Pendekar Seratus Hari 12
Pendekar Seratus Hari Karya S D. Liong Bagian 12
Sam-siu bertapa di ruang Ceng-siu-tian" Bagaimana dia dapat mengadakan hubungan dengan pihak luar?"
"Di situlah letak kuncinya," kata It Ceng Totiang, "It Bing Totiang yang aseli sudah meninggalkan Bu-tongsan sejak limapuluh tahun yang lalu. Dia meninggalkan seorang It Bing Totiang palsu untuk menyelundup
dan ikut kami bertapa selama empatpuluh tahun. Sedang It Beng yang sungguh, telah melakukan kejahatan
di luar, menimbulkan huru hara dan membahayakan dunia persilatan......."
"Benarkah itu?" masih Siau Lo-seng agak kurang percaya, "masakan locianpwe tak dapat mengenali sute
sendiri." It Ceng totiang menggeram.
"Panjang sekali ceritanya. Limapuluh tahun yang lalu," imam tua itu mulai bercerita, "pada saat suhuku
Thian Le Cinjin menyerahkan kedudukan Ciang-bun (ketua) kepadaku, diapun telah menerima seorang
dunia-kangouw.blogspot.com
murid baru. Seorang pemuda orang biasa yang terkenal namanya sebagai Cian-bin-poa-an. Kala itu aku
sudah seorang pertengahan umur sedang dia baru seorang pemuda yang berumur duapuluh tahun. Karena
dia memang berbakat bagus dan amat cerdas, dia telah disayang suhu dan suhu sendirilah yang
menurunkan pelajaran kepadanya."
It Ceng Totiang berhenti sejenak untuk mengambil napas.
"Cian-bin-poa-an itu apakah bukan Cian-bin-poa-an Kho Ing-ti yang pada limapuluh tahun berselang
menjadi pasangan dari Siang-hoa-liong-li Pui Siu-li dan digelari sebagai sepasang pendekar nomor satu di
dunia?" Siau Lo-seng menyeletuk.
"Limapuluh tahun yang lalu dalam dunia persilatan telah muncul tiga pasang pendekar muda Cian-bin-poaan Kho Ing-ti, Kim-coa-mo-kiam Siau Mo, Bu-eng-sin-liong Siau Han-kwan. Ketiga jago muda itu disebut
Sam-cay. Sedang ketiga pendekar wanita yalah Siang-hoa-liong-li Pui Siu-li, Giok-li-sin-hong Tan Bi-hoa
dan Hun-siang-sian-cu Ui Siu-bwe. Mereka digelari Sam-ing (Tiga Jelita). Berturut-turut mereka muncul
dalam dunia persilatan dan serentak mereka saling berkenalan lalu membentuk persekutuan Heng-te-cimoy (engkoh adik, taci adik). Merupakan peristiwa, yang indah dan dipuji dunia persilatan.
It Ceng Totiang berhenti, menatap wajah Siau Lo-seng lalu melanjutkan pula:
"Tetapi kemudian hari, Sam-cay dan Sam-ing itu akhirnya berantakan?", suteku Kho Ing-ti pulang ke Butong dan bersumpah akan mensucikan diri......."
"Bagaimanakah peristiwa bubarnya Sam-cay dan Sam-ing itu" Lalu akhirnya bagaimana?" Siau Lo-seng
gegas bertanya. "Peristiwa itn memang terjadi di luar dugaan orang," kata It Ceng Totiang, "tiada seorangpun yang pernah
menyangka bahwa Sam-cay Sam-ing yang begitu rukun seperti kakak beradik, tiba-tiba terpecah belah,
masing-masing mengambil haluan sendiri?" Menurut kesimpulanku, sebab dari perpecahan itu tentu
berkisar pada soal Asmara. Ah, asmara memang berkuasa. Dari dulu sampai kelak akhir jaman. Entah
berapa banyak muda mudi yang telah hancur binasa dihempas asmara itu."
Saat itu makin dalam kesadaran Siau Lo-seng akan soal Asmara. Ya, asmara itu kuasa membahagiakan
orang tetapipun kuasa menghancurkan.
"Locianpwe, engkau tak begitu jelas tentang peristiwa itu tetapi mengapa dapat menarik kesimpulan bahwa
peristiwa itu disebabkan karena soal Asmara?" tanyanya.
"Memang benar, mereka telah bentrok karena urusan Asmara," kata It Ceng Totiang. Tampak imam tua itu
gemetar di kala mengucapkan kata-kata itu. Matanya pun berlinang-linang. memancarkan sinar duka dan
geram. Rupanya dia sedang dilanda oleh gejolak ketegangan hati.
Diam-diam Siau Lo-seng heran. It Ceng Totiang ketua dari Bu-tong Sam-siu. Tiga tokoh tua yang paling
dihormati dalam partai persilatan Bu-tong-pay. Kepandaiannya sakti, imannya kuat. Tetapi mengapa masih
dapat terangsang oleh perasaan hatinya.
Tiba-tiba pula Siau Lo-seng mendapatkan bahwa imam tua yang berdiri di hadapannya itu lain sikapnya
dengan Bu-tong Sam-siu yang dilihatnya ketika berada dalam markas Bu-tong. Waktu itu jelas Bu-tong
Sam-siu bersikap bengis dan keras. Walaupun wajahnya sama, tetapi beda sekali dengan It Ceng Totiang
yang berdiri di hadapannya saat itu.
Serentak timbul kecurigaan dalam hati Siau Lo-seng. Ia teringat akan ilmu Merobah raut muka dari orang
Ban-jin-kiong sehingga Nyo Cu-ing sampai tak kenal akan ayahnya sendiri yakni Nyo Jong-ho?" begitu
pula nona baju merah tadi. Benar-benar seperti pinang dibelah dua dengan Nyo Cu-ing.
"Ah?"," tiba-tiba Siau Lo-seng mendesah. Rupanya ia telah menemukan sesuatu rahasia. Dipandangnya
It Ceng Totiang dengan tajam.
Kerut wajah It Ceng pun berubah-rubah. Namun cepat ia segera mengajukan pertanyaan, "Siau sauhiap,
adakah sesuatu yang engkau rasakan?"
"Tidak, tidak," sahut Siau Lo-seng gelagapan. "Dapatkah locianpwe menceritakan semua peristiwa yang
menimpa Sam-cay Sam-ing itu?"
"Kemunculan mereka di dunia persilatan bagaikan halilintar di terang hari. Setiap orang tahu dan menaruh
perhatian. Tetapi keakhiran kisah mereka sebagai kabut awan yang gelap. Tiada bersuara tiada berita.
dunia-kangouw.blogspot.com
Hanya sedikit orang saja yang mengetahui. Sudah berpuluh tahun aku tak pernah berjumpa dengan salah
seorang dari mereka," kata It Ceng Totiang.
"Jika demikian, locianpwe sungguh tak tahu akan keadaan mereka yang sesungguhnya?"
Tampaknya ada sesuatu yang masih menghuni dalam benak imam tua itu. Setelah merenung beberapa
saat barulah ia berkata. "Sebenarnya aku telah berjanji kepada It Bing sute, untuk tidak membocorkan peristiwa mereka. Tetapi
karena sekarang dia ternyata telah berkhianat maka diapun tak percaya kepadaku lagi. Akupun tak perlu
memegang janji itu. Peristiwa tiga Pasang pendekar dunia persilatan itu, kecuali mereka sendiri yang tahu
jelas hanya aku." "Locianpwe," seru Siau Lo-seng mulai tegang lagi, "alangkah bagusnya bila locianpwe tahu akan peristiwa
mereka itu. Bertahun-tahun aku berkelana di dunia persilatan, tetapi tak berhasil menyelidiki."
Dua dari Sam-cay itu adalah Siau Han-kwan, ayah Siau Lo-seng. Dan Siau Mo, paman pemuda itu. Itulah
sebabnya maka ia ingin sekali mengetahui peristiwa mereka. Dan peristiwa itu tentu mempunyai sangkut
paut dengan pembunuhan berdarah di Hay-hong-cung.
Tampaknya It Ceng Totiang bersangsi. Sesaat kemudian baru ia berkata dengan suara sarat: "Lambat laun
peristiwa itu tentu akan terungkap. Hanya sayang, orang yang tahu peristiwa itu malu diri untuk berbicara."
"Apakah mereka juga melakukan kesalahan dan mengungkap peristiwa itu merupakan suatu hal yang hina
dan memalukan?" Siau Lo-seng heran.
"Benar," sahut It Ceng agak geram, "yang tahu peristiwa itu hanya sedikit sekali tetapi mereka sendiripun
juga melakukan kesalahan besar. Apabila diungkap, bukan saja akan merosotkan gengsi mereka, pun juga
akan membawa akibat yang luas. Mungkin mereka tiada muka untuk menegakkan kaki di dunia persilatan
lagi?"" "Apakah peristiwa Sam-cay Sam-ing itu mempunyai hubungan dengan locianpwe sendiri?" tiba-tiba Siau Loseng bertanya.
"Siau sauhiap, apa maksudmu" Bagaimana diriku mempunyai hubungan dengan peristiwa Sam-cay Saming itu," sahut It Ceng.
"Kulihat pada saat locianpwe menceritakan mereka, locianpwe agak terangsang. Jika tak mempunyai
hubungan dengan peristiwa itu masakan locianpwe sampai mempunyai perasaan seperti itu," kata Siau Loseng.
It Ceng tertegun lalu berseru tergagap,
"Au, perasaanmu tajam sekali. Walaupun secara langsung aku tak mempunyai sangkut paut dengan Samcay tetapi nasib yang diderita oleh It Bing sute itu, menyebabkan aku agak penasaran."
Sudah tentu Siau Lo-seng tak mengerti apa maksud kata-kata imam tua itu. Tadi jelas It Ceng membenci It
Bing karena perbuatannya menghianat itu. Tetapi sekarang imam tua itu penasaran atas nasib sutenya.
Bukankah kedua ucapan itu saling bertentangan"
"Locianpwe, apakah sute locianpwe itu bukan ketua dari Ban-jin-kiong yang sekarang yakni Ban Jin-hoan
itu?" tiba-tiba Siau Lo-seng bertanya.
"Kupastikan bahwa Ban-jin-kiong itu memang It Bing sute yang mendirikan. Tetapi adakah Ban Jin-hoan itu
benar It Bing sute, aku belum berani memastikan. Karena sepak terjang Ban Jin-hoan itu memang sukar
diduga, muncul lenyap tanpa diketahui orang......"
Siau Lo-seng kerutkan alis.
"Ucapan locianpwe itu terdapat sedikit kelemahannya. Kalau Ban-jin-kiong itu sute cianpwe yang
mendirikan, mengapa Ban Jin-hoan belum pasti kalau It Bing Totiang.
"Segala apa di dunia kalau belum melihat dengan mata kepala sendiri sukar untuk memastikannya," sahut It
Ceng, "tetapi kupercaya, dalam kolong langit ini kecuali suteku Cian-bin-poa-an Ko Ing-ti, tak mungkin
terdapat lain orang yang menguasai ilmu merobah wajah sedemikian sempurnanya."
"Benar," Siau Lo-seng mengangguk, "orang Ban-jin-kiong tentu ada yang memiliki ilmu merobah muka yang
hebat." dunia-kangouw.blogspot.com
It Ceng Totiang tersenyum: "Walaupun pada masa itu bukan hanya suteku seorang yang mahir dalam ilmu
merobah wajah itu." Tiba-tiba imam tua itu berhenti seolah-olah seperti telah kelepasan bicara. Sudah tentu hal itu tak terlepas
dari perhatian Siau Lo-seng.
"Siapa orang itu" Apakah bukan Jin Kian Pah-cu Ui Siu-bwe ketua dari Lembah Kumandang itu"' cepat Siau
Lo-seng bertanya. Seketika wajah It Ceng Totiang berobah, serunya: "Bagaimana engkau tahu hal itu?"
Ketika Siau Lo-seng mengangkat muka, pandangan matanya beradu dengan sinar mata It Ceng yang
memancar sinar pembunuhan. Menggigillah hati pemuda itu.
"Ada orang dari pihak Ban-jin-kiong yang menyaru jadi diriku," kata Siau Lo-seng, "tetapi dari pihak Lembah
Kumandang pun ada orang yang menyaru jadi nona Nyo Cu-ing. Keduanya dapat menyaru dengan
sempurna sekali. Itulah sebabnya maka aku memberanikan diri untuk menduga, bahwa orang kedua yang
memiliki kepandaian merobah wajah itu adalah Jin Kian Pah-cu."
Mendengar keterangan itu siraplah pancaran sinar mata buas dari It Ceng Totiang. Katanya: "Dewi Mega Ui
Siu-bwe wanita busuk itu?"."
"Apa katamu?" Siau Lo-seng cepat mendesak.
Gemetarlah tubuh It Ceng Totiang. Cepat ia hendak menelan lagi kata-kata terakhir "wanita busuk" yang
diucapkan itu dan terus dialihkan:
"Ya, memang dugaanmu tepat. Yang dapat mengimbangi ilmu merobah wajah dari suteku Kho Ing-ti itu
memang sumoaynya Giok-li-sin-hong Tan Bi-hoa."
Siau Lo-seng terbeliak kaget, serunya: "Apa" Kho Ing-ti dan Giok-li-sin-hong Tan Bi-hoa itu saudara
seperguruan?" It Ceng Totiang menghela napas.
"Sebelum masuk menjadi murid Bu-tong-pay suteku It Bing itu memang telah menjadi murid lain perguruan.
Dia berguru pada Ou-hay-it-ki Lim Ing-hoa. Ou-hay-it-ki Lim Ing-hoa itu dahulu menjadi sahabat karib dari
suhuku Thian Le Cinjin. Dia memang ahli sekali dalam ilmu merobah wajah. Sering dia menyamar sebagai
seorang penjual obat untuk berkelana di dunia persilatan. Umurnya belum berapa tua. Pada waktu
menerima Kho Ing-ti sebagai murid, umurnya hanya terpaut lima tahun dari muridnya. Dan dari muridnya
perempuan yalah Giok-li-sin-hong Tan Bi-hoa hanya terpaut tujuh tahun saja."
"Eh, masakan guru dan murid umurnya terpaut begitu sedikit?" seru Siau Lo-seng.
"Adalah karena perbedaan umur yang tak berapa banyak itu akhirnya timbullah hubungan istimewa antara
Ou-hay-it-ki dengan Giok-li-sin-hong Tan Bi-hoa. Tetapi Ou-hay-it-ki tak mengetahui kalau muridnya yang
satu, Kho Ing-ti, juga menaruh hati kepada Tan Bi hoa. Walaupun belum pernah saling mengutarakan, tetapi
hati mereka sudah saling setuju."
"Cinta segi tiga?" seru Siau Lo-seng.
It Ceng Totiang tertawa memanjang.
"Pada suatu hari, Kho Ing-ti mengetahui bahwa suhunya Ou-hay-it-ki mencintai sumoaynya Tan Bin-hoa.
Dan saat itu juga, iapun mengetahui bahwa Ou-hay-it-ki ternyata seorang pemuda yang cakap dan gagah.
Demikian mereka telah melewatkan penghidupan yang pahit dan manis selama setahun. Selama itu sikap
Tan Bi-hoa terhadap suhunya hanya sebagai seorang murid yang menghormat suhu tetapi tak mau bergaul
rapat. Terhadap Kho Ing-ti bersikap jinak-jinak merpati. Didekati menjauh sedikit. Kalau Kho Ing-ti diam,
gadis itupun tak mau terbang."
Termangu-mangu Siau Lo-seng mendengar kisah aneh dari guru dan kedua muridnya itu.
"Apakah Tan Bin-hoa sudah tahu kalau suhu dan suhengnya itu mempunyai hati kepadanya sehingga ia
bersikap demikian terhadap keduanya?"
"Ya!" sahut It Ceng Totiang, "sikap seorang murid terhadap guru. Sedang terhadap suhengnya, sekalipun
belum menyatakan dengan mulut, tetapi dia memang mencintainya dengan segenap hati."
dunia-kangouw.blogspot.com
Diam-diam Siau Lo-seng mendesuh dalam hati. Banyak sekali kelemahan-kelemahan dalam keterangan
yang diberikan It Ceng Totiang itu. Tetapi karena ia ingin mengetahui kisah itu dengan jelas maka ia
kendalikan hatinya untuk tidak membongkar kelemahan orang.
"Lalu bagaimana akhir kisah dari ketiga orang itu?" tanyanya.
"Rupanya Kho Ing-ti tak kuat bersabar dalam kehidupan yang menyesakkan dada itu. Ia mengelabuhi
suhunya dan mendesak Tan Bi-hoa diajak lari."
"Apakah keduanya berhasil lari?" tanya Siau Lo-seng.
"Tidak!" sahut It Ceng Totiang, "sauhiap, aku hendak bertanya kepadamu. Menurut anggapanmu, salahkah
tindakan Kho Ing-ti yang hendak mengajak lari Tan Bi hoa itu?"
Siau Lo-seng tak mengerti mengapa It Ceng Totiang mengajukan pertanyaan semacam itu kepadanya.
Tetapi demi memperhatikan sorot mata imam tua itu menuntut jawaban, akhirnya iapun menjawab dengan
suara lantang: "Locianpwe, walaupun tindakan Kho Ing-ti mengajak sumoaynya lari itu didorong oleh nafsu serakah, tetapi
itulah sifat manusia. Maka tak dapat dianggap salah. Dan tentang tindakan Tan Bi-hoa yang mau diajak lari
oleh suhengnya itu termasuk kebebasan azasi. Tiada seorangpun yang dapat campur tangan atau
melarangnya." Jawaban Siau Lo-seng itu dilantangkan dengan tegas atas dasar pendirian keadilan. Tampaknya It Ceng
Totiang berkesan mendengar jawaban itu. Ia menghela napas panjang.
"Dimanakah keadilan" Adakah budi kebaikan itu masih hidup di dunia" Sudah lama aku tak mendengar
uraian tentang Keadilan dan Kebaikan. Hari ini berjumpa dengan Siau sauhiap boleh dikata aku telah
membuka pantangan selama setengah abad dalam keputusanku untuk bertapa. Keputusanku
mengasingkan diri itu tak lain karena muak melihat Keadilan dan Budi telah luntur dalam dunia persilatan."
"Engkau salah locianpwe," seru Siau Lo-seng, "memang dunia persilatan itu penuh dengan beraneka ragam
manusia. Yang palsu, yang culas, yang kejam dan yang baik, yang jujur dan yang berpendirian lurus."
Baru Siau Lo-seng berkata sampai di situ, tiba-tiba di angkasa terdengar pula kumandang suara seruling
yang bening dan nyaring. Tergetar hati Siau Lo-seng mendengar kumandang seruling itu. Cepat ia berpaling memandang It Ceng
Totiang. Tetapi alangkah kejutnya ketika ia memperhatikan bahwa kerut wajah imam tua itu memantulkan
hawa pembunuhan. "Siau sauhiap," seru It Ceng, "apa engkau kira aku ini It Ceng tojin dari Bu-tong Sam?siu?"
Siau Lo-seng tetap tenang, sahutnya: "Walaupun menilik raut wajah, locianpwe ini menyerupai It Ceng
totiang, tetapi sejak tadi aku sudah mengetahui bahwa locianpwe ini bukan It Ceng Totiang?"
Terkesiap It Ceng mendengar ucapan dan menghadapi sikap Siau Lo-seng yang begitu tenang. Seketika
cahaya mukanya pun berobah.
"Bukankah engkau sudah mengetahui bahwa aku ini seorang momok yang ganas dan licin?" serunya.
Siau Lo-seng kerutkan alis.
"Tak peduli engkau ini orang macam apa, tetapi ucapanmu saat ini memang keluar dari hati nurani yang
tulus. Kalau aku tak menduga salah, locianpwe ini tentulah yang dikatakan sebagai Cian-bin-poa-an Kho
Ing-ti." 16.78. Otak Pembunuhan di Hay-hong-cung
It Ceng Totiang menghela napas panjang.
"Kho Ing-ti mendesak Tan Bi-hoa diajak lari telah diketahui oleh suhu mereka. Demi menyelamat nama
baiknya agar jangan dibuat buah tutur dunia persilatan maka Ou-hay-it-ki mengajak muridnya mengadakan
penyelesaian di belakang gunung. Coba engkau terka, siapakah yang menang dalam pertempuran antara
guru dan murid itu?"
"Kho locianpwe, apakah engkau kalah dengan suhumu?" Siau Lo-seng berbalik tanya.
dunia-kangouw.blogspot.com
It Ceng tak terang-terangan mengakui kalau dia itu sebenarnya Kho Ing-ti. Ia melanjutkan kata-katanya.
"Dugaanmu salah! walaupun menjadi murid dari Ou-hay-it-ki, tetapi berkat kecerdasannya yang luar biasa,
dapatlah Kho Ing-ti memenangkan sejurus pukulan dan menusuk satu kali dengan pedang kepada suhunya.
Karena malu dan marah, akhirnya Ou-hay-it-ki telah membunuh diri?""
"Locianpwe, yang ingin kuketahui yalah kisah dari ketiga pasang pendekar yang lainnya itu serta Kho Ing-ti.
Adakah Kho Ing-ti itu bukan Ban Jin-hoan yang sekarang" Harap jangan bercerita panjang lebar yang tak
mempunyai hubungan mereka. Mengapa locianpwe tak mau berterus terang mengakui diri locianpwe ini
Kho Ing-ti atau It Beng Totiang ataukah Ban Jin-hoan?"
Serentak berobahlah cahaya muka imam tua itu. Akhirnya dengan rawan ia berkata: "Ya, benar, aku ini
sebenarnya Cian-bin-poa-an Kho Ing-ti, ah......"
Diam-diam Siau Lo-seng merasa bahwa Kho Ing-ti itu seorang yang telah menderita kepahitan hidup,
penderitaan dan nasib yang malang. Tetapi ia merasa bahwa imam tua yang berdiri di hadapannya itu
kemungkinan adalah Ban Jin-hoan sendiri. Hal itu didasarkan rasa keheranannya, kalau dia benar Kho Ingti, apa maksudnya menceritakan sekian banyak peristiwa kepadanya"
Keduanya berdiam diri dan mendengarkan alunan suara seruling yang makin merdu. Tanpas disadari
perhatian mereka telah terpikat.
Berselang berapa saat kemudian barulah Siau Lo-seng membuka mulut.
"Kho locianpwe, adakah engkau ini Ban Jin-hoan atau bukan, kelak pada suatu hari tentu akan dapat
diketahui. Saat ini pihak Ban-jin-kiong telah bergerak besar-besaran menyerang Lembah Kumandang.
Mereka hendak menghancur binasakan seluruh orang Lembah Kumandang. Aku tak sampai hati melihat
pembunuhan besar-besaran itu, nah, sampai jumpa lagi."
Habis berkata ia terus hendak pergi.
"Tunggu dulu!" seru It Ceng Totiang yang ternyata adalah Kho Ing-ti.
"Apakah masih ada petunjuk lagi?" Siau Lo-seng berputar tubuh.
Cian-bin-poa-an Kho Ing-ti menghela napas rawan, serunya: "Sejak berkelana dalam dunia persilatan, tak
pernah seperti kali ini aku harus mengendapkan perasaanku. Tetapi tak boleh tidak aku harus mengatakan.
Hal itu mungkin berkaitan dengan rahasia asal usul dirimu. Kalau saat ini engkau tak mau mendengarkan,
kelak engkau tentu akan menyesal."
Siau Lo-seng tertawa dingin.
"Kukira masih ada lain hal yang sangat penting. Bilakah aku mempunyai rahasia tentang asal usul diriku"
Kecuali dendam darah keluargaku, apakah masih ada hal-hal yang perlu harus kusesalkan lagi?"
Wajah Ko Ing-ti mengerut beberapa kali, serunya, "Engkau memang hanya tahu bahwa engkau mempunyai
kewajiban untuk membalas dendam. Sekarang cobalah engkau jawab pertanyaanku ini. Siapakah
mamahmu itu" Bagaimanakah sesungguhnya peristiwa berdarah itu telah terjadi?"
Siau Lo-seng terbeliak. Beberapa saat kemudian baru dapat berkata,
"Peristiwa yang sesungguhnya, tentu saja telah jelas. Lebih dari seratus jiwa orang Hay-hong-cung telah
binasa. Dendam berdarah itu harus dihimpaskan. Ibuku pun telah menjadi korban dari keganasan itu. Apa
maksudmu menanyakan peristiwa itu?"
Cian-bin-poa-an Kho Ing-ti merenung. Beberapa saat kemudian baru ia berkata sarat:
"Mamahmu adalah sumoayku Liok-li-siu-hong Tan Bi-hoa. Peristiwa berdarah di Hay-hong-cung boleh
dikata sebagian adalah dikarenakan mamahmu."
Siau Lo-seng seperti disambar petir kejutnya. Setitikpun ia tak pernah bermimpi bahwa mamahnya yang
begitu lemah ternyata adalah seorang Tiga jelita yang dahulu pernah menggemparkan dunia persilatan.
Mamahnya ternyata Giok-li-siu-hong atau Bidadari burung hong sakti Tan Bi-hoa!
Peristiwa itu sungguh mengherankan. Sungguh langka sekali dan sukar dipercaya!
dunia-kangouw.blogspot.com
Sebenarnya dahulu ia memang pernah mendengar orang mengatakan bahwa mamahnya itu adalah Giok-lisiu-hong Tan Bi-hoa. Tetapi ia tak percaya. Kini setelah mendengar sendiri dari mulut Cian-bin-poa-an Kho
Ing-ti, barulah ia mau percaya sungguh.
Tetapi iapun masih sangsi. Bukankah mamahnya telah terlibat cinta segitiga dengan Ou-hay-it-ki dan Kho
Ing-ti" Mengapa akhirnya menikah dengan ayahnya yakni Naga sakti tanpa bayangan Siau Han-kwan"
Adakah mamahnya itu seorang wanita yang gemar bercinta" Dan mengapa pula Kho Ing-ti mengatakan
kalau peristiwa berdarah di Hay-hong-cung itu timbul akibat soal mamahnya"
Jika begitu, jelas Kho Ing-ti inilah yang menjadi biang keladi pembunuhan itu. Dialah pembunuhnya!
Pendekar Seratus Hari Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bukankah orang aneh yang menggunakan ilmu Menyusup suara telah membisiki kepadanya bahwa
pembunuh itu selalu membayangi kemana saja ia pergi"
Tidak! Tidak! Ia tak boleh percaya omongan Kho Ing-ti. Ia malu sendiri mengapa begitu mudah pendiriannya
hampir goyah karena mendengar cerita Kho Ing-ti. Bagamanapun halnya, ia harus melaksanakan tujuannya
untuk membalas dendam berdarah itu agar arwah mamahnya dapat beristirahat tenang di alam baka.
Bermacam-macam pikiran melintasi benak Siau Lo-seng.
"Ngaco belo!" akhirnya ia membentak Kho Ing-ti, "tak pernah kudengar selama ini bahwa peristiwa berdarah
di Hay-hong-cung itu mempunyai hubungan dengan mamahku. Jika engkau masih mengoceh tak keruan,
jangan salahkan kalau aku bertindak keras kepadamu!"
Dengan wajah serius berkatalah Kho Ing-ti, "Kesemuanya itu memang peristiwa kenyataan. Liku-liku
dendam pada masa yang lampau, berpangkal pada Giok-li-siu-hong Tan Bi-hoa. Liku-liku cinta yang selama
itu masih belum padam dan himpas."
Sambil mendekap kepala dengan kedua tangannya, Siau Lo-seng membentak marah:
"Tutup mulutmu. Aku tak sudi mendengarkan ocehan seorang gila semacam engkau!"
Berobahlah cahaya muka Kho Ing-ti mendengar makian itu. Tetapi cepat ia dapat menekan perasaannya.
"Boleh saja engkau menganggap aku seorang gila," katanya, "tetapi bagaimanapun aku hendak
menceritakan hal yang sebenarnya. Dan engkaupun harus mendengarkan dengan jelas. Engkau......
engkau mungkin bukan putera dari Siau Han-kwan. Sebelum menikah dengan Siau Han-kwan, mamahmu
telah melahirkan seorang anak dengan lain pria."
Sepasang mata Siau Lo-seng merah membara seperti hangus.
"Buktikan kata-katamu itu!" teriaknya tegang. "jika engkau tak mampu memberi alasannya, takkan kubiarkan
engkau bicara seenakmu sendiri begitu!"
Sambil berkata dengan mata merah, Siau Lo-seng maju menghampiri ke tempat Kho Ing-ti.
Tetapi Kho Ing-ti tenang saja.
"Mau bukti" Asal engkau bertanya kepada mamahmu, segala sesuatu tentu jelas. Soal itu menyangkut
rahasia peribadi, bahkan Siau Han-kwan sendiri mungkin tak tahu."
Siau Lo-seng tertawa dingin.
"Omonganmu itu benar-benar ngaco belo! Mamahku telah ikut kalian bunuh dalam peristiwa berdarah di
Hay-hong-cung itu. Dan masakan ayahku tak tahu asal usulku. Hm, mengapa engkau tak malu mengatakan
hal semacam itu?" "Tidak!" bantah Kho Ing-ti, "sungguh Tan Bi-hoa tidak binasa. Tak mungkin beberapa jago Bu-tong-pay itu
mampu membunuh mamahmu!"
Gemetarlah tubuh Siau Lo-seng mendengar kata-kata itu. Sinar matanya memancar hawa pembunuhan
yang buas. Pelahan-lahan ia mencabut pedang Ular Emas dari punggungnya lalu berseru nyaring:
"Engkau seorang pembohong yang berani mati sekali. Jelas dengan mata kepala sendiri kusaksikan
mamahku dibunuh oleh beberapa orang berkerudung muka kain hitam. Dengan begitu, makin jelaslah
bagiku bahwa engkaulah pembunuh utama dari Hay-hong-cung itu. Sekarang aku hendak melakukan
pembalasan untuk menghimpaskan sakit hati dari mereka yang engkau bunuh di Hay-hong-cung itu!"
dunia-kangouw.blogspot.com
Siau Lo-seng menutup kata-katanya dengan tabaskan dua kali pedang Ular Emas. Tabasan ita cepat sekali
tetapi dengan geliatkan tubuh, Kho Ing-ti telah menghindarinya dengan indah sekali.
"Engkau benar, memang akulah biang keladi yang menggerakkan pembunuhan di Hay-hong-cung itu.
Tetapi akupun berbuat begitu karena hendak menuntut balas. Siau Lo-seng, sebelum engkau tahu jelas
bagaimana asal usul dirimu, hak apakah engkau hendak menuntut balas atas peristiwa di Hay-hong-cung
itu" Dan lebih celaka lagi, engkau telah mengakui seorang penjahat sebagai ayah kandungmu!"
Hati Siau Lo-seng bingung tak keruan, serentak ia berteriak marah.
"Tutup mulutmu! Engkau pembunuh keji, sudah lama aku mencarimu. Hayo, sekarang serahkanlah jiwamu.
Pedang Ular Emas berhamburan, tangan kiri Siau Lo-seng pun ikut melentikkan tujuh buah jari dan
lontarkan lima kali pukulan.
Kho Ing-ti menghela napas. Ia kebutkan sepasang lengan bajunya dan menghamburkan arus tenaga lunak.
Siau Lo-seng rasakan, pukulan dan pedangnya itu seperti menyusup ke dalam lumpur. Ia terkejut dan
cepat-cepat menyurut mundur.
Kho Ing-ti yang bergelar Cian-bin-poa-an atau Arjuna seribu wajah itu memiliki ilmu kepandaian yang sakti.
Dia hendak menundukkan kekerasan hati pemuda itu. Diam-diam ia melancarkan ilmu tenaga dalam Hui-lokang untuk menghapus tenaga pukulan Siau Lo-seng yang mampu menghancurkan batu karang.
Siau Lo-seng cepat menyadari bahwa kepandainnya terpaut jauh sekali dengan Kho Ing-ti. Pada saat ia
hendak membuka mulut, tiba-tiba di udara berkumandang suara seruling yang aneh, seolah bersatu dengan
lolong kawanan anjing di kejauhan.
Wajah Kho Ing-ti berobah hebat. "Apa yang kukatakan kepadamu memang hal yang sesungguhnya,"
katanya. "kalau tak percaya, bolehlah engkau bertanya kepada Siau Han-kwan dan mamahmu Tan Bi-hoa
sendiri. Jika ada keperluan, marilah ikut aku ke Ban-jin-kiong."
"Hai, engkau benar-benar Ban Jin-hoan!" teriak Siau Lo-seng. Dengan mengertek gigi segera lepaskan
sebuah hantaman yang disertai dengan tenaga penuh.
"Bum?"" Siau Lo-seng melihat bahwa pukulannya itu tepat mengenai punggung Kho Ing-ti yang saat itu sudah
angkat kaki. Tetapi entah bagaimana hasilnya karena Kho Ing-ti pun sudah meluncur lenyap dalam hutan
lebat".. ******************** Pada lain saat suara anjing menyalak itu pun sudah tiba di belakangnya dan sesosok bayangan putih
segera meluncur. Siau Lo-seng terkejut. Cepat ia menabas dengan pedang. Tetapi ketika memperhatikan, ternyata sosok
bayangan putih. Itu adalah anjing putih bermata merah, peliharaan dari ayahnya.
