Senja Jatuh Di Pajajaran 7
Senja Jatuh Di Pajajaran Karya Aan Merdeka Bagian 7
silam. Atau, barangkali memang benar orang itu amat
berwibawa. Sang Raja duduk tegap dengan anggunnya. Usianya
sekitar empatpuluh tahunan, tapi begitu nampak muda.
Kulit wajahnya nampak putih halus dan seperti bercahaya.
Matanya bening dengan sorot tajam penuh keyakinan.
Hidungnya mancung dan bibirnya tipis, lebih tampan lagi
karena dihiasi kumis tipis. Di atas kepalanya terpasang
mahkota yang dihiasi emas murni. Sepasang telinganya
dihiasi susumping juga mengkilap kuning karena terbuat
dari logam emas. Itulah mungkin Makuta Binokasih
Sanghyang Pake ( kini disimpan di Museum Geusan Ulun,
Sumedang), mahkota Raja Pajajaran yang dibuat Oleh
Prabu Bunisora untuk digunakan Raja Pajajaran pertama,
yaitu Sri Baduga Maharaja (1482-1521 Masehi) dan
kemudian secara turun-temurun dipakai oleh raja-raja
seterusnya (hingga Prabu Geusan Ulun, Raja Kerajaan
Sumedanglarang, sesudah Pajajaran hancur).
Sang Prabu memakai baju kurung tipis dari kain sutra
warna kuning muda tanpa lengan. Namun sepasang
tangannya dihiasi gelang-gelang emas, baik gelang untuk
pergelangan atau tangan di dekat bahu. Leher Sang Prabu
pun dihiasi kalung emas susun tiga membentuk daun dan
kembang. "Hhm " gagah benar Sang Susuhunan," lelaki setengah
baya yang berdiri di samping Ginggi berdecak kagum,
"Lihatlah anak muda, beliau menggunakan Makuta Emas
binokasih Sanghiang Pake, yang dulu dipergunakan Sang
Susuhunan Sri Baduga Maharaja, atau bergelar Sang Ratu
Jaya Dewata, atau lebih harum lagi disebut sebagai Prabu
Siliwangi. Lihatlah pula benten emas yang membelit
pinggangnya, ataupun susumping garuda mungkur yang
terpasang di kedua telinga Sang Prabu. Oh, serasa aku
kembali ke zaman kebesaran Pakuan ketika Sang
Susuhunan Sri Baduga Maharaja masih ada," gumam lelaki
setengah baya ini. Ginggi menoleh, ternyata ada genangan
airmata meleleh di sepasang pipinya lelaki itu.
Hanya sebentar saja Ginggi mencari makna dari ucapan
ambarahayat ini sebab dari tepi balandongan ada terdengar
lagi teriakan prajurit yang menyuruh semua orang diam dan
menundukkan kepala. Semua orang tertunduk dan suasana
kembali hening. Di tengah hening ini terdengar lantunan
doa-doa yang rupanya diucapkan seorang wiku (pendeta).
Dengan nada-nada bergetar meraga sukma, sang wiku
membaca doa berpanjang-panjang. Dia berdoa semoga
Pakuan beserta Pajajaran tetap berdiri dengan kokoh
sentosa, raja bahagia dan rakyat sejahtera. Bagaimana agar
kesejahteraan bisa terangkum secara lahir batin, maka sang
wiku memberi petuah: Suku milang awak urang lamun salah langkah eta matak urang papa leungeun lamun salah cokot
eta matak urang papa ceuli lamun salah denge eta matak
urang papa panon lamun salah jeueung eta matak urang
papa irung lamun salah ambeu eta matak urang papa
"Jangan terlalu lama berhenti, agar tidak terlanjur, agar
tidak terpengaruh penglihatan, agar
tidak terpengaruh oleh pendengaran, ujar-ujar jangan
khilaf, ingat-ingat jangan lupa," ujar
sang wiku. Selanjutnya sang wiku kembali berdoa untuk
kesejahteraan Pajajaran beserta seluruhpenghuninya :
Hati tiba tak diajak Hati datang tak diundang Yang setia selalu berhasil
Suka tanpa mengenal duka Kenyang tanpa mengenal lapar
Hidup tanpa mengenal maut
Bahagia tanpa mengenal papa
Baik tanpa mengenal buruk
Pasti tanpa mengenal kebetulan
Moksa, lepas Tanpa mengenal ulangan hidup
"Itulah Purohita (pendeta tinggi negara) Ki Raga Suci.
Dia sudah menjadi Purohita Pakuan sejak zaman Sang
Susuhunan Sri Baduga Maharaja," tutur lelaki setengah
baya di samping Ginggi. Ginggi tak sempat mengiyakan
omongan orang itu, sebab tiba-tiba semua ambarahayat
berteriak gemuruh. Semuanya mengucapkan selamat pada
Raja. Panjang umur dan hidup sejahtera!
Sang Susuhunan Prabu Sakti Sang Mangabatan berdiri
sejenak, melambai-lambaikan tangan ke segala penjuru
dengan senyum dan mata berbinar terang.
Masih terus melambaikan tangan dan sepasang matanya
mengerling kesana-kemari sebab gemuruh ambarahayat
belum juga reda. Purohita Ki Raga Suci mengangkat tangan memberi
aba-aba agar ambarahayat berhenti dan memberikan
kesempatan kepada Raja untuk berbicara. Dan semu orang
yang ada di seputar alun-alun mendadak diam seperti kena
sirep, Ribuan ambarahayat menyorotkan mata tanpa
berkedip ke arah balandongan di mana Sang Prabu berdiri.
"Tak ada masa sekarang bila tak ada masa lalu. Namun
juga masa lalu bisa berlanjut karena ketegaran masa
sekarang," ujar Sang Prabu dengan suara halus namun
mengandung wibawa yang tinggi.
"Puluhan tahun Kerajaan Pajajaran berdiri, bahkan
ratusan tahun Kerajaan Sunda ini tetap utuh. Kita tetap
kokoh, kita tetap berdiri dan sanggup bertahan dari
gangguan musuh karena setiap generasi yang diberi
tanggung jawab untuk mempertahankan negri sanggup
menjaga dengan baik. Pajajaran tetap ada karena selalu
memiliki raja yang kuat dan rakyat yang setia. Oleh sebab
itu, aku sebagai Susuhunan Pakuan, tetap menyuruh kalian
ambarahayat, agar selalu setia kepadaku. Kesetiaanmu
padaku, hanya berarti kalian mempertahankan keberadaan
Pajajaran," ujar Sang Prabu.
Ambarahayat masih diam terpana mendengarkan ujar-
ujar Sang Prabu Ratu Sakti.
"Pajajaran masih tetap besar. Tapi Pajajaran juga tengah
prihatin. Wilayah kekuasaan kita sekarang tidak seutuh
masa-masa lalu. Wilayah Pajajaran di pantai utara dan
barat telah direbut musuh, sehingga perdagangan kita
terganggu dan penghasilan negri berkurang. Musuh bisa
merebut wilayaah kita satu-persatu barangkali karena
mereka kuat, tapi juga bisa berarti karena tidak semua
ambarahayat bersetia penuh kepada negara. Aku dengar di
wilayah timur beberapa negri kecil yang dulu ada di bawah
Pakuan sudah berpaling kepada kekuatan agama baru.
Mereka sudah tidak membayar seba ke Pakuan. Dengan
demikian penghasilan negara semakin kecil jua. Itulah
sebabnya, semua ambarahayat harus semakin setia terhadap
Pakuan. Aku selalu memerintahkan muhara untuk terus
meningkatkan hasil seba dari kalian karena keadaan yang
kian mendesak ini. Kalau kalian tak mengeluh oleh seba
yang ditarik semakin tinggi oleh muhara, maka kalian akan
menjadi ambarahayat yang berarti sebab telah berkorban
demi kebesaran Pajajaran!" kata Sang Prabu dengan suara
yang ditinggikan. Ambarahayat masih tetap diam. Ginggi melirik ke
samping, lelaki setengah baya nampak menunduk sambil
berpangku tangan. "Kita akan tetap berusaha mempertahankan kebesaran
Pajajaran. Pakuan akan tetap berusaha mempertahankan
pengaruhnya di wilayah timur Sungai Citarum. Beberapa
daerah Kandagalante yang ada di timur sudah aku setujui
untuk menambah kekuatan prajurit dan jagabaya. Itu untuk
menjaga rongrongan dari kekuasaan Demak dan Cirebon.
Pembentukan kekuatan di wilayah-wilayah timur akan
semakin ditingkatkan sebab barangkali kelak bukan sekadar
bertahan saja tapi pun akan berusaha mengembalikan hak-
hak kita yang telah hilang," seru Sang Prabu.
"Sekarang Pajajaran memiliki seratus ribu prajurit dan
seribu orang perwira pengawal raja. Jumlah prajurit akan
selalu ditingkatkan dan seribu perwira pengawal raja harus
selalu memiliki cadangan. Dan hari ini saatnya menguji
ketrampilan. Akan ada ujian tingakat bagi prajurit-prajurit
pandai. Bila benar-benar ketangguhan dan kemampuannya
meningkat dan lulus dalam ujian, maka prajurit itu akan
diangkat menjadi perwira kerajaan!" ujar Sang Prabu.
Terdengar sorak-sorai di kiri kanan alun-alun karena
ratusan prajurit berteriak-teriak sambil menacung-acungkan
senjatanya masing-masing.
"Juga akan ada ujian ketangkasan bagi ambarahayat
yang akan menyediakan dirinya menjadi prajurit Pakuan!"
kata pula Sang Prabu. Kini sorak-sorai terdengar lebih membahana sebab keluar
dari mulut ambarahayat yang jumlahnya ribuan di seputar
alun-alun itu. "Nanti para senapati dan perwira yang akan mengatur
tata-cara uji ketangkasan ini," kata Sang Prabu mengakhiri
pidatonya. Beliau kembali melambai-lambaikan tangan dan
disambut gemuruh tepukan ambarahayat.
Sang Prabu kembali duduk di singgasana yang diikuti
oleh suara tetabuhan bertalu-talu dengan irama penuh
semangat. Berbareng dengan itu, dari bawah balandongan berturut-
turut naik para wanita yang berpakaian indah-indah dengan
wajah molek-molek. Mereka duduk berjajar rapi tepat di
belakang Sang Prabu. "Paman, banyak wanita cantik berderet di belakang Sang
Prabu, siapakah mereka?" tanya Ginggi menatap tak habis-
habisnya kepada deretan wanita jelita itu.
"Itulah para bidadari, putri-putri istana penghuni Taman
Mila Kancana, berselampai sutra Cina, beramben corak
manikam dan bersanggul penggetar cinta!" kata lelaki
setengah baya itu. Ginggi mengangguk dan amat setuju
dengan ungkapan indah penduduk Pakuan ini.
Apalagi di saat gemerlap dengan segala kebesarannya,
sedangkan di hari-hari kelabu, ambarahayat Pajajaran selalu
memuji-muji eloknya penghuni Pakuan.
Ginggi sejak tadi hanya memperhatikan ke arah
balandongan saja di mana Sang Prabu beserta para putri
cantik berada. Padahal di kiri kanan balandongan masih
terdapat panggung-panggung bertenda yang banyak
digunakan orang untuk duduk berderet. Dan Ginggi
tersentak kaget sebab di antara deretan orang, terdapat
beberapa orang yang dikenalnya dengan baik.
Di sana ada Ki Banaspati. Dia menggunakan pakaian
senting (bedahan lima) terbuat dari kain beludru hitam.
Kepalanya ditutup bendo dari kain batik corak alas-alasan.
Tidak bersua hampir sepuluh bulan lamanya, tidak ada
perubahan di wajah Ki Banaspati. Tubuhnya masih tetap
tegap dan dadanya bidang. Alis matanya kini agak tebal
hitam. Ki Banaspati duduk sejajar dengan para hadirin lainnya.
Dan melihat penampilan dan jenis pakaian yang
digunakannya mereka, semuanya pasti terdiri dari kaum
bangsawan dan pejabat semata.
Ketika mata Ginggi mengarah ke jajaran paling pinggir,
pemuda itu kembali terkejut. Bagaimana tak begitu, sebab
di sana duduk seorang pemuda anggun. Sama
menggunakan pakaian senting beludru hitam, tapi
menggunakan bendo yang di depannya dipasang ornamen
warna emas. Pemuda berkulit putih dengan hidung
mancung tapi kalau ketawa selalu mengatupkan bibirnya,
siapa lagi kalau bukan Suji Angkara"
Ginggi bingung, ada Ki Banaspati, ada Suji Angkara.
Mereka duduk sejajar di panggung kehormatan bersama
para pejabat negara lainnya, padahal keduanya jelas
bermusuhan setelah peristiwa di wilayah Sagaraherang itu.
Bagaimana bisa mereka kini sama-sama berada di sana"
Ginggi teringat, sebetulnya sepuluh bulan lalu dia
diperintah Ki Banaspati untuk mengejar dan membunuh
Suji Angkara. Hingga kedua orang itu bertemu di Pakuan,
Ginggi tak pernah melaksanakan perintah Ki Banaspati.
Marahkah Ki Banaspati bila kelak bertemu lagi dengannya"
Ginggi mundur beberapa tindak dan mencari tempat
berdiri di belakang kerumunan orang banyak.
Sekarang juru bicara acara mengumumkan, bahwa
sebelum diadakan uji ketrampilan, akan diawali dulu
dengan latihan perang-perangan dengan menampilkan
kebolehan siasat pertempuran yang jadi kebanggaan
Pajajaran dan Kerajaan Sunda sejak ratusan tahun yang
silam. Akan dilakukan oleh seribu perwira pengawal raja
dan dibantu pasukan prajurit.
Penonton berteriak riuh. Beberapa di antaranya bersuit-
suit nyaring saking gembiranya diberi suguhan demonstrasi
perang-perangan ini. Ginggi pernah menerima penjelasan dari Ki Rangga
Guna bahwa Pajajaran secara turun-temurun memiliki
duabelas ilmu siasat perang, yaitu Makara-Bihwa, Lisang-
Bihwa, Cakra-Bihwa, Suci-Muka, Bajra-Panjara, Asu-
Maliput, Merak-Simpir, Gagak-Sangkur, Luwak-aturun,
Kidang-Sumeka, Babah-Buhaya dan Ngaliga-anik.
Menurut juru bicara, pasukan akan menampilkan siasat
bertempur yang amat terkenal yang diberi nama Merak-
Simpir. Suara gamelan bertalu-talu. Penabuh gendang dan
gambang demikian semangat menabuh alat musiknya.
Pemegang gong dan kempul, kendati menabuh alatnya tak
sesering gendang dan gambang, tapi setiap kali melakukan
tugas bagiannya, mereka memukul alat yang dipegangnya
dengan mantap dan pasti sehingga menjadi pelengkap
pembawa semangat. (O-anikz-O) Siapa Melukai Ki Banen"
Ketika suara gamelan bertalu-talu itulah keluar sebuah
barisan berseragam lengkap turun ke lapangan alun-alun
Senja Jatuh Di Pajajaran Karya Aan Merdeka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang diringi tempik sorak penonton. Pasukan yang turun,
membentuk dua kelompok yang seolah-olah saling
bermusuhan. Satu pasukan dengan jumlah lebih besar
terdiri dari ratusan prajurit. Mereka semua bertelanjang
dada, kecuali sepasang tangan bergelang tulang hitam,
begitu pun lehernya berkalung tulang. Semua
bercelanasontog hitam dengan ornamen perak di ujung
bagian kakinya. Rambutnya panjang-panjang tapi digelung
rapih ke atas. Mereka bersenjata tombak dan pedang di
tangan kanan dan perisai logam di tangan kiri.
Di lain fihak, pasukan yang menjadi lawannya
berpakaian lebih gagah lagi. Jumlahnya masih ratusan tapi
di bawah jumlah lawannya. Mereka menggunakan baju
zirah (baju terbuat dari sisik-sisik logam yang tak tembus
senjata tajam) yang dilapisi rompi beludru hitam
berornamen gemerlap. Celana sontog hitamnya sedikit
tertutup kain batik kebat yang dikenakan terlipat dan
ujungnya menggapuy di depan seperti yang biasa digunakan
oleh para ksatria. Mereka bersiap tanpa menggunakan
senjata apa pun. Melihat penampilan mereka, kendati jumlahnya tak
persis seribu, tapi Ginggi yakin, inilah pasukan seribu
perwira pengawal raja. Sekarang dua pasukan sudah saling berhadapan. Satu di
ujung alun-alun sebelah kiri panggung, satunya lagi di ujung
kanan. "Merak-simpir!!" teriak perwira kepala. Maka secepat
kilat pasukan pengawal membentuk formasi. Formasi ini
membentuk ekor burung merak yang tengah membeber.
Pasukan paling depan terdiri perwira berjejer sepuluh orang.
Namun barisan ini terus berlapis-lapis dengan jumlah
berlipat. Pada lapis bagian kedua, jumlahnya ada duapuluh
orang. Lapisan ketiga tambah lagi menjadi tigapuluh orang
berjajar. Begitu seterusnya hingga barisan atau lapisan
paling akhir, jumlah pasukan ada sekitar enampuluh
perwira berjajar rapi ke samping.
(O-anikz-O) Jilid 13 Aba-aba kedua terdengar. Itulah aba-aba menyerang.
Maka dua pasukan sama-sama berlari untuk saling
berhadapan. Juru acara mengabarkan kepada penonton
bahwa pasukan lawan menggunakan siasat perang
bernamaBajra-Panjara, Mereka juga sama membentuk
formasi barisan tapi caranya jauh berbeda dengan yang
ditampilkan pasukan perwira. Mereka membuat lapisan
penyerangan dengan jumlah yang sama setiap lapisnya.
Ginggi menghitung, baik lapisan baris pertama mau pun
baris kedua sampai lapisan paling belakang jumlah
pertahanannya sama, yaitu terdiri dari limapuluh orang
prajurit berjajar ke samping. Ginggi pun menghitung jumlah
lapisan pasukan prajurit. Semuanya ada sepuluh lapis.
Artinya pasukan prajurut total berjumlah 500 orang. Jauh
lebih besar ketimbang pasukan perwira pengawal raja.
Dengan iringan tempik-sorak penonton, dua pasukan
berlari saling mendekat sambil tetap menampilkan cara
formasi masing-masing. Tempik-sorak makin menjadi-jadi, suara gamelan pun
makin bersemangat ketika lapisan pertama sudah saling
menyerang. Ini adalah pertempuran paling berat buat
pasukan perwira. Lapisan pertama ini jumlahnya hanya
sepuluh orang. Sedangkan di lain fihak, lapisan pertama
dari pasukan prajurit berjumlah limapuluh orang.
Ginggi mulai mengerti siasat perang formasi Merak-
Simpir ini. Lapisan pertama dengan jumlah terbatas diuji
kekuatannya dengan jumlah musuh yang lebih banyak. Bila
lapisan pertama ini gagal menghadang musuh, maka akan
bergerak lapisan kedua dengan jumlah berlipat dua. Bila
ternyata lapis kedua juga gagal membendung, maka akan
bergerak lapisan ketiga yang jumlahnya semakin berlipat
juga. Begitu seterusnya sampai tiba pada lapisan terakhir
tapi dengan jumlah barisan paling banyak.
Tapi pertempuran lapisan atau gelombang pertama
belum memerlukan bantuan gelombang kedua, sebab
sepuluh perwira pengawal raja kendati dikepung limapuluh
prajurit bersenjata lengkap nampak melakukan perlawanan
sengit. Sepuluh orang perwira sanggup berkelit dari serbuan
ujung-ujung tombak atau pedang, bahkan sebaliknya
berhasil membalas serangan. Dan kendati dilakukan dengan
tangan kosong, tapi jurus-jurus berkelahi mereka tinggi-
tinggi dan hebat-hebat. Ginggi terpesona sekaligus juga
heran, sebab ada beberapa gerakan dan jurus-jurus yang
mirip jurus kepunyaan Ki Darma.
Namun rasa heran di hatinya tak berlangsung lama,
sebab Ki Darma belasan tahun silam adalah anggota
pasukan seribu perwira pengawal raja. Ki Darma adalah
perwira senior yang pasti banyak menurunkan ilmunya
kepada sesama perwira yang pengalaman bertempurnya di
bawah Ki Darma. Teringat akan ini, Ginggi tersenyum kecut. Orangnya
sampai hari ini tidak disukai kalangan istana tapi ilmunya
tetap dipergunakan. Siasat bertempur dengan julukan Bajra-Panjara pun
sebenarnya demikian hebat. Semua barisan terlihat berjajar
kokoh seperti kokohnya jeruji penjara. Barisan lapis
pertama dalam menyerang dan bertahan tak mengubah
gaya formasi dan posisi. Mereka berjajar rapi, ketat dan
kuat sehingga tak memberikan peluang untuk lolos dari
kepungan. Mereka pun saling menunjang satu sama lain,
sehingga bila ada salah-satu anggota terdesak maka dua
anggota di samping kiri dan kanannya segera memberikan
bantuan. Begitu seterusnya. Namun ketangguhan formasi
apa pun hanya akan sempurna hasilnya bila didukung oleh
pelaku yang secara perorangan sempurna pula dalam
menampilkan kebolehan ilmu berkelahi.
Dan pasukan perwira pengawal raja ilmunya hampir dua
atau tiga tingkat di atas rata-rata prajurit biasa. Dalam
waktu yang tak terlalu lama, tiap gelombang atau lapisan
pasukanBajra-Panjara berhasil ditembus taktik perang
Merak-Simpiryang dilakukan dengan jurus-jurus
perseorangan yang demikian sempurnanya. Bajra-Panjara
berantakan karena anggota pasukannya telah lintang-
pukang dan cerai-berai. Tempik-sorak dan suitan tanda pujian bergemuruh di
seputar alun-alun menyambut kemenangan pasukan
pengawal raja. Sang Prabu Ratu Sakti pun nampak
mengangguk-angguk tanda senang dengan pertunjukan ini.
Latihan perang-perangan telah selesai tanpa
menimbulkan luka berarti kepada kedua anggota pasukan
tersebut. Dan kini tiba saatnya uji ketangkasan bagi para prajurit
yang akan mengalami kenaikan tingkat, disusul oleh uji
ketrampilan bagi ambarahayat yang bermaksud
mengabdikan diri menjadi Prajurit Pakuan.
Macam-macam cara ujian yang diselenggarakan. Dari
mulai ujian menggunakan ketrampilan menggunakan
tujuhbelas macam senjata, sampai kepada uji ketrampilan
berkelahi. Dari mulai uji menangkap banteng, sampai
kepada uji menangkap macam kumbang yang dilepas di
tengah alun-alun. Penonton, terutama kaum wanita dan
anak-anak, bergidig ngeri bahkan ada yang menjerit
ketakutan atau menutupi mata dan berlindung di balik
pohon karena tak kuasa melihat kegagahan macan
kumbang serta aumannya yang membelah dada. Namun
binatang buas itu tak mungkin lolos dari alun-alun dan
apalagi menyerang penonton.Yang menjadi sebab, karena
para perwira tangguh selalu siaga mengepung agar ruang
gerak binatang buas itu hanya terbatas di dalam kepungan
pengawal raja saja. Sedang asyik-asyiknya Ginggi menyaksikan semua
pertunjukan dan atraksi memikat ini tiba-tiba bahunya
ditepuk orang dari belakang. "Hei, kau prajurit Madi
rupanya!" teriak Ginggi gembira. "Sejak tadi aku cari-cari
kau, kemana saja?" tanyanya kembali akan menepuk bahu
Madi. Namun Madi segera menepiskan tepukan Ginggi.
"Kau jangan bertindak kurang ajar seperti itu. Aku kan
prajurit!" desis Madi melotot marah.
"Oh, maaf ?" kata Ginggi sambil senyum tetap di bibir.
"Aku sejak pagi sibuk terus. Aku kan prajurit. Dan ini
pestanya prajurit!" jawab Madi sombong.
"Tapi yang lain sibuk, kau malah tidak ?" gumam
Ginggi mencibir. "Dasar anak tolol. Yang sibuk bukan hanya di tengah
alun-alun saja. Ada juga yang melakukan kesibukan secara
diam-diam. Itulah aku, sebab aku musti memeriksa kalau-
kalau di sekeliling alun-alun keamanan tak terjamin," jawab
Madi. "Oh, begitu rupanya ?"
"Sekarang aku datang ke sini bukan sengaja cari-cari kau
tapi sedang bertugas jaga, siapa tahu di sini ada pengacau!"
kata Madi tak senang akan cibiran Ginggi.
"Pengacau?" Ginggi mengerutkan dahi.
"Ya, orang-orang bawel sepertimu bisa-bisa kutangkap
karena dianggap pengacau!" kata Madi jengkel.
"Hei, jangan marah seperti itu. Kau kan sudah jadi
prajurit," kata Ginggi. Madi hanya menjawab dengan
desisan. "Bagaimana, apa aku bisa ikut kerja lagi pada Raden Suji
Angkara?" tanya Ginggi kembali teringat hal ini.
"Kau lihat sana Raden Suji lagi sibuk!"
"Maksudku, ya nanti saja bila Raden Suji Angkara tidak
sibuk." "Ya, nanti saja bicaranya, tolol!" hardik Madi yang
nampaknya akan segera berlalu.
"Eh, aku dapat pesan dari Ki Banen, dia ingin bertemu
denganmu!" kata Madi menahan langkah.
"Ki Banen" Di mana aku bisa bertemu dengannya?"
"Huh, dia menjadi sering sakit-sakitan setibanya di sini.
Orang-orang pada ribut kerja diamalah sakit," kata Madi
kesal. Madi memberikan alamat di mana Ki Banen bisa
ditemui. Ketika acara uji ketrampilan masih berlangsung,
Ginggi segera meninggalkan tempat itu.
Hanya Ki Banen yang nampak baik padanya. Oleh sebab
itu mendengar orang tua itu sakit, Ginggi ingin
menengoknya. Ginggi melangkahkan kaki meninggalkan
alun-alun. Dia berjalan menyuri sebuah parit buatan yang
orang Pakuan menyebutnya sebagai Cipakancilan. Kata
Madi, Ki Banen tinggal disebuah rumah tua di tepi
Cipakancilan. Memang tidak sulit, sebab di beranda rumah
kayu jati ada orang gemuk berwajah bulat dan berkumis
tebal. "Ki Ogel ?" sapa Ginggi. Ki Ogel memicingkan kedua
matanya karena ingin jelas siapa yang menyapanya.
"Kau, anak muda?" Ki Ogel balik menyapa.
"Ya, kini aku beri tahu namaku, aku Ginggi!" jawab
pemuda itu sedikit terharu. Terharu, hanya dalam waktu
sembilan bulan saja wajah Ki Ogel sudah berubah.
Rambutnya yang kini digelung ke atas sudah penuh uban.
"Aku kau tinggalkan begitu saja di Sagaraherang.
Sekarang kalian kususul. Tapi, benarkah Ki Banen sakit?"
tanyanya. Ki Ogel hanya mengangguk lesu. "Mari masuk ?"
tukasnya. Ginggi masuk ke rumah tua itu. Ada ruangan tengah
cukup luas, dilengkapi satu ruangan tidur. Ki Ogel
menunjuk ke ruangan itu. Ginggi masuk dan nampak ada
orang tua tergolek lemah di lantai papan yang beralaskan
sebuah tikar. "Ki Banen?" sapa Ginggi.
Orang yang tergolek lemah itu membuka matanya pelan-
pelan. Dengan sorot mata sayu diamenatap siapa yang
datang. Tapi rupanya Ki Banen masih hafal Ginggi. "Kau
anak muda ?" "Aku Ginggi," kata pemuda itu mendekati tubuh tak
berdaya tersebut. Ki Banen mengulurkan tangannya. Dia
sepertinya ingin memegang tangan pemuda itu.
Ginggi mengerti. Dia segera memegang tangan Ki
Banen, kurus dan keriput. Ki Banen jauh lebih tua dari
umur yang sebenarnya. Jauh lebih tua dibandingkan dengan
wajah Ki Ogel yang nampak masih agak gemuk.
"Anak muda " mau apakah kau datang ke Pakuan ini?"
tanya Ki Banen dengan suara lemah hampir-hampir hanya
sebuah bisikan saja. "Aku " Bukankah aku sudah jadi anak buah Raden Suji
Angkara" Mengapa aku kalian tinggalkan di Sagaraherang"
Sudah barang tentu aku datang ke sini karena menyusul
kalian," kata Ginggi setengah berbohong.
"Jangan " Jangan ikut kerja di sini. Sebaiknya kau
pulanglah! Lebih baik kau selamatkan jiwamu!" Ki Banen
menggerak-gerakkan tangannya seperti mengusir Ginggi
pergi. Pemuda itu tak mengerti apa yang dimaksud Ki
Banen. Namun orang tua itu nampak payah untuk
melanjutkan omongannya. Dia hanya memegangi dadanya
saja dan mulutnya menahan batuk.
Ginggi menengok ke arah Ki Ogel. Dia ingin
mendapatkan penjelasan. "Tadi pagi memang Madi memberitahu kami bahwa
engkau datang ke Pakuan. Maka Ki Banen meminta agar
kau datang ke sini. Maksud Ki Banen memang begitu,
sebaiknya kau pulang saja dan jangan lanjutkan maksudmu
untuk mengabdi kepada Suji Angkara ?" kata Ki Ogel.
