Senja Jatuh Di Pajajaran 2
Senja Jatuh Di Pajajaran Karya Aan Merdeka Bagian 2
yang hitam legam agar diguyur airdingin dan jernih itu. Dia
pun membayangkan, betapa kulit wajah yang putih halus
itu ikut diguyur, juga pundaknya yang sedikit berbulu tipis-
tipis, juga betisnya, juga dadanya yang montok. Dan, ah,
semuanya diguyur air pancuran itu. Beruntung benar sang
pancuran, dia bisa bebas dan semena-mena menyaksikan
tubuh mulus tanpa busana itu. Berbahagia sekali sang air
gunung, dia dengan bebas dan semena-mena mengelus-elus
semua lekuk dan bagian tubuh mungil itu. Sialan benar!
Pasti tak ada yang terlewat, semua lekuk dan relung
dirambahnya oleh air keparat itu!
Tuk! Ginggi mengetuk ubun-ubunnya sendiri. Benar kata
Ki Darma tempo hari, kalau tak ada kendali, lari kuda bisa
kemana saja. Tidak pula untuk jalan pikiran manusia.
Dan ingat ini, Ginggi segera berdiri. Dia akan
mengunjungi Rama Dongdo seperti apa yang dipesankan
gadis itu. Dia melongok sebentar ke arah jalan setapak yang
menurun dan berkelok itu sebelum meninggalkannya.
Namun baru saja akan membalikkan badan untuk
berlalu, "tuk!", kepala bagian belakangnya terasa ada yang
memukul. Ginggi menoleh ke belakang. Bukan karena sakit tapi
karena terkejutnya. Rasanya, sudah dari tadi dia menggetok
kepalanya sendiri, mengapa sekarang terasa ada getokan
lagi. "Kau mencuri lihat orang mandi, ya?" kata seseorang
mengamangkan alat pikul. Ternyata yang datang adalah
Madi, pemuda jangkung hitam bergigi tonghor itu. Dia
pasti telah menggetok kepala Ginggi dengan ujung pikulan.
"Siapa bilang aku mengintip orang mandi?" kata Ginggi
menolak tuduhan. "Pasti mengintip. Kalau tak begitu, masa engkau diam di
sini. Di bawah kan pancuran tempat orang mandi?" kata si
tonghor dengan pikulan siap dipukulkan lagi.
"Aku tak mengintip orang mandi. Aku bahkan baru saja
mandi," kata Ginggi lagi. Mendengar perkataan ini,
sitonghor membelalakkan mata. Melihat ke jalan setapak
arah pancuran, lantas berpaling kembali ke wajah Ginggi.
"Kau maksudkan mandi di pancuran ini?"
Ginggi menganggukkan kepala.
"Sialan kau! Tidak tahukah bahwa ini pancuran untuk
kaum wanita?" bentak si tonghor berteriak. Mulutnya
terbuka lebar dan gigi tonghornya kian kentara. Kuning,
kehitaman dan jarang-jarang.
"Ah, biar saja!" kata Ginggi mencoba berpura-pura tak
acuh akan kemarahan si tonghor.
Merasa diabaikan, pemuda kurus jangkung dan hitam ini
segera mengayunkan pikulan yang kini digunakan sebagai
pentungan. Sudah barang tentu, Ginggi tak rela ubun-ubunnya
begitu saja menerima pentungan, apalagi ini dilakukan
dengan pengerahan tenaga. Tetapi pemuda ini pun tak mau
membuat orang mencurigai bahwa dia memiliki ilmu
berkelahi. Ginggi menutup wajah rapat-rapat dengan kedua
belah telapak tangannya dan berteriak minta tolong.
Namun sambil meringis dia menunduk dan mundur
setindak. Hanya terdengar ujung pikulan bersiut lewat
beberapa sentimeter saja tapi ubun-ubun pemuda itu lolos
dari serangan. Ginggi lari kesana-kemari sambil teriak minta tolong,
dikejar pemuda tonghor dengan beringas.
Sementara semakin matahari bersinar, semakin banyak
orang menuju pancuran, laki-laki dan perempuan. Mereka
heran sepagi ini ada orang teriak-teriak ketakutan. Beberapa
orang berlarian mendatangi tempat kejadian dan
mendapatkan dua anak muda saling berkejaran. Yang satu
minta tolong satunya lagi melayangkan pikulan ke kiri dan
ke kanan. Seorang pemuda yang jauh lebih awal tiba di sana
mencoba menghentikan aksi kejar-mengejar.
"Madi, mengapa engkau hendak menganiaya pemuda
itu?" tanyanya, sambil menahan gerak Madi.
"Dia brengsek! Dia kurang ajar, Seta!"
"Brengsek dan kurang ajar karena apa, Madi?" tanya Seta
sambil mendelik kepada Ginggi.
"Dia mandi di pancuran wanita. Ketika aku peringatkan,
malah bilang biar saja. Begitu kan kau bilang tadi?"
"Apa tadi perkataanku kau dengar lain?" Ginggi ringan
saja menjawabnya. "Tuh, kurang ajar, kan" "
"Kurang ajar bagaimana," Ginggi memotong. "Kubilang
biar saja karena tadi hari masih pagi dan tak ada wanita
mandi di sana," katanya. Tapi berbareng dengan itu, dari
jalan setapak arah pancuran, muncul gadis rambut tergerai
sebatas pinggul sambil menjinjing ember kayu dengan
setumpuk cucian. Gadis berlesung pipit ini hanya mengenakan kain hitam
sebatas dadanya dan membuat seluruh lekuk-relung
tubuhnya tercetak erat dan ketat, membikin ketiga pemuda
itu terpana dan melongo. Si gadis yang melangkah cepat
karena mendengar ribut-ribut, segera menutupi bagian
dadanya dengan tangan kiri setelah tahu bahwa ketiga
pemuda itu matanya seragam menyorot ke arah bagian
badan yang barusan dia tutupi.
Semuanya tersipu-sipu malu karena kelakuannya ini.
Tapi rasa malu Seta berubah menjadi kemarahan. Dia cepat
menghambur ke arah Ginggi, dan plak-plak-plak! Tiga
tamparan mendarat di pipi Ginggi.
Gadis itu menjerit kecil karena peristiwa ini.
"Hai, mengapa kau tampar wajahku?" Ginggi lebih
merasa heran ketimbang sakit melihat Seta menamparnya
beberapa kali. "Kau kurang ajar menatap wanita lewat!" bentak Seta.
"Kalau begitu, tamparlah juga wajahmu tiga kali, malah
empat kali buat temanmu itu, sebab dia menatap gadis itu
sambil menelan air liurnya!" kata Ginggi senyum. Tapi
omongan ini kian menyulut kemarahan Seta. Dibantu Madi
ia kembali menghambur menerjang Ginggi.
Para wanita yang menyaksikan pertengkaran ini
menjerit-jerit ngeri karena baik Madi atau pun Seta dengan
garangnya mengayunkan pikulan untuk mencecar kepala
Ginggi. Yang diserang malah hanya berteriak-teriak minta
tolong sambil meringis dan menutupi wajahnya. Ketika
ayunan alat pemikul yang dipegang Seta hendak menyabet
tengkuk, kaki Ginggi tersandung akar dan jatuh
terjerembab. Namun akibatnya, sabetan ke arah tengkuk
menjadi lolos. Ketika pikulan Madi hendak mencecar
pinggulnya, Ginggi bangun dengan cara berguling dulu ke
kiri. Santai saja dia melakukannya, namun gerakan
menggulir badan dilakukan dengan pas, sehingga serangan
alat pikul hanya menggebuk permukaan tanah.
Sambil menepuk-nepuk celana kampretnya karena kena
debu, Ginggi berdiri dan secuil pun tidak melirik ke arah
penyerangnya yang mulai mengepung dirinya. Kedua orang
itu mengelilinginya sambil memutar-mutar alat pikul. Madi
ada di belakang dan Seta ada di depannya. Sambil memutar
alat pikul, kedua orang itu melakukan langkah-langkah
mantap dan itu merupakan kuda-kuda semacam ilmu
berkelahi. Ginggi sendiri tetap menampilkan diri sebagai seorang
yang tak mengenal ilmu kedigjayaan, seperti apa yang
dipesankan Ki Darma. Di samping ingat pesan orang tua
itu, Ginggi pun merasa tak punya kepentingan untuk
mengeluarkan jurusnya, sebab menurutnya, ini hanya
urusan sepele saja. Menghadapi pasangan kuda-kuda kedua orang yang
mengepungnya, Ginggi hanya meringis saja.
Keduatangannya di depan dada seperti orang ketakutan dan
minta diampuni. Beberapa orang yang sedianya hendak ke pancuran atau
hendak berangkat ke ladang, menyuruh mereka supaya
berhenti saja. Gadis semampai berlesung pipit pun
berteriak-teriak menyuruh untuk menyelesaikan urusan ini.
Namun Seta dan Madi sepertinya masih memiliki rasa
penasaran bila belum menggebuk pemuda bodoh tapi ugal-
ugalan ini. Secara serentak keduanya melakukan serangan.
Madi mengemplangnya dari belakang Seta menyodoknya
dari depan. Ginggi menjerit ngeri, begitu pun yang lain,
semuanya akan membayangkan bahwa sebentar lagi ubun-
ubun kepala Ginggi akan kena kemplang alat pikul yang
keras itu dan ulu hatinya pasti tersodok ujung pikulan di
tangan Seta. Untuk kesekian kalinya, Ginggi berteriak minta tolong
sambil punggungnya membungkuk ke depan. Karena
gerakan membungkuk ini, kemplangan dari belakang hanya
menggebuk angin. Sedangkan serangan Seta hanya akan
lolos sementara ketika tubuh Ginggi melenting ke belakang.
Bila Ginggi tak menjatuhkan tubuhnya ke samping,
akhirnya sodokan akan kena juga. Sambil telapak kaki
menginjak tonjolan batu, Ginggi pura-pura terpeleset dan
jatuh ke samping. Di lain fihak, Seta terlanjur
mengeluarkan tenaga sodokan sepenuhnya, sehingga
manakala sodokan itu gagal, tubuh Seta terjerembab ke
depan. Akan halnya pemuda Madi yang merasa kemplangan
pertama gagal, secara cepat mengayunkan alat pikulnya
untuk menyabet badan Ginggi bagian samping. Namun
tubuh Ginggi sudah jatuh duluan ke arah berlawanan
karena terpeleset batu. Padahal ketika serangan itu datang,
amat bersamaan dengan munculnya tubuh Seta yang
terjerembab ke depan. Akibatnya tak ayal, jidat Seta terkena
sabetan ujung pikulan. Tidak telak benar, namun cukup
membuat jidat pemuda itu benjol dan warna hijau
menghiasi benjolan itu. Orang-orang tertawa melihatnya. Betapa tidak, serangan
dua orang pengepung, dikacaukan begitu saja hanya karena
yang diserang terpeleset kakinya. Lebih lucu dari itu, terjadi
kesalahan penyerangan sehingga yang satu menyerang
kawan satunya lagi. Madi terkejut menyaksikan hasil kerjanya lain dari
harapan. Sebaliknya Seta menjadi kesal dibuatnya. Sambil
menahan rasa sakit di jidat, Seta menghambur ke arah
Madi. "Hai, Seta mengapa malah menyerangku!" teriak Madi
menangkis serangan Seta. "Mengapa kau menggebukku?"
Seta kembali melayangkan kemplangan. Dan, pletaaak!!!
Ujung pikulan mendarat di dahi Madi. Yang dipukul balik
menyerang, sehingga keduanya akhirnya saling kemplang
disertai sumpah serapah. Kini suara jerit penonton disertai
teriakan kesakitan sebab yang bergumul, satu sama lain
berhasil mengemplang lawannya.
"Hai! Hai! Jangan berkelahi! Berhenti! Berhenti!" Ginggi
sibuk melerai kedua orang yangbaku hantam ini. Akhirnya
semua orang ikut terjun melerai perkelahian ini. Dan
suasanakacau di pagi hari, di saat burung berkicau di hutan
sana, berhenti manakala terdengar suara keras memekik
dan menyakitkan telinga. "Berhenti! Apa-apaan sepagi ini kalian sudah saling
kemplang, hah?" kata orang itu. Semua mundur teratur
sebab yang datang adalah Ki Kuwu Suntara. "Mengapa
kalian berkelahi?" tanyanya lagi.
"Karena anak dungu itu, Ki Kuwu!" kata Seta menunjuk
ke arah Ginggi. "Karena apa?" "Dia mengintip orang mandi, Ki Kuwu!"
"Lantas, mengapa malah kalian yang berkelahi?"
Keduanya tak bisa menjawab. Saling pandang dan akhirnya
menunduk. Giliran Ginggi yang diperiksa Ki Kuwu. "Kau
mengintip orang mandi, anak dungu?"
"Aku hanya kena tuding saja, Ki Kuwu!" jawab Ginggi.
"Dia juga mengaku mandi di pancuran khusus wanita,
Ki Kuwu," kata Madi sambil memegangi pipinya yang
tergores serangan Seta dan sedikit mengeluarkan darah.
"Kau mandi di tempat wanita?" tanya Ki Kuwu Suntara.
"Betul, tapi di saat pancuran sunyi. Aku mandi paling
pagi, Ki Kuwu," jawab Ginggi pula.
"Bohong Ki Kuwu, sebab di pancuran ada Nyai Santimi.
Begundal ini pasti habis menggoda gadis itu, Ki Kuwu!"
kata Seta dengan wajah merah dan bibir bengkak kena
sabetan Madi. Wajah pemuda tampan ini jadi kian tak
keruan bila ditambah hiasan jendol sebesar telur ayam di
jidatnya. "Nyai, kau mandi bersama pemuda tolol itu?" Ki Kuwu
mendeleng ke bagian dada gadis yang segera Nyi Santimi
halangi dengan tangan kanannya.
"Ih, siapa bilang! Dia mandi duluan sebelum saya datang
ke pancuran. Saya juga katakan padanya bahwa lelaki tak
diperbolehkan mandi di pancuran ini," tutur Nyi Santimi
marah. "Dia memaksa?" "Dia sedang mandi ketika saya katakan perihal aturan
itu!" kata Nyi Santimi.
"Apa kau mendekati pemuda itu padahal dia sedang
mandi, Nyai?" tanya Ki Kuwu Suntara dengan suara
setengah menyelidik. Tampak wajah Nyi Santimi merah merona. "Saya hanya
bicara dari balik rimbunan pohon, Ki Kuwu!" katanya
menundukkan wajah. "Bagus !" kata Ki Kuwu bergembira.
"Anak itu belum tahu tata-aturan di sini, harap maafkan
saja Ki Kuwu," kata seseorang dengan lemah lembut.
Ternyata yang datang adalah Rama Dongdo. Barangkali
dia memaksa datang karena keributan ini.
Ki Kuwu Suntara memandang Rama Dongdo dengan
wajah dingin, tapi kemudian dia mengangguk.
"Ya, kali ini aku maafkan dia!" katanya sambil berlalu.
"Ayo, bubar semua. Bubar. Urusan selesai!" katanya kepada
penduduk yang bergerombol. Semuanya taat dan kembali
mengerjakan tugas masing-masing. Yang akan pergi
Senja Jatuh Di Pajajaran Karya Aan Merdeka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mencuci pergi ke pancuran dan yang akan berangkat ke
ladang kembali memanggul cangkul. Madi dan Seta yang
sedianya mengambil air minum di mata air pun kembali
memikul gentongnya yang masih kosong. Namun belum
beranjak dari tempat itu sebab nampak Ginggi mendekati
Nyi Santimi. "Nyai, baru tahu sekarang namamu Santimi. Indah
benar, pas sekali dengan semampai tubuh dan mungil
wajahmu," kata Ginggi. "Oh, ya, maafkan keributan ini.
Tapi sungguh aku tak mengintipmu," katanya lagi.
Madi dan Seta mendengus. Nyi Santimi juga rupanya
agak terpengaruh oleh sangkaan kedua pemuda ini.
Buktinya wajahnya agak cemberut.
"Nih pakaianmu, sudah aku cucikan, sudah bersih!"
katanya menyerahkan cucian kepada Ginggi.
"Ah, jasamu tidak akan kulupakan, Nyai. Perlu aku
balas. Ayo, biar semua cucian itu, aku yang bawa. Kalau
kau mau menyuruhku mengambil air bersih, akan aku
lakukan pula!" kata Ginggi.
"Mari Nyai, biar aku saja yang membawakan cucian itu!"
kata Madi menawarkan jasa.
"Ya, cepat, kau yang bawa Madi!" kata Seta setengah
memerintah. "Biarlah, saya tiap pagi juga membawanya sendiri," Nyi
Santimi menolak. Entah kepada siapa, mungkin semuanya.
Madi dan Seta termangu. Tapi Ginggi segera menyabet
ember dan tempat air dari bambu. Dia segera membawanya
pergi. "Hai, biarkan saya yang bawa! Biarkan!" seru Nyi
Santimi sambil berlari kecil memburu pemuda itu. Namun
sesudah keduanya berdekatan, mereka malah berjalan
sama-sama. "Nyi Santimi, kau tidak punya malu
mencucikan pakaian orang asing yang dungu itu!" teriak
Madi kesal. Seta hanya menggigit bibirnya sambil meringis
menahan sakit. Dia lupa bahwa bibirnya pun bengkak kena
sodokan temannya. Ginggi dan Nyi Santimi melangkah
cepat menyusul Rama Dongdo yang nampak sudah
memasuki lawang kori. "Kau harus percaya Nyai, aku tak mengintipmu mandi,"
kata Ginggi di tengah jalan.
"Tapi mengapa kau masih di dekat-dekat situ?" tanya
Nyi Santimi masih kurang percaya.
"Ya, gimana, ya" Ah, pokoknya aku tak mengintipmu.
Percayalah, aku jujur bicara!" Ginggi minta dipercaya.
"Sejujur matamu itukah?" Nyi Santimi menyindir tapi
Ginggi tak mengerti. "Lelaki dimana-mana sama saja!"
"Sama apanya, Nyai?"
"Matanya itu!" Nyi Santimi menunjuk pada mata
Ginggi. Pemuda itu pun serentak meraba kedua bola
matanya. "Ah, aku kira mataku hanya bulat saja. Tapi Si
Tonghor itu matanya melotot besar. Dan Si Seta biar pun
tampan tapimatanya cekung. Mengapa kau katakan sama,
Nyai?" Ginggi heran dibuatnya.
"Bukan ukurannya, tapi jelalatannya, tolol!" kata Nyi
Santimi membentak sambil tertawa. Untuk kesekian kalinya
orang menyebut tolol padanya. Tapi yang ini rasanya lain.
Ginggi merasa senang. "Macam-macam orang
menggunakan matanya itu, Nyai ada yang karena nafsu ada
juga karena kagum. Bila melihat sesuatu yang indah, mata
akan senang dan kagum melihatnya. Yang salah mungkin
tubuhmu, mengapa begitu indah," kata Ginggi terus terang,
membuat rona merah di wajah gadis itu timbul kembali.
"Tapi aku heran Nyai, kekagumanku akan sesuatu yang
indah jadi membuat kemarahan orang. Buktinya kedua
pemuda itu marah besar padaku hanya karena ... ya,
mataku yang jelalatan itulah. Padahal, mereka pun
sebetulnya sama saja! Engkau tak adil hanya aku saja yang
engkau marahi?" "Aku malah sering memarahi kedua orang yang
menyebalkan itu. Mereka sering menggodaku dan mereka
sering cemburu buta. Mereka benci padamu sejak
kehadiranmu pertama kali malam tadi!" kata Nyi Santimi.
"Lho, masa begitu aku datang ke sini sudah membuat
kesalahan pada mereka?" tanya Ginggi menahan langkah
sedikit. (O-anikz-O) Jilid 04 "Ya, karena matamu itulah. Di dapur malam itu mereka
sedang makan singkong bakar ketika engkau datang
bersama Ki Ogel dan Ki Banen. Lalu dia juga
mengawasimu manakala matamu jelalatan menatapku
ketika menyodorkan penganan. Eh, mengapa kau jalan
sambil meram?" tanya Nyi Santimi heran.
"Takut mataku jelalatan lagi, Nyai. Nanti orang
sekampungmu mengepungku!" kata Ginggi. Kakinya
mencari-cari pijakan, persis orang buta. Nyi Santimi tertawa
cekikikan sambil menutup mulut dengan punggung
tangannya. Mereka berjalan lagi, mengobrol sana-sini tapi masih
seputar urusan tadi. "Pantas saja kedua pemuda itu tadi
semalam sangat angkuh padaku," gumam Ginggi
teringatkembali peristiwa semalam di gardu.
"Nanti malam ada pertunjukan pantun, Kang!" kata Nyi
Santimi sebelum tiba di rumah.
"Pantun, apakah itu?" Ginggi mengerutkan dahi.
"Seni bercerita dilantunkan dengan lagu merdu. Eh,
darimana sih asalmu, kok tidak kenal kesenian pantun?"
tanya Nyi Santimi heran. Ginggi hanya tersenyum kecil.
"Semua orang nanti malam akan keluar di saat bulan
purnama. Di antaranya akan nonton pantun, sebagai
selamatan panen telah terpetik," kata Nyi Santimi pula.
"Kalau begitu engkau pasti keluar rumah juga, ya?"
Ginggi menatap gadis berbibir tipis itu dari sisinya. Si gadis
mengangguk. "Pasti nonton pertunjukan pantun juga?"
Kembali Nyi Santimi mengangguk. Berseri wajah
pemuda itu. Ada senyum tersungging di bibirnya.
(O-anikz-O) Lantunan Ki Juru Pantun Benar seperti perkataan Nyi Santimi, malam ini di saat
bulan benderang, penduduk desa keluar rumah. Para gadis
dan jejaka, malam itu diberi waktu untuk bertemu. Bahkan
anak-anak kecil, diperbolehkan main di halaman.
Tapi, baik anak remaja mau pun anak kecil semua
bermain bersama. Gadis-gadis remaja nampak saling olok
dengan sesamanya, dan sesekali mengolok-olok
serombongan pemuda yang datang bertandang. Terdengar
jerit dan tawa di antara mereka yang saling berkejaran.
Ginggi senang sekali melihat keramaian malam ini. Ini
barangkali pemandangan pertama baginya, melihat orang
berseliweran di terang bulan, dengan perasaan riang
gembira. Ginggi senang menyaksikan gadis yang elok-elok,
digoda oleh para jejaka yang tampan-tampan. Mereka
berpakaian bersih dan rapi. Yang gadisnya berkebaya dan
berkain warna hitam nila, begitu pun para jejakanya,
berbaju salontreng, bercelana pokek dan berikat kepala
lohen, Beberapa di antaranya ada yang memakai ikat
pinggang besar terbuat dari kulit. Tapi kaum jejaka hampir
semuanya menggunakan kain sarung poleng, apakah itu
digunakan semacam selendang yang dikenakan di bahu,
atau diikatkan di pinggang mereka.
Ginggi punya kesempatan menikmati keindahan malam
ini. Ada obor terpancang, berjajar sepanjang jalan utama
kampung dan berakhir di bale gede tempat orang
berkumpul. Tadi pagi, Rama Dongdo pun sudah mengizinkan dia
untuk melihat keramaian ini.
"Asalkan kau sanggup menahan hati untuk tidak terlibat
keributan seperti tadi pagi," kata Rama.
Ginggi hanya menunduk. Dia merasa tak perlu
membeberkan kejadian tadi, sebab dianggapnya hanya akan
mengeruhkan saja. Rama Dongdo mengabarkan bahwa para tokoh di desa
ini tak keberatan bila dia akan ikut bekerja di sini. Izin ini
juga termasuk datang dari Ki Kuwu.
"Karena urusan perbedaan sikap dalam menentukan
agama, sebetulnya dari desa ini banyak tenaga cakap pergi
mengembara. Yang mencintai agama baru, mendekatkan
diri ke pusat Kerajaan Talaga, atau bahkan ke Cirebon
sana. Yang masih setia kepada agama lama, pergi ke
wilayah barat, mendekati Pakuan. Kalau aku boleh bicara,
sebetulnya yang tinggal di sini kebanyakan hanya yang
punya sikap di tengah saja. Mereka adalah yang sanggup
membiarkan agama lama hidup, namun juga tak
berkeberatan adanya agama baru muncul. Bisa kau saksikan
nanti malam, akan ada orang berdoa dengan gaya agama
lama, tapi ada juga yang melakukan sembahyang dengan
cara agama baru," kata Rama Dongdo.
"Kami bersyukur, di desa ini sekarang berkumpul orang-
orang yang tidak mempertentangkan jenis keyakinan. Tapi
juga kami sedih, bahwa banyak orang muda yang cakap
meninggalkannya. Padahal menjelang acara besar seperti
panen tahun ini, kami butuh tenaga banyak," kata Rama
Dongdo lagi. "Kalau pun aku bersedia membantu, sebetulnya aku tak
memiliki kecakapan apa-apa. Tapi biar pun begitu, aku
ingin tahu, pekerjaan macam apakah itu?" tanya Ginggi.
Rama Dongdo menerangkan, bahwa Desa Cae ini
kedudukannya terjepit. Di lain fihak, ibu negri Karatuan
Talaga sudah masuk pengaruh Cirebon, artinya sudah
melepaskan diri dari kekuasaan Pakuan. Akan tetapi di lain
fihak, masih ada kelompok berpengaruh di desa ini masih
menyegani nama besar Pakuan dan berupaya mengirimseba
atau upeti ke Pakuan. "Kami sama-sama menahan diri untuk tidak pecah
sesama tokoh. Jadi, akhirnya semua kebijaksanaan kami
lakukan. Tiga hari yang akan datang ada rombongan seba
berangkat dari Desa Cae ini. Kami butuh tenaga banyak
untuk memikul barang-barang seba," kata Rama Dongdo.
"Bila hanya untuk memikul barang saja, aku sedia,
Rama!" kata Ginggi. Tapi Rama Dongdo menghela nafas
dalam. "Ada sesuatu yang dirisaukan, Rama?" tanya pemuda
itu. Rama Dongdo kian mengerutkan dahinya.
"Untuk mengangkut barang seba, sebetulnya kami tidak
sekadar membutuhkan orang yang bertenaga kuat saja, tapi
juga kami butuh orang yang sanggup melindungi
keselamatan barang-barang itu sendiri," tuturnya.
Ginggi menatap tajam, belum mengerti apa yang
dimaksud orang tua ini. "Sudah aku katakan, hanya di kampung ini saja beda
pendapat bisa diredam. Akan tetapi di luar kampung
suasana lain lagi. Kelompok yang tak setuju kami mengakui
Pakuan, selalu mengganggu perjalanan kami. Mereka
mencegat, merampok, bahkan membunuh petugas yang
berani melawan," keluh Rama Dongdo dengan sedih.
Meneguk minuman di atas sebuah lumur (sejenis cangkir
yang terbuat dari bumbung bambu) dan menghela nafas
lagi. "Dengan kata lain, mengirim seba ke Pakuan itu
taruhannya bisa nyawa. Begitu, Rama?" tanya Ginggi.
Rama Dongdo mengangguk "Orang-orang dari negara agama barukah pelaku
perampokan itu?" tanya Ginggi lagi.
Rama Dongdo tidak mengiyakannya.
"Sulit untuk menebak bahkan menuduhnya. Kata
petugas yang pernah mengalaminya, para penjahat itu
bertampang kasar dan bengis. Tidak layak ditampilkan oleh
orang yang mengaku memiliki agama sempurna. Kalau
para perampok itu bukan dari kelompok agama baru, aku
percaya, sebab dalam suasana permusuhan antara Pajajaran
dan Cirebon, sebetulnya banyak kelompok memanfaatkan
situasi untuk kepentingan pribadi. Orang-orang dari agama
baru mungkin saja tak setuju kami mengirimkan seba ke
Pakuan. Namun ketidak setujuan mereka, dimanfaatkan
oleh orang-orang yang memancing di air keruh. Mungkin
saja yang mencegat dan merampok sebenarnya hanya
bertindak atas dasar keserakahan saja. Mereka hanya
penjahat biasa saja," tutur Rama Dongdo panjang lebar.
Ginggi termenung mendengar penjelasan ini. Setelah
agak lama suasana membisu, Ginggi bertanya, "Rama, aku
ini pengembara. Sedikitnya, ada beberapa berita yang
sampai ke telingaku," katanya.
"Apa saja itu?"
"Bahwa susuhunan di Pakuan sekarang sebetulnya sudah
tak pantas dianggap panutan lagi. Dia sudah tak mampu
mempertahankan kebesaran Pajajaran seperti para
pendahulunya. Bukan tak mampu menghadapi serangan
musuh dari luar, sebab hingga saat ini, kendati jumlahnya
terus berkurang, namun tembok benteng Pakuan masih
dijaga perwira dan jagabaya yang pandai-pandai. Yang
dirasakan ambarahayat Pajajaran sekarang, bahwa katanya
para penguasa di Pakuan tak sanggup melawan musuh dari
dalam hati sendiri, yaitu hawa nafsu. Betulkah itu, Rama?"
tanya Ginggi panjang lebar.
