Pencarian

Pelangi Dilangit Singosari 21

02 Pelangi Di Langit Singasari Karya S H. Mintarja Bagian 21


"Kenapa kau baru kembali?" bertanya Mahisa Agni tiba-tiba, sehingga kedua orang yang masih memandang kegelapan itu terkejut.
"Apakah ada sesuatu yang kurang lancar?" bertanya Mahisa Agni pula.
Salah seorang dari mereka mengangguk-anggukkan kepalanya,katanya, "Aku sudah cemas, bahwa aku tidak akan dapat ikut menikmati kegembiraan di padang Karautan."
"Kenapa?" bertanya Ken Arok pula.
"Kedatangan Kuda Sempana telah menggemparkan padukuhan yang sepi itu."
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Aku memang sudah menyangka. Untunglah bahwa kalian datang bersamanya."
"Ya, untunglah. Semua orang hampir tidak dapat mengekang dirinya. Laki-laki tua, perempuan dan bahkan anak-anak tanggung."
"Apa yang mereka lakukan?"
"Seperti orang kerasukan setan. Mereka membawa senjata apa saja.Kami telah mereka kepung rapat-rapat sambil berteriak-teriak mengerikan. Benar-benar seperti beribu-ribu demit merasuki setiap orang di Panawijen saat itu. Mereka merasa bahwa semua bencana di padukuhan kita bersumber dari Kuda Sempana."
"Hem," Mahisa Agni menarik nafas. Dan sekali lagi ia bergumam, "Untunglah ada kalian."
"Kami pun hampir-hampir hanyut pula dalam arus kemarahan itu," tiba-tiba yang lain menyahut.
"Kau marah kepada siapa?"
"Kuda Sempana."
"He?" Mahisa Agni terperanjat.
"Tetapi kami segera menyadari tugas kami," yang lain segera menyahut, "kami segera menyadari, bahwa justru tugas kami meredakan kemarahan itu."
"Oh," wajah Mahisa Agni menjadi berkerut merut, "apabila orang-orang itu tidak dapat dikendalikan, apakah kira-kira yang akan terjadi. Aku kira orang-orang Panawijen yang masih tinggal itu, laki-laki tua, perempuan dan anak-anak akan tersapu oleh pedang Kuda Sempana. Apalagi apabila Kuda Sempana telah menjadi gila pula."
Mahisa Agni menjadi termangu-mangu ketika ia melihat kedua orang itu hampir bersamaan menggelengkan kepala mereka. Salah seorang dari mereka berkata, "Tidak. Untunglah bahwa Kuda Sempana tidak kerasukan seperti orang-orang Panawijen. Sebenarnya aku pun telah menjadi cemas dan berdebar-debar. Apabila keadaan tidak teratasi, maka aku pun pasti akan terlibat.Dan aku menyadari, dengan siapa kami berhadapan."
"Bagaimana sikap Kuda Sempana?"
"Kuda Sempana sama sekali tidak berbuat sesuatu. Ia duduk diam di atas punggung kudanya sambil menundukkan kepalanya. Bahkan ketika suasana yang panas itu hampir meledak, Kuda Sempana berkata kepada mereka, bahwa apapun yang akan dilakukan atasnya, ia akan bersedia menjalaninya."
"Oh," Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Perlahan-lahan ia bergumam seolah-olah kepada dirinya sendiri, "Untunglah. Agaknya Kuda Sempana telah benar-benar menyesali segala dosa-dosanya."
"Ya." "Dan bagaimana dengan orang-orang Panawijen itu?"
"Kami berdua mencoba meredakannya. Dengan susah payah, namun akhirnya kami berhasil."
Mahisa Agni masih mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Terima kasih," desisnya, "Apabila terjadi sesuatu, akulah yang bertanggung jawab. Aku telah membuat kesalahan, karena aku salah menilai keadaan. Hampir-hampir saja aku merusak sisa-sisa sendi kehidupan di atas padukuhan yang kering itu. Apakah yang akan terjadi apabila timbul bentrokan di antara mereka. Meskipun Kuda Sempana hanya seorang diri, namun ia akan dapat membinasakan semua orang yang tersisa di Panawijen. Tidak ada kesempatan untuk menahannya. Meskipun seandainya Kuda Sempana dapat dibinasakan karena terlampau banyak lawannya, namun korban yang telah jatuh pasti akan membuat orang-orang Panawijen di sini dan Ki Buyut Panawijen mendapat kejutan yang dahsyat melampaui pada saat anaknya sendiri terbunuh."
Kedua orang itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka melihat penyesalan yang dalam menghunjam di dalam dada Mahisa Agni. Ia merasa, bahwa kali ini telah melepaskan seekor serigala lapar di dalam kandang domba-domba yang terlampau lemah. Untunglah, untunglah bahwa tidak terjadi sesuatu.
Yang dapat dilakukan Mahisa Agni hanyalah mengucap syukur kepada Yang Maha Agung di dalam hatinya, karena Panawijen telah terhindar dari bencana yang tidak terkirakan dahsyatnya.
Bahkan bukan mustahil bahwa bencana itu akan langsung menimpanya pula. Akuwu pasti akan sangat marah kepadanya, apalagi apabila Kebo Ijo ikut serta berbicara tentang Kuda Sempana.
"Hem," Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, "Sekarang beristirahatlah. Bukankah semuanya telah lampau tanpa terjadi sesuatu?"
"Ya. Semuanya telah lampau. Untunglah bahwa hari-hari yang penuh dengan kesenangan di padang ini belum lampau."
"Mudah-mudahan sepeninggalmu, tidak terjadi sesuatu pula di Panawijen."
"Aku kira tidak."
"Baiklah. Sekarang pergilah ke dapur.Kau dapat makan sesuka hatimu. Makanan yang seharusnya kau makan enam hari berturut-turut dapat kau tuntut sekaligus sekarang."
"Dan aku akan mati karena nafasku tersekat."
Mahisa Agni tersenyum dan kedua orang yang baru datang itu pun tertawa.Berkata salah seorang dari mereka, "Aku benar-benar lapar. Aku akan mencari makan sekarang. Dengan berbicara saja aku akan bertambah lapar."
"Pergilah," sahut Mahisa Agni.
Kedua orang itu pun segera pergi ke dapur, sedang Mahisa Agni perlahan-lahan melangkah kembali ke pesanggrahan. Namun di setiap langkahnya, seakan-akan membayang bencana yang betapa dahsyatnya seandainya terjadi.
"Sepeninggal Akuwu, aku harus segera menjemput Kuda Sempana. Semakin cepat anak itu kembali ke padang ini, maka kemungkinan terjadi sesuatu di Panawijen pun akan menjadi semakin kecil pula."
Mahisa Agni pun kemudian mempercepat langkahnya ketika disadarinya bahwa malam telah menjadi semakin jauh.Bulan telah memanjat kaki langit semakin tinggi.
"Ken Arok telah terlampau lama menunggu. Ia pasti akan merasa tersiksa untuk duduk diam mengawani Permaisuri di pesanggrahan. Atau apabila Ken Arok tidak tahan lagi, dan pergi meninggalkannya, maka Ken Dedes pasti tidak akan tenang," Mahisa Agni menyesal bahwa ia telah menyebut-nyebut hantu Karautan. Ia telah menduga bahwa Ken Dedes akan menjadi gelisah mendengar nama itu.
Ketika Mahisa Agni menjadi semakin dekat dengan pesanggrahan akuwu, ia masih melihat Ken Arok duduk sambil menundukkan kepalanya, sehingga Mahisa Agni itu pun menarik nafas dalam-dalam sambil bergumam, "Agaknya Ken Arok masih di sana."
Karena kehadiran Mahisa Agni, maka Ken Arok yang tengah bercerita dengan asyiknya itu berkata, "Ampun Tuan Putri.Mahisa Agni telah datang. Perkenankan hamba kembali ke tempat hamba. Sebentar lagi hamba akan pergi ke perkemahan untuk beristirahat."
"Apakah kau tidur di perkemahan?" bertanya permaisuri.
"Hamba, Tuan Putri?"
"Kenapa tidak di sini?"
"Hamba harus berada di perkemahan, Tuanku. Sebab yang bertugas di sini malam ini adalah Kebo Ijo. Kami bergantian di setiap malam."
"Tetapi kenapa kau malam ini berada di sini?"
"Setiap sore hamba di sini. Apabila malam menjadi semakin malam, maka apabila hamba tidak bertugas, hamba kembali ke perkemahan hamba. Apalagi di sini tidak ada tempat untuk hamba."
Permaisuri mengangguk-anggukkan kepalanya. Dipandanginya wajah Mahisa Agni yang telah duduk di samping Ken Arok.Tetapi kemudian ia berkata, "Tetapi ceritamu belum selesai Ken Arok."
"Ah," desah Ken Arok, "biarlah Mahisa Agni meneruskannya. Ia lebih tahu daripada hamba yang telah terjadi dengan dirinya pada saat-saat ia kembali ke padang Karautan ini."
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Katanya, "Apakah kau sedang bercerita tentang aku."
"Ya." Mahisa Agni tersenyum sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Hampir saja ia bertanya, apakah Ken Arok tidak sedang bercerita tentang hantu Karautan. Tetapi maksudnya itu pun segera diurungkannya
"Baiklah," berkata permaisuri kemudian, "Kakang Mahisa Agni telah berada di sini. Aku sudah tidak takut lagi."
"Terima kasih, Tuanku. Hamba mohon diri."
Ken Arok itu pun segera meninggalkan pesanggrahan setelah ia minta diri pula kepada Mahisa Agni dan emban tua pemomong Ken Dedes. Perlahan-lahan ia melangkah menjauh. Semakin lama semakin jauh. Cahaya pelita yang tergantung dinding pesanggrahan darurat yang menimpa punggung Ken Arok, semakin lama menjadi semakin kabur, sehingga akhirnya Ken Arok itu hilang di dalam keremangan malam, di bawah bayangan rimbunnya pepohonan. Meskipun cahaya bulan yang terang, menembus kekelaman malam,tetapi Ken Arok itu pun kemudian tidak tampak lagi dari pesanggrahan.
Namun sebenarnya langkah Ken Arok itu terhenti. Sekali ia berpaling. Dari sela-sela pohon bunga-bungaan ia masih melihat permaisuri duduk di tempatnya, dihadap oleh Mahisa Agni dan pemomongnya. Sinar lampu ternyata cukup terang mewarnai wajahnya yang cemerlang.
Ken Arok menarik nafas dalam-dalam. Tiba-tiba ia melangkah beberapa tapak kembali. Dengan nafas tertahan-tahan ia berdiri di balik gerumbul bunga. Ditatapnya wajah permaisuri yang tengadah.
Tanpa disengaja Ken Arok mengangkat wajahnya memandang bulan yang cerah, seakan-akan ingin memperbandingkan wajah bulan dengan wajah putri Tumapel yang berasal dari Panawijen itu.
"Hem," perlahan-lahan Ken Arok berdesah. Namun tiba-tiba ia menggeretakkan giginya sambil menggeram, "Aku sudah menjadi gila. Aku sudah menjadi gila. Oh, alangkah nistanya perasaan ini. Betapapun cantiknya, tetapi ia adalah junjunganku. Ia adalah permaisuri dari Akuwuku. Akuwu Tumapel."
Dihentakkannya kakinya ke tanah, kemudian dengan tergesa-gesa ia pergi meninggalkan tempat itu. Sekali-sekali masih terdengar ia menggeram mengumpati dirinya sendiri.
Semakin lama langkah Ken Arok menjadi semakin cepat, seakan-akan ia takut dikejar oleh hantu Karautan. Namun ketika ia sampai di ujung taman, maka langkahnya itu pun diperlambatnya. Sekali ia berpaling. Dan dilihatnya adalah kesuraman malam. Daun-daun yang bergerak-gerak ditiup angin dan kembang yang mengangguk-anggukkan mahkota bunganya, seperti memberinya isyarat, bahwa ia sudah aman.
"Hem," Ken Arok menarik nafas dalam-dalam.Kini kakinya melangkah satu-satu.Ia tidak mau meninggalkan kesan yang aneh pada para penjaga di regol halaman. Terutama kepada Kebo Ijo yang berada di gardu darurat. Kebo Ijolah yang malam itu mendapat giliran mengawasi pesanggrahan, meskipun akuwu sendiri sedang pergi berburu. Tetapi di pesanggrahan itu ada permaisuri Ken Dedes.
Ketika Ken Arok melewati regol taman itu, maka tidak seorang pun yang menaruh banyak perhatian atas sikapnya. Ia berjalan dengan langkah yang wajar. Bahkan ketika para penjaga mengangguk kepadanya, ia tersenyum sambil berkata, "Hati-hatilah."
Para penjaga itu tidak menjawab. Kata-kata itu adalah kata-kata yang sudah terlalu sering mereka dengar dari mulut Ken Arok, sehingga karena itu maka Ken Arok pun tidak memerlukan jawaban mereka.
Namun Ken Arok itu masih juga memerlukan singgah di gardu peronda yang diterangi oleh nyala lampu yang remang-remang kemerah-merahan. Dilihatnya beberapa orang yang sedang beristirahat berbaring berjajar di atas sehelai tikar pandan. Di sudut ruangan itu Kebo Ijo duduk terkantuk-kantuk. Namun mulutnya ternyata masih juga bergerak-gerak mengunyah jenang alot.
"Aku akan kembali ke gubukku," berkata Ken Arok perlahan-lahan.
Kebo Ijo menganggukkan kepalanya acuh tak acuh. Dengan suara yang tertahan di mulutnya ia berkata sambil mengunyah, "Pergilah.Tetapi di mana setan itu sekarang?"
"Siapa?" "Agni." "Oh," Ken Arok menarik nafas dalam-dalam.Jawabnya, "Telan sajalah makananmu itu. Jangan mencari siapa pun."
Kebo Ijo justru mengangkat wajahnya. Tetapi Ken Arok telah melangkah pergi meninggalkan gardu itu.Sehingga ia tidak mendengar lagi Kebo Ijo mengumpat, "Kau pun anak setan. Hampir setengah malam kau tunggui saja permaisuri yang ditinggal oleh suaminya. Huh!"
Beberapa orang yang masih belum tertidur mengerutkan keningnya. Tetapi mereka akhirnya terbiasa mendengar umpatan dari mulut Kebo Ijo. Kecuali itu, mereka pun sama sekali tidak berani menegurnya, karena sifat Kebo Ijo yang garang. Namun sebenarnya Kebo Ijo kurang mendapat tempat di hati para prajurit Tumapel sendiri karena sifat dan sikapnya.
Ken Arok yang berjalan meninggalkan taman itu membelah keremangan malam menyusuri susukan induk. Sekali-kali dilihatnya air melonjak seperti hendak memberinya salam. Namun setiap kali disadarinya, bahwa beberapa ekor ikan sedang berkejar-kejaran di terangnya bulan yang masih bulat
Sekali-kali Ken Arok menarik nafas panjang. Dicobanya untuk mengusir perasaannya yang dianggapnya sesat. Namun setiap kali membayang di matanya wajah permaisuri Ken Dedes. Apabila bayangan wajah itu menjadi semakin jelas maka Ken Arok itu mencoba menggeretakkan giginya, mengusir bayangan itu.
Tetapi ia tidak selalu berhasil. Dan bahkan akhirnya ia terlena ke dalam angan-angan yang membubung tinggi ke langit yang kelam. Di pembaringannya pun bayangan itu selalu saja menyaput hatinya, dan selalu saja membuatnya hampir tidak kuasa mengatasinya. Namun untunglah, bahwa keteguhan hatinya masih selalu memperingatkannya, bahwa Ken Dedes adalah Permaisuri Tumapel.
