Pencarian

Senja Jatuh Di Pajajaran 8

Senja Jatuh Di Pajajaran Karya Aan Merdeka Bagian 8


sangat dalam Suji Angkara terhadap Nyimas Banyak Inten.
Dikatakannya, hanya kematian yaang akan menyambut
nasibnya bila Nyimas Banyak Inten tidak memperhatikan
cintanya. "Ketika aku dirampok perampok ganas setiap bertugas
mengirim barang-barangseba, aku hadapi segalanya dengan
gagah berani, pantang mundur atau putus asa. Tapi bila
jiwaku dihadang cinta, maka hatiku tak berbuat apa-apa.
Bila cintaku terabaikan, maka tak ada lagi cara
memupusnya selain kematian," tutur surat itu menyebalkan.
Ya, menyebalkan. Tapi di lain fihak Ginggi pun bingung sendiri, mengapa
menyebalkan bagi dirinya" Ginggi membayangkan kembali,
betapa rambut hitam Nyimas Banyak Inten tersibak-sibak
indah ketika angin sore di tepileuwi Kamala Wijaya di
Sungai Cihaliwung menerpanya. Betapa sepasang mata itu
berbinar tajam menyorot dirinya ketika tak sengaja beradu
pandang. Betapa pula mulut mungil merah merekah ketika
gadis itu menertawakan dirinya ketika wajahnya
berkelepotan lumpur lubuk leuwi dalam upaya menangkap
ikan di sana. Dan rasanya ada semacam kemesraan tak
sengaja ketika putri yang berkulit putih halus dengan
sepasang pipi kemerahan itu ikut membantu membalik-
balikkan ikan yang tengah dibakar Ginggi. Denyut jantung
pemuda itu bergetar hebat ketika kulit tangan halus gadis itu
secara tak sengaja bersinggungan dengan kulit tangannya.
Gadis itu jongkok di sisinya. Dia ikut sibuk menggerak-
gerakkan kipas agar api cepat menyala, sampai matanya
berair kepedihan oleh asap perapian. Bahagia sekali hari itu.
Sepertinya gadis bangsawan itu bukan teman baik Suji
Angkara tapi merupakan sahabat dia seorang. Sekarang,
gadis yang berperangai halus tapi mudah akrab itu
"dilamar" orang, siapa tidak sebal"
Surat kedua yang akan diberikan Ginggi pada gadis itu
bahkan lebih menyebalkan lagi isinya. Surat itu secara
terang-terangan mengajak Nyimas Banyak Inten untuk
melakukan pertemuan rahasia. Gila!
Ada keragu-raguan Ginggi, apakah akan diberikan saja
atau sebaliknya dibuang ke parit istana" Bila surat tak
diserahkan, Ginggi takut rencananya dalam melakukan
penyelidikan terhadap Suji Angkara akan gagal total. Bila
surat tak disampaikan dan diketahui oleh Suji Angkara, dia
pasti akan mendapat kemarahan pemuda bengaal itu. Kalau
tak dihukum pasti akan diusir pergi. Dan ini hanya akan
merugikan rencananyaa saja. Padahal posisinya kini sudah
amat menguntungkan karena telah dipercaya pemuda itu.
Maka ingat ini, dengan berat hati akhirnya dia membawa
lembaran daun nipah ke Taman Mila Kancana untuk
diserahkan pada Nyimas Banyak Inten.
Taman Mila Kancana itu cukup luas. Di sana banyak
pohon rindang, rumput-rumput menghijau dan semerbak
macam-macam bunga karena di sana-sini terdapat
hamparan bunga beraneka warna. Kolam-kolam berair
jernih dengan macam-macam ikan menghiasinya.
Ginggi hadir ke tempat itu sambil berbekal keranjang
bambu dan alat penyabit rumput seperti yang diatur Suji
Angkara. Namun kendati penyamaran sudah sempurna,
pemuda itu tidak bisa segera memberikan surat daun nipah
kepada Nyimas Banyak Inten. Di dangau kecil beratap
injuk di bawah pohonkecik memang dilihat Ginggi ada dua
orang gadis tengah mengobrol santai. Kedua gadis itu
dikelilingi para pengasuhnya, terdiri dari sekumpulan
wanita setengah baya. Macam-macam tingkah mereka. Ada
yang tengah merajut kain, ada juga yang memilin benang.
Beberapa pengasuh malah duduk-duduk di bawah pohon
sambil ngobrol kesana-kemari.
Tidak terlalu jauh Ginggi berada, namun dia jongkok
menyabit rumput di tempat yang agak tersembunyi. Kedua
gadis yang berpakaian mewah itu adalah Nyimas Banyak
Inten dan Nyimas Layang Kingkin. Kepada Ginggi, gadis
ini diperkenalkan sebagai adik Suji Angkara. Hanya
bedanya, Nyimas Layang Kingkin tinggal di puri Ki Bagus
Seta, ayahandanya. Ginggi tak begitu bisa menangkap apa yang dibicarakan
kedua gadis belia itu, sebab suara pengasuh terdengar lebih
keras karena posisi mereka lebih dekat ke arah Ginggi.
Selagi banyak orang seperti ini, Ginggi tidak akan
mungkin memberikan surat kepada Nyimas Banyak Inten.
Oleh sebab itu Ginggi hanya menggerak-gerakkan penyabit
rumput dengan asal-asalan, menunggu Nyimas Banyak
Inten tinggal sendirian. Namun harapannya tak akan mencapai hasil, sebab
sebelum Nyimas Layang Kingkin pergi, dari jauh ada satu
rombongan lain menuju ke tempat itu. Rombongan itu
hampir sepuluh orang jumlah banyaknya, laki-laki dan
perempuan. Mereka berpakaian bagus-bagus. Satu orang
yang berjalan tenang paling depan bahkan berpakaian amat
mewah. Dia tidak memakai pakaian tertutup di bagian
atasnya, namun tubuhnya yang bidang banyak dihiasi
selendang sutra warna-warni. Sebagian membungkus
dadanya, sebagian berkibar-kibar di tangannya. Kepala
orang itu diikat hiasan beludru hitam yang banyak
ditempeli ornamen emas. Ginggi terkejut. Lelaki usia 40
tahunan berkulit putih halus berkumis tipis dengan sorot
mata menyala ini, siapa lagi kalau bukan Susuhunan
Pakuan, Prabu Ratu Sakti Sang Mangabatan"
Ginggi tak salah menduga, sebab kedua orang gadis
beserta pengasuhnya serempak bersimpuh di hamparan
rumput hijau serta menyembah takzim kepada rombongan
yang baru datang itu. Ginggi semakin menyembunyikan dirinya, takut kalau-
kalau Sang Susuhunan tersinggung oleh kelakuannya. Ingat
ini, pemuda ini menjadi serba salah. Tetapi bersembunyi
saja di sana akan amat berbahaya bila tiba-tiba diketahui
jagabaya dia main sembunyi. Tapi keluar dari tempat itu
pun sama tak enaknya. Akhirnya dia memilih tetap saja
tinggal di tempat gelap oleh rimbunan pepohonan, dengan
harapan kehadirannya tidak diketahui jagabaya.
Namun kendati begitu, rasa penasaran tetap menggelitik
hatinya. Sambil sembunyi, kepalanya diusahakan nongol
dan matanya menatap ke sana. Dia ingin tahu, apa saja
yang dilakukan Sang Susuhunan di taman dengan para
putri bangsawan itu. Dilihatnya Sang Raja tengah berbincang-bincang dengan
kedua putri bangsawan itu. Suaranya halus dan lemah-
lembut, sehingga Ginggi tak sanggup mendengar ucapan
raja tampan berkumis tipis itu. Yang dia saksikan, hanya
senyum dan kerling mata tajam dari Sang Prabu Ratu Sakti
saja. Secara bergiliran, nampak sepasang mata tajam
berbinar itu melirik ke arah Nyimas Banyak Inten dengan
sorot penuh kagum dan setelah itu beralih kepada Nyimas
Layang Kingkin. Sedang yang diberi kerlingan mata,
keduanya hanya menunduk dengan rona merah di pipi dan
sesekali menyembah takzim. Para pengawal seolah tak
mendengar apa yang diucapkan Sang Prabu. Mereka hanya
berdiri tegap ke segala penjuru arah dengan senjata tombak
siap di tangan. Sedang para wanita yang cantik-cantik dan
pakaiannya yang indah-indah itu, hanya menunduk dengan
senyum simpul di mulutnya yang rata-rata manis memikat
itu. Sang Prabu tidak terlalu lama mengajak para gadis
bangsawan mengobrol. Ketika raja berkulit putih dan
berhidung mancung itu akan berlalu, semua orang
menunduk dan menyembah takzim dan tak berani menatap
muka sebelum rombongan itu benar-benar pergi
meninggalkan tempat itu. Rombongan raja berjalan ke jalan berbalay (dibuat dari
susunan batu sungai) yang kebetulan lewat ke tempat
Ginggi sembunyi. Maka untuk menghindari pandangan
Raja dan pengawalnya, pemuda itu menggeser badannya
sesuai dengan gerakan rombongan. Namun ketika
rombongan sudah berjalan jauh, ada suara sepertinya
gerakan benda yang ditimpukkan dari arah belakang
tubuhnya. Sejenak Ginggi merasa terkejut, kalau-kalau itu
sebuah serangan rahasia. Namun mendengar gerakannya,
timpukan itu tidak dilakukan dengan pengerahan tenaga
khusus. Tuk! Benda itu menimpuk tepat di tengkuknya. Ginggi
pura-pura terkejut dan berpaling ke belakang. Terdengar
cekikikan kaum wanita. Dan Ginggi akhirnya jadi ketawa
sendiri. Bagaimana tak ketawa sebab yang dikiranya masih
sembunyi, nyatanya tubuhnya sudah berada di tempat yang
terbuka dan dengan jelas dilihat sekumpulan wanita itu.
"Hei, laki-laki ceriwis, engkau tukang intip. Berani-
beraninya, ya?" teriak wanita-wanita pengasuh dengan
tingkah polah macam-macam yang pada intinya mencoba
menakut-nakuti Ginggi. Pemuda itu merunduk-rundukkan
badan dengan wajah penuh khawatir membuat yang
melihat tertawa. Kedua putri bangsawan itu pun tersenyum sambil
menutupi mulutnya. "Ke sini kau! Namamu Ginggi, bukan" Badega (pelayan)
Raden Suji, bukan" Kerjamu mengintip orang, bukan?"
Salah seorang pengasuh berusia tigapuluhan nyerocos
memeriksa pemuda itu. Ginggi hanya menganguk-angguk
sembarangan. "Jadi engkau mengakui main intip orang, ya?"
"Tidak, tidak mengintip. Saya sembunyi, Bibi "!" jawab
Ginggi menggeleng-gelengkan kepala.
"Kalau tidak sedang main intip mengapa kau di sini?"
"Lihatlah keranjang bambu yang ada di tangan kiriku,
dan lihat pula alat penyabit rumput di tangan kananku.
Dengan demikian sudah jelas, apa yang tengah aku
kerjakan, Bibi ?" kata Ginggi memperlihatkan kedua
benda itu. "Tapi aku tadi melihat kamu berindap-indap?"
"Saya malu diketahui Sang Susuhunan. Kalau beliau
tahu saya ada di sini, wah berabe ?" kata Ginggi pula.
"Tapi kamu tidak takut oleh kami, ya?"
"Wah " kalian kan baik-baik dan ramah-ramah kepada
semua orang?" "Menjilat, ya ?"
"Betul, Bibi! Kalian semua ramah dan pemaaf. Bijaksana
lagi!" "Huh, cari muka,ya!"
"Saya sudah punya muka, bibi!"
"Cerewet! Mukamu jelek!" terak wanita pengasuh itu.
Ginggi hanya garuk-garuk kepala.
"Sudahlah Bibi, jangan terus dimarahi. Dia memang tak
salah," kata Nyimas Banyak Inten halus. Ginggi tersenyum
mendengarnya, membuat Si Bibi pengasuh kembali
mengomel. "Kau ke sinilah badega ?" Nyimas Layang Kingkin
memanggilnya. Ginggi merunduk-runduk datang mendekat.
Dia tak berani memandang putri bangsawan ini. Namun
walau pun sekilas, Ginggi pandai menilai, gadis yang
hampir empat tahun di atas usianya terlihat amat jelita,
sehingga Ginggi susah membedakan, mana yang paling
elok, wajah Nyimas Banyak Inten ataukah Nyimas Layang
Kingkin" Dua-duanya memilik sepasang mata berbinar,
berhidung kecil mancung dengan cuping hidung kembang-
kempis serta ada lesung pipit di pipi bila keduanya
tersenyum. Yang membedakan keduanya, Nyimas Banyak
Inten usianya lebih belia, mungkin sekitar 15 tahun atau
setahun di bawah usia Ginggi. Sedangkan Nyimas Layang
Kingkin nampak lebih dewasa baik raut wajahnya, mau pun
potongan tubuhnya yang lebih berisi dan membentuk.
"Ada apakah Tuan Putri ?"" tanya Ginggi bersila dan
menyembah takzim tanda hormat.
"Seharusnya aku yang tanya padamu, ada apakah
engkau datang ke sini?" putri elok Nyimas Layang Kingkin
balas bertanya. Pemuda itu kian menunduk. Beberapa lama
dia tak sanggup memberikan jawaban.
"Mengambil rumput utuk makanan kuda, ya" Kok ambil
rumputnya ke sini saja?" tanya Nyimas Layang Kingkin
sambil mengerling ke arah Nyimas Banyak Inten. Ginggi
juga ikut mengerling dan rona merah di pipi Nyimas
Banyak Inten nampak kentara. Ginggi menunduk dan
berdegup jantungnya. Rupanya hubungan Suji Angkara dan
Nyimas Banyak Inten sudah diketahui orang lain, paling
tidak oleh Nyimas Layang Kingkin, adik Suji Angkara.
"Tapi tak apalah ambil rumput di Taman Mila Kancana
ini. Yang penting, kau jangan ganggu adikku, Nyimas
Banyak Inten," kata Nyimas Layang Kingkin penuh arti.
Kembali rona merah di wajah Nyimas Banyak Inten
membayang. "Hari sudah semakin siang, mari Bibi kita kembali ke
puri. Ada burung pipit tengah menanti. Siapakah yang
datang dan siapakah yang akan dipilih. Burung pipit mesti
menimbang-nimbang, Bibi ?" kata Nyimas Layang
Kingkin kembali mengerling ke arah Nyimas Banyak Inten
sambil senyum penuh arti. Dan yang dikerling hanya
menunduk malu membuat Ginggi tak mengerti apa yang
sebenarnya mereka maksudkan.
Tinggallah Nyimas Banyak Inten ditemani dua orang
pengasuhnya. Nampak mereka semua tengah termangu-
mangu membuat Ginggi tak enak hati.
