Pencarian

Pendekar Seratus Hari 1

Pendekar Seratus Hari Karya S D. Liong Bagian 1


dunia-kangouw.blogspot.com
Karya : S.D. Liong E-book : dunia-kangouw.blogspot.com
Sumber : andu0396 " indozone.net
01.01. Maut Berpesta"
Kota Lok-yang yang tengah dicengkam musim salju, tampak sunyi senyap. Kota bekas kota kerajaan itu
seolah terbungkus oleh selimut putih.
Di pesanggrahan yang menjadi makam raja-raja Han, tampak dua orang tengah menikmati keadaan tempat
itu. Yang satu seorang anak lelaki kecil, memegang tali kendali dua ekor kuda tegar. Anak itu tak henti-hentinya
menggigil kedinginan. Sedang yang satu, seorang pemuda berwajah pucat. Dandanannya seperti seorang guru sekolah atau
sasterawan. Dari makam yang terletak di dataran yang ketinggian, ia lepaskan pandang mata ke arah jalan
raya dalam kota Lok-yang. Tampak beberapa penunggang kuda mencongklang di sepanjang jalan raya itu.
"Nyo Ih, mari kita pulang," tiba-tiba sasterawan muda itu berseru kepada si anak lelaki.
"Ih, Siau sianseng, aku sungguh kagum sekali kepadamu," seru anak itu, "dalam hawa begini dingin engkau
tak kedinginan sama sekali. Apakah engkau juga belajar ilmu silat seperti ayahku?"
Dalam bicara itu Nyo Ih si anak lelaki itupun sudah menyemplak kudanya. Sasterawan muda menepuknepuk bahu anak itu dan tersenyum: "Nyo Ih, bagaimana engkau tahu kalau aku tak kedinginan" Itulah
karena aku biasa tahan lapar dan tahan dingin. Lihatlah tanganku ini. Betapa lemahnya, sampai tak kuat
untuk menyembeli ayam saja. Bagaimana engkau mengatakan aku bisa ilmu silat?"
Demikian kedua penunggang kuda itu, seorang sasterawan muda dan seorang anak lelaki, segera
mengendarai kudanya menyusur sepanjang jalan raya di kota Lok-yang.
Lok-yang adalah kota raja timur pada jaman kerajaan Han. Sebuah kota yang ramai, makmur dan indah.
Setelah masuk kota dan melintasi sebuah gang, akhirnya sasterawan muda dan anak lelaki itu berhenti di
muka pintu sebuah gedung besar yang terletak di bagian barat kota.
"Nyo Ih, engkau ini bagaimana" Kemana saja engkau pada hari sedingin ini......?" Serentak terdengar
lengking suara seorang anak perempuan yang merdu dan halus.
Dan serempak dengan seruan itu seorang nona baju hijau melesat keluar dari dalam pintu.
Melihat si nona, sasterawan muda itu cepat loncat turun dari kudanya dan memberi hormat. "Nona Nyo,
maafkan aku. Karena keisengan kuminta Nyo Ih membawa aku melihat-lihat makam raja."
Sasterawan muda itu menutup kata-katanya dengan menjurah selaku minta maaf. Jelas tubuh sasterawan
itu menggigil kedinginan.
Ketika melihat sasterawan muda itu hanya mengenakan baju tipis, heranlah nona itu, serunya: "Siau
sianseng, mengapa engkau keluar hanya mengenakan pakaian begitu tipis" Toh, engkau sampai gemetar,
kalau sampai terserang dingin tentu bisa sakit...... mari, lekas ikut aku masuk ke dalam rumah."
Memang saat itu tampak wajah sasterawan muda pucat, tubuh gemetar keras. Ia pun terus ikut nona itu
masuk ke dalam. Si anak lelakipun ikut juga.
Ketika melalui sebuah lorong, nona baju hijau berkata: "Siau sianseng, hari ini akan terjadi suatu peristiwa
dalam rumahku. Ayah telah pesan kepada seluruh penghuni supaya jangan keluar rumah. Engkau tadi
membawa adik Ih keluar, kalau sampai terjadi apa-apa, wah......"
Nona itu tak melanjutkan kata-katanya. Wajahnya yang ayu menampil kecemasan.
Sasterawan muda terkejut, tanyanya: "Apa katamu, nona Ing" Apakah yang akan terjadi di rumah nona ini?"
dunia-kangouw.blogspot.com
Nona baju hijau itu berpaling memandangnya lalu menghela napas: "Engkau seorang sasterawan yang tak
kenal seluk beluk dunia persilatan. Walaupun kuberitahu, engkau tetap takkan mengerti liku-liku kehidupan
dalam dunia Persilatan......"
Kemudian ia berpaling kepada adiknya si anak lelaki: "Lekas engkau masuk ke dalam, mamah sudah
bingung mencarimu." Mendengar itu Nyo Ih pun segera bergegas lari masuk.
Nyo Cu-ing, demikian nama nona baju hijau itu, menghela napas dan berkata pula: "Siau sianseng, saat ini
di ruang besar sudah penuh dengan tetamu-tetamu. Mereka kebanyakan adalah tokoh-tokoh silat kelas
satu. Mari engkau ikut aku masuk. Apabila engkau mendengarkan pembicaraan mereka, tentu engkau bakal
mengetahui sendiri peristiwa itu."
Sasterawan muda itu menjadi guru ilmu sastera pada keluarga Nyo Jong-ho, ayah si nona baju hijau. Dia
bernama Siau Lo-seng. Nyo Jong-ho khusus mengundang guru itu untuk mengajar ilmu sastera kepada
putera tunggalnya Nyo Ih, anak lelaki tadi.
Selekas melangkah masuk ke dalam ruang besar, ternyata di situ sudah penuh dengan tetamu-tetamu yang
tak kurang dari duapuluh orang jumlahnya. Mereka duduk di kursi yang telah dijajar-jajar menurut urutan
tingkat kedudukan. Sedangkan pada deret atas, terdapat duabelas kursi thay-su-ih atau kursi kehormatan.
Tetapi saat itu yang isi baru lima kursi.
Kelima tetamu yang duduk pada kursi kehormatan itu, yang tiga orang lelaki pertengahan umur. Bertubuh
kekar, alis lebat, matanya bundar besar. Masing-masing memanggul pedang di bahunya. Sedang yang
seorang lagi, seorang tua berambut putih, bertubuh kurus kering. Sepasang matanya meram-meram melek
seperti ayam yang tengah tidur.
Di atas kursi pimpinan, duduklah tuan rumah sendiri Nyo Jong-ho bergelar It-pit-ci-thian atau Pena Penunjuk
Langit. Seorang tokoh yang berumur limapuluhan tahun, mata tajam, tubuh tinggi besar. Jenggotnya
menjulai ke dada, menambah kewibawaan wajahnya. Dia mengenakan pakaian warna biru.
Melihat puterinya masuk ke dalam ruang dengan bapak guru Siau, Nyo Jong-ho memberi anggukan kepala.
Kemudian ia berkata kepada tetamu orangtua bertubuh kurus tadi.
"Saudara Han, hanya dalam satu tahun Kim-coa Long-kun itu muncul dalam dunia persilatan, tetapi kaum
persilatan sudah merasa gentar dengan sepak terjangnya yang ganas. Kemunculannya seolah-olah akan
mengaduk lagi suasana dunia persilatan yang sudah tenang......"
Saat itu sasterawan muda Siau Lo-seng sedang berjalan di samping para tokoh-tokoh silat. Sampai setelah
ia duduk di samping si nona yang mengambil tempat duduk di deret kursi thay-su-ih, ternyata tubuh guru itu
masih bergemetaran. Melihat wajah guru Siau pucat sekali, bertanyalah si nona: "Siau sianseng, apakah engkau kedinginan"
Kalau badanmu tak enak, aku akan suruh orang memanggilkan sinshe. Sekarang baiklah engkau
beristirahat di ruang dalam saja."
Siau sianseng, berarti guru Siau. Sebutan yang diberikan oleh putera puteri keluarga Nyo kepada Siau Loseng.
"Ai, nona Nyo, terima kasih," kata guru muda itu, "disini lebih hangat dari di luar. Sebentar lagi aku tentu
baik." Aneh, begitu dia mengatakan tentu baik, tubuhnyapun tidak lagi gemetar. Bahkan wajahnya yang pucat lesi,
pun mulai bertebar merah.
Sekalian tetamu melihat keadaan guru muda yang begitu lemah, mereka tak menghiraukan lagi.
Salah seorang dari ketiga tetamu yang duduk di kursi thay-su-ih, tertawa dingin. serunya: "Nyo tayhiap,
ucapanmu itu keliwat memuji orang. Hanya seorang Kim-coa Long-kun saja, masak engkau anggap begitu
hebat sehingga mampu mengaduk ketenangan dunia persilatan" Hm, bukan aku Gak Kiong hendak
menyombongkan diri. Tetapi apabila Kim-coa Long-kun berjumpa dengan kami bertiga saudara Kang-lam
Sam-kiam, tentu dia baru tahu rasa!"
Kata-kata besar itu kalau lain orang yang mengucapkan tentu akan ditertawakan orang. Tetapi bicara itu
adalah salah seorang dari Kang-lam Sam-kiam atau Tiga pedang dari Kang-lam yang selama duapuluh
dunia-kangouw.blogspot.com
tahun namanya menggetarkan dunia persilatan. Dia bernama Gak Kiong bergelar Toan-ciok-kiam atau
Pedang Pembelah Batu. Kang-lam Sam-kiam terdiri dari tiga tokoh pedang yakni Than-lui-kiam atau Pedang Siput Rawa Cu Kong-ti,
Ceng-kong-kiam atau Pedang Baja Hijau, Bok Seng-bu dan Pedang Pembelah Batu Gak Kiong.
"Ah, memang saudara Gak bertiga, amat cemerlang dalam angkasa persilatan. Jarang orang yang mampu
meloloskan diri dari Kang-lam Sam-kiam. Tetapi......" tiba-tiba tuan rumah, Nyo Jong-ho hentikan katakatanya.
?"" sepak terjang Kim-coa Long-kun itu memang luar biasa, tindakannya ganas. Selama setahun ini
berturut-turut dia telah membunuh tokoh-tokoh ternama antara lain Hun-liong Jit-gan (Tujuh Belibis dari
Hun-liong), Kwan-gwa Su-hiong (Empat Jago dari Kwan-gwa), Hoa-san Ngo-hou (Lima Harimau Hoasan)...... Bila kematian mereka itu berturut-turut dibunuh Kim-coa Long-kun, itu masih tak mengherankan.
Tetapi yang mengejutkan, mereka serempak pada waktu yang sama, mati di bawah Pedang Ular Emas, dan
lagi kabarnya......"
Nyo Jong-ho mengangkat muka memandang tetamunya, si orang tua yang matanya meram-meram melek
itu. Tampak orangtua itu menyalangkan matanya lebar-lebar. Sinar matanya yang berkilat-kilat tajam
mencurah kepada ketiga persaudaraan Kang-lam Sam-kiam, lalu berkata dengan nada dingin:
"Ketua perguruan Sin-kun-bun, Pembelah laut Gan Ti-kiat yang bersahabat baik dengan aku, pada
setengah bulan yang lalu telah mati dibunuh Kim-coa Long-kun. Tigabelas jiwa keluarganya, satupun tak
dibiarkan hidup......"
Mendengar itu berobahlah seketika wajah ketiga Kang-lam Sam-kiam itu. Kiranya orang tua itu adalah ketua
dari perguruan Thay-kek-bun yang termasyhur. Namanya Han Ceng-jiang. Dia dan Pembelah laut Gan Tikiat, dianggap sebagai dua tokoh tua dalam dunia persilatan. Yang satu ahli pukulan Thay-kek-ciang dan
yang satu ahli ilmu pukulan Sin-kun. Setiap orang persilatan tahu siapa kedua jago tua itu.
Mendengar bahwa Gan Ti-kiat beserta ketigabelas keluarganya dibasmi habis-habisan oleh Kim-coa Longkun, ketiga jago Kang-lam Sam-kiam itu terkejut bukan alang kepalang.
Nyo Jong-ho pun berkata pula dengan nada serius: "Dahulu atas budi kecintaan dari segenap sahabatsahabat persilatan, aku telah diangkat sebagai pemimpin persilatan baik dari golongan Putih maupun dari
golongan Hitam. Tujuh tahun yang lalu, karena sudah merasa tua, aku pun mengundurkan diri hingga
sekarang. Tetapi walaupun tak aktif dalam dunia persilatan, aku mendapat laporan dari muridku tentang
keadaan dunia persilatan. Tokoh-tokoh baru yang muncul hanya sedikit sekali, boleh dikata dapat dihitung
dengan jari. Tetapi kemunculan Kim-coa Long-kun itu sungguh mengejutkan sekali. Sama sekali orang tak
dapat mengetahui asal usulnya bahkan namanyapun tiada orang yang tahu......"
Nyo Jong-ho berhenti sejenak untuk menghela napas. Kemudian melanjutkan pula.
"Yang aneh lagi, kabarnya Kim-coa Long-kun itu seorang pembunuh bayaran. Dia datang dan lenyap
seperti bayangan, sepak terjangnya ganas luar biasa. Mengingat peristiwa itu amat gawat, maka akupun
terpaksa bergerak lagi. Kukirim surat undangan kepada sahabat-sahabat persilatan untuk datang kemari
merundingkan persoalan itu. Mengingat jaraknya amat jauh, kemungkinan wakil perguruan Tong dari Sujwan, baru besok pagi bisa datang. Oleh karena belum lengkap, baiklah kita tunggu saja sampai besok pagi.
Sekarang silahkan saudara Han, saudara Cu bertiga beristirahat dalam ruang yang telah kami sediakan......"
Baru tuan rumah mengucap begitu, tiba-tiba seorang penjaga pintu masuk dan memberi laporan: "Nyo loya,
Tong lihiap bersama Hong-hu tayhiap telah datang."
Mendengar itu Nyo Jong-ho dan sekalian tetamu segera memandang keluar. Aneh, jika tuan rumah dan
tokoh-tokoh terkemuka itu terkejut mendengar kedatangan kedua suami isteri dari Su-jwan, tidaklah
demikian dengan delapan tetamu yang duduk pada deretan tempat duduk di bagian bawah, tidak ikut
terkejut melainkan masih duduk seperti patung.
Nyo Jong-ho dan tokoh-tokoh terkemuka itu tak sempat memperhatikan keadaan mereka.
Sesaat kemudian dari luar terdengar suara seorang wanita melengking tawa: "Hai, Nyo Jong-ho, mengapa
engkau tak keluar menyambut kedatangan kami berdua suami isteri......"
Seiring dengan lengking suara si wanita yang masih berkumandang itu, seorang pria dan seorang wanita
pun sudah melangkah masuk ke dalam ruang besar. Yang wanita, berpakaian indah gemilang. Yang pria
pun mentereng sekali. Usia mereka baru tigapuluhan tahun.
dunia-kangouw.blogspot.com
Kedua orang itu adalah sepasang suami isteri yang memimpin perguruan Tong-ke-bun di Su-jwan.
Namanya amat termasyhur di dunia persilatan. Yang perempuan bernama Tong Ki, digelari oleh kaum
persilatan sebagai Cek-jiu-tok-ciam atau Tangan Ganas Jarum Beracun. Sedang suaminya Hong-hu Hoa
gelar Hian-giok-siau atau Seruling Kumala.
Nyo Jong-ho serentak berbangkit dan tertawa: "Kalian berdua suami isteri, benar-benar seperti naga sakti.
Kepalanya tampak tetapi ekornya tak kelihatan. Bagaimana aku sempat untuk menyambut" Mari, silahkan
masuk dan maafkan keterlambatanku menyambut!"
Tangan Ganas Jarum Beracun Tong Ki serta suaminya Seruling Kumala Hong-hu Hoa tersenyum. Dari
deretan kursi yang keempat, mereka naik keatas deretan kursi yang muka.
Sekonyong-konyong Tangan Ganas Jarum Beracun Tong Ki melengking kaget......
Dengan tubuh agak gemetar ia berputar tubuh menghampiri ke muka seorang tetamu, mengamatinya
sejenak lalu tiba-tiba mundur tiga langkah, dengan tangan kiri ia menampar pelahan.
"Plak......," angin tamparan itu membuat tetamu yang diam saja itu rubuh seperti batang pisang ditabas.