Mendapat pertanyaan serupa ini, Rama Dongdo batuk-
batuk kecil. Untuk beberapa lama dia tak sanggup
menjawabnya. Namun pada akhirnya, biar pun pelan dan
datar, dia berujar juga. "Tidak salah apa yang kau katakan, Sang Prabu Ratu
Sakti banyak melakukan hal-hal yang sebetulnya
menyinggung persaan rakyat," katanya menghela nafas
panjang. "Kami saban tahun masih sanggup menghasilkan
panen. Juga saban tahun masih bisa mengadakan pesta
selamatan akan keberhasilan panen. Namun setiap tahun
berlalu, tiap itu pula kebahagiaan kami berkurang. Hasil
panen biar pun jumlahnya tetap sama, tapi tak
menimbulkan kebahagiaan. Pesta selamatan yang dulu
dilakukan berhari-hari, kini hanya dilakukan secara
sederhana saja. Bukan tak ada yang mesti kami pestakan.
Senja Jatuh Di Pajajaran Karya Aan Merdeka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Akan tetapi karena sebagian besar harus diabdikan untuk
seba, maka kegiatan untuk selamatan bahkan untuk
kekayaan berlebih kami, banyak berkurang," kata Rama
Dongdo. Ini adalah penjelasan yang kesekian kalinya yang
diterima pemuda itu. Persis seperti apa kata Ki Darma
tempo hari, bahwa rakyat Pajajaran sekarang dirundung
malang karena ulah rajanya.
"Heran sekali, kalau ternyata Raja bersifat tak bijaksana,
mengapa Rama memaksakan diri untuk tetap setia kepada
Raja" Tidakkah Rama memilih biluk (memihak) saja ke
Talaga dan ke Cirebon sana?" tanya Ginggi.
Ada senyum pahit menghiasi mulut orang tua itu yang
kumisnya sudah banyak dihiasi uban. Sekali lagi Rama
Dongdo menghela nafasnya dalam-dalam.
"Mikukuh Dasa Perbakti yang terdapat dalam agamaku
mengatakan bahwa seseorang harus mentaati orang lain
karena kedudukannya. Anak harus taat kepada ayah, istri
taat kepada suami, kaula atau rakyat harus taat kepada
penguasa, murid taat kepada guru, petani taat kepada
wadha, wadha taat kepada mantri, mantri taat kepadanu
nangganan, nu nangganan taat kepada mangkubumi,
mangkubumi kepada ratu dan ratu taat kepada dewata,
dewata taat kepada hyang sebagai penguasa tunggal di jagat
raya ini. Semuanya harus dijalankan agar kehidupan
bermasyarakat dan bernegara berjalan lancar. Dan aku
sebagai kaula, sebagai rakyat, jelas harus mentaati
kebijaksanaan Raja," kata Rama Dongdo.
"Akan tetapi, bila Raja tak sanggup menerima rasa taat
kaulanya dengan kebijaksanaan agung, kehidupan tak akan
berjalan dengan baik," potong Ginggi.
"Mungkin begitu. Tapi biarlah pengalaman jadi guru
yang utama bagi semua orang, termasuk bagi raja itu
sendiri. Bagaimana akibatnya bila raja tak melakukan tapa
bagi negaranya. Kita sebagai rakyat, tak boleh keluar dari
sendi-sendi aturan. Sebab begitulah, kalau semuanya ikut
melenceng, maka semua kehidupan tak berguna. Lagipula,
ada yang harus diingat rakyat, kalau pun dia mengabdi,
bukanlah mengabdi karena raja, tapi karena negara. Aku
sampai saat ini merasa sebagai anak bumi Pajajaran. Aku
tetap mendambakan Pajajaran bisa hidup sampai akhir
zaman. Mungkin aku melaksanakan seba sebagai titah raja.
Tapi tujuanku yang sebenarnya adalah mempertahankan
bumi Pajajaran," kata Rama Dongdo panjang lebar.
Ginggi puyeng sendiri menyimak jawaban atas hasil
pertanyaannya itu. Bagaimana mungkin ada orang yang
setia sampai mati bagi sebuah kerajaan yang dirajai oleh
orang yang tak bijaksana. Bila begitu halnya, maka rakyat
hanya akan jadi korban kesetiannya itu sendiri. Gila, pikir
Ginggi. Tapi, sebentar kemudian anak muda ini sudah
merenung kembali. Bukankah hal-hal ini yang harus
diperhatikannya, seperti apa yang diamanatkan oleh Ki
Darma" "Mengubah bumi Pajajaran, sesuatu hal yang mustahil
untuk dilakukan sendirian. Tapi kau bantulah rakyat agar
tak dibiarkan menderita. Lebih baik satu kali berjuang
untuk rakyat daripada tidak sama sekali," ucapan Ki Darma
terngiang lagi di telinganya. Tapi, bagaimana bentuk
perjuangan itu" Ikut menyukseskan pengiriman seba,
ataukah perjuangan membela kesengsaraan rakyat"
Ginggi memijit-mijit kepalanya, pening rasanya.
"Kau sakit kepala anak muda" Pasti tadi malam kau
kurang tidur karena ikut tugur. Tapi tugur akan jadi bagian
dari hidupmu kalau kau betah di sini kelak. Kampung ini
butuh tenaga muda untuk tugur, yaitu menjaga keamanan
daerah dari gangguan orang jahat," kata Rama Dongo.
Ginggi berhenti memijit-mijit kepalanya karena dia tak
mau dianggap orang yang sakit kepala.
"Aku tidak sakit, apalagi lelah, Rama. Bahkan kalau
Rama mengizinkan, aku akan membantu apa saja di rumah
ini. Mungkin aku bisa membelah kayu bakar, mengambil
air dengan pikulan, atau pekerjaan apa saja yang berguna di
rumah ini," kata Ginggi menawarkan jasa.
Rama Dongdo tersenyum mendengarnya.
"Aku dulu punya anak lelaki. Tapi karena kegemarannya
mempelajari ilmu kedigjayaannya, dia tewas karena
perkelahian. Tidak percuma, sebab dia mati dalam
mempertahankan tugas mengirim seba," kata Rama
Dongdo. Ginggi hanya mengangguk-angguk tanpa berani
meminta penjelasan lebih lanjut. Sebab kalau dia memaksa,
hanya berarti menyuruh orang menceritakan kisah dukanya
belaka. "Kalau kau senang bekerja kasar, bekerjalah di dapur.
Hari ini semua penduduk ramai memasak untuk persiapan
pesta nanti malam," kata Rama Dongdo.
Ginggi amat bersemangat mendapat izin membantu di
dapur. Bukan karena pekerjaannya, tapi karena ada
pengharapan lain yang amat diharapkannya, ia pun segera
bergegas menuju dapur. Dan benar saja, di dapur dia segera saja mendapatkan
apa yang diharapkannya. "Nyai, sedang apakah engkau?" bisiknya kepada Nyi
Santimi yang tengah sibuk bekerja.
"Aku tengah membuat lemper untuk hidangan nanti
malam, Kang," kata gadis itu tersenyum manis namun
matanya tetap memperhatikan pekerjaannya. Mereka
berbincang-bincang akrab sekali. Dan mereka pun berjanji
untuk bertemu malam nanti di tempat pertunjukan pantun.
Talung-talung keur Pajajaran
Jaman aya keneh kuwerabakti
Jaman guru bumi dipusti-pusti
Jaman leuit tangtu eusina metu
Euweuh anu tani mudu ngijon
Euweuh anu tani nandonkeun karang
Euweuh anu tani paeh ku jengkel
Euweuh anu tani modar ku lapar
( masih mending waktu Pajajaran
ketika masih ada kuwerabakti
ketika guru bumi dipuja-puja
ketika lumbung umum melimpah-ruah
tiada petani perlu pengijon
tiada petani menggadai tanah
tiada petani mati karena kesal
tiada petani mati karena lapar )
"Mari pertunjukan pantun sudah dimulai!"
"Siapakah prepantun (juru pantun) nya, Ki?"
"Siapa lagi kalau bukan Ki Baju Rambeng dari Pakuan!"
"Kasihan, ya. Juru pantun paling baik di Pakuan, harus
pergi terlunta-lunta seperti itu. Disangkanya di tempat ini
lebih tentram. Disangkanya di tempat ini Pajajaran masih
mekar." "Dia menjauhi Pakuan karena kemelut berkepanjangan.
Tapi apa pun terjadi, ini keuntungan buat kita dan generasi
seusai kita. Sebab biar pun jauh dari Pajajaran, anak cucu-
kita masih bisa mendengar kemegahan istana raja Sri Bima
Untarayana Madura Suradipati, atau keelokan Tamansari
Milakancana beserta permainya danau Talaga Rena Maha
Wijaya, Dengarlah lantunan merdu Ki Juru Pantun, dia
pasti membuka tabir riwayat emas yang bergelimang di
Pajajaran." Obrolan orang-orang di seputarnya sangat menarik
perhatian Ginggi. Padahal, di tengah benderangnya cahaya
purnama yang dipercantik cahaya obor dandamar sewu
(lampu seribu jajar), pemuda ini sebenarnya sedang
menyeruak kesana-kemari mencari Nyi Santimi.
"Dia janjian mau menunggu di tempat pertunjukan
pantun. Tapi, di mana dia tunggu aku?" pikir Ginggi.
Ginggi menyeruak-nyeruak sampai ke bagian penonton
paling depan, tapi yang dicarinya tak ada. Yang dia
saksikan hanyalah kerumunan orang-orang di sini.
Yang namanya pertunjukan, Ginggi baru menonton
pertama kali ini. Begitupun bentuk kesenian pantun, baru
kali ini dia kenali. Ternyata pantun hanyalah pertunjukan
maha sederhana. Tak ada penari, tak ada pemain lain,
kecuali seorang lelaki buta sendirian dengan alat musik
bernama kecapi di haribaannya. Kalaupun orang-orang
berkerumun di dekatnya, itu lebih tepat disebut
mendengarkan ketimbang menonton. Semua yang hadir
menyimak sebuah cerita yang dilantunkan dengan nyanyian
amat merdu dari mulut lelaki buta itu.
"Ada dahulu ada sekarang tak ada dahulu tak ada
sekarang ada masa silam ada masa kini tak ada masa silam
tak akan ada masa kini ada tonggak ada batang tak ada
tonggak tidak akan ada batang bila ada tunggul tentu ada
catangnya" Ki Baju Rambeng dengan lantunan merdu
melontarkan ingatan semua orang ke masa silam, masa di
mana bumi Pajajaran terang benderang dengan segala
cahaya keemasan dan kecermelangannya. Dia puji-puji
Kangjeng Prabu Wangi yang gugur di tanah Bubat karena
membela harkat dan derajat bumi Sunda. Dengan
kedigjayaan dan keberanian, Sang Prabu relakan darah dan
nyawa membasahi bumi. "Apalah gunanya darah setitik apalah gunanya nafas
sejentik tapi amat berguna darah setitik bila dipakai
membela hati dan harga diridan harga diri ".. Oh, hai, dan
harga diri " Ki Baju Rambeng terus mengaduk-ngaduk
kenangan orang terhadap masa-masa yang telah lalu. Dan
seluruhnya membicarakan tentang bumi Pajajaran. Dia
kabarkan kebijaksanaan Sang Prabu Sri Baduga Maharaja
perihal kehadiran agama baru."
Denting-denting kecapi dengan luwes dan merdu
mengiringi lantunannya : "Raja Pajajaran hanteu nyaram
somah milih agama anu dicaram soteh nyaeta :
palah-pilih teu puguh milih
mimiti milih agama ieu laju bosen " milih deui
"Raja Pajajaran hanteu nyaram
somah milih agama : ari tetela mah eta agama lain pi"eun ngaganggu
kasantosaan nagara lain pi"eun macikeuh anu barodo
lain pi"eun numpuk kabeungharan
lain pi"eun kasenangan sorangan"
(Raja Pajajaran tak melarang
rakyat memilih agama yang dilarang hanyalah: sembarangan memilih suatu yang tak tentu
mula-mula pilih satu agama sudah bosan " memilih lagi
Raja Pajajaran tak melarang Rakyat memilih agama Bila
jelas itu agama Yang bukan untuk mengganggu
Kesejahteraan negri Bukan untuk mengakali orang bodoh
Bukan untuk menumpuk kekayaan Bukan untuk
kesenangan pribadi) "
Tapi karena ambisi dan keserakahan, maka pertentangan
dan perselisihan tak bisa
dihindarkan. Perang, perang danperang! Dimana-mana
terjadi perang! Sang Prabu Surawisesa
pengganti ayahanda, limabelas kali bertempur,
bertempur dan bertempur!" kata lantunan Ki Baju
Rambeng dengan volume dan tekanan suara berganti-ganti
membuat yang mendengarkan terpana dan berdebar.
"Siapa yang unggul, Ki?" Ginggi nyeletuk dari sudut
samping, sehingga memutuskan rasa keterpanaan
pendengar. "Tak ada yang unggul dan tak ada yang kalah. Kalau
pun boleh disebut, maka dua-duanya ada dalam
kemenangan!" kata Ki Baju Rambeng.
Dan Ki Juru Pantun yang buta ini kembali melantunkan
suara merdunya: "Nu heubeul unggul lantaran kasatiaan nu anyar unggul lantaran kasampurnaan !"
(Yang lama unggul karena kesetiaan yang baru unggul karena kesempurnaan!) Ki Baju Rambeng terus melantunkan masa lalu tentang
Pajajaran yang tetap besar. Kalau pun kebesarannya
terganggu, ini karena adanya kemunafikan dan
ketidakjujuran. Berkali-kali mendapatkan serangan musuh,
benteng baru bisa terkuak sesudah ada penghianatan dari
dalam. "Siapa berkhianat itu yang jahat ! seribu perwira siap
mati seribu perwira hampir mati mati karena pengkhianatan
mati karena pengkhianatan Oh, hai ! Pengkhianat Dialah
Ki Darma Tunggara ! Dialah Ki Darma Tunggara !"
Ginggi tersentak di tengah-tengah keasyikannya
menyimak lantunan Ki Baju Rambeng ini. Prepantun ini
ada menyebut-nyebut nama Ki Darma walau pun masih
dilanjutkan dengan nama Tunggara, Ki Darma Tunggara.
Apakah yang disebut Ki Juru Pantun itu Ki Darma, orang
tua yang hampir sepuluh tahun hidup bersama di puncak
Gunung Cakrabuana" Atau hanya kebetulan saja ada
kemiripan nama" Pemuda itu tak melanjutkan perkiraannya
sebab Ki Baju Rambeng terus melantun.
Oh, hai Ki Darma Tunggara engkau perwira sakti
engkau perwira berani sayang keberanianmu dipakai
melawan ratu oh, hai, melawan ratu ! Itulah hukuman bagi
yang meragu ke sana tak mau ke sini tak mau Akhirnya Ki
Darma menjadi musuh semua
Oh, hai ! Musuh semua ! Ki Juru Pantun terus melantunkan cerita hingga larut
malam, hingga bulan pudar condong ke barat. Anak-anak
sudah dari tadi tergeletak tidur di lantai kayu. Para remaja
baik lelaki maupun perempuan, entah pergi ke mana. Yang
sisa, tinggallah para orang yang sudah lanjut usia. Mereka
Senja Jatuh Di Pajajaran Karya Aan Merdeka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
masih setia menyimak masa lalu kendati sambil terkantuk-
kantuk dan tubuh membungkuk karena sudah tak mampu
bersila dengan benar. Sampai kokok ayam bersahutan, sampai pulalah saat
akhir lantunan Ki Juru Pantun. Hanya belasan orang yang
tersisa. Terhuyung-huyung meninggalkan bale gede karena
kantuk yang kental. (O-anikz-O) Tangisan Nyi Santimi Sayup-sayup di kejauhan terdengar suara lantunan lain.
Seperti bersajak atau berdoa tapi dengan bahasa yang tidak
dimengerti Ginggi. "Suara lantunan apakah itu?" tanya Ginggi entah kepada
siapa sebab hampir semua orang telah pergi.
"Itulah pembacaan ayat suci dari orang yang sudah
memiliki agama baru," Ki Baju Rambeng yang
menjawabnya, sambil berbenah dan bersiap hendak turun
dari bangunan panggung bale gede.
"Menjelang fajar menyingsing, pemeluk agama baru
akan bersembahyang menghadap ke barat. Sehari semalam
mereka melakukannya sebanyak lima kali," kata Ki Baju
Rambeng lagi, mengangkat badan setengah terhuyung
karena beban kecapi di tangan kanannya. Dia sendirian saja
dan cukup hafal menuruni tangga kayu. Lantas berjalan
tertatih-tatih, tak ada orang yang mengacuhkannya lagi.
Ginggi melangkah di sampingnya.
"Aku ingin lebih jelas lagi menyimak apa yang kau
lantunkan tadi itu, Aki!" kata Ginggi.
"Apa yang Aki lantunkan tadi itulah keseluruhan
pengetahuanku, anak muda?" kata Ki Baju Rambeng
dengan desah nafas berat. Mungkin dia kecapaian, mungkin
juga kedinginan karena udara subuh.
"Tak adakah pengetahuan berlebih, misalnya tentang
perwira sakti Pajajaran bernama Ki Darma Tunggara itu,
Ki?" tanya pemuda itu lagi penasaran.
"Menurut sahibul hikayat, dia adalah perwira kerajaan
dari seribu perwira yang mengabdikan dirinya untuk
keselamatan Raja." "Terus, jelaskan?" desak Ginggi sambil mengikuti
langkah Ki Baju Rambeng. "Seribu perwira yang bertugas bela-mati Raja, sudah ada
sejak berdirinya Kerajaan Sunda ratusan tahun silam.
Kedudukan Raja dikawal seribu perwira yang bela-mati.
Pada zamannya Prabu Wangi, banyak perwira ikut ke
Bubat dan tewas bersama Raja di sana. Namun jumlah
seribu selalu kembali utuh sebab segera tergantikan yang
baru. Begitu sampai sekarang," kata Ki Baju Rambeng.
"Perwira sakti bernama Ki Darma Tunggara, kira-kira
hidup di zaman mana?" tanya Ginggi lagi. Lama Ki Baju
Rambeng tak memberikan jawaban. Ketika pemuda itu
kembali bertanya, juru pantun itu hanya menggelengkan
kepala. "Hampir semua juru pantun yang ada di Pajajaran selalu
mengatakan bahwa pantun yang dilantunkannya asli,
menggambarkan hal-hal yang pernah terjadi. Aku sendiri
akan bicara begitu, sebab begitu yang dikatakan guruku.
Aku bisa menggambarkan keperwiraan sekaligus
pengkhianatan Ki Darma Tunggara, tetapi tak bisa
melukiskan, di masa mana perwira sakti itu hidup. Apakah
Ki Darma Tunggara nama sebenarnya atau hanya sebuah
julukan, aku tidak tahu. Barangkali juga begitu pengetahuan
semua juru pantun," kata pula Ki Baju Rambeng.
Ginggi menghela nafas kecewa. Bila begitu, bisa saja
kejadian mengenai perwira bernama Ki Darma Tunggara
hanya dongeng belaka. Kecewa" Mengapa harus kecewa"
Kalau ternyata peristiwa itu benar dan melibatkan Ki
Darma yang dia kenal, mau apa"
Akhirnya pemuda itu membiarkan Ki Baju Rambeng
pergi. Tertatih-tatih menjinjing kecapi memburu fajar yang
tengah menyingsing. Ginggi juga melangkah pergi. Dia melewati sebuah
rumah gedek yang penghuni di dalamnya masih
melantunkan ayat suci agama baru seperti apa kata Ki Juru
Pantun. Melangkah lagi beberapa ratus tindak, ada terlihat
sebuah rumah dengan pekarangan agak luas dan di
sudutnya terdapat sebuah pura dengan dupa mengelun
lemah. Namun apa pun yang terjadi, sebetulnya ada kedamaian
di sini. Paling tidak di saat pagi hari begini. Ginggi berpikir,
sebenarnya percekcokan hanya terjadi pada orang-orang
yang mempertahankan kebenaran dirinya secara fanatik.
Orang-orang yang berpikiran sederhana cenderung
membatasi keinginan-keinginan yang keras, termasuk
mengukuhi kebenaran yang diakuinya.
Sekarang Ginggi berjalan gontai menuju rumah Rama
Dongdo. Dia baru ingat lagi sekarang, bahwa tadi malam
sebenarnya mengikat janji dengan Nyi Santimi untuk sama-
sama nonton pantun. "Kita saling menunggu di depan bale gede," kata Nyi
Santimi kemarin siang. Tapi mengapa gadis itu tak
diketemukannya tadi malam" Tidak jadi pergikah dia"
Ginggi kurang teliti mencari karena lebih terpukau
menyimak pertunjukan itu sendiri.
Ada yang perlu ditanyakan kepada gadis itu. Tapi karena
kantuknya menyerang demikian hebat, Ginggi hanya
meloso di sudut beranda rumah dan akhirnya tertidur pulas.
(O-ani-kz-O) Ginggi tersentak bangun ketika seseorang menepuk-
nepuk pundaknya. "Bangun, hai, bangunlah!"
Ginggi gelagapan karena kepalanya terasa berat dan
pening. Kedua matanya terasa kesat dan pedih. Susah sekali
dia membuka kelopak matanya.
"Ada apakah?" tanyanya mencoba memandang kepada
yang barusan membangunkannya.
"Bangunlah. Hari sudah siang. Lagi pula tak baik
menjelang kedatangan tamu penting kau malah tidur di
sini," kata orang itu. Yang berbicara adalah seorang lelaki,
entah siapa. Ginggi melihat cuaca. Hari sebetulnya masih pagi
kendati matahari sudah memancarkan sinarnya. Dia baru
sadar, sepulang nonton pantun, dia tertidur kelelahan di
beranda rumah Rama Dongdo. Tapi melihat hari masih
pagi, bisa diperkirakan, dia tidur di sana belum lama benar,
kalau tak disebutkan baru sebentar.
Tapi, sepagi ini rumah Rama Dongdo akan kedatangan
tamu, dari manakah" "Tamu apa Mamang, sepagi ini sudah bertandang ke
sini?" tanya Ginggi.
"Tamu penting. Tidak tahukah kalau pagi ini akan ada
rombongan keluarga Seta?"
"Rombongan keluarga Seta?"
"Betul anak muda. Hari ini secara resmi mereka akan
meminang Nyi Santimi!"
Kalau ada petir di siang bolong, mungkin beginilah
kedengarannya, paling tidak oleh Ginggi. Nyi Santimi
akandilamar Seta" Tak mimpikah aku " Atau, tidak
kelirukah orang ini bicara"
"Maksud Mamang, Nyi Santimi akan menikah dengan
Seta, pemuda tampan yang mulutnya selalu mencibir
seperti sinis tapi kemarin bengkak dan dower dipukul
temannya itu?" "Sssst!!!" ?" dan yang jidatnya menyendol karena pukulan kayu
pikulan di dekat pancuran sana itu, Mamang?" Ginggi
masih nyerocos kendati dia sudah diberi isyarat untuk tidak
bicara jelek seperti itu.
"Kau marah-marah tak keruan, ada apakah sebenarnya?"
tanya orang itu heran. Pertanyaan ini terasa sebagai teguran. Dan pemuda itu
akhirnya menunduk malu. Dia sadar, tak seharusnya uring-
uringan mendengar berita ini. Apa hak dia mencela
peristiwa ini" Kalau pun punya, dia hanyalah berhak untuk merasa
heran. Memang, siapa tidak heran. Kemarin pagi Nyi
Santimi masih mengatakan kepadanya, bahwa dia sebal
terhadap pemuda itu karena sering menggodanya. Pemuda
itu pun katanya angkuh dan sombong, hanya karena
ayahnya seorang juragan ladang yang luas tanahnya. Tapi,
aneh sekali, mengapa hari ini ada upacara pinang-
meminang" Heran, bukankah kemarin siang sudah ada janji
dengannya untuk sama-sama nonton pertunjukan pantun"
Mengapa secara diam-diam gadis itu membatalkan
rencananya" Semua pertanyaan yang ada dalam benaknya
ini hanya menimbulkan kebingungan belaka. Dan Ginggi
mengeluhpendek dibuatnya. Dia hanya bisa duduk
termenung. Sikut di atas lutut dan tangan memijit-mijit
jidat. Begitu yang dilakukannya sambil bersandar di tiang
rumah yang ada di sisi beranda. Sesekali dia menoleh ke
pintu ruangan tengah. Tapi pintu sejak tadi tertutup rapat.
Kata orang itu, di dalam rumah orang tengah sibuk
berbenah, termasuk memolek-molekkan Nyi Santimi agar
hari itu kelihatan lebih manis dan lebih cantik dari
biasanya. Lelaki setengah baya yang merupakan satu-satunya yang
ada di ruangan depan ini, sebentar pergi ke bagian samping
rumah. Sebentar kemudian sudah membawa sapu ijuk, dua
batang, satu diberikannya kepada Ginggi. "Kau tolong
bantu aku menyapu. Halaman ini nampaknya belum bersih
benar," katanya. Langsung menyapu lantai tepas. Sambil
pikiran melayang entah kemana, Ginggi ikut menyapu
lantai tepas. Namun baru satu dua kali dia menggoyangkan sapu,
pintu ruangan dibuka orang. Ginggi berhenti menyapu dan
cepat menoleh ke arah sana. Tapi yang keluar bukan Nyi
Santimi, melainkan Rama Dongdo. Dia berpakaian rapih.
Baju kampret putih, ikat kepala batik jenispupunjungan,
serta ke bawah kain polekat, Melihat Ginggi tengah
menyapu, orang tua itu berseri wajahnya.
"Wah, syukur sekali anak muda. Aku mencari kau,
lantaran butuh tenagamu bantu-bantu di dapur. Hari ini ada
kebahagiaan mendadak. Cucuku sudah menemukan jalan
hidupnya. Dia dipinang orang," kata Rama Dongdo ceria.
Ginggi hanya mengangguk dan tersenyum. Terus
menyapu kendati gerakannya tak beraturan.
"Memang serba mendadak. Tadi malam keluarga anak
muda itu datang meminang. Pagi ini rencananya akan
meresmikan pinangan itu," kata pula Rama Dongdo.
Ginggi tak menyambutnya dengan kata-kata.
Sampai pada suatu saat, ada orang yang menyuruhnya
agar dia ikut bantu di dapur sebab banyak kayu bakar yang
belum dibelah. Celaka aku, pikirnya. Dia terperangkap oleh
kesanggupannya sendiri, sebab kemarin pagi dengan
bersemangat Ginggi menawarkan jasa untuk bantu-bantu di
rumah ini. Ya, dia mau bekerja di rumah ini tapi bukan untuk
melihat Nyi santimi dilamar orang, apalagi dilamar oleh
pemuda yang pernah berkelahi dengannya.
Ah, betapa anak itu membusungkan dada dengan
congkaknya karena kemenangan ini!
Tapi Ginggi akhirnya pergi juga ke dapur. Jalannya
memutar ke samping. Bukan untuk mengharapkan
pekerjaan kasar itu, tapi untuk menunggu kalau-kalau dia
bertemu muka dengan gadis itu.
Sialan anak perempuan bau kencur itu! Aku akan
memarahinya, gertak Ginggi dalam hatinya. Dasar
perempuan kecil! Seenaknya saja melanggar janji!
Umpatan di hatinya terus berlanjut sampai dia tiba di
ruangan belakang. Tapi sayang, Nyi Santimi tak ada disana.
Ya, mana mungkin berada di dapur, sebab pagi ini dia
tengah didandani juru rias. Pasti dia elok, pasti dia cantik!
Tapi, untuk siapa kecantikannya itu" Bah, bukan untuk
diriku! Prak, prak, prak! Ginggi melampiaskan kekesalan
hatinya dengan membelah kayu-kayu bakar cepat sekali.
Kayu bakar ukuran besar-besar dalam sekejap sudah
menjadi potongan-potongan kecil beraturan, amat
mengherankan orang-orang di dapur sebab secepat itu dia
bekerja. Sudah itu Ginggi duduk di sudut dapur dengan nafas
pendek-pendek. Bukan kecapaian karena membelah kayu,
melainkan karena hati yang gundah itulah.
Sampai pada suatu saat, rombongan tamu yang ditunggu
tiba sudah. Jumlahnya terbatas saja. Ada sepasang lelaki
dan perempuan usia sekitar lima puluhan, gagah
berwibawa. Yang lelaki berkumis tipis berjenggot tipis.
Penutup kepalanya dari bendo citak batik rereng. Memakai
baju salontreng putih berkain poleng hitam dengan ikat
pinggang tebal dari kulit. Yang wanita berkebaya ungu tua,
berkain batik dan berselendang putih. Sudah tua namun
nampak cantik karena berkulit kuning halus. Yang
membuat hati Ginggi terasa terbakar adalah pemuda
tampan dengan sunggingan bibir angkuh itulah. Ya, siapa
lagi kalau bukan Si Seta! Dia memakai baju kampret
berkancing. Hari ini dia pun menggunakan bendo citak.
Memang tampan, kalau saja tak ada jendol di jidatnya.
Madi sahabatnya, dengan gigi tonghornya mengawal Si
Tampan angkuh itu sampai ke muka beranda. Mereka
disambut ceria oleh Rama Dongdo, yang hari itu ditemani
seorang wanita tua entah siapa.
Kata Rama Dongdo dalam sambutannya, ini suatu
upacara yang amat sederhana sebab semuanya dilakukan
dengan amat mendadak. "Jadi, bila kami sebagai tuan rumah kurang hangat
dalam sambutan, harap maklum," katanya.
"Kamilah yang bersalah, melakukan sesuatu serba
terburu-buru," jawab lelaki setengah baya berkumis tipis
sambil bersila tegak. "Namun yang penting dalam
Senja Jatuh Di Pajajaran Karya Aan Merdeka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kesemuanya ini, bukan kemeriahan yang diharap,
melainkan keselamatanlah," katanya lagi.
