Pencarian

Cinta Olimpiade 1

Lupus Cinta Olimpiade Bagian 1


LUPUS CINTA OLIMPIADE Download Ebook Jar Lainnya Di
http://mobiku.tk http://inzomnia.wapka.mobi
1. CINTA OLIMPIADE LULU ge-er. Malam minggu kemarin dia maksa ikut Lupus pergi.
"Bawalah daku pergi, Pus. Ke mana aja..." rujuknya. Gombal sekali. Lupus jelas jadi rada bingung. Wong mau ngapel kok malah disuruh bawa adik"
"Kamu ngapain ikut" Pingin tau orang pacaran ya""
Lulu tak menjawab. Tetap aja maksa ingin ikut. "Pokoknya saya harus keluar rumah!"
Gila, anak ini memang keras kepala. Segala keinginannya harus dituruti. Tapi keinginan untuk keluar malam bukan hal yang biasa direwelinnya. Tiap malam minggu, dia jarang terlihat keluar rumah. Malah mendekam di kamar sambil asyik dengan boneka-bonekanya. Tak pernah mau kalau diajak teman-temannya kelayapan. Apalagi ke diskotek. Padahal remaja seusia dia, sudah termasuk wajar kalau mulai suka gila-gilaan di luar rumah.
Jadi kali ini pasti ada apa-apanya.
"Iya, ya" Ada apa-apanya, ya" Ayo, terus terang aja. Apa kamu udah kepingin pacaran" Udah kepingin belajar keluar malam" Hati-hati lho, nanti masuk angin. Kasihan ibu kalau besoknya disuruh ngeroki kamu"" ledek Lupus.
Lulu tetap diam. Kali ini dia malah maksa ibunya. "Ayo dong, bu, sekali-sekali kita pergi. makan-makan kek, ke diskotek kek..."
Ibunya melotot. Wong sudah tua kok diajak ke diskotek"
"Nggak apa-apa, bu. Sekalian nyari jodoh. Siapa tau aja ibu masih laku."
"Hus! Tapi ibu memang mau pergi, dan kamu nggak bakalan mau ikut. Itu lho, tante Neli kan lagi di Jakarta. Dia menginap di rumah Oom Prap. Ibu mau ke sana. Gimana, mau ikut""
"Ikut!" jawab Lulu mantap. Lupus mendadak mengorek-ngorek kupingnya. Apa nggak salah denger nih" Kok Lulu mau-mauan ketemu Tante Neli yang cerewet banget itu" Ini sudah jelas. Pasti ada yang kurang beres.
Belakangan baru terbongkar. Ternyata dia lagi dikejar-kejar cowok. Dan cowok itu sudah janji mau datang malam minggu ini, meski Lulu sudah menolak keras. Dan itulah, akhirnya Lulu terpaksa harus melarikan diri. Tetapi setelah puas dalam pelariannya, dan kembali malam harinya, ternyata tak seorang pun yang datang. Sang pembantu yang mengatakan hal ini. Kontan aja Lupus ngakak. "Hulu...., ge-er. Makanya jangan girang dulu!"
"Sial, siapa yang girang"" maki Lulu garang
"Ayo, sudah malam. Jangan berantem lagi," seru ibunya dari ruang tengah.
*** Dan ternyata besok Minggunya pagi-pagi sekali saat kokok ayam jago belum lagi reda, cowok yang mengejar-ngejar Lulu itu datang. Lulu tak bisa menghindar, karena saat itu dia lagi asyik nyiram bunga di taman depan rumah.
"Maaf, dik Lulu, tadi malam saya nggak bisa datang," sapa cowok itu sopan sekali. Lulu tak bisa berbuat apa-apa. Tak bisa mengambil ancang-ancang untuk melarikan diri. Diam terpaku di tempat. Lupus yang mengintip dari jendela tidak bisa menahan tawa. " Cieee...., mesra ni yeee...!" teriaknya keras.
Lulu kaget dan menoleh dengan sengit. Cowoknya juga. Bujubune, pantesan aja Lulu begitu menghindarinya. Ternyata cowok yang ngejar-ngejar itu tipe cowok zaman rikiplik. Kadaluwarsa. Berkacamata tebal, bibir tebal, muka tebal (maksudnya nggak kenal malu, gitu!), sisiran rapi mengkilap. Pokoknya cocok jadi bapak idela.
"Hei, Lulu, kok temennya diangguri aja" Ajak masuk dong!" teriak Lupus lagi. Sekali lagi Lulu mendelik sewot. Dan ketika cowok itu lewat dekat jendela kamar Lupus, dia memberi salam dan mengangguk hormant. Lupus jadi nyengir, kayak kuda.
Tapi tipe cowok itu memang tipe cowok nekat. Dia dengan rela duduk sopan menunggu berjam-jam saat Lulu lagi ngambek, nggak mau keluar atau berlagak lagi pergi. Lulu sering memaksa Lupus untuk menemui atau menemani cowok itu kalau dia datang. Seperti malam minggu depannya ketika makhluk itu muncul lagi.
"Pus, sana gih temenin si Pinokio itu. Saya males, ngomongnya kayak bapak-bapak. Tentang masa depan melulu. Ih sebel! Sana cepetan. Atau bilangin saya lagi sakit perut...!"
"Wah sori, lu. Saya lagi sibuk!" sahut Lupus yang lagi asyik jaipongan gila-gilaan diiringi lagi Zoolook-nya Jean Michel Jarre di kamarnya.
Lulu makin empet. Dan cowok itu makin nekat. Kini datangnya suk
a bawa buah-buahan. Pisang, jeruk, apel, anggur. Wah, pokoknya segala macam deh. Lupus yang doyan makan itu, jelas keenakan. Dia yang tukang ngabisin semuanya. Sedangkan Lulu tak menyentuh sedikit-dikit acan.
"Idih, haram menikmati barang suapan!" maki Lulu ketus.
Lupus acuh saja. Tetapi sebenarnya dia kasihan juga kalau adiknya jadi nggak tenang begitu. Serba ketakutan. Meski sebetulnya bukan pertama kali buat dia untuk kenal cowok secara dekat. Dulu Lulu pernah kelihatan akrab dengan cowok teman sekolahnya. Tampangnya..., ya lumayanlah daripada kejeduk tembok. Lulu juga kelihatannya ngasih respons yang baik untuk cowok itu. Tapi kencan pertamanya berantakan gara-gara keisengan Lupus. Nggak tau apa karena Lupus keki sebab saat itu dia belum punya, atau memang lagi nakal-nakalnya (biasa, cowok!), yang jelas secara diam-diam dia meletakkan tip kecil miliknya di dekat kursi depan di mana mereka berdua nge-date. Secara otomatis, tip yang biasanya dipakai buat wawancara itu merekam semua percakapan Lulu dengan cowoknya. Dan bisa dibayangkan, betapa malunya Lulu ketika besok paginya Lupus memutar ulang hasil rekaman yang penuh rayuan-rayuan gombal itu di depan seluruh keluarga. Lulu ngamuk berat. Dia langsung mengacak-acak tempat tidur. Dan sejak saat itu tak pernah terdengar lagi kisah kasih tentang Lulu dengan cowok manapun. Sampai kejadian sekarang ini.
Makanya Lupus kasihan. Sebetulnya dia benar-benar nggak mau memperalat adiknya untuk menikmati hasil-hasil suapan itu. Dia hanya berprinsip seperti dulu : nggak mau ngecewain orang yang ngasih makanan. Tapi kalau ada maksud-maksud dibalik itu semua ya entar dulu. Bagaimanapun mengkomersilkan adik sendiri adalah perbuatan yang kurang baik. Oleh karena itu, pada suatu pagi, saat mereka berdua selalu bersama-sama berjalan ke tempat pemberhentian bis yang jauh, saat udara masih begitu bersih dan segar, saat bulan masih tersisa di barat (wi, puitis ni yel...), Lupus menawarkan jasanya untuk bicara dari hati ke hati dengan cowok nekat itu. Sebagai sesama remaja, sesama cowok. Asal saja Lulu punya alasan yang tepat untuk menolak cintanya.
"Bilang aja saya masih ingin belajar. Masih nggak mau terganggu oleh hal-hal seperti itu dan selebihnya bisa kamu karang sendiri. Kan kamu bisaan kalo bohong!" sahut Lulu.
"Sialan! Tapi kamu memang serius masih mau konsentrasi ke pelajaran kan""
"Iya dong! Kan sebentar lagi saya ujian esempe."
Dan sorenya Lupus langsung ke rumah cowok itu. Datang dengan sopan dan penuh kekeluargaan. Sehingga cowok itu pun bisa mengerti. Jawabannya pun terdengar sopan sekali, "Saya mengerti. Okehlah kalau memang belum saatnya bagi dia, saya akan menunggu. Sampai kapan pun. Sampai dia merasa siap. Sampai dia menyadari betapa saya sangat mencintainya. Kamu tau, biasanya cowok sekarang itu pandai mengobral cinta, sehingga membuat derita pada sang cewek. Tapi saya tidak. Cinta saya pada Lulu adalah ibarat api olimpiade yang tak kunjung padam...!"
Lupus hanya manggut-manggut. Bukannya ngerti, tapi ngantuk diceramahi begitu. Tapi dia toh senang, berarti masalahnya telah beres. Dan Lulu pun senang mendengar usahanya berhasil. Sebab sejak saat itu si pinokio itu tak pernah datang lagi.
