Pencarian

Senja Jatuh Di Pajajaran 13

Senja Jatuh Di Pajajaran Karya Aan Merdeka Bagian 13


lantai tanah secara terlentang dan diurut-urut dadanya.
Namun pemuda itu menolaknya.
"Biarkan aku mati?" gumam pemuda itu.
"Jangan mati. Kalau engkau mati, aku akan amat
berdosa, Raden?" kata Ginggi khawatir dan penuh sesal.
"Biarkan aku mati"Hidupku tak berharga," keluh
pemuda itu menyeka sisa darah di ujung bibirnya.
"Raden" mengapa engkau hendak membunuh Sang
Prabu?" tanya Ginggi penasaran.
"Karena engkau tidak jadi membunuhnya!"
"Aku memang tak berniat membunuh Raja!"
"Raja sepatutnya dibunuh!"
"Mengapa?" "Banyak dosa-dosanya. Bagi rakyat Pajajaran, Raja
dianggap telah melanggar aturan moral. Dia selalu
memaksakan kehendaknya untuk mengawini wanita
larangan. Kau akan berjasa bila bisa membunuh Raja?"
kata Purbajaya sambil menahan rasa sakitnya.
Aku akan berjasa membunuh Raja yang berdosa
melanggar aturan moral" Mengapa aku harus menghukum
seseorang yang padahal aku sendiri pun sama pernah
bersalah dan sama pernah melanggar aturan moral, pikir
Ginggi tak mengerti akan ucapan Purbajaya
"Tidak! Aku tidak akan punya jasa apa-apa hanya karena
membunuh Raja. Aku bahkan akan semakin berdosa!" kata
Ginggi lantang. Wajah Purbajaya nampak murung
mendengar ucapan Ginggi ini.
"Engkau membingungkan aku. Sikapmu dan posisimu,
ada di manakah sebenarnya?" gumam pemuda itu seraya
tetap memegangi dadanya yang mungkin dirasakan amat
sakit. "Mengapa engkau merasa bingung hanya karena aku tak
mau membunuh Raja" Yang harus dibuat pikir, malah
orang yang ingin membunuh sesama. Aku pernah dengar
ucapan Ki Rangga Guna, murid Ki Darma, bahwa bukan
kita yang menghidupkan makhluk di dunia, maka kita pun
tak berhak membunuhnya," kata Ginggi.
Nampak Purbajaya mengatupkan mata.
"Aku malu padanya"aku malu pada Ki Rangga
Guna?" ucapnya. "Engkau sudah mengenalinya?" Ginggi heran menatap
wajah pemuda itu yang kini kian memucat.
"Ya"aku kenal dia"aku kenal dia"!" gumam pemuda
itu semakin payah berbicara.
"Raden!"Raden!?" Ginggi mengguncang-guncang
tubuh pemuda itu. "Ginggi"terima kasih!" gumam pemuda itu lagi. Serasa
dingin tengkuk Ginggi mendengar gumaman pemuda itu.
Ginggi menganggap kesadaran Purbajaya telah mulai
menurun. Ginggi berduka dan selalu penuh sesal, sekaligus
juga merasa berdosa. Dia tahu, sebenarnya kepandaian
pemuda ini tidak terlalu tinggi. Namun karena Ginggi
merasa kaget melihat Purbajaya menyerang dan hendak
membunuh Raja secara tiba-tiba, maka serentak Ginggi pun
menolak serangan pemuda itu dengan kekuatan penuh.
Akibatnya, tenaga dalam pemuda itu menghantam dirinya
sendiri. Ginggi tahu, luka dalam pemuda ini amat parah
dan sulit ditolong. Ini semua gara-gara dia. Kalau pemuda
itu tewas, Ginggi berdosa.
"Ginggi"terima kasih"engkau berjasa" engkau
berjasa?" gumam pemuda itu datar dan dingin.
"Raden, sadarlah! Sadarlah!" Ginggi mengguncang-
guncang tubuh pemuda itu.
"Bila tak kau cegah, maka aku akan melakukan
pembunuhan. Padahal dalam agamaku, membunuh karena
benci adalah dosa"Apalagi"apalagi rencana pembunuhan
itu hanya karena dasar cemburu?" gumam pemuda itu.
Ginggi mengerutkan dahi. Tidak. Pemuda ini masih
memiliki kesadaran. Tapi mengapa kata-katanya begitu
aneh" "Engkau mau membunuh Raja karena cemburu?"
"Aku sakit hati"Raja begitu berkuasa untuk mengambil
dan menolak cinta"Nyimas Banyak Inten, dia hancurkan
hidupnya. Begitu gampangnya Raja menyuruh gadis itu
masuk mandala ?" ujar Purbajaya memejamkan mata dan
terengah-engah. Tubuh Purbajaya semakin melemah, begitu pun detak
jantungnya. "Raden!"Raden!?"
"Ginggi " Kau pergilah kemandala, temui Nyimas
Banyak Inten"Katakan padanya"katakan padanya?"
"Raden, apa yang harus aku katakan?"
Mulut Purbajaya berkomat-kamit. Dia masih ingin
berbicara tapi gerakan mulutnya sudah amat sulit. Ginggi
mencoba mendekatkan telinganya ke bibir pemuda itu.
"Katakan padanya"aku"aku mencintainya"Allohu
Akbar?" Ginggi tersentak karena terkejut. Terkejut oleh kematian
pemuda itu dan terkejut karena ucapan terakhirnya.
Purbajaya mengucapkan sebuah kalimat yang Ginggi kenal
sebagai kalimat suci yang biasa diserukan pemeluk agama
baru. Ginggi sedikit tergoncang jiwanya. Purbajaya yang
dalam kesehariannya tidak terlalu menonjol, kurang banyak
mengemukakan pendapat dan selalu bicara apa adanya,
ternyata banyak memendam rahasia. Dia mengenal Ki
Rangga Guna, dia pemeluk agama baru dia"mencintai
Nyimas Banyak Inten. Hanya karena cintanya pada gadis
itu dia nekad akan membunuh Raja. Pantas saja pemuda itu
seperti mendorongnya untuk melaksanakan perintah Ki
Banaspati. Dan ketika ternyata Ginggi tidak melakukan
apa-apa pada kesempatan paling baik, Purbajaya hendak
turun tangan sendiri untuk membunuh Raja.
"Ah"malang sekali nasibmu, Raden?" keluh Ginggi
seorang diri. Pemuda itu harus menunggu malam tiba untuk
menyampaikan amanat Purbajaya. Mandala adalah sebuah
asrama tempat pendeta wanita berkumpul. Kata Purbajaya,
Nyimas Banyak Inten ada di sana dan Sang Prabulah yang
memerintahkan gadis itu untuk menjadi seorang pendeta
yang kerjanya mempelajari ilmu-ilmu yang jauh dari urusan
duniawi. Kata Purbajaya, Sang Prabu bersalah menyuruh
Nyimas Banyak Inten memasuki mandala. Raja sudah
menjauhkan harapan-harapan hidup gadis itu hanya karena
kecewa melihat peristiwa aib yang menimpa gadis itu.
Purbajaya marah menerima kebijaksanaan Sang Prabu.
Barangkali pemuda itu menginginkan, seandainya Raja
batal mempersunting Nyimas Banyak Inten, maka tak
perlulah mengirim gadis itu kemandala. Purbajaya diam-
diam mencintai gadis itu. Sekarang dengan masuknya
Nyimas Banyak Inten ke pusat para pendeta, artinya sudah
tertutup harapan untuk mendekatinya. Itulah pangkal
kemarahan Purbajaya sehingga akhirnya nekat hendak
membunuh Raja. Ginggi amat berduka mengingatnya. Cinta memang
membutakan segalanya. Cinta juga membuat hati menjadi
duka. Paling tidak sekarang ini yang tengah dirasakan
Ginggi. "Kalau engkau masih hidup, mungkin engkau akan
kaget, sebab aku sendiri pun mencintai Nyimas Banyak
Inten?" keluh Ginggi sambil menatap wajah pucat-pasi
Purbajaya yang sudah tak bergerak itu.
Ketika malam sudah tiba, Ginggi merawat dan
membenahi tubuh Purbajaya, membaringkannya di sudut
ruangan. Sesudah itu, dengan berindap-indap pemuda itu
keluar dari ruangan bercungkup.
Ginggi harus begitu hati-hati, sebab ternyata di beberapa
tempat didapati kelompok-kelompok prajurit dan
nampaknya mereka tengah melakukan pencarian.
Dirinyakah yang mereka cari" Mungkin hanya dirinya,
mungkin juga lebih banyak lagi. Sang Prabu pasti sudah
mengetahui, bahwa dengan kejadian di paseban berarti
sudah ada unsur-unsur yang melawan Raja di kalangan
istana. Ginggi khawatir, bagaimana dengan nasib Pangeran
Yogascitra" Karena tindakan Purbajaya, Pangeran itu pasti
dituduh ikut terlibat. Kalau Raja demikian marah dengan
peristiwa siang tadi, ada kemungkinan Pangeran Yogascitra
ditangkap pemerintah. Memikirkan hal ini, Ginggi menjadi
amat berduka. Kemelut di Pakuan ini semakin menjlimet
dan terus memanjang. Pangeran Yogascitra mungkin benar
terlibat mungkin tidak. Tapi kemarahan Sang Prabu
terhadap pangeran tua itu pasti terjadi karena perkara
Purbajaya dan perkara dirinya. Tadi sudah dia saksikan,
Sang Prabu tak mau memaafkan Ki Darma yang
dianggapnya membuat keresahan dan menurunkan wibawa
Raja karena kritik-kritiknya. Dengan demikian sikap Sang
Prabu juga jelas, akan menganggap kepada setiap yang
memiliki hubungan dengan Ki Darma adalah orang yang
harus diburu. Ginggi harus meloncat ke atas wuwungan dan berjalan di
atap sebab bila melakukan perjalanan biasa, akan amat
mudah berpapasan dengan pasukan penjaga. Untung sekali
bulan tertutup awan. Cahaya bulan, hanya akan muncul
sebentar lagi. Ginggi yakin karena awan di langit begitu
tebal. Ginggi sudah tahu di mana letak paseban. Tempat itu
agak terpencil, yaitu agak diujung setelah bale watangan
(ruang peradilan) danbale tulis (ruang administrasi).
Mandala atau ruangan dan bangunan tempat berkumpulnya
para wiku wanita terpaut jauh agak terpencil, mungkin
untuk mendapatkan suasana tenang.
Ginggi harus berlari mengunakan ilmumencek-mesat,
sebuah ilmu berlari cepat yang diberikan Ki Darma untuk
mencapai bangunan mandala dengan cepat. Ini karena
bangunan itu terpisah oleh lapangan yang cukup terbuka.
Mencek-mesat adalah ilmu lari yang dilakukan dengan
pengarahan tenaga dalam. Langkah kaki saking cepatnya
seperti putaran roda dan hampir-hampir tak menapak tanah
saking cepatnya. Bila dilihat oleh mata orang awam,
gerakan berlari tak mungkin terikuti, kecuali hanya
menyerupai sebuah bayangan melesat saja.
Ginggi langsung saja memasuki pintu yang selamanya
selalu terbuka sebab tak ada sesuatu yang dirahasiakan di
sana. Hanya bedanya, ke mandala tak boleh sembarangan
masuk, apalagi kaum lelaki. Penghuni mandala semuanya
wanita semata, yaitu wanita yang sudah benar-benar ingin
meninggalkan kehidupan duniawi.
Tapi, benarkah demikian yang dikehendaki Nyimas
Banyak Inten" Ginggi berduka mengingatnya. Bagi gadis
itu, sebenarnya masih banyak rencana hidup yang musti dia
jalani. Mengapa Sang Prabu begitu kejam memasukkan
gadis itu kemandala " Ini pula yang jadi kemarahan
Purbajaya sehingga akhirnya nekat berusaha membunuh
Raja. Semua penghuni asrama pendeta wanita itu terkejut
setengah mati. Mereka semua tak memiliki kepandaian
khusus, sehingga tidak sanggup merasakan kehadiran
Ginggi jauh sebelumnya. Hanya tiba-tiba saja mereka
melihat seorang pemuda berdiri di sana, persis seperti
kehadiran makhluk gaib saja.
"Jangan kaget dan panik, saya tidak akan berbuat jahat.
Saya hanya ingin menemui Nyimas Banyak Inten?" kata
Ginggi pelan dan sopan agar penghuni asrama tidak merasa
ketakutan. "Aku sendirilah Banyak Inten?" gumam seseorang
berkerudung putih. Semua penghuni memang
menggunakan pakaian putih. Beberapa di antaranya
kepalanya dikerudung sehingga wajahnya sulit dikenal.
Kerongkongan Ginggi seperti tersekat karena kesedihan
yang sangat. Betapa tidak, sebenarnya dia amat mencintai
gadis itu. Tapi putri Bangsawan Yogascitra yang dulu
anggun, cantik jelita dengan sorot mata berbinar dan
senyum kecil berlesung pipit, sekarang seperti hilang lenyap.
Kehalusan kulit wajahnya masih terlihat nyata, namun
warna putihnya begitu pucat. Sorot matanya sayu dan
sepasang pipinya tak ranum lagi.
Nyimas Banyak Inten begitu kurus tak bercahaya.
Hanya dalam jangka waktu satu bulan saja segalanya
berubah banyak. Wajah gadis itu seperti maju belasan
tahun. Nyimas, nasibmu benar-benar malang, keluh Ginggi
dalam hatinya. "Sebetulnya amat tabu kaum lelaki memasuki asrama
pendeta wanita. Tapi engkau seperti memendam satu
keperluan amat penting. Paling tidak untuk kepentingan
bagimu sendiri. Bicaralah seperlunya, barangkali para
pendeta yang ada di sini tak keberatan mendengarnya," kata
Nyimas Banyak Inten dengan suara halus.
Ginggi melirik ke kiri dan kanan, di sana ada belasan
wanita yang kebanyakan usianya di atas Nyimas Banyak
Inten. Namun nampak sekali ada rasa hormat kepada gadis
itu. "Nyimas, saya tak bisa mengemukakan keperluan saya di
hadapan banyak orang," Ginggi seperti salah tingkah.
"Semuanya orang sendiri dan tak ada sesuatu yang harus
dirahasiakan di sini?" sahut gadis itu masih dengan suara
halus. Ginggi menghela napas. "Baiklah kalau begitu?" gumam Ginggi. "Ada berita
sedih, Raden Purbajaya telah tewas?" kata Ginggi.
