Pelangi Dilangit Singosari 31
02 Pelangi Di Langit Singasari Karya S H. Mintarja Bagian 31
Perwira pasukan Pengawal istana itu berpikir sejenak. Dalam keragu-raguan ditatapnya wajah Ken Arok tajam-tajam.
"Percayakanlah ia kepadaku" desis Ken Arok.
"O, jadi kalian menyangka bahwa aku akan lari?" peram Kebo Ijo, "Aku bukan pengecut. Seandainya aku sekalipun yang membunuh Akuwu Tunggul Ametung, aku akan mengangkat dadaku dihadapan siapapun juga. Bahkan dihadapan kakang Witantra" Kebo Ijo menggeretakkan giginya. Katanya kemudian, "Tetapi aku akan membuktikannya. Aku akan membawa keris itu kepada kalian".
Perwira itu tidak menyahut. Betapapun darahnya serasa mendidih, tetapi ia mendapat kesan yang aneh pada Kebo Ijo yang tampaknya benar-benar tidak tahu menahu sama sekali tentang pembunuhan itu. Kebo Ijo sama sekali tidak menunjukkan kecemasan, apa lagi ketakutan tentang kemungkinan-kemungkinan yang dapat membahayakan keselamatannya.
Karena itu maka perwira itu masih saja ragu-ragu.
"Biarlah Kebo Ijo mencoba membuktikan" berkata Ken Arok, "Aku akan menyertainya. Kembalilah kepada Witantra, dan katakan bahwa sebentar lagi kami akan menghadap".
Perwira itu tidak segera menjawab.Ia masih merenungi keadaan yang dihadapinya. Namun sejenak kemudian ia berkata, "Semuanya akan tergantung kepadamu Ken Arok, kepada tanggung jawabmu. Apabila terjadi sesuatu yang tidak menjadi keinginan kakang Witantra, maka kesalahan itu pasti akan dilimpahkan kepadamu. Aku hanya mendapat perintah sekedar menyertaimu. Kaulah yang memang mendapat tugas untuk membawanya ke istana".
"Tanpa orang lain aku akan menghadap sendiri" sahut Kebo Ijo.
Perwira itu mengerutkan dahinya. Tetapi ia masih tetap menahan diri, meskipun seandainya hal itu terjadi di dalam keadaan yang lain, ia pasti sudah bertindak atas kekuasaan yang ada padanya sebagai seorang perwira tinggi di dalam pasukannya. Seandainya Kebo Ijo akan melawan sekalipun, pasti ia akan melakukan kekerasan. Tetapi dalam keadaan kalut itu, ia berusaha untuk tidak menambah pekerjaan Witantra menjadi semakin sulit. Itulah sebabnya ia tetap menahan hati untuk tidak melakukan sesuatu yang dapat membuat keadaan menjadi kian gelap.
"Nah" berkata Ken Arok, "Marilah Kebo Ijo. Kau harus membuktikan bahwa bukan kau yang melakukannya. Keris itu bukan kerismu. Mungkin ada persamaan dalam berbagai hal, dan mungkin ada orang lain yang dengan sengaja menjerumuskan kau dalam kesulitan. Namun tidak ada seorang pun yang mampu membuat keris serupa benar dengan keris asli milikmu itu".
Kebo Ijo tidak menyahut lagi. Segera ia menarik kekang kudanya, berputar pulang ke rumahnya diikuti oleh Ken Arok.
Ken Arok yang masih sempat mendekati perwira itu berbisik, "Percayakan ia kepadaku. Aku adalah sahabatnya, dan aku tahu, betapa ia licik seperti iblis".
Perwira itu mengangguk-anggukan kepalanya, "Ya, ia licik seperti demit. Ia licik seperti iblis".
Sejenak perwira itu memandangi derap kuda Ken Arok yang berpacu di jalan-jalan kota menyusul Kebo Ijo yang sudah hampir hilang di tikungan.
"Hem, mudah-mudahan Ken Arok tidak gagal".
Sekilas tumbuhlah niatnya untuk mengikuti keduanya. Tetapi niat itu pun kemudian diurungkannya. Ken Arok agaknya dapat dipercaya untuk membawa Kebo Ijo ke istana.
Perwira itu tidak mau menyinggung perasaan Ken Arok. Maka ia pun kemudian menggerakkan kudanya, kembali ke istana.Ia harus segera melaporkan apa yang terjadi. Dengan demikian maka orang-orang yang menunggunya di istana tidak menjadi gelisah dan bertanya-tanya.
Mendengar laporan perwira itu, Witantra mengerutkan keningnya. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia bertanya, "Kita menunggu mereka sesaat sebelum mengambil kesimpulan. Mungkin Kebo Ijo benar-benar dapat membuktikan dengan membawa kerisnya kemari. Sehingga dengan demikian namanya pun akan menjadi bersih karenanya".
Perwira itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun sekali lagi ia mendapat kesan, bagaimanapun juga Kebo Ijo adalah adik seperguruan Witantra, sehingga kenyataan yang dihadapinya akan terasa terlampau pahit.
Sementara itu, Kebo Ijo berpacu secepat-cepatnya pulang ke rumahnya diikuti oleh Ken Arok. Tanpa mengurangi kecepatan derap kudanya ia menyelusur jalan-jalan yang semakin kecil. Dengan tergesa-gesa ia meloncat turun ketika ia sampai di muka regol halaman rumahnya yang tertutup. Cepat ia membuka pintu regol itu dan cepat-cepat pula ia melangkah di halaman, naik ke pependapa dan mengetuk pintu pringgitan.
"Siapa?" bertanya isterinya.
"Aku. Aku pulang Nyi" sahut Kebo Ijo. Isterinya terkejut. Dengan tergesa-gesa pula ia membuka pintu. Ketika dilihatnya Kebo Ijo berdiri tegak dalam kegelapan malam, maka dengan cemasnya ia bertanya, "Ada apa kakang" Apakah semuanya sudah selesai?"
Kebo Ijo menggeleng, "Belum Nyai. Semuanya masih gelap".
Isterinya mengangguk-anggukkan kepala, "Tetapi kenapa kakang pulang?"
Kebo Ijo menggeleng-gelengkan kepalanya. Jawabnya, "Tidak apa-apa. Ada sesuatu yang tertinggal. Aku bersama Ken Arok".
"O" kemudian ia mempersilahkan Ken Arok, "marilah, masuklah".
Ken Arok sudah terlampau biasa memasuki rumah itu. Hampir setiap hari. Namun tiba-tiba saat itu ia merasa sehelai garis batas telah terentang dihadapannya. Namun dengan penuh kesadaran ia menghadapi persoalannya. Bagaimanapun juga perasaannya bergolak, namun nalarnya tetap mampu mengatasinya, sehingga dengan demikian tidak ada kesan apapun tersirat di wajahnya. Sambil tersenyum ia menjawab, "Terima kasih. Kami berdua hanya sebentar. Kalau aku masuk ke rumah, kau akan menjadi sibuk merebus air".
"Tidak. Aku tidak akan menjadi sibuk.Tetapi masuklah".
Ken Arok pun kemudian melangkah masuk.Dengan dada yang berdebar-debar ia duduk di atas sebuah bale-bale bambu. Dilihatnya Kebo Ijo sedang membuka geledegnya, lewat pintu yang tidak tertutup rapat. Derit pintu geledeg di ruang tengah itu serasa menggores jantung Ken Arok. Perlahan-lahan sekali pintu itu pun terbuka.
Ken Arok melihat Kebo Ijo terperanjat sekali. Sejenak ia membeku di muka geledeg itu. Peluh yang dingin satu-satu menitik dari keningnya. Darah Kebo Ijo serasa berhenti mengalir ketika ia melihat kerisnya sudah tidak berada lagi ditempatnya.
Sejenak Kebo Ijo tidak dapat mengucapkan sepatah kata pun. Dengan sorot mata aneh ditatapnya wajah Ken Arok yang menjadi tegang.
Jilid 49 SEJENAKkemudian perlahan-lahan Kebo Ijo berdiri dengan kaki gemetar. Terhuyung-huyung ia melangkah mendekati Ken Arok. Sejenak ia berpaling. Ketika istrinya tidak dilihatnya berada di dekatnya, ia berkata lirih, "Keris itu hilang Ken Arok."
Ken Arok meloncat berdiri. Wajahnya menjadi semakin tegang.
"Duduklah, duduklah," desis Kebo Ijo, "aku tidak mau membuat istriku menjadi gila."
Ken Arok tidak segera menyahut. Tetapi wajahnya yang tegang itu menjadi semakin tegang.
"Duduklah," desis Kebo Ijo.
Perlahan-lahan Ken Arok duduk kembali di tempatnya. Wajahnya masih tetap tegang. Namun di dalam hati ia menjadi heran. Kebo Ijo yang cepat sekali dibakar oleh perasaannya itu, mampu menahan hati menghadapi kenyataan yang tidak diduga-duganya. Anak bengal itu masih juga mampu berpikir, bahwa ia tidak mau membuat istrinya menjadi gila karena persoalannya itu.
Ken Arok pun kemudian menjadi gemetar. Kebo Ijo harus mendapat kesan bahwa ia terkejut sekali mendengar keterangan bahwa keris itu benar-benar telah hilang.
"Keris itu telah lenyap, Ken Arok," sekali lagi Kebo Ijo berdesis.
Sejenak Ken Arok masih berdiam diri. Seakan-akan ia sedang dicengkam oleh perasaannya yang tidak dapat dikuasainya lagi.
"Kebo Ijo," berkata Ken Arok dengan suara gemetar, "aku juga melihat keris yang tertancap di dada Akuwu. Aku segera menjadi gelisah. Keris itu mirip benar dengan kerisku yang ada di tanganmu. Tetapi aku percaya bahwa kau tidak akan melakukannya. Itulah sebabnya aku menolak untuk membawa sepasukan prajurit, untuk menangkapmu. Aku menyangka, bahwa keris itu hanya sekedar mirip dengan kerisku itu. Tetapi ternyata keris itu sudah tidak ada lagi di dalam simpanan."
Kebo Ijo tidak segera menyahut, ia kini duduk di samping Ken Arok dengan kepala tunduk.
"Kebo Ijo," desis Ken Arok, "hampir setiap orang dapat mengatakan, bahwa keris itu adalah kerismu. Agaknya kau pernah memperlihatkan keris itu kepada banyak orang, Di dalam bilik Akuwu yang penuh dengan para pemimpin tertinggi Tumapel aku tidak sempat mengamat-amati keris itu dengan baik. Apalagi aku yakin, bahwa keris itu hanya sekedar bersamaan bentuk, karena aku yakin, aku yakin Kebo Ijo, bahwa kau tidak akan melakukannya. Ya, aku yakin bahwa kau akan dapat membuktikannya dengan membawa keris itu ke istana. Tetapi ?"
Ken Arok berhenti berbicara.
Kebo Ijo tidak segera dapat menjawab. Kepalanya yang tunduk menjadi semakin tunduk. Ia tidak dapat mengerti kenapa keris di dalam geledeg itu tiba-tiba saja tidak ada di tempatnya.
Sejenak kemudian terdengar, ia bergumam dalam nada yang dalam, "Aku tidak mengerti, bagaimana hal itu dapat, terjadi?"
"Lihatlah Kebo Ijo, apakah ada pencuri yang masuk ke rumah ini?"
Kebo Ijo menggeleng, "Tidak. Tidak ada apapun yang hilang dari rumah ini selain keris itu. Agaknya semua masih dalam keadaan semula. Tidak ada dinding yang pecah, atau tanah yang tergali."
Ken Arok menarik nafas dalam-dalam.Katanya, "Lalu apakah kira-kira yang terjadi" Persoalan ini bukan sekedar persoalan hilangnya keris itu Kebo Ijo. Kau agaknya menganggap hal ini seperti permainan yang tidak akan membawa akibat."
"Aku sadar Ken Arok. Aku sadar bahwa mungkin aku harus mempertaruhkan nyawaku."
"Bukan kau Kebo Ijo. Kalau orang-orang itu kemudian tahu bahwa keris itu adalah kerisku, maka akulah yang akan digantung di bawah gerbang istana."
"Tidak. Tidak," tiba-tiba Kebo Ijo berdiri, "aku bukan pengecut. Keris itu ada di tanganku. Karena itu akulah yang akan menengadahkan dada apabila terjadi sesuatu."
Terasa dada Ken Arok berdesir. Ia tidak menyangka bahwa Kebo Ijo langsung bertanggung jawab. Dalam kesempatan ini, ia memang sedang menjajaki hati Kebo Ijo. Seandainya Kebo Ijo itu berbahaya baginya, maka ada seribu macam alasan untuk menyelesaikannya. Ia tidak boleh ragu-ragu lagi. Sedangkan Empu Gandring telah dikorbankannya pula.
Setiap kali masih terngiang di telinganya kata-kata Buyut Karuman, "Memang kadang-kadang yang tidak bersalah menjadi korban. Menjadi tawur untuk masa mendatang yang lebih baik."
Empu Gandring telah menjadi korban meskipun ia tidak bersalah sama sekali. Sekarang datang giliran Kebo Ijo. Saat yang lain siapa lagi"
Ken Arok tersadar ketika ia mendengar Kebo Ijo berkata dengan tatag, "Marilah Ken Arok, kita pergi ke istana. Aku akan melihat keris itu. Seandainya keris itu adalah kerisku yang hilang, maka aku tidak akan mengganggumu. Justru aku minta maaf kepadamu. Akulah yang akan menanggung semua akibatnya."
Sekali lagi dada Ken Arok berdesir. Dan apalagi ketika sejenak kemudian ia mendengar suara anak yang merengek.
"Siapa?" bertanya Ken Arok.
"Anakku." "Oh," Ken Arok menundukkan kepalanya. Ia mengetahui dengan pasti, bahwa Kebo Ijo mempunyai seorang anak.
Tetapi ia tidak mempunyai sasaran lain selain orang itu untuk korban berikutnya.
"Marilah Ken Arok," desis Kebo Ijo, "aku akan minta diri dahulu kepada istriku."
Ken Arok menganggukkan kepalanya. ia pun kemudian berdiri ketika Kebo Ijo melangkah masuk ke dalam biliknya.
Sejenak kemudian Kebo Ijo dan istri serta anaknya di dalam dukungan keluar dari dalam biliknya. Anak Kebo Ijo yang masih terlampau kecil itu memandang Ken Arok dengan tatapan mata yang aneh.
Ken Arok tiba-tiba menjadi berdebar-debar melihat mata yang basah itu. Mata anak Kebo Ijo yang masih sangat kecil, yang masih belum mengerti persoalan yang sedang terjadi atas ayahnya.
"Anak itu sudah mulai berjalan," desis Kebo Ijo.
"Oh," Ken Arok menarik nafas dalam-dalam.
"Mahisa Randi," berkata Kebo Ijo kepada anaknya, "Ayah akan pergi bersama paman Ken Arok. Tinggallah di rumah sayang. Jangan nakal."
Anak itu tidak menjawab. Tetapi matanya masih basah.
Kemudian kepada istrinya Kebo Ijo minta diri.Hatinya yang gelap membuat kata-katanya menjadi bergetar.
"Aku pergi dulu Nyai. Aku akan ke istana melihat apa yang sedang terjadi bersama Ken Arok."
Istrinya menganggukkan kepalanya. Jawabnya, "Silakan Kakang. Apakah malam nanti Kakang tidak pulang?"
"Entahlah," jawab Kebo Ijo, "istana baru dilanda oleh persoalan yang gawat sekali. Hati-hatilah kau mengurus anakmu, Nyai. Seandainya aku terlambat pulang, ajarilah anakmu berjalan di setiap pagi."
Istrinya mengerutkan keningnya, "Berapa hari Kakang akan pergi?"
"Oh," Kebo Ijo mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia tertawa, "aku tidak tahu Nyai. Seandainya ada tugas yang harus aku lakukan. Mungkin Kakang Witantra memberikan tugas kepadaku untuk mencari orang-orang yang dianggap bersalah. Atau mungkin justru aku harus pergi keluar Tumapel."
"Apakah Tumapel akan mengalami peperangan?"
"Oh, tidak Nyai. Tidak," suara Kebo Ijo menjadi semakin perlahan. Ada sesuatu terasa menyumbat kerongkongannya. Ia tahu benar akibat yang akan terjadi atas dirinya, seandainya keris itu benar-benar Keris Ken Arok yang disimpannya. Tetapi ia tidak dapat mengatakannya kepada istrinya.
"Aku seorang prajurit, Nyai," berkata Kebo Ijo itu kemudian, "kau tahu bahwa aku seorang prajurit sejak kita kawin."
Istrinya mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Baik-baiklah di rumah, Randi. Kau harus menjadi anak yang baik. Hati-hatilah dalam tindakan dan ucapan. Ayahmu agaknya telah terperosok karena sikapnya."
"Kenapa kau Kakang?" bertanya istrinya.
Kebo Ijo tertawa. Tetapi suara tertawa itu terasa betapa hambarnya di telinga Ken Arok.
"Sudahlah. Kakang Witantra menunggu kedatanganku. Mungkin aku akan dibawanya ke Singasari atau ke Kediri atau Ke manapun. Tetapi mungkin juga tidak."
Seleret pertanyaan membayang di wajah istrinya. Dipandanginya saja Kebo Ijo berganti-ganti dengan Ken Arok. Tetapi perempuan itu tidak bertanya sesuatu.
"Sudah terlampau lama aku di rumah. Keadaan memerlukan aku segera berada di istana. Selaraklah pintu rumah ini kembali. Hati-hatilah!" berkata Kebo Ijo.
Istrinya menganggukkan kepalanya. Desisnya, "Kalau sudah selesai pekerjaanmu, lekaslah pulang, Kakang."
"Tentu. Aku tentu segera pulang."
Lalu dikecupnya dahi anaknya. Sekali, dua kali. Tetapi Kebo Ijo menahan hatinya sekuat tenaganya ketika ia ingin mengecupnya untuk ketiga kali, seolah-olah untuk yang terakhir kalinya.
Mahisa Randi memandang ayahnya dengan mata yang masih basah.
Tiba-tiba tangan anak itu menggapai-gapai, seolah-olah mengatakan kepada ayahnya, bahwa ia ingin ikut pergi bersamanya.
"Anak nakal," desis Kebo Ijo. Suaranya tiba-tiba menjadi terlampau dalam, "ia sekarang sudah mengerti bahwa inilah ayahnya."
Kebo Ijo mencoba tertawa. Namun kemudian ia melangkah sambil berkata, "Ah, tidak ada habis-habisnya kita berbicara di sini. Marilah Ken Arok. Kita harus segera sampai ke istana."
"Marilah," sahut Ken Arok, yang kemudian minta diri kepada istri Kebo Ijo, "aku akan mengantarkan suamimu ke istana."
"Aku titipkan ia kepadamu."
"He," tiba-tiba Kebo Ijo berhenti, "ada-ada saja kau Nyai. Apakah aku kau persamakan dengan sepotong benda mati?"
Sekali lagi Kebo Ijo mencoba tertawa.
Keduanya pun kemudian berjalan melintasi halaman menuju ke kuda mereka.Kebo Ijo tertegun ketika ia mendengar anaknya tiba-tiba menangis sambil meronta-ronta. Digapai-gapaikanya tangannya untuk menyatakan keinginannya ikut bersama ayahnya.
"He, masuklah," berkata Kebo Ijo, "tidak baik bagi anak-anak, udara malam terlampau dingin."
Istrinya tidak menjawab. Dicobanya untuk menenteramkan anaknya dan mendukungnya masuk ke dalam rumahnya. Sejenak kemudian pintu pun telah tertutup. Namun suara tangis itu masih juga terdengar.
Betapapun juga hati Ken Arok serasa tergores oleh tangis itu. Ia merasa bahwa ialah yang telah menjerumuskan Kebo Ijo ke dalam kesulitan. Sekali-kali ia menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak dapat menarik rencananya itu. Semuanya harus terlaksana. Apapun yang harus dikorbankannya.
Sementara itu istri Kebo Ijo masih berusaha untuk menenangkan anaknya. Didukungnya anak itu hilir mudik di dalam rumahnya. Bahkan sekali-kali dibawanya anak itu ke belakang, ke ruang tengah, ke pringgitan. Tetapi anak itu masih juga menangis.
"Cup, cup Ngger," bisik istri Kebo Ijo, "ayah pergi hanya sebentar. Nanti ayah akan segera kembali membawa oleh-oleh buatmu."
Tetapi anak itu masih juga menangis. Sehingga ibunya masih harus berjalan hilir mudik sambil mendukungnya.
Tiba-tiba langkah perempuan itu terhenti. Dilihatnya selarak pintu butulan tergolek di samping pintu. Dengan ragu-ragu ia melangkah mendekatinya dan kemudian mengambilnya.Sambil menyelarak pintu ia berdesis, "Agaknya kami lupa menyelarak pintu. Untunglah tidak ada seorang pun yang memasuki rumah ini. Tetapi sebagai peringatan aku harus mengatakannya kepada Kakang Kebo Ijo, bahwa pintu butulan masih terbuka."
Tetapi ternyata, bahwa istri Kebo Ijo itu untuk selama-lamanya tidak lagi mendapat kesempatan untuk mengatakannya.
Kebo Ijo mencoba untuk memacu kudanya meskipun dengan ragu-ragu. Suara tangis anaknya masih terngiang saja di telinganya. Sebagai seorang prajurit ia sudah terlampau biasa pergi di dalam tugasnya.Tetapi kali ini ia merasakan kelainan dari masa-masa lampau.Ia sadar, bahwa ia sedang terancam bahaya yang paling parah. Keris itu akan dapat menyeretnya ke tiang gantungan, atau hukuman lain yang sama artinya. Mati.
Karena itu, maka di sepanjang jalan Kebo Ijo itu hanya dapat menundukkan kepalanya. Kini disadarinya semua tingkah lakunya yang salah. Terngiang kembali guraunya, "Suatu ketika Akuwu yang dungu itu akan aku cekik sampai mati". Dan di lain kali, "hanya orang-orang yang bodoh sajalah yang mau menjadi hamba-hamba yang mati bagi Akuwu yang dungu itu". Bahkan pernah ia sambil menepuk dadanya berkata, "Aku tidak sudi menjadi kuda tunggangan seperti Kakang Witantra.?"
Kebo Ijo menarik nafas dalam-dalam. Dan tiba-tiba saja ia berkata lambat, "Aku menyesal Ken Arok, bahwa sejak semula aku tidak pernah mendengarkan nasihatmu.Aku kini merasa bahwa tingkah lakuku sama sekali tidak disukai orang lain. Mungkin mereka menganggap aku terlampau sombong. Dalam keadaan serupa ini aku baru merasa bahwa tidak akan ada seorang pun yang akan membelaku. Semua orang pasti akan memastikan, seandainya keris itu adalah kerismu yang ada padaku, bahwa akulah yang telah membunuh Akuwu.Apalagi mereka yang pernah mendengar senda gurauku yang gila."
Ken Arok tidak menjawab. Tetapi kepalanya tertunduk dalam-dalam.
"Aku berterima kasih kepadamu Ken Arok, meskipun sudah terlambat. Aku merasa bahwa tidak akan ada gunanya lagi untuk disesali. Aku akan menghadap Kakang Witantra dengan dada tengadah, dan aku akan menjalani semua hukuman yang akan ditimpakan kepadaku. Kakang Witantra adalah seorang prajurit. Ia tidak akan membedakan, apakah aku saudara seperguruannya. Ia akan bertindak terhadap siapa pun juga yang dianggapnya bersalah."
Ken Arok masih tetap berdiam diri. Namun di dalam dadanya telah terjadi benturan yang maha dahsyat. Sekali-kali ia berpaling memandangi wajah Kebo Ijo di dalam gelapnya malam. Dan betapa ia menjadi heran melihat wajah itu justru menjadi bening.
Ternyata hati Kebo Ijo telah mengendap. Ia tidak cemas lagi menghadapi setiap kemungkinan. Ia harus menghadapi kenyataan itu sebagai seorang laki-laki.
"Kalau aku ingkar dan mencoba lari dari kenyataan ini, maka namaku akan menjadi semakin tidak berharga. Tidak ada seorang pun yang akan mampu melepaskan aku dari bencana," katanya di dalam hati, "Namun seandainya aku mendapat kesempatan mengetahui siapakah pembunuh yang sebenarnya, yang telah mempergunakan keris itu, aku akan berbesar hati. Adalah di luar kemampuan berpikir bahwa keris itu tiba-tiba saja telah lenyap dari geledeg itu tanpa tanda-tanda yang dapat memberikan petunjuk apapun juga."
Tetapi sama sekali tidak tebersit hasrat Kebo Ijo untuk menyeret Ken Arok dalam kesulitan. Ia sudah cukup merasa berterima kasih bahwa setiap kali Ken Arok memberinya peringatan. Adalah salahnya sendiri, bahwa peringatan Ken Arok itu tidak pernah dihiraukannya. Kini datanglah saat itu. Saat ia terdorong ke dalam suatu bencana.
Semakin dekat mereka dengan gerbang istana, hati Ken Arok menjadi semakin berdebar-debar, seperti juga hati Kebo Ijo. Tetapi Kebo Ijo sendiri sudah pasrah. Pasrah kepada tangan-tangan Yang Maha Penentu.
Setiap prajurit yang bertugas di pintu gerbang melihat keduanya memasuki halaman belakang istana. Dengan dada yang berdebaran mereka berbisik, "He, itulah Kebo Ijo."
"Tidak aku sangka semudah itu untuk menangkapnya," sahut yang lain.
Para prajurit itu mengangguk-anggukkan kepala mereka. Hampir setiap orang di istana telah mendengar bahwa keris yang tertancap di dada Akuwu adalah keris Kebo Ijo, sehingga setiap orang telah memastikan bahwa Kebo Ijolah yang membunuhnya.
"Aku pernah mendengar, Kebo Ijo mengancam untuk membunuh Akuwu," desis salah seorang dari mereka, "kini ternyata maksud itu telah dilaksanakan. Tetapi aku heran, bahwa seseorang yang telah berani membunuh Akuwu Tunggul Ametung, begitu mudahnya dibawa ke istana."
"Ken Arok memang orang luar biasa. Selain Ken Arok tidak akan dapat melakukannya. Bahkan Witantra pun tidak," jawab yang lain.
"Witantra adalah saudara seperguruannya," gumam yang lain lagi.
Dan para prajurit itu pun kemudian saling mengangguk-anggukkan kepala mereka.
Kebo Ijo tanpa berbuat apapun telah dibawa oleh Ken Arok masuk ke dalam istana. Ia merasa bahwa setiap mata memandanginya dengan penuh kebencian. Tetapi Kebo Ijo tidak menundukkan kepalanya. Ia menengadahkan wajah dan dadanya.
"Anak itu masih juga menyombongkan dirinya," berkata salah seorang prajurit yang lain, yang bertugas di dalam istana.
Sementara itu Kebo Ijo mengikuti Ken Arok langsung menuju ke dalam bilik Akuwu Tunggul Ametung. Betapapun juga ia mencoba mengendapkan perasaannya, namun ia masih juga berdebar-debar. Yang paling menyakitkan hatinya adalah cara orang lain yang sangat licik itu. Pembunuh Akuwu Tunggul Ametung yang sebenarnya.
"Kalau saja aku mendapat kesempatan," katanya di dalam hati, "aku ingin bertemu dengan pembunuhnya. Tetapi itu hanyalah sebuah mimpi yang mengambang. Tidak seorang pun yang menolak tuduhan bahwa akulah yang telah melakukannya."
Kebo Ijo menarik nafas dalam-dalam.
Ketika mereka sampai ke muka bilik Akuwu, maka orang-orang yang berdiri di depan pintu pun segera menyibak. Seolah-olah mereka melihat Akuwu Tunggul Ametung sendiri akan memasuki ruangan itu.
Demikian Kebo Ijo muncul di pintu bilik, maka Witantra pun kemudian menggeram. Ditatapnya mata Kebo Ijo tajam-tajam, seolah-olah ia ingin melihat jauh sampai ke pusat otaknya.
"Kebo Ijo!" suara Witantra bergetar, "Apakah keris ini kerismu?"
Kebo Ijo maju selangkah. Sekilas ia berpaling kepada Ken Arok yang berdebar-debar. Seandainya Kebo Ijo ingkar, maka persoalan itu pasti akan berkepanjangan. Apalagi apabila kemudian terdengar oleh Mahisa Agni dan para cantrik di padepokan Empu Gandring.
"Kenapa anak itu tidak aku bunuh saja sama sekali," geram Ken Arok di dalam hatinya, "selagi ia masih hidup, ia akan dapat berbicara tentang apa saja."
Namun Ken Arok melihat Kebo Ijo menganggukkan kepalanya sambil menjawab, "Ya Kakang. Keris itu adalah kerisku."
Witantra yang sudah tidak dapat menahan hati itu pun langsung bertanya kepadanya, "Jadi kaukah yang membunuh Akuwu Tunggul Ametung?"
Kebo Ijo menggelengkan kepalanya dengan tatag. Sama sekali tidak terbayang kecemasan di dalam sorot matanya, "Tidak Kakang. Aku tidak segila itu. Apakah pamrihku membunuh Akuwu Tunggul Ametung?"
"Lalu bagaimana mungkin keris ini dapat sampai di sini?"
"Itulah yang membuat hatiku menjadi terlampau pahit. Aku tidak takut menghadapi kemungkinan apapun. Tetapi bahwa kerisku yang dipergunakan oleh pembunuhnya itulah yang paling menyakitkan hati."
"Tetapi bagaimana mungkin kerismu hilang dari rumahmu?" Witantra berhenti sebentar, lalu suaranya bergetar semakin dalam, "Kebo Ijo, aku mengharap kau datang membawa sebilah keris, dan sambil membuktikan bahwa kerismu masih ada padamu kau berjanji untuk menangkap pembunuhnya. Tetapi ternyata keris ini adalah kerismu."
Kebo Ijo tidak segera menjawab.Kenyataan itu memang tidak dapat diingkarinya. Keris itu adalah kerisnya, dan keris itu pulalah yang tertancap di dada Akuwu Tunggul Ametung.
"Kebo Ijo, apa katamu?" desak Witantra.
"Aku tidak dapat mengingkari kenyataan itu Kakang."
"Jadi kau mengaku, bahwa kau yang membunuhnya?"
"Aku tidak akan pernah mengaku, bahwa aku yang telah membunuh, karena aku memang tidak melakukannya," jawab Kebo Ijo dengan hati yang tabah.
"Lalu bagaimana dengan kenyataan ini?"
"Terserahlah kepada Kakang Witantra. Keputusan apakah yang akan dijatuhkan kepadaku. Aku akan patuh menjalani. Baik aku sebagai prajurit maupun aku sebagai adik seperguruan. Tetapi apapun yang akan terjadi, aku tidak akan mengakuinya, karena aku memang tidak melakukannya."