"Engkau ke sini menyabit rumput, eu "."
"Nama saya Ginggi Tuan Putri."
"Jangan sebut aku begitu. Panggil saja Nyimas," potong
Nyimas Banyak Inten. "Tuan Putri adalah kerabat Raja juga ?" gumam Ginggi.
"Ya, tapi kerabat jauh. Kau baru boleh memanggil
seperti itu kepada turunan langsung Raja saja," kata Nyimas
Banyak Inten lagi. Ginggi tersenyum. Macam-macam
kehendak keluarga bangsawan ini. Nyimas Banyak Inten
seperti tak suka disebut tuan putri sedangkan Nyimas
Layang Kingkin seperti kebalikannya. Mata Nyimas
Layang Kingkin seperti berbinar ketika dipanggil tuan putri


Senja Jatuh Di Pajajaran Karya Aan Merdeka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

oleh Ginggi tadi. "Baiklah " Nyimas" kata Ginggi akhirnya.
Nyimas Banyak Inten puas dengan kesanggupan Ginggi
ini. "Engkau datang ke sini karena menyabit rumput, ya?"
Ginggi merenung tapi kemudian mengangguk.
"Terima kasih kalau engkau datang ke sini hanya
menyabit rumput," gumam Nyimas Banyak Inten seperti
bicara pada diri sendiri, membuat Ginggi merasa heran.
Kini pemuda itu mengangkat wajah dan memandang
muka yang bak bidadari turun dari kahyangan ini.
Nyimas Banyak Inten balik menatap, rupanya tahu akan
keheranan Ginggi. "Entahlah Ginggi " aku belum memikirkan hal yang
bukan-bukan ?" kata Nyimas Banyak Inten masih setengah
bergumam. Ginggi menatap tajam wajah rembulan yang
kini nampak murung itu. Dia tak menyadarinya bahwa
tindakan ini tidak layak bila dilakukan oleh kebanyakan
orang sepertinya. Namun kesadaran pemuda itu tertutup
oleh gejolak rasa yang menggebu di hatinya. Rembulan itu
begitu murung, begitu kelabu bagaikan ada awan tipis
memoles wajahnya. Ingin sekali Ginggi jadi penguasa angin
dan segera meniup jauh awan kelabu yang menutup sang
rembulan. Tapi awan kelabu yang manakah yang membuat
si jelita begitu murung"
"Kau katakan pada Raden Suji " aku belum
memikirkan urusan seperti itu, Ginggi?" kata Nyimas
Banyak Inten menghela nafas panjang.
(O-anikz-O) Siapa Mencinta Nyimas Banyak Inten"
Ginggi ingin berkata sesuatu, namun lidahnya seperti
terpotong di tengah jalan. Tidak, tidak akan kukatakan
perihal surat yang kubawa ini, kata Ginggi dalam hatinya.
Surat itu tak pantas dibaca oleh gadis sehalus Nyimas
Banyak Inten. Bayangkan, surat itu mengajak putri
berperangai halus itu untuk melakukan kencan-kencan
rahasia. Suji Angkara terlalu merendahkan harga diri gadis
itu. Kalau surat itu diberikan kepada Nyimas Banyak Inten,
Ginggi tak sanggup melihat hancurnya rasa hati gadis itu.
Bayangkanlah, wanita anggun sehalus Nyimas Banyak
Inten diperlakukan Suji Angkara seolah-olah gadis itu
wanita murahan dan bisa diajak apa saja. Ginggi serasa
punya alasan untuk menjegal surat itu ketika Nyimas
Banyak Inten bicara seperti tadi, "Aku belum memikirkan
urusan seperti itu," tentu yang dimaksudnya urusan cinta.
Bukankah tempo hari Suji Angkara pernah mengutusnya
mengirim surat yang isinya permohonan agar gadis ini suka
menjadi kekasih pemuda itu" Nyimas Banyak Inten telah
menolaknya, berarti surat yang isinya sembrono ini tak
perlu diberikan Ginggi kepada gadis itu.
"Saya mohon diri, Nyimas?"" gumam Ginggi
menyembah takzim. Nyimas Banyak Inten mengangguk
lesu. Ginggi segera akan berjingkat tapi gadis itu
menahannya sebentar. "Ada apa Nyimas?"" kata Ginggi menatap wajah gadis
itu. "Bagaimana kau katakan agar Raden Suji tak tersinggung
perasaannya, Ginggi?" tanya putri berdagu tipis berbibir
merekah merah itu. Ditanya seperti ini Ginggi tercenung
sejenak. Ya, Ginggi pun tak tahu, omongan apa yang harus
dia sampaikan kepada pemuda tampan tapi berkesan
pemarah itu" "Saya akan coba bicara benar dan wajar sehingga Raden
Suji pun akan menanggapinya dengan wajar, Nyimas?"
kata Ginggi. Namun gadis itu sepertinya menyangsikan
kemampuan Ginggi dalam menyampaikan maksudnya.
"Bagi laki-laki, biasanya cinta itu seperti pertandingan,
Nyimas. Ada menang ada kalah. Jadi, kedua hal ini
seharusnya sudah diperkirakan oleh Raden Suji," kata
Ginggi lagi. Nyimas Banyak Inten seperti tak puas dengan ucapan
Ginggi ini. Dia nampak hanya menunduk sambil memilin-
milin kain yang oleh pengasuhnya tadi tengah disulam
benang emas. "Bagaimana kalau Nyimas sendiri saja yang sampaikan?"
giliran pengasuhnya yang memberikan saran.
"Aku tak biasa berkunjung ke kediaman laki-laki, Bibi
?" gumam gadis itu menunduk.
"Tulislah surat di daun nipah, biar saya yang
menyampaikannya," kata Ginggi. Tapi Nyimas Banyak
Inten menggelengkan kepala.
"Surat suka dijadikan kenangan oleh seseorang. Kalau
itu surat baik, akan dijadikan kenangan bahagia. Tapi kalau
surat itu isinya buruk, hanya akan dijadikan kenangan
menyedihkan. Dan aku akan merasa berdosa bila harus
memaksa Raden Suji setiap saat merangkul kenangan
pahit," tutur Nyimas Banyak Inten sendu. Gadis yang
memiliki rambut ikal dan harum ini terlalu berperasaan dan
akibatnya jalan pikiran menyiksanya dirinya, pikir Ginggi.
"Kalau segalanya menjadi tidak tepat, jadi harus
bagaimana, Nyimas?" tanya Ginggi bingung. Gadis itu
masih termangu-mangu seperti tak sanggup mengambil
keputusan. "Ginggi, begitu ruwetkah urusan cinta?" tanya gadis itu
tiba-tiba. Ginggi menatap wajah Nyimas Banyak Inten. Tapi
kemudian menundukkan kepala lagi bila ingat etika di
Pakuan tak membenarkan orang kebanyakan saling
pandang dengan kaum bangsawan apalagi dengan para
wanitanya. Namun biar pun hanya sejenak, Ginggi sanggup
menerobos ke dasar lubuk hati gadis itu. Ya, melalui sorot
matanya yang bening dan polos, betapa gadis itu berkata
bahwa lembaran hidupnya yang putih bersih belum tergores
oleh tulisan hitam tentang cinta. Gadis itu belum mengenal
relung pahit-getirnya cinta. Bagaimana harus Ginggi jawab
atas pertanyaannya ini. Apakah cinta itu bagaikan mega
berarak-arak di langit biru, atau berupa aliran air di sungai
berjeram" Pemuda itu pernah merasakannya tapi segalanya
serba tak berketentuan. Dan cinta yang datang tanpa
persiapan serta tanpa ancang-ancang yang tepat membuat
segalanya berantakan. "Yang membuat ruwet bukan cinta tapi manusianya itu
sendiri, Nyimas?" jawab Ginggi pada akhirnya.
"Karena manusianya itu sendiri ?""
"Betul, karena cinta itu urusan hati. Dia bisa datang
tanpa diundang dan pergi tanpa diusir. Cinta juga tak bisa
diundang dan tak bisa diusir," kata Ginggi.
"Tidak bisa diundang dan tidak bisa diusir?"
"Kalau hati tak punya perasaan cinta, diganggu oleh apa
pun kita tak tergoda. Namun sebaliknya bila di hati ada
cinta, dipisahkan karena dunia terbelah pun perasaan itu
tetap melekat," kata Ginggi lagi.
"Oh, bila begitu cinta hanya derita saja?" sergah gadis
itu menutup wajahnya dengan kedua tangannya, seolah
yang namanya cinta terbentang di hadapannya,
membendung dan menghalangi pandangan matanya.
"Engkau hanya membuat Nyimas lebih bingung saja
menghadapinya anak muda. Ah, apa sih pengalamanmu
bercinta, sehingga berani melontarkan petuah-petuah seperti
itu?" wanita pengasuh Nyimas Banyak Inten menyela dan
tak senang atas kata-kata Ginggi yang dianggapnya lancang
dan terlalu sembrono memberikan berbagai petuah.
"Barangkali ucapannya ada benarnya, Bibi?" potong
gadis itu seperti membela Ginggi.
"Tapi membikin Nyimas tambah ruwet saja. Nyimas
berdiri di antara dua tantangan yang amat berat," kata
wanita pengasuhnya dengan ucapan serius.
"Dua tantangan berat?" Ginggi mengeryitkan dahi.
"Nyimas juga tengah dilanda kebingungan karena dicinta
oleh Sang Susuhunan Pakuan!"
"Bibi!" teriak Nyimas Banyak Inten setengah menjerit
dan membelalakkan matanya. Si wanita pengasuhnya pun
nampak terkejut dan baru menyadarinya, mengapa dia
mengucapkan perkataan seperti itu.
"Ah, dasar engkau bocah tolol! Mengapa kau datang ke
sini dan kasak-kusuk bicara soal cinta" Kau yang salah
bocah gendeng!" pengasuh menyumpah-nyumpah kepada
Ginggi. Ginggi sendiri tak begitu memperhatikan sumpah-
serapah perempuan setengah baya itu, sebab ucapan awal
dari pengasuh gadis itu sudah berdebum menimpa hatinya.
Serasa menggeletar seluruh urat tubuhnya mendengar
penjelasan singkat ini. Nyimas Banyak Inten juga dicintai
Raja" Terpukul rasa hati pemuda itu dan serentak
semangatnya jatuh seperti sebatang pohon keropos yang
dilanda angin kencang. "Maafkan saya Tuan Putri?" kata Ginggi tak terasa
menyebut gadis itu dengan julukan yang sebetulnya tak
disukai gadis itu. Tapi pemuda itu tak tahu, permohonan
maafnya itu untuk apa. Apakah karena dia sudah berlaku
sembrono memberikan petuah-petuah yang belum tentu
kebenarannya, ataukah minta maaf karena " karena apa"
Ginggi mencoba mengorek-orek sesuatu yang ada di lubuk
hatinya. Perasaan apa yang ada di sana mengenai
putriBangsawan Yogascitra itu" Bah! Sialan benar! Dasar
lelaki tak tahu diri! Apa yang kau rasakan terhadap gadis
yang derajatnya ada di langit ke tujuh itu" Engkau seperti
siput yang hendak mendaki ke puncak bukit, atau bagaikan
anak itik yang akan menyebrangi lautan. Mana mungkin
ada burung gagak minta disejajarkan dengan burung merak"
Dia pun mencintai Nyimas Banyak Inten" Bah" Berkaca
dululah hei lelaki dungu! Teriak Ginggi di dalam hatinya.
"Saya mohon diri " Saya mohon diri " Maafkan saya,
Tuan Putri?" berkali-kali Ginggi bicara terbata-bata atau
setengah bergumam. Hatinya marah, menyesal juga sedih.
Tanpa mendapatkan jawaban dari gadis itu, Ginggi
cepat-cepat menjinjing keranjang bambu dan alat sabitnya,
berlalu dari tempat itu. Tiba di kediaman Suji Angkara, ternyata sudah
didapatkan Nyimas Layang Kingkin bercakap-cakap
dengan Suji Angkara. Kedua orang kakak-beradik itu
terlibat percakapan yang nampaknya amat penting sekali.
Ginggi akan segera berjingkat dari tempat itu kalau saja Suji
Angkara tak memanggilnya. Maka Ginggi
menghampirinya. Sesudah berada di atas beranda berlantai
papan jati mengkilap, Ginggi menghadap sambil beringsut,
kemudian menyembah takzim.
"Bagaimana, apa kau sampaikan suratku padanya?"
tanya Suji Angkara. Terbayang wajah cemas ketika Ginggi
memandangnya. "Ampun Raden, saya tak berani menyampaikannya, di
taman banyak orang?" Kata Ginggi sambil melirik ke arah
Nyimas Layang Kingkin. "Bagus! Aku malah khawatir bila surat itu kau
sampaikan?" Suji Angkara bernapas lega.
"Tapi seharusnya kau sampaikan surat itu, Ginggi. Biar
Nyimas banyak Inten tahu bahwa kakakku menyimpan
harapan padanya," kata Nyimas Layang Kingkin menyela.
"Hus, engkau ceroboh Nyimas! Bagaimana mungkin aku
berani mati mencintai gadis yang sedang digandrungi Sang
Susuhunan?" Suji Angkara menegur adiknya.
"Tapi kanda, di Pakuan ini bertebaran putri cantik. Sang
Susuhunan bisa leluasa memilih yang mana saja kalau
beliau tahu Nyimas banyak Inten telah ada yang punya,"
sanggah Nyimas Layang Kingkin menatap tajam kakaknya.
Tapi yang ditatap hanya menghela nafas. Ada kerut-merut
di dahinya. Mungkin pemuda tampan itu sedang bingung
atau mungkin juga tengah berpikir sesuatu. Hanya yang
jelas, ada semacam kebimbangan yang mendera hatinya.
Barangkali pemuda itu sedang tergoda untuk memikirkan
apa yang diucapkan adiknya.
"Entahlah"aku bingung memikirkannya, Dinda,"
gumam Suji Angkara terpekur.
"Tidak cintakah Kanda pada Nyimas Banyak Inten?"
tanya Nyimas Layang Kingkin mendesak.
Ditanya begitu, Suji Angkara menghela nafas. Dia
berdiri dari duduknya dan berjalan menuju jendela.
Sesampainya di tepi jendela, pemuda itu termangu-mangu
sambil menatap taman belakang rumahnya. Di sana
terhampar lapangan rumput. Tidak begitu luas tapi di sana-
sini diberi hiasan-hiasan tanaman bunga beraneka warna.
Ada beberapa ekor angsa berjalan-jalan di tepi kolam dan
sesekali menjulurkan patuknya ke permukaan tepi kolam.
"Cintaku selalu kelabu, Dinda?" gumam Suji Angkara
hampir seperti berbisik dan menyerupai sebuah ucapan
untuk dirinya sendiri saja.
