Pencarian

Pendekar Seratus Hari 11

Pendekar Seratus Hari Karya S D. Liong Bagian 11


Siau Lo-seng mengejar mereka dan berseru: "Hai, kalian salah sangka, aku bukan?""
Tetapi mereka tak mau mendengar lagi. Bahkan karena pemuda itu lari memburu, merekapun cepatkan
larinya. dunia-kangouw.blogspot.com
Dalam sekejap saja, rumah makan itu kosong melompong. Yang tertinggal hanya pelayan dan pemiliknya.
Mereka terlongong-longong tak mengerti apa yang terjadi.
Tak berapa lama Siau Lo-seng kembali. Melihat keadaan rumah makan yang kacau balau, dia bertanya
kepada pelayan siapa yang menjadi pemilik rumah makan itu.
"Lekas hitung berapa banyak kerugian yang kalian derita dan akulah yang akan membayar semua."
Mendengar kata-kata itu, pemilik rumah makan pun baru berani menonjol keluar dan berkata:
?""tuan...... sedikit kerugian itu?" tak jadi apa. Kami?" tak berani menerima uang kerugian dari
tuan......" Tahu bahwa bagaimanapun dipaksa tentu tak ada gunanya maka Siau Lo-seng segera mengambil emas
hancur seberat tiga tail lalu dilemparkan: "Untuk mengganti semua kerugian di sini dan sisanya berikan
kepada pelayan-pelayan di sini."
Habis berkata ia terus melangkah keluar. Tetapi begitu keluar ke jalan iapun tertegun, Ternyata jalan gelap
gelita. Rumah-rumah telah memadamkan lampunya semua. Tiada seorangpun yang berani keluar dari
rumahnya seolah-olah bakal terjadi geger.
"Aneh, mengapa mendadak terjadi perobahan begini?" tak habis ia mengerti. Namun hanya deru angin yang
menghembuskan jawaban kesunyian.
Tetapi malam itu beda suasananya dengan hari malam yang gelap. Karena malam itu penuh dengan
ketegangan yang tersembunyi.
Tiba-tiba dari arah belakang terdengar derap kuda berlari riuh dan cepat sekali sudah tiba di belakang Siau
Lo-seng. Baru Siau Lo-seng menduga-duga apa yang akan terjadi tiba-tiba ia mendengar hembus angin melandanya
dari belakang. "Hm," Siau Lo-seng gemas juga. Ia hendak memberi sedikit hajaran kepada mereka.
Secepat berputar tubuh, ia gerakkan kedua tangannya untuk menampar penunggang kuda yang berada di
belakangnya. Terdengar suara kuda meringkik keras dan tiba-tiba kuda pun loncat sampai setombak tingginya dan
melayang melampaui atas kepala Siau Lo-seng.
Pemuda itu terkejut. Dia belum sempat melihat jelas orang itu. Cepat ia tamparkan kedua tangannya
kepada panggung kuda itu pula.
"Ada ubi ada talas, engkau memukul, aku membalas!" lengking penunggang kuda itu seraya taburkan
senjata rahasia ke muka Siau Lo-seng.
Saat itu barulah Siau Lo Seng dapat melihat jelas bahwa panunggang kuda itu seorang dara baju merah.
Karena suasana gelap, ia tak dapat melihat jelas bagaimana raut wajah nona itu. Tetapi perawakan dan
potongan tubuhnya seperti pernah dikenalnya.
Namun Siau Lo-seng tak sempat merenung karena ia harus menyambuti senjata rahasia yang sudah
melayang ke mukanya. Cepat ia menyambar dengan tangannya. Tetapi ketika benda itu terasa lunak
seperti kapas, iapun terkejut sekali.
Pada saat ia tertegun, kudapun laju meluncur ke muka dan pada lain kejap, kuda dan nona baju merah
itupun lenyap dalam ujung kegelapan.
Peristiwa itu mendadak sekali datangnya dan mendadak pula lenyapnya.
"Apakah artinya ini" Apakah suatu amanat tantangan?" cepat benak Siau Lo-seng menimang.
Segera ia teringat akan peristiwa ketika berada di loteng tempat orang tua peniup seruling. Saat itu, seorang
dari ke empatpuluh barisan Algojo telah melemparkan sebuah gulungan kertas kepadanya. Karena tak
sempat maka gulungan kertas itu hanya disimpan dalam bajunya. Buru-buru ia mengambilnya keluar.
Pertama-tama ia membuka gumpalan benda lunak yang dilemparkan nona baju merah tadi. Ah, sebuah
saputangan sutera. Dibukanya saputangan itu dan di bawah penerangan rembulan remah ternyata
saputangan itu bertuliskan beberapa huruf yang berbunyi,
dunia-kangouw.blogspot.com
"Saat ini engkau sedang dikepung oleh musuhmu, hati-hatilah."
hurufnya ditulis indah tetapi tak dibubuhi tanda tangan apa-apa.
Siau Lo-seng tertegun. Ada dua hal yang menghuni dalam benaknya. Bahwa ternyata walaupun sudah lolos
dari Bu-tong-san, dia tetap dibayangi musuh. Dan kedua. munculnya seorang nona yang memberi
peringatan kepadanya. Jelas nona itu tentu bermaksud baik. Tetapi siapa gerangan dia"
Sesaat kemudian ia membuka gumpalan kertas yang disimpannya dalam baju sampai. beberapa lama.
Begitu membaca, keringat dingin segera mengucur deras.
14.70. Berita dari Bok-yong Kang yang Hilang
Ternyata surat itu menyangkut kepentingan dunia persilatan. Dan yang menanda-tangani Bok-yong Kang,
saudara-angkatnya yang sudah lama menghilang tak ketahuan rimbanya itu.
Dalam suratnya itu. Bok-yong Kang mengatakan. Dia telah ditawan Jin Kian Pah-cu. Tetapi karena pihak
Ban-jin-kiong menyerang Lembah Kumandang maka nona Ui Hun-ing dapat melepaskannya. Dia terpaksa
menyelundup masuk ke dalam barisan pihak Ban-jin-kiong. Tujuannya, hendak menyelidiki keadaan Banjin-kiong. Tetapi Ban-jin-kiong memang ketat sekali peraturannya. Dengan susah payah ia (Bok-yong Kang)
baru berhasil menyelundup masuk ikut dalam barisan Algojo yang berjumlah empatpuluh dua orang itu.
"Aku terpaksa harus bersabar menahan diri," kata Bok-yong Kang dalam suratnya itu. "sehingga sampai
sekian lama baru dapat mengadakan hubungan dengan Siau toako."
Lebih lanjut Bok-yong Kang memberi laporan, bahwa pada nanti malam Tiong-jiu (pertengahan musim
rontok) Ban-jin-kiong akan mengadakan rapat besar tahunan. Seluruh anak buah yang tersebar di dunia
persilatan, harus hadir. Peristiwa itu penting sekali artinya. Untuk menumpas gerombolan Ban-jin-kiong
hanya tepat dilakukan pada saat itu. Rupanya dalam rapat besar itu akan diberikan petunjuk dan perintah
yang lebih lanjut dari gerakan Ban-jin-kiong untuk menguasai dunia persilatan.
"Demi kepentingan dunia persilatan, terpaksa aku harus menahan diri untuk tinggal dengan mereka. Surat
ini kukirim dengan pengharapan yang sangat, agar Siau toako segera bersiap-siap untuk menghadapi
peristiwa itu. Untuk menyelamatkan dunia persilatan dari bencana kehancuran......"
Demikian Bok-yong Kang mengakhiri suratnya. Dan tak lupa pula dia menguraikan tentang cara-cara ia
akan menyambut kedatangan Siau Lo-seng. Peta markas Ban-jin-kiong lengkap dengan tempat-tempat
yang dipasangi alat-alat rahasia.
Setelah mengamati dengan teliti peta itu, Siau Lo-seng menimang-nimang. Saat itu sudah bulan delapan
dan terpaut dari hari Tiong-jiu hanya tinggal tiga hari lagi. Ya, hanya tiga hari saja. Dapatkah ia akan
menyelesaikan segala persiapan yang perlu"
Perkumpulan Naga Hijau boleh dikata sudah berantakan. Tak mungkin dia hendak pinjam tenaga mereka.
Sedangkan partai-partai persilatan dewasa ini sudah di bawah ancaman penghianat dalam tubuhnya
masing-masing. Bahkan merekapun telah diaduk-aduk saling curiga mencurigai. Lebih celaka lagi, mereka
telah dihasut untuk memusuhi diri Siau Lo-seng. Dengan demikian pemuda itu merasa bahwa dirinya
sedang dimusuhi oleh seluruh partai persilatan.
Di samping Ban-jin-kiong, masih terdapat Lembah Kumandang yang menunggu kesempatan juga untuk
menaklukkan dunia persilatan. Kalau ia hendak mengajak tokoh-tokoh Ceng-pay untuk menghadapi Ban-jinkiong apakah tidak akan memberi kesempatan pada Lembah Kumandang untuk bergerak"
Menilik gerak gerik Jin Kian Pah-cu yang licik dan ganas, rasanya jauh lebih jahat dari Ban-jin-kiong. Jika
tokoh-tokoh persilatan Ceng-pay sampai bertempur sama-sama hancur dengan Ban-jin-kiong, tidakkah
Lembah Kumandang yang mendapat keuntungan!
Tetapi kesempatan untuk menghancurkan Ban-jin-kiong sukar didapat lagi kecuali pada hari Tiong-jiu itu
nanti. Demikian lalu lalang pemikiran yang menghuni dalam benak Siau Lo-seng ketika ayunkan langkah pelahanlahan menyusup dalam kegelapan malam.
dunia-kangouw.blogspot.com
Tiba-tiba ia merasakan sesosok bayangan tinggi besar melintas di bawah sebuah pohon go-tong (semacam
jambu). Dan cepat sekali orang itu sudah lenyap dalam ujung gelap. Tetapi menyusul, beberapa sosok
bayangan segera berhamburan keluar.
Saat itu Siau Lo-seng tengah terbenam dalam renungan untuk mencari daya bagaimana mengatasi
persoalan yang tengah dihadapi saat itu.
Sekonyong-konyong ia merasa setiup angin telah menyambar ke arah punggungnya.
Dia mendengus dingin. Begitu mengisar ke samping ia terus jentikkan tiga kali sentilan jari.
"Aduh?"!" terdengar sebuah jeritan ngeri. Sesosok tubuh besar terlempar ke udara. Pedangnya pun
terlempar dan melayang jatuh sampai setombak lebih jauhnya.
Tetapi serempak dengan itu lima orang lelaki bermunculan dari arah hutan yang gelap. Mereka cepat tegak
berjajar-jajar menghadang jalan, dengan menghunus senjata.
Siau Lo-seng tenang-tenang sapukan pandang mata ke arah mereka. Ia tetap berjalan maju dan makin
lama makin mendekati mereka.
Kerut wajah kelima orang itupun berobah-robah. Sebentar tegang marah, sebentar pucat ketakutan.
Tiba-tiba Siau Lo-seng berhenti dan memandang tajam kepada mereka. Mereka tampak menggigil.
"Siau Lo-seng, akhirnya engkau datang juga!" tiba-tiba terdengar orang tertawa.
Arahnya dari dalam hutan. Menyusul belasan orangpun muncul. Lelaki, perempuan, tua dan muda. Mereka
memandang Siau Lo-seng dengan pandang penuh dendam.
"Perlu apa saudara-saudara mencari aku?" tegur Siau Lo-seng.
Seorang perempuan muda yang masih mengenakan pakaian berkabung, berseru keras: "Iblis ganas, hari ini
kami hendak minta engkau mengganti nyawa."
Habis berkata janda muda itu terus bersikap hendak menyerang. Tetapi dicegah oleh seorang lelaki
pertengahan umur yang berada di belakangnya. Seorang perempuan tua pun menasehati dengan bisikbisik.
Siau Lo-seng mendengus. "Aku Siau Lo-seng, selalu membedakan mana budi mana dendam. Apa yang kulakukan tentu
kupertanggung jawabkan. Apabila saudara-saudara hendak membalas dendam kepadaku, mengapa kalian
tak mau keluar semua dan masih ada yang bersembunyi di atas pohon?" Sebagai jawaban, lebih dari duapuluh orang scgera berhamburan muncul dari atas pohon dan balik batu.
Salah seorang, seorang tua yang memanggul sebatang pedang di punggungnya, segera tertawa
menyeringai. "Bagus Siau Lo-seng, nyata engkau amat perwira dan sakti maka engkau begitu congkak dan sombong."
"Kulihat engkau ini seorang manusia. Cobalah engkau sebutkan namamu agar dapat kupertimbangkan
layakkah engkau bertempur dengan aku!" sahut Siau Lo-seng.
Lelaki tua itu tertawa nyaring.
"Aku bernama Auyang Sat-hong. Kalangan penyamun dalam dunia persilatan memberi gelar nama Tionggoan-it-tiau (Rajawali dari tanah Tiong-goan). Hari ini baru kulihat dengan mata kepala sendiri bahwa Kimcoa-long-kun Siau Lo-seng itu seorang jago muda yang berbakat hebat. Sayang, sayang!"
Siau Lo-seng tertawa. "Apa yang kausayangkan" Kalau takut, harap menyingkir saja."
Tiong-goan-it-tiau Auyang Sat-hong agak merah mukanya.
"Bahwa seorang pemuda yang cerdas telah terjerumus ke jalan yang sesat, menjadi seorang momok ganas.
Kelak mayatmu tentu tak terkubur di tanah. Apakah itu tidak sayang?"
Siau Lo-seng tertawa gelak-gelak.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Jika begitu aku harus berterima kasih atas perhatianmu. Tetapi aku masih tak ingin mati dan mungkin akan
mengecewakan keinginanmu."
Baru Tiong-goat-it-tiau hendak membuka mulut lagi tiba-tiba seorang imam muda berdiri dan mengerat
omongan orang: "Mengapa Auyang locianpwe berkering ludah terhadap momok jahat semacam itu" Tangkap dulu baru kita
adili!" Siau Lo-seng mendengus dingin.
"Hm, enak saja engkau bicara, imam. Mengapa engkau tak mau memberitahukan namamu?"
"Aku Kiam Ho, hendak membalaskan kematian ketujuh Hun-liong-jit-gan yang engkau bunuh itu. Hari ini
akan merupakan hari terakhir dari kejahatanmu."
"Ah, maaf, karena tak menghormat kepada totiang," seru Siau Lo-seng, "kiranya totiang ini Kiam Ho Cinjin
yang ternama. Kematian Hun-long-jit-gan di bawah Pedang Ular Emas itu adalah karena memang mereka
harus mati. Apakah di tempat ini masih terdapat lain sahabat yang hendak "membalas dendam" kepadaku
lagi" Kalau masih, silahkan maju dan memberitahukan namanya agar aku dapat 'mempertimbangkan
apakah dia layak menjadi lawan tempurku."
Sudah tentu kata-kata Siau Lo-seng itu menimbulkan kemarahan sekalian orang. Janda muda yang berbaju
hitam itu segera melengking
"Aku Lu Kui-hun, mewakili ke tujuhpuluh dua arwah anak murid perguruan Sin-kun-hun, akan meminta ganti
jiwa kepadamu, pembunuh......."
Dengan rambut yang terlepas ke bahu dan sepasang mata berwarna merah, wanita itu segera memainkan
goloknya untuk menyerang dalam jurus Thian-cu-te-hiat atau Langit roboh bumi amblong.
"Tunggu dulu!" seru Siau Lo-seng. Dengan sebuah geliatan tubuh, ia sudah menyingkir tiga tombak
jauhnya. "Jahanam, masih hendak omong apa lagi?" teriak janda muda itu. Tiga buah jurus dilancarkan lagi secara
berturut-turut. Rupanya dia hendak mengadu jiwa.
Dalam beberapa kejap saja dia sudah melancarkan limabelas jurus kepada Siau Lo-seng.
Siau Lo-seng diam saja tak mau membalas, melainkan menghindar. Dia berlincahan di bawah tabasan
golok. Berlarian mengeliling lawan.
Lu Kui-hun si janda baju hitam mulai gelisah. Matanya sudah berlinang-linang karena menahan malu dan
marah. Permainan goloknya pun makin kacau.
