Pencarian

Pelangi Dilangit Singosari 32

02 Pelangi Di Langit Singasari Karya S H. Mintarja Bagian 32


Di sore hari Ken Arok mempergunakan waktunya untuk bergurau dengan anak-anak muda Panawijen yang pernah bersama-sama membuat bendungan dan susukan. Berbagai macam masalah telah mereka bicarakan. Hilir mudik tidak henti-hentinya. Bahkan soal-soal yang sama sekali tidak ada gunanya pun telah mereka percakapkan pula.
Ketika kemudian senja turun, maka tiba-tiba saja Ken Arok mengajak Mahisa Agni berjalan-jalan. "Aku ingin melihat belumbang itu. Apakah selama ini masih selalu dipelihara."
"Tentu," jawab Agni, "kami merasa wajib karena belumbang itu kau titipkan kepada kami di sini."
"Terima kasih," sahut Ken Arok, "sekarang, apakah kau tidak berkeberatan untuk pergi bersama?"
"Sebentar lagi matahari telah tenggelam sama sekali."
"Aku hanya ingin mendapat kesan tentang taman itu."
Mahisa Agni merenung sejenak.Kemudian katanya, "Baiklah. Aku antar kau pergi ketaman itu."
"Terima kasih."
Dan keduanya pun kemudian pergi ke taman agak ke tengah padang Karautan. Mereka berjalan di sepanjang tanggul susukan induk. Susukan yang kini telah berhasil menghijaukan tanah di sebagian dari padang Karautan. Mengairi sawah dan petegalan.
"Padukuhan ini berkembang terlampau cepat," desis Ken Arok, "sawah-sawah telah menjadi hijau merata sampai seluas ini."
"Kami harus bekerja keras," jawab Mahisa Agni, "sampai saat ini belum seluruh kehidupan di Panawijen yang lama dapat kami pindahkan. Meskipun Panawijen lama menjadi semakin kering, namun beberapa bagian dari kami masih harus tetap tinggal di sana. Kami mengharap, bahwa dalam waktu yang singkat, padukuhan ini telah menjadi padukuhan yang sempurna."
"Waktunya tidak akan lama lagi," desis Ken Arok, "ternyata kalian benar-benar menguasai masalah yang kalian hadapi."
Mahisa Agni tersenyum. Tetapi ia tidak menjawab.
Dalam kediaman, yang terdengar hanyalah desir langkah kaki mereka di atas tanggul susukan induk. Sementara matahari telah hilang di ujung langit di sebelah barat.
Keduanya untuk sejenak masih tetap berdiam diri. Sedang langit pun menjadi semakin gelap.
Mahisa Agni terperanjat ketika tiba-tiba Ken Arok berhenti. Sekilas Ken Arok itu menengadahkan wajahnya, melihat bintang yang gemerlapan, namun kemudian ia meloncat beberapa langkah menjauhi Mahisa Agni. Sekejap kemudian tangannya telah bergerak dengan cepatnya mencabut keris yang dibawanya dari wrangka kulitnya.
"Apakah artinya ini?" desis Mahisa Agni. Namun dengan gerak naluriah, ia pun segera mempersiapkan dirinya menghadapi setiap kemungkinan.
Sejenak mereka berdiri berhadapan. Ken Arok dengan keris telanjang di tangannya. Keris yang bercahaya kebiru-biruan, dengan bintik-bintik yang berwarna kekuning-kuningan."
"Apa maksudmu Ken Arok?" Mahisa Agni bertanya sekali lagi.
Tetapi Ken Arok tidak menjawab. Dan tiba-tiba saja dada Mahisa Agni berdesir. Ia pernah melihat keris itu. Ketika ia berada di Tumapel mencari pembunuh pamannya ia telah diserang oleh seseorang dengan mempergunakan keris yang berwarna kebiru-biruan. Karena itu, maka tiba-tiba ia mendesis, "Jadi kaukah itu Ken Arok?"
Ken Arok masih belum menjawab. Dibiarkannya Mahisa Agni berteka-teki.
Mahisa Agni memandang keris itu dengan tajamnya, "Ya, tidak salah lagi. Keris inilah"
Karena itu maka sekali lagi ia menggeram, "Jadi kaulah yang menyerang aku di Tumapel dengan keris itu?"
Mahisa Agni menjadi heran, ketika tiba-tiba saja ia melihat Ken Arok tertawa. Keris itu pun kemudian terkulai. Yang terdengar disela-sela suara tertawanya adalah gumamnya, "Kau masih ingat kepada keris ini?"
"Tentu. Jadi apa maksudmu sekarang?" bertanya Mahisa Agni.
"Jangan salah mengerti. Aku hanya ingin membuktikannya. Keris ini sama sekali bukan kerisku."
Mahisa Agni mengerutkan keningnya, "Dari mana kau dapat keris itu?"
"Kau akan dapat melihat nanti di dalam terang, bahwa keris ini telah bernoda darah."
"Darah?" "Darah Akuwu Tunggul Ametung."
"He?" Maka Ken Arok pun berceritalah tentang kematian Akuwu Tunggul Ametung. Keris yang digenggamnya itu, dan kematian Kebo Ijo karena ia ingin melarikan dirinya.
"Kebo Ijo. Kebo Ijo."
"Bukankah kau sudah mengenalnya."
"Tentu aku sudah mengenalnya. Anak yang sombong itu.Ketika ia berada di padang ini, bersama dengan kau, kesan yang ditinggalkannya memang kurang baik."
"Lalu bagaimanakah pendapatmu" Apakah kau dapat melihat hubungan antara keris ini, serangan atasmu di Tumapel dan kematian pamanmu?"
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Sejenak ia merenung. Dan sejenak kemudian ia menggeram, "Aku akan melihat nanti, apakah keris itu buatan paman Empu Gandring. Kalau benar, maka masalahnya akan menjadi semakin jelas. Dan adalah mungkin sekali, bahwa semuanya itu adalah perbuatan Kebo Ijo."
"Nah, itulah keperluanku yang sebenarnya. Aku tidak begitu tertarik untuk pergi ke taman. Aku hanya ingin mengingatkan kau kepada keris ini dan peristiwa yang pernah terjadi."
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Sejenak ia merenung. Dicobanya menghubung-hubungkan semua peristiwa yang pernah dialaminya.
Tiba-tiba Mahisa Agni menggeram, "Kemungkinan terbesar Kebo Ijolah yang telah melakukannya.Marilah kita pulang. Aku ingin melihat keris itu dari dekat."
Keduanya pun kemudian segera kembali ke padukuhan. Tetapi mereka tidak bermaksud menunjukkan keris itu kepada siapa pun, sehingga karena itu, maka mereka pun segera masuk ke dalam bilik yang disediakan untuk Ken Arok. Di bawah cahaya lampu minyak, Mahisa Agni mencoba melihat keris itu dengan seksama. Dibandingkannya keris itu dengan kerisnya sendiri, dan dengan keris pamannya yang dibawanya sebagai senjata peninggalan.
"Aku yakin keris ini pun buatan paman Empu Gandring," desis Ken Arok.
"Jadi, apakah kau melihat hubungan itu?"
Mahisa Agni merenung sejenak. Kemudian bergumam seakan-akan kepada diri sendiri, "Kebo Ijo telah minta agar paman membuat keris ini.Kemudian justru dengan keris ini pula paman telah ditikam dengan curang. Ternyata aku temukan paman yang telah terbunuh itu masih duduk di tempatnya. Sama sekali ia tidak sempat untuk melawan. Paman pasti tidak akan menyangka, bahwa Kebo Ijo akan menikamnya. Sekarang aku pasti, bahwa rencana yang disusun oleh Kebo Ijo, adalah membunuh Akuwu Tunggul Ametung. Pembunuhan atas paman Empu Gandring adalah sekedar untuk menghilangkan jejak."
Mahisa Agni berhenti sejenak. Lalu, "Kemudian dilakukannya rencana itu, setelah ia gagal membunuhku pula. Akuwu Tunggul Ametung ternyata berhasil dibunuhnya. Tetapi adalah suatu kebodohan bahwa keris ini ditinggalkannya. Mungkin ia menyangka, bahwa tidak seorang pun yang tahu, bahwa keris ini adalah kerisnya."
"Banyak sekali orang yang mengetahuinya, dan bersedia menjadi saksi," sahut Ken Arok.
"Mungkin ia meninggalkan keris itu tanpa disengaja," desis Mahisa Agni, "namun ia sudah menjalani hukumannya. Bukankah ia sudah mati terbunuh" Dan bukankah dengan demikian kau dianggap sebagai seorang pahlawan?"
"Ah," Ken Arok berdesah, namun kemudian, "tetapi persoalan ini masih belum selesai."
"Kenapa" Bukankah pembunuhnya telah terbunuh" Tetapi aku pun tidak akan dapat menuntut sesosok mayat untuk mempertanggung jawabkan kematian paman."
"Bukan itu soalnya Mahisa Agni," jawab Ken Arok, "Witantra menolak keputusan keenam pimpinan pemerintahan Tumapel yang menyatakan bahwa Kebo Ijo adalah pembunuh Akuwu Tunggul Ametung."
"He," Mahisa Agni terkejut, "Tetapi, bukankah sudah jelas bahwa Kebo Ijolah yang membunuh Akuwu dengan keris ini?"
"Ya. Tetapi kau harus ingat. Kebo Ijo adalah adik seperguruan Witantra."
Mahisa Agni mengerutkan keningnya mendengar jawaban Ken Arok itu. Witantra menurut pengenalan Mahisa Agni adalah seorang yang berdiri tegak sebagai seorang prajurit pilihan.Yang selama ini tidak pernah meninggalkan sifat-sifat seorang prajurit.Pertama kali ia melihat Witantra, ketika ia mengantarkan Mahendra mencari Wiraprana di Panawijen. Ia sama sekali tidak mau melihat kecurangan adik-adik seperguruannya. Bahkan Witantralah yang saat itu berkata kepada Mahendra, "Mahendra, kau kalah".
Tetapi apakah Witantra yang sekarang bukan Witantra yang dahulu" Atau dalam keadaan yang paling berharga bagi seorang kesatria, yaitu mempertahankan nama, ia telah terperosok ke dalam sikap yang tidak terpuji"
Ken Arok yang melihat keragu-raguan membayang di wajah Mahisa Agni segera meneruskan kata-katanya, "Mahisa Agni, bagaimanapun juga Witantra adalah manusia seperti kita. Suatu ketika ia menjadi khilaf dan kehilangan pegangan."
"Lalu apakah yang akan dilakukan oleh Witantra?"
"Witantra minta pimpinan Tumapel tidak segera mengambil kesimpulan bahwa Kebo Ijo adalah pembunuh Akuwu. Ia tidak yakin. Hanya karena ia tidak yakin. Witantra sama sekali tidak mempunyai bukti, bahkan petunjuk pun tidak, untuk menyangkal tuduhan bahwa Kebo Ijo telah membunuh Akuwu."
Mahisa Agni mendengarkan keterangan Ken Arok itu dengan dada yang bergetar, ia tidak dapat mengerti, kenapa tiba-tiba saja Witantra telah berubah.
"Bagaimana pendapatmu Agni?"
"Mungkin Witantra telah diguncang oleh keadaan. Tetapi setelah ia sempat berpikir, mungkin ia akan bersikap lain."
"Tidak Agni. Witantra berkata di atas keyakinannya. Menurut Witantra, betapa gilanya Kebo Ijo, tetapi ia tidak akan berbuat sebiadab itu."
Mahisa Agni tidak segera menjawab.
"Setelah pemimpin Tumapel yang enam mengambil keputusan, maka Witantra mempergunakan kesempatan satu-satunya untuk membatalkan keputusan itu."
Mahisa Agni masih belum menjawab.
"Apabila dugaan bahwa Kebo Ijo telah membunuh Akuwu ini dapat digugurkan, maka kau tidak akan dapat menarik garis yang dapat sampai pada suatu kesimpulan seperti yang kau katakan."
"Maksudmu?" "Kalau bukan Kebo Ijo yang membunuh Akuwu, maka sudah tentu sulit untuk dikatakan bahwa Kebo Ijolah yang telah berusaha membunuhmu dengan keris ini. Sudah barang tentu, akan sulit pulalah dikatakan bahwa Kebo Ijo telah membunuh Empu Gandring setelah ia memesan keris ini kepadanya."
"Yang tidak dilakukan menurut Witantra adalah membunuh Akuwu Tunggul Ametung. Tetapi bahwa keris itu adalah keris Kebo Ijo adalah pasti. Aku tidak akan terpengaruh apapun dengan penolakan Witantra itu. Memang mungkin, Kebo Ijo yang memiliki keris itu dan dipesannya dari Empu Gandring, yang karena sesuatu sebab Kebo Ijo telah membunuhnya. Dan karena aku mencari pembunuh paman, maka ia berusaha melenyapkan aku. Kemudian orang lainlah yang telah mempergunakan keris itu untuk membunuh Akuwu Tunggul Ametung. Mungkin atas persetujuan Kebo Ijo, tetapi mungkin pula tidak."
Terasa dada Ken Arok berguncang mendengar jawaban Mahisa Agni itu, sehingga sejenak ia terpaku di tempatnya. Namun sejenak kemudian ia menjawab, "Tetapi jika demikian, maka dugaanmu bahwa Kebo Ijolah yang membunuh Empu Gandring untuk menghilangkan jejak, akan hapus karenanya. Kalau Kebo Ijo memang tidak mempunyai rencana apapun, maka apakah kira-kira yang telah mendorongnya untuk membunuh Empu Gandring" Apakah sekedar agar Empu Gandring tidak dapat minta kepadanya biaya yang telah dijanjikan oleh Kebo Ijo sebagai harga keris itu" Sudah tentu, alasan itu terlampau dibuat-buat."
Mahisa Agni merenung sejenak. Keterangan Ken Arok itu memang masuk di akalnya. Adalah suatu rangkaian yang tidak terpisahkan. Apabila dugaannya benar, maka pasti pembunuhan atas Empu Gandring itu pun didasari oleh perhitungan yang cermat, bukan sekedar alasan cengeng dan dibuat-buat.
"Bagaimana Mahisa Agni?"
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya, "Ya, mungkin memang begitu."
"Jadi bagaimana pendapatmu tentang pembunuh Akuwu Tunggul Ametung?"
"Aku tidak melihat dan aku tidak banyak mengerti. Kalau keenam pemimpin yang lain telah mengambil kesimpulan, dan keris ini memang keris Kebo Ijo, maka aku kira tidak ada alasan lagi bagi Witantra untuk menolak keputusan itu."
"Agni, kalau kau tidak berkeberatan, sebaiknya kau datang ke Tumapel. Kau akan melihat suasana yang telah terjadi di istana. Adikmu pingsan untuk waktu yang tidak terbatas. Setiap ia sadar, segera ia menjerit tinggi untuk kemudian pingsan kembali."
Terasa sesuatu bergetar di dada Mahisa Agni. Tetapi ia tidak segera menjawab.
