Pencarian

Cinta Olimpiade 2

Lupus Cinta Olimpiade Bagian 2


6. Permen. Karet "PERNAH sakit gigi"
Kalau mau tau rasanya, tanya aja sama Lupus. Sekarang ini dia lagi uring-uringan banget nggak bisa tidur gara-gara sakit gigi. Rasanya, ngujubileh! Senut-senut kayak disetrum listrik ribuan watt. Kalau disuruh milih, Lupus lebih mau sakit hati daripada sakit gigi. Kalau sakit hati kan setidak-tidaknya bisa cuwek. Nggak usah dipikirin, walau hatinya dongkol. Tapi kalau sakit gigi" Gimana bisa cuwek" Tidur aja nggak bisa. Padahal segala macam obat sudah dicoba. Dari ramuan tradisional macam minum air garam, menetesi gigi dengan getah daun kemboja, sampai minum antibiotika, tetap aja terasa sakit.
Dasar penyakit nggak tau diri. Padahal kan ini s"da" le"at jam dua belas malam. Waktunya orang lain tertidur nyenyak. Mbok ya ditunda dulu dilanjutkan besok pagi. Kasihan kan si Lupus nggak bisa tidur. Mana besok pagi ada ul
angan lagi. Tapi Lupus memang bandel juga sih. Kebanyakan makan permen karet atau makanan yang manis-manis lainnya. Makanya nggak heran kalau giginya jelek banget. Pada bolong-bolong. (Tapi nggak kuning, lho. Dia cukup rajin gosok gigi kok. Sehari tiga kali.)
Sebetulnya tadi siang, waktu Lupus mengeluh terus karena sakit gigi, ibunya sudah menyuruh ke dokter gigi. Tapi Lupus ogah. Dia paling alergi pergi ke dokter. Ngeri ngeliat alat kedokteran yang tajem-tajem. "Serasa menyerahkan diri untuk dibantai!" tolaknya.
Dan akibatnya sekarang" Semaleman dipaksa begadang. Rasanya pingin banget dia teriak keras-keras. Habis keki, kok yang lain bisa-bisanya tertidur lelap. Apalagi si Lulu, adiknya. Ngoroknya terdengar saingan dengan suara kodok-kodok di luar. Sinkron banget. Seolah ngeledek Lupus. Hampir-hampir aja Lupus punya niat jahat membunyikan weker antiknya yang bisa ngebangunin orang sekelurahan. Biar pada ikutan bangun.
Besoknya, Lupus belum mau ke dokter. Dia masih berharap rasa sakitnya akan hilang sendiri.
"Kan sesuatu itu nggak ada yang abadi...," kilahnya. Tapi sampai sepulang sekolah, penyakit itu masih betah mengidap di giginya yang kecil - kecil.
"Mungkin kamu jarang sikat gigi...," cetus Boim kala mereka barengan pulang sekolah.
"Enak aja nuduh! Kamu barangkali yang kayak gitu...!" sahut Lupus kesal.
"Di rumah, Lulu juga berbaik hati menghiburnya. Coba-coba cerita yang lucu-lucu. Tapi Lupus nggak ketawa sedikit pun.
"Jangan coba-coba ngelucu ya, di kala orang lain kesusahan! Nggak bakalan sukses!" bentak Lupus sewot.
"Siapa bilang" Kamu aja yang nggak punya sense of humor yang tinggi. Khadafi aja waktu negaranya dibom Amerika sempet- ngelawak juga. Nggak kayak kamu, baru sakit segitu aja bingungnya kayak orang kebakaran jenggot...."
Lupus mengernyitkan alisnya. "Kok kamu tau" Baca di mana""
"Iya. Waktu itu dia langsung ngirim surat sama Reagan. Isinya singkat, 'Ngebom ni ye...' "
Lupus jadi setengah mati menahan senyum.
Tapi malamnya dia benar-benar kapok. Dan bersumpah akan ke dokter gigi besok pagi. Whatever will be, will be. Mau dicabut kek, dibor "ek, atau. s"kadar dikritik, '0, Lupus, betapa Jeleknya gigimu....' Terserah!
Dan besoknya, pagi-pagi, dia sudah nongkrong di rumah sakit. Di poliklinik gigi. Menunggu dengan pasrah sampai seorang suster memanggil namanya dan menyuruh masuk.
"Silakan lho, jangan malu-malu...," kata suster itu genit.
Lupus mencibir sewot. Dan di dalam, dia diinterogasi dengan pertanyaan-pertanyaan norak. Seperti, 'Sering sikat gigi"'; 'Punya sikat gigi berapa di rumah"'; 'Odolnya pake merek apa"', Apa suka gosok gigi pake batu bata"'; and so on.
Sampai akhirnya, "Oke deh, saya periksa gigi kamu. Silakan duduk di kursi periksa itu."
Lupus nurut. Dan sempat bergidik melihat alat-alat pembantai yang berjejer di hadapannya. Sementara dokter cewek itu memakai penutup hidung (itu lho, kayak orang mau dioperasi), dan menyiapkan alat-alat pemeriksa dibantu oleh suster. Lupus jadi rada tersinggung. Dikata mulutnya bau banget apa, sampe perlu pakai tutup hidung segala.
Dokter itu lalu menyuruh Lupus membuka mulut lebar-lebar.
"Ck, ck, ck..., giginya jelek amat" Kamu pasti suka makan makanan yang manis-manis, ya""
Lupus sudah mengira bakalan dikritik begitu. Makanya dia tabah.
"Ya, Dokter. Saya suka sekali makan permen karet, coklat."
"Kayak anak kecil aja. Makanya giginya pada bolong-bolong begini. Kenapa sih kamu suka yang manis-manis ""
""Kan biar tambah manis.... "
Dokter itu ketawa ngakak.
"Oke deh. Sekarang siap-siap aja. Giginya mau saya tambal. Soalnya kalau terasa sakit, nggak boleh dicabut. Lagian, selama masih bisa diselamatkan nggak usah dicabut dulu. Jadi tahan aja. "Nggak sakit kok. Paling cuma ngilu sedikit. Siap""
Lupus langsung menutup matanya rapat-rapat.
*** "Siang itu Lupus lagi tertidur dengan nyenyaknya, ketika Lulu membangunkan.
"Bangun, Pus, itu ada temen kamu di depan."
"Aaaah, siapa sih" Tamu kok nggak tau waktu. Ini kan saatnya tidur siang.... Suruh pulang aja deh. Saya ngantuk banget...," keluh Lupus malas.
Dia memang sudah dua hari i
ni kurang tidur. Sekarang giliran bisa tidur, dibangunin.
"Apa-apaan sih kamu" Kayak artis aja."
"Tapi salahnya sendiri datang pada Jam tidur.... "
"Jam tidur" Sekarang sudah setengah lima, tau! Udah sore. Sana cepet temuin. Kasian kan datang dari jauh. Cewek lagi...."
"Hah" Cewek"" Lupus langsung melompat turun. "Kok nggak bilang dari tadi" Kece nggak""
"Liat aja sendiri. Ogut mau mandi."
Lupus langsung nyerobot ke kamar mandi. Cuci muka dulu dan sikat gigi bersih-bersih. Lalu -berjalan ke depan.
"Eh, kamu. Kok tumben datang"" sapa Lupus begitu melihat Rina duduk termalu-malu di teras rumah.
"Iya. Eng... saya abis dari rumah sodara di ujung gang sana. Kebetulan lewat sini. Jadi ya mampir aja. Saya juga nggak bisa lama, kok. Ditungguin Mama. Saya cuma mau ngasih bingkisan ini. Buat kamu. Mau, kan""
"Buat saya"" Lupus terheran-heran menerima bungkusan itu.
"Iya. Y uk deh, saya pulang dulu...."
"Eh, tunggu. Eng, kok cepet-cepet banget""
"Abis ditungguin. sih. Sampe ketemu deh di sekolah. Yuk!"
"O... iya deh. Makasih banyak, ya""
Rina tersenyum malu, lalu gadis kecil itu berlari ke arah mobil yang berhenti di depan. Sesaat sebelum pergi, dia melambaikan tangannya. Lupus membalas dengan senyumnya yang lebar. Mimpi apa ya dia"
Lupus segera membuka bingkisannya. Ada secarik kertas yang jatuh. Berwarna biru muda. Warna favorit Lupus. Lupus segera memungutnya, dan membaca.
""Buat Kak Lupus,
Kebetulan tadi saya jalan-jalan di pasar swalayan, dan saya melihat sekotak permen karet dalam kemasan yang manis terpampang di sana. Saya jadi ingat kamu. Kamu yang suka mengulum permen karet kalau pulang sekolah. Makanya, saya ingin sekali membelikannya untuk kamu. Supaya kamu senang.
Sekarang permen karet itu sudah berada di tanganmu. Untuk sekadar nyenengin saya, mau kan kamu memakannya" Sampai abis juga boleh. Nanti saya kasih lagi deh.
"Salam manis, Rina. " "Lupus nggak tau harus ngomong apa. Mau senang atau, malah sebel. Senangnya karena dia memang naksir si Rina waktu Mapras kemarin itu. Sebelnya, ya... kamu kan tau sendiri, saat ini dia baru sembuh dari sakit gigi. Masak disuruh makan permen karet" Satu kotak, lagi.
