Pelangi Dilangit Singosari 24
02 Pelangi Di Langit Singasari Karya S H. Mintarja Bagian 24
"Aku harus pergi. Harus."
"Singgahlah sebentar di rumah. Biarlah seisi rumah menjadi kagum melihat kau sekarang. Sebentar saja."
"Tidak. Aku tidak ada waktu."
"Hem" Bango Samparan menarik nafas dalam-dalam, "baiklah kalau demikian. Mungkin rumah itu sama sekali sudah tidak pantas lagi kau masuki setelah kau menjadi seorang hamba istana. Mungkin dinding-dindingnya akan mengotori pakaianmu dan sarang-sarang labah-labah akan memuakkan pandangan matamu. Memang rumah itu terlampau rendah dan jelek. Atap ilalang dan dinding bambu hijau. O, alangkah senangnya tinggal di istana, di seputar taman yang indah dan emban yang cantik."
"Cukup, cukup" sekali lagi Ken Arok berteriak tanpa sesadarnya. Namun ternyata kata-kata Bango Samparan berhasil menyentuh hatinya. Ia sama sekali tidak menolak singgah di rumah itu karena ia sekarang sudah menjadi seorang pegawai istana. Bukan karena kedudukan yang semakin baik, dan bukan karena ia menganggap bahwa tidak sepantasnya lagi ia memasuki rumah yang jelek dan rendah beratap ilalang itu. Tidak.
Tetapi Bango Samparan melanjutkannya, "Tetapi bagaimanapun juga Ken Arok, kau tidak akan dapat ingkar, bahwa suatu ketika kau dalam keadaan yang parah, pernah tinggal di dalam rumah itu.Suatu saat kita bersama-sama mengalami duka ceritera yang hampir sampai ke puncak kemampuan kita untuk bertahan. Namun kehadiranmu itu ternyata lambat laun membawa keberuntungan kepadaku. Tetapi setelah kau pergi, aku kembali terdampar pada dunia yang kelam. Sedikit demi sedikit simpanan yang aku kumpulkan itu pun semakin habis. Aku tidak lagi raja dilingkaran judi. Dan bahkan aku akhirnya menjadi orang yang paling jelek di antara para penjudi seperti pada saat aku belum menemukan kau. Hutang di segala penjuru, sehingga seolah-olah duniaku telah menjadi semakin sempit. Nah, Ken Arok. Aku sebenarnya mengharap kau singgah meskipun hanya sesilir bawang. Nasibmu yang selalu baik itu mudahkan akan berpengaruh seperti kehadiranmu dahulu di rumahku."
Suara Bango Samparan itu terdengar gemuruh di telinga Ken Arok. Namun ia masih saja ketakutan melihat kemungkinan yang dapat terjadi atas dirinya apabila ia singgah di rumah itu, dan berbicara terlampau banyak dengan Bango Samparan. Karena itu maka jawabnya, "Tidak. Aku tidak bisa singgah. Bukan karena aku tidak mau, tetapi benar-benar aku tidak punya waktu."
"Hem, kembali Bango Samparan menarik nafas dalam-dalam, "Aku tidak tahu apakah arti waktu bagimu. Tetapi aku heran, bahwa kau sama sekali tidak mempunyai waktu untuk singgah ke rumah. Biyungmu pasti akan sangat bersenang hati. Setiap hari ia selalu berada dalam kecemasan dan kegelisahan, Isteri mudaku agak terlampau keras terhadapnya. Apa lagi anak-anakku dari isteri muda itu. Bukankah kau kenal anak-anakku" O, kau dahulu pergi dari rumah karena kau tidak dapat bergaul dengan anak-anakku dari isteri muda itu. Baiklah sekarang kau datang. Kau tunjukkan bahwa kau mendapatkan hari yang lebih cerah dari mereka. Anak-anakku pun agaknya mulai senang dengan permainan judi.
Ken Arok kini mulai dijalari oleh kebimbangan. Ia memang tidak dapat ingkar, bahwa pada suatu saat ia memang tidak dapat ingkar, bahwa pada suatu saat ia memang pernah tinggal di rumah Bango Samparan. Diaku menjadi anaknya oleh isterinya yang pertama. Ketidak serasian hubungan antara dirinya dan anak-anak isteri muda Bango Samparan lah yang telah mengusirnya dari Karuman, padukuhan Bango Samparan itu, sehingga ia menjadi penghuni hutan dan padang yang selalu dikejar-kejar orang. Akhirnya, setelah melalui berbagai macam peristiwa, dari rumah ke rumah, dari ayah angkat yang satu ke yang lain, maka terlemparlah ia ke Padang Karautan, sebagai hantu yang menakutkan.
Karena Ken Arok tidak menjawab, maka Bango Samparan mendesakuya, "Kalau kau tidak ingin singgah Ken Arok, marilah berjalanlah lewat rumahku biar biyungmu dapat melihat kau sekarang yang telah menjadi gagah dan tampan, lebih gagah dari . . , eh, maksudku lebih tampan dari aku."
Dada Ken Arok tiba-tiba saja menjadi berdebar-debar. Berbagai pertimbangan menyesak di dadanya. Namun akhirnya ia tidak mampu lagi untuk menolak ajakan Bango Samparan. Sekali-sekali memang terbayang di dalam angan-angannya wajah isteri tua Bango Samparan yang baik, yang saat itu benar-benar menganggapnya sebagai anak sendiri.
"Tetapi, iblis ini selalu mendorongku untuk masuk ke dalam dunia yang paling gila" berkata Ken Arok di dalam hatinya. tetapi lalu dibantahnya sendiri, "tergantung kepada aku sendiri Kepada ketahanan hatiku."
"Bagaimana Ken Arok" apakah kau bersedia?"
Ken Arok masih tetap ragu-ragu sehingga untuk sejenak ia masih tetap berdiam diri. Namun keragu-raguan itu telah menumbuhkan harapan di hati Bango Samparan.
Keduanya saling berdiam diri untuk sesaat. Dengan bimbang Ken Arok memandangi wajah Bango Samparan. Wajah itu sama sekali tidak menarik. Bahkan menimbulkan perasaan yang aneh di dalam dirinya. Tetapi untuk ingkar dari kenyataan bahwa orang itu pernah memeliharanya, Ken Arok pun tidak pula mampu.
"Bagaimana Ken Arok?" sekali lagi Bango Samparan mendesak.
Dengan penuh kebimbangan Ken Arok menganggukan kepalanya. Jawabnya, "Aku hanya mempunyai waktu sedikit."
"O, yang sedikit itu sudah cukup. Biyungmu akan senang sekali melihat kau segagah ini."
Ken Arok tidak menyahut lagi. Ia masih harus mengambil sebungkus kecil bekal pakaiannya. Karena itu, maka ia pun segera melangkah masuk ke dalam semak-semak.
Tetapi ia tertegun ketika ia mendengar Bango Samparan memanggilnya, "Tunggu. Kita tidak lewat hutan rindang itu. Kita dapat menempuh jalan lain yang lebih baik. Bersama kau aku tidak perlu bersembunyi-sembunyi. Marilah kita melalui jalan itu, langsung menuju ke Karuman."
"Aku akan mengambil bekal pakaianku dulu."
"O," Bango Samparan mengangguk-anggukkan kepalanya. "pergilah."
Ketika kemudian Ken Arok hilang ditelan, oleh rerungkudan, maka Bango Samparan pun berdiri dengan termangu-mangu. Sejenak dipandanginya lawannya, orang berkumis yang kini terbaring diam di atas tanah berlumpur.
Tiba-tiba ia melangkah maju. Ditariknya pedangnya dan kemudian disarungkannya. Dengan kakinya ia mendorong mayat yang telah membeku itu sehingga tubuh itu kini menelentang.
Bango Samparan menjadi ragu-ragu sejenak. Sekali-kali ia berpaling memandang ke arah Ken Arok menghilang di dalam gerumbul-gerumbul liar. Sesaat ia diam membeku. Namun tiba-tiba tangannya segera meraih ikat pingang orang berkumis yang telah mati itu, melepasnya dan dengan tangan gemetar membuka setiap kantong pada ikat pinggang yang besar itu.
Bango Samparan terperanjat bukan kepalang, bahkan tanpa sesadarnya ia terloncat berdiri, ketika tiba-tiba saja ia mendengar suara di belakangnya "Apa yang kau lakukan itu?"
Ketika Bango Samparan berpaling, dilihatnya Ken Arok berdiri sambil memandanginya dengan tajamnya.
"Kau sedang mencari apa pada ikat pinggang itu"." bertanya Ken Arok pula.
Bango Samparan menjadi kebingungan sejenak. Namun otaknya yang licin segera menemukan jalan. Sejenak kemudian ia tersenyum sambil menjawab "Ken Arok. Kehadiranmu benar-benar membawa keberuntungan yang tiada taranya. Bukankah sudah aku katakan" Lihat, apakah yang ada di dalam kantong ikat pinggang ini"
Mata Ken Arok terbelalak ketika dilihatnya seuntai binggel tretes berlian dan perhiasan-perhiasan yang lain,
"Darimana barang-barang itu didapatkannya?" dengan serta-merta Ken Arok bertanya.
"Inilah yang kami persengketakan" jawab Bango Samparan.
"Menyamun?" Bango Samparan tidak segera menjawab. Namun sejenak kemudian ia melangkah mendekati Ken Arok. Sambil menepuk pundaknya ia berkata, "Marilah kita pergi. Jangan kau hiraukan lagi barang-barang ini. Aku akan menyimpannya dan menjadikannya jaminan di hari-hari tua ini."
"Tetapi barang-barang itu adalah hasil dari kejahatan.
"Ah" desah Bango Samparan "semuanya sudah terlanjur."
"Sebaiknya barang-barang itu dikembalikan."
"Sekaligus menyerahkan leher ini" Bango Samparan berhenti sejenak, "sudahlah jangan hiraukan lagi. Aku akan menyimpannya. Kalau barang-barang ini terlepas dari tanganku, aku harus melakukan perbuatan jahat lagi supaya aku dan keluargaku tidak mati kelaparan. Tetapi, dengan barang-barang yang sudah terlanjur berada di tanganku ini, aku akan berhenti. Aku tidak akan merampok, menyamun, dan membunuh."
"Tetapi kalau kau masih saja berjudi, maka segala kemungkinan akan dapat terjadi lagi atasmu."
"Aku akan berhenti berjudi."
"Umurmu kau habiskan di dalam lingkaran perjudian. Hanya karena kurnia Yang Maha Agung sajalah kau akan berhenti berjudi."
"He" Bango Samparan mengerutkan keningnya, "kurnia?"
Bango Samparan menggeleng-gelengkan kepalanya Ia tidak mengerti kata-kata Ken Arok. Tetapi ia memang tidak ingin mempersoalkannya.Kini didorongnya Ken Arok sambil berkata, "Marilah. Sebaiknya kita segera pergi."
Ken Arok pun kemudian melangkahkan kakinya. Rambutnya masih kusut dan pakaiannya hanya dibenahinya sekedarnya. Dijinjingnya seberkas pakaiannya di dalam sebuah bungkusan kecil.
"Mari, aku bawakan pakaianmu itu.
Tetapi, Ken Arok tidak memberikannya. Diingatnya saat-saat kunjungan Bango Samparan di Padang Karautan. Pakaiannya habis dibawanya. Tetapi saat itu ia dapat meminjam kawan-kawannya sebelum ia mendapatkan yang baru. Sedangkan kali ini ia berada di perjalanan. Kalau pakaian itu lepas dari padanya dengan cara apapun, maka ia tidak akan dapat memintanya lagi, sedang ia sendiri tidak akan dapat segera mendapatkan gantinya.
Karena itu maka jawabnya, "Terima kasih. Aku masih cukup kuat untuk membawanya sendiri.
Bango Samparan mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia tertawa, "Kau takut pakaianmu itu aku jual seperti beberapa waktu yang lalu" O, aku lupa mengatakannya kepadamu, bahwa aku memang pernah meminjam pakaianmu. Tetapi pakaian-pakaian itu sudah terjual habis. Tetapi kini aku tidak akan melakukannya karena aku mempunyai seuntai perhiasan di dalam ikat pinggang ini."
Dada Ken Arok berdesir mendengar kata-kata Bango Samparan, seolah-olah Bango Samparan itu dapat menebak isi hatinya. Tetapi meskipun demikian bungkusan pakaian itu masih tetap dipegangnya sendiri.
Sejenak kemudian mereka telah menyusur jalan sempit di tengah-tengah pategalan. Bango Samparan berjalan di samping Ken Arok dengan dada tengadah, seolah-olah ia ingin membanggakan dirinya, bahwa yang berjalan di sampingnya itu adalah anak angkatnya, seorang hamba di istana Tumapel yang telah berhasil mengalahkan lawannya yang tangguh. Bekas seorang prajurit Kediri.
Tetapi perjalanan mereka hampir tidak pernah menjumpai seseorang. Satu dua di kejauhan mereka melihat orang yang lewat menyilang di perapatan atau lorong-lorong pategalan. Tetapi kemudian sepi kembali.
Sementara itu matahari beredar semakin jauh ke Barat. Puncak langit telah dilampauinya, dan bayang-bayang mereka kini berada di bawah kaki mereka yang kotor karena debu.
"Kita memilih jalan melintas" berkata Bango Samparan.
Ken Arok menganggukkan kepalanya.
"Kita lewat hutan rindang di sebelah. Hutan itu tidak dihuni oleh binatang-binatang buas. Mungkin ada macan kumbang satu dua yang berkeliaran. Tetapi tidak terlampau berbahaya. Kita masing-masing membawa pedang di lambung, sehingga kita tidak perlu takut bertemu dengan harimau kecil itu.
Ken Arok menganggukkan kepalanya pula, tetapi ia tidak menjawab.
"Mungkin kau belum pernah melewati jalan ini?"
Ken Arok masih tetap terbungkam. Tetapi jalan ini sama sekali tidak asing lagi baginya. Pada masa-masa itu, pada masa-masa ia hidup berkeliaran, hampir setiap jalan, lorong dan sidatan-sidatan yang paling kecil sekalipun telah dikenalnya dengan baik. Sedang daerah ini sama sesali masih belum berubah seperti beberapa tahun yang lampau.
"Kadang-kadang di jalan-jalan ini ada juga satu dua penyamun kecil" berkata Bango Samparan pula, "tetapi, jarang sekali, karena lorong ini hampir tidak pernah dilalui orang. Hanya penyamun-penyamun yang malaslah yang menunggui mangsanya terkantuk-kantuk di tepi jalan ini. Dan kau tidak perlu takut bertemu dengan mereka itu. Tidak seorang pun penyamun-penyamun di sini yang tidak aku kenal. Mereka adalah penjudi-penjudi yang baik.
Ken Arok mengumpat di dalam hatinya.Tetapi ia tidak menyahut.
Ketika Bango Samparan kemudian terdiam, maka perjalanan itu pun menjadi diam pula. Sekali-sekali Bango Samparan mencoba memandang wajah Ken Arok dengan sudut matanya. Tetapi ia tidak melihat kesan apapun di wajah itu. Seolah-olah wajah itu wajah yang kosong.
Bango Samparan menarik nafas dalam-dalam.Dan tiba-tiba saja ia berkata, "Eh, Ken Arok. Bukankah aku dahulu, selagi kau berada di Padang Karautan pernah datang kepadamu" Bahkan kemudian mencuri pakaianmu?"
Dada Ken Arok berdebar-debar mendengar pertanyaan itu. Tetapi ia menganggukkan kepalanya.
"Kau ingat apa yang aku katakan kepadamu waktu itu?" Dada Ken Arok kini tidak saja berdebar-debar, tetapi sebuah desir yang tajam telah tergores di dinding jantungnya.
"Aku waktu itu mimpi, kau menjadi seorang Maharaja.Eh, begitu barangkali?"
"Cukup" potong Ken Arok, "aku tidak mau mendengarnya lagi."
"Oh, maaf. Hanya tiba-tiba aku teringat pada mimpi itu justru ketika aku mendengar bahwa Permaisuri Akuwu Tunggul Ametung itu memiliki kelebihan dari perempuan-perempuan yang lain."
"Cukup. Cukup. Aku tidak akan singgah ke rumahmu kalau kau masih menyebut-nyebut lagi."
"Tidak. Tidak" dengan serta-merta Bango Samparan menyahut, "aku tidak akan menyebutnya lagi tentang mimpi itu, meskipun sudah lebih dari tiga empat kali aku mimpi serupa itu. Bahkan seperti aku tidak sedang tidur. He, bukankah aku pernah mendengar seolah-olah suara dari langit ketika aku berada di Rabut Jalu" Suara itu mengatakan bahwa aku akan bertemu dengan seorang anak yang hampir kelaparan bernama Ken Arok. Dan sekarang suara itu aku dengar lagi, bahwa Ken Arok itu akan menjadi seorang Maharaja."
"Bohong. Bohong" Ken Arok hampir berteriak. Sementara itu langkahnya tertegun.
"Kenapa kau berhenti?" bertanya Bango Samparan.
"Kalau ayah masih menyebut-nyebutnya satu kali lagi, aku akan kembali."
"Eh, maaf. Maaf. Aku tidak bermaksud demikian. Baiklah. Aku memang berbohong." "Bango Samparan mengangguk-anggukkan kepalanya, "Tetapi yang penting, kau harus menemui biyungmu. Ia akan senang sekali. Ia akan menganggap bahwa kau tidak melupakannya. Meskipun ia bukan ibumu sendiri."
Ken Arok menarik nafas dalam-dalam.Tanpa sesadarnya kakinya terayun satu-satu. Perjalanan mereka itu pun segera mereka lanjutkan.
"Ken Arok" tiba-tiba Bango Samparan berkata, "aku sekarang sudah belajar mengerjakan sawah. Oh, ternyata pekerjaan seorang petani itu menarik sekali. Kau nanti akan melihat sawah yang baru aku buka di pinggir hutan ini di ujung yang lain. Aku tertarik sekali melihat kau membuka Padang Karautan. Sampai di rumah aku ajak adik-adikmu untuk membuka hutan.
Ken Arok mengerutkan alisnya. Katanya, "Ah, bagus sekali. Berapa banyak ayah membuka hutan itu."
"Sekotak." Tiba-tiba wajah Ken Arok menjadi buram, "Sekotak?"
"Ya, aku baru mencoba. Nanti pasti akan aku tambah lagi. Sekotak lagi. Sekotak lagi.
"Oh" Ken Arok menjadi kecewa. Tetapi meskipun demikian itu adalah permulaan yang baik bagi Bango Samparan. Seharusnya ia terbangun dari dunia mimpinya. Beranjak di atas bumi kenyataan. Bekerja dengan wajar untuk mendapatkan makan bagi keluarganya.
Sesaat kemudian mereka saling berdiam diri.Ken Arok berjalan sambil menundukkan kepalanya, sedang Bango Samparan masih saja berjalan sambil menengadah. Tetapi mereka tidak berjumpa lagi dengan seorang pun, sehingga mereka merasakan betapa sunyi hutan rindang ini. Yang mereka dengar hanya kicau burung-burung liar dan sekali gemerisik daun tersentuh kaki binatang-binatang kecil yang berlari-larian.
"Sebentar lagi kita akan keluar dari hutan ini" berkata Bango Samparan tiba-tiba.
Ken Arok tetap dalam kediamannya. Ia sudah tahu benar, bahwa sebentar lagi mereka akan sampai di mulut lorong sempit, keluar dari hutan rindang ini.
Dan ternyata sejenak kemudian ketika matahari telah merendah di ujung Barat mereka sudah terlepas dari hutan itu, sampai ke daerah rerumputan yang sempit. Di hadapan mereka terbentang tanah pesawahan dari pedukuhan Karuman.
"Inilah sawahku" berkata Bango Samparan dengan bangganya, "lihat, tanamannya sudah mulai menghijau."
Ken Arok berpaling sejenak, kemudian dipandanginya sawah di ujung daerah rerumputan. Membujur, memanjang menyusur parit.
"Pandai juga kau memilih tempat" berkata Ken Arok.
Aku dan adik-adikmulah yang membuatnya menjadi tanah yang dapat ditanami.
"Tidak terlampau sulit" sahut Ken Arok, "di daerah ini kau dapat mengambil tanah berapa kau kehendaki. Yang diperlukan kemudian adalah kesediaan dan ketekunan untuk menggarapnya."
Bango Samparan mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Ternyata tanah ini kurang pemeliharaan.Setiap hari ayah berada di lingkaran judi.Kapan ayah sempat menyiangi rumput-rumputan yang semakin lebat itu"
Bango Samparan masih mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, "Itulah yang aku tidak sempat."
"Bagaimana mungkin sawah ayah akan menjadi baik?"
"Adik-adikmulah yang aku serahi untuk menggarapnya."
"Dan apakah mereka mengerjakannya?"
"Kadang-kadang."
Ken Arok menggelengkan kepalanya.Desisnya, "Sawah tidak untuk digarap hanya kadang-kadang. Ia memerlukan ketekunan dan kerajinan. Kemampuan dan hasrat yang terus menerus untuk memeliharanya."
Bango Samparan tidak menyahut. Tetapi wajahnya menjadi berkerut-merut.
Sejenak kemudian kaki-kaki mereka telah berada di atas pematang yang membujur membelah hijaunya tanaman yang mulai tumbuh. Silir angin yang berhembus dari bulak yang luas, mengusap tubuh-tubuh mereka yang berkeringat. Perlahan-lahan dedaunan yang tersentuh angin bergoyang-goang, menggelombang seperti air di wajah lautan.
Langkah Ken Arok dan Bango Samparan pun menjadi semakin dekat dengan padukuhan Karuman. Dari kejauhan mereka melihat pohon-pohon nyiur yang menggapai-gapai, seakan-akan ingin menangkap awan putih yang terbang rendah di atasnya.
Tetapi, ketika kemudian mereka memasuki pedukuban itu, hati Ken Arok menjadi berdebar-debar.Terasa olehnya, seakan-akan ia mulai mengikatkan dirinya kepada tambatannya yang lama. Yang selama ini telah diusahakannya untuk menyingkir jauh-jauh.
"Tergantung kepada ketahanan hatiku" ia masih mencoba bertahan meskipun hatinya semakin berdebar-debar.
Ken Arok berpaling ketika ia mendengar Bango Samparan berkata, "Mudah-mudahan ibumu ada di rumah."
Ken Arok mengerutkan keningnya. "Apakah biyung sering pergi?"
Bango Samparan menggelengkan kepalanya, "Entahlah. Mungkin ia terpaksa pergi untuk mencari makan."
Ken Arok menarik nafas dalam-dalam. Tiba-tiba ia bertanya, "Kapan ayah meninggalkan rumah?"
Bango Samparan menjadi ragu-ragu. Tetapi kemudian ia menjawab, "Sudah hampir sebulan aku tidak pulang."
"He" Ken Arok terperanjat, "jadi sudah hampir sebulan kau tidak pulang?"
"Ya. Tetapi aku sekarang pulang. Bukankah aku pulang dengan hasil yang baik. Perhiasan dan kau."
"Persetan" Ken Arok menggeram. Tetapi suara terputus, ketika mereka bertemu dengan seseorang di tikungan jalan padesan. Orang itu agak terkejut, namun kemudian membuang mukanya, seolah-olah ia merasa segan bertemu pandang dengan Bango Samparan.
"He, kakang" Bango Samparan menyapanya.Orang itu berpaling namun kemudian sekali lagi ia membuang muka dan berjalan menjauh.
"Tunggu sebentar" panggil Bango Samparan sambil menyusulnya, "tunggu. Bukankah kau ingat bahwa aku pernah mengambil seorang anak angkat dahulu?"
Mau tidak mau orang itu terpaksa berhenti.Dengan segannya ia memutar tubuhnya. Sambil mengangguk malas ia menjawab, "Ya. Mungkin aku masih ingat."
"Inilah anak itu. Sekarang ia sudah cukup dewasa."
Tiba-tiba wajah orang itu menjadi tegang. Dengan kasar nya ia bertanya, "Apakah anak itu sekarang sudah secakap kau bermain judi. Huh, aku masih ingat, anak itulah yang dahulu kau suruh mengambili manggis di halaman rumahku. Anak itu pula yang dahulu sering menangkap ayam di sudut desa ini."
Terasa dada Ken Arok berdesir tajam, setajam ujung pedang menembus jantungnya. Sejenak ia berdiri mematung. Ditatapnya wajah orang itu dan wajah Bango Samparan berganti-ganti. Namun karena itu, maka mulutnya seolah-olah terbungkam.
Yang terdengar kemudian adalah jawaban Bango Samparan, "He, apakah kau sudah gila. Aku bermaksud baik. Manyapamu dan memperkenalkan anak angkatku."
"Kau orang asing di sini Bango Samparan. Sudah lama kau tidak ada di rumah, dan desa ini rasanya menjadi tenteram. Sekarang tiba-tiba kau muncul dengan membawa anak angkatmu. Anak-anakmu sendiri sudah cukup membuat kami pening, meskipun tidak segila kau sendiri. Agaknya kau memerlukan kawan yang baik, sehingga kau ambil anak itu."
Kata-kata orang itu serasa guntur yang meledak di dalam dada Ken Arok. Jantungnya seolah-olah akan retak dan darahnya terhenti mengalir. Hampir saja ia kehilangan akal, dan bertindak di luar sadarnya. Untunglah, bahwa ia masih sempat melihat kepada dirinya sendiri, sehingga sambil memejamkan mata ia menarik nafas dalam-dalam. Dicobanya untuk mengendapkan kembali isi dadanya yang serasa sudah bergolak.
Yang terdengar adalah jawaban Bango Samparan tidak kalah kasarnya, "Kau setan alasan. Apakah maksudmu dengan kata-kata itu semua" Apakah kau tidak menyadari bahwa aku dapat mencekikmu sampai mati" Ayo, katakan, apakah kau dapat melawan aku"
Orang itu mencibirkan bibirnya, jawabnya, "Memang kau dapat berbuat demikian. Tetapi anak putumu akan tumpas di desa ini. Seluruh penduduk akan mengutukmu dan membunuh keluargamu berramai-ramai.
"O, itu pun tidak mungkin mereka lakukan.Panggillah orang seisi desa ini. Aku dan anak-anakku mampu membunuh mereka semua. Apalagi dengan anak angkatku ini."
"Huh, jangan menakut-nakuti kami" jawab orang itu, "betapapun saktinya kau dan anak-anakmu ditambah dengan anak angkatmu, kau tidak akan dapat melawan seisi desa ini Seharusnya sampai saat ini kau harus mengucap terima kasih, bahwa kau dan keluargamu masih dibiarkan tinggal di rumah di dalam daerah ini. Tetapi kalau kau dan anak-anakmu menjadi semakin gila juga, maka kalian akan segera diusir."
Bango Samparan menggeretakkan giginya. Memang ia dan anak-anaknya tidak akan mampu melawan orang seisi desa. Buyut Karuman bukan anak kemarin siang yang baru dapat meloncat-loncat.
"Apakah kau tidak menyadarinya?" bertanya orang itu kepada Bango Samparan, "Apakah aku harus mengatakannya kepada Ki Buyut supaya kau digantung di ujung desa ini."
Bango Samparan menggeleng, "Jangan. Jangan begitu. Tetapi bukankah aku tidak pernah berbuat onar di dalam desaku sendiri?"
"Tetapi nama desa ini sudah terlampau banyak kau cemarkan. Kau ingat, bahwa Ki Buyut memberikan kesempatan untuk memperbaiki solah tingkahmu" Kita sudah terlampau muak dengan segala macam kegilaan itu."
"Bukankah aku sudah mencoba, membuka sawah di ujung hutan?"
"Tetapi kau masih mengancam akan membunuh aku."
"Maaf" suara Bango Samparan merendah, "tetapi jangan menghina. Aku sudah bersedia memperbaiki kelakuanku. Seharusnya kau pun tidak menghina kami sekeluarga lagi."
"Kami ingin melihat buktinya, apa yang telah kau lakukan."
Bango Samparan mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi sebelum ia menjawab apapun orang itu sudah melangkah pergi.
Bango Samparan menarik nafas dalam-dalam. Selangkah ia maju mendekati Ken Arok sambil berkata, "Maafkan orang itu Ken Arok, Ia memang agak gila."
Ken Arok menarik nafas dalam-dalam.Dalam sekali. Namun, ia menjawab, "Sama sekali tidak. Kata-katanya sama sekali tidak mencerminkan kegilaannya. Ia berkata dengan sepenuh kesadaran dan sepenuh kebenciannya."
Bango Samparan mengerutkan keningnya. Perlahan-lahan ia mengangguk sambil berkata, "Kau benar anakku. Demikianlah gambaran sikap orang-orang Karuman terhadapku.
Tergantung kepada ayah sendiri. Apakah kau mampu memperbaiki sikapmu."
"Aku sudah mencoba."
"Tetapi baru saja kau melakukan perbuatan yang terkutuk itu."
"Apa yang aku lakukan?"
"Kau baru saja membunuh dan merampas barang itu."
Bango Samparan menjadi tegang. Namun kemudian ia menundukkan kepalanya, "Itu karena aku terpaksa melakukannya."
"Desa ini seperti sebuah perapian bagiku. Dan kau telah menyeret aku masuk kedalamnya. Hampir saja aku kehilangan akal dan berbuat sesuatu yang akan semakin merusak namamu." Ken Arok berhenti sejenak, "Ayah, sebaiknya aku pergi saja. Kalau aku singgah juga di rumah nanti akan banyak timbul persoalan-persoalan yang tidak aku inginkan. Mungkin aku akan tersudut ke dalam suatu keadaan yang sama sekali tidak aku inginkan"
"Tidak. Itu tidak akan terjadi." potong Bango Samparan dengan serta-merta, "kau harus singgah meskipun hanya sebentar. Kau sudah sampai di sini. Beberapa langkah lagi kita akan sampai."
Ken Arok menjadi ragu-ragu sejenak. Namun kemudian ia tidak dapat menghindar lagi ketika Bango Samparan berkata, "Marilah.Marilah. Jangan membuat aku kecewa."
Merekapun kemudian meneruskan perjalanan mereka menyusur jalan pedesan. Ketika mereka bertemu seorang yang lain, maka dengan hormatnya Bango Samparan menyapanya, "Selamatlah kau hendaknya selama ini."
Orang itu memandang Bango Samparan dengan tajamnya, kemudian kepada Ken Arok. Dianggukkannya kepalanya sedikit sambil menjawab segan, "Ya, aku baik saja."
Tetapi orang itu berjalan terus. Dan Bango Samparan memandanginya dengan sorot mata yang aneh.