"Perjuangkanlah cintamu itu. Kalau Kanda benar-benar
mengharapkan kehadiran Nyimas Banyak Inten dalam
kebahagiaan hidupmu, jangan melakukannya dengan
setengah hati. Raihlah sampai apa yang Kanda cita-citakan
berhasil kau dapatkan!" kata lagi Nyimas Layang Kingkin.
"Sudah sejak lama aku mendambakan cintanya. Tapi
semakin aku mengharapkannya, semakin besar
tantangannya. Untuk mendapatkan gadis itu, aku harus
bersaing dengan Raja?" gumam pemuda itu lagi mengeluh.
"Tapi Dinda akan selalu berdoa di kuil agar cintamu
terlaksana dengan sempurna, Kanda"." ujar Nyimas
Layang Kingkin sungguh-sungguh.
"Kau amat baik padaku, adikku. Aku pun akan berdoa
setiap waktu agar cintamu tak kurang suatu apa?" kata
Suji Angkara menatap wajah Nyimas Layang Kingkin. Tapi
gadis itu nampak menunduk lesu sekali pun pada akhirnya
dia tersenyum tipis. Ginggi yang menyimak percakapan kedua orang itu tidak
bisa menduga, apa pula yang ada di hati gadis berwajah
bulat telur ini. Namun Ginggi serasa punya naluri, bahwa
gadis itu pun memiliki sesuatu yang tengah
dirahasiakannya. Percakapan kedua kakak-beradik itu terhenti ketika


Senja Jatuh Di Pajajaran Karya Aan Merdeka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mereka melirik ke arah Ginggi. Rupanya mereka baru sadar
bahwa ada orang ketiga di ruangan itu. Suji Angkara
nampak mengerutkan dahi, sepertinya tak senang dengan
kehadiran Ginggi di sana.
"Mengapa kau berada di sini, hei duruwiksa ?" tanya Suji
Angkara dengan suara sedikit ketus.
"Bukankah saya tadi dipanggil olehmu, Raden?" jawab
Ginggi. Suji Angkara tersenyum, sepertinya dia baru ingat
bahwa memang tadi dia menahan Ginggi untuk tidak
meninggalkan tempat itu. "Cepat kembalikan daun nipah itu padaku," kata Suji
Angkara pada akhirnya. Ginggi menyerahkan surat yang
sedianya diserahkan pada Nyimas Banyak Inten.
Lembaran daun nipah yang sudah diikat benang warna
hitam itu serta-merta diremas-remasnya sehingga hancur.
Pemuda itu rupanya belum puas. Dia segera mengambil
paneker dan bulu lunglum, kemudian segera membuat api.
Surat daun nipah segera dibakarnya habis. Semua
perbuatan Suji hanya disaksikan saja oleh adiknya.
"Aku amat mencintainya. Adakah cara terbaik agar aku
bisa memiliki gadis itu?"" gumam Suji pelan tapi nadanya
mengandung rasa penasaran amat sangat.
"Ya, Kanda harus memilikinya. Carilah akal yang paling
baik. Kita harus berani mengalahkan Sang Prabu tanpa
menyakitinya, Kanda?" kata Nyimas Layang Kingkin
mendesak dan penuh harap.
(O-ani-kz-O) Malam hari Ginggi tidur sendirian di sebuah ruangan
berlantai tanah, berdempetan dengan istal kuda. Malam
demikian dingin sebab langit nampak jernih tak terhalang
mega sedikit pun. Kalau Ginggi mau menengok ke
halaman, suasana sudah demikian sunyi. Hanya suara
binatang malam saja yang terdengar di semak-semak.
Di malam yang dingin dan membuat tulang-tulang
sumsum terasa ngilu, seharusnya tak membuat betah orang-
orang berkeliaran di luar rumah. Barangkali yang paling
pantas adalah membungkus tubuh dengan selimut tebal,
tidur meringkuk hingga badan melipat, atau bila mereka
sepasang suami-istri, maka dinginnya malam mereka usir
dengan cara tidur saling peluk. Namun tentu saja tak semua
orang telah beruntung menjadi sepasang suami-istri. Seta
dan Madi misalnya, entah kapan mereka akan menjadi
seorang suami yang mendapatkan kebahagiaan dari istri
tercinta di malam dingin seperti ini. Ginggi sendiri tidak
pernah mencita-citakan suasana seperti itu. Baginya, punya
istri dan membangun rumah-tangga adalah sebuah
pekerjaan besar yang amat memerlukan pengorbanan.
Menyinta saja tanpa dicinta wanita adalah sebuah siksaan.
Tapi, dicinta wanita tanpa bisa membalas cintanya juga
sebuah derita. Terbayang di mata Ginggi wajah gadis
pemilik kedai di Tanjungpura. Gadis itu hanya dalam
sehari-semalam saja telah berani menyatakan cintanya.
Tidak melalui ucapan langsung. Tapi sorotan matanya yang
penuh harap, ucapan-ucapannya yang seperti mengikat,
segalanya membeberkan perasaan hatinya, "Kalau engkau
kembali lagi ke Tanjungpura, ayah amat menantikanmu,"
kata gadis itu yang sengaja mencegatnya di tengah jalan
saat Ginggi akan meninggalkan Tanjungpura.
Mulanya gadis itu mencurigainya sebagi pemuda ugal-
ugalan yang senang mengganggu wanita. Namun setelah
belakangan terbukti bahwa Ginggi seorang yang sopan
terhadap wanita, maka gadis itu berbalik 180 derajat.
Ini derita buat Ginggi, sebab dirinya tak tega
membayangkan bahwa gadis itu kini tengah hidup dalam
penantian dan harapan kosong. Pemuda itu tak pernah
menolak tapi juga tak pernah menjanjikan sesuatu.
Cinta itu sendiri bagi Ginggi hanyalah sebuah kegelapan.
Dia tak pernah tahu, apa sebenarnya cinta itu. Seperti
kelelawar mencari makanan di malam hari, di saat tak ada
cahaya apa pun yang memberi tahu. Kelelawar hanya
makan makanan yang dirasa di mulut enak dan manis. Tapi
makanan apa itu sebenarnya, dia sendiri pun tak tahu sebab
semua yang dimakannya selalu di saat keadaan gelap-gulita.
Dan menurut Ginggi, cinta itu sendiri pun gulita. Dia tak
tahu, apakah cinta yang dirasakannya benar-benar murni
atau palsu belaka. Ginggi teringat kembali peristiwa aib di
hutan kecil di Desa Cae setahun lalu. Bersama Nyi Santimi
dia terperosok ke jurang cinta yang hanya mementingkan
nafsu lahiriyah belaka. Ketika gejolak birahi meninggi dan
bergelombang, serasa itulah cinta. Tapi ketika segalanya
sudah berlalu, berlalu pulalah perasaan cintanya. Ginggi tak
percaya bila yang namanya cinta hanya sebatas kenikmatan
lahiriyah saja. Itulah sebabnya, ketika gejolak darah sudah
tak menggelegak lagi, pemuda itu segera sadar dari
kekeliruannya. Ginggi menyesal. Dan celakanya, rasa
sesalnya hanya ditampilkannya lewat perbuatan pengecut.
Ginggi lari menghindar dari kungkungan cinta yang
dianggapnya palsu, kendati sampai kini dia sebetulnya tak
bisa lepas dari kuntitan dosa.
Sekarang perasaan-perasaan yang sebetulnya dibencinya
telah mulai lagi merobek-robek hatinya. Tak kepalang
tanggung, perasaannya kini tergoda wajah anggun Nyimas
Banyak Inten, putri bangsawan yang banyak diperebutkan
setiap ksatria Pakuan. Tidak kepalang tanggung, yang
memendam rasa dan cita-cita untuk memetik kembang
Taman Mila Kancana itu adalah juga Sang Prabu Ratu
Sakti, penguasa Pakuan. Kalau Ginggi tetap bertahan dengan perasaannya yang
sebetulnya dianggap menyebalkan ini, berarti dia harus
bersaing dengan Raja, dengan banyak ksatria Pakuan,
termasuk juga bersaing dengan Suji Angkara. Suji Angkara"
Ginggi serentak bangun dari tidurnya. Dia duduk di atas
dipannya. Benarkah Suji Angkara juga menyinta Nyimas
Banyak Inten secara sungguh-sungguh" Ginggi
memicingkan sepasang matanya karena berpikir keras.
Suji Angkara sejak awal dicurigainya sebagai pemuda
misterius. Bukan saja peranannya di Pakuan sebagai apa,
tapi juga tindak-tanduknya yang erat kaitannya dengan
urusan wanita. Sejak mulai dari Desa Cae setahun yang lalu, Ginggi
sudah mendapatkan sesuatu keganjilan yaitu di mana ada
Suji Angkara, di situ terjadi peristiwa yang menyangkut
wanita. Di Desa Cae, di Tanjungpura dan baru-baru ini di
puri milik Bangsawan Yogascitra kendati tidak sempat
menjadi peristiwa yang menggegerkan karena baru terpegok
Ki Banen. Dan Ki Banen walau pun tidak bisa meyakinkan
secara pasti tapi tetap menaruh curiga bahwa Suji Angkara
secara gelap memasuki puri Yogascitra. Ki Banen curiga,
Suji Angkara akan ganggu Nyimas Banyak Inten.
Ginggi menjadi bimbang. Mungkin saja dia bercuriga
bahwa Suji Angkara gemar berbuat tak senonoh terhadap
wanita. Tapi bukankah pemuda itu mengaku bahwa
cintanya tulus terhadap Nyimas Banyak Inten. Tapi amat
mustahil seorang yang memiliki cinta tulus nekad
melakukan hal yang tak senonoh"
Bila mengingat hal-hal yang seperti ini, Ginggi menjadi
semakin tak percaya bila Suji Angkara gemar
melampiaskan birahi secara jahat. Pemuda itu kaya dan
tampan. Sehari-harinya senang berpakaian bagus, anak
pejabat lagi. Mustahil tak ada seorang wanita pun yang
menyintainya secara benar terhadapnya. Mustahil tak ada
wanita yang mau melayani cintanya secara wajar sehingga
memaksa pemuda itu melakukan tindakan tak senonoh. Ya,
bisa saja seorang lelaki melakukan tindakan berahi secara
tak terpuji bila dia sudah merasa bahwa dirinya rendah,
takut tak dihargai bahkan takut dibenci wanita.
Mungkinkah pemuda itu mempunyai perasaan rendah diri
seperti yang Ginggi pikirkan"
Ginggi mengingat-ingat obrolannya beberapa waktu lalu
dengan pemuda itu. Tidak, Suji Angkara sebenarnya tidak
punya sikap rendah diri. Dia adalah lelaki yang selalu ceria
tapi sedikit angkuh. Bila di hadapan umum dia selalu
menampilkan dirinya sebagai kaum bangsawan yang
terhormat, pandai menjaga diri dan taat kepada etika
kebangsawanannya. Di hadapan umum dia adalah benar-
benar seorang bangsawan yang pandai membawa diri,
hormat terhadap sesama juga terhadap wanita.
Sampai di sini, Ginggi tersentak kaget. Suji Angkara
benar-benar pandai menjaga kehormatan di hadapan
umum. Ya. Di muka umum. Kalau di belakang bagaimana"
Ginggi jadi teringat ucapan Nyi Santimi di Desa Cae
dulu yang mengatakan takut terhadap perangai Suji
Angkara. "Raden Suji bila di muka orang banyak nampak sopan
terhadap wanita, tapi bila kebetulan sedang berduaan
matanya tajam sedikit jalang, sepertinya sorot matanya
sanggup menembus pakaian dan menjilati seluruh tubuh
yang dilihatnya. Mulutnya senyum meyeringai dan
nafasnya sedikit memburu, membuat bulu kuduk
merinding," kata Nyi Santimi ketika itu.
(O-anikz-O) Jilid 15 Ginggi juga ingat perkataan Suji Angkara, bahwa
menjadi bangsawan itu berat. Perilaku harus dijaga, sebab
sedikit melanggar saja, sesama bangsawan akan
tersinggung. Kata-kata Suji Angkara terdengar seperti
kecewa bahwa dia dilahirkan sebagai bangsawan atau
sekurang-kuranmgnya kecewa sebab dia berada di
lingkungan kaum bangsawan yang ketat dengan berbagai
aturan. Sepertinya pemuda itu merasa terkungkung dengan
kebangsawanannya. Dan bila menyimak "keluhannya"
pemuda itu, seolah-olah membuktikan bahwa di muka
umum dia ketat memegang etika sebagai bangsawan karena
keterikatan saja, karena terpaksa saja. Sedangkan hatinya
berontak, sedangkan dirinya ingin bebas melakukan apa
saja, termasuk"termasuk apa" Tidakkah juga termasuk
melakukan percintaan dengan bebas seperti kuda binal"
Ginggi dengar, di wilayah Kandagalante Sagaraherang
malam hari ada pesta makan dan minum bahkan pesta
berahi sebab di sana tersedia wanita-wanita penghibur. Dari
sekian orang pengawal barang-barangseba, hanya dua orang
yang tidak bermain cinta. Pertama Seta karena dia setia
terhadap Nyi Santimi calon istrinya, dan kedua Suji
Angkara. Karena apa" Ya, karena dia harus menjaga etika
kebangsawanannya. Kalau dia ketika itu menerima tawaran
tuan rumah yang sengaja menjamunya dengan wanita
penghibur, maka akan rusaklah mutu kebangsawanannya.
Tidak, Suji Angkara tak mau bermain wanita di muka
umum. Bila di belakang bagaimana"
Ginggi teringat lagi kesaksian badega Juragan Ilun Rosa
yang putrinya mati bunuh diri. Dua malam sebelum
peristiwa, Suji Angkara dipergoki tengah mencumbu dan
merayu anak gadis Juragan Ilun untuk melakukan
hubungan suami-istri. Gadis itu walau pun tersinggung tapi
menolak dengan sopan dan mengatakan dirinya sudah
bertunangan dengan pemuda bernama Purbajaya. Sesudah
terjadi penolakan, maka musibah datang. Gadis itu esok
malamnya bunuh diri dan di samping mayatnya ada surat
daun nipah yang isinya menerangkan bahwa Purbajaya
pamitan kepada kekasihnya akan melakukan pertikahan
dengan gadis bangsawan Pakuan. Seolah-olah surat itulah
pembawa bencana bunuh dirinya gadis itu.
Betulkah bunuh diri karena putus asa ditinggal kekasih,
atau mati bunuh diri karena diperkosa" Atau dibunuh
setelah diperkosa terlebih dahulu"
(O-anikz-O) Keculasan Suji Angkara Ada titik-titik terang yang memandu Ginggi. Bila
pemuda itu akan tetap mencurigai Suji Angkara sebagai
penjahat berahi, maka alasan-alasannya cukup jelas,
mengapa pemuda itu melakukan perbuatan cabul. Ya, dia
sebetulnya laki-laki biasa yang lemah terhadap godaan
kecantikan wanita. Tapi karena dia seorang bangsawan,
harus menjaga etika kebangsawanannya. Namun
sebetulnya dia tak bisa menjaganya. Apalagi di lain fihak
bila harus menyintai wanita secara berterang, pemuda itu
beberapa kali tersandung batu. Seperti pernah
diungkapkannya terhadap Ginggi, bahwa Suji Angkara
beberapa kali merasa sakit hati karena ditolak cintanya.
