Kecil Jjs 2
Lupus Kecil Jjs Bagian 2
"Wah, Kak Lupus batal! Kak Lupus batal!" teriak Lulu mengingatkan.
Ya amplop! Lupus bener-bener lupa. Dia nggak sadar kalo sedang puasa. Tapi botol air dingin itu sudah keburu kosong melompong.
Lupus kaget banget. Dia buru-buru menyimpan botol itu di dalam kulkas. Kemudian menyeka mulutnya dan berusaha mengeluarkan air yang sudah diminumnya.
"Naa... cengaja minum, ya. Bilangin Mami, 1o..."
"Jangan, Lu. Saya nggak sengaja. Bener."
"Nggak cengaja kok abis sebotol."
""Tadinya nggak sengaja, terus nanggung, gitu."
"Ya, udah, ntar bilangin Mami!"
"Jangan, Lu, nanti Mami bisa marah berat kalo sampe tau anaknya nggak puasa. Mami akan merasa gagal mendidik anaknya dengan akhlak yang baik. Dan meskipun puasa, Mami pasti akan tetap marah-marah, karena Mami marahnya disimpan setelah buka puasa nanti. Jangan ya, Lu."
"Nggak bica. Pokoknya Lulu bilangin!"
"Duh, jangan dong, Lu. Nanti saya nggak dibeliin baju Lebaran, nih. Saya juga pasti akan dapat hukuman nguras bak mandi, Lu."
"Masa bodoh. Kalo nanti Mami pulang dari pasar, Lulu bilangin!"
"Jangan, Lu. Tolong saya, dong. Nanti kalo kamu mau ngasih duit ke saya pasti saya terima, deh. Asal kamu nggak ngadu ke Mami. "
"Enak aja ngasih duit ke kamu. Kamu yang harus ngasih duit ke saya, tau!"
"Iya, iya. Nanti kamu saya kasih duit. Kamu juga boleh main-main di kamar saya, boleh ngacak-ngacakin b
uku-buku cerita, boleh guling-gulingan di kasur. Asal jangan ngadu ke Mami."
"Tapi benar, ya, Lulu boleh ngapain aja""
"Iya." Dan ketika Mami pulang dari pasar membeli manis-manisan buat berbuka nanti, Lupus merasa deg-degan. Takut-takut kalo Lulu ngadu. Karena kalo ngadu bisa berabe.
"Halo, anak-anak, lagi pada ngapain, nih"" sapa Mami pada Lupus dan Lulu.
"Ya, lagi gini-gini aja," tukas Lulu cuek.
Tapi Lulu tiba-tiba naik ke pundak Lupus. "Ayo, jadi kuda! Jalan muter-muterin ruang makan!"
Mami kaget. "Lulu, kamu ini apa-apaan, sih! Kakakmu kan puasa, nanti capek, dong."
Tapi Lulu cuek. Dan Lupus jelas nggak bisa berbuat apa-apa. Sementara Lulu benar-benar memanfaatkan peluang ini.
"Nggak apa-apa, Mi, Kak Luputs kuat kok. Kan tadi malem caurnya nambah. Iya, kan, kuda""
"Bener, Pus, kamu nggak apa-apa"" Mami kuatir.
"B-bener, Mi, Lupus nggak apa-apa, kok," ujar Lupus cepat. Padahal hatinya gondok bukan main. Pengen rasanya ngejitak pala Lulu.
"Hei, kudanya kok nggak mau jalan, sih. Ayo jalan!" Lulu menyabet pantat Lupus pake pensil.
""Auw!" Lupus berteriak kesakitan. Tapi Lupus nggak bisa berbuat apa-apa. Ia harus mau mengikuti perintah Lulu.
Setelah puas main kuda-kudaan, Lulu kemudian minta dipijitin kakinya. Lupus keki banget. Dia udah nggak tahan mau ngejitak pala Lulu.
Tapi Lulu euek. "Jitak aja kalo berani. Coba jitak!"
"Ya, ya, nggak. Nggak jadi ngejitak."
"Ayo pijit!" Mami yang lagi repot nyiapin makanan buat buka puasa, heran banget ngeliat tingkah Lupus yang mau-maunya mijitin kaki adiknya.
"Wah, tumben banget. Tadi mau jadi kuda-kudaan, sekarang mau mijit. Ceritanya mau banyak-banyak berbuat amal di bulan puasa, ya, Pus," komentar Mami.
Lupus tak menanggapi omongan Mami. Ia merasa hari itu adalah hari paling sial baginya. Karena Lulu terus-terusan ngerjain. Lulu bener-bener keterlaluan. Bayangin aja, minta dipijit dari tadi sore sampe menjelang magrib." Tapi ketika Lulu mulai ngacak-ngacak buku-buku cerita koleksinya, Lupus benar-benar nggak tahan untuk tidak ngejitak kepala Lulu.
"Hua hua hua... hua hua hua...." Lulu pun menangis berkoak-koak.
Mami berteriak dari dalam dapur, "Ada apa sih" Masa puasa-puasa pada berantem. Ayo dong pada beres-beres, bentar lagi magrib, tuh!"
Lupus nyesel juga ngejitak pala Lulu. Pasti ni anak bakal ngadu. Tapi untungnya belon sempat Lulu berteriak ke Mami, bedug magrib bertalu-talu. "Alhamdulilla"h...."
Tapi di meja makan Lupus kembali kebat-kebit.
"Awas lho, Lulu bilangin.:.," ancam Lulu sambil mengusap air matanya.
"Kenapa masih pada berantem, sih. Percuma pada puasa, dong. Baru Mami terheran-heran ngeliat kalian rukun, eh, tau-tau pada berantem lagi. Lulu tadi kenapa nangis"" tegur Mami sambil sibuk menata meja makan.
Belon sempat Lulu ngejawab, Lupus langsung menyorongkan sesuatu. "Mau kolak pisang, Lu" Ambil aja, nih."
Lulu girang dan mengambil kolak pisang itu.
"Lulu, tadi kenapa kamu menangis"" Mami mengulang pertanyaannya.
"Mau jajan kue serabi di depan mesjid, Lu" Nih!" Lupus tiba-tiba menyodorkan uang seratus perak.
Lulu mengambil duit itu dan cepat dimasukkan ke sakunya.
"Lulu... kenapa kamu tadi menangis"" teriak Mami kesel karena pertanyaannya nggak dijawab-jawab.
"A-anu, Mi..." "Anu apa""
Sementara Lupus menendang-nendang kaki Lulu, menawarkan sebuah permen coklat.
"Anu apa, Lu" Kok diam, sih!"
"A-anu, Lulu tadi dijitak Kak Lupus."
"Lupus, kenapa kamu menjitak Lulu""
"Dia mengacak-ngacak buku cerita," Lupus menjawab tertunduk.
"Lulu, kenapa ngacak-ngacak buku cerita Lupus""
"Kak Lupus mengizinkan saya untuk mengacak-acak, kok."
"Lupus, kenapa mengizinkan Lulu untuk mengacak-acak buku cerita kamu""
"Karena takut kalo Lulu ngadu ke Mami bahwa..."
"Bahwa apa""
"Bahwa kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa... Eh, sori, bukan itu, ding."
""Jadi bahwa apa, dong!" Mami bener-bener nggak sabar.
"Bahwa Lupus tadi minum air es!"
"K-kamu minum air es""
"Iya, Mi. Tapi Lupus nggak sengaja. Sumpah!"
Anehnya Mami tak melanjutkan interogasinya lagi. Dan Mami juga nggak marah. Dia kini malah terbengong seribu basa.
"Mi, Mami kena pa bengong"" tanya Lupus dan Lulu heran.
"Nggak. Nggak apa-apa. Cuma waktu di pasar tadi sore Mami juga lupa beli es cendol sampe dua gelas, anak-anak...."
7. Becak DI suatu senja di musim yang lalu. Ketika itu hujan rintik. Terpukau aku menatap wajahmu... Lho, kok kayak lagu zaman dulu, sih" Eh, tak usah heran. Sebab senja itu di rumah Lupus ada banyak teman-teman mami Lupus semasa sekolah dulu. Ya, sekalian bersilaturahmi abis Lebaran kemaren. Mami memang mengundang teman-teman masa SMA-nya dulu, untuk membicarakan reneana reuni. Wah, suasananya rame sekali.
Mereka saling bercerita sambil tertawa-tawa.
"Du", maminya Lupus, kok centilnya ndak ilang-ilang, ya. Tapi, ada yang ilang juga, lho. Ayo, apanya.."" ujar seorang ibu yang gendutnya nggak ketulungan.
"Wah, apanya tuh, jeng Ret""
"Anu, kecenya...!"
"Hahaha, bisa aja ni, jeng Ret. Teman-teman, jeng Ret juga dari dulu nggak berubah, ya""
""Apanya yang nggakberubah, Mami Lupus""
"Ah, nggak jadi ah."
"Lho, Mami Lupus ini, kok, bikin penasaran aja. Apanya yang nggak berubah""
" Itu... tembamnya!"
"Hahaha... Mami Lupus ini bisa aja."
Jeng Ret, teman mami Lupus yang terkenal doyan bercanda itu, langsung merah, kuning, ijo wajahnya. Malu dia. Rupanya, dulu-dulu, beliau-beliau itu sudah terbiasa bercanda. Kayak kita-kita. Pipi Jeng Ret memang tembem. Tapi terus terang aja, itu malah menambah manis wajahnya.
Seiring dengan itu salah seorang teman mami Lupus yang body-nya lumayan langsing maju ke muka. Ngomongnya sok serius sekali, hingga mami Lupus tersenyum geli.
"Perhatian ya, semuanya. Adapun rencana reuni kelas kita yang mana telah kita rencanakan pada waktu sekian lalu, adalah sebagai berikut. Pertama-tama kita bersama segera rapat adanya, dan membahas apa saja yang perlu kita bahas. Kedua, kita bersama membicarakan tempat dan waktunya tentang acara reuni itu berlaku. Ketiga, adalah masalah dana yang perlu kita rembuk bersama, ibu-ibu. Dan terakhir, untuk Mami Lupus, apa hidangannya telah siap untuk segera disantap bersama""
Ibu-ibu langsung terbahak.
Mami Lupus buru-buru beranjak hendak mengeluarkan makanan yang sejak tadi disembunyikan. Pikir mami Lupus, kali-kali aja pada lupa. Kan bisa buat Lupus dan Lulu.
"Lupus, Lulu...! Tolong keluarkan kue-kue yang ada di dalam lemari itu, Nak!" perintah Mami.
Sementara Lupus dan Lulu yang sejak tadi ngedumel lantaran nggak diperhatiin kelangsungan hidupnya, dengan malas beranjak ke lemari makan. Ya, Mami ternyata telah menyiapkan banyak sekali makanan untuk teman-temannya. Ada kue keju, kue nastar, kacang goreng, dan semua sisa Lebaran kemaren. Dan yang teristimewa, Mami kini sudah berhasil membuat pizza sendiri. Rencananya, inilah saat yang tepat bagi Mami untuk mempertunjukkan kebolehannya di depan teman-teman SMA-nya. Lupus dan Lulu sibuk mondar-mandir membawa piring berisi kue yang sama sekali tidak boleh disentuh.
Ibu-ibu langsung berebut menyantap,
dan, "Waaah, pizza-nya enak sekali, Mami Lupus. Beli di mana""
""Bikin sendiri, kok."
"Bikin sendiri" Bukan main...."
"Mudah kok bikinnya. Saya aja sekali bikin langsung jadi," ujar Mami sombong.
Ibu-ibu pada mengangguk-anggukkan kepalanya.
Tok, tok, tok. Olala, ternyata di luar pintu ada yang ngetuk. Oho, tak taunya Papi baru pulang dari kantor. Kayaknya Papi nggak tau kalo di rumahnya ada teman-teman Mami ketika sekolah dulu. Maka Papi terperanjat waktu melongok ke ruang tamu yang ramai seperti Pasar Pagi.
Dan teman-teman mami Lupus, demi melihat Papi, langsung mengolok-olok. Maksudnya ngebereanda-candain, gitu.
"O, itu si Mul dulu yang kamu kejar-kejar, ya"" goda seorang teman pada mami Lupus. Untung Papi sudah buru-buru menyelinap ke balik tembok. Tapi tak langsung ke kamar, melainkan ngumpet di gorden, ingin mencuri dengar percakapan ibu-ibu itu.
"Enak aja," tukas mami Lupus. "Dia yang ngejar-ngejar saya, kok!"
"Hahaha." Papi Lupus di balik tembok sebel hatinya diledek begitu.
"Sabar, Pi," kata Lupus yang ikut-ikutan bersembunyi di balik gorden. "Namanya aja orang lagi nostalgia."
Papi terkejut melihat Lupus yang ternyata ikut bersembunyi
di balik gorden. "Iya, Pi," Lulu ikut-ikutan menenangkan Papi yang dibercandain teman-teman Mami.
"Dulu," tukas seorang teman Mami, "katanya kamu nggak suka sama dia. Katanya orangnya pelit. Apa betul""
"Iya. Mami Lupus ini gimana sih" Kan waktu itu sudah akrab sama Basuki, kakak kelas kita yang berewokan itu."
"Iya, iya. Tadinya saya memang sudah milih Basuki. Tapi pas melihat dia yang datang dengan kepolosan dan kejujuran bahwa ia mencintai saya dengan begitu tulus, ya saya terima."
"Dooo...!" Ibu-ibu pada ngeledek.
"Dan Mami Lupus bahagia""
"Begitulah. Tapi memang tak seindah yang saya bayangkan ketika saya pacaran sama Basuki dulu."
"Hahaha, Mami Lupus ini paling bisa, deh. Nanti kalo bapaknya anak-anak dengar berabe, lho. Hahaha...."
Dan Papi makin mengkeret aja tampangnya.
""Tenang, Pi," hibur Lupus lagi, "Mami kan orangnya demen bercanda."
"Iya, Pi," timpal Lulu juga.
Tapi Papi masih keliatan mengkeret.
Dan tanpa berperikemanusiaan, ibu-ibu tetap melanjutkan olok-oloknya sambil menyantap hidangan. "Tapi apa kebiasaannya menulis puisi cinta kalau lagi naksir seorang itu masih diteruskan, Mami Lupus""
Mami Lupus tersenyum. "Ya, kumpulan puisinya masih ia simpan, tapi tak ada penerbit yang mau menerbitkan. Hahaha...."
Ibu-ibu tertawa. Papi makin mengkeret. "Papi tersinggung ya denger olok-olok Mami"" tanya Lupus yang sedih melihat bapaknya bingung kayak begitu.
"Papi memang malu," kata Papi kemudian, "tapi bukan karena ledekan itu."
"Jadi karena apa""
"Salah seorang teman Mami, yang pakai gaun merah dan berbadan langsing itu, adalah salah satu wanita yang Papi kejar-kejar dulu, sebelum akhirnya Papi ketemu mami kamu."
"Ah, itu kan biasa, Pi."
"Iya, Papi tau. Tapi waktu Papi pacaran
sama Mami dulu, ngakunya nggak pernah ngejar-ngejar wanita lain selain Mami."
"Hihihi," Lupus dan Lulu tertawa.
"Padahal sudah sepuluh puisi cinta yang Papi kirimkan buat wanita itu."
Lupus dan Lulu melongo. Sedang Papi langsung masuk kamar. Sementara Lupus diam-diam mulai tertarik dengerin rumpi-ria teman-teman Mami tentang kehidupan di masa muda mereka. Lupus sama sekali tak membayangkan kalau dulu-dulunya ortu mereka suka pacaran juga, suka ledek-ledekan, suka ngumpul-ngumpul, dan sebagainya.
Dan agaknya Mami dan teman-temannya sudah lupa pada apa yang hendak mereka bicarakan semula. Soal reuni yang bakal dibahas itu, tampaknya kalah menarik dengan obrolan soal pacaran. Khususnya tentang cinta monyet mereka.
Rumpi-ria diseIingi dengan mengemil kue-kue bikinan mami Lupus.
"Ayo don& Mami Lupus cerita tentang pengalaman cinta monyetnya."
Mami Lupus tersipu. "Ya, pada waktu itu saya pernah naksir seorang anak yang tinggal di depan rumah. Anaknya sopan. Dan murah senyum. Nah, saya termasuk salah seorang yang suka mendapat senyum itu."
"Kalo saya," cerita ibu yang lain, "pada waktu itu saya naksir guru olahraga saya."
"Ah, masa""
"Iya. Orangnya baik dan selalu memperhatikan saya. Dulu kan saya orangnya minder. Suka malu kalo berolahraga. Karena ada luka di betis saya. Tapi oleh guru itu saya diberi keyakinan, hingga saya bener-bener tidak malu lagi untuk ikut berolah-raga. Ya, pada akhirnya saya simpati padanya."
Lupus yang ngumpet di balik tembok makin asyik nguping pembicaraan teman-teman maminya.
"Kita," tukas Jeng Jian kemudian, "memang hampir pasti pernah mencintai orang lain sebelum kita mencintai suami dan anak-anak kita. Ada di antara kita yang pernah suka pada penjaga bel lantaran orang itu ramah, ada juga yang pernah demen sama guru, dan ada pula yang suka pada kakak kelasnya. Dan itu adalah masa-masa yang membuat kita bahagia. Makanya, saya pikir, kalo ada anak-anak kita yang masih kecil tau-tau sudah senang sama seseorang, itu biasa-biasa aja. Wajar saja. Kita nggak perlu cemas. Karena, itu sebetulnya bukan pacaran. Itu cuma luapan rasa simpati saja. Hanya teman-teman kita sering meledek, pacaran, pacaran...."
Ya, hampir semua teman Mami itu pernah mengalami cinta monyet. Dan anehnya mereka masih bisa ingat akan peristiwa-peristiwa itu.
Kata orang cinta monyet itu cuma cinta-cintaan. Cinta boho
ng-bohongan. Tapi mengapa teman-teman Mami masih ingat aja pada peristiwa yang dianggap nggak penting itu"
Dan yang lebih heran lagi, kenapa Lupus begitu memusingkan perihal itu" Karena Lupus kini juga tengah dilanda cinta monyet! Ya, Lupus mencintai anak kelas dua yang cantik rupanya. Lupus suka sekali pada anak itu. Tapi suka Lupus hanya terbatas pada mengagumi dan mengamati saja.