"Mengapa?" Ki Ogel menundukkan kepala. "Pokoknya kau pergi saja
dari sini. Kau tidak akan cocok bekerja dengannya,"
katanya sesudah lama berdiam diri.
"Aku ingin tahu, apa sebabnya aku tak boleh bekerja
kepada Raden Suji Angkara, padahal susah-payah aku
menempuh perjalanan jauh dari Sagaraherang ke Pakuan
ini," gumam Ginggi dengan nada sesal.
"Kau terangkan Ki Ogel ?" kata Ki Banen pada
Senja Jatuh Di Pajajaran Karya Aan Merdeka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
akhirnya. Ginggi kembali berpaling kepada Ki Ogel. Dia
amat penasaran ingin segera mendengarkan penjelasan Ki
Ogel. Dengan hati-hati karena penuh rasa khawatir, Ki Ogel
bercerita tentang pengalamannya ikut Suji Angkara selama
ini. Sejak dari Desa Cae, kedua orang tua ini memang sudah
berniat bergabung dengan Suji Angkara. Pertama untuk cari
pengalaman dan kedua mencari mata pencaharian yang
layak. "Kau mungkin tahu, Suji Angkara kelihatannya begitu
kaya dan setiap hari kerjanya berfoya-foya belaka," kata Ki
Ogel. "Anak pesolek itu senang berfoya-foya karena banyak
kekayaannya. Dia banyak memiliki kekayaan karena gemar
berniaga. Itulah sebabnya, ketika ada tugas mengirimkan
barang seba, Ki Ogel dan Ki Banen tertarik untuk ikut
serta." "Aku dan Ki Banen berpikir, bila usai tugas mengirim
seba, tidak akan kembali ke kampung halaman, melainkan
akan ikut Suji Angkara berniaga," ungkap Ki Ogel.
Namun apa yang terjadi" Sesudah bersama Suji Angkara,
baik Ki Ogel mau pun Ki Banen banyak mendapatkan
keganjilan. Kata Ki Ogel, cara kerja Suji Angkara dalam
menghimpun barang-barangseba tidak wajar.
"Engkau pernah menyindir kami ketika di Desa Wado
tentang cara-cara paksa dalam menarik seba yang dilakukan
Suji Angkara," kata Ki Ogel.
"Ya, benar! Waktu itu aku tak senang tindakan Raden
Suji Angkara sebab mengambil seba di desa itu terlalu
kasar!" kata Ginggi.
"Aku juga waktu itu tidak senang. Tapi aku menahan diri
sebab aku masih punya harapan dari anak itu," kata Ki
Ogel. Ki Ogel melanjutkan ceritanya tentang kejanggalan yang
diperlihatkan Suji Angkara. Di Desa Wado pemuda tampan
itu kepergok Ki Banen menggoda anak gadis warga desa.
Mereka anggap Suji Angkara bertindak tak senonoh sebab
mengganggu anak gadis orang yang minggu depannya akan
melangsungkan perkawinan.
"Namun kami tak melakukan teguran. Apa pun yang
terjadi, Suji Angkara adalah putra Kuwu Suntara yang
begitu disayang orang tuanya, sedangkan kami semua
menghormat pada Kuwu," kata Ki Ogel.
Ki Ogel melanjutkan ceritanya. Perasaan tak enak
semakin membebani hatinya ketika anak gadis di Desa
Wado mati bunuh diri. "Menurut berita, gadis itu bunuh diri karena kecewa
biaya untuk upacara pernikahan sebagian besar habis guna
membayar seba, Tapi benarkah begitu" Kami mencurigai
sesuatu hal. Tapi kami tak sanggup mengatakan apa-apa,"
kata Ki Ogel menghela nafas.
"Peristiwa yang sama terjadi pula di wilayah
Kandagalante Tanjungpura. Anak gadis Jurangan Ilun Rosa
mati bunuh diri, setelah gadis itu sehari sebelumnya digoda
Suji Angkara. Kami menemukan banyak keganjilan. Setiap
kami masuk ke sebuah wilayah, setiap itu pula ada gadis
bunuh diri. Di Warunggede ada juga gadis bunuh diri.
Apakah memang kami patut bercuriga, entahlah. Hanya
yang jelas, setiap kami memasuki satu wilayah, selalu saja
ada peristiwa menyedihkan," kata Ki Ogel.
"Dengan kata lain kau mengatakan bahwa setiap di situ
ada Suji Angkara, maka di sana ada peristiwa. Begitukah?"
tanya Ginggi. Ki Ogel tak berani menganggukkan kepala. Sedangkan
Ki Banen hanya tergolek saja dengan pernapasan lemah.
"Pemuda Seta dan Madi bagaimana?" tanya Ginggi.
"Seta pernah mengatakan hal ini padaku. Tapi akhirnya
dia melupakan urusan ini. Seta terlalu setia kepada Suji
Angkara sebab selalu mendapatkan perhatian lebih dari
pemuda itu. Sekarang Seta menjadi ponggawa istana dan
Madi jadi prajurit tugur benteng dalam. Mereka berdua
amat berterima kasih pada Suji Angkara yang dianggapnya
begitu berjasa mengangkat nasib mereka. Bila sudah kerja
selama setahun, khabarnya Seta akan pulang dulu ke Cae
untuk melangsungkan perkawinan dengan Nyi Santimi,"
kata Ki Ogel. Jantung Ginggi berdegup mendengarnya. Perasaan tak
enak menyelimuti hatinya bila harus diingatkan kepada
nama gadis Desa Cae ini. Setiap kali mengingat Nyi
Santimi pasti ingat peristiwa aib yang amat memalukannya.
"Lalu, mengapa Ki Banen sampai menderita sakit seperti
ini?" tanya Ginggi kembali memperhatikan orang tua
tergolek lemah di hadapannya.
"Yah " dia memang sakit keras," keluh Ki Ogel.
"Aku tanya mengapa dia sakit" Apa penyebabnya?"
tanya Ginggi lagi. "Betul " aku sakit keras," sambung Ki Banen sambil
kembali menahan batuk. Namun dia tak bisa menahan
terus. Sehingga pada suatu saat dia batuk-batuk dengan
keras. Ki Banen serentak bangkit karena batuk-batuknya
diakhiri dengan memuntahkan darah hitam!
Ginggi buru-buru menyeka lelehan darah dari mulut
orang tua itu dengan kain yang tersedia di sana. "Engkau
bukan sakit biasa. Engkau menderita karena ada luka
dalam, Paman!" kata Ginggi. "Siapa yang memukulmu
sekejam ini?" Ki Ogel terbelalak heran. Begitu pun Ki Banen, matanya
yang layu mendadak terbuka lebar.
"Kau ?" Dari mana engkau tahu dia sakit karena
dipukul?" tanya Ki Ogel.
Ginggi sejenak terdiam. Hatinya mencari jawaban yang
sekiranya tak mengundang perhatian mereka berdua. "Ya,
karena darah hitammu itulah. Luka dalammu
menyebabkan jaringan darahmu rusak berat," kata Ginggi.
"Coba aku lihat dadamu, Paman," tanpa diminta Ginggi
membuka pakaian Ki Banen di bagian dadanya. Ada tanda
kehitaman amat tipis dan hampir menghilang, menandakan
bahwa luka itu sudah lama terjadi. "Kau pasti dipukul orang
sekitar sebulan yang lalu," kata Ginggi mengira-ngira. Ki
Banen mengangguk tanda membenarkan.
"Siapa yang melukaimu dengan pukulan tenaga dalam
ini?" tanya Ginggi lagi. Ki Banen menggelengkan kepala.
"Engkau merahasaikannya padaku?" Ginggi melirik
tajam. "Tidak. Aku memang tidak tahu siapa yaang memukul
aku," kata Ki Banen.
"Coba ceritakan peristiwanya."
Ki Banen terdiam. "Ceritakanlah, Paman ?"
"Ini mungkin imbalan bagi orang yang selalu bercuriga,"
gumam Ki Banen."Suji Angkara selalu memperhatikan Nyi
Mas Banyak Inten" katanya lagi.
Ginggi mengerutkan dahi. "Baiklah aku terangkan sebelumnya," potong Ki Ogel
manakala melihat Ginggi kebingungan.
Ki Ogel bercerita lagi, bahwa di Pakuan terdapat banyak
pejabat dan kaum bangsawan. Yang terkenal saja, Ki Ogel
menyebut Bangsawan Soka. Dia masih kerabat Raja dan
menjabat mangkubumi. Ada Pangeran Yogascitra, juga
masih kerabat Raja. Dia punya dua orang anak putra dan
putri. Yang laki-laki, anak pertama, bernama Banyak
Angga, sedangkan yang kedua putri bernama Nyi Mas
Banyak Inten. Ada juga Bangsawan Bagus Seta. Punya
anak perempuan cantik yang bernama Layang Kingkin.
Gadis ini punya hubungan cinta dengan Banyak Angga,
putra Bangsawan Yogascitra.
"Bangsawan Bagus Seta ini menjabat muhara, Bila Suji
Angkara datang ke Pakuan, maka yang dimaksudnya
adalah Bangsawan Bagus Seta. Kami tak tahu apa
hubungan atau keperluan Suji Angkara kepada Bangsawan
Bagus Seta," kata Ki Ogel.
Ginggi sudah sejak tadi menahan nafas mendengar
penjelasan ini. Lengkap sudah murid-murid Ki Darma
semua ditemukan. Dan semuanya amat mengejutkan,
terutama Ki Banaspati dan Bangsawan Bagus Seta.
Bayangkanlah, pertama kali Ginggi temukan Ki Banaspati.
Dia dikenal sebagai pejabat Pakuan yang jadi tangan kanan
muhara atau pejabat penarik pajak negara. Sekarang murid
Ki Darma lainnya ditemukan sebagai pejabat muhara itu
sendiri. Dengan perkataan lain, Ki Banaspati menjadi
bawahan Bangsawan Bagus Seta. Tapi di lain pihak Ginggi
tahubahwa Ki Banaspati tidak seutuhnya bekerja untuk
Pakuan, maksudnya untuk Raja. Sebab seperti yang
dikemukakannya tempo hari, Ki Banaspati akan
menghimpun kekuatan guna melakukan penyerbuan ke
Pakuan kelak. (O-anikz-O) Keliru Pilih Obat Satu hal yang membuat Ginggi heran. Benarkah Ki
Bagus Seta menjadi muhara " Ginggi tempo hari pernah
mendapatkan kabar di Sagaraherang, bahwa yang menjadi
muhara di Pakuan adalah Bangsawan Soka. Sekarang ada
kenyataan lain, bahwa Ki Bagus Setalah yang menjadi
pejabat muhara, sedangkan Bangsawan Soka bertindak
sebagai mangkubumi. Ginggi tidak mengetahui, jabatan mana yang lebih tinggi
antara muhara dan mangkubumi, Bisa salah satu lebih
tinggi, tapi bisa juga sejajar. Tapi yang perlu digarisbawahi,
jabatan muhara dipegang Ki Bagus Seta bisa merupakan
misteri bila dikaitkan dengan Ki Banaspati.
Bagaimana tak begitu, baik Ki Bagus Seta mau pun Ki
Banaspati adalah murid-murid Ki Darma. Kedua orang itu
sama-sama dibebani tugas untuk menolong ambarahayat
Pajajaran dari tekanan Raja. Sekarang Ginggi sudah
mengetahui maksud tersembunyi Ki Banaspati. Kendati dia
bekerja sebagai aparat muhara, tapi sebagian kekayaan
negara dari hasil seba dia sisihkan untuk keperluan
pemberontakan. Lantas peranan Ki Bagus Seta sendiri,
bagaimana" Mungkinkah kedua murid Ki Darma yang
berhasil mencapai kedudukan penting di Pakuan ini
bersekutu dalam mencapai maksud-maksud tertentu"
Persekutuan ini mungkin amat rahasia. Siapa pun tak
mengetahuinya, termasuk Suji Angkara. Itulah sebabnya,
anak muda itu harus dilenyapkan seperti apa perintah Ki
Banaspati kepada Ginggi. Siapa pun adanya Suji Angkara
ini, akan benar-benar membahayakan bila dibiarkan
melaporkan penemuannya ke Pakuan. Hanya yang
menyebabkan Suji Angkara hingga hari ini masih selamat
nyawanya, barangkali karena hubungannya dengan Ki
Bagus Seta itulah. Seperti yang dikatakan Ki Ogel tadi, Suji
Angkara seperti punya hubungan erat dengan Ki Bagus
Seta. Ginggi tidak pernah melaksanakan perintah Ki
Banaspati untuk membunuh Suji Angkara. Dan bila tetap
anak muda itu dianggap membahayakan, seharusnya Ki
Banaspati sudah melenyapkan Suji Angkara di Pakuan.
Namun kenyataannya, anak muda itu masih segar-bugar.
Benarkah sudah tak membahayakan, atau bagaimana"
Biarlah, waktu yang akan menentukan kelak, pikir
Ginggi karena berbagai misteri yang ada di sekitarnya
masih banyak yang tak memberi jawab.
Dia tak bisa berpikir lebih panjang lagi, apalagi dia
sekarang tengah menyimak cerita Ki Ogel.
"Coba lanjutkan ceritamu, Paman ?" kata Ginggi lagi
tak sabar karena Ki Ogel pergi ke dapur untuk menjerang
air. Ki Ogel kembali duduk di hadapan Ginggi dan Ki Banen
yang tergolek lemah. "Ya, begitu seperti apa kata Ki Banen. Dia amat
bercuriga kepada Suji Angkara. Itulah sebabnya, ketika
anak muda itu kerap kali mendekati Nyimas Banyak Inten,
Ki Banen selalu menguntit. Sampai pada suatu saat ?"
"Sampai pada suatu saat bagaimana, Paman?" Ginggi tak
sabar. Ki Banen batuk-batuk lagi, muntahkan darah hitam lagi
walau hanya berupa bercak. Dan Ginggi terpaksa
membantu menyekanya dengan kain yang ada di
hadapannya. Ki Ogel sibuk pergi ke dapur. Kembali lagi
sudah membawa air hangat di panci kayu. Mulut Ki Banen
dibersihkan dengan air hangat, disekanya beberapa kali.
"Ki Banen bercerita padaku. Malam itu bulan
benderang," kata Ki Ogel sesudah merawat Ki Banen. "Ki
Banen terkejut ketika ia bertugas sebagai tugur benteng, ada
bayangan berkelebat memasuki puri di mana Nyimas
Banyak Inten berada. Ki Banen tak tahu, bayangan
siapakah itu. Tapi karena rasa curiganya telah melekat pada
Suji Angkara, Ki Banen langsung menduga bahwa yang
datang mengunjungi puri secara sembunyi-sembunyi tentu
berniat jahat. Menurut Ki Banen, bayangan itu pasti Suji
Angkara," kata Ki Ogel.
Ginggi menoleh kepada Ki Banen.
"Benarkah, Paman?" tanya Ginggi pada Ki Banen. Yang
ditanya hanya termenung. Kemudian dengan perlahan dia
menggelengkan kepala. "Aku hanya menduga saja. Kendati bulan benderang,
tapi bayangan itu meloncat-loncat dengan lincah. Mataku
tak sanggup mengikutinya dengan jelas," jawab Ki Banen.
Selanjutnya Ki Banen bercerita bahwa karena rasa
penasarannya, dia terus menguntit bayangan itu.
"Tapi akhirnya aku kehilangan jejak. Kucari ke mana-
mana, tapi bayangan misterius itu tidak kutemukan. Putus
asa karena tak kutemukan yang aku kuntit, akhirnya aku
kembali keluar benteng. Dan ketika itulah, di sudut benteng
aku dihadang seseorang ?"
"Siapa dia?" "Aku tak tahu. Gerakannya begitu cepat. Dia
menghambur padaku dan melancarkan serangan pukulan
dahsyat. Tubuhku terlontar beberapa tindak dan tak
sadarkan diri ?" kata Ki Banen memegangi dadanya.
"Tidak sempatkah kau lihat wajahnya walau hanya
sebentar" Bukankah waktu itu bulan benderang?" tanya
Ginggi penasaran.
Senja Jatuh Di Pajajaran Karya Aan Merdeka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Benar. Tapi bulan telah condong ke barat. Dia
menyerang membelakangi cahaya bulan. Jadi hanya
bayangannya saja yang aku lihat. Dan aku tak kenal, siapa
penyerang gelap ini," keluh Ki Banen. Tapi Ki Banen yakin,
orang itulah yang secara diam-diam memasuki puri. Sebab
setelah tahu dia dikuntit, dia mengurungkan rencananya.
"Hanya saja sebelum dia pergi, dia balas dendam sebab
kegagalannya melakukan sesuatu karena kuntitanku itu,"
kata Ki Banen. Batuk-batuk lagi. Dan Ginggi sudah siap
dengan kain lap. Namun batuk Ki Banen tak berlangsung lama dan tak
sampai muntahkan darah. "Luka dalammu amat parah, Paman. Celakanya, selama
ini nampaknya kau tak menggubris lukamu itu," kata
Ginggi. "Aku setiap hari berobat dengan telaten. Madi selalu
setia memberikan ramuan yang aku harus minum setiap
hari," jawab Ki Banen.
"Ah, aku tak melihat kau berobat. Kalau lukamu terus
diobati, pasti sembuh. Tapi darah hitammu itu hanya
menandakan ada luka lama yang tak pernah sembuh. Coba
aku lihat ramuan obatmu bila benar kau berobat setiap
hari," kata Ginggi. Ki Ogel dan Ki Banen saling pandang.
"Engkau harus percaya padaku. Bukankah ketika terjadi
pertempuran di hutan jati, aku banyak mengobati anak
buah Suji Angkara yang terluka sabetan golok perampok?"
tanya Ginggi sekaligus mengingatkan kedua orang itu
bahwa dirinya "akhli" pengobatan.
"Ya, betul! Kau bisa mengobati orang sakit!" Ki Ogel
menepuk dahinya. Sesudah itu dia segera berjingkat
memburu sudut ruangan. Di sana ada meja kecil. Dan di
atas meja ada bungkusan kain. Bungkusan itu dibawa ke
hadapan Ginggi. "Ini obat pemberian Madi," kata Ki Ogel memberikan
bungkusan obat yang sudah dibukanya sendiri. Ginggi coba
meneliti ramuan itu. Hanya berupa serpihan-serpihan kayu
yang sudah dikeringkan. "Ramuan ini digodok dan airnya diminum setiap pagi
dan sore," kata Ki Ogel.
Ginggi seperti tak mendengar omongan orang tua ini
karena matanya tengah meneliti jenis ramuan itu.
"Ini ramuan yang dibuat dari irisan batang kayu petai
cina dan batang kayu pohon gedi," kata Ginggi memegang-
megang serpihan kayu tersebut.
"Bagaimana, cocokkah ramuan ini?" tanya Ki Ogel.
"Batang pohon petai cina gunanya untuk mengeringkan
luka dan kayu gedi merupakan obat untuk melancarkan
jalannya darah," kata Ginggi.
"Ya, cocokkah ramuan itu untuk mengobati luka Ki
Banen?" Ginggi masih tak mengeluarkan jawaban pasti. Alisnya
berkerut dan matanya menyipit tanda dia tengah berpikir
keras. "Daun dan batang pohon petai cina gunanya untuk
merapatkan luka karena luka sabetan benda tajam. Aku
biasanya hanya menggunakan ramuan ini untuk obat luar
saja. Entahlah, bagaimana kemungkinannya bila digunakan
obat luka dalam, sebab luka dalam bukan karena ada otot
yang sobek dan mengeluarkan darah misalnya," Ginggi
terus menyipitkan mata saking kerasnya berpikir.
"Oh,ya, " Jangan diminum ramuan ini!" ucapnya
kemudian. Baik Ki Ogel mau pun Ki Banen melirik tajam
pada Ginggi. "Petai cina bila digunakan menutup luka luar akan
bekerja cepat mengeringkan darah. Sedangkan bila
digunakan terhadap luka dalam dan masuk ke dalam aliran
darah, hanya akan membuat darah menggumpal dan
membeku. Bila pengobatan ini terus berlangsung, maka
aliran darah akan tersumbat oleh darah-darah beku," kata
Ginggi yakin. "Dan batang pohon gedi sebagai obat pelancar aliran
darah, bagaimana?" tanya Ki Ogel.
"Ya, ramuan itu pun sama jangan diminum. Kau
bayangkanlah Paman, sesuatu yang sedang tersumbat, kau
dorong-dorong dengan cara paksa, bagaimana akibatnya?"
tanya Ginggi. "Saluran darah akan rusak, mungkin bocor, mungkin
pecah!" kata Ki Ogel.
"Nah, benar begitu!" seru Ginggi.
"Berbahaya sekali! Bila begitu si Madi akan membunuh
Ki Banen. Kurang ajar. Aku harus menuntut bocah dungu
itu!" teriak Ki Ogel.
"Jangan terburu nafsu. Barangkali Madi tak menyadari
kegunaan obat itu. Sebaiknya kita teliti saja, darimana dia
dapatkan ramuan itu," kata Ginggi. "Aku kira Madi tak
berniat jahat. Lagi pula ramuan itu memang obat dan bukan
racun. Hanya saja tak tepat bila digunakan mengobati luka
dalam," ungkap Ginggi lagi.
Setelah mengeluarkan pendapatnya, Ginggi berjanji akan
mencarikan obat yang tepat bagi kesembuhan Ki Banen.
"Sekarang aku ingin tanya, mengapa sembilan bulan lalu
kalian meninggalkanku secara tiba-tiba di Sagaraherang.
Sepertinya kalian pergi dari tempat itu secara tergesa-gesa
sekali," kata Ginggi menyelidik.
"Itulah bagian dari keganjilan-keganjilan Suji Angkara,
anak muda. Dia selalu bertidak aneh. Suka melakukan
sesuatu secara diam-diam," kata Ki Ogel. "Tengah malam
kami berempat dibangunkan dan diajaknya melanjutkan
perjalanan ke Pakuan. Ketika aku tanya, mengapa mesti
buru-buru seperti itu, dia malah membentak. Aku tak tahu,
apa sebenarnya yang terjadi. Padahal di Sagaraherang
engkau pun tahu, kita dilayani dengan baik. Mungkin dia
curigai Ki Banaspati karena perampok di hutan jati
menyebutnya seolah-olah Ki Banaspati pimpinan mereka.
Tapi, bukankah Ki Banaspati sudah bilang bahwa itu hanya
fitnah belaka?" kata Ki Ogel menceritakan kembali
peristiwa mengapa mereka berangakat secara tiba-tiba dari
Sagaraherang. Hanya Ginggi yang tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Namun tadi Ginggi sengaja bertanya karena hanya akan
mengecek saja, apakah para pengikut Suji Angkara tahu
persis peristiwa di Sagaraherang"
"Kalau begitu kalian tak sayang padaku, sehingga
meninggalkanku begitu saja ?" gumam Ginggi pura-pura
menyesal dengan peristiwa itu.
"Ki Banen sudah bilang, dia akan cari kau dulu untuk
diajak serta. Tapi Seta menolaknya, sebab sebelumnya pun
kau tak ikut rombongan kami. Apalagi Suji Angkara
nampaknya begitu amat tergesa-gesa ingin segera
meninggalkan tempat itu secara diam-diam," kata Ki Ogel.
"Tapi sudah aku katakan tadi, sebaiknya kau jangan
bergabung dengan Suji Angkara," kata Ki Banen menimpali
sambil tetap tergolek lemah.
"Selama ini hidupku terkatung-katung, ingin sekali kerja.
Suji Angkara pernah menawariku kerja," gumam Ginggi.
"Carilah kerja di mana saja tapi jangan pada Suji
Angkara," Ki Banen balik bergumam.
"Betul, anak muda. Kau ini sok usil mudah mengeritik
orang. Bila kau terang-terangan mengeritik tindak-tanduk
Suji Angkara, bisa membahayakan dirimu. Di Pakuan ini
nampaknya dia punya pengaruh, entah karena apa. Namun
yang jelas, banyak orang yang segan padanya, terutama di
kalangan istana ?" kata Ki Ogel sambil mendongakkan
kepala ke langit-langit seolah-olah tengah menerka-nerka
apa kedudukan Suji Angkara di Pakuan ini.
Ginggi pun sebenarnya berpikiran sama. Suji Angkara ini
amat misterius sampai-sampai menimbulkan perhatian
khusus bagi Ki Banaspati ketika di Sagaraherang. Padahal
yang Ginggi tahu, sebelumnya Ki Banaspati menganggap
pemuda itu sebagai bawahannya dalam menghimpun seba
di wilayah timur. Untuk berusaha membuka tabir-tabir ini,
tak ada cara lain selain langsung memasuki istana. Ginggi
harus membuka banyak tabir. Bagaimana pandangan
kalangan istana terhadap kegiatan Ki Banaspati, termasuk
pula pandangan Ki Bagus Seta. Ginggi juga harus
menyelidik, apa kegiatan sebenarnya dari Ki bagus Seta.
Apakah dia bertindak murni sebagai pejabat Pakuan,
ataukah memiliki tujuan khusus seperti Ki Banaspati. Dan
bila mengingat akan hal ini, pemuda itu jadi termenung.
Kalau ternyata Ki Banaspati dan Ki Bagus Seta bersekutu
untuk menjatuhkan Raja, apa yang harus dilakukan Ginggi"
Berpangku tangan, mencoba menggagalkannya, ataukah
sama sekali bergabung ikut membantu"
Berkerut dahi pemuda itu. Bila ikut bantu, artinya
artinya terjun dalam upaya pemberontakan. Ki Rangga
Guna pernah bilang, memberontak terhadap pemerintahan
yang syah adalah tindakan hina dan jahat sebab akan
mengakibatkan suasana negara semakin kacau. Rakyat pun
akan menderita sebab di antara mereka akan terjadi pro dan
kontra. Pemberontakan yang bertujuan akan mengganti
tatanan negara, menurut Ki Rangga Guna hanya akan
mengembalikan negara ke titik nol lagi.
"Seorang pemimpin yang bertahta karena menggantikan
raja lama dengan kekerasan biasanya tidak senang bila
dalam melanjutkan kepemimpinannya mengikuti tata-cara
raja yang dijatuhkannya. Dengan demikian dia jelas akan
mengubah gaya kepemimpinannya. Dia akan mengganti
seluruh aparatnya, mungkin dengan yang lebih bagus lagi,
tapi mungkin hanya sebagai jatah bagi hasil atas jasa-jasa
orang yang membantunya melakukan pemberontakan dan
bukan dihitung atas dasar mampu atau tidaknya menjadi
aparat. Yang jelas, mengganti tatanan negara beserta
aparatnya, hanya akan mengembalikan cita-cita kemajuan
negara ke tingkat awal. Rakyat yang akan jadi korban sebab
mereka tak ada habis-habisnya disuruh berjuang dari awal
lagi," kata Ki Rangga Guna ketika itu.
Selama tiga bulan Ki Rangga Guna bersamanya,
memang banyak memberikan berbagai pengetahuan,
termasuk pengetahuan akan kejadian masa lalu. Menurut
Ki Rangga Guna, selama hampir 900 tahun ini Kerajaan
Sunda berdiri, dan berubah menjadi Pajajaran 68 tahun
silam (1482 Masehi), sudah dipimpin oleh 38 raja.
Pergantian dari raja ke raja lainnya dilakukan secara damai
dan penurunan tahta secara kekerasan bukanlah tradisi
orang Sunda. Kata Ki Rangga Guna, dari 38 raja yang memegang
tahta Kerajaan Sunda, hanya tiga raja yang tergantikan
kedudukannya karena pemberontakan, yaitu Sang Prabu
Rakean Tamperan Barmawijaya (723-739 Masehi), dua raja
lagi yang hidup sebelum Sang Prabu Rakeyan Tamperan
Barmawijaya, yaitu terhadap Sang Sena (716 Masehi) dan
kepada Prabu Purbasora (723 Masehi) ayahandanya Sang
Prabu Rakeyan Tamperan Barmawijaya.
"Peristiwa pemberontakan dan perebutan kekuasaan ini
terjadi karena saling balas-membalas keluarga masing-
masing," kata Ki Rangga Guna. "Jadi terbukti, pergantian
kekuasaan dengan jalan kekerasan dan rebutan, hanya akan
melahirkan kekerasan lainnya lagi. Itulah sebabnya, para
penerus raja-raja Sunda menghindari berbagai pertikaian di
dalam negri. Hanya dua raja yang tergantikan karena
pembunuhan. Sang Prabu Arya Kedaton, raja Sunda ke 9
terbunuh oleh menterinya sendiri karena tak senang atas
asal-usul Sang Raja. Tetapi Raja Sunda ke 31 terbunuh
karena sesuatu hal yang terhormat. Beliau adalah Prabu
Wangi atau Sang Prabu Maharaja Linggabuana yang tewas
dalam pertempuran membela kehormatan dan harga diri di
Bubat, negri timur. Pergantian kekuasaan lainnya yang
dialami raja-raja Sunda terjadi secara wajar-wajar saja tanpa
ada kemelut yang berarti. Hal-hal seperti ini setidaknya
akan membantu kerukunan di dalam negri sendiri," tutur Ki
Rangga Guna yang pada prinsipnya tak menghendaki
adanya pemberontakan yang bertujuan merebut kekuasaan
negara. Siapa yang harus Ginggi ikuti pendapatnya, dia masih
bimbang memikirkannya. Namun bila dia hanya berpangku
tangan saja, dia akan malu terhadap Ki Darma, sebab
hanya menandakan bahwa hidupnya tiada guna. Apa pun
yang dilakukan Ki Banaspati, sebenarnya adalah upaya
melawan kebijaksanaan raja yang dalam hal ini
dianggapnya sebagai amanat guru. Namun jalan pikiran Ki
Rangga Guna yang menolak pemberontakan pun pada
hematnya suatu upaya dalam menjalankan amanat guru
juga. Ki Darma acapkali berkata, agar semua muridnya
berjuang mengembalikan kejayaan bumi Pajajaran. Hanya
bedanya, Ki Banaspati menafsirkan ucapan guru dengan
jalan memberontak dan Ki Rangga Guna menafsirkan
dengan jalan berupaya bekerja agar Pajajaran aman dan
tentram. Semua sepertinya berjalan di atas kebenaran.