Bermain cinta secara wajar dia tidak bisa, tapi mencari
wanita penghibur secara terang-terangan dia takut
kebangsawanannya ternoda. Maka satu-satunya jalan
dalam mencurahkan hasrat berahinya, dia lakukan
tindakan-tindakan gelap. Ya, mungkin begitu, termasuk
kepada Nyimas Banyak Inten yang menolak cintanya.
Hah" Terhadap Nyimas Banyak Inten" Ginggi kembali
tersentak. Suji Angkara amat menyinta Nyimas Banyak
Inten, tapi dia menghadapi hambatan berat. Selain gadis itu
menolak cintanya, juga ada halangan amat besar, dia harus
bersaing dengan Raja. "Aku amat mencintainya. Adakah cara terbaik agar bisa
memiliki gadis itu?"" tanya Suji Angkara ketika itu. Dan
Ginggi masih ingat saran-saran Nyimas Layang Kingkin
kepada kakaknya. "Ya, Kanda harus memilikinya. Carilah akal yang paling
baik. Kita harus berani mengalahkan Sang Prabu tanpa
menyakitinya," begitu tutur Nyimas Layang Kingkin ketika
itu. Nyimas Layang Kingkin begitu mendesak-desak agar
kakaknya tak putus asa dalam mendapatkan cintanya.
Adakah ucapan ini punya makna" Atau, akankah ucapan
ini dijadikan makna oleh Suji Angkara untuk melakukan
sesuatu agar cintanya terlaksana" Ginggi tertegun dengan
jalan pikirannya ini. Kalau benar dugaannya, ada beberapa
kemungkinan yang akan dilakukan Suji Angkara. Pertama
dia akan meminta dengan halus terhadap Sang Prabu, atau
menggantikannya dengan gadis lain yang sekiranya Sang
Prabu sama menghargainya. Atau kedua, Suji Angkara
akan berlaku nekad, memperlakukan Nyimas Banyak Inten


Senja Jatuh Di Pajajaran Karya Aan Merdeka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

secara diam-diam, yang penting hasrat cintanya tersalurkan.
Ginggi serentak bangun. Dengan perasaan tak keruan dia
keluar rumah. Di halaman keadaan cukup gelap sebab
beberapa penerangan sudah kehilangan minyak bakar. Ada
cahaya dari ribuan bintang-gemintang tapi tidak akan
sanggup menerangi bumi. Dengan dada berdebar kencang Ginggi berlari. Yang di
tuju adalah puri Bangsawan Yogascitra.
Ya, Ginggi harus ke sana agar kekhawatirannya tidak
terbukti. Ginggi takut sekali perkiraannya benar, sebab
kalau semua dihubung-hubungkan, ada kecenderungan Suji
Angkara melakukan tindakan yang membahayakan
keselamatan Nyimas Banyak Inten. Pemuda itu diduga
akan mendahului "mengambil" Nyimas Banyak Inten
secara gelap bila secara terang-terangan dia tak akan bisa
mendapatkannya. Ginggi teringat kecurigaan Ki Banen
bahwa Suji Angkara pernah menyelundup masuk ke puri
Bangsawan Yogascitra. Kalau ini benar, bukan tidak
mungkin dia akan kembali mengulangi tindakannya.
Ginggi meloncat-loncat di atas kuta (benteng) untuk
memotong perjalanan. Dan segera meloncat ke atas dahan
pohon bila berpapasan dengan rombongan tugur (ronda).
Ginggi tidak memastikan bahwa malam ini Suji Angkara
akan menyelundup masuk ke puri Bangsawan Yogascitra.
Tapi Ginggi perlu menjaganya agar kejahatan pemuda itu
tidak berlangsung. Kalau tak terjadi malam ini mungkin
besok, atau lusa, atau mungkin kapan saja. Tapi kapan pun
itu terjadi, Ginggi harus berusaha menjaga dan
menggagalkannya. Dan untuk itu terpaksa dia harus
memata-matainya. Kalau mungkin, setiap malam dia akan
mengawasi puri Bangsawan Yogascitra.
Sekarang Ginggi sudah tiba di belakang puri. Dia tak
pernah keluyuran memasuki wilayah puri ini. Namun
melihat beberapa bangunan yang terdapat di sana, Ginggi
bisa mengira-ngira, mana kediaman pemilik puri dan mana
bangunan-bangunan yang biasanya hanya dihuni para
badega atau pelayan. Bangunan-bangunan di sana amat kokoh, terbuat dari
jati pilihan. Atapnya dibuat dari sirap hitam dan beberapa
bagian berupa atap ijuk. Suasana demikian sunyi sebab rupanya semua orang
sudah terlelap dalam mimpi. Tapi Ginggi telah memiliki
ilmu yang Ki Darma namai sebagaiHiliwir Sumping Ketika
di Puncak Cakrabuana. Ginggi kerapkali diajarkan ini. Dia
belajar menulikan telinga di saat banyak terdengar suara
keras, atau sebaliknya harus sanggup mendengar sesuatu di
saat sunyi. Dari kepandaian seperti ini, Ginggi bisa
memilah-milah, suara seputarnya. Maka dari sekian jenis
suara, mulai dari suara jangkrik bernyanyi sampai bunyi
dengkur, pemuda itu bisa melakukannya.
Ketika dia pergunakan ilmu tersebut, sempat mendengar
bunyi aneh. Ginggi memiring-miringkan kepalanya, menggerak-
gerakkan daun telinganya. Ada suara desah dan bisikan
parau. Sebentar kemudian suara itu berganti menjadi kekeh
halus seperti tertahan-tahan. Ginggi meloncat seperti
kucing, mendekati arah suara itu. Datangnya di sebuah
kamar di sudut bangunan besar. Di bagian sudutnya ada
jendela. Ginggi memeriksa dengan hati-hati. Jendela itu
tidak terkunci. Ditelitinya sudut-sudut daun jendela.
Terkesiap pemuda itu sebab jendela jelas dibuka dari luar.
Ginggi mencoba membuka jendela sedikit-sedikit dan
amat pelan. di Dalam ruangan amat remang-remang sebab
cahaya pelita sungguh kecil. Tapi biar begitu remang Ginggi
bisa menyaksikan sebuah pemandangan yang membuat
darahnya naik ke ubun-ubun. Di sebuah ranjang kayu
berukir terbaring seorang gadis dan sepertinya tidur pulas.
Sedangkan di sisinya duduk seorang pemuda. Pemuda itu
berusaha menanggalkan pakaian gadis itu.
"Hhh " Nyimas " Nyimas " Kau jangan siksa aku!
Jangan biarkan aku hidup penuh derita. Mengapa kau tolak
aku " mengapa kau pilih Sang Prabu?"
Pemuda itu sudah berhasil menanggalkan sebagian
pakaian gadis itu yang nampaknya tetap tidur pulas.
Namun sebelum niat jahatnya terlaksana, Ginggi sudah
melontarkan sebuah kerikil ke arah pundak pemuda itu.
"Aduhhh!" pemuda itu berseru kaget. Serentak dia
berjingkat dan meloncat ke arah jendela. Namun begitu dia
keluar dari lubang jendela serta-merta disambut oleh
pukulan telapak tangan terbuka.
Plak! Terdengar jerit kesakitaan dan tubuh pemuda itu
terlontar menubruk dinding kayu dan menimbulkan suara
keras. Rupanya suara ribut-ribut ini sudah mulai terdengar oleh
peronda, bahkan oleh orang-orang yang sedang tidur. Ada
banyak kaki berlari ke arah tempat itu. Namun sebelum
mereka tiba, Ginggi sudah meloncat pergi ke arah
kegelapan malam. "Ada apa ini" Ada apa ini?" penjaga berteriak-teriak
sambil meneliti tempat itu.
"Tolong! Ada penjahat! Ada penjahat mau mengganggu
rumah ini! Dia lari ke sana! Ohh?" suara ini hanya sayup-
sayup ditangkap telinga Ginggi sebab dia sendiri sudah
melarikan diri menjauhi tempat itu.
(O-ani-kz-O) Esok harinya saja Ginggi mendengar ribut-ribut bahwa
Suji Angkara telah "berhasil" menggagalkan penjahat yang
akan memasuki puri Bangsawan Yogascitra.
"Tapi Raden terluka oleh serangan penjahat itu.
Sekarang dia dirawat di puri Pangeran Yogascitra!" kata
Madi yang mengabarkan berita ini kepada Seta.
Ginggi menatap wajah Seta yang sedikit heran kendati
rasa terkejut dan khawatirnya nampak nyata.
"Mari kita lihat keadaan Raden?" kata Madi sesudah
termangu sejenak. "Mari!" jawab Ginggi dengan semangat.
"Eh, aku tak mengajakmu tolol!" umpat Madi ketus.
"Tugasmu memandikan kuda, mengapa ikut-ikutan ribut?"
"Kau sendiri pun hari ini punya tugas, mengapa ikut
ribut ingin mengetahui keadaan Raden Suji?" jawab Ginggi,
selalu ingin mempermainkan pemuda itu yang selalu
angkuh padanya. "Setan, Raden Suji adalah atasanku. Kalau ada apa-apa
terhadapnya aku ikut bertanggungjawab!" teriak Madi kesal.
"Aku juga anak buahnya. Apa yang kau rasakan kali ini,
juga sama aku rasakan!" kata Ginggi tak mau kalah.
"Sialan kau!" umpat Madi mendelik.
"Biarlah, tak apa dia ikut. Lagi pula untuk apa ribut-ribut
dengan pemuda dungu ini?" kata Seta yang kendati masih
menampilkan keangkuhannya namun mau juga berkata
bijaksana. Akhirnya ketiga pemuda itu pergi ke puri Bangsawan
Yogascitra. Seta dan Madi jalan berdampingan dan Ginggi
ikut di belakang. Benar saja Suji Angkara di rumah Pangeran Yogascitra
nampak terbaring dengan jidat dibebat kain. Menurut
keterangan para penjaga, Suji Angkara berjuang mati-
matian menggagalkan penjahat yang akan mengganggu
ketentraman puri Bangsawan Yogascitra. Namun penjahat
itu amat licik dan kejam. Kata penjaga, kalau Suji Angkara
tidak memiliki kepandaian, barangkali nyawanya tidak
akan tertolong. "Penjahat itu memang kejam, sepertinya dia hendak
membunuhku karena kesal niat jahatnya aku gagalkan?"
kata Suji Angkara sedikit terengah-engah, mungkin
merasakan sesuatu yang sakit di tubuhnya.
Kalau aku berniat membunuhmu, maka batok kepalamu
akan berantakan, tidak sekadar benjut saja, kata Ginggi
dalam hatinya. Namun perkataan yang keluar melalui
mulutnya lain lagi. "Engkau sungguh mulia Raden, mau berpayah-payah
menjadi tugur di puri Pangeran Yogascitra," kata Ginggi.
"Penjahat itu mau mencuri apa sebetulnya?" sambungnya
lagi seraya menatap Suji Angkara.
Sejenak mulut Suji Angkara seperti terpatri. Namun
seterusnya hanya erangan-erangan kecil yang menghiasi
mulutnya. Peristiwa apa yang sebenarnya terjadi, semua orang
hampir-hampir tidak mengetahuinya. Berita yang tersebar
dari mulut ke mulut hanya menyebutkan bahwa ke puri
Bangsawan Yogascitra ada penjahat yang berusaha masuk
untuk melakukan pencurian. Secuil pun tak ada yang
mengabarkan peristiwa yang sebenarnya. Ginggi menduga,
barangkali kejadian sebenarnya, yaitu percobaan perkosaan
terhadap Nyimas Banyak Inten telah diketahui, minimal
penghuni puri. Namun untuk menjaga aib, peristiwa itu
tidak dikemukakan kepada orang luar.
Tiga hari kemudian Madi, Seta dan Ginggi mendapatkan
perintah untuk menjemput Suji Angkara yang dikabarkan
lukanya sudah agak membaik. Ketika Ginggi tiba di puri
Bangsawan Yogascitra, mendapatkan Suji Angkara sudah
membuka bebatnya. Namun luka itu belum benar-benar
sembuh. Jidat Suji Angkara nampak bengkak dan ada
benjolan sebesar telur ayam berwarna hijau. Namun Ginggi
agak bercekat hatinya sebab Suji Angkara nampak dilayani
makan oleh Nyimas Banyak Inten. Gadis itu begitu sopan
dan hati-hati dalam melayani pemuda benjut itu. Dan
Ginggi panas hatinya ketika Nyimas Banyak Inten
menyuapi Suji Angkara dengan penuh perhatian.
Gadis itu baru berhenti menyuapi ketika ada rombongan
anak buah Suji Angkara datang menjemput. Dengan
tersipu-sipu gadis itu hendak berlalu dari ruangan itu.
"Tak usah pergi Nyimas, mereka hanyalah orang-
orangku semata," kata Suji Angkara sopan tapi bernada
penuh kemenangan. Nyimas Banyak Inten duduk bersimpuh di tepi
pembaringan Suji Angkara.
Taka lama kemudian ke ruangan itu hadir pula beberapa
orang. Mereka terdiri dari dua pemuda dan satu orang tua
setengah baya. Yang seorang Ginggi sudah kenal yaitu
Banyak Angga. Tapi pemuda satunya lagi Ginggi tak tahu
siapa dia. Sedangkan orang tua setengah baya itu, Ginggi
hanya menduga-duga saja. Barangkali inilah Pangeran
Yogascitra, seorang bangsawan Pakuan masih kerabat raja.
Bila Ginggi tak lupa, sebetulnya dia pernah melihat
bangsawan ini di panggung kehormatan alun-alun benteng
luar ketika terjadi uji keterampilan prajurit dalam rangka
mencari calon perwira pengawal raja. Waktu itu Pangeran
Yogascitra duduk di deretan kaum bangsawan.
Ginggi belum memastikan bahwa lelaki setengah baya
ini Pangeran Yogascitra. Tapi melihat penampilannya yang
gagah menggunakan baju beludru senting bedahan lima dan
kepala dibungkus bendo kain batik hihinggulan berornamen
perak, memberi tanda bahwa dia bangsawan tinggi. Ginggi
pun semakin yakin bahwa orang tua ini benar-benar orang
yang dihormati di puri ini. Terbukti Suji Angkara pun
serentak bangun daan berupaya menyembah takzim. Semua
orang sudah menyembah lebih dahulu tak terkecuali
Ginggi. "Sudahlah Raden, kau tak perlu susah payah untuk
berbasa-basi sepeti itu," kata orang tua berkumis tipis agak
memutih ini. "Saya orang muda, sudah seharusnya memberi
penghormatan ini," kata Suji Angkara halus dan sopan.
