Senja Jatuh Di Pajajaran 3
Senja Jatuh Di Pajajaran Karya Aan Merdeka Bagian 3
tiba di sebuah kampung yang lawang korinya hampir
tertutup. Untuk menghindari pertemuan dengan orang yang
dikenal atau mengenalnya, Ginggi tak ikut memasuki
kampung. Malah memilih mencari "penginapan" di sebuah
pohon di tepi hutan saja. Cara tidurnya aneh, kepala di
bawah dan kaki terkait ke dahan. Sebetulnya ini bukan tidur
biasa, tapi pemuda itu melakukan tapa sungsang.
Ki Darma kerapkali mengajarkan cara tidur ini, pertama
untuk melatih pernapasan, kedua berguna untuk
melancarkan peredaran darah ke otak. Tapa sungsang juga
melatih Ginggi untuk bisa terjaga dalam tidur dan tidur
dalam terjaga. Dia bisa mengistirahatkan segala aktivitas
tubuhnya juga jalan pikirannya, tapi tak "menidurkan"
nalurinya. Sehingga bila dalam keadaan tidur tapa sungsang
ada marabahaya mengancam, secara otomatis nalurinya
akan "membangunkan" tubuh dan jalan pikirannya.
Tapi sampai matahari kembali bersinar dari ufuk timur,
tak ada gangguan berarti kepada pemuda itu, selain dari
gigitan nyamuk yang tidak dirasanya.
Pemuda itu bangun oleh kicauan burung di dahan pohon
lain. Ginggi segera meloncat turun agar tak menimbulkan
kecurigaan orang yang akan berladang. Dia mencuci muka
di sebuah sungai kecil yang airnya dan merapihkan ikat
kepalanya. Berjalan menuruni jalan setapak untuk menuju jalan
pedati. Di tepi jalan itu Ginggi bersua dengan peladang
yang hendak mulai bekerja. Pemuda itu bertanya tentang
kampung yang ada di depannya.
"Ini kampung Wado, termasuk Karatuan
Sumedanglarang," jawab lelaki tua bercaping yang sepagi
itu sudah berbekal parang dan alat-alat lainnya.
"Sebentar dulu, Aki," cegat Ginggi ketika orang tua itu
hendak cepat-cepat berlalu.
Orang tua bercaping ini seperti segan berlama-lama
bicara dengan Ginggi, kendati pada akhirnya mau juga
meladeni beberapa pertanyaan pemuda itu.
"Kemarin sore ada rombongan seba yang masuk
kampung ini. Barangkali Aki tahu, kapan mereka akan
melanjutkan perjalanan lagi?" tanya Ginggi.
Orang tua itu mengerutkan dahi mendengar pertanyaan
ini. "Tak apa bila Aki tak mengetahuinya," kata Ginggi
pendek. "Memang aku tidak tahu kapan mereka berangkat sebab
tadi malam kelihatannya ada sedikit perbedaan faham
dengan Ki Kuwu," kata orang tua ini.
Kini giliran Ginggi yang mengerenyitkan dahi.
"Tahun-tahun silam, kampung ini memang suka
mengumpulkan hasil bumi, dibawa ke Ciguling, yaitu
Ibukota Sumedanglarang, dan kemudian Sumedanglarang
mengirimkannya ke Pakuan sebagai seba tahunan. Namun
setelah Nyai Ratu Inten Dewata sebagai Susuhunan di
Sumedanglarang menikah dengan Kangjeng Pangeran
Santri dari Cierbon, seba tahunan ke Pakuan dihentikan,"
kata orang tua itu. "Aku hanya ingin tanya, kapan rombongan seba dari
Desa Cae akan meninggalkan kampung ini, Aki!" kata
Ginggi kesal, sebab uraian berpanjang-panjang dari
peladang ini seperti tak ada kaitannya dengan kepentingan
pemuda itu. "Sebetulnya oleh Ki Kuwu sudah disuruh berangkat tadi
malam juga, tapi Raden Suji Angkara tak mau
meninggalkan kampung kami sebelum rombongan seba dari
daerah ini ikut serta mengirimkannya," kata peladang ini
seperti bosan berbincang terus dengan Ginggi.
"Jangan pergi dulu, Aki!"
"Ah, aku harus segera ke ladang. Kalau di sini terus,
takut terlibat percekcokan. Tadi malam hampir-hampir
terjadi perkelahiaan di antara mereka. Raden Suji memaksa
kami mengirim seba, sedangkan Ki Kuwu tetap menolak,"
kata peladang itu, kemudian bergegas pergi kendati Ginggi
masih penasaran menanyainya.
Tinggallah Ginggi termangu sendirian. Dia mencari
tempat duduk di pinggiran jalan pedati, sambil menerka-
nerka apa yang sebetulnya terjadi di dalam kampung itu.
Hatinya bertanya-tanya, mengapa orang-orang Desa Cae
memaksakan kehendak. Bila menurut penuturan orang
bercaping itu, penduduk kampung Wado jelas sudah tak
akan mengirimkan seba ke Pakuan. Dan itu sudah menjadi
keputusan rajanya sendiri, Nyai Ratu Inten Dewata. Orang-
orang Cae yang sebetulnya termasuk wilayah Karatuan
Talaga, tak seharusnya ikut campur urusan karatuan lain,
pikir pemuda itu. Belum habis Ginggi bergelut dengan segala
keheranannya, dari lawang kori yang nampak terlihat dari
tempat di mana pemuda itu duduk, keluar satu rombongan
besar. Ginggi segera menepi dan bersembunyi di balik
rimbunan pohon. Ketika rombongan melewati jalan itu,
Ginggi meneliti, bahwa itu rombongan orang-orang Cae
seluruhnya. Hanya bedanya, rombongan kini dilengkapi
sebuah pedati yang sarat isi. Pedati ini pasti milik Kampung
Wado, pikir pemuda itu. Dengan kata lain, orang-orang
Wado akhirnya bersedia juga ikut mengirimkan seba, tidak
atas nama karatuan, melainkan atas nama pribadi, seperti
apa yang dilakukan Desa Cae. Hanya yang menjadi heran,
mengapa dalam rombongan tidak seorang pun orang Wado
yang ikut" Ya, selama dua hari tinggal di Desa Cae, Ginggi
sudah hafal penduduknya. Barisan rombongan yang
barusan dia teliti, semuanya memang orang-orang Desa
Cae. Empat orang melangkah di depan adalah Ki Banen, Ki
Ogel, Seta dan Madi. Sedangkan paling depan sekali
seseorang dengan pakaian hitam-hitam nampak
mencongklang di atas kuda coklat. Siapa pemuda itu,
Ginggi tak kenal. Wajahnya tampan keputih-putihan
kulitnya. Mulutnya selalu senyum tersungging dan matanya
tajam. Yang paling mencolok dari kesemuanya, pakaian
hitamnya terbuat dari kain mahal. Mungkin beludru dengan
hiasan ornamen di beberapa bagiannya. Kalau Ginggi
sudah tahu, mungkin beginilah jenis pakaian kaum
bangsawan. Celana hitamnya berupa jenis komprang, juga
berhiaskan ornamen yang cahayanya kelap-kelip bila
terkena sorotan sinar matahari. Di pinggang kirinya yang
dibelit ikat pinggang kulit, terselip hulu gagang senjata,
melengkung seperti kepala ular. Kaki pemuda itu dihiasi
terumpah kulit. Walau pun belum kenal siapa dia, tapi sedikitnya Ginggi
sudah bisa menduga, mungkin inilah Raden Suji Angkara
yang menurut Nyi Santimi merupakan putra Ki Kuwu
Suntara. Rombongan berlalu sudah dan menghilang di kelokan
jalan. Yang tersisa adalah suara roda pedati yang ditarik
kerbau itu terdengar menggilas jalan berbatu, ditambah
suara gerakan orang memikul bawaan berat.
Ada satu pedati penuh barang seba yang dikirimkan
orang Kampung Wado tanpa dikawal mereka sendiri.
Mengapa mereka mempercayakannya kepada orang-orang
Cae padahal menurut lelaki bercaping, malam tadi kedua
belah fihak bertengkar dahulu" Ginggi harus menelitinya
lebih jauh. Oleh sebab itu, sesudah rombongan orang-orang
Desa Cae berlalu agak jauh, Ginggi segera bergerak menuju
Kampung Wado. Orang-orang nampak menatap dengan penuh curiga dan
memperlihatkan sikap tak senang atas kehadirannya.
Seorang pemuda dengan sikap beringas segera berkata
lantang menantang. "Mengapa kalian datang lagi kesini" Bukankah hasil
bumi kami sudah kalian angkut habis?" katanya berteriak.
Tapi baru saja dia berkata begitu, tangannya sudah ditarik
oleh lelaki lain yang usianya jauh lebih dewasa.
"Sudahlah, kau jangan cari penyakit lagi. Kalau anak
buah Raden Suji ini melaporkan kepada majikannya, kita
pasti celaka," kata lelaki itu.
"Aku bukan anak buah orang itu. Tapi, ada kejadian apa
sebenarnya dengan mereka?" tanya Ginggi semakin heran.
"Engkau bukan anak buah Raden Suji" Habis, siapakah
engkau dan dari mana asalmu" Kampung kami sedang tak
aman hingga kami selalu mencurigai orang asing," kata
lelaki yang lebih tua. "Coba antarkan aku menghadap Ki Kuwu. Aku ingin
mendapat penjelasan lebih rinci darinya," kata Ginggi.
"Jangan ganggu Ki Kuwu. Dia baru saja dipusingkan
oleh ulah Raden Suji!" kata sang pemuda. Tapi Ginggi
memaksa untuk menuju kediaman kepala desa kampung
ini. "Tangkap pengacau! Tangkap pengacau!" teriak pemuda
itu sambil mengambil cangkul di sudut garduh tugur.
Mendengar teriakan ini, beberapa pemuda datang
membantu. Mereka langsung mengambil alat-alat tugur
seperti tombak atau cagak.
Ginggi tak mau berurusan dengan orang-orang ini tapi
juga tak ingin langkahnya diganggu. Maka begitu orang-
orang menerjang, pemuda itu segera menggerak-gerakan
kedua belah tangannya menangkis semua serangan.
Terdengar jerit kesakitan di sana-sini dan beberapa senjata
terlempar jauh manakala tangan pengeroyok bertumbukan
dengan sepasang tangan Ginggi. Semuanya meringis
memijit-mijit tulang tangannya, dan tak ada yang berani
mendekat lagi. (O-anikz-O) Jilid 06 Ki Kuwu juga telah mendengar ribut-ribut ini, sebab
nampak oleh Ginggi, ada seorang tua berpakaian
solentrang, kepala memakai bendo citak dan beralas kaki
terumpah kulit. "Sudahlah! Sudahlah! Jangan diributkan benar. Kalau
majikanmu memerlukan tambahan barang untuk seba, aku
akan berikan semampuku tapi jangan aniaya wargaku,"
kata Ki Kuwu nampak wajahnya penuh kuatir.
"Aku bukan anak buah orang-orang Cae, Ki Kuwu. Tapi
aku ingin tahu, apa yang terjadi di sini," kata Ginggi tak
berbasa-basi. Sejenak nampak wajah orang tua itu lega. Namun hanya
sebentar sebab wajahnya kembali keruh.
"Mari ke rumahku anak muda," ajaknya perlahan.
Di rumah kediamannya kepala kampung ini
menerangkan perkara kekacauan yang sering terjadi akhir-
akhir ini. Semenjak susuhunan Sumedanglarang, yaitu Nyai Ratu
Inten Dewata bersuamikan Kangjeng Pangeran Santri dari
Karatuan Cirebon, Nyai Ratu otomtis memihak Cirebon.
Pakuan yang pengaruhnya mulai berkurang, bagi
Sumedanglarang sudah bukan merupakan pusat kekuasaan
yang harus disegani lagi.
"Kedudukan kami lebih dekat ke Cirebon. Pengaruh
mereka lebih kuat, apalagi sesudah Susuhunan kami
bersuamikan tokoh dari pusat pemerintahan agama baru
itu. Sebaliknya, kedudukan Pakuan yang lebih jauh dari
kami, pengaruhnya sudah tak terasa lagi. Hampir duapuluh
tahun belakangan ini, kami tak merasakan adanya sebuah
perlindungan dari Pakuan.
Malah yang ada hanya berupa kewajiban-kewajiban saja.
Bahkan berbagai kewajiban datangnya tak beraturan serta
mencekik kehidupan kami. Banyak kelompok yang datang
ke kampung-kampung meminta upeti ini dan itu dengan
alasan menunjang keberadaan Pakuan," kata Ki Kuwu.
"Mengapa mereka kau beri" Kalau kau lebih taat kepada
susuhunan di Sumedanglarang, kau dan rakyatmu bisa
menolaknya karena penolakanmu itu dilindungi oleh
susuhunanmu, atau juga dilindungi oleh kekuatan
Cirebon," kata Ginggi.
Ki Kuwu menghela nafas berat dan panjang.
Nampaknya susah sekali dia, bagaimana harus berbuat.
"Beginilah rakyat kecil di zaman susah. Pertikaian yang
ada di atas hanya menciptakan berbagai pengorbanan
rakyat di bawah," tuturnya pahit.
Kata Ki Kuwu, kendati pihak Susuhunan
Sumedanglarang sudah memutuskan untuk tak mengirim
seba ke Pakuan, tapi masih banyak kalangan di
Sumedanglarang ini yang mengaku berdiri di belakang
Pakuan. Dan apa yang menjadi keputusan di ibukota, lain
yang terjadi di sini. "Buktinya kau lihat sendiri, orang-orang Cae yang masih
mengaku setia kepada Pakuan, selalu memaksa kami
menyerahkan seba," kata Ki Kuwu.
Kata Ki Kuwu lagi, ada kelompok-kelompok tertentu
yang bertugas mengumpulkan upeti bagi kepentingan
Pakuan. Mereka bekerja dan mengadakan operasi ke
berbagai desa terpencil yang sekiranya jauh dari jangkauan
pengawas dan perlindungan pusat pemerintahan setempat.
"Beberapa tahun ini, kami terpaksa membagi kewajiban.
Separo kami abdikan kepada pemerintahan yang biluk
(berpihak) ke Cirebon, separo lagi kami serahkan kepada
utusan-utusan yang mengaku tetap setia kepada Pakuan,"
kata Ki Kuwu lagi. "Kalau begitu, kalian pasti repot, harus membagi
kekayaan kesana-kemari, Ki Kuwu ?" kata Ginggi.
Ki Kuwu hanya bisa merahuh.
"Ya, musti bagaimana lagi" Kami memenuhi keperluan
pemerintahan di sini karena kewajiban dan peraturan, dan
memberikan yang lainnya kepada utusan Pakuan karena
mengharapkan keselamatan. Mereka selalu tegas dan keras.
Raden Suji contohnya. Ada penduduk tadi malam hampir
babak belur karena mencoba protes. Ada gadis muda nekat
bunuh diri karena urusan ini," kata Ki Kuwu memelas.
"Apa" Bunuh diri" Mengapa mesti bunuh diri?" Ginggi
heran. "Dia hendak melangsungkan perkawinan. Orang tuanya
sudah bertahun-tahun menabung untuk keperluan ini. Tapi
Senja Jatuh Di Pajajaran Karya Aan Merdeka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ketika dia menolak menyumbangkan kekayaan untuk
urusan seba, dia dihajar oleh Raden Suji. Secara kasar
pemuda ini mengambil harta orang itu lebih dari ketentuan.
Mungkin putus asa merasa perkawinannya gagal, anak
gadisnya bunuh diri. Entahlah?" keluh Ki Kuwu.
Ginggi tercenung,. Rasanya ganjil sekali, bunuh diri
hanya karena urusan seba.
"Antarkan aku kesana. Kalau-kalau jasad gadis itu belum
dikuburkan," Ginggi setengah mengajak. Ki Kuwu
mengangguk. Tiba di rumah itu, hanya tangis sedih yang
terdengar. Jasad si gadis katanya baru saja dikuburkan.
"Betulkah anak gadismu bunuh diri?" tanya Ginggi.
Orang tua korban mengangguk sedih. "Coba kau
ceritakan, bagaimana kau temukan cara kematiannya!" kata
Ginggi lagi. Orang tua si gadis malang menerangkan,
bahwa pagi-pagi sekali sudah menyaksikan anak gadisnya
tergantung lehernya dengan seutasangkin (ikat pinggang
wanita ) di kamarnya. "Apa lagi yang kalian lihat selain
tubuh tergantung itu?"
"Tak ada, selain wajah anakku yang pucat-pasi,
rambutnya awut-awutan dan pakaiannya tak karuan.
Bahkan ada beberapa kain yang dikenakannya robek-
robek," kata orang tua malang itu dengan air mata masih
berlinang. Ginggi sedikit menahan nafas. Terbayang
kembali pakain Nyi Santimi yang juga robek-robektak
karuan di dalam gua. "Aku akan cari penyebab sesungguhnya dari kematian
ini," gumam Ginggi seperti berbicara pada dirinya. "Mari,
Ki Kuwu?" kata pemuda itu meninggalkan rumah yang
penghuninya tengah berduka ini.
"Engkau mencurigai sesuatu, anak muda?" tanya Ki
Kuwu di tengah jalan. Ginggi hanya mendengus kecil.
"Akan aku selesaikan segalanya, Kuwu?" gumam
pemuda itu akhirnya."Kau dan penduduk disini tak berani
melawan sebab mereka orang-orang kuat. Begitukah,
Kuwu?" "Raden Suji sopan tapi memaksa. Dan dia nampaknya
sakti mandraguna. Dia sanggup membengkokan tombak
berbatang baja dan mendobrak daun pintu lumbung umum
dengan sebelah tangannya dengan senyum dikulum," kata
Ki Kuwu. "Kau bilang dia orang sopan?"
"Tutur katanya memang begitu. Halus, lemah lembut,
enak di dengar. Tapi entahlah, kami semua takut padanya."
"Aku akan pergi, Kuwu!" kata Ginggi.
"Maksudmu, akan membereskan masalah ini, anak
muda" Syukurlah. Kalau Kandagalante Pasanggrahan
mengontrol ke sini, akan aku laporkan perjuanganmu.
Mudah-mudahan engkau diberi penghargaan, anak
muda?" kata Ki Kuwu. Ginggi hanya tersenyum kecil.
"Engkau harus singgah lagi ke rumahku sebelum
melanjutkan perjalanan," kata Ki Kuwu. Ginggi sedianya
akan menolak permintaan ini, tapi karena kepala desa ini
begitu memaksa, terpaksa Ginggi menuruti kemauan orang
tua ini. Di rumah Ki Kuwu, Ginggi dijamu makanan-makanan
enak. Ginggi tak sanggup menolaknya sebab sudah berhari-
hari tak mengecap makanan enak. Sebelum berangkat,
pemuda itu pun dibekali sebuah bungkusan kain. Entah apa
isinya. Ginggi menolak keras tetapi yang memberi semakin
keras memohon agar pemberian ini tak ditolak.
"Kau pengembara yang banyak kebutuhan di jalan.
Hanya ini yang mampu aku lakukan untuk membalas
budimu," kata Ki Kuwu.
Budi apa, pikir Ginggi. Secuil pun dia belum berbuat
kebaikan kepada Ki Kuwu, apalagi kepada seisi kampung
ini. "Aku tak punya jasa apa-apa. Yang aku janjikan tadi
hanya baru akan dilaksanakan. Itu pun kalau mampu," kata
Ginggi tersenyum masam. "Hanya sekadar janji pun sudah merupakan anugerah
bagi kami rakyat kecil. Dan tak usah sungkan, kami sudah
biasa begini. Kalau datang pengontrol dari kota, kami juga
suka memberi kebaikan seperti ini. Orang pemerintahan
mengontrol kami artinya mereka ingat kami. Dan itu
anugrah," kata ki Kuwu.
Kembali Ginggi tersenyum masam. Dan untuk tidak
menyinggung perasaan Ki Kuwu, bantalan kain itu
diterimanya. (O-anikz-O) Perampok Hutan Jati Ginggi melanjutkan perjalanan, mengikuti jalan pedati
ke arah barat laut. Ki Kuwu yang memberikan panduan.
Bahwa jalan ke arah barat laut akan mengantarnya ke
tempat-tempat yang dituju.
"Jalan pedati ini terus berlanjut ke barat dan
menyinggahi wilayah Kandagalante, baik yang di utara,
mau pun yang ada di barat. Jalan pedati ini pula yang kelak
akan mengantarmu ke Pakuan," kata Ki Kuwu.
Ginggi amat berterima kasih sekali atas penjelasan ini,
kendati tujuan yang harus didahulukan sekarang adalah
membuntuti ke mana rombongan seba itu pergi.
Pemuda itu pun berterima kasih kepada Kuwu Wado
yang telah memberinya bekal perjalanan. Buntalannya yang
dibawa dari gunung tempo hari tertinggal di Desa Cae,
padahal pakaian cadangan dan makanan kering seperti
dengdeng menjangan ada di buntalan itu.
Di tengah jalan memeriksa buntalan pemberian Ki
Kuwu. Di dalamnya ada dua stel pakaian kampret lengkap
dengan celana pangsi dan ikat kepalanya. Ada juga
makanan yang siap dimakan dan yang bisa tahan lama
untuk disimpan. Tapi yang membuat Ginggi penuh
perhatian, di buntalan itu ada terdapat kanjut kundang
(pundi-pundi) yang ketika dibuka isinya kepingan logam
yang pemuda itu tidak tahu untuk apa keperluannya.
Ginggi tak berlama-lama memeriksa isi buntalan sebab
dia harus bergegas mengejar rombongan seba. Tapi karena
bekas roda pedati begitu jelas ada di permukaan jalan,
pemuda itu tidak mengalami kesulitan membuntutinya.
Bahkan sebentar kemudian rombongan itu sudah dapat
terlihat. Rombongan nampaknya tetap berjumlah duapuluh
orang, semua bertugas dengan bawaannya dan hanya lima
orang yang seolah-olah bertindak sebagai pengawal, atau
pemimpin rombongan. Ginggi terus membuntuti rombongan itu yang berliku-
liku seperti ular ketika melalui jalan dengan kelokan-
kelokan tajam, atau melata seperti ulat bila tengah menaiki
tanjakan perbukitan. Namun ketika tiba di sebuah jalan
bercabang, rombongan berhenti.
Ki Kuwu Wado tadi mengabarkan bahwa di barat laut
jalan bercabang. Jangan salah mengambil jalan. Bila
menuju jalan kanan akan menuju wilayah Kandagalante
Pasanggrahan dan kemudian ke ibukota Sumedanglarang di
Ciguling. Tapi bila mengambil ke kiri akan menuju hutan
jati. Kata Ki Kuwu jalan hutan jati akan terus menuju barat
yang kelak akan tiba juga di Pakuan. Merupakan jalan lain
menuju Pakuan dari Talaga yang tidak melalui
Sumedanglarang. "Melalui hutan jati, jalan cukup memotong sebab tak
perlu melambung ke utara untuk singgah di
Sumedanglarang, kalau tujuan kita memang mau ke
Pakuan. Tapi kadang-kadang perjalanan lewat sini
merepotkan. Selain kondisi jalan lebih berat juga suka ada
gangguan keamanan," kata Ki Kuwu.
Ginggi berusaha untuk mendekati rombongan sebab di
antara sesama anggota seperti tengah merundingkan
sesuatu. "Mengapa kita memilih jalan ke kiri, Raden?" tanya Ki
Ogel kepada pemuda berkuda.
"Paman Ogel, kita memilih jalan ke kiri untuk
menghemat perjalanan. Jalan sini lebih singkat karena
memotong dan tak begitu melambung," kata pemuda
berpakaian beludru hitam itu.
"Akan tetapi jalan ke sini lebih berat dan harus keluar
masuk hutan jati," tutur Ki Ogel lagi.
"Paman Ogel, lebih baik kita berpayah-payah melakukan
perjalanan tapi selamat di tujuan daripada memilih jalan
yang enak tapi banyak gangguan," kata pemuda itu lagi
sopan tapi nadanya memerintah dan menyalahkan
pendapat orang lain. "Engkau mungkin tahu dari pembicaraan kita dengan
Kuwu Wado, Sumedanglarang kini sudah dipengaruhi
Cirebon. Banyak terjadi pemberontakan dan pertentangan
antara yang pro dan yang kontra. Tapi bagi kita, kedua-
duanya tak menguntungkan. Yang pro kepada Cirebon,
akan mengganggu perjalanan kita dalam mengirim seba ke
Pakuan. Yang tidak setuju dengan kebijaksanaan
Pemerintah Sumedanglarang, mereka menjadi pemberontak
dan suka berbuat onar. Kalau kita memilih jalan pedati,
pasti harus lewat Pasanggrahan dan akhirnya musti
memasuki wilayah ibukota Sumedanglarang dan itu amat
tak menguntungkan kita," kata pemuda itu.
Dan pemuda bercelana hitam dengan ornamen berkilat-
kilat kena cahaya matahari ini rupanya amat disegani
anggota rombongan, Buktinya, protes-protes kecil itu
akhirnya mereda juga. Artinya, semua setuju melakukan
perjalanan lewat hutan jati.
Tapi perjalanan ini memang merupakan perjalanan sulit.
Kian jauh merambah, ruas jalan kian meyempit dan
kondisinya amat buruk. Tanahnya lembab karena kurang
tersinari cahaya matahari. Anggota rombongan mesti
bekerja ganda. Selain mereka dikenai kewajiban memikul
bawaan, di saat-saat tertentu mereka mesti mendorong
pedati dulu karena rodanya melesak ke tanah lembek atau
masuk ke sela-sela bebatuan.
"Ayo, cepat! Kita tak boleh kesorean di tempat ini!"
teriak si pemuda berkuda coklat itu.
Tapi untuk mentaati kehendak si pemuda, tak semudah
seperti apa yang diucapkannya. Jangankan harus berjalan
cepat, untuk sekadar menggerakkan roda pedati itu saja,
sulitnya bukan main. Ki Ogel, Ki Banen beserta Seta dan
Madi sekarang harus turun tangan membantu mendorong
pedati yang roda-rodanya sering melesak ke tanah lembek.
Apa yang dikhawatirkan pemuda itu ternyata terbukti.
Ketika cuaca di hutan semakin meremang karena cahaya
matahari sudah tak sanggup lagi menembus dedaunan.
Ginggi yang selalu membuntuti rombongan itu dari jarak
yang tak begitu jauh bahkan bukan merasa khawatir karena
hari sudah mulai senja, melainkan karena melihat gerakan-
gerakan mencurigakan di semak-semak yang ada di kiri
kanan jalan. "Ada yang tak beres," gumamnya sendirian.
Dan benar saja, dari balik semak-semak belukar kini
bermunculan belasan bahkan puluhan orang, semua
bersenjatakan golok, tombak dan parang. Wajah-wajah
mereka nampak garang, dipimpin oleh orang yang
berpakaian hitam-hitam, bertubuh tinggi besar dan wajah
brewos. Pemuda di atas kuda segera menghentikan gerakan
kudanya. Semua rombongan juga berhenti. Ki Banen, Ki
Ogel, beserta Seta dan Madi serentak mencabut golok
masing-masing, yang lainnya segera menurunkan
pikulannya dan juga serentak mencabut golok di pinggang.
"Siapa kalian?" tanya pemuda di atas kuda yang Ginggi
duga adalah Suji Angkara.
"Tak perlu tanya kami siapa. Kalau kalian ingin pulang
dengan selamat, tinggalkan barang-barang itu!" kata si
tinggi besar dengan golok bersilang di dada.
"Hehehe?" Suji Angkara terkekeh, nampaknya tak
menganggap ini sebuah bahaya. "Aku tak biasa bermurah
hati memberi barang berharga kepada orang-orang tak
dikenal," katanya. "Kali ini kau mesti bermurah hati bila tak menganggap
murah nyawamu!" kata Si Brewos.
"Ingin aku tahu, nyawa siapa yang sebenarnya murah
dan tak berharga!" Suji Angkara balas mengejek membuat
Si Brewos marah. Tanpa basa-basi lagi, dia segera menghambur
mengayunkan goloknya. Suji Angkara dengan sigap
menarik kendali kuda dan binatang itu seperti mengerti
perintah tuannya. Dia menghentak-hentakkan kaki
depannya seolah-olah hendak menangkis serangan golok.
Tapi kuda itu seperti memiliki akal. Dia menghentakkan
kaki depan bukan sekadar melindungi dirinya dari serangan
lawan, melainkan juga sambil menyerang.
Kuda itu berputar, membuat ancang-ancang dan
meloncat ke arah si penyerang. Si Brewos terkejut melihat
tubuh kuda yang tinggi dan besar menerjang ke arah
dirinya. Rupanya dia tak mau dirinya diterjang kaki-kaki
kuda dan segera menarik serangan goloknya sambil
meloncat ke kiri. Terjangan kuda hanya lewat di samping
tubuh Si Brewos. Tapi bersamaan dengan itu, terdengar
suara jerit kesakitan dan Si Brewos terlempar ke belakang.
Si Brewos berguling-guling di tanah lembab beberapa
kali, baru badannya berdiri dengan cepat. Namun ketika dia
sudah berdiri semua orang menyaksikan betapa di pipi kiri
Si Brewos memanjang luka goresan. Darah mengucur
menuruni leher dan dadanya walau pun tidak deras benar.
Suji tersenyum dengan senjata pendeknya.