Sudah tentu peristiwa itu mengejutkan sekalian orang yang hadir. Mereka saling berpandangan dengan
heran. Nyo Jong-ho, ketua Thay-kek-bun Han Ceng-jiang dan ketiga jago pedang Kang-lam serempak berbangkit
lalu cepat-cepat menghampiri.
Seruling Kumala yang bermata tajam segera mengetahui bahwa ketujuh tetamu yang duduk pada deretan
dengan orang yang rubuh tadi pun sudah tak bernyawa lagi.
Beberapa tokoh ko-jiu (sakti) yang duduk di sebelah ketujuh orang itu, ulurkan tangan mendorong. "Bluk,
bluk......" ketujuh orang itupun berhamburan rubuh ke lantai.
"Hai, mereka sudah mati!" teriak seorang tetamu bertubuh kekar yang merabah hidung dan dada salah
seorang korban itu. Nyo Jong-ho serentak berobah wajahnya. Dengan suara serak ia bertanya kepada Tangan Ganas Jarum
Beracun Tong Ki: "Tong lihiap, bagaimanakah sesungguhnya yang telah terjadi?"
Peristiwa menggemparkan itu memang Tong Ki yang lebih dahulu mengetahui. Itulah sebabnya maka tuan
rumah mengajukan pertanyaan kepadanya.
Pertanyaan tuan rumah itu segera disusul dengan pandang mata dari segenap tetamu yang mencurah ke
arah jago wanita yang berwajah cantik. Bahkan ada sementara tetamu yang menjatuhkan prasangka bahwa
peristiwa itu tentu Tong Ki yang melakukan.
Memang Tangan Ganas Jarum Beracun Tong Ki memiliki kepandaian melepas senjata-rahasia yang tiada
lawannya dalam dunia persilatan. Tanpa mengeluarkan suara dan tanpa diketahui, dia dapat membunuh
orang dengan senjata rahasia. Jarumnya yang beracun termasyhur sebagai jarum maut.
Melihat dirinya dilihat begitu rupa oleh sekalian orang, marahlah Tangan Ganas Jarum Beracun Tong Ki. Ia
kerutkan alis dan mendengus geram.
"Nyo tayhiap," serunya, "kalian sekian banyak orang mengapa tak ada seorangpun yang tahu bahwa ada
delapan orang yang telah dicelakai musuh. Malah kalian bertanya kepadaku tentang hal itu. Adakah kalian
mendakwa aku yang membunuhnya?"
Kata-kata itu diucapkan dengan nada geram dan menyindir.
Saat itu Nyo Cu-ing pun menghampiri ke samping ayahnya. Mendengar kata-kata itu, iapun marah, serunya:
"Diketahuinya kedelapan orang itu mati, adalah setelah kalian berdua masuk. Sudah tentu kalian berdua
suami isteri tak lepas dari prasangka orang!"
01.02. Siapa Pembunuh Gelap"
Ucapan puteri dari Nyo Jong-ho itupun membangkitkan kemarahan sekalian orang terhadap Tong Ki dan
suaminya. dunia-kangouw.blogspot.com
Sudah tentu Tangan Ganas Jarum Beracun Tong Ki makin murka. Ia membentak: "Kedelapan orang itu
memang aku yang membunuh, lalu kalian mau apa?"
Mendengar itu Nyo Cu-ing pun marah juga, serunya: "Bunuh jiwa harus ganti jiwa. Tanpa sebab apa-apa
engkau membunuh mereka begitu kejam. Kalau tak dapat memberi alasan yang masuk akal, jangan harap
kalian berdua suami isteri dapat tinggalkan tempat ini dengan selamat!"
Karena marahnya Tong Ki tertawa mengikik. Nadanya macam hantu mengukuk di tengah malam, serunya:
"Engkoh Hoa, mari kita pergi. Coba lihat saja mereka mampu berbuat apa terhadap kita!"
Suasanapun menjadi tegang sekali. Tong Ki mengajak suaminya keluar dari ruang itu. Sudah tentu sekalian
tokoh terutama si nona baju hijau Cu-ing takkan tinggal diam.
Apabila sekalian orang begitu tegang, tidaklah seperti guru Siau. Dia masih duduk terlongong-longong,
entah sedang memikirkan apa. Oleh karena seri wajahnya begitu kosong, sukarlah orang untuk mengetahui
apakah dia saat itu sedang dicengkam ketakutan atau kemarahan......
Begitu Tong Ki ayunkan langkah maka Cu-ing pun cepat melesat menghadangnya, Tong Ki menampar
dengan tangan kiri. Melihat tamparan itu mengandung tenaga dalam yang tersembunyi, terkejutlah Cu-ing. Diapun puteri dari
Pena Penunjuk Langit Nyo Jong-ho yang pernah menjadi pemimpin dunia persilatan. Sudah tentu nona
itupun memiliki kepandaian yang hebat.
Setelah agak mengendapkan tubuh sedikit ke bawah, Cu-ing terus hendak menyongsong dengan tangan
kanannya...... "Ing, berhenti!" bentak Nyo Jong-ho seraya kebutkan lengan jubahnya yang kiri untuk merintangi tangan
puterinya. Kemudian jago tua itu berpaling: "Tong lihiap, ini suatu kesalahan paham. Harap maafkan
kelancangan puteriku tadi......"
Kemudian ia menyuruh Cu-ing meminta maaf kepada wanita itu. Sesungguhnya Cu-ing masih penasaran
tetapi ia tak berani membantah perintah ayahnya.
"Saudara Nyo, sudahlah, tak perlu minta maaf," melihat itu Seruling Kumala Hong-hu Hoa cepat
menyelutuk, "semua ini hanya salah paham. Ya, kejadian ini memang terlalu mendadak sekali sehingga
kami berduapun tak tahu apa-apa."
Mendengar itu, Tangan Ganas Jarum Beracun Tong Ki deliki mata dan hendak membantah suaminya tetapi
Seruling Kumala Hong-hu Hoa membisikinya: "Ki-moay, menilik gelagatnya, pembunuh itu memang sengaja
hendak memindahkan kedosaannya kepada kita. Dia jelas hendak mengadu domba. Maka yang penting
kita harus memeriksa dulu bagaimana keadaan luka korban-korban itu."
Tetapi rupanya wanita bengis itu masih belum lenyap kemarahannya. Ia mendengus: "Apakah hubungannya
soal itu dengan kita?"
"Tong soso, maafkan kekurang ajaranku tadi," tiba-tiba Cu-ing meminta maaf, memberi hormat lalu mundur
ke samping. Nyo Jong-ho menghela napas, ujarnya: "Sungguh tak kira kalau si pembunuh berada di depan hidung dan
sekali gus telah membunuh delapan......"
Tiba-tiba tuan rumah itu hentikan kata-katanya. Rupanya ia menyadari telah kelepasan omong. Dia bekas
pemimpin dunia persilatan golongan Putih dan Hitam dari tujuh wilayah. Namanya sangat termasyhur dan
terhormat. Apabila ia melanjutkan kata-katanya, berarti ia menampar mukanya sendiri.
Thay-kek-ciang Han Ceng-jiang menghiburnya: "Ah, tak perlu Nyo bengcu menyesal. Rasanya setiap
saudara yang berada disini juga mempunyai perasaan seperti bengcu."
Setelah Cu-ing meminta maaf, kemarahan Tong Ki pun sudah reda. Saat itu ia mulai memeriksa mayat
seorang korban. Ia mendesis kaget.
Kiranya mayat itu kecuali tubuhnya kaku, wajahnya masih tetap seperti biasa. Dan tubuhnya tak terdapat
setitik lukapun juga. Demikian dengan lain-lain mayat. Tetapi Tong Ki seorang ahli senjata rahasia. Cepat ia
dapat mengetahui bahwa kematian korban-korban itu disebabkan karena terkena senjata rahasia yang
menyusup tepat pada jalan darah.
dunia-kangouw.blogspot.com
Tetapi saat itu ia belum dapat menemukan senjata rahasia yang berada dalam tubuh korban. Suatu hal
yang membuatnya heran. Ia kerutkan dahi merenung.
Beberapa saat kemudian baru ia berkata: "Nyo bengcu, tolong suruh orang untuk memeriksa kepala setiap
korban itu." Serempak lima orang segera menyibak rambut kepala beberapa korban dan memeriksa jalan darah Pekhui-hiat di ubun-ubun.
"Hai...... benar! Memang ubun-ubunnya terkena sebatang senjata rahasia!" seru mereka terkejut. Ketika
rambut di bagian ubun-ubun kepala disibak, tampaklah sebuah titik yang bersinar emas.
"Jangan dicabut!" Tong Ki cepat mencegah ketika salah seorang hendak mencabut benda bersinar emas
itu. Ia menghampiri dan memeriksa benda itu. Dengan kuku jarinya ia mengungkit benda itu keluar.
"Ha, si Pendekar Ular Emas yang membuat gara-gara!" serunya.
Sekalian orang memandang ke arah benda berwarna emas itu. Panjangnya hanya satu dim lebih sedikit,
bulat berkeluk-keluk seperti ular.
Jarum Ular Emas! Setelah beberapa saat Tangan Ganas Jarum Beracun Tong Ki memperhatikan jarum Ular Emas itu, ia
menghela napas: "Perguruan keluarga Tong di Su-jwan sudah berpuluh tahun menjagoi dunia persilatan
dalam ilmu menggunakan senjata rahasia. Tetapi jarum Ular Emas ini luar biasa sekali buatannya. Terbuat


Pendekar Seratus Hari Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dari bahan emas murni dan indah sekali bentuknya!"
Saat itu ketiga jago pedang dari Kang-lam pun menjemput sebatang jarum Ular Emas dari kepala seorang
mayat. Menyaksikan peristiwa itu, kejut Nyo Jong-ho tak terlukiskan. Dia segera teringat akan suatu peristiwa ngeri
yang telah lampau. Tetapi ia samar-samar ingat peristiwa itu karena tak begitu berkesan dalam hatinya.
Beberapa saat lamanya tuan rumah itu tegak terlongong-longong seperti patung.
"Nyo bengcu," tiba-tiba Tangan Ganas Jarum Beracun Tong Ki berseru kepadanya, "dapatkah engkau
menuturkan bagaimana peristiwa ini sampai terjadi?"
Thay-kek-ciang Han Ceng-jiang menghela napas: "Harap Tong lihiap jangan menanyakan soal itu. Jika
engkau tak datang dan mengetahui hal itu, mungkin sampai saat ini kami yang hadir disini tak mengetahui
bahwa kedelapan orang itu sudah mati."
"Dari keadaan para korban itu," kata Tangan Ganas Jarum Beracun Tong Ki, "kematian mereka, terjadi
paling lama setengah jam yang lalu. Dengan begitu terang kalau pembunuhnya itu tentu belum dapat
melarikan diri." Kemudian jago wanita itu berpaling ke arah tuan rumah: "Nyo bengcu, cobalah engkau periksa, apakah ada
salah seorang tetamu yang telah meninggalkan ruangan ini?"
Mendengar itu Nyo Jong-ho segera keluarkan mata memandang sekalian tetamu.
"Tidak ada yang pergi. Semua masih lengkap," serunya sesaat kemudian.
Jago wanita itu anggukkan kepala, ujarnya: "Menurut perhitunganku, pembunuhnya kalau tidak
menyelundup di antara yang hadir disini untuk melepaskan senjata rahasia......"
Berkata sampai disini tiba-tiba wajah Tong Ki berobah cerah, serunya pula: "Nyo bengcu, kapankah kalian
memasuki ruangan ini?"
"Dua jam yang lalu," sahut Nyo bengcu atau ketua Nyo. Tiba-tiba ia teringat akan kata-kata jago wanita itu
bahwa para korban itu telah mati setengah jam yang lalu. Diam-diam ia terkejut.
"Setelah kalian masuk," tanya pendekar wanita itu pula, "sebelum kami berdua suami isteri datang, siapakah
yang masuk ke dalam ruang ini......"
Dalam berkata-kata itu Tong Ki memandang kepada sekalian tetamu. Tiba-tiba pandang matanya tertumbuk
pada sasterawan muda yang menjadi guru di gedung keluarga Nyo. Seketika ia berseru: "Hai, siapakah
orang itu?" dunia-kangouw.blogspot.com
Mendengar itu Cu-ing cepat berpaling. Ketika dilihatnya guru Siau duduk seperti patung, ia terkejut sekali
karena mengira guru itupun tentu terkena jarum Ular Emas.
"Siau sianseng, Siau sianseng......" serunya cemas.
"Ah," Siau Lo-seng mendesah seperti orang terbangun dari mimpi, "sungguh membuat orang mati kaget.
Delapan orang yang sehat tak kurang suatu apa, dalam sekejap saja sudah jadi mayat......"
Habis berkata guru muda itu gemetar tubuhnya dan matanya memancarkan rasa ketakutan.
Melihat itu Nyo Jong-ho kerutkan alis, menghela napas kecil: "Ah, dia guru ilmu sastera dari puteraku.
Nyalinya kecil seperti tikus. Seorang sasterawan yang lemah dan tak kuat mengangkat sebatang pedang
saja." "Lalu siapa yang masuk paling akhir?" tanya jago wanita Tong Ki pula.
"Guru sastera itu," kata Nyo Jong-ho, "bersama anakku Cu-ing."
Mendengar keterangan itu seketika berobahlah wajah Tong Ki. Cepat ia melesat ketempat sasterawan
muda itu. Melihat itu Cu-ing cepat berseru gopoh: "Tong soso, dia...... dia guruku sastera."
Tangan Ganas Tong Ki tertawa dingin: "Jangan kuatir, tak nanti aku melukainya!"
Tetapi walaupun mulut mengatakan begitu, kedua tangan Tong Ki yang putih sudah menjulur untuk
mencengkeram pergelangan tangan guru muda Siau. Sedang jari tangan kirinya secepat kilat menusuk
tenggorokan guru itu. "Celaka!" Nyo Jong-ho terkejut dan berseru tertahan. Ia tak menduga kalau Tong Ki akan bertindak begitu,
maka tak keburu mencegahnya lagi.
Sepintas pandang, gerakan Tong Ki itu luar biasa ganas, seperti menghadapi lawan yang dibencinya.
Ganas dan dahsyat. Tetapi sebenarnya serangan itu hanya untuk menguji saja, adakah guru itu seorang yang berisi atau
kosong. Jika guru muda itu memang mengerti silat, dia tentu akan menghindari serangan maut pada
tenggorokannya. Atau paling tidak, perobahan mukanya tentu dapat diketahui.
Pada saat ujung jari Tong Ki hampir menyentuh tenggorokan ternyata guru itu hanya terlogong-logong
memandang penyerangnya saja.
Sudah tentu Tong Ki terkejut dan cepat menggelincirkan ujung jarinya ke leher.
"Aduh......," guru Siau menjerit kaget dan tubuhnyapun rubuh ke belakang. Untunglah Tong Ki cepat
menyambar tangan kiri guru itu terus ditariknya supaya jangan jatuh.
Guru Siau itu benar-benar tak bertenaga. Begitu ditarik, tubuhnyapun ikut terangkat ke muka terus hendak
menjatuhi dada Tong Ki. Tong Ki terkejut. Karena muka guru itu hampir rebah pada buah dadanya. Cepat ia lepaskan cekalan
tangannya dan meluncur ke belakang.
"Bluk......," karena menubruk tempat kosong, guru Siau pun rubuh ke tanah.
Melihat itu, Cu-ing buru-buru menghampiri dan menolongnya bangun. Tampak wajah guru itu pucat lesi dan
tubuhnya gemetar. Dia terlongong-longong memandang Cu-ing.
Nona itu marah. Dipandangnya Tong Ki dengan geram lalu berseru dingin: "Seorang pendekar wanita yang
termasyhur, masakan bertindak begitu keliwatan terhadap seorang sasterawan yang lemah?""
"Ing, bawalah Siau sianseng masuk," cepat ayahnya membentak.
Sebenarnya Cu-ing hendak menumpahkan kata-kata yang pedas terhadap Tong Ki tetapi karena dibentak
ayahnya, terpaksa ia hentikan kata-katanya, lalu berbisik kepada guru Siau.
