tidak dapat membantu sepenuhnya seperti tongkat pusakanya, ciri kebesatannya.
Sementara Kebo Sindet memutar kudanya, Wong Sarim pat telah melompat pula sambil memutar goloknya menyerang Empu Sada dengan garangnya.
Sekali lagi Empu Sada harus menghindari serangan itu, te tapi ia tidak sekedar mau menjadi sasaran yang meloncat kian kemari seperti sedang menari diatas bara. Dengan dah syatnya iapun segera menyerang. Tongkatnya yang sepotong itu mematuk dengan lincahnya. Tetapi sekali lagi ia menjadi ke cewa, bahwa tongkatnya ternyata terlampau pendek.
"Hem" ia berdesah didalam hati, Meskipun demikian Empu Sada adalah seorang tua yang memiliki perbendaharaan pengalaman yang banyak sekali. Ka rena itu meskipun setiap kali ia dikecewakan oleh tongkatnya yang pendek, namun ia masih mampu juga bertahan untuk beberapa saat.
Tetapi sejenak kemudian segera terasa, bahwa melawan kedua hantu dari Kemundungan itu adalah pekerjaan yang berat sekali baginya. Dan disadarinya bahwa ia tidak akan mampu melakukannya. Apalagi keadaan kedua orang itu ja uh lebih baik daripadanya. Yang seorang dari mereka beradadipunggung kudu yang dapat menyambarnya seperti seekor Garuda, dan keduanya masih menggenggam senjata masing-masing. Sedang Empu Sada harus melawan mereka berdua seorang diri dengan senjata yang telah patah pula.
Dalam keadaan yang semakin sulit, tiba-tiba Empu Sada itu meloncat ke arah Kuda-Sempana. Dengan serta merta ditarik nya pedang anak muda itu tanpa minta ijin dahulu kepada nya. Alangkah lerkejut anak muda itu. Tetapi semuanya itu terjadi dalam waktu yang sangat singkat, dan Kuda-Sempana hanya dapat melihat pedangnya itu sudah berada ditangan Empu Sada.
Kini Empu Sada mempergunakan senjata rangkap pada kedua belah tangannya. Tangannya yang kiri menggenggam pedang Kuda-Sempana, dan tangannya yang kanan meme gang potongan tongkatnya. Ia masih belum yakin benar terha dap kekuatan pedang Kuda-Sempana. Apakah pedang itu mampu mengalami benturan2 dengan golok kedua orang Kemundungan yang besar dan tebal, apalagi terbuat dari baja pilihan. Ia masih lebih percaya kepada tongkatnya yang patah. Tongkat itu kini menjadi pendek. Karena itu, maka kemungkinan patahpun menjadi semakin kecil.
Dengan sepasang senjata itulah Empu Sada melawan ke dua kakak beradik itu. Betapa Empu tua itu masih dapat me-loncat-loncat dengan lincahnya. Me-nyambar-nyambar dengan penuh nafsu yang menyala didalam dadanya, sehingga se-olah-olah tenaganya menjadi ber-tambah2.
Wong Sarimpat yang kemudian melihat Empu Sada itu bersenjata pada kedua tangannya, mengumpat tak habis2nya. Bahkan ia berteriak kepada Kuda-Sempana "He, anak yang tidak tahu diri Kenapa pedangmu kau biarkan diambil oleh setan tua itu" Sekarang muMpung belum terlanjur, pergilah. Pergi jauh-jauh atau kembali ke Kemundungan lebih dahulu.
Kuda-Sempana mendengar teriakan itu. Tetapi ia masih belum beranjak dari tempatnya. Sementara itu pertempuran masih berlangsung terus.
"Cepat pergi" bentak Wong Sarimpat "atau kau ingin aku bunuh pula.
Kuda-Sempana tidak menjawab "tetapi ia masih belum bergerak.
Kuda-Sempana itu berpaling ketika Kebo Sindet tiba-tiba telah berada di sampingnya, dan membiarkan adiknya bertem pur seorang diri melayani. Empu Sada. Dengan nada yang datar ia berkata "Kuda Sempana. Sebaliknya kau mendahului ka mi, pergi Kemundungan. Letakkanlah Mahisa Agni itu di pembaringan, supaya ia tidak terlanjur mati. Aku memerlu kannya hidup-hidup, seperti kau juga. Bukankah kau ingin melihat anak muda itu mengalami seperti yang pernah kau alami. Sakit hati yang tidak tersembuhkan.
Kuda-Sempana merasakan suatu perbawa yang tak dapat diatasinya. Ketika ia perpaling dan menatap wajah Kebo Sindet, tampaklah sepasang mata iblis itu se olah-olah menyala. Karena itu maka cepat2 Kuda-Sempana menundukan kepala nya.
"Aku tidak menyalahkanmu" berkata Kebo Sindet yang suaranya se-olah-olah ber-gulung-gulung saja didalam perutnya "memang diluar kemampuanmu untuk mempertahankan pedangmu itu. Tetapi sebelum keadaan berkembang semakin jelek, dan Wong Sarimpat itu menjadi semakin marah, nah pergilah. Pergilah lebih dahulu ke Kemundungan. Aku merasa bahwa kau tidak akan sampai hati melibat gurumu terbunuh dengan cara yang diinginkan oleh Wong Sarimpat. Tetapi aku tidak dapat mencegah adikku itu mendapatkan permainan yang menyenangkan, apalagi mencegah keinginanku sendiri. Supaya kau tidak pingsan, maka pergilah. Kecuali kalau kau menang ingin menyaksikan, bagaimana tubuh gurumu akan menjadi makanan burung gagak dan anjing-anjing liar.
Terasa dada Kuda-Sempana menjadi ssmakin pepat. Namun ia masih saja tidak bergerak. Kata-kata Kebo Sindet yang diucapkannya per-lahan-lahan itu justru terasa betapa mengerikannya. Tanpa dikehendakinya, maka Kuda-Sempana itu memandangi gurunya yang sedang berkelahi melawan Wong Sarimpat. Meskipun kemampuannya sama sekali masih kurang cukup untuk menilai perkelahian itu, tetapi ia dapat merasa kan bahwa gurunya mempunyai beberapa kelebihan dari Wong Sarimpat. Senjata gurunya dikedua belah tangannya tampak me-nyambar-nyambar mengerikan diantara ayunan golok Wong .Sarim pat. Tetapi Empu Sada sendiri dapat pula melihat bahwa Wong Sarimpat tidak berada dalam puncak kekuatannya. Dan Empu Sada dapat melihat, bahwa hal itu adalah akibat luka dipangkal lengannya. Luka itu agaknya selalu mengganggunya. Hanya karena ketahanan tubuh Wong Sarimpat yang luar biasa, maka luka itu tidak banyak mempengaruhinya.
Kebo Sindetpun melihat pula hal itu. Tetapi ia sama sekali tidak mencemaskannya. Ia memang melihat kelemahan adiknya, dan apabila hal itu dibiarkannya, maka Wong Sarim pat akan lebih dahulu kehabisan tenaya. Tetapi waktu itu pasti cukup lama. Mungkin sehari, mungkin dua hari. Dan Kebo Sindet yakin, bahwa sebentar lagi. apabila ia telah kembali kearena, maka waktu yang diperlukan akan surut ber lipat2. Empu Sada itu pasti akan segera dapat mereka selesaikan.
Tetapi Kebo Sindet itu ingin supaya Kuda-Sempana men jauhkan dirinya. Kebo Sindet menjadi cemas apabila tiba-tiba saja Empu Sada mendorong Kuda-Sempana dari kudanya, dan kemudian berusaha melarikan kuda beserta Mahisa Agni. Ia banya akan dapat menyusul Empu Sada itu seorang diri ka rena Wong Sarimpat sudah tidak berkuda lagi. Apabila mereka harus berkuda berdua, maka pasti akan memperlambat. Sebab kuda yang dipakai oleh Kuda-Sempana agaknya lebih baik dari kuda Empu Sada yang dipakainya. Dan iapun kemudian harus bertempur seorang diri pula disepanjang pengejarannya. Dengan demikian maka Kebo Sindet tidak yakin sampai berapa lama ia mampu mengalahkan Empu Sada. Bahkan mungkin sampai ke Tumapel, mereka masih juga harus bertempur disepanjang jalan.
Karena itu maka sekali lagi ia berkata "Kuda-Sempana. Menyingkirlah selagi kau masih mempunyai kesempatan.
Pengaruh kata-kata Kebo Sindet, serta sorot matanya yang se-akan-akan langsung menembus lejantungnya itu tidak dapat dihindari oleh Kuda-Sempana, sehingga seperti terdorong oleh suatu tenaga yang tidak dimengertinya, tiba-tiba ia menggerakkan kendali kudanya. Per-lahan-lahan kuda itu berjalan dan kemudi an memutar.
"Bagus" desis Kebo Sindet "dahululah. Jangan terlampau cepat supaya kami segera dapat menyusulmu.
Kepala Kuda-Sempana yang kosong telah membawanya bcrjalan per-lahan-lahan menjauhi arena. Sekali-sekali ia berpaling, dan kini dilihatnya Kebo Sindet telah pula menyerang Empu Sada.
Untuk menahan senjata-senjata lawannya, maka kedua senja ta Empu Sada itu berputar seperti baling-baling, sehingga putarannya menjadi sebuah perisai yang tak akan dapat ditembus oleh ujung jarum sekalipun.