Tetapi tetap saja amat membingungkan pikiran Ginggi.
Sampai percakapan dengan kedua orang itu selesai, jalan
pikiran pemuda itu masih digayuti kebimbangan-
kebimbangan. "Aku akan jalan-jalan melihat kota, Paman ?" akhirnya.
"Silakan kau berkeliling kota. Tapi hati-hati jangan
membuat keributan. Bila sudah malam, kau pulanglah ke
sini," kata Ki Ogel.
Ginggi mengangguk sebagai tanda terima kasih atas
penerimaan kedua orang tua itu untuk tinggal di sana. Dan
sesudah mohon diri, pemuda itu segera berlalu
meninggalkan rumah kayu tua di tepi Sungai Cipakancilan
ini. Hari sudah amat siang. Di alun-alun benteng luar pun,
keramaian sudah usai. Kecuali balandongan belum
dibongkar seluruhnya. Ada satu dua petugas membereskan
sisa-sisa keramaian. Mereka bekerja dengan telaten kendati
sinar matahari sudah semakin menyengat.
Mungkin acara uji-terampil yang tadi diselenggarakan
sudah menghasilkan beberapa prajurit pilihan untuk kelak
dididik dan digodok agar menjadi perwira tangguh.
Mungkin juga sudah banyak ambarahayat yang terpilih
Senja Jatuh Di Pajajaran Karya Aan Merdeka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sebagai calon prajurit Pajajaran. Namun yang jelas, Ginggi
kurang begitu berminat untuk menyimak urusan yang satu
itu. Di saat sengatan matahari siang, dia malah berkeliling
Pakuan untuk mengenal suasana ibukota ini lebih rinci lagi.
Sekarang Ginggi bisa memperhatikan wilayah ini lebih
seksama lagi. Seperti apa yang diterangkan seorang penduduk, Pakuan
terdiri dari dua bagian, pertama wilayah jawi khita (kota
luar) dan dalem khita (kota dalam). Batas-batas wilayah itu
memang dibatasi oleh khita (benteng), ada benteng luar dan
ada benteng dalam. Kaum santana, pedagang dan
ambarahayat tinggal di benteng luar, sedangkan para
bangsawan, pejabat dan kerabat raja tinggal di benteng
dalam. Ketika Ginggi masuk kedayo (kota) dari arah timur,
Ginggi mesti menyebrang sungai bernama Cihaliwung
(Ciliwung). Kata penduduk, sebenarnya dayo diapit dua
sungai besar. Di sebelah timur oleh Sungai Cihaliwung dan
di sebelah barat oleh Sungai Cisadane. Dua aliran sungai ini
biasa dilayari sampai ke muara. Cisadane berakhir di muara
Tangerang dan Cihaliwung berakhir di Kalapa (Sunda
Kalapa). Dulu ketika zamannya Sri Baduga Maharaja,
kedua sungai ini merupakan pelabuhan laut yang
menghubungkan perdagangan antara Pakuan dan negri-
negri sebrang. Barang-barang kiriman dari negri sabrang
bisa dibawa langsung sampai ke pedalaman Pakuan ini.
Setiap hari lalu-lintas sungai selalu ramai. Perahu dari
muara datang membawa kain halus, barang-barang keramik
dari Cina atau berbagai keperluan hidup yang belum dibuat
di Pakuan. Sebaliknya dari pedalaman, perahu beriringan
membawa hasil bumi Pakuan untuk dikirimkan ke berbagai
negri sebrang. Kapas dan buah asem, bawang merah
bahkan anggur, akan dibawa perahu-perahu kecil menuju
muara di mana di sana terdapat pelabuhan laut. Barang-
barang Pakuan kelak akan dipindahkan kejung (kapal
besar). Dalam satu tahun, hampir seribu jung meninggalkan
Pelabuhan Kalapa (Kalapa Sunda) sambil membawa buah
asem saja. Sekarang zamannya Prabu Ratu Sakti Sang Mangabatan,
kedua sungai ini masih tetap dilayari tapi hanya sebatas
wilayah Pakuan saja. Perahu-perahu kecil milik orang
Pakuan sudah tak berani melanjutkan perjalanan ke utara
sampai muara, sebab wilayah tersebut sudah jadi milik
kekuasaan Cirebon. Begitu pun perdagangan antar negri,
semua sudah jadi milik Cirebon. Kalau pun ada barang-
barang dari negri sabrang masuk ke wilayah Pakuan, itu
terjadi karena kenekatan para penyelundup saja.
(O-anikz-O) Pesta Ikan di Sipatahunan
Masukke tengah dayo juga ada sungai. Penduduk
menyebutnya sebagai Sungai Cipakancilan atau Cipeucang.
Sungai ini ada di antara batas dalem khita dan alun-alun.
Atau dengan kata lain, sungai ini seolah-olah melindungi
benteng dalam. Menurut orang tua yang ditanyai Ginggi,
Cipakancilan atau Cipeucang ini sebetulnya sungai yang
sengaja dibangun untuk pertahanan istana. Sebelum masuk
kelawang saketeng (gerbang keraton), sebelumnya mesti
melintasi Sungai Cipakancilan dulu.
Cukup kokoh sebagai pertahanan. Apalagi bila dilihat
dari arah selatan, sisi-sisi Cipakancilan berupa tebing terjal
di tepian benteng dalam. Pusat istana nampak nyata sebagai
daerah dataran tinggi. Ketika Ginggi menyusuri jawi khita (benteng dalam)
menuju arah timur, sayup-sayup Ginggi mendengar hingar-
bingar, seperti banyak orng bersorak-sorai. Suara hingar-
bingar itu sepertinya datang dari arah tepian Sungai
Ciliwung. "Paman, ada kejadian apakah di sudut benteng timur?"
tanya Ginggi kepada seseorang yang tengah memikul
bawaan dan nampaknya datang dari arah timur.
"Engkau tidak ikut ramai-ramai ke sana, anak muda?"
orang itu malah balik bertanya sambil terus melangkah
cepat karena pikulannya itu.
"Ada apa di sana, Paman?"
"Orang-orang sedang marak dileuwi Kamala Wijaya!"
ucap orang itu sambil tetap melangkah tergesa-gesa.
Ginggi melangkah menuju arah yang ditunjukkan orang
itu. Sepemakan sirih jauhnya, baru dia sampai ke tempat
yang dimaksud. Suara sorak-sorai gegap-gempita memang
datang dari tempat itu, yaitu Sungai Cihaliwung.
Ratusan orang tua-muda, besar-kecil, laki-laki dan
wanita, berderet dan berkelompok di tepi sungai. Mereka
tengah menunggu sesuatu sambil berbekal alat-alat
penangkap ikan. Mereka ada yang berbekal jaring,ayakan,
atau ember kayu. Semua orang tengah menyaksikan dan
menunggu teman-temannya yang berada di tengah sungai.
Sungai Cihaliwung sedang dibendung, sehingga hanya
sebagian kecil saja air mengalir dari sela-sela bendungan.
Jadi yang disebut marak oleh orang yang ditanya tadi
adalah pekerjaan menangkap ikan dengan cara
membendung bagian sungai agar ke daerah hilir,
permukaan sungai menjadi turun hingga ke dasar. Jauh di
hilir, ada lagi bendungan agar ikan di daerah aliran yang
tengah dibendung tidak lari ke hilir.
Bagian yang dibendung merupakan aliran sungai paling
dalam. Jadi, Leuwi Kamala Wijaya adalah lubuk yang ada
di aliran Sungai Cihaliwung.
Ketika Ginggi bertanya lagi kepada yang kebetulan
menyaksikan acara ini, orang itu menjelaskan bahwa ini
bagian dari acara menyambut panen tahunan di Pakuan.
Kata orang itu, setiap tahun di Pakuan diadakan acara
menyambut panen. Hampir 49 hari lamanya dan ada
macam-macam acara. Acara tahunan ini di antaranya
dihadiri juga oleh para penguasa dari wilayah-wilayah
seputar Pakuan, yang kebetulan membawa seba tahunan.
Berbagai upacara keagamaan dilangsungkan dalam pesta
panen itu, di antaranya upacara kuwerabakti,
Menurut penjelasan yang didapat Ginggi, Kuwera
adalah semacam dewa kemakmuran, suami Dewi Sri, ratu
padi-padian. Kuwerabakti adalah upacara penghormatan
dan sebagai tanda terima kasih manusia terhadap dewa
pelindung pangan sehingga pengisi jagat ini mengalami
kemakmuran. "Sebelum diadakan acara kuwerabakti, raja dan seluruh
keluarga akan mandi suci di Telaga Rena Maha Wijaya.
Kemudian menuju bukit punden di Sasakala Gugunungan
untuk melaksanakan upacara nyekar (ziarah) di makam
tempat moksa atau ngahiyang (menghilang) Sang Prabu Sri
Baduga Maharaja, di puncak bukit punden iti," kata orang
yang ditanya Ginggi. Selanjutnya orang itu menerangkan kembali upacara
marak atau munday di Sungai Cihaliwung ini. Marak
dileuwi Kamala Wijaya ini diadakan setahun sekali. Yang
melaksanakannya semua rakyat Pakuan yang berkenaan
dengan kewajiban calagara (pajak tenaga kolektif) yang
diabdikan kepada negara. Penduduk beramai-ramai
menangkap ikan dileuwi Kamala Wijaya, yang sebagian
orang menyebutnya sebagai Leuwi Sipatahunan.
"Ini bukan leuwi sembarang leuwi, sebab leuwi
Sipatahunan adalah lubuk untuk pertahanan keraton.
Sipatahunan itu pataheunan, pertahanan ?" kata orang itu.
Ginggi meneliti lubuk ini dari tepiannya. Bisa juga bila
daerah aliran sungai dalam ini digunakan sebagai
pertahanan. Letaknya ada di sebelah timur benteng luar.
Tidak sembarangan bisa menyebrangi leuwi. Bila ada
musuh menyebranginya, maka tanggul di sebelah selatan
akan dibobol dan mengakibatkan kesulitan bagi para
penyerangnya ( baca episode Kunanti di Gerbang Pakuan ).
Ginggi berpikir, demikian cerdiknya Sang Prabu Sri
Baduga Maharaja membangun pertahanan. Keraton seolah-
olah diapit dua jurang terjal dari dua aliran sungai. Hanya
ada satu celah di sebelah selatan. Tapi itu pun dihadang
benteng dan parit buatan yang airnya dialirkan dari Sungai
Cipakancilan, Orang-orang kembali bersorak-sorai sambil tangannya
menunjuk ke bawah. Ginggi juga ikut melihat. Ternyata
lubuk sudah berkurang airnya dan sudah banyak orang
mulai terjun ke bawah. Orang berteriak-teriak sambil
menunjuk kesana-ke mari karena di permukaan lubuk
sudah terlihat air bergoyang dan bergelombang karena
gerakan sirip-sirip ikan. Semakin air berkurang semakin
nyata terlihat gerakan ikan-ikan itu. Dan kembali orang-
orang bersorak-sorai tanda gembira bahwa hasil ikan akan
didapat. Sekarang orang yang terjun ke permukaan lubuk semakin
banyak. Jala panjang segera ditebar membentuk lingkaran
besar. Dibawa dan dipegang oleh puluhan bahkan ratusan
orang banyaknya. Namun lingkaran besar itu semakin lama
akan semakin mengecil dan menyempit serta ruang gerak
ikan-ikan yang ada di tengah kepungan pun akan semakin
terbatas ruang geraknya. Karena tempat berenang mereka
kian terbatas, maka ikan-ikan itu semakin berdempet dan
berdesak, hilir-mudik di ruangan sempit.
Sekarang dari atas tebing diturun kan anco, yaitu jaring
segi empat yang bisa diturun-naikkan dengan keempat
ujungnya diikat pada ujung bambu. Anco turun hingga ke
dasar lubuk yang kedalamannya tinggal satu atau satu
setengah depa lagi. Dibiarkan beberapa lama. Sesudah
cukup waktu ditunggu, maka anco segera diangkat. Dan
hasilnya, membuat semua orang menganga karena terpana.
Jaring anco penuh digayuti ikan besar-besar. Tubuh ikan-
ikan itu menggelepar dan meloncat-loncat, satu dua ekor
bahkan kembali ke dasar lubuk membuat orang berteriak
karena sesal. Anco ditarik ke tepi dan puluhan orang berebutan
manangkap puluhan ikan besar-besar yang menggelepar
dan meloncat-loncat, dengan bersorak gembira semua orang
berlomba menangkap dan memasukkannya ke dalam
buleng atau ke dalam ember kayu. Bukan untuk dibawa
pulang, melainkan untuk disetor kepada wadha, petugas
yang bertanggung jawab atas kelancaran calagara (pajak
tenaga). Suara sorak-sorai semakin riuh-rendah ketika air semakin
turun dan ketika kepungan jaring semakin rapat. Ratusan
mungkin ribuan ikan sudah benar-benar terkepung dan
mereka bingung kemana harus sembunyi. Akhirnya
kelompok ikan itu hanya melompat-lompat tak tentu arah.
Sampai pada suatu saat ikan-ikan itu hanya menggelepar-
gelepar di kubangan lumpur. Orang tinggal memungutinya
saja dan dimasukkan ke dalam buleng,
Di saat orang ramai memunguti ikan itulah, Ginggi
melihat satu rombongan mengunjungi tepi lubuk. Mereka
terdiri dari sekelompok muda belia. Yang perempuan elok-
elok wajahnya dan yang laki-laki tampan-tampan. Melihat
dandanan mereka yang bagus-bagus mudah diduga, mereka
rombongan anak-anak bangsawan. Namun yang membuat
Ginggi terkejut, di antara rombongan bangsawan itu
terdapat juga Suji Angkara dan Seta. Suji Angkara
melangkah tenang dan anggun menyertai seorang gadis
yang amat cantik rupawan. Tubuhnya semampai, kulitnya
putih bersih, sepasang pipinya halus kemerahan dan seperti
ranum. Bibirnya tipis mengulum senyum, sehingga di pipi
kanannya terbentuk lesung pipit. Yang membuat Ginggi
bergetar, ketika melihat sorot mata gadis itu yang demikian
tajam dan jernih. Ketika tak sengaja mata gadis itu
berpapasan dengan sorotnya, pemuda itu lantas tertunduk
karena tak kuat beradu pandang dengan sorot mata yang
bagaikan bintang kejora itu. Padahal mata gadis itu tak
sengaja memandangnya. Yang malah memandang
terhadapnya dengan penuh perhatian adalah Suji Angkara.
Pemuda itu nampak heran sekali melihat Ginggi ada di situ.
"Hei Duruwiksa, engkau di sini juga?" Suji Angkara
berteriak tapi dengan suara ditahan. Ginggi tersenyum
mengangguk. Dan manakala Suji Angkara memanggilnya
dengan lambaian tangan, Ginggi datang mendekat.
"Engkau berada di disini Duruwiksa ?" tanya Suji
Angkara tersenyum dan sesekali melirik pada gadis di
sampingnya. "Saya mencari-cari Raden sejak dari Sagaraherang," kata
Ginggi, sopan dan hormat, "Mengapa sepertinya semua
meninggalkan saya di sana, padahal Raden sudah janji akan
mengambil saya sebagai pekerja?" lanjutnya. Yang ditegur
hanya tersenyum-simpul saja, seolah-olah pertanyaan ini
tidak mengandung arti apa-apa baginya.
"Aku hanya ingin melihat kesetiaanmu saja. Tapi, ya,
engkau orang yang ulet juga ?" kata Suji Angkara.
"Jadi, diterimakah saya bekerja bersamamu, Raden?"
tanya Ginggi penuh harap, namun matanya selintas
menyambar ke arah wajah anggun di samping pemuda itu.
"Aku tak tahu apa kepandaianmu. Tapi melihat
kesetiaanmu padaku, aku terima kau kerja bersamaku," kata
Suji Angkara sambil melirik juga pada gadis di sampingnya.
"Engkau baik sekali, Raden?" Ginggi mengangguk-
angguk sepertinya penuh rasa terimakasih.
"Sudah selayaknya seorang bangsawan sayang dan
penuh perhatian kepada orang kebanyakan," gumam Suji
Angkara dengan nada suara dihalus-haluskan. Namun bagi
Ginggi nada bicara itu hanya berupa kesombongan belaka.
"Tapi pakaianmu bagus sekali. Tak layak kau
pergunakan, apalagi kau kelak hanya akan bertugas sebagai
pekerja kasar belaka," kata Suji Angkara menilik jenis
pakaian yang dikenakan Ginggi.
"Saya tak sengaja mendapatkannya. Pakaian ini hanya
sekadar barang pemberian dari bekas majikan saya di
perjalanan," tutur Ginggi tak kepalang merendah-rendah.
Suji Angkara nampak mengangguk-angguk.
"Ya, sudahlah ?" gumam Suji Angkara sambil
mengalihkan perhatian melihat orang berebutan mengambil
ikan di permukaan lubuk yang telah kering airnya.
Senja Jatuh Di Pajajaran Karya Aan Merdeka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Siapakah pemuda ini, Raden?" tanya gadis yang berdiri
di sampingnya sambil menyibakkan rambutnya yang tertiup
angin dan menutupi keningnya. Duhai cantiknya! Betapa
indah rambut hitam itu berkibar tertiup angin. Betapa indah
jari tangan-tangan halus itu menyibakkan sang rambut.
Ginggi menunduk ketika tatapannya terpergok oleh sorot
mata gadis semampai itu. "Ah, hanya pemuda bodoh saja, Adinda Inten," ujar Suji
Angkara. "Tapi dia orang jujur dan baik. Kelak dia akan
sering kusuruh untuk mengunjungimu, namanya
Duruwiksa," Suji Angkara tersenyum ketika gadis itu
terkekeh sambil menutupi mulutnya yang merekah.
Hanya Ginggi saja yang terkejut mendengar Suji
Angkara mendengar nama gadis itu. Dinda Inten, tidakkah
maksudnya Nyimas Banyak Inten" Ginggi terkejut dan
bingung, terutama bila ingat cerita Ki Ogel dan Ki Banen.
Bukankah kedua orang tua itu bercuriga kepada
tindak-tanduk Suji Angkara terhadap gadis itu" Tapi,
nampaknya hubungan kedua orang muda itu demikian
baiknya. Mereka sudah sangat akrab dan bersahabat,
mengapa Ki Banen mencurigai Suji Angkara berindap-
indap menyelundup ke puri gadis itu"
"Betulkah namamu Duruwiksa " Mengapa wajah tampan
sepertimu kau namakan Duruwiksa ?" gadis itu masih
terkekeh lembut sambil punggung tangan kanannya
digunakan untuk menutupi rekahan mulutnya.
"Nama sesungguhnya Ginggi. Tapi dia yang mengatakan
bahwa Ginggi artinya Duruwiksa, iblis jahat yang kerjanya
menggoda manusia," Suji Angkara menerangkan. "Ayo
perkenalkan dirimu pada Nyimas Banyak Inten putri
terkasih Pangeran Yogascitra," kata lagi pemuda itu. Ginggi
menunduk dan menyembah. Gadis itu hanya mengangguk
namun dengan senyum manis di bibir tipisnya.
"Nah, yang ada di samping Dinda Inten adalah Banyak
Angga, kakak Nyimas. Sedangkan gadis cantik yang ada di
samping pemuda tampan itu adalah adikku, Layang
Kingkin. Mereka berdua merupakan sahabat-sahabat baik
yang tak pernah lepas barang sekejap," kata Suji Angkara
menunjuk kepada sepasang muda-mudi yang usianya
barangkali belum genap 20 tahun ini.
Ginggi menyembah beberapa kali sambil sudut matanya
memperhatikan sepasang muda-mudi ini. Mereka benar-
benar seperti dewa dan dewi dari kahyangan. Ginggi
memuji keelokan wajah anak-anak bangsawan ini yang
nampaknya ramah dan mudah akrab dengan siapa saja.
"Dan yang berdiri di antara mereka adalah Seta,
termasuk pembantu setiaku," kata Suji Angkara menunjuk
kepada Seta. "Saya sudah kenal Seta!" kata Ginggi tersenyum ke arah
pemuda yang mulutnya suka mengejek ini.
"Huh!" dengus Seta tak acuh.
"Ya, saya sudah kenal. Bukankah Seta adalah pemuda
gagah yang merobohkan tiga perampok sekaligus di hutan
jati tempo hari?" kata Ginggi mengingatkan
"kepahlawanan" pemuda angkuh itu. Padahal yang
terbayang di mata Ginggi adalah kejadian di tepi pancuran
Desa Cae, di mana Seta dan Madi yang mengeroyoknya
dipermainkan secara diam-diam, sehingga pemuda-pemuda
itu benjut-benjut kepalanya karena saling gebuk sendiri.
Seta terkecoh dengan pujian palsu ini. Buktinya, dia
sedikit membusungkan dada sekali pun mulutnya masih
ditarik ketat untuk memberikan kesan angkuh.
"Anak buahku lihai-lihai. Jadi bila kau sudah bersamaku,
kau harus hati-hati," kata Suji Angkara. Ginggi
mengangguk setuju dengan persyaratan ini.
"Bagus sekarang kau bahagiakan sahabat-sahabatku. Kau
tangkaplah ikan terbaik di lubuk. Hari ini kami ingin pesta
makan ikan di Pulo Parakan Baranangsiang," kata Suji
Angkara pelan namun bernada perintah tegas.
Sialan, dengus Ginggi dalam hatinya. Namun suka atau
tak suka, karena telanjur sudah "ikrar" ingin "mengabdi"
pada pemuda itu, dia terpaksa membuka baju dan
menyingsingkan celana sontognya. Dan brus, brus, dia
turun ke lubuk. Orang-orang tercengang-cengang melihat
pemuda berpakaian santana ikut terjun menangkap ikan.
Menurut penonton, ini tak lazim, sebab yang biasa
mengerjakan langsung pajak calagara hanyalah golongan
kebanyakan saja. Ginggi tak tahu apa yang dipikirkan mereka. Hanya yang
jelas, pemuda ini menjadi bergembira juga bisa ikut ramai-
ramai menangkap ikan. Baginya sebenarnya tak mengalami
banyak kesulitan untuk menangkap ikan berapa banyak
pun, apalagi di kubangan yang airnya sudah begitu surut.
Bila dilakukan benar-benar, dalam sekejap puluhan ikan
besar bisa dia lemparkan ke darat. Hanya tentu saja Ginggi
tak berani pamer kepandaian, kalau tak ingin dicurigai
orang. Itulah sebabnya, dalam menangkap ikan dia
perlihatkan "kebegoan" dan pura-pura lugu, sehingga
membuat tawa renyah bagi yang menyaksikannya. Ginggi
gembira berpura-pura dungu seperti itu, sebab dari bawah
lubuk dia saksikan Nyimas Banyak Inten terpingkal-pingkal
merasa lucu melihat Ginggi jatuh bangun menangkap ikan.
Nyimas Banyak Inten sampai keluar airmata saking gelinya
melihat wajah Ginggi yang tak keruan karena simbahan air
lumpur. Dengan "susah-payah" akhirnya Ginggi berhasil
menangkap beberapa ekor ikan tagih dan hampal yang
besar-besar. Orang-orang pun bersorak riang ketika tiba-tiba
tangan Ginggi menangkap seekor ikan balidra, Sebetulnya
ini ikan jenis ganas, sebab sirip-siripnya lebar dan tajam
menyerupai sirip ikan gurame. Tenaga ikan balidra
sesungguhnya sungguh amat besar, apalagi didukung
bentuk tubuhnya yang bulat besar. Bila tak hati-hati
menangkapnya, sekali sentak ikan belidra sanggup
menampar dada orang yang berani menangkapnya dengan
sirip-siripnya sehingga akan menimbulkan luka sayatan
gergaji. Namun ikan balidra yang dipegang ekornya oleh
Ginggi hanya bergerak-gerak lemah saja. Semula penonton
menganggap Ginggi benar-benar akhli menangkap ikan
besar. Tapi belakangan mereka tertawa terkekeh-kekeh
setelah tahu ikan belidra bertubuh besar dan gagah itu
sudah lemas karena terlalu lama di kubangan lumpur.
Begitu perkiraan orang-orang yang menyaksikan. Padahal
yang sebenar-benarnya terjadi, secara diam-diam Ginggi
memencet bagian tubuh ikan besar itu agar gerakannya
menjadi lemah. Ginggi disuruh naik oleh Suji Angkara sesudah merasa
bahwa hasil tangkapan itu dianggap cukup.
"Ambillah buleng, lalu pikullah ke sana!" Suji Angkara
menunjuk ke arah hilir. Suji memberikan perintah agar Ginggi memikul buleng
menuju utara, di mana Pulo Parakan Baranangsiang
terdapat. Yang dimaksud Pulo Parakan Baranangsiang adalah
sebuah gugusan tanah terletak di tengah-tengah Sungai
Cihaliwung. Letaknya tak begitu jauh tapi juga tak begitu
dekat dari leuwi Kamala Wijaya. Sepemakan sirih lamanya
Ginggi memikul buleng yang berisi ikan tangkapannya itu.
Keempat muda-mudi yang ditemani Seta ternyata sudah
ada di tengah Pulo. Mereka rupanya menyebrang dengan
memakai perahu hias. Mereka sudah duduk-duduk di
bangku-bangku yang terletak di sebuah bangunan kayu
beratap ijuk. Bangunan kayu itu amat indah dan akan
membut orang senang bila duduk di sana. Pemandangan
alam amat mempesona sebab gugusan pulau kecil itu
dikelilingi air Sungai Ciliwung yang mengalir tenang.
Masih ada biduk kecil yang tertambat di tepinya. Dan
tanpa ragu, Ginggi menaikkan buleng-buleng ke atas biduk,
melepaskan tali dan menyusul mereka ke tengah gugusan
pulau. "Hahaha! Ayo bersihkan dan cepat masak untuk kami!"
kata Suji Angkara tertawa gembira.
(O-anikz-O) Jilid 14 "Ah, Raden, mengapa terlalu menyiksa pemuda itu.
Lebih baik kita kerjakan bersama, agar kita bisa makan
dengan enaknya," kata Nyimas Banyak Inten seraya
mendekati Ginggi dan akan ikut memasak. Nyimas Layang
Kingkin dan Raden Banyak Angga pun nampak ikut
merubung Ginggi dan siap membantunya.
"Hahaha! Baik, bantulah anak lamban itu biar kita cepat-
cepat menikmati ikan bakar," seru Suji Angkara gembira.
Dan ternyata dia pun ikut sekalian membeset ikan dan
menyalakan api sendiri. Selama memasak ikan, mereka mengobrol dan bercanda.
Suji Angkara nampak selalu menggoda Nyimas Banyak
Inten. Terkadang godaan-godaannya terlalu mengarah
kepada hal-hal yang mengarah kepada yang membuat
sepasang pipi gadis itu merah-merona.
Sekarang ikan sudah masak, baunya sudah menyengat
membuat perut siapa pun semakin lapar. Keempat muda-
mudi makan ikan dengan suka-cita namun tanpa
meninggalkan sopan-santun dan etika makan. Mereka
makan dengan tertib, tidak tergesa-gesa juga tidak banyak
bicara. Hanya sesekali saja ada suara aduh atau ah karena
ikan bakar masih panas atau karena ada duri mengganjal di
lidah. Hanya Ginggi dan Seta yang tidak ikut makan. Seta
berdiri mematung sambil melihat ke kejauhan dan Ginggi
malah duduk di balai-balai sambil kedua kaki digoyang-
goyang. "Hei, akan lebih ramai nampaknya bila kalian pun ikut
makan sama-sama," kata Nyimas Banyak Inten.
"Betul, makanlah sama-sama," kata Nyimas Layang
Kingkin. Banyak Angga pun ikut menawari.
Karena ditawari, Ginggi mendekat dan akan segera ikut
makan kalau saja Seta tak menghardiknya.
"Lho, kita kan sudah ditawari mereka, lagi pula ikan-
ikan ini aku yang tangkap. Mengapa kau halangi?" tanya
Ginggi membuat kedua gadis senyum dikulum.
"Anak setan, engkau tak sopan bila harus sama-sama
makan bersama mereka!" kata Seta mendelik. Ginggi
menundukkan kepala. Dia baru sadar kedudukannya di
lingkungan mereka. "Yah, biarlah bila begitu aturannya ?" gumamnya
menjauh lagi. Namun Nyimas Banyak Inten seperti
menaruh kasihan kepada Ginggi. Gadis itu setengah
memaksa mengajak pemuda itu agar ikut makan. Dan
karena kebetulan yang lain sudah merasa cukup makan
ikan, oleh yang lainnya Ginggi dipersilakan mencicipi
makanan-makanan enak itu.