Sampai sekarang pun Lupus belon pernah menyapa anak itu. O iya, anak yang digandrungi Lupus itu namanya Winur.
Kenapa Lupus tak berani menyapa" Lupus takut. Takut disangka nggak waras. Takut disangka ketuaan. Masa masih kecil sudah mau kenal-kenalan segala.
Akan tetapi, setelah Lupus mendengar teman-teman Mami dulu pernah juga merasakan perasaan yang sama, maka Lupus berniat, besok pagi akan menyapa Winur dengan mesra.
Eh, kalo kalian punya perasaan yang sama seperti Lupus, juga jangan takut-takut. Jangan malu kalo diledek cinta monyet. Karena, kata orang-orang pintar, cinta monyet itu merupakan bagian dari proses menjadi dewasa. Proses untuk tidak ingusan lagi!
Lupus pun menyusul Papi masuk ke dalam.
*** "Keesokan sorenya, Lupus lagi asyik menghitung berapa jumlah gadis berpita yang lewat di depan rumahnya. Ya, saban sore memang banyak gadis-gadis kecil berpita lewat di depan rumah Lupus. Ada yang lari-lari kecil, ada yang lari-lari sedang, dan ada juga yang lari-lari besar. Lari-lari besar maksudnya, lari dengan langkah yang besar-besar. Ya, emang lari-lari sore lagi musim di kompleks rumah Lupus. Dan kebanyakan yang lari adalah gadis-gadis kecil berpita, agar rambutnya nggak kusut waktu berlari. Alasan mereka lari, katanya buat menjaga kondisi supaya nggak gendut. Genit, ya" Padahal kan mereka masih kecil.
Tinggal Lupus yang jadi asyik nongkrong
di atas pagar rumahnya yang terbuat dari beton, sambil makan popcorn rasa susu keju.
"Hei, hei, ada yang jatuh, tuh!" teriak Lupus waktu seorang gadis manis beridung buncis berlari pas di depan rumah Lupus. Gadis itu menghentikan langkahnya, dan mulai celingukan ke belakang nyari sesuatu yang jatuh. Tapi nggak menemukan apa-apa.
"Mana"" tanyanya pada Lupus.
"Itu, keringetnya!"
Gadis itu memandang Lupus jengkel, lalu meneruskan berlari-lari kecil. Tu, wa, tu, wa....
Lupus ketawa cekikikan. Sampai ketelen satu biji jagung. Dan rombongan gadis yang lainnya mulai nampak dari tikungan jalan. Lari berderap-derap mirip hansip. Ada yang gendut, ada yang kurus, ada juga yang manis. Larinya juga lucu-lucu. Ada yang kaki kanan sama tangan kanannya serempak, ada yang dingkring, ada juga yang melompat-lompat. Lupus mulai pasang stil. Bersiul-siul sampe mulutnya monyong.
"Aduh, itu yang gendut. Pinggulnya kayak Donal Bebek!" seru Lupus terpingkal-pingkal. Dan..., "Hei, hei, itu yang kurus, kalo lari dengkulnya jangan diadu-adu, dong. Kan berisik jadinya...." .
Tak ada yang mau dengar omongan Lupus. .
"Guk! Guk! Guk!" Lupus menirukan suara anjing. Dan gadis-gadis itu kaget, lalu pada ngibrit ketakutan.
Lupus terpingkal-pmgkal lagi.
Dan begitulah kesibukan anak usil itu saban sore. Mami sampai suka geleng-geleng kepala kalo kebetulan mengintip dan balik gorden. Ada aja komentarnya buat para atlet balap lari yang kerap lewat di depan rumah.
Jam lima, ketika langit mulai merah, tiba-tiba ada seorang gadis manis asyik berlari kecil sambil membawa anjing pudel. Lupus tercekat. Gadis kecil itu Winur! Anak kelas dua yang ia taksir. Ya, tadi Lupus tak sempat menegur anak itu ketika pulang sekolah. Karena ada Pepno, Andi, Tomi, dan Iko Iko. Lupus malu dikatain.
Sekarang Winur berlari sendirian ke arahnya.
"Eh, Winur!" tanpa sadar- Lupus menyapa ketika gadis putih yang berambut ikal itu pas lewat di depan rumahnya. Gadis itu berhenti. Menatap Lupus.
"Lupus, ya""
"Lupus girang hatinya karena dikenali.
"L-Iagi ngapain, Win"" Lupus agak gugup.
"Lagi lari. Rumah kamu di sini, ya""
"I-iya. Mampir, yuk""
"Ah, udah kesorean. Kamu aja main ke rumah. Rumah Winur di kompleks sebelah, kok. Yuk, Winur mau pulang dulu. Dadaaah. "
Lupus masih terbengong-bengong ketika Winur menghilang dari balik tikungan. Ah
, senangnya. Tapi tiba-tiba lamunan Lupus buyar. Beberapa anak yang tadinya lari-lari kecil, kini pontang-panting ke sana kemari. Ada apa" Lupus segera berdiri. Olala, ternyata beberapa becak di belakang mereka menyeruak dengan kecepatan tinggi. Ada balap becak"
Bukan. Para tukang becak itu lagi pada lari pontang-panting menyelamatkan diri dan becaknya dari kejaran petugas penertiban bebas becak.
Melihat tontonan yang asyik ini, Lupus langsung lupa kepada Winur dan ikut berteriak-teriak seru, sambil berjingkrak-jingkrak di atas pagar.
"Aduuh, Lupuuuuus! Nanti kamu jatuh!" teriak Mami dari balik jendela.
Tapi Lupus tetap keasyikan memberi semangat pada tukang becak yang pada balapan itu, "Ayo, Bang! Kebut! Terus! Terus!
Dan entah karena diberi semangat oleh Lupus, para tukang becak itu makin semangat menggenjot, menyelinap masuk ke gang-gang sempit yang tak bisa dilalui petugas penertiban.
Lupus bertepuk tangan riuh.
Tapi, apa semua becak sudah selamat dari kejaran para petugas" Aduh, aduh! Ternyata masih ada satu becak yang tertinggal agak jauh di belakang mereka. Kasihan sekali, abang becaknya sudah agak tua. Mungkin sudah tak kuat lagi mengenjot becaknya seperti abang becak yang lainnya. Abang tua itu kelihatan bingung, celingukan mencari tempat aman terdekat, untuk bisa menyembunyikan becaknya dari kejaran petugas. Lupus kasihan memandang dari atas pintu pagar. Seketika otaknya bekerja. Ia pun lantas melompat turun, dan buru-buru membuka pintu pagar di halaman samping, tempat Papi biasa memarkir mobil tuanya. Pintu pagar itu akan membuka jalan sampai ke halaman belakang rumah Lupus yang cukup luas. Yang pasti aman buat persembunyian becak dari petugas penertiban.
""Ayo, Pak, masuk ke sini!" seru Lupus dari balik pintu pagar yang terbuka.
Tukang becak tua itu celingukan sejenak. Seolah ragu. Namun, seperti merasa tak punya pilihan lain, ia buru-buru mendorong becaknya ke halaman rumah Lupus. "Terus ke belakang, Pak. Nggak bakal ketauan!" ujar Lupus sambil buru-buru menutup pintu.
Pada saat Pak Tua itu mendorong becaknya ke halaman belakang, mobil petugas penertiban lewat. Dan sama sekali tak melihat becak yang disembunyikan di halaman rumah Lupus. Lupus menarik napas sambil bersandar di balik pintu pagar.
*** ""Aduh, terima kasih sekali, Nak Lupus, Bu Lupus," ujar Pak Tua itu sungkan ketika Mami meletakkan singkong goreng di dipan belakang.
"Ah, nggak apa-apa. Ayo, silakan dicicipi," ujar Mami tersenyum. "Lalu bagaimana lanjutan ceritanya""
Pak Tua itu meneguk kopi panasnya dengan nikmat, lalu berkata, "Bapak tinggal punya satu cucu, Bu, sebesar Nak Lupus ini. Bapak sayang sekali sama dia. Dan satu-satunya pekerjaan yang bisa Bapak lakukan untuk membiayai sekolah cucu Bapak, dan juga untuk makan sehari-hari, ya dari narik becak itu, Bu. Bapak nggak tau, harus bagaimana kalo becak ini sampai disita yang berwajib. Dengan apa Bapak bisa mencari nafkah lagi. Bapak tak punya keahlian untuk kerja yang lain. Tiap hari Bapak bingung, ke mana harus menyembunyikan becak ini. Bapak tak bisa hidup selalu dikejar-kejar seperti ini. Tapi Bapak juga tak ingin cucu Bapak jadi orang bodoh seperti Bapak. Dia harus sekolah...."
Mami terharu. Lupus juga ikut-ikutan terharu.
Sesaat suasana hening. "Kenapa Bapak tak pindah ke daerah saja" Kan di sana boleh narik becak""
"Ya, itu sudah Bapak pikirkan. Tapi sekarang tabungan Bapak belum cukup. Kan pindah sekolah harus ada biaya tambahan."
"Saya punya usul, Pak," ujar Mami akhirnya. "Bagaimana kalo sementara ini Bapak titipkan saja becak Bapak di sini" Setiap pagi, saat situasi aman, Bapak boleh mengambil becak Bapak dan mulai beroperasi di dekat-dekat sini. Kalau menjelang ada pembersihan, Bapak bisa menyimpan kembali becak Bapak di halaman ini. Bagaimana""
Sinar mata Pak Tua itu berbinar. "Terima kasih. Terima kasih sekali, Bu. Bapak tak mengira, ada orang yang masih mau memperhatikan nasib Bapak. Terima kasih, Bu."
"Bapak bisa pulang sekarang dengan tenang. Kembalilah besok pagi untuk mengambil becaknya."
Pak Tua itu mengucapkan terima kasihnya berkali-kali. Lalu pami
t pulang. Kepada Lupus, Pak Tua itu menjabat tangan. Lalu Mami dan Lupus melepas kepergian tukang becak itu dari pagar depan.
Setelah Pak Tua pergi, Lupus memandang Mami yang sedang membereskan piring bekas dan bertanya, "Mi, apa tindakan kita ini memang benar" Becak kan dilarang""
Mami menatap Lupus sebentar. "Menolong orang kan nggak ada salahnya, Pus. Lagi pula..."
"Lagi pula kenapa, Mi""
"Tiap pagi Mami nggak bakalan gempor jalan kaki ke pasar lagi. Sekarang ini becak udah jarang. Dan kendaraan umum untuk gang-gang kecil nggak ada. Apa kamu tega ngebiarin Mami jalan dari pasar panas-panas sambil bawa belanjaan sekeranjang penuh" Nah, sekarang kan bakal ada yang nganterin tiap pagi...."
8. Ngompas "Lupus sekarang-sekarang ini, kalo sekolah nggak bawa duit. Bukannya nggak dikasi" Mami karena takut jajan sembarangan lagi, tapi Lupus memang sengaja nggak minta. Kok, tumben" Ya, lantaran anak-anak kelas lima dan enam sekarang-sekarang ini, suka ngompasin. Suka mintain duit adik-adik kelas.
Nah, daripada dimintai secara paksa oleh mereka, Lupus merasa lebih baik nggak bawa duit aja.
"Jadi gitu, Mi," ujar Lupus ketika Mami menegur Lupus kenapa nggak pernah minta duit lagi. "Uang jajan Lupus kan sehari dua ratus perak. Sabtu depan baru akan Lupus ambil. Semua jadi seribu empat ratus perak!" Pikir Lupus; lumayan buat nraktir Winur makan es krim di minimarket depan jalan.
"Lho, kok jumlahnya bisa jadi segitu, Pus" Kan cuma enam hari."
""Kan berbunga, Mi."
"Yee, emangnya Mami bank!"
Tapi, Mami belon tau kalo suasana di sekolah Lupus lagi rawan. Disangkanya Lupus sudah mulai rajin menabung. Makanya Mami setuju saja kalo Lupus menagih uang jajannya setiap hari Sabtu, seminggu sekali. Walau jumlahnya jadi bengkak begitu.
Anak-anak kelas lima dan enam belakangan ini memang rajin banget mengompasi anak-anak yang lebih kecil dari mereka. Hampir tiap hari mereka nongkrong di ujung gang samping sekolah. Dengan lagaknya yang sok tue mereka mencegati tiap anak. Jumlah yang mereka minta memang nggak terlalu besar. Paling lima puluh rupiah atau dua puluh lima rupiah dan kalo nggak punya duit, ngasih koran bekas juga diterima! (Hihihi, celamitan, ya")
Sementara guru-guru, sampai saat ini belon tau. Karena tiap anak yang dikompas diancam agar jangan melapor. Kalo sampe melapor, tau sendiri akibatnya. Mereka bakal dikitik-kitik seumur idup! Ih, sadis betul!
Lupus sebelum-belumnya juga pernah dikompas. Waktu itu Lupus baru pulang sekolah sama Winur. Tiba-tiba saja ia dirubungi oleh beberapa anak yang perawakannya rata-rata besar. Mulanya Lupus berusaha melawan, dan menyuruh Wmur cepat-cepat pulang. Tapi sia-sia saja. Karena selain anak-anak itu badannya gede-gede, mereka juga tega untuk memukuli sang korban.
Dan Lupus memang nggak lapor. Tapi waktu dia main ke rumah Winur, Lupus cerita pada kakaknya Winur, Baba. Kebetulan Baba sudah duduk di SMA. Da" menurut Baba, anak-anak yang suka mengompas itu ketularan penyakit anak-anak "SMA zaman sekarang ini. Baba sama sekali tak menyangka kalo kebiasaan buruk itu merembet ke anak-anak SD.
"Ini sebaiknya segera dibendung, Pus," saran Baba kala itu.
"Dibendung bagaimana, Kak Baba""
"Kamu mesti berani melaporkannya," saran Baba lagi. ''juga bilangin sama teman-temanmu untuk tidak dengan mudah memberi, meski cuma jigo atau gocap, pada anak-anak yang mengompas itu. Karena kalo ngasih, kamu atau teman-temanmu ikut memberi peluang dalam membuat kesalahan. Jadinya, biar dikit, punya andil dalam membuat kekeliruan."
Lupus mengangguk-angguk. "Tapi itu memang nggak gampang. Apalagi kalo yang ngompas lebih dari satu anak dan badannya lebih gede. Tapi, masa iya sih, kamu dan teman-temanmu nggak berani menolak permintaan mereka itu. Katanya sudah pada tidak ingusan lagi...."
Dan semenjak ngobrol-ngobrol dengan kakaknya Winur itu, Lupus mulai memupuk keberanian untuk menghadapi para pengompas itu.
"Iya, Pep, kita harus melawan mereka. Jangan diberi ati, ntar minta daging lagi. Eh, kebalik, ya""
Sayangnya, Pepno tak memberi dukungan. juga yang lain. Mereka lebih rela ngasih jigo atau gocap dar
ipada harus ngadepin para pengompas. Hampir tiap teman Lupus rela dibegitukan. juga Iko Iko yang duitnya selalu cekak itu.
"Kalo kamu mau cari penyakit, sana, gih!" ujar Pepno waktu Lupus mengajaknya untuk menyetop kegiatan jelek itu.
"Tau, cuma bela-belain jigo aja, pala pada benjol!" sambung Iko Iko meleceh.
Sebenarnya sih Lupus sendiri sudah dalam keadaan aman sentosa. Semenjak ia nggak pernah bawa duit ke sekolah lagi, Lupus memang nggak pernah dikompas atau dimintai duitnya. Artinya, nasib Lupus udah nggak sial-sial amat. Abis tiap kali dicegat isi kantongnya kosong melulu.
"Hei, kamu kok nggak pernah punya duit"" tegur salah seorang pengompas kala mencegat Lupus pada suatu hari.
"Lho, apa kamu juga punya duit"" Lupus balik tanya.
"Ya punya dong!" jawab anak itu tersinggung.
"Kok masih suka minta-minta""
"Yeee, kita kan cuma iseng aja. Dapet sukur, nggak dapet ya benjol!"
Ya, akhirnya Lupus pun nggak pernah diapa-apain lagi. Tapi ia prihatin dengan kejadian seperti itu. Mau lapor risikonya terlalu berat. Meskipun guru-guru selalu berjanji menjamin keselamatan tiap anak yang melaporkan perbuatan nggak baik, bukan berarti guru-guru itu juga bersedia mengawal anak yang lapor, dari pagi sampe pulang sekolah. Artinya, keamanan hanya akan terjamin di dalam sekolah saja. Di luar" Oho, risiko tidak ditanggung!
*** "Hari itu, bel pulang baru saja berdentang. Lupus menarik tas gendongnya untuk kemudian melesat keluar!
Di ujung jalan, Lupus kembali melihat beberapa anak kelas lima dan enam yang bergerombol. Tapi wajah mereka tidak keliatan galak. Karena di dekat mereka bergerombol anak-anak SMP yang punya penampilan lebih gede.
Dan ternyata anak-anak kelas lima dan enam itu tengah kena batunya. Mereka gantian dikompas! Anak-anak kelas lima dan enam itu tampak tidak berkutik, ketika dilucuti untuk menyerahkan duitnya.
Lupus terus mengamati dari kejauhan. Kakak-kakak kelas Lupus itu juga didorong-dorong bahunya persis seperti ketika mereka memperlakukan Lupus dulu. Kini mereka benar-benar tidak berkutik.
Adegan itu untungnya tidak berlangsung lama, karena kalo nggak, pasti rasa takut yang mendera anak kelas lima dan enam itu akan lama juga. Tetapi mereka tanpa disadari, sudah ngerasain betapa tidak enaknya dikompas itu.
Dan dugaan Lupus benar. Esoknya kegiatan pemerasan di sekolah berhenti total. Dan Lupus senang karena, "Tak perlu capek-capek melawan mereka lagi."
Saku Lupus pun kini sudah ada isinya lagi.
Ya, karena hukum karma itu lebih manjur. Barang siapa yang pernah berbuat jahat, suatu saat dia juga. akan dijahati. Ingat aja pesen orangtua-orangtua kita: Kalo kamu nggak mau sakit dicubit, jangan mencubit orang lain!
Eh, tapi gimana dengan anak SMP yang ngompas itu" Apa dia juga akan kapok mengompas anak-anak SD kalo mereka sudah dicegat anak-anak SMA" Lho, trus anak SMA-nya bagaimana" Apa juga baru berhenti kalo sudah digertak oleh orang yang lebih kuat" Wah, wah, ini artinya pemerasan nggak ada abis-abisnya, dong, kalo orang-orang yang merasa kuat dan perkasa selalu bertindak semena-mena....