Tiba-tiba Siau Lo-seng meluncur ke samping untuk meloloskan diri dari sinar golok, lalu berseru:
"Dengan kepandaianmu yang sebegitu saja engkau hendak balas sakit hati, ah, masih jauh. Lebih baik
pulang dan berlatihlah sampai beberapa tahun baru nanti mencari aku."
Karena serangannya gagal, Lu Kui-hun marah lalu menangis: "Suamiku, tunggulah aku. Karena tak dapat
membalaskan kematianmu, aku hendak menyusul engkau ke alam baka. Kalau benar engkau berada di
akhirat, jadilah engkau setan untuk mencabut nyawanya!"
Habis berkata ia terus hendak menabas lehernya sendiri.
Sekalian orang terkejut. Tetapi mereka baru saja habis tertegun menyaksikan pertempuran tadi. Walaupun
melihat si janda Lu Kui-hun hendak bunuh diri, tetapi mereka tak dapat menolong kecuali hanya berteriak
menyuruhnya jangan nekad.
"Tring".."
Tiba-tiba terdengar dering yang nyaring dan pedangnya jatuh ke tanah. Tetapi orangnya pun rubuh.
"Cici!" teriak seorang pemuda berumur enambelasan tahun seraya loncat menyambuti tubuh si janda muda
yang hendak roboh itu. Ketika memeriksa denyut nadi dan napasnya, pemuda itu dapatkan cicinya sudah tak bernyawa.
dunia-kangouw.blogspot.com
Serentak ia berpaling dan mendamprat Siau Lo-seng: "Jahanam, engkau telah membunuh seluruh keluarga
engkoh iparku. Sekarang engkau bunuh juga taciku. Aku akan mengadu jiwa dengan engkau!"
Siau Lo-seng tertegun. Diam-diam ia menimang dalam hati: "Aneh sekali, aku hanya menggunakan ilmu jari
baja Kim-kong-ci untuk menyiak pedangnya, mengapa dia mati!"
Tetapi saat si pemuda itu tiba dan menyerang dengan senjatanya yang berbentuk aneh. Semacam pukul
besi tetapi panjang seperti tongkat.
Siau Lo-seng hanya menghindar. Tujuh kali serangan si anak muda, tetapi dihindari saja.
"Apa katamu" Tacimu mati?" tegur Siau Lo-seng.
Serangannya luput dan menerima pertanyaan begitu, pemuda itu marah sekali. "Jahanam, sudah
membunuh orang masa masih mau berpura-pura. Terimalah seranganku Thian-to-coat-beng-sam-si ini!"
Tongkat palu segera diputar bagaikan sebuah bianglala yang mencurah ke tubuh Siau Lo-seng.
Diam-diam Siau Lo-seng terkejut dan kagum atas ilmu permainan itu. Apabila ilmu itu dimainkan dengan
menggunakan pedang, tentu hebat sekali.
"Hian, jangan menggunakan ilmu itu!" tiba-tiba Tiong-goan-it-tiau Auyang Sat-hong berseru, seraya
melayang ke tengah gelanggang dan rentangkan kedua tangannya untuk melindungi anak itu.
Tetapi rupanya peringatan orang tua itu tak dihiraukan si anak muda. Bahkan kebalikannya dia malah
mainkan senjatanya makin gencar.
Siau Lo-seng mendongkol. Ia gerakkan tangan kanannya untuk menyambar tongkat lalu menutukkan jari
kirinya ke tangan si pemuda.
Tetapi ketika tangan Siau Lo-seng berhasil menyambar tongkat, tiba-tiba pemuda itu tertawa dingin lalu
berputar tubuh. Seketika tongkatnya itupun putus. Separoh bagian ujungnya dipegang Siau Lo-seng dan
separoh bagian belakang segera menjadi sebatang tombak tajam. Setelah menghindar dari tiga tutukan jari
Siau Lo-seng, secepat kilat pemuda itu membabat pinggang Siau Lo-seng.
Setitikpun Siau Lo-seng tak menyangka bahwa senjata tongkat panjang itu ternyata terdiri dari dua ruas
batang. Bahkan ruas bagian belakang merupakan tombak yang runcing.
Dalam keadaan yang gawat itu tiba-tiba terdengar erang suara tertahan. Siau Lo-seng mundur setombak
jauhnya, ia telah tertusuk robek memanjang.
Tetapi anak muda itu rubuh ke tanah dan senjatanya yang aneh telah terlempar sampai tiga tombak
jauhnya. Tiong-goan-it-tiau terkejut. Ia memang hendak melindung anak muda itu. Tetapi ketika tahu bahwa ujung
senjata si anak muda berhasil mengenai tubuh Siau Lo-seng, ia diam saja. Pikirnya, tentulah kali ini Siau
Lo-seng akan terluka. Tetapi di1uar dugaan dan dengan gerak yang sama sekali tak diketahuinya, ternyata
Siau Lo-seng mampu merobohkan anak muda itu dan memukul senjatanya sampai beberapa tombak
jauhnya. Sekalian orang yang menyaksikan hasil pertempuran itu kesima. Bahkan Siau Lo-seng sendiri juga terbeliak
kaget. Tadi janda muda tiba-tiba rubuh binasa dan kali ini anak muda itupun rubuh?"
Saat itu Tiong-goan-it-tiau hendak mengangkat tubuh pemuda tadi. Tiba-tiba Siau Lo-seng berseru
mencegah, "Harap jangan memegangnya!"
Sambil berkata pemuda itu terus loncat maju dan ayunkan tangan untuk mendorong Tiong-goan-it-tiau.
Tiong-goan-it-tiau tak mengerti maksud Siau Lo-seng. Ia kira pemuda yang telah membunuh muridaya itu
hendak menyerang dia sekali. Maka marahlah ia.
"Siau Lo-seng, engkau ganas sekali!" serunya seraya maju hantamkan kedua tangannya ke arah Siau Loseng?"
15.71. Suara Setan atau Manusia?"
dunia-kangouw.blogspot.com
"Bum......" Terdengar letupan dahsyat dan kedua sosok tubuh yang bertempur itupun loncat berpencaran.
Tiong-goan-it-tiau terpental sampai lima langkah. Sementara Siau Lo-seng berhasil meraih tubuh anak laki
yang menggeletak di tanah lalu membiarkan dirinya didera angin pukulan Tiong-goan-it-tiau dan melayang
sampai tiga tombak jauhnya.
Terdengar teriakan geram dari beberapa orang yang segera berhamburan menyerang Siau Lo-seng.
Saat itu Siau Lo-seng tiba-tiba merasakan suatu aliran tutukan jari yang halus tak bersuara melanda dirinya.
Dia terkejut, lalu cepat menghindar mundur.
"Bluk, bluk......" orang-orang yang memburu hendak menyerangnya itu tiba-tiba berhamburan rubuh. Sudah


Pendekar Seratus Hari Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tentu hal itu mengejutkan sekalian orang.
Sesaat kemudian terdengar pula suara mendesis di udara. Tiga percik sinar hitam meluncur ke arah tubuh
Siau Lo-seng, mengarah tiga buah jalan darah maut pada tubuhnya. Serangan senjata rahasia itu meluncur
teramat cepat sekali. Saat itu Siau Lo-seng masih melayang di udara. Cepat ia gunakan gerak Ombak dahsyat mengangkat
naga. Sambil berputar tubuh dia berhasil pula menyambar yang sebuah.
Dia rasakan senjata rahasia amat lunak tetapi mengandung tenaga yang luar biasa besarnya, sehingga
Siau Lo-seng terdorong sampai beberapa meter jauhnya.
Selekas turun ke bumi, dengan cepat Siau Lo-seng memandang ke arah hutan. Dilihatnya sesosok
bayangan putih melesat cepat lalu menghilang.
Ketika memeriksa senjata rahasia yang tergenggam di tangannya itu, amboi, ternyata hanya sehelai daun.
Keringat pemuda itu mengucur deras. Ia yang berilmu sakti, sejenak tertegun.
Siau Lo-seng pun lalu memegang pergelangan tangan anak laki itu. Denyut nadi pergelangannya amat
lemah. Kalau tak memeriksa dengan teliti tentu orang akan mengira bahwa anak itu sudah mati.
Anak muda baju biru itu tak menderita luka suatu apa, melainkan tubuhnya terasa amat dingin sekali dan
kaku. Tak ubah seperti mayat.
Sebagai seorang tokoh silat yang luas pengetahuan, cepat Siau Lo-seng dapat mengetahui bahwa anak itu
telah terkena ilmu tutukan dari jarak jauh.
Kembali Siau Lo-seng termangu-mangu. Siapa orang itu" Apa maksudnya membantu dia" Dan dalam dunia
persilatan tokoh manakah yang memiliki ilmu kepandaian sedemikian sakti itu"
Sebenarnya Siau Lo-seng memang sengaja hendak menempur orang-orang itu. Dia menerima saja apa
yang mereka tuduhkan. Setelah itu ia hendak mengumumkan kepada mereka bahwa ia memang hendak
menantang seluruh tokoh-tokoh Ceng-pay. Dengan demikian kaum persilatan golongan Ceng-pay tentu
akan marah. Tiga hari kemudian dia akan menantang pihak Ban-jin-kiong.
Demikian rencana yang diatur Siau Lo-seng. Tetapi di luar dugaan rencana itu terkacau oleh munculnya
orang sakti yang tak diketahui itu. Dia belum jelas, adakah orang itu kawan atau lawan. Ah, seorang Kakek
wajah dingin Leng Tiong-siang saja sudah cukup memusingkan kepala, kini tambah lagi dengan seorang
sakti yang tak ketahuan pendiriannya.
Suasana hening lelap. Hanya Tiong-goan-it-tiau yang merasa dirinya seperti duduk di atas beribu jarum.
Kemasyhuran namanya selama berpuluh tahun, hanya dalam sekejap telah hancur berantakan!
Dia benar-benar marah sekali karena terpukul mundur sampai tiga langkah oleh Siau Lo-seng tadi.
Sejenak menenangkan semangat, dia segera mencabut pedang pusaka yang tersanggul di punggungnya
lalu melangkah maju ke tempat Siau Lo-seng.
Siau Lo-seng menghela napas melihat sikap jago tua itu.
"Siau Lo-seng," seru Tiong-goan-it-tiau, "hari ini aku Auyang Sat-hong, dengan pedang ini hendak
melenyapkan bencana dalam dunia persilatan. Aku hendak membalaskan dendam kematian dari berpuluhpuluh kaum persilatan. Hayo, majulah kemari!"
dunia-kangouw.blogspot.com
"Kalau aku tak mau bertempur melawanmu?" Siau Lo-seng tertawa hambar.
Tiong-goan-it-tiau deliki mata.
"Hm, budak hina, apakah engkau ini benar-benar Pendekar Ular Emas Siau Lo-seng itu?"
"Ya," sahut Siau Lo-seng, "aku memang Pendekar Ular Emas Siau Lo-seng. Tetapi bukan Siau Lo-seng
yang melakukan keganasan itu melainkan Siau Lo-seng yang hendak berjuang membela keadilan."
Tiong-goan-it-tiau tertawa marah, bentaknya, "Engkau kira dengan beberapa patah kata itu engkau dapat
membersihkan diri?" "Lalu bagaimana pendapatmu?"
"Jangan banyak mulut!" Tiong-goan-it-tiau menggembor marah, "kalau berani sambutilah seranganku
beberapa jurus saja!"
Gerakan pedang jago tua itu, memang bukan main hebatnya. Seketika hawa dingin membaur ke sekeliling,
ditingkah dengan deru angin yang menghamburkan debu dan pasir ke empat penjuru.
Siau Lo-seng tertawa dingin. Dia berlincahan menghindar kian kemari. Setiap serangan dapat dihindarinya
dengan gerakan yang indah.
Setelah belasan jurus tak berhasil, Tiong-goan-it-tiau makin meraung-raung seperti orang kalap. Rambutnya
meregang tegak, matanya merah membara. Pedang pun menyambar secepat kilat, sederas hujan
mencurah. Setiap serangan tentu mengarah jalan darah yang berbahaya.
Tiba-tiba Siau Lo-seng berputar tubuh. Bukan mundur kebalikannya dia malah maju dan tebaskan
tangannya. "Engkau sudah menyerang sampai tigapuluh jurus. Jika tak mau berhenti, terpaksa aku akan membalas!"
bentaknya. Karena marahnya hampir dada Tiong-goan-it-tiau seperti meledak: "Hari ini, engkau atau aku yang mati.
Hayo keluarkanlah seluruh kepandaianmu!"
Dalam pada berkata-kata itu, ia sudah lancarkan serangan sampai berpuluh jurus lagi.
Siau Lo-seng gelisah. Mana banyak hal yang harus dilakukan. Kalau terus menerus terlibat dalam
pertempuran di situ, bukan saja akan memakan waktu, memakan jiwa beberapa orang persilatan, pun
bahkan dirinya tentu takkan terhindar dari tuduhan sebagai pembunuh.
Akhirnya ia memutuskan untuk lolos dari tempat itu. Maka cepat ia menyurut mundur seraya lepaskan dua
hantaman. Setelah dapat mendesak mundur lawan, segera ia gunakan gerak Angin puyuh menghambur
daun untuk ia melambung ke udara hendak melayang ke samping.
Tetapi Siau Lo-seng lupa memperhitungkan siapa diri Tiong-goan-it-tiau itu. Digelari Tiong-goan-it-tiau atau
Rajawali nomor satu dari Tiong-goan adalah karena Auyang Sat-hong itu mempunyai keistimewaan dalam
ilmu ginkang. Pada saat Siau Lo-seng melambung, tiba-tiba Tiong-goan-it-tiau sudah membentaknya: "He, hendak lari
kemana engkau?" Ternyata jago tua itu sudah melambung empat tombak tingginya dan dengan gerak Elang menerkam ayam
dia memotong jalan dengan tabasan pedang kepada Siau Lo-seng.
Karena menjinjing tubuh anak lelaki itu maka gerakan Siau Lo-seng agak lamban. Dia terkejut sekali ketika
pedang Tiong-goan-it-tiau mengejarnya. Dalam gugup, cepat ia menghantam.
Tiong-goan-it-tiau tertawa dingin. Ia bergeliat melambung makin tinggi lalu dengan jurus gunung Thay-san
menindih puncak, ia menabas kepala Siau Lo-seng.
Seiring dengan ancaman maut itu, tiba-tiba Siau Lo-seng rasakan tubuh anak laki yang dikempitnya itu
terasa meronta-ronta. Rupanya anak itu sudah siuman. Cepat Siau Lo-seng menghantam ke atas lalu
mengendapkan berat badannya untuk meluncur turun ke bumi.
Sesaat kakinya menginjak tanah, segera ia rasakan punggungnya terlanda arus hawa dingin.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Hai, mengapa dalam rombongan mereka terdapat seorang tokoh yang begitu sakti," diam-diam ia
mengeluh kejut. Cepat ia meluncur maju dua langkah lalu menyongsong dengan tamparan. Tetapi betapalah kejutnya ketika
pukulannya itu serasa terbenam dalam lautan kapas. Tahu gelagat berbahaya ia mundur lagi tetapi sudah
tak keburu. Dadanya serempak terlanda oleh suatu arus tenaga dahsyat sehingga darahnya bergolak keras dan
tubuhnya pun terhuyung mundur tiga-empat langkah. Anak laki yang dikempitnya itupun terlepas jatuh ke
tanah. Terjadi pula suatu keanehan. Ketika jatuh ke tanah, anak laki itu segera duduk. Sikapnya seperti orang yang
terjaga dari mimpi. Serangan gelap itu membuat Siau Lo-seng marah sekali. Ketika ia hendak berpaling untuk menyelidiki
penyerangnya, Tiong-goan-it-tiau pun meluncur dari udara dan menabasnya.
Siau Lo-seng alihkan kemarahannya kepada jago tua itu. Dia balikkan tubuh dan songsongkan kedua
tangannya. Tiong-goan-it-tiau menjerit ngeri. Pedangnya terlepas dan orangnya pun melayang-layang seperti layanglayang putus tali untuk kemudian terbanting jatuh ke tanah. Dia berusaha untuk bangun, mulutnya
bercucuran darah. Baru sejenak berdiri, diapun sudah jatuh lagi.