Karena bergerak cepat, Siau Lo-seng tak sempat menghentikan pedangnya. Dan Salju si anjing putih itu
tentu tertabas. Tetapi di luar dugaan, anjing putih Salju itu dapat berjumpalitan dan lolos dari mata pedang ular emas, lalu
meluncur ke tanah. Siau Lo-seng menghela napas lega. Ia tahu binatang itu seekor anjing sakti. Setelah menyimpan pedang ia
bertanya: "Salju, bagaimana keadaan ayahku?"
Salju menyalak beberapa kali. Setelah menggigit ujung celana Siau Lo-seng, binatang itu terus lari pergi.
Siau Lo-seng menyadari bahwa apabila tak ada urusan penting tentulah anjing putih itu tak sedemikian
tegangnya. Segera ia lari menyusul.
Anjing itu luar biasa cepatnya. Sambil menggonggong, ia menuju ka arah Lembah Kumandang. Walaupun
telah mengerahkan ilmu berlari cepat, namun tetap Siau Lo-seng tak dapat mengejar.
dunia-kangouw.blogspot.com
Dalam beberapa waktu, keduanya sudah masuk ke dalam hutan lebat dan tiba di sebuah lembah yang
terdiri dari batu-batu aneh dan karang-karang berbahaya. Lembah Kumandang!
Sebuah jalan kecil merentang ke dalam lembah. Pohon-pohon bertumbangan, daun-daun berhamburan dan
dua sosok mayat manusia terkapar di tepi jalan. Mayat itu masih mengalirkan darah.
Makin manyusup ke dalam, suasana makin kacau. Mayat-mayat berserakan, senjata, anggauta badan
orang dan bau yang anyir bertebaran menyengat hidung.
Mau tak mau menggigillah hati Siau Lo-seng. Walaupun diketahuinya bahwa mayat-mayat itu terdiri dari
orang-orang Ban-jin-kiong dan Lembah Kumandang, tetapi ia tetap ngeri menyaksikan pemandangan yang
begitu seram. Tiba-tiba ia melihat juga, di antara mayat-mayat itu terdapat anak murid perkumpulan Naga Hijau. Begitu
pula beberapa tokoh persilatan.
Tiba-tiba ia tiba di sebuah lapangan. Pada lapangan yang bersandar karang curam, tampak didirikan
sebuah bangunan besar. Halaman di muka gedung bangunan itu, penuh orang berhilir mudik masuk ke dalam ruang besar. Mereka
terdiri dari laki-laki dan wanita. Masing-masing membawa senjata. Pakaiannya kusut tubuh penuh dengan
noda darah. Jelas mereka tentu habis bertempur. Wajah mereka tampak serius dan diam tak berkata-kata.
Sedang di lapangan itu, sunyi dan merawankan penuh warna merah. Seolah digenangi darah.
Belum pernah sepanjang hidupnya, Siau Lo-seng menyaksikan pembunuhan massal secara begitu besar.
Keadaannya lebih mengerikan dari peristiwa di Hay-hong-cung dahulu. Berlinang-linang airmata pemuda
itu. Mengapa harus terjadi pembunuhan besar-besaran semacam itu" Mengapa manusia saling bunuh
sedemikian buasnya" Serentak timbullah rasa dendam kebenciannya terhadap manusia yang menjadi biang keladi peristiwa itu.
Dia benci sekali manusia yang lebih buas dari binatang itu.
Mengalihkan pandang ke arah gedung, tampak rombongan orang tadi sudah masuk ke dalam ruangan
besar. Yang tinggal hanya dua buah daun pintu besar yang tinggi kokoh, kanan kiri dijaga oleh dua regu
orang berpakaian hitam. Mereka tegak seperti patung.
Saat itu anjing Salju tak menggonggong lagi. Dan ruang gedung itupun sunyi. Diam-diam Siau Lo-seng
heran mengapa anjing putih masih tetap lari. Hendak kemanakah binatang itu"
Teringat pula ia akan peristiwa yang dialaminya tadi. Apakah tujuan It Ceng Totiang atau Kho Ing-ti atau
yang kemudian mengaku sebagai Ban Jin-hoan, mengikat dia dalam pembicaraan yang panjang. Apakah
Ban Jin-hoan menggunakan siasat agar dia tak ikut serta dalam pertempuran berdarah itu"
Jelas perkumpulan Naga Hijau juga ikut dalam pertempuran itu. Tetapi yang mati hanya belasan orang. Lalu
yang lain-lain kemanakah perginya"
Berdiri di balik beberapa batang pohon yang rindang, benak Siau Lo-seng diliputi oleh berbagai pikiran.
Sebelum ia dapat mengambil keputusan, tiba-tiba serangkum angin telah melandanya dari belakang.
Cepat Siau Lo-seng, gunakan gerak Menjungkir balikkan lonceng emas. SambiI ayunkan pedang ke
belakang, iapun meluncur ke samping.
Terdengar jeritan ngeri dan seorang Baju hitam terkapar mandi darah. Jeritan itu terdengar makin
mengerikan sekali. Empat penjuru Lembah Kumandang memantulkan gema kumandangnya.
"Celaka!" diam-diam Siau Lo-seng mengeluh. Baru ia hendak angkat kaki tiba-tiba limapuluhan orang
berhamburan lari keluar dari ruang gedung.
Siau Lo-seng makin terkejut. Cepat ia berputar tubuh dan lari. Tetapi baru tiga tombak jauhnya, lima-enam
orang baju hitam berhamburan loncat keluar dari balik gerumbul pohon. Begitu menghadang di jalan,
mereka terus menyerang dengan golok.
16.79. Masuk Lembah Kumandang
dunia-kangouw.blogspot.com
Tetapi Siau Lo-seng hanya mendengus dingin. Ia menerjang mereka dengan taburan pedang. Lima buah
tabasan cepat ditujukan ke lima penghadang itu. Dan terdengarlah pekik jeritan ngeri.
Sebelum melihat orangnya, ke lima baju hitam itu pun sudah terkena oleh tusukan pedang. Yang empat
orang rubuh, yang seorang terhuyung-huyung dengan bahu mengalir darah. Dia bersandar pada sebatang
pohon. Memang jurus yang diserangkan Siau Lo-seng itu, luar biasa cepat dan indah. Dalam sekejap lima orang
serempak terluka. Sebenarnya Siau Lo-seng tak mau mengejutkan orang-orang Lembah Kumandang. Tetapi karana sudah
terlanjur ke sarang harimau, terpaksa ia harus bertindak. Cepat ia loncat dan lekatkan ujung pedang ke
tenggorokan orang itu. "Bukankah engkau orang Lembah Kumandang?" bentaknya.
Mata orang baju hitam itu mendelik marah sahutnya: "Hm, kawanan pembunuh, engkau kira orang Lembah
Kumandang itu mudah dihina" Bunuhlah aku tetapi jangan harap engkau mampu lolos dari tempat ini."
Siau Lo-seng cepat menyadari bahwa orang itu telah menyangka dia sebagai pembunuh orang Lembah
Kumandang. "Aku hendak bertanya beberapa hal kepadamu. Kalau tak mau bilang, engkau akan merasakan penderitaan
yang lebih hebat dari pada apa yang Jin Kian Pah-cu pernah lakukan kepada orang."
"Pemimpin kami, berbudi luhur berhati welas asih tak pernah menjatuhkan hukuman. Anak muridnya yang
bersalah hanya ditundukkan dengan kata-kata penyadaran. Adalah karena sikapnya yang welas asih itu
maka timbullah murid hianat. Dia menjadi musuh dalam selimut yang secara diam-diam telah memasukkan
musuh ke sini sehingga Lembah Kumandang mengalami bencana berdarah seperti saat ini."
Siau Lo-seng terbeliak. "Engkau maksudkan dalam Lembah Kumandang terdapat penghianat yang bersekongkol dengan musuh
untuk menghancurkan Lembah Kumandang?" serunya.
Orang berpakaian hitam berteriak geram:
"Kalau tiada penghianat dari dalam bagaimana mungkin kalian mampu memecahkan enambelas pos
berbahaya dalam Lembah Kumandang ini" Sekarang kau mau bunuh, bunuhlah sepuas hatimu. Tetapi
jangan harap engkau dapat keluar dari lembah ini dengan selamat."
Siau Lo-seng guratkan ujung pedangnya ke kulit tubuh orang itu dan membentaknya:
"Aku tak peduli Lembah Kumandang akan jadi bagaimana. Aku hanya menghendaki engkau menjawab
pertanyaanku, apakah pihak Naga Hijau juga ikut dalam pembunuhan malam ini" Dan berapa banyakkah
jumlah mereka yang datang?"
Tiba-tiba ia hentikan kata-katanya karena saat itu ia telah merasa bahwa di belakangnya telah muncul
beberapa orang, segera terdengar suara seorang perempuan berseru.
"Akulah yang akan menjawab pertanyaanmu itu!"
Siau Lo-seng tak mengira di antara pendatang itu terdapat wanita juga. Ia agak condongkan tubuh ke
samping dan melirik ke belakang.
Lebih kurang dua tombak jauhnya, muncul sejumlah tiga-empatpuluh orang yang dipimpin oleh dua orang
nona cantik. Mereka bukan lain yalah Hiat Sat Mo-li yang bertempur dengan Li Giok-hou dan si nona baju
merah, sumoay ketiga dari Hiat Sat Mo-li.
Sebelah kanan, tampak pukulan seribu Buddha Leng Bu-sia, salah seorang dari Tiga Jago partai Go-bi-pay
dan Bandringan terbang Bwe Hui-ji. Sedang di samping kiri berjajar selusin gadis baju merah dengan
bersenjata pedang, di belakang mereka, tegak duapuluh lelaki berpakaian tempur.
Melihat Siau Lo-seng, wajah Leng Bu-sia dan Bwe Hui-ji agak berobah. Mereka hendak bicara tapi tak jadi.
Siau Lo-seng pun terkejut, pikirnya: "Adakah Leng Bu-sia dan Bwe Hui-ji sudah pulih kesadaran
pikirannya?" dunia-kangouw.blogspot.com
Walaupun terkejut tetapi Siau Lo-seng tetap bersikap tenang dan menegur mereka, "Aku memang justeru
hendak mencari kalian. Sungguh kebetulan sekali kalian sudah datang sendiri."
"Saat ini Lembah Kumandang kami sedang menghadapi bahaya besar. Apa maksudmu datang kemari?"
tegur Hiat Sat Mo-li dengan nada serius.
"Aku hendak mencari orang. Masakan aku hendak memancing di air keruh?" sahut Siau Lo-seng.
"Walaupun tak ikut nimbrung tetapi jelas engkaupun telah membunuh anak buah Lembah Kumandang. Aku
tak mau menarik panjang urusan itu, tetapi saudara-saudara yang lain tak mau melepaskan engkau.
Sekarang, buang senjatamu dan ikutlah kami pergi. Setelah urusan di lembah ini selesai, nanti diputuskan
lagi." Siau Lo-seng tertawa gelak-gelak.
"Aku tak membunuh mereka tetapi mereka hendak membunuh aku. Apakah aku tak boleh mempertahankan
diri?" Mendengar ucapan itu, barisan anak buah Lembah Kumandang serentak hendak mencabut senjatanya.
Tetapi Hiat Sat Mo-li mengangkat tangannya ke atas, mencegah mereka.
"Siau Lo-seng," serunya kemudian, "engkau harus menyadari betapa pedih hati kita setelah mengalami
peristiwa di lembah ini. Anak buah kami seolah dibakar hangus oleh dendam kesumat. Jika engkau menolak
permintaanku, walaupun kepandaian mereka kalah dengan engkau tetapi mereka hendak menuntut balas
atas kematian saudara-saudara separtai. Mereka lebih suka ikut mati dari pada melepaskan pembunuhnya."
Siau Lo-seng tertawa dingin.
"Mereka sudah limbung pikirannya sehingga dirinya sendiripun tak tahu. Masakan manusia semacam itu
masih mempunyai perasaan belasungkawa dan menuntut balas" Hm, selama belum tahu jelas urusan ini,
sekalipun engkau suruh aku pergi, aku tetap tak mau pergi. Aku hendak bertanya kepadamu. Adakah orang
Naga Hijau juga ikut dalam peristiwa berdarah malam ini" Berapakah jumlah mereka yang datang?"
"Siau Lo-seng, jangan salah lihat," seru Hiat Sat Mo-li, "mereka bukan manusia-manusia yang sudah
kehilangan kesadarannya. Tiga ribu anak buah Naga Hijau bukan saja telah datang ke sini tetapi
merekapun telah membantu Lembah Kumandang untuk menghadapi musuh."
"Apa" Naga Hijau membantu Lembah Kumandang?" Siau Lo-seng berteriak kaget. Secepat kilat ia
memandang Bwe Hui-ji dan Leng Bu-sia.
Kedua tokoh dari Go-bi Sam-hiat itu segera berseru,
"Memang benar. Hian Kim dan Ang Cui dua Thancu dari Naga Hijau telah menyatakan masuk menjadi
anggauta Lembah Kumandang. Mereka membantu Lembah Kumandang untuk menghadapi serangan
bersama dari Ban Jin-hoan serta partai-partai Go-bi, Tiang-pek, Kong-tong, Bu-tong, Ceng-sia dan Siau-limpay.
"Tutup mulutmu!" bentak Siau Lo-seng marah, "engkau sebagai Go-bi tianglo mengapa masih mempunyai
muka untuk mengatakan hal itu. Apakah orang-orang Naga Hijau telah kalian racuni semua?"
Habis berkata Siau Lo-seng lintangkan pedang Ular Emas.
Bwe Hui-ji dan Leng Bu-sia mundur tiga langkah dan berkata dengan suara bengis:
"Siau Lo-seng, lihatlah diriku. Adakah aku ini mirip dengan orang yang kehilangan pikiran" Ke tujuh partai
itu telah dihasut Ban-jin-kiong sehingga secara membabi buta mereka ikut menyerang Lembah Kumandang.
Andaikata ketua Go-bi-pay yang sekarang ini telah menjadi kaki tangan pihak Ban-jin-kiong, tentu sukarlah
untuk mencegah tindakannya. Maka kuambil jalan lain, membantu Lembah Kumandang untuk merintangi
tindakan mereka yang salah itu. Salahkah langkah yang kuambil itu?"
Siau Lo-seng tertegun. Diamatinya sinar mata kedua tokoh Go-bi-pay itu. Sinar matanya memancar
kesungguhan hati, bukan sinar mata orang yang limbung. Siau Lo-seng makin terkesiap.
"Apakah kalian suka rela masuk ke dalam gerombolan Lembang Kumandang ini?" serunya sesaat
kemudian. Bwe Hui-ji tahu bahwa pemuda itu memang mempunyai prasangka buruk terhadap Lembah Kumandang.
Maka tokoh wanita Bwe Hui-ji itupun menghela napas.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Engkau salah, Siau Lo-seng. "Lembah Kumandang merupakan tempat penempaan untuk mengembalikan
manusia-manusia mumi. Sebuah perkumpulan yang berpijak pada Ceng-gi (Kebenaran). Adalah karena
hendak menyelamatkan dunia persilatan dari rencana ganas Ban Jin-hoan yang hendak menguasai kaum
persilatan maka Dewi Mega Ui Siu-bwe cianpwe telah rela mengorbankan masa remajanya untuk terjun
dalam gerakan penyelamatan itu."
"Bwe Hui-ji, mengapa engkau limbung?" bentak Siau Lo-seng, "mungkin memang pikiranmu belum terang
betul. Adakah engkau telah melupakan peristiwa dirimu yang ditempa menjadi manusia mumi dahulu"
Lembah Kumandang dan Ban-jin-kiong setali tiga uang, buruk semua. Keduanya merupakan gerombolan
untuk menempa manusia mumi!"
"Aku tidak limbung. Memang kami sendiri yang menghendaki supaya dijadikan manusia mumi itu," seru
Bwee Hui-ji, "bukan melainkan aku dan Leng-heng, pun semua manusia mumi di Lembah Kumandang itu
memang dengan suka rela menghendaki sendiri?""
"Kutahu pihak Ban-jin-kiong mempunyai banyak manusia-manusia mumi," kata Bwe Hui-ji lebih lanjut, "dan
kesaktian mereka memang sukar dilawan oleh kaum persilatan. Demi menghadapi kekuatan Ban-jin-kiong
itu maka banyaklah tokoh-tokoh silat dan anak buah Lembah Kumandang yang menyatakan bersedia
dijadikan manusia mumi."
Siau Lo-seng makin melongo.
"Bwe Hui-ji, engkau telah keracunan hebat sekali. Sukar diobati lagi," sesaat kemudian Siau Lo-seng
berseru. "Hm, Siau Lo-seng," tiba-tiba Hiat Sat Mo-li ikut menyeletuk, "mengingat engkau pernah membantu aku dari
serangan musuh dan hubunganmu dengan ji-sumoayku, maka kuberi kesempatan kepadamu untuk lekaslekas tinggalkan lembah ini. Karena apabila Pah-cu kami datang, jangan harap engkau mampu pergi dari
sini." Siau Lo-seng, tertawa dingin.
"Terima kasih atas kebaikanmu. Tetapi sayang aku tak ingin pergi."
Hiat Sat Mo-li mendengus, serunya: "Kalau begitu pendirianmu, terpaksa kami akan bertindak!"
Pendekar Seratus Hari Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Seiring dengan kata-kata Hiat Sat Mo-li, ke duabelas dara baju merah serempak berseru nyaring, mencabut
pedang lalu berhamburan membentuk sebuah barisan, mengepung Siau Lo-seng di tengah.
Melihat barisan itu tergetarlah hati Siau Lo-seng, pikirnya: "Hebat sekali barisan mereka. Benar-benar tak
mudah dibobolkan." Pedang Ular Emas diacungkan menghadap ke muka. Tenaga dalam disalurkan ke ujung pedang dan
dengan wajah sarat, berserulah pemuda itu.
"Apabila kalian berani bergerak, jangan sesalkan aku tak kenal kasihan."
"Karena engkau memang tak ada hubungan dengan Lembah Kumandang, segeralah engkau turun tangan!
Dengarkan, apabila engkau mampu memenangkan barisan pedang yang dilatih sendiri oleh Pah-cu kami,
engkau boleh tinggalkan tempat ini dengan bebas!"
Siau Lo-seng menyadari bahwa apabila bertempur tentu akan menimbulkan korban. Dan sebenarnya ia tak
ingin lagi melihat peristiwa berdarah.
Sejenak merenung, akhirnya ia berkata:
"Baiklah, aku akan pergi. Tetapi jangan kalian menganggap aku takut dengan barisan pedang itu. Melainkan
aku tak ingin melihat pertumpahan darah lagi. Sebelumnya aku ingin hendak bertanya beberapa hal
kepadamu." "Silahkan!" "Kesatu, apakah nona Ui Hun-ing dan Nyo Cu-ing berada dalam lcmbah ini?"
"Kedua, mengapa ketujuh partai persilatan dan Ban Jin-hoan datang kemari?"
"Ketiga, dalam pertempuran malam ini apakah terdapat seorang lelaki tua cacad dengan membawa seekor
anjing putih?" dunia-kangouw.blogspot.com
Hiat Sat Mo-li menjawab: "Ji sumoayku (Ui Hun-ing) selalu berada di samping Pah-cu untuk melayaninya. Nona Nyo Cu-ing belum
pernah muncul di Lembah Kumandang. Mengapa ketujuh partai persilatan dan Ban Jin-hoan menyerang
Lembah Kumandang, hanya Pah-cu kami yang tahu sebabnya. Maaf, aku tak tahu. Memang benar malam
ini muncul seorang tua membawa seekor anjing putih."
"Dimana orang tua itu sekarang?" cepat Siau Lo-seng menukas.
"Tubuh orang tua itu penuh ditumbuhi rambut yang panjang dan lebat tetapi dia tak cacad. Apakah
hubunganmu dengan dia?"
"Dia tidak cacad" Lalu dimana dia sekarang?" teriak Siau Lo-seng.
Melihat ketegangan pemuda itu, dengan ragu-ragu ia menjawab, "Orang tua aneh itu membantu kami untuk
mengundurkan serangan ketujuh partai. Saat ini dia tengah mengadu kepandaian dengan Pah-cu kami dan
kemungkinan sudah akan kalah."
"Aku harus menemuinya!" teriak Siau Lo-seng seraya enjot tubuh melayang ke udara, melampaui kepala
orang-orang Lembah Kumandang dan terus masuk ke dalam ruang istana.
Hiat Sat Mo-li berteriak terus mengejar. Cepat sekali Siau Lo-seng sudah tiba di halaman. Tetapi alangkah
kejut dan geramnya ketika dilihatnya Hiat Sat Mo-li dan ke duabelas dara baju merah sudah lebih dulu
berada di lapangan itu. Siau Lo-seng menerjang. Ia mendapat seorang dara baju merah tetapi dara itu cepat menggelincir ke
samping dan menghindarinya.
Sebelas orang dara yang lain serempak berhamburan menyerang Siau Lo-seng. Pemuda itu terkejut sekali.
Untung ilmu pedang telah dikuasai dengan mahir. Ia melambung lagi ke udara lalu meluncur kembali ke
arah ruangan. Tetapi sesaat ia tiba di lantai, ke duabelas dara baju merah itupun sudah menyambut dengan
tusukan pedang. "Tring, tring, tring......" Pedang Ular Emas segera menghalau selusin pedang itu. Tetapi ilmu pedang ke
duabelas dara baju merah itu memang bukan olah-olah hebatnya. Ketika salah seorang dara memutarkan
pedangnya ke udara maka sebelas kawannya segera mengikuti. Berlapis-lapis gulung sinar pedang
mencurah ke arah kepala Siau Lo-seng.
Siau Lo-seng tak mau unjuk kelemahan. Ia gerakkan pedangnya sehingga menyerupai pagutan beribu ular.
Sesaat gumpalan sinar pedang ke duabelas dara baju merah itu lenyap dan orangnya pun loncat mundur.
Ternyata permainan pedang Ular Emas mampu menerobos lingkaran sinar pedang selosin dara baju
merah. Terpaksa mereka loncat mundur.
Hiat Sat Mo-li yang menyaksikan pertempuran itu, mencemaskan keselamatan Siau Lo-seng. Hampir saja ia
menjerit kaget karena serangan yang dilancarkan ke duabelas dara baju merah itu, belum pernah ada lawan
yang mampu lolos. Di luar dugaan ternyata pemuda itu mampu mendesak mereka mundur.
Ke duabelas dara itu menjungkatkan pedang ke atas udara lalu pelahan-lahan dijuntaikan ke bawah jelas
mereka hendak melacarkan serangan
16.80. Pemegang Lencana Matahari Terbit
Tiba-tiba anak buah Lembah Kumandang berbondong-bondong lari mengepung Siau Lo-seng. Jumlahnya
lebih dari seratus orang.
Siau Lo-seng mengerut dahi. Dengan kedua tangan ia mencekal Pedang Ular Emas, ditegakkan
menghadap ke atas. Kakinya pun telah bersiap dalam kuda-kuda yang kokoh. Sinar matanya menumpah ke
ujung pedang. Suatu sikap pembukaan yang mengejutkan sekalian anak buah Lembah Kumandang,
"Siau Lo-seng, engkau telah kami kepung rapat. Kalau tak mau membuang senjatamu, engkau tentu
menyesal," seru Hiat Sat Mo-li.
dunia-kangouw.blogspot.com
Tetapi Siau Lo-seng seperti orang yang kemasukan setan. Ia tak menghiraukan seruan nona itu dan tetap
bersiap. Wajahnya makin sarat, pucat. Sekilas tampak ujung Pedang Ular Emas itu seperti memancar sinar
emas. "Siau Lo-seng," seru Hiat Sat Mo-li pula, "seorang gagah tentu tahu gelagat. Engkau hanya seorang diri,
mengapa engkau nekad hendak mengadu jiwa" Kalau engkau berkeras kepala, kamipun terpaksa akan
bertindak!" Namun pemuda itu tetap membisu.
Tiba-tiba duabelas dara baju merah itu memekik nyaring dan serempak dengan tebaran warna merah dari
pakaian mereka maka berhamburanlah duabelas sinar perak mencurah ke arah Siau Lo-seng.
Dari samping, Hiat Sat Mo-li dan Sam sumoay serempak berseru kaget, "Kim-jak menembus awan."
Itulah nama jurus yang dilancarkan oleh ke duabelas dara baju merah. Entah apa maksudnya, belum jelas.
Adakah dia hendak memberi peringatan supaya Siau Lo-seng berhati-hati atau suatu perintah kepada anak
buah barisan. Serempak dengan seruan itu. Siau Lo-seng pun segera taburkan pedangnya, melindungi tubuh dengan
sinar pedang. Pada saat pedang kedua belah pihak akan saling beradu, sekonyong-konyong terdengar teriakan keras:
"Berhenti.......!"
Sesosok tubuh kecil muncul dan secepat kilat menerjang masuk ke dalam gelanggang pertempuran.
"Tring, tring, tring?""
Terdengar serentetan dering senjata beradu disusul dengan jeritan ngeri dan erang tertahan.
Pertempuran bubar dan di tengah gelanggang muncul seorang pendatang baru. Pedang dari ke duabelas
gadis baju merah itu putus semua dan berhamburan jatuh di tanah. Bahkan ada tiga orang dara yang
lengannya berlumuran darah.
Siau Lo-seng mendengus dan mundur sampai tujuh langkah. Tiba-tiba ia berteriak kaget: "Hun-moay,
engkau?"" Wajah Hun-ing membeku. Ia tak menyahut pertanyaan Siau Lo-seng tetapi memandang anak buah Lembah
Kumandang, kemudian menatap kepada Hiat Sat Mo-li, serunya,
"Toa suci. Lembah Kumandang sedang terancam bahaya kehancuran. Mayat sekalian saudara masih
hangat. Kemungkinan sisa-sisa musuh ada yang belum masuk ke dalam lembah. Engkau bertugas untuk
mengawasi penjagaan, mengapa engkau memanggil anak buah kita ke dalam ruang dalam dan mengapa
pula engkau suruh barisan Selusin Pedang pimpinan Pah-cu untuk menyerang orang dengan jurus Kim-jakboh-hun-kiong Adakah kalian hendak meniru jejak keempat Su-tay-thian-ong yang menghianati Pah-cu?"
Wajah Hiat Sat Mo-li agak berubah, sahutnya dingin:
"Ji-sumoay, kapankah kuundang engkau untuk memberi ceramah kepadaku" Keadaan Lembah
Kumandang, kita sudah tahu bahkan sudah berjuang mati-matian. Sebaliknya engkau berada di ruang
dalam enak-enak saja. Karena terpaksa aku menggunakan barisan itu dan akupun tak memberi perintah
mereka supaya melancarkan jurus itu!"
Siau Lo-seng mendengus, "'Hm, hebat sekalipun jurus itu tetapi tetap tak mampu melukai aku. Apabila nona Ui tak muncul, mereka
tentu sudah menjadi mayat semua."
"Ji sumoay," seru Hiat Sat Mo-li dengan wajah sarat, "aku berterima kasih karena engkau muncul tepat pada
saatnya sehingga tak sampai timbul pertumpahan darah. Tetapi tindakanmu ke luar dari ruang Jan-hui-si itu
apakah tidak melanggar juga?"
Nona baju merah pun ikut menyelutuk:
"Ji suci, engkau sendiripun harus sadar. Mengapa begitu keluar engkau terus menegur Toa suci" Apakah
engkau tak menyadari bahwa hampir saja engkau membuat Naga Hijau berantakan."
Percakapan antara ketiga saudara seperguruan itu membuat Siau Lo-seng bingung.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Hun-moay, bagaimana keadaanmu selama ditawan?" cepat ia bertanya kepada Hun-ing.
"Siau koko, harap jangan kuatir," sahut Hun-ing. "Apa yang mereka katakan tadi memang benar. Tiga
Thancu dari Naga Hijau memang sudah ikut pada Lembah Kumandang. Kusuruh Sam sumoay menyaru jadi
adik Ing untuk membawa tigaribu anak buah Naga Hijau kemari......"
"Adik Hun, engkau gila......" teriak Siau Lo-seng.
Tiba-tiba terdengar suara tawa yang bening serempak dengan seruan doa. Dari ruang besar muncul empat
orang. Yang paling muka adalah rahib termasyhur Tay Hui Sin-ni, diiring oleh Hian Kim, Sin Bok dan Ang
Cui ketiga Thancu perkumpulan Naga Hijau.
Siau Lo-seng tercengang. "Tay Hui locianpwe, mengapa cianpwe juga berada di sini" Bagaimanakah ini?" serunya gopoh.
Dengan wajah bersungguh, rabib itu menyahut, "Lo-seng, engkau datang terlambat selangkah. Apabila
Hun-ing tak mempersiapkan rencana lebih dulu, mungkin akan terjadi pertumpahan darah yang hebat."
Siau Lo-seng makin bingung tak keruan.
"Karena di luar lembah bertemu dengan Ban Jin-hoan maka aku tak dapat lebih pagi masuk kemari. Tetapi
apakah yang sesungguhnya telah terjadi d sini?" serunya.
"Ah, Ban Jin-hoan memang seorang durjana nomor satu di dunia. Aku sungguh merasa kagum kepadanya.
Tanpa menggunakan tenaga, dia dapat membasmi orang dengan ganas. Aku datang bersama ke tujuh
partai persilatan, untuk menyelamatkan ketiga ribu anak buah Naga Hijau serta anggauta barisan Tat-mocoat-ci-tin......."
"Ternyata tipu muslihat jahat itu Ban Jin-hoan yang merencanakan," kata Tay Hui Sin-ni lebih lanjut, "dia
telah menipu supaya semua tokoh-tokoh persilatan datang ke Lembah Kumandang. Tujuannya hendak
menghancurkan mereka dengan meminjam tempat lembah ini. Untung dalam pertempuran itu, aku berhasil
memberi penjelasan kepada Hun-ing sehingga dia baru menyadari tipu keji dari Ban Jin-hoan dan dapat
menghancurkan obat pasang yang diatur Ban Jin-hoan untuk menghancurkan lembah dan ribuan anak
buah Lembah Kumandang dan Naga Hijau serta tokoh-tokoh persilatan."
Walaupun hanya mendapat penjelasan secara singkat tetapi Siau Lo-seng cepat dapat mengetahui bahwa
hadirnya Tay Hui Sin-ni dan tindakan Hun-ing yang mengherankan itu, memberi kesimpulan bahwa Lembah
Kumandang itu ternyata bukan sebuah gerombolan jahat seperti yang diduganya semula. Memang hal itu
memerlukan penjelasan yang panjang apabila waktunya mengijinkan nanti.
"Locianpwe, bagaimana keadaan Pah-cu dan orang tua aneh itu?" tiba-tiba Hun-ing berseru kepada Tay Hui
Sin-ni. Rahib itu menghela napas sarat.
"Mungkin dengan cara pertempuran yang mereka lakukan itu, sehari semalam lagi tentu belum ada
kesudahannya. Siapa yang tenaganya kurang, tentu akan mengalami kehancuran. Bahkan yang menang
pun juga akan kehilangan tenaga dalam yang besar."
"Apakah tak dapat dilerai?"
Tay Hui Sin-ni gelengkan kepala.
"Sampai saat ini aku belum punya daya. Karena barang siapa yang mendekati mereka, tentu akan mati
terdampar tenaga sakti dari pada kedua orang itu. Maka lebih baik tunggu saja beberapa jam lagi sampai
tenaga dalam mereka sudah banyak berkurang, baru nanti kucoba untuk memisahkan mereka."
"Adik Hun, dimanakah mereka sekarang?" Siau Lo-seng berteriak kaget.
"Pah-cu dengan seorang tua yang mirip ayah-angkatmu, orang tua peniup seruling itu, sejak pagi tadi telah
mengadu tenaga dalam. Entah siapakah orang itu. Dia memang sakti sekali," kata Hun-ing.
Siau Lo-seng segera menyadari bahwa yang bertempur dengan Jin Kian Pah-cu itu tentu bukan ayah
angkatnya. Karena Hun-ing sudah pernah bertemu muka dengan orang tua peniup seruling itu dan tentu
mengenalinya. dunia-kangouw.blogspot.com
"Adik Hun, peniup seruling itu sebenarnya ayah kandungku sendiri, Siau Han-kwan," kata Siau Lo-seng,
"yang bertempur dengan Pah-cu itu, mungkin salah seorang anak buah ayahku ketika dahulu ayah
menjabat sebagai ketua Naga Hijau. Dia menjadi murid perguruan Thian-sian-bun dan menjadi sute dari
ayahku." "O," tiba-tiba Tay Hui Sin-ni mendesuh, "seharusnya cepat aku sudah menduga dia?""
