Senja Jatuh Di Pajajaran 12
Senja Jatuh Di Pajajaran Karya Aan Merdeka Bagian 12
meninggalkan Pulo dan menyebrangi Cihaliwung dengan
menggunakan perahu yang tadi digunakan Ki Banaspati.
Sepeninggal Ki Bagus Seta, tinggallah Ginggi berdua
dengan Ki Banaspati. "Saat-saat penting telah hampir tiba, hari-hari ini kau
akan banyak pekerjaan, Ginggi!" kata Ki Banaspati.
Dia keluarkan kembali kotak surat yang ada di dalam
bungkusannya, kemudian diserahkan pada Ginggi.
"Apa ini?" tanya Ginggi.
"Isinya surat maha rahasia. Kau serahkan pada Pangeran
Jaya Perbangsa!" kata Ki Banaspati.
"Pangeran Jaya Perbangsa?"" gumam Ginggi.
"Ya, apakah kau tak kenal Pangeran Jaya Perbangsa?"
tanya Ki Banaspati. "Aku mengenalnya"dia termasuk sahabat baik
Pangeran Yogascitra," gumam Ginggi.
Mendengar gumaman pemuda itu. Ki Banaspati tertawa
renyah tapi Ginggi tak tahu arti tawanya itu.
"Ya, kau serahkan secara rahasia pada pangeran itu.
Hati-hati, jangan sampai ada yang tahu bahwa kau
menyerahkan kotak ini," kata Ki Banaspati. "Mati
hukumanmu bila kau tak berhasil menyerahkan ini pada
orang yang aku maksud!" katanya lagi dengan nada datar.
Ginggi tak mengangguk atau pun menggelengkan kepala.
Dia hanya menerima kotak itu saja dengan kedua belah
tangan sedikit bergetar karena perasaannya yang sangat
tegang. Ki Banaspati menatap sejenak, kemudian membalikkan
tubuh dan berjalan menuruni tepi sungai. Namun sebelum
jauh benar, dia berbalik lagi.
"Hati-hati, kau harus taati aku kalau tak ingin nyawa
Rangga Guna melayang. Kalau kau langgar, di samping
kau bunuh diri, juga sebetulnya kaulah yang membunuh
Rangga Guna. Kau juga akan menjadi orang berdosa pada
Ki Guru sebab kau kacaukan pergerakan yang diinginkan
Ki Guru. camkan kata-kataku!" kata Ki Banaspati. Setelah
puas meyakinkan kata-katanya ini, dia segera meloncat dan
berlari menggunakan ilmu Napak Sancang di atas
permukaan air. Tinggallah Ginggi sendirian di Pulo Parakan
Baranangsiang yang sunyi dan dingin ini. Sambil
termenung dengan alis berkerut pemuda itu menimbang-
nimbang isi kotak kayu tersebut.
(O-anikz-O) Sandi Apakah Itu" Ginggi masih duduk sendirian di bangunan
pesanggrahan Pulo Parakan Baranangsiang. Udara semakin
dingin karena malam sudah demikian larut. Dan bila
melihat bulan sabit sudah hilang dari pandangan sejak tadi,
dari sebrang sungai, sayup-sayup terdengar pula suara ayam
berkokok. Hanya menandakan bahwa waktu subuh hari
akan segera menjelang. Ginggi harus cepat kembali ke puri Yogascitra. Kalau
ketahuan dia keluyuran tanpa sepengetahuan penghuni puri
itu, hanya akan membuat masalah baru.
Tapi sebelum dia kembali, ingin sekali membaca surat
yang kini ada di tangannya. Surat itu masih tersimpan di
dalam kotak terkunci rapat. Kata Ki Banaspati harus
diserahkan kepada Pangeran Jaya Perbangsa. Ginggi
mengerutkan alis. Punya hubungan apa pangeran ini
dengan Ki Banaspati"
Apakah Pangeran Jaya Perbangsa sudah masuk ke dalam
persekongkolan dengan Ki Banaspati"
Ginggi tidak tahu tindak-tanduk pangeran muda ini. Dua
hari yang lalu ketika ada pertemuan di puri Yogascitra,
Pangeran Jaya Perbangsa ikut hadir. Dia diundang sebab
seperti apa kata Purbajaya, pangeran ini termasuk kawan
dekat Pangeran Yogascitra. Dalam pertemuan itu, Pangeran
Jaya Perbangsa termasuk orang yang banyak bicara yang
pada pokoknya menggambarkan ketidaksetujuan dia dalam
menyimak perilaku Raja. Tidak tanggung-tanggung, bahkan
dia berkata dengan suara keras meminta agar semua orang
sepakat menurunkan Raja dari tahtanya.
Tak ada yang ganjil dan tak ada yang aneh, sebab pada
umumnya semua yang hadir pada pertemuan itu
memperbincangkan perihal ketidaksetujuannya terhadap
perilaku dan kebijaksanaan Raja.
"Tak ada yang ganjil"Tak ada yang ganjil"!" gumam
pemuda itu sendirian. Ya, memang tak ada yang ganjil,
sebab semua orang sama-sama tak setuju dengan sikap
Raja. Ki Banaspati juga susah-payah menghimpun
kekuatan karena tak setuju dengan sikap Raja.
Berpikir sampai di sini, pemuda itu menahan napasnya.
Pangeran Jaya Perbangsa bersuara lantang agar semua
orang bertindak menurunkan Raja dari kekuasaan. Ini juga
keinginan Ki Banaspati. Tidakkah Pangeran Jaya Perbangsa
dikendalikan oleh Ki Banaspati"
Makin berkerut dahi Ginggi karena berpikir keras. Sudah
dia ketahui memang semua orang tidak setuju terhadap
Raja. Tapi dia perlu memilah-milahnya. Ada kelompok
yang sekadar tak menyenangi sikap Raja tapi tanpa punya
tujuan-tujuan tertentu. Dan ada juga kelompok yang sama-
sama tak menyenangi Raja tapi sambil punya tujuan
khusus. Ki Banaspati jelas termasuk kelompok kedua ini.
Kemudian, mungkinkah dia berusaha mengendalikan
beberapa pangeran yang ada di Pakuan untuk memperbesar
api kemelut" Bisa saja begitu, semakin kacau suasana di Pakuan,
semakin bagus menurut pertimbangan Ki Banaspati.
Pangeran Jaya Perbangsa suaranya paling lantang mengajak
semua orang meruntuhkan Raja. Kalau dikatakan dia
mengajak semua orang untuk memberontak, bisa benar-
benar persis. Dan Ki Banaspati menyusun kekuatan untuk
memberontak. Akan lebih bagus bagi Ki Banaspati bila
sebelum pasukan dari timur dikerahkan menyerang Pakuan,
di dayo (ibukota) itu sendiri sudah ada yang saling gebuk,
barangkali Ki Banaspati tinggal hanya menunggu waktu
saja. Sesudah dua kekuatan di Pakuan saling gebuk sendiri
dan pemenangnya dalam keadaan lemah, giliran pasukan
Ki Banaspati yang bergerak untuk meraih kemenangan.
Ginggi memang sudah melihat situasi di Pakuan.
Kekuatan di sana cenderung sudah terpecah-pecah. Ada
kelompok yang sudah meragukan kepemimpinan Raja, tapi
ada juga yang tetap bertahan dengan keputusan-keputusan
Raja. Ginggi kini mulai bisa meraba, Pangeran Jaya Perbangsa
yang selalu bersuara lantang, dikendalikan Ki Banaspati
agar menyulut dan memanasi para penentang Raja untuk
mengadakan keributan berupa pemberontakan.
Satu-satunya bukti untuk memperjelas dugaannya ini,
Ginggi harus membuka kotak dan membaca surat yang
harus dia serahkan kepada Pangeran Jaya Perbangsa.
Suasana gelap di tempat yang terpencil ini tak
memungkinkan dirinya untuk membaca surat itu. Ilmu
Sorot Kalong (melihat di tempat gelap) yang dia miliki tak
akan membantu penuh. Jadi pemuda itu harus segera
kembali ke puri Yogascitra.
Dan dia pun segera meninggalkan tempat itu, berlari
menuju puri Yogascitra yang kini sudah menjadi tempat
tinggalnya. Dengan amat hati-hati pemuda itu meloncati benteng
puri menyelinap ke bangunan yang jadi tempat tinggalnya.
Masuk ke ruangan tidurnya, dia segera menyalakan pelita.
Keremangan berubah menjadi benderang. Ginggi meneliti
kotak surat itu. Berukir indah dan halus buatannya. Tapi
tutup kotaknya dikunci oleh semacam engsel. Ginggi perlu
membuka engsel itu agar tutup kotak bisa terkuak. Dengan
serampangan tangan pemuda itu membedol ujung engsel.
Dan begitu tutup kotak terbuka, terdengar suara halus
bersiutan. Ada cahaya-cahaya kecil berkeredipan mengarah
pada wajah dan dadanya. Ginggi terkejut setengah mati sebab tak menduga bakal
ada benda kecil tajam melesat keluar. Dia hanya sanggup
miringkan wajah ke kanan tapi tak keburu melontarkan
tubuhnya ke belakang. Akibatnya, tiga batang jarum halus
bersarang di dadanya dan rasanya sakit serta-merta
membuat tulang ngilu. Ginggi mencabuti ketiga batang
jarum itu. Tapi rasa sakit di tubuhnya kian menghebat.
Dengan mata berkunang-kunang dan rasa sakit yang hebat,
dia mengerahkan tenaga dalamnya, dipusatkannya pada
bagian dada. Dia sadar, jarum itu beracun dan Ginggi perlu
menahan aliran darah di bagian dada agar tak menyebar ke
seluruh bagian tubuhnya. Tindakan pengamanan ini
rasanya kurang cukup dan dia khawatir racun masih bisa
menyebar. Oleh sebab itulah Ginggi mencari benda tajam.
Kebetulan di sebuah laci terdapat peso pengot (pisau amat
tajam ujungnya, biasa digunakan pula untuk menoreh
tulisan di atas daun nipah). Pisau tajam itu dia gunakan
untuk menoreh tiga luka di dadanya agar darah bisa keluar
lebih banyak dari luka itu. Namun sebelum pekerjaannya
selesai, matanya semakin berkunang dan kepalanya terasa
pening. Akhirnya kegelapan menyelimuti dirinya dan
Ginggi tak ingat apa-apa lagi.
Dia baru sadar dari pingsannya ketika suhu badannya
terasa panas. Banyak keringat membasahi jidatnya dan
kerongkongannya terasa kering. Dia ingin sekali minum.
Tanpa membuka mata, pemuda itu meraba-raba ke pinggir
kiri. Dia ingat, di sisi pembaringan sebelah kiri ada meja
yang di antaranya diisi berbagai minuman. Tapi tangan itu
meraba tempat kosong. Ginggi juga rasakan, udara amat
pengap, padahal setahu dirinya, tempat tinggalnya di puri
Yogascitra terasa harum semerbak oleh berbagai
wewangian. Ginggi mencoba membuka matanya. Suasana hanya
remang-remang saja karena peningnya. Pelipisnya terasa
berdenyut. Tapi setelah terbiasa dengan pandangan
matanya, mendadak hatinya terkejut. Betapa tak begitu
sebab di sisi kirinya dia lihat jeruji besi. Dia tidur telentang
di sebuah balai-balai kasar di sebuah kamar ukuran kecil
dengan lubang berjeruji besi. Penjarakah ini" Ginggi bangun
serentak, tapi kemudian jatuh telentang kembali karena
dadanya terasa pedih dan berdenyut. Dirabanya dada itu,
ternyata sudah diberi bebat. Mengapa aku ada di dalam
penjara, pikirnya" Terdengar suara langkah mendekat. Ginggi menoleh ke
kiri. Ada dua jagabaya tengah menatapnya. Salah seorang
kemudian berlalu dan sayup-sayup terdengar suaranya,
"Tawanan sudah siuman, Raden?" katanya. Kemudian
terdengar langkah mendekat lagi. Kini ada dua orang lagi
yang datang. "Raden Purbajaya"!" seru Ginggi pelahan. Nampak alis
Purbajaya berkerut melihatnya.
"Mengapa aku ada di sini?" tanyannya lagi namun
sambil mengeluh pendek karena ada rasa sakit di dadanya.
"Engkau dipenjara, Ginggi?" kata Purbajaya pendek.
"Apa dosaku?" "Nanti engkau akan diperiksa Pangeran Yogascitra!"
gumam Purbajaya seperti penuh sesal.
Tak berapa lama kemudian terdengar beberapa langkah
mendatang. Kemudian Ginggi lihat Pangeran Yogascitra
disertai Banyak Angga. Pangeran tua berwajah sabar itu menatap Ginggi dengan
alis sedikit berkerut. Ginggi mencoba hendak bangkit
namun dirasakan tubuhnya sakit-sakit.
"Kau terluka karena racun. Sudahlah tak perlu bangun.
Aku hanya inginkan penjelasanmu, anak muda?" kata
Pangeran Yogascitra datar.
Ginggi mau bicara, tapi Pangeran Yogascitra
memperlihatkan kotak surat beserta isinya.
Ginggi terkejut melihat isi surat itu. Jadi, karena benda
itu dia dijebloskan ke penjara.
"Saya belum sempat membaca isinya, Pangeran?"
jawab Ginggi sejujurnya. "Sudah aku baca isinya tapi aku tak mengerti sebab itu
kata sandi. Barangkali kau pasti bisa mengartikannya," kata
pangeran itu. Ginggi menerima susunan daun nipah dan
mencoba membeberkannya. Ribuan pipit terbang dari timur
ketika senja jatuh di barat
tiga hari sebelum kuwerabakti
pagi hari di Telaga Rena Maha Wijaya
"Banaspati" "Saya tak bisa membaca, Pangeran?" gumam Ginggi
setelah meneliti susunan huruf Palawadi atas daun nipah
itu. Pangeran Yogascitra menatap penuh selidik.
"Benar, dia tak bisa baca-tulis, Pamanda?" kata
Purbajaya. Bukan sekadar membela, tapi Ginggi memang
pernah mengatakan tak pernah belajar baca-tulis ketika
Purbajaya memberinya sebuah kitab pelajaran agama lama.
"Tapi setidaknya engkau masih punya hubungan dengan
Banaspati, anak muda?" kata Pangeran Yogascitra.
Ginggi bingung mau menjawab bagaimana, dikatakan
punya hubungan, sebetulnya juga tidak, sebab selama ini
Ginggi tak senang terhadap orang itu. Tapi dikatakan tak
punya hubungan, ya"kotak surat itu amat membuktikan
bahwa ada satu hubungan antara dia dengan Ki Banaspati.
"Engkau membingungkan kami. Kedudukanmu
sebetulnya ada di mana. Suatu saat kau membela kami, tapi
di saat lain kau erat dengan mereka. Ketahuilah, Ki Bagus
Seta sudah dicurigai beberapa pejabat istana karena
penyelewengan pajak negara. Dan otomatis, Ki Banaspati
pun dicurigai sebab dia tangan kanan Ki Bagus Seta. Aku
menyesalkan sikapmu yang ternyata masih memiliki
hubungan dengan kelompok mereka. Padahal aku sudah
menyukaimu, anak muda?" kata Pangeran Yogascitra.
"Tapi perasaan pribadi aku kesampingkan karena
kepentingan negara lebih diutamakan. Kau harus
menjelaskan mengapa ada surat sandi di tanganmu. Ada
rencana apakah Ki Banaspati sehingga perlu mengirim surat
Senja Jatuh Di Pajajaran Karya Aan Merdeka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
rahasia padamu?" tanya Pangeran Yogascitra.
Semua mata memandang tajam padanya ketika
pertanyaan itu diajukan. Ginggi sulit untuk menjawab. Sebetulnya bisa saja dia
katakan bahwa surat itu dari Ki Banaspati untuk Pangeran
Jaya Perbangsa. Tapi, apakah Pangeran Yogascitra percaya
akan penjelasan ini" Surat itu tak ditujukan langsung pada
Pangeran Jaya Perbangsa. Jadi kepada setiap pemegang
surat bisa ditudingkan bahwa itu surat dari Ki Banaspati
untuk dirinya. "Aku harap engkau menjelaskannya padaku. Sebab bila
peristiwa ini bocor ke istana, kau akan jadi tawanan istana
dan nasibmu akan lebih buruk lagi. Kau harus tahu Sang
Prabu sangat kejam terhadap orang yang bersalah," kata
Pangeran Yogascitra menegaskan.
"Jangan?" Ginggi mencegah.
"Nah, kalau kau takut dipindahkan ke istana,
terangkanlah dengan baik, apa isi surat itu!" kata lagi
Pangeran Yogascitra. Pangeran itu salah mengerti, kata Ginggi dalam hatinya.
Yang dia maksud jangan adalah surat itu jangan dulu
sampai ke istana, takut keburu diketahui oleh Pangeran
Jaya Perbangsa. Ginggi tak mau surat itu sampai ke tangan
pangeran muda yang berperangai keras itu.
"Pangeran, sebaiknya urusan itu diselesaikan di sini saja.
Beri saya waktu untuk menjelaskannya?" kata Ginggi.
"Nanti malam aku akan mengunjungimu lagi?" gumam
Pangeran Yogascitra. Setelah menatapnya, bangsawan itu
segera berlalu. "Engkau mengecewakan aku, Ginggi?" gumam
Purbajaya sedangkan Banyak Angga hanya menatap saja.
Mereka kemudian meninggalkan tempat itu.
Kini Ginggi sendirian di kamar tahanan berjeruji itu. Dia
masih bingung bagaimana harus membebaskan dirinya dari
tudingan ini. Tapi Ginggi harus mengesampingkan dulu urusan ini.
Yang harus dia pikirkan adalah teka-teki surat rahasia itu.
Apa makna surat yang sedianya harus diserahkan kepada
Pangeran Jaya Perbangsa ini"
Ribuan pipit terbang dari timur
ketika senja jatuh di barat
tiga hari sebelum kuwerabakti
pagi hari di Telaga Rena Maha Wijaya
Ginggi mengerutkan dahinya beberapa kali. Dia harus
memecahkan sandi ini. Menjelang senja hari ada jagabaya menyodorkan
makanan. Pemuda itu amat berterimakasih sebab sejak
malam hari dia belum makan apa pun. Sekarang ada
makanan yang cukup baik dan menyehatkan untuk
dimakan. Tapi sebelum dia mencicipi makanan itu, dia
teringat sesuatu. "Paman, tolong beritahu aku, kapan upacara
Kuwerabakti dimulai?" tanyanya pada jagabaya. Yang
ditanya sejenak mengernyitkan dahi. Kemudian dia
menepuk jidatnya sendiri.
"Oh, sampai aku melupakan kegiatan penting ini. Empat
hari lagi kalau tak salah, pesta panen 49 hari akan segera
dimulai," jawab jagabaya.
"Apa-apa sajakah upacara paling penting dalam
Kuwerabakti, Paman?"
"Ya, banyak sekali. Sehari sebelum Kuwerabakti,
rombongan seba dari seluruh wilayah Pajajaran akan
datang senja hari di Pakuan. besoknya pagi-pagi akan ada
upacara mandi suci di Telaga Rena Maha Wijaya,
kemudian dilanjutkan dengan upacara nadran (ziarah) ke
Bukit Rancamaya, mengenang moksa Sang Prabu Siliwangi
alias Sri Baduga Maharaja di Bukit Badigul," kata penjaga.
"Siapa saja yang mandi suci di pagi hari itu?"
"Seluruh penghuni istana, dari mulai Sang Prabu hingga
permeisuri dan para selir serta kaum wiku dan pendeta
agung, semua mandi suci di Telaga Rena Maha Wijaya.
Tapi, ada apakah engkau, sepertinya ingin sekali engkau
datang menghadiri" Sayang anak muda, kedudukanmu
seperti ini?" kata jagabaya menyayangkan nasib Ginggi.
Ginggi sendiri tidak menyimak ucapan terakhir jagabaya
ini, sebab dia lebih terpaku memikirkan ucapan jagabaya
sebelumnya. Surat rahasia itu sepertinya punya hubungan erat dengan
kegiatan Kuwerabakti, Ginggi berpikir keras, mencoba
mencari maksud surat tersebut. Sehari sebelum
Kuwerabakti, rombongan seba dari semua wilayah akan
datang sore hari. Dari mana sajakah rombongan seba itu"
"Paman, kalau kita melakukan perjalanan tanpa henti
dari wilayah Kandagalante Sagaraherang, kira-kira akan
makan waktu berapa lama?" tanya Ginggi kemudian.
Jagabaya yang sedianya akan berlalu mendadak berhenti
lagi. Dia mengernyitkan dahi terpengaruh oleh pertanyaan
Ginggi. "Bila dilakukan tanpa tergesa-gesa, mungkin makan
waktu selama tiga hari. Kira-kira senja hari rombongan
baru bisa memasuki dayo (ibukota)," jawab jagabaya.
"Betulkah?" "Ya, aku pernah melakukan perjalanan seperti itu."
Berdebar jantung Ginggi mendengarnya. Beberapa baris
kalimat sudah bisa diraba kemungkinannya. Dan kalau
"ribuan pipit terbang dari timur" sudah bisa dipecahkan,
maka seluruh isi surat rahasia bisa dia artikan. Tapi Ginggi
benar-benar sudah bisa menduga. "Ribuan pipit terbang dari
timur" siapa lagi kalau bukan pasukan di bawah pimpinan
Kandagalante Sunda Sembawa dari wilayah Sagaraherang
yang terletak di sebelah timur Pakuan.
Ginggi kembali menyusun surat rahasia itu di dalam
benaknya, kemudian mencoba menyusun pemecahannya.
Maka "ribuan pipit terbang dari timur" diterjemahkan
sebagai pasukan yang akan bergerak dari Sagaraherang.
"Ketika senja jatuh di barat" diartikan Ginggi bahwa
pasukan itu akan tiba di barat (Pakuan) di saat senja tiba.
Kemudian baris ketiga berbunyi "tiga hari sebelum
kuwerabakti" menerangkan bahwa pasukan itu akan mulai
bergerak tiga hari sebelum upacara kuwerabakti. Baris
keempat berbunyi "pagi hari di Telaga Rena Maha Wijaya"
memberitahukan bahwa pagi hari akan diadakan satu
kegiatan. Kegiatan itu sudah pasti acara mandi suci seluruh
keluarga istana. Raja juga akan mandi suci di telagaa itu.
Oh, nanti dulu! Baris surat keempat bukan sekadar
pemberitahuan akan upacara mandi suci. Pangeran Jaya
Perbangsa tak perlu diberitahu sebab dia sendiri sudah tahu
akan upacara itu. Kalimat baris keempat ini lebih berupa
perintah untuk melakukan satu gerakan. Mungkin pagi hari
waktunya, di saat ada upacara mandi suci di Telaga Rena
Maha Wijaya. Ginggi semakin berdegup jantungnya. Dia ingat
perkataan Ki Banaspati di Pulo Parakan Baranangsiang
kemarin malam bahwa sebuah gerakan besar akan segera
dimulai. Akan ada penyerbuan besar-besaran ke Pakuan di
saat upacara penting Kuwerabakti. Pasukan akan datang
dengan menyamar sebagai rombongan pengirim seba.
Benar! Pemberontakan akan dimulai empat hari lagi.
Barangkali pasukan yang menyamar sebagai pengirim seba
akan mulai bergerak esok hari dari Sagaraherang.
Ginggi terpaku di ruangan gelap berjeruji ini. Sebentar
lagi akan terjadi puncak kemelut di Pakuan. Maka di mana
Ginggi akan menempatkan diri dalam situasi ini" Berdiri di
fihak Ki Banaspatikah"
Tapi Ginggi kini sudah bisa menilai, Ki Banaspati tidak
benar-benar berjuang sesuai amanat Ki Darma. Bahkan
orang ini sebenarnya menggunakan perintah guru hanya
sebagai dalih saja. Dengan membonceng kepada amanat Ki
Darma dia punya tujuan tertentu untuk menjalankan ambisi
pribadinya. Kedoknya semakin terbuka di Pulo Parakan
Baranangsiang. Betapa dengan kejamnya dia
mencampakkan Ki Bagus Seta setelah tahu bahwa orang itu
tak memiliki pengaruh berarti lagi di Pakuan. Ki Banaspati
benar-benar berani memperlihatkan sikap sebenarnya
sebelum cita-citanya tercapai. Tindakan seperti ini hanya
menandakan bahwa dirinya yakin akan keberhasilan
usahanya. Mungkin benar sebab Ki Bagus Seta sudah tak
mungkin memperbaiki posisinya.
Waktu sudah tak ada lagi, sebab Ki Banaspati membuka
kartu di saat-saat terakhir, di mana seluruh kekuatan
pasukannya sudah mulai bergerak. Ki Banaspati seorang
yang berambisi besar, tamak dan licik. Ginggi tak perlu
memihak padanya. Dengan kata lain, dia tak akan
menjalankan perintah-perintah Ki Banaspati secuil pun !
"Tapi, bagaimana nasib Ki Rangga Guna?" keluhnya.
Jelas, nyawa Ki Rangga Guna jadi taruhannya bila Ginggi
berani menghindari perintah-perintah Ki Banaspati.
"Jangan meributkan nyawa seseorang untuk sebuah
perjuangan besar," kata Ki Banaspati tempo hari. Apakah
Ginggi pun akan bercermin pada prinsip Ki Banaspati,
merelakan nyawa Ki Rangga Guna demi sesuatu" Sesuatu
apa" Perjuangankah" Kalau dia menolak ajakan Ki
Banaspati, lantas akan berjuang demi siapakah kini" Untuk
kepentingan Pakuan" Untuk kepentingan Raja" Tidak
mungkin, sebab selain tak sesuai dengan amanat Ki Darma,
juga bertolak belakang dengan hati nuraninya. Sudah jelas
Raja itu berjiwa lemah. Mudah diombang-ambing pengaruh
dari luar dirinya dan mudah tergoda oleh kehidupan
duniawi termasuk kecantikan wanita. Ginggi tak sudi
mengabdi kepada Raja yang seperti ini. Dan kalau kesini
tak mau dan kesana tak mau, sudah benarkah sikap
hidupnya ini" Ingat tembang-tembangprepantun (juru
pantun) yang menyindir dan mencerca sikap Ki Darma.
Itulah hukuman bagi yang meragu kesana tak mau kesini
tak mau Akhirnya Ki Darma menjadi musuh semua
Oh, hai, musuh semua ! Ginggi merenung. Hanya karena
kesana tak mau kesini tak mau maka Ki Darma akhirnya
menjadi musuh semua orang. Ginggi sedih, mengapa orang
tidak diberi kebebasan memilih sikap dan selalu harus
mengikatkan diri pada satu kepentingan"
Ketika berada di puncak, di saat suasana sepi tengah
malam, Ki Darma selalu bersenandung. Bunyi tembangnya
tak pernah berubah, selalu membacakan satu bait syair.
Hidup banyak menawarkan sesuatu namun bila salah
memilihnya kita adalah orang-orang yang kalah
Oh, hai! Orang-orang yang kalah! Ginggi tersenyum
pahit bila menyimak syair tembang Ki Darma ini. Memang
tak terbatastawaran terhadap pilihan hidup. Tapi, mencoba
tidak memilih sesuatu, sebetulnya adalahsebuah pilihan
hidup juga. Mengapa orang dianggap berdosa bila tak
mencoba memilih satu kepentingan" Kesana tak mau,
kesini tak mau, dosakah itu" Bukankah tidak memilih
sesuaupun sebenarnya satu pendirian juga"
Ginggi kembali tersenyum pahit. Sepertinya dia pun
akan berpendirian seperti Ki Darma.
Kesana tak mau kesini tak mau dan akhirnya dimusuhi
semua orang. Tidak apa. Aku hanya taat pada Ki Darma.
Ada surat dari Ki Rangga Guna yang kata Ki Banaspati
akan membahayakan dirinya. Surat itu menyuruh Ginggi
agar tetap berpegangteguh pada amanat Ki Darma.
Ginggi ingat betul, Ki Darma berkata agar dia membela
rakyat dengan jalan apa saja. Dia disuruh bergabung
dengan para murid lainnya, sepanjang mereka pun mentaati
perintah Ki Darma. Tapi Ginggi merasa bahwa Ki
Banaspati tak seutuhnya menjalankan amanat guru, berarti
Ginggi tak pelu ikut bergabung.
"Pada akhirnya kau akan punya keyakinan sendiri dalam
menentukan kebenaran. Kalau kau benar-benar telah
meyakini satu pilihan, maka kau kerjakanlah!" kata Ki
Darma ketika dia berada di Puncak Cakrabuana hampir
dua tahun silam. Tak terasa ada lelehan airmata di pipi pemuda itu. Baru
sekarang dia sadar, sebenarnya orang yang paling bijaksana
adalah Ki Darma. Orang tua ini tidak pernah mengangkat
dirinya sebagai murid. Mulanya Ginggi berpikir buruk. Ki
Darma tak secara resmi mengangkat dia sebagai murid
mungkin karena dia kurang disayang dan kurang dipercaya.
Namun belakangan Ginggi menyadari bahwa perbuatan Ki
Darma ini bisa jadi punya maksud tertentu. Ki Darma tak
mengangkatnya sebagia murid tapi memberinya berbagai
ilmu kepandaian, termasuk kepandaian dalam berpikir dan
belajar menimbang-nimbang arti kehidupan. Pemuda itu
menduga, Ki Darma membebaskan dirinya dari hubungan
guru dan murid agar Ginggi bisa melakukan pilihan. Kalau
dia terikat sumpah pada Ki Darma, jelas tak memiliki
pilihan hidup lagi sebab segalanya sudah diatur guru. Apa
yang diinginkan guru itu harus diturut. Karena ikatan-
ikatan itu Ki Darma akan merasa kecewa kalau pada suatu
saat sang murid tak mematuhi apa yang diinginkannya.