Tapi siapa sih yang bisa mengukur kekuatan cinta" Apalagi cinta yang baru saja tumbuh. Maka tanpa berpikir panjang, sore itu dia asyik mengulum permen karet lagi. Demi menebus dosa, karena dia telah keduluan Rina dalam menyatakan perasaannya. Dan juga supaya Rina nggak kecewa. Dia sama sekali nggak peduli sama nasihat dokter untuk tidak memakan permen karet lagi.
Dan malamnya, sekali lagi Lupus nggak bisa tidur. Giginya kumat lagi. Senut-senut kayak kesetrum. Tapi Lupus nggak sedih lagi. Sebab kali ini, meski nggak bisa tidur, ada yang bisa dipikirin.
Dan kadang, sakit gigi itu enak juga lho....
7. Ketika Hujan Turun Lagi
"CUACA di luar gelap. Angin bertiup kencang. Ini menandakan sudah tiba musim hujan. Karena di luar memang sedang turun hujan (nenek-nenek juga tau!). Dan air menggenang di mana-mana. Di lapangan olahraga, di dekat perpustakaan, dan yang paling gila-gilaan di bak WC sekolah. Di sana penuh sekali.
Juga di jalanan kecil menuju jalan besar. Air got sudah melimpah ke jalanan. Banjir. Padahal hujan turun belum lama. Dan tadi pagi, waktu Lupus berangkat sekolah, cuaca belum nampak mendung. Masih cerah. Tapi kini, air menggenang di mana-mana.
Betapa suburnya alam Indonesia.
Tapi Lupus tidak bersyukur. Karena dia terpaksa harus menanti hujan reda, untuk dapat pulang tanpa kehujanan. Bikin kesel aja. Tapi apa boleh buat" Terpaksa dia dengan sabarnya bersandar di dinding sekolah. Sambil mengulum permen karet yang rasanya udah ngujubileh pait.
Habis bayangin aja, sudah satu jam lebih dia mengulum, belum dibuang-buang juga. Soalnya dia memang lagi krisis ekonomi. Duitnya kini cuma cukup untuk ongkos pulang. Mana perut lapar, lagi.
Sementara teman-temannya yang lain ada yang masih asyik di kantin. Makan bakso hangat sambil menunggu hujan reda. Ada juga yang masih asyik di kelas. Sibuk dengan pe-er yang ditugaskan buat besok. Tapi tak banyak. Kebanyakan dari anak-anak SMA Merah Putih suda
h pada pulang. Dijemput atau pakai kendaraan yang biasa mereka bawa. Ada juga yang nekat hujan-hujanan.
Lupus tidak termasuk yang mana-mana. Tidak juga yang nekat melawan hujan. Bukannya takut sakit, tetapi dia sedang membawa pulang tugas gambar yang akan dikumpulkan besok. Kalau sampai basah kan nggak lucu juga. Soalnya tadi aja dia mati-matian ngerjainnya. Memproyeksikan berbagai bentuk bidang, kayak arsitektur amatiran. Makanya Lupus nggak mau gambarnya basah.
"Halo, Pus, nggak pulang"" tiba-tiba si Boim hadir di depannya. Lupus menggeleng.
"Kenapa" Takut kehujanan" Hu... sama aer aja takut. Kalau mau jadi seorang yang penuh kharisma kayak saya ini, hal-hal sepele begini tak akan menjadi halangan. Apa kamu takut kalau kehujanan nanti rambut kamu jadi basah" Nggak bisa nge-duran-duran kayak gitu lagi" Itulah, kalau ketampanan yang kauperoleh bukan ketampanan alami kayak saya. Biar kebasahan, rambut kucluk begini, tetap aja kece. Iya nggak" Lihat, saya berani menentang badai sekalipun!" sahut Boim sambil dengan mantap berjalan ke arah hujan.
".:..Dan ka"u tau, Pus," tambah Boim lagi, "Boim - sebagai playboy paling top sejagat - tau betul bagaimana cara menarik perhatian cewek. kamu lihat Svida yang berteduh dekat warung nasi di sana itu" Nah, ini saat yang tepat untuk mengalahkan hatinya yang sekeras karang. Sebab sebenarnya di dalam tasku ada payung. Nah, kamu nggak nyangka, kan" Tapi, biarlah saya tidak pakai payung itu. Saya akan khusus membawakan untuk Svida. Dia pasti terharu sekali melihat pengorbanan saya. Basah-basahan demi membela dia supaya enggak kehujanan.
"Dan kamu tau, Pus," kali ini bicaranya jadi mendadak pelan, Sambil mendekatkan moncongnya ke telinga Lupus. Buset baunya!
Dipandangnya Lupus lekat-lekat. "Seorang cewek biasanya berprinsip lebih baik pacaran dengan cowok yang mencintainya, walau ia sendiri sebenarnya tidak mencintai cowok itu. Dan cowok, lebih baik mencintai cewek yang ia cintai, kalau cewek itu tidak mencintainya. Nah, prinsip itu yang saya terapkan saat ini. Sebagai konsep ke-playboy-an saya. That's true. That's love! Kamu setuju pada pendapat itu""
"Setuju," sahut Lupus mantap. "Saya juga lebih baik pacaran dengan cewek yang saya cintai, walau cewek itu mencintai saya mati-matian!"
"Boim manggut-manggut. Lalu dengan langkah bak panglima perang, dia berjalan menerjang hujan, menuju sang ratu Svida berteduh. Meninggalkan Lupus yang bersandar sendirian lagi. Dan dia sempat menangkap bayangan yang menatapnya lewat balik kaca Corona biru tua yang perlahan lewat di depannya. Poppi. Lupus segera tersenyum lucu. Tapi eks ceweknya itu segera membuang muka. Ya, nasib! Lupus pun langsung membuang pandangan pada anak-anak kecil yang asyik bermain bola di lapangan becek di luar pekarangan sekolah.
Semen tara hujan kian deras.
"H'ai, Lupus! Tak adakah keinginan di hatimu untuk meninggalkan tempat yang menjemukan ini"" tiba-tiba terdengar suara cempreng dari sampingnya. Lupus kaget setengah mati. Tapi tanpa menoleh pun, dia tau siapa kali ini yang datang. Siapa lagi kalau bukan Gusur, seniman kesasar anak bahasa itu " Yang kalo ngomong selalu sok nyastra. Biar dikata kayak Rendra. Ya, dia memang rendramania sekali. Ke mana-mana selalu bawa tas koper yang isinya penuh puisi-puisi ciptaannya yang katanya akan laku dipublikasikan sekian abad kemudian. "Soalnya puisi-puisi saya adalah puisi yang jauh melangkah ke depan. Yang baru bisa dinikmati oleh orang-orang masa depan," kilahnya suatu ketika, tetap membawa koper.
Teman-temannya banyak yang bilang dia itu seniman gagal. T api nggak juga tuh. Dia ternyata cukup sukses juga. Buktinya setiap ada perayaan hari besar, dia selalu dipanggil tampil ke depan untuk membacakan puisi karyaI1ya. Kalau sudah begitu, kardus-kardus bekas teh botol dan pembungkus makanan pada berseliweran di udara. Menyemarakkan suasana. Tinggal Gusurnya yang sibuk tunggang-langgang ke balik panggung. Berlagak mau ke wc.
Yang lucu lagi, dia tuh orangnya suka sok akrab. Kalau lagi jalan (biasanya suka terbungkuk-bungkuk dan terbatuk-batuk), dia dengan sok akrabnya menyapa s
etiap orang yang dia jumpai. Menurutnya, setiap orang yang dijumpai adalah para penggemarnya. Perutnya juga rada gendut (katanya biar lebih mirip Rendra), kadang menyebabkan ritsluiting celananya sulit tertutup rapi. Sehingga nggak jarang udelnya piknik ke mana-mana.
Di rumahnya dia juga jarang pake baju. Sering ber-tarsan-ria. 'Biar dibilang seksi, ya" Dan kini, makhluk ajaib ini sudah berada di sampingnya.
"Hayolah, Pus, berlalu. Kupikir badai prahara ini kan lama menyelimuti!" bujuknya lagi. Tapi Lupus diam saja. Cuwek malah. Dan Gusur makin gigih.
"Lihatlah halimun hitam di sana," katanya lagi dengan gaya bak Gatotkaca hendak terbang. "Ia akan datang lagi dengan selaksa ancamannya!"
Lupus makin cuwek. Dia berlagak buang muka. Berlagak asyik memandangi anak-anak yang bermain bola. Tapi matanya tetap mengerling. Dan seniman ini terus ngocol. Tetap nyastra. "Wahai, Lupus, ketahuilah, jarum-jarum hujan yang jatuh adalah irama alam semesta. Ia mengajakmu berdansa." (Waktu ngomong begini, si Gusur turun berputar-putar seperti orang balet. Bisa dibayangin sendiri deh, gimana orang yang bulat begitu ber-balet-ria. Lupus setengah mati menahan senyum. "Maka, mari kita berlalu. Basah tak jadi apa. Daripada di sini sendiri disiksa berjuta derita. Dingin, resah, dan di dalam perutmu cacing-cacing protes menuntut haknya (lapar, maksudnya!)."