"Lekas antarkanlah aku kepada mereka," seru Siau Lo-seng.
"Baik," kata Hun-ing lalu loncat ke atas sebuah batu besar dan mengeluarkan sebuah lencana berukir
lukisan matahari terbit. Kemudian ia berseru nyaring kepada sekalian anak buah Lembah Kumandang.
"Atas nama Lencana Matahari Terbit dari Pah-cu kita, aku hendak menyampaikan perintah kepada kamu
sekalian." Mendengar itu seluruh anak buah Lembah Kumandang, termasuk Hiat Sat Mo-li dan sumoaynya, segera
berlutut dan serempak berseru menyambut amanat lencana Matahari.
Melihat itu Hun-ing buru-buru mempersilahkan mereka berdiri. Tetapi Hiat Sat Mo-li masih tetap berlutut,
katanya, "Lencana Matahari adalah lambang peribadi Pah-cu. Begitu lencana itu muncul, semua murid
Lembah Kumandang harus berlutut untuk menerima perintahnya. Harap sumoay segera mengumumkan
perintah Pah-cu." Berkata Hun-ing dengan lantang:
"Pah-cu menitahkan aku supaya menyampaikan amanat kepada saudara-saudara sekalian. Dalam
menghadapi bahaya dan keadaan yang bagaimana pun juga lembah kita ini, beliau minta supaya saudarasaudara sekalian tetap bersatu padu dan berjuang sampai titik darah yang terakhir. Demi keamanan dunia
dan keselamatan dunia persilatan. Kita harus tetap bertahan sampai hari yang damai itu tiba. Walaupun
bertempur sampai orang yang terakhir dan titik darah yang penghabisan, pun kita tetap harus tegak di atas
pendirian luhur." Sekalian anak buah Lembah Kumandang serempak menyambut dengan pernyataan akan membela Pah-cu
dan cita-cita mereka. "Baik, sekarang silahkan saudara-saudara kembali pada pos saudara masing-masing untuk menghadapi
segala kemungkinan," seru Hun-ing pula.
Sekalian anak murid Lembah Kumandang pun segera berbondong-bondong tinggalkan tempat itu. Yang
masih berada di situ hanya tinggal Tay Hui Sin-ni, ketiga Thancu Naga Hijau, Ui Hun-ing, Hiat Sat Mo-li,
nona baju merah dan Siau Lo-seng.
Hiat Sat Mo-li maju dua langkah dan berkata kepada Hun-ing,
"Ji sumoay, maaf, tadi aku mempersalahkan engkau. Aku tak tahu kalau Pah-cu telah menyerahkan lencana
Matahari kepadamu. Sudah tentu akupun akan taat pada perintahmu."
Hun-ing mengatakan bahwa penyerahan itu hanya sementara karena Pah-cu sibuk bertempur.
Sementara karena cemas akan pertempuran antara Jin Kian Pah-cu lawan sute dari ayahnya maka Siau
Lo-seng pun berseru gopoh: "Adik Hun, karena urusan di sini sudah selesai, harap suka antarkan aku ke
tempat mereka." Hun-ing mengiakan lalu melangkah ke dalam ruang istana. Yang lain-lain segera mengikuti di belakangnya.
Selama melalui tiga buah lorong, selalu terdapat penjaga dengan golok dan perisai. Penjagaan amat ketat.
Setelah itu baru mereka tiba di ruang utama.
Walaupun tidak menyerupai istana raja tetapi ruang utama itu juga indah sekali Dindingnya berkilau-kilau
memancar sinar keemasan. Tiang pilar terbuat dari batu kumala, besarnya sepemeluk tangan orang.
Lantainya tertutup permadani
Di tengah ruang itu, dua deret barisan terdiri dari tigapuluhan muda mudi, berjajar di ke dua samping. Wajah
meraka tampak serius. Di antaranya sebagian besar adalah anak buah Naga Hijau.
Mereka menghadap tirai terdiri dari berlapis-lapis kelambu sutera emas. Ketika layar-layar itu dibuka maka
tampaklah titian batu yang terdiri dari sepuluh tingkat. Ujung titian bagian atas, sebuah panggung yang luas
datar. dunia-kangouw.blogspot.com
Empat penjuru berhias pintu angin yang bercahaya. Di tengah-tengah diberi sebuah meja batu kumala dan
dua buah kursi beralas kulit harimau diduduki oleh seorang pria dan seorang wanita.
Yang lelaki mengenakan jubah panjang warna kuning emas. Tubuhnya penuh dengan bulu panjang.
Rambutnya pun terurai panjang sampai ke pinggang.
Yang wanita seorang berwajah cantik dan berwibawa. Itulah Jin Kian Pah-cu dari Lembah Kumandang atau
Dewi Mega Ui Siu-bwe. Kedua orang duduk berhadapan, kedua tangan merela saling menjulur ke muka. Sikapnya amat tenang.
Sepintas pandang orang tentu menyangka keduanya sedang bercakap-cakap.
Di belakang Dewi Mega Ui Siu-bwe tegak empat nona cantik mengenakan pakaian panjang warna biru,
masing-masing memegang sebuah alat dari batu kumala.
Sedang di belakang lelaki aneh itu, mendekam si Salju, anjing sakti yang berbulu putih mulus.
Tay Hui Sin-ni yang berada di bawah batu titian, memandang ke arah kedua orang itu lalu berkata dengan
rawan, "Mereka memang sama-sama saktinya. Setelah mengadu tenaga dalam beberapa jam, mereka hanya
kehilangan sepersepuluh dari tenaga dalamnya."
"Locianpwe, apakah tak ada daya untuk melerai mereka?" tanya Hiat Sat Mo-li.
"Kecuali mereka menghentikan sendiri dan serempak menarik tenaga dalamnya, lalu ada seorang yang
bertenaga dalam sakti menyiaknya, baru1ah mereka dapat diceraikan. Kalau tidak?""
"Mengapa locianpwe tak mau turun tangan?" Siau Lo-seng berseru cemas.
Tay Hui Sin-ni gelengkan kepala.
"Kalau hanya begitu sederhana, tentu mudah dilakukan. Saat ini mereka saling tumpuhkan seluruh
semangatnya ke tubuh lawan. Sekalipun halilintar meletus di dekat mereka, mereka tetap tak mendengar."
"Apakah mereka juga tak mendengar pembicaraan kira di sini?" tanya Hiat Sat Mo-li.
"Sudah tentu." Tiba-tiba Siau Lo-seng bertanya kepada Hun-ing apakah Buddha Emas Ang Siong-pik juga datang ke
Lembah Kumandang. Saat itu Hun-ing juga gelisah sekali. Perhatiannya tertumpah seluruhnya pada kedua orang yang sedang
beradu tenaga dalam. Mendengar Siau Lo-seng bertanya soal yang tak ada hubungannya, sembarangan
saja nona itu menyahut: "Ya, datang." Tiba-tiba sepercik harapan memancar pada wajah Siau Lo-seng, serunya:
"Dimana dia sekarang?"
Dengan nada heran, Hun-ing menjawab: "Dia datang sebelum pecah pertempuran. Tetapi ketika
mendengar kumandang suara seruling, dia bergegas pergi. Siau koko, mengapa engkau bertanya soal itu?"
Siau Lo-seng berpaling memandang ke arah anjing putih di belakang orang aneh. Setelah merenung
beberapa jenak, ia berkata,
"Karena anjing putih itu datang, ayahku Siau Han-kwan tentu berada di lembah ini. Apabila dia masih
berada di sini, tentu akan tertolong."
"Bagaimana engkau tahu kalau beliau mampu menolong keadaan ini?" Tanya Hun-ing.
"Mereka kaum Thian-sian-bun memiliki ilmu istimewa dalam soal menyusupkan suara dari seribu lie
jauhnya. Kurasa, ayah tentu dapat menyampaikan maksud kita kepada kedua orang bertempur itu. Atau
mungkin dapat meminta mereka berhenti bertempur," kata Siau. Lo-seng.
Pendekar Seratus Hari Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sekonyong-konyong, anjing putih itu melonjak ke udara dan menyalak keras-keras?"
dunia-kangouw.blogspot.com
17.81. Keberuntungan Tak Terduga
Menurut arah suara itu, Siau Lo-seng melihat orang aneh berpakaian warna kuning emas itu membuka
mata. Kedua tangannya tampak gemetar dan tubuhnya pun agak merebah ke belakang.
Sekalian orang terperanjat sekali. Berpuluh pasang mata segera mencurah ke arah orang tua aneh itu.
Mereka terkejut melihat perobahan yang terjadi secara mendadak itu.
Tay Hui Sin-ni kerutkan dahi, ujarnya: "Seharusnya lebih baik jangan terjadi suasana begini."
Pelahan-lahan tangan orang aneh itu tenang kembali dan sikapnya pun kembali seperti biasa lagi.
Saat itu alis dari Dewi Mega Ui Siu-bwe pun pelahan-lahan merebah dan bahkan mulai membuka kedua
matanya. Kini kedua orang itu saling beradu pandang. Mereka seolah tak menghiraukan keadaan di kelilingnya lagi.
"Dia mau mendengarkan kata-kataku," seru Siau Lo-seng girang.
"Apakah engkau menggunakan ilmu Menyusup suara untuk menyampaikan kata kepada orang baju indah
itu?" tanya Tay Hui Sin-ni.
"Ya," sahut Siau Lo-seng. "aku serempak menyampaikan ilmu menyusup suara itu kepada mereka berdua.
Orang baju indah itu mau mendengar, tetapi Ui locianpwe tidak memberi tanggapan apa-apa."
Tay Hui Sin-ni gelengkan kepala:
"Kalau orang baju indah itu menarik tenaganya, pun Ui sicu juga harus berbuat demikian. Kecuali apabila
mereka berdua memang dapat menangkap ilmu menyusup suara yang engkau lancarkan itu."
"Pada saat orang aneh itu menarik tenaganya, kita susuli pukulan untuk menahan tenaga Ui locianpwe."
"Ui li-sicu memiliki tenaga-dalam yang amat sakti. Siapa yang mampu menerima hamburan tenaga
saktinya" Aku sendiripun tak sanggup kecuali aku memiliki ilmu Kim-kong-sin-kang.
"Jika demikian, ada harapan!" teriak Siau Lo-seng seraya lari menghampiri maju.
"Siau koko!" teriak Hun-ing cemas.
Saat Siau Lo-seng sudah berdiri di belakang lelaki baju kuning emas. Dia menghadap pada Dewi Mega Ui
Siau-bwe. Sambil dekapkan kedua tangannya ke dada ia berkemak kemik mengucapkan beberapa patah
kata kepada lelaki baju kuning emas itu.
Melihat itu Tay Hui Sin-ni pun serentak berteriak keras, "Jangan, jangan!"
Tetapi seiring dengan teriakan itu, Siau Lo-seng pun juga menggembor keras seraya dorongkan kedua
tangannya ke arah kedua tangan Dewi Mega Ui Siu-bwe.
"Bum?"" Terdengar letupan keras macam batu karang hancur. Beberapa sosok bayangan berhamburan pencar dan
meja yang terbuat daripada batu kumala itupun hancur lebur berantakan.
Siau Lo-seng mengerang tertahan. Tubuhnya terlempar sampai dua tombak jauhnya dan terbanting keras.
Ia pingsan seketika. Tetapi Dewi Mega Ui Siu-bwe pun mencelat dari kursi, berjumpalitan sampai setombak jauhnya. Keempat
dara baju biru serentak menyanggapi tubuh pemimpin mereka dengan tepat. Lelaki aneh baju kuning itu
tetap duduk di kursinya. Tetapi secepat itu pula ia meloncat memeluk Siau Lo-seng dan memeriksa denyut
nadi pergelangan tangannya.
Tay Hui Sin-ni pun bergegas menghampiri dan berseru cemas: "Dia?" bagaimana?"
Lelaki baju kuning emas itu melekatkan telinga untuk mendengarkan detak jantung Siau Lo-seng. Sejenak
kemudian ia berbangkit. "Dia tak kurang suatu apa, bahkan malah bertambah dengan selapis tenaga dalam. Cobalah kalian periksa
Pah-cu kalian, dia tentu terluka parah," serunya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Hun-ing cepat memandang ke arah Jin Kian Pah-cu. Tampak rambut Dewi Mega Ui Siu-bwe lepas terurai,
wajahnya pucat lesi seperti seorang yang baru sembuh dari penyakit berat. Saat itu ia sedang pejamkan
mata menyalurkan tenaga dalam dan pernapasan.
Wajah Dewi Mega tampak lebih cantik tetapi dahinya yang halus itu bertambah dengan lipatan kerut
sehingga tampak ketuaannya.
"Bagaimana suhuku?" tanya Hun-ing cemas
Lelaki baju kuning emas menghela napas.
"Lo-seng telah berhasil menguasai ilmu hebat Kim-kong-put-hoay. Pukulan yang dilancarkan dengan
sepenuh tenaga oleh Ui Siu-bwe berarti telah memberikan seluruh tenaganya kepada Lo-seng. Tetapi saat
ini darah Lo-seng sedang bergolak keras sehingga menutup jalan darahnya. Nanti setelah sadar, tentu akan
sembuh sendiri Sedang Ui Siu-bwe nanti akan kehilangan seluruh tenaganya?""
Tay Hui Sin-ni berseru terkejut,
"Dalam usia yang masih begitu muda, Lo-seng telah mendapat rejeki yang luar biasa. Dia seperti memakan
buah ajaib macam som yang berumur seribu tahun. Sesungguhnya tak mungkin begitu muda dia sudah
berhasil menguasai ilmu tenaga kebal Kim-kong-put-hoay. Tentu ada sebabnya. Ah, musibah yang
menimpah diri Dewi Mega Ui Siu-bwe, adalah kesalahanku".."
Saat itu Ui Siu-bwe tampak membuka mata.
"Ah, Sin-ni tidak bersalah. Itu sudah menjadi kehendak takdir...... huk, huk," ia batuk-batuk dan ludahnya
bercampur darah. Tubuh wanita itu gemetar. Untung dua orang dara bujangnya segera menyanggapi.
Hiat Sat Mo-li bertiga segera berlutut di hadapan suhunya dan menangis: "Suhu, apakah suhu terluka
berat?" "Sat-ji, Ing-ji, Li-ji, tak apalah. Lekaslah engkau memberi hormat kepada cianpwe itu," seru Ui Siu-bwe.
Lelaki baju kuning emas buru-buru memberi hormat: "Ah, harap Dewi Mega jangan banyak peradatan.
Harap beristirahat sajalah."
Berkata Ui Siu-bwe pula: "Sahabat ini memiliki ilmu kesaktian yang belum pernah kusaksikan seumur hidup.
Tadi apabila dia tak bermurah hati, mungkin saat ini aku sudah binasa."
Lelaki baju kuning emas, itu tertawa,
"Ah, Dewi telah mencapai kesempurnaan dalam ilmu kepandaian yang termaktub pada kitab Lian-hun-cinkeng. Jika Dewi tak bermurah hati tentu dalam babak pertama tadi, aku sudah terkapar."
Jauh bedanya sikap ke dua orang itu. Jika tadi mereka mati-matian mengadu jiwa, sekarang mereka saling
berkata-kata dengan merendah. Sudah tentu Tay Hui Sin-ni tak habis herannya.
"Bahwa Ui sicu dapat sesaat menghapuskan segala garis jahat dan baik, sungguh suatu hal yang jarang. Ui
sicu lapang dada murah hati, membuat aku menyesal dan malu sendiri."
Dewi Mega Ui Siu-bwe menghela napas. "Peristiwa yang lampau bagai awan di langit. Hanya menyedihkan
hati apabila dibicarakan lagi. Dahuhu karena tercengkeram oleh nafsu dendam, hampir saja aku melakukan
kesalahan besar. Apabila tak mendapat penerangan dan petunjuk Sin-ni mungkin aku akan berlumuran
dosa, ah!" "Tetapi walau Dewi saat ini sudah sadar, sayang sekali seluruh kepandaian sicu sudah lenyap. Aku
sungguh menyesal karena tak dapat mewakili sicu untuk menerima musibah itu," kata Tay Hui Sin-ni pula.
Dewi Mega Ui Siu-bwe tertawa.
"Ah, anda telah menguasai ilmu Thian-siau-sin-kang," katanya kepada lelaki baju kuning emas. "tentulah
murid dari Thian-sian-bun. Dapatkah anda memberitahukan nama anda yang mulia?"
"Maafkan, aku hendak ikut menerka," tiba-tiba Tay Hui Sin-ni menyeletuk, "kalau tak salah dugaanku, sicu
ini apakah bukan Thancu Hou-su-than dari perhimpunan Naga Hijau yang......"
Lelaki baju kuning emas itu tertawa gelak-gelak:
dunia-kangouw.blogspot.com
"Benar, aku memang Pemburu nyawa Kwik Ing-tat, salah satu dari kelima Thancu di masa Naga sakti tanpa
bayangan Siau Han-kwan menjabat sebagai ketua dari Naga Hijau."
Dewi Mega Ui Siu-bwe pun tertawa.
"Angin dan mega telah bertemu. Sungguh tak terduga seorang pendekar besar Kwik Ing-tat juga berkunjung
ke Lembah Kumandang. Dan walaupun sudah delapanbelas tahun lamanya, masih tetap lawan yang
berimbang, tetapi mengapa engkau sekarang jadi begitu" Dan mengapa pula engkau telah masuk ke dalam
perguruan Thian-sian-bun?"
Pemburu nyawa Kwik Ing-tat tertawa.
"Mega menghias cakrawala, laut mengairi sawah. Pemberian sebuah pukulan pada delapanbelas tahun
yang lalu tak pernah kulupakan sedetikpun juga. Dalam peristiwa di Hay-hong-cung, untung Ing-tat tak mati
dan dapat masuk ke dalam perguruan Thian-sian-bun. Sungguh tak kira kalau setelah berselang
delapanbelas tahun kemudian, aku masih tetap tak mampu mengalahkan Dewi. Sungguh memalukan!"
Kata-kata itu telah mengungkap sebab-sebab mengapa kedua orang itu bertempur. Peristiwa itu telah
menyangkut Budi dan Dendam.
"Anda seorang yang pegang kepercayaan," seru Dewi Mega Ui Siu-bwe, "delapanbelas tahun masih tak
melupakan kata-kata yang engkau ucapkan...... ai, dalam pertemuan besar di gunung Thian-san dahulu,
aku telah terkena tipu manusia jahanam sehingga Hay-hong-cung menjadi korban."
Wajah Pemburu nyawa Kwik Ing-tat seketika berobah.
"Sekarang baiklah kita kesampingkan dulu urusan peribadi. Aku hendak menyampaikan pesan dari tuanku
kepada Dewi, harap Dewi suka memberi jawaban yang sebenarnya."
"O, kukira engkau hendak menyelesaikan dendam lama, ternyata masih mempunyai lain kepentingan lagi.
Adakah tuanmu itu orang tua peniup seruling yang buntung kakinya itu?"
"Dewi, kuyakin engkau tentu tak dapat menduga bahwa tuanku itu bukan lain adalah pemimpin Naga
Hijau...... Naga sakti tanpa bayangan Siau Han-kwan?"
Seketika berobah cahaya wajah Dewi Mega Ui Siu-bwe, "Apa" Dia itu Siau Han-kwan" Dia tak mati dalam
peristiwa Hay-hong-cung?"
"Bukan saja tidak mati tetapi beliau kini menjabat sebagai ketua Thian-sian-bun. Dan telah menguasai ilmu
sakti dari Thian-siau."
"Kalau dia belum mati, tak apalah. Urusan kita juga harus diselesaikan."
Tiba-tiba terdengar suara berseru nyaring:
"Paman Kwik dan Ui cianpwe, harap menjelaskan liku-liku peristiwa budi dan dendam yang kalian alami
dahulu?" Sekalian orang terkejut dan berpaling, Ah, kiranya entah kapan, Siau Lo-seng sudah berdiri di samping.
Wajahnya merah segar, semangatnya menyala-nyala.
Pemburu nyawa Kwik Ing-tat tertawa gelak-gelak.
"Seng-ji, bilakah engkau siuman. Lekas haturkan terima kasih kepada Ui cianpwe."
"Untuk apa terima kasih itu?"
"Seng-ji, scbuah pukulan dari Dewi yang diberikan kepadamu tadi telah membuka jalan darah Tok-jin dalam
tubuhmu. Kini sempurnalah sudah ilmu sakti Kim-kong-put-hoay yang engkau miliki!" seru Kwik Ing-tat.
Saat itu barulah Siau Lo-seng sadar. Serta merta ia berlutut dan memberi hormat sampai tiga kali kepada
Dewi Mega Ui Siu-bwe. "Mohon cianpwe memaafkan kebodohanku."
Dewi Mega Ui Siu-bwe tertawa bahagia,
dunia-kangouw.blogspot.com
"Yang muda akan menggantikan yang tua. Aku sudah tua tak berguna. Kelak tugas menyelamatkan dunia
persilatan terletak di bahumu. Tetapi aku heran mengapa dalam usia yang begitu muda engkau sudah
memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa. Maukah engkau menerangkan?"
"Aku sendiri juga heran," kata Siau Lo-seng, "karena aku merasa tak pernah belajar ilmu sakti itu. Baru tadi
ketika bertemu dengan Cian-bin-poa-an Kho Ing-ti di luar lembah, dia mengatakan kalau aku sudah memiliki
ilmu sakti itu." "Apa?" teriak Ui Siu-bwe terkejut, "engkau bertemu dengan Cian-bin-poa-an Kho Ing-ti" Dia sudah mati
pada empatpuluh tahun yang lalu. Ah, tak mungkin!"
"Seng-ji," kata Kwik Ing-tat, "bilakah engkau bertemu dengan dia" Dan dia dalam perwujutan bagaimana?"
Siau Lo-seng segera menceritakan peristiwa pertempurannya dengan Cian-bin-poa-an Kho Ing-ti itu.
"Aku sungguh tak mengerti mengapa dia menyaru sebagai Ban Jin-hoan. Begitu pula dia mengatakan
bahwa Ui cianpwe masih menyimpan pedangnya. Entah apakah Ui cianpwe suka untuk menjelaskan
mengapa dia membawa anak buahnya kemari" Dan menerangkan pula apakah sebenarnya yang terjadi
antara Cian-bin-poa-an Kho Ing-ti, Ou-hay-it-ki dan mamahku Giok-li-sin-hong Tan Bi-hoa itu?"
Dalam mendengarkan cerita Siau Lo-seng tadi, Ui Siu-bwe sudah dirangsang ketegangan. Kini setelah
mendengar permintaan Siau Lo-seng dia tak kuasa lagi mencegah airmatanya yang berderai-derai turun
seperti banjir. Jin Kian Pah-cu, pemimpin dari Lembah Kumandang yang termasyhur itu, kini menangis tersedu sedan
seperti seorang wanita biasa.
"Ui cianpwe, maaf sekira permintaanku tadi menyinggung perasaan cianpwe," buru-buru Siau Lo-seng
menghaturkan penyesalannya.
Tiba-tiba wajah Pemburu nyawa Kwik Ing-tat berobah gelap dan berseru: "Dewi Mega, apakah engkau juga
mempunyai hubungan dengan Cian-bin-poa-an Kho Ing-ti?"
"Ya!" sahut Ui Siu-bwe, "memang aku mempunyai hubungan yang erat sekali dengan dia. Kwik Ing-tat,
bukankah tadi engkau mengatakan hendak menyampaikan pesan tuanmu kepadaku" Sekarang
katakanlah!" "Tuanku hendak bertanya kepada Dewi tentang, peristiwa di Hay-hong-cung. Kabarnya hanya engkau yang
mempunyai hubungan dekat dengan Giok-li-sin-hong Tan Bi-hoa maka tuanku hendak bertanya hal itu
kepadamu." "Mohon tanya kepada Ui cianpwe," tiba-tiba Siau Lo-seng ikut bicara, "adakah dahulu Lembah Kumandang
juga ikut campur dalam peristiwa Hay-hong-cung itu" Dan benarkah mamahku mempunyai hubungan kasih
dengan Cian-bin-poa-an Kho Ing-ti?"
Siau Lo-seng mempunyai dugaan keras, tentu ada sebabnya mengapa ayahnya tak mau menceritakan
semua peristiwa yang telah terjadi. Begitu pula ia masih ingat akan kata-kata Kho Ing-ti, "sebelum engkau
jelas dengan asal usul dirimu, hak apakah engkau hendak menuntut balas atas peristiwa berdarah di Hayhong-cung itu" Apalagi engkau telah mengakui seorang penjahat sebagai ayah kandungmu."
Kata-kata itu masih mengiang-ngiang di telinga Siau Lo-seng.
"Seng-ji," tiba-tiba berserulah Dewi Mega Ui Siu-bwe dengan nada gemetar, "memang Lembah Kumandang
ikut dalam peristiwa Hay-hong-cung. Berhasil merebut sebuah kitab Lian-hun-cin-keng dan salah satu dari
tiga pusaka persilatan yang disebut panah Cian-li-hiat-cian (panah darah seribu lie). Tetapi Lembah
Kumandang tak ikut dalam pembunuhan."
"Lalu bagimana peristiwa yang sebenarnya terjadi?" tanya Siau Lo-seng.
"Sumber dari musibah Hay-hong-cung itu adalah karena Siau Han-kwan telah berhasil mendapat pusaka
Cian-li-hiat-cian dan dua buah kitab Lian-hun-cin-keng serta libatan liku-liku asmara yang aneh dari ketiga
Sam-cay Sam-ing." Ui Siau-bwe berhenti sejenak memandang sekalian orang.
"Ceritanya diawali dari Kho Ing-ti yang merobah diri menjadi Ban Jin-hoan. Tetapi jika dia tidak mengaku
bahwa Siau Lo-seng itu sebenarnya puteranya sendiri dan menuturkan semua peristiwa yang telah
dialaminya, tentulah hal itu akan terpendam selama-lamanya."
dunia-kangouw.blogspot.com
Mendengar kata-kata suhunya, serentak Hun-ing berseru: "Suhu, kalau begitu Cian-bin-poa-an Kho Ing-ti itu
adalah Ban Jin-hoan pemimpin dari istana Ban-jin-kiong?"
"Benar," sahut Ui Siu-bwe, "jauh sebelum kemunculan Sam-cay dan Sam-ing, Kho Ing-ti telah membunuh
Oh-hay-it-ki. Rahasia dari pertempuran antara guru dan murid itu telah diketahui Siau Han-kwan. Dunia
persilatan marah mendengar peristiwa itu dan mengadakan gerakan serempak untuk membunuh Kho Ing-ti
sehingga Kho Ing-ti tak dapat menegakkan kaki di dunia persilatan lagi. Dia terpaksa mengembara jauh dan
tinggalkan sumoay Tan Bin-hoa yang dicintainya. Putus asa, patah hati dan diancam oleh dunia persilatan,
menyebabkan dari seorang pemuda yang baik budi dan berguna seperti Kho Ing-ti, menjadi seorang momok
yang ganas dan mengerikan."
"Lalu mengapa Kho Ing-ti merobah diri menjadi Ban Jin-hoan dan dapat menjadi pemimpin Ban-jin-kiong?"
tanya Siau Lo-seng. Dewi Mega Ui Siu-bwe menghela napas.
"Dunia persilatan menganggap Kho Ing-ti telah mati. Karena sudah berpuluh tahun dia tak muncul lagi.
Mengapa dia menjadi Ban Jin-hoan itu menandakan kalau dia belum meninggal."
"Jika demikian, jelas dia menyelundup masuk ke Tiong-goan lagi dan merobah namanya menjadi Ban Jinhoan menyusup masuk menjadi murid Bu-tong-pay," seru Siau Lo-seng.
Ui Siu-bwe mengangguk. "Setelah Kho Ing-ti lenyap dari dunia persilatan maka beberapa tahun kemudian muncullah beberapa
pendekar muda seperti Pedang Ular Emas Siau Mo, Ban Jin-hoan dari Bu-tong-pay dan Naga sakti tanpa
bayangan Siau Han-kwan yang cemerlang. Mereka bersekutu dan menamakan diri sebagai Sam-cay.
Disamping itu Siang-hoa-liong-li Pui Siu-li, Dewi Mega Ui Siu-bwe dau Giok-li-sin-hong Tan Bi-hoa pun
berserikat sebagai tiga serangkai Sam-ing.
"Dalam pertandingan adu kepandaian yang tak resmi, kepandaian Sam-cay dan Sam-ing itupun berimbang.
Sejak itu dunia persilatan menyanjung mereka dengan kata-kata pujian sebagai sepasang Tiga serangkai
Sam-cay dan Sam-ing......."
Ui Siu-bwe berhenti sejenak lalu melanjutkan pula.
"Tetapi dunia persilatan tak tahu sama sekali, bahwa Ban Jin-hoan yang mereka puji itu ternyata Kho Ing-ti
yang mereka benci. Tujuan Kho Ing-ti merobah diri menjadi Ban Jin-hoan dan masuk dalam persekutuan
Sam-cay tak lain hendak membalas kepada dunia persilatan yang telah memberi dendam berdarah
kepadanya. Disamping itu supaya dapat berkumpul dengan sumoaynya Tan Bi-hoa yang dicintainya itu."
17.82. Dendam Asmara "Bagaimana ia melaksanakan pembalasan terhadap dunia persilatan?" tanya Siau Lo-seng.
"Dalam gerakan untuk membunuh Kho Ing-ti dahulu, kecuali Giok-li-sin-hong Tan Bi- hoa, boleh dikata
seluruh kaum persilatan dari aliran Hitam maupun Putih ikut semua. Karena mereka menganggap, seorang
murid yang berhianat dan membunuh gurunya, merupakan dosa paling besar. Kho Ing-ti menyadari bahwa
sekalipun ia selamat dan ilmu kepandaiannya pun sudah pulih kembali, tetapi tak mungkin ia dapat
menghadapi seluruh kaum persilatan.
Maka diam-diam ia segera membentuk Ban-jin-kiong, sebuah perkumpulan yang khusus hendak digunakan
untuk menuntut balas kepada dunia persilatan. Diam-diam Ban-jin-kiong menjalankan siasat mengadu
domba, menimbulkan kekacauan. Dengan ilmu Merobah wajah yang lihay, dia merobah diri menjadi
beberapa tokoh untuk mengadakan pembunuhan di sana sini agar partai-partai persilatan itu saling curiga
mencurigai." "Peristiwa Hay-hong-cung tentu dialah yang menciptakannya," seru Siau Lo-seng.
"Memang dia seorang yang menciptakannya," kata Ui Siu-bwe, "dan dengan kejam dia telah memutus
hubungan kasih antara ayah dan bundamu. Agar ayahmu tetap mendendam suatu dosa yang tak mungkin
ditebusnya." "Bagaimana ceritanya mamah dapat menikah dengan ayahku itu?" tanya Siau Lo-seng. Dipandangnya
wajah Ui Siu-bwe yang bercucuran air mata itu dengan tajam.
dunia-kangouw.blogspot.com
Entah bagaimana Dewi Mega berpaling muka, seolah-olah tak berani menghadapi sinar mata si anak muda.
Airmatanya membanjir. "Kutahu, ya, kutahulah peristiwa yang berliku-liku itu," tiba-tiba Kwik Ing-tat menengadah kepala dan berkata
seorang diri. "Paman Kwik, apa yang engkau ketahui?" seru Siau Lo-seng.
Tiba-tiba berkatalah Dewi Mega dengan nada yang penuh ditekan perasaan, "Seng-ji mamahmu berbuat
salah, dapatkah engkau memaafkannya?"
"Kesalahan apakah yang telah dilakukan mamahku?" Siau Lo-seng mulai curiga.
Tiba-tiba Kwik Ing-tat maju selangkah dan berseru, "Dewi, jangan sembarangan bicara kepada Seng-ji!"
"Berapakah harga sebuah nama itu?"sahut Dewi Mega, "dalam keadaan yang sudah seperti begini, apakah
ada hal-hal yang masih dirasa malu untuk dikatakan" Apabila masih ditutupi rasanya kita berdosa kepada
taci Tan Bi-hoa." Kwik Ing-tat menghela napas dan berkata kepada Siau Lo-seng: "Seng-ji, biarlah aku yang menceritakan
kelanjutannya." Sejenak berhenti maka iapun mulai menutur.
"Pada masa itu Siau Han-kwan merupakan kepala dari Sam-cay, Sedang Siang-hoa-liong-li Pui Siu-li,
kepala dari Sam-ing. Desas desus orang luar mengatakan bahwa kedua orang itu tentu akan menjadi
pasangan hidup. Siau Mo dengan Ui Siu-bwe dan Ban Jin-hoan dengan Tan Bi-hoa. Tetapi ternyata tidak
Pendekar Seratus Hari Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
demikian. Di luar dugaan, pangcu kami telah menikah dengan Tan Bi-hoa. Sejak peristiwa itu, mulailah
terjadi keretakan antara Sam-cay dan Sam-ing.