Dengan melepaskan ikatan guru-murid, kedua belah fihak
akan saling membebaskan diri dari sesuatu yang bernama
keharusan. Itulah sebabnya, kendati ada kata "perintah",
tapi di akhir kalimat, Ki Darma menyertakan ucapan,
"sepanjang kau merasa yakin atas kebenaran yang aku
katakan." Ki Darma tak pernah mengajarkan padanya apa itu
agama. Barangkali bukan berarti dirinya tak perlu memiliki
keyakinan agama. Tapi orang tua itu membebaskan Ginggi
untuk belajar menilai dan memilih. Sekarang dunia semakin
berkembang dengan hadirnya agama baru. Ki Darma
mungkin bermaksud "melahirkan" keberadaan Ginggi apa
adanya. Tidak dicekoki oleh keyakinan yang dipeluknya,
atau disuruh membenci kehadiran agama baru. Biarkan
Ginggi dalam keadaan kosong. Siapa yang harus
mengisinya, bukan karena anjuran, pengaruh atau pun
perintah orang lain, tapi diserahkan kepada hasil pilihan
hatinya sendiri. "Semakin dewasa orang akan semakin berpikir tentang
perlunya sesuatu pandangan hidup. Kau carilah sendiri,
Senja Jatuh Di Pajajaran Karya Aan Merdeka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sebab bila jalan pikiranmu sudah dewasa kau akan sanggup
memilih mana yang terbaik," kata Ki Darma tempo hari.
Orang tua itu tidak menyuruhnya masuk agama apa pun,
segalanya diseahkna pada Ginggi sendiri. Ki Darma hanya
membekalinya dengan berbagai pandangan agar kelak
Ginggi sanggup memilah-milah sendiri, mana yang benar
dan mana yang buruk. Sekarang Ginggi sudah banyak belajar meneliti sikap dan
perilaku manusia. Sedikit banyaknya dia sudah bisa
menarik kesimpulan sendiri untuk dijadikan pedoman, di
mana kelak dia harus menempatkan diri.
(O-anikz-O) Taktik Jaya Perbangsa Benar seperti yang dijanjikan Pangeran Yogascitra,
bahwa malam harinya dia akan datang lagi ke sel tahanan.
Dia datang bersama Banyak Angga dan Purbajaya.
"Bagaimana, apakah kau sudah siap memberi keterangan
tentang surat sandi itu?" tanya Pangeran Yogascitra
menatap tajam padanya. "Saya juga baru menemukan isi sandi itu barusan.
Namun ini pun sebagai kira-kira saja. Bila dugaan saya
benar, Pangeran harap segera melakukan berbagai tindakan.
Tapi bila salah, anggaplah itu keluar dari jalan pikiran
orang dungu semata," kata Ginggi balik menatap pada
pangeran itu. Semua orang mendekatkan wajahnya pada
besi jeruji. "Maksudmu, engkau sudah tahu arti sandi surat
itu?" yang bertanya heran adalah Purbajaya.
"Tidak. Isinya baru dugaan saja," gumam Ginggi.
"Sudah bisa menduga isinya berarti sudah tahu kalimat
sandi. Dari mana engkau tahu, padahal engkau tak bisa
membaca?" tanya lagi pemuda itu.
Ginggi tersenyum tipis, "Maafkan saya banyak bohong,
saya sebenarnya ada sedikit bisa"." katanya.
"Kau memang banyak membohong sehingga amat
membingunkan kami," kata Banyak Angga. "Ayahanda,
kalau dia mengemukakan isi sandi itu, apakah kita akan
mempercayainya?" menoleh pada Pangeran Yogascitra.
"Bagaimana nanti saja, yang penting dia mau bicara
dulu," jawab pangeran tua itu pendek. "Cobalah kau
katakan Ginggi, apa isi sandi itu?" kata Purbajaya.
"Itu adalah surat pemberitahuan perihal akan adanya
pasukan besar dari wilayah timur ke Pakuan ini. Saya
menduga, mereka akan menyerang tepat pada peringatan
Kuwerabakti!" kata Ginggi. Semua orang saling pandang,
kemudian sama-sama menatap wajah Ginggi.
"Mengapa Ki Banaspati mengirim surat padamu?" tanya
Banyak Angga. "Surat itu bukan untuk saya."
"Kalau begitu, untuk siapakah surat itu?"
"Saya diutus menyerahkan surat itu pada Pangeran Jaya
Perbangsa!" kata Ginggi.
"Apa?"?" teriak ketiga orang itu berbareng dan nampak
kaget."Kau maksudkan Pangeran Jaya Perbangsa punya
hubungan khusus dengan Ki Banaspati?" tanya Banyak
Angga. "Saya tak berkata begitu?"
"Kau tuduh pangeran muda itu bersekongkol untuk
melakukan satu kegiatan rahasia?" tanya Banyak Angga
lagi. "Saya tidak bicara begitu?" jawab Ginggi lagi.
"Ginggi, aku ingin percaya padamu, kumohon kau
bicaralah dengan benar?" kata Purbajaya seperti memohon
agar Ginggi bertindak dengan kesadaran.
"Apa yang ada dalam hati saya, itulah yang diucapkan.
Saya tak menduga atau menuduh sesuatu. Tapi yang jelas
saya diperintahkan Ki Banaspati menyerahkan kotak surat
kepada Pangeran Jaya Perbangsa. Tapi saya ingin sekali
melihat isinya, maka saya coba buka. Namun sebelum
berhasil membacanya, ada serangan jarum beracun dari
kotak itu dan saya pingsan. Belakangan saya menyadari
sudah berada di sini," kata Ginggi.
"Engkau terpaksa diamankan di sini karena ada surat
seperti itu," kata Purbajaya. Ginggi menundukkan muka.
"Engkau berkomplot dengan Ki Banaspati?" tanya
Banyak Angga. "Keinginan Ki Banaspati dan Ki Bagus Seta memang
begitu. Semua harus berkomplot melawan Raja!" Ginggi
menjawab begitu. "Mengapa mereka ingin melawan Raja!" tanya Pangeran
Yogascitra. "Menurut mereka, Raja tak bijaksana dalam mengatur
pemerintahan sehingga rakyat sengsara!" jawab Ginggi.
"Merekalah yang membuat rakyat sengsara. Ki Bagus
Seta selalu mempengaruhi Raja agar melakukan tindakan
keliru!" kata Pangeran Yogascitra.
"Entahlah"Hanya itu yang mereka katakan!" kata
Ginggi lagi. "Kalau begitu semua orang punya pendirian sama untuk
menurunkan Raja, Ayahanda?" gumam Banyak Angga.
"Aku tak berniat menggulingkan Raja, sekali pun
memang benar aku tak setuju dengan tindak-tanduk Raja.
Aku sudah mencoba membujuk Sang Prabu agar mau
membatalkan perkawinannya dengan Nyimas Layang
Kingkin, tapi beliau malah tersinggung atas sikapku," kata
Pangeran Yogascitra dengan nada penuh sesal.
"Lalu, bagaimana dengan nasib adikku Nyimas Banyak
Inten?" tanya lagi Banyak Angga.
(O-anikz-O) Jilid 22 Mendengar pertanyaan ini, nampak wajah Pangeran
Yogascitra kelabu. Dia menghela napas beberapa kali
sebelum melontarkan jawaban.
"Penghargaan Sang Prabu terhadap adikmu menjadi
berkurang karena peristiwa Suji Angkara. Sang Prabu
bahkan menyuruh agar adikmu dimasukkan ke mandala
saja?" gumam pangeran tua itu.
"Apa" Dimasukkan ke mandala?" Pertanyaan ini
berbareng dilontarkan oleh Banyak Angga dan Purbajaya.
Wajah Purbajaya bahkan terlihat amat pucat dan bibirnya
bergetar. "Apakah mandala itu?" tanya Ginggi heran.
"Mandala adalah semacam puri para wiku wanita. Setiap
gadis yang gagal dalam perkawinan atau kehidupan lahiriah
selalu memasuki mandala untuk belajar ilmu batin. Para
wanita bangsawan yang ditinggal mati suaminya pun
biasanya masuk kemandala ?" kata Banyak Angga dengan
wajah murung. "Apakah Nyimas Banyak Inten digolongkan wanita yang
gagal dalam kehidupan cinta?" tanya Ginggi. Tak ada yang
menjawab, sehingga suasana amat sunyi.
"Barangkali bagi Sang Prabu lebih terhormat melihat
gadis yang dicintanya memasuki mandala ketimbang hidup
di luar atau bahkan menjadi selirnya tapi sudah memiliki
cacat. Gadis yang dilarikan lelaki lain secara paksa
dianggap kehormatannya sudah cacat, apalagi gadis itu
tadinya sudah dipilih Raja?" gumam Pangeran Yogascitra
seperti bicara pada dirinya sendiri.
"Pamanda Yogascitra, jangan biarkan Dinda Banyak
Inten meninggalkan kehidupan duniawiyah. Dia masih
muda. Dia masih penuh harapan dan cita-cita!" kata
Purbajaya menggebu. "Banyak Inten masuk mandala adalah harapan Raja.
Tapi harapan Raja adalah perintah juga. Aku tak berani
menentang titahnya, apalagi amat berkaitan erat dengan
kepentingan dan kehormatannya?" gumam Pangeran
Yogascitra dengan nada sendu sehingga kemurungan
wajahnya menambah ketuaannya.
"Kalau Pamanda tak berani menentang Raja, untuk
urusan ini saya berani ke depan," kata Purbajaya tegas.
Pangeran Yogascitra menatap pemuda itu dengan penuh
selidik. "Mengapa kau begitu mati-matian membela anakku?"
tanyanya. Tapi yang ditanya malah menunduk membuat
hati Ginggi sedikit berdebar karena penuh dugaan.
"Sudahlah"Urusan paling besar yang harus kita hadapi
adalah sandi rahasia itu. Ginggi, benarkah isi surat itu
maksudnya demikian?" tanya pangeran itu menoleh pada
Ginggi. "Sudah saya katakan tadi, itu hanya dugaan belaka,"
jawab Ginggi, "Ribuan pipit terbang dari timur. Itulah
pasukan yang kelak akan datang dari arah timur, entah
siapa. Ketika senja jatuh di barat, maksudnya pasukan itu
akan tiba di wilayah barat dan saya artikan sebagai Pakuan,
di senja hari. Tiga hari sebelum Kuwerabakti, saya tafsirkan
pasukan akan mulai bergerak dari timur tiga hari sebelum
upacara Kuwerabakti, Baris terakhir, pagi hari di Telaga
Rena MahaWijaya, saya artikan bahwa saat penyerbuan
akan dilakukan di pagi hari, mungkin titik penyerbuan ke
telaga itu. Apakah dugaan saya ini benar atau salah, saya
sendiri pun tak dapat memastikannya!" kata Ginggi
panjang-lebar. Namun mendengar penjelasan ini, semua orang
mendadak pucat wajahnya. "Bisa jadi dugaanmu benar anak muda," gumam
Pangeran Yogascitra, "Pagi hari pada hari pertama upacara
Kuwerabakti adalah mandi suci Sang Prabu beserta seluruh
pejabat istana di Telaga Rena Maha Wijaya. Kemungkinan
penyerbuan dilakukan di saat semua penghuni istana
meninggalkan kadaton (keraton) dan berada di tempat
terbuka tanpa perlindungan?" kata Pangeran Yogascitra.
Ginggi pun ingat, telaga di Bukit Badigul Rancamaya itu
berada di wilayah jawi khita (benteng luar istana). Kalau
seluruh penghuni istana sedang berada di sana, maka
penyerbuan itu akan sangat membahayakan keselamatan
Raja. "Kalau begitu, kita harus segera mengambil tindakan,"
kata Pangeran Yogascitra.
"Nanti dulu Ayahanda. Kita harus selidiki
kebenarannya," kata Banyak Angga sambil kemudian
menoleh ka arah Ginggi. "Ginggi sebetulnya engkau ada di
fihak manakah" Di lain fihak diutus Ki Banaspati tapi di
lain fihak pula beritahu kami mengenai rencana mereka,"
kata Banyak Angga lagi. Pangeran Yogascitra pun rupanya terpengaruh oleh
ucapan pemuda itu, buktinya dia menatap tajam Ginggi.
"Kau berada di fihak mana, anak muda?" tanyanya.
"Saya tak berada di fihak mana pun. Semua peristiwa ini
tak ada kepentingannya dengan saya. Tapi kalau saya
sekarang beberkan rencana Ki Banaspati atau siapa saja,
saya sebenarnya hanya tak ingin terjadi banyak korban.
Kalau benar ada rencana penyerbuan besar-besaran ke
Pakuan, akan jatuh korban sia-sia. Saya tak ingin melihat
perang sebab akan menyengsarakan banyak orang?" kata
Ginggi mantap. Pangeran Yogascitra merenung namun akhirnya
mengangguk-angguk. "Pendapatmu benar belaka, anak
muda. Perang tak boleh terjadi, apalagi dilakukan sesama
orang Pajajaran?" kata pangeran itu.
"Lalu bagaimana tindakan kita, Ayahanda?" tanya
Banyak Angga. Pangeran Yogascitra berpikir sejenak. Dia menerawang
ke langit-langit, lalu menatap Ginggi.
"Kau lanjutkan dulu perintah Ki Banaspati. Serahkan
kotak surat pada Pangeran Jaya Perbangsa. Aku ingin teliti,
apakah benar dia terlibat pemberontakan?" Pangeran
Yogascitra melirik pada putranya, "Kau dan Purbajaya
kawal anak muda ini. Datanglah malam ini juga ke puri
Jaya Perbangsa. Selagi anak muda itu menyerahkan surat,
kau sembunyi di luar, dan kau Ginggi, aku ingin tahu
sejauh mana kau ingin bantu aku, maksudku, sejauh mana
kau ingin menghindari pertumpahan darah seperti yang aku
juga pikirkan. Kalau jalan pikiranmu sama denganku, kau
tentu mau membantu," kata pangeran itu menoleh pada
Ginggi. "Saya siap membantu, Pangeran?" ucap Ginggi
mengangguk. Jagabaya dipanggil dan pintu jeruji dibuka. Ginggi
berdiri dan melangkah keluar dari pintu tahanan. Dadanya
masih terasa sakit karena luka dan tubuhnya pun lemah-
lunglai. "Tubuhmu terserang racun. Tapi itu menolong
kecurigaan kami akan keterlibatanmu, Ginggi," kata
Purbajaya di tengah jalan menuju puri Jaya Perbangsa.
"Benar kecurigaan kami berkurang. Kotak itu dipasangi
senjata rahasia agar orang yang tak tahu dan berniat
membukanya akan mati kena racun. Ini hanya menandakan
kau memang tidak terlibat. Tapi aku sendiri masih bingung
dengan sikapmu. Sepertinya kau tengah bimbang kau mesti
berpihak ke mana," kata Banyak Angga.
"Dulu saya bimbang, tapi setelah saya teliti kesana-
kemari, saya sudah bisa ambil keputusan," jawab Ginggi.
"Apa keputusanmu?"
"Saya tidak akan ikut kemana-mana," jawab Ginggi.
"Termasuk membela negara?"
"Ini bukan pertentangan antara negara dan pemberontak,
melainkan pertentangan orang-orang yang ingin menguasai
negara," jawab Ginggi.
"Mungkin begitu, tapi apa pun yang terjadi, negara tetap
dalam bahaya dan semua orang harus mau
mempertahankan negara," kata Banyak Angga.
"Pendapatmu sama dengan saya. Maka untuk itulah saya
pun berusaha mencegah terjadinya pertumpahan darah,"
kata Ginggi. Tiba di depan benteng puri, Banyak Angga dan
Purbajaya memisahkan diri. Mereka naik ke benteng lewat
jalan samping dan menghindari pertemuan dengan para
jagabaya puri tersebut. Sedangkan Ginggi masuk puri secara
baik-baik. "Tapi Juragan Jaya Perbangsa sedang tak ada, Raden?"
kata penjaga.
Senja Jatuh Di Pajajaran Karya Aan Merdeka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Beliau sedang ke mana?" tanya Ginggi agak kecewa.
"Juragan dipanggil Sang Prabu malam ini juga. Rupanya
ada sesuatu kepentingan mendadak," ujar jagabaya.
"Begitu pentingkah kehadiranmu malam ini, Raden?"
tanyanya kemudian. Ginggi tak menjawab, sebab hatinya
tengah berpikir-pikir tentang maksud pertemuan pangeran
itu dengan Sang Prabu. Namun ketika dia sedang termangu, dari jauh ada bunyi
suara ketoplak kaki kuda. Ginggi menoleh ke belakang.
Yang datang ternyata Pangeran Jaya Perbangsa, berjalan
lambat-lambat dan dikawal empat orang prajurit bersenjata
dengan obor di tangan masing-masing.
"Siapa itu?" tegur bangsawan muda berkumis tipis ini.
"Oh, aku kenal kau. Bukankah engkau calon ksatria dari
puri Yogascitra, bukan?" kata pangeran itu dengan nada
sedikit mengejek yang Ginggi tak tahu apa maksudnya.
"Ada yang akan saya sampaikan. Dan ini sangat penting.
Bolehkah saya masuk?" kata Ginggi.
Pangeran Jaya Perbangsa menatap sejenak, namun
kemudian mengangguk kendati penuh hati-hati.
Ginggi diterima di sebuah kamar tertutup. Ketika dia
baru saja duduk bersila, di atas sirap terdengar sedikit
gerakan. Pelahan saja tapi Ginggi tahu ada dua benda berat
bertengger di sana. Ginggi khawatir akan kecerobohan dua
orang temannya itu. Bagi penilaian Ginggi, gerakan mereka
masih kasar. Kalau Pangeran Jaya Perbangsa memiliki
kepandaian tinggi, mereka pasti mudah diketahui.
"Ada keperluan apakah Pangeran tua yang setia itu
mengutusmu, hei ksatria!" kata Pangeran Jaya Perbangsa
masih dengan nada sedikit mengejek. Namun bagi Ginggi
sepertinya orang ini memperlihatkan dirinya bahwa dia tak
senang terhadap Pangeran Yogascitra. Dan ini sedikit lebih
meyakinkan dirinya pula bahwa bangsawan muda yang
gagah ini punya hubungan dengan Ki Banaspati.
"Saya datang ke sini bukan atas suruhan Pangeran
Yogascitra," kata Ginggi pendek. Namun begitu mendengar
penjelasan ini, pangeran muda itu membelalakkan kedua
belah matanya. "Kau"siapa engkau sebenarnya?" tanyanya sedikit
heran. "Namaku Ginggi!" kata lagi pemuda itu pendek tapi
matanya tajam menatap Pangeran JayaPerbangsa.
"Maksudku, bukankah engkau orang dari puri
Yogascitra?" tanya lagi bangsawan itu.
"Segalanya bisa terjadi, Pangeran. Bukankah Pangeran
Yogascitra pun sampai saat ini selalu menganggap
Pangeran Jaya Perbangsa sahabat baiknya?" kata Ginggi
sedikit menyindir sehingga membuat wajah pangeran muda
itu sedikit memerah. "Ya, segalanya bisa terjadi dalam meniti perjuangan.
Kau diutus oleh siapakah dan dalam urusan apakah?" tanya
lagi Pangeran Jaya Perbangsa.
"Ini!" Ginggi langsung menyerahkan kotak surat yang
engselnya sudah kembali terkunci. Pangeran Jaya
Perbangsa menerima kotak surat itu. Dan dia terkejut
menerimanaya. "Kau utusan Ki Banaspati, anak muda?"
tanyanya. Tapi Ginggi hanya mengangguk pelan. "Perlu dibuka
hari ini juga?" "Terserah Pangeran?" kata Ginggi.
Bangsawan itu berjingkat dulu dan membuka sebuah
lemari kayu berukir indah. Dari dalam lemari dia keluarkan
semacam baju zirah, yaitu pakaian terbuat dari logam
menyerupai sisik-sisik ikan. Ginggi terkejut sekali. Bila
begitu rahasia dirinya akan terbongkar. Dengan sedikit
berdebar, Ginggi menyaksikan pangeran itu mencoba
membuka engsel dengan amat hati-hati. Wajahnya sedikit
dijauhkan sepertinya tengah bersiap menjaga kemungkinan.
Namun ketika engsel terbuka dan kepala pangeran itu sigap
menghindar dengan cara miringkan wajah ke samping,
tidak terjadi sesuatu. Pangeran Jaya Perbangsa menatap penuh selidik pada
Ginggi. "Ada apakah, Pangeran?" tanya Ginggi ingin segera tahu
pikiran apa yang terkandung dibenak bangsawan ini. "Ada
dua kumungkinan kotak ini memberi tahu padaku.
Pertama, kau membohongiku dan kedua kau berkhianat!"
kata Pangeran Jaya Perbangsa pendek.
"Mengapa begitu?"
"Ki Banaspati setiap mengirim surat dalam kotak
tertutup, selalu dipasangi jebakan. Orang yang sembrono
membuka kotak surat akan mati seketika karena serangan
senjata rahasia. Sekarang kotak sudah tanpa jebakan.
Artinya kotak sudah ada yang buka !" kata Pangeran Jaya
Perbangsa. "Saya yang membuka!" gumam Ginggi pendek.
"Kalau begitu kau harus mati! Kau pengkhianat!" seru
bangsawan muda pemarah itu sambil melancarkan pukulan
dengan tangan kanan terkepal. Pukulan itu lurus ke depan
mengarah jidat Ginggi. Namun dalam pandangan pemuda
itu, gerakannya terlihat lamban dan mudah diikuti mata,
sehingga dengan entengnya Ginggi menangkap pergelangan
tangan bangsawan itu dengan tangan kirinya.
Pangeran Jaya Perbangsa kembali melayangkan pukulan
dengan tangan kiri dan ditepis dengan baik oleh tangan
kanan Ginggi. Nampak bangsawan itu meringis karena
tangkisan Ginggi. "Aku tangan kanan Ki Banaspati, sudah barang tentu
harus tahu segala gerakan yang ada!" kata Ginggi masih
memegang pergelangan tangan bangsawan itu sehingga dia
kian meringis saja. "Tapi kau melanggar perintah Ki Banaspati!" kata
Pangeran Jaya Perbangsa mencoba melepaskan tangannya
tapi tetap tak kuasa. "Tak ada yang kulanggar. Surat itu sudah sampai di sini
seperti apa yang diinginkan Ki Banaspati," kata Ginggi.
"Ya, tapi kau membukanya!"
"Ki Banaspati tak melarangku untuk membukanya, sebab
kalau aku tak punya kepandaian, biar disuruh buka pun aku
tak akan mampu membacanya karena keburu mati!" kata
Ginggi sambil merasakan sakitnya di dada yang terasa
berdenyut-denyut. Hatinya sedikit malu ketika bicara
begitu, sebab kalau tak segera diobati penghuni puri
Yogascitra barangkali nyawanya sudah melayang karena
racun dalam jebakan kotak surat itu.
Tapi mendengar ucapan Ginggi, Pangeran Jaya
Perbangsa sepertinya memaklumi. Buktinya dia tak
bertahan lagi memaksakan pendapatnya. Ginggi pun segera
melepaskan pegangan tangannya.
"Saya ingin bertanya, bagaimana persiapan di sini dalam
menyambut hari penting itu," tanya Ginggi sesudah
Pangeran Jaya Perbangsa membaca dan mengartikan
makna sandi surat itu. Bangsawan itu menatap Ginggi sejenak. Tapi karena
Ginggi balik menatap tajam, dia mau juga bicara.
"Semua sudah aku kerjakan sesuai perintah Ki
Banaspati, Pakuan harus dikosongkan dari kekuatan
perwira?" Berdebar hati Ginggi mendengarnya.
"Itu akan disampaikan pada Ki Banaspati. Tapi coba
jelaskan keadaan di Pakuan secara utuh sehingga saya bisa
melaporkannya dengan sempurna kepada Ki Banaspati,"
kata Ginggi. Seperti seorang bawahan lapor pada atasan, Pangeran
Jaya Perbangsa menerangkan persiapan yang dilakukannya
di Pakuan. Kata bangsawan ini, semua orang sudah siap
menunggu komando. Jadi, bila saatnya tiba, mereka akan
membantu bergerak dari dalam.
"Secara kebetulan sekali malam ini aku dipanggil
menghadap Sang Prabu. Dalam uraiannya dia ingin minta
pendapat pada Pangeran Yogascitra perihal 15 pewira
kerajaan yang menuju Puncak Cakrabuana lebih dari dua
tahun silam. Ini karena ada pertanyaan dari perwira
lainnya, mengapa nasib 15 perwira yang diutus mengejar
buronan Ki Darma Tunggara tidak pernah diperhatikan.
Kelimabelas perwira itu hingga kini belum kembali dan tak
ada khabar beritanya. Beberapa perwira tua ingin tahu,
apakah kelimabelas orang rekannya berhasil menangkap Ki
Darma atau tidak. Kalau berhasil, mengapa tak pernah
pulang dan kalau gagal, apakah mereka tewas atau
bagaimana?" "Teruskan?" kata Ginggi dengan nada suara diusahakan
biasa, padahal dadanya bergetar hebat.
"Aku katakan, tak perlu minta pertimbangan Pangeran
Yogascitra sebab bangsawan tua itu kalau berpikir terlalu
bertele-tele dan rasa hati-hatinya terlalu berlebihan. Jangan
biarkan para perwira kerajaan goncang. Limabelas perwira
yang hilang harus dicari. Aku sarankan agar dikirim lagi
pasukan kecil terdiri dari perwira tangguh. Mereka harus
ditugaskan mencari dan menyelidiki perihal raibnya rekan-
rekan mereka. Aku beri susunan dan daftar para perwira
yang bisa dipercaya melakukan tugas ini. Hahaha ! Sepuluh
perwira tangguh siap diberangkatkan besok subuh !"
Pangeran Jaya Perbangsa tertawa terbahak-bahak.
"Mengapa mereka harus pergi sekarang juga?" tanya
Ginggi. "Itulah taktik mengundang harimau keluar sarang,
sehingga dengan amannya kita bisa memasuki sarang
mereka!" kata Pangeran Jaya Perbangsa bangga dengan
jalan pikirannya. "Para perwira yang aku tawarkan pada
Sang Prabu adalah perwira-perwira setia pada Raja yang
sulit diajak kerja sama. Jadi, biarkan mereka jauh dari
Pakuan di saat dayo ini diserbu pasukan dari timur!" kata
bangsawan ini. "Tapi sepuluh perwira itu kemungkinan ketemu di jalan
dengan pasukan dari timur!" kata Ginggi.
"Hahaha! Biarkan saja. Mereka akan berpapasan dan
dibantai pasukan. Kekuatan perwira Pakuan akan utuh bila
digabung sebab semuanya mahir ilmu pertempuran. Tapi
bila dipecah-pecah seperti itu, perlawanan mereka tak ada
artinya! Hahaha!" Pangeran Jaya Perbangsa nampak
gembira sekali. "Jalan pikiran Pangeran amat cerdik. Tak percuma Ki
Banaspati menugaskanmu di Pakuan. Tapi, apakah para
pembantu Ki Banaspati lainnya sama cerdiknya dengan
engkau, Pangeran?" tanya Ginggi lagi.
"Hahaha! Semua bisa dipercaya!"
"Saya pun harus mengenali mereka, sebab dalam hari
penting saya ada di Pakuan, jangan biarkan saya keliru
memilih lawan!" kata Ginggi lagi.
"Nanti kau pun akan tahu?" kata Pangeran Jaya
Perbangsa masih tersenyum. Ginggi sebetulnya penasaran
ingin mengorek keterangan lagi. Tapi kalau terlalu
mendesak, dikhawatirkan pangeran itu akan curiga.
"Kalau begitu baiklah. Saya mohon diri sebab tidak baik
kalau terlalu lama di sini?" gumam Ginggi sambil mohon
diri hendak meninggalkan ruangan iu.
Ginggi berjalan keluar puri, mohon diri untuk pulang
kepada para jagabaya yang menjaga gerbang. Tapi tiba di
sebuah jalan berbalay, sudah ada dua orang menunggu.
Mereka adalah Banyak Angga dan Purbajaya.
"Keparat Jaya Perbangsa?" desis Banyak Angga.
"Ya"begitulah seperti yang kalian dengar tadi," gumam
Ginggi. "Setelah ini, kita bagaimana?" tanyanya kemudian.
"Kita lapor pada Ayahanda!" ajak Banyak Angga. Semua
setuju untuk kembali ke puri Yogascitra.
Demi mendengar laporan ini, Pangeran Yogascitra
nampak pucat wajahnya. "Tidak sangka Jaya Perbangsa yang selama ini baik
padaku bertindak sehina ini?" gumamnya memendam
kesedihan. "Tapi bukankah hampir semua orang sekarang bertindak
begitu?" tanya Ginggi. Turun naik dada pangeran tua itu
ketika Ginggi berkata begitu.
"Kita boleh mengeluarkan panca-Parisuda (kritik dan
teguran) seperti apa yang tersirat dalam Kitab Sanghyang
Siksakandang Karesian, tapi tak dibenarkan melakukan
pemberontakan!" kata Pangeran Yogascitra tegas.
"Tapi Ki Darma Tunggara yang melakukan kritik tetap
dianggap memberontak. Sehingga pada akhirnya, apakah
itu terang-terangan kepada Raja atau hanya sekadar
melontarkan panca-parisuda, kalau membuat Raja marah,
tetap akan dituding pengkhianat dan pemberontak. Maaf
Pangeran, dalam pertemuan beberapa hari lalu di puri ini,
Pangeran bersedia melakukan upaya perbaikan di istana. Itu
artinya, Pangeran akan secara langsung berhadapan dengan
Sang Prabu. Pangeran akan mengoreksi tindakan Raja.