"Mudah-mudahan pandangan mereka berubah apabila aku sudah tidak berbuat kesalahan-kesalahan lagi atas mereka. Dan kini aku sudah tidak akan berjudi, mengambil buah-buahan di kebun orang dan berbuat apa-apa yang tidak menyenangkan bagi mereka."
Ken Arok tidak menjawab. Tetapi kepalanya yang tunduk menjadi semakin tunduk.
Sejenak kemudian mereka telah sampai ke sebuah halaman yang luas, tetapi kotor dan liar, dikelilingi oleh dinding batu yang kasar dan sebuah regol yang miring. Itulah rumah Bango Samparan beserta keluarganya. Kedua isterinya dan anak-anaknya yang hampir seliar Bango Samparan sendiri.
Ketika Ken Arok sampai ke depan regol yang miring itu hatinya menjadi berdebar-debar. Bango samparan mempunyai empat anak laki-laki dan seorang anak perempuan dari isteri mudanya. Tetapi rumah ini kesannya seperti rumah hantu yang sudah berabad-abad tidak disentuh tangan manusia.
"Apakah kau tidak ingat lagi bahwa rumah ini rumah kita Ken Arok?" bertanya Bango Samparan.
"Oh" Ken Arok mengangguk, "tentu, tentu aku ingat."
"Kenapa kau tampaknya menjadi ragu-ragu untuk melangkah masuk?"
Ken Arok menarik nafas. Tetapi ia tidak menyahut
"Masuklah." Ken Arok melangkah ke samping untuk memberi kesempatan Bango Samparan masuk lebih dahulu, baru kemudian Ken Arok berjalan di belakangnya.
Demikian mereka menyusup regol dan berdiri di halaman, dada Ken Arok menjadi semakin berdebar-debar. Ia memang pernah tinggal di rumah ini. Tetapi rumah dan halamannya semakin lama tidak menjadi semakin bersih, namun sebaliknya. Rumahnya menjadi semakin rusak, dan halamannya menjadi liar. Tidak ubahnya dengan halaman-halaman kosong di sekitar rumah itu yang ditumbuhi oleh gerumbul-gerumbul liar dan rumpun-rumpun bambu yang lebat.
"Nah, kau lihat pintu rumah itu terbuka?" bertanya Bango Samparan, "rumah itu pasti ada orangnya. Apakah ia ibumu, bibimu atau adik-adikmu.
Ken Arok mengangguk.Satu-satu ia melangkah maju mengikuti Bango Samparan. Semakin lama semakin dekat dengan pintu lereg yang sedang menganga seperti mulut raksasa yang tak bergigi siap untuk menghisap menelan mereka berdua.
Tetapi tiba-tiba langkah mereka berhenti. Dari balik sebatang pohon yang besar terdengar seseorang bertanya, "Siapakah orang itu ayah?"
Mereka berdua segera berpaling. Dilihatnya Panji Kuncang, anak Bango Samparan yang kedua berdiri dengan pandangan penuh kecurigaan kepada Ken Arok.
"He kau Kuncang. Di mana saudara-saudaramu, ibumu dan bibimu?"
"Aku bertanya kepadamu", potong Panji Kuncang, "siapa orang itu?"
"Begitukah kau bersikap kepada ayahmu?"
Kini Panji Kuncang berdiri tegak di sisi batang pohon besar itu. Tetapi matanya menyorotkan kecurigaan dan pertanyaan yang aneh. Kenapa tiba-tiba ayahnya bertanya tentang sikapnya"Sehingga dengan nada yang tinggi ia bertanya, "Kenapa dengan sikapku" Bukankah aku adalah Kuncang yang kau kenal dengan cara dan sikap ini" Kenapa?"
"Oh, kau harus sedikit sopan. Lihat, aku tidak datang seorang diri."
Tiba-tiba Kuncang tertawa. Suara tertawanya meledak-ledak tidak terkendalikan. Diantara derai tertawanya ia berkata, "Ayah ingin menunjukkan kepada tamu ayah, bahwa kami adalah keluarga yang baik, sopan dan beradab.?"
"Oh" Bango Samparan mengeluh. Dengan wajah yang merah ia berpaling kepada Ken Arok, "maafkan anak itu. Jangan hiraukan dia."
Tetapi suara tertawa Kuncang tidak juga mereda. Sekali lagi ia bertanya, "Siapakah orang itu ayah" Penjudi" Perampok" Pembunuh" Mungkin ayah mendapat kawan baru yang dapat mengajari kita untuk bermain curang di lingkaran perjudian sehingga kita tidak akan pernah terkalahkan."
"Tutup mulutmu" bentak Bango Samparan "jangan membuat aku marah."
Tetapi Kuncang sama sekali tidak mundur. Bahkan ia berkata sangat menyakitkan hati "Atau mungkin anak yang kau bawa itu akan minta kepada kita untuk menolongnya mencuri seorang gadis, atau bahkan janda atau isteri orang?"
Dada Ken Arok serasa akan meledak mendengarnya.Tetapi ia masih tetap berusaha untuk menahan dirinya.Namun dengan demikian tubuhnya serasa menjadi gemetar.
"Kuncang" bentak Bango Samparan, "jangan asal bicara. Kau lihatlah dengan baik siapa orang ini.Kau pasti masih belum melupakannya. Bukankah anak ini kakakmu Ken Arok?"
Suara tertawa Kuncang menjadi semakin meninggi. Jawabnya, "Aku sudah tahu. Aku sudah tahu sejak ia memasuki regol rumah kita."
"Kenapa kau bertanya juga?"
Kuncang tidak segera menjawab. Beberapa langkah ia maju mendekat dan berkata, "Eh, sekarang kau membawa pedang di lambungmu. Mungkin kau sekarang sudah meningkat. Dari penyamun jalan-jalan sempit yang menghadang penjual ubi ke pasar, menjadi seorang perampok di jalan-jalan yang agak ramai, atau kau sudah berani memasuki rumah Orang dengan pedang terhunus?"
"Tutup mulutmu" bentak Bango Samparan semakin keras, "apakah kau tuli" Ia adalah seorang prajurit. Bukankah ayah pernah mengatakan kepadamu, bahwa Ken Arok justru memimpin sepasukan prajurit Tumapel di Padang Karautan?"
Ken Arok menjadi heran melihat Kuncang menjadi semakin keras tertawa sehingga tubuhnya berguncang-guncang. Hampir tidak terdengar karena tenggelam dalam derai tertawanya ia berkata, "Aku sudah tahu. Aku sudah tahu bahwa ia seorang hamba istana Tumapel."
Namun Ken Arok terperajat ketika tiba-tiba saja suara tertawa Kuncang berhenti. Wajahnya tiba-tiba menjadi tegang dan suaranya bergetar "Kenapa ayah bawa anak ini kemari" Ayah, aku tidak senang melihat tampangnya. Semasa kita berkumpul di rumah ini. Ken Arok sama sekali tidak dapat bergaul dan bermain dengan kita, justru saat itu ia seorang panjahat muda yang paling licik. Sekarang kita semua menjadi penjudi dan mungkin penjahat, tetapi anak ini sudah menjadi seorang hamba istana. Terus-terang aku tidak mempercayainya lagi."
Sepercik warna merah menjalar di wajah Bango Samparan. Kemarahannya telah melonjak naik kekepala. Namun dengan demikian mulutnya seakan-akan telah terkunci, sehingga meskipun mulutnya bergerak-gerak namun tidak sepatah kata pun yang meloncat dari bibirnya.
Sementara itu Ken Arok pun se-olah-olah membeku di tempatnya. Ia lebih banyak berjuang untuk menahan dirinya sendiri dari pada memperhatikan sikap Bango Samparan itu.
Karena Keduanya tidak menjawab, maka Kuncang pun berkata pula, "Nah, karena itu, maka sebaiknya anak ini tidak ayah bawa ke rumah kami.Aku ingin mempersilahkannya dengan rendah hati untuk meninggalkan halaman ini.
Bango Samparan sudah tidak dapat menahan dirinya lagi Kemarahannya sudah memuncak sehingga tanpa disadarinya ia meloncat maju dengan cepatnya sambil mengayunkan tangannya ke wajah anak keduanya itu.
Tetapi ternyata Kuncang bukan sepotong tonggak yang mati, dengan sederhana sekali ia melangkah mundur sambil menarik wajahnya, sehingga tangan Bango Samparan lalu hanya senyari di hadapan hidungnya.
"Ah," desah Kuncang, "ayah terlampau lekas marah. Kenapa ayah membela anak angkat ayah yang kini sudah menjadi hamba istana itu dengan mati-matian" Jangan membuat aku marah kepadanya ayah. Mungkin aku tidak akan melawan ayah bagaimanapun gilanya aku, justru karena aku seorang anak. Tetapi Ken Arok itu bukan sanak bukan kadang. Kalau aku kehilangan pikiran, aku akan mencincangnya di sini."
"Tutup mulutmu, tutup mulutmu", teriak Bango Samparan, "akulah yang mengajaknya kemari Aku telah memaksanya meskipun ia keberatan. Sekarang kau bersikap seperti setan."
"Aku memang tidak ingin melihatnya datang ke rumah ini. Sejak kami masih amat muda, kami sudah tidak pernah sepaham. Apalagi sekarang."
"Kau belum tahu apa yang sudah dikerjakannya untukku. Kau belum melihat, bahwa ia tidak berubah seperti dahulu. Kau belum mengerti bahwa ia akan bersikap lain terhadapmu dan saudara-saudaramu."
Kuncang tidak segera menjawab. Tetapi yang terdengar adalah suara tertawanya. Ketika ia melontarkan pandangan matanya ke sisi rumahnya, suara tertawa itu justru meninggi.
Ken Arok den Bango Samparan pun segera berpaling ketika mereka mendengar suara tertawa pula. Tetapi nadanya jauh berbeda dari suara Kuncang. Suara itu terlampau rendah pendek.
"Hem", desah Ken Arok di dalam hatinya, "aku benar-benar masuk daerah hantu."
"Selamat datang kakang", suara itu tetap bernada rendah.
Ken Arok mengerutkan keningnya. Sebelum ia menjawab terdengar Bango Samparan berkata, "Engkau ada pula, di rumah. Kau tentu tidak akan berkeberatan seperti adikmu yang gila itu. Kau pasti akan menyambutnya dengan baik. Bukan begitu?"
Orang yang berdiri di samping rumah yang kotor itu adalah anak Bango Samparan yang tertua, Panji Bawuk. Wajahnya yang kehitam-hitaman dibakar oleh sinar matahari, keningnya yang menjorok dan matanya yang cekung, membuatnya seolah-olah dilapisi oleh suatu rahasia yang tidak terpecahkan.
Perlahan-lahan ia melangkah maju.Suara tertawanya yang datar dan bernada rendah terdengar lagi. Agak lebih panjang.
"Ayah telah membawa mainan yang baik sekali buat kami" desis Panji Bawuk.
Meskipun kata-kata itu diucapkan seolah-olah dengan acuh tak acuh saja, namun serasa meledak di dalam dada Ken Arok, Segera ia dapat menangkap maksudnya. Panji yang sulung ini sejak mereka masih terlampau muda, adalah seorang anak yang bengis dan keras. Setiap kali mereka bertengkar, dan bahkan berkelahi.
Bango Samparan pun terperanjat mendengar jawaban itu. Dengan wajah yang tegang ia berkata. "He, apakah kau juga sudah gila seperti adikmu?"
"Kami memang sama-sama gila ayah." sahut Panji Bawuk, "tetapi biarlah aku berterima kasih, bahwa ayah telah membawanya kemari.
"Persetan, persetan" Bango Samparan berteriak, kemudian berpaling kepada Ken Arok, "jangan hiraukan mereka.Mari kita masuk ke rumah. Rumah ini rumahku. Aku berhak menerima siapa saja di dalam rumahku sendiri."
Bango Samparan tidak mempedulikan lagi kedua anaknya. Segera ia melangkah. Tetapi sekali lagi ia tertegun ketika ia melihat seorang anak muda yang lain berdiri di tengah-tengah pintu, sambil berpegangan kedua sisinya dengan kedua tangannya yang mengembang.
"Apa gunanya kau datang juga ke rumah ini kakang" berkata orang itu dengan nada yang meninggi, "sekarang kau menjadi semakin tampan. Wajahmu mirip benar dengan Akuwu di Tumapel, meskipun aku belum pernah melibatnya. Pakaianmu bagus dan pedang itu sangat menarik hati."
"Minggir, minggir kau" teriak Bango Samparan, "minggir. Jangan ikut campur seperti kakakmu yang gila itu."
Anak muda yang berdiri di tengah-tengah pintu itu adalah anak Bango Samparan yang ketiga. Panji Kunal.
Jilid 44 BELUM LAGI Panji Kunal itu menjawab, maka dari dalam rumah, terbungkuk-bungkuk menyusup di bawah tangan Panji Kunal itu, keluarlah seorang anak muda yang lain, Panji Kenengkung, anak keempat Bango Samparan. Katanya "O, ternyata kakang Ken Arok itulah yang kalian ributkan. Aku sangka ada seorang tamu yang cukup berharga untuk dilayani". Panji Kenengkung itu menjadi acuh tak acuh. Tanpa berbuat sesuatu ia kembali masuk ke dalam rumahnya, menyusup pula di bawah tangan kakaknya.
Sikap anak-anak Bango Samparan itu membuat darah Ken Arok benar-benar menjadi mendidih. Semula ia memang berhasrat untuk meninggalkan saja rumah itu. Tetapi justru sikap anak-anak Bango Samparan itulah, kemudian yang manahannya. "Aku akan tetap berada di sini" katanya di dalam hati.
Karena itulah maka Ken Arok masih tetap berdiri tanpa bergerak di tempatnya. Kedua kakinya seolah-olah terhunjam dalam-dalam sampai ke pusat bumi. Hanya pandangannya sajalah yang beredar dari satu wajah ke wajah yang lain. Panji Bawuk, Panji Kuncang, Kunal dan kemudian Bango Samparan.
Bango Samparan menjadi kebingungan melihat perkembangan keadaan. Ia tidak menyangka bahwa sikap permusuhan dari anak-anaknya masih juga membekas demikian dalamnya, sehingga kedatangan Ken Arok telah menumbuhkan persoalan di dalam rumahnya.
"He" Panji Kuncang lah yang pertama-tama menyobek kebekunan di halaman itu, "Kenapa kau masih saja berdiri di situ Ken Arok. Sebelum aku berubah pendirian, pergilah. Rumah ini sama sekali tidak ada tempat bagimu. Jangan mengharap kau dapat masuk menjadi salah seorang dari keluarga kami. Kalau kami kelak membagi warisan, maka kamu sama sekali tidak mendapatkan apapun yang cukup berharga. Karena itu, kau tidak perlu ikut serta memperebutkannya. Tanah yang hanya selidah kadal ini, rumah yang hampir roboh dan regol yang miring. Apa kau sangka ayah mempunyai timbunan harta benda yang bernilai?"
Kini Ken Arok tidak dapat menahan mulutnya lagi. Betapa dadanya bergejolak, dan betapa ia telah mencoba menahannya sehingga dada itu rasa-rasanya akan meledak.
Dengan nada yang datar Ken Arok menjawab "Ya, aku tahu bahwa ayah Bango Samparan mempunyai harta benda yang tidak ternilai harganya. Itulah sebabnya aku kembali ke rumah ini untuk mendapatkan bagianku sebagai anak angkatnya".
Panji Kuncang mengerutkan keningnya. Kemudian ia menggeram, "Hem, ternyata kau telah menjadi seorang laki-laki yang berani. Kau tidak saja berani menyamun di tempat-tempat yang sepi, dan kemudian sebagai seorang prajurit yeng beramai-ramai membuat bendungan di Padang Karautan. Ternyata kau tidak gemetar mendengar ancamanku".
Ken Arok mangatubkan bibirnya rapat-rapat.
"Jangan kau usir anak itu Kuncang", berkata Panji Bawuk kemudian. Selangkah ia maju mendekati Ken Arok sambil berkata selanjutnya, "Menilik sikapnya, pandangan matanya yang lurus ke depan, serta wajahnya yang tengadah, ia sama sekali tidak cemas menghadapi keadaannya kini".
"Anak ini benar-benar berani. Tetapi itu tidak mengherankan. Ia dapat melepaskan diri dari tangan orang-orang Pamalantenan dan lari ke Nagamasa. Ia dapat menghantui Tanah Tumapel dan kemudian bahkan menjadi seorang hamba istana yaag baik". Panji Bawuk berhenti sejenak, lalu, "Nasibmu memang baik Ken Arok. Terlampau baik".
"Nah" tiba-tiba Bango Samparan memotong, "Bukankah aku juga mengatakan, bahwa nasibmu terlampau baik".
Panji Bawuk tertawa rendah. Katanya kemudian, "Tetapi tidak selamanya nasibmu terlampau baik.Suatu ketika kau akan terbentur pada keadaan yang sama sekali tidak kau sangka-sangka. Misalnya bahwa kau telah tersesat sampai ke rumah ini".
"He" mata Bango Samparan terbelalak, "Apa yang akan kau lakukan atasnya?"
Panji Bawuk tertawa dengan nada yang terlampau rendah, tetapi dibalik nada yang rendah itu teresa getaran kebencian yang tiada taranya. "Sebuah permainan yang baik. Aku yakin bahwa ia tidak akan menyerahkan lehernya begitu saja. Ia pasti akan melawan, karena aku percaya bahwa Ken Arok adalah seorang prajurit yang berani. Nah, bukankah kita mendapat ketempatan untuk bermain-main".
"Itu gila. Gila sekali. Ia tamuku di sini".
"Bukankah aku sudah berterima kasih kepada ayah, karena ayah membawa permainan itu".
"Persetan kalian" teriak Bango Samparan, "Kalau kalian berbuat sesuatu atasnya, maka aku akan berdiri dipihaknya".
"Apa" tiba-tiba terdengar suara melengking dari dalam rumah yang kotor itu, "Kalau kau mau membantunya, akulah lawanmu".
Tiba-tiba muncul seorang perempuan sambil menyingsingkan kainnya. Ialah isteri Bango Samparan yang muda. Dengan tergesa-gesa ia mendekati Bango Samparan sambil menuding-nuding wajahnya, "Kau bawa lagi anak setan itu, he. Ayo, tinggalkan anak itu. Biarlah anak-anak yang mengurusnya".
Sementara itu terdengar suara lain. Suara perempuan. Namun terlalu dalam dan perlahan-lahan, "Kenapa kalian mambencinya sampai ke ujung nyawa kalian?"
Tetapi justru suara itu telah menggetarkan dada Ken Arok. Suara itu adalah suara ibu angkatnya. Isteri tua Bango Samparan. Perlahan-lahan ia berpaling. Dilihatnya seorang perempuan tua yang kurus berdiri di samping rumah sambil menakupkan kedua telapak tangan di muka dadanya.
"Jangan ikut campur" bentak isteri muda Bango Samparan, "Ini sama sekali bukan urusanmu".
"Tunggulah sebentar" Bango Samparan tergagap, "Maksudku, aku ingin keluarga ini menjadi bertambah baik. Kalau kalian mau mendengarkan penjelasanku, kenapa aku membawa Ken Arok ke rumah ini, maka kalian pasti tidak akan marah-marah lagi".
"Aku tidak peduli" teriak isteri mudanya. Satu tangannya bertolak pinggang, sedang tanganya yang lain masih menunjuk-nunjuk, "Ayo tinggalkan anak-anak itu. Masuk. Masuklah".
"Tunggu" Bango Samparan meminta. "Masuk kataku. Ayo masuk".
Ken Arok menjadi heran. Bango Samparan adalah seorang yang buas, bahkan liar. Tetapi ia begitu takut kepada isteri mudanya. Ia mengetahui hal itu sejak ia tinggal di dalam rumah itu. Tetapi dalam hal yang terlampau penting, seperti keadaan saat ini, Bango Samparan sama sekali tidak dapat berbuat sesuatu.
Dengan kasarnya isteri muda Bango Samparan itu menarik tangannya dan menyeretnya masuk ke dalam rumah. Bango Samparan yang garang itupun sama sekali tidak dapat melawan. Namun sambil berjalan ia berteriak-teriak, "Maafkan aku Ken Arok. Pergilah. Pergilah sebelum setan-setan itu berbuat sesuatu atasmu".
Ken Arok sama sekali tidak beranjak dari tempatnya. Dipandanginya Bango Samparan yang berjalan terloncat-loncat diseret oleh isteri mudanya sambil menyingsingkan kainnya tinggi-tinggi.
"Laki-laki tidak tahu diri" gerutu isterinya, "Sekian lama kau tidak pulang. Sekarang kau bawa cucurut jelek itu untuk mengotori halaman rumahku".
Tanpa sesadarnya Ken Arok menarik nafas dalam-dalam. Agaknya sikap isterinya itu sama sekali tidak membantu usaha untuk menyembuhkan Bango Samparan dari penyakit judinya. Agaknya ia tidak menemukan ketenteraman di rumahnya. Isterinya terlampau menguasainya, sehingga bagi Bango Samparan, keadaan di luar rumahnya jauh lebih bebas dan menyenangkan, meskipun kadang-kadang ia harus berkelahi dan bahkan mempertaruhkan nyawanya. Namun hasrat ia lepas bebas dan sebagai seorang laki-laki, bahkan jiwa petualangan yang memang ada padanya, dapat terpenuhi.
Di rumah, seperti keadaarnya kini, meskipun ia membawa pedang dilambungnya, namun ia tidak kuasa melawan apapun ketika ia diseret oleh isterinya masuk ke rumah sambil mengumpat-umpat.
Panji Kunal kini sudah tidak berdiri di tengah-tengah pintu lagi untuk memberi jalan ibunya yang menyeret ayahnya masuk. Sambil bersandar bibir pintu ia tertawa berkepanjangan.
Dalam pada itu terdengar suara perempuan tua yang berdiri di samping rumah, "Pergilah Ken Arok. Tidak ada gunanya kau datang kemari. Aku sudah puas dapat melihat kau tumbuh menjadi besar dan gagah. Aku dengar kau kini tnenjadi seorang prajurit. Nah, lakukanlah pekerjaanmu dengan baik".
Ken Arok menarik nafas dalam-dalam. Tanpa sesadarnya ia mengangguk dalam-dalam sambil menjawab, "Terima kasih ibu, mudah-mudahan aku dapat melakukannya. Aku minta ibu selalu berdoa untukku".
"Tentu, tentu anakku. Aku berdoa untukmu. Mudah-mudahan kau terhindar dari tindakan-tindakan yang takabur dan tamak".
Belum lagi Ken Arok menjawab, terdengar suara Panji Kuncang, "Ah, jangan kau ajari anak itu jadi seorang pendeta. Agaknya lebih baik baginya untuk mengulangi saja kelakuannya beberapa tahun yang lampau".
"Jangan menghina Kuncang" sahut perempuan itu "adalah nasib baik yang membawanya. Jangan iri akan nasib seseorang. Nasibnya memang terlampau baik".
Ken Arok sama sekati tidak terpengaruh, ketika ia mendengar orang lain mengatakan tentang nasibnya. Bahkan ia muak apabila ia mendengar Bango Samparan mengatakan nasibnya pula. Tetapi kini ia mendengar perempuan tua itu mengatakan pula, bahwa nasibnya memang terlampau baik.
"Kalau kau berusaha terus Ken Arok" berkata perempuan tua itu, "Maka kau akan sampai kepada tempat yang setinggi-tingginya yang kau inginkan".
Tetapi kata-kata itu disambut oleh suara tertawa Panji Bawuk dalam nada yang datar, "Ho, ajari saja anak itu untuk bermimpi". Kemudian kepada Ken Arok itu berkata "Mimpilah anak manis. Kau akan dibawa melambung tinggi oleh nasibmu yang baik. Mungkin kau dapat menjadi seorang Akuwu, eh siapa tahu bahwa kau akan dapat mendesak kekuatan Maharaja Kediri dan menggantikannya kelak".
Kata-kata itu disambut oleh suara tertawa yang meledak. Panji Bawuk, Panji Kuncang, Kunal dan bahkan kemudian Kenengkung pun keluar lagi dari pintu rumahnya. Katanya "Eh, kalian menjadi terlampau bergembira hari ini".
"Tidur saja kau anak malas" sahut Panji Bawuk.
02 Pelangi Di Langit Singasari Karya S H. Mintarja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kami sedang bermain-main".
"Aku ingin ikut bermain-main pula".
Panji Bawuk tidak menjawab. Tetapi ia melangkah lagi lebih dekat dihadapan Ken Arok. Diamat-amatinya Ken Arok dari ujung kaki sampai ke ujung kepalanya.
"Pergi sajalah Ken Arok" suara perempuan di samping rumah terdengar lagi.
Tetapi jawab Ken Arok ternyata telah mengejutkan, seisi halaman itu, "Tidak ibu. Aku tidak akan pergi. Aku sudah terlanjur menginjakkan kakiku di halaman ini. Aku ingin masuk ke dalam rumah ayah dan ibuku. Aku ingin bermalam di sini dan ingin mendapat hak warisan dari ayah seperti anak-anak ayah yang lain, meskipun aku hanya sekedar anak angkatnya. Tidak teorang pun dapat menghalangi aku. Apa lagi aku sudah memasuki halaman ini dengan pedang di lambung".
Yang terdengar kemudian adalah geram Panji Kuncang. Selangkah ia meloncat maju sambil berteriak, "Setan alas. Ayo, cabut pedangmu. Aku akan membunuhmu".
Panji Bawuk menegang sebentar, namun kemudian ia tertawa. Nadanya masih tetap rendah dan datar, "O, anak ini benar-benar tidak tahu diri. Disangkanya bahwa karena ia seorang prajurit, maka ia pasti akan mampu menyelesaikan semua masalah dengan pedangnya".
Ken Arok terdiam. Dikatupkannya bibirnya rapat-rapat. Terhadap Panji Kuncang ia telah menemukan cara yang sebaik-baiknya untuk melawan. Agaknya anak kedua ini lebih cepat marah dan kehilangan kesabaran. Tetapi agaknya anak yang pertama ini justru jauh lebih berbahaya dari saudara-saudaranya yang lain.
Ternyata bukan saja kedua orang anak-anak Bango Samparan yang terbesar saja yang mendekati Ken Arok, tetapi kedua saudaranya yang lain, yang masih terlampau muda itupun datang mengerumuninya. Wajah-wajah mereka telah menjadi tegang oleh kemarahan yang memuncak.
Tetapi Ken Arok masih tetap berdiri tegak di tempatnya. Ia sama sekali tidak bergeser setapakpun. Pandangannya masih tetap lurus ke depan dan dadanya masih tetap tengadah.
Sikapnya memang egak berpengaruh juga atas keempat anak-anak Bango Samparan itu.Namun disamping itu, kemarahan mereka pun menjadi semakin menyala pula. Ken Arok bagi mereka adalah seorang yang teramat sombong. Karena itu, maka mereka harus menghajarnya dan bahkan mereka tidak lagi akan mengekang diri seandainya Senjata-senjata mereka akan berbicara.
Diantara keempat saudara itu, Kuncang lah yang hampir tidak lagi dapat mengekang dirinya.Namun sikap yang demikian sama sekali tidak berpengaruh apapun kepada Ken Arok. Yang mendapat perhatiannya paling tajam justru Panji Bawuk yang kelihatannya masih tenang-tenang saja, dan bahkan tersenyum-senyum.
"Apakah kau benar-benar ingin melawan kami kakang?" bertanya Panji Bawuk itu.
Ken Arok tidak segera menjawab. Ditatapnya mata Panji Bawuk itu tajam-tajam seolah-olah ingin melihat sampai ke pusat otaknya.
"Aku memang berharap demikian" berkata Panji Bawuk itu pula, "Sudah agak lama kami tidak berkelahi melawan seseorang yang agak berarti untuk memanaskan badan kami. Karena itu kami sangat berterima kasih kepada ayah, yang telah membawa kau kemari".
"Panji Bawuk" terdengar suara perempuan tua di samping rumah, "Aku minta kau tidak akan berbuat demikian kepada Ken Arok. Terserahlah apa yang akan kau lakukan terhadap orang lain, tetapi tidak kepada keluarga sendiri".
Panji Bawuk tertawa, "Hanya orang gilalah yang bersedia menerimanya lagi di dalam keluarga ini. Ia sudah cukup membuat kami marah dan mendendamnya, di saat-saat yang lalu. Tiba-tiba kini ia datang dengan penuh kesombongan. Apakah kami harus membiarkannya?"
"Aku minta maaf untuknya" berkata perempuan itu lagi.
"Tutup mulutmu" tiba-tiba terdengar suara dari balik dinding rumah, suara perempuan pula. Suara ibu Panji Bawuk, "Sudah aku katakan. Itu adalah urusan anak-anak, biarlah diselesaikan oleh anak-anak".
Perempuan tua itu mengerutkan keningnya yang telah berkerut-merut. Namun ia mencoba menjawab, "Aku hanya mencoba melerai perselisihan di antara anak-anak".
"Persetan dengan anakmu itu".
"Sudahlah" potong Panji Bawuk dengan tenangnya "Jangan kau pedulikan lagi anak ini. Ia akan terjerumus ke dalam lubang yang telah digalinya sendiri".
"Kita tidak usah banyak berbicara" geram Kuncang. Kemudian sambil menunjuk ke bawah sebuah rumpun bambu ia berkata, "Di sana kami kuburkan dua orang penjudi muda yang mencoba melawan kami. Mereka sombong seperti kau. Kami berkelahi. Ternyata Senjata-senjata kami tidak mau memaafkannya".
Dada Ken Arok berdesir mendengar kata Panji Kuncang itu. Tanpa sesadarnya ia berpaling. Di muka halaman ini membujur sebuah lorong padukuhan. Bagaimanakah tanggapan orang-orang padukuhan ini apabila mereka tahu, bahwa halaman ini adalah halaman pembantaian" Bukankah Ki Buyut Karuman sudah mengancam, untuk mengusir mereka apabila mereka berbuat kejahatan lagi di dalam padukuhan ini?"
Tetapi lorong ini memang terlampau sepi. Lorong yang jarang sekali dilalui orang. Hanya orang-orang yang terpaksa sekali yang mau lewat di lorong di muka rumah Bango Samparan. Rumah yang mereka anggap sebagai rumah hantu.
"Nah" berkata Kuncang kemudian, "Kau akan menjadi orang ketiga yang akan berkubur di bawah rumpun bambu itu".