"Serbu!!!" teriak anggota Si Brewos ketika melihat
pemimpinnya terluka. Mendengar aba-aba ini, serentak semua anak buahnya
berteriak dan berlari menyerbu.
Semua anggota rombongan pemikul seba pun sudah
bersiap dengan senjatanya masing-masing. Sais pedati
melempar-lemparkan jenis senjata yang lebih besar lagi
seperti trisula, pedang bahkan busur besar.
Madi melemparkan sebuah pedang kepada Suji Angkara
yang segera menangkapnya. Pemuda itu dengan cepat
Senja Jatuh Di Pajajaran Karya Aan Merdeka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mencabut pedang itu dari sarungnya dan langsung
digerakannya untuk menangkis serangan sebuah golok.
"Ah!" teriak Ginggi yang menyaksikan dari jauh. Golok
yang Suji Angkara tangkis ternyata terlempar jauh dan si
pemegangnya meringis sambil memegangi tangannya.
Tenaga pemuda itu besar, kata Ginggi dalam hati.
Pertempuran berlangsung cukup seru. Sudah terdengar
teriakan kesakitan dari kedua belah fihak. Namun bila
Ginggi menghitung, lebih banyak anggota rombongan seba
yang terluka dibandingkan para penyerangnya. Di fihak
rombongan seba hanya lima orang saja kelihatan menguasai
ilmu berkelahi, yaitu Ki Ogel, Ki Banen, Seta serta Madi
dan dipimpin oleh Suji Angkara yang memiliki kepandaian
beberapa tingkat di atas keempat orang anak buahnya. Tapi
kebanyakan dari anggota rombongan seba, hanya memiliki
kepandaian sedananya saja. Mereka berani terjun ke dalam
pertempuran hanya karena terpacu semangatnya oleh
kegagahan Suji Angkara saja.
Dan memang, pemuda yang kadang-kadang perangainya
nampak halus tapi kadang-kadang mulutnya angkuh ini
melakukan perkelahian dengan semangat tinggi. Dari atas
kudanya Suji Angkara tidak sekadar menangkis serangan
lawan, bahkan lebih banyak lagi dia bersifat menyerang.
Dia memacu kudanya untuk mengejar kesana-kemari di
mana lawan berada. Pemuda itu melakukan serangan dengan ganas.
Pedangnya yang dia gerakan, semua diarahkan hanya untuk
membunuhlawan. Ini terlihat sekali, betapa yang diburu
mata pedang hanya bagian tubuh yang mematikan saja.
Satu dua lawan yang mendekat, tak ayal menderita
serangan yang dahsyat. Kalau tidak segera menghindar
dengan jalan berguling-guling, mereka tidak sekadar luka
biasa saja, melainkan akan tamat riwayatnya karena leher
terbabat pedang atau dadanya terpanggang benda yang
sama. Tapi, jumlah penyerang satu setengah lebih banyak dari
rombongan seba. Apalagi di antara mereka sudah banyak
yang terluka dan jumlahnya hampir mencapai setengahnya.
Sekali pun Suji Angkara gagah berani menghadapi lawan,
tapi perhatiannya terpecah-pecah karena dia pun berusaha
juga untuk melindungi keselamatan anak buahnya.
Sambil masih mengendap-ngendap di balik semak dan
batang pohon jati, Ginggi mencoba datang lebih dekat lagi.
Melihat keadaan tak menguntungkan fihak rombongan
seba, Ginggi harus segera membantunya. Kendati pemuda
itu kurang setuju dengan tindakan rombongan seba di Desa
Wado tetapi kalau harus memilih, dia akan membantu
rombongan ini ketimbang memperhatikan keselamatan
fihak penyerang. Selintas pun Ginggi sudah bisa menduga
bahwa fihak penyerang merupakan komplotan jahat yang
mencoba akan merampas barang seba. Ginggi juga punya
kepentingan dalam membantu menolong rombongan seba.
Dia ingin menyelidiki lebih jauh siap Suji Angkara ini. Dia
ingin menggabungkan rasa curiga Rama Dongdo, Nyi
Santimi dan naluri dirinya sendiri. Pemuda tampan berkulit
putih ini sepertinya punya misteri.
Ginggi mengumpulkan butiran batu kecil yang
dicongkelnya dari tanah lembek, sambil matanya terus
menyaksikan jalannya pertempuran.
Di salah satu sudut pertempuran, Seta nampak dikepung
tiga orang musuh, padahal bahu kirinya sudah
terlukamengeluarkan darah. Tapi kendati pemuda tampan
yang di bibirnya selalu mencibir ini sudah terluka, para
pengeroyoknya seperti belum puas dan nampaknya ingin
menempatkan riwayat pemuda itu. Itu nampak dari
berbagai serangan yang datang kesemuanya terlihat ganas
dan mengarah ke tempat-tempat berbahaya.
Suatu saat pemuda itu jatuh terjerembab karena
menangkis serangan sebuah golok. Badannya telentang tak
berdaya. Dia hanya berhasil menangkis satu serangan saja,
sedangkan ada serangan lainnya mengarah ke batok
kepalanya. Namun ketika golok musuh diayun
pemegangnya, tangan Ginggi pun segera bergerak
menyambitkan satu kerikil. Serbuan batu kerikil lebih cepat
dari gerakan ayunan golok dan tepat mengarah ke urat nadi
pergelangan tangan. Karena urat nadi menjadi kaku dan
kesemutan, gerakannya terganggu. Ini memberkan
kesempatan kepada Seta untuk melakukan serangan
balasan. Si penyerang menjerit ngeri dan tubuhnya limbung
ke samping ketika babatan golok merobek perutnya.
Satu kali golok Seta berkelebat kembali dan kali ini si
penyerang yang tangannya masih kesemutan menjadi
makanan empuk golok tak bermata itu. Jeritan kedua
terdengar memecah hutan jati dan tubuh orang itu
terjerembab karena luka yang sama seperti kawannya.
Akan halnya penyerang ketiga yang menghambur dari
belakang, secara aneh badannya terjerembab ke depan.
Pemuda Seta yang posisinya masih telentang, sudah barang
tentu kaget bukan main. Lawannya ini jelas melakukan
serangan tetapi amat nekat dan bodoh bila begitu saja
menjatuhkan diri ke atas badan lawan, apalagi tanpa
bersiap dengan goloknya. Bluk, tubuh si penyerang
menindih badan Seta tanpa bisa bergerak lagi. Seta heran,
mengapa tubuh ini jatuh seperti karung goni. Tapi hal ini
tak dibuat bingung berlama-lama, sebab goloknya segera
digerakan untuk "merangkul" tengkuk penindihnya. Mata
golok yang tajam ditekan kuat-kuat dan membenam dalam
ke tengkuk lawan. Seta menyingkirkan tubuh yang diam tak bergerak
menindih badannya. Dia segera bangun, berdiri dan
bertolak pinggang dengan gagahnya. Matanya menyipit dan
meneliti ketiga tubuh yang bergelimpangan di bawah
kakinya. Sementara di tempat lain, perkelahian juga hampir dapat
diselesaikan. Ini karena Ginggi pun melakukan hal yang
sama, membantu rombongan seba secara diam-diam.
Hanya saja, dari bantuannya ini mengejutkan dirinya, sebab
setiap musuh yang dia timpuk urat nadinya dan menjadi
terganggu gerakannya, menjadi sasaran empuk fihak Suji
Angkara dan dibabat habis tanpa mengenal ampun.
Ginggi tersenyum pahit dari balik pohon yang jaraknya
hanya sekitar empat atau lima depa saaja dari arena
pertempuran. Ini adalah pemandangan pertama baginya.
Ternyata yang namanya perkelahian sepertinya hanya
memilih dua alternatif, dibunuh atau membunuh.
Sisa-sisa musuh yang tak telanjur menjadi mayat itu,
hanya karena mereka melakukan langkah seribu saja,
termasuk Si Brewos pemimpinnya. Mereka terbirit-birit
masuk ke kegelapan hutan jati, dijadikan bahan tertawaan
lawannya. Namun sebelum suara langkah kaki mereka
menghilang, terdengar suara teriak dari mereka. Rupa-
rupanya Si Brewos yang berteriak.
"Tunggulah pembalasan bagi orang orang yang berani
melawan Ki Banaspati!" teriaknya lantang.
"Apa, Ki Banaspati"!" suara teriakan campur rasa heran
ini keluar dari mulut Suji Angkara, Ki Ogel, Ki Banen dan
mulut Ginggi dari balik semak-semak. Ginggi terkejut, Ki
Banaspati adalah salah satu dari keempat orang yang
tengah dicarinya atas perintah Ki Darma. Ki Banaspati
menjadi perampok" "Mustahil Ki Banaspati merampok barang yang akan
diserahkan kepadanya!" teriak Seta sambil kedua tangan
masih bertolak pinggang di sekeliling mayat yang
bergeletakan. "Seta, kau berhasil melumpuhkan mereka seorang diri?"
berteriak Madi gembira campur heran. Keheranan serupa
juga melanda semua orang, termasuk Suji Angkara.
"Kau kalahkan mereka seorang diri?" tanya Suji Angkara
sambil turun dari kudanya.
"Saya juga gembira bisa mengalahkan mereka, Raden?"
kata Seta tersenyum cerah dan masih bertolak pinggang.
Tubuh yang bergeletakan satu-persatu dia gulingkan dengan
ujung kakinya, sombong sekali. Nampak Suji Angkara
tersenyum mengejek. "Syukurlah kau bertindak gagah.
Kelak aku akan usulkan kau jadi jagabaya di bawah
kekuasaan Kandagalante Muaraberes," kata Suji Angkara.
Seta menggangguk suka cita.
"Bagaimana kita sekarang, Raden?" tanya Ki Banen.
"Kita akan melanjutkan perjalanan menuju arah hilir
Cipeles dan berhenti sebelum masuk jalan pedati menuju
Sumedanglarang. Akan ada utusan Ki Banaspati di sana,"
kata Suji Angkara bicara sambil mata menerawang ke
kejauhan dan tangan kanan memegang hulu senjata yang
terselip di pinggang. "Mari, kita harus segera meninggalkan tempat ini dan
terpaksa dilakukan malam-malam. Banyak binatang buas di
sini," kata Suji Angkara lagi.
"Ada enam orang terluka, termasuk Seta. Mereka tak
akan kuat melakukan perjalanan jauh, Raden," kata Ki
Ogel. "Aku kuat, Aki!" kata Seta padahal darah di bahu kirinya
terus mengucur. Sebelum Suji Angkara memutuskan sesuatu, dari arah
belakang mereka, kira-kira belasan depa jaraknya ada orang
tergopoh-gopoh. "Apa yang terjadi di sini" Hah, banyak orang luka
nampaknya!" teriak Ginggi. Dia memutuskan akan
bergabung dengan rombongan agar memudahkan
perjalanan selanjutnya. Mulanya semua orang bercuriga dan bersiap kembali
dengan senjatanya. Namun kemudian mengurungkannya
kembali setelah tahu siapa yang datang.
"Itu pemuda dungu di kampung kita," kata Ki Ogel
tertawa. "Hei, kemanaa saja kau" Bukankah tempo hari
kamu akan ikut membantu mengangkut barang seba?"
tanya Ki Ogel. "Oh, kalian rupanya. Mengapa meninggalkanku?" tanya
Ginggi pura-pura bingung.
"Ki Ogel, jangan membawa orang tolol itu. Dia telah
mengacaukan acara pertunangan saya dan Nyi Santimi dan
hampir-hampir gagal," kata Seta menuding hidung Ginggi.
Ginggi mundur beberapa tindak dan memperlihatkan
rasa takut terhadap Seta.
"Aku, aku tak salah. Hanya menatap wajah Nyi Santimi
yang cantik, dia jatuh pingsan. Padahal mataku tidak
setajam pedang, Kang!" jawab Ginggi ketakutan.
"Jangan sebut aku Kakang. Apa dikira aku ini kakakmu"
Sekali lagi kau sebut itu, kau akan terbaringkan seperti tiga
perampok itu, mengerti!" kata Seta mencabut golok.
Kembali Ginggi mundur setindak dan semua orang tertawa
dibuatnya, tidak terkecuali yang sedang terluka.
"Sekarang Nyi Santimi sakit karena matamu itu tolol!"
bentak Seta lagi. Kembali semu orang tertawa, juga Suji
Angkara. Aneh rasanya ada orang sakit karena dipandang.
"Bagaimana Raden, bolehkah aku membawa serta anak
muda ini?" tanya Ki Ogel meminta pendapat.
"Betul. Kita kekurangan tenaga pikul. Lagi pula,
ayahanda Raden pun sudah mengizinkan anak ini untuk
ikut membantu," Ki Banen ikut mengusulkan.
"Aku pandai mengobati orang sakit, orang luka dan
sebagainya, Raden," kata Ginggi mencoba menatap wajah
pemuda itu. Namun hari sudah demikian gelap dan hanya
keremangan saja yang ada di wajah pemuda itu.
"Kalau benar engkau bisa mengobati orang sakit, itu
lebih bersyukur lagi. Berarti, rombonganku punya dua
tambahan tenaga, satu tenaga tukang pikul dan satunya lagi
juru obat," kata Suji Angkara dengan bahasa yang enak
didengar. "Sekarang, coba tanggulangi teman-teman kita
yang terluka. O,ya" Siapa namamu?"
"Ginggi?" kata Ginggi yang tak mencoba lagi bertahan
tentang identitas. "Ginggi"Nama yang bagus. Kalau aku tahu lebih
dahulu, ketika lahir ke dunia aku ingin nama itu," kata Suji
Angkara. "Tapi, Ginggi adalah jin yang jahat, Raden!" jawab
Ginggi. Sejenak Suji Angkara tertegun dan seperti terkejut.
Namun akhirnya dia tertawa kecil.
"Aku senang itu"Aku senang itu. Hahaha!" katanya lagi
tertawa. Sekarang Ginggi harus membuktikan bahwa dia ahli
obat. Maka dia meminta izin untuk mencari dedaunan
hutan yang akan digunakan sebagai obat luka. Ki Ogel ikut
membantu dengan menyalakan obor.
Sebenarnya Ginggi tak benar-benar ahli sebagai peramu
obat. Tapi selama bertahun-tahun hidup bersama Ki Darma
di puncak gunung, dia banyak mengenal berbagai jenis
tanaman yang bisa digunakan sebagai obat, termasuk obat
untuk luka karena senjata tajam.
Ki Darma pernah mengatakan bahwa kehidupan
manusia sebenarnya dikawal oleh empat unsur bumi, yaitu
angin (udara), air, api dan tanah. Yang dimaksud unsur
tanah ialah juga terdapat di bumi ini, termasuk berbagai
tanaman yang tumbuh di atas tanah.
"Mereka sebenarnya menjaga kita, termasuk mengobati
kita bila terjadi sesuatu penyakit. Hanya sudah barang
tentu, kita harus mengenal sifat dan kekuatan berbagai
kekayaan di bumi ini, termasuk macam-macam tanaman
yang tumbuh di situ." Ginggi dan Ki Darma selama di
puncak meneliti dan mempelajari sifat serta kegunaan
berbagai tanaman hutan. Sekarang, pengetahuan yang didapatnya di puncak
gunung, mulai dipraktekkan untuk menolong orang lain.
Untuk mengobati luka karena senjata tajam, Ginggi
mencari daun petai cina yang kelak akan digerus dengan
garam, untuk kemudian ditempelkan dan dibalutkan ke
luka tubuh. "Sekarang aku perlu jeruk nipis banyak-banyak, ragi tape
dan bawang merah. Tapi dimana barang-barang itu bisa
ditemukan di malam begini?" tanyanya sendirian.
"Jangan kuatir, itu semua tersedia di gerobak pedati.
Senja Jatuh Di Pajajaran Karya Aan Merdeka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Seba yang akan dikirim ke Pakuan di antaranya semua hasil
rempah-rempah, termasuk yang engkau tanyakan barusan,"
kata Ki Ogel. "Bagus. Ramuan ini diperlukan untuk mencegah demam.
Orang luka biasanya diserang demam yang hebat," kata
Ginggi. (O-anikz-O) Penjemput Tak Ada Perjalanan yang rencananya harus dilakukan malam itu
juga, akhirnya dibatalkan sebab enam orang yang terluka
harus disembuhkan dahulu. Di pinggir jalan lembab tengah
hutan pohon jati ini, orang-orang berbenah membuat
lingkaran dan memasang api unggun. Tiap dua orang
mendapat giliran jaga. Kecuali Ginggi, sepanjang malam
dia mengobati luka-luka para anggota rombongan. Sudah
barang tentu ini pekerjaanyang melelahkan. Apalagi
sebelum bertugas menjadi tabib, dia dikenakan pekerjaan
mengurus mayat musuh. Ada lima mayat terbujur kaku, tiga di antaranya
"dibunuh" sendirian oleh Seta, tapi yang bertanggungjawab
seluruhnya hanya Ginggi seorang. "Aku tak mau
menguburkan mayat musuhku!" kata Seta dan Madi ketus
ketika Ginggimeminta bantuan.
"Kamu harus punya rasa kasihan terhadap semua orang.
Kalau kamu yang tadi mati, mungkin dia pun akan
menguburkan jasadmu!" kata Ginggi.
"Sialan kau!" bentak Madi hendak menempeleng wajah
Ginggi yang segera menghindarinya. Sesudah menguburkan
kelima mayat, Ginggi kemudian sibuk mengurus yang luka
sampai jauh malam. "Tinggal engkau seorang yang belum kuobati, Seta," kata
Ginggi mengusap keringat di jidat.
Tapi Seta diam saja. Mendengar pun tidak. Ginggi pun
tak memaksanya. Dia hanya berkata kepada pasien yang
lima orang, agar setiaphari mentaatinya menggunakan obat
yang dibuatnya. "Sehari saja kalian tidak makan ramuanku, kalian akan
mati karena demam yang hebat dan karena luka yang
membusuk," kata Ginggi yang dianggukan oleh para
pasiennya. Ketika Ginggi akan mengambil tempat untuk
tidur, Seta datang menghampirinya.
"Jangan tidur! Brengsek kau!" kata Seta.
"Ha! Sudah tak ada pekerjaan untukku!" kata Ginggi.
"Cepat, obati aku!" kata Seta bernada perintah. Sambil
senyum dikulum, Ginggi bekerja lagi membuat ramuan
sampai hari menjelang pagi.
(O-ani-kz-O) Ginggi dibangunkan dari tidur lelapnya ketika
rombongan akan melakukan perjalanan kembali. Kata Ki
Ogel, Suji Angkara yang mengizinkan agar Ginggi
dibiarkan beristirahat agak lama.
Namun tanpa memberi kesempatan kepada pemuda itu
untuk mencari air guna keperluan membasuh muka,
rombongan segera berangkat.
Suji Angkara mengabarkan bahwa untuk sementara
perjalanan hanya akan mencapai tepi Sungai Cipeles saja
dulu. Di tepi jalan di ujung jembatan gantung ada garduh
tempat beristirahat dan di sanalah utusan Ki Banaspati
menunggu. Sudah barang tentu, uraian ini semakin menarik bagi
Ginggi. Suji Angkara yang dianggap misterius dan dicurigai
Rama Dongdo, bagi Ginggi hari ini merupakan orang yang
amat diperlukan karena bisa digunakan sebagai petunjuk.
Ginggi juga ingin tahu, apa hubungan Suji Angkara
dengan Ki Banaspati" Kemudian, apa pula hubungan
antara Ki Banaspati dengan komplotan perampok itu. Tadi
malam seusai pertempuran kecil di hutan jati, perampok
berteriak mengakui dirinya sebagai bawahan Ki Banaspati.
Kalau benar begitu, hanya menggambarkan seolah-olah Ki
Banaspati pimpinan para perampok! Sungguh gila
pengakuan ini. Padahal Ki Banaspati yang dimaksud Ki
Darma adalah seorang yang tengah menjalankan misi untuk
membela ambarahayat Pajajaran. Atau, ada berapa banyak
nama Ki Banaspati di bumi Pajajaran ini" Mungkinkah
yang dikenal Suji Angkara atau pun perampok di hutan jati
bukan yang dimaksud Ki Darma"
"Aku harus terus bergabung dengan rombongan ini,"
kata Ginggi dalam hatinya.
Seperti biasa, rombongan pengirim barang seba ini
berjalan terseok-seok karena perjalanan yang berat.
Sekarang barangkali lebih lambat sebab adanya orang-orang
yang luka. Mereka jangankan disuruh memikul beban berat,
untuk melangkah dengan tegap saja nampaknya amat
kesulitan. "Kalian nanti beristirahat di dusun kecil tepi Sungai
Cipeles," kata Suji Angkara kepada yang terluka.
"Apakah di sana kita akan mengangkut barang seba yang
baru lagi, Raden?" tanya Ki Banen yang selama di
perjalanan jarang sekali bicara.
"Tahun-tahun lalu dusun itu suka bergabung dan
mengirimkan hasil bumi kepada Umbul Cipeles, untuk
selanjutnya dikirim ke Kandagalante yang menguasai
Sumedang Selatan. Tapi kita lihat saja nanti, apakah ada
kekayaan mereka yang perlu kita angkut," kata pemuda
yang mencongklang kudanya lambat-lambat di depan.
Ginggi ada di barisan paling belakang. Dia bertugas
mengawal perjalanan roda pedati. Kalau roda melesak ke
tanah lembek atau masuk ke sela-sela batu, tugas Ginggi
untuk mendorong pedati, dibantu oleh beberapa orang yang
terpaksa menurunkan pikulannya.
Kalau mau, sebetulnya dengan tenaga seorang saja
pemuda itu sanggup mendorong-dorong pedati tanpa
menggunakan kerbau. Hanya saja bila dia sembrono
memperlihatkan tenaganya, hanya akan membuat orang
bercuriga padanya. Dia tak ingin membuat orang
memperhatikannya secara khusus.
"Kalau orang mengetahui bahwa kita punya kekuatan,
mereka akan bertindak hati-hati kepada kita. Tapi
sebaliknya, bila kita terlihat bodoh, maka mereka akan
menganggap enteng dan selalu melakukan tindakan
sembrono yang dalam hal-hal tertentu akan
menguntungkan kita," kata Ki Darma tempo hari di tengah-
tengah latihan kerasnya. Ucapan Ki Darma ini mudah dibuktikan kebenarannya
sesudah Ginggi turun gunung. Jangan jauh-jauh, pikirnya,
karakter dan isi benak pemuda Seta dan Madi begitu
terkuak dan mudah diketahui Ginggi, hanya karena dia
berpura-pura menjadi orang lemah. Kedua pemuda itu
mungkin beranggapan bahwa sikap dan kebiasaannya tak
perlu mendapatkan penilaian dari pemuda "bodoh" macam
Ginggi. Coba kalau pemuda ini memperlihatkan
kemampuan yang sebenarnya, bisa-bisa Seta dan Madi
membungkuk dan merunduk atau menyembah sampai
wajah mereka mencium tanah saking hormat kepadanya.
Dan penampilan hormat itu hanya polesan belaka, tidak
menampilkan karakter yang sesungguhnya.
Ketika Ginggi mendorong pedati dengan susah payah,
Ki Banen yang selalu berjalan di muka bersama Ki Ogel,
pergi ke barisan belakang dan ikut mendorong pedati.
"Kau ke mana saja, anak muda?" tanyanya
"Dari tadi aku mendorong pedati disini, Aki!" kata
Ginggi dengan nafas senggal-senggal.
"Maksudku, kemarin dulu itu," kata Ki Banen. "Malam
pertama kehadiranmu di Desa Cae, kau tidur di gardu.
Malam kedua, aku tahu kau menonton pertunjukan pantun.
Tapi di malam ketiga, aku tak lihat kamu," katanya.
"Malam ketiga" Di mana aku, ya?" Ginggi menggaruk-
garuk belakang kepalanya.
"Bukan apa-apa. Aku ingin memberikan beberapa
penjelasan malam itu karena aku ingat kau ingin ikut
menjadi pengirim barang-barang seba,," kata Ki Banen.
Ginggi hanya diam saja. "Kau harus hati-hati terhadap Raden Suji?" kata Ki
Banen lagi. "Pemuda tampan itu baik padaku," jawab Ginggi.
"Begitu, selama engkau menuruti kata-katanya. Tapi
kalau kau punya pendapat yang tak berkenan di hatinya,
kau bisa repot." "Ya, akan kuusahakan saja," gumam Ginggi. "Tapi, kau
selalu sependapat dengan pemuda tampan itu, bukan?"
giliran Ginggi mengajukan pertanyaan. Tampak Ki Banen
menghela nafas. Roda pedati masuk ke sela-sela batu, berhenti mendadak
karena terganjal. Ginggi tersuruk ke depan dan mukanya
membentur pantat pedati. Hanya saja Ki Banen sanggup
menahan tubuhnya sehingga tak sampai terjerembab ke
depan. Ginggi mengusap-ngusap jidatnya, nampak seperti
kesakitan. "Ayo dorong berdua. Satu, dua, tigaaa!! Ya!!!" teriak Ki
Banen memberi aba-aba. Pedati kembali berjalan.
"Kalau aku punya waktu, kapan-kapan kau kulatih
ilmupenca, anak muda!" kata Ki Banen.
"Penca, apakah itu?"
"Itu ilmu untuk mempertahankan diri dari gangguan
musuh. Bila kau memiliki ilmu penca, kau tidak akan
dijadikan bulan-bulanan oleh Seta dan Madi."
Ginggi tersipu dan memalingkan muka. "Aku dengar kau
dianiaya oleh kedua pemuda sombong itu di tepi pancuran.
Kalau kau punya kepandaian, kau tak mungkin dihina
seperti itu," kata Ki Banen.
"Kalau aku punya kepandaian, giliran aku yang
menghina orang lemah, ya, Aki!"
Ki Banen tersenyum. "Itulah kekeliruan hidup, anak
muda. Manusia cenderung menganggap enteng orang yang
dianggapnya lebih lemah dari kita. Padahal ilmu penca juga
mengajarkan budi pekerti selain sebagai ilmu bela diri. Bila
orang sudah belajar penca, jangan ingin dipuji karena punya
kepandaian dan jangan menghina orang, juga karena
kepandaian. Penca hanya akan memberikan kesadaran
kepada kita bahwa sebenarnya kita ini makhluk lemah dan
tak ada apa-apanya dibandingkan Sang Rumuhun," kata Ki
Banen. "Siapa Sang Rumuhun?"
"Itulah penguasa tunggal di jagat ini. Langit dan bumi
beserta isinya, semua milikNya," kata Ki Banen.
"Kau pernah berjumpa dengannya?"
"Kita bisa berjumpa denganNya hanya melalui hati dan
naluri. MencariNya hanya menggunakan akal tak akan bisa
ditemukan. Akal tidak bisa menjawabnya bila ada
pertanyaan mengapa Sang Rumuhun menciptakan kita,
menciptakan binatang, tumbuh-tumbuhan dan alam raya.
Hanya dengan naluri saja kita mengakui kekuasaanNya,"
kata Ki Banen. "Bila hidup kita dikuasai olehNya, barangkali kita tak
boleh berbuat semaunya, Aki!"
"Betul." "Tidak boleh sewenang-wenang."
"Betul?" "Tidak boleh merampas barang orang lain walau pun apa
alasannya." "Betul?" "Termasuk dengan alasan kepentingan seba?"
Ki Banen merandek, kemudian tunduk dan menghela
nafas."Kau pasti tahu peristiwa di Kampung Wado, anak
muda," keluhnya. "Aku singgah di sana sebelum menyusulmu, Aki" kata
Ginggi menatap orang tua ini untuk mencari jawab
peristiwa di Wado. "Inilah bagian dari kemelut negara, anak muda."
"Tapi menurutmu tempo hari, pengiriman seba ke
Pakuan berlangsung tanpa musyawarah. Wilayah mana
yang tetap bersetia terhadap Pakuan, dia pergi mengirim
seba. Tetapi yang tidak mau, biarkan punya pendirian
sekehendak hatinya sendiri," tutur Ginggi menirukan apa
yang telah diucapkan Ki Banen tempo hari.
"Memang begitu," jawab Ki Banen.
"Nah! Tapi mengapa kalian memaksa orang Wado untuk
mengirim seba ke Pakuan padahal ratunya sudah memilih
biluk ke Cirebon?" "Memang kacau, kacau!" gumam Ki Banen. "Raden Suji
punya pendirian keras. Dia tetap bersetia kepada Pakuan,
bahkan berani memaksakan kehendaknya kepada orang
lain. Jadi menurutnya, semua orang harus tetap mengakui
Pajajaran sebagai penguasa tunggal di tanah Sunda ini,"
kata Ki Banen. "Dan Aki sendiri akan bersetia ke mana?" tanya Ginggi.
"Aku ini orang Pajajaran. Sejak pemerintahan Kangjeng
Prabu Sri Baduga Maharaja lebih dari limapuluh tahun lalu,
di masa remaja, aku sudah mengabdi sebagai jagabaya di
beberapa kandagalante. Terakhir aku menjadi jagabaya
bersama Ki Ogel di Karatuan Talaga dan baru berhenti
ketika Talaga masuk wilayah Cirebon," kata Ki Banen
menerawang masa-masa yang telah lalu.
"Kau terus bersetia kendati raja-raja yang memimpin
Pajajaran tidak sebaik pendahulunya, Aki?" tanya Ginggi
mengerutkan alisnya. Ki Banen menghela nafas. "Raja boleh berganti-ganti tetapi Pajajaran tetap sama.