Kalau sudah begitu apa bedanya dengan semua orang,
dengan tindakan Ki Darma juga misalnya" Bukankah pada
akhirnya Pangeran juga sama-sama memberontak dalam
pandangan Sang Prabu?" Tanya Ginggi menggebu.
"Aku tidak akan memberontak!"
"Tapi Ki Darma tetap dituduh memberontak!"
"Aku tak menuduh Ki Darma memberontak!"
"Mengapa sampai sekarang dia tetap dikejar" Mengapa
semua prepantun mengolok-olok dan mengejeknya"
Mengapa?" tanya Ginggi lagi kian menggebu.
"Ginggi! Ada apa secara tiba-tiba kau seperti membela Ki
Darma?" teriak Pangeran Yogascitra.
"Karena saya murid Ki Darma!" Ginggi balik berteriak.
Terhenyak semua orang mendengar pengakuan ini.
Pangeran Yogascitra bahkan tak terasa mundur setindak.
"Ya, saya murid Ki Darma!" kata Ginggi lagi.
"Barangkali saya akan ditangkap, sebab kata orang, setiap
yang memiliki hubungan dengan Ki Darma akan
disamakan kedudukannya sebagai pemberontak juga. Boleh
tangkap saya. Tapi sebelumnya akan saya buktikan bahwa
saya tidak melakukan pemberontakan, sama seperti apa
yang dilakukan Ki Darma belasan tahun silam. Dan
Bahkan sama dengan tindakan Pangeran Yogascitra yang
Senja Jatuh Di Pajajaran Karya Aan Merdeka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
melakukan panca-parisuda tapi bukan melawan Raja" kata
Ginggi lagi menatap tajam.
Pangeran Yogascitra termenung mendengar kata-kata
pemuda itu, demikian pun yang lainnya.
"Aku sudah katakan tadi, tidak pernah menuduh Ki
Darma sebagai pemberontak. Tapi harap kau tahu, Sang
Prabu Ratu Sakti banyak dikelilingi para pembantunya dan
gagasan serta jalan pikirannya bermacam-macam. Kalau
ada orang yang merasa tak senang dengan tindak-tanduk Ki
Darma, maka rasa tak senangnya itu dipengaruhkannya
pada Sang Prabu agar beliau membuat keputusan-
keputusan tertentu," gumam Pangeran Yogascitra dengan
nada pemuh sesal. Ginggi hanya terlihat mematung dengan napas sedikit
ditahan-tahannya. "Kau tanyalah anakku, bagaimana sikapnya terhadap Ki
Darma. Dia tak mengenal orang tua gagah itu secara
pribadi, sebab Banyak Angga masih terlalu kecil saat itu.
Tapi anakku sudah punya pandangan tersendiri pada Ki
Darma," kata Pangeran Yogascitra sambil menoleh pada
Banyak Angga yang duduk bersila dengan wajah muram.
"Sekarang ini dunia terbalik. Orang yang menyayangi
dengan memberinya kritik dikesampingkan dan dibenci,
tapi yang menjilat dan mencari muka dihargai. Saya
mempelajari kehidupan Ki Darma sejak mulai beliau
sebagai anggota Seribu Pengawal Raja sampai menjadi
buronan yang harus dikejar. Tak ada arang tercoreng di
wajahnya, sebab apa yang beliau lakukan, semuanya demi
nama baik bangsa dan negara. Hanya karena sikap
penguasa yang tak senang padanya saja yang menyebabkan
dia dicap sebagai pemberontak," kata Banyak Angga
sungguh-sungguh. "Ki Darma seorang gagah. Dia patriotik sejati. Tapi
kedudukan kami lemah sehingga sulit mempengaruhi Raja
untuk tidak membencinya?" Purbajaya ikut bicara.
Ginggi sangat terharu dengan sikap-sikap mereka ini.
Setidaknya Ginggi tahu, tidak semua orang menuduh buruk
terhadap Ki Darma. "Terima kasih bahwa di puri ini saya mendapatkan
kebahagiaan," kata Ginggi dengan nada bergetar.
"Percayalah pada saya, bahwa saya juga sependapat dengan
orang yang ada di sini. Saya benci kekerasan dan saya tak
menghendaki adanya pemberontakan," katanya lagi.
"Baik, kami semua percaya padamu. Karena kau lebih
banyak tahu dari pada kami perihal rencana
pemberontakan, maka sebaiknya kau bantu kami
memecahkan cara dalam mencegah pemberontakan ini,"
kata Pangeran Yogascitra.
Ginggi tak menjawab. Tapi karena Pangeran Yogascitra
mulai duduk kembali sambil bersila, Ginggi pun ikut
bersila. "Didayo (ibukota) ini saya melihat sudah banyak
perbedaan pendapat. Di luar Pakuan lebih parah dari itu,
sebab banyak orang tak menyukai Raja," kata Ginggi, "Saya
tidak akan berpihak ke mana pun sebab mana benar mana
salah, semuanya sudah bergalau menjadi satu. Tapi satu hal
yang akan saya kerjakan di sini, saya akan coba
menggagalkan perumpahan darah. Saya tak ingin beda
pendapat di antara orang-orang yang mementingkan
kedudukan mengikut sertakan rakyat dan rakyat menjadi
korban kepentingan mereka," kata Ginggi lagi menatap
Pangeran Yogascitra. "Pendapatmu aku hargai, anak muda," sambut
bangsawan itu. "Namun bagaimana caranya agar
pertempuran tidak terjadi?" tanyanya kemudian.
Baik Banyak Angga mau pun Purbajaya sama-sama
menatap padanya. Ginggi mengerutkan dahi sebab dia pun masih bingung
bagaimana caranya mencegah pertempuran.
"Menahan perjalanan mereka sudah tak mungkin sebab
hari ini hampir setengah perjalanan mereka lakukan,"
gumam Ginggi. "Lebih baik biarkan saja mereka memasuki
Pakuan," lanjutnya. Semua orang menatap dirinya.
"Tapi kekuatan Pakuan harus tetap utuh. Untuk itu harus
ada yang segera menghubungi Raja agar membatalkan
pengiriman sepuluh perwira menuju timur. Perkiraan
Pangeran Jaya Perbangsa harus kita kuatirkan. Dia yang
melahirkan gagasan agar sepuluh perwira andalan
meninggalkan Pakuan. Pertama disengaja agar tidak bisa
menjaga Pakuan dan keduanya diharapkan sepuluh perwira
berpapasan dengan pasukan penyerbu untuk kemudian
dibantai," kata Ginggi merenung lagi. "Adakah yang
sanggup menghadap Raja?" tanyanya.
"Kapan kesepuluh perwira akan berangkat tugas?" tanya
Pangeran Yogascitra. "Saya dengar subuh hari ini mereka akan berangkat,"
kata Banyak Angga. "Ya, benar"subuh ini!" sambung Ginggi.
"Kita tak bisa begitu saja mencegat para perwira agar tak
jadi berangkat. Segalanya harus berdasarkan titah Raja.
Sedangkan kapan kita bisa menghadap Raja, rasanya tak
ada waktu lagi," Pangeran Yogascitra mengerutkan dahi.
"Bagaimana kalau tak melalui Raja. Kita langsung
menghubungi para perwira saja dan kita katakan perihal
bahaya penyerbuan ini," Banyak Angga mengajukan usul.
"Hati-hati. Jangan-jangan ini malah lebih berbahaya.
Kau mungkin dengar ucapan Pangeran Jaya Perbangsa tadi,
bahwa di Pakuan sudah banyak kaki-tangan Ki Banaspati.
Tapi, siapa saja mereka, kita tidak diberi tahu. Kalau kita
salah menghubungi, malah kita seolah menyerahkan nyawa
pada mereka," kata Ginggi mengingatkan. Purbajaya
membenarkan ucapan Ginggi ini.
"Jadi bagaimana baiknya?" tanya Banyak Angga
bingung. "Lebih baik kita cegat saja kesepuluh perwira yang
sedianya akan melakukan perjalanan ke timur. Kita
khabarkan mara-bahaya yang tengah mengancam Pakuan.
Saya yakin, mereka mau percaya dan mengurungkan
perjalanan. Tapi yang harus menghubungi mereka haruslah
Pangeran sendiri," kata Ginggi.
Pangeran Yogascitra setuju, sebab mungkin para perwira
hanya percaya padanya saja.
"Kalau begitu aku harus siap-siap menghubungi mereka,"
tutur Pangeran Yogascitra sungguh-sungguh, "Tapi semua
pun harus membagi tugas," lanjutnya.
"Saya akan membayangi Pangeran Jaya Perbangsa," kata
Banyak Angga. Ginggi menatapnya, khawatir pemuda itu
bertindak sembrono. "Saya hanya akan kembali pada Ki Banaspati untuk
menyelidik gerakannya," tutur Ginggi.
"Akan saya pikirkan apa yang mau saya kerjakan. Saya
ingin tahu siapa kaki-tangan Ki Banaspati di Pakuan ini,"
gumam Purbajaya. (O-anikz-O) Purbajaya, dari Kelompok Mana"
Percakapan berhenti sampai di situ sebab Pangeran
Yogascitra harus sudah bersiap-siap keluar puri.
Hari belumlah subuh, tapi pangeran tua ini perlu
berkemas mempersiapkan sesuatu. Sedangkan Ginggi
segera mohon diri sebab kantuk sudah demikian
menyerangnya, apalagi tubuhnya masih terasa lemah
karena luka-luka di tubuhnya.
Namun ketika pemuda itu tiba di bangunan di mana dia
menginap, darahnya berdesir cepat manakala di sudut
ruangan ada satu tubuh membayang.
"Ki Banaspati?" gumam Ginggi setengah berdesis saking
kagetnya. Ginggi menahan napas dan mencoba bersiap
memusatkan tenaga menjaga kalau-kalau Ki Banaspati
melakukan penyerangan. Namun apa yang dikhawatirkan
ternyata tak terjadi. Ki Banaspati malah mendekatinya.
"Tiga hari yang akan datang waktu yang baik untuk
melakukan tugasmu," kata Ki Banaspati.
"Tugasku yang mana?" tanya Ginggi berdebar.
"Membunuh Raja!"
"Membunuh Raja?"
"Ya! Sang Prabu akan mandi suci tepat di pagi hari, di
Telaga Rena Maha Wijaya. Oranglainnya yang sama-sama
harus kau bunuh juga ada di telaga."
"Pangeran Yogascitra?"
"Benar!" "Akan begitu banyak pengawal di sana. Aku pasti
kesulian melakukan tugas itu!" kata Ginggi.
"Hm! Kau meremehkan gerakanku. Ketahuilah, lebih
dari setengah pengawal Raja adalah anak buah Ki Bagus
Seta tapi kini sudah berada di bawah komandoku," kata Ki
Banaspatipasti. Ginggi terkejut mendengarnya.
"Ki Bagus Seta bagaimana?"
"Dia sudah tak bisa diharapkan. Ki Bagus Seta sakit
parah!" jawab Ki Banaspati pendek.
Ginggi mengerutkan dahi. "Dia sudah jadi orang yang
tak berguna. Tinggal kita berdua yang masih bisa
melaksanakanamanat Ki Guru," desis Ki Banaspati.
"Camkan itu," sambungnya.
"Tapi apakah pelaksanaan tugasku masih berada di
bawah ancamanmu?" tanya Ginggi menatap tajam.
"Ya, sebab nyawamu dan nyawa Ki Rangga Guna masih
amat bergantung pada sejauh mana kesetiaanmu pada
perjuangan ini!" jawab Ki Banaspati tegas.
"Ingat, tiga hari lagi, pagi-pagi di Telaga Rena Maha
Wijaya!" desisnya lagi. Dan Ki Banaspati segera berlalu.
Dia meloncat dari jendela, menghilang di kegelapan.
Tinggallah Ginggi sendirian, merenung jauh dengan pikiran
gundah. Kekuatan Ki Banaspati ternyata sudah benar-benar
sempurna. Dia sudah memiliki jaringan dimana-mana,
termasuk di sekitar pengawal Raja sendiri. Ginggi harus
semakin berhati-hati tinggal di Pakuan ini. Ada dua
kekuatan besar akan saling beradu. Satu kekuatan
pendukung Raja dan satunya lagi yang akan menggulingkan
Raja. Kedudukan Ginggi seolah ada di tengah dan sedang
diperebutkan. Bila salah satu kekuatan tahu dia memilih
salah satunya, maka kedudukan Ginggi akan berbahaya.
Pangeran Yogascitra kendati ada rasa kecewa terhadap
kebijaksanaan Raja namun tak berniat menggulingkannya.
Dan Ini Ginggi masukkan sebagai kelompok pendukung
Raja. Namun yang lebih berbahaya adalah kelompok Ki
Banaspati. Mereka jelas-jelas niatnya memberontak dan
akan merebut kekuasaan. Gerakan ini membahayakan
keselamatan rakyat, juga dirinya sendiri, sebab kini Ginggi
berada di bawah ancaman mereka. Ki Banaspati kerapkali
melakukan penekanan, kalau Ginggi tak mau
membantunya, maka selain Ki Rangga Guna akan dibunuh,
juga dirinya akan diumumkan sebagai pengikut Ki Darma
yang pada akhirnya akan ikut dikejar-kejar juga.
Tapi untuk yang kesekian kalinya Ginggi pun jadi ingat
ucapan Ki Banaspati. Bahwa untuk mencapai kepentingan
yang lebih besar, nyawa satu orang apalah artinya. Kalau
Ginggi harus ikut pendapat ini, Ginggi pun perlu
mengorbankan satu orang yaitu Ki Rangga Guna. Tegakah
dia membiarkan orang tua itu dibunuh pasukan Sunda
Sembawa" Kemudian kalau bertahan menyelamatkan
nyawa Ki Rangga Guna, beranikah mengorbankan orang
banyak dalam kancah peperangan besar"
Ginggi pusing memikirkannya. Pertimbangan seperti ini
sebetulnya tidak diketahui oleh Ki Darma. Kata Ki Darma,
terlalu banyak memikirkan untung-rugi pada akhirnya
hanya akan melahirkan kerugian saja. Hanya karena tak
mau membunuh harimau, maka pada akhirnya Ginggi
menjadi mangsa harimau itu sendiri.
"Untuk mencapai satu tujuan yang lebih penting, engkau
harus bisa mengeraskan hati untuk membuat satu putusan!"
kata Ki Darma ketika di Puncak Cakrabuana.
"Ya, aku memang lemah! Aku berjiwa lemah!"
gumamnya seorang diri. Sampai kokok ayam bersahutan,
Ginggi masih gundah-gulana, sehingga pada saat matahari
hampir muncul saja dia bisa tidur.
Ginggi bangun sesudah matahari agak tinggi. Itu pun
karena Purbajaya datang memanggilnya.
"Ada hal yang penting, Raden?" tanya Ginggi mengucak
kedua matanya karena masih pedih.
"Ya, ada sesuatu yang amat penting menyangkut
dirimu," kata Purbajaya.
Ginggi memandang pemuda itu penuh perhatian.
"Kau mandilah dulu!" kata lagi Purbajaya.
Ginggi segera pergi membersihkan badan sehingga
kesegarannya kembali pulih.
Muncul lagi ke ruangan di mana Purbajaya berada
dengan menggunakan pakaian santana, yaitu baju kurung
warna biru tua terbuat dari kain halus buatan negri Cina.
Ornamen warna emas melingkari kain di pergelangan
tangannya. Ginggi pun mengenakan ikat kepala dari kain
batik hihinggulan, Dia sekarang sudah mengerti cara berpakaian,
bagaimana etika di Pakuan ini, dia harus atur.
"Bagaimana, Raden?" tanyanya ketika sudah berada di
hadapan Purbajaya. "Engkau dipanggil menghadap ke balai penghadapan
Raja," kata Purbajaya.
"Maksudmu, aku dipanggil Sang Prabu?" tanya Ginggi
heran. Pemuda di hadapannya mengangguk.
"Ada keperluan apakah?"
"Mungkin berkaitan dengan pengetahuanmu perihal
gerakan pasukan dari timur," jawab Purbajaya.
Ginggi merenung dalam. "Sepuluh perwira yang akan berangkat ke Puncak
Cakrabuana berhasil dibatalkan. Tapi Raja perlu
mendapatkan keterangan lebih seksama. Itulah sebabnya
Senja Jatuh Di Pajajaran Karya Aan Merdeka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kau dipanggil menghadap," kata pemuda itu dengan nada
datar saja. "Sekarang?" "Sekarang?" "Mari," kata Ginggi. "Tapi sebelumnya, ada sesuatu yang
akan aku tanya padamu, Raden, kalau-kalau engkau
mengetahuinya?" kata Ginggi menunggu.
"Soal apa?" Purbajaya menoleh.
"Sejauh mana kebencian orang-orang Pakuan terhadap
Ki Darma?" tanya Ginggi.
"Tidak semua orang membenci Ki Darma. Sebagian
besar anggota Seribu Pengawal Raja bahkan tidak
merasakan bahwa Ki Darma memiliki kesalahan. Sekurang-
kurangnya itu yang aku dengar di kalangan para perwira.
Tapi Sang Prabu kurang gemar menerima kritik. Dia
terlanjur dinina-bobokan oleh pembantu-pembantunya yang
penjilat. Karena hasutan-hasutan merekalah maka Raja
memutuskan Ki Darma harus diperlakukan sebagai
pengkhianat, sehingga diburu dan dikejar," kata Purbajaya.
"Betulkah sekitar dua tahun lalu ada pengejaran ke
Puncak Cakrabuana?" "Betul. Itu karena ada khabar yang sampai ke telinga
Sang Prabu bahwa Ki Darma bersembunyi di sana. Raja
semakin yakin bahwa Ki Darma berlaku sebagai
pengkhianat setelah dia berada di Cakrabuana," kata
Purbajaya. "Mengapa begitu?" tanya Ginggi heran.
"Raja tahu, di Cakrabuana tersimpan sebuah tombak
pusaka bernama Cuntang Barang."
Ginggi mengernyitkan dahinya, "Saya tak mengerti.
Cobalah terangkan lebih rinci," pinta Ginggi. Dan
kemudian Purbajaya menerangkan, bahwa dulu puluhan
taun silam seorang bangsawan dari Karatuan Talaga
bernama Pangeran Aria Saringsingan memiliki benda
pusaka sebuah tombak dan diberi nama Cuntang Barang.
Tapi pada tahun 1530 Karatuaan Talaga diserbu Cirebon,
sehingga takluk dan mentaati keinginan pihak penyerbu
agar beralih agama. Banyak pusaka Karatuan Talaga
diboyong ke Cirebon, tapi beberapa di antaranya berhasil
dilarikan para perwira yang tidak mau takluk pada agama
baru. Salah seorang perwira Karatuan Talaga yaitu Dita
Jayarasa berhasil membawa kabur tombak Cuntang Barang
yang khabarnya disembunyikan di Puncak Cakrabuana.
Semua orang pernah mencarinya, termasuk Pasukan
Cirebon, tapi tidak siapa pun bisa menemukannya. Baik
Perwira Dita Jayarasa mau pun tombak pusaka, sepertinya
hilang ditelan bumi. "Semua pihak merasa perlu memiliki benda pusaka itu.
Cirebon memerlukanya sebagai tanda Talaga resmi berada
di bawah kekuasaannya. Dan Pakuan malah merasa bahwa
itu barang milik Pakuan sebagai simbol pemeluk agama
lama," kata Purbajaya.
Sang Prabu memaksakan diri mengirimkan limabelas
perwira kerajaan karena menganggap Ki Darma
bersembunyi di sana dengan maksud akan mencari benda
pusaka itu. Namun sampai dua tahun tugas mencari Ki
Darma dan benda pusaka tombak Cuntang Barang tidak
berhasil dituntaskan. "Jangankan menangkap Ki Darma atau membawa benda
pusaka, bahkan kelimabelas perwira itu pun hingga kini
tidak diketahui nasibnya," ujar Purbajaya.
Selama Purbajaya berkata-kata, ingatan Ginggi malah
melayang ke belakang. Sepuluh tahun lebih bersama Ki
Darma, tidak sepatah-kata pun orang tua itu berbicara soal
benda pusaka. Tidak pula berusaha mencarinya. Ginggi
yakin, Ki Darma tidak begitu tertarik kepada berbagai
benda pusaka. "Kekuatan bukan pada benda pusaka, melainkan pada
diri manusia itu sendiri," kata Ki Darma ketika di Puncak
Cakrabuana. Hal ini dikemukakannya di sela-sela latihan
bela diri. Kata Ki Darma, kita berkelahi tak perlu
menggunakan senjata sebab tangan dan kaki kita sudah
merupakan senjata paling hebat bila kita tahu
menggunakannya. "Lihatlah, begitu gagah terjangan sang harimau, begitu
cepatnya gerakan ular mematuk. Mereka hebat, mereka
berbahaya, padahal tidak dibantu benda pusaka," kata Ki
Darma ketika itu. "Ki Darma tidak butuh benda pusaka," gumam Ginggi.
"Pangeran Yogascitra pun pernah mengatakan demikian,
dalam sepak terjangnya melawan musuh, Ki Darma tak
pernah menggunakan senjata apa pun. Jadi beliau pun tak
percaya Ki Darma pergi ke Puncak Cakrabuana hanya
karena butuh benda pusaka. Pangeran menduga, kalau pun
Ki Darma datang ke Cakrabuana karena urusan benda
pusaka, bukan ingin memilikinya, melainkan akan
menjaganya. Kata Pangeran Yogascitra, kendati Ki Darma
tak senang menggunakan senjata, tapi dia amat
menghormati kepada simbol-simbol kenegaraan. Maka Ki
Darma pun pasti hormat pada barang yang bernama
pusaka," kata Purbajaya.
"Ya"sayang mengabdi kepada Raja yang buruk,
sehingga benda pusaka seperti tak ada harganya?" gumam
Purbajaya lagi. Ginggi melirik pada pemuda itu, namun Purbajaya tidak
melihatnya. "Mari?" ajak Ginggi sambil bangun berdiri. Purbajaya
pun ikut berdiri sambil membenahi ikatan kainnya yang
kurang mengikat ketat pinggangnya.
Sambil memperbaiki ikat pinggang kain warna hitamnya,
pemuda itu menatap tajam Ginggi sambil bergumam,
"Kalau kau mampu, di balai penghadapan Raja inilah kau
laksanakan tugasmu itu!"
"Tugas apa?" tanya Ginggi heran.
"Membunuh Raja!" Darah di urat-urat nadi Ginggi
berdesir cepat. Bulu kuduknya pun mendadak berdiri.
Benarkah Purbajaya yang barusan bicara"
"Raden?" desis Ginggi dengan mata setengah
membelalak. "Aku dengar percakapanmu dengan Ki Banaspati tadi
malam," kata Purbajaya menatap tajam
Ginggi. "Kau dengar percakapan kami?"
"Ya"tapi jangan takut!" kata Purbajaya lagi, masih
menatap tajam Ginggi. "Engkau juga bersekutu dengan Ki Banaspati?" tanya
Ginggi kemudian. Tapi Purbajaya menggelengkan
kepalanya. Ginggi tambah heran. "Bila begitu, mengapa
engkau tak tangkap aku, sebab seharusnya kau akan
menuduhku berkomplot dengan Ki Banaspati," kata Ginggi.
Tapi Purbajaya hanya tersenyum tipis.
"Tak ada kepentingannya aku menangkapmu sebab aku
bukan orang pemerintah," jawab lagi pemuda itu, sehingga
untuk kesekian kalinya Ginggi merasa heran. "Hampir dua
tahun ini engkau mengabdi pada Pangeran Yogascitra.
Bahkan engkau pun sudah bisa keluar-masuk kadaton
(istana) karena kerapkali Sang Prabu mmbutuhkanmu,
Raden?" Untuk kesekian kalinya Purbajaya mengelengkan kepala
"Gerakan kita di Pakuan sebetulnya sama, yaitu
menyelundup untuk menyingkirkan Raja, kendati motifnya
mungkin berlainan," kata pemuda itu.
Ginggi masih menatapnya. "Tapi tak apa. Yang penting perjuangan kita sekarang
sama. Maka untuk sementara kita berdua bisa bahu-
membahu di Pakuan ini," kata lagi Purbajaya, "Kau
dipanggil Raja dan ini kesempatan paling baik. Kalau kau
melakukan tindakan membunuh Raja tidak akan begitu
sulit sebab hampir separuh pengawal yang bertugas hari ini
kesetiaannya sudah berpaling," ungkap pemuda itu, "Jadi
kalau kau lakukan tugas Ki Banaspati hari ini, setengah dari
pengawal Raja tidak akan menghambatmu kalau pun tidak
kusebut mereka malah membantumu?" kata Purbajaya
lagi. Termenung Ginggi mendengar penjelasan Purbajaya ini.
"Ketidaksenangan para pejabat Pakuan kini hampir-hampir
meningkat menjadi kebencian karena kekeliruan Raja. Dia
tetap bertahan dengan keinginan pribadinya, yaitu akan
mengawini Nyimas Layang Kingkin, yang padahal semua
orang sudah menganggapnya sebagai wanita larangan,"
kata Purbajaya. "Bukankah Raja sudah tak begitu percaya pada Ki Bagus
Seta?" tanya Ginggi.
"Bagi Raja, tak ada hubungannya antara cinta dan
politik. Barangkali Raja tak percaya pada Ki Bagus Seta
sebagai pejabat, tapi tidak sebagai mertua. Apalagi Ki Bagus
Seta sebenarnya pandai dan memikat dalam kata-kata. Raja
juga semakin mengukuhkan cita-citanya dalam
mempersunting Nyimas Layang Kingkin setelah merasa
gagal mendapatkan gadis yang dicintanya, yaitu Nyimas
Banyak Inten," kata Purbajaya. Dan ketika mengucapkan
nama gadis ini, wajahnya nampak kecut dan pahit.
Ginggi masih termangu-mangu setelah menyimak apa-
apa yang dikatakan pemuda itu. Dia akan berkata sesuatu,
tapi sepertinya Purbajaya tahu apa yang ada di benak
Ginggi. Dia memberi tanda agar Ginggi tak berkata apa
pun. "Jangan dulu tanya siapa aku sebenarnya?" kata
pemuda itu. Ginggi hanya menghela napas.
"Mari?" ajak Purbajaya, jalan di muka, Ginggi ikut di
belakangnya. (O-ani-kz-O) Selama hampir setahun berada di Pakuan, baru kali
inilah Ginggi akan berkunjung ke pusat pemerintahan.
Pemuda itu akan diterima Sang Prabu di Paseban Agung
atau Balai Penghadapan Raja. Itu adalah sebuah bangunan
bangsal yang cukup besar dan megah. Atapnya terbuat dari
kayu sirap hitam mengkilap. Lantainya juga terbuat dari
papan-papan kayu jati buatan Borneo, hitam kecoklat-
coklatan dan amat halus serta mengkilap juga. Di beberapa
bagian sudut, atap itu ditopang tiang-tiang kayu jati
gelondongan membentuk pilar berukir indah dan halus
buatannya. Pilar-pilar kayu jati sebagai pengusung atap sepertinya
menguasai bangunan-bangunan megah di Kadaton Pakuan
ini. Ginggi pernah mendengar bahwa Raja beserta kerabat
dekatnya dan termasuk juga permesuri, para selir dan putra-
putrinya, tinggal di kadaton megah bernamaSri Bima Punta
Narayana Madura Suradipati, dibangun oleh Sang Prabu
Tarusbawa raja Keraajaan Sunda yang pertama (670-723
Masehi) lebih dari 800 tahun lalu. Istana ini terdiri dari
bangunan megah besar berjajar sebanyak lima buah.
Semuanya menghadap ke sebuah halaman luas yang
ditumbuhi pohon beringin berjumlah tujuh buah. Semua
bangunan istana itu atap-atapnya disangga 300 pilar kayu
palem indah. Pilar-pilar paling indah digunakan untuk
menyangga atap bangunan istana paling besar dan paling
megah. Pilar-pilar palem yang menyangganya terbuat dari
kayu gelondongan sebesar tong anggur.
Kata Purbajaya, Sang Prabu bersemayam di istana
bangunan paling besar ini yang diberi nama Istana
Suradipati. Tidak sembarangan orang bisa diterima di
bangunan megah itu. Ginggi yang masuk ke kompleks ini
dikawal empat orang prajurit dilengkapi senjata tombak di
tangan kanan dan perisai baja di tangan kiri, hanya diantar
ke bangunan paseban yang letaknya bersebrangan dengan
istana berjajar lima itu.
Ginggi dan Purbajaya dipersilakan duduk di ruangan
terbuka Paseban Agung, menghadap ke sebelah timur di
mana terdapat kursi kayu berukir indah yang masih kosong
penghuni. (O-anikz-O) Jilid 23 Ginggi dan Purbajaya cukup lama menunggu. Namun
pada suatu saat ada terdengar bunyi gong dipukul lambat-
lambat beberapa kali. Ginggi menengok ke selatan. Bukan
atap istana dengan latar belakang Puncak Gunung Salak
yang tengah ia saksikan, melainkan adanya sebuah iring-
iringan kecil yang baru keluar dari sebuah pintu berukir
dengan warna emas itu. Ginggi berdebar, ternyata iring-iringan itu duapuluh
perwira kerajaan yang berpakaian gagah-gagah tengah
mengawal seorang lelaki tampan nan elok.
"Sang Prabu Ratu Sakti?" gumam Ginggi tak terasa.
Inilah untuk yang ketiga-kalinya pemuda itu menatap Raja
Pajajaran yang banyak diperbincangkan orang karena
tindakan dan kebijaksanaannya banyak mengundang pro
dan kontra itu. Sang Prabu melangkah lambat-lambat namun mantap
dan pasti. Ada suara gemerincing merdu ketika Raja
tampan berkumis tipis itu melangkahkan kaki. Itu karena
gelang-gelang emas yang tersusun di sepasang kakinya
bergerak saling beradu ketika kaki itu melangkah. Suara
gemerincing kaki Raja pun disambut gemerincing lain.