Witantra menggeretakkan giginya. Ia berdiri pada suatu keadaan yang paling sulit. Namun menilik sikap dan jawaban Kebo Ijo, Witantra dapat mempercayainya, bahwa Kebo Ijo tidak melakukannya. Tetapi apabila ia berkata demikian, maka setiap orang pasti akan mencemoohkannya, karena justru Kebo Ijo adalah adik seperguruannya.
Karena itu, dalam kekeruhan nalar, Witantra tidak segera berbuat dan berkata sesuatu. Bahkan akhirnya kepalanya ditundukkannya sambil mengamat-amati keris yang masih digenggamnya.
Sementara itu setiap orang di luar dan di dalam bilik itu sudah menjatuhkan kepastian, bahwa Kebo Ijolah yang melakukannya. Sikapnya sehari-hari, kata-katanya dan tingkah lakunya, sama sekali tidak disenangi oleh orang-orang di sekitarnya. Dalam keadaan yang demikian itulah akan sangat terasa, hampir tidak ada seorang pun yang berdiri di pihaknya, meskipun benar-benar ia tidak merasa bersalah. Kesalahan yang membebani hatinya adalah, bahwa ia tidak pernah mendengarkan nasihat Ken Arok. Hanya itu, bukan karena ia merasa membunuh Akuwu Tunggul Ametung.
Witantra yang menjadi pening, akhirnya menyerahkan keris itu kepada orang-orang tua dalam pemerintahan Tumapel. Sambil menahan gelora hati yang tidak tertahankan ia berkata, "Terserahlah kepada kalian. Apakah yang sebaiknya kita lakukan. Pimpinan pemerintahan yang tujuh, termasuk manggala perang akan menjatuhkan keputusan. Aku hanya salah seorang dari mereka."
Salah seorang tetua pemerintahan yang diserahi keris itu berpikir sejenak. Kemudaan diterimanya keris itu sambil berkata, "Kau dapat menentukan Witantra. Orang yang bersalah adalah seorang prajurit di dalam pasukanmu, justru pasukan pengawal."
"Aku adalah seorang prajurit yang harus berdiri pada watak dan sifat prajurit," jawab Witantra, "tetapi di sini aku berhadapan dengan diriku sendiri. Aku melihat bukti yang tidak dapat disangkal lagi. Tetapi aku berkeyakinan bahwa Kebo Ijo memang tidak melakukannya, menilik sikap dan jawabannya. Aku mengenal Kebo Ijo sejak lama. Aku mengenal wataknya. Kegilaannya, kebengalannya dan memang kadang-kadang ia berbuat licik. Tetapi aku tidak akan dapat membayangkan, kalau suatu ketika ia melakukan pembunuhan yang sebenarnya. Apalagi membunuh Akuwu Tunggul Ametung."
Kata-kata Witantra ternyata telah menggetarkan setiap dada.Mereka heran melihat sikap itu. Witantra yang selama ini mereka kenal sebagai seorang prajurit yang bersikap lurus, siapa pun yang dihadapinya. Namun pada suatu saat, di mana saudara seperguruannya sendiri yang terlihat, ia menjadi miyur .
Sejenak terdengar suara bergeramang di dalam dan di luar bilik. Semua mata kini memandang ke wajah Witantra yang merah dan tegang. Setegang wajah Ken Arok. Berbagai masalah telah menggelegak di dalam dadanya. Ia pun sama sekali tidak menyangka bahwa Witantra ternyata akan bersikap demikian.
"Karena itulah," berkata Witantra kemudian, "aku serahkan persoalan ini kepada kalian. Suara kalianlah yang akan menentukan. Aku sudah merasa, bahwa kali ini suara hatiku akan lain sekali dengan keputusan kalian.Aku yakin bahwa yang terjadi bukan seperti yang kita kira-kirakan. Aku tidak menganggap Kebo Ijo sebagai seorang pembunuh yang biadab."
Witantra berhenti sejenak. Lalu, "dan aku tidak dapat melepaskan keyakinanku, meskipun aku tahu, bahwa aku akan berdiri menyendiri."
Sekali lagi terdengar suara bergeramang. Sedang Witantra masih berdiri di tengah-tengah bilik itu dengan keringat yang membasahi seluruh tubuhnya. Ternyata di dalam dirinya telah terjadi pertentangan yang dahsyat, ia tidak dapat melepaskan bukti yang pasti tidak dapat diingkari lagi. Tetapi dalam pada itu, ia mempunyai suatu keyakinan yang asing di dalam pertemuan itu. Namun bagaimanapun juga ia tidak dapat melepaskan keyakinannya.
Tiba-tiba di dalam ketegangan itu, salah seorang tetua pemerintahan berkata, "Angger Witantra. Kita sudah dihadapkan pada suatu kenyataan. Sudah tentu kita tidak akan dapat ingkar lagi."
"Ya, itulah yang akan aku dengar. Aku sudah tahu. Dan kini terserah kepada kalian," jawab Witantra. Ketika sejenak dipandanginya wajah Kebo Ijo yang masih saja menatap lurus-lurus ke depan ia menjadi semakin yakin, bahwa Kebo Ijo tidak melakukannya. Namun sejalan dengan itu, ia pun menjadi semakin yakin pula, bahwa Kebo Ijo tidak akan dapat lepas lagi dari bencana.
Witantra itu mengatupkan bibirnya rapat-rapat ketika ia mendengar pimpinan prajurit Tumapel berkata, "Baiklah Witantra. Meskipun Kebo Ijo termasuk di dalam pasukan pengawal, tetapi karena kau sudah menyerahkannya kepada kami maka kami akan mengambil keputusan bersama-sama dengan pimpinan pemerintahan yang tujuh dan segenap manggala, termasuk kau."
Witantra tidak menjawab. Dan ia semakin mengatupkan giginya ketika ia mendengar pimpinan prajurit itu berkata, "Kau menjadi tawanan kami Kebo Ijo."
Kebo Ijo sama sekali tidak terkejut mendengar perintah pimpinan prajurit itu. Ia sudah menyadari sebelumnya bahwa itu pasti akan menjadikannya seorang tawanan. Namun demikian ia mencoba untuk menatap wajah Witantra. Tetapi Witantra membuang pandangan matanya jauh-jauh. Seakan-akan ia tidak berani lagi menatap wajah Kebo Ijo.
Ketika dua orang prajurit mendekati Kebo Ijo dan memegang kedua belah tangannya Kebo Ijo mengibaskannya sambil menggeram, "Apa kau sangka aku tidak dapat berjalan sendiri?"
Kedua prajurit itu mundur selangkah.
Setiap orang yang melihat hal itu mengerutkan keningnya.Bahkan Witantra pun kemudian menatapnya. Dalam keadaan yang demikian, maka segala hal dapat terjadi. Apalagi kalau Kebo Ijo itu kemudian menjadi berputus asa.
Dalam keadaan yang demikian itu, Ken Arok maju beberapa langkah mendekatinya. Perlahan-lahan ia berbisik, "Marilah Kebo Ijo. Mudah-mudahan pembicaraan di antara para pemimpin akan memberimu jalan."
Kebo Ijo menggelengkan kepalanya. Tetapi ia tidak menjawab. Perlahan-lahan ia meraba hulu pedangnya sambil mengerutkan keningnya.
Sikap itu semakin mendebarkan setiap jantung. Tetapi Ken Arok tidak beranjak dari tempatnya. Bahkan sekali lagi ia berbisik, "Apakah kau akan melawan?"
"Alangkah gilanya," jawab Kebo Ijo.
Perlahan-lahan maka tangan Kebo Ijo itu menarik pedangnya, tetapi beserta wrangkanya. Kemudian dilemparkannya pedang itu di lantai sambil berkata lantang, "Aku tetap seorang prajurit. Meskipun sampai saat terakhir aku tidak pernah merasa bersalah, tetapi aku akan tunduk kepada setiap keputusan kalau keputusan itu akan memberi kalian kepuasan."
Wajah-wajah yang ada di sekitarnya pun menjadi semakin tegang.Sejenak tidak seorang pun yang mengucapkan sepatah kata. Dan ruangan itu menjadi sunyi.
"Marilah," terdengar suara Kebo Ijo memecah kesepian, "Ke mana aku akan dibawa" Aku tidak akan lari."
Orang-orang yang ada di dalam bilik itu seakan-akan tersadar dari lamunan mereka. Hampir mereka tidak percaya melihat apa yang telah terjadi. Dan mereka masih juga berdiam diri ketika mereka melihat Ken Arok menggandeng Kebo Ijo keluar dari ruangan itu.
"Aku hormati kau Kebo Ijo," bisik Ken Arok, "pada saat terakhir kau adalah seorang yang paling jantan yang pernah aku lihat."
"Jangan memuji. Setiap pujian kini sudah tidak berarti lagi bagiku. Selama ini aku selalu mabuk oleh segala macam sanjungan, pujian dan sikap yang berpura-pura. Tetapi sekarang aku sudah tidak memerlukannya lagi."
"Aku tidak memuji.Tetapi aku kagum melihat kenyataan ini. Aku kira, selama kau tidak akan ada seorang pun yang dapat melakukannya. Seandainya aku yang mengalaminya, mungkin aku akan berbuat lain. Mungkin lari dan mungkin membunuh diri."
Kebo Ijo tidak menyahut. Sekali ia berpaling memandang dua orang prajurit yang mengikutinya beberapa langkah di belakangnya.
Salah seorang dari mereka berkata, "Kita tempatkan Kebo Ijo di bilik sebelah ruang perbendaharaan. Menurut perintah, ia akan tetap ditahan di dalam istana."
"Persetan!" Kebo Ijo menggeram.
Ken Arok sama sekali tidak menyahut. Tetapi dibawanya Kebo Ijo itu berbelok ke kiri menyusur serambi belakang. Kemudian melampaui sebuah longkangan, dan naik ke bilik perbendaharaan.
"Kami berdua bertugas untuk menjaganya," berkata salah seorang dari kedua prajurit itu.
Baik Ken Arok maupun Kebo Ijo masih tetap berdiam diri. Mereka kemudian melangkah masuk ke dalam sebuah bilik yang kecil di sebelah ruang perbendaharaan istana.
"Biarlah ia berada di dalam. Sebaiknya kau keluar Ken Arok," berkata salah seorang prajurit itu, "pintunya akan aku palang dari luar."
"Tunggu," sahut Ken Arok, "aku masih memerlukannya."
"Tinggalkan aku," desis Kebo Ijo.
"Aku akan mengawanimu Kebo Ijo. Kau harus tetap tenang dan tidak kehilangan kebeningan akal."
"Aku tidak menjadi gila karenanya."
"Karena kau masih mempunyai kawan untuk membagi perasaan. Karena itu, aku akan tetap tinggal di sini. Seseorang yang dalam keadaan gelap, mudah mempunyai angan-angan yang bukan-bukan."
"Aku menyadari keadaanku Ken Arok. Aku telah menduga, bahwa tidak ada hukuman lain yang lebih pantas bagiku selain hukuman mati."
"Kau sudah mulai berputus asa."
Kata-kata Ken Arok terputus ketika ia mendengar prajurit di luar berkata, "Ken Arok, tinggalkan ia sendiri."
"Tunggu!Aku masih berbicara."
"Tinggalkan aku," desis Kebo Ijo.
"Tidak Kebo Ijo. Apalagi agaknya kau sudah mulai berputus asa. Sikap yang demikian adalah tanda-tanda yang kurang baik. Putus asa bagimu dalam keadaan ini adalah langkah pertama menuju kepada bunuh diri."
Kebo Ijo termenung sejenak. Tiba-tiba ia menyahut, "Itu akan lebih baik daripada aku mati di tiang gantungan.Apa lagi di alun-alun atau di bawah pintu gerbang."
"Siapa bilang bahwa hukuman itu akan dilakukan dengan cara demikian?"
Kebo Ijo terdiam sejenak. Wajahnya merenung ke alam angan-angannya yang terlampau jauh.
Sejenak mereka saling berdiam diri. Kebo Ijo mencoba untuk membayangkan apa saja yang dapat terjadi atasnya. Sedang Ken Arok dengan berdebar-debar memperhatikan perkembangan perasaan Kebo Ijo.
Ken Arok mengangkat kepalanya ketika ia mendengar para penjaga sekali lagi berteriak, "He Ken Arok. Kenapa kau masih ada di dalam?"
"Aku belum selesai. Aku masih mempunyai beberapa persoalan yang harus kami perbincangkan."
Para prajurit di luar pintu bersungut-sungut. Tetapi mereka menyangka bahwa Ken Arok sedang melakukan tugasnya.
"Kebo Ijo," berkata Ken Arok seterusnya, "kau harus tetap tenang. Apapun yang akan terjadi dengan kau."
Kebo Ijo tidak menyahut. Tetapi wajahnya merenung semakin dalam. Kalau teringat olehnya, perbuatan licik seseorang, dengan mencuri kerisnya dan dipergunakannya untuk membunuh Akuwu, darahnya serasa mendidih. Tetapi kemudian ia pun sampai juga pada suatu kesimpulan adalah kesalahannya, kenapa kerisnya dapat jatuh ke tangan seseorang yang tidak dikenal dan tanpa diketahuinya.
Sejenak terbayang, jenis-jenis hukuman yang dapat dilakukan atasnya apabila para pemimpin di Tumapel menetapkan hukuman mati atasnya. Ia dapat digantung di alun-alun, di bawah gerbang depan istana di muka rakyat Tumapel, ditusuk dengan keris di atas sebuah panggungan yang juga disaksikan oleh rakyat atau disapu sampai mati.
Kebo Ijo menarik nafas dalam-dalam. Sekilas terbayang anak dan istrinya yang menunggunya di rumah.
"Istri seorang prajurit tidak boleh kehilangan akal apabila ia kematian suaminya," geram Kebo Ijo di dalam hatinya, "tetapi ternyata aku tidak mati di peperangan. Dan meskipun ia istri seorang prajurit, maka ketahanan hatinya pasti akan runtuh juga apabila ia melihat suaminya tergantung di alun-alun, atau di bawah regol besar istana atau ditusuk dengan keris sampai mati, apalagi disapu."
"Aku kira, lebih baik aku mati Ken Arok," tiba-tiba ia berdesis.
"He," Ken Arok terkejut, "kenapa?"
"Aku akan menjadi gila apabila di alun-alun besok aku dapat melihat istri dan anakku menangisi aku sebelum aku digantung."
"Ah," desis Ken Arok, "kau membayangkan yang bukan-bukan. Meskipun seandainya kau dihukum mati, kau pun harus menengadahkan dadamu sebagai laki-laki jantan."
"Tetapi aku tidak akan dapat melakukannya apabila istri dan anakku hadir untuk melihat dan mendapat kesempatan bertemu untuk yang terakhir."
Ken Arok tidak menjawab, tetapi ditundukkannya kepalanya dalam-dalam.
"Bagaimana pertimbanganmu Ken Arok?"
"Tetapi aku tidak yakin bahwa kau akan dihukum mati."
Kebo Ijo menggelengkan kepalanya, "Tidak ada seorang pun yang menghendaki aku terlepas dari hukuman ini. Karena itu, aku harus menjalani."
Ken Arok merenung sejenak. Kemudian katanya, "Aku akan melihat, apakah yang dibicarakan oleh para pemimpin yang tujuh itu sekarang."
Kebo Ijo tidak menyahut. "Mungkin hal itu mereka lakukan secara rahasia. Tetapi aku akan berusaha."
"Terserahlah kepadamu."
"Aku minta diri sebentar. Tetapi jangan kau biarkan angan-anganmu membubung ke segala arah tanpa terkendali. Mungkin kau akan terjerumus ke dalam suatu sikap yang keliru."
Kebo Ijo tidak menyahut. "Tenanglah. Aku akan segera kembali."
"Beri tahukan kepadaku, kalau mereka mengambil keputusan untuk menghukum aku mati. Lebih baik dilakukan sekarang di tempat tertutup ini daripada di tempat terbuka."
"Aku akan melihatnya."
Ken Arok pun kemudian meninggalkan tempat itu.Dicobanya untuk mendekati tempat para pemimpin yang sedang bersidang. Tetapi beberapa langkah dari pintu bilik tempat bersidang itu dijaga oleh beberapa orang prajurit, beberapa orang pengawal istana dan pelayan dalam yang dipimpinnya untuk malam itu.
Sejenak Ken Arok menjadi ragu-ragu.Namun kemudian ia berjalan mendekat.Beberapa orang prajurit memandangnya dengan penuh pertanyaan, dan para pengawal istana menjadi berdebar-debar.
"Aku perlu dengan orang-orangku," berkata Ken Arok kepada pemimpin prajurit yang bertugas di tempat itu.
Orang itu menganggukkan kepalanya. "Silakanlah."
Ken Arok memanggil orang-orangnya dengan isyarat tangannya. Kemudian setelah mereka berkumpul diberinya mereka beberapa peringatan. Lalu katanya, "Kembalilah ke tempatmu. Aku akan menghadap Witantra."
"Mereka sedang bersidang," jawab salah seorang dari mereka, "tidak seorang pun diperkenankan mendekat."
"Tetapi aku adalah orang yang khusus. Akulah yang menangkap Kebo Ijo."
Orang itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Sesaat ia berpaling kepada pemimpin prajurit dan pengawai istana yang bertugas.
"Aku akan berbicara dengan orang itu," desis Ken Arok.
Ternyata kesibukan Ken Arok itu mempengaruhi perasaan pemimpin prajurit itu. Agaknya Ken Arok memang sedang melakukan tugas yang penting.
"Mintalah izin langsung kepada mereka, apakah kau diizinkan masuk ke tempat sidang itu," berkata pemimpin pengawal istana.
"Aku tidak akan ikut bersidang. Itu bukan tugasku."
"Ya. Lalu apa kepentinganmu?" bertanya pemimpin prajurit.
"Aku akan menyampaikan beberapa laporan saja."
Pemimpin prajurit dan pengawal istana yang sedang bertugas itu saling berpandangan sejenak. Mereka tidak mengerti, apakah mereka dapat melarang atau mengizinkan, karena Ken Arok sendiri saat itu sedang memimpin sekelompok pelayan dalam yang sedang bertugas pula.
Sejenak kemudian pemimpin prajurit itu berkata, "Terserahlah kepadamu. Ketuklah pintu dan sampaikan maksudmu."
Ken Arok tidak menjawab. ia pun menjadi ragu-ragu sejenak.Namun ia pun kemudian melangkah mendekati pintu.
Para petugas yang berada beberapa langkah di depan pintu itu melihat Ken Arok berdiri tepat di muka pintu. Mereka melihat Ken Arok beberapa kali mengetok, tetapi pintu itu tidak segera terbuka.
Namun sebenarnya Ken Arok sama sekali tidak mengetuk pintu. Para penjaga yang berdiri beberapa langkah daripadanya hanya melihat tangannya bergerak-gerak. Tetapi tangan itu sama sekali tidak menyentuh pintu bilik. Dengan demikian ia dapat mengelabui para penjaga termasuk orang-orangnya sendiri.
Yang dilakukan sebenarnya adalah berusaha mendengar pembicaraan, di dalam bilik itu. Betapa lembutnya, namun telinganya yang tajam berhasil menangkap beberapa patah kata daripadanya.
Dadanya berdebar-debar ketika ia mendengar Witantra berkata, "Terserah kepada kalian. Aku tetap pada pendirianku. Kebo Ijo tidak bersalah. Kalau ia memang membunuh Akuwu Tunggul Ametung, maka ia tidak akan gila meninggalkan kerisnya. Betapa ia tergesa-gesa. Apalagi ternyata bahwa pembunuhan itu baru diketahui ketika darah yang meleleh dari luka itu sudah kering. Itu berarti bahwa masih ada beberapa waktu terpaut. Dan waktu itu cukup bagi Kebo Ijo untuk membawa kerisnya serta."
"Aku tidak yakin," jawab seseorang, yang agaknya salah seorang dari tetua pemerintahan, "mungkin telah terjadi perkelahian antara Kebo Ijo dan Akuwu, sehingga Kebo Ijo harus melarikan diri segera. Terlebih lagi, ternyata bahwa tanda pasukan pengawal itu tertinggal."
"Tetapi," sahut Witantra, "pembunuhnya pasti telah menancapkan keris itu pada saat Akuwu sedang tidur. Tidak ada tanda bahwa Akuwu berusaha mengambil pusakanya. Gerak Akuwu pun pasti sangat terbatas sehingga perkelahian itu tidak berlangsung lama. Waktu yang kemudian cukup banyak bagi Kebo Ijo untuk membawa keris itu."
Sejenak ruangan itu menjadi sepi. Dan sejenak kemudian terdengar suara yang lain lagi, "Ya. Aku cabut tuduhanku. Aku dapat mengerti penjelasan Witantra. Kebo Ijo yang sudah demikian berani dan berhati-hati, sehingga dapat mencapai bilik Akuwu Tunggul Ametung, pasti tidak akan membuat kesalahan yang bodoh. Keris itu pasti tidak akan tertinggal, apalagi masih tetap di dada Akuwu. Sedangkan tidak seorang pun yang segera mengetahui pembunuhan itu. Seandainya ia tergesa-gesa meninggalkan bilik itu, maka ia masih mendapat kesempatan untuk mengambil kerisnya kembali."
Sekali lagi ruangan itu menjadi sepi. Namun kesepian itu telah mendebarkan jantung Ken Arok.Dalam kesepian yang demikian maka setiap orang akan mendapat kesempatan berpikir dengan bening. Apalagi ketika ia kemudian mendengar seseorang berdesis di dalam bilik itu, "Maka aku adalah orang yang ketiga yang menyadari kebodohan kita. Seperti yang kita kehendaki selama ini, mengambil keputusan tanpa prasangka dan tanpa pilih bulu. Ternyata kita sudah dipengaruhi oleh sikap, kebiasaan dan watak Kebo Ijo yang tidak kita sukai. Namun akhirnya aku menyadari kesalahan itu, dan aku mencoba menempatkan persoalan ini sewajarnya dengan melepaskan prasangka dan kebencian yang ada di dalam diri kita."
02 Pelangi Di Langit Singasari Karya S H. Mintarja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Suara itu berhenti sejenak. Lalu, "terserahlah kepada kita yang tujuh. Masih ada empat orang yang dapat menentukan pendiriannya."
Ketika suasana di dalam bilik itu menjadi sepi kembali, Ken Arok merasa, bahwa ia harus cepat bertindak. Kalau setiap orang di dalam bilik itu kemudian dipengaruhi oleh sikap Witantra, yang telah menjalar kepada dua orang lainnya, maka keadaannya akan menjadi terlampau jelek baginya. Masih ada saksi yang hidup, yang akan dapat mempengaruhi keadaan kemudian. Ia menyesal bahwa ia tidak membunuh saja sama sekali cantrik yang melepasnya pergi di padepokan Empu Gandring, meskipun ada kemungkinan cantrik itu sudah tidak mengenalnya.
Karena itu, maka Ken Arok pun kemudian telah benar-benar mengetuk pintu itu, sehingga terdengar desis di dalam ruangan, "Siapa?"
"Aku, Ken Arok."
Terdengar langkah mendekat pintu.Kemudian terdengar palang pintu terangkat, dan pintu itu pun terbuka.
"Ken Arok," berkata Witantra, "seharusnya kau tahu, bahwa kau tidak dapat mengganggu sidang ini."
"Maafkan," jawab Ken Arok, "aku pun menyangka bahwa aku akan mengganggu. Tetapi aku memerlukan suatu tindakan yang cepat di dalam masalah ini. Aku mengharap bahwa sebelum para pemimpin yang tujuh ini dapat mengambil keputusan, maka tidak akan terjadi kesalahan yang kurang bijaksana."
"Apa maksudmu?"
"Kebo Ijo ingin melihat keris itu.Ialah orang yang paling mengenalnya. Meskipun kerisnya tidak ditemukan di dalam rumahnya, tetapi masih ada kemungkinan, bahwa sebenarnya keris itu bukan kerisnya. Keris itu hanyalah mirip atau sengaja dibuat mirip dengan keris yang hilang itu. Kemiripan yang paling mencolok terletak pada tangkainya. Sedang tangkai yang demikian dapat dibuat oleh siapa pun juga. Dengan melihat keris itu dari dekat maka Kebo Ijo akan dapat mengatakan, apakah keris itu benar-benar kerisnya."
Witantra mengerutkan keningnya. Sejenak ia terdiam sambil berpaling ke arah enam orang yang lain, yang ada di dalam ruangan itu.
Ruangan itu menjadi sunyi sesaat.Beberapa orang saling berpandangan. Tetapi mereka tidak segera dapat mengambil suatu keputusan.
Ken Arok sendiri masih berdiri tegak di depan pintu. Dipandanginya setiap wajah seorang demi seorang. Namun yang dilihatnya hanyalah keragu-raguan dan kebimbangan.
Baru sejenak kemudian terdengar Witantra berkata, "Bukankah Kebo Ijo telah melihat keris itu?"
"Ya, tetapi Kebo Ijo ingin meyakinkan. Ia ingin melihat setiap guratan pamornya. Dan ia akan dapat memutuskan apakah keris itu miliknya yang hilang."
"Ia akan dapat berbohong," berkata salah seorang tetua pemerintahan, "anak itu dapat berkata apa saja tentang keris itu."
"Bukan maksud Kebo Ijo," Ken Arok menggelengkan kepalanya, "Kebo Ijo tidak akan minta belas kasihan atau membuat cerita yang aneh-aneh untuk membebaskan dirinya. Ia cukup jantan menghadapi kenyataan. Yang penting baginya adalah kepuasan perasaan. Kalau keris itu adalah kerisnya yang hilang, maka ia akan dapat menghadapi setiap kemungkinan dengan perasaan yang tenang. Tetapi apabila keris itu bukan kerisnya, meskipun ia tidak ingin bebas karenanya, apalagi membuat-buat cerita ngayawara, namun hal itu akan dapat menyinggung rasa keadilan kita jauh lebih parah lagi."
Ken Arok berhenti sejenak, "tetapi itu pun bukan berarti suatu pengakuan bahwa seandainya keris itu benar-benar kerisnya ia telah melakukan pembunuhan. Tetapi bahwa kekhilafannya dan hilangnya pusaka itu dari rumahnya, adalah suatu kesalahan yang harus ditebusnya dengan nyawanya."
Ketika Ken Arok terdiam, maka sekali lagi ruangan itu menjadi senyap. Beberapa orang menundukkan kepalanya dan beberapa orang yang lain menjadi semakin ragu-ragu.
"Aku tidak keberatan," tiba-tiba Witantra berdesis.
"Aku juga tidak berkeberatan," sahut yang seorang.
Seorang yang lain mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berkata, "Aku juga tidak. Tetapi siapa yang bertanggung jawab apabila terjadi sesuatu?"
Ken Arok mengangkat dadanya, "Akulah yang bertanggung jawab. Aku adalah sahabatnya. Aku akan menghadapinya apabila ia mencoba mempergunakan senjata itu untuk melakukan perlawanan. Tetapi sekali lagi aku ingin menjelaskan, bahwa Kebo Ijo cukup jantan menghadapi kenyataan ini. Kenyataan yang tidak terduga-duga."
Sesaat orang di dalam bilik itu menjadi tegang. Mereka saling berpandangan. Akhirnya seorang yang lain lagi berkata, "Aku juga tidak berkeberatan."
Empat orang dari yang tujuh telah menyatakan sikapnya. Karena itu, maka telah merupakan keputusan, sebagai pengganti kekuasaan Akuwu, bahwa yang lain harus memberikan alasan-alasan yang dapat dimengerti oleh setidak-tidaknya seorang dari keempat orang itu apabila keputusan itu hendak diubah atau ditolak. Apabila yang tiga orang itu atau salah seorang daripadanya tidak mengajukan keberatan apapun maka sikap yang empat itu akan menjadi keputusan yang harus dilaksanakan.
Demikianlah, karena tidak ada seorang pun yang berkeberatan, maka orang yang menyimpan keris berkata, "Baiklah. Aku akan menyerahkan keris itu kepadamu Ken Arok. Kaulah yang akan bertanggung jawab."
"Aku akan bertanggung jawab," sahut Ken Arok.
Maka keris itu pun segera diambilnya, dan diserahkannya kepada Ken Arok. "Hati-hatilah. Keris ini merupakan barang bukti."
"Ya. Aku menjadi taruhan, bahwa keris ini tidak akan hilang."
Witantra memandang keris itu sambil mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Tetapi ia tidak berkata sepatah kata pun lagi.
Sepeninggal Ken Arok, maka orang yang tertua di antara ketujuh orang itu berkata, "Kita akan menunda pembicaraan ini. Kita akan menunggu kedatangan Ken Arok yang telah membawa keris itu."
Yang lain mengangguk-anggukkan kepala mereka.
"Kita akan tetap tinggal di dalam bilik ini."
"Ya," jawab yang lain, "kita akan tetap tinggal di sini."
Demikianlah, maka ketujuh orang itu pun kemudian duduk kembali di dalam suatu lingkaran.Mereka tidak beranjak dari tempatnya, meskipun mereka hampir tidak berbicara lagi. Masing-masing mencoba membayangkan apa yang telah terjadi dengan Akuwu Tunggul Ametung.
Dalam kesenyapan itulah, maka sebagian terbesar dari mereka, mulai melihat suatu gambaran yang agak bening. Sebenarnyalah bahwa terlampau bodoh, apabila Kebo Ijo setelah membunuh Akuwu meninggalkan keris itu di dadanya.
Tetapi mereka harus menunggu. Mereka akan mendengar keterangan Ken Arok tentang keris itu.
Beberapa orang berpendapat, apabila Kebo Ijo mengaku tanpa banyak persoalan, bahwa keris itu adalah kerisnya maka dugaan bahwa ia yang telah membunuh Akuwu menjadi semakin tipis. Mungkin setiap orang tetap pada tuduhannya, karena sikap, watak dan tingkah laku Kebo Ijo. Tetapi ketujuh orang itu tidak boleh ingkar dari suatu keyakinan, apabila memang demikian, apabila menurut keyakinan mereka, Kebo Ijo tidak melakukan pembunuhan itu. Mungkin keputusan mereka tidak sesuai dengan tuntutan sebagian terbesar dari rakyat Tumapel, terutama mereka yang mengenal Kebo Ijo. Tetapi mereka harus tetap berusaha menegakkan keadilan. Seperti juga Witantra telah berkorban perasaan untuk mempertahankan keyakinannya, meskipun ia tahu, bahwa setiap orang akan menganggapnya berpihak, karena Kebo Ijo adalah adik seperguruannya. Tetapi justru karena itu ia telah bersikap tanpa pilih. Siapa pun Kebo Ijo, ia berdiri di atas keyakinannya. Keyakinan yang dilandasi oleh berbagai macam bukti, pertimbangan dan pengamatan.
Dalam pada itu Ken Arok pun pergi dengan tergesa-gesa ke bilik Kebo Ijo. Kedua penjaga yang menungguinya menjadi ragu-ragu untuk mengizinkannya masuk kembali ke dalam bilik itu.