Gadis itu membelalakkan matanya sejenak, kemudian
mengatupkannya. Sambil menunduk dia merapatkan kedua
tangannya dan mulutnya komat-kamit, berdoa. Nampak
semua pendeta lain pun ikut berdoa.
"Dia sahabat saya dan pengawal saya ketika masih di
luarmandala, Tak disangka, dialah yang lebih dahulu
membebaskan diri dari kesengsaraan dunia?" gadis itu
masih merangkapkan sepasang tangannya yang halus.
"Nyimas"ada amanatnya sebelum dia menghembuskan
napasnya yang terakhir," kata Ginggi.


Senja Jatuh Di Pajajaran Karya Aan Merdeka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Nyimas Banyak Inten membuka matanya.
"Cintanya hanya untukmu?" lanjut Ginggi.
Gadis itu masih menatap Ginggi tapi sorot matanya
semakin sayu. "Adalah anugerah semua manusia diberkati cinta. Tapi
mari kita kembalikan rasa cinta itu kepada yng
memberiNya agar rasa cinta tak membuat nestapa," kata
Nyimas Banyak Inten kembali merangkapkan sepasang
tangannya. Ginggi menatap tindak-tanduk gadis itu dengan perasaan
tidak menentu. Ada perasaan sendu dalam hatinya dan
terasa pahit serta pedih.
"Kau kembalilah, Ginggi. Kami semua akan berdoa agar
arwah Kakanda Raden Purbajaya mendapatkan
kesentausaan di alam sana?" gumam gadis itu.
Ginggi tetap berdiri mematung. Ribuan kata akan dia
serahkan kepada gadis itu. Tapi lidahnya mendadak kelu
dan kerongkongannya seperti tersumbat. Semua maksud
hatinya serasa terbendung oleh sikap gadis itu yang berubah
drastis. Kembali Nyimas Banyak Inten menyuruh Ginggi
meninggalkan asrama, tapi Ginggi masih berdiri mematung
sambil tatapannya menyorot tajam pada mata gadis itu.
"Masih ada lagi yang akan engkau sampaikan, Ginggi?"
tanya Nyimas Banyak Inten.
"Saya "mencintaimu!" kata Ginggi pendek. Gadis itu
sedikit membelalakkan matanya, namun kemudian
menunduk dan tersenyum kecut.
"Ini nasibku. Tapi juga anugerah. Dari mulai raja, para
ksatria sampai badega (jongos) berkata cinta padaku.
Ginggi, mari kita sama-sama memuji syukur kepada
keagungan Sang Rumuhun Hyang penguasa jagat raya,
bahwa semua orang diberi perasaan cintanya. Kuterima
cintamu sebagaimana aku mencintai dan dicintai oleh
semua pendeta di sini. Hidup manusia memang harus saling
kasih-mengasihi jauh dari perasaan iri dan dengki?"
Nyimas Banyak Inten merangkapkan kedua belah telapak
tangannya dan berdoa komat-kamit.
"Nyimas, cinta saya adalah seorang lelaki kepada
wanita?" "Ssssttt"jangan bicara urusan kehidupan duniawi di
sini," potong gadis itu.
"Nyimas, jangan mengubur diri dalam keterasingan. Tak
baik melakukan kehidupan beragama dengan
keterpaksaan!" "Tidak ada keterpaksaan di sini."
"Engkau dipaksa Raja karena dia kecewa terhadapmu.
Engkau juga dipaksa kemandala karena hatimu putus asa
dengan cintanya Raden Suji. Dengarkanlah hai wanita
malang, perasaan hatimu terhadap pemuda itu sebetulnya
percuma belaka sebab Raden Suji bukan orang baik-baik.
Kau korbankan cinta sucimu kepada sesuatu yang
seharusnya engkau jauhi!" kata Ginggi setengah berteriak
karena kecewa dan kesal. Sedang yang diajak bicara hanya
tersenyum tipis dengan pandangan mata sayu.
"Itulah kelemahan manusia, merasa diri sendiri lebih
baik dari yang lainnya. Bila ada nafsu dan cemburu serta iri
hati merasuki jiwa, maka pikiran kita tidak terkontrol lagi
dalam memilih benar atau salah," kata gadis itu, benar-
benar seperti akhli kebatinan.
"Aku bicara benar! Engkau telah salah memilih cinta,
sebab Raden Suji orang jahat!" teriak Ginggi.
"Kuburkanlah masa lalu sebab tak akan terulang
kembali," ujar gadis. "Tapi yang penting harus kita simak,
cinta itu memang buta, sebab bukan baik atau buruknya
yang dilihat, melainkan cocok atau tidaknya. Mungkin ada
bujangga dan pohaci bermain cinta sebab mereka sudah
merasa cocok karena mereka adalah dewa dan dewi dari
kahyangan. Tapi seorang penjahat pun punya peluang
untuk menyinta dan dicinta. Ada pencuri di Pakuan yang
begitu sayang dan setianya terhadap istrinya. Dia kasih
makan anak istrinya dari keringat mencuri. Aku ketika itu
tak berani menuding Kakanda Suji lelaki jahat. Mungkin
jahat bagi orang yng merasa dirugikannya, tapi tidak
bagiku. Dia mati karena mencintaiku, mengapa aku harus
membencinya" Tapi aku bersyukur bahwa aku sekarang
masukmandala, Inilah tempat paling damai, jauh dari
keruwetan duniawi. Jangan khawatir, aku tinggal di
mandala bukan membuang diri, melainkan sedang belajar
saling mengasihi dan menjauhkan sikap saling menyakiti,"
kata Nyimas Banyak Inten dengan kata-kata yang tenang
dan lembut, tidak meledak-ledak seperti Ginggi tadi.
Entah apa lagi yang kini bergayut di hati Ginggi kini.
Sedih, kecewa dan kesal sudah bercampur aduk menjadi
satu. Kini dia hanya memandangi wajah gadis itu yang
tertunduk menutupkan kedua matanya dan duduk
bersimpuh sambil merangkapkan kedua belah tangannya.
"Anak muda, cepatlah keluar dan tinggalkan tempat ini.
Kalau kau diketahui penjaga, kau akan mengalami
kesulitan," kata seorang pendeta setengah tua.
Ginggi masih menatap gadis itu sebelum pada akhirnya
dia berlalu dari tempat itu.
Setibanya di luar dia meloncat pergi, berlari kencang
sekencang-kencangnya. Dia memang takut bertemu dengan
para prajurit yang pasti akan menghadangnya. Bukan takut
kalah atau takut mati, tapi dia takut membunuh orang. Ada
kemarahan dan kekesalan tak terkendali, bercampur
menjadi satu dengan duka dan kecewa. Kalau bertemu
dengan penghadang, dia khawatir akan menimpakan
segalanya kepada mereka. Itulah sebabnya Ginggi berlari
secepatnya. Secepatnya, yang penting keluar jauh-jauh dari
Pakuan. Dia ingin pergi, meninggalkan Pakuan jauh-jauh.
Pergi entah ke mana. Yang penting tidak melihat lagi dayo
(ibukota) yang dipenuhi berbagai kemelut ini. Biarkanlah
Pakuan kacau dengan segala kemelut dan
permasalahannya. Biarkanlah orang-orang saling jatuh-
menjatuhkan dan biarkan pula Raja tewas oleh gerakan
pemberontak dan pembunuh. Biarkan pula perang terjadi!
Biarkan! Biarkan! Dan Brusss!!! Tubuh Ginggi kecemplung ke dalam permukaan air.
Tubuhnya timbul tenggelam dan bergerak terbawa aliran
air. Ginggi tak tahu air apa yang membawanya ini. Dia tak
mau tahu. Mungkin dia akan tenggelam dan akhirnya mati.
Biarlah aku mati saja, biarlah!
Dan tubuhnya memang tenggelam. Mulutnya terkunci,
hidungnya tersumbat. Segalanya tak bisa dipergunakan
untuk menghirup pernapasan.
Tapi Ginggi tak mati. Hanya isi dadanya saja yang
membusung seperti mau meledak. Ini karena dia selalu
menahan napas. Sampai pada suatu saat napasnya tak bisa
ditahan lagi. Dan bersamaan dengan hirupan air yang
masuk ke lubang hidungnya tubuh pemuda itu terantuk
sesuatu yang keras. Dia sedikit gelagapan karena banyak air
memasuki lubang hidungnya. Dengan cepat dia berdiri. Tak
terasa memang, dia sudah berada di tepi. Bukan di seberang
sungai, tapi di sebuah gugusan tengah sungai. Kebetulan
bulan keluar dari persembuyiannya, sehingga sinarnya
menerangi alam raya. Bulan itu begitu bundar namun
pucat. Ginggi menatap ke arah gugusan terlihat sebuah
bangunan pasanggrahan. Sekarang dia ingat ada di mana.
Ternyata gugusan ini adalah Pulo Parakan Baranangsiang,
tempat kerabat Raja bersenang-senang menghirup udara
segar dan menyaksikan pemandangan elok. Namun Ginggi
juga ingat, di sinilah Suji Angkara menemui ajalnya.
Ingat ini Ginggi menjadi sedih. Beberapa orang sudah
tewas dan semua karena ulahnya. Paling tidak, dia terlibat
langsung sehingga orang-orang itu mati. Boleh dikata pula,
karena gara-gara dirinyalah orang-orang itu tewas. Suji
Angkara memang dibunuh ramai-ramai oleh para prajurit
kerajaan, tapi pemuda itu begitu mudah dibunuh karena
sebelumnya sudah dibuat tak berdaya olehnya. Purbajaya
bahkan tewas karena adu tenaga langsung dengannya.
Padahal berulang kali dia ingat kata-kata Ki Rangga Guna
bahwa selama manusia tak mampu menghidupkan maka
dia tak berhak membunuh. Ginggi juga malu dan sedih mengingat sikapnya.
Purbajaya tewas karena sikap Ginggi yang ragu-ragu dan
membingungkan orang lain, termasuk membingungkan
Purbajaya. Suji Angkara bahkan tewas karena sikap
cemburu Ginggi terhadap pemuda itu. Dia melumpuhkan
pemuda itu sehingga digunakan peluang oleh para prajurit
kerajaan untuk membunuhnya. Tapi tetap Ginggi yang
punya andil. Bukan karena alasan membela kebenaran,
melainkan karena alasan cemburu yang tak disadarinya.
Ginggi cemburu terhadap Suji Angkara, sebab kendati
pemuda itu jahat, tokh tetap dicintai Nyimas Banyak Inten.
Ginggi terpukul oleh ucapan gadis itu, bahwa untuk
mencintai seseorang tak melihat baik-buruknya orang yang
dicinta, melainkan adanya kecocokan hati. Seribu kali
Ginggi mengaku orang baik, kalau Nyimas Banyak Inten
tidak menyukainya bisa apa" Ginggi berduka dan merasa
malu. Sebetulnya lancang benar dia berkata cinta kepada
Nyimas Banyak Inten. Disangkanya siapa gadis itu"
Memang benar Nyimas Banyak Inten sudah menjadi
pendeta. Tapi apapun yang terjadi, gadis itu tetap saja
seorang putri bangsawan dan terlalu tinggi untuk bisa
disanding Ginggi. "Ini sebuah anugrah bagiku, dari sejak raja, para ksatria
hingga badega (jongos) mencintaiku?" ucapan Nyimas
Banyak Inten terdengar begitu menyakitkan sebab secara
tak langsung menyadarkan siapa dia dan apa kedudukan
dia. Sakit sekali! Benar, dia hanyalah seorangbadega, sebab
pangkat itulah yang resmi disandangnya. Kalau pun ada
orang mau mengangkatnya sebagai ksatria, itu baru rencana
dan mustahil terlaksana sesudah terjadi peristiwa tadi siang
di paseban istana. "Oh, Ki Darma " engkau membuatku sengsara saja,"
keluh pemuda itu di tepi gugusan.
Ginggi berjingkat dan melangkah menuju bangunan
pasanggrahan. Tubuhnya lelah sekali dan perutnya pun
terasa pedih karena seharian tidak dimasuki makanan
barang sejumput. Pemuda itu membaringkan tubuhnya. Tidur telentang
sambil kepala berbantalkan kedua belah tangannya. Banyak
kemelut di istana yang membuat dirinya pusing tujuh
keliling. Sekarang dirinya baru sadar, betapa berat
sebenarnya amanat yang diberikan Ki Darma. Begitu
beratnya sehingga tak semua orang yang menerima amanat
mengerti akan makna sebenarnya. Ya, Ki Bagus Seta dan
Ki Banaspati adalah salah satu pengemban amanat yang
salah menerapkannya. Dan barangkali Ginggi pun
termasuk orang yang tak tahu bagaimana cara
melaksanakan amanat tersebut, sehingga akhirnya dia
merasa tak sanggup lagi memikul beban amanat ini.
"Aku akan kembali saja ke Puncak Cakrabuana. Kalau
Ki Darma benar sudah tewas oleh penyerbuan para perwira
Pakuan, aku akan minta maaf karena tak sanggup
mengemban apa yang dia inginkan," gumam pemuda itu
sendirian. Ya, gumamnya dalam hati, aku sudah tak mau
tahu lagi akan keadaan di Pakuan. Silakan orang berusaha
berebut kekuasaan! Silakan orang saling berperang dan
saling bunuh! Dia tak ada kepentingannya sama sekali.
Tak ada kepentingannya" Pemuda itu bangun dan duduk
merenung. Alisnya pun berkerut tanda memikirkan jalan
pikirannya sendiri. Bisa saja perang bukan urusannya dan
dia tak punya kepentingan dengan itu. Tapi, apakah hanya
karena dia tak berkepentingan maka akan tega membiarkan
orang saling bunuh sesamanya" Membiarkan orang saling
bunuh berarti dia setuju pembunuhan. Padahal pendapat Ki
Rangga Guna amat dia hargai bahwa selama manusia tak
sanggup menghidupkan, maka dia tak berhak membunuh.
Dengan begitu, Ginggi pun tetap masih terikat dengan
sebuah kewajiban yaitu mencegah pembunuhan. Perang
jangan sampai terjadi! "Ya, perang jangan sampai terjadi sebab akan
menyengsarakan rakyat!" gumam Ginggi. Dan itulah
amanat Ki Darma. Jangan sengsarakan rakyat!