Wajah Ken Arok menjadi semakin lama semakin tegang. Dipandanginya arah yang ditunjuk oleh Panji Kuncang. Tetapi ia tidak melihat sesuatu. Tanah itu masih tetap rata.
Tetapi ketegangan wajah Ken Arok itu semakin meningkat ketika ia mendengar Panji Bawuk berkata, "Tidak Kuncang. Karena anak ini adalah saudara tua kita, maka ia tidak akan kita kuburkan di bawah rumpun bambu itu. Kita masih harus menghormatinya. Aku ingan membuat anjang-anjang bagi mayatnya nanti. Kami letakkan saja di halaman belakang, di atas pohon Kayu Kembang. Biarlah dagingnya menjadi makanan burung-burung gagak".
Sejenak mereka yang mendengar pendapat anak tertua Bango Samparan itu terdiam. Namun kemudian terdengar suara tertawa Kenengkung meledak.
"Kenapa kau tertawa?" bertanya Panji Kunal.
"Lucu" sahut Kenengkung, "Kita kelak akan mempunyai sebuah kerangka. Kalau dagingnya sudah habis, bukankah akan tinggal kerangkanya saja" Kita mempunyai sebuah perhiasan yang menyenangkan".
Panji Kunal pun tersenyum pula.Katanya, "Tetapi kalau ada orang yang melihatnya, akan dapat menumbuhkan perkara. Orang-orang Karuman adalah orang-orang dengki yang suka mengganggu kesenangan orang lain. Kalau mereka berbuat sesuatu karena kerangka itu, maka kita akan terpaksa menyimpan kerangka-kerangka lebih banyak lagi".
"Ah" desah Panji Bawuk, "Anak-anak gila. Apakah yang kau bicarakan itu" Sekarang, ambillah parangku yang besar. Jangan yang kecil. Kalian membawa senjata kalian masing-masing, apabila kalian ingin ikut bermain-main. Berganti-ganti. Kita masing-masing akan mendapat bagian kita. Tetapi apabila Ken Arok lekas mati, maka jangan menyesal, siapa yang tidak mendapat kesempatan untuk berkelahi dan menggoreskan luka di tubuhnya".
"Gila" Ken Arok mengumpat di dalam hatinya, "Sikap Panji Bawuk tenang sekali. Dibiarkan adiknya masuk ke dalam rumah sementara ia berdiri seenaknya dihadapan Ken Arok".
"Kalau kau tidak sabar menunggu adikku mengambil senjata, mulailah. Aku akan melawanmu tanpa Senjata".
"Akulah yang pertama-tama" potong Kuncang, "Akulah yang melihatnya ia pertama kali ketika ia memasuki regol".
Kini Ken Arok terpaksa berbuat sesuatu.Ia benar-benar menyesal, karena ia telah masuk ke rumah hantu itu. Tetapi dalam keadaan yang demikian ia sama sekali tidak mau beranjak pergi. Ia masih belum tahu, sampai berapa jauh kemampuan keempat anak Bango Samparan. Ia telah melihat Panji Kuncang mampu menghindar dengan cara yang sederhana, ketika ayahnya mencoba menampar wajahnya.
Sebentar kemudian sambil berlari-lari Kenengkung datang membawa dua buah parang dan Panji Kunal pun membawanya pula. Untuk kakaknya dan untuk dirinya sendiri.
"Aku akan mencoba senjataku ini" desis Panji Kunal. Ia memegang sebuah tombak pendek yang ujungnya berkait.
Ken Arok berdiri tegak seperti sebuah patung. Ia menjadi heran melihat sikap anak-anak Bango Samparan. Agaknya mereka benar-benar menganggap dirinya permainan yang mengasyikkan.
"Apakah kemampuan mereka jauh melampaui ayahnya?" pertanyaan itu telah mengetuk dada Ken Arok.
Namun Ken Arok tidak sempat terlampau banyak membuat pertimbangan-pertimbangan. Ia segera melihat tombak pendek Kunal yang ujungnya berkait telah merunduk di muka dadanya. Terdengar anak itu berkata "He, kakang Ken Arok. Ayo cabut senjatamu".
Ken Arok tidak segera berbuat sesuatu.Sekilas dipandangmya perempuan tua di samping rumah Bango Samparan. Perempuan itu menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya, kemudian dengan tergesa-gesa berputar dan pergi ke belakang.
"Lebih baik ia pergi", berkata Ken Arok di dalam hatinya.
"Ayo, cepat" teriak Panji Kunal.
"Hati-hati Kunal" desis Panji Bawuk, "Ia adalah seorang Prajurit Tumapel. Mungkin ia pernah mendapat petunjuk bagaimana ia harus mempergunakan serjata. Sebelum ia menjadi seorang prajurit, ia adalah seorang anak yang paling senang berkelahi. Meskipun kau juga senang berkelahi, tetapi belum seliar kakang Ken Arok itu".
Kunal seolah-olah tidak mendengar kata-kata kakaknya itu. Ia melangkah semakin dekat, dan ujung tombaknya kini semakin dekat pula ke dada Ken Arok, "Ayo, cepat, ambil senjatamu" teriaknya, "Kalau kau tidak juga mencabut pedangmu, aku akan berbuat menurut kehendakku sendiri atasmu".
Ken Arok masih tetap berdiri tegak. Tetapi tiba-tiba ia terkejut ujung tombak berkait itu semakin merunduk dan menyentuh kain panjangnya, dengan sekali renggut, kainnya telah tersobek lebih dari sejengkal di arah pahanya.
Terdengarlah suara tertawa meledak di halaman itu. Panji Kenengkung tidak dapat menahan dirinya lagi, sehingga ia terbungkuk-bungkuk menekan perutnya dengan kedua tangannya. Suara tertawanya berderai memenuhi seluruh padesan.
Kini Ken Arok tidak akan dapat tetap tinggal diam. Kalau ia tidak segera berbuat sesuatu maka Kunal akan menjadi lebih gila lagi. Bahkan mungkin ia akan menjadi telanjang di halaman itu karena seluruh pakaiannya akan di kait oleh tombak pendek itu.
"Baiklah" berkata Ken Arok tiba-tiba sehingga Kunal terperanjat, "Kau sudah mulai.Aku pun harus segera mulai pula".
Perlahan-lahan Ken Arok melangkah kesamping. Sama sekali tidak ada kesan apapun pada dirinya. Ia masih tetap tenang seperti juga Panji Bawuk tetap tenang. Diletakkannya bungkusan pakaiannya di atas tanah di bawah sebatang pohon melinjo.
"He, apa kau mau lari?" teriak panji Kunal.
Ken Arok menggeleng, "Sudah aku katakan. Aku akan melayani kau bermain-main".
"Bagus, bagus" sahut Kunal sambil tertawa.
Ken Arok tnenjadi semakin muak memandanginya. Karena itu, maka tumbuhlah keinginan di dalam hatinya untuk membuat mereka menjadi jera.
"Tetapi", pertanyaan itu tumbuh di dalam hatinya "Apakah aku akan mampu berbuat demikian" Aku belum dapat mengukur betapa tingkat ilmu masing-masing. Adalah tidak mustahil apabila pada suatu ketika mereka akan berkelahi bersama-sama".
Karena itu, maka Ken Arok harus tetap berhati-hati. Ia tidak mau jatuh ke dalam keadaan yang tidak menguntungkannya, sehingga untuk melawan anak itupun ia harus berada dalam persiapan yang tertinggi.
"Ayo, cabut pedangmu, cepat" teriak Panji Kunal.
"Baik" sahut Ken Arok. Perlahan-lahan tangannya meraba hulu pedangnya, dan perlahan-lahan pula ia mencabut pedang itu dari wrangka di lambungnya.
"Pedang yang bagus" tiba-tiba Kuncang berteriak, "Kalau kita berhasil membunuhnya, maka pedang itu adalah milikku. Akulah yang pertama-tama melihat ia memasuki regol ini".
Ken Arok berdesah di dalam hatinya "Agaknya Kuncang telah sampai pada maksud itu, membunuh, sebenarnya membunuh".
"Tidak" teriak Panji Kunal, "Siapa yang berhasil membunuhnyalah yang akan memiliki pedang itu".
"Kalau begitu akulah yang akan berkelahi lebih dahulu" potong Kenengkung, "Supaya akulah yang berhasil membunuhnya. Dengan demikian pedang prajurit itu akan menjadi milikku".
"Jangan berebut dahulu" potong Panji Bawuk "Kalian hanya terlampau banyak bicara. Aku yakin bahwa Ken Arok tidak akan dengan senang hati menyerahkan lehernya. Nah, sekarang Kunal, mulailah. Hati-hatilah. Aku ingin melihat bagaimana ia menggerakkan pedangnya yang bagus itu, supaya aku dapat menilai, siapakah kira-kira yang akan dapat membunuhnya".
Kunal mengangguk-anggukkan kepalanya. "Baiklah" katanya.
Ken Arok yang sudah semakin muak melihat anak-anak Bango Samparan itupun segera bersiap. Ia tidak mau memandang 1awannya terlampau rendah, meskipun masih cukup muda. Ia menyadari, bahwa sikap yang demikian kadang-kadang dapat menyesatkan seseorang ke dalam kekalahan.
Karena itu ketika Kunal mendekatinya lagi dengan tombak pendeknya, maka segera ia pun bersiap.
"Cepat Kunal" teriak Kuncang yang tidak sabar lagi. Panji Kunal menarik nafas dalam-dalam. Kemudian dengan cepatnya ia meloncat langsung menyerang Ken Arok. Mata tombaknya mematuk ke dadanya, seperti paruh burung rajawali yang menyambar dari udara.
Tetapi Ken Arok telah siap.Dengan sigapnya ia meloncat kesamping menghindari serangan itu. Dan seperti yang telah diduganya, Kunal pasti akan mempergunakan kaitan tombaknya, ketika ia menarik tombak itu. Dan ternyata dugaannya itu benar. Kunal memutar tombaknya dan mencoba mengait pelipis Ken Arok pada saat ia menarik tombaknya.
Tetapi tombak berkait itu sama sekali sudah tidak mengejutkan lagi bagi Ken Arok. Dimiringkannya kepalanya sedikit, dan kait pada ujung tombak itu meluncur disamping keningnya.
Panji Kunal menggeram. Ternyata serangannya sama sekali tidak berhasil menyentuh lawannya. Ia ingin melihat darah yang segera memencar dari pelipis Ken Arok. Tetapi Ken Arok berhasil menghindarinya.
Kunal yang masih muda itu segera memperbaiki sikapnya. Tombaknya bergetar secepat getar jantungnya. Beberapa langkah ia berputar, mencari kesempatan untuk menyerang lagi.
Ken Arok pun telah mempersiapkan dirinya pula. Tetapi ia harus memperhitungkan pula orang-orang yang tidak sedang terlibat dalam pertempuran. Ken Arok tidak dapat mempercayai mereka sepenuhnya, bahkan mereka akan berkelahi secara jantan sepenuhnya. Dalam kesempatan yang tak terduga-duga dapat saja salah seorang dari mereka menyerangnya dengan licik. Apalagi apabila salah seorang dari mereka mengalami kekalahan.
Kunal yang melangkah berputaran itu, tiba-tiba meloncat menyerang kembali sambil menggeram. Tombaknya mematuk dengan cepatnya, melingkar dengan tiba-tiba pula dan berputar sekali lagi. Beberapa macam gerak yang tidak terduga-duga membuat lawannya kehilangan kesempatan untuk mengerti, apakah yang dilakukannya.
Tetapi Ken Arok bukan lawan yang mudah menjadi bingung dan kehilangan akal. Bahkan segera ia mengerti, bahwa lawannya masih terlampau hijau dan sederhana. Yang ingin membuat bermacam-macam cara untuk membingungkan musuhnya, seolah-olah lawannya tidak dapat membuat perhitungan-perhitungan yang lebih baik dan akan segera kehilangan akal karena ujung tombak lawannya berkeliaran diseputar tubuhnya.
Ken Arok telah kenyang menyimpan pengalaman di dalam dirinya sama sekali tidak menjadi bingung. Ia masih tetap tenang dan bahkan berdiri tegak ditempatnya. Hanya matanya sajalah yang mengikuti ujung tombak berkait di tangan Panji Kunal.
Tetapi dada Ken Arok menjadi berdebar-debar ketika ia mendengar Panji Bawuk tertawa. Katanya "Kunal, kenapa kau berkelahi seperti menghalau burung di sawah" Lawanmu kali in adalah seorang prajurit Istana Tumapel yang terkenaL. Lebih daripada itu ia adalah seorang penyamun yang paling menggemparkan diseluruh Tumapel pada suatu saat. Hati-hatilah, ia tidak akan dapat kau takut-takuti dengan cara yang menggelikan itu.Kau akan kehilangan pengamatan diri karena kau sendiri sibuk menari tanpa arti apapun dalam perkelahian itu. Cobalah dengen cara yang lain. Tetapi sebaiknya kau berkelahi berpasangan dengan Kenengkung. Aku mulai menjadi cemas melihat sikap Ken Arok. Agaknya ia benar-benar yakin dapat menguasai kalian. Lihat, apakah ia tampak cemas atau berdebar-debar setelah melihat seranganmu yang menggelikan itu. Ayo, cepat, mulailah berpasangan".
"Bagus" teriak Kenengkung "Aku ikut".
Tetapi Panji Kunal menjadi kecewa, katanya "Aku ingin membunuhnya sendiri kakang. Sendiri, tanpa Kenengkung".
"Jangan terlampau sombong" jawab Panji Bawuk "Kalau Ken Arok bersungguh-sungguh, maka kaulah yang akan terbunuh".
"Tidak, aku mampu membunuhnya".
"Jangan keras kepala" kemudian, kepada Kenengkung ia berkata "Ayo, cepat. Masuklah ke gelanggang".
Tetapi Kenengkung menjadi ragu-ragu. Agaknya Kunal tidak begitu senang apabila ia ikut membantunya.
"Cepat" tiba-tiba Panji Bawuk berteriak tinggi. Kenengkung menjadi takut, dan Kunal pun tidak mau membantah lagi. Sehingga dengan demikian Ken Arok kini harus berhadapan dengan dua orang lawan yang masih cukup muda.
Namun dengan demikian Ken Arok mendapat gambaran bahwa keempat anak Bango Samparan itu benar-benar ingin mempermainkannya dengan segala cara. Tetapi juga tidak mustahil, bahwa akhir dari permainan itu adalah kematian yang sebenarnya baginya, apabila ia tidak berhasil membela dirinya sebaik-baiknya.
Tetapi meskipun demikian, betapa kemarahan menyala di dada Ken Arok, ia masih tetap tidak kehilangan akal. Dengan demikian, maka ia masih tetap menekan sedalam-dalamnya nafsunya untuk membunuh. Ia masih tetap menyadari dirinya. Apabila ia membunuh hanya karena kemarahan dan dendam, maka ia akan menodai kedudukannya sendiri, yang justru harus berbuat sebaliknya. Melindungi kelemahan dan meluruskan kesalahan dalam pengertian, menuntun mereka kembali kepada jalan yang lurus, bukan harus membinasakan tanpa pertimbangan.
Melawan kedua kakak beradik yang terkecil dari saudara-saudara anak Bango Samparan itupun, Ken Arok tidak menjadi waringutan dan bermata gelap. Ternyata mereka masih benar hijau dalam olah senjata. Mereka lebih senang menari dan mencoba menipu lawannya dengan gerak-gerak yang tidak berarti, sehingga apabila mereka harus berkelahi dalam waktu yang agak lama maka mereka akan segera kehabisan nafas.
Tetapi karena mereka berdua, maka Ken Arok pun harus lebih berhati-hati lagi. Ia mencoba menyesuaikan dirinya pada kedua lawannya. Dengan lincahnya ia pun berloncatan, dan menggerakkan senjatanya dengan ayunan-ayunan yang manis, seperti juga kedua lawannya yang sedang menari.Sekali-kali senjata mereka memang berbenturan, tetapi sama sekali tidak menumbuhkan tekanan-tekanan yang berarti. Meskipun demikian sekali-kali Ken Arok memberi peringatan pula kepada lawannya. Ujung pedangnya kadang-kadang berhasil menyentuh pakaian Kunal dan Kenengkung, bahkan kemudian kulitnya.
"Setan alas" kadang-kadang Kenengkung yang masih terlalu muda itu mengumpat. Geraknya menjadi semakin cepat dan lincah. Namun dalam tanggapan Ken Arok, ia pasti akan segera kehabisan tenaga.
Justru karena lawan-lawannya itulah, maka kemarahan di dalam dada Ken Arok menjadi reda. Ia benar-benar tidak sampai hati untuk melukai lawannya yang masih belum dapat berbuat terlampau banyak dengan senjata-senjata mereka yang garang. Tetapi, apakah demikian juga kedua kakak-kakaknya yang terbesar"
Ken Arok bertempur sambil berteka-teki di dalam hatinya. Sekali-kali ia mencoba memandang wajah Panji Kuncang yang tegang dan Panji Bawuk yang tersenyum-senyum. Ia tidak segera dapat mengerti apakah yang bergolak di dalam dada kedua orang itu. Tetapi menilik sikapnya, maka mereka berdua mempunyai tanggapan yang berbeda atas kedua adik-adik mereka yang sedang berkelahi.
Ternyata Panji Kunal dan Kenengkung sendiri tidak dapat menjajagi kemampuan lawannya. Karena Ken Arok berkelahi sambil berloncatan, maka mereka menyangka, bahwa Ken Arok pun telah mempergunakan segenap kemampuannya untuk melawan mereka berdua. Karena itu maka mereka menjadi semakin bernafsu. Kalau sekali-sekali ujung senjata Ken Arok menyentuh kulit mereka, maka mereka pun segera menggeram dan mengumpat-umpat.
Kunal dan Kenengkung pun semakin lama menjadi semakin dalam tenggelam dalam perkelahian yang kurang dapat mereka nilai. Mereka telah memeras segenap kemampuan yang ada di dalam diri mereka.Namun mereka sama sekali tidak berhasil melukai lawannya, bahkan menyentuh pun tidak. Karena itu, kemarahan di dalam dada mereka serasa menjadi semakin menyala. Mereka memeras tenaga mereka tanpa perhitungan didorong oleh keinginan mereka untuk segera menjadi seorang pahlawan.
Kuncang memandang perkelahian itu dengan wajah yang tegang. Ia tahu, bahwa kedua adiknya tidak akan dapat mengalahkan Ken Arok. Tetapi ia pun tidak mendapat penilaian yang sebenarnya tentang lawan kedua adik-adiknya. Meskipun demikian ia mengerti, bahwa ternyata Ken Arok bukanlah seorang yang dapat dibuat permainan yang menyenangkan seperti yang mereka sangka.
Kemarahan di dalam dada Kuncang pun menjadi semakin menyala. Ia hamper-hampir tak dapat mengekang dirinya lagi ketika ia melihat kedua adiknya seakan-akan tidak mampu berbuat apapun selain meloncat-loncat dan melonjak-lonjak. Setiap kali mereka kehilangan sasaran dan terkejut oleh sentuhan-sentuhan senjata lawan. Bahkan sekali-sekali Ken Arok mengenai mereka tidak dengan ujung pedang, tetapi dengan ujung-ujung jari tangan kirinya. Demikian kuat tekanan ujung-ujung jari Ken Arok, sehingga Kunal, yang terdorong oleh kekuatan jari-jari Ken Arok itu pun terhuyung-huyung baberapa langkah, dan hampir saja ia jatuh terjerembab.
"Setan" Kunal mengumpat. Dengan segenap tangannya maka ia menyerang sejadi-jadinya. Tombaknya mematuk-matuk dengan cepatnya, tetapi sudah kehilangan keseimbangan. Apalagi Kenengkung. Ia bahkan menjadi bingung dan kadang-kadang kedua anak-anak muda itu saling berbenturan di antara mereka sendiri.
Panji Bawuk melihat perkelahian itu sambil tertawa-tawa. Kadang-kadang suara tertawanya meninggi. Kadang-kadang merendah. Namun kadang-kadang wajahnya pun menjadi kerkerut-merut membayangkan ketegangan di dalam dadanya. Tetapi karena sikapnya, karena bayangan-bayangan yang berbeda-beda diwajahnya, maka Ken Arok pun tidak segera dapat menebak kesan daripadanya.
Kesan yang didapatnya pada wajah Kuncang menjadi semakin nyata. Ketegangan dan gemeretak giginya mengatakan, bahwa Kuncang pun akan segera turun ke gelanggang.
Dugaan Ken Arok memang tidak salah. Ketika Kunal dan Kenengkung telah menjadi terengah-engah dan hampir-hampir kehabisan nafas, maka terdengar Kuncang berteriak, "Minggir setan-setan kecil. Kalian tidak akan mampu menyelesaikannya. Akulah yang akan membunuhnya dan memiliki pedang yang bagus itu".
"Aku belum puas", teriak Kunal. Tetapi nafasnya hampir putus "Aku dan Kenengkung akan mampu menyelesaikan pekerjaan ini. Nanti kau tinggal menguburnya di bawah rumpun bambu itu".
"Minggir", Panji Kuncang berteriak, "Jangan menunggu sampai lehermu terpenggal".
Suara Kuncang ternyata telah mengejutkan Kunal dan Kenengkung, bahkan Panji Bawuk pun mengerutkan keningnya pula. Tetapi ia tidak berkata sepatah katapun. Agaknya ia ingin melihat, apakah yang dapat dilakukan oleh adiknya dan untuk menilai sampai puncak kemampuan Ken Arok itu.
Panji Kunal dan Kenengkung pun kemudian berloncatan menepi. Apapun yang mereka katakan, tetapi mereka harus mengakui bahwa sebenarnyalah bahwa mereka tidak akan mampu melawan Ken Arok berdua.
Kini mereka berdiri menepi. Mereka melihat Kuncang dengan mata menyala karena kemarahan yang membakar dadanya, maju setapak demi setapak mendekati Ken Arok yang berdiri tegak dengan pedang ditangannya.
"Hem, kau merasa bangga, bahwa kau dapat mengalahkan bayi-bayi ingusan itu?"
Ken Arok menganggukkan kepalanya sambil menjawab, "Ya. Aku berbangga sekali".
Jawaban itu sama sekali tidak terduga-duga oleh Panji Kuncang sehingga juttru ia terdiam sejenak. Namun yang terdengar adalah suara Panji Bawuk, "Hati-hatilah Kuncang. Orang ini agaknya cukup berbisa. Lihat, betapa tenang matanya dan betapa yakin ia menggenggam pedangnya".
Ken Arok berpaling. Dipandanginya wajah Panji Bawuk sekilas. Kini orang itu tidak lagi tersenyum-senyum. Wajahnya menjadi semakin bersungguh-sungguh.
"Kenapa dengan tikus itu", mereka dikejutkan oleh pertanyaan dari pintu rumah mereka. Serentak mereka berpaliug, dan melihat isteri muda Bango Stmparan berdiri bertolak pinggang, "Apakah kalian tidak mampu menyelesaikan".
"Tunggu", terdengar suara Bango Samparan pula. Dijengukkannya kepalanya dari balik pintu rumahnya di belakang isteri mudanya, "Hentikan pertengkaran itu".
"Apa, apa?" isteri mudanya berteriak sambil memutar tubuhnya. Sekali lagi ia menyeret Bango Samparan menghilang di balik pintu rumahnya.
Sekali lagi Ken Arok menarik nafas dalam-dalam. Bango Samparan benar-benar tidak berdaya menghadapi istri mudanya. Sampai pada persoalan nyawa sekalipun ia tidak berani berbuat sesuatu.
Ken Arok menengadah wajahnya ketika ia mendengar Kuncang berkata sambil menggeretakkan giginya "Sekarang kau lawan aku Ken Arok. Kalau kau masih juga ingin memperpanjang umurmu barang sekejap, ayo, lawanlah".
Dan tanpa diduganya pula Ken Arok menjawab "Aku ingin memperpanjang umurku tidak hanya sekejap".
"Apa kau sangka kau akan mampu meninggalkan halaman ini?" teriak Kuncang.
"Ya, aku memang mengira bahwa aku akan keluar dari halaman ini dengan selamat dan tanpa rintangan apa pun. Aku dapat berbuat sekehendakku tanpa seorang pun dapat menahan. Kalian juga tidak".
Kemarahan Kuncang telah membakar seluruh kepalanya, sehingga tanpa berbicara lagi, ia langsung melompat sambil menyerang.
Terasa oleh Ken Arok, bahwa serangan ini sama sekali berbeda dengan serangan Kenengkung dan bahkan Kunal. Meskipun Kuncang adalah kakak langsung Panji Kunal, namun ternyata tingkat ilmu mereka agak jauh berbeda. Kuncang memiliki tenaga yang cukup kuat, serta kecepatan bergerak yang tinggi. Dalam saat-saat permulaan dari perkelahian itu, senjatanya telah berputaran dengan dahsyatnya.
Untuk melawannya Ken Arok harus menjadi semakin berhati-hati. Kuncang yang agaknya memiliki pengalaman yang cukup luas, seperti yang dikatakan oleh kakaknya, bahwa ia mampu menjaga dirinya terhadap lawan-lawannya.
"Lawanmu kali seorang Pelayan Dalam Istana Tumapel Kuncang" berkata Panji Bawuk, "Pelayan tidak berbeda dengan seorang prajurit. Apalagi prajurit yang satu ini mempunyai pengalaman yang luas sekali. Mungkin sebagai seorang prajurit ia belum mendapat pengetahuan apapun, karena selama ini ia sekedar menjadi petugas yang diletakkan di Padang Karautan, bukan untuk berperang, tetapi untuk membuat bendungan. Namun pengalamannya sebagai penyamun yang berkeliaran di segala tempat, agaknya sangat berbahaya bagimu".
Panji Kuncang menggeram. Namun tandangnya menjadi semakin garang. Senjatanya mematuk-matuk dari segala arah, berputaran seperti asap yang bergulung-gulung melanda lawannya.
Ken Arok kini tidak lagi dapat bermain-main, seperti pada waktu ia berkelahi melawan Kunal dan Kenengkung. Sambaran senjata Kuncang cukup berbahaya baginya. Parang yang panjang itu terayun-ayun, dengan dahsyatnya.
Sejenak kemudian mereka segera terlibat dalam perkelahian yang sengit. Kadang terdengar dentang senjata mereka beradu. Semakin lama semakin sering. Kuncang pun menjadi semakin bernafsu. Benturan-benturan senjata di antara mereka, sama sekali tidak mencemaskan hati Panji Kuncang. Tangan Ken Arok ternyata terasa terlampau kuat. Benturan-benturan yang terjadi, tidak menggetarkan parangnya. Bahkan sekali-kali Ken Arok terpaksa berloncatan surut.
"Akan lari kemaua kau anak setan?" teriak Kuncang. Ken Arok tidak menjawab. Ia sedang mencoba mendapatkan kesan dari Panji Bawuk, saudara tertua dari anak-anak Bango Samparan itu.
Wajah Panji Bawuk yang semula mulai menegang kini telah tampak dibayangi oleh senyumnya yang penuh rahasia itu lagi. Ia melihat bahwa Kuncang segera dapat mendesak lawannya. Ketika Ken Arok terdorong beberapa langkah surut, maka Panji Bawuk itu tertawa sambil berkata "Nasibmu memang terlampau jelek hari ini Ken Arok. Selama ini kau mendapat kesempatan yang tidak terduga-duga. Kau pada saat-saat kelaparan datang merunduk-runduk ke rumah ini, tetapi setelah kau menjadi seorang prajurit yang agak baik, kau sudah melupakan kami. Kau tidak pernah lagi menginjakkan kakimu di halaman rumah ini. Dan kini, aku tidak tahu, nasib apakah yang telah menuntunmu kemari. Eh, barangkali kau jumpa dengan ayah diperjalanan dan kau tahu bahwa ayah sedang berusaha untuk memiliki seberkas perhiasan sehingga kau dengan merunduk-runduk pula datang kemari".
Dada Ken Arok berdesir mendengar kata-kata Panji Bawuk. Agaknya mereka, anak-anak Bango Samparan itu telah tahu, bahwa Bango Samparan membawa seikat perhiasan.
"Jangan ingkar Ken Arok. Perhiasan itulah yang menuntunmu kemari".
Tanpa sesadarnya tiba-tiba Ken Arok bcrtanya, "Darimana kau tahu hal itu?"
Panji Bawuk tertawa terbahak-bahak. Disela-sela suara tertawanya ia berkata, "Ha, dengan tidak langsung kau mengaku bukan?"
Ken Arok tidak menjawab, karena serangan Panji Kuncang menjadi semakin dahsyat membelit dirinya.
Tiba-tiba dari dalam rumah terdengar suara Bango Samparan, "Darimana kau tahu he, dari mana?"
Suara tertawa Panji Bawuk semakin menggelegar. Las-lasan ia berkata, "Seseorang singgah kemari. Nafasnya terengah dan bahkan ia hampir mati. Katanya, ayah sedang berkelahi dibantu oleh seorang anaknya laki-laki. Ayah sedang memperebutkan seberkas perhiasan yang sangat berharga. Nah, benarkah kata-kata orang itu?"
"Kalau kau dengar kabar itu, kenapa kalian tidak segera datang membantu?" bantah Bango Samparan dari dalam rumahnya.
"Ayah telah disertai seorang anaknya. Anak laki-laki yang tampan dan bernama Ken Arok. Buat apa kami datang membantu ayah" Bukankah ayah telah berhasil memenangkan perkelahian itu dan membawa seberkas perhiasan pulang" Nah, kini datang gilirannya untuk menyingkirkan Ken Arok, supaya ia tidak ikut serta berebut perhiasan itu. Bukankah persoalannya menjadi jelas" Perhiasan itu hanya boleh jatuh ketangan kami, keluarga kami.Tidak kepada orang lain yang selama kami dalam kesulitan sama sekali tidak mau tahu, meskipun pada saat kelaparan ia menjilat kaki kami".
Ken Arok yang masih bertempur melawan Panji Kuncang mendengarkan keterangan-keterangan Panji Bawuk itu dengan getar yang semakin cepat di dadanya. Agaknya seseorang yang telah singgah di rumah ini, adalah kawan Bango Samparan yang masih hidup dan melarikan diri dalam kesempatan yang diberikan oleh Ken Arok. Agaknya orang itu tahu, bahwa Bango Samparan tidak juga segera lari meninggalkan arena, sehingga ia memerlukan singgah di rumah Bango Samparan untuk mengabarkan hal itu.