"Aku tidak sedang bermain-main," desis Ken Arok, "aku adalah pimpinan pelayan dalam yang bertugas kali ini. Sadarilah itu. Kalau kau melihat bahwa aku membawa keris yang telah tertancap ke dalam dada Akuwu ini, kau pasti dapat mengerti, bahwa kalian tidak berhak melarang aku masuk."
Kedua penjaga itu berpandangan sejenak.Kemudian yang tua di antara keduanya menganggukkan kepalanya sambil berkata, "Silakanlah. Tetapi jangan terlampau lama. Kami berdualah yang kali ini bertanggung jawab atas tawanan ini."
"Aku tidak menyangkal. Tetapi aku pun sedang menjalankan tugas."
Palang pintu bilik itu pun kemudian diangkat, dan Ken Arok pun masuk ke dalamnya dengan nafas terengah-engah.
Kebo Ijo menjadi cemas melihat kedatangan Ken Arok yang tergesa-gesa itu, sehingga ia pun bertanya dengan serta-merta, "Apa kata mereka Ken Arok?"
Namun ia terkejut melihat Ken Arok membawa keris itu, "Buat apa kau bawa keris itu?"
"Aku meminjamnya Kebo Ijo. Aku masih ingin meyakinkan, apakah keris ini benar-benar kerisku yang ada padamu," Ken Arok berhenti sejenak, "dan ternyata bahwa keris ini benar kerisku itu."
Kebo Ijo menundukkan kepalanya. Katanya perlahan-lahan, "Dan kau percaya juga bahwa aku telah membunuh Akuwu dengan keris ini."
Ken Arok menggelengkan kepalanya, "Tidak Kebo Ijo. Aku tidak percaya bahwa kau telah melakukannya."
Kebo Ijo mengangkat wajahnya. Matanya memancarkan sepercik sinar. Terdengar ia berkata, "Itulah yang aku perlukan darimu Ken Arok. Aku berterima kasih, bahwa masih ada orang yang dapat melihat kebenaran. Tetapi apakah keputusan yang diambil oleh para pemimpin yang tujuh itu?"
Ken Arok menelan ludahnya. Beberapa saat ia berdiam diri sambil menundukkan kepalanya.
Kebo Ijo menarik nafas dalam-dalam. Beberapa langkah ia berjalan sampai ke sudut bilik itu, kemudian berputar dan menyusur dinding.
"Aku mengerti Ken Arok. Apakah mereka mengambil keputusan dengan hukuman mati?"
Perlahan-lahan Ken Arok menganggukkan kepalanya.
"Apakah suara mereka dapat memutuskan" Tanpa Akuwu mereka tidak dapat berbuat sendiri-sendiri.Hanya Akuwulah yang berwenang menentukan tanpa pertimbangan mereka bersama-sama."
"Akhirnya suara mereka menentukan. Bukti inilah yang berbicara," Ken Arok berhenti sejenak, "apakah kau sependapat Kebo Ijo, apabila aku melenyapkan bukti ini."
"Apakah maksudmu?"
"Aku telah berhasil membujuk mereka dan meminjam bukti ini. Kalau aku lenyapkan bukti ini, maka para pemimpin harus berpikir lagi."
"Tetapi akibatnya bagimu terlampau parah."
"Aku akan lari. Aku adalah seorang petualang sejak kecil. Apa artinya hidup di istana ini bagiku."
"Jangan Ken Arok," desis Kebo Ijo, "aku berterima kasih atas semuanya itu. Tetapi itu tidak perlu. Biarlah aku menerima akibat dari kebodohanku selama ini. Dan puncak dari kebodohan itu adalah hilangnya keris itu dari simpananku."
"Lalu apakah kau akan menerima keputusan itu?"
"Tidak ada hakku untuk menolak. Aku tinggal menjalaninya. Bagaimanakah bunyi keputusan itu?"
Ken Arok tidak segera menjawab.
"Bagaimana Ken Arok?"
"Aku hanya mendengar bagian terakhir dari pembicaraan itu.Kemudian aku mencoba meminjam barang bukti ini."
Kebo Ijo mengerutkan keningnya. Ia harus percaya kepada kata-kata Ken Arok. Terbukti pula ia telah membawa keris itu.
"Dan bagaimana bunyi keputusan itu" " Kebo Ijo mendesak.
"Sebenarnya aku tidak akan sampai hati mengatakannya kepadamu Kebo Ijo. Biarlah salah seorang dari merekalah yang akan menyampaikan kepadamu nanti atau besok."
"Tidak. Aku ingin mendengarkan sekarang.Katakanlah Ken Arok. Aku akan semakin berterima kasih kepadamu."
Ken Arok menarik nafas dalam-dalam.Kemudian dengan suara tertahan-tahan ia berkata, "Kau akan dihukum mati Kebo Ijo. Hukuman mati itu akan dilaksanakan di alun-alun.Hukuman tusuk sampai mati."
"Gila!" Kebo Ijo menggeram, "Aku tidak takut mati.Tetapi hukuman itu adalah hukuman yang paling jahat."
"Tetapi itu akan lebih baik dari hukuman gantung."
"Tetapi akibatnya sama saja.Aku tidak mencemaskan cara kematian itu.Tetapi kematian di hadapan banyak orang sebagai tontonan adalah kematian yang paling hina."
"Karena itu, apakah aku harus melarikan keris ini?"
Kebo Ijo menggeleng. Setelah merenung sejenak ia berkata, "Tidak Ken Arok. itu tidak perlu.Kalau kau benar-benar ingin menolongku, bunuh sajalah aku sekarang."
"Uh, gila! Itu adalah suatu kegilaan Kebo Ijo," wajah Ken Arok menjadi tegang, "kalau kau ingin melarikan diri, aku akan menolongmu. Tetapi tidak dengan cara itu mengakhiri persoalan."
"Ken Arok," berkata Kebo Ijo, "sudah aku katakan, aku tidak ingin melihat kau di dalam persoalan ini. Kau sudah cukup baik selama ini. Karena itu, aku minta kepadamu untuk yang terakhir kalinya. Bunuhlah aku dengan kerismu itu. Keris yang telah merenggut jiwa Akuwu Tunggul Ametung pula."
"Tidak mungkin Kebo Ijo, tidak mungkin."
Kebo Ijo menatap mata Ken Arok dengan tajamnya, sehingga seolah-olah langsung tembus ke dalam pusat otaknya. Sejenak ia seakan-akan membeku. Namun sejenak kemudian ia berkata, "Ken Arok. Tidak ada jalan yang lebih baik daripada itu. Apakah kau sampai hati melihat aku diikat pada sebuah tonggak di panggungan di alun-alun" Beribu-ribu orang melihat dengan wajah yang memancarkan kebencian. Kemudian seorang prajurit naik ke atas panggung itu dengan keris di tangan. Diiringi oleh sorak-sorai orang-orang yang menonton itulah, aku harus mengakhiri hidupku. Tidak Ken Arok. Aku tidak mau."
"Tetapi," Ken Arok tergagap, "aku tidak akan mungkin dapat melakukannya. Aku tidak akan sampai hati pula membunuhmu."
Kebo Ijo menundukkan kepalanya. Terdengar ia berdesis, "Aku minta pertolonganmu yang terakhir, sebab aku tidak mau memilih jalan yang kedua."
"Apakah jalan yang kedua itu?"
"Aku tidak akan menemui kesulitan apapun untuk memecah dinding bilik ini, atau palang pintu, tidak usah bersusah payah dengan aji Bajra Pati.Tetapi aku tidak akan lari. Aku dapat mengamuk di dalam istana ini. Dengan demikian aku pun akan mati dikeroyok orang. Mungkin malahan Kakang Witantra sendiri yang akan membunuhku. Tetapi jalan itu tidak begitu menyenangkan, seolah-olah aku ingin mati bersama beberapa orang. Dan kematian yang demikian kurang menyenangkan pula agaknya."
"Tetapi itu lebih jantan Kebo Ijo."
"Tetapi tidak bijaksana melawan kakak seperguruan."
Ken Arok diam sejenak. Dan Kebo Ijo itu berkata selanjutnya, "Aku minta dengan sangat Ken Arok. Bunuhlah aku. Kau jugalah yang telah menangkap aku dan membawa kemari.Sekarang kau jugalah yang sebaiknya menyelesaikannya."
Ken Arok tidak segera menjawab.
"Cepatlah Ken Arok," Kebo Ijo pun kemudian mendekati Ken Arok, "angkat kerismu. Kau pasti bukan seorang laki-laki yang takut melihat darah."
Ken Arok tidak menjawab. Tetapi justru ia berpaling dan melangkah menjauh.
"Tolonglah aku, Ken Arok."
Nafas Ken Arok menjadi terengah-engah. Ia benar-benar berada dalam keragu-raguan meskipun hal itu memang diharapkannya. Tetapi ketika ia sudah berdiri berhadapan dengan Kebo Ijo, maka hatinya menjadi kisruh.
"Cepat, sebelum ada perkembangan lebih lanjut."
Ken Arok perlahan-lahan mengangkat kepalanya. Dipandanginya wajah Kebo Ijo yang sama sekali tidak membayangkan kecemasan dan ketakutan.
"Aku sudah mapan Ken Arok," nada suara Kebo Ijo merendah, "tetapi sepeninggalku, aku titipkan pengawasan anakku kepadamu. Mudah-mudahan Mahisa Randi dapat menjadi seorang yang baik. Seorang yang rendah hati seperti kau."
Terasa sebuah desir yang tajam tergores di dinding jantung Ken Arok. Pesan itu telah menghempaskannya ke dalam suatu pengakuan yang pahit. Hampir saja Ken Arok kehilangan keseimbangannya dan membatalkan semua rencananya. Namun sejenak kemudian ia menghentakkan giginya sambil menggeram di dalam hatinya, "Aku tidak boleh, mundur lagi."
"Bagaimana Ken Arok?" bertanya Kebo Ijo.
Ken Arok mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Ia mencoba mencari kekuatan untuk melangkah lebih jauh lagi. Kalau Kebo Ijo sudah tersingkirkan, maka bahaya baginya sudah akan berkurang lagi.
"Bagaimana aku dapat melakukannya, Kebo Ijo?"
"Ini dadaku Ken Arok. Kau tinggal memasukkan keris aku telah membunuh seorang tawanan."
"Tidak. Aku tidak dapat. Seandainya aku dapat memaksa diriku memenuhi permintaanmu yang gila itu, namun akulah besok yang harus terikat di atas panggungan itu."
Karena Kebo Ijo mengangguk-anggukkan kepalanya. "Ya, kau benar," Namun tiba-tiba, "Tetapi aku ada jalan Ken Arok. Aku akan memecah pintu, dan melawan kedua penjaga itu. Kau harus datang tepat pada waktunya dan kaulah yang harus membunuhku sebelum aku membunuh kedua penjaga itu, supaya aku tidak bertambah beban lagi di saat kematianku."
Ken Arok menarik nafas dalam-dalam.
"Jangan terlampau banyak berpikir Ken Arok. Kau adalah seorang laki-laki perasa. Lakukanlah, dan kau tidak akan menyesal karena kau telah menolong aku. Bagiku, kematianku sekarang akan lebih baik daripada besok, meskipun agak lebih cepat."
Ken Arok masih belum menjawab.
"Cepatlah, Ken Arok. Sebentar lagi mereka pasti akan datang kemari untuk menyampaikan keputusan itu."
Ken Arok masih tetap diam.
"Cepat, kau sekarang pergi keluar bilik ini. Sebelum kau jauh aku akan memecah pintu. Kemudian kau berlari kembali menolong kedua penjaga yang dungu itu."
Sebelum Ken Arok menjawab, Kebo Ijo telah mendorongnya ke pintu. "Cepat, keluar."
Seakan-akan di luar sadarnya Ken Arok melangkah maju, mendorong pintu dan berjalan keluar bilik.
"Apakah persoalanmu sudah selesai?" bertanya salah seorang penjaga yang duduk beberapa langkah di depan pintu.
"Sudah," jawab Ken Arok, "aku akan menghadap Witantra."
Tanpa berpaling lagi Ken Arok kemudian berjalan perlahan-lahan meninggalkan bilik itu, sedang kedua penjaganya itu pun segera memasang palang pintu itu.
Tetapi belum lagi Ken Arok melampaui longkangan, tiba-tiba ia telah dikejutkan oleh suatu hentakan yang keras. Ketika ia berpaling, ia melihat pintu bilik yang ditinggalkannya itu pecah.
Dengan sigapnya kedua penjaga itu pun berloncatan ke muka pintu sambil mengacukan senjata masing-masing.
Kebo Ijo yang telah memecah pintu itu tertegun sejenak, ia sadar, bahwa prajurit yang diserahi tugas untuk menjaganya itu pasti bukan sembarang prajurit. Karena itu, ia harus berhati-hati, agar ia tidak mati terbunuh oleh keduanya. Kebo Ijo ingin mati karena keris yang telah dibasahi oleh darah Akuwu Tunggul Ametung itu. Dan ia akan lebih ikhlas apabila Ken Aroklah yang menghunjamkan keris itu di dadanya.
"Apa maksudmu memecahkan pintu Kebo Ijo?"
Kebo Ijo tidak menjawab. Ia melihat kemungkinan untuk melawan keduanya sampai Ken Arok datang.
"Jangan mencoba untuk berbuat sesuatu yang dapat membuat kau lebih parah lagi."
Kebo Ijo tidak menjawab. Tiba-tiba saja ia meloncat ke samping. Begitu kakinya menjejak tanah, maka kakinya yang lain dengan sikapnya menyambar pergelangan tangan salah seorang dari kedua penjaga itu sehingga pedangnya terpelanting.
Belum lagi penjaga itu menyadari keadaan sepenuhnya, Kebo Ijo telah meloncat dan memukulnya tepat pada dagunya, sehingga prajurit itu terpelanting jatuh.
Dengan cepatnya Kebo Ijo meraih pedang yang terjatuh, dan sesaat kemudian ia telah siap untuk melakukan perlawanan.
Prajurit yang terjatuh itu pun dengan lincahnya meloncat berdiri. Betapa perasaan sakit seakan-akan membakar dagunya, namun rasa bertanggung jawab atas orang yang diserahkan kepadanya telah membuatnya membuang perasaan sakit itu jauh-jauh.
Tetapi dada prajurit itu berdesir ketika ia melihat pedangnya telah berada di tangan Kebo Ijo.
"Apakah kau akan mencoba melawan Kebo Ijo?" bertanya salah seorang dari kedua prajurit itu.
"Ya. Aku akan melawan. Aku akan melarikan diri dari kurungan ini."
"Kau gila. Kau sangka kau akan dapat keluar dari istana ini?"
"Tentu," jawab Kebo Ijo sambil mencoba mengedarkan pandangan matanya. Ia sekilas melihat Ken Arok berdiri di sudut di seberang longkangan. Tetapi kemudian meloncat menyembunyikan dirinya.
"Menyerahlah," geram salah seorang prajurit itu.
"Kalianlah yang akan aku binasakan sebelum aku digantung."
"Persetan!" prajurit yang masih bersenjata itu pun segera menyerang Kebo Ijo. Namun agaknya Kebo Ijo cukup tangkas untuk menghindarinya, sehingga serangan itu sama sekali tidak mengenai sasarannya. Bahkan kemudian dengan sigapnya Kebo Ijo menjulurkan pedangnya sambil meloncat ke samping. Sebuah sentuhan telah mengenai pundak prajurit itu, sehingga ia terpaksa meloncat mundur sambil berdesis.
"Gila!" ia mengumpat. Sementara kawannya yang tidak bersenjata telah mengambil sepotong palang pintu yang patah karena hentakan Kebo Ijo dari dalam.
Dengan senjata itu ia menyerang, sementara kawannya yang lain berusaha memperbaiki kedudukannya.
Namun ternyata pedang Kebo Ijo lebih lincah. Apalagi ternyata pula bahwa Kebo Ijo memang mempunyai kelebihan dari keduanya, sehingga sejenak kemudian Kebo Ijo telah berhasil melukai mereka.
"Beri tahukan kepada gardu penjaga," desis salah seorang dari kedua prajurit yang masih memegang senjatanya, "aku akan menahannya di sini. Cepat!"
Dada Kebo Ijo berdesir. Kalau prajurit itu berhasil mencapai gardu penjaga, kemudian beberapa orang datang untuk menangkapnya, maka ia harus berkelahi dengan sungguh-sungguh. Tetapi ternyata prajurit yang masih bersenjata itu berusaha sekuat tenaganya untuk memberi kesempatan kawannya itu meninggalkan arena.
Sepeninggal kawannya maka prajurit itu bertempur mati-matian sambil mengerahkan segenap kemampuannya. Ia harus menahan Kebo Ijo untuk beberapa saat, supaya Kebo Ijo tidak mendapat kesempatan untuk berlari.
Kebo Ijo menggeram, dan ia belum melihat Ken Arok.
"Apakah Ken Arok ingkar karena ia tidak sampai hati untuk melakukannya?" pertanyaan itu mendengung di dadanya.
Namun dada Kebo Ijo berdesir ketika ia melihat prajurit yang sedang berlari ke gardu penjagaan tertegun karena di sudut longkangan itu hampir saja ia membentur Ken Arok.
"Ada apa?" bertanya Ken Arok, "aku mendengar kalian ribut di penjagaan kalian."
"Kebo Ijo berusaha melarikan diri."
"Kenapa kau malah lari?"
"Aku akan memberitahukan ke gardu penjagaan."
Ken Arok tidak bertanya lagi. Berlari-lari ia mendekati prajurit yang sedang berkelahi melawan Kebo Ijo mati-matian.
Namun Kebo Ijo memang tidak berusaha membunuhnya. Ia hanya melukainya di beberapa tempat. Tetapi lambat laun, prajurit itu betapapun ia mencoba mengerahkan tenaganya, namun tenaganya itu sangat terbatas. Sehingga akhirnya pada suatu saat ia sudah tidak mampu lagi melakukan perlawanan. Terhuyung-huyung ia terdorong surut, dan kemudian dengan lemahnya jatuh berguling di lantai.
Kebo Ijo tinggal meloncat maju sambil menjulurkan pedangnya dan menghunjamkan pedang itu di dada prajurit yang sudah tidak berdaya melawannya.
Prajurit itu pun telah pasrah diri meskipun pedangnya masih juga digenggamnya erat-erat. Namun menurut perhitungannya lawannya pasti sudah sampai di gardu penjagaan dan menyampaikan persoalannya kepada pimpinan penjaga.
Pada saat yang demikian itulah Ken Arok datang berlari-lari. Dengan keris terhunus ia berdiri tegak menatap Kebo Ijo dengan wajah yang tegang.
Setapak Kebo Ijo maju mendekatinya sambil berdesis perlahan-lahan, "Apakah yang kau tunggu lagi Ken Arok?"
Ken Arok masih berdiri tegak mematung di tempatnya. Sekilas dipandanginya prajurit yang terbaring dengan lemahnya, meskipun ia masih menggenggam pedang. Dengan susah payah ia masih berusaha untuk bangkit. Tetapi tubuhnya telah terlampau lemah, sehingga setiap kali ia kembali terjatuh di lantai.
"Cepat Ken Arok," desis Kebo Ijo sambil mengacu-ngacukan pedangnya.
Ken Arok telah dicengkam oleh keragu-raguan. Sebenarnya keragu-raguan. Ketika ia menatap mata Kebo Ijo yang pasrah, seolah-olah dilihatnya dirinya sendiri di dalam mata itu. Dirinya sendiri yang berdiri di atas mayat korban-korbannya dengan tangan berlumuran darah. Ia telah mengorbankan Empu Gandring yang baik, Akuwu Tunggul Ametung yang terlampau mementingkan diri sendiri, kini ia berhadapan dengan Kebo Ijo yang sombong dan tinggi hati. Namun Kebo Ijo yang berdiri di hadapannya kini seolah-olah adalah Kebo Ijo yang lain. Kebo Ijo yang tenang dan mengendap.
"Oh, kenapa ia tidak berbuat sesuatu yang dapat membakar hatiku" Kenapa ia tidak mengumpat-umpati aku atau bercerita tentang keris itu, atau berbuat apa saja sehingga aku akan ringan tangan untuk membunuhnya" Kenapa ia terlampau pasrah dan menengadahkan dadanya?" Ken Arok telah dicengkam oleh perasaannya.
"Cepat, Ken Arok!" desis Kebo Ijo yang kini terpaksa mengayunkan pedangnya, "Hati-hati. Aku harus berpura-pura, supaya kau tidak dicurigai."
Ken Arok menghindar dengan gerak naluriah. Namun kemudian ia berdiri tegak seperti patung pula tanpa berbuat sesuatu.
"He, kenapa kau Ken Arok?" geram Kebo Ijo yang hampir kehabisan kesabaran.
"Aku tidak bisa, Kebo Ijo."
"Bodoh, aku sudah terlanjur. Kau harus melakukannya."
Ken Arok tidak menjawab. Ketika Kebo Ijo menyerangnya, ia menghindar pula.
"Ayo lekas!" Ken Arok masih belum dapat mengambil suatu sikap.Sejenak ia merenungi keadaannya yang terasa semakin lama menjadi semakin kotor. Kebo Ijo adalah seorang ayah dari seorang bayi yang masih sangat memerlukannya. Dan ayah itu harus dikorbankannya.
Dalam keragu-raguan itu Ken Arok terkejut mendengar hiruk-pikuk. Sejenak kemudian ia melihat beberapa orang prajurit berlari-lari ke arahnya.
"Mereka datang," desis Kebo Ijo, "cepat Ken Arok, cepat!"
Tanpa sesadarnya serangan Kebo Ijo pun menjadi semakin cepat, dan gerak Ken Arok pun menjadi semakin cepat pula, seakan-akan mereka memang baru berkelahi.
"Mereka menjadi semakin dekat Ken Arok. Jangan memberi kesempatan aku melakukan pembunuhan supaya aku menjadi lapang di perjalananku."
Ken Arok menggeretakkan giginya. Dan tiba-tiba ia dihadapkan pada suatu keharusan untuk berbuat. Prajurit-prajurit itu pun menjadi semakin dekat dengan senjata telanjang di tangan mereka.
"Ken Arok, lakukan. Bukankah kau tidak akan sampai hati membiarkan aku dirampok orang seperti seekor binatang buas di dalam rampogan di alun-alun."
Wajah Ken Arok menjadi tegang. Ia masih harus berloncatan menghindari pedang Kebo Ijo yang menyambar-nyambar. Dan tiba-tiba saja di luar sadarnya Kebo Ijo telah meloncat sambil mengayunkan pedangnya. Ken Arok terkejut. Seolah-olah Kebo Ijo bersungguh-sungguh hendak mengenainya, sehingga dengan tergesa-gesa ia merendahkan dirinya sambil bergeser surut.
"Sekarang, sekarang. Mereka telah menjadi semakin dekat."
Ken Arok menghentakkan kakinya. Tiba-tiba terngiang di kepalanya suara nafsunya yang selama ini telah membakar jiwanya.
"Jangan kau lepaskan kesempatan ini Ken Arok. Kalau Kebo Ijo tertangkap hidup, mungkin ia tidak akan bertahan lagi. Mungkin ia akan membuka rahasiamu dan mungkin Mahisa Agni akan datang sambil membawa cantrik yang melihat kehadiranmu di padepokan Empu Gandring untuk membuktikan, siapakah yang sebenarnya datang ke padepokan itu. Kau atau Kebo Ijo."
Dalam keadaan yang demikian itulah, Ken Arok meloncat sambil memukul pergelangan tangan Kebo Ijo dengan tangan kirinya. Sebenarnya pukulan itu tidak terlampau keras, karena bagaimanapun juga Ken Arok masih belum dapat mempergunakan segenap kekuatannya. Apalagi Kebo Ijo pun bukanlah seorang prajurit biasa. Tetapi pukulan itu telah cukup untuk melontarkan pedang Kebo Ijo dari tangannya.
"Nah, sekarang. Aku akan sangat berterima kasih," Justru tanpa senjata apapun Kebo Ijo membenturkan dirinya ke arah Ken Arok sambil menengadahkan dadanya. "Sekarang Ken Arok."
Seperti dipukau oleh kekuatan di luar sadarnya, tiba-tiba Ken Arok menggerakkan tangannya. Sebuah tekanan telah menghunjamkan keris itu di dada Kebo Ijo.
Ken Arok baru sadar, bahwa tekanan itu adalah tekanan tangan Kebo Ijo sendiri yang menarik tangannya, sehingga keris itu langsung menusuk ke dada menembus jantung.
"Terima kasih," desis Kebo Ijo, "titip anakku. Awasilah. Semoga ia menjadi orang yang baik."
Tangan Ken Arok menjadi gemetar. Dan tiba-tiba tanpa disadarinya keris itu pun terlepas dari tangannya.
Ketika ia melangkah selangkah surut, maka Kebo Ijo itu pun jatuh terjerembab di lantai. Dadanya tertembus oleh keris yang telah menghunjam ke dada Akuwu Tunggul Ametung dan Empu Gandring. Darahnya pun kemudian mengalir dan memerahi lantai di bawah tubuhnya yang diam.
Pada saat itulah para prajurit Tumapel yang berlari-lari itu sampai di tempat keributan itu. Mereka hanya dapat melihat tubuh Kebo Ijo terbujur berlumuran darah.
"Kau tidak apa-apa Ken Arok?" bertanya salah seorang daripada prajurit-prajurit itu.
Ken Arok tidak segera dapat menjawab. Ia berdiri tegak seperti tonggak sambil memandang mayat Kebo Ijo yang terbaring di lantai, bermandikan darah. Betapapun juga, terasa jantung Ken Arok seolah-olah tergores oleh sembilu, ketika ia tahu pasti apa yang sebenarnya telah terjadi. Ia tahu pasti bahwa Kebo Ijo sebenarnya tidak bersalah. Kebo Ijo sama sekali tidak pernah membunuh Akuwu Tunggul Ametung. Dan ia tahu pula, bahwa pemimpin-pemimpin Tumapel yang tujuh orang itu sudah mulai meragukan kebenaran tuduhan mereka kepada Kebo Ijo.
Namun Kebo Ijo harus mati. Dan kini ia telah mati.Dan tiba-tiba di luar sadarnya Ken Arok berdesis, "Kasihan anak ini."
Beberapa orang yang mendengar desis itu termangu-mangu sejenak. Kemudian salah seorang dari mereka bertanya, "Apakah kau tidak apa-apa Ken Arok?"
Ken Arok menggelengkan kepalanya, "Tidak."
"Kenapa ia harus dikasihani kalau ia memang ingin melarikan dirinya?"
Ken Arok tidak segera menjawab. Dipandanginya mayat itu dengan tajamnya. Baru sejenak kemudian ia berkata, "Ia masih terlampau muda. Sebenarnya hari depannya masih cukup panjang."
"Tetapi ia tersesat jalan."
"Itulah yang menjadikan aku kasihan kepadanya."
Dalam pada itu, para prajurit segera menyibak dan berdiri tegak ketika dengan tergesa-gesa para pemimpin pemerintahan Tumapel termasuk para pemimpin prajurit, pengawal istana, pelayan dalam, para pemimpin pemerintahan, para Senapati dan para pandega mendekati tempat itu.
"Apa yang telah terjadi Ken Arok?" bertanya Witantra dengan suara yang gemetar.
"Maafkan aku Witantra," desis Ken Arok. Kini ia tidak boleh diombang-ambingkan oleh perasaannya. Ia harus segera menyadari, bahwa ia sedang melakukan rencananya. Ia harus melakukannya dengan sempurna. Kebo Ijo yang malang, anak dan istrinya sama sekali tidak boleh mempengaruhinya apabila ia tidak ingin gagal, dan justru ia akan digantung di alun-alun.
Witantra mengerutkan keningnya yang tegang. Dilihatnya mayat Kebo Ijo yang terbujur diam.
"Aku telah membunuhnya," berkata Ken Arok, "terpaksa.Terpaksa sekali, meskipun aku adalah sahabatnya yang paling dekat."
"Apa yang akan dilakukannya?"
"Sebaiknya biarlah prajurit-prajurit yang bertugas menceritakan."
Witantra diam sejenak. Ditatapnya pengawal yang masih sangat lemah berdiri terhuyung-huyung berpegangan dinding.Sedang yang seorang lagi berdiri tegak dengan nafas terengah-engah.
"Katakan apa yang sebenarnya telah terjadi!" geram Witantra.
Prajurit itu menarik nafas dalam-dalam.Kemudian terputus-putus ia menjawab, "Kebo Ijo mencoba melarikan diri. Ia telah memecah pintu dan menyerang kami berdua. Kami berdua tidak dapat melawannya. Salah seorang dari kami berusaha memanggil para penjaga di gardu, sedang aku menahannya agar ia tidak sempat melarikan diri. Tetapi akhirnya aku terlempar jatuh. Aku sudah tidak dapat bertahan sama sekali.Sedang para penjaga masih belum datang. Pada saat itulah Ken Arok datang. Sebelum ia berbuat sesuatu, Kebo Ijo melepaskan aku yang sudah tidak mampu berbuat apapun lagi, dan menyerang Ken Arok, sehingga keduanya berkelahi. Ketika para prajurit datang. Ken Arok tepat mengakhiri perkelahian."
Wajah Witantra menjadi merah padam.Apalagi ketika ia memandangi wajah para pemimpin Tumapel satu demi satu. Sejenak kemudian terdengar salah seorang berdesis, "Hampir saja aku percaya kepada kau, Angger Witantra. Hampir saja aku melepaskan kecurigaanku, bahwa Kebo Ijo bersalah. Tetapi ternyata sekarang, bahwa Kebo Ijo benar-benar telah bersalah. Terbukti ia berusaha melarikan dirinya."
"Ya. Aku yang sudah terlanjur menarik tuduhanku, kini telah menyadari, hampir-hampir saja aku lalai. Ternyata Kebo Ijo benar-benar bersalah. Kalau ia yakin bahwa dirinya bersih, maka ia tidak akan mencoba melarikan diri. Justru setelah ia melihat keris yang dibawa oleh Ken Arok," berkata yang lain.
"Akhirnya yang bersalah telah terbukti," sahut yang lain lagi, "apapun yang dikatakan sebagai pembelaan."
"Ya," berkata yang lain pula, "kini telah ternyata siapakah yang bersalah. Ia telah terhukum sebelum kami menjatuhkan keputusan."
Lalu kepada Ken Arok ia berkata, "Terima kasih Ken Arok. Kau memang orang yang luar biasa. Kaulah yang menangkap Kebo Ijo dengan mudah karena kau justru sahabatnya, dan sekarang kau pulalah yang telah menyudahinya. Kau memang seorang yang luar biasa. Rakyat Tumapel akan sangat berterima kasih kepadamu."
Ken Arok tidak menjawab. Kepalanya pun kemudian tertunduk dalam-dalam.