Mereka berbasa-basi secara panjang lebar, sampai pada
suatu saat, Rama Dongdo memanggil Nyi Santimi keluar
dari kamarnya. Semua orang ikut mendekati ruangan tengah, tidak
terkecuali petugas-petugas yang di dapur. Ginggi juga ikut
hadir di ruangan tengah. Semua mata tak berkedip melihat sebuah tubuh kecil
semampai keluar dari sebuah kamar. Nyi Santimi pagi itu
nampak anggun. Dengan rambut tergelung rapi, kulit halus
terpoles bedak, betapa cantiknya dia. Lesung pipitnya yang
alamiah dan menawan, kian memikat penglihatan siapa
pun sesudah diperindah dengan hiasan tahi lalat palsu pada
ujung dagunya. Hanya saja tubuh semampai berkebaya nila
dengan sedikit hiasan di dada kiri itu amat mengherankan
semua orang. Mengapa wajah manis tiada tanding itu
nampak muram dan tak bercahaya"
"Inilah cucuku yang bodoh dan tak punya kepandaian
apapun itu, Ki Silah (saudara). Kalau kalian hendak
mengejeknya, ejeklah sekarang juga. Kalau kalian hendak
menampiknya, tampiklah sekarang juga," kata Rama
Dongdo berbasa-basi. Tidak seorang pun yang menuruti
"permintaan" tuan rumah, bahkan yang terjadi sebaliknya.
Seta menatap tak berkedip dan Madi mulutnya menganga
sehingga gigi tonghornya kian meloncat keluar.
(O-anikz-O) Jilid 05 Ginggi menatap wajah muram itu dengan penuh
pertanyaan di kalbunya. Si Santimi ini gadis dungu. Dia
seperti punya kesedihan besar menghadapi kejadian ini, tapi
mengapa peristiwa terus berlangsung" Tidakkah dia punya
kekuatan untuk menolaknya"
Menolaknya" Dari mana Ginggi tahu bahwa Nyi
Santimi tak suka dijodohkan dengan pemuda Seta" Dari
mana pula awalnya Ginggi punya perkiraan bahwa Nyi
Santimi menyenanginya, memberi harapan padanya atau
menjanjikan sesuatu padanya"
Cih, tak tahu malu! Dan plak! Ginggi menempeleng
pipinya sendiri sampai matang biru, sampai orang-orang
sekelilingnya melihatnya dengan heran. Nyi Santimi juga
melirik ke samping karena bunyi "plak" itu dan nampak
wajahnya pucat-pasi setelah tahu siapa orang yang tiba-tiba
menempeleng wajahnya sendiri itu. Mereka saling tatap.
Ginggi menatap tajam dengan penuh tanda-tanya dan Nyi
Santimi menatap redup dengan wajah seolah-olah minta
dikasihani dan dimengerti duduk persoalannya. Tapi Ginggi
tak mengerti apa yang sebenarmya tengah berlangsung.
Hanya saja dia merasa kaget manakala diasaksikan, betapa
akhirnya gadis yang kini pucat-pasi itu menguraikan air
mata. Dia menangis sesenggukan, menjatuhkan badannya
dan tersuruk di lantai kayu.
Sudah barang tentu semua orang jadi panik. Para wanita
menjerit, kaum lelaki berseru heran, tidak pula Ginggi.
Pemuda Seta mendelik geram ke arah Ginggi. Mungkin dia
menduga, kejadian ini karena kehadiran pemuda dungu itu.
Sebelum suasana semakin tidak menentu, Ginggi sendiri
sudah menjauhkan diri dari tempat itu. Dia pergi keluar,
berjalan cepat. Bahkan langkahnya meloncat-loncat.
Setengah berlari dia menghambur ke arah lawang kori.
Pergi keluar kampung, pergi entah kemana. Yang penting
menjauhi rumah Rama Dongdo!
Tiba di sebuah hutan kecil perbukitan di luar desa,
pemuda itu menjatuhkan dirinya di bawah pohon rindang.
Matanya pedih, tubuhnya lelah.
Oh, mengapa pula aku ini" Tidakkah bila diketahui Ki
Darma aku akan didamprat habis-habisan" Tempo hari
orang tua itu bicara kepadanya agar berhati-hati
menghadapi wanita. "Wanita itu mahluk lemah. Namun bila kita
serampangan menilainya, dia bisa menghancurkan!" kata
Ki Darma waktu itu. Ginggi tak mengerti, mengapa Ki Darma bisa bicara
begitu. Yang ditakutkan Ginggi ketika itu hanyalah
harimau congkok sebab loncatannya lincah gerakannya
kuat dan cakarannya mematikan. Mengapa wanita yang
lemah-lembut bisa mematikan"
Sekarang sesudah teralami saja, baru dia tahu, apa arti
kehancuran yang diakibatkan wanita!
"Sialan! Ada apa dalam hatiku ini, sehingga menghadapi
peristiwa begini, badanku seperti tercabik-cabik harimau
ganas?" keluhnya sendirian. Dia berguling-guling di tanah.
Dicabik-cabiknya rambutnya sehingga ikat kepalanya lepas
dan rambutnya awut-awutan.
Ginggi mengatupkan matanya rapat-rapat. Menahan
nafas dalam-dalam. Dia mencoba melupakan gadis itu.
Tapi semakin dia tolak, semakin meloncat ke arahnya. Ya,
bayangan gadis itu. Lesung pipitnya, bibir tipisnya dan
sudut matanya yang tajam hitam dengan bola mata
berbinar. Ah, betapa terbayang mata itu mendadak sayu,
wajah itu mendadak muram, manakala dia menatap dan
mempertanyakan, mengapa berbuat kejam mengingkari
janji. "Tunggulah aku di sekitar panggung pertunjukan pantun,
Kang!" itulah janji gadis itu yang tak ditepatinya. Ya, hanya
itu. Tapi, Benarkah Nyi Santimi merasa berdosa karena
janjinya ini" Benarkah hanya karena tak menepati urusan
sepele itu, Nyi Santimi perlu menangis, bermata sayu,
berwajah muram dan sampai tersuruk di atas lantai"
Benarkah hanya sekadar itu"
Ginggi serentak bangun. Kalau hanya urusan janji sepele
itu, mengapa gadis itu perlu merundunginya dengan
kesedihan" Masa di mana gadis dipinang lelaki adalah masa
yang seharusnya disambut rasa syukur dan tawa bahagia.
Mengapa Nyi Santimi menyambutnya dengan muka yang
pucat-pasi dan apalagi sesudah bertemu pandang
dengannya" "Nyi Santimi, tidakkah ini"." guman Ginggi sambil
merenung dalam. Ah, tidak! Keluhnya sambil
menggelengkan kepala. Kalau pun benar ada perasaan yang
sama dengan gadis itu, percuma meladeninya. Ya, untuk
apa aku mengejar gadis yang sudah diikat janji oleh pemuda
lain, pikirnya. Ginggi merenung lagi. Dia mengingat-ingat pertemuan
singkat antara dia dengan gadis itu. Apa yang menjadi
ukuran bahwa antara dia dengan gadis itu ada semacam
ikatan" Karena gadis itu mau mencucikan pakaian
kotornya" Karena sikap ugal-ugalan dirinya, atau karena
matanya yang jelalatan melihat kemolekan tubuh wanita
seperti apa yang ditudingkan gadis itu kepadanya kemarin
pagi" Tak ada tanda-tanda pertemuan hati. Percuma aku
mengingatnya, pikirnya lagi bolak-balik.
Dan karena kecapaian, kurang tidur serta banyak
berpikir, akhirnya Ginggi meloso begitu saja di bawah
pohon. Ditemani suara burung di dahan, hembusan angi
bukit dan matahari dari sela-sela dedaunan, pemuda itu
tertidur pulas lama sekali. Entah berapa lama dia tertidur
padahal ditemani mimpi-mimpi buruk. Yang jelas, ketika
tersadar dari tidurnya, udara di sekitarnya terasa dingin,
sambil mata masih terkatup dia meraba tanah tempat
tubuhnya tergeletak. Tanah itu terasa lembab dan dingin,
selembar daun yang jatuh di sana, ketika dirabanya terasa
basah oleh embun. Ginggi membuka matanya, namun gelap sekeliling.
Kecuali sesudah matanya terbiasa dengan keadaan
sekeliling. Ginggi menatap ke atas. Melalui sela-sela
dedaunan, ada langit jernih dengan bintang-gemintang. Oh
ya! Barangkali sebentar lagi akan ada bulan. Kalau tak salah
menghitung, malam ini hari ke limabelas perjalanan bulan.
Artinya, masih tersisa bulan benderang.
Setiap melihat bulan terang benderang, Ginggi jadi ingat
kembali Ki Darma. Lelaki tua itu bukan saudara, apalagi
orang tua. Tak nampak kasih sayangnya, kecuali selalu
memerintahkannya untuk berlatih keras ilmu kedigjayaan.
Tapi bila dibandingkan dengan hari-hari terakhir ini, itulah
hidup yang penuh bahagia. Kebahagiaan dirinya
sebenarnya terasa ketika bersama Ki Darma. Bersama
orang tua itu di puncak cakrabuana, sebenarnya tak pernah
terjadi pertentangan hati atau kemelut batin. Tidak juga
bertemu dengan segala macam percecokan. Kalaupun ada
terjadi persilangan pendapat, itu semua hanya berupa
persilangan pendapat kosong melompong semata. Sebab
kendati sering memperkarakan masalah hidup, namun
hidup yang sebenarnya terjadi adalah kehidupan mereka
berdua dengan berbagai permasalahan berdua, Tak ada
yang perlu dipercekcokan sebab hanya ditanggani berdua
saja. Sekarang, baru satu dua hari saja bertemu dengan
manusia lain, kemelut dan percekcokan sudah terjadi.
Pertemuan pertama dengan Ki Ogel dan Ki Banen diawali
dengan kemelut kecil yang hampir-hampir menciptakan
perkelahian. Melihat Ki Kuwu Suntara yang sombong dan
jumawa, serta menyaksikan keangkuhan pemuda Seta dan
Madi, membuat dirinya tak senang, padahal selama
bersama Ki Darma, Ginggi tidak pernah menilai orang lain
dengan ukuran senang dan tidak senang.
"Apakah tak sebaiknya aku kembali lagi ke puncak?"
pikirnya. Tak mungkin, keluhnya lagi. Kalau aku kembali,
hanya akan mengesalkan Ki Darma saja. Padahal hampir
sepuluh tahun dia memerintahkan aku berlatih kedigjayaan,
karena dia punya kehendak yang harus aku laksanakan
sebaik mungkin. "Ah, Ki Darma, mengapa kau paksa aku untuk
melakukan perjalanan ini?" keluhnya sendirian.
(O-anikz-O) Cinta di Cahaya Rembulan Karena tanah dimana dia duduk terasa dingin dan
lembab, pemuda itu segera berdiri. Entah apa yang akan
diperbuatnya, tetapi perutnya dirasa perih sekali. Ginggi
ingat, sejak pagi bahkan malam hari kemarin, dia belum
makan apa pun. Huh, karena urusan ini aku sampai
melupakan perutku, keluhnya dalam hati.
Ginggi mencoba menyeruak-nyeruak di hutan kecil di
perbukitan kampung ini. Tapi hutan ini memang terlalu
kecil. Sekali pun banyak rimbunan pohon dan semak,
rupanya sudah tak ada binatang buruan di sana. Apalagi
hutan kecil ini dekat kampung. Di mana pun, hutan yang
sudah banyak disibak orang, jarang dihuni binatang buruan.
Tak mendapatkan apa yang dicarinya, Ginggi akhirnya
kelayaban ke mana saja kaki membawa. Dan akhirnya tak
sengaja kakinya membawa ke sebuah tempat di mana air
pancuran terdengar keras menimpa batu.
Ginggi jadi terkenang lagi peristiwa dua hari lalu. Di
sinilah pertemuan pertama hati dua insan ini, barangkali
pikir Ginggi. Ya, barangkali di sini. Sebab di sinilah Ginggi
benar-benar meneliti keelokan gadis semampai berkulit
kuning dan berambut tergerai sebatas pinggul ini.
Kalau saja malam ini dia berada di sini, keluhnya.
Ya, tapi ini lebih berupa keluhan ketimbang harapan.
Amat mustahil meminta keajaiban seperti ini. Yang terjadi
sebenarnya, barangkali gadis itu tengah tidur dengan damai,
atau melamunkan rencana-rencana perjalanan hidupnya
bila kelak sudah mengarungi perkawinan dengan pemuda
Seta. Hatinya kembali gundah bila mengingat hal-hal seperti
ini. Dan untuk menjauhkan jalan pikiran itu, dia segera
meninggalkan tempat itu, melangkah entah kemana.
Sampai pada suatu saat, langkahnya terhenti sebab dari
arah berlawanan sayup-sayup terdengar suara berkeresekan.
Suaraini sepertinya ranting dan daun kering terinjak kaki.
Pasti ada orang berjalan di depannya.
Ginggi berhenti melangkah, bahkan bersembunyi di balik
rimbunan pohon. Karena bulan sudah menampakkan diri
dari balik bukit sebelah timur, pemuda itu bisa dengan jelas
melihatnya yang datang. Benar saja, yang datang adalah
manusia. Dia nampaknya seorang lelaki, datang dari arah
kampung. Tapi, apa yang tengah dibawa" Lelaki itu
nampak memondong sesuatu. Memondong wanita" Ya,
terlihat kain kebayanya. Juga terlihat rambutnya yang
tergerai. Mau apa malam-malam keluar kampung
berduaan. Pasti pasangan yang tidak syah akan berbuat
mesum di tempat sunyi. Kalau mereka suami-istri tak
mungkin berbuat seperti itu.
Tapi, perempuan yang digendongnya seperti tak berdaya.
Tampak kepalanya terkulai, kedua tangannya pun
tergantung. Perempuan di atas pondongan lelaki itu sedang
tidur" Atau sedang tak sadar, pingsan"
Ginggi menjadi curiga. Kalau mereka datang dari
kampung, bagaimana bisa, bukankah pintulawang kori
(gerbang kampung) tertutup di malam hari"
Karena rasa curiga ini, Ginggi mengendap dan mengikuti
ke mana orang misterius ini membawa pondongannya.
Tak sulit untuk mengikutinya, sebab cahaya bulan di atas
punggung bukit cukup memberi penerangan. Dan dengan
menggunakan ilmu yang diberikan Ki Darma, dia bisa
berjalan berindap tanpa menimbulkan suara, persis seperti
harimau mengintip mangsa. Namun Ginggi pun bisa
menduga, orang yang dicurigainya ini sedikitnya memiliki
kepandaian. Ini terlihat dari caranya berjalan. Kendati pun
sambil memondong tubuh, langkahnya nampak ringan dan
mantap. Dia pun sanggup meloncat dari tonjolan batu yang
satu ke tonjolan batu yang lain tanpa risih akan terjatuh.
Pemuda itu jadi teringat kembali ucapan Ki Darma,
bahwa harus hati-hati memasuki Desa Cae sebab banyak
orang pandai. Kata gurunya, wilayah Kerajaan Talaga sejak
dulu banyak dihuni orang-orang digjaya. Sebelum jatuh ke
wilayah Cirebon, Kerajaan ini sering melakukan
peperangan. Banyak orang dari Talaga pandai berkelahi.
Mungkin orang ini dari Kampung Cae dan pandai
Senja Jatuh Di Pajajaran Karya Aan Merdeka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berkelahi. Tapi siapa dia" Yang ditemuinya baru Ki Ogel,
Ki Banen, dua pemuda Seta dan Madi saja lelaki beringas di
tempat itu. Tapi semuanya hanya memiliki ilmu pasaran
saja. Untuk meyakinkan siapa dia dan apa keperluannya
membawa wanita pingsan ke dalam hutan, Ginggi terus
mengikutinya. Ternyata lelaki itu membawa pondongannya
ke sebuah mulut gua di punggung bukit bercadas. Gua ini
bukan tempat rahasia. Letaknya tidak tersembunyi dan ada
bekas-bekas batu cadas yang digali orang. Tapi tentu saja
bila malam hari, tempat ini bisa digunakan untuk
melakukan hal-hal yang dikerjakan secara diam-diam.
Ginggi bisa menduga, orang ini pergi malam-malam
kesini karena akan melakukan sesuatu yang tak ingin orang
lain tahu. Sekarang orang misterius itu sudah memasuki gua.
Ginggi bertidak hati-hati untuk mendekatinya.
Di dalam gua pasti gelap gulita tapi di luar cahaya bulan
menerangi alam sekitarnya. Ginggi harus bisa bersembunyi
di tempat yang tak mungkin terlihat dari dalam.
Kebetulan di mulut gua banyak tonjolan batu cadas.
Pemuda itu bisa menyelinap dan berlindung di sana. Orang
yang sedang melakukan sesuatu, biasanya pikirannya
terpusat pada sesuatu yang dikerjakannya saja, apalagi bila
pekerjaannya itu ingin cepat-cepat diselesaikannya.
Dan Ginggi memanfaatkan perkiraannya itu. Orang yang
ingin meyelesaikan sesuatu dengan terburu-buru, diharap
tidak memperhatikan sekelilingnya.
Dan benar perkiraannya. Orang misterius itu hanya
memperhatikan apa yang dia pondong saja. Wanita pingsan
itu dia telentangkan di atas tanah sudut gua. Pelan-pelan dia
melakukan sesuatu. Dan ini amat mengejutkan, sekaligus
membuat darah pemuda itu mendidih menahan marah.
Betapa tidak sebab orang misterius itu rupanya hendak
berbuat tak senonoh terhadap wanita pingsan itu. Dia
mencoba menarik-narik dan membuka kain yang membelit
tuguh wanita itu. Menggerayangi segala macam yang ada di
tubuh wanita itu. Dia juga menciumi sekujur tubuh
terbaring itu. Kian lama ciumannya kian ganas dan panas,
sampai pada suatu saat terdengar keluhan pendek dari
wanita tersebut. Mungkin baru sadar apa yang terjadi pada dirinya,
wanita yang masih telentang itu mendadak menjerit tapi
mendadak berhenti karena mulutnya dibekap orang jahat
itu. Sekarang seperti terjadi pergumulan di sana. Yang satu
tertahan di bawah yang satu menyerang di atas.
Kalau saja kejadian itu dilakukan suka sama suka,
Ginggi tak akan peduli dengan semuanya. Tapi ini nyata-
nyata pemaksaan dan penganiayaan dan Ginggi tak senang
dengan itu. Bahkan menurut Ki Darma pun, dengan
kemampuan yang ada dia harus membela orang tertekan.
Wanita lemah itu jelas-jelas mendapat tekanan dari nafsu
angkara murka. Ingat ini, Ginggi harus mengambil keputusan. Dia keluar
dari persembunyiannya, membuat kuda-kuda dan segera
kakinya menotol tanah. Tubuh Ginggi melesat bagai
loncatan harimau kumbang. Bedanya, harima kumbang
meloncat dengan tubuh lurus cakar ke depan, pemuda ini
melayang sambil jumpalitan, kedua tangan bersilang di
depan wajah. Tapi lelaki jahat itu benar-benar mempunyai naluri yang
kuat. Gerakan jumpalitan yang dilakukan Ginggi terkontrol
oleh indranya. Terbukti, ketika tubuh Ginggi melayang
tepat di atasnya, wajah orang itu menoleh cepat.
Melihat bahaya mengancam, dia pun segera beringsut
dan mencoba untuk berdiri. Namun upayanya ini sudah
terlambat sebab serangan Ginggi jauh lebih cepat. Telapak
tangan Ginggi yang dibuka lebar secepat kilat mendorong
ke depan. Plak! Jidat si culas terkena dorongan kuat telapak
tangan. Begitu kuatnya dorongan tangan itu, sehingga
kepala orang itu seperti terlontar ke belakang dan tubuhnya
ikut melonjak membentur dinding gua.
Ginggi sementara masih jumpalitan untuk mencoba
menahan terjangannya. Sebab kalau tak melakukan salto,
tubuhnya sendiri akan ikut menerjang dinding. Jumpalitan
beberapa kali dan ujung kakinya menotol dinding.
Badannya kembali arah sebab kaki menotol dinding. Begitu
jatuh di atas tanah, dengan sepasang kaki terpentang lebar,
pemuda itu sudah melihat si culas terkulai di sudut gua.
Si wanita yang merasa nasibnya lolos dari kehinaan,
segera berdiri namun dengan gerakan kaku sebab semua
pakaiannya hampir tanggal. Untung saja suasana di dalam
gua amat remang-remang sebab cahaya bulan tak bisa
masuk ke sana. "Mari keluar dari sini!" ajak Ginggi menggandeng bahu
wanita itu. Tapi mendengar suara Ginggi, sejenak wanita itu diam.
Dia menoleh ke arah pemuda itu dan mencoba meneliti
wajahnya. "Kang " " gumamnya ragu-ragu.
Ginggi heran sebentar. Namun pada akhirnya dia
terkejut setengah mati. Tergopoh-gopoh dia menggandeng
bahu wanita itu, dibawanya keluar gua, dimana cahaya
bulan sanggup menerangi keadaan.
"Nyi Santimi ?"" teriak Ginggi kaget. Nyi Santimi pun
kaget dan terkejut melihat pemuda ini. Kemudian tubuhnya
limbung. Dan kalau Ginggi tak segera menangkapnya,
tubuh semampai itu pasti sudah jatuh terjerembab ke
tumpukan batu cadas. Pemuda ini segera memondong tubuh Nyi Santimi.
Dibawanya menjauhi mulut gua. Melalui jalan setapak,
masuk lagi ke hutan kecil perbukitan.
Dia hanya memondong pelan saja, tidak berlari seperti si
laknat itu. Karena bulan terang benderang, Ginggi sambil
melangkah bisa menatap wajah gadis itu yang mendongak
dan bergoyang seperti mengangguk-angguk karena
goncangan langkahnya. Wajah Nyi Santimi nampak
kelelahan, pucat dan berkeringat. Mungkin karena peristiwa
hebat yang baru saja menimpanya, atau mungkin juga lelah
karena peristiwa demi peristiwa mendera hidupnya
belakangan ini. Namun yang jelas, raut muka gadis ini apa
pun yang terjadi, masih nampak elok dan cantik. Sudah tak
nampak pupur penutup wajah yang dipakainya tadi siang
manakala dipinang orang. Juga pemerah bibirnya, dan tahi
lalat palsunya di sudut dagu, semua sudah hilang. Yang sisa
kini, hanyalah kecantikan alamiahnya. Tapi itulah
kecantikan asli yang terdapat pada raut Nyi Santimi. Gadis
itu sudah memiliki kecantikan asli yang lebih mempesona
ketimbang segala macam polesan.
Dalam kelelahan wajahnya, Nyi Santimi seperti terbuai
dalam tidurnya. Ingin Ginggi mengusap-usap pipi yang
putih dan halus itu dengan penuh kasih. Ingin dia mencawil
dagu yang runcing itu, bibir tipis yang merekah itu.
Ah, kalau saja dia bukan milik orang lain, keluhnya.
Harapan dan khayalan pemuda itu rupanya terlalu keras
keluar dari lubuk hatinya, menyebabkan naluri gadis di
pangkuannya ikut tersentuh. Buktinya, mata sayu berbulu
lentik itu sedikit-sedikit terbuka, bahkan akhirnya menatap
lemah ke arah wajah pemuda yang memangkunya.
Lama gadis itu menatapnya, sehingga sambil melangkah
pelan, keduanya saling tatap. Barangkali tak akan berhenti
kalau saja kaki pemuda itu tidak tersandung akar-akaran.
"Kang, turunkan aku?" kata gadis itu sedikit malu.
Ginggi segera menurunkan tubuh semampai itu dengan
perasaan enggan, sebab keinginannya, bisa memondong
tubuh molek itu selama-lamanya, sejauh-jauhnya sampai
berakhir ke ujung dunia. Nyi Santimi memilih jalan sendiri saja. Tapi baru satu
dua langkah saja dia telah limbung lagi dan segera dipeluk
pemuda itu lagi. "Kita istirahat saja dulu di bawah pohon itu," ajak
Ginggi dan Nyi Santimi setuju.
Gadis itu digandengnya menuju sebuah pohon rindang.
Mereka kemudian duduk di sana. Nyi Santimi bersandar di
batang pohon dan Ginggi bersila di hadapannya.
"Ceritakanlah, mengapa sampai terjadi hal hebat seperti
ini, Nyai?" kata Ginggi setelah beberapa lama beristirahat.
Nyai Santimi menunduk, menutup matanya dengan
kedua belah tangannya. Diingatkan kembali akan peristiwa
hebat itu, perasaanya mungkin tergoncang lagi.
"Entahlah, aku sendiri tidak tahu bagaimana awal
mulanya?" gumamnya hampir seperti berbisik.
Gagap dan terbata-bata, gadis itu hanya mengatakan,
bahwa ketika itu, kendati malam belum larut benar tapi seisi
rumah seperti diserang kantuk yang hebat. Rama Dongdo
yang biasanya selalu tidur larut malam karena sepanjang
senja hingga malam selalu membaca doa-doa, malam itu
sudah tertidur pulas. "Kepala rasanya pusing, mata terkatup rapat, susah
untuk dibuka. Kami semua tertidur pulas," kata Nyi
Santimi. "Aku akhirnya tak sadar apa yang terjadi
selanjutnya," katanya lagi.
"Tapi antara sadar dan tidak, aku merasakan bahwa
tubuhku ada yang memondong, melayang, entah dibawa
kemana. Ada angin dingin menerpa wajah. Ujung kebaya
pun seperti bergerak-gerak kena tiupan angin. Aku mencoba
membuka mata yang selalu terkatup rapat. Samar-samar
terlihat pucuk pepohonan seperti berlari cepat, badan pun
terguncang-guncang," kata pula Nyi Santimi.
"Kau pasti sedang dipondong orang. Mungkin si laknat
itu. Siapa dia, Nyai?" kata Ginggi.
"Aku tidak tahu, siapa dia. Tapi sayup-sayup ada
terdengar kekeh tawanya. Serasa pernah mendengar tawa
begitu di sini," kata Nyi Santimi setengah mengingat-ingat.
"Ya, pasti dia orang sini. Sudah hafal suasana di sini dan
dia orang pandai," gumam Ginggi.
Saling berdiam beberapa lama.
Bulan kian benderang. "Kang ?" "Apa, Nyai ?""
"Cantikkah wajahku?" kata Nyi Santimi menatap
pemuda itu. Bulan benderang menyinari wajah putih bersih itu,
menyinari mata berbinar itu, mulut tipis merah merekah itu
dan menyinari pipi berlesung pipit itu. Masih tak sadarkah
gadis ini bahwa tubuh molek ramping berisi dan rambut
hitam legam sebatas pinggul itu adalah tanda kecantikan
seorang makhluk bernama perempuan"
"Kalau bulan berkata punya wajah benderang, tak boleh
sombong sebab bakal ada yang mengalahkannya. Kalau
bintang gemintang mengaku punya sinar berbinar, tak boleh
menepuk dada, sebab ada yang berbinar lebih dari itu.
Benderangnya bulan pasti kalah dengan benderangnya
wajah putih halusmu, binarnya bintang pun tak sanggup
melampaui cemerlangnya bola matamu," kata Ginggi
mendadak lancar membuat siloka,
"Kau dewi dari kahyangan. Kau cantik, Nyai?"
lanjutnya menatap tajam dalam-dalam. Tapi Ginggi
kecewa, pujian setinggi langit tak disambut keceriaan wajah
gadis itu. Dia malah nampak murung dan susah.
"Orang cantik sebetulnya malang, Kakang. Dia banyak
penderitaan?" gumam gadis itu menunduk lesu.
Ginggi terkekeh merasa lucu mendengarnya. Nyi
Santimi hanya menunduk dan tak menoleh mendengar
Ginggi terkekeh. "Keindahan itu didambakan setiap orang. Tapi mengapa
kau katakan sebuah derita?" tanya Ginggi, tetap menatap
wajah sendu itu. "Katanya aku tercantik di desa ini. Orang menyebutnya
Kembang Desa Cae. Tapi itulah masalahnya. Aku banyak
dikejar dan diperebutkan lelaki di sini, tapi juga banyak
dibenci dan diiri sesama gadis. Dan itu masalah untukku,
Kakang." "Wajar mereka berlaku begitu," gumam Ginggi.
"Orang terkadang berkelahi karena aku," kata gadis itu
lagi dan membuat Ginggi tersipu. Dia jadi ingat peristiwa
tempo hari di tepi pancuran itu. Pemuda Seta dan Madi
uring-uringan bukan sekadar menudingnya mengintip orang
mandi tetapi karena rasa cemburu itulah. Mereka takut aku
ikut persaingan, pikir Ginggi.
"Tapi begitu banyaknya lelaki yang memperebutkanmu,
sebetulnya bukan urusanmu, sebab kau punya pilihan
sendiri, bukan?" kata Ginggi. Dan pemuda iti ingat Seta.
Ingin dia tanyakan, apakah gadis itu memilih pemuda
angkuh itu" "Aku tak pernah berpikir untuk mencari pilihan?" kata
gadis itu. "Tapi, Setamu itu?""
Nyi Santimi menunduk. Kemudian satu-persatu ada
butiran air mata meleleh di pipinya.
