Pencarian

Ratu Pesta Dansa 2

Fear Street - Ratu Pesta Dansa The Prom Queen Bagian 2


merinding. "Lalu kau bilang apa?" tanya Rachel.
"Aku menolak dengan sopan. Aku berusaha tidak memberi
kesan bahwa aku tidak suka padanya. Aku bilang terima kasih, tapi
aku sebenarnya masih berharap Kevin diizinkan untuk datang ke sini.
Dan itu memang benar."
"Dan selain itu, kau menganggap Lucas sebagai pembunuh
sinting," Rachel menambahkan. "Cowok idaman untuk kencan pesta
dansa." "Masa sih, kau berpikiran begitu?" Dawn berkata padaku. "Ah,
yang benar" Lucas?"
"Aku cuma bilang dia aneh," aku membela diri. "Hei, semua
orang berpikir begitu. Lalu soal jaketnya."
Itulah yang kuingat ketika pulang dari rumah Simone. Laki-laki
yang kulihat kabur dari rumah keluarga Perry mengenakan jaket satin
berwarna merah tua. Persis seperti jaket baseball Shadyside High.
Kaki Dawn muncul di kaca spionku. Dia sedang berbaring di
bangku belakang sambil melakukan gerakan angkat kaki. "Apa tidak
ada topik lain yang bisa kalian bahas?" dia bertanya.
"Tidak," jawabku. "Tidak ada."
"Oke," ujar Dawn. "Jadi orang itu memakai jaket merah. Itu
tidak berarti dia anggota tim baseball. Orang gila juga boleh memakai
jaket merah." "Memang, tapi masa kau belum mengerti juga?" Aku
melepaskan sebelah tangan dari kemudi dan menunjuk-nunjuk untuk
menegaskan maksudku. "Lucas anggota tim baseball. Itu satu-satunya
prestasi yang bisa dia banggakan, walaupun dia hampir tak pernah
dipasang untuk pertandingan. Dia hampir selalu memakai jaket itu."
"Ah, yang benar saja," kata Dawn. "Untuk apa Lucas Brown
membunuh Simone?" "Balas dendam. Dia membenci Simone sejak Simone
mencampakkannya." "Setiap hari ada orang yang ditinggal pacarnya," kata Dawn,
"dan mereka tidak menjadi pembunuh."
"Lucas jangan disamakan dengan orang lain," aku
mengingatkannya. "Dia benar-benar sinting."
"Dan matanya agak juling," Rachel menimpali.
Dawn mendengus. "Oke, penglihatannya memang tidak beres,
tapi itu tidak berarti dia seorang pembunuh."
"Hmm, yang jelas, dia memang aneh," ujar Rachel. "Katanya,
waktu orangtua Lucas memutuskan bahwa anjing mereka harus
disuntik mati, Lucas langsung membawanya ke luar dan
menggantungnya di pohon di pekarangan belakang mereka."
"Ya ampun," Dawn mendesah. "Dari siapa kaudengar omong
kosong itu?" "Dari Gideon," Rachel mengakui sambil tersipu-sipu. Aku
mengalihkan pandangan dari jalanan dan melirik ke arahnya. Aku
mendadak teringat bahwa Gideon juga anggota tim baseball. Tapi
untuk apa" Dawn kembali duduk tegak dan membuyarkan lamunanku.
"Dengar, Lizzy," dia berkata. "Kau tahu siapa pelakunya. Aku juga,
Begitu pula semua orang di Shadyside."
Rachel membelalakkan mata. "Siapa?"
"Orang gila yang membunuh anak Waynes-bridge itu dan
menyeretnya ke hutan Fear Street," jawab Dawn. "Dan anak dari
Durham itu. Nah, untuk apa Lucas membunuh mereka" Apakah
mereka juga pernah mencampakkannya?"
"Entahlah," ujarku. "Barangkali dia ingin melihat tampangnya
di TV. Asal tahu saja, dia punya catatan tentang kematian-kematian
dan pembunuhan-pembunuhan janggal."
Dawn geleng-geleng. "Ah, itu kan cuma untuk gaya saja."
Aku merenung sejenak. Rasanya aku memang berlebihan.
Simone dibunuh Lucas" Itu tak masuk akal.
"Mungkin kau benar," aku berkata.
Kami melewati gedung sekolah. Semua lampu telah
dipadamkan. Dalam cahaya senja yang remang-remang, gedung itu
menyerupai kastil kuno yang menyeramkan.
Ya ampun, apa-apaan ini" Sekarang sekolahku sendiri pun
sudah membuatku ketakutan.
Aku membelok ke kiri setelah melewati lampu lalu lintas.
"Hei," Dawn menegurku dari bangku belakang. "Division Street
ke arah situ." "Aku mau mampir di rumah Simone dulu," aku menjelaskan.
"Siapa tahu ada perkembangan baru."
Dawn menggerutu, tapi aku berkeras. Semenit kemudian
kubelokkan mobilku ke pekarangan keluarga Perry dan berhenti di
belakang Lincoln berwarna perak milik mereka. Lampu teras menyala.
Aku rasa orangtua Simone masih berdoa agar putri mereka kembali
dengan selamat. Rachel menyertaiku ketika aku menekan bel pintu. Dawn
menunggu di mobil. Mr. Perry muncul di pintu. Dia tampak lebih kurus dari
biasanya. Kemeja putih dan dasinya berkerisut, seakan-akan dipakai
tidur. "Kami belum dihubungi oleh si penculik," katanya dengan
sedih. Kemudian Mr Perry memandang ke mobilku.
"Itu Dawn," aku memberitahunya.
Mr. Perry mengangguk. "Begini," katanya, "saya tidak
bermaksud menakut-nakuti kalian, tapi polisi menganggap kasus ini
sangat serius. Menurut mereka, ada kemungkinan pelakunya sama
dengan orang yang?" Mr. Perry terdiam. Rupanya beliau tidak sampai hati
mengucapkan kata membunuh. Akhirnya Mr. Perry berkata, "Orang
yang mereka cari berhubungan dengan kedua gadis lain itu."
Pandangan kami bertemu. Sepertinya segala gairah hidup telah
lenyap dari mata Mr. Perry. Tersenyum sekilas pun sepertinya tak
sanggup lagi. "Hati-hati di jalan," pesannya, sebelum menutup pintu.
Kami kembali ke mobil, dan Dawn memperhatikan roman
muka Rachel dan aku. Dia tidak perlu bertanya apa-apa; dia langsung
tahu bahwa belum ada kabar tentang Simone.
Ketika kami menuju ke mall, Rachel berkata, "Dia aktris terbaik
yang kukenal. Betul-betul berbakat."
"Dia termasuk orang paling lucu yang pernah kujumpai," aku
berkomentar. "Aku belum bisa percaya," Rachel melanjutkan, "bahwa dia
sudah tiada. Di tempat yang dulu diisi seorang teman dalam hidupku
sekarang tinggal lubang yang menganga."
Aku menggigit bibir. "Temyata betul juga apa kata orang. Kalau
sudah begini, kita semua merasa kehilangan, dan kita menyesal bahwa
ada banyak hal yang sebenarnya ingin kita katakan, tapi tak pernah
kita sampaikan." "Seperti 'Kau sahabatku yang paling kusayangi'" Rachel
mendukung pendapatku. "Oh, aku jadi muak mendengar kalian!" Dawn menggerutu.
"Apa?" Aku mengalihkan pandangan dari jalan dan
memelototinya lewat kaca spion.
"Aku bilang aku jadi muak."
Aku mulai naik pitam. "Kau memang tidak punya perasaan."
"Begini," ujar Dawn, "kejadian yang menimpa Simone memang
tragis. Dan aku tak kalah prihatin dari kalian. Tapi jangan dibesarbesarkan deh. Aku tak pernah dekat dengan Simone. Dan kalau kalian
jujur, kalian juga akan mengakui bahwa dia bukan sahabat kalian. Dia
selalu mementingkan dirinya sendiri. Coba, sebutkan satu hal saja
yang pernah dia lakukan untuk kalian!"
"Sudahlah!" Dengan geram aku menginjak pedal gas.
Tengkukku mulai terasa panas.
Mobilku melaju sekitar dua puluh mil per jam di atas batas
kecepatan. Selama beberapa mil, tak sepatah kata pun terdengar.
"Begini?" Dawn akhirnya kembali angkat bicara" "kalian
boleh setuju, boleh tidak, tapi kupikir kita harus melupakan urusan ini
selama beberapa jam saja."
"Bagaimana caranya?" aku bertanya dengan lesu.
"Dengan berpegang pada rencana kita. Kita mau ke mall, kan"
Kita mau mencari baju seksi yang akan membuat anak-anak cowok
terbengong-bengong. Dan habis itu kita mau nonton film di bioskop.
Dan kita akan bersenang-senang. Oke?"
Rachel dan aku bertukar pandang. Aku angkat bahu. "Setuju,"
kata kami berbarengan, meskipun dengan setengah hati.
Kemudian Dawn bertepuk tangan. "Hei," lanjutnya. "Pesta
dansa hanya tinggal dua setengah minggu lagi!"
"Yeah," Rachel menanggapinya tanpa semangat.
Dawn berkata, "Aku masih bingung dengan siapa aku akan
pergi." Sesuai ramalan Dawn, sudah ada tiga anak cowok yang
mengajaknya ke pesta dansa itu.
"Coba kalau aku yang diajak-ajak," Rachel bergumam.
"Semua orang tahu bahwa kau akan pergi bersama Gideon,"
ujarku, "jadi jelas saja tak ada yang mengajakmu."
"Yeah," kata Rachel.
"Betul, kok. Kalau kau memang mau diajak cowok lain, kau
harus putus dulu dengan Gideon. Cowok-cowok pasti akan berebutan
mengajakmu ke pesta dansa."
"Ada-ada saja," Rachel bergumam sambil memutar-mutar bola
matanya. "Bagaimana denganmu?" Dawn bertanya padaku. "Bagaimana
kalau Kevin tidak jadi datang?"
"Kalau begitu, aku datang sendiri saja," aku menjawab pelanpelan.
"Jangan-jangan nanti kau malah bengong di sana," ujar Dawn.
"Enak saja." Dengan tegas aku menggelengkan kepala, tapi
dalam hati aku menyesalkan nasibku yang buruk.
Dawn berkata, "Aku sempat mengobrol dengan Lisa Blume
tadi. Dia bilang panitia menyewa band bagus, the Razors, untuk
bermain di pesta dansa."
Aku mengangguk dengan terpaksa. Dalam hati aku melihat
diriku berdansa tanpa pasangan.