Dan kau harus ingat, bahwa sebetulnya kau hidup di bumi
Pajajaran. Kepada Pajajaran pula kau harus mengabdi,"
kata Ki Banen pasti. "Aku tidak akan ikut campur pada pendirianmu, Aki.
Tapi aku ingin mengingatkanmu, hati-hatilah dalam
melakukan pengabdianmu. Kau jangan keliru memilih,
jangan sampai kesetiaanmu dimanfaatkan untuk
kepentingan lain oleh orang-orang yang tak
bertanggungjawab," kata Ginggi.
Ki Banen menatap sejenak, kemudian tertawa kecil.
Ginggi tak faham, tawa kecilnya ini karena apa. Apakah
karena ia mengerti akan peringatan pemuda itu, atau malah
Senja Jatuh Di Pajajaran Karya Aan Merdeka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
melecehkannya karena merasa dinasihati oleh anak muda.
"Satu lagi pertanyaanku, Aki," kata Ginggi sesudah
untuk yang kesekian kalinya menjungkat roda pedati yang
masuk terhimpit sela-sela batu.
Ki Banen menoleh ke arah Ginggi.
"Aku ingin tahu, siapa Ki Banaspati itu?" tanya Ginggi.
"Aku belum jumpa dengan orang ini. Tapi pasti
merupakan tokoh penting di Pakuan. Suji pun nampak
menyeganinya. Kata anak muda itu, Ki Banaspati petugas
penting di jajaran Muhara Pakuan," jawab Ki Banen.
"Muhara?""
"Muhara adalah petugas penarik pajak. Pucukmuhara di
Pakuan dipegang oleh Bangsawan Soka, masih kerabat raja
juga. Kata Raden Suji, Ki Banaspati bertugas sebagai
muhara di wilayah timur, wilayah paling berat dalam
pemungutan pajak, sebab selain jarak jangkaunya amat
jauh, juga beberapa wilayah sudah memihak Cirebon.
Raden Suji Angkara, putra Ki Kuwu Suntara, merupakan
tangan kanan Ki Banaspati dalam pemungutan pajak di
daerah timur," kata Ki Banen.
Ginggi masih termangu-mangu di saat-saat santai bila
pedati lancar berjalan. "Tapi, tadi malam?" Ginggi tak melanjutkan kata-
katanya. Sedianya teriakan perampok yang mengaku anak
buah Ki Banaspati akan ditanyakan. Tapi mana mungkin
dia bertanya, padahal ketika teriakan itu terdengar, dia
masih sembunyi. Ki Banen tak memperhatikan pertanyaan yang terpotong
itu sebab ada suara Suji Angkara memanggil dirinya.
Ketika matahari sudah condong ke barat, rombongan
tiba di dusun kecil tepi Kali Cipeles. Di dusun ini mereka
bermalam agar besok bisa melanjutkan perjalanan pagi-pagi
sekali. Tidak ada kejadian berarti di dusun kecil ini, kecuali
adanya penghormatan berlebihan dari kepala dusun kepada
Suji Angkara. Kepala dusun dengan rasa takut dan segera mengatakan
bahwa dusunnya tak sanggup membayar seba kekayaan
hasil bumi karena panenan palawija kurang berhasil.
"Kalau bisa diterima kami akan menjalankan dasa saja,
yaitu membayar pajak dengan tenaga. Semua penduduk
dusun siap sedia membantu mengangkut barang pikulan
yang banyak ini," kata kepala dusun.
"Baik, kalian kerjakan saja apa yang mampu kalian
kerjakan. Yang penting kalian tetap mengabdi kepada
Pajajaran," kata Suji Angkara. Kepala dusun merunduk dan
menggangguk sebagai tanda bersyukur bahwa dia diizinkan
membayar pajak berdasarkan kemampuan yang ada.
"Ada enam orang petugas kami yang luka-luka karena
gangguan orang jahat di tengah perjalanan. Kau
berkewajiban merawat anggota kami di sini. Dan karena
kami butuh anggota pengganti, kau harus sediakan tenaga
enam atau sekurang-kurangnya lima orang pemuda
bertubuh sehat dan bertenaga kuat. Mereka harus
bergabung dalam pengiriman seba yang bertugas hingga
Sagaraherang," kata Suji Angkara. Kepala dusun
mengganguk tanda siap melaksanakan perintah.
Besok paginya, benar saja kepala dusun sudah
menyiapkan enam orang pemuda yang tegap-tegap. Kepala
dusun pun sudah mengatur agar enam orang petugas
pengiriman seba yang luka ditampung di rumah-rumah
penduduk untuk dirawat kesehatannya.
Rombongan segera berangkat lagi. Kali ini, jalan pedati
sudah tak seberat seperti di bukit-bukit hutan jati sana.
Selain perjalanan tidak naik turun bukit, juga jalanan sedikit
rata berdebu di saat kemarau yang tengah berlangsung ini.
Jalan pedati ini terus menyusuri Kali Cipeles dan yang
kelak satunya akan menuju wilayah Kandagalante
Sumedang dan satunya akan menyebrangi Kali Cipeles,
terus ke utara menuju Sagaraherang, Cikao, Karawang,
Tanjungpura, Warunggede, kemudian lurus ke barat
menuju Cibarusa, Cileungsi, dan akan berakhir di ibukota
Pajajaran, Pakuan. "Tapi di beberapa daerah utara, bisa jadi kita tak akan
melewati jalur utama sebab kekuatan Pasukan Cirebon di
wilayah utara sudah nampak nyata. Kita harus menghindari
percekcokan dengan mereka tentang urusan seba ini," kata
Suji Angkara. Ki Banen mengatakan kepada Ginggi, perjalanan
pengiriman seba ini memang tersendat-sendat tidak seperti
masa-masa Pajajaran utuh menguasai tanah Sunda.
(O-anikz-O) Jilid 07 Pengiriman seba dari wilayah-wilayah yang diakui
Cirebon sebagai wilayah mereka jelas akan ditentang
mereka. Kata Ki Banen, jangankan melakukan perjalanan
membawa seba secara terang-terangan di wilayah utara,
menumpang lewat saja ke Sumedanglarang, rombongan ini
tak berani melakukannya. "Selepas Wado kemarin dulu misalnya, kita tak berani
mengambil jalan bagus sebab harus melewati Pasanggrahan
dan Ciguling, ibukota Karatuan Sumedanglarang. Berani
masuk ke pusat wilayah mereka, kita akan menghadapi
berbagai hambatan," kata Ki Banen.
Sebelum matahari ada di atas kepala, rombongan sudah
tiba di jalan bercagak tepi sungai. Satu lurus ke timur
menuju wilayah kandagalante Sumedang, satunya
menyebrang Sungai Cipeles menuju utara ke Sagaraherang.
Di jalan bercagak ini memang terdapat sebuah gardu
tempat orang beristirahat. Tapi tidak seperti dikatakan Suji
Angkara, ternyata di sini tidak diketemui seseorang yang
mengaku utusan Ki Banaspati. Gardu itu kosong.
"Kita terlambat satu hari, sebab seharusnya kita tiba
disini kemarin pagi," kata Suji Angkara kemudian.
"Jadi, kita mesti bagaimana Raden?" tanya Ki Ogel.
"Kita lanjutkan perjalanan sampai ke Sagaraherang saja,"
katanya. Yang mendengarkan perkataan Suji Angkara
saling pandang satu sama lain.
"Raden, orang-orang kita ini tidak dipersiapkan untuk
melakukan perjalanan sejauh itu. Mereka hanya bertugas
sampai selepas Sumedanglarang saja," kata Ki Banen.
"Boleh, siapa yang tidak siap ikut denganku?" tanya Suji
Angkara sambil meneliti tiap-tiap orang. Tapi tidak seorang
pun berani berkata tidak. Tidak pula Ki Banen.
"Saya siap mengikuti anda ke mana saja, Raden," kata
Seta bersemangat. "Saya pun siap bersama anda apa pun yang terjadi!"
Madi tak kalah semangatnya. Suji Angkara menyipitkan
mata dan melihati setiap wajah anak buahnya. Semuanya
nampak mengangguk-angguk tanda siap.
"Hei, kamu anak bodoh, bagaimana?" Suji Angkara
menatap ke arah Ginggi. "Aku juga siap sampai mati!" teriak Ginggi bersemangat.
Suji Angkara tersenyum mendengarnya.
"Ternyata tak ada yang pengecut melakukan perjalanan
jauh, Paman Banen," kata Suji Angkara tersenyum kecil. Ki
Banen menunduk. Dan akhirnya perjalanan dilanjutkan menyebrangi
jembatan gantung Sungai Cipeles.
Perjalanan menuju utara juga terasa sangat berat kendati
tidak seberat di hutan jati wilayah Wado.
Daerah utara sebetulnya merupakan wilayah dataran
rendah. Dan kian ke utara kian rendah sebab menuju
pantai. Tapi sebelum tiba di dataran rendah, perjalanan
akan melewati wilayah pegunungan hutan pinus dan
cemara yang amat lebat. Di beberapa tempat, jalan pedati
akan melalui lembah dan ngarai di mana matahari tidak
bisa tembus ke bumi. Rombongan harus berkejaran dengan waktu dan Suji
Angkara tak memperkenankan matahari lebih tiba sampai
di barat dibandingkan dengan rombongannya. Untuk itu,
dia memerintahkan agar rombongan berjalan cepat.
(O-anikz-O) Misteri Terkuak Keinginan pemuda tampan ini memang bisa
dilaksanakan sebab kondisi jalan di daerah ini sedikit lebih
baik ketimbang tempat-tempat yang sudah dilalui. Jalan
pedati di daerah ngarai, kendati berkelok-kelok dan turun
naik tapi permukaan jalan sedikit rata dan memudahkan
roda pedati untuk menggelinding dengan mudah.
Hanya satu kali saja ada gangguan di perjalanan yaitu
ketika ke tengah jalan melintas seekor ular yang cukup
besar. Oleh mereka, ular itu dibunuh ramai-ramai dan
dagingnya dipanggang. Menjelang senja hari, rombongan sudah berhasil
melintasi hutan perbukitan dan mereka tengah menempuh
perjalanan menurun menuju daerah dataran rendah.
Sebelum matahari benar-benar tenggelam, rombongan
sudah tiba di wilayah Kandagalante Sagaraherang. Lawang
kori (gerbang) yang sedianya akan segera ditutup, harus
menunggu mereka masuk. Sejenak rombongan
mendapatkan pemeriksaan. Dan tak berapa lama kemudian
petugas mengizinkan rombongan ini memasuki pintu
gerbang. "Ki Banaspati sudah lama menunggu kedatangan
rombongan kalian," kata jagabaya.
Bergetar dada Ginggi mendengarnya. Mengapa tidak
begitu, sebab ini adalah pertemuan pertama dengan orang
yang menjadi murid Ki Darma. Melalui Ki Banaspati ini,
Ginggi akan segera mendapat petunjuk dan pengarahan
perihal tugas-tugas yang dibebankan Ki Darma padanya.
Namun kendati demikian, pemuda ini tetap akan bersifat
hati-hati dan tak akan begitu saja memperkenalkan diri. Dia
tetap teringat akan teriakan pimpinan perampok di hutan
jati bahwa mereka anak buah Ki Banaspati. Biarlah.
Yang disebut Ki Banaspati ini ternyata seorang lelaki
setengah baya berusia kurang lebih limapuluh tahun. Lelaki
ini nampak gagah dan berwibawa. Tubuhnya tinggi besar
dan dadanya bidang. Dia berpakaian seperti bangsawan,
menggunakan pakaian bedahan lima jenis beludru coklat.
Celana komprang hitam dengan ornamen warna emas.
Pinggangnya dililit ikat pinggang terbuat dari kulit rusa,
indah dan gagah. Sedangkan kepalanya ditutup bendo citak
dari kain batik corak hihinggulan, Yang membuat Ki
Banaspati lebih berwibawa adalah juga penampilan
wajahnya. Matanya tajam berkilat, sepasang alis tebal
melengkung seperti golok dan hidungnya mancung agak
melengkung. Ada kumis tipis di atas bibir menambah
kegagahannya. Ki Banaspati duduk bersila di ruangan tengah yang
cukup luas dengan lantai mengkilat terbuat dari papan jati.
Di sampingnya duduk seorang lelaki setengah baya lainnya
tapi dengan penampilan tak kalah gagahnya. Atau malah
bisa juga lebih gagah Mungkin karena jenis pakaiannya
lebih mewah, di mana baju bedahan tengah yang
dikenakannya terbuat dari bahan antik yang bukan dibuat di
Pajajaran. Kalau Ginggi pernah mengenalnya, jenis kain
yang digunakan untuk baju bedahan tengah ini hanya
dipakai oleh para saudagar yang sering berhubungan
dengan saudagar bangsa asing saja, sebab jenis kain yang
didapat merupakan hasil pertukaran dengan barang-barang
keperluan yang mereka butuhkan dari bumi Pajajaran.
Lelaki ini juga memakai tutup kepala berupa bendo citak
dengan motif batik warna lain. Hanya bedanya, tepat di
bagian depan bendo, dihiasi ornamen logam warna emas,
sehingga ketika lampu minyak kelapa yang digantung di
ruangan tengah menerangi, ornamen itu memantulkan
warna-warna gemerlap. Wajahnya agak bulat telur, berkulit
putih bersih dan ada kumis tebal di bawah hidungnya yang
sedikit macung. Ki Banaspati memperkenalkan lelaki ini sebagai Ki
Sunda Sembawa, seorang pejabat berpangkat Kandagalante
(setingkat wedana untuk masa kini-pen) yang mengusai
wilayah Sagaraherang. Hanya lima orang yang berkenan duduk di ruang tengah
menghadap Ki Sunda Sembawa dan Ki Banaspati, sebab
yang lain-lainnya termasuk Ginggi, duduk bersila ditepas
(beranda) saja. "Terima kasih engkau berhasil mengawal barang seba
hingga ke tujuan," kata Ki Banaspati kepada Suji Angkara.
Suji Angkara mengangguk hormat sebagai tanda terima
kasih bahwa tugasnya dihargai.
"Berkat doa Ki Banaspati, kami bisa selamat sampai di
Sagaraherang, kendati di tengah jalan mengalami gangguan
pengacau," ujar Suji Angkara. Berkerut alis Ki Banaspati
mendengar laaporan ini. "Kami dihadang perampok di tengah hutan jati wilayah
Wado," kata Suji Angkara lagi.
"Perampok di hutan jati?" Ki Banaspati dan Ki Sunda
Sembawa terkejut dan saling pandang.
"Benar. Tapi yang mengagetkan kami, para perampok
mengaku di bawah kendali Ki Banaspati. Kami secuil pun
tidak mempercayainya. Namun begitu, kami akan tetap
meminta penjelasan perihal ini," kata Suji Angkara masih
bernada hormat tapi tegas.
Untuk kedua kalinya, Ki Banaspati dan Ki Sunda
Sembawa saling pandang dengan alis berkerut. Nampak
sekali kedua orang ini amat terkejut.
"Aku Bersyukur kalian tiba dengan selamat dan dapat
menghalau penjahat. Tapi kalian harus percaya
sepenuhnya, bahwa pengakun orang-orang jahat itu fitnah
belaka," kata Ki Banaspati dengan wajah geram.
Ki Sunda Sembawa pun menampakkan kegeraman,
wajahnya yang putih bersemu merah dan bibirnya
dikatupkan. "Kau harus percaya anak muda, bahwa baik kepada Ki
Banaspati, maupun kepadaku, ada kelompok-kelompok
yang tidak suka. Mereka tidak suka bila kami berpengaruh
di daerah sini. Mereka juga tidak suka kami masih tetap
menjalankan kebijaksanaan memungut seba untuk
Senja Jatuh Di Pajajaran Karya Aan Merdeka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pajajaran. Mungkin kau tahu, di sini daerah apa dan siapa
kira-kira yang tidak senang kepada kami," kata Ki Sunda
Sembawa. Suji Angkara mengiyakan. "Wilayah Kandagalante Sagaraherang memang
berbatasan dengan wilayah utara yang dikuasai orang-orang
Cirebon. Mereka selalu membuat hambatan agar kita tak
mengirimkan seba ke Pakuan," kata Suji Angkara.
Ki Banaspati dan Ki sunda Sembawa sama-sama
menggangguk tanda membenarkan pendapat anak muda
itu. "Tapi, mungkinkah mereka menyamar sebagai
perampok, padahal mereka mengaku sudah mempercayai
agama baru dan pantang melakukan kejahatan?" sambung
Suji Angkara meminta pendapat.
Sejenak Ki Banaspati dan Ki Sunda Sembawa tak bisa
mengeluarkan komentar. "Sekarang mereka bukan berbicara atas nama agama,
akan tetapi bergerak untuk kepentingan politik. Tahukah
engkau peristiwa puluhan tahun yang lalu di mana Banten
dan Cirebon mengepung serta merebut Pelabuhan Sunda
Kalapa" Apakah mereka menyerang dan merampas Sunda
Kalapa dari tangan Pakuan karena urusan agama" Tidak!
Mereka melakukan kesemuanya karena kepentingan politik
semata. Kalau bicara atas nama agama, tak nanti mereka
menyengsarakan penduduk Sunda Kalapa dan menutup
lalu-lintas perdagangan antar pulau sehingga masa depan
Pajajaran terhambat karenanya," kata Ki Sunda Sembawa
dengan nada tinggi. Ki Banaspati mengangguk-angguk
mengiyakan. Yang hadir juga sama mengangguk-angguk
tanda setuju dengan pendapat itu, kecuali Ginggi yang tetap
diam mematung. "Kalau begitu, menurut Ki Banaspati, bisa juga
perampok di hutan jati itu orang-orang yang sudah masuk
pengaruh Cirebon," kata Suji Angkara.
"Bisa juga begitu. Dan supaya namaku buruk, mereka
memfitnah seolah-olah perampokan itu dilakukan di bawah
perintahku. Begitu kan, Ki Kandagalante?" kata Ki
Banaspati kepada Ki Sunda Sembawa.
"Kalau begitu adanya, saya bersyukur. Dengan
demikian, tugas yang saya berikan ini tidak percuma," kata
Suji Angkara menatap tajam Ki Banaspati. Yang ditatap
balas menatap. Dan untuk beberapa lama mereka saling
tatap. Ki Banaspati yang duluan memalingkan muka. Dia
berpaling sambil tersenyum tipis penuh arti.
Mereka berbincang-bincang beberapa waktu lamanya,
sampai akhirnya semua orang akan disuguhi makanan.
Sudah barang tentu semua anggota rombongan, terutama
yang bertugas memikul dongdang amat suka cita dengan
rencana acara makan ini. Menurut seseorang yang pernah
datang ke Kandagalante Sagaraherang, Ki Banaspati dan Ki
Sunda Sembawa doyan makanan yang enak-enak
Dan benar saja dugaannya. Mereka dibawa ke ruangan
khusus, yaitu sebuah bale kambang (bangunan terbuka
seperti mengambang di tengah kolam) yang amat benderang
karena penerangan api yang dipasang di sana-sini.
Yang menggembirakan mereka, bukan karena
benderangnya suasana bale kambang, tetapi karena meja
panjang yang digelar di sana. Meja panjang itu sarat dengan
berbagai penganan. Ada nasi putih beberapa bakul dengan
kepulan asapnya yang memikat selera makan. Ada macam-
macam daging, mulai dari panggang daging ayam,
kambing, sampai panggang ikan mas. Ada buah-buahan
mulai dari buah dukuh, rambutan dan durian, sampai buah
pisang yang ranum-ranum. "Ayo, semua makanan untuk kalian!" seru Ki Banaspati
yang disambut oleh teriakan gembira dari semua anggota
rombongan. Ginggi juga termasuk yang berteriak keras saking
gembiranya. Betapa tidak, sebab selama ini dia hanya
makan jenis makanan yang sederhana saja. Ketika dijamu
Kuwu Wado memang ada makanan enak tapi tidak
semewah yang disediakan disini.
"Ha, ini minuman apa?" Ginggi menyemput sebuah
kendi kecil tapi berbau harum.
"Hus! Jangan dulu ambil minuman itu!" kata Ki Ogel
menarik tangan Ginggi dan menyuruhnya menyimpan
kembali minuman itu. "Mengapa jangan diminum, aku haus sekali" kata
Ginggi. "Itu tuak, kau bisa mabuk dibuatnya."
"Tuak?" "Tuak adalah jenis minuman keras. Yang tidak biasa
minum akan mabuk, bicara mengacau karena tidak
sadarkan diri," kata Ki Ogel.
"Kalau membuat orang tak sadar, mengapa disiapkan
untuk diminum?" "Aaaah! Bawel kamu. Dasar anak tolol! Sudah, yang
penting kamu makan ini!" kata Ki Ogel sambil
membenamkan paha ayam ke mulut Ginggi yang masih
melongo. Ginggi kelabakan dan membuat orang yang
menyaksikan tertawa dibuatnya.
Semua makan-makan sepuasnya. Kegembiraan kian
bertambah sesudah hadir beberapa wanita muda dengan
paras yang elok-elok. Kata pelayan pria yang ada disana,
wanita-wanita muda ini pun ditugaskan melayani mereka.
"Apa yang kalian minta dari gadis-gadis cantik ini, pasti
diserahkan," kata seorang lelaki bertubuh gempal.
Mendengar penjelasan ini, semua orang bersorak riang.
Ginggi sibuk dengan berbagai makanan di mulutnya dan
tak begitu memperhatikan para gadis cantik berkebaya
dengan tonjolan buah dada menantang itu. Tapi ketika
perutnya mulai kenyang, dia mulai melihat sekeliling.
Teman-temannya sudah berhenti makan dan sekarang
beralih kepada minuman di kendi-kendi kecil itu. Mereka
minum banyak-banyak. Kian banyak meminum, kian kasar
dan tak punya malu kelakuannya. Beberapa dari dari
mereka bahkan tak canggung-canggung memeluk gadis
cantik-cantik itu. Beberapa orang bahkan berani mencium
pipi sang gadis, membuat Ginggi malu melihatnya. Tapi
anehnya, gadis-gadis itu tidak tersinggung sedikitpun.
Bahkan beberapa di antaranya tersenyum-senyum dengan
genitnya. Para anggota rombongan pengirim seba kebanyakan
berusia muda, jadi wajar bila mereka begitu bergairah
berdekatan dengan gadis-gadis cantik. Akan tetapi Ginggi
memuji kepada pendirian pemuda Seta. Dia tak tertarik
terhadap suasana romantis ini. Ketika dia dihampiri
seorang wanita muda dan duduk merapat di sisinya, Seta
malah menggeser duduknya, Seta malah berusaha
melepaskannya. "Ih, sombong betul. Apakah saya kurang cantik,
Kakang?" wanita muda itu mendelik tapi senyumnya masih
nampak. "Maaf Nyai, saya sudah punya tunangan. Tunangan saya
malah sedang sakit. Tak baik saya di tempat jauh berlaku
tak setia kepadanya," kata Seta serius, membuat Ginggi
kagum sekaligus malu. Si Seta ini sehari-harinya angkuh
tapi ternyata dia memiliki kesetian terhadap sesuatu yang
bernama ikatan jodoh. "Ih, kuno, lelaki kuno!" teriak wanita muda itu sambil
ngeloyor pergi. "Kemana dia pergi" Ah, seperti ke arah sini. Bahaya
aku!" Gumam Ginggi berjingkat meninggalkan kehiruk-
pikukan ini. Gadis-gadis di sini nampaknya lebih berani dan terbuka,
tidak seperti Nyi Santimi misalnya, selalu nampak pemalu
dan penuh ragu. Akan tetapi bagi Ginggi, baik gadis-gadis
pemberani ini, mau pun gadis pemalu seperti Nyi Santimi,
toh kalau dilayani akan berakhir sama menciptakan banyak
urusan baginya. Itulah sebabnya, pemuda itu lebih baik
nyeloyor pergi, menjauhkan diri dari gejala-gejala tak baik
ini. Ginggi keluar dari tempat romantis di tengah kolam ini.
Di luar udaranya agak segar, tidak sepanas di bale
kembang. Dia duduk di sebuah bangku tepi kolam dan
hanya menyaksikan tingkah polah teman-temannya yang
kian menggila bersama para wanita muda genit itu.
Matanya meneliti, yang ramai-ramai bergembira di
tempat itu hanya teman-temannya saja. Dia baru menyadari
bahwa Suji Angkara tak ada di sana. Begitu pun Ki
Banaspati dan Ki Sunda Sembawa. Ginggi mengingat-ingat,
memang pertama kali dia dan teman-temannya memasuki
bale kembang, Ki Banaspati dan Ki Sunda Sembawa tidak
ikut bersama. Tapi Suji Angkara ada duduk dan makan-
makan. Mungkin ketika selesai makan, di mana acara
beralih kepada minum-minuman keras, Suji Angkara
meninggalkan tempat itu. Tapi ke mana dia"
Ginggi berdiri dari duduknya. Dengan menghilangnya
pemuda itu menjadikan ide baginya. Entah pergi ke mana
Suji Angkara. Yang jelas, dia pun harus pergi. Entah apa
yang tengah dikerjakan Suji Angkara. Tapi yang jelas,
Ginggi harus melakukan sesuatu di sini.
Tujuan utama mengikuti rombongan seba ini karena dia
ingin menyelusuri di mana keempat murid Ki Darma
berada. Sekarang, salah seorang di antaranya diduga sudah
bisa dia temukan walau pun masih jadi keraguan dirinya.
Betulkah Ki Banaspati yang dimaksud Ki Darma adalah Ki
Banaspati yang berada di tempat ini dan sekarang menjadi
orang penting" Ginggi belum mendapatkan keterangan yang sejelasnya
kendati sudah bertemu dengan orang itu. Untuk
mendapatkan keyakinan, dia harus menyelidikinya.
Teringat sampai di situ, maka sambil menoleh ke kiri dan
kanan, pemuda itu segera berlalu setelah tahu bahwa tak
ada orang lain yang memperhatikan dirinya.
(O-ani-kz-O) Ginggi meneliti, kompleks rumah yang dimiliki
Kandagalante Ki Sunda Sembawa demikian megah dan
besar. Bangunan tempat dia tinggal merupakan bangunan
utama. Seluruhnya terbuat dari bahan-bahan kayu terpilih,
mengkilat karena halus. Atapnya terbuat dari sirap, tersusun
rapi bagaikan bulu burung garuda dan berwarna legam.
Bangunan utama itu dikelilingi oleh beberapa bangunan
lainnya. Ginggi meneliti bangunan-bangunan lain yang
ukurannya lebih kecil. Ada sebuah bangunan beratap
rumbia berupa panggung tapi amat jangkung. Bangunan
besar itu disangga balok-balok kayu besar dan kokoh.
Ginggi meloncat ke atas atap dengan mengerahkan tolakan
kaki dan ilmu kapas ngapung semacam ilmu untuk
membuat tubuh menjadi ringan. Sesudah tubuhnya
menclok tanpa bunyi di atap, dia mencoba membuka
lapisan rumbia sedikit. Ternyata di dalam gelap gulita,
kecuali tercium dedak padi. Tak ada orang di sana sebab
bangunan ini adalah lumbung padi.
Ginggi kembali meloncat turun dan meneliti bangunan-
bangunan lain. Sampai pada suatu saat dia tiba di sebuah
bangunan yang amat kokoh.
Berbeda dengan bangunan-bangunan lainnya, bangunan
ini tidak berbentuk panggung sebab keempat dindingnya
langsung menyambung dengan tanah. Dari celah-celah
dinding kayu, Ginggi berkeyakinan di dalam ada
penerangan, walau pun remang-remang saja. Lebih yakin
dari itu, Ginggi mendapatkan bahwa di ruangan itu ada
orang sedang berbincang-bincang. Atau lebih tepatnya lagi,
ada seseorang tengah memarahi orang lain. Siapakah dia,
Ginggi perlu melihat lebih jelas. Untuk itu dia segera
meloncat kembali ke atas atap dan mencoba membuat
lubang kecil pada lapisan atas sirap.
Begitu pandangannya melihat ke bawah, pemuda itu
merasa terkejut sebab Ki Banaspati dan Kandagalante
Sunda Sembawa tengah memarahi seseorang. Ginggi tak
akan demikian terkejut bila dia tak kenal siapa orang yang
dimarahinya itu. Orang itu ternyata pimpinan perampok
yang tempo hari mencegat rombongan Suji Angkara.
Pemuda itu hafal betul, sebab di pipi kiri orang itu ada
goresan luka bekas serangan Suji Angkara.
"Sialan! Dasar kau brengsek! Bodoh! Tolol! Kau
membahayakan gerakan kita!" kata Ki Banaspati.
Dan, plak, plak, plak! Orang itu tersungkur mencium
lantai tanah. Ketika bangun, wajahnya berkelepotan darah.
"Ampun Gusti. Hamba tak tahu bahwa itu rombongan
seba yang dikawal anak muda itu. Hamba hanya mengira,
mereka rombongan saudagar yang akan mengirim barang-
barang dagangan ke Sumedanglarang!" kata orang itu
terbata-bata. "Dasar manusia dungu! Harusnya kau berpikir, tak
mungkin saudagar mengambil jalan sunyi. Kalau mereka
semua mati olehmu dan barang-barangnya dapat kau rebut,
itu tak mengapa. Tapi celakanya, mereka selamat dan
mengalahkan kamu. Kalau mereka tahu akan hal ini dan
melapor ke Pakuan, kau bisa apa?" kata Ki Sunda Sembawa
sama marahnya. "Ampunkan hamba, Gusti".." kata orang itu sambil
tubuh masih merunduk hingga hampir rata dengan tanah.