Siau Lo-seng menarik napas longgar lalu berpaling ke arah kawanan orang yang berada di tempat itu.
Astaga?" Ia terbeliak kaget sekali ketika melihat pemandangan di tempat itu. Semua jago-jago yang berada di tempat
itu menggeletak di tanah. Si janda baju hitam dan anak lelaki tadi kebalikannya malah sudah terjaga.
Siau Lo-seng merasa benar-benar seperti bermimpi.
"Cici, engkau tidak meninggal?" teriak anak laki itu seraya lari menghampiri.
"Adik Toan, apakah yang telah terjadi?" Lu Kui-hun si janda baju hitam itu bertanya heran
"Paman Auyang telah dicelakai orang," sahut anak laki itu.
Mendengar itu serentak menggigillah tubuh Lu Kui hun. Dan sesaat melihat Siau Lo-seng tampak berada di
tempat itu pula, ia terus menyerbu: "Jahanam, engkau telah mencelakai sekian banyak orang."
Tiba-tiba telinga Siau Lo-seng terngiang suatu suara yang dipancarkan melalui ilmu Menyusup suara:
"Kalau tak mau pergi sekarang, akan tunggu kapan lagi" Orang-orang itu telah kututuk jalan darahnya. Dua
jam kemudian, mereka dapat bergerak lagi. Jangan hiraukan siapa diriku, kelak engkau tentu tahu
sendiri?"" Setelah menghindari serbuan si janda Lu Kui-hun, kembali suara ngiang nyamuk itu terdengar pula,
"Pukul janda itu lalu cepat lari ke arah timur. Dia takkan mati"..."
Tanpa disadari Siau Lo-seng telah melakukan perintah orang yang tak kelihatan itu. Sekali ayunkan tangan,
Li Kui-hun terlempar sampai beberapa langkah.
Tanpa melihat lagi bagaimana keadaan janda itu, Siau Lo-seng terus loncat dan lari menuju ke timur.
Selama berlari itu, suara seperti ngiang nyamuk itu tetap berkumandang di telinga Siau Lo-seng. Dia
penasaran sekali dan pesatkan lari untuk mengejar.
"He, apakah engkau mampu mengejar?" kembali terdengar suara orang tertawa meloroh.
Siau Lo-seng sudah mengejar mati-matian. Tetapi dia seperti mengejar bayangan setan saja. Betapapun
dia lari, suara orang itu tetap mengiang di telinganya.
Akhirnya ia berhenti, menghela napas putus asa lalu berseru nyaring ke udara:
"Siapakah engkau ini" Dimanakah sebenarnya engkau berada?"
Terdengar orang itu tertawa gelak-gelak.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Aku berada dekat sekali dengan engkau. Dan pernah bertemu beberapa kali padamu. Saat ini aku berada
di sampingmu. Cobalah engkau terka, siapakah aku ini?"
Siau Lo-seng makin bingung. Setelah merenung beberapa jenak, dia tetap belum dapat memikirkan orang
itu tetapi rasanya ia sudah kenal dengan nada suaranya.
"Locianpwe, maafkan kebodohanku sehingga tak dapat menerka siapa engkau ini. Tolong tanya, siapakah
engkau ini sesungguhnya" Setan atau manusia?"
"Memang agaknya engkau ini tolol," seru suara orang itu pula, "bicara begitu lama dengan engkau,
mengapa engkau masih belum dapat menerka siapa diriku. Bahkan bertanya apakah aku manusia atau
setan." "Kalau manusia, tentu tampak bayangannya, tetapi engkau tidak," sahut Siau Lo-seng "maka tentu bangsa
setan atau roh." "Ya, benar, aku memang bangsa setan. Seorang setan yang sudah mati delapanbelas tahun berselang,
ah?", delapanbelas tahun hanya seperti kemarin saja. Waktu memang amat cepat sekali."
Timbul rasa simpathi Siau Lo-seng mendengar helaan napas orang itu, serunya,
"Locianpwe, apakah engkau mempunyai kenangan lama yang menyedihkan" Maukah engkau bertemu
muka dengan aku" Dimanakah engkau saat ini?"
"Jauh di ujung samudera, dekat di depan mata. Bukankah telah kuberitahukan bahwa aku berada di
sisimu?" "Mengapa aku tak dapat melihat?" seru pula Siau Lo-seng.
"Karena tergolong roh, sudah tentu engkau tak dapat melihat diriku."
"Lalu mengapa engkau membawa aku kemari" Apakah hendak memberi petunjuk kepadaku?" tanya Siau
Lo-seng. "Sungguh cerdik," seru orang itu, "tak mengecewakan sebagat keturunan seorang pangcu."
"Apa katamu?" "Bukankah engkau masih ingat akan peristiwa berdarah di desa Hay-hong-cung pada delapanbelas tahun
yang lalu?" "Sudah tentu tak mungkin kulupakan," sahut Siau Lo-seng.
"Sudahkah engkau dapat mengetahui siapa musuhmu?"
"Ah sungguh memalukan sekali," sahut Siau Lo-seng, "sampai saat ini aku belum dapat mengetahui orang
itu. Tetapi kutahu paman Siau Mo itu termasuk salah seorang algojonya."
Orang itu menghela napas.
"Engkau salah," serunya, "Siau Mo tak berdosa. Bahkan dia termasuk salah seorang korbannya. Hanya dia
telah dicelakai dengan cara lain."
15.72. Rahasia Perguruan Thian-sian-bun
"Ngaco!" teriak Siau Lo-seng, "dengan mata sendiri kusaksikan dia sebagai algojo, dan diapun
melemparkan aku ke jurang. Itu memang nyata kulihat sendiri."
"Budi dendam, dendam budi. Benar salah dan salah benar. Sukar untuk diputuskan. Gerak menimbulkan
lingkaran Sebab yang akan berjalan seperti roda tiada hentinya. Dahulu Siau Mo melakukan tindakan ganas
itu, memang dalam keadaan yang sulit baginya. Keadaannya pantas dikasihani. Memang peristiwa pada
waktu itu ruwet sekali......"
"Peristiwa di Hay-hong-cung telah menelan korban seratusan lebih jiwa manusia. Adakah mereka memang
layak harus mati?" bantah Siau Lo-seng dengan geram.
Orang itupun menghela napas.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Bukan begitu penilaiannya, memang korban-korban itu tak bersalah. Tetapi si algojolah yang kejam dan
licin. Maksudku, pembunuh yang sesungguhnya itu bebas berkeliaran di luar. Sedang korban-korban itu
akan memberatkan kedosaan Siau Mo sehingga dianggap sebagai musuh besar dari keluarga Siau.
"Engkau mengatakan bukan Siau Mo yang menjadi biang keladi tetapi dia hanya diperalat orang untuk
membunuh keluargaku?" seru Siau Lo-seng.
"Bagaimana kejadian yang sebenarnya aku belum tahu. Tetapi dari hasil penyelidikanku selama bertahuntahun, aku berani memastikan bahwa Siau Mo bukan biang keladi yang utama dalam pembunuban itu. Dan
selama delapanbelas tahun lamanya dia pun berusaha keras untuk mencari bukti dari peristiwa itu. Dia
amat menyesal sekali atas kejadian itu. Delapanbelas tahun lamanya dia tersiksa batinnya."
Siau Lo-seng kerutkan dahi.
"Adakah locianpwe pernah bertemu dengan pamanku Siau Mo itu" Kalau tidak bagaimana locianpwe dapat
mengetahui jelas soal itu?"
Orang itu tertawa ringan.
"Bukan melainkan aku tetapi engkau sendiripun pernah bertemu. Bahkan sampai beberapa kali, tetapi
engkau tak tahu." "Apa" Aku pernah bertemu dengan dia?" Siau Lo-seng berteriak kaget.
"Bukan saja beberapa kali bertemu dengan engkau pun bahkan telah memberi pelajaran kepadamu dan
acapkali secara diam-diam telah melindungi engkau, beberapa kali menolong engkau dari bahaya."
Benak Siau Lo-seng segera berkeliaran mencari bayangan-bayangan dari mereka yang pernah bertemu
dengan dia. "Apakah dia bukan Kakek wajah dingin Leng Tiong-siang itu?" serunya sesaat kemudian.
"Benar," seru suara aneh itu, "memang dia Leng Tiong-siang yang diam-diam telah berulang kali
menolongmu!" Siau Lo-seng termenung-menung. Mengapa tak pernah ia membayangkan bahwa Leng Tiong-siang itu
pamannya sendiri. Sebenarnya ia harus tahu. Semisal ketika dikeroyok oleh jago-jago Bu-tong-san, diamdiam pamannya telah menolongnya lolos dan dengan cara membikin panas hati supaya bertempur, diamdiam pamannya itupun telah mengajarkan ilmu pedang yang hebat.
"Tetapi bagaimana engkau tahu dia berbuat begitu kepadaku?" masih ia meragu dan melontarkan
pertanyaan. "Dengan menyandang luka-luka, dia pernah menolongmu untuk menahan serangan orang Ban-jin-kiong.
Cobalah engkau pikirkan, masakan dia akan melakukan kesemuanya itu kalau dia hanya akan berpura-pura
saja" Misalnya seperti peristiwa tadi. Apabila dia diam-diam tidak bertindak lebih dahulu untuk menindas
kaki tangan orang Ban-jin-kiong, mampukah engkau lolos dengan selamat" Pepatah mengatakan 'tombak
yang ditusukkan, mudah dihindari. Tetapi panah yang dilepas secara menggelap sukar dijaga'. Di bawah
serangan gelap dari sekian banyak jago-jago berkepandaian tinggi, mampukah engkau meloloskan diri?"
Siau Lo-seng seperti dipagut ular kejutnya. "Tetapi bukankah engkau yang menutuk rubuh mereka?"
"Bukan. Siau Mo lah yang turun tangan. Walaupun aku mempunyai kemampuan untuk mengatasi mereka
tetapi aku tak berhak melakukan hal itu."
"Ah, benar-benar aku tak mengerti. Mohon locianpwe suka menjelaskan," kata Siau Lo-seng.
"Memang banyak sekali hal yang tak engkau ketahui. Baiklah, akan kuceritakan urusanku kepadamu. Aku
tak dapat turun tangan karena terpancing oleh suatu perjanjian yang belum batas waktunya."
"O, apakah locianpwe masih terikat perjanjian dengan orang lain?"
"Ya, orang persilatan memang menjunjung tinggi perjanjian. Bahkan melebihi jiwanya sendiri. Misalnya
perjanjian pada delapanbelas tahun yang lalu antara Siau Mo, Ban Jin-hoan, Dewi Mega Ui Siu-bwe dan
Tay Hui Sin-ni. Walaupun mereka melakukan rencana-rencana yang busuk tetapi tak seorangpun berani
melanggar perjanjian itu. Selama masa perjanjian itu belum habis, mereka hanya dapat menggunakan
siasat-siasat yang licin saja."
dunia-kangouw.blogspot.com
Siau Lo-seng tertegun. Ia tak habis mengerti mengapa manusia itu menggunakan waktu hidupnya untuk
melakukan kejahatan. "Menilik banyak sekali soal-soal dunia persilatan yang locianpwe ketahui, pastilah locianpwe sering
berkelana," beberapa saat kemudian Siau Lo-seng berkata.
"Bukan melainkan berkelana di dunia persilatan saja, pun sudah setahun lebih aku membayangi di
sampingmu. Karena itu aku selalu tahu akan setiap gerak gerikmu."
Bukan kepalang kejut Siau Lo-seng mendengar keterangan itu. Ia tak kira bahwa dirinya dibayangi orang
tanpa diketahuinya sama sekali.
Akhirnya ia menghela napas.
"Tetapi bukankah engkau sebuah roh?"
"Ah, meskipun aku seorang manusia tetapi kini keadaanku tak ubah seperti setan. Sekalipun engkau
melihat aku, mungkin engkau tentu mengatakan aku ini setan."
"Walaupun belum melihat, tetapi kuyakin locianpwe tentu seorang yang menjujung Ceng-gi (kebenaran).
Tetapi siapakah sesungguhnya locianpwe ini" Mengapa aku memiliki perasaan akrab dengan locianpwe?"
"Bukankah telah kuberitahukan kepadamu bahwa aku adalah orang yang paling dekat dengan engkau.
Tentang wajahku, kelak pada suatu hari engkau tentu akan tahu. Saat ini aku berada pada jarak satu lie di
lereng bukit dan tengah mengawasi gerak gerikmu."
"Terpisah satu lie?" Siau Lo-seng terkejut sekali, "mengapa dapat melihat keadaanku" Mengapa dapat
bicara dengan aku" Dengan begitu bukankah locianpwe setingkat dengan seorang dewa?"
Orang itu kedengaran tertawa.
"Mengapa engkau begitu percaya pada segala macam setan dan roh" Sebentar mengatakan diriku setan,
sebentar dewa. Pada hal apa yeng kulakukan itu hanya mengandalkan sebuah benda ajaib dan semacam
ilmu kepandaian yang istimewa saja."
Serentak teringatlah Siau Lo-seng akan ayah angkatnya, orang tua peniup seruling itu. Tetapi ia kenal jelas
bahwa nadanya bukan nada ayah-angkatnya.
Lalu siapakah dia" Apakah dia juga memiliki seruling gaib seperti punya ayah angkatnya itu" Adakah di
dunia ini terdapat dua buah benda gaib yang sama" Andaikata punya seruling itu, tetapi bagaimana dengan
ilmu suara Cian-li-coan-im yang sakti itu"
"Locianpwe," akhirnya ia berseru lantang, "dari ilmu Cian-li-coan-im dan ilmu Pendengaran yang sakti itu,
bukankah locianpwe sudah mencapai tingkat seperti seorang dewa?"
Orang tua aneh itu tertawa nyaring.
"Mana engkau dapat mengetahui kalau aku menggunakan semacam benda pusaka untuk melihat sejauh
satu lie" Tetapi ilmu menyusup suara sejauh satu lie itu, memang tak dapat ditempuh dengan
menggunakan benda ajaib ataupun kepandaian istimewa. Sebenarnya hal itu mudah saja, tidak ada hal


Pendekar Seratus Hari Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang mengherankan. Walaupun sedikit sekali orang yang menguasai ilmu sakti itu. Tetapi bukankah engkau
sudah berjumpa dengan tiga orang yang memiliki ilmu itu" Tetapi mungkin ketiga orang itu tergolong pada
aliran yang sama." Serentak terbukalah pikiran Siau Lo-seng, serunya: "Locianpwe, ketiga orang itu kecuali engkau, yang dua
bukankah Buddha emas Ang Siong-pik dan ayat angkatku orang tua peniup seruling itu?"
"Benar, engkau memang cerdik. Pangcu mempunyai putera seperti engkau?"" tiba-tiba ia hentikan katakata karena merasa telah kelepasan omong.
"Locianpwe, siapakah yang engkau sebut pangcu itu" Apakah mempunyai hubungan dengan diriku"
Mengapa engkau tak melanjutkan perkataanmu?"
"Hm," orang aneh itu mendesah, "memang benar mempunyai hubungan dengan dirimu. Dia menjabat
sebagai ketua kami sudah berselang duapuluh tahun yang lalu. Kini dia menjadi ciang-bun-jin kami, orang
yang paling akrab dengan aku, merupakan suhengku atau boleh dikata suhu yang memberi pelajaran
kepadaku. Apakah engkau merasa heran atas keteranganku ini?"
dunia-kangouw.blogspot.com
"Tidak," sahut Siau Lo-seng, "tak begitu pelik. Pangcu kalian itu mungkin sahabat karib kalian pada
duapuluh tahun yang lalu. Pada saat membentuk perkumpulan, dia menjadi pangcu. Duapuluh tahun
kemudian, perkumpulan itu bubar. Dia lalu menerima jabatan sebagai ketua partai persilatan. Dan engkau
masuk ke dalam partai persilatan itu, menjadi murid dan mengangkat suhu, orang itu sebagai suhumu. Saat
itu dia berkedudukan sebagai suheng, mewakili suhunya untuk memberi pelajaran ilmu kepandaian
kepadamu?"" Tiba-tiba Siau Lo-seng berhenti lalu bertanya: "Bukankah pangcumu itu Buddha emas Ang Siong-pik?"