Tetapi Kuda-Sempana itu tertegun sejenak. Bahkan ter dengar mulutnya menggeram. Meskipun demikian ia tidak memutar kudanya kembali keaiena perkelahian itu.
Dengan dada yang ber-guncang-guncang ia melihat sekali guru nya terpelanting ketika ia menahan sergapan tiba-tiba Kebo Sin det diatas kuda. Tetapi Empu Sada itu masih cukup lincah. Ketika Wong Sarimpat berusaha menerkamnya, maka orang tua itu sudah bangun dan sekali lagi diputarnya kedua senjatanya untuk melindungi dirinya.
Meskipun demikian segera terasa bahwa perlawanannya itu akan tidak banyak berarti bagi kedua iblis itu. Sebentar lagi maka ia pasti akan kehabisan tenaga, dan kedua golok lawannya itu akan mencincang tubuhnya.
"Hem " Empu Sada menggeram "kalau yang membawa Mahisa Agni itu bukan Kuda-Sempana, se-tidaksnya aku mendapat kesempatan untuk mendapat kawan mati dan bahkan melarikan kudanya bersama Mahisa Agni. Mungkin aku akan berhasil memancing salah seorang dari keduanya untuk mengejarku diatas kudanya.
Tetapi ia tidak dapat mengingkari kenyataan. Yang duduk diatas punggung kuda itu adalah Kuda-Sempana, seorang dari muridnya.
Perkelahian diarena menjadi semakin sengit. Namun menjadi semakin jelas pulalah bahwa Empu Sada menjadi semakin terdesak. Hanya karena tekadnya yang bulat serta hampir-hampir didasari oleh keputusasaan, muka justru tenaganya menjadi kian dahsyat. Tetapi Kuda-SeMpuna yang semakin jauh dari perkelahian itu masih juga sempat melihat bahwa gurunya ber-kali2 terdorong surut, bahkan terbanting jatuh. Untuk melawan kedua lawannya itu Empu Sada bcnar2 telah memeras segenap tenaga, kemampuan dan ilmunya. Jatuh bangun ia berjuang. Terbersit tekad didalam dadanya "Aku akan membawa salah seorang dari mereka untuk menemaniku meninggalkan dunia yang fana ini.
Kuda-Sempana akhirnya tidak sampai hati lagi melihat gurunya berjuang mati-matian dalam kesulitan. Ia tidak sampai hati melihat gurunya terbanting kemudian melenting berdiri untuk segera terdorong pula surut kebelakang. Sejenak kemudian Empu Sada itu harus meloncat jauh-jauh mengambil jarak dari kedua lawannya yang menyerangnya dari jurusan yang berbeda.
Dengan hati yang pedih, lebih pedih dari segala macam penderitaan yang dialaminya selama ini, Kuda-Sempana segera memukul perut kudanya dengan tumitnya. Kuda itu terkejut dan segera meloncat seperti gila. Menembus keremangan ma lain yang ditandai oleh sesisir bulan yang sedang berkalang. Kuda-Sempana sendiri bagaikan orang gila me-lecut2 kuda itu se-kuat2 tenaganya. Ia ingin segera menjauhi tempat ja hanam itu. Ia ingin melupakan apa yang baru saja dilihatnya. Dan ia sama sekali ingin melenyapkan gambaran-gambaran apa yang akan terjadi atas gurunya. Karena itulah maka ia ber pacu se-kuat-kuat kaki kudanya. Hampir-hampir ia tidak memperhatikan lagi Mahisa Agni yang tersangkut dipunggung kuda itu pula.
Demikianlah Kuda-Sempana berusaha melarikan diri dari kenangan dan angan-angannya masa-masa lampau dan masa-masa yang akan datang. Dengan demikian iapun se-akan-akan melupakan dirinya sendiri masa kini. Ia tidak tahu kemana kudanya akan pergi. Tetapi kuda itu adalah kuda yang dibawanya dari Kemundungan, sehingga kuda itu berlari menurut jalan yang dikenalnya. Kemundungan.
Sedang dibelakang Kuda-Sempana itu gurunya bertempur antara hidup dan mati. Disadarinya bahwa nyawanya sebentar lagi akan meninggalkan tubuhnya. Tetapi ia tidak akan menyerahkan nyawanya seperti seekor lembu dipembantaian.
Namun tiba-tiba perkelahian yang semakin seru dan semakin berat sebelah itu terganggu. Telinga mereka yang tajam itu mendengar suara derap seekor kuda dikejauhan. Semakin lama semakin dekat.
Kebo Sindet yang berada dipunggung kuda menengadah kan wijahnya Perlahan-lahan ia berdesis seperti kepada diri sen diri "Apakah yang datang itu pande keris dari Lulumbang"
Wong Sarimpatpun mengumpat didalam hatinya. Iapun menyangka bahwa yang datang itu pasti Empu Gandring. Ka rena itu, maka dengan penuh nafsu ia berteriak "Mari kita selesaikan tikus tua ini kakang. Sebentar lagi kita bantai orang yang datang untuk membunuh diri itu.
Kebo Sindet memandangi Empu Sada yang sedang berusa ha mengelakkan serangan Wong Sarimpat. Dengan suara be rat dan datar ia menjawab "Huh. Satu lagi datang seorang yang ingin membunuh Empu Sada itu pula. Wong Sarimpat. Nanti kalau orang itu datang, biarlah kita ber-sama-sama menguliti Empu yang malang ini. Bukankah orang itu Empu Gandring" Ia pasti menyangka bahwa Empu Sadalah yang menjadi biang keladi dari peristiwa ini. Nah, kira-kira orang tua itu akan berbuat apa"
Empu Sada tidak menghiraukan apa yang mereka perca kapkan. Tetapi ia menyerang lawannya se-jadisnya, semakin lama semakin dahsyat, seperti angin pusaran dimusim ke-sanga.
Wong Sarimpat yang lebih banyak menjadi sasaran serangan Empu Sada itu mengumpat didalam hati. Tetapi ia ti dak begitu yakin akan kata-kata kakaknya. Karena itu, maka bagi nya, lebih baik membunuh orang tua ini lebih dahulu dan ke mudian membunuh Empu Gandring ber-sama-sama pula daripada berteka-teki tentang apa yang akan dilakukan oleh Empu Gandring. Dengan demikian maka tandangnyapun menjadi semakin buas. Ia ingin segera membinasakan Empu Sada itu secepatnya.
Tetapi Empu yang tua itu ternyata membuat perhitungan sendiri. Mungkin Empu Gandring, paman Mahisa Agni itu mendendamnya dan menyangka bahwa ialah biang keladi dari penculikan kemenakannya itu. Tetapi yang datang itu benar Empu Gandring dan melihat perkelatian itu, maka ia pasti akan memihak Empu Gandring pasti akan memihaknya. Sebab ia adalah pihak yang lemah. Apabila Empu Gandring itu berhasil keluar dari perkelahian itu bersamanya, mengalahkan kedua iblis dari Kemundungan. dan seandainya Empu Gandring masih tetap dalam pendiriannya menyangka dirinya dengan tuduhan itu, maka lawannya adalah pihak yang lemah. Bukan kedua orang iblis itu lagi.
Dengan demikian Empu Sada bertekad untuk bertempur terus. Meskipun Empu Sada itu menjadi semakin terdesak, tetapi ia mempunyai harapan untuk bertahan sampai kuda itu menjadi semakin dekat Segala cara ditempuhnya untuk menyelamatkan dirinya. Me-loncat-loncat, ber-lari-lari, me-lingkar-lingkat pada gerumbul-gerumbul liar. Ia tidak peduli lagi apa yang dikatakan orang tentang dirinya. Ia akan mempergunakan segala cara.
Kebo Sindet dan Wong Sarimpat iuciig-umpat-umpat didalam hati. Bahkan Wong Sarimpat brr-teriaka "He Empu Sada apakah kau sudah kehilangan sama sekali harga dirimu. Ba gaimana mungkin seorang Empu yang sakti bertempur dengan cara itu Empu Sada tidak menyahut. Ia bertempur semakin liar. Sama sekali tak diperhatikannya lagi tata kesopanan didalam perkelahian.
Sementara itu derap kuda dikejauhanpun menjadi se makin dekat. Harapan Empu Sadapun menjadi semakin ber kembang. Tetapi Kebo Sindet dan Wong Sarimpat menjadi semakin keras meng-umpat-umpat.
Akhirnya mereka, yang sedang bertempur itu melihat seekor kuda berpacu seperti angin mendekati titik perkelahian itu.
Dalam pada itu, terdengar Kebo Sindet berkata "Empu Sada, kalau Empu Gandring itu menjadi semakin dekat maka nyawamupun akan menjadi semakin pendek.
Empu Sada masih tetap tidak menjawab. Tetapi senja tanya bergerak semakin mantap.
Kini kuda yang datang itu telah menjadi semakin dekat, dan sesaat kemudian kuda itu berhenti. Benarlah dugaan Ke bo Sindet dan Wong Sarimpat bahwa penunggangnya adalah Empu Gandring.
Demikian kuda itu berhenti terdengar Wong Sarimpat berteriak "Empu Gandring inikah orangnya yang kau cari.
Empu Sada segera meloncat jauh kesamping untuk me lepaskan diri dari perkelahian. Dengan sebuah senyuman ia menyambut kedatangan Empu Gandring, katanya "Selamat malam Empu, telah cukup lama kami menunggu kedatanganmu.