Pedang Ular emas Siau Mo berobah menjadi seorang manusia aneh yang gemar membunuh, Ban Jin-hoan
pulang ke Bu-tong dan, minta kepada It Ceng Totiang supaya menerimanya menjadi imam dan bergelar It
Bing, Siang-hoa-liong-li dan Dewi Mega pun menghilang dari dunia persilatan. Gempar dunia persilatan
membicarakan peristiwa itu tetapi tiada seorangpun yang tahu sebabnya."
Berkata sampai di sini, Kwik Ing-tat melirik ke arah Dewi Mega Ui Siu-bwe dan hentikan ceritanya.
"Kwik Thancu, teruskan ceritamu sejelas-jelasnya," seru Dewi Mega.
Sejenak meragu maka Kwik Ing-tat melanjutkan lagi.
"Sebenarnya Ban Jin-hoan sangat mencintai Tan Bi-hoa. Tetapi karena merasa dirinya telah menyebabkan
suhunya meninggal dan suhengnya melarikan diri maka Tan Bi-hoa sudah beku hatinya.
Siau Han-kwan sebenarnya mencintai Dewi Mega Ui Siu-bwe yang halus budi! Tetapi Ui Siu-bwe sebaliknya
mencintai Ban Jin-hoan. Sedang Pui Siu-li mencintai Siau Han-kwan. Siau Mo cinta sepenuh hati kepada
Siu-li. Buru memburu cinta itu, telah merupakan lingkaran Asmara yang aneh. Yang dicinta, mencintai lain
orang. Dan orang itu mencintai lain orang lagi.
Berhenti sejenak, ia meneruskan lagi,
"Pada suatu hari secara tak sengaja Siau Han-kwan telah menolong seorang tua yang tengah meregang
jiwa. Dia bukan lain yalah Cek Hi Sucia, ketua pertama dari perkumpulan Naga Hijau. Dan mendapatkan
benda kekuasaan perkumpulan itu serta dua buah kitab Lian-hun-cin-keng."
"Oleh karena itu maka ayah lalu menerima jabatan ketua Naga Hijau," seru Siau Lo-seng.
"Pada waktu itu Siau Han-kwan tak tahu bahwa dengan pusaka Cian-li-hiat-cian dapat menjadi ketua Naga
Hijau. Tetapi Ban Jin-hoan tahu hal itu. Maka diam-diam ia merebut pusaka panah darah itu dan hendak
merebut pimpinan Naga Hijau. Tetapi tindakannya itu telah dihalangi Dewi Mega Ui Siu-bwe. Oleh karena
mencintai Ban Jin-hoan maka Dewi Mega selalu memperhatikan gerak gerik Ban Jin-hoan.
Lama kelamaan Dewi Mega mulai mendapat kesimpulan bahwa Ban Jin-hoan memang mempunyai
rencana tersendiri. Demi membuktikan pandangannya terhadap Ban Jin-hoan, Dewi Mega segera
memberitahukan perasaan hatinya kepada Giok-li-sin-hong Tan Bi-hoa.
Pada waktu itu Tan Bi-hoa tak cinta Ban Jin-hoan. Walaupun orang luar menndesas desuskan keduanya
sebagai pasangan yang serasi, tetapi dia tak menaruh perhatian kepada Ban Jin-hoan.
dunia-kangouw.blogspot.com
Tan Bi-hoa meluluskan permintaan Dewi Mega dan mengajarkan ilmu merobah wajah dan memperboleh
Dewi Mega untuk menyaru sebagai dirinya agar dapat menguji isi hati Ban Jin-hoan yang sebenarnya."
Sampai di situ, Kwik Ing-tat berhenti sejenak dan memandang ke wajah Hun-ing Dengan suara agak keras
ia melanjutkan ceritanya:
"Cinta Ban Jin-hoan terhadap Tan Bi-hoa memang sudah mendarah daging. Sudah tentu Ban Jin-hoan
terkejut dan menyambut girang kepada Dewi Mega yang menyaru sebagai Tan Bi-hoa itu."
Karena dirinya dipandang oleh Kwik Ing-tat, diam-diam timbullah rasa heran Hun-ing, "Mengapa dia
memandang diriku" Apakah peristiwa mempunyai hubungan dengan aku?"
Ketika Kwik Ing-tat bersangsi tak mau bercerita terus, Dewi Mega Ui Siu-bwe segera berseru suruh dia
melanjutkan. "Dalam ujian pertama itu, harus disayangkan bahwa Dewi Mega telah tak kuasa menekan rindu dendamnya
kepada Ban Jin-hoan. Dan tergelincirlah kesuciannya?""
"O, itulah sebabnya maka Ban Jin-hoan salah menyangka kalau aku puteranya." Tiba-tiba Siau Lo-seng
berseru. Pemburu nyawa Kwik Ing-tat menghela napas, ujarnya, "Setelah mengalami peristiwa itu, mulailah Ui Siubwe benci akan keganasan Ban Jin-hoan. Berulang kali dia hendak membuka rahasia diri Ban Jin-hoan
tetapi tak sampai hati. Karena hal itu maka timbullah akibat yang menyedihkan di desa Hay-hong-cung."
Saat itu Ui Siu-bwe menangis terisak-isak. Sekalian anak muridnya merasa iba dengan suhunya.
"Di antara Sam-ing, hanya Siang-hoa-liong-li Pui Siu-li, yang paling lincah, cerdas. Karena cintanya
terhadap Siau Han-kwan, ia memberitahukan hal itu kepada Siau Han-kwan dan menasehatkan agar Siau
Han-kwan jangan melanjutkan cintanya kepada Dewi Mega Ui Siu-bwe.
"Tahu bahwa Ui Siu-bwe telah dicemarkan kesuciannya oleh Ban Jin-hoan," Kwik Ing-tat melanjutkan pula,
"Dia kalap dan mendendam. Dia hendak membalas dendam. Dengan tergesa-gesa dia memaksa Giok-lisin-hong Tan Bi-hoa mengumumkan pernikahannya kepada dunia persilatan dan menerima jabatan ketua
dari Naga Hijau lalu tinggal di desa Hay-hong-cung. Dia berbuat begitu karena hendak membalas dendam
kepada Ban Jin-hoan karena sesungguhnya dia tidak mencinta Tan Bi-hoa. Tetapi walaupun tindakannya
memang dapat mematahkan semangat Ban Jin-hoan, akhirnya telah menimbulkan akibat yang hebat dan
mengerikan......." Dengan begitu Pui Siu-li juga tidak berhasil mendapat cinta Siau Han-kwan walaupun sudah
memberitahukan rahasia diri Ui Siu-bwe dengan Ban Jin-hoan," tukas Siau Lo-seng, "kebalikannya Ban Jinhoan yang kehilangan Tan Bi-hoa dan marah terhadap Dewi Mega Ui Siu-bwe yang membocorkan rahasia
itu kepada Siau Han-kwan, makin meluap dendam kebenciannya kepada Siau Han-kwan. Diam-diam dia
telah mengerahkan tenaga dan pengaruh Ban-jin-kiong untuk menyebar fitnah kepada kaum parsilatan yang
tak tahu jelas akan persoalan Sam-cay dan Sam-ing. Kaum persilatan percaya bahwa Siau Han-kwan telah
merebut kekasih Ban Jin-hoan dan kedudukan ketua Naga Hijau serta bertujuan hendak menguasai dunia
persilatan. Seluruh partai-partai persilatan segera serempak menyerbu Hay-hong-cung dan terjadilah
pembunuhan besar-besaran itu?""
Kesimpulan yang diuraikan panjang lebar oleh Siau Lo-seng itu dibenarkan Kwik Ing-tat.
"Tetapi gerakan serempak dari partai-partai persilatan ke Hay-hong-cung itu walaupun mengunakan dalih
untuk menghukum perbuatan yang tak benar dari Siau Han-kwan tetapi sebagian besar mereka memang
mengandung maksud untuk merebut panah pusaka Cian-li-hiat-cian dan dua jilid kitab Lian-hun-cin-keng."
"Dalam peristiwa Hay-hong-cung itu apakah Lembah Kumandang dan Naga Hijau ikut dalam
pembunuhan?" tiba-tiba Siau Lo-seng bertanya.
"Jangan terburu nafsu dulu," kata Kwik Ing-tat, "Baik Lembah Kumandang maupun Naga Hijau
sesungguhnya datang hendak mencegah pertempuran berdarah itu?" Setelah Siau Han-kwan menikah
dengan Tan Bi-hoa maka Pui Siu-li karena putus asa hendak bunuh diri tetapi dapat diselamatkan oleh Dewi
Mega Ui Siu-bwe. Kedua taci adik seperguruan itu saling menumpahkan peristiwa kehancuran hati, yang
dialami mereka. Kemudian mereka mencapai sepakat untuk tetap bertahan hidup. Dan sejak itu mereka
menghilang dari dunia persilatan. Pada hal secara diam-diam mereka telah membentuk Lembah
Kumandang untuk menghadapi Ban Jin-hoan, menghalangi tindakan-tindakan orang Ban-jin-kiong yang
dunia-kangouw.blogspot.com
hendak mengacau dunia persilatan. Tetapi di luar dugaan, dunia persilatan menganggap Lembah
Kumandang itu sebagai gerombolan aliran Hitam."
Tiba-tiba Dewi Mega Ui Siu-bwe menghela napas.
"Biarlah aku yang melanjutkan ceritanya. Karena dengan begitu barulah dapat meringankan dosaku dan
mengurangi penderitaan batinku......."
Kata-kata terakhir itu diucapkannya dengan nada tersekat.
Hun-ing cepat maju memapah Ui Siu-bwe, serunya: "Suhu, jangan keliwat bersedih. Apa yang lalu telah
lalu. Walaupun membuat kesalahan yang bagaimana pun besarnya, pun telah lenyap dihanyutkan sang
waktu." Pun Kwik Ing-tat meminta agar Ui Siu-bwe beristirahat saja lalu bercerita lagi.
"Rencana penyerangan ke Hay-hong-cung itu timbul dari keinginan Ban Jin-hoan secara mendadak sekali
sehingga dalam keadaan terburu-buru Dewi Mega Ui Siu-bwe meminta sumoaynya, Pui Siu-li, supaya
memberitahu kepada Siau Han-kwan. Sedang dia sendiri akan memberi penjelasan kepada pimpinan
partai-partai persilatan supaya jangan melanjutkan rencana mereka. Tetapi ternyata gerik Pui Siu-li ke Hayhong-cung telah diketahui oleh Ban Jin-hoan. Tujuan Pui Siu-li yang baik, telah dikacaukan menjadi suatu
peristiwa dendam." "Oh, bagaimana ceritanya?" tanya Siau Lo-seng.
Sejenak melirik ke arah Ui Siu-bwe, Kwik Ing-tat melanjutkan pula,
"Karena tak mau mengejutkan perhatian orang maka Pui Siu-li langsung menemui Siau Han-kwan dalam
kamar tulisnya. Dia menceritakan semua rencana Ban Jin-hoan dan menganjurkan supaya Siau Han-kwan
lekas-lekas meloloskan diri. Tetapi Siau Han-kwan sudah tak mau ingat pertalian kasih kepada Pui Siu-li
lagi. Dia menyambut dingin nasehat Pui Siu-li bahkan mendamprat nona itu karena berani masuk ke kamar
tulisnya. Sesungguhnya pada saat berhadapan dengan Siau Han-kwan, timbullah kenangan asmara lama
dihati Pui Siu-li. Menerima teguran yang pedas dari Siau Han?kwan, ia marah dan balas mendamprat.
Ribut-ribut dalam kamar tulis itu telah terdengar oleh Siau Mo yang segera masuk ke dalam kamar itu?"
"Dan sebelum Pui Siu-li sempat memberi penjelasan, partai-partai dan kaum persilatan golongan Hitam dan
Putih serta anak buah Ban-jin-kiong sudah menyerbu desa itu. Sudah tentu warga Hay-hong-cung yang
terdiri hanya seratusan orang itu, tak dapat melawan serangan mereka. Ketika lima Thancu dari Naga Hijau
dengan anak buahnya serta orang-orang Lembah Kumandang tiba di Hay-hong-cung, maka terjadilah
pertempuran besar yang awut-awutan. Seratusan orang Hay-hong-cung mati semua. Naga Hijau kehilangan
separoh anak buahnya. Tetapi Lembah Kumandang yang untung, karena berhasil mendapatkah jarum
Cian-li-hiat-sat dan sejilid kitab Lian-hun-cin-keng."
Mendengar itu mereganglah bulu roma Siau Lo-seng.
"Dalam peristiwa pembunuhan di Hay-hong-cung itu kukira yang menjadi korban hanya warga Hay-hongcung saja, ternyata banyak anak buah Naga Hijau yang korban jiwanya?" Ban Jin-hoan, aku bersumpah
akan mencincang tubuhmu!"
"Seng-ji, apakah engkau masih ingat berapa orang saudaramu itu?" tanya Ui Siu-bwe.
"Kalau tak salah, aku mempunyai seorang engkoh dan dua orang adik lelaki. Tetapi mereka mati semua
dalam pembunuhan itu," jawab Siau Lo-seng.
"Tahukah engkau bagaimana mereka terbunuh?" tanya Ui Siu-bwe pula.
"Tak tahu," jawab Siau Lo-seng, "karena sejak kecil aku sudah menderita penyakit lumpuh yang sering
kambuh. Oleh karena itu maka aku dipisahkan dengan saudara-saudaraku. Aku hanya dijaga oleh seorang
bujang. Tetapi ketika aku terbangun dari mimpi, kulihat tiada seorangpun dalam kamarku tetapi kulihat
engkoku Siau Lo-wi dan adikku Siau Lo-pat telah menjadi mayat yang mengerikan. Ketika itu akupun
menangis......" "Seng-ji tahukah engkau bahwa saudara-saudaramu sebenarnya dibunuh sendiri oleh ayahmu?" tanya Ui
Siu-bwe pula. Siau Lo-Seng seperti mendengar halilintar disambar kilat kejutnya: "Ngaco belo!"
"Memang benar!" sahut Ui Siu-bwe dengan suara serius.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Walaupun menikah dengan Siau Han-kwan, tetapi mamahmu tidak merasa berbahagia," kata Ui Siu-bwe
pula, "demi menjabat ketua perkumpulan Naga Hijau maka Siau Han-kwan menyembunyikan diri rapatrapat sehingga dia mendapat gelar sebagai Naga sakti tanpa bayangan. Perkawinannya dengan Tan Bi-hoa
hanya menuruti rasa dendam terhadap Ban Jin-hoan saja. Dia memang tak mencintai Tan Bi-hoa sungguhsungguh. Maka sikapnya pun dingin terhadap Tan Bi-hoa. Ditambah pula pada peristiwa pembunuhan di
Hay-hong-cung itu dengan pintar sekali, Ban Jin-hoan telah menimbulkan salah paham antara kedua suami
isteri itu maka dalam kemarahannya yang meluap-luap, akhirnya Siau Han-kwan sampai membunuh
puteranya sendiri!" "Tutup mulutmu," teriak Siau Lo-seng, "bagaimana mungkin ayahku membunuh anaknya sendiri" Mengapa
dia tak membunuh aku sekalian" Katakanlah!"
"Adalah karena Ban Jin-hoan keburu datang maka engkau tertolong dan Jin-hoan mengira kalau engkau
puteranya hendak dibunuh Siau Han-kwan maka dengan mati- matian dia menyerang Siau Han-kwan......
ingatlah, saat itu jiwamu sudah gawat sekali. Setiap saat kau dapat meninggal. Masakan aku tetap akan
membohongimu?" "Apa buktinya kalau mamah dan saudaraku dibunuh ayah sendiri?" seru Siau Lo-seng.
"Macan yang buaspun takkan makan anaknya," kata Dewi Mega Ui Siu-bwe, "memang sukar dipercaya
kalau aku mengatakan seperti tadi. Tetapi hal itu memang mamahmu sendiri di kala mau menutup mata,
yang mengatakan kepadaku. Mamahmu sebenarnya benci kepada ayahmu. Tetapi ia dapat memaafkan
ayahmu. Dalam kemarahannya, mamahmu telah nekad menyerbu ke dalam pertempuran dan akhirnya
binasa." Mendengar itu amarah Siau Lo-seng seperti diguyur air es, serunya: "Benarkah itu" Aku tentu akan
bertanya kepada ayah!"
"Seng-ji, engkaupun harus memaafkan ayahmu. Belasan tahun dia telah menderita siksaan hidup, lahir dan
batin." "Ah, mamah, semoga arwahmu beristirahat di alam baka dengan tenang...... mengapa aku mempunyai
seorang ayah yang sampai hati membunuh puteranya sendiri" O, itulah sebabnya maka dia tak berani
mengakui aku sebagai anaknya"..."
"Seng-ji, nasibmu itu memang menggetarkan perasaan setiap orang. Tetapi apa boleh buat, mungkin itu
garis hidupmu dan terimalah dengan lapang dada," kata Ui Siu-bwe, "ketahuilah. Tiada hal yang paling
menyedihkan pada hati seorang lelaki kecuali melihat isterinya berada dalam pelukan lain lelaki?" apalagi
dalam keadaan yang genting itu. Karena tak ingin puteranya dibunuh orang maka ia menghabisi jiwa
puteranya itu sendiri."
"Apa" Apakah mamahku berbuat serong?" seru Siau Lo-seng.
"Tidak," jawab Ui Siu-bwe, "walaupun mamahmu tak cinta kepada ayahmu tetapi dia tak sampai berbuat
serong kepada lain orang. Tetapi ayahmu telah termakan fitnah yang disebarkan Ban Jin-hoan yang
mengatakan bahwa mamahmu pernah berbuat jinah dengan dia. Ban Jin-hoan mengejek ayahmu,
mengatakan janganlah ayahmu bangga karena memperisteri Tan Bi-hoa karena sebenarnya Tan Bi-hoa itu
tidak mencintainya"..."
"Adakah ayahku cepat percaya omongan itu?" seru Siau Lo-seng.
"Sudah tentu tidak," kata Ui Siu-bwe, "tetapi dengan menggunakan ilmu Merobah wajah, Ban Jin-hoan
mencari seorang wanita yang dirobah wajahnya seperti Tan Bi- hoa. Diajaknya wanita itu main di hadapan
ayahmu?"" "Saat itu Siau Han-kwan seperti dibakar kemarahan. Segera dia menyerang Ban Jin-hoan dan wanita yang
menyaru sebagai Tan Bi-hoa. Ketika ayahmu hendak membuat perhitungan mamahmu, datanglah Pui Siu-li
yang memberitahu kepada ayahnya bahwa Ban Jin-hoan itu sebenarnya adalah suheng dari Tan Bi-hoa.
Hal itu makin memperhebat kebencian ayahmu terhadap Tan Bi-hoa. Dirangsang oleh ketegangan dan
kemarahan saat itu maka ayahmu membentak-bentak Pui Siu-li?", dan hal itu diketahui oleh Siau Mo."
Mendengar itu hati Siau Lo-seng tak keruan rasanya. Karena tak tahu bagaimana ia harus berbuat, dia
sampai menitikkan airmata sendiri.
"Adakah pamanku Siau Mo juga membenci ayahku dan ikut turun tangan mencelakainya?" tanya pemuda
itu. dunia-kangouw.blogspot.com
"Seng-ji," kata Ui Sin-bwe," jangan persalahkan pamanmu Siau Mo. Sejak ikut aku dan sumoayku Pui Siu-li
bersembunyi di Lembah Kumandang, karena tak mendapat hiburan dan perhatian orang, akhirnya ia masuk
ke dalam perkumpulan Ko-bok-pay. Tiga tahun kemudian dia kembali ke Hay-hong-cung sebagai manusia
yang telah berobah perangainya. Pada saat ia dikipasi oleh Ban Jin-hoan dan menyaksikan sendiri betapa
Siau Han-kwan telah bertengkar dengan Pui Siu-li yang dicintainya, dia tak dapat menguasai diri lagi.
Sebenarnya dia datang ke Hay-hong-cung hendak menyampaikan berita. Tetapi melihat adegan itu,
marahlah dia. Cepat dia menuju ke muka desa. Untuk melampiaskan marahnya, tak peduli siapa saja, baik
musuh atau orang Hay-hong-cung, diserang dan dibunuhnya. Entah berapa banyak jiwa menjadi korban
Pedang Ular Emasnya. Terakhir dia membuka sebuah jalan berdarah lalu melarikan diri ke dalam hutan.
Kebetulan dia bertemu dengan gurumu Jiu-lan. Dalam keadaan pikiran masih kacau, ketika melihat pakaian
guru wanita itu berlumuran darah, seketika timbullah hawa pembunuhannya lagi. Lebih dulu gurumu itu
dibunuhnya dan karena engkau menangis maka dia lalu melempar engkau ke dalam jurang."
Saat itu Siau Lo-seng benar-benar seperti orang yang kehilangan pegangan. Mau menangis, tiada air mata.
Hatinya seperti disayat-sayat.
Tiba-tiba Tay Hui Sin-ni yang sejak tadi diam saja, saat itu ikut membuka suara, "Kodrat tak dapat dihindari
lagi. Darah sudah terlanjur mengucur, ah...... Siau Mo tiga tahun lamanya masuk ke dalam partai Ko-bokpay kami. Dia tampak rajin sekali dan pendiam. Tetapi Kaucu kami suka kepadanya. Tak sangka setelah
pulang ke desanya, dia harus tercebur dalam pertumpahan darah yang begitu hebat."
"Mengapa selama bertahun-tahun menyelidiki, aku tak berhasil memperoleh keterangan tentang peristiwa
itu?"" tanya Siau Lo-seng.
Ui Siu-bwe memberi jawaban:
"Setiap orang yang terlibat dalam peristiwa, masing-masing mempunyai kesalahan. Sudah tentu mereka tak
mau membuka rahasia itu. Engkau tak mau membuka rahasia itu. Engkau tak sampai mati adalah
disebabkan Ban Jin-hoan masih mengandung setitik harapan, agar mamahmu tetap masih mempunyai
kasih kepadanya." "Ban Jin-hoan memang ganas sekali," tiba-tiba Dewi Mega Ui Siu-bwe berganti nada keras, "kesemuanya
itu adalah dia yang menciptakan. Apabila Lembah Kumandang dan Naga Hijau masih tetap berdiri, pada
suatu hari mereka tentu akan membuat perhitungan dengan manusia ganas itu."
Kata-kata Dewi Mega Ui Siu-bwe itu telah disambut dengan sorak bergemuruh dari sekalian anak buah
Lembah Kumandang dan Naga Hijau yang berada di setiap sudut tempat.
Tetapi sorak sorai pernyataan tekad untuk mentaati keputusannya itu bahkan malah menimbulkan
kesedihan hati Dewi Mega. Kembali ia mengucurkan air mata.
"Cianpwe, mengapa engkau mengucurkan airmata lagi?" tanya Siau Lo-seng heran.
"Aku merasa dosaku juga besar," katanya tersendat, "kalau dulu tidak...... tentu tak kan terjadi peristiwa
yang berdarah semacam itu."
"Cianpwe, engkau tak bersalah," kata Siau Lo-seng, "ah, sesungguhnya nasib cianpwe sendiri juga tak
beruntung." "Suhu," Hun-ing menyeletuk, "jangan bersedih hati. Akulah yang akan menghimpas dendam suhu itu."
17.83. Istana Selaksa Hantu
Tiba-tiba pula Siau Lo-seng berpaling kepada Pemburu nyawa Kwik Ing-tat, serunya "Paman Kwik,
dimanakah ayahku sekarang?"
"Dia memikat supaya Buddha emas Ang Siong-pik tinggalkan lembah ini. Sekarang aku pun juga tak tahu
dia berada di mana. Tetapi menurut dugaanku, dia tentu menuju ke Ban-jin-kiong untuk mencari Ban Jinhoan."
"Jika begitu aku harus ke Ban-jin-kiong," kata Siau Lo-seng.
"Seorang diri?" tanya Hun-ing.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Bagaimanapun juga aku harus membuat perhitungan dengan Ban Jin-hoan," kata Siau Lo-seng. Kemudian
ia menyampaikan berita yang diucapkan oleh adik angkatnya Bok-yong Kang kepada sekalian orang di situ.
"Ban-jin-kiong pasti akan melaksanakan rencananya," kata Siau Lo-seng pula, "untung sekarang kita masih
dapat menghancurkan kekuatannya. Hanya saja tak boleh bertindak sccara gegabah melainkan secara
diam-diam menyerbu dan pada suatu saat yang tak diduga-duga, kita serempak bergerak menghancurkan
Ban-jin-kiong." Habis berkata ia berpaling ke arah Tay Hui Sin-ni lalu Kwik Ing-tat, serunya:
"Kuharap paman Kwik dan Tay Hui Sin-ni cianpwe suka memberi bantuan. Entah bagaimana pendapat
cianpwe." Kwik Ing-tat tertawa gelak-gelak.
"Tanpa engkau minta, aku sendiri juga akan membuat pertarungan dengan Ban-jin-kiong. Tahukah engkau
bahwa jiwaku orang tua ini juga hampir melayang di tangannya?" kata Kwik Ing-tat.
Tay Hui Sin-ni menghela napas.
"Omitohud! Siau sauhiap, kabut rahasia yang menyelimuti dendam darahmu, kini sudah tersingkap jelas.
Kutahu engkau tentu mendendam sekali. Walaupun engkau mempunyai dendam tak dapat hidup di bawah
kolong langit dengan Ban Jin-hoan. Tetapi engkau harus tahu bahwa dendam dan pembalasan itu akan
berlarut-larut tiada berkeputusan. Demi membalas dendam di Hay-hong-cung, entah sudah berapa banyak
jiwa yang engkau bunuh" Tahukah engkau berapa banyak anak yang sebatang kara karena ditinggal oleh
kedua orang tuanya" Betapa sengsaralah hidup mereka itu?"
Siau Lo-seng tergetar. Seketika teringatlah ia akan semua peristiwa yang telah dialaminya selama ini.
"Bukan maksudku hendak melarang engkau membalas dendam," kata Tay Hui Sin-ni, "Ban Jin-hoan
mempunyai dendam darah kepadamu. Diapun seorang durjana dunia persilatan. Setiap orang berhak untuk
menumpasnya, sebagaimana setiap kaum persilatan berhak untuk menjaga keselamatan dunia persilatan.
Tetapi kini darah dan korban sudah banyak sekali yang jatuh. Aku tak sampai hati lagi melihat timbulnya
peristiwa berdarah pula. Kuharap apabila mungkin dihindarkan, hindarkanlah."
"Petunjuk Sin-ni sungguh mulia sekali. Menandakan bahwa Sin-ni mengandung hati welas asih yang besar.
Maka akupun tak berani memaksa Sin-ni harus ikut dalam perjalanan ini," kata Siau Lo-seng.
"Tay Hui Sin-ni," Hun-ing ikut bicara, "gerakan untuk menumpas Ban-jin-kiong harus tetap dilakukan. Kita
tak menumpasnya, dia akan menumpas kita. Apalagi saat ini mungkin adik Cu-ing, Pek Wan Taysu serta
Pendekar Seratus Hari Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
paderi anak buah barisan Tat-mo-coat-ci-tin masih berada di tangan mereka. Betapapun kita tak dapat tak
bertindak menolong mereka."
"Apa" Paman Pek Wan masih ditawan di Ban-jin-kiong?" Siau Lo-seng berseru kaget.
"Ya," sahut Hun-ing, "bahkan mungkin kesadaran pikiran merekapun telah dihilangkan."
"Barisan Tat-mo-coat-ci-tin dari Siau-lim-si, menggetarkan seluruh dunia persilatan. Bagaimana mereka
dapat ditawan pihak Ban-jin-kiong" Apa pula Pek Wan Taysu itu seorang tokoh sakti. Walaupun dalam
tawanan Ban-jin-kiong, mereka tentu takkan terancam bahaya," kata Tay Hui Sin-ni.
Tiba-tiba kedengaran Ui Siu-bwe menghela napas ringan, serunya:
"Kali ini perhitungan Sin-ni kurang tepat. Walaupun barisan Tat-mo-coa-ci-tin itu tiada lawan tetapi bukan
tandingan dari ilmu Thian-siau-mo-gak dari perguruan Thian-sian-bun."
"Thian-sian-mo-gak, hanya Siau Han-kwan dan Ang Siong-pik yang pernah mempelajari. Bahkan Kwik sicu
pun belum tentu mengerti, mengapa dalam Ban-jin-kiong terdapat orang yang mempelajari ilmu itu?"
Berkata Pemburu nyawa Kwik Ing-tat:
"Benar Sin-ni, ilmu Thian-siau-mo-gak itu memang tak sembarang orang mampu mempelajarinya. Hampir
enampuluh tahun lamanya suhuku mempelajari ilmu itu. Pun baru dapat menguasai empat buah irama.
Sedang empat irama yang lain berada pada ke empatpuluh tujuh batang jarum Ular Emas itu. Kecuali
pangcu dan Buddha emas Ang Siong-pik, aku sendiri tak mempunyai kesempatan untuk belajar ilmu
itu......." Tiba-tiba Kwik Ing-tat teringat sesuatu, serunya.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Ah, apabila Sin-ni tak mengatakan ilmu Thian-siau-gak-cin itu, mungkin aku lupa akan tujuanku datang
kemari?", mohon tanya kepada Dewi, bagaimanakah dengan duapuluh batang jarum Ular Emas itu?"
"Bukankah keduapuluh tujuh batang jarum Ular Emasku itu telah direbut pihak Lembah Kumandang?" tanya
Siau Lo-seng. "Memang benar," sahut Ui Siu-bwe, keempat Su-tay-thian-ong dari Lembah Kumandang telah berhianat
mencuri jarum itu serta pena Keng-hun-pit. Begitu pula sejilid kitab Lian-hun-cin-keng, ah?", inilah
kegagalanku yang paling besar. Tak kira kalau keempat Tay-thian-ong yang kudidik itu ternyata anak buah
Ban-jin-kiong." "Ah, urusan makin lebih gawat," kata Kwik Ing-tat.
"Dosa bertimbun dosa," seru Tay Hui Sin-ni, "sungguh tak kira kalau Ban-jin-kiong memang benar-benar
mengandung rencana untuk menguasai dunia persilatan."
"Memang kekuatan Ban-jin-kiong makin dahsyat. Mereka sudah dapat menguasai separoh bagian dunia
persilatan. Dan manusia mumi yang dibuatnya itu setingkat lebih tinggi dari buatanku. Untuk menggempur
Ban-jin-kiong memang bukan suatu pekerjaan gampang," kata Ui Siu-bwe.
Sambil mendengarkan percakapan itu, Siau Lo-seng mondar mandir di luar ruang.
"Siau koko, hendak kemanakah engkau?" tanya Hun-ing yang cepat menghampiri.
Siau Lo-seng berpaling. Kebetulan pandang mata keduanya saling beradu. Dan sorot mata nona itu seperti
memancar sinar dendam dan kasih.
Siau Lo-seng buru-buru palingkan muka untuk menghindari pandang mata si nona.
"Aku hendak ke Ban-jin-kiong?", melakukan apa yang harus kulakukan?"."
Habis berkata pemuda itu terus berputar tubuh dan melesat keluar ruang.
Terdengar suara anjing menyalak. Anjing putih yang sejak tadi mendekam di tepi, saat itu menyalak keras
lalu lari menyusul langkah Siau Lo-seng.
"Omitohud," Tay Hui Sin-ni menghela napas, "seorang anak yang keras hati, seorang anak yang bernasib
malang." Tiba-tiba Hun-ing menjerit dan berlutut di hadapan Dewi Mega Ui Siu-bwe.
"Subo, perkenankanlah aku dan saudara-saudara dari perkumpulan kita semua untuk menuntut balas."
Beribu-ribu anak buah Naga Hijau pun segera berlutut. Mereka menumpahkan pandang ke arah Dewi
Mega. Pandang yang memohon keputusan dari pimpinan mereka.
"Bangunlah kalian semua. Ing, engkaupun lekas bangun. Aku mengabulkan permintaanmu," akhirnya Dewi
Mega Ui Siu-bwe memberi keputusan dengan nada yang rawan.
Serentak terdengarlah sorak sorai yang gegap gempita. Karena girangnya, Hun-ing segera memeluk kedua
kaki Dewi Mega. Dua butir air mata menitik dari kelopak mata nona itu.
Dewi Mega membelai-belai rambut Hun-ing. Ia menghela napas penuh kedukaan dan kerawanan.
Airmatanya pun berderai-derai mengucur ke tanah.
Tiada seorangpun yang mengetahui isi hati pemimpin Lembah Kumandang itu. Helaan napasnya itu penuh
mengandung dengan berbagai derita perasaan.
Derita dari perjalanan hidupnya di masa yang lalu. Suatu perjalanan hidup yang telah memberi akibat
penderitaan lahir dan batin sehingga sampai detik itu.
Dia telah melakukan suatu perbuatan yang seharusnya takkan dilakukan dan sebenarnya tak ingin
dilakukannya. Tetapi kesemuanya itu telah terjadi. Dan apa yang telah terjadi tak mungkin akan dihapus kembali"..