*** "Dan dugaan Lupus benar. Pemerasan tetap tak akan ada habisnya. Kini kalo pulang sekolah Lupus dan Pepno males lewat Gang Senggol. Ya, di gang ini memang terkenal banyak anak nakalnya. Anak-anak yang kerjanya nongkrong sambil bermain gitar dan bercanda. Mereka jarang sekolah, serta gemar berkelahi. Badan mereka memang besar-besar, serta bertampang sangar. Mereka suka mintain duit anak-anak sekolah yang lewat di gang situ. Bukan hanya anak SMP yang dulu ngompasin anak SD. Tapi anak SMA juga kena dilawan.
Lupus dan Pepno tentu merasa kecut hatiny" kalo harus melewati Gang Senggol. Tapi misalnya Lupus ambil jalan lain, lewat Gang Cowel atau Gang Sentuh, akan lebih jauh. Mungkin sampainya bisa sore hari.
Gang Senggol memang merupakan jalan pintas yang asyik. juga jalan potong yang mendebarkan.
Dan kini Lupus sama Pepno bener-bener kebat-kebit hatinya. Mereka baru memasuki ujung Gang Senggol, tapi tawa anak-anak nakal sudah kedengaran.
"Wah, gimana nih, Pep""
Lupus Kecil Jjs di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kita pura-pura nggak liat aja, Pus."
"Nggak lia t gimana" Mereka kan tetep liat kita."
Lupus mendorong Pepno supaya jalan di depan.
"Atau," tukas Lupus kemudian, "gimana kalo seluruh badan ini kita kasih daun-daunan" Kayak tentara yang mau perang!"
"T-tapi, Pus, daun-daunan di sini banyak ulatnya. "
"Hiii... nggak jadi, deh!"
Sementara di ujung Gang Senggol keliatan beberapa anak tengah asyik duduk-duduk. Ada yang main gitar, dan hei, ada juga yang ngerokok dan minum bir! Amit-amit. Padahal mereka masih tergolong kecil-kecil, lho. Ya, paling SMP dan SMA.
Anak-anak Gang Senggol telah terkenal dengan kenakalannya. Anak-anak itu selain pada bolos sekolah, juga suka ngegangguin orang yang lewat di situ. Apalagi kalo yang lewat anak cewek. Wah, mulut mereka pun rame bersuit-suit. Mereka juga berani minta duit receh secara paksa.
"P-permisi," ueap Pepno pas sampe di depan anak-anak itu. Rambutnya yang kenting mulai gemeteran!
"Iya, permisi ya, kita numpang lewat," ujar Lupus pula sambil mengelap keringat di dahinya. "O ya, kita berdua nggak ada yang punya duit, lho!"
Beberapa anak Gang Senggol agak kaget juga ngeliat ada dua anak berani numpang lewat di situ.
"Hei, Cabe Keriting!" teriak seorang anak tiba-tiba sambil menunjuk ke arah Pepno.
"Sini kamu!" Pepno langsung mengkeret.
"P-pep, kamu dipanggil...," bisik Lupus sambil ngejorokin Pepno.
"Kamu juga!" Anak itu menuding ke Lupus.
"S-saya ""
"Iya, elu!" "Lupus dan Pepno menghampiri anak-anak itu dengan rasa strawberry eh, rasa takut. Apalagi anak yang menyuruh mereka mendekat punya badan gede dan potongan sangar.
"Kamu tadi bilang nggak punya duit, ya"!" Anak berbadan besar itu membentak seraya bangkit dari duduknya. Memasang tampang beringas.
"I-iya, saya nggak punya," kata Lupus terbata-bata. ''Tapi nggak tau deh kalo si Cabe Keriting."
"Saya nggak nanya Cabe Keriting. Saya nanya kamu, Tomat Gondol! Hah, punya duit nggak"!"
Pepno ingin ketawa mendengar julukan yang diberikan anak itu kepada Lupus. Tapi ia tahan. Karena takut menarik perhatian anak-anak badung yang lainnya.
"N-nggak, Bang, saya nggak punya," jawab Lupus gemeteran.
"Hei, bunyi apa itu""
"A-anu, Bang, dengkul saya."
"Hahaha, gemeteran ya""
"I-iya." "Kamu juga gemeteran, Cabe Keriting""
"I-iya." "Kok dengkul kamu nggak bunyi""
"Y-yang gemeteran rambut s-saya."
"Hahaha." Anak-anak yang ngumpul di situ pada ketawa.
"Sudah!" putus si Kaus Buntung. "Sekarang kalian harus ngasih duit seratus rupiah. Sebab, kita-kita di sini mau nyaingin Pak Ogah, tau!"
"Tapi kita berdua nggak punya duit. Tadi ada pelajaran olahraga, duitnya udah abis buat beli es di kantin. Kalo nggak percaya tanya aja sama Ibu Kantin di sekolah kita. Atau tanya Andi ya, Pep, sebab dia liat kita waktu kita jajan es di kantin. Kita berdua beli es rasa coklat. Wah, enak deh coklatnya. Kalo nggak percaya kamu beli aja di kantin sekolah kita. Murah kok, cuma seratus rupiah. Kalo nggak percaya, boleh kok nitip sama kita, besok kita bawain ya, Pep. Kalo nggak pere..."
"Sudah! Saya bukannya mau denger cerita, tau! Tapi mau duit!" si Kaus Buntung membentak keras. Suaranya menggelegar.
Lupus dan Pepno langsung tersentak kaget.
"Duit kita nggak punya. Kalo nggak percaya periksa aja celananya si Cabe Keriting," usul Lupus.
"Saya juga nggak punya duit. Kalo nggak percaya boleh tanya sama ibu saya. Saya tadi cuma dikasih uang jajan seratus rupiah. "Dan itu udah abis saya belikan es di kantin. Kalo nggak pere..."
"Sudah! Jangan cerita lagi! Saya percaya, tapi saya harus menggeledah saku kalian dulu!"
Lupus dan Pepno digeledah sakunya oleh anak berbadan besar itu yang dibantu teman-temannya. Taunya memang nggak ada isinya. .
"Huh, lain kali kalo nggak punya duit jangan lewat sini!" maki anak itu.
Dan Lupus pun ditendang pantatnya. Sedang Pepno idungnya dicentil. Mereka juga didorong-dorong sampai ke luar gang. Dalam hati Lupus menggerutu, emangnya es lilin, pake didorong-dorong segala!
"Sudah, jalan sana!" gertak anak-anak Gang Senggol.
Pas sampe rumah, Lupus langsung masuk kamar dan nggak makan dulu. Biasanya makan baru masuk kamar. Tumben.
"Kok nggak makan dulu, Pus
"" tegur Mami. Lupus tak peduli. "Mi, Lulu maem duluan, ya"" kata Lulu yang udah nggak sabaran.
"Kita makan barengan aja, Lu. Tunggu kakakmu dulu. Mungkin dia mau tukar baju."
"Tapi ditunggu-tunggu Lupus tak kunjung muncul. "Wah, ngapain sih, Lupus"" Mami penasaran dan beranjak menghampiri pintu kamar Lupus untuk membukanya pelan-pelan. Ya amplop, Lupus-nya tidur!
"Mana cih, Kak Luputs-nya"" tanya Lulu yang udah nggak tahan pengen buru-buru makan.
"Tidur. Sudahlah kita makan duluan saja. Eh, tapi perkedel dagingnya jangan dihabisin, sisain buat Lupus."
"Belets, Mi." Sementara di dalam -kamar, dalam tidurnya, Lupus mulai bermimpi. Lupus emang udah janjian sama Pepno untuk membalas kelakuan anak-anak Gang Senggol, lewat mimpi. Tadinya Lupus mau bermimpi jadi Robocop, tapi Robocop tenaganya suka cepat habis, maka Lupus pun memilih bermimpi jadi Batman.
"Ya, itulah jalan satu-satunya yang bisa kita lakukan untuk bisa membalas mereka, Pep," ujar Lupus pada Pepno waktu hendak berpisah di perempatan jalan.
"Trus, saya mimpi jadi apa, Pus""
"Jadi apa aja asal bisa ngalahin mereka, Pep. Eh, jadi ini aja, Kura-kura Ninja! Idung kamu kan mirip idung kura-kura! Hihihi."
""Ah, kamu bisa aja. Gimana, Pus, kalo saya jadi Superman""
Dan sekarang dalam mimpinya Lupus sudah jadi Batman. Biasanya Batman ke mana-mana naik mobil, tapi dalam mimpi Lupus Batman-nya naik sepeda. Abis, Lupus bisanya cuma naik sepeda, sih.
Batman dan Superman siap menyerang sarang penjahat di Gang SenggoL Batman yang merayap di atas gang mulai mengukur kekuatan penjahat. Superman berjaga-jaga guna menghadapi serangan tak terduga.
Tepat pada waktunya, ketika anak-anak Gang Senggol sedang mencolek-colek sabun colek, eh maaf, maksudnya mencolek-colek anak cewek yang lewat di jalan itu, Batman dan Superman datang menyergap. Hiaaat...!
Tok, tok, tok! "Pus, ada apa, Pus"" Mami yang asyik makan sama Lulu mendengar Lupus berteriak-teriak nggak keruan di dalam buru-buru membuka pintu kamar.
"Pus, ada apa" Kamu kok berteriak-teriak nggak keruan begitu" Ngigo ya""
Lupus tak menjawab. Karena anak yang baru saja menyerbu Gang Senggol ini sudah terkapar di lantai sambil mengelus-elus jidatnya yang benjol! Hihihi..
9. Merdeka atau Pecah TENG, teng, teng! Bel istirahat berdentang.
"Ayo, Pus, kita ke lapangan!" ajak Pepno semangat. "Kelas kita mau tanding bola dengan kelas tiga!"
Lupus yang dipanggil santai aja membereskan alat tulisnya.
"Cepat, Pus. Seru, nih!"
Lupus sekilas menatap Pepno.
"Saya ada janji sama Winur, Pep," ujar Lupus. "Winur mau nraktir saya makan siomai."
"Traktirnya minta pulang sekolah aja, Pus."
"Pulang sekolah saya udah dijanjiin sama Happy makan bakso."
"Besok kan bisa."
"Dia janji nraktirnya sekarang, sih."
Sementara anak-anak yang lain sudah berkemas untuk pergi ke lapangan bola eh, bukan ding! Bukan lapangan bola, tapi lapangan tempat upacara. Hanya saja anak-anak anak sering mengubahnya menjadi lapangan bola, bahkan lapangan kasti atau lapangan galah asin!
Untuk permainan yang terakhir guru-guru suka. Tapi untuk lapangan kasti atau bola guru-guru nggak suka. Karena membahayakan kaca-kaca kelas di sekelilingnya. Memang udah beberapa kali kaca-kaca itu pecah kena tendangan bola kaki atau lemparan bola kasti yang nyasar.
"Gimana Pus" Anak-anak butuh bantuanmu untuk memenangkan pertandingan ini. Anak-anak kelas tiga terkenal kasar, tapi kalo kesebelasan kita ada kamu, mereka tak akan berhasil memenangkan pertandingan ini."
Lupus sebenarnya nggak gitu jago main bola. Hanya dia paling jago disuruh, jadi supporter. Ya Lupus selalu berhasil membangkitkan semangat teman-temannya di lapangan dengan teriakan-teriakan meriah. Makanya Pepno berharap agar Lupus mau ikut ke lapangan.
"Hei, Lupus! Kamu dicari-cari Tomi!" tukas Iko Iko dari balik jendela.
Tomi adalah kapten kesebelasan kelas Lupus. Orangnya besar, nakal, dan berani. Kalo dia sedang mencari-cari orang berarti dia betul-betul membutuhkannya. Kalo orang yang dibutuhkan itu tidak mau, maka dia tak segan-segan untuk memaksanya.
"Tuh, Pus, daripada kamu dijenggut Tomi" Ay
olah, Pus, demi kelas kita."
Lupus masih diam. "Baiklah, tapi saya harus ikutan main."
"Boleh. Nanti saya bilang sama Tomi."
Lupus dan Pepno segera menuju ke lapangan. Di sana sudah banyak orang. Anak-anak kelas lain memang sudah mendengar kabar kalo kelas satu menantang kelas tiga yang terkenal kasar-kasar. Dan kelas satu terkenal jago main.
Pertandingan pun segera dimulai. Untungnya sampai saat itu guru-guru nggak ada yang tau.
Lupus diperkenankan main sebagai back. Lupus juga ditugaskan menyemangati para pemain yang lain.
Pertandingan berlangsung amat seru. Tapi sayang disayang, ketika Lupus mendapat bola, Lupus terlalu semangat menyundul.
Arah bola melenceng jauh ke luar dan membentur kaca kelas hingga pecah. Anak-anak terperanjat, lalu cepat-cepat bubar. Dalam sekejap lapangan itu sepi.
Di dalam kelas Lupus masih berkeringat dingin. Terus-terusan dikejar dosa. Setiap ada guru masuk, ia deg-degan. Setiap diajak ngomong Uwi, ia terkejut. Ditegur Pepno, ia histeris. Pokoknya jadi aneh banget.
Anak-anak bukannya pada nggak tau kenapa Lupus bersikap seperti itu. Tapi anak-anak bisa diajak kompak. Artinya mereka nggak mau ngadu, siapa sebenarnya yang memecahkan kaca. Tentunya guru nggak bisa tau, siapa di antara anak-anak yang bermain bola itu yang memecahkan kaca.
Eh, tapi apa iya guru-guru pada nggak tau" Sepertinya iya. Soalnya sampai sekarang, sampai pas guru masuk, Lupus tak kunjung dapat teguran. Padahal Lupus udah siap-siap dipanggil ke depan. Siap-siap dijewer. Seperti pas Bu Guru masuk untuk mengajar matematika, Lupus serasa hampir mati berdiri ketika namanya disebut, disuruh maju ke depan.
"S-saya...," Lupus tergagap.
"Tolong ambilkan kapur berwarna di ruang guru, Pus!" ujar Bu Guru. Oh, ternyata Lupus dipanggil bukan masalah kaca pecah itu.
Lupus lega. Dan sampai pulang, ia sama sekali tak mendapat teguran dari siapa-siapa. Aneh, Lupus jadi berpikir. Dan sebetulnya ia merasa berdosa juga. Ia ingin mengaku bersalah. Soalnya ada perasaan tak enak jika kita menyimpan perasaan bersalah.
Ah, Pus, tapi kan guru-guru pada nggak tau ini" Ya, diamkan saja! batin Lupus berkata, ketika Lupus melangkah pulang keluar pekarangan sekolah.
Tak usah cari-cari penyakit, Pus. Lagian kan kamu tak sepenuhnya bersalah. Bola itu kan diumpankan kepadamu, dan kamu tanpa sengaja menyundulnya dengan keras. Ah, bukan salahmu.
Tapi begitu melihat Tomi melintas menyeberang jalan, hati Lupus kembali kecut. Teriris kayak jeruk nipis.
Sampai di rumah, Lupus masih tak enak hati. Dia mau cerita ke Mami, tapi takut dimarahi. Mau cerita ke Lulu, takut nanti Lulu-nya ngadu ke Mami. Mau nggak cerita, tapi takut tiba-tiba nanti malam Lupus ngigo, mengakui perbuatan salahnya. Ya, Lupus kalo lagi memendam unek-unek di dalam hati, suka keceplosan ngigo. Dia emang paling nggak bisa menyimpan rahasia.
Begitu meletakkan tas, Mami muncul sambil membawa sop kepiting. "Ayo, makan dulu, Pus."
Lupus diam. "Dan setelah makan, cepat kamu antar uang ke sekolah, untuk mengganti kaca yang pecah itu."
Lupus terperanjat. Lho, kok Mami tau"
"Tak usah heran, Pus. Karena begitu kamu pecahkan kaca itu, Ibu Guru langsung berkunjung kemari. Makanya lain kali hati-hati."
Lupus masih bengong. "Ayo, tak usah bengong. Keburu kantor sekolahmu tutup. Soalnya Mami tadi sudah janji, sepulang sekolah nanti kamu akan langsung Mami suruh mengantarkan uang gantinya."
Lupus mengangguk. Meski tadi kaget, ia cukup senang. Perasaannya lebih tenang. Soalnya Mami tak cerewet seperti biasanya kalo Lupus bikin ulah. Malah uang penggantinya sudah disiapkan. Lupus tinggal mengantar. Ah, Mami baik sekali. Lupus tak mengira penyelesaiannya bisa semudah ini.
Ia pun buru-buru menghabiskan makan siangnya. Dan rencananya setelah makan, dia akan mengantarkan uang ganti kaca pecah tersebut pakai sepeda.
Ketika ia sudah berganti pakaian, Lupus langsung berlari menuju garasi. Uang pengganti dari Mami sudah ia masukkan amplop, dan tersimpan aman di saku baju.
Lupus keliling-keliling di garasi mencari sepedanya. Kok, nggak ada, ya" Ke mana" Di tumpukan ban, di kolong mobil tua,
di sela-sela drum bensin. Tetap tak ada.
"Nyari apa kamu, Pus"" tegur Mami tiba-tiba
"S-sepeda. Sepeda Lupus mana, Mi""
"Ya, itu tadi. Sepeda kamu tadi Mami jual ke tukang loak. Memangnya kamu pikir, Mami punya cukup uang untuk mengganti kaca yang pecah""
"Ha"" Lupus melongo. Rasanya mau pingsan.
*** ""Lupuuuus...!" panggil anak-anak bersaut-saut, menjemput Lupus untuk diajak latihan drama tujuh-belasan.
"Lupuuus...!" panggil Pepno, Andi, Happy, Uwi, Iko Iko, Iwan, Angga, dan Tomi lagi.
"Lupuuus...!" Lupus ke mana, sih" Sebenarnya ada. Lupus cuma lagi males latihan aja. Di dalam kamarnya dia lagi pura-pura tidur. Dia masih kesel karena Mami menjual sepeda satunya.
"Pus...," cowel maminya, "teman-temanmu, tuh."
""Bilang lagi tidur, Mi."
"Hei, kamu mengajar Mami untuk berbohong""
"Abis, Lupus males, Mi, kalo disuruh main drama. Apalagi sambil teriak-teriak segala."