"Kau pasti marah melihat peristiwa tadi pagi. Kau juga
marah aku tak menepati janji, padahal kita akan bertemu di
tempat pertunjukan pantun," kata Nyi Santimi.
Ginggi mencoba untuk pura-pura tak memperhatikan
dengan khusus omongan ini. Padahal sejak kemarin malam
pertanyaan ini bergayut terus di benaknya.
"Aku tersiksa malam itu, kubayangkan, kau
menungguku, kau lelah dan kau kesal karena akhirnya aku
tak datang. Aku tak bisa keluar malam itu," kata Nyi
Santimi. Ginggi masih memandang ke arah lain.
"Rama Dongdo mengabarkan padaku, bahwa secara
mendadak Ki Aspahar akan datang besok pagi."
"Siapa itu Ki Aspahar?"
"Dia ayah Seta. Datang meminangku buat kepentingan
Seta. Pinangannya datang secara mendadak, sebab Rama
Dongdo yang meminta. Rama khawatir setelah melihat
kedatangan Suji Angkara. Suji Angkara adalah pemuda
putra Ki Kuwu Suntara. Pemuda itu sering mengembara.
Senja Jatuh Di Pajajaran Karya Aan Merdeka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Hanya tiga atau empat bulan sekali dia pulang ke desa
sambil membawa kekayaan melimpah. Katanya dia
berniaga, saling tukar-menukar barang dengan saudagar
bangsa asing," kata Nyi Santimi.
"Apa hubungannya dengan urusan pinangan?" tanya
Ginggi heran. "Entahlah. Tapi Rama sebenarnya tak senang kepada
pemuda itu. Hampir sama, Rama pun tak senang kepada
ayahnya. Ki Kuwu pernah berkata kepada Ki Banen, bahwa
Rama mencurigai sesuatu kepada pemuda itu. Soal apa,
beliau tak mengungkapkannya," kata Nyi Santimi.
"Menurutmu, pemuda bernama Suji Angkara itu seperti
apa?" tanya Ginggi. "Entahlah aku kurang bisa meneliti sikap orang. Di
hadapan orang banyak, dia memperlihatkan sebagai orang
yang menjaga kehormatan. Halus tutur katanya, sopan
kepada semua orang. Tapi dua kali aku pernah bertemu
secara khusus dengannya. Sorot matanya tajam
menggerayangi. Bibirnya selalu terkatup dan terkadang
digigit-gigitnya sendiri bila tengah menatapku. Dia tampan
sebab suka mengenakan baju bagus. Tapi aku takut
terhadapnya. Entah mengapa, padahal dia tak pernah
ganggu aku," kata gadis itu.
Berdiam diri beberapa lama. Bulan nampak berjalan
melewati taburan awan. "Keteranganmu belum tuntas, Nyai?" kata Ginggi.
"Soal apa?" "Soal bagaimana pandanganmu terhadap Seta, calon
suamimu," kata Ginggi.
Nyi Santimi menunduk. "Aku belum ingin menikah dan aku tak mencintai
pemuda itu!" katanya.
"Tapi dia pasti sangat mencintaimu."
"Ya, benar. Dia selalu tak putus asa mengejarku.
Ayahnya petani ladang cukup berada. Punya banyak juru
tengah (pegawai di ladang) dan selalu membantu Rama
dalam menutupi kebutuhan pangan sehari-hari. Kata Rama
sore itu, Ki Aspahar sudah lama membicarakan perihal
keinginan anaknya itu. Kemarin sudah memintanya lagi
sesudah melihat kehadiran Suji Angkara di desa ini," kata
Nyi Santimi. Ginggi termenung mendengar penjelasan ini. Kalau
benar rencana perkawinan ini kurang dikehendaki gadis ini,
maka benar pendapat Nyi Santimi bahwa kecantikan
baginya adalah derita. "Tapi kecantikanmu tak berarti derita bila kau sanggup
menemukan pemuda pilihan, Nyai," kata Ginggi tiba-tiba
sehingga membuat gadis itu terpana mendengarnya.
"Adakah kau cintai seseorang, Nyai?" tanya Ginggi.
Nyi Santimi hanya menunduk, menatap, kemudian
menunduk lagi. Tapi setelah terdengar sedu-sedan yang
ditahan, gadis itu tiba-tiba menubruk tubuh Ginggi dan
membenamkan wajahnya ke dada pemuda itu. Ginggi
mendekapnya, membelai rambutnya dan dia tak bisa
menahan hasratnya lagi untuk mengecup kening gadis itu.
Kini sedu-sedan semakin keras dan tak bisa dibendung.
Gadis itu menangis sejadi-jadinya.
"Nyai " Nyai ..!"
Ginggi mendorong tubuh Nyi Santimi agar kembali bisa
menatap gadis itu. Melalui cahaya bulan kentara sekali air
mata Nyi Santimi meleleh-leleh turun dari pipinya, bening
dan berkilat-kilat. Ginggi menyekanya perlahan-lahan.
Namun ketika tangannya akan ditarik, Nyi Santimi tak
mengizinkannya. Dia malah meremas erat tangan itu,
menciuminya, mendekapnya, dan kembali menciuminya.
"Nyai, Nyai " jangan begitu, Nyai "!" Ginggi gagap
dan sekujur tubuhnya menggigil. Di malam yang sebetulnya
sudah dingin ini, tubuh pemuda itu bahkan berkeringat.
Ada dorongan hawa panas di dalamnya. Di keremangan
cahaya bulan, rambut gadis itu nampak tak beraturan, juga
pakaiannya. Kain kebaya di bagian dada terkoyak-koyak
lubang kancingnya, memperlihatkan bagian dada yang
sebetulnya tak boleh diperlihatkan sembarangan. Namun
kali ini, Nyi Santimi sepertinya tak peduli terhadap
segalanya. Termasuk ketika Ginggi menatapnya dengan
penuh gejolak. Dialah bahkan yang seolah-olah menggoda
dan mempengaruhi agar darah pemuda itu menggelegak.
Dan akhirnya, pertahanan Ginggi bobol. Dia terbenam
ke dalam buih-buih panas yang seharusnya tak pantas dia
terjuni. Bulan mendadak bersembunyi di balik awan tebal, seolah
enggan menyaksikan adegan yang terjadi di bawah pohon
rimbun itu. Namun keengganan sang rembulan ini, bahkan
dianggapnya sebagai pendorong semangat kedua insan itu.
Berpalingnya tatapan sang purnama dari muka bumi,
disangkanya menawarkan keleluasaan bagi mereka berdua
untuk melakukan sesuatu sebebas mungkin.
Ginggi semakin terbenam, keduanya semakin tenggelam.
Sepertinya tak ada kehidupan lain selain keasyik-masyukan
yang tengah mereka lakukan.
Tapi, mata-hati pemuda itu tertutup, kesadarannya tak
berjalan normal, hanya ketika gejolak darahnya mendidih
saja. Ketika api dalam dada telah padam, ketika gerak
denyut nadinya telah menurun, kembali pulanglah
kesadarannya. Pemuda itu tersentak kaget, berjingkat dan duduk agak
menjauh. Cepat-cepat dibenahinya pakaiannya yang tadi
semrawut dan sebagian terlepas begitu saja itu. Nyi Santimi
yang terlena kecapaian, segera ikut bangun dan duduk
membelakangi. Dengan terburu-buru, dia pun segera
membenahi seluruh pakaiannya. Dia tertunduk lama sekali
sambil tetap duduk membelakangi.
Sinar bulan kembali menerangi bumi manakala
gumpalan awan berlalu. Setelah suasana mulai diterangi
bulan, perasaan Ginggi serasa baru bangun dari mimpi.
Oh, hai, mimpi burukkah ini" Ginggi tak
memungkirinya, bahwa baru saja dia berlayar di lautan
kesenangan lahiriah. Sebuah kesenangan yang baru
dirasakannya selama dia menjadi seorang lelaki. Tapi,
benarkah ini sebuah kebahagiaan"
"Nyai " Maafkan aku. Kurasa kelakuanku barusan amat
keterlaluan," gumam pemuda itu perlahan. Melihat gadis
itu duduk membelakangi tak bersuara sepatah kata pun,
Ginggi menduga, Nyi Santimi tersinggung perasaannya.
"Nyai ?" Ginggi mencoba mendekati tubuh gadis itu.
Dipegangnya bahunya. Ditepuk-tepuknya perlahan sekali,
kalau-kalau gadis itu tak mendengarnya.
Nyi Santimi menoleh perlahan. Tangannya meraih
tangan pemuda itu dan disuruhnya memeluknya dari
belakang. "Kang, telapak tanganmu kasar sekali. Kalau bukan
pehuma, kau pasti peladang," kata Nyi Santimi dengan
suara manja. Ah, Nyi Santimi tak marah padaku, kata Ginggi dalam
hatinya tapi sambil menarik tangannya dari cekalan gadis
itu. Ginggi mengusap-usap telapak tangannya sendiri.
Benar, ini kekeliruan Ki Darma, mengapa dia selalu
memaksanya untuk melatih tangan. Mula-mulanya disuruh
bertepuk tangan dengan pengerahan tenaga sepenuhnya.
Selama empat puluh hari empat puluh malam Ginggi
menahan rasa sakit karena kulit telapak tangannya pecah-
pecah. Kemudian selama empat puluh hari empat puluh
malam, kedua telapak tangannya itu dilatihnya memukul
batang kayu, permukaan batu, dan permukaan cadas yang
keras dan kasar. Dari latihan keras ini, Ginggi bisa
memukul hancur benda-benda keras dan meluluh-lantakkan
palang pintu terbuat dari kayu jati. Waktu itu Ginggi
merasaamat beruntung, sebab bila bekerja mencari kayu
bakar di hutan, cukup mengerjakan sepasang tangannya
saja tanpa memerlukan alat-alat tajam seperti golok ataupun
kapak. Tapi, baru kali ini dia merasakan, betapa ruginya
hasil latihan itu. Kedua telapak tangannya menjadi keras
dan kasar dan tak disenangi wanita. Buktinya, tadi Nyi
Santimi meringis dan mengeluh karena remasan tangan
pemuda itu menyakitkan. "Tanganku kasar, juga kelakuanku, Nyai. Tidakkah kau
membenciku?" tanya Ginggi masih meraba-raba tangannya
sendiri. Nyi Santimi tersenyum tipis, manis sekali. Dan untuk
yang kesekian kalinya gadis itu meraih kedua tangan
Ginggi, didekapnya dengan mesra.
"Aku orang jelek, kasar dan buruk, Nyai ?"
"Kalau cinta sudah tergelar, tak ada jelek ataupun buruk
yang terlihat, Kakang. Oh, ya, aku ingin menyebut
namamu, siapakah engkau sebenarnya. Ah, kau lelaki tak
sopan! Dua hari kita berkenalan, tak sekali pun kau sebut
namamu!" kata Nyi Santimi dengan nada masih tetap
manja. Terkejut hati pemuda itu. Ini amat menyadarkan dirinya.
Gadis ini belum kenal namanya karena dia pun tak
berusaha memperkenalkan namanya. Tapi kendati gadis itu
tak mengenal namanya, dia sudah berani menyerahkan
segalanya terhadapnya. Dalam dua hari! Mengapa begitu
berlaku murah" "Nyai " namaku Ginggi. Ini pertama kali aku
mengenalkan nama kepada seseorang, tapi sanggupkah kau
mengenalku sesudah tahu namaku?" tanya pemuda itu.
"Ginggi " Nama yang indah. Nama yang gagah," puji
Nyi Santimi seperti tak mendengar kata-kata selanjutnya
dari pemuda itu. "Ginggi bukan nama yang baik. Itu nama jin jahat yang
menganggap nafsu angkara murka sebagai dewa," kata
pemuda itu. Tapi Nyi Santimi malah tersenyum dengan
deretan giginya yang putih dan rapih.
"Tidak percayakah aku orang jahat, Nyai?" tanya Ginggi.
"Kau, orang baik, Kang ?"
"Kalau orang baik tak mungkin merusak kehormatan
wanita, apalagi yang sudah punya tunangan!" kata Ginggi
lagi. Kini giliran Nyi Santimi yang terkejut. Deretan giginya
yang putih dan rapih mendadak menghilang bersamaan
dengan hilangnya senyum manisnya. Kalau saja cahaya
bulan datang lebih terang, barangkali Ginggi bisa
menyaksikan betapa pucatnya wajah gadis itu.
"Kang ?" "Ya, aku orang jahat, Nyai! Sama jahatnya dengan lelaki
yang akan memperkosamu. Atau, ya, aku pun sebetulnya
memperkosamu! Sebab, apalah bedanya antara lelaki di gua
itu denganku" Kedua-duanya sama berupaya mengganggu
keutuhanmu. Dan terbukti, siapa sebenarnya yang
membuat dirimu tidak utuh" Bukan lelaki di gua sana, tapi
aku Nyai! Aku, Si Ginggi jahat ini!" teriak pemuda ini
seperti setengah histeris.
"Kakang!" Nyi Santimi balas berteriak. "Jangan katakan
itu lagi! Jangan! Kalau kau bicara begitu, sama saja dengan
mencercaku. Bukankah aku juga sama denganmu,
melakukan hal-hal yang mungkin dianggap salah?" kata Nyi
Santimi lagi. Ginggi terpekur. "Ya, kita berdua salah ?"
"Betul, kita berdua salah. Engkau bisa berusaha
memperbaikinya, Kang?"
Ginggi memandang tajam, kemudian menggelengkan
kepala. "Kita harus menikah!" kata Nyi Santimi tegas.
"Menikah?" tanya Ginggi seperti kaget.
"Ya, apalagi kalau tidak menikah" Itu salah satu cara
menghapus kesalahan kita!" kata gadis itu pasti.
"Lalu, dosa terhadap Seta bagaimana" Dosa berkhianat
kepada para orangtua, bagaimana" Betapa hancurnya Rama
Dongdo, betapa sakitnya hati Ki Aspahar. Bisakah kita
bersihkan kesalahan kita terhadap mereka, Nyai?"
Nyi Santimi membisu seribu-basa, dan Ginggi
memandangnya dengan senyum pahit.
Lama mereka saling membisu seperti ada kunci besi yang
menggembok mulut-mulut mereka.
"Sudah hampir dini hari, Nyai! Kalau seisi rumah dalam
keadaan tidur pulas sewaktu kau diculik, sebaiknya kau
cepat-cepat pulang dan mudah-mudahan semuanya masih
dalam keadaan terlelap. Aku inginkan, semua peristiwa
malam ini tak ada orang yang tahu," kata Ginggi berdiri.
Nyi Santimi masih tak mau berdiri. Tapi pemuda itu
menariknya agar gadis itu ikut berdiri.
"Mari ?" ajak Ginggi. Nyi Santimi masih tertegun. Tapi
Ginggi tak membiarkan gadis itu berlama-lama di situ.
Secepat kilat dia memangkunya dan dibawanya berlari.
Sepanjang perjalanan, Nyi Santimi memuntahkan air
mata. Terasa tetesannya hangat ketika jatuh di dada
pemuda itu. Ginggi tak sanggup memperkirakannya,
tetesan air mata itu karena apa.
Tiba di depan lawang kori, pintu besar itu tertutup rapat
sebab dikunci dari dalam. Ginggi merasa lebih yakin lagi,
penculik Nyi Santimi orang pandai. Dia membawa gadis
dalam pondongan tidak lewat pintu tapi lewat jalan lain.
Mungkin dia memiliki ilmu loncat seperti yang pernah dia
pelajari dari Ki Darma Suasana sunyi senyap sebab semua penduduk ada dalam
tidur nyenyak. Ini melegakan Ginggi. Dia tetap tak
menginginkan peristiwa penculikan diketahui orang. Kalau
ada orang tahu gadis itu menghilang kemudian kembali
bersamanya bisa menghebohkan dan dia akan mengalami
kesulitan. Padahal pengembaraan dirinya yang dikehendaki
Ki Darma adalah menjauhi keributan yang tak perlu dan
tak ada hubungannya dengan rencana serta tujuan dia turun
gunung. Ginggi tengadah meneliti bagian-bagian benteng kayu
itu. Sesudah menemukan bagian atas benteng yang tak
begitu tajam, dia segera mengambil ancang-ancang dan
mengerahkan inti tenaganya. Hup! Tubuh Ginggi meloncat
ringan seperti gerakan harimau kumbang loncat di dahan.
Senja Jatuh Di Pajajaran Karya Aan Merdeka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Benteng setinggi lebih dua depa bisa dia loncati. Sejenak dia
berdiri di ujung kayu. Melirik kesana-kemari. Sesudah
yakin tak ada tugur (ronda), dia segera loncat ke bawah
tanpa menimbulkan bunyi berarti.
Nyi Santimi ternganga kaget mengalami kejadian ini.
Betulkah pemuda yang memondongnya pandai terbang"
Dia tak menyaksikan dengan nyata, sebab ketika Ginggi
bergerak, ada tiupan angin menerpa ubun-ubunnya dan dia
memejamkan mata dengan rapat. Baru membukanya
setelah dirinya berada di dalam benteng. Ginggi tak
memberi kesempatan pada gadis itu untuk bertanya sebab
dia segera berlari kembali sambil tetap memondong tubuh.
Tiba di rumah gadis itu, dia berkeliling mencari jalan
masuk. Pasti ada jalan masuk tanpa membangunkan orang
seisi rumah. Dan jalan masuk itu ialah jalan yang
digunakan penculik untuk membawa Nyi Santimi keluar.
Benar saja ada sebuah jendela tanpa dikunci dari dalam.
Daun jendela itu bekas dicongkel. Ginggi membawa masuk
Nyi Santimi melalui lubang jendela itu.
"Ini kamar tidurku, Kang ?" bisik gadis itu.
"Ya, kau cepatlah tidur. Dan simpanlah rahasia ini baik-
baik," kata pemuda itu hendak kembali meloncat, tapi
ditahan gadis itu. "Ada apa?" Ginggi tak melanjutkan kata-katanya sebab Nyi Santimi
segera mendekap erat. Mereka berdua bergulingan di atas
dipan dan peristiwa di hutan terulang kembali. Keduanya
bergolak lagi, mendidih lagi. Sampai pada suatu saat
kembali normal lagi sesudah segalanya terlampiaskan. Dan
kembali Ginggi mengeluh lagi, menggumam dengan
sumpah-serapah sebagai tanda kesal yang tiada akhir.
Akhirnya Ginggi meloncat secepat kucing yang
menghindari gebukan. Dia pergi berlari dengan keluhan-
keluhan yang hanya keluar dari lubang hidungnya.
Ginggi berlari, meloncati benteng kampung sepenuh
tenaga. Berlari kemana saja. Dia kembali memasuki hutan
bukit kecil. Menjatuhkan badannya di tanah lembab.
Bergulingan dan menjambak-jambak rambutnya.
Gila aku, pikirnya. Dia merasakan, hanya berselang
beberapa hari perpisahannya dengan Ki Darma, hidupnya
jadi seperti tak terkendali. Kalau dia seekor kuda, mungkin
inilah kuda binal, garang dan kasar. Kalau dia seekor tikus,
mungkin inilah tikus licik tapi penakut.
"Penakut dan pengecut!" teriaknya sendirian. Dia
pengecut, berani berbuat tak berani bertanggung jawab.
Huh! Padahal berkali-kali Ki Darma mengatakan bahwa
manusia itu hidup karena tanggung jawabnya.
"Kalau kau tak berani bertanggung jawab lebih baik
mati!" kata Ki Darma. Mati" Kalau aku mati karena urusan
wanita, bagaimana aku harus melakukan tanggung jawab
untuk urusan yang lebih besar dan yang secuil pun belum
aku laksanakan" Bukankah Ki Darma bilang aku harus
bertanggung jawab membantu dan meringankan nasib
rakyat bumi Pajajaran"
"Kau boleh mati dalam membela mereka!" kata Ki
Darma. Tapi banggakah Ki Darma bila mendengar dia mati
karena urusan wanita"
Hati-hati dengan wanita! Hati-hati dengan wanita! Itu
perkataan Ki Darma yang kerap kali diulang-ulangnya.
Sekarang, ternyata dia tak berhati-hati terhadap makhluk
lemah tapi membahayakan ini.
Ginggi berdiri. "Tidak. Aku memang harus bertanggung jawab. Tapi aku
minta jangan sekarang. Tunggulah setelah ada tanggung
jawab besar yang sudah aku selesaikan, aku akan datang
padamu," kata pemuda itu dalam hatinya.
Sekarang Ginggi melangkah lagi. Tujuannya mendatangi
gua lagi. Dia akan mencari tahu siapa gerangan lelaki
penculik Nyi Santimi itu. Si laknat itu yang jadi gara-
garanya. Kalau saja dia tak menculik gadis itu, kalau saja
dia tak berusaha memperkosa Nyi Santimi, tak mungkin dia
bertemu lagi dengan gadis itu.
Ginggi meloncat-loncat menuju gua. Dalam sekejap
sudah tiba di tempat itu. Pukulan telapak tangannya yang
digunakan untuk menyerang lelaki misterius itu hanya dia
keluarkan seperempat bagian saja. Orang itu tak akan mati.
Kalau pun pingsan, itu karena badan orang itu membentur
dinding gua dan bukan karena pukulannya.
Ginggi segera memasuki gua, celingukan kesana-kemari
dengan harapan si laknat itu masih terbaring pingsan.
Tetapi dia kecele sebab orang yang dimaksud sudah hilang
entah kemana. Orang itu pasti bertubuh kuat bila sudah berhasil pergi
dengan cepat. Atau, apakah karena dia begitu lama terlena
bersama Nyi Santimi di hutan sana" Plak! Ginggi
menampar pipinya lagi. Masih kurang puas, dia segera
menggetok ubun-ubunnya. "Sialan! Brengsek!!!" kutuknya.
(O-anikz-O) Seba dari Wado Bila Ginggi naik ke puncak pohon di bukit kecil itu,
lawang kori Desa Cae akan terlihat samar-samar. Seperti
pada suatu pagi di saat dia sedang mengumpulkan buah-
buahan di hutan, pemuda itu pun bisa memandang ke arah
kampung itu. Sudah dua pagi dia memandang perkampungan wilayah
Desa Cae dari puncak pohon itu. Dari atas pohon ini
terlihat beberapa bangunan rumah. Ada rumah Ki Kuwu
Suntara yang ukurannya paling besar, rumah panggung
yang seluruhnya terbuat dari kayu jati kokoh. Beberapa di
antaranya terdapat lagi rumah-rumah besar tapi ukuran dan
kondisinya ada di bawah kondisi rumah Ki Kuwu. Dan
salah satu di antaranya terdapat rumah Rama Dongdo.
Rumah itu terletak di sudut jalan kampung. Kalau ada
orang keluar dari halaman rumah itu, samar-samar akan
terlihat di atas puncak pohon dimana Ginggi naik.
Tapi sudah dua pagi dia tak pernah melihat ada orang
yang keluar dari rumah itu. Tidak pula Rama Dongdo.
Kemana mereka" Ke mana Nyi Santimi" Tinggal di dalam
rumahkah selama dua hari itu" Ingin pemuda itu pergi
menengoknya, mengapa mereka tidak keluar rumah. Tapi
bila dia memaksa pergi, hanya akan kembali terjun ke
peristiwa-peristiwa yang tak mengenakan saja, peristiwa
yang melibatkan aib dirinya.
Ah, biarlah untuk beberapa lama aku tak akan menemui
gadis itu. Mudah-mudahan bila aku tak bertemu
dengannya, gadis itu pun akan segera melupakannya. Dan,
melupakan kejadian, berarti merahasiakan aib! Ginggi
tersenyum kecut berpikir seperti ini. Kata Ki Darma,
sejahat-jahatnya binatang, dia melakukan tindakan karena
tak mempergunakan pikirannya, bahkan bukan hasil dari
kecerdikannya berpikir. "Ada orang pura-pura berlaku baik untuk menutupi
kejahatannya, sehingga orang lain terkelabui. Sedangkan
binatang bertindak jujur. Apa yang menjadi nalurinya,
itulah yang menjadi sifat dan tindakannya," kata Ki Darma
tempo hari. Jadi kalau Ginggi boleh menilai, binatang punya
kejujuran dan manusia tidak, pikirnya ketika itu.
"Tidak begitu," kata Ki Darma. "Binatang memiliki
kejujuran karena dia tak punya pilihan. Dia hanya bisa
memperlihatkan sikap seperti apa yang diperintahkan
nalurinya. Sedangkan manusi diberi kebebasan memilih.
Dia punya kemampuan untuk bertindak jujur dan baik tapi
juga dia punya kemampuan untuk melakukan hal
sebaliknya. Tinggal manusia itu sendiri yang menentukan,
mau dipakai dimana otak dan pikirannya itu. Yang jelas,
manusia itu makhluk yang bisa berbahaya, sebab dengan
memiliki kemampuan berpikirnya, semua makhluk
termasuk sesamanya sendiri bisa mengalami kesulitan, sifat
apa yang sebenarnya ada dalam dirinya. Kita mengenal
harimau ganas karena melihat taringnya yang runcing tapi
manusia berhati mulia tidak bisa dilihat dari keelokan
wajahnya." Ginggi hendak melorot turun dari pohon. Kesal sekali
dia dengan jalan pikirannya itu. Semakin mengingat-ingat
berbagai perkataan yang yang pernah dilontarkan Ki
Darma, semakin terasa bahwa hidupnya selalu tidak klop
dengan apa yang diuraikan orang tua itu. Entahlah, Ki
Darma tak pernah bilang itu sebuah petuah. Dia tak
memaksakan kehendak agar pemuda itu bercermin pada
apa-apa yang pernah dikatakan. Tapi bila Ginggi mencoba
memperbandingkan pengalamannya selama turun gunung,
pendapat dan ucapan orang tua itu banyak melahirkan
contoh dalam kehidupan nyata ini.
Pemuda itu tak jadi melorot turun, ketika pandangannya
tertuju pada lawang kori. Ternyata sepagi itu di pintu
masuk desa banyak orang berkerumun. Sedikit-sedikit ada
terlihat barisan orang dengan bawaan masing-masing. Ada
sekelompok orang memikul carangka wahad terbuat dari
anyaman bambu. Sekelompok lagi terlihat orang
memikuldongdang atau pikulan barang. Sesudah semuanya
keluar pintu pemuda itu coba menghitung, ada sekitar
limapuluh orang lebih rombongan pembawa barang dan
terdapat lima orang berjalan di muka tanpa membawa
barang apapun. Sepertinya mereka berlima merupakan
pimpinan rombongan itu. Ginggi tidak sejak tadi memperhatikan ini, sebab
matanya selalu mengawasi rumah Nyi Santimi. Kalau tak
terlihat orang lalu-lalang di halaman rumah itu, mungkin
karena semua orang tengah menyaksikan rombongan yang
baru saja meninggalkan lawang kori. Rombongan apakah
itu" Ginggi menghitung waktu dan dia baru teringat bahwa
hari ini rombonganseba dari Desa Cae akan berangkat
mengirimkan pajak tahunan itu.
Kalau tak ada peristiwa menyangkut Nyi Santimi,
sebetulnya Ginggi ingin ikut rombongan itu. Rama Dongdo
tempo hari menawarinya untuk bekerja membantu
rombongan seba. Pemuda itu amat tertarik. Bukan karena
mengharapkan upah kerja mengusung dongdang,
melainkan karena ingin mempergunakan rombongan itu
sebagai pemandu di perjalanan. Sekali pun rombongan seba
dari Desa Cae ini tidak akan melakukan perjalanan
panjang, tapi barang-barang kiriman selanjutnya akan di
bawa ke Pakuan, Ibukota Pajajaran. Pakuan mungkin pusat
keramaian dan akan banyak orang menuju ke sana. Kalau
Ginggi sudah ada di Pakuan, diharapkan akan banyak
mendapatkan informasi perihal orang-orang yang akan
ditemuinya. Ki Darma pernah mengatakan, untuk menjalankan misi
yang dibebankan kepadanya, Ginggi harus menemui empat
orang murid Ki Darma lainnya yaitu Ki Bagus Seta, Ki
Banaspati, Ki Rangga Wisesa dan Ki Rangga Guna.
Sampai saat ini Ginggi belum mengetahui, di mana
mereka berada dan apa pekerjaannya. Ikut bersama
rombongan seba yang menuju Pakuan, tentu akan melewati
beberapa daerah. Sepanjang perjalanan Ginggi bisa
mencari-cari alamat mereka.
"Jadi bila begitu, aku harus ikut rombongan seba ini,"
kata Ginggi bicara sendiri.
Ginggi melorot turun dari batang pohon, tapi tak perlu
terburu-buru mengejar rombongan itu. Dia hanya ingin
membuntutinya dari belakang. Dia tak ingin bertemu
dengan orang-orang kampung itu. Terlebih lagi, dia tak
ingin bertemu dengan pemuda Seta, calon suami Nyi
Santimi. Sekarang ada perasaan malu bila harus
berhadapan muka dengan pemuda itu. Ini adalah
pengalaman pertama, mesti merasa malu kepada seseorang.
Beginilah rasanya orang bersalah, keluhnya dalam hati.
Ginggi berjalan memutar arah sebab tak mau melewati
batas kampung. Tapi kendati begitu, dia tak khawatir akan
kehilangan jejak. Rombongan itu pasti akan menuju barat.