"Kalau kau berhasil Agni, maka kau akan dapat menetapkan sama sekali, bahwa Kebo Ijo adalah pembunuh pamanmu pula. Karena itu maka nama Kebo Ijo akan terpahat di dalam setiap hati, bahwa ia adalah seorang pembunuh yang paling licik di Tumapel. Meskipun ia telah terbunuh sebelum ia sempat melakukan hukuman yang akan ditentukan oleh para pemimpin Tumapel, namun apabila penetapan tentang kelakuannya itu dapat dinyatakan, maka keadaannya akan sama saja. Dan kau pun tidak lagi diburu oleh suatu kewajiban untuk mencari pembunuh pamanmu."
Mahisa Agni tidak menjawab. Namun terasa getar di jantungnya menjadi semakin keras. Kemarahan yang selama ini tersimpan di dalam hatinya atas kematian pamannya, seakan-akan telah terungkit kembali perlahan-lahan. Apalagi apabila dibayangkannya, betapa derita batin Ken Dedes atas kematian suaminya itu.
Sejenak keduanya saling berdiam diri. Ken Arok melihat warna merah membayang di wajah Mahisa Agni. Kemudian sorot matanya yang menjadi semakin tajam dan lekuk-lekuk di dahinya.
"Mudah-mudahan aku berhasil," desisnya, "Mahisa Agni adalah seorang yang luar biasa."
Tanpa sesadarnya Ken Arok menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia mencoba membunuhnya dengan keris yang kini berada di tangannya ia menyadari, betapa Mahisa Agni telah jauh maju dengan pesatnya.
Dalam berpengharapan itu Ken Arok menjadi berdebar-debar karena Mahisa Agni masih tetap diam saja. Tetapi Ken Arok tidak ingin mengganggunya. Karena itu dibiarkannya Mahisa Agni berpikir.
"Apakah dapat dibenarkan, bahwa Witantra seorang diri menentang keputusan keenam yang lain?"
"Dengan suatu cara yang khusus. Tetapi kalau ia kalah, maka keputusan itu tidak dapat diubah lagi."
"Apakah cara itu?"
"Perang tanding."
"He?" "Witantra berhak mempergunakan cara itu satu kali. Kalau ia tidak naik sendiri ke arena, ia dapat menunjuk atas persetujuan seorang yang lain. Tetapi kali ini Witantra sendiri yang akan naik ke arena. Ia memberi kesempatan tiga hari sejak hari yang baru lalu, Kalau tidak ada seorang pun yang melawannya, maka keputusannyalah yang berlaku."
Tiba-tiba terasa darah Mahisa Agni bergetar.Mula-mula di ujung tangannya, namun kemudian merambat sampai ke pusat jantungnya. Sejenak ia membeku, namun sejenak kemudian ia berkata, "Aku akan minta ia mengubah keputusan itu. Aku berkepentingan, karena Kebo Ijo telah membunuh pamanku pula."
Dada Ken Arok berdesir. Ia mengharap Mahisa Agni menyatakan dirinya untuk melawan Witantra. Tetapi yang akan dilakukan hanyalah sekedar minta Witantra mengubah sikapnya.
"Bagaimana kalau Witantra bersedia dan bagaimana kalau ia menolak?" pertanyaan itu melonjak di dalam dada Ken Arok. Namun ia mencoba untuk berkata, "Tidak banyak gunanya Agni. Witantra adalah seorang yang keras kepala."
"Aku akan menemuinya."
Ken Arok menggigit bibirnya. Tetapi ia tidak dapat berbuat lain kecuali menganggukkan kepalanya.
"Besok pagi-pagi kita berangkat," desis Mahisa Agni.
Ken Arok mengangguk, "Baiklah. Memang sebaiknya kau mencoba agar Witantra mengurungkan niatnya."
Semalam keduanya hampir tidak tidur sekejap pun. Karena itu ketika fajar menyingsing keduanya seolah-olah berebut dahulu pergi ke bendungan. Mandi dan siap untuk berangkat ke Tumapel. Namun keduanya masih memerlukan menghadap Ki Buyut untuk mohon diri.
"Kau juga pergi, Agni?" bertanya Ki Buyut.
"Ya, Ki Buyut. Sudah lama aku tidak menengok Ken Dedes, eh maksudku, Tuan Putri."
Ki Buyut tersenyum, katanya, "Hati-hatilah di jalan Ngger."
Keduanya kemudian meninggalkan padukuhan yang sedang berkembang di tengah-tengah padang Karautan itu. Sekali-sekali Mahisa Agni berpaling, memandangi padukuhannya yang telah menghijau, dan sawah-sawah yang telah ditumbuhi oleh berbagai macam tanaman. Pategalan dengan kebun buah-buahan yang telah bertambah besar, meskipun masih belum berbuah.
Ketika sinar matahari telah mulai menggatalkan kulit maka keduanya pun kemudian memacu kuda mereka. Semakin lama semakin cepat, seakan-akan mereka sedang ditunggu oleh seluruh rakyat Tumapel dalam masalah Kebo Ijo yang telah menggemparkan itu.
Di sepanjang perjalanan, tidak banyaklah yang mereka percakapkan. Masing-masing telah terlibat dalam angan-angan yang membubung tanpa batas. Dengan sudut pandangan masing-masing dan kepentingan masing-masing, mereka mencoba menilai, apakah yang kira-kira akan terjadi di Tumapel.
"Seandainya Kebo Ijo tidak membunuh paman Empu Gandring, aku tidak akan mencampuri persoalan ini," desis Mahisa Agni, "aku hanyalah sekedar seorang anak pedesaan. Anak padukuhan yang setiap hari hanya pantas bergaul dengan batu-batu dan tanah liat. Tetapi karena Kebo Ijo telah mengorbankan paman Empu Gandring yang baik, yang selama ini telah banyak sekali berbuat untukku.Pada saat aku sedang mulai membuka tanah ini, pada saat-saat aku masih diancam oleh Empu Sada."
Tiba-tiba dada Mahisa Agni menjadi kian bergetar. Semakin dalam ia mengenangkan pamannya, maka hatinya menjadi semakin bergolak.
"Kenapa tiba-tiba Witantra telah dikaburkan oleh hubungan perguruan dengan Kebo Ijo, sehingga ia telah tergelincir karenanya, justru pada saat yang gawat ini?" bertanya Mahisa Agni di dalam hati, "Tumapel dalam keadaan ini memerlukan seorang kuat. Kalau tidak maka Tumapel akan menjadi seperti sebuah perahu yang kehilangan kemudi di tengah lautan yang buas. Ia akan tenggelam dan tidak akan muncul kembali. Maharaja di Kediri akan menentukan sikap dan bentuk baru bagi Tumapel, apabila Tumapel tidak dapat segera membentuk dirinya sendiri."
Namun kemudian ia menarik nafas, "Aku adalah seorang anak pedesaan. Aku terlampau bodoh untuk memikirkan nasib Tumapel. Aku tidak tahu, apa yang sudah dilakukan oleh pemimpin-pemimpinnya. Yang enam dan seorang Witantra. Apakah mereka telah menyusun suatu sikap bagi Tumapel sepeninggal Akuwu, ataukah mereka sedang disibukkan oleh Kebo Ijo, ataukah mereka justru sedang saling menyiasati untuk merebut kepemimpinan yang kosong sebelum ada seorang pun yang dapat mewarisinya."
Berbagai macam pikiran telah berputar di kepala anak muda dari Panawijen itu. Namun caranya menanggapi persoalan telah dilandasi oleh kesadaran diri, bahwa ia tidak banyak mengerti mengenai tata pemerintahan, justru ia adalah seorang anak padukuhan yang jarang sekali bergaul dengan orang-orang yang berada di pusat pimpinan Tumapel.
Kedua anak muda itu akhirnya memasuki kota Tumapel yang masih sedang berkabung. Mereka langsung menuju ke rumah Witantra. Ken Arok mengharap, bahwa Witantra tidak berada di pusat pimpinan Tumapel.
Ternyata dugaan Ken Arok itu tidak salah. Meskipun Witantra masih tampak lesu, namun ia telah berada di rumahnya.
Dengan hati yang kosong dipersilakannya Mahisa Agni dan Ken Arok naik ke pendapa dan duduk di atas sehelai tikar.
"Baru saja aku pulang dari rumah Kebo Ijo," desis Witantra setelah ia menanyakan keselamatan Mahisa Agni dan Ken Arok sebagai pemenuhan tata pergaulan.
"Bagaimana dengan istri dan anaknya?" bertanya Ken Arok.
"Kepahitan yang tiada taranya. Mereka sama sekali tidak menyangka bahwa malapetaka itu akan menimpa keluarga mereka."
"Kasihan bahwa mereka telah terjerat oleh seseorang yang ternyata bukan yang diinginkannya," gumam Ken Arok.
"Maksudmu?" "Bukankah dengan demikian, Kebo Ijo telah membuat istri dan anaknya menderita?"
"Maksudmu, bahwa Kebo Ijo telah bersalah dan membunuh Akuwu sehingga mengakibatkan keluarganya hancur seperti sekarang ini?"
Ken Arok tidak menjawab, tetapi ia menganggukkan kepalanya.
"Jangan kau ulangi, Ken Arok!" geram Witantra, "Aku masih tetap yakin bahwa Kebo Ijo tidak bersalah."
Ken Arok mengerutkan keningnya. Sekilas ia mencoba memandang wajah Mahisa Agni. Dan ia melihat wajah itu menjadi merah.
"Witantra," berkata Mahisa Agni, "apakah kau benar-benar meyakini bahwa Kebo Ijo tidak bersalah?"
"Ya, aku yakin. Apalagi ketika aku mendengar dari istrinya, bahwa pintu rumahnya di bagian belakang pada malam itu tidak diselaraknya. Maka menurut perhitunganku, kemungkinan yang terbesar, orang lain telah mengambil keris itu dan mempergunakannya."
Mahisa Agni tidak segera menyahut.
"Istriku dan Ken Umang sekarang masih berada di rumah Kebo Ijo untuk mengawaninya di dalam duka."
Mahisa Agni masih belum menjawab.
Namun dalam pada itu dada Ken Aroklah yang berdentingan. Apakah pada suatu saat Witantra akan berhasil menelusuri, siapakah yang sebenarnya telah melakukan pembunuhan itu" Ternyata otak orang itu terlampau cerah untuk menyelidiki suatu masalah.
"Witantra," berkata Mahisa Agni kemudian, "aku telah mendengar peristiwa sedih yang menimpa istana Tumapel. Aku juga telah mendengar bahwa Kebo Ijo telah terbunuh oleh Ken Arok, meskipun ia tidak sengaja membunuhnya."
"Ya. Menyedihkan sekali."
"Dan aku pun mendengar pula, bahwa kau menolak keputusan pemimpin-pemimpin Tumapel yang lain, bahwa Kebo Ijolah yang telah membunuh Akuwu."
"Ya. Aku menolak dengan cara satu-satunya karena aku tidak melihat cara yang lain."
"Witantra, apakah kau telah berpikir masak-masak?"
Witantra mengerutkan keningnya. Ia menjadi heran mendengar pertanyaan Mahisa Agni itu.
"Apakah maksudmu?"
"Aku minta kau merenungkannya kembali Witantra.Dengan bening, dan hati-hati. Agaknya kali ini kau tergelincir dari sikap yang selama ini kau pegang teguh."
Dada Witantra berdesir. Hatinya yang sedang pepat itu segera merasa tersinggung. Meskipun bukan kebiasaannya, cepat merasa dipersalahkan, tetapi kali ini ia dipengaruhi oleh keadaannya terakhir.
"Jadi kau ikut menyalahkan aku pula, Mahisa Agni?" ia bertanya.
"Bukan maksudku Witantra," jawab Mahisa Agni, "tetapi tuduhan kepada Kebo Ijo itu aku kira sudah Adil. Memang mungkin anggapan seseorang itu salah. Tetapi apabila kelak ternyata bahwa ada petunjuk yang lain, maka keputusan itu dapat digugurkan."
"Ah," Witantra berdesah. Dengan susah payah ia menahan dirinya untuk tetap menyadari, dengan siapa ia berhadapan, "bukan demikian cara menanggapi suatu persoalan Agni. Kalau Kebo Ijo masih hidup dan caramu memutuskan perkara dengan cara itu, maka setelah ia dihukum gantung, ia tidak akan hidup lagi meskipun hukuman itu kelak dibatalkan."
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Ia dapat mengerti keterangan Witantra itu. Namun ia masih menjawab, "Tetapi masalah Kebo Ijo kali ini berlainan Witantra. Justru Kebo Ijo sudah meninggal. Apalagi keenam pemimpin Tumapel yang lain sudah yakin, bahwa Kebo Ijo telah bersalah."
"Aku yakin pula bahwa Kebo Ijo tidak bersalah. Sudah aku katakan, pasti ada orang lain yang melakukan setelah mengambil keris itu dari rumahnya."
"Bukti-bukti telah cukup Witantra. Dan alasan yang kau kemukakan itu terlampau lemah. Tidak seorang pun dapat membuktikan bahwa pintu itu memang telah terbuka."
"Mahisa Agni," desis Witantra yang hampir tidak dapat menahan diri lagi. Ia sedang kesal menanggapi peristiwa itu dan badannya pun masih terlampau lelah setelah ia menyelenggarakan mayat adik seperguruannya, sehingga dengan demikian pikirannya pun tidak cukup bening untuk menanggapi persoalan yang dikemukakan oleh Mahisa Agni, "aku sudah mempertimbangkan masak-masak. Aku sudah mengambil keputusan untuk membatalkan keputusan itu dengan perang tanding."
Mendengar jawaban Witantra itu jantung Mahisa Agni terasa berdentingan. Namun ia masih berkata datar, "Kau terlampau tergesa-gesa Witantra. Kau telah terpengaruh hubungan perguruan antara kau dan Kebo Ijo."
"Agni," Witantra benar-benar tidak dapat menahan hatinya lagi, "sebaiknya kau tidak ikut mencampuri persoalan ini.Persoalan ini adalah persoalan kami, persoalan pucuk pimpinan pemerintahan Tumapel."
Dalam keadaan yang biasa mungkin Mahisa Agni tidak akan segera terbakar oleh kata-kata Witantra itu. Tetapi seperti juga Witantra, hati Mahisa Agni sedang disaput oleh kedukaan atas kematian pamannya yang terungkit kembali, justru rasa-rasanya lebih dalam lagi melukai hatinya. Apalagi bisa dibayangkannya, betapa sedihnya adiknya yang sedang menikmati ketenteraman hidup sebagai seorang permaisuri. Dan tiba-tiba saja suaminya telah direnggut dari sisinya oleh maut.
Karena itu, maka jawaban Witantra itu menjadi serasa api yang menyentuh hatinya. Panas.
Sejenak Mahisa Agni mencoba menguasai perasaannya. Namun tanpa dapat dikendalikan lagi ia menggeram, "Witantra, persoalan ini bukan sekedar persoalan pucuk pimpinan pemerintahan di Tumapel. Persoalan ini adalah persoalan Tumapel seluruhnya."
"Tetapi tidak perlu setiap orang ikut campur menyelesaikannya menurut seleranya sendiri-sendiri. Sudah ada peraturan-peraturan yang dapat dijadikan pedoman. Dan aku tidak menyimpang daripadanya. Aku minta perang tanding. Tidak ada jalan lain. Dan kau sebaiknya menunggu saja dan melihat apa yang akan terjadi. Sebaiknya kau kembali ke Panawijen atau ke padang Karautan. Di sana kau dapat menentukan cara yang kau sukai. Tidak di sini, di pusat pemerintahan Tumapel."