Orang tua aneh itu tertawa gelak-gelak.
"Engkau memiliki daya nilai yang tajam sekali. Tetapi masih ada beberapa hal yang salah. Pangcu kami
bukan Buddha emas Ang Siong-pik tetapi ayah-angkatmu itu. Orang yang engkau katakan sebagai orang
tua peniup seruling. Aku telah melakukan perintahnya untuk mengikuti perjalananmu. Nah, sudah jelaskah
engkau sekarang?" Siau Lo-seng ternganga. "Apa" Bagaimana mungkin ayah-angkatku itu menjabat sebagai pangcu?"
"Mengapa tak mungkin?" balas bertanya orang aneh itu, "dahulu beliau seorang tokoh sakti yang tiada
lawannya. Mengapa tak dapat menjadi pangcu kami?"
"Bukan begitu maksudku," Siau Lo-seng memberi keterangan, "maksudku, sekarang dia seorang cacad.
Bahkan berjalan saja sudah sukar, bagaimana dapat menjabat ketua sebuah partai persilatan" Bukankah
sekarang dia ditawan ketua Lembah Kumandang?"
Orang aneh itu tertawa datar,
"Apakah kau anggap beliau telah ditangkap oleh pihak Lembah Kumandang" Ha, ha?" walaupun
tubuhnya cacat, tetapi pangcu dapat bergerak dengan leluasa sekali. Sebuah gerombolan macam Lembah
kumandang masakan mampu merampas kebebasannya......"
"Lalu siapa yang menangkap ayah-angkatku itu" Sekarang dia berada dimana?" Siau Lo-seng cepat
bertanya. "Walaupun yang pertama sejak sekian tahun ia muncul keluar, tetapi kupercaya beliau tentu takkan
tertimpah bahaya. Karena tadi akupun menerima perintahnya."
Siau Lo-seng legah perasaannya.
"Locianpwe, berapa besarkah pengaruh partaimu itu" Dan berapa banyakkah muridnya" Mengapa aku tak
pernah mendengar tentang partai persilatan yang kalian bentuk itu?"
Kembali orang aneh itu tertawa.
"Partai kami yalah perguruan Thian-sian-bun dari guha Kiu-thian-sian-hu. Sampai sekarang sudah berdiri
seratus tahun lebih. Ketua yang pertama, Thian Lo Cinjin. adalah pendiri dari partai ini. Pada masa itu dia
dapat mengalahkan semua jago dunia persilatan. Kemudian dia menerima dua orang murid. Murid pertama
yalah Kiam Hay Cinjin. Waktu belum jadi pertapa bernama Can Seng-it.
Murid kedua bernama Li Yong-giat. Pada suatu hari kedua suheng dan sute itu berlatih ilmu pedang. Karena
selama itu belum pernah bertempur dengan orang, tanpa disengaja, Kiam Hay Cinjin telah mengeluarkan
ilmu pedang yang sakti. Karena terlambat untuk menangkis, Li Yong-giat telah terluka parah sehingga
meninggal. Bukan kepalang sesal dan sedih Kiam Hay Cinjin karena peristiwa itu. Ia patahkan pedangnya dan
mengangkat sumpah. Selama-lamanya takkan keluar ke dunia persilatan dan bertempur dengan orang. Dia
mengasingkan diri dalam guha Thian-siau-sian-tong dan mengabdikan diri dalam ajaran suci......"
Bercerita sampai di sini, orang itu berhenti sebentar lalu melanjutkan lagi:
"Tahukah engkau berapa lama dia tinggal dalam guha Thian-siau-sian-tong itu" Dan apakah yang berhasil
dipelajarinya selama itu?"
"Paling tidak dia tentu tinggal sampai berpuluh-puluh tahun lamanya," kata Siau Lo-seng.
Orang aneh itu tertawa keras.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Engkau tentu takkan membayangkan bahwa suhuku itu telah mengasingkan diri selama enampuluh tahun.
Selama itu dia gunakan waktunya untuk membangun Thian-siau-sian-hu dan memutuskan takkan
berhubungan dengan dunia luar lagi untuk-selama-lamanya. Di luar dugaan ketika sedang membangun
guha itu, dia telah berhasil menemukan guha rahasia tempat penyimpan kitab pusaka dari Thian Lo Cinjin
pendiri Thian-sian-bun. Dalam guha itu terdapat bagian pertama dari kitab ilmu Thian-siau-lok-cin, memuat
empat buah irama. Kemudian terdapat lagi bab kedua dari kitab ilmu seruling Thian-siau-lok-cin berada di
atas empatpuluh tujuh batang jarum Kim-coa soh......."
Kini Siau Lo-seng baru menyadari bahwa jarum Kim-coa-soh yang diperolehnya itu berasal dari kitab
pusaka yang paling diincar oleh setiap orang persilatan.
"Lalu sebatang seruling Thian-siau-ceng-ing-sin-tiok dan seruling Bi-hun-sin-siau," kata orang aneh itu pula.
"Seruling gaib Thian-siau-ceng-in-sin-tiok bukankah yang dibawa ayah angkat ku itu dan seruling Bi-hun-sinsiau yang dibawa Buddha emas Ang Siong-pik itu" Lalu bagaimanakah Kiam Hay Cinjin melewatkan
kehidupannya selama enampuluh tahun?"
"Pada saat suhu menutup mata, beliau telah memberikan seruling Thian-siau-ceng-ing-sin-tiok itu kepada
ayah-angkatmu. Seruling itu merupakan tanda kekuasaan dari ketua perguruan kami. Selama enampuluh
tahun itu, suhu hanya hidup dari tanaman dan buah-buahan serta sumber air Thian-yan-ci-wi-gok-coan."
"Locianpwe, bukankah apabila minum air dari sumber itu terus akan tumbuh bulu?" tanya Siau Lo-seng.
"Benar, Thian-yan-ci-wi-gok-coan merupakan satu-satunya sumber air dalam guha Thian-siau-sian-hu.
Airnya bening tetapi agak pahit. Apabila meminumnya memang dapat menambah tenaga kekuatan tetapi
badan kita pun akan tumbuh bulu yang panjang dan tak dapat dihilangkan lagi. Karena apabila bulu itu
dihilangkan, darah akan mengucur keluar dari lubang pori dan orang pun tentu binasa."
"Jika demikian Kiam Hay locianpwe, engkau, ayah angkatku dan Buddha emas Ang Siong-pik tentu penuh
dengan bulu panjang."
"Sudah tentu aku tak terkecuali," kata orang aneh itu, "tetapi suhuku tidak demikian. Hanya kepala dan
kumis serta jenggotnya yang panjang. Sedang tubuhnya tidak. Hal itu karena ada sebab lain?""
"Yang paling menyedihkan," kata orang aneh itu pula, "setelah mengasingkan diri selama enampuluh tahun
itu, beliau masih harus mengalami riwayat yang lebih panjang dan nasib yang mengenaskan."
"Ah, apakah dia masih mengalami penderitaan lagi?" tanya Siau Lo-seng.
Dengan nada rawan-rawan garam berkatalah orang aneh itu:
"Memang nasib suhu itu kurang baik. Selama enampuluh tahun itu beliau dengan tekun telah berhasil
mempelajari kita pusaka peninggalan Thian Lo Cinjin cousu dan setelah mengadakan perenungan selama
tujuh tahun, suhu telah berhasil menciptakan sebuah kitab untuk menempa arwah, disebut Lian-hun-cinkeng. Dibagi menjadi tiga jilid.
Tetapi ketiga kitab itu bahkan malah menyebabkan dia harus mengalami hari-hari terakhir yang penuh
dendam?", ah, pada saat beliau menutup mata, beliau masih meninggalkan harapan yang belum
terpenuhi." 15.73. Siapakah Peniup Seruling Aneh?"
Tergetarlah hati Siau Lo-seng mendengar keterangan itu. Pikirnya, "Kitab itu telah dicuri oleh suhuku Ban Lihong. Apakah Kiam Hay Cinjin telah dicelakai oleh suhuku?"?"
"Adakah karena kehilangan kitab Lian-hun-cin-keng itu maka Kiam Hay Cinjin sampai menderita siksaan?"
serentak ia bertanya. "Benar," seru orang aneh itu, "adalah karena kitab itu maka suhu sampai dicelakai oleh muridnya yang
berhati binatang itu. Suhu telan dikutungi kedua kaki dan urat-uratnya. Tulang bahunya diikat dengan seutas
rantai Kim-kong-seng-thiat (campuran besi, emas dan baja) dan dipenjarakan dalam Thian-siau-sian-hu. Dia
disiksa seperti dalam neraka, siang malam dihancurkan ilmu kepandaian oleh murid binatang itu."
Mendengar itu hampir pecahlah dada Siau Lo-seng karena diamuk hawa kemarahan. Dia tak kira kalau
suhunya ternyata seorang yang berlumuran dosa.
dunia-kangouw.blogspot.com
Dengan gemetar ia berseru, "Cianpwe, benarkah suhuku Ban Li-hong itu melakukan perbuatan yang
sedemikian di luar perikemanusiaan?"
Orang aneh itu menghela napas.
"Lo-seng, engkau salah. Apa engkau kira Ban Li-hong itu menjadi murid dari perguruan Thian-sian-bun?"
"Tetapi walaupun bukan murid yang berhianat, namun kematian dari suhuku adalah akibat Ban Li-hong
telah mencuri kitab Lian-hun-cin-kang dan ke empatpuluh tujuh batang jarum Kim-coa-soh itu."
"Bukankah cianpwe mengatakan bahwa perguruan Thian-sian-bun itu sudah memutuskan hubungan
dengan dunia luar" Mengapa suhuku dapat mencuri kitab Lian-hun-cin-keng dan Jarum Kim-coa-soh?"
"Peristiwa itu memang aneh sekali. Gua Thian-siau-sian-tong terletak di sebuah karang buntu, di tengahtengah gunung yang pelik keadaannya. Yang ada hanya sebuah jalan kecil menuju ke tempat itu. Kabarnya
Ban Li-hong sedang mencari tanaman daun obat ke karang buntu itu. Karena kurang hati-hati, dia tergelincir
ke bawah. Untung dia masih dapat selamat dan bahkan tanpa sengaja telah menemukan pintu dari guha
Thian-siau-tong. Ketika dia masuk, saat itu kebetulan suhu sedang melakukan semedhi yang gawat. Beliau
seolah-olah menghampakan diri, mematikan seluruh gerak panca inderanya. Dalam keadaan yang tak
berdaya itulah maka Ban Li-hong dapat mencuri salah satu dari ketiga kitab pusaka dan empatpuluh tujuh
batang jarum Kim-coa-soh. Sebelum pergi, ia meninggalkan tulisan, mengatakan hanya hendak meminjam
untuk sementara waktu saja. Ah, perbuatan Ban Li-hong, itu memang terkutuk."
Orang aneh itu berhenti. Setelah menghela napas, ia melanjutkan lagi.
?""mungkin Ban Li-hong tak mengira bahwa perbuatannya itu akan mengakibatkan 3uhu sampai
menderita sedemikian hebat, ah......"
"Lalu bagaimaua kelanjutannya?" tanya Siau Lo-seng.
"Kepergian Ban Li-hong membawa kitab dan jarum, hanya terpaut setengah jam pada saat suhu
menyelesaikan semedhinya. Ketika suhu keluar mengejar, dengan ilmu ginkang yang istimewa Ban-Li-hong
sudah terbang jauh. Suhu merasa tak mampu mengejar dan terpaksa kembali ke dalam guha."
"Masakan dengan kepandaiannya yang begitu sakti, Kiam Hay cianpwe tak mampu mengejar suhuku?"
tanya Siau Lo-seng. "Sukar untuk kukatakan," seru orang aneh itu, "hanya terpaut sekejap mata, sudah terpisah seribu lie.
Apalagi Ban Li-hong itu memang termasyhur memiliki ilmu ginkang yang luar biasa. Setengah jam baginya
sudah dapat mencapai seratusan lie, Mungkin karena arah pengejarannya salah atau memang ada lain
soal, suhu tak dapat mengejarnya. Sejak itu maka ilmu Lian-hun-cin-keng dan jarum kim-coa-soh itu segera
bocor di dunia persilatan. Dan ketika pulang ke guha sehabis mengejar Ban Li-hong, suhu mendapatkan
seorang menggeletak di depan pintu guha."
"Bukankah dia murid penghianat yang menyiksa suhunya itu?" seru Siau Lo-seng.
"Benar, dia adalah Buddha emas Ang Siong pik!" seru orang aneh itu, "karena kuatir kitab Lian-hun-cin-keng
dan jarum Kim-coa dapat menimbulkan bencana dalam dunia persilatan maka suhu telah menerima Ang
Siong-pik menjadi murid. Tetapi tak kira......."
"Ah, tak kiranya setelah dihantam jatuh ke dalam karang buntu oleh paderi Ko Bok dari Siau-lim ternyata
Ang Siong-pik malah ditolong oleh Kiam Hay locianpwe. Tetapi budi pertolongan itu dibalas dengan
tindakan macam binatang, bukan saja menghianati pun malah menyiksa suhunya sampai di luar
perikemanusiaan. Hm, apabila kelak berjumpa dengan Ang Siong-pik, aku tentu akan menuntutkan balas
untuk Kiam Hay cianpwe," seru Siau Lo-seng.
Rupanya orang aneh itu tergerak mendengar pernyataan pemuda itu, serunya:
"Dendam itu, aku dan ayah-angkatmu memang takkan tinggal diam. Tetapi saat ini, memang belum
waktunya. Dan lagi Ang Siong-pik saat ini sudah berhasil mempelajari ilmu meniup seruling sampai tiga
buah irama dan memiliki seruling Bi-hun-sin-siau. Dan lagi pula diapun sudah menguasai enambelas
pengawal baju merah dari Thian-siau-sian-hu. Kekuatannya memang bukan main hebatnya. Jangan
dipandang enteng!" Mendengar keterangan itu. Siau Lo-seng seperti disadarkan. Ternyata keenambelas pengawal baju merah
dan baju putih dari Ang Siong-pik itu berasal dari perguruan Thian-siau-sian-hu, itulah sebabnya maka
kepandaian mereka begitu tangguh. Dan lagi seperti manusia yang tak mempunyai kesadaran pikiran.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Lo-seng, tahukah engkau mengapa ayah angkatmu sampai kehilangan kaki dan tangannya?"
"Entahlah, apakah Ang Siong-pik yang mencelakainya?"
"Bukan secara langsung mencelakai. Tetapi secara tak langsung telah dicelakai."
"Bagaimana maksudmu?" tanya Siau Lo-seng.
Orang aneh itu menghela napas.
"Ah, pada waktu ayah angkatmu dicelakai orang, sebelumnya dia telah tersasar masuk ke Thian-siau-sianhu. Untuk memperbaiki pendirian perguruan maka suhu memutuskan untuk mengambil seorang murid lagi
agar dapat menghadapi Ang Siong-pik. Serta mengambil pulang kitab dan jarum Kim-coa-soh. Tapi karena
takut kelak ayah angkatmu akan berhianat seperti Ang Siong-pik maka dia diharuskan untuk mengutungi
kedua kaki dan tangannya sendiri sehingga dia menjadi manusia cacad. Adalah pengalaman pahit dari Ang
Siong-pik yang membuat suhu berobah menjadi manusia berhati dingin. Dia tak percaya pada setiap orang
sehingga ayah angkatmu dipaksa untuk mengutungi kaki dan tangannya."
"Apakah ayah angkatku mau melakukan syarat itu?"
"Memang nasib ayah angkatmu yang dirundung kemalangan. Sebenarnya kedua kakinya memang sudah
lumpuh karena dicelakai musuh. Karena tak tahu maka suhuku memerintahkan mengutungi kedua kakinya
kemudian juga kedua tangannya. Adalah karena berkeras hendak menuntut balas, ayah-angkatmu
melakukan perintah itu juga. Dikemudian hari suhuku tahu peristiwa itu. Dia menyesal karena telah
memaksa ayah angkatmu mengutungi kedua tangannya itu."