Orang tua itu hanya mengangguk-angguk biasa. Selanjutnya
dia memeriksa kesehatan pemuda itu dengan bertanya itu
dan ini. "Saya sudah sehat berkat doa seluruh penghuni puri ini,"
ujar Suji Angkara. "Bagus kalau begitu. Tapi entah bagaimana aku harus
berterima kasih padamu, Raden. Sebab menurut para tugur,
bila tak ada engkau, sudah bagaimana nasib " maksudku
keselamatan harta benda dan kekayaan yang ada di puri ini.
Engkau tahu bukan, di puri ini kita simpan benda-benda
peninggalan para leluhur raja-raja Sunda sejak ratusan
tahun silam?" "Hm, mungkinkah penjahat itu hendak menjarah barang-
barang pusaka?" kata Suji Angkara tak kalah menyusun
banyolan. "Tapi benar atau tidak alasan penjahat itu masuk ke puri
karena benda pusaka, kita harus selidiki dengan seksama,
Ayahanda," kata Banyak Angga. "Penjahat itu amat
merendahkan penghuni puri ini. Sehingga bila kelak dia
tertangkap, hanya hukuman mati bagiannya," sambungnya.
"Hanya orang-orang yang sudah tahu situasi di sini yang
sekiranya bisa mudah menyelundup ke puri, Gusti," kata
Ginggi tiba-tiba. Semua orang memandang kepadanya. Seta
dan Madi malah melotot marah sebab dianggapnya Ginggi
lancang mengemukakan pendapat. Padahal yang tengah
berbicara itu siapa" Dan Ginggi yang dianggapnya
golongan cacah (orang kebanyakan), tak pantas berlaku itu.
Namun yang nampak tak senang akan ulah Ginggi hanya
Suji Angkara dan anak buahnya, sedangkan orang tua
gagah itu beserta Banyak Angga nampak mengerutkan dahi
seperti memikirkan apa yang dikemukakan Ginggi.
"Benar perkiraanmu anak muda," gumam orang tua
bercelana beludru komprang itu. "hanya orang yang sudah
hafal keadaan di sini yang leluasa menyelundup ke sini"
Dan apalagi langsung memburu kamar yang dimaksud,"
sambungnya sedikit tersendat. Ya, siapa yang tahu persis di
mana kamar Nyimas Banyak Inten bila bukan orang yang
biasa masuk ke puri ini, kata Ginggi dalam hatinya.
"Kita periksa orang dalam, kalau-kalau benar perkiraan
ini," kata Banyak Angga sungguh-sungguh.
"Betul, sebab bukankah di puri ini terdapat orang luar
tapi yang kini sudah menjadi orang dalam, Ramanda?" Suji
Angkara lebih meyakinkan, namun gilanya dia berkata
sambil memandang ke arah pemuda yang berdiri di
samping Banyak Angga. Yang ditatap mendadak pucat-
pasi. Kemudian secara tiba-tiba wajah pucat itu berubah


Senja Jatuh Di Pajajaran Karya Aan Merdeka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menjadi merah-padam. Ginggi bisa menduga pemuda itu tengah menahan
kemarahannya. Ya, siapa tidak akan marah difitnah
serampangan seperti itu" Tapi pemuda itu pandai menahan
kemarahan. Barangkali karena di sana ada orang tua yang
amat dihormatinya. "Seyogianya Ramanda tidak terlalu mempercayai orang
luar tinggal di puri yang damai ini," kata Suji Angkara
seperti terus memanas-manasi pemuda itu.
"Aku akan bertindak hati-hati terhadap orang-orang yang
biasa hilir-mudik di puri ini, termasuk yang sudah tinggal di
puri ini," kata orang tua berkain batik jenis pupunjungan
ini. Hanya bedanya, orang tua ini bicara dengan wajar dan
tidak khusus tertuju kepada seseorang seperti layaknya Suji
Angkara. "Itu sebuah tindakan yang bijaksana Ramanda, Saya pun
pasti ikut membantu membuka tabir kejahatan ini," kata
Suji Angkara, kembali melirik ke arah pemuda di samping
Banyak Angga. "Nah, Raden, hari ini sudah ada yang menjemputmu.
Kau sudah nampak agak mendingan. Jadi bila engkau mau
pulang sekarang, aku akan pinjamkan engkau jampana
(tandu) agar bisa diangkut ke sana dengan tenang," kata
orang tua itu. Suji Angkara nampak turun semangatnya ketika
mendengar ucapan orang tua itu. Keinginannya barangkali
ingin terus-terusan tinggal di puri ini agar terus mendapat
pelayanan Nyimas Banyak Inten. Begitu perkiraan Ginggi.
Namun Suji Angkara nampaknya bisa menahan keinginan
ini. Dia memang pandai membuat citra bahwa dirinya
benar-benar seorang bangsawan yang memiliki etika tinggi.
"Betul, saya harus pulang sekarang sebab di sini hanya
merepotkan saja. Lagi pula, tak baik bagi seorang pemuda
tinggal di puri yang dihuni oleh seorang gadis rupawan
macam Nyimas Banyak Inten. Oh " ya! Terima kasih atas
rawatanmu Nyimas. Aku tak akan melupakan jasa baikmu
sampai tiba saatnya nyawaku dicabut," kata Suji Angkara
lemah-lembut sambil sekilas melirik ke arah Nyimas
Banyak Inten yang masih duduk bersimpuh di tepi
pembaringan. "Tidak usah menggunakan jampana, saya akan berjalan
kaki saja," kata Suji Angkara turun dari pembaringan dan
segera disambut Seta dan Madi. Ginggi pun mau ikut
memegangi tubuh Suji Angkara tapi oleh Madi disuruh
minggir saja. "Lebih baik kau ikut aku anak muda. Aku pinjami seekor
kuda agar Raden Suji bisa naik kuda saja," kata Banyak
Angga kepada Ginggi. "Mari kau ikut ke istal," kata Banyak
Angga mengajak Ginggi keluar dari ruangan itu.
Tapi setiba di luar, Banyak Angga malah memohon pada
Ginggi agar sudi menyerahkan surat pada Nyimas Layang
Kingkin. "Bila kau berhasil menyerahkan kotak surat ini, aku
tambah lagi hadiahnya," kata pemuda itu menyerahkan
kotak kecil berukir dan sekantung kecil entah apa isinya.
"Hanya sekadar menyerahkan surat saja, mengapa meski
memberi hadiah kepada saya, Raden?" tanya Ginggi dan
berupaya menolak pemberian ini.
"Kau terimalah. Tidak besar tapi kau pasti perlu," kata
pemuda itu."Yang penting, kau sampaikan surat itu, ya?"
"Tentu?" kata Ginggi. Pemuda di samping Banyak
Angga hanya menunduk saja.
"Purbajaya, engkau tak perlu risau dengan ucapan Raden
Suji. Terlalu gegabah bila kami mencurigai engkau seperti
itu," kata Banyak Angga.
Tersentak hati Ginggi mendengar nama pemuda itu
disebut. Raden Purbajaya, itulah nama pemuda yang masuk
dalam rencana penyelidikannya. Purbajaya ini tengah
dikejar Suji Angkara karena dianggap "penyebab" bunuh
dirinya putri Juragan Ilun Rosa di wilayah Kandagalante
Tanjungpura. Tapi melihat tindak-tanduk dan perbuatan
Suji Angkara, Ginggi tak percaya akan semua berita yang
disampaikan mengenai Purbajaya. Dan kalau nanti
kejadian sebenarnya dari Purbajaya sudah dia teliti, maka
akan semakin terbuka kebohongan-kebohongan Suji
Angkara! Ginggi menerima kuda pinjaman dari Banyak Angga
yang akan digunakan Suji Angkara.
Sebelum Ginggi pergi menuntun kuda, sempat dia
menatap Purbajaya yang nampak masih murung. Namun
perasaan Ginggi lega, bahwa sampai saat ini pemuda itu
masih dalam keadaan bugar. Menurut ancaman yang
disampaikan kepada badega Juragan Ilun Rosa, Suji
Angkara mengatakan akan melenyapkan pemuda itu
sebagai tindakan "balas dendam" atas kelakuannya yang
membuat gadis cantik penghuni Tanjungpura itu mati
bunuh diri karena dikhianati cintanya.
Jahat sekali Suji Angkara, pikir Ginggi. Dan di tengah
perjalanan, di saat dia menuntun kuda, ketika Suji Angkara
menclok di atas kuda yang dituntun Ginggi, semakin jelas
pula siapa pemuda itu sebenarnya.
"Sialan! Aku harus menyelidiki siapa penjahat itu. Aku
rasa, penjahat itu telah menyerangku beberapa waktu lalu,
dan ini serangan yang kedua kalinya?" gumam Suji
Angkara seorang diri. Ginggi menengok sebentar ke atas kuda. Nampak Suji
Angkara mengusap-usap jidatnya yang benjut sebesar telur.
Sambil senyum tipis Ginggi kembali menghadap ke
depan. Rasakan kau, katanya dalam hati.
Tak jelas benar apa yang dimaksud serangan yang kedua
kali seperti apa yang diucapkan pemuda itu. Tapi bila
Ginggi mau menduganya, yang dimaksud pemuda itu tentu
serangan di sebuah perbukitan Desa Cae. Bukankah dulu
Ginggi pernah memukul jidat seorang pemerkosa dengan
cara yang sama" Jadi benarkah yang dia pukul sampai
tubuhnya terjengkang menubruk dinding gua ketika tak lain
dari Suji Angkara" Ingin sekali Ginggi bertanya langsung kepada pemuda
yang kini menclok di atas kuda dengan kepala benjut itu.
Tapi tentu ini suatu hal yang tak mungkin bila tak ingin
penyelidikannya terbongkar.
Sambil berjalan menuntun kuda, Ginggi terus berpikir.
Kini semakin dirasakan bahwa Suji Angkara benar-benar
orang yang berbahaya. Dia pandai menyembunyikan nafsu
iblisnya dalam penampilan sopan dan anggun. Bila tak hati-
hati menyimak perangainya, semua orang akan tertipu dan
menganggap pemuda itu benar-benar seorang bangsawan
terhormat yang santun dan jujur.
Kini baru Ginggi seorang yang sanggup membuktikan
bahwa pemuda yang kini dituntunnya di atas pelana kuda
itu seorang durjana licin. Betapa tidak, orang ini sanggup
menciptakan sebuah reka-perdaya seketika di saat dirinya
terdesak. Ketika tiga hari yang lalu Ginggi memukulnya
dengan telak sehingga pemuda itu terjajar dan tak sanggup
bangun lagi, Ginggi berharap Suji Angkara ditangkap
orang-orang puri Yogascitra. Namun dengan
kepandaiannya mengukir kata, pemuda itu malah dianggap
pahlawan dalam upaya mengusir "penjahat" yang hendak
menyerang puri. Agar semua orang memperlebar rasa
curiga, maka Suji Angkara menganjurkan penghuni puri
berhati-hati terhadap orang dalam. Dan sambil bicara
demikian, Suji Angkara melirik penuh arti kepada
Purbajaya. Ini hanya menandakan bahwa pemuda licin itu
berusaha menyebar fitnah agar peranan dirinya dalam
peristiwa itu makin tertimbun.
Tapi yang paling mengkhawatirkan dari tipu-muslihat ini
adalah ketika Ginggi melihat apa yang dilakukan Nyimas
Banyak Inten. Ketika Ginggi tiba di puri untuk menjemput
Suji Angkara, gadis itu nampak penuh perhatian merawat
pemuda jahat itu. Ginggi khawatir dan sekaligus panas
hatinya manakala melihat gadis itu tengah menyuapi Suji
Angkara. Ini hanya menandakan bahwa Nyimas Banyak
Inten pun terkecoh oleh akal bulus pemuda sinting itu.
Ginggi khawatir, Nyimas Banyak Inten tidak sekadar
terkecoh oleh tipu-daya Suji Angkara tapi lebih jauh dari itu
amat berterima kasih terhadap "kepahlawanan" pemuda
bejat itu. Dan apa tanda terima kasih gadis itu terhadap Suji
Angkara" Ginggi takut membayangkannya bila melihat
kelakuan Nyimas Banyak Inten yang begitu telaten
merawat pemuda penipu itu.
"Hei " mau kau bawa ke mana aku" Belok!" teriak Suji
Angkara manakala merasakan Ginggi menuntun kuda lurus
mengikuti jalan pedati berbalay. Madi menggetok belakang
kepala Ginggi sebagai tanda teguran atas kesalahan pemuda
itu. "Maaf Raden?" gumam Ginggi membelokkan kuda dan
berjalan menyusuri lorong yang diapit dua benteng.
(O-anikz-O) Tugas Rahasia Satu bulan sudah berlalu pula. Dan selama itu, Ginggi
masih "bekerja" di puri Suji Angkara. Selama pemuda itu
tinggal di sana, sudah banyak pengetahuan didapat
mengenai situasi Pakuan. Ki Bagus Seta, murid kedua Ki Darma sebenarnya
hampir lima tahun bekerja sebagai muhara, yaitu pejabat
yang bertugas mengurusi seba (pajak) negara. Hampir
sepuluh tahun lamanya dia mengabdi di Pakuan dan
karirnya meningkat pesat. Ki Bagus Seta bisa bernasib
demikian baik karena di samping berkepandaian tinggi juga
pandai mempengaruhi seorang bangsawan kerabat dekat
raja, yaitu Bangsawan Soka.
Menurut pengamatan Ginggi yang didapat dari
percakapan orang lain dan kemudian masuk ke telinganya,
antara Bangsawan Soka dan Ki Bagus Seta terbentuk
persahabatan yang sangat erat. Keduanya dikenal sebagai
sepasang pejabat yang amat kuat pengaruhnya di Pakuan.
Menurut khabar, berbagai kebijakan raja yang ada
hubungannya dengan ketatanegaraan, boleh dikata lahir
dari sepasang pejabat itulah. Gagasan sepasang pejabat ini
menurut pengamatan beberapa pejabat lainnya terkadang
dinilai terlalu berani sehingga mengakibatkan berbagai
ketidak-puasan di sementara pejabat istana. Contoh paling
jelas adalah kebijakan dalam memungut seba, Seba yang
ditarik ke Pakuan dinilai beberapa penguasa daerah
(kerajaan kecil yang berada di bawah kekuasaan Pajajaran)
terlalu membebani mereka, sehingga banyak rakyat
menderita karena pajak-pajak tinggi.
Mengenai seba atau pajak yang demikian tinggi sempat
menjadi bahan perdebatan di balai penghadapan raja.