*** Tapi Lulu tetaplah Lulu. Makhluk aneh yang Lupus pun tak bisa mengerti keinginannya. Sejak kejadian itu, dia sering melamun. Bengong sendirian di depan rumahnya. Lupus jadi curiga, apa adiknya telah kena pelet. Satu dua kali Lupus tanyai, adiknya nggak mau ngaku, tapi akhirnya dia buka mulut juga.
"Aneh, saya kok jadi mikirin si Pinokio itu. Saya kasihan. Dia telah begitu baik. Setelah ini berakhir saya baru mikir bahwa semua kata-katanya itu benar. Kata-kata yang selalu dia ucapkan kala dia datang kemari. Dia begitu penuh perhatian. Kamu tau. Pus, kalau saya butuh sesuatu, dak tak sengaja saya ucapkan di depan dia, besoknya dia sati membawa barang yang saya butuhkan. Buku pelajaran, rapido, cat air... dan saya jadi mersa hutang budi. Merasa dosa telah mengecewakan dia. Saya kasihan. Saya kok jahat, ya" Padahal bisa saja saya belajar mencintainya."
Lupus tertegun. "Enggak, Lu. Kamu salah kalau kamu memulai mencintai seseorang dari rasa kasihan. Kamu akan menyesal. Percaya deh. Oke, untuk beberapa saat kamu bisa mencintainya. Tapi selanjutnya kamu akan merasa terjebak. Ingin melepaskan diri tapi nggak bisa. Kamu masih terlalu kecil, Lu, untuk serius pacaran seperti itu. Kamu masih butuh banyak mencoba. Seseorang itu untuk memilih pilihan yang tepat, butuh menjajaki beberapa calon. Kita kan tak mungkin bisa menilai satu yang terbaik tanpa membandingkannya dengan yang lain. Makannya, Lu, kamu nggak salah. Teruskan aja menuruti apa kata hatimu. Dengan begitu kamu kan akan matang sendiri."
"Kamu emang pinter berkicau, Pus!" ledek Lulu gembira.
*** Lupus terbangun ketika matahari sudah mulai tinggi. Dia kaget dan langsung menyambar handuk untuk cepat-cepat mandi. Mandinya juga ala koboi. Asal cibang-cibung. Tapi ini mendingan, dia pernah saking nggak sabarannya, langsung jebur ke bak mandi.
Setelah berpakaian seadanya, dia duduk di meja makan untuk menghabiskan roti dan susunya. Saat itu Lulu sudah siap pamit. Lupus memaki, "kamu kok jahat gitu, Lu. Nggak bangunin saya. Kenapa sih""
Lulu cuwek. Setelah cium tangan sama ibunya dia ngeloyor ke depan.
"Eeeee... tungguin dong. Saya hampir kelar nih!" teriak Lupus sambil meneguk susunya. Mulutnya sampai belepotan. Tapi Lulu tetap ninggalin. Dan ketika Lupus menyusul ke depan, dia tertegun. Di situ Lulu sudah siap duduk di boncengan motor seorang cowok kece. Masih muda. Dan cowok itu mengangguk pada Lupus sebelum pergi. Lupus terbengong-bengong di pinggir jalan. Pantesan aja Lulu ninggalin. Dan dia pun dengan lesu menelusuri jalan. All alone. Tanpa seorang teman.
Di tikungan jalan, dia bertemu dengan seorang cewek yang asyik sendirian dengan motor bebeknya. Lupus pun dengan semangat menyetopnya.
"Eh, ikutan dong sampai ke depan!" sahut Lupus.
"Enak aja. Lu pikir gue tukang ojek!" maki cewek itu dan langsung tancap gas. Meninggalkan Lupus yang memaki-maki tak keruan.
2. MEMBURU BINTANG Aji masih berkutet di kamarnya. Bolak-balik mencobai semua bajunya. Yang kuning, hijau, putih... dan semua. Bolak-balik ke kaca. Dan kini, dengan baju kotak-kotak biru, dia seperti tak mengenali siapa yang di kaca. Siapa ya" Pikirnya norak. Soalnya jadi lain. Kece banget! Sementara Lupus yang keki kelamaan menunggu di luar, nggak sabar langsung melongokkan kepalanya ke jendela. Dan terbengong-bengong melihat Aji yang tak berkedip mengagumi dirinya sendiri di kaca.
"Duileee... muka kayak perabotan lenong gitu aja ngaca terus. Lama bener sih, ditunggui juga!" maki Lupus.
"Cerewet. Hampir kelar nih. Ngiri ya kalo saya kelihatan kece""
"Cepetan deh, kita berangkat. Kan harus ke Hai dulu pinjam tip kecil."
Aji mengangguk dan langsung menyambar kameranya. Dia sudah janjian mau diajak Lupus wawancara penyanyi yang baru naik daun. Kece banget. Makanya baik aji maupun Lupus benar-benar menjaga penampilan. Jangan sampai mengecewakan.
Setelah mengeluarkan pick-up-nya yang rada kadaluwarsa, Aji dan Lupus langsung bertolak ke kantor Hai. Menitipkan kartu pengenal pada resepsionis yang kece, dan langsung naik ke lantai tiga. Di sana suasananya masih seperti biasa. Rame. Ada yang asyik senam pagi, ada juga yang lagi terbengong berat nyari inspirasi. Semua anggota komplet, kecuali beberapa orang yang diculik dengan paksa untuk menggarap majalah baru.
Lupus langsung menuju ke bangkunya. Dan di sana, dia hampir menginjak Tia kecil yang sibuk buka-buka majalah di lantai. Buset, anak ini memang kecil sekali bodinya. Apalagi kalo lagi jongkok begitu, nyaris menghilang di balik tumpukan majalah-majalah. Bapaknya tega juga, masih kecil begitu kok sudah disuruh kerja" Tapi kalo diledek begitu, dia suka ngamuk dan langsung mengeluarkan KTP-nya. Ke mana-mana, termasuk kalau mau nonton film 17 tahun ke atas, dia memang selalu bawa-bawa KTP. Supaya pada percaya kalau dia itu umurnya sudah lumayan banyak. Soalnya dia sering ditolak masuk bioskop, nggak boleh ikutan nonton film orang gede. Malah disuruh pulang, cuci kaki dan langsung bobok. Tapi ada enaknya, kalau ke mana-mana dia in
i simpel sekali. Bisa berdiri tanpa membungkuk kalau metro mini-nya penuh, bisa dengan mudah menyusup ke bawah kolong kalau lagi main petak umpet, de el el. Dan ke mana-mana dia selalu membawa bekal dan termos plastik buat minum. Persis anak TK. Tapi dia itu orangnya baik kok. Suka bagi-bagi makanan ke orang. Apalagi kalau kamu iseng muji begini padanya," Eh, kamuu rada tinggikan deh sekarang..." Wah, pasti kamu langsung dikasih coklat. Coba aja. Tapi dia itu paling takut kalau duduk di meja. Soalnya pernah lagi enak-enakan duduk, ditawar orang. Dikira boneka pajangan. Abis lucu sekali.
Ya, itulah sedikit cerita tentang Tia kecil. Buat ngasih gambaran aja, supaya kamu bisa ngebayangin kalau dia itu ternyata lebih besar dari jempol kaki kamu.
Setelah menyiapkan segala macam yang diperlukan, termasuk minta film gratis dari mbak Sri. Lupus slonong boy pergi. Dan sempat mampir sebentar ke mejanya Mas Wendo yang belakangan menghilang entah ke mana. Mejanya nampak seperti biasa. Berantakan. Saingan sama rambutnya. Dan kunjungan Lupus ke mejanya itu bukannya karena kangen, lama nggak ketemu bos-nya itu, tapi karena di mejanya ada sekantong tahu goreng. Siapa tau bisa dirojer, gitu.
"Halo, Mas, lama nggak kelihatan. Sibuk ngurus sandiwara tipi, ya"" sahut Lupus manis, sementara tangannya bergerilya. Menyusup masup ke kantong tahu. Mas Wendo belakangan ini memang aktif di televisi. Ngajarin anak kecil bikin puisi dengan stil sok serius, tawa bikin beberapa naskah film seri tivi. Seperti ACI. Tapi bedanya dia dengan Michael Landon - yang juga dikenal dengan serial-serial tivinya. Mas Wendo orangnya jauh lebih rendah hati. Kalau Michael Landon suka ke-ge-er-an untuk melibatkan dirinya sebagai tokoh utama cerita yang diproduksinya; jadi bapak ideal, jadi malaikat penolong, dan sebagainya! Tapi kalau Mas Wendo cukup puas Cuma jadi tukang pukul bel sekolah.... hehehe. (Eh, jangan bilang-bilang ke dia ya, entar ngamuk..., atau malah suka")
"Kamu mau wawancara siapa, Lup""
"Itu... atlet angkat besi," jawab Lupus sembarangan. Sebab kalau dia jujur ngaku mau wawancara artis penyanyi yang kece, Mas Wendo suka maksa kepingin ikut. Kan repot ngurusnya nanti.
Lupus langsung cabut. Hasil kunjungannya ke meja bos-nya itu, yah lumayanlah. Sempat mengantongi beberapa tahu goreng dan cemilan-cemilan ringan lainnya buat sekedar ngisi perut. Dan di bawah, ketika baru keluar dari kompleks perkantoran, sempat ketemu Gun Saratoga. Fotografer muda Hai yang lagi ngejepret anak-anak sekolah yang kece-kece dari atas sepeda balapnya. Dia emang termasuk doyan daun muda. Pacarannya aja sama anak SMP. Dan bakat jepret-menjepretnnya memang terlihat dari kecil. Umur 10 tahun, dia sudah hobi menjepret capung pake karet; lalu umur 15 tahun meningkat menjepret mangga pake katapel. Dan kini, dai boleh bangga bisa menjepret pake kamera beneran.