"Satu kali lagi kamu membuat kesalahan serupa, nyawa
tak berhargamu akan kucabut!" kata Ki Banaspati dengan
suara dingin. Orang itu membentur-benturkan jidatnya ke
atas tanah tanda mengerti ancaman ini.
"Ayo sudah! Keluar kamu!" kata Ki Banaspati
menendang bokong orang itu. Dengan tergopoh-gopoh dia
membuka pintu keluar. Tapi belum juga dia melangkah,
dari arah luar masuk seseorang.
Suji Angkara! Nampak oleh Ginggi dari sela-sela lapisan atap sirap,
betapa ketiga orang terkejut setengah mati.
"Kau anak muda?" desis Ki Banaspati.
"Akhirnya aku tahu apa yang berlangsung di sini"!"
kata Suji Angkara dingin, mencoba menahan kemarahan.
Ucapan ini tidak dijawab dengan perkataan, melainkan
Senja Jatuh Di Pajajaran Karya Aan Merdeka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
gerakan menyerang dari Ki Banaspati. Serangan itu cepat
dan keras serta tidak memberikan peringatan terlebih
dahulu. Serangan itu pun terlihat ganas dan langsung
mengarah ke ubun-ubun Suji Angkara.
Ginggi terkejut melihat serangan ini. Ki Banaspati
menyerang dengan tangan kiri serta dua jari mengarah
tajam hendak menyerang ubun-ubun.
Bagaimana Ginggi tidak terkejut sebab itulah gerakan
maut yang biasa dilatihnya dengan Ki Darma. Hanya
bedanya, bila Ginggi melakukan serangan dengan
menggunakan tangan kanan terbuka lebar, adalah
sebaliknya dengan Ki Banaspati. Dia mendahulukan
serangan dengan dua jari maut tangan kiri.
Suji Angkara amat terkejut menerima serangan ini.
Secepat kilat dia merunduk sambil menangkis tusukan dua
jari itu. Namun begitu dua tangan beradu, anak muda itu
menjerit ngeri dan seperti menderita kesakitan di bagian
pergelangan tangan. Belum juga habis rasa kagetnya,
sebuah serangan tangan kanan dengan jari-jari
mengembang lebar segera mendorong jidatnya. Plak! Tubuh
Suji terlontar ke belakang karena jidatnya terdorong oleh
tenaga kuat dari telapak tangan Ki Banaspati. Suji Angkara
tubuhnya terjengkang ke belakang dan tak mampu bangun
lagi. "Tenggelamkan dia ke kolam, agar seolah-olah ia mati
karena mabuk dan terbenam di sana," kata Ki Banaspati.
Anak buahnya yang baru didamprat tadi segera menyeret
pemuda pingsan itu. Dibawanya jauh dari tempat itu.
Ginggi secepat kilat turun dari atap sirap. Dengan
gerakan napak-sancang, yaitu ilmu berlari cepat tanpa
mengeluarkan bunyi, pemuda itu menguntit orang yang
memanggul tubuh Suji Angkara secara diam-diam dan
tanpa kakinya mengeluarkan bunyi sedikitpun.
Orang itu ternyata memanggul tubuh itu ke kolam lain,
jauh dari bale kambang. Namun sebelum tubuh Suji
Angkara dicemplungkan ke kolam, Ginggi segera
mengambil tindakan cepat. Dengan pukulan telak di
tengkuk, orang itu tersuruk jatuh tanpa bersuara dan tak
bisa bangun lagi. Pukulan itu tepat mengarah jalan darah di
tengkuk. Sesudah melumpuhkan orang itu, Ginggi mengurut-urut
leher Suji Angkara, sehingga tak berapa lama kemudian
pemuda itu menggerak-gerakan tubuhnya.
Ginggi memencet kulit tenggorokanya dan berbicara,
"Cepat ajak semua temanmu untuk meninggalkan tempat
ini!" katanya. Sesudah itu Ginggi pergi dengan cepat.
Dia berlari menuju bangunan besar di mana barusan
terjadi peristiwa yang membuat dirinya terkejut.
(O-anikz-O) Mencoba Bergabung Ketika dia tiba, Ki Banaspati baru saja akan
meninggalkan tempat itu bersama Ki Sunda Sembawa.
Ginggi yakin, Ki Banaspati adalah murid Ki Darma,
terbukti dari jurus berkelahi yang dia tampilkan ketika
menyerang Suji Angkara. Pemuda itu harus meyakinkan
dirinya bahwa dia punya hubungan dengan Ki Darma.
Maka, empat depa sebelum tiba di depan Ki Banaspati, dia
segera melompat menotol tanah. Dua jari tangan kiri
menusuk dan telapak tangan kanan mengembang.
Nyata sekali ada rasa terkejut di wajah Ki Banaspati.
Mungkin bukan terkejut karena itu sebuah serangan maut,
tepi terkejut karena bentuk gerakan serangan itu.
Sambil wajah menampakkan keheranan, dengan mudah
saja Ki Banaspati melayang ke atas sehingga kedudukannya
berada tepat di atas tubuh Ginggi. Pemuda itu juga tahu,
inilah cara menangkis serangan walet notol yang biasa
dilatihkan Ki Darma kepadanya. Dan seharusnya, sesudah
melayang ke atas untuk memunahkan serangan jurus walet
notol, tubuh harus bersalto. Ketika bagian kepala ada di
bawah, Ki Banaspati harus melancarkan serangan balasan
dari atas. Yang jadi sasaran serangan mestinya punggung
atau bagian belakang tubuh Ginggi. Namun pemuda itu
merasakan, Ki Banaspati tidak berniat membalas serangan.
Dia hanya melayang begitu saja dan kembali turun ke atas
tanah dengan lembutnya. Kini Ginggi mengubah serangan dengan jurus baru.
Tubuhnya mendekam seperti harimau. Sepasang tangannya
menahan tanah dengan hanya menggunakan semua kuku-
kukunya. Sesudah mengelurakan gerengan dahsyat,
sepasang tangan itu menotol bumi berlari cepat satu sampai
dua tindak. Setelah itu dengan loncatan yang ringan tapi
secepat gerakan harimau, Ginggi menerkam tubuh Ki
Banaspati. "Maung luncat muru mencek (Harimau Memburu
Menjangan)?" desis Ki Banaspati mengenali jurus ini
sambil tubuh doyong ke belakang dan terus ke belakang
hingga akhirnya punggung Ki Banaspati rata merapat di
permukaan tanah. Menurut teori yang dibebankan oleh Ki Darma,
seharusnya bila menerima serangan ini, Ki Banaspati bukan
hanya menghindar dengan mentelentangkan tubuh saja,
tapi harus terus berguling seperti trenggiling sambil
membalas serangan dengan tangan dan kaki. Namun
Ginggi tahu, Ki Banaspati tak mau melakukan serangan
balasan. Rupanya dia hanya ingin mengenal lebih dekat
saja gerakan-gerakan ini.
Pemuda itu akan segera melakukan serangan susulan,
tapi sebelum Ginggi membentuk pasangan kuda-kuda baru,
Ki Banaspati sudah meloncat pergi.
"Ki Sunda, kau tunggu saja aku di bale gede," kata Ki
Banaspati. Dia segera menghilang di kegelapan tapi sengaja
memperlambat larinya supaya diikuti Ginggi.
Ginggi mengerti maksud Ki Banaspati. Dia pun segera
menyusul ke kegelapan malam.
Dan Ki Banaspati memang bukan melarikan diri. Sebab
di sebuah lapangan terbuka dia telah menunggu kehadiran
Ginggi. Keduanya sudah saling berhadapan. Ki Banaspati
menatap di keremangan sambil bertolak pinggang.
"Kau siapa?" tanyanya.
"Aku suruhan dari Ki Darma!" jawab Ginggi. Ki
Banaspati melirik ke kiri dan kanan.
"Di muka umum kau jangan sebut nama itu!" kata Ki
Banaspati. "Mengapa?" tanya Ginggi heran.
Kini giliran Ki Banapati yang nampak heran.
"Kau mengaku suruhan Ki Guru tapi tidak tahu perihal
dirinya!" "Aku hanya kenal dia telah merawatku selama sepuluh
tahun. Suka menyendiri dan tegas dalam berbicara. Lain
dari itu aku tak kenal dia," kata Ginggi pula.
"Biarlah kalau kau tak tahu. Tapi satu hal harus kau
ingatkan, amat berbahaya di dunia luar membawa-bawa
nama Ki Guru. Begitu bila kau ingin selamat," kata Ki
Banaspati. "Sekarang, coba kau sebutkan siapa namamu
dan apa keperluanmu menemuiku," kata pula Ki Banaspati.
Ginggi terdiam sejenak. Ki Banaspati ini murid Ki
Darma. Sedikitnya orang ini harus merasa punya hubungan
dekat dengan Ginggi. Namun pemuda itu heran, tak sedikit
pun ada sambutan hangat kepadanya. Ki Banaspati bahkan
seperti penuh curiga dalam menyambut kehadiran dirinya.
Tidakkah ini karena Ki Banaspati merasa punya satu
pekerjaan yang orang lain tak boleh tahu, misalnya seperti
apa yang telah membuat kemarahan Suji Angkara"
"Aku diutus turun gunung oleh Ki Darma dan
ditugaskan mengawasi perkembangan bumi Pajajaran,
terutama yang menyangkut nasib rakyat, seperti apa yang
Ki Darma tugaskan kepada keempat muridnya. Dan untuk
bisa menjalankan tugas ini, aku harus meminta petunjuk
dan pengarahan dari keempat murid Ki Darma. Salah satu
di antaranya, engkaulah," kata Ginggi menatap wajah Ki
Banaspati yang nampak mengangguk-angguk tapi entah apa
maksudnya. "Ya, betul! Aku punya misi menjalankan perintah guru.
Juga ketiga saudara perguruanku yang sampai saat ini aku
tak tahu berada di mana," gumam Ki Banaspati.
"Kalau begitu aku minta petunjukmu, asal kau tidak beri
aku tugas merampok!" kata Ginggi tak berbasa-basi.
Mendengar ucapan ini, Ki Banaspati mundur setindak.
Secara tak sadar dia memegang hulu gagang senjata yang
diselipkan di pinggangnya.
"Kau?" "Aku tahu ada perampokan di hutan jati sebab aku ikut
rombongan Suji Angkara!" kata Ginggi.
"Kau anak buahnya?"
"Bukan, hanya kebetulan saja melakukan perjalanan
bersama. Tapi apa betul perampok itu di bawah
kendalimu?" tanya Ginggi masih tak mengerti keadaan. Dia
bingung menyimak sikap Ki Banaspati ini. Menurut
bayangannya, Ki Banaspati ini pembela rakyat seperti apa
yang diperintah Ki Darma. Namun kenyataannya, di malah
jadimuhara kerajaan yang bertugas menghimpun pajak dari
rakyat. Sekurang-kurangnya begitu yang dikatakan oleh Ki
Banen tempo hari. Tapi belakangan, Ki Banaspati juga
bertindak sebagai orang jahat. Sekurang-kurangnya begitu
yang dia saksikan dalam percakapan antara Ki Banaspati
dengan anak buahnya yang dia lumpuhkan tadi. Jadi, siapa
sebenarnya Ki Banaspati yang begitu erat dengan petugas
negara seperti Kandagalante Sunda Sembawa namun juga
bertindak sebagai "kepala perampok" itu" Ginggi bingung
memikirkannya. Baru turun gunung kurang dari seminggu,
dia sudah dapat hal-hal yang misterius. Ada penjahat
pemerkosa yang entah siapa, ada Suji Angkara dan
sekarang Ki Banaspati, yang kesemuanya masih
menyimpan kabut misteri. Terdengar Ki Banaspati terkekeh. Dia membalikkan
badan dan berdiri membelakangi pemuda itu.
"Itulah pengorbanan bagi seorang pejuang," katanya
dengan suara seperti memendam kepedihan menyayat.
"Untuk membela rakyat, aku harus pura-pura mengabdi
kepada raja. Juga untuk membela rakyat, aku pun harus
pura-pura dan menghinakan diriku menjadi rampok."
"Aku tak mengerti sikapmu," kata Ginggi. Ki Banaspati
kembali berbalik dan menatap wajah pemuda itu.
"Kau tahu, aku bertugas sebagai muhara, bekerja
mengumpulkan pajak. Tapi, apakah kau tahu pula
dikemanakan hasil pajak itu aku bawa" Tidak! Aku tidak
menyetorkan ke Pakuan tapi aku himpun sendiri. Sebagian
aku kembalikan kepada rakyat dan sebagian kukumpulkan
dan bila menjadi besar akan kugunakan untuk melawan
raja!" kata Ki Banaspati.
Ginggi masih menunggu ucapan Ki Banaspati lebih
lanjut. "Kau pun tahu, aku memimpin perampok. Tapi apakah
kau tahu pula, siap yang aku rampok?"
"Apakah kau merampok rakyat juga?" tanya Ginggi.
"Tidak, yang aku rampok adalah kaum bangsawan,
pejabat negara dan para tuan tanah yang suka memeras
kehidupan rakyat. Semua kekayaan aku kumpulkan dan
akan aku gunakan untuk memerangi raja," kata Ki
Banaspati pula. Ginggi termangu-mangu mendengar penjelasan Ki
Banaspati. Benarkah murid Ki Darma ini berjuang
demikian hebat untuk kepentingan rakyat semata"
"Kalau kau percaya kepada tindakkanku, kau boleh ikut
bergabung. Tapi bila menyangsikannya, kau boleh pergi
meninggalkan aku berjuang sendirian. Hanya saja kau harus
pandai-pandai memberikan alasan kepada Ki Guru," tutur
Ki Banaspati. Ginggi mendengar ucapan murid Ki Darma
ini seperti memaklumi kesangsian dirinya.
"Baiklah aku ikut kau. Tapi kalau ternyata cara kerjamu
tak dianggap cocok, aku akan kerja sendirian saja, atau aku
akan cari murid-murid Ki Darma yang lainnya!" kata
Ginggi. Ki Banaspati tersenyum tipis.
"Terserah apa maumu. Yang penting kau bekerja untuk
sisi yang dibebankan Ki Guru. Tapi bila kau memilih ikut
aku, kau harus mentaati ketentuan-ketentuan yang kuatur,"
kata Ki Banaspati menatap tajam.
"Coba katakan."
"Pertama kau harus sopan padaku. Ingat, aku di sini
pejabat terkemuka. Semua orang hormat padaku, tidak
terkecuali pejabat Kandagalante. Ku maklumi karena kau
baru turun gunung. Tapi sesudah kau banyak bergaul
dengan kehidupan umum, kau harus mentaati etika yang
berlaku," kata Ki Banaspati.
Ini adalah omongan yang kesekian kalinya didengar
pemuda itu. Sudah beberapa orang yang mengata-ngatai dia
bahwa dirinya manusia tak punya aturan hidup, bila bicara
semaunya dan tidak punya sopan-santun.
Bertemu dan melihat orang-orang berhubungan
sepertinya punya tata-cara yang sudah diatur. Anak-anak
bicara hormat kepada ibu-bapaknya dan orang muda
berkata halus kepada yang lebih tua. Dan yang jelas dia
saksikan, bahwa seorang yang punya kedudukan rendah
harus merunduk-runduk dan mengikuti serta tunduk kepada
perkataan dan kehendak orang yang memiliki kedudukan
lebih tinggi. Ki Ogel dan Ki Banen mentaati perkataan Ki
Kuwu Suntara dan Rama Dongdo, pemuda Seta dan Madi
juga tunduk kepada Suji Angkara. Sepertinya ini sudah
hukum alam, bahwa yang punya kedudukan tinggi kerjanya
memerintah dan sebaliknya yang rendah hanya mentaati
perintah. Sekarang, setujukah Ginggi terhadap hukum yang
berlaku dalam kehidupan ini"
Entahlah sebetulnya dia tak kerasan dengan berbagai
basa-basi ini. Peraturan etika hidup ini sepertinya hanya
mengikat dan membelit kebebasannya dalam bergerak dan
berkata-kata. Etika sopan-santun bahkan dia saksikan hanya
sebagai kedok atau hiasan yang tidak menggambarkan
keadaan hati yang sebenarnya. Ginggi mengambil contoh
dari beberapa sikap anggota rombongan seba yang dipimpin
Senja Jatuh Di Pajajaran Karya Aan Merdeka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Suji Angkara. Di hadapan pemimpinnya, mereka berkata
sopan dan taat akan segala perintah. Tapi di belakangnya
mereka mengomel panjang-pendek. Ginggi tak senang
dengan keadaan ini. Yang dia sukai adalah seperti sikap Ki
Darma yang kemudian menurun kepadanya. Bahwa apa
yang ada di mulut dan di wajah, itulah yang ada di hatinya.
Dia tak ingin ada orang pura-pura menangis padahal
hatinya tertawa, atau sebaliknya ada orang pura-pura
tertawa padahal hatinya menangis.
"Rakyat Pajajaran sekarang banyak yang memaksakan
diri untuk tertawa hanya karena menyegani rajanya,
padahal hatinya menangis karena prihatin. Karena tradisi
harus hormat kepada raja, banyak rakyat tidak
memperlihatkan isi hati yang sebenarnya," kata Ki Darma
tempo hari. Sekarang memang zaman kepalsuan. Haruskah dia pun
terjun ke kancah kepalsuan itu"
Tapi, rupanya sekarang ini memang aku harus
melibatkan diri dalam basa-basi ini, pikir Ginggi. Bukan
karena dia ingin menyesuaikan kepada kepalsuan itu. Tapi
untuk melancarkan misi yang diembannya. Dia tak boleh
banyak mendapatkan rintangan yang sebetulnya tidak perlu
terjadi. Untuk apa memperlihatkan sikap tak sopan bila
hanya akan mendatangkan keributan saja"
"Baiklah, aku" maksudnya saya akan mentaati perintah
dan persyaratanmu," kata pemuda itu pada akhirnya.
"Nah, begitu lebih baik. Kau kelak akan menjadi anak
buahku yang amat kuandalkan," kata Ki Banaspati ceria.
Malam itu juga Ginggi dibawa ke bale gede, yaitu tempat
musyawarah antara Kandagalante dan para aparatnya.
Selama Ginggi melangkah, dia berharap Suji Angkara
sudah pergi menjauh dari wilayah Kandagalante ini, sebab
kalau dia ketahuan ikut dengan Ki Banaspati suasana akan
berabe. Dan pemuda itu amat lega. Sebab ketika dia tiba di
ruangan bale gede, ada beberapa jagabaya yang
mengabarkan kepada Ki Sunda Sembawa bahwa empat
orang tangan kanan Suji Angkara telah meninggalkan
tempat mereka menginap dengan diam-diam.
Namun rasa lega Ginggi bertolak belakang dengan apa
yang dikandung Ki Banaspati serta Ki Sunda Sembawa.
Pemuda itu selintas bisa melihat mimik kedua orang itu
nampak tak senang mendengarnya.
"Mengapa mereka pergi tanpa pamit?" tanya Ki Sunda
Sembawa mengerenyitkan alis. Hanya Ginggi yang
menduga apa yang dipikirkan kedua orang itu. Baik Ki
Banaspati mau pun Ki Sunda Sembawa pasti menduga
bahwa anak buah Suji Angkara sudah mengetahui apa yang
terjadi terhadap pemimpinnya.
"Coba cari Ki Joglo dan suruh menghadap ke sini!"
perintah Ki Banaspati. Dua orang jagabaya pergi
mengemban perintah itu. Di ruangan besar itu tinggallah
mereka bertiga, Ginggi, Ki Banaspati dan Ki Sunda
Sembawa. "Siapa anak muda ini?" tanya Ki Sunda Sembawa.
Ginggi ingat akan basa-basi etika, maka dia segera
mnyembah takzim. "Dia masih kerabat dekat saya. Dan kelak anak muda ini
akan jadi pembantu kita yang bisa diandalkan. Namanya
Ginggi," jawab Ki Banaspati.
Ki Sunda Sembawa meneliti wajah Ginggi, "serasa aku
pernah melihat wajahmu, anak muda."
"Benar Juragan (tuan), sebab tadi senja saya ikut
rombongan Raden Suji Angkara," jawab
Ginggi hormat. Ki Sunda Sembawa menyipitkan
pandangan matanya dan jidatnya sedikit berkerut. "Jangan
khawatir, anak muda ini bukan anak buah Si Suji. Dia
hanya kebetulan bergabung ditengah perjalanan," kata Ki
Banaspati. "Engkau tahu peristiwa di hutan jati, anak muda?" tanya
kandagalante penuh selidik. Ginggi mengangguk. Dan dahi
pejabat wilayah Sagaraherang kembali berkerut."Jangan
khawatir, sudah saya ungkapkan segalanya dan dia
mengerti perjuangan kita," kata Ki Banaspati menimpali.
"Kau memang harus mengerti perjuangan kami sebab
bila tidak, aku tak mau memberikan pekerjaan kepada
orang-orang yang tak sapaham," gumam Ki Sunda
Sembawa. Sementara itu dari luar datang beberapa
jagabaya. Dua orang membawa obor dan dua orang lagi
mengusung cikrak (tandu). Ketika cikrak diturunkan isinya,
nampak tubuh seorang lelaki.
"Ki Joglo?" "Betul Juragan?"
"Mati?" "Mati Juragan. Dia ditemukan di tepi kolam dengan
leher hampir putus!" kata si pelapor.
Ginggi terkejut sebab yang disebut Ki Joglo ini ternyata
pemimpin perampok di hutan jati yang tadi dia lumpuhkan.
"Bawa dan kuburkan malam ini juga. Aku tak senang
melihat darah anak buahku," kata Ki Sunda Sembawa yang
juga dianggukkan oleh Ki Banaspati.
Mayat Ki Joglo diusung kembali tanpa dilihat untuk
kedua kalinya oleh Ki Sunda Sembawa dan Ki Banaspati,
sepertinya ini sebuah kematian tak berarti.
"Siapa yang membunuh dia?" Gumam Ki Banaspati.
Hanya Ginggi yang bisa mengira-ngira siapa yang bertindak
kejam ini. Kurang ajar, Si Suji sebetulnya tak perlu
membunuh orang tak berdaya, kata Ginggi dalam hati. Ya,
kalau benar pembunuhnya adalah Suji Angkara, dia pun
ikut terlibat. Sekurang-kurangnya membantu meringankan
tugas anak muda itu untuk menggorok leher Ki Joglo.
Sialan, desisnya. "Juragan, mungkinkah pembunuhnya para anak buah
Raden Suji" Kalau begitu, kita balas mereka sebab ada
belasan anak buahnya yang lagi tidur karena mabuk tuak.
Mereka tak sempat dibangunkan!" kata seorang jagabaya.
"Betul! Kita bunuh mereka!" kata yang lain.
"Jangan dibunuh, mereka tak berdosa!" Ginggi berdiri
dan mencegah. "Kau siapa?" tanya jayabaya.
"Dia anggota rombongan seba itu. Pasti sekongkol
dengan kaki tangan Raden Suji!" teriak yang lainnya
mengamang-amang obor. Ginggi membalik ke arah Ki Banaspati, "Juragan
sebaiknya orang-orang itu tak dibunuh. Mereka hanya
tukang pikul biasa saja dan tak ada kaitannya dengan
Raden Suji. Membunuh orang tak berarti hanya membuat
sibuk pekerjaan saja," kata Ginggi, memohon tapi bernada
pasti. "Bebaskan orang-orang itu dan suruh kembali ke
dusunnya masing-masing. Beri pula mereka bekal dan
katakan tugasnya sudah selesai." kata Ki Banaspati
memutuskan dan disetujui Ki Sunda Sembawa.
Ginggi merasa lega mendengarnya. Dengan demikian,
korban sia-sia tak perlu terjadi lagi.
Para jagabaya dibubarkan. Sebagian pergi melaksanakan
tugur (ronda), sebagian mempersiapkan upah dan bekal
bagi bekas anak buah Suji Angkara yang akan disuruh
kembali ke Desa Cae. Malam sudah kian larut dan cahaya bulan pudar
mengambang di langit sebelah timur. Namun kendati
begitu, Ginggi belum disuruh beristirahat. Dia malah
dipanggil kembali untuk menghadap di bale gede.
"Ini peringatan pertama bagimu," kata Ki Banaspati.
Ginggi tak mengerti atas perkataan ini.
"Di hadapanku dan Ki Sunda Sembawa, tidak di
perkenankan siapa pun mengeluarkan pendapat tanpa
diminta. Kau paham maksudku?"
"Kalau saya tak mengeluarkan pendapat, apakah orang-
orang tadi tak akan dibunuh?" tanya Ginggi.
"Aku lebih tahu dari kau dan kau tak perlu memberi
nasihat soal itu," kata Ki Banaspati.
Ginggi diam menunduk. "Ya, sudah kau pergi. Jagabaya sudah mampersiapkan
tempat menginap untukmu," kata Ki Banaspati lagi.
Ginggi menyembah hormat dan mengundurkan diri.
Namun sebelum jauh benar, pemuda ini meloncat ke atas
atap sirap dan menguping pembicaraan kedua orang itu.
"Saya belum percaya benar tehadap kepatuhan pemuda
itu," terdengar suara Ki Sunda Sembawa.
"Jangan khawatir. Dia bukan orang yang
membahayakan gerakan kita. Tapi harap dimaklum kalau
perangainya begitu. Anak itu datang dari gunung terpencil
dan tidak mengenal tata cara pergaulan kota. Kita akan
coba mendidik etika padanya sebab di kemudian hari kita
akan amat membutuhkan tenaganya. Tadi aku menjajal
kemampuannya dan ilmu pemuda itu tidak terlalu jauh di
bawah kemampuanku," kata Ki Banaspati. "Kalau kita
dapat mempengaruhinya, dia akan menjadi salah satu
pembantu utama kita," sambungnya.
Pembicaraan berhenti sebentar dan terdengar mereka
meneguk minuman. "Bagaimana dengan Suji Angkara?" terdengar suara Ki
Sunda Sembawa. "Itulah yang aku pikirkan. Kita perlu memastikan,
apakah Ki Joglo berhasil membunuhnya di kolam. Tapi
kalau tak berhasil, kita cukup berbahaya menghadapinya."
kata Ki Banaspati. "Saya khawatir Ki Joglo bukan membunuhnya tapi
malah dia yang dibunuh seperti terbukti tadi," kata Ki
Sunda Sembawa. "Aku juga berpikir begitu. Sebab, dari mana pikiran anak
buahnya timbul untuk melarikan diri kalau bukan dikabari
Si Suji?" kata Ki Banaspati.
"Mari kita periksa kolam dimana rencana pembunuhan
terhadap pemuda itu akan dilakukan," ajak Ki Sunda
Sembawa. Dari atas atap sirap Ginggi melihat dua orang itu keluar
dari bale gede dan akan menuju kolam di mana tadi Ki
Joglo memanggul tubuh Suji Angkara yang masih pingsan.
Sudah barang tentu, Ginggi tahu pasti bahwa Ki Joglo
belum sempat membenamkan Suji Angkara di kolam itu
karena orang malang itu sudah lebih dahulu dia
lumpuhkan. (O-anikz-O) Ambisi Sunda Sembawa Sudah hampir sebulan Ginggi "mengabdi" kepada Ki
Banaspati. Selama sebulan itu, pemuda ini sudah mulai
mengenal orang yang oleh Ki Darma disebut-sebut sebagai
yang harus dia ikuti. Memang benar seperti apa yang diakui oleh Ki
Banaspati, bahwa dirinya bukan orang sembarangan.
Ginggi pun mulai mengenal siapa Ki Sunda Sembawa
Menurut obrolan para jagabaya yang secara diam-diam
ditampung olehnya untuk sekadar pengetahuan,
Kandagalante Sunda Sembawa ini kekuasaannya sudah
semakin luas. Dia membawahi beberapa cutak (setingkat
camat) dan belasan kuwu (kepala desa). Jumlah penduduk
Sagaraherang waktu itu, lebih dari 1.200 orang dan
kebanyakan masih memegang kepercayaan lama.
Masih memegang erat agama lama, merupakan satu
pilihan yang berani sebab Sagaraherang sudah amat dekat
ke daerah utara yang dikuasai Cirebon.
Kata beberapa jagabaya, bentrokan-bentrokan kecil
dengan Prajurit Cirebon yang sudah memiliki agama baru
kerap kali terjadi. Bentrokan itu biasanya terjadi bila sudah
mempermasalahkan seba. Kandagalante Sunda Sembawa membuat kebijaksanaan,
seluruh desa yang ada di bawah kekuasaannya harus
mengumpulkan sebagian kekayaan desa untuk kepentingan
seba ke Pakuan. Seba atau pajak hasil bumi desa ditampung
oleh cutak dan cutak harus mengirimkannya ke
kandagalante. Tapi kebijaksanaan Ki Banaspati lebih hebat
lagi. Dia bahkan berani mengutip seba ke wilayah-wilayah
yang sebetulnya sudah menginduk ke pusat pemerintahan
Pembalasan Rikma Rembyak 2 Pendekar Slebor 42 Manusia Laba-laba Misteri Danau Siluman 2
tiba di sebuah kampung yang lawang korinya hampir
tertutup. Untuk menghindari pertemuan dengan orang yang
dikenal atau mengenalnya, Ginggi tak ikut memasuki
kampung. Malah memilih mencari "penginapan" di sebuah
pohon di tepi hutan saja. Cara tidurnya aneh, kepala di
bawah dan kaki terkait ke dahan. Sebetulnya ini bukan tidur
biasa, tapi pemuda itu melakukan tapa sungsang.