Empu Gandring yang duduk diatas punggung kudanya termenung sejenak melihat apa yang sedang terjadi. Ia tidak dapat segera mengerti, mengapa Kebo Sindet dan Wong Sarimpat bertempur melawan Empu Sada. Yang terdengar kemudian adalah suara Kebo Sindet kepada Empu Gandring "Kau telah menemukan orangnya, sumber bencana yang menimpa Mahisa Agni.
Tetapi Empu Gandring tidak segera memberi tanggapan Ia masih saja duduk membeku diatas punggung kudanya. Sementara itu Wong Sarimpat berteriak "Mengapa kau masih saja seperti patung.
Kebo Sindetlah yang menyahut "Apakah kau memerlukan penjelasan, Empu Gandring.
Empu Gandring menarik nafas dalam-dalam. Ia ingin menghadapi persoalan itu dengan tenang, supaya ia tidak terperosok dalam suatu sikap yang salah.
Kebo Sindet terdengar berkata lagi "Empu Gandring apa kah kau masih sangsi bahwa kemanakanmu telah dilarikan oleh murid Empu Sada. Kau melihat sendiri bahwa Mahisa Agni berada dipunggung kuda yang dipergunakan oleh Kuda-Sempana. Memang akulah yang telah berbuat langsung, tetapi aku hanyalah sekedar alat. Aku tidak tahu maksud Empu Sada yang sebenanrya, dengan menculik Mahisa Agni. Baru kemudian aku tahu setelah aku menyerahkannya kepadanya. Terryata dendam murid Empu Sada telah begitu tajam meracuni hatinya, sehingga kedua guru dan murid ini begitu sampai liati untuk berbuat diluar peri kemanusiaan atas Mahiga Agni. Sehingga kami berdua berusaha mencegah. Kemudian yang terjadi ada lah seperti yang kau lihat ini. Kami berdua terpaksa bertem pur melawan Empu Sada. Nah Empu Gandring sekarang terserah padamu apa yang akan kau lakukan. Kau akan dapat ber-sama-sama kami membunuh Empu Sada ini, kemudian ber-sama-sama kami pula mengejar Kuda-Sempana. Sebab selama kami ber teMpur Kuda-Sempana telah sempat melarikan Mahisa Agni.
Empu Gandring masih tetap mematung. Dilayangkannya pandangan matanya mengedari arena perkelahian itu. Dilihat nya Empu Sada berdiri tegak disisi sebuah parit yang kering. Ketika pandangan mata mereka beradu maka berkatalah Empu Sada "Empu Gandring, kau telah mendengar penjelasan Kebo Sindet dan Wong Sarimpat. Tetapi apakah kau dapat mempercayainya.
Empu Gandring masih tetap tidak meiijawab. Dan Empu Sadapun berkata lebih lanjut "Empu Gandring, aku menyesal bahwa aku tidak mendengarkan nasrliatniu dahulu, seperti Bojong Santi pernah menasehali aku juga Kalau aku berhubungan dengan kedua iblis dari Kemundungan itu maka aku pasti akan ditelannya, Ternyata nasehatmu itu benar-benar terjadi aku kini telah kehilangan semuanya. Muridkupun telah dirampasnya pula, sedang muridku yang lain telah dibunuhnya. Empu Gandring, kini Mahisa Agni itupnu telah diambilnya untuk kepentiggan yang kotor. Mereka ingin mempergunakan Mahisa Agni untuk melakukan pemerasan. Adalah Kuda-Sempana yang memberitahukan kepada mereka, kedua iblis dari Kemundungan itu, bahwa bakal permaisuri Tunggul Ametung sangat mengasihi kakaknya, Mahisa Agni.
"Bohong" potong Kebo Sindet "jangan memperca yainya.
"Empu Gandring" berkata Empu Sada pula "Kau telah mendengar penjelasan Kebo Sindet dan Wong Sarimpat, dan kau telah mendengar penjelasanku pula. Kemudian terserah kepadamu manakah yang menurut pertimbanganmu dapat kau percaya.
"Hebat " teriak Wong Sarimpat "Pembelaanmu hebat sekali Empu. Tetapi sayang bahwa hanya anak-anak kecil sajalah yang mempercayainya. Tetapi sudah tentu bukan Empu Gandring dan kami berdua yang sudah kenyang makan garam.
Empu Sada sama sekali tidak menanggapi teriakan Wong Sarimpat. la tidak ingin terlampau banyak berbicara. Tetapi ia yakin bahwa Empu Gandring dapat melihat keadaan dengan wajar, sebab orang itu dahulu pernah mengatakan kepada nya sedikit tentang Kebo Sindet dan Wong Sarimpat. Karena itu maka Empu Sada membiarkan saja Wong Sarimpat ber-teriak-teriak terus "Empu Gandring apa lagi yang kita tunggu" Marilah kita selesaikan saja gurunya, kemudian marilah kita susul muridnya kepadepokan Empu Sada. Mahisa Agni itu pasti di bawanya kesana untuk diperlakukannya dengan biadab. "Wong Sarimpat berhenti sejenak. Tetapi karena Empu Gan dring masih belum menjawab, maka ia berkata selanjutnya "Atau kau ingin mendahului kami menyelamatkan kemenakanmu itu. sementara kami menyelesaikan orang ini" Nanti sesudah pekerjaan ini selesai, maka kamipun akan menyusulmu kepadepokan Empu Sada itu.
Ketika Wong Sarimpat terdiam, maka kesenyapan segera menerkam suasana. Kebo Sindet, Wong Sarimpat dan Empu Sada menjadi tegang menunggu sikap Empu Gandring. Keputusan orang itu akan menentukan keadaan. Apabila Empu Gandring berpihak kepada Kebo Sindet dan Wong Sarimpat, bersama-sama membinasakan Empu Sada, maka kemudian iapun pasti akan binasa pula ditangan kedua iblis itu. Tetapi kalau ia berpihak kepada Empu Sada, maka keadaannya akan berbeda.
Tetnyata perhitungan Empu Gandring tidak jauh berbeda dengan perhitungan Empu Sada. Kalau ia berpihak kepada Empu Sada, maka seandainya ia masih menjumpai persoalan dengan orang itu, maka kedudukan mereka pasti akan seimbang. Bahkan mungkin tiga hari, seminggu dan bahkan setahun, mereka tidak akan dapat menentukan siapakah yang akan menang dan akan kalah. Mungkin Empu Gandring mempunyai beberapa kelebihan dari Empu Sada, tetapi dalam perkelahian terbuka, maka kelebihan yang hanya selapis itu tidak akan banyak berpengaruh. Apalagi melihat cara Empu Sada berkelahi saat ini. Me-loncat-loncat. ber-lari-lari bersembunyi dan melingkari pepohonan yang daun-daunnya menjadi berguguran. Karena itu ma ka Empu Gandring membulatkan tekadnya. Ia memilih berpihak kepada Empu Sada. Pengenalannya kepada mereka, yang sedang berkelahi itu telah mendorongnya untuk mengambil keputusan itu.
Dalam ketegangan itu Empu Gandring menggerakkan kudanya beberapa langkah maju. Keris raksasanya ternyata masih saja berada didalam genggamannya. Sejenak ia mengawasi ketiga orang yang tegang mematung.
Akhirnya terdengarlah suaranya membelah kesenyapan "Empu Sada, aku berpihak kepadamu. Meskipun setelah pertem puran ini selesai, entah sehari, atau seminggu, aku masih harus berurusan dengan kau.
"Baik EMpu" sahut Empu Sada "aku terima syaratmu. Ternyata kau cukup bijaksana menentukan pilihan.
"Persetan kalian" tiba-tiba Kebo Sindet berteriak nyaring. Tanpa berkata sepatah katapun lagi, kudanya meluncur dengan cepatnya menyerang Empu Gandring. Untunglah bahwa selama ini Empu Gandring tidak meninggalkan kewaspadaan, sehingga ketika golok iblis itu mematuknya, maka Empu Gan dringpun segera menangkisnya dengangan keris raksasanya.
"Hem" Empu Gandring menggeram "kau segera mulai Kebo Sindet. Baiklah. Aku memang ingin segera menyelesaikan persoalan ini.
Kebo Sindet tidak mcnjawab. Kudanya segera berputar untuk melakukan serangan sekali lagi.
Demikianlah maka Kebo Sindet dan Empu Sada itu segera terlibat dalam perkelahian yang seru. Masing-masing adalah orang-orang yang pilih tanding Meskipun Empu Gandring tidak setangkas Kebo Sindet bermain-main dengan kuda, tetapi ketangkasnnya menggerakkan senjata dapat mengimbangi kekurangannya, sehingga perkelahian itupun menjadi seimbang.
Keduanya sambar menyambar dengan dahsyatnya. Scnjata2 mereka terayun-ayun dan berputaran. Se-olah-olah dilangit telah berterbangan seribu macam senjata dari kedua jenis senjata itu. Keris-keris raksasa dan golok-golok yang berkilat-kilat.
Empu Sada masih saja berdiri disisi sebuah parit yang kering Perlahan-lahan ia melangkah maju sambil menarik nafas dalam-dalam. Kini ia mempunyai harapan lagi untuk mempertahankan hidupnya dan menolong Mahisa Agni. Dengan penuh minat diperhatikannya perkelahian yang dahsyat antara Empu Gandring dan Kebo Sindet yang masing-masing berada dipunggung kuda. Seperti sedang melihat sepasang burung garuda yang bertempur diudara.