Namun dalam pada itu, terdengar suara Witantra mengguntur, "Aku tetap pada pendirianku. Kebo Ijo tidak bersalah. Bukan maksudku menyalahkan kau, Ken Arok. Kau sudah bertindak wajar sebagai seorang prajurit. Kebo Ijo pun telah wajar, menerima hukuman karena ia berusaha untuk melarikan diri. Tetapi bahwa Kebo Ijolah yang membunuh Akuwu Tunggul Ametung, aku tidak percaya!"
Semua mata memandang wajah Witantra yang seolah-olah menyala. Pemimpin prajurit Tumapel maju selangkah sambil berdesis, "Apakah kau masih akan menyangsikan lagi" Lihat, semua orang di sini mendapat kesimpulan yang serupa. Tetapi kau berpendirian lain karena kau adalah kakak seperguruannya."
"Justru aku adalah kakak seperguruannya, aku mengenal watak dan tabiatnya. Ia adalah seorang anak yang bengal, tetapi ia bukan seorang yang biadab. Bukan. Aku tidak percaya bahwa Kebo Ijo telah melakukan pembunuhan."
"Itu adalah pendirian yang aneh. Seharusnya kau melepaskan hubungan yang ada itu, dan bersikap sebagai seorang prajurit, seperti yang selalu kau perlihatkan selama ini."
Dada Witantra serasa akan retak mendengar kata-kata itu. Kemarahan yang membakar jantungnya serasa tidak dapat dikendalikannya lagi, sehingga hampir saja ia kehilangan keseimbangan. Untunglah bahwa ia masih tetap berhasil mengekang dirinya sendiri.
Meskipun demikian ia masih juga menggeram, "Siapa pun Kebo Ijo, aku tidak akan dapat melepaskan keyakinanku, bahwa bukan anak itulah yang telah membunuh Akuwu Tunggul Ametung. Aku tidak dapat melepaskan peristiwa ini dengan peristiwa yang mendahuluinya, di mana Akuwu seakan-akan tenggelam dalam suatu suasana yang tidak terkendali lagi, sehingga aku merasa, seakan-akan diriku dikesampingkan."
Witantra berhenti sejenak, kemudian, "Nah, siapa yang berani melihat ke diri sendiri selama ini. Apakah yang telah kalian lakukan" Pemimpin pemerintahan Tumapel seakan-akan sudah tidak berjalan wajar lagi. Dan sejak itulah aku merasa tersisih. Seakan-akan memang ada kesengajaan memisahkan Akuwu dan aku sebagai pimpinan pengawalnya.Dan apa yang kalian lakukan selama ini adalah melayani keinginan Akuwu yang sesat. Nah, ternyata kita semuanya menjadi lengah. Inilah akhir dari semuanya. Dan kalian ingin menyelesaikan persoalan dengan mudah. Tanpa berpikir. Asal kalian dapat memberi kepuasan kepada rakyat Tumapel."
Mereka yang berada di tempat itu terdiam, seakan-akan sedang mengunyah kata-kata Witantra di dalam hatinya. Namun dengan demikian mereka merasa dihadapkan ke muka cermin yang memperlihatkan cacat cela mereka. Dengan demikian, maka sengaja atau tidak sengaja, para pemimpin Tumapel itu berusaha mengelak.
"Angger Witantra," berkata salah seorang dari mereka, "aku sudah tua. Aku sudah berada di Tumapel berpuluh tahun. Aku sudah menjadi pembantu Tuanku Tunggul Ametung sejak Akuwu Tunggul Ametung memegang kekuasaan di Tumapel. Aku sudah kenyang makan garam pemerintahan. Sedang kau adalah orang yang masih terlampau muda. Itulah sebabnya kau masih kabur melihat kebenaran."
"Aku tidak lebih muda dari Akuwu Tunggul Ametung. Coba sebutkan. Siapakah yang lebih muda di antara kami. Pada saat Tuanku Tunggul Ametung memegang kekuasaan, aku sudah seorang perwira di istana. Belum lagi tiga tahun, aku kemudian menjabat jabatanku yang sekarang. Tetapi dibandingkan dengan kalian, akulah orang yang paling dekat dengan Akuwu. Hampir setiap saat, ke manapun Akuwu pergi aku selalu pergi bersamanya. Karena itu, aku lebih mengenalnya dari kalian. Dan karena pengenalanku itulah, maka aku tidak melihat ada suatu tali hubungan antara Kebo Ijo dengan Akuwu dalam arti yang kurang baik. Maksudku, bahwa kelakuan Akuwu akhir-akhir ini tidak ada sangkut pautnya sama sekali dengan Kebo Ijo yang tidak pernah berbuat sesuatu kecuali menyombongkan diri dan mencari pujian dari siapa pun."
Namun ketika Witantra berhenti sejenak, hampir setiap kepala menggeleng. Bahkan seorang pandega berkata, "Orang yang paling mungkin melakukan adalah Kebo Ijo."
"Diam!" Witantra membentak, sehingga pandega itu pun segera menundukkan kepalanya.
"Adalah tidak Adil," geram Witantra, "bahwa karena Kebo Ijo adalah adik seperguruanku, lalu aku tidak boleh menyatakan keyakinanku. Tidak, yang penting bagiku, bukan siapa Kebo Ijo. Tetapi apakah ia benar-benar bersalah atau tidak."
Pemimpin tertinggi pelayan dalam, yang termasuk salah seorang pimpinan pemerintahan menggelengkan kepalanya. Katanya, "Kami tidak dapat ingkar lagi. Bukti yang pertama adalah keris itu. Kemudian usahanya melarikan diri. Jelas. Sudah cukup jelas."
"Aku masih minta persoalan ini dibicarakan lagi."
"Buat apa," bertanya pemimpin prajurit Tumapel, "Kebo Ijo sudah mati. Ia harus segera dikuburkan sebagai seorang pengkhianat."
"Itu yang aku tidak mau. Ia harus diselenggarakan sewajarnya. Kita mencari kebenaran atas peristiwa yang terjadi itu. Kalau menurut keyakinan kita ia bersalah, kita nyatakan bahwa Kebo Ijo bersalah. Tetapi kalau tidak, kita umumkan, bahwa Kebo Ijo tidak bersalah meskipun ia telah mati. Kesalahan yang tidak dapat diingkari lagi, justru usahanya untuk melarikan diri. Tetapi melarikan diri bukan bukti, bahwa ia telah melakukan pembunuhan atas Akuwu Tunggul Ametung."
"Tidak," desis salah seorang pemimpin Tumapel.
"Tidak," yang lain bergumam.
"Tidak," pemimpin prajurit Tumapel pun bersikap serupa.
Dan yang lain pun menggelengkan kepalanya, "Tidak."
Darah Witantra menjadi mendidih karenanya. Tetapi ia adalah seorang prajurit yang baik, sehingga karena itu ia tidak dapat hanya sekedar digerakkan oleh perasaannya, dan melakukan tindakan yang salah menurut tata keprajuritan.
"Seorang prajurit harus jujur," desisnya, "apapun yang akan terjadi atas diriku, tetapi aku berkeyakinan bahwa Kebo Ijo tidak bersalah."
Witantra diam sejenak. Disambarnya wajah Ken Arok sekilas, seolah-olah minta pendapatnya, sebagai seorang sahabat terdekat Kebo Ijo. Tetapi Ken Arok hanya menundukkan kepalanya saja.
"Kenapa ia tidak mau berbicara?" pertanyaan itu melonjak di hatinya, "apakah ia termasuk salah seorang pengecut yang mengorbankan keyakinannya untuk keselamatan dan kedudukannya?"
Tetapi Witantra tidak dapat memaksanya untuk berbicara.
Dan kesabaran Witantra itu pun sampai ke batasnya ketika pemimpin prajurit Tumapel itu berkata, "Kita akan mengambil kesimpulan. Kebo Ijo adalah seorang pengkhianat. Dan kita akan segera memberikan anugerah kepada jasa Ken Arok selama ini."
"Tidak!" Witantra berteriak, "Masalahnya belum selesai.Aku, salah seorang dari pemimpin yang tujuh, menolak keputusan itu."
"Kami yang enam sudah sependirian. Tidak ada jalan lagi bagimu untuk menolak, kecuali ?"
"Aku akan mengambil jalan itu. Keputusan harus ditangguhkan, dan aku akan melakukan pembelaan dengan ujung senjata."
Kata-kata Witantra itu seakan-akan petir yang meledak di tengah-tengah pembicaraan itu. Semua orang yang mendengarnya terkejut karenanya. Mereka tidak menyangka, bahwa pendirian Witantra begitu kuatnya dalam hal ini, sehingga ia telah menentang keputusan keenam pemimpin Tumapel itu dengan sebuah perang tanding.
Dalam keheningan suasana terdengar suara Witantra, "Aku akan melakukan perang tanding untuk Kebo Ijo. Apabila kalian tidak mau mengubah keputusan atau setidak-tidaknya membicarakannya lagi, aku tidak melihat jalan lain.Dan aku persilakan kalian mempertahankan keputusan itu, siapa pun yang akan turun ke arena."
Sejenak para pemimpin Tumapel yang lain itu diam mematung. Tantangan itu telah membuat dada mereka berdebaran. Tidak banyak orang yang dapat menyamai tingkat Witantra di seluruh Tumapel. Sehingga untuk melawannya dalam perang tanding, agaknya jarang yang akan bersedia melakukannya.
Namun kalau keenam pemimpin yang lain itu ingin mempertahankan keputusannya. maka perang tanding itu harus dilakukan.
Sejenak mereka saling berpandangan. Pemimpin tertinggi prajurit Tumapel, pemimpin tertinggi pelayan dalam dan senapati yang lain, adalah orang-orang yang pertama-tama harus menyatakan dirinya untuk mewakili keputusan keenam pemimpin itu. Tetapi semua orang menyadari, bahwa tidak ada di antara mereka yang akan mampu bertahan melawan Witantra. Namun keenam pemimpin itu sebagai kesatria, sudah tentu tidak akan menjilat ludah mereka kembali. Mereka tidak akan mencabut keputusan yang sudah mereka anggap jatuh.
Ken Arok yang mendengar keputusan Witantra untuk naik ke arena perang tanding itu pun sangat mendebarkan jantungnya. Sebagai seorang yang mempunyai banyak kelebihan dari orang-orang lain, Ken Arok sama sekali tidak merasa segan seandainya ia harus naik ke arena itu pula, untuk mewakili para pemimpin Tumapel dalam mempertahankan keputusan mereka, bahwa Kebo Ijo telah bersalah. Tetapi dengan melibatkan diri langsung di dalam persoalan itu, Ken Arok agak menjadi cemas. Sebagai sahabat Kebo Ijo adalah tidak mungkin sama sekali baginya, justru bertempur untuk memperkuat keputusan kesalahan Kebo Ijo. Tetapi apabila dibiarkannya para pemimpin itu mencari wakilnya, maka akan mungkin sekali orang itu dapat dikalahkan oleh Witantra. Dengan demikian maka keputusan atas Kebo Ijo itu batal meskipun Kebo Ijo telah mati. Hal itu akan berarti bahwa Tumapel masih harus mencari pembunuh Tunggul Ametung itu sampai ketemu.
"Ayo," suara Witantra lantang, "siapakah yang akan mewakili kalian" Nah, sekarang kalian harus memilih. Membatalkan atau menunda keputusan kalian atas Kebo Ijo, atau meletakkan persoalannya di atas arena."
Para pemimpin itu tidak segera dapat menjawab.
"Aku memberi kalian waktu tiga hari. Kalau kalian telah mendapat cara yang paling baik, kalian harus memberitahukan kepadaku. Manakah yang akan kalian pilih. Sekarang, mayat Kebo Ijo akan aku bawa. Akan aku serahkan kepada guru dan keluarganya. Sampai saat ini tidak seorang pun yang dapat mengatakan bahwa Kebo Ijo telah bersalah. Keputusan kalian belum dapat diterapkan, karena aku menentang dengan cara itu."
Tidak seorang pun yang menjawab, sehingga suasana menjadi hening sepi.
Namun dalam kediaman itu, Ken Arok, otak dari segala peristiwa itu, memeras pikiran untuk menentukan lakon selanjutnya.Ia tidak boleh gagal. Dan cerita yang sedang disusunnya itu tidak boleh mandek.
Dan tiba-tiba saja Ken Arok itu berkata, "Witantra. Masih ada satu orang lagi yang akan dapat dibawa berbicara tentang hal ini."
Witantra yang sedang tegang itu mengerutkan keningnya. Dengan suara gemetar ia bertanya, "Siapa?"
"Aku tidak yakin, apakah orang itu terlibat langsung atau tidak. Tetapi aku menyangka, bahwa ada jalur yang menghubungkan peristiwa ini dengan orang itu."
"Ya, siapa," Witantra yang sedang dicengkam oleh kegelapan hati itu membentak, "sebut namanya."
Dada Ken Arok berdesir. Ia tidak senang mendengar bentakan-bentakan itu. Tetapi ia harus menahan diri supaya lakon yang dikarangkannya ini tidak gagal.
"Mahisa Agni."
02 Pelangi Di Langit Singasari Karya S H. Mintarja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dada Witantra berdesir mendengar nama itu, Mahisa Agni adalah kakak Permaisuri Ken Dedes. Ketika ia berada di Tumapel untuk mencari pembunuh pamannya, ia telah diserang oleh seseorang yang berpakaian seorang pengawal.
Meskipun demikian ia bertanya kepada Ken Arok, "Kenapa kau sebut-sebut juga Mahisa Agni."
"Aku belum tahu pasti, seperti yang sudah aku katakan, apakah ia ada sangkut pautnya dengan pembunuhan ini. Tetapi aku ingin minta izin, meminjam keris itu. Aku tidak dapat mencampuri keputusan para pemimpin yang tujuh dengan cara apapun yang akan ditempuh. Namun aku akan mencoba mencari jalan lain yang lebih baik dan mudah.Tetapi sekali lagi, aku belum pasti," Ken Arok berhenti sejenak. Lalu, "Aku ingin menunjukkan keris itu kepada Mahisa Agni. Apakah keris itu dapat dikenalinya."
"Apakah hubungannya, dengan pembunuhan ini menurut dugaanmu itu. Dugaanmu yang belum kau yakini kebenarannya."
Ken Arok merenung sejenak. Kemudian jawabnya, "Mahisa Agni pernah berkelahi melawan seseorang yang menyerangnya. Apakah keris yang dikatakannya bercahaya kebiru-biruan itu juga keris ini."
"Ia bertempur di malam hari."
"Aku akan memperlihatkan keris itu di malam hari."
Witantra mengerutkan keningnya. Kalau Mahisa Agni mengenali keris itu sebagai keris yang dipergunakan untuk menyerangnya, maka justru akan memperberat tuduhan terhadap Kebo Ijo. Tetapi kalau bukan, maka persoalannya pasti akan berkait dengan persoalan-persoalan lain. Sedangkan Witantra yakin, Kebo Ijo tidak pernah bersangkut paut dengan kegiatan orang lain, selain tugasnya sendiri.
Apalagi bagi Witantra, yang penting bukan sekedar menyelamatkan nama Kebo Ijo yang telah terbunuh itu. Yang penting baginya adalah kebenaran, sejauh-jauh dapat dicapai. Karena itu, maka jawab Witantra selanjutnya, "Baiklah Ken Arok. Pergilah kepada Mahisa Agni. Aku tidak tahu apakah hal itu akan menguntungkan atau justru sebaliknya. Tetapi bagiku yang penting, adalah mengetahui dengan pasti Kalau Kebo Ijo bersalah, biarlah aku yakin kalau ia bersalah. Selama aku tidak dapat meyakininya, maka aku tetap menganggap bahwa ia tidak bersalah apapun."
Ken Arok mengerutkan keningnya. Katanya kemudian, "Jadi aku diizinkan pergi ke Karautan?"
"Ya." "Dengan membawa keris ini?"
"Aku tidak berkeberatan. Terserah kepada yang lain."
Keenam pemimpin Tumapel yang lain pun kemudian merenung sejenak. Namun bagi mereka, Ken Arok telah menunjukkan kelebihannya dan bertindak cepat. Karena itu, maka kepercayaan mereka kepada Ken Arok pun menjadi bertambah-tambah jua.
"Aku juga tidak berkeberatan," berkata salah seorang dari mereka.
"Aku pun tidak. Kami berpengharapan agar masalah ini menjadi cepat selesai," berkata yang lain lagi.
Dan ternyata bahwa keenam orang itu pun tidak berkeberatan pula. Dengan demikian, maka Ken Arok telah diizinkan untuk mengambil keris itu dan membawanya kepada Mahisa Agni.
Sepeninggal Ken Arok, tidak seorang pun yang dapat menahan Witantra mengambil mayat Kebo Ijo. Dengan hati yang pahit, mayat itu pun kemudian dibawanya kepada gurunya.
Panji Boiong Santi pun terkejut bukan buatan. Ia tahu benar bahwa Kebo Ijo adalah anak yang bengal. Tetapi seperti Witantra ia berpendirian, bahwa anak yang bengal itu, betapapun juga tidak akan melakukan pembunuhan terhadap Akuwu.
"Tetapi bukti-bukti itu menunjukkan kesalahan Kebo Ijo," desis gurunya.
"Ya, Guru. Memang tidak dapat disangkal. Tetapi keyakinanku berkata lain."
"Kekuasaan tertinggi memang berada di tangan kalian bertujuh, Witantra. Enam orang telah menyatakan pendiriannya, dan kau akan membatalkan keputusan itu dengan perang tanding," gurunya berhenti sejenak, kemudian, "sebenarnya terlampau berat bagimu Witantra."
"Kenapa, Guru?"
"Setiap orang, dan bahkan seluruh rakyat Tumapel tidak akan menolak keputusan keenam pemimpin itu. Kau memang dapat membuat perhitungan, bahwa tidak seorang pun dari para pemimpin itu, dan mungkin tidak seorang prajurit pun yang akan dapat mengalahkan kau di arena. Tetapi meskipun kau menang, hasilnya tidak akan bermanfaat apapun bagi Kebo Ijo. Apalagi Kebo Ijo telah terlanjur mati terbunuh."
"Kenapa, Guru?"
"Seandainya kau menang di arena Witantra, maka secara resmi tuduhan atas Kebo Ijo untuk sementara digugurkan. Tetapi itu hanya bersifat resmi. Tetapi tidak ada seorang pun yang akan percaya langsung sampai ke dalam hatinya, bahwa Kebo Ijo memang tidak bersalah. Nama Kebo Ijo akan tetap cemas di dalam setiap dada rakyat Tumapel. Lebih daripada itu, peristiwa ini telah menodai namamu sendiri."
"Jadi apakah maksud Guru aku harus mengorbankan keyakinanku sekedar untuk kedudukanku?"
"Tidak. Memang bukan begitu. Seandainya Kebo Ijo masih hidup, tindakanmu itu benar-benar tepat Witantra. Setidak-tidaknya kau akan menyambung nyawa Kebo Ijo sampai persoalan yang sebenarnya terungkapkan. Tetapi Kebo Ijo telah mati. Sehingga seharusnya kau mengambil cara lain untuk menyelesaikan masalahnya. Biarlah Kebo Ijo dicemarkan untuk sementara. Tetapi kau yang masih tetap mendapat hati di kalangan rakyat dan setiap pemimpin dan prajurit Tumapel, dapat dengan diam-diam mencari.Kalau kemudian kau temukan, maka kau akan segera dapat menghapus noda pada nama Kebo Ijo itu. Tetapi sekarang keadaannya akan lain. Setiap orang akan memandangmu dengan curiga. Dan setiap orang akan tidak lagi bersedia bekerja sama dengan kau, karena kau telah berpihak kepada seorang yang bersalah menurut anggapan mereka. Karena mereka pun agaknya yakin, seperti kau yakin, bahwa Kebo Ijo memang bersalah."
Witantra menundukkan kepalanya. Tetapi darahnya yang masih segar di dalam jantung kemudaannya, tidak dapat mengekang diri begitu lunak seperti gurunya.
"Witantra," berkata gurunya, "selama ini kau telah berusaha menyempurnakan ilmumu, meskipun kau belum sampai ke puncaknya. Tetapi setapak lagi kau maju, kau sudah akan menyamai aku. Dengan demikian, kau pun harus berusaha berpikir dan berbuat seperti seorang tua."
Witantra tidak menjawab. Namun dengan demikian gurunya dapat mengerti, bahwa Witantra telah memilih jalan seperti yang telah diucapkannya.
"Baiklah Witantra," berkata gurunya kemudian, "agaknya kau telah memilih jalan itu. Mudah-mudahan kau berhasil. Namun setelah itu pun kau masih harus bekerja keras, mungkin kau akan bekerja sendiri, untuk mencari pembunuh Akuwu Tunggul Ametung yang sebenarnya."
Witantra masih belum menjawab.
"Kau memberikan waktu kepada para pemimpin Tumapel untuk menentukan wakil mereka, mempertahankan keputusan itu. Sementara itu, kau dapat memanggil adikmu Mahendra, keluarga Kebo Ijo dan beberapa orang untuk menyelenggarakan mayat Kebo Ijo sebagaimana mestinya."
"Baik, Guru." Dan Witantra pun kemudian melakukannya. Memanggil beberapa orang yang terdekat, meskipun ada di antara mereka yang segan memenuhinya, karena Kebo Ijo adalah seorang pembunuh.
Sementara itu Ken Arok sedang berpacu ke padang Karautan. Dibungkusnya keris yang bernoda darah itu dengan selembar kulit, dan diselipkannya pada ikat pinggangnya.
"Aku harus segera bertemu dengan Mahisa Agni," gumam Ken Arok. "Tetapi aku tidak akan segera mengatakan apa yang terjadi. Aku harus mengingatkannya tentang keris ini, sehingga aku akan menunggu di Karautan sampai malam hari."
Namun tiba-tiba Ken Arok menjadi ragu-ragu.
"Apakah Mahisa Agni berada di Karautan atau di rumah Empu Gandring?"
"Aku hanya dapat menemuinya di Karautan," desisnya, "aku tidak akan dapat pergi ke rumah pamannya. Mungkin cantrik itu masih dapat mengenali aku. Kalau Mahisa Agni tidak ada di Karautan maka aku tidak akan dapat menemuinya."
Ken Arok pun kemudian berpacu semakin cepat. Udara malam yang dingin telah menjamah seluruh tubuhnya, seakan-akan meresap sampai ke tulang sumsum.
Ken Arok menengadahkan wajahnya ketika ia melihat cahaya semburat merah di langit. Kemudian perlahan-lahan ia menarik nafas dalam-dalam seolah-olah ingin menghirup seluruh kesegaran nafas fajar.
Meskipun semalam suntuk Ken Arok sama sekali tidak memejamkan matanya sekejap pun, namun ketahanan tubuhnya memang luar biasa. Seakan-akan ia telah terlatih untuk hidup di malam hari. Karena itu maka sama sekali ia tidak terpengaruh. Ia masih tetap segar sesegar angin pagi.
Kudanya pun berpacu semakin cepat pula. Apalagi ketika udara menjadi semakin cerah, serta tanah tempat kaki-kaki kuda itu berpijak menjadi semakin jelas pula.
Ketika Ken Arok berpacu di pinggir hutan yang rindang, maka burung-burung liar pun berloncatan terbang ke atas dahan yang agak tinggi sambil memandang debu yang putih terhambur dari kaki-kaki kuda yang berlari kencang itu. Namun kemudian terdengar kicaunya yang nyaring, seakan-akan mengucapkan selamat pagi kepada penunggang kuda di pagi yang nyaman itu.
Sinar matahari yang pertama terlempar dan balik perbukitan, menyentuh kulit Ken Arok yang basah oleh keringat. Terasa tubuh itu menjadi hangat. Sedang kicau burung pun menjadi semakin meriah, menyambut kedatangan pagi yang bening.
Tetapi hati Ken Arok tidak sebening pagi itu.Semakin dekat padang Karautan, hatinya menjadi semakin gelisah.
"Apakah Mahisa Agni ada di Karautan"Dan apakah tidak mungkin cantrik itu berada di Karautan pula."
"Persetan!" ia menggeram, "Aku harus segera menemuinya."
Ken Arok memacu kudanya semakin cepat. Namun sekali-sekali ia berhenti di sebuah parit untuk memberi kesempatan kudanya meneguk air yang sejuk, dan beristirahat sejenak.
Akhirnya kuda Ken Arok itu pun memasuki ujung dari padang Karautan yang terbentang luas. Matahari yang semakin tinggi, terasa menjadi gatal menusuk-nusuk kulit.
"Sebentar lagi kita akan sampai," desis Ken Arok sambil menepuk leher kudanya. Dan kuda itu seakan-akan menyadarinya, sehingga langkahnya menjadi semakin cepat.
Matahari pun semakin lama menjadi semakin tinggi, dan Ken Arok pun menjadi semakin dekat dengan padang Karautan. Ia menjadi semakin berdebar-debar ketika ia melihat gerumbul yang kehijau-hijauan di tengah-tengah padang yang luas. Segera ia mengenal, bahwa ia telah sampai ke tempat yang ditujunya.
Beberapa orang terheran-heran melihat kedatangan seorang tamu. Namun mereka pun segera mengenalnya, bahwa yang datang itu adalah Ken Arok. Seorang pelayan dalam yang pernah ditugaskan oleh Akuwu Tunggul Ametung di padang ini, membantu membuka tanah ini menjadi sebuah padukuhan yang subur dan bahkan sebuah taman yang paling indah di seluruh Tumapel.
"Selamat datang," orang-orang Panawijen pun segera menyapanya dengan penuh keramahan.
"Terima kasih. Terima kasih," Ken Arok mengangguk-anggukkan kepalanya sambil tersenyum. Kemudian ia pun meloncat turun dari punggung kudanya dan langsung bertanya, "Apakah Mahisa Agni ada di padukuhan ini?"
"Ya. Mahisa Agni ada di padukuhan ini."
Ken Arok menarik nafas dalam-dalam.
"Marilah," ajak seseorang, "pergilah ke banjar. Kami akan memberitahukannya kepada Mahisa Agni dan kepada Ki Buyut Panawijen."
"Terima kasih," sahut Ken Arok, "di manakah banjar itu?"
"Di tepi jalan induk ini."
"Terima kasih."
Ken Arok pun kemudian naik pula ke atas punggung kudanya dan berjalan perlahan-lahan menuju ke banjar. Di sepanjang jalan beberapa orang menyapanya dengan ramahnya. Ken Arok bagi orang-orang Panawijen adalah seorang yang banyak mempunyai jasa.
Berita tentang kedatangan Ken Arok segera sampai ke telinga Mahisa Agni dan Ki Buyut Panawijen. Maka dengan tergesa-gesa mereka pun pergi ke banjar, meskipun dengan tujuan yang berbeda-beda. Mahisa Agni telah dikejar oleh keinginan tahunya, apakah Ken Arok telah membawa berita tentang pembunuh pamannya.
Karena itu, ketika ia melihat Ken Arok di banjar, sebelum ia menanyakan tentang keselamatannya, yang pertama-tama terloncat dari bibirnya adalah, "He, kau Ken Arok. Apakah kau sudah menemukan pembunuh itu?"
Ken Arok yang tengah duduk di pendapa banjar itu pun berdiri sambil tersenyum. Dengan sareh ia berkata, "Marilah Agni. Aku memang membawa persoalan tentang yang kau tanyakan itu. Tetapi aku tidak terlalu tergesa-gesa duduklah. Aku masih mempunyai cukup waktu."
Mahisa Agni pun kemudian tersenyum kecut.Perlahan-lahan ia naik ke pendapa dan duduk di atas tikar pandan. Barulah ia sadar, bahwa sebagaimana lazimnya, ditanyakannya tentang keselamatan Ken Arok dan orang-orang yang dikenalnya di Tumapel.
Sejenak kemudian maka Ki Buyut pun telah duduk pula di antara mereka. Percakapan mereka segera menjadi ramai. Beberapa orang tua-tua dan anak-anak muda yang terkemuka telah memerlukan datang untuk menemui Ken Arok, karena Ken Arok adalah seseorang yang telah banyak membantu membangun padukuhan ini.Padukuhan yang masih belum dewasa sampai saat Ken Arok datang itu.
Namun sampai begitu jauh, Ken Arok masih belum mengatakan sesuatu tentang maksud kedatangannya. Justru ketika Mahisa Agni bertanya sekali lagi, maka Ken Arok itu berkata, "Ah, apakah kau mau memberi kesempatan aku untuk beristirahat" Semalam suntuk aku tidak tidur."
"Baiklah," jawab Mahisa Agni, "kau dapat tidur di ruang belakang banjar ini."
"Jangan," sahut Ki Buyut, "datanglah ke rumahku. Meskipun rumahku belum siap seluruhnya, tetapi aku kira Angger lebih baik berada di sana.Setiap kebutuhan Angger akan segera dapat kami penuhi."
Ken Arok tersenyum.Katanya, "Terima kasih Ki Buyut.Tetapi aku kira, aku lebih senang berada di banjar ini. Mungkin aku ingin berjalan-jalan di tengah malam, atau mungkin aku harus menemui anak-anak muda yang datang untuk menjumpai aku. Dan aku memang bermaksud untuk dapat bertemu dengan kawan-kawan yang telah bersama-sama bekerja beberapa lama di padang ini. Aku sudah rindu kepada mereka dan kelakar mereka yang riang."
"Tetapi tidak ada seorang pun akan dapat melayanimu di sini."
"Terima kasih Ki Buyut. Aku akan datang kepada Ki Buyut atau siapa pun, apabila aku memerlukan sesuatu."
Ki Buyut mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun kemudian ia berkata, "Lihat tidak ada seorang pun yang dapat merebus air di sini, apabila aku tidak menyuruh seseorang datang kemari."
Ken Arok tertawa, "Kedatanganku jangan terlalu merepotkan kalian. Aku sudah biasa minum air sumur seperti pada saat-saat kita membuat bendungan itu. Apakah bedanya sekarang?"
Ki Buyut pun tersenyum pula. "Terserahlah, kalau Angger lebih senang di sini, biarlah Angger di sini. Biarlah ruangan di belakang banjar itu dibersihkan."
Setelah minum dan makan, Ken Arok pun minta waktu untuk beristirahat. Perjalanannya memang sangat melelahkan. Duduk di atas punggung kuda di malam yang dingin.
Tetapi Ken Arok tidak segera dapat tidur. Ia selalu diganggu oleh keputusan Witantra untuk melakukan perang tanding.
"Apakah aku dapat menyeret Mahisa Agni ke dalam persoalan ini secara langsung?" katanya di dalam hati, "kalau aku dapat memberikan kesan kepadanya, bahwa keris ini adalah keris buatan Empu Gandring dan dengan keris ini pula Kebo Ijo membunuh Akuwu setelah ia gagal berusaha membunuh Mahisa Agni, maka harapan untuk memperoleh keputusan seperti yang aku inginkan akan dapat aku capai."
Dengan demikian, maka sebagian terbesar waktu Ken Arok selama berada di dalam biliknya adalah justru mereka-reka apakah yang seharusnya dilakukan.