Karena memang sudah lapar sejak tadi pagi. Ginggi
makan ikan dengan lahapnya. Seta yang beberapa kali dia
tawari hanya mendengus sebagai tanda menolak. Sehingga
akhirnya hanya Ginggi saja yang sibuk makan ikan.
Keempat orang muda-mudi hanya tersenyum saja melihat
Ginggi makan dengan perasaan tak canggung.
"Sudah aku katakan, anak muda itu selain bodoh juga
punya kejujuran dalam bertindak," kata Suji Angkara
sambil memperhatikan tangan Ginggi comot sana comot
sini. "Ayahanda perlu orang yang lugu tapi jujur. Nanti aku
ajak kau menghadap ayahanda," kata Suji Angkara.
Ginggi menatap tajam ke arah pemuda itu.
"Engkau harus berterimakasih kepada Raden Suji, sebab
kau akan bekerja di puri ayahandanya, yaitu Bangsawan
Bagus Seta," kata Banyak Angga.
Bergetar hati Ginggi mendengarnya. Ki Bagus Seta,
murid Ki Darma adalah ayahanda Suji Angkara" Ini amat
mengejutkan, sekaligus membingungkan. Ginggi terkejut
dan bingung, bukankah ayahanda Suji adalah Kuwu
Suntara, Kepala Desa Cae"
Kembali ada misteri baru menyelimuti anak muda
tampan tapi terkesan angkuh ini. Namun di samping
keheranannya, Ginggi pun amat gembira. Kalau benar
dirinya akan dipekerjakan di puri ayahanda Suji Angkara,
berarti dia akan bertemu dengan Ki Bagus Seta. Dengan
begitu, lengkaplah pertemuan dirinya dengan keempat
murid Ki Darma. Bersama tiga murid Ki Darma yang telah ditemukan
terlebih dahulu, dia menemukan harapan sekaligus
kekecewaan dan tanda tanya. Ketika bertemu dengan Ki
Rangga Guna ada secercah harapan bahwa murid ketiga Ki
Darma ini sepertinya setia dengan amanat guru. Namun
menemukan Ki Rangga Wisesa hanya ada rasa sesal dan
kecewa saja sebab orang itu berotak miring dan perangai
serta tindakannya memalukan Ki Darma. Ki Banaspati,
murid pertama Ki Darma masih berupa teka-teki bagi
Ginggi. Sekarang teka-teki makin besar bila ingat Ki Bagus
Seta. Dia menjadi bangsawan, dia menjadi pejabat
pemungut pajak. Apa yang tengah dilakukan sebenarnya
oleh murid kedua ini, Ginggi belum bisa menebaknya.
"Saya amat berbahagia bila dipercaya bekerja di puri
ayahandamu, Raden. Bangsawan Bagus Seta sudah lama
saya kenal dan saya kagum kepadanya," kata Ginggi
menyembah takzim. Suji mengangguk-angguk sebagai
tanda senang. "Ya, nanti sore aku perkenalkan kau pada ayahanda,"
kata Suji Angkara. Untuk yang kesekian kalinya Ginggi
menyembah takzim, disambut dengan sedikit dengus
pemuda Seta dari kejauhan.
Ginggi tak dengar dengusan ini sebab hatinya diliputi
kegembiraan bisa berhubungan dengan Ki Bagus Seta.
(O-anikz-O) Surat Cinta Suji Angkara Sudah hampir dua minggu Ginggi berada di Pakuan. Suji
Angkara yang pernah berkata akan mempekerjakan Ginggi
di kediaman Ki Bagus Seta belum pula melaksanakan
janjinya. Selama dua minggu ini, Ginggi malah disuruhnya
berada dekat-dekat dengannya.
Senja Jatuh Di Pajajaran Karya Aan Merdeka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Suji Angkara ternyata diam sendirian di sebuah rumah
besar tapi masih satu kompleks dengan rumah yang lebih
besar lagi, yaitu rumah milik Ki Bagus Seta.
Ginggi belum berkenalan dengan Ki Bagus Seta, namun
wajahnya sudah dia kenal. Orang itu bila bepergian selalu
mendapatkan pengawalan empat sampai lima orang
petugas. Dan melihat gerak-gerik para pengawalnya, Ginggi
mendapatkan bahwa mereka bukan dari jagabaya biasa,
melainkan kedudukannya jauh lebih tinggi lagi. Mungkin
bukan perwira setingkat pengawal raja, namun sepertinya
mempunyai kepandaian yang tinggi, dan Ginggi harus
demikian hati-hati untuk menyelidikinya.
Ki Bagus Seta berperawakan gagah. Tubuhnya tinggi
besar dan selalu berpakaian mewah. Matanya tajam seperti
burung elang dan dagunya runcing. Seperti menandakan
bahwa orang ini pemikir keras dan selalu bertindak tegas
dalam mengambil keputusan. Dan bila memperhatikan
sepasang matanya yang tajam bagai mata burung elang itu,
Ginggi amat yakin, bahwa orang seperti itu pemerhati yang
serius, baik terhadap situasi, mau pun terhadap tindak-
tanduk orang lain. Kalau benar dugaannya, maka Ginggi
pun harus semakin hati-hati pula dalam bertindak.
Sikap-sikap ini sebenarnya hampir sama dengan tindak-
tanduk yang diperlihatkan Suji Angkara. Anak muda ini
pun seorang pemerhati dan penyelidik. Namun bedanya,
Suji Angkara ini orang yang gila hormat. Bila keinginannya
sudah terkabul dia sudah percaya terhadap mulut manis.
Selama beberapa hari Ginggi berada dekatnya, masih ada
kesan menyelidik dan menguji dari "majikannya" ini. Tapi
karena Ginggi selalu bersikap sopan dan selalu "bodoh
namun jujur", anak muda itu akhirnya memiliki
kepercayaan penuh bahwa Ginggi datang ke hadapannya
tidak memiliki tujuan apa-apa selain hendak mengabdi
belaka. Ginggi berpikir bahwa sangat mungkin Suji
Angkara mudah percaya akan hal ini karena memang
selama ini banyak orang yang mengharapkan bisa mengabdi
kepadanya. Buktinya, Seta dan Madi, adalah pengabdi yang
baik. Ki Ogel dan Ki Banen pun mungkin pada mulanya
dianggap pengabdi yang baik kalau saja kedua orang tua ini
tidak memperlihatkan sikap-sikap menentang terhadap Suji
Angkara. Dengan siapa kini dekat, bagi Ginggi tak ada bedanya
sebab semua orang akan dia selidiki. Kepada anak muda
pesolek ini, berbagai kecurigaan sudah menumpuk. Kini
usaha Ginggi adalah bagaimana cara mengungkapkannya.
Dan bila sekarang sudah bisa berdekatan dengan pemuda
itu, akan banyak cara mengungkapkannya.
Namun bagi Ginggi kini ada tantangan yang lebih besar
lagi. Dia harus sanggup membuka tabir penuh misteri dari
Ki Bagus Seta. Seperti ada rangkaian yang sambung-
menyambung dan semakin melebar saja, dan semuanya
terselubung misteri. Ginggi harus sanggup membuka tabir, sejauh mana
peran Ki Bagus Seta yang di Pakuan ini berhasil
menempatkan dirinya sebagai bangsawan yang memiliki
jabatan penting, padahal gurunya sendiri sudah dianggap
pengkhianat dan selalu dikejar-kejar. Ginggi juga harus
mengetahui, bagaimana hubungan Ki Bagus Seta dengan Ki
Banaspati yang menjadi bawahan dalam mengurus pajak-
pajak negara. Ini misteri paling besar dan amat menyangkut urusan
negara. Bayangkanlah, Ki Banaspati bertugas sebagai
muhara untuk wilayah timur tapi diketahui Ginggi
menyembunyikan hasil-hasil pajak sebab akan digunakan
menghimpun kekuatan pasukan dalam upaya melawan raja.
Sedangkan Ki Bagus Seta di ibukota bertindak sebagai
pejabat muhara dan bertanggung jawab penuh dalam
memasukkan penghasilan negara. Adakah hubungan kedua
orang itu dalam upaya melaksanakan amanat guru"
Betulkah Ki Bagus Seta berusaha menjadi muhara juga
karena ingin melaksanakan amanat guru" Ginggi perlu
menyelidikinya lebih jelas lagi.
Pemberontakan adalah sesuatu yang tidak disukai Ki
Rangga Guna. Tapi kalau ternyata upaya-upaya yang
dilakukan Ki Banaspati dan Ki Bagus Seta merupakan
upaya menolong kepentingan rakyat seperti yang
diamanatkan Ki Darma Tunggara, maka tak ada jalan lain,
Ginggi harus ikut mendukungnya. Mengapa tidak begitu"
Selama dua minggu dia berada di ibukota Pajajaran ini,
melihat kaum bangsawan hidupnya senang, melihat pula
bagaimana bahagianya raja dan keluarganya yang acapkali
bercengkrama di Taman Mila Kancana, atau makan-makan
buah durian di Tajur Agung (kebun istana), itu karena jasa
pengabdinya yaitu ambaraahayat. Tapi apa balas budi Raja
kepada Ki Darma, perwira yang puluhan tahun mengabdi
kepada kepada negara" Ki Darma bahkan dikejar dan
diburu serta dicap pemberontak.
Selama dua minggu ini, hampir setiap malam Ginggi
menyimak tembang-tembang prepantun (pelantun cerita),
dari prepantun istana sampai prepantun yang menggelar
pertunjukannya dijawi khita (benteng luar), selalu
menceritakan pengkhianatan Ki Darma Tunggara.
Siapa berkhianat itu yang jahat seribu perwira siap mati seribu perwira hampir mati
mati karena pengkhianatan
mati karena pengkhianatan
oh,hai, pengkhianat dialah Ki Darma Tunggara!
dialah Ki Darma Tunggara!
Ginggi hampir setiap malam mendengarkan lantunan
prepantun yang mengisahkan pertempuran mati-matian di
alun-alun luar kota Pakuan antara seribu perwira pengawal
raja melawan musuh yang datang menyerbu. Dalam
peristiwa ini Ki Darma Tunggara dicurigai melakukan
pengkhianatan dengan sengaja mengundang musuh dari
barat. Peristiwa itu terjadi belasan atau puluhan tahun yang
lalu, ketika Pakuan diperintah Sang Prabu Dewata Buana
atau lebih dikenal sebagai Sang Prabu Ratu Dewata (1535-
1543 Masehi). Ki Darma Tunggara yang merasa lebih
berpengalaman dalam membela negara karena sudah sejak
Pakuan dipimpin Sang Ratu Jaya Dewata atau lebih dikenal
dengan Sri Baduga Maharaja atau Sang Prabu Siliwangi
(1482-1521 Masehi), mengeritik kebijaksanaan Sang Prabu
Ratu Dewata yang lebih memperhatikan kehidupan agama
ketimbang yang lainnya. Ayahanda Sang Prabu Ratu
Dewata, yaitu Ratu Sangiang, atau lebih dikenal sebagai
Sang Prabu Surawisesa (1521-1543 Masehi) semasa
memerintah gemar berperang. Selama 14 tahun
memerintah, melakukan peperangan sebanyak 15 kali.
Menurut Sang Prabu Ratu Dewata, seringnya melakukan
peperangan mungkin juga akan diakui dunia sebagai bangsa
yang gagah berani. Tapi juga akan punya risiko banyak
menyakiti musuh. Musuh yang kalah tak akan selamanya
takut, suatu waktu mereka akan membalas kekalahan.
Peperangan yang berkepanjangan pun, baik dalam
kemenangan apalagi dalam kekalahan, hasilnya tetap akan
menyengsarakan rakyat. Dan karena perang dibentuk oleh
jalan pikiran manusia, maka Sang Prabu Ratu Dewata
memilih belajar mengendalikan pikiran agar tak selalu
dipenuhi nafsu angkara-murka. Sang Prabu Ratu Dewata
memilih hidup damai ketimbang mengundang kemelut.
Itulah sebabnya sendi-sendi agama diangkat ke permukaan.
Kuil dan biara di Pakuan diperbanyak jumlahnya, demikian
pun para wiku dan pendeta, di kuil memperdalam masalah
kebatinan ketimbang memperhatikan kehidupan lahiriyah.
Inilah yang dikritik ki Darma. Menurutnya,tapa di
nagara untuk seorang raja bukanlah mengurung diri di kuil
sambil melepaskan seluruh kehidupan lahiriyah.Tapa di
nagara adalah melaksanakan pekerjaan yang ditekuni
sehingga berguna untuk kepentingan umum. Hanya
memperhatikan kepentingan batiniyah tanpa mengurus
kepentingan lahiriyah hidup tidaklah seimbang. Apalagi
menurut Ki Darma, negara tetap dalam bahaya. Musuh
yang datang tidak sekadar akan membalas kekalahan, tapi
karena punya maksud ingin menghilangkan pengaruh
Pajajaran dan akan digantikannya dengan pengaruh baru
yang dibawa oleh mereka. Jadi, mengurung diri dengan
maksud menjauhkan nafsu angkara-murka yang ada dalam
diri sendiri tidak akan mengusir bahaya peperangan, sebab
musuh tetap mengancam. Ki Darma pernah memberikan peringatan kepada Raja
bahwa sewaktu-waktu musuh dari barat akan menyerang.
Ki Darma bisa berkata begitu karena dia pandai meramal
sesuatu bahaya. Tapi peringatan ini tak dipercaya Raja
dengan mengatakan bahwa ramalan Ki Darma bohong
belaka. Namun ketika secara tiba-tiba musuh datang
menyerang dan langsung mengepung Pakuan, pemerintah
tak berterima kasih kepada Ki Darma, bahkan sebaliknya
menuduh Ki Darma berlaku khianat. Kalau benar Ki
Darma bisa meramal, mengapa katanya kedatangan musuh
yang tiba-tiba tidak bisa diramalkan" Banyak suara
mendukung kecurigaan. Katanya, mungkin saja Ki Darma
sudah tahu sebelumnya tapi tak dilaporkan. Atau ada
kecurigaan lebih besar, Ki Darma sengaja "mengundang"
musuh datang hingga ke "beranda" Pakuan tanpa diketahui
sebelumnya. Dan itu semua karena pengkhianatan Ki
Darma. Memang Raja tak berhasil membuktikan kesalahan Ki
Darma. Tapi Raja akan tetap menghukumnya ketika Ki
Darma akhirnya akan mengundurkan diri dari kegiatan
kenegaraan. Perintah untuk mengejar dan menangkap Ki
Darma dikeluarkan setelah Pakuan dipimpin oleh Sang
Prabu Ratu Sakti yang sejak dia menjadi perwira bekerja
menjadi pengawal ayahandanya, sudah membenci Ki
Darma yang senang melakukan panca parisuda
(mengeritik). Tak ada yang bisa membuktikan Ki Darma melakukan
pengkhianatan. Tapi kebencian terhadapnya terus
dihembus-hembuskan. Kisah peperangan di alun-alun luar
Kota Pakuan merupakan kisah populer dan penduduk
senang menikmati lantunan prepantun (juru pantun). Bila
prepantun yang membawakannya pandai melantun merdu
diiringi dawai-dawai kecapinya, maka pendengar akan
tergugah dan terbawa arus. Mereka akan membenci Ki
Darma si pengkhianat dan akan memuji kehebatan
kepahlawanan seorang perwira muda putra mahkota.
Dialah kelak Sang Ratu Sakti Sang Mangabatan raja gagah
berani yang selalu berupaya mengembalikan kejayaan
Pajajaran ke masa puluhan tahun silam.
Kisah-kisah kepahlawanan Sang Ratu Sakti dan
pengkhianatan perwira Darma Tunggara terkenal sampai
jauh ke wilayah timur seperti ketika Ginggi mendengarkan
kisah ini pertama kalinya oleh prepantun Ki Baju Rambeng,
di Desa Cae hampir setahun lalu.
Ginggi sakit hati oleh kesemuanya ini. Barangkali murid-
murid Ki Darma lainnya pun sama memendam sakit hati.
Itulah sebabnya mungkin, Ki Banaspati tak kepalang
tanggung menjalankan amanat guru. Dalam upaya
membela kepentingan rakyat, Ki Banaspati akan
menghimpun kekuatan untuk digunakan melawan raja.
Tidakkah Ki Bagus Seta yang kini mengendalikan kekayaan
negara sebetulnya punya tujuan yang sama dengan Ki
Banaspati" Barangkali secara diam-diam mereka berdua
telah melakukan persekutuan dalam melawan Raja.
Ya, barangkali. Tapi apa pun yang sesungguhnya terjadi,
Ginggi harus tetap berlaku hati-hati. Dia harus mengambil
keputusan yang tepat. Untuk itulah Ginggi harus
melakukan penyelidikan seseksama mungkin. Dia tak mau
tergelincir melakukan kekeliruan.
(O-ani-kz-O) Ginggi ikut di rumah besar yang dihuni Suji Angkara. Di
rumah besar yang terbuat dari susunan kayu jati pilihan itu
juga tinggal beberapa badega (pembantu) termasuk
beberapa orang pembantu wanita usia tigapuluh tahunan ke
atas tapi berwajah lumayan. Pekerjaan para badega adalah
membersihkan halaman, memandikan kuda, atau
pekerjaan-pekerjaan berat yang tak mungkin dilakukan
kaum wanita. Sedangkan para pembantu wanita bekerja
dari mulai memasak, mencuci, sampai membersihkan dan
membereskan tempat tidur Suji Angkara. Para pembantu
wanita itu pun kadang-kadang bertugas memijit bila Suji
Angkara menghendakinya. Namun selama Ginggi meneliti,
sikap pemuda itu wajar-wajar saja. Dia dipijit dan para
wanita memijit, tak lebih dari itu.
Seta juga tinggal di sana. Menurut para badega, Seta
bertugas sebagai pengawal Raden Suji. Tapi menurut
penglihatan Ginggi, pemuda yang bibirnya selalu mencibir
itu tugasnya tak lebih hanya sebagai pelayan belaka, kendati
tidak seperti badega lainnya. Seta lebih berupa pelayan
pribadi pemuda pesolek itu untuk keperluan-keperluan di
luar rumah. Akan halnya Ginggi, Suji Angkara rupanya tak
menempatkan pemuda itu secara khusus, sebab sesuai
dengan ucapan Suji Angkara, Ginggi akan dipekerjakan di
kediaman Ki Bagus Seta. Hanya saja selama dua minggi ini, Ginggi sudah dua kali
menerima tugas khusus, yaitu mengirimkan surat daun
nipah kepada Nyimas Banyak Inten. Ini bermula dari tanya-
jawab santai antara Ginggi dan Suji Angkara pada suatu
senja di taman belakang rumahnya. Suji Angkara tengah
dipijit-pijit seorang wanita pembantu dan Ginggi asyik
merawat tanaman hias di tepi kolam yang banyak dihuni
ikan mas berwarna-warni. "Duruwiksa, sedang apa kau di sana?" tanya Suji
Angkara padahal matanya meram-melek karena tengah
menikmati pijitan wanita pembantu.
"Saya tengah mencabuti daun-daun kering, Raden,"
Senja Jatuh Di Pajajaran Karya Aan Merdeka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
jawab Ginggi merendah. Selama dua minggi ini pemuda itu selalu menyebut
duruwiksa kepadanya. Namun karena Suji Angkara
mengucapkannya dengan wajar tak terasa lagi sebagai
ejekan. Bahkan Ginggi pun sudah terbiasa dan seperti betah
mendengarnya. "Kau kesinilah sebentar," kata Suji Angkara
melambaikan tangannya. "Baik, Raden ?" Ginggi melangkah terbungkuk-
bungkuk. Kemudian duduk bersila di mana pemuda
bersolek itu berbaring di sebuah dipan kayu.
"Kepandaianmu, sebetulnya apa sih?" tanya Suji
Angkara tiba-tiba. Ginggi sudah siap untuk menerima berbagai pertanyaan.
Dan tentu jawabannya asal bunyi saja, yang penting jauh
dari segala kebenaran yang bakal mencurigakan orang lain.
"Saya tak memiliki kepandaian selain yang Raden
ketahui selama ini," jawab Ginggi menunduk seolah-olah
memperlihatkan rasa malu dan rendah diri.
"Ilmu membaca huruf misalnya?"
Ginggi menggelengkan kepala.
"Saya ini pengembara, kemana saja kaki membawa, di
situlah saya tinggal. Tidak pernah tahu siapa kedua orang
tua saya. Yang saya tahu, saya sudah hidup seperti ini. Jadi
kalau ada yang tanya dari mana asal, saya tak bisa jawab.
Tugas saya sehari-hari hanya memikirkan bagaimana hari
ini bisa makan. Lain dari itu saya tak pikirkan, termasuk
mempelajari tektek-bengek seperti membaca, menulis dan
apalagi belajar ilmu kedigjayaan seperti yang dilakukan
Seta, misalnya," kata Ginggi berpanjang lebar agar Suji
Angkara segera kehabisan apa yang akan ditanyakan
selanjutnya. Mendengar penjelasan Ginggi, pemuda itu hanya
manggut-manggut saja tanpa Ginggi tahu apa maksudnya.
"Sebetulnya wajahmu lumayan juga. Kalau kau tak
bodoh dan lugu, barangkali akan banyak wanita
memperhatikanmu," kata pemuda itu sungguh-sungguh.
Ginggi hanya menatap sejenak. Perempuan pembantu
yang tengah memijit juga seperti diingatkan oleh ucapan
oleh pemuda itu sehingga serta-merta memandangi wajah
Ginggi. "Apa tidak merepotkan bila seorang lelaki banyak
diperhatikan para gadis, Raden?" tanyanya senyum
dikulum. Suji balas tersenyum. Dia tak bicara apa-apa sehingga dia
tak bisa mengorek isi hati pemuda pesolek itu lebih jauh
mengenai perhatiannya terhadap wanita.
"Barangkali merepotkan. Tapi tidak dicintai wanita pun
sama merepotkan. Rasa sepi di hati kupikir merepotkan.
Ditolak cinta pun kupikir merepotkan sebab hati bisa
gundah- gulana," kata Suji Angkara pada akhirnya. Namun
perkatannya itu hanya diucapkan sambil mata terus meram-
melek karena keenakan mendapat pijitan-pijitan perempuan
pembantu itu. "Sekarang pun aku tengah menderita kerepotan," gumam
pemuda itu selanjutnya. "Terlalu banyak dicinta wanita, Raden?" tanya Ginggi
menyipitkan matanya untuk memandang Suji Angkara.
"Terlalu banyak dicinta bagi seorang bangsawan malah
lumrah. Yang tak lumrah bagi seorang bangsawan adalah
bila menerima semua cinta itu. Orang kebanyakan akan
mencibir bila melihat kaum bangsawan semena-mena dan
serampangan melakukan cinta. Sesama bangsawan pun
akan marah sebab merasa martabatnya dijatuhkan bila ada
bangsawan lainnya berlaku tak senonoh dalam urusan
cinta. Dan ini merepotkan," kata Suji Angkara.
"Mungkin akan aman bagi bangsawan bila memilih salah
satu orang yang dicinta saja," gumam Ginggi menyela
ucapan pemuda itu. Namun Suji Angkara hanya merahuh kesal.
"Raden sedang dilanda nestapa karena urusan cinta?"
tanya Ginggi. Dan Suji Angkara pelan-pelan
menganggukkan kepalanya. Ginggi terdiam. Tapi perempuan pembantu masih
melanjutkan pekerjaannya memijat bagiaan-bagian tubuh
Suji Angkara sepertinya obrolan ini bukan sesuatu yang
perlu disimak benar. "Aku tengah menggandrungi Nyimas Banyak Inten, putri
cantik Bangsawan Yogascitra. Bagaimana caranya agar
cintaku tak bertepuk sebelah tangan?" gumam Suji Angkara
lagi mengatupkan mata seolah-olah membayangkan agar
cita-citanya terlaksana. Jantung Ginggi berdegup mendengarnya.
Ketika pertemuan pertama kalinya di Pakuan, Ginggi
memang melihat Suji Angkara begitu penuh perhatian
terhadap gadis putri Bangsawan Yogascitra itu. Waktu itu
pun Ginggi sudah menduganya kedua muda-mudi itu
sedang menjalin hubungan baik. Tapi siapa kira hubungan
mereka belum terikat resmi. Bahkan lebih jauh dari itu,
mereka belum melakukan sesuatu ikatan. Buktinya, Suji
Angkara kini mengaku bahwa dirinya tengah menaksir
gadis itu. Ginggi berdegup mengetahui kenyatan ini. Tapi
mengapa mesti berdegup" Aneh, Ginggi sendiri tak tahu,
mengapa harus berdegup"
"Betul-betulkah engkau tak bisa baca-tulis, Duruwiksa?"
tanya Suji Angkara. Ginggi menatap pemuda itu. Apa hubungan Nyimas
Banyak Inten dengan dirinya yang mengaku tak bisa baca-
tulis" Namun biar pun dilanda rasa heran, Ginggi akhirnya
mengangguk juga. "Kalau begitu, kau harus tolong aku. Kau sampaikan
suratku pada Nyimas Banyak Inten ?" kata Suji Angkara.
Ginggi masih menatap pemuda itu karena belum
mengerti mengapa dia dipilih untuk mengantarkan surat.
"Aku sebetulnya tak senang rahasia hidupku diketahui
orang lain. Kau tak bisa baca tulisan. Jadi kalau aku
mengirim surat cinta melalui kamu, rahasia cintaku tak
terbongkar," kata Suji Angkara memberikan alasan memilih
Ginggi sebagai pengirim surat.
"Biasanya surat diantar di dalam kotak kayu jati tertutup.
Mengapa takut benar isi surat itu dibuka orang?" tanya
Ginggi. "Aku tak mau mengirim surat secara resmi, mungkin aku
lebih senang melayangkan surat secara diam-diam saja.
Surat daun nipah akan tersusun begitu saja seperti susunan
daun sirih di atas tempayan. Akan lebih aman bila dibawa
oleh orang yang tak bisa baca sepertimu," kata Suji Angkara
menerangkan. Ginggi mengangguk karena baru mengerti
apa yang ada dalam pikiran pemuda yang tengah dilanda
kasmaran. "Kalau saya dipercaya, tak apa menugaskan saya
mengirimkan suratmu itu, Raden," kata Ginggi akhirnya
dan hanya dibalas senyum tipis di bibir pemuda tampan itu.
Ginggi pun ikut tersenyum. Pemuda yang berkulit putih itu
mau menugaskan Ginggi bukan karena percaya, tapi karena
beranggapan Ginggi tak bisa baca.
(O-anikz-O) Di Taman Milakancana Akhirnya Ginggi memang diberi tugas untuk
mengirimkan surat daun nipah. Dua kali banyaknya. Surat
itu tidak dibungkus apa pun. Suji Angkara hanya menyuruh
Ginggi agar menyelipkan saja di pinggangnya.
"Tapi awas, jangan kau perlihatkan surat ini pada siapa
pun juga. Kau pun harus hati-hati, daun nipah boleh kau
serahkan kepada Nyimas Banyak Inten di saat dia duduk
sendirian," kata Suji Angkara sebelum Ginggi
melaksanakan tugasnya. Tengah hari Ginggi menuntun kuda-kuda kepunyaan
Suji Angkara dengan alasan akan disuruhnya merumput.
Padahal yang sesungguhnya Ginggi menuju Taman Mila
Kancana. Itu adalah sebuah taman istana. Hanya para putri
raja beserta kerabatnya saja yang bisa bercengkrama di
sana. Kaum lelaki sebetulnya dilarang memasuki kompleks
taman tanpa seizin jagabaya. Tapi Ginggi mudah akrab
dengan siapa saja, termasuk dengan para jagabaya. Hampir
semua jagabaya tahu belaka bahwa pemuda tampan tapi
lugu dan sedikit bodoh itu adalah pekerja Suji Angkara.
Hanya kaum pria dari sesama bangsawan saja yang
mendapat pertanyaan agak teliti bila hendak memasuki
taman. Tapi para pekerja kasar yang sudah benar-benar
dipercaya tidak terlalu dipersulit untuk masuk ke taman
apalagi dengan alasan jelas, misalnya hendak
membersihkan rumput atau kolam taman.
Kaum lelaki golongan kebanyakan yang menjadi pekerja
kasar dianggapnya tak akan berani mati mengganggu para
gadis istana. Lain lagi dengan pria kaum bangsawan yang
kemungkinan berani menggoda para gadis. Dan itu sebuah
pelanggaran etika. Semua orang tidak membiarkan kaum
bangsawan atau kerabat istana melanggar etika yang bisa
menjatuhkan martabat mereka.
Ini untuk yang kedua kalinya Ginggi memasuki
kompleks Taman Mila Kancana dengan alasan
membersihkan rumput taman sambil memberi makan kuda.
Padahal yang sesungguhnya dikerjakan adalah
mengirimkan surat daun nipah kepada gadis cantik putri
Bangsawan Yogascitra itu.
Ginggi tidak pernah tahu, bagaimana macamnya etika
surat menyurat kaum bangsawan. Tapi ketika mencuri baca
surat daun nipah yang ditulis Suji Angkara, isinya begitu
lugas dan terus terang dalam memaparkan maksud-maksud
cintanya. Surat pertama menggambarkan kerinduan yang
Darah Olympus 5 Fear Street Rumah Setan 3 The House Of Evil The Third Horror Pendekar Sejagat 4
silam. Atau, barangkali memang benar orang itu amat
berwibawa. Sang Raja duduk tegap dengan anggunnya. Usianya
sekitar empatpuluh tahunan, tapi begitu nampak muda.
