Lolipop Love Lies Promise 3
Lolipop Love Lies Promise Past Karya Titi Setiyoningsih Bagian 3
didekat cowok itu. Vigo mulai membersihkan salah satu bilik toilet, aninda membersihkan bilik sebelahnya.
"Hei, makhluk mars, jadi orang jangan sentimen banget napa sih?" Teriak aninda parau.
Vigo tak menjawab, membuat aninda jengkel.
Keduanya bekerja dalam bisu. Yang terdengar hanya suara siraman air dan sikat.
"Vig!" "Hmm..." Jawab vigo ketus.
"Kenapa yovi nggak main basket lagi?"
"Emang penting?"
"Penting tau! Aku kan ceweknya!"
"Menurutku nggak penting!"
Aninda mendengus kesal, kemudian dengan berapi-api mendekati vigo. "Vig aku serius!"
Vigo menghela napas jengkel.
*** Marsya masih sibuk dengan berkas-berkas diruang OSIS, sementara kedua sahabatnya pamit beli
jajanan dikantin sekolah. Gelak tawa para pemain basket terdengar jelas ditelinga marsya. Ia
memandang keluar jendela, anak-anak basket sedang latihan. Satriya juga ikut bersama mereka
dan tentu saja yovi. Rupanya kubu yovi sedang bertanding melawan kubu satriya. Beberapa kali
bola ada ditangan yovi, namun selalu saja gagal masuk ke ring.
Hati marsya serasa dicabik luka lama yang berusaha ia kubur. Seharusnya yovi menjadi kapten
tim basket sekolahnya, seharusnya yovilah yang menjadi pemain terbaik, bukan vigo. Mata
marsya memanas mengingat masa lalunya.
Marsya baru kelas sepuluh dan ia masih sangat lugu. Belum tersentuh salon dan segala macam
polesan alat kecantikan. Rambut panjangnya selalu dikucir dua, dan kacamata tebal membingkai
matanya yang indah. Saat itu perpustakaan sekolah sepi seperti biasa. Ia menarik sebuah buku tebal dari rak kecil, lalu
mulai membuka-buka isinya. Tiba-tiba dari arah samping seseorang cewek menarik rambutnya.
"Heh! Cewek cupu! Rajin amat kamu!" Teriak senior yang menjambaknya. Dia bersama temanteman satu geng.
Marsya mengaduh kesakitan. Mereka justru tertawa. Tawa yang malamnya menghantui mimpi
marsya. Salah seorang dari mereka yang berpenampilan tomboi mendorong marsya hingga dia jatuh
tersungkur mengenai rak kecil itu. Rak itu berderit karena hantaman tubuh marsya. Semua
kembali tertawa melengking.
"Aku peringatin, jangan berani lagi deketin yovi. Dia inceranku!"
Itu kata-kata terakhir dari gerombolan cewek jahat itu. Mereka pergi dengan gelak tawa
mengerikan. Marsya yang masih ketakutan menangis. Tubuhnya masih tersungkur gemetaran.
"Sya?" Yovi muncul dari balik rak. Ia kaget mendapati marsya menangis ketakutan.
Marsya dengan segera berdiri, tangannya bertumpu pada rak yang ditabraknya tadi. Rak itu
kembali berderit keras dan mulai bergoyang.
"Awas!" Teriak yovi yang sigap mendorong marsya untuk menjauhi tubuhnya dari rak yang akan
roboh itu. Marsya terhindar dari tumpahan buku-buku tebal yang jatuh secara berbarengan.
Sayangnya justru yovilah yang menjadi korban. Jari-jarinya mengalami cedera permanen karena
berusaha menyangga rak. Sejak itu yovi tak bisa bermain basket lagi. Tangannya tak bisa digunakan dengan sempurna
untuk menembak bola, untuk mendribel saja kadang sulit. Kalaupun sesekali ikut bermain, yovi
melakukannya sekadar sebagai rekreasi dan bukan mengejar prestasi.