"Aku pernah melihatnya. Tetapi baru kali ini aku benar-benar menyadari betapa cantiknya permaisuri itu," desisnya. Namun sejenak kemudian terdengar gemeretak giginya, "Persetan! Persetan!"
Tiba-tiba saja Ken Arok itu terperanjat.Dengan sigapnya ia meloncat berdiri. Tetapi segera ia menarik nafas dalam-dalam ketika ia melihat seorang prajurit berdiri di depan gubuknya sambil bertanya, "Apakah memang
pintu itu tidak ditutup" Udara terlampau dingin. Aku kira kau sudah tertidur."
"Oh," Ken Arok perlahan-lahan melangkah ke pintu, "aku memang belum menutupnya. Terima kasih."
Prajurit itu pun pergi. Tangan Ken Arok dengan lesu menarik daun pintu lerengnya dan mengatupkannya, supaya di dalam ruangannya tidak terlampau dingin.
"Aku lupa menutup pintu," desisnya, "otakku telah diganggu oleh iblis yang paling jahat."
Dalam kegelisahan itu Ken Arok mencoba untuk mencari ketenangan dengan berbagai macam masalah. Dicobanya untuk mengingat kembali saat banjir pertama yang melanda bendungannya.
"Mungkin hujan akan segera turun setiap hari. Mungkin banjir akan datang pula dalam waktu yang singkat. Aku harus bersiap-siap mengatasinya. Kalau banjir itu memecahkan bendungan, maka susukan induk tidak akan dapat mengalir lagi untuk mengairi sendang di dalam taman itu.Apabila sendang itu kering, maka nilai taman itu akan jauh berkurang di mata Permaisuri Ken Dedes. Hem, aku harus membuat taman itu bahkan lebih indah dari yang sudah dilihatnya."
Tiba-tiba angan-angan itu terhenti. Perlahan-lahan terdengar Ken Arok menggeram, "Oh, tidak. Tidak. Maksudku, apabila bendungan itu pecah, dan susukan induk tidak mengalir, maka parit-parit akan menjadi kering, dan sawah-sawah itu tidak akan dapat diairi untuk waktu yang lama."
Dan Ken Arok itu mencoba untuk tetap berpikiran sehat.Ia tidak mau hanyut dalam arus perasaannya yang gila itu.
Dalam pergumulan itu, lambat laun Ken Arok terseret ke dalam rata kantuknya. Tanpa disadarinya ia pun tertidur. Di dalam tidurnya itulah ia bermimpi, duduk di atas punggung seekor gajah. Tetapi ia tidak berwujud sebagai dirinya kini. Ia merasa dirinya dalam pakaian yang cemerlang dalam bentuk sebagai penguasa alam. Dilihatnya Akuwu Tunggul Ametung di atas seekor kuda, tetapi terlampau kecil. Kecil sekali.
Ken Arok tergagap bangun ketika sepercik sinar matahari jatuh di atas keningnya. Perlahan-lahan ia bangkit, lalu menggeliat. Mimpinya ternyata masih sangat membekas di dinding hatinya. Bahkan semuanya itu serasa benar-benar telah terjadi.
"Sekedar mimpi," gumamnya.
Ken Arok pun segera bangkit dan melangkah keluar.Ternyata matahari telah naik di atas cakrawala. Belum pernah ia terlambat bangun sampai sesiang itu.
Beberapa orang yang melihatnya tersenyum. Salah seorang prajurit berkata kepadanya, "Alangkah nyenyaknya tidur semalam."
Ken Arok pun tersenyum. Tetapi ia tidak menjawab. Dengan tergesa-gesa ia pergi ke sungai, ke bawah bendungannya untuk membersihkan dirinya.
Anak muda itu ternyata tidak menyadari dirinya, kenapa ia merasa seolah-olah dikejar-kejar oleh waktu. Tidak seorang pun yang mengharuskannya untuk segera bersiap. Namun hal itu telah dilakukannya. Seolah-olah adalah menjadi kewajiban utamanya hari itu untuk segera bersiap dan menghadap Akuwu Tunggul Ametung.
"Akuwu sedang berburu," suara itu didengarnya di dalam dadanya," tetapi permaisuri ada di pesanggrahan. Apabila Akuwu belum datang, adalah menjadi kewajibanku untuk menghadap permaisuri."
Karena itulah maka Ken Arok merasa dirinya terlampau lambat melakukan sesuatu. Bahkan tiba-tiba saja ia telah menjadi gugup. Air kendi di bancik di dalam gubuknya telah disentuhnya sehingga jatuh dan pecah. Airnya memercik dan membasahi kain panjangnya, sehingga ia mengumpat-umpat, "Huh! baru saja aku bertukar pakaian."
Tetapi Ken Arok tidak sempat berganti pakaian. Dipakainya saja pakaiannya yang basah itu. Dengan langkah panjang ia keluar dari gubuknya dan berjalan menyusur susukan induk untuk pergi ke taman.
"Kau belum makan pagi," sapa seseorang, "juru masak itu menanyakan kau."
Ken Arok menggelengkan kepalanya, "Aku akan makan di pesanggrahan."
"Oh, agaknya makanan di sana lebih enak dari makanan di barak-barak kita."
Tanpa sesadarnya Ken Arok menjawab, "Mungkin."
Tetapi kemudian segera disusulinya, "Tidak. Maksudku, aku harus segera berada di sana."
Orang yang menyapa itu mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak bertanya lagi. Dipandanginya saja Ken Arok yang berjalan tergesa-gesa menuju ke pesanggrahan.
Orang itu berpaing ketika seseorang menggamitnya. Ternyata Ki Buyut Panawijenlah yang berdiri di belakangnya. Katanya, "Agaknya Angger Ken Arok terlampau tergesa-gesa."
Orang itu mengangguk, "Ya, sikapnya agak lain. Mungkin ada sesuatu yang penting yang harus segera diselesaikan di pesanggrahan."
Ki Buyut hanya mengangguk-anggukkan kepalanya saja.Kemudian ia pun kembali ke gubuknya tanpa prasangka apapun.
Di pesanggrahan permaisuri ternyata bangun terlampau pagi. Ketika Mahisa Agni yang tidur di belakang pesanggrahan itu mengunjunginya, permaisuri telah duduk di serambi depan bersama emban tua pemomongnya.
"Apakah ia belum datang?" bertanya Mahisa Agni setelah ia duduk di dekatnya.
"Belum," sahut permaisuri, "apakah ia bertugas hari ini?"
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Jawab permaisuri itu agak aneh terdengar di telinganya Tetapi ia tidak terlampau memperhatikannya. Bahkan ia berkata, "Sebentar lagi pasti akan datang."
"Apakah menjadi kebiasaannya datang pada saat-saat begini?" bertanya permaisuri itu.
Sekali lagi Mahisa Agni menjadi heran. Kali ini ia terpaksa bertanya kembali, "Aku tidak mengerti Tuan Putri. Seharusnya Tuan Putrilah yang dapat mengatakan, apakah menjadi kebiasaannya datang pada saat begini?"
"Oh, tentu bukan aku. Aku tidak tahu, apakah yang dilakukannya setiap hari. Aku tidak tahu apa saja yang dikerjakannya. Setiap hari ia tidak pernah mengatakan kepadaku, bahwa ia datang pada saat-saat tertentu selama aku berada di pesanggrahan ini."
Mahisa Agni menjadi semakin bingung. Sehingga ia harus menjelaskan, "Mungkin tidak, selama di pesanggrahan ini. Tetapi bukankah kebiasaan itu dilakukannya juga di istana" Memang ada beberapa perbedaan. Mungkin jarak dan keadaan. Tetapi bukankah Tuan Putri dapat mengira-ngira saat-saat Tuanku pulang dari berburu?"
"Oh," tiba-tiba Ken Dedes terperanjat. Sepercik warna merah menjalar di pipinya yang putih.Namun sejenak kemudian ia menjadi pucat. Keringat dingin mengalir di keningnya.
Mahisa Agni pun terperanjat pula melihat keadaan permaisuri itu. Tetapi ia tidak bertanya sesuatu. Dibiarkannya permaisuri mengatasi keadaannya. Namun Mahisa Agni masih juga belum mengerti apakah sebenarnya yang dikatakan oleh Ken Dedes itu.
Sejenak kemudian sambil tergagap Ken Dedes berkata terputus-putus, "Memang, memang aku dapat mengatakannya, tetapi tentu tidak sekarang. Baru sekali ini Akuwu pergi berburu dari pesanggrahan ini. Dan, aku sebenarnya tidak senang Tuanku Akuwu meninggalkan aku sendiri."
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Ia tidak menyangka bahwa pertanyaannya yang sederhana itu membuat permaisuri seolah-olah menjadi bingung. Bukankah pertanyaannya mula-mula adalah pertanyaan yang terlampau wajar, "Apakah ia belum datang". Hanya itu. Mungkin ia salah mempergunakan satu dua sebutan, karena bukan kebiasaannya. Mungkin ia harus bertanya, "Apakah Tuanku Akuwu Tunggul Ametung telah datang".
Tetapi apabila kesalahan-kesalahan kecil itu membuat Ken Dedes menjadi gugup, maka Mahisa Agni harus menjadi lebih berhati-hati lagi. Ia harus lebih cermat memilih kata-kata, meskipun hal itu pasti tidak akan terlalu menyenangkannya. Tetapi apa boleh buat. Adalah sudah menjadi tata kesopanan istana, bahwa sebutan-sebutan itu tidak dapat ditinggalkan.
Tetapi ternyata bahwa Mahisa Agni tidak dapat melihat apa yang sebenarnya bergetar di dalam hati Ken Dedes. Mahisa Agni tidak dapat melihati betapa Ken Dedes dengan sekuat tenaganya sedang menahan gelora perasaannya, sehingga tubuhnya menjadi basah oleh keringat dinginnya.
Pertanyaan Mahisa Agni semula ternyata telah menyesatkannya. Pada saat ia duduk di serambi dan pada saat angan-angannya sedang dipenuhi oleh berbagai macam pertanyaan tentang seseorang, maka ia mendengar Mahisa Agni bertanya.
Ken Dedes menyangka, bahwa yang ditanyakan oleh Mahisa Agni itu adalah orang yang sedang membayangi perasaannya saat itu. Ken Arok. Sehingga jawabnya pun telah tersesat pula. Tetapi ternyata bahwa yang ditanyakan Mahisa Agni adalah Akuwu Tunggul Ametung.
Meskipun tidak seorang pun yang tahu isi yang tersimpan di dalam dada, namun Ken Dedes merasa seolah-olah Mahisa Agni telah melontarkannya ke dalam suatu keadaan yang sangat menyulitkannya. Dadanya terasa menjadi berdebar-debar, dan darahnya seolah-olah menjadi semakin cepat mengalir.
Bahkan seolah-olah Mahisa Agni telah menaruh pengilon di hadapan wajahnya, yang membayangkan betapa hatinya telah terpengaruh sekali oleh seorang pemimpin prajurit muda bernama Ken Arok, yang setiap kali selalu mengingatkannya kepada Wiraprana.
Dengan demikian, maka sejenak mereka menjadi saling berdiam diri. Namun dada permaisuri itu terasa bergejolak seperti gejolak air yang sedang banjir.
Dan tiba-tiba saja Mahisa Agni itu terkejut ketika ia mendengar Ken Dedes itu mengeluh. Perlahan-lahan ia berdiri sambil berkata kepada pemomongnya, "Bibi, kenapa tiba-tiba aku merasa pening sekali?"
"Oh," pemomongnya pun menjadi terkejut, "kenapa Tuan Putri?"
Permaisuri itu menggelengkan kepalanya sambil berpegangan dinding, "Kepalaku pening sekali, Bibi."
Mahisa Agni dan emban tua itu pun segera berdiri. Pemomongnya segera menolongnya sambil bergumam, "Tuan Putri semalam kurang sekali tidur. Mungkin hal itu sangat berpengaruh terhadap kesehatan Tuan Putri. Sedang pagi ini Tuan Putri pun terlampau cepat bangun dan mandi."
"Semalam aku memang tidak dapat tidur sama sekali," sahut permaisuri itu sambil memijat keningnya.
"Kenapa Tuanku tidak dapat tidur?" bertanya Mahisa Agni.
Pertanyaan itu pun telah menggetarkan dada Ken Dedes. Seolah-olah Mahisa Agni telah menyalahkannya, bahwa semalam ia telah dicengkam oleh sebuah angan-angan yang sesat pula.Karena itu, maka dengan tergesa-gesa ia menjawab, "Aku tidak berbuat apa-apa. Aku tidak berpikir atau berangan-angan tentang apapun yang dapat membuat aku bimbang atas keadaanku sekarang. Aku adalah seorang permaisuri. Aku adalah istri orang yang tertinggi di Tumapel ini. Tidak ada orang yang lebih berkuasa dari Tuanku Akuwu Tunggul Ametung."
Ken Dedes berhenti sejenak, lalu, "Maksudku, tidak ada seorang suami yang lebih baik dari suamiku."
Mahisa Agni dan emban pemomong Ken Dedes itu pun menjadi bingung. Mereka sama sekali tidak mengerti ujung dan pangkal dari kata-kata permaisuri yang seolah-olah sedang membela diri itu.Apalagi ketika permaisuri itu meneruskan, "Kakang Mahisa Agni. Tinggallah kau di sini. Aku tidak ingin bertemu dengan siapa pun hari ini kecuali Tuanku Akuwu apabila ia datang. Selain Akuwu dan Bibi, maka hanya Kakang Mahisa Agnilah yang boleh tinggal di pesanggrahan ini.Aku tidak mau bertemu lagi dengan siapa pun. Aku tidak mau. Nanti apabila Akuwu kembali dari berburu, aku akan memohon kepadanya, untuk segera kembali ke istana. Ternyata padang Karautan benar-benar dikuasai oleh hantu yang mengerikan. Hantu-hantu dan iblis yang menyesatkan."
"Oh," pemomongnya menjadi sangat cemas melihat sikap itu, "Tuan Putri. Jangan cemas tentang apapun juga. Di sini ada Mahisa Agni, eh, maksudku Angger Mahisa Agni. Di seputar pesanggrahan ini telah bersiaga prajurit pengawal yang Tuanku Akuwu bawa dari Tumapel, sedang di sini telah ada pula sepasukan prajurit lagi di bawah pimpinan Angger Ken Arok."
"Cukup! Cukup!" tiba-tiba Ken Dedes berteriak, "Jangan sebut lagi! Jangan sebut lagi!"
Emban tua itu bertambah bingung, dan Mahisa Agni pun berdiri saja dengan mulut ternganga.Namun sejenak kemudian Mahisa Agni berkata, "Beristirahatlah Tuan Putri. Tuan Putri terganggu karena kelelahan. Apabila Tuan Putri nanti dapat tidur, maka semuanya akan menjadi baik."
Terdengar Ken Dedes berdesah. Perlahan-lahan ia mendapatkan kesadarannya kembali. Namun kegelisahan di dadanya masih juga mencekamnya. Kini ia merasa, seolah-olah dirinya telah jatuh ke dalam terkaman tangan iblis yang paling jahat di padang Karautan ini.
Perlahan-lahan emban pemomongnya membimbingnya masuk ke dalam biliknya. Ketika permaisuri itu sampai di muka pintu sekali lagi ia berpaling dan berkata kepada Mahisa Agni, "Kakang. Kau jangan pergi. Tinggallah di sini, dan jangan kau izinkan seorang pun datang ke pesanggrahan ini. Aku hanya akan menunggu Tuanku Akuwu Tunggul Ametung. Aku hanya menunggunya. Tuanku adalah suami yang baik. Terlampau baik."