"Nah Ken Arok", berkata Panji Bawuk, "Agaknya sudah jelas bagimu, kenapa kami bernafsu untuk membunuhmu. Bagi kami lebih baik membunuh kau sama sekali dari pada mengusir kau dari halaman ini.Sebab dengan demikian, persoalan antara kita belum dapat dianggap selesai. Tetapi kalau kau sudah terbunuh, maka tidak akan ada persoalan lagi di antara kita tentang permata itu".
Ken Arok msnjadi semakin muak melihat sikap-sikap itu, sehingga ia tidak dapat menahan hati lagi untuk menjawab sambil berkelahi, "He, Panji Bawuk, apakah kau sudah melihat permata yang kau katakan itu?"
Panji Bawuk mengerutkan keningnya. Tetapi kemudian ia tertawa, "Tentu belum. Bukankah kalian baru saja datang" Tetapi apabila kau sudah mati, maka kami akan segera melihatnya".
"Bagaimana kalau permata itu sama sekali tidak berharga, karena dipalsukannya".
"He?" wajah Panji Bawuk menegang, tetapi sekali lagi ia tertawa, "O, kau sedang mencari jalan untuk menyelamatkan dirimu Ken Arok" Jangan kau sangka, bahwa kami akan mempercayaimu. Seandainya permata itu palsu sekalipun, kami tidak akan terugikan karena kami telah membunuhmu".
Yang terdengar adalah gemeretak gigi Ken Arok. Seolah-olah ia sudah tidak akan mampu lagi menekan diri. Seandainya, seandainya ia bukan seorang prajurit, seandainya ia tidak pernah tinggal di rumah ini sebagai seorang anak yang hampir kelaparan, seandainya isteri tua Bango Samparan tidak terlampau baik kepadanya, seandainya, seandainya ya banyak sekali persoalan yang harus dipertimbangkan.
"Akibat dari keadaanku masa lalu, ketika aku mendapat perlakuan baik dari orang-orang di sekitarku. Aku tidak dapat melupakan hutang budi itu".
Tetapi sikap keempat anak-anak muda itu benar memuakkan Ken Arok.
Dalam pada itu Panji Bawuk berkata, "Ken Arok, kami sudah mendengar seluruhnya, meskipun dengan singkat. Bahwa, kau telah berkelahi melawan seseorang yang disangka membawa permata-permata itu".
"Tetapi aku hanya memberi kesempatan kepada orang itu dan kepada ayah untuk lari, sampai datang saatnya aku sendiri lari dari arena" Ken Arok mencoba membantah.
"O, begitu?" suara Bango Samparan meninggi, "tetapi Ken Arok kalau begitu, maka kau tidak akan singgah kemari. Kalau kau dan ayah tidak berbasil bersama-sama membunuh orang yang disebutnya bekas seorang prajurit Kediri itu, kau pasti tidak akan sudi lagi menginjakkan kakimu di halaman yang pasti kau anggap terlampau kotor ini, karena kakimu biasa berpijak di halaman istana yang gilar-gilar seperti permadani".
Dada Ken Arok menjadi kian menyesak. Itulah penilaian orang seperti Panji Bawuk terhadapnya, seperti ia menilai dirinya sendiri. Anak sulung Bango Samparan itu menganggap bahwa setiap orang selalu dicengkam oleh pamrih yang berlebih-lebihan, sehingga tanpa pamrih, maka. seseorang pasti tidak akan berbuat sesuatu.
Panji Bawuk itu mengangkat wajahnya ketika ia mendengar suara Bango Samparan berteriak dari dalam rumahnya, "Kau keliru Bawuk.Ken Arok sebenarnya tidak tahu menahu tentang permata-permata yang kau katakan itu".
"Diam kau" teriak isteri mudanya.
"Tetapi anak-anak itu harus bersikap adil".
"Sikap yang dilakukannya sekarang adalah sikap yang seadil-adilnya".
"Tetapi mereka hanya bernafsu untuk membunuh tanpa mengetahui persoalan yang sebenarnya".
"Apakah kau sudah mulai lagi he?" isteri mudanya itu berteriak semakin keras, "Kau akan membela anak keparat itu"Ayo, lakukan, lakukan?"
"Bukan begitu, aku ingin semua menjadi baik tanpa kekerasan seperti ini".
"Kapan kau menjadi takut melihat kekerasan. Sejak kapan he?"
Suara Bango Samparan terdiam ketika isterinya berteriak dan berteriak semakin keras. Sedang di halaman perkelahian antara Panji Kuncang dan Ken Arok masih berlangsung dengan serunya. Namun dalam pada itu, Ken Arok telah menemukan rahasia perlawanan Panji Kuncang. Setelah Panji Kuncang mengerahkan kemampuannya, maka segera Ken Arok tahu, bahwa anak ini pun sama sekali bukan lawannya. Meskipun demikian, Ken Arok tidak segera berbuat terlampau jauh. Kekangan atas dirinya sendiri masih cukup kuat. Apalagi pedang yang dibawanya adalah pedang keprajuritan Tumapel. Apabila pedang itu mencabut nyawa seseorang, maka ia harus mempertanggung jawabkan sepenuhnya, bertanggung jawab sebagai seorang prajurit, apalagi sebagai seorang yang pernah berlindung di dalam rumah ini juga pada saat yang paling sulit.
Itulah sebabnya maka Ken Arok selalu mengekang kemarahan dan segala macam perasaan muak di dalam dadanya. Dilayaninya saja Panji Kuncang seperti ia melayani anak-anak sedang bermain-main. Betapapun lincah dan cepatnya Kuncang mempermainkan senjatanya, namun bagi Ken Arok yang pernah berkelahi melawan seseorang semacam Kebo Sindet, maka pekerjaannya kali ini terasa tidak terlampau berat. Yang sangat berat baginya justru bagaimana ia tetap mampu menguasai perasaannya yang ingin melonjak-lonjak.
"Tetapi apakah Panji Bawuk masih juga setingkat dengan adiknya?" bertanya Ken Arok di dalam hatinya.Tetapi menilik sikap dan ketenangannya, maka anak muda itu benar-benar harus diperhitungkan.
Sementara itu perempuan tua yang semula berdiri di samping rumah kini tegak bersandar dinding. Ia tidak sampai hati melihat Ken Arok mengalami perlakuan yang demikian jeleknya dari anak-anak madunya, meskipun madunya itu saudaranya sendiri. Tetapi ia berkeinginan untuk melihat akhir dari peristiwa yang sangat menyakitkan hati itu. Karena itu, kadang-kadang ia mencoba melihat perkelahian itu dari sela-sela dedaunan, namun kadang-kadang ia menutup wajahnya dengan kedua tangannya.
Panji Kuncang yang tidak segera berhasil mengalahkan lawannya, menjadi semakin marah. Menurut penilaiannya, Ken Arok bukan lawan yang terlampau berat. Benturan-benturan senjata diantara mereka, sama sekali tidak menumbuhkan getaran yang mengganggu tangannya. Namun, sampai begitu lama, ia sama sekali tidak berhasil menyentuh lawannya.
Sedang Ken Arok yang telah menemukan penilaian yang mantap, membiarkannya berkelahi sampai ia kehabisan tenaga. Ken Arok ingin, Kuncang nanti tidak akan mengganggunya apabila Panji Bawuk yaag harus dilawannya. Kalau tenaga Kuncang ini sudah terperas habis, maka peranannya sama sekali sudah tidak akan berarti lagi meskipun ia akan membantu kakaknya nanti. Itulah sebabnya Ken Arok membiarkannya berkelahi terus, seolah-olah keadaan mereka tetap seimbang, sedang bagi Ken Arok permainan yang demikian sama sekali tidak melepaskan terlampau banyak tenaga. Tenaga yang tersimpan di dalam diri anak muda yang ajaib itu. Tenaga yang mampu menyamai tenaga beberapa orang pilihan.
Meskipun tampaknya perkelahian antara Panji Kuncang dan Ken Arok itu menjadi semakin seru, tetapi sebenarnya tidak terjadi apapun atas Ken Arok itu. Nafasnya masih tetap teratur dan tenaganya masih tetap segar, meskipun ia berusaha menunjukkan bahwa ia pun telah menjadi lelah.
Maka perhatian Ken Arok selanjutnya pasti akan terpusat kepada Panji Bawuk. Meskipun Ken Arok tidak akan meremehkannya, namun menilik tingkat ilmu Panji Kuncang, maka setidak-tidaknya ia tidak akan menjadi bahan permainan yang menyenangkan bagi Panji Bawuk. Bahkan seandainya mereka berempat bergabung menjadi satu, maka Ken Arok masih juga akan mampu bertahan.
Tetapi Ken Arok tidak boleh segera berbesar hati. Ia belum pernah melihat Panji Bawuk berbuat sesuatu. Itulah sebabnya, maka ia masih harus tetap berwaspada.
Namun ia masih tetap dalam pendiriannya, membuat Kuncang tidak berdaya tanpa membuat persoalan menjadi semakin parah. Kalau Kuncang nanti berhenti dengan sendirinya karena kelelahan, maka kesannya pasti akan berbeda daripada ia menjatuhkannya, atau melukainya bahkan membunuhnya.
Demikianlah maka perkelahian itu masih juga berlangsung dengan sengitnya. Panji Bawuk yang telah mulai tertawa-tawa itu kini menjadi tegang kembali. Wajahnya mulai berkerut-merut dan dari matanya yang menyimpan seribu macam rahasia itu terpancar seribu macam pertanyaan.
Kini ia mengikuti perkelahian itu dengan saksama. Tetapi ternyata Ken Arok dapat melakukan peranannya dengan sempurna. Bahkan kemudian memang timbul di hati Ken Arok, untuk mempermainkan anak-anak Bango Samparan yang sambong itu.
"Aku harus membuat mereka jera" katanya di dalam hati, "Mereka harus menyadari, bahwa mereka bukan orang yang paling kuat di dunia. Bahwa mereka tidak dapat berbuat sewenang-wenang dan sekehendak mereka sendiri tanpa mengingat kepentingan orang lain".
Kini Ken Arok telah berhasil mengatasi kesulitan di dalam dirinya sendiri. Ia tidak lagi dicengkam oleh kebencian dan muak yang berlebih-lebihan sehingga tidak lagi tumbuh niat di dalam hatinya, betapapun buramnya, nafsu untuk membinasakan lawannya, yang harus dikekangnya kuat-kuat.
Tetapi yang terjadi atas Panji Kuncang adalah sebaliknya. Kalau Ken Arok kini telah menemukan kemantapan diri, sehingga perasaannya tidak lagi bergejolak, maka Panji Kuncang menjadi semakin membara dibakar oleh kemarahannya. Apapun yang telah dilakukannya, sama sekali tidak berhasil membuat lawannya lumpuh. Meskipun kadang-kadang ia berhasil mendesak Ken Arok, dan bahkan berhasil mendorongnya beberapa langkah surut dan tampaknya menjadi kebingungan, namun setiap kali lawannya itu berhasil menemukan keseimbangannya lagi.
Dengan demikian, maka semakin lama Panji Kuncang menjadi semakin bermata gelap. Tandangnya menjadi semakin kasar dan tidak terarah. Ia menyerang sejadi-jadinya, semakin lama semakin garang dan bahkan menjadi liar seperti serigala mencium bau darah.Tetapi seekor kambing yang sudah berada di depan hidungnya tidak berhasil segera diterkamnya.
Namun semakin bernafsu, maka Kuncang semakin mengerahkan segenap tenaganya. Keringatnya membasahi segenap tubuhnya seperti terperas. Kulitnya yang berwarna sawo menjadi kemerah-merahan dan berkilat tersentuh sinar matahari yang menyusup dari sela-sela dedaunan. Sehingga dengan demikian maka ia telah hampir kehilangan pengamatan atas gerak dan sikapnya. Kadang-kadang ia bahkan kehilangan keseimbangan karena tenaganya sendiri. Ayunan senjatanya sendiri kadang-kadang telah menyeretnya sehingga anak muda itu hampir jatuh terjerembab.
Dalam keadaan yang demikian, betapapun Ken Arok mencoba menyesuaikan dirinya, namun mata Panji Bawuk yang aneh itu akhirnya melihat juga kejanggalan-kejanggalan yang terjadi. Ken Arok telah terlampau banyak melepaskan kesempatan yang dapat dipergunakan untuk membinasakan lewannya seandainya ia mau. Tetapi kesempatan itu dilampauinya saja. Betapa ia membuat dirinya seperti lawannya, namun kemudian menjadi semakin jelas, bahwa ia telah berbuat tidak sewajarnya.
Justru sikap itulah yang telah membuat dada Panji Bawuk serasa menjadi retak. Baginya itu adalah suatu penghinaan. Penghinaan tiada taranya bagi adiknya dan sudah tentu bagi dirinya sendiri.
Panji Bawuk itu pun menggeretakkan giginya. Wajahnya kini seakan menyala. Ternyata bahwa tanggapan atas perkelahian antara adiknya dan Ken Arok itu terlampau jauh meleset.
Untuk menebus penghinaan itu, maka Panji Bawuk merasa perlu berbuat sesuatu yang dapat menghentakkan perasaan Ken Arok, agar ia tidak menganggap, bahwa seluruhnya, keempat saudara itu hanya sekedar pantas untuk dibawa bermain-main.
Karena itu, maka disela-sela gemeretak giginya terdengar ia menggeram.Sekali lagi diamatinya perkelahian yang semakin lama menjadi semakin lemah. Kadang-kadang Kuncang tidak lagi dapat menahan tarikan senjatanya sendiri, sehingga ia jatuh di atas lututnya.Namun sementara itu, Ken Arok pun tidak segera dapat mengangkat pedangnya. Tertatih-tatih ia mencoba mendekati lawannya yang sedang berlutut itu, tetapi sementara itu nafasnya sendiri seolah-olah akan menjadi putus.
Tetapi Ken Arok itu terkejut, ketika tiba-tiba ia mendengar Panji Bawuk berteriak nyaring. Tanpa sesadarnya, baik Ken Arok maupun Panji Kuncang tertegun. Mereka serentak berpaling, dan melihat Panji Bawuk meloncat sambil mengayunkan parangnya dengan dahsyatnya.
Semua dada mereka yang melihat serasa terguncang. Parang Panji Bawuk yang terayun itu langsung menghantam sebatang pohon kemiri yang sedang berbuah lebat.
Akibatnya benar-benar luar biasa. Yang terdengar kemudian adalah derap buah-buah kemiri yang rontok di tanah.Namun kemudian terdengar pula gemeretak batang kemiri itu. Perlahan-lahan, semakin lama semakin keras. Perlahan-lahan batang kemiri itupun bergerak pula. Semakin condong. Akhirnya terdengar suara gemuruh di halaman rumah Bango Samparan, sehingga baik isteri mudanya, isteri tuanya dan Bango Samparan sendiri berloncatan keluar dari rumahnya.
"Kenapa dengan pohon kemiri itu?" teriak isteri muda Bango Samparan.
Tidak ada seorang pun yang menjawab. Tetapi mereka melihat Panji Bawuk berusaha menarik pedangnya yang terjepit di atas batang kemiri yang patah itu.
"Kau tebang pohon itu?" bertanya isteri muda Bango Samparan itu.
Panji Bawuk tidak menjawab. Tetapi ia berteriak kepada Ken Arok, "Nah anak yang sombong. Sekarang buatlah penilaian atas keluarga kami. Kau telah mencoba menghina kami dalam perkelahianmu melawan Kuncang dan anak-anak ingusan itu. Kau sangka bahwa dengan demikian kau akan berhasil membujuk hati kami" Tetapi kau salah. Penghinaan itu justru menuntut kepada keluarga kami untuk membinasakan kau secepat-cepatnya. Jangan kau sangka, bahwa di antara kami sama sekali tidak ada kekuatan yang dapat kami banggakan. Sekarang kau dapat memperhitungkan, apakah kau mampu melawan ayunan parangku dengan pedang prajuritmu. Kalau pedang itu tidak patah maka tanganmulah yang akan patah. Nah, apakah kau akan mencobanya?"
Sesaat Ken Arok berdiri diam. Dipandanginya wajah Panji Bawuk yang seolah-olah sedang terbakar. Matanya menyorotkan kebencian tiada taranya, serasa api yang menjilat jantungnya.
"Kuncang, minggir" nada suara Panji Bawuk merendah.
"Aku hampir menyelesaikannya kakang" sahut Kuncang.
"Kau gila. Kunal dan Kenengkung pun sudah gila. Kalian membuat keluarga kami malu.Apakah kau tidak sadar, bahwa Ken Arok hanya sekedar mempermainkan kalian".
Panji Kuncang mengerutkan keningnya. Di sela-sela nafasnya yang memburu ia menjawab, "Ken Arok hampir mati kehabisan nafas".
"Kau yang gila. Kaulah yang akan mati kehabisan nafas. Kau tidak sadar, bahwa Ken Arok sengaja memancingmu untuk berkelahi terus dan membiarkan kau terkapar karena pokalmu sendiri. Apakah kau sangka bahwa Ken Arok telah benar-benar kehabisan nafas".
"Ia sudah tidak mampu lagi mengayunkan pedangnya".
"Anak gila. Kau adalah anak yang paling bodoh di dunia".
Panji Kuncang masih akan menjawab. Tetapi tiba-tiba Panji Bawuk itu meloncat dengan derasnya sambil mengayunkan parangnya menyambar leher Ken Arok yang berdiri termangu-mangu.
Ken Arok terkejut melihat serangan yang tiba-tiba itu. Mata parang Panji Bawuk meluncur seperti kuku-kuku harimau yang terbang untuk menerkamnya.
Tetapi Ken Arok mempunyai tanggapan naluriah yang terlampau tajam menghadapi suatu keadaan yang tiba-tiba. Karena itu, maka seperti tergerak oleh dorongan urat-uratnya yang bekerja sendiri, Ken Arok pun meloncat dengan cepatnya, menghindari sambaran parang Panji Bawuk itu. Dengan sigapnya ia merendah, melontarkan diri beberapa langkah kesamping.
Namun agaknya Panji Bawuk tidak berhenti. Begitu kakinya berjejak di atas tanah, maka segera tubuhnya terlempar kembali memburu lawannya dengan parang berputar seperti baling-baling.
Sekali lagi Ken Arok terus menghindar. Kali ini ia menjadi semakin mapan, sehingga dengan lincahnya ia meloncat beberapa langkah surut tanpa kesulitan apapun. Dan dengan segera pula ia bersiaga untuk menghadapi seranganserangan Panji Bawuk selanjutnya. Pedangnya kini bersilang di depan dadanya, lututnya sedikit merendah, dan satu telapak tangannya terkembang di atas pergelangan tangannya yang lain.
Tetapi Ken Arok itu menjadi heran.Panji Bawuk tidak memburunya lagi. Kini ia berdiri tegak sambil menyeringai. Katanya, "Kuncang, bukalah matamu. Itukah gambaran seseorang yang telah kehabisan nafas dan bahkan hampir mati membeku. Itukah gambaran seseorang yang sudah tidak mampu lagi menggerakkan pedangnya karena kelelahan" Nah, bandingkan dengan jalan nafasmu sendiri. Apakah kau dapat melihat perbedaannya" Dan apakah kau masih juga akan berkata bahwa kau sudah hampir berhasil karena Ken Arok sudah kehabisan nafas?"
Panji Kuncang berdiri membeku seperti tonggak yang terpancang di regol halaman. Kini ia baru menyadari kebenaran kata-kata kakaknya, bahwa sebenarnya Ken Arok sama sekali belum kehabisan nafas seperti yang diduganya.
Tiba-tiba terasa tengkuk Panji Kuncang itu meremang, di samping keheranan yang menjalari hatinya. Kenapa Ken Arok berbuat demikian" Kenapa ia berpura-pura kehabisan tenaga dan tidak membunuhnya. Ketika ia jatuh berlutut, dan dengan susah payah berdiri bertelekan senjatanya, adalah merupakan kesempatan yang sebaik-baiknya bagi Ken Arok untuk membunuhnya. Kalau bagi Ken Arok itu meloncat dan mengayunkan pedangnya, maka ia pasti tidak akan mendapat kesempatan untuk berbuat apapun. Pedang itu pasti akan menebas lehernya, atau menghunjam di punggungnya. Tetapi Ken Arok tidak berbuat demikian.
"Anak itu harus memperhitungkan kehadiran kakang Panji Bawuk", Kuncang mancoba mencari jawab. "Seandainya ia ingin berbuat demikian, ingin membunuhku, maka kakang Panji Bawuk yang mumpuni itu pasti mampu mencegahnya". Kuncang kini mengangguk-angguk, tetapi pertanyaan itu timbul pula, "Tetapi kenapa ia tidak mencobanya, bahkan berpura-pura kelelahan juga".
Terasa benturan-benturan perasaan bergejolak di dalam dada Panji Kuncang. Tetapi ia mencoba menemukan jawabnya pada keterangan kakaknya, "Ken Arok dengan sengaja telah menghina keluarga kami. Ia ingin melihat aku jatuh karena pokalku sendiri. Dan penghinaan yang demikian benar-benar tidak dapat dimaafkan".
Kini Kuncang menggeretakkan giginya. Tetapi ia terbungkam ketika ia mendengar kakaknya bertanya, "Kau mau apa lagi he?"
Panji Kuncang menelan ludahnya. Titik-titik keringat kini mengembun di atas keningnya, menetes satu-satu ditubuhnya yang telah basah.
Kini Panji Bawuk berdiri dengan parangnya tergenggam erat-erat. Dipandanginya Ken Arok dengan matanya yang merah oleh kemarahan yang bergejolak tanpa terkendalikan lagi. Penghinaan itu benar-benar membuatnya mata gelap.
"Sudahlah, sudahlah" suara Bango Samparan sendat.
"Hajar anak gila itu" teriak isteri mudanya.
"Sudahlah" berkata Bango Samparan pula.
"Ia menghina keluarga kami ayah" jawab Panji Bawuk, "Ia menganggap bahwa kami tidak cukup bernilai untuk bertempur beradu dada. Ia menganggap Kuncang seperti anak-anak yang merengek-rengek berebut permainan. Dan Ken Arok sebagai saudara tua merasa wajib untuk mengalah. Tetapi bukankah itu suatu penghinaan" Apakah disangkanya kita tidak berani menitikkan darah" Bagiku ayah, lebih baik mati ditebas senjata dari pada mendapat penghinaan serupa itu".
"Tetapi tidak baik kalian semakin jauh tenggelam dalam pertengkaran yang tidak berujung pangkal".
"Aku akan membunuhnya".
"Kalau kau berpangkal pada perhiasan-perhiasan itu, baiklah aku memberi penjelasan.Perhiasan itu sama sekali tidak ada padaku".
Panji Bawuk mengerutkan keningnya. Dipandanginya wajah ayahnya sejenak, kemudian wajah Ken Arok, ibunya dan setiap wajah di halaman itu. Namun kemudian ia menggeram, "Aku tidak percaya".
"Aku berkata sebenarnya.Orang yang membawa permata itu berhasil melarikan dirinya. Kami sudah berusaha tetapi kami tidak berhasil".
Sekali lagi Panji Bawuk terdiam. Sekali lagi ditatapnya wajah ayahnya dengan pandangan yang aneh.
"Kau menipu kami" teriak isteri mudanya, "Kau pasti membawa perhiasan itu. Nah, kalau kau ingkar, maka apakah perhiasan itu sudah kau janjikan akan kau berikan kepada Ken Arok?"
"O, kau mengigau lagi" Bango Samparan mencoba mengelak, "Kalau aku ingin memberikan kepadanya, kenapa aku membawanya kemari" Aku sudah dapat membayangkan kalau permata itu ada padaku, dan Ken Arok datang ke rumah ini, maka yang akan terjadi adalah seperti ini. Tetapi permata itu tidak ada padaku".
Sejenak mereka terbungkam. Sorot-sorot mata mereka membayangkan perasaan yang tidak dapat ditebak.
Ken Arok ysng berdiri tegak ditempatnya, merasakan seolah-olah dadanya telah diguncang-guncang oleh berbagai macam perasaan. Ia mengumpat pula di dalam hatinya mendengar kata-kata Bango Samparan yang mengingkari permata yang dibawanya. Kalau maksudnya untuk mencegah perkelahian dan pertumpahan darah, Ken Arok menunduk hormat kepadanya. Tetapi menilik sikap dan keadaan rumah itu, maka Bango Samparan memang akan ingkar. Ia akan menyembunyikan permata itu, dan tidak memperlihatkan kepada anak-anaknya.
Tiba-tiba mereka yang sedang termenung itu dikejutkan oleh suara Panji Bawuk "Persetan dengan permata itu. Ken Arok sudah menghina kami. Ia harus mati".
"Sama sekali ia tidak bermaksud menghina" bantah Bango Samparan.
"Diam kau" bentak isteri mudanya.Kemudian kepada Panji Bawuk ia berkata, "Lakukanlah. Biarlah aku yang mengurus tentang permata itu. Aku yakin bahwa permata itu masih ada padanya".
"Sebaiknya Ken Arok meninggalkan tempat ini" terdengar suara yang lain dari sudut rumah, suara isteri tua Bango Samparan.
"Persetan" isteri mudanyalah yang menyahut, "Kita tidak akan kehilangan apapun kalau anak itu mati. Kita akan menjadi puas, dan seterusnya kita tidak akan selalu dibayanginya. Kalau kita menunda-nunda persoalan tanpa membuat penyelesaian, maka kita akan selalu dihantui oleh persoalan itu sepanjang hidup kita. Siapa tahu, karena Ken Arok menjadi sakit hati, ia akan membawa kawan-kawannya prajurit-prajurit Tumapel datang ke tempat ini. Siapa tahu, ia melaporkan kepada tuannya, Akuwu Tunggul Ametung. O, jangan sampai Akuwu itu datang kemari. Ia akan melihat anak gadis kita. Ia pasti akan menculiknya seperti ia menculik anak Panawijen itu".
Suatu desir yang tajam tergores di hati Ken Arok. Betapa isteri Bango Samparan itu tidak tahu diri. Adalah mustahil Akuwu akan melakukannya atas gadis kecil anak Bango Samparan yang sampai saat itu masih belum dilihatnya di halaman yang kotor itu, meskipun seluruh keluarganya yang lain telah lengkap dan sedang mempersoalkannya.
Tetapi yang penting bagi Ken Arok kini adalah mempersiapkan dirinya untuk menghadapi Panji Bawuk. Berbeda dengan adik-adiknya, maka agaknya Panji Bawuk benar-benar mempunyai bekal yang cukup untuk menengadahkan dadanya. Karena itu untuk menghadapinya, Ken Arok pun harus bersikap lain.
Namun dalam pada itu dengan cemas Bango Samparan berkata, "Panji Bawuk. Apakah keuntunganmu dengan membunuh anak itu" Kalau kau memang tidak dapat menerimanya di rumah ini meskipun hanya singgah sebentar biarlah ia pergi.Tetapi jangan kau perlakukan ia seperti kau memperlakukan orang-orang lain yang menyakiti hatimu".
Panji Bawuk menggeram. Katanya, "Ia telah menghina kami. Kalau sejak ia menginjakkan kakinya di halaman ini, ia menurut perintah Kuncang untuk pergi, maka ia tidak akan menyesal seperti sekarang. Tetapi kini sudah terlambat".
"Tetapi ia belum mendapat apa-apa" bantah Bango Samparan yang menjadi semakin cemas, "Biarlah ia pergi. Aku tahu Panji Bawuk, bahwa kau mempunyai kekuatan yang luar biasa. Kau sanggup merobohkan pohon kemiri itu dengan sekali ayunan parangmu".
"Tidak ada jalan untuk keluar dari halaman ini".
"Aku minta untuknya. Akulah yang membawanya kemari.Dan akulah yang minta supaya ia dapat meninggalkan tempat ini. Apabila lain kali kau bertemu dengannya, maka terserahkah kepadamu apa yang akan kau lakukan".
"Aku tidak mau kehilangan kesempatan. Aku akan melakukannya kali ini".
Bango Samparan masih akan menjawab lagi. Tetapi sekali lagi ia ditarik oleh isteri mudanya, dan menyeretnya masuk ke dalam rumah.
"Ayo, masuk saja kau" bentak isterinya itu.
"Tetapi aku harus mencegah perkelahian itu" teriak Bango Samparan.
"Kalau kau masih membantah juga, aku panggil Panji Bawuk atau Kuncang atau yang lain untuk membungkam mulutmu".
Bango Sampiran terdiam. Meskipun demikian ia masih juga berusaha menjengukkan kepalanya di pintu rumahnya. Karena isteri mudanya sendiri juga ingin melihat apa yang akan terjadi, maka dibiarkannya saja Bango Samparan berdiri sambil mengulurkan kepalanya.
Kini Kuncang, Kunal dan Kenengkung telah menepi. Yang berdiri berhadapan adalah Panji Bawuk dan Ken Arok.Masing-masing dengan senjata di tangan.
Sejenak mereka berdiri tegak dengan mulut terkatup rapat. Betapa kemarahan telah menjalari segenap urat darah Panji Bawuk. Ketika ia setapak maju, maka Ken Arok pun surut selangkah.
Tetapi Panji Bawuk mendesaknya terus. Matanya yang menyala menjadi semakin merah, seakan-akan basah oleh darahnya yang menggelegak.
"Kau tidak dapat lari anak malang" terdengar suara Panji Bawuk dalam nada yang datar.
Dada Ken Arok berdesir melihat sikap dan pandangan mata Panji Bawuk yang semakin lama menjadi semakin liar, sehingga ia bergumam didalam hatinya, "Semoga aku tidak kehilangan akal. Kalau aku terpaksa melakukannya, maka hal itu hanya terjadi karena aku tidak mempunyai jalan lain, atau aku sendirilah yang akau binasa".
"Katakanlah kalau kau mempunyai pesan" Panji Bawuk menggeram pula, "Sebentar lagi kau akan mati. Aku dapat membunuhmu dengan ayunan parangku yang pertama, seperti aku mampu menebang pohon itu. Tetapi itu terlampau haik untukmu. Kau harus merasakannya, betapa kau menyesali kesombonganmu".
Ken Arok tidak menjawab. Sekilas ia melihat wajah-wajah yang tegang disekitarnya. Ketika ia memandang ke pintu rumah Bango Samparan, dilihatnya orang itu menjengukkan kepalanya dengan penuh kecemasan. Sedang isterinya berdiri dengan tegangnya berpegangan uger-uger pintu. Di samping rumah itu, dibalik serumpun dedaunan, isteri tua Bango Samparan berdiri bersandar dinding sambil menahan rafasnya yang tersengal-sengal.