Pedang Keadilan 14 Pendekar Rajawali Sakti 205 Asmara Gila Di Lokananta Tengkorak Maut 22
Perwira pasukan Pengawal istana itu berpikir sejenak. Dalam keragu-raguan ditatapnya wajah Ken Arok tajam-tajam.
"Percayakanlah ia kepadaku" desis Ken Arok.
"O, jadi kalian menyangka bahwa aku akan lari?" peram Kebo Ijo, "Aku bukan pengecut. Seandainya aku sekalipun yang membunuh Akuwu Tunggul Ametung, aku akan mengangkat dadaku dihadapan siapapun juga. Bahkan dihadapan kakang Witantra" Kebo Ijo menggeretakkan giginya. Katanya kemudian, "Tetapi aku akan membuktikannya. Aku akan membawa keris itu kepada kalian".
Perwira itu tidak menyahut. Betapapun darahnya serasa mendidih, tetapi ia mendapat kesan yang aneh pada Kebo Ijo yang tampaknya benar-benar tidak tahu menahu sama sekali tentang pembunuhan itu. Kebo Ijo sama sekali tidak menunjukkan kecemasan, apa lagi ketakutan tentang kemungkinan-kemungkinan yang dapat membahayakan keselamatannya.
Karena itu maka perwira itu masih saja ragu-ragu.
"Biarlah Kebo Ijo mencoba membuktikan" berkata Ken Arok, "Aku akan menyertainya. Kembalilah kepada Witantra, dan katakan bahwa sebentar lagi kami akan menghadap".
Perwira itu tidak segera menjawab.Ia masih merenungi keadaan yang dihadapinya. Namun sejenak kemudian ia berkata, "Semuanya akan tergantung kepadamu Ken Arok, kepada tanggung jawabmu. Apabila terjadi sesuatu yang tidak menjadi keinginan kakang Witantra, maka kesalahan itu pasti akan dilimpahkan kepadamu. Aku hanya mendapat perintah sekedar menyertaimu. Kaulah yang memang mendapat tugas untuk membawanya ke istana".
"Tanpa orang lain aku akan menghadap sendiri" sahut Kebo Ijo.
Perwira itu mengerutkan dahinya. Tetapi ia masih tetap menahan diri, meskipun seandainya hal itu terjadi di dalam keadaan yang lain, ia pasti sudah bertindak atas kekuasaan yang ada padanya sebagai seorang perwira tinggi di dalam pasukannya. Seandainya Kebo Ijo akan melawan sekalipun, pasti ia akan melakukan kekerasan. Tetapi dalam keadaan kalut itu, ia berusaha untuk tidak menambah pekerjaan Witantra menjadi semakin sulit. Itulah sebabnya ia tetap menahan hati untuk tidak melakukan sesuatu yang dapat membuat keadaan menjadi kian gelap.
"Nah" berkata Ken Arok, "Marilah Kebo Ijo. Kau harus membuktikan bahwa bukan kau yang melakukannya. Keris itu bukan kerismu. Mungkin ada persamaan dalam berbagai hal, dan mungkin ada orang lain yang dengan sengaja menjerumuskan kau dalam kesulitan. Namun tidak ada seorang pun yang mampu membuat keris serupa benar dengan keris asli milikmu itu".
Kebo Ijo tidak menyahut lagi. Segera ia menarik kekang kudanya, berputar pulang ke rumahnya diikuti oleh Ken Arok.
Ken Arok yang masih sempat mendekati perwira itu berbisik, "Percayakan ia kepadaku. Aku adalah sahabatnya, dan aku tahu, betapa ia licik seperti iblis".
Perwira itu mengangguk-anggukan kepalanya, "Ya, ia licik seperti demit. Ia licik seperti iblis".
Sejenak perwira itu memandangi derap kuda Ken Arok yang berpacu di jalan-jalan kota menyusul Kebo Ijo yang sudah hampir hilang di tikungan.
"Hem, mudah-mudahan Ken Arok tidak gagal".
Sekilas tumbuhlah niatnya untuk mengikuti keduanya. Tetapi niat itu pun kemudian diurungkannya. Ken Arok agaknya dapat dipercaya untuk membawa Kebo Ijo ke istana.
Perwira itu tidak mau menyinggung perasaan Ken Arok. Maka ia pun kemudian menggerakkan kudanya, kembali ke istana.Ia harus segera melaporkan apa yang terjadi. Dengan demikian maka orang-orang yang menunggunya di istana tidak menjadi gelisah dan bertanya-tanya.
Mendengar laporan perwira itu, Witantra mengerutkan keningnya. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia bertanya, "Kita menunggu mereka sesaat sebelum mengambil kesimpulan. Mungkin Kebo Ijo benar-benar dapat membuktikan dengan membawa kerisnya kemari. Sehingga dengan demikian namanya pun akan menjadi bersih karenanya".
Perwira itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun sekali lagi ia mendapat kesan, bagaimanapun juga Kebo Ijo adalah adik seperguruan Witantra, sehingga kenyataan yang dihadapinya akan terasa terlampau pahit.
Sementara itu, Kebo Ijo berpacu secepat-cepatnya pulang ke rumahnya diikuti oleh Ken Arok. Tanpa mengurangi kecepatan derap kudanya ia menyelusur jalan-jalan yang semakin kecil. Dengan tergesa-gesa ia meloncat turun ketika ia sampai di muka regol halaman rumahnya yang tertutup. Cepat ia membuka pintu regol itu dan cepat-cepat pula ia melangkah di halaman, naik ke pependapa dan mengetuk pintu pringgitan.
"Siapa?" bertanya isterinya.
"Aku. Aku pulang Nyi" sahut Kebo Ijo. Isterinya terkejut. Dengan tergesa-gesa pula ia membuka pintu. Ketika dilihatnya Kebo Ijo berdiri tegak dalam kegelapan malam, maka dengan cemasnya ia bertanya, "Ada apa kakang" Apakah semuanya sudah selesai?"
Kebo Ijo menggeleng, "Belum Nyai. Semuanya masih gelap".
Isterinya mengangguk-anggukkan kepala, "Tetapi kenapa kakang pulang?"
Kebo Ijo menggeleng-gelengkan kepalanya. Jawabnya, "Tidak apa-apa. Ada sesuatu yang tertinggal. Aku bersama Ken Arok".
"O" kemudian ia mempersilahkan Ken Arok, "marilah, masuklah".
Ken Arok sudah terlampau biasa memasuki rumah itu. Hampir setiap hari. Namun tiba-tiba saat itu ia merasa sehelai garis batas telah terentang dihadapannya. Namun dengan penuh kesadaran ia menghadapi persoalannya. Bagaimanapun juga perasaannya bergolak, namun nalarnya tetap mampu mengatasinya, sehingga dengan demikian tidak ada kesan apapun tersirat di wajahnya. Sambil tersenyum ia menjawab, "Terima kasih. Kami berdua hanya sebentar. Kalau aku masuk ke rumah, kau akan menjadi sibuk merebus air".
"Tidak. Aku tidak akan menjadi sibuk.Tetapi masuklah".
Ken Arok pun kemudian melangkah masuk.Dengan dada yang berdebar-debar ia duduk di atas sebuah bale-bale bambu. Dilihatnya Kebo Ijo sedang membuka geledegnya, lewat pintu yang tidak tertutup rapat. Derit pintu geledeg di ruang tengah itu serasa menggores jantung Ken Arok. Perlahan-lahan sekali pintu itu pun terbuka.
Ken Arok melihat Kebo Ijo terperanjat sekali. Sejenak ia membeku di muka geledeg itu. Peluh yang dingin satu-satu menitik dari keningnya. Darah Kebo Ijo serasa berhenti mengalir ketika ia melihat kerisnya sudah tidak berada lagi ditempatnya.
Sejenak Kebo Ijo tidak dapat mengucapkan sepatah kata pun. Dengan sorot mata aneh ditatapnya wajah Ken Arok yang menjadi tegang.
Jilid 49 SEJENAKkemudian perlahan-lahan Kebo Ijo berdiri dengan kaki gemetar. Terhuyung-huyung ia melangkah mendekati Ken Arok. Sejenak ia berpaling. Ketika istrinya tidak dilihatnya berada di dekatnya, ia berkata lirih, "Keris itu hilang Ken Arok."
Ken Arok meloncat berdiri. Wajahnya menjadi semakin tegang.
"Duduklah, duduklah," desis Kebo Ijo, "aku tidak mau membuat istriku menjadi gila."
Ken Arok tidak segera menyahut. Tetapi wajahnya yang tegang itu menjadi semakin tegang.
"Duduklah," desis Kebo Ijo.
Perlahan-lahan Ken Arok duduk kembali di tempatnya. Wajahnya masih tetap tegang. Namun di dalam hati ia menjadi heran. Kebo Ijo yang cepat sekali dibakar oleh perasaannya itu, mampu menahan hati menghadapi kenyataan yang tidak diduga-duganya. Anak bengal itu masih juga mampu berpikir, bahwa ia tidak mau membuat istrinya menjadi gila karena persoalannya itu.
Ken Arok pun kemudian menjadi gemetar. Kebo Ijo harus mendapat kesan bahwa ia terkejut sekali mendengar keterangan bahwa keris itu benar-benar telah hilang.
"Keris itu telah lenyap, Ken Arok," sekali lagi Kebo Ijo berdesis.
Sejenak Ken Arok masih berdiam diri. Seakan-akan ia sedang dicengkam oleh perasaannya yang tidak dapat dikuasainya lagi.
"Kebo Ijo," berkata Ken Arok dengan suara gemetar, "aku juga melihat keris yang tertancap di dada Akuwu. Aku segera menjadi gelisah. Keris itu mirip benar dengan kerisku yang ada di tanganmu. Tetapi aku percaya bahwa kau tidak akan melakukannya. Itulah sebabnya aku menolak untuk membawa sepasukan prajurit, untuk menangkapmu. Aku menyangka, bahwa keris itu hanya sekedar mirip dengan kerisku itu. Tetapi ternyata keris itu sudah tidak ada lagi di dalam simpanan."
Kebo Ijo tidak segera menyahut, ia kini duduk di samping Ken Arok dengan kepala tunduk.
"Kebo Ijo," desis Ken Arok, "hampir setiap orang dapat mengatakan, bahwa keris itu adalah kerismu. Agaknya kau pernah memperlihatkan keris itu kepada banyak orang, Di dalam bilik Akuwu yang penuh dengan para pemimpin tertinggi Tumapel aku tidak sempat mengamat-amati keris itu dengan baik. Apalagi aku yakin, bahwa keris itu hanya sekedar bersamaan bentuk, karena aku yakin, aku yakin Kebo Ijo, bahwa kau tidak akan melakukannya. Ya, aku yakin bahwa kau akan dapat membuktikannya dengan membawa keris itu ke istana. Tetapi ?"
Ken Arok berhenti berbicara.
Kebo Ijo tidak segera dapat menjawab. Kepalanya yang tunduk menjadi semakin tunduk. Ia tidak dapat mengerti kenapa keris di dalam geledeg itu tiba-tiba saja tidak ada di tempatnya.
Sejenak kemudian terdengar, ia bergumam dalam nada yang dalam, "Aku tidak mengerti, bagaimana hal itu dapat, terjadi?"
"Lihatlah Kebo Ijo, apakah ada pencuri yang masuk ke rumah ini?"
Kebo Ijo menggeleng, "Tidak. Tidak ada apapun yang hilang dari rumah ini selain keris itu. Agaknya semua masih dalam keadaan semula. Tidak ada dinding yang pecah, atau tanah yang tergali."
Ken Arok menarik nafas dalam-dalam.Katanya, "Lalu apakah kira-kira yang terjadi" Persoalan ini bukan sekedar persoalan hilangnya keris itu Kebo Ijo. Kau agaknya menganggap hal ini seperti permainan yang tidak akan membawa akibat."
"Aku sadar Ken Arok. Aku sadar bahwa mungkin aku harus mempertaruhkan nyawaku."
"Bukan kau Kebo Ijo. Kalau orang-orang itu kemudian tahu bahwa keris itu adalah kerisku, maka akulah yang akan digantung di bawah gerbang istana."
"Tidak. Tidak," tiba-tiba Kebo Ijo berdiri, "aku bukan pengecut. Keris itu ada di tanganku. Karena itu akulah yang akan menengadahkan dada apabila terjadi sesuatu."
Terasa dada Ken Arok berdesir. Ia tidak menyangka bahwa Kebo Ijo langsung bertanggung jawab. Dalam kesempatan ini, ia memang sedang menjajaki hati Kebo Ijo. Seandainya Kebo Ijo itu berbahaya baginya, maka ada seribu macam alasan untuk menyelesaikannya. Ia tidak boleh ragu-ragu lagi. Sedangkan Empu Gandring telah dikorbankannya pula.
Setiap kali masih terngiang di telinganya kata-kata Buyut Karuman, "Memang kadang-kadang yang tidak bersalah menjadi korban. Menjadi tawur untuk masa mendatang yang lebih baik."
Empu Gandring telah menjadi korban meskipun ia tidak bersalah sama sekali. Sekarang datang giliran Kebo Ijo. Saat yang lain siapa lagi"
Ken Arok tersadar ketika ia mendengar Kebo Ijo berkata dengan tatag, "Marilah Ken Arok, kita pergi ke istana. Aku akan melihat keris itu. Seandainya keris itu adalah kerisku yang hilang, maka aku tidak akan mengganggumu. Justru aku minta maaf kepadamu. Akulah yang akan menanggung semua akibatnya."
Sekali lagi dada Ken Arok berdesir. Dan apalagi ketika sejenak kemudian ia mendengar suara anak yang merengek.
"Siapa?" bertanya Ken Arok.
"Anakku." "Oh," Ken Arok menundukkan kepalanya. Ia mengetahui dengan pasti, bahwa Kebo Ijo mempunyai seorang anak.
Tetapi ia tidak mempunyai sasaran lain selain orang itu untuk korban berikutnya.
"Marilah Ken Arok," desis Kebo Ijo, "aku akan minta diri dahulu kepada istriku."
Ken Arok menganggukkan kepalanya. ia pun kemudian berdiri ketika Kebo Ijo melangkah masuk ke dalam biliknya.
Sejenak kemudian Kebo Ijo dan istri serta anaknya di dalam dukungan keluar dari dalam biliknya. Anak Kebo Ijo yang masih terlampau kecil itu memandang Ken Arok dengan tatapan mata yang aneh.
Ken Arok tiba-tiba menjadi berdebar-debar melihat mata yang basah itu. Mata anak Kebo Ijo yang masih sangat kecil, yang masih belum mengerti persoalan yang sedang terjadi atas ayahnya.
"Anak itu sudah mulai berjalan," desis Kebo Ijo.
"Oh," Ken Arok menarik nafas dalam-dalam.
"Mahisa Randi," berkata Kebo Ijo kepada anaknya, "Ayah akan pergi bersama paman Ken Arok. Tinggallah di rumah sayang. Jangan nakal."
Anak itu tidak menjawab. Tetapi matanya masih basah.
Kemudian kepada istrinya Kebo Ijo minta diri.Hatinya yang gelap membuat kata-katanya menjadi bergetar.
"Aku pergi dulu Nyai. Aku akan ke istana melihat apa yang sedang terjadi bersama Ken Arok."
Istrinya menganggukkan kepalanya. Jawabnya, "Silakan Kakang. Apakah malam nanti Kakang tidak pulang?"
"Entahlah," jawab Kebo Ijo, "istana baru dilanda oleh persoalan yang gawat sekali. Hati-hatilah kau mengurus anakmu, Nyai. Seandainya aku terlambat pulang, ajarilah anakmu berjalan di setiap pagi."
Istrinya mengerutkan keningnya, "Berapa hari Kakang akan pergi?"
"Oh," Kebo Ijo mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia tertawa, "aku tidak tahu Nyai. Seandainya ada tugas yang harus aku lakukan. Mungkin Kakang Witantra memberikan tugas kepadaku untuk mencari orang-orang yang dianggap bersalah. Atau mungkin justru aku harus pergi keluar Tumapel."
"Apakah Tumapel akan mengalami peperangan?"
"Oh, tidak Nyai. Tidak," suara Kebo Ijo menjadi semakin perlahan. Ada sesuatu terasa menyumbat kerongkongannya. Ia tahu benar akibat yang akan terjadi atas dirinya, seandainya keris itu benar-benar Keris Ken Arok yang disimpannya. Tetapi ia tidak dapat mengatakannya kepada istrinya.
"Aku seorang prajurit, Nyai," berkata Kebo Ijo itu kemudian, "kau tahu bahwa aku seorang prajurit sejak kita kawin."
Istrinya mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Baik-baiklah di rumah, Randi. Kau harus menjadi anak yang baik. Hati-hatilah dalam tindakan dan ucapan. Ayahmu agaknya telah terperosok karena sikapnya."
"Kenapa kau Kakang?" bertanya istrinya.
Kebo Ijo tertawa. Tetapi suara tertawa itu terasa betapa hambarnya di telinga Ken Arok.
"Sudahlah. Kakang Witantra menunggu kedatanganku. Mungkin aku akan dibawanya ke Singasari atau ke Kediri atau Ke manapun. Tetapi mungkin juga tidak."
Seleret pertanyaan membayang di wajah istrinya. Dipandanginya saja Kebo Ijo berganti-ganti dengan Ken Arok. Tetapi perempuan itu tidak bertanya sesuatu.
"Sudah terlampau lama aku di rumah. Keadaan memerlukan aku segera berada di istana. Selaraklah pintu rumah ini kembali. Hati-hatilah!" berkata Kebo Ijo.
Istrinya menganggukkan kepalanya. Desisnya, "Kalau sudah selesai pekerjaanmu, lekaslah pulang, Kakang."
"Tentu. Aku tentu segera pulang."
Lalu dikecupnya dahi anaknya. Sekali, dua kali. Tetapi Kebo Ijo menahan hatinya sekuat tenaganya ketika ia ingin mengecupnya untuk ketiga kali, seolah-olah untuk yang terakhir kalinya.
Mahisa Randi memandang ayahnya dengan mata yang masih basah.
Tiba-tiba tangan anak itu menggapai-gapai, seolah-olah mengatakan kepada ayahnya, bahwa ia ingin ikut pergi bersamanya.
"Anak nakal," desis Kebo Ijo. Suaranya tiba-tiba menjadi terlampau dalam, "ia sekarang sudah mengerti bahwa inilah ayahnya."
Kebo Ijo mencoba tertawa. Namun kemudian ia melangkah sambil berkata, "Ah, tidak ada habis-habisnya kita berbicara di sini. Marilah Ken Arok. Kita harus segera sampai ke istana."
"Marilah," sahut Ken Arok, yang kemudian minta diri kepada istri Kebo Ijo, "aku akan mengantarkan suamimu ke istana."
"Aku titipkan ia kepadamu."
"He," tiba-tiba Kebo Ijo berhenti, "ada-ada saja kau Nyai. Apakah aku kau persamakan dengan sepotong benda mati?"
Sekali lagi Kebo Ijo mencoba tertawa.
Keduanya pun kemudian berjalan melintasi halaman menuju ke kuda mereka.Kebo Ijo tertegun ketika ia mendengar anaknya tiba-tiba menangis sambil meronta-ronta. Digapai-gapaikanya tangannya untuk menyatakan keinginannya ikut bersama ayahnya.
"He, masuklah," berkata Kebo Ijo, "tidak baik bagi anak-anak, udara malam terlampau dingin."
Istrinya tidak menjawab. Dicobanya untuk menenteramkan anaknya dan mendukungnya masuk ke dalam rumahnya. Sejenak kemudian pintu pun telah tertutup. Namun suara tangis itu masih juga terdengar.
Betapapun juga hati Ken Arok serasa tergores oleh tangis itu. Ia merasa bahwa ialah yang telah menjerumuskan Kebo Ijo ke dalam kesulitan. Sekali-kali ia menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak dapat menarik rencananya itu. Semuanya harus terlaksana. Apapun yang harus dikorbankannya.
Sementara itu istri Kebo Ijo masih berusaha untuk menenangkan anaknya. Didukungnya anak itu hilir mudik di dalam rumahnya. Bahkan sekali-kali dibawanya anak itu ke belakang, ke ruang tengah, ke pringgitan. Tetapi anak itu masih juga menangis.
"Cup, cup Ngger," bisik istri Kebo Ijo, "ayah pergi hanya sebentar. Nanti ayah akan segera kembali membawa oleh-oleh buatmu."
Tetapi anak itu masih juga menangis. Sehingga ibunya masih harus berjalan hilir mudik sambil mendukungnya.
Tiba-tiba langkah perempuan itu terhenti. Dilihatnya selarak pintu butulan tergolek di samping pintu. Dengan ragu-ragu ia melangkah mendekatinya dan kemudian mengambilnya.Sambil menyelarak pintu ia berdesis, "Agaknya kami lupa menyelarak pintu. Untunglah tidak ada seorang pun yang memasuki rumah ini. Tetapi sebagai peringatan aku harus mengatakannya kepada Kakang Kebo Ijo, bahwa pintu butulan masih terbuka."
Tetapi ternyata, bahwa istri Kebo Ijo itu untuk selama-lamanya tidak lagi mendapat kesempatan untuk mengatakannya.
Kebo Ijo mencoba untuk memacu kudanya meskipun dengan ragu-ragu. Suara tangis anaknya masih terngiang saja di telinganya. Sebagai seorang prajurit ia sudah terlampau biasa pergi di dalam tugasnya.Tetapi kali ini ia merasakan kelainan dari masa-masa lampau.Ia sadar, bahwa ia sedang terancam bahaya yang paling parah. Keris itu akan dapat menyeretnya ke tiang gantungan, atau hukuman lain yang sama artinya. Mati.
Karena itu, maka di sepanjang jalan Kebo Ijo itu hanya dapat menundukkan kepalanya. Kini disadarinya semua tingkah lakunya yang salah. Terngiang kembali guraunya, "Suatu ketika Akuwu yang dungu itu akan aku cekik sampai mati". Dan di lain kali, "hanya orang-orang yang bodoh sajalah yang mau menjadi hamba-hamba yang mati bagi Akuwu yang dungu itu". Bahkan pernah ia sambil menepuk dadanya berkata, "Aku tidak sudi menjadi kuda tunggangan seperti Kakang Witantra.?"
Kebo Ijo menarik nafas dalam-dalam. Dan tiba-tiba saja ia berkata lambat, "Aku menyesal Ken Arok, bahwa sejak semula aku tidak pernah mendengarkan nasihatmu.Aku kini merasa bahwa tingkah lakuku sama sekali tidak disukai orang lain. Mungkin mereka menganggap aku terlampau sombong. Dalam keadaan serupa ini aku baru merasa bahwa tidak akan ada seorang pun yang akan membelaku. Semua orang pasti akan memastikan, seandainya keris itu adalah kerismu yang ada padaku, bahwa akulah yang telah membunuh Akuwu.Apalagi mereka yang pernah mendengar senda gurauku yang gila."
Ken Arok tidak menjawab. Tetapi kepalanya tertunduk dalam-dalam.
"Aku berterima kasih kepadamu Ken Arok, meskipun sudah terlambat. Aku merasa bahwa tidak akan ada gunanya lagi untuk disesali. Aku akan menghadap Kakang Witantra dengan dada tengadah, dan aku akan menjalani semua hukuman yang akan ditimpakan kepadaku. Kakang Witantra adalah seorang prajurit. Ia tidak akan membedakan, apakah aku saudara seperguruannya. Ia akan bertindak terhadap siapa pun juga yang dianggapnya bersalah."
Ken Arok masih tetap berdiam diri. Namun di dalam dadanya telah terjadi benturan yang maha dahsyat. Sekali-kali ia berpaling memandangi wajah Kebo Ijo di dalam gelapnya malam. Dan betapa ia menjadi heran melihat wajah itu justru menjadi bening.
Ternyata hati Kebo Ijo telah mengendap. Ia tidak cemas lagi menghadapi setiap kemungkinan. Ia harus menghadapi kenyataan itu sebagai seorang laki-laki.
"Kalau aku ingkar dan mencoba lari dari kenyataan ini, maka namaku akan menjadi semakin tidak berharga. Tidak ada seorang pun yang akan mampu melepaskan aku dari bencana," katanya di dalam hati, "Namun seandainya aku mendapat kesempatan mengetahui siapakah pembunuh yang sebenarnya, yang telah mempergunakan keris itu, aku akan berbesar hati. Adalah di luar kemampuan berpikir bahwa keris itu tiba-tiba saja telah lenyap dari geledeg itu tanpa tanda-tanda yang dapat memberikan petunjuk apapun juga."
Tetapi sama sekali tidak tebersit hasrat Kebo Ijo untuk menyeret Ken Arok dalam kesulitan. Ia sudah cukup merasa berterima kasih bahwa setiap kali Ken Arok memberinya peringatan. Adalah salahnya sendiri, bahwa peringatan Ken Arok itu tidak pernah dihiraukannya. Kini datanglah saat itu. Saat ia terdorong ke dalam suatu bencana.
Semakin dekat mereka dengan gerbang istana, hati Ken Arok menjadi semakin berdebar-debar, seperti juga hati Kebo Ijo. Tetapi Kebo Ijo sendiri sudah pasrah. Pasrah kepada tangan-tangan Yang Maha Penentu.
Setiap prajurit yang bertugas di pintu gerbang melihat keduanya memasuki halaman belakang istana. Dengan dada yang berdebaran mereka berbisik, "He, itulah Kebo Ijo."
"Tidak aku sangka semudah itu untuk menangkapnya," sahut yang lain.
Para prajurit itu mengangguk-anggukkan kepala mereka. Hampir setiap orang di istana telah mendengar bahwa keris yang tertancap di dada Akuwu adalah keris Kebo Ijo, sehingga setiap orang telah memastikan bahwa Kebo Ijolah yang membunuhnya.
"Aku pernah mendengar, Kebo Ijo mengancam untuk membunuh Akuwu," desis salah seorang dari mereka, "kini ternyata maksud itu telah dilaksanakan. Tetapi aku heran, bahwa seseorang yang telah berani membunuh Akuwu Tunggul Ametung, begitu mudahnya dibawa ke istana."
"Ken Arok memang orang luar biasa. Selain Ken Arok tidak akan dapat melakukannya. Bahkan Witantra pun tidak," jawab yang lain.
"Witantra adalah saudara seperguruannya," gumam yang lain lagi.
Dan para prajurit itu pun kemudian saling mengangguk-anggukkan kepala mereka.
Kebo Ijo tanpa berbuat apapun telah dibawa oleh Ken Arok masuk ke dalam istana. Ia merasa bahwa setiap mata memandanginya dengan penuh kebencian. Tetapi Kebo Ijo tidak menundukkan kepalanya. Ia menengadahkan wajah dan dadanya.
"Anak itu masih juga menyombongkan dirinya," berkata salah seorang prajurit yang lain, yang bertugas di dalam istana.
Sementara itu Kebo Ijo mengikuti Ken Arok langsung menuju ke dalam bilik Akuwu Tunggul Ametung. Betapapun juga ia mencoba mengendapkan perasaannya, namun ia masih juga berdebar-debar. Yang paling menyakitkan hatinya adalah cara orang lain yang sangat licik itu. Pembunuh Akuwu Tunggul Ametung yang sebenarnya.
"Kalau saja aku mendapat kesempatan," katanya di dalam hati, "aku ingin bertemu dengan pembunuhnya. Tetapi itu hanyalah sebuah mimpi yang mengambang. Tidak seorang pun yang menolak tuduhan bahwa akulah yang telah melakukannya."
Kebo Ijo menarik nafas dalam-dalam.
Ketika mereka sampai ke muka bilik Akuwu, maka orang-orang yang berdiri di depan pintu pun segera menyibak. Seolah-olah mereka melihat Akuwu Tunggul Ametung sendiri akan memasuki ruangan itu.
Demikian Kebo Ijo muncul di pintu bilik, maka Witantra pun kemudian menggeram. Ditatapnya mata Kebo Ijo tajam-tajam, seolah-olah ia ingin melihat jauh sampai ke pusat otaknya.
"Kebo Ijo!" suara Witantra bergetar, "Apakah keris ini kerismu?"
Kebo Ijo maju selangkah. Sekilas ia berpaling kepada Ken Arok yang berdebar-debar. Seandainya Kebo Ijo ingkar, maka persoalan itu pasti akan berkepanjangan. Apalagi apabila kemudian terdengar oleh Mahisa Agni dan para cantrik di padepokan Empu Gandring.
"Kenapa anak itu tidak aku bunuh saja sama sekali," geram Ken Arok di dalam hatinya, "selagi ia masih hidup, ia akan dapat berbicara tentang apa saja."
Namun Ken Arok melihat Kebo Ijo menganggukkan kepalanya sambil menjawab, "Ya Kakang. Keris itu adalah kerisku."
Witantra yang sudah tidak dapat menahan hati itu pun langsung bertanya kepadanya, "Jadi kaukah yang membunuh Akuwu Tunggul Ametung?"
Kebo Ijo menggelengkan kepalanya dengan tatag. Sama sekali tidak terbayang kecemasan di dalam sorot matanya, "Tidak Kakang. Aku tidak segila itu. Apakah pamrihku membunuh Akuwu Tunggul Ametung?"
"Lalu bagaimana mungkin keris ini dapat sampai di sini?"
"Itulah yang membuat hatiku menjadi terlampau pahit. Aku tidak takut menghadapi kemungkinan apapun. Tetapi bahwa kerisku yang dipergunakan oleh pembunuhnya itulah yang paling menyakitkan hati."
"Tetapi bagaimana mungkin kerismu hilang dari rumahmu?" Witantra berhenti sebentar, lalu suaranya bergetar semakin dalam, "Kebo Ijo, aku mengharap kau datang membawa sebilah keris, dan sambil membuktikan bahwa kerismu masih ada padamu kau berjanji untuk menangkap pembunuhnya. Tetapi ternyata keris ini adalah kerismu."
Kebo Ijo tidak segera menjawab.Kenyataan itu memang tidak dapat diingkarinya. Keris itu adalah kerisnya, dan keris itu pulalah yang tertancap di dada Akuwu Tunggul Ametung.
"Kebo Ijo, apa katamu?" desak Witantra.
"Aku tidak dapat mengingkari kenyataan itu Kakang."
"Jadi kau mengaku, bahwa kau yang membunuhnya?"
"Aku tidak akan pernah mengaku, bahwa aku yang telah membunuh, karena aku memang tidak melakukannya," jawab Kebo Ijo dengan hati yang tabah.
"Lalu bagaimana dengan kenyataan ini?"
"Terserahlah kepada Kakang Witantra. Keputusan apakah yang akan dijatuhkan kepadaku. Aku akan patuh menjalani. Baik aku sebagai prajurit maupun aku sebagai adik seperguruan. Tetapi apapun yang akan terjadi, aku tidak akan mengakuinya, karena aku memang tidak melakukannya."