Ginggi menghitung-hitung hari. Di malam bulan
purnama akan diadakan upacara kuwerabakti. Tapi sehari
sebelumnya, akan ada upacara cara mandi suci di Telaga
Rena Maha wijaya. Raja dan seluruh keluarganya akan
mandi suci di telaga itu. Kapan"
Bulan purnama terjadi dua hari lagi. Berarti upacara
mandi suci akan dilangsungkan besok pagi. Akan
berlangsungkah upacara di Telaga Rena Maha Wijaya
padahal tadi siang hampir terjadi percobaan pembunuhan
terhadap Raja" Ginggi mengingat-ingat lagi surat sandi yang dikirim dari
Ki Banaspati untuk Pangeran Jaya Perbangsa :
Ribuan pipit terbang dari timur
ketika senja jatuh di barat
tiga hari sebelum kuwerabakti
pagi hari di Telaga Rena Maha Wijaya
Ribuan pipit itu jelas pasukan besar yang datang dari
Sagaraherang (timur). Mereka akan tiba pada senja hari.
Mungkin yang dimaksudnya senja hari tadi. Tiga hari
sebelumkuwerabakti adalah dimulainya pemberangkatan
pasukan besar itu, sebab perjalanan dari Sagaraherang
makan waktu dua hari. Sedangkan pagi hari di Telaga Rena
Maha Wijaya, mungkin adalah hari penyerbuan!
Siapa yang sudah tahu isi surat rahasia ini" Tidak ada
yang benar-benar tahu, sebab Pangeran Yogascitra pun
menerima penjelasan ini kurang begitu rinci. Kemudian
kalau Pangeran Yogascitra mengabarkannya pada Raja,
belum tentu Raja akan benar-benar percaya, apalagi dengan
terjadinya peristiwa tadi siang. Pangeran tua itu pasti akan
dianggap kabar bohong belaka.
Prabu Ratu Sakti Sang Mangabatan benar-benar merugi.


Senja Jatuh Di Pajajaran Karya Aan Merdeka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hanya karena tak mau memberi pengampunan kepada Ki
Darma dia tidak mendapatkan keterangan rahasia yang
amat berharga, pikir Ginggi. Ya, kalau pun penjelasan dari
pangeran Yogascitra mau dia terima, tapi keterangan
tersebut sepotong-sepotong. Orang-orang Pakuan tidak
tahu, pasukan mana dan siapa yang memimpin. Kepada
Pangeran Yogascitra Ginggi tidak pernah bicara tentang
Sagaraherang beserta situasi yang ada di sana. Ginggi juga
tidak pernah menyebut-nyebut nama KandagaLante Sunda
Sembawa kepada siapa pun, padahal dirinya merasa yakin,
yang akan memimpin penyerbuan kelak adalah Sunda
Sembawa. Ki Banaspati adalah otak penggerak yang sebenarnya.
Dia akan membiarkan pertarungan antara Sang Prabu Ratu
Sakti dengan Ki Sunda Sembawa, tak ubahnya seekor
serigala menunggu hasil pertarungan dua keledai.
Pemenang dari pertarungan pasti sudah lemah dan sang
serigala tinggal menyerangnya dengan mudah.
Tidak boleh terjadi, sebab kalau peperangan berlangsung,
banyak orang tak berdosa akan jadi korban!
Karena teringat hal inilah maka Ginggi tak jadi pergi
meninggalkan Pakuan. Sedapat mungkin dia akan
mencegah pertempuran. Bukan untuk kepentingan para
penguasa atau pun para pengejar ambisi, melainkan demi
kepentingan rakyat semata!
(O-anikz-O) Suasana Semakin Genting Ginggi yang sudah lelah dan yang sedianya hanya akan
bersembunyi saja di Pulo Parakan Baranangsiang, akhirnya
kembali meninggalkan tempat itu. Dia harus memburu dan
meneliti daerah sekitar dayo, Pertama yang diburunya
adalah kota di wilayahjawi khita (benteng luar). Kota
berpenduduk hampir 50 ribu jiwa itu malam itu nampak
ramai sekali. Menurut beberapa pedagang kain yang
dihampirinya, setiap upacara kuwerabakti Pakuan memang
selalu dipenuhi keramaian. Ini karena hari-hari itu dayo
dikunjungi oleh orang-orang yang datang dari berbagai
wilayah. Wilayah-wilayah Kandagalante atau kerajaan kecil
yang hingga saat itu masih setia kepada Pakuan.
Kuwerabakti adalah upacara menghormati suami Dewi
Sri, Ratu dan Dewi Padi. Pakuan sehabis musim panen
tahunan akan menerima seba (upeti) dari wilayah-wilayah
kekuasaannya. Semua rombongan seba dari setiap wilayah
akan hadir di Pakuan. Rombongan-rombongan itu
merupakan barisan besar, datang dengan bawaan hasil
bumi, seperti kapas diangkutnya menggunakan carangka
dan berbagai hasil bumi pangan diangkutnya menggunakan
dondang. Ada juga yang diangkut menggunakan roda
pedati ditarik kerbau. Ginggi bisa lihat, di pusat-pusat
keramaian banyak dondang ditaruh di halaman rumah
wadha (petugas penerima seba), begitu pun barisan pedati.
Di pusat-pusat keramaian, berbagai macam hiburan juga
diadakan. Di sudut sana prepantun membawakan kisah-
kisah kepahlawanan para ksatria Pajajaran. Sedangkan di
sudut lainnya ada seni pewayangan tengah dibawakan para
dalang. Ginggi menghitung ada sekitar tiga buah panggung
pewayangan dan tiga pangung pertunjukan pantun digelar
di tiap sudut alun-alunjawi khita, Kata orang, semua dalang
akan mempertunjukkan cerita-cerita terkenal seperti kisah-
kisah Darmajati, Jayasena, Ramayana, Adiparwa atau
Sedamana, Begitu pun prepantun melantunkan kisah
terkenal mulai dari cerita Pamanah Rasa, hingga
Sanghyang Lutung Kasarung, dari mulai kisahAnggalarang
hingga kisah Banyakcitra atau Katurwargi, Namun para
prepantun juga tidak pernah lupa untuk membawakan kisah
pengelelanaan Raden Mundinglaya Di Kusumah atau Guru
Gantangan, Pada saat ksatria ini dinobatkan menjadi raja
dengan nama Prebu Surawisesa, nama perwira pengawal
Raja berjuluk Ki Darma Tunggara disebut-sebut. Mulanya
sebagai perwira gagah berani, namun belakangan berubah
menjadi seorang perwira yang rewel karena terlalu banyak
berkehendak, serta dianggap orang tinggi hati, sok tahu dan
tidak hormat kepada Raja.
Ginggi tersenyum pahit mendengar kisah ini. Dan dia
segera berlalu, sebab bukan tujuannya untuk menonton
berbagai pertunjukan di alun-alun itu. Tujuannya untuk
menyelidiki "pasukan dari timur" yang menurut surat
rahasia harus sudah tiba di Pakuan pada senja hari.
Sekarang sudah lewat senja hari, berarti pasukan
penyerbu sudah lama tinggal di sini. Namun Ginggi tak
melihat hal-hal aneh atau pun mencurigakan. Tak ada
ketegangan atau pun hal-hal merisaukan di sana. Bahkan
yang Ginggi lihat, semua orang larut dalam pesta. Orang
sibuk kesana-kemari melihat berbagai ragam pertunjukan.
Di bagian lain Ginggi lihat para penembang sedang
melantunkan kawih Bongbong Kaso, Porod Surih,
Sisindiran atau Kawih Bangbarongan, Malah di panggung
lain orang tengah terpingkal-pingkal karena ada
pertunjukan seni pamaceuh (permainan lucu) seperti
tatapukan (permainan topeng),ceta niras dan ngadu nini,
Semua ceria dan seperti tak satu pun mengingat sesuatu
bahaya. "Entah mengapa, pengunjung dari luar daerah upacara
Kuwerabakti tahun ini demikian banyaknya. Aku juga
heran, padahal hasil panen tahun ini tidak menggebu dan
keamanan di beberapa wilayah kurang terjamin," kata
seorang pedagang yang mengaku datang dari wilayah
sebrang Sungai Cisadane. "Berapa kali pengujung Kuwerabakti ramai seperti tahun
ini, Paman?" tanya Ginggi.
"Berapa kali" Bahkan baru kali inilah sepengetahuanku.
Aneh, begitu banyaknya orang yang datang ke Pakuan
ini?" gumam pedagang itu heran.
Berdebar jantung Ginggi. Tak pelak lagi, pasukan dari
timur sudah tiba di Pakuan. Ginggi sudah menduganya,
Pakuan seramai ini karena yang datang bukan hanya
rombongan pengirim seba saja, melainkan juga pasukan
dari Sagaraherang. Tapi bagaimana cara membedakan
mana pasukan dan mana orang-orang biasa"
Ginggi terus berkeliling meneliti kesana-kemari. Dari
berbagai macam pedagang di pasar malam tepi alun-alun
benteng luar, pemuda itu mendapatkan para pedagang
macam-macam senjata, digelar begitu saja di atas tanah.
Ketika Ginggi tanya kepada orang di sana, mereka
mengatakan, setiap keramaian Kuwerabakti memang sudah
biasa ada pedagang alat-alat, mulai dari alat-alat pertanian,
sampai kepada alat-alat yang biasa digunakan sebagai
senjata. Dalam keramaian Kuwerabakti juga diadakan latihan
perang-perangan. Dalam saat-saat ini, pemerintah pun
membuka lamaran kepada semua orang untuk mengabdi
sebagai prajurit Pakuan. Kuwerabakti juga adalah musim
orang pamernya kedigjayaan karena ingin terpakai sebagai
pengabdi negara. Inilah saat-saat orang mencari pekerjaan
terhormat. "Jadi amat wajar di keramaian pasar malam juga digelar
dagangan macam-macam senjata sebab memang erat
hubungannya dengan pamer kedigjayaan," kata seseorang
yang tengah meneliti berbagai ragam dagangan senjata.
Ginggi pun ikut meneliti. Di samping jajaan alat pertanian
seperti belincong, baliung, patik, kored, sadap dankujang,
atau alat-alat yang biasa digunakan para pendeta seperti
peso pengot, peso raut, peso dongdang, dan pakisi, juga
dijajakan benda-benda berupa senjata, mulai dari golok,
pedang, abet, pamuk golok, peso teudeut sampai kepada
keris yang sebetulnya hanya digunakan para raja. Namun
tentu saja keris yang dijajakan di sini hanya kualitas pasaran
saja. Pedagang senjata ini tidak berkumpul pada satu tempat.
Mereka berpencaran jauh. Kalau meneliti hanya selintas,
tak akan menimbulkan perhatian khusus. Lain lagi dengan
Ginggi yang perhatiannya tengah meneliti sesuatu.
Pedagang senjata ini amat mencurigakan. Jumlahnya serasa
terlalu banyak. Di sekitar benteng luar, Ginggi menghitung
hampir duapuluh pedagang senjata betul-betul
mencurigakan. Benarkah mereka hanya pedagang biasa"
Ginggi mencoba mendekati satu pedagang. Ditelitinya
dengan seksama, siapa-siapa saja pembelinya. Satu dua
orang pembeli wajar-wajar saja. Tapi yang lainnya begitu
ganjil. Mereka beli benda-benda tajam tidak terlalu banyak
bicara, tidak rewel menawar harga dan langsung dibeli.
Banyak pedagang hanya dalam waktu singkat sanggup
menghabiskan dagangannya.
"Enak sekali, jualan benda-benda tajam cepat laku,
Paman," kata Ginggi pada seorang pedagang. Yang diajak
bicara hanya ketawa kecil.
"Kenapa yang banyak laku barang-barang berupa senjata,
sedangkan alat pertanian tidak, Paman?" tanya lagi Ginggi.
Pedagang itu mengeryitkan dahi dan menatap Ginggi
sedikit bercuriga. Namun karena dagangannya sudah habis,
dia segera melipat kantung-kantung goni di mana barang-
barang dagangannya di simpan. Tanpa banyak cakap orang
itu segera berlalu meninggalkan Ginggi seorang diri.
Pemuda itu termangu sejenak. Namun sesudah orang itu
menghilang dibalik sebuah gang di antara dua bangunan
kedai, Ginggi segera berjingkat. Dia ingin mengikuti ke
mana dua orang itu pergi.
Ginggi tiba di gang itu, hanya nampak bayangan hitam
berkelebat menjauh. Ginggi pun melangkah lebih cepat lagi,
bayangan itu semakin pergi menjauh. Kecurigaan pemuda
itu semakin menebal. Orang tadi, atau bahkan beberapa
orang lainnya pasti bukan benar-benar pedagang, melainkan
anggota pasukan yang bertugas membagikan senjata.
Ginggi sudah menduga, pasukan yang datang dari
Sagaraherang tidak datang secara terang-terangan. Kalau
mereka menampakkan diri sebagai pasukan tentu akan
amat mencurigakan bagi fihak Pakuan. Mereka pasti masuk
Pakuan secara terpisah dan dipecah-pecah dalam bentuk
rombongan kecil. Mungkin berpura-pura sebagai rakyat
biasa, mungkin berpura-pura sebagai anggota rombongan
pengangkut seba. Sedangkan perlengkapan perang, mereka
angkut dan disamarkan seolah-olah barang dagangan.
Melihat banyak "dagangan" sudah habis, Ginggi sudah
bisa menduga bahwa semua atau kebanyakan anggota
pasukan sudah mendapatkan jatah senjata. Ginggi bingung
dan sedikit menyesal. Hanya karena dia banyak berdiam
diri di Pulo Parakan Baranangsiang, maka upaya
pencegahan menjadi terlambat. Padahal bila Ginggi sudah
sejak sore hari melakukan penelitian, sedikitnya dia bisa
melakukan tindakan, misalnya berusaha menggagalkan
upaya mereka dalam membagikan senjata. Senjata tajam
bagi prajurit biasa adalah perlengkapan vital. Jadi bila
berperang tanpa senjata, akan amat menyulitkan. Tapi
semua sudah terlambat, senjata sudah dibagikan dan Ginggi
pusing sendiri dibuatnya.
Tapi Ginggi terus mencoba membuntuti orang itu. Sang
"pedagang" rupanya hendak memasuki sebuah rumah.
Namun ternyata dia tak jadi masuk, malah mencoba
membalikkan badan, berdiri bertolak pinggang dan
nampaknya sengaja menanti kehadiran Ginggi.
Sudah barang tentu pemuda itu agak merandek
dibuatnya. Dia menyumpah-nyumpah dirinya sebagai
kurang hati-hati. Sebab kalau tak begitu tak nanti
tindakannya diketahui orang tadi.