Dewi Olympia Terakhir 4 Dewa Arak 87 Setan Bongkok Geger Rimba Persilatan 3
Sam-siu bertapa di ruang Ceng-siu-tian" Bagaimana dia dapat mengadakan hubungan dengan pihak luar?"
"Di situlah letak kuncinya," kata It Ceng Totiang, "It Bing Totiang yang aseli sudah meninggalkan Bu-tongsan sejak limapuluh tahun yang lalu. Dia meninggalkan seorang It Bing Totiang palsu untuk menyelundup
dan ikut kami bertapa selama empatpuluh tahun. Sedang It Beng yang sungguh, telah melakukan kejahatan
di luar, menimbulkan huru hara dan membahayakan dunia persilatan......."
"Benarkah itu?" masih Siau Lo-seng agak kurang percaya, "masakan locianpwe tak dapat mengenali sute
sendiri." It Ceng totiang menggeram.
"Panjang sekali ceritanya. Limapuluh tahun yang lalu," imam tua itu mulai bercerita, "pada saat suhuku
Thian Le Cinjin menyerahkan kedudukan Ciang-bun (ketua) kepadaku, diapun telah menerima seorang
dunia-kangouw.blogspot.com
murid baru. Seorang pemuda orang biasa yang terkenal namanya sebagai Cian-bin-poa-an. Kala itu aku
sudah seorang pertengahan umur sedang dia baru seorang pemuda yang berumur duapuluh tahun. Karena
dia memang berbakat bagus dan amat cerdas, dia telah disayang suhu dan suhu sendirilah yang
menurunkan pelajaran kepadanya."
It Ceng Totiang berhenti sejenak untuk mengambil napas.
"Cian-bin-poa-an itu apakah bukan Cian-bin-poa-an Kho Ing-ti yang pada limapuluh tahun berselang
menjadi pasangan dari Siang-hoa-liong-li Pui Siu-li dan digelari sebagai sepasang pendekar nomor satu di
dunia?" Siau Lo-seng menyeletuk.
"Limapuluh tahun yang lalu dalam dunia persilatan telah muncul tiga pasang pendekar muda Cian-bin-poaan Kho Ing-ti, Kim-coa-mo-kiam Siau Mo, Bu-eng-sin-liong Siau Han-kwan. Ketiga jago muda itu disebut
Sam-cay. Sedang ketiga pendekar wanita yalah Siang-hoa-liong-li Pui Siu-li, Giok-li-sin-hong Tan Bi-hoa
dan Hun-siang-sian-cu Ui Siu-bwe. Mereka digelari Sam-ing (Tiga Jelita). Berturut-turut mereka muncul
dalam dunia persilatan dan serentak mereka saling berkenalan lalu membentuk persekutuan Heng-te-cimoy (engkoh adik, taci adik). Merupakan peristiwa, yang indah dan dipuji dunia persilatan.
It Ceng Totiang berhenti, menatap wajah Siau Lo-seng lalu melanjutkan pula:
"Tetapi kemudian hari, Sam-cay dan Sam-ing itu akhirnya berantakan?", suteku Kho Ing-ti pulang ke Butong dan bersumpah akan mensucikan diri......."
"Bagaimanakah peristiwa bubarnya Sam-cay dan Sam-ing itu" Lalu akhirnya bagaimana?" Siau Lo-seng
gegas bertanya. "Peristiwa itn memang terjadi di luar dugaan orang," kata It Ceng Totiang, "tiada seorangpun yang pernah
menyangka bahwa Sam-cay Sam-ing yang begitu rukun seperti kakak beradik, tiba-tiba terpecah belah,
masing-masing mengambil haluan sendiri?" Menurut kesimpulanku, sebab dari perpecahan itu tentu
berkisar pada soal Asmara. Ah, asmara memang berkuasa. Dari dulu sampai kelak akhir jaman. Entah
berapa banyak muda mudi yang telah hancur binasa dihempas asmara itu."
Saat itu makin dalam kesadaran Siau Lo-seng akan soal Asmara. Ya, asmara itu kuasa membahagiakan
orang tetapipun kuasa menghancurkan.
"Locianpwe, engkau tak begitu jelas tentang peristiwa itu tetapi mengapa dapat menarik kesimpulan bahwa
peristiwa itu disebabkan karena soal Asmara?" tanyanya.
"Memang benar, mereka telah bentrok karena urusan Asmara," kata It Ceng Totiang. Tampak imam tua itu
gemetar di kala mengucapkan kata-kata itu. Matanya pun berlinang-linang. memancarkan sinar duka dan
geram. Rupanya dia sedang dilanda oleh gejolak ketegangan hati.
Diam-diam Siau Lo-seng heran. It Ceng Totiang ketua dari Bu-tong Sam-siu. Tiga tokoh tua yang paling
dihormati dalam partai persilatan Bu-tong-pay. Kepandaiannya sakti, imannya kuat. Tetapi mengapa masih
dapat terangsang oleh perasaan hatinya.
Tiba-tiba pula Siau Lo-seng mendapatkan bahwa imam tua yang berdiri di hadapannya itu lain sikapnya
dengan Bu-tong Sam-siu yang dilihatnya ketika berada dalam markas Bu-tong. Waktu itu jelas Bu-tong
Sam-siu bersikap bengis dan keras. Walaupun wajahnya sama, tetapi beda sekali dengan It Ceng Totiang
yang berdiri di hadapannya saat itu.
Serentak timbul kecurigaan dalam hati Siau Lo-seng. Ia teringat akan ilmu Merobah raut muka dari orang
Ban-jin-kiong sehingga Nyo Cu-ing sampai tak kenal akan ayahnya sendiri yakni Nyo Jong-ho?" begitu
pula nona baju merah tadi. Benar-benar seperti pinang dibelah dua dengan Nyo Cu-ing.
"Ah?"," tiba-tiba Siau Lo-seng mendesah. Rupanya ia telah menemukan sesuatu rahasia. Dipandangnya
It Ceng Totiang dengan tajam.
Kerut wajah It Ceng pun berubah-rubah. Namun cepat ia segera mengajukan pertanyaan, "Siau sauhiap,
adakah sesuatu yang engkau rasakan?"
"Tidak, tidak," sahut Siau Lo-seng gelagapan. "Dapatkah locianpwe menceritakan semua peristiwa yang
menimpa Sam-cay Sam-ing itu?"
"Kemunculan mereka di dunia persilatan bagaikan halilintar di terang hari. Setiap orang tahu dan menaruh
perhatian. Tetapi keakhiran kisah mereka sebagai kabut awan yang gelap. Tiada bersuara tiada berita.
dunia-kangouw.blogspot.com
Hanya sedikit orang saja yang mengetahui. Sudah berpuluh tahun aku tak pernah berjumpa dengan salah
seorang dari mereka," kata It Ceng Totiang.
"Jika demikian, locianpwe sungguh tak tahu akan keadaan mereka yang sesungguhnya?"
Tampaknya ada sesuatu yang masih menghuni dalam benak imam tua itu. Setelah merenung beberapa
saat barulah ia berkata. "Sebenarnya aku telah berjanji kepada It Bing sute, untuk tidak membocorkan peristiwa mereka. Tetapi
karena sekarang dia ternyata telah berkhianat maka diapun tak percaya kepadaku lagi. Akupun tak perlu
memegang janji itu. Peristiwa tiga Pasang pendekar dunia persilatan itu, kecuali mereka sendiri yang tahu
jelas hanya aku." "Locianpwe," seru Siau Lo-seng mulai tegang lagi, "alangkah bagusnya bila locianpwe tahu akan peristiwa
mereka itu. Bertahun-tahun aku berkelana di dunia persilatan, tetapi tak berhasil menyelidiki."
Dua dari Sam-cay itu adalah Siau Han-kwan, ayah Siau Lo-seng. Dan Siau Mo, paman pemuda itu. Itulah
sebabnya maka ia ingin sekali mengetahui peristiwa mereka. Dan peristiwa itu tentu mempunyai sangkut
paut dengan pembunuhan berdarah di Hay-hong-cung.
Tampaknya It Ceng Totiang bersangsi. Sesaat kemudian baru ia berkata dengan suara sarat: "Lambat laun
peristiwa itu tentu akan terungkap. Hanya sayang, orang yang tahu peristiwa itu malu diri untuk berbicara."
"Apakah mereka juga melakukan kesalahan dan mengungkap peristiwa itu merupakan suatu hal yang hina
dan memalukan?" Siau Lo-seng heran.
"Benar," sahut It Ceng agak geram, "yang tahu peristiwa itu hanya sedikit sekali tetapi mereka sendiripun
juga melakukan kesalahan besar. Apabila diungkap, bukan saja akan merosotkan gengsi mereka, pun juga
akan membawa akibat yang luas. Mungkin mereka tiada muka untuk menegakkan kaki di dunia persilatan
lagi?"" "Apakah peristiwa Sam-cay Sam-ing itu mempunyai hubungan dengan locianpwe sendiri?" tiba-tiba Siau Loseng bertanya.
"Siau sauhiap, apa maksudmu" Bagaimana diriku mempunyai hubungan dengan peristiwa Sam-cay Saming itu," sahut It Ceng.
"Kulihat pada saat locianpwe menceritakan mereka, locianpwe agak terangsang. Jika tak mempunyai
hubungan dengan peristiwa itu masakan locianpwe sampai mempunyai perasaan seperti itu," kata Siau Loseng.
It Ceng tertegun lalu berseru tergagap,
"Au, perasaanmu tajam sekali. Walaupun secara langsung aku tak mempunyai sangkut paut dengan Samcay tetapi nasib yang diderita oleh It Bing sute itu, menyebabkan aku agak penasaran."
Sudah tentu Siau Lo-seng tak mengerti apa maksud kata-kata imam tua itu. Tadi jelas It Ceng membenci It
Bing karena perbuatannya menghianat itu. Tetapi sekarang imam tua itu penasaran atas nasib sutenya.
Bukankah kedua ucapan itu saling bertentangan"
"Locianpwe, apakah sute locianpwe itu bukan ketua dari Ban-jin-kiong yang sekarang yakni Ban Jin-hoan
itu?" tiba-tiba Siau Lo-seng bertanya.
"Kupastikan bahwa Ban-jin-kiong itu memang It Bing sute yang mendirikan. Tetapi adakah Ban Jin-hoan itu
benar It Bing sute, aku belum berani memastikan. Karena sepak terjang Ban Jin-hoan itu memang sukar
diduga, muncul lenyap tanpa diketahui orang......"
Siau Lo-seng kerutkan alis.
"Ucapan locianpwe itu terdapat sedikit kelemahannya. Kalau Ban-jin-kiong itu sute cianpwe yang
mendirikan, mengapa Ban Jin-hoan belum pasti kalau It Bing Totiang.
"Segala apa di dunia kalau belum melihat dengan mata kepala sendiri sukar untuk memastikannya," sahut It
Ceng, "tetapi kupercaya, dalam kolong langit ini kecuali suteku Cian-bin-poa-an Ko Ing-ti, tak mungkin
terdapat lain orang yang menguasai ilmu merobah wajah sedemikian sempurnanya."
"Benar," Siau Lo-seng mengangguk, "orang Ban-jin-kiong tentu ada yang memiliki ilmu merobah muka yang
hebat." dunia-kangouw.blogspot.com
It Ceng Totiang tersenyum: "Walaupun pada masa itu bukan hanya suteku seorang yang mahir dalam ilmu
merobah wajah itu." Tiba-tiba imam tua itu berhenti seolah-olah seperti telah kelepasan bicara. Sudah tentu hal itu tak terlepas
dari perhatian Siau Lo-seng.
"Siapa orang itu" Apakah bukan Jin Kian Pah-cu Ui Siu-bwe ketua dari Lembah Kumandang itu"' cepat Siau
Lo-seng bertanya. Seketika wajah It Ceng Totiang berobah, serunya: "Bagaimana engkau tahu hal itu?"
Ketika Siau Lo-seng mengangkat muka, pandangan matanya beradu dengan sinar mata It Ceng yang
memancar sinar pembunuhan. Menggigillah hati pemuda itu.
"Ada orang dari pihak Ban-jin-kiong yang menyaru jadi diriku," kata Siau Lo-seng, "tetapi dari pihak Lembah
Kumandang pun ada orang yang menyaru jadi nona Nyo Cu-ing. Keduanya dapat menyaru dengan
sempurna sekali. Itulah sebabnya maka aku memberanikan diri untuk menduga, bahwa orang kedua yang
memiliki kepandaian merobah wajah itu adalah Jin Kian Pah-cu."
Mendengar keterangan itu siraplah pancaran sinar mata buas dari It Ceng Totiang. Katanya: "Dewi Mega Ui
Siu-bwe wanita busuk itu?"."
"Apa katamu?" Siau Lo-seng cepat mendesak.
Gemetarlah tubuh It Ceng Totiang. Cepat ia hendak menelan lagi kata-kata terakhir "wanita busuk" yang
diucapkan itu dan terus dialihkan:
"Ya, memang dugaanmu tepat. Yang dapat mengimbangi ilmu merobah wajah dari suteku Kho Ing-ti itu
memang sumoaynya Giok-li-sin-hong Tan Bi-hoa."
Siau Lo-seng terbeliak kaget, serunya: "Apa" Kho Ing-ti dan Giok-li-sin-hong Tan Bi-hoa itu saudara
seperguruan?" It Ceng Totiang menghela napas.
"Sebelum masuk menjadi murid Bu-tong-pay suteku It Bing itu memang telah menjadi murid lain perguruan.
Dia berguru pada Ou-hay-it-ki Lim Ing-hoa. Ou-hay-it-ki Lim Ing-hoa itu dahulu menjadi sahabat karib dari
suhuku Thian Le Cinjin. Dia memang ahli sekali dalam ilmu merobah wajah. Sering dia menyamar sebagai
seorang penjual obat untuk berkelana di dunia persilatan. Umurnya belum berapa tua. Pada waktu
menerima Kho Ing-ti sebagai murid, umurnya hanya terpaut lima tahun dari muridnya. Dan dari muridnya
perempuan yalah Giok-li-sin-hong Tan Bi-hoa hanya terpaut tujuh tahun saja."
"Eh, masakan guru dan murid umurnya terpaut begitu sedikit?" seru Siau Lo-seng.
"Adalah karena perbedaan umur yang tak berapa banyak itu akhirnya timbullah hubungan istimewa antara
Ou-hay-it-ki dengan Giok-li-sin-hong Tan Bi-hoa. Tetapi Ou-hay-it-ki tak mengetahui kalau muridnya yang
satu, Kho Ing-ti, juga menaruh hati kepada Tan Bi hoa. Walaupun belum pernah saling mengutarakan, tetapi
hati mereka sudah saling setuju."
"Cinta segi tiga?" seru Siau Lo-seng.
It Ceng Totiang tertawa memanjang.
"Pada suatu hari, Kho Ing-ti mengetahui bahwa suhunya Ou-hay-it-ki mencintai sumoaynya Tan Bin-hoa.
Dan saat itu juga, iapun mengetahui bahwa Ou-hay-it-ki ternyata seorang pemuda yang cakap dan gagah.
Demikian mereka telah melewatkan penghidupan yang pahit dan manis selama setahun. Selama itu sikap
Tan Bi-hoa terhadap suhunya hanya sebagai seorang murid yang menghormat suhu tetapi tak mau bergaul
rapat. Terhadap Kho Ing-ti bersikap jinak-jinak merpati. Didekati menjauh sedikit. Kalau Kho Ing-ti diam,
gadis itupun tak mau terbang."
Termangu-mangu Siau Lo-seng mendengar kisah aneh dari guru dan kedua muridnya itu.
"Apakah Tan Bin-hoa sudah tahu kalau suhu dan suhengnya itu mempunyai hati kepadanya sehingga ia
bersikap demikian terhadap keduanya?"
"Ya!" sahut It Ceng Totiang, "sikap seorang murid terhadap guru. Sedang terhadap suhengnya, sekalipun
belum menyatakan dengan mulut, tetapi dia memang mencintainya dengan segenap hati."
dunia-kangouw.blogspot.com
Diam-diam Siau Lo-seng mendesuh dalam hati. Banyak sekali kelemahan-kelemahan dalam keterangan
yang diberikan It Ceng Totiang itu. Tetapi karena ia ingin mengetahui kisah itu dengan jelas maka ia
kendalikan hatinya untuk tidak membongkar kelemahan orang.
"Lalu bagaimana akhir kisah dari ketiga orang itu?" tanyanya.
"Rupanya Kho Ing-ti tak kuat bersabar dalam kehidupan yang menyesakkan dada itu. Ia mengelabuhi
suhunya dan mendesak Tan Bi-hoa diajak lari."
"Apakah keduanya berhasil lari?" tanya Siau Lo-seng.
"Tidak!" sahut It Ceng Totiang, "sauhiap, aku hendak bertanya kepadamu. Menurut anggapanmu, salahkah
tindakan Kho Ing-ti yang hendak mengajak lari Tan Bi hoa itu?"
Siau Lo-seng tak mengerti mengapa It Ceng Totiang mengajukan pertanyaan semacam itu kepadanya.
Tetapi demi memperhatikan sorot mata imam tua itu menuntut jawaban, akhirnya iapun menjawab dengan
suara lantang: "Locianpwe, walaupun tindakan Kho Ing-ti mengajak sumoaynya lari itu didorong oleh nafsu serakah, tetapi
itulah sifat manusia. Maka tak dapat dianggap salah. Dan tentang tindakan Tan Bi-hoa yang mau diajak lari
oleh suhengnya itu termasuk kebebasan azasi. Tiada seorangpun yang dapat campur tangan atau
melarangnya." Jawaban Siau Lo-seng itu dilantangkan dengan tegas atas dasar pendirian keadilan. Tampaknya It Ceng
Totiang berkesan mendengar jawaban itu. Ia menghela napas panjang.
"Dimanakah keadilan" Adakah budi kebaikan itu masih hidup di dunia" Sudah lama aku tak mendengar
uraian tentang Keadilan dan Kebaikan. Hari ini berjumpa dengan Siau sauhiap boleh dikata aku telah
membuka pantangan selama setengah abad dalam keputusanku untuk bertapa. Keputusanku
mengasingkan diri itu tak lain karena muak melihat Keadilan dan Budi telah luntur dalam dunia persilatan."
"Engkau salah locianpwe," seru Siau Lo-seng, "memang dunia persilatan itu penuh dengan beraneka ragam
manusia. Yang palsu, yang culas, yang kejam dan yang baik, yang jujur dan yang berpendirian lurus."
Baru Siau Lo-seng berkata sampai di situ, tiba-tiba di angkasa terdengar pula kumandang suara seruling
yang bening dan nyaring. Tergetar hati Siau Lo-seng mendengar kumandang seruling itu. Cepat ia berpaling memandang It Ceng
Totiang. Tetapi alangkah kejutnya ketika ia memperhatikan bahwa kerut wajah imam tua itu memantulkan
hawa pembunuhan. "Siau sauhiap," seru It Ceng, "apa engkau kira aku ini It Ceng tojin dari Bu-tong Sam?siu?"
Siau Lo-seng tetap tenang, sahutnya: "Walaupun menilik raut wajah, locianpwe ini menyerupai It Ceng
totiang, tetapi sejak tadi aku sudah mengetahui bahwa locianpwe ini bukan It Ceng Totiang?"
Terkesiap It Ceng mendengar ucapan dan menghadapi sikap Siau Lo-seng yang begitu tenang. Seketika
cahaya mukanya pun berobah.
"Bukankah engkau sudah mengetahui bahwa aku ini seorang momok yang ganas dan licin?" serunya.
Siau Lo-seng kerutkan alis.
"Tak peduli engkau ini orang macam apa, tetapi ucapanmu saat ini memang keluar dari hati nurani yang
tulus. Kalau aku tak menduga salah, locianpwe ini tentulah yang dikatakan sebagai Cian-bin-poa-an Kho
Ing-ti." 16.78. Otak Pembunuhan di Hay-hong-cung
It Ceng Totiang menghela napas panjang.
"Kho Ing-ti mendesak Tan Bi-hoa diajak lari telah diketahui oleh suhu mereka. Demi menyelamat nama
baiknya agar jangan dibuat buah tutur dunia persilatan maka Ou-hay-it-ki mengajak muridnya mengadakan
penyelesaian di belakang gunung. Coba engkau terka, siapakah yang menang dalam pertempuran antara
guru dan murid itu?"
"Kho locianpwe, apakah engkau kalah dengan suhumu?" Siau Lo-seng berbalik tanya.
dunia-kangouw.blogspot.com
It Ceng tak terang-terangan mengakui kalau dia itu sebenarnya Kho Ing-ti. Ia melanjutkan kata-katanya.
"Dugaanmu salah! walaupun menjadi murid dari Ou-hay-it-ki, tetapi berkat kecerdasannya yang luar biasa,
dapatlah Kho Ing-ti memenangkan sejurus pukulan dan menusuk satu kali dengan pedang kepada suhunya.
Karena malu dan marah, akhirnya Ou-hay-it-ki telah membunuh diri?""
"Locianpwe, yang ingin kuketahui yalah kisah dari ketiga pasang pendekar yang lainnya itu serta Kho Ing-ti.
Adakah Kho Ing-ti itu bukan Ban Jin-hoan yang sekarang" Harap jangan bercerita panjang lebar yang tak
mempunyai hubungan mereka. Mengapa locianpwe tak mau berterus terang mengakui diri locianpwe ini
Kho Ing-ti atau It Beng Totiang ataukah Ban Jin-hoan?"
Serentak berobahlah cahaya muka imam tua itu. Akhirnya dengan rawan ia berkata: "Ya, benar, aku ini
sebenarnya Cian-bin-poa-an Kho Ing-ti, ah......"
Diam-diam Siau Lo-seng merasa bahwa Kho Ing-ti itu seorang yang telah menderita kepahitan hidup,
penderitaan dan nasib yang malang. Tetapi ia merasa bahwa imam tua yang berdiri di hadapannya itu
kemungkinan adalah Ban Jin-hoan sendiri. Hal itu didasarkan rasa keheranannya, kalau dia benar Kho Ingti, apa maksudnya menceritakan sekian banyak peristiwa kepadanya"
Keduanya berdiam diri dan mendengarkan alunan suara seruling yang makin merdu. Tanpas disadari
perhatian mereka telah terpikat.
Berselang berapa saat kemudian barulah Siau Lo-seng membuka mulut.
"Kho locianpwe, adakah engkau ini Ban Jin-hoan atau bukan, kelak pada suatu hari tentu akan dapat
diketahui. Saat ini pihak Ban-jin-kiong telah bergerak besar-besaran menyerang Lembah Kumandang.
Mereka hendak menghancur binasakan seluruh orang Lembah Kumandang. Aku tak sampai hati melihat
pembunuhan besar-besaran itu, nah, sampai jumpa lagi."
Habis berkata ia terus hendak pergi.
"Tunggu dulu!" seru It Ceng Totiang yang ternyata adalah Kho Ing-ti.
"Apakah masih ada petunjuk lagi?" Siau Lo-seng berputar tubuh.
Cian-bin-poa-an Kho Ing-ti menghela napas rawan, serunya: "Sejak berkelana dalam dunia persilatan, tak
pernah seperti kali ini aku harus mengendapkan perasaanku. Tetapi tak boleh tidak aku harus mengatakan.
Hal itu mungkin berkaitan dengan rahasia asal usul dirimu. Kalau saat ini engkau tak mau mendengarkan,
kelak engkau tentu akan menyesal."
Siau Lo-seng tertawa dingin.
"Kukira masih ada lain hal yang sangat penting. Bilakah aku mempunyai rahasia tentang asal usul diriku"
Kecuali dendam darah keluargaku, apakah masih ada hal-hal yang perlu harus kusesalkan lagi?"
Wajah Ko Ing-ti mengerut beberapa kali, serunya, "Engkau memang hanya tahu bahwa engkau mempunyai
kewajiban untuk membalas dendam. Sekarang cobalah engkau jawab pertanyaanku ini. Siapakah
mamahmu itu" Bagaimanakah sesungguhnya peristiwa berdarah itu telah terjadi?"
Siau Lo-seng terbeliak. Beberapa saat kemudian baru dapat berkata,
"Peristiwa yang sesungguhnya, tentu saja telah jelas. Lebih dari seratus jiwa orang Hay-hong-cung telah
binasa. Dendam berdarah itu harus dihimpaskan. Ibuku pun telah menjadi korban dari keganasan itu. Apa
maksudmu menanyakan peristiwa itu?"
Cian-bin-poa-an Kho Ing-ti merenung. Beberapa saat kemudian baru ia berkata sarat:
"Mamahmu adalah sumoayku Liok-li-siu-hong Tan Bi-hoa. Peristiwa berdarah di Hay-hong-cung boleh
dikata sebagian adalah dikarenakan mamahmu."
Siau Lo-seng seperti disambar petir kejutnya. Setitikpun ia tak pernah bermimpi bahwa mamahnya yang
begitu lemah ternyata adalah seorang Tiga jelita yang dahulu pernah menggemparkan dunia persilatan.
Mamahnya ternyata Giok-li-siu-hong atau Bidadari burung hong sakti Tan Bi-hoa!
Peristiwa itu sungguh mengherankan. Sungguh langka sekali dan sukar dipercaya!
dunia-kangouw.blogspot.com
Sebenarnya dahulu ia memang pernah mendengar orang mengatakan bahwa mamahnya itu adalah Giok-lisiu-hong Tan Bi-hoa. Tetapi ia tak percaya. Kini setelah mendengar sendiri dari mulut Cian-bin-poa-an Kho
Ing-ti, barulah ia mau percaya sungguh.
Tetapi iapun masih sangsi. Bukankah mamahnya telah terlibat cinta segitiga dengan Ou-hay-it-ki dan Kho
Ing-ti" Mengapa akhirnya menikah dengan ayahnya yakni Naga sakti tanpa bayangan Siau Han-kwan"
Adakah mamahnya itu seorang wanita yang gemar bercinta" Dan mengapa pula Kho Ing-ti mengatakan
kalau peristiwa berdarah di Hay-hong-cung itu timbul akibat soal mamahnya"
Jika begitu, jelas Kho Ing-ti inilah yang menjadi biang keladi pembunuhan itu. Dialah pembunuhnya!
Pendekar Seratus Hari Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bukankah orang aneh yang menggunakan ilmu Menyusup suara telah membisiki kepadanya bahwa
pembunuh itu selalu membayangi kemana saja ia pergi"
Tidak! Tidak! Ia tak boleh percaya omongan Kho Ing-ti. Ia malu sendiri mengapa begitu mudah pendiriannya
hampir goyah karena mendengar cerita Kho Ing-ti. Bagamanapun halnya, ia harus melaksanakan tujuannya
untuk membalas dendam berdarah itu agar arwah mamahnya dapat beristirahat tenang di alam baka.
Bermacam-macam pikiran melintasi benak Siau Lo-seng.
"Ngaco belo!" akhirnya ia membentak Kho Ing-ti, "tak pernah kudengar selama ini bahwa peristiwa berdarah
di Hay-hong-cung itu mempunyai hubungan dengan mamahku. Jika engkau masih mengoceh tak keruan,
jangan salahkan kalau aku bertindak keras kepadamu!"
Dengan wajah serius berkatalah Kho Ing-ti, "Kesemuanya itu memang peristiwa kenyataan. Liku-liku
dendam pada masa yang lampau, berpangkal pada Giok-li-siu-hong Tan Bi-hoa. Liku-liku cinta yang selama
itu masih belum padam dan himpas."
Sambil mendekap kepala dengan kedua tangannya, Siau Lo-seng membentak marah:
"Tutup mulutmu. Aku tak sudi mendengarkan ocehan seorang gila semacam engkau!"
Berobahlah cahaya muka Kho Ing-ti mendengar makian itu. Tetapi cepat ia dapat menekan perasaannya.
"Boleh saja engkau menganggap aku seorang gila," katanya, "tetapi bagaimanapun aku hendak
menceritakan hal yang sebenarnya. Dan engkaupun harus mendengarkan dengan jelas. Engkau......
engkau mungkin bukan putera dari Siau Han-kwan. Sebelum menikah dengan Siau Han-kwan, mamahmu
telah melahirkan seorang anak dengan lain pria."
Sepasang mata Siau Lo-seng merah membara seperti hangus.
"Buktikan kata-katamu itu!" teriaknya tegang. "jika engkau tak mampu memberi alasannya, takkan kubiarkan
engkau bicara seenakmu sendiri begitu!"
Sambil berkata dengan mata merah, Siau Lo-seng maju menghampiri ke tempat Kho Ing-ti.
Tetapi Kho Ing-ti tenang saja.
"Mau bukti" Asal engkau bertanya kepada mamahmu, segala sesuatu tentu jelas. Soal itu menyangkut
rahasia peribadi, bahkan Siau Han-kwan sendiri mungkin tak tahu."
Siau Lo-seng tertawa dingin.
"Omonganmu itu benar-benar ngaco belo! Mamahku telah ikut kalian bunuh dalam peristiwa berdarah di
Hay-hong-cung itu. Dan masakan ayahku tak tahu asal usulku. Hm, mengapa engkau tak malu mengatakan
hal semacam itu?" "Tidak!" bantah Kho Ing-ti, "sungguh Tan Bi-hoa tidak binasa. Tak mungkin beberapa jago Bu-tong-pay itu
mampu membunuh mamahmu!"
Gemetarlah tubuh Siau Lo-seng mendengar kata-kata itu. Sinar matanya memancar hawa pembunuhan
yang buas. Pelahan-lahan ia mencabut pedang Ular Emas dari punggungnya lalu berseru nyaring:
"Engkau seorang pembohong yang berani mati sekali. Jelas dengan mata kepala sendiri kusaksikan
mamahku dibunuh oleh beberapa orang berkerudung muka kain hitam. Dengan begitu, makin jelaslah
bagiku bahwa engkaulah pembunuh utama dari Hay-hong-cung itu. Sekarang aku hendak melakukan
pembalasan untuk menghimpaskan sakit hati dari mereka yang engkau bunuh di Hay-hong-cung itu!"
dunia-kangouw.blogspot.com
Siau Lo-seng menutup kata-katanya dengan tabaskan dua kali pedang Ular Emas. Tabasan ita cepat sekali
tetapi dengan geliatkan tubuh, Kho Ing-ti telah menghindarinya dengan indah sekali.
"Engkau benar, memang akulah biang keladi yang menggerakkan pembunuhan di Hay-hong-cung itu.
Tetapi akupun berbuat begitu karena hendak menuntut balas. Siau Lo-seng, sebelum engkau tahu jelas
bagaimana asal usul dirimu, hak apakah engkau hendak menuntut balas atas peristiwa di Hay-hong-cung
itu" Dan lebih celaka lagi, engkau telah mengakui seorang penjahat sebagai ayah kandungmu!"
Hati Siau Lo-seng bingung tak keruan, serentak ia berteriak marah.
"Tutup mulutmu! Engkau pembunuh keji, sudah lama aku mencarimu. Hayo, sekarang serahkanlah jiwamu.
Pedang Ular Emas berhamburan, tangan kiri Siau Lo-seng pun ikut melentikkan tujuh buah jari dan
lontarkan lima kali pukulan.
Kho Ing-ti menghela napas. Ia kebutkan sepasang lengan bajunya dan menghamburkan arus tenaga lunak.
Siau Lo-seng rasakan, pukulan dan pedangnya itu seperti menyusup ke dalam lumpur. Ia terkejut dan
cepat-cepat menyurut mundur.
Kho Ing-ti yang bergelar Cian-bin-poa-an atau Arjuna seribu wajah itu memiliki ilmu kepandaian yang sakti.
Dia hendak menundukkan kekerasan hati pemuda itu. Diam-diam ia melancarkan ilmu tenaga dalam Hui-lokang untuk menghapus tenaga pukulan Siau Lo-seng yang mampu menghancurkan batu karang.
Siau Lo-seng cepat menyadari bahwa kepandainnya terpaut jauh sekali dengan Kho Ing-ti. Pada saat ia
hendak membuka mulut, tiba-tiba di udara berkumandang suara seruling yang aneh, seolah bersatu dengan
lolong kawanan anjing di kejauhan.
Wajah Kho Ing-ti berobah hebat. "Apa yang kukatakan kepadamu memang hal yang sesungguhnya,"
katanya. "kalau tak percaya, bolehlah engkau bertanya kepada Siau Han-kwan dan mamahmu Tan Bi-hoa
sendiri. Jika ada keperluan, marilah ikut aku ke Ban-jin-kiong."
"Hai, engkau benar-benar Ban Jin-hoan!" teriak Siau Lo-seng. Dengan mengertek gigi segera lepaskan
sebuah hantaman yang disertai dengan tenaga penuh.
"Bum?"" Siau Lo-seng melihat bahwa pukulannya itu tepat mengenai punggung Kho Ing-ti yang saat itu sudah
angkat kaki. Tetapi entah bagaimana hasilnya karena Kho Ing-ti pun sudah meluncur lenyap dalam hutan
lebat".. ******************** Pada lain saat suara anjing menyalak itu pun sudah tiba di belakangnya dan sesosok bayangan putih
segera meluncur. Siau Lo-seng terkejut. Cepat ia menabas dengan pedang. Tetapi ketika memperhatikan, ternyata sosok
bayangan putih. Itu adalah anjing putih bermata merah, peliharaan dari ayahnya.