Ki Darma kerapkali mengajarkan cara tidur ini, pertama
untuk melatih pernapasan, kedua berguna untuk
melancarkan peredaran darah ke otak. Tapa sungsang juga
melatih Ginggi untuk bisa terjaga dalam tidur dan tidur
dalam terjaga. Dia bisa mengistirahatkan segala aktivitas
tubuhnya juga jalan pikirannya, tapi tak "menidurkan"
nalurinya. Sehingga bila dalam keadaan tidur tapa sungsang
ada marabahaya mengancam, secara otomatis nalurinya
akan "membangunkan" tubuh dan jalan pikirannya.
Tapi sampai matahari kembali bersinar dari ufuk timur,
tak ada gangguan berarti kepada pemuda itu, selain dari
gigitan nyamuk yang tidak dirasanya.
Pemuda itu bangun oleh kicauan burung di dahan pohon
lain. Ginggi segera meloncat turun agar tak menimbulkan
kecurigaan orang yang akan berladang. Dia mencuci muka
di sebuah sungai kecil yang airnya dan merapihkan ikat
kepalanya. Berjalan menuruni jalan setapak untuk menuju jalan
pedati. Di tepi jalan itu Ginggi bersua dengan peladang
yang hendak mulai bekerja. Pemuda itu bertanya tentang
kampung yang ada di depannya.
"Ini kampung Wado, termasuk Karatuan
Sumedanglarang," jawab lelaki tua bercaping yang sepagi
itu sudah berbekal parang dan alat-alat lainnya.
"Sebentar dulu, Aki," cegat Ginggi ketika orang tua itu
hendak cepat-cepat berlalu.
Orang tua bercaping ini seperti segan berlama-lama
bicara dengan Ginggi, kendati pada akhirnya mau juga
meladeni beberapa pertanyaan pemuda itu.
"Kemarin sore ada rombongan seba yang masuk
kampung ini. Barangkali Aki tahu, kapan mereka akan
melanjutkan perjalanan lagi?" tanya Ginggi.
Orang tua itu mengerutkan dahi mendengar pertanyaan
ini. "Tak apa bila Aki tak mengetahuinya," kata Ginggi
pendek. "Memang aku tidak tahu kapan mereka berangkat sebab
tadi malam kelihatannya ada sedikit perbedaan faham
dengan Ki Kuwu," kata orang tua ini.
Kini giliran Ginggi yang mengerenyitkan dahi.
"Tahun-tahun silam, kampung ini memang suka
mengumpulkan hasil bumi, dibawa ke Ciguling, yaitu
Ibukota Sumedanglarang, dan kemudian Sumedanglarang
mengirimkannya ke Pakuan sebagai seba tahunan. Namun
setelah Nyai Ratu Inten Dewata sebagai Susuhunan di
Sumedanglarang menikah dengan Kangjeng Pangeran
Santri dari Cierbon, seba tahunan ke Pakuan dihentikan,"
kata orang tua itu. "Aku hanya ingin tanya, kapan rombongan seba dari
Desa Cae akan meninggalkan kampung ini, Aki!" kata
Ginggi kesal, sebab uraian berpanjang-panjang dari
peladang ini seperti tak ada kaitannya dengan kepentingan
pemuda itu. "Sebetulnya oleh Ki Kuwu sudah disuruh berangkat tadi
malam juga, tapi Raden Suji Angkara tak mau
meninggalkan kampung kami sebelum rombongan seba dari
daerah ini ikut serta mengirimkannya," kata peladang ini
seperti bosan berbincang terus dengan Ginggi.
"Jangan pergi dulu, Aki!"
"Ah, aku harus segera ke ladang. Kalau di sini terus,
takut terlibat percekcokan. Tadi malam hampir-hampir
terjadi perkelahiaan di antara mereka. Raden Suji memaksa
kami mengirim seba, sedangkan Ki Kuwu tetap menolak,"
kata peladang itu, kemudian bergegas pergi kendati Ginggi
masih penasaran menanyainya.
Tinggallah Ginggi termangu sendirian. Dia mencari
tempat duduk di pinggiran jalan pedati, sambil menerka-
nerka apa yang sebetulnya terjadi di dalam kampung itu.
Hatinya bertanya-tanya, mengapa orang-orang Desa Cae
memaksakan kehendak. Bila menurut penuturan orang
bercaping itu, penduduk kampung Wado jelas sudah tak
akan mengirimkan seba ke Pakuan. Dan itu sudah menjadi
keputusan rajanya sendiri, Nyai Ratu Inten Dewata. Orang-
orang Cae yang sebetulnya termasuk wilayah Karatuan
Talaga, tak seharusnya ikut campur urusan karatuan lain,
pikir pemuda itu. Belum habis Ginggi bergelut dengan segala
keheranannya, dari lawang kori yang nampak terlihat dari
tempat di mana pemuda itu duduk, keluar satu rombongan
besar. Ginggi segera menepi dan bersembunyi di balik
rimbunan pohon. Ketika rombongan melewati jalan itu,
Ginggi meneliti, bahwa itu rombongan orang-orang Cae
seluruhnya. Hanya bedanya, rombongan kini dilengkapi
sebuah pedati yang sarat isi. Pedati ini pasti milik Kampung
Wado, pikir pemuda itu. Dengan kata lain, orang-orang
Wado akhirnya bersedia juga ikut mengirimkan seba, tidak
atas nama karatuan, melainkan atas nama pribadi, seperti
apa yang dilakukan Desa Cae. Hanya yang menjadi heran,
mengapa dalam rombongan tidak seorang pun orang Wado
yang ikut" Ya, selama dua hari tinggal di Desa Cae, Ginggi
sudah hafal penduduknya. Barisan rombongan yang
barusan dia teliti, semuanya memang orang-orang Desa
Cae. Empat orang melangkah di depan adalah Ki Banen, Ki
Ogel, Seta dan Madi. Sedangkan paling depan sekali
seseorang dengan pakaian hitam-hitam nampak
mencongklang di atas kuda coklat. Siapa pemuda itu,
Ginggi tak kenal. Wajahnya tampan keputih-putihan
kulitnya. Mulutnya selalu senyum tersungging dan matanya
tajam. Yang paling mencolok dari kesemuanya, pakaian
hitamnya terbuat dari kain mahal. Mungkin beludru dengan
hiasan ornamen di beberapa bagiannya. Kalau Ginggi
sudah tahu, mungkin beginilah jenis pakaian kaum
bangsawan. Celana hitamnya berupa jenis komprang, juga
berhiaskan ornamen yang cahayanya kelap-kelip bila
terkena sorotan sinar matahari. Di pinggang kirinya yang
dibelit ikat pinggang kulit, terselip hulu gagang senjata,
melengkung seperti kepala ular. Kaki pemuda itu dihiasi
terumpah kulit. Walau pun belum kenal siapa dia, tapi sedikitnya Ginggi
sudah bisa menduga, mungkin inilah Raden Suji Angkara
yang menurut Nyi Santimi merupakan putra Ki Kuwu
Suntara. Rombongan berlalu sudah dan menghilang di kelokan
jalan. Yang tersisa adalah suara roda pedati yang ditarik
kerbau itu terdengar menggilas jalan berbatu, ditambah
suara gerakan orang memikul bawaan berat.
Ada satu pedati penuh barang seba yang dikirimkan
orang Kampung Wado tanpa dikawal mereka sendiri.
Mengapa mereka mempercayakannya kepada orang-orang
Cae padahal menurut lelaki bercaping, malam tadi kedua
belah fihak bertengkar dahulu" Ginggi harus menelitinya
lebih jauh. Oleh sebab itu, sesudah rombongan orang-orang
Desa Cae berlalu agak jauh, Ginggi segera bergerak menuju
Kampung Wado. Orang-orang nampak menatap dengan penuh curiga dan
memperlihatkan sikap tak senang atas kehadirannya.
Seorang pemuda dengan sikap beringas segera berkata
lantang menantang. "Mengapa kalian datang lagi kesini" Bukankah hasil
bumi kami sudah kalian angkut habis?" katanya berteriak.
Tapi baru saja dia berkata begitu, tangannya sudah ditarik
oleh lelaki lain yang usianya jauh lebih dewasa.
"Sudahlah, kau jangan cari penyakit lagi. Kalau anak
buah Raden Suji ini melaporkan kepada majikannya, kita
pasti celaka," kata lelaki itu.
"Aku bukan anak buah orang itu. Tapi, ada kejadian apa
sebenarnya dengan mereka?" tanya Ginggi semakin heran.
"Engkau bukan anak buah Raden Suji" Habis, siapakah
engkau dan dari mana asalmu" Kampung kami sedang tak
aman hingga kami selalu mencurigai orang asing," kata
lelaki yang lebih tua. "Coba antarkan aku menghadap Ki Kuwu. Aku ingin
mendapat penjelasan lebih rinci darinya," kata Ginggi.
"Jangan ganggu Ki Kuwu. Dia baru saja dipusingkan
oleh ulah Raden Suji!" kata sang pemuda. Tapi Ginggi
memaksa untuk menuju kediaman kepala desa kampung
ini. "Tangkap pengacau! Tangkap pengacau!" teriak pemuda
itu sambil mengambil cangkul di sudut garduh tugur.
Mendengar teriakan ini, beberapa pemuda datang
membantu. Mereka langsung mengambil alat-alat tugur
seperti tombak atau cagak.
Ginggi tak mau berurusan dengan orang-orang ini tapi
juga tak ingin langkahnya diganggu. Maka begitu orang-
orang menerjang, pemuda itu segera menggerak-gerakan
kedua belah tangannya menangkis semua serangan.
Terdengar jerit kesakitan di sana-sini dan beberapa senjata
terlempar jauh manakala tangan pengeroyok bertumbukan
dengan sepasang tangan Ginggi. Semuanya meringis
memijit-mijit tulang tangannya, dan tak ada yang berani
mendekat lagi. (O-anikz-O) Jilid 06 Ki Kuwu juga telah mendengar ribut-ribut ini, sebab
nampak oleh Ginggi, ada seorang tua berpakaian
solentrang, kepala memakai bendo citak dan beralas kaki
terumpah kulit. "Sudahlah! Sudahlah! Jangan diributkan benar. Kalau
majikanmu memerlukan tambahan barang untuk seba, aku
akan berikan semampuku tapi jangan aniaya wargaku,"
kata Ki Kuwu nampak wajahnya penuh kuatir.
"Aku bukan anak buah orang-orang Cae, Ki Kuwu. Tapi
aku ingin tahu, apa yang terjadi di sini," kata Ginggi tak
berbasa-basi. Sejenak nampak wajah orang tua itu lega. Namun hanya
sebentar sebab wajahnya kembali keruh.
"Mari ke rumahku anak muda," ajaknya perlahan.
Di rumah kediamannya kepala kampung ini
menerangkan perkara kekacauan yang sering terjadi akhir-
akhir ini. Semenjak susuhunan Sumedanglarang, yaitu Nyai Ratu
Inten Dewata bersuamikan Kangjeng Pangeran Santri dari
Karatuan Cirebon, Nyai Ratu otomtis memihak Cirebon.
Pakuan yang pengaruhnya mulai berkurang, bagi
Sumedanglarang sudah bukan merupakan pusat kekuasaan
yang harus disegani lagi.
"Kedudukan kami lebih dekat ke Cirebon. Pengaruh
mereka lebih kuat, apalagi sesudah Susuhunan kami
bersuamikan tokoh dari pusat pemerintahan agama baru
itu. Sebaliknya, kedudukan Pakuan yang lebih jauh dari
kami, pengaruhnya sudah tak terasa lagi. Hampir duapuluh
tahun belakangan ini, kami tak merasakan adanya sebuah
perlindungan dari Pakuan.
Malah yang ada hanya berupa kewajiban-kewajiban saja.
Bahkan berbagai kewajiban datangnya tak beraturan serta
mencekik kehidupan kami. Banyak kelompok yang datang
ke kampung-kampung meminta upeti ini dan itu dengan
alasan menunjang keberadaan Pakuan," kata Ki Kuwu.
"Mengapa mereka kau beri" Kalau kau lebih taat kepada
susuhunan di Sumedanglarang, kau dan rakyatmu bisa
menolaknya karena penolakanmu itu dilindungi oleh
susuhunanmu, atau juga dilindungi oleh kekuatan
Cirebon," kata Ginggi.
Ki Kuwu menghela nafas berat dan panjang.
Nampaknya susah sekali dia, bagaimana harus berbuat.
"Beginilah rakyat kecil di zaman susah. Pertikaian yang
ada di atas hanya menciptakan berbagai pengorbanan
rakyat di bawah," tuturnya pahit.
Kata Ki Kuwu, kendati pihak Susuhunan
Sumedanglarang sudah memutuskan untuk tak mengirim
seba ke Pakuan, tapi masih banyak kalangan di
Sumedanglarang ini yang mengaku berdiri di belakang
Pakuan. Dan apa yang menjadi keputusan di ibukota, lain
yang terjadi di sini. "Buktinya kau lihat sendiri, orang-orang Cae yang masih
mengaku setia kepada Pakuan, selalu memaksa kami
menyerahkan seba," kata Ki Kuwu.
Kata Ki Kuwu lagi, ada kelompok-kelompok tertentu
yang bertugas mengumpulkan upeti bagi kepentingan
Pakuan. Mereka bekerja dan mengadakan operasi ke
berbagai desa terpencil yang sekiranya jauh dari jangkauan
pengawas dan perlindungan pusat pemerintahan setempat.
"Beberapa tahun ini, kami terpaksa membagi kewajiban.
Separo kami abdikan kepada pemerintahan yang biluk
(berpihak) ke Cirebon, separo lagi kami serahkan kepada
utusan-utusan yang mengaku tetap setia kepada Pakuan,"
kata Ki Kuwu lagi. "Kalau begitu, kalian pasti repot, harus membagi
kekayaan kesana-kemari, Ki Kuwu ?" kata Ginggi.
Ki Kuwu hanya bisa merahuh.
"Ya, musti bagaimana lagi" Kami memenuhi keperluan
pemerintahan di sini karena kewajiban dan peraturan, dan
memberikan yang lainnya kepada utusan Pakuan karena
mengharapkan keselamatan. Mereka selalu tegas dan keras.
Raden Suji contohnya. Ada penduduk tadi malam hampir
babak belur karena mencoba protes. Ada gadis muda nekat
bunuh diri karena urusan ini," kata Ki Kuwu memelas.
"Apa" Bunuh diri" Mengapa mesti bunuh diri?" Ginggi
heran. "Dia hendak melangsungkan perkawinan. Orang tuanya
sudah bertahun-tahun menabung untuk keperluan ini. Tapi
Senja Jatuh Di Pajajaran Karya Aan Merdeka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ketika dia menolak menyumbangkan kekayaan untuk
urusan seba, dia dihajar oleh Raden Suji. Secara kasar
pemuda ini mengambil harta orang itu lebih dari ketentuan.
Mungkin putus asa merasa perkawinannya gagal, anak
gadisnya bunuh diri. Entahlah?" keluh Ki Kuwu.
Ginggi tercenung,. Rasanya ganjil sekali, bunuh diri
hanya karena urusan seba.
"Antarkan aku kesana. Kalau-kalau jasad gadis itu belum
dikuburkan," Ginggi setengah mengajak. Ki Kuwu
mengangguk. Tiba di rumah itu, hanya tangis sedih yang
terdengar. Jasad si gadis katanya baru saja dikuburkan.
"Betulkah anak gadismu bunuh diri?" tanya Ginggi.
Orang tua korban mengangguk sedih. "Coba kau
ceritakan, bagaimana kau temukan cara kematiannya!" kata
Ginggi lagi. Orang tua si gadis malang menerangkan,
bahwa pagi-pagi sekali sudah menyaksikan anak gadisnya
tergantung lehernya dengan seutasangkin (ikat pinggang
wanita ) di kamarnya. "Apa lagi yang kalian lihat selain
tubuh tergantung itu?"
"Tak ada, selain wajah anakku yang pucat-pasi,
rambutnya awut-awutan dan pakaiannya tak karuan.
Bahkan ada beberapa kain yang dikenakannya robek-
robek," kata orang tua malang itu dengan air mata masih
berlinang. Ginggi sedikit menahan nafas. Terbayang
kembali pakain Nyi Santimi yang juga robek-robektak
karuan di dalam gua. "Aku akan cari penyebab sesungguhnya dari kematian
ini," gumam Ginggi seperti berbicara pada dirinya. "Mari,
Ki Kuwu?" kata pemuda itu meninggalkan rumah yang
penghuninya tengah berduka ini.
"Engkau mencurigai sesuatu, anak muda?" tanya Ki
Kuwu di tengah jalan. Ginggi hanya mendengus kecil.
"Akan aku selesaikan segalanya, Kuwu?" gumam
pemuda itu akhirnya."Kau dan penduduk disini tak berani
melawan sebab mereka orang-orang kuat. Begitukah,
Kuwu?" "Raden Suji sopan tapi memaksa. Dan dia nampaknya
sakti mandraguna. Dia sanggup membengkokan tombak
berbatang baja dan mendobrak daun pintu lumbung umum
dengan sebelah tangannya dengan senyum dikulum," kata
Ki Kuwu. "Kau bilang dia orang sopan?"
"Tutur katanya memang begitu. Halus, lemah lembut,
enak di dengar. Tapi entahlah, kami semua takut padanya."
"Aku akan pergi, Kuwu!" kata Ginggi.
"Maksudmu, akan membereskan masalah ini, anak
muda" Syukurlah. Kalau Kandagalante Pasanggrahan
mengontrol ke sini, akan aku laporkan perjuanganmu.
Mudah-mudahan engkau diberi penghargaan, anak
muda?" kata Ki Kuwu. Ginggi hanya tersenyum kecil.
"Engkau harus singgah lagi ke rumahku sebelum
melanjutkan perjalanan," kata Ki Kuwu. Ginggi sedianya
akan menolak permintaan ini, tapi karena kepala desa ini
begitu memaksa, terpaksa Ginggi menuruti kemauan orang
tua ini. Di rumah Ki Kuwu, Ginggi dijamu makanan-makanan
enak. Ginggi tak sanggup menolaknya sebab sudah berhari-
hari tak mengecap makanan enak. Sebelum berangkat,
pemuda itu pun dibekali sebuah bungkusan kain. Entah apa
isinya. Ginggi menolak keras tetapi yang memberi semakin
keras memohon agar pemberian ini tak ditolak.
"Kau pengembara yang banyak kebutuhan di jalan.
Hanya ini yang mampu aku lakukan untuk membalas
budimu," kata Ki Kuwu.
Budi apa, pikir Ginggi. Secuil pun dia belum berbuat
kebaikan kepada Ki Kuwu, apalagi kepada seisi kampung
ini. "Aku tak punya jasa apa-apa. Yang aku janjikan tadi
hanya baru akan dilaksanakan. Itu pun kalau mampu," kata
Ginggi tersenyum masam. "Hanya sekadar janji pun sudah merupakan anugerah
bagi kami rakyat kecil. Dan tak usah sungkan, kami sudah
biasa begini. Kalau datang pengontrol dari kota, kami juga
suka memberi kebaikan seperti ini. Orang pemerintahan
mengontrol kami artinya mereka ingat kami. Dan itu
anugrah," kata ki Kuwu.
Kembali Ginggi tersenyum masam. Dan untuk tidak
menyinggung perasaan Ki Kuwu, bantalan kain itu
diterimanya. (O-anikz-O) Perampok Hutan Jati Ginggi melanjutkan perjalanan, mengikuti jalan pedati
ke arah barat laut. Ki Kuwu yang memberikan panduan.
Bahwa jalan ke arah barat laut akan mengantarnya ke
tempat-tempat yang dituju.
"Jalan pedati ini terus berlanjut ke barat dan
menyinggahi wilayah Kandagalante, baik yang di utara,
mau pun yang ada di barat. Jalan pedati ini pula yang kelak
akan mengantarmu ke Pakuan," kata Ki Kuwu.
Ginggi amat berterima kasih sekali atas penjelasan ini,
kendati tujuan yang harus didahulukan sekarang adalah
membuntuti ke mana rombongan seba itu pergi.
Pemuda itu pun berterima kasih kepada Kuwu Wado
yang telah memberinya bekal perjalanan. Buntalannya yang
dibawa dari gunung tempo hari tertinggal di Desa Cae,
padahal pakaian cadangan dan makanan kering seperti
dengdeng menjangan ada di buntalan itu.
Di tengah jalan memeriksa buntalan pemberian Ki
Kuwu. Di dalamnya ada dua stel pakaian kampret lengkap
dengan celana pangsi dan ikat kepalanya. Ada juga
makanan yang siap dimakan dan yang bisa tahan lama
untuk disimpan. Tapi yang membuat Ginggi penuh
perhatian, di buntalan itu ada terdapat kanjut kundang
(pundi-pundi) yang ketika dibuka isinya kepingan logam
yang pemuda itu tidak tahu untuk apa keperluannya.
Ginggi tak berlama-lama memeriksa isi buntalan sebab
dia harus bergegas mengejar rombongan seba. Tapi karena
bekas roda pedati begitu jelas ada di permukaan jalan,
pemuda itu tidak mengalami kesulitan membuntutinya.
Bahkan sebentar kemudian rombongan itu sudah dapat
terlihat. Rombongan nampaknya tetap berjumlah duapuluh
orang, semua bertugas dengan bawaannya dan hanya lima
orang yang seolah-olah bertindak sebagai pengawal, atau
pemimpin rombongan. Ginggi terus membuntuti rombongan itu yang berliku-
liku seperti ular ketika melalui jalan dengan kelokan-
kelokan tajam, atau melata seperti ulat bila tengah menaiki
tanjakan perbukitan. Namun ketika tiba di sebuah jalan
bercabang, rombongan berhenti.
Ki Kuwu Wado tadi mengabarkan bahwa di barat laut
jalan bercabang. Jangan salah mengambil jalan. Bila
menuju jalan kanan akan menuju wilayah Kandagalante
Pasanggrahan dan kemudian ke ibukota Sumedanglarang di
Ciguling. Tapi bila mengambil ke kiri akan menuju hutan
jati. Kata Ki Kuwu jalan hutan jati akan terus menuju barat
yang kelak akan tiba juga di Pakuan. Merupakan jalan lain
menuju Pakuan dari Talaga yang tidak melalui
Sumedanglarang. "Melalui hutan jati, jalan cukup memotong sebab tak
perlu melambung ke utara untuk singgah di
Sumedanglarang, kalau tujuan kita memang mau ke
Pakuan. Tapi kadang-kadang perjalanan lewat sini
merepotkan. Selain kondisi jalan lebih berat juga suka ada
gangguan keamanan," kata Ki Kuwu.
Ginggi berusaha untuk mendekati rombongan sebab di
antara sesama anggota seperti tengah merundingkan
sesuatu. "Mengapa kita memilih jalan ke kiri, Raden?" tanya Ki
Ogel kepada pemuda berkuda.
"Paman Ogel, kita memilih jalan ke kiri untuk
menghemat perjalanan. Jalan sini lebih singkat karena
memotong dan tak begitu melambung," kata pemuda
berpakaian beludru hitam itu.
"Akan tetapi jalan ke sini lebih berat dan harus keluar
masuk hutan jati," tutur Ki Ogel lagi.
"Paman Ogel, lebih baik kita berpayah-payah melakukan
perjalanan tapi selamat di tujuan daripada memilih jalan
yang enak tapi banyak gangguan," kata pemuda itu lagi
sopan tapi nadanya memerintah dan menyalahkan
pendapat orang lain. "Engkau mungkin tahu dari pembicaraan kita dengan
Kuwu Wado, Sumedanglarang kini sudah dipengaruhi
Cirebon. Banyak terjadi pemberontakan dan pertentangan
antara yang pro dan yang kontra. Tapi bagi kita, kedua-
duanya tak menguntungkan. Yang pro kepada Cirebon,
akan mengganggu perjalanan kita dalam mengirim seba ke
Pakuan. Yang tidak setuju dengan kebijaksanaan
Pemerintah Sumedanglarang, mereka menjadi pemberontak
dan suka berbuat onar. Kalau kita memilih jalan pedati,
pasti harus lewat Pasanggrahan dan akhirnya musti
memasuki wilayah ibukota Sumedanglarang dan itu amat
tak menguntungkan kita," kata pemuda itu.
Dan pemuda bercelana hitam dengan ornamen berkilat-
kilat kena cahaya matahari ini rupanya amat disegani
anggota rombongan, Buktinya, protes-protes kecil itu
akhirnya mereda juga. Artinya, semua setuju melakukan
perjalanan lewat hutan jati.
Tapi perjalanan ini memang merupakan perjalanan sulit.
Kian jauh merambah, ruas jalan kian meyempit dan
kondisinya amat buruk. Tanahnya lembab karena kurang
tersinari cahaya matahari. Anggota rombongan mesti
bekerja ganda. Selain mereka dikenai kewajiban memikul
bawaan, di saat-saat tertentu mereka mesti mendorong
pedati dulu karena rodanya melesak ke tanah lembek atau
masuk ke sela-sela bebatuan.
"Ayo, cepat! Kita tak boleh kesorean di tempat ini!"
teriak si pemuda berkuda coklat itu.
Tapi untuk mentaati kehendak si pemuda, tak semudah
seperti apa yang diucapkannya. Jangankan harus berjalan
cepat, untuk sekadar menggerakkan roda pedati itu saja,
sulitnya bukan main. Ki Ogel, Ki Banen beserta Seta dan
Madi sekarang harus turun tangan membantu mendorong
pedati yang roda-rodanya sering melesak ke tanah lembek.
Apa yang dikhawatirkan pemuda itu ternyata terbukti.
Ketika cuaca di hutan semakin meremang karena cahaya
matahari sudah tak sanggup lagi menembus dedaunan.
Ginggi yang selalu membuntuti rombongan itu dari jarak
yang tak begitu jauh bahkan bukan merasa khawatir karena
hari sudah mulai senja, melainkan karena melihat gerakan-
gerakan mencurigakan di semak-semak yang ada di kiri
kanan jalan. "Ada yang tak beres," gumamnya sendirian.
Dan benar saja, dari balik semak-semak belukar kini
bermunculan belasan bahkan puluhan orang, semua
bersenjatakan golok, tombak dan parang. Wajah-wajah
mereka nampak garang, dipimpin oleh orang yang
berpakaian hitam-hitam, bertubuh tinggi besar dan wajah
brewos. Pemuda di atas kuda segera menghentikan gerakan
kudanya. Semua rombongan juga berhenti. Ki Banen, Ki
Ogel, beserta Seta dan Madi serentak mencabut golok
masing-masing, yang lainnya segera menurunkan
pikulannya dan juga serentak mencabut golok di pinggang.
"Siapa kalian?" tanya pemuda di atas kuda yang Ginggi
duga adalah Suji Angkara.
"Tak perlu tanya kami siapa. Kalau kalian ingin pulang
dengan selamat, tinggalkan barang-barang itu!" kata si
tinggi besar dengan golok bersilang di dada.
"Hehehe?" Suji Angkara terkekeh, nampaknya tak
menganggap ini sebuah bahaya. "Aku tak biasa bermurah
hati memberi barang berharga kepada orang-orang tak
dikenal," katanya. "Kali ini kau mesti bermurah hati bila tak menganggap
murah nyawamu!" kata Si Brewos.
"Ingin aku tahu, nyawa siapa yang sebenarnya murah
dan tak berharga!" Suji Angkara balas mengejek membuat
Si Brewos marah. Tanpa basa-basi lagi, dia segera menghambur
mengayunkan goloknya. Suji Angkara dengan sigap
menarik kendali kuda dan binatang itu seperti mengerti
perintah tuannya. Dia menghentak-hentakkan kaki
depannya seolah-olah hendak menangkis serangan golok.
Tapi kuda itu seperti memiliki akal. Dia menghentakkan
kaki depan bukan sekadar melindungi dirinya dari serangan
lawan, melainkan juga sambil menyerang.
Kuda itu berputar, membuat ancang-ancang dan
meloncat ke arah si penyerang. Si Brewos terkejut melihat
tubuh kuda yang tinggi dan besar menerjang ke arah
dirinya. Rupanya dia tak mau dirinya diterjang kaki-kaki
kuda dan segera menarik serangan goloknya sambil
meloncat ke kiri. Terjangan kuda hanya lewat di samping
tubuh Si Brewos. Tapi bersamaan dengan itu, terdengar
suara jerit kesakitan dan Si Brewos terlempar ke belakang.
Si Brewos berguling-guling di tanah lembab beberapa
kali, baru badannya berdiri dengan cepat. Namun ketika dia
sudah berdiri semua orang menyaksikan betapa di pipi kiri
Si Brewos memanjang luka goresan. Darah mengucur
menuruni leher dan dadanya walau pun tidak deras benar.
Suji tersenyum dengan senjata pendeknya.