Peristiwa Merah Salju 9 Pendekar Slebor 51 Rahasia Permata Sakti Lentera Maut 4
"Aku harus pergi. Harus."
"Singgahlah sebentar di rumah. Biarlah seisi rumah menjadi kagum melihat kau sekarang. Sebentar saja."
"Tidak. Aku tidak ada waktu."
"Hem" Bango Samparan menarik nafas dalam-dalam, "baiklah kalau demikian. Mungkin rumah itu sama sekali sudah tidak pantas lagi kau masuki setelah kau menjadi seorang hamba istana. Mungkin dinding-dindingnya akan mengotori pakaianmu dan sarang-sarang labah-labah akan memuakkan pandangan matamu. Memang rumah itu terlampau rendah dan jelek. Atap ilalang dan dinding bambu hijau. O, alangkah senangnya tinggal di istana, di seputar taman yang indah dan emban yang cantik."
"Cukup, cukup" sekali lagi Ken Arok berteriak tanpa sesadarnya. Namun ternyata kata-kata Bango Samparan berhasil menyentuh hatinya. Ia sama sekali tidak menolak singgah di rumah itu karena ia sekarang sudah menjadi seorang pegawai istana. Bukan karena kedudukan yang semakin baik, dan bukan karena ia menganggap bahwa tidak sepantasnya lagi ia memasuki rumah yang jelek dan rendah beratap ilalang itu. Tidak.
Tetapi Bango Samparan melanjutkannya, "Tetapi bagaimanapun juga Ken Arok, kau tidak akan dapat ingkar, bahwa suatu ketika kau dalam keadaan yang parah, pernah tinggal di dalam rumah itu.Suatu saat kita bersama-sama mengalami duka ceritera yang hampir sampai ke puncak kemampuan kita untuk bertahan. Namun kehadiranmu itu ternyata lambat laun membawa keberuntungan kepadaku. Tetapi setelah kau pergi, aku kembali terdampar pada dunia yang kelam. Sedikit demi sedikit simpanan yang aku kumpulkan itu pun semakin habis. Aku tidak lagi raja dilingkaran judi. Dan bahkan aku akhirnya menjadi orang yang paling jelek di antara para penjudi seperti pada saat aku belum menemukan kau. Hutang di segala penjuru, sehingga seolah-olah duniaku telah menjadi semakin sempit. Nah, Ken Arok. Aku sebenarnya mengharap kau singgah meskipun hanya sesilir bawang. Nasibmu yang selalu baik itu mudahkan akan berpengaruh seperti kehadiranmu dahulu di rumahku."
Suara Bango Samparan itu terdengar gemuruh di telinga Ken Arok. Namun ia masih saja ketakutan melihat kemungkinan yang dapat terjadi atas dirinya apabila ia singgah di rumah itu, dan berbicara terlampau banyak dengan Bango Samparan. Karena itu maka jawabnya, "Tidak. Aku tidak bisa singgah. Bukan karena aku tidak mau, tetapi benar-benar aku tidak punya waktu."
"Hem, kembali Bango Samparan menarik nafas dalam-dalam, "Aku tidak tahu apakah arti waktu bagimu. Tetapi aku heran, bahwa kau sama sekali tidak mempunyai waktu untuk singgah ke rumah. Biyungmu pasti akan sangat bersenang hati. Setiap hari ia selalu berada dalam kecemasan dan kegelisahan, Isteri mudaku agak terlampau keras terhadapnya. Apa lagi anak-anakku dari isteri muda itu. Bukankah kau kenal anak-anakku" O, kau dahulu pergi dari rumah karena kau tidak dapat bergaul dengan anak-anakku dari isteri muda itu. Baiklah sekarang kau datang. Kau tunjukkan bahwa kau mendapatkan hari yang lebih cerah dari mereka. Anak-anakku pun agaknya mulai senang dengan permainan judi.
Ken Arok kini mulai dijalari oleh kebimbangan. Ia memang tidak dapat ingkar, bahwa pada suatu saat ia memang tidak dapat ingkar, bahwa pada suatu saat ia memang pernah tinggal di rumah Bango Samparan. Diaku menjadi anaknya oleh isterinya yang pertama. Ketidak serasian hubungan antara dirinya dan anak-anak isteri muda Bango Samparan lah yang telah mengusirnya dari Karuman, padukuhan Bango Samparan itu, sehingga ia menjadi penghuni hutan dan padang yang selalu dikejar-kejar orang. Akhirnya, setelah melalui berbagai macam peristiwa, dari rumah ke rumah, dari ayah angkat yang satu ke yang lain, maka terlemparlah ia ke Padang Karautan, sebagai hantu yang menakutkan.
Karena Ken Arok tidak menjawab, maka Bango Samparan mendesakuya, "Kalau kau tidak ingin singgah Ken Arok, marilah berjalanlah lewat rumahku biar biyungmu dapat melihat kau sekarang yang telah menjadi gagah dan tampan, lebih gagah dari . . , eh, maksudku lebih tampan dari aku."
Dada Ken Arok tiba-tiba saja menjadi berdebar-debar. Berbagai pertimbangan menyesak di dadanya. Namun akhirnya ia tidak mampu lagi untuk menolak ajakan Bango Samparan. Sekali-sekali memang terbayang di dalam angan-angannya wajah isteri tua Bango Samparan yang baik, yang saat itu benar-benar menganggapnya sebagai anak sendiri.
"Tetapi, iblis ini selalu mendorongku untuk masuk ke dalam dunia yang paling gila" berkata Ken Arok di dalam hatinya. tetapi lalu dibantahnya sendiri, "tergantung kepada aku sendiri Kepada ketahanan hatiku."
"Bagaimana Ken Arok" apakah kau bersedia?"
Ken Arok masih tetap ragu-ragu sehingga untuk sejenak ia masih tetap berdiam diri. Namun keragu-raguan itu telah menumbuhkan harapan di hati Bango Samparan.
Keduanya saling berdiam diri untuk sesaat. Dengan bimbang Ken Arok memandangi wajah Bango Samparan. Wajah itu sama sekali tidak menarik. Bahkan menimbulkan perasaan yang aneh di dalam dirinya. Tetapi untuk ingkar dari kenyataan bahwa orang itu pernah memeliharanya, Ken Arok pun tidak pula mampu.
"Bagaimana Ken Arok?" sekali lagi Bango Samparan mendesak.
Dengan penuh kebimbangan Ken Arok menganggukan kepalanya. Jawabnya, "Aku hanya mempunyai waktu sedikit."
"O, yang sedikit itu sudah cukup. Biyungmu akan senang sekali melihat kau segagah ini."
Ken Arok tidak menyahut lagi. Ia masih harus mengambil sebungkus kecil bekal pakaiannya. Karena itu, maka ia pun segera melangkah masuk ke dalam semak-semak.
Tetapi ia tertegun ketika ia mendengar Bango Samparan memanggilnya, "Tunggu. Kita tidak lewat hutan rindang itu. Kita dapat menempuh jalan lain yang lebih baik. Bersama kau aku tidak perlu bersembunyi-sembunyi. Marilah kita melalui jalan itu, langsung menuju ke Karuman."
"Aku akan mengambil bekal pakaianku dulu."
"O," Bango Samparan mengangguk-anggukkan kepalanya. "pergilah."
Ketika kemudian Ken Arok hilang ditelan, oleh rerungkudan, maka Bango Samparan pun berdiri dengan termangu-mangu. Sejenak dipandanginya lawannya, orang berkumis yang kini terbaring diam di atas tanah berlumpur.
Tiba-tiba ia melangkah maju. Ditariknya pedangnya dan kemudian disarungkannya. Dengan kakinya ia mendorong mayat yang telah membeku itu sehingga tubuh itu kini menelentang.
Bango Samparan menjadi ragu-ragu sejenak. Sekali-kali ia berpaling memandang ke arah Ken Arok menghilang di dalam gerumbul-gerumbul liar. Sesaat ia diam membeku. Namun tiba-tiba tangannya segera meraih ikat pingang orang berkumis yang telah mati itu, melepasnya dan dengan tangan gemetar membuka setiap kantong pada ikat pinggang yang besar itu.
Bango Samparan terperanjat bukan kepalang, bahkan tanpa sesadarnya ia terloncat berdiri, ketika tiba-tiba saja ia mendengar suara di belakangnya "Apa yang kau lakukan itu?"
Ketika Bango Samparan berpaling, dilihatnya Ken Arok berdiri sambil memandanginya dengan tajamnya.
"Kau sedang mencari apa pada ikat pinggang itu"." bertanya Ken Arok pula.
Bango Samparan menjadi kebingungan sejenak. Namun otaknya yang licin segera menemukan jalan. Sejenak kemudian ia tersenyum sambil menjawab "Ken Arok. Kehadiranmu benar-benar membawa keberuntungan yang tiada taranya. Bukankah sudah aku katakan" Lihat, apakah yang ada di dalam kantong ikat pinggang ini"
Mata Ken Arok terbelalak ketika dilihatnya seuntai binggel tretes berlian dan perhiasan-perhiasan yang lain,
"Darimana barang-barang itu didapatkannya?" dengan serta-merta Ken Arok bertanya.
"Inilah yang kami persengketakan" jawab Bango Samparan.
"Menyamun?" Bango Samparan tidak segera menjawab. Namun sejenak kemudian ia melangkah mendekati Ken Arok. Sambil menepuk pundaknya ia berkata, "Marilah kita pergi. Jangan kau hiraukan lagi barang-barang ini. Aku akan menyimpannya dan menjadikannya jaminan di hari-hari tua ini."
"Tetapi barang-barang itu adalah hasil dari kejahatan.
"Ah" desah Bango Samparan "semuanya sudah terlanjur."
"Sebaiknya barang-barang itu dikembalikan."
"Sekaligus menyerahkan leher ini" Bango Samparan berhenti sejenak, "sudahlah jangan hiraukan lagi. Aku akan menyimpannya. Kalau barang-barang ini terlepas dari tanganku, aku harus melakukan perbuatan jahat lagi supaya aku dan keluargaku tidak mati kelaparan. Tetapi, dengan barang-barang yang sudah terlanjur berada di tanganku ini, aku akan berhenti. Aku tidak akan merampok, menyamun, dan membunuh."
"Tetapi kalau kau masih saja berjudi, maka segala kemungkinan akan dapat terjadi lagi atasmu."
"Aku akan berhenti berjudi."
"Umurmu kau habiskan di dalam lingkaran perjudian. Hanya karena kurnia Yang Maha Agung sajalah kau akan berhenti berjudi."
"He" Bango Samparan mengerutkan keningnya, "kurnia?"
Bango Samparan menggeleng-gelengkan kepalanya Ia tidak mengerti kata-kata Ken Arok. Tetapi ia memang tidak ingin mempersoalkannya.Kini didorongnya Ken Arok sambil berkata, "Marilah. Sebaiknya kita segera pergi."
Ken Arok pun kemudian melangkahkan kakinya. Rambutnya masih kusut dan pakaiannya hanya dibenahinya sekedarnya. Dijinjingnya seberkas pakaiannya di dalam sebuah bungkusan kecil.
"Mari, aku bawakan pakaianmu itu.
Tetapi, Ken Arok tidak memberikannya. Diingatnya saat-saat kunjungan Bango Samparan di Padang Karautan. Pakaiannya habis dibawanya. Tetapi saat itu ia dapat meminjam kawan-kawannya sebelum ia mendapatkan yang baru. Sedangkan kali ini ia berada di perjalanan. Kalau pakaian itu lepas dari padanya dengan cara apapun, maka ia tidak akan dapat memintanya lagi, sedang ia sendiri tidak akan dapat segera mendapatkan gantinya.
Karena itu maka jawabnya, "Terima kasih. Aku masih cukup kuat untuk membawanya sendiri.
Bango Samparan mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia tertawa, "Kau takut pakaianmu itu aku jual seperti beberapa waktu yang lalu" O, aku lupa mengatakannya kepadamu, bahwa aku memang pernah meminjam pakaianmu. Tetapi pakaian-pakaian itu sudah terjual habis. Tetapi kini aku tidak akan melakukannya karena aku mempunyai seuntai perhiasan di dalam ikat pinggang ini."
Dada Ken Arok berdesir mendengar kata-kata Bango Samparan, seolah-olah Bango Samparan itu dapat menebak isi hatinya. Tetapi meskipun demikian bungkusan pakaian itu masih tetap dipegangnya sendiri.
Sejenak kemudian mereka telah menyusur jalan sempit di tengah-tengah pategalan. Bango Samparan berjalan di samping Ken Arok dengan dada tengadah, seolah-olah ia ingin membanggakan dirinya, bahwa yang berjalan di sampingnya itu adalah anak angkatnya, seorang hamba di istana Tumapel yang telah berhasil mengalahkan lawannya yang tangguh. Bekas seorang prajurit Kediri.
Tetapi perjalanan mereka hampir tidak pernah menjumpai seseorang. Satu dua di kejauhan mereka melihat orang yang lewat menyilang di perapatan atau lorong-lorong pategalan. Tetapi kemudian sepi kembali.
Sementara itu matahari beredar semakin jauh ke Barat. Puncak langit telah dilampauinya, dan bayang-bayang mereka kini berada di bawah kaki mereka yang kotor karena debu.
"Kita memilih jalan melintas" berkata Bango Samparan.
Ken Arok menganggukkan kepalanya.
"Kita lewat hutan rindang di sebelah. Hutan itu tidak dihuni oleh binatang-binatang buas. Mungkin ada macan kumbang satu dua yang berkeliaran. Tetapi tidak terlampau berbahaya. Kita masing-masing membawa pedang di lambung, sehingga kita tidak perlu takut bertemu dengan harimau kecil itu.
Ken Arok menganggukkan kepalanya pula, tetapi ia tidak menjawab.
"Mungkin kau belum pernah melewati jalan ini?"
Ken Arok masih tetap terbungkam. Tetapi jalan ini sama sekali tidak asing lagi baginya. Pada masa-masa itu, pada masa-masa ia hidup berkeliaran, hampir setiap jalan, lorong dan sidatan-sidatan yang paling kecil sekalipun telah dikenalnya dengan baik. Sedang daerah ini sama sesali masih belum berubah seperti beberapa tahun yang lampau.
"Kadang-kadang di jalan-jalan ini ada juga satu dua penyamun kecil" berkata Bango Samparan pula, "tetapi, jarang sekali, karena lorong ini hampir tidak pernah dilalui orang. Hanya penyamun-penyamun yang malaslah yang menunggui mangsanya terkantuk-kantuk di tepi jalan ini. Dan kau tidak perlu takut bertemu dengan mereka itu. Tidak seorang pun penyamun-penyamun di sini yang tidak aku kenal. Mereka adalah penjudi-penjudi yang baik.
Ken Arok mengumpat di dalam hatinya.Tetapi ia tidak menyahut.
Ketika Bango Samparan kemudian terdiam, maka perjalanan itu pun menjadi diam pula. Sekali-sekali Bango Samparan mencoba memandang wajah Ken Arok dengan sudut matanya. Tetapi ia tidak melihat kesan apapun di wajah itu. Seolah-olah wajah itu wajah yang kosong.
Bango Samparan menarik nafas dalam-dalam.Dan tiba-tiba saja ia berkata, "Eh, Ken Arok. Bukankah aku dahulu, selagi kau berada di Padang Karautan pernah datang kepadamu" Bahkan kemudian mencuri pakaianmu?"
Dada Ken Arok berdebar-debar mendengar pertanyaan itu. Tetapi ia menganggukkan kepalanya.
"Kau ingat apa yang aku katakan kepadamu waktu itu?" Dada Ken Arok kini tidak saja berdebar-debar, tetapi sebuah desir yang tajam telah tergores di dinding jantungnya.
"Aku waktu itu mimpi, kau menjadi seorang Maharaja.Eh, begitu barangkali?"
"Cukup" potong Ken Arok, "aku tidak mau mendengarnya lagi."
"Oh, maaf. Hanya tiba-tiba aku teringat pada mimpi itu justru ketika aku mendengar bahwa Permaisuri Akuwu Tunggul Ametung itu memiliki kelebihan dari perempuan-perempuan yang lain."
"Cukup. Cukup. Aku tidak akan singgah ke rumahmu kalau kau masih menyebut-nyebut lagi."
"Tidak. Tidak" dengan serta-merta Bango Samparan menyahut, "aku tidak akan menyebutnya lagi tentang mimpi itu, meskipun sudah lebih dari tiga empat kali aku mimpi serupa itu. Bahkan seperti aku tidak sedang tidur. He, bukankah aku pernah mendengar seolah-olah suara dari langit ketika aku berada di Rabut Jalu" Suara itu mengatakan bahwa aku akan bertemu dengan seorang anak yang hampir kelaparan bernama Ken Arok. Dan sekarang suara itu aku dengar lagi, bahwa Ken Arok itu akan menjadi seorang Maharaja."
"Bohong. Bohong" Ken Arok hampir berteriak. Sementara itu langkahnya tertegun.
"Kenapa kau berhenti?" bertanya Bango Samparan.
"Kalau ayah masih menyebut-nyebutnya satu kali lagi, aku akan kembali."
"Eh, maaf. Maaf. Aku tidak bermaksud demikian. Baiklah. Aku memang berbohong." "Bango Samparan mengangguk-anggukkan kepalanya, "Tetapi yang penting, kau harus menemui biyungmu. Ia akan senang sekali. Ia akan menganggap bahwa kau tidak melupakannya. Meskipun ia bukan ibumu sendiri."
Ken Arok menarik nafas dalam-dalam.Tanpa sesadarnya kakinya terayun satu-satu. Perjalanan mereka itu pun segera mereka lanjutkan.
"Ken Arok" tiba-tiba Bango Samparan berkata, "aku sekarang sudah belajar mengerjakan sawah. Oh, ternyata pekerjaan seorang petani itu menarik sekali. Kau nanti akan melihat sawah yang baru aku buka di pinggir hutan ini di ujung yang lain. Aku tertarik sekali melihat kau membuka Padang Karautan. Sampai di rumah aku ajak adik-adikmu untuk membuka hutan.
Ken Arok mengerutkan alisnya. Katanya, "Ah, bagus sekali. Berapa banyak ayah membuka hutan itu."
"Sekotak." Tiba-tiba wajah Ken Arok menjadi buram, "Sekotak?"
"Ya, aku baru mencoba. Nanti pasti akan aku tambah lagi. Sekotak lagi. Sekotak lagi.
"Oh" Ken Arok menjadi kecewa. Tetapi meskipun demikian itu adalah permulaan yang baik bagi Bango Samparan. Seharusnya ia terbangun dari dunia mimpinya. Beranjak di atas bumi kenyataan. Bekerja dengan wajar untuk mendapatkan makan bagi keluarganya.
Sesaat kemudian mereka saling berdiam diri.Ken Arok berjalan sambil menundukkan kepalanya, sedang Bango Samparan masih saja berjalan sambil menengadah. Tetapi mereka tidak berjumpa lagi dengan seorang pun, sehingga mereka merasakan betapa sunyi hutan rindang ini. Yang mereka dengar hanya kicau burung-burung liar dan sekali gemerisik daun tersentuh kaki binatang-binatang kecil yang berlari-larian.
"Sebentar lagi kita akan keluar dari hutan ini" berkata Bango Samparan tiba-tiba.
Ken Arok tetap dalam kediamannya. Ia sudah tahu benar, bahwa sebentar lagi mereka akan sampai di mulut lorong sempit, keluar dari hutan rindang ini.
Dan ternyata sejenak kemudian ketika matahari telah merendah di ujung Barat mereka sudah terlepas dari hutan itu, sampai ke daerah rerumputan yang sempit. Di hadapan mereka terbentang tanah pesawahan dari pedukuhan Karuman.
"Inilah sawahku" berkata Bango Samparan dengan bangganya, "lihat, tanamannya sudah mulai menghijau."
Ken Arok berpaling sejenak, kemudian dipandanginya sawah di ujung daerah rerumputan. Membujur, memanjang menyusur parit.
"Pandai juga kau memilih tempat" berkata Ken Arok.
Aku dan adik-adikmulah yang membuatnya menjadi tanah yang dapat ditanami.
"Tidak terlampau sulit" sahut Ken Arok, "di daerah ini kau dapat mengambil tanah berapa kau kehendaki. Yang diperlukan kemudian adalah kesediaan dan ketekunan untuk menggarapnya."
Bango Samparan mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Ternyata tanah ini kurang pemeliharaan.Setiap hari ayah berada di lingkaran judi.Kapan ayah sempat menyiangi rumput-rumputan yang semakin lebat itu"
Bango Samparan masih mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, "Itulah yang aku tidak sempat."
"Bagaimana mungkin sawah ayah akan menjadi baik?"
"Adik-adikmulah yang aku serahi untuk menggarapnya."
"Dan apakah mereka mengerjakannya?"
"Kadang-kadang."
Ken Arok menggelengkan kepalanya.Desisnya, "Sawah tidak untuk digarap hanya kadang-kadang. Ia memerlukan ketekunan dan kerajinan. Kemampuan dan hasrat yang terus menerus untuk memeliharanya."
Bango Samparan tidak menyahut. Tetapi wajahnya menjadi berkerut-merut.
Sejenak kemudian kaki-kaki mereka telah berada di atas pematang yang membujur membelah hijaunya tanaman yang mulai tumbuh. Silir angin yang berhembus dari bulak yang luas, mengusap tubuh-tubuh mereka yang berkeringat. Perlahan-lahan dedaunan yang tersentuh angin bergoyang-goang, menggelombang seperti air di wajah lautan.
Langkah Ken Arok dan Bango Samparan pun menjadi semakin dekat dengan padukuhan Karuman. Dari kejauhan mereka melihat pohon-pohon nyiur yang menggapai-gapai, seakan-akan ingin menangkap awan putih yang terbang rendah di atasnya.
Tetapi, ketika kemudian mereka memasuki pedukuban itu, hati Ken Arok menjadi berdebar-debar.Terasa olehnya, seakan-akan ia mulai mengikatkan dirinya kepada tambatannya yang lama. Yang selama ini telah diusahakannya untuk menyingkir jauh-jauh.
"Tergantung kepada ketahanan hatiku" ia masih mencoba bertahan meskipun hatinya semakin berdebar-debar.
Ken Arok berpaling ketika ia mendengar Bango Samparan berkata, "Mudah-mudahan ibumu ada di rumah."
Ken Arok mengerutkan keningnya. "Apakah biyung sering pergi?"
Bango Samparan menggelengkan kepalanya, "Entahlah. Mungkin ia terpaksa pergi untuk mencari makan."
Ken Arok menarik nafas dalam-dalam. Tiba-tiba ia bertanya, "Kapan ayah meninggalkan rumah?"
Bango Samparan menjadi ragu-ragu. Tetapi kemudian ia menjawab, "Sudah hampir sebulan aku tidak pulang."
"He" Ken Arok terperanjat, "jadi sudah hampir sebulan kau tidak pulang?"
"Ya. Tetapi aku sekarang pulang. Bukankah aku pulang dengan hasil yang baik. Perhiasan dan kau."
"Persetan" Ken Arok menggeram. Tetapi suara terputus, ketika mereka bertemu dengan seseorang di tikungan jalan padesan. Orang itu agak terkejut, namun kemudian membuang mukanya, seolah-olah ia merasa segan bertemu pandang dengan Bango Samparan.
"He, kakang" Bango Samparan menyapanya.Orang itu berpaling namun kemudian sekali lagi ia membuang muka dan berjalan menjauh.
"Tunggu sebentar" panggil Bango Samparan sambil menyusulnya, "tunggu. Bukankah kau ingat bahwa aku pernah mengambil seorang anak angkat dahulu?"
Mau tidak mau orang itu terpaksa berhenti.Dengan segannya ia memutar tubuhnya. Sambil mengangguk malas ia menjawab, "Ya. Mungkin aku masih ingat."
"Inilah anak itu. Sekarang ia sudah cukup dewasa."
Tiba-tiba wajah orang itu menjadi tegang. Dengan kasar nya ia bertanya, "Apakah anak itu sekarang sudah secakap kau bermain judi. Huh, aku masih ingat, anak itulah yang dahulu kau suruh mengambili manggis di halaman rumahku. Anak itu pula yang dahulu sering menangkap ayam di sudut desa ini."
Terasa dada Ken Arok berdesir tajam, setajam ujung pedang menembus jantungnya. Sejenak ia berdiri mematung. Ditatapnya wajah orang itu dan wajah Bango Samparan berganti-ganti. Namun karena itu, maka mulutnya seolah-olah terbungkam.
Yang terdengar kemudian adalah jawaban Bango Samparan, "He, apakah kau sudah gila. Aku bermaksud baik. Manyapamu dan memperkenalkan anak angkatku."
"Kau orang asing di sini Bango Samparan. Sudah lama kau tidak ada di rumah, dan desa ini rasanya menjadi tenteram. Sekarang tiba-tiba kau muncul dengan membawa anak angkatmu. Anak-anakmu sendiri sudah cukup membuat kami pening, meskipun tidak segila kau sendiri. Agaknya kau memerlukan kawan yang baik, sehingga kau ambil anak itu."
Kata-kata orang itu serasa guntur yang meledak di dalam dada Ken Arok. Jantungnya seolah-olah akan retak dan darahnya terhenti mengalir. Hampir saja ia kehilangan akal, dan bertindak di luar sadarnya. Untunglah, bahwa ia masih sempat melihat kepada dirinya sendiri, sehingga sambil memejamkan mata ia menarik nafas dalam-dalam. Dicobanya untuk mengendapkan kembali isi dadanya yang serasa sudah bergolak.
Yang terdengar adalah jawaban Bango Samparan tidak kalah kasarnya, "Kau setan alasan. Apakah maksudmu dengan kata-kata itu semua" Apakah kau tidak menyadari bahwa aku dapat mencekikmu sampai mati" Ayo, katakan, apakah kau dapat melawan aku"
Orang itu mencibirkan bibirnya, jawabnya, "Memang kau dapat berbuat demikian. Tetapi anak putumu akan tumpas di desa ini. Seluruh penduduk akan mengutukmu dan membunuh keluargamu berramai-ramai.
"O, itu pun tidak mungkin mereka lakukan.Panggillah orang seisi desa ini. Aku dan anak-anakku mampu membunuh mereka semua. Apalagi dengan anak angkatku ini."
"Huh, jangan menakut-nakuti kami" jawab orang itu, "betapapun saktinya kau dan anak-anakmu ditambah dengan anak angkatmu, kau tidak akan dapat melawan seisi desa ini Seharusnya sampai saat ini kau harus mengucap terima kasih, bahwa kau dan keluargamu masih dibiarkan tinggal di rumah di dalam daerah ini. Tetapi kalau kau dan anak-anakmu menjadi semakin gila juga, maka kalian akan segera diusir."
Bango Samparan menggeretakkan giginya. Memang ia dan anak-anaknya tidak akan mampu melawan orang seisi desa. Buyut Karuman bukan anak kemarin siang yang baru dapat meloncat-loncat.
"Apakah kau tidak menyadarinya?" bertanya orang itu kepada Bango Samparan, "Apakah aku harus mengatakannya kepada Ki Buyut supaya kau digantung di ujung desa ini."
Bango Samparan menggeleng, "Jangan. Jangan begitu. Tetapi bukankah aku tidak pernah berbuat onar di dalam desaku sendiri?"
"Tetapi nama desa ini sudah terlampau banyak kau cemarkan. Kau ingat, bahwa Ki Buyut memberikan kesempatan untuk memperbaiki solah tingkahmu" Kita sudah terlampau muak dengan segala macam kegilaan itu."
"Bukankah aku sudah mencoba, membuka sawah di ujung hutan?"
"Tetapi kau masih mengancam akan membunuh aku."
"Maaf" suara Bango Samparan merendah, "tetapi jangan menghina. Aku sudah bersedia memperbaiki kelakuanku. Seharusnya kau pun tidak menghina kami sekeluarga lagi."
"Kami ingin melihat buktinya, apa yang telah kau lakukan."
Bango Samparan mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi sebelum ia menjawab apapun orang itu sudah melangkah pergi.
Bango Samparan menarik nafas dalam-dalam. Selangkah ia maju mendekati Ken Arok sambil berkata, "Maafkan orang itu Ken Arok, Ia memang agak gila."
Ken Arok menarik nafas dalam-dalam.Dalam sekali. Namun, ia menjawab, "Sama sekali tidak. Kata-katanya sama sekali tidak mencerminkan kegilaannya. Ia berkata dengan sepenuh kesadaran dan sepenuh kebenciannya."
Bango Samparan mengerutkan keningnya. Perlahan-lahan ia mengangguk sambil berkata, "Kau benar anakku. Demikianlah gambaran sikap orang-orang Karuman terhadapku.
Tergantung kepada ayah sendiri. Apakah kau mampu memperbaiki sikapmu."
"Aku sudah mencoba."
"Tetapi baru saja kau melakukan perbuatan yang terkutuk itu."
"Apa yang aku lakukan?"
"Kau baru saja membunuh dan merampas barang itu."
Bango Samparan menjadi tegang. Namun kemudian ia menundukkan kepalanya, "Itu karena aku terpaksa melakukannya."
"Desa ini seperti sebuah perapian bagiku. Dan kau telah menyeret aku masuk kedalamnya. Hampir saja aku kehilangan akal dan berbuat sesuatu yang akan semakin merusak namamu." Ken Arok berhenti sejenak, "Ayah, sebaiknya aku pergi saja. Kalau aku singgah juga di rumah nanti akan banyak timbul persoalan-persoalan yang tidak aku inginkan. Mungkin aku akan tersudut ke dalam suatu keadaan yang sama sekali tidak aku inginkan"
"Tidak. Itu tidak akan terjadi." potong Bango Samparan dengan serta-merta, "kau harus singgah meskipun hanya sebentar. Kau sudah sampai di sini. Beberapa langkah lagi kita akan sampai."
Ken Arok menjadi ragu-ragu sejenak. Namun kemudian ia tidak dapat menghindar lagi ketika Bango Samparan berkata, "Marilah.Marilah. Jangan membuat aku kecewa."
Merekapun kemudian meneruskan perjalanan mereka menyusur jalan pedesan. Ketika mereka bertemu seorang yang lain, maka dengan hormatnya Bango Samparan menyapanya, "Selamatlah kau hendaknya selama ini."
Orang itu memandang Bango Samparan dengan tajamnya, kemudian kepada Ken Arok. Dianggukkannya kepalanya sedikit sambil menjawab segan, "Ya, aku baik saja."
Tetapi orang itu berjalan terus. Dan Bango Samparan memandanginya dengan sorot mata yang aneh.