Sebagian pejabat mengkhawatirkan bahwa dengan adanya
kebijakan pajak yang demikian tinggi akan mengurangi
kecintaan raja-raja kecil ke Pakuan. Apalagi akhir-akhir ini
tengah terjadi perebutan pengaruh dengan penguasa-
penguasa yang memiliki agama baru. Bila kerajaan-kerajaan
kecil merasa terus-terusan ditekan agar kekayaan daerah
lebih banyak ditarik ke pusat, mereka lambat-laun akan
melepaskan diri dan bergabung dengan agama baru itu.
Bangsawan Soka dan Ki Bagus Seta menolak
kekhawatiran ini. Menurut kedua pejabat ini, memang
benar ada beberapa kerajaan kecil yang sudah berpaling dari
Pajajaran dan memilih bergabung dengan pengkuasa agama
baru. Tapi menurut kedua pejabat itu, yang melepaskan diri
dari Pajajaran adalah negara-negara kecil yang letaknya
jauh dari jangkauan Pakuan dan kedudukannya lebih dekat
ke pusat kekuasaan agama baru.
"Mengapa mereka melepaskan diri dari kita" Ini karena
kekuatan Pakuan sudah tidak seutuh dahulu. Sebelum hadir
kekuatan baru, Pajajaran kuat di mana-mana, ke barat
hingga ke Ujungkulon dan ke timur sampai ke Muara
Cimanuk (Indramayu). Kita menguasai lautan dan
pelabuhan-pelabuhan seperti Bantam (Banten), Pontang,
Cigude, Cimanuk, Tangerang, dan Kalapa. Sanggup
menghasilkan perdagangan antar negri sehingga kekayaan
negara bisa diambil dari perdagangan seluas-luasnya. Tapi
sesudah semua wilayah pantai direbut oleh penguasa baru
dari Cirebon dan Banten, maka Pajajaran kehilangan
penghasilan padahal tetap butuh pemasukan untuk
membangun negri. Maka dari mana lagi Pakuan bisa
mendapatkan penghasilan bila bukan datang dari
pemasukan seba ?" kata Ki Bagus Seta berbicara dibalai
penghadapan raja, di hadapan para pejabat istana.
Kata Ki Bagus Seta, wajar bila pajak yang dibebankan
kepada negara-negara kecil semakin meningkat, sebab di
samping kebutuhan negara kini hanya bisa diambil dari
sektor pajak, juga jumlah wilayah yang dimiliki Pajajaran
semakin sempit. Bila pajak tak dinaikkan, penghasilan
negara akan semakin kecil.
"Padahal kita tengah berjuang ingin mengembalikan
kejayaan Pajajaraan seperti masa silam," kata Ki Bagus Seta
lagi. Kata beberapa pengamat, kedua pejabat ini benar-benar
berambisi ingin mengembalikan kebesaran seperti masa-
masa leluhur Sunda. Untuk kepentingan ini, mereka selalu
mempengaruhi Raja agar menurunkan berbagai kebijakan
yang pada hematnya bisa menghasilkan berbagai
keuntungan. Rupanya Raja pun amat cocok dengan gagasan-gagasan
kedua pejabat itu. Buktinya, tak ada gagasan mereka yang
disetujui Raja. Bahkan Raja pun semakin percaya kepada
kedua pejabat ini, sesudah keduanya melontarkan gagasan
membentuk petugas-petugas terampil untuk
memperjuangkan pemasukan seba dari wilayah-wilayah
timur yang punya kecendrungan lebih mendekatkan diri
kepada kekuasaan Cirebon.
Dikhabarkan pula, bahwa memang benar ada petugas
penting yang menangani seba di wilayah timur. Ginggi
cepat menduga, itulah mungkin Ki Banaspati.
Hanya yang hingga kini Ginggi belum sanggup menduga
adalah hubungan Ki Banaspati dan Ki Bagus Seta. Kedua
orang ini jelas bekerja dalam satu urusan, tapi mengapa satu


Senja Jatuh Di Pajajaran Karya Aan Merdeka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sama lain seperti ada sesuatu yang disembunyikan. Salah
satu contoh adalah hubungannya dengan Suji Angkara.
Menurut pengakuan Suji Angkara, Ki Bagus Seta adalah
ayahandanya, tetapi mengapa Ki Banaspati seperti tak
mengenal pemuda ini sebagai orang yang erat hubungannya
dengan Ki Bagus Seta"
"Bunuhlah pemuda itu, sebab kukira dia akan
membahayakan gerakan kita," kata-kata ini dikeluarkan Ki
Banaspati kepada Ginggi di Sagaraherang.
Ki Banaspati memerintahkannya untuk membunuh
pemuda pesolek itu karena pertama Suji Angkara dianggap
sudah tahu rahasia gerakan Ki Banaspati dan keduanya Ki
Banaspati menduga Suji Angkara punya hubungan erat
dengan Pakuan padahal sepengetahuannya pemuda itu
hanyalah sebagai anak kepala desa saja.
Ada sesuatu rahasia di sini. Paling tidak, Ki Bagus Seta
pernah mencoba melakukan satu rahasia terhadap Ki
Banaspati, dengan cara menyembunyikan identitas Suji
Angkara terhadap Ki Banaspati. Ingin Ginggi tahu,
bagaimana pendapat dan kesan Ki Banaspati bila sudah
mengetahui siapa Suji Angkara sebenarnya.
Ginggi juga kini sudah mengenal siapa Bangsawan
Yogascitra. Bangsawan ini masih kerabat raja juga. Di
Pakuan menjadi pejabatpuhawang .Puhawang adalah
seorang akhli dalam mendalami ilmu teluk dan lautan.
Dulu ketika zamannya Pajajaran memiliki kekuatan di
lautan, maka bagian ini punya peranan amat penting. Tiga
pelabuhan samudra dan tiga pelabuhan muara yaang
dimiliki Pajajaran secara strategis adalah hasil pekerjaan
puhawang, Dan Bangsawan Yogascitra sejak muda adalah
seorang puhawang yang benar-benar akhli. Dia adalah
pekerja yang ulet dan jujur, serta pengabdiannya terhadap
Pakuan demikian tinggi dan tanpa batas. Seluruh adipati
yang menguasai enam pelabuhan besar milik Pajajaran,
benar-benar segan terhadap Pangeran Yogascitra.
Sekarang di saat menjelang tua, Bangsawan Yogascitra
masih tetap didudukkan sebagai pejabat dalam urusan
puhawang, Suatu jabatan yang sebetulnya sudah tak terasa
lagi fungsinya. Jabatan itu tetap dipertahankan karena
Bangsawan Soka dan Ki Bagus Seta menginginkannya.
Mengapa demikian" "Kita harus tetap memiliki puhawang yang tangguh,
sebab dengan demikian kita tetap memiliki peluang untuk
menguasai teluk, muara dan lautan. Sudah aku katakan
kepada Raja, bahwa Pajajaran harus dikembalikan ke masa
silam. Ini hanya punya arti bahwa seluruh wilayah yang
dulu pernah dikuasai Pajajaran harus kembali menjadi milik
kita!" ujar Ki Bagus Seta dengan penuh semangat.
Begitu tingginya cita-cita Ki Bagus Seta, sehingga
gagasan-gagasannya amat memukau Raja. Sang Prabu Ratu
Sakti begitu terkesan. Siapa orang Pajajaran yang tak mau
kembali ke masa kejayaannya" Kejayaan janganlah
dianggap sebagai kenangan atau mimpi semata. Tapi harus
dihidupkan kembali. Dan bangkitnya kejayaan Pajajaran
hanya bisa dilakukan melalui perjuangan nyata. Tapi
menurut Ki Bagus Seta dan Bangsawan Soka, perjuangan
ini merupakan suatu perjuangan berat dan amat
memerlukan bantuan dana yang amat besar. Itulah
sebabnya, mengapa mereka berdua meminta persetujuan
Raja untuk selalu meningkatkan pemasukan negara
melaluiseba, Bila benar penelitian Ginggi ini, maka terbukti bahwa
pajak berat yang melanda ambarahayat Pajajaran karena
gagasan-gagasan kedua pejabat ini.
Kini Ginggi berpikir, dirinya disuruh turun gunung oleh
Ki Darma untuk ikut menyelamatkan rakyat dari tekanan
Raja. Barangkali benar seperti apa kata Ki Darma, bahwa
Sang Prabu Ratu Sakti sejak pertama kali menggantikan
tampuk pemerintahan ayahandanya Sang Prabu Ratu
Dewata tujuh tahun lalu (1543 Masehi) selalu bertindak
keras. Dia tak segan-segan untuk menghukum siapa saja
yang dianggapnya bersalah. Tapi, tahukah Ki Darma
bahwa kebijakan Sang Raja dalam menarik pajak tinggi
kepada rakyat di antaranya merupakan lontaran gagasan Ki
Bagus Seta, muridnya sendiri"
Ginggi menghitung waktu, Ki Darma mengundurkan
diri dari urusan kenegaraan tiga tahun sebelum Prabu Ratu
Sakti Sang Mangabatan naik tahta. Kalau Ki Bagus Seta
mulai mengabdi pada Pakuan sejak lima tahun lalu, maka
ada beda waktu tujuh tahun antara kepergian Ki Darma
dari Pakuan dengan kedatangan Ki Bagus Seta ke tempat
yang sama untuk mengabdi.
Mudah diduga kalau Ki Darma tak mengetahui kegiatan
murid-muridnya sebab selama itu Ki Darma
menyembunyikan diri di tempat sunyi dan jauh dari
kehidupan yang ramai. Hanya yang patut Ginggi puji
adalah pandainya Ki Bagus Seta atau pun Ki Banaspati
dalam menyembunyikan identitas dirinya masing-masing.
Waktu mereka muncul di Pakuan, adalah masa-masa di
mana Ki Darma dicari dan diburu sebab dianggap
memberontak. Raja pun pernah mengeluarkan titah bahwa
setiap orang yang punya hubungan dengan Ki Darma
kedudukannya juga disamakan dengan Ki Darma yaitu
dicap sebagai pemberontak. Sekarang kedua murid Ki
Darma ini malah malang-melintang sebagai pejabat penting
di Pakuan. Ini hanya menandakan bahwa Raja dan
kalangan istana bisa dikelabui oleh murid Ki Darma ini.
Namun pandainya mereka menyembunyikan jati diri
barangkali juga karena jasa Ki Darma itu sendiri. Seperti
terhadap Ginggi, barangkali kepada semua muridnya pun
Ki Darma selalu memberikan pesan jangan membuka
identitas. Setiap yang mendapat pelajaran dari Ki Darma
diperintahkan untuk tidak sembarangan mengaku punya
hubungan dengan orang tua itu. Ternyata belakangan
terbukti bahwa perintah Ki Darma untuk menyembunyikan
jati diri telah amat menguntungkan peranan setiap murid-
muridnya. Memang menguntungkan, kendati tetap menjadikan
kebingungan bagi diri pemuda itu. Ginggi diperintah Ki
Darma untuk membantu rakyat membebaskan diri dari
tekanan Raja. Sedangkan di lain fihak, Ki Bagus Seta
seolah-olah membantu situasi sehingga rakyat semakin
tertekan hidupnya. Dalam situasi ini Ginggi bingung
menempatkan posisinya, mau berada di mana sebenarnya
dia" "Kalau saudara seperguruanmu masih berjalan di atas
apa yang aku amanatkan, kau ikutilah mereka," kata Ki
Darma ketika melepas dirinya pergi.
Kepala Ginggi serasa berat karena memikirkan misteri-
misteri ini. Sebelum menentukan sikap, aku akan lihat
perkembangannya saja, pikirnya.
Yang tak kalah menimbulkan bahan pikiran adalah Suji
Angkara. Tapi kini Ginggi mengkaitkan urusan pemuda ini
dengan Nyimas Banyak Inten. Dengan berbagai akal dan
tipu dayanya, sepertinya pemuda itu telah berhasil
menundukkan gadis itu. Gadis putri Bangsawan Yogascitra itu nampaknya terlalu
jujur, terlalu mempercayai omongan orang dan mudah
merasa kasihan. Ketika Ginggi hendak menyerahkan surat
Suji Angkara untuk kedua kalinya, gadis itu seperti hendak
menolak kehadiran cinta pemuda itu. Tapi setelah ada
peristiwa penjahat memasuki purinya dan berhasil
"digagalkan" Suji Angkara, sikap gadis itu mulai lunak.
Terus-terang, Ginggi amat berkhawatir mengingatnya.
Ginggi takut Nyimas Banyak Inten terperangkap dalam
permainan cinta pemuda pembohong itu. Kalau dibiarkan,
Ginggi akan membayangkan gadis itu ibarat seekor anak
menjangan yang dipermainkan harimau, atau ikan kecil
yang jadi santapan burung bangau. Bila permainan pemuda
itu semakin sengit, Ginggi harus mencoba dan berupaya
untuk menggagalkannya. "Hati-hati, kau?" gumam Ginggi sendirian sambil
bekerja menyeka kuda-kuda puri.
Hampir dua bulan ini Ginggi memang bekerja sebagai
perawat kuda. Setingkat di atas badega tapi setingkat di
bawah Seta dan Madi yang lebih berfungsi sebagai orang-
orang kepercayaan Suji Angkara.
Selama bekerja di puri ini, memang tak ada perlakuan
yang jelek terhadapnya. Dalam sehari dia mendapat jatah
makan dua kali. Bila Raja mengajak para bangsawan
menghirup udara segar di Tajur Agung (kebun istana),
Ginggi pun suka diajak serta. Dan bila semua bangsawan
pesta-pora makan buah durian yang banyak ditanam di
sana, Ginggi pun terlibat pesta-pora itu kendati di tempat
terpisah. Tak ada tekanan dari sang "majikan", kecuali satu saja,
Ginggi tak diperkenankan lagi menggunakan pakaian yang
pernah dipergunakan sebelumnya.
Sebelum datang ke Pakuan, Ginggi memang memiliki
tiga stel pakaian pemberian Kuwu Wado. Ketiga stel
pakaian itu termasuk jenis mahal sebab terbuat dari kain
halus buatan negri sebrang. Hanya kaum bangsawan atau
paling rendah golongan santana yang biasa
menggunakannya. Dan ketika Suji Angkara menggantinya
dengan jenis pakaian katun kasar warna hitam dengan
celana sontog dan baju lengan pendek tanpa kancing,
Ginggi tak banyak komentar dan menerima aturan itu.
Pemuda itu tersenyum sendiri. Semakin kenal etika
orang kota, semakin ruwet menyimaknya. Kendati semua
manusia dilahirkan sama, tapi akhirnya membawa
tingkatan hidup berbeda. Entah siapa yang mengatur, tapi begitulah jadinya,
termasuk dalam urusan pakaian.