Kulit wajahnya nampak putih halus dan seperti bercahaya.
Matanya bening dengan sorot tajam penuh keyakinan.
Hidungnya mancung dan bibirnya tipis, lebih tampan lagi
karena dihiasi kumis tipis. Di atas kepalanya terpasang
mahkota yang dihiasi emas murni. Sepasang telinganya
dihiasi susumping juga mengkilap kuning karena terbuat
dari logam emas. Itulah mungkin Makuta Binokasih
Sanghyang Pake ( kini disimpan di Museum Geusan Ulun,
Sumedang), mahkota Raja Pajajaran yang dibuat Oleh
Prabu Bunisora untuk digunakan Raja Pajajaran pertama,
yaitu Sri Baduga Maharaja (1482-1521 Masehi) dan
kemudian secara turun-temurun dipakai oleh raja-raja
seterusnya (hingga Prabu Geusan Ulun, Raja Kerajaan
Sumedanglarang, sesudah Pajajaran hancur).
Sang Prabu memakai baju kurung tipis dari kain sutra
warna kuning muda tanpa lengan. Namun sepasang
tangannya dihiasi gelang-gelang emas, baik gelang untuk
pergelangan atau tangan di dekat bahu. Leher Sang Prabu
pun dihiasi kalung emas susun tiga membentuk daun dan
kembang. "Hhm " gagah benar Sang Susuhunan," lelaki setengah
baya yang berdiri di samping Ginggi berdecak kagum,
"Lihatlah anak muda, beliau menggunakan Makuta Emas
binokasih Sanghiang Pake, yang dulu dipergunakan Sang
Susuhunan Sri Baduga Maharaja, atau bergelar Sang Ratu
Jaya Dewata, atau lebih harum lagi disebut sebagai Prabu
Siliwangi. Lihatlah pula benten emas yang membelit
pinggangnya, ataupun susumping garuda mungkur yang
terpasang di kedua telinga Sang Prabu. Oh, serasa aku
kembali ke zaman kebesaran Pakuan ketika Sang
Susuhunan Sri Baduga Maharaja masih ada," gumam lelaki
setengah baya ini. Ginggi menoleh, ternyata ada genangan
airmata meleleh di sepasang pipinya lelaki itu.
Hanya sebentar saja Ginggi mencari makna dari ucapan
ambarahayat ini sebab dari tepi balandongan ada terdengar
lagi teriakan prajurit yang menyuruh semua orang diam dan
menundukkan kepala. Semua orang tertunduk dan suasana
kembali hening. Di tengah hening ini terdengar lantunan
doa-doa yang rupanya diucapkan seorang wiku (pendeta).
Dengan nada-nada bergetar meraga sukma, sang wiku
membaca doa berpanjang-panjang. Dia berdoa semoga
Pakuan beserta Pajajaran tetap berdiri dengan kokoh
sentosa, raja bahagia dan rakyat sejahtera. Bagaimana agar
kesejahteraan bisa terangkum secara lahir batin, maka sang
wiku memberi petuah: Suku milang awak urang lamun salah langkah eta matak urang papa leungeun lamun salah cokot
eta matak urang papa ceuli lamun salah denge eta matak
urang papa panon lamun salah jeueung eta matak urang
papa irung lamun salah ambeu eta matak urang papa
"Jangan terlalu lama berhenti, agar tidak terlanjur, agar
tidak terpengaruh penglihatan, agar
tidak terpengaruh oleh pendengaran, ujar-ujar jangan
khilaf, ingat-ingat jangan lupa," ujar
sang wiku. Selanjutnya sang wiku kembali berdoa untuk
kesejahteraan Pajajaran beserta seluruhpenghuninya :
Hati tiba tak diajak Hati datang tak diundang Yang setia selalu berhasil
Suka tanpa mengenal duka Kenyang tanpa mengenal lapar
Hidup tanpa mengenal maut
Bahagia tanpa mengenal papa
Baik tanpa mengenal buruk
Pasti tanpa mengenal kebetulan
Moksa, lepas Tanpa mengenal ulangan hidup
"Itulah Purohita (pendeta tinggi negara) Ki Raga Suci.
Dia sudah menjadi Purohita Pakuan sejak zaman Sang
Susuhunan Sri Baduga Maharaja," tutur lelaki setengah
baya di samping Ginggi. Ginggi tak sempat mengiyakan
omongan orang itu, sebab tiba-tiba semua ambarahayat
berteriak gemuruh. Semuanya mengucapkan selamat pada
Raja. Panjang umur dan hidup sejahtera!
Sang Susuhunan Prabu Sakti Sang Mangabatan berdiri
sejenak, melambai-lambaikan tangan ke segala penjuru
dengan senyum dan mata berbinar terang.
Masih terus melambaikan tangan dan sepasang matanya
mengerling kesana-kemari sebab gemuruh ambarahayat
belum juga reda. Purohita Ki Raga Suci mengangkat tangan memberi
aba-aba agar ambarahayat berhenti dan memberikan
kesempatan kepada Raja untuk berbicara. Dan semu orang
yang ada di seputar alun-alun mendadak diam seperti kena
sirep, Ribuan ambarahayat menyorotkan mata tanpa
berkedip ke arah balandongan di mana Sang Prabu berdiri.
"Tak ada masa sekarang bila tak ada masa lalu. Namun
juga masa lalu bisa berlanjut karena ketegaran masa
sekarang," ujar Sang Prabu dengan suara halus namun
mengandung wibawa yang tinggi.
"Puluhan tahun Kerajaan Pajajaran berdiri, bahkan
ratusan tahun Kerajaan Sunda ini tetap utuh. Kita tetap
kokoh, kita tetap berdiri dan sanggup bertahan dari
gangguan musuh karena setiap generasi yang diberi
tanggung jawab untuk mempertahankan negri sanggup
menjaga dengan baik. Pajajaran tetap ada karena selalu
memiliki raja yang kuat dan rakyat yang setia. Oleh sebab
itu, aku sebagai Susuhunan Pakuan, tetap menyuruh kalian
ambarahayat, agar selalu setia kepadaku. Kesetiaanmu
padaku, hanya berarti kalian mempertahankan keberadaan
Pajajaran," ujar Sang Prabu.
Ambarahayat masih diam terpana mendengarkan ujar-
ujar Sang Prabu Ratu Sakti.
"Pajajaran masih tetap besar. Tapi Pajajaran juga tengah
prihatin. Wilayah kekuasaan kita sekarang tidak seutuh
masa-masa lalu. Wilayah Pajajaran di pantai utara dan
barat telah direbut musuh, sehingga perdagangan kita
terganggu dan penghasilan negri berkurang. Musuh bisa
merebut wilayaah kita satu-persatu barangkali karena
mereka kuat, tapi juga bisa berarti karena tidak semua
ambarahayat bersetia penuh kepada negara. Aku dengar di
wilayah timur beberapa negri kecil yang dulu ada di bawah
Pakuan sudah berpaling kepada kekuatan agama baru.
Mereka sudah tidak membayar seba ke Pakuan. Dengan
demikian penghasilan negara semakin kecil jua. Itulah
sebabnya, semua ambarahayat harus semakin setia terhadap
Pakuan. Aku selalu memerintahkan muhara untuk terus
meningkatkan hasil seba dari kalian karena keadaan yang
kian mendesak ini. Kalau kalian tak mengeluh oleh seba
yang ditarik semakin tinggi oleh muhara, maka kalian akan
menjadi ambarahayat yang berarti sebab telah berkorban
demi kebesaran Pajajaran!" kata Sang Prabu dengan suara
yang ditinggikan. Ambarahayat masih tetap diam. Ginggi melirik ke
samping, lelaki setengah baya nampak menunduk sambil
berpangku tangan. "Kita akan tetap berusaha mempertahankan kebesaran
Pajajaran. Pakuan akan tetap berusaha mempertahankan
pengaruhnya di wilayah timur Sungai Citarum. Beberapa
daerah Kandagalante yang ada di timur sudah aku setujui
untuk menambah kekuatan prajurit dan jagabaya. Itu untuk
menjaga rongrongan dari kekuasaan Demak dan Cirebon.
Pembentukan kekuatan di wilayah-wilayah timur akan
semakin ditingkatkan sebab barangkali kelak bukan sekadar
bertahan saja tapi pun akan berusaha mengembalikan hak-
hak kita yang telah hilang," seru Sang Prabu.
"Sekarang Pajajaran memiliki seratus ribu prajurit dan
seribu orang perwira pengawal raja. Jumlah prajurit akan
selalu ditingkatkan dan seribu perwira pengawal raja harus
selalu memiliki cadangan. Dan hari ini saatnya menguji
ketrampilan. Akan ada ujian tingakat bagi prajurit-prajurit
pandai. Bila benar-benar ketangguhan dan kemampuannya
meningkat dan lulus dalam ujian, maka prajurit itu akan
diangkat menjadi perwira kerajaan!" ujar Sang Prabu.
Terdengar sorak-sorai di kiri kanan alun-alun karena
ratusan prajurit berteriak-teriak sambil menacung-acungkan
senjatanya masing-masing.
"Juga akan ada ujian ketangkasan bagi ambarahayat
yang akan menyediakan dirinya menjadi prajurit Pakuan!"
kata pula Sang Prabu. Kini sorak-sorai terdengar lebih membahana sebab keluar
dari mulut ambarahayat yang jumlahnya ribuan di seputar
alun-alun itu. "Nanti para senapati dan perwira yang akan mengatur
tata-cara uji ketangkasan ini," kata Sang Prabu mengakhiri
pidatonya. Beliau kembali melambai-lambaikan tangan dan
disambut gemuruh tepukan ambarahayat.
Sang Prabu kembali duduk di singgasana yang diikuti
oleh suara tetabuhan bertalu-talu dengan irama penuh
semangat. Berbareng dengan itu, dari bawah balandongan berturut-
turut naik para wanita yang berpakaian indah-indah dengan
wajah molek-molek. Mereka duduk berjajar rapi tepat di
belakang Sang Prabu. "Paman, banyak wanita cantik berderet di belakang Sang
Prabu, siapakah mereka?" tanya Ginggi menatap tak habis-
habisnya kepada deretan wanita jelita itu.
"Itulah para bidadari, putri-putri istana penghuni Taman
Mila Kancana, berselampai sutra Cina, beramben corak
manikam dan bersanggul penggetar cinta!" kata lelaki
setengah baya itu. Ginggi mengangguk dan amat setuju
dengan ungkapan indah penduduk Pakuan ini.
Apalagi di saat gemerlap dengan segala kebesarannya,
sedangkan di hari-hari kelabu, ambarahayat Pajajaran selalu
memuji-muji eloknya penghuni Pakuan.
Ginggi sejak tadi hanya memperhatikan ke arah
balandongan saja di mana Sang Prabu beserta para putri
cantik berada. Padahal di kiri kanan balandongan masih
terdapat panggung-panggung bertenda yang banyak
digunakan orang untuk duduk berderet. Dan Ginggi
tersentak kaget sebab di antara deretan orang, terdapat
beberapa orang yang dikenalnya dengan baik.
Di sana ada Ki Banaspati. Dia menggunakan pakaian
senting (bedahan lima) terbuat dari kain beludru hitam.
Kepalanya ditutup bendo dari kain batik corak alas-alasan.
Tidak bersua hampir sepuluh bulan lamanya, tidak ada
perubahan di wajah Ki Banaspati. Tubuhnya masih tetap
tegap dan dadanya bidang. Alis matanya kini agak tebal
hitam. Ki Banaspati duduk sejajar dengan para hadirin lainnya.
Dan melihat penampilan dan jenis pakaian yang
digunakannya mereka, semuanya pasti terdiri dari kaum
bangsawan dan pejabat semata.
Ketika mata Ginggi mengarah ke jajaran paling pinggir,
pemuda itu kembali terkejut. Bagaimana tak begitu, sebab
di sana duduk seorang pemuda anggun. Sama
menggunakan pakaian senting beludru hitam, tapi
menggunakan bendo yang di depannya dipasang ornamen
warna emas. Pemuda berkulit putih dengan hidung
mancung tapi kalau ketawa selalu mengatupkan bibirnya,
siapa lagi kalau bukan Suji Angkara"
Ginggi bingung, ada Ki Banaspati, ada Suji Angkara.
Mereka duduk sejajar di panggung kehormatan bersama
para pejabat negara lainnya, padahal keduanya jelas
bermusuhan setelah peristiwa di wilayah Sagaraherang itu.
Bagaimana bisa mereka kini sama-sama berada di sana"
Ginggi teringat, sebetulnya sepuluh bulan lalu dia
diperintah Ki Banaspati untuk mengejar dan membunuh
Suji Angkara. Hingga kedua orang itu bertemu di Pakuan,
Ginggi tak pernah melaksanakan perintah Ki Banaspati.
Marahkah Ki Banaspati bila kelak bertemu lagi dengannya"
Ginggi mundur beberapa tindak dan mencari tempat
berdiri di belakang kerumunan orang banyak.
Sekarang juru bicara acara mengumumkan, bahwa
sebelum diadakan uji ketrampilan, akan diawali dulu
dengan latihan perang-perangan dengan menampilkan
kebolehan siasat pertempuran yang jadi kebanggaan
Pajajaran dan Kerajaan Sunda sejak ratusan tahun yang
silam. Akan dilakukan oleh seribu perwira pengawal raja
dan dibantu pasukan prajurit.
Penonton berteriak riuh. Beberapa di antaranya bersuit-
suit nyaring saking gembiranya diberi suguhan demonstrasi
perang-perangan ini. Ginggi pernah menerima penjelasan dari Ki Rangga
Guna bahwa Pajajaran secara turun-temurun memiliki
duabelas ilmu siasat perang, yaitu Makara-Bihwa, Lisang-
Bihwa, Cakra-Bihwa, Suci-Muka, Bajra-Panjara, Asu-
Maliput, Merak-Simpir, Gagak-Sangkur, Luwak-aturun,
Kidang-Sumeka, Babah-Buhaya dan Ngaliga-anik.
Menurut juru bicara, pasukan akan menampilkan siasat
bertempur yang amat terkenal yang diberi nama Merak-
Simpir. Suara gamelan bertalu-talu. Penabuh gendang dan
gambang demikian semangat menabuh alat musiknya.
Pemegang gong dan kempul, kendati menabuh alatnya tak
sesering gendang dan gambang, tapi setiap kali melakukan
tugas bagiannya, mereka memukul alat yang dipegangnya
dengan mantap dan pasti sehingga menjadi pelengkap
pembawa semangat. (O-anikz-O) Siapa Melukai Ki Banen"
Ketika suara gamelan bertalu-talu itulah keluar sebuah
barisan berseragam lengkap turun ke lapangan alun-alun
Senja Jatuh Di Pajajaran Karya Aan Merdeka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang diringi tempik sorak penonton. Pasukan yang turun,
membentuk dua kelompok yang seolah-olah saling
bermusuhan. Satu pasukan dengan jumlah lebih besar
terdiri dari ratusan prajurit. Mereka semua bertelanjang
dada, kecuali sepasang tangan bergelang tulang hitam,
begitu pun lehernya berkalung tulang. Semua
bercelanasontog hitam dengan ornamen perak di ujung
bagian kakinya. Rambutnya panjang-panjang tapi digelung
rapih ke atas. Mereka bersenjata tombak dan pedang di
tangan kanan dan perisai logam di tangan kiri.
Di lain fihak, pasukan yang menjadi lawannya
berpakaian lebih gagah lagi. Jumlahnya masih ratusan tapi
di bawah jumlah lawannya. Mereka menggunakan baju
zirah (baju terbuat dari sisik-sisik logam yang tak tembus
senjata tajam) yang dilapisi rompi beludru hitam
berornamen gemerlap. Celana sontog hitamnya sedikit
tertutup kain batik kebat yang dikenakan terlipat dan
ujungnya menggapuy di depan seperti yang biasa digunakan
oleh para ksatria. Mereka bersiap tanpa menggunakan
senjata apa pun. Melihat penampilan mereka, kendati jumlahnya tak
persis seribu, tapi Ginggi yakin, inilah pasukan seribu
perwira pengawal raja. Sekarang dua pasukan sudah saling berhadapan. Satu di
ujung alun-alun sebelah kiri panggung, satunya lagi di ujung
kanan. "Merak-simpir!!" teriak perwira kepala. Maka secepat
kilat pasukan pengawal membentuk formasi. Formasi ini
membentuk ekor burung merak yang tengah membeber.
Pasukan paling depan terdiri perwira berjejer sepuluh orang.
Namun barisan ini terus berlapis-lapis dengan jumlah
berlipat. Pada lapis bagian kedua, jumlahnya ada duapuluh
orang. Lapisan ketiga tambah lagi menjadi tigapuluh orang
berjajar. Begitu seterusnya hingga barisan atau lapisan
paling akhir, jumlah pasukan ada sekitar enampuluh
perwira berjajar rapi ke samping.
(O-anikz-O) Jilid 13 Aba-aba kedua terdengar. Itulah aba-aba menyerang.
Maka dua pasukan sama-sama berlari untuk saling
berhadapan. Juru acara mengabarkan kepada penonton
bahwa pasukan lawan menggunakan siasat perang
bernamaBajra-Panjara, Mereka juga sama membentuk
formasi barisan tapi caranya jauh berbeda dengan yang
ditampilkan pasukan perwira. Mereka membuat lapisan
penyerangan dengan jumlah yang sama setiap lapisnya.
Ginggi menghitung, baik lapisan baris pertama mau pun
baris kedua sampai lapisan paling belakang jumlah
pertahanannya sama, yaitu terdiri dari limapuluh orang
prajurit berjajar ke samping. Ginggi pun menghitung jumlah
lapisan pasukan prajurit. Semuanya ada sepuluh lapis.
Artinya pasukan prajurut total berjumlah 500 orang. Jauh
lebih besar ketimbang pasukan perwira pengawal raja.
Dengan iringan tempik-sorak penonton, dua pasukan
berlari saling mendekat sambil tetap menampilkan cara
formasi masing-masing. Tempik-sorak makin menjadi-jadi, suara gamelan pun
makin bersemangat ketika lapisan pertama sudah saling
menyerang. Ini adalah pertempuran paling berat buat
pasukan perwira. Lapisan pertama ini jumlahnya hanya
sepuluh orang. Sedangkan di lain fihak, lapisan pertama
dari pasukan prajurit berjumlah limapuluh orang.
Ginggi mulai mengerti siasat perang formasi Merak-
Simpir ini. Lapisan pertama dengan jumlah terbatas diuji
kekuatannya dengan jumlah musuh yang lebih banyak. Bila
lapisan pertama ini gagal menghadang musuh, maka akan
bergerak lapisan kedua dengan jumlah berlipat dua. Bila
ternyata lapis kedua juga gagal membendung, maka akan
bergerak lapisan ketiga yang jumlahnya semakin berlipat
juga. Begitu seterusnya sampai tiba pada lapisan terakhir
tapi dengan jumlah barisan paling banyak.
Tapi pertempuran lapisan atau gelombang pertama
belum memerlukan bantuan gelombang kedua, sebab
sepuluh perwira pengawal raja kendati dikepung limapuluh
prajurit bersenjata lengkap nampak melakukan perlawanan
sengit. Sepuluh orang perwira sanggup berkelit dari serbuan
ujung-ujung tombak atau pedang, bahkan sebaliknya
berhasil membalas serangan. Dan kendati dilakukan dengan
tangan kosong, tapi jurus-jurus berkelahi mereka tinggi-
tinggi dan hebat-hebat. Ginggi terpesona sekaligus juga
heran, sebab ada beberapa gerakan dan jurus-jurus yang
mirip jurus kepunyaan Ki Darma.
Namun rasa heran di hatinya tak berlangsung lama,
sebab Ki Darma belasan tahun silam adalah anggota
pasukan seribu perwira pengawal raja. Ki Darma adalah
perwira senior yang pasti banyak menurunkan ilmunya
kepada sesama perwira yang pengalaman bertempurnya di
bawah Ki Darma. Teringat akan ini, Ginggi tersenyum kecut. Orangnya
sampai hari ini tidak disukai kalangan istana tapi ilmunya
tetap dipergunakan. Siasat bertempur dengan julukan Bajra-Panjara pun
sebenarnya demikian hebat. Semua barisan terlihat berjajar
kokoh seperti kokohnya jeruji penjara. Barisan lapis
pertama dalam menyerang dan bertahan tak mengubah
gaya formasi dan posisi. Mereka berjajar rapi, ketat dan
kuat sehingga tak memberikan peluang untuk lolos dari
kepungan. Mereka pun saling menunjang satu sama lain,
sehingga bila ada salah-satu anggota terdesak maka dua
anggota di samping kiri dan kanannya segera memberikan
bantuan. Begitu seterusnya. Namun ketangguhan formasi
apa pun hanya akan sempurna hasilnya bila didukung oleh
pelaku yang secara perorangan sempurna pula dalam
menampilkan kebolehan ilmu berkelahi.
Dan pasukan perwira pengawal raja ilmunya hampir dua
atau tiga tingkat di atas rata-rata prajurit biasa. Dalam
waktu yang tak terlalu lama, tiap gelombang atau lapisan
pasukanBajra-Panjara berhasil ditembus taktik perang
Merak-Simpiryang dilakukan dengan jurus-jurus
perseorangan yang demikian sempurnanya. Bajra-Panjara
berantakan karena anggota pasukannya telah lintang-
pukang dan cerai-berai. Tempik-sorak dan suitan tanda pujian bergemuruh di
seputar alun-alun menyambut kemenangan pasukan
pengawal raja. Sang Prabu Ratu Sakti pun nampak
mengangguk-angguk tanda senang dengan pertunjukan ini.
Latihan perang-perangan telah selesai tanpa
menimbulkan luka berarti kepada kedua anggota pasukan
tersebut. Dan kini tiba saatnya uji ketangkasan bagi para prajurit
yang akan mengalami kenaikan tingkat, disusul oleh uji
ketrampilan bagi ambarahayat yang bermaksud
mengabdikan diri menjadi Prajurit Pakuan.
Macam-macam cara ujian yang diselenggarakan. Dari
mulai ujian menggunakan ketrampilan menggunakan
tujuhbelas macam senjata, sampai kepada uji ketrampilan
berkelahi. Dari mulai uji menangkap banteng, sampai
kepada uji menangkap macam kumbang yang dilepas di
tengah alun-alun. Penonton, terutama kaum wanita dan
anak-anak, bergidig ngeri bahkan ada yang menjerit
ketakutan atau menutupi mata dan berlindung di balik
pohon karena tak kuasa melihat kegagahan macan
kumbang serta aumannya yang membelah dada. Namun
binatang buas itu tak mungkin lolos dari alun-alun dan
apalagi menyerang penonton.Yang menjadi sebab, karena
para perwira tangguh selalu siaga mengepung agar ruang
gerak binatang buas itu hanya terbatas di dalam kepungan
pengawal raja saja. Sedang asyik-asyiknya Ginggi menyaksikan semua
pertunjukan dan atraksi memikat ini tiba-tiba bahunya
ditepuk orang dari belakang. "Hei, kau prajurit Madi
rupanya!" teriak Ginggi gembira. "Sejak tadi aku cari-cari
kau, kemana saja?" tanyanya kembali akan menepuk bahu
Madi. Namun Madi segera menepiskan tepukan Ginggi.
"Kau jangan bertindak kurang ajar seperti itu. Aku kan
prajurit!" desis Madi melotot marah.
"Oh, maaf ?" kata Ginggi sambil senyum tetap di bibir.
"Aku sejak pagi sibuk terus. Aku kan prajurit. Dan ini
pestanya prajurit!" jawab Madi sombong.
"Tapi yang lain sibuk, kau malah tidak ?" gumam
Ginggi mencibir. "Dasar anak tolol. Yang sibuk bukan hanya di tengah
alun-alun saja. Ada juga yang melakukan kesibukan secara
diam-diam. Itulah aku, sebab aku musti memeriksa kalau-
kalau di sekeliling alun-alun keamanan tak terjamin," jawab
Madi. "Oh, begitu rupanya ?"
"Sekarang aku datang ke sini bukan sengaja cari-cari kau
tapi sedang bertugas jaga, siapa tahu di sini ada pengacau!"
kata Madi tak senang akan cibiran Ginggi.
"Pengacau?" Ginggi mengerutkan dahi.
"Ya, orang-orang bawel sepertimu bisa-bisa kutangkap
karena dianggap pengacau!" kata Madi jengkel.
"Hei, jangan marah seperti itu. Kau kan sudah jadi
prajurit," kata Ginggi. Madi hanya menjawab dengan
desisan. "Bagaimana, apa aku bisa ikut kerja lagi pada Raden Suji
Angkara?" tanya Ginggi kembali teringat hal ini.
"Kau lihat sana Raden Suji lagi sibuk!"
"Maksudku, ya nanti saja bila Raden Suji Angkara tidak
sibuk." "Ya, nanti saja bicaranya, tolol!" hardik Madi yang
nampaknya akan segera berlalu.
"Eh, aku dapat pesan dari Ki Banen, dia ingin bertemu
denganmu!" kata Madi menahan langkah.
"Ki Banen" Di mana aku bisa bertemu dengannya?"
"Huh, dia menjadi sering sakit-sakitan setibanya di sini.
Orang-orang pada ribut kerja diamalah sakit," kata Madi
kesal. Madi memberikan alamat di mana Ki Banen bisa
ditemui. Ketika acara uji ketrampilan masih berlangsung,
Ginggi segera meninggalkan tempat itu.
Hanya Ki Banen yang nampak baik padanya. Oleh sebab
itu mendengar orang tua itu sakit, Ginggi ingin
menengoknya. Ginggi melangkahkan kaki meninggalkan
alun-alun. Dia berjalan menyuri sebuah parit buatan yang
orang Pakuan menyebutnya sebagai Cipakancilan. Kata
Madi, Ki Banen tinggal disebuah rumah tua di tepi
Cipakancilan. Memang tidak sulit, sebab di beranda rumah
kayu jati ada orang gemuk berwajah bulat dan berkumis
tebal. "Ki Ogel ?" sapa Ginggi. Ki Ogel memicingkan kedua
matanya karena ingin jelas siapa yang menyapanya.
"Kau, anak muda?" Ki Ogel balik menyapa.
"Ya, kini aku beri tahu namaku, aku Ginggi!" jawab
pemuda itu sedikit terharu. Terharu, hanya dalam waktu
sembilan bulan saja wajah Ki Ogel sudah berubah.
Rambutnya yang kini digelung ke atas sudah penuh uban.
"Aku kau tinggalkan begitu saja di Sagaraherang.
Sekarang kalian kususul. Tapi, benarkah Ki Banen sakit?"
tanyanya. Ki Ogel hanya mengangguk lesu. "Mari masuk ?"
tukasnya. Ginggi masuk ke rumah tua itu. Ada ruangan tengah
cukup luas, dilengkapi satu ruangan tidur. Ki Ogel
menunjuk ke ruangan itu. Ginggi masuk dan nampak ada
orang tua tergolek lemah di lantai papan yang beralaskan
sebuah tikar. "Ki Banen?" sapa Ginggi.
Orang yang tergolek lemah itu membuka matanya pelan-
pelan. Dengan sorot mata sayu diamenatap siapa yang
datang. Tapi rupanya Ki Banen masih hafal Ginggi. "Kau
anak muda ?" "Aku Ginggi," kata pemuda itu mendekati tubuh tak
berdaya tersebut. Ki Banen mengulurkan tangannya. Dia
sepertinya ingin memegang tangan pemuda itu.
Ginggi mengerti. Dia segera memegang tangan Ki
Banen, kurus dan keriput. Ki Banen jauh lebih tua dari
umur yang sebenarnya. Jauh lebih tua dibandingkan dengan
wajah Ki Ogel yang nampak masih agak gemuk.
"Anak muda " mau apakah kau datang ke Pakuan ini?"
tanya Ki Banen dengan suara lemah hampir-hampir hanya
sebuah bisikan saja. "Aku " Bukankah aku sudah jadi anak buah Raden Suji
Angkara" Mengapa aku kalian tinggalkan di Sagaraherang"
Sudah barang tentu aku datang ke sini karena menyusul
kalian," kata Ginggi setengah berbohong.
"Jangan " Jangan ikut kerja di sini. Sebaiknya kau
pulanglah! Lebih baik kau selamatkan jiwamu!" Ki Banen
menggerak-gerakkan tangannya seperti mengusir Ginggi
pergi. Pemuda itu tak mengerti apa yang dimaksud Ki
Banen. Namun orang tua itu nampak payah untuk
melanjutkan omongannya. Dia hanya memegangi dadanya
saja dan mulutnya menahan batuk.
Ginggi menengok ke arah Ki Ogel. Dia ingin
mendapatkan penjelasan. "Tadi pagi memang Madi memberitahu kami bahwa
engkau datang ke Pakuan. Maka Ki Banen meminta agar
kau datang ke sini. Maksud Ki Banen memang begitu,
sebaiknya kau pulang saja dan jangan lanjutkan maksudmu
untuk mengabdi kepada Suji Angkara ?" kata Ki Ogel.