Itulah Gun. Setelah ber-hai-hai (bukan promosi, lho!) sebentar dengannya, Lupus langsung melesat bersama Aji ke rumah sang artis. Rumahnya lumayan jauh. Di pinggiran kota. Rada ndeso.
*** Dan kini Lupus dan Aji sudah berdiri di depan pagar yang tinggi. Rumahnya tampak begitu besar. Sementara di pagar depan tertulis Awas anjing galak; jangan berdiri dekat pagar! Lupus langsung melompat mundur. Wong dia paling takut sama anjing. Makannya dia tidak pernah berani lari pagi di kompleks perumahannya. Banyak anjing. Soalnya dia kurus. Suka dikejar-kejar anjing. Dikira tulang.
"Kamu aja yang masuk, Ji!" perintah Lupus.
"Enak aja. Emangnya saya tumbal" Kita tekan bel aja. Masak sih nggak ada belnya""
"Iya. Lagi pula belum tentu beneran ada anjingnya. Siapa tau Cuma nakut-nakutin aja!"
Akhirnya setelah baca Bismillah, mereka memencet bel yang tersembunyi di balik rerimbunan tanaman yang merambat di pagar. Terdengar suara anjing menggonggong dari balik pagar. Lupus langsung melompat mundur.
"Tenang, Pus. Wartawan kok penakut amat"" ledek Aji.
Beberapa saat kemudian, ada kepala yang muncul dari pagar yang tinggi.
"Hei, anak kecil, ngapain di situ" Mau mainin bel ya"" bentaknya galak.
Lupus keki berat dikatain mau mainin
bel. "Saya wartawan, tau! Saya mau ketemu Evita Fanny. Artis penyanyi itu. Di sini kan rumahnya" Dan ini teman saya Aji. Dia fotografer profesional!" sahut Lupus lantang. Orang itu memandang ke arah Lupus dari ujung kaki sampai ujung rambut. Seolah kurang percaya. Juga kepada Aji yang dibilang fotografer prof itu. Dia curigation. Kok fotografer Cuma bawa kamera yang serba otomatis" Sekali jepret jadi, tanpa mengubah jarak, diafragma, de el el. Wah, pasti ada yang kurang beres.
"Evita lagi pergi! Dia sibuk terus. Kapan-kapan aja datang lagi!"
"Wah bohong! Saya tadi udah janjian sama dia via telepon. Dan dia ada di rumah!" sahut Lupus ngebohong. Soalnya sungguh mati, dia tak tau nomor telepon Evita. Tapi dia juga yakin Evita pasti ada. Dia sudah biasa dibohongi macam begitu. Biasa, artis yang lagi naik daun memang suka jual mahal. Padahal wartawan penting lho, buat menunjang karier mereka.
"Tapi dia mau pergi. Ada rekaman di studio!"
Balas orang itu lagi. "Kamu tau nggak apa persamaan saya sama kamu"" sahut Lupus lagi.
"Apaan memang""
"Sama-sama tukang bohong. Makanya sesama tukang bohong dilarang saling membohongi!"
"Sialan jadi kamu juga bohong ya" Kamu pasti bukan wartawan! Kok masih kecil begitu" Mana kartu Pers-nya""
Lupus langsung merogoh kantung celananya. Tapi..., oh, God! Kartu itu ternyata tertinggal di meja tugasnya di kantor. Bener-bener sial!
"Eh, saya lupa bawa. Tapi beneran kok saya wartawan!"
Orang itu tersenyum sinis.
"Nah, anak-anak, kalau Cuma mau minta tanda tangan, lewat surat aja. Sekarang kalian boleh pulang..." sahutnya dan langsung menghilang di balik pagar.
Lupus cepat-cepat berteriak, " Hei, tunggu! Saya bener-bener wartawan, kok! Kalau nggak percaya, telepon aja ke majalah Hai. Serius!!"
Tapi makhluk itu sudah menghilang. Tinggal Lupus dan Aji yang saling berpandangan.
3. EVITA FANNY Lupus dan Aji masih berada di depan rumah artis penyanyi Evita Fanny. Benar-benar tak tau apa yang harus dilakukan lagi. Meski Lupus sudah lumayan sering wawancara begini, tapi toh dia masih belum bisa santai. Malah sering kedapatan lagi dorong-dorongan atau ber-suit-ria sama temannya untuk menentukan siapa yang masuk duluan. Kan malu-maluin banget tuh! Tapi ya nggak apa-apa. Lupus nggak pernah putus asa Cuma karena hal-hal yang begitu. Segalanya kan bisa saja karena biasa kalau kita sering melakukannya.
"Kita bikin keributan aja di sini, nanti kan mereka pada keluar!" sahut Lupus kumat gilanya.
"Gila lu, nanti kalau diciduk polisi gimana""
"Emangnya kita teroris" Maksud saya, kita Cuma mengadakan aksi unjuk perasaan, gitu!"
"Kamu kalau sudah nekat memang gawat, Pus! Terus, ngapain dong""
"Misalnya kita tekan bel terus-terusan. Kan lama-lama mereka kesal lalu keluar. Nyamperin kita atau malah ngusir kita. Tapi nggak apa-apa. Namanya juga orang usaha. Kan nggak ada salahnya!"
"Iya, ya." Dan mereka pun secara bergantian menekan bel. Berulang-ulang. Ada suara anjing yang menggonggong lagi. Sampai akhirnya wajah seram yang tadi muncul lagi di balik pagar yang ke tinggi. Siap menyemprotkan amarahnya. Tapi Lupus cepat-cepat menyapa, "Assalamualaikum! Kayaknya kita pernah ketemu deh. Kapan, ya" O ya, beberapa menit yang lalu. Apa khabar" Gini lho, saya dari majalah..."
"Bosen! Kalian ini belum pernah mendapat pelajaran ya" Sudah pernah merasakan gimana enaknya digigit si Pleki""
"Belum. Siapa itu" Bapak kamu ya""
"Sialan! Kalian benar-benar kurang ajar!" bentaknya marah sambil melompat turun. Tapi baru orang itu membuka pintu pagar, ada suara yang memanggil. Terpaksa marahnya tertunda dan langsung tergopoh-gopoh menghampiri si pemanggil.
"Bang Kerpa, tolong siapkan mobil saya. Saya mau ke studio setengah jam lagi. Tolong barang-barang belanjaan tadi pagi diturunin dulu," sahut si pemanggil yang ternyata Evita itu.
"Baik Nona." "O ya, kamu ngapain naik-naik terus ke pagar macam tadi" Pacaran sama babu sebelah, ya""
"Oh, anu, Nona....itu ada dua pemuda kecil. Ngakunya sih wartawan yang mau wawancara. Tapi nggak ada kartu pers-nya. Ya udah, saya usir saja. Tapi kok ya nekat anak itu!"
"Ya, Non a, dan dua pemuda kecil yang manis-manis itu adalah kami sendiri!" tiba-tiba ada suara sopan menyambung dari belakang Bang Kerpa. Bang Kerpa langsung menoleh kaget!
"Hei, kurang ajar. Bagaimana kamu bisa masuk kemari" Loncat pagar, ya""
"Bagaimana" Mudah. Siapa yang suruh pintu pagar itu ditinggal tanpa terkunci barusan, sementara anjing kamu itu asyik mengejar-ngejar kucing sampai keluar pekarangan rumah...," jawab Lupus kalem.
Bang Kerpa langsung kaget, dan cepat-cepat memburu keluar. Memanggil-manggil anjingnya. Meninggalkan Lupus dan Aji berhadapan dengan Evita Fanny.
Lupus tak berkedip. Penyanyi ini memang masih muda. Paling-paling baru sekitar 17 tahun. Wajahnya, bukan main. cakep banget. Dengan bibir yang tipis tapi seksi, mata yang indah bagai kucing, kulit tubuh yang kuning langsat. Wah, emang nggak salah kalau dia jadi artis penyanyi. Dengan penampilan yang serba sempurna untuk seorang gadis remaja, siapa sih yang enggak betah memandangi berjam-jam"
Lupus langsung kasih angka sembilan untuknya.
"Situ siapa"" tanya Evita pelan. Suaranya, wah. Bikin dek-dekan.
"Di sini Lupus dan Aji. Dari majalah remaja. Di situ siapa"" balas Lupus.
"Oo..., kalian wartawan, toh""
"Iya, hebat ya""
""Kok masih kecil" Wartawan bo'ongan ya" Mana kartu pers kalian""
"Justru itu, ketinggalan. Tapi kalau tak percaya, boleh deh telepon ke redaksi Hai. .. . "
"Oke deh, saya percaya. Terus kalian mau apa""
"Wawancara. Boleh, kan""
"Tapi saya mau pergi. Kalian toh belum bikin janji. "
"Sudah, kok!" "Kapan" Saya kok belum dikasih tau""
"Lima menit yang lalu. Tadi lho, waktu pesuruh kamu yang cowok itu dengan noraknya naik-naik ke atas pagar...."
"Ah. T api bolehlah kalau kalian memaksa. cuma, sebentar aja, ya" Yuk masuk!"
Dengan langkah ringan, Lupus dan Aji berjalan masuk.