"Siau sianseng, jika engkau belajar silat, tentu takkan dihina orang sampai begitu. Mari, pembicaraan dari
orang-orang persilatan disini, tak selayaknya engkau ikut mendengarkan," kata Cu-ing.
dunia-kangouw.blogspot.com
Mendengar itu Siau Lo-seng berpaling memandang Tong Ki lalu memberi hormat kepada Nyo Jong-ho:
"Tuan Nyo, maaf karena aku telah mengganggu pembicaraan para orang gagah di sini."
Habis berkata ia terus melangkah keluar.
Saat itu tampak Tong Ki juga agak malu. Wajahnya merah dan tegak termangu.
Nyo Jong-ho memberi hormat kepada jago wanita itu serunya: "Maafkan kalau kedatangan Tong lihiap
berdua ke rumahku telah menderita beberapa peristiwa yang menyinggung perasaan. Besok aku tentu akan
menghaturkan maaf sendiri. Dan saat ini sudah malam, harap lihiap berdua suka beristirahat dalam
pondokku." Tangan Ganas Tong Ki menunduk, merenung lalu berkata seorang diri: "Aku tak percaya dalam dunia
persilatan terdapat ilmu melepas senjata rahasia yang sedemikian luar biasa itu. Kurasa tentu dia, tetapi ah,
dia sama sekali tak mengerti ilmu silat......"
Thay-kek-ciang Han Ceng-jiang menghela napas: "Kalau menilik gelagatnya, saat ini Pendekar Ular Emas
itu sudah berada di antara kita. Dengan membunuh delapan penjaga, mungkin dia memang sengaja datang
kemari hendak memusuhi kita."
Pedang Siput Rawa Cu Kong-ti dari tiga serangkai jago pedang Kang-lam, tertawa dingin: "Kami kuatir dia
tak berani unjuk muka. Kalau Pendekar Ular Emas itu berani unjuk diri, kami bertiga Kang-lam Sam-kiam
lah yang pertama-tama akan menghadapinya."
Hong-hu Hoa, suami dari Tangan Ganas Jarum Beracun Tong Ki, seorang pendiam. Dia tahu dan ikut
memikirkan pula peristiwa aneh yang terjadi dalam ruangan itu tetapi karena wataknya diam maka diapun
tak mau ikut banyak bicara.
Hanya ketika mendengar pernyataan Pedang Siput Rawa Cu Kong-ti yang garang tadi, ia tersenyum,
serunya: "Saudara Cu, sifat gagah perwira dan berbudi itu memang baik. Tetapi......"
Tiba-tiba isterinya menukas dengan bisik-bisik: "Engko Hoa, seharusnya engkau membantu isterimu untuk
menghindari kesulitan di sini."
Nyo Jong-ho pun tahu akan kecerdasan Seruling Kumala itu. Maka iapun segera meminta: "Saudara Honghu, bagaimanakah pendapat saudara tentang peristiwa aneh yang terjadi disini ini?"
Tampak wajah Hong-hu hoa berobah serius sahutnya: "Apa yang dikatakan isteriku tadi memang benar.
Pendekar Ular Emas itu memang berada di antara kita disini. Tetapi setelah dilakukan pertanyaan dan
pemeriksaan, jumlah orang yang patut dicurigai menjadi lebih kecil. Karena betapapun saktinya seorang
tokoh, dalam ilmu melepas senjata rahasia pun tak mungkin dapat melepas senjata rahasia jarum Ular
Emas itu tanpa diketahui orang sama sekali. Senjata rahasia itu tentu mengeluarkan suara atau cahaya.
Dan setiap suara atau cahaya yang aneh, tentu tak mungkin terlepas dari pandang Nyo bengcu. Maka
kesimpulannya, pembunuh itu tentu menggunakan ilmu menjentik dengan jari untuk melentikkan senjata
jarum rahasia itu ke kepala korbannya......"
Mendengar uraian itu diam-diam Nyo Jong-ho mengagumi. Ia kerutkan dahi dan bertanya pula: "Tetapi
saudara Hong-hu......?"
Hong-hu Hoa cepat menukas dengan tertawa pelahan: "Nyo bengcu, sebenarnya aku sudah mempunyai
rencana. Tak sampai besok pagi tentu sudah dapat kita ketahui siapa biangkeladinya......" tiba-tiba ia
membisiki ke dekat telinga tuan rumah.
Sesaat kemudian Nyo Jong-ho lalu berseru kepada beberapa penjaga: "Kalian boleh mundur dan bawalah
ke delapan jarum Ular Emas itu kemari."
Rombongan pengawal gedung kediaman keluarga Nyo itu segera melakukan perintah. Mereka segera
keluar. Dalam ruangan kini tinggal tujuh orang tokoh yakni ketiga jago pedang Kang-lam, Thay-kek-ciang Han
Ceng-jiang, tuan rumah sendiri, jago wanita Tong Ki dan Hong-hu Hoa.
Setelah bicara dengan pelahan-lahan mereka bertujuh pun masuk ke dalam, sedang kedelapan batang
jarum Ular Emas tadi, diletakkan di atas meja di ruang pertemuan tadi.
Ruang pertemuan yang beberapa saat tadi penuh dengan tetamu dan gempar dengan peristiwa
terbunuhnya delapan orang, saat itupun sepi.
dunia-kangouw.blogspot.com
Nyo Jong-ho menyetujui rencana Hong-hu Hoa. Ia meninggalkan delapan batang jarum Ular Emas itu di
atas meja dan mengajak para tetamunya masuk ke dalam.
Rupanya Hong-hu Hoa hendak menjebak si pembunuh. Apabila pembunuh itu berani mengambil kembali
jarumnya, mereka segera akan menyergap.
Malampun makin kelam. 01.03. Kim-coa Long-kun Kentungan tengah malam telah berbunyi Kota Lok-yang sunyi senyap. Kota yang pada siang hari sibuk
bermandikan keramaian dan perdagangan, saat itu tidur nyenyak.
Demikian gedung kediaman keluarga Nyo yang termasuk gedung kelas mewah. Sunyi lelap.
Tiba-tiba dari halaman sebuah bangunan yang terletak di belakang gedung besar, dan dari wuwungan
gedung besar, melambung dua-tiga sosok bayangan.
Bangunan di belakang gedung besar itu sebuah villa yang diberi nama villa Merah Delima. Menjadi tempat
tinggal Nyo Cu-ing, puteri kesayangan dari Nyo Jong-ho. Tetapi sejak kedatangan guru Siau pada tiga bulan
yang lalu, Cu-ing pindah dan villa itu dipakai oleh guru Siau.
Lampu di kamar tulis villa Merah Delima saat itu masih menyala. Dan terdengar suara keras dari guru yang
masih membaca buku. Di balik pohon yang tumbuh di luar villa itu terdengar sebuah helaan napas. Lalu terdengar nada suara tuan
rumah berkata seorang diri: "Sudah berpuluh-puluh tahun aku berkecimpung dalam dunia persilatan.
Apakah kali ini aku salah menduga orang" Ah?" dia ternyata memang seorang pelajar yang miskin."
Habis berkata Nyo Jong-ho terus melangkah ke lorong serambi. Tiba-tiba dari atas wuwungan gedung
melayang turun sesosok tubuh.
Nyo Jong-ho tidak terkejut bahkan berseru kecewa: "Ai, saudara Gak, malam ini hanya merepotkan kalian
saja." Sosok tubuh yang melayang turun dari wuwungan rumah besar itu ternyata Gak Kiong, salah seorang dari
tiga pendekar pedang Kang-lam.
"Nyo bengcu, apakah ada gerak gerik guru Siau yang mencurigakan?" bisik Gak Kiong.
Nyo Jong-ho gelengkan kepala: "Saudara Gak, tak perlu kita menyelidikinya lagi. Dia hanya, seorang pelajar
yang giat belajar untuk mengangkat nama. Malam begini larut dan dingin, dia masih saja membaca buku.
Aku akan ke ruang depan menemui Hong-hu tayhiap suami isteri."
Gak Kiong kerutkan alis: "Kalau begitu, kemana kita harus menyelidiki jejak Pendekar Ular Emas itu?"
Kim-coa long-kun itu memang benar-benar seperti hantu yang mengganas di dunia persilatan. Terpaksa kita
harus menunggu sampai dia datang mencari kita......"
Jago tua itu menghela napas pula. Suatu helaan napas dari rasa kecewa dan malu. Ya, betapa tidak. Dia
adalah seorang jago kelas satu yang namanya termasyhur dalam dunia persilatan. Dia adalah pemimpin
atau bengcu dari dunia persilatan pada tujuh tahun yang lalu. Tetapi peristiwa yang dihadapi saat itu benarbenar mencontreng arang di mukanya. Delapan orang telah mati terbunuh di depan matanya tanpa ia
mengetahui siapa pembunuhnya. Dan setelah tahu yang membunuh itu Kim-coa Long-kun atau Pendekar
Ular Emas, ia pun tak berdaya. Ah, jangankan menangkap, sedang melihat orangnya saja ia tak dapat.
Tidak demikian dengan Gak Kiong yang bergelar Pedang Pembelah Batu itu. Anggauta dari Tiga Pendekar
pedang Kang-lam itu tertawa hina.
"Dahulu orang menyohorkan Nyo Jong-ho itu seorang tokoh yang gagah perkasa. Tetapi apa yang kulihat
saat ini, ternyata dia hanya bernama kosong. Ha, ha, mungkin dia sudah tua. Sudah merasa bahwa jaman
keemasannya sudah lewat. Dan dunia persilatan dewasa ini adalah menjadi milik angkatan kita," pikir Gak
Kiong. Nyo Jong-ho memandang jago Kang-lam itu. Rupanya ia dapat membaca isi hati orang. Ia tidak marah
melainkan tersenyum. dunia-kangouw.blogspot.com
"Apabila murid kesayanganku hari ini bersama gurunya tiba, tentulah mereka dapat menyelidiki peristiwa
ini," kata Nyo Jong-ho.
Gak Kiong tertawa dingin, tanyanya: "Nyo bengcu, ucapanmu itu sungguh membuat orang sukar mengerti.
Siapakah murid bengcu itu" Dan mengapa dia mempunyai suhu lagi" Siapakah suhunya?"
"Saudara Gak, muridku itu bernama Li Giok-hou?""
Mendengar itu seketika berobahlah wajah Gak Kiong, tukasnya: "Pedang Beracun Pembasmi Iblis Li Giokhou itu" Bukankah dia itu murid Go-bi Sam-hiap?"
Nyo Jong-ho tertawa: "Benar, memang muridku Giok-hou itu mempunyai rejeki besar sehingga Go-bi Samhiap sampai tertarik dan menerimanya sebagai murid. Memang kali ini akupun mengundang Tiga Pendekar
Go-bi yang sudah lebih dari duapuluh tahun tak pernah keluar, supaya turun gunung."
Go-bi Sam-hiap atau Tiga Pendekar gunung Go-bi memang memiliki nama yang cemerlang di dunia
persilatan. Dan Li Giok-hou yang bergelar Pedang Beracun Pembasmi Iblis itu, dianggap oleh kaum
persilatan sebagai tokoh muda yang akan menjadi tiang utama dari dunia persilatan.
Tahun yang lalu ketiga jago pedang dari Kang-lam itu pernah menerima bantuan Li Giok-hou. Maka
mendengar bahwa pemuda itu ternyata murid dari Nyo Jong-ho. Tersipu-sipulah Gak Kiong menjurah
memberi hormat. "Nyo bengcu, aku mempunyai mata tetapi tak dapat melihat gunung Thay-san dihadapanku. Harap suka
maafkan," serunya. Nyo Jong-ho hanya ganda tertawa, katanya: "Saudara Gak, harap suruh kedua saudaramu itu hentikan
penyelidikan. Aku hendak kembali ke rumah besar. Besok kita berunding lagi."
"Baiklah, Nyo-heng," kata Gak Kiong, "harap bengcu beristirahat saja. Akulah yang akan ke gedung besar
untuk sekalian memberitahu kepada saudara Hong-hu suami isteri."
Habis berkata Gak Kiong memberi hormat lalu melambung ke atas wuwungan rumah lagi. Memang jago
pedang dari Kang-lam itu memiliki ilmu ginkang atau meringan tubuh yang hebat sekali. Cepat sekali dia
sudah melalui dua buah bangunan.
Tetapi pada saat dia hendak melintasi bangunan yang ketiga, tiba-tiba ia rasakan tengkuknya dingin seperti
dijamah tangan orang. Sebelum kakinya menginjak genteng, ia empos semangat dan meluncur ke samping. "Tring......" tahu-tahu
ia sudah mencabut pedang dan menabas ke belakang dengan jurus Hong-biau-lok-hoa atau angin meniup
jatuh bunga. Jurus itu merupakan ilmu simpanannya. Seiring dengan tabasan pedang, orangnya pun ikut berputar. "Wut,
wut......" Ah, hanya angin kosong yang ditabasnya. Tiada barang seorangpun yang berada di belakangnya. Gak
Kiong benar-benar terlongong-longong. Jelas ia merasa tengkuknya telah dipegang orang, mengapa sama
sekali tak ada orangnya! "Ah, mungkin perasaanku terlalu tegang, sehingga mengada-ada. Kalau memang terdapat manusia yang
mengganggu aku, tak mungkin dia dapat terhindar dari tabasan pedangku, ha, ha......" akhirnya ia geli
sendiri atas perbuatannya tadi. Ia berputar tubuh terus hendak ayunkan langkah. Tetapi segera matanya
tertumbuk akan sesuatu yang membuatnya menggigil.
"Siapa engkau!" bentaknya.
Ternyata terpisah tiga tombak di sebelah muka, tegak seseorang yang bertubuh kurus. Mukanya sedingin
es, matanya menyeramkan dan mengenakan pakaian serba putih. Bahunya menyanggul sebatang pedang
yang aneh bentuknya. "Heh, heh, heh......," orang itu tertawa mengekeh. Nadanya lebih seram dari badai di musim dingin.
Mendengar suara tertawa itu, menggigillah Gak Kiong. Ia menyurut mundur selangkah.
"Siapa engkau!" bentaknya pula.
"Kim-coa Long-kun!"
dunia-kangouw.blogspot.com
Mendengar nama itu, dada Gak Kiong seperti tertikam belati. Ia terkejut dan menyurut mundur tiga
langkah...... "Hm, hm, hm......" hidung Pendekar Ular Emas itu berulang kali mendengus. Penuh rasa muak dan hina.
Gak Kiong batuk-batuk untuk mengembalikan nyalinya lalu tertawa dingin. "Hm, tak kira kalau engkau
berani unjuk diri. Bagus Gak Kiong dari Kang-lam Sam-kiam hendak minta pelajaran barang beberapa jurus
dari engkau!" Habis berkata Gak Kiong terus mencekal tangkai pedang terus hendak dicabut. Tetapi sebelum ia sempat
menyerang, Pendekar Ular Emas itu sudah berayun kehadapannya dan seketika terdengarlah lengking
jeritan yang ngeri dari Gak Kiong.
Jago pedang dari Kang-lam yang berulang kali sumbar-sumbar hendak membunuh Kim-coa Long-kun,
hanya dalam sekejap mata saja sudah rubuh......
Terdengar suara tertawa dingin dan sosok tubuh yang melambung ke udara, Kim-coa Long-kun atau
Pendekar Ular Emas pun sudah lenyap di balik wuwungan yang gelap.
Lolong jeritan dari Gak Kiong tadi telah memecah kesunyian malam. Beberapa tokoh yang sedang berada
dalam ruang besar segera berhamburan lari mendatangi.
Mereka ialah Nyo Jong-ho, Pendekar wanita Tong Ki, Hong-hu Hoa, Thay-kek-ciang Han Ceng-jiang serta
kedua jago pedang Kang-lam yakni Cu Kong-ti dan Bok Seng-bu dan lain-lain.
Tepat pada saat keenam tokoh itu keluar untuk menolong Gak Kiong, sesosok bayangan putih melayang
turun ke dalam ruang gedung besar yang terletak di muka. Dia bukan lain ialah Kim-coa Long-kun si
Pendekar Ular Emas itu. Dengan langkah seringan kapas, ia masuk ke dalam ruang. Tetapi telinganya tajam segera mendengar
lengking suara yang nyaring tetapi dingin.
"Hm, makanya kaum persilatan selalu tak dapat mengejar jejak Pendekar Ular Emas, karena ternyata di
dunia persilatan ini terdapat beberapa Pendekar Ular Emas......"