Suaranya kurang begitu nyaring. Dan suara itu keluar dari
gelang-gelang perak yang menghiasi kaki-kaki para
pengawalnya. Namun melihat duapuluh pengawal raja yang berjalan di
belakang, Ginggi jadi ingat beberapa pengakuan. Ki
Banaspati dengan yakinnya mengabarkan padanya bahwa
di sekeliling Raja kini sudah berdiri orang-orang yang
berada di bawah pengaruhnya. Belakangan Purbajaya pun
berkata bahwa hampir separuh dari pengawal Raja yang
bertugas hari ini kesetiaannya sudah berpaling dari Raja.
Lalu, apakah yang dilakukan Ki Banaspati juga sama
dengan apa yang dikatakan Purbajaya"
"Engkau juga bersekutu dengan Ki Banaspati?" tanya
Ginggi tadi pagi sebelum berangkat, tapi Purbajaya
menggelengkan kepalanya. Ini hanya menandakan bahwa
Senja Jatuh Di Pajajaran Karya Aan Merdeka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pemuda itu tak ada keterkaitan dengan Ki Banaspati. Dan
kalau benar begitu, maka apa yang disebut Purbajaya tidak
sama dengan apa yang dikatakan Ki Banaspati. Artinya
lagi, bahwa para pengawal raja semakin terpecah-pecah.
Satu kelompok ikut Ki Banaspati dan satu kelompok
lainnya juga sama memalingkan kesetiaannya. Tapi mereka
ikut siapa" Apakah Purbajaya juga ikut kelompok kedua ini
atau berdiri sendiri" Berkerut alis Ginggi memikirkannya.
Di Pakuan ini terlalu banyak rahasia. Apa yang dilihat
mata belum tentu itu yang sedang berlangsung. Bangsawan
Soka dan Ki Bagus Seta kendati selalu nampak paling setia
dan paling banyak bekerja untuk "memajukan" Pakuan,
padahal terbukti, di benak mereka penuh dengan rencana
dan tujuan yang bertolak belakang dengan sangkaan Raja.
Sekarang Purbajaya, pemuda tampan, jujur dan tidak
terlalu banyak tingkah, belakangan diketahui Ginggi seperti
tengah memendam hal-hal tertentu.
"Kalau kau mampu, maka di Balai Penghadapan Raja
inilah kau laksanakan tugasmu!" kata Purbajaya tadi pagi.
Ini hanya punya arti bahwa pemuda itu setuju Raja
dibunuh. Siapa pemuda ini dan dari kelompok manakah"
Ancaman pada Raja Sang Ratu Sakti sudah memasuki
ruangan paseban. Purbajaya serentak menyembah takzim.
Ginggi pun ikut menyembah hormat, namun selintas dia
melihat lirikan Purbajaya ke arahnya. Berdesir lagi darah di
urat-urat nadi Ginggi. Lirikan Purbajaya penuh arti.
Apakah ini sebuah isyarat agar Ginggi melakukan tugas
seperti apa yang dikatakan Ki Banaspati"
Sang Prabu berjalan lambat ke arah kursinya, sedangkan
di belakang, duapuluh perwira melangkah rapih dengan
jarak hampir tiga tindak di belakang Sang Prabu. Kalau
Ginggi mau, dengan satu loncatan dia bisa menerkam dan
mencengkram wajah atau leher Sang Prabu. Dalam satu
gerakan saja mungkin sudah berhasil membunuh Raja.
Mungkin separo dari para perwira benar-benar pengawal
setia dan akan balas menyerang. Tapi sudah dipastikan Raja
tak akan bisa diselamatkan. Dan Ginggi akan selamat
meloloskan diri dengan mudah sebab separo dari para
pengawal tidak akan bernafsu membalas perlakuan Ginggi.
Ginggi dan Purbajaya selesai menyembah ketika Sang
Prabu sudah duduk dengan tegak di kursi indah berukir itu.
Purbajaya nampak menghela napas sambil sedikit melirik
ke samping di mana Ginggi duduk bersila.
"Engkaukah yang bernama Ginggi, ksatria tangguh yang
akan segera diangkat Pamanda Yogascitra sebagai
pembantu utama di purinya?" tanya Sang Prabu dengan
suara halus namun nyaring.
"Hamba hanya sekadar pembantu biasa saja, Paduka
Raja," sahut Ginggi dengan suara sedikit bergetar.
Bagaimana tak begitu, sebab apa pun kenyataannya, yang
kini tengah duduk dengan anggun di kursi berukir indah itu
adalah seorang raja dari sebuah kerajaan besar yang berdiri
hampir 900 tahun lamanya.
"Engkau pandai merendah, anak muda. Tapi ada juga
orang yang memperlihatkan kesombongan dengan sifat
merendah-rendah. Jangan membuat orang tercengang
karena kepura-puraan. Kalau kau pandai maka
perlihatkanlah kepandaianmu secara wajar agar orang pun
bisa menghargai dan menilaimu secara wajar pula," ujar
Sang Prabu dengan nada halus tapi tetap nyaring.
Wajah Ginggi terasa sedikit panas. Tidakkah Sang Prabu
menyindirnya, sebab dia memang gemar berpura-pura
bodoh" "Namun Paduka, orang tidak akan dianggap bijaksana
bila tidak bisa memerankan orang bodoh dalam satu
keadaan," kata Ginggi sambil kembali menyembah.
Nampak Sang Prabu tersenyum kecil memperlihatkan
deretan giginya yang putih dan bersih.
"Dan yang berbahaya adalah orang bodoh yang pura-
pura bijaksana dan sok merasa tahu segala perkara," ujar
Sang Prabu kemudian. "Lebih celaka lagi, ada orang bodoh yang tidak
menyadari dirinya bodoh. Orang bodoh yang merasa
dirinya pintar dan apalagi berkuasa, maka kekuasaannya
hanya akan membahayakan kepentingan orang banyak,
Paduka," kata Ginggi menyela.
Untuk sejenak Sang Prabu menatap sedikit terbelalak
dengan ucapan lantang ini. Namun kemudian beliau
tertawa renyah sambil sesekali punggung tangan kanannya
yang putih halus digunakan menutupi mulutnya yang masih
tertawa. "Hahaha! Engkau seorang pemuda yang berani dan jujur,
anak muda. Aku suka sikapmu itu. Tapi hati-hati, perasaan
orang tidaklah sama, sebab ada juga yang mudah
tersinggung. Kalau yang tersinggung adalah seorang
penguasa misalnya, maka alamat celakalah dirimu," sahut
Sang Prabu lagi namun masih dengan nada halus.
"Tapi Paduka, lebih baik tersinggung karena mendengar
kata-kata bijak, dari pada terhibur dengan kata-kata palsu.
Yang palsu tak bisa dikatakan baik. Dan bila mata-hati
dibutakan olehnya, maka rasa bijaksana pun akan hilang
dan kehancuran akan menjelang," kata lagi Ginggi semakin
berani berkata-kata. Sang Prabu masih nampak tersenyum, tapi senyumnya
kian menipis, bahkan ada sedikit kerut-kerut di dahinya.
"Serasa aku pernah menyimak kata-kata yang kau
ucapkan barusan, anak muda?" gumam Sang Prabu sambil
mencubit dan menarik-narik kulit jidatnya seolah tengah
menghilangkan rasa pening atau sedang berpikir sesuatu.
Namun sebelum Sang Prabu melanjutkan ucapannya,
dari pekarangan paseban datang tergopoh-gopoh beberapa
orang. Ketika Ginggi melirik, ternyata yang datang adalah
Pangeran Yogascitra, diiringi Banyak Angga dan beberapa
perwira kerajaan. Dengan sopan tapi dilakukan dengan tergesa-gesa,
Pangeran Yogascitra memasuki ruangan paseban, beringsut
dan menyembah. "Ada apakah Pamanda?" tanya Sang Prabu.
"Ampun beribu ampun Paduka, hamba memang terlalu
tua untuk melakukan tindakan cepat. Kita terlambat
menangkap Pangeran Jaya Perbangsa?" kata Pangeran
Yogscitra sambil tetap menyembah hormat.
"Apakah Jaya Perbangsa berhasil melarikan diri?" tanya
Sang Prabu mengerutkan dahi.
"Tidak melarikan diri. Dia kami dapatkan sudah tergolek
kaku di purinya," ujar Pangeran Yogascitra.
"Mati?" tanya Sang Prabu.
"Begitulah?" "Bunuh diri?" "Hamba kira begitu, sebab ada cupu (botol kecil) berisi
cairan racun di tangan kanannya," kata Pangeran
Yogascitra. Sang Prabu mendengus kecil sambil kepalan tangan
kanannya menopang dagu. Ginggi melirik meneliti wajah-
wajah perwira pengawal Raja. Namun tidak seorang pun
berubah mimik. Mereka menunduk tetap bersila dengan
tubuh tegak. Ginggi kagum karena mereka bisa menjaga
penampilan. Padahal kalau di antara mereka terdapat kaki-
tangan Ki Banaspati, seharusnya ada perubahan wajah
karena terkejut mendengar sekutu Ki Banaspati mati.
"Aku percaya pada Jaya Perbangsa, mengapa dia tega
berkhianat padaku?" gumam Sang Prabu.
"Kita harus lebih hati-hati, sebab Pakuan sudah dipenuhi
oleh orang yang akan mencelakakan anda, Paduka?" kata
Pangeran Yogascitra. Sang Prabu mengangguk-angguk, "Mengapa ada orang
yang ditakdirkan tidak setia kepada Raja, padahal para
wiku selalu berkata raja adalah pilihan Sang Rumuhun?"
gumam lagi Sang Prabu. "Raja memang dipilih oleh Sang Rumuhun. Tapi Raja
juga bisa didera bermacam-macam godaan. Kalau Raja bisa
menahan godaan, semuanya akan aman dan tak akan ada
lagi orang memalingkan kesetiaan, Paduka?" kata
Pangeran Yogascitra. "Aku tahan akan berbagai godaan. Sejak aku jadi perwira
dalam mengawal Ayahanda Ratu Dewata, sudah banyak
godaan mendera, tapi aku selalu lolos dari bahaya maut,"
kata Sang Prabu. "Terima kasih bila Paduka sadar akan godaan," gumam
Pangeran Yogascitra. Sang Prabu menangguk-angguk.
Namun bagi Ginggi, ucapan Pangeran Yogascitra terlalu
dalam artinya. Bisakah Sang Prabu mafhum akan ucapan
yang tersirat di dalamnya"
"Tadinya aku ingin memanggil Jaya Perbangsa ke balai
penghadapan raja ini dan mempertemukan dia dengan
engkau, Ginggi," ujar Sang Prabu sambil melirik ke arah
Ginggi. Membuat pemuda itu terkejut setengah mati. Baru
sekarang dia tahu bahwa dirinya akan dijadikan sebagai
saksi atas perbuatan Pangeran Jaya Perbangsa.
"Sekarang Jaya Perbangsa mati bunuh diri. Hanya
menandakan bahwa dia memang bersalah, atau sekurang-
kurangnya, ada sesuatu gerakan yang dia tak mau orang
lain tahu. Tapi menurut Pamanda Yogascitra, tadi malam
engkau menghubungi Jaya Perbangsa dan melakukan
beberapa percakapan penting. Coba kau terangkan, soal apa
yang engkau bicarakan itu?" tanya Sang Prabu menatapnya.
Wajah Ginggi sedikit memucat. Sejenak dia melirik ke
arah Pangeran Yogascitra. Pangeran tua ini sudah melapor
perihal pertemuannya dengan Pangeran Jaya Perbangsa.
Dengan demikian, Raja pun sudah mengetahui bahwa
dirinya punya hubungan dengan Ki Banaspati. Tidakkah ini
membahayakan dirinya"
"Jangan takut, Pamanda Yogascitra sudah menerangkan
perihalmu. Kata Pamanda, mulanya engkau diutus oleh Ki
Banaspati untuk mengirimkan surat rahasia pada Jaya
Perbangsa. Kau juga pernah ditangkap Pamanda tapi tak
terbukti terlibat urusan ini. Karena Pamanda percaya
terhadapmu, maka aku pun sebagai penguasa Pajajaran
akan percaya kamu juga. Ingat, aku seorang raja dan
bertanggung jawab menjaga keutuhan negri. Tapi engkau
pun sebagai penghuni negri dan apalagi sebentar lagi akan
diangkat menjadi ksatria di Pakuan, harus juga ikut
bertanggung-jawab menyelamatkan negri dari kehancuran.
Kau katakan sejujurnya tentang apa-apa yang telah engkau
ketahui," ujar Sang Prabu lagi.
Ginggi termenung mendengar keinginan Raja ini. Ini
sebuah permintaan berat sebab akan membahayakan
keselamatan dirinya. Sekarang, di ruangan paseban yang hanya dihuni
beberapa puluh orang, sebenarnya dia telah dihimpit oleh
beberapa kekuatan. Sekurang-kurangnya di ruangan
paseban ini terdapat tiga kekuatan, yaitu kelompok yang
sudah dipengaruhi Ki Banaspati, kelompok yang telah
memalingkan kesetiaan terhadap Raja, dan yang terakhir
kekuatan Sang Prabu itu sendiri. Belum lagi tentang
kehadiran Purbajaya yang jelas-jelas tidak berfihak pada
Raja tapi yang Ginggi belum tahu, berada di fihak mana
sebetulnya pemuda itu berada.
Ginggi bingung sebab tidak bisa memilih. Bila
melaporkan semua yang diketahuinya, berarti sudah
memihak kepada Raja dan akan berhadapan dengan
kekuatan lainnya, atau dengan tiga kekuatan yang ada di
ruangan itu kalau Purbajaya mau Ginggi hitung. Tapi kalau
Ginggi bungkam, berarti harus membiarkan banjir darah di
Pakuan. Padahal sudah sejak awal dia mengukuhkan sikap
untuk tak berfihak kepada siapa pun. Tapi keadaan ini
benar-benar menjepitnya. Sebab kendati dia tak mau
memihak, tapi Ginggi pun tak mau ada peperangan.
Melihat Ginggi seperti bimbang, dengan alis berkerut
Sang Prabu mengulang pertanyaannya untuk kedua kalinya.
"Mengapa engkau diam" Atau, tidakkah penilaian
Pamanda Yogascitra keliru?" kata Sang Prabu lagi dan
nadanya mulai tak senang.
"Hamba akan uraikan yang hamba ketahui asal dengan
sesuatu syarat," kata Ginggi secara tiba-tiba.
"Apakah persyaratan itu?" tanya Sang Prabu.
"Paduka harus memenuhi keinginan hamba."
"Ya, sebutkan, apa itu?" kat Sang Prabu lagi tak sabar.
"Paduka harus berjanji untuk dua keputusan!" kata
Ginggi. "Bedebah! Tak biasa aku ditekan seperti ini. Anak muda,
apa kedudukanmu di sini?" kata Sang Prabu berang dan
wajahnya merah padam. Ginggi masih duduk bersila
dengan tenang. Dia melirik meneliti sikap para perwira
yang duduk bersila berderet di kiri kanan Sang Prabu. Ada
sebanyak duabelas perwira pengawal yang nampak turut
melotot marah melihat kelancangan Ginggi ini. Tapi
sepuluh orang lagi, termasuk di antaranya yang duduk di
belakang Pangeran Yogascitra berwajah biasa kecuali
menatapnya dengan perasaan tegang.
Ginggi memutar otak dan mulai dapat menduga, mana
perwira yang bersetia dan mana yang sudah dipengaruhi
fihak lain. "Hamba bukan siapa-siapa dan tak mempunyai peran
penting di sini. Jadi bila Paduka tak mau memenuhi dua
syarat yang hamba ajukan tidak apa dan hamba akan keluar
dari ruangan ini," kata Ginggi menyembah takzim dan akan
segera berjingkat. "Tunggu!" teriak Sang Prabu.
Ginggi kembali duduk tegak dan mencoba menatap Sang
Prabu. Ornamen emas yang ada di kiri-kanan susumping
(perhiasan kuping) bergoyang-goyang memantulkan cahaya
gemerlapan dan mahkota yang juga sama terbuat dari emas
bertahtakan zamrud dan mutiara keindahannya tak sanggup
menutupi wajah keruh Sang Prabu.
"Sudah kukatakan, aku tak biasa ditekan oleh ikatan janji
atau pun persyaratan. Tapi mengingat ini urusan
keselamatan negara, maka aku sebagai Raja Pakuan mau
merendahkan diri untuk mengikuti keinginanmu. Coba kau
katakan apa dua persyaratan yang engkau inginkan," kata
Senja Jatuh Di Pajajaran Karya Aan Merdeka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sang Prabu akhirnya. Ginggi menghela napas lega mendengar ucapan Sang
Prabu ini. Namun ketika matanya mengerling ke samping,
wajah Purbajaya kelihatan murung dan sedikit pucat. Apa
boleh buat, pikir Ginggi.
"Syarat pertama, hamba mau menjelaskan situasi di
Pakuan akhir-akhir ini, asalkan Paduka mau mengubah
sikap dan kebijaksanaan. Semua perubahan sikap dan
kebijaksanaan Paduka penting untuk mengembalikan
keadaan ke arah hal-hal yang diinginkan semua fihak," kata
Ginggi menatap Sang Prabu. Yang ditatap balik menatap.
Dan Ginggi menunduk karena sorotan mata Sang Prabu
demikian tajam dan seperti sulit untuk dilawan.
Hening sejenak, sehingga bunyi tonggeret, sejenis
binatang serangga yang ada di pepohonan beringin
terdengar nyata. "Sabda wiku paraloka (akhli kebatinan) sikap Raja
haruslah seuseug keupeul lega aur, tenget suling
panyaweuyan, teuas peureup leuleus usap (Tegas tapi
bijaksana). Sebetulnya aku harus bicara seperlunya. Tapi
bicara terlalu singkat, ucapanku selalu salah diartikan
aparatku. Aku pun harus teliti memilih laporan dan
pengaduan. Namun terkadang ada laporan yang dipalsukan
dan aku terkecoh mempercayainya. Dan karena banyak hal
tak benar terdengar sampai ke telingaku, maka terpaksa aku
harus memilih teuas peureup (bertindak tegas) tanpa
mengikutsertakan sikap leuleus usap (bijaksana, welas
asih)," ujar Sang Prabu sesudah lama merenung.
Kemudian Sang Ratu Sakti bersabda lagi, "Kuakui,
tindakanku selalu keras, aku mudah menghukum kepada
orang yang dianggap salah, tapi juga tak segan-segan
memberi penghargaan kepada yang dianggap berjasa. Kalau
yang kau maksud, aku harus mengubah sikap kerasku,
kurasa sulit sekali terkabul. Kau harus maklum anak muda,
sekarang zaman keras. Hanya yang berhati baja yang bisa
bertahan. Bukan berarti sikap welas asih tak berlaku lagi,
tapi cara mengasihi kehidupan sekarang tak dilakukan
dengan lemah-lembut. Sikap Ayahandaku Sang Ratu
Dewata yang welas asih dan lemah-lembut diartikan salah
sebagai jiwa yang lemah, sehingga musuh dari luar tidak
merasa jerih, begitu pun aparat dan ambarahayat. Kalau
kau mau bertanya kepada bujangga (akhli sejarah), akan
begitu jelas, betapa Pajajaran banyak diserang musuh dari
luar karena kepemimpinan waktu itu dianggap lemah."
Sang Prabu Sakti dadanya turun naik karena terlalu
banyak berbicara. Dan suasana amat hening ketika beliau
menghentikan ucapannya sambil menatap tajam pemuda
itu. "Coba kau sebutkan syarat yang kedua!" ucap Sang
Prabu kemudian. Ginggi kembali menatap Sang Prabu, "Syarat yang
kedua"ampuni Ki Darma dan Paduka harus mencabut
tuduhan bahwa Ki Darma pengkhianat dan pemberontak!"
kata Ginggi nyaring. Mendengar ucapan ini, semua orang nampak terkejut
dan sama membelalakkan mata, kecuali Pangeran
Yogascitra dan Purbajaya nampak tenang.
Namun Ginggi merasa heran sebab mimik wajah Sang
Prabu tak berubah. Beliau hanya menatap tajam secara
terus-terusan saja terhadap Ginggi.
"Sudah aku duga, engkau punya hubungan dengan Ki
Darma. Ucapan-ucapanmu itu tajam, menyakitkan dan
mudah membuat orang tersinggung, anak muda," ujar Sang
Prabu. "Persis seperti apa yang gemar diucapkan oleh Ki
Darma," sambung Sang Prabu lagi.
"Sepuluh tahun hamba bersamanya di Puncak
Cakrabuana, Paduka," kata Ginggi, sengaja
menyebutkannya agar Sang Prabu ingat dirinya pernah
memerintahkan pasukan perwira untuk menyerbu Puncak
Cakrabuana. Ucapan Ginggi hanya ditanggapi Sang Prabu dengan
tatapan matanya disertai beberapa kerutan di dahi. Dan
untuk beberapa lama suasana menjadi hening kembali.
"Rupanya tak ada keputusan penting di sini. Maafkan,
hamba akan meninggalkan paseban," kata Ginggi
menyembah dan mengangkat tubuhnya hendak berlalu.
"Tidak semudah itu engkau meninggalkan tempat ini,
anak muda!" kata Sang Prabu.
"Apakah hamba pun masuk dalam tuduhan
memberontak juga, Paduka?" tanya Ginggi menatap Sang
Prabu dengan berani. "Jalan pikiran Ki Darma membahayakan ketentraman
negri sebab meresahkan dan menimbulkan gejolak pro dan
kontra di kalangan pejabat istana. Aku kenal Ki Darma
sejak kami sama-sama menjadi perwira pengawal Raja.
Betapa bahayanya ucapan-ucapannya. Dan itu bisa
merongrong kewibawaan Raja," kata Sang Prabu lagi.
"Barangkali Paduka lupa, di mana baru saja mengatakan
sikap Paduka, bahwa kasih sayang sekarang tidak dilakukan
dengan lemah-lembut. Ki Darma hanya melontarkan kritik
pada keadaan yang tengah berlangsung dan kritik tidak
sama dengan pemberontakan. Kritik hanyalah sebuah kasih
sayang yang dilakukan secara keras. Itu juga sebenarnya
yang dilakukan Paduka terhadap bawahan dan rakyat
Paduka," ujar Ginggi.
Merah-padam wajah Sang Prabu mendengar ucapan
Ginggi ini. Dadanya turun-naik menahan gelora hatinya
dan matanya memandang tajam kepada pemuda itu.
Ginggi kini tak menggubrisnya dan segera akan berlalu.
Namun Sang Prabu bangun berdiri. Sambil menuding ke
arah Ginggi beliau berseru, "Tangkap pemuda itu!"
Dari duapuluh pengawal hanya duabelas perwira yang
serentak berdiri, sedangkan yang lainnya masih duduk
bersila dengan punggung tegak.
Keduabelas perwira segera menghambur dan
mengepung. Tapi Ginggi kini lebih pengalaman lagi. Dia
sudah kenal, para perwira pandai taktik berkelahi yang
sifatnya beregu. Mereka punya formasi tempur, baik
menyerang mau pun bertahan. Dan pemuda itu tak mau
meladeninya sebab pernah merasakan dan pernah
dikalahkan oleh taktik kepungan asu-maliput di Puri Bagus
Seta beberapa waktu lalu.
"Kalau akan melumpuhkan ular, maka tangkaplah
kepalanya," kata Ki Darma ketika di Puncak Cakrabuana.
Ginggi ingat pepatah ini. Maka pada kesempatan inilah
teori Ki Darma akan dilaksanakan. Jadi, ketika beberapa
pengawal menghambur ke depan, Ginggi bukan
melayaninya, melainkan meloncat tinggi, bersalto beberapa
kali melewati kepala-kepala mereka.
Rupanya semua orang tak menduga kenekatan Ginggi,
sehingga nampaknya para perwira lebih nampak kaget
ketimbang melakukan satu tindakan. Bagaimana tak kaget,
sebab Ginggi yang jungkir balik beberapa kali itu, tubuhnya
bergerak ke arah di mana Sang Raja berdiri. Sebelum semua
orang sadar apa yang terjadi, Ginggi sudah berdiri tepat di
belakang Sang Prabu. Tangan kiri Ginggi mencengkram
pakaian di bagian pundak Sang Prabu, sedangkan tangan
kanan siap menghantam batok kepala penguasa Pakuan itu.
"Semua berhenti bila tak ingin keselamatan Raja
terancam!" teriak Ginggi. Tindakan ini mungkin
keterlaluan, tapi inilah satu-satunya cara agar dia
terlindungi. Semua perwira kini berdiri seperti patung, tak terkecuali
delapan orang perwira yang sejak tadi hanya duduk bersila
dengan wajah tegang. Dalam suasana seperti ini mata Ginggi terkuak lebar dan
bisa mengenal semua orang. Mana yang berfihak kepada
Sang Prabu Ratu Sakti dan mana yang sudah berpaling,
nampak jelas kelihatan. Duabelas perwira nampak berdiri
dengan sikap siaga, tubuh menggigil menahan kemarahan
dan mata melotot serta gigi berkerot. Namun yang lainnya
hanya berlaku siaga saja tapi tidak menampakkan mimik
tertentu. Pangeran Yogascitra nampak berwajah pucat. Sambil
berdiri dengan tubuh bergetar dia berseru agar Ginggi tak
melakukan tindakan seperti itu.
"Ginggi, apa pun yang dilakukan Ki Darma, sebenarnya
dia orang yang amat menghargai Raja dan tak pernah
berniat mencelakakan Raja. Lepaskan Sang Prabu! Jangan
kotori perjuangan Ki Darma dengan perbuatan tercela
seperti itu!" teriak Pangeran Yogascitra.
Ginggi tersentak mendengar ucapan ini. Pangeran
Yogascitra memang amat mengingatkannya, bahwa selama
Ki Darma berbicara perihal rasa kecewanya, tidak secuil
pun dia mengakui membenci Raja, apalagi
memerintahkannya untuk mencelakai Raja. Ki Darma tak
menyuruhnya melakukan pemberontakan atau
menyingkirkan Raja, jadi kalau sekarang dia bertindak
kasar terhadap Raja, akan dianggap keterlaluan dan tidak
sesuai dengan keinginan Ki Darma. Ingat ini, Ginggi segera
akan melepaskannya. Namun sebelum dirinya pergi
menjauh dari tempat di mana Raja berdiri, Ginggi dengan
kaget melihat gerakan yang dilakukan Purbajaya secara
tiba-tiba. "Jangan lepaskan dia!" teriak Purbajaya sambil meloncat
ke depan. Sepasang kaki Purbajaya terpentang lebar dan kedua
belah tangan diayun ke depan. Ginggi berteriak kaget sebab
pemuda itu menghunjam pukulan jarak jauh yang
dikerahkan dengan kekuatan penuh. Serangan itu diarahkan
ke dada Sang Prabu dan jelas-jelas tujuannya hendak
membunuh Raja. Ginggi mendorong tubuh Sang Prabu ke samping
sehingga jatuh terjerembab.
(O-anikz-O) Cinta Berjatuhan "Hiaaattt!!!" teriak Ginggi mengerahkan tenaga dalam
dan sepasang telapak tangannya dibuka lebar menahan
serbuan Purbajaya. Terdengar suara benturan keras.
Purbajaya menjerit ngeri dan tubuhnya terpental ke
belakang. Dia berguling-guling beberapa kali dan akhirnya
telentang dengan mulut penuh darah segar.
Ginggi pucat wajahnya sebab ini sesuatu yang di luar
dugaannya. Namun pemuda itu tak boleh tinggal berlama-
lama di sana, sebab Sang Prabu sudah bebas dari
kungkungannya. Maka sebelum bahaya mengancam, dia
segera meloncat amat cepatnya. Tubuh Purbajaya dia buru,
kemudian diangkat dan dipanggulnya di bahu kirinya.
Ginggi meloncat beberapa kali dan berlari menjauhi tempat
itu. Tidak ada yang melakukan pengejaran. Ini karena di
halaman paseban sebenarnya telah terjadi pula pertempuran
kecil. Ginggi bisa menduga, pertempuran terjadi antara para
perwira yang setia terhadap Raja dan perwira-perwira yang
sudah membelot. Para pembelot mungkin melakukan
tindakan untuk mencegah Ginggi melarikan diri, atau untuk
menyelamatkan Purbajaya. Atau, entah apalah, sebab
pemuda itu masih menduga-duga, apakah para pembelot itu
anak buah Ki Banaspati ataukah teman-teman Purbajaya.
"Masuk"masuk ke bangunan itu"!" perintah Purbajaya
di antara erang kesakitannya.
Ginggi memasuki sebuah bangunan seperti tempat orang
memuja. Ketika sudah berada di dalam hanya mendapatkan
sebuah batu bertulis. Ada huruf palawa berjumlah sembilan
baris. Ketika Ginggi membacanya, itu merupakan sebuah
peringatan atau kenang-kenangan perihal kebesaran Sri
Baduga Maharaja, ditulis oleh putranya Sang Prabu
Surawisesa pada tahun 1533 atau delapan belas tahu lalu
sebelum hari ini. Batu bertulis ini disimpan di sebuah
bangunan tertutup dan bercungkup. Banyak bunga dan
wewangian bertebaran di sekitar batu bertulis itu.
Menandakan bahwa tempat ini kerapkali dikunjungi tapi
oleh orang-orang tertentu saja, mengingat tempat ini
demikian tertutupnya. "Turunkan aku," keluh Purbajaya.