Di ruang tamu, suasananya cukup membuat keduanya terkesima. Satu set mewah kursi tamu besar warna biru, dengan karpet yang bagai rumput manila terhampar megah. Dipadukan dengan hiasan-hiasan dinding yang serba biru, menyejukkan suasana. Sementara foto close-up Evita Fanny terpampang megah di dinding sebelah kiri. Di atas barang-barang antik yang disusun rapi. Dari dalam mengalun lembut musik instrumentalia yang kebetulan Lupus kenai judulnya, Cantabile. Lagu yang menarik, dan Lupus dulu sering mendengar ayahnya memainkan lagu itu lewat gitar klasiknya.
Nggak nyangka, selera musik Evita boleh juga. Padahal kalau dibandingkan dengan lagu-lagu yang sering dibawakannya yang berlirik dan bernada amat cengeng itu, wah, kontras sekali.
Lupus serasa memasuki ruang istana.
"Ayo, silakan duduk. Kok pada berdiri begitu""
Lupus tersentak. Ya, dia tadi lagi ngelamun. Kok ada orang yang begini kaya. Dia jadi ingat sama teman-teman seperjuangannya di kantor. Kayaknya jadi jauuuh sekali. Mereka-mereka itu walau suka ngaku orang kaya, tapi kalau lapar malah pada tiduran di kolong meja. Sambil berharap semoga setelah bangun nanti rasa laparnya hilang. Kan bisa menghemat uang makan. Tapi ya tak apa. Malah memudahkan kalau mau bikin puisi atau cerita yang sedih-sedih. Nggak usah sulit-sulit mengkhayal. Tinggal tulis aja pengalaman pribadinya, beres!
Sedang Evita kan sulit kalau mau bikin cerita sedih. Butuh penghayatan luar biasa. Tapi lupakan dulu hal itu. Kita lihat saja Lupus yang lagi sedikit panas dingin karena diliatin terus oleh Evita yang manis. Nggak tau kenapa, dia memang suka grogi begitu kalau diliatin cewek cakep.
Dengan kaku, Lupus mengeluarkan tip dan secarik kertas yang berisi daftar pertanyaan. Evita tergelitik untuk melirik apa yang tertulis di balik daftar penanyaan. Maka dengan sedikit paksa, dia merebut secarik kertas itu.
"Lihat deh. Boleh, kan""
"Eh, jangan...," Lupus kaget, tapi Evita sudah merebutnya. "Itu daftar pertanyaan kok. Saya bikin supaya nggak lupa. Soalnya terus terang, saya kalo lagi grogi suka lupa apa yang mau ditanya. Balikin dong...."
Evita cuwek. Sambil mengernyitkan kening membaca kertas itu. Lalu senyum-senyum sendiri.
Lupus jadi curiga. "Kamu mau wawancara atau mau belanja" Kok isinya ada ikan asin satu kilo, cabe raw
it tiga biji, jengkol sepuluh biji, permen karet..."
Lupus langsung merebut dan membacanya. Oh, God! Ternyata dia salah keluarin. Itu catatan belanja yang dititipkan ibunya tadi pagi. Dengan wajah kayak traffic light; merah kuning ijo, dia buru-buru mengantonginya. Diganti secarik kertas yang lain. Yang isinya beneran daftar pertanyaan.
"Sekarang kamu duduk aja di situ, saya yang nanyain dari sini. Oke"" balas Lupus keki. Evita tertawa lepas. Keakraban baru saja terjadi.
"Tapi ingat, waktunya nggak lama lho. Saya mau pergi!" .
Interviu pun berlangsung dengan akrab. Sampai suatu ketika, Evita merasa harus pergi. Dengan sedikit berat, dia pun bangkit. Lupus cepat-cepat menahannya, "Eh, jangan repot-repot!"
"Lho" Saya mau ganti baju, kok. Saya kan mau pergi. ..."
"Ooo, kirain mau bikinin minum...."
"Ya ampun, saya lupa. Kalian haus, ya""
""Ah enggak. cuma saya mikir, kok samaan sama di rumah ya" Kalau ada tamu dari jauh suka lupa nyuguhin minum. Padahal kan mungkin saja tamu itu merasa haus setelah berjalan begitu jauh. Iya nggak, Ji"" celoteh Lupus sambil melirik ke arah Aji yang hampir mati kehausan.
Lagi-Iagi Evita ketawa. Dia cepat-cepat menyiapkan minuman.
*** Dan Evita ternyata artis yang baik. Dia menawari Lupus dan Aji ikut ke studio sambil melanjutkan wawancaranya di jalan. Di sana Evita cerita banyak. Tentang tiga albumnya yang direkam dalam waktu singkat. Tentang kasetnya yang laku keras. Tentang bonus mobil yang dia dapat. Pokoknya semua.
Buat artis penyanyi, dia memang memiliki segalanya. Meski lagu-lagunya hampir setipe; tentang kecengengan cinta, tapi suaranya tidak mengecewakan. Padahal banyak anggapan yang mengatakan penyanyi pop sekarang cuma modal tampang doang, tapi Evita merupakan pengecualian. Karena dia punya vokal dan penghayatan yang baik buat lagu-lagu komersil yang dibawakannya.
Sebaik-baiknya lagu pop, kalau tidak didukung penghayatan dan vokal yang sempurna, tak akan berhasil. Omong kosong buat yang mengatakan untuk jadi penyanyi cuma modal tampang doang. Setinggi-tingginya teknik studio yang bisa meno"long vokal sang artis, tidak akan membantu banyak. Paling jadinya seperti komet. Muncul sebentar, ngetop, lalu menghilang. Tak terkenang.
Ini yang ingin Lupus tekankan pada Evita. Penyanyi ini sangat berbakat. Tapi kenapa begitu sering mengeluarkan album yang senada" Apa mau pakai aji mumpung seperti yang lainnya,"
"Seharusnya kamu lebih selektif, Vita. Batasi pengeluaran album kamu. Kamu punya vokal yang baik. Saya sering lihat kamu nyanyi lagu-lagu daerah di tivi. Di situ kelihatan sekali kemampuan vokal kamu. Bukan sekadar penyanyi pop murahan. Kalau kamu lebih jarang mengeluarkan album, kamu bisa mengikat fans kamu. Membuat mereka penasaran menunggu terbitnya album-album kamu yang berikutnya. Dan dengan sedikit variasi, mereka tak mudah bosan. Dan kamu nggak bakalan cepat dicampakkan fans kamu yang merasa bosan karena kamu keseringan mengeluarkan album yang senada. Kamu jangan mau dikerjain para produser yang cuma mau mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya, tanpa memikirkan nasib kamu setelah itu. Mereka mudah saja mencari penyanyi baru. Sedang kamu apa" Itulah, Vita. Makanya, ngapain sekarang ke studio" Lebih baik kita ke fried chicken atau ke mana, gitu. Ngomongin masalah ini. Kamu jangan seperti mesin. Disuruh ke studio, disodori lagu, lalu langsung menyanyikannya hanya dengan mempelajari sebentar tanpa kamu dikasih kesempatan memilih lagu yang cocok buat karakter vokal kamu. Buat selera kamu. Eh, sori. Saya kok jadi cerewet banget, ya" Tapi gimana kamu aja deh. Mau ke fried chicken atau ke studio..."
Evita terdiam. Makhluk yang duduk di sampingnya ini memang kelewat banyak omong, kayak tukang obat. Apa emang begitu ya, kalau wartawan ngerayu minta traktir"
"Kamu mau no dong atau mau nyulik saya"" sahut Vita galak.
"Dua-duanya. Tapi tebusannya nggak berat. Fried chicken!"
Dan Lupus kegirangan setengah mati ketika Volvo Evita berbelok ke fried chicken.
*** Beberapa hari kemudian, Lupus sudah berada di kantor redaksi lagi. Dia lagi excited banget karena baru dapat telepon
dari Evita. Gimana nggak senang, Evita meneleponnya dalam keakraban.
"Meski saya kadang ragu apa kamu ini wartawan gadungan atau wartawan beneran, atau malah tukang obat yang buka praktek liar, tapi saya kok ya mikirin juga apa yang kamu bilang. Thanks. Saya suka kamu merhatiin saya kayak gitu. Saya udah batalin jadwal rekaman dalam waktu dekat ini. Bos memang marah dan kaget, tapi lama-lama dia pasti ngertiin saya. Sebab saya ingin dia yang butuh saya, bukan saya yang butuh dia. Saya udah minta untuk menyeleksi lagu, menyeleksi aransemen. Kalo kamu mau tau, saya sendiri di rumah nggak pernah nyetel lagu-Iagu saya. Kamu denger sendiri kan waktu ke rumah" Saya memang nggak pernah bangga pada lagu-lagu saya sendiri selama ini. Sekali lagi trims berat buat kamu. Kapan mau maen ke rumah lagi""
Itulah. Makanya Lupus jadi senyum-senyum terus. Seriang Mas Veven yang baru masuk tadi langsung menodongnya dengan teka-teki orisinal karyanya sendiri, "Ayo, apa bahasa Indonesianya: Mother goes to the market""
"Apaan, ya" Nggak tau tuh!" sahut Lupus (pura-pura) nggak tau.
"Belanja ni yee...," jawabnya girang setengah mati. Soalnya jarang-jarang teka-tekinya nggak bisa ketebak Lupus.
Atau juga seriang Mas Wendo yang lagi disalamin temen-temennya gara-gara nongol di tivi dalam acara FFI. "Ah, apalah aninya orang seperti saya ini...," sahutnya ngerendahin diri, ninggiin mutu.