"Witantra," wajah Mahisa Agni menjadi merah padam, karena dengan kata-kata Witantra itu ia merasa dihina, bahwa ia tidak lebih dari seorang anak pedesaan. Namun dengan demikian harga diri Mahisa Agni pun terungkit karenanya. Maka jawabnya, "Tidak. Aku merasa ikut bertanggung jawab akan hal ini. Aku bukan sekedar anak pedesaan yang tidak boleh ikut campur membicarakan masalah-masalah yang terjadi di Tumapel. Seolah-olah masalah yang hanya boleh dibicarakan oleh para pemimpin dan bangsawan. Tetapi seandainya demikian, aku pun berhak menyebut diriku orang penting di Tumapel. Aku adalah kakak Permaisuri Tumapel. Kalau aku menerima, aku sudah mendapat gelar kebangsawanan dan kedudukan yang penting di pemerintahan pada saat Ken Dedes akan diangkat menjadi seorang permaisuri. Tetapi seandainya hal itu tidak diakui, aku adalah ipar dari seseorang yang terbunuh, dan aku adalah kemenakan orang lain yang telah terbunuh pula. Atas hak itulah aku berbicara sekarang."
Kini wajah Witantra pun telah membara pula. Meskipun sejenak tersirat pengakuan di dadanya bahwa Mahisa Agni memang tidak terlepas sama sekali dari peristiwa ini. Namun demikian, kegelapan hatinya sama sekali tidak dapat dikuasainya, sehingga ia pun menjawab lantang, "Kalau kau merasa dirimu berhak mencampuri persoalan ini, lakukanlah. Aku tidak akan melarang. Tetapi kau jangan mencoba mengubah keputusanku."
"Baik. Aku tidak akan mengubah keputusanmu. Tetapi aku justru akan memberi kesempatan kepadamu melakukan perang tanding itu. Tetapi ingat. Aku berpendirian sebaliknya. Kebo Ijo adalah pembunuh paman dan iparku sekaligus. Karena itu, namanya harus dipahatkan di dinding gerbang istana, bahwa Kebo Ijo adalah seorang pembunuh yang paling licik dan kejam."
"Tidak. Aku menentang. Sudah aku katakan, aku menentang keputusan itu dengan perang tanding."
"Aku akan menguatkan keputusan itu. Kalau aku diizinkan, aku menyediakan diriku untuk naik ke arena mempertahankan keputusan bahwa Kebo Ijo adalah seorang pembunuh."
Jawaban Mahisa Agni itu serasa petir yang meledak di atas kepala Witantra. Sejenak ia membeku di tempatnya. Namun sorot matanya yang membara seakan-akan membakar udara di ruangan itu.
Dua jantung yang masih terhitung muda itu telah menyala.Tidak seorang lagi yang dapat memadamkannya. Dan ketetapan mereka pun agaknya sudah pasti, masing-masing akan berhadapan di arena.
Ken Arok yang ada di ruangan itu sama sekali tidak mengucapkan sepatah kata pun lagi. Ia melihat perbantahan itu dengan tubuh yang gemetar, seakan-akan ia menyesali apa yang telah terjadi. Tetapi Ken Arok tertawa di dalam hati. Memang inilah yang diinginkannya. Inilah yang selama ini diharapkannya akan terjadi. Mahisa Agni adalah kekuatan yang diharapkannya dapat mengimbangi kekuatan Witantra di arena, karena Ken Arok telah menjajaki betapa tinggi ilmu Mahisa Agni kini.
Dalam keadaan yang demikian ikut terdengar suara Witantra gemetar, "Bagus.Kau pun laki-laki jantan yang jarang ada duanya Agni. Kalau kau memang berhasrat untuk mempertahankan keputusan itu, pergilah ke pemimpin yang enam. Ajukan permintaanmu, dan apabila diizinkan, kau akan dapat melakukannya. Kau memang pahlawan yang perkasa.Aku mengenal kau sejak Mahendra mempunyai persoalan dengan seseorang yang bernama Wiraprana. Kau telah menyerahkan dirimu untuk berkelahi melawan Mahendra dengan nama Wiraprana. Dan kau berhasil memenangkan perkelahian itu. Sekarang kau akan bertindak sebagai pahlawan pula untuk menetapkan Kebo Ijo sebagai seorang pembunuh."
"Apapun yang kau katakan tentang diriku, aku tidak akan menolak. Tetapi aku harus ikut mempertahankan keadilan di atas Tanah Tumapel. Tidak boleh terjadi seorang pembunuh dapat melepaskan dirinya karena pergulatan di arena. Kalau demikian, maka tegaknya kebenaran berada di ujung senjata. Tetapi kalau memang seharusnya demikian, maka apa boleh buat."
"Bagus Agni. Aku mengharap enam pemimpin yang lain tidak akan berkeberatan menerima kau. Supaya kau tidak terlambat, karena mereka telah menetapkan orang lain, datanglah kepada mereka, dan nyatakan maksudmu itu. Katakanlah bahwa kau adalah ipar Akuwu Tunggul Ametung dan kemenakan Empu Gandring yang telah terbunuh pula."
"Baik," jawab Mahisa Agni pendek, "aku minta diri."
Mahisa Agni pun kemudian meninggalkan rumah Witantra bersama Ken Arok menemui pemimpin yang enam untuk menyatakan maksudnya.
Sepeninggal Mahisa Agni Witantra duduk tepekur di dalam rumahnya. Ia memang tidak menyangka, bahwa kedatangan Mahisa Agni justru telah menimbulkan persoalan baru baginya.
Namun bagaimanapun juga, Witantra sudah bertekad bulat.Ia akan mempertaruhkan namanya untuk menegakkan keyakinannya. Sebab ia pasti, bahwa bukan Kebo Ijolah yang telah melakukan pengkhianatan. Ia kenal Kebo Ijo sebaik-baiknya.
Menurut perhitungan Witantra, pasti ada orang lain yang sengaja ingin menjerumuskannya.
Tetapi yang tidak dimengertinya, kenapa justru Kebo Ijo. Bukan dirinya sendiri atau orang lain. Ia tidak dapat mengerti, pamrih apakah yang dikehendaki oleh orang yang melakukan pembunuhan itu atas nama Kebo Ijo dan atas Akuwu Tunggul Ametung. Apalagi seandainya benar dugaan Mahisa Agni, bahwa Empu Gandring telah terbunuh pula oleh orang yang sama.
"Apakah orang yang datang ke rumah Empu Gandring itu juga Kebo Ijo?" pertanyaan itu selalu mengganggunya, "Seandainya Kebo Ijo masih hidup, maka cantrik itu akan dapat ditanya, orang itukah yang dilihatnya di padepokan Empu Gandring seperti yang dikatakan oleh Mahisa Agni beberapa waktu berselang, ketika ia mencari pembunuh pamannya?"
"Inilah yang harus aku hadapi. Banyak hal yang tidak terduga-duga dapat terjadi, seperti pada saatnya aku harus naik ke arena melawan Mahisa Agni.Tetapi apa boleh buat. Aku mempertahankan keyakinanku, sedang Mahisa Agni mempertahankan keyakinannya."
Sementara itu Mahisa Agni yang diantar oleh Ken Arok pergi menghadap pemimpin Tumapel yang lain, yang setiap saat selalu berkumpul di istana.
Dengan heran para pemimpin itu menerima Mahisa Agni.Dan dengan dada yang berdebar-debar pula mereka mendengarkan keinginan itu.
Sejenak keenam pemimpin itu tidak dapat segera memberikan tanggapan. Mereka saling berpandangan dan mencoba melihat apa saja yang bergolak di dalam dada masing-masing.
Dan tiba-tiba salah seorang dari mereka berkata, "Sebaiknya kami mohon pertimbangan Tuanku Permaisuri."
"Tidak perlu," jawab Mahisa Agni, "Ken Dedes, eh maksudku Tuanku Permaisuri tidak perlu tahu apa yang bakal terjadi. Ia tinggal menerima keputusan akibat dari perang tanding di arena itu."
Keenam pemimpin itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi salah seorang dari mereka berkata, "Seandainya Tuanku tidak sedang terganggu, maka Tuan Putrilah yang dapat mengambil semua keputusan dan kebijaksanaan. Perang tanding itu pun mungkin dapat dibatalkan. Sebab kekuasaan Permaisuri yang sekarang adalah mutlak seperti kekuasaan Akuwu sendiri. Atau dengan kata lain, Tuanku Ken Dedeslah sebenarnya Akuwu di Tumapel, karena sebenarnya Tuanku Tunggul Ametung pernah menyerahkan segala yang ada padanya kepada Tuan Putri Ken Dedes sebelum mereka kawin."
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Namun hatinya yang panas telah membakar darah mudanya, sehingga ia menjawab, "Biarlah keputusan itu disaksikan oleh rakyat Tumapel."
"Tetapi kalau hal itu memang tidak perlu dilakukan, apakah salahnya?" bertanya yang lain.
"Tetapi Witantra menghendakinya," sahut pemimpin tertinggi pelayan dalam.
"Itu adalah jalan satu-satunya yang dapat dilihatnya," berkata panglima prajurit Tumapel.
Dengan demikian maka keenam pemimpin itu menjadi terdiam sejenak.Ternyata pendapat mereka berbeda-beda. Para pemimpin dari kalangan keprajuritan menghendaki perang tanding.Sedang pemimpin-pemimpin yang lain masih ingin melihat jalan yang lain.
Dalam pada itu Ken Arok berkata, "Aku tidak tahu, jalan manakah yang paling baik dilakukan.Tetapi sebaiknya hal ini tidak usah dibicarakan dengan Tuan Putri. Setiap kali Tuan Putri mendengar peristiwa ini, maka Tuanku Ken Dedes pasti menjadi pingsan, dan kadang-kadang kehilangan kesadaran dalam waktu yang lama. Karena itu, apakah tidak sebaiknya keputusan pemimpin yang enam ini sajalah yang menentukan. Kalau perang tanding itu sebaiknya dilakukan, biarlah keputusan itu di jalankan. Kalau pemimpin yang enam ini menerima tuntutan Witantra untuk membatalkan keputusan tentang Kebo Ijo, biarlah keputusan itu dibatalkan tanpa setahu Tuan Putri."
Keenam pemimpin itu mengangguk-anggukkan kepala mereka.Mereka memang tidak mungkin berbicara dengan Ken Dedes dalam keadaan serupa itu. Setiap kali permaisuri itu selalu diserang oleh kejutan-kejutan yang kadang-kadang mengganggu kesadarannya,.
Hanya emban tua pemomongnya sajalah yang dapat melayaninya. Bahkan kadang-kadang permaisuri itu memeluknya tanpa sebab. Kemudian menangis sejadi-jadinya.
Pemomong Ken Dedes itu berusaha menghibur sejauh-jauh dapat dilakukan. Namun kadang-kadang hatinya sendiri menjadi pedih mengenang perkembangan terakhir di istana Tumapel, sebelum Akuwu Tunggul Ametung terbunuh. Hubungan yang tidak sewajarnya antara permaisuri dengan seorang pelayan dalam yang cakap dan tampan.
Karena itu, ketika tiba-tiba Akuwu terbunuh, maka dada pemomong Permaisuri itu bergetar dahsyat, seakan-akan terguncang-guncang. Dan perempuan tua itu memang meragukan, apakah benar Kebo Ijo yang telah membunuh Akuwu Tunggul Ametung.
"Untuk apa?" pertanyaan itu selalu mengganggunya.
Tetapi sebagai seorang emban ia tidak dapat berbuat dan berkata apapun. Ia hanya dapat menunggui dan menghibur hati permaisuri yang tiba-tiba telah menjadi janda. Namun kepedihan hati permaisuri itu pun agaknya bukan sekedar karena ia ditinggalkan oleh suaminya. Tetapi agaknya ia menyimpan soal-soal yang lain pula, yang tidak dapat dikatakan kepada orang lain dengan kata-kata. Sehingga yang dapat dilimpahkan hanyalah air matanya saja.
Oleh kenyataan itu, maka keenam pemimpin itu telah bersepakat untuk tidak menyerahkan persoalan ini kepada permaisuri yang sedang berduka itu.
Karena itu, maka apa yang sebaiknya mereka lakukan, mereka bicarakan dengan tinjauan dari segala segi dan segala kemungkinan.
Selama keenam pemimpin itu sedang berbincang, maka Ken Arok dan Mahisa Agni harus menunggunya di luar bilik. Mereka duduk tepekur tanpa berbicara sepatah kata pun. Sekali-sekali tatapan mata mereka beredar menyusuri tiap-tiap di dalam ruangan itu. Namun, kemudian kembali kepala-kepala mereka tepekur.
Pembicaraan keenam pemimpin itu ternyata berlangsung cukup lama. Keduanya terperanjat, ketika mereka mendengar pintu bilik itu terbuka. Namun agaknya pembicaraan itu belum selesai. Ternyata mereka memanggil Ken Arok untuk dimintai beberapa keterangan.
Kembali Mahisa Agni duduk tepekur. Dengan sudut matanya ia melihat salah seorang penjaga yang duduk terkantuk-kantuk.
"Pantas. Kebo Ijo berhasil mendekati bilik Akuwu tanpa diketahui orang. Agaknya telah menjadi kebiasaan para penjaga di dalam istana ini duduk terkantuk-kantuk," gumam Mahisa Agni di dalam hatinya.
Akhirnya Mahisa Agni menjadi jemu duduk termenung tanpa berbuat sesuatu. Karena itu, maka ia pun segera berdiri dan berjalan hilir mudik di dalam ruangan itu.
Penjaga yang semula terkantuk-kantuk itu pun memandanginya dengan curiga. Tetapi ia tidak menyapanya, karena ia tahu, bahwa Mahisa Agni sedang menunggu hasil pembicaraan keenam pemimpin Tumapel yang kini berada di dalam bilik yang tertutup itu.
Mahisa Agni tertegun ketika ia melihat prajurit yang lain berdiri di belakang tiang di depan longkangan dalam. Kemudian ia melihat yang lain lagi di sebelah sebuah patung yang besar.
"Tidak ada gunanya. Penjagaan di dalam istana ini diperkuat setelah Akuwu Tunggul Ametung terbunuh," katanya di dalam hati, namun kemudian dijawabnya sendiri, "Mungkin mereka masih dibayangi oleh kecemasan, bahwa peristiwa yang terjadi tidak hanya terhenti sampai sekian. Mungkin mereka mencemaskan nasib Ken Dedes pula. Apabila pembunuhan ini dikendalikan oleh sekelompok pemimpin Tumapel untuk merebut kekuasaan dengan cara yang masih belum dimengerti, maka memang keselamatan Ken Dedes juga terganggu."
Mahisa Agni pun akhirnya berhenti.Diamatinya sebuah ukiran nada tiang yang hampir sepemeluk. Ukiran yang halus dan diwarnai oleh sungging yang bagus. Namun warna-warna itu kini tampak terlampau suram baginya.
Mahisa Agni berpaling ketika ia mendengar derit pintu terbuka.Sejenak kemudian ia melihat Ken Arok berdiri di muka pintu sambil melampaikan tangan memanggilnya.
Dengan dada berdebar-debar Mahisa Agni melangkah dengan tergesa-gesa mendekat. Kemudian Ken Arok menariknya masuk ke dalam bilik, dan pintu pun segera tertutup kembali.