Ginggi menurunkan tubuh pemuda itu. Dibaringkan di
Kelana Buana 1 Satria Lonceng Dewa 1 Perawan Sumur Api Mustang Hitam 1
meninggalkan Pulo dan menyebrangi Cihaliwung dengan
menggunakan perahu yang tadi digunakan Ki Banaspati.
Sepeninggal Ki Bagus Seta, tinggallah Ginggi berdua
dengan Ki Banaspati. "Saat-saat penting telah hampir tiba, hari-hari ini kau
akan banyak pekerjaan, Ginggi!" kata Ki Banaspati.
Dia keluarkan kembali kotak surat yang ada di dalam
bungkusannya, kemudian diserahkan pada Ginggi.
"Apa ini?" tanya Ginggi.
"Isinya surat maha rahasia. Kau serahkan pada Pangeran
Jaya Perbangsa!" kata Ki Banaspati.
"Pangeran Jaya Perbangsa?"" gumam Ginggi.
"Ya, apakah kau tak kenal Pangeran Jaya Perbangsa?"
tanya Ki Banaspati. "Aku mengenalnya"dia termasuk sahabat baik
Pangeran Yogascitra," gumam Ginggi.
Mendengar gumaman pemuda itu. Ki Banaspati tertawa
renyah tapi Ginggi tak tahu arti tawanya itu.
"Ya, kau serahkan secara rahasia pada pangeran itu.
Hati-hati, jangan sampai ada yang tahu bahwa kau
menyerahkan kotak ini," kata Ki Banaspati. "Mati
hukumanmu bila kau tak berhasil menyerahkan ini pada
orang yang aku maksud!" katanya lagi dengan nada datar.
Ginggi tak mengangguk atau pun menggelengkan kepala.
Dia hanya menerima kotak itu saja dengan kedua belah
tangan sedikit bergetar karena perasaannya yang sangat
tegang. Ki Banaspati menatap sejenak, kemudian membalikkan
tubuh dan berjalan menuruni tepi sungai. Namun sebelum
jauh benar, dia berbalik lagi.
"Hati-hati, kau harus taati aku kalau tak ingin nyawa
Rangga Guna melayang. Kalau kau langgar, di samping
kau bunuh diri, juga sebetulnya kaulah yang membunuh
Rangga Guna. Kau juga akan menjadi orang berdosa pada
Ki Guru sebab kau kacaukan pergerakan yang diinginkan
Ki Guru. camkan kata-kataku!" kata Ki Banaspati. Setelah
puas meyakinkan kata-katanya ini, dia segera meloncat dan
berlari menggunakan ilmu Napak Sancang di atas
permukaan air. Tinggallah Ginggi sendirian di Pulo Parakan
Baranangsiang yang sunyi dan dingin ini. Sambil
termenung dengan alis berkerut pemuda itu menimbang-
nimbang isi kotak kayu tersebut.
(O-anikz-O) Sandi Apakah Itu" Ginggi masih duduk sendirian di bangunan
pesanggrahan Pulo Parakan Baranangsiang. Udara semakin
dingin karena malam sudah demikian larut. Dan bila
melihat bulan sabit sudah hilang dari pandangan sejak tadi,
dari sebrang sungai, sayup-sayup terdengar pula suara ayam
berkokok. Hanya menandakan bahwa waktu subuh hari
akan segera menjelang. Ginggi harus cepat kembali ke puri Yogascitra. Kalau
ketahuan dia keluyuran tanpa sepengetahuan penghuni puri
itu, hanya akan membuat masalah baru.
Tapi sebelum dia kembali, ingin sekali membaca surat
yang kini ada di tangannya. Surat itu masih tersimpan di
dalam kotak terkunci rapat. Kata Ki Banaspati harus
diserahkan kepada Pangeran Jaya Perbangsa. Ginggi
mengerutkan alis. Punya hubungan apa pangeran ini
dengan Ki Banaspati"
Apakah Pangeran Jaya Perbangsa sudah masuk ke dalam
persekongkolan dengan Ki Banaspati"
Ginggi tidak tahu tindak-tanduk pangeran muda ini. Dua
hari yang lalu ketika ada pertemuan di puri Yogascitra,
Pangeran Jaya Perbangsa ikut hadir. Dia diundang sebab
seperti apa kata Purbajaya, pangeran ini termasuk kawan
dekat Pangeran Yogascitra. Dalam pertemuan itu, Pangeran
Jaya Perbangsa termasuk orang yang banyak bicara yang
pada pokoknya menggambarkan ketidaksetujuan dia dalam
menyimak perilaku Raja. Tidak tanggung-tanggung, bahkan
dia berkata dengan suara keras meminta agar semua orang
sepakat menurunkan Raja dari tahtanya.
Tak ada yang ganjil dan tak ada yang aneh, sebab pada
umumnya semua yang hadir pada pertemuan itu
memperbincangkan perihal ketidaksetujuannya terhadap
perilaku dan kebijaksanaan Raja.
"Tak ada yang ganjil"Tak ada yang ganjil"!" gumam
pemuda itu sendirian. Ya, memang tak ada yang ganjil,
sebab semua orang sama-sama tak setuju dengan sikap
Raja. Ki Banaspati juga susah-payah menghimpun
kekuatan karena tak setuju dengan sikap Raja.
Berpikir sampai di sini, pemuda itu menahan napasnya.
Pangeran Jaya Perbangsa bersuara lantang agar semua
orang bertindak menurunkan Raja dari kekuasaan. Ini juga
keinginan Ki Banaspati. Tidakkah Pangeran Jaya Perbangsa
dikendalikan oleh Ki Banaspati"
Makin berkerut dahi Ginggi karena berpikir keras. Sudah
dia ketahui memang semua orang tidak setuju terhadap
Raja. Tapi dia perlu memilah-milahnya. Ada kelompok
yang sekadar tak menyenangi sikap Raja tapi tanpa punya
tujuan-tujuan tertentu. Dan ada juga kelompok yang sama-
sama tak menyenangi Raja tapi sambil punya tujuan
khusus. Ki Banaspati jelas termasuk kelompok kedua ini.
Kemudian, mungkinkah dia berusaha mengendalikan
beberapa pangeran yang ada di Pakuan untuk memperbesar
api kemelut" Bisa saja begitu, semakin kacau suasana di Pakuan,
semakin bagus menurut pertimbangan Ki Banaspati.
Pangeran Jaya Perbangsa suaranya paling lantang mengajak
semua orang meruntuhkan Raja. Kalau dikatakan dia
mengajak semua orang untuk memberontak, bisa benar-
benar persis. Dan Ki Banaspati menyusun kekuatan untuk
memberontak. Akan lebih bagus bagi Ki Banaspati bila
sebelum pasukan dari timur dikerahkan menyerang Pakuan,
di dayo (ibukota) itu sendiri sudah ada yang saling gebuk,
barangkali Ki Banaspati tinggal hanya menunggu waktu
saja. Sesudah dua kekuatan di Pakuan saling gebuk sendiri
dan pemenangnya dalam keadaan lemah, giliran pasukan
Ki Banaspati yang bergerak untuk meraih kemenangan.
Ginggi memang sudah melihat situasi di Pakuan.
Kekuatan di sana cenderung sudah terpecah-pecah. Ada
kelompok yang sudah meragukan kepemimpinan Raja, tapi
ada juga yang tetap bertahan dengan keputusan-keputusan
Raja. Ginggi kini mulai bisa meraba, Pangeran Jaya Perbangsa
yang selalu bersuara lantang, dikendalikan Ki Banaspati
agar menyulut dan memanasi para penentang Raja untuk
mengadakan keributan berupa pemberontakan.
Satu-satunya bukti untuk memperjelas dugaannya ini,
Ginggi harus membuka kotak dan membaca surat yang
harus dia serahkan kepada Pangeran Jaya Perbangsa.
Suasana gelap di tempat yang terpencil ini tak
memungkinkan dirinya untuk membaca surat itu. Ilmu
Sorot Kalong (melihat di tempat gelap) yang dia miliki tak
akan membantu penuh. Jadi pemuda itu harus segera
kembali ke puri Yogascitra.
Dan dia pun segera meninggalkan tempat itu, berlari
menuju puri Yogascitra yang kini sudah menjadi tempat
tinggalnya. Dengan amat hati-hati pemuda itu meloncati benteng
puri menyelinap ke bangunan yang jadi tempat tinggalnya.
Masuk ke ruangan tidurnya, dia segera menyalakan pelita.
Keremangan berubah menjadi benderang. Ginggi meneliti
kotak surat itu. Berukir indah dan halus buatannya. Tapi
tutup kotaknya dikunci oleh semacam engsel. Ginggi perlu
membuka engsel itu agar tutup kotak bisa terkuak. Dengan
serampangan tangan pemuda itu membedol ujung engsel.
Dan begitu tutup kotak terbuka, terdengar suara halus
bersiutan. Ada cahaya-cahaya kecil berkeredipan mengarah
pada wajah dan dadanya. Ginggi terkejut setengah mati sebab tak menduga bakal
ada benda kecil tajam melesat keluar. Dia hanya sanggup
miringkan wajah ke kanan tapi tak keburu melontarkan
tubuhnya ke belakang. Akibatnya, tiga batang jarum halus
bersarang di dadanya dan rasanya sakit serta-merta
membuat tulang ngilu. Ginggi mencabuti ketiga batang
jarum itu. Tapi rasa sakit di tubuhnya kian menghebat.
Dengan mata berkunang-kunang dan rasa sakit yang hebat,
dia mengerahkan tenaga dalamnya, dipusatkannya pada
bagian dada. Dia sadar, jarum itu beracun dan Ginggi perlu
menahan aliran darah di bagian dada agar tak menyebar ke
seluruh bagian tubuhnya. Tindakan pengamanan ini
rasanya kurang cukup dan dia khawatir racun masih bisa
menyebar. Oleh sebab itulah Ginggi mencari benda tajam.
Kebetulan di sebuah laci terdapat peso pengot (pisau amat
tajam ujungnya, biasa digunakan pula untuk menoreh
tulisan di atas daun nipah). Pisau tajam itu dia gunakan
untuk menoreh tiga luka di dadanya agar darah bisa keluar
lebih banyak dari luka itu. Namun sebelum pekerjaannya
selesai, matanya semakin berkunang dan kepalanya terasa
pening. Akhirnya kegelapan menyelimuti dirinya dan
Ginggi tak ingat apa-apa lagi.
Dia baru sadar dari pingsannya ketika suhu badannya
terasa panas. Banyak keringat membasahi jidatnya dan
kerongkongannya terasa kering. Dia ingin sekali minum.
Tanpa membuka mata, pemuda itu meraba-raba ke pinggir
kiri. Dia ingat, di sisi pembaringan sebelah kiri ada meja
yang di antaranya diisi berbagai minuman. Tapi tangan itu
meraba tempat kosong. Ginggi juga rasakan, udara amat
pengap, padahal setahu dirinya, tempat tinggalnya di puri
Yogascitra terasa harum semerbak oleh berbagai
wewangian. Ginggi mencoba membuka matanya. Suasana hanya
remang-remang saja karena peningnya. Pelipisnya terasa
berdenyut. Tapi setelah terbiasa dengan pandangan
matanya, mendadak hatinya terkejut. Betapa tak begitu
sebab di sisi kirinya dia lihat jeruji besi. Dia tidur telentang
di sebuah balai-balai kasar di sebuah kamar ukuran kecil
dengan lubang berjeruji besi. Penjarakah ini" Ginggi bangun
serentak, tapi kemudian jatuh telentang kembali karena
dadanya terasa pedih dan berdenyut. Dirabanya dada itu,
ternyata sudah diberi bebat. Mengapa aku ada di dalam
penjara, pikirnya" Terdengar suara langkah mendekat. Ginggi menoleh ke
kiri. Ada dua jagabaya tengah menatapnya. Salah seorang
kemudian berlalu dan sayup-sayup terdengar suaranya,
"Tawanan sudah siuman, Raden?" katanya. Kemudian
terdengar langkah mendekat lagi. Kini ada dua orang lagi
yang datang. "Raden Purbajaya"!" seru Ginggi pelahan. Nampak alis
Purbajaya berkerut melihatnya.
"Mengapa aku ada di sini?" tanyannya lagi namun
sambil mengeluh pendek karena ada rasa sakit di dadanya.
"Engkau dipenjara, Ginggi?" kata Purbajaya pendek.
"Apa dosaku?" "Nanti engkau akan diperiksa Pangeran Yogascitra!"
gumam Purbajaya seperti penuh sesal.
Tak berapa lama kemudian terdengar beberapa langkah
mendatang. Kemudian Ginggi lihat Pangeran Yogascitra
disertai Banyak Angga. Pangeran tua berwajah sabar itu menatap Ginggi dengan
alis sedikit berkerut. Ginggi mencoba hendak bangkit
namun dirasakan tubuhnya sakit-sakit.
"Kau terluka karena racun. Sudahlah tak perlu bangun.
Aku hanya inginkan penjelasanmu, anak muda?" kata
Pangeran Yogascitra datar.
Ginggi mau bicara, tapi Pangeran Yogascitra
memperlihatkan kotak surat beserta isinya.
Ginggi terkejut melihat isi surat itu. Jadi, karena benda
itu dia dijebloskan ke penjara.
"Saya belum sempat membaca isinya, Pangeran?"
jawab Ginggi sejujurnya. "Sudah aku baca isinya tapi aku tak mengerti sebab itu
kata sandi. Barangkali kau pasti bisa mengartikannya," kata
pangeran itu. Ginggi menerima susunan daun nipah dan
mencoba membeberkannya. Ribuan pipit terbang dari timur
ketika senja jatuh di barat
tiga hari sebelum kuwerabakti
pagi hari di Telaga Rena Maha Wijaya
"Banaspati" "Saya tak bisa membaca, Pangeran?" gumam Ginggi
setelah meneliti susunan huruf Palawadi atas daun nipah
itu. Pangeran Yogascitra menatap penuh selidik.
"Benar, dia tak bisa baca-tulis, Pamanda?" kata
Purbajaya. Bukan sekadar membela, tapi Ginggi memang
pernah mengatakan tak pernah belajar baca-tulis ketika
Purbajaya memberinya sebuah kitab pelajaran agama lama.
"Tapi setidaknya engkau masih punya hubungan dengan
Banaspati, anak muda?" kata Pangeran Yogascitra.
Ginggi bingung mau menjawab bagaimana, dikatakan
punya hubungan, sebetulnya juga tidak, sebab selama ini
Ginggi tak senang terhadap orang itu. Tapi dikatakan tak
punya hubungan, ya"kotak surat itu amat membuktikan
bahwa ada satu hubungan antara dia dengan Ki Banaspati.
"Engkau membingungkan kami. Kedudukanmu
sebetulnya ada di mana. Suatu saat kau membela kami, tapi
di saat lain kau erat dengan mereka. Ketahuilah, Ki Bagus
Seta sudah dicurigai beberapa pejabat istana karena
penyelewengan pajak negara. Dan otomatis, Ki Banaspati
pun dicurigai sebab dia tangan kanan Ki Bagus Seta. Aku
menyesalkan sikapmu yang ternyata masih memiliki
hubungan dengan kelompok mereka. Padahal aku sudah
menyukaimu, anak muda?" kata Pangeran Yogascitra.
"Tapi perasaan pribadi aku kesampingkan karena
kepentingan negara lebih diutamakan. Kau harus
menjelaskan mengapa ada surat sandi di tanganmu. Ada
rencana apakah Ki Banaspati sehingga perlu mengirim surat
Senja Jatuh Di Pajajaran Karya Aan Merdeka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
rahasia padamu?" tanya Pangeran Yogascitra.
Semua mata memandang tajam padanya ketika
pertanyaan itu diajukan. Ginggi sulit untuk menjawab. Sebetulnya bisa saja dia
katakan bahwa surat itu dari Ki Banaspati untuk Pangeran
Jaya Perbangsa. Tapi, apakah Pangeran Yogascitra percaya
akan penjelasan ini" Surat itu tak ditujukan langsung pada
Pangeran Jaya Perbangsa. Jadi kepada setiap pemegang
surat bisa ditudingkan bahwa itu surat dari Ki Banaspati
untuk dirinya. "Aku harap engkau menjelaskannya padaku. Sebab bila
peristiwa ini bocor ke istana, kau akan jadi tawanan istana
dan nasibmu akan lebih buruk lagi. Kau harus tahu Sang
Prabu sangat kejam terhadap orang yang bersalah," kata
Pangeran Yogascitra menegaskan.
"Jangan?" Ginggi mencegah.
"Nah, kalau kau takut dipindahkan ke istana,
terangkanlah dengan baik, apa isi surat itu!" kata lagi
Pangeran Yogascitra. Pangeran itu salah mengerti, kata Ginggi dalam hatinya.
Yang dia maksud jangan adalah surat itu jangan dulu
sampai ke istana, takut keburu diketahui oleh Pangeran
Jaya Perbangsa. Ginggi tak mau surat itu sampai ke tangan
pangeran muda yang berperangai keras itu.
"Pangeran, sebaiknya urusan itu diselesaikan di sini saja.
Beri saya waktu untuk menjelaskannya?" kata Ginggi.
"Nanti malam aku akan mengunjungimu lagi?" gumam
Pangeran Yogascitra. Setelah menatapnya, bangsawan itu
segera berlalu. "Engkau mengecewakan aku, Ginggi?" gumam
Purbajaya sedangkan Banyak Angga hanya menatap saja.
Mereka kemudian meninggalkan tempat itu.
Kini Ginggi sendirian di kamar tahanan berjeruji itu. Dia
masih bingung bagaimana harus membebaskan dirinya dari
tudingan ini. Tapi Ginggi harus mengesampingkan dulu urusan ini.
Yang harus dia pikirkan adalah teka-teki surat rahasia itu.
Apa makna surat yang sedianya harus diserahkan kepada
Pangeran Jaya Perbangsa ini"
Ribuan pipit terbang dari timur
ketika senja jatuh di barat
tiga hari sebelum kuwerabakti
pagi hari di Telaga Rena Maha Wijaya
Ginggi mengerutkan dahinya beberapa kali. Dia harus
memecahkan sandi ini. Menjelang senja hari ada jagabaya menyodorkan
makanan. Pemuda itu amat berterimakasih sebab sejak
malam hari dia belum makan apa pun. Sekarang ada
makanan yang cukup baik dan menyehatkan untuk
dimakan. Tapi sebelum dia mencicipi makanan itu, dia
teringat sesuatu. "Paman, tolong beritahu aku, kapan upacara
Kuwerabakti dimulai?" tanyanya pada jagabaya. Yang
ditanya sejenak mengernyitkan dahi. Kemudian dia
menepuk jidatnya sendiri.
"Oh, sampai aku melupakan kegiatan penting ini. Empat
hari lagi kalau tak salah, pesta panen 49 hari akan segera
dimulai," jawab jagabaya.
"Apa-apa sajakah upacara paling penting dalam
Kuwerabakti, Paman?"
"Ya, banyak sekali. Sehari sebelum Kuwerabakti,
rombongan seba dari seluruh wilayah Pajajaran akan
datang senja hari di Pakuan. besoknya pagi-pagi akan ada
upacara mandi suci di Telaga Rena Maha Wijaya,
kemudian dilanjutkan dengan upacara nadran (ziarah) ke
Bukit Rancamaya, mengenang moksa Sang Prabu Siliwangi
alias Sri Baduga Maharaja di Bukit Badigul," kata penjaga.
"Siapa saja yang mandi suci di pagi hari itu?"
"Seluruh penghuni istana, dari mulai Sang Prabu hingga
permeisuri dan para selir serta kaum wiku dan pendeta
agung, semua mandi suci di Telaga Rena Maha Wijaya.
Tapi, ada apakah engkau, sepertinya ingin sekali engkau
datang menghadiri" Sayang anak muda, kedudukanmu
seperti ini?" kata jagabaya menyayangkan nasib Ginggi.
Ginggi sendiri tidak menyimak ucapan terakhir jagabaya
ini, sebab dia lebih terpaku memikirkan ucapan jagabaya
sebelumnya. Surat rahasia itu sepertinya punya hubungan erat dengan
kegiatan Kuwerabakti, Ginggi berpikir keras, mencoba
mencari maksud surat tersebut. Sehari sebelum
Kuwerabakti, rombongan seba dari semua wilayah akan
datang sore hari. Dari mana sajakah rombongan seba itu"
"Paman, kalau kita melakukan perjalanan tanpa henti
dari wilayah Kandagalante Sagaraherang, kira-kira akan
makan waktu berapa lama?" tanya Ginggi kemudian.
Jagabaya yang sedianya akan berlalu mendadak berhenti
lagi. Dia mengernyitkan dahi terpengaruh oleh pertanyaan
Ginggi. "Bila dilakukan tanpa tergesa-gesa, mungkin makan
waktu selama tiga hari. Kira-kira senja hari rombongan
baru bisa memasuki dayo (ibukota)," jawab jagabaya.
"Betulkah?" "Ya, aku pernah melakukan perjalanan seperti itu."
Berdebar jantung Ginggi mendengarnya. Beberapa baris
kalimat sudah bisa diraba kemungkinannya. Dan kalau
"ribuan pipit terbang dari timur" sudah bisa dipecahkan,
maka seluruh isi surat rahasia bisa dia artikan. Tapi Ginggi
benar-benar sudah bisa menduga. "Ribuan pipit terbang dari
timur" siapa lagi kalau bukan pasukan di bawah pimpinan
Kandagalante Sunda Sembawa dari wilayah Sagaraherang
yang terletak di sebelah timur Pakuan.
Ginggi kembali menyusun surat rahasia itu di dalam
benaknya, kemudian mencoba menyusun pemecahannya.
Maka "ribuan pipit terbang dari timur" diterjemahkan
sebagai pasukan yang akan bergerak dari Sagaraherang.
"Ketika senja jatuh di barat" diartikan Ginggi bahwa
pasukan itu akan tiba di barat (Pakuan) di saat senja tiba.
Kemudian baris ketiga berbunyi "tiga hari sebelum
kuwerabakti" menerangkan bahwa pasukan itu akan mulai
bergerak tiga hari sebelum upacara kuwerabakti. Baris
keempat berbunyi "pagi hari di Telaga Rena Maha Wijaya"
memberitahukan bahwa pagi hari akan diadakan satu
kegiatan. Kegiatan itu sudah pasti acara mandi suci seluruh
keluarga istana. Raja juga akan mandi suci di telagaa itu.
Oh, nanti dulu! Baris surat keempat bukan sekadar
pemberitahuan akan upacara mandi suci. Pangeran Jaya
Perbangsa tak perlu diberitahu sebab dia sendiri sudah tahu
akan upacara itu. Kalimat baris keempat ini lebih berupa
perintah untuk melakukan satu gerakan. Mungkin pagi hari
waktunya, di saat ada upacara mandi suci di Telaga Rena
Maha Wijaya. Ginggi semakin berdegup jantungnya. Dia ingat
perkataan Ki Banaspati di Pulo Parakan Baranangsiang
kemarin malam bahwa sebuah gerakan besar akan segera
dimulai. Akan ada penyerbuan besar-besaran ke Pakuan di
saat upacara penting Kuwerabakti. Pasukan akan datang
dengan menyamar sebagai rombongan pengirim seba.
Benar! Pemberontakan akan dimulai empat hari lagi.
Barangkali pasukan yang menyamar sebagai pengirim seba
akan mulai bergerak esok hari dari Sagaraherang.
Ginggi terpaku di ruangan gelap berjeruji ini. Sebentar
lagi akan terjadi puncak kemelut di Pakuan. Maka di mana
Ginggi akan menempatkan diri dalam situasi ini" Berdiri di
fihak Ki Banaspatikah"
Tapi Ginggi kini sudah bisa menilai, Ki Banaspati tidak
benar-benar berjuang sesuai amanat Ki Darma. Bahkan
orang ini sebenarnya menggunakan perintah guru hanya
sebagai dalih saja. Dengan membonceng kepada amanat Ki
Darma dia punya tujuan tertentu untuk menjalankan ambisi
pribadinya. Kedoknya semakin terbuka di Pulo Parakan
Baranangsiang. Betapa dengan kejamnya dia
mencampakkan Ki Bagus Seta setelah tahu bahwa orang itu
tak memiliki pengaruh berarti lagi di Pakuan. Ki Banaspati
benar-benar berani memperlihatkan sikap sebenarnya
sebelum cita-citanya tercapai. Tindakan seperti ini hanya
menandakan bahwa dirinya yakin akan keberhasilan
usahanya. Mungkin benar sebab Ki Bagus Seta sudah tak
mungkin memperbaiki posisinya.
Waktu sudah tak ada lagi, sebab Ki Banaspati membuka
kartu di saat-saat terakhir, di mana seluruh kekuatan
pasukannya sudah mulai bergerak. Ki Banaspati seorang
yang berambisi besar, tamak dan licik. Ginggi tak perlu
memihak padanya. Dengan kata lain, dia tak akan
menjalankan perintah-perintah Ki Banaspati secuil pun !
"Tapi, bagaimana nasib Ki Rangga Guna?" keluhnya.
Jelas, nyawa Ki Rangga Guna jadi taruhannya bila Ginggi
berani menghindari perintah-perintah Ki Banaspati.
"Jangan meributkan nyawa seseorang untuk sebuah
perjuangan besar," kata Ki Banaspati tempo hari. Apakah
Ginggi pun akan bercermin pada prinsip Ki Banaspati,
merelakan nyawa Ki Rangga Guna demi sesuatu" Sesuatu
apa" Perjuangankah" Kalau dia menolak ajakan Ki
Banaspati, lantas akan berjuang demi siapakah kini" Untuk
kepentingan Pakuan" Untuk kepentingan Raja" Tidak
mungkin, sebab selain tak sesuai dengan amanat Ki Darma,
juga bertolak belakang dengan hati nuraninya. Sudah jelas
Raja itu berjiwa lemah. Mudah diombang-ambing pengaruh
dari luar dirinya dan mudah tergoda oleh kehidupan
duniawi termasuk kecantikan wanita. Ginggi tak sudi
mengabdi kepada Raja yang seperti ini. Dan kalau kesini
tak mau dan kesana tak mau, sudah benarkah sikap
hidupnya ini" Ingat tembang-tembangprepantun (juru
pantun) yang menyindir dan mencerca sikap Ki Darma.
Itulah hukuman bagi yang meragu kesana tak mau kesini
tak mau Akhirnya Ki Darma menjadi musuh semua
Oh, hai, musuh semua ! Ginggi merenung. Hanya karena
kesana tak mau kesini tak mau maka Ki Darma akhirnya
menjadi musuh semua orang. Ginggi sedih, mengapa orang
tidak diberi kebebasan memilih sikap dan selalu harus
mengikatkan diri pada satu kepentingan"
Ketika berada di puncak, di saat suasana sepi tengah
malam, Ki Darma selalu bersenandung. Bunyi tembangnya
tak pernah berubah, selalu membacakan satu bait syair.
Hidup banyak menawarkan sesuatu namun bila salah
memilihnya kita adalah orang-orang yang kalah
Oh, hai! Orang-orang yang kalah! Ginggi tersenyum
pahit bila menyimak syair tembang Ki Darma ini. Memang
tak terbatastawaran terhadap pilihan hidup. Tapi, mencoba
tidak memilih sesuatu, sebetulnya adalahsebuah pilihan
hidup juga. Mengapa orang dianggap berdosa bila tak
mencoba memilih satu kepentingan" Kesana tak mau,
kesini tak mau, dosakah itu" Bukankah tidak memilih
sesuaupun sebenarnya satu pendirian juga"
Ginggi kembali tersenyum pahit. Sepertinya dia pun
akan berpendirian seperti Ki Darma.
Kesana tak mau kesini tak mau dan akhirnya dimusuhi
semua orang. Tidak apa. Aku hanya taat pada Ki Darma.
Ada surat dari Ki Rangga Guna yang kata Ki Banaspati
akan membahayakan dirinya. Surat itu menyuruh Ginggi
agar tetap berpegangteguh pada amanat Ki Darma.
Ginggi ingat betul, Ki Darma berkata agar dia membela
rakyat dengan jalan apa saja. Dia disuruh bergabung
dengan para murid lainnya, sepanjang mereka pun mentaati
perintah Ki Darma. Tapi Ginggi merasa bahwa Ki
Banaspati tak seutuhnya menjalankan amanat guru, berarti
Ginggi tak pelu ikut bergabung.
"Pada akhirnya kau akan punya keyakinan sendiri dalam
menentukan kebenaran. Kalau kau benar-benar telah
meyakini satu pilihan, maka kau kerjakanlah!" kata Ki
Darma ketika dia berada di Puncak Cakrabuana hampir
dua tahun silam. Tak terasa ada lelehan airmata di pipi pemuda itu. Baru
sekarang dia sadar, sebenarnya orang yang paling bijaksana
adalah Ki Darma. Orang tua ini tidak pernah mengangkat
dirinya sebagai murid. Mulanya Ginggi berpikir buruk. Ki
Darma tak secara resmi mengangkat dia sebagai murid
mungkin karena dia kurang disayang dan kurang dipercaya.
Namun belakangan Ginggi menyadari bahwa perbuatan Ki
Darma ini bisa jadi punya maksud tertentu. Ki Darma tak
mengangkatnya sebagia murid tapi memberinya berbagai
ilmu kepandaian, termasuk kepandaian dalam berpikir dan
belajar menimbang-nimbang arti kehidupan. Pemuda itu
menduga, Ki Darma membebaskan dirinya dari hubungan
guru dan murid agar Ginggi bisa melakukan pilihan. Kalau
dia terikat sumpah pada Ki Darma, jelas tak memiliki
pilihan hidup lagi sebab segalanya sudah diatur guru. Apa
yang diinginkan guru itu harus diturut. Karena ikatan-
ikatan itu Ki Darma akan merasa kecewa kalau pada suatu
saat sang murid tak mematuhi apa yang diinginkannya.