Suara permaisuri itu merendah. Lalu lamat-lamat terdengar ia bergumam, "Tetapi Akuwu selalu meninggalkan aku sendirian.Bahkan di padang yang penuh berkeliaran hantu dan iblis ini."
Mahisa Agni menjadi semakin cemas.Tiba-tiba sebuah penyesalan telah melanda hatinya. Ia menyangka, bahwa senda guraunya tentang hantu Karautan kemarin benar-benar telah membekas terlampau dalam di hati permaisuri itu, sehingga terlampau mengganggunya. Semalam permaisuri itu ternyata tidak tidur sekejap pun, dan pagi ini ia benar-benar dihantui oleh bayangan-bayangan yang menakutkan.
"Tuan Putri," terdengar suara Mahisa Agni berat, "sebaiknya Tuan Putri jangan cemas. Beristirahatlah. Aku akan tetap berada di sini sampai Tuanku Akuwu Tunggul Ametung datang. Tidak ada seorang pun yang akan mengganggumu, apalagi hantu Karautan itu, selama Mahisa Agni masih dapat bernafas."
Ken Dedes tidak menyahut. Tetapi tampaklah wajahnya yang pucat melontarkan berbagai macam pertanyaan kepadanya. Namun sesaat kemudian permaisuri itu melangkahkan kakinya masuk ke dalam biliknya.
Mahisa Agni mengantarkannya sampai ke muka pintu. Dilihatnya emban tua pemomong Ken Dedes membimbingnya dan meletakkannya di atas pembaringannya.
"Beristirahatlah, Tuan Putri."
Ken Dedes tidak menyahut. Tetapi seperti tanpa disadarinya ia kemudian merebahkan dirinya, berbaring sambil menatap atap. Dilihatnya jalur-jalur tulang-tulang atap pesanggrahan darurat yang terbuat dari bambu itu.
Baru sejenak kemudian ia bergumam, "Kau jangan pergi Kakang. Jagalah agar tidak seorang pun yang memasuki pesanggrahan ini, meskipun ia pemimpin prajurit Tumapel di padang Karautan ini."
Mahisa Agni sama sekali tidak tahu maksud itu. Tetapi ia menjawab, "Baiklah Tuan Putri.Aku ingin berada di serambi saja supaya aku dapat melihat keadaan dengan seksama."
"Pergilah, tetapi jangan tinggalkan pesanggrahan ini."
"Baik," sahut Mahisa Agni, yang sejenak kemudian telah melangkah meninggalkan pintu bilik itu pergi ke serambi depan. Namun dalam pada itu ia tidak habis-habisnya berpikir, apakah yang sebenarnya telah terjadi dengan Ken Dedes"
"Mudah-mudahan ia hanya diganggu oleh kelelahan. Kalau ia sudah beristirahat secukupnya, maka ia akan sembuh dari keadaannya yang mencengkam itu."
Sementara itu di dalam biliknya, ternyata Ken Dedes selalu masih saja gelisah. Setiap kali emban pemomongnya mencoba menenteramkan hatinya. Tetapi karena emban itu tidak tahu pasti apakah sebab dari kegelisahan itu, maka ia pun tidak segera dapat membuat momongannya menjadi tenang.
"Akuwu Tunggul Ametung hanya selalu memikirkan diri sendiri saja, Bibi," desah permaisuri itu tiba-tiba.
Pemomongnya terperanjat mendengarnya. Apalagi nada suara Ken Dedes yang penuh penyesalan.
"Aku datang ke taman ini bersamanya untuk menikmati kesenangan di dalam istirahat kami. Tetapi Akuwu Tunggul Ametung pergi berburu dan meninggalkan aku dalam kesepian."
Pemomongnya menjadi semakin heran. Ketika akuwu berangkat kemarin, Ken Dedes melepaskannya dengan senang hati, seperti yang selalu terjadi sebelumnya. Ken Dedes tahu betul bahwa Akuwu Tunggul Ametung selalu pergi berburu pada saat-saat yang dikehendakinya. Kadang-kadang dengan tiba-tiba saja ia ingin berangkat. Bahkan kadang-kadang sampai dua tiga hari. Pada waktu-waktu itu permaisuri Ken Dedes tidak pernah berdesah, apalagi mengeluh seperti saat ini.
"Mungkin justru karena saat ini mereka tidak berada di istana," pikir emban tua itu, "tetapi, kenapa baru sekarang Ken Dedes merasakan kesepian itu?"
Seperti Mahisa Agni, maka emban itu pun kemudian mencoba menghubungkannya dengan cerita tentang bantu Karautan, sehingga karena itu ia mencoba menghibur momongannya, "Tuanku, jangan dihiraukan lagi tentang cerita hantu Karautan. Hantu itu tidak akan dapat berbuat banyak. Seperti yang dikatakan oleh Angger Mahisa Agni. Selama ia masih ada di sini, maka tidak akan ada seorang pun dan bahkan hantu Karautan yang akan mengganggu. Apalagi di sini ada banyak prajurit pilihan. Maka aku kira Tuanku dapat beristirahat dengan aman."
Emban itu heran ketika ia mendengar permaisuri itu berdesis, "Tidak bibi. Aku tidak digelisahkan oleh hantu Karautan. Tetapi aku merasa terlampau sepi sendiri di padang Karautan yang luas ini. Akuwu selamanya hanya memikirkan kesenangan sendiri, tanpa menghiraukan aku lagi."
"Jangan berkata begitu, Tuan Putri. Bukankah sudah menjadi kebiasaan Akuwu pergi berburu" Dan bukankah selama ini Tuan Putri tidak pernah mempersoalkannya?"
"Itulah sebabnya, Bibi. Sekian lama aku mencoba mengendapkannya di dalam dada Tetapi saat ini, saat kita semuanya berada di padang Karautan, Akuwu sampai hati pula meninggalkan aku sendiri."
"Ah," emban tua itu berdesah, "itu adalah kebiasaannya. Aku yakin bahwa Akuwu sama sekali tidak bermaksud mengabaikan Tuan Putri. Apalagi pada saat Akuwu minta diri, Tuan Putri sama sekali tidak menunjukkan keberatan apapun juga, sehingga Akuwu tidak membuat terlampau banyak pertimbangan-pertimbangan."
"Aku tidak dapat mencegahnya, Bibi. Seharusnya Akuwu dapat menangkap perasaanku."
"Jangan merajuk Tuan Putri. Lebih baik Tuan Putri berkata berterus terang. Mungkin Akuwu akan menjadi kecewa dan bahkan marah. Mungkin pula Akuwu sama sekali tidak mau mengindahkan pendapat Tuan Putri, tetapi sesuatu hal yang pasti, bahwa Akuwu dengan demikian mengerti, bahwa Tuan Putri tidak senang atas sikap itu. Apabila kelak Tuanku Akuwu sempat membuat penimbangan, maka hal itu pasti akan dipertimbangkan. Apabila terjadi pula sesuatu, maka Tuan Putri telah menentukan sikap sebelumnya, sehingga Tuan Putri tidak akan dapat dipersalahkan. Tetapi apabila Tuan Putri tidak mengatakan yang sebenarnya tersirat di dalam hati, maka Tuanku Akuwu tidak akan tahu. apakah yang sebenarnya Tuan Putri kehendaki. Mungkin Tuanku Akuwu akan mencoba meraba-raba, tetapi kesimpulan yang didapatnya mungkin keliru, bahkan mungkin terbalik dengan kehendak Tuan Putri."
Emban Tuan itu berhenti sejenak. Dicobanya untuk melihat kesan dari kata-katanya. Sejenak kemudian ia melanjutkannya, "Tuan Putri. Mungkin Akuwu berhasrat berbuat sebaik-baiknya seperti yang Tuan Putri kehendaki. Tetapi karena Tuanku Akuwu tidak tahu apakah yang sebenarnya Tuan Putri kehendaki, maka apa yang dikerjakan itu, justru bertentangan dengan kehendak Tuan Putri. Apakah Tuan Putri mengerti maksud hamba" Dan apakah Tuan Putri yakin, bahwa Tuaku Akuwu pasti akan menolak seandainya Tuan Putri berkata seperti hati nurani Tuan Putri yang sebenarnya, seperti pada saat Tuanku minta diri untuk berburu kemarin?"
Permaisuri Tumapel itu tidak segera menyahut. Ia memang dapat mengerti maksud emban pemomongnya itu.
Namun perasaannya merasakan sesuatu yang lain dari saat-saat yang lampau. Permaisuri itu sendiri tidak menyadari, kenapa kini ia merasa terlalu sepi dalam kesendiriannya. Perasaan itu sama sekali tidak pernah dihayatinya sebelumnya.
"Mungkin karena aku tidak berada di istana," Ken Dedes pun mencoba untuk mencari alasan bagi perasaannya yang asing itu. Meskipun di pesanggrahan itu ada juga beberapa pelayan di samping emban pemomongnya, tetapi tidak seperti di istana. Di sana berkeliaran terlampau banyak emban dayang-dayang dan pelayan-pelayan. Tetapi di pesanggrahan ini jumlahnya terlampau terbatas.
Permaisuri itu menarik nafas dalam-dalam. Dicobanya untuk menahan perasaannya yang gelisah. Namun setiap kali, dadanya terasa sesak.Bayangan-bayangan yang asing hilir mudik berkeliaran di dalam angan-angannya. Kadang-kadang masa-masa lampaunya membayang terlampau jelas, seperti baru kemarin saja terjadi. Pada saat Kuda Sempana di bawah perlindungan Akuwu Tunggul Ametung mengambilnya dari padepokannya di Panawijen.Pada saat itu Wiraprana terkapar di halaman, terbunuh oleh Kuda Sempana. Tetapi saat itu ia sama sekali tidak menaruh perhatian kepada seorang anak muda yang ikut serta di dalam rombongan penculik itu yang bernama Ken Arok. Dan tiba-tiba saja kini Ken Arok muncul di hadapannya dengan membawa terlampau banyak masalah di dalam dirinya.
Tiba-tiba permaisuri itu menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Tanpa di-sangka-sangka Ken Dedes itu menangis. Perlahan-lahan sekali, namun isaknya terlampau jelas tampak di dadanya.
"Tuan Putri?" emban pemomongnya itu pun menjadi gelisah.
"Apakah Tuanku Akuwu Tunggul Ametung belum datang, Bibi?" bertanya Ken Dedes.
"Belum Tuan Putri. Mungkin sebentar lagi Tuanku datang dengan membawa kijang. Bukankah Tuanku Akuwu Tunggul Ametung berjanji untuk membawa kijang kemari?"
"Ya, Bibi. Tuanku akan membawa kijang buruan," Ken Dedes berhenti sejenak, lalu, "Memang Akuwu selalu berusaha untuk menyenangkan hatiku."
"Ya, Tuan Putri. Sebenarnyalah Tuanku Akuwu Tunggul Ametung adalah seorang suami yang baik."
Ken Dedes tidak segera menyahut. Diusapnya air yang membasahi pipinya. Kemudian katanya, "Tetapi apakah kau yakin bahwa Akuwu benar-benar rnencintaiku, Bibi?"
"Ah," emban itu berdesah, "Tuanku. Bukankah begitu besar cinta Tuanku Akuwu Tunggul Ametung, sehingga Tuanku berjanji untuk menyerahkan Tumapel dengan seisinya Kepada Tuan Putri?"
"Kau percaya bahwa hal itu benar-benar akan dilakukan?"
"Aku percaya Tuan Putri."
"Tetapi Tuanku Akuwu Tunggul Ametung belum pernah melaksanakan."
"Apakah akan banyak gunanya Tuan Putri?" bertanya emban tua itu. Lalu dilanjutkannya, "Seandainya Tuan Putri nanti berputra, bukankah putra itulah yang akan menerima kekuasaan kelak, apakah melimpah dari Tuanku Akuwu atau pun dari Tuan Putri."
Ken Dedes berdiam sejenak. Ia pun pernah mendengar keterangan semacam itu dan ia dapat mengerti pula. Tetapi kini terasa bahwa bagaimanapun juga, ia harus menerima hak yang telah dilimpahkannya itu secara resmi. Bukan sekedar saling mengerti seperti saat ini.
"Oh," Ken Dedes berdesah. Dan terdengar di dalam hatinya ia berkata, "Aku agaknya telah diganggu oleh hantu Karautan. Iblis ini mencoba mengganggu perasaan dan hatiku."
Emban pemomongnya benar-benar menjadi gelisah dan cemas. Tetapi ia tidak berani terlampau banyak berbuat, supaya ia tidak membuat permaisuri itu menjadi semakin bingung.
"Aku akan tidur sejenak, Bibi," tiba-tiba permaisuri itu berkata, "Bangunkanlah kalau suamiku pulang dengan membawa seekor kijang buruan."
"Hamba, Tuanku," sahut emban itu. Hatinya menjadi agak tenang ketika dilihatnya permaisuri itu berusaha untuk tidur.
"Tetapi jangan kau tinggalkan aku, Bibi."
"Tidak, Tuan Putri. Aku tidak akan pergi. Aku akan menunggui Tuan Putri sampai Tuanku Akuwu Tunggul Ametung datang."
"Ya. Dan begitu Tuanku Akuwu datang, aku akan memohon untuk segera kembali ke Tumapel."
"Kenapa terlampau tergesa-gesa" Tuanku masih perlu beristirahat di sini."
"Waktu istirahat terasa terlampau lama. Besok Akuwu akan pergi lagi meninggalkan aku sendiri."
"Tuanku dapat mengatakannya, bahwa Tuanku tidak ingin ditinggalkan sendiri."
Permaisuri itu tidak menyahut. Tetapi dipejamkan matanya.Ia mencoba untuk dapat tidur. Ternyata bahwa semalam suntuk ia tidak tidur sekejap pun, sehingga tubuhnya terasa panas dan kepalanya memang agak pening.
Dengan perlahan-lahan emban pemomongnya yang setia memijit-mijit ujung kakinya, betisnya dan lututnya. Seperti yang selalu dilakukannya sejak Ken Dedes itu masih terlampau muda. Masih kanak-kanak. Kalau anak itu tidak segera dapat tidur karena kelelahan setelah sehari penuh bermain kejar-kejaran dengan kawan-kawannya, maka pemomong yang tua itu memijit-mijit ujung kakinya, betisnya dan lututnya sambil berdendang. Tetapi kini suaranya sudah terlampau parau, sehingga ia tidak mau lagi berlagu.
Namun, oleh silirnya angin pagi yang sejuk, maka perlahan-lahan Ken Dedes itu pun terlena dalam buaian kantuk dan lelah. Meskipun matahari masih belum sepenggalah, namun permaisuri itu telah jatuh tertidur.
Emban pemomongnya menarik nafas dalam-dalam. Direnunginya wajah momongannya, seolah-olah ingin melihat apakah sebenarnya yang sedang berkecamuk di dalam angan-angannya.
Tetapi emban tua itu sama sekali tidak dapat menangkap perasaan apapun dari momongannya. Bahkan kadang-kadang terlintas di dalam kepalanya, apakah memang benar hantu Karautan sedang mengganggu permaisuri itu.
"Ah tidak," katanya di dalam hati, "itu tidak mungkin terjadi."
Tetapi kenyataan yang dihadapinya telah membuatnya cemas dan bingung.