Lupus jadi mendelik sewot. Dikata cacingan apa"
Saat mendelik itu dia baru sadar bahwa makhluk yang membujuk Lupus untuk pulang aja meski hujan, nampak begitu aneh. Pakaiannya itu lho - lengkap banget. Jas anti aer, lengkap dengan payung kecil yang sekaligus topi. Itu lho, yang biasa dipakai pedagang kaki lima kalau lagi kepanasan. Yang ada head-bandnya ala Bjorn Borg dan dipakai di kepala. (Tau, kan" Kalau nggak tau berarti kamu lebih norak dari si Gusur.)
Udah gitu, payungnya warna full-color lagi. Merah, kuning, ijo, biru, pink. Warna-warna yang menyolok.
Wah, kentara sekali noraknya. Wong sekolah kok sempat-sempatnya bawa payung kayak gitu., Biar top kali! Tapi barangkali aja sebagai seniman, dia punya indra keenam. Punya inner feeling. Lha buktinya, kok tau-taunya sih bakal turun hujan. Pake siap bawa payung topi segala ke sekolah.
Selanjutnya, karena bujukannya terhadap Lupus nggak digubris sedikit pun, lama-lama dia sebel sendiri. Dengan judes, dia membuang muka, menghindar delikan sewot dari Lupus. Lalu akhirnya pulang sendirian. Wah, lagaknya. Pake ngingsot segala. Padahal di depan banjir sudah mulai meninggi. Semata kaki. Tapi sebelum makhluk itu berlalu, sempet juga ia berkicau. Masih tetap nyastra. "Tak kumengerti, apa yang membuatmu terpaku di situ. Atau kau takut" Ketahuilah, ketakutan adalah belenggu diri yang menyesatkan. Karena itu, Pus, bukan salahku andai dikau kutinggalkan. Kita berdiri di dunia kita masing-masing. Kau pengecut, aku berani. Selamat tinggal, Lupus, hujan telah memanggilku dengan iramanya yang sangat merdu. O, rinai hujan, 'ku rindu lumat dalam dekapmu!" ujarnya.
Kemudian dia sendiri semakin jauh. Berjalan tanpa kerepotan meski kostum yang dikenakan nampak complicated sekali. Tingkahnya seperti biasa. Terbungkuk-bungkuk. Sementara bibirnya tetap monyong. Habis sial-siul terus sih.
Kini Lupus sendiri lagi. Makin segen pulang walau hujan mulai sedikit mereda. Perutnya semakin melilit dengan dingin yang menggigit.
"Hai, Lupus, belum pulang"" Kali ini ada suara lembut menyapa. Lupus menoleh. N ah, ini! Ini baru teman yang menyenangkan, batin Lupus ketika melihat Anggi yang datang.
""Belum, Gi. Abis hujan terus. Kamu dari mana""
"Dari kantin. Tapi di sana berisik banget. Nggak betah. Mendingan pulang aja. Tapi masih hujan, ya" Padahal nanti so're saya mau latihan gitar!"
Beberapa saat kemudian, mereka pun terlibat pada percakapan yang mengasyikkan. Sambil menanti hujan reda. Deket cewek cakep begini, laparnya jadi hilang.
Tiba-tiba sebuah charade putih berhenti tepat di depan mereka berdua. Dari balik jendela, muncul wajah Tejo, anak kelas tiga. Dia tersenyum manis kepada Anggi.
"Mau pulang" Ayo saya anterin. Daripada kedinginan di situ."
Anggi k elihatan ragu. Dia menatap Lupus, seperti minta pertimbangan.
"Ayo, tunggu apa lagi" Mau tunggu hujan berhenti" Wah, sampe besok subuh juga nggak bakalan berhenti-berhenti."
Lupus berbisik pelan, "Jangan mau ikut anak kelas tiga itu, Gi. Nanti kamu diculik, lho!"
Tapi Tejo terus memaksa. Akhirnya Anggi nurut. "Tapi ajak teman saya ini juga, ya"" pinta Anggi. Tejo melirik dikit pada Lupus. Lirikan tak bersahabat. "Ya, bolehlah.... Dia turun di mana""
"Eh-enggak usah. Makasih aja deh. Saya bisa pulang sendiri, kok!" sahin Lupus cepat-cepat.
Anggi pun naik, setelah ber-auld Lang syne sama Lupus. Sedang Tejo tak mengatakan apa-apa. Langsung duduk di charade-nya dan tancap gas. Meninggalkan cipratan air di muka Lupus.
"Dodol!!!" teriak Lupus keki. Udah nyulik teman dengan paksa, nggak tau diri, lagi!
*** "Hati Lupus masih dongkol ketika bis Grogol yang ditumpanginya berjalan perlahan, karena jalanan di situ banjir. Lalu lintas macet total. Mobil-mobil yang nggak waterproof udah mogok berat. Walhasil para pengendaranya terpaksa kemping di jalanan. Nggak bisa pulang. Lupus rada bersyukur juga karena bis yang ditumpanginya masih bisa jalan terus, meski pelan banget.
Lupus memandang ke luar. Tiba-tiba dia melihat charade putihnya Tejo sedang terbenam air. Tak bisa bergerak sedikit pun. Di dalamnya, Tejo lagi sibuk ngerayu Anggi yang ngambek, karena pulangnya malah jadi terlambat. Anggi dengan kesal turun, dan berlari ke arah bis yang ditumpangi Lupus. Meninggalkan Tejo yang masih kebingungan dengan mobilnya.
Lupus jadi ngakak. Apalagi ketika melihat sepatu dan baju Anggi jadi basah kuyup ketika naik ke bis Lupus. Sebab hujan yang tadi agak reda, kini turun lagi.
"Wah, kamu kok basah-basahan begini, Gi" Nanti sakit, lho!" goda Lupus ketika Anggi berdiri di dekatnya.
""Jangan ngeledek!" Anggi cemberut.
Sementara di luar hujan masih turun. Dan di tengah jalan: Lupus sempat melihat Gusur, si seniman itu, basah kuyup karena kejebur got. Lha iya, abis kalo banjir got-gotnya kan jadi nggak kelihatan. Dan kamu tau, seniman ini memang paling grasa-grusu kalo jalan. Pokoknya asal tancap gas aja. Dan akhirnya ia dimakan keyakinannya sendiri.
Lupus nggak bisa menahan ketawa lagi. Dia ngakak keras sekali. Sampai orang-orang sebis memandang curiga padanya. Tapi Lupus tak peduli.
8. Pergi Berenang "SETIAP hari Jumat, SMA Merah Putih, tempat Lupus yang kesohor itu (he he he, katanya lho!) sekolah, mengadakan kegiatan renang. Praktis hari itu menjadi hari yang istimewa buat mereka.
Bayangkan saja, gimana nggak asyik kalau pada saat itu semua siswa, dari berbagai kelas yang se-lifting sama Lupus, bisa saling bertemu. Berenang sama-sama, bermain kejar-kejaran di air. Dan Pak Kurdi, guru olahraga mereka yang kalau ngajar lagaknya kayak Triman Srimulat, menjadi pelatih mereka. Eh, beneran lho, kalau dia lagi kebetulan ngajar teori olahraga di kelas, tangan sebelahnya selalu berkacak pinggang, sementara kepalanya suka goyang-goyang ke kanan ke kiri. Lucu sekali, kayak boneka India. Mungkin dia emang nggak bakat ngajar. Bisanya cuma senam pagi doang di lapangan. Sehingga kalau lagi membelakangi murid, Lupus dan beberapa teman-temannya suka iseng ikut menggoyang-goyangkan kepalanya ngikutin dia. Tapi dianya cuwek aia, nggak pernah marah. Atau emang nggak tau" Entahlah, yang pasti dia tuh kayaknya orangnya happy terus. Nggak pernah sedih.
"Dan biasanya tiap selesai sholat Jumat di sekolah, anak-anak tidak langsung pulang. Melainkan makan di kantin, mengobrol, sambil menunggu berangkat ke kolam renang. Lupus beserta beberapa rekannya sudah punya rencana dengan Gusur, anak bahasa yang sableng itu. Mau main polo air. Tapi dari tadi ditunggu-tunggu Gusurnya belum dateng juga. Padahal bis sekolah yang membawa mereka ke kolam renang sudah ready to go. Wah, menyebalkan sekali.
"Ke mana seniman sableng itu!" maki Andang kesal. "Janjinya kan mau ngumpul di sini!"
"Wah, dia nggak tau kali kalau menunggu itu adalah pekerjaan yang paling menyebalkan. Kalau bukan dia yang pegang bolanya, sebodo amat! Kita tinggalin aja!" lanjut Boim.
Yang lain cu ma mengangguk-angguk. Dan mau tak mau mereka terpaksa harus menyamper ke rumah Gusur, yang kebetulan memang tak jauh dari sekolah. Lupus yang lagi segen jalan (maunya naik kapal terbang 'kali!), jelas memaki-maki, Si Gusur dari dulu memang kepingin jadi orang penting. Tapi caranya itu yang selalu salah!
Di panas terik memari, mereka pun bersama-sama jalan sehat ke rumah Gusur. Dan setibanya di rumah Gusur, anak-anak menemui kesebalan yang sempurna. Seperti' biasa, seniman ini cuma bercawat doang kalo di rumah. Tak peduli ada tamu atau tidak. Yang punya pikiran ngeres, kali udah ngebayangin yang enggak-enggak aja. Tapi sebetulnya seniman ini lagi sakral. Umung aja dia itu cowok. Kalo .cewek barangkali udah hamil melulu... (hus!). Sementara perutnya yang rada gendut itu dipertontonkan ke mana-mana. Buset, kayak tari perut aja. Anak-anak jadi sebel.