"Kemaren kenapa mau waktu dipilih jadi pemeran utama""
"Lupus pikir pemeran utama itu yang dapat tugas ngurusin makanan, Mi."
"Hus, itu sih bukan pemeran utama tapi seksi dokumentasi, atuh. Udah cepat sana." Hihihi, Mami tak kalah ngaconya.
Lupus akhirnya beringsut juga.
"Kamu masih mikirin sepeda yang hilang, ya"" tegur Mami kasihan.
Lupus mengangguk. "Itulah. Makanya jadi anak jangan bandel. Kalo kamu berbuat salah, kamu harus berani menanggung risikonya. Sudahlah, nanti kalo Papi dapat rezeki lagi, Mami akan mengusulkan agar kamu dibelikan sepeda."
Lupus cuma tersenyum. Wah, kapan itu bisa terjadi" Papi kan pelit sekali! Lupus pun berjalan gontai ke luar.
"Lupus, ayo dong! Ntar kita diomelin Kak Sisi, lho," tukas Pepno agar Lupus cepat berkemas. '
"Iya, Pus. Kemaren kamu telat. Masa sekarang telat lagi, sih," Uwi juga ikut-ikutan protes.
Lupus diam aja. Wajahnya cuma tertunduk. Dia memang nggak enak sama teman-temannya. Tapi kalo dulu nggak dipaksa barangkali Lupus ogah ikutan drama tujuh-belasan itu. Karena Lupus suka malu tampil di depan banyak orang.
"Kak, ikuuut..." Tiba-tiba Lulu muncul dari dalam rumah. "Lulu, kamu di sini aja nemenin Mami. Biar Kak Lupus latihan dulu sama teman-temannya. Nanti kalo sudah pentas baru kita nonton," ujar Mami.
"Aaa, Lulu mau ikut, Mi. Lulu mau main dlama."
"Ee... atau gimana kalo saya digantikan adik saya aja"" ujar Lupus tiba-tiba. "Kan pejuang wanita juga ada. Lulu bisa kok bergaya di panggung," usul Lupus kepada teman-temannya.
"Nanti latihannya repot lagi, Pus." Pepno tampak tidak setuju usul Lupus itu.
Lupus jadi kasihan sama Pepno yang tiap latihan paling semangat banget itu. Lupus manggut-manggut.
"Kak. Ikut, ya...."
"Tapi nggak nangis, kan""
"Mudah-mudahan. "
"Nggak minta jajan""
""Nggak." "Nggak minta gendong""
"Nggak." "Nggak minta ikut""
"Nggak. " "Ya, udah!" Dan Lupus pun langsung cabut sama teman-temannya.
"Aaaa...." Lulu menggelesot di tanah sambil menangis keras-keras.
Sementara di perjalanan Lupus kembali diam. So pasti yang lain pada heran.
"Pus, kamu nggak suka main drama, ya"" Iko Iko memecah keheningan.
"S-suka," jawab Lupus.
"Tapi, kok, males-malesan, sih"" tuduh Pepno cepat.
"Abisan ditonton banyak orang, sih. Mana mainnya di lapangan, lagi! Gimana kalo saya tiba-tiba lupa dialognya" Atau, tiba-tiba saya mau pipis" Kan repot. Kalo drama itu dipentaskan di dalam kelas pasti saya tidak malu!"
"Nggak seru dong, Pus," tukas Uwi. "Masa dipentaskan di dalam kelas, kan Pak Gubernur mau datang nonton juga."
"Pak Gubemur""
"Iya. Malah, kata Kak Sisi, drama yang
akan kita mainkan itu rencananya disorot
tipi segala," tukas Uwi lagi.
"Disorot tipi""
"Memang akan ditayangkan di tipi, Pus," tambah Iwan, temen Lupus yang pendiem itu.
"Wah, kalo gitu saya semangat, deh. Dan nggak malu lagi!"
Demi mendengar drama ini akan masuk tipi, Lupus berubah 180 derajat. Jadi semangat banget. Karena Lupus yang hobi nonton tipi itu, dari dulu juga pengen banget bisa nongol di layar kaca.
Sementara di sanggar latihan, Kak Sisi sudah menanti-nanti. Kak Sisi ini kakaknya Happy yang paling gede, yang sudah duduk di SMA. Dia memang sering muncul di televisi, mengisi acara drama
remaja, dan juga vokal grup. Diitung-itung, katanya udah 17 kali Kak Sisi masuk televisi. Dan ketika melihat anak-anak muncul di pintu sanggar, ia langsung saja berteriak, "Merdeka!"
"Anak-anak, kalo kita ketemu di mana aja, sambil mengangkat tangan, ucapkan 'merdeka'. Di rumah kek, di sekolah kek, pokoknya di mana saja, 'merdeka'. Kita ulang kata-kata itu. Jangan bosan. Kita bersama-sama memasyarakatkan merdeka dan memerdekakan masyarakat! Ya, merdekaa...!"
""Merdeka juga!"
"Lain kali tak usah pake juga. Cukup merdeka."
"Cukup merdekaa!"
"Lho, kok cukup merdeka""
"Katanya.... " "Merdeka!" "Merdeka!" "Ya, gitu." Anak-anak sambil melingkari Kak Sisi, mendengarkan petunjuk-petunjuk mulai cara berakting, berdialog, bergerak, dan lain-lain. Kak Sisi juga menambahkan informasi tentang rencana peliputan televisi atas pertunjukan drama tujuh-belasan ini. Ya, Lupus makin semangat aja.
"Baik, sekarang kita mulai adegan pertama. Coba Lupus dan Uwi maju. Lupus sebagai pejuang yang akan menuju medan perang minta restu sama ibunya."
Lupus dengan langkah gagah berjalan ke arah Uwi.
"Ibu, aku ingin berangkat perang mengusir penjajah. Karena perjalanan cukup jauh, aku minta ongkos, Ibu."
"Stop, stop," sergah Kak Sisi. "Bukan minta ongkos, Pus, tapi minta restu."
Lupus tersipu. Happy tertawa terbahak-bahak.
"Kak Sisi menegur, "Happy, kamu kalo ketawa kok kayak kuntilanak begitu. Diam, dong. Nanti merusak konsentrasi Lupus dan Uwi."
Adegan pun diulang kembali.
"Iya, Bu. Maafkan anakmu ya, maksudnya minta restu sekalian ongkos, gitu. Eh bukan, Bu, aku hanya minta restu Ibu untuk mengusir penjajah."
"Berapa biji kauminta restunya""
"Lho, kok berapa biji, sih"" tegur Kak Sisi lagi.
"Maaf, Kak, abis kalo ngeliatin mukanya Lupus, saya jadi tidak konsentrasi."
"Atau begini, kita langsung masuk ke babak berikutnya aja. Yaitu babak ketika Lupus ditembak mati oleh Pepno. Lupus baru keluar beberapa langkah dari rumahnya, tiba-tiba ditembak Belanda. Pepno sebagai Belanda maju."
Pepno yang udah nggak sabar menunggu adegannya segera beranjak sambil menggenggam senjata panjangnya. Eit, kamu pasti bingung. Kenapa yang jadi Belanda-nya kok item, keriting, lagi" Ceritanya, Belandanya abis kesamber petir! Hehehe.
"Pepno, kamu siap menembak Lupus, ya"" titah Kak Sisi.
"Beres. " ""Nggak ah," tukas Lupus tiba-tiba. "Saya nggak mau mati."
"Hei, ini pura-:pura mati, Pus."
"Tau, tapi saya nggak mau mati."
"Lho, biasanya kamu paling suka adegan ini. Karena tidak perlu dialog, tidak perlu berakting, tinggal tidur aja. Kok sekarang nggak mau, sih"" tanya Kak Sisi heran.
"Abis, kalo mati ntar masuk tipinya cuma sebentar, lagi."
10. Anak Rembulan ADA seorang anak sebaya Lupus yang selalu nongkrong di ujung jalan dekat pasar. Katanya anak itu menyukai rembulan. Katanya ia lebih suka memandangi rembulan, daripada bermain lari-larian, main petak umpet, main ding-dong atau main-main ke pusat pertokoan. Dan hampir tiap malam, katanya, dia selalu mandi sinar rembulan.
Aneh memang. Tapi anak itu memang benar-benar hampir tiap malam ada di sana. Bukan. Bukan tiap malam. Tapi tiap saat. Malam, pagi, sore, siang, atau kapan saja ia selalu di situ, di ujung jalan itu.
Makanya Lupus yang belakangan ini sering disuruh Mami belanja tomat gondol atau cabe keriting ke pasar, jadi sering berpapasan dengan anak itu. Sesekali Lupus melempar senyum. Anak itu juga suka balas melempar. Akibatnya kalo mereka ketemu suka main lempar-lemparan senyum.
Karena hampir tiap saat Lupus melihat anak itu ada di situ, Lupus jadi pengen tau asal usulnya. Pada Mbok Bakul, waktu beli kol gepeng, Lupus bertanya tentang anak itu.
"Anak yang sedang berdiri di ujung jalan sana ""
"Iya, Mbok. Mengapa tiap saat anak itu selalu ada di situ""
"Wah, Mbok juga ndak tau. Anak itu memang selalu di situ. Ia suka bantu-bantu kami menurunkan barang belanjaan dari Bajaj. Anaknya baik Selalu ringan tangan."
"Rumahnya di mana, Mbok""
"Rumahnya" Ya di situ itu."
"Di situ""
"Iya. Kalo malam ia juga di situ. Tidur di situ. Orang-orang di sini juga ndak ada yang tau siapa orangtuanya
. Kami taunya cuma bahwa selain sering ngebantuin kami menurunkan barang belanjaan, anak itu juga rajin membawakan barang belanjaan ibu-ibu untuk kemudian menyetopkan bajaj. Dari situ ia mengutip upah. Eh, emangnya kenapa sih nanya-nanya soal anak itu. Sodaranya, ya""
"Oh, bukan. Bukan, Mbok, saya cuma heran aja ada anak kecil tiap hari ada di situ."
"Oo, ta' kira..."
""O ya, tadi Mbok bilang, anak itu juga tidur di situ""
"Ya, tidurnya di situ. Di bawah sinar rembulan. "
Lupus benar-benar nggak abis pikir. Sambil menenteng belanjaannya Lupus. terbengong-bengong sendirian. Hati Lupus terus bertanya-tanya. Kok ada ya, anak kecil tidur di bawah sinar rembulan" Wah, wah....
Pas berpapasan dengan anak itu, Lupus berusaha meliriknya .
"Mau saya setopin bajaj"" tegur anak itu.
Lupus terperangah. "Ah" nggak. Terima kasih. Rumah saya deket, kok." . .
Tapi keesokan harinya ketika lagi-lagi Lupus disuruh belanja ke pasar, ia berniatkan menegur anak itu. Dan kebetulan hari itu Lupus bawa belanjaan cukup banyak.
Tapi ternyata nggak semudah yang Lupus bayangkan. Hari itu, anak itu begitu sibuk. Banyak ibu-ibu memerlukan tenaganya. Lupus yang berharap ditolong "oleh anak itu, harus mau menunggu. Lupus Jadi nggak enak sama Mami yang tadi wanti-wanti supaya jangan lama-lama belanjanya. Karena kalo lama, Mami suka mengira Lupus main-main ke rumah Pepno dulu.
"Perlu saya bantu"" tegur anak kecil itu tiba-tiba.
"Lupus yang lagi bengong berdiri dekat belanjaannya tersentak kaget.
"O, eh iya, perlu, perlu...," ujar Lupus.
"Pake bajaj atau..."
"Jalan kaki saja."
"Jalan kaki""
"Rumah saya kan deket."
"Tapi..." "Nggak apa-apa, deh. Kita kan juga bisa sambil ngobrol-ngobrol. Saya Lupus. Kamu""
"Saya"" "Iya, nama kamu siapa""
"Duh, siapa, ya""
"Lho, memangnya kamu nggak tau siapa nama kamu""
"Bukannya nggak tau, hanya orang-orang di sini selalu manggil saya Ucung."
"Ucung"" Lupus tersenyum geli.
"Ya, memangnya kenapa""
"Nama yang lucu."
"Mungkin karena saya sering nongkrong di ujung jalan itu."
"Bisa aja, kamu."
Kedua anak itu menjinjing barang-barang belanjaan menyusuri jalan menuju rumah Lupus sambil terus berbincang-bincang.
"Kamu tiap hari di situ, apa tidak dicari orangtua kamu""
""Tidak. Saya tidak tau di mana orangtua saya. Saya juga tidak tau kenapa saya bisa tiap hari ada di situ."
"Kamu juga tidur di situ""
"Ya, hampir tiap malam saya tidur di situ."
"Katanya, tiap malam, tiap tidur, kamu selalu memandangi rembulan" Betul begitu""
Lupus Kecil Jjs di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hmm.... " "Kenapa senang menatapi rembulan""
"Di sana suka muncul wajah ibu saya. Dan saya pikir saya adalah anak rembulan."
Lupus terpana sejenak. "Kamu sudah pernah liat ibu kamu""
"Belum! Tapi saya yakin wajah ibuku seperti rembulan. Lembut dan bersinar!"
Tak lama, kira-kira seperempat jam berjalan kaki, mereka pun sampai. Mami yang nggak sabar pengen buru-buru masak itu, langsung menyambut belanjaan itu dengan sukacita. Sampai-sampai nggak tau kalo Lupus pulang tak sendirian, melainkan berdua dengan anak rembulan!
Ya, maklum aja karena hari ini Mami mau mencoba resep baru yang didapatnya dari majalah anak-anak. Tak usah heran! Selama ini kan Mami nggak pernah sukses menjajal resep-resep masakan dari majalah wanita dewasa, makanya ketika di majalah anak-anak ada resep masakan, Mami bersikeras mencobanya!
"Kamu di sini aja dulu," tukas Lupus ketika melihat anak itu hendak pergi meninggalkannya. "Kebetulan Mami mau masak besar."
Mulanya anak itu ogah. Tapi karena biasanya Mami butuh banyak orang untuk mengetes masakannya, Lupus terus membujuk anak itu. Barangkali karena nggak enak, anak itu akhirnya ngambil keputusan oke untuk main-main di situ.
Lupus mengajaknya ke kamar. Diberinya buku cerita bergambar yang lucu-lucu. Anak itu keliatan senang. Seperti kembali menemukan sesuatu yang sudah lama hilang. Ia langsung membaca beberapa buku sekaligus!
Diam-diam Lupus menemui Mami dan mengabarkan bahwa ia baru saja menemukan anak rembulan.
"Anak bulan"" Mami kaget.
"Bukannya anak bulan, Mi. Dia hampir tiap malam tidur di bale-bale pasar sambil memandangi rembulan. Na
h, kalo boleh Lupus ingin mengajak dia nginep beberapa hari di sini. Sekalian buat teman main. Kan sekarang lagi liburan sekolah."
""Nginep""
"Mami kan beberapa hari ini lagi sibuk menjajal resep-resep masakan. Masa Lupus sama Lulu terus sih yang disuruh mencicipi" Kan kalo ada anak itu bisa lebih seru, Mi. Maksudnya, kalo masakannya keasinan atau keaseman lagi, dia bisa protes. Kalo Lupus kan nggak bisa protes, karena nggak enak sama Mami. Kalo protes disangka anak yang nggak bisa berbakti pada orangtua. "
Lupus memang ingin sekali anak rembulan itu tidur di kamarnya. Lupus merasa kasihan. Sebab kalo tidur di luar lagi, kuatir nanti dia masuk angin.
Dan karena lagi-lagi Lupus maksa, anak rembulan itu pun mau juga tidur di situ.
"Tapi malem ini aja ya, Pus""
"Seterusnya juga nggak apa-apa."
Malam itu Lupus mengajak anak itu makan sama-sama. Anak itu keliatan suka sekali. Karena penghuni rumah Lupus orangnya pada hobi bercanda semua. Dari Papi, Mami, sampai Lulu, tak ada yang merasa asing ada tamu tak dikenal di situ.
"Pus, Papi punya tebakan. Orang jalan di mana, kalo sendirian takut, tapi kalo rame-rame tambah takut"" ujar Papi.
"Ah, Lupus tau, Pi. Orang jalan di jembatan reyot. Hahaha... Sekarang giliran Lupus, Pi. Orang apa yang kalo pake baju boros banget""
"Papi tau. Hulk. Hahaha..."
Anak rembulan itu pun ikut tertawa-tawa. Dan sampai makan malam selesai, mereka masih melanjutkan tebak-tebakan.
Menjelang malam, sebelum berangkat tidur, Lupus menyetel tape recorder-nya.
"Enak, Cung, sebelum merem kita denger lagu-Iagu dulu. Saya punya kaset New Kids, mau denger""
"Hmm, boleh." Padahal anak rembulan nggak tau apa itu nyu-kit!
Dan tembang Tonight milik Jordan cs mengalun merdu mengisi ruangan. Tak lama Lupus pun terlelap. Langsung pulas.
Anak rembulan itu memandangi wajah Lupus yang mulai ngorok. Ia seperti senang bisa berkenalan dengan Lupus.
"Kamu baik, Pus," ujar anak itu pelan sambil mematikan tape dan kemudian ikut memejamkan mata.
*** "Pagi-pagi sekali ayam-ayam di rumah Lupus saling berkokok main adu kenceng. Ya, ayam-ayam di situ memang suka aneh. Mereka pada berusaha berkokok paling kenceng biar bisa paling disayang.
Ada bagusnya juga sih. Lupus jadi terbiasa bangun pagi.
Dan pagi banget Lupus benar-benar terbangun. Tapi dia jadi kaget ketika dilihatnya Ucung tak ada di sampingnya lagi.
"Lho, di mana anak rembulan itu"" Pertanyaan Lupus tampaknya segera terjawab dengan adanya secarik kertas yang tergeletak di meja kecil, dekat tumpukan buku. Ya, itu surat dari Ucung.
Pus, Kamu baik sekali. Saya suka tidur sambil dengerin lagu atau baca-baca buku cerita kamu yang lucu-lucu. Sayangnya di sini saya tak bisa melihat rembulan....
"Salam, Ucung. "Dan Lupus melihat ada tapak-tapak kecil di bawah jendela kamarnya yang arahnya menuju ke ujung jalan!
tamat Harpa Iblis Jari Sakti 28 Kisah Para Naga Di Pusaran Badai Karya Marshall Lolipop Love Lies Promise 3
"Wah, Kak Lupus batal! Kak Lupus batal!" teriak Lulu mengingatkan.