Ditempat lain Wong Sarimpatpnn memandang prrkelahian itu dengan penuh gairah. Tanpa disidarina sekali-sekali tangannya menyentuh-nyentuh luka dipangkal lengannya. Meskipun luka itu sudah tidak berdarah lagi, tetapi masih juga terasa, bahwa luka itu agak mengganggunya. Namun agaknya Wong Sarimpat tidak mempunyai kesempatan untuk memperhatikan luka itu2 Ketika sa berpaling dilihatnya Empu Sada berjalan per-lahan-lahan kearahnya sambil berkata "Wong Sarimpat, kini keadaan menjadi berubah. Nah, sekarang kau tidak perlu meng-umpat-umpat lagi. Aku tidak akan ber-lari-lari, me-loncat-loncat dan bersembunyi seperti seekor kera kepanasan.
"Persetan" sahut Wong Sarimpat "kau telah berhasil menipu pande keris itu.
"He" Empu Sada mengerutkan keningrya "apakah aku menipunya" Ah, jangan begitu Wong Sarimpat. Kau tahu apa yang sebenarnya telah terjadi. Dan kau masih juga berkata aku menipunya.
Wong Sarimpat menggeram. Digerakkannya goloknya dan iapun maju selangkah demi selangkah menyongsong Empu Sada yang mendekatinya.
Keadaan menjadi semakin tegang, sejalan dengan langkah2 mereka, Empu Sada dan Wong Sarimpat, yang jaraknya menjadi semakin dekat. Kini senjata-senjata mereka telah siap untuk dipergunakan. Sebuah golok besar ditangan Wong Sarimpat dan Empu Sada masih tetap menggegam potongan
tongkatnya ditangan kanan dan pedang Kuda-Sempana ditangan kirinya.
Ketika jarak mereka sudah tidak lebih dari ampat langkah lagi, tanpa berjanji, serentak merekapun berlari. Sejenak mereka saling berpandangan. Tak sepatah katapun mereka uyapkan, tetapi lewat sorot mata mereka melontarlah segala macam kebencian, dendam, marah bercampur-baur.
Tetapi waktu itu tidak terlampau lama. Sesaat kemudian dengan sebuah teriakan yang nyaring Wong Sarimpat meloncat menyerang. Seperti petir menyambar dilangit, goloknya menyambar lawannya. Tetapi Empu Sada telah siap menanti saat yang demikian. Itulah sebabnya maka ia sama sekali tidak terkejut. Segera ia menyesuaikan dirinya, sehingga dengan kecepatan yang sama Empu Sada membebaskan dirinya dari serangan itu. Tetapi sekejap kemudian, Empu Sadalah yang berganti menyerang. Kedua senjatanya berderak susul menyusul, demikian cepatnya bagaikan ber-puluh-puluh ujung scnjata yang ditaburkan ber-sama-sama.
Mengalami serangan itu, sekali lagi Wong Sarimpat berteriak nyaring. Ia terpaksa meloncat surut beberapa langkah. Tetapi sesaat kemudian mereka telah terlibat kembali dalam pertarungan yang sengit. Pertarungan dari dua orang yang menyimpan dendam sedalam lautan didalam dada masing-masing. Dengan demikian maka pertarungan itu menjadi pertarung an yang sangat dahsyat. Masing-masing sama sekali sudah kehilangan pengendalian diri. Yang ada didalam hati mereka tinggallah nafsu untuk membunuh lawannya, dengan jalan dan cara apapun juga. Sehingga perkelahian ku segera menjadi keras dan kasar, seperti perkelahian dua ekor harimau yang paling buas didalam rimba yang sama sekali tidak pernah bersentuhan dengan peradaban.
Disisi yang lain dua ekor kuda masih saling menyambar. Dengan gelora didalam dada yang tidak kalah serunya, Empu Gandring dan Kebo Sindetpun bertempur mati2an. Senjata-senjata mereka yang ter-ayun2 diudara serta benturan2 yang terjadi tak ubahnya seperti lidah api yang berlaga dilangit. Percikan
bunga api yang terjadi dalam setiap benturan senjata, seperti bunga2 yang membara yang ditaburkan dari langit.
Sementara itu bulan yang sepotong masih bergayutan dilangit Sinarnya yang kc-kuningiaa menjadi semakin kabur, disaput oleh warna ke-merah^an yang memancar dari timur. Angin yang silir berhembus lembut, menyentuh deduunun yang telati menjadi ke-kumng2an. Gcmcrisik suaranya sc-oleh2 membawa kabar bahwa sebentar lagi fajar akan segera datang.
Ketika warna merah dipunggung bukit diujung Timur menjadi semakin nyata, maka satu-satu bintangpun mencari tempat persembunyiannya, supaya wajahnya yang cantik tidak menjadi terbakar oleh terik matahari yiing gunus.
Ternyata mereka yang sedang bertempurpun masih juga mempunyai kesempatan menyadari bahwa fajar hampir menyingsing. Tetapi justru karena itu, maka mereka menjadi gelisah. Apabila hari menjadi pagi, maka ada kemungkinan, seseorang melihat perkelahian ditengah-tengah padang yang kering itu. Apabila demikian, maka keadaan akan menjadi berbahaya. Terutama bagi Kebo Sindet dan Wong Sarimpat. Apalagi apabila anak muda yang aneh, yang berpakaian prajurit Tumapel itu datang pula kearena ini.
Karena itu, maka baik Kebo Sindet maupun Wong Sarimpat, kemudian bertempur semakin bernafsu. Mereka ingin segera menyelesaikan perkelahian itu. Namun lawan-lawan mereka pun berbuat serupa. Sehingga dengan demikian, maka perkelahian itu se-olah-olah hampir tidak ada perubahan apapun. Perkelahian itu masih tetap seimbang dan dalam keadaan yang sama seperti perkelahian itu baru dimulai.
Sekali-sekali terbersit ingatan dikepala Kebo Sindet untuk menghindar saja dari arena, tetapi ia tidak akan dapat meninggalkan adiknya bertempur sendiri. Karena itu maka tak habis-habisnya ia mengumpati Empu Sada yang licik, yang ternyata telah menyerang kuda-kuda mereka sehingga kini Wong Sarimpat terpaksa bertempur diatas tanah.
Seandainya Kebo Sindet berusaha membawa Wong Sarimpat bersamanya diatas satu punggung kuda, maka kesempatan
itu sangat berbahaya bagi adiknya. Pada saat adiknya meloncat, maka Empu Gandring dan Empu Sada dapat menyerang bersama, sehingga sangat sulitlah untuk menghindarkan diri.
Karena itu, maka tidak ada jalan lain daripada berkelahi terus. Bahkan Kebo Sindet itu menjadi semakin garang dan semakin bernafsu, seperti Wong Sarimpat. Bahkan Wong Sarimpat itu telah hampir sampai kepuncak kemarahannya. lamenjadi semakin muak melihat sikap Empu Sada yang didalam pandangan matanya menjadi semakin liar. Namun sebaliknya Empu Sadapan menjadi semakin mendendam Wong Sarimpat yang didalam pandangan matanya menjadi semakin buas.
Sebenarnyalah bahwa kedua orang itu telah sama-sama kehilangan nilai-nilai tata kesopanan dalam pertarungan tanding. Mereka berbuat apa saja. Bahkan Wong Sarimpat yang sedang mata gelap telah berusaha menaburkan segenggarn pasir kedalam mata Empu Sada. Untunglah Empu Sada dapat menghindar dengan cepat, dengan meloncat jauh-jauh kebelakang. Namun Empu Sadapun telah memukul pula dengan tongkatnya seonggok batu karang yang diarankaniiya kepada lawannya. Tetapi Wong Sarimpatpun dengan lincah dapat pula menghindari. Meskipun karena itu, maka ia mengumpat-umpat dengan bahasa yang paling kotor yang pernah dikenalnya.


02 Pelangi Di Langit Singasari Karya S H. Mintarja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Akhirnya Wong Sarimpat itu tidak dapat bersabar lagi. Ia merasa wajib untuk segera memusnakan lawannya. Kalau ia tidak dapat membinasakannya dengan wajar, maka ia harus mempergunakan tenaga simpanannya. Aji kebanggannya se perti yang dimiliki oleh kakaknya, Aji Bajang.
Dan Wong Sarimpat merasa, bahwa kini saatnya telah tiba baginya untuk mempergunakan Aji itu. Meskipun ia tahu, bahwa Empu Sadapun memiliki pula kekuatan yang ak"n dapat mengimbangi Aji Pajangrya, namun dengan demikian, maka persoalannya akan lebih cepat selesai. Yang hancur akan lebih cepat hancur dan yang menang akan lebih cepat melihat kemenangannya. Namun Wong Sarimpat itutun me ngerti juga, bahwa masih ada kemungkinan2 yang lain. Hancur ber-sama-sama atau Aji2 itu tidak berguna sama sekali. Apabila demikian, maka perkelahian itu akan berlangsung terus
Mungkin sehari lagi, seminggu atau apabila salah seorang telah menjadi kelaparan.
Tetapi Wong Sarimpat tidak mau dirisaukan oleh seribu satu macam pertimbangan. Ia ingin mempergunakan Aji Bajangnya saat ini. Habis perkara.