Rombongan seba melakukan perjalanan hampir sehari
penuh. Ketika matahari hampir condong ke barat, mereka
Pendekar Terkutuk Pemetik 1 Tiga Dalam Satu 05 Lima Laknat Malam Kliwon Bayar Nyawa 1
yang hitam legam agar diguyur airdingin dan jernih itu. Dia
pun membayangkan, betapa kulit wajah yang putih halus
itu ikut diguyur, juga pundaknya yang sedikit berbulu tipis-
tipis, juga betisnya, juga dadanya yang montok. Dan, ah,
semuanya diguyur air pancuran itu. Beruntung benar sang
pancuran, dia bisa bebas dan semena-mena menyaksikan
tubuh mulus tanpa busana itu. Berbahagia sekali sang air
gunung, dia dengan bebas dan semena-mena mengelus-elus
semua lekuk dan bagian tubuh mungil itu. Sialan benar!
Pasti tak ada yang terlewat, semua lekuk dan relung
dirambahnya oleh air keparat itu!
Tuk! Ginggi mengetuk ubun-ubunnya sendiri. Benar kata
Ki Darma tempo hari, kalau tak ada kendali, lari kuda bisa
kemana saja. Tidak pula untuk jalan pikiran manusia.
Dan ingat ini, Ginggi segera berdiri. Dia akan
mengunjungi Rama Dongdo seperti apa yang dipesankan
gadis itu. Dia melongok sebentar ke arah jalan setapak yang
menurun dan berkelok itu sebelum meninggalkannya.
Namun baru saja akan membalikkan badan untuk
berlalu, "tuk!", kepala bagian belakangnya terasa ada yang
memukul. Ginggi menoleh ke belakang. Bukan karena sakit tapi
karena terkejutnya. Rasanya, sudah dari tadi dia menggetok
kepalanya sendiri, mengapa sekarang terasa ada getokan
lagi. "Kau mencuri lihat orang mandi, ya?" kata seseorang
mengamangkan alat pikul. Ternyata yang datang adalah
Madi, pemuda jangkung hitam bergigi tonghor itu. Dia
pasti telah menggetok kepala Ginggi dengan ujung pikulan.
"Siapa bilang aku mengintip orang mandi?" kata Ginggi
menolak tuduhan. "Pasti mengintip. Kalau tak begitu, masa engkau diam di
sini. Di bawah kan pancuran tempat orang mandi?" kata si
tonghor dengan pikulan siap dipukulkan lagi.
"Aku tak mengintip orang mandi. Aku bahkan baru saja
mandi," kata Ginggi lagi. Mendengar perkataan ini,
sitonghor membelalakkan mata. Melihat ke jalan setapak
arah pancuran, lantas berpaling kembali ke wajah Ginggi.
"Kau maksudkan mandi di pancuran ini?"
Ginggi menganggukkan kepala.
"Sialan kau! Tidak tahukah bahwa ini pancuran untuk
kaum wanita?" bentak si tonghor berteriak. Mulutnya
terbuka lebar dan gigi tonghornya kian kentara. Kuning,
kehitaman dan jarang-jarang.
"Ah, biar saja!" kata Ginggi mencoba berpura-pura tak
acuh akan kemarahan si tonghor.
Merasa diabaikan, pemuda kurus jangkung dan hitam ini
segera mengayunkan pikulan yang kini digunakan sebagai
pentungan. Sudah barang tentu, Ginggi tak rela ubun-ubunnya
begitu saja menerima pentungan, apalagi ini dilakukan
dengan pengerahan tenaga. Tetapi pemuda ini pun tak mau
membuat orang mencurigai bahwa dia memiliki ilmu
berkelahi. Ginggi menutup wajah rapat-rapat dengan kedua
belah telapak tangannya dan berteriak minta tolong.
Namun sambil meringis dia menunduk dan mundur
setindak. Hanya terdengar ujung pikulan bersiut lewat
beberapa sentimeter saja tapi ubun-ubun pemuda itu lolos
dari serangan. Ginggi lari kesana-kemari sambil teriak minta tolong,
dikejar pemuda tonghor dengan beringas.
Sementara semakin matahari bersinar, semakin banyak
orang menuju pancuran, laki-laki dan perempuan. Mereka
heran sepagi ini ada orang teriak-teriak ketakutan. Beberapa
orang berlarian mendatangi tempat kejadian dan
mendapatkan dua anak muda saling berkejaran. Yang satu
minta tolong satunya lagi melayangkan pikulan ke kiri dan
ke kanan. Seorang pemuda yang jauh lebih awal tiba di sana
mencoba menghentikan aksi kejar-mengejar.
"Madi, mengapa engkau hendak menganiaya pemuda
itu?" tanyanya, sambil menahan gerak Madi.
"Dia brengsek! Dia kurang ajar, Seta!"
"Brengsek dan kurang ajar karena apa, Madi?" tanya Seta
sambil mendelik kepada Ginggi.
"Dia mandi di pancuran wanita. Ketika aku peringatkan,
malah bilang biar saja. Begitu kan kau bilang tadi?"
"Apa tadi perkataanku kau dengar lain?" Ginggi ringan
saja menjawabnya. "Tuh, kurang ajar, kan" "
"Kurang ajar bagaimana," Ginggi memotong. "Kubilang
biar saja karena tadi hari masih pagi dan tak ada wanita
mandi di sana," katanya. Tapi berbareng dengan itu, dari
jalan setapak arah pancuran, muncul gadis rambut tergerai
sebatas pinggul sambil menjinjing ember kayu dengan
setumpuk cucian. Gadis berlesung pipit ini hanya mengenakan kain hitam
sebatas dadanya dan membuat seluruh lekuk-relung
tubuhnya tercetak erat dan ketat, membikin ketiga pemuda
itu terpana dan melongo. Si gadis yang melangkah cepat
karena mendengar ribut-ribut, segera menutupi bagian
dadanya dengan tangan kiri setelah tahu bahwa ketiga
pemuda itu matanya seragam menyorot ke arah bagian
badan yang barusan dia tutupi.
Semuanya tersipu-sipu malu karena kelakuannya ini.
Tapi rasa malu Seta berubah menjadi kemarahan. Dia cepat
menghambur ke arah Ginggi, dan plak-plak-plak! Tiga
tamparan mendarat di pipi Ginggi.
Gadis itu menjerit kecil karena peristiwa ini.
"Hai, mengapa kau tampar wajahku?" Ginggi lebih
merasa heran ketimbang sakit melihat Seta menamparnya
beberapa kali. "Kau kurang ajar menatap wanita lewat!" bentak Seta.
"Kalau begitu, tamparlah juga wajahmu tiga kali, malah
empat kali buat temanmu itu, sebab dia menatap gadis itu
sambil menelan air liurnya!" kata Ginggi senyum. Tapi
omongan ini kian menyulut kemarahan Seta. Dibantu Madi
ia kembali menghambur menerjang Ginggi.
Para wanita yang menyaksikan pertengkaran ini
menjerit-jerit ngeri karena baik Madi atau pun Seta dengan
garangnya mengayunkan pikulan untuk mencecar kepala
Ginggi. Yang diserang malah hanya berteriak-teriak minta
tolong sambil meringis dan menutupi wajahnya. Ketika
ayunan alat pemikul yang dipegang Seta hendak menyabet
tengkuk, kaki Ginggi tersandung akar dan jatuh
terjerembab. Namun akibatnya, sabetan ke arah tengkuk
menjadi lolos. Ketika pikulan Madi hendak mencecar
pinggulnya, Ginggi bangun dengan cara berguling dulu ke
kiri. Santai saja dia melakukannya, namun gerakan
menggulir badan dilakukan dengan pas, sehingga serangan
alat pikul hanya menggebuk permukaan tanah.
Sambil menepuk-nepuk celana kampretnya karena kena
debu, Ginggi berdiri dan secuil pun tidak melirik ke arah
penyerangnya yang mulai mengepung dirinya. Kedua orang
itu mengelilinginya sambil memutar-mutar alat pikul. Madi
ada di belakang dan Seta ada di depannya. Sambil memutar
alat pikul, kedua orang itu melakukan langkah-langkah
mantap dan itu merupakan kuda-kuda semacam ilmu
berkelahi. Ginggi sendiri tetap menampilkan diri sebagai seorang
yang tak mengenal ilmu kedigjayaan, seperti apa yang
dipesankan Ki Darma. Di samping ingat pesan orang tua
itu, Ginggi pun merasa tak punya kepentingan untuk
mengeluarkan jurusnya, sebab menurutnya, ini hanya
urusan sepele saja. Menghadapi pasangan kuda-kuda kedua orang yang
mengepungnya, Ginggi hanya meringis saja.
Keduatangannya di depan dada seperti orang ketakutan dan
minta diampuni. Beberapa orang yang sedianya hendak ke pancuran atau
hendak berangkat ke ladang, menyuruh mereka supaya
berhenti saja. Gadis semampai berlesung pipit pun
berteriak-teriak menyuruh untuk menyelesaikan urusan ini.
Namun Seta dan Madi sepertinya masih memiliki rasa
penasaran bila belum menggebuk pemuda bodoh tapi ugal-
ugalan ini. Secara serentak keduanya melakukan serangan.
Madi mengemplangnya dari belakang Seta menyodoknya
dari depan. Ginggi menjerit ngeri, begitu pun yang lain,
semuanya akan membayangkan bahwa sebentar lagi ubun-
ubun kepala Ginggi akan kena kemplang alat pikul yang
keras itu dan ulu hatinya pasti tersodok ujung pikulan di
tangan Seta. Untuk kesekian kalinya, Ginggi berteriak minta tolong
sambil punggungnya membungkuk ke depan. Karena
gerakan membungkuk ini, kemplangan dari belakang hanya
menggebuk angin. Sedangkan serangan Seta hanya akan
lolos sementara ketika tubuh Ginggi melenting ke belakang.
Bila Ginggi tak menjatuhkan tubuhnya ke samping,
akhirnya sodokan akan kena juga. Sambil telapak kaki
menginjak tonjolan batu, Ginggi pura-pura terpeleset dan
jatuh ke samping. Di lain fihak, Seta terlanjur
mengeluarkan tenaga sodokan sepenuhnya, sehingga
manakala sodokan itu gagal, tubuh Seta terjerembab ke
depan. Akan halnya pemuda Madi yang merasa kemplangan
pertama gagal, secara cepat mengayunkan alat pikulnya
untuk menyabet badan Ginggi bagian samping. Namun
tubuh Ginggi sudah jatuh duluan ke arah berlawanan
karena terpeleset batu. Padahal ketika serangan itu datang,
amat bersamaan dengan munculnya tubuh Seta yang
terjerembab ke depan. Akibatnya tak ayal, jidat Seta terkena
sabetan ujung pikulan. Tidak telak benar, namun cukup
membuat jidat pemuda itu benjol dan warna hijau
menghiasi benjolan itu. Orang-orang tertawa melihatnya. Betapa tidak, serangan
dua orang pengepung, dikacaukan begitu saja hanya karena
yang diserang terpeleset kakinya. Lebih lucu dari itu, terjadi
kesalahan penyerangan sehingga yang satu menyerang
kawan satunya lagi. Madi terkejut menyaksikan hasil kerjanya lain dari
harapan. Sebaliknya Seta menjadi kesal dibuatnya. Sambil
menahan rasa sakit di jidat, Seta menghambur ke arah
Madi. "Hai, Seta mengapa malah menyerangku!" teriak Madi
menangkis serangan Seta. "Mengapa kau menggebukku?"
Seta kembali melayangkan kemplangan. Dan, pletaaak!!!
Ujung pikulan mendarat di dahi Madi. Yang dipukul balik
menyerang, sehingga keduanya akhirnya saling kemplang
disertai sumpah serapah. Kini suara jerit penonton disertai
teriakan kesakitan sebab yang bergumul, satu sama lain
berhasil mengemplang lawannya.
"Hai! Hai! Jangan berkelahi! Berhenti! Berhenti!" Ginggi
sibuk melerai kedua orang yangbaku hantam ini. Akhirnya
semua orang ikut terjun melerai perkelahian ini. Dan
suasanakacau di pagi hari, di saat burung berkicau di hutan
sana, berhenti manakala terdengar suara keras memekik
dan menyakitkan telinga. "Berhenti! Apa-apaan sepagi ini kalian sudah saling
kemplang, hah?" kata orang itu. Semua mundur teratur
sebab yang datang adalah Ki Kuwu Suntara. "Mengapa
kalian berkelahi?" tanyanya lagi.
"Karena anak dungu itu, Ki Kuwu!" kata Seta menunjuk
ke arah Ginggi. "Karena apa?" "Dia mengintip orang mandi, Ki Kuwu!"
"Lantas, mengapa malah kalian yang berkelahi?"
Keduanya tak bisa menjawab. Saling pandang dan akhirnya
menunduk. Giliran Ginggi yang diperiksa Ki Kuwu. "Kau
mengintip orang mandi, anak dungu?"
"Aku hanya kena tuding saja, Ki Kuwu!" jawab Ginggi.
"Dia juga mengaku mandi di pancuran khusus wanita,
Ki Kuwu," kata Madi sambil memegangi pipinya yang
tergores serangan Seta dan sedikit mengeluarkan darah.
"Kau mandi di tempat wanita?" tanya Ki Kuwu Suntara.
"Betul, tapi di saat pancuran sunyi. Aku mandi paling
pagi, Ki Kuwu," jawab Ginggi pula.
"Bohong Ki Kuwu, sebab di pancuran ada Nyai Santimi.
Begundal ini pasti habis menggoda gadis itu, Ki Kuwu!"
kata Seta dengan wajah merah dan bibir bengkak kena
sabetan Madi. Wajah pemuda tampan ini jadi kian tak
keruan bila ditambah hiasan jendol sebesar telur ayam di
jidatnya. "Nyai, kau mandi bersama pemuda tolol itu?" Ki Kuwu
mendeleng ke bagian dada gadis yang segera Nyi Santimi
halangi dengan tangan kanannya.
"Ih, siapa bilang! Dia mandi duluan sebelum saya datang
ke pancuran. Saya juga katakan padanya bahwa lelaki tak
diperbolehkan mandi di pancuran ini," tutur Nyi Santimi
marah. "Dia memaksa?" "Dia sedang mandi ketika saya katakan perihal aturan
itu!" kata Nyi Santimi.
"Apa kau mendekati pemuda itu padahal dia sedang
mandi, Nyai?" tanya Ki Kuwu Suntara dengan suara
setengah menyelidik. Tampak wajah Nyi Santimi merah merona. "Saya hanya
bicara dari balik rimbunan pohon, Ki Kuwu!" katanya
menundukkan wajah. "Bagus !" kata Ki Kuwu bergembira.
"Anak itu belum tahu tata-aturan di sini, harap maafkan
saja Ki Kuwu," kata seseorang dengan lemah lembut.
Ternyata yang datang adalah Rama Dongdo. Barangkali
dia memaksa datang karena keributan ini.
Ki Kuwu Suntara memandang Rama Dongdo dengan
wajah dingin, tapi kemudian dia mengangguk.
"Ya, kali ini aku maafkan dia!" katanya sambil berlalu.
"Ayo, bubar semua. Bubar. Urusan selesai!" katanya kepada
penduduk yang bergerombol. Semuanya taat dan kembali
mengerjakan tugas masing-masing. Yang akan pergi
Senja Jatuh Di Pajajaran Karya Aan Merdeka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mencuci pergi ke pancuran dan yang akan berangkat ke
ladang kembali memanggul cangkul. Madi dan Seta yang
sedianya mengambil air minum di mata air pun kembali
memikul gentongnya yang masih kosong. Namun belum
beranjak dari tempat itu sebab nampak Ginggi mendekati
Nyi Santimi. "Nyai, baru tahu sekarang namamu Santimi. Indah
benar, pas sekali dengan semampai tubuh dan mungil
wajahmu," kata Ginggi. "Oh, ya, maafkan keributan ini.
Tapi sungguh aku tak mengintipmu," katanya lagi.
Madi dan Seta mendengus. Nyi Santimi juga rupanya
agak terpengaruh oleh sangkaan kedua pemuda ini.
Buktinya wajahnya agak cemberut.
"Nih pakaianmu, sudah aku cucikan, sudah bersih!"
katanya menyerahkan cucian kepada Ginggi.
"Ah, jasamu tidak akan kulupakan, Nyai. Perlu aku
balas. Ayo, biar semua cucian itu, aku yang bawa. Kalau
kau mau menyuruhku mengambil air bersih, akan aku
lakukan pula!" kata Ginggi.
"Mari Nyai, biar aku saja yang membawakan cucian itu!"
kata Madi menawarkan jasa.
"Ya, cepat, kau yang bawa Madi!" kata Seta setengah
memerintah. "Biarlah, saya tiap pagi juga membawanya sendiri," Nyi
Santimi menolak. Entah kepada siapa, mungkin semuanya.
Madi dan Seta termangu. Tapi Ginggi segera menyabet
ember dan tempat air dari bambu. Dia segera membawanya
pergi. "Hai, biarkan saya yang bawa! Biarkan!" seru Nyi
Santimi sambil berlari kecil memburu pemuda itu. Namun
sesudah keduanya berdekatan, mereka malah berjalan
sama-sama. "Nyi Santimi, kau tidak punya malu
mencucikan pakaian orang asing yang dungu itu!" teriak
Madi kesal. Seta hanya menggigit bibirnya sambil meringis
menahan sakit. Dia lupa bahwa bibirnya pun bengkak kena
sodokan temannya. Ginggi dan Nyi Santimi melangkah
cepat menyusul Rama Dongdo yang nampak sudah
memasuki lawang kori. "Kau harus percaya Nyai, aku tak mengintipmu mandi,"
kata Ginggi di tengah jalan.
"Tapi mengapa kau masih di dekat-dekat situ?" tanya
Nyi Santimi masih kurang percaya.
"Ya, gimana, ya" Ah, pokoknya aku tak mengintipmu.
Percayalah, aku jujur bicara!" Ginggi minta dipercaya.
"Sejujur matamu itukah?" Nyi Santimi menyindir tapi
Ginggi tak mengerti. "Lelaki dimana-mana sama saja!"
"Sama apanya, Nyai?"
"Matanya itu!" Nyi Santimi menunjuk pada mata
Ginggi. Pemuda itu pun serentak meraba kedua bola
matanya. "Ah, aku kira mataku hanya bulat saja. Tapi Si
Tonghor itu matanya melotot besar. Dan Si Seta biar pun
tampan tapimatanya cekung. Mengapa kau katakan sama,
Nyai?" Ginggi heran dibuatnya.
"Bukan ukurannya, tapi jelalatannya, tolol!" kata Nyi
Santimi membentak sambil tertawa. Untuk kesekian kalinya
orang menyebut tolol padanya. Tapi yang ini rasanya lain.
Ginggi merasa senang. "Macam-macam orang
menggunakan matanya itu, Nyai ada yang karena nafsu ada
juga karena kagum. Bila melihat sesuatu yang indah, mata
akan senang dan kagum melihatnya. Yang salah mungkin
tubuhmu, mengapa begitu indah," kata Ginggi terus terang,
membuat rona merah di wajah gadis itu timbul kembali.
"Tapi aku heran Nyai, kekagumanku akan sesuatu yang
indah jadi membuat kemarahan orang. Buktinya kedua
pemuda itu marah besar padaku hanya karena ... ya,
mataku yang jelalatan itulah. Padahal, mereka pun
sebetulnya sama saja! Engkau tak adil hanya aku saja yang
engkau marahi?" "Aku malah sering memarahi kedua orang yang
menyebalkan itu. Mereka sering menggodaku dan mereka
sering cemburu buta. Mereka benci padamu sejak
kehadiranmu pertama kali malam tadi!" kata Nyi Santimi.
"Lho, masa begitu aku datang ke sini sudah membuat
kesalahan pada mereka?" tanya Ginggi menahan langkah
sedikit. (O-anikz-O) Jilid 04 "Ya, karena matamu itulah. Di dapur malam itu mereka
sedang makan singkong bakar ketika engkau datang
bersama Ki Ogel dan Ki Banen. Lalu dia juga
mengawasimu manakala matamu jelalatan menatapku
ketika menyodorkan penganan. Eh, mengapa kau jalan
sambil meram?" tanya Nyi Santimi heran.
"Takut mataku jelalatan lagi, Nyai. Nanti orang
sekampungmu mengepungku!" kata Ginggi. Kakinya
mencari-cari pijakan, persis orang buta. Nyi Santimi tertawa
cekikikan sambil menutup mulut dengan punggung
tangannya. Mereka berjalan lagi, mengobrol sana-sini tapi masih
seputar urusan tadi. "Pantas saja kedua pemuda itu tadi
semalam sangat angkuh padaku," gumam Ginggi
teringatkembali peristiwa semalam di gardu.
"Nanti malam ada pertunjukan pantun, Kang!" kata Nyi
Santimi sebelum tiba di rumah.
"Pantun, apakah itu?" Ginggi mengerutkan dahi.
"Seni bercerita dilantunkan dengan lagu merdu. Eh,
darimana sih asalmu, kok tidak kenal kesenian pantun?"
tanya Nyi Santimi heran. Ginggi hanya tersenyum kecil.
"Semua orang nanti malam akan keluar di saat bulan
purnama. Di antaranya akan nonton pantun, sebagai
selamatan panen telah terpetik," kata Nyi Santimi pula.
"Kalau begitu engkau pasti keluar rumah juga, ya?"
Ginggi menatap gadis berbibir tipis itu dari sisinya. Si gadis
mengangguk. "Pasti nonton pertunjukan pantun juga?"
Kembali Nyi Santimi mengangguk. Berseri wajah
pemuda itu. Ada senyum tersungging di bibirnya.
(O-anikz-O) Lantunan Ki Juru Pantun Benar seperti perkataan Nyi Santimi, malam ini di saat
bulan benderang, penduduk desa keluar rumah. Para gadis
dan jejaka, malam itu diberi waktu untuk bertemu. Bahkan
anak-anak kecil, diperbolehkan main di halaman.
Tapi, baik anak remaja mau pun anak kecil semua
bermain bersama. Gadis-gadis remaja nampak saling olok
dengan sesamanya, dan sesekali mengolok-olok
serombongan pemuda yang datang bertandang. Terdengar
jerit dan tawa di antara mereka yang saling berkejaran.
Ginggi senang sekali melihat keramaian malam ini. Ini
barangkali pemandangan pertama baginya, melihat orang
berseliweran di terang bulan, dengan perasaan riang
gembira. Ginggi senang menyaksikan gadis yang elok-elok,
digoda oleh para jejaka yang tampan-tampan. Mereka
berpakaian bersih dan rapi. Yang gadisnya berkebaya dan
berkain warna hitam nila, begitu pun para jejakanya,
berbaju salontreng, bercelana pokek dan berikat kepala
lohen, Beberapa di antaranya ada yang memakai ikat
pinggang besar terbuat dari kulit. Tapi kaum jejaka hampir
semuanya menggunakan kain sarung poleng, apakah itu
digunakan semacam selendang yang dikenakan di bahu,
atau diikatkan di pinggang mereka.
Ginggi punya kesempatan menikmati keindahan malam
ini. Ada obor terpancang, berjajar sepanjang jalan utama
kampung dan berakhir di bale gede tempat orang
berkumpul. Tadi pagi, Rama Dongdo pun sudah mengizinkan dia
untuk melihat keramaian ini.
"Asalkan kau sanggup menahan hati untuk tidak terlibat
keributan seperti tadi pagi," kata Rama.
Ginggi hanya menunduk. Dia merasa tak perlu
membeberkan kejadian tadi, sebab dianggapnya hanya akan
mengeruhkan saja. Rama Dongdo mengabarkan bahwa para tokoh di desa
ini tak keberatan bila dia akan ikut bekerja di sini. Izin ini
juga termasuk datang dari Ki Kuwu.
"Karena urusan perbedaan sikap dalam menentukan
agama, sebetulnya dari desa ini banyak tenaga cakap pergi
mengembara. Yang mencintai agama baru, mendekatkan
diri ke pusat Kerajaan Talaga, atau bahkan ke Cirebon
sana. Yang masih setia kepada agama lama, pergi ke
wilayah barat, mendekati Pakuan. Kalau aku boleh bicara,
sebetulnya yang tinggal di sini kebanyakan hanya yang
punya sikap di tengah saja. Mereka adalah yang sanggup
membiarkan agama lama hidup, namun juga tak
berkeberatan adanya agama baru muncul. Bisa kau saksikan
nanti malam, akan ada orang berdoa dengan gaya agama
lama, tapi ada juga yang melakukan sembahyang dengan
cara agama baru," kata Rama Dongdo.
"Kami bersyukur, di desa ini sekarang berkumpul orang-
orang yang tidak mempertentangkan jenis keyakinan. Tapi
juga kami sedih, bahwa banyak orang muda yang cakap
meninggalkannya. Padahal menjelang acara besar seperti
panen tahun ini, kami butuh tenaga banyak," kata Rama
Dongdo lagi. "Kalau pun aku bersedia membantu, sebetulnya aku tak
memiliki kecakapan apa-apa. Tapi biar pun begitu, aku
ingin tahu, pekerjaan macam apakah itu?" tanya Ginggi.
Rama Dongdo menerangkan, bahwa Desa Cae ini
kedudukannya terjepit. Di lain fihak, ibu negri Karatuan
Talaga sudah masuk pengaruh Cirebon, artinya sudah
melepaskan diri dari kekuasaan Pakuan. Akan tetapi di lain
fihak, masih ada kelompok berpengaruh di desa ini masih
menyegani nama besar Pakuan dan berupaya mengirimseba
atau upeti ke Pakuan. "Kami sama-sama menahan diri untuk tidak pecah
sesama tokoh. Jadi, akhirnya semua kebijaksanaan kami
lakukan. Tiga hari yang akan datang ada rombongan seba
berangkat dari Desa Cae ini. Kami butuh tenaga banyak
untuk memikul barang-barang seba," kata Rama Dongdo.
"Bila hanya untuk memikul barang saja, aku sedia,
Rama!" kata Ginggi. Tapi Rama Dongdo menghela nafas
dalam. "Ada sesuatu yang dirisaukan, Rama?" tanya pemuda
itu. Rama Dongdo kian mengerutkan dahinya.
"Untuk mengangkut barang seba, sebetulnya kami tidak
sekadar membutuhkan orang yang bertenaga kuat saja, tapi
juga kami butuh orang yang sanggup melindungi
keselamatan barang-barang itu sendiri," tuturnya.
Ginggi menatap tajam, belum mengerti apa yang
dimaksud orang tua ini. "Sudah aku katakan, hanya di kampung ini saja beda
pendapat bisa diredam. Akan tetapi di luar kampung
suasana lain lagi. Kelompok yang tak setuju kami mengakui
Pakuan, selalu mengganggu perjalanan kami. Mereka
mencegat, merampok, bahkan membunuh petugas yang
berani melawan," keluh Rama Dongdo dengan sedih.
Meneguk minuman di atas sebuah lumur (sejenis cangkir
yang terbuat dari bumbung bambu) dan menghela nafas
lagi. "Dengan kata lain, mengirim seba ke Pakuan itu
taruhannya bisa nyawa. Begitu, Rama?" tanya Ginggi.
Rama Dongdo mengangguk "Orang-orang dari negara agama barukah pelaku
perampokan itu?" tanya Ginggi lagi.
Rama Dongdo tidak mengiyakannya.
"Sulit untuk menebak bahkan menuduhnya. Kata
petugas yang pernah mengalaminya, para penjahat itu
bertampang kasar dan bengis. Tidak layak ditampilkan oleh
orang yang mengaku memiliki agama sempurna. Kalau
para perampok itu bukan dari kelompok agama baru, aku
percaya, sebab dalam suasana permusuhan antara Pajajaran
dan Cirebon, sebetulnya banyak kelompok memanfaatkan
situasi untuk kepentingan pribadi. Orang-orang dari agama
baru mungkin saja tak setuju kami mengirimkan seba ke
Pakuan. Namun ketidak setujuan mereka, dimanfaatkan
oleh orang-orang yang memancing di air keruh. Mungkin
saja yang mencegat dan merampok sebenarnya hanya
bertindak atas dasar keserakahan saja. Mereka hanya
penjahat biasa saja," tutur Rama Dongdo panjang lebar.
Ginggi termenung mendengar penjelasan ini. Setelah
agak lama suasana membisu, Ginggi bertanya, "Rama, aku
ini pengembara. Sedikitnya, ada beberapa berita yang
sampai ke telingaku," katanya.
"Apa saja itu?"
"Bahwa susuhunan di Pakuan sekarang sebetulnya sudah
tak pantas dianggap panutan lagi. Dia sudah tak mampu
mempertahankan kebesaran Pajajaran seperti para
pendahulunya. Bukan tak mampu menghadapi serangan
musuh dari luar, sebab hingga saat ini, kendati jumlahnya
terus berkurang, namun tembok benteng Pakuan masih
dijaga perwira dan jagabaya yang pandai-pandai. Yang
dirasakan ambarahayat Pajajaran sekarang, bahwa katanya
para penguasa di Pakuan tak sanggup melawan musuh dari
dalam hati sendiri, yaitu hawa nafsu. Betulkah itu, Rama?"
tanya Ginggi panjang lebar.