Ya amplop! Lupus bener-bener lupa. Dia nggak sadar kalo sedang puasa. Tapi botol air dingin itu sudah keburu kosong melompong.
Lupus kaget banget. Dia buru-buru menyimpan botol itu di dalam kulkas. Kemudian menyeka mulutnya dan berusaha mengeluarkan air yang sudah diminumnya.
"Naa... cengaja minum, ya. Bilangin Mami, 1o..."
"Jangan, Lu. Saya nggak sengaja. Bener."
"Nggak cengaja kok abis sebotol."
""Tadinya nggak sengaja, terus nanggung, gitu."
"Ya, udah, ntar bilangin Mami!"
"Jangan, Lu, nanti Mami bisa marah berat kalo sampe tau anaknya nggak puasa. Mami akan merasa gagal mendidik anaknya dengan akhlak yang baik. Dan meskipun puasa, Mami pasti akan tetap marah-marah, karena Mami marahnya disimpan setelah buka puasa nanti. Jangan ya, Lu."
"Nggak bica. Pokoknya Lulu bilangin!"
"Duh, jangan dong, Lu. Nanti saya nggak dibeliin baju Lebaran, nih. Saya juga pasti akan dapat hukuman nguras bak mandi, Lu."
"Masa bodoh. Kalo nanti Mami pulang dari pasar, Lulu bilangin!"
"Jangan, Lu. Tolong saya, dong. Nanti kalo kamu mau ngasih duit ke saya pasti saya terima, deh. Asal kamu nggak ngadu ke Mami. "
"Enak aja ngasih duit ke kamu. Kamu yang harus ngasih duit ke saya, tau!"
"Iya, iya. Nanti kamu saya kasih duit. Kamu juga boleh main-main di kamar saya, boleh ngacak-ngacakin b
uku-buku cerita, boleh guling-gulingan di kasur. Asal jangan ngadu ke Mami."
"Tapi benar, ya, Lulu boleh ngapain aja""
"Iya." Dan ketika Mami pulang dari pasar membeli manis-manisan buat berbuka nanti, Lupus merasa deg-degan. Takut-takut kalo Lulu ngadu. Karena kalo ngadu bisa berabe.
"Halo, anak-anak, lagi pada ngapain, nih"" sapa Mami pada Lupus dan Lulu.
"Ya, lagi gini-gini aja," tukas Lulu cuek.
Tapi Lulu tiba-tiba naik ke pundak Lupus. "Ayo, jadi kuda! Jalan muter-muterin ruang makan!"
Mami kaget. "Lulu, kamu ini apa-apaan, sih! Kakakmu kan puasa, nanti capek, dong."
Tapi Lulu cuek. Dan Lupus jelas nggak bisa berbuat apa-apa. Sementara Lulu benar-benar memanfaatkan peluang ini.
"Nggak apa-apa, Mi, Kak Luputs kuat kok. Kan tadi malem caurnya nambah. Iya, kan, kuda""
"Bener, Pus, kamu nggak apa-apa"" Mami kuatir.
"B-bener, Mi, Lupus nggak apa-apa, kok," ujar Lupus cepat. Padahal hatinya gondok bukan main. Pengen rasanya ngejitak pala Lulu.
"Hei, kudanya kok nggak mau jalan, sih. Ayo jalan!" Lulu menyabet pantat Lupus pake pensil.
""Auw!" Lupus berteriak kesakitan. Tapi Lupus nggak bisa berbuat apa-apa. Ia harus mau mengikuti perintah Lulu.
Setelah puas main kuda-kudaan, Lulu kemudian minta dipijitin kakinya. Lupus keki banget. Dia udah nggak tahan mau ngejitak pala Lulu.
Tapi Lulu euek. "Jitak aja kalo berani. Coba jitak!"
"Ya, ya, nggak. Nggak jadi ngejitak."
"Ayo pijit!" Mami yang lagi repot nyiapin makanan buat buka puasa, heran banget ngeliat tingkah Lupus yang mau-maunya mijitin kaki adiknya.
"Wah, tumben banget. Tadi mau jadi kuda-kudaan, sekarang mau mijit. Ceritanya mau banyak-banyak berbuat amal di bulan puasa, ya, Pus," komentar Mami.
Lupus tak menanggapi omongan Mami. Ia merasa hari itu adalah hari paling sial baginya. Karena Lulu terus-terusan ngerjain. Lulu bener-bener keterlaluan. Bayangin aja, minta dipijit dari tadi sore sampe menjelang magrib." Tapi ketika Lulu mulai ngacak-ngacak buku-buku cerita koleksinya, Lupus benar-benar nggak tahan untuk tidak ngejitak kepala Lulu.
"Hua hua hua... hua hua hua...." Lulu pun menangis berkoak-koak.
Mami berteriak dari dalam dapur, "Ada apa sih" Masa puasa-puasa pada berantem. Ayo dong pada beres-beres, bentar lagi magrib, tuh!"
Lupus nyesel juga ngejitak pala Lulu. Pasti ni anak bakal ngadu. Tapi untungnya belon sempat Lulu berteriak ke Mami, bedug magrib bertalu-talu. "Alhamdulilla"h...."
Tapi di meja makan Lupus kembali kebat-kebit.
"Awas lho, Lulu bilangin.:.," ancam Lulu sambil mengusap air matanya.
"Kenapa masih pada berantem, sih. Percuma pada puasa, dong. Baru Mami terheran-heran ngeliat kalian rukun, eh, tau-tau pada berantem lagi. Lulu tadi kenapa nangis"" tegur Mami sambil sibuk menata meja makan.
Belon sempat Lulu ngejawab, Lupus langsung menyorongkan sesuatu. "Mau kolak pisang, Lu" Ambil aja, nih."
Lulu girang dan mengambil kolak pisang itu.
"Lulu, tadi kenapa kamu menangis"" Mami mengulang pertanyaannya.
"Mau jajan kue serabi di depan mesjid, Lu" Nih!" Lupus tiba-tiba menyodorkan uang seratus perak.
Lulu mengambil duit itu dan cepat dimasukkan ke sakunya.
"Lulu... kenapa kamu tadi menangis"" teriak Mami kesel karena pertanyaannya nggak dijawab-jawab.
"A-anu, Mi..." "Anu apa""
Sementara Lupus menendang-nendang kaki Lulu, menawarkan sebuah permen coklat.
"Anu apa, Lu" Kok diam, sih!"
"A-anu, Lulu tadi dijitak Kak Lupus."
"Lupus, kenapa kamu menjitak Lulu""
"Dia mengacak-ngacak buku cerita," Lupus menjawab tertunduk.
"Lulu, kenapa ngacak-ngacak buku cerita Lupus""
"Kak Lupus mengizinkan saya untuk mengacak-acak, kok."
"Lupus, kenapa mengizinkan Lulu untuk mengacak-acak buku cerita kamu""
"Karena takut kalo Lulu ngadu ke Mami bahwa..."
"Bahwa apa""
"Bahwa kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa... Eh, sori, bukan itu, ding."
""Jadi bahwa apa, dong!" Mami bener-bener nggak sabar.
"Bahwa Lupus tadi minum air es!"
"K-kamu minum air es""
"Iya, Mi. Tapi Lupus nggak sengaja. Sumpah!"
Anehnya Mami tak melanjutkan interogasinya lagi. Dan Mami juga nggak marah. Dia kini malah terbengong seribu basa.
"Mi, Mami kena pa bengong"" tanya Lupus dan Lulu heran.
"Nggak. Nggak apa-apa. Cuma waktu di pasar tadi sore Mami juga lupa beli es cendol sampe dua gelas, anak-anak...."
7. Becak DI suatu senja di musim yang lalu. Ketika itu hujan rintik. Terpukau aku menatap wajahmu... Lho, kok kayak lagu zaman dulu, sih" Eh, tak usah heran. Sebab senja itu di rumah Lupus ada banyak teman-teman mami Lupus semasa sekolah dulu. Ya, sekalian bersilaturahmi abis Lebaran kemaren. Mami memang mengundang teman-teman masa SMA-nya dulu, untuk membicarakan reneana reuni. Wah, suasananya rame sekali.
Mereka saling bercerita sambil tertawa-tawa.
"Du", maminya Lupus, kok centilnya ndak ilang-ilang, ya. Tapi, ada yang ilang juga, lho. Ayo, apanya.."" ujar seorang ibu yang gendutnya nggak ketulungan.
"Wah, apanya tuh, jeng Ret""
"Anu, kecenya...!"
"Hahaha, bisa aja ni, jeng Ret. Teman-teman, jeng Ret juga dari dulu nggak berubah, ya""
""Apanya yang nggakberubah, Mami Lupus""
"Ah, nggak jadi ah."
"Lho, Mami Lupus ini, kok, bikin penasaran aja. Apanya yang nggak berubah""
" Itu... tembamnya!"
"Hahaha... Mami Lupus ini bisa aja."
Jeng Ret, teman mami Lupus yang terkenal doyan bercanda itu, langsung merah, kuning, ijo wajahnya. Malu dia. Rupanya, dulu-dulu, beliau-beliau itu sudah terbiasa bercanda. Kayak kita-kita. Pipi Jeng Ret memang tembem. Tapi terus terang aja, itu malah menambah manis wajahnya.
Seiring dengan itu salah seorang teman mami Lupus yang body-nya lumayan langsing maju ke muka. Ngomongnya sok serius sekali, hingga mami Lupus tersenyum geli.
"Perhatian ya, semuanya. Adapun rencana reuni kelas kita yang mana telah kita rencanakan pada waktu sekian lalu, adalah sebagai berikut. Pertama-tama kita bersama segera rapat adanya, dan membahas apa saja yang perlu kita bahas. Kedua, kita bersama membicarakan tempat dan waktunya tentang acara reuni itu berlaku. Ketiga, adalah masalah dana yang perlu kita rembuk bersama, ibu-ibu. Dan terakhir, untuk Mami Lupus, apa hidangannya telah siap untuk segera disantap bersama""
Ibu-ibu langsung terbahak.
Mami Lupus buru-buru beranjak hendak mengeluarkan makanan yang sejak tadi disembunyikan. Pikir mami Lupus, kali-kali aja pada lupa. Kan bisa buat Lupus dan Lulu.
"Lupus, Lulu...! Tolong keluarkan kue-kue yang ada di dalam lemari itu, Nak!" perintah Mami.
Sementara Lupus dan Lulu yang sejak tadi ngedumel lantaran nggak diperhatiin kelangsungan hidupnya, dengan malas beranjak ke lemari makan. Ya, Mami ternyata telah menyiapkan banyak sekali makanan untuk teman-temannya. Ada kue keju, kue nastar, kacang goreng, dan semua sisa Lebaran kemaren. Dan yang teristimewa, Mami kini sudah berhasil membuat pizza sendiri. Rencananya, inilah saat yang tepat bagi Mami untuk mempertunjukkan kebolehannya di depan teman-teman SMA-nya. Lupus dan Lulu sibuk mondar-mandir membawa piring berisi kue yang sama sekali tidak boleh disentuh.
Ibu-ibu langsung berebut menyantap,
dan, "Waaah, pizza-nya enak sekali, Mami Lupus. Beli di mana""
""Bikin sendiri, kok."
"Bikin sendiri" Bukan main...."
"Mudah kok bikinnya. Saya aja sekali bikin langsung jadi," ujar Mami sombong.
Ibu-ibu pada mengangguk-anggukkan kepalanya.
Tok, tok, tok. Olala, ternyata di luar pintu ada yang ngetuk. Oho, tak taunya Papi baru pulang dari kantor. Kayaknya Papi nggak tau kalo di rumahnya ada teman-teman Mami ketika sekolah dulu. Maka Papi terperanjat waktu melongok ke ruang tamu yang ramai seperti Pasar Pagi.
Dan teman-teman mami Lupus, demi melihat Papi, langsung mengolok-olok. Maksudnya ngebereanda-candain, gitu.
"O, itu si Mul dulu yang kamu kejar-kejar, ya"" goda seorang teman pada mami Lupus. Untung Papi sudah buru-buru menyelinap ke balik tembok. Tapi tak langsung ke kamar, melainkan ngumpet di gorden, ingin mencuri dengar percakapan ibu-ibu itu.
"Enak aja," tukas mami Lupus. "Dia yang ngejar-ngejar saya, kok!"
"Hahaha." Papi Lupus di balik tembok sebel hatinya diledek begitu.
"Sabar, Pi," kata Lupus yang ikut-ikutan bersembunyi di balik gorden. "Namanya aja orang lagi nostalgia."
Papi terkejut melihat Lupus yang ternyata ikut bersembunyi
di balik gorden. "Iya, Pi," Lulu ikut-ikutan menenangkan Papi yang dibercandain teman-teman Mami.
"Dulu," tukas seorang teman Mami, "katanya kamu nggak suka sama dia. Katanya orangnya pelit. Apa betul""
"Iya. Mami Lupus ini gimana sih" Kan waktu itu sudah akrab sama Basuki, kakak kelas kita yang berewokan itu."
"Iya, iya. Tadinya saya memang sudah milih Basuki. Tapi pas melihat dia yang datang dengan kepolosan dan kejujuran bahwa ia mencintai saya dengan begitu tulus, ya saya terima."
"Dooo...!" Ibu-ibu pada ngeledek.
"Dan Mami Lupus bahagia""
"Begitulah. Tapi memang tak seindah yang saya bayangkan ketika saya pacaran sama Basuki dulu."
"Hahaha, Mami Lupus ini paling bisa, deh. Nanti kalo bapaknya anak-anak dengar berabe, lho. Hahaha...."
Dan Papi makin mengkeret aja tampangnya.
""Tenang, Pi," hibur Lupus lagi, "Mami kan orangnya demen bercanda."
"Iya, Pi," timpal Lulu juga.
Tapi Papi masih keliatan mengkeret.
Dan tanpa berperikemanusiaan, ibu-ibu tetap melanjutkan olok-oloknya sambil menyantap hidangan. "Tapi apa kebiasaannya menulis puisi cinta kalau lagi naksir seorang itu masih diteruskan, Mami Lupus""
Mami Lupus tersenyum. "Ya, kumpulan puisinya masih ia simpan, tapi tak ada penerbit yang mau menerbitkan. Hahaha...."
Ibu-ibu tertawa. Papi makin mengkeret. "Papi tersinggung ya denger olok-olok Mami"" tanya Lupus yang sedih melihat bapaknya bingung kayak begitu.
"Papi memang malu," kata Papi kemudian, "tapi bukan karena ledekan itu."
"Jadi karena apa""
"Salah seorang teman Mami, yang pakai gaun merah dan berbadan langsing itu, adalah salah satu wanita yang Papi kejar-kejar dulu, sebelum akhirnya Papi ketemu mami kamu."
"Ah, itu kan biasa, Pi."
"Iya, Papi tau. Tapi waktu Papi pacaran
sama Mami dulu, ngakunya nggak pernah ngejar-ngejar wanita lain selain Mami."
"Hihihi," Lupus dan Lulu tertawa.
"Padahal sudah sepuluh puisi cinta yang Papi kirimkan buat wanita itu."
Lupus dan Lulu melongo. Sedang Papi langsung masuk kamar. Sementara Lupus diam-diam mulai tertarik dengerin rumpi-ria teman-teman Mami tentang kehidupan di masa muda mereka. Lupus sama sekali tak membayangkan kalau dulu-dulunya ortu mereka suka pacaran juga, suka ledek-ledekan, suka ngumpul-ngumpul, dan sebagainya.
Dan agaknya Mami dan teman-temannya sudah lupa pada apa yang hendak mereka bicarakan semula. Soal reuni yang bakal dibahas itu, tampaknya kalah menarik dengan obrolan soal pacaran. Khususnya tentang cinta monyet mereka.
Rumpi-ria diseIingi dengan mengemil kue-kue bikinan mami Lupus.
"Ayo don& Mami Lupus cerita tentang pengalaman cinta monyetnya."
Mami Lupus tersipu. "Ya, pada waktu itu saya pernah naksir seorang anak yang tinggal di depan rumah. Anaknya sopan. Dan murah senyum. Nah, saya termasuk salah seorang yang suka mendapat senyum itu."
"Kalo saya," cerita ibu yang lain, "pada waktu itu saya naksir guru olahraga saya."
"Ah, masa""
"Iya. Orangnya baik dan selalu memperhatikan saya. Dulu kan saya orangnya minder. Suka malu kalo berolahraga. Karena ada luka di betis saya. Tapi oleh guru itu saya diberi keyakinan, hingga saya bener-bener tidak malu lagi untuk ikut berolah-raga. Ya, pada akhirnya saya simpati padanya."
Lupus yang ngumpet di balik tembok makin asyik nguping pembicaraan teman-teman maminya.
"Kita," tukas Jeng Jian kemudian, "memang hampir pasti pernah mencintai orang lain sebelum kita mencintai suami dan anak-anak kita. Ada di antara kita yang pernah suka pada penjaga bel lantaran orang itu ramah, ada juga yang pernah demen sama guru, dan ada pula yang suka pada kakak kelasnya. Dan itu adalah masa-masa yang membuat kita bahagia. Makanya, saya pikir, kalo ada anak-anak kita yang masih kecil tau-tau sudah senang sama seseorang, itu biasa-biasa aja. Wajar saja. Kita nggak perlu cemas. Karena, itu sebetulnya bukan pacaran. Itu cuma luapan rasa simpati saja. Hanya teman-teman kita sering meledek, pacaran, pacaran...."
Ya, hampir semua teman Mami itu pernah mengalami cinta monyet. Dan anehnya mereka masih bisa ingat akan peristiwa-peristiwa itu.
Kata orang cinta monyet itu cuma cinta-cintaan. Cinta boho
ng-bohongan. Tapi mengapa teman-teman Mami masih ingat aja pada peristiwa yang dianggap nggak penting itu"
Dan yang lebih heran lagi, kenapa Lupus begitu memusingkan perihal itu" Karena Lupus kini juga tengah dilanda cinta monyet! Ya, Lupus mencintai anak kelas dua yang cantik rupanya. Lupus suka sekali pada anak itu. Tapi suka Lupus hanya terbatas pada mengagumi dan mengamati saja.
Sampai sekarang pun Lupus belon pernah menyapa anak itu. O iya, anak yang digandrungi Lupus itu namanya Winur.