"Serbu!!!" teriak anggota Si Brewos ketika melihat
pemimpinnya terluka. Mendengar aba-aba ini, serentak semua anak buahnya
berteriak dan berlari menyerbu.
Semua anggota rombongan pemikul seba pun sudah
bersiap dengan senjatanya masing-masing. Sais pedati
melempar-lemparkan jenis senjata yang lebih besar lagi
seperti trisula, pedang bahkan busur besar.
Madi melemparkan sebuah pedang kepada Suji Angkara
yang segera menangkapnya. Pemuda itu dengan cepat
Senja Jatuh Di Pajajaran Karya Aan Merdeka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mencabut pedang itu dari sarungnya dan langsung
digerakannya untuk menangkis serangan sebuah golok.
"Ah!" teriak Ginggi yang menyaksikan dari jauh. Golok
yang Suji Angkara tangkis ternyata terlempar jauh dan si
pemegangnya meringis sambil memegangi tangannya.
Tenaga pemuda itu besar, kata Ginggi dalam hati.
Pertempuran berlangsung cukup seru. Sudah terdengar
teriakan kesakitan dari kedua belah fihak. Namun bila
Ginggi menghitung, lebih banyak anggota rombongan seba
yang terluka dibandingkan para penyerangnya. Di fihak
rombongan seba hanya lima orang saja kelihatan menguasai
ilmu berkelahi, yaitu Ki Ogel, Ki Banen, Seta serta Madi
dan dipimpin oleh Suji Angkara yang memiliki kepandaian
beberapa tingkat di atas keempat orang anak buahnya. Tapi
kebanyakan dari anggota rombongan seba, hanya memiliki
kepandaian sedananya saja. Mereka berani terjun ke dalam
pertempuran hanya karena terpacu semangatnya oleh
kegagahan Suji Angkara saja.
Dan memang, pemuda yang kadang-kadang perangainya
nampak halus tapi kadang-kadang mulutnya angkuh ini
melakukan perkelahian dengan semangat tinggi. Dari atas
kudanya Suji Angkara tidak sekadar menangkis serangan
lawan, bahkan lebih banyak lagi dia bersifat menyerang.
Dia memacu kudanya untuk mengejar kesana-kemari di
mana lawan berada. Pemuda itu melakukan serangan dengan ganas.
Pedangnya yang dia gerakan, semua diarahkan hanya untuk
membunuhlawan. Ini terlihat sekali, betapa yang diburu
mata pedang hanya bagian tubuh yang mematikan saja.
Satu dua lawan yang mendekat, tak ayal menderita
serangan yang dahsyat. Kalau tidak segera menghindar
dengan jalan berguling-guling, mereka tidak sekadar luka
biasa saja, melainkan akan tamat riwayatnya karena leher
terbabat pedang atau dadanya terpanggang benda yang
sama. Tapi, jumlah penyerang satu setengah lebih banyak dari
rombongan seba. Apalagi di antara mereka sudah banyak
yang terluka dan jumlahnya hampir mencapai setengahnya.
Sekali pun Suji Angkara gagah berani menghadapi lawan,
tapi perhatiannya terpecah-pecah karena dia pun berusaha
juga untuk melindungi keselamatan anak buahnya.
Sambil masih mengendap-ngendap di balik semak dan
batang pohon jati, Ginggi mencoba datang lebih dekat lagi.
Melihat keadaan tak menguntungkan fihak rombongan
seba, Ginggi harus segera membantunya. Kendati pemuda
itu kurang setuju dengan tindakan rombongan seba di Desa
Wado tetapi kalau harus memilih, dia akan membantu
rombongan ini ketimbang memperhatikan keselamatan
fihak penyerang. Selintas pun Ginggi sudah bisa menduga
bahwa fihak penyerang merupakan komplotan jahat yang
mencoba akan merampas barang seba. Ginggi juga punya
kepentingan dalam membantu menolong rombongan seba.
Dia ingin menyelidiki lebih jauh siap Suji Angkara ini. Dia
ingin menggabungkan rasa curiga Rama Dongdo, Nyi
Santimi dan naluri dirinya sendiri. Pemuda tampan berkulit
putih ini sepertinya punya misteri.
Ginggi mengumpulkan butiran batu kecil yang
dicongkelnya dari tanah lembek, sambil matanya terus
menyaksikan jalannya pertempuran.
Di salah satu sudut pertempuran, Seta nampak dikepung
tiga orang musuh, padahal bahu kirinya sudah
terlukamengeluarkan darah. Tapi kendati pemuda tampan
yang di bibirnya selalu mencibir ini sudah terluka, para
pengeroyoknya seperti belum puas dan nampaknya ingin
menempatkan riwayat pemuda itu. Itu nampak dari
berbagai serangan yang datang kesemuanya terlihat ganas
dan mengarah ke tempat-tempat berbahaya.
Suatu saat pemuda itu jatuh terjerembab karena
menangkis serangan sebuah golok. Badannya telentang tak
berdaya. Dia hanya berhasil menangkis satu serangan saja,
sedangkan ada serangan lainnya mengarah ke batok
kepalanya. Namun ketika golok musuh diayun
pemegangnya, tangan Ginggi pun segera bergerak
menyambitkan satu kerikil. Serbuan batu kerikil lebih cepat
dari gerakan ayunan golok dan tepat mengarah ke urat nadi
pergelangan tangan. Karena urat nadi menjadi kaku dan
kesemutan, gerakannya terganggu. Ini memberkan
kesempatan kepada Seta untuk melakukan serangan
balasan. Si penyerang menjerit ngeri dan tubuhnya limbung
ke samping ketika babatan golok merobek perutnya.
Satu kali golok Seta berkelebat kembali dan kali ini si
penyerang yang tangannya masih kesemutan menjadi
makanan empuk golok tak bermata itu. Jeritan kedua
terdengar memecah hutan jati dan tubuh orang itu
terjerembab karena luka yang sama seperti kawannya.
Akan halnya penyerang ketiga yang menghambur dari
belakang, secara aneh badannya terjerembab ke depan.
Pemuda Seta yang posisinya masih telentang, sudah barang
tentu kaget bukan main. Lawannya ini jelas melakukan
serangan tetapi amat nekat dan bodoh bila begitu saja
menjatuhkan diri ke atas badan lawan, apalagi tanpa
bersiap dengan goloknya. Bluk, tubuh si penyerang
menindih badan Seta tanpa bisa bergerak lagi. Seta heran,
mengapa tubuh ini jatuh seperti karung goni. Tapi hal ini
tak dibuat bingung berlama-lama, sebab goloknya segera
digerakan untuk "merangkul" tengkuk penindihnya. Mata
golok yang tajam ditekan kuat-kuat dan membenam dalam
ke tengkuk lawan. Seta menyingkirkan tubuh yang diam tak bergerak
menindih badannya. Dia segera bangun, berdiri dan
bertolak pinggang dengan gagahnya. Matanya menyipit dan
meneliti ketiga tubuh yang bergelimpangan di bawah
kakinya. Sementara di tempat lain, perkelahian juga hampir dapat
diselesaikan. Ini karena Ginggi pun melakukan hal yang
sama, membantu rombongan seba secara diam-diam.
Hanya saja, dari bantuannya ini mengejutkan dirinya, sebab
setiap musuh yang dia timpuk urat nadinya dan menjadi
terganggu gerakannya, menjadi sasaran empuk fihak Suji
Angkara dan dibabat habis tanpa mengenal ampun.
Ginggi tersenyum pahit dari balik pohon yang jaraknya
hanya sekitar empat atau lima depa saaja dari arena
pertempuran. Ini adalah pemandangan pertama baginya.
Ternyata yang namanya perkelahian sepertinya hanya
memilih dua alternatif, dibunuh atau membunuh.
Sisa-sisa musuh yang tak telanjur menjadi mayat itu,
hanya karena mereka melakukan langkah seribu saja,
termasuk Si Brewos pemimpinnya. Mereka terbirit-birit
masuk ke kegelapan hutan jati, dijadikan bahan tertawaan
lawannya. Namun sebelum suara langkah kaki mereka
menghilang, terdengar suara teriak dari mereka. Rupa-
rupanya Si Brewos yang berteriak.
"Tunggulah pembalasan bagi orang orang yang berani
melawan Ki Banaspati!" teriaknya lantang.
"Apa, Ki Banaspati"!" suara teriakan campur rasa heran
ini keluar dari mulut Suji Angkara, Ki Ogel, Ki Banen dan
mulut Ginggi dari balik semak-semak. Ginggi terkejut, Ki
Banaspati adalah salah satu dari keempat orang yang
tengah dicarinya atas perintah Ki Darma. Ki Banaspati
menjadi perampok" "Mustahil Ki Banaspati merampok barang yang akan
diserahkan kepadanya!" teriak Seta sambil kedua tangan
masih bertolak pinggang di sekeliling mayat yang
bergeletakan. "Seta, kau berhasil melumpuhkan mereka seorang diri?"
berteriak Madi gembira campur heran. Keheranan serupa
juga melanda semua orang, termasuk Suji Angkara.
"Kau kalahkan mereka seorang diri?" tanya Suji Angkara
sambil turun dari kudanya.
"Saya juga gembira bisa mengalahkan mereka, Raden?"
kata Seta tersenyum cerah dan masih bertolak pinggang.
Tubuh yang bergeletakan satu-persatu dia gulingkan dengan
ujung kakinya, sombong sekali. Nampak Suji Angkara
tersenyum mengejek. "Syukurlah kau bertindak gagah.
Kelak aku akan usulkan kau jadi jagabaya di bawah
kekuasaan Kandagalante Muaraberes," kata Suji Angkara.
Seta menggangguk suka cita.
"Bagaimana kita sekarang, Raden?" tanya Ki Banen.
"Kita akan melanjutkan perjalanan menuju arah hilir
Cipeles dan berhenti sebelum masuk jalan pedati menuju
Sumedanglarang. Akan ada utusan Ki Banaspati di sana,"
kata Suji Angkara bicara sambil mata menerawang ke
kejauhan dan tangan kanan memegang hulu senjata yang
terselip di pinggang. "Mari, kita harus segera meninggalkan tempat ini dan
terpaksa dilakukan malam-malam. Banyak binatang buas di
sini," kata Suji Angkara lagi.
"Ada enam orang terluka, termasuk Seta. Mereka tak
akan kuat melakukan perjalanan jauh, Raden," kata Ki
Ogel. "Aku kuat, Aki!" kata Seta padahal darah di bahu kirinya
terus mengucur. Sebelum Suji Angkara memutuskan sesuatu, dari arah
belakang mereka, kira-kira belasan depa jaraknya ada orang
tergopoh-gopoh. "Apa yang terjadi di sini" Hah, banyak orang luka
nampaknya!" teriak Ginggi. Dia memutuskan akan
bergabung dengan rombongan agar memudahkan
perjalanan selanjutnya. Mulanya semua orang bercuriga dan bersiap kembali
dengan senjatanya. Namun kemudian mengurungkannya
kembali setelah tahu siapa yang datang.
"Itu pemuda dungu di kampung kita," kata Ki Ogel
tertawa. "Hei, kemanaa saja kau" Bukankah tempo hari
kamu akan ikut membantu mengangkut barang seba?"
tanya Ki Ogel. "Oh, kalian rupanya. Mengapa meninggalkanku?" tanya
Ginggi pura-pura bingung.
"Ki Ogel, jangan membawa orang tolol itu. Dia telah
mengacaukan acara pertunangan saya dan Nyi Santimi dan
hampir-hampir gagal," kata Seta menuding hidung Ginggi.
Ginggi mundur beberapa tindak dan memperlihatkan
rasa takut terhadap Seta.
"Aku, aku tak salah. Hanya menatap wajah Nyi Santimi
yang cantik, dia jatuh pingsan. Padahal mataku tidak
setajam pedang, Kang!" jawab Ginggi ketakutan.
"Jangan sebut aku Kakang. Apa dikira aku ini kakakmu"
Sekali lagi kau sebut itu, kau akan terbaringkan seperti tiga
perampok itu, mengerti!" kata Seta mencabut golok.
Kembali Ginggi mundur setindak dan semua orang tertawa
dibuatnya, tidak terkecuali yang sedang terluka.
"Sekarang Nyi Santimi sakit karena matamu itu tolol!"
bentak Seta lagi. Kembali semu orang tertawa, juga Suji
Angkara. Aneh rasanya ada orang sakit karena dipandang.
"Bagaimana Raden, bolehkah aku membawa serta anak
muda ini?" tanya Ki Ogel meminta pendapat.
"Betul. Kita kekurangan tenaga pikul. Lagi pula,
ayahanda Raden pun sudah mengizinkan anak ini untuk
ikut membantu," Ki Banen ikut mengusulkan.
"Aku pandai mengobati orang sakit, orang luka dan
sebagainya, Raden," kata Ginggi mencoba menatap wajah
pemuda itu. Namun hari sudah demikian gelap dan hanya
keremangan saja yang ada di wajah pemuda itu.
"Kalau benar engkau bisa mengobati orang sakit, itu
lebih bersyukur lagi. Berarti, rombonganku punya dua
tambahan tenaga, satu tenaga tukang pikul dan satunya lagi
juru obat," kata Suji Angkara dengan bahasa yang enak
didengar. "Sekarang, coba tanggulangi teman-teman kita
yang terluka. O,ya" Siapa namamu?"
"Ginggi?" kata Ginggi yang tak mencoba lagi bertahan
tentang identitas. "Ginggi"Nama yang bagus. Kalau aku tahu lebih
dahulu, ketika lahir ke dunia aku ingin nama itu," kata Suji
Angkara. "Tapi, Ginggi adalah jin yang jahat, Raden!" jawab
Ginggi. Sejenak Suji Angkara tertegun dan seperti terkejut.
Namun akhirnya dia tertawa kecil.
"Aku senang itu"Aku senang itu. Hahaha!" katanya lagi
tertawa. Sekarang Ginggi harus membuktikan bahwa dia ahli
obat. Maka dia meminta izin untuk mencari dedaunan
hutan yang akan digunakan sebagai obat luka. Ki Ogel ikut
membantu dengan menyalakan obor.
Sebenarnya Ginggi tak benar-benar ahli sebagai peramu
obat. Tapi selama bertahun-tahun hidup bersama Ki Darma
di puncak gunung, dia banyak mengenal berbagai jenis
tanaman yang bisa digunakan sebagai obat, termasuk obat
untuk luka karena senjata tajam.
Ki Darma pernah mengatakan bahwa kehidupan
manusia sebenarnya dikawal oleh empat unsur bumi, yaitu
angin (udara), air, api dan tanah. Yang dimaksud unsur
tanah ialah juga terdapat di bumi ini, termasuk berbagai
tanaman yang tumbuh di atas tanah.
"Mereka sebenarnya menjaga kita, termasuk mengobati
kita bila terjadi sesuatu penyakit. Hanya sudah barang
tentu, kita harus mengenal sifat dan kekuatan berbagai
kekayaan di bumi ini, termasuk macam-macam tanaman
yang tumbuh di situ." Ginggi dan Ki Darma selama di
puncak meneliti dan mempelajari sifat serta kegunaan
berbagai tanaman hutan. Sekarang, pengetahuan yang didapatnya di puncak
gunung, mulai dipraktekkan untuk menolong orang lain.
Untuk mengobati luka karena senjata tajam, Ginggi
mencari daun petai cina yang kelak akan digerus dengan
garam, untuk kemudian ditempelkan dan dibalutkan ke
luka tubuh. "Sekarang aku perlu jeruk nipis banyak-banyak, ragi tape
dan bawang merah. Tapi dimana barang-barang itu bisa
ditemukan di malam begini?" tanyanya sendirian.
"Jangan kuatir, itu semua tersedia di gerobak pedati.
Senja Jatuh Di Pajajaran Karya Aan Merdeka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Seba yang akan dikirim ke Pakuan di antaranya semua hasil
rempah-rempah, termasuk yang engkau tanyakan barusan,"
kata Ki Ogel. "Bagus. Ramuan ini diperlukan untuk mencegah demam.
Orang luka biasanya diserang demam yang hebat," kata
Ginggi. (O-anikz-O) Penjemput Tak Ada Perjalanan yang rencananya harus dilakukan malam itu
juga, akhirnya dibatalkan sebab enam orang yang terluka
harus disembuhkan dahulu. Di pinggir jalan lembab tengah
hutan pohon jati ini, orang-orang berbenah membuat
lingkaran dan memasang api unggun. Tiap dua orang
mendapat giliran jaga. Kecuali Ginggi, sepanjang malam
dia mengobati luka-luka para anggota rombongan. Sudah
barang tentu ini pekerjaanyang melelahkan. Apalagi
sebelum bertugas menjadi tabib, dia dikenakan pekerjaan
mengurus mayat musuh. Ada lima mayat terbujur kaku, tiga di antaranya
"dibunuh" sendirian oleh Seta, tapi yang bertanggungjawab
seluruhnya hanya Ginggi seorang. "Aku tak mau
menguburkan mayat musuhku!" kata Seta dan Madi ketus
ketika Ginggimeminta bantuan.
"Kamu harus punya rasa kasihan terhadap semua orang.
Kalau kamu yang tadi mati, mungkin dia pun akan
menguburkan jasadmu!" kata Ginggi.
"Sialan kau!" bentak Madi hendak menempeleng wajah
Ginggi yang segera menghindarinya. Sesudah menguburkan
kelima mayat, Ginggi kemudian sibuk mengurus yang luka
sampai jauh malam. "Tinggal engkau seorang yang belum kuobati, Seta," kata
Ginggi mengusap keringat di jidat.
Tapi Seta diam saja. Mendengar pun tidak. Ginggi pun
tak memaksanya. Dia hanya berkata kepada pasien yang
lima orang, agar setiaphari mentaatinya menggunakan obat
yang dibuatnya. "Sehari saja kalian tidak makan ramuanku, kalian akan
mati karena demam yang hebat dan karena luka yang
membusuk," kata Ginggi yang dianggukan oleh para
pasiennya. Ketika Ginggi akan mengambil tempat untuk
tidur, Seta datang menghampirinya.
"Jangan tidur! Brengsek kau!" kata Seta.
"Ha! Sudah tak ada pekerjaan untukku!" kata Ginggi.
"Cepat, obati aku!" kata Seta bernada perintah. Sambil
senyum dikulum, Ginggi bekerja lagi membuat ramuan
sampai hari menjelang pagi.
(O-ani-kz-O) Ginggi dibangunkan dari tidur lelapnya ketika
rombongan akan melakukan perjalanan kembali. Kata Ki
Ogel, Suji Angkara yang mengizinkan agar Ginggi
dibiarkan beristirahat agak lama.
Namun tanpa memberi kesempatan kepada pemuda itu
untuk mencari air guna keperluan membasuh muka,
rombongan segera berangkat.
Suji Angkara mengabarkan bahwa untuk sementara
perjalanan hanya akan mencapai tepi Sungai Cipeles saja
dulu. Di tepi jalan di ujung jembatan gantung ada garduh
tempat beristirahat dan di sanalah utusan Ki Banaspati
menunggu. Sudah barang tentu, uraian ini semakin menarik bagi
Ginggi. Suji Angkara yang dianggap misterius dan dicurigai
Rama Dongdo, bagi Ginggi hari ini merupakan orang yang
amat diperlukan karena bisa digunakan sebagai petunjuk.
Ginggi juga ingin tahu, apa hubungan Suji Angkara
dengan Ki Banaspati" Kemudian, apa pula hubungan
antara Ki Banaspati dengan komplotan perampok itu. Tadi
malam seusai pertempuran kecil di hutan jati, perampok
berteriak mengakui dirinya sebagai bawahan Ki Banaspati.
Kalau benar begitu, hanya menggambarkan seolah-olah Ki
Banaspati pimpinan para perampok! Sungguh gila
pengakuan ini. Padahal Ki Banaspati yang dimaksud Ki
Darma adalah seorang yang tengah menjalankan misi untuk
membela ambarahayat Pajajaran. Atau, ada berapa banyak
nama Ki Banaspati di bumi Pajajaran ini" Mungkinkah
yang dikenal Suji Angkara atau pun perampok di hutan jati
bukan yang dimaksud Ki Darma"
"Aku harus terus bergabung dengan rombongan ini,"
kata Ginggi dalam hatinya.
Seperti biasa, rombongan pengirim barang seba ini
berjalan terseok-seok karena perjalanan yang berat.
Sekarang barangkali lebih lambat sebab adanya orang-orang
yang luka. Mereka jangankan disuruh memikul beban berat,
untuk melangkah dengan tegap saja nampaknya amat
kesulitan. "Kalian nanti beristirahat di dusun kecil tepi Sungai
Cipeles," kata Suji Angkara kepada yang terluka.
"Apakah di sana kita akan mengangkut barang seba yang
baru lagi, Raden?" tanya Ki Banen yang selama di
perjalanan jarang sekali bicara.
"Tahun-tahun lalu dusun itu suka bergabung dan
mengirimkan hasil bumi kepada Umbul Cipeles, untuk
selanjutnya dikirim ke Kandagalante yang menguasai
Sumedang Selatan. Tapi kita lihat saja nanti, apakah ada
kekayaan mereka yang perlu kita angkut," kata pemuda
yang mencongklang kudanya lambat-lambat di depan.
Ginggi ada di barisan paling belakang. Dia bertugas
mengawal perjalanan roda pedati. Kalau roda melesak ke
tanah lembek atau masuk ke sela-sela batu, tugas Ginggi
untuk mendorong pedati, dibantu oleh beberapa orang yang
terpaksa menurunkan pikulannya.
Kalau mau, sebetulnya dengan tenaga seorang saja
pemuda itu sanggup mendorong-dorong pedati tanpa
menggunakan kerbau. Hanya saja bila dia sembrono
memperlihatkan tenaganya, hanya akan membuat orang
bercuriga padanya. Dia tak ingin membuat orang
memperhatikannya secara khusus.
"Kalau orang mengetahui bahwa kita punya kekuatan,
mereka akan bertindak hati-hati kepada kita. Tapi
sebaliknya, bila kita terlihat bodoh, maka mereka akan
menganggap enteng dan selalu melakukan tindakan
sembrono yang dalam hal-hal tertentu akan
menguntungkan kita," kata Ki Darma tempo hari di tengah-
tengah latihan kerasnya. Ucapan Ki Darma ini mudah dibuktikan kebenarannya
sesudah Ginggi turun gunung. Jangan jauh-jauh, pikirnya,
karakter dan isi benak pemuda Seta dan Madi begitu
terkuak dan mudah diketahui Ginggi, hanya karena dia
berpura-pura menjadi orang lemah. Kedua pemuda itu
mungkin beranggapan bahwa sikap dan kebiasaannya tak
perlu mendapatkan penilaian dari pemuda "bodoh" macam
Ginggi. Coba kalau pemuda ini memperlihatkan
kemampuan yang sebenarnya, bisa-bisa Seta dan Madi
membungkuk dan merunduk atau menyembah sampai
wajah mereka mencium tanah saking hormat kepadanya.
Dan penampilan hormat itu hanya polesan belaka, tidak
menampilkan karakter yang sesungguhnya.
Ketika Ginggi mendorong pedati dengan susah payah,
Ki Banen yang selalu berjalan di muka bersama Ki Ogel,
pergi ke barisan belakang dan ikut mendorong pedati.
"Kau ke mana saja, anak muda?" tanyanya
"Dari tadi aku mendorong pedati disini, Aki!" kata
Ginggi dengan nafas senggal-senggal.
"Maksudku, kemarin dulu itu," kata Ki Banen. "Malam
pertama kehadiranmu di Desa Cae, kau tidur di gardu.
Malam kedua, aku tahu kau menonton pertunjukan pantun.
Tapi di malam ketiga, aku tak lihat kamu," katanya.
"Malam ketiga" Di mana aku, ya?" Ginggi menggaruk-
garuk belakang kepalanya.
"Bukan apa-apa. Aku ingin memberikan beberapa
penjelasan malam itu karena aku ingat kau ingin ikut
menjadi pengirim barang-barang seba,," kata Ki Banen.
Ginggi hanya diam saja. "Kau harus hati-hati terhadap Raden Suji?" kata Ki
Banen lagi. "Pemuda tampan itu baik padaku," jawab Ginggi.
"Begitu, selama engkau menuruti kata-katanya. Tapi
kalau kau punya pendapat yang tak berkenan di hatinya,
kau bisa repot." "Ya, akan kuusahakan saja," gumam Ginggi. "Tapi, kau
selalu sependapat dengan pemuda tampan itu, bukan?"
giliran Ginggi mengajukan pertanyaan. Tampak Ki Banen
menghela nafas. Roda pedati masuk ke sela-sela batu, berhenti mendadak
karena terganjal. Ginggi tersuruk ke depan dan mukanya
membentur pantat pedati. Hanya saja Ki Banen sanggup
menahan tubuhnya sehingga tak sampai terjerembab ke
depan. Ginggi mengusap-ngusap jidatnya, nampak seperti
kesakitan. "Ayo dorong berdua. Satu, dua, tigaaa!! Ya!!!" teriak Ki
Banen memberi aba-aba. Pedati kembali berjalan.
"Kalau aku punya waktu, kapan-kapan kau kulatih
ilmupenca, anak muda!" kata Ki Banen.
"Penca, apakah itu?"
"Itu ilmu untuk mempertahankan diri dari gangguan
musuh. Bila kau memiliki ilmu penca, kau tidak akan
dijadikan bulan-bulanan oleh Seta dan Madi."
Ginggi tersipu dan memalingkan muka. "Aku dengar kau
dianiaya oleh kedua pemuda sombong itu di tepi pancuran.
Kalau kau punya kepandaian, kau tak mungkin dihina
seperti itu," kata Ki Banen.
"Kalau aku punya kepandaian, giliran aku yang
menghina orang lemah, ya, Aki!"
Ki Banen tersenyum. "Itulah kekeliruan hidup, anak
muda. Manusia cenderung menganggap enteng orang yang
dianggapnya lebih lemah dari kita. Padahal ilmu penca juga
mengajarkan budi pekerti selain sebagai ilmu bela diri. Bila
orang sudah belajar penca, jangan ingin dipuji karena punya
kepandaian dan jangan menghina orang, juga karena
kepandaian. Penca hanya akan memberikan kesadaran
kepada kita bahwa sebenarnya kita ini makhluk lemah dan
tak ada apa-apanya dibandingkan Sang Rumuhun," kata Ki
Banen. "Siapa Sang Rumuhun?"
"Itulah penguasa tunggal di jagat ini. Langit dan bumi
beserta isinya, semua milikNya," kata Ki Banen.
"Kau pernah berjumpa dengannya?"
"Kita bisa berjumpa denganNya hanya melalui hati dan
naluri. MencariNya hanya menggunakan akal tak akan bisa
ditemukan. Akal tidak bisa menjawabnya bila ada
pertanyaan mengapa Sang Rumuhun menciptakan kita,
menciptakan binatang, tumbuh-tumbuhan dan alam raya.
Hanya dengan naluri saja kita mengakui kekuasaanNya,"
kata Ki Banen. "Bila hidup kita dikuasai olehNya, barangkali kita tak
boleh berbuat semaunya, Aki!"
"Betul." "Tidak boleh sewenang-wenang."
"Betul?" "Tidak boleh merampas barang orang lain walau pun apa
alasannya." "Betul?" "Termasuk dengan alasan kepentingan seba?"
Ki Banen merandek, kemudian tunduk dan menghela
nafas."Kau pasti tahu peristiwa di Kampung Wado, anak
muda," keluhnya. "Aku singgah di sana sebelum menyusulmu, Aki" kata
Ginggi menatap orang tua ini untuk mencari jawab
peristiwa di Wado. "Inilah bagian dari kemelut negara, anak muda."
"Tapi menurutmu tempo hari, pengiriman seba ke
Pakuan berlangsung tanpa musyawarah. Wilayah mana
yang tetap bersetia terhadap Pakuan, dia pergi mengirim
seba. Tetapi yang tidak mau, biarkan punya pendirian
sekehendak hatinya sendiri," tutur Ginggi menirukan apa
yang telah diucapkan Ki Banen tempo hari.
"Memang begitu," jawab Ki Banen.
"Nah! Tapi mengapa kalian memaksa orang Wado untuk
mengirim seba ke Pakuan padahal ratunya sudah memilih
biluk ke Cirebon?" "Memang kacau, kacau!" gumam Ki Banen. "Raden Suji
punya pendirian keras. Dia tetap bersetia kepada Pakuan,
bahkan berani memaksakan kehendaknya kepada orang
lain. Jadi menurutnya, semua orang harus tetap mengakui
Pajajaran sebagai penguasa tunggal di tanah Sunda ini,"
kata Ki Banen. "Dan Aki sendiri akan bersetia ke mana?" tanya Ginggi.
"Aku ini orang Pajajaran. Sejak pemerintahan Kangjeng
Prabu Sri Baduga Maharaja lebih dari limapuluh tahun lalu,
di masa remaja, aku sudah mengabdi sebagai jagabaya di
beberapa kandagalante. Terakhir aku menjadi jagabaya
bersama Ki Ogel di Karatuan Talaga dan baru berhenti
ketika Talaga masuk wilayah Cirebon," kata Ki Banen
menerawang masa-masa yang telah lalu.
"Kau terus bersetia kendati raja-raja yang memimpin
Pajajaran tidak sebaik pendahulunya, Aki?" tanya Ginggi
mengerutkan alisnya. Ki Banen menghela nafas. "Raja boleh berganti-ganti tetapi Pajajaran tetap sama.