Tapi yang Lupus heran, sejak saat itu Aji nggak pernah kelihatan lagi. Pun di sekolahnya. Sebab Aji memang teman sekolah, cuma lain kelas. Padahal dia kan teman seperjuangan sewaktu wawancara Evita. Maka besoknya Lupus khusus mencari dia ke kelas-kelas. Dan ketemu lagi mojok di kantin. Tetap dalam stil cuwek walau Lupus kelihatan menghampiri. Lupus jadi inget Iwan yang redaktur musik di Hai. Doi juga cuwek berat kalau lagi dengerin walkman. Dipanggilin nggak nyaut-nyaut! Ada kebakaran juga cuwek aja.
"Halo, Ji, kamu sakit ya" Kok nggak pernah keliatan"" tegur Lupus ramah. Aji malah melengos. Lupus jelas heran. Setelah diusut-usut, ternyata dia sempat keki karena waktu itu Lupus akrab banget dengan Evita. Dia sampai tak dikasih kesempatan ikutan ngobrol. Padahal kan dia udah dandan rapi banget.
Lupus jadi ketawa. "Aduh, Aji, kamu cemburu ya" Apa kamu pikir saya naksir dia" Wah, jangan mimpi dong. Saya cukup tau diri kok. Apa enaknya sih pacaran dengan artis terkenal kayak gitu" Bikin tekanan batin aja. Kita kan belum terbiasa dengan gaya hidup mereka. Yang easy come easy go itu. Wah, mending jangan deh. Lagian belum tentu dia bisa terbuka sama saya kayak gini kalau dia jadi pacar saya. "
"Jadi mendingan seperti sekarang. Saya cuma bikin laporan yang bagus buat majalah. Masa sih persahabatan kita bisa puttlS cuma karena hal-hal yang sepele kayak gini, Ji" Lupakan semuanya, Ji, kita kembali seperti dulu. cari bintang baru lagi yang cakep, terus kita wawancara sama-sama lagi. Siapa tau yang berikutnya jodoh kamu. Hehehe.... Gimana" Asyik, kan" Petualangan begini penting lho untuk mengenal beberapa karakter cewek-cewek. Jadi kalau udah dapet pacar kayak gitu nggak kaget lagi. Satu hal yang harus kita jaga, jangan mudah ge-er kalau ada orang-orang seperti itu nampak memberi perhatian yang lebih kepada "kita. Karena kan belum tentu dia naksir kita. Iya, nggak""
Aji bangkit. Memandang tersenyum ke arah Lupus. Lalu meninju perutnya dengan pelan. Keduanya pun tertawa keras berbarengan.
4. PHK Pasalnya ya karena si Lupus. Makhluk itu selama ini memang dikenal sebagai 'teman tetap' Poppi. Kadang jajan di kantin sama-sama, ngerjain temen sekelas sama-sama, bikin pe-er sama-sama atau juga ngejar layangan putus yang kadang nyasar ke lapangan kalau lagi pelajaran olahraga.
Pokoknya kompak deh! Apalagi kalau lagi musim ulangan. Tapi belakangan ini Lupus jarang masuk. Jarang maen ke rumah Poppi. Meski memang tidak pernah rutin malam Minggu apel, tapi nggak biasanya sampai tiga kali berturut-turut seperti kali ini. Poppi memang maklum sama sifat Lupus yang angin-anginan. Yang nggak bisa dipegang buntut-buntutnya. Sebagai cewek, dia udah begitu cukup pengertian. Tapi Lup
usnya ini, kok ya nggak sadar-sadar. Selalu bikin keki.
Seperti waktu Ruri, cewek yang doyan nggosip itu, sibuk nggosip tentang dirinya sendiri (Kok ada ya orang yang begitu"). Ke sana ke sini memamerkan foto close-up yang katanya cowoknya yang baru, "Newcomer. Baru semalem resmi jadi pacar saya yang ketujuh," katanya bangga.
Dadanya sampai membusung (eh, nggak jorok, lho!). Lupus yang datang ke kelas belakangan, tak luput kena pameran foto tunggal tersebut.
"Kece nggak, Pus"" Ruri berkata penuh semangat.
"Siapa sih" Penyanyi dangdut, ya"" tanya Lupus serius.
Ruri jelas keki berat. SUATU kali dalam hidupmu, pernahkah kamu merasa begitu sepi" Membuka jendela kamar kala semuanya terlelap dalam mimpi, dan merasa sendirian di tengah alam semesta yang begitu luas"
Pernahkah" Pernahkah kamu merasa begitu benci kepada tawa anak-anak kecil yang bermain di halaman sebelah rumahmu" Sehingga lagu terindah bagimu hanyalah gesekan angin pada pucuk-pucuk cemara dan rontoknya daun-daun kering di musim kemarau"
Nah, ketauan. Kalau begitu kamu pasti lagi frustasi. Ngaku aja. Samaan kok sama Poppi. Poppi ini belakangan memang sering uring-uringan kayak gitu. Kerjanya seharian, kalo enggak dengerin kaset-kaset model Patah Hatinya Rachmat Kartolo (enggak usah berlagak mikir, kamu pasti apal lagunya. Eh, kita nggak nuduh lho, cuma nebak aja!), ya nyoret-nyoretin buku harian. Atau bengong berat kayak seniman keabisan inspirasi. N ggak napsu makan, nggak napsu bobok, dan yang paling gawat, jadi segen mandi.
Tapi sebetulnya nggak bakalan segawat ini kalo nggak ada gosip yang mengatakan bahwa Lupus punya cewek lagi. Nggak jelas pacaran sama siapa, tapi desas-desus itu memang lagi ngetop. Ada yang bilang sama artis penyanyi kondang Evita Fanny; ada yang bilang sama anak kelas satu yang baru:
Poppi tadinya nggak begitu mudah percaya, tapi bukti-bukti memang ada. Dua hari yang lalu, anak itu memang masuk. Dengan santainya menaruh tas di bangku, lalu kelayapan keluar kelas lagi. Sama sekali tak menyapa Poppi yang duduk dengan manis di bangkunya. Sibuk ngeceng ke kelas-kelas baru.
Poppi jelas panas. Buntut-buntutnya ya seperti tadi itu. Samaan sama kamu. Suka ngelamun sendirian. Kenapa ya, cowok itu cenderung nggak setia" Apa karena di dunia ini memang lebih banyak cewek, sehingga cowok leluasa pacaran dengan lebih dari satu cewek" Biar adil, kebagian semua, begitu" Ih, amit-amit. Itu pendapat gila. Nggak berperikewanitaan. Lebih baik cewek-cewek nggak usah pacaran sama sekali. Lagi pula, apa sih hebatnya Lupus itu" Kalau mau saya bisa aja mendapat sejuta 'lupus' lain yang lebih dan dirinya, batin Poppi.
Memang benar. Poppi toh cantik. Dengan rambutnya yang lebat itu, banyak cowok yang enggak tahan untuk tidak melirik beberapa detik kepadanya. Terus kenapa Poppi jadi begitu frustasi hanya karena Lupus"
Itulah cinta. "Poppi sudah terlanjur menyukai semua yang ada pada diri Lupus. Orang yang lebih baik atau lebih cakep dari Lupus itu banyak. Jalan-jalan di pasar swalayan, kamu bisa menemukan makhluk kayak begitu sepuluh biji. T api ibarat barang tiruan, yang sama ya luarnya aja. Isinya tetap nggak ada yang se-qualified Lupus (taela!). Maksudnya sifatnya, tingkah lakunya, lengkap sama gaya-gayanya yang rada norak. Juga sikapnya yang penuh perhatian, walau kadang bikin keki. Gimana nggak penuh perhatian" Dia bisa begitu sopan di depan orang tua Poppi. Bukan sopan yang dibuat-buat, tapi nampak wajar. Di samping juga sering membawakan mereka oleh-oleh. Jarang-jarang lho, ada cowok yang begitu memperhatikan calon mertuanya kayak gitu. Pun ketika lebaran kemarin, dia dengan serius ngomong sama Poppi, "Pop, sayang sekali untuk lebaran kali ini, rejeki saya nggak begitu banyak. T api biar deh, demi kamu saya ngalah aja. Saya rela, lebaran kali ini biar calon mertua kamu aja yang saya kasih hadiah...."
Poppi yang tadinya udah siap-siap untuk terharu, jadi keki banget.
Di samping itu, Lupus juga ngetop sekali. Fans-nya bukan hanya di lingkungan sekolah dia aja, tapi juga melimpah ke luar sekolah. Buktinya kalau dia turun dari bis sepulang sekola
h, histeria massa selalu terjadi. Puluhan abang-abang becak dengan semangat '45 menarik-narik bajunya. Bukan minta tanda tangan, cuma mau menawari (dengan sedikit paksa) Lupus untuk naik becaknya.
Lupus juga termasuk anak yang susah dikerjain. Padahal dia hobi banget ngerjain orang. Sampai pernah suatu ketika anak-anak cowok di kelasnya kompakan untuk sekali-sekali ngerjain Lupus. Mereka semua ngumpul di toilet. Mengatur strategi penjebakan.
"Kita kunci aja di WC. Dia kan hobi banget ke belakang. Beberapa dari kita memantau ke mana dia pergi. Begitu masuk wc, kita kunci dari luar. Biarkan beberapa saat sampai dia mabok dulu. Setuju""
Agak sadis memang, tapi toh pada setuju. wc di sekolah Lupus memang rada sulit dibuka dari dalam, tapi dengan mudah dikunci dari luar. Tinggal mengaitkan engsel kuncinya, beres!