Dengan demikian maka Wong Sarimpat itu segera mengambil jarak dari lawannya. Disilangkannya goloknya dimuka dadanya. Dipusatkannya segenap kekuatan dan dilinupunnya menjadi kekuatan yang dahsyat. Kekuatan lahir dan batin yang didapatnya dengan segala macam jalan. Jalan yang hitam. Yang ditemuinya di bawah kclaiiinya pulmu2 tua yang rimbun, dibalik batu-batu yang besar dan didalam gclapnya goa2 yang lembab.
Empu Sadapun segera melihat apa yang sedang dihadapi nya. Karena itu ia tidak boleh ber-main-main lagi menghadapi sikap lawannya. Iapun harus berbuat serupa pula. Menggerak kan segenap daya dan kekuatan yang ada padanya, memusatkannya dan kemudian menyalurkannya dalam wujud dan sifatnya yang dahsyat.
Demikianlah kini ke-duadnya telah berhadapan dalam puncak kemampuan. Wong Sarimpat telah siap melontarkan Aji Bajang lewat goloknya yang besar dan Empu Sadapun telah memusatkan Aji Kala Bama pada tangan kananya yang telah siap mengayunkan potongan tongkatnya. Kali ini ia mengharap bahwa tongkatnya yang telah patah dan menjadi pendek itu tidak akan terpatahkan lagi.
Waktu yang mereka perlukan ternyata tidak terlampau banyak. Segera merekapun telah berada dalam puncak kesiagaan dalam ilmu tertinggi. Sekejap kemudian terdengar dua buah teriakan nyaring yang hampir berbareng meluncur dari mulut Wong Sarimpat dan Empu Sada. Dan keduanyapun segera berloncatan seperti tatit yang meloncat dan kemudian bersabung dilangit.
Benturan yang terjadi benar-benar sebuah benturan yang dahsyat. Benturan antara Aji Bajang dan Kala Bama untuk yang kedua kalinya dimalam itu, sesudah Empu Sada membentur Aji yang sama yang dilontarkan oleh Kebo Sindet.
Kali inipun akihatnya tidak pula kalah dahsyatnya. Bahkan Kebo Sindet dan Empu Gandring yang sedang bertempur itupun tertegun sejenak. Kuda-kuda merekapun berhenti brr-lari2 dan se-olah-olah merekapun ingin menyaksikan, apa yang akan terjadi sesudah benturan itu.
Ternyata Wong Sarimpat dan Empu Sada ber-sama-sama terdorong beberapa langkah surut. Mereka seakan-akan terlempar dan melambung diudara untuk sejenak kemudian terbanting jatuh ditanah. Namun demikian tubuh-tubuh mereka menyentuh tanah, maka merekapun segera melenting bangkit berdiri, dan bersikap kembali menghadapi setiap kemungkinan.
Meskipun demikian terasa sesuatu pada tubuh mereka. Terasa tangan-angan mereka menjadi nyeri karena tekanan senjata-senjata mereka pada saat benturan terjadi. Hanya tangan-angan yang dilambari oleh kekuatan yang sedahsyat kekuatan yang berbenturan itulah, yang masih akan mampu bertahan menggenggem senjata masing-masing. Apa bila tangan-angan itu adalah tangan-angan wajar, maka jari-jarinya pasti akan patah berserakan ditanah, dan tulang lengannya akan hancur ber-keping-keping. Tetapi tangan-angan itu ternyata masih utuh meskipun terasa juga, genggamannya menjadi mengendor.
Empu Sada yang mempergunakan hanya sepotong tongkat, merasakan, bahwa tekanan ditangannya agak terlampau keras, meskipun senjatanya tidak terpatahkan lagi. Sedang Wong Sarimpatpun merasakan sesuatu yang tidak wajar pada pangkal lengannya yang terluka. Agaknya dalam benturan yang terjadi, oleh desakan kekuatan yang menghentak, maka luka itu mulai mengalirkan darah lagi.
"Setan alas" bentak Wong Sarimpat "tangan ini agaknya akan mengganggu.
Sejenak kemudian Wong Sarimpat meraba bumbung kecil didalam kantong ikat pinggangnya yang dibuatnya dari kullit. Ia masih mempunyai beberapa butir reramuan obat disana. Tetapi Empu Sada yang melihatnya, tidak ingin memberinya kesempatan sama sekali. Orang itu telah benar-benar menjadi mata gelap, dendam, benci, muak dan segala macam perasaan, telah mendorongnya untuk berbuat dengan nafsu yang
me-luap-luap. Dengan cepat sekali lagi ia mempersiapkan Aji Kala Bama. Ia harus cepat menyerang sebelum Wong Sarimpat sempat menahan arus darah yang meleleh dari luka dipang kal lengannya itu.
Wong Sarimpat yang melihat sikap itu mengumpat keras-keras. Tetapi ia sadar, bahwa apabila ia terlambat menyambut. kekuatan itu, maka iapun akan menjadi lumat. Karena itu maka niatnya untuk mengambil obat diurungkannya. Segera iapun bersiap menyambut serangan yang bakal dalang. Dan serangan itu kini dilakukan oleh Empu Sada. Bukan oleh dirinya.
Sekali lagi mereka berteriak nyaring. Sekali lagi mereka berloncatan sambil mengayunkan senjata-senjata mereka. Dan sekali kah lagi benturan yang sedahsyat semula itu lerjadi.
Namun ternyata akibatnya lebih dahsyat dari pada benturan yang pertama. Dalam benturan ini, ternyata tangan-angan inereka sudah tidak kuasa lagi mempertahankan senjata-senjata mereka tetap ditangan. Terasa betapa perasaan pedih dan nyeri menyengat tangan-angan mereka, dan senjata-senjata mereka yang berbenturan ituyun meloncatlah ber-sama-sama dari tangan-angan mereka. Meskipun segera mereka bangkit kembali setelah terbanting jatuh, dan kemudian berdiri berhadapan lagi, tetapi mereka ternyata sudah tidak bersenjata sama sekali.
Empu Sadapun baru menyadari, bahwa Pedang ditangan kirinya agaknya telah terlepas pula dari tangannya, pada saat-saat ia terlempar dan terbanting jatuli ditanah. Dengan demikian maka kini mireka ber-hadap-hadapan tanpa sehelai senjatapun. Yang ada pada mereka hanyalah anggauta badan mereka, Tangan, kaki dan tubuh yang terdiri dari kulit, daging dan tulang belulang itu.
Tetapi ternyata bahwa nafsu ke-dua-duanya benar-benar tidak lagi dapat terkendali. Mereka benar-benar sudah- tidak dapat berpikir lagi, apakah yang s^baiknya mereka lakukan. Yang ada didalam kepala mereka adalah nafsu untuk membunuh. Membunuh. Tidak ada yang lain.
Karena itu, maka seperti berjanji merekapun segera mempersiapkan diri untuk melontarkan kembali kekuatan ilmu mereka yang tertinggi.
Empu Garding dan Kebo Sindet, betapa kemarahan dan kebencian merekapun membakar dada, namun mereka masih sempat menyaksikan perkelahian dua orang yang seakan-akan telah kehilangan diri pribadi. Seakan-akan mereka telah kepanjingan iblis yang sedang berlaga didalam tubuh-tubuh mereka.
Karena itu krlika Kebo Sindet melibat Wong Sarimpat dan Empu Sada mempersiapkan kekuatan ilmu tertinggi mereka, maka hatinyapun berdesir. Tanpa dikehendakinya ia berteriak "Wong Sarimpat, hati-hati dengan luka ditanganmu. Lebih baik kau memungut senjatamu.
Tetapi Wong Sarimpat tidak sempat berbuat sesuatu. Bahkan kata-kata kakaknya itu se-akan-akan tidak didengarnya. Orang itu sudah tidak lagi sempat berpikir tentang luka-lukanya yang akan dapat menjadi berbahaya baginya. Sebenarnya dalam keadaan nya Wong Sarimpat lebih baik berusaha membenturkan senjatanya daripada tubuhnya. Lebih baik pula baginya, bertempur tanpa benturan-benturan meskipun setiap ayunan dilambari oleh Aji Pamungkas masing-masing.
Kebo Sindet tidak dapat berbuat apa-apa lagi ketika ia melibat kedua orang yang seolah-olah telah menjadi gila itu siap untuk saling menerkam. Ketika ia menggerakkan kudanya, maka Empu Gandringpun telah bergerak pula. Dengan demikian maka Kebo Sindet dapat menyadari keadaannya, bahwa Empu Gandring tidak akan dapat ditinggalkannya, walaupun hanya sejenak.
Maka yang dapat dilakukan hanyalah melihat apa yang bakal terjadi dengan hati yang ber-debar-debar. Dua ekor binatang buas yang kelaparan sedang berlaga memperebutkan sepotong tulang. Tak akan ada kekuatan yang dapat memisah kannya, selain maut telah merenggut jiwa mereka atau salah satu daripadanya.
Sejenak kemudian Empu Gandring dan Kebo Sindet menahan nafasnya. Se-olah-olah mereka sendiri terseret pula didalam loncatan yang garang dan kemudian ikut pula dalam benturan yang segera terjadi.
Tetapi Wong Sarimpat ternyata bukan seorang yang benar telah menjadi gila. Ia menyadari keadaannya. Keadaan luka dipangkal lengannya. Karena itu, maka saat mereka telah saling meloncat dan mengayunkan tangan-angan mereka, maka Empu Sada melihat, bahwa tangan Wong Sarimpat itu sengaja tidak membentur tangannya, tetapi langsung mengarah kedadanya.