"Mau apa kau membuntuti aku?" teriak orang itu,
sengaja memperkeras suaranya. Ginggi mengerti, suara ini
hanya sebagai tanda dalam upaya memanggil teman-
temannya. Dan benar perkiraannya. Begitu teriakan itu
berhenti, pintu terkuak lebar dan ada sekitar lima orang
keluar dari pintu. "Serbu!" teriak orang yang dibuntuti tadi. Dan lima
orang serentak menghambur ke arah Ginggi. Semua
melakukan serangan ganas dan tujuannya hendak
membunuh. Ginggi merasakannya sebab semua serangan
ditujukan ke arah bagian badan yang amat lemah. Satu
orang menyerang mata Ginggi dengan dua ujung jari siap
menusuk. Lainnya mengarah ke bagian pusar dengan
tendangan beruntun. (O-anikz-O) Jilid 24 (TAMAT) Ginggi miringkan kepala ke kanan dan kiri untuk
menghindarkan serangan tusukan dua jari dan menahan
beberapa tendangan dengan telapak tangan kiri dan
kanannya. Tapi serangan semakin deras mengarah
padanya. Dua orang lawan bahkan menggunakan loncatan
salto untuk sama-sama menyerang ubun-ubun Ginggi.
Pemuda itu tidak berniat balas menyerang, apalagi untuk
mencoba menganiaya atau membunuh mereka. Tapi
serbuan lawan demikian ganas. Bila dia hanya main kelit
saja, mungkin hanya satu-dua serangan yang bisa
dihindarkan, sedangkan yang lainnya pasti akan mengenai
sasaran. Maka agar keselamatan dirinya sendiri bisa terjaga,
Ginggi terpaksa mengeluarkan jurus serangan. Serbuan dari
atas kepalanya berupa sodokan-sodokan tangan kiri dan
kanan, ini sulit untuk dikelit, sebab Ginggi baru saja
menghindar terjangan ujung kaki lawan yang mengarah
dadanya. Pemuda itu sudah dalam keadaan jongkok dan
tak mungkin menghindarkan serangan dari atas. Satu-
satunya cara mempertahankan diri adalah melakukan
tangkisan. Namun tangkisan biasa saja tak akan berarti apa-
apa dalam menahan serangan yang datang dari atas dengan
pengerahan tenaga penuh. Sepasang tangan Ginggi yang
sudah terbuka lebar dia isi dengan pengerahan tenaga
dalam. Maka begitu tangan-tangan lawan bertumbukan
dengan telapak tangan Ginggi, terdengar jerit-jerit kesakitan
sebab dua orang penyerang yang bersalto di atas kepala
Ginggi terpental lagi ke udara. Ginggi belum dikatakan
lolos dari bahaya sebab terjangan dari arah depan menyuruk
mengarah wajahnya. Namun dalam keadaan jongkok,
maka dengan mudah Ginggi jungkir balik ke belakang


Senja Jatuh Di Pajajaran Karya Aan Merdeka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan cara menotolkan sepasang kaki yang tadi jongkok.
Dua orang penyerang yang melakukan terjangan hanya bisa
menyerang tempat kosong yang sudah ditinggalkan Ginggi.
Tiga orang penyerang akan kembali melakukan serbuan
lagi. Tapi dari gang dimana tadi Ginggi muncul,
bermunculan pula beberapa orang. Mereka berbekal obor,
sehingga suasana menjadi terang benderang. Ginggi dan
para penyerangnya bisa melihat bahwa yang datang adalah
para prajurit istana. "Tolong, ada penjahat mau merampok" teriak seseorang
penyerangnya. Ginggi mendengus mendengar siasat
brengsek ini. Namun para prajurit rupanya rupanya percaya
omongan ini. Buktinya mereka mengurung Ginggi,
jumlahnya ada sekitar tujuh orang.
Ada tiga buah obor dengan nyalanya yang terang
sehingga wajah Ginggi bisa dilihat semua orang.
"Ginggi!!!" teriak beberapa orang. Semua suara datang
dari kedua belah fihak para prajurit dan fihak para
penyerang. Ginggi pun terkejut dibuatnya. Dari kedua belah
fihak yang kini tengah mengurungnya ternyata ada
mengenal dirinya. "Tangkap pemberontak!" seru seorang prajurit
"Siapa pemberontak?" tanya orang yang dikuntit Ginggi.
"Dia!" seru prajurit menunjuk hidung Ginggi dengan
ujung obornya. "Ya, tangkap dia" teriak yang lain. Maka Ginggi pun
dikepung lagi. Hanya saja, kini para pengepungnya terdiri
dari tujuh prajurit. Ginggi menduga bahwa peristiwa tadi
siang di paseban istana rupanya secara diam-diam sudah
diketahui para prajurit bahkan mereka sudah ditugaskan
mengejarnya. Buktinya, ketika di antara mereka ada yang
mengenalnya, langsung menuding dan mencercanya
sebagai pemberontak. Ginggi juga berpikir, dari fihak yang dikuntitnya sudah
ada yang mengenalinya. Ini hanya membuktikan bahwa
mereka benar anggota pasukan dari Sagaraherang. Ketika
dia berada di wilayah kandaga lante itu, Ginggi dikenal
banyak oleh para prajurit di sana. Bagaimana sikap orang-
orang Sagaraherang terhadapnya kini" Apakah masih
menganggapnya orang sendiri atau sebaliknya" Pemuda itu
tak bisa menduga. Kalau saja tadi mereka berteriak-teriak
mempengaruhi Ginggi ditangkap, itu bisa saja sekadar
siasat pula, sebab tak mungkin mereka membantu Ginggi
kalau tak ingin sama-sama ditangkap prajurit istana.
Dan nampak sekali mereka mulai meninggalkan tempat
itu setelah perhatian para prajurit hanya tertuju pada Ginggi
seorang. Mereka pasti sudah menghindar dari tempat ini,
pikir Ginggi. Ginggi tak mau mati konyol, tapi pun tak mau
menganiaya mereka. Maka sebelum kepungan merapat,
Ginggi segera melompat ke balik sebatang pohon. Padahal
yang dilakukan Ginggi adalah meloncat ke dahan pohon di
atasnya. Sesudah itu dia meloncat kesana-kemari, loncat
lagi ke atas atap bangunan dan melarikan diri dari tempat
itu. Kacau sekali, kata Ginggi dalam hatinya. Ya, betapa tak
kacau sebab gerakan Ginggi untuk meneliti gerakan fihak
pasukan penyerbu kini diganggu para prajurit istana. Ini
sekaligus juga kian menyadarkan dirinya bahwa
kedudukannya sekarang mulai terjepit. Pihak penyerbu
yang dipimpin Ki Banaspati atau Ki Sunda Sembawa kini
pasti sudah menganggap dirinya sebagai musuh sebab tidak
melakukan keinginan mereka dengan benar. Sebaliknya
pihak istana yang hendak dia tolong pun kini memusuhinya
dan menuduhnya sebagai pemberontak pula.
Ginggi hampir-hampir bosan mengalami hal-hal
menyebalkan seperti ini. Kalau hatinya tidak berkeberatan
untuk membiarkan peperangan tetap berlangsung, sudah
sejak dari tadi dia pergi saja dari Pakuan.
Namun Ginggi akan tetap bertahan dulu tinggal didayo
ini. Memang dirinya merasa gagal sebab peperangan pasti
berlangsung. Namun kendati begitu, dia tetap ingin
berusaha agar korban sia-sia tidak terlalu banyak terjadi. Ini
tetap akan menjadi sikapnya. Bahwa peperangan yang
selalu mengakibatkan korban jiwa, sebenarnya hanya terjadi
karena otak-otak segelintir orang yang mengaku sebagai
pemimpin. Kalau dia berhasil menyadarkan para
pemimpinnya, mungkin peperangan tak bakal terjadi. Tapi
bagaimana caranya" Dan Ginggi bingung memikirkannya.
Sampai pagi menjelang, pemuda itu tidak pernah tidur
padahal kantuk begitu menyerangnya. Ginggi hanya tidur-
tiduran saja di sebuah gudang belakang, sebuah bangunan
kedai. Pagi-pagi sekali semua penghuni rumah sudah pada
bangun. Tapi semuanya tidak berupaya membuka kedai.
Mereka hanya terdengar membuka persiapan seperti akan
pergi ke suatu tempat. "Ayo berkemas, siang sedikit kita tak bisa melihat
upacara mandi suci di Telaga Rena Maha Wijaya," kata
seseorang. Sang Prabu Ratu Sakti benar-benar orang hebat, dia
pemberani, pikir Ginggi. Ginggi memang tak pernah
mengabarkan langsung perihal akan terjadinya penyerbuan
dari wilayah timur. Namun sekurang-kurangnya Raja sudah
menerima berita ini dari Pangeran Yogascitra. Apakah
ucapan pangeran itu tak dipercayanya karena telah
dianggap terlibat urusan Ginggi dan Purbajaya, Ginggi
sendiri pun tak mengetahuinya.
Seisi rumah sudah meninggalkan tempat itu, sehingga
keadaan kembali sunyi. Ginggi harus segera meninggalkan
rumah itu untuk sama-sama melihat upacara mandi suci.
Tapi akan sangat berbahaya bila dia datang ke sana dengan
begitu saja. Kalau ada yang mengenalnya, dia pasti diuber-
uber lagi. Ginggi terpaksa memasuki rumah yang sudah
ditinggalkan penghuninya. Dia mencari-cari sesuatu. Dan
akhirnya ditemukannya barang yang dicarinya, yaitu
pakaian. Sejak beberapa hari dia hanya menggunakan
pakaian santana pemberian Pangeran Yogascitra. Pakaian
itu warna ungu dan akan sangat mencolok sekali, apalagi
beberapa orang di istana sudah mengenalnya. Dia harus
ganti pakaian. Pakaian yang ada di rumah itu hanyalah
celana pokek dan baju kampret, semua berwarna hitam dan
terbuat dari kain tenunan kasar jenis seumat saumur, yaitu
tenunan kain yang menggunakan serat-serat benang kasar
yang berukuran besar. Dia ambil pula sebuah ikat kepala
jenis lohen yang segera diikatkan di kepalanya. Tapi ketika
melihat ada ikat kepala jenis lain, dia segera melepas ikat
kepala yang barusan sudah dikenakannya. Tidak, aku harus
menggunakan jenis ikat kepala barangbang semplak ini,
kata Ginggi dalam hatinya. Ikat kepala jenis ini biasanya
digunakan para orang lanjut usia saja. Tapi justru Ginggi
akan menggunakannya. Ikat kepala jenis ini ukurannya
selalu lebar. Kalau dipakai agak miring ke sisi akan sedikit
menutupi pipinya. Ini perlu untuk menghindari
pengenalannya. Selesailah sudah berdandan. Kemudian Ginggi keluar
dari rumah itu sesudah diketahui pasti tak akan ada orang
yang memperhatikannya. Ginggi menuju Telaga Rena
Maha Wijaya. Tempat itu terletak di benteng luar sebelah
selatan. Telaga Rena dibuat pada zaman Sang Prabu Sri Baduga
Maharaja hampir 30 tahun silam. Telaga hanya
mengandalkan sebuah sumber air yang keluar dari ujung
sebuah bukit kecil uang dikenal sebagai Bukit Badigul.
Ginggi pernah mendengar penjelasan dari Purohita
Ragasuci, bahwa sebenarnya Badigul pun merupakan bukit
buatan. Sekurang-kurangnya, tanah dataran tinggi itu
dibuat sedemikian rupa membentuk punggung kura-kura.
Puncaknya merupakan alam terbuka dan tak ada
pepohonan di sana, kecuali semacam lapangan rumput saja.
Bukit Badigul sengaja diciptakan menjadi semacam puncak
dengan dataran tanah yang rata sebab pada saat-saat
tertentu selalu digunakan untuk tempat pemujaan.
Seusai melaksanakan mandi suci dalam kegiatan
Kuwerabakti ini pun, akan diadakan upacara keagamaan di
puncak bukit. Bila mengingat penjelasan dari Purohita ini, perasaan
Ginggi kembali berdebar keras. Ginggi amat
membayangkan bahwa penyerangan pasukan dari timur
pasti dilakukan di saat semua orang tengah melakukan
pemujaan. Ini termasuk kegiataan penting dan semua rakyat Pakuan
berbondong-bondong datang ke sana. Itulah sebabnya
sepagi itu sudah banyak orang menuju Bukit Badigul dan
Telaga Rena Maha Wijaya. Tiba di tempat itu Ginggi menemukan sesuatu yang
mencengangkan. Ke tempat itu banyak rombongan pria-
wanita dan anak-anak. Mereka menggunakan pakaian
bagus-bagus. Yang kaum lelaki membawa dan memikul
jampana, satu jampana diusung empat orang. Di dalam
jampana, penuh diisi berbagai macam makanan seperti nasi
kuning, panggang ayam dan telur rebus. Yang wanita
mengusung tempayan berisi berbagai jenis buah-buahan
yang ranum-ranum. Di seputar tepi telaga yang berair
tenang dan jernih itu berderet umbul-umbul dengan kain
warna-warni. Kian dekat ke tepi bukit, kian banyak juga
orang didapat. Ketika akan memasuki wilayah itu, ribuan
orang berderet memadati tepian jalan tanah bercampur
pasir. Deretan orang sepertinya tengah menunggu atau
menyambut sesuatu. "Siapa yang akan disambut di sini, Paman?" tanya
Ginggi kepada seorang lelaki yang berpakaian baru.
"Kita semua tengah menyongsong kehadiran keluarga
istana," katanya. "Raja dan keluarga, disertai para pejabat
akan mengadakan upacara mandi suci di tepi telaga,"
sambungnya pula. Tidak terlalu lama Ginggi menunggu, sebab sayup-sayup
di arah utara terdengar suara gong ditabuh beberapa kali.
Orang-orang yang berderet di ujung utara bahkan terdengar
bertepuk dan bersuit riuh. Ada juga suara tepukan tangan
seperti menyambut sesuatu yang amat membahagiakan bagi
mereka. Ternyata yang disambut tempik-sorak meriah adalah
rombongan Raja dan seluruh keluarganya. Setiap
rombongan tiba di deretan penyambut, setiap itu pula
terdengar tempik-sorak. Rakyat mengelu-elukan Raja
dengan penuh suka-cita. Beberapa kelompok para wanita
termasuk deretan gadis belia bahkan melempar-lemparkan
bunga warna-warni. Kian dekat kian nyata bahwa yang datang adalah
rombongan Raja. Raja duduk di atas jampana atau tandu
mewah, sebab selain terdiri dari kayu jati berukir, juga
dibelakangnya dihiasi patung ukir burung garuda. Raja
masih tetap bermahkota terbuat dari logam emas yang
ditatah butir-butir zamrud dan mutiara. Itulah Makuta
Binokasih Sanghyang Pake (kini disimpan di Museum
Geusan Ulun, Sumedang). Namun pakaiannya
berselendang kain putih. Dan bila tak menggunakan
mahkota, selintas raja seperti seorang pendeta saja.