Beberapa menit kemudian aku sudah berdiri di depan cermin
bersisi tiga dengan mengenakan gaun pesta berwarna pink. Kami
berada di Ferrara's di Division Street Mall. Harga baju di toko itu
memang selangit, tapi ibuku sudah berpesan bahwa aku tidak perlu
kuatir soal uang waktu memilih baju. Aku berpaling ke kiri dan kanan.
"Baju itu kurang pantas untukmu," Dawn berkomentar sambil
berusaha pasang tampang serius agar aku tidak merasa diejek.
Wajahku mendadak terasa panas.
"Aku cuma memberi saran," kata Dawn. "Sebenarnya aku tidak
perlu memberi saran, soalnya kita kan saling bersaing."
Aku kembali melihat-lihat baju yang tergantung di rak. Di
ujung rak aku melihat Rachel, yang sedang mengamati gaun merah
yang jelek. Dia menunjuknya sambil menatapku dengan pandangan
bertanya. Aku menggeleng, tapi sambil tersenyum ramah. Aku tidak
mau seperti Dawn! "Habis, aku harus bagaimana dong?" Dawn melanjutkan. "Masa
aku harus bilang bagus, padahal jelek?"
Aku angkat bahu. "Akui saja, deh," Dawn berkata. "Kau sudah tahu bahwa aku
yang bakal menang, jadi untuk apa kau pusing-pusing" Baju yang
akan kaupakai takkan ada pengaruhnya."
"Yeah." "Memang benar kok. Aku selalu menang, dan kau tahu itu!"
Aku menatapnya sambil terheran-heran. Dia memang tidak tahu
batas. Dan yang lebih gawat lagi, dia tidak bercanda. Aku tahu dia
benar-benar serius. Kemudian aku melihatnya. Sebuah gaun hitam, dengan tali
tipis, dan garis leher yang rendah. Seksi sekali. "Ooooh!" aku
mendesah, lalu mengambilnya dari rak.
"Coba kulihat!" Dawn berseru, sambil berusaha merebut
gantungannya dari tanganku.
"Nanti dulu," kataku. "Aku yang menemukannya."
Tapi Dawn terus menarik gaun itu. Pengunjung-pengunjung lain
mulai menoleh ke arah kami. "Lizzy, jangan konyol," Dawn mendesis.
"Gaun ini jauh lebih cocok untukku. Kau kurang tinggi untuk gaun
seperti ini." Dia menarik sekali lagi, dan berhasil merebut gaun itu dari
genggamanku. "Terima kasih," dia berkata sambil tersenyum mengejek.
"Tolong pegang ini sebentar, ya?" Dia menyerahkan ketiga gaun yang
telah dipilihnya, lalu menuju ke ruang ganti.
Aku memperhatikannya dengan hati mendongkol. Aku sendiri
tidak tahu kenapa aku masih mau berteman dengan Dawn.
Aku kesal sekali. Rasanya aku ingin menjerit. Tapi aku diam
saja. Tak sepatah kata pun keluar dari mulutku. Aku membiarkannya
pergi dengan menggondol bajuku. Dan itu membuatku semakin gusar.
Itu salah satu masalahku. Aku selalu terlambat marah. Aku
selalu membisu kalau aku sudah marah. Dan habis itu aku merasa
seperti orang tolol. Pikiranku beralih kepada Simone. Apa yang akan dilakukannya
seandainya dia berada di tempatku" Dia pasti akan membentak Dawn.
Simone memang tidak bisa mengendalikan emosinya. Setelah itu dia
akan meniru-niru sikap Dawn yang selalu mau menang sendiri. Dan
Dawn akan marah, sementara yang lain malah tertawa.
Hatiku mulai dingin kembali. Tiba-tiba saja aku merasa
kehilangan. Simone takkan pernah lagi membuatku tertawa. Kecuali
dalam kenanganku. Rasanya masih berat untuk menerima kenyataan
tersebut, tapi nyatanya memang begitu.
Simone telah tiada. Kata-kata itu terdengar janggal sekali,
biarpun diucapkan hanya dalam hati.
Aku menatap jam tanganku"pukul enam kurang dua puluh.
"Rachel," aku memanggil, "kita harus jalan nih. Nanti kita terlambat
sampai di bioskop." "Ta-da!" Dawn keluar dari ruang ganti. Dia sudah memakai
gaun hitam tadi, dan segera mengambil berbagai pose seksi. Terus
terang, penampilannya memang luar biasa.
"Oke, Madonna," kataku. "Sebentar lagi filmnya sudah mulai
main." Dawn membayar gaun hitam itu"satu-satunya barang yang
kami beli. Kemudian kami bergegas ke bioskop.
Setelah mendapatkan karcis, Dawn dan Rachel langsung masuk
untuk mencari tempat yang enak"karcisnya tidak pakai nomor
tempat duduk"sementara aku membeli popcorn. Aku berdiri dalam
antrean sambil bertanya-tanya apakah aku juga perlu camilan lain.
Jangan deh, aku akhirnya berkata dalam hati. Bisa-bisa gaun pestamu
kesempitan nanti. Aku begitu sibuk merenungkan masalah hidup-mati itu,
sehingga aku nyaris tidak sadar siapa yang berdiri di depanku.
Rambut jabrik berwarna pirang menjurus putih. Kaus singlet
ketat berwarna hitam dihiasi manik-manik. Celana jeans yang lebih
ketat lagi. Dari belakang pun aku tahu siapa itu: Suki Thomas. Suki
sangat populer di kalangan anak-anak cowok di Shadyside High. Dan
bukan sekadar karena dia bisa membantu mereka mengerjakan PR!
Dia sedang merangkul teman kencannya dan berbisik ke telinga
pasangannya itu. "Beli es krim dong," dia berbisik dengan manja.


Fear Street - Ratu Pesta Dansa The Prom Queen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Teman kencannya tertawa. Ketika dia keluar antrean dan
menuju ke counter makanan kecil, aku melihat siapa dia.
Justin. Waktu membalik dan melihatku, dia langsung tersipu-sipu.
"Hai," dia menyapaku, seakan-akan betul-betul gembira
bertemu denganku. "Hai, Justin. Hai, Suki," aku menyahut sambil berusaha tidak
kelihatan kaget. "Hai, Lizzy," ujar Suki. "Kau pasti juga sudah tidak sabar, ya?"
"Soal apa?" tanyaku.
"Bayangkan saja, sebentar lagi kita bakal melihat filmnya
Christian Slater yang paling baru," dia berceloteh. "Wow."
Justin telah membeli popcorn. "Ayo," dia berkata sambil
menarik Suki. "Mudah- mudahan masih ada tempat yang enak."
Aku terbengong-bengong. Aku tahu bahwa Justin gonta-ganti
teman kencan, bahkan sebelum Simone menghilang. Dia bersama
Elana ketika Simone lenyap. Dan Dawn dan Rachel juga pemah
berkencan dengannya. Kini Simone takkan bisa marah lagi, tapi itu justru membuatku
semakin prihatin. Dia tergeletak di suatu tempat, mati dibunuh, dan
dua minggu kemudian Justin sudah bersenang-senang dengan Suki
Thomas. Rasanya sulit dipercaya. Dawn, Lucas, Justin"masa sih, aku
satu-satunya orang yang peduli tentang teman sekelas kami yang mati
dibunuh" Aku berusaha tidak marah. Aku perlu menikmati film itu.
Sepertinya aku memikul beban yang berat sekali sejak aku membuka
pintu kamar Simone malam itu. Bukan Dawn saja yang membutuhkan
katup pelepasan. Tapi ternyata film itu teramat sangat membosankan.
Penampilan Christian Slater pun tidak membantu. Pasangan di
depanku sibuk berpacaran, dan terus-menerus menghalangi
pandanganku. Dan sepatu kets-ku terus menempel pada permen karet
di lantai. Lagi pula, pikiranku terlalu kacau untuk mengikuti jalan cerita
film tersebut. Berbagai kejadian dari minggu-minggu terakhir melintas
dalam benakku. Semuanya penting, Opsir Jackson sempat berpesan. Adakah
detail yang luput dari perhatianku"
"Aku mau beli minum dulu," Dawn berbisik sambil bangkit.
Dia menginjak kakiku. "Sori!" dia berseru tertahan.
Aku menengok ke kiri-kanan untuk mencari Justin dan Suki,
tapi mereka tidak kelihatan. Aku berusaha memusatkan perhatianku
pada film di layar. Sepuluh menit berlalu, dan Dawn belum juga
kembali. "Lama betul sih dia," bisik Rachel.
Aku sama sekali lupa kalau Dawn keluar, sebab filmnya sudah
mulai menarik. Christian Slater jatuh cinta pada mata-mata yang luar
biasa cantik. "Nggak tahu deh," kataku. "Barangkali ke WC dulu."
Rachel tidak tertawa. "Aku mau cari dia."
"Oke, tapi jangan"aduh!" Kakiku terinjak lagi ketika Rachel
melewatiku. Di layar, si mata-mata sedang membelai- belai pipi Christian
Slater dengan mesra. "Jadi," dia berkata dengan manja, "kau bekerja
untuk Jenderal Frick?"
"Oh, dia dan aku sudah seperti sobat lama," jawab Slater,
sambil mengaitkan kedua telunjuknya.
Perhatianku kembali pada film itu. Sampai aku mendengar
namaku dipanggil-panggil.
Aku menoleh dan memandang ke belakang.
Aku melihat Rachel berlari tergopoh-gopoh menyusuri gang
yang gelap. "Lizzy! Lizzy!" dia berseru tertahan.
"Ada apa?" Aku bangkit dari kursiku.
"Lizzy! Cepat! Dawn, dia"pokoknya gawat!"
BAB 8 JANTUNGKU berdebar-debar ketika aku berlari mengejar
Rachel yang sudah berbalik lagi tanpa menungguku. Dia langsung
keluar, ke lobi bioskop yang terang-benderang. Aku menyusul
beberapa detik kemudian. Aku membutuhkan beberapa detik sebelum
mataku terbiasa dengan cahaya yang menyilaukan itu.
Lalu aku melihat Dawn. Dia tergeletak di karpet merah. Tangan
dan kakinya terentang, seakan-akan dia jatuh dari ketinggian.
Dia mati. Itu yang pertama melintas dalam benakku.
Seorang petugas berseragam jas merah dan dasi biru sedang
berlutut di sampingnya. Di belakang mereka ada laki-laki setengah
baya yang tampak gelisah. Dia memakai jas biru, dan sedang
meremas-remas tangannya sendiri. Papan nama di dadanya bertuliskan
MANAGER. Dawn tidak sadar. Pingsan.