Kenapa Lupus tak berani menyapa" Lupus takut. Takut disangka nggak waras. Takut disangka ketuaan. Masa masih kecil sudah mau kenal-kenalan segala.
Akan tetapi, setelah Lupus mendengar teman-teman Mami dulu pernah juga merasakan perasaan yang sama, maka Lupus berniat, besok pagi akan menyapa Winur dengan mesra.
Eh, kalo kalian punya perasaan yang sama seperti Lupus, juga jangan takut-takut. Jangan malu kalo diledek cinta monyet. Karena, kata orang-orang pintar, cinta monyet itu merupakan bagian dari proses menjadi dewasa. Proses untuk tidak ingusan lagi!
Lupus pun menyusul Papi masuk ke dalam.
*** "Keesokan sorenya, Lupus lagi asyik menghitung berapa jumlah gadis berpita yang lewat di depan rumahnya. Ya, saban sore memang banyak gadis-gadis kecil berpita lewat di depan rumah Lupus. Ada yang lari-lari kecil, ada yang lari-lari sedang, dan ada juga yang lari-lari besar. Lari-lari besar maksudnya, lari dengan langkah yang besar-besar. Ya, emang lari-lari sore lagi musim di kompleks rumah Lupus. Dan kebanyakan yang lari adalah gadis-gadis kecil berpita, agar rambutnya nggak kusut waktu berlari. Alasan mereka lari, katanya buat menjaga kondisi supaya nggak gendut. Genit, ya" Padahal kan mereka masih kecil.
Tinggal Lupus yang jadi asyik nongkrong
di atas pagar rumahnya yang terbuat dari beton, sambil makan popcorn rasa susu keju.
"Hei, hei, ada yang jatuh, tuh!" teriak Lupus waktu seorang gadis manis beridung buncis berlari pas di depan rumah Lupus. Gadis itu menghentikan langkahnya, dan mulai celingukan ke belakang nyari sesuatu yang jatuh. Tapi nggak menemukan apa-apa.
"Mana"" tanyanya pada Lupus.
"Itu, keringetnya!"
Gadis itu memandang Lupus jengkel, lalu meneruskan berlari-lari kecil. Tu, wa, tu, wa....
Lupus ketawa cekikikan. Sampai ketelen satu biji jagung. Dan rombongan gadis yang lainnya mulai nampak dari tikungan jalan. Lari berderap-derap mirip hansip. Ada yang gendut, ada yang kurus, ada juga yang manis. Larinya juga lucu-lucu. Ada yang kaki kanan sama tangan kanannya serempak, ada yang dingkring, ada juga yang melompat-lompat. Lupus mulai pasang stil. Bersiul-siul sampe mulutnya monyong.
"Aduh, itu yang gendut. Pinggulnya kayak Donal Bebek!" seru Lupus terpingkal-pingkal. Dan..., "Hei, hei, itu yang kurus, kalo lari dengkulnya jangan diadu-adu, dong. Kan berisik jadinya...." .
Tak ada yang mau dengar omongan Lupus. .
"Guk! Guk! Guk!" Lupus menirukan suara anjing. Dan gadis-gadis itu kaget, lalu pada ngibrit ketakutan.
Lupus terpingkal-pmgkal lagi.
Dan begitulah kesibukan anak usil itu saban sore. Mami sampai suka geleng-geleng kepala kalo kebetulan mengintip dan balik gorden. Ada aja komentarnya buat para atlet balap lari yang kerap lewat di depan rumah.
Jam lima, ketika langit mulai merah, tiba-tiba ada seorang gadis manis asyik berlari kecil sambil membawa anjing pudel. Lupus tercekat. Gadis kecil itu Winur! Anak kelas dua yang ia taksir. Ya, tadi Lupus tak sempat menegur anak itu ketika pulang sekolah. Karena ada Pepno, Andi, Tomi, dan Iko Iko. Lupus malu dikatain.
Sekarang Winur berlari sendirian ke arahnya.
"Eh, Winur!" tanpa sadar- Lupus menyapa ketika gadis putih yang berambut ikal itu pas lewat di depan rumahnya. Gadis itu berhenti. Menatap Lupus.
"Lupus, ya""
"Lupus girang hatinya karena dikenali.
"L-Iagi ngapain, Win"" Lupus agak gugup.
"Lagi lari. Rumah kamu di sini, ya""
"I-iya. Mampir, yuk""
"Ah, udah kesorean. Kamu aja main ke rumah. Rumah Winur di kompleks sebelah, kok. Yuk, Winur mau pulang dulu. Dadaaah. "
Lupus masih terbengong-bengong ketika Winur menghilang dari balik tikungan. Ah
, senangnya. Tapi tiba-tiba lamunan Lupus buyar. Beberapa anak yang tadinya lari-lari kecil, kini pontang-panting ke sana kemari. Ada apa" Lupus segera berdiri. Olala, ternyata beberapa becak di belakang mereka menyeruak dengan kecepatan tinggi. Ada balap becak"
Bukan. Para tukang becak itu lagi pada lari pontang-panting menyelamatkan diri dan becaknya dari kejaran petugas penertiban bebas becak.
Melihat tontonan yang asyik ini, Lupus langsung lupa kepada Winur dan ikut berteriak-teriak seru, sambil berjingkrak-jingkrak di atas pagar.
"Aduuh, Lupuuuuus! Nanti kamu jatuh!" teriak Mami dari balik jendela.
Tapi Lupus tetap keasyikan memberi semangat pada tukang becak yang pada balapan itu, "Ayo, Bang! Kebut! Terus! Terus!
Dan entah karena diberi semangat oleh Lupus, para tukang becak itu makin semangat menggenjot, menyelinap masuk ke gang-gang sempit yang tak bisa dilalui petugas penertiban.
Lupus bertepuk tangan riuh.
Tapi, apa semua becak sudah selamat dari kejaran para petugas" Aduh, aduh! Ternyata masih ada satu becak yang tertinggal agak jauh di belakang mereka. Kasihan sekali, abang becaknya sudah agak tua. Mungkin sudah tak kuat lagi mengenjot becaknya seperti abang becak yang lainnya. Abang tua itu kelihatan bingung, celingukan mencari tempat aman terdekat, untuk bisa menyembunyikan becaknya dari kejaran petugas. Lupus kasihan memandang dari atas pintu pagar. Seketika otaknya bekerja. Ia pun lantas melompat turun, dan buru-buru membuka pintu pagar di halaman samping, tempat Papi biasa memarkir mobil tuanya. Pintu pagar itu akan membuka jalan sampai ke halaman belakang rumah Lupus yang cukup luas. Yang pasti aman buat persembunyian becak dari petugas penertiban.
""Ayo, Pak, masuk ke sini!" seru Lupus dari balik pintu pagar yang terbuka.
Tukang becak tua itu celingukan sejenak. Seolah ragu. Namun, seperti merasa tak punya pilihan lain, ia buru-buru mendorong becaknya ke halaman rumah Lupus. "Terus ke belakang, Pak. Nggak bakal ketauan!" ujar Lupus sambil buru-buru menutup pintu.
Pada saat Pak Tua itu mendorong becaknya ke halaman belakang, mobil petugas penertiban lewat. Dan sama sekali tak melihat becak yang disembunyikan di halaman rumah Lupus. Lupus menarik napas sambil bersandar di balik pintu pagar.
*** ""Aduh, terima kasih sekali, Nak Lupus, Bu Lupus," ujar Pak Tua itu sungkan ketika Mami meletakkan singkong goreng di dipan belakang.
"Ah, nggak apa-apa. Ayo, silakan dicicipi," ujar Mami tersenyum. "Lalu bagaimana lanjutan ceritanya""
Pak Tua itu meneguk kopi panasnya dengan nikmat, lalu berkata, "Bapak tinggal punya satu cucu, Bu, sebesar Nak Lupus ini. Bapak sayang sekali sama dia. Dan satu-satunya pekerjaan yang bisa Bapak lakukan untuk membiayai sekolah cucu Bapak, dan juga untuk makan sehari-hari, ya dari narik becak itu, Bu. Bapak nggak tau, harus bagaimana kalo becak ini sampai disita yang berwajib. Dengan apa Bapak bisa mencari nafkah lagi. Bapak tak punya keahlian untuk kerja yang lain. Tiap hari Bapak bingung, ke mana harus menyembunyikan becak ini. Bapak tak bisa hidup selalu dikejar-kejar seperti ini. Tapi Bapak juga tak ingin cucu Bapak jadi orang bodoh seperti Bapak. Dia harus sekolah...."
Mami terharu. Lupus juga ikut-ikutan terharu.
Sesaat suasana hening. "Kenapa Bapak tak pindah ke daerah saja" Kan di sana boleh narik becak""
"Ya, itu sudah Bapak pikirkan. Tapi sekarang tabungan Bapak belum cukup. Kan pindah sekolah harus ada biaya tambahan."
"Saya punya usul, Pak," ujar Mami akhirnya. "Bagaimana kalo sementara ini Bapak titipkan saja becak Bapak di sini" Setiap pagi, saat situasi aman, Bapak boleh mengambil becak Bapak dan mulai beroperasi di dekat-dekat sini. Kalau menjelang ada pembersihan, Bapak bisa menyimpan kembali becak Bapak di halaman ini. Bagaimana""
Sinar mata Pak Tua itu berbinar. "Terima kasih. Terima kasih sekali, Bu. Bapak tak mengira, ada orang yang masih mau memperhatikan nasib Bapak. Terima kasih, Bu."
"Bapak bisa pulang sekarang dengan tenang. Kembalilah besok pagi untuk mengambil becaknya."
Pak Tua itu mengucapkan terima kasihnya berkali-kali. Lalu pami
t pulang. Kepada Lupus, Pak Tua itu menjabat tangan. Lalu Mami dan Lupus melepas kepergian tukang becak itu dari pagar depan.
Setelah Pak Tua pergi, Lupus memandang Mami yang sedang membereskan piring bekas dan bertanya, "Mi, apa tindakan kita ini memang benar" Becak kan dilarang""
Mami menatap Lupus sebentar. "Menolong orang kan nggak ada salahnya, Pus. Lagi pula..."
"Lagi pula kenapa, Mi""
"Tiap pagi Mami nggak bakalan gempor jalan kaki ke pasar lagi. Sekarang ini becak udah jarang. Dan kendaraan umum untuk gang-gang kecil nggak ada. Apa kamu tega ngebiarin Mami jalan dari pasar panas-panas sambil bawa belanjaan sekeranjang penuh" Nah, sekarang kan bakal ada yang nganterin tiap pagi...."
8. Ngompas "Lupus sekarang-sekarang ini, kalo sekolah nggak bawa duit. Bukannya nggak dikasi" Mami karena takut jajan sembarangan lagi, tapi Lupus memang sengaja nggak minta. Kok, tumben" Ya, lantaran anak-anak kelas lima dan enam sekarang-sekarang ini, suka ngompasin. Suka mintain duit adik-adik kelas.
Nah, daripada dimintai secara paksa oleh mereka, Lupus merasa lebih baik nggak bawa duit aja.
"Jadi gitu, Mi," ujar Lupus ketika Mami menegur Lupus kenapa nggak pernah minta duit lagi. "Uang jajan Lupus kan sehari dua ratus perak. Sabtu depan baru akan Lupus ambil. Semua jadi seribu empat ratus perak!" Pikir Lupus; lumayan buat nraktir Winur makan es krim di minimarket depan jalan.
"Lho, kok jumlahnya bisa jadi segitu, Pus" Kan cuma enam hari."
""Kan berbunga, Mi."
"Yee, emangnya Mami bank!"
Tapi, Mami belon tau kalo suasana di sekolah Lupus lagi rawan. Disangkanya Lupus sudah mulai rajin menabung. Makanya Mami setuju saja kalo Lupus menagih uang jajannya setiap hari Sabtu, seminggu sekali. Walau jumlahnya jadi bengkak begitu.
Anak-anak kelas lima dan enam belakangan ini memang rajin banget mengompasi anak-anak yang lebih kecil dari mereka. Hampir tiap hari mereka nongkrong di ujung gang samping sekolah. Dengan lagaknya yang sok tue mereka mencegati tiap anak. Jumlah yang mereka minta memang nggak terlalu besar. Paling lima puluh rupiah atau dua puluh lima rupiah dan kalo nggak punya duit, ngasih koran bekas juga diterima! (Hihihi, celamitan, ya")
Sementara guru-guru, sampai saat ini belon tau. Karena tiap anak yang dikompas diancam agar jangan melapor. Kalo sampe melapor, tau sendiri akibatnya. Mereka bakal dikitik-kitik seumur idup! Ih, sadis betul!
Lupus sebelum-belumnya juga pernah dikompas. Waktu itu Lupus baru pulang sekolah sama Winur. Tiba-tiba saja ia dirubungi oleh beberapa anak yang perawakannya rata-rata besar. Mulanya Lupus berusaha melawan, dan menyuruh Wmur cepat-cepat pulang. Tapi sia-sia saja. Karena selain anak-anak itu badannya gede-gede, mereka juga tega untuk memukuli sang korban.
Dan Lupus memang nggak lapor. Tapi waktu dia main ke rumah Winur, Lupus cerita pada kakaknya Winur, Baba. Kebetulan Baba sudah duduk di SMA. Da" menurut Baba, anak-anak yang suka mengompas itu ketularan penyakit anak-anak "SMA zaman sekarang ini. Baba sama sekali tak menyangka kalo kebiasaan buruk itu merembet ke anak-anak SD.
"Ini sebaiknya segera dibendung, Pus," saran Baba kala itu.
"Dibendung bagaimana, Kak Baba""
"Kamu mesti berani melaporkannya," saran Baba lagi. ''juga bilangin sama teman-temanmu untuk tidak dengan mudah memberi, meski cuma jigo atau gocap, pada anak-anak yang mengompas itu. Karena kalo ngasih, kamu atau teman-temanmu ikut memberi peluang dalam membuat kesalahan. Jadinya, biar dikit, punya andil dalam membuat kekeliruan."
Lupus mengangguk-angguk. "Tapi itu memang nggak gampang. Apalagi kalo yang ngompas lebih dari satu anak dan badannya lebih gede. Tapi, masa iya sih, kamu dan teman-temanmu nggak berani menolak permintaan mereka itu. Katanya sudah pada tidak ingusan lagi...."
Dan semenjak ngobrol-ngobrol dengan kakaknya Winur itu, Lupus mulai memupuk keberanian untuk menghadapi para pengompas itu.
"Iya, Pep, kita harus melawan mereka. Jangan diberi ati, ntar minta daging lagi. Eh, kebalik, ya""
Sayangnya, Pepno tak memberi dukungan. juga yang lain. Mereka lebih rela ngasih jigo atau gocap dar
ipada harus ngadepin para pengompas. Hampir tiap teman Lupus rela dibegitukan. juga Iko Iko yang duitnya selalu cekak itu.
"Kalo kamu mau cari penyakit, sana, gih!" ujar Pepno waktu Lupus mengajaknya untuk menyetop kegiatan jelek itu.
"Tau, cuma bela-belain jigo aja, pala pada benjol!" sambung Iko Iko meleceh.
Sebenarnya sih Lupus sendiri sudah dalam keadaan aman sentosa. Semenjak ia nggak pernah bawa duit ke sekolah lagi, Lupus memang nggak pernah dikompas atau dimintai duitnya. Artinya, nasib Lupus udah nggak sial-sial amat. Abis tiap kali dicegat isi kantongnya kosong melulu.
"Hei, kamu kok nggak pernah punya duit"" tegur salah seorang pengompas kala mencegat Lupus pada suatu hari.
"Lho, apa kamu juga punya duit"" Lupus balik tanya.
"Ya punya dong!" jawab anak itu tersinggung.
"Kok masih suka minta-minta""
"Yeee, kita kan cuma iseng aja. Dapet sukur, nggak dapet ya benjol!"
Ya, akhirnya Lupus pun nggak pernah diapa-apain lagi. Tapi ia prihatin dengan kejadian seperti itu. Mau lapor risikonya terlalu berat. Meskipun guru-guru selalu berjanji menjamin keselamatan tiap anak yang melaporkan perbuatan nggak baik, bukan berarti guru-guru itu juga bersedia mengawal anak yang lapor, dari pagi sampe pulang sekolah. Artinya, keamanan hanya akan terjamin di dalam sekolah saja. Di luar" Oho, risiko tidak ditanggung!
*** "Hari itu, bel pulang baru saja berdentang. Lupus menarik tas gendongnya untuk kemudian melesat keluar!
Di ujung jalan, Lupus kembali melihat beberapa anak kelas lima dan enam yang bergerombol. Tapi wajah mereka tidak keliatan galak. Karena di dekat mereka bergerombol anak-anak SMP yang punya penampilan lebih gede.
Dan ternyata anak-anak kelas lima dan enam itu tengah kena batunya. Mereka gantian dikompas! Anak-anak kelas lima dan enam itu tampak tidak berkutik, ketika dilucuti untuk menyerahkan duitnya.
Lupus terus mengamati dari kejauhan. Kakak-kakak kelas Lupus itu juga didorong-dorong bahunya persis seperti ketika mereka memperlakukan Lupus dulu. Kini mereka benar-benar tidak berkutik.
Adegan itu untungnya tidak berlangsung lama, karena kalo nggak, pasti rasa takut yang mendera anak kelas lima dan enam itu akan lama juga. Tetapi mereka tanpa disadari, sudah ngerasain betapa tidak enaknya dikompas itu.
Dan dugaan Lupus benar. Esoknya kegiatan pemerasan di sekolah berhenti total. Dan Lupus senang karena, "Tak perlu capek-capek melawan mereka lagi."
Saku Lupus pun kini sudah ada isinya lagi.
Ya, karena hukum karma itu lebih manjur. Barang siapa yang pernah berbuat jahat, suatu saat dia juga. akan dijahati. Ingat aja pesen orangtua-orangtua kita: Kalo kamu nggak mau sakit dicubit, jangan mencubit orang lain!
Eh, tapi gimana dengan anak SMP yang ngompas itu" Apa dia juga akan kapok mengompas anak-anak SD kalo mereka sudah dicegat anak-anak SMA" Lho, trus anak SMA-nya bagaimana" Apa juga baru berhenti kalo sudah digertak oleh orang yang lebih kuat" Wah, wah, ini artinya pemerasan nggak ada abis-abisnya, dong, kalo orang-orang yang merasa kuat dan perkasa selalu bertindak semena-mena....