"Mahisa Agni," bertanya salah seorang pemimpin Tumapel yang telah berusia lanjut, "apakah kau benar-benar telah bertekad bulat untuk naik ke arena?"
"Ya," jawab Mahisa Agni singkat.
"Atas dasar dan pertimbangan apakah maka hal itu kau lakukan."
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Sejenak kemudian ia menjawab, "Aku ingin membantu menegakkan kebenaran di Tumapel. Seandainya kesalahan seseorang terhapus karena kekuatan seorang di dalam perang tanding, maka hal itu menurut aku sama sekali tidak adil. Kalau seseorang bersalah, betapapun juga ia telah bersalah. Meskipun orang lain mempertahankannya dengan kemenangan seratus kali di arena."
"Apakah kau yakin bahwa kau akan menang?"
"Tidak. Tetapi hasrat itulah yang ada padaku," Mahisa Agni berhenti sejenak, kemudian, "tetapi kalau ditanyakan kepadaku tentang kepentinganku yang langsung, maka aku adalah kakak Tuan Putri Ken Dedes, sehingga aku adalah ipar dari Akuwu yang terbunuh. Selain Akuwu juga pamanku telah terbunuh. Dengan demikian adalah kewajibanku untuk berbuat sesuatu."
Keenam pemimpin Tumapel itu pun mengangguk-anggukkan kepalanya. Dari Ken Arok mereka telah mendengar, bahwa Mahisa Agni adalah murid dari seorang Empu, dan Empu itu adalah ayahnya sendiri juga ayah Ken Dedes, Empu Purwa.
"Kebo Ijo pernah dikalahkannya, juga kakak seperguruannya yang lain, Mahendra," berkata Ken Arok ketika ia dimintai keterangan para pemimpin itu.
Sejenak kemudian para pemimpin itu terdiam. Agaknya mereka masih diliputi oleh keragu-raguan. Namun kemudian salah seorang yang mewakili mereka berkata, "Setelah mendapatkan beberapa keterangan Agni, baiklah aku menerima permintaanmu. Kau kami percaya untuk mewakili kami. mempertahankan keputusan yang telah kami ambil tentang Kebo Ijo. Kau memang bukan orang lain. Kau pun berhak untuk melakukan pembelaan itu, karena kau adalah ipar Akuwu Tunggul Ametung dan sekaligus kemenakan Empu Gandring yang terbunuh pula. Kalau kau berhasil, maka sekaligus kita menemukan pembunuh pamanmu itu pula."
Mahisa Agni menahan nafasnya. Hatinya serasa mengembang di dadanya. Ia mendapat saluran untuk menyatakan kesetiaannya, meskipun yang terutama untuk kepentingan pamannya.
Demikianlah, maka telah menjadi keputusan, bahwa Mahisa Agnilah yang akan naik ke arena untuk mempertahankan keputusan pemimpin Tumapel yang enam, melawan keyakinan Witantra bahwa adik seperguruannya itu sama sekali tidak bersalah.
Meskipun Witantra sadar, bahwa pendapat sebagian terbesar rakyat Tumapel tidak condong kepadanya, namun ia telah siap menerima akibat dari keyakinannya itu.
Jilid 50 MAKA PADA HARI itu JUGA, pimpinan pemerintahan Tumapel telah mengumumkan keputusan itu. Di hari berikutnya, di alun-alun Tumapel akan dilakukan perang tanding.
Demikianlah segala macam persiapan telah dilakukan. Sebuah panggungan telah dibangun di alun-alun sebagai ajang dari perang tanding itu.
Keputusan itu pun segera saja menjalar dari setiap mulut ke setiap telinga, sehingga belum lagi matahari terbit di keesokan harinya, rakyat di seluruh Tumapel telah mendengar apa yang akan terjadi itu.
Keputusan itu telah mengejutkan keluarga Witantra yang baru saja pulang dari rumah Kebo Ijo. Dengan cemas istrinya bertanya, apakah yang akan terjadi.
"Aku telah menempuh jalan satu-satunya," desis Witantra.
Istrinya segera terdiam. Ia adalah istri seorang senapati yang harus dapat mengerti tugas-tugas suaminya. Namun terasa kali ini hatinya menjadi berdebar-debar. Suaminya tidak akan berangkat perang melawan kekuatan yang manapun juga di luar kekuatan Tumapel. Tetapi suaminya kali ini akan melakukan perang tanding untuk membela nama adik seperguruannya.
"Nyai," berkata Witantra, "aku tidak terlampau bernafsu untuk menyelamatkan nama Kebo Ijo itu sendiri. Tetapi aku ingin mempertahankan keyakinanku. Kebo Ijo tidak bersalah."
"Tetapi bagaimana dengan bukti-bukti itu, Kakang?" bertanya istrinya.
"Itulah kelemahanku. Aku tidak mempunyai bukti apapun," sahut suaminya, "tetapi, sebelum Kebo Ijo berusaha melarikan diri, aku hampir dapat meyakinkan pemimpin yang enam itu, bahwa Kebo Ijo tidak akan sebodoh itu, seandainya ia memang melakukan pembunuhan atas Akuwu Tunggul Ametung. Yang aku sesalkan adalah kebodohan Kebo Ijo yang ingin melarikan diri, sehingga dalam perkelahian melawan Ken Arok ia telah terbunuh. Meskipun demikian, namanya harus dicuci. Nama Kebo Ijo dan nama seluruh perguruan."
Istrinya tidak menyahut lagi. Bagaimanapun juga, sebagai seorang istri yang mencintai suaminya, terasa bahwa keluarganya sedang berada di depan pintu gerbang malapetaka.
Demikianlah, maka semalam sebelum perang tanding itu dilaksanakan, baik Mahisa Agni maupun Witantra hampir tidak dapat tidur sekejap pun.
Witantra merasa, bahwa ia memang tidak dapat memberikan bukti-bukti sangkalannya atas kesalahan Kebo Ijo. Sehingga ia naik ke arena semata-mata berdasarkan keyakinan yang ada padanya.
"Kalau Kebo Ijo benar-benar tidak bersalah sesuai dengan keyakinanku, maka sungguh tidak adil, apa yang telah terjadi atasnya. Ia menjadi korban nafsu yang menyala di hati orang lain."
Dan pada saat yang sama Mahisa Agni berkata di dalam hatinya, "Kenapa aku harus naik ke arena" Sayang, bahwa aku harus berhadapan dengan Witantra. Tetapi apa boleh buat. Setiap kesalahan harus mendapat hukuman. Seandainya Kebo Ijo masih hidup, aku pasti tidak akan begitu bernafsu mempertahankan keputusan atas kesalahannya. Aku tidak bernafsu bahwa Kebo Ijo harus dihukum mati. Tetapi ia sudah mati. Dan kesalahan ini tidak boleh ditimpakan kepada orang lain lagi, seandainya keputusan tentang Kebo Ijo dapat dibatalkan.Dengan demikian, maka harus ada orang lain yang akan menerima hukuman atas kematian Akuwu, selain kematian Kebo Ijo.Alangkah tidak adilnya. Hanya karena nama Kebo Ijo diselamatkan di atas arena perang tanding."
Dengan demikian, keduanya merasa, bahwa mereka akan bertempur untuk mempertahankan keyakinan masing-masing, demi keadilan.
Ketika fajar menyingsing, maka Witantra segera mempersiapkan dirinya. Setelah mandi dan mencuci rambutnya, Witantra segera masuk ke dalam biliknya untuk sejenak mengheningkan hati. Dicoba melihat ke dirinya sendiri. Siapa dan apakah dia sebenarnya. Dari mana dan ke mana ia akan pergi sebelum dan sesudah hidup ini.
Kemudian setelah ia selesai menimbang diri, maka mulai terbayang wajah gurunya yang kekurus-kurusan. Yang selama ini telah menempanya dalam olah kanuragan.
"Bukan maksudku untuk membanggakan diri," desisnya, "tetapi aku tidak mempunyai alat yang lain."
Terbayang, betapa ia mesu diri di saat-saat terakhir. Di saat ia merasa tersisih dari Akuwu Tunggul Ametung. Namun justru dengan demikian ia merasa bahwa bahaya semakin dekat mengancam Tumapel. Karena itu, maka ia telah memperdalam ilmu yang telah dimilikinya.
Dari hari ke hari ilmunya kian bertambah-tambah sempurna, sehingga akhirnya kemampuannya mencapai tingkat yang hampir setinggi gurunya. Ia hanya memerlukan setapak lagi untuk sampai ke puncak. Tetapi yang setapak itu belum sempat dilakukan, karena yang setapak itu memerlukan segenap pemusatan segala inderanya untuk waktu yang agak banyak.
Namun, untuk naik ke arena Witantra telah membawa bekal yang cukup itulah sebabnya, maka ia dengan tenang mempersiapkan dirinya menghadapi setiap kemungkinan. Meskipun demikian, terasa di sudut hatinya sesuatu yang selalu menyentuh-nyentuh perasaannya. Getaran yang tidak dikenalnya, seakan-akan memberi isyarat kepadanya bahwa kali ini yang dihadapinya, meskipun bukan salah seorang senapati perang, atau manggala pasukan apapun, namun Mahisa Agni adalah seseorang yang mempunyai banyak kelebihan dari orang-orang kebanyakan. Lebih daripada itu, Mahisa Agni adalah seorang anak muda yang sangat dikenalnya. Seorang yang baik, seorang yang jujur dan sama sekali tidak dikendalikan oleh nafsu. Tetapi sayang, kematian pamannya telah membuatnya menjadi mata gelap.
Sedang Mahisa Agni pun telah mencoba mempersiapkan dirinya pula lahir dan batin. ia pun sadar, siapakah Witantra. Agaknya Witantra tidak berhenti seperti beberapa saat yang lampau. Karena itu, maka ia pun selalu mencoba menilai diri.
"Witantra adalah orang yang baik," katanya di dalam hati, "tetapi sayang, bahwa ia telah tergelincir. Meskipun demikian, ia bagiku tetap seorang prajurit yang jarang ada duanya. Seorang prajurit yang berdiri tegak di atas garis keprajuritannya."
Demikianlah waktu yang semalam itu agaknya telah mengendapkan dua hati yang sedang menggelegak itu. Meskipun mereka masih tetap di dalam pendirian masing-masing untuk naik ke arena, tetapi mereka sudah tidak lagi dibakar oleh kemarahan yang meluap-luap. Mereka kini adalah orang-orang yang merasa bertanggung jawab atas keyakinannya, dan menghadapi pertanggungan jawab itu dengan sepenuh kesadaran.
Pada hari itu, rakyat Tumapel seperti terhisap seluruhnya keluar dari rumahnya pergi ke alun-alun. Tua muda, laki-laki perempuan. Hampir tidak ada yang ketinggalan.
Semuanya ingin melihat, apa yang akan terjadi di arena.
Kematian Akuwu Tunggul Ametung adalah persoalan yang telah mengguncangkan seluruh Tumapel. Kemudian disusul oleh kematian Kebo Ijo dan keputusan perang tanding ini sebagai ekor dari peristiwa pembunuhan itu.
Setelah menghadap pemimpin yang enam di pagi-pagi benar, maka Mahisa Agni pun telah siap untuk pergi ke alun-alun bersama-sama keenam pemimpin itu. Namun sebelum ia berangkat, maka seorang perempuan tua telah menemuinya. Perempuan tua pemomong Ken Dedes. Dan perempuan tua pemomong Ken Dedes itu adalah ibunya.
"Aku ingin berbicara dengan kau, Agni," bisik perempuan tua itu.
Agni tidak menjawab. Ia tahu bahwa perempuan tua itu ingin berbicara seorang diri, tanpa didengar oleh orang lain. Karena itu tanpa menjawab sepatah kata pun ia mengikuti perempuan tua itu memasuki suatu bilik yang kosong di bagian belakang istana.
"Di bilik sebelah Tuan Putri terbaring," desisnya.
"Apa katanya mengenai perang tanding ini?"
"Ken Dedes tidak tahu, apa yang akan terjadi itu."
"Kenapa?" "Tidak seorang pun boleh memberitahukan. Setiap kali ia selalu diganggu oleh kejutan-kejutan yang kadang-kadang tidak dapat diatasinya sehingga pingsan."
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Agni," berkata perempuan tua itu, "kenapa kau tidak berbicara dengan aku dahulu sebelum kau menentukan sikap ini?"
Mahisa Agni mengerutkan keningnya.


02 Pelangi Di Langit Singasari Karya S H. Mintarja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Maksud Ibu" " ia bertanya.
"Kalau kau berbicara dengan aku, Agni, sebagai seorang emban dan sebagai ibumu, aku akan mencoba mencegahnya."
"Kenapa?" "Sudah tentu sebagai seorang ibu, aku mencemaskan nasibmu, Agni. Kau adalah satu-satunya anakku. Kau adalah penyambung hidupku. Dan sebagai seorang emban, aku memang meragukan, apakah benar Angger Kebo Ijo telah melakukannya."
Dada Ken Arok berdesir, ia tidak terkejut ketika ia mendengar alasan ibunya sebagai seorang ibu yang mencemaskan nasib anaknya. Tetapi ia menjadi heran, kenapa ibunya dapat mengatakan bahwa ia meragukan kesalahan Kebo Ijo.
"Kenapa Ibu meragukannya?"
"Aku tidak tahu Agni. Aku memang orang bodoh. Aku terlampau dipengaruhi oleh perasaanku.Seandainya belum terlanjur, maka aku akan dapat bercerita panjang lebar tentang keadaan Ken Dedes."
"Aku ingin mendengar."
"Terlambat. Meskipun aku mencemaskan kau, Agni, tetapi aku tidak dapat melarang kau atau mempengaruhi dengan segala macam cara, sehingga kau ragu-ragu naik ke arena.Meskipun mungkin sikap dan kata-kataku ini sudah membuat kau ragu-ragu, tetapi kau akan segera melupakannya. Apalagi karena Kebo Ijo sendiri sudah mati."
Perempuan tua itu berhenti sejenak. Lalu, "Sudahlah. Hati-hatilah. Kalau kau naik ke arena, berdoalah.Bukan saja agar kau mendapat kemenangan, tetapi yang terpenting bagimu, agar kau mendapat sinar terang di hatimu."
"Apa sebenarnya yang tersimpan di hati ibu?"
"Jangan kau tanyakan sekarang. Kau sudah berada di atas sebuah keputusan untuk perang tanding. Kalau kau mendapat perlindungan dan menang, kau masih mempunyai banyak kesempatan mendengar ceritaku. Segala sesuatu masih dapat diperbaiki. Karena itu, kau harus berusaha sebaik-baiknya.Tetapi kalau kau kalah, maka kau tidak akan mendapat kemungkinan apapun. Sebab, kau harus tahu, akibat dari kekalahan di arena untuk mendukung suatu sikap atas suatu keputusan."
Mahisa Agni menundukkan kepalanya. Ia tahu benar, bahwa perang tanding yang demikian, menurut ketentuan, berlangsung sampai salah seorang kalah dan mati.
"Sudahlah Agni, pergilah."
Mahisa Agni mengangguk perlahan-lahan. Kemudian tanpa sesadarnya ia berlutut di hadapan ibunya, mencium tangannya kemudian sambil berdiri ia berkata, "Aku mohon restu, Ibu. Mudah-mudahan aku dapat mempertahankan keyakinanku, untuk menegakkan keadilan di atas bumi Tumapel."