"Rachel," aku berkata sambil terengah-engah. "Apa yang
terjadi?" Wajah Rachel tampak pucat, hampir seputih kertas. "Aku
menemukannya tergeletak di lantai lorong yang menuju ke WC di
belakang. Dia digotong ke sini."
Pemuda tanggung yang menjaga counter makanan kecil
bergegas menghampiri kami sambil membawa segelas Coke. Si
manajer langsung meraih gelas itu dan memerintahkan, "Ambil kotak
P3K!" Tiba-tiba Dawn menggerakkan kepala. Hanya sedikit, tapi kami
semua langsung menoleh. Aku berlutut di sampingnya. "Dawn!"
kataku. "Ini aku"Lizzy!"
Dawn menjawab dengan mengerang pelan.
"Dia pingsan," aku berkomentar.
"Kelihatannya begitu," ujar Rachel.
Pemuda dari counter makanan kecil kembali dengan membawa
kotak P3K. Si manajer langsung membukanya dan mencari-cari obat
gosok yang lalu disodorkannya ke depan hidung Dawn.
Dawn menoleh. "Oh, jangan," dia bergumam. "Jangan..."
Dia memiringkan badan sambil memegangi kepalanya.
Si manajer menatap Rachel dan aku. "Kalian tahu apa yang
terjadi padanya?" Pertanyaan itu diucapkannya dengan nada menuduh. Aku
menggelengkan kepala. "Dawn!" aku berkata sekali lagi.
"Bangunlah!" Dawn membuka mata, lalu berkedip-kedip sejenak.
Sekonyong-konyong dia membuang muka. "Tolong! Tolong!"
dia menjerit, dan berusaha menjauhi kami.
"Dawn," ujarku, "ini aku. Lizzy!"
Dawn menatapku seakan-akan berhadapan dengan makhluk luar
angkasa. Kemudian dia menatap yang lain satu per satu, seolah-olah
baru sekarang menyadari kehadiran mereka.
"Tak ada yang akan mencelakakanmu," aku mencoba
menenangkannya. Tapi entah kenapa, aku sendiri tidak terlalu yakin.
Secara mendadak sebuah dugaan baru mengenai apa yang
terjadi padanya muncul dalam pikiranku. Dan dugaan itu membuat
jantungku berdebar-debar.
Ucapan Dawn berikutnya semakin mengobarkan kegelisahan
yang kurasakan. "Si pem"si pembunuh," dia bergumam.
Aku menoleh dan menatap si manajer. "Panggil polisi!" aku
berseru. "Dan ambulans!"
Si manajer memberi perintah kepada petugas tadi, yang segera
bergegas pergi. Dawn mengulurkan tangan dan menggenggam
lenganku. "Jangan, jangan, jangan. Aku tidak apa-apa."
Dawn berusaha duduk. Si manajer membantunya. Rok kulitnya
setengah tersingkap. Aku segera menariknya ke bawah.
Dawn mengurut-urut pelipisnya. "Aduh, kepalaku berdenyutdenyut." Sebelum sempat menyelesaikan kalimatnya, dia sudah mulai
menangis. Si manajer menyodorkan tisu, dan Dawn langsung buang ingus.
"Saya baru kembali dari kamar kecil," Dawn bercerita pelan-pelan.
"Saya tidak bisa melihat dengan jelas, sebab ruangannya gelap, tapi
sepertinya ada laki- laki yang menghampiri saya. Lalu dia memukul
kepala saya"keras sekali."
"Apakah ada orang yang keluar lewat sini?" aku bertanya
kepada si manajer. Dia menggelengkan kepala. "Berarti," aku berkata,
"orang itu masih di dalam."
Sekali lagi si manajer menggelengkan kepala. Keningnya
dibasahi keringat. Kelihatan sekali dia gelisah. "Ada dua pintu keluar
dari ruang pertunjukan," jelasnya.
Petugas berseragam tadi bergegas ke arah kami. "Polisi sudah
dalam perjalanan ke sini," dia melaporkan.
"Bagus," ujar si manajer.
"Saya tidak bisa menceritakan apa-apa kepada mereka," Dawn
berkata pelan-pelan. "Saya tidak tahu siapa pelakunya. Lebih baik
Anda telepon mereka dan bilang mereka tidak perlu datang ke sini."
Dengan tegas si manajer menggelengkan kepala.
Kami membantu Dawn berdiri. Langkahnya gontai, dan dia
tampak bingung dan ketakutan.
Keadaannya tidak bertambah baik ketika dua petugas polisi
muncul untuk minta keterangan. Melalui walkie-talkie mereka, kami
mendengar laporan-laporan mengenai perampokan dan kebakaran.
Dawn mengulangi ceritanya. Si manajer terus memberi
komentar bahwa dia dan stafnya telah melakukan segala sesuatu yang
dapat dilakukan dan bahwa kejadian itu bukan salahnya. Para petugas
polisi berusaha meyakinkan kami bahwa yang memukul Dawn pasti
hanya orang iseng, dan bukan si pembunuh.
"Tapi kenapa dia memukul saya?" tanya Dawn.
"Orang seperti itu memukul tanpa alasan," salah satu petugas
menyahut. "Di dunia ini banyak orang gila. Mereka tidak perlu alasan.
Saya kira orang itu melihatmu, melihat bahwa keadaannya gelap, dan
memanfaatkan kesempatan. Sekadar iseng saja."
Rekannya menawarkan untuk mengantar Dawn pulang, tapi
Dawn menolak dan menjelaskan bahwa dia akan pulang bersama
Rachel dan aku. "Oke," si petugas berkata. "Kalau begitu saya akan menunggu
sampai filmnya selesai. Siapa tahu ada orang yang dikenali di antara
penonton." Si manajer mengusap keringat di kening dengan lengan jasnya.
"Tunggu sebentar," dia berkata kepada kami. "Saya punya karcis
gratis untuk kalian bertiga. Kalian boleh datang kapan saja. Kapan
saja." Rachel dan aku saling berpandangan. "Terima kasih," kataku,
sambil menerima karcis-karcis yang disodorkan, tapi dalam hati aku
meragukan bahwa kami akan kembali dalam waktu dekat. Kemudian
Rachel dan aku membantu Dawn melintasi lobi, menuju ke mobilku.
Keadaan di luar ternyata dingin, dan gelap "terlalu gelap untuk
pukul setengah delapan. Tak satu bintang pun kelihatan. Angin
kencang menerpa-nerpa, seakan-akan berusaha mendorong kami
kembali ke gedung bioskop. Sepertinya akan ada badai. Aku hanya
bisa berharap badainya baru menyerang setelah kami tiba di rumah
dengan selamat. Sambil menyelinap ke balik kemudi, aku melirik ke arah Dawn
yang duduk di depan. Dia menyandarkan kepala ke jendela. Dalam
cahaya lampu jalanan, aku bisa melihat benjolan yang mulai tampak
di sisi kepalanya. Apa sih yang telah terjadi" aku bertanya-tanya. Kemudian aku
menyalakan mesin dan menuju ke rumah Dawn.
Betulkah orang yang menyerangnya cuma orang iseng yang
tidak waras" Ataukah dia memang bermaksud mencelakakan Dawn"
Ketika aku sampai di rumah, aku melihat orangtuaku
membiarkan lampu teras menyala. Begitu pula lampu ruang tamu,
lampu dapur, dan lampu di atas pintu garasi.
Ibuku bergegas keluar dari dapur ketika mendengarku di pintu
depan. "Kok sudah pulang?" tanyanya sambil tersenyum lebar.
Orangtuaku sangat memperhatikan masalah keamanan. Kami
tinggal dekat sungai, di bagian kota yang boleh dibilang paling elit.
Sangat aman. Kalau semua anggota keluarga sudah beranjak tidur,
ayahku akan menyalakan alarm maling, dan kami tidak bisa turun
tanpa memicu alarm tersebut.
Selama ini belum pernah ada masalah. Cuma sekali alarmnya
berbunyi. Waktu itu ayahku bangun tengah malam, dan Ayah lupa
bahwa telah memasang alarm. Kami menemukannya di dapur sambil
memegang segelas susu, dengan tampang bingung, sementara
alarmnya meraung-raung. Aku sadar bahwa pembunuhan kedua gadis itu membuat
orangtuaku kuatir. Bahkan mungkin mereka lebih cemas dari aku
sendiri. Soalnya belum pernah ibuku begitu gembira menyambutku
pulang nonton film! "Ada surat untukmu," katanya memberitahu.
Aku menatap tumpukan surat di meja di samping tangga. Di
atasnya ada amplop panjang berwarna putih dengan tulisan tangan
yang sangat akrab di mataku. "Kevin," aku berkata sambil nyengir
lebar. Aku menunggu sampai berada di kamarku sebelum membuka
surat itu. Rupanya Kevin tetap tidak diizinkan datang ke pesta dansa.
Ibunya mengalami kecelakaan kecil waktu naik mobil dan lehernya
terpaksa digips. Kevin juga sudah mendapat banyak teman baru. (Itu
tidak membuatku senang.) Dan dia masih mencintaiku dengan
sepenuh hati. (Itu membuat hatiku berbunga-bunga.)
Sebenarnya aku ingin langsung membalas suratnya, tapi aku
harus menyelesaikan PR dulu.
Urusan PR itu ternyata lebih sulit dari yang kuduga. Aku tetap
berada di halaman yang sama setelah membaca buku sejarah Amerika
selama sepuluh menit. Aku harus mempelajari peristiwa penembakan Lincoln. Tapi
setiap kali membaca kalimat pertama, pikiranku kembali kepada
Dawn yang diserang di gedung bioskop. Atau kepada Simone dan
nasib mengenaskan yang kemungkinan besar telah menimpanya. Atau
kepada kedua gadis yang ditemukan tewas di tengah hutan.
Sambaran petir membelah kegelapan malam. Guntur menyusul
hampir seketika. Belum pernah aku mendengar gelegar yang begitu
keras. Rasa-rasanya seperti ada ledakan bom atom.
Kilat kembali menyambar. Kemudian hujan mulai turun.
Hujan yang dipacu angin mendadak menghantam jendelaku.
Aku tersentak kaget. Tenang, Lizzy, tenang, aku berkata dalam hati. Tarik napas
dalam-dalam. Aku terengah-engah. Dan itu malah membuatku semakin
gelisah. Kini badai sudah mengamuk di luar. Hujan deras menerpa
jendelaku. Angin mengaum-ngaum bagaikan binatang buas yang
hendak memaksa masuk ke kamarku.
Aku naik ke tempat tidur dan bersembunyi di bawah selimutku
yang berwarna pink dan sudah bertahun-tahun kupakai tidur. Tapi saat
itu aku tetap tidak merasa tenang.