Serempak dengan kata-kata itu dari balik tirai melesat keluar seorang nona baju hijau. Ah, kiranya Nyo Cuing, puteri dari Nyo Jong-ho.
Tampak wajah nona itu merah padam karena marah dan terus membentaknya: "Hai, jawablah, engkau ini
Kim-coa Long-kun yang mana?"
Dengan ucapan itu jelaslah bahwa selama menunggu bersembunyi di balik tirai, Cu-ing sudah melihat
beberapa Kim-coa Long-kun yang muncul di ruang situ.
Tiba-tiba Pendekar Ular Emas itu mengangkat tangan memberi hormat, serunya: "Nona...... "
"Tak perlu merengek-rengek. Kedelapan batang jarum Ular emas itu sudah diambil orang. Maka engkau
harus menyebut siapa dirimu itu!" tukas Cu-ing.
Tiba-tiba Pendekar Ular Emas itu mendengus, serunya, "Tokoh-tokoh dunia persilatan dewasa ini,
mempunyai dendam permusuhan dengan Kim-coa Long-kun. Karena dendam itu sudah mendalam, maka


Pendekar Seratus Hari Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

akupun takkan melepaskan engkau, kecuali hanya dengan sebuah jalan."
Mata si nona memandang lekat-lekat ke wajah Pendekar Ular Emas yang pucat lesi itu lalu tertawa hambar:
"Jangan anggap aku takut kepadamu, tetapi untuk sementara ini aku memang tak mau bentrok dulu dengan
engkau!" Sahut Pendekar Ular Emas tawar-tawar: "Hm, engkau angkuh sekali. Rupanya engkau tentu memiliki ilmu
kepandaian yang sakti!"
Habis berkata Pendekar Ular Emas maju menghampiri si nona. Tiba-tiba tangan kanannya berayun dan
tahu-tahu ia menusuk nona itu.
Cu-ing terkejut sekali. Ia tak pernah menduga bahwa Pendekar Ular Emas dapat mencabut pedang dan
menyerang dengan kecepatan yang begitu luar biasa. Untuk menghindar, jelas sudah tak keburu lagi.
Tetapi nona itu tak gugup. Dengan nekad ia tusukkan jarinya ke jalan darah di dada orang.
dunia-kangouw.blogspot.com
Sepercik sinar kemilau melintas di samping tubuh si nona dan dari belakang tirai segera terdengar suara
orang mengerang kesakitan......
Tepat pada saat Pendekar Ular Emas menusuk tangan, Cu-ing pun menutuk. Pada saat ujung jari nona itu
hampir menyentuh dada, tiba-tiba Pendekar Ular Emas meluncur ke belakang sampai tiga langkah.
Seiring dengan gerakan Pendekar Ular Emas itu, sesosok tubuh melesat keluar dari balik tirai. Sekali loncat
ia sudah berada di luar dan dengan loncatan yang kedua orang itupun sudah lenyap dalam kegelapan
malam. Pendekar Ular Emas memandang tubuh orang itu mengucurkan darah, hanya tertawa dingin. Ketika ia tiba
di mulut ruang, ternyata orang itupun, sudah lenyap.
Peristiwa itu benar-benar membuat Cu-ing terpaku seperti patung. Setelah menutuk luput, ia tak mau
menyusuli dengan pukulan lagi karena menyadari bahwa ternyata Pendekar Ular Emas itu telah menolong
dirinya. Tusukan pedang Pendekar Ular Emas itu ternyata bukan ditujukan kepada dirinya melainkan
kepada orang yang bersembunyi di belakang tirai.
Pada saat Pendekar Ular Emas hendak melangkah keluar dari ruang, tiba-tiba terdengar derap langkah
yang ringan. Dan sesaat kemudian muncullah seorang pemuda berpakaian bagus. Pemuda itu
menghadang Pendekar Ular Emas.
"Hm, apakah engkau hendak menghadang aku?" tegur Pendekar Ular Emas dengan nada dingin.
Nadanya tidak keras tetapi berkumandang sikap yang angkuh dan yakin serta berwibawa.
Pemuda berpakaian bagus itu mengangkat muka lalu tertawa nyaring. Nadanya berdering-dering bagai palu
besi menghantam batu. Habis tertawa pemuda itu segera membentak: "Kim-coa Long-kun, dengan berjumpa padaku, hari
kematianmu sudah tiba. Mengapa engkau masih berlagak seperti tuan besar?"
Pendekar Ular Emas tertawa mengejek, "Li Giok-hou, dalam hidupnya seseorang itu hanya mati satu kali.
Apakah engkau benar-benar tak sayang kepada jiwamu?"
Mendengar namanya disebut, pemuda berpakaian bagus itu terkejut. Wajahnya berobah seketika,
bentaknya: "Besar nian mulutmu, sahabat. Siapakah engkau?"
Pendekar Ular Emas menyahut: "Siau Mo, Pendekar Ular Emas Siau Mo......"
Melihat pemuda yang datang itu suhengnya, gembiralah hati Cu-ing. Segera ia lari menghampiri. Ketika
mendengar Pendekar Ular Emas itu memberitahu namanya, tergetarlah hati nona itu.
"Ing sumoay, menyingkirlah sedikit jauh!" teriak Li Giok-hou ketika melihat Cu-ing menghampiri.
Dalam berkata itu Li Giok-hou pun sudah lepaskan sebuah pukulan seraya loncat maju. Dua jari menutuk
Pendekar Ular Emas. Pendekar Ular Emas menangkis tutukan itu. Tahu kalau berhadapan dengan seorang lawan yang luar
biasa, Li Giok-hou tak berani adu kekerasan. Ia menyurut mundur selangkah. "Tring," ia sudah mencabut
pedang dari punggungnya. Pada saat itu muncullah beberapa orang ke dalam ruangan. Mereka ialah Nyo Jong-ho, Tong Ki. Hong-hu
Hoa, Han Ceng-jiang dan lain-lain tokoh gagah. Mereka berpencaran berdiri di empat penjuru. Begitu pula
ruangan yang semula gelap kini diterangi dengan beberapa lampu.
Dengan tangan kanan memegang pedang, tangan kiri Li Giok-hou pun bergerak-gerak untuk membuat
gerakan imbangan. Dia seorang pemuda yang gagah dan cakap. Memiliki kewibawaan dan seorang jago
muda yang dapat diharapkan akan menjadi tiang utama dari dunia persilatan dikelak kemudian hari.
Pendekar Ular Emas juga seorang pemuda yang tampan, hanya tubuhnya agak kurus dan wajahnya pucat.
Menyerupai wajah seorang pelajar kutu buku.
Kini kedua jago muda itu saling berhadapan. Hanya perhatian sekalian tokoh-tokoh itu lebih tercurah
kepada Pendekar Ular Emas daripada Li Giok-hou.
Li Giok-hou memang termasyhur tetapi mereka sudah mengenalnya. Tidak demikian dengan Kim-coa Longkun atau Pendekar Ular Emas yang baru setahun muncul di dunia persilatan tetapi telah menggemparkan
dunia-kangouw.blogspot.com
dunia persilatan. Bukan saja karena tokoh itu sakti dan dapat merubuhkan beberapa tokoh persilatan yang
termasyhur, pun karena sepak terjang Pendekar Ular Emas itu luar biasa anehnya. Selama ini orang hanya
tahu jejak tindakannya yang ganas tetapi belum pernah melihat bagaimana diri pendekar itu.
Saat itu barulah mereka mendesuh dalam hati. Kiranya Pendekar Ular Emas yang begitu termasyhur tak
lain tak bukan ialah guru ilmu sastera yang diundang oleh keluarga Nyo untuk mengajar ilmu sastra kepada
puteranya. Seorang mahasiswa miskin yang pucat kurus. Ya, guru Siau atau namanya yang lengkap Siau
Mo. Mereka tak mendapatkan suatu keluarbiasaan pada diri Pendekar Ular Emas itu kecuali sepasang matanya
yang tajam dan kerut dahinya yang memancarkan hawa pembunuhan.
Mata berkilat-kilat tajam, memang suatu ciri dari seorang ahli silat yang memiliki tenaga dalam tinggi.
Mereka agak terheran akan hal itu. Kalau tadi mata guru Siau itu redup tak bersinar, mengapa Pendekar
Ular Emas ini begitu berpengaruh sinar matanya. Hal itu menimbulkan sedikit keraguan dalam hati sekalian
tokoh. Mereka masih mengandung sedikit keraguan adakah Pendekar Ular Emas itu benar guru Siau Loseng" Ya, walaupun baik tinggi badan, roman dan panca inderanya, semuanya menyerupai dengan guru
itu. Dan masih ada sebuah keraguan yang terkandung dalam hati sekalian tokoh itu. Bukankah baru beberapa
detik yang lalu mereka habis kembali ke villa Merah Delima. Dan bukankah guru Siau masih asyik membaca
buku dengan mengeluarkan suara"
Mengapa saat itu guru Siau muncul sebagai Pendekar Ular Emas" Kalau benar pendekar Ular Emas itu
memang guru Siau, tentulah dia memiliki ilmu Hun-sim-sut atau ilmu Memecah Diri. Tetapi benarkah didunia
itu terdapat ilmu gaib semacam itu"
01.04. Pendekar Ular Emas Kembar
Tiba-tiba Nyo Jong-ho membisiki seorang anak buahnya yang berada didekatnya: "Lekas pergilah ke villa
Merah Delima dan lihatlah apa Siau sianseng masih berada di kamarnya" Kalau ada, lekas engkau undang
dia kemari. Mengerti?"
Anak buahnya yang berpakaian hitam dan bertubuh tinggi besar mengiakan dan terus menyurut mundur.
Saat itu tampak Pendekar Ular Emas tenang-tenang saja menghadapi Li Giok-hou yang sudah siap dengan
pedang terhunus. Dan saat itu pula Li Giok-hou pun sudah berkisar langkah dan pelahan-lahan menggerakkan tangan.
Sekonyong-konyong pedang berkiblat, Lam-hay-tiau-han atau gelombang dingin dari Laut Selatan, sebuah
jurus ilmu pedang yang hebat segera melancar ke arah Pendekar Ular Emas.
Disebut Gelombang dingin laut selatan karena gerak pedang itu benar-benar menyerupai gelombang yang
dahsyat, berhamburan menerjang pantai.
Rupanya Pendekar Ular Emas terkejut juga melihat kehebatan ilmu pedang dari lawannya. Cepat ia
menyurut mundur. "He, Siau Mo, jangan lari, sambutlah pedangku ini," Li Giok-hou berseru nyaring sambil maju mengejar.
Kali ini pedang seperti terpecah dua. Kedua sinar pedang itu laksana bianglala yang tertimpa sinar
matahari, berkilau-kilauan menyilaukan mata. Dua-duanya mengarah jalan darah Pendekar Ular Emas.
Sekalian tokoh terkejut menyaksikan ilmu pedang Li Giok-hou yang aneh itu. Kebanyakan mereka belum
pernah melihat bahwa dalam ilmu pedang terdapat jurus permainan yang sedemikian luar biasanya.
Memang dewasa itu seluruh harapan kaum persilatan tertumpah pada diri Li Giok-hou. Mereka menjunjung
pemuda itu sebagai tiang utama di dunia persilatan. Dia didambakan dengan gelar sebagai Pedang
Beracun Pembasmi Iblis. Ilmu kepandaiannya memang luar biasa.
Jurus ilmu pedang yang dilancarkan kepada Pendekar Ular Emas saat itu, memang hebat sekali. Tak ubah
seperti sebuah jaring yang tak memungkin orang untuk lolos.
"Wut?"" tiba-tiba Pendekar Ular Emas menyurut mundur tiga langkah. Baju lengannya yang sebelah kiri
telah tergurat pecah oleh ujung pedang, dan darahpun berketes-ketes ke lantai.
dunia-kangouw.blogspot.com
Tetapi Pendekar Ular Emas Siau Mo, seorang lelaki yang berhati keras. Sedikitpun ia tak mengeluarkan
suara erang kesakitan. Dipandangnya tetesan darah itu dengan tenang sekali, setenang orang menikmati
air hujan yang meluncur dari kelopak bunga.
Sikap yang tenang dari Pendekar Ular Emas itu membuat Li Giok-hou kesima sehingga tak melanjutkan
pula serangannya itu, cukuplah sudah bagi Li Giok-hou untuk berbangga hati.
Pedang Ular Emas yang begitu ditakuti sebagai momok nomor satu dalam dunia persilatan, hanya dalam
dua jurus saja, telah dapat dilukai. Hal itu benar-benar suatu prestasi atau hasil yang gemilang!
Apalagi peristiwa disaksikan oleh sumoaynya, Nyo Cu-ing yang dicintai dan para tokoh-tokoh persilatan
terkemuka. Alangkah bangganya!
Dan memang seri wajah pemuda itu menampilkan sinar kegembiraan dan kebanggaan.
Tiba-tiba Pendekar Ular Emas mengangkat muka. Sepasang bola matanya yang berkilat-kilat menyapu
sekalian orang gagah yang berdiri. Dan pelahan-lahan tangannya mulai menjamah tangkai pedang yang
terselip di belakang punggung lalu dihunusnya keluar.
Kim-coa-kiam atau Pedang Ular Emas! Pedang yang telah menggegerkan dunia persilatan karena telah
membunuh banyak sekali tokoh-tokoh persilatan sakti.
Pun cara Pendekar Ular Emas mencabut pedang pusakanya begitu pelahan dan tenang, menimbulkan
suasana yang menyeramkan dan tegang. Suatu ketegangan seperti dikala orang menunggu meletusnya
sebuah bom. Bahkan Seruling Kumala Hong-hu Hoa yang memperhatikan wajah Pendekar Ular Emas itu, tergetar juga
hatinya dan diam-diam menimang, "Jika tidak memiliki ilmu tenaga dalam yang hebat, tak mungkin dia
berlaku sedemikian tenangnya!"
Sejak mengetahui bahwa Pendekar Ular Emas itu bukan lain yalah Siau Mo, guru sastera yang mengajar
puteranya, timbullah suatu kesan yang mengerikan dalam hati Nyo Jong-ho. Kesan dari suatu peristiwa
yang lampau...... "Mungkinkah dia?" gumam hati jago tua itu. Dan tanpa sadar ia telah mengeluarkan suara tertahan.
Sudah tentu sekalian tetamu terkejut. Dan terutama ketika melihat tuan rumah malah terus loncat ke muka
Pendekar Ular Emas. Gerakan Nyo Jong-ho itu teramat cepat sekali sehingga sekalian tetamu tak tahu apa
yang terjadi saat itu. Tetapi ternyata Pendekar Ular Emas yang tampaknya tenang-tenang itu, sudah siap siaga. Begitu Nyo
Jong-ho hendak menyerangnya, ia terus memutar kakinya sampai berpuluh kali dan Pedang Ular Emas di
tangannya pun menukik ke bawah lalu dengan jurus Hun-tiong-wu-soh atau Awan menghalang embun
mengabut, menusuk ke muka.
"Sring......" Terdengar suara dering keras yang melengking tajam sekali!
Tampak kedua bahu Nyo Jong-ho bergetar, kakinya menyurut mundur tiga langkah. Wajah berobah pucat
dan lengan kanannya menjulai.
Sekalian tetamu yang berada dalam ruang besar itu adalah tokoh-tokoh silat yang terkemuka. Mata mereka
amat tajam. Namun mereka hampir tak mengetahui apa yang berlangsung antara Nyo Jong-ho dengan
Pendekar Ular Emas itu. Kiranya Nyo Jong-ho waktu loncat tadi, telah melancarkan jurus Pit-ci-jiang-kiong atau Pit menunjuk
angkasa. Tetapi karena dia tak membekal alat tulis pit maka dia gunakan jari tangan untuk menutuk
Pendekar Ular Emas. Tetapi dengan sebuah permainan pedang yang luar biasa indahnya, dapatlah pendekar Ular Emas
menggagalkan serangan tuan rumah. Karena disambut dengan pedang, terpaksa Nyo Jong-ho gelincirkan
jari dan menutuk batang pedang, "tring......"