"Halo, teman-teman sejawat, angin apa rupanya yang membawa kalian begitu kompak datang ke padepokanku"" sapanya tanpa dosa sambil memegang secarik kertas di tangan kirinya. Rambutnya yang mulai gondrong, tumbuh gila-gilaan di kepala, di atas bibir, dagu, ketiak dan... di bagian yang kayaknya rada kurang sopan disebutkan di sini. (Kalau tetap penasaran kirim surat aja ke saya, nanti saya kasih tau!)
Pertanyaan sok polos itu tentu membuat Lupus makin mangkel. Kontan aja Lupus nyap-nyap. Memaki Gusur yang tidak menepati janji datang ke sekolah. Tapi jawaban Gusur cukup membuat Lupus dan teman-temannya melongo.
"Daku memang pernah merasa meletakkan janji pada kalian, namun lihatlah, sejenak lagi sajak masterpiece-ku bakal lahir. Dan itu lebih penting dari segalanya. Maka persetan dengan janji-janji yang pernah kulontarkan kepada kalian!"
Duile, kekinya anak-anak nggak ketulungan lagi! Udah capek-capek nyamperin, ternyata yang disamper cuwek-cuwek aja. Malah sekarang tangannya diacungk"m ke atas dengan kertas yang melambai-lambai, sementara wajahnya dibuang ke belakang. Mirip Rendra lagi baca puisi. Lupus yang keki jadi penasaran merebut kertas yang dipegang Gusur. Bujubune, isinya sebuah puisi yang berjudul, Wanita adalah Dusta!
Konon makhluk yang satu ini memang rada dingin terhadap cewek. Sok frigid, gitu! Di sekolah umpamanya, teman-teman yang lain udah pada pacaran, eh dia sih masih tetap sendiri. Kayak lagunya Dian Piesesha. Dia pernah bilang, perempuan di matanya hanya menduduki peringkat kesekian setelah sajak dan sebagainya. Yeah, maklumlah, dia memang seniman. Tapi Lupus tau banget, kalau Gusur ini belum pacaran, bukan berarti dia nggak kepingin. Lha masalahnya, mana ada cewek yang betah sama dia" Yang kalau nerima tamu, nggak peduli cewek atau cowok, cuma bercawat, yang kalau ngomong sablengnya minta ampun, semen tara jenggotnya yang aduhai, itu lebih mirip jenggot bandot ketimbang... Oma Irama. Lagian pengetahuan umumnya paling sekitar sajak-sajak dan nama-nama penyair doang, sementara cewek satu sekolahnya kan lebih suka ngomongin artis, grup band barat, dan segala yang berbau modern. Jelas nggak nyambung dong!
"Kamu jangan norak dong, Sur! Di sana kan kita bisa main sama anak-anak, ngeceng cewek-cewek yang lagi berenang. Bodinya itu lho, kan pada asyik-asyik!" cetus Boim.
"Wanita" Huh-sudah kubilang, wanita itu adalah belenggu kreativitas. Dan sajak-sajakku bukan konsumsi cinta kasih murahan, tetapi sajak yang melenting jauh ke masa depan. Jadi buat apa" Ya nggak cocok jika kehidupan kepenyairanku saat ini dimasuki oleh makhluk berjenis wanita!" katanya tetap sombong. Dan itu jelas bo-ong. Sebab Lupus yakin, kalau aja ada cewek yang nekat mau sama dia, kontan diterima. Gimana enggak" Kalau lagi tidur dia suka ngigo kepingin punya cewek. Nah Lo, nggak bisa mungkir lagi dia.
Kadang orang yang suka ngigo macam Gusur itu kan enggak bisa menyembunyikan rahasianya. Dan di kamarnya kalau mau tau, banyak ditempeli foto-foto cewek kece teman-temannya. Lupus pernah masuk ke kamarnya dan memergoki. Dan kalau sudah begitu dia suka bilang sendiri, cewek adalah sumber inspirasi.
Tapi kini, kala teman-temannya menjemputnya, dia menunjukkan sikap jual mahalnya kepada wanita.
Berlagak nggak mau ikut. Sok cuwek. Sok antipati. Sok dingin. Tapi memang semua temannya mengira sang seniman ini rada kurang respek terhadap wanita. Menganggap lebih mementingkan sajak-sajaknya daripada cewek. Selama ini dia emang nggak pernah ikut renang dengan alasan tersebut. Pendek kata, biar Brooke Shield naksir dia, dia nggak bakalan bergeming. Apa bener tuh"
"Sikap yang bikin orang penasaran itu memang patut kamu pertahankan, Sur. Biar nggak berkesan murahan. Agak tahan harga, gitu! Sebagai seniman kamu memang harus punya sikap. Jangan mudah terpengaruh!" kata Lupus setengah meledek.
Gusur malah makin mengangguk-angguk.
""Tapi buat orang-orang yang diobral aja belum tentu laku, buat apa pake tahan harga segala"" lanjut Lupus, disertai wajah dongkol dari Gusur. Tapi akhirnya dengan berat, Gusur pun ikutan anak-anak ke kolam renang. Supaya tetap mengesankan bahwa dia tak begitu berminat, jalannya dibikin segontai mungkin. Duile....
*** "Lupus sendiri, kalau enggak mengingat ancaman guru olahraga, rasanya segen ikut-ikut berenang. bukan apa-apa, badannya yang selembar itu sering jadi bahan ledekan teman-temannya. Makanya dia nggak berani lama-lama berada di atas kolam renang. Begitu masuk, langsung jebur. Soalnya pernah kejadian, lagi asyik-asyiknya berjemur di sisi kolam renang (ceritanya biar kayak orang barat, gitu!), ada ibu-ibu yang langsung aja kepingin nyuci bajunya di dada Lupus. Dikira papan cucian. Wah, Lupus dongkol setengah mati.
"Pus, kamu sih tinggal dikasih garam, lalu dijemur, jadi deh ikan asin...." begitu anak-anak suka ngatain. Sialan nggak tuh!
Tapi kali ini Lupus cukup cuwek. Begitu bis memasuki pekarangan parkir kolam renang, anak-anak mulai berhamburan turun. Berlomba-lomba memasuki pintu masuk yang sempit. Lalu langsung masuk ke ruang ganti baju dan penitipan barang. Beberapa menit kemudian, mereka semua sudah berada di kolam renang. Yang paling seru sih ngeliatin perlengkapan renangnya si Gusur. Buset tuh anak, tadi ngakunya segen berenang, tapi ternyata kini bawa masker, sepatu katak, dan alat-alat menyelam lainnya. Lengkap deh, kayak penyelam-penyelam mutiara. Dan kerjaannya dari tadi ya menyelam terus. Ngintipin bodi cewek dari bawah air. Kayaknya semuanya itu memang sudah dipersiapkan dan direncanakan dari rumah.
Sementara anak-anak yang lain mulai ramai bermain polo air, kejar-kejaran. Tak seorang pun yang mempedulikan Pak Kurdi yang sibuk teriak-teriak melatih bagaimana cara renang yang baik. Kayaknya semua teori yang diajarkan di kelas, selalu tak pernah berfungsi buat mereka. Karena setibanya di kolam renang, mereka semua punya gaya berenang yang seragam. Gaya berenang di kali. Yang penting bisa ngambang dan jalan.
Beberapa menit kemudian, Lupus mulai jenuh bermain polo air. Dia langsung naik ke atas kolam. Ceritanya mau latihan loncat indah. Maka dengan gaya 'bak Tarsan kota, pakai teriak 'auoooo...' segala, dia langsung meloncat ke kolam. Tapi entah karena salah perhitungan atau memang nggak bakat renang, walhasil dadanya duluan yang menampar permukaan air. Wih, sakitnya! Tapi bukan Lupus namanya kalau begitu mudah menyerah. Maka sekali lagi dia naik ke tepian kolam. Tapi belum sempat melompat, seseorang mendorongnya dari belakang. Begitu cepat, sehingga Lupus kaget, dan tulang keringnya "terbentur keras di tepi kolam. Lupus meringis kesakitan sambil terjatuh ke dalam kolam.
Dengan susah payah dia naik ke atas kolam, dan memandang sekelilingnya. Siapa tadi yang begitu nakal telah mendorongnya" Tapi tak seorang pun yang patut dicurigai, karena masing-masing lagi asyik sibuk dengan permainannya. Dengan terpincang-pincang, Lupus pun mengambil handuknya dan beristirahat di bangku kosong.
Sebentar kemudian, dia melihat Anto, anak pendiam itu" duduk di bangku atas sambil asyik dengan kekerannya (atau istilah kerennya "teleskop binokular). Dia memang nggak pernah ikut berenang. Katanya takut kena air. Kayak kambing aja. Kebalikan dari Lupus. Lupus kalau melihat air bawaannya kepingin berenang melulu. Keturunan bebek kali.
Si Anto ini dari tadi kerjaannya memang meneropong cewe
k-cewek yang lagi berenang. Dari Jumat ke Jumat, saat anak -anak yang lainnya pada asyik berenang, dia malah asyik mengatur strategi untuk mengintip. Gila bener anak itu! pikir Lupus. Makanya kalo orang pendiem itu kadang memang patut dicurigai. Apalagi yang sok frigid macam si Gusur. Pura-pura dingin, pura-pura menolak, nggak taunya... hehehehe, di kolam renang pada ketauan belangnya. Mending kayak Lupus yang terus terang begitu.