Kejadian itu mengubah marsya secara drastis. Ia bertekad menjadi pribadi yang ditakuti semua
siswa disekolahnya. Ia mengubah penampilannya menjadi marsya yang sekarang.
*** "Apa kamu benar-benar mencintai yovi?" Aninda terkejut mendengar pertanyaan vigo yang
diucapkan tanpa tedeng aling-aling itu.
"Kenapa kamu bertanya seperti itu?" Aninda melirik vigo yang kini memandanganya serius.
Mereka terdiam. Mungkin keduanya merasa sedikit bingung dengan situasi yang tiba-tiba
berubah menjadi serius. "Aku cuma tanya" kata vigo akhirnya.
"Aku akan selalu berada didekatnya selama dia masih menginginkanku" kata aninda kaku.
Dalam hati ia menyesali telah mengatakan hal seperti itu.
"Bukan itu jawaban yang ingin kudengar" vigo kembali menatap aninda tajam.
"Lalu?" "Oh, susah juga ngobrol dengan si superloading!" Tatapan mata vigo tampak meremehkan
aninda. Aninda mendengus. "Dasar makhluk mars!" Ujarnya sebal.
"Apa kamu bilang?" Oh, ternyata vigo peduli.
Aninda menjawab santai. "Emang aku bilang apa barusan?"
Vigo menggeram dongkol. Aninda cekikikan puas. Bab 9 To be brave is to love someone unconditionally, without expecting anything in return. Just give.
That takes courage; because we don't want to fall on our faces or leave ourselves open to hurt.
(Madonna) *** Ulangan umum semester ganjil berlalu juga. Tibalah saat melepas ketegangan belajar dengan
melakukan classmeeting selama seminggu. Semester itu giliran lomba basket antarkelas,
bergantian dengan voli yang dipertandingkan semester lalu. Senin kemarin kelas aninda menang
melawan kelas X-2 sehingga berhak masuk babak perempat final. Lawan mereka berikutnya
kelas XI IPA 3. Aninda dan restiana menerobos kerumunan yang memenuhi sekeliling lapangan. Hari itu ada
pertandingan kelas vigo versus kelas X-9. Dengan susah payah aninda berhasil menembus
penonton yang berjubel. Sekarang ia bisa jelas menyaksikan pertandingan. Restiana yang
membuntutinya tampak kelelahan.
"Nin, sinting kamu ya! Nerobos orang segitu banyak" restiana memegangi dadanya yang naik
turun. "Yaelah, kalau nggak gitu kita nggak bisa ngeliat apa-apa" kata aninda membela diri.
Aninda mengamati sekelilingnya. Kebanyakan supporter kelas X-9. Di samping aninda berdiri
segerombolan cewek heboh yang sejak tadi berteriak-teriak menyuarakan kelas X-9, padahal
belum satupun pemain yang memasuki lapangan. Aninda dan restiana sampai harus menutupi
telinga saking takut tuli permanen.
Begitu para pemain memasuki lapangan, suara teriakan memekakkan telinga membahana dari
semua sudut lapangan. "Vigo! Vigo! Vigo!" Jerit para cewek penghuni kelas XI IPA 5.
"Umar! Umar! Umar!" Teriak para cewek penghuni kelas X-9.
Vigo memasang tampang jutek, tak memedulikan teriakan teman-teman yang menjagokannya.
Berbeda dengan umar yang langsung tersenyum simpatik pada teman-teman sekelasnya.
Batin aninda kembali merintih mengingat masa lalunya dengan umar. Senyuman umar seperti
tertuju padanya, tapi aninda langsung tersadar bahwa senyuman itu untuk teman-teman
sekelasnya yang berdiri heboh disekitarnya.
"Astaganaga! Senyuman umar manis banget!" Teriak seorang cewek kelas X-9.
"Udahlah sil, percuma aja. Dia juga nggak bakal inget namamu!" Temen yang berada disebelah
cewek tadi mengernyit cuek.
"Tapi itu karena amnesianyakan, lu?" Cewek yang pertama membela diri.