Aku bangun lagi dan duduk di meja tulisku. Aku mengambil


Fear Street - Ratu Pesta Dansa The Prom Queen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

selembar kertas surat yang dicetakkan ayahku untukku. Di bagian
atasnya tertulis "From the Desk of the Amazing Lizzy". Selain itu
masih ada gambar babi kecil yang sedang menari. Binatang
kesayanganku memang babi. Jangan tanya kenapa. Aku sampai punya
koleksi mainan dan boneka babi.
"Dear Kevin," aku mulai menulis. "Aku tidak tahu apakah
beritanya sampai di Alabama sana, tapi belakangan ini ada beberapa
kejadian mengerikan di Shadyside."
Aku mengerutkan kening, kemudian meremas-remas kertas itu
dan membuangnya ke tempat sampah. Aku tidak ingin mengawali
suratku dengan berita buruk. Kenapa tidak sekalian saja kutulis, "Dear
Kevin, Simone mati."
Aku menggigil dan menutup wajah dengan kedua tangan.
Ketika aku melepaskan tanganku, aku baru sadar bahwa pintu
kamar terbuka lebar. Aku menahan napas. Ternyata Ayah. Beliau menatapku sambil terheran-heran. "Kau
tidak mendengar Ayah mengetuk pintumu?" tanyanya.
"Ti"tidak," aku tergagap-gagap. "Hujan sih."
"Oh. Sori. Ayah tidak bermaksud mengagetkanmu." Beliau
sendiri kelihatan kaget. "Ayah cuma mau tanya apakah kau berminat
main catur." Ayahku penggemar catur kelas berat. Dia tidak bosan-bosannya
bermain catur"meskipun aku selalu mengalahkannya. "Maaf, Yah,"
kataku, "aku lagi banyak PR."
Ayah mengangguk dan tersenyum dengan hangat. "Semuanya
beres?" tanyanya, pura-puranya sambil lalu. Tapi aku tahu Ayah
kuatir, persis seperti Ibu.
"Yeah," aku menyahut.
"Orangtua Simone belum?"
"Mereka belum mendapat kabar apa pun," aku langsung
menyambung. Ayahku mendesah. "Gawat."
Aku mengangguk. "Lizzy?" "Aku akan berhati-hati, Yah," aku berjanji.
Ayah kembali mendesah. "Kalau kau berubah pikiran soal
bertanding catur..." Ayah membiarkan kalimatnya tak selesai, lalu
berbalik dan pergi. Aku berpaling ke cermin di pintu lemari pakaian dan
mengamati wajahku. Tampangku tidak keruan"bayangan gelap di
bawah mata, wajah pucat pasi. Kejadian yang menimpa Simone begitu
mengerikan. Dan sekarang Dawn pun diserang.
Teleponku berdering. Untuk kesekian kali aku tersentak kaget. Itulah bunyi paling
keras yang pernah kudengar. Teleponku seakan-akan berteriak di
telingaku. Aku menyahut, tapi yang kudengar hanya suara tangis.
"Siapa ini?" tanyaku berulang-ulang.
"Lizzy," seorang cewek tersedu-sedu.
"Rachel" Rachel?"
"Ya-a-a..." "Rach"ada apa?"
Dia terlalu sibuk menangis sehingga suaranya tidak jelas.
Kemudian dia terisak-isak, "Kau harus datang ke sini! Kau harus
menolongku!" "Rachel"ada apa?" aku berseru.
"Tolong, Lizzy"tolong!" dia memohon.
Kemudian sambungannya terputus.
BAB 9 Hujan turun begitu lebat dan kencang, sehingga wiper mobilku
nyaris tidak berguna. Dunia luar tampak buram dan kabur ketika aku
melaju ke rumah Rachel di Fear Street.
Fear Street. Aku sedang menuju ke Fear Street pada malam hari, di tengah
badai paling parah yang pernah kualami.
Tapi tak ada pilihan lain.
Rachel sedang ada masalah. Mungkin dia malah terancam
bahaya besar. Aku harus secepat mungkin sampai di rumahnya.
Hujan turun begitu lebat, sehingga garis putih di tepi jalan pun
nyaris tidak kelihatan. Namun kakiku tetap menginjak pedal gas
dalam-dalam. Aku mulai membayangkan yang bukan-bukan.
Aku melihat Simone seorang diri di rumahnya, seorang diri di
kamarnya. Si pembunuh masuk. Dia memegang pisau. Mereka
bergumul. Simone dibenturkan ke lemari buku.
Semuanya tampak begitu jelas. Aku melihat si pembunuh
menghunjamkan pisau. Simone mengelak. Buku-buku di rak
berjatuhan ke lantai. Si pembunuh kembali menyerang. Simone
ditikamnya berkali-kali. Darah mulai membasahi lantai.
Aku menggeleng-gelengkan kepala untuk mengusir bayangan
mengerikan itu, tapi sia- sia.
Kenapa aku tidak memberitahu orangtuaku ke mana aku hendak
pergi. Ketika sambungan telepon terputus, aku tidak berpikir lagi. Aku
tidak bertanya dulu. Aku langsung berlari ke luar rumah.
Sambil melindungi kepalaku dengan jaket tipis, aku
menghambur ke luar lewat pintu depan. Sekencang mungkin aku
berlari melintasi pekarangan, tapi ketika sampai di mobil, aku sudah
basah kuyup. Kini aku menggigil kedinginan.
Pemakaman Fear Street tiba-tiba muncul di sebelah kananku.
Batu-batu nisan berwarna putih seakan-akan membungkuk ke arahku
ketika aku mengurangi kecepatan karena rumah Rachel sudah dekat:
Aku melihat kilat menyambar ke arah sederetan batu nisan.
Hampir seketika terdengar guntur yang memekakkan telinga. Badai
seperti ini bisa membangkitkan mayat dari kubur, pikirku sambil
merinding. Aku mencondongkan badan ke depan sampai wajahku hampir
menempel di kaca. Aku berusaha memandang ke luar.
Tiba-tiba aku melihat bayangan gelap di tengah jalan.
Serta-merta aku menginjak rem.
Namun terlambat. Mobilku terguncang. Sesuatu terlindas ban
mobilku. Tenggorokanku dicengkeram rasa ngeri.
Bab 10 AKU memejamkan mata rapat-rapat sementara mobilku
menggelincir sampai berhenti. Terengah-engah aku membuka pintu
dan keluar dari mobil. Hujan lebat menyambutku.
Siapa itu tadi" Siapa yang kutabrak"
Sambaran kilat menerangi jalanan untuk sepersekian detik,
lebih terang dari cahaya siang hari. Beberapa meter di belakang
mobilku aku melihat seseorang tergeletak di tengah jalan.
Hujan dingin membasahi kepalaku ketika aku berlari
menghampiri orang itu. Sewaktu mendekat, kusadari bahwa sosok tersebut kecil.
Seorang bocah" "Oh! Ya Tuhan!" aku berteriak dengan panik.
Rambutku melekat di kepala. Jaket biru yang kukenakan
melekat di badanku. Celana jeans-ku basah kuyup.
"Ya, Tuhan!" aku berseru keras-keras. "Ya, Tuhan!"
Guncangan itu. Guncangan mengerikan itu.
Aku tahu aku telah menabrak seseorang.
"Ya Tuhan!" Dan kemudian aku berhenti di depan tubuh yang tak bergerak
itu. Ternyata seekor berang-berang. Seekor berang-berang mati.
Perutnya berantakan karena terlindas ban mobilku.
Mata binatang itu terbelalak dan seakan-akan menatapku
dengan pandangan menyalahkan.
Aku langsung mual. Segera aku memalingkan wajah.
Untung saja. Sebab begitu aku menoleh, aku melihat mobil lain melewati
tikungan dan melesat ke arahku.
Aku menjerit dan melompat mundur. Karena licin, aku
terpeleset dan terduduk di trotoar.
Mobil itu melaju melewatiku. Sepertinya si pengemudi bahkan
tidak tahu bahwa aku ada di situ.
Aku bangkit dengan susah payah. Sambil menghindari berangberang mati tadi, aku berlari kembali ke mobilku.
Aku tidak tahu bagaimana caranya"hujannya begitu lebat
sehingga aku nyaris tidak bisa melihat apa-apa"tapi akhirnya aku
sampai di rumah Rachel. Dari luar semuanya kelihatan tenang-tenang saja. Lampu-lampu
di dalam tampak menyala terang. Aku berlari ke teras dan menggedorgedor pintu.
Aku mendengar suara langkah mendekat. Kemudian lampu
teras menyala dan Mrs. West mengintip dari balik vitrase. Mrs. West
sampai melongo waktu melihatku. Maklum saja, tampangku pasti
berantakan sekali. "Lizzy!" serunya sambil membuka pintu. "Kau tidak apa-apa?"
"Di mana Rachel?" aku langsung bertanya.
"Rachel" Dia di atas, di kamarnya. Ada apa?"
Aku langsung berlari menaiki tangga, tanpa menunggu Mrs.
West menyelesaikan kalimatnya.
Lantai dua ternyata gelap gulita. Segelap lantai atas di rumah
Simone pada malam yang mengenaskan itu.
Aku menatap pintu kamar Rachel yang tertutup. Seberkas sinar
menerobos melalui celah antara daun pintu dan lantai. Aku tidak
berani membayangkan apa yang akan kulihat di dalam.
Aku berhenti sejenak, dan menatap pintu itu. Terus terang, aku
tidak berani membukanya. Namun tak ada pilihan lain.
Sambil menarik napas dalam-dalam, aku meraih gagang pintu"
lalu memutarnya. BAB 11 "RACHEL!" aku berseru.
Dia sedang duduk di tempat tidur.
Dalam cahaya kuning pucat dari lampu di samping ranjang, aku
melihat matanya merah sembap, sedangkan hidungnya beringus.
Belasan gumpalan tisu yang sudah diremas-remas tergeletak di
sekelilingnya, sementara tangannya menggenggam selembar tisu yang
masih bersih. Dia langsung menoleh sambil melongo ketika aku
menghambur masuk. "Kau tidak apa-apa?" aku bertanya dengan suara melengking.
"Aku"aku mau mati saja," balas Rachel pelan-pelan.
Kemudian dia membuang ingus, seakan-akan hendak menegaskan
bahwa dia sedang didera penderitaan yang amat sangat.
"Kau diserang?" tanyaku.
"Hah?" Rachel tampak bingung. "Diserang?"
Napasku masih memburu, sehingga ucapanku pun terpotongpotong. "Waktu kau telepon"kau bingung sekali"lalu
sambungannya"sambungannya terputus. Aku langsung... langsung
membayangkan kemungkinan yang paling buruk."