Anggota rombongan lain pun nampak menggunakan
kain putih termasuk permesuri dan para selirnya. Pada
sanggul-sanggul mereka nampak bunga-bunga menempel.
Ini karena tabur bunga yang dilakukan para penyambut itu.
Yang membuat rombongan ini menjadi kian berwibawa
adalah rapatnya pengawalan. Begitu banyaknya perwira
yang mengawal rombongan ini. Hampir tiap tiga depa
antaranya. Dan selintas Ginggi bisa meneliti, bahwa mereka
adalah para perwira kosen semata. Mungkin inilah barisan
seribu pengawal Raja, sebuah pasukan elit yang amat
disegani sejak zamannya Sang Prabu Sri Baduga Maharaja.
Melihat mereka berjalan dengan rapih serta langkah yang
mantap. Ada pedang di pinggang mereka dan pakaian
indahnya yang dihiasi baju zirah. Ginggi tak begitu tahu,
apakah setiap mereka bekerja mengawal Raja selalu
menggunakan pakaian zirah, atau karena mereka tengah
bersiap menghadapi segala kemungkinan yang tidak
diharapkan" Baju zirah terbuat dari logam baja berbentuk
sisik ikan. Bila ada serangan senjata tajam, badan mereka
tak akan tertembus karena sisik-sisik logam baja itu.
"Paman, siapakah anak muda yang naik kuda putih di
belakang Sang Prabu itu?" tanya Ginggi.
"Itulah Sang Lumahing Majaya?" kata yang ditanya.
"Apa kedudukannya di Pakuan" Nampaknya anak lelaki
berwajah tampan itu punya hubungan erat dengan Sang
Prabu," kata Ginggi agak bergumam. Sambil matanya
menatap tak habis-habisnya kepada pemuda berparas elok
itu. Usianya barangkali sebanding dengan Ginggi, yaitu
sekitar 16 atau 17 tahun. Namun pemuda yang
mencongklang kuda putih dengan amat anggunnya itu
demikian gagah dan tampannya. Pakaiannya pun amat
mewah kendati ditutup kain putih juga. Pergelangan tangan
dan kakinya dihiasi gelang-gelang emas beberapa buah,
sehingga bila dia menggoyang kendali kuda atau kakinya
menggerak-gerakan ke arah perut kuda tunggangannya,
maka akan terdengar suara gemerincing halus karena
gelang-gelang emas satu sama lain saling berdencing.
"Aku tak begitu tahu hubungan antara Sang Prabu
dengan Raden Majaya. Mungkin Raden Majaya putra dari
seorang selir, sebab dari permesuri Sang Prabu hanya
mempunyai beberapa orang putri saja. Hanya yang pasti,
kata beberapa prajurit istana yang aku kenal, Sang Prabu
demikian sayangnya kepada Raden Majaya ini," gumam
lelaki itu. Ginggi terus menatap pengendara kuda putih itu
sampai berlalu dari pandangannya. (catatan pengarang:
Kelak Raden Majaya akan menggantikan Prabu Ratu Sakti,
dialah Prabu Nilakendra, memerintah pada 1551-1567
Masehi). "Hei"engkau mau ke mana anak muda?"
"Bukankah kita akan menyaksikan Raja beserta


Senja Jatuh Di Pajajaran Karya Aan Merdeka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kerabatnya mandi suci?" kata Ginggi balik bertanya.
"Huss! Kita tidak diperkenankan menyaksikan upacara
mandi suci," kata lelaki setengah baya itu.
"Jadi, untuk apa kita berduyun-duyun ke sini?" tanya
Ginggi lagi sambil wajahnya mendongak ke arah jalan yang
menaik ke bukit. "Kita semua baru diperbolehkan bersama Raja dalam
upacara keagamaan di Puncak Badigul di mana dahulu
Sang Prabu Sri Baduga Maharajangahiyang (moksa)," kata
lelaki itu pula. Ginggi mengangguk-angguk tapi sambil meninggalkan
tempat itu. Dia harus bisa menyelinap dan ikut ke tepi
telaga. Tapi bagaimana caranya, belum terpikirkan benar.
Tidak mungkin mendekati tepi telaga dengan mengambil
jalan yang barusan dilalui rombongan Raja. Ginggi harus
mencari jalan lain, yang penting bisa mendekati tepi telaga
untuk mengamati upacara mandi suci. Dia memang harus
mengamatinya. Upacara itu harus berlangsung dan tak
boleh ada gangguan, apalagi gangguan itu berupa
penyerbuan pasukan pemberontak. Berdesir darah Ginggi
kalau mengingat kembali urusan ini. Hari ini begitu
banyaknya orang menuju tempat ini. Bila dikaitkan dengan
kejadian tadi malam, hati pemuda itu semakin yakin bahwa
di antara ribuan pengunjung ini ada terselip ratusan anggota
pasukan yang dipimpin Kandagalante Sunda Sembawa.
Bertepatan dengan jalan pikirannya ini, Ginggi melihat
rombongan kedua lewat di jalan yang berupa pintu masuk
ke Bukit Badigul atau juga ke tepi telaga buatan itu.
Kembali berdesir darah pemuda itu. Rombongan yang
lewat ini ternyata barisan para pejabat istana beserta
pejabat-pejabat dari wilayah-wilayah seputar kekuasaan
Pakuan. Yang membuat darah Ginggi berdesir karena di
antara barisan pejabat yang datang menggunakan
kendaraan kuda, juga terdapat Kandagalante Sunda
Sembawa. Ginggi yakin, Sunda Sembawa datang ke sini
disertai pasukannya yang hadir secara terpencar-pencar dan
rahasia. Kehadiran Sunda Sembawa ke Pakuan memang
wajar sebab semua kepala wilayah yang ada di bawah
kekuasaan Pakuan akan hadir dalam upacarakuwerabakti,
Namun kehadiran Sunda Sembawa di Pakuan hari ini,
juga hanya menandakan bahwa gerakannya tidak tercium
orang-orang Pakuan. Ini betul-betul berbahaya.
(O-anikz-O) Ki Sunda Sembawa Kecewa Ginggi menyaksikan barisan pejabat berkuda itu dari
balik batang pohon. Beberapa pejabat sudah Ginggi kenali
sebab mereka telah ikut hadir dalam pertemuan penting di
puri Yogascitra beberapa waktu lalu. Hanya yang membuat
Ginggi khawatir ialah tidak terlihatnya Pangeran
Yogascitra, begitu pun putranya, Banyak Angga. Ginggi
khawatir sebab ia menduga, keluarga Yogascitra pasti
mendapat kesulitan setelah peristiwa kemarin pagi di
paseban istana. Pangeran Yogascitra pasti ditangkap karena
dituduh dalam peristiwa itu.
Rombongan itu jelas menuju tepi telaga juga. Ginggi
harus sama-sama mendekati tepi telaga. Di sana ada Ki
Sunda Sembawa. Dia mendekati Raja. Tugas membunuh
Raja mungkin sudah dialihkan dari dirinya, entah kepada
siapa. Ginggi menduga, peristiwa kemarin siang di paseban
istana pasti diketahui Ki Banaspati juga. Entah apa
penilaian Ki Banaspati terhadapnya kini. Yang jelas, Ginggi
sudah tak akan "terpakai" tenaganya dalam melaksanakan
tugas membunuh Raja. Ya, kendati Raja sudah mencurigai
dirinya sebab punya kaitan erat dengan Ki Darma, tetapi
sikapnya tetap tak berubah. Raja tak boleh mati.
Tadi malam di Pulo Parakan Baranangsiang hatinya
sempaat mengumpat bahwa biarkan Raja tewas dalam
kemelut penyerbuan. Dia berpikir begitu karena malam tadi
hatinya panas dan pikirannya kacau. Sekarang sesudah
emosinya normal kembali, timbul lagi jalan pikirannya yang
wajar. Dia tetap mempertahankan sikapnya yang lama
untuk tidak mentolerir gerakan yang bernama
pemberontakan. Raja tak boleh tewas, sebab kalau harus
begitu, maka suasana di Pakuan akan semakin tak menentu
dan akan menguntungkan kaum pemberontak.
Raja harus tetap selamat, sebab apa pun yang terjadi di
istana, kedudukan Raja sebetulnya tetap sebagai penentu
kebijaksanaan. Maka betapa kacaunya suasana bila Raja
harus mati dalam pemberontakan. Soal banyak pelanggaran
yang dilakukan Raja seperti melanggar aturan moral yang
dikeluhkan banyak pejabat istana, biarlah kelak mereka
menentukan sendiri dengan jalan musyawarah dan bukan
jalan kekerasan seperti yang tengah dirancang Ki Banaspati
dan Kandagalante Sunda Sembawa.
Sesudah memantapkan sikapnya, Ginggi segera
meninggalkan tempat itu. Dia harus jalan memutar
melewati semak-semak dan hutan kecil lereng bukit untuk
bisa mencapai tepi telaga.
Namun sebelum tiba di tempat yang dituju, Ginggi
memergoki sekelompok orang misterius. Mereka
berpakaian seperti orang kebanyakan, berjumlah sekitar
lima orang, namun ada sesuatu tersembul di balik bajunya
yng tertutup kain sarung.
Ginggi menduga keras, mereka adalah pasukan Sunda
Sembawa. Ginggi bertekad akan melumpuhkan orang-orang ini
sebelum mereka membuat kekacauan. Maka secara diam-
diam pemuda itu mendekati mereka. Namun yang didekati
rupanya bukan orang-orang sembarangan. Buktinya, lima
tindak sebelum Ginggi tiba di tempat mereka sembunyi, tiga
orang di antaranya sudah menengok ke belakang.
Kecurigaan mereka begitu cepat berubah menjadi semacam
tindakan cepat. Kelima orang itu serentak menyerang
Ginggi sebelum mereka diserang. Maka dalam waktu
singkat Ginggi diberondong berbagai serangan dahsyat.
Ginggi pun demikian terkejut sebab mereka rata-rata
berkepandaian tinggi dan memiliki pukulan tenaga dalam
cukup mantap. Hanya karena Ginggi pandai berkelit saja
maka banyak angin pukulan mengenai tempat kosong.
Ginggi mengerti, mereka langsung menyerang dengan
tenaga dalam dengan maksud bisa melumpuhkan bahkan
membunuh pemuda itu dengan cepat dan dalam waktu
singkat. Namun sudah barang tentu Ginggi tak mau begitu
saja jadi santapan pukulan maut mereka. Maka Ginggi
meloncat kesana-kemari, berkelit dan menghindar.
Akibatnya banyak batang pohon runtuh atau batangnya
hancur karena dorongan pukulan tenaga dalam mereka.
Ginggi berpikir, mereka benar-benar orang pandai
namun terlalu gegabah mengobral tenaga dalam. Satu dua
pukulan tenaga dalam mereka mungkin masih mampu.
Tapi kalau harus terus-terusan mengeluarkan tenaga dalam
seperti itu, hanya akan mengurasnya saja.
Dan melihat kebodohan mereka ini, Ginggi malah
sengaja menyulut emosi mereka agar terus-terusan merasa
penasaran dan melancarkan pukulan tenaga dalam. Biar
tenaga mereka kedodoran, pikir Ginggi.
"Jangan terpancing pemuda sinting itu," teriak seorang
dari mereka. "Hemat tenaga!" katanya pula. Namun
peringatan ini sungguh terlambat, sebab empat temannya
sudah mulai ngos-ngosan. Melihat tenaga mereka sudah mulai menurun, kini
giliran Ginggi melakukan penyerangan. Ginggi memang
tengah diserang oleh lawan dari kiri dua orang, kanan dua
orang serta dari depan satu orang. Dari kelima orang itu,
ada dua orang di kiri yang nampak tenaganya sudah
menurun. Oleh sebab itu pemuda itu harus menitikberatkan
serangan kepada orang paling lemah. Ginggi melipat dua
jari tengah dan telunjuk, kemudian menyodokkannya ke ulu
hati lawan yang berdiri paling ujung. Serangan
dilakukannya dengan tangan kiri. Yang mendapatkan
serangan ini nampak terkejut dan menunduk dengan
harapan perutnya mundur menjauh. Namun ini sebenarnya
hanya pancingan belaka. Serangan sebenarnya Ginggi
lakukan dengan tangan kanan dan mengarah kepada lawan
yang berdiri kedua dari kiri. Orang itu tak menduga bahwa
serangan sebetulnya mengarah kepadanya. Karena serangan
tangan kanan Ginggi mengarah pada ulu hati, serentak
kedua tangannya melindungi bagian pusar. Namun
sodokan tangan kanan pemuda itu malah belok ke atas dan
"Tuk! Leher di bawah tenggorokan terkena pukulan dua
jari melipat. Ginggi segera melipat jari-jarinya.
Bagian itu adalah paling lemah dari tubuh manusia. Bila
diserang orang yang memiliki tenaga dalam hebat pun tidak
akan bisa melindungi bagian ini. Maka begitu menerima
serangan telak, orang itu berteriak ngeri dan langsung
terjerembab. Dua orang di kanan serta satu orang di depannya secara
bersamaan melancarkan pukulan keras mengarah wajah.
Ginggi secepat kilat menarik wajahnya ke belakang sambil
tubuh sedikit jongkok, secepat kilat juga kaki kirinya
melayang dari samping kiri menyabet setengah lingkaran ke
samping kanan. Tiga orang penyerangnya harus meloncat
ke atas secara bersamaan kalau tidak mau kaki-kaki mereka
tersapu serangan kaki kiri Ginggi. Sambil kaki kiri
menyapu, tangan kirinya pun melakukan sodokan lurus ke
arah satu penyerang yang datang dari sisi kiri. Dua kepalan
tangan beradu dan akibatnya fihak penyerang menjerit ngeri
karena sambungan tulang jari-jari tangannya seperti terlepas
karena tonjokan kepalan tangan Ginggi. Pemuda itu
melakukan serangan susulan berupa tamparan tangan
kanan. Plak! jerit kedua kalinya dari mulut orang itu
terdengar kembali yang diakhiri dengan terpentalnya tubuh.
Orang itu meloso tak bisa bangun lagi.
Tiga orang yang masih sisa tampak ragu-ragu akan
kemampuannya. Namun Ginggi harus melumpuhkan
semuanya, sebab bila satu orang saja lolos, maka semua
teman-temannya ini akan segera mengetahui tindakan
sabotasenya. Melihat nyali ketiganya sudah pudar, Ginggi melakukan
serangan cepat. Hanya dengan menggunakan tendangan
beruntun yang dilakukan kaki kanannya, ketiga orang itu
mengeluh setengah menjerit ketika ulu hati mereka masing-
masing menerima sapuan kaki. Tubuh mereka terpental ke
semak-semak setiap sapuan kaki kanan Ginggi mampir.