Namun ketika mereka baru selesai berembuk, sampai bela-belain menahan bau yang ngujubileh itu biar nggak ketauan, tiba-tiba Lupus keluar dari wc sambil cengengesan. "Hayo, mau merencana kan usaha pembunuhan ya""
Teman-temannya yang mengira aman berembuk di toilet itu, jelas pada keki berat. Usaha mereka jadi gatot. Gagal total.
Itu hanya sebagian keunikan Lupus. Belum lagi kisah gombal Lupus waktu nonton film sama Poppi. Dia kelupaan ninggalin Poppi di bioskop sendirian. Langsung pulang aja. Soalnya nggak biasa nonton bareng cewek sih. Di tengah jalan dia baru sadar, ketika merasa ada yang kurang beres.
Tapi sabar itu memang ada batasnya. Saling pengertian itu bisa jalan kalau ada kesadaran dari dua belah pihak. Poppi sudah menjalankan semua itu dengan baik. Tinggal Lupus yang belum. Jadi kenapa harus menyesal putus dengan dia" Poppi malah harus bersyukur, karena dia tau kejelekan-kejelekan Lupus lebih awal. Sebelum segalanya terlambat. Dan cinta itu tidak buta. Justru sebaliknya, kita harus melihat kepribadian pacar kita sampai yang terkecil.
Saya bisa berbuat seperti Lupus! tekad Poppi. Maka, Poppi pun mencampakkan foto Lupus yang lagi nyengir di atas meja belajarnya. Lalu duduk di depan kaca, dan mencoba menyisir rambutnya yang kusut. Di sana, dia seakan menemukan dirinya sendiri. Dirinya yang baru. Dengan semangat baru.
Dan besoknya, dia langsung menolak ketika mau diamar ke sekolah, "Enggak, Pa. Saya mau naik bis aja. Sekali-sekali kan boleh. Pingin seperti teman-teman. "
Bapaknya jelas heran. Soalnya baru sekali ini Poppi nggak mau diantar ke sekolah. Tapi Poppi memang punya alasan yang nggak boleh diketahui orang tuanya. Dia sering denger cerita, orang yang naik kendaraan umum itu lebih enteng jodoh ketimbang yang diantar jemput. Soalnya, kemungkinan ketemu orang yang belum dikenal lebih besar daripada diantar supir sendiri. Apalagi pada jam-jam sekolah, kala bis kota seperti bis sekolah saja. Berisi anak-anak sekolah dari segala jenis.
"Poppi belum pernah merasakan itu. Makanya ia begitu ingin. Dia juga tau kalo Lupus itu sering kenalan dengan cewek-cewek lain di bis. Seperti gosip yang menyebar itu, yang mengatakan bahwa Lupus kenal sama cewek baru kelas satu itu di bis. Katanya rumah ceweknya itu dekat dengan rumah Lupus. Suka naik bis bareng-bareng.
Jadi kenapa Poppi nggak coba begitu"
"Tapi sekolah kamu kan jauh, Pop" Harus dua kali naik bis"" bapaknya mencoba membujuk.
"Nggak apa-apa."
"Kalau ada tukang copet atau apa begitu""
"Nggak takut." Dan pagi itu, jalanlah Poppi sendirian ke tempat pemberhentian bis. Menunggu metro-mini jurusan Blok M. Tapi Poppi bener-bener nggak nyangka kalau pada jam-jam sekolah begini bis-bis pada penuh semua. Sarat dengan penumpang, yang bukan anak sekolah aja. Tapi kuli-kuli bangunan, orang kantoran atau juga inem-inem yang mau ke pasar. Poppi yang tak mau menanggung rekiso eh, risiko terlambat, langsung saja menyetop metro-mini walau sarat dengan penumpang. Metro itu langsung berhenti. Sejenak Poppi terpana di tempat. Gimana cara masuknya" Kok penuh banget"
"Ayo, Neng, .cepat! Kosong kok di dalam," rayu kondektur itu sambil menarik-narik tangan Poppi. Sementara di bangku belakang, sederetan anak muda bersorak-sorak menggodanya. Dia stil cuwek.
"Poppi nai k ke tangga. Dari belakang, kondektur yang kurang ajar itu mendorong-dorong dia. Memaksanya untuk masuk lebih ke dalam lagi. A""duh . orang kok udah kayak sarden aja" Dijejel-jejelin. Mana atap metro itu rendah sekali. Terpaksa Poppi berdiri sambil membungkuk. Berbaur dengan keringat-keringat orang lainnya. Dan "ia keki banget, karena cowok-cowok yang kebagian duduk, nggak mau berdiri untuk memberikan kursinya kepada P"ppi. Malah asyik baca buku teks sekolah. Sial, apa ini yang namanya emansipasi"
Tapi pemuda itu ya nggak bisa disalahkan. Dia toh nggak mungkin bela-belain ngasih duduk buat Poppi, untuk kemudian ikutan berbungkuk-ria bersama para penumpang lainnya. Kan pegel sekali tuh. Mana biasanya metro itu jalannya kayak keong. Pelan banget. Nggak puas-puasnya cari penumpang lain. Poppi jadi nyesel. Ternyata naik bis umum tak seindah yang dia bayangkan.
Gimana bisa cari jodoh dengan keadaan kelipet-lipet begini" Apa karena belum biasa aja" Untung hari masih pagi. Saat orang baru pada mandi, dan belum berkeringat. Coba kalo nanti siang. Idih! POPPI jadl nyesel tadi pesan kalo siang nanti nggak usah dijemput.
*** "Tapi usaha untuk membalas sakit hatinya tidak kandas sampai di situ. Tak seperti biasanya, Poppi menerima ajakan Fadly yang memang sering menggodanya. Nonton bersama, ke diskotik bersama; ke restoran mewah bersama. Kencan dengan Fadly memang lebih enak. Dia lebih banyak tau tentang tempat-tempat yang biasa dikunjungi remaja. Yang sebelumnya nggak pernah dikunjungi Poppi. Tetapi tetap, Poppi merasa ada yang kurang. Saban malam, dia masih sering merasa sendiri lagi. Kebahagiaan itu memang hadir saat dia berjalan-jalan dengan Fadly. Tetapi setelah itu, dia seperti dikembalikan kepada dunianya yang sepi. Merasa sendiri lagi di waktu malam. Aneh, biasanya nggak begini kok.
Dia bener-bener nggak bisa membohongi dirinya sendiri, kalau kadang-kadang saat malam telah larut-dia rindu pingin ketemu Lupus. Pingin ngobrol-ngobrol dengannya. Pingin jalan-jalan lagi menelusuri pusat pertokoan. Jalan sama Lupus banyak seninya.
"Maka malam itu Poppi sudah nggak tahan lagi. Dia buat surat yang panjang sekali buat Lupus. Menanyakan kebenaran gosipnya dengan anak-anak baru di kelas satu. a ya, Lupus sekarang sudah naik ke kelas dua.
*** "Di suatu pagi yang dini, Lupus terlihat menghampiri Poppi yang sendirian di kantin sepi. Anak-anak banyak yang belum datang. Memang "sudah diatur begitu kok, supaya suasananya lebih mesra.
"Hai, Pop, saya udah terima surat kamu. Hebat. Ternyata kamu berbakat jadi pengarang novelet," sapa Lupus begitu dekat. Poppi membuang muka.
Tapi, oh God, dia rindu suara jelek Lupus itu.
"Dan sekarang terbongkar bukan skandal-skandal mu dengan para bintang-bintang baru itu" Iya"" sahut Poppi ketus.
"Hei, you have no right to say like that to me!" Lupus jadi serius.
"0, yes I do!" Poppi nggak mau kalah, "Ngaku aja. Beritanya sudah menyebar kok. Kamu pacaran sama artis Evita itu, sama anak kelas satu atau sama anaknya ibu kantin yang di Bandung. Iya, kan" Apa sih yang kurang dari saya selama ini" Saya sudah cukup pengertian, cukup sabar, cukup... apa lagi ya""
"Cukup kasih sayang...."
"Ya, betul. Cukup kasih sayang. Terus apa lagi yang kamu tuntut, he""
"Enggak ada. Saya nggak nuntut apa-apa kok. Cuma kamu lupa, pacaran itu juga harus pake rasio dong. Pake pikiran yang matang. Kedewasaan."
"Lho, apa kamu anggap saya ini nggak punya rasio""
"Punya, tapi ketutup emosi kamu. Coba aja kamu pikir, mana sempat saya pacaran dengan gadis sebanyak itu. Sama kamu aja, saya udah sering kerepotan. Saya kan meski masih sampingan, udah kerja juga. Coba-coba belajar cari duit. Hampir seluruh waktu luang saya tersita untuk kerjaan saya di majalah. Wawancara, nulis berita, les Inggris, melukis, belum lagi kalau di kampung ada kondangan. Kan rugi sekali kalau enggak datang.
"Jadi mana sempat" Dan semua itu saya lakukan demi kamu., Demi masa depan saya...."
Poppi jadi diam. Tapi toh belum puas, "Lalu, ngapain kamu setiap masuk sekolah sering ngeceng ke kelas-kelas satu heh" Pokoknya saya minta PHK!"
"Apa itu P HK"" "Putus Hubungan Kekasih."