Empu Sada tergagap sesaat menghadapi keadaan itu. Tetapi keadaan sudali berada dipuncak yang paling gawat. Empu Sada sudah tidak dapat berbuat apapun lagi. la tidak mau hanya sekedar membentur tangan Wong Sarimpat yang mengarah kedadanya, sebab dengan demikian maka geraknya akan tidak seimbang. Ia berada pada keadaan sekedar bertahan karena perimbangan gerak yang menguntungkan Wong Sarimpat. Karena itu, maka Empu Sada yang sedang menjadi kalap itupun tidak mau terlampau banyak berpikir dan menimbang, la tidak lagi memperhitungkan tangan dan gerak Wong Sarimpat. Letak tangan Wong Sarimpat yang mengarah kedadanya itu memberinya kesempatan yang serupa. Dada Wong Sarimpatpun tidak terlindung karenanya. Karena itu, maka Empu Sada itupun memusatkan perhatiannya kearah dada lawannya. Tak ada lagi yang nampak dimatanya selain dada Wong Sarimpat. Dada yang selama ini dimuati oleh segala macam nafsu dan kehendak yang hitam lekam, sifat dan watak yang kotor dan liar.
Benturan yang terjadi kemudian adalah benturan yang mengerikan. Terdengar mereka berdua berteriak nyaring hampir bersamaan untuk mentuntaskan segenap kekuatan yang tersimpan didalam puncak ilmu masing-masing. Tetapi sejenak kemudian disusul pula oleh dua buah teriakan yang mengerikan ketika tangan-angan itu telah menghantam dada lawan masing-masing.
Empu Gandring dan Kebo Sindet yang melihat benturan itu menahan nafas masing-masing. Benturan itu benar-benar sebuah benturan yang paling gila yang pernah mereka lihat. Masing-masing sengaja menghindari sentuhan tangan, tetapi masing-masing langsung mengarah dan menghantam dada.
Kedua orang itu terlempar jauh-jauh kebelakang. Terdengar tubuh-tubuh mereka terbanting jatuh ditanah seperti seonggok pasir.
Demikian keduanya jatuh ditanah, maka keduanyapun sama sekali sudah tidak bergerak-gerak lagi. Yang terdengar adalah sebuah teriakan yang mengerikan meloncat dari sela-sela bibir Wong Sarimpat, umpatan-umpatan yang paling kotor yang pernah di dengar oleh telinga.
"Wong Sarimpat" Kebo Sindet mencoba memanggilnya.
Tetapi Wong Sarimpat sudah tidak menjawab lagi. Dan teriak-teriaknyapun telah terdiam pula. Yang terdengar kemudian adalah sebuah keluhan yang ter-tahan2. Per-lahan-lahan sekali.
"Empu Gandring" berkata Kebo Sindet "apakah kau dapat membiarkan aku melihat adikku sejenak"
Empu Gandring menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia bukan orang yang berhati batu. Ketika ia melihat keadaan itu, maka ia tidak dapat berkeras hati menolak permintaannya. Maka jawabnya "Aku tidak berkeberatan Sindet. Akupun ingin melihat Empu Sada itu.
Kebo Sindet menjadi ragu-ragu sejenak. Dipandanginya Empu Gandring seolah-olah ingin meyakinkan jawaban orang itu sehingga Empu Gandring mengulangi "Libatlah adikmu, aku akan melihat apa yang terjadi dengan Empu Sada itu.
"Baiklah. Kesempatan bagimu untuk membunuhnya dengan mudah supaya ia tidak mengganggumu lagi. Kemudian kau dapat mengejar muridnya kepadepokannya. Apakah kau belum pernah melihat padepokan Empu Sada"
Empu Gandring tidak menjawab. Tak terlintas didalam kepalanya untuk berbuat selicik itu. Empu Sada yang sudah berbaring diam tidak berdaya sama sekali itu pasti tidak akan dapat melawan scandainya ia membunuhnya. Apalagi dengan kerisnya itu, bahkan dengan memijat hidungnya saja, maka lama-lama orang itu akan terputus nafasnya.
Tetapi perbuatan itu adalah perbuatan yang tercela. Apa lagi bagi seorang Empu seperti Empu Gandring. Karena itu betapapun besarnya kebencian, kemarahan dan beribu macam tuntutan didalam hati, namun tidak sepantasnya ia berbuat demikian.
Kebo Sindet itupun kemudian per-lahan-lahan mendekati adiknya. Dengan wajah yang tegang ia meloncat turun dari kudauya. Tampaklah pada wajah yang beku itu beberapa kerut menit melintang didahinya. Dan terdengarlah ia menggeram per-lahan-lahan.
Ketika ia bcrjongkok maka dilihatnya jelas, bahwa dari luka dipangkal lengan Wong Sarimpat itu, darah nya seakan-akan tcrperas habis. Darah yang merah segar.
"Terlambat" desis Kebo Sindet. Tak ada gunanya lagi ia mencoba menaburkan obat pada luka itu untuk menahan arus darah yang mengalir. Sebab nafas Wong Sarimpat hampir-hampir sudah tidak mengalir sama sekali. Ketika Kebo Sindet meletakkan kupingnya diilada adiknya, maka ia menarik nafas dalam-dalam.
Tetapi Kebo Sindet itu tiba-tiba menggeram. Sekali loncat ia telah berdiri. Digenggamnya goloknya erat2 sambil berkata "Empu Gandring. Apakah Empu Sada itu masih hidup"
Empu Gandring yang sedang berjongkok itupun berdiri pula. Ia harus ber-hati-hati melihat sikap Kebo Sindet yang seolah-olah menjadi gila.
"Bagaimana he?" desak Kebo Sindet.
"Orang ini masih hidup" sahut Empu Gandring.
"Empu Gandring, marilah kita lupakan persoalan kita. Tetapi kalau kau tidak mau membunuh setan tua itu, biarlah aku yang melakukannya. Adikku Wong Sarimpat sudah tidak dapat lagi diharap akan hidup. Nafasnya telah hampir putus dan darahnya sudah terlampau banyak yang memancar dari lukanya. Apalagi dadanya telah mengalami luka yang cukup parah pula.
"Apa yang akan kau lakukan terhadap orang ini?" bertanya Empu Gandring.
"Orang itu akan aku bawa kepadepokanku.
"Untuk apa" "Itu adalah urusanku Empu"
Empu Gandring terdiam sejenak. Dipandanginya wajah Kebo Sindet yang berdiri beberapa langkah agak jauh dari padanya. Tetapi ia tidak melihat wajah itu dengan jelas. Yang tampak dalam kesamaran sinar bulan sepotong hanyalah sikapnya yang mengerikan.
Tiba-tiba Empu Gandring itu berkata per-lahan-lahan "Tidak Kebo Sindet. Orang ini adalah tawananku. Aku yang akan mengurus dan menyelesaikannya.
"Siapa bilang" teriak Kebo Sindet tiba-tiba "ia pingsan karena tangin adikku. Adikkulah yang berhak atasnya. Karena adikku akan mati, maka akulah yang berhak berbuat apa saja atas setan tua itu untuk membalas sakit hatiku karena ia telah membunuh adikku.
Tunggulah sampai ia sembuh kembali. Kelak kau akan dapat menemuinya dan membuat perhitungan apabila orang ini akan dapat hidup karena luka-luka yang pernah yang diderita nya kini.
"Aku tidak sabar menunggu waktu itu. Dan apakah kau kehilangan sesuatu apabila ia aku bawa pergi" Kau akan menjidi puas pula. Kau tidak akan terpecik dosanya, tetapi kaupun akan menemukan mayatnya kelak.
Empu Gandring menggelengkan kepalanya. Terbayang di dalam rongga matanya perbuatan Kebo Sindet yang sangat mengerikan.
"Jangan keras kepala Empu" bentak Kebo Sindet "apakah permusuhan kita akan kita teruskan.
"Kebo Sindet" berkata Empu Gandring "aku membenci Empu Sada sampai ke ujung ubun-ubunku, karena orang ini adalah orang yang mencelakai kemenakanku. Orang ini terlampau memanjakan muridnya, sehingga apa saja yang dikehendaki oleh Kuda-Sempana itu dilakukannya. Sampai berbuat nista sekalipun, menghubungi orang-orang seperti kau dan adikmu.
"Kau salah sangka. Ia sama sekali bukan karena memanjakan muridnia, tetapi karena Kuda-Sempana itu menjanjikan upah yang besar kepadanya, dan kepada kami berdua.
Empu Gandring mengerutkan keningnya, tetapi kemudian menjawab "Apalagi demikian, la agaknya telah berusaha pula menjual kemanakanku. Karena itu aku mendendamnya
"Nah, apalagi yang kau sayangkan pada tubuh dan nyawa yang hampir terloncat dari ubun-ubun itu"
"Tetapi bukan seperti itu caraku untuk membalas. Aku ingin merawatnya, dan kemudian membuat perhitungan di-hari-hari mendatang dengan orang ini.
"Akupun akan berbuat demikian.