Dengan melepaskan ikatan guru-murid, kedua belah fihak
akan saling membebaskan diri dari sesuatu yang bernama
keharusan. Itulah sebabnya, kendati ada kata "perintah",
tapi di akhir kalimat, Ki Darma menyertakan ucapan,
"sepanjang kau merasa yakin atas kebenaran yang aku
katakan." Ki Darma tak pernah mengajarkan padanya apa itu
agama. Barangkali bukan berarti dirinya tak perlu memiliki
keyakinan agama. Tapi orang tua itu membebaskan Ginggi
untuk belajar menilai dan memilih. Sekarang dunia semakin
berkembang dengan hadirnya agama baru. Ki Darma
mungkin bermaksud "melahirkan" keberadaan Ginggi apa
adanya. Tidak dicekoki oleh keyakinan yang dipeluknya,
atau disuruh membenci kehadiran agama baru. Biarkan
Ginggi dalam keadaan kosong. Siapa yang harus
mengisinya, bukan karena anjuran, pengaruh atau pun
perintah orang lain, tapi diserahkan kepada hasil pilihan
hatinya sendiri. "Semakin dewasa orang akan semakin berpikir tentang
perlunya sesuatu pandangan hidup. Kau carilah sendiri,
Senja Jatuh Di Pajajaran Karya Aan Merdeka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sebab bila jalan pikiranmu sudah dewasa kau akan sanggup
memilih mana yang terbaik," kata Ki Darma tempo hari.
Orang tua itu tidak menyuruhnya masuk agama apa pun,
segalanya diseahkna pada Ginggi sendiri. Ki Darma hanya
membekalinya dengan berbagai pandangan agar kelak
Ginggi sanggup memilah-milah sendiri, mana yang benar
dan mana yang buruk. Sekarang Ginggi sudah banyak belajar meneliti sikap dan
perilaku manusia. Sedikit banyaknya dia sudah bisa
menarik kesimpulan sendiri untuk dijadikan pedoman, di
mana kelak dia harus menempatkan diri.
(O-anikz-O) Taktik Jaya Perbangsa Benar seperti yang dijanjikan Pangeran Yogascitra,
bahwa malam harinya dia akan datang lagi ke sel tahanan.
Dia datang bersama Banyak Angga dan Purbajaya.
"Bagaimana, apakah kau sudah siap memberi keterangan
tentang surat sandi itu?" tanya Pangeran Yogascitra
menatap tajam padanya. "Saya juga baru menemukan isi sandi itu barusan.
Namun ini pun sebagai kira-kira saja. Bila dugaan saya
benar, Pangeran harap segera melakukan berbagai tindakan.
Tapi bila salah, anggaplah itu keluar dari jalan pikiran
orang dungu semata," kata Ginggi balik menatap pada
pangeran itu. Semua orang mendekatkan wajahnya pada
besi jeruji. "Maksudmu, engkau sudah tahu arti sandi surat
itu?" yang bertanya heran adalah Purbajaya.
"Tidak. Isinya baru dugaan saja," gumam Ginggi.
"Sudah bisa menduga isinya berarti sudah tahu kalimat
sandi. Dari mana engkau tahu, padahal engkau tak bisa
membaca?" tanya lagi pemuda itu.
Ginggi tersenyum tipis, "Maafkan saya banyak bohong,
saya sebenarnya ada sedikit bisa"." katanya.
"Kau memang banyak membohong sehingga amat
membingunkan kami," kata Banyak Angga. "Ayahanda,
kalau dia mengemukakan isi sandi itu, apakah kita akan
mempercayainya?" menoleh pada Pangeran Yogascitra.
"Bagaimana nanti saja, yang penting dia mau bicara
dulu," jawab pangeran tua itu pendek. "Cobalah kau
katakan Ginggi, apa isi sandi itu?" kata Purbajaya.
"Itu adalah surat pemberitahuan perihal akan adanya
pasukan besar dari wilayah timur ke Pakuan ini. Saya
menduga, mereka akan menyerang tepat pada peringatan
Kuwerabakti!" kata Ginggi. Semua orang saling pandang,
kemudian sama-sama menatap wajah Ginggi.
"Mengapa Ki Banaspati mengirim surat padamu?" tanya
Banyak Angga. "Surat itu bukan untuk saya."
"Kalau begitu, untuk siapakah surat itu?"
"Saya diutus menyerahkan surat itu pada Pangeran Jaya
Perbangsa!" kata Ginggi.
"Apa?"?" teriak ketiga orang itu berbareng dan nampak
kaget."Kau maksudkan Pangeran Jaya Perbangsa punya
hubungan khusus dengan Ki Banaspati?" tanya Banyak
Angga. "Saya tak berkata begitu?"
"Kau tuduh pangeran muda itu bersekongkol untuk
melakukan satu kegiatan rahasia?" tanya Banyak Angga
lagi. "Saya tidak bicara begitu?" jawab Ginggi lagi.
"Ginggi, aku ingin percaya padamu, kumohon kau
bicaralah dengan benar?" kata Purbajaya seperti memohon
agar Ginggi bertindak dengan kesadaran.
"Apa yang ada dalam hati saya, itulah yang diucapkan.
Saya tak menduga atau menuduh sesuatu. Tapi yang jelas
saya diperintahkan Ki Banaspati menyerahkan kotak surat
kepada Pangeran Jaya Perbangsa. Tapi saya ingin sekali
melihat isinya, maka saya coba buka. Namun sebelum
berhasil membacanya, ada serangan jarum beracun dari
kotak itu dan saya pingsan. Belakangan saya menyadari
sudah berada di sini," kata Ginggi.
"Engkau terpaksa diamankan di sini karena ada surat
seperti itu," kata Purbajaya. Ginggi menundukkan muka.
"Engkau berkomplot dengan Ki Banaspati?" tanya
Banyak Angga. "Keinginan Ki Banaspati dan Ki Bagus Seta memang
begitu. Semua harus berkomplot melawan Raja!" Ginggi
menjawab begitu. "Mengapa mereka ingin melawan Raja!" tanya Pangeran
Yogascitra. "Menurut mereka, Raja tak bijaksana dalam mengatur
pemerintahan sehingga rakyat sengsara!" jawab Ginggi.
"Merekalah yang membuat rakyat sengsara. Ki Bagus
Seta selalu mempengaruhi Raja agar melakukan tindakan
keliru!" kata Pangeran Yogascitra.
"Entahlah"Hanya itu yang mereka katakan!" kata
Ginggi lagi. "Kalau begitu semua orang punya pendirian sama untuk
menurunkan Raja, Ayahanda?" gumam Banyak Angga.
"Aku tak berniat menggulingkan Raja, sekali pun
memang benar aku tak setuju dengan tindak-tanduk Raja.
Aku sudah mencoba membujuk Sang Prabu agar mau
membatalkan perkawinannya dengan Nyimas Layang
Kingkin, tapi beliau malah tersinggung atas sikapku," kata
Pangeran Yogascitra dengan nada penuh sesal.
"Lalu, bagaimana dengan nasib adikku Nyimas Banyak
Inten?" tanya lagi Banyak Angga.
(O-anikz-O) Jilid 22 Mendengar pertanyaan ini, nampak wajah Pangeran
Yogascitra kelabu. Dia menghela napas beberapa kali
sebelum melontarkan jawaban.
"Penghargaan Sang Prabu terhadap adikmu menjadi
berkurang karena peristiwa Suji Angkara. Sang Prabu
bahkan menyuruh agar adikmu dimasukkan ke mandala
saja?" gumam pangeran tua itu.
"Apa" Dimasukkan ke mandala?" Pertanyaan ini
berbareng dilontarkan oleh Banyak Angga dan Purbajaya.
Wajah Purbajaya bahkan terlihat amat pucat dan bibirnya
bergetar. "Apakah mandala itu?" tanya Ginggi heran.
"Mandala adalah semacam puri para wiku wanita. Setiap
gadis yang gagal dalam perkawinan atau kehidupan lahiriah
selalu memasuki mandala untuk belajar ilmu batin. Para
wanita bangsawan yang ditinggal mati suaminya pun
biasanya masuk kemandala ?" kata Banyak Angga dengan
wajah murung. "Apakah Nyimas Banyak Inten digolongkan wanita yang
gagal dalam kehidupan cinta?" tanya Ginggi. Tak ada yang
menjawab, sehingga suasana amat sunyi.
"Barangkali bagi Sang Prabu lebih terhormat melihat
gadis yang dicintanya memasuki mandala ketimbang hidup
di luar atau bahkan menjadi selirnya tapi sudah memiliki
cacat. Gadis yang dilarikan lelaki lain secara paksa
dianggap kehormatannya sudah cacat, apalagi gadis itu
tadinya sudah dipilih Raja?" gumam Pangeran Yogascitra
seperti bicara pada dirinya sendiri.
"Pamanda Yogascitra, jangan biarkan Dinda Banyak
Inten meninggalkan kehidupan duniawiyah. Dia masih
muda. Dia masih penuh harapan dan cita-cita!" kata
Purbajaya menggebu. "Banyak Inten masuk mandala adalah harapan Raja.
Tapi harapan Raja adalah perintah juga. Aku tak berani
menentang titahnya, apalagi amat berkaitan erat dengan
kepentingan dan kehormatannya?" gumam Pangeran
Yogascitra dengan nada sendu sehingga kemurungan
wajahnya menambah ketuaannya.
"Kalau Pamanda tak berani menentang Raja, untuk
urusan ini saya berani ke depan," kata Purbajaya tegas.
Pangeran Yogascitra menatap pemuda itu dengan penuh
selidik. "Mengapa kau begitu mati-matian membela anakku?"
tanyanya. Tapi yang ditanya malah menunduk membuat
hati Ginggi sedikit berdebar karena penuh dugaan.
"Sudahlah"Urusan paling besar yang harus kita hadapi
adalah sandi rahasia itu. Ginggi, benarkah isi surat itu
maksudnya demikian?" tanya pangeran itu menoleh pada
Ginggi. "Sudah saya katakan tadi, itu hanya dugaan belaka,"
jawab Ginggi, "Ribuan pipit terbang dari timur. Itulah
pasukan yang kelak akan datang dari arah timur, entah
siapa. Ketika senja jatuh di barat, maksudnya pasukan itu
akan tiba di wilayah barat dan saya artikan sebagai Pakuan,
di senja hari. Tiga hari sebelum Kuwerabakti, saya tafsirkan
pasukan akan mulai bergerak dari timur tiga hari sebelum
upacara Kuwerabakti, Baris terakhir, pagi hari di Telaga
Rena MahaWijaya, saya artikan bahwa saat penyerbuan
akan dilakukan di pagi hari, mungkin titik penyerbuan ke
telaga itu. Apakah dugaan saya ini benar atau salah, saya
sendiri pun tak dapat memastikannya!" kata Ginggi
panjang-lebar. Namun mendengar penjelasan ini, semua orang
mendadak pucat wajahnya. "Bisa jadi dugaanmu benar anak muda," gumam
Pangeran Yogascitra, "Pagi hari pada hari pertama upacara
Kuwerabakti adalah mandi suci Sang Prabu beserta seluruh
pejabat istana di Telaga Rena Maha Wijaya. Kemungkinan
penyerbuan dilakukan di saat semua penghuni istana
meninggalkan kadaton (keraton) dan berada di tempat
terbuka tanpa perlindungan?" kata Pangeran Yogascitra.
Ginggi pun ingat, telaga di Bukit Badigul Rancamaya itu
berada di wilayah jawi khita (benteng luar istana). Kalau
seluruh penghuni istana sedang berada di sana, maka
penyerbuan itu akan sangat membahayakan keselamatan
Raja. "Kalau begitu, kita harus segera mengambil tindakan,"
kata Pangeran Yogascitra.
"Nanti dulu Ayahanda. Kita harus selidiki
kebenarannya," kata Banyak Angga sambil kemudian
menoleh ka arah Ginggi. "Ginggi sebetulnya engkau ada di
fihak manakah" Di lain fihak diutus Ki Banaspati tapi di
lain fihak pula beritahu kami mengenai rencana mereka,"
kata Banyak Angga lagi. Pangeran Yogascitra pun rupanya terpengaruh oleh
ucapan pemuda itu, buktinya dia menatap tajam Ginggi.
"Kau berada di fihak mana, anak muda?" tanyanya.
"Saya tak berada di fihak mana pun. Semua peristiwa ini
tak ada kepentingannya dengan saya. Tapi kalau saya
sekarang beberkan rencana Ki Banaspati atau siapa saja,
saya sebenarnya hanya tak ingin terjadi banyak korban.
Kalau benar ada rencana penyerbuan besar-besaran ke
Pakuan, akan jatuh korban sia-sia. Saya tak ingin melihat
perang sebab akan menyengsarakan banyak orang?" kata
Ginggi mantap. Pangeran Yogascitra merenung namun akhirnya
mengangguk-angguk. "Pendapatmu benar belaka, anak
muda. Perang tak boleh terjadi, apalagi dilakukan sesama
orang Pajajaran?" kata pangeran itu.
"Lalu bagaimana tindakan kita, Ayahanda?" tanya
Banyak Angga. Pangeran Yogascitra berpikir sejenak. Dia menerawang
ke langit-langit, lalu menatap Ginggi.
"Kau lanjutkan dulu perintah Ki Banaspati. Serahkan
kotak surat pada Pangeran Jaya Perbangsa. Aku ingin teliti,
apakah benar dia terlibat pemberontakan?" Pangeran
Yogascitra melirik pada putranya, "Kau dan Purbajaya
kawal anak muda ini. Datanglah malam ini juga ke puri
Jaya Perbangsa. Selagi anak muda itu menyerahkan surat,
kau sembunyi di luar, dan kau Ginggi, aku ingin tahu
sejauh mana kau ingin bantu aku, maksudku, sejauh mana
kau ingin menghindari pertumpahan darah seperti yang aku
juga pikirkan. Kalau jalan pikiranmu sama denganku, kau
tentu mau membantu," kata pangeran itu menoleh pada
Ginggi. "Saya siap membantu, Pangeran?" ucap Ginggi
mengangguk. Jagabaya dipanggil dan pintu jeruji dibuka. Ginggi
berdiri dan melangkah keluar dari pintu tahanan. Dadanya
masih terasa sakit karena luka dan tubuhnya pun lemah-
lunglai. "Tubuhmu terserang racun. Tapi itu menolong
kecurigaan kami akan keterlibatanmu, Ginggi," kata
Purbajaya di tengah jalan menuju puri Jaya Perbangsa.
"Benar kecurigaan kami berkurang. Kotak itu dipasangi
senjata rahasia agar orang yang tak tahu dan berniat
membukanya akan mati kena racun. Ini hanya menandakan
kau memang tidak terlibat. Tapi aku sendiri masih bingung
dengan sikapmu. Sepertinya kau tengah bimbang kau mesti
berpihak ke mana," kata Banyak Angga.
"Dulu saya bimbang, tapi setelah saya teliti kesana-
kemari, saya sudah bisa ambil keputusan," jawab Ginggi.
"Apa keputusanmu?"
"Saya tidak akan ikut kemana-mana," jawab Ginggi.
"Termasuk membela negara?"
"Ini bukan pertentangan antara negara dan pemberontak,
melainkan pertentangan orang-orang yang ingin menguasai
negara," jawab Ginggi.
"Mungkin begitu, tapi apa pun yang terjadi, negara tetap
dalam bahaya dan semua orang harus mau
mempertahankan negara," kata Banyak Angga.
"Pendapatmu sama dengan saya. Maka untuk itulah saya
pun berusaha mencegah terjadinya pertumpahan darah,"
kata Ginggi. Tiba di depan benteng puri, Banyak Angga dan
Purbajaya memisahkan diri. Mereka naik ke benteng lewat
jalan samping dan menghindari pertemuan dengan para
jagabaya puri tersebut. Sedangkan Ginggi masuk puri secara
baik-baik. "Tapi Juragan Jaya Perbangsa sedang tak ada, Raden?"
kata penjaga.
Senja Jatuh Di Pajajaran Karya Aan Merdeka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Beliau sedang ke mana?" tanya Ginggi agak kecewa.
"Juragan dipanggil Sang Prabu malam ini juga. Rupanya
ada sesuatu kepentingan mendadak," ujar jagabaya.
"Begitu pentingkah kehadiranmu malam ini, Raden?"
tanyanya kemudian. Ginggi tak menjawab, sebab hatinya
tengah berpikir-pikir tentang maksud pertemuan pangeran
itu dengan Sang Prabu. Namun ketika dia sedang termangu, dari jauh ada bunyi
suara ketoplak kaki kuda. Ginggi menoleh ke belakang.
Yang datang ternyata Pangeran Jaya Perbangsa, berjalan
lambat-lambat dan dikawal empat orang prajurit bersenjata
dengan obor di tangan masing-masing.
"Siapa itu?" tegur bangsawan muda berkumis tipis ini.
"Oh, aku kenal kau. Bukankah engkau calon ksatria dari
puri Yogascitra, bukan?" kata pangeran itu dengan nada
sedikit mengejek yang Ginggi tak tahu apa maksudnya.
"Ada yang akan saya sampaikan. Dan ini sangat penting.
Bolehkah saya masuk?" kata Ginggi.
Pangeran Jaya Perbangsa menatap sejenak, namun
kemudian mengangguk kendati penuh hati-hati.
Ginggi diterima di sebuah kamar tertutup. Ketika dia
baru saja duduk bersila, di atas sirap terdengar sedikit
gerakan. Pelahan saja tapi Ginggi tahu ada dua benda berat
bertengger di sana. Ginggi khawatir akan kecerobohan dua
orang temannya itu. Bagi penilaian Ginggi, gerakan mereka
masih kasar. Kalau Pangeran Jaya Perbangsa memiliki
kepandaian tinggi, mereka pasti mudah diketahui.
"Ada keperluan apakah Pangeran tua yang setia itu
mengutusmu, hei ksatria!" kata Pangeran Jaya Perbangsa
masih dengan nada sedikit mengejek. Namun bagi Ginggi
sepertinya orang ini memperlihatkan dirinya bahwa dia tak
senang terhadap Pangeran Yogascitra. Dan ini sedikit lebih
meyakinkan dirinya pula bahwa bangsawan muda yang
gagah ini punya hubungan dengan Ki Banaspati.
"Saya datang ke sini bukan atas suruhan Pangeran
Yogascitra," kata Ginggi pendek. Namun begitu mendengar
penjelasan ini, pangeran muda itu membelalakkan kedua
belah matanya. "Kau"siapa engkau sebenarnya?" tanyanya sedikit
heran. "Namaku Ginggi!" kata lagi pemuda itu pendek tapi
matanya tajam menatap Pangeran JayaPerbangsa.
"Maksudku, bukankah engkau orang dari puri
Yogascitra?" tanya lagi bangsawan itu.
"Segalanya bisa terjadi, Pangeran. Bukankah Pangeran
Yogascitra pun sampai saat ini selalu menganggap
Pangeran Jaya Perbangsa sahabat baiknya?" kata Ginggi
sedikit menyindir sehingga membuat wajah pangeran muda
itu sedikit memerah. "Ya, segalanya bisa terjadi dalam meniti perjuangan.
Kau diutus oleh siapakah dan dalam urusan apakah?" tanya
lagi Pangeran Jaya Perbangsa.
"Ini!" Ginggi langsung menyerahkan kotak surat yang
engselnya sudah kembali terkunci. Pangeran Jaya
Perbangsa menerima kotak surat itu. Dan dia terkejut
menerimanaya. "Kau utusan Ki Banaspati, anak muda?"
tanyanya. Tapi Ginggi hanya mengangguk pelan. "Perlu dibuka
hari ini juga?" "Terserah Pangeran?" kata Ginggi.
Bangsawan itu berjingkat dulu dan membuka sebuah
lemari kayu berukir indah. Dari dalam lemari dia keluarkan
semacam baju zirah, yaitu pakaian terbuat dari logam
menyerupai sisik-sisik ikan. Ginggi terkejut sekali. Bila
begitu rahasia dirinya akan terbongkar. Dengan sedikit
berdebar, Ginggi menyaksikan pangeran itu mencoba
membuka engsel dengan amat hati-hati. Wajahnya sedikit
dijauhkan sepertinya tengah bersiap menjaga kemungkinan.
Namun ketika engsel terbuka dan kepala pangeran itu sigap
menghindar dengan cara miringkan wajah ke samping,
tidak terjadi sesuatu. Pangeran Jaya Perbangsa menatap penuh selidik pada
Ginggi. "Ada apakah, Pangeran?" tanya Ginggi ingin segera tahu
pikiran apa yang terkandung dibenak bangsawan ini. "Ada
dua kumungkinan kotak ini memberi tahu padaku.
Pertama, kau membohongiku dan kedua kau berkhianat!"
kata Pangeran Jaya Perbangsa pendek.
"Mengapa begitu?"
"Ki Banaspati setiap mengirim surat dalam kotak
tertutup, selalu dipasangi jebakan. Orang yang sembrono
membuka kotak surat akan mati seketika karena serangan
senjata rahasia. Sekarang kotak sudah tanpa jebakan.
Artinya kotak sudah ada yang buka !" kata Pangeran Jaya
Perbangsa. "Saya yang membuka!" gumam Ginggi pendek.
"Kalau begitu kau harus mati! Kau pengkhianat!" seru
bangsawan muda pemarah itu sambil melancarkan pukulan
dengan tangan kanan terkepal. Pukulan itu lurus ke depan
mengarah jidat Ginggi. Namun dalam pandangan pemuda
itu, gerakannya terlihat lamban dan mudah diikuti mata,
sehingga dengan entengnya Ginggi menangkap pergelangan
tangan bangsawan itu dengan tangan kirinya.
Pangeran Jaya Perbangsa kembali melayangkan pukulan
dengan tangan kiri dan ditepis dengan baik oleh tangan
kanan Ginggi. Nampak bangsawan itu meringis karena
tangkisan Ginggi. "Aku tangan kanan Ki Banaspati, sudah barang tentu
harus tahu segala gerakan yang ada!" kata Ginggi masih
memegang pergelangan tangan bangsawan itu sehingga dia
kian meringis saja. "Tapi kau melanggar perintah Ki Banaspati!" kata
Pangeran Jaya Perbangsa mencoba melepaskan tangannya
tapi tetap tak kuasa. "Tak ada yang kulanggar. Surat itu sudah sampai di sini
seperti apa yang diinginkan Ki Banaspati," kata Ginggi.
"Ya, tapi kau membukanya!"
"Ki Banaspati tak melarangku untuk membukanya, sebab
kalau aku tak punya kepandaian, biar disuruh buka pun aku
tak akan mampu membacanya karena keburu mati!" kata
Ginggi sambil merasakan sakitnya di dada yang terasa
berdenyut-denyut. Hatinya sedikit malu ketika bicara
begitu, sebab kalau tak segera diobati penghuni puri
Yogascitra barangkali nyawanya sudah melayang karena
racun dalam jebakan kotak surat itu.
Tapi mendengar ucapan Ginggi, Pangeran Jaya
Perbangsa sepertinya memaklumi. Buktinya dia tak
bertahan lagi memaksakan pendapatnya. Ginggi pun segera
melepaskan pegangan tangannya.
"Saya ingin bertanya, bagaimana persiapan di sini dalam
menyambut hari penting itu," tanya Ginggi sesudah
Pangeran Jaya Perbangsa membaca dan mengartikan
makna sandi surat itu. Bangsawan itu menatap Ginggi sejenak. Tapi karena
Ginggi balik menatap tajam, dia mau juga bicara.
"Semua sudah aku kerjakan sesuai perintah Ki
Banaspati, Pakuan harus dikosongkan dari kekuatan
perwira?" Berdebar hati Ginggi mendengarnya.
"Itu akan disampaikan pada Ki Banaspati. Tapi coba
jelaskan keadaan di Pakuan secara utuh sehingga saya bisa
melaporkannya dengan sempurna kepada Ki Banaspati,"
kata Ginggi. Seperti seorang bawahan lapor pada atasan, Pangeran
Jaya Perbangsa menerangkan persiapan yang dilakukannya
di Pakuan. Kata bangsawan ini, semua orang sudah siap
menunggu komando. Jadi, bila saatnya tiba, mereka akan
membantu bergerak dari dalam.
"Secara kebetulan sekali malam ini aku dipanggil
menghadap Sang Prabu. Dalam uraiannya dia ingin minta
pendapat pada Pangeran Yogascitra perihal 15 pewira
kerajaan yang menuju Puncak Cakrabuana lebih dari dua
tahun silam. Ini karena ada pertanyaan dari perwira
lainnya, mengapa nasib 15 perwira yang diutus mengejar
buronan Ki Darma Tunggara tidak pernah diperhatikan.
Kelimabelas perwira itu hingga kini belum kembali dan tak
ada khabar beritanya. Beberapa perwira tua ingin tahu,
apakah kelimabelas orang rekannya berhasil menangkap Ki
Darma atau tidak. Kalau berhasil, mengapa tak pernah
pulang dan kalau gagal, apakah mereka tewas atau
bagaimana?" "Teruskan?" kata Ginggi dengan nada suara diusahakan
biasa, padahal dadanya bergetar hebat.
"Aku katakan, tak perlu minta pertimbangan Pangeran
Yogascitra sebab bangsawan tua itu kalau berpikir terlalu
bertele-tele dan rasa hati-hatinya terlalu berlebihan. Jangan
biarkan para perwira kerajaan goncang. Limabelas perwira
yang hilang harus dicari. Aku sarankan agar dikirim lagi
pasukan kecil terdiri dari perwira tangguh. Mereka harus
ditugaskan mencari dan menyelidiki perihal raibnya rekan-
rekan mereka. Aku beri susunan dan daftar para perwira
yang bisa dipercaya melakukan tugas ini. Hahaha ! Sepuluh
perwira tangguh siap diberangkatkan besok subuh !"
Pangeran Jaya Perbangsa tertawa terbahak-bahak.
"Mengapa mereka harus pergi sekarang juga?" tanya
Ginggi. "Itulah taktik mengundang harimau keluar sarang,
sehingga dengan amannya kita bisa memasuki sarang
mereka!" kata Pangeran Jaya Perbangsa bangga dengan
jalan pikirannya. "Para perwira yang aku tawarkan pada
Sang Prabu adalah perwira-perwira setia pada Raja yang
sulit diajak kerja sama. Jadi, biarkan mereka jauh dari
Pakuan di saat dayo ini diserbu pasukan dari timur!" kata
bangsawan ini. "Tapi sepuluh perwira itu kemungkinan ketemu di jalan
dengan pasukan dari timur!" kata Ginggi.
"Hahaha! Biarkan saja. Mereka akan berpapasan dan
dibantai pasukan. Kekuatan perwira Pakuan akan utuh bila
digabung sebab semuanya mahir ilmu pertempuran. Tapi
bila dipecah-pecah seperti itu, perlawanan mereka tak ada
artinya! Hahaha!" Pangeran Jaya Perbangsa nampak
gembira sekali. "Jalan pikiran Pangeran amat cerdik. Tak percuma Ki
Banaspati menugaskanmu di Pakuan. Tapi, apakah para
pembantu Ki Banaspati lainnya sama cerdiknya dengan
engkau, Pangeran?" tanya Ginggi lagi.
"Hahaha! Semua bisa dipercaya!"
"Saya pun harus mengenali mereka, sebab dalam hari
penting saya ada di Pakuan, jangan biarkan saya keliru
memilih lawan!" kata Ginggi lagi.
"Nanti kau pun akan tahu?" kata Pangeran Jaya
Perbangsa masih tersenyum. Ginggi sebetulnya penasaran
ingin mengorek keterangan lagi. Tapi kalau terlalu
mendesak, dikhawatirkan pangeran itu akan curiga.
"Kalau begitu baiklah. Saya mohon diri sebab tidak baik
kalau terlalu lama di sini?" gumam Ginggi sambil mohon
diri hendak meninggalkan ruangan iu.
Ginggi berjalan keluar puri, mohon diri untuk pulang
kepada para jagabaya yang menjaga gerbang. Tapi tiba di
sebuah jalan berbalay, sudah ada dua orang menunggu.
Mereka adalah Banyak Angga dan Purbajaya.
"Keparat Jaya Perbangsa?" desis Banyak Angga.
"Ya"begitulah seperti yang kalian dengar tadi," gumam
Ginggi. "Setelah ini, kita bagaimana?" tanyanya kemudian.
"Kita lapor pada Ayahanda!" ajak Banyak Angga. Semua
setuju untuk kembali ke puri Yogascitra.
Demi mendengar laporan ini, Pangeran Yogascitra
nampak pucat wajahnya. "Tidak sangka Jaya Perbangsa yang selama ini baik
padaku bertindak sehina ini?" gumamnya memendam
kesedihan. "Tapi bukankah hampir semua orang sekarang bertindak
begitu?" tanya Ginggi. Turun naik dada pangeran tua itu
ketika Ginggi berkata begitu.
"Kita boleh mengeluarkan panca-Parisuda (kritik dan
teguran) seperti apa yang tersirat dalam Kitab Sanghyang
Siksakandang Karesian, tapi tak dibenarkan melakukan
pemberontakan!" kata Pangeran Yogascitra tegas.
"Tapi Ki Darma Tunggara yang melakukan kritik tetap
dianggap memberontak. Sehingga pada akhirnya, apakah
itu terang-terangan kepada Raja atau hanya sekadar
melontarkan panca-parisuda, kalau membuat Raja marah,
tetap akan dituding pengkhianat dan pemberontak. Maaf
Pangeran, dalam pertemuan beberapa hari lalu di puri ini,
Pangeran bersedia melakukan upaya perbaikan di istana. Itu
artinya, Pangeran akan secara langsung berhadapan dengan
Sang Prabu. Pangeran akan mengoreksi tindakan Raja.