"Mungkin permaisuri memang merasa kesepian. Perasaan yang demikian sebelumnya hanya ditahankannya di dalam hatinya, sehingga suatu ketika perasaan itu meledak tanpa dikendalikan lagi"
Namun bahwa permaisuri kini dapat tidur, hati emban tua itu menjadi sedikit tenang. Mudah-mudahan setelah ia bangun nanti, semuanya akan menjadi baik.
Maka emban itu pun dengan setianya duduk di samping pembaringan permaisuri Ken Dedes. Bahkan seperti sedang menunggui bayi, maka setiap kali emban tua itu mengenyahkan lalat dan bahkan nyamuk yang hinggap di tubuhnya.
Sementara itu Ken Arok telah sampai ke taman itu pula. Langkahnya yang tergesa-gesa telah membuatnya berpeluh di kening dan punggungnya.
Namun ketika ia telah melangkah masuk ke dalam regol taman, melampaui para penjaga, hatinya menjadi ragu-ragu. Apakah perlunya ia dengan tergesa-gesa menghadap permaisuri Ken Dedes selagi Akuwu Tunggul Ametung sendiri tidak ada"
"Aku dapat pura-pura bertanya, apakah Tuanku Akuwu telah datang," katanya di dalam hati, namun kemudian dibantahnya sendiri, "Lalu apakah gunanya" Apakah gunanya aku memakai seribu satu macam alasan sekedar untuk masuk ke dalam pesanggrahan itu?"
Ken Arok tiba-tiba menjadi bingung, ia tidak mengerti apakah sebenarnya yang diinginkannya. Apakah ia ingin menghadap Akuwu Tunggul Ametung" Ia tahu pasti kalau Akuwu tidak ada di pesanggrahan. Seandainya ia ragu-ragu, ia dapat bertanya setiap orang di taman itu, atau langsung kepada Kebo Ijo. Ia tidak perlu menghadap permaisuri untuk sekedar bertanya tentang Akuwu Tunggul Ametung.
"Aku tidak memerlukan Tuanku Akuwu Tunggul Ametung," tiba-tiba Ken Arok menggeram, "aku ingin menghadap Permaisuri."
Namun timbul pula pertanyaan di dalam hatinya, "Apakah gunanya aku menghadap"Tidak banyak hubungan tugasku dengan Permaisuri. Dan bahkan tidak ada gunanya aku menghadap."
Dalam kebimbangan itu Ken Arok berdiri tegak di bawah sebatang pohon kantil yang sudah menjadi sebatang pohon yang cukup besar. Diedarkannya pandangan matanya ke sekelilingnya. Diamatinya bunga-bunga yang sedang mekar, dan kupu-kupu yang beterbangan. Namun dengan demikian maka hatinya kian menjadi gelisah.
Hampir terlonjak ketika ia mendengar sebuah suara dari balik segerumbul perdu, "Apa kerjamu di situ, Ken Arok?"
Ken Arok menarik nafas dalam-dalam. Apakah sebabnya maka ia tidak dapat mendengar langkah orang itu yang tidak lain adalah Kebo Ijo, sehingga tiba-tiba saja ia menjadi sangat terkejut mendengar suaranya" Telinga Ken Arok adalah telinga yang sangat tajam. Namun angan-angannya kini agaknya sedang terganggu, sehingga pendengarannya tidak dapat bekerja sewajarnya.
"Apakah aku telah mengejutkan kau?" bertanya Kebo Ijo sambil tertawa.
Ken Arok tidak menjawab. Tetapi ia benar-benar merasa terganggu atas kehadiran Kebo Ijo. Ia sedang berusaha menemukan alasan yang sebaik-baiknya untuk pergi ke pesanggrahan. Tetapi tiba-tiba kini Kebo Ijo itu datang.
"Kau menjadi terlampau rajin kini, Ken Arok," Kebo Ijo berkata sambil tertawa, "bukankah baru lewat tengah hari kau akan menggantikan tugasku?"
"Ya," jawab Ken Arok, "tetapi bukankah setiap saat aku selalu berada di taman ini?"
"Kalau begitu, pembagian tugas di antara kita tidak ada gunanya. Aku akan menjadi lebih senang kalau kau saja yang terus menerus mengawasi keamanan taman ini selama Tuanku Akuwu, eh maksudku selama Permaisuri berada di sini."
Sepercik warna merah melonjak di wajah Ken Arok. Pertanyaan Kebo Ijo itu ternyata telah membuat hatinya berdesir dan jantungnya menjadi berdebar-debar semakin cepat.
Apalagi ketika kemudian Kebo Ijo itu tertawa. Kini ia telah berdiri hanya beberapa langkah saja di muka Ken Arok.
"Kau tampak aneh Ken Arok," berkata Kebo Ijo itu, "gelisah dan bingung. Sikapmu pun aneh pula. Kau berdiri di sini sambil mengawasi keadaan di sekelilingmu seperti laku seorang pencuri."
Kebo Ijo berhenti sejenak,tetapi suara tertawanya masih terdengar, "He, Ken Arok.Apakah benar-benar kau akan mencuri" Mencuri Ken Dedes barangkali?"
Pertanyaan itu terasa langsung menusuk jantung Ken Arok, sehingga terasa darahnya berhenti mengalir. Kebo Ijo itu seolah-olah telah menunjuk noda yang melekat di dalam dinding hatinya. Karena itu maka terasa sesuatu bergolak di dalam dadanya. Terlampau cepat, dan tanpa diduga-duga tiba-tiba Ken Arok itu meloncat maju. Hampir tanpa disadarinya, tangannya terayun deras sekali memukul mulut Kebo Ijo yang masih tertawa.
Perbuatan itu benar-benar tidak disangka oleh Kebo Ijo. Ia sama sekali tidak mengira bahwa senda-guraunya kali ini telah membuat Ken Arok demikian marahnya, sehingga tangannya telah memukul mulutnya, dan ia terdorong beberapa langkah surut.
Kini Kebo Ijo itu berdiri dengan tegangnya. Matanya menyala seperti bara, dan mulutnya melelehkan darah merah yang segar menetes satu-satu di atas tanah yang lembab. Ketika tangannya mengusapinya, maka seleret warna merah telah membakar hati anak muda itu. Sejenak Kebo Ijo berdiri dengan tegangnya. Namun tiba-tiba tangannya telah menggenggam pedangnya sambil menggeram, "Ken Arok, aku tahu bahwa kau adalah seorang perkasa, tetapi aku bukan seekor tikus yang mau dihina seperti ini."
Ken Arok berdiri tegak dengan tangan gemetar. Dipandangnya mata Kebo Ijo yang membara itu. Kemudian ujung pedangnya yang berkilat-kilat diperciki oleh sinar matahari pagi.
Dan Ken Arok masih mendengar Kebo Ijo berkata, "Nah, Ken Arok. Aku akan bersedia mati sebagaimana seorang prajurit mati. Ayo bunuhlah aku. Aku kini sudah menggenggam pedang di tangan."
Jantung Ken Arok menjadi semakin berdentingan di dalam dadanya. Namun tiba-tiba disadarinya, apa yang baru saja dilakukannya. Sekian lama ia bergaul dengan Kebo Ijo. Sekian lama ia sanggup menahan dirinya setiap kali Kebo membuat atau berolok-olok. Tetapi kini tiba-tiba ia kehilangan pengamatan diri dan bahkan seakan-akan telah kehilangan pegangan, justru pada saat Akuwu Tunggul Ametung dan permaisurinya bertamasya di taman ini. Taman yang dibangun dengan susah payah, dengan memeras tenaga dan biaya.
Selangkah Ken Arok mundur ketika Kebo Ijo mendekatinya dengan pedang terhunus. Ujung pedang itu kini telah bergetar, dan Kebo Ijo telah siap untuk menyerangnya.
Tiba-tiba terdengar suara Ken Arok parau, "Kebo Ijo. Maafkan aku."
Suara itu berdentang dahsyat sekali di telinga Kebo Ijo. Ia sama sekali tidak menyangka, bahwa akhirnya Ken Arok akan dengan dada terbuka minta maaf kepadanya. Hal ini sama sekali tidak masuk di akalnya. Ia menyangka bahwa Ken Arok akan meloncat, menerkamnya meremas wajahnya dan kemudian mencekiknya sampai mati. Dan ia sudah bersedia menghayatinya untuk mempertahankan namanya sebagai seorang prajurit. Sudah selayaknya seorang prajurit mati, namun dengan pedang di tangan.
Tetapi Ken Arok tidak berbuat demikian. Bahkan Ken Arok itu telah minta maaf kepadanya.
"Sarungkan pedangmu Kebo Ijo," desis Ken Arok kemudian, "tidak baik apabila seseorang melihat pertengkaran ini."
Sekali lagi dada Kebo Ijo berdesir. Tetapi penghinaan itu masih membekas di hatinya, sehingga ia menjawab, "Apakah kau takut menghadapi aku dengan pedang di tangan, dan kau ingin bertempur tanpa senjata?"
"Tidak, Kebo Ijo. Aku minta maaf, bahwa aku telah terdorong berbuat terlampau kasar. Seharusnya aku tetap menyadari, bahwa kau memang tidak dapat mengendalikan mulutmu. Sudah seribu kali aku berkata tentang hal itu, bahkan kakak seperguruanmu pun telah mengatakannya pula. Namun seribu kali kau masih juga melakukannya, sehingga pada suatu saat aku telah kehilangan kesempatan untuk menahan diri. Mungkin aku terlampau lelah, mungkin pula aku sedang diganggu oleh berbagai masalah pribadi, atau apapun. Namun baiklah kita saling mencoba mengekang diri. Aku dan kau, supaya hal-hal serupa ini tidak terulang lagi."
Dada Kebo Ijo masih bergetar terlampau cepat. Tetapi sikap Ken Arok itu telah membuatnya luluh pula. Pada saat Akuwu Tunggul Ametung datang ke padang ini, maka tubuhnya seolah-olah telah diremukkan oleh Mahisa Agni, dan kini hampir saja Ken Arok pun berbuat demikian.
Kebo Ijo menarik nafas dalam-dalam. Sepercik pengakuan melonjak di dalam dadanya, bahwa sebenarnyalah kata-katanya sering menusuk perasaan orang lain.
"Sarungkan pedangmu Kebo Ijo, mumpung belum ada orang yang melihatnya."
Seperti dicengkam oleh kekuatan yang tidak dapat dihindarinya tangan Kebo Ijo itu pun bergerak menyarungkan pedangnya. Namun matanya masih saja diwarnai oleh berbagai macam perasaan yang bergolak di dalam dadanya.
"Hapuslah darah di mulutmu."
Kebo Ijo menggeram. Tetapi dihapuskannya darah di mulutnya dengan ujung kainnya yang kemudian menjadi bernoda merah.
"Sekali lagi aku minta maaf kepadamu," desis Ken Arok, "mudah-mudahan hal yang serupa ini tidak akan pernah terjadi lagi."
Kebo Ijo tidak menjawab. Namun sekali-sekali dirabanya mulutnya yang justru baru mulai terasa sakit.
Sejenak kemudian, maka mereka berdiri saja, mematung di tempatnya sambil berdiam diri. Masing-masing telah dihanyutkan oleh pikiran sendiri. Hanya kadang-kadang saja masih terdengar Kebo Ijo menggeram dan Arok menarik nafas dalam-dalam.
Tiba-tiba saja dalam kediaman itu mereka telah dikejutkan oleh suara derap kaki-kaki kuda, semakin lama menjadi semakin dekat. Cepat sekali seperti pada saat banjir melanda bendungan. Sebelum mereka sempat berbuat apa-apa, maka suara derap kuda itu telah menjadi terlampau dekat.
"Akuwu," desis Ken Arok.
"Ya, Akuwu." Tanpa berjanji maka keduanya segera berjalan tergesa-gesa ke regol teman untuk menyambut kedatangan Akuwu Tunggul Ametung dari berburu.
Ternyata keduanya masih sempat sampai ke regol, ketika tepat Akuwu Tunggul Ametung meluncur di atas kudanya masuk ke dalam taman. Ketika dilihatnya Ken Arok, Kebo Ijo dan beberapa orang prajurit menyambutnya, maka Akuwu Tunggul Ametung itu segera mengekang kudanya, sehingga kuda itu meringkik dan tegak dengan kedua kaki belakangnya.
Yang terdengar adalah suara tertawa Akuwu Tunggul Ametung.
"Lihat, aku mendapat seekor rusa muda," katanya lantang, "dan lihat pula, aku telah berhasil membunuh seekor harimau loreng."


02 Pelangi Di Langit Singasari Karya S H. Mintarja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Semua mata tertuju ke arah jari-jari akuwu yang menunjuk seekor rusa dan harimau loreng dan yang sudah mati diikat di punggung seekor kuda.
"Aku membunuhnya dengan panah."
"Bukan main," hampir setiap bibir bergumam mengagumi ketangkasan berburu Akuwu Tunggul Ametung.
"Ken Arok," berkata Akuwu itu dengan wajah yang cerah, "buatlah api. Aku akan membuat rusa panggang untuk santapan pagi bersama permaisuriku."
"Hamba, Tuanku," sahut Ken Arok sambil membungkukkan kepalanya.
"Cepat! Aku akan menemui Ken Dedes lebih dahulu."
Akuwu itu tidak menunggu jawaban lagi. Kudanya segera berderap diikuti oleh para pengawalnya masuk ke dalam taman menuju ke pesanggrahan.
Ken Arok pun kemudian dengan tergesa-gesa pergi ke dapur. Ia harus menyiapkan api, seperti perapian di dalam masa perburuan. Akuwu akan memanggang rusa buruannya seperti di dalam perburuan pula.
Dengan cekatan beberapa orang segera menyediakan kayu untuk membuat perapian di muka dapur. Beberapa orang lain menyediakan rempah-rempah dan yang lain menyiapkan tempat untuk akuwu, permaisuri dan beberapa orang lain.
Ken Arok sendiri ikut sibuk di dalam persiapan itu. Namun tanpa dimengertinya sendiri, sepercik kekecewaan menyentuh hatinya. Kenapa akuwu terlampau cepat datang sebelum ia sempat pergi ke pesanggrahan" Ken Arok menyesal, bahwa ia telah diganggu oleh keragu-raguan, dan bahkan bertengkar dengan Kebo Ijo, sehingga ia belum sempat menghadap permaisuri sebelum Akuwu Tunggul Ametung datang.Tanpa disadarinya, maka ia ingin berbicara tentang berbagai persoalan yang tidak berarti dengan permaisuri seperti tadi malam. Betapa cerah wajahnya. Senyumnya langsung menyentuh perasaannya. Suara tertawanya yang ringan dan suaranya yang lunak.
Anak muda itu menarik nafas dalam-dalam.
Namun segera ia menyadari keadaannya ketika seseorang berkata kepadanya, "Apakah api akan kita nyalakan sekarang" Apakah kita harus menunggu kehadiran Akuwu Tunggul Ametung?"
"Oh," Ken Arok tergagap, "aku tidak tahu. Maksudku, apakah sebaiknya aku bertanya saja kepada Akuwu.Kapan Tuanku Akuwu akan melakukannya."
"Silakanlah." Ken Arok segera melangkahkan kakinya. Namun kemudian langkahnya tertegun. Tiba-tiba saja ia dikuasai oleh suatu perasaan yang aneh.Ia merasa segera untuk bertemu dengan akuwu pagi itu. Karena itu maka segera dipanggilnya Kebo Ijo. Katanya, "Menghadaplah Tuanku Akuwu Tunggul Ametung. Bertanyalah kepadanya, "Apakah api akan dinyalakan sekarang atau kami di sini harus menunggu Tuanku"."