"Kau benar. Nasibku memang buruk sekali."
"Ada apa?" "Gideon dan?" Dia mulai terisak-isak lagi. "Gideon dan aku
putus." Aku menatapnya sambil membelalakkan mata. "Hanya karena
itu kau minta aku datang di tengah badai hujan?" aku berseru dengan
sengit. Rachel terenyak. "Aku butuh teman untuk bicara. Sebenarnya
aku mau cerita... soal Gideon. Tapi tadi teleponnya mati gara-gara
badai ini." Dia meraih gagang telepon dan menempelkannya ke telinga.
"Masih mati nih." Dengan lesu dia mengembalikannya ke tempat
semula. Aku menoleh dan melihat Mrs. West berdiri di ambang pintu.
"Rachel" Lizzy" Ada apa?"
"Tidak ada apa-apa," kami menyahut berbarengan.
Mrs. West menatap kami sejenak, lalu berkata, "Kalau kalian
perlu sesuatu, saya ada di bawah."
Rachel mendengus. "Huh, lihat tuh, lantaiku jadi basah semua."
"Kasih aku handuk dong!"
Rachel pergi ke kamar mandi. Dia kembali sambil membawa
handuk yang lalu dilemparkannya padaku.
Aku berkata, "Tak ada salahnya kau berterima kasih dulu
karena aku telah menyelamatkanmu."
"Terima kasih," dia bergumam. Dia tak berani menatapku, tapi
aku melihat matanya mulai berkaca-kaca lagi. "Tega-teganya dia
berbuat begini." Detak jantungku sudah normal kembali. Aku masih
mendongkol"tapi sekaligus merasa lega. Aku mulai mengeringkan
rambut. "Bagaimana ceritanya?"
Rachel tidak menjawab. Ketika menyingkirkan handuk, kulihat
dia menangis tanpa bersuara.
"Rachel," aku berkata dengan lembut. "Sudahlah. Jangan
menangis." Tapi dia malah membalik dan tersedu-sedu sambil
membenamkan muka ke bantal gorila yang dibuatkan ibunya ketika
dia masih kecil. Aku duduk di tepi ranjang dan meletakkan tanganku
ke pundaknya. "Rach," kataku. "Cerita dulu deh. Apa yang terjadi?"
"Dia meninggalkan aku karena Elana," Rachel menjawab tanpa
menoleh. "Hah?" "Ya, karena Elana."
Aku yakin aku salah dengar. Rachel dan Gideon sudah
berpacaran sejak entah kapan. Sama sekali tak terbayang olehku
bahwa suatu hari mereka akan putus.
"Bagaimana kejadiannya?"
"Aku tidak tahu!" dia meratap. "Mereka mengerjakan tugas
sekolah bersama-sama dan..." Dia tidak perlu bilang apa-apa lagi.
"Elana," dia berkata dengan getir sambil menaikkan nada suaranya.
"Dia pikir dia bisa mendapatkan apa saja yang dia inginkan. Tapi dia
tidak boleh?" Rachel kembali terisak-isak, bahkan lebih keras dari
sebelumnya. Dia memukul-mukul bantal gorilanya dengan kedua
tangan. "Tenang, tenang," aku berkata dengan lembut. Tanganku masih
menggenggam pundaknya, tapi dia malah mulai gemetaran. Aku tidak
berhasil menenangkannya. Sepertinya segala sesuatu yang kukatakan
justru membuat keadaan bertambah buruk. Seharusnya kubiarkan saja
dia menangis sampai puas. Tapi aku malah berkata, "Aku tahu cara
yang baik untuk membalas dendam. Kalahkan dia dalam pemilihan
ratu pesta dansa." Rachel langsung berlutut dan menjauhiku.
"Pesta dansa?" dia berseru. "Gideon satu-satunya titik terang
dalam hidupku yang konyol ini. Aku tidak peduli siapa yang jadi ratu
pesta dansa. Teman kencan pun aku tidak punya untuk pesta yang


Fear Street - Ratu Pesta Dansa The Prom Queen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

brengsek itu!" "Aku juga tidak," ujarku. Tiba-tiba aku sendiri ingin ikut
menangis. Aku masih ingat waktu Kevin memberitahuku bahwa dia
akan pindah ke Alabama. Waktu itu Rachel duduk di tempat tidurku,
dan aku yang menangis. Aku berusaha mencari kata-kata yang mungkin dapat
menghiburnya. "Kita pergi berdua saja," ujarku.
"Yeah." Akhirnya, setelah berhasil menenangkan diri, dia minta maaf
karena menyuruhku datang dalam cuaca yang begitu buruk. Aku
menjawab bahwa aku akan menelepon besok pagi. Kemudian aku
kembali ke mobilku. Badainya belum mereda ketika aku pulang. Tapi paling tidak
aku sudah tahu Rachel tidak apa-apa. Memang, dia patah hati, tapi
dibandingkan apa yang mungkin terjadi, patah hati hanyalah persoalan
sepele. Setelah sampai di rumah, aku segera berlari masuk. Aku
melepaskan jaketku yang basah kuyup, lalu mencari tempat untuk
menggantungkannya. Tiba-tiba aku mendengar ayahku memanggil.
Oh-oh, pikirku. Ini dia. Aku telah pergi malam-malam, dengan membawa mobil lagi,
tanpa memberitahu orangtuaku.
Aku dipanggil ke ruang kerja. Aku masuk dengan waswas,
karena tahu akan dimarahi habis-habisan.
Tapi di luar dugaan, ayahku malah tersenyum lebar ketika
melihatku. Dia sedang duduk di balik meja tulis sambil mengenakan
jubah mandi favoritnya yang berwarna merah dan bermotif jangkarjangkar kecil. Monitor komputer di hadapannya menyala, dan
dipenuhi angka-angka. Ayahku akuntan, dan dia selalu sibuk sekali.
"Sudah dengar beritanya?" tanyanya ketika aku mendekat.
"Pembunuh gadis-gadis itu sudah tertangkap."
BAB 12 SEHARUSNYA aku bersorak-sorai dengan gembira. Tapi
jantungku malah berdebar-debar lagi. Aku sampai tidak berani
menanyakan siapa orangnya. Dalam hati aku membayangkan cowok
dengan rambut cokelat dan mata terlalu rapat"Lucas.
"Pelakunya ternyata orang yang kabur dari penjara," ayahku
berkata. "Beritanya disiarkan di TV tadi."
Aku menarik napas lega. "Dan Simone" Sudah ada kabar mengenai Simone?"
Senyum di wajah ayahku mendadak lenyap. Beliau
menggelengkan kepala. "Belum ada kabar mengenai Simone."
Aku duduk dengan lesu. "Paling tidak," ayahku kembali angkat
bicara, "kita semua sudah bisa tidur dengan tenang sekarang. Si
pembunuh sudah tertangkap."
"Syukurlah," aku berkomentar tanpa semangat.
Aku pergi ke dapur dan membuka lemari es. Aku mencari
camilan, jadi kubuka laci sayur-mayur. Jangan salah sangka, aku tidak
mencari sayuran, tapi di situlah ibuku menyembunyikan persediaan
cokelat kami agar tidak ditemukan ayahku, yang perutnya sudah mulai
buncit. Aku mengambil Nestle Crunch Bar, menuangkan segelas susu
tanpa lemak, lalu duduk di meja dapur. Aku tahu, sebenarnya konyol
minum susu tanpa lemak kalau kita tetap makan cokelat, tapi aku pikir
lebih baik mengurangi kalori sedikit-sedikit daripada tidak sama
sekali. Lagi pula, dengan makan cokelat pikiranku bisa tenang. Aku
pernah membaca artikel bahwa cokelat bisa membuat orang
kecanduan dan merasa dicintai. Dan aku percaya itu benar.
Sambil mengunyah aku menyalakan TV kecil di dapur.
Siaran berita pukul sepuluh sedang diakhiri dengan laporan
cuaca. "Jadi, ramalan cuaca untuk besok adalah hujan, hujan, dan
hujan," si pembawa acara berkata sambil nyengir.
Rekannya tersenyum dan berpaling kepada kamera. "Terima
kasih, Tony. Kita mungkin tetap kehujanan besok, tapi paling tidak
kita sudah bisa tidur dengan tenang karena orang yang diduga sebagai
pembunuh gadis-gadis telah tertangkap."
Aku mencondongkan badan ke depan ketika melihat adegan
pembunuh itu sedang digiring ke kantor polisi Shadyside.
Pada umumnya orang-orang yang ditangkap polisi dan
ditayangkan melalui TV akan menutupi wajah. Tapi lain halnya
dengan orang gila itu. Dia malah menengok ke kamera. Tersenyum lagi. Dia ompong
di sana-sini; gigi-geligi yang tersisa pun tampak hitam dan berantakan.
Orangnya pendek, kurus, namun berkesan kuat, dengan sepasang
lengan yang berotot dan bertato"sepasang lengan yang terlalu kuat
untuk Tina, Stacey, dan Simone.
"Kenapa Anda melakukannya?" seorang wartawan bertanya
dari tengah kerumunan orang, sambil menyodorkan mikrofon ke arah
si pembunuh. Sejumlah petugas polisi menggiringnya ke dalam, dan
pengacaranya berseru, "Kami belum bersedia melayani pertanyaan
pers!" Tapi si pembunuh berhenti dan kembali tersenyum. "Melakukan
apa?" dia bertanya sambil berlagak tak berdosa.
"Pembunuh! Pembunuh!" seorang wanita berteriak dari tempat
yang tak terliput kamera. Si pembunuh masuk ke kantor polisi.
Senyumnya tetap tersungging di bibir. Di ambang pintu, ia sekali lagi
membalik dan melambaikan tangan ke arah kamera. Matanya yang
kecil tampak menyala-nyala.
Aku langsung mematikan TV. Aku menyesal telah melihat
liputan itu. Kini, kalau aku membayangkan apa yang terjadi pada
Simone, aku juga membayangkan wajah si pembunuh. Dan
senyumnya yang mengerikan. Rasanya seakan-akan dia berkata
padaku, "Jangan senang dulu"kau juga bakal dapat giliran!"
Aku naik ke kamarku, menggosok gigi, kembali mengeringkan
rambut, lalu bersiap-siap tidur. Setelah memadamkan lampu, aku
menatap bintang-bintang Day-Glo yang kutempel di langit-langit.