Kalau sudah begitu apa bedanya dengan semua orang,
dengan tindakan Ki Darma juga misalnya" Bukankah pada
akhirnya Pangeran juga sama-sama memberontak dalam
pandangan Sang Prabu?" Tanya Ginggi menggebu.
"Aku tidak akan memberontak!"
"Tapi Ki Darma tetap dituduh memberontak!"
"Aku tak menuduh Ki Darma memberontak!"
"Mengapa sampai sekarang dia tetap dikejar" Mengapa
semua prepantun mengolok-olok dan mengejeknya"
Mengapa?" tanya Ginggi lagi kian menggebu.
"Ginggi! Ada apa secara tiba-tiba kau seperti membela Ki
Darma?" teriak Pangeran Yogascitra.
"Karena saya murid Ki Darma!" Ginggi balik berteriak.
Terhenyak semua orang mendengar pengakuan ini.
Pangeran Yogascitra bahkan tak terasa mundur setindak.
"Ya, saya murid Ki Darma!" kata Ginggi lagi.
"Barangkali saya akan ditangkap, sebab kata orang, setiap
yang memiliki hubungan dengan Ki Darma akan
disamakan kedudukannya sebagai pemberontak juga. Boleh
tangkap saya. Tapi sebelumnya akan saya buktikan bahwa
saya tidak melakukan pemberontakan, sama seperti apa
yang dilakukan Ki Darma belasan tahun silam. Dan
Bahkan sama dengan tindakan Pangeran Yogascitra yang
Senja Jatuh Di Pajajaran Karya Aan Merdeka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
melakukan panca-parisuda tapi bukan melawan Raja" kata
Ginggi lagi menatap tajam.
Pangeran Yogascitra termenung mendengar kata-kata
pemuda itu, demikian pun yang lainnya.
"Aku sudah katakan tadi, tidak pernah menuduh Ki
Darma sebagai pemberontak. Tapi harap kau tahu, Sang
Prabu Ratu Sakti banyak dikelilingi para pembantunya dan
gagasan serta jalan pikirannya bermacam-macam. Kalau
ada orang yang merasa tak senang dengan tindak-tanduk Ki
Darma, maka rasa tak senangnya itu dipengaruhkannya
pada Sang Prabu agar beliau membuat keputusan-
keputusan tertentu," gumam Pangeran Yogascitra dengan
nada pemuh sesal. Ginggi hanya terlihat mematung dengan napas sedikit
ditahan-tahannya. "Kau tanyalah anakku, bagaimana sikapnya terhadap Ki
Darma. Dia tak mengenal orang tua gagah itu secara
pribadi, sebab Banyak Angga masih terlalu kecil saat itu.
Tapi anakku sudah punya pandangan tersendiri pada Ki
Darma," kata Pangeran Yogascitra sambil menoleh pada
Banyak Angga yang duduk bersila dengan wajah muram.
"Sekarang ini dunia terbalik. Orang yang menyayangi
dengan memberinya kritik dikesampingkan dan dibenci,
tapi yang menjilat dan mencari muka dihargai. Saya
mempelajari kehidupan Ki Darma sejak mulai beliau
sebagai anggota Seribu Pengawal Raja sampai menjadi
buronan yang harus dikejar. Tak ada arang tercoreng di
wajahnya, sebab apa yang beliau lakukan, semuanya demi
nama baik bangsa dan negara. Hanya karena sikap
penguasa yang tak senang padanya saja yang menyebabkan
dia dicap sebagai pemberontak," kata Banyak Angga
sungguh-sungguh. "Ki Darma seorang gagah. Dia patriotik sejati. Tapi
kedudukan kami lemah sehingga sulit mempengaruhi Raja
untuk tidak membencinya?" Purbajaya ikut bicara.
Ginggi sangat terharu dengan sikap-sikap mereka ini.
Setidaknya Ginggi tahu, tidak semua orang menuduh buruk
terhadap Ki Darma. "Terima kasih bahwa di puri ini saya mendapatkan
kebahagiaan," kata Ginggi dengan nada bergetar.
"Percayalah pada saya, bahwa saya juga sependapat dengan
orang yang ada di sini. Saya benci kekerasan dan saya tak
menghendaki adanya pemberontakan," katanya lagi.
"Baik, kami semua percaya padamu. Karena kau lebih
banyak tahu dari pada kami perihal rencana
pemberontakan, maka sebaiknya kau bantu kami
memecahkan cara dalam mencegah pemberontakan ini,"
kata Pangeran Yogascitra.
Ginggi tak menjawab. Tapi karena Pangeran Yogascitra
mulai duduk kembali sambil bersila, Ginggi pun ikut
bersila. "Didayo (ibukota) ini saya melihat sudah banyak
perbedaan pendapat. Di luar Pakuan lebih parah dari itu,
sebab banyak orang tak menyukai Raja," kata Ginggi, "Saya
tidak akan berpihak ke mana pun sebab mana benar mana
salah, semuanya sudah bergalau menjadi satu. Tapi satu hal
yang akan saya kerjakan di sini, saya akan coba
menggagalkan perumpahan darah. Saya tak ingin beda
pendapat di antara orang-orang yang mementingkan
kedudukan mengikut sertakan rakyat dan rakyat menjadi
korban kepentingan mereka," kata Ginggi lagi menatap
Pangeran Yogascitra. "Pendapatmu aku hargai, anak muda," sambut
bangsawan itu. "Namun bagaimana caranya agar
pertempuran tidak terjadi?" tanyanya kemudian.
Baik Banyak Angga mau pun Purbajaya sama-sama
menatap padanya. Ginggi mengerutkan dahi sebab dia pun masih bingung
bagaimana caranya mencegah pertempuran.
"Menahan perjalanan mereka sudah tak mungkin sebab
hari ini hampir setengah perjalanan mereka lakukan,"
gumam Ginggi. "Lebih baik biarkan saja mereka memasuki
Pakuan," lanjutnya. Semua orang menatap dirinya.
"Tapi kekuatan Pakuan harus tetap utuh. Untuk itu harus
ada yang segera menghubungi Raja agar membatalkan
pengiriman sepuluh perwira menuju timur. Perkiraan
Pangeran Jaya Perbangsa harus kita kuatirkan. Dia yang
melahirkan gagasan agar sepuluh perwira andalan
meninggalkan Pakuan. Pertama disengaja agar tidak bisa
menjaga Pakuan dan keduanya diharapkan sepuluh perwira
berpapasan dengan pasukan penyerbu untuk kemudian
dibantai," kata Ginggi merenung lagi. "Adakah yang
sanggup menghadap Raja?" tanyanya.
"Kapan kesepuluh perwira akan berangkat tugas?" tanya
Pangeran Yogascitra. "Saya dengar subuh hari ini mereka akan berangkat,"
kata Banyak Angga. "Ya, benar"subuh ini!" sambung Ginggi.
"Kita tak bisa begitu saja mencegat para perwira agar tak
jadi berangkat. Segalanya harus berdasarkan titah Raja.
Sedangkan kapan kita bisa menghadap Raja, rasanya tak
ada waktu lagi," Pangeran Yogascitra mengerutkan dahi.
"Bagaimana kalau tak melalui Raja. Kita langsung
menghubungi para perwira saja dan kita katakan perihal
bahaya penyerbuan ini," Banyak Angga mengajukan usul.
"Hati-hati. Jangan-jangan ini malah lebih berbahaya.
Kau mungkin dengar ucapan Pangeran Jaya Perbangsa tadi,
bahwa di Pakuan sudah banyak kaki-tangan Ki Banaspati.
Tapi, siapa saja mereka, kita tidak diberi tahu. Kalau kita
salah menghubungi, malah kita seolah menyerahkan nyawa
pada mereka," kata Ginggi mengingatkan. Purbajaya
membenarkan ucapan Ginggi ini.
"Jadi bagaimana baiknya?" tanya Banyak Angga
bingung. "Lebih baik kita cegat saja kesepuluh perwira yang
sedianya akan melakukan perjalanan ke timur. Kita
khabarkan mara-bahaya yang tengah mengancam Pakuan.
Saya yakin, mereka mau percaya dan mengurungkan
perjalanan. Tapi yang harus menghubungi mereka haruslah
Pangeran sendiri," kata Ginggi.
Pangeran Yogascitra setuju, sebab mungkin para perwira
hanya percaya padanya saja.
"Kalau begitu aku harus siap-siap menghubungi mereka,"
tutur Pangeran Yogascitra sungguh-sungguh, "Tapi semua
pun harus membagi tugas," lanjutnya.
"Saya akan membayangi Pangeran Jaya Perbangsa," kata
Banyak Angga. Ginggi menatapnya, khawatir pemuda itu
bertindak sembrono. "Saya hanya akan kembali pada Ki Banaspati untuk
menyelidik gerakannya," tutur Ginggi.
"Akan saya pikirkan apa yang mau saya kerjakan. Saya
ingin tahu siapa kaki-tangan Ki Banaspati di Pakuan ini,"
gumam Purbajaya. (O-anikz-O) Purbajaya, dari Kelompok Mana"
Percakapan berhenti sampai di situ sebab Pangeran
Yogascitra harus sudah bersiap-siap keluar puri.
Hari belumlah subuh, tapi pangeran tua ini perlu
berkemas mempersiapkan sesuatu. Sedangkan Ginggi
segera mohon diri sebab kantuk sudah demikian
menyerangnya, apalagi tubuhnya masih terasa lemah
karena luka-luka di tubuhnya.
Namun ketika pemuda itu tiba di bangunan di mana dia
menginap, darahnya berdesir cepat manakala di sudut
ruangan ada satu tubuh membayang.
"Ki Banaspati?" gumam Ginggi setengah berdesis saking
kagetnya. Ginggi menahan napas dan mencoba bersiap
memusatkan tenaga menjaga kalau-kalau Ki Banaspati
melakukan penyerangan. Namun apa yang dikhawatirkan
ternyata tak terjadi. Ki Banaspati malah mendekatinya.
"Tiga hari yang akan datang waktu yang baik untuk
melakukan tugasmu," kata Ki Banaspati.
"Tugasku yang mana?" tanya Ginggi berdebar.
"Membunuh Raja!"
"Membunuh Raja?"
"Ya! Sang Prabu akan mandi suci tepat di pagi hari, di
Telaga Rena Maha Wijaya. Oranglainnya yang sama-sama
harus kau bunuh juga ada di telaga."
"Pangeran Yogascitra?"
"Benar!" "Akan begitu banyak pengawal di sana. Aku pasti
kesulian melakukan tugas itu!" kata Ginggi.
"Hm! Kau meremehkan gerakanku. Ketahuilah, lebih
dari setengah pengawal Raja adalah anak buah Ki Bagus
Seta tapi kini sudah berada di bawah komandoku," kata Ki
Banaspatipasti. Ginggi terkejut mendengarnya.
"Ki Bagus Seta bagaimana?"
"Dia sudah tak bisa diharapkan. Ki Bagus Seta sakit
parah!" jawab Ki Banaspati pendek.
Ginggi mengerutkan dahi. "Dia sudah jadi orang yang
tak berguna. Tinggal kita berdua yang masih bisa
melaksanakanamanat Ki Guru," desis Ki Banaspati.
"Camkan itu," sambungnya.
"Tapi apakah pelaksanaan tugasku masih berada di
bawah ancamanmu?" tanya Ginggi menatap tajam.
"Ya, sebab nyawamu dan nyawa Ki Rangga Guna masih
amat bergantung pada sejauh mana kesetiaanmu pada
perjuangan ini!" jawab Ki Banaspati tegas.
"Ingat, tiga hari lagi, pagi-pagi di Telaga Rena Maha
Wijaya!" desisnya lagi. Dan Ki Banaspati segera berlalu.
Dia meloncat dari jendela, menghilang di kegelapan.
Tinggallah Ginggi sendirian, merenung jauh dengan pikiran
gundah. Kekuatan Ki Banaspati ternyata sudah benar-benar
sempurna. Dia sudah memiliki jaringan dimana-mana,
termasuk di sekitar pengawal Raja sendiri. Ginggi harus
semakin berhati-hati tinggal di Pakuan ini. Ada dua
kekuatan besar akan saling beradu. Satu kekuatan
pendukung Raja dan satunya lagi yang akan menggulingkan
Raja. Kedudukan Ginggi seolah ada di tengah dan sedang
diperebutkan. Bila salah satu kekuatan tahu dia memilih
salah satunya, maka kedudukan Ginggi akan berbahaya.
Pangeran Yogascitra kendati ada rasa kecewa terhadap
kebijaksanaan Raja namun tak berniat menggulingkannya.
Dan Ini Ginggi masukkan sebagai kelompok pendukung
Raja. Namun yang lebih berbahaya adalah kelompok Ki
Banaspati. Mereka jelas-jelas niatnya memberontak dan
akan merebut kekuasaan. Gerakan ini membahayakan
keselamatan rakyat, juga dirinya sendiri, sebab kini Ginggi
berada di bawah ancaman mereka. Ki Banaspati kerapkali
melakukan penekanan, kalau Ginggi tak mau
membantunya, maka selain Ki Rangga Guna akan dibunuh,
juga dirinya akan diumumkan sebagai pengikut Ki Darma
yang pada akhirnya akan ikut dikejar-kejar juga.
Tapi untuk yang kesekian kalinya Ginggi pun jadi ingat
ucapan Ki Banaspati. Bahwa untuk mencapai kepentingan
yang lebih besar, nyawa satu orang apalah artinya. Kalau
Ginggi harus ikut pendapat ini, Ginggi pun perlu
mengorbankan satu orang yaitu Ki Rangga Guna. Tegakah
dia membiarkan orang tua itu dibunuh pasukan Sunda
Sembawa" Kemudian kalau bertahan menyelamatkan
nyawa Ki Rangga Guna, beranikah mengorbankan orang
banyak dalam kancah peperangan besar"
Ginggi pusing memikirkannya. Pertimbangan seperti ini
sebetulnya tidak diketahui oleh Ki Darma. Kata Ki Darma,
terlalu banyak memikirkan untung-rugi pada akhirnya
hanya akan melahirkan kerugian saja. Hanya karena tak
mau membunuh harimau, maka pada akhirnya Ginggi
menjadi mangsa harimau itu sendiri.
"Untuk mencapai satu tujuan yang lebih penting, engkau
harus bisa mengeraskan hati untuk membuat satu putusan!"
kata Ki Darma ketika di Puncak Cakrabuana.
"Ya, aku memang lemah! Aku berjiwa lemah!"
gumamnya seorang diri. Sampai kokok ayam bersahutan,
Ginggi masih gundah-gulana, sehingga pada saat matahari
hampir muncul saja dia bisa tidur.
Ginggi bangun sesudah matahari agak tinggi. Itu pun
karena Purbajaya datang memanggilnya.
"Ada hal yang penting, Raden?" tanya Ginggi mengucak
kedua matanya karena masih pedih.
"Ya, ada sesuatu yang amat penting menyangkut
dirimu," kata Purbajaya.
Ginggi memandang pemuda itu penuh perhatian.
"Kau mandilah dulu!" kata lagi Purbajaya.
Ginggi segera pergi membersihkan badan sehingga
kesegarannya kembali pulih.
Muncul lagi ke ruangan di mana Purbajaya berada
dengan menggunakan pakaian santana, yaitu baju kurung
warna biru tua terbuat dari kain halus buatan negri Cina.
Ornamen warna emas melingkari kain di pergelangan
tangannya. Ginggi pun mengenakan ikat kepala dari kain
batik hihinggulan, Dia sekarang sudah mengerti cara berpakaian,
bagaimana etika di Pakuan ini, dia harus atur.
"Bagaimana, Raden?" tanyanya ketika sudah berada di
hadapan Purbajaya. "Engkau dipanggil menghadap ke balai penghadapan
Raja," kata Purbajaya.
"Maksudmu, aku dipanggil Sang Prabu?" tanya Ginggi
heran. Pemuda di hadapannya mengangguk.
"Ada keperluan apakah?"
"Mungkin berkaitan dengan pengetahuanmu perihal
gerakan pasukan dari timur," jawab Purbajaya.
Ginggi merenung dalam. "Sepuluh perwira yang akan berangkat ke Puncak
Cakrabuana berhasil dibatalkan. Tapi Raja perlu
mendapatkan keterangan lebih seksama. Itulah sebabnya
Senja Jatuh Di Pajajaran Karya Aan Merdeka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kau dipanggil menghadap," kata pemuda itu dengan nada
datar saja. "Sekarang?" "Sekarang?" "Mari," kata Ginggi. "Tapi sebelumnya, ada sesuatu yang
akan aku tanya padamu, Raden, kalau-kalau engkau
mengetahuinya?" kata Ginggi menunggu.
"Soal apa?" Purbajaya menoleh.
"Sejauh mana kebencian orang-orang Pakuan terhadap
Ki Darma?" tanya Ginggi.
"Tidak semua orang membenci Ki Darma. Sebagian
besar anggota Seribu Pengawal Raja bahkan tidak
merasakan bahwa Ki Darma memiliki kesalahan. Sekurang-
kurangnya itu yang aku dengar di kalangan para perwira.
Tapi Sang Prabu kurang gemar menerima kritik. Dia
terlanjur dinina-bobokan oleh pembantu-pembantunya yang
penjilat. Karena hasutan-hasutan merekalah maka Raja
memutuskan Ki Darma harus diperlakukan sebagai
pengkhianat, sehingga diburu dan dikejar," kata Purbajaya.
"Betulkah sekitar dua tahun lalu ada pengejaran ke
Puncak Cakrabuana?" "Betul. Itu karena ada khabar yang sampai ke telinga
Sang Prabu bahwa Ki Darma bersembunyi di sana. Raja
semakin yakin bahwa Ki Darma berlaku sebagai
pengkhianat setelah dia berada di Cakrabuana," kata
Purbajaya. "Mengapa begitu?" tanya Ginggi heran.
"Raja tahu, di Cakrabuana tersimpan sebuah tombak
pusaka bernama Cuntang Barang."
Ginggi mengernyitkan dahinya, "Saya tak mengerti.
Cobalah terangkan lebih rinci," pinta Ginggi. Dan
kemudian Purbajaya menerangkan, bahwa dulu puluhan
taun silam seorang bangsawan dari Karatuan Talaga
bernama Pangeran Aria Saringsingan memiliki benda
pusaka sebuah tombak dan diberi nama Cuntang Barang.
Tapi pada tahun 1530 Karatuaan Talaga diserbu Cirebon,
sehingga takluk dan mentaati keinginan pihak penyerbu
agar beralih agama. Banyak pusaka Karatuan Talaga
diboyong ke Cirebon, tapi beberapa di antaranya berhasil
dilarikan para perwira yang tidak mau takluk pada agama
baru. Salah seorang perwira Karatuan Talaga yaitu Dita
Jayarasa berhasil membawa kabur tombak Cuntang Barang
yang khabarnya disembunyikan di Puncak Cakrabuana.
Semua orang pernah mencarinya, termasuk Pasukan
Cirebon, tapi tidak siapa pun bisa menemukannya. Baik
Perwira Dita Jayarasa mau pun tombak pusaka, sepertinya
hilang ditelan bumi. "Semua pihak merasa perlu memiliki benda pusaka itu.
Cirebon memerlukanya sebagai tanda Talaga resmi berada
di bawah kekuasaannya. Dan Pakuan malah merasa bahwa
itu barang milik Pakuan sebagai simbol pemeluk agama
lama," kata Purbajaya.
Sang Prabu memaksakan diri mengirimkan limabelas
perwira kerajaan karena menganggap Ki Darma
bersembunyi di sana dengan maksud akan mencari benda
pusaka itu. Namun sampai dua tahun tugas mencari Ki
Darma dan benda pusaka tombak Cuntang Barang tidak
berhasil dituntaskan. "Jangankan menangkap Ki Darma atau membawa benda
pusaka, bahkan kelimabelas perwira itu pun hingga kini
tidak diketahui nasibnya," ujar Purbajaya.
Selama Purbajaya berkata-kata, ingatan Ginggi malah
melayang ke belakang. Sepuluh tahun lebih bersama Ki
Darma, tidak sepatah-kata pun orang tua itu berbicara soal
benda pusaka. Tidak pula berusaha mencarinya. Ginggi
yakin, Ki Darma tidak begitu tertarik kepada berbagai
benda pusaka. "Kekuatan bukan pada benda pusaka, melainkan pada
diri manusia itu sendiri," kata Ki Darma ketika di Puncak
Cakrabuana. Hal ini dikemukakannya di sela-sela latihan
bela diri. Kata Ki Darma, kita berkelahi tak perlu
menggunakan senjata sebab tangan dan kaki kita sudah
merupakan senjata paling hebat bila kita tahu
menggunakannya. "Lihatlah, begitu gagah terjangan sang harimau, begitu
cepatnya gerakan ular mematuk. Mereka hebat, mereka
berbahaya, padahal tidak dibantu benda pusaka," kata Ki
Darma ketika itu. "Ki Darma tidak butuh benda pusaka," gumam Ginggi.
"Pangeran Yogascitra pun pernah mengatakan demikian,
dalam sepak terjangnya melawan musuh, Ki Darma tak
pernah menggunakan senjata apa pun. Jadi beliau pun tak
percaya Ki Darma pergi ke Puncak Cakrabuana hanya
karena butuh benda pusaka. Pangeran menduga, kalau pun
Ki Darma datang ke Cakrabuana karena urusan benda
pusaka, bukan ingin memilikinya, melainkan akan
menjaganya. Kata Pangeran Yogascitra, kendati Ki Darma
tak senang menggunakan senjata, tapi dia amat
menghormati kepada simbol-simbol kenegaraan. Maka Ki
Darma pun pasti hormat pada barang yang bernama
pusaka," kata Purbajaya.
"Ya"sayang mengabdi kepada Raja yang buruk,
sehingga benda pusaka seperti tak ada harganya?" gumam
Purbajaya lagi. Ginggi melirik pada pemuda itu, namun Purbajaya tidak
melihatnya. "Mari?" ajak Ginggi sambil bangun berdiri. Purbajaya
pun ikut berdiri sambil membenahi ikatan kainnya yang
kurang mengikat ketat pinggangnya.
Sambil memperbaiki ikat pinggang kain warna hitamnya,
pemuda itu menatap tajam Ginggi sambil bergumam,
"Kalau kau mampu, di balai penghadapan Raja inilah kau
laksanakan tugasmu itu!"
"Tugas apa?" tanya Ginggi heran.
"Membunuh Raja!" Darah di urat-urat nadi Ginggi
berdesir cepat. Bulu kuduknya pun mendadak berdiri.
Benarkah Purbajaya yang barusan bicara"
"Raden?" desis Ginggi dengan mata setengah
membelalak. "Aku dengar percakapanmu dengan Ki Banaspati tadi
malam," kata Purbajaya menatap tajam
Ginggi. "Kau dengar percakapan kami?"
"Ya"tapi jangan takut!" kata Purbajaya lagi, masih
menatap tajam Ginggi. "Engkau juga bersekutu dengan Ki Banaspati?" tanya
Ginggi kemudian. Tapi Purbajaya menggelengkan
kepalanya. Ginggi tambah heran. "Bila begitu, mengapa
engkau tak tangkap aku, sebab seharusnya kau akan
menuduhku berkomplot dengan Ki Banaspati," kata Ginggi.
Tapi Purbajaya hanya tersenyum tipis.
"Tak ada kepentingannya aku menangkapmu sebab aku
bukan orang pemerintah," jawab lagi pemuda itu, sehingga
untuk kesekian kalinya Ginggi merasa heran. "Hampir dua
tahun ini engkau mengabdi pada Pangeran Yogascitra.
Bahkan engkau pun sudah bisa keluar-masuk kadaton
(istana) karena kerapkali Sang Prabu mmbutuhkanmu,
Raden?" Untuk kesekian kalinya Purbajaya mengelengkan kepala
"Gerakan kita di Pakuan sebetulnya sama, yaitu
menyelundup untuk menyingkirkan Raja, kendati motifnya
mungkin berlainan," kata pemuda itu.
Ginggi masih menatapnya. "Tapi tak apa. Yang penting perjuangan kita sekarang
sama. Maka untuk sementara kita berdua bisa bahu-
membahu di Pakuan ini," kata lagi Purbajaya, "Kau
dipanggil Raja dan ini kesempatan paling baik. Kalau kau
melakukan tindakan membunuh Raja tidak akan begitu
sulit sebab hampir separuh pengawal yang bertugas hari ini
kesetiaannya sudah berpaling," ungkap pemuda itu, "Jadi
kalau kau lakukan tugas Ki Banaspati hari ini, setengah dari
pengawal Raja tidak akan menghambatmu kalau pun tidak
kusebut mereka malah membantumu?" kata Purbajaya
lagi. Termenung Ginggi mendengar penjelasan Purbajaya ini.
"Ketidaksenangan para pejabat Pakuan kini hampir-hampir
meningkat menjadi kebencian karena kekeliruan Raja. Dia
tetap bertahan dengan keinginan pribadinya, yaitu akan
mengawini Nyimas Layang Kingkin, yang padahal semua
orang sudah menganggapnya sebagai wanita larangan,"
kata Purbajaya. "Bukankah Raja sudah tak begitu percaya pada Ki Bagus
Seta?" tanya Ginggi.
"Bagi Raja, tak ada hubungannya antara cinta dan
politik. Barangkali Raja tak percaya pada Ki Bagus Seta
sebagai pejabat, tapi tidak sebagai mertua. Apalagi Ki Bagus
Seta sebenarnya pandai dan memikat dalam kata-kata. Raja
juga semakin mengukuhkan cita-citanya dalam
mempersunting Nyimas Layang Kingkin setelah merasa
gagal mendapatkan gadis yang dicintanya, yaitu Nyimas
Banyak Inten," kata Purbajaya. Dan ketika mengucapkan
nama gadis ini, wajahnya nampak kecut dan pahit.
Ginggi masih termangu-mangu setelah menyimak apa-
apa yang dikatakan pemuda itu. Dia akan berkata sesuatu,
tapi sepertinya Purbajaya tahu apa yang ada di benak
Ginggi. Dia memberi tanda agar Ginggi tak berkata apa
pun. "Jangan dulu tanya siapa aku sebenarnya?" kata
pemuda itu. Ginggi hanya menghela napas.
"Mari?" ajak Purbajaya, jalan di muka, Ginggi ikut di
belakangnya. (O-ani-kz-O) Selama hampir setahun berada di Pakuan, baru kali
inilah Ginggi akan berkunjung ke pusat pemerintahan.
Pemuda itu akan diterima Sang Prabu di Paseban Agung
atau Balai Penghadapan Raja. Itu adalah sebuah bangunan
bangsal yang cukup besar dan megah. Atapnya terbuat dari
kayu sirap hitam mengkilap. Lantainya juga terbuat dari
papan-papan kayu jati buatan Borneo, hitam kecoklat-
coklatan dan amat halus serta mengkilap juga. Di beberapa
bagian sudut, atap itu ditopang tiang-tiang kayu jati
gelondongan membentuk pilar berukir indah dan halus
buatannya. Pilar-pilar kayu jati sebagai pengusung atap sepertinya
menguasai bangunan-bangunan megah di Kadaton Pakuan
ini. Ginggi pernah mendengar bahwa Raja beserta kerabat
dekatnya dan termasuk juga permesuri, para selir dan putra-
putrinya, tinggal di kadaton megah bernamaSri Bima Punta
Narayana Madura Suradipati, dibangun oleh Sang Prabu
Tarusbawa raja Keraajaan Sunda yang pertama (670-723
Masehi) lebih dari 800 tahun lalu. Istana ini terdiri dari
bangunan megah besar berjajar sebanyak lima buah.
Semuanya menghadap ke sebuah halaman luas yang
ditumbuhi pohon beringin berjumlah tujuh buah. Semua
bangunan istana itu atap-atapnya disangga 300 pilar kayu
palem indah. Pilar-pilar paling indah digunakan untuk
menyangga atap bangunan istana paling besar dan paling
megah. Pilar-pilar palem yang menyangganya terbuat dari
kayu gelondongan sebesar tong anggur.
Kata Purbajaya, Sang Prabu bersemayam di istana
bangunan paling besar ini yang diberi nama Istana
Suradipati. Tidak sembarangan orang bisa diterima di
bangunan megah itu. Ginggi yang masuk ke kompleks ini
dikawal empat orang prajurit dilengkapi senjata tombak di
tangan kanan dan perisai baja di tangan kiri, hanya diantar
ke bangunan paseban yang letaknya bersebrangan dengan
istana berjajar lima itu.
Ginggi dan Purbajaya dipersilakan duduk di ruangan
terbuka Paseban Agung, menghadap ke sebelah timur di
mana terdapat kursi kayu berukir indah yang masih kosong
penghuni. (O-anikz-O) Jilid 23 Ginggi dan Purbajaya cukup lama menunggu. Namun
pada suatu saat ada terdengar bunyi gong dipukul lambat-
lambat beberapa kali. Ginggi menengok ke selatan. Bukan
atap istana dengan latar belakang Puncak Gunung Salak
yang tengah ia saksikan, melainkan adanya sebuah iring-
iringan kecil yang baru keluar dari sebuah pintu berukir
dengan warna emas itu. Ginggi berdebar, ternyata iring-iringan itu duapuluh
perwira kerajaan yang berpakaian gagah-gagah tengah
mengawal seorang lelaki tampan nan elok.
"Sang Prabu Ratu Sakti?" gumam Ginggi tak terasa.
Inilah untuk yang ketiga-kalinya pemuda itu menatap Raja
Pajajaran yang banyak diperbincangkan orang karena
tindakan dan kebijaksanaannya banyak mengundang pro
dan kontra itu. Sang Prabu melangkah lambat-lambat namun mantap
dan pasti. Ada suara gemerincing merdu ketika Raja
tampan berkumis tipis itu melangkahkan kaki. Itu karena
gelang-gelang emas yang tersusun di sepasang kakinya
bergerak saling beradu ketika kaki itu melangkah. Suara
gemerincing kaki Raja pun disambut gemerincing lain.