Dan kau harus ingat, bahwa sebetulnya kau hidup di bumi
Pajajaran. Kepada Pajajaran pula kau harus mengabdi,"
kata Ki Banen pasti. "Aku tidak akan ikut campur pada pendirianmu, Aki.
Tapi aku ingin mengingatkanmu, hati-hatilah dalam
melakukan pengabdianmu. Kau jangan keliru memilih,
jangan sampai kesetiaanmu dimanfaatkan untuk
kepentingan lain oleh orang-orang yang tak
bertanggungjawab," kata Ginggi.
Ki Banen menatap sejenak, kemudian tertawa kecil.
Ginggi tak faham, tawa kecilnya ini karena apa. Apakah
karena ia mengerti akan peringatan pemuda itu, atau malah
Senja Jatuh Di Pajajaran Karya Aan Merdeka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
melecehkannya karena merasa dinasihati oleh anak muda.
"Satu lagi pertanyaanku, Aki," kata Ginggi sesudah
untuk yang kesekian kalinya menjungkat roda pedati yang
masuk terhimpit sela-sela batu.
Ki Banen menoleh ke arah Ginggi.
"Aku ingin tahu, siapa Ki Banaspati itu?" tanya Ginggi.
"Aku belum jumpa dengan orang ini. Tapi pasti
merupakan tokoh penting di Pakuan. Suji pun nampak
menyeganinya. Kata anak muda itu, Ki Banaspati petugas
penting di jajaran Muhara Pakuan," jawab Ki Banen.
"Muhara?""
"Muhara adalah petugas penarik pajak. Pucukmuhara di
Pakuan dipegang oleh Bangsawan Soka, masih kerabat raja
juga. Kata Raden Suji, Ki Banaspati bertugas sebagai
muhara di wilayah timur, wilayah paling berat dalam
pemungutan pajak, sebab selain jarak jangkaunya amat
jauh, juga beberapa wilayah sudah memihak Cirebon.
Raden Suji Angkara, putra Ki Kuwu Suntara, merupakan
tangan kanan Ki Banaspati dalam pemungutan pajak di
daerah timur," kata Ki Banen.
Ginggi masih termangu-mangu di saat-saat santai bila
pedati lancar berjalan. "Tapi, tadi malam?" Ginggi tak melanjutkan kata-
katanya. Sedianya teriakan perampok yang mengaku anak
buah Ki Banaspati akan ditanyakan. Tapi mana mungkin
dia bertanya, padahal ketika teriakan itu terdengar, dia
masih sembunyi. Ki Banen tak memperhatikan pertanyaan yang terpotong
itu sebab ada suara Suji Angkara memanggil dirinya.
Ketika matahari sudah condong ke barat, rombongan
tiba di dusun kecil tepi Kali Cipeles. Di dusun ini mereka
bermalam agar besok bisa melanjutkan perjalanan pagi-pagi
sekali. Tidak ada kejadian berarti di dusun kecil ini, kecuali
adanya penghormatan berlebihan dari kepala dusun kepada
Suji Angkara. Kepala dusun dengan rasa takut dan segera mengatakan
bahwa dusunnya tak sanggup membayar seba kekayaan
hasil bumi karena panenan palawija kurang berhasil.
"Kalau bisa diterima kami akan menjalankan dasa saja,
yaitu membayar pajak dengan tenaga. Semua penduduk
dusun siap sedia membantu mengangkut barang pikulan
yang banyak ini," kata kepala dusun.
"Baik, kalian kerjakan saja apa yang mampu kalian
kerjakan. Yang penting kalian tetap mengabdi kepada
Pajajaran," kata Suji Angkara. Kepala dusun merunduk dan
menggangguk sebagai tanda bersyukur bahwa dia diizinkan
membayar pajak berdasarkan kemampuan yang ada.
"Ada enam orang petugas kami yang luka-luka karena
gangguan orang jahat di tengah perjalanan. Kau
berkewajiban merawat anggota kami di sini. Dan karena
kami butuh anggota pengganti, kau harus sediakan tenaga
enam atau sekurang-kurangnya lima orang pemuda
bertubuh sehat dan bertenaga kuat. Mereka harus
bergabung dalam pengiriman seba yang bertugas hingga
Sagaraherang," kata Suji Angkara. Kepala dusun
mengganguk tanda siap melaksanakan perintah.
Besok paginya, benar saja kepala dusun sudah
menyiapkan enam orang pemuda yang tegap-tegap. Kepala
dusun pun sudah mengatur agar enam orang petugas
pengiriman seba yang luka ditampung di rumah-rumah
penduduk untuk dirawat kesehatannya.
Rombongan segera berangkat lagi. Kali ini, jalan pedati
sudah tak seberat seperti di bukit-bukit hutan jati sana.
Selain perjalanan tidak naik turun bukit, juga jalanan sedikit
rata berdebu di saat kemarau yang tengah berlangsung ini.
Jalan pedati ini terus menyusuri Kali Cipeles dan yang
kelak satunya akan menuju wilayah Kandagalante
Sumedang dan satunya akan menyebrangi Kali Cipeles,
terus ke utara menuju Sagaraherang, Cikao, Karawang,
Tanjungpura, Warunggede, kemudian lurus ke barat
menuju Cibarusa, Cileungsi, dan akan berakhir di ibukota
Pajajaran, Pakuan. "Tapi di beberapa daerah utara, bisa jadi kita tak akan
melewati jalur utama sebab kekuatan Pasukan Cirebon di
wilayah utara sudah nampak nyata. Kita harus menghindari
percekcokan dengan mereka tentang urusan seba ini," kata
Suji Angkara. Ki Banen mengatakan kepada Ginggi, perjalanan
pengiriman seba ini memang tersendat-sendat tidak seperti
masa-masa Pajajaran utuh menguasai tanah Sunda.
(O-anikz-O) Jilid 07 Pengiriman seba dari wilayah-wilayah yang diakui
Cirebon sebagai wilayah mereka jelas akan ditentang
mereka. Kata Ki Banen, jangankan melakukan perjalanan
membawa seba secara terang-terangan di wilayah utara,
menumpang lewat saja ke Sumedanglarang, rombongan ini
tak berani melakukannya. "Selepas Wado kemarin dulu misalnya, kita tak berani
mengambil jalan bagus sebab harus melewati Pasanggrahan
dan Ciguling, ibukota Karatuan Sumedanglarang. Berani
masuk ke pusat wilayah mereka, kita akan menghadapi
berbagai hambatan," kata Ki Banen.
Sebelum matahari ada di atas kepala, rombongan sudah
tiba di jalan bercagak tepi sungai. Satu lurus ke timur
menuju wilayah kandagalante Sumedang, satunya
menyebrang Sungai Cipeles menuju utara ke Sagaraherang.
Di jalan bercagak ini memang terdapat sebuah gardu
tempat orang beristirahat. Tapi tidak seperti dikatakan Suji
Angkara, ternyata di sini tidak diketemui seseorang yang
mengaku utusan Ki Banaspati. Gardu itu kosong.
"Kita terlambat satu hari, sebab seharusnya kita tiba
disini kemarin pagi," kata Suji Angkara kemudian.
"Jadi, kita mesti bagaimana Raden?" tanya Ki Ogel.
"Kita lanjutkan perjalanan sampai ke Sagaraherang saja,"
katanya. Yang mendengarkan perkataan Suji Angkara
saling pandang satu sama lain.
"Raden, orang-orang kita ini tidak dipersiapkan untuk
melakukan perjalanan sejauh itu. Mereka hanya bertugas
sampai selepas Sumedanglarang saja," kata Ki Banen.
"Boleh, siapa yang tidak siap ikut denganku?" tanya Suji
Angkara sambil meneliti tiap-tiap orang. Tapi tidak seorang
pun berani berkata tidak. Tidak pula Ki Banen.
"Saya siap mengikuti anda ke mana saja, Raden," kata
Seta bersemangat. "Saya pun siap bersama anda apa pun yang terjadi!"
Madi tak kalah semangatnya. Suji Angkara menyipitkan
mata dan melihati setiap wajah anak buahnya. Semuanya
nampak mengangguk-angguk tanda siap.
"Hei, kamu anak bodoh, bagaimana?" Suji Angkara
menatap ke arah Ginggi. "Aku juga siap sampai mati!" teriak Ginggi bersemangat.
Suji Angkara tersenyum mendengarnya.
"Ternyata tak ada yang pengecut melakukan perjalanan
jauh, Paman Banen," kata Suji Angkara tersenyum kecil. Ki
Banen menunduk. Dan akhirnya perjalanan dilanjutkan menyebrangi
jembatan gantung Sungai Cipeles.
Perjalanan menuju utara juga terasa sangat berat kendati
tidak seberat di hutan jati wilayah Wado.
Daerah utara sebetulnya merupakan wilayah dataran
rendah. Dan kian ke utara kian rendah sebab menuju
pantai. Tapi sebelum tiba di dataran rendah, perjalanan
akan melewati wilayah pegunungan hutan pinus dan
cemara yang amat lebat. Di beberapa tempat, jalan pedati
akan melalui lembah dan ngarai di mana matahari tidak
bisa tembus ke bumi. Rombongan harus berkejaran dengan waktu dan Suji
Angkara tak memperkenankan matahari lebih tiba sampai
di barat dibandingkan dengan rombongannya. Untuk itu,
dia memerintahkan agar rombongan berjalan cepat.
(O-anikz-O) Misteri Terkuak Keinginan pemuda tampan ini memang bisa
dilaksanakan sebab kondisi jalan di daerah ini sedikit lebih
baik ketimbang tempat-tempat yang sudah dilalui. Jalan
pedati di daerah ngarai, kendati berkelok-kelok dan turun
naik tapi permukaan jalan sedikit rata dan memudahkan
roda pedati untuk menggelinding dengan mudah.
Hanya satu kali saja ada gangguan di perjalanan yaitu
ketika ke tengah jalan melintas seekor ular yang cukup
besar. Oleh mereka, ular itu dibunuh ramai-ramai dan
dagingnya dipanggang. Menjelang senja hari, rombongan sudah berhasil
melintasi hutan perbukitan dan mereka tengah menempuh
perjalanan menurun menuju daerah dataran rendah.
Sebelum matahari benar-benar tenggelam, rombongan
sudah tiba di wilayah Kandagalante Sagaraherang. Lawang
kori (gerbang) yang sedianya akan segera ditutup, harus
menunggu mereka masuk. Sejenak rombongan
mendapatkan pemeriksaan. Dan tak berapa lama kemudian
petugas mengizinkan rombongan ini memasuki pintu
gerbang. "Ki Banaspati sudah lama menunggu kedatangan
rombongan kalian," kata jagabaya.
Bergetar dada Ginggi mendengarnya. Mengapa tidak
begitu, sebab ini adalah pertemuan pertama dengan orang
yang menjadi murid Ki Darma. Melalui Ki Banaspati ini,
Ginggi akan segera mendapat petunjuk dan pengarahan
perihal tugas-tugas yang dibebankan Ki Darma padanya.
Namun kendati demikian, pemuda ini tetap akan bersifat
hati-hati dan tak akan begitu saja memperkenalkan diri. Dia
tetap teringat akan teriakan pimpinan perampok di hutan
jati bahwa mereka anak buah Ki Banaspati. Biarlah.
Yang disebut Ki Banaspati ini ternyata seorang lelaki
setengah baya berusia kurang lebih limapuluh tahun. Lelaki
ini nampak gagah dan berwibawa. Tubuhnya tinggi besar
dan dadanya bidang. Dia berpakaian seperti bangsawan,
menggunakan pakaian bedahan lima jenis beludru coklat.
Celana komprang hitam dengan ornamen warna emas.
Pinggangnya dililit ikat pinggang terbuat dari kulit rusa,
indah dan gagah. Sedangkan kepalanya ditutup bendo citak
dari kain batik corak hihinggulan, Yang membuat Ki
Banaspati lebih berwibawa adalah juga penampilan
wajahnya. Matanya tajam berkilat, sepasang alis tebal
melengkung seperti golok dan hidungnya mancung agak
melengkung. Ada kumis tipis di atas bibir menambah
kegagahannya. Ki Banaspati duduk bersila di ruangan tengah yang
cukup luas dengan lantai mengkilat terbuat dari papan jati.
Di sampingnya duduk seorang lelaki setengah baya lainnya
tapi dengan penampilan tak kalah gagahnya. Atau malah
bisa juga lebih gagah Mungkin karena jenis pakaiannya
lebih mewah, di mana baju bedahan tengah yang
dikenakannya terbuat dari bahan antik yang bukan dibuat di
Pajajaran. Kalau Ginggi pernah mengenalnya, jenis kain
yang digunakan untuk baju bedahan tengah ini hanya
dipakai oleh para saudagar yang sering berhubungan
dengan saudagar bangsa asing saja, sebab jenis kain yang
didapat merupakan hasil pertukaran dengan barang-barang
keperluan yang mereka butuhkan dari bumi Pajajaran.
Lelaki ini juga memakai tutup kepala berupa bendo citak
dengan motif batik warna lain. Hanya bedanya, tepat di
bagian depan bendo, dihiasi ornamen logam warna emas,
sehingga ketika lampu minyak kelapa yang digantung di
ruangan tengah menerangi, ornamen itu memantulkan
warna-warna gemerlap. Wajahnya agak bulat telur, berkulit
putih bersih dan ada kumis tebal di bawah hidungnya yang
sedikit macung. Ki Banaspati memperkenalkan lelaki ini sebagai Ki
Sunda Sembawa, seorang pejabat berpangkat Kandagalante
(setingkat wedana untuk masa kini-pen) yang mengusai
wilayah Sagaraherang. Hanya lima orang yang berkenan duduk di ruang tengah
menghadap Ki Sunda Sembawa dan Ki Banaspati, sebab
yang lain-lainnya termasuk Ginggi, duduk bersila ditepas
(beranda) saja. "Terima kasih engkau berhasil mengawal barang seba
hingga ke tujuan," kata Ki Banaspati kepada Suji Angkara.
Suji Angkara mengangguk hormat sebagai tanda terima
kasih bahwa tugasnya dihargai.
"Berkat doa Ki Banaspati, kami bisa selamat sampai di
Sagaraherang, kendati di tengah jalan mengalami gangguan
pengacau," ujar Suji Angkara. Berkerut alis Ki Banaspati
mendengar laaporan ini. "Kami dihadang perampok di tengah hutan jati wilayah
Wado," kata Suji Angkara lagi.
"Perampok di hutan jati?" Ki Banaspati dan Ki Sunda
Sembawa terkejut dan saling pandang.
"Benar. Tapi yang mengagetkan kami, para perampok
mengaku di bawah kendali Ki Banaspati. Kami secuil pun
tidak mempercayainya. Namun begitu, kami akan tetap
meminta penjelasan perihal ini," kata Suji Angkara masih
bernada hormat tapi tegas.
Untuk kedua kalinya, Ki Banaspati dan Ki Sunda
Sembawa saling pandang dengan alis berkerut. Nampak
sekali kedua orang ini amat terkejut.
"Aku Bersyukur kalian tiba dengan selamat dan dapat
menghalau penjahat. Tapi kalian harus percaya
sepenuhnya, bahwa pengakun orang-orang jahat itu fitnah
belaka," kata Ki Banaspati dengan wajah geram.
Ki Sunda Sembawa pun menampakkan kegeraman,
wajahnya yang putih bersemu merah dan bibirnya
dikatupkan. "Kau harus percaya anak muda, bahwa baik kepada Ki
Banaspati, maupun kepadaku, ada kelompok-kelompok
yang tidak suka. Mereka tidak suka bila kami berpengaruh
di daerah sini. Mereka juga tidak suka kami masih tetap
menjalankan kebijaksanaan memungut seba untuk
Senja Jatuh Di Pajajaran Karya Aan Merdeka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pajajaran. Mungkin kau tahu, di sini daerah apa dan siapa
kira-kira yang tidak senang kepada kami," kata Ki Sunda
Sembawa. Suji Angkara mengiyakan. "Wilayah Kandagalante Sagaraherang memang
berbatasan dengan wilayah utara yang dikuasai orang-orang
Cirebon. Mereka selalu membuat hambatan agar kita tak
mengirimkan seba ke Pakuan," kata Suji Angkara.
Ki Banaspati dan Ki sunda Sembawa sama-sama
menggangguk tanda membenarkan pendapat anak muda
itu. "Tapi, mungkinkah mereka menyamar sebagai
perampok, padahal mereka mengaku sudah mempercayai
agama baru dan pantang melakukan kejahatan?" sambung
Suji Angkara meminta pendapat.
Sejenak Ki Banaspati dan Ki Sunda Sembawa tak bisa
mengeluarkan komentar. "Sekarang mereka bukan berbicara atas nama agama,
akan tetapi bergerak untuk kepentingan politik. Tahukah
engkau peristiwa puluhan tahun yang lalu di mana Banten
dan Cirebon mengepung serta merebut Pelabuhan Sunda
Kalapa" Apakah mereka menyerang dan merampas Sunda
Kalapa dari tangan Pakuan karena urusan agama" Tidak!
Mereka melakukan kesemuanya karena kepentingan politik
semata. Kalau bicara atas nama agama, tak nanti mereka
menyengsarakan penduduk Sunda Kalapa dan menutup
lalu-lintas perdagangan antar pulau sehingga masa depan
Pajajaran terhambat karenanya," kata Ki Sunda Sembawa
dengan nada tinggi. Ki Banaspati mengangguk-angguk
mengiyakan. Yang hadir juga sama mengangguk-angguk
tanda setuju dengan pendapat itu, kecuali Ginggi yang tetap
diam mematung. "Kalau begitu, menurut Ki Banaspati, bisa juga
perampok di hutan jati itu orang-orang yang sudah masuk
pengaruh Cirebon," kata Suji Angkara.
"Bisa juga begitu. Dan supaya namaku buruk, mereka
memfitnah seolah-olah perampokan itu dilakukan di bawah
perintahku. Begitu kan, Ki Kandagalante?" kata Ki
Banaspati kepada Ki Sunda Sembawa.
"Kalau begitu adanya, saya bersyukur. Dengan
demikian, tugas yang saya berikan ini tidak percuma," kata
Suji Angkara menatap tajam Ki Banaspati. Yang ditatap
balas menatap. Dan untuk beberapa lama mereka saling
tatap. Ki Banaspati yang duluan memalingkan muka. Dia
berpaling sambil tersenyum tipis penuh arti.
Mereka berbincang-bincang beberapa waktu lamanya,
sampai akhirnya semua orang akan disuguhi makanan.
Sudah barang tentu semua anggota rombongan, terutama
yang bertugas memikul dongdang amat suka cita dengan
rencana acara makan ini. Menurut seseorang yang pernah
datang ke Kandagalante Sagaraherang, Ki Banaspati dan Ki
Sunda Sembawa doyan makanan yang enak-enak
Dan benar saja dugaannya. Mereka dibawa ke ruangan
khusus, yaitu sebuah bale kambang (bangunan terbuka
seperti mengambang di tengah kolam) yang amat benderang
karena penerangan api yang dipasang di sana-sini.
Yang menggembirakan mereka, bukan karena
benderangnya suasana bale kambang, tetapi karena meja
panjang yang digelar di sana. Meja panjang itu sarat dengan
berbagai penganan. Ada nasi putih beberapa bakul dengan
kepulan asapnya yang memikat selera makan. Ada macam-
macam daging, mulai dari panggang daging ayam,
kambing, sampai panggang ikan mas. Ada buah-buahan
mulai dari buah dukuh, rambutan dan durian, sampai buah
pisang yang ranum-ranum. "Ayo, semua makanan untuk kalian!" seru Ki Banaspati
yang disambut oleh teriakan gembira dari semua anggota
rombongan. Ginggi juga termasuk yang berteriak keras saking
gembiranya. Betapa tidak, sebab selama ini dia hanya
makan jenis makanan yang sederhana saja. Ketika dijamu
Kuwu Wado memang ada makanan enak tapi tidak
semewah yang disediakan disini.
"Ha, ini minuman apa?" Ginggi menyemput sebuah
kendi kecil tapi berbau harum.
"Hus! Jangan dulu ambil minuman itu!" kata Ki Ogel
menarik tangan Ginggi dan menyuruhnya menyimpan
kembali minuman itu. "Mengapa jangan diminum, aku haus sekali" kata
Ginggi. "Itu tuak, kau bisa mabuk dibuatnya."
"Tuak?" "Tuak adalah jenis minuman keras. Yang tidak biasa
minum akan mabuk, bicara mengacau karena tidak
sadarkan diri," kata Ki Ogel.
"Kalau membuat orang tak sadar, mengapa disiapkan
untuk diminum?" "Aaaah! Bawel kamu. Dasar anak tolol! Sudah, yang
penting kamu makan ini!" kata Ki Ogel sambil
membenamkan paha ayam ke mulut Ginggi yang masih
melongo. Ginggi kelabakan dan membuat orang yang
menyaksikan tertawa dibuatnya.
Semua makan-makan sepuasnya. Kegembiraan kian
bertambah sesudah hadir beberapa wanita muda dengan
paras yang elok-elok. Kata pelayan pria yang ada disana,
wanita-wanita muda ini pun ditugaskan melayani mereka.
"Apa yang kalian minta dari gadis-gadis cantik ini, pasti
diserahkan," kata seorang lelaki bertubuh gempal.
Mendengar penjelasan ini, semua orang bersorak riang.
Ginggi sibuk dengan berbagai makanan di mulutnya dan
tak begitu memperhatikan para gadis cantik berkebaya
dengan tonjolan buah dada menantang itu. Tapi ketika
perutnya mulai kenyang, dia mulai melihat sekeliling.
Teman-temannya sudah berhenti makan dan sekarang
beralih kepada minuman di kendi-kendi kecil itu. Mereka
minum banyak-banyak. Kian banyak meminum, kian kasar
dan tak punya malu kelakuannya. Beberapa dari dari
mereka bahkan tak canggung-canggung memeluk gadis
cantik-cantik itu. Beberapa orang bahkan berani mencium
pipi sang gadis, membuat Ginggi malu melihatnya. Tapi
anehnya, gadis-gadis itu tidak tersinggung sedikitpun.
Bahkan beberapa di antaranya tersenyum-senyum dengan
genitnya. Para anggota rombongan pengirim seba kebanyakan
berusia muda, jadi wajar bila mereka begitu bergairah
berdekatan dengan gadis-gadis cantik. Akan tetapi Ginggi
memuji kepada pendirian pemuda Seta. Dia tak tertarik
terhadap suasana romantis ini. Ketika dia dihampiri
seorang wanita muda dan duduk merapat di sisinya, Seta
malah menggeser duduknya, Seta malah berusaha
melepaskannya. "Ih, sombong betul. Apakah saya kurang cantik,
Kakang?" wanita muda itu mendelik tapi senyumnya masih
nampak. "Maaf Nyai, saya sudah punya tunangan. Tunangan saya
malah sedang sakit. Tak baik saya di tempat jauh berlaku
tak setia kepadanya," kata Seta serius, membuat Ginggi
kagum sekaligus malu. Si Seta ini sehari-harinya angkuh
tapi ternyata dia memiliki kesetian terhadap sesuatu yang
bernama ikatan jodoh. "Ih, kuno, lelaki kuno!" teriak wanita muda itu sambil
ngeloyor pergi. "Kemana dia pergi" Ah, seperti ke arah sini. Bahaya
aku!" Gumam Ginggi berjingkat meninggalkan kehiruk-
pikukan ini. Gadis-gadis di sini nampaknya lebih berani dan terbuka,
tidak seperti Nyi Santimi misalnya, selalu nampak pemalu
dan penuh ragu. Akan tetapi bagi Ginggi, baik gadis-gadis
pemberani ini, mau pun gadis pemalu seperti Nyi Santimi,
toh kalau dilayani akan berakhir sama menciptakan banyak
urusan baginya. Itulah sebabnya, pemuda itu lebih baik
nyeloyor pergi, menjauhkan diri dari gejala-gejala tak baik
ini. Ginggi keluar dari tempat romantis di tengah kolam ini.
Di luar udaranya agak segar, tidak sepanas di bale
kembang. Dia duduk di sebuah bangku tepi kolam dan
hanya menyaksikan tingkah polah teman-temannya yang
kian menggila bersama para wanita muda genit itu.
Matanya meneliti, yang ramai-ramai bergembira di
tempat itu hanya teman-temannya saja. Dia baru menyadari
bahwa Suji Angkara tak ada di sana. Begitu pun Ki
Banaspati dan Ki Sunda Sembawa. Ginggi mengingat-ingat,
memang pertama kali dia dan teman-temannya memasuki
bale kembang, Ki Banaspati dan Ki Sunda Sembawa tidak
ikut bersama. Tapi Suji Angkara ada duduk dan makan-
makan. Mungkin ketika selesai makan, di mana acara
beralih kepada minum-minuman keras, Suji Angkara
meninggalkan tempat itu. Tapi ke mana dia"
Ginggi berdiri dari duduknya. Dengan menghilangnya
pemuda itu menjadikan ide baginya. Entah pergi ke mana
Suji Angkara. Yang jelas, dia pun harus pergi. Entah apa
yang tengah dikerjakan Suji Angkara. Tapi yang jelas,
Ginggi harus melakukan sesuatu di sini.
Tujuan utama mengikuti rombongan seba ini karena dia
ingin menyelusuri di mana keempat murid Ki Darma
berada. Sekarang, salah seorang di antaranya diduga sudah
bisa dia temukan walau pun masih jadi keraguan dirinya.
Betulkah Ki Banaspati yang dimaksud Ki Darma adalah Ki
Banaspati yang berada di tempat ini dan sekarang menjadi
orang penting" Ginggi belum mendapatkan keterangan yang sejelasnya
kendati sudah bertemu dengan orang itu. Untuk
mendapatkan keyakinan, dia harus menyelidikinya.
Teringat sampai di situ, maka sambil menoleh ke kiri dan
kanan, pemuda itu segera berlalu setelah tahu bahwa tak
ada orang lain yang memperhatikan dirinya.
(O-ani-kz-O) Ginggi meneliti, kompleks rumah yang dimiliki
Kandagalante Ki Sunda Sembawa demikian megah dan
besar. Bangunan tempat dia tinggal merupakan bangunan
utama. Seluruhnya terbuat dari bahan-bahan kayu terpilih,
mengkilat karena halus. Atapnya terbuat dari sirap, tersusun
rapi bagaikan bulu burung garuda dan berwarna legam.
Bangunan utama itu dikelilingi oleh beberapa bangunan
lainnya. Ginggi meneliti bangunan-bangunan lain yang
ukurannya lebih kecil. Ada sebuah bangunan beratap
rumbia berupa panggung tapi amat jangkung. Bangunan
besar itu disangga balok-balok kayu besar dan kokoh.
Ginggi meloncat ke atas atap dengan mengerahkan tolakan
kaki dan ilmu kapas ngapung semacam ilmu untuk
membuat tubuh menjadi ringan. Sesudah tubuhnya
menclok tanpa bunyi di atap, dia mencoba membuka
lapisan rumbia sedikit. Ternyata di dalam gelap gulita,
kecuali tercium dedak padi. Tak ada orang di sana sebab
bangunan ini adalah lumbung padi.
Ginggi kembali meloncat turun dan meneliti bangunan-
bangunan lain. Sampai pada suatu saat dia tiba di sebuah
bangunan yang amat kokoh.
Berbeda dengan bangunan-bangunan lainnya, bangunan
ini tidak berbentuk panggung sebab keempat dindingnya
langsung menyambung dengan tanah. Dari celah-celah
dinding kayu, Ginggi berkeyakinan di dalam ada
penerangan, walau pun remang-remang saja. Lebih yakin
dari itu, Ginggi mendapatkan bahwa di ruangan itu ada
orang sedang berbincang-bincang. Atau lebih tepatnya lagi,
ada seseorang tengah memarahi orang lain. Siapakah dia,
Ginggi perlu melihat lebih jelas. Untuk itu dia segera
meloncat kembali ke atas atap dan mencoba membuat
lubang kecil pada lapisan atas sirap.
Begitu pandangannya melihat ke bawah, pemuda itu
merasa terkejut sebab Ki Banaspati dan Kandagalante
Sunda Sembawa tengah memarahi seseorang. Ginggi tak
akan demikian terkejut bila dia tak kenal siapa orang yang
dimarahinya itu. Orang itu ternyata pimpinan perampok
yang tempo hari mencegat rombongan Suji Angkara.
Pemuda itu hafal betul, sebab di pipi kiri orang itu ada
goresan luka bekas serangan Suji Angkara.
"Sialan! Dasar kau brengsek! Bodoh! Tolol! Kau
membahayakan gerakan kita!" kata Ki Banaspati.
Dan, plak, plak, plak! Orang itu tersungkur mencium
lantai tanah. Ketika bangun, wajahnya berkelepotan darah.
"Ampun Gusti. Hamba tak tahu bahwa itu rombongan
seba yang dikawal anak muda itu. Hamba hanya mengira,
mereka rombongan saudagar yang akan mengirim barang-
barang dagangan ke Sumedanglarang!" kata orang itu
terbata-bata. "Dasar manusia dungu! Harusnya kau berpikir, tak
mungkin saudagar mengambil jalan sunyi. Kalau mereka
semua mati olehmu dan barang-barangnya dapat kau rebut,
itu tak mengapa. Tapi celakanya, mereka selamat dan
mengalahkan kamu. Kalau mereka tahu akan hal ini dan
melapor ke Pakuan, kau bisa apa?" kata Ki Sunda Sembawa
sama marahnya. "Ampunkan hamba, Gusti".." kata orang itu sambil
tubuh masih merunduk hingga hampir rata dengan tanah.