Biasanya aku akan mengantuk kalau menatap bintang-bintang
tersebut. Tapi malam itu ternyata tidak. Pikiranku tetap jungkir-balik
dalam benakku. Betulkah ucapan ayahku" Betulkah kita sudah bisa tidur dengan
tenang" Betulkah mimpi buruk yang mengerikan itu telah berakhir"
Pertanyaan-pertanyaan tersebut terus menghantuiku, sampai aku
akhirnya tertidur. Namun tidurku tidak nyenyak.
Aku terbangun ketika mendengar pintu depan diketuk-ketuk.
Aku langsung duduk tegak di tempat tidur. Aku menatap jam di
dinding. Hampir tengah malam.
Jangan-jangan aku hanya bermimpi"
Sebenarnya aku tahu itu bukan mimpi. Tapi aku tetap
menunggu di tempat tidur, sambil berharap-harap bahwa aku keliru.
Sekali lagi aku mendengar pintu diketuk-ketuk. Seketika aku turun
dari tempat tidur, menyambar jubah kamar, dan bergegas ke tangga.
Ibuku ternyata sudah ada di situ. Ayahku sedang mematikan
alarm agar kami bisa turun ke lantai dasar tanpa membunyikan sirene
dan membangunkan semua tetangga. Kami semua saling
berpandangan, lalu menuruni tangga bersama-sama.
Ayah membuka pintu. Di luar ada petugas polisi berwajah geram. Dia langsung
menatapku. "Elizabeth McVay?" dia bertanya.
"Ya," aku menyahut.
"Kau mendatangi rumah Rachel West malam ini?"
Orangtuaku langsung menoleh. "Ya," aku membenarkannya.
"Hmm," petugas polisi itu bergumam. "Tampaknya kita perlu
bicara. Kau orang terakhir yang melihatnya dalam keadaan hidup."
BAB 13 "ROSARIO Maria," aku berkata, lalu memberi tanda pada
daftar di tanganku. "Peluit si kapten. Ada."
Aku berada di ruang perlengkapan. Aku sedang memastikan
bahwa segala sesuatu yang dibutuhkan untuk latihan nanti malam
telah tersedia. Bagian yang paling berat adalah berusaha memusatkan
perhatian pada tugasku. Saat itu malam Jumat. Satu minggu telah berlalu sejak Rachel
tewas terbunuh. Satu minggu yang kulewatkan dalam keadaan
linglung. Aku sekadar melangkah dari hari ke hari.
Tidak lama setelah aku pulang dari rumah Rachel di tengah
badai hujan, keluarganya ternyata juga pergi. Ayahnya hendak
mentraktir semuanya makan es krim"tanpa peduli bahwa di luar
sedang hujan, dan bahwa ketika itu sudah pukul sepuluh kurang seperempat.
Tapi pikiran Rachel masih terlalu kacau gara-gara Gideon,
sehingga dia tidak ingin ikut.
Mr. West mengajaknya baik-baik, lalu meminta, memohon, dan
bahkan memberi perintah agar Rachel ikut. Mr. West memang bukan
tipe orang yang penuh pengertian.
Tapi Rachel tak kalah keras kepala dibandingkan ayahnya. Dia
tidak berminat makan es krim sementara pacarnya baru saja
mencampakkannya gara-gara cewek lain. "Aku lebih baik mati
daripada pergi!" dia sempat membentak ayahnya.
Kata-kata itu tentu saja akan terukir untuk selama-lamanya
dalam ingatan Mr. West. Dan kurasa Mr. West takkan pernah bisa
memaafkan dirinya sendiri karena meninggalkan Rachel seorang diri
di rumah. Di pihak lain, Mr. West juga menyangka si pembunuh sudah
tertangkap. Kami semua sempat melihat wajahnya yang aneh dan
penuh senyum di layar TV.
Akhirnya keluarga Rachel pergi tanpa Rachel.
Ketika mereka pulang, Rachel masih berada di sana.
Tertelungkup di lantai kamarnya.
Ditikam sampai mati. "Keranjang piknik," aku berkata keras-keras. "Ada."
Aku menundukkan kepala. Tiba-tiba saja aku teringat upacara
pemakaman Rachel. Tadinya kupikir seluruh sekolah akan muncul,
tapi yang datang ternyata hanya segelintir saja. Termasuk Gideon.
Kurasa dia terpukul sekali. Bagaimana tidak"sebagai hadiah
perpisahan, dia mencampakkan Rachel agar bisa berpacaran dengan
Elana. Rachel dimakamkan di Pemakaman Fear Street. Upacaranya
diiringi hujan. Aku kembali berusaha memusatkan pikiran pada tugasku.
Biasanya aku suka berada di ruang perlengkapan. Di sekolahku, ruang
itu terletak di atas panggung, agak tersembunyi di ujung catwalk yang
melintasi panggung. Ruangannya begitu sempit sehingga kesannya
seperti ruang rahasia di bawah atap. Ada kardus-kardus berisi pedang,
bulu burung, pesawat telepon kuno, tongkat, segala macam pecahbelah, lonceng, peluit, dan bahkan pistol yang mengeluarkan bendera
bertulisan "Dor!" kalau ditembakkan.
Tapi saat itu, suasana di ruangan tersebut terasa menakutkan.
Siapa yang tahu kalau terjadi sesuatu terhadapku di atas situ" Tak ada.
Kemudian aku melihat sesuatu yang janggal.
Pintu salah satu lemari agak terbuka.
Padahal aku yakin telah menutupnya seusai latihan terakhir.
Aku yakin, sebab aku tak pernah membiarkan pintu lemari terbuka. Itu
sudah jadi kebiasaanku. Segala sesuatu di sekelilingku harus rapi. Aku
paling tidak tahan melihat laci yang setengah terbuka, atau pintu
lemari yang tidak tertutup rapat.
Perlahan-lahan aku menghampiri lemari itu. Jantungku
berdebar-debar. Dengan hati-hati aku membuka pintunya.
Sebuah kardus berisi topeng-topeng dari bubur kertas jatuh dan
nyaris menimpa kepalaku. Ternyata tidak ada siapa-siapa di dalam lemari itu. Aku
langsung jongkok, dan sambil bergumam aku memeriksa topengtopeng itu. Untung saja tak ada yang rusak.
Saat itulah sebuah suara cowok terdengar di belakangku. "Hai,
Lizzy." Serta-merta aku berdiri lagi. Ternyata Robbie. Dia sedang
membidikkan pistol ke kepalaku.
"Mati kau!" katanya.
Dia menarik picu. Bendera di dalam laras pistol melesat ke luar.
"Dor!" "Lucu sekali," aku berkomentar. "Kau"kau hampir membuatku
mati kaget. Dan lelucon jadi senjata makan tuan."
Aku berusaha mengatur napas. Aku tidak mau kalau Robbie
tahu bahwa aku benar-benar kaget setengah mati. Tapi dia menatapku
sambil mengerutkan kening.
"Ada perlu apa nih?" aku bertanya padanya.
Dia tetap menatapku sambil membisu. Lalu berkata, "Oh, ya,"
dan dia mengeluarkan selembar kertas berwarna kuning yang selalu
digunakannya untuk membuat catatan pada waktu latihan. "Waktu itu
aku lupa memberikan catatan ini padamu. Dinding biara kelihatan
terlalu gelap di panggung. Bisa kaucat sedikit lebih terang?"
"Tentu." Kemudian ada suara cewek. "Hei, masih muat satu orang lagi?"
Ternyata Dawn. Rambutnya yang pirang tersembunyi di balik
kerudung biarawati. Dia satu-satunya orang yang mengenakan kostum
malam itu. "Maria, kenapa kau ada di sini" Habis ini giliranmu naik
panggung," ujar Robbie.
"Yeah. Aku cuma sebentar kok. Ada perlengkapan yang mau
kutukar. Aku takkan terlambat"tenang saja."
Robbie menyerahkan catatannya lalu melewati Dawn. Dia
terpaksa berjalan menyamping karena ruangannya terlalu sempit.
"Jangan lama-lama!" dia berseru sambil menyusuri catwalk ke arah
tangga yang turun ke panggung.
Dawn dan aku saling berpandangan. Entah kenapa, aku mulai
merinding. "Ada apa?", aku bertanya.
"Aku telah melakukan kesalahan besar," dia menyahut.
"Kesalahan besar" Apa maksudmu?"
"Seharusnya aku menolak mengambih alih peranan Simone
dalam sandiwara ini."
"Kenapa?" "Karena aku jadi senewen sendiri. Bayangkan saja, aku harus
memakai kostum temanku yang sudah mati. Kenapa tidak sekalian
saja aku pakai tanda dengan tulisan, 'Habis ini giliranku!'"
Aku sudah mau tertawa, tapi untung saja aku berhasil menahan
diri. "Aku juga takut," aku berkata padanya.
Dawn menatapku tajam, seakan-akan hendak membaca
pikiranku. "Kau juga punya pikiran yang sama denganku?" dia
bertanya. Pertanyaan itu membuatku merinding. Dalam beberapa hari
terakhir, sebuah pikiran menakutkan telah terbentuk dalam benakku.
Rupanya Dawn pun mengalami hal yang sama. "Apa maksudmu?"
aku balik bertanya, sambil berlagak tidak tahu apa-apa.
"Mula-mula Simone, lalu Rachel. Dan orang yang menyerangku
di bioskop." "Yeah" Terus?"
Dawn masih juga menatapku dengan cara yang janggal, seakanakan kami sama-sama mengetahui sebuah rahasia mengerikan.
"Bagaimana kalau ada orang yang mau menghabisi para ratu pesta
dansa?" "Para ratu pesta dansa?" Suaraku bergetar ketika aku
mengulangi kata-kata itu. "Yang benar saja. Untuk apa?"
"Jadi, kaupikir ini cuma suatu kebetulan?" Dawn bertanya


Fear Street - Ratu Pesta Dansa The Prom Queen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sambil terheran-heran. "Ya, tentu saja."
"Tidak mungkin!"
"Maria!" Robbie memanggil dari panggung di bawah. "Ayo,
cepat sedikit dong!"
"Sebentar!" sahut Dawn.
"Tapi polisi sudah menangkap orang yang?" aku masih
berusaha membantah. "Memang," Dawn mengakui sambil merendahkan suaranya.
"Tapi orang itu sudah ditahan waktu Rachel dibunuh. Dan dia tidak
mau mengaku bahwa dia membunuh Simone. Aduh, Lizzy, semuanya
sudah jelas. Ada orang lain yang mengincar kita. Kita."
Mata kiri Dawn berkedut-kedut. Tampaknya dia sama takutnya
seperti aku. Aku berdeham. "Sekarang tinggal tiga orang lagi. Kau, aku, dan
Elana." "Jadi, apa yang harus kita lakukan?" Dawn bertanya dengan
suara bergetar. Aku menggelengkan kepala. Aku pun tidak tahu apa yang harus
kami lakukan. "Hei"sebaiknya kau turun dulu," kataku. Padahal,
sebenarnya aku sendiri yang ingin segera turun.