Witantra menggeretakkan giginya. Ia berdiri pada suatu keadaan yang paling sulit. Namun menilik sikap dan jawaban Kebo Ijo, Witantra dapat mempercayainya, bahwa Kebo Ijo tidak melakukannya. Tetapi apabila ia berkata demikian, maka setiap orang pasti akan mencemoohkannya, karena justru Kebo Ijo adalah adik seperguruannya.
Karena itu, dalam kekeruhan nalar, Witantra tidak segera berbuat dan berkata sesuatu. Bahkan akhirnya kepalanya ditundukkannya sambil mengamat-amati keris yang masih digenggamnya.
Sementara itu setiap orang di luar dan di dalam bilik itu sudah menjatuhkan kepastian, bahwa Kebo Ijolah yang melakukannya. Sikapnya sehari-hari, kata-katanya dan tingkah lakunya, sama sekali tidak disenangi oleh orang-orang di sekitarnya. Dalam keadaan yang demikian itulah akan sangat terasa, hampir tidak ada seorang pun yang berdiri di pihaknya, meskipun benar-benar ia tidak merasa bersalah. Kesalahan yang membebani hatinya adalah, bahwa ia tidak pernah mendengarkan nasihat Ken Arok. Hanya itu, bukan karena ia merasa membunuh Akuwu Tunggul Ametung.
Witantra yang menjadi pening, akhirnya menyerahkan keris itu kepada orang-orang tua dalam pemerintahan Tumapel. Sambil menahan gelora hati yang tidak tertahankan ia berkata, "Terserahlah kepada kalian. Apakah yang sebaiknya kita lakukan. Pimpinan pemerintahan yang tujuh, termasuk manggala perang akan menjatuhkan keputusan. Aku hanya salah seorang dari mereka."
Salah seorang tetua pemerintahan yang diserahi keris itu berpikir sejenak. Kemudaan diterimanya keris itu sambil berkata, "Kau dapat menentukan Witantra. Orang yang bersalah adalah seorang prajurit di dalam pasukanmu, justru pasukan pengawal."
"Aku adalah seorang prajurit yang harus berdiri pada watak dan sifat prajurit," jawab Witantra, "tetapi di sini aku berhadapan dengan diriku sendiri. Aku melihat bukti yang tidak dapat disangkal lagi. Tetapi aku berkeyakinan bahwa Kebo Ijo memang tidak melakukannya, menilik sikap dan jawabannya. Aku mengenal Kebo Ijo sejak lama. Aku mengenal wataknya. Kegilaannya, kebengalannya dan memang kadang-kadang ia berbuat licik. Tetapi aku tidak akan dapat membayangkan, kalau suatu ketika ia melakukan pembunuhan yang sebenarnya. Apalagi membunuh Akuwu Tunggul Ametung."
Kata-kata Witantra ternyata telah menggetarkan setiap dada.Mereka heran melihat sikap itu. Witantra yang selama ini mereka kenal sebagai seorang prajurit yang bersikap lurus, siapa pun yang dihadapinya. Namun pada suatu saat, di mana saudara seperguruannya sendiri yang terlihat, ia menjadi miyur .
Sejenak terdengar suara bergeramang di dalam dan di luar bilik. Semua mata kini memandang ke wajah Witantra yang merah dan tegang. Setegang wajah Ken Arok. Berbagai masalah telah menggelegak di dalam dadanya. Ia pun sama sekali tidak menyangka bahwa Witantra ternyata akan bersikap demikian.
"Karena itulah," berkata Witantra kemudian, "aku serahkan persoalan ini kepada kalian. Suara kalianlah yang akan menentukan. Aku sudah merasa, bahwa kali ini suara hatiku akan lain sekali dengan keputusan kalian.Aku yakin bahwa yang terjadi bukan seperti yang kita kira-kirakan. Aku tidak menganggap Kebo Ijo sebagai seorang pembunuh yang biadab."
Witantra berhenti sejenak. Lalu, "dan aku tidak dapat melepaskan keyakinanku, meskipun aku tahu, bahwa aku akan berdiri menyendiri."
Sekali lagi terdengar suara bergeramang. Sedang Witantra masih berdiri di tengah-tengah bilik itu dengan keringat yang membasahi seluruh tubuhnya. Ternyata di dalam dirinya telah terjadi pertentangan yang dahsyat, ia tidak dapat melepaskan bukti yang pasti tidak dapat diingkari lagi. Tetapi dalam pada itu, ia mempunyai suatu keyakinan yang asing di dalam pertemuan itu. Namun bagaimanapun juga ia tidak dapat melepaskan keyakinannya.
Tiba-tiba di dalam ketegangan itu, salah seorang tetua pemerintahan berkata, "Angger Witantra. Kita sudah dihadapkan pada suatu kenyataan. Sudah tentu kita tidak akan dapat ingkar lagi."
"Ya, itulah yang akan aku dengar. Aku sudah tahu. Dan kini terserah kepada kalian," jawab Witantra. Ketika sejenak dipandanginya wajah Kebo Ijo yang masih saja menatap lurus-lurus ke depan ia menjadi semakin yakin, bahwa Kebo Ijo tidak melakukannya. Namun sejalan dengan itu, ia pun menjadi semakin yakin pula, bahwa Kebo Ijo tidak akan dapat lepas lagi dari bencana.
Witantra itu mengatupkan bibirnya rapat-rapat ketika ia mendengar pimpinan prajurit Tumapel berkata, "Baiklah Witantra. Meskipun Kebo Ijo termasuk di dalam pasukan pengawal, tetapi karena kau sudah menyerahkannya kepada kami maka kami akan mengambil keputusan bersama-sama dengan pimpinan pemerintahan yang tujuh dan segenap manggala, termasuk kau."
Witantra tidak menjawab. Dan ia semakin mengatupkan giginya ketika ia mendengar pimpinan prajurit itu berkata, "Kau menjadi tawanan kami Kebo Ijo."
Kebo Ijo sama sekali tidak terkejut mendengar perintah pimpinan prajurit itu. Ia sudah menyadari sebelumnya bahwa itu pasti akan menjadikannya seorang tawanan. Namun demikian ia mencoba untuk menatap wajah Witantra. Tetapi Witantra membuang pandangan matanya jauh-jauh. Seakan-akan ia tidak berani lagi menatap wajah Kebo Ijo.
Ketika dua orang prajurit mendekati Kebo Ijo dan memegang kedua belah tangannya Kebo Ijo mengibaskannya sambil menggeram, "Apa kau sangka aku tidak dapat berjalan sendiri?"
Kedua prajurit itu mundur selangkah.
Setiap orang yang melihat hal itu mengerutkan keningnya.Bahkan Witantra pun kemudian menatapnya. Dalam keadaan yang demikian, maka segala hal dapat terjadi. Apalagi kalau Kebo Ijo itu kemudian menjadi berputus asa.
Dalam keadaan yang demikian itu, Ken Arok maju beberapa langkah mendekatinya. Perlahan-lahan ia berbisik, "Marilah Kebo Ijo. Mudah-mudahan pembicaraan di antara para pemimpin akan memberimu jalan."
Kebo Ijo menggelengkan kepalanya. Tetapi ia tidak menjawab. Perlahan-lahan ia meraba hulu pedangnya sambil mengerutkan keningnya.
Sikap itu semakin mendebarkan setiap jantung. Tetapi Ken Arok tidak beranjak dari tempatnya. Bahkan sekali lagi ia berbisik, "Apakah kau akan melawan?"
"Alangkah gilanya," jawab Kebo Ijo.
Perlahan-lahan maka tangan Kebo Ijo itu menarik pedangnya, tetapi beserta wrangkanya. Kemudian dilemparkannya pedang itu di lantai sambil berkata lantang, "Aku tetap seorang prajurit. Meskipun sampai saat terakhir aku tidak pernah merasa bersalah, tetapi aku akan tunduk kepada setiap keputusan kalau keputusan itu akan memberi kalian kepuasan."
Wajah-wajah yang ada di sekitarnya pun menjadi semakin tegang.Sejenak tidak seorang pun yang mengucapkan sepatah kata. Dan ruangan itu menjadi sunyi.
"Marilah," terdengar suara Kebo Ijo memecah kesepian, "Ke mana aku akan dibawa" Aku tidak akan lari."
Orang-orang yang ada di dalam bilik itu seakan-akan tersadar dari lamunan mereka. Hampir mereka tidak percaya melihat apa yang telah terjadi. Dan mereka masih juga berdiam diri ketika mereka melihat Ken Arok menggandeng Kebo Ijo keluar dari ruangan itu.
"Aku hormati kau Kebo Ijo," bisik Ken Arok, "pada saat terakhir kau adalah seorang yang paling jantan yang pernah aku lihat."
"Jangan memuji. Setiap pujian kini sudah tidak berarti lagi bagiku. Selama ini aku selalu mabuk oleh segala macam sanjungan, pujian dan sikap yang berpura-pura. Tetapi sekarang aku sudah tidak memerlukannya lagi."
"Aku tidak memuji.Tetapi aku kagum melihat kenyataan ini. Aku kira, selama kau tidak akan ada seorang pun yang dapat melakukannya. Seandainya aku yang mengalaminya, mungkin aku akan berbuat lain. Mungkin lari dan mungkin membunuh diri."
Kebo Ijo tidak menyahut. Sekali ia berpaling memandang dua orang prajurit yang mengikutinya beberapa langkah di belakangnya.
Salah seorang dari mereka berkata, "Kita tempatkan Kebo Ijo di bilik sebelah ruang perbendaharaan. Menurut perintah, ia akan tetap ditahan di dalam istana."
"Persetan!" Kebo Ijo menggeram.
Ken Arok sama sekali tidak menyahut. Tetapi dibawanya Kebo Ijo itu berbelok ke kiri menyusur serambi belakang. Kemudian melampaui sebuah longkangan, dan naik ke bilik perbendaharaan.
"Kami berdua bertugas untuk menjaganya," berkata salah seorang dari kedua prajurit itu.
Baik Ken Arok maupun Kebo Ijo masih tetap berdiam diri. Mereka kemudian melangkah masuk ke dalam sebuah bilik yang kecil di sebelah ruang perbendaharaan istana.
"Biarlah ia berada di dalam. Sebaiknya kau keluar Ken Arok," berkata salah seorang prajurit itu, "pintunya akan aku palang dari luar."
"Tunggu," sahut Ken Arok, "aku masih memerlukannya."
"Tinggalkan aku," desis Kebo Ijo.
"Aku akan mengawanimu Kebo Ijo. Kau harus tetap tenang dan tidak kehilangan kebeningan akal."
"Aku tidak menjadi gila karenanya."
"Karena kau masih mempunyai kawan untuk membagi perasaan. Karena itu, aku akan tetap tinggal di sini. Seseorang yang dalam keadaan gelap, mudah mempunyai angan-angan yang bukan-bukan."
"Aku menyadari keadaanku Ken Arok. Aku telah menduga, bahwa tidak ada hukuman lain yang lebih pantas bagiku selain hukuman mati."
"Kau sudah mulai berputus asa."
Kata-kata Ken Arok terputus ketika ia mendengar prajurit di luar berkata, "Ken Arok, tinggalkan ia sendiri."
"Tunggu!Aku masih berbicara."
"Tinggalkan aku," desis Kebo Ijo.
"Tidak Kebo Ijo. Apalagi agaknya kau sudah mulai berputus asa. Sikap yang demikian adalah tanda-tanda yang kurang baik. Putus asa bagimu dalam keadaan ini adalah langkah pertama menuju kepada bunuh diri."
Kebo Ijo termenung sejenak. Tiba-tiba ia menyahut, "Itu akan lebih baik daripada aku mati di tiang gantungan.Apa lagi di alun-alun atau di bawah pintu gerbang."
"Siapa bilang bahwa hukuman itu akan dilakukan dengan cara demikian?"
Kebo Ijo terdiam sejenak. Wajahnya merenung ke alam angan-angannya yang terlampau jauh.
Sejenak mereka saling berdiam diri. Kebo Ijo mencoba untuk membayangkan apa saja yang dapat terjadi atasnya. Sedang Ken Arok dengan berdebar-debar memperhatikan perkembangan perasaan Kebo Ijo.
Ken Arok mengangkat kepalanya ketika ia mendengar para penjaga sekali lagi berteriak, "He Ken Arok. Kenapa kau masih ada di dalam?"
"Aku belum selesai. Aku masih mempunyai beberapa persoalan yang harus kami perbincangkan."
Para prajurit di luar pintu bersungut-sungut. Tetapi mereka menyangka bahwa Ken Arok sedang melakukan tugasnya.
"Kebo Ijo," berkata Ken Arok seterusnya, "kau harus tetap tenang. Apapun yang akan terjadi dengan kau."
Kebo Ijo tidak menyahut. Tetapi wajahnya merenung semakin dalam. Kalau teringat olehnya, perbuatan licik seseorang, dengan mencuri kerisnya dan dipergunakannya untuk membunuh Akuwu, darahnya serasa mendidih. Tetapi kemudian ia pun sampai juga pada suatu kesimpulan adalah kesalahannya, kenapa kerisnya dapat jatuh ke tangan seseorang yang tidak dikenal dan tanpa diketahuinya.
Sejenak terbayang, jenis-jenis hukuman yang dapat dilakukan atasnya apabila para pemimpin di Tumapel menetapkan hukuman mati atasnya. Ia dapat digantung di alun-alun, di bawah gerbang depan istana di muka rakyat Tumapel, ditusuk dengan keris di atas sebuah panggungan yang juga disaksikan oleh rakyat atau disapu sampai mati.
Kebo Ijo menarik nafas dalam-dalam. Sekilas terbayang anak dan istrinya yang menunggunya di rumah.
"Istri seorang prajurit tidak boleh kehilangan akal apabila ia kematian suaminya," geram Kebo Ijo di dalam hatinya, "tetapi ternyata aku tidak mati di peperangan. Dan meskipun ia istri seorang prajurit, maka ketahanan hatinya pasti akan runtuh juga apabila ia melihat suaminya tergantung di alun-alun, atau di bawah regol besar istana atau ditusuk dengan keris sampai mati, apalagi disapu."
"Aku kira, lebih baik aku mati Ken Arok," tiba-tiba ia berdesis.
"He," Ken Arok terkejut, "kenapa?"
"Aku akan menjadi gila apabila di alun-alun besok aku dapat melihat istri dan anakku menangisi aku sebelum aku digantung."
"Ah," desis Ken Arok, "kau membayangkan yang bukan-bukan. Meskipun seandainya kau dihukum mati, kau pun harus menengadahkan dadamu sebagai laki-laki jantan."
"Tetapi aku tidak akan dapat melakukannya apabila istri dan anakku hadir untuk melihat dan mendapat kesempatan bertemu untuk yang terakhir."
Ken Arok tidak menjawab, tetapi ditundukkannya kepalanya dalam-dalam.
"Bagaimana pertimbanganmu Ken Arok?"
"Tetapi aku tidak yakin bahwa kau akan dihukum mati."
Kebo Ijo menggelengkan kepalanya, "Tidak ada seorang pun yang menghendaki aku terlepas dari hukuman ini. Karena itu, aku harus menjalani."
Ken Arok merenung sejenak. Kemudian katanya, "Aku akan melihat, apakah yang dibicarakan oleh para pemimpin yang tujuh itu sekarang."
Kebo Ijo tidak menyahut. "Mungkin hal itu mereka lakukan secara rahasia. Tetapi aku akan berusaha."
"Terserahlah kepadamu."
"Aku minta diri sebentar. Tetapi jangan kau biarkan angan-anganmu membubung ke segala arah tanpa terkendali. Mungkin kau akan terjerumus ke dalam suatu sikap yang keliru."
Kebo Ijo tidak menyahut. "Tenanglah. Aku akan segera kembali."
"Beri tahukan kepadaku, kalau mereka mengambil keputusan untuk menghukum aku mati. Lebih baik dilakukan sekarang di tempat tertutup ini daripada di tempat terbuka."
"Aku akan melihatnya."
Ken Arok pun kemudian meninggalkan tempat itu.Dicobanya untuk mendekati tempat para pemimpin yang sedang bersidang. Tetapi beberapa langkah dari pintu bilik tempat bersidang itu dijaga oleh beberapa orang prajurit, beberapa orang pengawal istana dan pelayan dalam yang dipimpinnya untuk malam itu.
Sejenak Ken Arok menjadi ragu-ragu.Namun kemudian ia berjalan mendekat.Beberapa orang prajurit memandangnya dengan penuh pertanyaan, dan para pengawal istana menjadi berdebar-debar.
"Aku perlu dengan orang-orangku," berkata Ken Arok kepada pemimpin prajurit yang bertugas di tempat itu.
Orang itu menganggukkan kepalanya. "Silakanlah."
Ken Arok memanggil orang-orangnya dengan isyarat tangannya. Kemudian setelah mereka berkumpul diberinya mereka beberapa peringatan. Lalu katanya, "Kembalilah ke tempatmu. Aku akan menghadap Witantra."
"Mereka sedang bersidang," jawab salah seorang dari mereka, "tidak seorang pun diperkenankan mendekat."
"Tetapi aku adalah orang yang khusus. Akulah yang menangkap Kebo Ijo."
Orang itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Sesaat ia berpaling kepada pemimpin prajurit dan pengawai istana yang bertugas.
"Aku akan berbicara dengan orang itu," desis Ken Arok.
Ternyata kesibukan Ken Arok itu mempengaruhi perasaan pemimpin prajurit itu. Agaknya Ken Arok memang sedang melakukan tugas yang penting.
"Mintalah izin langsung kepada mereka, apakah kau diizinkan masuk ke tempat sidang itu," berkata pemimpin pengawal istana.
"Aku tidak akan ikut bersidang. Itu bukan tugasku."
"Ya. Lalu apa kepentinganmu?" bertanya pemimpin prajurit.
"Aku akan menyampaikan beberapa laporan saja."
Pemimpin prajurit dan pengawal istana yang sedang bertugas itu saling berpandangan sejenak. Mereka tidak mengerti, apakah mereka dapat melarang atau mengizinkan, karena Ken Arok sendiri saat itu sedang memimpin sekelompok pelayan dalam yang sedang bertugas pula.
Sejenak kemudian pemimpin prajurit itu berkata, "Terserahlah kepadamu. Ketuklah pintu dan sampaikan maksudmu."
Ken Arok tidak menjawab. ia pun menjadi ragu-ragu sejenak.Namun ia pun kemudian melangkah mendekati pintu.
Para petugas yang berada beberapa langkah di depan pintu itu melihat Ken Arok berdiri tepat di muka pintu. Mereka melihat Ken Arok beberapa kali mengetok, tetapi pintu itu tidak segera terbuka.
Namun sebenarnya Ken Arok sama sekali tidak mengetuk pintu. Para penjaga yang berdiri beberapa langkah daripadanya hanya melihat tangannya bergerak-gerak. Tetapi tangan itu sama sekali tidak menyentuh pintu bilik. Dengan demikian ia dapat mengelabui para penjaga termasuk orang-orangnya sendiri.
Yang dilakukan sebenarnya adalah berusaha mendengar pembicaraan, di dalam bilik itu. Betapa lembutnya, namun telinganya yang tajam berhasil menangkap beberapa patah kata daripadanya.
Dadanya berdebar-debar ketika ia mendengar Witantra berkata, "Terserah kepada kalian. Aku tetap pada pendirianku. Kebo Ijo tidak bersalah. Kalau ia memang membunuh Akuwu Tunggul Ametung, maka ia tidak akan gila meninggalkan kerisnya. Betapa ia tergesa-gesa. Apalagi ternyata bahwa pembunuhan itu baru diketahui ketika darah yang meleleh dari luka itu sudah kering. Itu berarti bahwa masih ada beberapa waktu terpaut. Dan waktu itu cukup bagi Kebo Ijo untuk membawa kerisnya serta."
"Aku tidak yakin," jawab seseorang, yang agaknya salah seorang dari tetua pemerintahan, "mungkin telah terjadi perkelahian antara Kebo Ijo dan Akuwu, sehingga Kebo Ijo harus melarikan diri segera. Terlebih lagi, ternyata bahwa tanda pasukan pengawal itu tertinggal."
"Tetapi," sahut Witantra, "pembunuhnya pasti telah menancapkan keris itu pada saat Akuwu sedang tidur. Tidak ada tanda bahwa Akuwu berusaha mengambil pusakanya. Gerak Akuwu pun pasti sangat terbatas sehingga perkelahian itu tidak berlangsung lama. Waktu yang kemudian cukup banyak bagi Kebo Ijo untuk membawa keris itu."
Sejenak ruangan itu menjadi sepi. Dan sejenak kemudian terdengar suara yang lain lagi, "Ya. Aku cabut tuduhanku. Aku dapat mengerti penjelasan Witantra. Kebo Ijo yang sudah demikian berani dan berhati-hati, sehingga dapat mencapai bilik Akuwu Tunggul Ametung, pasti tidak akan membuat kesalahan yang bodoh. Keris itu pasti tidak akan tertinggal, apalagi masih tetap di dada Akuwu. Sedangkan tidak seorang pun yang segera mengetahui pembunuhan itu. Seandainya ia tergesa-gesa meninggalkan bilik itu, maka ia masih mendapat kesempatan untuk mengambil kerisnya kembali."
Sekali lagi ruangan itu menjadi sepi. Namun kesepian itu telah mendebarkan jantung Ken Arok.Dalam kesepian yang demikian maka setiap orang akan mendapat kesempatan berpikir dengan bening. Apalagi ketika ia kemudian mendengar seseorang berdesis di dalam bilik itu, "Maka aku adalah orang yang ketiga yang menyadari kebodohan kita. Seperti yang kita kehendaki selama ini, mengambil keputusan tanpa prasangka dan tanpa pilih bulu. Ternyata kita sudah dipengaruhi oleh sikap, kebiasaan dan watak Kebo Ijo yang tidak kita sukai. Namun akhirnya aku menyadari kesalahan itu, dan aku mencoba menempatkan persoalan ini sewajarnya dengan melepaskan prasangka dan kebencian yang ada di dalam diri kita."
02 Pelangi Di Langit Singasari Karya S H. Mintarja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Suara itu berhenti sejenak. Lalu, "terserahlah kepada kita yang tujuh. Masih ada empat orang yang dapat menentukan pendiriannya."
Ketika suasana di dalam bilik itu menjadi sepi kembali, Ken Arok merasa, bahwa ia harus cepat bertindak. Kalau setiap orang di dalam bilik itu kemudian dipengaruhi oleh sikap Witantra, yang telah menjalar kepada dua orang lainnya, maka keadaannya akan menjadi terlampau jelek baginya. Masih ada saksi yang hidup, yang akan dapat mempengaruhi keadaan kemudian. Ia menyesal bahwa ia tidak membunuh saja sama sekali cantrik yang melepasnya pergi di padepokan Empu Gandring, meskipun ada kemungkinan cantrik itu sudah tidak mengenalnya.
Karena itu, maka Ken Arok pun kemudian telah benar-benar mengetuk pintu itu, sehingga terdengar desis di dalam ruangan, "Siapa?"
"Aku, Ken Arok."
Terdengar langkah mendekat pintu.Kemudian terdengar palang pintu terangkat, dan pintu itu pun terbuka.
"Ken Arok," berkata Witantra, "seharusnya kau tahu, bahwa kau tidak dapat mengganggu sidang ini."
"Maafkan," jawab Ken Arok, "aku pun menyangka bahwa aku akan mengganggu. Tetapi aku memerlukan suatu tindakan yang cepat di dalam masalah ini. Aku mengharap bahwa sebelum para pemimpin yang tujuh ini dapat mengambil keputusan, maka tidak akan terjadi kesalahan yang kurang bijaksana."
"Apa maksudmu?"
"Kebo Ijo ingin melihat keris itu.Ialah orang yang paling mengenalnya. Meskipun kerisnya tidak ditemukan di dalam rumahnya, tetapi masih ada kemungkinan, bahwa sebenarnya keris itu bukan kerisnya. Keris itu hanyalah mirip atau sengaja dibuat mirip dengan keris yang hilang itu. Kemiripan yang paling mencolok terletak pada tangkainya. Sedang tangkai yang demikian dapat dibuat oleh siapa pun juga. Dengan melihat keris itu dari dekat maka Kebo Ijo akan dapat mengatakan, apakah keris itu benar-benar kerisnya."
Witantra mengerutkan keningnya. Sejenak ia terdiam sambil berpaling ke arah enam orang yang lain, yang ada di dalam ruangan itu.
Ruangan itu menjadi sunyi sesaat.Beberapa orang saling berpandangan. Tetapi mereka tidak segera dapat mengambil suatu keputusan.
Ken Arok sendiri masih berdiri tegak di depan pintu. Dipandanginya setiap wajah seorang demi seorang. Namun yang dilihatnya hanyalah keragu-raguan dan kebimbangan.
Baru sejenak kemudian terdengar Witantra berkata, "Bukankah Kebo Ijo telah melihat keris itu?"
"Ya, tetapi Kebo Ijo ingin meyakinkan. Ia ingin melihat setiap guratan pamornya. Dan ia akan dapat memutuskan apakah keris itu miliknya yang hilang."
"Ia akan dapat berbohong," berkata salah seorang tetua pemerintahan, "anak itu dapat berkata apa saja tentang keris itu."
"Bukan maksud Kebo Ijo," Ken Arok menggelengkan kepalanya, "Kebo Ijo tidak akan minta belas kasihan atau membuat cerita yang aneh-aneh untuk membebaskan dirinya. Ia cukup jantan menghadapi kenyataan. Yang penting baginya adalah kepuasan perasaan. Kalau keris itu adalah kerisnya yang hilang, maka ia akan dapat menghadapi setiap kemungkinan dengan perasaan yang tenang. Tetapi apabila keris itu bukan kerisnya, meskipun ia tidak ingin bebas karenanya, apalagi membuat-buat cerita ngayawara, namun hal itu akan dapat menyinggung rasa keadilan kita jauh lebih parah lagi."
Ken Arok berhenti sejenak, "tetapi itu pun bukan berarti suatu pengakuan bahwa seandainya keris itu benar-benar kerisnya ia telah melakukan pembunuhan. Tetapi bahwa kekhilafannya dan hilangnya pusaka itu dari rumahnya, adalah suatu kesalahan yang harus ditebusnya dengan nyawanya."
Ketika Ken Arok terdiam, maka sekali lagi ruangan itu menjadi senyap. Beberapa orang menundukkan kepalanya dan beberapa orang yang lain menjadi semakin ragu-ragu.
"Aku tidak keberatan," tiba-tiba Witantra berdesis.
"Aku juga tidak berkeberatan," sahut yang seorang.
Seorang yang lain mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berkata, "Aku juga tidak. Tetapi siapa yang bertanggung jawab apabila terjadi sesuatu?"
Ken Arok mengangkat dadanya, "Akulah yang bertanggung jawab. Aku adalah sahabatnya. Aku akan menghadapinya apabila ia mencoba mempergunakan senjata itu untuk melakukan perlawanan. Tetapi sekali lagi aku ingin menjelaskan, bahwa Kebo Ijo cukup jantan menghadapi kenyataan ini. Kenyataan yang tidak terduga-duga."
Sesaat orang di dalam bilik itu menjadi tegang. Mereka saling berpandangan. Akhirnya seorang yang lain lagi berkata, "Aku juga tidak berkeberatan."
Empat orang dari yang tujuh telah menyatakan sikapnya. Karena itu, maka telah merupakan keputusan, sebagai pengganti kekuasaan Akuwu, bahwa yang lain harus memberikan alasan-alasan yang dapat dimengerti oleh setidak-tidaknya seorang dari keempat orang itu apabila keputusan itu hendak diubah atau ditolak. Apabila yang tiga orang itu atau salah seorang daripadanya tidak mengajukan keberatan apapun maka sikap yang empat itu akan menjadi keputusan yang harus dilaksanakan.
Demikianlah, karena tidak ada seorang pun yang berkeberatan, maka orang yang menyimpan keris berkata, "Baiklah. Aku akan menyerahkan keris itu kepadamu Ken Arok. Kaulah yang akan bertanggung jawab."
"Aku akan bertanggung jawab," sahut Ken Arok.
Maka keris itu pun segera diambilnya, dan diserahkannya kepada Ken Arok. "Hati-hatilah. Keris ini merupakan barang bukti."
"Ya. Aku menjadi taruhan, bahwa keris ini tidak akan hilang."
Witantra memandang keris itu sambil mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Tetapi ia tidak berkata sepatah kata pun lagi.
Sepeninggal Ken Arok, maka orang yang tertua di antara ketujuh orang itu berkata, "Kita akan menunda pembicaraan ini. Kita akan menunggu kedatangan Ken Arok yang telah membawa keris itu."
Yang lain mengangguk-anggukkan kepala mereka.
"Kita akan tetap tinggal di dalam bilik ini."
"Ya," jawab yang lain, "kita akan tetap tinggal di sini."
Demikianlah, maka ketujuh orang itu pun kemudian duduk kembali di dalam suatu lingkaran.Mereka tidak beranjak dari tempatnya, meskipun mereka hampir tidak berbicara lagi. Masing-masing mencoba membayangkan apa yang telah terjadi dengan Akuwu Tunggul Ametung.
Dalam kesenyapan itulah, maka sebagian terbesar dari mereka, mulai melihat suatu gambaran yang agak bening. Sebenarnyalah bahwa terlampau bodoh, apabila Kebo Ijo setelah membunuh Akuwu meninggalkan keris itu di dadanya.
Tetapi mereka harus menunggu. Mereka akan mendengar keterangan Ken Arok tentang keris itu.
Beberapa orang berpendapat, apabila Kebo Ijo mengaku tanpa banyak persoalan, bahwa keris itu adalah kerisnya maka dugaan bahwa ia yang telah membunuh Akuwu menjadi semakin tipis. Mungkin setiap orang tetap pada tuduhannya, karena sikap, watak dan tingkah laku Kebo Ijo. Tetapi ketujuh orang itu tidak boleh ingkar dari suatu keyakinan, apabila memang demikian, apabila menurut keyakinan mereka, Kebo Ijo tidak melakukan pembunuhan itu. Mungkin keputusan mereka tidak sesuai dengan tuntutan sebagian terbesar dari rakyat Tumapel, terutama mereka yang mengenal Kebo Ijo. Tetapi mereka harus tetap berusaha menegakkan keadilan. Seperti juga Witantra telah berkorban perasaan untuk mempertahankan keyakinannya, meskipun ia tahu, bahwa setiap orang akan menganggapnya berpihak, karena Kebo Ijo adalah adik seperguruannya. Tetapi justru karena itu ia telah bersikap tanpa pilih. Siapa pun Kebo Ijo, ia berdiri di atas keyakinannya. Keyakinan yang dilandasi oleh berbagai macam bukti, pertimbangan dan pengamatan.
Dalam pada itu Ken Arok pun pergi dengan tergesa-gesa ke bilik Kebo Ijo. Kedua penjaga yang menungguinya menjadi ragu-ragu untuk mengizinkannya masuk kembali ke dalam bilik itu.