"Kiranya sccara tak langsung. Ayah angkatku telah menerima akibat dari perbuatan jahat Ang Siong-pik.
Hm, sejak saat ini aku bersumpah tak mau hidup di bawah satu kolong langit dengan manusia itu," seru
Siau Lo-seng. "Sebenarnya Ang Siong-pik itu seorang yang cerdas sekali. Tetapi sayang dia berhati kejam dan ganas.
Kelak apabila berjumpa dengan dia, engkau harus waspada."
Siau Lo-seng merasa simpati sekali atas penderitaan nasib ayah angkatnya. Diam-diam dia berjanji dalam
hati, apabila urusannya sudah selesai ia akan mendampingi orang tua itu dan merawatnya.
"Locianpwe, dahulu ayah angkatku menjabat ketua partai perguruan apa saja?"
Orang itu menyahut agak tersendat-sendat: "Soal itu...... itu...... aku?""
Dia tak dapat melanjutkan kata-katanya. Baru beberapa saat kemudian ia berkata pula,
"Pada masa ayahmu berkelana di dunia persilatan, yang ada hanyalah perkumpulan Hui-hou-pang, Giok-lipang dan Ceng-liong-pang, tiga perkumpulan silat yang terbesar. Selain itu masih terdapat pula Peh-jinpang, Toa-to-beng dan Kay-pang. Walaupun masih banyak lagi perkumpulan dan perhimpunan perguruanperguruan silat, tetapi mereka kecil sekali pengaruhnya......"
"Apakah ayah angkatku menjabat ketua salah satu dari ketiga perkumpulan itu?"
"Bukan hanya salah satu tetapi pun yang paling besar pengaruhnya. Memiliki anak buah sampai tujuhribu
orang, lima buah cabang. Pengaruh perkumpulan itu sejajar dengan partai Siau-lim-pay yang dianggap
sebagai pemimpin dunia persilatan Tiong-goan.
"O, apakah Hui-hou-pang?"
Sebenarnya Siau Lo-seng sudah tahu bahwa perkumpulan Ceng-liong-pang atau Naga Hijau merupakan
perkumpulan yang paling besar dan berpengaruh. Tetapi dia tahu kalau yang menjabat ketuanya yang
terdahulu adalah ayahnya sendiri. Maka ia menerka ayah-angkatnya itu tentu menjabat ketua Hui-hou-pang
atau Macan Terbang. Orang aneh itu mendecak tetapi tak jadi buka suara.
"Cianpwe, apakah ada suatu rahasia yang sukar dikatakan" Kalau memang demikian, tak apa jangan
dikatakan," seru Siau Lo-seng.
Orang aneh itu tiba-tiba menghela napas: "Lambat atau cepat tentu akan kukatakan juga, lebih baik?""
"Lalu perkumpulan apa?" tukas Siau Lo-seng.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Dahulu ayah angkatmu itu menjabat sebagai ketua dari perkumpulan Naga Hijau......"
"Naga Hijau?" Siau Lo-seng berteriak kaget. "ayah-angkatku itu ketua Naga Hijau" Tetapi kudengar, ketua
Naga Hijau yang terdahulu adalah tokoh yang bergelar Naga sakti tanpa bayangan?"" .
Orang aneh itu menghela napas pula.
"Lo-seng, sebenarnya aku telah menerima pesan dari ayahmu, untuk sementara tak boleh membocorkan
rahasia ini. Tetapi?""
"Locianpwe, apa engkau bilang?" Siau Lo-seng berteriak kaget, "engkau telah menerima pesan dari
ayahku" Dia?", dia?""
Hampir dia tak percaya pada pendengarannya sehingga ia menegas.
Dengan helaan napas rawan, orang aneh itupun berkata lembut:
"Seng-ji, tidakkah engkau tahu bahwa orang tua peniup seruling itu bukan lain adalah ayah kandungmu
yang telah berpisah dengan engkau selama delapanbelas tahun dan menjabat ketua terdahulu dari
perkumpulan Naga Hijau?"
Jantung Siau Lo-seng serasa meledak, darah berhenti mengalir dan airmatanya pun berderai-derai
membanjir ketika mendengar keterangan itu.
Bukan airmata kesedihan melainkan airmata kegembiraan yang tak terlukiskan?"
Tak pernah setitikpun ia menyangka bahwa orang tua peniup seruling yang kedua kaki tangannya buntung
ternyata Siau Han-kwan, ayah kandungnya sendiri.
"Locianpwe, apakah beliau benar-benar Siau Han-kwan ayahku sendiri?"?"
"Ya, dia memang Siau Han-kwan dari desa Hay-hong-cung, ayahmu sendiri......."
"Locianpwe, adakah beliau sudah tahu bahwa aku ini puteranya?" masih Siau Lo-seng bertanya pula.
"Tolol, sudah tentu dia tahu! Kalau tidak masakan dia begitu memperhatikan dirimu?"
"Tetapi mengapa ayah tak mengakui aku?"
"Hal itu mungkin ada sebabnya," kata orang aneh itu, "atau mengandung maksud lain. Bukankah telah
kukatakan bahwa pertemuan kita itu belum tiba saatnya" Sekarang sudah banyak rahasia yang kuberitahu
kepadamu. Hal itu sudah melanggar perintah ciang-bun (ketua). Pokoknya, kelak engkau tentu tahu
semua." "Peristiwa darah di Hay-hong-cung, tidakkah ayah mengetahui jelas?" masih Siau Lo-seng lontarkan
pertanyaan. "Jika tahu masakan dia akan mengerahkan anak buah untuk menyelidiki pembunuhnya itu. Ketika terjadi
peristiwa itu, ayahmu juga kehilangan itu. Sudah tentu sekarang beliau tahu tetapi?""
"Apa" Adakah pembunuh-pembunuh itu hanya diperalat orang?" teriak Siau Lo-seng.
"Di antara pembunuh-pembunuh itu memang salah seorang mempunyai sedikit dendam kepada ayahmu.
Kemudian karena dihasut orang, dia telah melakukan perbuatan yang sekeji itu. Setelah diam-diam
kuselidiki, memang ada beberapa di antara pembunuh-pembunuh itu yang menyesal. Bahkan ada yang
bunuh diri...... Sedang biang keladinya memang seorang manusia yang licin sekali sehingga masih sukar
diketahui jejaknya."
"Bagaimana mungkin sekali gus dia dapat menyuruh orang untuk melakukan pembunuhan itu?" Siau Loseng terkejut.
"Ah, dia memang seorang tokoh yang luar biasa. Seorang manusia yang seperti naga kelihatan ekornya
tetapi tak tampak kepalanya. Setelah lebih dari sepuluh tahun merenungkan, akhirnya ayahmu dapat
menarik kesimpulan kepada beberapa orang yang cenderung untuk dicurigai. Tetapi sebelum mendapat
bukti-bukti yang nyata, masih belum berani menentukannya."
"Siapa-siapa sajakah yang dicurigai itu?" Siau Lo-seng mendesak.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Sekalipun kusebut namanya, juga takkan membikin terang urusan itu," kata si orang aneh, "saat ini kami
masih berusaha keras untuk mengumpulkan bukti-bukti agar kelak kita dapat mengumumkan kepada
dunia." "Jika demikian," kata Siau Lo-seng, "Hun-liong-jit-gan, Kwan-gwa Su-hiong, Hoa-san Ngo-hou dan ketua
perkumpulan Sin-kun-bun itu, bukan biang keladi pembunuhnya?""
"Sekalipun bukan biang keladi tetapi mereka ikut turun tangan dalam pembunuhan itu. Kalau engkau
membunuh mereka, itupun tidak salah. Tetapi pembunuhan habis-habis terhadap keluarga perguruan Sinkun-bun yang engkau lakukan itu, memang agak ganas."


Pendekar Seratus Hari Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Siau Lo-seng terkejut. "Locianpwe, tigapuluhan jiwa dari perguruan Sin-kun-bun itu bukan aku yang membunuh. Saat itu aku
sedang mengadakan pertempuran dengan Gan Ti-kiat di sebuah hutan lebih kurang setengah lie dari desa
tempat perguruan Sin-kun-bun. Dua orang pengawal dari Gan Ti-kiat telah mati kubunuh dengan pedang
Ular Emas. Sedang Gan Ti-kiat sendiri setelah bertempur dengan tangan kosong dalam satu jurus, dia mati
tertusuk Pedang Ular Emas juga. Tetapi aku heran dan curiga, mengapa sebagai ketua dari perguruan Sinkun-bun, kepandaian Gan Ti-kiat begitu rendah sekali.......?"
"Dan setelah engkau kembali ke markas Sin-kun-bun, bukankah seluruh keluarga mereka telah binasa
semua?" tukas orang itu.
"Benar," jawab Siau Lo-seng, "pikirku hendak memberitahu kepada mereka supaya mengurus jenazah Gan
Ti-kiat, tetapi ternyata seisi rumah telah ludas semua."
"Bangsat itu memang licin sekali," seru orang itu geram, "menilik keadaan itu, dia selalu membayangi
engkau saja. Dan kemungkinan Gan Ti-kiat bukan engkau yang membunuh."
"Bermula kukira, pada saat dia kuajak berkelahi di luar desa, ada lain musuh yang menyerbu rumahnya dan
membasmi seluruh keluarganya. Gan Siok-tin, puteri bungsu dari Gan Ti-kiat tak ikut binasa. Dia terus
hendak mencari aku untuk membalas dendam. Tetapi gagal dan sejak itu dia tak muncul lagi. Baru tadi
kuketahui kalau keluarga Gan masih mempunyai seorang menantu perempuan yang tak terbunuh, yalah Lu
Kui-hun." "Itulah kelihayan pembunuh durjana," seru orang aneh, "dia sengaja meninggalkan seorang menantu
perempuan dari keluarga Gan, agar mereka dapat mengatakan engkaulah yang membunuh keluarga Gan.
Kemudian menghasut orang-orang yang telah engkau celakai itu supaya memusuhi engkau sehingga
engkau sukar untuk muncul di dunia persilatan. Secara tak langsung, dia telah membunuh namamu di dunia
persilatan. "Bangsat itu memang ganas benar," teriak Siau Lo-seng.
"Tetapi hal itu hanya menurut kesimpulanku sendiri. Benar tidaknya, nanti dapat engkau buktikan setelah
engkau berhasil mengumpulkan bukti-bukti yang nyata."
"Locianpwe, engkau mengatakan bahwa dalam waktu setahun juga, aku tak mungkin dapat menemukan
jejak pembunuh licin itu. Paling akhir ini di dunia persilatan muncul seorang pembunuh ganas yang
menggunakan nama Kim-coa Long-kun. Pada hal itu gelar yang diberikan orang persilatan kepada diriku.
Dengan begitu jelas dia hendak memfitnah dan memburukkan namaku. Adakah dia mempunyai hubungan
dengan biang keladi pembunuh itu" Siapakah kiranya orang itu?"
Orang aneh tertawa nyaring.
"Keadaanmu saat ini serupa dengan ayahmu pada sembilanbelas tahun yang lalu. Tetapi tak perlu engkau
resah. Orang yang memfitnah nama baikmu dengan melakukan pembunuhan dan memakai nama Kim-coa
Long-kun itu, sudah berada dalam genggaman kami. Kita akan gunakan dia untuk umpan memancing
keluar biang keladi pembunuh ganas itu."
15.74. Paling Pintar adalah Paling Bodoh
"Kalau begitu locianpwe memang sengaja melepaskan dia berkeliaran melakukan pembunuhan?" tanya
Siau Lo-seng. dunia-kangouw.blogspot.com
"Bukan begitu," kata orang aneh. "kami hanya menghendaki supaya pembunuh utama dari Hay-hong-cung
itu akan kembali mempertunjukkan diri. Walaupun sangat pelik sekali manusia ganas itu menyelubungi
jejaknya, tetapi tentu meninggalkan setitik kelengahan yang pasti dapat kita ketemukan, Daripada
menyelidiki secara membabi buta tanpa pegangan, lebih baik kita gunakan semacam itu."
"Locianpwe," kata Siau Lo-seng pula, "Aku benar-benar bingung memikirkan keterangan locianpwe.
Terhadap peristiwa pembunuhan itu, tampaknya kalian sudah mempunyai pegangan tetapi masih tak berani
bertindak untuk menunjukkan bukti-buktinya. Adakah locianpwe terikat perjanjian dengan orang atau
menderita tekanan dari pihak tertentu?"
Orang aneh itu tertawa nyaring.
"Dalam dunia persilatan dewasa ini, kecuali ketua kami siapakah yang mampu menekan aku" Mengapa aku
harus takut segala macam ancaman...... Tindakan seseorang, adakalanya memang orang lain sukar
merabahnya. Urusan kami, sudah tentu engkaupun tak tahu jelas. Dan terakhir akan kuberitahu kepadamu,
bahwa karena akan mengurus suatu pekerjaan yang penting, terpaksa aku tak dapat melindungimu.
Kuharap engkau dapat menjaga diri dengan meningkatkan kewaspadaan. Berhati-hatilah dalam segala
tindakan!" "Locianpwe, lebih dari setahun secara diam-diam engkau telah melindungi diriku. Tetapi selama itu belum
pernah engkau memberi bantuan yang nyata dalam setiap persoalan yang kuhadapi. Hal itu sungguh
membuat aku tak mengerti."
"Benar," sahut orang aneh itu. "memang selama setahun melindungi engkau itu, tak pernah aku turun
tangan membantumu, Tampaknya memang engkau tak merasakan suatu manfaat apa-apa, tetapi
sesungguhnya hal itu mengandung maksud yang penting. Kelak engkau tentu akan tahu."
Siau Lo-seng makin bingung. Kata-kata orang aneh itu memberi kesan bahwa ayahnya tak begitu ngotot
untuk menyelidiki peristiwa pembunuhan di Hay-hong-cung. Seolah-olah ada sesuatu yang tersembunyi.
Dan yang paling menggelisahkan pikirannya yalah mengapa ayahnya tak mau bertemu dengan dia"
Adakah perguruan Thian-sian-bun mempunyai peraturan, bahwa ayah dan putera itu tak boleh berkumpul"
Dan siapakah kiranya orang aneh yang tengah bicara dengannya saat itu" Adakah keterangannya dapat
dipercaya semua" Siau Lo-seng menghela napas panjang,
"Locianpwe, siapakah engkau ini sesungguhnya" Bolehkah aku melihat wajah locianpwe?"
Siau Lo-seng mempunyai semacam perasaan bahwa selama bertukar pembicaraan dengan orang aneh itu,
dia merasa seperti sudah pernah kenal baik dan ada suatu perasaan yang dekat dalam hati.
"Masakan aku tak ingin sekali bertemu muka dengan engkau," seru orang aneh itu, "namun terpancang oleh
peraturan perguruan dan lain-lain alasan?" tetapi janganlah engkau memikirkan hal itu. Tak lama engkau
tentu akan mengetahui semua urusan ini......."
Nada orang itu amat tegang sekali. Seolah-olah dia sedang menekan luapan perasaan hatinya.
Sejenak berhenti, ia melanjutkan pula: "Lo-seng, tahukah engkau mengapa kupikat engkau datang ke sini"
Ah, tak perlu katakan lagi. Sekarang aku harus pergi. Apabila terlambat tentu akan menelantarkan urusan
besar. Engkau mau tahu aku ini siapa" Asal engkau dengan teliti menarik kesimpulan dari benda pengenal
diri yang kuberikan ini, mungkin engkau akan dapat menyingkap sedikit-sedikit. Nah, sampai jumpa lagi dan
harap menjaga dirimu baik-baik."
Tiba-tiba kata-kata itu putus dan lenyap. Sekonyong-konyong Siau Lo-seng melihat semacam tanda aneh
meluncur cepat sekali ke arahnya. Cepat ia menyisih ke samping lalu menyambuti benda itu.
"Locianpwe, apakah engkau sudah pergi?" serunya nyaring.
Tetapi hutan sunyi senyap tiada suara penyahutan apa-apa.
Siau Lo-seng menyadari bahwa orang aneh itu tentu sudah pergi. Ia memeriksa benda yang digenggamnya
itu. Ah, ternyata sebuah lencana tembaga yang kuno bentuknya.