Dawn tidak menggubrisku. "Kau tahu apa yang paling
mengerikan dari semuanya ini?"
"Lebih mengerikan daripada orang sinting yang membunuh kita
satu per satu?" "Ya. Yang paling mengerikan, pelakunya kemungkinan besar
seseorang yang kita kenal."
"Wah, kelihatannya kau sudah berubah pikiran," aku
berkomentar. "Kauanggap aku sudah tidak waras waktu aku bilang
bahwa Lucas?" Aku langsung terdiam karena membayangkan Lucas
mengawasiku dengan matanya yang menyorot liar.
"Aku tetap tidak percaya bahwa Lucas pelakunya," balas Dawn.
"Oke, dia memang punya alasan untuk membenci Simone, tapi
Rachel?" "Entahlah." Kemudian aku teringat permainan Mr. Meade.
Barangkali itulah cara untuk menemukan si pembunuh. Aku harus
membayangkan tindakanku seandainya aku berada di tempat dia.
Tampangku rupanya terbengong-bengong, sebab Dawn lalu
bertanya, "Apa yang kaupikirkan?"
"Dawn!" Robbie berteriak dari bawah. "Ayo dong! Yang lain
sudah menunggu!" Seandainya aku si pembunuh, aku berkata dalam hati, kenapa
aku membunuh para ratu pesta dansa satu per satu"
Sekonyong-konyong aku menemukan jawabannya.
"Uangnya!" aku langsung berkata.
"Uangnya?" Dawn memutar-mutar bola mata. "Uang apa" Apa
maksudmu?" "Beasiswa sebesar tiga ribu dolar, hadiah untuk pemenang
kontes ratu pesta dansa. Barangkali ada orang yang mau memastikan
bahwa pacarnya yang akan keluar sebagai pemenang, supaya dia bisa
mendapatkan uang itu."
Dawn menyeringai. "Siapa yang mau membunuh empat orang
untuk tiga ribu dolar" Daripada begitu, lebih baik dia merampok bank.
Teorimu tidak masuk akal. Eh, tunggu dulu! Aku tahu! Bagaimana
kalau ada cewek yang kesal karena tidak dicalonkan?"
"Aku rasa teoriku masih lebih bagus."
"Pokoknya ingat"ini bukan sekadar kebetulan."
"DAWWWWWWNNNNN!" terdengar teriakan dari bawah.
"Aku harus turun," ujar Dawn. Dia meraih tanganku dan
meremasnya dengan keras. Telapak tangannya dingin dan berkeringat.
"Ini rosario-mu, Maria," kataku.
Dia menggenggam untaian manik-manik itu. "Ini bakal
kubutuhkan," dia berkomentar. "Mulai sekarang aku akan rajin
berdoa." Dawn bergegas keluar. Aku segera menyusul ke catwalk.
Sementara Dawn menuruni tangga, aku duduk di catwalk dan
memandang ke auditorium yang gelap serta ke panggung yang terang
benderang. Aku melihat Robbie. Dia sedang memberi wejangan kepada
para pemain. "Pertunjukan ini bakal sukses besar," dia berkata. "Awal
yang cocok untuk pesta dansa. Tapi kita semua harus bekerja keras.
Ingat, tinggal delapan hari sampai pertunjukan perdana. Oke "
semuanya siap di tempat masing-masing!"
Aku menoleh ke auditorium. Siapa yang kucari" Justin" Dia
datang hanya untuk menyaksikan Simone, aku berkata dalam hati.
Kemudian aku melihatnya. Di pojok kanan belakang. Dan dia
sedang menatapku. Lucas. Pandangan kami beradu. Dia tersenyum, lalu
menggerakkan bibir seakan-akan hendak menciumku dari jarak jauh.
Aku cepat-cepat memalingkan wajah. Dia memang tidak waras,
ujarku dalam hati. Langsung saja aku merinding lagi. Aku teringat bagaimana
kami bertemu di depan rumah Simone. Lucas begitu sinting, dia tidak
butuh alasan. Bisa jadi dia mengincar para ratu pesta dansa sekadar
karena iseng. Aku pernah melihat film di TV, di mana seorang cowok high
school yang tidak populer membunuh para anggota regu cheerleader
satu per satu, karena kapten regu itu tidak sudi berkencan dengannya.
Setelah menonton film itu, selama seminggu aku tidak bisa tidur
dengan tenang. Apa yang sedang dipikirkan Lucas" Oh" aku tidak mau
memainkan permainan Mr. Meade dengan Lucas. Bisa-bisa aku gila
sendiri. Aku berusaha tidak melihat ke arah Lucas. Tapi akhirnya aku
tidak tahan. Aku kembali melirik ke arahnya.
Dia sudah lenyap. Dawn sedang bernyanyi solo sambil menari-nari di panggung.
"Tunggu!" Robbie memotong. "Mimi," dia lalu menegur si
pemain piano, "bagian terakhir kurang cepat, oke?" Robbie naik ke
panggung. "Sori aku memotong lagumu, Dawn. Penampilanmu sudah
bagus. Tapi coba berikan rasa kebebasan yang lebih kuat lagi, oke?"
Dawn tersenyum, mengerutkan hidung, dan berkata, "Oke."
Robbie merangkulnya. Dia berpaling kepada para pemain lainnya.
"Dawn ini memang luar biasa. Dalam waktu yang begitu singkat dia
sudah bisa menghayati perannya. Ayo, beri dia tepuk tangan yang
meriah." Anak-anak yang lain segera memenuhi permintaannya, bahkan
sambil bersorak-sorai. Mereka sudah terbiasa melihat Robbie
bertingkah seperti Mr. Showbiz.
Aku memperhatikan Dawn. Semula kupikir dia senewen karena
harus mengambil alih peranan Simone. Tapi ternyata dia malah
berseri-seri, seakan-akan baru saja jadi juara Wimbledon.
Tiba-tiba aku tersentak kaget.
Dawn mempunyai motif kuat untuk melakukan pembunuhanpembunuhan itu!
Dia ingin memenangkan kontes ratu pesta dansa. Kami semua
tahu bahwa dia selalu harus menang.
Gila...! Bagaimana kalau Dawn menyewa seseorang untuk
menyingkirkan saingan-saingannya"
Tapi bagaimana dengan percakapan kami beberapa menit yang
lalu" Sepertinya dia benar-benar ketakutan.
Aku pun akan ketakutan kalau harus bertanggung jawab atas
kematian dua orang" sementara dua orang lagi akan segera
menyusul. Bagaimana dengan Elana"
Tidak mungkin, aku langsung menjawab pertanyaanku sendiri.
Dia tidak mungkin berbuat begitu.
Astaga, apa-apaan sih aku ini" Masa aku mencurigai temantemanku sendiri sebagai pembunuh"
Tapi tahu-tahu sebuah nama lain muncul dalam benakku. Aku
terkejut setengah mati. Gideon! Tempo hari di Pete's Pizza, Gideon sempat menyinggung soal
uang beasiswa. Dia bahkan menyarankan agar yang lain
mengundurkan diri saja. Dan Rachel lalu berkomentar bahwa Gideon
takkan memperoleh sepeser pun. Mungkin Gideon memutuskan
bahwa sudah waktunya untuk mengalihkan dukungannya kepada
orang lain.... Kepalaku serasa berputar-putar. Latihan di panggung sudah
dilanjutkan lagi. Dawn sedang menceritakan kebimbangannya
mengenai Kapten von Trapp kepada kepala biara. Aku sadar bahwa
aku harus segera ke bawah dan bergegas ke samping panggung untuk
menurunkan latar belakang untuk adegan berikut. Moga-moga belum
terlambat. Tak ada waktu lagi untuk berkhayal.
Dengan hati-hati aku membuka simpul di sebelah kiriku, dan
masih sempat melepaskan talinya sebelum aba-aba diberikan.
"Oh, ya ampun!" aku berseru. Ternyata bukan cuma latar
belakang untuk adegan berikut yang bergerak.
Sebuah kantong besar berisi pasir meluncur ke panggung.
Kemudian aku mendengar jeritan dari bawah.
Aku mengenali suara Dawn.
Dan kantong pasir itu mendarat dengan bunyi berdebam.
BAB 14 "DAWN!" aku menjerit dengan suara panik yang sama sekali
asing di telingaku. Beberapa anak di panggung pun memekik-mekik.
Ketika sampai di bawah, orang-orang sudah berkerumun begitu
rapat di sekeliling Dawn, sehingga aku tidak bisa melihatnya.
"Dawn! Dawn!" aku memanggil-manggil. Aku takut dia cedera.
Kemudian aku melihat topi biarawatinya. Dia sedang berdiri.
Dia tidak apa-apa. Dengan susah payah aku menerobos kerumunan orang di
sekelilingnya. Dawn menangis perlahan. "Ya Tuhan, hampir saja," dia
berbisik. "Hampir saja."
Aku segera merangkulnya. "Lizzy!" Robbie tampak gusar sekali. "Ada apa ini?"
"Aku juga tidak tahu." Aku mendongak dan menatap ke atas.
"Waktu talinya kutarik..."
Aku kembali berpaling kepada Dawn. Dia menatapku dengan
pandangan menyalahkan. "Hei, jangan salahkan aku!" aku berseru. Aku sakit hati karena
dia mencurigaiku. "Dawn"jangan tatap aku seperti itu."
"Ada orang yang berusaha membunuhku," dia terbata-bata.
"Dan ini sudah kedua kalinya."
"Hah?" Robbie membelalakkan mata, seakan-akan tidak
percaya pada pendengarannya. Dia berpaling kepada para pemain
lainnya. "Oke, semuanya, kita istirahat sebentar. Ayo, minggir sedikit.
Jangan berdesak-desakan begini dong."
Dia merangkul pundak Dawn dan mengajaknya ke ruang ganti.
Aku mengikuti mereka. Dawn langsung duduk di kursi, di depan
cermin rias berukuran besar.
"Oke, ada apa sebenarnya?" tanya Robbie. "Siapa yang mau
membunuhmu?" Tapi sementara Robbie bertanya begitu, dalam hati aku
bertanya-tanya apa sesungguhnya yang dia pikirkan.
Robbie membenci Simone. Tapi untuk apa dia membunuh
Rachel" Atau pemeran utamanya yang baru, Dawn"
Sudah, Lizzy. Berhenti, sekarang juga, aku memperingatkan
diriku sendiri. Apa jadinya kalau semua orang dicurigai"
"Kalau kami tahu siapa yang mau membunuh kami," Dawn
berkata dengan jengkel, "kami pasti sudah memberitahu polisi!"