"Aku tidak sedang bermain-main," desis Ken Arok, "aku adalah pimpinan pelayan dalam yang bertugas kali ini. Sadarilah itu. Kalau kau melihat bahwa aku membawa keris yang telah tertancap ke dalam dada Akuwu ini, kau pasti dapat mengerti, bahwa kalian tidak berhak melarang aku masuk."
Kedua penjaga itu berpandangan sejenak.Kemudian yang tua di antara keduanya menganggukkan kepalanya sambil berkata, "Silakanlah. Tetapi jangan terlampau lama. Kami berdualah yang kali ini bertanggung jawab atas tawanan ini."
"Aku tidak menyangkal. Tetapi aku pun sedang menjalankan tugas."
Palang pintu bilik itu pun kemudian diangkat, dan Ken Arok pun masuk ke dalamnya dengan nafas terengah-engah.
Kebo Ijo menjadi cemas melihat kedatangan Ken Arok yang tergesa-gesa itu, sehingga ia pun bertanya dengan serta-merta, "Apa kata mereka Ken Arok?"
Namun ia terkejut melihat Ken Arok membawa keris itu, "Buat apa kau bawa keris itu?"
"Aku meminjamnya Kebo Ijo. Aku masih ingin meyakinkan, apakah keris ini benar-benar kerisku yang ada padamu," Ken Arok berhenti sejenak, "dan ternyata bahwa keris ini benar kerisku itu."
Kebo Ijo menundukkan kepalanya. Katanya perlahan-lahan, "Dan kau percaya juga bahwa aku telah membunuh Akuwu dengan keris ini."
Ken Arok menggelengkan kepalanya, "Tidak Kebo Ijo. Aku tidak percaya bahwa kau telah melakukannya."
Kebo Ijo mengangkat wajahnya. Matanya memancarkan sepercik sinar. Terdengar ia berkata, "Itulah yang aku perlukan darimu Ken Arok. Aku berterima kasih, bahwa masih ada orang yang dapat melihat kebenaran. Tetapi apakah keputusan yang diambil oleh para pemimpin yang tujuh itu?"
Ken Arok menelan ludahnya. Beberapa saat ia berdiam diri sambil menundukkan kepalanya.
Kebo Ijo menarik nafas dalam-dalam. Beberapa langkah ia berjalan sampai ke sudut bilik itu, kemudian berputar dan menyusur dinding.
"Aku mengerti Ken Arok. Apakah mereka mengambil keputusan dengan hukuman mati?"
Perlahan-lahan Ken Arok menganggukkan kepalanya.
"Apakah suara mereka dapat memutuskan" Tanpa Akuwu mereka tidak dapat berbuat sendiri-sendiri.Hanya Akuwulah yang berwenang menentukan tanpa pertimbangan mereka bersama-sama."
"Akhirnya suara mereka menentukan. Bukti inilah yang berbicara," Ken Arok berhenti sejenak, "apakah kau sependapat Kebo Ijo, apabila aku melenyapkan bukti ini."
"Apakah maksudmu?"
"Aku telah berhasil membujuk mereka dan meminjam bukti ini. Kalau aku lenyapkan bukti ini, maka para pemimpin harus berpikir lagi."
"Tetapi akibatnya bagimu terlampau parah."
"Aku akan lari. Aku adalah seorang petualang sejak kecil. Apa artinya hidup di istana ini bagiku."
"Jangan Ken Arok," desis Kebo Ijo, "aku berterima kasih atas semuanya itu. Tetapi itu tidak perlu. Biarlah aku menerima akibat dari kebodohanku selama ini. Dan puncak dari kebodohan itu adalah hilangnya keris itu dari simpananku."
"Lalu apakah kau akan menerima keputusan itu?"
"Tidak ada hakku untuk menolak. Aku tinggal menjalaninya. Bagaimanakah bunyi keputusan itu?"
Ken Arok tidak segera menjawab.
"Bagaimana Ken Arok?"
"Aku hanya mendengar bagian terakhir dari pembicaraan itu.Kemudian aku mencoba meminjam barang bukti ini."
Kebo Ijo mengerutkan keningnya. Ia harus percaya kepada kata-kata Ken Arok. Terbukti pula ia telah membawa keris itu.
"Dan bagaimana bunyi keputusan itu" " Kebo Ijo mendesak.
"Sebenarnya aku tidak akan sampai hati mengatakannya kepadamu Kebo Ijo. Biarlah salah seorang dari merekalah yang akan menyampaikan kepadamu nanti atau besok."
"Tidak. Aku ingin mendengarkan sekarang.Katakanlah Ken Arok. Aku akan semakin berterima kasih kepadamu."
Ken Arok menarik nafas dalam-dalam.Kemudian dengan suara tertahan-tahan ia berkata, "Kau akan dihukum mati Kebo Ijo. Hukuman mati itu akan dilaksanakan di alun-alun.Hukuman tusuk sampai mati."
"Gila!" Kebo Ijo menggeram, "Aku tidak takut mati.Tetapi hukuman itu adalah hukuman yang paling jahat."
"Tetapi itu akan lebih baik dari hukuman gantung."
"Tetapi akibatnya sama saja.Aku tidak mencemaskan cara kematian itu.Tetapi kematian di hadapan banyak orang sebagai tontonan adalah kematian yang paling hina."
"Karena itu, apakah aku harus melarikan keris ini?"
Kebo Ijo menggeleng. Setelah merenung sejenak ia berkata, "Tidak Ken Arok. itu tidak perlu.Kalau kau benar-benar ingin menolongku, bunuh sajalah aku sekarang."
"Uh, gila! Itu adalah suatu kegilaan Kebo Ijo," wajah Ken Arok menjadi tegang, "kalau kau ingin melarikan diri, aku akan menolongmu. Tetapi tidak dengan cara itu mengakhiri persoalan."
"Ken Arok," berkata Kebo Ijo, "sudah aku katakan, aku tidak ingin melihat kau di dalam persoalan ini. Kau sudah cukup baik selama ini. Karena itu, aku minta kepadamu untuk yang terakhir kalinya. Bunuhlah aku dengan kerismu itu. Keris yang telah merenggut jiwa Akuwu Tunggul Ametung pula."
"Tidak mungkin Kebo Ijo, tidak mungkin."
Kebo Ijo menatap mata Ken Arok dengan tajamnya, sehingga seolah-olah langsung tembus ke dalam pusat otaknya. Sejenak ia seakan-akan membeku. Namun sejenak kemudian ia berkata, "Ken Arok. Tidak ada jalan yang lebih baik daripada itu. Apakah kau sampai hati melihat aku diikat pada sebuah tonggak di panggungan di alun-alun" Beribu-ribu orang melihat dengan wajah yang memancarkan kebencian. Kemudian seorang prajurit naik ke atas panggung itu dengan keris di tangan. Diiringi oleh sorak-sorai orang-orang yang menonton itulah, aku harus mengakhiri hidupku. Tidak Ken Arok. Aku tidak mau."
"Tetapi," Ken Arok tergagap, "aku tidak akan mungkin dapat melakukannya. Aku tidak akan sampai hati pula membunuhmu."
Kebo Ijo menundukkan kepalanya. Terdengar ia berdesis, "Aku minta pertolonganmu yang terakhir, sebab aku tidak mau memilih jalan yang kedua."
"Apakah jalan yang kedua itu?"
"Aku tidak akan menemui kesulitan apapun untuk memecah dinding bilik ini, atau palang pintu, tidak usah bersusah payah dengan aji Bajra Pati.Tetapi aku tidak akan lari. Aku dapat mengamuk di dalam istana ini. Dengan demikian aku pun akan mati dikeroyok orang. Mungkin malahan Kakang Witantra sendiri yang akan membunuhku. Tetapi jalan itu tidak begitu menyenangkan, seolah-olah aku ingin mati bersama beberapa orang. Dan kematian yang demikian kurang menyenangkan pula agaknya."
"Tetapi itu lebih jantan Kebo Ijo."
"Tetapi tidak bijaksana melawan kakak seperguruan."
Ken Arok diam sejenak. Dan Kebo Ijo itu berkata selanjutnya, "Aku minta dengan sangat Ken Arok. Bunuhlah aku. Kau jugalah yang telah menangkap aku dan membawa kemari.Sekarang kau jugalah yang sebaiknya menyelesaikannya."
Ken Arok tidak segera menjawab.
"Cepatlah Ken Arok," Kebo Ijo pun kemudian mendekati Ken Arok, "angkat kerismu. Kau pasti bukan seorang laki-laki yang takut melihat darah."
Ken Arok tidak menjawab. Tetapi justru ia berpaling dan melangkah menjauh.
"Tolonglah aku, Ken Arok."
Nafas Ken Arok menjadi terengah-engah. Ia benar-benar berada dalam keragu-raguan meskipun hal itu memang diharapkannya. Tetapi ketika ia sudah berdiri berhadapan dengan Kebo Ijo, maka hatinya menjadi kisruh.
"Cepat, sebelum ada perkembangan lebih lanjut."
Ken Arok perlahan-lahan mengangkat kepalanya. Dipandanginya wajah Kebo Ijo yang sama sekali tidak membayangkan kecemasan dan ketakutan.
"Aku sudah mapan Ken Arok," nada suara Kebo Ijo merendah, "tetapi sepeninggalku, aku titipkan pengawasan anakku kepadamu. Mudah-mudahan Mahisa Randi dapat menjadi seorang yang baik. Seorang yang rendah hati seperti kau."
Terasa sebuah desir yang tajam tergores di dinding jantung Ken Arok. Pesan itu telah menghempaskannya ke dalam suatu pengakuan yang pahit. Hampir saja Ken Arok kehilangan keseimbangannya dan membatalkan semua rencananya. Namun sejenak kemudian ia menghentakkan giginya sambil menggeram di dalam hatinya, "Aku tidak boleh, mundur lagi."
"Bagaimana Ken Arok?" bertanya Kebo Ijo.
Ken Arok mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Ia mencoba mencari kekuatan untuk melangkah lebih jauh lagi. Kalau Kebo Ijo sudah tersingkirkan, maka bahaya baginya sudah akan berkurang lagi.
"Bagaimana aku dapat melakukannya, Kebo Ijo?"
"Ini dadaku Ken Arok. Kau tinggal memasukkan keris aku telah membunuh seorang tawanan."
"Tidak. Aku tidak dapat. Seandainya aku dapat memaksa diriku memenuhi permintaanmu yang gila itu, namun akulah besok yang harus terikat di atas panggungan itu."
Karena Kebo Ijo mengangguk-anggukkan kepalanya. "Ya, kau benar," Namun tiba-tiba, "Tetapi aku ada jalan Ken Arok. Aku akan memecah pintu, dan melawan kedua penjaga itu. Kau harus datang tepat pada waktunya dan kaulah yang harus membunuhku sebelum aku membunuh kedua penjaga itu, supaya aku tidak bertambah beban lagi di saat kematianku."
Ken Arok menarik nafas dalam-dalam.
"Jangan terlampau banyak berpikir Ken Arok. Kau adalah seorang laki-laki perasa. Lakukanlah, dan kau tidak akan menyesal karena kau telah menolong aku. Bagiku, kematianku sekarang akan lebih baik daripada besok, meskipun agak lebih cepat."
Ken Arok masih belum menjawab.
"Cepatlah, Ken Arok. Sebentar lagi mereka pasti akan datang kemari untuk menyampaikan keputusan itu."
Ken Arok masih tetap diam.
"Cepat, kau sekarang pergi keluar bilik ini. Sebelum kau jauh aku akan memecah pintu. Kemudian kau berlari kembali menolong kedua penjaga yang dungu itu."
Sebelum Ken Arok menjawab, Kebo Ijo telah mendorongnya ke pintu. "Cepat, keluar."
Seakan-akan di luar sadarnya Ken Arok melangkah maju, mendorong pintu dan berjalan keluar bilik.
"Apakah persoalanmu sudah selesai?" bertanya salah seorang penjaga yang duduk beberapa langkah di depan pintu.
"Sudah," jawab Ken Arok, "aku akan menghadap Witantra."
Tanpa berpaling lagi Ken Arok kemudian berjalan perlahan-lahan meninggalkan bilik itu, sedang kedua penjaganya itu pun segera memasang palang pintu itu.
Tetapi belum lagi Ken Arok melampaui longkangan, tiba-tiba ia telah dikejutkan oleh suatu hentakan yang keras. Ketika ia berpaling, ia melihat pintu bilik yang ditinggalkannya itu pecah.
Dengan sigapnya kedua penjaga itu pun berloncatan ke muka pintu sambil mengacukan senjata masing-masing.
Kebo Ijo yang telah memecah pintu itu tertegun sejenak, ia sadar, bahwa prajurit yang diserahi tugas untuk menjaganya itu pasti bukan sembarang prajurit. Karena itu, ia harus berhati-hati, agar ia tidak mati terbunuh oleh keduanya. Kebo Ijo ingin mati karena keris yang telah dibasahi oleh darah Akuwu Tunggul Ametung itu. Dan ia akan lebih ikhlas apabila Ken Aroklah yang menghunjamkan keris itu di dadanya.
"Apa maksudmu memecahkan pintu Kebo Ijo?"
Kebo Ijo tidak menjawab. Ia melihat kemungkinan untuk melawan keduanya sampai Ken Arok datang.
"Jangan mencoba untuk berbuat sesuatu yang dapat membuat kau lebih parah lagi."
Kebo Ijo tidak menjawab. Tiba-tiba saja ia meloncat ke samping. Begitu kakinya menjejak tanah, maka kakinya yang lain dengan sikapnya menyambar pergelangan tangan salah seorang dari kedua penjaga itu sehingga pedangnya terpelanting.
Belum lagi penjaga itu menyadari keadaan sepenuhnya, Kebo Ijo telah meloncat dan memukulnya tepat pada dagunya, sehingga prajurit itu terpelanting jatuh.
Dengan cepatnya Kebo Ijo meraih pedang yang terjatuh, dan sesaat kemudian ia telah siap untuk melakukan perlawanan.
Prajurit yang terjatuh itu pun dengan lincahnya meloncat berdiri. Betapa perasaan sakit seakan-akan membakar dagunya, namun rasa bertanggung jawab atas orang yang diserahkan kepadanya telah membuatnya membuang perasaan sakit itu jauh-jauh.
Tetapi dada prajurit itu berdesir ketika ia melihat pedangnya telah berada di tangan Kebo Ijo.
"Apakah kau akan mencoba melawan Kebo Ijo?" bertanya salah seorang dari kedua prajurit itu.
"Ya. Aku akan melawan. Aku akan melarikan diri dari kurungan ini."
"Kau gila. Kau sangka kau akan dapat keluar dari istana ini?"
"Tentu," jawab Kebo Ijo sambil mencoba mengedarkan pandangan matanya. Ia sekilas melihat Ken Arok berdiri di sudut di seberang longkangan. Tetapi kemudian meloncat menyembunyikan dirinya.
"Menyerahlah," geram salah seorang prajurit itu.
"Kalianlah yang akan aku binasakan sebelum aku digantung."
"Persetan!" prajurit yang masih bersenjata itu pun segera menyerang Kebo Ijo. Namun agaknya Kebo Ijo cukup tangkas untuk menghindarinya, sehingga serangan itu sama sekali tidak mengenai sasarannya. Bahkan kemudian dengan sigapnya Kebo Ijo menjulurkan pedangnya sambil meloncat ke samping. Sebuah sentuhan telah mengenai pundak prajurit itu, sehingga ia terpaksa meloncat mundur sambil berdesis.
"Gila!" ia mengumpat. Sementara kawannya yang tidak bersenjata telah mengambil sepotong palang pintu yang patah karena hentakan Kebo Ijo dari dalam.
Dengan senjata itu ia menyerang, sementara kawannya yang lain berusaha memperbaiki kedudukannya.
Namun ternyata pedang Kebo Ijo lebih lincah. Apalagi ternyata pula bahwa Kebo Ijo memang mempunyai kelebihan dari keduanya, sehingga sejenak kemudian Kebo Ijo telah berhasil melukai mereka.
"Beri tahukan kepada gardu penjaga," desis salah seorang dari kedua prajurit yang masih memegang senjatanya, "aku akan menahannya di sini. Cepat!"
Dada Kebo Ijo berdesir. Kalau prajurit itu berhasil mencapai gardu penjaga, kemudian beberapa orang datang untuk menangkapnya, maka ia harus berkelahi dengan sungguh-sungguh. Tetapi ternyata prajurit yang masih bersenjata itu berusaha sekuat tenaganya untuk memberi kesempatan kawannya itu meninggalkan arena.
Sepeninggal kawannya maka prajurit itu bertempur mati-matian sambil mengerahkan segenap kemampuannya. Ia harus menahan Kebo Ijo untuk beberapa saat, supaya Kebo Ijo tidak mendapat kesempatan untuk berlari.
Kebo Ijo menggeram, dan ia belum melihat Ken Arok.
"Apakah Ken Arok ingkar karena ia tidak sampai hati untuk melakukannya?" pertanyaan itu mendengung di dadanya.
Namun dada Kebo Ijo berdesir ketika ia melihat prajurit yang sedang berlari ke gardu penjagaan tertegun karena di sudut longkangan itu hampir saja ia membentur Ken Arok.
"Ada apa?" bertanya Ken Arok, "aku mendengar kalian ribut di penjagaan kalian."
"Kebo Ijo berusaha melarikan diri."
"Kenapa kau malah lari?"
"Aku akan memberitahukan ke gardu penjagaan."
Ken Arok tidak bertanya lagi. Berlari-lari ia mendekati prajurit yang sedang berkelahi melawan Kebo Ijo mati-matian.
Namun Kebo Ijo memang tidak berusaha membunuhnya. Ia hanya melukainya di beberapa tempat. Tetapi lambat laun, prajurit itu betapapun ia mencoba mengerahkan tenaganya, namun tenaganya itu sangat terbatas. Sehingga akhirnya pada suatu saat ia sudah tidak mampu lagi melakukan perlawanan. Terhuyung-huyung ia terdorong surut, dan kemudian dengan lemahnya jatuh berguling di lantai.
Kebo Ijo tinggal meloncat maju sambil menjulurkan pedangnya dan menghunjamkan pedang itu di dada prajurit yang sudah tidak berdaya melawannya.
Prajurit itu pun telah pasrah diri meskipun pedangnya masih juga digenggamnya erat-erat. Namun menurut perhitungannya lawannya pasti sudah sampai di gardu penjagaan dan menyampaikan persoalannya kepada pimpinan penjaga.
Pada saat yang demikian itulah Ken Arok datang berlari-lari. Dengan keris terhunus ia berdiri tegak menatap Kebo Ijo dengan wajah yang tegang.
Setapak Kebo Ijo maju mendekatinya sambil berdesis perlahan-lahan, "Apakah yang kau tunggu lagi Ken Arok?"
Ken Arok masih berdiri tegak mematung di tempatnya. Sekilas dipandanginya prajurit yang terbaring dengan lemahnya, meskipun ia masih menggenggam pedang. Dengan susah payah ia masih berusaha untuk bangkit. Tetapi tubuhnya telah terlampau lemah, sehingga setiap kali ia kembali terjatuh di lantai.
"Cepat Ken Arok," desis Kebo Ijo sambil mengacu-ngacukan pedangnya.
Ken Arok telah dicengkam oleh keragu-raguan. Sebenarnya keragu-raguan. Ketika ia menatap mata Kebo Ijo yang pasrah, seolah-olah dilihatnya dirinya sendiri di dalam mata itu. Dirinya sendiri yang berdiri di atas mayat korban-korbannya dengan tangan berlumuran darah. Ia telah mengorbankan Empu Gandring yang baik, Akuwu Tunggul Ametung yang terlampau mementingkan diri sendiri, kini ia berhadapan dengan Kebo Ijo yang sombong dan tinggi hati. Namun Kebo Ijo yang berdiri di hadapannya kini seolah-olah adalah Kebo Ijo yang lain. Kebo Ijo yang tenang dan mengendap.
"Oh, kenapa ia tidak berbuat sesuatu yang dapat membakar hatiku" Kenapa ia tidak mengumpat-umpati aku atau bercerita tentang keris itu, atau berbuat apa saja sehingga aku akan ringan tangan untuk membunuhnya" Kenapa ia terlampau pasrah dan menengadahkan dadanya?" Ken Arok telah dicengkam oleh perasaannya.
"Cepat, Ken Arok!" desis Kebo Ijo yang kini terpaksa mengayunkan pedangnya, "Hati-hati. Aku harus berpura-pura, supaya kau tidak dicurigai."
Ken Arok menghindar dengan gerak naluriah. Namun kemudian ia berdiri tegak seperti patung pula tanpa berbuat sesuatu.
"He, kenapa kau Ken Arok?" geram Kebo Ijo yang hampir kehabisan kesabaran.
"Aku tidak bisa, Kebo Ijo."
"Bodoh, aku sudah terlanjur. Kau harus melakukannya."
Ken Arok tidak menjawab. Ketika Kebo Ijo menyerangnya, ia menghindar pula.
"Ayo lekas!" Ken Arok masih belum dapat mengambil suatu sikap.Sejenak ia merenungi keadaannya yang terasa semakin lama menjadi semakin kotor. Kebo Ijo adalah seorang ayah dari seorang bayi yang masih sangat memerlukannya. Dan ayah itu harus dikorbankannya.
Dalam keragu-raguan itu Ken Arok terkejut mendengar hiruk-pikuk. Sejenak kemudian ia melihat beberapa orang prajurit berlari-lari ke arahnya.
"Mereka datang," desis Kebo Ijo, "cepat Ken Arok, cepat!"
Tanpa sesadarnya serangan Kebo Ijo pun menjadi semakin cepat, dan gerak Ken Arok pun menjadi semakin cepat pula, seakan-akan mereka memang baru berkelahi.
"Mereka menjadi semakin dekat Ken Arok. Jangan memberi kesempatan aku melakukan pembunuhan supaya aku menjadi lapang di perjalananku."
Ken Arok menggeretakkan giginya. Dan tiba-tiba ia dihadapkan pada suatu keharusan untuk berbuat. Prajurit-prajurit itu pun menjadi semakin dekat dengan senjata telanjang di tangan mereka.
"Ken Arok, lakukan. Bukankah kau tidak akan sampai hati membiarkan aku dirampok orang seperti seekor binatang buas di dalam rampogan di alun-alun."
Wajah Ken Arok menjadi tegang. Ia masih harus berloncatan menghindari pedang Kebo Ijo yang menyambar-nyambar. Dan tiba-tiba saja di luar sadarnya Kebo Ijo telah meloncat sambil mengayunkan pedangnya. Ken Arok terkejut. Seolah-olah Kebo Ijo bersungguh-sungguh hendak mengenainya, sehingga dengan tergesa-gesa ia merendahkan dirinya sambil bergeser surut.
"Sekarang, sekarang. Mereka telah menjadi semakin dekat."
Ken Arok menghentakkan kakinya. Tiba-tiba terngiang di kepalanya suara nafsunya yang selama ini telah membakar jiwanya.
"Jangan kau lepaskan kesempatan ini Ken Arok. Kalau Kebo Ijo tertangkap hidup, mungkin ia tidak akan bertahan lagi. Mungkin ia akan membuka rahasiamu dan mungkin Mahisa Agni akan datang sambil membawa cantrik yang melihat kehadiranmu di padepokan Empu Gandring untuk membuktikan, siapakah yang sebenarnya datang ke padepokan itu. Kau atau Kebo Ijo."
Dalam keadaan yang demikian itulah, Ken Arok meloncat sambil memukul pergelangan tangan Kebo Ijo dengan tangan kirinya. Sebenarnya pukulan itu tidak terlampau keras, karena bagaimanapun juga Ken Arok masih belum dapat mempergunakan segenap kekuatannya. Apalagi Kebo Ijo pun bukanlah seorang prajurit biasa. Tetapi pukulan itu telah cukup untuk melontarkan pedang Kebo Ijo dari tangannya.
"Nah, sekarang. Aku akan sangat berterima kasih," Justru tanpa senjata apapun Kebo Ijo membenturkan dirinya ke arah Ken Arok sambil menengadahkan dadanya. "Sekarang Ken Arok."
Seperti dipukau oleh kekuatan di luar sadarnya, tiba-tiba Ken Arok menggerakkan tangannya. Sebuah tekanan telah menghunjamkan keris itu di dada Kebo Ijo.
Ken Arok baru sadar, bahwa tekanan itu adalah tekanan tangan Kebo Ijo sendiri yang menarik tangannya, sehingga keris itu langsung menusuk ke dada menembus jantung.
"Terima kasih," desis Kebo Ijo, "titip anakku. Awasilah. Semoga ia menjadi orang yang baik."
Tangan Ken Arok menjadi gemetar. Dan tiba-tiba tanpa disadarinya keris itu pun terlepas dari tangannya.
Ketika ia melangkah selangkah surut, maka Kebo Ijo itu pun jatuh terjerembab di lantai. Dadanya tertembus oleh keris yang telah menghunjam ke dada Akuwu Tunggul Ametung dan Empu Gandring. Darahnya pun kemudian mengalir dan memerahi lantai di bawah tubuhnya yang diam.
Pada saat itulah para prajurit Tumapel yang berlari-lari itu sampai di tempat keributan itu. Mereka hanya dapat melihat tubuh Kebo Ijo terbujur berlumuran darah.
"Kau tidak apa-apa Ken Arok?" bertanya salah seorang daripada prajurit-prajurit itu.
Ken Arok tidak segera dapat menjawab. Ia berdiri tegak seperti tonggak sambil memandang mayat Kebo Ijo yang terbaring di lantai, bermandikan darah. Betapapun juga, terasa jantung Ken Arok seolah-olah tergores oleh sembilu, ketika ia tahu pasti apa yang sebenarnya telah terjadi. Ia tahu pasti bahwa Kebo Ijo sebenarnya tidak bersalah. Kebo Ijo sama sekali tidak pernah membunuh Akuwu Tunggul Ametung. Dan ia tahu pula, bahwa pemimpin-pemimpin Tumapel yang tujuh orang itu sudah mulai meragukan kebenaran tuduhan mereka kepada Kebo Ijo.
Namun Kebo Ijo harus mati. Dan kini ia telah mati.Dan tiba-tiba di luar sadarnya Ken Arok berdesis, "Kasihan anak ini."
Beberapa orang yang mendengar desis itu termangu-mangu sejenak. Kemudian salah seorang dari mereka bertanya, "Apakah kau tidak apa-apa Ken Arok?"
Ken Arok menggelengkan kepalanya, "Tidak."
"Kenapa ia harus dikasihani kalau ia memang ingin melarikan dirinya?"
Ken Arok tidak segera menjawab. Dipandanginya mayat itu dengan tajamnya. Baru sejenak kemudian ia berkata, "Ia masih terlampau muda. Sebenarnya hari depannya masih cukup panjang."
"Tetapi ia tersesat jalan."
"Itulah yang menjadikan aku kasihan kepadanya."
Dalam pada itu, para prajurit segera menyibak dan berdiri tegak ketika dengan tergesa-gesa para pemimpin pemerintahan Tumapel termasuk para pemimpin prajurit, pengawal istana, pelayan dalam, para pemimpin pemerintahan, para Senapati dan para pandega mendekati tempat itu.
"Apa yang telah terjadi Ken Arok?" bertanya Witantra dengan suara yang gemetar.
"Maafkan aku Witantra," desis Ken Arok. Kini ia tidak boleh diombang-ambingkan oleh perasaannya. Ia harus segera menyadari, bahwa ia sedang melakukan rencananya. Ia harus melakukannya dengan sempurna. Kebo Ijo yang malang, anak dan istrinya sama sekali tidak boleh mempengaruhinya apabila ia tidak ingin gagal, dan justru ia akan digantung di alun-alun.
Witantra mengerutkan keningnya yang tegang. Dilihatnya mayat Kebo Ijo yang terbujur diam.
"Aku telah membunuhnya," berkata Ken Arok, "terpaksa.Terpaksa sekali, meskipun aku adalah sahabatnya yang paling dekat."
"Apa yang akan dilakukannya?"
"Sebaiknya biarlah prajurit-prajurit yang bertugas menceritakan."
Witantra diam sejenak. Ditatapnya pengawal yang masih sangat lemah berdiri terhuyung-huyung berpegangan dinding.Sedang yang seorang lagi berdiri tegak dengan nafas terengah-engah.
"Katakan apa yang sebenarnya telah terjadi!" geram Witantra.
Prajurit itu menarik nafas dalam-dalam.Kemudian terputus-putus ia menjawab, "Kebo Ijo mencoba melarikan diri. Ia telah memecah pintu dan menyerang kami berdua. Kami berdua tidak dapat melawannya. Salah seorang dari kami berusaha memanggil para penjaga di gardu, sedang aku menahannya agar ia tidak sempat melarikan diri. Tetapi akhirnya aku terlempar jatuh. Aku sudah tidak dapat bertahan sama sekali.Sedang para penjaga masih belum datang. Pada saat itulah Ken Arok datang. Sebelum ia berbuat sesuatu, Kebo Ijo melepaskan aku yang sudah tidak mampu berbuat apapun lagi, dan menyerang Ken Arok, sehingga keduanya berkelahi. Ketika para prajurit datang. Ken Arok tepat mengakhiri perkelahian."
Wajah Witantra menjadi merah padam.Apalagi ketika ia memandangi wajah para pemimpin Tumapel satu demi satu. Sejenak kemudian terdengar salah seorang berdesis, "Hampir saja aku percaya kepada kau, Angger Witantra. Hampir saja aku melepaskan kecurigaanku, bahwa Kebo Ijo bersalah. Tetapi ternyata sekarang, bahwa Kebo Ijo benar-benar telah bersalah. Terbukti ia berusaha melarikan dirinya."
"Ya. Aku yang sudah terlanjur menarik tuduhanku, kini telah menyadari, hampir-hampir saja aku lalai. Ternyata Kebo Ijo benar-benar bersalah. Kalau ia yakin bahwa dirinya bersih, maka ia tidak akan mencoba melarikan diri. Justru setelah ia melihat keris yang dibawa oleh Ken Arok," berkata yang lain.
"Akhirnya yang bersalah telah terbukti," sahut yang lain lagi, "apapun yang dikatakan sebagai pembelaan."
"Ya," berkata yang lain pula, "kini telah ternyata siapakah yang bersalah. Ia telah terhukum sebelum kami menjatuhkan keputusan."
Lalu kepada Ken Arok ia berkata, "Terima kasih Ken Arok. Kau memang orang yang luar biasa. Kaulah yang menangkap Kebo Ijo dengan mudah karena kau justru sahabatnya, dan sekarang kau pulalah yang telah menyudahinya. Kau memang seorang yang luar biasa. Rakyat Tumapel akan sangat berterima kasih kepadamu."
Ken Arok tidak menjawab. Kepalanya pun kemudian tertunduk dalam-dalam.
Namun dalam pada itu, terdengar suara Witantra mengguntur, "Aku tetap pada pendirianku. Kebo Ijo tidak bersalah. Bukan maksudku menyalahkan kau, Ken Arok. Kau sudah bertindak wajar sebagai seorang prajurit. Kebo Ijo pun telah wajar, menerima hukuman karena ia berusaha untuk melarikan diri. Tetapi bahwa Kebo Ijolah yang membunuh Akuwu Tunggul Ametung, aku tidak percaya!"