Karena bergerak cepat, Siau Lo-seng tak sempat menghentikan pedangnya. Dan Salju si anjing putih itu
tentu tertabas. Tetapi di luar dugaan, anjing putih Salju itu dapat berjumpalitan dan lolos dari mata pedang ular emas, lalu
meluncur ke tanah. Siau Lo-seng menghela napas lega. Ia tahu binatang itu seekor anjing sakti. Setelah menyimpan pedang ia
bertanya: "Salju, bagaimana keadaan ayahku?"
Salju menyalak beberapa kali. Setelah menggigit ujung celana Siau Lo-seng, binatang itu terus lari pergi.
Siau Lo-seng menyadari bahwa apabila tak ada urusan penting tentulah anjing putih itu tak sedemikian
tegangnya. Segera ia lari menyusul.
Anjing itu luar biasa cepatnya. Sambil menggonggong, ia menuju ka arah Lembah Kumandang. Walaupun
telah mengerahkan ilmu berlari cepat, namun tetap Siau Lo-seng tak dapat mengejar.
dunia-kangouw.blogspot.com
Dalam beberapa waktu, keduanya sudah masuk ke dalam hutan lebat dan tiba di sebuah lembah yang
terdiri dari batu-batu aneh dan karang-karang berbahaya. Lembah Kumandang!
Sebuah jalan kecil merentang ke dalam lembah. Pohon-pohon bertumbangan, daun-daun berhamburan dan
dua sosok mayat manusia terkapar di tepi jalan. Mayat itu masih mengalirkan darah.
Makin manyusup ke dalam, suasana makin kacau. Mayat-mayat berserakan, senjata, anggauta badan
orang dan bau yang anyir bertebaran menyengat hidung.
Mau tak mau menggigillah hati Siau Lo-seng. Walaupun diketahuinya bahwa mayat-mayat itu terdiri dari
orang-orang Ban-jin-kiong dan Lembah Kumandang, tetapi ia tetap ngeri menyaksikan pemandangan yang
begitu seram. Tiba-tiba ia melihat juga, di antara mayat-mayat itu terdapat anak murid perkumpulan Naga Hijau. Begitu
pula beberapa tokoh persilatan.
Tiba-tiba ia tiba di sebuah lapangan. Pada lapangan yang bersandar karang curam, tampak didirikan
sebuah bangunan besar. Halaman di muka gedung bangunan itu, penuh orang berhilir mudik masuk ke dalam ruang besar. Mereka
terdiri dari laki-laki dan wanita. Masing-masing membawa senjata. Pakaiannya kusut tubuh penuh dengan
noda darah. Jelas mereka tentu habis bertempur. Wajah mereka tampak serius dan diam tak berkata-kata.
Sedang di lapangan itu, sunyi dan merawankan penuh warna merah. Seolah digenangi darah.
Belum pernah sepanjang hidupnya, Siau Lo-seng menyaksikan pembunuhan massal secara begitu besar.
Keadaannya lebih mengerikan dari peristiwa di Hay-hong-cung dahulu. Berlinang-linang airmata pemuda
itu. Mengapa harus terjadi pembunuhan besar-besaran semacam itu" Mengapa manusia saling bunuh
sedemikian buasnya" Serentak timbullah rasa dendam kebenciannya terhadap manusia yang menjadi biang keladi peristiwa itu.
Dia benci sekali manusia yang lebih buas dari binatang itu.
Mengalihkan pandang ke arah gedung, tampak rombongan orang tadi sudah masuk ke dalam ruangan
besar. Yang tinggal hanya dua buah daun pintu besar yang tinggi kokoh, kanan kiri dijaga oleh dua regu
orang berpakaian hitam. Mereka tegak seperti patung.
Saat itu anjing Salju tak menggonggong lagi. Dan ruang gedung itupun sunyi. Diam-diam Siau Lo-seng
heran mengapa anjing putih masih tetap lari. Hendak kemanakah binatang itu"
Teringat pula ia akan peristiwa yang dialaminya tadi. Apakah tujuan It Ceng Totiang atau Kho Ing-ti atau
yang kemudian mengaku sebagai Ban Jin-hoan, mengikat dia dalam pembicaraan yang panjang. Apakah
Ban Jin-hoan menggunakan siasat agar dia tak ikut serta dalam pertempuran berdarah itu"
Jelas perkumpulan Naga Hijau juga ikut dalam pertempuran itu. Tetapi yang mati hanya belasan orang. Lalu
yang lain-lain kemanakah perginya"
Berdiri di balik beberapa batang pohon yang rindang, benak Siau Lo-seng diliputi oleh berbagai pikiran.
Sebelum ia dapat mengambil keputusan, tiba-tiba serangkum angin telah melandanya dari belakang.
Cepat Siau Lo-seng, gunakan gerak Menjungkir balikkan lonceng emas. SambiI ayunkan pedang ke
belakang, iapun meluncur ke samping.
Terdengar jeritan ngeri dan seorang Baju hitam terkapar mandi darah. Jeritan itu terdengar makin
mengerikan sekali. Empat penjuru Lembah Kumandang memantulkan gema kumandangnya.
"Celaka!" diam-diam Siau Lo-seng mengeluh. Baru ia hendak angkat kaki tiba-tiba limapuluhan orang
berhamburan lari keluar dari ruang gedung.
Siau Lo-seng makin terkejut. Cepat ia berputar tubuh dan lari. Tetapi baru tiga tombak jauhnya, lima-enam
orang baju hitam berhamburan loncat keluar dari balik gerumbul pohon. Begitu menghadang di jalan,
mereka terus menyerang dengan golok.
16.79. Masuk Lembah Kumandang
dunia-kangouw.blogspot.com
Tetapi Siau Lo-seng hanya mendengus dingin. Ia menerjang mereka dengan taburan pedang. Lima buah
tabasan cepat ditujukan ke lima penghadang itu. Dan terdengarlah pekik jeritan ngeri.
Sebelum melihat orangnya, ke lima baju hitam itu pun sudah terkena oleh tusukan pedang. Yang empat
orang rubuh, yang seorang terhuyung-huyung dengan bahu mengalir darah. Dia bersandar pada sebatang
pohon. Memang jurus yang diserangkan Siau Lo-seng itu, luar biasa cepat dan indah. Dalam sekejap lima orang
serempak terluka. Sebenarnya Siau Lo-seng tak mau mengejutkan orang-orang Lembah Kumandang. Tetapi karana sudah
terlanjur ke sarang harimau, terpaksa ia harus bertindak. Cepat ia loncat dan lekatkan ujung pedang ke
tenggorokan orang itu. "Bukankah engkau orang Lembah Kumandang?" bentaknya.
Mata orang baju hitam itu mendelik marah sahutnya: "Hm, kawanan pembunuh, engkau kira orang Lembah
Kumandang itu mudah dihina" Bunuhlah aku tetapi jangan harap engkau mampu lolos dari tempat ini."
Siau Lo-seng cepat menyadari bahwa orang itu telah menyangka dia sebagai pembunuh orang Lembah
Kumandang. "Aku hendak bertanya beberapa hal kepadamu. Kalau tak mau bilang, engkau akan merasakan penderitaan
yang lebih hebat dari pada apa yang Jin Kian Pah-cu pernah lakukan kepada orang."
"Pemimpin kami, berbudi luhur berhati welas asih tak pernah menjatuhkan hukuman. Anak muridnya yang
bersalah hanya ditundukkan dengan kata-kata penyadaran. Adalah karena sikapnya yang welas asih itu
maka timbullah murid hianat. Dia menjadi musuh dalam selimut yang secara diam-diam telah memasukkan
musuh ke sini sehingga Lembah Kumandang mengalami bencana berdarah seperti saat ini."
Siau Lo-seng terbeliak. "Engkau maksudkan dalam Lembah Kumandang terdapat penghianat yang bersekongkol dengan musuh
untuk menghancurkan Lembah Kumandang?" serunya.
Orang berpakaian hitam berteriak geram:
"Kalau tiada penghianat dari dalam bagaimana mungkin kalian mampu memecahkan enambelas pos
berbahaya dalam Lembah Kumandang ini" Sekarang kau mau bunuh, bunuhlah sepuas hatimu. Tetapi
jangan harap engkau dapat keluar dari lembah ini dengan selamat."
Siau Lo-seng guratkan ujung pedangnya ke kulit tubuh orang itu dan membentaknya:
"Aku tak peduli Lembah Kumandang akan jadi bagaimana. Aku hanya menghendaki engkau menjawab
pertanyaanku, apakah pihak Naga Hijau juga ikut dalam pembunuhan malam ini" Dan berapa banyakkah
jumlah mereka yang datang?"
Tiba-tiba ia hentikan kata-katanya karena saat itu ia telah merasa bahwa di belakangnya telah muncul
beberapa orang, segera terdengar suara seorang perempuan berseru.
"Akulah yang akan menjawab pertanyaanmu itu!"
Siau Lo-seng tak mengira di antara pendatang itu terdapat wanita juga. Ia agak condongkan tubuh ke
samping dan melirik ke belakang.
Lebih kurang dua tombak jauhnya, muncul sejumlah tiga-empatpuluh orang yang dipimpin oleh dua orang
nona cantik. Mereka bukan lain yalah Hiat Sat Mo-li yang bertempur dengan Li Giok-hou dan si nona baju
merah, sumoay ketiga dari Hiat Sat Mo-li.
Sebelah kanan, tampak pukulan seribu Buddha Leng Bu-sia, salah seorang dari Tiga Jago partai Go-bi-pay
dan Bandringan terbang Bwe Hui-ji. Sedang di samping kiri berjajar selusin gadis baju merah dengan
bersenjata pedang, di belakang mereka, tegak duapuluh lelaki berpakaian tempur.
Melihat Siau Lo-seng, wajah Leng Bu-sia dan Bwe Hui-ji agak berobah. Mereka hendak bicara tapi tak jadi.
Siau Lo-seng pun terkejut, pikirnya: "Adakah Leng Bu-sia dan Bwe Hui-ji sudah pulih kesadaran
pikirannya?" dunia-kangouw.blogspot.com
Walaupun terkejut tetapi Siau Lo-seng tetap bersikap tenang dan menegur mereka, "Aku memang justeru
hendak mencari kalian. Sungguh kebetulan sekali kalian sudah datang sendiri."
"Saat ini Lembah Kumandang kami sedang menghadapi bahaya besar. Apa maksudmu datang kemari?"
tegur Hiat Sat Mo-li dengan nada serius.
"Aku hendak mencari orang. Masakan aku hendak memancing di air keruh?" sahut Siau Lo-seng.
"Walaupun tak ikut nimbrung tetapi jelas engkaupun telah membunuh anak buah Lembah Kumandang. Aku
tak mau menarik panjang urusan itu, tetapi saudara-saudara yang lain tak mau melepaskan engkau.
Sekarang, buang senjatamu dan ikutlah kami pergi. Setelah urusan di lembah ini selesai, nanti diputuskan
lagi." Siau Lo-seng tertawa gelak-gelak.
"Aku tak membunuh mereka tetapi mereka hendak membunuh aku. Apakah aku tak boleh mempertahankan
diri?" Mendengar ucapan itu, barisan anak buah Lembah Kumandang serentak hendak mencabut senjatanya.
Tetapi Hiat Sat Mo-li mengangkat tangannya ke atas, mencegah mereka.
"Siau Lo-seng," serunya kemudian, "engkau harus menyadari betapa pedih hati kita setelah mengalami
peristiwa di lembah ini. Anak buah kami seolah dibakar hangus oleh dendam kesumat. Jika engkau menolak
permintaanku, walaupun kepandaian mereka kalah dengan engkau tetapi mereka hendak menuntut balas
atas kematian saudara-saudara separtai. Mereka lebih suka ikut mati dari pada melepaskan pembunuhnya."
Siau Lo-seng tertawa dingin.
"Mereka sudah limbung pikirannya sehingga dirinya sendiripun tak tahu. Masakan manusia semacam itu
masih mempunyai perasaan belasungkawa dan menuntut balas" Hm, selama belum tahu jelas urusan ini,
sekalipun engkau suruh aku pergi, aku tetap tak mau pergi. Aku hendak bertanya kepadamu. Adakah orang
Naga Hijau juga ikut dalam peristiwa berdarah malam ini" Berapakah jumlah mereka yang datang?"
"Siau Lo-seng, jangan salah lihat," seru Hiat Sat Mo-li, "mereka bukan manusia-manusia yang sudah
kehilangan kesadarannya. Tiga ribu anak buah Naga Hijau bukan saja telah datang ke sini tetapi
merekapun telah membantu Lembah Kumandang untuk menghadapi musuh."
"Apa" Naga Hijau membantu Lembah Kumandang?" Siau Lo-seng berteriak kaget. Secepat kilat ia
memandang Bwe Hui-ji dan Leng Bu-sia.
Kedua tokoh dari Go-bi Sam-hiat itu segera berseru,
"Memang benar. Hian Kim dan Ang Cui dua Thancu dari Naga Hijau telah menyatakan masuk menjadi
anggauta Lembah Kumandang. Mereka membantu Lembah Kumandang untuk menghadapi serangan
bersama dari Ban Jin-hoan serta partai-partai Go-bi, Tiang-pek, Kong-tong, Bu-tong, Ceng-sia dan Siau-limpay.
"Tutup mulutmu!" bentak Siau Lo-seng marah, "engkau sebagai Go-bi tianglo mengapa masih mempunyai
muka untuk mengatakan hal itu. Apakah orang-orang Naga Hijau telah kalian racuni semua?"
Habis berkata Siau Lo-seng lintangkan pedang Ular Emas.
Bwe Hui-ji dan Leng Bu-sia mundur tiga langkah dan berkata dengan suara bengis:
"Siau Lo-seng, lihatlah diriku. Adakah aku ini mirip dengan orang yang kehilangan pikiran" Ke tujuh partai
itu telah dihasut Ban-jin-kiong sehingga secara membabi buta mereka ikut menyerang Lembah Kumandang.
Andaikata ketua Go-bi-pay yang sekarang ini telah menjadi kaki tangan pihak Ban-jin-kiong, tentu sukarlah
untuk mencegah tindakannya. Maka kuambil jalan lain, membantu Lembah Kumandang untuk merintangi
tindakan mereka yang salah itu. Salahkah langkah yang kuambil itu?"
Siau Lo-seng tertegun. Diamatinya sinar mata kedua tokoh Go-bi-pay itu. Sinar matanya memancar
kesungguhan hati, bukan sinar mata orang yang limbung. Siau Lo-seng makin terkesiap.
"Apakah kalian suka rela masuk ke dalam gerombolan Lembang Kumandang ini?" serunya sesaat
kemudian. Bwe Hui-ji tahu bahwa pemuda itu memang mempunyai prasangka buruk terhadap Lembah Kumandang.
Maka tokoh wanita Bwe Hui-ji itupun menghela napas.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Engkau salah, Siau Lo-seng. "Lembah Kumandang merupakan tempat penempaan untuk mengembalikan
manusia-manusia mumi. Sebuah perkumpulan yang berpijak pada Ceng-gi (Kebenaran). Adalah karena
hendak menyelamatkan dunia persilatan dari rencana ganas Ban Jin-hoan yang hendak menguasai kaum
persilatan maka Dewi Mega Ui Siu-bwe cianpwe telah rela mengorbankan masa remajanya untuk terjun
dalam gerakan penyelamatan itu."
"Bwe Hui-ji, mengapa engkau limbung?" bentak Siau Lo-seng, "mungkin memang pikiranmu belum terang
betul. Adakah engkau telah melupakan peristiwa dirimu yang ditempa menjadi manusia mumi dahulu"
Lembah Kumandang dan Ban-jin-kiong setali tiga uang, buruk semua. Keduanya merupakan gerombolan
untuk menempa manusia mumi!"
"Aku tidak limbung. Memang kami sendiri yang menghendaki supaya dijadikan manusia mumi itu," seru
Bwee Hui-ji, "bukan melainkan aku dan Leng-heng, pun semua manusia mumi di Lembah Kumandang itu
memang dengan suka rela menghendaki sendiri?""
"Kutahu pihak Ban-jin-kiong mempunyai banyak manusia-manusia mumi," kata Bwe Hui-ji lebih lanjut, "dan
kesaktian mereka memang sukar dilawan oleh kaum persilatan. Demi menghadapi kekuatan Ban-jin-kiong
itu maka banyaklah tokoh-tokoh silat dan anak buah Lembah Kumandang yang menyatakan bersedia
dijadikan manusia mumi."
Siau Lo-seng makin melongo.
"Bwe Hui-ji, engkau telah keracunan hebat sekali. Sukar diobati lagi," sesaat kemudian Siau Lo-seng
berseru. "Hm, Siau Lo-seng," tiba-tiba Hiat Sat Mo-li ikut menyeletuk, "mengingat engkau pernah membantu aku dari
serangan musuh dan hubunganmu dengan ji-sumoayku, maka kuberi kesempatan kepadamu untuk lekaslekas tinggalkan lembah ini. Karena apabila Pah-cu kami datang, jangan harap engkau mampu pergi dari
sini." Siau Lo-seng, tertawa dingin.
"Terima kasih atas kebaikanmu. Tetapi sayang aku tak ingin pergi."
Hiat Sat Mo-li mendengus, serunya: "Kalau begitu pendirianmu, terpaksa kami akan bertindak!"
Pendekar Seratus Hari Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Seiring dengan kata-kata Hiat Sat Mo-li, ke duabelas dara baju merah serempak berseru nyaring, mencabut
pedang lalu berhamburan membentuk sebuah barisan, mengepung Siau Lo-seng di tengah.
Melihat barisan itu tergetarlah hati Siau Lo-seng, pikirnya: "Hebat sekali barisan mereka. Benar-benar tak
mudah dibobolkan." Pedang Ular Emas diacungkan menghadap ke muka. Tenaga dalam disalurkan ke ujung pedang dan
dengan wajah sarat, berserulah pemuda itu.
"Apabila kalian berani bergerak, jangan sesalkan aku tak kenal kasihan."
"Karena engkau memang tak ada hubungan dengan Lembah Kumandang, segeralah engkau turun tangan!
Dengarkan, apabila engkau mampu memenangkan barisan pedang yang dilatih sendiri oleh Pah-cu kami,
engkau boleh tinggalkan tempat ini dengan bebas!"
Siau Lo-seng menyadari bahwa apabila bertempur tentu akan menimbulkan korban. Dan sebenarnya ia tak
ingin lagi melihat peristiwa berdarah.
Sejenak merenung, akhirnya ia berkata:
"Baiklah, aku akan pergi. Tetapi jangan kalian menganggap aku takut dengan barisan pedang itu. Melainkan
aku tak ingin melihat pertumpahan darah lagi. Sebelumnya aku ingin hendak bertanya beberapa hal
kepadamu." "Silahkan!" "Kesatu, apakah nona Ui Hun-ing dan Nyo Cu-ing berada dalam lcmbah ini?"
"Kedua, mengapa ketujuh partai persilatan dan Ban Jin-hoan datang kemari?"
"Ketiga, dalam pertempuran malam ini apakah terdapat seorang lelaki tua cacad dengan membawa seekor
anjing putih?" dunia-kangouw.blogspot.com
Hiat Sat Mo-li menjawab: "Ji sumoayku (Ui Hun-ing) selalu berada di samping Pah-cu untuk melayaninya. Nona Nyo Cu-ing belum
pernah muncul di Lembah Kumandang. Mengapa ketujuh partai persilatan dan Ban Jin-hoan menyerang
Lembah Kumandang, hanya Pah-cu kami yang tahu sebabnya. Maaf, aku tak tahu. Memang benar malam
ini muncul seorang tua membawa seekor anjing putih."
"Dimana orang tua itu sekarang?" cepat Siau Lo-seng menukas.
"Tubuh orang tua itu penuh ditumbuhi rambut yang panjang dan lebat tetapi dia tak cacad. Apakah
hubunganmu dengan dia?"
"Dia tidak cacad" Lalu dimana dia sekarang?" teriak Siau Lo-seng.
Melihat ketegangan pemuda itu, dengan ragu-ragu ia menjawab, "Orang tua aneh itu membantu kami untuk
mengundurkan serangan ketujuh partai. Saat ini dia tengah mengadu kepandaian dengan Pah-cu kami dan
kemungkinan sudah akan kalah."
"Aku harus menemuinya!" teriak Siau Lo-seng seraya enjot tubuh melayang ke udara, melampaui kepala
orang-orang Lembah Kumandang dan terus masuk ke dalam ruang istana.
Hiat Sat Mo-li berteriak terus mengejar. Cepat sekali Siau Lo-seng sudah tiba di halaman. Tetapi alangkah
kejut dan geramnya ketika dilihatnya Hiat Sat Mo-li dan ke duabelas dara baju merah sudah lebih dulu
berada di lapangan itu. Siau Lo-seng menerjang. Ia mendapat seorang dara baju merah tetapi dara itu cepat menggelincir ke
samping dan menghindarinya.
Sebelas orang dara yang lain serempak berhamburan menyerang Siau Lo-seng. Pemuda itu terkejut sekali.
Untung ilmu pedang telah dikuasai dengan mahir. Ia melambung lagi ke udara lalu meluncur kembali ke
arah ruangan. Tetapi sesaat ia tiba di lantai, ke duabelas dara baju merah itupun sudah menyambut dengan
tusukan pedang. "Tring, tring, tring......" Pedang Ular Emas segera menghalau selusin pedang itu. Tetapi ilmu pedang ke
duabelas dara baju merah itu memang bukan olah-olah hebatnya. Ketika salah seorang dara memutarkan
pedangnya ke udara maka sebelas kawannya segera mengikuti. Berlapis-lapis gulung sinar pedang
mencurah ke arah kepala Siau Lo-seng.
Siau Lo-seng tak mau unjuk kelemahan. Ia gerakkan pedangnya sehingga menyerupai pagutan beribu ular.
Sesaat gumpalan sinar pedang ke duabelas dara baju merah itu lenyap dan orangnya pun loncat mundur.
Ternyata permainan pedang Ular Emas mampu menerobos lingkaran sinar pedang selosin dara baju
merah. Terpaksa mereka loncat mundur.
Hiat Sat Mo-li yang menyaksikan pertempuran itu, mencemaskan keselamatan Siau Lo-seng. Hampir saja ia
menjerit kaget karena serangan yang dilancarkan ke duabelas dara baju merah itu, belum pernah ada lawan
yang mampu lolos. Di luar dugaan ternyata pemuda itu mampu mendesak mereka mundur.
Ke duabelas dara itu menjungkatkan pedang ke atas udara lalu pelahan-lahan dijuntaikan ke bawah jelas
mereka hendak melacarkan serangan
16.80. Pemegang Lencana Matahari Terbit
Tiba-tiba anak buah Lembah Kumandang berbondong-bondong lari mengepung Siau Lo-seng. Jumlahnya
lebih dari seratus orang.
Siau Lo-seng mengerut dahi. Dengan kedua tangan ia mencekal Pedang Ular Emas, ditegakkan
menghadap ke atas. Kakinya pun telah bersiap dalam kuda-kuda yang kokoh. Sinar matanya menumpah ke
ujung pedang. Suatu sikap pembukaan yang mengejutkan sekalian anak buah Lembah Kumandang,
"Siau Lo-seng, engkau telah kami kepung rapat. Kalau tak mau membuang senjatamu, engkau tentu
menyesal," seru Hiat Sat Mo-li.
dunia-kangouw.blogspot.com
Tetapi Siau Lo-seng seperti orang yang kemasukan setan. Ia tak menghiraukan seruan nona itu dan tetap
bersiap. Wajahnya makin sarat, pucat. Sekilas tampak ujung Pedang Ular Emas itu seperti memancar sinar
emas. "Siau Lo-seng," seru Hiat Sat Mo-li pula, "seorang gagah tentu tahu gelagat. Engkau hanya seorang diri,
mengapa engkau nekad hendak mengadu jiwa" Kalau engkau berkeras kepala, kamipun terpaksa akan
bertindak!" Namun pemuda itu tetap membisu.
Tiba-tiba duabelas dara baju merah itu memekik nyaring dan serempak dengan tebaran warna merah dari
pakaian mereka maka berhamburanlah duabelas sinar perak mencurah ke arah Siau Lo-seng.
Dari samping, Hiat Sat Mo-li dan Sam sumoay serempak berseru kaget, "Kim-jak menembus awan."
Itulah nama jurus yang dilancarkan oleh ke duabelas dara baju merah. Entah apa maksudnya, belum jelas.
Adakah dia hendak memberi peringatan supaya Siau Lo-seng berhati-hati atau suatu perintah kepada anak
buah barisan. Serempak dengan seruan itu. Siau Lo-seng pun segera taburkan pedangnya, melindungi tubuh dengan
sinar pedang. Pada saat pedang kedua belah pihak akan saling beradu, sekonyong-konyong terdengar teriakan keras:
"Berhenti.......!"
Sesosok tubuh kecil muncul dan secepat kilat menerjang masuk ke dalam gelanggang pertempuran.
"Tring, tring, tring?""
Terdengar serentetan dering senjata beradu disusul dengan jeritan ngeri dan erang tertahan.
Pertempuran bubar dan di tengah gelanggang muncul seorang pendatang baru. Pedang dari ke duabelas
gadis baju merah itu putus semua dan berhamburan jatuh di tanah. Bahkan ada tiga orang dara yang
lengannya berlumuran darah.
Siau Lo-seng mendengus dan mundur sampai tujuh langkah. Tiba-tiba ia berteriak kaget: "Hun-moay,
engkau?"" Wajah Hun-ing membeku. Ia tak menyahut pertanyaan Siau Lo-seng tetapi memandang anak buah Lembah
Kumandang, kemudian menatap kepada Hiat Sat Mo-li, serunya,
"Toa suci. Lembah Kumandang sedang terancam bahaya kehancuran. Mayat sekalian saudara masih
hangat. Kemungkinan sisa-sisa musuh ada yang belum masuk ke dalam lembah. Engkau bertugas untuk
mengawasi penjagaan, mengapa engkau memanggil anak buah kita ke dalam ruang dalam dan mengapa
pula engkau suruh barisan Selusin Pedang pimpinan Pah-cu untuk menyerang orang dengan jurus Kim-jakboh-hun-kiong Adakah kalian hendak meniru jejak keempat Su-tay-thian-ong yang menghianati Pah-cu?"
Wajah Hiat Sat Mo-li agak berubah, sahutnya dingin:
"Ji-sumoay, kapankah kuundang engkau untuk memberi ceramah kepadaku" Keadaan Lembah
Kumandang, kita sudah tahu bahkan sudah berjuang mati-matian. Sebaliknya engkau berada di ruang
dalam enak-enak saja. Karena terpaksa aku menggunakan barisan itu dan akupun tak memberi perintah
mereka supaya melancarkan jurus itu!"
Siau Lo-seng mendengus, "'Hm, hebat sekalipun jurus itu tetapi tetap tak mampu melukai aku. Apabila nona Ui tak muncul, mereka
tentu sudah menjadi mayat semua."
"Ji sumoay," seru Hiat Sat Mo-li dengan wajah sarat, "aku berterima kasih karena engkau muncul tepat pada
saatnya sehingga tak sampai timbul pertumpahan darah. Tetapi tindakanmu ke luar dari ruang Jan-hui-si itu
apakah tidak melanggar juga?"
Nona baju merah pun ikut menyelutuk:
"Ji suci, engkau sendiripun harus sadar. Mengapa begitu keluar engkau terus menegur Toa suci" Apakah
engkau tak menyadari bahwa hampir saja engkau membuat Naga Hijau berantakan."
Percakapan antara ketiga saudara seperguruan itu membuat Siau Lo-seng bingung.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Hun-moay, bagaimana keadaanmu selama ditawan?" cepat ia bertanya kepada Hun-ing.
"Siau koko, harap jangan kuatir," sahut Hun-ing. "Apa yang mereka katakan tadi memang benar. Tiga
Thancu dari Naga Hijau memang sudah ikut pada Lembah Kumandang. Kusuruh Sam sumoay menyaru jadi
adik Ing untuk membawa tigaribu anak buah Naga Hijau kemari......"
"Adik Hun, engkau gila......" teriak Siau Lo-seng.
Tiba-tiba terdengar suara tawa yang bening serempak dengan seruan doa. Dari ruang besar muncul empat
orang. Yang paling muka adalah rahib termasyhur Tay Hui Sin-ni, diiring oleh Hian Kim, Sin Bok dan Ang
Cui ketiga Thancu perkumpulan Naga Hijau.
Siau Lo-seng tercengang. "Tay Hui locianpwe, mengapa cianpwe juga berada di sini" Bagaimanakah ini?" serunya gopoh.
Dengan wajah bersungguh, rabib itu menyahut, "Lo-seng, engkau datang terlambat selangkah. Apabila
Hun-ing tak mempersiapkan rencana lebih dulu, mungkin akan terjadi pertumpahan darah yang hebat."
Siau Lo-seng makin bingung tak keruan.
"Karena di luar lembah bertemu dengan Ban Jin-hoan maka aku tak dapat lebih pagi masuk kemari. Tetapi
apakah yang sesungguhnya telah terjadi d sini?" serunya.
"Ah, Ban Jin-hoan memang seorang durjana nomor satu di dunia. Aku sungguh merasa kagum kepadanya.
Tanpa menggunakan tenaga, dia dapat membasmi orang dengan ganas. Aku datang bersama ke tujuh
partai persilatan, untuk menyelamatkan ketiga ribu anak buah Naga Hijau serta anggauta barisan Tat-mocoat-ci-tin......."
"Ternyata tipu muslihat jahat itu Ban Jin-hoan yang merencanakan," kata Tay Hui Sin-ni lebih lanjut, "dia
telah menipu supaya semua tokoh-tokoh persilatan datang ke Lembah Kumandang. Tujuannya hendak
menghancurkan mereka dengan meminjam tempat lembah ini. Untung dalam pertempuran itu, aku berhasil
memberi penjelasan kepada Hun-ing sehingga dia baru menyadari tipu keji dari Ban Jin-hoan dan dapat
menghancurkan obat pasang yang diatur Ban Jin-hoan untuk menghancurkan lembah dan ribuan anak
buah Lembah Kumandang dan Naga Hijau serta tokoh-tokoh persilatan."
Walaupun hanya mendapat penjelasan secara singkat tetapi Siau Lo-seng cepat dapat mengetahui bahwa
hadirnya Tay Hui Sin-ni dan tindakan Hun-ing yang mengherankan itu, memberi kesimpulan bahwa Lembah
Kumandang itu ternyata bukan sebuah gerombolan jahat seperti yang diduganya semula. Memang hal itu
memerlukan penjelasan yang panjang apabila waktunya mengijinkan nanti.
"Locianpwe, bagaimana keadaan Pah-cu dan orang tua aneh itu?" tiba-tiba Hun-ing berseru kepada Tay Hui
Sin-ni. Rahib itu menghela napas sarat.
"Mungkin dengan cara pertempuran yang mereka lakukan itu, sehari semalam lagi tentu belum ada
kesudahannya. Siapa yang tenaganya kurang, tentu akan mengalami kehancuran. Bahkan yang menang
pun juga akan kehilangan tenaga dalam yang besar."
"Apakah tak dapat dilerai?"
Tay Hui Sin-ni gelengkan kepala.
"Sampai saat ini aku belum punya daya. Karena barang siapa yang mendekati mereka, tentu akan mati
terdampar tenaga sakti dari pada kedua orang itu. Maka lebih baik tunggu saja beberapa jam lagi sampai
tenaga dalam mereka sudah banyak berkurang, baru nanti kucoba untuk memisahkan mereka."
"Adik Hun, dimanakah mereka sekarang?" Siau Lo-seng berteriak kaget.
"Pah-cu dengan seorang tua yang mirip ayah-angkatmu, orang tua peniup seruling itu, sejak pagi tadi telah
mengadu tenaga dalam. Entah siapakah orang itu. Dia memang sakti sekali," kata Hun-ing.
Siau Lo-seng segera menyadari bahwa yang bertempur dengan Jin Kian Pah-cu itu tentu bukan ayah
angkatnya. Karena Hun-ing sudah pernah bertemu muka dengan orang tua peniup seruling itu dan tentu
mengenalinya. dunia-kangouw.blogspot.com
"Adik Hun, peniup seruling itu sebenarnya ayah kandungku sendiri, Siau Han-kwan," kata Siau Lo-seng,
"yang bertempur dengan Pah-cu itu, mungkin salah seorang anak buah ayahku ketika dahulu ayah
menjabat sebagai ketua Naga Hijau. Dia menjadi murid perguruan Thian-sian-bun dan menjadi sute dari
ayahku." "O," tiba-tiba Tay Hui Sin-ni mendesuh, "seharusnya cepat aku sudah menduga dia?""
"Lekas antarkanlah aku kepada mereka," seru Siau Lo-seng.