Lupus dengan terpincang-pincang segera menghampiri bangku Anto.
""Eh, kamu lihat nggak Siapa yang tadi ngejorokin saya ke kolam"" tanya Lupus agak penasaran.
"Jangan nuduh dong! Emangnya saya tau"."
"Duile, ditanya begitu aja." Lupus jadi keki.
Tapi keduanya mulai asyik bergantian meneropong. Sampai akhirnya Anto punya usul bagus.
"Kita ke ruang ganti baju cewek yuk" Asyik lho, bisa ngintip!"
"Idih! Kalo ketauan gimana""
"Ah, enggak bakalan deh. Ayo. Mau nggak""
Lupus nurut. Dan ternyata di sana udah ada Boim, Gusur, Andy, dan Irvan. Buset, kalah cepat rupanya. .
Tapi mereka semua belum berani masuk.
"Kamu aja, Pus, masuk duluan.. Kamu kan kurus, bisa dengan aman bersembunyi di pilar-pilar tanpa kelihatan. Cepetan!" Boim merayu.
Lupus yang dasarnya memang suka nekat, mau aja disuruh. Dengan lagak bak teroris profesional, dia menyusup masuk ke dalam kamar ganti.
Tapi sedetik kemudian anak-anak di luar mulai ribut, "Bahaya! Sekelompok anak kelas sosial datang!" pekik Anto. Mereka pun berlarian ke segala penjuru. Tinggal Lupus yang panik, berdiri berada di ruang ganti cewek. Tak ada jalan lain, dia pun langsung masuk ke salah satu kamar ganti terdekat. Dan mengunci pintu dari dalam rapat-rapat.
Terdengar suara cewek-cewek di luar. Berteriak-teriak ribut sekali. Sambil berebut masuk ke kamar ganti baju di sebelah kanan dan kiri.
Kamar ganti baju itu seperti WC- WC bioskop. Bagian bawahnya agak terbuka, Lupus hampir menahan napas tak berani berkata-kata.
"Hm, rupanya ada yang duluan masuk ke sini, ya" Halo, siapa di dalam" Yanti, ya" Ikutan masuk dong!" terdengar suara seorang cewek di luar menggedor-gedor pintu kamar ganti yang ada Lupusnya. Tentu saja kalau bukan dalam suasana gawat begini, Lupus dengan senang hati mau membukakan pintu untuk mengajak cewek itu masuk. Tapi sekarang" Dalam suasana gawat begini, mana berani" Bisa-bisa diteriaki gadis-gadis sekelurahan. Makanya Lupus tetap diam.
Lama sekali. Canda-canda itu belum reda juga.
Dan Lupus belum berani keluar. Sibuk komat-kamit baca doa. Boro-boro deh mau ngintipin cewek yang ganti baju. Ngomong aja nggak sanggup. Itulah, niat-niat yang nakal pasti nggak pernah diridhoi Tuhan. Lupus mulai mengutuki teman-temannya yang di luar. Yang bisa berlari dengan aman. Sedang dia terjebak di dalam.
Sudah lebih dari lima orang mengetuk-ngetuk pintu Lupus, tapi Lupus belum berani bergerak.
"Siapa sih yang di dalam" Lama amat" Lagi nge-bom ya" Jangan di situ dong!"
Sampai akhirnya suasana jadi sepi. Lupus dengan menajamkan pendengarannya mulai membuka pintu perlahan. Tapi suara bisikan dari kamar sebelah cukup membuatnya kaget dan menutup pintu kembali dengan cepat.
"... Jadi kamu tadi yang ngejorokin si Lupus ke kolam" Kok gitu sih"" terdengar suara pelan dari sebelah.
"Sst... jangan bilang siapa-siapa, ya" Saya malu. Saya tadinya iseng aja mau godain anak lucu itu. Tapi nggak taunya malah jadi celaka. Sedih deh. Saya kasihan melihatnya jadi terpincang-pincang begitu. Tapi, saya juga nggak berani minta maaf saat itu. Takut dianya marah lalu membenci saya. Gimana ya sekarang cara minta maafnya" Tadi saya cari-cari dia sudah nggak ada di kolam renang. Barangkali langsung pulang, karena kakinya sakit. Wah, saya menyesal sekali!" terdengar suara cewek yang satunya.
"Itulah, makanya kalo bercanda jangan keterlaluan. Dan harusnya kamu bisa berjiwa besar. Mengakui kesalahanmu. Mengakui kesalahan memang perbuatan yang paling berat. Korban perasaan, harga diri. Tapi percayalah, kalau terbiasa untuk berani mengakui kesalahanmu, nantinya kamu akan menjadi seorang yang berjiwa besar!"
"Dia pun mengintip! O... Dewi dengan Ani. Siapa di antara
mereka yang mendorongnya ke kolam"
*** "Hening sejenak. T api tak lama, terdengar lagi suara cewek itu. "Oke deh, saya akan coba. Yuk, keluar. Udah pada pergi semua tuh!" Dan kemudian terdengar pintu dibuka, disertai langkah-langkah kaki yang berjalan menjauh. Lupus jadi penasaran, ingin tau siapa yang berbicara tadi.
"Lupus saat itu lagi asyik dengan bakso panasnya di tukang jualan yang pada mangkal di sekitar halaman kolam renang. Semen tara anak-anak yang lainnya juga asyik dengan jajanannya masing-masing. Hanya Gusur yang bagai pengamen murahan, berpindah-pindah dari satu gerobak ke gerobak lainnya. Bukannya mau nyanyi, tapi nyomotin bakso orang yang lagi meleng.
Saat itu pula Dewi duduk di sebelah Lupus.
Lupus pura-pura cuwek. Jadi ini toh makhluk yang tadi ngejorokin dia ke kolam. Hm, ceritanya dia mau minta maaf.
"Saya kirain kamu udah pulang. Gimana kakimu tadi" Masih sakit""
"Ooo, masih dong. Barangkali tulangnya patah. Soalnya sampe nggak bisa dibawa jalan tuh!"
"Ah" Segawat itukah"" Dewi terkejut.
"Ya, mungkin saja. Soalnya benturannya keras sekali. Eh, kamu tau nggak siapa yang ngejorokin""
Dewi diam. Hatinya kecut.
"Kalau saya ketemu orangnya, awas saja!" suara Lupus mengancam.
"Eh... mau kamu apakan" Diajak berantem""
"Ya, kalau saya berani. Hehehe. ... Eh, tampangmu kok aneh begitu" Ada apa""
""Ah, enggak!" Dewi menjawab cepat. Sementara tangannya sibuk meremas-remas sapu tangannya. Gelisah sekali dia. Lupus hampir geli menahan ketawa.
"Harusnya orang itu cukup berjiwa besar untuk mengakui kesalahannya. Saya benci melihat orang-orang yang pengecut!" Lupus seperti menggumam.
Dewi makin kecut, lalu berdiri hendak pergi.
"Hei, mau ke mana"" tahan Lupus cepat-cepat. "Tentu saja kalau kamu yang berbuat saya nggak benci. Suka, malah."
Dewi terkejut dan memandang heran kepada Lupus.
"Kamu tau""
"Makanya, jadilah orang yang berjiwa besar. Untung saja saya yang kamu rugikan. Kalau orang lain ""
Dewi tersenyum. "Dan bagaimana dengan kamu" Apakah kamu cukup berjiwa besar mengakui kesalahan kamu menyelinap masuk ke kamar ganti cewek""
Gantian Lupus yang kaget.
"Eh, kamu kok tau""
"Apa sih yang saya nggak tau" Ayo, saya bilangin cewek kamu ya...."
"Eh, jangan!" Lupus pun langsung mengejar Dewi yang berlari menjauh. Saat itu sakit di kakinya hilang seketika.
9. Sirik Lu! PALING keki punya temen yang suka sirik. Yang cenderung ngiri kalau ngeliat orang lain sukses. Yang selalu merasa terganggu kalau ada orang lain hidup senang. Nggak sulit kok menandai orang sirik macam begitu. Kalau misalnya kamu merasa terganggu ngeliat kucing tidur nyenyak di pinggir jalan, sehingga bawaannya kepingin menendang kucing itu jauh-jauh, atau kalau kamu merasa jengkel ngeliat dua orang temanmu bergandengan tangan dengan akrabnya menyeberangi jalan raya depan sekolah, tandanya kamu berbakat jadi orang sirik.
Dan celakanya, Lupus punya temen yang kayak begitu. Sekelas, lagi. Namanya Andy. Dia itu kalau udah nyirikin orang, buset deh, setan pun sampai ngeri dengan kesirikannva. Bayangin aja, dia tahan enam jam berturut-turut ngatain orang lain. Kayaknya dia yang paling sempurna sendiri. Orang lain dianggap nggak ada yang sempurna.
Gimana nggak nyebelin tuh!
"Saya sering baca tulisanmu, Pus. Terutama cerpen-cerpenmu. Dan saya sering merasa bingung sendiri, apa redakturnya nggak salah pilih tuh" Bayangin aja, saya sama sekali nggak bisa memetik apa-apa dari tulisan-tulisan yang kamu buat. Apa yang bisa kamu berikan lewat tulisan-tulisanmu itu" Semuanya nol besar!" suatu pagi Andy sudah mulai cari setori lagi.