Ibu menarik nafas dalam-dalam.
"Aku berdoa untuk kemenanganmu, Agni. Tetapi aku tahu bahwa Angger Witantra adalah seorang yang baik. Seorang yang kuat. Dan kau akan menghadapinya."
"Ya, Ibu. Aku menyadari."
"Pergilah." Perlahan-lahan Mahisa Agni melangkah meninggalkan ibunya, keluar dari bilik itu. Demikian Mahisa Agni hilang dibalik pintu, perempuan tua itu terhuyung-huyung melangkah ke sudut. Sejenak ia berpegangan tiang yang tegak dengan kokohnya. Namun kemudian ia jatuh berlutut. Tanpa dapat ditahan-tahan lagi ia menangis sejadi-jadinya. Ia melihat dan merasakan, bahwa Tumapel memang sedang dilanda oleh kekalutan.
"Anakku," desisnya, "mudah-mudahan kau selamat. Meskipun dengan keselamatanmu itu, maka sebuah keadilan telah terguncang. Aku mempunyai keyakinan seperti Angger Witantra, bahwa bukan Angger Kebo Ijo yang telah berbuat. Aku melihat apa yang terjadi sebelum peristiwa pembunuhan ini, dan aku melihat perasaan Ken Dedes setelah peristiwa itu terjadi. Dan aku menarik sebuah kesimpulan, bahwa tangan yang lainlah yang telah berbuat. Tetapi aku terlampau bodoh dan terlampau lemah. Aku tidak mempunyai keberanian seperti Angger Witantra, dan Mahisa Agni ternyata kurang mempunyai bahan pertimbangan. Ia masih terlalu muda."
Perempuan itu menangis sepuas-puasnya. Bilik itu adalah bilik yang jarang sekali dimasuki oleh siapa pun. Yang biasa berada di dalam bilik itu di sore hari adalah Permaisuri Ken Dedes dan kadang-kadang Akuwu sendiri hadir bersamanya untuk sekedar bercakap-cakap.
Tetapi sejak Akuwu terbunuh dan sejak Ken Dedes selalu berada di dalam biliknya, maka bilik ini hampir setiap saat kosong.
Ketika pemomong Ken Dedes itu sudah puas menangis, maka ia pun kemudian mengusap air matanya yang tersisa dengan ujung kainnya, kemudian dengan langkah yang berat keluar dari bilik itu menuju ke bilik permaisuri.
Ketika ternyata permaisuri masih tidur maka ia menarik nafas dalam-dalam. Kepada setiap emban ia telah berpesan, agar permaisuri dijauhkan dari setiap berita mengenai persoalan Akuwu Tunggul Ametung beserta semua akibat-akibatnya, termasuk perang tanding yang akan dilakukan.
Pada saat itu, di alun-alun Tumapel, rakyat sudah berjejal-jejal menunggu perang tanding yang akan datang. Mereka sama sekali tidak menghiraukan beberapa orang perempuan sedang berada dalam kecemasan. Mereka adalah Nyai Witantra, pemomong Ken Dedes dan janda Kebo Ijo. Mereka mencemaskan orang-orang yang mereka kasihi dalam nada yang berbeda-beda.
Ketika matahari memanjat langit semakin tinggi, maka hadirlah pemimpin Tumapel yang enam bersama Mahisa Agni. Kemudian naik ke atas panggung yang khusus, seorang yang akan berdiri berlawanan, Witantra.
Sejenak kemudian maka seorang pemimpin yang tertua naik ke arena dan memberikan kata-kata pengantar yang singkat. Betapa pedihnya melihat putra-putra Tumapel yang terbaik justru akan berhadapan di arena. Namun mereka ternyata tidak dapat dipertemukan lagi di dalam keyakinan. Witantra dengan keyakinannya dan Mahisa Agni yang mendukung keyakinan pemimpin yang enam.
Ketika kemudian seorang prajurit memukul bende, alun-alun itu seakan-akan meledak oleh gemuruhnya sorak orang-orang yang menyaksikan perang tanding itu. Mereka yang sudah lama tidak melihat perang tanding semacam itu, serta mereka yang ingin melihat orang-orang terkuat di Tumapel akan bertempur. Mereka sama sekali tidak menghiraukan lagi, bahwa dengan demikian berarti bahwa kesatuan Tumapel sedang retak. Apabila tidak ada tangan yang kuat untuk membina Tumapel, maka Tumapel sedang meluncur ke dalam jurang perpecahan.
Tetapi sorak-sorai yang membahana itu pun kemudian berangsur mereda ketika mereka melihat kedua orang itu naik ke arena. Ternyata keduanya sama sekali tidak seperti yang mereka bayangkan. Mereka sama sekali tidak berwajah merah padam. Sorot mata mereka tidak menjadi buas dan liar.
Keduanya naik ke arena dengan kepala tunduk. Keduanya mengenakan pakaian keprajuritan. Dan kali ini Witantra sama sekali tidak memakai tanda-tanda kebesarannya. Baik sebagai seorang prajurit pengawal, maupun sebagai seorang manggala kesatuan dan salah seorang pemimpin tertinggi dari pemimpin yang tujuh di Tumapel.
Sejenak mereka saling berpandangan. Tetapi sama sekali tidak terpancar nafsu dari mata mereka.
Ternyata bahwa keduanya adalah orang-orang besar. Mereka adalah orang-orang yang cukup dewasa menanggapi persoalan. Meskipun di dalam hati mereka menyala tekad untuk mempertahankan keyakinan, namun sama sekali tidak membayang nafsu yang tidak terkendali.
Seorang pemimpin yang lain naik juga ke arena, memberikan keterangan tentang keharusan yang berlaku di dalam perang tanding.
"Perang tanding ini berlangsung sampai salah seorang mati, atau atas kehendak yang menang, yang kalah tidak dibunuhnya, tetapi sudah yakin, bahwa ia tidak akan dapat melawan dan memenangkan perang tanding ini apabila dilanjutkan, atas persetujuan kami."
Witantra sama sekali tidak mengajukan keberatan sama sekali, meskipun ia kurang mantap dengan ketentuan itu, karena pemimpin yang enam itu sendiri kesemuanya berdiri di satu pihak. Tetapi Witantra masih yakin, bahwa mereka adalah orang-orang yang memiliki jiwa besar dan jujur menghadapi keputusan ini.
Sedang Mahisa Agni pun masih saja menundukkan kepalanya. Kata-kata ibunya ternyata masih saja terngiang di telinganya. Namun ia selalu ingat pula pesan ibunya itu, "Aku berdoa untuk kemenanganmu Agni."
Ketika semuanya telah siap, maka terdengarlah suara bende sebagai tengara, bahwa perang tanding sudah akan dimulai.Bende pertama memberi tanda bahwa keduanya siap berada di tempat masing-masing. Bende kedua, mereka harus bersiap untuk mulai dengan perang tanding, dan ketika bende ketiga terdengar, maka perang tanding itu pun segera mulai.
Namun justru penonton yang berjejal-jejal itu sama sekali tidak lagi bersuara seperti orong-orong terinjak kaki. Diam. Diam dalam ketegangan. Mereka terpengaruh oleh sikap kedua orang yang kini berada di arena. Keduanya sama sekali tidak menunjukkan nafsu berkelahi yang meluap-luap.
Bahkan mereka masih melihat keduanya maju selangkah dan melihat bibir Witantra bergerak-gerak. Tetapi kata-katanya terlampau lambat untuk didengar oleh mereka, "Aku terpaksa melakukan Agni."
Dan Mahisa Agni pun menganggukkan kepalanya, "Aku mengerti Witantra. Kita bukan lagi anak-anak yang sedang diseret oleh nafsu."
"Baiklah. Tanda untuk mulai sudah berbunyi."
"Aku sudah siap."
Keduanya menjadi semakin mendekat. Betapapun dada mereka menampung persoalan itu dengan nafas kedewasaan, namun mereka pun menjadi semakin tegang juga. Mereka menyadari, bahwa di dalam perang tanding ini mereka bukan saja sekedar mempertahankan keyakinan, tetapi juga mempertahankan nyawa.
Demikianlah, maka mereka pun telah berusaha melupakan semua kenangan tentang hubungan mereka selama ini. Kini mereka sedang mengemban suatu tugas yang adil menurut sudut pandang masing-masing.
Sejenak kemudian mulailah Witantra menyerang. Meskipun ia masih sedang berusaha menjajaki kemampuan lawannya.
Mahisa Agni yang telah siap pun segera menanggapinya, dengan hati-hati ia menghindari serangan pertama itu. Seperti juga Witantra ia mencoba untuk mengetahui, sampai di mana kemampuan lawannya.
Dengan demikian maka dalam gerakan-gerakan yang pertama, tampaklah betapa kedua belah pihak berbuat dengan sangat hati-hati. Keduanya memang bukan orang-orang yang mudah terbakar oleh nafsu tanpa kendali. Sehingga dengan demikian, maka perkelahian itu sama sekali tidak berlangsung seperti apa yang diharapkan oleh sebagian dari para penontonnya. Mereka mengharap, yang naik ke arena adalah ayam sabungan, yang demikian bertemu dengan lawan, langsung berkelahi dengan mata gelap.
Keenam pemimpin yang lain yang berada di dalam sebuah panggungan khusus menyaksikan pertempuran itu dengan berdebar-debar. Seandainya ada jalan lain, maka jalan yang satu ini memang harus dihindari. Setiap serangan dari masing-masing pihak terasa telah menggetarkan dada mereka.
Namun keenam pemimpin yang lain itu pun menyadari, betapa kedua orang yang bertempur itu bukanlah orang-orang yang masih dikuasai oleh nafsu melulu.
Tetapi dengan demikian, agaknya, kecemasan di hati mereka pun menjadi semakin tajam. Orang-orang yang demikian itu adalah orang-orang yang matang di dalam ilmunya, sehingga perkelahian itu pun semakin, lama akan menjadi semakin sengit. Apabila pertempuran itu nanti akan sempat ke puncaknya maka pasti akan membuat setiap jantung seakan-akan berhenti berdetak. Di antara para penonton terdapat seorang anak muda yang bernama Ken Arok. Kali ini ia tidak sedang bertugas di manapun juga, karena ia memang seharusnya berada di alun-alun. Ia adalah seorang pelayan dalam yang ikut langsung menangani masalah Kebo Ijo. Apalagi kematian Kebo Ijo adalah karena tangannya.
Dengan seksama ia mengikuti pertempuran yang terjadi di arena. Tidak seperti orang-orang kebanyakan, maka penilaian Ken Arok jauh lebih dalam. Seperti pemimpin yang enam, maka ia mengharap, pada saatnya perang tanding itu akan menjadi perang tanding yang paling dahsyat yang pernah berlangsung di arena alun-alun Tumapel.
Demikianlah pertempuran itu pun setiap saat telah meningkat. Ketika keduanya telah mulai dibasahi oleh keringat, maka ketegangan di dalam hati keduanya pun meningkat pula, seperti ketegangan di hati pemimpin yang enam, para pemimpin prajurit, para pandega.Senapati dan prajurit-prajurit yang bertugas di seputar arena dan di sekeliling alun-alun. Demikian juga ketegangan di dalam dada Ken Arok. Bahkan yang tampak olehnya di saat itu bukanlah sekedar pergulatan di dalam arena itu, Tetapi Ken Arok memandang alun-alun itu sebagai lautan manusia Tumapel. Tiba-tiba terasa dadanya mengembang. Orang-orang itulah tujuan dari segala macam rencananya. Menguasai semuanya itu.
Tiba-tiba Ken Arok itu tersenyum sendiri. Sebagian terbesar rencananya telah dapat berjalan dengan baik.Apa yang terjadi di arena itu adalah salah satu dari permainannya. Dan ia berbangga karenanya. Witantra adalah pemimpin tertinggi dari pasukan pengawal istana. Mahisa Agni adalah seorang yang pilih tanding, kakak Permaisuri Ken Dedes.
Ia mengharap bahwa akhir dari perang tanding ini adalah, Mahisa Agnilah yang menang. Dengan demikian maka Witantra yang selama ini menentang keputusan tentang Kebo Ijo, tidak akan lagi mengganggunya. Apabila Witantra masih ada, maka ia pasti kelak mengadakan penyelidikan untuk menemukan pembunuh Akuwu Tunggul Ametung yang sebenarnya.
Kalau Witantra kalah dalam perang tanding ini berarti Witantra telah tersingkirkan untuk selama-lamanya.
Ken Arok menarik nafas dalam-dalam. Namun hatinya masih saja berdebar-debar. Meskipun perang tanding di arena itu telah meningkat, namun masih belum mencapai puncak dari kemampuan keduanya. Keduanya masih mencari-cari setiap kemungkinan untuk menyelesaikan perang tanding ini dengan pasti. Kesalahan yang kecil sekalipun akan dapat menggagalkan usaha salah seorang dari mereka.
"Apabila perang tanding ini selesai, dan Mahisa Agni dapat menguasai keadaan, maka aku akan sampai pada rencana terakhir. Aku harus sampai pada kepastian untuk dapat kawin dengan Ken Dedes. Jika hal itu terjadi, maka tidak ada satu atau dua orang lainnya, akulah yang akan menguasai Tumapel. Akulah yang akan menguasai manusia ini seluruhnya termasuk Mahisa Agni, pemimpin yang enam itu dan bahkan Ken Dedes."
Ken Arok masih saja tersenyum sendiri. Diedarkannya pandangan matanya. Dipandanginya setiap prajurit yang sedang bertugas, dan bahkan, kemudian keenam pemimpin Tumapel yang berada di panggung yang khusus. Katanya pula di dalam hatinya, "Suatu saat, kalian akan menjadi orang-orangku yang harus patuh kepada perintahku."
Ken Arok seolah-olah tersadar, ketika ia melihat guncangan dalam perang tanding di arena. Sebuah serangan yang dahsyat, sedahsyat badai, telah mendorong Mahisa Agni, sehingga Mahisa Agni terjatuh. Serangan berikutnya beruntun mengejar Mahisa Agni yang berguling-guling menjauhi lawannya. Namun agaknya Witantra tidak memberinya kesempatan.
Ken Arok menahan nafas. Ia melihat seolah-olah Mahisa Agni tidak berkelahi di dalam puncak kemampuannya sedang Witantra agaknya telah mulai mengerahkan ilmu-ilmu puncaknya.
Namun nafasnya seakan-akan berhenti ketika tiba-tiba saja ia melihat Mahisa Agni mengerahkan kemampuannya. Agaknya ia tidak segera menerima usaha Witantra untuk segera memaksakan akhir dari perang tanding ini. Karena itu, maka Mahisa Agni pun kemudian telah berusaha dengan segenap kemampuan yang ada padanya, untuk melepaskan diri dari keadaan yang sulit, yang tiba-tiba saja telah melibatnya.
Karena ia tidak berhasil mencapai jarak dengan lawannya, maka tiba-tiba Mahisa Agni telah mempergunakan sepasang tangannya untuk melontarkan diri melenting, justru menyerang lawannya.
Witantra terkejut mengalami serangan yang tidak terduga-duga itu. Mahisa Agni telah menjulurkan kedua kaki kirinya sambil membelakangi lawannya, didorong oleh kekuatan lenting tangannya.