"Baik," kata Hun-ing lalu loncat ke atas sebuah batu besar dan mengeluarkan sebuah lencana berukir
lukisan matahari terbit. Kemudian ia berseru nyaring kepada sekalian anak buah Lembah Kumandang.
"Atas nama Lencana Matahari Terbit dari Pah-cu kita, aku hendak menyampaikan perintah kepada kamu
sekalian." Mendengar itu seluruh anak buah Lembah Kumandang, termasuk Hiat Sat Mo-li dan sumoaynya, segera
berlutut dan serempak berseru menyambut amanat lencana Matahari.
Melihat itu Hun-ing buru-buru mempersilahkan mereka berdiri. Tetapi Hiat Sat Mo-li masih tetap berlutut,
katanya, "Lencana Matahari adalah lambang peribadi Pah-cu. Begitu lencana itu muncul, semua murid
Lembah Kumandang harus berlutut untuk menerima perintahnya. Harap sumoay segera mengumumkan
perintah Pah-cu." Berkata Hun-ing dengan lantang:
"Pah-cu menitahkan aku supaya menyampaikan amanat kepada saudara-saudara sekalian. Dalam
menghadapi bahaya dan keadaan yang bagaimana pun juga lembah kita ini, beliau minta supaya saudarasaudara sekalian tetap bersatu padu dan berjuang sampai titik darah yang terakhir. Demi keamanan dunia
dan keselamatan dunia persilatan. Kita harus tetap bertahan sampai hari yang damai itu tiba. Walaupun
bertempur sampai orang yang terakhir dan titik darah yang penghabisan, pun kita tetap harus tegak di atas
pendirian luhur." Sekalian anak buah Lembah Kumandang serempak menyambut dengan pernyataan akan membela Pah-cu
dan cita-cita mereka. "Baik, sekarang silahkan saudara-saudara kembali pada pos saudara masing-masing untuk menghadapi
segala kemungkinan," seru Hun-ing pula.
Sekalian anak murid Lembah Kumandang pun segera berbondong-bondong tinggalkan tempat itu. Yang
masih berada di situ hanya tinggal Tay Hui Sin-ni, ketiga Thancu Naga Hijau, Ui Hun-ing, Hiat Sat Mo-li,
nona baju merah dan Siau Lo-seng.
Hiat Sat Mo-li maju dua langkah dan berkata kepada Hun-ing,
"Ji sumoay, maaf, tadi aku mempersalahkan engkau. Aku tak tahu kalau Pah-cu telah menyerahkan lencana
Matahari kepadamu. Sudah tentu akupun akan taat pada perintahmu."
Hun-ing mengatakan bahwa penyerahan itu hanya sementara karena Pah-cu sibuk bertempur.
Sementara karena cemas akan pertempuran antara Jin Kian Pah-cu lawan sute dari ayahnya maka Siau
Lo-seng pun berseru gopoh: "Adik Hun, karena urusan di sini sudah selesai, harap suka antarkan aku ke
tempat mereka." Hun-ing mengiakan lalu melangkah ke dalam ruang istana. Yang lain-lain segera mengikuti di belakangnya.
Selama melalui tiga buah lorong, selalu terdapat penjaga dengan golok dan perisai. Penjagaan amat ketat.
Setelah itu baru mereka tiba di ruang utama.
Walaupun tidak menyerupai istana raja tetapi ruang utama itu juga indah sekali Dindingnya berkilau-kilau
memancar sinar keemasan. Tiang pilar terbuat dari batu kumala, besarnya sepemeluk tangan orang.
Lantainya tertutup permadani
Di tengah ruang itu, dua deret barisan terdiri dari tigapuluhan muda mudi, berjajar di ke dua samping. Wajah
meraka tampak serius. Di antaranya sebagian besar adalah anak buah Naga Hijau.
Mereka menghadap tirai terdiri dari berlapis-lapis kelambu sutera emas. Ketika layar-layar itu dibuka maka
tampaklah titian batu yang terdiri dari sepuluh tingkat. Ujung titian bagian atas, sebuah panggung yang luas
datar. dunia-kangouw.blogspot.com
Empat penjuru berhias pintu angin yang bercahaya. Di tengah-tengah diberi sebuah meja batu kumala dan
dua buah kursi beralas kulit harimau diduduki oleh seorang pria dan seorang wanita.
Yang lelaki mengenakan jubah panjang warna kuning emas. Tubuhnya penuh dengan bulu panjang.
Rambutnya pun terurai panjang sampai ke pinggang.
Yang wanita seorang berwajah cantik dan berwibawa. Itulah Jin Kian Pah-cu dari Lembah Kumandang atau
Dewi Mega Ui Siu-bwe. Kedua orang duduk berhadapan, kedua tangan merela saling menjulur ke muka. Sikapnya amat tenang.
Sepintas pandang orang tentu menyangka keduanya sedang bercakap-cakap.
Di belakang Dewi Mega Ui Siu-bwe tegak empat nona cantik mengenakan pakaian panjang warna biru,
masing-masing memegang sebuah alat dari batu kumala.
Sedang di belakang lelaki aneh itu, mendekam si Salju, anjing sakti yang berbulu putih mulus.
Tay Hui Sin-ni yang berada di bawah batu titian, memandang ke arah kedua orang itu lalu berkata dengan
rawan, "Mereka memang sama-sama saktinya. Setelah mengadu tenaga dalam beberapa jam, mereka hanya
kehilangan sepersepuluh dari tenaga dalamnya."
"Locianpwe, apakah tak ada daya untuk melerai mereka?" tanya Hiat Sat Mo-li.
"Kecuali mereka menghentikan sendiri dan serempak menarik tenaga dalamnya, lalu ada seorang yang
bertenaga dalam sakti menyiaknya, baru1ah mereka dapat diceraikan. Kalau tidak?""
"Mengapa locianpwe tak mau turun tangan?" Siau Lo-seng berseru cemas.
Tay Hui Sin-ni gelengkan kepala.
"Kalau hanya begitu sederhana, tentu mudah dilakukan. Saat ini mereka saling tumpuhkan seluruh
semangatnya ke tubuh lawan. Sekalipun halilintar meletus di dekat mereka, mereka tetap tak mendengar."
"Apakah mereka juga tak mendengar pembicaraan kira di sini?" tanya Hiat Sat Mo-li.
"Sudah tentu." Tiba-tiba Siau Lo-seng bertanya kepada Hun-ing apakah Buddha Emas Ang Siong-pik juga datang ke
Lembah Kumandang. Saat itu Hun-ing juga gelisah sekali. Perhatiannya tertumpah seluruhnya pada kedua orang yang sedang
beradu tenaga dalam. Mendengar Siau Lo-seng bertanya soal yang tak ada hubungannya, sembarangan
saja nona itu menyahut: "Ya, datang." Tiba-tiba sepercik harapan memancar pada wajah Siau Lo-seng, serunya:
"Dimana dia sekarang?"
Dengan nada heran, Hun-ing menjawab: "Dia datang sebelum pecah pertempuran. Tetapi ketika
mendengar kumandang suara seruling, dia bergegas pergi. Siau koko, mengapa engkau bertanya soal itu?"
Siau Lo-seng berpaling memandang ke arah anjing putih di belakang orang aneh. Setelah merenung
beberapa jenak, ia berkata,
"Karena anjing putih itu datang, ayahku Siau Han-kwan tentu berada di lembah ini. Apabila dia masih
berada di sini, tentu akan tertolong."
"Bagaimana engkau tahu kalau beliau mampu menolong keadaan ini?" Tanya Hun-ing.
"Mereka kaum Thian-sian-bun memiliki ilmu istimewa dalam soal menyusupkan suara dari seribu lie
jauhnya. Kurasa, ayah tentu dapat menyampaikan maksud kita kepada kedua orang bertempur itu. Atau
mungkin dapat meminta mereka berhenti bertempur," kata Siau. Lo-seng.
Pendekar Seratus Hari Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sekonyong-konyong, anjing putih itu melonjak ke udara dan menyalak keras-keras?"
dunia-kangouw.blogspot.com
17.81. Keberuntungan Tak Terduga
Menurut arah suara itu, Siau Lo-seng melihat orang aneh berpakaian warna kuning emas itu membuka
mata. Kedua tangannya tampak gemetar dan tubuhnya pun agak merebah ke belakang.
Sekalian orang terperanjat sekali. Berpuluh pasang mata segera mencurah ke arah orang tua aneh itu.
Mereka terkejut melihat perobahan yang terjadi secara mendadak itu.
Tay Hui Sin-ni kerutkan dahi, ujarnya: "Seharusnya lebih baik jangan terjadi suasana begini."
Pelahan-lahan tangan orang aneh itu tenang kembali dan sikapnya pun kembali seperti biasa lagi.
Saat itu alis dari Dewi Mega Ui Siu-bwe pun pelahan-lahan merebah dan bahkan mulai membuka kedua
matanya. Kini kedua orang itu saling beradu pandang. Mereka seolah tak menghiraukan keadaan di kelilingnya lagi.
"Dia mau mendengarkan kata-kataku," seru Siau Lo-seng girang.
"Apakah engkau menggunakan ilmu Menyusup suara untuk menyampaikan kata kepada orang baju indah
itu?" tanya Tay Hui Sin-ni.
"Ya," sahut Siau Lo-seng. "aku serempak menyampaikan ilmu menyusup suara itu kepada mereka berdua.
Orang baju indah itu mau mendengar, tetapi Ui locianpwe tidak memberi tanggapan apa-apa."
Tay Hui Sin-ni gelengkan kepala:
"Kalau orang baju indah itu menarik tenaganya, pun Ui sicu juga harus berbuat demikian. Kecuali apabila
mereka berdua memang dapat menangkap ilmu menyusup suara yang engkau lancarkan itu."
"Pada saat orang aneh itu menarik tenaganya, kita susuli pukulan untuk menahan tenaga Ui locianpwe."
"Ui li-sicu memiliki tenaga-dalam yang amat sakti. Siapa yang mampu menerima hamburan tenaga
saktinya" Aku sendiripun tak sanggup kecuali aku memiliki ilmu Kim-kong-sin-kang.
"Jika demikian, ada harapan!" teriak Siau Lo-seng seraya lari menghampiri maju.
"Siau koko!" teriak Hun-ing cemas.
Saat Siau Lo-seng sudah berdiri di belakang lelaki baju kuning emas. Dia menghadap pada Dewi Mega Ui
Siau-bwe. Sambil dekapkan kedua tangannya ke dada ia berkemak kemik mengucapkan beberapa patah
kata kepada lelaki baju kuning emas itu.
Melihat itu Tay Hui Sin-ni pun serentak berteriak keras, "Jangan, jangan!"
Tetapi seiring dengan teriakan itu, Siau Lo-seng pun juga menggembor keras seraya dorongkan kedua
tangannya ke arah kedua tangan Dewi Mega Ui Siu-bwe.
"Bum?"" Terdengar letupan keras macam batu karang hancur. Beberapa sosok bayangan berhamburan pencar dan
meja yang terbuat daripada batu kumala itupun hancur lebur berantakan.
Siau Lo-seng mengerang tertahan. Tubuhnya terlempar sampai dua tombak jauhnya dan terbanting keras.
Ia pingsan seketika. Tetapi Dewi Mega Ui Siu-bwe pun mencelat dari kursi, berjumpalitan sampai setombak jauhnya. Keempat
dara baju biru serentak menyanggapi tubuh pemimpin mereka dengan tepat. Lelaki aneh baju kuning itu
tetap duduk di kursinya. Tetapi secepat itu pula ia meloncat memeluk Siau Lo-seng dan memeriksa denyut
nadi pergelangan tangannya.
Tay Hui Sin-ni pun bergegas menghampiri dan berseru cemas: "Dia?" bagaimana?"
Lelaki baju kuning emas itu melekatkan telinga untuk mendengarkan detak jantung Siau Lo-seng. Sejenak
kemudian ia berbangkit. "Dia tak kurang suatu apa, bahkan malah bertambah dengan selapis tenaga dalam. Cobalah kalian periksa
Pah-cu kalian, dia tentu terluka parah," serunya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Hun-ing cepat memandang ke arah Jin Kian Pah-cu. Tampak rambut Dewi Mega Ui Siu-bwe lepas terurai,
wajahnya pucat lesi seperti seorang yang baru sembuh dari penyakit berat. Saat itu ia sedang pejamkan
mata menyalurkan tenaga dalam dan pernapasan.
Wajah Dewi Mega tampak lebih cantik tetapi dahinya yang halus itu bertambah dengan lipatan kerut
sehingga tampak ketuaannya.
"Bagaimana suhuku?" tanya Hun-ing cemas
Lelaki baju kuning emas menghela napas.
"Lo-seng telah berhasil menguasai ilmu hebat Kim-kong-put-hoay. Pukulan yang dilancarkan dengan
sepenuh tenaga oleh Ui Siu-bwe berarti telah memberikan seluruh tenaganya kepada Lo-seng. Tetapi saat
ini darah Lo-seng sedang bergolak keras sehingga menutup jalan darahnya. Nanti setelah sadar, tentu akan
sembuh sendiri Sedang Ui Siu-bwe nanti akan kehilangan seluruh tenaganya?""
Tay Hui Sin-ni berseru terkejut,
"Dalam usia yang masih begitu muda, Lo-seng telah mendapat rejeki yang luar biasa. Dia seperti memakan
buah ajaib macam som yang berumur seribu tahun. Sesungguhnya tak mungkin begitu muda dia sudah
berhasil menguasai ilmu tenaga kebal Kim-kong-put-hoay. Tentu ada sebabnya. Ah, musibah yang
menimpah diri Dewi Mega Ui Siu-bwe, adalah kesalahanku".."
Saat itu Ui Siu-bwe tampak membuka mata.
"Ah, Sin-ni tidak bersalah. Itu sudah menjadi kehendak takdir...... huk, huk," ia batuk-batuk dan ludahnya
bercampur darah. Tubuh wanita itu gemetar. Untung dua orang dara bujangnya segera menyanggapi.
Hiat Sat Mo-li bertiga segera berlutut di hadapan suhunya dan menangis: "Suhu, apakah suhu terluka
berat?" "Sat-ji, Ing-ji, Li-ji, tak apalah. Lekaslah engkau memberi hormat kepada cianpwe itu," seru Ui Siu-bwe.
Lelaki baju kuning emas buru-buru memberi hormat: "Ah, harap Dewi Mega jangan banyak peradatan.
Harap beristirahat sajalah."
Berkata Ui Siu-bwe pula: "Sahabat ini memiliki ilmu kesaktian yang belum pernah kusaksikan seumur hidup.
Tadi apabila dia tak bermurah hati, mungkin saat ini aku sudah binasa."
Lelaki baju kuning emas, itu tertawa,
"Ah, Dewi telah mencapai kesempurnaan dalam ilmu kepandaian yang termaktub pada kitab Lian-hun-cinkeng. Jika Dewi tak bermurah hati tentu dalam babak pertama tadi, aku sudah terkapar."
Jauh bedanya sikap ke dua orang itu. Jika tadi mereka mati-matian mengadu jiwa, sekarang mereka saling
berkata-kata dengan merendah. Sudah tentu Tay Hui Sin-ni tak habis herannya.
"Bahwa Ui sicu dapat sesaat menghapuskan segala garis jahat dan baik, sungguh suatu hal yang jarang. Ui
sicu lapang dada murah hati, membuat aku menyesal dan malu sendiri."
Dewi Mega Ui Siu-bwe menghela napas. "Peristiwa yang lampau bagai awan di langit. Hanya menyedihkan
hati apabila dibicarakan lagi. Dahuhu karena tercengkeram oleh nafsu dendam, hampir saja aku melakukan
kesalahan besar. Apabila tak mendapat penerangan dan petunjuk Sin-ni mungkin aku akan berlumuran
dosa, ah!" "Tetapi walau Dewi saat ini sudah sadar, sayang sekali seluruh kepandaian sicu sudah lenyap. Aku
sungguh menyesal karena tak dapat mewakili sicu untuk menerima musibah itu," kata Tay Hui Sin-ni pula.
Dewi Mega Ui Siu-bwe tertawa.
"Ah, anda telah menguasai ilmu Thian-siau-sin-kang," katanya kepada lelaki baju kuning emas. "tentulah
murid dari Thian-sian-bun. Dapatkah anda memberitahukan nama anda yang mulia?"
"Maafkan, aku hendak ikut menerka," tiba-tiba Tay Hui Sin-ni menyeletuk, "kalau tak salah dugaanku, sicu
ini apakah bukan Thancu Hou-su-than dari perhimpunan Naga Hijau yang......"
Lelaki baju kuning emas itu tertawa gelak-gelak:
dunia-kangouw.blogspot.com
"Benar, aku memang Pemburu nyawa Kwik Ing-tat, salah satu dari kelima Thancu di masa Naga sakti tanpa
bayangan Siau Han-kwan menjabat sebagai ketua dari Naga Hijau."
Dewi Mega Ui Siu-bwe pun tertawa.
"Angin dan mega telah bertemu. Sungguh tak terduga seorang pendekar besar Kwik Ing-tat juga berkunjung
ke Lembah Kumandang. Dan walaupun sudah delapanbelas tahun lamanya, masih tetap lawan yang
berimbang, tetapi mengapa engkau sekarang jadi begitu" Dan mengapa pula engkau telah masuk ke dalam
perguruan Thian-sian-bun?"
Pemburu nyawa Kwik Ing-tat tertawa.
"Mega menghias cakrawala, laut mengairi sawah. Pemberian sebuah pukulan pada delapanbelas tahun
yang lalu tak pernah kulupakan sedetikpun juga. Dalam peristiwa di Hay-hong-cung, untung Ing-tat tak mati
dan dapat masuk ke dalam perguruan Thian-sian-bun. Sungguh tak kira kalau setelah berselang
delapanbelas tahun kemudian, aku masih tetap tak mampu mengalahkan Dewi. Sungguh memalukan!"
Kata-kata itu telah mengungkap sebab-sebab mengapa kedua orang itu bertempur. Peristiwa itu telah
menyangkut Budi dan Dendam.
"Anda seorang yang pegang kepercayaan," seru Dewi Mega Ui Siu-bwe, "delapanbelas tahun masih tak
melupakan kata-kata yang engkau ucapkan...... ai, dalam pertemuan besar di gunung Thian-san dahulu,
aku telah terkena tipu manusia jahanam sehingga Hay-hong-cung menjadi korban."
Wajah Pemburu nyawa Kwik Ing-tat seketika berobah.
"Sekarang baiklah kita kesampingkan dulu urusan peribadi. Aku hendak menyampaikan pesan dari tuanku
kepada Dewi, harap Dewi suka memberi jawaban yang sebenarnya."
"O, kukira engkau hendak menyelesaikan dendam lama, ternyata masih mempunyai lain kepentingan lagi.
Adakah tuanmu itu orang tua peniup seruling yang buntung kakinya itu?"
"Dewi, kuyakin engkau tentu tak dapat menduga bahwa tuanku itu bukan lain adalah pemimpin Naga
Hijau...... Naga sakti tanpa bayangan Siau Han-kwan?"
Seketika berobah cahaya wajah Dewi Mega Ui Siu-bwe, "Apa" Dia itu Siau Han-kwan" Dia tak mati dalam
peristiwa Hay-hong-cung?"
"Bukan saja tidak mati tetapi beliau kini menjabat sebagai ketua Thian-sian-bun. Dan telah menguasai ilmu
sakti dari Thian-siau."
"Kalau dia belum mati, tak apalah. Urusan kita juga harus diselesaikan."
Tiba-tiba terdengar suara berseru nyaring:
"Paman Kwik dan Ui cianpwe, harap menjelaskan liku-liku peristiwa budi dan dendam yang kalian alami
dahulu?" Sekalian orang terkejut dan berpaling, Ah, kiranya entah kapan, Siau Lo-seng sudah berdiri di samping.
Wajahnya merah segar, semangatnya menyala-nyala.
Pemburu nyawa Kwik Ing-tat tertawa gelak-gelak.
"Seng-ji, bilakah engkau siuman. Lekas haturkan terima kasih kepada Ui cianpwe."
"Untuk apa terima kasih itu?"
"Seng-ji, scbuah pukulan dari Dewi yang diberikan kepadamu tadi telah membuka jalan darah Tok-jin dalam
tubuhmu. Kini sempurnalah sudah ilmu sakti Kim-kong-put-hoay yang engkau miliki!" seru Kwik Ing-tat.
Saat itu barulah Siau Lo-seng sadar. Serta merta ia berlutut dan memberi hormat sampai tiga kali kepada
Dewi Mega Ui Siu-bwe. "Mohon cianpwe memaafkan kebodohanku."
Dewi Mega Ui Siu-bwe tertawa bahagia,
dunia-kangouw.blogspot.com
"Yang muda akan menggantikan yang tua. Aku sudah tua tak berguna. Kelak tugas menyelamatkan dunia
persilatan terletak di bahumu. Tetapi aku heran mengapa dalam usia yang begitu muda engkau sudah
memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa. Maukah engkau menerangkan?"
"Aku sendiri juga heran," kata Siau Lo-seng, "karena aku merasa tak pernah belajar ilmu sakti itu. Baru tadi
ketika bertemu dengan Cian-bin-poa-an Kho Ing-ti di luar lembah, dia mengatakan kalau aku sudah memiliki
ilmu sakti itu." "Apa?" teriak Ui Siu-bwe terkejut, "engkau bertemu dengan Cian-bin-poa-an Kho Ing-ti" Dia sudah mati
pada empatpuluh tahun yang lalu. Ah, tak mungkin!"
"Seng-ji," kata Kwik Ing-tat, "bilakah engkau bertemu dengan dia" Dan dia dalam perwujutan bagaimana?"
Siau Lo-seng segera menceritakan peristiwa pertempurannya dengan Cian-bin-poa-an Kho Ing-ti itu.
"Aku sungguh tak mengerti mengapa dia menyaru sebagai Ban Jin-hoan. Begitu pula dia mengatakan
bahwa Ui cianpwe masih menyimpan pedangnya. Entah apakah Ui cianpwe suka untuk menjelaskan
mengapa dia membawa anak buahnya kemari" Dan menerangkan pula apakah sebenarnya yang terjadi
antara Cian-bin-poa-an Kho Ing-ti, Ou-hay-it-ki dan mamahku Giok-li-sin-hong Tan Bi-hoa itu?"
Dalam mendengarkan cerita Siau Lo-seng tadi, Ui Siu-bwe sudah dirangsang ketegangan. Kini setelah
mendengar permintaan Siau Lo-seng dia tak kuasa lagi mencegah airmatanya yang berderai-derai turun
seperti banjir. Jin Kian Pah-cu, pemimpin dari Lembah Kumandang yang termasyhur itu, kini menangis tersedu sedan
seperti seorang wanita biasa.
"Ui cianpwe, maaf sekira permintaanku tadi menyinggung perasaan cianpwe," buru-buru Siau Lo-seng
menghaturkan penyesalannya.
Tiba-tiba wajah Pemburu nyawa Kwik Ing-tat berobah gelap dan berseru: "Dewi Mega, apakah engkau juga
mempunyai hubungan dengan Cian-bin-poa-an Kho Ing-ti?"
"Ya!" sahut Ui Siu-bwe, "memang aku mempunyai hubungan yang erat sekali dengan dia. Kwik Ing-tat,
bukankah tadi engkau mengatakan hendak menyampaikan pesan tuanmu kepadaku" Sekarang
katakanlah!" "Tuanku hendak bertanya kepada Dewi tentang, peristiwa di Hay-hong-cung. Kabarnya hanya engkau yang
mempunyai hubungan dekat dengan Giok-li-sin-hong Tan Bi-hoa maka tuanku hendak bertanya hal itu
kepadamu." "Mohon tanya kepada Ui cianpwe," tiba-tiba Siau Lo-seng ikut bicara, "adakah dahulu Lembah Kumandang
juga ikut campur dalam peristiwa Hay-hong-cung itu" Dan benarkah mamahku mempunyai hubungan kasih
dengan Cian-bin-poa-an Kho Ing-ti?"
Siau Lo-seng mempunyai dugaan keras, tentu ada sebabnya mengapa ayahnya tak mau menceritakan
semua peristiwa yang telah terjadi. Begitu pula ia masih ingat akan kata-kata Kho Ing-ti, "sebelum engkau
jelas dengan asal usul dirimu, hak apakah engkau hendak menuntut balas atas peristiwa berdarah di Hayhong-cung itu" Apalagi engkau telah mengakui seorang penjahat sebagai ayah kandungmu."
Kata-kata itu masih mengiang-ngiang di telinga Siau Lo-seng.
"Seng-ji," tiba-tiba berserulah Dewi Mega Ui Siu-bwe dengan nada gemetar, "memang Lembah Kumandang
ikut dalam peristiwa Hay-hong-cung. Berhasil merebut sebuah kitab Lian-hun-cin-keng dan salah satu dari
tiga pusaka persilatan yang disebut panah Cian-li-hiat-cian (panah darah seribu lie). Tetapi Lembah
Kumandang tak ikut dalam pembunuhan."
"Lalu bagimana peristiwa yang sebenarnya terjadi?" tanya Siau Lo-seng.
"Sumber dari musibah Hay-hong-cung itu adalah karena Siau Han-kwan telah berhasil mendapat pusaka
Cian-li-hiat-cian dan dua buah kitab Lian-hun-cin-keng serta libatan liku-liku asmara yang aneh dari ketiga
Sam-cay Sam-ing." Ui Siau-bwe berhenti sejenak memandang sekalian orang.
"Ceritanya diawali dari Kho Ing-ti yang merobah diri menjadi Ban Jin-hoan. Tetapi jika dia tidak mengaku
bahwa Siau Lo-seng itu sebenarnya puteranya sendiri dan menuturkan semua peristiwa yang telah
dialaminya, tentulah hal itu akan terpendam selama-lamanya."
dunia-kangouw.blogspot.com
Mendengar kata-kata suhunya, serentak Hun-ing berseru: "Suhu, kalau begitu Cian-bin-poa-an Kho Ing-ti itu
adalah Ban Jin-hoan pemimpin dari istana Ban-jin-kiong?"
"Benar," sahut Ui Siu-bwe, "jauh sebelum kemunculan Sam-cay dan Sam-ing, Kho Ing-ti telah membunuh
Oh-hay-it-ki. Rahasia dari pertempuran antara guru dan murid itu telah diketahui Siau Han-kwan. Dunia
persilatan marah mendengar peristiwa itu dan mengadakan gerakan serempak untuk membunuh Kho Ing-ti
sehingga Kho Ing-ti tak dapat menegakkan kaki di dunia persilatan lagi. Dia terpaksa mengembara jauh dan
tinggalkan sumoay Tan Bin-hoa yang dicintainya. Putus asa, patah hati dan diancam oleh dunia persilatan,
menyebabkan dari seorang pemuda yang baik budi dan berguna seperti Kho Ing-ti, menjadi seorang momok
yang ganas dan mengerikan."
"Lalu mengapa Kho Ing-ti merobah diri menjadi Ban Jin-hoan dan dapat menjadi pemimpin Ban-jin-kiong?"
tanya Siau Lo-seng. Dewi Mega Ui Siu-bwe menghela napas.
"Dunia persilatan menganggap Kho Ing-ti telah mati. Karena sudah berpuluh tahun dia tak muncul lagi.
Mengapa dia menjadi Ban Jin-hoan itu menandakan kalau dia belum meninggal."
"Jika demikian, jelas dia menyelundup masuk ke Tiong-goan lagi dan merobah namanya menjadi Ban Jinhoan menyusup masuk menjadi murid Bu-tong-pay," seru Siau Lo-seng.
Ui Siu-bwe mengangguk. "Setelah Kho Ing-ti lenyap dari dunia persilatan maka beberapa tahun kemudian muncullah beberapa
pendekar muda seperti Pedang Ular Emas Siau Mo, Ban Jin-hoan dari Bu-tong-pay dan Naga sakti tanpa
bayangan Siau Han-kwan yang cemerlang. Mereka bersekutu dan menamakan diri sebagai Sam-cay.
Disamping itu Siang-hoa-liong-li Pui Siu-li, Dewi Mega Ui Siu-bwe dau Giok-li-sin-hong Tan Bi-hoa pun
berserikat sebagai tiga serangkai Sam-ing.
"Dalam pertandingan adu kepandaian yang tak resmi, kepandaian Sam-cay dan Sam-ing itupun berimbang.
Sejak itu dunia persilatan menyanjung mereka dengan kata-kata pujian sebagai sepasang Tiga serangkai
Sam-cay dan Sam-ing......."
Ui Siu-bwe berhenti sejenak lalu melanjutkan pula.
"Tetapi dunia persilatan tak tahu sama sekali, bahwa Ban Jin-hoan yang mereka puji itu ternyata Kho Ing-ti
yang mereka benci. Tujuan Kho Ing-ti merobah diri menjadi Ban Jin-hoan dan masuk dalam persekutuan
Sam-cay tak lain hendak membalas kepada dunia persilatan yang telah memberi dendam berdarah
kepadanya. Disamping itu supaya dapat berkumpul dengan sumoaynya Tan Bi-hoa yang dicintainya itu."
17.82. Dendam Asmara "Bagaimana ia melaksanakan pembalasan terhadap dunia persilatan?" tanya Siau Lo-seng.
"Dalam gerakan untuk membunuh Kho Ing-ti dahulu, kecuali Giok-li-sin-hong Tan Bi- hoa, boleh dikata
seluruh kaum persilatan dari aliran Hitam maupun Putih ikut semua. Karena mereka menganggap, seorang
murid yang berhianat dan membunuh gurunya, merupakan dosa paling besar. Kho Ing-ti menyadari bahwa
sekalipun ia selamat dan ilmu kepandaiannya pun sudah pulih kembali, tetapi tak mungkin ia dapat
menghadapi seluruh kaum persilatan.
Maka diam-diam ia segera membentuk Ban-jin-kiong, sebuah perkumpulan yang khusus hendak digunakan
untuk menuntut balas kepada dunia persilatan. Diam-diam Ban-jin-kiong menjalankan siasat mengadu
domba, menimbulkan kekacauan. Dengan ilmu Merobah wajah yang lihay, dia merobah diri menjadi
beberapa tokoh untuk mengadakan pembunuhan di sana sini agar partai-partai persilatan itu saling curiga
mencurigai." "Peristiwa Hay-hong-cung tentu dialah yang menciptakannya," seru Siau Lo-seng.
"Memang dia seorang yang menciptakannya," kata Ui Siu-bwe, "dan dengan kejam dia telah memutus
hubungan kasih antara ayah dan bundamu. Agar ayahmu tetap mendendam suatu dosa yang tak mungkin
ditebusnya." "Bagaimana ceritanya mamah dapat menikah dengan ayahku itu?" tanya Siau Lo-seng. Dipandangnya
wajah Ui Siu-bwe yang bercucuran air mata itu dengan tajam.
dunia-kangouw.blogspot.com
Entah bagaimana Dewi Mega berpaling muka, seolah-olah tak berani menghadapi sinar mata si anak muda.
Airmatanya membanjir. "Kutahu, ya, kutahulah peristiwa yang berliku-liku itu," tiba-tiba Kwik Ing-tat menengadah kepala dan berkata
seorang diri. "Paman Kwik, apa yang engkau ketahui?" seru Siau Lo-seng.
Tiba-tiba berkatalah Dewi Mega dengan nada yang penuh ditekan perasaan, "Seng-ji mamahmu berbuat
salah, dapatkah engkau memaafkannya?"
"Kesalahan apakah yang telah dilakukan mamahku?" Siau Lo-seng mulai curiga.
Tiba-tiba Kwik Ing-tat maju selangkah dan berseru, "Dewi, jangan sembarangan bicara kepada Seng-ji!"
"Berapakah harga sebuah nama itu?"sahut Dewi Mega, "dalam keadaan yang sudah seperti begini, apakah
ada hal-hal yang masih dirasa malu untuk dikatakan" Apabila masih ditutupi rasanya kita berdosa kepada
taci Tan Bi-hoa." Kwik Ing-tat menghela napas dan berkata kepada Siau Lo-seng: "Seng-ji, biarlah aku yang menceritakan
kelanjutannya." Sejenak berhenti maka iapun mulai menutur.
"Pada masa itu Siau Han-kwan merupakan kepala dari Sam-cay, Sedang Siang-hoa-liong-li Pui Siu-li,
kepala dari Sam-ing. Desas desus orang luar mengatakan bahwa kedua orang itu tentu akan menjadi
pasangan hidup. Siau Mo dengan Ui Siu-bwe dan Ban Jin-hoan dengan Tan Bi-hoa. Tetapi ternyata tidak
Pendekar Seratus Hari Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
demikian. Di luar dugaan, pangcu kami telah menikah dengan Tan Bi-hoa. Sejak peristiwa itu, mulailah
terjadi keretakan antara Sam-cay dan Sam-ing.