"Mudah-mudahan pandangan mereka berubah apabila aku sudah tidak berbuat kesalahan-kesalahan lagi atas mereka. Dan kini aku sudah tidak akan berjudi, mengambil buah-buahan di kebun orang dan berbuat apa-apa yang tidak menyenangkan bagi mereka."
Ken Arok tidak menjawab. Tetapi kepalanya yang tunduk menjadi semakin tunduk.
Sejenak kemudian mereka telah sampai ke sebuah halaman yang luas, tetapi kotor dan liar, dikelilingi oleh dinding batu yang kasar dan sebuah regol yang miring. Itulah rumah Bango Samparan beserta keluarganya. Kedua isterinya dan anak-anaknya yang hampir seliar Bango Samparan sendiri.
Ketika Ken Arok sampai ke depan regol yang miring itu hatinya menjadi berdebar-debar. Bango samparan mempunyai empat anak laki-laki dan seorang anak perempuan dari isteri mudanya. Tetapi rumah ini kesannya seperti rumah hantu yang sudah berabad-abad tidak disentuh tangan manusia.
"Apakah kau tidak ingat lagi bahwa rumah ini rumah kita Ken Arok?" bertanya Bango Samparan.
"Oh" Ken Arok mengangguk, "tentu, tentu aku ingat."
"Kenapa kau tampaknya menjadi ragu-ragu untuk melangkah masuk?"
Ken Arok menarik nafas. Tetapi ia tidak menyahut
"Masuklah." Ken Arok melangkah ke samping untuk memberi kesempatan Bango Samparan masuk lebih dahulu, baru kemudian Ken Arok berjalan di belakangnya.
Demikian mereka menyusup regol dan berdiri di halaman, dada Ken Arok menjadi semakin berdebar-debar. Ia memang pernah tinggal di rumah ini. Tetapi rumah dan halamannya semakin lama tidak menjadi semakin bersih, namun sebaliknya. Rumahnya menjadi semakin rusak, dan halamannya menjadi liar. Tidak ubahnya dengan halaman-halaman kosong di sekitar rumah itu yang ditumbuhi oleh gerumbul-gerumbul liar dan rumpun-rumpun bambu yang lebat.
"Nah, kau lihat pintu rumah itu terbuka?" bertanya Bango Samparan, "rumah itu pasti ada orangnya. Apakah ia ibumu, bibimu atau adik-adikmu.
Ken Arok mengangguk.Satu-satu ia melangkah maju mengikuti Bango Samparan. Semakin lama semakin dekat dengan pintu lereg yang sedang menganga seperti mulut raksasa yang tak bergigi siap untuk menghisap menelan mereka berdua.
Tetapi tiba-tiba langkah mereka berhenti. Dari balik sebatang pohon yang besar terdengar seseorang bertanya, "Siapakah orang itu ayah?"
Mereka berdua segera berpaling. Dilihatnya Panji Kuncang, anak Bango Samparan yang kedua berdiri dengan pandangan penuh kecurigaan kepada Ken Arok.
"He kau Kuncang. Di mana saudara-saudaramu, ibumu dan bibimu?"
"Aku bertanya kepadamu", potong Panji Kuncang, "siapa orang itu?"
"Begitukah kau bersikap kepada ayahmu?"
Kini Panji Kuncang berdiri tegak di sisi batang pohon besar itu. Tetapi matanya menyorotkan kecurigaan dan pertanyaan yang aneh. Kenapa tiba-tiba ayahnya bertanya tentang sikapnya"Sehingga dengan nada yang tinggi ia bertanya, "Kenapa dengan sikapku" Bukankah aku adalah Kuncang yang kau kenal dengan cara dan sikap ini" Kenapa?"
"Oh, kau harus sedikit sopan. Lihat, aku tidak datang seorang diri."
Tiba-tiba Kuncang tertawa. Suara tertawanya meledak-ledak tidak terkendalikan. Diantara derai tertawanya ia berkata, "Ayah ingin menunjukkan kepada tamu ayah, bahwa kami adalah keluarga yang baik, sopan dan beradab.?"
"Oh" Bango Samparan mengeluh. Dengan wajah yang merah ia berpaling kepada Ken Arok, "maafkan anak itu. Jangan hiraukan dia."
Tetapi suara tertawa Kuncang tidak juga mereda. Sekali lagi ia bertanya, "Siapakah orang itu ayah" Penjudi" Perampok" Pembunuh" Mungkin ayah mendapat kawan baru yang dapat mengajari kita untuk bermain curang di lingkaran perjudian sehingga kita tidak akan pernah terkalahkan."
"Tutup mulutmu" bentak Bango Samparan "jangan membuat aku marah."
Tetapi Kuncang sama sekali tidak mundur. Bahkan ia berkata sangat menyakitkan hati "Atau mungkin anak yang kau bawa itu akan minta kepada kita untuk menolongnya mencuri seorang gadis, atau bahkan janda atau isteri orang?"
Dada Ken Arok serasa akan meledak mendengarnya.Tetapi ia masih tetap berusaha untuk menahan dirinya.Namun dengan demikian tubuhnya serasa menjadi gemetar.
"Kuncang" bentak Bango Samparan, "jangan asal bicara. Kau lihatlah dengan baik siapa orang ini.Kau pasti masih belum melupakannya. Bukankah anak ini kakakmu Ken Arok?"
Suara tertawa Kuncang menjadi semakin meninggi. Jawabnya, "Aku sudah tahu. Aku sudah tahu sejak ia memasuki regol rumah kita."
"Kenapa kau bertanya juga?"
Kuncang tidak segera menjawab. Beberapa langkah ia maju mendekat dan berkata, "Eh, sekarang kau membawa pedang di lambungmu. Mungkin kau sekarang sudah meningkat. Dari penyamun jalan-jalan sempit yang menghadang penjual ubi ke pasar, menjadi seorang perampok di jalan-jalan yang agak ramai, atau kau sudah berani memasuki rumah Orang dengan pedang terhunus?"
"Tutup mulutmu" bentak Bango Samparan semakin keras, "apakah kau tuli" Ia adalah seorang prajurit. Bukankah ayah pernah mengatakan kepadamu, bahwa Ken Arok justru memimpin sepasukan prajurit Tumapel di Padang Karautan?"
Ken Arok menjadi heran melihat Kuncang menjadi semakin keras tertawa sehingga tubuhnya berguncang-guncang. Hampir tidak terdengar karena tenggelam dalam derai tertawanya ia berkata, "Aku sudah tahu. Aku sudah tahu bahwa ia seorang hamba istana Tumapel."
Namun Ken Arok terperajat ketika tiba-tiba saja suara tertawa Kuncang berhenti. Wajahnya tiba-tiba menjadi tegang dan suaranya bergetar "Kenapa ayah bawa anak ini kemari" Ayah, aku tidak senang melihat tampangnya. Semasa kita berkumpul di rumah ini. Ken Arok sama sekali tidak dapat bergaul dan bermain dengan kita, justru saat itu ia seorang panjahat muda yang paling licik. Sekarang kita semua menjadi penjudi dan mungkin penjahat, tetapi anak ini sudah menjadi seorang hamba istana. Terus-terang aku tidak mempercayainya lagi."
Sepercik warna merah menjalar di wajah Bango Samparan. Kemarahannya telah melonjak naik kekepala. Namun dengan demikian mulutnya seakan-akan telah terkunci, sehingga meskipun mulutnya bergerak-gerak namun tidak sepatah kata pun yang meloncat dari bibirnya.
Sementara itu Ken Arok pun se-olah-olah membeku di tempatnya. Ia lebih banyak berjuang untuk menahan dirinya sendiri dari pada memperhatikan sikap Bango Samparan itu.
Karena Keduanya tidak menjawab, maka Kuncang pun berkata pula, "Nah, karena itu, maka sebaiknya anak ini tidak ayah bawa ke rumah kami.Aku ingin mempersilahkannya dengan rendah hati untuk meninggalkan halaman ini.
Bango Samparan sudah tidak dapat menahan dirinya lagi Kemarahannya sudah memuncak sehingga tanpa disadarinya ia meloncat maju dengan cepatnya sambil mengayunkan tangannya ke wajah anak keduanya itu.
Tetapi ternyata Kuncang bukan sepotong tonggak yang mati, dengan sederhana sekali ia melangkah mundur sambil menarik wajahnya, sehingga tangan Bango Samparan lalu hanya senyari di hadapan hidungnya.
"Ah," desah Kuncang, "ayah terlampau lekas marah. Kenapa ayah membela anak angkat ayah yang kini sudah menjadi hamba istana itu dengan mati-matian" Jangan membuat aku marah kepadanya ayah. Mungkin aku tidak akan melawan ayah bagaimanapun gilanya aku, justru karena aku seorang anak. Tetapi Ken Arok itu bukan sanak bukan kadang. Kalau aku kehilangan pikiran, aku akan mencincangnya di sini."
"Tutup mulutmu, tutup mulutmu", teriak Bango Samparan, "akulah yang mengajaknya kemari Aku telah memaksanya meskipun ia keberatan. Sekarang kau bersikap seperti setan."
"Aku memang tidak ingin melihatnya datang ke rumah ini. Sejak kami masih amat muda, kami sudah tidak pernah sepaham. Apalagi sekarang."
"Kau belum tahu apa yang sudah dikerjakannya untukku. Kau belum melihat, bahwa ia tidak berubah seperti dahulu. Kau belum mengerti bahwa ia akan bersikap lain terhadapmu dan saudara-saudaramu."
Kuncang tidak segera menjawab. Tetapi yang terdengar adalah suara tertawanya. Ketika ia melontarkan pandangan matanya ke sisi rumahnya, suara tertawa itu justru meninggi.
Ken Arok den Bango Samparan pun segera berpaling ketika mereka mendengar suara tertawa pula. Tetapi nadanya jauh berbeda dari suara Kuncang. Suara itu terlampau rendah pendek.
"Hem", desah Ken Arok di dalam hatinya, "aku benar-benar masuk daerah hantu."
"Selamat datang kakang", suara itu tetap bernada rendah.
Ken Arok mengerutkan keningnya. Sebelum ia menjawab terdengar Bango Samparan berkata, "Engkau ada pula, di rumah. Kau tentu tidak akan berkeberatan seperti adikmu yang gila itu. Kau pasti akan menyambutnya dengan baik. Bukan begitu?"
Orang yang berdiri di samping rumah yang kotor itu adalah anak Bango Samparan yang tertua, Panji Bawuk. Wajahnya yang kehitam-hitaman dibakar oleh sinar matahari, keningnya yang menjorok dan matanya yang cekung, membuatnya seolah-olah dilapisi oleh suatu rahasia yang tidak terpecahkan.
Perlahan-lahan ia melangkah maju.Suara tertawanya yang datar dan bernada rendah terdengar lagi. Agak lebih panjang.
"Ayah telah membawa mainan yang baik sekali buat kami" desis Panji Bawuk.
Meskipun kata-kata itu diucapkan seolah-olah dengan acuh tak acuh saja, namun serasa meledak di dalam dada Ken Arok, Segera ia dapat menangkap maksudnya. Panji yang sulung ini sejak mereka masih terlampau muda, adalah seorang anak yang bengis dan keras. Setiap kali mereka bertengkar, dan bahkan berkelahi.
Bango Samparan pun terperanjat mendengar jawaban itu. Dengan wajah yang tegang ia berkata. "He, apakah kau juga sudah gila seperti adikmu?"
"Kami memang sama-sama gila ayah." sahut Panji Bawuk, "tetapi biarlah aku berterima kasih, bahwa ayah telah membawanya kemari.
"Persetan, persetan" Bango Samparan berteriak, kemudian berpaling kepada Ken Arok, "jangan hiraukan mereka.Mari kita masuk ke rumah. Rumah ini rumahku. Aku berhak menerima siapa saja di dalam rumahku sendiri."
Bango Samparan tidak mempedulikan lagi kedua anaknya. Segera ia melangkah. Tetapi sekali lagi ia tertegun ketika ia melihat seorang anak muda yang lain berdiri di tengah-tengah pintu, sambil berpegangan kedua sisinya dengan kedua tangannya yang mengembang.
"Apa gunanya kau datang juga ke rumah ini kakang" berkata orang itu dengan nada yang meninggi, "sekarang kau menjadi semakin tampan. Wajahmu mirip benar dengan Akuwu di Tumapel, meskipun aku belum pernah melibatnya. Pakaianmu bagus dan pedang itu sangat menarik hati."
"Minggir, minggir kau" teriak Bango Samparan, "minggir. Jangan ikut campur seperti kakakmu yang gila itu."
Anak muda yang berdiri di tengah-tengah pintu itu adalah anak Bango Samparan yang ketiga. Panji Kunal.
Jilid 44 BELUM LAGI Panji Kunal itu menjawab, maka dari dalam rumah, terbungkuk-bungkuk menyusup di bawah tangan Panji Kunal itu, keluarlah seorang anak muda yang lain, Panji Kenengkung, anak keempat Bango Samparan. Katanya "O, ternyata kakang Ken Arok itulah yang kalian ributkan. Aku sangka ada seorang tamu yang cukup berharga untuk dilayani". Panji Kenengkung itu menjadi acuh tak acuh. Tanpa berbuat sesuatu ia kembali masuk ke dalam rumahnya, menyusup pula di bawah tangan kakaknya.
Sikap anak-anak Bango Samparan itu membuat darah Ken Arok benar-benar menjadi mendidih. Semula ia memang berhasrat untuk meninggalkan saja rumah itu. Tetapi justru sikap anak-anak Bango Samparan itulah, kemudian yang manahannya. "Aku akan tetap berada di sini" katanya di dalam hati.
Karena itulah maka Ken Arok masih tetap berdiri tanpa bergerak di tempatnya. Kedua kakinya seolah-olah terhunjam dalam-dalam sampai ke pusat bumi. Hanya pandangannya sajalah yang beredar dari satu wajah ke wajah yang lain. Panji Bawuk, Panji Kuncang, Kunal dan kemudian Bango Samparan.
Bango Samparan menjadi kebingungan melihat perkembangan keadaan. Ia tidak menyangka bahwa sikap permusuhan dari anak-anaknya masih juga membekas demikian dalamnya, sehingga kedatangan Ken Arok telah menumbuhkan persoalan di dalam rumahnya.
"He" Panji Kuncang lah yang pertama-tama menyobek kebekunan di halaman itu, "Kenapa kau masih saja berdiri di situ Ken Arok. Sebelum aku berubah pendirian, pergilah. Rumah ini sama sekali tidak ada tempat bagimu. Jangan mengharap kau dapat masuk menjadi salah seorang dari keluarga kami. Kalau kami kelak membagi warisan, maka kamu sama sekali tidak mendapatkan apapun yang cukup berharga. Karena itu, kau tidak perlu ikut serta memperebutkannya. Tanah yang hanya selidah kadal ini, rumah yang hampir roboh dan regol yang miring. Apa kau sangka ayah mempunyai timbunan harta benda yang bernilai?"
Kini Ken Arok tidak dapat menahan mulutnya lagi. Betapa dadanya bergejolak, dan betapa ia telah mencoba menahannya sehingga dada itu rasa-rasanya akan meledak.
Dengan nada yang datar Ken Arok menjawab "Ya, aku tahu bahwa ayah Bango Samparan mempunyai harta benda yang tidak ternilai harganya. Itulah sebabnya aku kembali ke rumah ini untuk mendapatkan bagianku sebagai anak angkatnya".
Panji Kuncang mengerutkan keningnya. Kemudian ia menggeram, "Hem, ternyata kau telah menjadi seorang laki-laki yang berani. Kau tidak saja berani menyamun di tempat-tempat yang sepi, dan kemudian sebagai seorang prajurit yeng beramai-ramai membuat bendungan di Padang Karautan. Ternyata kau tidak gemetar mendengar ancamanku".
Ken Arok mangatubkan bibirnya rapat-rapat.
"Jangan kau usir anak itu Kuncang", berkata Panji Bawuk kemudian. Selangkah ia maju mendekati Ken Arok sambil berkata selanjutnya, "Menilik sikapnya, pandangan matanya yang lurus ke depan, serta wajahnya yang tengadah, ia sama sekali tidak cemas menghadapi keadaannya kini".
"Anak ini benar-benar berani. Tetapi itu tidak mengherankan. Ia dapat melepaskan diri dari tangan orang-orang Pamalantenan dan lari ke Nagamasa. Ia dapat menghantui Tanah Tumapel dan kemudian bahkan menjadi seorang hamba istana yaag baik". Panji Bawuk berhenti sejenak, lalu, "Nasibmu memang baik Ken Arok. Terlampau baik".
"Nah" tiba-tiba Bango Samparan memotong, "Bukankah aku juga mengatakan, bahwa nasibmu terlampau baik".
Panji Bawuk tertawa rendah. Katanya kemudian, "Tetapi tidak selamanya nasibmu terlampau baik.Suatu ketika kau akan terbentur pada keadaan yang sama sekali tidak kau sangka-sangka. Misalnya bahwa kau telah tersesat sampai ke rumah ini".
"He" mata Bango Samparan terbelalak, "Apa yang akan kau lakukan atasnya?"
Panji Bawuk tertawa dengan nada yang terlampau rendah, tetapi dibalik nada yang rendah itu teresa getaran kebencian yang tiada taranya. "Sebuah permainan yang baik. Aku yakin bahwa ia tidak akan menyerahkan lehernya begitu saja. Ia pasti akan melawan, karena aku percaya bahwa Ken Arok adalah seorang prajurit yang berani. Nah, bukankah kita mendapat ketempatan untuk bermain-main".
"Itu gila. Gila sekali. Ia tamuku di sini".
"Bukankah aku sudah berterima kasih kepada ayah, karena ayah membawa permainan itu".
"Persetan kalian" teriak Bango Samparan, "Kalau kalian berbuat sesuatu atasnya, maka aku akan berdiri dipihaknya".
"Apa" tiba-tiba terdengar suara melengking dari dalam rumah yang kotor itu, "Kalau kau mau membantunya, akulah lawanmu".
Tiba-tiba muncul seorang perempuan sambil menyingsingkan kainnya. Ialah isteri Bango Samparan yang muda. Dengan tergesa-gesa ia mendekati Bango Samparan sambil menuding-nuding wajahnya, "Kau bawa lagi anak setan itu, he. Ayo, tinggalkan anak itu. Biarlah anak-anak yang mengurusnya".
Sementara itu terdengar suara lain. Suara perempuan. Namun terlalu dalam dan perlahan-lahan, "Kenapa kalian mambencinya sampai ke ujung nyawa kalian?"
Tetapi justru suara itu telah menggetarkan dada Ken Arok. Suara itu adalah suara ibu angkatnya. Isteri tua Bango Samparan. Perlahan-lahan ia berpaling. Dilihatnya seorang perempuan tua yang kurus berdiri di samping rumah sambil menakupkan kedua telapak tangan di muka dadanya.
"Jangan ikut campur" bentak isteri muda Bango Samparan, "Ini sama sekali bukan urusanmu".
"Tunggulah sebentar" Bango Samparan tergagap, "Maksudku, aku ingin keluarga ini menjadi bertambah baik. Kalau kalian mau mendengarkan penjelasanku, kenapa aku membawa Ken Arok ke rumah ini, maka kalian pasti tidak akan marah-marah lagi".
"Aku tidak peduli" teriak isteri mudanya. Satu tangannya bertolak pinggang, sedang tanganya yang lain masih menunjuk-nunjuk, "Ayo tinggalkan anak-anak itu. Masuk. Masuklah".
"Tunggu" Bango Samparan meminta. "Masuk kataku. Ayo masuk".
Ken Arok menjadi heran. Bango Samparan adalah seorang yang buas, bahkan liar. Tetapi ia begitu takut kepada isteri mudanya. Ia mengetahui hal itu sejak ia tinggal di dalam rumah itu. Tetapi dalam hal yang terlampau penting, seperti keadaan saat ini, Bango Samparan sama sekali tidak dapat berbuat sesuatu.
Dengan kasarnya isteri muda Bango Samparan itu menarik tangannya dan menyeretnya masuk ke dalam rumah. Bango Samparan yang garang itupun sama sekali tidak dapat melawan. Namun sambil berjalan ia berteriak-teriak, "Maafkan aku Ken Arok. Pergilah. Pergilah sebelum setan-setan itu berbuat sesuatu atasmu".
Ken Arok sama sekali tidak beranjak dari tempatnya. Dipandanginya Bango Samparan yang berjalan terloncat-loncat diseret oleh isteri mudanya sambil menyingsingkan kainnya tinggi-tinggi.
"Laki-laki tidak tahu diri" gerutu isterinya, "Sekian lama kau tidak pulang. Sekarang kau bawa cucurut jelek itu untuk mengotori halaman rumahku".
Tanpa sesadarnya Ken Arok menarik nafas dalam-dalam. Agaknya sikap isterinya itu sama sekali tidak membantu usaha untuk menyembuhkan Bango Samparan dari penyakit judinya. Agaknya ia tidak menemukan ketenteraman di rumahnya. Isterinya terlampau menguasainya, sehingga bagi Bango Samparan, keadaan di luar rumahnya jauh lebih bebas dan menyenangkan, meskipun kadang-kadang ia harus berkelahi dan bahkan mempertaruhkan nyawanya. Namun hasrat ia lepas bebas dan sebagai seorang laki-laki, bahkan jiwa petualangan yang memang ada padanya, dapat terpenuhi.
Di rumah, seperti keadaarnya kini, meskipun ia membawa pedang dilambungnya, namun ia tidak kuasa melawan apapun ketika ia diseret oleh isterinya masuk ke rumah sambil mengumpat-umpat.
Panji Kunal kini sudah tidak berdiri di tengah-tengah pintu lagi untuk memberi jalan ibunya yang menyeret ayahnya masuk. Sambil bersandar bibir pintu ia tertawa berkepanjangan.
Dalam pada itu terdengar suara perempuan tua yang berdiri di samping rumah, "Pergilah Ken Arok. Tidak ada gunanya kau datang kemari. Aku sudah puas dapat melihat kau tumbuh menjadi besar dan gagah. Aku dengar kau kini tnenjadi seorang prajurit. Nah, lakukanlah pekerjaanmu dengan baik".
Ken Arok menarik nafas dalam-dalam. Tanpa sesadarnya ia mengangguk dalam-dalam sambil menjawab, "Terima kasih ibu, mudah-mudahan aku dapat melakukannya. Aku minta ibu selalu berdoa untukku".
"Tentu, tentu anakku. Aku berdoa untukmu. Mudah-mudahan kau terhindar dari tindakan-tindakan yang takabur dan tamak".
Belum lagi Ken Arok menjawab, terdengar suara Panji Kuncang, "Ah, jangan kau ajari anak itu jadi seorang pendeta. Agaknya lebih baik baginya untuk mengulangi saja kelakuannya beberapa tahun yang lampau".
"Jangan menghina Kuncang" sahut perempuan itu "adalah nasib baik yang membawanya. Jangan iri akan nasib seseorang. Nasibnya memang terlampau baik".
Ken Arok sama sekati tidak terpengaruh, ketika ia mendengar orang lain mengatakan tentang nasibnya. Bahkan ia muak apabila ia mendengar Bango Samparan mengatakan nasibnya pula. Tetapi kini ia mendengar perempuan tua itu mengatakan pula, bahwa nasibnya memang terlampau baik.
"Kalau kau berusaha terus Ken Arok" berkata perempuan tua itu, "Maka kau akan sampai kepada tempat yang setinggi-tingginya yang kau inginkan".
Tetapi kata-kata itu disambut oleh suara tertawa Panji Bawuk dalam nada yang datar, "Ho, ajari saja anak itu untuk bermimpi". Kemudian kepada Ken Arok itu berkata "Mimpilah anak manis. Kau akan dibawa melambung tinggi oleh nasibmu yang baik. Mungkin kau dapat menjadi seorang Akuwu, eh siapa tahu bahwa kau akan dapat mendesak kekuatan Maharaja Kediri dan menggantikannya kelak".
Kata-kata itu disambut oleh suara tertawa yang meledak. Panji Bawuk, Panji Kuncang, Kunal dan bahkan kemudian Kenengkung pun keluar lagi dari pintu rumahnya. Katanya "Eh, kalian menjadi terlampau bergembira hari ini".
"Tidur saja kau anak malas" sahut Panji Bawuk.
02 Pelangi Di Langit Singasari Karya S H. Mintarja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kami sedang bermain-main".
"Aku ingin ikut bermain-main pula".
Panji Bawuk tidak menjawab. Tetapi ia melangkah lagi lebih dekat dihadapan Ken Arok. Diamat-amatinya Ken Arok dari ujung kaki sampai ke ujung kepalanya.
"Pergi sajalah Ken Arok" suara perempuan di samping rumah terdengar lagi.
Tetapi jawab Ken Arok ternyata telah mengejutkan, seisi halaman itu, "Tidak ibu. Aku tidak akan pergi. Aku sudah terlanjur menginjakkan kakiku di halaman ini. Aku ingin masuk ke dalam rumah ayah dan ibuku. Aku ingin bermalam di sini dan ingin mendapat hak warisan dari ayah seperti anak-anak ayah yang lain, meskipun aku hanya sekedar anak angkatnya. Tidak teorang pun dapat menghalangi aku. Apa lagi aku sudah memasuki halaman ini dengan pedang di lambung".
Yang terdengar kemudian adalah geram Panji Kuncang. Selangkah ia meloncat maju sambil berteriak, "Setan alas. Ayo, cabut pedangmu. Aku akan membunuhmu".
Panji Bawuk menegang sebentar, namun kemudian ia tertawa. Nadanya masih tetap rendah dan datar, "O, anak ini benar-benar tidak tahu diri. Disangkanya bahwa karena ia seorang prajurit, maka ia pasti akan mampu menyelesaikan semua masalah dengan pedangnya".
Ken Arok terdiam. Dikatupkannya bibirnya rapat-rapat. Terhadap Panji Kuncang ia telah menemukan cara yang sebaik-baiknya untuk melawan. Agaknya anak kedua ini lebih cepat marah dan kehilangan kesabaran. Tetapi agaknya anak yang pertama ini justru jauh lebih berbahaya dari saudara-saudaranya yang lain.
Ternyata bukan saja kedua orang anak-anak Bango Samparan yang terbesar saja yang mendekati Ken Arok, tetapi kedua saudaranya yang lain, yang masih terlampau muda itupun datang mengerumuninya. Wajah-wajah mereka telah menjadi tegang oleh kemarahan yang memuncak.
Tetapi Ken Arok masih tetap berdiri tegak di tempatnya. Ia sama sekali tidak bergeser setapakpun. Pandangannya masih tetap lurus ke depan dan dadanya masih tetap tengadah.
Sikapnya memang egak berpengaruh juga atas keempat anak-anak Bango Samparan itu.Namun disamping itu, kemarahan mereka pun menjadi semakin menyala pula. Ken Arok bagi mereka adalah seorang yang teramat sombong. Karena itu, maka mereka harus menghajarnya dan bahkan mereka tidak lagi akan mengekang diri seandainya Senjata-senjata mereka akan berbicara.
Diantara keempat saudara itu, Kuncang lah yang hampir tidak lagi dapat mengekang dirinya.Namun sikap yang demikian sama sekali tidak berpengaruh apapun kepada Ken Arok. Yang mendapat perhatiannya paling tajam justru Panji Bawuk yang kelihatannya masih tenang-tenang saja, dan bahkan tersenyum-senyum.
"Apakah kau benar-benar ingin melawan kami kakang?" bertanya Panji Bawuk itu.
Ken Arok tidak segera menjawab. Ditatapnya mata Panji Bawuk itu tajam-tajam seolah-olah ingin melihat sampai ke pusat otaknya.
"Aku memang berharap demikian" berkata Panji Bawuk itu pula, "Sudah agak lama kami tidak berkelahi melawan seseorang yang agak berarti untuk memanaskan badan kami. Karena itu kami sangat berterima kasih kepada ayah, yang telah membawa kau kemari".
"Panji Bawuk" terdengar suara perempuan tua di samping rumah, "Aku minta kau tidak akan berbuat demikian kepada Ken Arok. Terserahlah apa yang akan kau lakukan terhadap orang lain, tetapi tidak kepada keluarga sendiri".
Panji Bawuk tertawa, "Hanya orang gilalah yang bersedia menerimanya lagi di dalam keluarga ini. Ia sudah cukup membuat kami marah dan mendendamnya, di saat-saat yang lalu. Tiba-tiba kini ia datang dengan penuh kesombongan. Apakah kami harus membiarkannya?"
"Aku minta maaf untuknya" berkata perempuan itu lagi.
"Tutup mulutmu" tiba-tiba terdengar suara dari balik dinding rumah, suara perempuan pula. Suara ibu Panji Bawuk, "Sudah aku katakan. Itu adalah urusan anak-anak, biarlah diselesaikan oleh anak-anak".
Perempuan tua itu mengerutkan keningnya yang telah berkerut-merut. Namun ia mencoba menjawab, "Aku hanya mencoba melerai perselisihan di antara anak-anak".
"Persetan dengan anakmu itu".
"Sudahlah" potong Panji Bawuk dengan tenangnya "Jangan kau pedulikan lagi anak ini. Ia akan terjerumus ke dalam lubang yang telah digalinya sendiri".
"Kita tidak usah banyak berbicara" geram Kuncang. Kemudian sambil menunjuk ke bawah sebuah rumpun bambu ia berkata, "Di sana kami kuburkan dua orang penjudi muda yang mencoba melawan kami. Mereka sombong seperti kau. Kami berkelahi. Ternyata Senjata-senjata kami tidak mau memaafkannya".
Dada Ken Arok berdesir mendengar kata Panji Kuncang itu. Tanpa sesadarnya ia berpaling. Di muka halaman ini membujur sebuah lorong padukuhan. Bagaimanakah tanggapan orang-orang padukuhan ini apabila mereka tahu, bahwa halaman ini adalah halaman pembantaian" Bukankah Ki Buyut Karuman sudah mengancam, untuk mengusir mereka apabila mereka berbuat kejahatan lagi di dalam padukuhan ini?"
Tetapi lorong ini memang terlampau sepi. Lorong yang jarang sekali dilalui orang. Hanya orang-orang yang terpaksa sekali yang mau lewat di lorong di muka rumah Bango Samparan. Rumah yang mereka anggap sebagai rumah hantu.
"Nah" berkata Kuncang kemudian, "Kau akan menjadi orang ketiga yang akan berkubur di bawah rumpun bambu itu".
Wajah Ken Arok menjadi semakin lama semakin tegang. Dipandanginya arah yang ditunjuk oleh Panji Kuncang. Tetapi ia tidak melihat sesuatu. Tanah itu masih tetap rata.