"Kau tidak menemuinya sendiri?" bertanya Kebo Ijo.
Ken Arok menggelengkan kepalanya.
"Aku menyiapkan segala sesuatu di sini. Pergilah."
Dengan langkah yang dibebani oleh keseganan pula Kebo Ijo pergi menemui Akuwu Tunggul Ametung di pesanggrahan.
Sementara itu Akuwu telah meloncat turun dari kudanya di halaman pesanggrahan. Mahisa Agni telah berdiri menyambutnya. Namun Akuwu Tunggul Ametung tidak melihat permaisurinya di muka pintu menyongsongnya.
Sebelum Mahisa Agni mempersilakannya, Akuwu telah berteriak, "He, di mana Ken Dedes?"
"Tuan Putri sedang tidur. Tuanku."
"He," Akuwu mengerutkan keningnya, "matahari sudah demikian tinggi, Ken Dedes masih tidur?"
"Bukan masih tidur Tuanku, tetapi justru baru saja Tuan Putri dapat tidur."
"Kenapa?" "Semalam suntuk Tuan Putri tidak dapat tidur."
"Ya, kenapa?" "Hamba tidak tahu, Tuanku. Mungkin Tuan Putri terlampau terikat oleh percikkan sinar bulan di atas dedaunan di taman, atau barangkali Tuan Putri menunggu Tuanku datang dari perburuan."
"Ah. Tidak mungkin. Permaisuriku tidak pernah menghiraukan kapan aku datang, setiap kali aku pergi berburu."
"Mungkin begitu, apabila Tuan putri berada di istana. Tetapi agaknya lain di pesanggrahan yang sepi ini."
Akuwu tidak segera menyahut. Ditatapnya saja wajah Mahisa Agni. Namun tiba-tiba Akuwu itu berdesah, "Mungkin, mungkin.Aku akan menemuinya sekarang. Ia akan bergembira melihat rusa muda itu. Kita akan makan pagi dengan cara yang menyenangkan."
Akuwu itu pun kemudian melangkah masuk perlahan-lahan. Ia tidak ingin mengejutkan Ken Dedes yang sedang tidur. Perlahan-lahan pula ia membuka pintu bilik.
Akuwu menarik nafas dalam-dalam ketika dilihatnya permaisurinya masih tidur ditunggui oleh embannya yang setia. Dengan hati-hati ia melangkah masuk dan sambil berbisik ia bertanya, "Apakah semalam ia tidak tidur?"
"Ampun Tuanku. Tuan Putri semalam hampir tidak dapat tidur sekejap pun."
Akuwu mengangguk-angguk. Sambil berjingkat ia melangkah mendekati permaisuri. Namun ketika tangannya menyentuh tubuh yang terbaring itu, Akuwu mengerutkan keningnya. Desisnya, "Tubuhnya agak panas. Agaknya kesehatannya memang terganggu. Mungkin karena semalam ia tidak tidur."
"Hamba, Tuanku," sahut emban itu perlahan-lahan.
Namun pembicaraan itu ternyata telah membangunkan permaisuri Ken Dedes. Perlahan-lahan ia membuka matanya. Yang mula-mula dilihatnya adalah wajah Akuwu Tunggul Ametung tersenyum di sisi pembaringannya.
Tiba-tiba saja Ken Dedes meloncat, berlutut di hadapan Akuwu Tunggul Ametung sambil berpegangan kedua kakinya dengan kedua tangannya, "Ampun Tuanku. Kenapa Tuanku pergi terlampau lama" Hamba tidak mau Tuanku pergi meninggalkan hamba lagi. Hamba takut, Tuanku."
Tunggul Ametung terkejut bukan kepalang. Ia tidak menyangka bahwa Ken Dedes akan berbuat demikian. Bahkan Mahisa Agni, emban pemomongnya, Witantra dan beberapa orang pengawal yang berdiri di luar pintu pun terkejut pula mendengar suara dari dalam bilik itu.
"Ken Dedes," berkata Akuwu kenapa kau sebenarnya" Apakah yang kau takutkan" Kau dikitari oleh pengawal yang kuat. Kakakmu Mahisa Agni ada di sini pula. Apa yang kau takutkan?"
"Hamba, Tuanku. Tetapi iblis Karautan yang langsung menyusup di dalam hati, tidak seorang pun yang mampu menabannya selain Tuanku sendiri."
Akuwu Tunggul Ametung berdiri membeku di tempatnya. Kata-kata permaisurinya itu terdengar aneh di telinganya. Seolah-olah Ken Dedes diganggu oleh iblis yang tidak dapat dilawan oleh siapa pun. Bahkan oleh seluruh pasukan pengawal Akuwu di padang Karautan.
Berbagai pertanyaan tumbuh di dalam hati Akuwu Tunggul Ametung itu. Apakah benar bahwa istrinya telah diganggu olah iblis yang tidak kasatmata dan langsung menyusup ke dalam hati"
Dalam pada itu ia mendengar Ken Dedes berkata seterusnya, "Tuanku, apabila berkenan di hati Tuanku, baiklah kita kembali saja ke Tumapel segera, sebelum iblis itu lebih dalam lagi mencekam seluruh hati dan perasaan hamba."
Akuwu Tunggul Ametung mengerutkan keningnya. Kemudian diraihnya tangan permaisuri itu dan ditariknya untuk berdiri, "Berdirilah Ken Dedes. Sekarang aku sudah ada di sini. Jangan takut terhadap siapa pun dan terhadap apapun. Aku akan melindungimu dari segala gangguan."
"Tetapi sebaiknya kita kembali Tuanku. Kita kembali ke Tumapel segera."
Akuwu menjadi cemas melihat Ken Dedes yang seperti kehilangan akal itu. Ketika ia berpaling dilihatnya emban tua yang duduk dengan cemasnya, Mahisa Agni yang tegang dan di muka pintu Witantra memandangi dengan sorot mata yang aneh.
Tiba-tiba akuwu itu berkata lantang, "He, apakah perapian itu sudah siap?"
Witantra terkejut mendengar pertanyaan yang tidak disangka-sangkanya. Namun sebelum ia menjawab, maka Kebo Ijo yang datang ke pesanggrahan itu untuk bertanya tentang perapian itu berbisik kepada Witantra, "Kakang, apakah perapian itu harus kami siapkan dahulu, ataukah kami harus menunggu Akuwu?"
Sebelum Witantra menjawab pertanyaan itu pula, ternyata Akuwu yang mendengar pertanyaan itu berteriak, "Siapakah yang bertanya itu" Bodoh sekali. Aku sudah berkata, siapkan perapian. Sekarang kau masih bertanya lagi. He, siapa orang itu?"
Dada Kebo Ijo menjadi berdebar-debar. Bahkan tiba-tiba ia mengumpat di dalam hati, mengumpati Ken Arok. Seandainya Ken Arok sendiri yang datang untuk bertanya, maka ialah yang akan dibentak oleh Akuwu Tunggul Ametung.
"Apakah kau bisu he?" teriak Akuwu pula.
"Ampun Tuanku," sahut Witantra, "yang bertanya adalah Adik hamba Kebo Ijo."
"Aku tidak bertanya kepadamu," Akuwu berteriak semakin keras, "Aku bertanya kepada orang yang dungu itu."
Witantra berpaling kepada Kebo Ijo.Katanya, "Kemarilah, jawablah pertanyaan Tuanku."
Kebo Ijo maju selangkah di muka pintu.Kepala menunduk dalam-dalam. Desisnya, "Hamba, Tuanku. Hamba Kebo Ijo yang disuruh oleh Ken Arok untuk menyampaikan pertanyaan di hadapan Tuanku. Apakah perapian itu harus disiapkan lebih dahulu atau menunggu apabila Tuanku telah berada di sana."
"Bodoh! Bodoh sekali!" Akuwu berteriak dengan nada yang tinggi, "Kau masih bertanya lagi, he?"
Kebo Ijo menjadi bingung. Bagaimana seharusnya ia berkata tentang persoalan itu. Dicobanya untuk mencuri pandang, kalau-kalau kakak seperguruannya dapat menolongnya. Tetapi wajah Witantra sama sekait tidak berkesan apapun. Ternyata kakak seperguruannya itu sudah terlampau biasa menghadapi sikap akuwu yang demikian itu, sehingga sama sekali tidak menumbuhkan kesan apapun kepadanya, sehingga sama sekali tidak menumbuhkan kesan apapun kepadanya, meskipun kadang-kadang terasa jantungnya berdesir pula.
Karena Kebo Ijo masih saja berdiri membeku, maka akuwu itu pun membentak pula, "He, kenapa kau masih saja berdiri di situ" Apakah kau menunggu aku pecah kepalamu, he" Ayo pergi, cepat nyalakan api perapian itu. Kalau aku sampai di sana, dan api belum menyala, maka kaulah yang akan aku panggang di atasnya."
Kebo Ijo membungkuk dalam-dalam.Kemudian katanya terbata-bata, "Ampun Tuanku.Perkenankanlah hamba pergi."
"Cepat! Katakan kepada Ken Arok. Aku akan segera datang."
"Hamba, Tuanku."
Kebo Ijo itu pun kemudian mundur beberapa langkah. Ketika ia sudah berada di sisi pintu, tiba-tiba ia berpaling kepada kakak seperguruannya sambil mencibirkan bibirnya.
"Hus," dengan serta-merta Witantra membentaknya. Di tempat itu berdiri beberapa orang prajurit yang lain, yang melihat tingkah lakunya. Kebo Ijo telah menyatakan sikap tidak senang terhadap perlakuan akuwu atasnya di hadapan beberapa orang lain. Hal itu pasti tidak menguntungkannya. Untunglah beberapa orang di antaranya tidak memperhatikan sikap itu, dan beberapa orang yang lain menanggapinya dengan wajar, sehingga beberapa orang justru menahan senyumnya.
"Kenapa kau, he Witantra?" tiba-tiba Witantra terkejut mendengar pertanyaan Akuwu Tunggul Ametung. Sejenak ia menjadi bingung untuk menjawab. Namun kemudian katanya, "Ampun Tuanku. Kebo Ijo terlampau tergesa-gesa sehingga ia melanggar beberapa orang prajurit yang lain."
Akuwu tidak menjawab. Tetapi kini ia berpaling kepada permaisurinya yang masih berlutut.Sekali lagi ia menarik tangan permaisuri itu sambil berkata, "Berdirilah. Kita akan pergi ke halaman. Kita akan makan pagi seperti aku makan di medan perburuan. Bukankah aku kemarin sudah berjanji untuk membawa seekor rusa muda" Aku mengharap bahwa Ken Arok telah siap menunggu kedatangan kami."
Sejenak akuwu menjadi ragu-ragu. Apakah permaisurinya masih mempunyai nafsu untuk makan bersamanya dengan cara itu. Tetapi ternyata permaisuri itu pun perlahan-lahan berdiri. Bahkan perlahan-lahan pula ia bertanya, "Apakah kita akan pergi ke perapian Tuanku?"
"Ya." "Perapian yang disebut oleh Kebo Ijo itu?"
"Ya." Sejenak permaisuri itu terdiam. Terasa sesuatu bergetar di dalam hatinya. Tanpa diketahuinya sendiri, tiba-tiba saja tumbuhlah keinginannya untuk pergi ke perapian itu. Meskipun sebenarnya ia sama sekali tidak bernafsu lagi untuk makan dengan cara apapun, juga dengan cara Akuwu Tunggul Ametung itu, namun ia berkeinginan untuk pergi ke perapian.
Tatapi Akuwu Tunggul Ametung tidak mengerti apa saja yang tergores di dinding hati permaisurinya. Ia menjadi bersenang hati ketika permaisuri itu mengangguk sambil menjawab, "Baiklah Tuanku. Hamba akan pergi ke perapian itu untuk makan bersama seperti yang Tuanku kehendaki."
"Bagus, bagus. Marilah," kemudian kepada Witantra dan Mahisa Agni Akuwu berkata, "Marilah, kita pergi ke sana. Kita makan beramai-ramai."
Akuwu Tunggul Ametung itu pun kemudian membimbing permaisurinya keluar dari bilik itu, berjalan diiringi oleh Mahisa Agni, Witantra dan para pengawalnya beserta emban tua pemomong Ken Dedes.
Beberapa puluh langkah sebelum mereka, Kebo Ijo berjalan dengan tergesa-gesa ke halaman dapur pesanggrahan itu. Ketika tampak olehnya Ken Arok berdiri bertolak pinggang, maka segera ia mengumpat-umpat.
"Kenapa kau, he?" bertanya Ken Arok.
"Setan kau. Karena aku yang menghadap Akuwu Tunggul Ametung maka akulah yang dibentak-bentak seperti membentak kerbau saja."
"Kenapa?" "Justru karena pertanyaanmu itu."
"Jadi bagaimana maksud Akuwu Tunggul Ametung?"
"Kita dianggapnya terlampau bodoh.Nanti sebentar lagi Akuwu akan datang."
"He, lalu bagaimana dengan kayu-kayu bakar ini?"
"Nyalakan. Sebelum Akuwu datang kayu ini harus sudah menyala supaya kita tidak diumpatinya."
Ken Arok mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun di luar sadarnya ia bertanya, "Apakah Akuwu akan datang seorang diri saja?"
"He," mata Kebo Ijo tiba-tiba menjadi aneh. Hampir saja ia mengucapkan kata-kata yang dapat membuat Ken Arok mengulangi pukulannya. Untunglah, pengalaman itu membuat Kebo Ijo agak berhati-hati. Meskipun demikian ia berkata. juga, "Tentu tidak. Tetapi siapakah yang sebenarnya kau harapkan hadir di sini" Akuwu atau siapa saja?"
Betapapun juga pertanyaan itu telah membuat wajah Ken Arok menjadi kemerah-merahan. Tetapi ia pun kini berusaha mengekang dirinya untuk tidak mengulangi perbuatannya, memukul mulut Kebo Ijo. Namun dengan tergesa-gesa ia menjawab, "Maksudku, siapa saja yang akan datang bersama pengawal sebanyak itu, maka apakah artinya seekor rusa?"
Kebo Ijo mengangguk-anggukkan kepalanya.Jawabnya, "Dengan beberapa orang saja. Sudah tentu Mahisa Agni, Kakang Witantra dan emban tua itu. Seandainya ada orang-orang lain, maka biarlah orang-orang lain itu nanti menonton saja di luar lingkaran."
Ken Arok mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia terkejut ketika Kebo Ijo itu mendesaknya, "Cepat! Suruh nyalakan api. Kalau Akuwu datang sebelum api menyala, akulah yang akan dicekiknya."
"Oh," Ken Arok mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian dipanggilnya beberapa orang untuk menyalakan api sekaligus di beberapa tempat dengan jerami dan ranting-ranting yang kering.
Sesaat kemudian maka api pun segera menyala. Asapnya membumbung tinggi ke langit. Putih kehitam-hitaman karena kayu-kayu bakarnya masih belum menjadi bara.
"Nyalakan lebih besar lagi!" Kebo Ijo berteriak kepada orang-orang yang sedang menyalakan api itu, "Cepat, sebelum Akuwu datang!"
Maka segera dihembus-hembusnya perapian itu oleh beberapa orang yang sedang berjongkok di sekitar onggokkan kayu-kayu yang sudah mulai menyala itu. Dan api pun semakin lama menjadi semakin besar. Asap yang kehitam-hitaman pun berangsur susut. Sejenak kemudian lidah apilah yang melonjak-lonjak di atas perapian itu.