Karena itu, maka Witantra tidak sempat untuk mengelak. Dengan cepat ia memiringkan tubuhnya, merendah sedikit pada lututnya dan membentur kedua kaki Mahisa Agni itu dengan sikunya.
Sebuah benturan yang keras telah terjadi.Mahisa Agni hampir saja tertelungkup. Dengan susah payah ia menjatuhkan dirinya pada pundaknya untuk seterusnya berguling beberapa kali. Sedang Witantra terguncang dan terdorong dua langkah surut.
Terdengar keduanya menggeram.Tetapi Witantra tidak segera dapat mengejar Mahisa Agni. karena keseimbangannya. Karena itu maka selagi ia mencoba untuk tegak, Mahisa Agni telah berhasil meloncat berdiri tegak pula di atas kedua kakinya.
Sejenak kemudian mereka pun telah berloncatan maju menyerang dengan garangnya. Witantra bertempur dengan lincah dan tangguh. Setiap langkahnya diperhitungkannya, dan setiap geraknya selalu mendebarkan hati lawannya. Namun Mahisa Agni semakin lama menjadi semakin mantap. Ketika keringatnya telah membasahi seluruh tubuhnya, maka ia tidak segan-segan lagi untuk mempergunakan segenap kemampuannya meskipun ia masih tetap mempergunakan akalnya. Namun tandangnya telah benar-benar menjadi seperti banteng ketaton.
Beberapa saat yang lampau, ia pernah bertempur mati-matian melawan seorang iblis yang paling buas, tidak saja di seluruh Tumapel, tetapi di seluruh Kediri. Setelah ia menyempurnakan ilmunya di bawah bimbingan gurunya, Empu Purwa, dan Empu Sada, maka ia telah berhasil mencari suatu tingkatan ilmu yang dapat mengatasi ilmu iblis itu, dan bahkan mengatasi ilmu gurunya dan ilmu Empu Sada seorang demi seorang.
Itulah sebabnya, maka Mahisa Agni tidak terlampau banyak mengalami kesulitan, ketika ia berperang tanding melawan Witantra, yang masih belum berhasil menyamai gurunya, Panji Bojong Santi.
Namun Witantra adalah seorang yang mempunyai otak yang cerdas. Karena itu, maka segera ia menyesuaikan dirinya dalam pertempuran itu. Ia lebih banyak mempergunakan perhitungan-perhitungan yang teliti, daripada benturan-benturan yang mungkin dapat terjadi. Meskipun demikian, ia masih belum menyadari, bahwa Mahisa Agni yang sekarang adalah Mahisa Agni yang hampir tidak ada duanya.
Di kejauhan, di belakang para penonton yang lain, guru Witantra menyaksikan perkelahian itu sambil mengusap dada. Segera ia menyadari, bahwa lawan Witantra pasti tidak akan dapat dikalahkan oleh muridnya. Betapapun muridnya berusaha dengan segala kemampuan ilmu dan akal. Namun kemungkinan untuk menang dalam perang tanding itu terlampau tipis, dan bahkan hampir tidak ada sama sekali.
"Bagaimana Guru?" bertanya seseorang.
Orang tua itu menarik nafas dalam-dalam. "Aku tidak menyangka, bahwa murid Empu Purwa itu kini telah berhasil mencapai tingkat gurunya."
Muridnya yang bertanya itu Mahendra, mengerutkan keningnya. "Maksud Guru, bahwa tingkat ilmu Mahisa Agni telah melampaui Kakang Witantra?"
"Aku kira demikian."
Mahendra menggigit bibirnya. Ia sama sekali tidak menyangka, bahwa suatu ketika kakaknya Witantra benar-benar akan berhadapan dengan Mahisa Agni di arena.
"Jadi bagaimana, Guru?" bertanya Mahendra cemas.
Gurunya menggelengkan kepalanya, "Aku tidak akan dapat berbuat apa-apa Mahendra. Mereka naik ke arena sebagai dua orang lelaki."
Mahendra mengangguk-anggukkan kepalanya. Memang setiap campur tangan gurunya dalam perang tanding itu pasti hanya akan menodai nama kakak seperguruannya.
"Kasihan Witantra," desis gurunya, "ia telah dibakar oleh keyakinannya. Aku sudah memperingatkan, agar ia mempergunakan cara lain. Apalagi kini ternyata bahwa anak muda yang melawannya itu mempunyai ilmu yang aneh. Aku melihat sebuah perkembangan ilmu Empu Purwa yang diwarnai oleh tata gerak yang luar biasa dari ilmu Empu Sada."
"Empu Sada?" desis Mahendra, "maksud guru Empu Sada guru Kuda Sempana?"
Panji Bojong Santi mengangguk.
Mahendra mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Meskipun ilmunya sendiri tidak jauh berada di bawah kakak seperguruannya, namun terasa sulitnya mengikuti tata gerak Mahisa Agni.
Di arena, ternyata bahwa Witantra pun telah merasakan, bahwa sekali-kali ia ketinggalan dari kecepatan gerak Mahisa Agni. Bahkan dalam beradu tenaga, dalam benturan-benturan yang terjadi, Witantra pun merasa pula, bahwa Mahisa Agni mempunyai beberapa kelebihan daripadanya. Karena itu, maka dadanya pun menjadi berdebar-debar. Ia menjadi cemas bahwa ia tidak akan berhasil membersihkan nama Kebo Ijo dan nama perguruannya. Sama sekali bukan karena nyawanya sendiri.
Demikianlah, perang tanding itu semakin lama menjadi semakin memuncak. Witantra telah terpaksa mengerahkan segenap kemampuan yang ada padanya, lahir dan batin. Semua unsur-unsur gerak yang dimilikinya, dilandasi oleh pengalaman yang tiada terhitung banyaknya yang tersimpan di dalam dirinya, serta tekad yang menyala-nyala di dalam dadanya. Namun demikian ia masih tetap sadar sepenuhnya, sehingga karena itu, ia tidak pernah kehilangan akal.
Dalam pada itu, lambat laun, Mahisa Agni pun menjadi semakin mantap. Meskipun ia tidak dapat meyakini bahwa ia dapat mengalahkan Witantra, namun ia merasa, bahwa ilmunya selapis lebih tinggi dari lawannya.Kalau ia tidak melakukan kesalahan, maka ia berharap untuk dapat memenangkan perang tanding itu.
Karena itu, tanpa kehilangan pengamatan diri Mahisa Agni setapak demi setapak maju terus. Semakin lama ia semakin berhasil mendesak lawannya.
Namun, Witantra tidak dengan mudah menjadi berputus asa. Betapa ia heran, bahwa Mahisa Agni ternyata memiliki ilmu yang tidak dapat diimbanginya. Meskipun demikian, dengan cermat Witantra bertempur terus. Diperasnya segenap kemampuan, akal dan tekadnya untuk tetap bertahan.Mempertahankan hidupnya dan mempertahankan keyakinannya.
Karena itu, maka perkelahian itu pun menjadi semakin lama semakin seru. Keduanya sama sekali tidak bersenjata. Namun keduanya memiliki kemampuan yang luar biasa, sehingga senjata bagi mereka hampir tidak banyak artinya.
Dalam puncak perkelahian itu. mereka saling mendesak, saling menyerang dan saling membenturkan kekuatan masing-masing. Tangan-tangan mereka bergerak dalam irama maut. Mereka sudah tidak dapat lagi membatasi diri dan menahan-nahan kekuatan dan kemampuan. Semua ilmu yang ada telah mereka tumpahkan. Semua.
Ken Arok yang tegang, lambat laun mulai menarik nafas lega.Ia melihat Mahisa Agni telah menguasai keadaan.
Setiap kali ia selalu berhasil mematahkan serangan Witantra dan bahkan menyerangnya kembali. Meskipun sekali dua kali serangan Witantra terasa sangat berbahaya, namun Mahisa Agni selalu dapat menghindarinya.
Tetapi justru dengan demikian, maka Witantra menjadi mapan. Ia merasa bahwa ia akan gagal mempertahankan keyakinannya. Namun ia tidak kehilangan akal. Ia bahkan pasrah diri dalam keadaannya, sehingga perlawanannya justru menjadi semakin mantap. Kedewasaannya sama sekali tidak menyeretnya ke dalam perbuatan putus asa yang berbahaya.
"Bukan main," gumam Mahisa Agni di dalam hatinya, "betapa tenang dan mantapnya pertimbangan di dalam hatinya. Witantra memang seorang yang mempunyai kedewasaan berpikir. Sayang ia harus mengorbankan nama dan nyawanya."
Dalam pada itu Witantra pun berkata di dalam hatinya, "Mahisa Agni telah sampai ke puncak ilmunya yang luar biasa. Agaknya ia telah dimatangkan oleh gurunya, sehingga ia telah mencapai tingkat seperti gurunya sendiri. Namun demikian ia berhasil menguasai dirinya dengan sikap dewasa. Meskipun ia masih semuda itu, ia sempat mengendalikan diri. Tetapi sayang, kali ini ia telah dibakar oleh kepedihan perasaannya karena ia telah kehilangan paman dan iparnya. Sehingga ia telah bertempur untuk suatu keyakinan yang keliru menurut penilaianku. Tetapi apa boleh buat. Sudah menjadi garis hidupku, bahwa mungkin sekali aku harus mati di tangannya."
Demikianlah, maka pertempuran itu merayap ke ujungnya. Keduanya telah memeras segenap kemampuan dan tenaga, sehingga semakin lama tenaga mereka pun semakin menurun pula.
Sehingga agaknya tidak ada jalan bagi Witantra untuk mengakhiri pertempuran itu seperti yang diharapkannya.
Meskipun demikian, di bagian terakhir dari perkelahian itu telah benar-benar menggetarkan jantung. Sekali-kali karena ketenangan dan kematangannya, Witantra masih juga berhasil mengenai lawannya. Suatu kesalahan kecil dari Mahisa Agni telah membuatnya terpelanting. Sebuah pukulan yang dahsyat telah mengenai dagunya. Sebelum ia dapat berdiri tegak, maka Witantra mencoba menggunakan kesempatan itu. Dengan sebuah loncatan panjang ia memburu. Dengan sisi telapak tangannya ia berhasil mengenai pundak Mahisa Agni. Sekali lagi Mahisa Agni terdorong surut. Hampir saja ia kehilangan keseimbangan, namun justru ia meloncat mundur untuk mengambil jarak, sehingga ia mempunyai waktu untuk tegak di atas kedua kakinya. Namun kali ini pun Witantra tidak membiarkannya. Ia tidak akan mendapat kesempatan serupa ini lagi. Karena itu, maka dengan tangkasnya ia meloncat maju mendekati lawannya. Kakinya kali ini diputarnya mendatar setinggi lambung.
Sebuah sambaran yang deras telah menyentuh tubuh Mahisa Agni. Kaki Witantra tepat mengenai lambungnya. Betapa perutnya menjadi mual. Apalagi Witantra telah mempergunakan sepenuh tenaganya.
Mahisa Agni kali ini terdorong ke samping.Namun betapa ia dilibat oleh serangan-serangan beruntun, ia tidak menjadi bingung. Ia sadar sepenuhnya ketika ia melihat Witantra berputar sekali lagi di atas satu kakinya. Maka ketika kaki Witantra yang lain menyambarnya, selagi ia masih belum sempat menguasai keseimbangan seutuhnya, maka ia pun justru menghindar dengan menjatuhkan dirinya, sehingga kali ini Witantra telah kehilangan sasaran.
Sebelum Witantra sempat menarik kakinya, maka sambil berguling Mahisa Agni telah menangkap kaki itu, dan sebuah putaran yang tiba-tiba dibarengi dengan berat badannya sendiri, Mahisa Agni berhasil memutar Witantra, sehingga ia pun terbanting jatuh. Namun Witantra pun tidak menyerahkan dirinya begitu saja. Secepatnya ia menelungkupkan dirinya menyentakkan kakinya yang berada di dalam tangkapan Mahisa Agni dan menyerang sekaligus dengan kakinya yang lain.
Begitu cepatnya, sehingga Mahisa Agni hampir saja kehilangan kesempatan. Tepat pada saatnya Mahisa Agni berhasil menghindar sambil meloncat ke samping.
Namun waktu yang sekejap itu pun telah dimanfaatkan pula oleh Witantra. Dengan tangkasnya ia melenting berdiri di atas telapak kakinya.
Sebuah desir yang tajam telah tergores di jantung Mahisa Agni. Ketika tanpa disengaja ia mengusap bibirnya, maka tangannya telah diwarnai oleh setitik darah dari mulutnya.
Bagaimanapun juga, maka jantung Mahisa Agni menjadi bergelora karenanya. Pundaknya terasa sakit dan perutnya masih juga mual. Namun dalam pada itu, kaki Witantra pun menjadi betapa sakitnya. Nafasnya telah menjadi semakin sesak dan tenaganya pun telah semakin susut.
Darah di bibir Mahisa Agni ternyata telah membuatnya semakin garang. Sakit di pundaknya sama sekali tidak mengganggu geraknya, dan bahkan mual di perutnya pun lambat laun telah hilang.
Namun pada saat yang demikian, agaknya Witantra telah tidak melihat kemungkinan untuk memenangkan perkelahian itu. Karena itu, maka ia akan segera mengambil jalan yang paling cepat. Dengan suatu loncatan panjang ia mengambil jarak dari lawannya. Kemudian diheningkannya hatinya, dipusatkannya segenap kemampuan lahir dan batinnya. Dalam sekejap ia telah mampu membangunkan puncak dari kekuatan ilmunya, aji pamungkasnya.
Mahisa Agni terkejut melihat sikap itu.Ia tidak menyangka bahwa perang tanding ini benar-benar perang tanding antara hidup dan mati. Sudah barang tentu bahwa ia tidak akan membiarkan dirinya hancur lumat dihantam oleh kekuatan yang tiada taranya. Karena itu, maka ia pun segera mempersiapkan dirinya dalam kemampuannya yang tertinggi. Gundala Sasra.
"Terpaksa aku membentur Bajra Pati itu," desisnya, "kalau tidak, maka aku tidak akan keluar dari arena ini."
Keduanya tidak memerlukan waktu yang lama. Puncak ilmu mereka seakan-akan telah siap untuk muncul ke permukaan setiap saat.Dan kali ini pun puncak ilmu dari kedua perguruan itu pun telah siap.
Ken Arok yang menyaksikan keduanya itu pun menahan nafasnya. Ia tidak dapat membayangkan, apakah yang akan terjadi apabila keduanya nanti berbenturan. Bahkan ketika keduanya siap untuk meloncat dan melepaskan ilmu puncak masing-masing, Ken Arok menjadi gemetar, dan darahnya pun serasa berhenti mengalir.
Demikian juga para pemimpin, para manggala, pandega dan senapati-senapati yang mampu menangkap getaran di wajah kedua orang yang berada di arena itu.
Kecuali mereka, Panji Bojong Santi dan Mahendra pun menjadi berdebar-debar. Orang tua yang kekurus-kurusan itu meraba dadanya dengan telapak tangannya. Perlahan-lahan ia bergumam, "Tidak ada kekuatan yang dapat mencegah lagi."
Mahendra pun menjadi tegang. Dan bibirnya terkatup rapat-rapat.