Mendapat pertanyaan serupa ini, Rama Dongdo batuk-
batuk kecil. Untuk beberapa lama dia tak sanggup
menjawabnya. Namun pada akhirnya, biar pun pelan dan
datar, dia berujar juga. "Tidak salah apa yang kau katakan, Sang Prabu Ratu
Sakti banyak melakukan hal-hal yang sebetulnya
menyinggung persaan rakyat," katanya menghela nafas
panjang. "Kami saban tahun masih sanggup menghasilkan
panen. Juga saban tahun masih bisa mengadakan pesta
selamatan akan keberhasilan panen. Namun setiap tahun
berlalu, tiap itu pula kebahagiaan kami berkurang. Hasil
panen biar pun jumlahnya tetap sama, tapi tak
menimbulkan kebahagiaan. Pesta selamatan yang dulu
dilakukan berhari-hari, kini hanya dilakukan secara
sederhana saja. Bukan tak ada yang mesti kami pestakan.
Senja Jatuh Di Pajajaran Karya Aan Merdeka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Akan tetapi karena sebagian besar harus diabdikan untuk
seba, maka kegiatan untuk selamatan bahkan untuk
kekayaan berlebih kami, banyak berkurang," kata Rama
Dongdo. Ini adalah penjelasan yang kesekian kalinya yang
diterima pemuda itu. Persis seperti apa kata Ki Darma
tempo hari, bahwa rakyat Pajajaran sekarang dirundung
malang karena ulah rajanya.
"Heran sekali, kalau ternyata Raja bersifat tak bijaksana,
mengapa Rama memaksakan diri untuk tetap setia kepada
Raja" Tidakkah Rama memilih biluk (memihak) saja ke
Talaga dan ke Cirebon sana?" tanya Ginggi.
Ada senyum pahit menghiasi mulut orang tua itu yang
kumisnya sudah banyak dihiasi uban. Sekali lagi Rama
Dongdo menghela nafasnya dalam-dalam.
"Mikukuh Dasa Perbakti yang terdapat dalam agamaku
mengatakan bahwa seseorang harus mentaati orang lain
karena kedudukannya. Anak harus taat kepada ayah, istri
taat kepada suami, kaula atau rakyat harus taat kepada
penguasa, murid taat kepada guru, petani taat kepada
wadha, wadha taat kepada mantri, mantri taat kepadanu
nangganan, nu nangganan taat kepada mangkubumi,
mangkubumi kepada ratu dan ratu taat kepada dewata,
dewata taat kepada hyang sebagai penguasa tunggal di jagat
raya ini. Semuanya harus dijalankan agar kehidupan
bermasyarakat dan bernegara berjalan lancar. Dan aku
sebagai kaula, sebagai rakyat, jelas harus mentaati
kebijaksanaan Raja," kata Rama Dongdo.
"Akan tetapi, bila Raja tak sanggup menerima rasa taat
kaulanya dengan kebijaksanaan agung, kehidupan tak akan
berjalan dengan baik," potong Ginggi.
"Mungkin begitu. Tapi biarlah pengalaman jadi guru
yang utama bagi semua orang, termasuk bagi raja itu
sendiri. Bagaimana akibatnya bila raja tak melakukan tapa
bagi negaranya. Kita sebagai rakyat, tak boleh keluar dari
sendi-sendi aturan. Sebab begitulah, kalau semuanya ikut
melenceng, maka semua kehidupan tak berguna. Lagipula,
ada yang harus diingat rakyat, kalau pun dia mengabdi,
bukanlah mengabdi karena raja, tapi karena negara. Aku
sampai saat ini merasa sebagai anak bumi Pajajaran. Aku
tetap mendambakan Pajajaran bisa hidup sampai akhir
zaman. Mungkin aku melaksanakan seba sebagai titah raja.
Tapi tujuanku yang sebenarnya adalah mempertahankan
bumi Pajajaran," kata Rama Dongdo panjang lebar.
Ginggi puyeng sendiri menyimak jawaban atas hasil
pertanyaannya itu. Bagaimana mungkin ada orang yang
setia sampai mati bagi sebuah kerajaan yang dirajai oleh
orang yang tak bijaksana. Bila begitu halnya, maka rakyat
hanya akan jadi korban kesetiannya itu sendiri. Gila, pikir
Ginggi. Tapi, sebentar kemudian anak muda ini sudah
merenung kembali. Bukankah hal-hal ini yang harus
diperhatikannya, seperti apa yang diamanatkan oleh Ki
Darma" "Mengubah bumi Pajajaran, sesuatu hal yang mustahil
untuk dilakukan sendirian. Tapi kau bantulah rakyat agar
tak dibiarkan menderita. Lebih baik satu kali berjuang
untuk rakyat daripada tidak sama sekali," ucapan Ki Darma
terngiang lagi di telinganya. Tapi, bagaimana bentuk
perjuangan itu" Ikut menyukseskan pengiriman seba,
ataukah perjuangan membela kesengsaraan rakyat"
Ginggi memijit-mijit kepalanya, pening rasanya.
"Kau sakit kepala anak muda" Pasti tadi malam kau
kurang tidur karena ikut tugur. Tapi tugur akan jadi bagian
dari hidupmu kalau kau betah di sini kelak. Kampung ini
butuh tenaga muda untuk tugur, yaitu menjaga keamanan
daerah dari gangguan orang jahat," kata Rama Dongo.
Ginggi berhenti memijit-mijit kepalanya karena dia tak
mau dianggap orang yang sakit kepala.
"Aku tidak sakit, apalagi lelah, Rama. Bahkan kalau
Rama mengizinkan, aku akan membantu apa saja di rumah
ini. Mungkin aku bisa membelah kayu bakar, mengambil
air dengan pikulan, atau pekerjaan apa saja yang berguna di
rumah ini," kata Ginggi menawarkan jasa.
Rama Dongdo tersenyum mendengarnya.
"Aku dulu punya anak lelaki. Tapi karena kegemarannya
mempelajari ilmu kedigjayaannya, dia tewas karena
perkelahian. Tidak percuma, sebab dia mati dalam
mempertahankan tugas mengirim seba," kata Rama
Dongdo. Ginggi hanya mengangguk-angguk tanpa berani
meminta penjelasan lebih lanjut. Sebab kalau dia memaksa,
hanya berarti menyuruh orang menceritakan kisah dukanya
belaka. "Kalau kau senang bekerja kasar, bekerjalah di dapur.
Hari ini semua penduduk ramai memasak untuk persiapan
pesta nanti malam," kata Rama Dongdo.
Ginggi amat bersemangat mendapat izin membantu di
dapur. Bukan karena pekerjaannya, tapi karena ada
pengharapan lain yang amat diharapkannya, ia pun segera
bergegas menuju dapur. Dan benar saja, di dapur dia segera saja mendapatkan
apa yang diharapkannya. "Nyai, sedang apakah engkau?" bisiknya kepada Nyi
Santimi yang tengah sibuk bekerja.
"Aku tengah membuat lemper untuk hidangan nanti
malam, Kang," kata gadis itu tersenyum manis namun
matanya tetap memperhatikan pekerjaannya. Mereka
berbincang-bincang akrab sekali. Dan mereka pun berjanji
untuk bertemu malam nanti di tempat pertunjukan pantun.
Talung-talung keur Pajajaran
Jaman aya keneh kuwerabakti
Jaman guru bumi dipusti-pusti
Jaman leuit tangtu eusina metu
Euweuh anu tani mudu ngijon
Euweuh anu tani nandonkeun karang
Euweuh anu tani paeh ku jengkel
Euweuh anu tani modar ku lapar
( masih mending waktu Pajajaran
ketika masih ada kuwerabakti
ketika guru bumi dipuja-puja
ketika lumbung umum melimpah-ruah
tiada petani perlu pengijon
tiada petani menggadai tanah
tiada petani mati karena kesal
tiada petani mati karena lapar )
"Mari pertunjukan pantun sudah dimulai!"
"Siapakah prepantun (juru pantun) nya, Ki?"
"Siapa lagi kalau bukan Ki Baju Rambeng dari Pakuan!"
"Kasihan, ya. Juru pantun paling baik di Pakuan, harus
pergi terlunta-lunta seperti itu. Disangkanya di tempat ini
lebih tentram. Disangkanya di tempat ini Pajajaran masih
mekar." "Dia menjauhi Pakuan karena kemelut berkepanjangan.
Tapi apa pun terjadi, ini keuntungan buat kita dan generasi
seusai kita. Sebab biar pun jauh dari Pajajaran, anak cucu-
kita masih bisa mendengar kemegahan istana raja Sri Bima
Untarayana Madura Suradipati, atau keelokan Tamansari
Milakancana beserta permainya danau Talaga Rena Maha
Wijaya, Dengarlah lantunan merdu Ki Juru Pantun, dia
pasti membuka tabir riwayat emas yang bergelimang di
Pajajaran." Obrolan orang-orang di seputarnya sangat menarik
perhatian Ginggi. Padahal, di tengah benderangnya cahaya
purnama yang dipercantik cahaya obor dandamar sewu
(lampu seribu jajar), pemuda ini sebenarnya sedang
menyeruak kesana-kemari mencari Nyi Santimi.
"Dia janjian mau menunggu di tempat pertunjukan
pantun. Tapi, di mana dia tunggu aku?" pikir Ginggi.
Ginggi menyeruak-nyeruak sampai ke bagian penonton
paling depan, tapi yang dicarinya tak ada. Yang dia
saksikan hanyalah kerumunan orang-orang di sini.
Yang namanya pertunjukan, Ginggi baru menonton
pertama kali ini. Begitupun bentuk kesenian pantun, baru
kali ini dia kenali. Ternyata pantun hanyalah pertunjukan
maha sederhana. Tak ada penari, tak ada pemain lain,
kecuali seorang lelaki buta sendirian dengan alat musik
bernama kecapi di haribaannya. Kalaupun orang-orang
berkerumun di dekatnya, itu lebih tepat disebut
mendengarkan ketimbang menonton. Semua yang hadir
menyimak sebuah cerita yang dilantunkan dengan nyanyian
amat merdu dari mulut lelaki buta itu.
"Ada dahulu ada sekarang tak ada dahulu tak ada
sekarang ada masa silam ada masa kini tak ada masa silam
tak akan ada masa kini ada tonggak ada batang tak ada
tonggak tidak akan ada batang bila ada tunggul tentu ada
catangnya" Ki Baju Rambeng dengan lantunan merdu
melontarkan ingatan semua orang ke masa silam, masa di
mana bumi Pajajaran terang benderang dengan segala
cahaya keemasan dan kecermelangannya. Dia puji-puji
Kangjeng Prabu Wangi yang gugur di tanah Bubat karena
membela harkat dan derajat bumi Sunda. Dengan
kedigjayaan dan keberanian, Sang Prabu relakan darah dan
nyawa membasahi bumi. "Apalah gunanya darah setitik apalah gunanya nafas
sejentik tapi amat berguna darah setitik bila dipakai
membela hati dan harga diridan harga diri ".. Oh, hai, dan
harga diri " Ki Baju Rambeng terus mengaduk-ngaduk
kenangan orang terhadap masa-masa yang telah lalu. Dan
seluruhnya membicarakan tentang bumi Pajajaran. Dia
kabarkan kebijaksanaan Sang Prabu Sri Baduga Maharaja
perihal kehadiran agama baru."
Denting-denting kecapi dengan luwes dan merdu
mengiringi lantunannya : "Raja Pajajaran hanteu nyaram
somah milih agama anu dicaram soteh nyaeta :
palah-pilih teu puguh milih
mimiti milih agama ieu laju bosen " milih deui
"Raja Pajajaran hanteu nyaram
somah milih agama : ari tetela mah eta agama lain pi"eun ngaganggu
kasantosaan nagara lain pi"eun macikeuh anu barodo
lain pi"eun numpuk kabeungharan
lain pi"eun kasenangan sorangan"
(Raja Pajajaran tak melarang
rakyat memilih agama yang dilarang hanyalah: sembarangan memilih suatu yang tak tentu
mula-mula pilih satu agama sudah bosan " memilih lagi
Raja Pajajaran tak melarang Rakyat memilih agama Bila
jelas itu agama Yang bukan untuk mengganggu
Kesejahteraan negri Bukan untuk mengakali orang bodoh
Bukan untuk menumpuk kekayaan Bukan untuk
kesenangan pribadi) "
Tapi karena ambisi dan keserakahan, maka pertentangan
dan perselisihan tak bisa
dihindarkan. Perang, perang danperang! Dimana-mana
terjadi perang! Sang Prabu Surawisesa
pengganti ayahanda, limabelas kali bertempur,
bertempur dan bertempur!" kata lantunan Ki Baju
Rambeng dengan volume dan tekanan suara berganti-ganti
membuat yang mendengarkan terpana dan berdebar.
"Siapa yang unggul, Ki?" Ginggi nyeletuk dari sudut
samping, sehingga memutuskan rasa keterpanaan
pendengar. "Tak ada yang unggul dan tak ada yang kalah. Kalau
pun boleh disebut, maka dua-duanya ada dalam
kemenangan!" kata Ki Baju Rambeng.
Dan Ki Juru Pantun yang buta ini kembali melantunkan
suara merdunya: "Nu heubeul unggul lantaran kasatiaan nu anyar unggul lantaran kasampurnaan !"
(Yang lama unggul karena kesetiaan yang baru unggul karena kesempurnaan!) Ki Baju Rambeng terus melantunkan masa lalu tentang
Pajajaran yang tetap besar. Kalau pun kebesarannya
terganggu, ini karena adanya kemunafikan dan
ketidakjujuran. Berkali-kali mendapatkan serangan musuh,
benteng baru bisa terkuak sesudah ada penghianatan dari
dalam. "Siapa berkhianat itu yang jahat ! seribu perwira siap
mati seribu perwira hampir mati mati karena pengkhianatan
mati karena pengkhianatan Oh, hai ! Pengkhianat Dialah
Ki Darma Tunggara ! Dialah Ki Darma Tunggara !"
Ginggi tersentak di tengah-tengah keasyikannya
menyimak lantunan Ki Baju Rambeng ini. Prepantun ini
ada menyebut-nyebut nama Ki Darma walau pun masih
dilanjutkan dengan nama Tunggara, Ki Darma Tunggara.
Apakah yang disebut Ki Juru Pantun itu Ki Darma, orang
tua yang hampir sepuluh tahun hidup bersama di puncak
Gunung Cakrabuana" Atau hanya kebetulan saja ada
kemiripan nama" Pemuda itu tak melanjutkan perkiraannya
sebab Ki Baju Rambeng terus melantun.
Oh, hai Ki Darma Tunggara engkau perwira sakti
engkau perwira berani sayang keberanianmu dipakai
melawan ratu oh, hai, melawan ratu ! Itulah hukuman bagi
yang meragu ke sana tak mau ke sini tak mau Akhirnya Ki
Darma menjadi musuh semua
Oh, hai ! Musuh semua ! Ki Juru Pantun terus melantunkan cerita hingga larut
malam, hingga bulan pudar condong ke barat. Anak-anak
sudah dari tadi tergeletak tidur di lantai kayu. Para remaja
baik lelaki maupun perempuan, entah pergi ke mana. Yang
sisa, tinggallah para orang yang sudah lanjut usia. Mereka
Senja Jatuh Di Pajajaran Karya Aan Merdeka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
masih setia menyimak masa lalu kendati sambil terkantuk-
kantuk dan tubuh membungkuk karena sudah tak mampu
bersila dengan benar. Sampai kokok ayam bersahutan, sampai pulalah saat
akhir lantunan Ki Juru Pantun. Hanya belasan orang yang
tersisa. Terhuyung-huyung meninggalkan bale gede karena
kantuk yang kental. (O-anikz-O) Tangisan Nyi Santimi Sayup-sayup di kejauhan terdengar suara lantunan lain.
Seperti bersajak atau berdoa tapi dengan bahasa yang tidak
dimengerti Ginggi. "Suara lantunan apakah itu?" tanya Ginggi entah kepada
siapa sebab hampir semua orang telah pergi.
"Itulah pembacaan ayat suci dari orang yang sudah
memiliki agama baru," Ki Baju Rambeng yang
menjawabnya, sambil berbenah dan bersiap hendak turun
dari bangunan panggung bale gede.
"Menjelang fajar menyingsing, pemeluk agama baru
akan bersembahyang menghadap ke barat. Sehari semalam
mereka melakukannya sebanyak lima kali," kata Ki Baju
Rambeng lagi, mengangkat badan setengah terhuyung
karena beban kecapi di tangan kanannya. Dia sendirian saja
dan cukup hafal menuruni tangga kayu. Lantas berjalan
tertatih-tatih, tak ada orang yang mengacuhkannya lagi.
Ginggi melangkah di sampingnya.
"Aku ingin lebih jelas lagi menyimak apa yang kau
lantunkan tadi itu, Aki!" kata Ginggi.
"Apa yang Aki lantunkan tadi itulah keseluruhan
pengetahuanku, anak muda?" kata Ki Baju Rambeng
dengan desah nafas berat. Mungkin dia kecapaian, mungkin
juga kedinginan karena udara subuh.
"Tak adakah pengetahuan berlebih, misalnya tentang
perwira sakti Pajajaran bernama Ki Darma Tunggara itu,
Ki?" tanya pemuda itu lagi penasaran.
"Menurut sahibul hikayat, dia adalah perwira kerajaan
dari seribu perwira yang mengabdikan dirinya untuk
keselamatan Raja." "Terus, jelaskan?" desak Ginggi sambil mengikuti
langkah Ki Baju Rambeng. "Seribu perwira yang bertugas bela-mati Raja, sudah ada
sejak berdirinya Kerajaan Sunda ratusan tahun silam.
Kedudukan Raja dikawal seribu perwira yang bela-mati.
Pada zamannya Prabu Wangi, banyak perwira ikut ke
Bubat dan tewas bersama Raja di sana. Namun jumlah
seribu selalu kembali utuh sebab segera tergantikan yang
baru. Begitu sampai sekarang," kata Ki Baju Rambeng.
"Perwira sakti bernama Ki Darma Tunggara, kira-kira
hidup di zaman mana?" tanya Ginggi lagi. Lama Ki Baju
Rambeng tak memberikan jawaban. Ketika pemuda itu
kembali bertanya, juru pantun itu hanya menggelengkan
kepala. "Hampir semua juru pantun yang ada di Pajajaran selalu
mengatakan bahwa pantun yang dilantunkannya asli,
menggambarkan hal-hal yang pernah terjadi. Aku sendiri
akan bicara begitu, sebab begitu yang dikatakan guruku.
Aku bisa menggambarkan keperwiraan sekaligus
pengkhianatan Ki Darma Tunggara, tetapi tak bisa
melukiskan, di masa mana perwira sakti itu hidup. Apakah
Ki Darma Tunggara nama sebenarnya atau hanya sebuah
julukan, aku tidak tahu. Barangkali juga begitu pengetahuan
semua juru pantun," kata pula Ki Baju Rambeng.
Ginggi menghela nafas kecewa. Bila begitu, bisa saja
kejadian mengenai perwira bernama Ki Darma Tunggara
hanya dongeng belaka. Kecewa" Mengapa harus kecewa"
Kalau ternyata peristiwa itu benar dan melibatkan Ki
Darma yang dia kenal, mau apa"
Akhirnya pemuda itu membiarkan Ki Baju Rambeng
pergi. Tertatih-tatih menjinjing kecapi memburu fajar yang
tengah menyingsing. Ginggi juga melangkah pergi. Dia melewati sebuah
rumah gedek yang penghuni di dalamnya masih
melantunkan ayat suci agama baru seperti apa kata Ki Juru
Pantun. Melangkah lagi beberapa ratus tindak, ada terlihat
sebuah rumah dengan pekarangan agak luas dan di
sudutnya terdapat sebuah pura dengan dupa mengelun
lemah. Namun apa pun yang terjadi, sebetulnya ada kedamaian
di sini. Paling tidak di saat pagi hari begini. Ginggi berpikir,
sebenarnya percekcokan hanya terjadi pada orang-orang
yang mempertahankan kebenaran dirinya secara fanatik.
Orang-orang yang berpikiran sederhana cenderung
membatasi keinginan-keinginan yang keras, termasuk
mengukuhi kebenaran yang diakuinya.
Sekarang Ginggi berjalan gontai menuju rumah Rama
Dongdo. Dia baru ingat lagi sekarang, bahwa tadi malam
sebenarnya mengikat janji dengan Nyi Santimi untuk sama-
sama nonton pantun. "Kita saling menunggu di depan bale gede," kata Nyi
Santimi kemarin siang. Tapi mengapa gadis itu tak
diketemukannya tadi malam" Tidak jadi pergikah dia"
Ginggi kurang teliti mencari karena lebih terpukau
menyimak pertunjukan itu sendiri.
Ada yang perlu ditanyakan kepada gadis itu. Tapi karena
kantuknya menyerang demikian hebat, Ginggi hanya
meloso di sudut beranda rumah dan akhirnya tertidur pulas.
(O-ani-kz-O) Ginggi tersentak bangun ketika seseorang menepuk-
nepuk pundaknya. "Bangun, hai, bangunlah!"
Ginggi gelagapan karena kepalanya terasa berat dan
pening. Kedua matanya terasa kesat dan pedih. Susah sekali
dia membuka kelopak matanya.
"Ada apakah?" tanyanya mencoba memandang kepada
yang barusan membangunkannya.
"Bangunlah. Hari sudah siang. Lagi pula tak baik
menjelang kedatangan tamu penting kau malah tidur di
sini," kata orang itu. Yang berbicara adalah seorang lelaki,
entah siapa. Ginggi melihat cuaca. Hari sebetulnya masih pagi
kendati matahari sudah memancarkan sinarnya. Dia baru
sadar, sepulang nonton pantun, dia tertidur kelelahan di
beranda rumah Rama Dongdo. Tapi melihat hari masih
pagi, bisa diperkirakan, dia tidur di sana belum lama benar,
kalau tak disebutkan baru sebentar.
Tapi, sepagi ini rumah Rama Dongdo akan kedatangan
tamu, dari manakah" "Tamu apa Mamang, sepagi ini sudah bertandang ke
sini?" tanya Ginggi.
"Tamu penting. Tidak tahukah kalau pagi ini akan ada
rombongan keluarga Seta?"
"Rombongan keluarga Seta?"
"Betul anak muda. Hari ini secara resmi mereka akan
meminang Nyi Santimi!"
Kalau ada petir di siang bolong, mungkin beginilah
kedengarannya, paling tidak oleh Ginggi. Nyi Santimi
akandilamar Seta" Tak mimpikah aku " Atau, tidak
kelirukah orang ini bicara"
"Maksud Mamang, Nyi Santimi akan menikah dengan
Seta, pemuda tampan yang mulutnya selalu mencibir
seperti sinis tapi kemarin bengkak dan dower dipukul
temannya itu?" "Sssst!!!" ?" dan yang jidatnya menyendol karena pukulan kayu
pikulan di dekat pancuran sana itu, Mamang?" Ginggi
masih nyerocos kendati dia sudah diberi isyarat untuk tidak
bicara jelek seperti itu.
"Kau marah-marah tak keruan, ada apakah sebenarnya?"
tanya orang itu heran. Pertanyaan ini terasa sebagai teguran. Dan pemuda itu
akhirnya menunduk malu. Dia sadar, tak seharusnya uring-
uringan mendengar berita ini. Apa hak dia mencela
peristiwa ini" Kalau pun punya, dia hanyalah berhak untuk merasa
heran. Memang, siapa tidak heran. Kemarin pagi Nyi
Santimi masih mengatakan kepadanya, bahwa dia sebal
terhadap pemuda itu karena sering menggodanya. Pemuda
itu pun katanya angkuh dan sombong, hanya karena
ayahnya seorang juragan ladang yang luas tanahnya. Tapi,
aneh sekali, mengapa hari ini ada upacara pinang-
meminang" Heran, bukankah kemarin siang sudah ada janji
dengannya untuk sama-sama nonton pertunjukan pantun"
Mengapa secara diam-diam gadis itu membatalkan
rencananya" Semua pertanyaan yang ada dalam benaknya
ini hanya menimbulkan kebingungan belaka. Dan Ginggi
mengeluhpendek dibuatnya. Dia hanya bisa duduk
termenung. Sikut di atas lutut dan tangan memijit-mijit
jidat. Begitu yang dilakukannya sambil bersandar di tiang
rumah yang ada di sisi beranda. Sesekali dia menoleh ke
pintu ruangan tengah. Tapi pintu sejak tadi tertutup rapat.
Kata orang itu, di dalam rumah orang tengah sibuk
berbenah, termasuk memolek-molekkan Nyi Santimi agar
hari itu kelihatan lebih manis dan lebih cantik dari
biasanya. Lelaki setengah baya yang merupakan satu-satunya yang
ada di ruangan depan ini, sebentar pergi ke bagian samping
rumah. Sebentar kemudian sudah membawa sapu ijuk, dua
batang, satu diberikannya kepada Ginggi. "Kau tolong
bantu aku menyapu. Halaman ini nampaknya belum bersih
benar," katanya. Langsung menyapu lantai tepas. Sambil
pikiran melayang entah kemana, Ginggi ikut menyapu
lantai tepas. Namun baru satu dua kali dia menggoyangkan sapu,
pintu ruangan dibuka orang. Ginggi berhenti menyapu dan
cepat menoleh ke arah sana. Tapi yang keluar bukan Nyi
Santimi, melainkan Rama Dongdo. Dia berpakaian rapih.
Baju kampret putih, ikat kepala batik jenispupunjungan,
serta ke bawah kain polekat, Melihat Ginggi tengah
menyapu, orang tua itu berseri wajahnya.
"Wah, syukur sekali anak muda. Aku mencari kau,
lantaran butuh tenagamu bantu-bantu di dapur. Hari ini ada
kebahagiaan mendadak. Cucuku sudah menemukan jalan
hidupnya. Dia dipinang orang," kata Rama Dongdo ceria.
Ginggi hanya mengangguk dan tersenyum. Terus
menyapu kendati gerakannya tak beraturan.
"Memang serba mendadak. Tadi malam keluarga anak
muda itu datang meminang. Pagi ini rencananya akan
meresmikan pinangan itu," kata pula Rama Dongdo.
Ginggi tak menyambutnya dengan kata-kata.
Sampai pada suatu saat, ada orang yang menyuruhnya
agar dia ikut bantu di dapur sebab banyak kayu bakar yang
belum dibelah. Celaka aku, pikirnya. Dia terperangkap oleh
kesanggupannya sendiri, sebab kemarin pagi dengan
bersemangat Ginggi menawarkan jasa untuk bantu-bantu di
rumah ini. Ya, dia mau bekerja di rumah ini tapi bukan untuk
melihat Nyi santimi dilamar orang, apalagi dilamar oleh
pemuda yang pernah berkelahi dengannya.
Ah, betapa anak itu membusungkan dada dengan
congkaknya karena kemenangan ini!
Tapi Ginggi akhirnya pergi juga ke dapur. Jalannya
memutar ke samping. Bukan untuk mengharapkan
pekerjaan kasar itu, tapi untuk menunggu kalau-kalau dia
bertemu muka dengan gadis itu.
Sialan anak perempuan bau kencur itu! Aku akan
memarahinya, gertak Ginggi dalam hatinya. Dasar
perempuan kecil! Seenaknya saja melanggar janji!
Umpatan di hatinya terus berlanjut sampai dia tiba di
ruangan belakang. Tapi sayang, Nyi Santimi tak ada disana.
Ya, mana mungkin berada di dapur, sebab pagi ini dia
tengah didandani juru rias. Pasti dia elok, pasti dia cantik!
Tapi, untuk siapa kecantikannya itu" Bah, bukan untuk
diriku! Prak, prak, prak! Ginggi melampiaskan kekesalan
hatinya dengan membelah kayu-kayu bakar cepat sekali.
Kayu bakar ukuran besar-besar dalam sekejap sudah
menjadi potongan-potongan kecil beraturan, amat
mengherankan orang-orang di dapur sebab secepat itu dia
bekerja. Sudah itu Ginggi duduk di sudut dapur dengan nafas
pendek-pendek. Bukan kecapaian karena membelah kayu,
melainkan karena hati yang gundah itulah.
Sampai pada suatu saat, rombongan tamu yang ditunggu
tiba sudah. Jumlahnya terbatas saja. Ada sepasang lelaki
dan perempuan usia sekitar lima puluhan, gagah
berwibawa. Yang lelaki berkumis tipis berjenggot tipis.
Penutup kepalanya dari bendo citak batik rereng. Memakai
baju salontreng putih berkain poleng hitam dengan ikat
pinggang tebal dari kulit. Yang wanita berkebaya ungu tua,
berkain batik dan berselendang putih. Sudah tua namun
nampak cantik karena berkulit kuning halus. Yang
membuat hati Ginggi terasa terbakar adalah pemuda
tampan dengan sunggingan bibir angkuh itulah. Ya, siapa
lagi kalau bukan Si Seta! Dia memakai baju kampret
berkancing. Hari ini dia pun menggunakan bendo citak.
Memang tampan, kalau saja tak ada jendol di jidatnya.
Madi sahabatnya, dengan gigi tonghornya mengawal Si
Tampan angkuh itu sampai ke muka beranda. Mereka
disambut ceria oleh Rama Dongdo, yang hari itu ditemani
seorang wanita tua entah siapa.
Kata Rama Dongdo dalam sambutannya, ini suatu
upacara yang amat sederhana sebab semuanya dilakukan
dengan amat mendadak. "Jadi, bila kami sebagai tuan rumah kurang hangat
dalam sambutan, harap maklum," katanya.
"Kamilah yang bersalah, melakukan sesuatu serba
terburu-buru," jawab lelaki setengah baya berkumis tipis
sambil bersila tegak. "Namun yang penting dalam
Senja Jatuh Di Pajajaran Karya Aan Merdeka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kesemuanya ini, bukan kemeriahan yang diharap,
melainkan keselamatanlah," katanya lagi.