"Aduh, Poppi, kamu kok sempit amat pikirannya" Saya ke kelas satu itu juga dalam rangka tugas. Kali ini saya mau nulis abis-abisan tentang posma sekolah. Yang meski dilarang, tapi masih juga ada. Dan sebetulnya tujuannya kan baik. Buat menjalin keakraban, asal tidak disalahgunakan. Itulah, makanya saya bolak-balik ke kelas satu. Minta pendapat dari masing-masing mereka. Kamu ngerti kan sekarang""
Poppi diam. "Sebetulnya saya sedih banget nggak ketemu-ketemu kamu. Apalagi saya tau kamu belakangan ini sering pergi sama Fadly. Iya, kan"" Lupus berkata sedih.
Kali ini Poppi benar-benar terharu. "Kamu cemburu ya, Pus""


Lupus Cinta Olimpiade di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Iya. " ""Lupus..., sebetulnya saya nggak mau begitu. Saya cuma cari kompensasi aja. Abis kamu juga sih gara-garanya. T api sekarang saya percaya kok sama kamu...," suara Poppi makin pelan. Dan mereka saling membisu.
Suasana haru itu terganggu ketika seorang gadis masuk ke kantin. Celingak-celinguk ke dalam. Dan matanya bersinar ketika melihat Lupus.
"Eh, Kakak namanya Lupus ya"" sahut gadis itu kemudian.
Lupus mengangguk heran. "Aduh, dari tadi dicariin. Ini lho, ada titipan surat dari Wida. Tau, kan" Yang anak kelas satu itu. Katanya balesan surat Kakak yang kemarin...."
Poppi langsung melotot ke arah Lupus.
"Eh, sabar, Pop. Sabar. Namanya juga orang usaha. .. kan boleh. Sabar dong kamunya. Siapa tau isinya ditolak...."
Tapi Poppi langsung pergi meninggalkan Lupus. Tinggal Lupus yang kerepotan seharian merayu Poppi.. ..
5. Ngritik Ni Ye... "PPS, Posma, Plonco, Mapram, Mapras atau apa kek namanya, persetan!
Gini ya, sebetulnya saya masih nggak ngerti apa yang bisa ditarik dan didapat dari program kuno norak tersebut. Coba apa" Apa hikmah pelajaran yang didapat dari itu semua" Terus terang, saya antipati dengan yang begituan itu. Hanya orang-orang yang bodo aja yang mau terjebak ikut gituan' Beneran. Saya heran, kok ya selama ini ada orang yang mau ngikut program gituan. Apa sih SMA Merah Putih' itu" Kayak lembaga yang gimanaaa gitu. Mau masuk aja harus ikut PPS, Posma, Mapram, Mapras, Plonco, dsb, dst, dll....
Padahal pas udah jadi pelajar beneran juga belum temu serius belajar. Nggak terus jadi hebat, kuat mental, tahan cobaan, dsb! Kebanyakan malesnya. Sekolah cuma buat formalitas, iseng-iseng daripada nganggur. Numpang bercanda, nggosip, nampang, cari perhatian, nyombong... wah, macem-macem deh. Iya, kan" Hayo, ngaku aja.
Makanya, buat apa ikutan program tersebut"
Apalah artinya jika setelah itu kita masih bersikap childish. Kekanak-kanakan. Apa tujuan program itu diadakan! Jawaban dari mereka-mereka adalah (sudah pasti) klise, "Begini, soalnya agar para siswa nantinya cinta pada sekolah 1m, mentalnya kuat. Ini kan sebagai tes mental. Sebagai cobaan. Supaya begini agar nanti begitu...."
Gombal! Ketahuilah bahwa tes mental yang sebenarnya ada pada kehidupan yang sedang kita jalani. Bagaimana kita menghadapi segala cobaan yang menerpa diri kita. Itu baru namanya tes mental! Bukan seperti Posma, Mapras, Plonco..., yang begini sih apaan. Norak! Yang ada di kegiatan tersebut cuma sandiwara belaka. Kepura-puraan yang nggak lucu. Permainan orang-orang frustrasi, gila hormat, gila perhatian, kompensasi negatif..., pokoknya nggak sehat sama sekali.
Apa sih yang mau ditunjukin oleh mereka-mereka sebagai panitia program tersebut" Memerintah ini dan itu, marah-marah, membentak-bentak orang tanpa alasan yang jelas (pura-pura galak ni ye...). Emangnya main drama" Atau mungkin mereka adalah para seniman gagal" Bisa jadi.
Tapi, apa nggak ada cara yang lebih manusiawi" Terutama kalau di universitas-universitas. Ih! Kan ada penataran P4 sebagai gantinya itu semua. Jangan dikira orang-orang yang digojlok .itu nggak sakit hati, lho! Mereka kan juga manusia, bukan robot.
Ada juga yang bilang sebagai perkenalan antara para senior dengan murid baru. Kayaknya kalau cuma sebagai perkenalan nggak perlu pake guling-gulingan di tanah, push-up, muka dicoreng-coreng kayak Hiawata (kalo nggak tau Hiawata, Humpa-pa juga boleh!)
Demi Tuhan, dari kecil saya nggak punya cita-cita untuk
diperlakukan seperti itu. Udah gitu seharian lagi. Kadang sampai malam (katanya!).
Coba bayangkan, bagaimana kalau sampai ada yang pingsan lalu koit. Mungkin saya terlalu berlebihan dan emosional dalam melihat masalah ini, tapi bukan tak mungkin hal itu terjadi. Soalnya daya tahan orang kan nggak sama. Terutama yang cewek-cewek. Coba bayangkan, bagaimana perasaan orang tua mereka jika anak yang diharapkan untuk jadi 'orang', meninggal hanya gara-gara ikut Posma. Saya bukan mengada-ada nih. Emang bener ada. Adda aja! Adalah bohong alias nonsense bahwa Posma itu untuk menambah keakraban antara para senior dengan siswa baru (sok akrab ah!). Kalau mau akrab, kenapa nggak kenalan aja secara baik-baik dalam suasana damai dan bersahabat. Kan lebih simpatik dan beradab, ya nggak" Percaya deh, program 'pembantaian' itu sungguh nggak sehat. Cuma menimbulkan rasa tak senang, rasa dendam, rasa permusuhan dan rasa-rasa antipati. Pokoknya yang bersifat negatif.
Bayangkan, udah uang sekolah masuk SMA ini mahal, ikut Posma (bayar uang formulir juga), disiksa.... Wah! Tapi kok pada nurut aja" Aneh tapi nyata. Berontak dong! Kita kan di negara ini punya hak untuk bersuara. Bebas. Merdeka. Hak "untuk tidak diperlakukan semena-mena. Sesuai dengan UUD '45 pasal 28 dan pasal 27 ayat 2 (Cie... hapal ni ye...). .
Jika saja saya nantinya mengalami hal-hal seperti tersebut di atas dan untuk itu saya diberi sertifikat Posma/PPS, saya akan bakar kertas sialan itu.
Fortunately, I didn't have such a disgusting, miserable and useless thing. Because I didn't and I'll never participate in an uncivilized program for the rest of my life. Honest! (Yang masih susah menangkap arti kata-kata ini, atau emang nggak ngerti sama sekali, bunuh diri aja mendingan.:..)
Sembilan dari sepuluh dokter yang saya minta pendapatnya mengatakan bahwa Posma tidak baik dan sangat tidak sehat bagi perkembangan mental. Memperlemah daya hidup. Dengan kata lain, hanya orang-orang idiot sajalah yang mau mengikuti, dan hanya orang-orang yang berpenyakit jiwa sajalah yang terlibat sebagai panitia.
Bener. It's okay" Mudah-mudahan selebaran ini bisa jadi input buat kita. Agar mata hati kita jadi terbuka. Abu Nidal.
*** "Itulah selebaran yang beredar tadi pagi. Ditempel di tembok-tembok, di papan pengumuman atau di kantin. Dan tentu saja para panitia Mapras seperti ditempeli tai kodok wajahnya. Marah, malu, kesal. Tapi siapa yang mengedarkan selebaran gelap itu" Yang meminjam nama teroris jebolan PLO itu" Gila, penulis gelap itu benar-benar mau cari setori.
Bisa ditebak, Andang-lah yang paling kebingungan dengan beredarnya selebaran gelap tersebut. Soalnya, dia yang paling ambisius mengadakan program Mapras itu.
Kemarin-kemarin, dia memang nampak (sok) sibuk sekali ngurusin pembentukan panitia. Walau bukan ketua OSIS, tapi semangatnya melebihi semangat kaum pejuang angkatan '45. Waktu ada rapat panitia, bicaranya berapi-api. Kayak uler naga.
Makanya, kini dia bingung sekali. Dengan cepat, dia mengumpulkan para anak buahnya dalam rapat gelap seusai sekolah.
"Bagaimana ini" Semua bisa berantakan. Bagaimana mungkin kita bisa kecolongan kayak gini. Kalian tau semua, pamflet itu sudah tersebar ke mana-mana. Semua anak baru pasti sudah membaca. Dan bagaimana kalau mereka terpengaruh dan mengadakan aksi protes" Huh, sial. Pasti ada oknum yang nggak suka sama rencana kita bikin Mapras. Memang sih, kegiatan kayak begini nggak boleh lagi. Tapi yang namanya tradisi nggak boleh hilang dong!" Andang nyerocos.
Teman-temannya cuma manggut-manggut aja.
Lupus juga. Lagi nggak interes sama kicauan Andang. Dia ngamuk berat. Ini kan jamnya orang tidur siang. Mending kalau rapatnya ada konsumsi. Huh!