Terdengar dering nyaring macam naga meringkik tadi. Dan walaupun batang Pedang Ular Emas dapat
tersiak ke samping, tetapi tangan Nyo Jong-ho pun terasa sakit sekali sehingga tulangnya serasa pecah.
dunia-kangouw.blogspot.com
Setelah melingkarkan pedangnya dalam sebuah gerak perputaran, Pendekar Ular Emas pun tegak berdiri
dengan mencekal pedangnya pula. Wajahnya tampak serius, sikapnya setenang batu karang di tengah laut.
Karena Nyo Jong-ho mendahului loncat menerjang Pendekar Ular Emas maka Li Giok-hou pun terpaksa
hentikan serangannya. Ia menarik pulang pedangnya dan menyurut mundur selangkah.
Kiranya sikap yang diambil Pendekar Ular Emas, berdiri tegak dengan pusatkan seluruh perhatian,
merupakan sikap dari ilmu pedang tataran tinggi.
Sekalian tokoh terbeliak kaget......
Cu Kong-ti salah seorang dari Tiga jago pedang Kang-lam, segera berkata bisik-bisik kepada jago tua Han
Ceng-jiang yang menjadi ketua perguruan Thay-kek-bun: "Han ciang-bun, kalau saat ini tak dibasmi, kelak
dia tentu membahayakan dunia persilatan!"
Dengan kata-kata itu Cu Kong-ti bermaksud hendak mengajak ketua Thay-kek-bun itu untuk bersama-sama
menggempur Pendekar Ular Emas.
Wajah jago tua Han Ceng-jiang tampak berobah dingin. Sahutnya, "Benar, walaupun hanya mengeluarkan
beberapa jurus permainan saja, tetapi gerakannya luar biasa sekali. Saudara Cu, bagaimana pendapat
saudara dengan jurus Pit menunjuk angkasa dari Nyo Jong-ho tadi?"
"Hebat dan kurasa aku sendiri tak mampu lolos dari tutukan jari semacam itu," sahut Cu Kong-ti.
Kata ketua Thay-kek-bun itu pula: "Memang bukan maksudku hendak memuji saudara Nyo Jong-ho. Tetapi
memang tokoh-tokoh silat dalam dunia persilatan dewasa ini, tiada seorangpun yang mampu lolos dari
serangan jari maut Nyo Jong-ho. Tetapi ternyata orang itu dengan sebuah gerakan pedang dapat
menghalaunya......" Tiba-tiba kedengaran Hong-hu Hoa bertanya kepada sang isteri, pendekar wanita Tong Ki: "Adik Ki, apakah
engkau sudah menemukan sesuatu yang mencurigakan?"
Jarum beracun Tong Ki menjawab: "Tampaknya dia sudah terluka dan tenaga dalamnya berkurang,
semangatnya buyar sehingga tak dapat menjalankan ilmu pedang Ih-kiam-sut."
Ternyata saat itu kedua belah tangan Pendekar Ular Emas yang memegang pedangnya, pelahan-lahan
menjulai turun. Wajahnya yang putih makin pucat dan lengannyapun sedikit gemetar.
Rupanya Li Giok-hou dapat mengetahui hal itu. Ia tertawa dingin lalu ayunkan langkah ke tempat Pendekar
Ular Emas. Sekonyong-konyong seorang lelaki dengan tubuh berlumuran darah menerobos masuk ke dalam ruang,
terus berteriak keras: "Nyo bengcu, Siau......"
Belum sempat menyelesaikan kata-katanya, tiba-tiba dia sudah rubuh ke lantai. Ternyata dadanya tertancap
sebatang Pedang Ular Emas yang panjangnya sejengkal tangan.
Lelaki itu bukan lain anak buah Nyo Jong-ho yang disuruh untuk mengundang guru Siau di villa Merah
Delima. Li Giok-hou cepat loncat ke tempat orang itu. Ketika merabah dadanya ternyata orang itu sudah putus
jiwanya. Kejut sekalian orang bukan alang kepalang. Mereka terbelalak dan melongo. Tak tahu apa yang telah terjadi
karena dengan terbunuhnya bujang itu oleh sebatang Pedang Ular Emas, tentulah bukan Pendekar Ular
Emas yang berada di situ yang membunuhnya.
"Hai...... kemanakah dia!" tiba-tiba Cu-ing berteriak.
Teriakan nona itu telah mengguyur semangat sekalian tokoh yang sedang melayang-layang itu. Mereka
serentak memandang ke sekeliling. Tetapi ah...... Pendekar Ular Emas Siau Mo ternyata sudah lenyap!
Sekian banyak tokoh-tokoh berilmu tinggi yang berada dalam ruang itu, tetapi tiada seorang pun yang tahu
dan mendengar gerak Pendekar Ular Emas melenyapkan diri.
Wajah sekalian tokoh itupun pucat seketika!
Mereka seperti ditampar mukanya oleh Pendekar Ular Emas. Suatu hinaan bagi tokoh-tokoh persilatan
kelas satu apabila mereka dipermainkan begitu rupa seperti anak kecil.
dunia-kangouw.blogspot.com
Kembali mereka terlongong-longong kehilangan paham.
Nyo Jong-ho tiba-tiba berkata seorang diri: "Apabila orang itu tak dilenyapkan, dunia persilatan pasti takkan
mengenyam ketenangan."
Sekalian orang serempak mencurah pandang ke arah tuan rumah.
Ketua perguruan Thay-kek-bun, Han Ceng-jiang, menghela napas panjang.
"Berpuluh-puluh tahun aku berkecimpung dalam dunia persilatan tetapi tak pernah aku menerima ejekan
semacam ini. Peristiwa ini apabila sampai tersiar di luar, dimanakah kita akan menaruhkan muka kita?"
katanya menggeram. Sekalian tokoh-tokoh silat yang berada di ruang itu, tahu kemana arah tujuan ucapan jago dari Thay-kekciang itu. Yalah secara halus memperingatkan agar sekalian orang jangan sampai menyiarkan peristiwa itu
keluar. Karena hal itu hanya menghilangkan muka mereka sendiri saja.
Seruling Kumala Hong-hu Hoa tiba-tiba tertawa ringan.
"Kelenting dari tanah liat tak urung tentu pecah di mulut sumur. Seorang panglima tentu sukar menghindari
barisannya hancur. Kita, kaum persilatan yang berkelana dalam dunia persilatan, tentu takkan terhindar juga
bertemu dengan peristiwa semacam itu," kata jago yang bergelar Seruling Kumala itu. "Tetapi yang paling
menjengkelkan sendiri ialah, ke delapan batang jarum Ular Emas itu telah diambil orang, saudara Gak
Kiong terluka dan kita pontang panting sampai semalam lamanya tetap belum juga dapat mengetahui jejak
musuh itu......" Berkata sampai disini, ia sapukan pandang matanya ke arah nona Cu-ing, lalu berhenti.
Rupanya Nyo Jong-ho tahu akan sikap Hong-hu Hoa itu. Maka ia segera bertanya kepada Cu-ing: "Ing,
pada waktu engkau bersembunyi di balik tirai kain tadi, apakah yang engkau lihat?"
Ternyata siasat dari Hong-hu Hoa untuk menjebak siapa yang akan mengambil ke delapan jarum Ular Emas
tadi, dilaksanakan oleh Hong-hu Hoa dengan isterinya dan nona Cu-ing pun diikut sertakan dan disuruh
bersembunyi di balik tirai.
"Yah," sahut nona itu, "pada waktu aku bersembunyi di balik tirai tadi, kulihat dua orang Pendekar Ular
Emas muncul di ruang ini. Pendekar Ular Emas yang muncul pertama, amat gesit sekali gerakannya dan
ilmu kepandaiannya agaknya lebih hebat dari Pendekar Ular Emas yang berasal dari guru Siau itu. Pada
saat Pendekar Ular Emas pertama melesat ke meja dan mengambil ke delapan batang jarum Ular emas,
Pendekar Ular Emas Siau Mo pun muncul...... tetapi dia terus disambut dengan serangan oleh Li suheng."
Dalam keterangannya itu Cu-ing tak mengatakan bagaimana Pendekar Ular Emas Siau Mo telah menolong
dirinya dengan menusuk orang yang bersembunyi di balik tirai dan yang hendak membunuh si nona.
Setelah mendengar keterangan puteri dari tuan rumah, sekalian tokoh makin bingung. Mereka berdiam diri
merenung. Semula mereka mengira ke delapan batang jarum Ular Emas itu tentu diambil oleh Siau Mo.
Tetapi ternyata bukan dan yang mengambil ialah seorang Pendekar Ular Emas lain.
Pendekar Ular Emas kembar!
Pendekar Ular Emas yang seorang, sudah diketahui kalau guru Siau atau Siau Mo. Tetapi siapakah
gerangan Pendekar Ular Emas yang kedua itu"
Li Giok-hou tampil ke muka, memberi hormat kehadapan Nyo Jong-ho lalu berseru lantang: "Gihu, maafkan
karena aku datang terlambat sehingga iblis itu sempat melarikan diri. Tetapi siapakah gerangan yang gihu
sebut dengan nama Siau Lo-seng itu?"
Gihu artinya ayah angkat. Memang bukan saja hanya sebagai murid, pun Li Gok-hou itu telah diambil putera
angkat oleh Nyo Jong-ho. Sambil kebutkan lengan baju suruh Li Giok-hou bangun, berkatalah Nyo Jong-ho: "Giok-hou, apabila tak
salah dugaanku, sejak saat ini dunia persilatan bakal mengalami pergolakan besar. Tetapi hal itu aku tak
dapat menerangkan sebabnya. Sekarang mari kita menuju ke villa Merah Delima untuk menemui guru Siau.
Di situ barulah kita akau jelas duduk perkaranya."
"Benar," sambut Jarum maut Tong Ki, "kurasa Siau Lo-seng itu sama dengan Siau Mo. Kalau bukan, jelas
Siau Lo-seng itu seperti yang dikatakan adik Ing tadi, ialah Pendekar Ular Emas yang muncul pertama."
dunia-kangouw.blogspot.com


Pendekar Seratus Hari Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Demikian para tokoh-tokoh gagah itu segera bergegas-gegas menuju ke villa Merah Delima. Ruang besar
kembali sunyi senyap. Yang tinggal di situ hanya Cu-ing seorang.
Tiba-tiba nona itu mencabut pedangnya lalu menghampiri ke muka meja dan berseru dengan dingin:
"Apakah engkau tak mau keluar?"
Tetapi tirai kain yang dipandangnya itu tak terdengar suatu penyahutan apa-apa.
Cu-ing kerutkan dahi dan membatin: "Apakah dia benar-benar pergi" Tetapi di belakang tirai itu tak ada
pintu atau jendelanya!"
Kiranya satu-satunya orang yang melihat Siau Mo meloloskan diri tadi, hanya nona itu. Ia melihat Pendekar
Ular Emas Siau Mo melesat ke balik tirai.
"Hm, jangan mempermainkan aku," dengus nona itu seraya lekatkan ujung pedang ke kain tirai. Sesaat
kemudian terus ditusukkan ke dalam.
Dari sinar lampu, dapatlah pandang mata Cu-ing menembus ke belakang tirai dan tahu apa yang berada di
situ. Dilihatnya di balik tirai itu guru muda Siau sedang duduk bersila pejamkan mata. Wajahnya pucat lesi,
dadanya agak berkembang kempis. Tetapi mulutnya tak mengeluarkan suara erang atau rintihan suatu apa.
Cu-ing terkejut. Ujung pedangnya sudah terlanjur menusuk ke muka dan bahkan sudah hampir mengenai
dada orang itu. Tetapi aneh, orang itu masih tetap duduk tenang dan tak membuat suatu gerakan untuk
mengisar tubuh ataupun menangkis.
Cu-ing makin bingung sendiri. Cepat ia menarik kembali ujung pedangnya......
Tepat pada saat itu Siau Mo si Pendekar Ular Emas pun membuka mata dan menegurnya dingin: "Mengapa
engkau menarik pulang pedangmu?"
Mendengar pertanyaan itu Cu-ing malah terlongong.
"Ya, mengapa aku tak menusuknya" Apakah dia menghendaki supaya aku membunuhnya......" pikir gadis
itu. Tiba-tiba Siau Mo berbangkit.
"Perobahan pikiranmu tadi, tentu akan membuat engkau menyesal seumur hidup. Terus terang kukatakan
kepadamu. Tadi tusukanmu itu tentu berhasil karena saat itu aku sudah tak mempunyai tenaga sedikit pun
untuk melawan......"
Belum selesai ia berkata, Cu-ing sudah membentak, dengan murka: "Huh......" ia terus menusuk lagi.
01.05. Pengepungan Villa Merah Delima
Tusukan itu dilancarkan dengan kemarahan besar sehingga pedang sampai membaurkan suitan tajam.
Pada jarak yang sedemikian dekat, betapapun saktinya Pendekar Ular Emas itu, tak mungkin dia dapat
menghindar. Tetapi Pendekar Ular Emas Siau Mo itu telah membuat gerakan yang luar biasa. Jari tangan kanannya
menjentik dan sedesis angin tajam segera menampar ujung pedang. Lalu dengan gerakan yang cepat,
tangan kirinya menyambar pergelangan tangan kanan nona itu.
"Tring......" terdengar suara menggemerincing dan jatuhlah pedang si nona ke tanah. Pergelangan
tangannya pun telah dicekal oleh Siau Mo.
"Hm, engkau telah mensia-siakan kesempatan baik untuk membunuh aku. Kelak kalau mau membunuh
aku, harus menunggu kesempatan baik lagi," Siau Mo tertawa dingin.
Kata-katanya itu tajam, penuh sindiran dan merambang sehingga sukar ditangkap maksudnya.
Habis berkata ia terus lepaskan cekalannya dan berputar tubuh lalu pergi.
"Berhenti!" seru Cu-ing bengis.
dunia-kangouw.blogspot.com
Siau Mo tenang-tenang memalingkan muka, serunya: "Nona Nyo, bukankah engkau hendak bertanya" Agar
jangan banyak ribut-ribut, kuterangkan kepadamu. Aku ini adalah tokoh Pendekar Ular Emas yang dibenci
oleh dunia persilatan itu. Namaku Siau Mo dan guru sekolah yang memakai nama Siau Lo-seng itu hanya
nama samaranku." Kejut Cu-ing bukan kepalang, serunya: "Jangan terburu-buru pergi dulu, aku masih akan bertanya lagi."
Tetapi pada saat sehabis memberi keterangan tadi Pendekar Ular Emas Siau Mo memang sudah terus
melesat keluar dari ruangan.
Cu-ing memandang bayangan orang itu lenyap dalam kegelapan. Tak disadarinya, nona itu mengucurkan
airmata?" Cu-ing merasa seperti telah melakukan suatu langkah yang menyalahi orang. Mengapa ia tak mau
memberitahukan kepada ayah dan para tokoh bahwa Siau Mo bersembunyi di balik kain tirai itu?"
"Ah, aku takut kalau-kalau...... yang bersembunyi di belakang tirai itu guru Siau......" ia menjawab
pertanyaan dalam hatinya sendiri.
Tetapi ternyata Pendekar Ular Emas itu mengaku kalau dirinya benar Siau Lo-seng atau guru Siau.
"Benarkah itu?" ia masih bertanya setengah tak percaya pada dirinya sendiri, "mungkinkah di dunia ini
terdapat orang yang wajahnya mirip satu sama lain?"
Setelah merenung beberapa saat, akhirnya ia memutuskan untuk memberitahu hal itu kepada ayahnya"..
******************** Ruang muka pada villa Merah Delima itu hanya kecil. Saat itu tampak sunyi senyap. Hanya bunyi dahan
dan ranting pohon yang berdesir-desir tertiup angin malam.
Karena villa itu semula menjadi tempat kediamannya maka Cu-ing paham sekali keadaannya. Setiba di luar
halaman, ia mengangkat muka dan memandang ke sekeliling penjuru. Rumput masih menghijau, kolam
bunga teratai masih beriak-riak tenang ditingkah sinar rembulan. Semua masih seperti hari-hari yang lalu.
Empat penjuru sunyi senyap tiada tampak seorangpun juga.
Cu-ing terbeliak, diam-diam ia bertanya sendiri: "Lalu kemanakah ayah dan para tetamu itu?"