Kebo Ijo mengangguk-anggukkan kepalanya. Ternyata Akuwu masih belum datang. Katanya di dalam hati, "Permaisuri itu pasti baru meloncat-loncat seperti anak katak dibimbing induknya."
Sejenak kemudian barulah akuwu, permaisuri dan para pengikutnya datang. Beberapa orang segera mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukannya, membersihkan rusa hasil buruan akuwu dan mempersiapkan rempah-rempahnya.
Orang-orang memutari perapian itu sesaat kemudian tenggelam dalam kegembiraan. Permaisuri pun agaknya dapat melupakan kecemasan dan kegelisahannya. Bahkan orang-orang itu sejenak kemudian seolah-olah telah berubah menjadi anak-anak kembali.Berteriak-teriak kegirangan, bersenda-gurau, berolok-olok dengan sesuka hatinya. Akuwu pun seakan-akan menjadi orang lain dari Akuwu Tunggul Ametung sehari-hari. Namun bagi mereka yang sering ikut serta berburu bersama Akuwu, maka cara yang demikian itu sudah terlampau sering mereka lihat. Tetapi bahwa kali ini mereka bergembira bersama akuwu dan permaisuri adalah suatu hal yang baru.
Di dalam lingkaran itu, Ken Dedes seakan-akan telah sembuh dari kegelisahan yang selama ini melanda jantungnya. Bahkan ia pun hanyut juga di dalam kegembiraan itu bersama Akuwu Tunggul Ametung, Mahisa Agni, Witantra, Kebo Ijo dan di antara mereka adalah Ken Arok.
Makan dengan cara yang khusus itu berlangsung sampai melewati tengah hari. Mereka seolah-olah tidak puas-puasnya menikmati hidangan yang sederhana, kadang-kadang bahkan terlampau asing bagi makanan permaisuri itu sehari-hari. Tetapi justru dalam keadaan itu, makanan yang demikian terasa betapa nikmatnya.
Tetapi bagaimanapun juga, sampai pula makan bersama itu pada akhirnya. Akuwu dan permaisuri dengan beberapa pengiringnya kembali ke pesanggrahan, untuk beristirahat. Dan pada saat-saat yang demikian itulah tumbuh kembali kesan-kesan yang mengerikan di dalam dada permaisuri itu. Bahkan kini ditambah lagi saat-saat yang menyenangkan di seputar perapian itu.
Karena itu maka ketika Akuwu sedang duduk terkantuk-kantuk di dalam biliknya, setelah mengganti pakaiannya, maka tanpa disangka-sangkanya permaisurinya telah mengejutkannya dengan permintaannya itu.
"Tuanku," berkata permaisuri, "apakah tidak sebaiknya kita kembali ke Tumapel segera?"
Akuwu Tunggul Ametung menarik nafas dalam-dalam. Dengan pertanyaan-pertanyaan itu, maka ia pun terlempar kembali ke dalam suatu keadaan yang tidak dimengertinya, yang membingungkannya.
"Aku tidak mengerti Ken Dedes, kenapa kau begitu tergesa-gesa?" gumam akuwu itu seolah-olah kepada diri sendiri, "Aku merasa tenang di sini. Aku dapat melupakan semua persoalan untuk sementara. Aku mengharap bahwa kau juga berbuat demikian. Tetapi agaknya sesuatu telah mengganggumu. Mungkin kau terlampau berkhayal tentang hantu Karautan, atau mungkin suasana di taman ini selalu mengingatkan kau kepada kampung halaman yang kini mengalami masa kering dan paceklik yang tidak dapat ditolong lagi. Tetapi seharusnya kau pun bangga, bahwa orang-orang dari padukuhanmu bukanlah orang-orang yang mudah berputus asa dan kehilangan akal. Mereka tidak segera menyerah kepada nasibnya. Tetapi mereka berbuat sesuatu. Membangun bendungan itu. Meskipun orang-orang Panawijen tidak menolak bantuanku, namun pada dasarnya mereka mempercayakan dan bertitik tolak pada kepercayaan mereka atas diri sendiri. Kau harus bangga Ken Dedes. Juga kehadiranmu di sini seharusnya merupakan saat-saat yang menyenangkan. Kau melihat hasil kerja orang-orang Panawijen, kau melihat ketenangan alami di dalam taman di tengah-tengah padang ini setiap senja. Kau melihat matahari meloncat dari balik cakrawala untuk kemudian kembali menyusup ke bawah cakrawala."
"Tidak, tidak Tuanku," potong Ken Dedes, "hamba mengerti semuanya itu. Tetapi hamba kehilangan gairah yang hidup selama ini. Hamba telah terlihat dalam suatu ketakutan. Mungkin Tuanku besar, bahwa hamba terlampau berkhayal tentang hantu Karautan."
Akuwu Tunggul Ametung mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia tidak akan dapat mengatasi lagi perasaan permaisurinya. Kalau yang dicemaskan oleh permaisurinya itu sepasukan musuh yang kuat, atau segerombolan perampok yang mengerikan, maka ia akan dapat memasang sepasukan segelar sepapan untuk memberinya ketenangan. Tetapi kali ini, Ken Dedes takut melawan perasaan di dalam dada sendiri, meskipun perasaan itu masih belum terlampau jelas bagi Akuwu Tunggul Ametung.
"Ken Dedes," berkata Akuwu itu kemudian, "seharusnya kita masih mempunyai waktu tiga atau empat hari lagi.Tetapi apabila kau memang menghendaki, apa boleh buat. Kapan saja kau inginkan, kita akan segera kembali ke Tumapel."
"Oh," seleret kegembiraan yang cerah membayang di wajah Ken Dedes, "Terima kasih Tuanku, Hamba memang yakin bahwa Tuanku akan mengabulkan permohonan hamba."
"Ya," sahut Akuwu Tunggul Ametung, "kapan kau ingin kembali ke Tumapel" Hari ini?"
Pertanyaan itu telah membuat hati Ken Dedes berdesir. Ya, kapankah sebaiknya".Bahkan tiba-tiba saja bergetar perasaan aneh di dalam dirinya. Apakah sebenarnya aku ingin kembali ke Tumapel"
Ken Dedes itu telah dilanda oleh kebimbangan tentang keinginan diri sendiri. Ia tidak tahu, apakah sebenarnya ia ingin meninggalkan padang Karautan atau keinginan-keinginan yang lain.
Ken Dedes tidak segera dapat menjawab. Dan karena Ken Dedes tidak segera dapat menjawab, maka Akuwu Tunggul Ametung berkata selanjutnya, "Kalau kau bermaksud kembali sekarang ke Tumapel, Ken Dedes, maka aku segera akan memerintahkan segala persiapan."
Ken Dedes masih berdiam diri.Bahkan kini kepalanya tertunduk dalam-dalam. Ada sesuatu yang menahannya untuk menganggukkan kepala itu. Tetapi tiba-tiba ia menyadari, betapa kejamnya keadaan yang kini mencengkamnya. Tanpa disadarinya, ia telah terperosok ke dalam suatu kungkungan perasaan yang bertentangan sama sekali dengan keyakinannya tentang jalan hidup yang harus ditempuhnya. Dengan susah payah ia mencoba mengatasi keadaan itu dengan nalarnya. Ia harus melepaskan diri dari kungkungan yang menjeratnya, meskipun ia merasa betapa angan-angan itu memberikannya khayalan tentang suatu dunia yang cemerlang. Bukan kecemerlangan lahiriah seperti yang dimilikinya kini. Bukan emas, intan, permata dan sesotya, tetapi ia menghasilkan suatu kecemerlangan yang lain di dalam sukmanya. Khayalan tentang dirinya sebagai seorang gadis.
"Oh," Ken Dedes mengeluh di dalam hati, "masa kegadisanku telah lama lalu. Tanpa aku kehendaki sendiri, masa itu telah hilang direnggut oleh keadaan yang tidak aku kehendaki. Dan kini aku kembali masuk ke dalam suatu lingkaran yang membuat aku hampir menjadi kehilangan akal."
Akuwu Tunggul Ametung masih saja menunggu jawabnya. Karena ia masih belum menjawab maka Akuwu itu bertanya pula, "Jangan ragu-ragu Ken Dedes. Aku berkata sebenarnya. Aku sama sekali tidak keberatan apabila memang itu kaukehendaki. Bukan sekedar kata lelamisan untuk menunjukkan betapa aku bermurah hati kepadamu. Tidak Ken Dedes. Aku memang ingin, kau tidak selalu dibayangi ketakutan."
"Oh," hati Ken Dedes benar-benar tersentuh oleh kata-kata akuwu. Betapa Akuwu Tunggul Ametung yang kadang-kadang kasar dan meledak-ledak itu benar-benar berusaha untuk menenteramkannya. Sepercik pengakuan telah mengembang di dalam hatinya, akuwu benar-benar mencintaiku. Tetapi dengan demikian, perasaan bersalah telah tumbuh pula di dalam hatinya. Meskipun baru di dalam angan-angan, tetapi iblis telah mulai menusuknya dengan ujung-ujung duri yang beracun.
Tiba-tiba Ken Dedes itu berlutut di kaki Akuwu Tunggul Ametung sambil menangis terisak-isak. Katanya di sela-sela tangisnya, "Tuanku, Tuanku, bawalah hamba kembali ke Tumapel segera. Segera Tuanku, supaya hamba segera dapat membebaskan diri dari tangan-tangan iblis padang Karautan."
Akuwu Tunggul Ametung menarik nafas dalam-dalam. Ia pun diganggu pula oleh pertanyaan yang menghentak-hentak di dalam dadanya. Benarkah ada iblis di padang ini yang dapat mengganggu perasaan seseorang" Tetapi kemudian dijawabnya sendiri, "Tidak. Ken Dedes pasti hanya dibayangi oleh ketakutannya sendiri. Mungkin ia mendengar cerita tentang hantu Karautan yang mengerikan itu, sehingga bayangan-bayangan yang menakutkan selalu menghantuinya."
Namun demikian Akuwu itu menjawab, "Baiklah Ken Dedes.Kita akan segera kembali ke Tumapel.Hari ini kita akan berangkat. Aku akan segera memerintahkan Witantra untuk bersiap-siap."
"Terima kasih, Tuanku."
Akuwu pun kemudian melangkah keluar biliknya Ketika dilihatnya seorang pengawal berdiri di tangga maka prajurit segera dipanggilnya.
"Ampun, Tuanku," sembah prajurit itu setelah berdiri di depan Akuwu Tunggul Ametung, dan didengarnya perintah, "Panggil Witantra, Mahisa Agni dan Ken Arok."
"Oh," tiba-tiba Ken Dedes memotong dari dalam biliknya, "kenapa Tuanku memanggilnya"
Akuwu Tunggul Ametung terkejut. Sambil menjengukkan kepalanya di pintu bilik ia bertanya, "Siapakah yang kaumaksud?"
"Oh," Ken Dedes tergagap. Ternyata ia sudah terlanjur mengucapkan kata-kata itu sehingga menimbulkan pertanyaan dalam diri akuwu. Tetapi bagaimanakah seharusnya ia mengatakannya"
Dengan demikian Ken Dedes menjadi kebingungan. Ia berdiri saja mematung sambil memandangi Akuwu Tunggul Ametung yang berdiri di luar pintu biliknya.
"Siapakah yang kau maksud?" bertanya Akuwu sekali lagi.
"Ampun Tuanku," jawab Ken Dedes, "hamba telah salah dengar."
"Apakah yang kau dengar?"
Ken Dedes menjadi semakin bingung.Dicobanya untuk menemukan jawab dari pertanyaan akuwu itu.
"Tuanku," Ken Dedes bergumam perlahan-lahan, "apakah Tuanku memanggil Kakang Witantra?"
"Ya." "Untuk pergi berburu bersama Tuanku lagi?"
"Oh, tentu tidak Ken Dedes," sahut Akuwu. Namun dengan demikian Akuwu Tunggul Ametung menjadi semakin cemas. Agaknya Ken Dedes sudah benar-benar dibayangi oleh perasaan takut yang hampir tidak tertahankan selama ia pergi berburu.
"Tak ada seorang pun yang dapat mengurangi perasaan takut itu, meskipun Mahisa Agni agaknya selalu menungguinya di luar biliknya," katanya di dalam hati. Namun yang diucapkan oleh mulutnya adalah, "Bukankah kita akan kembali ke Tumapel" Biarlah Witantra menyiapkan segala sesuatunya. Kita akan berangkat sore ini meskipun kita harus bermalam di jalan."
Ken Dedes menundukkan kepalanya. Ia tidak menyahut lagi. Kini ia berusaha sejauh kemampuannya untuk tidak diombang-ambingkan oleh perasaannya yang gelisah.
Akuwu yang masih berdiri di luar biliknya berkata kepada prajurit yang juga masih berdiri tegak seperti patung sambil menundukkan kepalanya, "He, cepat! Kenapa kau masih berdiri saja di situ?"
"Ampun Tuanku, eh, maksud hamba, hamba Tuanku. Akan hamba lakukan perintah Tuanku."
Orang itu pun kemudian dengan tergesa-gesa meninggalkan Akuwu Tunggul Ametung untuk memanggil Witantra, Mahisa Agni dan Ken Arok.
Sejenak kemudian ketiganya telah berada di serambi pesanggrahan. Mereka tidak segera mengerti kenapa tiba-tiba saja Akuwu telah memanggil mereka. Tetapi prajurit yang memanggilnya, yang mendengar serba sedikit kata-kata Akuwu kepada permaisurinya itu berkata kepada mereka bertiga, "Mungkin Tuanku Akuwu akan segera kembali ke Tumapel."
"He?" hampir bersamaan mereka bertanya, "Kembali ke Tumapel?"
"Aku tidak tahu jelas," jawab prajurit itu, "aku seolah-olah mendengar, bahwa sore ini Akuwu akan kembali."
"Ah," yang paling gelisah di antara mereka adalah Ken Arok. Berbagai perasaan tiba-tiba saja telah mengguncangkan dadanya. Bahkan di dalam hatinya ia berkata, "Apakah sikapku telah membuat Akuwu marah" Atau permaisuri melihat gelagat yang tidak menyenangkannya" Oh, adakah seseorang yang dapat melihat perasaan yang tersimpan di dalam dada ini?"
Betapa kegelisahan, kecemasan dan penyesalan telah bergolak di dalam dada anak muda itu.Ia menyesali dirinya sendiri. Seolah-olah ia sama sekali tidak mengenal terima kasih
"Aku telah diangkat dari lumpur yang paling hina. Aku telah dibebaskannya dari cengkeraman padang yang ganas ini, dan menempatkan di tempat yang terlampau baik buatku seperti sekarang ini. Tetapi aku masih saja berangan-angan tantang soal-soal yang tidak akan mungkin terjadi, yang justru telah mengkhianati perkembangan pribadiku sendiri. Oh, seandainya ada seseorang yang tahu tentang diriku, dan kini tentang perasaan yang tersimpan di dalam dadaku. Oh, bagaimanakah kira-kira tanggapan Sang Brahmana Lohgawe, yang telah mengantar aku kehadapan Tuanku Akuwu Tunggul Ametung. Bagaimana tanggapan Mahisa Agni, Witantra dan terutama Kebo Ijo. Dan bagaimanakah tanggapan setiap orang tentang diriku yang sama sekali tidak mengenal terima kasih ini."
Tiba-tiba keringat dingin telah membasahi seluruh tubuh anak muda itu. Seandainya benar akuwu akan kembali ke Tumapel dengan tiba-tiba ini, maka sebagian pasti disebabkan oleh kesalahannya. Meskipun seandainya tidak seorang pun yang tahu tentang perasaannya, namun agaknya sikapnya telah tidak menyenangkan permaisuri Ken Dedes.