"Aku sangsi, bukan begitu kebiasaan dan sifatmu. Apa lagi melihat pancaran dendam pada sikapmu kali ini. Kau mungkin akan mencoba membuatnya sadar dan sekedar mem peringan luka^nya. Tetapi kemudian kau akan membunubnya dengan cara yang kau senangi. Atau kau pergunakan untuk kepentingan2 lain, karena muridnya telah melarikan Mahisa Agni. Tetapi yang paling mungkin kau lakukan, kau akan membunuhnya dengan perlahan-lahan.
Terdengar Kebo Sindet menggeram, seperti laku seekor serigala melihat bangkai. Namun Empu Gandringpun telah siap menghadapi setiap kemungkinan yang bakal terjadi. Kerisnya masih saja berada didalam genggamannya, dan setiap saat siap dipergunakannya.
Tetapi ternyata Kebo Sindet tidak segera menyerangnya. Orang itu masih saja berdiri disamping tubuh adiknya yang diam tidak bergerak. Bahkan nafasnyapun semakin lama menjadi semakin tidak teratur.
Sekali lagi Kebo Sindet berpaling memandangi tubuh adiknya yang terbujur membeku ditanah. Tiba-tiba ia berteriak "Empu Gandring. Lihat. Adikku kini telah mati. Apakah kau tidak juga memberikan Empu Sada itu.
Empu Gandring tidak segera menjawab. Ia mencoba memandangi tubuh Wong Sarimpat. Tetapi dari tempatnya berdiri, ia sama sekali tidak dapat melihat apakah Wong Sarimpat itu telah mati atau belum.
Namun sebenarnya Wong Sarimpat telah melepaskan nafasnya yang terakhir. Darah yang terlampau banyak mengalir dari lukanya, serta bekas tangan Empu Sada yang melepaskan Aji Kala Bama telah merusakkan dadanya pula, sehingga karena kehabisan darah, maka daya tahan iblis dari Kemundungan itu menjadi jauh susut. Akhirnya ia tidak dapat mempertahankan hidupnya lagi. Matilah ia disamping kaki kakaknya yang berdiri tegak bagaikan patung. Namun dada orang itu bergelora sedahsyat lautan yang sedang dilanda taufan.
"Bagaimana Empu?" desak Kebo Sindet.
Alangkah marahnya Kebo Sindet ketika ia melihat Empu Gandring menggeleng sambil berkata "Jangan Sindet. Akulah yang akan mengurus orang ini. Sembuh atau tidak sembuh.
"Setan alas" teriak .Kebo Sindet "aku telah kehilangan adikku yang selama ini telah hidup bersamaku bertahun". Kematiannya pasti aku bela dengan mengorbankan nyawa pula. Kalau kau tidak mau menyerahkan Empu Sada, maka kaulah yang harus aku bunuh untuk mengawani adikku dalam perjalanannya kealam langgeng. Kaulah yang harus menanggung segala dosa dan kesalahan yang pernah diperbuat oleh adikku, karena kau akan menjadi budaknya disepanjang perjalanannya itu.
"He?"- Empu Gandring mengerutkan keningnya "jadi kau dapat juga mengucapkan kata" dosa dan kesalahan"
"Persetan" Kebo Sindet menjadi semakin marah "se-tidak2nya Empu, marilah kita mati ber-sama-sama, seperti Wong Sarimpat sampyuh mati bersama lawannya.
"Kalau memang itu yang kau kehendaki Kebo Sindet, aku tidak akan mengelak. Adalah menjadi kewajibanku untuk menanggulangi setiap tantangan serupa itu.
Kebo Sindet terdiam sejenak. Tetapi ia masih saja menggeram mengerikan. Bahkan kemudian terdengar giginya gemeretak seperti orang kedinginan terendam didalam air. Tampaklah sikapnya menjadi semakin buas dan liar.
Tetapi Empu Gandringpun telah bersiap sepenuhnya. Setiap saat iblis itu menerkamnya, maka iapun akan melawan dengan segenap kemampuan, bahkan seandainya Kebo Sindet itu sekaligus melepaskan Aji Bajangnya. Namun sudah tentu kalau Empu Gandring tidak ingin melakukan benturan yang bodoh seperti yang terjadi atas Empu Sada dan Wong Sarimpat, yang kepalanya sedang terbakar oleh nafsu yang menyala-nyala, sehingga mereka telah melupakan selap perhitungan yang mungkin dapat mereka lakukan.
Beberapa saat Empu Gandring menunggu, tetapi Kebo Sindet masih berdiri saja d samping mayat adiknya. Sebenarnya orang itupun sedang dilanda oleh ke-ragu-raguan. Ia mencoba memperhitungkan setiap kemungkinan yang dapat terjadi. Tetapi ia tidak melihat manfaat apapun apabila ia harus berkelahi melawan Empu Gandring. Hasil se-tinggi-tingginya yang dapat dicapainya adalah mati sampyuh seperti adiknya itu. Dan ia masih belum ingin mati. la masih ingin berbuat sesuatu atas Mahisa Agni yang sedang dilarikan oleh Kuda-Sempana.
Apalagi kemudian Kebo Sindet itu lamat-lamat mendengar derap kuda dikejauhan. Tanpa dikehendakiuya diangkatnya wajahnya memandang langkah, sekali-sekali derap kaki-kaki kuda itu menyelusuri warna-warna merah yang lelah memancar dilangit.
"Anak setan itu datang lagi" gumamnya.
Empu Gandringpun mendengar derap kaki-kaki kuda itu. Dan iapun menyangka bahwa yang datang itu pasti Ken Arok.
"Empu Gandring" berkata Kebo Sindet kemudian "kalau kau mendengar juga derap kaki-kaki kuda itu, maka anak iblis itulah yang pasti akan datang. Sayang, aku tidak punya waktu untuk menyambutnya. Tetapi meskipun demikian, sampaikan kepadanya, bahwa aku kagum melihat ketahanan tubuhnya yang luar biasa Kalau anak itu akan tetap hidup, maka ia benar-benar akan menjadi hantu yang menakutkan bagi seluruh Tumapel. Tidak saja Tumapel, tetapi seluruh Kerajaan Kediri akan mengaguminya.
Empu Gandring tidak menyahut. Iapun sebenarnya menjadi sangat kagum melihat ketahanan tubuh Ken Arok, yang tanpa kekuatan ilmu apapun mampu menyelamatkan diri dari sentuhan Aji Bajang.
"Sekarang aku pergi Empu" berkata Kebo Sindet "tidak ada gunanya aku melayanimu kali ini. Besok pada saatnya aku akan menjumpaimu atau Empu Sada itu, untuk membuat perhitungan dan menuntut hutangmu yang kali ini belum kau lunasi.
Empu Gandring masih juga berdiam diri. Namun dibiarkannya ketika Kebo Sindet itu mengangkat mayat adiknya dan meuyangkutkannya dipunggung kuda. Kuda itu adalah kuda milik Empu Sada.
"Selamat tinggal EMpu" desis Kebo Sindet sambil meloncat keatas punggung kuda. Sesaat kemudian kuda itu pun meloncat meninggalkan Empu Gandring yang masih berdiri tegak seperti patung.
Sejenak Empu Gandring dilanda oleh ke-ragu-raguan. Apakah ia akan mengejar Kebo Sindet, atau ia mempunyai kepentingm dengan Empu Sada. Empu Gandring itu tidak tahu benar, kemana sebenarnya Mahisa Agni dibawa. Tetapi menilik bahwa yang membawa itu adalah Kuda-Sempana, murid Empu Sada, maka ia akan dapat menanyakannya kepada orang yang sedang pingsan itu.
Karena itu maka niatnya untuk mengejar Kebo Sindet diurungkannya. Empu Gandring mengharap bahwa ia akan mendapat banyak keterangan dari Empu Sada tentang Mahisa Agni.
Maka Empu Gandring itu pun kembali berlutut disamping Empu Sada. Dicobanya untuk mengendorkan segenap urat nadinya. Menggerakkan tangannya, dan me-mijit2 dadanya per"lahan-lahan. Karena Empu Gandring tahu, bahwa dada itu sebenar nya telah terluka didalam.
Tetapi agaknya luka Empu Sada benar-benar parah. Meskipun denyut nadinya serta detak jantungnya masih terasa, tetapi tubuhnya tampak terlampau lemah, dan matanya yang terpejam sama sekali tidak bergetar.
"Mudahkan aku berhasil" desis Empu Gandi ing "aku harus mendapat keterangan tentang Mahisa Agni.
Kemudian oleh Empu Gandring diambilnya sebulir obat reramuan dedaunan yang akan dapat memberikan kesegaran kepada orang yang sedang mengalami luka didalam semacam Empu Sada. Tetapi karena keadaan Empu Sada maka Empu Gandring agak menjadi bingung, bagaimana memasukkan obat itu supaya dapat ditelan oleh Empu Sada.
"Tak ada jalan lain -desisnyi. l.alu dimasukkan saja obat itu kedalam mulut Empu Sada, dengan harapan bahwa obat itu akan huncur dan meskipun sedikit-sedikit dan sangat per"lahan-lahan, maka larutan obat itu akan tertelan juga.
Ternyata usaha itu berhasil betapapun lambannya. Semen tara itu suara derap kuda dikejauhan menjadi semakin dekat.
Ketika kuda itu berhenti tepat dibelakang Empu Gandring, maka Empu Sada telah mulai bergerak-gerak. Sehingga Empu Gandring itupun kemudian meletakkannya ditanah, dan per-lahan-lahan ia berdiri.