Tetapi ketegangan wajah Ken Arok itu semakin meningkat ketika ia mendengar Panji Bawuk berkata, "Tidak Kuncang. Karena anak ini adalah saudara tua kita, maka ia tidak akan kita kuburkan di bawah rumpun bambu itu. Kita masih harus menghormatinya. Aku ingan membuat anjang-anjang bagi mayatnya nanti. Kami letakkan saja di halaman belakang, di atas pohon Kayu Kembang. Biarlah dagingnya menjadi makanan burung-burung gagak".
Sejenak mereka yang mendengar pendapat anak tertua Bango Samparan itu terdiam. Namun kemudian terdengar suara tertawa Kenengkung meledak.
"Kenapa kau tertawa?" bertanya Panji Kunal.
"Lucu" sahut Kenengkung, "Kita kelak akan mempunyai sebuah kerangka. Kalau dagingnya sudah habis, bukankah akan tinggal kerangkanya saja" Kita mempunyai sebuah perhiasan yang menyenangkan".
Panji Kunal pun tersenyum pula.Katanya, "Tetapi kalau ada orang yang melihatnya, akan dapat menumbuhkan perkara. Orang-orang Karuman adalah orang-orang dengki yang suka mengganggu kesenangan orang lain. Kalau mereka berbuat sesuatu karena kerangka itu, maka kita akan terpaksa menyimpan kerangka-kerangka lebih banyak lagi".
"Ah" desah Panji Bawuk, "Anak-anak gila. Apakah yang kau bicarakan itu" Sekarang, ambillah parangku yang besar. Jangan yang kecil. Kalian membawa senjata kalian masing-masing, apabila kalian ingin ikut bermain-main. Berganti-ganti. Kita masing-masing akan mendapat bagian kita. Tetapi apabila Ken Arok lekas mati, maka jangan menyesal, siapa yang tidak mendapat kesempatan untuk berkelahi dan menggoreskan luka di tubuhnya".
"Gila" Ken Arok mengumpat di dalam hatinya, "Sikap Panji Bawuk tenang sekali. Dibiarkan adiknya masuk ke dalam rumah sementara ia berdiri seenaknya dihadapan Ken Arok".
"Kalau kau tidak sabar menunggu adikku mengambil senjata, mulailah. Aku akan melawanmu tanpa Senjata".
"Akulah yang pertama-tama" potong Kuncang, "Akulah yang melihatnya ia pertama kali ketika ia memasuki regol".
Kini Ken Arok terpaksa berbuat sesuatu.Ia benar-benar menyesal, karena ia telah masuk ke rumah hantu itu. Tetapi dalam keadaan yang demikian ia sama sekali tidak mau beranjak pergi. Ia masih belum tahu, sampai berapa jauh kemampuan keempat anak Bango Samparan. Ia telah melihat Panji Kuncang mampu menghindar dengan cara yang sederhana, ketika ayahnya mencoba menampar wajahnya.
Sebentar kemudian sambil berlari-lari Kenengkung datang membawa dua buah parang dan Panji Kunal pun membawanya pula. Untuk kakaknya dan untuk dirinya sendiri.
"Aku akan mencoba senjataku ini" desis Panji Kunal. Ia memegang sebuah tombak pendek yang ujungnya berkait.
Ken Arok berdiri tegak seperti sebuah patung. Ia menjadi heran melihat sikap anak-anak Bango Samparan. Agaknya mereka benar-benar menganggap dirinya permainan yang mengasyikkan.
"Apakah kemampuan mereka jauh melampaui ayahnya?" pertanyaan itu telah mengetuk dada Ken Arok.
Namun Ken Arok tidak sempat terlampau banyak membuat pertimbangan-pertimbangan. Ia segera melihat tombak pendek Kunal yang ujungnya berkait telah merunduk di muka dadanya. Terdengar anak itu berkata "He, kakang Ken Arok. Ayo cabut senjatamu".
Ken Arok tidak segera berbuat sesuatu.Sekilas dipandangmya perempuan tua di samping rumah Bango Samparan. Perempuan itu menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya, kemudian dengan tergesa-gesa berputar dan pergi ke belakang.
"Lebih baik ia pergi", berkata Ken Arok di dalam hatinya.
"Ayo, cepat" teriak Panji Kunal.
"Hati-hati Kunal" desis Panji Bawuk, "Ia adalah seorang Prajurit Tumapel. Mungkin ia pernah mendapat petunjuk bagaimana ia harus mempergunakan serjata. Sebelum ia menjadi seorang prajurit, ia adalah seorang anak yang paling senang berkelahi. Meskipun kau juga senang berkelahi, tetapi belum seliar kakang Ken Arok itu".
Kunal seolah-olah tidak mendengar kata-kata kakaknya itu. Ia melangkah semakin dekat, dan ujung tombaknya kini semakin dekat pula ke dada Ken Arok, "Ayo, cepat, ambil senjatamu" teriaknya, "Kalau kau tidak juga mencabut pedangmu, aku akan berbuat menurut kehendakku sendiri atasmu".
Ken Arok masih tetap berdiri tegak. Tetapi tiba-tiba ia terkejut ujung tombak berkait itu semakin merunduk dan menyentuh kain panjangnya, dengan sekali renggut, kainnya telah tersobek lebih dari sejengkal di arah pahanya.
Terdengarlah suara tertawa meledak di halaman itu. Panji Kenengkung tidak dapat menahan dirinya lagi, sehingga ia terbungkuk-bungkuk menekan perutnya dengan kedua tangannya. Suara tertawanya berderai memenuhi seluruh padesan.
Kini Ken Arok tidak akan dapat tetap tinggal diam. Kalau ia tidak segera berbuat sesuatu maka Kunal akan menjadi lebih gila lagi. Bahkan mungkin ia akan menjadi telanjang di halaman itu karena seluruh pakaiannya akan di kait oleh tombak pendek itu.
"Baiklah" berkata Ken Arok tiba-tiba sehingga Kunal terperanjat, "Kau sudah mulai.Aku pun harus segera mulai pula".
Perlahan-lahan Ken Arok melangkah kesamping. Sama sekali tidak ada kesan apapun pada dirinya. Ia masih tetap tenang seperti juga Panji Bawuk tetap tenang. Diletakkannya bungkusan pakaiannya di atas tanah di bawah sebatang pohon melinjo.
"He, apa kau mau lari?" teriak panji Kunal.
Ken Arok menggeleng, "Sudah aku katakan. Aku akan melayani kau bermain-main".
"Bagus, bagus" sahut Kunal sambil tertawa.
Ken Arok tnenjadi semakin muak memandanginya. Karena itu, maka tumbuhlah keinginan di dalam hatinya untuk membuat mereka menjadi jera.
"Tetapi", pertanyaan itu tumbuh di dalam hatinya "Apakah aku akan mampu berbuat demikian" Aku belum dapat mengukur betapa tingkat ilmu masing-masing. Adalah tidak mustahil apabila pada suatu ketika mereka akan berkelahi bersama-sama".
Karena itu, maka Ken Arok harus tetap berhati-hati. Ia tidak mau jatuh ke dalam keadaan yang tidak menguntungkannya, sehingga untuk melawan anak itupun ia harus berada dalam persiapan yang tertinggi.
"Ayo, cabut pedangmu, cepat" teriak Panji Kunal.
"Baik" sahut Ken Arok. Perlahan-lahan tangannya meraba hulu pedangnya, dan perlahan-lahan pula ia mencabut pedang itu dari wrangka di lambungnya.
"Pedang yang bagus" tiba-tiba Kuncang berteriak, "Kalau kita berhasil membunuhnya, maka pedang itu adalah milikku. Akulah yang pertama-tama melihat ia memasuki regol ini".
Ken Arok berdesah di dalam hatinya "Agaknya Kuncang telah sampai pada maksud itu, membunuh, sebenarnya membunuh".
"Tidak" teriak Panji Kunal, "Siapa yang berhasil membunuhnyalah yang akan memiliki pedang itu".
"Kalau begitu akulah yang akan berkelahi lebih dahulu" potong Kenengkung, "Supaya akulah yang berhasil membunuhnya. Dengan demikian pedang prajurit itu akan menjadi milikku".
"Jangan berebut dahulu" potong Panji Bawuk "Kalian hanya terlampau banyak bicara. Aku yakin bahwa Ken Arok tidak akan dengan senang hati menyerahkan lehernya. Nah, sekarang Kunal, mulailah. Hati-hatilah. Aku ingin melihat bagaimana ia menggerakkan pedangnya yang bagus itu, supaya aku dapat menilai, siapakah kira-kira yang akan dapat membunuhnya".
Kunal mengangguk-anggukkan kepalanya. "Baiklah" katanya.
Ken Arok yang sudah semakin muak melihat anak-anak Bango Samparan itupun segera bersiap. Ia tidak mau memandang 1awannya terlampau rendah, meskipun masih cukup muda. Ia menyadari, bahwa sikap yang demikian kadang-kadang dapat menyesatkan seseorang ke dalam kekalahan.
Karena itu ketika Kunal mendekatinya lagi dengan tombak pendeknya, maka segera ia pun bersiap.
"Cepat Kunal" teriak Kuncang yang tidak sabar lagi. Panji Kunal menarik nafas dalam-dalam. Kemudian dengan cepatnya ia meloncat langsung menyerang Ken Arok. Mata tombaknya mematuk ke dadanya, seperti paruh burung rajawali yang menyambar dari udara.
Tetapi Ken Arok telah siap.Dengan sigapnya ia meloncat kesamping menghindari serangan itu. Dan seperti yang telah diduganya, Kunal pasti akan mempergunakan kaitan tombaknya, ketika ia menarik tombak itu. Dan ternyata dugaannya itu benar. Kunal memutar tombaknya dan mencoba mengait pelipis Ken Arok pada saat ia menarik tombaknya.
Tetapi tombak berkait itu sama sekali sudah tidak mengejutkan lagi bagi Ken Arok. Dimiringkannya kepalanya sedikit, dan kait pada ujung tombak itu meluncur disamping keningnya.
Panji Kunal menggeram. Ternyata serangannya sama sekali tidak berhasil menyentuh lawannya. Ia ingin melihat darah yang segera memencar dari pelipis Ken Arok. Tetapi Ken Arok berhasil menghindarinya.
Kunal yang masih muda itu segera memperbaiki sikapnya. Tombaknya bergetar secepat getar jantungnya. Beberapa langkah ia berputar, mencari kesempatan untuk menyerang lagi.
Ken Arok pun telah mempersiapkan dirinya pula. Tetapi ia harus memperhitungkan pula orang-orang yang tidak sedang terlibat dalam pertempuran. Ken Arok tidak dapat mempercayai mereka sepenuhnya, bahkan mereka akan berkelahi secara jantan sepenuhnya. Dalam kesempatan yang tak terduga-duga dapat saja salah seorang dari mereka menyerangnya dengan licik. Apalagi apabila salah seorang dari mereka mengalami kekalahan.
Kunal yang melangkah berputaran itu, tiba-tiba meloncat menyerang kembali sambil menggeram. Tombaknya mematuk dengan cepatnya, melingkar dengan tiba-tiba pula dan berputar sekali lagi. Beberapa macam gerak yang tidak terduga-duga membuat lawannya kehilangan kesempatan untuk mengerti, apakah yang dilakukannya.
Tetapi Ken Arok bukan lawan yang mudah menjadi bingung dan kehilangan akal. Bahkan segera ia mengerti, bahwa lawannya masih terlampau hijau dan sederhana. Yang ingin membuat bermacam-macam cara untuk membingungkan musuhnya, seolah-olah lawannya tidak dapat membuat perhitungan-perhitungan yang lebih baik dan akan segera kehilangan akal karena ujung tombak lawannya berkeliaran diseputar tubuhnya.
Ken Arok telah kenyang menyimpan pengalaman di dalam dirinya sama sekali tidak menjadi bingung. Ia masih tetap tenang dan bahkan berdiri tegak ditempatnya. Hanya matanya sajalah yang mengikuti ujung tombak berkait di tangan Panji Kunal.
Tetapi dada Ken Arok menjadi berdebar-debar ketika ia mendengar Panji Bawuk tertawa. Katanya "Kunal, kenapa kau berkelahi seperti menghalau burung di sawah" Lawanmu kali in adalah seorang prajurit Istana Tumapel yang terkenaL. Lebih daripada itu ia adalah seorang penyamun yang paling menggemparkan diseluruh Tumapel pada suatu saat. Hati-hatilah, ia tidak akan dapat kau takut-takuti dengan cara yang menggelikan itu.Kau akan kehilangan pengamatan diri karena kau sendiri sibuk menari tanpa arti apapun dalam perkelahian itu. Cobalah dengen cara yang lain. Tetapi sebaiknya kau berkelahi berpasangan dengan Kenengkung. Aku mulai menjadi cemas melihat sikap Ken Arok. Agaknya ia benar-benar yakin dapat menguasai kalian. Lihat, apakah ia tampak cemas atau berdebar-debar setelah melihat seranganmu yang menggelikan itu. Ayo, cepat, mulailah berpasangan".
"Bagus" teriak Kenengkung "Aku ikut".
Tetapi Panji Kunal menjadi kecewa, katanya "Aku ingin membunuhnya sendiri kakang. Sendiri, tanpa Kenengkung".
"Jangan terlampau sombong" jawab Panji Bawuk "Kalau Ken Arok bersungguh-sungguh, maka kaulah yang akan terbunuh".
"Tidak, aku mampu membunuhnya".
"Jangan keras kepala" kemudian, kepada Kenengkung ia berkata "Ayo, cepat. Masuklah ke gelanggang".
Tetapi Kenengkung menjadi ragu-ragu. Agaknya Kunal tidak begitu senang apabila ia ikut membantunya.
"Cepat" tiba-tiba Panji Bawuk berteriak tinggi. Kenengkung menjadi takut, dan Kunal pun tidak mau membantah lagi. Sehingga dengan demikian Ken Arok kini harus berhadapan dengan dua orang lawan yang masih cukup muda.
Namun dengan demikian Ken Arok mendapat gambaran bahwa keempat anak Bango Samparan itu benar-benar ingin mempermainkannya dengan segala cara. Tetapi juga tidak mustahil, bahwa akhir dari permainan itu adalah kematian yang sebenarnya baginya, apabila ia tidak berhasil membela dirinya sebaik-baiknya.
Tetapi meskipun demikian, betapa kemarahan menyala di dada Ken Arok, ia masih tetap tidak kehilangan akal. Dengan demikian, maka ia masih tetap menekan sedalam-dalamnya nafsunya untuk membunuh. Ia masih tetap menyadari dirinya. Apabila ia membunuh hanya karena kemarahan dan dendam, maka ia akan menodai kedudukannya sendiri, yang justru harus berbuat sebaliknya. Melindungi kelemahan dan meluruskan kesalahan dalam pengertian, menuntun mereka kembali kepada jalan yang lurus, bukan harus membinasakan tanpa pertimbangan.
Melawan kedua kakak beradik yang terkecil dari saudara-saudara anak Bango Samparan itupun, Ken Arok tidak menjadi waringutan dan bermata gelap. Ternyata mereka masih benar hijau dalam olah senjata. Mereka lebih senang menari dan mencoba menipu lawannya dengan gerak-gerak yang tidak berarti, sehingga apabila mereka harus berkelahi dalam waktu yang agak lama maka mereka akan segera kehabisan nafas.
Tetapi karena mereka berdua, maka Ken Arok pun harus lebih berhati-hati lagi. Ia mencoba menyesuaikan dirinya pada kedua lawannya. Dengan lincahnya ia pun berloncatan, dan menggerakkan senjatanya dengan ayunan-ayunan yang manis, seperti juga kedua lawannya yang sedang menari.Sekali-kali senjata mereka memang berbenturan, tetapi sama sekali tidak menumbuhkan tekanan-tekanan yang berarti. Meskipun demikian sekali-kali Ken Arok memberi peringatan pula kepada lawannya. Ujung pedangnya kadang-kadang berhasil menyentuh pakaian Kunal dan Kenengkung, bahkan kemudian kulitnya.
"Setan alas" kadang-kadang Kenengkung yang masih terlalu muda itu mengumpat. Geraknya menjadi semakin cepat dan lincah. Namun dalam tanggapan Ken Arok, ia pasti akan segera kehabisan tenaga.
Justru karena lawan-lawannya itulah, maka kemarahan di dalam dada Ken Arok menjadi reda. Ia benar-benar tidak sampai hati untuk melukai lawannya yang masih belum dapat berbuat terlampau banyak dengan senjata-senjata mereka yang garang. Tetapi, apakah demikian juga kedua kakak-kakaknya yang terbesar"
Ken Arok bertempur sambil berteka-teki di dalam hatinya. Sekali-kali ia mencoba memandang wajah Panji Kuncang yang tegang dan Panji Bawuk yang tersenyum-senyum. Ia tidak segera dapat mengerti apakah yang bergolak di dalam dada kedua orang itu. Tetapi menilik sikapnya, maka mereka berdua mempunyai tanggapan yang berbeda atas kedua adik-adik mereka yang sedang berkelahi.
Ternyata Panji Kunal dan Kenengkung sendiri tidak dapat menjajagi kemampuan lawannya. Karena Ken Arok berkelahi sambil berloncatan, maka mereka menyangka, bahwa Ken Arok pun telah mempergunakan segenap kemampuannya untuk melawan mereka berdua. Karena itu maka mereka menjadi semakin bernafsu. Kalau sekali-sekali ujung senjata Ken Arok menyentuh kulit mereka, maka mereka pun segera menggeram dan mengumpat-umpat.
Kunal dan Kenengkung pun semakin lama menjadi semakin dalam tenggelam dalam perkelahian yang kurang dapat mereka nilai. Mereka telah memeras segenap kemampuan yang ada di dalam diri mereka.Namun mereka sama sekali tidak berhasil melukai lawannya, bahkan menyentuh pun tidak. Karena itu, kemarahan di dalam dada mereka serasa menjadi semakin menyala. Mereka memeras tenaga mereka tanpa perhitungan didorong oleh keinginan mereka untuk segera menjadi seorang pahlawan.
Kuncang memandang perkelahian itu dengan wajah yang tegang. Ia tahu, bahwa kedua adiknya tidak akan dapat mengalahkan Ken Arok. Tetapi ia pun tidak mendapat penilaian yang sebenarnya tentang lawan kedua adik-adiknya. Meskipun demikian ia mengerti, bahwa ternyata Ken Arok bukanlah seorang yang dapat dibuat permainan yang menyenangkan seperti yang mereka sangka.
Kemarahan di dalam dada Kuncang pun menjadi semakin menyala. Ia hamper-hampir tak dapat mengekang dirinya lagi ketika ia melihat kedua adiknya seakan-akan tidak mampu berbuat apapun selain meloncat-loncat dan melonjak-lonjak. Setiap kali mereka kehilangan sasaran dan terkejut oleh sentuhan-sentuhan senjata lawan. Bahkan sekali-sekali Ken Arok mengenai mereka tidak dengan ujung pedang, tetapi dengan ujung-ujung jari tangan kirinya. Demikian kuat tekanan ujung-ujung jari Ken Arok, sehingga Kunal, yang terdorong oleh kekuatan jari-jari Ken Arok itu pun terhuyung-huyung baberapa langkah, dan hampir saja ia jatuh terjerembab.
"Setan" Kunal mengumpat. Dengan segenap tangannya maka ia menyerang sejadi-jadinya. Tombaknya mematuk-matuk dengan cepatnya, tetapi sudah kehilangan keseimbangan. Apalagi Kenengkung. Ia bahkan menjadi bingung dan kadang-kadang kedua anak-anak muda itu saling berbenturan di antara mereka sendiri.
Panji Bawuk melihat perkelahian itu sambil tertawa-tawa. Kadang-kadang suara tertawanya meninggi. Kadang-kadang merendah. Namun kadang-kadang wajahnya pun menjadi kerkerut-merut membayangkan ketegangan di dalam dadanya. Tetapi karena sikapnya, karena bayangan-bayangan yang berbeda-beda diwajahnya, maka Ken Arok pun tidak segera dapat menebak kesan daripadanya.
Kesan yang didapatnya pada wajah Kuncang menjadi semakin nyata. Ketegangan dan gemeretak giginya mengatakan, bahwa Kuncang pun akan segera turun ke gelanggang.
Dugaan Ken Arok memang tidak salah. Ketika Kunal dan Kenengkung telah menjadi terengah-engah dan hampir-hampir kehabisan nafas, maka terdengar Kuncang berteriak, "Minggir setan-setan kecil. Kalian tidak akan mampu menyelesaikannya. Akulah yang akan membunuhnya dan memiliki pedang yang bagus itu".
"Aku belum puas", teriak Kunal. Tetapi nafasnya hampir putus "Aku dan Kenengkung akan mampu menyelesaikan pekerjaan ini. Nanti kau tinggal menguburnya di bawah rumpun bambu itu".
"Minggir", Panji Kuncang berteriak, "Jangan menunggu sampai lehermu terpenggal".
Suara Kuncang ternyata telah mengejutkan Kunal dan Kenengkung, bahkan Panji Bawuk pun mengerutkan keningnya pula. Tetapi ia tidak berkata sepatah katapun. Agaknya ia ingin melihat, apakah yang dapat dilakukan oleh adiknya dan untuk menilai sampai puncak kemampuan Ken Arok itu.
Panji Kunal dan Kenengkung pun kemudian berloncatan menepi. Apapun yang mereka katakan, tetapi mereka harus mengakui bahwa sebenarnyalah bahwa mereka tidak akan mampu melawan Ken Arok berdua.
Kini mereka berdiri menepi. Mereka melihat Kuncang dengan mata menyala karena kemarahan yang membakar dadanya, maju setapak demi setapak mendekati Ken Arok yang berdiri tegak dengan pedang ditangannya.
"Hem, kau merasa bangga, bahwa kau dapat mengalahkan bayi-bayi ingusan itu?"
Ken Arok menganggukkan kepalanya sambil menjawab, "Ya. Aku berbangga sekali".
Jawaban itu sama sekali tidak terduga-duga oleh Panji Kuncang sehingga juttru ia terdiam sejenak. Namun yang terdengar adalah suara Panji Bawuk, "Hati-hatilah Kuncang. Orang ini agaknya cukup berbisa. Lihat, betapa tenang matanya dan betapa yakin ia menggenggam pedangnya".
Ken Arok berpaling. Dipandanginya wajah Panji Bawuk sekilas. Kini orang itu tidak lagi tersenyum-senyum. Wajahnya menjadi semakin bersungguh-sungguh.
"Kenapa dengan tikus itu", mereka dikejutkan oleh pertanyaan dari pintu rumah mereka. Serentak mereka berpaliug, dan melihat isteri muda Bango Stmparan berdiri bertolak pinggang, "Apakah kalian tidak mampu menyelesaikan".
"Tunggu", terdengar suara Bango Samparan pula. Dijengukkannya kepalanya dari balik pintu rumahnya di belakang isteri mudanya, "Hentikan pertengkaran itu".
"Apa, apa?" isteri mudanya berteriak sambil memutar tubuhnya. Sekali lagi ia menyeret Bango Samparan menghilang di balik pintu rumahnya.
Sekali lagi Ken Arok menarik nafas dalam-dalam. Bango Samparan benar-benar tidak berdaya menghadapi istri mudanya. Sampai pada persoalan nyawa sekalipun ia tidak berani berbuat sesuatu.
Ken Arok menengadah wajahnya ketika ia mendengar Kuncang berkata sambil menggeretakkan giginya "Sekarang kau lawan aku Ken Arok. Kalau kau masih juga ingin memperpanjang umurmu barang sekejap, ayo, lawanlah".
Dan tanpa diduganya pula Ken Arok menjawab "Aku ingin memperpanjang umurku tidak hanya sekejap".
"Apa kau sangka kau akan mampu meninggalkan halaman ini?" teriak Kuncang.
"Ya, aku memang mengira bahwa aku akan keluar dari halaman ini dengan selamat dan tanpa rintangan apa pun. Aku dapat berbuat sekehendakku tanpa seorang pun dapat menahan. Kalian juga tidak".
Kemarahan Kuncang telah membakar seluruh kepalanya, sehingga tanpa berbicara lagi, ia langsung melompat sambil menyerang.
Terasa oleh Ken Arok, bahwa serangan ini sama sekali berbeda dengan serangan Kenengkung dan bahkan Kunal. Meskipun Kuncang adalah kakak langsung Panji Kunal, namun ternyata tingkat ilmu mereka agak jauh berbeda. Kuncang memiliki tenaga yang cukup kuat, serta kecepatan bergerak yang tinggi. Dalam saat-saat permulaan dari perkelahian itu, senjatanya telah berputaran dengan dahsyatnya.
Untuk melawannya Ken Arok harus menjadi semakin berhati-hati. Kuncang yang agaknya memiliki pengalaman yang cukup luas, seperti yang dikatakan oleh kakaknya, bahwa ia mampu menjaga dirinya terhadap lawan-lawannya.
"Lawanmu kali seorang Pelayan Dalam Istana Tumapel Kuncang" berkata Panji Bawuk, "Pelayan tidak berbeda dengan seorang prajurit. Apalagi prajurit yang satu ini mempunyai pengalaman yang luas sekali. Mungkin sebagai seorang prajurit ia belum mendapat pengetahuan apapun, karena selama ini ia sekedar menjadi petugas yang diletakkan di Padang Karautan, bukan untuk berperang, tetapi untuk membuat bendungan. Namun pengalamannya sebagai penyamun yang berkeliaran di segala tempat, agaknya sangat berbahaya bagimu".
Panji Kuncang menggeram. Namun tandangnya menjadi semakin garang. Senjatanya mematuk-matuk dari segala arah, berputaran seperti asap yang bergulung-gulung melanda lawannya.
Ken Arok kini tidak lagi dapat bermain-main, seperti pada waktu ia berkelahi melawan Kunal dan Kenengkung. Sambaran senjata Kuncang cukup berbahaya baginya. Parang yang panjang itu terayun-ayun, dengan dahsyatnya.
Sejenak kemudian mereka segera terlibat dalam perkelahian yang sengit. Kadang terdengar dentang senjata mereka beradu. Semakin lama semakin sering. Kuncang pun menjadi semakin bernafsu. Benturan-benturan senjata di antara mereka, sama sekali tidak mencemaskan hati Panji Kuncang. Tangan Ken Arok ternyata terasa terlampau kuat. Benturan-benturan yang terjadi, tidak menggetarkan parangnya. Bahkan sekali-kali Ken Arok terpaksa berloncatan surut.
"Akan lari kemaua kau anak setan?" teriak Kuncang. Ken Arok tidak menjawab. Ia sedang mencoba mendapatkan kesan dari Panji Bawuk, saudara tertua dari anak-anak Bango Samparan itu.
Wajah Panji Bawuk yang semula mulai menegang kini telah tampak dibayangi oleh senyumnya yang penuh rahasia itu lagi. Ia melihat bahwa Kuncang segera dapat mendesak lawannya. Ketika Ken Arok terdorong beberapa langkah surut, maka Panji Bawuk itu tertawa sambil berkata "Nasibmu memang terlampau jelek hari ini Ken Arok. Selama ini kau mendapat kesempatan yang tidak terduga-duga. Kau pada saat-saat kelaparan datang merunduk-runduk ke rumah ini, tetapi setelah kau menjadi seorang prajurit yang agak baik, kau sudah melupakan kami. Kau tidak pernah lagi menginjakkan kakimu di halaman rumah ini. Dan kini, aku tidak tahu, nasib apakah yang telah menuntunmu kemari. Eh, barangkali kau jumpa dengan ayah diperjalanan dan kau tahu bahwa ayah sedang berusaha untuk memiliki seberkas perhiasan sehingga kau dengan merunduk-runduk pula datang kemari".
Dada Ken Arok berdesir mendengar kata-kata Panji Bawuk. Agaknya mereka, anak-anak Bango Samparan itu telah tahu, bahwa Bango Samparan membawa seikat perhiasan.
"Jangan ingkar Ken Arok. Perhiasan itulah yang menuntunmu kemari".
Tanpa sesadarnya tiba-tiba Ken Arok bcrtanya, "Darimana kau tahu hal itu?"
Panji Bawuk tertawa terbahak-bahak. Disela-sela suara tertawanya ia berkata, "Ha, dengan tidak langsung kau mengaku bukan?"
Ken Arok tidak menjawab, karena serangan Panji Kuncang menjadi semakin dahsyat membelit dirinya.
Tiba-tiba dari dalam rumah terdengar suara Bango Samparan, "Darimana kau tahu he, dari mana?"
Suara tertawa Panji Bawuk semakin menggelegar. Las-lasan ia berkata, "Seseorang singgah kemari. Nafasnya terengah dan bahkan ia hampir mati. Katanya, ayah sedang berkelahi dibantu oleh seorang anaknya laki-laki. Ayah sedang memperebutkan seberkas perhiasan yang sangat berharga. Nah, benarkah kata-kata orang itu?"
"Kalau kau dengar kabar itu, kenapa kalian tidak segera datang membantu?" bantah Bango Samparan dari dalam rumahnya.
"Ayah telah disertai seorang anaknya. Anak laki-laki yang tampan dan bernama Ken Arok. Buat apa kami datang membantu ayah" Bukankah ayah telah berhasil memenangkan perkelahian itu dan membawa seberkas perhiasan pulang" Nah, kini datang gilirannya untuk menyingkirkan Ken Arok, supaya ia tidak ikut serta berebut perhiasan itu. Bukankah persoalannya menjadi jelas" Perhiasan itu hanya boleh jatuh ketangan kami, keluarga kami.Tidak kepada orang lain yang selama kami dalam kesulitan sama sekali tidak mau tahu, meskipun pada saat kelaparan ia menjilat kaki kami".
Ken Arok yang masih bertempur melawan Panji Kuncang mendengarkan keterangan-keterangan Panji Bawuk itu dengan getar yang semakin cepat di dadanya. Agaknya seseorang yang telah singgah di rumah ini, adalah kawan Bango Samparan yang masih hidup dan melarikan diri dalam kesempatan yang diberikan oleh Ken Arok. Agaknya orang itu tahu, bahwa Bango Samparan tidak juga segera lari meninggalkan arena, sehingga ia memerlukan singgah di rumah Bango Samparan untuk mengabarkan hal itu.