Lupus yang dasarnya memang nggak mau kalah, kontan aja berkomentar, "Jangan kamu tanyakan apa yang bisa saya berikan lewat tulisan saya kepadamu, tapi tanyakanlah apa yang bisa kamu berikan kepada tulisan saya. Wasalam."
Andy makin sirik. Tapi ya biarin aja. Ngeladeni orang sirik sama aja dengan menjelaskan mekanika sama tukang becak. Sia-sia aja. Jadi ya emang nggak perlu diacuhin. Makin dipikirin, makin suka dianya. Mendingan kayak Lupus itu. Dia nggak pernah tersinggung kalo disirikin orang. Cuma kadan
g-kadang aja dia jadi rada susah tidur siang. Itu juga bukan karena mikirin, tapi ya emang nggak ngantuk aja.
Dan Andy memang paling klop kalau sudah ketemu sama Ruri. Sama-sama suka sirik. Kalau mereka berdua sudah ngomong, wah seru sekali. Kayak dengerin siaran pertandingan sepak bola di radio. Nggak ketauan lagi deh, mana yang bo'ong, mana yang jujur. Dan biasanya bisa berlangsung lama sekali. Kadang kalau hari sudah terlalu larut, dan mereka merasa perlu tidur sejenak, mereka baru berhenti nggosip dengan janji besok hari, pagi-pagi sekali, mereka akan meneruskan obrolannya. Mereka kadang duduk sebangku di depan tempat duduk Lupus. Dan kalau pas pelajaran menggambar, yang memang agak santai. mereka sering kedapetan lagi asyik nggosip. Lupus suka iseng ikutan nguping.
Biasanya Ruri yang memulai, "Eh. kamu ternyata bener, Dy, saya nggak nyangka kalau Wulan yang berwajah lebar itu mempergunakan kecantikan wajahnya untuk memikat oom-oom bermobil mewah."
"Lho, abis kamu kira untuk apa" Untuk main bola" Yang bener aja dong. Mana muat" Kalau untuk lapangan golf, ya mungkin saja bisa. Asal mukul bolanya jangan keras-keras. Tapi ngomong-ngomong, gimana kalau untuk landasan pesawat terbang aja" Kan asyik tuh, nggak usah jauh-jauh ke Cengkareng kalau mau ke luar negeri," Lupus nyeletuk dari belakang.
Mereka berdua cuwek aja. Udah tau adat Lupus. Malah meneruskan obrolannya, "Saya nggak bisa membayangkan, kok ada orang yang mempergunakan kecantikan wajahnya hanya untuk itu...."
"Saya juga tidak. Masak iya ada orang yang mengira wajah selebar Wulan untuk lapangan sepak bola""
Andy dan Ruri kesal, dan menoleh berbarengan.
"Yang lucu boleh pulang!" bentak Ruri.
Lupus juga sebel sama tingkah Ruri. Kalau lagi berolahraga di sekolah, dia suka memakai kaus yang tanpa lengan (itu lho model kaus you can see). Geli ngeliatnya. Apalagi pas giliran senam yang pakai angkat-angkat tangan segala. Lupus pernah secara nggak sengaja berdiri dekat-dekat Ruri yang lagi asyik bersenam-ria pake kaus you can see. Kontan aja Lupus kehilangan napsu makannya tujuh hari tujuh malam. Shock berat dia!
"Dasar anak-anak esema ini pada kuno semua. Nggak tau kemajuan zaman. Nggak tau mode. Masak pakai kaus you can see aja pada shock!" gerutu Ruri suatu ketika.
"Bukannya pada ketinggalan zaman. Cuma kamu aja yang mungkin nggak tau kalau sekarang ada model kaus yang lebih moderen lagi dari itu. Dan kayaknya cocok buat kamu. Kenapa nggak coba"" jawab Lupus.
"O ya" Kaus model apa itu""
"You can see everything...."
*** "Tapi toh Lupus sempet keder juga karena kesirikan Andy. Pasalnya ketika Rina, cewek yang kini memang intim dengan Lupus, mogok nggak mau ikutan lomba baca puisi. Padahal biasanya Rina begitu tabah, keras kepala, dan berani. Seperti ketika ngritik Mapras waktu itu. Dan kini ceritanya Rina mau ikutan lomba baca puisi ulang tahun SMA Merah Putih. Lupus sudah menjanjikan mau bikinin puisinya, tapi mendadak Rina mengundurkan diri.
"Abis gimana nggak kesel" Si Andy dan beberapa temennya ngatain saya terus!" Rina manyun.
"Ah, masak omongan Andy aja ditanggapin" Orang kan memang lebih gampang ngeliat kesalahan orang lain, daripada kesalahan sendiri. Apa kamu pikir dia lebih bagus baca puisinya daripada kamu""
Tak pelak, Lupus pun perlu berjuang setengah mati ngerayu Rina untuk tetap ikut lomba baca puisi. Soalnya, katanya, Lupus udah terlanjur bikin puisinya. Dan dia memang nggak bisa kalau harus membawakannya sendiri ke panggung di depan orang-orang. Bukannya grogi, tapi dia emang nggak suka aja jadi bahan tontonan. "Serasa topeng monyet," katanya. Tapi untuk memberi kan puisinya kepada Gusur, seniman sableng itu, juga nggak mungkin. Lha dia kalau baca puisi kan kebanyakan improvisasinya. Katanya biar lebih menjiwai isi puisi itu, tapi jadinya malah seperti nonton topeng monyet beneran. Nggak seru ah.
Tapi untunglah, rayuan Lupus berhasil. Lupus pun berjanji akan memberikan puisi beberapa saat sebelum lomba. Soalnya sekarang masih belum jadi.
*** Sehari sebelum lomba dimulai, kala Lupus menyerahkan puisinya, Rina marah-marah.
"Apa-apaan nih" Kok bikin puisinya norak banget" Nggak mau ah!"
"Lho, ini bagus, Rin. Ini puisi yang jujur. Nggak dibuat-buat. Langsung dari inner feeling saya. Dan kamu harus selalu percaya pada inner feeling. Soalnya dia nggak pernah bohong. Gimana" Nama kamu sudah terdaptar lho!"
""Ah, kamu selalu membuat saya terjepit...."
Dan lomba baca puisi pun dimulai Rina tampil sebagai peserta kelima. Puisinya tampak aneh sendiri. Dan tentu saja mendapat teriakan-teriakan dari para penonton. Apalagi ditambah dengan penampilan Rina yang kayak orang kedinginan. Gemeteran.
"Kala rembulan dipagut malam
Hatiku resah digulung bimbang
(Baru dua baris pertama, penonton sudah teriak -teriak dengan serunya, wooooo....)
Kusendiri termenung diam Menanti kekasih tak kunjung datang
(Teriakan semakin seru, ada yang tertawa gila-gilaan. )
Uhu uhu hu..., dengarlah tangisku, Dinda
Betapa pilu mengalun sunyi
(Tak disangka, semua penonton ikut-ikutan menangis dengan serunya. Ngeledekin Rina tentu saja. Suasana jadi kayak orang berkabung. )
Kama hanya dikau pujaan Kanda
Yang datang di setiap mimpi
0, Mas Gatotkaca Bawalah daku melayang padanya


Lupus Cinta Olimpiade di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Daripada di sini kubersimbah air mata
"Teriakan makin seru, Rina jadi nangis beneran. Dia berlari ke belakang. Lupus yang memanggil-manggil tak digubrisnya.
""Wah, selamat ya, Rin. Kamu sukses," sambut Lupus ceria.
"Sukses apa" Kamu bikin saya malu. Puisi itu, saya kan udah bilang, isinya norak. T api kenapa kamu maksa saya untuk membacanya" Biar saya diketawain anak-anak satu sekolah ya" Begitu""
Rina terisak-isak. "Lho, tapi kamu kan yang paling mendapat sambutan hangat" Jangan pernah berpikir bahwa penilaian juri, atau orang-orang ahli lainnya adalah mutlak benar. Justru penilaian yang sesungguhnya ada pada penonton. Bagaimana mereka begitu ikut terbawa, sehingga histeria massa terjadi. Dan kamu kan sudah mendapatkan itu" Iya nggak" Makanya jangan nangis dong."
"Ah, kamu sok tau! Saya benci. Pokoknya musuhan!"
"Aduh, Rin,. jangan gitu dong. Beneran deh, saya lebih rela kehilangan duit gocapan daripada kehilangan kamu. Sumpah. Demi Tuhan."
Rina makin sengit. *** "Bisa ditebak, pas pengumuman pemenang, puisinya Lupus tewas dengan sukses. Dan bisa ditebak pula, siapa yang paling bersuka cita dengan kegagalan Lupus. Siapa lagi kalau bukan Andy. Dia langsung nyamperin Lupus.