Menggunakan pakaian ternyata tidak sebebas yang dia
kira. Ada semacam ukuran kelayakan. Kendati Ginggi
punya pakaian bagus tapi harus diukur dulu, apakah layak
dipakai olehnya" Ternyata petugas istal tak diperkenankaan
secara etika memakai pakaian yang biasa dikenakan kaum
bangsawan. Kaum bangsawan juga terikat etika yang
sebenarnya mereka pun serasa sesak menerimanya. Karena
etika menentukan bahwa kaum bangsawan harus santun
dalam segala hal, termasuk urusan cinta, maka menjadikan
siksaan bagi Suji Angkara. Dengan terpaksa dia ketat
menjaga kebangsawanannya di muka umum, sehingga
desakan-desakan birahi yang dia ingin salurkan sebebas
mungkin, terpaksa dia lakukan secara gelap. Jadi menurut
Suji Angkara, kehormatan hanya diperjuangkan atau
dipertontonkan di muka umum saja, sedangkan di belakang
di saat umum tak mengetahuinya, dirinya tak terlalu banyak
peradatan untuk melakukannya. Persis seperti Ginggi dalam
menggunakan pakaiannya. Hanya ketika selama di depan
orang banyak saja dia memakai baju orang kebanyakan.
Sedangkan di saat pergi tidur, pakaian bagus yang pantas
dikenakan kaumsantana itu dia pakai tidur. Barangkali di
saat tidur sendirian di bangunan samping istal, etika tak
berlaku lagi. Suatu senja Ginggi dipanggil menghadap. Sudah
beberapa kali dia dipanggil bila Suji Angkara memang
punya keperluan khusus terhadapnya. Namun pemanggilan
kali ini menimbulkan perhatian besar ke dalam hatinya.
"Tiba saatnya kau bertugas di puri ayahku, Ginggi," kata
Suji Angkara sambil duduk bersila dengan tubuh tegak
berwibawa. Di hadapannya tergelar penganan yang cocok disantap
senja hari yaitu ulen ketan bakar dan minuman kopi panas
di cangkir logam berukir indah yang asapnya mengepul ke
udara dan menimbulkan aroma sedap.
Ginggi hanya duduk bersila saja di lantai bawah dengan
kepala tertunduk. "Sudah kukatakan sejak dua bulan lalu bahwa kau akan
bekerja di puri Bangsawan Bagus Seta. Tapi selama ini kau
ku uji dulu di sini agar aku tahu, sejauh mana kesetiaanmu
padaku," kata pemuda itu.
Ginggi masih tetap mendengarkan sambil menunduk dan
tanpa komentar. "Namun sebelum kau kukirim ke sana, perlu aku
jelaskan sesuatu," lanjutnya lagi menatap Ginggi. "Sekali
pun kau sehari-hari bekerja di sana, tapi sebenarnya kau
adalah orangku. Dengan perkataan lain, kendati kau tinggal
di sana akan tetapi kau sebetulnya bekerja untukku!"
Ginggi mengangkat wajah dan menatap Suji Angkara.
"Saya belum mengerti maksudmu, Raden ?" katanya.
Ginggi berkata seperti ini memang bukan sekadar basa-
basi, melainkan benar-benar belum paham maksud pemuda
itu. "Engkau bekerja untukku dalam memata-matai kegiatan
yang ada di puri Bagus Seta!" kata Suji Angkara berkata
sungguh-sungguh. "Memata-matai?"" Ginggi bergumam mengulangi
ucaapan pemuda itu. "Ya, kau bekerja di sana sebagai mata-mata untuk
kepentinganku," kata Suji Angkara lagi.
"Mengapa saya harus memata-matai ayahandamu
sendiri, Raden?" tanya Ginggi heran. Suji Angkara tepekur
sejenak. Dia mendekap sebelah dada bagian kanan dengan
tangan kirinya, sedangkan yang kanan memegangi
dagunya. "Ki Bagus Seta hanyalah ayah tiriku semata, sebab aku
sebenarnya anak seorang kuwu?" gumam Suji Angkara
seperti melamun. "Pasti engkau putra Kuwu Suntara di Desa Cae, Raden,"
kata Ginggi. Suji Angkara menganggukkan kepalanya sehingga
ornamen warna emas yang dikenakan di bagian muka
bendo bergoyang-goyang indah.
"Dulu ibuku adalah istri ayahku, Kuwu Suntara. Pada
suata saat Ki Bagus Seta mengadakan perjalanan hingga
tiba di Desa Cae. Entah apa yang terjadi selanjutnya.
Belakangan, ayahku menceraikan ibuku. Tak berapa lama
kemudian ibuku diboyong ke Pakuan karena dinikahi


Senja Jatuh Di Pajajaran Karya Aan Merdeka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bangsawan itu?" kata Suji Angkara sambil matanya
menerawang jauh ke luar jendela.
"Aku tak tahu, mengapa dulu ayahku menceraikan ibu
tanpa sebab. Belakangan hanya bisa diduga, bahwa
Bangsawan Pakuan itu tertarik pada ibu dan memintanya
untuk dinikahi. Rupanya ayah taat akan keinginan
bangsawan itu dan menyerahkan ibu padanya?" Suji
Angkara kembali menerawang ke luar jendela. Kuda warna
pekat tunggangan pemuda itu nampak berkeliaran di
lapangan rumput samping puri.
"Engkau sakit hati kepada Bangsawan Bagus Seta,
Raden?" tanya Ginggi.
Tapi Suji Angkara menggelengkan kepala.
"Aku tak marah sebab imbalannya besar. Ayahku diberi
kekayaan melimpah dan aku boleh keluar-masuk purinya
sekendak hatiku. Belakangan aku pun diangkat Bangsawan
Bagus Seta untuk melakukan satu tugas penting, yaitu
secara diam-diam mengawasi kelancaran penarikan seba di
wilayah timur," kata Suji Angkara.
"Kau memata-matai ayah tiriku bukan untuk
kepentingan pribadi, tapi untuk negara, untuk Pakuan
Pajajaran!" lanjut pemuda itu sungguh-sungguh. "Engkau
mau bekerja untuk kepentingan Pakuan?" tanya Suji
Angkara menatap tajam. "Saya siap bekerja untuk kepentingan negara!" sahut
Ginggi dengan mengganti "Pakuan" menjadi "negara".
Ginggi perlu mengubahnya takut janjinya disalahgunakan
untuk membela kepentingan orang-orang Pakuan.
"Bagus!" seru Suji Angkara gembira tanpa menyadari apa
yang diucapkan Ginggi, sebab barangkali perubahan ucapan
ini bila tak disimak secara teliti sepertinya tidak
menimbulkan perubahaan arti yang khusus.
"Tapi saya juga musti tahu, mengapa Raden percaya
saya dan apa yang harus saya mata-matai di sana?" tanya
Ginggi kembali menatap tajam pemuda itu yang duduk
tegak di atas tilam sulaman beludru.
"Engkau pemuda lugu dan terkesan bodoh. Tak akan ada
orang percaya bahwa engkau dibebani satu misi yang
penting," ujar Suji Angkara membuat kagum hati Ginggi.
Ya, benar. Suatu waktu orang bodoh bisa melaksanakan
tugas rahasia sebab bakal diremehkan banyak orang dan
akibatnya bakal jauh dari kecurigaan orang.
"Dan tugas saya kelak apa saja?"
"Engkau akan ditempatkan di bagian rumah-tangga puri,
melayani berbagai kebutuhan sehari-hari ayah tiriku.
Dengan demikian, setiap saat engkau bisa mencuri dengar
percakapan ayah tiriku. Bila ada percakapan tentang apa
saja antara ayah tiriku dengan tamu-tamu puri, kau catat
dan kau laporkan padaku, paham?"
"Paham Raden?" "Bagus!" "Tapi percayakah ayahandamu pada saya, Raden?"
"Aku sudah atur sedemikian rupa. Lagi pula ayah tiriku
tak pernah berpikiran lain padaku. Kalau aku kemukakan
kau orang jujur, maka ayah tiriku pun akan berpendapat
begitu," Suji Angkara begitu memastikan.
"Baik bila begitu?" gumam Ginggi.
Ginggi dijanjikan esok paginya akan diantar ke puri
Bagus Seta. Malam hari Ginggi diperintahkan tidak terlalu
banyak bekerja kecuali berkemas untuk persiapan pindah
rumah esok paginya. Semalaman memang Ginggi hanya tiduran saja di balik
kamarnya. Namun sepanjang malam otaknya berputar
keras menduga-duga sikap Suji Angkara. Ini sesuatu yang
mengherankan bila Suji Angkara melakukan penyelidikan
terhadap ayah tirinya. Kesimpulan yang tiba ke hati Ginggi, Suji mencurigai
sesuatu terhadap ayah tirinya. Tapi bercuriga tentang apa"
Ini yang harus Ginggi selidiki. Dan menerima tugas seperti
yang dibebankan Suji Angkara ini, bagi Ginggi tak ubahnya
orang yang mau meyebrang dikasih jembatan. Padahal,
tidak diberi perintah pun Ginggi akan tetap melakukan
penyelidikan seperti itu. Sekarang malah dia serasa dibantu
dan dipandu oleh Suji Angkara.
Untuk memasuki puri Bangsawan Bagus Seta tanpa
alasan jelas, merupakan sebuah pekerjaan sulit, kendati
jarak antara puri Suji Angkara dan puri Bangsawan Bagus
Seta hanya dekat saja dan boleh dibilang terletak di satu
kompleks. Ginggi juga serasa dipandu. Kecurigaan Suji Angkara
terhadap Ki Bagus Seta hanya memberi panduan padanya
bahwa Ki Bagus Seta benar-benar perlu diselidiki.
Ginggi perlu dengan penyelidikan ini. Apakah hasil
penyelidikannya kelak akan disampaikan kepada Suji
Angkara atau tidak, itu lain soal.
Ingin sekali hari cepat siang agar dirinya bisa segera
masuk ke puri Bangsawan yang sebetulnya masih erat
kaitannya dengan dirinya itu. Namun karena pada malam
itu berbagai pikiran bergayut dalam benaknya, pemuda itu
jadi susah memejamkan matanya. Sampai malam
menjelang subuh, Ginggi belum juga bisa tertidur. Dia baru
menguap dan akan terlelap manakala suara kokok ayam
pertama terdengar merdu sayup-sayup.
Dan serasa sekejap dia tidur, sebab di pekarangan, para
badega sudah ribut keluar rumah untuk memulai tugas baru
di hari yang baru itu. Sambil mata masih pedih karena kurang tidur, Ginggi
pun cepat bangun untuk mandi dan berkemas menurut apa
perintah Suji Angkara. (O-anikz-O) Percakapan Sekutu Ginggi memasuki sebuah pelataran luas mengikuti Suji
Angkara yang melangkah di depannya. Pelataran itu benar-
benar luas, dibelah oleh sebuah jalanberbalay susunan batu
hitam yang menuju ke sebuah beranda bangunan besar.
Rumah itu indah terbuat dari kayu pilihan. Atapnya
berbentukjure (silang) dan tiap sudutnya disangga sebuah
tiang kayu besar berukir dan dipoles warna hitam
mengkilap. Sepagi itu Ki Bagus Seta sudah duduk-duduk di beranda
bersama dengan istrinya, yang Ginggi bisa menduga inilah
istri Kuwu Suntara yang "diambil-alih" oleh Ki Bagus Seta.
Memang tak percuma murid Ki Darma ini nekad
"merebut" istri orang. Wanita yang usianya sekitar
empatpuluh tahunan lebih itu nampak masih memiliki
goresan-goresan kecantikan. Ginggi bisa membayangkan,
sepuluh atau limabelas tahun silam wanita itu pasti
memiliki kecantikan laksana dewi dari kahyangan.
Sekarang memang terdapat kerut-merut garis ketuaan,
namun wanita itu tetap cantik. Sepasang pipinya masih
bulat berisi, tubuhnya pun masih tampak sintal. Suji pun tak
percuma memiliki ibu seperti ini. Barangkali wajah tampan
pemuda itu sebetulnya turunan dari sang ibu.
Wanita ini pun amat cocok bersanding dengan Ki Bagus
Seta. Murid Ki Darma yang amat bernasib baik menjadi
pejabat ini sebetulnya berwajah gagah. Kulit wajahnya
boleh dikata putih. Hidungnya juga sedikit mancung dan
sorotan matanya tajam. Ki Bagus Seta yang memiliki kumis
tipis ini sedikit memicingkan mata ketika melihat sepagi ini
Suji Angkara datang diiringkan seorang pemuda yang
dianggapnya kurang dikenal.
Namun ketika Suji Angkara tiba dan kemudian
memperkenalkan Ginggi sebagai pekerja yang baru di
purinya, Ki Bagus Seta mengangguk-angguk maklum.
"Kau bekerjalah di sini dengan baik agar aku senang
melihatmu," kata Ki Bagus Seta melirik tipis kepada
Ginggi. "Baik Juragan?" kata Ginggi hormat.
"Tugasmu tidak terlalu berat. Kau hanya bekerja
menyediakan makan dan minum buatku. Atau bisa juga
membereskan perabot rumah sehingga setiap hari terbebas
dari debu dan kotoran lainnya," kata istri Ki Bagus Seta
menimpali. Untuk yang kesekian kalinya Ginggi
mengangguk hormat. "Nah, sekarang kau pergi ke ruangan belakang dan temui
para pengurus rumah tangga puri ini," kata Ki Bagus Seta.
Ginggi menyembah takzim dan mundur dari beranda.
Dia jalan memutar ke sisi bangunan karena hendak menuju
ke ruangan belakang. Namun sebelum jauh benar, pemuda
itu sempat mendengar obrolan mereka yang pada pokoknya
berkisar memperbincangkan perihal dirinya. Suji
meyakinkan bahwa Ginggi bisa dipercaya sebab
berpenampilan lugu dan bodoh, namun terampil dalam
bekerja. "Mudah-mudahan penilaianmu tidak keliru, sehingga
aku pun tak meragukannya," kata Ki Bagus Seta.
Berdebar Ginggi mendengarnya. Suara Ki Bagus Seta ini
nadanya biasa saja. Namun bagi Ginggi ucapan Ki Bagus
Seta seperti memiliki makna lain. Curigakah Ki Bagus Seta
terhadapnya" Ginggi kembali melanjutkan langkahnya manakala
obrolan di beranda berhenti.
(O-ani-kz-O) Sudah hampir sebulan pula Ginggi bekerja di puri Ki
Bagus Seta ini. Namun selama itu, belum ada laporan
berarti yang disampaikannya kepada Suji Angkara. Bukan
berarti Ginggi tak menemukan hasil yang dianggap penting.
Namun Ginggi memang tak menganggap Suji Angkara
sebagai atasan yang harus dia beri laporan penting sebab
semua hasil penemuannya di puri ini hanya diperlukan bagi
dirinya saja. Dalam sebulan ini Ki Bagus Seta tengah dipusingkan
oleh laporan-laporan yang datang dari para pembantunya.