Robbie menghela napas. Dia meraih tempat bedak,
mengamatinya dari segala sudut, lalu mengembalikannya ke meja.
Kemudian dia berpaling padaku.
Aku melihat diriku di cermin. Aku tampak ketakutan, sama
seperti Dawn. "Hmm, coba jelaskan teori kalian," dia berkata kepada
kami. "Simone dan Rachel mati dibunuh," aku menyahut. "Atau kau
sudah lupa itu?" "Ada apa sih dengan kalian berdua," ujar Robbie sambil
membetulkan letak kacamatanya. "Aku tahu bahwa kita sedang
melewati masa yang menakutkan. Tapi tak ada yang berniat
membunuh kalian. Ini perbuatan orang sinting yang mendapat ilham
dari pembunuh yang pertama. Titik."
"Dan kantong pasir tadi?" tanya Dawn.
"Kantong pasir tadi. Itu kecelakaan semata-mata."
Cara bicara Robbie langsung membuatku curiga lagi.
"Ayolah," dia berkata. "Aku tidak bisa terus-menerus
memomong kalian. Kita harus berlatih untuk pertunjukan kita. Ayo,
kita mulai lagi." "Robbie," ujarku. "Dawn baru saja luput dari usaha
pembunuhan. Coba kalau kau yang?"
"Lizzy, dengarkan aku baik-baik," balas Robbie dengan suara
meninggi. "Itu cuma kecelakaan. Paham?"
"Hei!" aku berseru. Aku sendiri heran mendengar suara aneh
yang keluar dari mulutku. "Kenapa kau begitu keras kepala" Dawn
memang benar. Ini bukan sekadar kebetulan. Memang ada yang
mengincar Dawn. Oke" Dan siapa pun dia, dia juga mengincarku.
Bisa saja kau orangnya!"
Robbie langsung angkat tangan. Kemudian dia berbalik, hendak
meninggalkan kami. "Robbie!" aku berseru. "Dua ratu pesta dansa sudah mati. Oke?"
"Dua apa?" dia bertanya.
Aku tidak tahan lagi. Aku harus segera keluar dari situ. Sertamerta aku mendorongnya ke samping dan menghambur keluar dari
ruang ganti. "Hei, mau ke mana kau?" Robbie berseru. "Kau harus mengatur
pergantian latar belakang!"
"Biar orang lain saja!" aku membalas tanpa menoleh. Aku
bergegas melintasi auditorium, sementara para pemain lain menatapku
dengan heran. Tapi aku tidak peduli. Aku terus berjalan sambil
menundukkan kepala. Aku tahu bahwa air mataku akan segera mengalir. Dan aku
tidak mau menangis di depan orang banyak.
Setelah melewati pintu, aku mulai berlari. Lorongnya sepi dan
gelap. Semua ruang kelas sudah terkunci rapat.
Aku baru berhenti setelah berada di luar gedung. Ternyata
masih hujan. Mungkin saja aku takkan merasa begitu tertekan kalau
saja cuacanya lebih cerah.
Aku berlari ke mobilku, menembus hujan. Seseorang mengincar
Dawn, aku berkata dalam hati. Dan itu berarti dia juga mengincar aku.
Dan Elana. Tapi siapa orangnya" Siapa"
Terburu-buru aku memasang sabuk pengaman dan langsung
tancap gas. Hampir saja aku menabrak mobil lain yang melintas di
depanku. Tidak lama kemudian aku sudah melaju di Division Street.
Pikiranku kacau-balau. "Oh!" Aku memekik kaget ketika sebuah wajah muncul di kaca spion.
Sebuah tangan menggenggam pundakku dari belakang.


Fear Street - Ratu Pesta Dansa The Prom Queen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku menjerit. Dan mobilku berputar-putar tak terkendali.
BAB 15 ORANG di bangku belakang terus menggenggam pundakku
sambil tertawa terbahak-bahak, sementara mobilku meluncur tak
terkendali menuju ke pagar pengaman.
Secara naluri aku langsung membelokkan roda menentang arah
putaran dan mengocok-ngocok rem. Itu ajaran ayahku ketika aku baru
belajar menyetir. Mobilku menabrak pagar. Aku mendengar bunyi berdebam,
diikuti suara gesekan yang membuat gigiku ngilu. Dengan susah
payah aku mengarahkan mobilku kembali ke jalan.
"Apa-apaan sih kau, Lucas?" aku berteriak. "Kau sudah bosan
hidup, ya?" Dia melepaskan bahuku dan menyandarkan punggung.
Dengan hati-hati aku berhenti di bahu jalan. Seluruh tubuhku
gemetaran. Kemudian aku membalik dan memelototi Lucas dengan
penuh kebencian. Kalau saja mataku bisa memancarkan panas, dia
pasti sudah mati gosong. Akhirnya dia berhenti tertawa, dan tampangnya menjadi serius.
"Sori," katanya. "Aku tidak bermaksud membuatmu panik." Dia
terkekeh-kekeh lagi. "Tapi terus terang saja, kau kaget, kan?"
Aku tidak menyahut. Aku cuma menatapnya sambil mendelik.
"Sori, sori, sori," dia bersenandung.
"Keluar!" kataku.
"Ah, jangan begitu dong. Aku cuma bercanda."
"Lucas, kau tidak sadar aku tidak ketawa?" aku membentaknya.
Dia mengerutkan kening dan menggigit bibir. "Aku ingin bicara
denganmu." Dia mencondongkan badan ke depan dan kembali
menggenggam pundakku. Aku langsung mengelak.
"Jangan sentuh aku!"
"Hei," dia berkata dengan sengit. "Kenapa sih kau ini" Kaupikir
aku punya penyakit menular atau sebangsanya"!"
Aku tak habis pikir. Kenapa malah dia yang merasa
tersinggung" Sepertinya aku yang menyebabkan kami berdua nyaris
tewas. "Keluar!" aku mengulangi, sambil menahan diri.
Kerut-kerut di kening Lucas semakin dalam. Dia mengusap
wajahnya beberapa kali. "Begini," dia berkata, "aku ada di sini karena aku mau minta
maaf atas kelakuanku selama ini, dan?"
"Tapi aku tidak suka caramu."
"Aku tahu! Sori," dia berkata sekali lagi. "Tapi aku juga tahu
bahwa kau tak bakal mau bicara denganku kalau aku pakai cara lain."
Dia menatapku dengan serius, penuh penyesalan, tapi berhubung
matanya terlalu rapat, aku malah ngeri.
"Begini," Lucas mulai lagi. "Maksudku..." Dia cengar-cengir
tak menentu. "Aku ingin berteman lebih akrab denganmu."
"Hah!" Aku memutar-mutar bola mata.
"Jauh lebih akrab."
"Jangan mimpi!" hardikku.
"Kenapa" Lizzy"aku benar-benar menyukaimu."
Kesabaranku sudah sampai batasnya. Aku kembali menghadap
ke depan, melirik ke kaca spion, dan memutar mobilku. Kemudian
aku langsung tancap gas dan menuju ke sekolah.
"Mau ke mana kita?" tanya Lucas.
"Kita takkan ke mana-mana. Kau akan turun di sekolah."
Dia diam saja. Lewat kaca spion aku melihat Lucas mencondongkan badan ke
depan. "Lucas!" aku berteriak. "Aku sedang menyetir!"
Tapi tangannya sudah merangkul bahuku.
Dan kemudian aku membelalakkan mata.
Tangan yang melingkar pada pundakku berwarna merah
keunguan. Dia sedang memakai jaket baseball kebanggaannya.
BAB 16 "KELUAR!" aku menjerit, sambil membebaskan diri dari
pelukannya. Ban mobilku sampai berdecit-decit ketika aku berhenti di
pelataran parkir Shadyside High. Tanpa pikir panjang aku turun dari
mobil"padahal hujan belum reda"dan membuka pintu belakang.
"Keluar!" seruku. "Aku serius!"
"Oke, oke. Jangan marah-marah begitu dong. Bisa-bisa kau
kena serangan jantung."
Dia menyilangkan tangan dan menatapku sambil tersenyum.
Maksudnya kira-kira "Kalau kau ingin aku turun, kau harus
menyeretku keluar." Dan memang itu yang terlintas dalam benakku.
Kemarahanku sudah mulai tak berkendali.
"Lucas," aku berkata sambil berusaha agar suaraku tetap tenang,
"aku minta kau turun dari mobilku. Sekarang juga. Kalau kau tidak
mau keluar, aku akan menjerit-jerit sekuat tenaga. Aku akan
melaporkanmu kepada kepala sekolah dan polisi. Mengerti?"
Lucas mengembangkan senyum yang dianggapnya seksi. "Kau
tambah manis kalau sedang marah."
"Keluar!" Dia mulai turun dari mobil. Tapi lamban sekali.
Aku menarik lengannya, tapi sepertinya dia malah senang
ditarik-tarik begitu, jadi akhirnya aku berhenti saja.
"Nah," dia berkata, "aku sudah turun. Sekarang, apa rencanamu
selanjutnya?" Aku membanting pintu. Kemudian aku kembali menyelinap ke
belakang kemudi dan langsung pergi.
Aku sempat melihat roman mukanya melalui kaca spion.
Senyumnya telah lenyap. Dia tampak kesal.
Aku ngebut sepanjang perjalanan pulang ke rumah, dan
kecepatanku melampaui batas kecepatan maksimum. Aku bukannya
minta ditilang, tapi aku ingin menjauhi Lucas secepat mungkin.
Aku membelok ke pekarangan rumah kami.
Aneh, lampu teras tidak menyala, ibuku hampir selalu
membiarkannya menyala kalau aku pulang setelah gelap. Dan mobil
Subaru ayahku juga tidak kelihatan. Mungkin sudah dimasukkan ke
garasi, aku berkata dalam hati.
Hujan akhirnya berhenti, dan bulan mulai mengintip dari balik
awan. Cahayanya redup, tapi itu masih lebih baik daripada tidak ada
cahaya sama sekali. Aku membungkuk, meraih pegangan rolling door, dan
menariknya ke atas. Garasinya ternyata kosong. Rupanya orangtuaku
sedang keluar. Ya ampun. Padahal justru malam itu aku tidak ingin berada
seorang diri di rumah. Pintu dari garasi ke dapur terkunci. Aku merogoh-rogoh
kantong celana untuk mencari kuncinya, tapi ternyata aku lupa
Dua Musuh Turunan 10 Maling Budiman Berpedang Perak Karya Kho Ping Hoo Jabang Bayi Dalam Guci 2
^