"Siapa Empu" bertanya orang berkuda yang tidak lain adalah Ken Arok, sambil meloncat turun.
"Empu Sada. "Empu Sada?" Ken Arok menjadi agak terkejut. Orang itu sama sekali tidak tampak di Panawijen. Yang di lihatnya hanyalah dua orang yang buas dan liar, yang disebut bernama Kebo Sindet dan Wong Sarimpat.
Sambil mcnunjuk kepada bekas-bekas pertempuran Empu Gan dring berkata "Disini baru saja terjadi sebuah permainan yang membingungkan.
"Kenapa Empu" "Wong Sarimpat telah terbunuh.
"Empu berhasil membunuhnya"
Empu Gandring menggelengkan kepalanya "Tidak, bukan aku.
"Siapa yang telah melakukannya?"Orang ini sahut Empu Gandring sambil menunyuk kearah Empu Sada.
"Empu Sada itu" Bagaimana hal itu dapat terjadi EMpu"
"Itulah yang membingungkan. Ketika aku sampai di sini, Empu Sada sedang bertempur melawan Kebo Sindet dan Wong Sarimpat berdua. Akupun kemudian memihak kepada Empu Sada untuk kemudian memperkecil dan mempersempit persoalan. Ternyata Empu Sada dan Wong Sarimpat telah berbenturan.
"Dimana Wong Sarimpat dan Kebo Sindet sekarang"
"Mayat Wong Sarimpat telah dibawa oleh kakaknya, sedang Mahisa Agni dibawa oleh Kuda-Sempana.
"Hem" Ken Arok menggeram "kemana kira-kira Kuda-Sempana melarikan diri"
"Mungkin aku dapat bertanya kepadanya.
Ken Arok meng-angguk-anggukkan kepalanya. Perlahan-lahan ia mendekati Empu Sada yang ternyata telah mulai bergerak-gerak pula.
"Apakah Empu memberinya obat"
"Ya. "Biarlah ia mati pula seperti Wong Sarimpat.
"Aku memerlukan keterangannya ngger. Keterangan tentang Mahisa Agni. Mungkin ia akan bersedia memberita hukan kepadaku dalam keadaannya itu. Kalau tak ada harap an lagi baginya, maka aku rasa ia akan melapangkan dada nya, tanpa menyimpan rahasia lagi pada saat-saat menjelang kematiannya.
Ken Arok tidak menjawab. Tetapi kerut merut diwajahnya menyatakan kebenciannya kepada orang yang sedang terbaring diam itu.
Empu Gandringpun kemudian mendekati Empu Sada itu dan berjongkok lagi disampingnya. Dilihatnya Empu Sada itu membukakan matanya dan berdesis "Siapakah kau"
"Aku Empu Gandring. "Hem" desah orang itu "ada kesegaran merayapi urat2 darahku. Apakah kau memberi aku semacaui obat yang dapat memberi aku kesegaran"
"Ya- "Terima kasih. "Mpu" berkata Empu Gandring kemudian "aku ingin keteranganmu tentang Mahisa Agni. Dimanakah ia dilarikan oleh muridmu"
"Oh" Empu Sada memejamkan matanya. Dikumpulkannya segenap ingatan yang ada padanya. Persoalan-persoalan yang sedang dihadapi pada saat-saat terakhir.
"Aku juga memerlukan anak itu" desisnya.
"Mpu" berkata Empu Gandring "kau sekarang berada dalam keadaan parah. Jangan mencoba mempertahankan anak muda itu. Apakah kau masih juga bernafsu untuk membunuhnya atau untuk keperluan apapun yang dapat memberi kepuasan kepada muridmu yang gila itu"
Empu Sada menarik nafas dalam-dalam. Tetapi tiba-tiba ia mengerutkan keningnya ketika ia mendengar Ken Arok berkata "Hidup matimu berada ditangan Empu Gandring, Empu.
Empu Sada yang lemah itu mencoba memandang wajah orang yang berkata kepadanya tentang hidup matinya. Tatapan matanya masih agak kabur dan cahaya yang ke-merah-merahan masih belum mampu untuk memecahkan kesuraman pagi.
"Siapakah kau?" bertanya Empu Sada dengan suara lirih.
Yang menjawab adalah inPu Gandring "seorang Pelayan Dalam dari istana Tumapel. Namanya Ken Arok.
"Oh" Empu Sada mciicoba menggeliat, tetapi badan nya masih terlampau lemah "angger Ken Arok. Bukankah kau kawan sepekerjaan dengan Kuda-Sempana sewaktu muridku itu masih berada diistana Tumapcl"
"Ya" sahut Ken Arok singkat.
"Kenapa pula kau disini ngger" Apakah kau mendapat tugas untuk mencari Kuda-Sempana"
"Ya" sahut Ken Arok sekenanya.
"Sayang" desah Empu Sada "aku sudah tidak dapat berbuat apa-apa lagi terhadap anak itu.
Empu Gandring mengerutkan keuingnya. Tetapi orang itu tidak segera dapat mengambil kesimpulan dari kata-kata Empu Sada, sehingga ia hertanya "Apa maksudmu Empu. Apakah karena keadaanmu yang parah itu ataukah karena hal-hal yang lain maka kau tidak lagi mampu berbuat apa-apa lagi atas muridmu"
Empu Sada tidak segera menjawab. Dicobanya untuk mengatur jalan pernafasannya, supaya luka didalamnya tidak terasa sedemikian sakitnya.
Empu Gandring yang menyadari keadaan Empu Sada tidak mendesaknya. la tahu betul, bahwa penderitaan Empu Sada benar-benar parah. Tetapi agaknya Ken Arok tidak begitu sabar menunggunya, sehingga ia mendesaknya "Empu Sada. Kau jangan mengingkari tanggung-jawab atas muridmu. Sekarang dimana Mahisa Agni itu dilarikan"
Sekali lagi Empu Sada mencoba menggeliat. Tetapi sekali lagi ia menyeringai menahan sakit didadanya. Meskipun demikian ia berusaha menjawab "Aku juga akan berusaha mendapatkan Mahisa Agni apabila aku berhasil memenangkan perjuangan ini. Perjuangan melawan luka didalam diriku.
"Jangan berkeras hati EMpu" sahut Ken Arok. Namun sebelum Ken Arok melanjulkan kata-katanya, maka terasa Empu Gandring menggamitnya, sehingga karena itu maka Ken Arokpun terdiam.
"Empu Sada" berkata Empu Gandring dengan nada seorang yang telah dibekali oleh berbagai macam pengalaman
yang mengendap "apakah kau masih juga memerlukan Mahisa Agni"
Empu Sada mencoba menganggukkan kepalanya per-lahan-lahan "Ya" desisnya "aku tidak dapat membiarkannya berada ditangan orang lain.
"Empu Sada" bertanya Empu Gandring kemudian "apakah kau berselisih pendapat dengan Kebo Sindet dan Wong Sarimpat tentang tawananmu itu"
"Ya" sahut Empu Sada per-lahan-lahan.
"Dan karena itu kau bertempur melawan mereka"
"Ya. "Sekarang Empu, bagaimanakah pendapatmu kalau aku juga memerlukan Mahisa Agni. Bukankah kau tahu bahwa ia adalah kemanakanku.
"Ya, aku tahu Empu. Dan akupun ingin pula berusaha mendapatkan kembali Mahisa Agni itu dari tangan Kebo Sindet.
"Ah" Empu Gandring menarik nafas dalam-dalam. Dalam sekali "kau masih terlalu bernafsu. Keadaanmu tidak akan memungkinkan lagi untuk berbuat sesuatu.
"Tetapi Mahisa Agni itu harus direbut dari tangan Kebo Sindet.
"Mpu" berkaia Empu Gandring "bukankah yang membawa Mahisa Agni itu Kuda-Sempana" Kenapa kau harus bersusah payah merebutnya dari tangan Kebo Sindet".
"Aku tidak lagi dapat menguasai muridku. Mahisa Agni itu dilarikan oleh Kuda-Sempana untuk kepentingan Kebo Sindet.
Ken Arok menjadi tidak bersabar lagi mendengar jawaban Empu Sada. Tetapi ia tidak berani mendahului Empu Gandring yang tampaknya masih cukup sabar. Katanya "Diangan begitu Empu. Aku tahu bahwa Kuda-Sempana adalah muridmu. Aku tahu bahwa kau dan Kuda-Sempana telah berusaha mati2an untuk menangkap Mahisa Agni. Bahkan kemudian kalian telah minta bantuan kepada Kebo Sindet dan Wong Sarimpat. Bukan itu saja, ceritera tentang usahamu untuk menculik adik Mahisa Agni itupun telah pernah aku dengar. Beruntunglah bahwa pada saat itu Panji Bojong Santi melihat apa yang sedang terjadi.
Empu Sada menarik nafas dalam-dalam. Kenangan itu ternyata menusuk jantungnya jauh lebih parah dari pada sakit didadanya. Ternyata bahwa jalan kembali yang akan dicarinya itu tidak selicin yang disangkanya. Teringatlah ia akan kata-kata Kuda-Sempana, bahwa dunia yang jernih telah tertutup bagi nya. Dan kini, terasa, betapa d yauh jalan yang harus ditempuhnya untuk dapat kembali kedalam dunia yang bersih itu.
Raja Naga 7 Bintang 5 Animorphs - 3 Pertempuran Bawah Air Pendekar Pedang Sakti 3
^