Sekejap kemudian, hampir setiap orang yang berada di seputar arena di alun-alun Tumapel itu memejamkan mata mereka. Mereka tidak sampai hati melihat betapa dahsyatnya benturan yang terjadi di antara keduanya. Keduanya adalah anak-anak terbaik dari bumi Tumapel. Keduanya adalah kekuatan yang dahsyat dari tanah ini.
Akibat dari benturan itu memang dahsyat sekali.Keduanya terlempar beberapa langkah surut. Mahisa Agni merasa, seakan-akan dadanya menjadi retak, dan matanya berkunang-kunang. Tulang-tulangnya seakan-akan terlepas dari persendiannya. Namun ia masih tetap sadar. Dengan susah payah ia menempatkan dirinya, pada keadaan yang sebaik-baiknya ketika ia terbanting jatuh. Ia masih sempat berusaha mengangkat kepalanya sehingga tidak terbentur lantai arena sambil menekuk lututnya dan merentangkan tangannya.Namun kemudian ia menjadi lemah, dan seakan-akan terkulai tidak berdaya.
Dengan sekuat sisa tenaganya. Mahisa Agni masih mencoba untuk mengatur jalan pernafasannya. Ia masih tetap dalam pemusatan segenap kekuatan lahir dan batinnya. Sehingga lambat laun, betapapun lambatnya ia berhasil menguasai keadaan dirinya. Darahnya menjadi semakin lancar, dan tulang-tulangnya pun seakan-akan telah saling berhubungan kembali. Namun terasa betapa badannya seakan-akan terhimpit oleh gunung Kawi. Ketika terasa sesuatu di pipinya, maka Mahisa Agni sadar, bahwa darah telah meleleh dari mulutnya.
"Dadaku terluka di dalam," desisnya.
Namun tiba-tiba terbayang kembali bahwa di arena itu masih ada Witantra. Lawannya yang baru saja membenturkan kekuatan puncaknya melawan Gundala Sasra.Karena itu, maka dikerahkannya kemampuannya, dan perlahan-lahan ia mengangkat kepalanya. Ia tidak mau telentang saja untuk menerima nasibnya, sampai Witantra datang menginjak lehernya.
Tetapi ketika dengan susah payah ia bangkit dan bersandar pada kedua tangannya, sementara kedua kakinya masih tetap menjelujur, ia melihat Witantra masih terbaring diam.
"Oh, agaknya ia pun terluka parah seperti aku," desis Mahisa Agni di dalam hatinya, "namun agaknya keadaanku masih agak lebih baik."
Maka segera diingatnya apa yang baru saja terjadi. Perang tanding yang dahsyat. Namun di dalam perang tanding itu Mahisa Agni menyadari, bahwa tingkat ilmunya masih lebih tinggi setataran dari lawannya. Dan kini, dalam penerapan ilmu puncaknya pun ternyata, bahwa Mahisa Agni lebih kuat dari Witantra. Perlahan-lahan Mahisa Agni berusaha bangkit. Terhuyung-huyung ia berdiri. Ketika ia berusaha menarik nafas dalam-dalam, terasa dadanya menjadi pedih. Namun karena itu, justru ia mengulanginya beberapa kali, sehingga terasa tubuhnya agak menjadi lebih segar, meskipun dadanya serasa masih pepat.
Tertatih-tatih Mahisa Agni melangkah maju. Sejenak kemudian langkahnya tertegun. Ia masih melihat Witantra terbaring diam. Namun tiba-tiba dahinya berkerut. Perlahan-lahan Witantra membuka matanya. Seperti dirinya sendiri, dari mulut Witantra pun telah meleleh darah. Agaknya ia pun terluka di dalam dadanya.
Dengan susah payah Witantra mencoba menarik nafas dalam-dalam. Sekali, dua kali. Dan ia pun menyeringai menahan sakit, betapa dadanya serasa terbelah.
Samar-samar ia melihat Mahisa Agni berdiri beberapa langkah daripadanya. Sekilas terbayang di kepalanya, apa yang baru saja terjadi. Namun kemudian terbayang tubuh yang tegak berdiri itu maju mendekatinya dan tanpa kesulitan apapun mencekiknya sampai mati, karena ia masih belum mampu berbuat apapun juga.
Dan ternyata Witantra memang melihat Mahisa Agni itu setapak maju. Setapak lagi. Sedang pandangan mata Witantra masih juga agak kabur.
Tidak ada kemungkinan lain bagi Witantra daripada pasrah diri kepada nasibnya. Kepada kekuasaan Yang Maha Agung. Ia sama sekali bukan seseorang yang mudah jatuh ke dalam keputusasaan.Seperti saat itu ia pun sama sekali tidak berputus asa. Tetapi adalah suatu kenyataan yang tidak dapat diingkarinya, bahwa tubuhnya sama sekali tidak dapat digerakkannya untuk melawan.Tangannya serasa telah terlepas dari tubuhnya dan dadanya serasa telah pecah.
Ketika ia memaksa diri menggerakkan kakinya, maka betapa sakit tulang-tulang belakangnya sampai meraba ubun-ubun. Karena itu ia hanya dapat menyeringai, kemudian membiarkan apa saja yang akan dilakukan oleh Mahisa Agni atasnya.
Tetapi Mahisa Agni yang melangkah tertatih-tatih mendekatinya itu tertegun dan berhenti beberapa langkah daripadanya. Ia melihat bahwa Witantra seakan-akan sama sekali tidak bergerak. Pimpinan tertinggi pasukan pengawal itu terbaring di lantai arena tanpa berdaya sama sekali menolak apa saja yang akan terjadi atasnya, sebagai akibat dari usahanya untuk mempertahankan keyakinannya.
Witantra yang masih terbaring itu semakin lama menjadi semakin sadar akan keadaan di sekelilingnya. Dan ia menjadi heran kenapa Mahisa Agni masih saja berdiri mematung. Kenapa anak muda itu tidak segera menyelesaikan tugasnya, membunuhnya sama sekali.
Dalam keragu-raguan menghadapi lawannya itu. Witantra masih juga berusaha untuk mengatur pernafasannya. Satu-satu ia mencoba menyegarkan dadanya yang seolah-olah telah pecah.
Sementara itu di luar arena, Ken Arok mengerutkan keningnya. Wajahnya semakin lama menjadi semakin tegang. Kenapa Mahisa Agni tidak segera menyelesaikan lawannya yang sudah tidak berdaya" Betapa lemahnya Mahisa Agni saat itu, namun ia masih mampu berjalan maju.Mendekap leher Witantra sampai ia tidak dapat menarik nafas lagi.Bahkan tanpa mengeluarkan tenaga sama sekali ia akan dapat melakukannya.Dengan mendekap hidung Witantra, maka lambat laun Witantra akan terputus juga nafasnya.
Tetapi kenapa Mahisa Agni masih tegak di tempatnya"
Beberapa orang yang lain pun menjadi heran. Perang tanding itu adalah perang tanding sampai mati. Apakah Mahisa Agni menganggap bahwa Witantra sudah tidak akan dapat melawannya lagi dan tidak akan membunuhnya" Tetapi apabila demikian, hal itu akan sangat berbahaya bagi Mahisa Agni sendiri. Witantra pada dasarnya adalah seorang yang memiliki ilmu yang tinggi.Kalau ia masih hidup, maka ia tidak akan dapat melupakan kekalahannya. Ia hanya memerlukan waktu yang singkat untuk menyempurnakan ilmunya. Dan setelah itu, maka perang tanding ini pasti akan berulang. Dan Mahisa Agni tidak akan sepasti ini menyelesaikan pekerjaannya.
Dada setiap orang menjadi semakin berdebar-debar ketika mereka melihat Mahisa Agni melangkah maju. Namun dada itu berguncang ketika mereka melihat Mahisa Agni kemudian justru berjongkok di samping Witantra.
"Witantra," desis Mahisa Agni, "marilah kita anggap persoalan kita sudah selesai."
Witantra membelalakkan matanya. Namun ketika ia mencoba untuk bangkit, terasa bahwa tenaganya seolah-olah benar-benar sudah lenyap sama sekali.
"Belum," desisnya kemudian, "kau baru selesai apabila aku sudah mati. Dan sekarang kau mempunyai kesempatan untuk membunuh aku."
Mahisa Agni merenungi wajah Witantra yang pucat itu sejenak.Tiba-tiba ia menggelengkan kepalanya, "Tidak Witantra. Aku tidak dapat membunuhmu."
"Gila kau Agni. Itu suatu penghinaan yang tiada taranya bagi seorang prajurit di dalam arena perang tanding. Tidak. Kau harus membunuh aku."
Sekali lagi Mahisa Agni menggelengkan kepadanya, "Itu tidak perlu Witantra."
"Kau gila. Apa memang kau ingin menghinakan aku" Setelah kau pamerkan kemenanganmu di hadapan rakyat Tumapel, kemudian kau pamerkan keluhuran budimu sekedar untuk menghina aku" Itu bukan suatu perbuatan yang terpuji Mahisa Agni."
"Apapun yang akan kau katakan tentang diriku Witantra, tetapi aku sama sekali tidak mendapat dorongan untuk membunuhmu. Bahkan sekarang aku tidak tahu lagi arti dari perang tanding ini yang sebenarnya."
"Kenapa?" bertanya Witantra dengan nafas terengah-engah."bukankah kita masing-masing sedang mempertahankan keyakinan kita?"
Mahisa Agni menggelengkan kepalanya. Jawabnya, "Aku sekarang menjadi ragu-ragu. Apakah kebenaran dapat dipertahankan dengan cara ini" Sebagaimana keadaan yang sebenarnya telah terjadi, tidak akan berubah, siapa pun sama sekali tidak akan dapat mengubah keyakinan di dalam dirimu dan di dalam diriku. Ternyata kita telah berbuat suatu kebodohan."
"Apa maksudmu?"
Mahisa Agni tidak segera menjawab. Perlahan-lahan ia menarik nafas dalam sekali. Kemudian desahnya, "Aku tidak tahu, apakah hasil dari perkelahian ini. Aku tidak tahu dan justru aku tidak meyakininya. Yang dapat kita lakukan adalah suatu keputusan yang diakui oleh rakyat Tumapel selain suatu kebenaran. Dalam hal ini pembunuhan atas Akuwu Tunggul Ametung. Tetapi bukan kebenaran itu sendiri."
"Bukankah memang itu maksudmu" Agar seluruh rakyat Tumapel mengutuk Kebo Ijo sebagai seorang pembunuh" Pembunuh Akuwu Tunggul Ametung dan pembunuh pamanmu Empu Gandring?"
Mahisa Agni termenung sejenak. Kemudian perlahan-lahan kepalanya terangguk lemah.
Witantra pun terdiam pula untuk sejenak. Dicobanya memperbaiki letak tubuhnya. Namun terasa betapa tulang-tulangnya seakan-akan berpatahan.
Tanpa disangka-sangkanya Mahisa Agni bergeser maju dan membantunya menggerakkan kakinya.
"Terima kasih," desis Witantra.
Sementara itu orang-orang yang berdiri di sekitar arena itu, seakan-akan membeku di tempatnya. Mereka tidak tahu, apakah yang sebenarnya telah terjadi di arena.Mereka tidak mendengar apa yang dipercakapkan Mahisa Agni dan Witantra. Namun mereka dapat membaca di wajah Mahisa Agni, bahwa gairahnya untuk membunuh lawannya tiba-tiba telah padam.
"Mahisa Agni," desis Witantra kemudian, "kau harus membunuh aku. Tidak ada gunanya lagi aku hidup. Karena aku pasti sudah tidak berharga lagi di mata rakyat Tumapel. Kau harus tahu, bahwa seseorang yang kalah di arena, tetapi ia turun dari arena ini dalam keadaan hidup, maka ia adalah orang yang paling hina. Jauh lebih hina dari kaum paria."
"Tidak Witantra," jawab Mahisa Agni, "kau memiliki ilmu dan kemampuan. Kau dapat mencari cara yang baik bagimu untuk memanfaatkan ilmumu."
"Kau harus membunuh aku supaya kemenanganmu sempurna. Kalau aku tidak mati Agni, aku pasti masih akan memperjuangkan keyakinanku."
"Itu hakmu Witantra."
"Tetapi kau harus membunuh aku.Harus."
Mahisa Agni menggeleng, "Tidak."
"Agni kalau kau tidak membunuhku, akulah yang pada suatu saat akan membunuhmu."
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Tetapi ia kemudian menjawab, "Seandainya memang terjadi demikian, aku tidak akan kecewa."
"Persetan!" Witantra tiba-tiba menggeram, "Ayo bunuh aku!"
Mahisa Agni tidak menyahut.
"Cepat, sebelum rakyat Tumapel bersorak menghinaku."
Mahisa Agni masih tetap membeku.
"Agni, apakah kau pengecut yang tidak berani melihat mayat terbujur di bawah kakimu?"
Tetapi Mahisa Agni masih tetap diam.
"Agni, Agni." Suara Witantra itu telah menghentak-hentak dada Mahisa Agni, sehingga ia tidak tahan lagi.Selangkah ia bergeser mundur. Namun Witantra justru berteriak sambil menyeringai, "Cepat Agni, cepat."
Suara itu serasa bergulung-gulung di dalam dada Mahisa Agni. Sejenak ia menjadi bingung, bahkan dicobanya untuk menyumbat telinganya dengan telapak tangannya. Tetapi suara itu seakan-akan bergema memenuhi rongga telinganya.
"Tidak, tidak," tiba-tiba Mahisa Agni berteriak untuk mengatasi suara Witantra yang serasa semakin menderu di telinganya.
Tetapi suara Witantra itu sama sekali tidak terdesak karenanya, bahkan semakin keras, "Bunuh aku, bunuh aku."
"Tidak! Tidak!" Mahisa Agni berteriak semakin keras.Tetapi suara itu masih saja, tetap didengarnya.
Karena itu, maka Mahisa Agni akhirnya tidak tahan lagi berada di samping Witantra yang pucat seperti kapas, yang terbaring menenggang nafas. Maka tanpa diduga oleh siapa pun juga. Mahisa Agni itu pun segera meloncat berdiri dan berlari menjauh. Tidak saja sampai ke sudut arena, namun kemudian ia pun meloncat turun dan berlari menyusup di antara para penonton yang berdiri dengan mulut ternganga.
Para pemimpin yang enam, Ken Arok, para senapati dan para pemimpin prajurit yang lain pun terheran-heran karenanya. Mereka seolah-olah terpukau sehingga mereka sama sekali membeku untuk sesaat. Bahkan Witantra sendiri menjadi heran. Heran sekali.
Baru sejenak kemudian alun-alun itu menjadi gempar.Setiap orang bergeramang tanpa ujung dan pangkal. Bahkan salah seorang pemimpin yang enam itu berteriak, "He. ke mana Mahisa Agni itu?"
Tidak seorang pun yang menjawab, karena memang tidak seorang pun yang tahu.
Namun dalam pada itu. Ken Arok mempunyai pikiran yang lain. Ia menyadari bahwa Mahisa Agni tidak dapat membunuh Witantra. Dan bahwa Witantra masih tetap hidup itu akan sangat berbahaya baginya.
Karena itu, maka ia memutar otaknya untuk dapat berbuat sesuatu.
Sementara itu, beberapa orang tanpa mereka sengaja telah menebar.Seolah-olah ada suatu keharusan pada mereka untuk menemukan Mahisa Agni.Karena itu, maka beberapa orang justru bertanya-tanya, "Di mana Mahisa Agni?"