"Mengapa?" Ki Ogel menundukkan kepala. "Pokoknya kau pergi saja
dari sini. Kau tidak akan cocok bekerja dengannya,"
katanya sesudah lama berdiam diri.
"Aku ingin tahu, apa sebabnya aku tak boleh bekerja
kepada Raden Suji Angkara, padahal susah-payah aku
menempuh perjalanan jauh dari Sagaraherang ke Pakuan
ini," gumam Ginggi dengan nada sesal.
"Kau terangkan Ki Ogel ?" kata Ki Banen pada
Senja Jatuh Di Pajajaran Karya Aan Merdeka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
akhirnya. Ginggi kembali berpaling kepada Ki Ogel. Dia
amat penasaran ingin segera mendengarkan penjelasan Ki
Ogel. Dengan hati-hati karena penuh rasa khawatir, Ki Ogel
bercerita tentang pengalamannya ikut Suji Angkara selama
ini. Sejak dari Desa Cae, kedua orang tua ini memang sudah
berniat bergabung dengan Suji Angkara. Pertama untuk cari
pengalaman dan kedua mencari mata pencaharian yang
layak. "Kau mungkin tahu, Suji Angkara kelihatannya begitu
kaya dan setiap hari kerjanya berfoya-foya belaka," kata Ki
Ogel. "Anak pesolek itu senang berfoya-foya karena banyak
kekayaannya. Dia banyak memiliki kekayaan karena gemar
berniaga. Itulah sebabnya, ketika ada tugas mengirimkan
barang seba, Ki Ogel dan Ki Banen tertarik untuk ikut
serta." "Aku dan Ki Banen berpikir, bila usai tugas mengirim
seba, tidak akan kembali ke kampung halaman, melainkan
akan ikut Suji Angkara berniaga," ungkap Ki Ogel.
Namun apa yang terjadi" Sesudah bersama Suji Angkara,
baik Ki Ogel mau pun Ki Banen banyak mendapatkan
keganjilan. Kata Ki Ogel, cara kerja Suji Angkara dalam
menghimpun barang-barangseba tidak wajar.
"Engkau pernah menyindir kami ketika di Desa Wado
tentang cara-cara paksa dalam menarik seba yang dilakukan
Suji Angkara," kata Ki Ogel.
"Ya, benar! Waktu itu aku tak senang tindakan Raden
Suji Angkara sebab mengambil seba di desa itu terlalu
kasar!" kata Ginggi.
"Aku juga waktu itu tidak senang. Tapi aku menahan diri
sebab aku masih punya harapan dari anak itu," kata Ki
Ogel. Ki Ogel melanjutkan ceritanya tentang kejanggalan yang
diperlihatkan Suji Angkara. Di Desa Wado pemuda tampan
itu kepergok Ki Banen menggoda anak gadis warga desa.
Mereka anggap Suji Angkara bertindak tak senonoh sebab
mengganggu anak gadis orang yang minggu depannya akan
melangsungkan perkawinan.
"Namun kami tak melakukan teguran. Apa pun yang
terjadi, Suji Angkara adalah putra Kuwu Suntara yang
begitu disayang orang tuanya, sedangkan kami semua
menghormat pada Kuwu," kata Ki Ogel.
Ki Ogel melanjutkan ceritanya. Perasaan tak enak
semakin membebani hatinya ketika anak gadis di Desa
Wado mati bunuh diri. "Menurut berita, gadis itu bunuh diri karena kecewa
biaya untuk upacara pernikahan sebagian besar habis guna
membayar seba, Tapi benarkah begitu" Kami mencurigai
sesuatu hal. Tapi kami tak sanggup mengatakan apa-apa,"
kata Ki Ogel menghela nafas.
"Peristiwa yang sama terjadi pula di wilayah
Kandagalante Tanjungpura. Anak gadis Jurangan Ilun Rosa
mati bunuh diri, setelah gadis itu sehari sebelumnya digoda
Suji Angkara. Kami menemukan banyak keganjilan. Setiap
kami masuk ke sebuah wilayah, setiap itu pula ada gadis
bunuh diri. Di Warunggede ada juga gadis bunuh diri.
Apakah memang kami patut bercuriga, entahlah. Hanya
yang jelas, setiap kami memasuki satu wilayah, selalu saja
ada peristiwa menyedihkan," kata Ki Ogel.
"Dengan kata lain kau mengatakan bahwa setiap di situ
ada Suji Angkara, maka di sana ada peristiwa. Begitukah?"
tanya Ginggi. Ki Ogel tak berani menganggukkan kepala. Sedangkan
Ki Banen hanya tergolek saja dengan pernapasan lemah.
"Pemuda Seta dan Madi bagaimana?" tanya Ginggi.
"Seta pernah mengatakan hal ini padaku. Tapi akhirnya
dia melupakan urusan ini. Seta terlalu setia kepada Suji
Angkara sebab selalu mendapatkan perhatian lebih dari
pemuda itu. Sekarang Seta menjadi ponggawa istana dan
Madi jadi prajurit tugur benteng dalam. Mereka berdua
amat berterima kasih pada Suji Angkara yang dianggapnya
begitu berjasa mengangkat nasib mereka. Bila sudah kerja
selama setahun, khabarnya Seta akan pulang dulu ke Cae
untuk melangsungkan perkawinan dengan Nyi Santimi,"
kata Ki Ogel. Jantung Ginggi berdegup mendengarnya. Perasaan tak
enak menyelimuti hatinya bila harus diingatkan kepada
nama gadis Desa Cae ini. Setiap kali mengingat Nyi
Santimi pasti ingat peristiwa aib yang amat memalukannya.
"Lalu, mengapa Ki Banen sampai menderita sakit seperti
ini?" tanya Ginggi kembali memperhatikan orang tua
tergolek lemah di hadapannya.
"Yah " dia memang sakit keras," keluh Ki Ogel.
"Aku tanya mengapa dia sakit" Apa penyebabnya?"
tanya Ginggi lagi. "Betul " aku sakit keras," sambung Ki Banen sambil
kembali menahan batuk. Namun dia tak bisa menahan
terus. Sehingga pada suatu saat dia batuk-batuk dengan
keras. Ki Banen serentak bangkit karena batuk-batuknya
diakhiri dengan memuntahkan darah hitam!
Ginggi buru-buru menyeka lelehan darah dari mulut
orang tua itu dengan kain yang tersedia di sana. "Engkau
bukan sakit biasa. Engkau menderita karena ada luka
dalam, Paman!" kata Ginggi. "Siapa yang memukulmu
sekejam ini?" Ki Ogel terbelalak heran. Begitu pun Ki Banen, matanya
yang layu mendadak terbuka lebar.
"Kau ?" Dari mana engkau tahu dia sakit karena
dipukul?" tanya Ki Ogel.
Ginggi sejenak terdiam. Hatinya mencari jawaban yang
sekiranya tak mengundang perhatian mereka berdua. "Ya,
karena darah hitammu itulah. Luka dalammu
menyebabkan jaringan darahmu rusak berat," kata Ginggi.
"Coba aku lihat dadamu, Paman," tanpa diminta Ginggi
membuka pakaian Ki Banen di bagian dadanya. Ada tanda
kehitaman amat tipis dan hampir menghilang, menandakan
bahwa luka itu sudah lama terjadi. "Kau pasti dipukul orang
sekitar sebulan yang lalu," kata Ginggi mengira-ngira. Ki
Banen mengangguk tanda membenarkan.
"Siapa yang melukaimu dengan pukulan tenaga dalam
ini?" tanya Ginggi lagi. Ki Banen menggelengkan kepala.
"Engkau merahasaikannya padaku?" Ginggi melirik
tajam. "Tidak. Aku memang tidak tahu siapa yaang memukul
aku," kata Ki Banen.
"Coba ceritakan peristiwanya."
Ki Banen terdiam. "Ceritakanlah, Paman ?"
"Ini mungkin imbalan bagi orang yang selalu bercuriga,"
gumam Ki Banen."Suji Angkara selalu memperhatikan Nyi
Mas Banyak Inten" katanya lagi.
Ginggi mengerutkan dahi. "Baiklah aku terangkan sebelumnya," potong Ki Ogel
manakala melihat Ginggi kebingungan.
Ki Ogel bercerita lagi, bahwa di Pakuan terdapat banyak
pejabat dan kaum bangsawan. Yang terkenal saja, Ki Ogel
menyebut Bangsawan Soka. Dia masih kerabat Raja dan
menjabat mangkubumi. Ada Pangeran Yogascitra, juga
masih kerabat Raja. Dia punya dua orang anak putra dan
putri. Yang laki-laki, anak pertama, bernama Banyak
Angga, sedangkan yang kedua putri bernama Nyi Mas
Banyak Inten. Ada juga Bangsawan Bagus Seta. Punya
anak perempuan cantik yang bernama Layang Kingkin.
Gadis ini punya hubungan cinta dengan Banyak Angga,
putra Bangsawan Yogascitra.
"Bangsawan Bagus Seta ini menjabat muhara, Bila Suji
Angkara datang ke Pakuan, maka yang dimaksudnya
adalah Bangsawan Bagus Seta. Kami tak tahu apa
hubungan atau keperluan Suji Angkara kepada Bangsawan
Bagus Seta," kata Ki Ogel.
Ginggi sudah sejak tadi menahan nafas mendengar
penjelasan ini. Lengkap sudah murid-murid Ki Darma
semua ditemukan. Dan semuanya amat mengejutkan,
terutama Ki Banaspati dan Bangsawan Bagus Seta.
Bayangkanlah, pertama kali Ginggi temukan Ki Banaspati.
Dia dikenal sebagai pejabat Pakuan yang jadi tangan kanan
muhara atau pejabat penarik pajak negara. Sekarang murid
Ki Darma lainnya ditemukan sebagai pejabat muhara itu
sendiri. Dengan perkataan lain, Ki Banaspati menjadi
bawahan Bangsawan Bagus Seta. Tapi di lain pihak Ginggi
tahubahwa Ki Banaspati tidak seutuhnya bekerja untuk
Pakuan, maksudnya untuk Raja. Sebab seperti yang
dikemukakannya tempo hari, Ki Banaspati akan
menghimpun kekuatan guna melakukan penyerbuan ke
Pakuan kelak. (O-anikz-O) Keliru Pilih Obat Satu hal yang membuat Ginggi heran. Benarkah Ki
Bagus Seta menjadi muhara " Ginggi tempo hari pernah
mendapatkan kabar di Sagaraherang, bahwa yang menjadi
muhara di Pakuan adalah Bangsawan Soka. Sekarang ada
kenyataan lain, bahwa Ki Bagus Setalah yang menjadi
pejabat muhara, sedangkan Bangsawan Soka bertindak
sebagai mangkubumi. Ginggi tidak mengetahui, jabatan mana yang lebih tinggi
antara muhara dan mangkubumi, Bisa salah satu lebih
tinggi, tapi bisa juga sejajar. Tapi yang perlu digarisbawahi,
jabatan muhara dipegang Ki Bagus Seta bisa merupakan
misteri bila dikaitkan dengan Ki Banaspati.
Bagaimana tak begitu, baik Ki Bagus Seta mau pun Ki
Banaspati adalah murid-murid Ki Darma. Kedua orang itu
sama-sama dibebani tugas untuk menolong ambarahayat
Pajajaran dari tekanan Raja. Sekarang Ginggi sudah
mengetahui maksud tersembunyi Ki Banaspati. Kendati dia
bekerja sebagai aparat muhara, tapi sebagian kekayaan
negara dari hasil seba dia sisihkan untuk keperluan
pemberontakan. Lantas peranan Ki Bagus Seta sendiri,
bagaimana" Mungkinkah kedua murid Ki Darma yang
berhasil mencapai kedudukan penting di Pakuan ini
bersekutu dalam mencapai maksud-maksud tertentu"
Persekutuan ini mungkin amat rahasia. Siapa pun tak
mengetahuinya, termasuk Suji Angkara. Itulah sebabnya,
anak muda itu harus dilenyapkan seperti apa perintah Ki
Banaspati kepada Ginggi. Siapa pun adanya Suji Angkara
ini, akan benar-benar membahayakan bila dibiarkan
melaporkan penemuannya ke Pakuan. Hanya yang
menyebabkan Suji Angkara hingga hari ini masih selamat
nyawanya, barangkali karena hubungannya dengan Ki
Bagus Seta itulah. Seperti yang dikatakan Ki Ogel tadi, Suji
Angkara seperti punya hubungan erat dengan Ki Bagus
Seta. Ginggi tidak pernah melaksanakan perintah Ki
Banaspati untuk membunuh Suji Angkara. Dan bila tetap
anak muda itu dianggap membahayakan, seharusnya Ki
Banaspati sudah melenyapkan Suji Angkara di Pakuan.
Namun kenyataannya, anak muda itu masih segar-bugar.
Benarkah sudah tak membahayakan, atau bagaimana"
Biarlah, waktu yang akan menentukan kelak, pikir
Ginggi karena berbagai misteri yang ada di sekitarnya
masih banyak yang tak memberi jawab.
Dia tak bisa berpikir lebih panjang lagi, apalagi dia
sekarang tengah menyimak cerita Ki Ogel.
"Coba lanjutkan ceritamu, Paman ?" kata Ginggi lagi
tak sabar karena Ki Ogel pergi ke dapur untuk menjerang
air. Ki Ogel kembali duduk di hadapan Ginggi dan Ki Banen
yang tergolek lemah. "Ya, begitu seperti apa kata Ki Banen. Dia amat
bercuriga kepada Suji Angkara. Itulah sebabnya, ketika
anak muda itu kerap kali mendekati Nyimas Banyak Inten,
Ki Banen selalu menguntit. Sampai pada suatu saat ?"
"Sampai pada suatu saat bagaimana, Paman?" Ginggi tak
sabar. Ki Banen batuk-batuk lagi, muntahkan darah hitam lagi
walau hanya berupa bercak. Dan Ginggi terpaksa
membantu menyekanya dengan kain yang ada di
hadapannya. Ki Ogel sibuk pergi ke dapur. Kembali lagi
sudah membawa air hangat di panci kayu. Mulut Ki Banen
dibersihkan dengan air hangat, disekanya beberapa kali.
"Ki Banen bercerita padaku. Malam itu bulan
benderang," kata Ki Ogel sesudah merawat Ki Banen. "Ki
Banen terkejut ketika ia bertugas sebagai tugur benteng, ada
bayangan berkelebat memasuki puri di mana Nyimas
Banyak Inten berada. Ki Banen tak tahu, bayangan
siapakah itu. Tapi karena rasa curiganya telah melekat pada
Suji Angkara, Ki Banen langsung menduga bahwa yang
datang mengunjungi puri secara sembunyi-sembunyi tentu
berniat jahat. Menurut Ki Banen, bayangan itu pasti Suji
Angkara," kata Ki Ogel.
Ginggi menoleh kepada Ki Banen.
"Benarkah, Paman?" tanya Ginggi pada Ki Banen. Yang
ditanya hanya termenung. Kemudian dengan perlahan dia
menggelengkan kepala. "Aku hanya menduga saja. Kendati bulan benderang,
tapi bayangan itu meloncat-loncat dengan lincah. Mataku
tak sanggup mengikutinya dengan jelas," jawab Ki Banen.
Selanjutnya Ki Banen bercerita bahwa karena rasa
penasarannya, dia terus menguntit bayangan itu.
"Tapi akhirnya aku kehilangan jejak. Kucari ke mana-
mana, tapi bayangan misterius itu tidak kutemukan. Putus
asa karena tak kutemukan yang aku kuntit, akhirnya aku
kembali keluar benteng. Dan ketika itulah, di sudut benteng
aku dihadang seseorang ?"
"Siapa dia?" "Aku tak tahu. Gerakannya begitu cepat. Dia
menghambur padaku dan melancarkan serangan pukulan
dahsyat. Tubuhku terlontar beberapa tindak dan tak
sadarkan diri ?" kata Ki Banen memegangi dadanya.
"Tidak sempatkah kau lihat wajahnya walau hanya
sebentar" Bukankah waktu itu bulan benderang?" tanya
Ginggi penasaran.
Senja Jatuh Di Pajajaran Karya Aan Merdeka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Benar. Tapi bulan telah condong ke barat. Dia
menyerang membelakangi cahaya bulan. Jadi hanya
bayangannya saja yang aku lihat. Dan aku tak kenal, siapa
penyerang gelap ini," keluh Ki Banen. Tapi Ki Banen yakin,
orang itulah yang secara diam-diam memasuki puri. Sebab
setelah tahu dia dikuntit, dia mengurungkan rencananya.
"Hanya saja sebelum dia pergi, dia balas dendam sebab
kegagalannya melakukan sesuatu karena kuntitanku itu,"
kata Ki Banen. Batuk-batuk lagi. Dan Ginggi sudah siap
dengan kain lap. Namun batuk Ki Banen tak berlangsung lama dan tak
sampai muntahkan darah. "Luka dalammu amat parah, Paman. Celakanya, selama
ini nampaknya kau tak menggubris lukamu itu," kata
Ginggi. "Aku setiap hari berobat dengan telaten. Madi selalu
setia memberikan ramuan yang aku harus minum setiap
hari," jawab Ki Banen.
"Ah, aku tak melihat kau berobat. Kalau lukamu terus
diobati, pasti sembuh. Tapi darah hitammu itu hanya
menandakan ada luka lama yang tak pernah sembuh. Coba
aku lihat ramuan obatmu bila benar kau berobat setiap
hari," kata Ginggi. Ki Ogel dan Ki Banen saling pandang.
"Engkau harus percaya padaku. Bukankah ketika terjadi
pertempuran di hutan jati, aku banyak mengobati anak
buah Suji Angkara yang terluka sabetan golok perampok?"
tanya Ginggi sekaligus mengingatkan kedua orang itu
bahwa dirinya "akhli" pengobatan.
"Ya, betul! Kau bisa mengobati orang sakit!" Ki Ogel
menepuk dahinya. Sesudah itu dia segera berjingkat
memburu sudut ruangan. Di sana ada meja kecil. Dan di
atas meja ada bungkusan kain. Bungkusan itu dibawa ke
hadapan Ginggi. "Ini obat pemberian Madi," kata Ki Ogel memberikan
bungkusan obat yang sudah dibukanya sendiri. Ginggi coba
meneliti ramuan itu. Hanya berupa serpihan-serpihan kayu
yang sudah dikeringkan. "Ramuan ini digodok dan airnya diminum setiap pagi
dan sore," kata Ki Ogel.
Ginggi seperti tak mendengar omongan orang tua ini
karena matanya tengah meneliti jenis ramuan itu.
"Ini ramuan yang dibuat dari irisan batang kayu petai
cina dan batang kayu pohon gedi," kata Ginggi memegang-
megang serpihan kayu tersebut.
"Bagaimana, cocokkah ramuan ini?" tanya Ki Ogel.
"Batang pohon petai cina gunanya untuk mengeringkan
luka dan kayu gedi merupakan obat untuk melancarkan
jalannya darah," kata Ginggi.
"Ya, cocokkah ramuan itu untuk mengobati luka Ki
Banen?" Ginggi masih tak mengeluarkan jawaban pasti. Alisnya
berkerut dan matanya menyipit tanda dia tengah berpikir
keras. "Daun dan batang pohon petai cina gunanya untuk
merapatkan luka karena luka sabetan benda tajam. Aku
biasanya hanya menggunakan ramuan ini untuk obat luar
saja. Entahlah, bagaimana kemungkinannya bila digunakan
obat luka dalam, sebab luka dalam bukan karena ada otot
yang sobek dan mengeluarkan darah misalnya," Ginggi
terus menyipitkan mata saking kerasnya berpikir.
"Oh,ya, " Jangan diminum ramuan ini!" ucapnya
kemudian. Baik Ki Ogel mau pun Ki Banen melirik tajam
pada Ginggi. "Petai cina bila digunakan menutup luka luar akan
bekerja cepat mengeringkan darah. Sedangkan bila
digunakan terhadap luka dalam dan masuk ke dalam aliran
darah, hanya akan membuat darah menggumpal dan
membeku. Bila pengobatan ini terus berlangsung, maka
aliran darah akan tersumbat oleh darah-darah beku," kata
Ginggi yakin. "Dan batang pohon gedi sebagai obat pelancar aliran
darah, bagaimana?" tanya Ki Ogel.
"Ya, ramuan itu pun sama jangan diminum. Kau
bayangkanlah Paman, sesuatu yang sedang tersumbat, kau
dorong-dorong dengan cara paksa, bagaimana akibatnya?"
tanya Ginggi. "Saluran darah akan rusak, mungkin bocor, mungkin
pecah!" kata Ki Ogel.
"Nah, benar begitu!" seru Ginggi.
"Berbahaya sekali! Bila begitu si Madi akan membunuh
Ki Banen. Kurang ajar. Aku harus menuntut bocah dungu
itu!" teriak Ki Ogel.
"Jangan terburu nafsu. Barangkali Madi tak menyadari
kegunaan obat itu. Sebaiknya kita teliti saja, darimana dia
dapatkan ramuan itu," kata Ginggi. "Aku kira Madi tak
berniat jahat. Lagi pula ramuan itu memang obat dan bukan
racun. Hanya saja tak tepat bila digunakan mengobati luka
dalam," ungkap Ginggi lagi.
Setelah mengeluarkan pendapatnya, Ginggi berjanji akan
mencarikan obat yang tepat bagi kesembuhan Ki Banen.
"Sekarang aku ingin tanya, mengapa sembilan bulan lalu
kalian meninggalkanku secara tiba-tiba di Sagaraherang.
Sepertinya kalian pergi dari tempat itu secara tergesa-gesa
sekali," kata Ginggi menyelidik.
"Itulah bagian dari keganjilan-keganjilan Suji Angkara,
anak muda. Dia selalu bertidak aneh. Suka melakukan
sesuatu secara diam-diam," kata Ki Ogel. "Tengah malam
kami berempat dibangunkan dan diajaknya melanjutkan
perjalanan ke Pakuan. Ketika aku tanya, mengapa mesti
buru-buru seperti itu, dia malah membentak. Aku tak tahu,
apa sebenarnya yang terjadi. Padahal di Sagaraherang
engkau pun tahu, kita dilayani dengan baik. Mungkin dia
curigai Ki Banaspati karena perampok di hutan jati
menyebutnya seolah-olah Ki Banaspati pimpinan mereka.
Tapi, bukankah Ki Banaspati sudah bilang bahwa itu hanya
fitnah belaka?" kata Ki Ogel menceritakan kembali
peristiwa mengapa mereka berangakat secara tiba-tiba dari
Sagaraherang. Hanya Ginggi yang tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Namun tadi Ginggi sengaja bertanya karena hanya akan
mengecek saja, apakah para pengikut Suji Angkara tahu
persis peristiwa di Sagaraherang"
"Kalau begitu kalian tak sayang padaku, sehingga
meninggalkanku begitu saja ?" gumam Ginggi pura-pura
menyesal dengan peristiwa itu.
"Ki Banen sudah bilang, dia akan cari kau dulu untuk
diajak serta. Tapi Seta menolaknya, sebab sebelumnya pun
kau tak ikut rombongan kami. Apalagi Suji Angkara
nampaknya begitu amat tergesa-gesa ingin segera
meninggalkan tempat itu secara diam-diam," kata Ki Ogel.
"Tapi sudah aku katakan tadi, sebaiknya kau jangan
bergabung dengan Suji Angkara," kata Ki Banen menimpali
sambil tetap tergolek lemah.
"Selama ini hidupku terkatung-katung, ingin sekali kerja.
Suji Angkara pernah menawariku kerja," gumam Ginggi.
"Carilah kerja di mana saja tapi jangan pada Suji
Angkara," Ki Banen balik bergumam.
"Betul, anak muda. Kau ini sok usil mudah mengeritik
orang. Bila kau terang-terangan mengeritik tindak-tanduk
Suji Angkara, bisa membahayakan dirimu. Di Pakuan ini
nampaknya dia punya pengaruh, entah karena apa. Namun
yang jelas, banyak orang yang segan padanya, terutama di
kalangan istana ?" kata Ki Ogel sambil mendongakkan
kepala ke langit-langit seolah-olah tengah menerka-nerka
apa kedudukan Suji Angkara di Pakuan ini.
Ginggi pun sebenarnya berpikiran sama. Suji Angkara ini
amat misterius sampai-sampai menimbulkan perhatian
khusus bagi Ki Banaspati ketika di Sagaraherang. Padahal
yang Ginggi tahu, sebelumnya Ki Banaspati menganggap
pemuda itu sebagai bawahannya dalam menghimpun seba
di wilayah timur. Untuk berusaha membuka tabir-tabir ini,
tak ada cara lain selain langsung memasuki istana. Ginggi
harus membuka banyak tabir. Bagaimana pandangan
kalangan istana terhadap kegiatan Ki Banaspati, termasuk
pula pandangan Ki Bagus Seta. Ginggi juga harus
menyelidik, apa kegiatan sebenarnya dari Ki bagus Seta.
Apakah dia bertindak murni sebagai pejabat Pakuan,
ataukah memiliki tujuan khusus seperti Ki Banaspati. Dan
bila mengingat akan hal ini, pemuda itu jadi termenung.
Kalau ternyata Ki Banaspati dan Ki Bagus Seta bersekutu
untuk menjatuhkan Raja, apa yang harus dilakukan Ginggi"
Berpangku tangan, mencoba menggagalkannya, ataukah
sama sekali bergabung ikut membantu"
Berkerut dahi pemuda itu. Bila ikut bantu, artinya
artinya terjun dalam upaya pemberontakan. Ki Rangga
Guna pernah bilang, memberontak terhadap pemerintahan
yang syah adalah tindakan hina dan jahat sebab akan
mengakibatkan suasana negara semakin kacau. Rakyat pun
akan menderita sebab di antara mereka akan terjadi pro dan
kontra. Pemberontakan yang bertujuan akan mengganti
tatanan negara, menurut Ki Rangga Guna hanya akan
mengembalikan negara ke titik nol lagi.
"Seorang pemimpin yang bertahta karena menggantikan
raja lama dengan kekerasan biasanya tidak senang bila
dalam melanjutkan kepemimpinannya mengikuti tata-cara
raja yang dijatuhkannya. Dengan demikian dia jelas akan
mengubah gaya kepemimpinannya. Dia akan mengganti
seluruh aparatnya, mungkin dengan yang lebih bagus lagi,
tapi mungkin hanya sebagai jatah bagi hasil atas jasa-jasa
orang yang membantunya melakukan pemberontakan dan
bukan dihitung atas dasar mampu atau tidaknya menjadi
aparat. Yang jelas, mengganti tatanan negara beserta
aparatnya, hanya akan mengembalikan cita-cita kemajuan
negara ke tingkat awal. Rakyat yang akan jadi korban sebab
mereka tak ada habis-habisnya disuruh berjuang dari awal
lagi," kata Ki Rangga Guna ketika itu.
Selama tiga bulan Ki Rangga Guna bersamanya,
memang banyak memberikan berbagai pengetahuan,
termasuk pengetahuan akan kejadian masa lalu. Menurut
Ki Rangga Guna, selama hampir 900 tahun ini Kerajaan
Sunda berdiri, dan berubah menjadi Pajajaran 68 tahun
silam (1482 Masehi), sudah dipimpin oleh 38 raja.
Pergantian dari raja ke raja lainnya dilakukan secara damai
dan penurunan tahta secara kekerasan bukanlah tradisi
orang Sunda. Kata Ki Rangga Guna, dari 38 raja yang memegang
tahta Kerajaan Sunda, hanya tiga raja yang tergantikan
kedudukannya karena pemberontakan, yaitu Sang Prabu
Rakean Tamperan Barmawijaya (723-739 Masehi), dua raja
lagi yang hidup sebelum Sang Prabu Rakeyan Tamperan
Barmawijaya, yaitu terhadap Sang Sena (716 Masehi) dan
kepada Prabu Purbasora (723 Masehi) ayahandanya Sang
Prabu Rakeyan Tamperan Barmawijaya.
"Peristiwa pemberontakan dan perebutan kekuasaan ini
terjadi karena saling balas-membalas keluarga masing-
masing," kata Ki Rangga Guna. "Jadi terbukti, pergantian
kekuasaan dengan jalan kekerasan dan rebutan, hanya akan
melahirkan kekerasan lainnya lagi. Itulah sebabnya, para
penerus raja-raja Sunda menghindari berbagai pertikaian di
dalam negri. Hanya dua raja yang tergantikan karena
pembunuhan. Sang Prabu Arya Kedaton, raja Sunda ke 9
terbunuh oleh menterinya sendiri karena tak senang atas
asal-usul Sang Raja. Tetapi Raja Sunda ke 31 terbunuh
karena sesuatu hal yang terhormat. Beliau adalah Prabu
Wangi atau Sang Prabu Maharaja Linggabuana yang tewas
dalam pertempuran membela kehormatan dan harga diri di
Bubat, negri timur. Pergantian kekuasaan lainnya yang
dialami raja-raja Sunda terjadi secara wajar-wajar saja tanpa
ada kemelut yang berarti. Hal-hal seperti ini setidaknya
akan membantu kerukunan di dalam negri sendiri," tutur Ki
Rangga Guna yang pada prinsipnya tak menghendaki
adanya pemberontakan yang bertujuan merebut kekuasaan
negara. Siapa yang harus Ginggi ikuti pendapatnya, dia masih
bimbang memikirkannya. Namun bila dia hanya berpangku
tangan saja, dia akan malu terhadap Ki Darma, sebab
hanya menandakan bahwa hidupnya tiada guna. Apa pun
yang dilakukan Ki Banaspati, sebenarnya adalah upaya
melawan kebijaksanaan raja yang dalam hal ini
dianggapnya sebagai amanat guru. Namun jalan pikiran Ki
Rangga Guna yang menolak pemberontakan pun pada
hematnya suatu upaya dalam menjalankan amanat guru
juga. Ki Darma acapkali berkata, agar semua muridnya
berjuang mengembalikan kejayaan bumi Pajajaran. Hanya
bedanya, Ki Banaspati menafsirkan ucapan guru dengan
jalan memberontak dan Ki Rangga Guna menafsirkan
dengan jalan berupaya bekerja agar Pajajaran aman dan
tentram. Semua sepertinya berjalan di atas kebenaran.