Mereka berbasa-basi secara panjang lebar, sampai pada
suatu saat, Rama Dongdo memanggil Nyi Santimi keluar
dari kamarnya. Semua orang ikut mendekati ruangan tengah, tidak
terkecuali petugas-petugas yang di dapur. Ginggi juga ikut
hadir di ruangan tengah. Semua mata tak berkedip melihat sebuah tubuh kecil
semampai keluar dari sebuah kamar. Nyi Santimi pagi itu
nampak anggun. Dengan rambut tergelung rapi, kulit halus
terpoles bedak, betapa cantiknya dia. Lesung pipitnya yang
alamiah dan menawan, kian memikat penglihatan siapa
pun sesudah diperindah dengan hiasan tahi lalat palsu pada
ujung dagunya. Hanya saja tubuh semampai berkebaya nila
dengan sedikit hiasan di dada kiri itu amat mengherankan
semua orang. Mengapa wajah manis tiada tanding itu
nampak muram dan tak bercahaya"
"Inilah cucuku yang bodoh dan tak punya kepandaian
apapun itu, Ki Silah (saudara). Kalau kalian hendak
mengejeknya, ejeklah sekarang juga. Kalau kalian hendak
menampiknya, tampiklah sekarang juga," kata Rama
Dongdo berbasa-basi. Tidak seorang pun yang menuruti
"permintaan" tuan rumah, bahkan yang terjadi sebaliknya.
Seta menatap tak berkedip dan Madi mulutnya menganga
sehingga gigi tonghornya kian meloncat keluar.
(O-anikz-O) Jilid 05 Ginggi menatap wajah muram itu dengan penuh
pertanyaan di kalbunya. Si Santimi ini gadis dungu. Dia
seperti punya kesedihan besar menghadapi kejadian ini, tapi
mengapa peristiwa terus berlangsung" Tidakkah dia punya
kekuatan untuk menolaknya"
Menolaknya" Dari mana Ginggi tahu bahwa Nyi
Santimi tak suka dijodohkan dengan pemuda Seta" Dari
mana pula awalnya Ginggi punya perkiraan bahwa Nyi
Santimi menyenanginya, memberi harapan padanya atau
menjanjikan sesuatu padanya"
Cih, tak tahu malu! Dan plak! Ginggi menempeleng
pipinya sendiri sampai matang biru, sampai orang-orang
sekelilingnya melihatnya dengan heran. Nyi Santimi juga
melirik ke samping karena bunyi "plak" itu dan nampak
wajahnya pucat-pasi setelah tahu siapa orang yang tiba-tiba
menempeleng wajahnya sendiri itu. Mereka saling tatap.
Ginggi menatap tajam dengan penuh tanda-tanya dan Nyi
Santimi menatap redup dengan wajah seolah-olah minta
dikasihani dan dimengerti duduk persoalannya. Tapi Ginggi
tak mengerti apa yang sebenarmya tengah berlangsung.
Hanya saja dia merasa kaget manakala diasaksikan, betapa
akhirnya gadis yang kini pucat-pasi itu menguraikan air
mata. Dia menangis sesenggukan, menjatuhkan badannya
dan tersuruk di lantai kayu.
Sudah barang tentu semua orang jadi panik. Para wanita
menjerit, kaum lelaki berseru heran, tidak pula Ginggi.
Pemuda Seta mendelik geram ke arah Ginggi. Mungkin dia
menduga, kejadian ini karena kehadiran pemuda dungu itu.
Sebelum suasana semakin tidak menentu, Ginggi sendiri
sudah menjauhkan diri dari tempat itu. Dia pergi keluar,
berjalan cepat. Bahkan langkahnya meloncat-loncat.
Setengah berlari dia menghambur ke arah lawang kori.
Pergi keluar kampung, pergi entah kemana. Yang penting
menjauhi rumah Rama Dongdo!
Tiba di sebuah hutan kecil perbukitan di luar desa,
pemuda itu menjatuhkan dirinya di bawah pohon rindang.
Matanya pedih, tubuhnya lelah.
Oh, mengapa pula aku ini" Tidakkah bila diketahui Ki
Darma aku akan didamprat habis-habisan" Tempo hari
orang tua itu bicara kepadanya agar berhati-hati
menghadapi wanita. "Wanita itu mahluk lemah. Namun bila kita
serampangan menilainya, dia bisa menghancurkan!" kata
Ki Darma waktu itu. Ginggi tak mengerti, mengapa Ki Darma bisa bicara
begitu. Yang ditakutkan Ginggi ketika itu hanyalah
harimau congkok sebab loncatannya lincah gerakannya
kuat dan cakarannya mematikan. Mengapa wanita yang
lemah-lembut bisa mematikan"
Sekarang sesudah teralami saja, baru dia tahu, apa arti
kehancuran yang diakibatkan wanita!
"Sialan! Ada apa dalam hatiku ini, sehingga menghadapi
peristiwa begini, badanku seperti tercabik-cabik harimau
ganas?" keluhnya sendirian. Dia berguling-guling di tanah.
Dicabik-cabiknya rambutnya sehingga ikat kepalanya lepas
dan rambutnya awut-awutan.
Ginggi mengatupkan matanya rapat-rapat. Menahan
nafas dalam-dalam. Dia mencoba melupakan gadis itu.
Tapi semakin dia tolak, semakin meloncat ke arahnya. Ya,
bayangan gadis itu. Lesung pipitnya, bibir tipisnya dan
sudut matanya yang tajam hitam dengan bola mata
berbinar. Ah, betapa terbayang mata itu mendadak sayu,
wajah itu mendadak muram, manakala dia menatap dan
mempertanyakan, mengapa berbuat kejam mengingkari
janji. "Tunggulah aku di sekitar panggung pertunjukan pantun,
Kang!" itulah janji gadis itu yang tak ditepatinya. Ya, hanya
itu. Tapi, Benarkah Nyi Santimi merasa berdosa karena
janjinya ini" Benarkah hanya karena tak menepati urusan
sepele itu, Nyi Santimi perlu menangis, bermata sayu,
berwajah muram dan sampai tersuruk di atas lantai"
Benarkah hanya sekadar itu"
Ginggi serentak bangun. Kalau hanya urusan janji sepele
itu, mengapa gadis itu perlu merundunginya dengan
kesedihan" Masa di mana gadis dipinang lelaki adalah masa
yang seharusnya disambut rasa syukur dan tawa bahagia.
Mengapa Nyi Santimi menyambutnya dengan muka yang
pucat-pasi dan apalagi sesudah bertemu pandang
dengannya" "Nyi Santimi, tidakkah ini"." guman Ginggi sambil
merenung dalam. Ah, tidak! Keluhnya sambil
menggelengkan kepala. Kalau pun benar ada perasaan yang
sama dengan gadis itu, percuma meladeninya. Ya, untuk
apa aku mengejar gadis yang sudah diikat janji oleh pemuda
lain, pikirnya. Ginggi merenung lagi. Dia mengingat-ingat pertemuan
singkat antara dia dengan gadis itu. Apa yang menjadi
ukuran bahwa antara dia dengan gadis itu ada semacam
ikatan" Karena gadis itu mau mencucikan pakaian
kotornya" Karena sikap ugal-ugalan dirinya, atau karena
matanya yang jelalatan melihat kemolekan tubuh wanita
seperti apa yang ditudingkan gadis itu kepadanya kemarin
pagi" Tak ada tanda-tanda pertemuan hati. Percuma aku
mengingatnya, pikirnya lagi bolak-balik.
Dan karena kecapaian, kurang tidur serta banyak
berpikir, akhirnya Ginggi meloso begitu saja di bawah
pohon. Ditemani suara burung di dahan, hembusan angi
bukit dan matahari dari sela-sela dedaunan, pemuda itu
tertidur pulas lama sekali. Entah berapa lama dia tertidur
padahal ditemani mimpi-mimpi buruk. Yang jelas, ketika
tersadar dari tidurnya, udara di sekitarnya terasa dingin,
sambil mata masih terkatup dia meraba tanah tempat
tubuhnya tergeletak. Tanah itu terasa lembab dan dingin,
selembar daun yang jatuh di sana, ketika dirabanya terasa
basah oleh embun. Ginggi membuka matanya, namun gelap sekeliling.
Kecuali sesudah matanya terbiasa dengan keadaan
sekeliling. Ginggi menatap ke atas. Melalui sela-sela
dedaunan, ada langit jernih dengan bintang-gemintang. Oh
ya! Barangkali sebentar lagi akan ada bulan. Kalau tak salah
menghitung, malam ini hari ke limabelas perjalanan bulan.
Artinya, masih tersisa bulan benderang.
Setiap melihat bulan terang benderang, Ginggi jadi ingat
kembali Ki Darma. Lelaki tua itu bukan saudara, apalagi
orang tua. Tak nampak kasih sayangnya, kecuali selalu
memerintahkannya untuk berlatih keras ilmu kedigjayaan.
Tapi bila dibandingkan dengan hari-hari terakhir ini, itulah
hidup yang penuh bahagia. Kebahagiaan dirinya
sebenarnya terasa ketika bersama Ki Darma. Bersama
orang tua itu di puncak cakrabuana, sebenarnya tak pernah
terjadi pertentangan hati atau kemelut batin. Tidak juga
bertemu dengan segala macam percecokan. Kalaupun ada
terjadi persilangan pendapat, itu semua hanya berupa
persilangan pendapat kosong melompong semata. Sebab
kendati sering memperkarakan masalah hidup, namun
hidup yang sebenarnya terjadi adalah kehidupan mereka
berdua dengan berbagai permasalahan berdua, Tak ada
yang perlu dipercekcokan sebab hanya ditanggani berdua
saja. Sekarang, baru satu dua hari saja bertemu dengan
manusia lain, kemelut dan percekcokan sudah terjadi.
Pertemuan pertama dengan Ki Ogel dan Ki Banen diawali
dengan kemelut kecil yang hampir-hampir menciptakan
perkelahian. Melihat Ki Kuwu Suntara yang sombong dan
jumawa, serta menyaksikan keangkuhan pemuda Seta dan
Madi, membuat dirinya tak senang, padahal selama
bersama Ki Darma, Ginggi tidak pernah menilai orang lain
dengan ukuran senang dan tidak senang.
"Apakah tak sebaiknya aku kembali lagi ke puncak?"
pikirnya. Tak mungkin, keluhnya lagi. Kalau aku kembali,
hanya akan mengesalkan Ki Darma saja. Padahal hampir
sepuluh tahun dia memerintahkan aku berlatih kedigjayaan,
karena dia punya kehendak yang harus aku laksanakan
sebaik mungkin. "Ah, Ki Darma, mengapa kau paksa aku untuk
melakukan perjalanan ini?" keluhnya sendirian.
(O-anikz-O) Cinta di Cahaya Rembulan Karena tanah dimana dia duduk terasa dingin dan
lembab, pemuda itu segera berdiri. Entah apa yang akan
diperbuatnya, tetapi perutnya dirasa perih sekali. Ginggi
ingat, sejak pagi bahkan malam hari kemarin, dia belum
makan apa pun. Huh, karena urusan ini aku sampai
melupakan perutku, keluhnya dalam hati.
Ginggi mencoba menyeruak-nyeruak di hutan kecil di
perbukitan kampung ini. Tapi hutan ini memang terlalu
kecil. Sekali pun banyak rimbunan pohon dan semak,
rupanya sudah tak ada binatang buruan di sana. Apalagi
hutan kecil ini dekat kampung. Di mana pun, hutan yang
sudah banyak disibak orang, jarang dihuni binatang buruan.
Tak mendapatkan apa yang dicarinya, Ginggi akhirnya
kelayaban ke mana saja kaki membawa. Dan akhirnya tak
sengaja kakinya membawa ke sebuah tempat di mana air
pancuran terdengar keras menimpa batu.
Ginggi jadi terkenang lagi peristiwa dua hari lalu. Di
sinilah pertemuan pertama hati dua insan ini, barangkali
pikir Ginggi. Ya, barangkali di sini. Sebab di sinilah Ginggi
benar-benar meneliti keelokan gadis semampai berkulit
kuning dan berambut tergerai sebatas pinggul ini.
Kalau saja malam ini dia berada di sini, keluhnya.
Ya, tapi ini lebih berupa keluhan ketimbang harapan.
Amat mustahil meminta keajaiban seperti ini. Yang terjadi
sebenarnya, barangkali gadis itu tengah tidur dengan damai,
atau melamunkan rencana-rencana perjalanan hidupnya
bila kelak sudah mengarungi perkawinan dengan pemuda
Seta. Hatinya kembali gundah bila mengingat hal-hal seperti
ini. Dan untuk menjauhkan jalan pikiran itu, dia segera
meninggalkan tempat itu, melangkah entah kemana.
Sampai pada suatu saat, langkahnya terhenti sebab dari
arah berlawanan sayup-sayup terdengar suara berkeresekan.
Suaraini sepertinya ranting dan daun kering terinjak kaki.
Pasti ada orang berjalan di depannya.
Ginggi berhenti melangkah, bahkan bersembunyi di balik
rimbunan pohon. Karena bulan sudah menampakkan diri
dari balik bukit sebelah timur, pemuda itu bisa dengan jelas
melihatnya yang datang. Benar saja, yang datang adalah
manusia. Dia nampaknya seorang lelaki, datang dari arah
kampung. Tapi, apa yang tengah dibawa" Lelaki itu
nampak memondong sesuatu. Memondong wanita" Ya,
terlihat kain kebayanya. Juga terlihat rambutnya yang
tergerai. Mau apa malam-malam keluar kampung
berduaan. Pasti pasangan yang tidak syah akan berbuat
mesum di tempat sunyi. Kalau mereka suami-istri tak
mungkin berbuat seperti itu.
Tapi, perempuan yang digendongnya seperti tak berdaya.
Tampak kepalanya terkulai, kedua tangannya pun
tergantung. Perempuan di atas pondongan lelaki itu sedang
tidur" Atau sedang tak sadar, pingsan"
Ginggi menjadi curiga. Kalau mereka datang dari
kampung, bagaimana bisa, bukankah pintulawang kori
(gerbang kampung) tertutup di malam hari"
Karena rasa curiga ini, Ginggi mengendap dan mengikuti
ke mana orang misterius ini membawa pondongannya.
Tak sulit untuk mengikutinya, sebab cahaya bulan di atas
punggung bukit cukup memberi penerangan. Dan dengan
menggunakan ilmu yang diberikan Ki Darma, dia bisa
berjalan berindap tanpa menimbulkan suara, persis seperti
harimau mengintip mangsa. Namun Ginggi pun bisa
menduga, orang yang dicurigainya ini sedikitnya memiliki
kepandaian. Ini terlihat dari caranya berjalan. Kendati pun
sambil memondong tubuh, langkahnya nampak ringan dan
mantap. Dia pun sanggup meloncat dari tonjolan batu yang
satu ke tonjolan batu yang lain tanpa risih akan terjatuh.
Pemuda itu jadi teringat kembali ucapan Ki Darma,
bahwa harus hati-hati memasuki Desa Cae sebab banyak
orang pandai. Kata gurunya, wilayah Kerajaan Talaga sejak
dulu banyak dihuni orang-orang digjaya. Sebelum jatuh ke
wilayah Cirebon, Kerajaan ini sering melakukan
peperangan. Banyak orang dari Talaga pandai berkelahi.
Mungkin orang ini dari Kampung Cae dan pandai
Senja Jatuh Di Pajajaran Karya Aan Merdeka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berkelahi. Tapi siapa dia" Yang ditemuinya baru Ki Ogel,
Ki Banen, dua pemuda Seta dan Madi saja lelaki beringas di
tempat itu. Tapi semuanya hanya memiliki ilmu pasaran
saja. Untuk meyakinkan siapa dia dan apa keperluannya
membawa wanita pingsan ke dalam hutan, Ginggi terus
mengikutinya. Ternyata lelaki itu membawa pondongannya
ke sebuah mulut gua di punggung bukit bercadas. Gua ini
bukan tempat rahasia. Letaknya tidak tersembunyi dan ada
bekas-bekas batu cadas yang digali orang. Tapi tentu saja
bila malam hari, tempat ini bisa digunakan untuk
melakukan hal-hal yang dikerjakan secara diam-diam.
Ginggi bisa menduga, orang ini pergi malam-malam
kesini karena akan melakukan sesuatu yang tak ingin orang
lain tahu. Sekarang orang misterius itu sudah memasuki gua.
Ginggi bertidak hati-hati untuk mendekatinya.
Di dalam gua pasti gelap gulita tapi di luar cahaya bulan
menerangi alam sekitarnya. Ginggi harus bisa bersembunyi
di tempat yang tak mungkin terlihat dari dalam.
Kebetulan di mulut gua banyak tonjolan batu cadas.
Pemuda itu bisa menyelinap dan berlindung di sana. Orang
yang sedang melakukan sesuatu, biasanya pikirannya
terpusat pada sesuatu yang dikerjakannya saja, apalagi bila
pekerjaannya itu ingin cepat-cepat diselesaikannya.
Dan Ginggi memanfaatkan perkiraannya itu. Orang yang
ingin meyelesaikan sesuatu dengan terburu-buru, diharap
tidak memperhatikan sekelilingnya.
Dan benar perkiraannya. Orang misterius itu hanya
memperhatikan apa yang dia pondong saja. Wanita pingsan
itu dia telentangkan di atas tanah sudut gua. Pelan-pelan dia
melakukan sesuatu. Dan ini amat mengejutkan, sekaligus
membuat darah pemuda itu mendidih menahan marah.
Betapa tidak sebab orang misterius itu rupanya hendak
berbuat tak senonoh terhadap wanita pingsan itu. Dia
mencoba menarik-narik dan membuka kain yang membelit
tuguh wanita itu. Menggerayangi segala macam yang ada di
tubuh wanita itu. Dia juga menciumi sekujur tubuh
terbaring itu. Kian lama ciumannya kian ganas dan panas,
sampai pada suatu saat terdengar keluhan pendek dari
wanita tersebut. Mungkin baru sadar apa yang terjadi pada dirinya,
wanita yang masih telentang itu mendadak menjerit tapi
mendadak berhenti karena mulutnya dibekap orang jahat
itu. Sekarang seperti terjadi pergumulan di sana. Yang satu
tertahan di bawah yang satu menyerang di atas.
Kalau saja kejadian itu dilakukan suka sama suka,
Ginggi tak akan peduli dengan semuanya. Tapi ini nyata-
nyata pemaksaan dan penganiayaan dan Ginggi tak senang
dengan itu. Bahkan menurut Ki Darma pun, dengan
kemampuan yang ada dia harus membela orang tertekan.
Wanita lemah itu jelas-jelas mendapat tekanan dari nafsu
angkara murka. Ingat ini, Ginggi harus mengambil keputusan. Dia keluar
dari persembunyiannya, membuat kuda-kuda dan segera
kakinya menotol tanah. Tubuh Ginggi melesat bagai
loncatan harimau kumbang. Bedanya, harima kumbang
meloncat dengan tubuh lurus cakar ke depan, pemuda ini
melayang sambil jumpalitan, kedua tangan bersilang di
depan wajah. Tapi lelaki jahat itu benar-benar mempunyai naluri yang
kuat. Gerakan jumpalitan yang dilakukan Ginggi terkontrol
oleh indranya. Terbukti, ketika tubuh Ginggi melayang
tepat di atasnya, wajah orang itu menoleh cepat.
Melihat bahaya mengancam, dia pun segera beringsut
dan mencoba untuk berdiri. Namun upayanya ini sudah
terlambat sebab serangan Ginggi jauh lebih cepat. Telapak
tangan Ginggi yang dibuka lebar secepat kilat mendorong
ke depan. Plak! Jidat si culas terkena dorongan kuat telapak
tangan. Begitu kuatnya dorongan tangan itu, sehingga
kepala orang itu seperti terlontar ke belakang dan tubuhnya
ikut melonjak membentur dinding gua.
Ginggi sementara masih jumpalitan untuk mencoba
menahan terjangannya. Sebab kalau tak melakukan salto,
tubuhnya sendiri akan ikut menerjang dinding. Jumpalitan
beberapa kali dan ujung kakinya menotol dinding.
Badannya kembali arah sebab kaki menotol dinding. Begitu
jatuh di atas tanah, dengan sepasang kaki terpentang lebar,
pemuda itu sudah melihat si culas terkulai di sudut gua.
Si wanita yang merasa nasibnya lolos dari kehinaan,
segera berdiri namun dengan gerakan kaku sebab semua
pakaiannya hampir tanggal. Untung saja suasana di dalam
gua amat remang-remang sebab cahaya bulan tak bisa
masuk ke sana. "Mari keluar dari sini!" ajak Ginggi menggandeng bahu
wanita itu. Tapi mendengar suara Ginggi, sejenak wanita itu diam.
Dia menoleh ke arah pemuda itu dan mencoba meneliti
wajahnya. "Kang " " gumamnya ragu-ragu.
Ginggi heran sebentar. Namun pada akhirnya dia
terkejut setengah mati. Tergopoh-gopoh dia menggandeng
bahu wanita itu, dibawanya keluar gua, dimana cahaya
bulan sanggup menerangi keadaan.
"Nyi Santimi ?"" teriak Ginggi kaget. Nyi Santimi pun
kaget dan terkejut melihat pemuda ini. Kemudian tubuhnya
limbung. Dan kalau Ginggi tak segera menangkapnya,
tubuh semampai itu pasti sudah jatuh terjerembab ke
tumpukan batu cadas. Pemuda ini segera memondong tubuh Nyi Santimi.
Dibawanya menjauhi mulut gua. Melalui jalan setapak,
masuk lagi ke hutan kecil perbukitan.
Dia hanya memondong pelan saja, tidak berlari seperti si
laknat itu. Karena bulan terang benderang, Ginggi sambil
melangkah bisa menatap wajah gadis itu yang mendongak
dan bergoyang seperti mengangguk-angguk karena
goncangan langkahnya. Wajah Nyi Santimi nampak
kelelahan, pucat dan berkeringat. Mungkin karena peristiwa
hebat yang baru saja menimpanya, atau mungkin juga lelah
karena peristiwa demi peristiwa mendera hidupnya
belakangan ini. Namun yang jelas, raut muka gadis ini apa
pun yang terjadi, masih nampak elok dan cantik. Sudah tak
nampak pupur penutup wajah yang dipakainya tadi siang
manakala dipinang orang. Juga pemerah bibirnya, dan tahi
lalat palsunya di sudut dagu, semua sudah hilang. Yang sisa
kini, hanyalah kecantikan alamiahnya. Tapi itulah
kecantikan asli yang terdapat pada raut Nyi Santimi. Gadis
itu sudah memiliki kecantikan asli yang lebih mempesona
ketimbang segala macam polesan.
Dalam kelelahan wajahnya, Nyi Santimi seperti terbuai
dalam tidurnya. Ingin Ginggi mengusap-usap pipi yang
putih dan halus itu dengan penuh kasih. Ingin dia mencawil
dagu yang runcing itu, bibir tipis yang merekah itu.
Ah, kalau saja dia bukan milik orang lain, keluhnya.
Harapan dan khayalan pemuda itu rupanya terlalu keras
keluar dari lubuk hatinya, menyebabkan naluri gadis di
pangkuannya ikut tersentuh. Buktinya, mata sayu berbulu
lentik itu sedikit-sedikit terbuka, bahkan akhirnya menatap
lemah ke arah wajah pemuda yang memangkunya.
Lama gadis itu menatapnya, sehingga sambil melangkah
pelan, keduanya saling tatap. Barangkali tak akan berhenti
kalau saja kaki pemuda itu tidak tersandung akar-akaran.
"Kang, turunkan aku?" kata gadis itu sedikit malu.
Ginggi segera menurunkan tubuh semampai itu dengan
perasaan enggan, sebab keinginannya, bisa memondong
tubuh molek itu selama-lamanya, sejauh-jauhnya sampai
berakhir ke ujung dunia. Nyi Santimi memilih jalan sendiri saja. Tapi baru satu
dua langkah saja dia telah limbung lagi dan segera dipeluk
pemuda itu lagi. "Kita istirahat saja dulu di bawah pohon itu," ajak
Ginggi dan Nyi Santimi setuju.
Gadis itu digandengnya menuju sebuah pohon rindang.
Mereka kemudian duduk di sana. Nyi Santimi bersandar di
batang pohon dan Ginggi bersila di hadapannya.
"Ceritakanlah, mengapa sampai terjadi hal hebat seperti
ini, Nyai?" kata Ginggi setelah beberapa lama beristirahat.
Nyai Santimi menunduk, menutup matanya dengan
kedua belah tangannya. Diingatkan kembali akan peristiwa
hebat itu, perasaanya mungkin tergoncang lagi.
"Entahlah, aku sendiri tidak tahu bagaimana awal
mulanya?" gumamnya hampir seperti berbisik.
Gagap dan terbata-bata, gadis itu hanya mengatakan,
bahwa ketika itu, kendati malam belum larut benar tapi seisi
rumah seperti diserang kantuk yang hebat. Rama Dongdo
yang biasanya selalu tidur larut malam karena sepanjang
senja hingga malam selalu membaca doa-doa, malam itu
sudah tertidur pulas. "Kepala rasanya pusing, mata terkatup rapat, susah
untuk dibuka. Kami semua tertidur pulas," kata Nyi
Santimi. "Aku akhirnya tak sadar apa yang terjadi
selanjutnya," katanya lagi.
"Tapi antara sadar dan tidak, aku merasakan bahwa
tubuhku ada yang memondong, melayang, entah dibawa
kemana. Ada angin dingin menerpa wajah. Ujung kebaya
pun seperti bergerak-gerak kena tiupan angin. Aku mencoba
membuka mata yang selalu terkatup rapat. Samar-samar
terlihat pucuk pepohonan seperti berlari cepat, badan pun
terguncang-guncang," kata pula Nyi Santimi.
"Kau pasti sedang dipondong orang. Mungkin si laknat
itu. Siapa dia, Nyai?" kata Ginggi.
"Aku tidak tahu, siapa dia. Tapi sayup-sayup ada
terdengar kekeh tawanya. Serasa pernah mendengar tawa
begitu di sini," kata Nyi Santimi setengah mengingat-ingat.
"Ya, pasti dia orang sini. Sudah hafal suasana di sini dan
dia orang pandai," gumam Ginggi.
Saling berdiam beberapa lama.
Bulan kian benderang. "Kang ?" "Apa, Nyai ?""
"Cantikkah wajahku?" kata Nyi Santimi menatap
pemuda itu. Bulan benderang menyinari wajah putih bersih itu,
menyinari mata berbinar itu, mulut tipis merah merekah itu
dan menyinari pipi berlesung pipit itu. Masih tak sadarkah
gadis ini bahwa tubuh molek ramping berisi dan rambut
hitam legam sebatas pinggul itu adalah tanda kecantikan
seorang makhluk bernama perempuan"
"Kalau bulan berkata punya wajah benderang, tak boleh
sombong sebab bakal ada yang mengalahkannya. Kalau
bintang gemintang mengaku punya sinar berbinar, tak boleh
menepuk dada, sebab ada yang berbinar lebih dari itu.
Benderangnya bulan pasti kalah dengan benderangnya
wajah putih halusmu, binarnya bintang pun tak sanggup
melampaui cemerlangnya bola matamu," kata Ginggi
mendadak lancar membuat siloka,
"Kau dewi dari kahyangan. Kau cantik, Nyai?"
lanjutnya menatap tajam dalam-dalam. Tapi Ginggi
kecewa, pujian setinggi langit tak disambut keceriaan wajah
gadis itu. Dia malah nampak murung dan susah.
"Orang cantik sebetulnya malang, Kakang. Dia banyak
penderitaan?" gumam gadis itu menunduk lesu.
Ginggi terkekeh merasa lucu mendengarnya. Nyi
Santimi hanya menunduk dan tak menoleh mendengar
Ginggi terkekeh. "Keindahan itu didambakan setiap orang. Tapi mengapa
kau katakan sebuah derita?" tanya Ginggi, tetap menatap
wajah sendu itu. "Katanya aku tercantik di desa ini. Orang menyebutnya
Kembang Desa Cae. Tapi itulah masalahnya. Aku banyak
dikejar dan diperebutkan lelaki di sini, tapi juga banyak
dibenci dan diiri sesama gadis. Dan itu masalah untukku,
Kakang." "Wajar mereka berlaku begitu," gumam Ginggi.
"Orang terkadang berkelahi karena aku," kata gadis itu
lagi dan membuat Ginggi tersipu. Dia jadi ingat peristiwa
tempo hari di tepi pancuran itu. Pemuda Seta dan Madi
uring-uringan bukan sekadar menudingnya mengintip orang
mandi tetapi karena rasa cemburu itulah. Mereka takut aku
ikut persaingan, pikir Ginggi.
"Tapi begitu banyaknya lelaki yang memperebutkanmu,
sebetulnya bukan urusanmu, sebab kau punya pilihan
sendiri, bukan?" kata Ginggi. Dan pemuda iti ingat Seta.
Ingin dia tanyakan, apakah gadis itu memilih pemuda
angkuh itu" "Aku tak pernah berpikir untuk mencari pilihan?" kata
gadis itu. "Tapi, Setamu itu?""
Nyi Santimi menunduk. Kemudian satu-persatu ada
butiran air mata meleleh di pipinya.
"Kau pasti marah melihat peristiwa tadi pagi. Kau juga
marah aku tak menepati janji, padahal kita akan bertemu di
tempat pertunjukan pantun," kata Nyi Santimi.