"Seharusnya ia memenangkan perang tanding itu," sahut yang lain.
"Itu sudah pasti, tetapi kenapa ia meninggalkan arena dan justru lari terbirit-birit," bertanya yang lain lagi.
Tidak seorang pun dapat menjawab. Semuanya hanya mampu melontarkan bermacam-macam pertanyaan yang tidak akan terjawab.
Sementara itu Ken Arok merayap semakin dekat dengan arena. Di dalam dadanya berkecamuk berbagai macam persoalan. Kadang-kadang ia menjadi ragu-ragu, namun kadang-kadang ia menjadi begitu bernafsu.
"Anak itu harus mati!" geramnya, "Bagaimanapun juga caranya. Aku dapat berpura-pura menolongnya atau berbuat apapun atas Witantra, sementara itu aku dapat mencekiknya. Ia sudah terlampau lemah dan tidak mungkin akan dapat melawan atau bahkan mengeluh sekalipun."
Dengan demikian, maka Ken Arok sama sekali tidak menghiraukan lagi ke mana Mahisa Agni akan pergi. Yang terpatri di dalam kepalanya adalah meremas leher Witantra sampai mati.
Ken Arok mengharap, selagi orang-orang di sekitar arena itu sibuk dengan Mahisa Agni, maka kesempatan itulah yang akan dipergunakannya. Tidak akan ada orang yang memperhatikan apa yang akan dilakukannya. Mereka akan terkejut dan mungkin heran, apabila, mereka melihat Witantra itu mati. Namun mereka pasti akan menyangka, bahwa hal itu terjadi karena luka yang parah di dalam dadanya.
Demikianlah, maka Ken Arok telah mengambil suatu keputusan.Ialah yang akan menyelesaikan pekerjaan Mahisa Agni. Membunuh Witantra yang masih terbaring di arena.
Ketika orang-orang di sekitar arena itu masih belum tenang, Ken Arok telah berdiri di sisi arena itu, Dengan dada yang berdebar-debar ia semakin mendekat, dan dengan sebuah loncatan ia telah berada di atas arena, tanpa seorang pun yang memedulikannya. Bahkan pemimpin Tumapel yang enam pun agaknya masih terlampau sibuk bertanya kepada para pengawal, ke mana Mahisa Agni pergi. Dan seandainya ada orang yang memperhatikannya pun, ia dapat mengatakan bahwa sebenarnya ia ingin menolong Witantra yang begitu saja ditinggal terbaring di arena.
Sekilas Ken Arok menebarkan pandangannya. Agak tergesa-gesa. Apalagi orang-orang di sekitar arena itu bergerak-gerak seperti gabah di penampian.
Namun ketika ia selangkah maju mendekati Witantra, tiba-tiba hatinya berdesir. Nafasnya serasa berhenti mengalir dan menyumbat tenggorokannya, sehingga dadanya menjadi pepat.
Perlahan-lahan ia mendengar seseorang bertanya. "Apakah Witantra dapat ditolong, Ngger?"
Ketika Ken Arok berpaling, dilihatnya seorang tua yang kekurus-kurusan. Panji Bojong Santi. Sedang di sampingnya berdiri adik seperguruan Witantra, Mahendra.
Ken Arok menarik nafas dalam-dalam. Tetapi hatinya mengumpat-umpat tidak habis-habisnya, di hadapan orang itu ia tidak akan dapat berbuat apa-apa. Sedang ia tahu bahwa orang itu adalah guru Witantra, seorang yang pilih tanding.
"Bagaimana, Ngger?" bertanya orang tua itu pula.
Ken Arok tergagap. Namun ia kemudian menjawab, "Aku sedang mencobanya Kiai. Mudah-mudahan tidak ada peraturan yang melarang untuk menolongnya."
"Bukankah Angger juga seorang prajurit?"
"Ya, tetapi aku kurang memperhatikannya. Hal serupa ini terlampau jarang terjadi. Apalagi selagi masih ada Akuwu. Selama aku berada di istana, hal serupa ini baru untuk pertama kalinya terjadi."
"Baiklah. Kalau begitu biarlah kami yang menolongnya. Biarlah Witantra kami bawa pulang ke padepokan kami."
Ken Arok mengerutkan keningnya. Jika demikian maka usahanya untuk membunuh orang itu menjadi terlampau sulit. Karena itu maka ia pun berkata, "Tetapi jangan sekarang. Biarlah ia berada di arena lebih dahulu. Kalau tidak ada suatu keputusan apapun dari pemimpin yang enam, biarlah aku akan mengambilnya dan menyerahkannya kepada Kiai."
"Tetapi ia akan mati Ngger, apabila tidak segera mendapat pertolongan."
Ken Arok mengerutkan keningnya. Desisnya, "Aku akan mencoba menolongnya di atas arena. Karena aku seorang prajurit, maka aku akan lebih leluasa untuk berbuat sesuatu di sini. Sebaiknya Kiai dan Mahendra jangan berada di dekat arena ini supaya tidak menumbuhkan kecurigaan."
Panji Bojong Santi mengerutkan keningnya yang sudah keputih-putihan. Namun bisiknya, "Keadaan Witantra sudah terlampau gawat. Aku akan mengambilnya sekarang, apapun yang akan terjadi. Aku minta Angger membantu aku. Tetapi aku tidak akan mencurinya. Aku akan menemui pemimpin yang enam itu, dan memintanya dengan berterus terang."
Dada Ken Arok menjadi berdebar-debar. Tetapi sebelum ia dapat menjawab, Mahendra telah bergeser dari tempatnya sambil berkata, "Akulah yang akan menghadap pemimpin yang enam itu."
Ken Arok tidak dapat mencegahnya. Karena itu dengan dada berdebar-debar ia memandangi langkah Mahendra yang pergi menghadap ke panggung yang khusus bagi pemimpin yang enam.
Mahendra menganggukkan kepalanya dalam-dalam di hadapan mereka sebagai tata kesopanan apabila ia menghadap para pemimpin, yang apalagi belum semua dikenalnya.
"Siapa kau anak muda?" bertanya salah seorang dari keenam pemimpin itu.
"Aku adalah Mahendra, saudara seperguruan Kakang Witantra yang sekarang terbaring di arena."
"Oh, maksudmu?" keenam pemimpin itu menjadi berdebar-debar. Mereka menyangka, bahwa anak muda yang bernama Mahendra ini akan menuntut kekalahan saudara seperguruannya, dengan membuka kemungkinan untuk mengadakan perang tanding yang baru. Apabila demikian, maka keadaan akan berlarut-larut tidak ada putus-putusnya.
Tetapi Mahendra berkata. "Aku datang bersama guruku. Aku ingin memohon agar Kakang Witantra yang meskipun telah terkalahkan, tetapi masih hidup itu, untuk kami bawa ke padepokan."
Keenam pemimpin itu terdiam sesaat. Mereka pun tahu benar, akibat dari kekalahan Witantra itu baginya. Selagi ia masih hidup, maka persoalannya tidak akan terhenti sampai sekian.
Tetapi keenam pemimpin itu tidak dapat membuat perintah untuk membunuh Witantra. itu adalah hak Mahisa Agni.Dan tiba-tiba saja Mahisa Agni telah lari meninggalkan arena, justru setelah ia memenangkan perang tanding itu. Sehingga tidak seorang pun yang tahu, apakah sebabnya, maka ia berbuat demikian.
Karena mereka tidak segera menjawab, maka Mahendra pun mendesaknya, "Apakah ada keharusan, bahwa Kakang Witantra harus mati" Sehingga apabila ia masih hidup, maka ia harus dibunuh?"
Hampir bersamaan keenam pemimpin itu menggeleng.
"Tidak," sahut salah seorang dari mereka.
Mahendra menarik nafas dalam-dalam. Tumbuhlah harapan di dalam hatinya untuk dapat membawa kakak seperguruannya itu kembali ke padepokan. Kemudian apabila ia telah sadar benar, menunggu perintahnya, apakah yang sebaiknya dilakukan.
Meskipun Witantra naik ke arena sebagai seorang lelaki, namun kekalahannya telah membuat hati Mahendra terbakar juga.
"Jadi," katanya kemudian, "dengan demikian aku membawanya keluar dari arena?"
Keenam pemimpin itu masih saja ragu-ragu. Mahendra berdiri saja menunggu keputusan mereka tanpa bergeser dari tempatnya.
"Biarlah Witantra dibawa oleh saudara seperguruannya itu," desis salah seorang dari mereka, "bagaimanakah pendapat kalian tentang hal ini?"
"Baiklah, aku tidak berkeberatan," sahut yang lain. Akhirnya karena pemimpin itu bersepakat untuk memberikan Witantra yang masih hidup itu kepada saudara seperguruannya.
"Bawalah. Mudah-mudahan ia segera sembuh."
"Terima kasih," jawab Mahendra sambil menganggukkan kepalanya dalam-dalam.
Mahendra pun segera meninggalkan panggung khusus itu kembali ke arena. Dikatakannya kepada gurunya, bahwa keenam pemimpin itu telah memberinya izin untuk membawa Witantra pulang.
"Kau harus berterima kasih kepada mereka," berkata gurunya.
"Aku sudah mengucapkannya. Aku sangat berterima kasih."
Panji Bojong Santi menarik nafas dalam-dalam.Kemudian katanya kepada Ken Arok, "Sudahlah, Ngger. Biarlah kami mengambil Witantra. Aku akan berusaha untuk mengobatinya."
Dada Ken Arok menjadi berdebar-debar. Ia melihat nafas Witantra menjadi semakin teratur, meskipun masih tampak betapa lemah tenaganya. Namun ia tidak dapat berbuat apa-apa. Ia hanya dapat menganggukkan kepalanya sambil, berkata, "Silakan.Silakan."
Mahendra pun segera meloncat naik ke panggung bekas arena perang tanding itu. Kemudian didekatinya kakak seperguruannya dan berjongkok di sampingnya.
"Kakang," desisnya.
Witantra yang sudah tidak berpengharapan itu membuka matanya. Dilihatnya Mahendra, dan beberapa langkah di belakangnya, Ken Arok berdiri kaku.
"Tinggalkan aku," desisnya perlahan-lahan, "umurku sudah aku ikhlaskan."
"Guru ada di sini Kakang."
"He?" wajah Witantra memancar sesaat, namun kemudian menjadi suram kembali, "di mana Guru sekarang?"
"Di bawah, di samping arena ini."
"Aku mohon maaf, bahwa aku telah menodai nama perguruanku. Aku telah berani naik ke arena perang tanding, namun aku tidak dapat mengatasi Gundala Sasra yang hampir sempurna itu."
"Guru memerintahkan aku untuk membawamu ke padepokan Kakang."
"Aku kira akan lebih baik bagiku, apabila aku mati di arena perang tanding ini daripada di padepokan."
"Tetapi itu perintah Guru, Kakang."
Witantra terdiam sejenak. Ia tidak dapat melawan perintah gurunya, sehingga karena itu, maka katanya, "Terserahlah, apabila Guru benar-benar memerintahkannya."
"Marilah, aku bantu Kakang berjalan dan turun dari arena ini."
Witantra tidak menjawab lagi. Dibiarkannya Mahendra melingkarkan tangannya di bawah lehernya, kemudian perlahan-lahan mengangkatnya bangkit.
Alangkah sakitnya punggung Witantra. Seandainya tidak memiliki ketahanan tubuh yang luar biasa, maka tentu tidak akan kuat lagi menanggung sakit yang demikian. Bahkan ketika ia sudah terduduk dilayani oleh adik seperguruannya. tiba-tiba mulutnya mengalir darah yang kehitam-hitaman.
"Oh," Mahendra terkejut. Tanpa disadarinya ia berpaling mencari gurunya.
Panji Bojong Santi yang melihatnya, menjadi cemas juga, sehingga ia pun kemudian meloncat naik ke arena. Demikian tergesa-gesa ia mendekati muridnya yang ternyata terluka cukup parah di dadanya.
Ketika Witantra melihat gurunya, maka dipaksanya mulutnya berkata, "Maafkan aku, Guru. Aku tidak dapat berlahan, sehingga dengan demikian aku telah menodai nama perguruan."
"Jangan salahkan diri sendiri, Witantra," jawab gurunya.
"Akhir yang paling baik bagiku sekarang adalah kematian."
"Jangan putus asa. Kau akan membuat kesalahan baru lagi." gurunya berhenti sejenak, lalu. "kalau kau mencari kesalahan, maka semua pihak bersalah. Aku pun bersalah, karena aku tidak dapat membuatmu tanpa tanding."


02 Pelangi Di Langit Singasari Karya S H. Mintarja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sekali lagi ia berhenti, kemudian setelah menarik nafas dalam-dalam ia berkata, "Karena itu, kau harus tetap hidup, supaya kau sempat berbuat sesuatu."
"Namaku sudah dihinakan di arena ini. Aku akan tersingkir dari pergaulan. Apalagi di kalangan keprajuritan."
"Tetapi itu tidak berarti bahwa semua kemampuan yang telah ada padamu itu pun ikut tersingkir. Kau masih dapat mempergunakannya untuk kepentingan yang lain."
Witantra tidak menyahut, tetapi ia justru menyeringai menahan sakit di dadanya.
"Aku tidak dapat berbuat sesuatu dalam perang tanding ini," gumam gurunya, "karena kau adalah laki-laki. Dan kau telah berbuat sebagai seorang laki-laki."
"Tetapi yang sempurna, perang tanding ini diakhiri dengan kematian."
Gurunya menggelengkan kepalanya, "Tidak perlu. Dan kau harus berani menghadapi hari depanmu yang suram itu sebagai seorang lelaki pula. Kau tidak dapat lari. Kalau kau terbunuh, terbunuhlah. Tetapi selagi kau masih hidup, kau harus berani menghayatinya."
Witantra yang terluka parah itu terdiam. Ia tidak dapat berbantah dengan gurunya. Bagaimanapun juga gejolak perasaannya, ia harus keluar dari arena itu.
"Sebenarnya aku ingin mati di arena ini," katanya di dalam hati, "tetapi guru menghendaki lain."
Witantra pun kemudian dengan dibantu oleh Mahendra mencoba untuk berdiri. Betapa sakit seluruh tubuhnya, namun Witantra telah memaksa dirinya. Perlahan-lahan mereka pun kemudian menepi dan dengan susah payah Witantra telah ditolong turun oleh guru dan saudara seperguruannya.
Ken Arok masih saja berdiri di dekat mereka. Ketika Witantra kemudian duduk bersandar tiang-tiang arena ia pun mendekat.
"Mudah-mudahan kau akan segera sembuh, Witantra," desisnya. Namun di telinga Witantra ucapan itu tidak lebih dari suatu ejekan yang pahit. Namun Witantra mengangguk sambil menyeringai menahan sakit.
"Angger Ken Arok," berkata Panji Bojong Santi, "Aku akan segera minta diri. Aku sangat berterima kasih kepadamu Ngger, bahwa aku sempat membawa Witantra kembali ke padepokan."
"Oh, bukankah aku tidak berbuat apa-apa?" sahut Ken Arok.
Penghianatan Di Bukit Kera 1 Dewa Arak 35 Kemelut Rimba Hijau Senopati Pamungkas 25
^