Suaranya kurang begitu nyaring. Dan suara itu keluar dari
gelang-gelang perak yang menghiasi kaki-kaki para
pengawalnya. Namun melihat duapuluh pengawal raja yang berjalan di
belakang, Ginggi jadi ingat beberapa pengakuan. Ki
Banaspati dengan yakinnya mengabarkan padanya bahwa
di sekeliling Raja kini sudah berdiri orang-orang yang
berada di bawah pengaruhnya. Belakangan Purbajaya pun
berkata bahwa hampir separuh dari pengawal Raja yang
bertugas hari ini kesetiaannya sudah berpaling dari Raja.
Lalu, apakah yang dilakukan Ki Banaspati juga sama
dengan apa yang dikatakan Purbajaya"
"Engkau juga bersekutu dengan Ki Banaspati?" tanya
Ginggi tadi pagi sebelum berangkat, tapi Purbajaya
menggelengkan kepalanya. Ini hanya menandakan bahwa
Senja Jatuh Di Pajajaran Karya Aan Merdeka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pemuda itu tak ada keterkaitan dengan Ki Banaspati. Dan
kalau benar begitu, maka apa yang disebut Purbajaya tidak
sama dengan apa yang dikatakan Ki Banaspati. Artinya
lagi, bahwa para pengawal raja semakin terpecah-pecah.
Satu kelompok ikut Ki Banaspati dan satu kelompok
lainnya juga sama memalingkan kesetiaannya. Tapi mereka
ikut siapa" Apakah Purbajaya juga ikut kelompok kedua ini
atau berdiri sendiri" Berkerut alis Ginggi memikirkannya.
Di Pakuan ini terlalu banyak rahasia. Apa yang dilihat
mata belum tentu itu yang sedang berlangsung. Bangsawan
Soka dan Ki Bagus Seta kendati selalu nampak paling setia
dan paling banyak bekerja untuk "memajukan" Pakuan,
padahal terbukti, di benak mereka penuh dengan rencana
dan tujuan yang bertolak belakang dengan sangkaan Raja.
Sekarang Purbajaya, pemuda tampan, jujur dan tidak
terlalu banyak tingkah, belakangan diketahui Ginggi seperti
tengah memendam hal-hal tertentu.
"Kalau kau mampu, maka di Balai Penghadapan Raja
inilah kau laksanakan tugasmu!" kata Purbajaya tadi pagi.
Ini hanya punya arti bahwa pemuda itu setuju Raja
dibunuh. Siapa pemuda ini dan dari kelompok manakah"
Ancaman pada Raja Sang Ratu Sakti sudah memasuki
ruangan paseban. Purbajaya serentak menyembah takzim.
Ginggi pun ikut menyembah hormat, namun selintas dia
melihat lirikan Purbajaya ke arahnya. Berdesir lagi darah di
urat-urat nadi Ginggi. Lirikan Purbajaya penuh arti.
Apakah ini sebuah isyarat agar Ginggi melakukan tugas
seperti apa yang dikatakan Ki Banaspati"
Sang Prabu berjalan lambat ke arah kursinya, sedangkan
di belakang, duapuluh perwira melangkah rapih dengan
jarak hampir tiga tindak di belakang Sang Prabu. Kalau
Ginggi mau, dengan satu loncatan dia bisa menerkam dan
mencengkram wajah atau leher Sang Prabu. Dalam satu
gerakan saja mungkin sudah berhasil membunuh Raja.
Mungkin separo dari para perwira benar-benar pengawal
setia dan akan balas menyerang. Tapi sudah dipastikan Raja
tak akan bisa diselamatkan. Dan Ginggi akan selamat
meloloskan diri dengan mudah sebab separo dari para
pengawal tidak akan bernafsu membalas perlakuan Ginggi.
Ginggi dan Purbajaya selesai menyembah ketika Sang
Prabu sudah duduk dengan tegak di kursi indah berukir itu.
Purbajaya nampak menghela napas sambil sedikit melirik
ke samping di mana Ginggi duduk bersila.
"Engkaukah yang bernama Ginggi, ksatria tangguh yang
akan segera diangkat Pamanda Yogascitra sebagai
pembantu utama di purinya?" tanya Sang Prabu dengan
suara halus namun nyaring.
"Hamba hanya sekadar pembantu biasa saja, Paduka
Raja," sahut Ginggi dengan suara sedikit bergetar.
Bagaimana tak begitu, sebab apa pun kenyataannya, yang
kini tengah duduk dengan anggun di kursi berukir indah itu
adalah seorang raja dari sebuah kerajaan besar yang berdiri
hampir 900 tahun lamanya.
"Engkau pandai merendah, anak muda. Tapi ada juga
orang yang memperlihatkan kesombongan dengan sifat
merendah-rendah. Jangan membuat orang tercengang
karena kepura-puraan. Kalau kau pandai maka
perlihatkanlah kepandaianmu secara wajar agar orang pun
bisa menghargai dan menilaimu secara wajar pula," ujar
Sang Prabu dengan nada halus tapi tetap nyaring.
Wajah Ginggi terasa sedikit panas. Tidakkah Sang Prabu
menyindirnya, sebab dia memang gemar berpura-pura
bodoh" "Namun Paduka, orang tidak akan dianggap bijaksana
bila tidak bisa memerankan orang bodoh dalam satu
keadaan," kata Ginggi sambil kembali menyembah.
Nampak Sang Prabu tersenyum kecil memperlihatkan
deretan giginya yang putih dan bersih.
"Dan yang berbahaya adalah orang bodoh yang pura-
pura bijaksana dan sok merasa tahu segala perkara," ujar
Sang Prabu kemudian. "Lebih celaka lagi, ada orang bodoh yang tidak
menyadari dirinya bodoh. Orang bodoh yang merasa
dirinya pintar dan apalagi berkuasa, maka kekuasaannya
hanya akan membahayakan kepentingan orang banyak,
Paduka," kata Ginggi menyela.
Untuk sejenak Sang Prabu menatap sedikit terbelalak
dengan ucapan lantang ini. Namun kemudian beliau
tertawa renyah sambil sesekali punggung tangan kanannya
yang putih halus digunakan menutupi mulutnya yang masih
tertawa. "Hahaha! Engkau seorang pemuda yang berani dan jujur,
anak muda. Aku suka sikapmu itu. Tapi hati-hati, perasaan
orang tidaklah sama, sebab ada juga yang mudah
tersinggung. Kalau yang tersinggung adalah seorang
penguasa misalnya, maka alamat celakalah dirimu," sahut
Sang Prabu lagi namun masih dengan nada halus.
"Tapi Paduka, lebih baik tersinggung karena mendengar
kata-kata bijak, dari pada terhibur dengan kata-kata palsu.
Yang palsu tak bisa dikatakan baik. Dan bila mata-hati
dibutakan olehnya, maka rasa bijaksana pun akan hilang
dan kehancuran akan menjelang," kata lagi Ginggi semakin
berani berkata-kata. Sang Prabu masih nampak tersenyum, tapi senyumnya
kian menipis, bahkan ada sedikit kerut-kerut di dahinya.
"Serasa aku pernah menyimak kata-kata yang kau
ucapkan barusan, anak muda?" gumam Sang Prabu sambil
mencubit dan menarik-narik kulit jidatnya seolah tengah
menghilangkan rasa pening atau sedang berpikir sesuatu.
Namun sebelum Sang Prabu melanjutkan ucapannya,
dari pekarangan paseban datang tergopoh-gopoh beberapa
orang. Ketika Ginggi melirik, ternyata yang datang adalah
Pangeran Yogascitra, diiringi Banyak Angga dan beberapa
perwira kerajaan. Dengan sopan tapi dilakukan dengan tergesa-gesa,
Pangeran Yogascitra memasuki ruangan paseban, beringsut
dan menyembah. "Ada apakah Pamanda?" tanya Sang Prabu.
"Ampun beribu ampun Paduka, hamba memang terlalu
tua untuk melakukan tindakan cepat. Kita terlambat
menangkap Pangeran Jaya Perbangsa?" kata Pangeran
Yogscitra sambil tetap menyembah hormat.
"Apakah Jaya Perbangsa berhasil melarikan diri?" tanya
Sang Prabu mengerutkan dahi.
"Tidak melarikan diri. Dia kami dapatkan sudah tergolek
kaku di purinya," ujar Pangeran Yogascitra.
"Mati?" tanya Sang Prabu.
"Begitulah?" "Bunuh diri?" "Hamba kira begitu, sebab ada cupu (botol kecil) berisi
cairan racun di tangan kanannya," kata Pangeran
Yogascitra. Sang Prabu mendengus kecil sambil kepalan tangan
kanannya menopang dagu. Ginggi melirik meneliti wajah-
wajah perwira pengawal Raja. Namun tidak seorang pun
berubah mimik. Mereka menunduk tetap bersila dengan
tubuh tegak. Ginggi kagum karena mereka bisa menjaga
penampilan. Padahal kalau di antara mereka terdapat kaki-
tangan Ki Banaspati, seharusnya ada perubahan wajah
karena terkejut mendengar sekutu Ki Banaspati mati.
"Aku percaya pada Jaya Perbangsa, mengapa dia tega
berkhianat padaku?" gumam Sang Prabu.
"Kita harus lebih hati-hati, sebab Pakuan sudah dipenuhi
oleh orang yang akan mencelakakan anda, Paduka?" kata
Pangeran Yogascitra. Sang Prabu mengangguk-angguk, "Mengapa ada orang
yang ditakdirkan tidak setia kepada Raja, padahal para
wiku selalu berkata raja adalah pilihan Sang Rumuhun?"
gumam lagi Sang Prabu. "Raja memang dipilih oleh Sang Rumuhun. Tapi Raja
juga bisa didera bermacam-macam godaan. Kalau Raja bisa
menahan godaan, semuanya akan aman dan tak akan ada
lagi orang memalingkan kesetiaan, Paduka?" kata
Pangeran Yogascitra. "Aku tahan akan berbagai godaan. Sejak aku jadi perwira
dalam mengawal Ayahanda Ratu Dewata, sudah banyak
godaan mendera, tapi aku selalu lolos dari bahaya maut,"
kata Sang Prabu. "Terima kasih bila Paduka sadar akan godaan," gumam
Pangeran Yogascitra. Sang Prabu menangguk-angguk.
Namun bagi Ginggi, ucapan Pangeran Yogascitra terlalu
dalam artinya. Bisakah Sang Prabu mafhum akan ucapan
yang tersirat di dalamnya"
"Tadinya aku ingin memanggil Jaya Perbangsa ke balai
penghadapan raja ini dan mempertemukan dia dengan
engkau, Ginggi," ujar Sang Prabu sambil melirik ke arah
Ginggi. Membuat pemuda itu terkejut setengah mati. Baru
sekarang dia tahu bahwa dirinya akan dijadikan sebagai
saksi atas perbuatan Pangeran Jaya Perbangsa.
"Sekarang Jaya Perbangsa mati bunuh diri. Hanya
menandakan bahwa dia memang bersalah, atau sekurang-
kurangnya, ada sesuatu gerakan yang dia tak mau orang
lain tahu. Tapi menurut Pamanda Yogascitra, tadi malam
engkau menghubungi Jaya Perbangsa dan melakukan
beberapa percakapan penting. Coba kau terangkan, soal apa
yang engkau bicarakan itu?" tanya Sang Prabu menatapnya.
Wajah Ginggi sedikit memucat. Sejenak dia melirik ke
arah Pangeran Yogascitra. Pangeran tua ini sudah melapor
perihal pertemuannya dengan Pangeran Jaya Perbangsa.
Dengan demikian, Raja pun sudah mengetahui bahwa
dirinya punya hubungan dengan Ki Banaspati. Tidakkah ini
membahayakan dirinya"
"Jangan takut, Pamanda Yogascitra sudah menerangkan
perihalmu. Kata Pamanda, mulanya engkau diutus oleh Ki
Banaspati untuk mengirimkan surat rahasia pada Jaya
Perbangsa. Kau juga pernah ditangkap Pamanda tapi tak
terbukti terlibat urusan ini. Karena Pamanda percaya
terhadapmu, maka aku pun sebagai penguasa Pajajaran
akan percaya kamu juga. Ingat, aku seorang raja dan
bertanggung jawab menjaga keutuhan negri. Tapi engkau
pun sebagai penghuni negri dan apalagi sebentar lagi akan
diangkat menjadi ksatria di Pakuan, harus juga ikut
bertanggung-jawab menyelamatkan negri dari kehancuran.
Kau katakan sejujurnya tentang apa-apa yang telah engkau
ketahui," ujar Sang Prabu lagi.
Ginggi termenung mendengar keinginan Raja ini. Ini
sebuah permintaan berat sebab akan membahayakan
keselamatan dirinya. Sekarang, di ruangan paseban yang hanya dihuni
beberapa puluh orang, sebenarnya dia telah dihimpit oleh
beberapa kekuatan. Sekurang-kurangnya di ruangan
paseban ini terdapat tiga kekuatan, yaitu kelompok yang
sudah dipengaruhi Ki Banaspati, kelompok yang telah
memalingkan kesetiaan terhadap Raja, dan yang terakhir
kekuatan Sang Prabu itu sendiri. Belum lagi tentang
kehadiran Purbajaya yang jelas-jelas tidak berfihak pada
Raja tapi yang Ginggi belum tahu, berada di fihak mana
sebetulnya pemuda itu berada.
Ginggi bingung sebab tidak bisa memilih. Bila
melaporkan semua yang diketahuinya, berarti sudah
memihak kepada Raja dan akan berhadapan dengan
kekuatan lainnya, atau dengan tiga kekuatan yang ada di
ruangan itu kalau Purbajaya mau Ginggi hitung. Tapi kalau
Ginggi bungkam, berarti harus membiarkan banjir darah di
Pakuan. Padahal sudah sejak awal dia mengukuhkan sikap
untuk tak berfihak kepada siapa pun. Tapi keadaan ini
benar-benar menjepitnya. Sebab kendati dia tak mau
memihak, tapi Ginggi pun tak mau ada peperangan.
Melihat Ginggi seperti bimbang, dengan alis berkerut
Sang Prabu mengulang pertanyaannya untuk kedua kalinya.
"Mengapa engkau diam" Atau, tidakkah penilaian
Pamanda Yogascitra keliru?" kata Sang Prabu lagi dan
nadanya mulai tak senang.
"Hamba akan uraikan yang hamba ketahui asal dengan
sesuatu syarat," kata Ginggi secara tiba-tiba.
"Apakah persyaratan itu?" tanya Sang Prabu.
"Paduka harus memenuhi keinginan hamba."
"Ya, sebutkan, apa itu?" kat Sang Prabu lagi tak sabar.
"Paduka harus berjanji untuk dua keputusan!" kata
Ginggi. "Bedebah! Tak biasa aku ditekan seperti ini. Anak muda,
apa kedudukanmu di sini?" kata Sang Prabu berang dan
wajahnya merah padam. Ginggi masih duduk bersila
dengan tenang. Dia melirik meneliti sikap para perwira
yang duduk bersila berderet di kiri kanan Sang Prabu. Ada
sebanyak duabelas perwira pengawal yang nampak turut
melotot marah melihat kelancangan Ginggi ini. Tapi
sepuluh orang lagi, termasuk di antaranya yang duduk di
belakang Pangeran Yogascitra berwajah biasa kecuali
menatapnya dengan perasaan tegang.
Ginggi memutar otak dan mulai dapat menduga, mana
perwira yang bersetia dan mana yang sudah dipengaruhi
fihak lain. "Hamba bukan siapa-siapa dan tak mempunyai peran
penting di sini. Jadi bila Paduka tak mau memenuhi dua
syarat yang hamba ajukan tidak apa dan hamba akan keluar
dari ruangan ini," kata Ginggi menyembah takzim dan akan
segera berjingkat. "Tunggu!" teriak Sang Prabu.
Ginggi kembali duduk tegak dan mencoba menatap Sang
Prabu. Ornamen emas yang ada di kiri-kanan susumping
(perhiasan kuping) bergoyang-goyang memantulkan cahaya
gemerlapan dan mahkota yang juga sama terbuat dari emas
bertahtakan zamrud dan mutiara keindahannya tak sanggup
menutupi wajah keruh Sang Prabu.
"Sudah kukatakan, aku tak biasa ditekan oleh ikatan janji
atau pun persyaratan. Tapi mengingat ini urusan
keselamatan negara, maka aku sebagai Raja Pakuan mau
merendahkan diri untuk mengikuti keinginanmu. Coba kau
katakan apa dua persyaratan yang engkau inginkan," kata
Senja Jatuh Di Pajajaran Karya Aan Merdeka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sang Prabu akhirnya. Ginggi menghela napas lega mendengar ucapan Sang
Prabu ini. Namun ketika matanya mengerling ke samping,
wajah Purbajaya kelihatan murung dan sedikit pucat. Apa
boleh buat, pikir Ginggi.
"Syarat pertama, hamba mau menjelaskan situasi di
Pakuan akhir-akhir ini, asalkan Paduka mau mengubah
sikap dan kebijaksanaan. Semua perubahan sikap dan
kebijaksanaan Paduka penting untuk mengembalikan
keadaan ke arah hal-hal yang diinginkan semua fihak," kata
Ginggi menatap Sang Prabu. Yang ditatap balik menatap.
Dan Ginggi menunduk karena sorotan mata Sang Prabu
demikian tajam dan seperti sulit untuk dilawan.
Hening sejenak, sehingga bunyi tonggeret, sejenis
binatang serangga yang ada di pepohonan beringin
terdengar nyata. "Sabda wiku paraloka (akhli kebatinan) sikap Raja
haruslah seuseug keupeul lega aur, tenget suling
panyaweuyan, teuas peureup leuleus usap (Tegas tapi
bijaksana). Sebetulnya aku harus bicara seperlunya. Tapi
bicara terlalu singkat, ucapanku selalu salah diartikan
aparatku. Aku pun harus teliti memilih laporan dan
pengaduan. Namun terkadang ada laporan yang dipalsukan
dan aku terkecoh mempercayainya. Dan karena banyak hal
tak benar terdengar sampai ke telingaku, maka terpaksa aku
harus memilih teuas peureup (bertindak tegas) tanpa
mengikutsertakan sikap leuleus usap (bijaksana, welas
asih)," ujar Sang Prabu sesudah lama merenung.
Kemudian Sang Ratu Sakti bersabda lagi, "Kuakui,
tindakanku selalu keras, aku mudah menghukum kepada
orang yang dianggap salah, tapi juga tak segan-segan
memberi penghargaan kepada yang dianggap berjasa. Kalau
yang kau maksud, aku harus mengubah sikap kerasku,
kurasa sulit sekali terkabul. Kau harus maklum anak muda,
sekarang zaman keras. Hanya yang berhati baja yang bisa
bertahan. Bukan berarti sikap welas asih tak berlaku lagi,
tapi cara mengasihi kehidupan sekarang tak dilakukan
dengan lemah-lembut. Sikap Ayahandaku Sang Ratu
Dewata yang welas asih dan lemah-lembut diartikan salah
sebagai jiwa yang lemah, sehingga musuh dari luar tidak
merasa jerih, begitu pun aparat dan ambarahayat. Kalau
kau mau bertanya kepada bujangga (akhli sejarah), akan
begitu jelas, betapa Pajajaran banyak diserang musuh dari
luar karena kepemimpinan waktu itu dianggap lemah."
Sang Prabu Sakti dadanya turun naik karena terlalu
banyak berbicara. Dan suasana amat hening ketika beliau
menghentikan ucapannya sambil menatap tajam pemuda
itu. "Coba kau sebutkan syarat yang kedua!" ucap Sang
Prabu kemudian. Ginggi kembali menatap Sang Prabu, "Syarat yang
kedua"ampuni Ki Darma dan Paduka harus mencabut
tuduhan bahwa Ki Darma pengkhianat dan pemberontak!"
kata Ginggi nyaring. Mendengar ucapan ini, semua orang nampak terkejut
dan sama membelalakkan mata, kecuali Pangeran
Yogascitra dan Purbajaya nampak tenang.
Namun Ginggi merasa heran sebab mimik wajah Sang
Prabu tak berubah. Beliau hanya menatap tajam secara
terus-terusan saja terhadap Ginggi.
"Sudah aku duga, engkau punya hubungan dengan Ki
Darma. Ucapan-ucapanmu itu tajam, menyakitkan dan
mudah membuat orang tersinggung, anak muda," ujar Sang
Prabu. "Persis seperti apa yang gemar diucapkan oleh Ki
Darma," sambung Sang Prabu lagi.
"Sepuluh tahun hamba bersamanya di Puncak
Cakrabuana, Paduka," kata Ginggi, sengaja
menyebutkannya agar Sang Prabu ingat dirinya pernah
memerintahkan pasukan perwira untuk menyerbu Puncak
Cakrabuana. Ucapan Ginggi hanya ditanggapi Sang Prabu dengan
tatapan matanya disertai beberapa kerutan di dahi. Dan
untuk beberapa lama suasana menjadi hening kembali.
"Rupanya tak ada keputusan penting di sini. Maafkan,
hamba akan meninggalkan paseban," kata Ginggi
menyembah dan mengangkat tubuhnya hendak berlalu.
"Tidak semudah itu engkau meninggalkan tempat ini,
anak muda!" kata Sang Prabu.
"Apakah hamba pun masuk dalam tuduhan
memberontak juga, Paduka?" tanya Ginggi menatap Sang
Prabu dengan berani. "Jalan pikiran Ki Darma membahayakan ketentraman
negri sebab meresahkan dan menimbulkan gejolak pro dan
kontra di kalangan pejabat istana. Aku kenal Ki Darma
sejak kami sama-sama menjadi perwira pengawal Raja.
Betapa bahayanya ucapan-ucapannya. Dan itu bisa
merongrong kewibawaan Raja," kata Sang Prabu lagi.
"Barangkali Paduka lupa, di mana baru saja mengatakan
sikap Paduka, bahwa kasih sayang sekarang tidak dilakukan
dengan lemah-lembut. Ki Darma hanya melontarkan kritik
pada keadaan yang tengah berlangsung dan kritik tidak
sama dengan pemberontakan. Kritik hanyalah sebuah kasih
sayang yang dilakukan secara keras. Itu juga sebenarnya
yang dilakukan Paduka terhadap bawahan dan rakyat
Paduka," ujar Ginggi.
Merah-padam wajah Sang Prabu mendengar ucapan
Ginggi ini. Dadanya turun-naik menahan gelora hatinya
dan matanya memandang tajam kepada pemuda itu.
Ginggi kini tak menggubrisnya dan segera akan berlalu.
Namun Sang Prabu bangun berdiri. Sambil menuding ke
arah Ginggi beliau berseru, "Tangkap pemuda itu!"
Dari duapuluh pengawal hanya duabelas perwira yang
serentak berdiri, sedangkan yang lainnya masih duduk
bersila dengan punggung tegak.
Keduabelas perwira segera menghambur dan
mengepung. Tapi Ginggi kini lebih pengalaman lagi. Dia
sudah kenal, para perwira pandai taktik berkelahi yang
sifatnya beregu. Mereka punya formasi tempur, baik
menyerang mau pun bertahan. Dan pemuda itu tak mau
meladeninya sebab pernah merasakan dan pernah
dikalahkan oleh taktik kepungan asu-maliput di Puri Bagus
Seta beberapa waktu lalu.
"Kalau akan melumpuhkan ular, maka tangkaplah
kepalanya," kata Ki Darma ketika di Puncak Cakrabuana.
Ginggi ingat pepatah ini. Maka pada kesempatan inilah
teori Ki Darma akan dilaksanakan. Jadi, ketika beberapa
pengawal menghambur ke depan, Ginggi bukan
melayaninya, melainkan meloncat tinggi, bersalto beberapa
kali melewati kepala-kepala mereka.
Rupanya semua orang tak menduga kenekatan Ginggi,
sehingga nampaknya para perwira lebih nampak kaget
ketimbang melakukan satu tindakan. Bagaimana tak kaget,
sebab Ginggi yang jungkir balik beberapa kali itu, tubuhnya
bergerak ke arah di mana Sang Raja berdiri. Sebelum semua
orang sadar apa yang terjadi, Ginggi sudah berdiri tepat di
belakang Sang Prabu. Tangan kiri Ginggi mencengkram
pakaian di bagian pundak Sang Prabu, sedangkan tangan
kanan siap menghantam batok kepala penguasa Pakuan itu.
"Semua berhenti bila tak ingin keselamatan Raja
terancam!" teriak Ginggi. Tindakan ini mungkin
keterlaluan, tapi inilah satu-satunya cara agar dia
terlindungi. Semua perwira kini berdiri seperti patung, tak terkecuali
delapan orang perwira yang sejak tadi hanya duduk bersila
dengan wajah tegang. Dalam suasana seperti ini mata Ginggi terkuak lebar dan
bisa mengenal semua orang. Mana yang berfihak kepada
Sang Prabu Ratu Sakti dan mana yang sudah berpaling,
nampak jelas kelihatan. Duabelas perwira nampak berdiri
dengan sikap siaga, tubuh menggigil menahan kemarahan
dan mata melotot serta gigi berkerot. Namun yang lainnya
hanya berlaku siaga saja tapi tidak menampakkan mimik
tertentu. Pangeran Yogascitra nampak berwajah pucat. Sambil
berdiri dengan tubuh bergetar dia berseru agar Ginggi tak
melakukan tindakan seperti itu.
"Ginggi, apa pun yang dilakukan Ki Darma, sebenarnya
dia orang yang amat menghargai Raja dan tak pernah
berniat mencelakakan Raja. Lepaskan Sang Prabu! Jangan
kotori perjuangan Ki Darma dengan perbuatan tercela
seperti itu!" teriak Pangeran Yogascitra.
Ginggi tersentak mendengar ucapan ini. Pangeran
Yogascitra memang amat mengingatkannya, bahwa selama
Ki Darma berbicara perihal rasa kecewanya, tidak secuil
pun dia mengakui membenci Raja, apalagi
memerintahkannya untuk mencelakai Raja. Ki Darma tak
menyuruhnya melakukan pemberontakan atau
menyingkirkan Raja, jadi kalau sekarang dia bertindak
kasar terhadap Raja, akan dianggap keterlaluan dan tidak
sesuai dengan keinginan Ki Darma. Ingat ini, Ginggi segera
akan melepaskannya. Namun sebelum dirinya pergi
menjauh dari tempat di mana Raja berdiri, Ginggi dengan
kaget melihat gerakan yang dilakukan Purbajaya secara
tiba-tiba. "Jangan lepaskan dia!" teriak Purbajaya sambil meloncat
ke depan. Sepasang kaki Purbajaya terpentang lebar dan kedua
belah tangan diayun ke depan. Ginggi berteriak kaget sebab
pemuda itu menghunjam pukulan jarak jauh yang
dikerahkan dengan kekuatan penuh. Serangan itu diarahkan
ke dada Sang Prabu dan jelas-jelas tujuannya hendak
membunuh Raja. Ginggi mendorong tubuh Sang Prabu ke samping
sehingga jatuh terjerembab.
(O-anikz-O) Cinta Berjatuhan "Hiaaattt!!!" teriak Ginggi mengerahkan tenaga dalam
dan sepasang telapak tangannya dibuka lebar menahan
serbuan Purbajaya. Terdengar suara benturan keras.
Purbajaya menjerit ngeri dan tubuhnya terpental ke
belakang. Dia berguling-guling beberapa kali dan akhirnya
telentang dengan mulut penuh darah segar.
Ginggi pucat wajahnya sebab ini sesuatu yang di luar
dugaannya. Namun pemuda itu tak boleh tinggal berlama-
lama di sana, sebab Sang Prabu sudah bebas dari
kungkungannya. Maka sebelum bahaya mengancam, dia
segera meloncat amat cepatnya. Tubuh Purbajaya dia buru,
kemudian diangkat dan dipanggulnya di bahu kirinya.
Ginggi meloncat beberapa kali dan berlari menjauhi tempat
itu. Tidak ada yang melakukan pengejaran. Ini karena di
halaman paseban sebenarnya telah terjadi pula pertempuran
kecil. Ginggi bisa menduga, pertempuran terjadi antara para
perwira yang setia terhadap Raja dan perwira-perwira yang
sudah membelot. Para pembelot mungkin melakukan
tindakan untuk mencegah Ginggi melarikan diri, atau untuk
menyelamatkan Purbajaya. Atau, entah apalah, sebab
pemuda itu masih menduga-duga, apakah para pembelot itu
anak buah Ki Banaspati ataukah teman-teman Purbajaya.
"Masuk"masuk ke bangunan itu"!" perintah Purbajaya
di antara erang kesakitannya.
Ginggi memasuki sebuah bangunan seperti tempat orang
memuja. Ketika sudah berada di dalam hanya mendapatkan
sebuah batu bertulis. Ada huruf palawa berjumlah sembilan
baris. Ketika Ginggi membacanya, itu merupakan sebuah
peringatan atau kenang-kenangan perihal kebesaran Sri
Baduga Maharaja, ditulis oleh putranya Sang Prabu
Surawisesa pada tahun 1533 atau delapan belas tahu lalu
sebelum hari ini. Batu bertulis ini disimpan di sebuah
bangunan tertutup dan bercungkup. Banyak bunga dan
wewangian bertebaran di sekitar batu bertulis itu.
Menandakan bahwa tempat ini kerapkali dikunjungi tapi
oleh orang-orang tertentu saja, mengingat tempat ini
demikian tertutupnya. "Turunkan aku," keluh Purbajaya.
Ginggi menurunkan tubuh pemuda itu. Dibaringkan di
Kelana Buana 1 Satria Lonceng Dewa 1 Perawan Sumur Api Mustang Hitam 1