Pada lencana itu, permukaannya terdapat ukiran seekor naga hitam. Belakang lencana hanya terdapat
beberapa huruf. Siau Lo-seng seperti pernah melihat lencana itu. Tapi ia lupa dimana.
dunia-kangouw.blogspot.com
Ia memeriksa dengan teliti dan makin merasa bahwa dia pernah melihat lencana seperti itu.
"Adakah kulihatnya pada waktu aku masih anak-anak yang belum tahu apa-apa?" pikirnya, "ah, mungkin
benar. Bukankah orang aneh itu suruh aku merenung dengan teliti?"
Memang dunia ini penuh dengan hal-hal yang aneh. Ada kalanya, "ya tetapi bukan" ada kalanya "bukan
tetapi ya". Pada saat itu timbullah suatu pengalaman dalam hati Siau Lo-seng. Ia merasa bahwa barang siapa yang
menganggap dirinya paling pintar, dialah orang yang paling bodoh.
Selama setahun ini, ia menganggap kepandaiannya sudah hebat dan gerak geriknya pun serba aneh.
Tetapi ternyata ada lain orang yang lebih hebat lagi karena telah mengikuti dirinya tanpa diketahuinya sama
sekali. Iapun merasa bahwa banyak sekali perkara di dunia ini yang di luar dugaan orang.
Ayah-angkatnya seorang yang cacat, tak dapat berjalan seperti manusia biasa. Di luar dugaan tiba-tiba kini
ayah-angkat itu menjadi ayah kandungnya yang sungguh. Seorang ketua dari perguruan Thian-sian-bun
yang berilmu tinggi. Sebagai seorang putera, seharusnya Siau Lo-seng girang dengan hal itu. Tetapi entah
bagaimana, dia tak begitu cerah hatinya?"
Teringat pula, betapa susah payah ia pontang panting kemana-mana untuk mencari balas pada pembunuh
yang telah menjagal seluruh keluarganya. Siapa tahu, ayahnya yang tertimpah bencana itu, malah tenangtenang bersembunyi dalam gedung bertingkat itu dan menikmati kehidupan yang tenteram. Ayahnya telah
menitahkan seorang anak buahnya untuk mengikuti perjalanannya, tetapi hanya terbatas mengikuti saja dan
tak penah memberi bantuan yang nyata?"
Aneh, aneh sekali"..!
******************** Demikian sambil ayunkan langkah, benak penuh dengan berbagai pikiran dan renungan.
Tiba-tiba ia mendengar kumandang suara pekikan dan gemerincing senjata beradu. Serentak terlintas
dalam pikirannya, apakah orang aneh itu telah dihadang musuh.
Walaupun jauh tetapi ia masih dapat menentukan arah suara itu. Setengah lie di sebelah timur. Cepat ia lari
menuju ke tempat itu. Memang benar. Tak berapa jauh berlari, suara pertempuran itu makin terdengar jelas yang bertempur itu
bukan hanya sedikit melainkan rombongan orang banyak.
Siau Lo-seng mempercepat larinya. Tak berapa jauh berlari, di bawah lereng gunung di muka sebuah
padang belantara yang penuh ditumbuhi rumput dan semak, tiga-empatpuluh sosok bayangan orang tengah
bertempur seru. Walaupun tengah malam tetapi Siau Lo-seng dapat melihat jelas orang-orang itu. Kecuali dua jenis pakaian
yang berbeda dari puluhan orang yang bertempur acak-acakan itu, ia melihat dua pasang partai
pertempuran itu, seperti sudah kenal dengan orangnya. Pertempuran itu berlangsung antara dua orang
nona lawan dua orang pemuda.
Partai yang satu, antara Li Giok-hou lawan Hiat Sat Mo-li, murid pertama dari Jin Kian Pah-cu.
Hiat Sat Mo-li mengenakan pakaian warna biru. Sepasang tangannya berkelebatan laksana menari.
Rambutnya bertebaran mengiring gerak tubuhnya. Cantik dan sedap dipandang.
Tetapi menghadapi permainan ilmu golok dari Li Giok-hou nona itu memang tak dapat berbuat banyak.
Keduanya berimbang kepandaiannya.
Sedang partai yang lain adalah dua orang anak muda yang sudah lama dicarinya karena berani menyamar
seperti dirinya. Yang lelaki, seorang pemuda bermuka putih, wajah mirip dengan dirinya, demikian juga
pakaiannya. Bertempur melawan seorang nona baju merah yang menggunakau pedang. Dan nona itu mirip
sekali dengan Nyo Cu-ing.
dunia-kangouw.blogspot.com
Paling memuakkan hati Siau Lo-seng yalah pemuda baju putih itu kecuali wajahnya pun juga menggunakan
senjata pedang yang menyerupai dengan pedang Ular Emas.
Apabila saat itu Siau Lo-seng tak memergoki, lain orang tentu menganggap bahwa Siau Lo-seng lah yang
sedang bertempur itu. Juga nona yang menyamar sebagai Cu-ing itu. Apabila Siau Lo-seng tak paham bahwa Cu-ing yang aseli
tak pernah mengenakan pakaian warna merah, tentulah dia akan keliru menyangka nona itu sebagai Cuing.
Cepat Siau Lo-seng menilai keadaan yang dilihatnya di depan mata saat itu. Cepat pula ia dapat
mengetahui bahwa pertempuran besar itu dilakukan oleh orang Lembah Kumandang lawan orang Ban-jinkiong. Baginya, siapapun yang menang, tak ada kepentingannya. Bahkan kalau membiarkan mereka
bertempur sampai dua-dua remuk, rasanya lebih menguntungkan.
Tetapi terhadap kedua manusia yang menyamar sebagai dirinya dan Cu-ing itu, dia tak mau melepaskan.
Tetapi dia tak mau menindak mereka saat itu. Lebih baik dia bersembunyi melihat mereka bertempur.
Segera Siau Lo-seng enjot tubuhnya melambung ke atas sebatang pohon yang tinggi. Dari pohon itu dia
dapat melihat jelas jalannya pertempuran.
Walaupun pedang Ular Emas yang dimainkan pemuda Baju putih itu bukan pedang pusaka tetapi
permainan ilmu pedangnya memang hebat sekali.
Nona baju merah yang menyamar sebagai Cu-ing itu, walaupun tidak lemah tetapi kepandaiannya masih
kalah setingkat dengan pemuda baju putih itu. Beberapa jurus kemudian nona itu tampak tak kuat bertahan.
Tetapi rupanya pemuda baju putih memang sengaja hendak mempermainkannya. Setelah menghindar dari
tabasan si nona, pemuda baju putih itu tusukkan jarinya ke dada si nona seraya tertawa cabul:
"Ai, tak usah malu-malu. Siau Lo-seng dan Nyo Cu-ing itu seharusnya bermesra-mesraan. Ayo, kita saling
cium"..." "Anjing, dia bukan seperti engkau. Cis, tak tahu malu!" nona itu mendamprat marah.
Mendengar itu Siau Lo-seng heran, pikirnya: "Aneh, dari manakah nona itu?"
Sambil memaki, nona itu bergeliat menghindari jari lawan lalu balas menyerang. "Sret, sret, sret?"" tiga
buah tabasan segera dilancarkan.
Siau Lo-seng makin terkejut. Jelas diperhatikannya bahwa tiga jurus serangan pedang nona itu adalah ilmu
pedang ajaran Tay Hui Sin-ni. Mengapa nona itu dapat memainkan, bahkan sehebat gerakan Cu-ing"
Tiba-tiba terdengar bentakan keras. Tubuh pemuda itu mengendap ke bawah dan secepat kilat balas
menusuk tiga kali lalu membuang tubuh berguling-guling ke tanah.
"Sret?"" lengan baju pemuda baju putih terpapas tetapi orangnya masih dapat menyelamatkan jiwanya.
Diam-diam Siau Lo-seng kagum. Pemuda baju putih itu memang lihay dan tenang sekali menghadapi
ancaman maut. Tiga buah jurus ilmu pedang dari Tay Hui Sin-ni yang digunakan untuk menyelamatkan diri dari bahaya
maut. Walaupun tampaknya biasa sekali tak ada yang mengejutkan tetapi sekali dilancarkan akan membuat
lawan tak sempat menghindar.
Rupanya pemuda baju putih itu marah sekali. Dengan gerak Pek-ho-jong-thian atau Bangau putih
menerobos langit, dia melambung ke udara untuk menghindari babatan pedang si nona yang ditujukan ke
arah perut. "Perempuan busuk, kiranya engkau masih mempunyai simpanan. Hendak kulihat berapa banyak jurus ilmu
pedang yang engkau curi dari Tay Hui Sin-ni!" teriak pemuda itu.
Sambil memaki, dia bergeliatan, menukikkan kepalanya ke bawah. Lalu dengan jurus Harimau buas
menerkam kambing, ia taburkan pedangnya ke kepala si nona.
"Tring?"" Terdengar lengking benturan pedang yang amat keras dan nona baju merah itupun terhuyung-huyung
mundur sampai tujuh-delapan langkah.
dunia-kangouw.blogspot.com
Setelah mendapat angin, pemuda baju putih itu tak mau memberi ampun lagi. Ia cepat memburu maju dan
membentak: "Terimalah sebuah seranganku lagi, jurus Hong-soh cian-kun!"
"Tring......." Kembali kedua pedang saling beradu keras sehingga menimbulkan percikan bunga api. Nona baju merah
kembali terhuyung-huyung mundur sampai tujuh langkah.
Yong-kwan-jit-kun dan Ngo-gak-ya-ting adalah dua jurus serangan pedang yang dilancarkan pemuda baju
putih lagi. Nona baju merah pucat wajahnya dan terus menerus terhuyung mundur.
Saat itu tiba-tiba terdengar dua buah jeritan ngeri. Dua anak buah baju hitam dari Ban-jin-kiong telah hancur
kepalanya karena dihantam oleh Hiat Sat Mo-li.
Rupanya Li Giok-hou juga menderita luka dalam. Dia muntah darah. Dengan deliki mata ia membentak:
"Cobalah engkau sambuti ilmu pukulan Keng-bun-jit-ciang ini!"
Kedua tangannya bergerak dan tujuh buah pukulan berhamburan dilancarkan. Angin dahsyat melanda
seluruh jalan darah berbahaya dari Hiat Sat Mo-li.
Tetapi murid pertama dari Jin Kian Pah-cu itu memang lihay. Laksana ulat bermain dalam air ataupun kupukupu berlincahan di antara bunga-bunga. Bergeliatan menghindar kian kemari sampai tujuh buah serangan
Li Giok-hou habis. Kemudian dengan lengking tawa yang menggemerincing, ia melangkah maju, menyusupkan pukulannya di
antara hujan serangan. "Bum?"" Dada Giok-hou tepat termakan tinju si nona. Seketika pemuda itu muntah darah dan terhuyung mundur
sampai empat-lima langkah.
Siau Lo-seng terkejut sekali. Ia tak pernah menyangka bahwa hanya dalam waktu setengah tahun tak
bertemu, sekarang kepandaian Hiat Sat Mo-li maju begitu pesat. Kecepatannya bertahan lalu menyerang
yang sedemikian pesat, memang jauh berbeda dengan Hiat Sat Mo-li setengah tahun yang lalu.
Hiat Sat Mo-li melangkah maju lagi dan secepat kilat telah lancarkan enam buah pukulan.
Li Giok-hou bukan jago lemah. Walaupun dalam beberapa saat ia terdesak, tetapi ia masih tetap dapat
bertahan. 15.75. Siau Lo-seng Palsu . . . . . ?"!!
Di lain partai, pertempuran telah berobah pincang. Rambut nona baju merah kusut bajunya berhias
beberapa lubang tusukan pedang, Sikapnya pontang panting. Dia bertempur secara kalap.
Kebalikannya, pemuda baju putih itu dengan seenaknya berputar-putar melingkari si nona mengucapkan
kata-kata yang cabul dan secara tiba-tiba mencuri peluang untuk menusuk. Mantel si nona baju merah
terpapas jatuh, keadaannya makin mengenaskan.
Melihat itu bergolaklah darah Siau Lo-seng. Manusia semacam pemuda baju putih itu tak boleh dibiarkan
berkeliaran di dunia persilatan. Dia berani memalsu nama Siau Lo-seng, bertindak cabul dan seorang
pembunuh ganas. Siau Lo-seng memutuskan untuk membasmi pemuda itu.
"Nona," seru pemuda baju putih dengan tertawa cengar cengir. "hentikan seranganmu dan marilah kita
bersahabat mesra, engkau tentu akan mendapat kebahagiaan?""
Nona baju merah itu membuang ludah lalu memakinya "Engkau memang anjing yang tak tahu malu!"
Pemuda baju putih itu tertawa makin keras: "Engkau menyaru sebagai orang lain, kemana-mana memikat
orang apakah itu tidak lebih tak tahu malu?"
"Aku menyaru sebagai nona Nyo tetapi tidak sehina seperti engkau yang melakukan berbagai perbuatan
biadab dan nista!" teriak nona itu marah sekali.
dunia-kangouw.blogspot.com
Menyiak pedang si nona, pemuda baju putih menusukkan Pedang Ular Emas ke perut lawan.
Terdengar jeritan nyaring. Celana nona itu telah robek sepanjang setengah meter sehingga karena malunya
nona itu sampai rubuh pingsan.
Tetapi pemuda baju putih itu memang ganas sekali. Tanpa merasa kasihan sedikitpun, dia mengangkat
pedang dan menabas kedua buah dada si nona.
Perobahan situasi itu terjadi cepat sekali sehingga orang tak sempat berbuat apa-apa lagi. Waktu
mendengar jeritan melengking. Hiat Sat Mo-li berpaling. Dia terkejut sekali melihat keadaan nona baju
merah itu, Tetapi karena jaraknya cukup jauh, iapun tak dapat menolong.
Pada saat maut hendak merenggut jiwa nona itu sekonyong-konyong terdengar suara bentakan
menggeledek: "Tahan!"
Bagai seekor burung rajawali, Siau Lo-seng melayang dari atas pohon tinggi dan terus menerkam kepala
pemuda baju putih itu. Kembali sekalian orang terkejut menyaksikan peristiwa yang tak terduga-duga itu. Pemuda baju putih cepat
loncat ke belakang lalu maju pula membabat.
Betapapun ia bergerak cepat tetapi masih tetap terlambat selangkah.
Siau Lo-seng bergeliat cepat sekali seraya menjentikkan jari. Pemuda baju putih itu menjerit ngeri dan
pedangnya pun sudah pindah ke tangan orang. Dia loncat mundur sampai setombak jauhnya dan berseru
kaget: "Engkau?""
Saat itu Siau Lo-seng mencekal pedang Ular Emas tiruan dan tengah memandang ke arah pemuda baju
putih itu. Dia agak termangu. Bukan saja pemuda baju putih itu berkepandaian tinggi tetapi rasanya ia
sudah pernah kenal seperti ia kenal pada dirinya sendiri.
Kemunculan Siau Lo-seng telah mengejutkan sekalian orang. Mereka serempak berhenti bertempur.
Lapangan yang luas itupun hening lelap.
Siau Lo-seng mulai ayunkan langkah pelahan-lahan menghampiri pemuda baju putih.
Tampak pemuda baju putih yang memakai kedok muka seperti wajah Siau Lo-seng, gemetar tubuhnya.
Rupanya dia ketakutan dan setapak demi setapak mundur mengikuti derap langkah Siau Lo-seng.
"Siapa engkau?" bentak Siau Lo-seng.


Pendekar Seratus Hari Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bentakan Siau Lo-seng itu telah membuat pemuda baju putih terhuyung mundur sampai beberapa langkah.
Rupanya ia menyadari kalau berbuat salah.
"Dengarkah engkau, siapa dirimu itu"!" teriak Siau Lo-seng.
Bibir pemuda baju putih itu bergerak-gerak tetapi sampai beberapa jenak baru dapat berkata, "Aku?"
aku...... aku......"
"Siau Lo-seng," tiba-tiba Li Giok-hou menyeletuk. "Jangan harap engkau akan mendapat keterangan dari
yu-kiongcu (putera pemimpin yang masih kecil). Percuma saja engkau membuang lidah!"