Baru ia memikir sampai di situ tiba-tiba dari belakang melesat keluar sesosok bayangan. Cu-ing cepat
berputar tubuh, tahu-tahu tangannya telah dicekal oleh orang itu yang bukan lain ayahnya sendiri, Nyo
Jong-ho. Nyo Jong-ho menarik Cu-ing loncat ke bawah sebatang pohon. Di situ Nyo Jong-ho membisiki puterinya:
"Ing, di halaman villa itu sudah penuh bersembunyi musuh-musuh kuat. Jangan engkau bergerak
sembarangan." Mendengar itu Cu-ing terperanjat, pikirnya: "Baru beberapa kejap Siau Mo pergi dari ruang gedung depan,
tak mungkin dia sudah berada di halaman villa ini......"
Sebenarnya saat itu ia hendak memberitahu kepada ayahnya bahwa Pendekar Ular Emas Siau Mo tidak
lenyap melainkan bersembunyi di balik tirai. Tetapi entah bagaimana tiba-tiba terlintas suatu pikiran lain:
"Ah, tetapi bagaimana aku memberi alasan kepada ayah. Mengapa saat itu aku tak mau memberitahukan
hal itu kepadanya...... Kemudian nona itu memandang beberapa sosok tubuh yang bersembunyi di bawah pohon itu.
"Yah, dimana engkoh Giok-hou?" tanyanya.
Kiranya selain Nyo Jong-ho, yang bersembunyi di bawah pohon situ terdapat juga keempat pengawal
keluarga Nyo dan ketua perguruan Thay-kek-bun Han Ceng-jiang. Tokoh-tokoh yang lain entah berada
dimana. "Saudara Nyo," tiba-tiba Han Ceng-jiang bertanya bisik-bisik, "kedua pengawal saudara itu, kemungkinan
besar tentu mendapat bahaya."
dunia-kangouw.blogspot.com
Saat itu wajah Nyo Jong-ho tampak serius sekali, sahutnya: "Saudara Han, baiklah kita tunggu sebentar
lagi." Baru ia berkata begitu, sesosok tubuh cepat melesat datang. Ternyata dia Pedang Beracun Pembasmi Iblis
Li Giok-hou. Kemudian berturut-turut menyusul pula Hong-hu Hoa bersama isterinya, Tong Ki.
"Giok-hou, bagaimana keadaan dalam ruang villa itu?" tanya Nyo Jong-ho.
Giok-hou gelengkan kepala: "Memang aneh sekali. Di dalam ruang tak terdengar suatu suara apapun tetapi
kedua orang bawahan kita tadi seperti terbenam dalam lautan. Sama sekali tak ada gerak gerik maupun
suaranya. Menurut hematku. kedua orang itu tentu sudah tertimpah bahaya, maka kurasa lebih baik kita
serbu saja." Kiranya kedatangan sekalian tokoh ke villa Merah Delima itu telah menghadapi suatu suasana yang tegang.
Mereka memencar diri mengepung villa itu dari segala penjuru untuk menjaga jangan sampai Pendekar Ular
Emas Siau Mo dapat lolos lagi.
Untuk menjajagi keadaan dalam villa, Nyo Jong-ho menyuruh dua orang sebawahannya memasuki ruang
villa. Tetapi sampai sekian lama belum juga kedua orang itu muncul lagi.
Setelah mendengar keterangan dari muridnya, Nyo Jong-ho memandang kepada sekalian tetamunya.
"Lebih baik kita jangan bergerak sendiri," katanya, "sekarang aku hendak berunding dengan saudarasaudara sekalian mengenai sebuah hal. Giok-hou, undanglah saudara Cu Kong-ti dan Bok Seng-bu
kemari......" "Tuh lihatlah, kedua orang itu sudah datang," seru Han Ceng-jiang ketua Thay-kek-bun.
Memang saat itu dari arah ujung tembok halaman sebelah timur, dua sosok bayangan melesat dan
beberapa kejap kemudian sudah tiba di samping pintu. Di bawah sinar rembulan dapatlah diketahui bahwa
kedua orang itu memang Cu Kong-ti dan Bok Seng-bu, dua jago dari Tiga pedang Kang-lam.
Melihat itu berobahlah wajah Nyo Jong-ho, cepat ia menyuruh muridnya: "Giok-hou, lekas cegah mereka
jangan masuk!" Tetapi saat itu Pedang baja Bok Seng-bu sudah berteriak: "Hai, orang di dalam gedung, lekas keluar
berhadapan dengan aku!"
Dan habis berkata jago itupun sudah menghunus pedang dan melangkah masuk ke dalam halaman lalu
menuju ke pintu villa. "Aduh......!" terdengar jeritan ngeri dan sesosok tubuhpun melesat keluar dari dalam pintu itu.
Sekalian tokoh terkejut. Menilik suara jeritan itu, jelas tentu orang itu menderita luka.
Secepat kilat Giok-hou pun berayun loncat ke halaman dan dengan tangkas ia menyanggapi tubuh orang itu
supaya jangan jatuh. Cu Kong-ti pun loncat menghampiri tetapi kalah cepat dengan Giok-hou.
Setelah menyanggapi tubuh orang itu tanpa melihatnya siapa, Giok-hou terus saja loncat lagi kembali ke
bawah pohon. Ketika sekalian orang memandang siapa orang yang di bawah Giok-hou itu maka menjeritlah Cu Kong-ti,
"Bok sute......!"
Memang orang yang terluka itu bukan lain ialah Bok Seng-bu. Mukanya berlumuran darah, keadaannya
mengenaskan sekali. Dia rebah tak berkutik di tangan Giok-hou.
Cu Kong-ti bercucuran airmata melihat keadaan sutenya itu.
Nyo Jong-ho cepat menghampiri, memeriksa denyut pergelangan tangannya dan terlongong-longong......
Denyut pergelangan tangan jago dari Kang-lam itu sudah berhenti. Bok Seng-bu sudah putus jiwanya.
Cu Kong-ti pun meraba pernapasan hidung sutenya. Demi mengetahui sutenya sudah meninggal,
menjeritlah jago pertama dari Tiga jago pedang Kang-lam itu, lalu berputar tubuh terus melangkah ke muka.
Ia hendak mengadu jiwa dengan orang di dalam villa yang telah membunuh Bok Seng-bu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Ketua perguruan Thay-kek-bun, jago tua Han Ceng-jiang cepat mencegahnya.
"Saudara Cu, harap jangan diburu nafsu kemarahan. Untuk membalas dendam, tak perlu harus menuruti
hati panas. Lain waktu kita masih mempunyai kesempatan," kata ketua perguruan Thay-kek-bun itu.
Pedang Siput Rawa Cu Kong-ti adalah tokoh kesatu dari Tiga pedang Kang-lam. Dia memang seorang jujur
dan serius. Mendengar nasehat jago tua Han Ceng-jiang. iapun hentikan langkah.
Tiba-tiba ia merasa curiga terhadap kematian sutenya yang ketiga itu. Bok Seng-bu memiliki kepandaian
yang sakti. Secara jujur ia mengakui bahwa kepandaian sutenya itu tak di bawah kepandaiannya. Maka ia
heran mengapa dalam beberapa kejap saja sutenya telah terbunuh begitu mudah. Apabila benar begitu,
jelas orang yang berada dalam villa itu, berkepandaian sakti sekali. Pun ganasnya bukan kepalang.
Sekalian tokoh ternyata juga mempunyai penilaian serupa dengan Cu Kong-ti. Tampak wajah mereka
bermuram durja. Bahwa pendekar wanita Tong Ki yang sejak datang sudah mengunjuk sikap dan ucapan
yang angkuh sombong, saat itupun tampak terkejut.
Di antara orang itu, Cu-ing lah yang paling berdebar sendiri hatinya. Tak henti-hentinya ia bertanya dalam
hati: "Siapakah pembunuh dalam villa itu?" Jelas tentu bukan Siau Mo! Apakah" Mungkinkah Siau Lo-seng"
Tetapi bukankah tadi Siau Mo sudah mengaku bahwa Siau Lo-seng itu sama dengan dirinya......?"
Sedangkan saat itu Giok-hou tak sempat memikirkan siapa pembunuh misterius yang berada dalam vilia
Merah Delima. Ia mencurahkan perhatian untuk memeriksa luka Bok Seng-bu.
"Kematian saudara Bok ini......" akhirnya setelah memeriksa keadaan mayat Bok Seng-bu. Giok-hou
memberi keterangan, "bagian mukanya habis dicakari oleh semacam senjata. Kemungkinan senjata Cakar
garuda atau Cakar baja. Memang senjata semacam itu hebat sekali. Tetapipun tak mungkin dalam waktu
yang begitu singkat dapat menghilangkan jiwa saudara Bok. Selain serangan senjata cakar itu, musuh tentu
menyerempaki lagi dengan pukulan ganas dari tenaga dalam yang beracun. Pukulan itulah yang
menghancurkan urat-urat nadi tubuh saudara Bok."
Mendengar penjelasan itu, sekalian orang mengagumi kepandaian Giok-hou meneliti jejak pukulan musuh.
Kemudian Giok-hou bertanya kepada mereka: "Di antara saudara disini, siapakah yang pernah mengetahui
tokoh yang biasa menggunakan senjata Cakar garuda itu?"
Ketua Thay-kek-bun Han Ceng-jiang menyahut, "Memang sungguh memalukan sekali. Pendekar Ular Emas
itu benar seperti seekor naga yang tampak kepalanya tetapi tak kelihatan ekornya. Membuat orang benarbenar bingung. Karena siapa yang melihat wajahnya, tentu akan dibunuh."
"Ya, kalau tidak memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa, tak mungkin dia berani menantang dunia
persilatan," pendekar wanita Tong Ki menanggapi.
Giok-hou kerutkan alis, serunya: '"Menurut pandangan saudara-saudara disini, pembunuh yang berada
dalam gedung itu, jelas tentu Pendekar Ular Emas. Tetapi aku tak mengerti. Pendekar Ular Emas itu hanya
seorang atau beberapa orang jumlahnya?"
Nyo Jong-ho tiba-tiba menghela napas, serunya: "Giok-hou, apakah suhumu sudah menerima surat
undanganku?" Belum Giok-hou menyahut, tiba-tiba Seruling Kumala Hong-hu Hoa berteriak kaget: "Lihatlah! Siapa itu?"
Sekalian orang serentak berpaling memandang ke arah yang ditunjuk Hong-hu Hoa.
Seorang berbaju putih tengah tegak di lorong kecil dari taman bunga dalam lingkungan tembok halaman
villa Merah Delima. Sejenak memandang ke arah villa itu, terus ayunkan langkah menuruni titian......
"Hai, siapakah orang itu kalau bukan Pendekar Ular Emas"!"
Gegerlah sekalian tokoh-tokoh itu. Bermula mereka mengira bahwa pembunuh yang berada di dalam villa
itu tentulah Pendekar Ular Emas Siau Mo. Tetapi setelah menyaksikan Siau Mo berada di taman bunga
bingunglah hati sekalian orang itu. Diam-diam mereka membantah sendiri tuduhannya tadi.
"Kalau begitu, pembunuh dalam rumah villa itu tentulah Pendekar Ular Emas Siau Lo-seng," pikir tokohtokoh silat itu.
Memang hanya Cu-ing seorang yang tahu bahwa Siau Mo itu sama dengan Siau Lo-seng. Tetapi sekalian
tokoh tak tahu hal itu. dunia-kangouw.blogspot.com
Saat itu sekalian orang melihat Pendekar Ular Emas Siau Mo dengan langkah yang cepat sudah
menghampiri ke pintu halaman.
Jarak taman bunga dengan pintu halaman itu hanya tujuh atau delapan tombak. Tetapi anehnya, walaupun
tampak berjalan cepat, Siau Mo seperti menempuh perjalanan tujuh-delapanpuluh tombak jauhnya. Cepat
tetapi lama. "Ilmu apakah itu?" tanya sekalian orang.
Hong-hu Hoa menghela napas.
"Ilmu kepandaian yang dimiliki orang itu benar-benar seperti laut yang sukar dijajagi dalamnya," kata Honghu Hoa, "cara jalan yang dilakukan itu jelas untuk menjaga kemungkinan diserang oleh orang yang berada
dalam rumah. Dengan begitu jelas dia tak ada hubungan dengan pembunuh dalam villa itu, Nyo bengcu,"
serunya kepada tuan rumah, "marilah sekarang kita serempak menyerbu ke dalam rumah itu!"
Belum selesai ia mengucap, tiba-tiba tampak Pendekar Ular Emas Siau Mo itu sudah menerjang ke dalam
ruang villa. Serempak dengan itu segera terpantullah sinar pedang yang berkilat-kilat menerangi ruang. Sesaat
kemudian terdengar suara erang tertahan dan pantulan sinar pedang itupun segera lenyap lagi.
Ruang dalam rumah itu kembali sunyi senyap.
"Apakah dia juga terbunuh......?" sekalian tokoh-tokoh itu mulai menduga-duga.
Membayangkan hal itu, makin ciutlah nyali sekali jago-jago silat itu. Mereka menyaksikan sendiri bagaimana
tadi di gedung besar, Pendekar Ular Emas Siau Mo itu telah mengunjukkan kepandaiannya yang hebat.
Beberapa orang yang pernah adu pukulan, antara lain Li Giok-hou, dapat mengetahui jelas bagaimana
kesaktian Pendekar Ular Emas Siau Mo itu. Bahkan jago-jago angkatan tua seperti Nyo Jong-ho dan ketua
perguruan Thay-kek-bun Han Ceng-jiang sendiri pun mengakui bahwa Siau Mo itu seorang jago muda yang
luar biasa hebatnya. Apabila saat itu Siau Mo juga mengalami nasib serupa dengan Bok Seng-bu tadi, maka sukarlah
dibayangkan betapa hebat kesaktian orang yang berada dalam ruang villa itu.
Giok-hou dan Hong-hu Hoa yang sudah hendak bergerak menyerbu pun terpaksa hentikan langkahnya dan
berpaling memandang Nyo Jong-ho.
Rupanya tuan rumah itu sendiripun seperti kehilangan paham dan sesaat tak tahu bagaimana harus
memberi perintah. Tiba-tiba dari arah villa itu terdengar seseorang berseru dingin: "Manusia hidup dalam dunia ini, paling
banyak hanya mati satu mengapa kalian tak berani masuk kemari?"
Astaga! Suara itu jelas suara Pendekar Ular Emas Siau Mo.
Sudah tentu sekalian tokoh-tokoh itu terlongong-longong seperti kehilangan semangat. Kalau Siau Mo
belum mati lalu jelas tentu pembunuh dalam villa itu yang kalah.
Tiba-tiba terdengar suara Pendekar Ular Emas Siau Mo berseru, "Pendekar Ular Emas sejak setahun
muncul di dalam dunia persilatan ini, memang telah menggegerkan orang. Kalian dari empat penjuru dunia
sama datang kemari, bukankah karena hendak menyelidiki jejak Pendekar Ular Emas" Nah, sekarang
Pendekar Ular Emas berada disini, mengapa kalian tak berani masuk menghadapi aku?"
Mendengar tantangan yang mengejek itu, marahlah Giok-hou, serunya: "Siau Mo, Pedang Beracun
Pembasmi Iblis Li Giok-hou akan masuk menemui engkau!"
Pemuda itu menutup kata-katanya dengan mencabut pedang terus loncat menerjang.
"Giok-hou, jangan masuk!" cegah Nyo Jong-ho.
Tetapi pemuda itu sudah terlanjur mengayunkan tubuh. Dan dia memang memiliki ilmu ginkang atau
meringankan tubuh yang hebat. Sekali berayun, sudah tiba di muka pintu ruang villa.
Kuatir muridnya mendapat bahaya, Nyo Jong-ho pun terpaksa ikut loncat menyusul.
Tiba-tiba ruang villa yang semula gelap itu, mendadak terang. Tentulah Siau Mo menyalakan lampu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Li Giok-hou dan Nyo Jong-ho terus menyerbu masuk. Tetapi apa yang mereka saksikan dalam ruang benarbenar membuat mereka terkejut ngeri.
Pada tiang penglari dari ruang villa itu, tergantung dua sosok tubuh manusia. Angin malam berhembus dan
kedua sosok tubuh itupun bergelantungan kian kemari......
Ketika Giok-hou dan Nyo Jong-ho memandang dengan teliti, kiranya kedua mayat yang digantung itu ialah
dua orang anak buah yang disuruh Nyo Jong-ho untuk menyelidiki keadaan dalam rumah villa itu.