Pedang Ular emas Siau Mo berobah menjadi seorang manusia aneh yang gemar membunuh, Ban Jin-hoan
pulang ke Bu-tong dan, minta kepada It Ceng Totiang supaya menerimanya menjadi imam dan bergelar It
Bing, Siang-hoa-liong-li dan Dewi Mega pun menghilang dari dunia persilatan. Gempar dunia persilatan
membicarakan peristiwa itu tetapi tiada seorangpun yang tahu sebabnya."
Berkata sampai di sini, Kwik Ing-tat melirik ke arah Dewi Mega Ui Siu-bwe dan hentikan ceritanya.
"Kwik Thancu, teruskan ceritamu sejelas-jelasnya," seru Dewi Mega.
Sejenak meragu maka Kwik Ing-tat melanjutkan lagi.
"Sebenarnya Ban Jin-hoan sangat mencintai Tan Bi-hoa. Tetapi karena merasa dirinya telah menyebabkan
suhunya meninggal dan suhengnya melarikan diri maka Tan Bi-hoa sudah beku hatinya.
Siau Han-kwan sebenarnya mencintai Dewi Mega Ui Siu-bwe yang halus budi! Tetapi Ui Siu-bwe sebaliknya
mencintai Ban Jin-hoan. Sedang Pui Siu-li mencintai Siau Han-kwan. Siau Mo cinta sepenuh hati kepada
Siu-li. Buru memburu cinta itu, telah merupakan lingkaran Asmara yang aneh. Yang dicinta, mencintai lain
orang. Dan orang itu mencintai lain orang lagi.
Berhenti sejenak, ia meneruskan lagi,
"Pada suatu hari secara tak sengaja Siau Han-kwan telah menolong seorang tua yang tengah meregang
jiwa. Dia bukan lain yalah Cek Hi Sucia, ketua pertama dari perkumpulan Naga Hijau. Dan mendapatkan
benda kekuasaan perkumpulan itu serta dua buah kitab Lian-hun-cin-keng."
"Oleh karena itu maka ayah lalu menerima jabatan ketua Naga Hijau," seru Siau Lo-seng.
"Pada waktu itu Siau Han-kwan tak tahu bahwa dengan pusaka Cian-li-hiat-cian dapat menjadi ketua Naga
Hijau. Tetapi Ban Jin-hoan tahu hal itu. Maka diam-diam ia merebut pusaka panah darah itu dan hendak
merebut pimpinan Naga Hijau. Tetapi tindakannya itu telah dihalangi Dewi Mega Ui Siu-bwe. Oleh karena
mencintai Ban Jin-hoan maka Dewi Mega selalu memperhatikan gerak gerik Ban Jin-hoan.
Lama kelamaan Dewi Mega mulai mendapat kesimpulan bahwa Ban Jin-hoan memang mempunyai
rencana tersendiri. Demi membuktikan pandangannya terhadap Ban Jin-hoan, Dewi Mega segera
memberitahukan perasaan hatinya kepada Giok-li-sin-hong Tan Bi-hoa.
Pada waktu itu Tan Bi-hoa tak cinta Ban Jin-hoan. Walaupun orang luar menndesas desuskan keduanya
sebagai pasangan yang serasi, tetapi dia tak menaruh perhatian kepada Ban Jin-hoan.
dunia-kangouw.blogspot.com
Tan Bi-hoa meluluskan permintaan Dewi Mega dan mengajarkan ilmu merobah wajah dan memperboleh
Dewi Mega untuk menyaru sebagai dirinya agar dapat menguji isi hati Ban Jin-hoan yang sebenarnya."
Sampai di situ, Kwik Ing-tat berhenti sejenak dan memandang ke wajah Hun-ing Dengan suara agak keras
ia melanjutkan ceritanya:
"Cinta Ban Jin-hoan terhadap Tan Bi-hoa memang sudah mendarah daging. Sudah tentu Ban Jin-hoan
terkejut dan menyambut girang kepada Dewi Mega yang menyaru sebagai Tan Bi-hoa itu."
Karena dirinya dipandang oleh Kwik Ing-tat, diam-diam timbullah rasa heran Hun-ing, "Mengapa dia
memandang diriku" Apakah peristiwa mempunyai hubungan dengan aku?"
Ketika Kwik Ing-tat bersangsi tak mau bercerita terus, Dewi Mega Ui Siu-bwe segera berseru suruh dia
melanjutkan. "Dalam ujian pertama itu, harus disayangkan bahwa Dewi Mega telah tak kuasa menekan rindu dendamnya
kepada Ban Jin-hoan. Dan tergelincirlah kesuciannya?""
"O, itulah sebabnya maka Ban Jin-hoan salah menyangka kalau aku puteranya." Tiba-tiba Siau Lo-seng
berseru. Pemburu nyawa Kwik Ing-tat menghela napas, ujarnya, "Setelah mengalami peristiwa itu, mulailah Ui Siubwe benci akan keganasan Ban Jin-hoan. Berulang kali dia hendak membuka rahasia diri Ban Jin-hoan
tetapi tak sampai hati. Karena hal itu maka timbullah akibat yang menyedihkan di desa Hay-hong-cung."
Saat itu Ui Siu-bwe menangis terisak-isak. Sekalian anak muridnya merasa iba dengan suhunya.
"Di antara Sam-ing, hanya Siang-hoa-liong-li Pui Siu-li, yang paling lincah, cerdas. Karena cintanya
terhadap Siau Han-kwan, ia memberitahukan hal itu kepada Siau Han-kwan dan menasehatkan agar Siau
Han-kwan jangan melanjutkan cintanya kepada Dewi Mega Ui Siu-bwe.
"Tahu bahwa Ui Siu-bwe telah dicemarkan kesuciannya oleh Ban Jin-hoan," Kwik Ing-tat melanjutkan pula,
"Dia kalap dan mendendam. Dia hendak membalas dendam. Dengan tergesa-gesa dia memaksa Giok-lisin-hong Tan Bi-hoa mengumumkan pernikahannya kepada dunia persilatan dan menerima jabatan ketua
dari Naga Hijau lalu tinggal di desa Hay-hong-cung. Dia berbuat begitu karena hendak membalas dendam
kepada Ban Jin-hoan karena sesungguhnya dia tidak mencinta Tan Bi-hoa. Tetapi walaupun tindakannya
memang dapat mematahkan semangat Ban Jin-hoan, akhirnya telah menimbulkan akibat yang hebat dan
mengerikan......." Dengan begitu Pui Siu-li juga tidak berhasil mendapat cinta Siau Han-kwan walaupun sudah
memberitahukan rahasia diri Ui Siu-bwe dengan Ban Jin-hoan," tukas Siau Lo-seng, "kebalikannya Ban Jinhoan yang kehilangan Tan Bi-hoa dan marah terhadap Dewi Mega Ui Siu-bwe yang membocorkan rahasia
itu kepada Siau Han-kwan, makin meluap dendam kebenciannya kepada Siau Han-kwan. Diam-diam dia
telah mengerahkan tenaga dan pengaruh Ban-jin-kiong untuk menyebar fitnah kepada kaum parsilatan yang
tak tahu jelas akan persoalan Sam-cay dan Sam-ing. Kaum persilatan percaya bahwa Siau Han-kwan telah
merebut kekasih Ban Jin-hoan dan kedudukan ketua Naga Hijau serta bertujuan hendak menguasai dunia
persilatan. Seluruh partai-partai persilatan segera serempak menyerbu Hay-hong-cung dan terjadilah
pembunuhan besar-besaran itu?""
Kesimpulan yang diuraikan panjang lebar oleh Siau Lo-seng itu dibenarkan Kwik Ing-tat.
"Tetapi gerakan serempak dari partai-partai persilatan ke Hay-hong-cung itu walaupun mengunakan dalih
untuk menghukum perbuatan yang tak benar dari Siau Han-kwan tetapi sebagian besar mereka memang
mengandung maksud untuk merebut panah pusaka Cian-li-hiat-cian dan dua jilid kitab Lian-hun-cin-keng."
"Dalam peristiwa Hay-hong-cung itu apakah Lembah Kumandang dan Naga Hijau ikut dalam
pembunuhan?" tiba-tiba Siau Lo-seng bertanya.
"Jangan terburu nafsu dulu," kata Kwik Ing-tat, "Baik Lembah Kumandang maupun Naga Hijau
sesungguhnya datang hendak mencegah pertempuran berdarah itu?" Setelah Siau Han-kwan menikah
dengan Tan Bi-hoa maka Pui Siu-li karena putus asa hendak bunuh diri tetapi dapat diselamatkan oleh Dewi
Mega Ui Siu-bwe. Kedua taci adik seperguruan itu saling menumpahkan peristiwa kehancuran hati, yang
dialami mereka. Kemudian mereka mencapai sepakat untuk tetap bertahan hidup. Dan sejak itu mereka
menghilang dari dunia persilatan. Pada hal secara diam-diam mereka telah membentuk Lembah
Kumandang untuk menghadapi Ban Jin-hoan, menghalangi tindakan-tindakan orang Ban-jin-kiong yang
dunia-kangouw.blogspot.com
hendak mengacau dunia persilatan. Tetapi di luar dugaan, dunia persilatan menganggap Lembah
Kumandang itu sebagai gerombolan aliran Hitam."
Tiba-tiba Dewi Mega Ui Siu-bwe menghela napas.
"Biarlah aku yang melanjutkan ceritanya. Karena dengan begitu barulah dapat meringankan dosaku dan
mengurangi penderitaan batinku......."
Kata-kata terakhir itu diucapkannya dengan nada tersekat.
Hun-ing cepat maju memapah Ui Siu-bwe, serunya: "Suhu, jangan keliwat bersedih. Apa yang lalu telah
lalu. Walaupun membuat kesalahan yang bagaimana pun besarnya, pun telah lenyap dihanyutkan sang
waktu." Pun Kwik Ing-tat meminta agar Ui Siu-bwe beristirahat saja lalu bercerita lagi.
"Rencana penyerangan ke Hay-hong-cung itu timbul dari keinginan Ban Jin-hoan secara mendadak sekali
sehingga dalam keadaan terburu-buru Dewi Mega Ui Siu-bwe meminta sumoaynya, Pui Siu-li, supaya
memberitahu kepada Siau Han-kwan. Sedang dia sendiri akan memberi penjelasan kepada pimpinan
partai-partai persilatan supaya jangan melanjutkan rencana mereka. Tetapi ternyata gerik Pui Siu-li ke Hayhong-cung telah diketahui oleh Ban Jin-hoan. Tujuan Pui Siu-li yang baik, telah dikacaukan menjadi suatu
peristiwa dendam." "Oh, bagaimana ceritanya?" tanya Siau Lo-seng.
Sejenak melirik ke arah Ui Siu-bwe, Kwik Ing-tat melanjutkan pula,
"Karena tak mau mengejutkan perhatian orang maka Pui Siu-li langsung menemui Siau Han-kwan dalam
kamar tulisnya. Dia menceritakan semua rencana Ban Jin-hoan dan menganjurkan supaya Siau Han-kwan
lekas-lekas meloloskan diri. Tetapi Siau Han-kwan sudah tak mau ingat pertalian kasih kepada Pui Siu-li
lagi. Dia menyambut dingin nasehat Pui Siu-li bahkan mendamprat nona itu karena berani masuk ke kamar
tulisnya. Sesungguhnya pada saat berhadapan dengan Siau Han-kwan, timbullah kenangan asmara lama
dihati Pui Siu-li. Menerima teguran yang pedas dari Siau Han?kwan, ia marah dan balas mendamprat.
Ribut-ribut dalam kamar tulis itu telah terdengar oleh Siau Mo yang segera masuk ke dalam kamar itu?"
"Dan sebelum Pui Siu-li sempat memberi penjelasan, partai-partai dan kaum persilatan golongan Hitam dan
Putih serta anak buah Ban-jin-kiong sudah menyerbu desa itu. Sudah tentu warga Hay-hong-cung yang
terdiri hanya seratusan orang itu, tak dapat melawan serangan mereka. Ketika lima Thancu dari Naga Hijau
dengan anak buahnya serta orang-orang Lembah Kumandang tiba di Hay-hong-cung, maka terjadilah
pertempuran besar yang awut-awutan. Seratusan orang Hay-hong-cung mati semua. Naga Hijau kehilangan
separoh anak buahnya. Tetapi Lembah Kumandang yang untung, karena berhasil mendapatkah jarum
Cian-li-hiat-sat dan sejilid kitab Lian-hun-cin-keng."
Mendengar itu mereganglah bulu roma Siau Lo-seng.
"Dalam peristiwa pembunuhan di Hay-hong-cung itu kukira yang menjadi korban hanya warga Hay-hongcung saja, ternyata banyak anak buah Naga Hijau yang korban jiwanya?" Ban Jin-hoan, aku bersumpah
akan mencincang tubuhmu!"
"Seng-ji, apakah engkau masih ingat berapa orang saudaramu itu?" tanya Ui Siu-bwe.
"Kalau tak salah, aku mempunyai seorang engkoh dan dua orang adik lelaki. Tetapi mereka mati semua
dalam pembunuhan itu," jawab Siau Lo-seng.
"Tahukah engkau bagaimana mereka terbunuh?" tanya Ui Siu-bwe pula.
"Tak tahu," jawab Siau Lo-seng, "karena sejak kecil aku sudah menderita penyakit lumpuh yang sering
kambuh. Oleh karena itu maka aku dipisahkan dengan saudara-saudaraku. Aku hanya dijaga oleh seorang
bujang. Tetapi ketika aku terbangun dari mimpi, kulihat tiada seorangpun dalam kamarku tetapi kulihat
engkoku Siau Lo-wi dan adikku Siau Lo-pat telah menjadi mayat yang mengerikan. Ketika itu akupun
menangis......" "Seng-ji tahukah engkau bahwa saudara-saudaramu sebenarnya dibunuh sendiri oleh ayahmu?" tanya Ui
Siu-bwe pula. Siau Lo-Seng seperti mendengar halilintar disambar kilat kejutnya: "Ngaco belo!"
"Memang benar!" sahut Ui Siu-bwe dengan suara serius.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Walaupun menikah dengan Siau Han-kwan, tetapi mamahmu tidak merasa berbahagia," kata Ui Siu-bwe
pula, "demi menjabat ketua perkumpulan Naga Hijau maka Siau Han-kwan menyembunyikan diri rapatrapat sehingga dia mendapat gelar sebagai Naga sakti tanpa bayangan. Perkawinannya dengan Tan Bi-hoa
hanya menuruti rasa dendam terhadap Ban Jin-hoan saja. Dia memang tak mencintai Tan Bi-hoa sungguhsungguh. Maka sikapnya pun dingin terhadap Tan Bi-hoa. Ditambah pula pada peristiwa pembunuhan di
Hay-hong-cung itu dengan pintar sekali, Ban Jin-hoan telah menimbulkan salah paham antara kedua suami
isteri itu maka dalam kemarahannya yang meluap-luap, akhirnya Siau Han-kwan sampai membunuh
puteranya sendiri!" "Tutup mulutmu," teriak Siau Lo-seng, "bagaimana mungkin ayahku membunuh anaknya sendiri" Mengapa
dia tak membunuh aku sekalian" Katakanlah!"
"Adalah karena Ban Jin-hoan keburu datang maka engkau tertolong dan Jin-hoan mengira kalau engkau
puteranya hendak dibunuh Siau Han-kwan maka dengan mati- matian dia menyerang Siau Han-kwan......
ingatlah, saat itu jiwamu sudah gawat sekali. Setiap saat kau dapat meninggal. Masakan aku tetap akan
membohongimu?" "Apa buktinya kalau mamah dan saudaraku dibunuh ayah sendiri?" seru Siau Lo-seng.
"Macan yang buaspun takkan makan anaknya," kata Dewi Mega Ui Siu-bwe, "memang sukar dipercaya
kalau aku mengatakan seperti tadi. Tetapi hal itu memang mamahmu sendiri di kala mau menutup mata,
yang mengatakan kepadaku. Mamahmu sebenarnya benci kepada ayahmu. Tetapi ia dapat memaafkan
ayahmu. Dalam kemarahannya, mamahmu telah nekad menyerbu ke dalam pertempuran dan akhirnya
binasa." Mendengar itu amarah Siau Lo-seng seperti diguyur air es, serunya: "Benarkah itu" Aku tentu akan
bertanya kepada ayah!"
"Seng-ji, engkaupun harus memaafkan ayahmu. Belasan tahun dia telah menderita siksaan hidup, lahir dan
batin." "Ah, mamah, semoga arwahmu beristirahat di alam baka dengan tenang...... mengapa aku mempunyai
seorang ayah yang sampai hati membunuh puteranya sendiri" O, itulah sebabnya maka dia tak berani
mengakui aku sebagai anaknya"..."
"Seng-ji, nasibmu itu memang menggetarkan perasaan setiap orang. Tetapi apa boleh buat, mungkin itu
garis hidupmu dan terimalah dengan lapang dada," kata Ui Siu-bwe, "ketahuilah. Tiada hal yang paling
menyedihkan pada hati seorang lelaki kecuali melihat isterinya berada dalam pelukan lain lelaki?" apalagi
dalam keadaan yang genting itu. Karena tak ingin puteranya dibunuh orang maka ia menghabisi jiwa
puteranya itu sendiri."
"Apa" Apakah mamahku berbuat serong?" seru Siau Lo-seng.
"Tidak," jawab Ui Siu-bwe, "walaupun mamahmu tak cinta kepada ayahmu tetapi dia tak sampai berbuat
serong kepada lain orang. Tetapi ayahmu telah termakan fitnah yang disebarkan Ban Jin-hoan yang
mengatakan bahwa mamahmu pernah berbuat jinah dengan dia. Ban Jin-hoan mengejek ayahmu,
mengatakan janganlah ayahmu bangga karena memperisteri Tan Bi-hoa karena sebenarnya Tan Bi-hoa itu
tidak mencintainya"..."
"Adakah ayahku cepat percaya omongan itu?" seru Siau Lo-seng.
"Sudah tentu tidak," kata Ui Siu-bwe, "tetapi dengan menggunakan ilmu Merobah wajah, Ban Jin-hoan
mencari seorang wanita yang dirobah wajahnya seperti Tan Bi- hoa. Diajaknya wanita itu main di hadapan
ayahmu?"" "Saat itu Siau Han-kwan seperti dibakar kemarahan. Segera dia menyerang Ban Jin-hoan dan wanita yang
menyaru sebagai Tan Bi-hoa. Ketika ayahmu hendak membuat perhitungan mamahmu, datanglah Pui Siu-li
yang memberitahu kepada ayahnya bahwa Ban Jin-hoan itu sebenarnya adalah suheng dari Tan Bi-hoa.
Hal itu makin memperhebat kebencian ayahmu terhadap Tan Bi-hoa. Dirangsang oleh ketegangan dan
kemarahan saat itu maka ayahmu membentak-bentak Pui Siu-li?", dan hal itu diketahui oleh Siau Mo."
Mendengar itu hati Siau Lo-seng tak keruan rasanya. Karena tak tahu bagaimana ia harus berbuat, dia
sampai menitikkan airmata sendiri.
"Adakah pamanku Siau Mo juga membenci ayahku dan ikut turun tangan mencelakainya?" tanya pemuda
itu. dunia-kangouw.blogspot.com
"Seng-ji," kata Ui Sin-bwe," jangan persalahkan pamanmu Siau Mo. Sejak ikut aku dan sumoayku Pui Siu-li
bersembunyi di Lembah Kumandang, karena tak mendapat hiburan dan perhatian orang, akhirnya ia masuk
ke dalam perkumpulan Ko-bok-pay. Tiga tahun kemudian dia kembali ke Hay-hong-cung sebagai manusia
yang telah berobah perangainya. Pada saat ia dikipasi oleh Ban Jin-hoan dan menyaksikan sendiri betapa
Siau Han-kwan telah bertengkar dengan Pui Siu-li yang dicintainya, dia tak dapat menguasai diri lagi.
Sebenarnya dia datang ke Hay-hong-cung hendak menyampaikan berita. Tetapi melihat adegan itu,
marahlah dia. Cepat dia menuju ke muka desa. Untuk melampiaskan marahnya, tak peduli siapa saja, baik
musuh atau orang Hay-hong-cung, diserang dan dibunuhnya. Entah berapa banyak jiwa menjadi korban
Pedang Ular Emasnya. Terakhir dia membuka sebuah jalan berdarah lalu melarikan diri ke dalam hutan.
Kebetulan dia bertemu dengan gurumu Jiu-lan. Dalam keadaan pikiran masih kacau, ketika melihat pakaian
guru wanita itu berlumuran darah, seketika timbullah hawa pembunuhannya lagi. Lebih dulu gurumu itu
dibunuhnya dan karena engkau menangis maka dia lalu melempar engkau ke dalam jurang."
Saat itu Siau Lo-seng benar-benar seperti orang yang kehilangan pegangan. Mau menangis, tiada air mata.
Hatinya seperti disayat-sayat.
Tiba-tiba Tay Hui Sin-ni yang sejak tadi diam saja, saat itu ikut membuka suara, "Kodrat tak dapat dihindari
lagi. Darah sudah terlanjur mengucur, ah...... Siau Mo tiga tahun lamanya masuk ke dalam partai Ko-bokpay kami. Dia tampak rajin sekali dan pendiam. Tetapi Kaucu kami suka kepadanya. Tak sangka setelah
pulang ke desanya, dia harus tercebur dalam pertumpahan darah yang begitu hebat."
"Mengapa selama bertahun-tahun menyelidiki, aku tak berhasil memperoleh keterangan tentang peristiwa
itu?"" tanya Siau Lo-seng.
Ui Siu-bwe memberi jawaban:
"Setiap orang yang terlibat dalam peristiwa, masing-masing mempunyai kesalahan. Sudah tentu mereka tak
mau membuka rahasia itu. Engkau tak mau membuka rahasia itu. Engkau tak sampai mati adalah
disebabkan Ban Jin-hoan masih mengandung setitik harapan, agar mamahmu tetap masih mempunyai
kasih kepadanya." "Ban Jin-hoan memang ganas sekali," tiba-tiba Dewi Mega Ui Siu-bwe berganti nada keras, "kesemuanya
itu adalah dia yang menciptakan. Apabila Lembah Kumandang dan Naga Hijau masih tetap berdiri, pada
suatu hari mereka tentu akan membuat perhitungan dengan manusia ganas itu."
Kata-kata Dewi Mega Ui Siu-bwe itu telah disambut dengan sorak bergemuruh dari sekalian anak buah
Lembah Kumandang dan Naga Hijau yang berada di setiap sudut tempat.
Tetapi sorak sorai pernyataan tekad untuk mentaati keputusannya itu bahkan malah menimbulkan
kesedihan hati Dewi Mega. Kembali ia mengucurkan air mata.
"Cianpwe, mengapa engkau mengucurkan airmata lagi?" tanya Siau Lo-seng heran.
"Aku merasa dosaku juga besar," katanya tersendat, "kalau dulu tidak...... tentu tak kan terjadi peristiwa
yang berdarah semacam itu."
"Cianpwe, engkau tak bersalah," kata Siau Lo-seng, "ah, sesungguhnya nasib cianpwe sendiri juga tak
beruntung." "Suhu," Hun-ing menyeletuk, "jangan bersedih hati. Akulah yang akan menghimpas dendam suhu itu."
17.83. Istana Selaksa Hantu
Tiba-tiba pula Siau Lo-seng berpaling kepada Pemburu nyawa Kwik Ing-tat, serunya "Paman Kwik,
dimanakah ayahku sekarang?"
"Dia memikat supaya Buddha emas Ang Siong-pik tinggalkan lembah ini. Sekarang aku pun juga tak tahu
dia berada di mana. Tetapi menurut dugaanku, dia tentu menuju ke Ban-jin-kiong untuk mencari Ban Jinhoan."
"Jika begitu aku harus ke Ban-jin-kiong," kata Siau Lo-seng.
"Seorang diri?" tanya Hun-ing.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Bagaimanapun juga aku harus membuat perhitungan dengan Ban Jin-hoan," kata Siau Lo-seng. Kemudian
ia menyampaikan berita yang diucapkan oleh adik angkatnya Bok-yong Kang kepada sekalian orang di situ.
"Ban-jin-kiong pasti akan melaksanakan rencananya," kata Siau Lo-seng pula, "untung sekarang kita masih
dapat menghancurkan kekuatannya. Hanya saja tak boleh bertindak sccara gegabah melainkan secara
diam-diam menyerbu dan pada suatu saat yang tak diduga-duga, kita serempak bergerak menghancurkan
Ban-jin-kiong." Habis berkata ia berpaling ke arah Tay Hui Sin-ni lalu Kwik Ing-tat, serunya:
"Kuharap paman Kwik dan Tay Hui Sin-ni cianpwe suka memberi bantuan. Entah bagaimana pendapat
cianpwe." Kwik Ing-tat tertawa gelak-gelak.
"Tanpa engkau minta, aku sendiri juga akan membuat pertarungan dengan Ban-jin-kiong. Tahukah engkau
bahwa jiwaku orang tua ini juga hampir melayang di tangannya?" kata Kwik Ing-tat.
Tay Hui Sin-ni menghela napas.
"Omitohud! Siau sauhiap, kabut rahasia yang menyelimuti dendam darahmu, kini sudah tersingkap jelas.
Kutahu engkau tentu mendendam sekali. Walaupun engkau mempunyai dendam tak dapat hidup di bawah
kolong langit dengan Ban Jin-hoan. Tetapi engkau harus tahu bahwa dendam dan pembalasan itu akan
berlarut-larut tiada berkeputusan. Demi membalas dendam di Hay-hong-cung, entah sudah berapa banyak
jiwa yang engkau bunuh" Tahukah engkau berapa banyak anak yang sebatang kara karena ditinggal oleh
kedua orang tuanya" Betapa sengsaralah hidup mereka itu?"
Siau Lo-seng tergetar. Seketika teringatlah ia akan semua peristiwa yang telah dialaminya selama ini.
"Bukan maksudku hendak melarang engkau membalas dendam," kata Tay Hui Sin-ni, "Ban Jin-hoan
mempunyai dendam darah kepadamu. Diapun seorang durjana dunia persilatan. Setiap orang berhak untuk
menumpasnya, sebagaimana setiap kaum persilatan berhak untuk menjaga keselamatan dunia persilatan.
Tetapi kini darah dan korban sudah banyak sekali yang jatuh. Aku tak sampai hati lagi melihat timbulnya
peristiwa berdarah pula. Kuharap apabila mungkin dihindarkan, hindarkanlah."
"Petunjuk Sin-ni sungguh mulia sekali. Menandakan bahwa Sin-ni mengandung hati welas asih yang besar.
Maka akupun tak berani memaksa Sin-ni harus ikut dalam perjalanan ini," kata Siau Lo-seng.
"Tay Hui Sin-ni," Hun-ing ikut bicara, "gerakan untuk menumpas Ban-jin-kiong harus tetap dilakukan. Kita
tak menumpasnya, dia akan menumpas kita. Apalagi saat ini mungkin adik Cu-ing, Pek Wan Taysu serta
Pendekar Seratus Hari Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
paderi anak buah barisan Tat-mo-coat-ci-tin masih berada di tangan mereka. Betapapun kita tak dapat tak
bertindak menolong mereka."
"Apa" Paman Pek Wan masih ditawan di Ban-jin-kiong?" Siau Lo-seng berseru kaget.
"Ya," sahut Hun-ing, "bahkan mungkin kesadaran pikiran merekapun telah dihilangkan."
"Barisan Tat-mo-coat-ci-tin dari Siau-lim-si, menggetarkan seluruh dunia persilatan. Bagaimana mereka
dapat ditawan pihak Ban-jin-kiong" Apa pula Pek Wan Taysu itu seorang tokoh sakti. Walaupun dalam
tawanan Ban-jin-kiong, mereka tentu takkan terancam bahaya," kata Tay Hui Sin-ni.
Tiba-tiba kedengaran Ui Siu-bwe menghela napas ringan, serunya:
"Kali ini perhitungan Sin-ni kurang tepat. Walaupun barisan Tat-mo-coa-ci-tin itu tiada lawan tetapi bukan
tandingan dari ilmu Thian-siau-mo-gak dari perguruan Thian-sian-bun."
"Thian-sian-mo-gak, hanya Siau Han-kwan dan Ang Siong-pik yang pernah mempelajari. Bahkan Kwik sicu
pun belum tentu mengerti, mengapa dalam Ban-jin-kiong terdapat orang yang mempelajari ilmu itu?"
Berkata Pemburu nyawa Kwik Ing-tat:
"Benar Sin-ni, ilmu Thian-siau-mo-gak itu memang tak sembarang orang mampu mempelajarinya. Hampir
enampuluh tahun lamanya suhuku mempelajari ilmu itu. Pun baru dapat menguasai empat buah irama.
Sedang empat irama yang lain berada pada ke empatpuluh tujuh batang jarum Ular Emas itu. Kecuali
pangcu dan Buddha emas Ang Siong-pik, aku sendiri tak mempunyai kesempatan untuk belajar ilmu
itu......." Tiba-tiba Kwik Ing-tat teringat sesuatu, serunya.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Ah, apabila Sin-ni tak mengatakan ilmu Thian-siau-gak-cin itu, mungkin aku lupa akan tujuanku datang
kemari?", mohon tanya kepada Dewi, bagaimanakah dengan duapuluh batang jarum Ular Emas itu?"
"Bukankah keduapuluh tujuh batang jarum Ular Emasku itu telah direbut pihak Lembah Kumandang?" tanya
Siau Lo-seng. "Memang benar," sahut Ui Siu-bwe, keempat Su-tay-thian-ong dari Lembah Kumandang telah berhianat
mencuri jarum itu serta pena Keng-hun-pit. Begitu pula sejilid kitab Lian-hun-cin-keng, ah?", inilah
kegagalanku yang paling besar. Tak kira kalau keempat Tay-thian-ong yang kudidik itu ternyata anak buah
Ban-jin-kiong." "Ah, urusan makin lebih gawat," kata Kwik Ing-tat.
"Dosa bertimbun dosa," seru Tay Hui Sin-ni, "sungguh tak kira kalau Ban-jin-kiong memang benar-benar
mengandung rencana untuk menguasai dunia persilatan."
"Memang kekuatan Ban-jin-kiong makin dahsyat. Mereka sudah dapat menguasai separoh bagian dunia
persilatan. Dan manusia mumi yang dibuatnya itu setingkat lebih tinggi dari buatanku. Untuk menggempur
Ban-jin-kiong memang bukan suatu pekerjaan gampang," kata Ui Siu-bwe.
Sambil mendengarkan percakapan itu, Siau Lo-seng mondar mandir di luar ruang.
"Siau koko, hendak kemanakah engkau?" tanya Hun-ing yang cepat menghampiri.
Siau Lo-seng berpaling. Kebetulan pandang mata keduanya saling beradu. Dan sorot mata nona itu seperti
memancar sinar dendam dan kasih.
Siau Lo-seng buru-buru palingkan muka untuk menghindari pandang mata si nona.
"Aku hendak ke Ban-jin-kiong?", melakukan apa yang harus kulakukan?"."
Habis berkata pemuda itu terus berputar tubuh dan melesat keluar ruang.
Terdengar suara anjing menyalak. Anjing putih yang sejak tadi mendekam di tepi, saat itu menyalak keras
lalu lari menyusul langkah Siau Lo-seng.
"Omitohud," Tay Hui Sin-ni menghela napas, "seorang anak yang keras hati, seorang anak yang bernasib
malang." Tiba-tiba Hun-ing menjerit dan berlutut di hadapan Dewi Mega Ui Siu-bwe.
"Subo, perkenankanlah aku dan saudara-saudara dari perkumpulan kita semua untuk menuntut balas."
Beribu-ribu anak buah Naga Hijau pun segera berlutut. Mereka menumpahkan pandang ke arah Dewi
Mega. Pandang yang memohon keputusan dari pimpinan mereka.
"Bangunlah kalian semua. Ing, engkaupun lekas bangun. Aku mengabulkan permintaanmu," akhirnya Dewi
Mega Ui Siu-bwe memberi keputusan dengan nada yang rawan.
Serentak terdengarlah sorak sorai yang gegap gempita. Karena girangnya, Hun-ing segera memeluk kedua
kaki Dewi Mega. Dua butir air mata menitik dari kelopak mata nona itu.
Dewi Mega membelai-belai rambut Hun-ing. Ia menghela napas penuh kedukaan dan kerawanan.
Airmatanya pun berderai-derai mengucur ke tanah.
Tiada seorangpun yang mengetahui isi hati pemimpin Lembah Kumandang itu. Helaan napasnya itu penuh
mengandung dengan berbagai derita perasaan.
Derita dari perjalanan hidupnya di masa yang lalu. Suatu perjalanan hidup yang telah memberi akibat
penderitaan lahir dan batin sehingga sampai detik itu.
Dia telah melakukan suatu perbuatan yang seharusnya takkan dilakukan dan sebenarnya tak ingin
dilakukannya. Tetapi kesemuanya itu telah terjadi. Dan apa yang telah terjadi tak mungkin akan dihapus kembali"..
Dewi Olympia Terakhir 4 Dewa Arak 87 Setan Bongkok Geger Rimba Persilatan 3