"Satu kali lagi kamu membuat kesalahan serupa, nyawa
tak berhargamu akan kucabut!" kata Ki Banaspati dengan
suara dingin. Orang itu membentur-benturkan jidatnya ke
atas tanah tanda mengerti ancaman ini.
"Ayo sudah! Keluar kamu!" kata Ki Banaspati
menendang bokong orang itu. Dengan tergopoh-gopoh dia
membuka pintu keluar. Tapi belum juga dia melangkah,
dari arah luar masuk seseorang.
Suji Angkara! Nampak oleh Ginggi dari sela-sela lapisan atap sirap,
betapa ketiga orang terkejut setengah mati.
"Kau anak muda?" desis Ki Banaspati.
"Akhirnya aku tahu apa yang berlangsung di sini"!"
kata Suji Angkara dingin, mencoba menahan kemarahan.
Ucapan ini tidak dijawab dengan perkataan, melainkan
Senja Jatuh Di Pajajaran Karya Aan Merdeka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
gerakan menyerang dari Ki Banaspati. Serangan itu cepat
dan keras serta tidak memberikan peringatan terlebih
dahulu. Serangan itu pun terlihat ganas dan langsung
mengarah ke ubun-ubun Suji Angkara.
Ginggi terkejut melihat serangan ini. Ki Banaspati
menyerang dengan tangan kiri serta dua jari mengarah
tajam hendak menyerang ubun-ubun.
Bagaimana Ginggi tidak terkejut sebab itulah gerakan
maut yang biasa dilatihnya dengan Ki Darma. Hanya
bedanya, bila Ginggi melakukan serangan dengan
menggunakan tangan kanan terbuka lebar, adalah
sebaliknya dengan Ki Banaspati. Dia mendahulukan
serangan dengan dua jari maut tangan kiri.
Suji Angkara amat terkejut menerima serangan ini.
Secepat kilat dia merunduk sambil menangkis tusukan dua
jari itu. Namun begitu dua tangan beradu, anak muda itu
menjerit ngeri dan seperti menderita kesakitan di bagian
pergelangan tangan. Belum juga habis rasa kagetnya,
sebuah serangan tangan kanan dengan jari-jari
mengembang lebar segera mendorong jidatnya. Plak! Tubuh
Suji terlontar ke belakang karena jidatnya terdorong oleh
tenaga kuat dari telapak tangan Ki Banaspati. Suji Angkara
tubuhnya terjengkang ke belakang dan tak mampu bangun
lagi. "Tenggelamkan dia ke kolam, agar seolah-olah ia mati
karena mabuk dan terbenam di sana," kata Ki Banaspati.
Anak buahnya yang baru didamprat tadi segera menyeret
pemuda pingsan itu. Dibawanya jauh dari tempat itu.
Ginggi secepat kilat turun dari atap sirap. Dengan
gerakan napak-sancang, yaitu ilmu berlari cepat tanpa
mengeluarkan bunyi, pemuda itu menguntit orang yang
memanggul tubuh Suji Angkara secara diam-diam dan
tanpa kakinya mengeluarkan bunyi sedikitpun.
Orang itu ternyata memanggul tubuh itu ke kolam lain,
jauh dari bale kambang. Namun sebelum tubuh Suji
Angkara dicemplungkan ke kolam, Ginggi segera
mengambil tindakan cepat. Dengan pukulan telak di
tengkuk, orang itu tersuruk jatuh tanpa bersuara dan tak
bisa bangun lagi. Pukulan itu tepat mengarah jalan darah di
tengkuk. Sesudah melumpuhkan orang itu, Ginggi mengurut-urut
leher Suji Angkara, sehingga tak berapa lama kemudian
pemuda itu menggerak-gerakan tubuhnya.
Ginggi memencet kulit tenggorokanya dan berbicara,
"Cepat ajak semua temanmu untuk meninggalkan tempat
ini!" katanya. Sesudah itu Ginggi pergi dengan cepat.
Dia berlari menuju bangunan besar di mana barusan
terjadi peristiwa yang membuat dirinya terkejut.
(O-anikz-O) Mencoba Bergabung Ketika dia tiba, Ki Banaspati baru saja akan
meninggalkan tempat itu bersama Ki Sunda Sembawa.
Ginggi yakin, Ki Banaspati adalah murid Ki Darma,
terbukti dari jurus berkelahi yang dia tampilkan ketika
menyerang Suji Angkara. Pemuda itu harus meyakinkan
dirinya bahwa dia punya hubungan dengan Ki Darma.
Maka, empat depa sebelum tiba di depan Ki Banaspati, dia
segera melompat menotol tanah. Dua jari tangan kiri
menusuk dan telapak tangan kanan mengembang.
Nyata sekali ada rasa terkejut di wajah Ki Banaspati.
Mungkin bukan terkejut karena itu sebuah serangan maut,
tepi terkejut karena bentuk gerakan serangan itu.
Sambil wajah menampakkan keheranan, dengan mudah
saja Ki Banaspati melayang ke atas sehingga kedudukannya
berada tepat di atas tubuh Ginggi. Pemuda itu juga tahu,
inilah cara menangkis serangan walet notol yang biasa
dilatihkan Ki Darma kepadanya. Dan seharusnya, sesudah
melayang ke atas untuk memunahkan serangan jurus walet
notol, tubuh harus bersalto. Ketika bagian kepala ada di
bawah, Ki Banaspati harus melancarkan serangan balasan
dari atas. Yang jadi sasaran serangan mestinya punggung
atau bagian belakang tubuh Ginggi. Namun pemuda itu
merasakan, Ki Banaspati tidak berniat membalas serangan.
Dia hanya melayang begitu saja dan kembali turun ke atas
tanah dengan lembutnya. Kini Ginggi mengubah serangan dengan jurus baru.
Tubuhnya mendekam seperti harimau. Sepasang tangannya
menahan tanah dengan hanya menggunakan semua kuku-
kukunya. Sesudah mengelurakan gerengan dahsyat,
sepasang tangan itu menotol bumi berlari cepat satu sampai
dua tindak. Setelah itu dengan loncatan yang ringan tapi
secepat gerakan harimau, Ginggi menerkam tubuh Ki
Banaspati. "Maung luncat muru mencek (Harimau Memburu
Menjangan)?" desis Ki Banaspati mengenali jurus ini
sambil tubuh doyong ke belakang dan terus ke belakang
hingga akhirnya punggung Ki Banaspati rata merapat di
permukaan tanah. Menurut teori yang dibebankan oleh Ki Darma,
seharusnya bila menerima serangan ini, Ki Banaspati bukan
hanya menghindar dengan mentelentangkan tubuh saja,
tapi harus terus berguling seperti trenggiling sambil
membalas serangan dengan tangan dan kaki. Namun
Ginggi tahu, Ki Banaspati tak mau melakukan serangan
balasan. Rupanya dia hanya ingin mengenal lebih dekat
saja gerakan-gerakan ini.
Pemuda itu akan segera melakukan serangan susulan,
tapi sebelum Ginggi membentuk pasangan kuda-kuda baru,
Ki Banaspati sudah meloncat pergi.
"Ki Sunda, kau tunggu saja aku di bale gede," kata Ki
Banaspati. Dia segera menghilang di kegelapan tapi sengaja
memperlambat larinya supaya diikuti Ginggi.
Ginggi mengerti maksud Ki Banaspati. Dia pun segera
menyusul ke kegelapan malam.
Dan Ki Banaspati memang bukan melarikan diri. Sebab
di sebuah lapangan terbuka dia telah menunggu kehadiran
Ginggi. Keduanya sudah saling berhadapan. Ki Banaspati
menatap di keremangan sambil bertolak pinggang.
"Kau siapa?" tanyanya.
"Aku suruhan dari Ki Darma!" jawab Ginggi. Ki
Banaspati melirik ke kiri dan kanan.
"Di muka umum kau jangan sebut nama itu!" kata Ki
Banaspati. "Mengapa?" tanya Ginggi heran.
Kini giliran Ki Banapati yang nampak heran.
"Kau mengaku suruhan Ki Guru tapi tidak tahu perihal
dirinya!" "Aku hanya kenal dia telah merawatku selama sepuluh
tahun. Suka menyendiri dan tegas dalam berbicara. Lain
dari itu aku tak kenal dia," kata Ginggi pula.
"Biarlah kalau kau tak tahu. Tapi satu hal harus kau
ingatkan, amat berbahaya di dunia luar membawa-bawa
nama Ki Guru. Begitu bila kau ingin selamat," kata Ki
Banaspati. "Sekarang, coba kau sebutkan siapa namamu
dan apa keperluanmu menemuiku," kata pula Ki Banaspati.
Ginggi terdiam sejenak. Ki Banaspati ini murid Ki
Darma. Sedikitnya orang ini harus merasa punya hubungan
dekat dengan Ginggi. Namun pemuda itu heran, tak sedikit
pun ada sambutan hangat kepadanya. Ki Banaspati bahkan
seperti penuh curiga dalam menyambut kehadiran dirinya.
Tidakkah ini karena Ki Banaspati merasa punya satu
pekerjaan yang orang lain tak boleh tahu, misalnya seperti
apa yang telah membuat kemarahan Suji Angkara"
"Aku diutus turun gunung oleh Ki Darma dan
ditugaskan mengawasi perkembangan bumi Pajajaran,
terutama yang menyangkut nasib rakyat, seperti apa yang
Ki Darma tugaskan kepada keempat muridnya. Dan untuk
bisa menjalankan tugas ini, aku harus meminta petunjuk
dan pengarahan dari keempat murid Ki Darma. Salah satu
di antaranya, engkaulah," kata Ginggi menatap wajah Ki
Banaspati yang nampak mengangguk-angguk tapi entah apa
maksudnya. "Ya, betul! Aku punya misi menjalankan perintah guru.
Juga ketiga saudara perguruanku yang sampai saat ini aku
tak tahu berada di mana," gumam Ki Banaspati.
"Kalau begitu aku minta petunjukmu, asal kau tidak beri
aku tugas merampok!" kata Ginggi tak berbasa-basi.
Mendengar ucapan ini, Ki Banaspati mundur setindak.
Secara tak sadar dia memegang hulu gagang senjata yang
diselipkan di pinggangnya.
"Kau?" "Aku tahu ada perampokan di hutan jati sebab aku ikut
rombongan Suji Angkara!" kata Ginggi.
"Kau anak buahnya?"
"Bukan, hanya kebetulan saja melakukan perjalanan
bersama. Tapi apa betul perampok itu di bawah
kendalimu?" tanya Ginggi masih tak mengerti keadaan. Dia
bingung menyimak sikap Ki Banaspati ini. Menurut
bayangannya, Ki Banaspati ini pembela rakyat seperti apa
yang diperintah Ki Darma. Namun kenyataannya, di malah
jadimuhara kerajaan yang bertugas menghimpun pajak dari
rakyat. Sekurang-kurangnya begitu yang dikatakan oleh Ki
Banen tempo hari. Tapi belakangan, Ki Banaspati juga
bertindak sebagai orang jahat. Sekurang-kurangnya begitu
yang dia saksikan dalam percakapan antara Ki Banaspati
dengan anak buahnya yang dia lumpuhkan tadi. Jadi, siapa
sebenarnya Ki Banaspati yang begitu erat dengan petugas
negara seperti Kandagalante Sunda Sembawa namun juga
bertindak sebagai "kepala perampok" itu" Ginggi bingung
memikirkannya. Baru turun gunung kurang dari seminggu,
dia sudah dapat hal-hal yang misterius. Ada penjahat
pemerkosa yang entah siapa, ada Suji Angkara dan
sekarang Ki Banaspati, yang kesemuanya masih
menyimpan kabut misteri. Terdengar Ki Banaspati terkekeh. Dia membalikkan
badan dan berdiri membelakangi pemuda itu.
"Itulah pengorbanan bagi seorang pejuang," katanya
dengan suara seperti memendam kepedihan menyayat.
"Untuk membela rakyat, aku harus pura-pura mengabdi
kepada raja. Juga untuk membela rakyat, aku pun harus
pura-pura dan menghinakan diriku menjadi rampok."
"Aku tak mengerti sikapmu," kata Ginggi. Ki Banaspati
kembali berbalik dan menatap wajah pemuda itu.
"Kau tahu, aku bertugas sebagai muhara, bekerja
mengumpulkan pajak. Tapi, apakah kau tahu pula
dikemanakan hasil pajak itu aku bawa" Tidak! Aku tidak
menyetorkan ke Pakuan tapi aku himpun sendiri. Sebagian
aku kembalikan kepada rakyat dan sebagian kukumpulkan
dan bila menjadi besar akan kugunakan untuk melawan
raja!" kata Ki Banaspati.
Ginggi masih menunggu ucapan Ki Banaspati lebih
lanjut. "Kau pun tahu, aku memimpin perampok. Tapi apakah
kau tahu pula, siap yang aku rampok?"
"Apakah kau merampok rakyat juga?" tanya Ginggi.
"Tidak, yang aku rampok adalah kaum bangsawan,
pejabat negara dan para tuan tanah yang suka memeras
kehidupan rakyat. Semua kekayaan aku kumpulkan dan
akan aku gunakan untuk memerangi raja," kata Ki
Banaspati pula. Ginggi termangu-mangu mendengar penjelasan Ki
Banaspati. Benarkah murid Ki Darma ini berjuang
demikian hebat untuk kepentingan rakyat semata"
"Kalau kau percaya kepada tindakkanku, kau boleh ikut
bergabung. Tapi bila menyangsikannya, kau boleh pergi
meninggalkan aku berjuang sendirian. Hanya saja kau harus
pandai-pandai memberikan alasan kepada Ki Guru," tutur
Ki Banaspati. Ginggi mendengar ucapan murid Ki Darma
ini seperti memaklumi kesangsian dirinya.
"Baiklah aku ikut kau. Tapi kalau ternyata cara kerjamu
tak dianggap cocok, aku akan kerja sendirian saja, atau aku
akan cari murid-murid Ki Darma yang lainnya!" kata
Ginggi. Ki Banaspati tersenyum tipis.
"Terserah apa maumu. Yang penting kau bekerja untuk
sisi yang dibebankan Ki Guru. Tapi bila kau memilih ikut
aku, kau harus mentaati ketentuan-ketentuan yang kuatur,"
kata Ki Banaspati menatap tajam.
"Coba katakan."
"Pertama kau harus sopan padaku. Ingat, aku di sini
pejabat terkemuka. Semua orang hormat padaku, tidak
terkecuali pejabat Kandagalante. Ku maklumi karena kau
baru turun gunung. Tapi sesudah kau banyak bergaul
dengan kehidupan umum, kau harus mentaati etika yang
berlaku," kata Ki Banaspati.
Ini adalah omongan yang kesekian kalinya didengar
pemuda itu. Sudah beberapa orang yang mengata-ngatai dia
bahwa dirinya manusia tak punya aturan hidup, bila bicara
semaunya dan tidak punya sopan-santun.
Bertemu dan melihat orang-orang berhubungan
sepertinya punya tata-cara yang sudah diatur. Anak-anak
bicara hormat kepada ibu-bapaknya dan orang muda
berkata halus kepada yang lebih tua. Dan yang jelas dia
saksikan, bahwa seorang yang punya kedudukan rendah
harus merunduk-runduk dan mengikuti serta tunduk kepada
perkataan dan kehendak orang yang memiliki kedudukan
lebih tinggi. Ki Ogel dan Ki Banen mentaati perkataan Ki
Kuwu Suntara dan Rama Dongdo, pemuda Seta dan Madi
juga tunduk kepada Suji Angkara. Sepertinya ini sudah
hukum alam, bahwa yang punya kedudukan tinggi kerjanya
memerintah dan sebaliknya yang rendah hanya mentaati
perintah. Sekarang, setujukah Ginggi terhadap hukum yang
berlaku dalam kehidupan ini"
Entahlah sebetulnya dia tak kerasan dengan berbagai
basa-basi ini. Peraturan etika hidup ini sepertinya hanya
mengikat dan membelit kebebasannya dalam bergerak dan
berkata-kata. Etika sopan-santun bahkan dia saksikan hanya
sebagai kedok atau hiasan yang tidak menggambarkan
keadaan hati yang sebenarnya. Ginggi mengambil contoh
dari beberapa sikap anggota rombongan seba yang dipimpin
Senja Jatuh Di Pajajaran Karya Aan Merdeka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Suji Angkara. Di hadapan pemimpinnya, mereka berkata
sopan dan taat akan segala perintah. Tapi di belakangnya
mereka mengomel panjang-pendek. Ginggi tak senang
dengan keadaan ini. Yang dia sukai adalah seperti sikap Ki
Darma yang kemudian menurun kepadanya. Bahwa apa
yang ada di mulut dan di wajah, itulah yang ada di hatinya.
Dia tak ingin ada orang pura-pura menangis padahal
hatinya tertawa, atau sebaliknya ada orang pura-pura
tertawa padahal hatinya menangis.
"Rakyat Pajajaran sekarang banyak yang memaksakan
diri untuk tertawa hanya karena menyegani rajanya,
padahal hatinya menangis karena prihatin. Karena tradisi
harus hormat kepada raja, banyak rakyat tidak
memperlihatkan isi hati yang sebenarnya," kata Ki Darma
tempo hari. Sekarang memang zaman kepalsuan. Haruskah dia pun
terjun ke kancah kepalsuan itu"
Tapi, rupanya sekarang ini memang aku harus
melibatkan diri dalam basa-basi ini, pikir Ginggi. Bukan
karena dia ingin menyesuaikan kepada kepalsuan itu. Tapi
untuk melancarkan misi yang diembannya. Dia tak boleh
banyak mendapatkan rintangan yang sebetulnya tidak perlu
terjadi. Untuk apa memperlihatkan sikap tak sopan bila
hanya akan mendatangkan keributan saja"
"Baiklah, aku" maksudnya saya akan mentaati perintah
dan persyaratanmu," kata pemuda itu pada akhirnya.
"Nah, begitu lebih baik. Kau kelak akan menjadi anak
buahku yang amat kuandalkan," kata Ki Banaspati ceria.
Malam itu juga Ginggi dibawa ke bale gede, yaitu tempat
musyawarah antara Kandagalante dan para aparatnya.
Selama Ginggi melangkah, dia berharap Suji Angkara
sudah pergi menjauh dari wilayah Kandagalante ini, sebab
kalau dia ketahuan ikut dengan Ki Banaspati suasana akan
berabe. Dan pemuda itu amat lega. Sebab ketika dia tiba di
ruangan bale gede, ada beberapa jagabaya yang
mengabarkan kepada Ki Sunda Sembawa bahwa empat
orang tangan kanan Suji Angkara telah meninggalkan
tempat mereka menginap dengan diam-diam.
Namun rasa lega Ginggi bertolak belakang dengan apa
yang dikandung Ki Banaspati serta Ki Sunda Sembawa.
Pemuda itu selintas bisa melihat mimik kedua orang itu
nampak tak senang mendengarnya.
"Mengapa mereka pergi tanpa pamit?" tanya Ki Sunda
Sembawa mengerenyitkan alis. Hanya Ginggi yang
menduga apa yang dipikirkan kedua orang itu. Baik Ki
Banaspati mau pun Ki Sunda Sembawa pasti menduga
bahwa anak buah Suji Angkara sudah mengetahui apa yang
terjadi terhadap pemimpinnya.
"Coba cari Ki Joglo dan suruh menghadap ke sini!"
perintah Ki Banaspati. Dua orang jagabaya pergi
mengemban perintah itu. Di ruangan besar itu tinggallah
mereka bertiga, Ginggi, Ki Banaspati dan Ki Sunda
Sembawa. "Siapa anak muda ini?" tanya Ki Sunda Sembawa.
Ginggi ingat akan basa-basi etika, maka dia segera
mnyembah takzim. "Dia masih kerabat dekat saya. Dan kelak anak muda ini
akan jadi pembantu kita yang bisa diandalkan. Namanya
Ginggi," jawab Ki Banaspati.
Ki Sunda Sembawa meneliti wajah Ginggi, "serasa aku
pernah melihat wajahmu, anak muda."
"Benar Juragan (tuan), sebab tadi senja saya ikut
rombongan Raden Suji Angkara," jawab
Ginggi hormat. Ki Sunda Sembawa menyipitkan
pandangan matanya dan jidatnya sedikit berkerut. "Jangan
khawatir, anak muda ini bukan anak buah Si Suji. Dia
hanya kebetulan bergabung ditengah perjalanan," kata Ki
Banaspati. "Engkau tahu peristiwa di hutan jati, anak muda?" tanya
kandagalante penuh selidik. Ginggi mengangguk. Dan dahi
pejabat wilayah Sagaraherang kembali berkerut."Jangan
khawatir, sudah saya ungkapkan segalanya dan dia
mengerti perjuangan kita," kata Ki Banaspati menimpali.
"Kau memang harus mengerti perjuangan kami sebab
bila tidak, aku tak mau memberikan pekerjaan kepada
orang-orang yang tak sapaham," gumam Ki Sunda
Sembawa. Sementara itu dari luar datang beberapa
jagabaya. Dua orang membawa obor dan dua orang lagi
mengusung cikrak (tandu). Ketika cikrak diturunkan isinya,
nampak tubuh seorang lelaki.
"Ki Joglo?" "Betul Juragan?"
"Mati?" "Mati Juragan. Dia ditemukan di tepi kolam dengan
leher hampir putus!" kata si pelapor.
Ginggi terkejut sebab yang disebut Ki Joglo ini ternyata
pemimpin perampok di hutan jati yang tadi dia lumpuhkan.
"Bawa dan kuburkan malam ini juga. Aku tak senang
melihat darah anak buahku," kata Ki Sunda Sembawa yang
juga dianggukkan oleh Ki Banaspati.
Mayat Ki Joglo diusung kembali tanpa dilihat untuk
kedua kalinya oleh Ki Sunda Sembawa dan Ki Banaspati,
sepertinya ini sebuah kematian tak berarti.
"Siapa yang membunuh dia?" Gumam Ki Banaspati.
Hanya Ginggi yang bisa mengira-ngira siapa yang bertindak
kejam ini. Kurang ajar, Si Suji sebetulnya tak perlu
membunuh orang tak berdaya, kata Ginggi dalam hati. Ya,
kalau benar pembunuhnya adalah Suji Angkara, dia pun
ikut terlibat. Sekurang-kurangnya membantu meringankan
tugas anak muda itu untuk menggorok leher Ki Joglo.
Sialan, desisnya. "Juragan, mungkinkah pembunuhnya para anak buah
Raden Suji" Kalau begitu, kita balas mereka sebab ada
belasan anak buahnya yang lagi tidur karena mabuk tuak.
Mereka tak sempat dibangunkan!" kata seorang jagabaya.
"Betul! Kita bunuh mereka!" kata yang lain.
"Jangan dibunuh, mereka tak berdosa!" Ginggi berdiri
dan mencegah. "Kau siapa?" tanya jayabaya.
"Dia anggota rombongan seba itu. Pasti sekongkol
dengan kaki tangan Raden Suji!" teriak yang lainnya
mengamang-amang obor. Ginggi membalik ke arah Ki Banaspati, "Juragan
sebaiknya orang-orang itu tak dibunuh. Mereka hanya
tukang pikul biasa saja dan tak ada kaitannya dengan
Raden Suji. Membunuh orang tak berarti hanya membuat
sibuk pekerjaan saja," kata Ginggi, memohon tapi bernada
pasti. "Bebaskan orang-orang itu dan suruh kembali ke
dusunnya masing-masing. Beri pula mereka bekal dan
katakan tugasnya sudah selesai." kata Ki Banaspati
memutuskan dan disetujui Ki Sunda Sembawa.
Ginggi merasa lega mendengarnya. Dengan demikian,
korban sia-sia tak perlu terjadi lagi.
Para jagabaya dibubarkan. Sebagian pergi melaksanakan
tugur (ronda), sebagian mempersiapkan upah dan bekal
bagi bekas anak buah Suji Angkara yang akan disuruh
kembali ke Desa Cae. Malam sudah kian larut dan cahaya bulan pudar
mengambang di langit sebelah timur. Namun kendati
begitu, Ginggi belum disuruh beristirahat. Dia malah
dipanggil kembali untuk menghadap di bale gede.
"Ini peringatan pertama bagimu," kata Ki Banaspati.
Ginggi tak mengerti atas perkataan ini.
"Di hadapanku dan Ki Sunda Sembawa, tidak di
perkenankan siapa pun mengeluarkan pendapat tanpa
diminta. Kau paham maksudku?"
"Kalau saya tak mengeluarkan pendapat, apakah orang-
orang tadi tak akan dibunuh?" tanya Ginggi.
"Aku lebih tahu dari kau dan kau tak perlu memberi
nasihat soal itu," kata Ki Banaspati.
Ginggi diam menunduk. "Ya, sudah kau pergi. Jagabaya sudah mampersiapkan
tempat menginap untukmu," kata Ki Banaspati lagi.
Ginggi menyembah hormat dan mengundurkan diri.
Namun sebelum jauh benar, pemuda ini meloncat ke atas
atap sirap dan menguping pembicaraan kedua orang itu.
"Saya belum percaya benar tehadap kepatuhan pemuda
itu," terdengar suara Ki Sunda Sembawa.
"Jangan khawatir. Dia bukan orang yang
membahayakan gerakan kita. Tapi harap dimaklum kalau
perangainya begitu. Anak itu datang dari gunung terpencil
dan tidak mengenal tata cara pergaulan kota. Kita akan
coba mendidik etika padanya sebab di kemudian hari kita
akan amat membutuhkan tenaganya. Tadi aku menjajal
kemampuannya dan ilmu pemuda itu tidak terlalu jauh di
bawah kemampuanku," kata Ki Banaspati. "Kalau kita
dapat mempengaruhinya, dia akan menjadi salah satu
pembantu utama kita," sambungnya.
Pembicaraan berhenti sebentar dan terdengar mereka
meneguk minuman. "Bagaimana dengan Suji Angkara?" terdengar suara Ki
Sunda Sembawa. "Itulah yang aku pikirkan. Kita perlu memastikan,
apakah Ki Joglo berhasil membunuhnya di kolam. Tapi
kalau tak berhasil, kita cukup berbahaya menghadapinya."
kata Ki Banaspati. "Saya khawatir Ki Joglo bukan membunuhnya tapi
malah dia yang dibunuh seperti terbukti tadi," kata Ki
Sunda Sembawa. "Aku juga berpikir begitu. Sebab, dari mana pikiran anak
buahnya timbul untuk melarikan diri kalau bukan dikabari
Si Suji?" kata Ki Banaspati.
"Mari kita periksa kolam dimana rencana pembunuhan
terhadap pemuda itu akan dilakukan," ajak Ki Sunda
Sembawa. Dari atas atap sirap Ginggi melihat dua orang itu keluar
dari bale gede dan akan menuju kolam di mana tadi Ki
Joglo memanggul tubuh Suji Angkara yang masih pingsan.
Sudah barang tentu, Ginggi tahu pasti bahwa Ki Joglo
belum sempat membenamkan Suji Angkara di kolam itu
karena orang malang itu sudah lebih dahulu dia
lumpuhkan. (O-anikz-O) Ambisi Sunda Sembawa Sudah hampir sebulan Ginggi "mengabdi" kepada Ki
Banaspati. Selama sebulan itu, pemuda ini sudah mulai
mengenal orang yang oleh Ki Darma disebut-sebut sebagai
yang harus dia ikuti. Memang benar seperti apa yang diakui oleh Ki
Banaspati, bahwa dirinya bukan orang sembarangan.
Ginggi pun mulai mengenal siapa Ki Sunda Sembawa
Menurut obrolan para jagabaya yang secara diam-diam
ditampung olehnya untuk sekadar pengetahuan,
Kandagalante Sunda Sembawa ini kekuasaannya sudah
semakin luas. Dia membawahi beberapa cutak (setingkat
camat) dan belasan kuwu (kepala desa). Jumlah penduduk
Sagaraherang waktu itu, lebih dari 1.200 orang dan
kebanyakan masih memegang kepercayaan lama.
Masih memegang erat agama lama, merupakan satu
pilihan yang berani sebab Sagaraherang sudah amat dekat
ke daerah utara yang dikuasai Cirebon.
Kata beberapa jagabaya, bentrokan-bentrokan kecil
dengan Prajurit Cirebon yang sudah memiliki agama baru
kerap kali terjadi. Bentrokan itu biasanya terjadi bila sudah
mempermasalahkan seba. Kandagalante Sunda Sembawa membuat kebijaksanaan,
seluruh desa yang ada di bawah kekuasaannya harus
mengumpulkan sebagian kekayaan desa untuk kepentingan
seba ke Pakuan. Seba atau pajak hasil bumi desa ditampung
oleh cutak dan cutak harus mengirimkannya ke
kandagalante. Tapi kebijaksanaan Ki Banaspati lebih hebat
lagi. Dia bahkan berani mengutip seba ke wilayah-wilayah
yang sebetulnya sudah menginduk ke pusat pemerintahan
Pembalasan Rikma Rembyak 2 Pendekar Slebor 42 Manusia Laba-laba Misteri Danau Siluman 2