Dalam waktu singkat lima orang bergeletakan malang-
melintang. Tapi sebelum meninggalkannya, Ginggi
memeriksa tubuh mereka satu-persatu. Tidak seorang pun
yang mati kecuali pingsan karena rasa sakitnya saja. Maka
sesudah hatinya tenang karena tidak membunuh orang-
orang itu. Namun anggota pasukan yang diduga orang-orang Ki
Sunda Sembawa juga terdapat di sana-sini. Di setiap
tempat-tempat terlindung, pasti Ginggi temukan regu-regu
kecil dengan tindak-tanduk mencurigakan. Gerakan mereka
lincah dan selalu siaga penuh, namun berpakaian seperti
petani. Beberapa regu itu Ginggi lumpuhkan dengan
serangan gelap. Namun pemuda itu merasa, tak mungkin seluruh
anggota pasukan gelap itu dia kalahkan oleh tangannya
sendiri seperti itu, apalagi dia harus mampu melumpuhkan
mereka dengan diam-diam. Tidak apa, yang penting kekuatan mereka sedikit
berkurang, pikir Ginggi. Hanya yang membuat Ginggi heran adalah ketika dia
tiba di sebuah tempat bersemak. Ginggi melihat begitu
banyak orang bergeletakan. Ketika pemuda itu memeriksa,
hatinya pun merasa aneh pula sebab orang-orang itu satu
pun tak ada yang tewas, melainkan hanya pingsan saja.
Mereka pingsan karena menderita pukulan telak pada
bagian yang menentukan. Pukulan itu nampaknya
dilakukan oleh seorang akhli pula. Orang-orang yang
pingsan itu jumlahnya belasan, dan semuanya berbekal
senjata yang belum siap digunakan. Ginggi menduga,
mereka tentu anggota pasukan Ki Sunda Sembawa. Yang
jadi pertanyaan, oleh siapa mereka dibuat tak sadar seperti
itu" Ginggi terus menyusuri semak-belukar dalam upaya
mendekati tepi telaga. Ternyata di bagian lain, orang-orang
pingsan masih bergeletakan sampai hampir ke wilayah tepi
telaga. Benar-benar hebat pelakunya, siapa dia" Orang itu
benar-benar berhati mulia. Sekali pun dia memukul tapi tak
mengakibatkan cedera berat korbannya kecuali pingsan
karena gangguan urat darah, dan pada waktunya mereka
akan sadar kembali. Tapi siapa pun orang itu dan apa maksudnya, yang jelas
amat mengentengkan tugas Ginggi.
Yang berusaha menyelundup ke tepi telaga ini
kesemuanya orang-orang pandai. Mungkin mereka bekerja
terpisah untuk menyelesaikan tugas khusus. Tugas apakah
itu" Mungkinkah tugas untuk membunuh Raja di tempat
itu" (O-anikz-O) Pagi hari di Telaga Rena Maha Wijaya"
Begitu jelasnya isi sandi ini. Pagi hari memang waktunya
Raja mengadakan mandi suci di Telaga Rena. Kalau sandi
ini diartikan sebagai saat yang tepat untuk membunuh Raja,
memang amat beralasan. Yang datang ke tepi telaga hanya
orang-orang khusus saja. Kemungkinan hanya dikawal
beberapa orang kepercayaan saja dan situasinya tepat untuk
digunakan penyerangan. Namun siapa yang akan menyerang, sampai sejauh ini
Ginggi tak mengetahuinya. Kalau Ginggi mentaati
keinginan Ki Banaspati, sebetulnya itu adalah tugasnya.
Tapi Ginggi yakin, Ki Banaspati sudah memindahkan tugas
berat itu kepada yang lainnya.
Akhirnya Ginggi tiba juga di wilayah tepi telaga. Telaga
itu tidak terlalu luas dan membentuk tapal kuda. Namun
yang Ginggi senang melihatnya, air telaga demikian jernih,
menyenangkan bila digunakan untuk mandi-mandi atau
barangkali enak bila diminum di saat haus.


Senja Jatuh Di Pajajaran Karya Aan Merdeka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Namun keindahan tempat ini kini tengah dibayang-
bayangi peristiwa yang sekiranya akan mengundang maut
dan kemelut. Bisakah dengan seorang diri saja mencegah
peristiwa besar seperti ini"
Melalui semak-semak Ginggi menyaksikan ke sebuah
tempat. Di tepi telaga sebelah kanan dilihatnya banyak
orang mandi. Mandi begitu saja tanpa melepas baju mereka.
Mandi sambil di tepiannya dilempari bunga macam-macam
warna. Yang ditaburi bunga adalah Sang Prabu Ratu Sakti
beserta keluarganya. Mereka mandi begitu tertib dan serius.
Tak ada canda-ria atau pun cekikik tawa. Mereka
melakukan upacara mandi dengan penuh perhatian sambil
diantar lantunan doa Purohita Ragasuci dan para wiku
lainnya. Asap dupa kemenyan pun nampak mengelun ke
udara disertai bau harum semerbak.
Upacara ini disaksikan oleh puluhan perwira dan belasan
pejabat. Semuanya khusuk menyimak dan memperhatikan
kegiatan ini. Namun dari jarak agak jauh, Ginggi melihat,
hanya satu orang yang menyaksikan upacara ini dengan
tindak-tanduk mencurigakan. Dia tak lain adalah
Kandagalante Sunda Sembawa. Bila yang lainnya dengan
seksama memperhatikan ke arah permukaan telaga, adalah
Ki Sunda Sembawa yang sesekali dengan gelisah melirik ke
kiri dan ke kanan. Terkadang dia pun menengadah ke
tempat yang jauh. Berdesir darah Ginggi. Yang dilihat Ki
Sunda Sembawa adalah daerah bersemak yang Ginggi tahu
banyak orang pingsan di sana.
Lirikan Ki Sunda Sembawa ke arah itu hanya
menunjukkan bahwa dia tengah menunggu sesuatu dengan
penuh harap yang barangkali datangnya dari arah itu.
Manakala upacara mandi suci hampir selesai, nampak
sekali kegelisahan Ki Sunda Sembawa semakin memuncak.
Dan akhirnya, upacara mandi suci pun selesailah pula.
Raja beserta seluruh keluarganya berkemas untuk menuju
darat, mereka disambut oleh para pembantunya. Ada yang
tergopoh-gopoh hendak menyodorkan pakaian kering, ada
juga yang tergopoh-gopoh karena ingin membantu Raja
untuk naik ke darat. Namun di antara yang menyambut
dengan tergopoh-gopoh seperti itu, adalah juga Ki Sunda
Sembawa yang diiringkan empat pengawal raja. Anehnya,
Ki Sunda Sembawa menghambur menuju tepi telaga
dengan keris terhunus. Begitu pun keempat perwira yang
berlari di belakangnya, mereka bergerak cepat sambil
menghunus pedang mengkilat.
Tak ada waktu bagi Ginggi kecuali berteriak keras sambil
meloncat keluar semak. "Sang Prabu"Awaaaasss!!!" teriak Ginggi. Pemuda itu
menghambur seperti terbang. Dia harus berlomba dengan
Sunda Sembawa dalam upaya mendekati Raja. Ki Sunda
Sembawa ingin paling dulu mendekati Raja karena ingin
membunuhnya, sementara Ginggi punya maksud
sebaliknya. Puluhan perwira lainnya dengan kaget segera bergerak
pula. Yang lain mencoba mengejar Ki Sunda Sembawa tapi
yang terbanyak adalah yang menghadang Ginggi.
"Tangkap pemberontak Ginggi! Dia akan membunuh
Sang Prabu!" teriak penghadang.
"Tangkap anak-buah Ki Darma!!!"
"Bunuh Ginggi!!!"
Teriakan-teriakan ini muncul dari mulut beberapa
perwira, termasuk perwira yang tadi lari di belakang Ki
Sunda Sembawa. Ginggi tak tahu, apakah yang berteriak-
teriak menghadangnya itu adalah perwira setia kerajaan,
ataukah mereka yang sudah menjadi sekutu Ki Banaspati.
Untuk mengacaukan perhatian, bisa saja para sekutu
pemberontak berteriak-teriak seperti itu agar para perwira
yang bersetia kepada Raja teralihkan perhatiannya pada
Ginggi dan melalaikan tugas mengawal Raja. Atau bisa jadi
yang berteriak-teriak juga adalah para perwira yang masih
setia kepada Raja dan mereka bertekad menangkap atau
membunuh Ginggi yang mereka tahu sudah dicap
pemberontak. Namun terlepas dari kesemuanya, pemuda itu menjadi
begitu kesal sebab upayanya untuk menggagalkan
penyerangan kepada Raja menjadi terhambat. Para perwira
yang akan menghadangnya ada sekitar duabelas orang dan
bersenjata lengkap. Ketika Ginggi berlari cepat menuju tepi
telaga, duabelas perwira pun sama berlari memburunya.
Padahal di belakang mereka, Sang Prabu tengah terancam
bahaya sebab Ki Sunda Sembawa dengan keris terhunus
terus memburu kemana Sang Prabu berlari. Sedangkan di
belakang Ki Sunda Sembawa, empat orang berpakaian
perwira sama berlari dengan pedang terhunus.
Barangkali para perwira lainnya terkecoh. Disangkanya
empat orang perwira yang berada di belakang Ki Sunda
Sembawa tengah mengejar pejabat itu guna menggagalkan
usaha pembunuhan. Padahal Ginggi tahu betul, keempat
perwira itu sudah menjadi anak buah Ki Sunda Sembawa.
Para pengawal setia Raja malah meninggalkan Sang Prabu
dan lebih menitikberatkan usaha untuk menghadang Ginggi
karena teriakan-teriakan tadi.
Dengan pedang terhunus, belasan perwira memburunya.
Melihat mereka berlari kencang ke arahnya, Ginggi bukan
menghindar, melainkan sama berlari kencang ke arah
mereka. Tapi beberapa depa sebelum berpapasan dengan
belasan perwira, Ginggi segera menotol tanah dengan
sekuat tenaga. Tubuh Ginggi meloncat tinggi melampaui kepala-kepala
mereka dan sepasang kakinya langsung kecebur ke
permukan telaga. Di tepiannya, kedalaman air hanya
sebatas betis saja. Begitu kakinya terjun ke permukaan air,
pemuda itu menggerakkan sepasang tangannya. Dia
memukul ke arah Ki Sunda Sembawa dengan pengerahan
tenaga dalam. Air muncrat seperti ada ledakan dahsyat
keluar dari dasar telaga ketika pukulan dengan pengerahan
tenaga dalam itu dikelitkan oleh Kandagalante
Sagaraherang itu. Namun kendati serangan Ginggi gagal,
sedikitnya menghambat serangan Ki Sunda Sembawa
terhadap Raja. "Sunda Sembawa, apa yang engkau lakukan ini?" teriak
Sang Prabu marah bercampur heran melihat tindakan Ki
Sunda Sembawa yang aneh ini.
Ki Sunda Sembawa tak menjawab, melainkan kembali
melakukan serangan. Sambil meloncat tinggi, tubuhnya
melayang ke arah di mana Sang Prabu berada.
Yang diserang bergerak ke samping dengan amat
lamban. Di samping kedalaman air di sana hampir
mencapai dada, juga Sang Prabu nampak kaget dengan
serangan ini. Terdengar jerit-jerit ketakutan dari para wanita yang ada
di air telaga itu. Beberapa pengawal Raja yang ada di
sekitar permukaan telaga berlari di permukaan air sebatas
perut dan dengan amat bingungnya mencoba membuat
pengawalan. Mereka berjumlah sepuluh orang.
Nampak sekali mereka kebingungan, siapa yang harus
dikawal sepenuhnya. Bila semua mendekati Raja maka para
keluarganya ditinggalkan, padahal empat perwira anak
buah Ki Sunda Sembawa sudah mendekat dan sepertinya
hendak mengancam keselamatan Raja. Akhirnya para
pengawal melakukan inisiatif masing-masing. Beberapa
orang berusaha melindungi Raja dan beberapa lainnya
berusaha melindungi keluarga Raja yang nampak panik dan
menjerit-jerit. "Ki Sunda Sembawa memberontak! Ki Sunda Sembawa
memberontak!!!" teriakan ini keluar dari mulut para pejabat
lainnya yang sejak tadi berderet di tepi telaga. Namun
teriakan-teriakan ini tak berlangsung lama sebab beberapa
pejabat lainnya serentak menghunus senjata dan menyerang
para pejabat yang diketahui sebagai pendukung Raja.
Sekarang perkelahian kecil telah terjadi di sana-sini. Di
atas daratan, para pejabat saling serang sesamanya. Satu
kelompok yang pasti sudah menjadi sekutu Ki Sunda
Sembawa menyerang kelompok yang lainnya. Sehingga
akibatnya mereka saling serang dan saling bunuh.
Sementara keempat perwira sudah mulai berhadapan
dengan enam orang pengawal keluarga Raja. Mereka
berkelahi dengan menggunakan senjata tajam. Para
pengawal keluarga Raja nampak dibantu oleh seorang
pemuda tampan yang dikenal Ginggi sebagai Sang
Lumahing Majaya, putra terkasih Raja dari salah seorang
selirnya. Pemuda elok itu memiliki kepandaian juga, namun
nampak sekali tingkatannya di bawah kepandaian para
penyerangnya. Selintas Ginggi melihat, pemuda itu cepat
sekali terdesak oleh serangan seorang perwira. Apalagi
pemuda elok itu hanya menggunakan keris, sedangkan
penyerangnya menggunakan pedang. Kalau pertempuran
dilakukan satu lawan satu, dalam waktu singkat Sang
Lumahing Majaya pasti akan kalah. Hanya untung sekali
jumlah pengawal keluarga Raja lebih banyak ketimbang
para penyerangnya. Antara pengawal dan pemuda itu bisa
saling mengisi dan saling menutupi kekosongan.
Sementara itu Ginggi sudah terlibat perkelahian dengan
Ki Sunda Sembawa. Kandagalante dari Sagaraherang ini
demikian kaget dan marahnya melihat Ginggi berdiri di
fihak Raja. Ginggi tak tahu, apakah kekagetan Ki Sunda
Sembawa ini karena sebelumnya tak menduga atas sikap
Ginggi sekarang, ataukah tidak. Yang jelas ada sinar
kebencian Ki Sunda Sembawa yang terpancar di matanya.