Saat itu Hong-hu Hoa, Tong Ki, Cu-ing dan jago tua Han Ceng-jiang pun sudah berhamburan masuk ke
dalam ruangan. Kecuali dua sosok mayat yang bergelantungan pada tiang penglari dan darah yang berketes-ketes turun ke
lantai, Pendekar Ular Emas Siau Mo sama sekali tak tampak bayangannya.
Giok-hou penasaran sekali. Sambil membabat tali penggantung kedua mayat itu, ia berseru menantang:
"Hai, Siau Mo, engkau bersembunyi dimana?"
"Aku disini, masakan engkau tak mengetahui?" tiba-tiba terdengar suara Siau Mo menyahut.
Dan serempak dengan itu dari arah kamar tulis menyala sebatang korek api......
02.06. Pembunuhan Keluarga Siau
Li Giok-hou dan sekalian tokoh-tokoh terkejut ketika melihat kamar tulis di samping kiri Villa Merah Delima
itu menyala terang. Cepat rombongan orang-orang gagah itu melihat Pendekar Ular Emas Siau Mo tengah duduk di atas kursi
batu. Kedua tangannya mencekal Pedang Ular Emas yang terletak di atas lututnya. Dia pejamkan mata,
wajahnya pucat lesi. Di samping tempat duduknya terdapat seorang berpakaian hitam yang duduk melingkar.
Hong-hu Hoa segera membisiki isterinya:
"Dia duduk pada jarak tujuh langkah dari pintu. Sesuai dengan tujuh bintang dalam lingkungan ujung kaki,
sebuah tata langkah dalam jurus bintang Pak-tou. Dan jari tengahnya agak dijungkatkan ke atas itu sesuai


Pendekar Seratus Hari Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan jurus Tangan memetik bintang. Jika kita gegabah menyerbu tentu sukar terhindar dari serangannya
yang ganas." Walaupun berkata kepada sang isteri, tetapi secara tak langsung Suling Kumala Hong-hu Hoa juga
memberitahu kepada sekalian orang gagah.
Demi mendengar uraian Hong-hu Hoa, sekalian tokoh-tokoh pun segera mengamati sikap duduk dari
Pendekar Ular Emas Siau Mo. Dan apa yang dikatakan Hong-hu Hoa itu memang benar.
"Ah, setiap saat Pendekar Ular Emas itu selalu berhati-hati menjaga diri. Apabila kita tak berhati-hati
memeriksa tentu akan mati di tangannya," demikian pikir sekalian tokoh-tokoh gagah itu.
Mereka tak berani bergerak lebih dulu, melainkan memandang sekeliling penjuru. Aneh, mengapa tiada
terdapat lain orang lagi" Kemanakah lenyapnya Siau Lo-seng"
Kemudian mereka mencurahkan pandang mata ke arah orang berpakaian hitam yang mendekam di
samping Pendekar Ular Emas Siau Mo itu. Apakah orang itu yang menjadi pembunuh misterius dalam
ruangan tadi" Belum sampai merangkai dugaan lebih jauh, tiba-tiba orang berbaju hitam yang mendekam di tanah itu
bangun lalu ayunkan tinjunya ke arah Siau Mo.
"Bokyong-te, aku......" Siau Mo membuka mata dan berseru.
Orang itu terkejut kemudian menarik pulang pukulannya.
"Siau toako, aku bertemu lagi dengan Wanita Suara Iblis itu," serunya tertahan.
dunia-kangouw.blogspot.com
Di tingkah sinar penerangan lilin, tampak orang berpakaian hitam itu seorang pemuda yang bertubuh gagah.
Bahunya bidang, pinggang ramping, muka terang. Memiliki sepasang mata besar bundar yang dinaungi
oleh alis tebal. Pada saat menyebut nama Wanita Suara Iblis tiba-tiba ia hentikan kata-katanya dan berpaling memandang
ke arah sekalian tokoh-tokoh yang berada dalam ruang villa.
"Bokyong-te, aku sudah tahu," sahut Siau Mo, "tadi anak buah dari Wanita Suara Iblis itu sudah bertempur
dengan aku." Pemuda yang disebut Bokyong-te atau adik Bok-yong itu terkejut: "Siau toako, engkau......"
Tiba-tiba ia berhenti lagi.
Sekalian orang yang berada dalam ruang villa itu adalah tokoh-tokoh yang banyak pengalaman dalam dunia
persilatan. Mendengar pembicaraan Siau Mo dengan pemuda baju hitam itu, mereka segera dapat
mengetahui hal yang sebenarnya.
Segera Nyo Jong-ho melangkah maju beberapa tindak, memberi hormat dan berseru: "Ah saudara Siau,
bolehkah aku minta keterangan kepadamu tentang banyak hal yang tak kuketahui?"
Tiba-tiba Siau Mo mengangkat muka. Matanya yang berkilat-kilat tajam memandang kepada sekalian tokohtokoh itu.
"Soal apa yang engkau tak mengerti itu?" serunya.
Belum Nyo Jong-ho membuka mulut, Giok-hou sudah melesat ke samping gurunya dan membentak Siau
Mo: "Siapa engkau" Dan siapakah pula orang itu?" ia menunjuk pada pemuda baju hitam.
Pemuda baju hitam itu tertawa: "Li Giok-hou, jangan jual kegarangan! Kalau minta keterangan kepada Siau
toako ku, harus bicara yang baik. Hm, hm, kalau engkau bertanya aku siapa, aku seorang kerucuk
persilatan yang tak bernama, Bok-yong Kang."
Mendengar nama itu, Giok-hou tertegun. Mereka memang belum pernah mendengar nama itu dalam dunia
persilatan. "Saudara Siau," seru Nyo Jong-ho. "kalau tak salah, Siau Lo-seng itu mungkin nama samaranmu."
"Ya, benar. Aku memang Siau Lo-seng," sahut Siau Mo.
Cu-ing berseru: "Engkau, engkau apa benar Siau sianseng itu?"
Sebenarnya ia sudah mendengar hal itu dari mulut Siau Mo sendiri. Tapi ia tetap tak percaya dan ingin
mendapat penegasan yang jelas lagi.
Tetapi Siau Mo tak mau meladeni pertanyaan si nona. Ia meramkan mata dan berkata,
"Bokyong-te, harap wakili aku menjawab pertanyaan mereka. Tetapi paling banyak hanya boleh bertanya
tiga kali." Pemuda baju hitam yang bernama Bok-yong Kang itu segera tampil ke muka berdiri di depan Siau Mo.
"Apa yang kalian tak mengerti, lekaslah ajukan pertanyaan. Tetapi hanya boleh tiga kali bertanya," katanya.
Giok-hou mendengus dingin, mencabut pedang dan membentaknya: "Budak hina, besar benar mulutmu.
Aku tak percaya kalau kalian ini sakti sekali."
Karena masih muda, darah Giok-hou masih panas. Melihat sikap Siau Mo dan Bok-yong Kang, begitu
congkak, dia tak dapat menahan hatinya lagi.
"Giok-hou!" buru-buru Nyo Jong-ho mencegah, "Mereka toh di sini, nanti pun masih ada kesempatan yang
cukup untuk adu kepandaian dengan mereka."
Nyo Jong-ho hendak mencari keterangan lebih dulu. Sebelum mendapat keterangan yang jelas ia tak mau
bertempur. Kemudian jago tua itu berpaling kepada Seruling Kumala: "Saudara Hong-hu, silahkan mengajukan tiga
buah pertanyaan kepada mereka."
dunia-kangouw.blogspot.com
Hong-hu Hoa tertawa gelak-gelak lalu maju menghampiri, katanya: "Kalau begitu aku hendak bertanya lebih
dahulu tentang diri Mo-seng-li atau Wanita Suara Iblis itu."
Seruling Kumala Hong-hu Hoa memang seorang yang cermat. Begitu mendengar pembicaraan antara Siau
Mo dan Bok-yong Kang tadi, cepat ia segera menarik kesimpulan bahwa pembunuh misterius dalam ruang
villa tadi, adalah anak buah dari tokoh Wanita Suara Iblis itu. Tetapi siapakah Wanita Suara Iblis itu" Kaum
persilatan belum pernah mendengar tentang tokoh wanita itu.
"Pertanyaanku yang pertama, ialah, siapakah Wanita Suara Iblis itu?" Seru Seruling Kumala.
Bok-yong Kang menjawab: "Pertanyaan yang bagus. Wanita Suara Iblis itu adalah pemimpin dari suatu
gerombolan yang hendak menguasai dunia persilatan. Dia muncul dan lenyap sukar diduga. Ganasnya
bukan main." Seruling Kumala Hong-hu Hoa tertawa dingin: "Engkau pun menjawab bagus sekali. Apakah begitu sudah
bisa dianggap sebagai jawaban?"
Kata Bok-yong Kang: "Bukankah engkau tanya, siapa Wanita Suara Iblis itu" Keterangan itu sudah memberi
jawaban bagaimanakah wanita itu. Sudahlah jangan banyak bicara. Lekas engkau ajukan pertanyaan yang
kedua." Tangan ganas jarum beracun Tong Ki tertawa: "Tahukah engkau, kalian nanti akan menerima nasib
bagaimana?" Jawab Bok-yong Kang: "Kalau engkau minta aku menjawab, akan kuanggap sebagai pertanyaan kedua."
Kuatir kalau isterinya akan naik pitam, Hong-hu Hoa mendahului bertanya: "Siau Mo itu apakah bukan
Pendekar Ular Emas yang telah membunuh ketujuh tokoh Hun-liong-jit-gan, ke empat jago Kwan-gwa, lima
pendekar Hoa-san, ketua perguruan Sin-kun-bun Gan Ti-kiat sekeluarganya serta yang kemarin malam
membunuh ke delapan orang dalam gedung keluarga Nyo ini?"
"Ada yang benar, ada yang tidak," Bok-yong Kang menyahut.
"Apa" Aku tak jelas keteranganmu itu," seru Hong-hu Hoa.
"Korban-korban yang engkau katakan itu ada yang bukan dibunuh oleh Siau toako. Karena Siau toako tak
mau sembarangan membunuh orang yang baik dan orang yang tak berdosa!" jawab Bok-yong Kang.
"Lalu yang mana yang dibunuh Siau Mo?"
Bok-yong Kang mendesak. "Apakah pertanyaanmu itu dapat kuanggap balas bertanya?"
"Jawabanmu untuk pertanyaan yang kedua tadi belum jelas, mengapa engkau hendak menganggapnya
sebagai pertanyaan ketiga?" tiba-tiba Cu-ing menyeletuk.
Bok-yong Kang tertawa: "Jawabanku tadi sudah cukup jelas."
Cu-ing mengerut kemarahan, bentaknya:
"Baik, kalau begitu akulah yang akan mengajukan pertanyaan ketiga itu. Siau Mo menyaru jadi guru sekolah
Siau Lo-seng dan menyelundup ke dalam rumahku. Kemudian membunuh beberapa orang yang sedang
berada di rumahku. Apakah maksudnya berbuat demikian?"
Mendengar itu Bok-yong Kang merenung. Beberapa saat kemudian, baru ia menjawab: "Pembalasan dari
dendam darah!" Mendengar jawaban itu berobahlah Nyo Jong-ho.
"Siau Mo!" bentak jago tua itu, "Naga sakti tanpa bayangan Siau Han-kwan itu pernah apa dengan engkau?"
Mendengar itu sekalian tokoh-tokoh terkejut sekali. Bu-eng-sin-liong atau Naga sakti tanpa bayangan Siau
Han-kwan, sebuah nama yang menggetarkan dunia persilatan. Tetapi sedikit orang persilatan yang pernah
melihat orangnya. Sesuai dengan gelarnya sebagai Naga sakti tanpa bayangan, sepak terjang Siau Hankwan itu memang aneh. Dia muncul tak diketahui, lenyap pun tak diketahui. Jika muncul hanya seperti naga
yang menampakkan kepala, tapi menyembunyikan ekornya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Memang setiap pemunculannya karena hendak melerai suatu pertikaian antara sesama kaum persilatan.
Tetapi tiada seorang pun tahu tempat tinggalnya dan bagaimana wajahnya.
Saat itu ruangan pun sunyi sehingga suara orang bernapas pun terdengar jelas. Sekalian mata tokoh-tokoh
persilatan mencurah ke arah Siau Mo si pendekar Ular Emas. Mereka ingin mendengar jawabannya.
Tampak Siau Mo masih duduk di kursi batu, dadanya berombak keras seperti orang yang terengah-engah
napasnya. Sekonyong-konyong ia membuta mata. Bola matanya memancarkan sinar merah darah. Sinar
pembunuhan. Sesaat kemudian ia berkata dengan tersegu-segu: "Arwah ayah bunda di alam baka...... akhirnya aku
bertemu dengan orang yang kenal kepadamu, ......anak akan membalaskan sakit hati ayah bunda
berdua...... kematian adik yang mengenaskan engkoh......"
Walaupun kata-katanya terputus-putus tetapi jelas nadanya penuh kedukaan dan keharuan.
Sayup-sayup mata Siau Mo seperti membayangkan suatu pemandangan yang ngeri. Sebuah desa timbul
banjir darah, mayat berserakan di segala penjuru, pekik jeritan menyayat hati, tangis rintihan merobek-robek
sanubari. Saat itu seolah-olah telah terjadi kiamat.
Tiba-tiba Siau Mo berteriak: "Adikku, lekaslah engkau lari, adik!"
Baru pendekar Ular Emas Siau Mo melamunkan peristiwa yang lampau, tiba-tiba Li Giok-hou membentak.
Dan serempak menusuk dengan ujung pedangnya ke arah Siau Mo.
"Li Giok-hou, apakah engkau hendak cari mati?" bentak Bok-yong Kang seraya menghantam.
Li Giok-hou kebutkan pedang. Terdengar bunyi mendesis-desis dan tenaga pukulan Bok-yong Kang
terhapus lenyap. Bok-yong Kang dengan menggembor lepaskan tiga pukulan.
Angin menderu-deru bagai prahara yang melanda Giok-hou. Hebat, memang hebat sekali pukulan Bokyong Kang itu sehingga Giok-hou terkejut dan menarik pedang dan loncat mundur tiga langkah.
Saat itu Siau Mo masih melamun tentang peristiwa berdarah yang menimpah keluarganya. Rasa ngeri dan
duka, mencengkam hatinya sehingga tak menghirau perkelahian kedua orang itu.
Selekas menginjak tanah, Giok-hou cepat menerjang maju lagi.
Serangannya memang istimewa. Seperti menabas tetapi seperti menusuk, pun seperti menutuk. Dan ketiga
serangan itu cepatnya bukan kepalang. Lingkaran sinar pedangnya menyerupai bianglala.
Melihat ketiga buah serangan pedang lawan begitu aneh dan istimewa, diam-diam Bok-yong Kang terkejut
sekali. Dia tahu bahwa dalam tiga buah serangan itu, mengandung suatu serangan yang haus darah,
serangan yang maut. Pada hal ia tak dapat mundur karena harus melindungi jiwa Siau Mo.
Ya, dia harus melindungi Siau Mo, karena hanya dialah satu-satunya orang yang tahu rahasia Siau Mo.
Walaupun dalam dunia persilatan, seluruh orang persilatan tahu bahwa Pendekar Ular Emas seorang tokoh
sakti yang memiliki kepandaian hebat. Tetapi siapakah yang tahu bahwa ada suatu waktu, Pendekar Ular
Emas berobah menjadi seorang yang amat lemah sekali. Bahkan sedemikian lemah sekali. Bahkan
sedemikian lemah sehingga mengangkat pedang saja tak mampu.
Mengingat kewajiban itu, tiba-tiba Bok-yong Kang menggembor keras lalu menyongsong pedang Giok-hou
dengan sebuah pukulan. Diam-diam ia salurkan tenaga segera meluncur menampar pedang.
Giok-hou tertawa. Pedang ditebarkan dalam sebuah lingkaran sinar lalu menusuk ke dada Bok-yong Kang.
Perubahan itu benar-benar cepat bukan kepalang. Bok-yong Kang, hendak menghindar sudah tak ke buru
lagi. Dan memang dia pun tak ingin menghindar. Walaupun mati ia akan tetap melindungi Siau Mo.