Ginggi mencoba untuk pura-pura tak memperhatikan
dengan khusus omongan ini. Padahal sejak kemarin malam
pertanyaan ini bergayut terus di benaknya.
"Aku tersiksa malam itu, kubayangkan, kau
menungguku, kau lelah dan kau kesal karena akhirnya aku
tak datang. Aku tak bisa keluar malam itu," kata Nyi
Santimi. Ginggi masih memandang ke arah lain.
"Rama Dongdo mengabarkan padaku, bahwa secara
mendadak Ki Aspahar akan datang besok pagi."
"Siapa itu Ki Aspahar?"
"Dia ayah Seta. Datang meminangku buat kepentingan
Seta. Pinangannya datang secara mendadak, sebab Rama
Dongdo yang meminta. Rama khawatir setelah melihat
kedatangan Suji Angkara. Suji Angkara adalah pemuda
putra Ki Kuwu Suntara. Pemuda itu sering mengembara.
Senja Jatuh Di Pajajaran Karya Aan Merdeka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Hanya tiga atau empat bulan sekali dia pulang ke desa
sambil membawa kekayaan melimpah. Katanya dia
berniaga, saling tukar-menukar barang dengan saudagar
bangsa asing," kata Nyi Santimi.
"Apa hubungannya dengan urusan pinangan?" tanya
Ginggi heran. "Entahlah. Tapi Rama sebenarnya tak senang kepada
pemuda itu. Hampir sama, Rama pun tak senang kepada
ayahnya. Ki Kuwu pernah berkata kepada Ki Banen, bahwa
Rama mencurigai sesuatu kepada pemuda itu. Soal apa,
beliau tak mengungkapkannya," kata Nyi Santimi.
"Menurutmu, pemuda bernama Suji Angkara itu seperti
apa?" tanya Ginggi. "Entahlah aku kurang bisa meneliti sikap orang. Di
hadapan orang banyak, dia memperlihatkan sebagai orang
yang menjaga kehormatan. Halus tutur katanya, sopan
kepada semua orang. Tapi dua kali aku pernah bertemu
secara khusus dengannya. Sorot matanya tajam
menggerayangi. Bibirnya selalu terkatup dan terkadang
digigit-gigitnya sendiri bila tengah menatapku. Dia tampan
sebab suka mengenakan baju bagus. Tapi aku takut
terhadapnya. Entah mengapa, padahal dia tak pernah
ganggu aku," kata gadis itu.
Berdiam diri beberapa lama. Bulan nampak berjalan
melewati taburan awan. "Keteranganmu belum tuntas, Nyai?" kata Ginggi.
"Soal apa?" "Soal bagaimana pandanganmu terhadap Seta, calon
suamimu," kata Ginggi.
Nyi Santimi menunduk. "Aku belum ingin menikah dan aku tak mencintai
pemuda itu!" katanya.
"Tapi dia pasti sangat mencintaimu."
"Ya, benar. Dia selalu tak putus asa mengejarku.
Ayahnya petani ladang cukup berada. Punya banyak juru
tengah (pegawai di ladang) dan selalu membantu Rama
dalam menutupi kebutuhan pangan sehari-hari. Kata Rama
sore itu, Ki Aspahar sudah lama membicarakan perihal
keinginan anaknya itu. Kemarin sudah memintanya lagi
sesudah melihat kehadiran Suji Angkara di desa ini," kata
Nyi Santimi. Ginggi termenung mendengar penjelasan ini. Kalau
benar rencana perkawinan ini kurang dikehendaki gadis ini,
maka benar pendapat Nyi Santimi bahwa kecantikan
baginya adalah derita. "Tapi kecantikanmu tak berarti derita bila kau sanggup
menemukan pemuda pilihan, Nyai," kata Ginggi tiba-tiba
sehingga membuat gadis itu terpana mendengarnya.
"Adakah kau cintai seseorang, Nyai?" tanya Ginggi.
Nyi Santimi hanya menunduk, menatap, kemudian
menunduk lagi. Tapi setelah terdengar sedu-sedan yang
ditahan, gadis itu tiba-tiba menubruk tubuh Ginggi dan
membenamkan wajahnya ke dada pemuda itu. Ginggi
mendekapnya, membelai rambutnya dan dia tak bisa
menahan hasratnya lagi untuk mengecup kening gadis itu.
Kini sedu-sedan semakin keras dan tak bisa dibendung.
Gadis itu menangis sejadi-jadinya.
"Nyai " Nyai ..!"
Ginggi mendorong tubuh Nyi Santimi agar kembali bisa
menatap gadis itu. Melalui cahaya bulan kentara sekali air
mata Nyi Santimi meleleh-leleh turun dari pipinya, bening
dan berkilat-kilat. Ginggi menyekanya perlahan-lahan.
Namun ketika tangannya akan ditarik, Nyi Santimi tak
mengizinkannya. Dia malah meremas erat tangan itu,
menciuminya, mendekapnya, dan kembali menciuminya.
"Nyai, Nyai " jangan begitu, Nyai "!" Ginggi gagap
dan sekujur tubuhnya menggigil. Di malam yang sebetulnya
sudah dingin ini, tubuh pemuda itu bahkan berkeringat.
Ada dorongan hawa panas di dalamnya. Di keremangan
cahaya bulan, rambut gadis itu nampak tak beraturan, juga
pakaiannya. Kain kebaya di bagian dada terkoyak-koyak
lubang kancingnya, memperlihatkan bagian dada yang
sebetulnya tak boleh diperlihatkan sembarangan. Namun
kali ini, Nyi Santimi sepertinya tak peduli terhadap
segalanya. Termasuk ketika Ginggi menatapnya dengan
penuh gejolak. Dialah bahkan yang seolah-olah menggoda
dan mempengaruhi agar darah pemuda itu menggelegak.
Dan akhirnya, pertahanan Ginggi bobol. Dia terbenam
ke dalam buih-buih panas yang seharusnya tak pantas dia
terjuni. Bulan mendadak bersembunyi di balik awan tebal, seolah
enggan menyaksikan adegan yang terjadi di bawah pohon
rimbun itu. Namun keengganan sang rembulan ini, bahkan
dianggapnya sebagai pendorong semangat kedua insan itu.
Berpalingnya tatapan sang purnama dari muka bumi,
disangkanya menawarkan keleluasaan bagi mereka berdua
untuk melakukan sesuatu sebebas mungkin.
Ginggi semakin terbenam, keduanya semakin tenggelam.
Sepertinya tak ada kehidupan lain selain keasyik-masyukan
yang tengah mereka lakukan.
Tapi, mata-hati pemuda itu tertutup, kesadarannya tak
berjalan normal, hanya ketika gejolak darahnya mendidih
saja. Ketika api dalam dada telah padam, ketika gerak
denyut nadinya telah menurun, kembali pulanglah
kesadarannya. Pemuda itu tersentak kaget, berjingkat dan duduk agak
menjauh. Cepat-cepat dibenahinya pakaiannya yang tadi
semrawut dan sebagian terlepas begitu saja itu. Nyi Santimi
yang terlena kecapaian, segera ikut bangun dan duduk
membelakangi. Dengan terburu-buru, dia pun segera
membenahi seluruh pakaiannya. Dia tertunduk lama sekali
sambil tetap duduk membelakangi.
Sinar bulan kembali menerangi bumi manakala
gumpalan awan berlalu. Setelah suasana mulai diterangi
bulan, perasaan Ginggi serasa baru bangun dari mimpi.
Oh, hai, mimpi burukkah ini" Ginggi tak
memungkirinya, bahwa baru saja dia berlayar di lautan
kesenangan lahiriah. Sebuah kesenangan yang baru
dirasakannya selama dia menjadi seorang lelaki. Tapi,
benarkah ini sebuah kebahagiaan"
"Nyai " Maafkan aku. Kurasa kelakuanku barusan amat
keterlaluan," gumam pemuda itu perlahan. Melihat gadis
itu duduk membelakangi tak bersuara sepatah kata pun,
Ginggi menduga, Nyi Santimi tersinggung perasaannya.
"Nyai ?" Ginggi mencoba mendekati tubuh gadis itu.
Dipegangnya bahunya. Ditepuk-tepuknya perlahan sekali,
kalau-kalau gadis itu tak mendengarnya.
Nyi Santimi menoleh perlahan. Tangannya meraih
tangan pemuda itu dan disuruhnya memeluknya dari
belakang. "Kang, telapak tanganmu kasar sekali. Kalau bukan
pehuma, kau pasti peladang," kata Nyi Santimi dengan
suara manja. Ah, Nyi Santimi tak marah padaku, kata Ginggi dalam
hatinya tapi sambil menarik tangannya dari cekalan gadis
itu. Ginggi mengusap-usap telapak tangannya sendiri.
Benar, ini kekeliruan Ki Darma, mengapa dia selalu
memaksanya untuk melatih tangan. Mula-mulanya disuruh
bertepuk tangan dengan pengerahan tenaga sepenuhnya.
Selama empat puluh hari empat puluh malam Ginggi
menahan rasa sakit karena kulit telapak tangannya pecah-
pecah. Kemudian selama empat puluh hari empat puluh
malam, kedua telapak tangannya itu dilatihnya memukul
batang kayu, permukaan batu, dan permukaan cadas yang
keras dan kasar. Dari latihan keras ini, Ginggi bisa
memukul hancur benda-benda keras dan meluluh-lantakkan
palang pintu terbuat dari kayu jati. Waktu itu Ginggi
merasaamat beruntung, sebab bila bekerja mencari kayu
bakar di hutan, cukup mengerjakan sepasang tangannya
saja tanpa memerlukan alat-alat tajam seperti golok ataupun
kapak. Tapi, baru kali ini dia merasakan, betapa ruginya
hasil latihan itu. Kedua telapak tangannya menjadi keras
dan kasar dan tak disenangi wanita. Buktinya, tadi Nyi
Santimi meringis dan mengeluh karena remasan tangan
pemuda itu menyakitkan. "Tanganku kasar, juga kelakuanku, Nyai. Tidakkah kau
membenciku?" tanya Ginggi masih meraba-raba tangannya
sendiri. Nyi Santimi tersenyum tipis, manis sekali. Dan untuk
yang kesekian kalinya gadis itu meraih kedua tangan
Ginggi, didekapnya dengan mesra.
"Aku orang jelek, kasar dan buruk, Nyai ?"
"Kalau cinta sudah tergelar, tak ada jelek ataupun buruk
yang terlihat, Kakang. Oh, ya, aku ingin menyebut
namamu, siapakah engkau sebenarnya. Ah, kau lelaki tak
sopan! Dua hari kita berkenalan, tak sekali pun kau sebut
namamu!" kata Nyi Santimi dengan nada masih tetap
manja. Terkejut hati pemuda itu. Ini amat menyadarkan dirinya.
Gadis ini belum kenal namanya karena dia pun tak
berusaha memperkenalkan namanya. Tapi kendati gadis itu
tak mengenal namanya, dia sudah berani menyerahkan
segalanya terhadapnya. Dalam dua hari! Mengapa begitu
berlaku murah" "Nyai " namaku Ginggi. Ini pertama kali aku
mengenalkan nama kepada seseorang, tapi sanggupkah kau
mengenalku sesudah tahu namaku?" tanya pemuda itu.
"Ginggi " Nama yang indah. Nama yang gagah," puji
Nyi Santimi seperti tak mendengar kata-kata selanjutnya
dari pemuda itu. "Ginggi bukan nama yang baik. Itu nama jin jahat yang
menganggap nafsu angkara murka sebagai dewa," kata
pemuda itu. Tapi Nyi Santimi malah tersenyum dengan
deretan giginya yang putih dan rapih.
"Tidak percayakah aku orang jahat, Nyai?" tanya Ginggi.
"Kau, orang baik, Kang ?"
"Kalau orang baik tak mungkin merusak kehormatan
wanita, apalagi yang sudah punya tunangan!" kata Ginggi
lagi. Kini giliran Nyi Santimi yang terkejut. Deretan giginya
yang putih dan rapih mendadak menghilang bersamaan
dengan hilangnya senyum manisnya. Kalau saja cahaya
bulan datang lebih terang, barangkali Ginggi bisa
menyaksikan betapa pucatnya wajah gadis itu.
"Kang ?" "Ya, aku orang jahat, Nyai! Sama jahatnya dengan lelaki
yang akan memperkosamu. Atau, ya, aku pun sebetulnya
memperkosamu! Sebab, apalah bedanya antara lelaki di gua
itu denganku" Kedua-duanya sama berupaya mengganggu
keutuhanmu. Dan terbukti, siapa sebenarnya yang
membuat dirimu tidak utuh" Bukan lelaki di gua sana, tapi
aku Nyai! Aku, Si Ginggi jahat ini!" teriak pemuda ini
seperti setengah histeris.
"Kakang!" Nyi Santimi balas berteriak. "Jangan katakan
itu lagi! Jangan! Kalau kau bicara begitu, sama saja dengan
mencercaku. Bukankah aku juga sama denganmu,
melakukan hal-hal yang mungkin dianggap salah?" kata Nyi
Santimi lagi. Ginggi terpekur. "Ya, kita berdua salah ?"
"Betul, kita berdua salah. Engkau bisa berusaha
memperbaikinya, Kang?"
Ginggi memandang tajam, kemudian menggelengkan
kepala. "Kita harus menikah!" kata Nyi Santimi tegas.
"Menikah?" tanya Ginggi seperti kaget.
"Ya, apalagi kalau tidak menikah" Itu salah satu cara
menghapus kesalahan kita!" kata gadis itu pasti.
"Lalu, dosa terhadap Seta bagaimana" Dosa berkhianat
kepada para orangtua, bagaimana" Betapa hancurnya Rama
Dongdo, betapa sakitnya hati Ki Aspahar. Bisakah kita
bersihkan kesalahan kita terhadap mereka, Nyai?"
Nyi Santimi membisu seribu-basa, dan Ginggi
memandangnya dengan senyum pahit.
Lama mereka saling membisu seperti ada kunci besi yang
menggembok mulut-mulut mereka.
"Sudah hampir dini hari, Nyai! Kalau seisi rumah dalam
keadaan tidur pulas sewaktu kau diculik, sebaiknya kau
cepat-cepat pulang dan mudah-mudahan semuanya masih
dalam keadaan terlelap. Aku inginkan, semua peristiwa
malam ini tak ada orang yang tahu," kata Ginggi berdiri.
Nyi Santimi masih tak mau berdiri. Tapi pemuda itu
menariknya agar gadis itu ikut berdiri.
"Mari ?" ajak Ginggi. Nyi Santimi masih tertegun. Tapi
Ginggi tak membiarkan gadis itu berlama-lama di situ.
Secepat kilat dia memangkunya dan dibawanya berlari.
Sepanjang perjalanan, Nyi Santimi memuntahkan air
mata. Terasa tetesannya hangat ketika jatuh di dada
pemuda itu. Ginggi tak sanggup memperkirakannya,
tetesan air mata itu karena apa.
Tiba di depan lawang kori, pintu besar itu tertutup rapat
sebab dikunci dari dalam. Ginggi merasa lebih yakin lagi,
penculik Nyi Santimi orang pandai. Dia membawa gadis
dalam pondongan tidak lewat pintu tapi lewat jalan lain.
Mungkin dia memiliki ilmu loncat seperti yang pernah dia
pelajari dari Ki Darma Suasana sunyi senyap sebab semua penduduk ada dalam
tidur nyenyak. Ini melegakan Ginggi. Dia tetap tak
menginginkan peristiwa penculikan diketahui orang. Kalau
ada orang tahu gadis itu menghilang kemudian kembali
bersamanya bisa menghebohkan dan dia akan mengalami
kesulitan. Padahal pengembaraan dirinya yang dikehendaki
Ki Darma adalah menjauhi keributan yang tak perlu dan
tak ada hubungannya dengan rencana serta tujuan dia turun
gunung. Ginggi tengadah meneliti bagian-bagian benteng kayu
itu. Sesudah menemukan bagian atas benteng yang tak
begitu tajam, dia segera mengambil ancang-ancang dan
mengerahkan inti tenaganya. Hup! Tubuh Ginggi meloncat
ringan seperti gerakan harimau kumbang loncat di dahan.
Senja Jatuh Di Pajajaran Karya Aan Merdeka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Benteng setinggi lebih dua depa bisa dia loncati. Sejenak dia
berdiri di ujung kayu. Melirik kesana-kemari. Sesudah
yakin tak ada tugur (ronda), dia segera loncat ke bawah
tanpa menimbulkan bunyi berarti.
Nyi Santimi ternganga kaget mengalami kejadian ini.
Betulkah pemuda yang memondongnya pandai terbang"
Dia tak menyaksikan dengan nyata, sebab ketika Ginggi
bergerak, ada tiupan angin menerpa ubun-ubunnya dan dia
memejamkan mata dengan rapat. Baru membukanya
setelah dirinya berada di dalam benteng. Ginggi tak
memberi kesempatan pada gadis itu untuk bertanya sebab
dia segera berlari kembali sambil tetap memondong tubuh.
Tiba di rumah gadis itu, dia berkeliling mencari jalan
masuk. Pasti ada jalan masuk tanpa membangunkan orang
seisi rumah. Dan jalan masuk itu ialah jalan yang
digunakan penculik untuk membawa Nyi Santimi keluar.
Benar saja ada sebuah jendela tanpa dikunci dari dalam.
Daun jendela itu bekas dicongkel. Ginggi membawa masuk
Nyi Santimi melalui lubang jendela itu.
"Ini kamar tidurku, Kang ?" bisik gadis itu.
"Ya, kau cepatlah tidur. Dan simpanlah rahasia ini baik-
baik," kata pemuda itu hendak kembali meloncat, tapi
ditahan gadis itu. "Ada apa?" Ginggi tak melanjutkan kata-katanya sebab Nyi Santimi
segera mendekap erat. Mereka berdua bergulingan di atas
dipan dan peristiwa di hutan terulang kembali. Keduanya
bergolak lagi, mendidih lagi. Sampai pada suatu saat
kembali normal lagi sesudah segalanya terlampiaskan. Dan
kembali Ginggi mengeluh lagi, menggumam dengan
sumpah-serapah sebagai tanda kesal yang tiada akhir.
Akhirnya Ginggi meloncat secepat kucing yang
menghindari gebukan. Dia pergi berlari dengan keluhan-
keluhan yang hanya keluar dari lubang hidungnya.
Ginggi berlari, meloncati benteng kampung sepenuh
tenaga. Berlari kemana saja. Dia kembali memasuki hutan
bukit kecil. Menjatuhkan badannya di tanah lembab.
Bergulingan dan menjambak-jambak rambutnya.
Gila aku, pikirnya. Dia merasakan, hanya berselang
beberapa hari perpisahannya dengan Ki Darma, hidupnya
jadi seperti tak terkendali. Kalau dia seekor kuda, mungkin
inilah kuda binal, garang dan kasar. Kalau dia seekor tikus,
mungkin inilah tikus licik tapi penakut.
"Penakut dan pengecut!" teriaknya sendirian. Dia
pengecut, berani berbuat tak berani bertanggung jawab.
Huh! Padahal berkali-kali Ki Darma mengatakan bahwa
manusia itu hidup karena tanggung jawabnya.
"Kalau kau tak berani bertanggung jawab lebih baik
mati!" kata Ki Darma. Mati" Kalau aku mati karena urusan
wanita, bagaimana aku harus melakukan tanggung jawab
untuk urusan yang lebih besar dan yang secuil pun belum
aku laksanakan" Bukankah Ki Darma bilang aku harus
bertanggung jawab membantu dan meringankan nasib
rakyat bumi Pajajaran"
"Kau boleh mati dalam membela mereka!" kata Ki
Darma. Tapi banggakah Ki Darma bila mendengar dia mati
karena urusan wanita"
Hati-hati dengan wanita! Hati-hati dengan wanita! Itu
perkataan Ki Darma yang kerap kali diulang-ulangnya.
Sekarang, ternyata dia tak berhati-hati terhadap makhluk
lemah tapi membahayakan ini.
Ginggi berdiri. "Tidak. Aku memang harus bertanggung jawab. Tapi aku
minta jangan sekarang. Tunggulah setelah ada tanggung
jawab besar yang sudah aku selesaikan, aku akan datang
padamu," kata pemuda itu dalam hatinya.
Sekarang Ginggi melangkah lagi. Tujuannya mendatangi
gua lagi. Dia akan mencari tahu siapa gerangan lelaki
penculik Nyi Santimi itu. Si laknat itu yang jadi gara-
garanya. Kalau saja dia tak menculik gadis itu, kalau saja
dia tak berusaha memperkosa Nyi Santimi, tak mungkin dia
bertemu lagi dengan gadis itu.
Ginggi meloncat-loncat menuju gua. Dalam sekejap
sudah tiba di tempat itu. Pukulan telapak tangannya yang
digunakan untuk menyerang lelaki misterius itu hanya dia
keluarkan seperempat bagian saja. Orang itu tak akan mati.
Kalau pun pingsan, itu karena badan orang itu membentur
dinding gua dan bukan karena pukulannya.
Ginggi segera memasuki gua, celingukan kesana-kemari
dengan harapan si laknat itu masih terbaring pingsan.
Tetapi dia kecele sebab orang yang dimaksud sudah hilang
entah kemana. Orang itu pasti bertubuh kuat bila sudah berhasil pergi
dengan cepat. Atau, apakah karena dia begitu lama terlena
bersama Nyi Santimi di hutan sana" Plak! Ginggi
menampar pipinya lagi. Masih kurang puas, dia segera
menggetok ubun-ubunnya. "Sialan! Brengsek!!!" kutuknya.
(O-anikz-O) Seba dari Wado Bila Ginggi naik ke puncak pohon di bukit kecil itu,
lawang kori Desa Cae akan terlihat samar-samar. Seperti
pada suatu pagi di saat dia sedang mengumpulkan buah-
buahan di hutan, pemuda itu pun bisa memandang ke arah
kampung itu. Sudah dua pagi dia memandang perkampungan wilayah
Desa Cae dari puncak pohon itu. Dari atas pohon ini
terlihat beberapa bangunan rumah. Ada rumah Ki Kuwu
Suntara yang ukurannya paling besar, rumah panggung
yang seluruhnya terbuat dari kayu jati kokoh. Beberapa di
antaranya terdapat lagi rumah-rumah besar tapi ukuran dan
kondisinya ada di bawah kondisi rumah Ki Kuwu. Dan
salah satu di antaranya terdapat rumah Rama Dongdo.
Rumah itu terletak di sudut jalan kampung. Kalau ada
orang keluar dari halaman rumah itu, samar-samar akan
terlihat di atas puncak pohon dimana Ginggi naik.
Tapi sudah dua pagi dia tak pernah melihat ada orang
yang keluar dari rumah itu. Tidak pula Rama Dongdo.
Kemana mereka" Ke mana Nyi Santimi" Tinggal di dalam
rumahkah selama dua hari itu" Ingin pemuda itu pergi
menengoknya, mengapa mereka tidak keluar rumah. Tapi
bila dia memaksa pergi, hanya akan kembali terjun ke
peristiwa-peristiwa yang tak mengenakan saja, peristiwa
yang melibatkan aib dirinya.
Ah, biarlah untuk beberapa lama aku tak akan menemui
gadis itu. Mudah-mudahan bila aku tak bertemu
dengannya, gadis itu pun akan segera melupakannya. Dan,
melupakan kejadian, berarti merahasiakan aib! Ginggi
tersenyum kecut berpikir seperti ini. Kata Ki Darma,
sejahat-jahatnya binatang, dia melakukan tindakan karena
tak mempergunakan pikirannya, bahkan bukan hasil dari
kecerdikannya berpikir. "Ada orang pura-pura berlaku baik untuk menutupi
kejahatannya, sehingga orang lain terkelabui. Sedangkan
binatang bertindak jujur. Apa yang menjadi nalurinya,
itulah yang menjadi sifat dan tindakannya," kata Ki Darma
tempo hari. Jadi kalau Ginggi boleh menilai, binatang punya
kejujuran dan manusia tidak, pikirnya ketika itu.
"Tidak begitu," kata Ki Darma. "Binatang memiliki
kejujuran karena dia tak punya pilihan. Dia hanya bisa
memperlihatkan sikap seperti apa yang diperintahkan
nalurinya. Sedangkan manusi diberi kebebasan memilih.
Dia punya kemampuan untuk bertindak jujur dan baik tapi
juga dia punya kemampuan untuk melakukan hal
sebaliknya. Tinggal manusia itu sendiri yang menentukan,
mau dipakai dimana otak dan pikirannya itu. Yang jelas,
manusia itu makhluk yang bisa berbahaya, sebab dengan
memiliki kemampuan berpikirnya, semua makhluk
termasuk sesamanya sendiri bisa mengalami kesulitan, sifat
apa yang sebenarnya ada dalam dirinya. Kita mengenal
harimau ganas karena melihat taringnya yang runcing tapi
manusia berhati mulia tidak bisa dilihat dari keelokan
wajahnya." Ginggi hendak melorot turun dari pohon. Kesal sekali
dia dengan jalan pikirannya itu. Semakin mengingat-ingat
berbagai perkataan yang yang pernah dilontarkan Ki
Darma, semakin terasa bahwa hidupnya selalu tidak klop
dengan apa yang diuraikan orang tua itu. Entahlah, Ki
Darma tak pernah bilang itu sebuah petuah. Dia tak
memaksakan kehendak agar pemuda itu bercermin pada
apa-apa yang pernah dikatakan. Tapi bila Ginggi mencoba
memperbandingkan pengalamannya selama turun gunung,
pendapat dan ucapan orang tua itu banyak melahirkan
contoh dalam kehidupan nyata ini.
Pemuda itu tak jadi melorot turun, ketika pandangannya
tertuju pada lawang kori. Ternyata sepagi itu di pintu
masuk desa banyak orang berkerumun. Sedikit-sedikit ada
terlihat barisan orang dengan bawaan masing-masing. Ada
sekelompok orang memikul carangka wahad terbuat dari
anyaman bambu. Sekelompok lagi terlihat orang
memikuldongdang atau pikulan barang. Sesudah semuanya
keluar pintu pemuda itu coba menghitung, ada sekitar
limapuluh orang lebih rombongan pembawa barang dan
terdapat lima orang berjalan di muka tanpa membawa
barang apapun. Sepertinya mereka berlima merupakan
pimpinan rombongan itu. Ginggi tidak sejak tadi memperhatikan ini, sebab
matanya selalu mengawasi rumah Nyi Santimi. Kalau tak
terlihat orang lalu-lalang di halaman rumah itu, mungkin
karena semua orang tengah menyaksikan rombongan yang
baru saja meninggalkan lawang kori. Rombongan apakah
itu" Ginggi menghitung waktu dan dia baru teringat bahwa
hari ini rombonganseba dari Desa Cae akan berangkat
mengirimkan pajak tahunan itu.
Kalau tak ada peristiwa menyangkut Nyi Santimi,
sebetulnya Ginggi ingin ikut rombongan itu. Rama Dongdo
tempo hari menawarinya untuk bekerja membantu
rombongan seba. Pemuda itu amat tertarik. Bukan karena
mengharapkan upah kerja mengusung dongdang,
melainkan karena ingin mempergunakan rombongan itu
sebagai pemandu di perjalanan. Sekali pun rombongan seba
dari Desa Cae ini tidak akan melakukan perjalanan
panjang, tapi barang-barang kiriman selanjutnya akan di
bawa ke Pakuan, Ibukota Pajajaran. Pakuan mungkin pusat
keramaian dan akan banyak orang menuju ke sana. Kalau
Ginggi sudah ada di Pakuan, diharapkan akan banyak
mendapatkan informasi perihal orang-orang yang akan
ditemuinya. Ki Darma pernah mengatakan, untuk menjalankan misi
yang dibebankan kepadanya, Ginggi harus menemui empat
orang murid Ki Darma lainnya yaitu Ki Bagus Seta, Ki
Banaspati, Ki Rangga Wisesa dan Ki Rangga Guna.
Sampai saat ini Ginggi belum mengetahui, di mana
mereka berada dan apa pekerjaannya. Ikut bersama
rombongan seba yang menuju Pakuan, tentu akan melewati
beberapa daerah. Sepanjang perjalanan Ginggi bisa
mencari-cari alamat mereka.
"Jadi bila begitu, aku harus ikut rombongan seba ini,"
kata Ginggi bicara sendiri.
Ginggi melorot turun dari batang pohon, tapi tak perlu
terburu-buru mengejar rombongan itu. Dia hanya ingin
membuntutinya dari belakang. Dia tak ingin bertemu
dengan orang-orang kampung itu. Terlebih lagi, dia tak
ingin bertemu dengan pemuda Seta, calon suami Nyi
Santimi. Sekarang ada perasaan malu bila harus
berhadapan muka dengan pemuda itu. Ini adalah
pengalaman pertama, mesti merasa malu kepada seseorang.
Beginilah rasanya orang bersalah, keluhnya dalam hati.
Ginggi berjalan memutar arah sebab tak mau melewati
batas kampung. Tapi kendati begitu, dia tak khawatir akan
kehilangan jejak. Rombongan itu pasti akan menuju barat.
Rombongan seba melakukan perjalanan hampir sehari
penuh. Ketika matahari hampir condong ke barat, mereka
Pendekar Terkutuk Pemetik 1 Tiga Dalam Satu 05 Lima Laknat Malam Kliwon Bayar Nyawa 1