"Nah Ken Arok", berkata Panji Bawuk, "Agaknya sudah jelas bagimu, kenapa kami bernafsu untuk membunuhmu. Bagi kami lebih baik membunuh kau sama sekali dari pada mengusir kau dari halaman ini.Sebab dengan demikian, persoalan antara kita belum dapat dianggap selesai. Tetapi kalau kau sudah terbunuh, maka tidak akan ada persoalan lagi di antara kita tentang permata itu".
Ken Arok msnjadi semakin muak melihat sikap-sikap itu, sehingga ia tidak dapat menahan hati lagi untuk menjawab sambil berkelahi, "He, Panji Bawuk, apakah kau sudah melihat permata yang kau katakan itu?"
Panji Bawuk mengerutkan keningnya. Tetapi kemudian ia tertawa, "Tentu belum. Bukankah kalian baru saja datang" Tetapi apabila kau sudah mati, maka kami akan segera melihatnya".
"Bagaimana kalau permata itu sama sekali tidak berharga, karena dipalsukannya".
"He?" wajah Panji Bawuk menegang, tetapi sekali lagi ia tertawa, "O, kau sedang mencari jalan untuk menyelamatkan dirimu Ken Arok" Jangan kau sangka, bahwa kami akan mempercayaimu. Seandainya permata itu palsu sekalipun, kami tidak akan terugikan karena kami telah membunuhmu".
Yang terdengar adalah gemeretak gigi Ken Arok. Seolah-olah ia sudah tidak akan mampu lagi menekan diri. Seandainya, seandainya ia bukan seorang prajurit, seandainya ia tidak pernah tinggal di rumah ini sebagai seorang anak yang hampir kelaparan, seandainya isteri tua Bango Samparan tidak terlampau baik kepadanya, seandainya, seandainya ya banyak sekali persoalan yang harus dipertimbangkan.
"Akibat dari keadaanku masa lalu, ketika aku mendapat perlakuan baik dari orang-orang di sekitarku. Aku tidak dapat melupakan hutang budi itu".
Tetapi sikap keempat anak-anak muda itu benar memuakkan Ken Arok.
Dalam pada itu Panji Bawuk berkata, "Ken Arok, kami sudah mendengar seluruhnya, meskipun dengan singkat. Bahwa, kau telah berkelahi melawan seseorang yang disangka membawa permata-permata itu".
"Tetapi aku hanya memberi kesempatan kepada orang itu dan kepada ayah untuk lari, sampai datang saatnya aku sendiri lari dari arena" Ken Arok mencoba membantah.
"O, begitu?" suara Bango Samparan meninggi, "tetapi Ken Arok kalau begitu, maka kau tidak akan singgah kemari. Kalau kau dan ayah tidak berbasil bersama-sama membunuh orang yang disebutnya bekas seorang prajurit Kediri itu, kau pasti tidak akan sudi lagi menginjakkan kakimu di halaman yang pasti kau anggap terlampau kotor ini, karena kakimu biasa berpijak di halaman istana yang gilar-gilar seperti permadani".
Dada Ken Arok menjadi kian menyesak. Itulah penilaian orang seperti Panji Bawuk terhadapnya, seperti ia menilai dirinya sendiri. Anak sulung Bango Samparan itu menganggap bahwa setiap orang selalu dicengkam oleh pamrih yang berlebih-lebihan, sehingga tanpa pamrih, maka. seseorang pasti tidak akan berbuat sesuatu.
Panji Bawuk itu mengangkat wajahnya ketika ia mendengar suara Bango Samparan berteriak dari dalam rumahnya, "Kau keliru Bawuk.Ken Arok sebenarnya tidak tahu menahu tentang permata-permata yang kau katakan itu".
"Diam kau" teriak isteri mudanya.
"Tetapi anak-anak itu harus bersikap adil".
"Sikap yang dilakukannya sekarang adalah sikap yang seadil-adilnya".
"Tetapi mereka hanya bernafsu untuk membunuh tanpa mengetahui persoalan yang sebenarnya".
"Apakah kau sudah mulai lagi he?" isteri mudanya itu berteriak semakin keras, "Kau akan membela anak keparat itu"Ayo, lakukan, lakukan?"
"Bukan begitu, aku ingin semua menjadi baik tanpa kekerasan seperti ini".
"Kapan kau menjadi takut melihat kekerasan. Sejak kapan he?"
Suara Bango Samparan terdiam ketika isterinya berteriak dan berteriak semakin keras. Sedang di halaman perkelahian antara Panji Kuncang dan Ken Arok masih berlangsung dengan serunya. Namun dalam pada itu, Ken Arok telah menemukan rahasia perlawanan Panji Kuncang. Setelah Panji Kuncang mengerahkan kemampuannya, maka segera Ken Arok tahu, bahwa anak ini pun sama sekali bukan lawannya. Meskipun demikian, Ken Arok tidak segera berbuat terlampau jauh. Kekangan atas dirinya sendiri masih cukup kuat. Apalagi pedang yang dibawanya adalah pedang keprajuritan Tumapel. Apabila pedang itu mencabut nyawa seseorang, maka ia harus mempertanggung jawabkan sepenuhnya, bertanggung jawab sebagai seorang prajurit, apalagi sebagai seorang yang pernah berlindung di dalam rumah ini juga pada saat yang paling sulit.
Itulah sebabnya maka Ken Arok selalu mengekang kemarahan dan segala macam perasaan muak di dalam dadanya. Dilayaninya saja Panji Kuncang seperti ia melayani anak-anak sedang bermain-main. Betapapun lincah dan cepatnya Kuncang mempermainkan senjatanya, namun bagi Ken Arok yang pernah berkelahi melawan seseorang semacam Kebo Sindet, maka pekerjaannya kali ini terasa tidak terlampau berat. Yang sangat berat baginya justru bagaimana ia tetap mampu menguasai perasaannya yang ingin melonjak-lonjak.
"Tetapi apakah Panji Bawuk masih juga setingkat dengan adiknya?" bertanya Ken Arok di dalam hatinya.Tetapi menilik sikap dan ketenangannya, maka anak muda itu benar-benar harus diperhitungkan.
Sementara itu perempuan tua yang semula berdiri di samping rumah kini tegak bersandar dinding. Ia tidak sampai hati melihat Ken Arok mengalami perlakuan yang demikian jeleknya dari anak-anak madunya, meskipun madunya itu saudaranya sendiri. Tetapi ia berkeinginan untuk melihat akhir dari peristiwa yang sangat menyakitkan hati itu. Karena itu, kadang-kadang ia mencoba melihat perkelahian itu dari sela-sela dedaunan, namun kadang-kadang ia menutup wajahnya dengan kedua tangannya.
Panji Kuncang yang tidak segera berhasil mengalahkan lawannya, menjadi semakin marah. Menurut penilaiannya, Ken Arok bukan lawan yang terlampau berat. Benturan-benturan senjata diantara mereka, sama sekali tidak menumbuhkan getaran yang mengganggu tangannya. Namun, sampai begitu lama, ia sama sekali tidak berhasil menyentuh lawannya.
Sedang Ken Arok yang telah menemukan penilaian yang mantap, membiarkannya berkelahi sampai ia kehabisan tenaga. Ken Arok ingin, Kuncang nanti tidak akan mengganggunya apabila Panji Bawuk yaag harus dilawannya. Kalau tenaga Kuncang ini sudah terperas habis, maka peranannya sama sekali sudah tidak akan berarti lagi meskipun ia akan membantu kakaknya nanti. Itulah sebabnya Ken Arok membiarkannya berkelahi terus, seolah-olah keadaan mereka tetap seimbang, sedang bagi Ken Arok permainan yang demikian sama sekali tidak melepaskan terlampau banyak tenaga. Tenaga yang tersimpan di dalam diri anak muda yang ajaib itu. Tenaga yang mampu menyamai tenaga beberapa orang pilihan.
Meskipun tampaknya perkelahian antara Panji Kuncang dan Ken Arok itu menjadi semakin seru, tetapi sebenarnya tidak terjadi apapun atas Ken Arok itu. Nafasnya masih tetap teratur dan tenaganya masih tetap segar, meskipun ia berusaha menunjukkan bahwa ia pun telah menjadi lelah.
Maka perhatian Ken Arok selanjutnya pasti akan terpusat kepada Panji Bawuk. Meskipun Ken Arok tidak akan meremehkannya, namun menilik tingkat ilmu Panji Kuncang, maka setidak-tidaknya ia tidak akan menjadi bahan permainan yang menyenangkan bagi Panji Bawuk. Bahkan seandainya mereka berempat bergabung menjadi satu, maka Ken Arok masih juga akan mampu bertahan.
Tetapi Ken Arok tidak boleh segera berbesar hati. Ia belum pernah melihat Panji Bawuk berbuat sesuatu. Itulah sebabnya, maka ia masih harus tetap berwaspada.
Namun ia masih tetap dalam pendiriannya, membuat Kuncang tidak berdaya tanpa membuat persoalan menjadi semakin parah. Kalau Kuncang nanti berhenti dengan sendirinya karena kelelahan, maka kesannya pasti akan berbeda daripada ia menjatuhkannya, atau melukainya bahkan membunuhnya.
Demikianlah maka perkelahian itu masih juga berlangsung dengan sengitnya. Panji Bawuk yang telah mulai tertawa-tawa itu kini menjadi tegang kembali. Wajahnya mulai berkerut-merut dan dari matanya yang menyimpan seribu macam rahasia itu terpancar seribu macam pertanyaan.
Kini ia mengikuti perkelahian itu dengan saksama. Tetapi ternyata Ken Arok dapat melakukan peranannya dengan sempurna. Bahkan kemudian memang timbul di hati Ken Arok, untuk mempermainkan anak-anak Bango Samparan yang sambong itu.
"Aku harus membuat mereka jera" katanya di dalam hati, "Mereka harus menyadari, bahwa mereka bukan orang yang paling kuat di dunia. Bahwa mereka tidak dapat berbuat sewenang-wenang dan sekehendak mereka sendiri tanpa mengingat kepentingan orang lain".
Kini Ken Arok telah berhasil mengatasi kesulitan di dalam dirinya sendiri. Ia tidak lagi dicengkam oleh kebencian dan muak yang berlebih-lebihan sehingga tidak lagi tumbuh niat di dalam hatinya, betapapun buramnya, nafsu untuk membinasakan lawannya, yang harus dikekangnya kuat-kuat.
Tetapi yang terjadi atas Panji Kuncang adalah sebaliknya. Kalau Ken Arok kini telah menemukan kemantapan diri, sehingga perasaannya tidak lagi bergejolak, maka Panji Kuncang menjadi semakin membara dibakar oleh kemarahannya. Apapun yang telah dilakukannya, sama sekali tidak berhasil membuat lawannya lumpuh. Meskipun kadang-kadang ia berhasil mendesak Ken Arok, dan bahkan berhasil mendorongnya beberapa langkah surut dan tampaknya menjadi kebingungan, namun setiap kali lawannya itu berhasil menemukan keseimbangannya lagi.
Dengan demikian, maka semakin lama Panji Kuncang menjadi semakin bermata gelap. Tandangnya menjadi semakin kasar dan tidak terarah. Ia menyerang sejadi-jadinya, semakin lama semakin garang dan bahkan menjadi liar seperti serigala mencium bau darah.Tetapi seekor kambing yang sudah berada di depan hidungnya tidak berhasil segera diterkamnya.
Namun semakin bernafsu, maka Kuncang semakin mengerahkan segenap tenaganya. Keringatnya membasahi segenap tubuhnya seperti terperas. Kulitnya yang berwarna sawo menjadi kemerah-merahan dan berkilat tersentuh sinar matahari yang menyusup dari sela-sela dedaunan. Sehingga dengan demikian maka ia telah hampir kehilangan pengamatan atas gerak dan sikapnya. Kadang-kadang ia bahkan kehilangan keseimbangan karena tenaganya sendiri. Ayunan senjatanya sendiri kadang-kadang telah menyeretnya sehingga anak muda itu hampir jatuh terjerembab.
Dalam keadaan yang demikian, betapapun Ken Arok mencoba menyesuaikan dirinya, namun mata Panji Bawuk yang aneh itu akhirnya melihat juga kejanggalan-kejanggalan yang terjadi. Ken Arok telah terlampau banyak melepaskan kesempatan yang dapat dipergunakan untuk membinasakan lewannya seandainya ia mau. Tetapi kesempatan itu dilampauinya saja. Betapa ia membuat dirinya seperti lawannya, namun kemudian menjadi semakin jelas, bahwa ia telah berbuat tidak sewajarnya.
Justru sikap itulah yang telah membuat dada Panji Bawuk serasa menjadi retak. Baginya itu adalah suatu penghinaan. Penghinaan tiada taranya bagi adiknya dan sudah tentu bagi dirinya sendiri.
Panji Bawuk itu pun menggeretakkan giginya. Wajahnya kini seakan menyala. Ternyata bahwa tanggapan atas perkelahian antara adiknya dan Ken Arok itu terlampau jauh meleset.
Untuk menebus penghinaan itu, maka Panji Bawuk merasa perlu berbuat sesuatu yang dapat menghentakkan perasaan Ken Arok, agar ia tidak menganggap, bahwa seluruhnya, keempat saudara itu hanya sekedar pantas untuk dibawa bermain-main.
Karena itu, maka disela-sela gemeretak giginya terdengar ia menggeram.Sekali lagi diamatinya perkelahian yang semakin lama menjadi semakin lemah. Kadang-kadang Kuncang tidak lagi dapat menahan tarikan senjatanya sendiri, sehingga ia jatuh di atas lututnya.Namun sementara itu, Ken Arok pun tidak segera dapat mengangkat pedangnya. Tertatih-tatih ia mencoba mendekati lawannya yang sedang berlutut itu, tetapi sementara itu nafasnya sendiri seolah-olah akan menjadi putus.
Tetapi Ken Arok itu terkejut, ketika tiba-tiba ia mendengar Panji Bawuk berteriak nyaring. Tanpa sesadarnya, baik Ken Arok maupun Panji Kuncang tertegun. Mereka serentak berpaling, dan melihat Panji Bawuk meloncat sambil mengayunkan parangnya dengan dahsyatnya.
Semua dada mereka yang melihat serasa terguncang. Parang Panji Bawuk yang terayun itu langsung menghantam sebatang pohon kemiri yang sedang berbuah lebat.
Akibatnya benar-benar luar biasa. Yang terdengar kemudian adalah derap buah-buah kemiri yang rontok di tanah.Namun kemudian terdengar pula gemeretak batang kemiri itu. Perlahan-lahan, semakin lama semakin keras. Perlahan-lahan batang kemiri itupun bergerak pula. Semakin condong. Akhirnya terdengar suara gemuruh di halaman rumah Bango Samparan, sehingga baik isteri mudanya, isteri tuanya dan Bango Samparan sendiri berloncatan keluar dari rumahnya.
"Kenapa dengan pohon kemiri itu?" teriak isteri muda Bango Samparan.
Tidak ada seorang pun yang menjawab. Tetapi mereka melihat Panji Bawuk berusaha menarik pedangnya yang terjepit di atas batang kemiri yang patah itu.
"Kau tebang pohon itu?" bertanya isteri muda Bango Samparan itu.
Panji Bawuk tidak menjawab. Tetapi ia berteriak kepada Ken Arok, "Nah anak yang sombong. Sekarang buatlah penilaian atas keluarga kami. Kau telah mencoba menghina kami dalam perkelahianmu melawan Kuncang dan anak-anak ingusan itu. Kau sangka bahwa dengan demikian kau akan berhasil membujuk hati kami" Tetapi kau salah. Penghinaan itu justru menuntut kepada keluarga kami untuk membinasakan kau secepat-cepatnya. Jangan kau sangka, bahwa di antara kami sama sekali tidak ada kekuatan yang dapat kami banggakan. Sekarang kau dapat memperhitungkan, apakah kau mampu melawan ayunan parangku dengan pedang prajuritmu. Kalau pedang itu tidak patah maka tanganmulah yang akan patah. Nah, apakah kau akan mencobanya?"
Sesaat Ken Arok berdiri diam. Dipandanginya wajah Panji Bawuk yang seolah-olah sedang terbakar. Matanya menyorotkan kebencian tiada taranya, serasa api yang menjilat jantungnya.
"Kuncang, minggir" nada suara Panji Bawuk merendah.
"Aku hampir menyelesaikannya kakang" sahut Kuncang.
"Kau gila. Kunal dan Kenengkung pun sudah gila. Kalian membuat keluarga kami malu.Apakah kau tidak sadar, bahwa Ken Arok hanya sekedar mempermainkan kalian".
Panji Kuncang mengerutkan keningnya. Di sela-sela nafasnya yang memburu ia menjawab, "Ken Arok hampir mati kehabisan nafas".
"Kau yang gila. Kaulah yang akan mati kehabisan nafas. Kau tidak sadar, bahwa Ken Arok sengaja memancingmu untuk berkelahi terus dan membiarkan kau terkapar karena pokalmu sendiri. Apakah kau sangka bahwa Ken Arok telah benar-benar kehabisan nafas".
"Ia sudah tidak mampu lagi mengayunkan pedangnya".
"Anak gila. Kau adalah anak yang paling bodoh di dunia".
Panji Kuncang masih akan menjawab. Tetapi tiba-tiba Panji Bawuk itu meloncat dengan derasnya sambil mengayunkan parangnya menyambar leher Ken Arok yang berdiri termangu-mangu.
Ken Arok terkejut melihat serangan yang tiba-tiba itu. Mata parang Panji Bawuk meluncur seperti kuku-kuku harimau yang terbang untuk menerkamnya.
Tetapi Ken Arok mempunyai tanggapan naluriah yang terlampau tajam menghadapi suatu keadaan yang tiba-tiba. Karena itu, maka seperti tergerak oleh dorongan urat-uratnya yang bekerja sendiri, Ken Arok pun meloncat dengan cepatnya, menghindari sambaran parang Panji Bawuk itu. Dengan sigapnya ia merendah, melontarkan diri beberapa langkah kesamping.
Namun agaknya Panji Bawuk tidak berhenti. Begitu kakinya berjejak di atas tanah, maka segera tubuhnya terlempar kembali memburu lawannya dengan parang berputar seperti baling-baling.
Sekali lagi Ken Arok terus menghindar. Kali ini ia menjadi semakin mapan, sehingga dengan lincahnya ia meloncat beberapa langkah surut tanpa kesulitan apapun. Dan dengan segera pula ia bersiaga untuk menghadapi seranganserangan Panji Bawuk selanjutnya. Pedangnya kini bersilang di depan dadanya, lututnya sedikit merendah, dan satu telapak tangannya terkembang di atas pergelangan tangannya yang lain.
Tetapi Ken Arok itu menjadi heran.Panji Bawuk tidak memburunya lagi. Kini ia berdiri tegak sambil menyeringai. Katanya, "Kuncang, bukalah matamu. Itukah gambaran seseorang yang telah kehabisan nafas dan bahkan hampir mati membeku. Itukah gambaran seseorang yang sudah tidak mampu lagi menggerakkan pedangnya karena kelelahan" Nah, bandingkan dengan jalan nafasmu sendiri. Apakah kau dapat melihat perbedaannya" Dan apakah kau masih juga akan berkata bahwa kau sudah hampir berhasil karena Ken Arok sudah kehabisan nafas?"
Panji Kuncang berdiri membeku seperti tonggak yang terpancang di regol halaman. Kini ia baru menyadari kebenaran kata-kata kakaknya, bahwa sebenarnya Ken Arok sama sekali belum kehabisan nafas seperti yang diduganya.
Tiba-tiba terasa tengkuk Panji Kuncang itu meremang, di samping keheranan yang menjalari hatinya. Kenapa Ken Arok berbuat demikian" Kenapa ia berpura-pura kehabisan tenaga dan tidak membunuhnya. Ketika ia jatuh berlutut, dan dengan susah payah berdiri bertelekan senjatanya, adalah merupakan kesempatan yang sebaik-baiknya bagi Ken Arok untuk membunuhnya. Kalau bagi Ken Arok itu meloncat dan mengayunkan pedangnya, maka ia pasti tidak akan mendapat kesempatan untuk berbuat apapun. Pedang itu pasti akan menebas lehernya, atau menghunjam di punggungnya. Tetapi Ken Arok tidak berbuat demikian.
"Anak itu harus memperhitungkan kehadiran kakang Panji Bawuk", Kuncang mancoba mencari jawab. "Seandainya ia ingin berbuat demikian, ingin membunuhku, maka kakang Panji Bawuk yang mumpuni itu pasti mampu mencegahnya". Kuncang kini mengangguk-angguk, tetapi pertanyaan itu timbul pula, "Tetapi kenapa ia tidak mencobanya, bahkan berpura-pura kelelahan juga".
Terasa benturan-benturan perasaan bergejolak di dalam dada Panji Kuncang. Tetapi ia mencoba menemukan jawabnya pada keterangan kakaknya, "Ken Arok dengan sengaja telah menghina keluarga kami. Ia ingin melihat aku jatuh karena pokalku sendiri. Dan penghinaan yang demikian benar-benar tidak dapat dimaafkan".
Kini Kuncang menggeretakkan giginya. Tetapi ia terbungkam ketika ia mendengar kakaknya bertanya, "Kau mau apa lagi he?"
Panji Kuncang menelan ludahnya. Titik-titik keringat kini mengembun di atas keningnya, menetes satu-satu ditubuhnya yang telah basah.
Kini Panji Bawuk berdiri dengan parangnya tergenggam erat-erat. Dipandanginya Ken Arok dengan matanya yang merah oleh kemarahan yang bergejolak tanpa terkendalikan lagi. Penghinaan itu benar-benar membuatnya mata gelap.
"Sudahlah, sudahlah" suara Bango Samparan sendat.
"Hajar anak gila itu" teriak isteri mudanya.
"Sudahlah" berkata Bango Samparan pula.
"Ia menghina keluarga kami ayah" jawab Panji Bawuk, "Ia menganggap bahwa kami tidak cukup bernilai untuk bertempur beradu dada. Ia menganggap Kuncang seperti anak-anak yang merengek-rengek berebut permainan. Dan Ken Arok sebagai saudara tua merasa wajib untuk mengalah. Tetapi bukankah itu suatu penghinaan" Apakah disangkanya kita tidak berani menitikkan darah" Bagiku ayah, lebih baik mati ditebas senjata dari pada mendapat penghinaan serupa itu".
"Tetapi tidak baik kalian semakin jauh tenggelam dalam pertengkaran yang tidak berujung pangkal".
"Aku akan membunuhnya".
"Kalau kau berpangkal pada perhiasan-perhiasan itu, baiklah aku memberi penjelasan.Perhiasan itu sama sekali tidak ada padaku".
Panji Bawuk mengerutkan keningnya. Dipandanginya wajah ayahnya sejenak, kemudian wajah Ken Arok, ibunya dan setiap wajah di halaman itu. Namun kemudian ia menggeram, "Aku tidak percaya".
"Aku berkata sebenarnya.Orang yang membawa permata itu berhasil melarikan dirinya. Kami sudah berusaha tetapi kami tidak berhasil".
Sekali lagi Panji Bawuk terdiam. Sekali lagi ditatapnya wajah ayahnya dengan pandangan yang aneh.
"Kau menipu kami" teriak isteri mudanya, "Kau pasti membawa perhiasan itu. Nah, kalau kau ingkar, maka apakah perhiasan itu sudah kau janjikan akan kau berikan kepada Ken Arok?"
"O, kau mengigau lagi" Bango Samparan mencoba mengelak, "Kalau aku ingin memberikan kepadanya, kenapa aku membawanya kemari" Aku sudah dapat membayangkan kalau permata itu ada padaku, dan Ken Arok datang ke rumah ini, maka yang akan terjadi adalah seperti ini. Tetapi permata itu tidak ada padaku".
Sejenak mereka terbungkam. Sorot-sorot mata mereka membayangkan perasaan yang tidak dapat ditebak.
Ken Arok ysng berdiri tegak ditempatnya, merasakan seolah-olah dadanya telah diguncang-guncang oleh berbagai macam perasaan. Ia mengumpat pula di dalam hatinya mendengar kata-kata Bango Samparan yang mengingkari permata yang dibawanya. Kalau maksudnya untuk mencegah perkelahian dan pertumpahan darah, Ken Arok menunduk hormat kepadanya. Tetapi menilik sikap dan keadaan rumah itu, maka Bango Samparan memang akan ingkar. Ia akan menyembunyikan permata itu, dan tidak memperlihatkan kepada anak-anaknya.
Tiba-tiba mereka yang sedang termenung itu dikejutkan oleh suara Panji Bawuk "Persetan dengan permata itu. Ken Arok sudah menghina kami. Ia harus mati".
"Sama sekali ia tidak bermaksud menghina" bantah Bango Samparan.
"Diam kau" bentak isteri mudanya.Kemudian kepada Panji Bawuk ia berkata, "Lakukanlah. Biarlah aku yang mengurus tentang permata itu. Aku yakin bahwa permata itu masih ada padanya".
"Sebaiknya Ken Arok meninggalkan tempat ini" terdengar suara yang lain dari sudut rumah, suara isteri tua Bango Samparan.
"Persetan" isteri mudanyalah yang menyahut, "Kita tidak akan kehilangan apapun kalau anak itu mati. Kita akan menjadi puas, dan seterusnya kita tidak akan selalu dibayanginya. Kalau kita menunda-nunda persoalan tanpa membuat penyelesaian, maka kita akan selalu dihantui oleh persoalan itu sepanjang hidup kita. Siapa tahu, karena Ken Arok menjadi sakit hati, ia akan membawa kawan-kawannya prajurit-prajurit Tumapel datang ke tempat ini. Siapa tahu, ia melaporkan kepada tuannya, Akuwu Tunggul Ametung. O, jangan sampai Akuwu itu datang kemari. Ia akan melihat anak gadis kita. Ia pasti akan menculiknya seperti ia menculik anak Panawijen itu".
Suatu desir yang tajam tergores di hati Ken Arok. Betapa isteri Bango Samparan itu tidak tahu diri. Adalah mustahil Akuwu akan melakukannya atas gadis kecil anak Bango Samparan yang sampai saat itu masih belum dilihatnya di halaman yang kotor itu, meskipun seluruh keluarganya yang lain telah lengkap dan sedang mempersoalkannya.
Tetapi yang penting bagi Ken Arok kini adalah mempersiapkan dirinya untuk menghadapi Panji Bawuk. Berbeda dengan adik-adiknya, maka agaknya Panji Bawuk benar-benar mempunyai bekal yang cukup untuk menengadahkan dadanya. Karena itu untuk menghadapinya, Ken Arok pun harus bersikap lain.
Namun dalam pada itu dengan cemas Bango Samparan berkata, "Panji Bawuk. Apakah keuntunganmu dengan membunuh anak itu" Kalau kau memang tidak dapat menerimanya di rumah ini meskipun hanya singgah sebentar biarlah ia pergi.Tetapi jangan kau perlakukan ia seperti kau memperlakukan orang-orang lain yang menyakiti hatimu".
Panji Bawuk menggeram. Katanya, "Ia telah menghina kami. Kalau sejak ia menginjakkan kakinya di halaman ini, ia menurut perintah Kuncang untuk pergi, maka ia tidak akan menyesal seperti sekarang. Tetapi kini sudah terlambat".
"Tetapi ia belum mendapat apa-apa" bantah Bango Samparan yang menjadi semakin cemas, "Biarlah ia pergi. Aku tahu Panji Bawuk, bahwa kau mempunyai kekuatan yang luar biasa. Kau sanggup merobohkan pohon kemiri itu dengan sekali ayunan parangmu".
"Tidak ada jalan untuk keluar dari halaman ini".
"Aku minta untuknya. Akulah yang membawanya kemari.Dan akulah yang minta supaya ia dapat meninggalkan tempat ini. Apabila lain kali kau bertemu dengannya, maka terserahkah kepadamu apa yang akan kau lakukan".
"Aku tidak mau kehilangan kesempatan. Aku akan melakukannya kali ini".
Bango Samparan masih akan menjawab lagi. Tetapi sekali lagi ia ditarik oleh isteri mudanya, dan menyeretnya masuk ke dalam rumah.
"Ayo, masuk saja kau" bentak isterinya itu.
"Tetapi aku harus mencegah perkelahian itu" teriak Bango Samparan.
"Kalau kau masih membantah juga, aku panggil Panji Bawuk atau Kuncang atau yang lain untuk membungkam mulutmu".
Bango Sampiran terdiam. Meskipun demikian ia masih juga berusaha menjengukkan kepalanya di pintu rumahnya. Karena isteri mudanya sendiri juga ingin melihat apa yang akan terjadi, maka dibiarkannya saja Bango Samparan berdiri sambil mengulurkan kepalanya.
Kini Kuncang, Kunal dan Kenengkung telah menepi. Yang berdiri berhadapan adalah Panji Bawuk dan Ken Arok.Masing-masing dengan senjata di tangan.
Sejenak mereka berdiri tegak dengan mulut terkatup rapat. Betapa kemarahan telah menjalari segenap urat darah Panji Bawuk. Ketika ia setapak maju, maka Ken Arok pun surut selangkah.
Tetapi Panji Bawuk mendesaknya terus. Matanya yang menyala menjadi semakin merah, seakan-akan basah oleh darahnya yang menggelegak.
"Kau tidak dapat lari anak malang" terdengar suara Panji Bawuk dalam nada yang datar.
Dada Ken Arok berdesir melihat sikap dan pandangan mata Panji Bawuk yang semakin lama menjadi semakin liar, sehingga ia bergumam didalam hatinya, "Semoga aku tidak kehilangan akal. Kalau aku terpaksa melakukannya, maka hal itu hanya terjadi karena aku tidak mempunyai jalan lain, atau aku sendirilah yang akau binasa".
"Katakanlah kalau kau mempunyai pesan" Panji Bawuk menggeram pula, "Sebentar lagi kau akan mati. Aku dapat membunuhmu dengan ayunan parangku yang pertama, seperti aku mampu menebang pohon itu. Tetapi itu terlampau haik untukmu. Kau harus merasakannya, betapa kau menyesali kesombonganmu".
Ken Arok tidak menjawab. Sekilas ia melihat wajah-wajah yang tegang disekitarnya. Ketika ia memandang ke pintu rumah Bango Samparan, dilihatnya orang itu menjengukkan kepalanya dengan penuh kecemasan. Sedang isterinya berdiri dengan tegangnya berpegangan uger-uger pintu. Di samping rumah itu, dibalik serumpun dedaunan, isteri tua Bango Samparan berdiri bersandar dinding sambil menahan rafasnya yang tersengal-sengal.
Peristiwa Merah Salju 9 Pendekar Slebor 51 Rahasia Permata Sakti Lentera Maut 4