Tetapi tetap saja amat membingungkan pikiran Ginggi.
Sampai percakapan dengan kedua orang itu selesai, jalan
pikiran pemuda itu masih digayuti kebimbangan-
kebimbangan. "Aku akan jalan-jalan melihat kota, Paman ?" akhirnya.
"Silakan kau berkeliling kota. Tapi hati-hati jangan
membuat keributan. Bila sudah malam, kau pulanglah ke
sini," kata Ki Ogel.
Ginggi mengangguk sebagai tanda terima kasih atas
penerimaan kedua orang tua itu untuk tinggal di sana. Dan
sesudah mohon diri, pemuda itu segera berlalu
meninggalkan rumah kayu tua di tepi Sungai Cipakancilan
ini. Hari sudah amat siang. Di alun-alun benteng luar pun,
keramaian sudah usai. Kecuali balandongan belum
dibongkar seluruhnya. Ada satu dua petugas membereskan
sisa-sisa keramaian. Mereka bekerja dengan telaten kendati
sinar matahari sudah semakin menyengat.
Mungkin acara uji-terampil yang tadi diselenggarakan
sudah menghasilkan beberapa prajurit pilihan untuk kelak
dididik dan digodok agar menjadi perwira tangguh.
Mungkin juga sudah banyak ambarahayat yang terpilih
Senja Jatuh Di Pajajaran Karya Aan Merdeka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sebagai calon prajurit Pajajaran. Namun yang jelas, Ginggi
kurang begitu berminat untuk menyimak urusan yang satu
itu. Di saat sengatan matahari siang, dia malah berkeliling
Pakuan untuk mengenal suasana ibukota ini lebih rinci lagi.
Sekarang Ginggi bisa memperhatikan wilayah ini lebih
seksama lagi. Seperti apa yang diterangkan seorang penduduk, Pakuan
terdiri dari dua bagian, pertama wilayah jawi khita (kota
luar) dan dalem khita (kota dalam). Batas-batas wilayah itu
memang dibatasi oleh khita (benteng), ada benteng luar dan
ada benteng dalam. Kaum santana, pedagang dan
ambarahayat tinggal di benteng luar, sedangkan para
bangsawan, pejabat dan kerabat raja tinggal di benteng
dalam. Ketika Ginggi masuk kedayo (kota) dari arah timur,
Ginggi mesti menyebrang sungai bernama Cihaliwung
(Ciliwung). Kata penduduk, sebenarnya dayo diapit dua
sungai besar. Di sebelah timur oleh Sungai Cihaliwung dan
di sebelah barat oleh Sungai Cisadane. Dua aliran sungai ini
biasa dilayari sampai ke muara. Cisadane berakhir di muara
Tangerang dan Cihaliwung berakhir di Kalapa (Sunda
Kalapa). Dulu ketika zamannya Sri Baduga Maharaja,
kedua sungai ini merupakan pelabuhan laut yang
menghubungkan perdagangan antara Pakuan dan negri-
negri sebrang. Barang-barang kiriman dari negri sabrang
bisa dibawa langsung sampai ke pedalaman Pakuan ini.
Setiap hari lalu-lintas sungai selalu ramai. Perahu dari
muara datang membawa kain halus, barang-barang keramik
dari Cina atau berbagai keperluan hidup yang belum dibuat
di Pakuan. Sebaliknya dari pedalaman, perahu beriringan
membawa hasil bumi Pakuan untuk dikirimkan ke berbagai
negri sebrang. Kapas dan buah asem, bawang merah
bahkan anggur, akan dibawa perahu-perahu kecil menuju
muara di mana di sana terdapat pelabuhan laut. Barang-
barang Pakuan kelak akan dipindahkan kejung (kapal
besar). Dalam satu tahun, hampir seribu jung meninggalkan
Pelabuhan Kalapa (Kalapa Sunda) sambil membawa buah
asem saja. Sekarang zamannya Prabu Ratu Sakti Sang Mangabatan,
kedua sungai ini masih tetap dilayari tapi hanya sebatas
wilayah Pakuan saja. Perahu-perahu kecil milik orang
Pakuan sudah tak berani melanjutkan perjalanan ke utara
sampai muara, sebab wilayah tersebut sudah jadi milik
kekuasaan Cirebon. Begitu pun perdagangan antar negri,
semua sudah jadi milik Cirebon. Kalau pun ada barang-
barang dari negri sabrang masuk ke wilayah Pakuan, itu
terjadi karena kenekatan para penyelundup saja.
(O-anikz-O) Pesta Ikan di Sipatahunan
Masukke tengah dayo juga ada sungai. Penduduk
menyebutnya sebagai Sungai Cipakancilan atau Cipeucang.
Sungai ini ada di antara batas dalem khita dan alun-alun.
Atau dengan kata lain, sungai ini seolah-olah melindungi
benteng dalam. Menurut orang tua yang ditanyai Ginggi,
Cipakancilan atau Cipeucang ini sebetulnya sungai yang
sengaja dibangun untuk pertahanan istana. Sebelum masuk
kelawang saketeng (gerbang keraton), sebelumnya mesti
melintasi Sungai Cipakancilan dulu.
Cukup kokoh sebagai pertahanan. Apalagi bila dilihat
dari arah selatan, sisi-sisi Cipakancilan berupa tebing terjal
di tepian benteng dalam. Pusat istana nampak nyata sebagai
daerah dataran tinggi. Ketika Ginggi menyusuri jawi khita (benteng dalam)
menuju arah timur, sayup-sayup Ginggi mendengar hingar-
bingar, seperti banyak orng bersorak-sorai. Suara hingar-
bingar itu sepertinya datang dari arah tepian Sungai
Ciliwung. "Paman, ada kejadian apakah di sudut benteng timur?"
tanya Ginggi kepada seseorang yang tengah memikul
bawaan dan nampaknya datang dari arah timur.
"Engkau tidak ikut ramai-ramai ke sana, anak muda?"
orang itu malah balik bertanya sambil terus melangkah
cepat karena pikulannya itu.
"Ada apa di sana, Paman?"
"Orang-orang sedang marak dileuwi Kamala Wijaya!"
ucap orang itu sambil tetap melangkah tergesa-gesa.
Ginggi melangkah menuju arah yang ditunjukkan orang
itu. Sepemakan sirih jauhnya, baru dia sampai ke tempat
yang dimaksud. Suara sorak-sorai gegap-gempita memang
datang dari tempat itu, yaitu Sungai Cihaliwung.
Ratusan orang tua-muda, besar-kecil, laki-laki dan
wanita, berderet dan berkelompok di tepi sungai. Mereka
tengah menunggu sesuatu sambil berbekal alat-alat
penangkap ikan. Mereka ada yang berbekal jaring,ayakan,
atau ember kayu. Semua orang tengah menyaksikan dan
menunggu teman-temannya yang berada di tengah sungai.
Sungai Cihaliwung sedang dibendung, sehingga hanya
sebagian kecil saja air mengalir dari sela-sela bendungan.
Jadi yang disebut marak oleh orang yang ditanya tadi
adalah pekerjaan menangkap ikan dengan cara
membendung bagian sungai agar ke daerah hilir,
permukaan sungai menjadi turun hingga ke dasar. Jauh di
hilir, ada lagi bendungan agar ikan di daerah aliran yang
tengah dibendung tidak lari ke hilir.
Bagian yang dibendung merupakan aliran sungai paling
dalam. Jadi, Leuwi Kamala Wijaya adalah lubuk yang ada
di aliran Sungai Cihaliwung.
Ketika Ginggi bertanya lagi kepada yang kebetulan
menyaksikan acara ini, orang itu menjelaskan bahwa ini
bagian dari acara menyambut panen tahunan di Pakuan.
Kata orang itu, setiap tahun di Pakuan diadakan acara
menyambut panen. Hampir 49 hari lamanya dan ada
macam-macam acara. Acara tahunan ini di antaranya
dihadiri juga oleh para penguasa dari wilayah-wilayah
seputar Pakuan, yang kebetulan membawa seba tahunan.
Berbagai upacara keagamaan dilangsungkan dalam pesta
panen itu, di antaranya upacara kuwerabakti,
Menurut penjelasan yang didapat Ginggi, Kuwera
adalah semacam dewa kemakmuran, suami Dewi Sri, ratu
padi-padian. Kuwerabakti adalah upacara penghormatan
dan sebagai tanda terima kasih manusia terhadap dewa
pelindung pangan sehingga pengisi jagat ini mengalami
kemakmuran. "Sebelum diadakan acara kuwerabakti, raja dan seluruh
keluarga akan mandi suci di Telaga Rena Maha Wijaya.
Kemudian menuju bukit punden di Sasakala Gugunungan
untuk melaksanakan upacara nyekar (ziarah) di makam
tempat moksa atau ngahiyang (menghilang) Sang Prabu Sri
Baduga Maharaja, di puncak bukit punden iti," kata orang
yang ditanya Ginggi. Selanjutnya orang itu menerangkan kembali upacara
marak atau munday di Sungai Cihaliwung ini. Marak
dileuwi Kamala Wijaya ini diadakan setahun sekali. Yang
melaksanakannya semua rakyat Pakuan yang berkenaan
dengan kewajiban calagara (pajak tenaga kolektif) yang
diabdikan kepada negara. Penduduk beramai-ramai
menangkap ikan dileuwi Kamala Wijaya, yang sebagian
orang menyebutnya sebagai Leuwi Sipatahunan.
"Ini bukan leuwi sembarang leuwi, sebab leuwi
Sipatahunan adalah lubuk untuk pertahanan keraton.
Sipatahunan itu pataheunan, pertahanan ?" kata orang itu.
Ginggi meneliti lubuk ini dari tepiannya. Bisa juga bila
daerah aliran sungai dalam ini digunakan sebagai
pertahanan. Letaknya ada di sebelah timur benteng luar.
Tidak sembarangan bisa menyebrangi leuwi. Bila ada
musuh menyebranginya, maka tanggul di sebelah selatan
akan dibobol dan mengakibatkan kesulitan bagi para
penyerangnya ( baca episode Kunanti di Gerbang Pakuan ).
Ginggi berpikir, demikian cerdiknya Sang Prabu Sri
Baduga Maharaja membangun pertahanan. Keraton seolah-
olah diapit dua jurang terjal dari dua aliran sungai. Hanya
ada satu celah di sebelah selatan. Tapi itu pun dihadang
benteng dan parit buatan yang airnya dialirkan dari Sungai
Cipakancilan, Orang-orang kembali bersorak-sorai sambil tangannya
menunjuk ke bawah. Ginggi juga ikut melihat. Ternyata
lubuk sudah berkurang airnya dan sudah banyak orang
mulai terjun ke bawah. Orang berteriak-teriak sambil
menunjuk kesana-ke mari karena di permukaan lubuk
sudah terlihat air bergoyang dan bergelombang karena
gerakan sirip-sirip ikan. Semakin air berkurang semakin
nyata terlihat gerakan ikan-ikan itu. Dan kembali orang-
orang bersorak-sorai tanda gembira bahwa hasil ikan akan
didapat. Sekarang orang yang terjun ke permukaan lubuk semakin
banyak. Jala panjang segera ditebar membentuk lingkaran
besar. Dibawa dan dipegang oleh puluhan bahkan ratusan
orang banyaknya. Namun lingkaran besar itu semakin lama
akan semakin mengecil dan menyempit serta ruang gerak
ikan-ikan yang ada di tengah kepungan pun akan semakin
terbatas ruang geraknya. Karena tempat berenang mereka
kian terbatas, maka ikan-ikan itu semakin berdempet dan
berdesak, hilir-mudik di ruangan sempit.
Sekarang dari atas tebing diturun kan anco, yaitu jaring
segi empat yang bisa diturun-naikkan dengan keempat
ujungnya diikat pada ujung bambu. Anco turun hingga ke
dasar lubuk yang kedalamannya tinggal satu atau satu
setengah depa lagi. Dibiarkan beberapa lama. Sesudah
cukup waktu ditunggu, maka anco segera diangkat. Dan
hasilnya, membuat semua orang menganga karena terpana.
Jaring anco penuh digayuti ikan besar-besar. Tubuh ikan-
ikan itu menggelepar dan meloncat-loncat, satu dua ekor
bahkan kembali ke dasar lubuk membuat orang berteriak
karena sesal. Anco ditarik ke tepi dan puluhan orang berebutan
manangkap puluhan ikan besar-besar yang menggelepar
dan meloncat-loncat, dengan bersorak gembira semua orang
berlomba menangkap dan memasukkannya ke dalam
buleng atau ke dalam ember kayu. Bukan untuk dibawa
pulang, melainkan untuk disetor kepada wadha, petugas
yang bertanggung jawab atas kelancaran calagara (pajak
tenaga). Suara sorak-sorai semakin riuh-rendah ketika air semakin
turun dan ketika kepungan jaring semakin rapat. Ratusan
mungkin ribuan ikan sudah benar-benar terkepung dan
mereka bingung kemana harus sembunyi. Akhirnya
kelompok ikan itu hanya melompat-lompat tak tentu arah.
Sampai pada suatu saat ikan-ikan itu hanya menggelepar-
gelepar di kubangan lumpur. Orang tinggal memungutinya
saja dan dimasukkan ke dalam buleng,
Di saat orang ramai memunguti ikan itulah, Ginggi
melihat satu rombongan mengunjungi tepi lubuk. Mereka
terdiri dari sekelompok muda belia. Yang perempuan elok-
elok wajahnya dan yang laki-laki tampan-tampan. Melihat
dandanan mereka yang bagus-bagus mudah diduga, mereka
rombongan anak-anak bangsawan. Namun yang membuat
Ginggi terkejut, di antara rombongan bangsawan itu
terdapat juga Suji Angkara dan Seta. Suji Angkara
melangkah tenang dan anggun menyertai seorang gadis
yang amat cantik rupawan. Tubuhnya semampai, kulitnya
putih bersih, sepasang pipinya halus kemerahan dan seperti
ranum. Bibirnya tipis mengulum senyum, sehingga di pipi
kanannya terbentuk lesung pipit. Yang membuat Ginggi
bergetar, ketika melihat sorot mata gadis itu yang demikian
tajam dan jernih. Ketika tak sengaja mata gadis itu
berpapasan dengan sorotnya, pemuda itu lantas tertunduk
karena tak kuat beradu pandang dengan sorot mata yang
bagaikan bintang kejora itu. Padahal mata gadis itu tak
sengaja memandangnya. Yang malah memandang
terhadapnya dengan penuh perhatian adalah Suji Angkara.
Pemuda itu nampak heran sekali melihat Ginggi ada di situ.
"Hei Duruwiksa, engkau di sini juga?" Suji Angkara
berteriak tapi dengan suara ditahan. Ginggi tersenyum
mengangguk. Dan manakala Suji Angkara memanggilnya
dengan lambaian tangan, Ginggi datang mendekat.
"Engkau berada di disini Duruwiksa ?" tanya Suji
Angkara tersenyum dan sesekali melirik pada gadis di
sampingnya. "Saya mencari-cari Raden sejak dari Sagaraherang," kata
Ginggi, sopan dan hormat, "Mengapa sepertinya semua
meninggalkan saya di sana, padahal Raden sudah janji akan
mengambil saya sebagai pekerja?" lanjutnya. Yang ditegur
hanya tersenyum-simpul saja, seolah-olah pertanyaan ini
tidak mengandung arti apa-apa baginya.
"Aku hanya ingin melihat kesetiaanmu saja. Tapi, ya,
engkau orang yang ulet juga ?" kata Suji Angkara.
"Jadi, diterimakah saya bekerja bersamamu, Raden?"
tanya Ginggi penuh harap, namun matanya selintas
menyambar ke arah wajah anggun di samping pemuda itu.
"Aku tak tahu apa kepandaianmu. Tapi melihat
kesetiaanmu padaku, aku terima kau kerja bersamaku," kata
Suji Angkara sambil melirik juga pada gadis di sampingnya.
"Engkau baik sekali, Raden?" Ginggi mengangguk-
angguk sepertinya penuh rasa terimakasih.
"Sudah selayaknya seorang bangsawan sayang dan
penuh perhatian kepada orang kebanyakan," gumam Suji
Angkara dengan nada suara dihalus-haluskan. Namun bagi
Ginggi nada bicara itu hanya berupa kesombongan belaka.
"Tapi pakaianmu bagus sekali. Tak layak kau
pergunakan, apalagi kau kelak hanya akan bertugas sebagai
pekerja kasar belaka," kata Suji Angkara menilik jenis
pakaian yang dikenakan Ginggi.
"Saya tak sengaja mendapatkannya. Pakaian ini hanya
sekadar barang pemberian dari bekas majikan saya di
perjalanan," tutur Ginggi tak kepalang merendah-rendah.
Suji Angkara nampak mengangguk-angguk.
"Ya, sudahlah ?" gumam Suji Angkara sambil
mengalihkan perhatian melihat orang berebutan mengambil
ikan di permukaan lubuk yang telah kering airnya.
Senja Jatuh Di Pajajaran Karya Aan Merdeka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Siapakah pemuda ini, Raden?" tanya gadis yang berdiri
di sampingnya sambil menyibakkan rambutnya yang tertiup
angin dan menutupi keningnya. Duhai cantiknya! Betapa
indah rambut hitam itu berkibar tertiup angin. Betapa indah
jari tangan-tangan halus itu menyibakkan sang rambut.
Ginggi menunduk ketika tatapannya terpergok oleh sorot
mata gadis semampai itu. "Ah, hanya pemuda bodoh saja, Adinda Inten," ujar Suji
Angkara. "Tapi dia orang jujur dan baik. Kelak dia akan
sering kusuruh untuk mengunjungimu, namanya
Duruwiksa," Suji Angkara tersenyum ketika gadis itu
terkekeh sambil menutupi mulutnya yang merekah.
Hanya Ginggi saja yang terkejut mendengar Suji
Angkara mendengar nama gadis itu. Dinda Inten, tidakkah
maksudnya Nyimas Banyak Inten" Ginggi terkejut dan
bingung, terutama bila ingat cerita Ki Ogel dan Ki Banen.
Bukankah kedua orang tua itu bercuriga kepada
tindak-tanduk Suji Angkara terhadap gadis itu" Tapi,
nampaknya hubungan kedua orang muda itu demikian
baiknya. Mereka sudah sangat akrab dan bersahabat,
mengapa Ki Banen mencurigai Suji Angkara berindap-
indap menyelundup ke puri gadis itu"
"Betulkah namamu Duruwiksa " Mengapa wajah tampan
sepertimu kau namakan Duruwiksa ?" gadis itu masih
terkekeh lembut sambil punggung tangan kanannya
digunakan untuk menutupi rekahan mulutnya.
"Nama sesungguhnya Ginggi. Tapi dia yang mengatakan
bahwa Ginggi artinya Duruwiksa, iblis jahat yang kerjanya
menggoda manusia," Suji Angkara menerangkan. "Ayo
perkenalkan dirimu pada Nyimas Banyak Inten putri
terkasih Pangeran Yogascitra," kata lagi pemuda itu. Ginggi
menunduk dan menyembah. Gadis itu hanya mengangguk
namun dengan senyum manis di bibir tipisnya.
"Nah, yang ada di samping Dinda Inten adalah Banyak
Angga, kakak Nyimas. Sedangkan gadis cantik yang ada di
samping pemuda tampan itu adalah adikku, Layang
Kingkin. Mereka berdua merupakan sahabat-sahabat baik
yang tak pernah lepas barang sekejap," kata Suji Angkara
menunjuk kepada sepasang muda-mudi yang usianya
barangkali belum genap 20 tahun ini.
Ginggi menyembah beberapa kali sambil sudut matanya
memperhatikan sepasang muda-mudi ini. Mereka benar-
benar seperti dewa dan dewi dari kahyangan. Ginggi
memuji keelokan wajah anak-anak bangsawan ini yang
nampaknya ramah dan mudah akrab dengan siapa saja.
"Dan yang berdiri di antara mereka adalah Seta,
termasuk pembantu setiaku," kata Suji Angkara menunjuk
kepada Seta. "Saya sudah kenal Seta!" kata Ginggi tersenyum ke arah
pemuda yang mulutnya suka mengejek ini.
"Huh!" dengus Seta tak acuh.
"Ya, saya sudah kenal. Bukankah Seta adalah pemuda
gagah yang merobohkan tiga perampok sekaligus di hutan
jati tempo hari?" kata Ginggi mengingatkan
"kepahlawanan" pemuda angkuh itu. Padahal yang
terbayang di mata Ginggi adalah kejadian di tepi pancuran
Desa Cae, di mana Seta dan Madi yang mengeroyoknya
dipermainkan secara diam-diam, sehingga pemuda-pemuda
itu benjut-benjut kepalanya karena saling gebuk sendiri.
Seta terkecoh dengan pujian palsu ini. Buktinya, dia
sedikit membusungkan dada sekali pun mulutnya masih
ditarik ketat untuk memberikan kesan angkuh.
"Anak buahku lihai-lihai. Jadi bila kau sudah bersamaku,
kau harus hati-hati," kata Suji Angkara. Ginggi
mengangguk setuju dengan persyaratan ini.
"Bagus sekarang kau bahagiakan sahabat-sahabatku. Kau
tangkaplah ikan terbaik di lubuk. Hari ini kami ingin pesta
makan ikan di Pulo Parakan Baranangsiang," kata Suji
Angkara pelan namun bernada perintah tegas.
Sialan, dengus Ginggi dalam hatinya. Namun suka atau
tak suka, karena telanjur sudah "ikrar" ingin "mengabdi"
pada pemuda itu, dia terpaksa membuka baju dan
menyingsingkan celana sontognya. Dan brus, brus, dia
turun ke lubuk. Orang-orang tercengang-cengang melihat
pemuda berpakaian santana ikut terjun menangkap ikan.
Menurut penonton, ini tak lazim, sebab yang biasa
mengerjakan langsung pajak calagara hanyalah golongan
kebanyakan saja. Ginggi tak tahu apa yang dipikirkan mereka. Hanya yang
jelas, pemuda ini menjadi bergembira juga bisa ikut ramai-
ramai menangkap ikan. Baginya sebenarnya tak mengalami
banyak kesulitan untuk menangkap ikan berapa banyak
pun, apalagi di kubangan yang airnya sudah begitu surut.
Bila dilakukan benar-benar, dalam sekejap puluhan ikan
besar bisa dia lemparkan ke darat. Hanya tentu saja Ginggi
tak berani pamer kepandaian, kalau tak ingin dicurigai
orang. Itulah sebabnya, dalam menangkap ikan dia
perlihatkan "kebegoan" dan pura-pura lugu, sehingga
membuat tawa renyah bagi yang menyaksikannya. Ginggi
gembira berpura-pura dungu seperti itu, sebab dari bawah
lubuk dia saksikan Nyimas Banyak Inten terpingkal-pingkal
merasa lucu melihat Ginggi jatuh bangun menangkap ikan.
Nyimas Banyak Inten sampai keluar airmata saking gelinya
melihat wajah Ginggi yang tak keruan karena simbahan air
lumpur. Dengan "susah-payah" akhirnya Ginggi berhasil
menangkap beberapa ekor ikan tagih dan hampal yang
besar-besar. Orang-orang pun bersorak riang ketika tiba-tiba
tangan Ginggi menangkap seekor ikan balidra, Sebetulnya
ini ikan jenis ganas, sebab sirip-siripnya lebar dan tajam
menyerupai sirip ikan gurame. Tenaga ikan balidra
sesungguhnya sungguh amat besar, apalagi didukung
bentuk tubuhnya yang bulat besar. Bila tak hati-hati
menangkapnya, sekali sentak ikan belidra sanggup
menampar dada orang yang berani menangkapnya dengan
sirip-siripnya sehingga akan menimbulkan luka sayatan
gergaji. Namun ikan balidra yang dipegang ekornya oleh
Ginggi hanya bergerak-gerak lemah saja. Semula penonton
menganggap Ginggi benar-benar akhli menangkap ikan
besar. Tapi belakangan mereka tertawa terkekeh-kekeh
setelah tahu ikan belidra bertubuh besar dan gagah itu
sudah lemas karena terlalu lama di kubangan lumpur.
Begitu perkiraan orang-orang yang menyaksikan. Padahal
yang sebenar-benarnya terjadi, secara diam-diam Ginggi
memencet bagian tubuh ikan besar itu agar gerakannya
menjadi lemah. Ginggi disuruh naik oleh Suji Angkara sesudah merasa
bahwa hasil tangkapan itu dianggap cukup.
"Ambillah buleng, lalu pikullah ke sana!" Suji Angkara
menunjuk ke arah hilir. Suji memberikan perintah agar Ginggi memikul buleng
menuju utara, di mana Pulo Parakan Baranangsiang
terdapat. Yang dimaksud Pulo Parakan Baranangsiang adalah
sebuah gugusan tanah terletak di tengah-tengah Sungai
Cihaliwung. Letaknya tak begitu jauh tapi juga tak begitu
dekat dari leuwi Kamala Wijaya. Sepemakan sirih lamanya
Ginggi memikul buleng yang berisi ikan tangkapannya itu.
Keempat muda-mudi yang ditemani Seta ternyata sudah
ada di tengah Pulo. Mereka rupanya menyebrang dengan
memakai perahu hias. Mereka sudah duduk-duduk di
bangku-bangku yang terletak di sebuah bangunan kayu
beratap ijuk. Bangunan kayu itu amat indah dan akan
membut orang senang bila duduk di sana. Pemandangan
alam amat mempesona sebab gugusan pulau kecil itu
dikelilingi air Sungai Ciliwung yang mengalir tenang.
Masih ada biduk kecil yang tertambat di tepinya. Dan
tanpa ragu, Ginggi menaikkan buleng-buleng ke atas biduk,
melepaskan tali dan menyusul mereka ke tengah gugusan
pulau. "Hahaha! Ayo bersihkan dan cepat masak untuk kami!"
kata Suji Angkara tertawa gembira.
(O-anikz-O) Jilid 14 "Ah, Raden, mengapa terlalu menyiksa pemuda itu.
Lebih baik kita kerjakan bersama, agar kita bisa makan
dengan enaknya," kata Nyimas Banyak Inten seraya
mendekati Ginggi dan akan ikut memasak. Nyimas Layang
Kingkin dan Raden Banyak Angga pun nampak ikut
merubung Ginggi dan siap membantunya.
"Hahaha! Baik, bantulah anak lamban itu biar kita cepat-
cepat menikmati ikan bakar," seru Suji Angkara gembira.
Dan ternyata dia pun ikut sekalian membeset ikan dan
menyalakan api sendiri. Selama memasak ikan, mereka mengobrol dan bercanda.
Suji Angkara nampak selalu menggoda Nyimas Banyak
Inten. Terkadang godaan-godaannya terlalu mengarah
kepada hal-hal yang mengarah kepada yang membuat
sepasang pipi gadis itu merah-merona.
Sekarang ikan sudah masak, baunya sudah menyengat
membuat perut siapa pun semakin lapar. Keempat muda-
mudi makan ikan dengan suka-cita namun tanpa
meninggalkan sopan-santun dan etika makan. Mereka
makan dengan tertib, tidak tergesa-gesa juga tidak banyak
bicara. Hanya sesekali saja ada suara aduh atau ah karena
ikan bakar masih panas atau karena ada duri mengganjal di
lidah. Hanya Ginggi dan Seta yang tidak ikut makan. Seta
berdiri mematung sambil melihat ke kejauhan dan Ginggi
malah duduk di balai-balai sambil kedua kaki digoyang-
goyang. "Hei, akan lebih ramai nampaknya bila kalian pun ikut
makan sama-sama," kata Nyimas Banyak Inten.
"Betul, makanlah sama-sama," kata Nyimas Layang
Kingkin. Banyak Angga pun ikut menawari.
Karena ditawari, Ginggi mendekat dan akan segera ikut
makan kalau saja Seta tak menghardiknya.
"Lho, kita kan sudah ditawari mereka, lagi pula ikan-
ikan ini aku yang tangkap. Mengapa kau halangi?" tanya
Ginggi membuat kedua gadis senyum dikulum.
"Anak setan, engkau tak sopan bila harus sama-sama
makan bersama mereka!" kata Seta mendelik. Ginggi
menundukkan kepala. Dia baru sadar kedudukannya di
lingkungan mereka. "Yah, biarlah bila begitu aturannya ?" gumamnya
menjauh lagi. Namun Nyimas Banyak Inten seperti
menaruh kasihan kepada Ginggi. Gadis itu setengah
memaksa mengajak pemuda itu agar ikut makan. Dan
karena kebetulan yang lain sudah merasa cukup makan
ikan, oleh yang lainnya Ginggi dipersilakan mencicipi
makanan-makanan enak itu.