Semua mata memandang wajah Witantra yang seolah-olah menyala. Pemimpin prajurit Tumapel maju selangkah sambil berdesis, "Apakah kau masih akan menyangsikan lagi" Lihat, semua orang di sini mendapat kesimpulan yang serupa. Tetapi kau berpendirian lain karena kau adalah kakak seperguruannya."
"Justru aku adalah kakak seperguruannya, aku mengenal watak dan tabiatnya. Ia adalah seorang anak yang bengal, tetapi ia bukan seorang yang biadab. Bukan. Aku tidak percaya bahwa Kebo Ijo telah melakukan pembunuhan."
"Itu adalah pendirian yang aneh. Seharusnya kau melepaskan hubungan yang ada itu, dan bersikap sebagai seorang prajurit, seperti yang selalu kau perlihatkan selama ini."
Dada Witantra serasa akan retak mendengar kata-kata itu. Kemarahan yang membakar jantungnya serasa tidak dapat dikendalikannya lagi, sehingga hampir saja ia kehilangan keseimbangan. Untunglah bahwa ia masih tetap berhasil mengekang dirinya sendiri.
Meskipun demikian ia masih juga menggeram, "Siapa pun Kebo Ijo, aku tidak akan dapat melepaskan keyakinanku, bahwa bukan anak itulah yang telah membunuh Akuwu Tunggul Ametung. Aku tidak dapat melepaskan peristiwa ini dengan peristiwa yang mendahuluinya, di mana Akuwu seakan-akan tenggelam dalam suatu suasana yang tidak terkendali lagi, sehingga aku merasa, seakan-akan diriku dikesampingkan."
Witantra berhenti sejenak, kemudian, "Nah, siapa yang berani melihat ke diri sendiri selama ini. Apakah yang telah kalian lakukan" Pemimpin pemerintahan Tumapel seakan-akan sudah tidak berjalan wajar lagi. Dan sejak itulah aku merasa tersisih. Seakan-akan memang ada kesengajaan memisahkan Akuwu dan aku sebagai pimpinan pengawalnya.Dan apa yang kalian lakukan selama ini adalah melayani keinginan Akuwu yang sesat. Nah, ternyata kita semuanya menjadi lengah. Inilah akhir dari semuanya. Dan kalian ingin menyelesaikan persoalan dengan mudah. Tanpa berpikir. Asal kalian dapat memberi kepuasan kepada rakyat Tumapel."
Mereka yang berada di tempat itu terdiam, seakan-akan sedang mengunyah kata-kata Witantra di dalam hatinya. Namun dengan demikian mereka merasa dihadapkan ke muka cermin yang memperlihatkan cacat cela mereka. Dengan demikian, maka sengaja atau tidak sengaja, para pemimpin Tumapel itu berusaha mengelak.
"Angger Witantra," berkata salah seorang dari mereka, "aku sudah tua. Aku sudah berada di Tumapel berpuluh tahun. Aku sudah menjadi pembantu Tuanku Tunggul Ametung sejak Akuwu Tunggul Ametung memegang kekuasaan di Tumapel. Aku sudah kenyang makan garam pemerintahan. Sedang kau adalah orang yang masih terlampau muda. Itulah sebabnya kau masih kabur melihat kebenaran."
"Aku tidak lebih muda dari Akuwu Tunggul Ametung. Coba sebutkan. Siapakah yang lebih muda di antara kami. Pada saat Tuanku Tunggul Ametung memegang kekuasaan, aku sudah seorang perwira di istana. Belum lagi tiga tahun, aku kemudian menjabat jabatanku yang sekarang. Tetapi dibandingkan dengan kalian, akulah orang yang paling dekat dengan Akuwu. Hampir setiap saat, ke manapun Akuwu pergi aku selalu pergi bersamanya. Karena itu, aku lebih mengenalnya dari kalian. Dan karena pengenalanku itulah, maka aku tidak melihat ada suatu tali hubungan antara Kebo Ijo dengan Akuwu dalam arti yang kurang baik. Maksudku, bahwa kelakuan Akuwu akhir-akhir ini tidak ada sangkut pautnya sama sekali dengan Kebo Ijo yang tidak pernah berbuat sesuatu kecuali menyombongkan diri dan mencari pujian dari siapa pun."
Namun ketika Witantra berhenti sejenak, hampir setiap kepala menggeleng. Bahkan seorang pandega berkata, "Orang yang paling mungkin melakukan adalah Kebo Ijo."
"Diam!" Witantra membentak, sehingga pandega itu pun segera menundukkan kepalanya.
"Adalah tidak Adil," geram Witantra, "bahwa karena Kebo Ijo adalah adik seperguruanku, lalu aku tidak boleh menyatakan keyakinanku. Tidak, yang penting bagiku, bukan siapa Kebo Ijo. Tetapi apakah ia benar-benar bersalah atau tidak."
Pemimpin tertinggi pelayan dalam, yang termasuk salah seorang pimpinan pemerintahan menggelengkan kepalanya. Katanya, "Kami tidak dapat ingkar lagi. Bukti yang pertama adalah keris itu. Kemudian usahanya melarikan diri. Jelas. Sudah cukup jelas."
"Aku masih minta persoalan ini dibicarakan lagi."
"Buat apa," bertanya pemimpin prajurit Tumapel, "Kebo Ijo sudah mati. Ia harus segera dikuburkan sebagai seorang pengkhianat."
"Itu yang aku tidak mau. Ia harus diselenggarakan sewajarnya. Kita mencari kebenaran atas peristiwa yang terjadi itu. Kalau menurut keyakinan kita ia bersalah, kita nyatakan bahwa Kebo Ijo bersalah. Tetapi kalau tidak, kita umumkan, bahwa Kebo Ijo tidak bersalah meskipun ia telah mati. Kesalahan yang tidak dapat diingkari lagi, justru usahanya untuk melarikan diri. Tetapi melarikan diri bukan bukti, bahwa ia telah melakukan pembunuhan atas Akuwu Tunggul Ametung."
"Tidak," desis salah seorang pemimpin Tumapel.
"Tidak," yang lain bergumam.
"Tidak," pemimpin prajurit Tumapel pun bersikap serupa.
Dan yang lain pun menggelengkan kepalanya, "Tidak."
Darah Witantra menjadi mendidih karenanya. Tetapi ia adalah seorang prajurit yang baik, sehingga karena itu ia tidak dapat hanya sekedar digerakkan oleh perasaannya, dan melakukan tindakan yang salah menurut tata keprajuritan.
"Seorang prajurit harus jujur," desisnya, "apapun yang akan terjadi atas diriku, tetapi aku berkeyakinan bahwa Kebo Ijo tidak bersalah."
Witantra diam sejenak. Disambarnya wajah Ken Arok sekilas, seolah-olah minta pendapatnya, sebagai seorang sahabat terdekat Kebo Ijo. Tetapi Ken Arok hanya menundukkan kepalanya saja.
"Kenapa ia tidak mau berbicara?" pertanyaan itu melonjak di hatinya, "apakah ia termasuk salah seorang pengecut yang mengorbankan keyakinannya untuk keselamatan dan kedudukannya?"
Tetapi Witantra tidak dapat memaksanya untuk berbicara.
Dan kesabaran Witantra itu pun sampai ke batasnya ketika pemimpin prajurit Tumapel itu berkata, "Kita akan mengambil kesimpulan. Kebo Ijo adalah seorang pengkhianat. Dan kita akan segera memberikan anugerah kepada jasa Ken Arok selama ini."
"Tidak!" Witantra berteriak, "Masalahnya belum selesai.Aku, salah seorang dari pemimpin yang tujuh, menolak keputusan itu."
"Kami yang enam sudah sependirian. Tidak ada jalan lagi bagimu untuk menolak, kecuali ?"
"Aku akan mengambil jalan itu. Keputusan harus ditangguhkan, dan aku akan melakukan pembelaan dengan ujung senjata."
Kata-kata Witantra itu seakan-akan petir yang meledak di tengah-tengah pembicaraan itu. Semua orang yang mendengarnya terkejut karenanya. Mereka tidak menyangka, bahwa pendirian Witantra begitu kuatnya dalam hal ini, sehingga ia telah menentang keputusan keenam pemimpin Tumapel itu dengan sebuah perang tanding.
Dalam keheningan suasana terdengar suara Witantra, "Aku akan melakukan perang tanding untuk Kebo Ijo. Apabila kalian tidak mau mengubah keputusan atau setidak-tidaknya membicarakannya lagi, aku tidak melihat jalan lain.Dan aku persilakan kalian mempertahankan keputusan itu, siapa pun yang akan turun ke arena."
Sejenak para pemimpin Tumapel yang lain itu diam mematung. Tantangan itu telah membuat dada mereka berdebaran. Tidak banyak orang yang dapat menyamai tingkat Witantra di seluruh Tumapel. Sehingga untuk melawannya dalam perang tanding, agaknya jarang yang akan bersedia melakukannya.
Namun kalau keenam pemimpin yang lain itu ingin mempertahankan keputusannya. maka perang tanding itu harus dilakukan.
Sejenak mereka saling berpandangan. Pemimpin tertinggi prajurit Tumapel, pemimpin tertinggi pelayan dalam dan senapati yang lain, adalah orang-orang yang pertama-tama harus menyatakan dirinya untuk mewakili keputusan keenam pemimpin itu. Tetapi semua orang menyadari, bahwa tidak ada di antara mereka yang akan mampu bertahan melawan Witantra. Namun keenam pemimpin itu sebagai kesatria, sudah tentu tidak akan menjilat ludah mereka kembali. Mereka tidak akan mencabut keputusan yang sudah mereka anggap jatuh.
Ken Arok yang mendengar keputusan Witantra untuk naik ke arena perang tanding itu pun sangat mendebarkan jantungnya. Sebagai seorang yang mempunyai banyak kelebihan dari orang-orang lain, Ken Arok sama sekali tidak merasa segan seandainya ia harus naik ke arena itu pula, untuk mewakili para pemimpin Tumapel dalam mempertahankan keputusan mereka, bahwa Kebo Ijo telah bersalah. Tetapi dengan melibatkan diri langsung di dalam persoalan itu, Ken Arok agak menjadi cemas. Sebagai sahabat Kebo Ijo adalah tidak mungkin sama sekali baginya, justru bertempur untuk memperkuat keputusan kesalahan Kebo Ijo. Tetapi apabila dibiarkannya para pemimpin itu mencari wakilnya, maka akan mungkin sekali orang itu dapat dikalahkan oleh Witantra. Dengan demikian maka keputusan atas Kebo Ijo itu batal meskipun Kebo Ijo telah mati. Hal itu akan berarti bahwa Tumapel masih harus mencari pembunuh Tunggul Ametung itu sampai ketemu.
"Ayo," suara Witantra lantang, "siapakah yang akan mewakili kalian" Nah, sekarang kalian harus memilih. Membatalkan atau menunda keputusan kalian atas Kebo Ijo, atau meletakkan persoalannya di atas arena."
Para pemimpin itu tidak segera dapat menjawab.
"Aku memberi kalian waktu tiga hari. Kalau kalian telah mendapat cara yang paling baik, kalian harus memberitahukan kepadaku. Manakah yang akan kalian pilih. Sekarang, mayat Kebo Ijo akan aku bawa. Akan aku serahkan kepada guru dan keluarganya. Sampai saat ini tidak seorang pun yang dapat mengatakan bahwa Kebo Ijo telah bersalah. Keputusan kalian belum dapat diterapkan, karena aku menentang dengan cara itu."
Tidak seorang pun yang menjawab, sehingga suasana menjadi hening sepi.
Namun dalam kediaman itu, Ken Arok, otak dari segala peristiwa itu, memeras pikiran untuk menentukan lakon selanjutnya.Ia tidak boleh gagal. Dan cerita yang sedang disusunnya itu tidak boleh mandek.
Dan tiba-tiba saja Ken Arok itu berkata, "Witantra. Masih ada satu orang lagi yang akan dapat dibawa berbicara tentang hal ini."
Witantra yang sedang tegang itu mengerutkan keningnya. Dengan suara gemetar ia bertanya, "Siapa?"
"Aku tidak yakin, apakah orang itu terlibat langsung atau tidak. Tetapi aku menyangka, bahwa ada jalur yang menghubungkan peristiwa ini dengan orang itu."
"Ya, siapa," Witantra yang sedang dicengkam oleh kegelapan hati itu membentak, "sebut namanya."
Dada Ken Arok berdesir. Ia tidak senang mendengar bentakan-bentakan itu. Tetapi ia harus menahan diri supaya lakon yang dikarangkannya ini tidak gagal.
"Mahisa Agni."
02 Pelangi Di Langit Singasari Karya S H. Mintarja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dada Witantra berdesir mendengar nama itu, Mahisa Agni adalah kakak Permaisuri Ken Dedes. Ketika ia berada di Tumapel untuk mencari pembunuh pamannya, ia telah diserang oleh seseorang yang berpakaian seorang pengawal.
Meskipun demikian ia bertanya kepada Ken Arok, "Kenapa kau sebut-sebut juga Mahisa Agni."
"Aku belum tahu pasti, seperti yang sudah aku katakan, apakah ia ada sangkut pautnya dengan pembunuhan ini. Tetapi aku ingin minta izin, meminjam keris itu. Aku tidak dapat mencampuri keputusan para pemimpin yang tujuh dengan cara apapun yang akan ditempuh. Namun aku akan mencoba mencari jalan lain yang lebih baik dan mudah.Tetapi sekali lagi, aku belum pasti," Ken Arok berhenti sejenak. Lalu, "Aku ingin menunjukkan keris itu kepada Mahisa Agni. Apakah keris itu dapat dikenalinya."
"Apakah hubungannya, dengan pembunuhan ini menurut dugaanmu itu. Dugaanmu yang belum kau yakini kebenarannya."
Ken Arok merenung sejenak. Kemudian jawabnya, "Mahisa Agni pernah berkelahi melawan seseorang yang menyerangnya. Apakah keris yang dikatakannya bercahaya kebiru-biruan itu juga keris ini."
"Ia bertempur di malam hari."
"Aku akan memperlihatkan keris itu di malam hari."
Witantra mengerutkan keningnya. Kalau Mahisa Agni mengenali keris itu sebagai keris yang dipergunakan untuk menyerangnya, maka justru akan memperberat tuduhan terhadap Kebo Ijo. Tetapi kalau bukan, maka persoalannya pasti akan berkait dengan persoalan-persoalan lain. Sedangkan Witantra yakin, Kebo Ijo tidak pernah bersangkut paut dengan kegiatan orang lain, selain tugasnya sendiri.
Apalagi bagi Witantra, yang penting bukan sekedar menyelamatkan nama Kebo Ijo yang telah terbunuh itu. Yang penting baginya adalah kebenaran, sejauh-jauh dapat dicapai. Karena itu, maka jawab Witantra selanjutnya, "Baiklah Ken Arok. Pergilah kepada Mahisa Agni. Aku tidak tahu apakah hal itu akan menguntungkan atau justru sebaliknya. Tetapi bagiku yang penting, adalah mengetahui dengan pasti Kalau Kebo Ijo bersalah, biarlah aku yakin kalau ia bersalah. Selama aku tidak dapat meyakininya, maka aku tetap menganggap bahwa ia tidak bersalah apapun."
Ken Arok mengerutkan keningnya. Katanya kemudian, "Jadi aku diizinkan pergi ke Karautan?"
"Ya." "Dengan membawa keris ini?"
"Aku tidak berkeberatan. Terserah kepada yang lain."
Keenam pemimpin Tumapel yang lain pun kemudian merenung sejenak. Namun bagi mereka, Ken Arok telah menunjukkan kelebihannya dan bertindak cepat. Karena itu, maka kepercayaan mereka kepada Ken Arok pun menjadi bertambah-tambah jua.
"Aku juga tidak berkeberatan," berkata salah seorang dari mereka.
"Aku pun tidak. Kami berpengharapan agar masalah ini menjadi cepat selesai," berkata yang lain lagi.
Dan ternyata bahwa keenam orang itu pun tidak berkeberatan pula. Dengan demikian, maka Ken Arok telah diizinkan untuk mengambil keris itu dan membawanya kepada Mahisa Agni.
Sepeninggal Ken Arok, tidak seorang pun yang dapat menahan Witantra mengambil mayat Kebo Ijo. Dengan hati yang pahit, mayat itu pun kemudian dibawanya kepada gurunya.
Panji Boiong Santi pun terkejut bukan buatan. Ia tahu benar bahwa Kebo Ijo adalah anak yang bengal. Tetapi seperti Witantra ia berpendirian, bahwa anak yang bengal itu, betapapun juga tidak akan melakukan pembunuhan terhadap Akuwu.
"Tetapi bukti-bukti itu menunjukkan kesalahan Kebo Ijo," desis gurunya.
"Ya, Guru. Memang tidak dapat disangkal. Tetapi keyakinanku berkata lain."
"Kekuasaan tertinggi memang berada di tangan kalian bertujuh, Witantra. Enam orang telah menyatakan pendiriannya, dan kau akan membatalkan keputusan itu dengan perang tanding," gurunya berhenti sejenak, kemudian, "sebenarnya terlampau berat bagimu Witantra."
"Kenapa, Guru?"
"Setiap orang, dan bahkan seluruh rakyat Tumapel tidak akan menolak keputusan keenam pemimpin itu. Kau memang dapat membuat perhitungan, bahwa tidak seorang pun dari para pemimpin itu, dan mungkin tidak seorang prajurit pun yang akan dapat mengalahkan kau di arena. Tetapi meskipun kau menang, hasilnya tidak akan bermanfaat apapun bagi Kebo Ijo. Apalagi Kebo Ijo telah terlanjur mati terbunuh."
"Kenapa, Guru?"
"Seandainya kau menang di arena Witantra, maka secara resmi tuduhan atas Kebo Ijo untuk sementara digugurkan. Tetapi itu hanya bersifat resmi. Tetapi tidak ada seorang pun yang akan percaya langsung sampai ke dalam hatinya, bahwa Kebo Ijo memang tidak bersalah. Nama Kebo Ijo akan tetap cemas di dalam setiap dada rakyat Tumapel. Lebih daripada itu, peristiwa ini telah menodai namamu sendiri."
"Jadi apakah maksud Guru aku harus mengorbankan keyakinanku sekedar untuk kedudukanku?"
"Tidak. Memang bukan begitu. Seandainya Kebo Ijo masih hidup, tindakanmu itu benar-benar tepat Witantra. Setidak-tidaknya kau akan menyambung nyawa Kebo Ijo sampai persoalan yang sebenarnya terungkapkan. Tetapi Kebo Ijo telah mati. Sehingga seharusnya kau mengambil cara lain untuk menyelesaikan masalahnya. Biarlah Kebo Ijo dicemarkan untuk sementara. Tetapi kau yang masih tetap mendapat hati di kalangan rakyat dan setiap pemimpin dan prajurit Tumapel, dapat dengan diam-diam mencari.Kalau kemudian kau temukan, maka kau akan segera dapat menghapus noda pada nama Kebo Ijo itu. Tetapi sekarang keadaannya akan lain. Setiap orang akan memandangmu dengan curiga. Dan setiap orang akan tidak lagi bersedia bekerja sama dengan kau, karena kau telah berpihak kepada seorang yang bersalah menurut anggapan mereka. Karena mereka pun agaknya yakin, seperti kau yakin, bahwa Kebo Ijo memang bersalah."
Witantra menundukkan kepalanya. Tetapi darahnya yang masih segar di dalam jantung kemudaannya, tidak dapat mengekang diri begitu lunak seperti gurunya.
"Witantra," berkata gurunya, "selama ini kau telah berusaha menyempurnakan ilmumu, meskipun kau belum sampai ke puncaknya. Tetapi setapak lagi kau maju, kau sudah akan menyamai aku. Dengan demikian, kau pun harus berusaha berpikir dan berbuat seperti seorang tua."
Witantra tidak menjawab. Namun dengan demikian gurunya dapat mengerti, bahwa Witantra telah memilih jalan seperti yang telah diucapkannya.
"Baiklah Witantra," berkata gurunya kemudian, "agaknya kau telah memilih jalan itu. Mudah-mudahan kau berhasil. Namun setelah itu pun kau masih harus bekerja keras, mungkin kau akan bekerja sendiri, untuk mencari pembunuh Akuwu Tunggul Ametung yang sebenarnya."
Witantra masih belum menjawab.
"Kau memberikan waktu kepada para pemimpin Tumapel untuk menentukan wakil mereka, mempertahankan keputusan itu. Sementara itu, kau dapat memanggil adikmu Mahendra, keluarga Kebo Ijo dan beberapa orang untuk menyelenggarakan mayat Kebo Ijo sebagaimana mestinya."
"Baik, Guru." Dan Witantra pun kemudian melakukannya. Memanggil beberapa orang yang terdekat, meskipun ada di antara mereka yang segan memenuhinya, karena Kebo Ijo adalah seorang pembunuh.
Sementara itu Ken Arok sedang berpacu ke padang Karautan. Dibungkusnya keris yang bernoda darah itu dengan selembar kulit, dan diselipkannya pada ikat pinggangnya.
"Aku harus segera bertemu dengan Mahisa Agni," gumam Ken Arok. "Tetapi aku tidak akan segera mengatakan apa yang terjadi. Aku harus mengingatkannya tentang keris ini, sehingga aku akan menunggu di Karautan sampai malam hari."
Namun tiba-tiba Ken Arok menjadi ragu-ragu.
"Apakah Mahisa Agni berada di Karautan atau di rumah Empu Gandring?"
"Aku hanya dapat menemuinya di Karautan," desisnya, "aku tidak akan dapat pergi ke rumah pamannya. Mungkin cantrik itu masih dapat mengenali aku. Kalau Mahisa Agni tidak ada di Karautan maka aku tidak akan dapat menemuinya."
Ken Arok pun kemudian berpacu semakin cepat. Udara malam yang dingin telah menjamah seluruh tubuhnya, seakan-akan meresap sampai ke tulang sumsum.
Ken Arok menengadahkan wajahnya ketika ia melihat cahaya semburat merah di langit. Kemudian perlahan-lahan ia menarik nafas dalam-dalam seolah-olah ingin menghirup seluruh kesegaran nafas fajar.
Meskipun semalam suntuk Ken Arok sama sekali tidak memejamkan matanya sekejap pun, namun ketahanan tubuhnya memang luar biasa. Seakan-akan ia telah terlatih untuk hidup di malam hari. Karena itu maka sama sekali ia tidak terpengaruh. Ia masih tetap segar sesegar angin pagi.
Kudanya pun berpacu semakin cepat pula. Apalagi ketika udara menjadi semakin cerah, serta tanah tempat kaki-kaki kuda itu berpijak menjadi semakin jelas pula.
Ketika Ken Arok berpacu di pinggir hutan yang rindang, maka burung-burung liar pun berloncatan terbang ke atas dahan yang agak tinggi sambil memandang debu yang putih terhambur dari kaki-kaki kuda yang berlari kencang itu. Namun kemudian terdengar kicaunya yang nyaring, seakan-akan mengucapkan selamat pagi kepada penunggang kuda di pagi yang nyaman itu.
Sinar matahari yang pertama terlempar dan balik perbukitan, menyentuh kulit Ken Arok yang basah oleh keringat. Terasa tubuh itu menjadi hangat. Sedang kicau burung pun menjadi semakin meriah, menyambut kedatangan pagi yang bening.
Tetapi hati Ken Arok tidak sebening pagi itu.Semakin dekat padang Karautan, hatinya menjadi semakin gelisah.
"Apakah Mahisa Agni ada di Karautan"Dan apakah tidak mungkin cantrik itu berada di Karautan pula."
"Persetan!" ia menggeram, "Aku harus segera menemuinya."
Ken Arok memacu kudanya semakin cepat. Namun sekali-sekali ia berhenti di sebuah parit untuk memberi kesempatan kudanya meneguk air yang sejuk, dan beristirahat sejenak.
Akhirnya kuda Ken Arok itu pun memasuki ujung dari padang Karautan yang terbentang luas. Matahari yang semakin tinggi, terasa menjadi gatal menusuk-nusuk kulit.
"Sebentar lagi kita akan sampai," desis Ken Arok sambil menepuk leher kudanya. Dan kuda itu seakan-akan menyadarinya, sehingga langkahnya menjadi semakin cepat.
Matahari pun semakin lama menjadi semakin tinggi, dan Ken Arok pun menjadi semakin dekat dengan padang Karautan. Ia menjadi semakin berdebar-debar ketika ia melihat gerumbul yang kehijau-hijauan di tengah-tengah padang yang luas. Segera ia mengenal, bahwa ia telah sampai ke tempat yang ditujunya.
Beberapa orang terheran-heran melihat kedatangan seorang tamu. Namun mereka pun segera mengenalnya, bahwa yang datang itu adalah Ken Arok. Seorang pelayan dalam yang pernah ditugaskan oleh Akuwu Tunggul Ametung di padang ini, membantu membuka tanah ini menjadi sebuah padukuhan yang subur dan bahkan sebuah taman yang paling indah di seluruh Tumapel.
"Selamat datang," orang-orang Panawijen pun segera menyapanya dengan penuh keramahan.
"Terima kasih. Terima kasih," Ken Arok mengangguk-anggukkan kepalanya sambil tersenyum. Kemudian ia pun meloncat turun dari punggung kudanya dan langsung bertanya, "Apakah Mahisa Agni ada di padukuhan ini?"
"Ya. Mahisa Agni ada di padukuhan ini."
Ken Arok menarik nafas dalam-dalam.
"Marilah," ajak seseorang, "pergilah ke banjar. Kami akan memberitahukannya kepada Mahisa Agni dan kepada Ki Buyut Panawijen."
"Terima kasih," sahut Ken Arok, "di manakah banjar itu?"
"Di tepi jalan induk ini."
"Terima kasih."
Ken Arok pun kemudian naik pula ke atas punggung kudanya dan berjalan perlahan-lahan menuju ke banjar. Di sepanjang jalan beberapa orang menyapanya dengan ramahnya. Ken Arok bagi orang-orang Panawijen adalah seorang yang banyak mempunyai jasa.
Berita tentang kedatangan Ken Arok segera sampai ke telinga Mahisa Agni dan Ki Buyut Panawijen. Maka dengan tergesa-gesa mereka pun pergi ke banjar, meskipun dengan tujuan yang berbeda-beda. Mahisa Agni telah dikejar oleh keinginan tahunya, apakah Ken Arok telah membawa berita tentang pembunuh pamannya.
Karena itu, ketika ia melihat Ken Arok di banjar, sebelum ia menanyakan tentang keselamatannya, yang pertama-tama terloncat dari bibirnya adalah, "He, kau Ken Arok. Apakah kau sudah menemukan pembunuh itu?"
Ken Arok yang tengah duduk di pendapa banjar itu pun berdiri sambil tersenyum. Dengan sareh ia berkata, "Marilah Agni. Aku memang membawa persoalan tentang yang kau tanyakan itu. Tetapi aku tidak terlalu tergesa-gesa duduklah. Aku masih mempunyai cukup waktu."
Mahisa Agni pun kemudian tersenyum kecut.Perlahan-lahan ia naik ke pendapa dan duduk di atas tikar pandan. Barulah ia sadar, bahwa sebagaimana lazimnya, ditanyakannya tentang keselamatan Ken Arok dan orang-orang yang dikenalnya di Tumapel.
Sejenak kemudian maka Ki Buyut pun telah duduk pula di antara mereka. Percakapan mereka segera menjadi ramai. Beberapa orang tua-tua dan anak-anak muda yang terkemuka telah memerlukan datang untuk menemui Ken Arok, karena Ken Arok adalah seseorang yang telah banyak membantu membangun padukuhan ini.Padukuhan yang masih belum dewasa sampai saat Ken Arok datang itu.
Namun sampai begitu jauh, Ken Arok masih belum mengatakan sesuatu tentang maksud kedatangannya. Justru ketika Mahisa Agni bertanya sekali lagi, maka Ken Arok itu berkata, "Ah, apakah kau mau memberi kesempatan aku untuk beristirahat" Semalam suntuk aku tidak tidur."
"Baiklah," jawab Mahisa Agni, "kau dapat tidur di ruang belakang banjar ini."
"Jangan," sahut Ki Buyut, "datanglah ke rumahku. Meskipun rumahku belum siap seluruhnya, tetapi aku kira Angger lebih baik berada di sana.Setiap kebutuhan Angger akan segera dapat kami penuhi."
Ken Arok tersenyum.Katanya, "Terima kasih Ki Buyut.Tetapi aku kira, aku lebih senang berada di banjar ini. Mungkin aku ingin berjalan-jalan di tengah malam, atau mungkin aku harus menemui anak-anak muda yang datang untuk menjumpai aku. Dan aku memang bermaksud untuk dapat bertemu dengan kawan-kawan yang telah bersama-sama bekerja beberapa lama di padang ini. Aku sudah rindu kepada mereka dan kelakar mereka yang riang."
"Tetapi tidak ada seorang pun akan dapat melayanimu di sini."
"Terima kasih Ki Buyut. Aku akan datang kepada Ki Buyut atau siapa pun, apabila aku memerlukan sesuatu."
Ki Buyut mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun kemudian ia berkata, "Lihat tidak ada seorang pun yang dapat merebus air di sini, apabila aku tidak menyuruh seseorang datang kemari."
Ken Arok tertawa, "Kedatanganku jangan terlalu merepotkan kalian. Aku sudah biasa minum air sumur seperti pada saat-saat kita membuat bendungan itu. Apakah bedanya sekarang?"
Ki Buyut pun tersenyum pula. "Terserahlah, kalau Angger lebih senang di sini, biarlah Angger di sini. Biarlah ruangan di belakang banjar itu dibersihkan."
Setelah minum dan makan, Ken Arok pun minta waktu untuk beristirahat. Perjalanannya memang sangat melelahkan. Duduk di atas punggung kuda di malam yang dingin.
Tetapi Ken Arok tidak segera dapat tidur. Ia selalu diganggu oleh keputusan Witantra untuk melakukan perang tanding.
"Apakah aku dapat menyeret Mahisa Agni ke dalam persoalan ini secara langsung?" katanya di dalam hati, "kalau aku dapat memberikan kesan kepadanya, bahwa keris ini adalah keris buatan Empu Gandring dan dengan keris ini pula Kebo Ijo membunuh Akuwu setelah ia gagal berusaha membunuh Mahisa Agni, maka harapan untuk memperoleh keputusan seperti yang aku inginkan akan dapat aku capai."
Dengan demikian, maka sebagian terbesar waktu Ken Arok selama berada di dalam biliknya adalah justru mereka-reka apakah yang seharusnya dilakukan.
Pedang Keadilan 14 Pendekar Rajawali Sakti 205 Asmara Gila Di Lokananta Tengkorak Maut 22