Siau Lo-seng mendengus dingin lalu mengulang pertanyaan lagi: "Siapa engkau" Engkau dapat mendengar
atau tidak?" Dalam cengkaman ketakutan tiba-tiba terlintas suatu pikiran pada pemuda baju putih itu. Segera ia
menjawah dengan nada yang garang: "Siau Lo-seng, jangan kira aku takut kepadamu!"
"Hm, rupanya engkau ingin minum arak beracun daripada arak manis!" Siau Lo-seng mendengus.
Tiba-tiba Li Giok-hou menyeletuk lagi: "Yu-te, jangan percaya kepadanya! Dalam keadaan genting, tentu
orang kita akan menyambut."
Siau Lo-seng tertawa nyaring.
"Li Giok-hou, sekarang ini keadaanmu sudah seperti orang yang terbenam dalam kedosaan. Adakah
engkau masih mengira hari ini dapat pergi dari sini dengan masih bernyawa" Ha, ha, ha!"
Nyaring tertawanya, seram nadanya sehingga mengerikan telinga.
dunia-kangouw.blogspot.com
Li Giok-hou tertawa mengekeh, serunya, "Akan mati di tangan siapakah rusa itu, masih belum tahu. Jangan
engkau terlalu membanggakan dirimu, Siau Lo-seng."
Siau Lo-seng tertawa dingin.
"Dalam dunia persilatan tiada tempat lagi bagi kawanan bebodoran semacam engkau, Akulah Siau Lo-seng,
yang akan membersihkan segala kutu-kutu seperti dirimu itu!"
Nada pernyataan Siau Lo-seng yang begitu mantap telah membuat hati Li Giok-hou gemetar. Tetapi dia
seorang pemuda yang licin. Tak mau ia unjuk rasa ketakutan itu. Wajahnya tetap tenang saja. Bahkan ia
tertawa menghina. "Siau Lo-seng, tahukah engkau daerah apa ini" Heh, heh?" jangan cepat-cepat tertawa dulu!"
Saat itu Hiat Sat Mo-li sudah berkisar ke tempat si nona baju merah untuk melindunginya. Mendengar katakata Giok-hou, iapun segera melengking
"Li Giok-hou, kematian sudah di depan mata, engkau masih berani bicara segarang itu! Hm, engkau boleh
selicin ruba, tetapi jangan harap hari ini engkau mampu tiaggalkan daerah Lembah Kumandang ini!"
Mendengar itu Siau Lo-seng baru menyadari kalau dia telah keliru masuk ke Lembah Kumandang. Diamdiam ia heran mengapa anak buah Ban-jin-kiong juga berada di lembah itu"
Adakah kedua pihak sudah mengadakan pertempuran secara resmi" Jika benar demikian, sungguh suatu
berkah bagi dunia persilatan.
Tetapi dalam pada itu Siau Lo-seng pun segera menyadari kedudukannya. Saat itu dia hanya seorang diri.
Kedua belah pihak itu, musuh semua. Lebih baik dia tak turun lebih dulu saja.
"Hiat Sat Mo-li," seru Li Giok-hou tertawa seram, "apabila engkau tahu berapa kekuatan pihakku yang
datang ke lembah ini, mungkin engkau tentu akan pingsan!"
Diam-diam Siau Lo-seng mendengar kata-kata itu. Tetapi dia heran mengapa sampai sejauh itu tak tampak
orang-orang Ban-jin-kiong unjuk diri. Dia tak peduli bagaimana akibat yang akan menimpah kedua
gerombolan itu tetapi ia sempat memikirkan Ui Hun-ing. Bukankah nona itu masih ditawan dalam Lembah
Kumandang" Ah, ia harus menolong nona itu. Apabila pecah pertempuran antara Ban-jin-kiong dengan
Lembah Kumandang, diam-diam ia akan menyelinap ke dalam lembah untuk menolong Hun-ing.
Kini ia tumpahkan perhatiannya kepada pemuda baju putih, serunya,
"Jika engkau tak mau membuka kedok mukamu, aku tentu akan turun tangan!"
Pemuda baju putih mendengus dingin: "Siapa diriku, terserah bagaimana engkau hendak mengatakan.
Silahkan turun tangan!"
Siau Lo-seng kerutkan alis. Nafsu amarahnya menyala pula. Dengan menggembor keras, ia mengangkat
tangan kanannya dan secepat kilat menyambar siku kiri pemuda itu.
Tetapi pemuda baju putih itu tak mau unjuk kelemahan. Lengan kiri diendapkan ke bawah lalu dibalikkan
untuk balas mencengkeram siku kanan Siau Lo-seng. Kedua kakinya pun menyerempaki dengan
tendangan ke perut lawan.
Jurus itu dahsyat dan ganas sekali. Siau Lo-seng tak menyangka kalau lawan masih mampu melancarkan
serangan kaki yang begitu dahsyat. Cepat ia mengisar ke samping lalu menyurut mundur selangkah.
Tetapi ternyata setelah menendang, pemuda baju putih itu terus melambung ke udara dan berjumpalitan
melayang sampai lima tombak jauhnya. Selekas tiba di tanah, ia terus lari ke arah timur.
"Hai, hendak lari kemana engkau binatang!" teriak Siau Lo-seng seraya mengejar.
Tiba-tiba Li Giok-hou bersuit panjang lalu ayunkan tangan menghantam Siau Lo-seng. Tetapi Siau Lo-seng
lebih cepat. Dia sudah meluncur turun di muka pemuda baju putih. Dan tepat pada saat itu orang Ban-jinkiong dan Lembah Kumandang melanjutkan pertempuran lagi.
Siau Lo-seng tegak di hadapan pemuda baju putih dengan sikap yang dingin. Dia ingin tahu siapakah
sesungguhnya pemuda baju putih. Ia merasa seperti sudah kenal tetapi tak dapat menduga siapakah dia.
dunia-kangouw.blogspot.com
Karena Li Giok-hou menyebutnya sebagai yu-kiongcu, tentulah pemuda baju putih itu salah seorang anak
lelaki dari Ban Jin-hoan. Tetapi selama ini ia belum pernah mendengar tentang pemuda itu. Lalu siapakah
dia" Tampak pemuda baju putih itu memang takut kepada Siau Lo-seng. Dia tak berani beradu pandang dengan
Siau Lo-seng dan tak henti-hentinya beringsut mundur.
Lebih dahulu Siau Lo-seng membenamkan pedang Ular Emas ke tanah lalu berseru dingin, "Jika engkau
mampu melayani aku sampai tiga jurus, engkau boleh bebas!"
Mendengar itu timbullah sepercik harapan dalam hati pemuda baju putih itu, tetapi dia pun menyadari
bahwa tiga jurus serangan Siau Lo-seng itu tentu maut. Karena dia cukup paham akan kesaktian Siau Loseng. Apalagi saat itu jalan darah pada tangan kanannya telah tertutuk, tak dapat digunakan.
"Untuk menghancurkan seorang yang tak dapat bergerak leluasa, kiranya tak perlu menggunakau sampai
tiga jurus," serunya menyindir.
Siao Lo-seng tertawa gelak-gelak.
"Kutahu engkau hendak membikin panas hatiku agar secara gagah-gagahan aku mau membuka jalan
darahmu yang tertutuk itu?"" tiba-tiba ia hentikan katanya ketika pandang matanya menatap ke wajah
pemuda baju putih yang minta dikasihani.
"Tetapi aku takkan membuatmu putus asa. Biarlah engkau kalah dengan puas," Siau Lo-seng segera
menyusuli kata-katanya. Siau Lo-seng menutup kata-kata itu dengan sebuah gerakan maju yang cepat sekali. Pemuda baju putih itu
gelagapan. Cepat ia menghantam dengan jurus Lam-hay-pok-liong atau Laut selatan mengangkat naga.
Sebuah gerakan menghindar yang aneh telah menempatkan Siau Lo-seng di sisi kanan pemuda baju putih
itu dan mencengkeram lengan kanannya yang menjulai. Dan dengan jari tengah tangan kanannya, cepat
sekali ia menutuk jalan darah siku lengan pemuda itu.
"Jurus pertama!" seru Siau Lo-seng sembari lepaskan lengan lawan. Ternyata dalam jurus pertama itu ia
hanya membuka jalan darah lengan pemuda baju putih yang tertutuk.
Tetapi rupanya pemuda itu tak tahu diri. Seharusnya ia menyerah setelah mengetahui kelihayan lawan.
Tetapi dia tak berbuat demikian. Begitu lengan kanannya sudah dapat bergerak, secepat kilat ia terus
menusukkan jarinya ke punggung dan menendang bawah perut Siau Lo-seng.
"Bagus, sambutlah jurus yang kedua!" Siau Lo-seng tertawa nyaring. Setelah berputar tubuh menghindari
tendangan, ia menyambar lengan kiri lawan dan tangan kirinya menangkis pukulan pemuda baju putih itu.
"Brakkk?"."
Ketika kedua pukulan beradu, keduanya sama-sama rasakan lengannya kesemutan. Begitu beradu, lalu
ditarik pulang. Tetapi Siau Lo-seng masih tetap mencekal siku lengan kiri orang. Sekali dipijat, pemuda
itupun lunglai dan menjuntai ke tanah.
Siau Lo-seng tertawa dingin: "Jurus yang ketiga yalah menyingkap kedok mukamu!"
Saat itu tubuh pemuda baju putih sudah mandi keringat dingin. Ia memekik geram, "Karena sudah jatuh ke
dalam tanganmu, silahkan engkau melakukan apa saja terhadap diriku."
Sau Lo-seng mendengus. "Hm, tidak begitu mudah engkau minta mati. Aku hendak bertanya beberapa patah kata. Kalau engkau tak
mau menjawab sejujurnya, akan kusuruhmu menikmati bagaimana rasanya ilmu Jo-kut-hut-jiu itu."
"Sampai matipun, jangan harap engkau dapat memperoleh keterangan dari mulutku," seru pemuda itu
marah, "sekalipun engkau bunuh aku tetapi jangan harap engkau sendiri dapat pergi dari lembah ini.
Selekas kiongcu memberi aba-aba, lembah ini tentu akan rata dengan tanah. Beratus-ratus orang Lembah
Kumandang terkubur dalam lembah ini."
Terkejut Siau Lo-seng mendengar keterangan itu. Dia tak mencemaskan kehancuran lembah itu, melainkan
nasib dari nona Hun-ing dan beberapa tokoh sakti yang ditawan oleh Lembah Kumandang.
dunia-kangouw.blogspot.com
Siau Lo-seng memperkeras cekalannya lalu bertanya: "Siapa yang mengatur serangan itu" Dimanakah
Ban-jin-kiong menyembunyikan alat-alatnya?"
Pemuda baju putih itu mengerang kesakitan: "Aku...... aku tak tahu, engkau ini anjing......"
Siau Lo-seng baru menyadari bahwa karena gelisah ia telah menggunakan tenaga terlalu keras sehingga
tulang lengan pemuda itu hampir pecah. Setelah agak mengendorkan cengkeramannya, ia ayunkan tangan
kiri menampar muka pemuda itu.
"Jika engkau tak mau mengatakan, segera akan kubeset kulit tubuhmu!" bentaknya.
Tamparan itu membuat pemuda baju putih berkunang-kunang. Mulutnya mengucurkan darah. Namun
dengan paksakan diri ia masih berani memaki, "Anjing, bunuhlah aku!"
Siau Lo-seng gemas. Kalau tak diberi sedikit pelajaran tentu dia tak tahu rasa. Cepat ia merobek baju
pemuda itu lalu guratkan jarinya beberapa kali pada dadanya. Serentak terdengarlah erang rintihan dari
mulut pemuda itu. Tubuhnya bergeliatan mengejang. Wajahnya yang ditutup dengan kedok itupun ikut berkerut-kerut
menyeramkan sekali. Giginya dikatupkan sekencang-kencangnya. Jelas dia sedang menderita kesakitan
yang hebat dan berusaha untuk menahannya.
Diam-diam Siau Lo-seng kagum atas kekerasan kepala pemuda itu. Ia perkeras cengkeramannya dan
membentak: "Dimana pusat pembakar dari bahan peledak yang kalian pasang di lembah ini?"
Karena sakitnya pemuda baju putih itu sampai mengucurkan airmata dan menyahutlah ia dengan suara
gemetar: "Lepaskan tanganmu...... aku akan bilang......"
Siau Lo-seng kendorkan cengkeramannya tetapi secepat kilat ia menutuk bawah dagu pemuda itu.
"Jangan coba hendak bunuh diri dengan menggigit lidahmu. Sekarang engkau tak mampu melakukan hal
itu," serunya, "lebih baik engkau jawab pertanyaanku ini. Berapa jumlah orang Ban-jin-kiong yang berada di
Lembah Kumandang ini" Dan dimana mereka menanam bahan peledak?"
Dengan tersendat-sendat karena menahan kesakitan, pemuda baju putih itu menjawab:
"Seluruh anak buah Ban-jin-kiong telah dikerahkan kemari dan dipimpin oleh Kiong-cu sendiri, ah, aku tak
tahu?"" 16.76. Imam Tua Misterius
Tiba-tiba terlintas sesuatu dalam pikiran pemuda baju putih itu. Sesuatu yang lebih mengerikan dari
penderitaan yang dideritanya saat itu. Tubuhnya pun menggigil keras dan seketika rubuhlah ia tak sadarkan
diri lagi. Siau Lo-seng geleng kepala. Ia merasa pemuda baju itu mempunyai watak yang kuat. Sayang dia tersesat
ke dalam perguruan. Ia menghela napas, ulurkan tangan untuk membuka kedok muka pemuda itu.
Tepat pada saat tangannya hendak menjamah muka pemuda baju putih itu, tiba-tiba ia rasakan setiup angin
tenaga sakti melandanya. Belum sempat ia bergerak, tahu-tahu perut punggungnya telah dicengkeram
orang. Kejut Siau Lo-seng bukan alang kepalang. Menilik orang itu datang tanpa diketahuinya sama sekali, ia
menyadari bahwa kepandaian orang itu tentu lebih tinggi dari dirinya.
Siapakah gerangan dia"
Serentak pikirannya membayangkan beberapa tokoh sakti: Ban Jin-hoan, Jin Kian Pah-cu, Kakek wajah
dingin Leng Tiong-siang, Buddha emas Ang Siong-pik atau mungkin Bu-tong Sam-siu.
"Siapakah saudara ini" Apakah maksud saudara kepadaku?" akhirnya ia bertanya dengan nada sarat.
dunia-kangouw.blogspot.com
Orang yang berada di belakang itu tak mau menyahut melainkan masih tetap menguasai jalan darah Bengbun pada punggung Siau Lo-seng.
Sampai diulang tiga kali bertanya, tetap Siau Lo-seng tak mendapat jawaban, ia makin heran.
"Engkau ini manusia atau setan" Mengapa tak menjawab pertanyaanku?" serunya mangkal.
Namun orang itu tetap diam saja. Bulu kuduk Siau Lo-seng serempak meregang. Memang kalau manusia,
sukar untuk memiliki kepandaian yang sedemikian saktinya.
Jalan darah Beng-bun-hiat merupakan salah satu dari tiga jalan darah maut. Apabila orang menyalurkan
tenaga dalamnya. Siau Lo-seng pasti celaka. Kalau tidak muntah darah tentu akan putus jiwanya. Maka
sebelum mendapat kesempatan untuk lolos, Siau Lo-seng tak berani, bergerak gegabah.
Maka keduanya terbenam dalam keheningan. Sama-sama diam membisu. Entah selang berapa lama tibatiba dari jauh terdengar suara suitan aneh yang gencar dan alunan suara seruling yang hampir tak
kedengaran. Seketika Siau Lo-seng rasakan tangan orang di belakangnya itu agak gemetar. Sudah tentu pemuda itu tak
mau mensia-siakan kesempatan. Secepat ia rubuhkan tubuh ke muka lalu dengan jurus Lan-hou-sin-yau
atau Harimau malas menjulur pinggang ia ayunkan kaki menendang orang yang di belakangnya.