Karena memang sudah lapar sejak tadi pagi. Ginggi
makan ikan dengan lahapnya. Seta yang beberapa kali dia
tawari hanya mendengus sebagai tanda menolak. Sehingga
akhirnya hanya Ginggi saja yang sibuk makan ikan.
Keempat orang muda-mudi hanya tersenyum saja melihat
Ginggi makan dengan perasaan tak canggung.
"Sudah aku katakan, anak muda itu selain bodoh juga
punya kejujuran dalam bertindak," kata Suji Angkara
sambil memperhatikan tangan Ginggi comot sana comot
sini. "Ayahanda perlu orang yang lugu tapi jujur. Nanti aku
ajak kau menghadap ayahanda," kata Suji Angkara.
Ginggi menatap tajam ke arah pemuda itu.
"Engkau harus berterimakasih kepada Raden Suji, sebab
kau akan bekerja di puri ayahandanya, yaitu Bangsawan
Bagus Seta," kata Banyak Angga.
Bergetar hati Ginggi mendengarnya. Ki Bagus Seta,
murid Ki Darma adalah ayahanda Suji Angkara" Ini amat
mengejutkan, sekaligus membingungkan. Ginggi terkejut
dan bingung, bukankah ayahanda Suji adalah Kuwu
Suntara, Kepala Desa Cae"
Kembali ada misteri baru menyelimuti anak muda
tampan tapi terkesan angkuh ini. Namun di samping
keheranannya, Ginggi pun amat gembira. Kalau benar
dirinya akan dipekerjakan di puri ayahanda Suji Angkara,
berarti dia akan bertemu dengan Ki Bagus Seta. Dengan
begitu, lengkaplah pertemuan dirinya dengan keempat
murid Ki Darma. Bersama tiga murid Ki Darma yang telah ditemukan
terlebih dahulu, dia menemukan harapan sekaligus
kekecewaan dan tanda tanya. Ketika bertemu dengan Ki
Rangga Guna ada secercah harapan bahwa murid ketiga Ki
Darma ini sepertinya setia dengan amanat guru. Namun
menemukan Ki Rangga Wisesa hanya ada rasa sesal dan
kecewa saja sebab orang itu berotak miring dan perangai
serta tindakannya memalukan Ki Darma. Ki Banaspati,
murid pertama Ki Darma masih berupa teka-teki bagi
Ginggi. Sekarang teka-teki makin besar bila ingat Ki Bagus
Seta. Dia menjadi bangsawan, dia menjadi pejabat
pemungut pajak. Apa yang tengah dilakukan sebenarnya
oleh murid kedua ini, Ginggi belum bisa menebaknya.
"Saya amat berbahagia bila dipercaya bekerja di puri
ayahandamu, Raden. Bangsawan Bagus Seta sudah lama
saya kenal dan saya kagum kepadanya," kata Ginggi
menyembah takzim. Suji mengangguk-angguk sebagai
tanda senang. "Ya, nanti sore aku perkenalkan kau pada ayahanda,"
kata Suji Angkara. Untuk yang kesekian kalinya Ginggi
menyembah takzim, disambut dengan sedikit dengus
pemuda Seta dari kejauhan.
Ginggi tak dengar dengusan ini sebab hatinya diliputi
kegembiraan bisa berhubungan dengan Ki Bagus Seta.
(O-anikz-O) Surat Cinta Suji Angkara Sudah hampir dua minggu Ginggi berada di Pakuan. Suji
Angkara yang pernah berkata akan mempekerjakan Ginggi
di kediaman Ki Bagus Seta belum pula melaksanakan
janjinya. Selama dua minggu ini, Ginggi malah disuruhnya
berada dekat-dekat dengannya.
Senja Jatuh Di Pajajaran Karya Aan Merdeka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Suji Angkara ternyata diam sendirian di sebuah rumah
besar tapi masih satu kompleks dengan rumah yang lebih
besar lagi, yaitu rumah milik Ki Bagus Seta.
Ginggi belum berkenalan dengan Ki Bagus Seta, namun
wajahnya sudah dia kenal. Orang itu bila bepergian selalu
mendapatkan pengawalan empat sampai lima orang
petugas. Dan melihat gerak-gerik para pengawalnya, Ginggi
mendapatkan bahwa mereka bukan dari jagabaya biasa,
melainkan kedudukannya jauh lebih tinggi lagi. Mungkin
bukan perwira setingkat pengawal raja, namun sepertinya
mempunyai kepandaian yang tinggi, dan Ginggi harus
demikian hati-hati untuk menyelidikinya.
Ki Bagus Seta berperawakan gagah. Tubuhnya tinggi
besar dan selalu berpakaian mewah. Matanya tajam seperti
burung elang dan dagunya runcing. Seperti menandakan
bahwa orang ini pemikir keras dan selalu bertindak tegas
dalam mengambil keputusan. Dan bila memperhatikan
sepasang matanya yang tajam bagai mata burung elang itu,
Ginggi amat yakin, bahwa orang seperti itu pemerhati yang
serius, baik terhadap situasi, mau pun terhadap tindak-
tanduk orang lain. Kalau benar dugaannya, maka Ginggi
pun harus semakin hati-hati pula dalam bertindak.
Sikap-sikap ini sebenarnya hampir sama dengan tindak-
tanduk yang diperlihatkan Suji Angkara. Anak muda ini
pun seorang pemerhati dan penyelidik. Namun bedanya,
Suji Angkara ini orang yang gila hormat. Bila keinginannya
sudah terkabul dia sudah percaya terhadap mulut manis.
Selama beberapa hari Ginggi berada dekatnya, masih ada
kesan menyelidik dan menguji dari "majikannya" ini. Tapi
karena Ginggi selalu bersikap sopan dan selalu "bodoh
namun jujur", anak muda itu akhirnya memiliki
kepercayaan penuh bahwa Ginggi datang ke hadapannya
tidak memiliki tujuan apa-apa selain hendak mengabdi
belaka. Ginggi berpikir bahwa sangat mungkin Suji
Angkara mudah percaya akan hal ini karena memang
selama ini banyak orang yang mengharapkan bisa mengabdi
kepadanya. Buktinya, Seta dan Madi, adalah pengabdi yang
baik. Ki Ogel dan Ki Banen pun mungkin pada mulanya
dianggap pengabdi yang baik kalau saja kedua orang tua ini
tidak memperlihatkan sikap-sikap menentang terhadap Suji
Angkara. Dengan siapa kini dekat, bagi Ginggi tak ada bedanya
sebab semua orang akan dia selidiki. Kepada anak muda
pesolek ini, berbagai kecurigaan sudah menumpuk. Kini
usaha Ginggi adalah bagaimana cara mengungkapkannya.
Dan bila sekarang sudah bisa berdekatan dengan pemuda
itu, akan banyak cara mengungkapkannya.
Namun bagi Ginggi kini ada tantangan yang lebih besar
lagi. Dia harus sanggup membuka tabir penuh misteri dari
Ki Bagus Seta. Seperti ada rangkaian yang sambung-
menyambung dan semakin melebar saja, dan semuanya
terselubung misteri. Ginggi harus sanggup membuka tabir, sejauh mana
peran Ki Bagus Seta yang di Pakuan ini berhasil
menempatkan dirinya sebagai bangsawan yang memiliki
jabatan penting, padahal gurunya sendiri sudah dianggap
pengkhianat dan selalu dikejar-kejar. Ginggi juga harus
mengetahui, bagaimana hubungan Ki Bagus Seta dengan Ki
Banaspati yang menjadi bawahan dalam mengurus pajak-
pajak negara. Ini misteri paling besar dan amat menyangkut urusan
negara. Bayangkanlah, Ki Banaspati bertugas sebagai
muhara untuk wilayah timur tapi diketahui Ginggi
menyembunyikan hasil-hasil pajak sebab akan digunakan
menghimpun kekuatan pasukan dalam upaya melawan raja.
Sedangkan Ki Bagus Seta di ibukota bertindak sebagai
pejabat muhara dan bertanggung jawab penuh dalam
memasukkan penghasilan negara. Adakah hubungan kedua
orang itu dalam upaya melaksanakan amanat guru"
Betulkah Ki Bagus Seta berusaha menjadi muhara juga
karena ingin melaksanakan amanat guru" Ginggi perlu
menyelidikinya lebih jelas lagi.
Pemberontakan adalah sesuatu yang tidak disukai Ki
Rangga Guna. Tapi kalau ternyata upaya-upaya yang
dilakukan Ki Banaspati dan Ki Bagus Seta merupakan
upaya menolong kepentingan rakyat seperti yang
diamanatkan Ki Darma Tunggara, maka tak ada jalan lain,
Ginggi harus ikut mendukungnya. Mengapa tidak begitu"
Selama dua minggu dia berada di ibukota Pajajaran ini,
melihat kaum bangsawan hidupnya senang, melihat pula
bagaimana bahagianya raja dan keluarganya yang acapkali
bercengkrama di Taman Mila Kancana, atau makan-makan
buah durian di Tajur Agung (kebun istana), itu karena jasa
pengabdinya yaitu ambaraahayat. Tapi apa balas budi Raja
kepada Ki Darma, perwira yang puluhan tahun mengabdi
kepada kepada negara" Ki Darma bahkan dikejar dan
diburu serta dicap pemberontak.
Selama dua minggu ini, hampir setiap malam Ginggi
menyimak tembang-tembang prepantun (pelantun cerita),
dari prepantun istana sampai prepantun yang menggelar
pertunjukannya dijawi khita (benteng luar), selalu
menceritakan pengkhianatan Ki Darma Tunggara.
Siapa berkhianat itu yang jahat seribu perwira siap mati seribu perwira hampir mati
mati karena pengkhianatan
mati karena pengkhianatan
oh,hai, pengkhianat dialah Ki Darma Tunggara!
dialah Ki Darma Tunggara!
Ginggi hampir setiap malam mendengarkan lantunan
prepantun yang mengisahkan pertempuran mati-matian di
alun-alun luar kota Pakuan antara seribu perwira pengawal
raja melawan musuh yang datang menyerbu. Dalam
peristiwa ini Ki Darma Tunggara dicurigai melakukan
pengkhianatan dengan sengaja mengundang musuh dari
barat. Peristiwa itu terjadi belasan atau puluhan tahun yang
lalu, ketika Pakuan diperintah Sang Prabu Dewata Buana
atau lebih dikenal sebagai Sang Prabu Ratu Dewata (1535-
1543 Masehi). Ki Darma Tunggara yang merasa lebih
berpengalaman dalam membela negara karena sudah sejak
Pakuan dipimpin Sang Ratu Jaya Dewata atau lebih dikenal
dengan Sri Baduga Maharaja atau Sang Prabu Siliwangi
(1482-1521 Masehi), mengeritik kebijaksanaan Sang Prabu
Ratu Dewata yang lebih memperhatikan kehidupan agama
ketimbang yang lainnya. Ayahanda Sang Prabu Ratu
Dewata, yaitu Ratu Sangiang, atau lebih dikenal sebagai
Sang Prabu Surawisesa (1521-1543 Masehi) semasa
memerintah gemar berperang. Selama 14 tahun
memerintah, melakukan peperangan sebanyak 15 kali.
Menurut Sang Prabu Ratu Dewata, seringnya melakukan
peperangan mungkin juga akan diakui dunia sebagai bangsa
yang gagah berani. Tapi juga akan punya risiko banyak
menyakiti musuh. Musuh yang kalah tak akan selamanya
takut, suatu waktu mereka akan membalas kekalahan.
Peperangan yang berkepanjangan pun, baik dalam
kemenangan apalagi dalam kekalahan, hasilnya tetap akan
menyengsarakan rakyat. Dan karena perang dibentuk oleh
jalan pikiran manusia, maka Sang Prabu Ratu Dewata
memilih belajar mengendalikan pikiran agar tak selalu
dipenuhi nafsu angkara-murka. Sang Prabu Ratu Dewata
memilih hidup damai ketimbang mengundang kemelut.
Itulah sebabnya sendi-sendi agama diangkat ke permukaan.
Kuil dan biara di Pakuan diperbanyak jumlahnya, demikian
pun para wiku dan pendeta, di kuil memperdalam masalah
kebatinan ketimbang memperhatikan kehidupan lahiriyah.
Inilah yang dikritik ki Darma. Menurutnya,tapa di
nagara untuk seorang raja bukanlah mengurung diri di kuil
sambil melepaskan seluruh kehidupan lahiriyah.Tapa di
nagara adalah melaksanakan pekerjaan yang ditekuni
sehingga berguna untuk kepentingan umum. Hanya
memperhatikan kepentingan batiniyah tanpa mengurus
kepentingan lahiriyah hidup tidaklah seimbang. Apalagi
menurut Ki Darma, negara tetap dalam bahaya. Musuh
yang datang tidak sekadar akan membalas kekalahan, tapi
karena punya maksud ingin menghilangkan pengaruh
Pajajaran dan akan digantikannya dengan pengaruh baru
yang dibawa oleh mereka. Jadi, mengurung diri dengan
maksud menjauhkan nafsu angkara-murka yang ada dalam
diri sendiri tidak akan mengusir bahaya peperangan, sebab
musuh tetap mengancam. Ki Darma pernah memberikan peringatan kepada Raja
bahwa sewaktu-waktu musuh dari barat akan menyerang.
Ki Darma bisa berkata begitu karena dia pandai meramal
sesuatu bahaya. Tapi peringatan ini tak dipercaya Raja
dengan mengatakan bahwa ramalan Ki Darma bohong
belaka. Namun ketika secara tiba-tiba musuh datang
menyerang dan langsung mengepung Pakuan, pemerintah
tak berterima kasih kepada Ki Darma, bahkan sebaliknya
menuduh Ki Darma berlaku khianat. Kalau benar Ki
Darma bisa meramal, mengapa katanya kedatangan musuh
yang tiba-tiba tidak bisa diramalkan" Banyak suara
mendukung kecurigaan. Katanya, mungkin saja Ki Darma
sudah tahu sebelumnya tapi tak dilaporkan. Atau ada
kecurigaan lebih besar, Ki Darma sengaja "mengundang"
musuh datang hingga ke "beranda" Pakuan tanpa diketahui
sebelumnya. Dan itu semua karena pengkhianatan Ki
Darma. Memang Raja tak berhasil membuktikan kesalahan Ki
Darma. Tapi Raja akan tetap menghukumnya ketika Ki
Darma akhirnya akan mengundurkan diri dari kegiatan
kenegaraan. Perintah untuk mengejar dan menangkap Ki
Darma dikeluarkan setelah Pakuan dipimpin oleh Sang
Prabu Ratu Sakti yang sejak dia menjadi perwira bekerja
menjadi pengawal ayahandanya, sudah membenci Ki
Darma yang senang melakukan panca parisuda
(mengeritik). Tak ada yang bisa membuktikan Ki Darma melakukan
pengkhianatan. Tapi kebencian terhadapnya terus
dihembus-hembuskan. Kisah peperangan di alun-alun luar
Kota Pakuan merupakan kisah populer dan penduduk
senang menikmati lantunan prepantun (juru pantun). Bila
prepantun yang membawakannya pandai melantun merdu
diiringi dawai-dawai kecapinya, maka pendengar akan
tergugah dan terbawa arus. Mereka akan membenci Ki
Darma si pengkhianat dan akan memuji kehebatan
kepahlawanan seorang perwira muda putra mahkota.
Dialah kelak Sang Ratu Sakti Sang Mangabatan raja gagah
berani yang selalu berupaya mengembalikan kejayaan
Pajajaran ke masa puluhan tahun silam.
Kisah-kisah kepahlawanan Sang Ratu Sakti dan
pengkhianatan perwira Darma Tunggara terkenal sampai
jauh ke wilayah timur seperti ketika Ginggi mendengarkan
kisah ini pertama kalinya oleh prepantun Ki Baju Rambeng,
di Desa Cae hampir setahun lalu.
Ginggi sakit hati oleh kesemuanya ini. Barangkali murid-
murid Ki Darma lainnya pun sama memendam sakit hati.
Itulah sebabnya mungkin, Ki Banaspati tak kepalang
tanggung menjalankan amanat guru. Dalam upaya
membela kepentingan rakyat, Ki Banaspati akan
menghimpun kekuatan untuk digunakan melawan raja.
Tidakkah Ki Bagus Seta yang kini mengendalikan kekayaan
negara sebetulnya punya tujuan yang sama dengan Ki
Banaspati" Barangkali secara diam-diam mereka berdua
telah melakukan persekutuan dalam melawan Raja.
Ya, barangkali. Tapi apa pun yang sesungguhnya terjadi,
Ginggi harus tetap berlaku hati-hati. Dia harus mengambil
keputusan yang tepat. Untuk itulah Ginggi harus
melakukan penyelidikan seseksama mungkin. Dia tak mau
tergelincir melakukan kekeliruan.
(O-ani-kz-O) Ginggi ikut di rumah besar yang dihuni Suji Angkara. Di
rumah besar yang terbuat dari susunan kayu jati pilihan itu
juga tinggal beberapa badega (pembantu) termasuk
beberapa orang pembantu wanita usia tigapuluh tahunan ke
atas tapi berwajah lumayan. Pekerjaan para badega adalah
membersihkan halaman, memandikan kuda, atau
pekerjaan-pekerjaan berat yang tak mungkin dilakukan
kaum wanita. Sedangkan para pembantu wanita bekerja
dari mulai memasak, mencuci, sampai membersihkan dan
membereskan tempat tidur Suji Angkara. Para pembantu
wanita itu pun kadang-kadang bertugas memijit bila Suji
Angkara menghendakinya. Namun selama Ginggi meneliti,
sikap pemuda itu wajar-wajar saja. Dia dipijit dan para
wanita memijit, tak lebih dari itu.
Seta juga tinggal di sana. Menurut para badega, Seta
bertugas sebagai pengawal Raden Suji. Tapi menurut
penglihatan Ginggi, pemuda yang bibirnya selalu mencibir
itu tugasnya tak lebih hanya sebagai pelayan belaka, kendati
tidak seperti badega lainnya. Seta lebih berupa pelayan
pribadi pemuda pesolek itu untuk keperluan-keperluan di
luar rumah. Akan halnya Ginggi, Suji Angkara rupanya tak
menempatkan pemuda itu secara khusus, sebab sesuai
dengan ucapan Suji Angkara, Ginggi akan dipekerjakan di
kediaman Ki Bagus Seta. Hanya saja selama dua minggi ini, Ginggi sudah dua kali
menerima tugas khusus, yaitu mengirimkan surat daun
nipah kepada Nyimas Banyak Inten. Ini bermula dari tanya-
jawab santai antara Ginggi dan Suji Angkara pada suatu
senja di taman belakang rumahnya. Suji Angkara tengah
dipijit-pijit seorang wanita pembantu dan Ginggi asyik
merawat tanaman hias di tepi kolam yang banyak dihuni
ikan mas berwarna-warni. "Duruwiksa, sedang apa kau di sana?" tanya Suji
Angkara padahal matanya meram-melek karena tengah
menikmati pijitan wanita pembantu.
"Saya tengah mencabuti daun-daun kering, Raden,"
Senja Jatuh Di Pajajaran Karya Aan Merdeka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
jawab Ginggi merendah. Selama dua minggi ini pemuda itu selalu menyebut
duruwiksa kepadanya. Namun karena Suji Angkara
mengucapkannya dengan wajar tak terasa lagi sebagai
ejekan. Bahkan Ginggi pun sudah terbiasa dan seperti betah
mendengarnya. "Kau kesinilah sebentar," kata Suji Angkara
melambaikan tangannya. "Baik, Raden ?" Ginggi melangkah terbungkuk-
bungkuk. Kemudian duduk bersila di mana pemuda
bersolek itu berbaring di sebuah dipan kayu.
"Kepandaianmu, sebetulnya apa sih?" tanya Suji
Angkara tiba-tiba. Ginggi sudah siap untuk menerima berbagai pertanyaan.
Dan tentu jawabannya asal bunyi saja, yang penting jauh
dari segala kebenaran yang bakal mencurigakan orang lain.
"Saya tak memiliki kepandaian selain yang Raden
ketahui selama ini," jawab Ginggi menunduk seolah-olah
memperlihatkan rasa malu dan rendah diri.
"Ilmu membaca huruf misalnya?"
Ginggi menggelengkan kepala.
"Saya ini pengembara, kemana saja kaki membawa, di
situlah saya tinggal. Tidak pernah tahu siapa kedua orang
tua saya. Yang saya tahu, saya sudah hidup seperti ini. Jadi
kalau ada yang tanya dari mana asal, saya tak bisa jawab.
Tugas saya sehari-hari hanya memikirkan bagaimana hari
ini bisa makan. Lain dari itu saya tak pikirkan, termasuk
mempelajari tektek-bengek seperti membaca, menulis dan
apalagi belajar ilmu kedigjayaan seperti yang dilakukan
Seta, misalnya," kata Ginggi berpanjang lebar agar Suji
Angkara segera kehabisan apa yang akan ditanyakan
selanjutnya. Mendengar penjelasan Ginggi, pemuda itu hanya
manggut-manggut saja tanpa Ginggi tahu apa maksudnya.
"Sebetulnya wajahmu lumayan juga. Kalau kau tak
bodoh dan lugu, barangkali akan banyak wanita
memperhatikanmu," kata pemuda itu sungguh-sungguh.
Ginggi hanya menatap sejenak. Perempuan pembantu
yang tengah memijit juga seperti diingatkan oleh ucapan
oleh pemuda itu sehingga serta-merta memandangi wajah
Ginggi. "Apa tidak merepotkan bila seorang lelaki banyak
diperhatikan para gadis, Raden?" tanyanya senyum
dikulum. Suji balas tersenyum. Dia tak bicara apa-apa sehingga dia
tak bisa mengorek isi hati pemuda pesolek itu lebih jauh
mengenai perhatiannya terhadap wanita.
"Barangkali merepotkan. Tapi tidak dicintai wanita pun
sama merepotkan. Rasa sepi di hati kupikir merepotkan.
Ditolak cinta pun kupikir merepotkan sebab hati bisa
gundah- gulana," kata Suji Angkara pada akhirnya. Namun
perkatannya itu hanya diucapkan sambil mata terus meram-
melek karena keenakan mendapat pijitan-pijitan perempuan
pembantu itu. "Sekarang pun aku tengah menderita kerepotan," gumam
pemuda itu selanjutnya. "Terlalu banyak dicinta wanita, Raden?" tanya Ginggi
menyipitkan matanya untuk memandang Suji Angkara.
"Terlalu banyak dicinta bagi seorang bangsawan malah
lumrah. Yang tak lumrah bagi seorang bangsawan adalah
bila menerima semua cinta itu. Orang kebanyakan akan
mencibir bila melihat kaum bangsawan semena-mena dan
serampangan melakukan cinta. Sesama bangsawan pun
akan marah sebab merasa martabatnya dijatuhkan bila ada
bangsawan lainnya berlaku tak senonoh dalam urusan
cinta. Dan ini merepotkan," kata Suji Angkara.
"Mungkin akan aman bagi bangsawan bila memilih salah
satu orang yang dicinta saja," gumam Ginggi menyela
ucapan pemuda itu. Namun Suji Angkara hanya merahuh kesal.
"Raden sedang dilanda nestapa karena urusan cinta?"
tanya Ginggi. Dan Suji Angkara pelan-pelan
menganggukkan kepalanya. Ginggi terdiam. Tapi perempuan pembantu masih
melanjutkan pekerjaannya memijat bagiaan-bagian tubuh
Suji Angkara sepertinya obrolan ini bukan sesuatu yang
perlu disimak benar. "Aku tengah menggandrungi Nyimas Banyak Inten, putri
cantik Bangsawan Yogascitra. Bagaimana caranya agar
cintaku tak bertepuk sebelah tangan?" gumam Suji Angkara
lagi mengatupkan mata seolah-olah membayangkan agar
cita-citanya terlaksana. Jantung Ginggi berdegup mendengarnya.
Ketika pertemuan pertama kalinya di Pakuan, Ginggi
memang melihat Suji Angkara begitu penuh perhatian
terhadap gadis putri Bangsawan Yogascitra itu. Waktu itu
pun Ginggi sudah menduganya kedua muda-mudi itu
sedang menjalin hubungan baik. Tapi siapa kira hubungan
mereka belum terikat resmi. Bahkan lebih jauh dari itu,
mereka belum melakukan sesuatu ikatan. Buktinya, Suji
Angkara kini mengaku bahwa dirinya tengah menaksir
gadis itu. Ginggi berdegup mengetahui kenyatan ini. Tapi
mengapa mesti berdegup" Aneh, Ginggi sendiri tak tahu,
mengapa harus berdegup"
"Betul-betulkah engkau tak bisa baca-tulis, Duruwiksa?"
tanya Suji Angkara. Ginggi menatap pemuda itu. Apa hubungan Nyimas
Banyak Inten dengan dirinya yang mengaku tak bisa baca-
tulis" Namun biar pun dilanda rasa heran, Ginggi akhirnya
mengangguk juga. "Kalau begitu, kau harus tolong aku. Kau sampaikan
suratku pada Nyimas Banyak Inten ?" kata Suji Angkara.
Ginggi masih menatap pemuda itu karena belum
mengerti mengapa dia dipilih untuk mengantarkan surat.
"Aku sebetulnya tak senang rahasia hidupku diketahui
orang lain. Kau tak bisa baca tulisan. Jadi kalau aku
mengirim surat cinta melalui kamu, rahasia cintaku tak
terbongkar," kata Suji Angkara memberikan alasan memilih
Ginggi sebagai pengirim surat.
"Biasanya surat diantar di dalam kotak kayu jati tertutup.
Mengapa takut benar isi surat itu dibuka orang?" tanya
Ginggi. "Aku tak mau mengirim surat secara resmi, mungkin aku
lebih senang melayangkan surat secara diam-diam saja.
Surat daun nipah akan tersusun begitu saja seperti susunan
daun sirih di atas tempayan. Akan lebih aman bila dibawa
oleh orang yang tak bisa baca sepertimu," kata Suji Angkara
menerangkan. Ginggi mengangguk karena baru mengerti
apa yang ada dalam pikiran pemuda yang tengah dilanda
kasmaran. "Kalau saya dipercaya, tak apa menugaskan saya
mengirimkan suratmu itu, Raden," kata Ginggi akhirnya
dan hanya dibalas senyum tipis di bibir pemuda tampan itu.
Ginggi pun ikut tersenyum. Pemuda yang berkulit putih itu
mau menugaskan Ginggi bukan karena percaya, tapi karena
beranggapan Ginggi tak bisa baca.
(O-anikz-O) Di Taman Milakancana Akhirnya Ginggi memang diberi tugas untuk
mengirimkan surat daun nipah. Dua kali banyaknya. Surat
itu tidak dibungkus apa pun. Suji Angkara hanya menyuruh
Ginggi agar menyelipkan saja di pinggangnya.
"Tapi awas, jangan kau perlihatkan surat ini pada siapa
pun juga. Kau pun harus hati-hati, daun nipah boleh kau
serahkan kepada Nyimas Banyak Inten di saat dia duduk
sendirian," kata Suji Angkara sebelum Ginggi
melaksanakan tugasnya. Tengah hari Ginggi menuntun kuda-kuda kepunyaan
Suji Angkara dengan alasan akan disuruhnya merumput.
Padahal yang sesungguhnya Ginggi menuju Taman Mila
Kancana. Itu adalah sebuah taman istana. Hanya para putri
raja beserta kerabatnya saja yang bisa bercengkrama di
sana. Kaum lelaki sebetulnya dilarang memasuki kompleks
taman tanpa seizin jagabaya. Tapi Ginggi mudah akrab
dengan siapa saja, termasuk dengan para jagabaya. Hampir
semua jagabaya tahu belaka bahwa pemuda tampan tapi
lugu dan sedikit bodoh itu adalah pekerja Suji Angkara.
Hanya kaum pria dari sesama bangsawan saja yang
mendapat pertanyaan agak teliti bila hendak memasuki
taman. Tapi para pekerja kasar yang sudah benar-benar
dipercaya tidak terlalu dipersulit untuk masuk ke taman
apalagi dengan alasan jelas, misalnya hendak
membersihkan rumput atau kolam taman.
Kaum lelaki golongan kebanyakan yang menjadi pekerja
kasar dianggapnya tak akan berani mati mengganggu para
gadis istana. Lain lagi dengan pria kaum bangsawan yang
kemungkinan berani menggoda para gadis. Dan itu sebuah
pelanggaran etika. Semua orang tidak membiarkan kaum
bangsawan atau kerabat istana melanggar etika yang bisa
menjatuhkan martabat mereka.
Ini untuk yang kedua kalinya Ginggi memasuki
kompleks Taman Mila Kancana dengan alasan
membersihkan rumput taman sambil memberi makan kuda.
Padahal yang sesungguhnya dikerjakan adalah
mengirimkan surat daun nipah kepada gadis cantik putri
Bangsawan Yogascitra itu.
Ginggi tidak pernah tahu, bagaimana macamnya etika
surat menyurat kaum bangsawan. Tapi ketika mencuri baca
surat daun nipah yang ditulis Suji Angkara, isinya begitu
lugas dan terus terang dalam memaparkan maksud-maksud
cintanya. Surat pertama menggambarkan kerinduan yang
Darah Olympus 5 Fear Street Rumah Setan 3 The House Of Evil The Third Horror Pendekar Sejagat 4