"Tapi kamu nggak tau masalahnya, ya" Gini. Si Andang, dengan rekomendasi dari ketua OSIS" terpilih jadi ketua program Mapras. Kegiatan ini sendiri secara tertulis sebetulnya tidak boleh. Pun di universitas-universitas. Diganti dengan yang lebih mendidik, seperti P4, kebersihan kelas, dan sebagainya! Tapi, seperti biasa, apa yang tertulis tidak selalu cocok dengan kenyataannya. Apalagi SMA Merah
Putih ini bukan sekolah negeri. Jadi peraturan bisa sedikit lain dengan negeri. Dan Mapras itu sudah mentradisi di setiap "tahun ajaran baru. Nggak berat sih, nggak kayak di universitas swasta. Tapi ya yang namanya Mapras, tetap saja nyebelin. Jadi nggak adil dong kalau tahun ini program gelap itu ditiadakan. Makanya anak-anak kelas dua dan tiga ngotot mau mengadakan Mapras. Sedangkan guru-guru cuma angkat bahu saja, memaklumi acara yang sudah mentradisi ini.
Tapi kalau anak-anak kelas satunya berontak, berarti mengancam kelangsungan jalannya kegiatan tersebut. Beneran. Soalnya secara resmi, anak-anak senior tak punya izin dari kepala sekolah.
Makanya mereka sekarang kebingungan. .
"Ayo dong, gimana jalan keluarnya. Apa kita harus mencari siapa yang membuat dan menyebarkan pamflet tersebut" Ayo dong. Ada pendapat nggak" Lupus, kamu kok dari tadi diem melulu. Gimana nih wartawan kita...."
Lupus cuma menggaruk-garuk rambutnya dengan males. Dia di samping ngantuk memang lagi sedih banget. Gara-gara di- PHK sama ceweknya, Poppi. Jadi sama sekali nggak lagi mood untuk ngasih ide. Andang pun melemparkan pertanyaan kepada anak lainnya. Di situ ada Irvan, Boim playboy duren tiga, Andy, Roni, bahkan Ruri biang gosip yang cerewet. Tumben, kali ini Ruri nggak banyak omong. Mungkin lagi sakit gigi. Tapi kompensasinya jadi kentut melulu. Sudah tiga anak jadi korban, dan pindah tempat duduk. Nggak mau dekat-dekat dia lagi.
Rapat pun semakin ramai ketika ketua OSIS muncul. Anak-anak lain juga mulai berdatangan. Membahas kemungkinan siapa yang membuat pamflet itu. Membahas jalan keluar yang ditempuh. Ketika mereka saling berdebat, Lupus jadi suntuk. Secara diam-diam dia menyelinap keluar.
Dia memang kurang suka acara begituan. Mending jajan, terus pulang.
*** "Sampai keesokan harinya, mereka para senior belum menemukan jalan keluar yang baik. Juga siapa penulis selebaran gelap itu. Meski sudah dipastikan ada dua kemungkinan; anak baru atau justru seorang senior yang nggak setuju diadakannya acara tersebut.
Cuma Lupus yang kelihatan tak peduli.
Ketika bel istirahat, dia duduk sendirian di belakang kantin. Menikmati bihun goreng yang dibungkus daun. Secara iseng membaca selebaran yang konon membuat heboh itu. Sebagian memang sudah dirobek, tapi secara misterius bisa muncul kembali.
Lupus membaca dengan saksama. Hm, boleh juga, gumamnya. Tapi tiba-tiba dia menemukan sesuatu. Sesuatu yang mungkin bisa mengungkap kan rahasia si penulis gelap tersebut. Ini pasti bikinan anak baru. Yang nggak setuju diadakan Mapras. Karena di beberapa bagian, dia menyebutkan bahwa dia belum pernah mengikuti Mapras. Dan meski tampak berusaha menghilangkan identitas, emosinya menunjukkan emosi seorang cewek. Ditambah beberapa kalimat berbahasa Inggris yang kelihatan nge-prof. Aha, dengan data-data ini masak nggak bisa menemukan siapa penulisnya"
*** "Lupus sama sekali tak mengira kalau yang namanya Rina itu orangnya kecil, lembut dan ehm, manis. Anak itu begitu pucat dan ketakutan ketika sadar bahwa rahasianya telah terbongkar.
"Nggak sulit, tadinya cuma menebak aja. Saya melihat ada tiga petunjuk. Pamflet itu menunjukkan kelincahan, emosi, dan kemampuan berbahasa Inggris si penulis. Tak banyak yang memiliki tiga kelebihan seperti itu. Maka saya pergi ke kantor administrasi sekolah. Melihat semua data anak kelas satu. Kamu mungkin ingat, ketika baru masuk sekolah setiap siswa diharuskan menyerahkan biografi singkat beserta prestasi yang pernah diraih, untuk memudahkan penyaluran pelajaran ekstrakurikuler. Iya, kan" Dan di situ saya membaca namamu. Rina. Prestasi: juara mengarang berbahasa Inggris yang diadakan oleh UNICEF. Nah, klop sudah. Hanya kamu yang memenuhi tiga petunjuk itu. Ditambah lagi alamat rumahmu dekat dengan sekolah. Itu memudahkan kamu untuk menempel pamflet di malam hari. Dan sekaligus memudahkan saya mencari rumahmu.
"Ngomong-ngomong, jago juga Inggris-mu. Belajar di mana" Pernah ke luar negeri, ya"" tanya Lupus panjang lebar.
Rina tak menjawab. Dia masih tampak ketakutan.
"Tap... tapi, Kak, saya tidak... eh, maksud saya, saya
cuma melampiaskan rasa kesal saya. Saya benci sekali acara mapras-maprasan seperti itu."
"Kenapa"" Dia tak segera menjawab. Seperti menimbang-nimbang dulu. Lupus tetap menunggu.
"Karena Kakak saya. Dia cedera waktu ikut Mapras di universitasnya. Ketika itu dia disuruh membawa balon gas yang banyak ke atas gedung untuk dilepaskan. Tiba-tiba ada seorang panitia yang merokok. Apinya mengenai balon tersebut. Seketika meledak. Wajah kakak saya terbakar. Terpaksa dirawat di rumah sakit. Siapa y"ang menanggung risiko kalau begini""
Lupus tercekat. Dia melihat mata Rina berair.
Dia sendiri sebetulnya kurang suka pada acara " tersebut. Apalagi kalau mendengar cerita-cerita orang lain yang tampak sadis. Pantas saja Rina begitu menentang mapras di SMA Merah Putih.
"Tapi kamu lupa, Rin, itu kan di universitas. Dan kini juga mulai dilarang kalau sampai keterlaluan. Itu juga bukan disengaja. Nah, untuk SMA kita, nggak terlalu berat kok. Paling membersihkan halaman, kelas, dan-yeah, dibentak-bentak sedikit. Kamu tau, Rin, masa-masa perkenalan sekolah itu adalah masa yang paling berkesan buat kita, sebagai remaja. Saat kita merasa senasib, nggak beda kaya atau miskin. Sama-sama dicabut haknya. Pokoknya berkesan deh, meski kalau disuruh mengulangi... wah. Amit-amit. Ogah. Saya juga tadinya benci sekali. Tapi pas malam terakhir, di mana kita semua bikin acara ke luar kota, wah- rasanya terharu sekali. Rugi deh, kalau nggak pernah ngerasain."
"Dan beberapa hari kemudian, Mapras itu sendiri tetap dilaksanakan. Kep-sek berbaik hati menurunkan izin resminya, sehingga anak-anak kelas satu mau nggak mau harus ikut. Tentu saja Lupus tetap merahasiakan identitas Rina, sehingga ketika Mapras itu berlangsung, para panitia sudah melupakan selebaran tersebut.
Lupus kini sedang sibuk mencari-cari Rina di antara para siswa baru yang dikuncir lima rambutnya. Maksudnya, siswa cewek, gitu. Semua siswa baru itu sedang mendapat tugas meminta tanda tangan para senior sebanyak-banyaknya. Tentu saja para senior jadi serasa bintang film ngetop, dikejar-kejar untuk dimintai tanda tangan.
Hm, Rina bener juga. Anak-anak senior memang lagi pada norak. Apalagi Boim. Dengan kampungannya dia menyuruh setiap siswa baru merayunya untuk mendapatkan satu tanda tangan.
"Lupuuuus..." panggilan nyaring di kejauhan mengagetkannya. Lupus menoleh, eh... itu dia si Rina. Berlari-lari kecil ke arahnya sambil tertawa senang.
"Trims ya, kamu nggak ngadu soal selebaran itu. Bayangin aja kalau para senior tau. Wah, saya bakalan dikerjain. O ya, minta tanda tangannya dong, Kak Lupus."
Lupus tersenyum sambil memberikan sepuluh tanda tangan di buku Rina.
Dan ketika Mapras berakhir, semua siswa baru berkumpul membentuk lingkaran api unggun. Udara malam dingin menggigit. Tapi kehangatan menyelimuti masing-masing siswa. Irvan, tampak lengket dengan salah satu siswa baru. Boim juga begitu. Apalagi Andang. Wih, mesra. Maka nggak salah kalau Lupus pun berdiri berdekatan dengan Rina.
"Semua menyanyikan lagu Auld Lang Syne.
Tapi sebetulnya lagu itu lebih pantas Lupus nyanyikan untuk Poppi, bukan untuk Rina. Dan kayaknya sekarang sudah jelas, apa arti Mapras bagi mereka semua. Ya, apa lagi sih kalo bukan cari jodoh. He he he....
Pendekar Pemetik Harpa 32 Candika Dewi Penyebar Maut X Wasripin Dan Satinah 3
^