Jurus itu memang indah dan cepat sekali. "Bum, bum?"," terdengar suara keras sekali. Seketika Siau Loseng rasakan kakinya menendang tembok besi. Sakitnya bukan kepalang. Disamping itu bahu kanannya
pun telah dihantam sebuah tangan keras sehingga ia jungkir balik sampai tiga kali dan terlempar sampai
tiga tombak jauhnya. Dadanya seperti terhimpit gunung, hampir ia tak kuat bertahan lagi.
Cepat ia tenangkan semangat lalu berpaling memandang ke arah orang tadi.
Tampak seorang manusia yang aneh. Tubuhnya tinggi kurus, kedua tangannya menjuntai sampai ke lutut.
Mengenakan pakaian hitam dan mukanya pun berkerudung kain hitam. Dia tegak terlongong-longong di
samping pemuda baju putih tadi.
Kejut Siau Lo-seng pada saat itu bukan dilukiskan. Tendangannya membalik ke belakang tadi tak kurang
dari seribu kati kekuatannya. Tetapi walaupun kena pada dadanya, orang aneh itu ternyata tak rubuh atau
terluka. Manusia atau setankah dia"
Sudah tentu Siau Lo-seng tak tahu bahwa manusia aneh itu adalah Te-gak-kui-ong atau si Raja Akberat,
seorang mumi yang terkenal dari istana Ban-jin-kiong.
Siau Lo-seng cepat mencabut pedang Ular Emas dari tanah lalu membentak: "Siapa engkau" Apa maksud
kedatanganmu kemari?"
Tetapi Raja Akherat itu tetap tegak mematung di sisi pemuda baju putih. Dia seperti seorang manusia yang
tak bernyawa. Hal itu cepat dapat disadari Siau Lo-seng. Dia berhadapan dengan seorang mumi, atau
manusia yang hilang kesadaran pikirannya. Mirip dengan si cantik Im-kian-li dari Lembah Kumandang.
Siau Lo-seng menimang. Dari pada menempur seorang mumi, lebih baik ia melakukan lain tugas yang lebih
penting. Dari keterangan pemuda baju putih tadi, ia tahu bahwa Lembah Kumandang telah dipasangi
dengan alat-alat peledak oleh pihak Ban-jing-kiong. Apabila benda-benda itu tak lekas dihancurkan, ribuan
jiwa manusia tentu akan hancur lebur.
Segera Siau Lo-seng menyimpan pedangnya lalu dengan hati-hati ia menghampiri ke tempat pemuda baju
putih. Raja Akherat tetap tegak tak mengunjuk suatu reaksi apa-apa. Tetapi ketika Siau Lo-seng tiba pada jarak
dua-tiga meter dari tempat pemuda baju putih, barulah Raja Akherat itu mengangkat tangan kanannya
pelahan-lahan. Tetapi Siau Lo-seng tak memberi kesempatan kepada manusia tak sadar itu. Dengan menggembor keras
dia lepaskan hantaman sampai delapan kali kepada Raja Akherat.
"Bum, bum, bum?"."
Tetapi bukan Raja Akherat itu yang celaka, melainkan Siau Lo-seng sendiri. Pemuda itu telah dilanda oleh
tenaga membal yang dipancarkan dari tangan Raja Akherat. Siau Lo-seng terlempar sampai lebih dari dua
tombak jauhnya. Kedua tangannya seperti patah. Dadanya sesak, pandang matanya gelap seperti hendak
rubuh pingsan. dunia-kangouw.blogspot.com
Siau Lo-seng menggertek gigi. Setelah menyalurkan tenaga murni, ia mengangkat muka memandang ke
depan. Tampak kedua kelopak mata Raja Akherat itu berkedip dua kali. Mulutnya mengeluarkan rintihan pelahan.
Siau Lo-seng benar-benar heran sekali. Delapan buah pukulannya telah gagal. Dia hampir tak percaya
bahwa tubuh Raja Akherat yang terbuat dari darah dan daging itu mampu menerima ke delapan
pukulannya. Siau Lo-seng menduga bahwa Raja Akherat itu tentu sudah memiliki ilmu kebal Kim-kong-put-hoay-sinkang. Pada hal Siau Lo-seng sendiri hampir lupa bahwa ia juga mulai mempelajari ilmu kebal itu.
Saat itu suara suitan aneh tadi makin lama makin dekat. Sedangkan suara seruling yang makin melengking
tinggi, tiba-tiba berhenti.
Serentak Siau Lo-seng mempunyai suatu firasat yang tak baik. Tanpa banyak berpikir lagi ia terus maju
menerjang. Dengan ilmu jari sakti Han-sim-ci-keng, menutuk tiga buah jalan darah di dada Raja Akherat.
Dan masih sempat pula ia ayunkan kaki menendang tubuh pemuda baju putih menggetetak di tanah itu.
Tiba-tiba Raja Akherat meraung aneh dan menyurut mundur sampai tujuh-delapan langkah. Matanya
berapi-api memandang Siau Lo-seng.
Tutukan jari Han-sim-ci-keng luput, tendangan ke arah pemuda baju putih itu pun tak kena. Ternyata
pemuda itu dapat berguling ke samping dan terus melenting berdiri. Sebenarnya pada saat Raja Akherat
datang, dia sudah sadar dari pingsannya. Dia ingin menyaksikan Siau Lo-seng dihancurkan Raja Akherat.
Tetapi ia kecewa karena walaupun menderita dua kali serangan dari Siau Lo-seng, Raja Akherat itu tak mau
balas menyerang. Ia tahu bahwa Raja Akherat itu adalah seorang tokoh sakti yang telah ditempa menjadi seorang mumi oleh
Ban Jin-hoan. Raja Akhirat itu termasuk mumi Ong.pay (pengawal raja) khusus untuk menghadapi tokohtokoh silat yang lihay. Dia amat ganas sekali tetapi mengapa saat itu sedemikian lunak sikapnya!
Karena hal-hal itulah maka setelah menghindari tendangan Siau Lo-seng, pemuda baju putih terus lari
ngiprit. "Berhenti! Apakah engkau mampu melarikan diri!" bentak Siau Lo-seng.
Tetapi ketika ia hendak mengejar, Raja Akherat pun segera memekik keras dan menyerangnya. Belum
tangan manusia mumi itu tiba, Siau Lo-seng sudah rasakan angin pukulan yang panas melandanya. Ia
terkejut dan cepat melentikkan ke lima jari tangan kiri, sedang tangan kanan menyongsong ke muka.
"Jangan beradu pukulan, lekas mundur!" tiba-tiba terdengar teriakan keras dan sesosok tubuh meluncur
turun dari udara. Kedua tangannya direntang. Yang satu disongsongkan ke arah Siau Lo-seng dan satu
kepada Raja Akherat. Yang didorongkan kepada Siau Lo-seng menimbulkan angin pukulan lunak tetapi
yang dilontarkan kepada Raja Akherat itu memancarkan tenaga yang dahsyat sekali, sehingga
menimbulkan deru angin dahsyat, menebarkan debu dan pasir berhamburan dan merontokkan rantingranting daun pohon.
Sesaat kemudian di gelanggang itu muncul seorang imam tua. Rambut dan jenggotnya putih, mukanya
bersih. Raja Akherat ternyata sudah lenyap pada saat tempat itu diselubungi hamburan pasir.
Melihat imam tua itu, serentak Siau Lo-seng berseru kaget: "Bukankah totiang ini It Ceng Totiang dari Butong-pay?"
Imam tua itu tersenyum, "Benar, aku memang It Ceng."
Timbul pertanyaan dalam hati Siau Lo-seng. Ketika kesasar masuk ke markas Bu-tong-pay, dia telah
dituduh sebagai pembunuh murid-murid partai itu dan dimusuhi mereka. Tetapi mengapa imam tua yang
menjadi kepala dari Bu-tong Sam-siu itu menolong dirinya" Aneh.
"It Ceng locianpwe," segera ia berseru dengan nada dingin, "apakah locianpwe hendak mencari aku?"
It Ceng Totiang mengelus-elus jenggotnya yang putih dan menjawab dengan nada ramah: "Benar, aku
memang hendak mencarimu."
dunia-kangouw.blogspot.com
Makin tak mengerti Siau Lo-seng mclihat sikap imam tua itu. "Apakah kalian benar-benar tak mau
melepaskan diriku?"?"
"Siau sauhiap," cepat It Ceng Totiang menukas, "jangan salah paham. Salah duga, telah selesai. Dengan ini
aku mewakili partai Bu-tong-pay untuk menghaturkan terima kasih kepadamu."
Legalah hati Siau Lo-seng. Ia menghela napas: "Ah, apabila locianpwe datang lebih pagi sedikit, tentulah
akan melihat orang yang menyaru jadi diriku itu."
It Ceng Totiang tertawa.

Pendekar Seratus Hari Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Pemuda baju putih yang menyaru jadi dirimu itu sudah kutangkap dan kutaruh dalam hutan."
"Siau sauhiap," tiba-tiba imam tua itu beralih pembicaraan, "tahukah engkau lawanmu bertempur tadi?"
"Baru pertama kali aku bertemu dengan dia," kata Siau Lo-seng, "tetapi dia agak menyerupai Te-gak Kuiong dari Ban-jin-kiong. Menilik kepandaiannya, sebelum menjadi manusia mumi, dia tentu seorang tokoh
yang sakti!" "Apakah engkau sudah beradu pukulan dengan dia?" tanya It Ceng pula.
"Delapan buah pukulan telah kuhantamkan kepadanya tetapi selalu dia dapat memancarkan tenaga
membal yang luar biasa sehingga aku sendiri yang berkunang-kunang," kata Siau Lo-seng, "locianpwe,
apakah ada sesuatu dalam hal itu?"
Beberapa saat It Ceng Totiang memandang dengan setengah bersangsi kepada pemuda itu, lalu berkata,
"Benarkah engkau telah menghantamnya sampai delapan kali."
"Dan menendang kakinya satu kali," Siau Lo-seng menambahkan. Melihat kerut wajah imam tua itu, ia
menduga tentulah tubuh Raja Akherat itu mengandung racun ganas.
Tiba-tiba It Ceng meluncur maju dan sebelum Siau Lo-seng tahu apa-apa, tangannya sudah dicekal imam
tua itu. Beberapa saat kemudian ia lepaskan cekalannya dan berseru: "Siancay, siancay! Kuucapkan selamat
kepadamu karena ternyata engkau telah mempelajari ilmu kebal Kim-kong-put-hoay-sin-kang."
"Apa" Aku sudah berhasil memiliki ilmu kebal itu?" teriak Siau Lo-seng heran.
"Tenaga dalammu makin bertambah sempurna," kata It Ceng Totiang.
Memang ilmu kebal itu sesungguhnya merupakan ilmu tenaga dalam tingkat tinggi. Hanya beberapa tokoh
silat yang berhasi1 mencapai tataran setinggi itu.
"Locianpwe, bagaimana engkau tahu kalau aku sudah memiliki ilmu itu" Apakah locianpwe tidak salah?"
serunya menegas. "Apabila engkau belum memiliki ilmu kebal itu, engkau tentu binasa menerima tenaga membal dari ilmu
Tay-lo-sin-kang orang itu."
"Hai, apakah tenaga membal dari orang itu berasal dari ilmu Tay-lo-sin-kang partai siau-lim-si yang sudah
ratusan tahun lenyap" Lalu siapakah dia itu?"
Merenung sejenak, It Ceng Totiang berkata: "Menilik keterangan dari orang Siau-lim-si. Yang mampu
memperoleh kembali ilmu sakti Siau-lim-si yang telah lenyap ratusan tahun itu hanya seorang, yalah Ko Bok
Taysu. Tetapi beliau sudah meninggal dunia pada empatpuluh tahun yang lalu. Tak mungkin kalau Ko Bok
Taysu." Makin tergetar hati Siau Lo-seng. Ko Bok Taysu adalah paman guru dari Pek Wan Taysu. Apabila benar
masih hidup, tentu sudah berusia seratus tahun lebih. Tetapi mengapa yang sedemikian sakti, mengapa
dapat ditawan dan dijadikan, seorang manusia mumi"
Tetapi keheranannya itu segera terjawab. Bukankah wanita sakti Siang-hoa-hong-li juga dapat dijadikan
wanita mumi dan dirobah namanya menjadi Im-kian-li"
Kemungkinan Ko Bok Taysu juga begitu nasibnya.
Makin merenung makin menggigillah Siau Lo-seng. Tetapi serentak iapun teringat akan bahaya yang
mengancam Lembah Kumandang.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Locianpwe, saat ini Lembah Kumandang sedang terancam bahaya kehancuran. Apabila terlambat
selangkah, tentu akan menimbulkan banjir darah," serunya.
"Ya, aku sudah tahu," It Ceng Totiang tersenyum, "makin tergesa makin tak sampai. Yang benar kita harus
tenang untuk menilai keadaan, setelah itu baru mengambil langkah."
Merah wajah Siau Lo-seng mendengar nasehat itu, serunya: "Locianpwe, ya memang benar begitu. Lalu
petunjuk apakah yang locianpwe akan berikan kepadaku?"
"Urusan di Lembah Kumandang, tak usah engkau gelisah," kata It Ceng Totiang, "walaupun Ban-jin-kiong
telah mengerahkan anak-buahnya secara besar-besaran, tetapi Jin Kian Pah-cu pun bukan tokoh biasa.
Tak nanti dia begitu mudah akan menderita kekalahan. Dan menilik keadaan saat ini, kurasa Jin Kian Pahcu tentu sudah menguasai keadaan pihak Ban-jin-kiong. Jika tidak, tak mungkin Ban Jin-hoan begitu mudah
membawa anak buahnya datang ke lembah ini."
Sejenak berhenti, imam tua itu melanjutkan kata-katanya:
"Siau sauhiap, tahukah engkau tujuanku datang kemari?"
Siau Lo-seng terbeliak, "Bu-tong Sam-siu, jarang mau keluar. Bahwa It Ceng locianpwe datang kemari tentulah karena hendak
melakukan suatu pekerjaan yang penting sekali," sahutnya.
Entah bagaimana It Ceng Totiang menengadahkan kepala dan menghela napas panjang.
"Dunia memang penuh dengan soal-soal yang aneh. Antara benar dan salah terdapat liku-liku yang sulit.
Budi dan Dendam, Sebab dan Akibat, selalu berputar tiada putusnya. Sudah empatpuluh tahun lamanya
aku mengasingkan diri tak mencampuri urusan dunia, tetapi tetap tak dapat terhindar dari lingkaran budi dan
dendam itu. Ah...... memang segala sesuatu telah digaris oleh kodrat. Sungguh tak pernah kusangka bahwa
pada saat akhir-akhir ini setelah berselang empatpuluh tahun. Aku sih harus di ombang- ambingkan oleh
lingkaran budi dan dendam."
Mendengar itu segera merta Siau Lo-seng menghaturkau maaf karena telah mengganggu pertapaan It
Ceng Totiang yang memerlukan datang untuk menolong dirinya.
"Apabila Siau sauhiap tak berkunjung ke Bu-tong-san, aku tentu masih hidup dalam kabut gelap dan dalam
kehidupan yang sekarang ini tentu takkan dapat memperbaiki dosaku."
"Apakah maksud ucapan locianpwe?" seru Siau Lo-seng terkejut heran.
"Keluarku dari pertapaan kali ini, tak lain hanya bertujuan untuk membersihkan kalangan dalam perguruan
Bu-tong. Menghukum murid hianat dan membasmi bahaya yang mengancam dunia persilatan."
"Akupun merasa bahwa dalam kalangan perguruan Bu-tong terdapat pengkhianat. Tetapi adakah locianpwe
sudah menyelidiki dengan teliti?"
16.77. Cinta Segi Tiga, Guru dan Murid
"Sungguh memalukan," seru It Ceng Totiang dengan nada kecewa, "yang menjadi biang keladi dari
penghianatan itu tak lain adalah suteku sendiri, It Bing."
"Ah, bagaimana mungkin, locianpwe?" teriak Siau Lo-seng, "bukankah It Bing cianpwe bersama Bu-tong
Kutunggu Di Pintu Neraka 2 Pedang Dewa Naga Sastra Bun Liong Sian Kiam Karya Rajakelana The Harsh Cry Of Heron 5
^