"Mungkin malam itu aku terlampau menjemukan. Terlampau sombong atau bahkan aku telah berbuat tidak sopan dan membayangkan perasaan khianatku ini."
Jilid 42 DAN debar jantung Ken Arok itu pun semakin lama menjadi semakin keras, sekali-kali ia berpaling, memandangi wajah-wajah yang terheran-heran pula. Wajah-wajah Mahisa Agni dan Witantra. Tetapi wajah-wajah itu tidak setegang wajahnya. Dan wajah-wajah itu tidak diembuni oleh keringat yang dingin.
Ketika prajurit yang memanggil mereka itu masuk kedalam pesanggrahan untuk memberitahukan kehadiran mereka, maka terdengar Witantra berbisik, "Kalau benar kata prajurit itu, maka pasti terjadi sesuatu yang kurang wajar".
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawabnya, "Sebenarnya memang telah terjadi sesuatu menurut pengamatanku. Tetapi aku tidak tahu, sebab apakah sebenarnya".
"Apakah yang sudah terjadi itu?" suara Ken Arok gemetar. Untunglah bahwa Mahisa Agni dan Witantra sendiri berada di dalam kegelisahan, sehingga mereka tidak terlampau memperhatikan keadaan Ken Arok itu "Bukankah pada saat-saat mereka makan bersama di halaman, Permaisuri dan Tuanku Akuwu Tunggul Ametung tampak bergembira?"
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Bahkan semalam pun Permaisuri sama sekali tidak menunjukkan kegelisahan".
Sekali lagi Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian jawabnya, "Yang terjadi memang aneh. Tiba-tiba saja Permaisuri menjadi gelisah. Tiba-tiba saja ia merasa kekesepian pada saat Akuwu pergi berburu.Lebih dari pada itu Permaisuri merasa diganggu oleh perasaan takut". Mahisa Agni berhenti sejenak, lalu, "Aku memang mengatakan dan menyebut Hantu Karautan pada saat kita berkelakar. Mungkin Ken Arok mendengarnya pula. Setelah itu pun tidak ada terjadi sesuatu. Tetapi tiba-tiba saja, pagi tadi Permaisuri menjadi terlampau gelisah dan ketakutan".
Dada Ken Arok menjadi semakin berdebar-debar mendengar keterangan itu. Tetapi ia mencoba untuk menentramkan hatinya sendiri, menunggu penjelasan dari Akuwu Tunggul Ametung.
Dan sejenak kemudian Akuwu itu pun keluar dari biliknya, untuk menemui ketiga orang yang dipanggilnya itu di serambi. Tampaklah wajahnya yang muram dan gelisah. Langkahnya lelah dan ragu.
"Duduklah" desisnya ketika ia melihat ketiga orang itu masih saja berdiri menunggunya.
Ketiganya pun kemudian duduk bersila di lantai, sedang Akuwu duduk di atas sepotong tonggak kayu.
"Aku sudah memutuskan" Akuwu itu teryata berkata terlampau langsung pada persoalannya, "sore ini kita kembali ke Tumapel".
Sejenak mereka bertiga saling berpandangan. Namun Witantralah yang pertama-tama bertanya, "Ampun Tuanku, kenapa Tuanku terlampau tergesa-gesa pergi" Menurut pendengaran hamba Tuanku akan berada di sini untuk beberapa hari lagi. Tetapi tiba-tiba Tuanku akan kembali ke istana".
Akuwu Tunggul Ametung mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak segera menjawab. Tampaklah kebimbangan membayang di wajahnya yang keras.
Karena itu, maka mereka pun sejenak menjadi terdiam. Mereka menunggu saja, apakah yang akan dikatakan oleh Akuwu Tunggul Ametung.
Mereka terperanjat ketika tiba-tiba saja Akuwu itu berkata, "Sediakan segala persiapan.Aku akan segera berangkat".
Sekali lagi mereka saling berpandangan. Namun tidak seorang pun yang beranjak dari tempatnya.
"Cepat," tiba-tiba Akuwu itu membentak. Meskipun sudah menjadi kebiasaan Akuwu Tunggul Ametung, namun orang-orang itu masih juga terkejut dan kadang-kadang heran.
"Tuanku," Mahisa Agni lah yang kemudian bertanya, "Kenapa Tuanku Akuwu menjadi tergesa-gesa"Apakah hal ini karena permintaan Tuan Puteri yang selalu diganggu oleh perasaan cemas itu?"
Akuwu tidak segera menjawab. Dipandanginya saja wajah Mahisa Agni. Namun kemudian terdengar suaranya datar, "Ya. Permaisuriku menjadi ketakutan dan gelisah. Aku tidak tahu, apakah sebabnya. Tetapi ia minta kita segera kembali ke Tumapel".
"Tuanku" kemudian terdengar suara Ken Arok bergetar, "Ampun Tuanku, bahwa hamba berani bertanya tentang diri hamba dihadapan Tuanku. Apakah sebenarnya ada kesalahan hamba atau sambutan hamba yang tidak berkenan di hati Tuanku atau di hati Tuan Puteri Ken Dedes?"
Dahi Akuwu Tunggul Ametung menjadi berkerut-merut. Sesaat dipandanginya Ken Arok dengan penuh keheranan. Namun kemudian terdengar ia tertawa hambar, "O, perasaanmu mudah sekali tersinggung Ken Arok. Tetapi aku kira bukan soal itu. Kau sudah cukup berusaha.Aku tidak kecewa karena sambutanmu. Tidak pula karena sebab-sebab lain. Tetapi Permaisuriku lah yang menjadi gelisah dan ketakutan. Mungkin benar ia sedang dibayangi oleh Hantu Karautan di dalam angan-angannya".
Ken Arok menarik nafas dalam-dalam. Tetapi istilah Hantu Karautan yang dipergunakan oleh Akuwu itulah yang kemudian menyentuh hatinya. Adalah kebenaran yang tidak dapat diingkarinya sampai kapan pun, bahwa Hantu Karautan yang sebenarnya adalah dirinya sendiri pada waktu itu.Mungkin Akuwu sama sekali tidak memikirkan, siapa dan apakah sebenarnya Hantu Karautan itu.Tetapi bagi Ken Arok, nama itu benar-benar berpengaruh pada perasaannya.
"Nah, sekarang apa pun sebabnya, sediakan semua perlengkapan" berkata Akuwu itu kemudian.
"Hamba Tuanku" jawab Witantra "hamba minta diri untuk menyelenggarakannya".
Akuwu mengangguk. Dan sebelum Witantra melangkah meninggalkan serambi, Akuwu Tunggul Ametung telah berjalan ke biliknya.
Ketiga orang yang masih berada di serambi itu saling berpandangan. Witantra kemudian mengangkat bahunya sambil berdesah. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun ia melangkah pergi meninggalkan serambi. Tetapi ternyata Ken Arok pun segera pergi pula menyusulnya meninggalkan Mahisa Agni seorang diri.
Mahisa Agni yang masih berada di serambi pesanggrahan itu duduk dengan dada yang berdebar-debar. Terngiang kembali pertanyaan Ken Arok kepada Akuwu Tunggul Ametung, "Apakah sambutannya di taman ini kurang memuaskan sehingga Akuwu dan Permaisuri tergesa-gesa kembali ke Tumapel". Pertanyaan itu memang wajar sekali disampaikan oleh seseorang yang merasa bertanggung jawab di sini.
Tetapi pertanyaan lain yang bergetar di dalam dada Mahisa Agni adalah, "Apa sajakah yang telah diceritakan oleh Ken Arok kepada Ken Dedes semalam".
"Mungkin secara berkelekar Ken Arok telah banyak sekali berceritera tentang hantu Karautan, sehingga Permaisuri kemudian tidak dapat tidur semalam suntuk, dan terganggu perasaannya" berkata Mahisa Agni di dalam hatinya.
Namun, kesimpulan itu pun sirna sekali tidak memberinya kepuasan. Ia masih menyimpan berbagai macam pertanyaan di dalam dirinya. Tetapi ia tidak tahu kepada siapa ia harus menanyakannya. Satu-satunya orang yang dapat menjawab adalah Ken Dedes sendiri. Tetapi agaknya Ken Dedes tidak mau berterus-terang kepadanya.
"Mudah-mudahan ia dapat mengatakan alasan itu kepada Akuwu sendiri" gumam Mahisa Agni perlahan-lahan.
Sementara itu, dengan tergesa-gesa Witantra menyiapkan orang-orangnya, mengatur semua perbekalan dan peralatan. Hanya orang-orang yang penting serta alat-alat yang tidak dapat ditinggalkan sajalah yang harus di bawa. Yang lain dapat ditinggalkan di pesanggrahan ini, sampai besok atau lasa. Beberapa orang ditugaskannya untuk mengurusi barang-barang yang ditinggalkannya itu.
"Aku tidak mengerti, apakah yang mendorong Permaisuri untuk mengambil keputusan itu" desis Witantra ketika ia melihat Ken Arok berdiri kebingungan.
"Ya" sahut Ken Arok, "Aku menjadi cemas. Mungkin sambutan serta pelayananku di sini yang dirasakannya sangat menjemukan".
"Sudah di bantah oleh Akuwu. Pasti ada sebab lain yang tidak dapat dikatakannya".
Terasa sebuah desir yang tajam tergores di dinding jantung Ken Arok. Tetapi ia tidak berani untuk menduga-duga terlampau jauh, apakah sebabnya maka Permaisuri mengambil keputusan untuk segera meninggalkan Padang Karautan.
Akhirnya, dengan tergesa-gesa, persiapan keberangkatan Akuwu Tunggul Ametung beserta Permaisuri itu pun telah selesai. Setiap orang menyimpan berbagai pertanyaan di dalam diri masing-masing. Setiap wajah telah di saput oleh keragu-raguan, kebingungan dan bahkan kecemasan. Beberapa orang prajurit menganggap bahwa sikap itu adalah suatu firasat yang kurang baik, sehingga seorang prajurit yang masih muda berbisik kepada kawannya, "Aku mempunyai dugaan, bahwa akan terjadi sesuatu. Mungkin di perjalanan, mungkin setelah kita sampai di Tumapel".
Tetapi kawannya menyahut acuh tak acuh, "Mungkin nanti, mungkin besok, tetapi mungkin juga setahun atau dua tahun lagi".
Orang yang pertama mengerutkan keningnya. Namun ia masih juga mencoba membela pendiriannya, "Uh, kau memang tidak mempunyai perasaan.Kau tidak dapat menangkap getaran yang paling halus di dalam dada ini. Getaran dari alam yang besar, yang menyentuh tali perasaan kita yang paling halus, dan yang paling sesuai dengan warna getaran itu. Kalau kita mampu melihat dengan mata hati kita, atau mendengarnya dengan telinga budi kita, kita akan tahu, apakah sebenarnya yang kita tangkap dengan tali perasaan yang paling halus yang sesuai dengan warna getaran itu. Kalau kita mampu mempelajarinya, maka kita akan dapat mengurai dan menilainya, bahkan kita akan dapat melihat dalam isyarat yang lebih jelas, apakah sebenarnya yang sedang kita hadapi itu".
Tetapi tiba-tiba kawannya memotong, "He, dari siapa kau mendengarnya?"
Orang yang pertama terkejut mendengar pertanyaan itu. Jawabnya dengan serta-merta, "Dari kakek".
"Dan kau telah mencoba untuk menghayati pemusatan indera dalam keheningan budi untuk mencoba menangkap warna getaran seperti yang kau katakan?"
Prajurit muda itu menggeleng, "Belum".
"Dan kau pernah mengurai isyarat-isyarat yang terpancar dari padanya, menurut irama alam yang besar dan alam kedirianmu dalam satu kebulatan?"
Prajurit itu sekali lagi menggeleng.
"Macammu," desis kawannya sambil tertawa, "kau mengatakan sesuatu yang tidak kau mengerti".
Dengan pandangan kagum prajurit muda itu bertanya, "Aku memang belum mengalaminya, tetapi apakah kau sudah pernah" Bagaimanakah akibat dari tangkapan isyarat yang demikian dari alam besar atas alam kedirianmu?"
Kawannya itupun menggeleng sambil tersenyum, "Aku juga tidak tahu. Aku juga baru mendengarnya dari kakek seperti kau".
"Setan" prajurit muda itu berdesis, tetapi keduanya kemudian tertawa.
"Kita tidak usah bersusah payah meraba-raba soal yang tidak dapat kita ketahui. Kita sekarang bersiap untuk mengantar Akuwu dan Permaisuri itu kembali ke Tumapel".
"Tetapi hal ini menimbulkan pertanyaan pada diri kita" jawab prajurit muda itu.
"Pertanyaan itu kita simpan saja di dalam dada ini. Jangan mencoba mencari jawabnya. Kita tidak akan dapat menemukannya sampai kau ubanan apabila kau tidak mengikuti perkembangan keadaan selanjutnya".
Prajurit-prajurit itu terdiam ketika mereka melibat Kebo Ijo berjalan dengan tergesa-gesa menemui Witantra. Dengan nafas terengah-engah ia bertanya, "Apakah sebenarnya sebab dari kepergian Permaisuri yang begini tergesa-gesa kakang?"
Witantra menggeleng, "Aku tidak tahu. Tidak seorang pun tahu. Akuwu juga tidak tahu dengan tepat".
Wajah Kebo Ijo tampak menjadi tegang. Di dalam dirinya melonjak kesan yang kurang menyenangkan. Seperti Ken Arok ia merasakan seolah-olah pelayanan mereka yang bertugas di Padang Karautan kurang menyenangkan Permaisuri.
Tanpa di sengaja Kebo Ijo berpaling memandang wajah Ken Arok. Ia ingin mendapat kesan dari padanya tentang kepergian Akuwu yang tergesa-gesa.Tetapi Ken Arok sama sekali tidak memandanginya, bahkan seolah sama sekali tidak mengacuhkannya.
Namun sebenarnya di dalam dada Ken Arok itu bergejolak berbagai macam dugaan atas sikap Kebo Ijo itu. Seolah-olah Kebo Ijo itu datang kepada Witantra untuk memberi tahukan, bahwa Ken Arok lah yang menyebabkan Permaisuri itu dengan tergesa-gesa kembali. Terngiang ditelinganya kata-kata Kebo Ijo yang menyakitkan hatinya, sehingga ia telah lupa diri dan menampar mulutnya. Dan kini dengan sudut matanya Ken Arok melihat Kebo Ijo itu memandanginya tajam tanpa berkedip.
Tetapi Witantra tidak menghiraukan semua itu. Ia sedang sibuk mengatur persiapan untuk mengawal Akuwu dan Permaisuri kembali ke Tumapel. Beberapa orang hilir mudik menemuinya. Bertanya tentang kelengkapan yang harus di bawa dan memberikan laporan tentang persiapan-persiapan yang telah mereka lakukan.
"Semua sudah siap", seorang perwira bawahan Witantra melaporkannya.
"Baik", sahut Witantra, "siapkan pasukan di muka gerbang taman ini. Aku akan menghadap Akuwu dan melaporkan segala persiapan".
Perwira itu pun segera pergi untuk mempersiapkan pasukan pengawal. Orang-orang yang akan memanggul tandu dan prajurit-prajurit pengiring. Sementara itu Witantra pun pergi menghadap Akuwu Tunggul Ametung.