"Nah, apa lagi komentar Anda, Pus" Apa yang bisa diharapkan dari puisi norak kamu itu" Yang hampir bisa ditulis oleh tukang becak sekalipun kala dia sedang kasmaran. Puisi cengeng, murahan, tai kucing. Kenyataan berbicara. Puisimu kalah. Masuk nominasi pun enggak. Tapi kalau kamu kirim ke majalah, pasti deh dimuat. Huh, permainan macam apa pula ini" Terbukti skandal-skandalmu. Gimana" Masih mau membela diri""
"Membela diri" Untuk apa" Saya justru ingin berterima kasih padamu, karena saya anggap Rina bisa sukses dengan puisi itu. Terbukti, dia mampu memancing histeria massa. Iya nggak" Dan belakangan ini saya emang lagi nyari-nyari kamu. Mau bilang terima kasih. Soalnya puisi yang dibaca Rina itu kan puisi karya kamu. Masak lupa sih" Saya menemukannya di buku Rina yang kamu pinjem waktu dulu itu. Bagus lho, puisinya. Kamu ada bakat. Sayang waktu itu Rina nggak tau dan nggak membacanya, jadi misi kamu untuk mendapatkannya gagal total. Tapi lepas dari itu, saya nggak ngira, kamu ada bakat bikin puisi juga. Teruskan aja bakatmu itu, Dy...."
Wajah Andy mendadak merah padam. Pantesan aja saya pernah baca puisi itu sebelumnya, pikir Andy gelisah. Dan ketika Lupus hendak pergi, Andy menahannya.
"Eh..., tapi apa Rina tau kalau itu puisi saya"" tanya Andy cemas.
Lupus tersenyum, "Jangan kuatir, dia tak bisa memaafkanmu lagi...."
10. Met Ultah Ya, Pus....
"JAM tujuh pagi. Lupus terjaga dari tidurnya, dan kaget setengah mati ketika mendapatkan hari telah siang. Oh, God, terlambat lagi! Padahal jam pertama nanti ada ulangan fisika. Dan semalam, Lupus bela-belain belajar sampai mitnait. Makanya sekarang terlambat bangun. Padahal sebelum tidur, dia sudah memasang weker ajaibnya agar bisa terbangun pukul enam pagi. Dan weker itu mem
ang berbunyi, dan Lupus ya juga terbangun. Tapi cuma sebentar. Cuma untuk mematikan weker yang berisik banget itu untuk kemudian menerus kan tidur.
Jadi buat apa memasang weker"
"Ya buat membangunkan saya yang tertidur, untuk kemudian mematikan bunyi weker tersebut. Masa nggak tau, sih" Setelah itu mau tidur lagi kek, atau mau langsung cibang-cibung, ya terserah saya dong!" begitu kira-kira jawaban Lupus.
Tapi siapa yang mau disalahkan" Saat itu di luar memang turun hujan dengan derasnya. Membuat udara menjadi begitu dingin. Begitu enak untuk menarik kembali selimut tebal dan meneruskan tidur. Seandainya sekolah sudah berakhir, dan semua anak sekolah bisa bangun siang-siang alangkah senangnya!
Dan Lupus. sempat keki juga. Soalnya sebelum tidur tadi malam, dia sempat menempelkan kertas besar di pintu kamarnya, nulis pesan buat Lulu agar dibangunkan pagi-pagi. Tapi kenyataannya adiknya itu tidak membangunkan. Ke mana makhluk sialan itu" Lupus segera membuka pintu kamarnya dan melongo membaca tulisan gede di bawah pesan yang ditulisnya semalam. 'Bangun, Pus, hari sudah siang. Katanya mau berangkat pagi - Lulu.'
"Luluuuuu....!" teriak Lupus keras-keras.
Pembantunya yang sedang membersihkan kamar sebelah, sampai tunggang langgang ketakutan. Kaget berat doi!
"Apaan sih pagi-pagi teriak-teriak begitu!" Lulu muncul sambil makan roti. Mulutnya belepotan coklat.
"Kamu kan tau, bukan begini cara ngebangunin orang!" sahut Lupus dongkol sambil menarik kertas yang ditempel di pintu.
"Habis, siapa suruh pintunya dikunci! Saya udah gedor-gedor, tapi kamunya nggak bangun-bangun!"
Lupus pun dengan cepat masuk kamar mandi. Mandi sebentar, lalu langsung berpakaian. Beberapa saat kemudian, dia sudah siap dengan tas sekolahnya. Mau langsung cabut. Lulu yang saat itu masuk siang, menahannya, "Eh, Pus, minum dulu dong kopinya. Biar nggak ngantuk. Saya lho tadi yang bikin. Spesial untuk kamu. Coba bayangkan, betapa baiknya saya...."
Lupus langsung menyambar kopi yang disodorkan Lulu dan meminumnya.
"Bah-rasanya kayak air sabun!" sahut Lupus sambil menjulurkan lidahnya.
"Sialan!" Dan dengan tergesa-gesa Lupus langsung mencari becak di depan gang.
**** Tapi memang kalau orang lagi sial, biasanya ya keterusan sialnya. Buktinya sekarang bis yang menuju sekolah Lupus belum datang juga. Padahal sudah jam tujuh seperempat. Hanya ada waktu seperempat jam lagi untuk tidak terlambat. Mana guru fisika Lupus galak sekali. Namanya Pang"ribuan (bisa ditebak senditi deh, orang mana dia itu. Yang jelas bukan orang Jawa, lho!). Tapi anak-anak biasa memanggilnya dengan sebutan keren, Mister Punk. Orangnya tinggi, gede, item, dan kagak kece. Kalau marah, suaranya bisa menggelegar kayak halilintar. Sementara matanya seperti mata elang, menatap dari balik dahinya yang menonjol. Wah, pokoknya kayak Fankeinstein deh! Nggak ada anak murid yang berani ngelawak dalam pelajaran dia.
Dan kini Lupus malah terlambat masuk. Ulangan lagi.
Tok-tok-tok. Terdengar suara ketukan di pintu kelas.
"Mazuk!" perintah tegas dari Mr. Punk hampir mengagetkan seluruh siswa yang asyik dengan soal-soal fisikanya.
Kepala Lupus muncul dari balik pintu. Diikuti oleh pandangan seisi kelas. Lupus tersenyum lebar, tapi Mr. Punk tidak. Dia malah melirik ke jam tangannya. Jam delapan lewat dikit. Betapa nekatnya anak yang satu ini. Biasanya kalau murid sudah terlambat setengah jam dari bel masuk, tidak akan berani masuk ke kelas. Dan Mr. Punk yakin, jam tangannya tidak meleset, meski biasanya kadang memang telat beberapa menit. Tapi setidak-tidaknya tadi pagi, sebelum berangkat mengajar, dia sudah mencocokkan jam tangannya dengan tetangga sebelah. Jadi nggak mungkin salah lihat.
"Maaf, Pak, saya terlambat. Habis lalu lintas macet...," kata Lupus malu-malu.
"Hm, lalu lintaz tak pernah macet. Kau pazti bohong. Yang macet itu pazti mobilnya. Tapi zudahlah. Ziapa namamu" Lupuz, ya""
Mr. Punk memang selalu menyebut huruf 's' dengan bunyi 'z'. Mungkin di kampungnya jarang ada es. Makanya item begitu. Haus melulu.
"Ya, Pak. Nama saya Lupus."
"Ya, zudahlah. Cepat .duduk zana dan ker
jakan zoal ulanganmu yang di papan tuliz itu. Ingat. waktunya tidak banyak. Itu kan zalahmu zendiri .."
Lupus segera mengambil tempat duduk dan mulai mengerjakan soal-soal ulangan itu.
Jam 08.20. Lupus masih kebingungan menekuni soal-soal ulangan fisika. Baru satu dari empat soal yang diberikan yang dapat dikerjakan dengan baik. Sisanya, masih tanda tanya besar. Sialan, padahal semua rumus itu semalem sudah dihapalkan. Tapi, kok lupa lagi" Mana mata rasanya sepet banget. Nggak bisa terbuka lebar.
Lupus mencoba mencari bantuan ke sekelilingnya. Matanya berputar-putar bak maling profesiona!. Hampir semua anak lagi asyik dengan contekannya. Ada yang terselip di lipatan lengan baju, ada yang di balik rok, ada yang nekat di balik kertas ulangan. Tetapi, tetap aja wajahnya menunjukkan kebingungan. Karena fisika memang pelajaran paling menyebalkan. Sudah tahu rumusnya, belum tentu bisa mengerjakan. Makanya Lupus suka kagum berat sama Einstein yang jago fisika itu.
Pilihan pun jatuh ke tetangga sebelah. Saat itu Herumoko, yang duduk di sebelah, sedang asyik dengan contekannya.
"Her, tukeran dong kertas jawabannya. Saya baru ngerjain nomer satu dan tiga. Kamu yang lain bisa"" bisik Lupus pelan.
Heru. mengangguk, dan transaksi pun berlangsung. Tapi, seperti sudah dibilangin tadi, kalau orang lagi sial, memang suka keterusan sialnya.
Dan Mr. Punk pun melihat transaksi tadi.
"Langsung aja nyamperin bangku Lupus yang di belakang. Sementara Heru sudah ketakutan setengah mati.
"Nah, zekarang saya mau tanya. Bagaimana caranya kertaz ulangan Heru biza tranzmigrazi kemari" Apa kau pikir kertaz itu biza pindah dengan zendirinya"" tanya Mr. Punk galak.
"Tentu saja tidak. Anda kan tak hendak mengatakan bahwa kertas ini bisa ngungsi dengan sendirinya karena tertiup angin. Sebab di sini kebetulan memang tak banyak angin, " sahut Lupus berusaha tenang. Padahal, tau sendiri, jempolnya aja sampai mengerut ketakutan.