"Pengkhianat engkau! Aku harus bunuh! Aku harus
bunuh engkau!" teriak Ki Sunda Sembawa dengan
geramnya. Ginggi sekarang agak tenang sebab Sang Prabu sudah
terlindungi oleh para pengawalnya. Kalau Ki Sunda
Sembawa memaksa hendak menyerang Raja, rasanya sudah
tak semudah itu. Dan rupanya Ki Sunda Sembawa pun merasakan situasi
ini. Itulah sebabnya pejabat itu kini seperti menimpakan
kemarahannya kepada Ginggi.
Dengan gerengan keras Ki Sunda Sembawa berlari di
antara air sebatas dada dan mengarahkan serangan
terhadap Ginggi. (O-anikz-O) Merah Darah Telaga Rena Perkelahian satu lawan satu terjadi antara Ginggi dan Ki
Sunda Sembawa. Dalam pertempuran itu Ginggi nampak
jadi fihak yang terdesak. Hal ini karena di samping Ki
Sunda Sembawa begitu bernafsu untuk membunuh Ginggi,
juga karena Ginggi sendiri hanya main kelit saja. Pemuda
itu tak secuil pun punya niat membunuh Ki Sunda
Sembawa. Tujuan semula hanyalah hendak mencegah
pembunuhan terhadap Raja saja. Dia pun tak berniat
melumpuhkan atau mengalahkan Ki Sunda Sembawa.
Biarlah dia ditangkap para pengawal Raja.
Namun Ginggi merasa heran, ternyata dia dibiarkan
berkelahi sendirian. Belasan pengawal yang sudah berdiri
kokoh dengan air telaga sebatas dada itu hanya
menyaksikan saja dan seperti tak punya minat membantu
Ginggi. "Kubunuh engkau pengkhianat! Kubunuh engkau
manusia dungu!" teriak Ki Sunda Sembawa. Dia menjadi
semakin marah manakala melihat ke samping, keempat
perwiranya telah tewas mengambang di permukaan telaga.
Keempat orang itu rupanya tak mampu melawan kepungan
para pengawal. Tadi saja ketika mereka menghadapi enam
orang pengawal ditambah tenaga putra mahkota Sang
Lumahing Majaya, telah begitu sulitnya untuk segera
menerobos pengawalan. Apalagi ketika datang bala bantuan
belasan pengawal yang baru datang dari darat. Maka ketika
tenaga bantuan datang, keempat perwira itu tak mampu
bertahan lagi. Mereka tewas dalam membela ambisi
tuannya, yaitu Sunda Sembawa.
Belasan perwira kerajaan yang turun ke permukaan
telaga sekarang jumlahnya kian bertambah lagi oleh belasan
atau bahkan puluhan perwira yang ikut turun memperkuat
pengawalan. Perkelahian Ginggi dan Ki Sunda Sembawa di
air telaga sepertinya kini berada di tengah kepungan para
perwira. Semuanya membuat lingkaran dalam keadaan
siaga, kendati sikap mereka hanya mengawasi perkelahian
saja. Sebetulnya kepandaian Ginggi berada di atas Ki Sunda
Sembawa. Namun karena sikap pemuda itu yang mengalah,
pertempuran sepertinya seru dan berimbang. Ki Sunda
Sembawa dengan ganasnya membuat tusukan dan sabetan
dengan kerisnya. Sedangkan Ginggi yang bertangan kosong
hanya berkelit dan memutar untuk menghindarkan berbagai
serangan dahsyat itu. Banyak dugaan mengapa Ginggi dibiarkan berkelahi
seorang diri. Ini mungkin karena para perwira tak merasa
txt oleh : http//www.mardias.mywapblog.com
berkepentingan membantu Ginggi. Hampir semua perwira
sepertinya mengetahui bahwa Sang Prabu telah
memerintahkan agar pemuda itu ditangkap. Kalau ada yang
turun tangan menangkap Ki Sunda Sembawa sepertinya
mereka membantu Ginggi. Mereka seperti tengah membuat
siasat, biarlah dua serigala berebut mangsa, siapa yang
menang giliran dirinya yang diserang. Mungkin para
perwira pun tengah menunggu hasil pertempuran. Siapa
kelak yang akan menang, itulah yang mendapat giliran
diserang pasukan perwira. Sialan, pikir Ginggi.
Karena merasa Raja telah terselamatkan, ada terbetik
dalam benak Ginggi untuk meloloskan diri saja dari
kepungan dan membiarkan Ki Sunda Sembawa seorang diri
di sana. Tapi ketika pemuda itu melihat ke darat, di sana
ada puluhan pasukan panah dan semuanya telah siap
melepas anak panah dari busur.
Bergetar hati Ginggi, sebab Ki Darma pernah berkata
bahwa Pasukan Panah Pajajaran sungguh hebat.
Sementara di tempat lain, sudah terlihat puluhan korban
bergelimpangan. Korban-korban itu bercampur-baur. Ada


Senja Jatuh Di Pajajaran Karya Aan Merdeka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

para pejabat bergeletakan, ada juga tubuh para perwira dan
prajurit biasa. Ginggi sedikit was-was melihat jajaran pasukan pemanah
itu. Mereka sudah dalam keadaan siap melepas anak panah.
Siapa yang akan mereka serang" Dirinyakah" Ki Sunda
Sembawakah" Atau keduanya"
Celaka, pikir Ginggi. Usaha untuk melarikan diri menuju
daratan rupanya sudah tertutup rapat oleh barisan panah.
Ke arah mana Ginggi harus melarikan diri"
Sementara itu Sang Prabu beserta keluarganya sudah
dibimbing untuk meninggalkan telaga. Mereka dikawal
ketat oleh puluhan perwira.
"Mana para pengawal lain" Mengapa yang ada di sini
hanya puluhan orang?" teriak Sang Prabu gemas dan
marah. "Ampun Paduka" di puncak bukit pun tengah terjadi
pertempuran. Secara tiba-tiba ada gemuruh sorak-sorai
pasukan asing. Nah"dengarkan Paduka! Mereka mulai
menyerang!" teriak seorang perwira dengan suara parau.
Mendengar berita ini, Ki Sunda Sembawa berhenti
menyerang Ginggi. Kepalanya dimiringkan seperti ingin
mendengar suatu suara. Padahal sudah sejak tadi Ginggi
mendengar suara gemuruh banyak orang. Inilah saat
penyerbuan pasukan dari timur. Mereka ternyata datang
dari punggung Bukit Badigul sebelah selatan. Dan melihat
pasukan pengawal Raja di sini jumlahnya sedikit, ada
kemungkinan mereka pun sudah tahu akan ada
penyerangan pasukan misterius itu. Mereka pasti tengah
menghadangnya di puncak bukit, atau bahkan mungkin
sudah saling berhadapan. "Hahaha! Mereka datang! Mereka datang! Hahahaha!!"
Ki Sunda Sembawa berteriak dan tertawa terbahak-bahak.
"Sunda Sembawa, apa ini artinya?" teriak Sang Prabu
sambil menghentikan pasukan pengawal agar tak
melanjutkan langkah menuju daratan.
"Artinya, kejatuhan dirimu terjadi hari ini. Besok pagi di
saat matahari bersinar cerah, yang menjadi Raja di Pakuan
adalah Sang Prabu Sunda Sembawa!" kata Ki Sunda
Sembawa dengan congkaknya.
"Jangan sombong Sunda Sembawa. Engkau melawan
keinginan Sang Rumuhun. Sebentar lagi engkau akan tewas
di sini. Tidak sadarkah kendati engkau membawa pasukan
begitu banyaknya dari wilayah timur tapi kau sendirian di
tepi telaga ini" Kau lihat ke darat, puluhan pasukan panah
sudah siap menghadang!" kata Sang Prabu tenang. Ucapan
ini ditimpali oleh suara tertawa keras Ki Sunda Sembawa.
"Engkau Raja dungu, sebab engkau hanya merajai istana
kosong belaka. Hampir sebagian besar penghuninya sudah
bersujud kepada Prabu Sunda Sembawa!" kata Ki Sunda
Sembawa diiringi tawa keras.
Antara percaya dan tidak kepada ucapan ini, Sang Prabu
Ratu Sakti segera mengajak para pengawalnya untuk
mendekati daratan. Berusaha mencapai daratan berarti mendekati jajaran
puluhan anggota pasukan berpanah. Dan Ginggi
terperangah kaget manakala dari daratan serentak
berhamburan puluhan panah yang dilepas dengan
kepandaian khas. "Awas serangan panah!!!" teriak Ginggi ke arah para
pengawal Raja. Mereka pun amat terkejut dengan
peringatan ini sebab tidak menduga sedikit pun bahwa para
anggota pasukan pemanah itu mengarahkan sasaran ke arah
Sang Prabu Sakti. Serentak belasan orang melindungi Raja
beserta keluarganya. Puluhan anak panah yang datang menyerang mereka
tepis dengan senjata pedang. Tapi anak panah datangnya
beruntun. Ada beberapa perwira yang tak sanggup menepis
dengan baik dan menjadi sasaran empuk panah-panah itu.
Ginggi menghitung, dalam dua gerakan penyerangan,
lima perwira terjungkal karena dadanya tertembus panah.
Namun para perwira pengawal begitu setia terhadap
Raja, lima orang terjungkal segera tergantikan oleh belasan
perwira yang lain. Dengan gagah berani mereka
melayangkan pedangnya ke kiri dan kanan sekali pun
beberapa orang di antara mereka sudah ada yang terjungkal
lagi. Para wanita dan selir Raja berteriak histeris karena rasa
takut dan tegangnya. Dan tiga wanita jatuh terjerembab.
Dua orang karena saking takutnya tapi seorang wanita jatuh
karena anak panah menembus perutnya.
Sang Prabu berteriak-teriak histeris dengan kejadian ini.
Dia mencoba melepaskan diri dari kawalan dan akan
menghambur mendekati KI Sunda Sembawa yang berdiri
agak jauh terpisah bertolak pinggang dan tertawa terbahak-
bahak. "Engkau biadab Sunda Sembawa! Engkau manusia
durhaka, jahat dan tak punya rasa malu!" teriak Sang
Prabu. "Lepaskan! Aku sanggup membunuh durjana itu!"
teriak Sang Prabu. "Hahaha! Lepaskan dia! Dulu engkau perwira kerajaan.
Tapi kepandaianmu sudah hilang entah ke mana karena
tergantikan oleh kebiasaan bermewah-mewah dan main
perempuan. Engkau tidak sekuat dulu lagi!" teriak Ki Sunda
Sembawa menantang. Sementara itu beberapa pengawal sudah berjatuhan lagi
karena serangan anak panah. Ki Sunda Sembawa tawanya
semakin keras menyaksikan adegan ini, membuat Ginggi
sebal hatinya. Ada terpikir untuk memukul jatuh
Kandagalante ambisius ini. Namun sebelum niatnya
terlaksana, secara tiba-tiba terdengar teriakan ngeri Ki
Sunda Sembawa. Ginggi kaget setengah mati sebab tanpa diketahui awal
mulanya, dada Ki Sunda Sembawa sudah tertusuk sebuah
anak panah. Serangan itu jelas datang dari daratan dan
dilepas oleh pasukan pemanah itu. kelirukah pasukan
pemanah itu" Ow, tidak! Dan Ginggi yang berdiri terpaut dua tiga
tindak dari kedudukan Ki Sunda Sembawa segera
melempar tubuhnya ke samping sebab hamburan anak
panah datang ke arah dia dan Ki Sunda Sembawa.
Ginggi lolos dari serangan karena sudah melempar
tubuhnya tapi Ki Sunda Sembawa tidak. Dia masih berdiri
terpaku ketika tiga batang anak panah sekaligus menembus
bagian leher dan tangan kanannya.
Ginggi berdiri lagi, melihat pasukan berpanah dengan
kaget. Mengapa mereka menyerang membabi-buta kesana-
kemari" Ginggi saksikan Sang Prabu Ratu Sakti pun masih
tetap menjadi incaran serangan anak panah dan begitu pun
dirinya. Sedangkan tubuh limbung Ki Sunda Sembawa
masih terus dihujani anak panah lagi. Sehingga ketika tubuh
itu terjerembab ke permukaan air telaga, sudah ada belasan
anak panah tertancap di sekujur tubuhnya.
Sambil berkelit kesana-kemari karena anak panah terus
berhamburan mengarah padanya, Ginggi melihat tubuh Ki
Sunda Sembawa timbul tenggelam di permukaan telaga. Air
telaga yang tadinya begitu bening kini sudah berubah
menjadi merah karena darah Ki Sunda Sembawa.
Para wanita tetap menjerit-jerit histeris karena serangan
panah ini. Sementara para perwira pun dengan susah-payah
berusaha menghalau serbuan-serbuan itu. ada dua orang
yang nekad berlari menuju daratan. Tapi sebelum keduanya
sampai di tempat tujuan, tubuh-tubuh mereka sudah
tertembus banyak anak panah.
Ginggi cepat berpikir, siapa gerangan pasukan panah ini.
Namun serentak dugaannya mengarah pada satu tuduhan.
Ya, siapa lagi yang mengendalikan pasukan berpanah ini
kalau bukan Ki Banaspati"
Ya, inilah tujuan Ki Banaspati. Dia akan membunuh
Raja tapi juga menyingkirkan Ki Sunda Sembawa.
Dengan demikian dia sendirilah kelak yang memetik
kemenangan. Licin, licik dan buasnya Ki Banaspati. Aku harus cari
dia, kata Ginggi dalam hati. Sambil berkelit kesana-kemari,
Ginggi melakukan beberapa loncatan. Dia harus mencapai
daratan di mana pasukan panah yang sudah berada di
bawah pengaruh Ki Banaspati berada.
Usaha ini benar-benar untung-untungan sebab hujan
panah begitu deras mengancam jiwanya. Tapi apa boleh
buat, sebab semua tak ada bedanya. Dan lebih baik mati
sambil berusaha melawan dari pada mati sia-sia di tengah
air telaga. Ginggi bergerak memilih saat-saat anak panah sudah
dilepas. Sebab di saat itulah ada kekosongan serangan. Tapi
usaha ini memang tidak begitu mudah sebab di sana ada
tiga barisan pemanah masing-masing berjumlah duapuluh
orang dan secara bergiliran melepas anak panahnya. Hanya
sedikit saja antaranya saat pelepasan panah-panah pertama
dengan kedua dan seterusnya.
Untuk menahan hujan anak panah itu sesekali Ginggi
melakukan pukulan jarak jauh dengan mengerahkan tenaga
dalamnya. Namun tentu itu dilakukan hanya sesekali saja
sebab kalau terlalu diobral bahkan hanya akan
mencelakakan dirinya sendiri saja.