*** "Dan dugaan Lupus benar. Pemerasan tetap tak akan ada habisnya. Kini kalo pulang sekolah Lupus dan Pepno males lewat Gang Senggol. Ya, di gang ini memang terkenal banyak anak nakalnya. Anak-anak yang kerjanya nongkrong sambil bermain gitar dan bercanda. Mereka jarang sekolah, serta gemar berkelahi. Badan mereka memang besar-besar, serta bertampang sangar. Mereka suka mintain duit anak-anak sekolah yang lewat di gang situ. Bukan hanya anak SMP yang dulu ngompasin anak SD. Tapi anak SMA juga kena dilawan.
Lupus dan Pepno tentu merasa kecut hatiny" kalo harus melewati Gang Senggol. Tapi misalnya Lupus ambil jalan lain, lewat Gang Cowel atau Gang Sentuh, akan lebih jauh. Mungkin sampainya bisa sore hari.
Gang Senggol memang merupakan jalan pintas yang asyik. juga jalan potong yang mendebarkan.
Dan kini Lupus sama Pepno bener-bener kebat-kebit hatinya. Mereka baru memasuki ujung Gang Senggol, tapi tawa anak-anak nakal sudah kedengaran.
"Wah, gimana nih, Pep""
Lupus Kecil Jjs di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kita pura-pura nggak liat aja, Pus."
"Nggak lia t gimana" Mereka kan tetep liat kita."
Lupus mendorong Pepno supaya jalan di depan.
"Atau," tukas Lupus kemudian, "gimana kalo seluruh badan ini kita kasih daun-daunan" Kayak tentara yang mau perang!"
"T-tapi, Pus, daun-daunan di sini banyak ulatnya. "
"Hiii... nggak jadi, deh!"
Sementara di ujung Gang Senggol keliatan beberapa anak tengah asyik duduk-duduk. Ada yang main gitar, dan hei, ada juga yang ngerokok dan minum bir! Amit-amit. Padahal mereka masih tergolong kecil-kecil, lho. Ya, paling SMP dan SMA.
Anak-anak Gang Senggol telah terkenal dengan kenakalannya. Anak-anak itu selain pada bolos sekolah, juga suka ngegangguin orang yang lewat di situ. Apalagi kalo yang lewat anak cewek. Wah, mulut mereka pun rame bersuit-suit. Mereka juga berani minta duit receh secara paksa.
"P-permisi," ueap Pepno pas sampe di depan anak-anak itu. Rambutnya yang kenting mulai gemeteran!
"Iya, permisi ya, kita numpang lewat," ujar Lupus pula sambil mengelap keringat di dahinya. "O ya, kita berdua nggak ada yang punya duit, lho!"
Beberapa anak Gang Senggol agak kaget juga ngeliat ada dua anak berani numpang lewat di situ.
"Hei, Cabe Keriting!" teriak seorang anak tiba-tiba sambil menunjuk ke arah Pepno.
"Sini kamu!" Pepno langsung mengkeret.
"P-pep, kamu dipanggil...," bisik Lupus sambil ngejorokin Pepno.
"Kamu juga!" Anak itu menuding ke Lupus.
"S-saya ""
"Iya, elu!" "Lupus dan Pepno menghampiri anak-anak itu dengan rasa strawberry eh, rasa takut. Apalagi anak yang menyuruh mereka mendekat punya badan gede dan potongan sangar.
"Kamu tadi bilang nggak punya duit, ya"!" Anak berbadan besar itu membentak seraya bangkit dari duduknya. Memasang tampang beringas.
"I-iya, saya nggak punya," kata Lupus terbata-bata. ''Tapi nggak tau deh kalo si Cabe Keriting."
"Saya nggak nanya Cabe Keriting. Saya nanya kamu, Tomat Gondol! Hah, punya duit nggak"!"
Pepno ingin ketawa mendengar julukan yang diberikan anak itu kepada Lupus. Tapi ia tahan. Karena takut menarik perhatian anak-anak badung yang lainnya.
"N-nggak, Bang, saya nggak punya," jawab Lupus gemeteran.
"Hei, bunyi apa itu""
"A-anu, Bang, dengkul saya."
"Hahaha, gemeteran ya""
"I-iya." "Kamu juga gemeteran, Cabe Keriting""
"I-iya." "Kok dengkul kamu nggak bunyi""
"Y-yang gemeteran rambut s-saya."
"Hahaha." Anak-anak yang ngumpul di situ pada ketawa.
"Sudah!" putus si Kaus Buntung. "Sekarang kalian harus ngasih duit seratus rupiah. Sebab, kita-kita di sini mau nyaingin Pak Ogah, tau!"
"Tapi kita berdua nggak punya duit. Tadi ada pelajaran olahraga, duitnya udah abis buat beli es di kantin. Kalo nggak percaya tanya aja sama Ibu Kantin di sekolah kita. Atau tanya Andi ya, Pep, sebab dia liat kita waktu kita jajan es di kantin. Kita berdua beli es rasa coklat. Wah, enak deh coklatnya. Kalo nggak percaya kamu beli aja di kantin sekolah kita. Murah kok, cuma seratus rupiah. Kalo nggak percaya, boleh kok nitip sama kita, besok kita bawain ya, Pep. Kalo nggak pere..."
"Sudah! Saya bukannya mau denger cerita, tau! Tapi mau duit!" si Kaus Buntung membentak keras. Suaranya menggelegar.
Lupus dan Pepno langsung tersentak kaget.
"Duit kita nggak punya. Kalo nggak percaya periksa aja celananya si Cabe Keriting," usul Lupus.
"Saya juga nggak punya duit. Kalo nggak percaya boleh tanya sama ibu saya. Saya tadi cuma dikasih uang jajan seratus rupiah. "Dan itu udah abis saya belikan es di kantin. Kalo nggak pere..."
"Sudah! Jangan cerita lagi! Saya percaya, tapi saya harus menggeledah saku kalian dulu!"
Lupus dan Pepno digeledah sakunya oleh anak berbadan besar itu yang dibantu teman-temannya. Taunya memang nggak ada isinya. .
"Huh, lain kali kalo nggak punya duit jangan lewat sini!" maki anak itu.
Dan Lupus pun ditendang pantatnya. Sedang Pepno idungnya dicentil. Mereka juga didorong-dorong sampai ke luar gang. Dalam hati Lupus menggerutu, emangnya es lilin, pake didorong-dorong segala!
"Sudah, jalan sana!" gertak anak-anak Gang Senggol.
Pas sampe rumah, Lupus langsung masuk kamar dan nggak makan dulu. Biasanya makan baru masuk kamar. Tumben.
"Kok nggak makan dulu, Pus
"" tegur Mami. Lupus tak peduli. "Mi, Lulu maem duluan, ya"" kata Lulu yang udah nggak sabaran.
"Kita makan barengan aja, Lu. Tunggu kakakmu dulu. Mungkin dia mau tukar baju."
"Tapi ditunggu-tunggu Lupus tak kunjung muncul. "Wah, ngapain sih, Lupus"" Mami penasaran dan beranjak menghampiri pintu kamar Lupus untuk membukanya pelan-pelan. Ya amplop, Lupus-nya tidur!
"Mana cih, Kak Luputs-nya"" tanya Lulu yang udah nggak tahan pengen buru-buru makan.
"Tidur. Sudahlah kita makan duluan saja. Eh, tapi perkedel dagingnya jangan dihabisin, sisain buat Lupus."
"Belets, Mi." Sementara di dalam -kamar, dalam tidurnya, Lupus mulai bermimpi. Lupus emang udah janjian sama Pepno untuk membalas kelakuan anak-anak Gang Senggol, lewat mimpi. Tadinya Lupus mau bermimpi jadi Robocop, tapi Robocop tenaganya suka cepat habis, maka Lupus pun memilih bermimpi jadi Batman.
"Ya, itulah jalan satu-satunya yang bisa kita lakukan untuk bisa membalas mereka, Pep," ujar Lupus pada Pepno waktu hendak berpisah di perempatan jalan.
"Trus, saya mimpi jadi apa, Pus""
"Jadi apa aja asal bisa ngalahin mereka, Pep. Eh, jadi ini aja, Kura-kura Ninja! Idung kamu kan mirip idung kura-kura! Hihihi."
""Ah, kamu bisa aja. Gimana, Pus, kalo saya jadi Superman""
Dan sekarang dalam mimpinya Lupus sudah jadi Batman. Biasanya Batman ke mana-mana naik mobil, tapi dalam mimpi Lupus Batman-nya naik sepeda. Abis, Lupus bisanya cuma naik sepeda, sih.
Batman dan Superman siap menyerang sarang penjahat di Gang SenggoL Batman yang merayap di atas gang mulai mengukur kekuatan penjahat. Superman berjaga-jaga guna menghadapi serangan tak terduga.
Tepat pada waktunya, ketika anak-anak Gang Senggol sedang mencolek-colek sabun colek, eh maaf, maksudnya mencolek-colek anak cewek yang lewat di jalan itu, Batman dan Superman datang menyergap. Hiaaat...!
Tok, tok, tok! "Pus, ada apa, Pus"" Mami yang asyik makan sama Lulu mendengar Lupus berteriak-teriak nggak keruan di dalam buru-buru membuka pintu kamar.
"Pus, ada apa" Kamu kok berteriak-teriak nggak keruan begitu" Ngigo ya""
Lupus tak menjawab. Karena anak yang baru saja menyerbu Gang Senggol ini sudah terkapar di lantai sambil mengelus-elus jidatnya yang benjol! Hihihi..
9. Merdeka atau Pecah TENG, teng, teng! Bel istirahat berdentang.
"Ayo, Pus, kita ke lapangan!" ajak Pepno semangat. "Kelas kita mau tanding bola dengan kelas tiga!"
Lupus yang dipanggil santai aja membereskan alat tulisnya.
"Cepat, Pus. Seru, nih!"
Lupus sekilas menatap Pepno.
"Saya ada janji sama Winur, Pep," ujar Lupus. "Winur mau nraktir saya makan siomai."
"Traktirnya minta pulang sekolah aja, Pus."
"Pulang sekolah saya udah dijanjiin sama Happy makan bakso."
"Besok kan bisa."
"Dia janji nraktirnya sekarang, sih."
Sementara anak-anak yang lain sudah berkemas untuk pergi ke lapangan bola eh, bukan ding! Bukan lapangan bola, tapi lapangan tempat upacara. Hanya saja anak-anak anak sering mengubahnya menjadi lapangan bola, bahkan lapangan kasti atau lapangan galah asin!
Untuk permainan yang terakhir guru-guru suka. Tapi untuk lapangan kasti atau bola guru-guru nggak suka. Karena membahayakan kaca-kaca kelas di sekelilingnya. Memang udah beberapa kali kaca-kaca itu pecah kena tendangan bola kaki atau lemparan bola kasti yang nyasar.
"Gimana Pus" Anak-anak butuh bantuanmu untuk memenangkan pertandingan ini. Anak-anak kelas tiga terkenal kasar, tapi kalo kesebelasan kita ada kamu, mereka tak akan berhasil memenangkan pertandingan ini."
Lupus sebenarnya nggak gitu jago main bola. Hanya dia paling jago disuruh, jadi supporter. Ya Lupus selalu berhasil membangkitkan semangat teman-temannya di lapangan dengan teriakan-teriakan meriah. Makanya Pepno berharap agar Lupus mau ikut ke lapangan.
"Hei, Lupus! Kamu dicari-cari Tomi!" tukas Iko Iko dari balik jendela.
Tomi adalah kapten kesebelasan kelas Lupus. Orangnya besar, nakal, dan berani. Kalo dia sedang mencari-cari orang berarti dia betul-betul membutuhkannya. Kalo orang yang dibutuhkan itu tidak mau, maka dia tak segan-segan untuk memaksanya.
"Tuh, Pus, daripada kamu dijenggut Tomi" Ay
olah, Pus, demi kelas kita."
Lupus masih diam. "Baiklah, tapi saya harus ikutan main."
"Boleh. Nanti saya bilang sama Tomi."
Lupus dan Pepno segera menuju ke lapangan. Di sana sudah banyak orang. Anak-anak kelas lain memang sudah mendengar kabar kalo kelas satu menantang kelas tiga yang terkenal kasar-kasar. Dan kelas satu terkenal jago main.
Pertandingan pun segera dimulai. Untungnya sampai saat itu guru-guru nggak ada yang tau.
Lupus diperkenankan main sebagai back. Lupus juga ditugaskan menyemangati para pemain yang lain.
Pertandingan berlangsung amat seru. Tapi sayang disayang, ketika Lupus mendapat bola, Lupus terlalu semangat menyundul.
Arah bola melenceng jauh ke luar dan membentur kaca kelas hingga pecah. Anak-anak terperanjat, lalu cepat-cepat bubar. Dalam sekejap lapangan itu sepi.
Di dalam kelas Lupus masih berkeringat dingin. Terus-terusan dikejar dosa. Setiap ada guru masuk, ia deg-degan. Setiap diajak ngomong Uwi, ia terkejut. Ditegur Pepno, ia histeris. Pokoknya jadi aneh banget.
Anak-anak bukannya pada nggak tau kenapa Lupus bersikap seperti itu. Tapi anak-anak bisa diajak kompak. Artinya mereka nggak mau ngadu, siapa sebenarnya yang memecahkan kaca. Tentunya guru nggak bisa tau, siapa di antara anak-anak yang bermain bola itu yang memecahkan kaca.
Eh, tapi apa iya guru-guru pada nggak tau" Sepertinya iya. Soalnya sampai sekarang, sampai pas guru masuk, Lupus tak kunjung dapat teguran. Padahal Lupus udah siap-siap dipanggil ke depan. Siap-siap dijewer. Seperti pas Bu Guru masuk untuk mengajar matematika, Lupus serasa hampir mati berdiri ketika namanya disebut, disuruh maju ke depan.
"S-saya...," Lupus tergagap.
"Tolong ambilkan kapur berwarna di ruang guru, Pus!" ujar Bu Guru. Oh, ternyata Lupus dipanggil bukan masalah kaca pecah itu.
Lupus lega. Dan sampai pulang, ia sama sekali tak mendapat teguran dari siapa-siapa. Aneh, Lupus jadi berpikir. Dan sebetulnya ia merasa berdosa juga. Ia ingin mengaku bersalah. Soalnya ada perasaan tak enak jika kita menyimpan perasaan bersalah.
Ah, Pus, tapi kan guru-guru pada nggak tau ini" Ya, diamkan saja! batin Lupus berkata, ketika Lupus melangkah pulang keluar pekarangan sekolah.
Tak usah cari-cari penyakit, Pus. Lagian kan kamu tak sepenuhnya bersalah. Bola itu kan diumpankan kepadamu, dan kamu tanpa sengaja menyundulnya dengan keras. Ah, bukan salahmu.
Tapi begitu melihat Tomi melintas menyeberang jalan, hati Lupus kembali kecut. Teriris kayak jeruk nipis.
Sampai di rumah, Lupus masih tak enak hati. Dia mau cerita ke Mami, tapi takut dimarahi. Mau cerita ke Lulu, takut nanti Lulu-nya ngadu ke Mami. Mau nggak cerita, tapi takut tiba-tiba nanti malam Lupus ngigo, mengakui perbuatan salahnya. Ya, Lupus kalo lagi memendam unek-unek di dalam hati, suka keceplosan ngigo. Dia emang paling nggak bisa menyimpan rahasia.
Begitu meletakkan tas, Mami muncul sambil membawa sop kepiting. "Ayo, makan dulu, Pus."
Lupus diam. "Dan setelah makan, cepat kamu antar uang ke sekolah, untuk mengganti kaca yang pecah itu."
Lupus terperanjat. Lho, kok Mami tau"
"Tak usah heran, Pus. Karena begitu kamu pecahkan kaca itu, Ibu Guru langsung berkunjung kemari. Makanya lain kali hati-hati."
Lupus masih bengong. "Ayo, tak usah bengong. Keburu kantor sekolahmu tutup. Soalnya Mami tadi sudah janji, sepulang sekolah nanti kamu akan langsung Mami suruh mengantarkan uang gantinya."
Lupus mengangguk. Meski tadi kaget, ia cukup senang. Perasaannya lebih tenang. Soalnya Mami tak cerewet seperti biasanya kalo Lupus bikin ulah. Malah uang penggantinya sudah disiapkan. Lupus tinggal mengantar. Ah, Mami baik sekali. Lupus tak mengira penyelesaiannya bisa semudah ini.
Ia pun buru-buru menghabiskan makan siangnya. Dan rencananya setelah makan, dia akan mengantarkan uang ganti kaca pecah tersebut pakai sepeda.
Ketika ia sudah berganti pakaian, Lupus langsung berlari menuju garasi. Uang pengganti dari Mami sudah ia masukkan amplop, dan tersimpan aman di saku baju.
Lupus keliling-keliling di garasi mencari sepedanya. Kok, nggak ada, ya" Ke mana" Di tumpukan ban, di kolong mobil tua,
di sela-sela drum bensin. Tetap tak ada.
"Nyari apa kamu, Pus"" tegur Mami tiba-tiba
"S-sepeda. Sepeda Lupus mana, Mi""
"Ya, itu tadi. Sepeda kamu tadi Mami jual ke tukang loak. Memangnya kamu pikir, Mami punya cukup uang untuk mengganti kaca yang pecah""
"Ha"" Lupus melongo. Rasanya mau pingsan.
*** ""Lupuuuus...!" panggil anak-anak bersaut-saut, menjemput Lupus untuk diajak latihan drama tujuh-belasan.
"Lupuuus...!" panggil Pepno, Andi, Happy, Uwi, Iko Iko, Iwan, Angga, dan Tomi lagi.
"Lupuuus...!" Lupus ke mana, sih" Sebenarnya ada. Lupus cuma lagi males latihan aja. Di dalam kamarnya dia lagi pura-pura tidur. Dia masih kesel karena Mami menjual sepeda satunya.
"Pus...," cowel maminya, "teman-temanmu, tuh."
""Bilang lagi tidur, Mi."
"Hei, kamu mengajar Mami untuk berbohong""
"Abis, Lupus males, Mi, kalo disuruh main drama. Apalagi sambil teriak-teriak segala."