"Nah, "yukurlah kalau kau zadar akan hal itu. Dan kau tentu tahu hukuman apa yang akan kauterima" Oke, zilakan keluar. The sooner the better. "
Memang tak ada jalan lain. Lupus pun terpaksa keluar. Tak ada gunanya protes. Kamu tau, seorang guru itu punya kekuasaan absolut di kelas.
Di luar,. Lupus jadi mendadak ngetop. Anak kelas sebelah yang kebetulan lagi kosong pelajaran, langsung mengerumuninya. Langsung menanyakan soal-soal mana yang keluar. Sebab setelah kelas Lupus, kelas sebelahlah yang kebagian ulangan. Lupus jadi kebingungan sendiri. Ditarik ke sana kemari.
"Kamu jago juga, Pus. Bisa keluar duluan," puji Lia kagum.
Lupus cuma mengangguk-angguk.
""Kalau gitu, kasih tau dong jawabnya sekalian, biar nanti saya nggak bingung lagi...," rayu Lia.
"Aduh, gimana, ya" Kalau abis ulangan begini, pikiran saya suka mendadak suntuk. Nggak bisa mikir yang berat-berat. Jadi ya sori aja, ya""
Lia. cemberut, dan yang mengerubungi Lupus makin banyak.
"Leave me alone...," keluh Lupus sambil lari ke kantin.
*** Pas keluar main kedua, Lupus pun menghadap Mr. Punk di ruang guru. Ceritanya mau minta grasi supaya diperbolehkan ikut ulangan susulan.
"Hm, bolehlah. Tapi lain kali jangan nyontek lagi, ya"" kata Mr. Punk tegas. Lupus mengangguk. Dan ketika pelajaran terakhir, Lupus sendirian berada di kantor. Mengerjakan soal ulangan yang tadi. Suasana di ruang guru itu memang sepi, karena semua guru sibuk mengajar.
Dan saat Lupus lagi mati-matian menyelesaikan soal-soal ulangannya, tiba-tiba seorang pesuruh masuk. Membawa tumpukan kertas ke meja Mr. Punk. Lupus yang lagi ngerjain soal di meja besar, segera menyapanya, "Eh, Pak. Bapak bawa apaan tuh""
""Enggak tau nih. Kertas-kertas titipan Pa"k Pangaribuan. Katanya disuruh disimpan di mejanya."
"Oo..., kertas hasil ulangan, ya" Taruhnya di sini aja, Pak. Saya memang yang dipesan menjaganya," kata Lupus ramah. Padahal kamu tau, Lupus pasti bohong. T api bapak pesuruh itu memang nggak tau. Makanya dia nurut aja. Lalu ngeloyor keluar.
Lupus langsung memeriksa kertas-kertas jawaban ulangan tersebut. Hm, bekas ulangan anak kelas sebelah! Lupus segera mempelajari kertas jawaban an
ak terpintar. Kebetulan masalah yang diberikan sama, hanya soalnya dibikin agak berbeda sedikit. Maka dalam waktu beberapa menit saja, dia sudah bisa menemukan penyelesaian soal-soal ulangannya. Huh, ternyata kali ini nasib saya lagi mujur. Nggak sial melulu, batinnya.
Maka dia pun cepat-cepat membereskan tumpukan kertas jawaban yang diobrak-abriknya. Dan merapikannya di bangku Mr. Punk. Setelah itu, dia kembali ke mejanya. Pura-pura asyik mengerjakan sambil menunggu Mr. Punk kembali.
Jam 12.00. Mr. Punk memasuki ruangan guru. Mendapatkan Lupus yang tertidur di bangku pojok dengan asyiknya. Lupus memang ngantuk sekali setelah semalaman belajar.
"Hei, Lupuz. Bangunlah kau! Apa kau zudah mengerjakan zemuanya""
Lupus langsung terbangun, dan buru-buru menyerahkan kertas jawabannya sambil meminta maaf karena ketiduran.
"Mr. Punk memeriksa semua jawaban yang dikerjakan Lupus. Lalu mengangguk-ngangguk sambil tersenyum. "Hm, baguslah. Ternyata kau pintar juga, ya" Kenapa tadi " kau nyontek" Itulah kalau orang tidak punya percaya diri. . .. "
Lupus langsung tersenyum girang.
"Nah, kalau begitu kau toh tak keberatan menolong zaya, kan" Zaya ada perlu zebentar dengan Bapak Kepala. Tolong kau perikza hazil-hazil ulangan teman-temanmu yang menumpuk di zana. Biza, kan" Zaya percaya lah pada kemampuanmu!"
Lupus terkejut, dan hendak protes.
"Tapi, Pak, ini kan sudah waktunya pulang..."
"Alaaah, zebentar zaja, kok. Buat orang-orang zepintar kau itu kan mudah zaja. Paling beberapa menit lah. Oke, zelamat bekerja. Terima kazih banyak zebelumnya."
Lalu Mr. Punk pun keluar dari ruang guru itu. Meninggalkan Lupus dengan setumpuk kerjaannya. Lupus habis memaki-maki. Goblok, kenapa tadi kertas jawabannya dibikin betul semua" Wah, akhirnya kesialan itu datang terus. Padahal dia tadi sudah punya rencana sepulang sekolah mau beli sepatu kets baru di Blok M. Udah capek-capek ngumpulin duit, terpaksa ditunda lagi.
Ini memang hari tersial buat Lupus. Hari Senin sialan! Dan Lupus nggak akan pernah lupa.
*** "Jam 12.45. Lupus berjalan gontai memasuki kelasnya yang nampak sepi. Busyet, buku-bukunya masih berantakan di bangkunya. Tasnya juga. Lupus jadi mengutuki teman-temannya yang nggak solider. Ninggalin semua barangnya tanpa terurus. Lupus pun melangkah masuk. Membenahi buku-bukunya yang berantakan. Lalu memasuk-masukkannya ke dalam tas. Tak sengaja matanya tertumbuk pada tulisan besar di papan tulis: BUAT LUPUS, SELAMAT ULANG TAHUN. Lalu suara sorakan terdengar dari seluruh jendela.
Lupus kaget setengah mati. Dan dari balik bangku, balik pintu, balik jendela, bermunculan Boim, Svida, Poppi, Ruri, Andang, Anto, Irvan, dan semua teman sekelasnya. Bersorak-sorak, "Horee... horee.... Ulang tahun ni ye."
Lupus jadi terharu sekali. Ya, Tuhan, dia sendiri lupa kalau dia ulang tahun hari itu. Ya, dia memang pelupa. Tapi semua temannya nggak lupa. Dan Lupus yakin, ibunya dan adiknya pasti sedang menyiapkan surprise besar buatnya setiba dari sekolah nanti.
"Selamat ya, Pus! Makan-makan dooong!" mereka pada berebutan mengucapkan selamat. Lupus jadi sibuk menghapus air matanya yang nekat mengalir. Ya, saya akan mentraktir semua anak. Biarlah nggak jadi beli sepatu kets yang diidamkan. Yang penting semuanya harus berbahagia hari ini, batin Lupus.
"Dan surpraise terbesar terjadi ketika Poppi datang membawa kue ulang tahun yang besar. Yang bertuliskan nama Lupus.
"Selamat ulang tahun, Lupus. Kita bersahabat lagi sekarang...."
Lidah Lupus terasa kelu. Tak bisa mengucapkan apa-apa. Hanya matanya yang menatap penuh haru. Dan tangannya yang kecil menyambut uluran tangan Poppi.
"Ya, Poppi. Kita sekarang bersahabat lagi. Tak ada yang lebih indah dari itu...."
Anak-anak pun bersorak-sorak riang.
"Kita ke mana nih makannya"" sahut Boim.
"Ke rumah saya aja. Siapa tau ibu saya sudah menyiapkan makanan yang banyak, " jawab Lupus.
Semua setuju. Dan Mr. Punk muncul di pintu. Terheran - heran melihat anak-anak kelas Lupus belum pada pulang. Malah pada sibuk bersorak-sorak.
"Hei, ada apa ini""
"Ini lho, Pak. Lupus kita ulang tahun," sahut Svida rian
g. "Ha" Makan bezar rupanya kita. Kupikir ada kapal meledak. Rupanya kawan kita ulang tahun. Zelamat ya, Puz."
Lupus menyambut ucapan selamat dari Mr. Punk. Dan mereka pun berduyun-duyun ke rumah Lupus. Irvan dan Roni sudah menyiapkan dua mini-bis. Semua ikut, tak terkecuali Mr. Punk. "Semua bernyanyi gembira sepanjang jalan, meski duduk berjejalan serasa sarden.
*** Di rumah, ibu Lupus tak mengira bakal kedatangan tamu sebanyak itu. Makanya makanan yang memang dipersiapkan untuk ultah Lupus kurang. Lupus segera menyuruh Lulu, yang kebetulan bolos sekolah, membeli makanan di restoran terdekat. Lupus memberikan semua uangnya.
Dan siang itu Lulu berlari-lari ke restoran. Selalu deh, kalau seseorang itu lagi happy, pasti ada orang lain yang merasa sedih. Ya si Lulu itu. Bayangkan, siang-siang panas-panas begini asyik jogging ke restoran.
Tapi Lulu rela. Dia senang bisa memberikan sesuatu kepada kakaknya yang tercinta di hari bahagianya. Met uhah ya, Pus....
tamat Persekutuan Tusuk Kundai Kumala 17 Putri Bong Mini 06 Rahasia Pengkhianatan Baladewa Mantra Penjinak Ular 1
^