Dalam keadaan yang berbahaya itu Siau Mo berseru:
"Bokyong-te, menyingkirlah!"
dunia-kangouw.blogspot.com
Mendengar itu Bok-yong Kang menghindar ke samping. Pada saat itu Siau Mo pun sudah melangkah ke
tempat Bok-yong Kang tadi sehingga ujung pedang Giok-hou pun langsung menuju ke dadanya.
"Tring......," terdengar suara senjata beradu ketika Siau Mo menangkis dengan Pedang Ular Emasnya.
Kejut Giok-hou bukan main, hampir semangatnya terbang, sehingga pedangnya hampir terlepas. Buru-buru
ia mundur. Tetapi Siau Mo bertindak cepat sekali. Pedang berputar-putar dan ujungnya menggurat bahu Giok-hou.
"Hm," Giok-hou mengerang, ketika lengannya robek, sedangkan pedangnya pun terlepas jatuh ketanah.
Adegan itu cepat sekali sehingga sekalian orang hanya terlongong-longong dengan wajah pucat.
Melihat muridnya terluka, cepat Nyo Jong-ho pun loncat ke tengah gelanggang untuk menjaga apabila Siau
Mo hendak melanjutkan serangannya. Tetapi ternyata Pendekar Ular Emas itu hanya tertawa dingin dan
tenang-tenang menarik pulang pedangnya.
"Li Giok-hou, tadi engkau melukai bahuku. Sekarang kuhajar dengan luka di bahumu juga," serunya.
Pedang Beracun Pembasmi Iblis memang merupakan seorang tunas muda yang cemerlang. Oleh karena di
sana sini mendapat pujian, maka ia berobah mangkak dan congkak. Memang selama ini belum pernah ia
menderita kekalahan. Bahwa saat itu ia sampai kena dilukai olen Siau Mo sudah tentu membuatnya malu
dan marah sekali. Li Gok-hou silangkan tangan, menggembor keras terus hendak loncat menyerang tetapi Pedang Ular Emas
dari Siau Mo itu lebih cepat. Sekali berkiblat, ujung Pedang Ular Emas itu sudah mengancam Giok-hou.
"Kalau engkau minta mati, pun jangan saat ini dulu. Tiga hari kemudian nanti tentu akan datang orang yang
akan membasmi kalian. Simpanlah tenagamu untuk menghadapi orang itu!"
Mendengar ucapan itu berobahlah wajah Nyo Jong-ho, serunya dengan bengis: "Siau Mo, apakah artinya
omonganmu itu" Harap suka menjelaskan!"
Pendekar Ular Emas menyahut tawar: "Nyo Jong-ho, apakah dahulu engkau ikut dalam pembunuhan
terhadap Naga Sakti Tanpa Bayangan Siau Han-kwan?"
02.07. Hidup Seratus Hari
Pucatlah wajah Nyo Jong-ho mendengar pertanyaan itu. Tubuhnya gemetar dan kepalanya menengadah
mengenangkan peristiwa yang telah lampau itu.
Siau Mo tertawa, "Tentang hilangnya beratus jiwa dari keluarga Siau Han-kwan itu pada suatu hari tentu aku
dapat menyelidiki sampai terang. Barang siapa ikut dalam pembunuhan itu tentu akan kubasmi."
Habis berkata Siau Mo melangkah keluar. Bok-yong Kang pun mengikutinya.
Sesaat tokoh-tokoh itu tak berani merintangi kepergian kedua anak muda itu.
Tiba-tiba Giok hou mengeram, memungut pedangnya lalu hendak memburu.
"Giok-hou, jangan mengejarnya!" cegah Nyo Jong-ho.
Bahu Giok-hou masih mengucurkan darah.
Diam-diam pemuda itu terkejut menyaksikan kesaktian Siau Mo. Maka ia pun hentikan langkah dan
berpaling. "Gihu, siapakah yang disebut Naga Sakti Tanpa Bayangan itu?"
Nyo Jong-ho menghela napas tak menyahut. Ketua perguruan Thay-kek-bun menghampiri ke samping Nyo
Jong-ho dan berbisik: "Saudara Nyo, anak si Naga sakti tanpa bayangan muncul lalu bagaimana kita harus mengatur persiapan?"
Hong-hu Hoa memberi hormat kepada Nyo Jong ho, serunya: "Nyo bengcu, kepandaian kami berdua suami
isteri ternyata jelek sekali. Kami tak berguna disini, bukan saja tak mampu memberi bantuan kepada
dunia-kangouw.blogspot.com
keluarga Nyo pun kebalikannya malah akan membikin malu saja. Maka kami hendak mohon diri kembali ke
kampung halaman kami."
Habis berkata Seruling Kumala dan Tong Ki hendak melangkah pergi.
"Cu Kong-ti........." tiba-tiba Tong Ki menjerit.
Ternyata jago pertama dari Tiga pedang Kang-lam itu wajahnya pucat.
Mendengar jeritan ngeri itu, cepat Nyo Jong ho menghampiri ke tempat Cu Kong-ti dan memegang
tubuhnya. "Bluk......" tiba-tiba Cu Kong-ti rubuh ke lantai.
Ketika Nyo Jong-ho merabah hidungnya, ternyata tokoh pertama dari Tiga pedang Kang-lam itu sudah
putus jiwanya. "Siapakah yang membunuhnya?" teriak Giok-hou.
Pertanyaan itu hanya menambah kegelisahan sekalian tokoh saja. Karena mereka pun juga ingin
mengetahui siapa yang membunuh Cu Kong-ti. Karena sejak tadi diperhatikan tiada seorang musuh yang
muncul yang menyerang Cu Kong-ti. Tahu-tahu tokoh dari Kang-lam itu ternyata sudah mati.
Jelas diketahui oleh sekalian orang bahwa Siau Mo tadi berada dalam kamar tulis. Dan waktu pergi dia
keluar dari pintu samping.
Dengan begitu jelas bukan Siau Mo yang membunuhnya.
Setelah beberapa saat memandang termangu ke arah mayat Cu Kong-ti, berkatalah Nyo Jong-ho dengan
gentar: "Ah, tak kira, karena memenuhi undanganku kemari, ketiga jago pedang dari Kang-lam itu harus kehilangan
jiwa. Ah, sungguh merasa berdosa kepada arwah mereka."
Ucapan jago tua yang penuh dengan kerawanan dan kedukaan itu membuat sekalian orang bersedih.
Semula Seruling Kumala Hong-hu Hoa menganggap peristiwa itu tak ada sangkut pautnya dengan mereka
berdua suami isteri. Tetapi pada saat melihat bagaimana tiga jago pedang Kang-lam telah dibunuh dengan ganas seketika
bangkitlah perasaannya sebagai seorang pendekar.
Demikian pula perasaan Tangan ganas jarum Beracun Tong Ki. Dia juga terkejut atas kematian Cu Kong-ti.
Kedua suami isteri itu menyadari bahwa musuh benar-benar ganas sekali.
Sejenak memandang ke arah isterinya, Hong-hu Hoa bertanya kepada Nyo Jong-ho:
"Nyo bengcu, bagaimanakah sebenarnya peristiwa itu" Harap Nyo bengcu memberi keterangan latar
belakang dari peristiwa itu. Apabila memerlukan tenaga kami berdua, sekali pun harus menerjang lautan
api, kami pun tetap akan melakukan."
Nyo Jong-ho menghela napas panjang, ujarnya:
"Pembunuhan besar-besaran dalam dunia persilatan sudah mulai. Sejak saat ini dunia persilatan sudah
mulai. Sejak saat ini dunia persilatan takkan tenteram."
Berkata ketua perguruan Thay-kek-bun dengan bersungguh-sungguh: "Apa yang dikatakan Siau Mo tadi
bahwa dalam tiga hari ini akan berlangsung pembunuhan besar-besaran untuk membasmi kita semua.........
apabila saat ini kita tak cepat bertindak mengundang para jago-jago partai persilatan kemari tentulah
bakal......" Nyo Jong-ho menukas: "Saudara Han, apakah engkau kira dapat begitu cepat mengundang mereka
kemari" Harus makan waktu berapa lamakah untuk mengundang mereka datang ke sini" Air laut yang jauh
tidak dapat menolong kebakaran di desa. Musuh dapat muncul dan lenyap secara gaib menurut kehendak
hatinya." "Saat ini Siau Mo tentu belum pergi jauh. Aku tak percaya dengan kepandaian kita semua tak mampu
membunuhnya," kata Giok-hou.
Kembali Nyo Jong-ho menghela napas:
dunia-kangouw.blogspot.com
"Giok-hou, yang kumaksudkan sebagai musuh itu, bukan Siau Mo tetapi lain orang lagi. Rasanya Siau Mo
memang kenal pembunuh itu."
"Lalu siapakah yang hendak mencari balas kepada gihu itu?" tanyanya heran.
Nyo Jong ho gelengkan kepala: "Aku pun juga tak tahu. Giok-hou, lekaslah engkau bawa adikmu Cu-ing
dan Nyo Ih tinggalkan kota Lok-yang ini!"
Belum selesai jago tua itu mengucap, tiba-tiba Giok-hou memekik kaget: "Hai, kemanakah adik Ing?"
Ternyata Cu-ing tak berada di ruang situ. Nyo Jong-ho terkejut sekali.
"Giok-hou, lekas engkau cegah dia," seru jago tua itu.
Giok-hou pun keluar memanggil gadis itu: "Adik Ing....." sekali loncat ia melayang ke atas wuwungan rumah


Pendekar Seratus Hari Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan memandang ke sekeliling penjuru. Tetapi di empat penjuru sunyi tiada tampak seorang pun juga"..
******************** Tadi selekas keluar dari halaman, Siau Mo dan Bok-yong Kang terus keluar. Tiba-tiba Siau Mo mengerangerang tertahan dan terus jatuh ke tanah.
"Siau toako, apakah engkau terluka?" cepat Bok-yong Kang menghampiri dan mengangkatnya bangun.
Siau Mo tersenyum rawan: "Bokyong-te, dalam setahun ini aku selalu merepotkan engkau saja. Engkau ikut aku dan merawat diriku.
Ah, Bokyong-te, dalam kehidupanku yang sekarang ini mungkin aku tak dapat membalas budimu."
Melihat wajah Siau Mo mengerut kesakitan Bok-yong Kang kerutkan dahi:
"Siau toako, apakah penyakit jantungmu kambuh lagi?"
Memang saat itu dahi Siau Mo bercucuran keringat, wajahnya pucat lesi. Dia tertawa lesu dan menjawab:
"Penyakit jantungku makin lama makin berat. Mungkin aku takkan dapat hidup lama."
"Siau toako, mengapa engkau berkata begitu?" tegur Bok-yong Kang gelisah, "apakah dengan ilmu
kepandaian toako yang begitu sakti, toako tak dapat mengatasi penyakit itu" Maaf kalau aku lancang
memberi petunjuk pada toako. Mungkin toako sendiri yang tak mau mengobati penyakitmu itu."
Siau Mo menghela napas: "Bokyong-te, kita sudah bergaul hampir setahun, masakan engkau tak tahu perasaan hatiku. Masakan aku
rela mati begitu saja" Apa lagi dendam darah."
Berkata sampai disini, ia menekan dadanya dan mengerang pelahan. Setelah itu ia lanjutkan pula:
"Penyakit jantungku ini, adalah penyakit turunan. Sekali pun saat ini aku sudah memiliki ilmu kepandaian
yang sakti tetapi kesemuanya itu malah mempercepat kematianku. Memang sebelum belajar silat aku
sudah menyadari akibatnya. Setelah dapat menghimpaskan dendam darah keluargaku, sekali pun mati aku
sudah puas. Tetapi ternyata keadaan penyakitku sudah payah. Kalau perhitunganku tak salah, paling lama
dalam seratus hari ini aku sudah mati. Cobalah engkau bayangkan, bagaimana dalam waktu seratus hari
yang begitu cepat, aku mampu melaksanakan pembalasan dendam itu dan melakukan penyelidikan kepada
siapa-siapa yang menjadi musuh keluargaku."
Bok-yong Kang percaya bahwa Siau Mo tak bohong. Tetapi suatu hal yang membuatnya heran ialah,
dengan kepandaian sakti Siau Mo mengapa dia tak mampu mengatasi kambuhan penyakitnya itu"
Dan Bok-yong Kang pun tahu bahwa kecuali hebat dalam ilmu silat pun Siau Mo itu pandai juga dalam
pengobatan. Adakah penyakitnya itu tiada obatnya" Ah, seorang tunas muda yang sakti dalam ilmu silat,
apabila sampai mati muda, bukankah sayang sekali"
Bok-yong Kang menghela napas: "Siau toako, apakah engkau yakin penyakitmu tak dapat diobati lagi?"
dunia-kangouw.blogspot.com
Siau Mo tertawa, "Kalau aku tak belajar silat, mungkin aku dapat hidup, hidup mencapai umur
empatpuluhan tahun, tetapi karena aku memutuskan untuk belajar silat maka umurku pendek. Dalam hal itu
aku tak menyesal dan menyalahkan nasib."
Jago muda itu menengadahkan kepala dan tertawa panjang.
"Kalau Tuhan tak mengganjar aku penyakit ini, cobalah engkau bayangkan, di dunia ini siapakah yang
mampu menandingi aku...... .?" serunya.
Kiranya Siau Mo itu seorang pemuda yang luar biasa cerdasnya dan memiliki bakat istimewa. Dalam belajar
sastera ia dapat mengingat dengan jelas apa yang dibacanya. Bahkan kitab-kitab Su-si-ngo-keng dan kitabkitab agama Buddha yang mutu sasteranya tinggi, ia dapat mengingat dengan baik.
Lebih-lebih dalam belajar ilmu silat. Sekali melihat gerakan jurusnya, dengan cepat dapat menirukan.
Bertahun-tahun dia mengembara ke seluruh dunia persilatan untuk menuntut ilmu silat dari beberapa aliran.
Dan kesemuanya itu ia sudah berhasil meraihnya.
Tetapi rupanya apa yang dikata orang itu memang benar. Bahwa kecantikan yang luar biasa dan
kecerdasan yang luar biasa, tentu tak diberi umur panjang.
Dibalik dari kepandaiannya yang luar biasa itu, Siau Mo menderita penyakit yang berbahaya yalah penyakit
jantung. Mendengar ucapan Siau Mo tadi tergeraklah hati Bok-yong Kang. Sudah setahun lamanya ia ikut pada Siau
Mo. Semula ia memang tak percaya bahwa Siau Mo menderita penyakit yang berbahaya.
Tetapi sudah berulang kali ia menyaksikan sendiri Siau Mo bertempur. Sebenarnya ia dapat membunuh
musuh tetapi entah bagaimana tiba-tiba malah ia yang kena dilukai musuh dan muntah darah.
Ternyata pada saat itu penyakit Siau Mo tiba-tiba kumat sehingga tenaganya hilang seketika. Karena
mengetahui hal itu, maka Bok-yong Kang tak mau meninggalkan Siau Mo dan tetap menjaga di
sampingnya. Selama ikut pada Siau Mo, Bok-yong Kang pun telah menerima ajaran-ajaran ilmu silat sehingga
kepandaiannya makin tinggi. Budi itulah yang ia hendak balas sekali pun ia sendiri harus binasa karena
melindungi Siau Mo. Tetapi pada saat itu sewaktu mendengar keterangan bahwa Siau Mo hanya dapat hidup seratus hari lagi,
hati Bok-yong Kang terasa pilu sekali. Dengan air mata bercucuran dipandangnya Siau Mo.
Siau Mo menghela napas. "Bokyong-te, jangan bersedih, setiap orang takkan terhindar dari kematian. Sudah tentu bila masih ada
kesempatan untuk bertahan hidup, takkan kusia-siakan. Aku akan berjuang membasmi penyakit itu.
Tetapi......" Ia berhenti sejenak, kemudian melanjutkan pula.
"Apabila dalam waktu seratus hari ini aku benar-benar mati dan tak dapat melaksanakan pembalasan
dendam keluargaku, akan kuminta engkau yang, melanjutkan. Apabila engkau mau meluluskan
permintaanku ini, aku Siau Mo, berjanji akan tenang."
Air mata Bok-yong Kang bercucuran makin deras.
"Siau toako, mengapa engkau mengatakan begitu" Aku telah berhutang budi besar kepadamu. Sekali pun
Protokol Keempat 4 Dewa Arak 33 Mahluk Dari Dunia Asing Nyawa Titipan 2
^