Berita keberangkatan Akuwu yang tiba-tiba itu telah menggoncangkan Padang Karautan. Orang-orang Panawijen dan para prajurit Tumapel yang bertugas di Padang Karautan, berbondong-bondong pergi ke taman untuk melihat sendiri, apakah benar Akuwu Tunggul Ametung akan kembali ke Tumapel jauh lebih cepat dari waktu yang telah ditetapkannya. Yang lebih tidak dapat mereka mengerti kenapa justru Akuwu memilih waktu yang sudah jauh melampaui tengah hari ini untuk berangkat.
Tetapi ternyata berita tentang keberangkatan Akuwu itu bukan sekedar sebuah sendau gurau. Mereka melihat pasukan pengawal telah siap di muka gerbang taman. Mereka melihat tandu pun telah tersedia.Sedang beberapa orang telah siap pula di samping kuda masing-masing. Merekalah yang nanti akan merambas jalan yang akan dilalui oleh iring-iringan itu.
Dalam pada itu Witantra telah menghadap Akuwu Tunggul Ametung di pesanggrahan.Ternyata Akuwu dan Permaisuri pun telah siap pula untuk berangkat.
"Ampun Tuanku", berkata Witantra ketika ia sudah berdiri di muka pintu bilik, "semua persiapan sudah selesai".
"Baik" sahut Akuwu, "kita akan segera berangkat".Kemudian kepada Permaisurinya ia berkata, "Semua persiapan sudah siap.Kita dapat berangkat sekarang. Bukankah begitu?"
"Hamba Tuanku" jawab Permaisuri Ken Dedes. Namun ketika ternyata semua persiapan benar-benar telah dilakukan, dan saat yang dikehendakinya itu telah sampai, kembali ke Tumapel, maka perasaannya tiba-tiba saja menjadi bimbang. Terasa sesuatu bergetar di dalam dadanya, seolah-olah taman di Padang Karautan ini tersimpan sesuatu yang berharga baginya. Tetapi betapa hatinya menjadi sangat berat untuk meninggalkannya. Tetapi Ken Dedes tidak berani memikirkannya, apakah sebenarnya yang membebani keberangkatan yang dikehendakinya itu sendiri.
"Semuanya telah tersedia" berkata Akuwu itu kemudian.
"O" Ken Dedes tergagap, "Hamba Tuanku.Hamba pun telah siap pula". Namun perasaan yang seolah-olah menahannya untuk tidak beranjak dari tempatnya menjadi semakin berat. Dan Permaisuri itu menjadi semakin takut melihat kenyataan itu di dalam dirinya. Ketika terpandang olehnya Mahisa Agni, maka ia mencoba menyangkutkan perasaannya itu kepadanya. Katanya di dalam hati, "Kakang Mahisa Agni agaknya telah membuat aku ragu-ragu. Aku tidak sampai bati untuk meninggalkannya di taman ini. Tetapi aku tidak akan dapat membawanya.Ia harus tetap berada di sini, di antara orang-orang Panawijen yang sedang mempersiapkan tempat baru bagi lingkungannya". Tetapi Ken Dedes sendiri tidak yakin, bahwa sebenarnya Mahisa Agnilah yang telah memberati perasaannya.
Bahkan betapa ia berusaha menindasnya, namun merentul pula penyesalan di dalam hatinya, bahwa ia telah tergesa-gesa mengajak Akuwu Tunggul Ametung itu kembali ke Tumapel.
Tetapi dalam pada itu, tiba-tiba hatinya tersentak. Kesadarannya tiba-tiba melonjak di dalam dirinya, bahwa ia adalah seorang Permaisuri. Bahwa ia adalah seorang isteri. Suaminya yang berdiri dihadapannya, Akuwu Tunggul Ametung, adalah seorang suami yang baik, yang mencoba memenuhi keinginannya, meskipun barangkali tidak seperti yang diinginkannya sendiri.
Karena itu, maka Ken Dades itu pun mengatupkan giginya rapat-rapat. Dideranya perasaannya sendiri, untuk selalu sadar akan kedudukannya. Sebagai seorang isteri yang baik dan sebagai seorang Permaisuri. Sehingga dengan demikian, maka terdengar ia berkata dalam nada yang berat "Marilah Tuanku, kita berangkat. Semakin cepat aku meninggalkan tempat ini, menjadi semakin baik". Kemudian kepada Mahisa Agni ia berkata, "Sudahlah kakang. Aku akan kembali ke Tumapel. Aku telah mengambil keputusan untuk memohon kepada Tuanku Akuwu Tunggul Ametung untuk mempercepat keberangkatan ini demi ketenteraman hatiku".
"Ya Tuan Puteri" sahut Mahisa Agni, "semoga semuannya segera menjadi baik".
"Mudah-mudahan" berkata Ken Dedes, "sekali-sekali kakang harus berkunjung kepadaku. Ke Istana Tumapel".
Kata-kata itu, terdengar aneh di telinga Mahisa Agni. Namun ia menjawab, "Tentu. Tentu".
Ternyata bukan saja Mahisa Agni yang merasa aneh atas kata-kata Ken Dedes, tetapi juga Akuwu Tunggul Ametung mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak berprasangka apa pun selain anggapannya bahwa Permaisuri benar-benar sedang terganggu ketenangan jiwanya.Karena itu maka Akuwu itu sama sekali tidak berkata sesuatu. Dibiarkannya saja Permaisurinya melepaskan perasaannya itu kepada Mahisa Agni.
Dan sejenak kemudian Ken Dedes itu berkata kepada Akuwu, "Ampun Tuanku. Hamba telah siap. Marilah kita segera berangkat".
Akuwu mengangguk-anggukkan kepalanya, katanya, "Baiklah.Kita akan berangkat sekarang". Lalu katanya kepada Witantra, "Persiapkan semuanya. Kita akan berangkat".
"Hamba Tuanku. Semuanya telah tersedia".
Akuwu mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian dibimbingnya isterinya berjalan keluar dari dalam pesanggrahan. Di belakang berjalan dengan kepala tunduk emban tua pemomongnya. Dan di belakang emban tua itu berjalan Mahisa Agni dan Witantra. Mereka sama sekali tidak berbicara apapun. Angan-Angan mereka sedang di penuhi oleh berbagai macam pertanyaan yang tidak terjawab.
Beberapa orang prajurit kemudian mengangkat barang-barang dan beberapa ikat pakaian Permaisuri dan Akuwu Tunggul Ametung. Barang-barang itu harus di bawa bersama mereka, di dalam sebuah pedati tersendiri.
Ketika Permaisuri sudah hampir menginjakkan kakinya pada pintu gerbang taman itu, hatinya menjadi berdebar-debar. Sebentar lagi ia akan meninggalkan padang ini. Meninggalkan taman yang segar, meninggalkan sendang dengan rakit-rakitnya. Semuanya itu akan sangat berkesan di hatinya. Kesan yang tidak akan mudah dihapuskannya. Bahkan kesan yang telah membuatnya kadang-kadang menjadi seakan-akan kehilangan akal. Dan semuanya itu akan segera ditinggalkannya.
Permaisuri itu menarik nafas dalam-dalam. Apalagi ketika ia melihat orang-orang Panawijen dan para prajurit Tumapel yang berada di Padang Karautan, telah berkumpul berdesak-desakan di luar gerbang, maka hatinya menjadi semakin berdebar-debar. Penyesalannya atas keputusannya yang tergesa-gesa itu pun menjadi semakin dalam tergores di dinding hatinya. Tetapi ia tidak akan dapat mencabut kata-katanya. Ia tidak akan dapat menelannya kembali. Ia sendirilah yang telah memohon kepada Akuwu untuk meninggalkan Padang Karautan, meskipun hari telah melampaui setengahnya.
Tiba-tiba langkah Akuwu dan Permaisuri itu tertegun. Betapa terkejut hati mereka, terlebih-lebih adalah Ken Dedes. Begitu mereka sampai di regol taman, maka tiba-tiba saja seseorang yang agaknya berdiri melekat pada dinding regol taman itu, telah meloncat ke tengah pintu gerbang dan langsung berlutut di hadapan mereka. Dan orang itu adalah Ken Arok.
"Ampun Tuanku" desisnya hampir-hampir tidak dapat di dengar, "hamba tidak dapat mengerti kenapa Tuanku berdua menjadi terlampau tergesa-gesa meninggalkan taman ini. Hamba tidak mengerti apakah sebenarnya yang telah memaksa Tuanku berdua untuk mengambil keputusan itu, karena Tuanku berdua sama sekali tidak mengatakan alasan itu kepada hamba. Karena itu Tuanku, maka hamba telah mencoba mencari jawab dari pertanyaan itu pada diri hamba sendiri". Ken Arok berhenti sejenak, nafasnya menjadi terengah-engah. Tetapi ia masih tetap berlutut di hadapan Akuwu dan Permaisuri sambil menundukkan kepalanya. Ken Arok sama sekali tidak berani menengadahkan wajahnya, memandang sepasang mata Permaisuri Ken Dedes, yang betapa redupnya, namun masih tetap memercikkan sinar yang dapat merontokkan jantungnya.
Dalam pada itu, terasa dada Permaisuri itu berguncang. Ia tidak dapat meraba apakah yang telah diketemukan oleh Ken Arok itu di dalam dirinya, di dalam hatinya sendiri. Tetapi saat itu, Ken Dedes merasa dirinya seperti berdiri di atas bara api yang sedang menyala, memanasi dirinya, dan bahkan hampir tidak tertahankan. Keringatnya mengalir seperti di peras dari dalam tubuhnya.
Kakinya menjadi gemetar ketika ia mendengar Ken Arok itu meneruskan kata-katanya, "Tuanku. Hamba adalah orang yang bertanggung jawab di Padang Karautan ini. Hamba adalah orang yang menerima perintah Tuanku untuk menyelenggarakan apapun di padang ini, untuk menyambut kehadiran Tuanku.Kini hamba melihat kekecewaan di hati Tuanku, terutama Tuan Puteri. Hamba merasa bahwa bamba tidak mampu melakukan pekerjaan hamba, membuat Tuanku berdua tidak berkenan dihati selama Tuanku berada di Padang Karautan ini. Apapun yang telah membuat Tuanku ingin segera meninggalkan taman ini, namun itu berarti bahwa hamba tidak mampu melakukan tugas hamba sebaik-baiknya".
Sajenak Akuwu berdiri mematung di tempatnya. Ia sudah pernah menjawab pernyataan perasaan Ken Arok itu. Tetapi agaknya Ken Arok masih belum puas. Agaknya Ken Arok masih mencoba untuk menanyakannya langsung kepada Permaisurinya.
Perasaan Akuwu yang meledak-ledak itu pun tiba-tiba meledak pula. Tanpa disangka-sangka Akuwu Tunggul Ametung tertawa sambil menepuk bahu Ken Arok, "Ken Arok. Kau perasa seperti seorang perempuan. Aku sudah menjawab, bahwa hal ini sama sekali bukan salahmu. Tidak ada hubungan apapun dengan kau. Betapa baiknya kau menyelenggarakan penerimaan atas kami di sini, tetapi itu pasti tidak akan dapat mencegah perasaan Permaisuriku untuk segera kembali ke Tumapel. Nah, sudahlah. Jangan merengek seperti anak cengeng. Kau adalah pemimpin prajurit Tumapel di Padang Karautan. Tengadahkan kepalamu. Ucapkanlah selamat jalan kepada kami".
"Ampun Tuanku" sahut Ken Arok, "hamba akan berbuat demikian apabila Tuanku berangkat kepeperangan. Tetapi kali ini tidak".
Suara tertawa Akuwu menjadi semakin keras. Menggelegar. Semakin keras dan semakin keras. Suara itu kemudian seolah-olah berubah menjadi suara guntur yang meledak-ledak di langit. Dan suara itu serasa meruntuhkan tulang-tulang iga Ken Arok. Bukan saja tulang iganya tetapi juga seluruh isi dada.
"O " Ken Arok berdesah. Sama sekali tidak. Suara tertawa itu sudah terlampau sering didengarnya. Tetapi agaknya perasaannya sendirilah yang menangkap suara itu pada sentuhan yang tepat, sehingga suara itu terdengar seribu kali lebih keras dari suara yang sebenarnya.
Ken Arok mencoba untuk mempergunakan kesadarannya sepenuhnya, supaya ia dapat menilai keadaan dengan sewajarnya. Ia mencoba untuk mengatakan kepada dirinya sendiri, bahwa Akuwu berbuat demikian seperti yang biasa dilakukannya. Sama sekali tidak mentertawakannya karena ia telah menyembunyikan perasaannya yang sebenarnya terhadap Permaisuri itu.
Ternyata bukan saja Ken Arok yang menjadi gelisah oleh suara tertawa itu. Keringat Permaisuri Ken Dedes pun menjadi semakin deras mengalir. Suara tertawa Akuwu Tunggul Ametung serasa menusuk-nusuk jantungnya. Seolah-olah Akuwu itu sedang melepaskan sakit hatinya, karena melihat noda-noda hitam di dalam hati Permaisurinya. Karena Akuwu melihat bintik-bintik yang mengotori kesetiaan Ken Dedes sebagai seorang isteri.
Tetapi hati mereka agak tenang ketika mereka mendengar Akuwu berkata, "Sudahlah. Jangan risaukan kepergian kami. Kami mempercepat kepulangan kami karena sebab-sebab yang wajar. Sebab-sebab yang terdapat di dalam diri kami. Kami kali ini masih belum dapat menyesuaikan diri kami dengan suasana padang yang sepi ngelangut. Apalagi di bumbui oleh ceritera-ceritera tentang hantu Karautan. Mungkin Mahisa Agni terlampau sering mengganggu adiknya dengan ceritera-ceritera itu". Akuwu berhenti sebentar, lalu, "Tetapi kau pun jangan merajuk dan cengeng Agni. Jangan menyesali dirimu sendiri. Jangan merasa dirimu terlampau bersalah, lalu kau mencoba untuk membunuh dirimu di bendungan". Sekali lagi suara tertawa Akuwu meledak. Sejenak kemudian suara itu mereda. Katanya agak bersungguh-sungguh, "Nah, selamat tinggal".
Ken Arok masih berjongkok di hadapan Akuwu dan Permaisurinya.Ia tidak pernah di ganggu oleh kegelisahan seperti saat ini. Ia tidak pernah di cengkam oleh perasaan ngeri seperti kali ini. Pada saat-saat ia berada di padang ini, ia selalu menghadapi beribu macam persoalan yang mengerikan. Tetapi tidak separti kali ini. Ia telah di siksa oleh perasaan bersalah, karena percikan perasaannya atas Permaisuri Akuwunya, Permaisuri seseorang yang telah mengangkatnya dari dunianya yang hitam.Tetapi ia tidak dapat melepaskan pengakuan dan kemudian merunduk sambil memohon maaf. Tidak, ia tidak dapat melakukannya, sehingga dengan demikian perasaan bersalah itu akan tetap menyiksanya.
Kebo Ijo yang berdiri tidak terlampau jauh dari tempat itu mengerutkan keningnya itu hampir bertemu. Di dalam hatinya ia mengumpat tidak habis-habisnya. Seperti Akuwu ia menganggap bahwa Ken Arok ternyata adalah seorang yang terlampau cengeng.
"Huh", desisnya di dalam dadanya, "kenapa anak itu tiba-tiba berubah menjadi anak cengeng dan perajuk.Sungguh memalukan. Sikap itu sama sekali bukan sikap seorang prajurit".
Kebo Ijo menarik nafas ketika ia melihat Ken Arok kemudian berdiri, melangkah surut, kemudian membungkuk dalam-dalam.
Keributan Sesama Kawan 2 Pendekar Naga Putih 68 Warisan Terkutuk Ratu Pesta Dansa 2
^