Beberapa orang pembantu melaporkan bahwa terjadi
keresahan di beberapa wilayah barat tepi Kali Tangerang
(Cisadane). Di sana ada wilayah kerajaan kecil hampir
terletak di daerah muara. Pelapor mengabarkan bahwa
wilayah itu sepertinya hendak memalingkan muka dari
Pakuan dan akan berpaling ke Banten. Penyebabnya,
wilayah kecil itu amat mudah dijangkau melalui laut.
Padahal laut utara sudah dikuasai Banten dan Cirebon.
Kedua negara agama baru itu semakin hari semakin
malang-melintang dan kian berpengaruh di wilayah utara.
"Kami mendapat laporan bahwa wilayah Tangerang
kerapkali dipengaruhi Banten atau Cirebon. Mereka selalu
membujuk bahwa apabila ingin lancar melakukan
perdagangan di muara, sebaiknya bergabung dengan
Cirebon atau Banten," kata pelapor.
"Sikap penguasa wilayah Cisadane itu bagaimana?"
tanya Ki Bagus Seta. "Rupanya mereka mulai terpengaruh juga. Buktinya seba
(pajak) yang mereka serahkan ke Pakuan tahun ini
jumlahnya semakin kurang dan cenderung mengabaikan
kebijaksanaan kita," ujar pelapor itu.
"Kurang ajar! Harus kita siapkan pasukan untuk
menggempurnya! Aku akan menghadap Sang Prabu agar
segera menitahkan pasukan penyerbu!" kata Ki Bagus Seta
kesal. "Kita sudah didahului Bangsawan Yogascitra,
Gusti,"ujar pelapor.
"Maksudmu?" "Bangsawan Yogascitra kami dengar sudah melapor
kepada Raja tentang kekurang-setiaan wilayah barat ini.
Namun Pangeran itu sambil mengemukakan alasan,
mengapa wilayah barat bertindak begitu. Kata Bangasawan
Yogascitra, jangan setiap wilayah yang menipis
kesetiaannya lantas diserbu dan dihancurkan, tapi harus
diteliti apa penyebabnya. Pangeran itu menjelaskan bahwa
pajak yang semakin tinggi adalah penyebab menurunnya
rasa setia negara-negara kecil terhadap Pakuan."
"Kurang ajar Si Yogascitra. Dia mencari pengaruh di
istana?" gumam Ki Bagus Seta.
"Dia adalah kerabat dekat Raja, Gusti," kata
pembantunya. "Seharusnya Raja tidak melihat kepada kekerabatan.
Yang harus dia lihat adalah siapa yang berjuang
mempertahankan keberadaan Pakuan!" kata Ki Bagus Seta
bersuara keras. Ini adalah perkembangan paling akhir yang disimak
Ginggi. Hanya dalam satu bulan jaraknya, telah terjadi
beberapa perubahan yang menyangkut keberadaan Ki
Bagus Seta. Sebelum Ginggi masuk ke puri ini, pengetahuan yang
didapat olehnya adalah betapa pengaruh Ki Bagus Seta
demikian hebat terhadap Raja. Hampir setiap gagasan yang
dilontarkannya disetujui dengan baik oleh Raja.
Kebijaksanaan Raja yang selalu berupaya mencari
kekayaan negara melalui pajak-pajak tinggi dilahirkan
sesudah menerima gagasan-gagasan Ki Bagus Seta yang
dibantu Bangsawan Soka. Namun akibat dari kebijaksanaan
ini, banyak wilayah merasa keberatan. Wilayah kerajaan
kecil seperti yang berada di sebelah timur dan merasa
memiliki kekuatan karena dibantu oleh Cirebon dan Demak
secara terang-terangan menghentikan kewajibannya
mengirim pajak. Belakangan, bukan saja wilayah timur
yang begitu jauh letaknya, bahkan wilayah barat yang
hanya memakan perjalanan tiga hari saja dari Pakuan,
diketahui sudah berani memalingkan kesetiaannya.
Usaha-usaha Ki Bagus Seta yang dibantu Bangsawan
Soka dalam memungut pajak, ternyata jauh dari harapan
semula. Dulu kedua bangsawan ini mengusulkan agar
Pakuan membuat aturan pajak tinggi karena negara butuh
dana besar dalam mengembalikan kebesarannya seperti
masa-masa silam. Namun belakangan, kebijaksanaan ini
hanya membuat wilayah-wilayah Pajajaran yang tinggal
sedikit itu semakin resah saja. Banyak negara kecil
membangkang. Dan karena Raja berperangai keras, setiap
wilayah yang membangkang selalu ditindak. Kerapkali
terjadi penyerbuan pasukan Pakuan ke wilayah yang
dianggapnya membangkang. Namun kebijaksanaan


Senja Jatuh Di Pajajaran Karya Aan Merdeka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melumpuhkan pembangkang tidak menghasilkan sesuatu
yang berarti. Pembangkang yang kuat dan sulit dijatuhkan
jelas akan semakin menjauh dari kungkungan Pakuan.
Mereka tidak sudi lagi tunduk kepada peraturan-peraturan
yang dibuat Pakuan, termasuk dalam memenuhi kewajiban
pajak. Sebaliknya negara kecil yang lemah tetapi berani
membangkang, sesudah digempur Pasukan Pakuan,
akhirnya jadi semakin tak berarti bagi keuntungan Pakuan.
Wilayah yang sudah digempur habis sulit untuk berdiri
kembali dan akhirnya sama sekali tak menghasilkan apa-
apa, termasuk memenuhi kewajiban pajak.
Dan Ki Bagus Seta semakin gundah ketika pada suatu
hari didatangi seorang tamu. Tamu tersebut tak lain adalah
Bangsawan Soka, mitra kerjanya selama ini.
Mereka berdua mengobrol penting di ruangan tengah,
duduk bersila saling berhadapan di hamparan alketip tebal
dan empuk buatan Negri Parasi (Parsi atau kini Iran).
Keduanya duduk dengan perasaan tegang. Ketika Ginggi
menyodorkan minuman ke ruangan tengah sejenak saja dia
bisa menatap Bangsawan Soka. Dia bertubuh gemuk,
bermata sipit dengan wajah bundar dan hidung sedikit
pesek. Ada kumis tebal dan janggut namun nampak kurang
terpelihara sehingga membentuk cambang bauk tak
beraturan. Hanya cara berpakaian saja yang menentukan
bahwa dirinya seorang bangsawan.
Hanya sebentar Ginggi berada di sana sebab serta-merta
Ki Bagus Seta segera mengusirnya.
Ginggi sebetulnya ingin sekali mencuri dengar
percakapan mereka. Namun karena diusir pergi, rasanya
sudah tak mungkin melakukannya lagi.
Ginggi berpikir keras, bagaimana caranya agar bisa
mengintip obrolan mereka" Ruangan tengah begitu luas.
Tak tepat untuk bersembunyi. Satu-satunya cara adalah
naik ke atas atap sirap. Namun hari masih senja walau pun
suasana sudah agak meremang.
Bukan sebuah tindakan tepat bila harus naik ke atas atap.
Risikonya terlalu tinggi untuk diketahui orang. Padahal di
puri Ki Bagus Seta yang dikelilingi kuta (benteng) tinggi ini
banyak dihuni puluhan jagabaya yang rata-rata memiliki
kepandaian tinggi. Tapi aku harus bisa mencuri dengar percakapan mereka,
kata Ginggi dalam hatinya.
Apa boleh buat, Ginggi harus berspekulasi naik ke atas
atap sirap. Dia ingat, ada beberapa bagian atap yang dihiasi
lengkungan-lengkungan kayu hias. Kalau dia sanggup
mendekam di atas sirap, tentu tubuhnya akan terlindungi
lengkungan kayu tersebut.
Berpikir sampai di sini, pemuda itu segera ke luar
bangunan. Sejenak dia terpaku, kemudian menoleh ke kiri
dan ke kanan, mencoba memeriksa kalau-kalau ada
jagabaya lewat ke tempat di mana Ginggi berada. Sudah
yakin tidak didapatkan siapa-siapa, Ginggi segera menotol
tanah menggunakan inti tenaga di bagian ujung telapak
kaki. Ginggi melayang naik seringan burung merpati.
Namun begitu kakinya menginjak atap sirap, ada kelepak
beberapa burung merpati yang sebelumnya sedang hinggap
di sana. Burung-burung itu terbang sambil sedikit riuh-
rendah karena terkejut melihat tubuh besar melayang naik.
Begitu menjejak atap, Ginggi langsung menjatuhkan
dirinya untuk segera mendekam. Gerakannya ini sedikit
menimbulkan suara kendati tidak keras namun bisa
didengar orang yang berada di dalam bangunan. Terdengar
oleh Ginggi suara kaki-kaki melangkah ke luar halaman.
Pemuda itu tak tahu siapa yang datang, sebab tubuhnya
terus mendekam bahkan kian merapat di sudut lengkungan
kayu hias. Sampai beberapa lama dia tak berani bergerak
barang sedikit. Baru ketika terdengar langkah kaki untuk
kedua kalinya, Ginggi agak mendongakkan kepala untuk
mengusir sedikit rasa pegal di tengkuknya.
"Ada apa?" suara Bangsawan Soka terdengar
mengajukan pertanyaan. "Entahlah mungkin merpati. Di puriku memang banyak
burung merpati bersarang di atas atap," jawab Ki Bagus
Seta. Ginggi terus mendekam sebab nampaknya kedua
bangsawan itu akan melanjutkan percakapan penting
mereka. "Aku kira kita sekarang ada dalam bahaya, Seta ?"
"Barangkali?" "Kita harus segera bertindak. Jangan sampai Sang Prabu
terlanjur mengangkat Pangeran Yogascitra menjadi
penasihat Raja. Bila sampai begitu, kedudukan kita
terancam. Kita harus saling menolong. Kalau Pangeran
Yogascitra dibiarkan menjadi penasihat Raja, maka akan
memukul kebijaksanaanmu dalam melakukan tugas sebagai
muhara," kata Bangsawan Soka.
Sunyi sejenak sebab kedua orang itu rupanya tengah
berpikir sesuatu. Sementara suasana sudah semakin gelap karena matahari
sudah tenggelam di ufuk barat. Keremangan kian
bertambah sebab kompleks puri ini selain dikelilingi benteng
tinggi juga banyak dikepung pohon-pohon besar seperti
kecik, tanjung bahkan beringin. Suasana akan semakin
meremang gelap bila seandainya tidak datang petugas
penyulut lampu-lampu taman.
"Coba kau katakan akal terbaik untuk menjegal
keputusan Raja," kata Ki Bagus Seta.
"Engkau harus mencoba mengusulkan nama baru yang
kau anggap paling cocok menjabat penasihat Raja," kata
Bangsawan Soka. "Siapa yang harus aku ajukan?"
"Seseorang yang kelak kebijaksanaannya akan
menguntungkan posisimu sebagai muhara, Seta," kata
Bangsawan Soka. "Ya, siapa?" desak Bangsawan Bagus Seta tak sabar.
"Aku!" "Engkau yang harus aku ajukan pada Raja?"
"Benar, Seta?" Suasana kembali sepi. Rupanya Ki Bagus Seta lagi
berpikir mengenai usul ini. "Aku perlu pikirkan
kemungkinannya?" kata suara Ki Bagus Seta yang
kedengaran oleh Ginggi seperti menderita kebingungan.
"Engkau meragukanku, Bagus Seta?"
(O-anikz-O) Jilid 16 "Bukan begitu," kata Ki Bagus Seta. "Aku sedang
berpikir sejauh mana kekuatan dan pengaruh Pangeran
Yogascitra di mata Sang Prabu. Aku tidak hafal benar
kepadanya. Yogascitra jarang bergaul, sehingga sifatnya
pun aku kurang mengenalnya. Kalau sekarang secara tiba-
tiba Sang Prabu akan memilihnya sebagai Penasihat Raja,
tentu ada sesuatu sebab?" kata Ki Bagus Seta.
"Kalau engkau tak tersinggung, ingin kukemukakan
sesuatu, barangkali akan terungkap mengapa Sang Prabu
menoleh kepada Bangsawan Yogascitra," kata Bangsawan
Soka. "Cobalah kau katakan?"
Sunyi lagi sejenak. Rupanya Bangsawan Soka tengah
menyusun perkataan agar bisa diterima dengan baik oleh Ki
Bagus Seta. Sementara malam sudah mulai jatuh, sehingga
penerangan di sekeliling hanya mengandalkan lampu taman
saja. "Aku merasa bahwa kepercayaan Sang Prabu mulai
terganggu?" kata Bangsawan Soka pada akhirnya.
"Hm" terganggu, ya?" gumam Ki Bagus Seta pelan.
"Dalam beberapa bulan terakhir ini engkau banyak
mengalami kegagalan. Pemasukan pajak semakin berkurang
dan ada beberapa wilayah di sebelah barat Cisadane mulai
berpaling dari Pakuan. engkau harus berusaha
mengembalikan kepercayaan Sang Pabu agar kedudukanmu
kuat kembali, Bagus Seta," kata Bangsawan Soka.
Sunyi lagi. "Selama ini aku berusaha mengatur kebijaksanaan agar
pajak masuk dengan lancar dan besar?"
"Bagaimana dengan wilayah timur yang kau katakan
tengah diperjuangkan?" tanya Bangsawan Soka.
"Jangan salah mengerti. Sejak dulu kita bersatu dalam
memperkuat kedudukan kita di Pakuan. Pertanyaanku tadi
justru menginginkan satu jawaban pasti bahwa kedudukan
kita tak terganggu," sanggah Bangsawan Soka.
Sunyi lagi. "Kau pernah melaporkan kepada Sang Prabu, untuk
memperkuat pengaruh Pakuan di wilayah timur Sungai
Citarum, di beberapa wilayah kekuasaan Kandagalante
harus dibangun kekuatan pasukan. Penyusunan pasukan
sudah dilaksanakan. Tapi sejauh ini, wilayah timur belum
terasa apa-apa bagi Pakuan. Hasil pajak yang diambil dari
wilayah timur masih tak berarti ketimbang dana yang sudah
dikirim ke sana untuk membangun pasukan. Engkau harus
bertanya pada pada pejabat kepercayaanmu yang bernama
Ki Banaspati, sejauh mana dia berjuang untuk kepentingan
Pakuan," kata Bangsawan Soka.
"Sudah aku tanyai dia. Menurutnya, seba atau pajak
yang ditarik dari wilayah timur untuk tahun-tahun awal
pembentukan pasukan akan sangat sedikit dikirim ke
Pakuan sebab sebagian besar masih digunakan untuk
mengongkosi pembentukan pasukan itu sendiri," jawab Ki
Pedang Sakti Tongkat Mustika 19 Kisah Bangsa Petualang Karya Liang Ie Shen Pedang Seribu Romansa 2
^