"Kemaren kenapa mau waktu dipilih jadi pemeran utama""
"Lupus pikir pemeran utama itu yang dapat tugas ngurusin makanan, Mi."
"Hus, itu sih bukan pemeran utama tapi seksi dokumentasi, atuh. Udah cepat sana." Hihihi, Mami tak kalah ngaconya.
Lupus akhirnya beringsut juga.
"Kamu masih mikirin sepeda yang hilang, ya"" tegur Mami kasihan.
Lupus mengangguk. "Itulah. Makanya jadi anak jangan bandel. Kalo kamu berbuat salah, kamu harus berani menanggung risikonya. Sudahlah, nanti kalo Papi dapat rezeki lagi, Mami akan mengusulkan agar kamu dibelikan sepeda."
Lupus cuma tersenyum. Wah, kapan itu bisa terjadi" Papi kan pelit sekali! Lupus pun berjalan gontai ke luar.
"Lupus, ayo dong! Ntar kita diomelin Kak Sisi, lho," tukas Pepno agar Lupus cepat berkemas. '
"Iya, Pus. Kemaren kamu telat. Masa sekarang telat lagi, sih," Uwi juga ikut-ikutan protes.
Lupus diam aja. Wajahnya cuma tertunduk. Dia memang nggak enak sama teman-temannya. Tapi kalo dulu nggak dipaksa barangkali Lupus ogah ikutan drama tujuh-belasan itu. Karena Lupus suka malu tampil di depan banyak orang.
"Kak, ikuuut..." Tiba-tiba Lulu muncul dari dalam rumah. "Lulu, kamu di sini aja nemenin Mami. Biar Kak Lupus latihan dulu sama teman-temannya. Nanti kalo sudah pentas baru kita nonton," ujar Mami.
"Aaa, Lulu mau ikut, Mi. Lulu mau main dlama."
"Ee... atau gimana kalo saya digantikan adik saya aja"" ujar Lupus tiba-tiba. "Kan pejuang wanita juga ada. Lulu bisa kok bergaya di panggung," usul Lupus kepada teman-temannya.
"Nanti latihannya repot lagi, Pus." Pepno tampak tidak setuju usul Lupus itu.
Lupus jadi kasihan sama Pepno yang tiap latihan paling semangat banget itu. Lupus manggut-manggut.
"Kak. Ikut, ya...."
"Tapi nggak nangis, kan""
"Mudah-mudahan. "
"Nggak minta jajan""
""Nggak." "Nggak minta gendong""
"Nggak." "Nggak minta ikut""
"Nggak. " "Ya, udah!" Dan Lupus pun langsung cabut sama teman-temannya.
"Aaaa...." Lulu menggelesot di tanah sambil menangis keras-keras.
Sementara di perjalanan Lupus kembali diam. So pasti yang lain pada heran.
"Pus, kamu nggak suka main drama, ya"" Iko Iko memecah keheningan.
"S-suka," jawab Lupus.
"Tapi, kok, males-malesan, sih"" tuduh Pepno cepat.
"Abisan ditonton banyak orang, sih. Mana mainnya di lapangan, lagi! Gimana kalo saya tiba-tiba lupa dialognya" Atau, tiba-tiba saya mau pipis" Kan repot. Kalo drama itu dipentaskan di dalam kelas pasti saya tidak malu!"
"Nggak seru dong, Pus," tukas Uwi. "Masa dipentaskan di dalam kelas, kan Pak Gubernur mau datang nonton juga."
"Pak Gubemur""
"Iya. Malah, kata Kak Sisi, drama yang
akan kita mainkan itu rencananya disorot
tipi segala," tukas Uwi lagi.
"Disorot tipi""
"Memang akan ditayangkan di tipi, Pus," tambah Iwan, temen Lupus yang pendiem itu.
"Wah, kalo gitu saya semangat, deh. Dan nggak malu lagi!"
Demi mendengar drama ini akan masuk tipi, Lupus berubah 180 derajat. Jadi semangat banget. Karena Lupus yang hobi nonton tipi itu, dari dulu juga pengen banget bisa nongol di layar kaca.
Sementara di sanggar latihan, Kak Sisi sudah menanti-nanti. Kak Sisi ini kakaknya Happy yang paling gede, yang sudah duduk di SMA. Dia memang sering muncul di televisi, mengisi acara drama
remaja, dan juga vokal grup. Diitung-itung, katanya udah 17 kali Kak Sisi masuk televisi. Dan ketika melihat anak-anak muncul di pintu sanggar, ia langsung saja berteriak, "Merdeka!"
"Anak-anak, kalo kita ketemu di mana aja, sambil mengangkat tangan, ucapkan 'merdeka'. Di rumah kek, di sekolah kek, pokoknya di mana saja, 'merdeka'. Kita ulang kata-kata itu. Jangan bosan. Kita bersama-sama memasyarakatkan merdeka dan memerdekakan masyarakat! Ya, merdekaa...!"
""Merdeka juga!"
"Lain kali tak usah pake juga. Cukup merdeka."
"Cukup merdekaa!"
"Lho, kok cukup merdeka""
"Katanya.... " "Merdeka!" "Merdeka!" "Ya, gitu." Anak-anak sambil melingkari Kak Sisi, mendengarkan petunjuk-petunjuk mulai cara berakting, berdialog, bergerak, dan lain-lain. Kak Sisi juga menambahkan informasi tentang rencana peliputan televisi atas pertunjukan drama tujuh-belasan ini. Ya, Lupus makin semangat aja.
"Baik, sekarang kita mulai adegan pertama. Coba Lupus dan Uwi maju. Lupus sebagai pejuang yang akan menuju medan perang minta restu sama ibunya."
Lupus dengan langkah gagah berjalan ke arah Uwi.
"Ibu, aku ingin berangkat perang mengusir penjajah. Karena perjalanan cukup jauh, aku minta ongkos, Ibu."
"Stop, stop," sergah Kak Sisi. "Bukan minta ongkos, Pus, tapi minta restu."
Lupus tersipu. Happy tertawa terbahak-bahak.
"Kak Sisi menegur, "Happy, kamu kalo ketawa kok kayak kuntilanak begitu. Diam, dong. Nanti merusak konsentrasi Lupus dan Uwi."
Adegan pun diulang kembali.
"Iya, Bu. Maafkan anakmu ya, maksudnya minta restu sekalian ongkos, gitu. Eh bukan, Bu, aku hanya minta restu Ibu untuk mengusir penjajah."
"Berapa biji kauminta restunya""
"Lho, kok berapa biji, sih"" tegur Kak Sisi lagi.
"Maaf, Kak, abis kalo ngeliatin mukanya Lupus, saya jadi tidak konsentrasi."
"Atau begini, kita langsung masuk ke babak berikutnya aja. Yaitu babak ketika Lupus ditembak mati oleh Pepno. Lupus baru keluar beberapa langkah dari rumahnya, tiba-tiba ditembak Belanda. Pepno sebagai Belanda maju."
Pepno yang udah nggak sabar menunggu adegannya segera beranjak sambil menggenggam senjata panjangnya. Eit, kamu pasti bingung. Kenapa yang jadi Belanda-nya kok item, keriting, lagi" Ceritanya, Belandanya abis kesamber petir! Hehehe.
"Pepno, kamu siap menembak Lupus, ya"" titah Kak Sisi.
"Beres. " ""Nggak ah," tukas Lupus tiba-tiba. "Saya nggak mau mati."
"Hei, ini pura-:pura mati, Pus."
"Tau, tapi saya nggak mau mati."
"Lho, biasanya kamu paling suka adegan ini. Karena tidak perlu dialog, tidak perlu berakting, tinggal tidur aja. Kok sekarang nggak mau, sih"" tanya Kak Sisi heran.
"Abis, kalo mati ntar masuk tipinya cuma sebentar, lagi."
10. Anak Rembulan ADA seorang anak sebaya Lupus yang selalu nongkrong di ujung jalan dekat pasar. Katanya anak itu menyukai rembulan. Katanya ia lebih suka memandangi rembulan, daripada bermain lari-larian, main petak umpet, main ding-dong atau main-main ke pusat pertokoan. Dan hampir tiap malam, katanya, dia selalu mandi sinar rembulan.
Aneh memang. Tapi anak itu memang benar-benar hampir tiap malam ada di sana. Bukan. Bukan tiap malam. Tapi tiap saat. Malam, pagi, sore, siang, atau kapan saja ia selalu di situ, di ujung jalan itu.
Makanya Lupus yang belakangan ini sering disuruh Mami belanja tomat gondol atau cabe keriting ke pasar, jadi sering berpapasan dengan anak itu. Sesekali Lupus melempar senyum. Anak itu juga suka balas melempar. Akibatnya kalo mereka ketemu suka main lempar-lemparan senyum.
Karena hampir tiap saat Lupus melihat anak itu ada di situ, Lupus jadi pengen tau asal usulnya. Pada Mbok Bakul, waktu beli kol gepeng, Lupus bertanya tentang anak itu.
"Anak yang sedang berdiri di ujung jalan sana ""
"Iya, Mbok. Mengapa tiap saat anak itu selalu ada di situ""
"Wah, Mbok juga ndak tau. Anak itu memang selalu di situ. Ia suka bantu-bantu kami menurunkan barang belanjaan dari Bajaj. Anaknya baik Selalu ringan tangan."
"Rumahnya di mana, Mbok""
"Rumahnya" Ya di situ itu."
"Di situ""
"Iya. Kalo malam ia juga di situ. Tidur di situ. Orang-orang di sini juga ndak ada yang tau siapa orangtuanya
. Kami taunya cuma bahwa selain sering ngebantuin kami menurunkan barang belanjaan, anak itu juga rajin membawakan barang belanjaan ibu-ibu untuk kemudian menyetopkan bajaj. Dari situ ia mengutip upah. Eh, emangnya kenapa sih nanya-nanya soal anak itu. Sodaranya, ya""
"Oh, bukan. Bukan, Mbok, saya cuma heran aja ada anak kecil tiap hari ada di situ."
"Oo, ta' kira..."
""O ya, tadi Mbok bilang, anak itu juga tidur di situ""
"Ya, tidurnya di situ. Di bawah sinar rembulan. "
Lupus benar-benar nggak abis pikir. Sambil menenteng belanjaannya Lupus. terbengong-bengong sendirian. Hati Lupus terus bertanya-tanya. Kok ada ya, anak kecil tidur di bawah sinar rembulan" Wah, wah....
Pas berpapasan dengan anak itu, Lupus berusaha meliriknya .
"Mau saya setopin bajaj"" tegur anak itu.
Lupus terperangah. "Ah" nggak. Terima kasih. Rumah saya deket, kok." . .
Tapi keesokan harinya ketika lagi-lagi Lupus disuruh belanja ke pasar, ia berniatkan menegur anak itu. Dan kebetulan hari itu Lupus bawa belanjaan cukup banyak.
Tapi ternyata nggak semudah yang Lupus bayangkan. Hari itu, anak itu begitu sibuk. Banyak ibu-ibu memerlukan tenaganya. Lupus yang berharap ditolong "oleh anak itu, harus mau menunggu. Lupus Jadi nggak enak sama Mami yang tadi wanti-wanti supaya jangan lama-lama belanjanya. Karena kalo lama, Mami suka mengira Lupus main-main ke rumah Pepno dulu.
"Perlu saya bantu"" tegur anak kecil itu tiba-tiba.
"Lupus yang lagi bengong berdiri dekat belanjaannya tersentak kaget.
"O, eh iya, perlu, perlu...," ujar Lupus.
"Pake bajaj atau..."
"Jalan kaki saja."
"Jalan kaki""
"Rumah saya kan deket."
"Tapi..." "Nggak apa-apa, deh. Kita kan juga bisa sambil ngobrol-ngobrol. Saya Lupus. Kamu""
"Saya"" "Iya, nama kamu siapa""
"Duh, siapa, ya""
"Lho, memangnya kamu nggak tau siapa nama kamu""
"Bukannya nggak tau, hanya orang-orang di sini selalu manggil saya Ucung."
"Ucung"" Lupus tersenyum geli.
"Ya, memangnya kenapa""
"Nama yang lucu."
"Mungkin karena saya sering nongkrong di ujung jalan itu."
"Bisa aja, kamu."
Kedua anak itu menjinjing barang-barang belanjaan menyusuri jalan menuju rumah Lupus sambil terus berbincang-bincang.
"Kamu tiap hari di situ, apa tidak dicari orangtua kamu""
""Tidak. Saya tidak tau di mana orangtua saya. Saya juga tidak tau kenapa saya bisa tiap hari ada di situ."
"Kamu juga tidur di situ""
"Ya, hampir tiap malam saya tidur di situ."
"Katanya, tiap malam, tiap tidur, kamu selalu memandangi rembulan" Betul begitu""
Lupus Kecil Jjs di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hmm.... " "Kenapa senang menatapi rembulan""
"Di sana suka muncul wajah ibu saya. Dan saya pikir saya adalah anak rembulan."
Lupus terpana sejenak. "Kamu sudah pernah liat ibu kamu""
"Belum! Tapi saya yakin wajah ibuku seperti rembulan. Lembut dan bersinar!"
Tak lama, kira-kira seperempat jam berjalan kaki, mereka pun sampai. Mami yang nggak sabar pengen buru-buru masak itu, langsung menyambut belanjaan itu dengan sukacita. Sampai-sampai nggak tau kalo Lupus pulang tak sendirian, melainkan berdua dengan anak rembulan!
Ya, maklum aja karena hari ini Mami mau mencoba resep baru yang didapatnya dari majalah anak-anak. Tak usah heran! Selama ini kan Mami nggak pernah sukses menjajal resep-resep masakan dari majalah wanita dewasa, makanya ketika di majalah anak-anak ada resep masakan, Mami bersikeras mencobanya!
"Kamu di sini aja dulu," tukas Lupus ketika melihat anak itu hendak pergi meninggalkannya. "Kebetulan Mami mau masak besar."
Mulanya anak itu ogah. Tapi karena biasanya Mami butuh banyak orang untuk mengetes masakannya, Lupus terus membujuk anak itu. Barangkali karena nggak enak, anak itu akhirnya ngambil keputusan oke untuk main-main di situ.
Lupus mengajaknya ke kamar. Diberinya buku cerita bergambar yang lucu-lucu. Anak itu keliatan senang. Seperti kembali menemukan sesuatu yang sudah lama hilang. Ia langsung membaca beberapa buku sekaligus!
Diam-diam Lupus menemui Mami dan mengabarkan bahwa ia baru saja menemukan anak rembulan.
"Anak bulan"" Mami kaget.
"Bukannya anak bulan, Mi. Dia hampir tiap malam tidur di bale-bale pasar sambil memandangi rembulan. Na
h, kalo boleh Lupus ingin mengajak dia nginep beberapa hari di sini. Sekalian buat teman main. Kan sekarang lagi liburan sekolah."
""Nginep""
"Mami kan beberapa hari ini lagi sibuk menjajal resep-resep masakan. Masa Lupus sama Lulu terus sih yang disuruh mencicipi" Kan kalo ada anak itu bisa lebih seru, Mi. Maksudnya, kalo masakannya keasinan atau keaseman lagi, dia bisa protes. Kalo Lupus kan nggak bisa protes, karena nggak enak sama Mami. Kalo protes disangka anak yang nggak bisa berbakti pada orangtua. "
Lupus memang ingin sekali anak rembulan itu tidur di kamarnya. Lupus merasa kasihan. Sebab kalo tidur di luar lagi, kuatir nanti dia masuk angin.
Dan karena lagi-lagi Lupus maksa, anak rembulan itu pun mau juga tidur di situ.
"Tapi malem ini aja ya, Pus""
"Seterusnya juga nggak apa-apa."
Malam itu Lupus mengajak anak itu makan sama-sama. Anak itu keliatan suka sekali. Karena penghuni rumah Lupus orangnya pada hobi bercanda semua. Dari Papi, Mami, sampai Lulu, tak ada yang merasa asing ada tamu tak dikenal di situ.
"Pus, Papi punya tebakan. Orang jalan di mana, kalo sendirian takut, tapi kalo rame-rame tambah takut"" ujar Papi.
"Ah, Lupus tau, Pi. Orang jalan di jembatan reyot. Hahaha... Sekarang giliran Lupus, Pi. Orang apa yang kalo pake baju boros banget""
"Papi tau. Hulk. Hahaha..."
Anak rembulan itu pun ikut tertawa-tawa. Dan sampai makan malam selesai, mereka masih melanjutkan tebak-tebakan.
Menjelang malam, sebelum berangkat tidur, Lupus menyetel tape recorder-nya.
"Enak, Cung, sebelum merem kita denger lagu-Iagu dulu. Saya punya kaset New Kids, mau denger""
"Hmm, boleh." Padahal anak rembulan nggak tau apa itu nyu-kit!
Dan tembang Tonight milik Jordan cs mengalun merdu mengisi ruangan. Tak lama Lupus pun terlelap. Langsung pulas.
Anak rembulan itu memandangi wajah Lupus yang mulai ngorok. Ia seperti senang bisa berkenalan dengan Lupus.
"Kamu baik, Pus," ujar anak itu pelan sambil mematikan tape dan kemudian ikut memejamkan mata.
*** "Pagi-pagi sekali ayam-ayam di rumah Lupus saling berkokok main adu kenceng. Ya, ayam-ayam di situ memang suka aneh. Mereka pada berusaha berkokok paling kenceng biar bisa paling disayang.
Ada bagusnya juga sih. Lupus jadi terbiasa bangun pagi.
Dan pagi banget Lupus benar-benar terbangun. Tapi dia jadi kaget ketika dilihatnya Ucung tak ada di sampingnya lagi.
"Lho, di mana anak rembulan itu"" Pertanyaan Lupus tampaknya segera terjawab dengan adanya secarik kertas yang tergeletak di meja kecil, dekat tumpukan buku. Ya, itu surat dari Ucung.
Pus, Kamu baik sekali. Saya suka tidur sambil dengerin lagu atau baca-baca buku cerita kamu yang lucu-lucu. Sayangnya di sini saya tak bisa melihat rembulan....
"Salam, Ucung. "Dan Lupus melihat ada tapak-tapak kecil di bawah jendela kamarnya yang arahnya menuju ke ujung jalan!
tamat Harpa Iblis Jari Sakti 28 Kisah Para Naga Di Pusaran Badai Karya Marshall Lolipop Love Lies Promise 3