Sudah ada satu anak panah menancap di bahunya. Tidak
terlalu dalam, tapi sakitnya terasa kiut-miut dan sedikit
mengganggu gerakannya. Ginggi tak berani mencabutnya,
sebab kalau dicabut begitu saja, takut lukanya semakin
melebar dan darah akan lebih banyak keluar.
Sekarang Ginggi sudah berada di bagian air agak
dangkal, hanya sebatas betis saja. Serbuan anak panah
datang sejajar setinggi tubuhnya berdiri. Bila hendak
menghindarkan serangan itu, Ginggi harus meloncat ke
udara melebihi ketinggian serangan itu sendiri. Tentu dia
harus meloncat secara tiba-tiba dan waktunya harus
dihitung. Maka ketika barisan pemanah melepaskan
serangan mendatar, Ginggi segera meloncat dan jumpalitan
di udara. Serangan pertama gagal total dan serangan kedua
terpaksa harus mengubah posisi semula. Ginggi lihat
barisan pemanah kedua agak sedikit bingung mengubah
posisinya. Dari gerakan mendatar mereka harus sedikit
miringkan busurnya tapi begitu kesulitan untuk mengikuti
gerakan Ginggi. Soalnya pemuda itu bersalto di udara
beberapa kali dan tubuhnya seperti naik-turun, sehingga
gerakan busur pun naik-turun mengikuti gerakan salto
sebelum anak panah benar-benar dilepas. Dan ketika anak
panah dilepas, arahnya begitu lemah dan tak tepat sasaran.
Namun ketika Ginggi sudah berdiri di tanah, serangan
panah datang lagi. Di sini Ginggi mengirim serangan
pukulan jarak jauh dengan pengerahan tenaga dalam.
Namun karena jarak dia dengan barisan pemanah sudah tak
begitu jauh lagi, serangan pukulan ini bukan saja
merontokkan anak-anak panah, melainkan juga menyerang
para pemanahnya. Beberapa orang menjerit ngeri ketika tubuh-tubuh
mereka terlontar ke belakang seperti daun kering tertiup
angin. Ginggi tak memberi kesempatan kepada yang
lainnya untuk memasang anak panahnya, sebab dengan
secepat kilat dia meloncat ke depan dan merangsek mereka
dengan serangan-serangan sepasang tangannya. Secara
berturut-turut Ginggi melucuti busur-busur mereka sehingga
penyerangan anak panah baik kepadanya mau pun kepada
Raja dan keluarganya terhambat sudah.
Pasukan panah memang bisa juga berkelahi jarak dekat,
namun mereka sebenarnya lebih akhli lagi dalam
melepaskan anak panah. Itulah sebabnya ketika dipaksa
Ginggi harus melakukan perkelahian langsung, kendati
jumlah mereka banyak namun kekuatan mereka masih jauh
di bawah keakhlian Ginggi. Dalam sebentar saja belasan
dari mereka sudah tumbang dan jatuh bergeletakan kendati
tak sampai mati. Kedudukan mereka menjadi semakin terdesak manakala
para perwira yang mengawal Raja dan keluarganya,
sebagian ikut melakukan penyerangan ke arah pasukan
panah. Dan Ginggi mengeluh menyaksikan sepak-terjang
para perwira kerajaan ini. Mereka menyerang pasukan
panah dengan beringas dan penuh kebencian. Pedang-
pedangnya mereka tebaskan kesana-kemari dengan
ganasnya dan belum merasa puas sebelum pedang-pedang
itu menghirup darah para korbannya. Musuh yang telah
dilumpuhkan Ginggi pun mereka bunuh juga.
Ini sudah bukan lagi pertempuran tapi lebih berupa
semacam pembantaian. Kendati jumlah pasukan pemanah
masih lebih besar ketimbang jumlah para perwira, namun
tingkat kepandaian para perwira Raja sudah terkenal
kehebatannya. Ginggi kagum melihat sepak-terjang mereka
yang demikian gagah berani, namun sekaligus juga ngeri
melihat keganasannya itu. Sekarang di tepi telaga mayat
sudah semakin bergelimpangan, mungkin ratusan
banyaknya. Mereka adalah mayat para pejabat yang saling
bertempur sendiri, juga mayat-mayat pasukan panah. Darah
berceceran di mana-mana, sehingga kesegaran alam tepi
telaga ini berubah menjadi tempat yang menyebarkan bau
amis darah. Merasa bahwa usahanya sudah gagal, sisa-sisa pasukan
panah segera berpencar untuk menyelamatkan diri masing-
masing. Satu dua orang perwira masih mencoba
mengejarnya tapi sebagian besar tetap menjaga Raja dan
seluruh keluarganya. Walau dengan perasaan kacau, namun Ginggi merasa
bahwa keinginannya untuk menjaga Raja dari kematian
sudah dianggap berjalan secara baik. Dia akan
meninggalkan tempat itu untuk segera memburu puncak
Bukit Badigul di mana terjadi pertempuran yang diduga
Ginggi lebih besar lagi. "Hai pengawal! Tangkap pemuda itu!" teriak Sang Prabu
Ratu Sakti sambil menudingkan telunjuknya ke arah
Ginggi. Ginggi menoleh ke belakang. Dengan amat marahnya
dia melihat empat orang perwira menghunus pedang serta
memburu dirinya.

Senja Jatuh Di Pajajaran Karya Aan Merdeka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ketika empat perwira menghambur ke arahnya, Ginggi
malah sengaja berlari mendekat ke arah mereka. Namun
tiga depa sebelum terjadi bentrokan, Ginggi meloncat ke
atas seperti terbang melewati ubun-ubun empat perwira.
Ginggi jumpalitan di udara dan tubuhnya melayang di atas
kepala Sang Ratu Prabu Sakti. Para pengawal yang
mengurung Sang Prabu dalam upaya memberi
perlindungan merasa kesulitan untuk menyerang pemuda
itu karena kedudukannya tepat di atas kepala Sang Prabu.
Kalau mereka harus dengan gegabah, bisa-bisa malah tubuh
Raja yang mereka serang. Keragu-raguan para perwira dimanfaatkan sebaik-
baiknya oleh Ginggi untuk segera turun dan menelikung
tangan Sang Prabu ke belakang.
"Jangan bunuh Raja!" para perwira berteriak-teriak
sambil mengamang-amangkan senjata. Di belakang Ginggi
pun ada gerakan orang hendak melakukan serangan tapi
Ginggi tak berupaya menoleh.
"Bunuhlah aku dari belakang kalau kalian berani!" teriak
Ginggi. Tapi tentu saja penyerang dari belakang segera hentikan
gerakannya. Barangkali mereka takut, begitu serangannya
dilakukan, Ginggi pun akan membunuh Raja.
"Sang Prabu, engkau begitu bernafsu untuk
menangkapku, apa sebenarnya salahku?" tanya Ginggi
marah dan penasaran. "Engkau punya hubungan dengan Ki Darma, engkau
pun pengkhianat!" kata Sang Prabu masih bersikap tenang.
"Sudah dua kali aku berada di belakang dirimu seperti
ini. Kalau aku benci Raja, amat mudah untuk
mencelakakan bahkan membunuhmu. Engkau mudah
sekali menuding pengkhianat kepada orang yang tak bisa
menyenangkan dirimu. Padahal Ki Darma selama ini tidak
pernah berniat mencelakakanmu bahkan penguasa-
penguasa sebelummu. Dan kau lihatlah pula orang-orang
yang selama ini gemar membuat dirimu tenggelam dalam
kesenangan. Semua yang pandai mengucapkan kata manis,
malah itulah yang mencelakakanmu!" kata Ginggi dengan
gemas. Serta-merta Ginggi mendorong tubuh Sang Prabu ke
arah para pengawal dan hendak berlalu dari tempat itu.
"Seharusnya hari kemarin engkau beberkan rencana
penyerbuan ini, maka tak nanti akan terjadi korban begini
banyak!" kata Sang Prabu. "Sikapmu merugikan negara!"
teriaknya. Ginggi merandeg dan menjawab tanpa menoleh ke
belakang. "Pangeran Yogascitra sudah aku beri tahu dan
pasti sudah melaporkannya. Apa yang dia katakan, itulah
yang aku ketahui!" tuturnya ketus.
"Tapi Pangeran Yogascitra kurang rinci memberi
laporan. Dia tak tahu siapa pasukan dari timur itu.
Banaspati kami kejar tapi dia menghilang. Bangsawan Soka
dan Ki Bagus Seta kami tangkap dan periksa tapi mereka
bilang tak tahu-menahu. Kami tak punya bukti ketelibatan
mereka. Semua orang hanya mencurigai sesuatu karena
laporan engkau semata. Semua kekuatan prajurit disebar
untuk menyelidiki kekuatan yang dimaksud tapi sampai
dengan tadi pagi, tak diketemukan sebuah kekuatan yang
diduga akan menyerbu Pakuan. Tidak juga tahu perihal
pengkhianatan Si Sunda Sembawa dan baru bisa terbongkar
barusan. Itu semua engkaulah penyebabnya! Kau tak
sungguh-sungguh dalam menyelamatkan negara," kata Sang
Prabu lagi dengan nada tak senang.
Dalam hatinya Ginggi sedikit membenarkan tudingan
ini. Tapi dia sendiri pun sebetulnya hanya samar saja
mendapatkan data penyerbuan kekuatan dari timur itu.
Bukankah semuanya hanya didapat dari perkiraan-
perkiraan yang dia baca lewat sandi rahasia"
"Akhirnya kita hanya bisa saling menyalahkan. Aku juga
menyalahkanmu, mengapa keinginanku, keinginan seorang
rakyat tidak kau penuhi?" kata Ginggi. "Tapi setidaknya aku
tetap cinta Pajajaran, seperti kecintaan Ki Darma yang mau
mengabdi tanpa pamrih dan tanpa mengharapkan pujian.
Sekarang bebaskan aku dari sini, sebab aku akan
melaksanakan kewajiban sebagai warga Pajajaran. Kalian
dengar di atas bukit sana, pertempuran besar tengah terjadi.
Aku harus melaksanakan titah Ki Darma, bahwa apa pun
yang terjadi di bumi Pajajaran, rakyat tak berdosa jangan
sampai jadi korban!" kata Ginggi sambil meloncat pergi dan
nampaknya dibiarkan oleh para perwira yang ada di sana.
(O-ani-kz-O) Untuk tiba di punggung bukit, Ginggi memotong jalan
setapak, sehingga bisa datang ke tempat itu dengan cepat.
Benar saja perkiraannya. Di punggung Bukit Badigul
sedang terjadi peperangan yang cukup besar.
Punggung bukit itu berupa tegalan atau padang alang-
alang dan berbentuk sebuah lapangan. Kata penduduk,
Bukit Badigul pada saat-saat tertentu selalu digunakan
upacara keagamaan. Tidak dinyana sedikit pun bahwa hari
ini, bukit suci ini harus digunakan untuk pembantaian
manusia. Ada sekitar ribuan orang di tegalan itu. mereka
tengah bertempur mati-matian, saling berhadapan satu
sama lain dan sulit memisahkan mana kawan dan mana
lawan. Ada prajurit melawan prajurit, ada prajurit melawan
rakyat kalau menilik jenis pakaian yang dikenakannya.
Namun bila Ginggi ingat kejadian semalam, orang-orang di
bawah pimpinan Kandagalante Sunda Sembawa atau Ki
Banaspati memang kebanyakan datang dengan menyamar
sebagai rakyat biasa. Kelompok mereka yang mengintai tepi
telaga dan berhasil dia lumpuhkan pun semua memakai
pakaian rakyat kebanyakan.
Korban sudah berjatuhan. Baik yang tewas mau pun
yang luka-luka bergeletakan di sana-sini. Di beberapa
bagian, tegalan pun sudah berubah menjadi merah karena
darah. Pertempuran itu tidak seimbang. Pasukan penyerbu
jumlahnya masih lebih sedikit ketimbang Pasukan Pakuan.
Lebih dari itu, Pasukan Pakuan sepertinya memiliki tenaga
lebih terampil ketimbang anggota pasukan penyerbu.
Ginggi dengan perasaan heran bahkan melihat
sepak-terjang seorang anggota pasukan pemerintah yang
nampak aneh dalam melakukan perkelahian. Dia banyak
melumpuhkan pasukan penyerbu tapi sedikit pun tidak
berupaya membunuh lawan-lawannya. Berbeda dengan
pasukan pemerintah, dia malah tidak memakai pakaian
seragam perwira, melainkan menggunakan pakaian rakyat
biasa saja. Jurus-jurus berkelahinya membuat hati Ginggi
bergetar sebab dia hafal betul, itulah jurus-jurus yang biasa
diperagakan Ki Darma yang dikombinasikan dengan jurus-
jurus aneh namun Ginggi pun telah kenal akan gerakan itu.
(O-anikz-O) Penutup "Ki Rangga Guna?" gumam Ginggi dengan perasaan
tak tentu. Ginggi mengucak-ucak sepasang matanya kalau-kalau
dia salah lihat. Tapi beberapa kali dia menggosok mata,
pandangannya tidak berubah. Yang dilihatnya benar-benar
Ki Rangga Guna! Ki Rangga Guna masih hidup dan bebas dari
kungkungan Ki Banaspati. Ginggi begitu bahagia melihat
kenyataan ini. Dia tersenyum seorang diri. Dia baru
mengerti kini, kelompok-kelompok pasukan musuh yang
bersembunyi di sekitar telaga pasti telah dilumpuhkan Ki
Rangga Guna secara diam-diam. Musuh tak berdaya tapi
tak tewas. Itulah kebiasaan Ki Rangga Guna. Seperti yang
diungkapkannya kepada Ginggi, bahwa dia pantang
membunuh sebab manusia tak berhak membunuh
sesamanya. Jasa Ki Rangga Guna dalam melumpuhkan para
pemberontak cukup besar. Pasukan yang akan membunuh
Raja gagal melaksanakan tugasnya karena jauh sebelumnya
kekuatan mereka sudah tak utuh lagi. Itu pasti hasil tindak-
tanduk Ki Rangga Guna. Sekarang di Bukit Badigul ini,
jumlah pasukan musuh jauh berkurang karena Ki Rangga
Guna turun tangan ikut melumpuhkan musuh.
Ginggi berpikir, sebaiknya dia pun ikut turun tangan
melumpuhkan pihak penyerbu. Bukan tak percaya kepada
para prajurit dan perwira Pakuan, sebab tanpa bantuan Ki
Rangga Guna atau dirinya, sebetulnya kendati secara
Misteri Dewi Pembalasan 2 Lima Sekawan 03 Petualangan Di Lembah Maut Cinta Dalam Doa 2
^