A m n e s i a. Dunia serasa berhenti bagi aninda. Bisakah sang waktu juga berhenti agar ia memiliki ruang
kosong sejenak untuk mencerna informasi yang didengarnya barusan"
Umar amnesia" Sejak kapan dan kenapa" Apa ini alasan dia tak datang ketempat kenangan
mereka. Pohon perjanjian" Kalau ya, lalu kenapa dia bisa mengingat aninda saat menulis surat
itu" Kepala aninda seperti berputar. Ia memandang lurus kedepan. Perutnya bergejolak, tak sanggup
menahan emosi yang begitu cepat menyelimutinya. Ia harus segera mencari kepastian tentang
amnesia umar. Segera. Ah, dunia kembali berputar. Dan aninda kembali menyadari keberadaannya. Ia mengamati para
pemain yang berada dilapangan, mencari sosok yang telah meracuni kehidupannya. Dia---umar---ada disana, berlari cepat mendribel bola sambil mengamati posisinya yang terkepung pemain
lawan. Permainan itu tampak berjalan begitu lambat bagi aninda. Kepalanya berkedut. Setiap melihat
bola memantul dari tangan umar. Keseimbangannya hilang. Sekuat tenaga aninda menahan
tubuhnya agar tetap berdiri tegak. Namun gagak. Gedebuk!
*** Samar-samar aninda melihat langit-langit kamar. Disampingnya ada yovi yang memandanganya
lekat-lekat. Raut cemas membungkus wajah yovi.
"Nin?" Bisik yovi pelan.
"Udah berapa lama aku pingsan?" Pandangan aninda sudah cukup jelas.
"Nggak lama kok nin. Udah enakan?"
Aninda mengangguk pelan, matanya menerawang.
Ada sekelumit kekecewaan dalam hati yovi.
*** Hari berikutnya restiana lebih memilih mengajak aninda duduk dikantin daripada nonton berdiri
dibawah terik matahari. Ia tak mau kejadian kemarin terulang lagi pada aninda. Suasana kantin
sepi karena hampir semua mu
rid SMA Harapan Jaya menonton pertandingan basket yang makin
seru. Restiana sedikit kagok melihat kebisuan aninda.
"Masih pusing nin?" Bisik restiana.
Aninda menggeleng. "Mau makan?" Aninda kembali menggeleng.
Restiana berdecak pelan. "Aku masih mencintainya res" air mata aninda mengalir begitu saja. "Aku masih mendambanya,
walaupun dia udah nggak inget aku lagi. Aku bodoh telah menyakiti yovi karena sesungguhnya
aku masih mencintai umar"
Restiana merangkul pundak aninda. Ia tahu persis perasaan yang sedang melingkupi hati
temannya. Perasaan tentang cinta bertepuk sebelah tangan yang masih menyiksanya hingga kini.
Tanpa mereka berdua tahu, sesungguhnya dua sosok yang begitu mencintai aninda tahu
kenyataan yang baru diucapkan aninda. Salah satu diantara mereka tersenyum getir karena
ternyata aninda masih menunggunya sampai saat ini. Sedangkan sosok yang lain semakin
tersayat hatinya dengan pernyataan aninda.
*** From Princess Yasmin Nin, aku udah nemuin umar!
Aninda membalas sms dari yasmin dengan malas-malasan.
Aku juga udah tau... From Princess Yasmin : oh yeah" Terus"
Aninda : terus apa" Dia kena amnesia, yas
From Princess Yasmin : ?""
Aninda : !!! *** Mobil yang ditumpangi aninda dan yovi melaju pelan menuju rumah aninda. Kegiatan disekolah
belum selesai, tapi aninda ingin sekali pulang dan tidur.
"Nin" Kita putus" kata yovi kalem.
Aninda tersengat mendengar pernyataan kekasihnya. Bibirnya bergetar. "Kenapa?"
"Seharusnya kamu udah tahu jawabannya. Kamu nggak mencintaiku nin. Kamu masih mencintai
umar kan?" Aninda diam membisu, bibirnya terkatup rapat.
"Kamu beberapa kali menyebut nama umar saat pingsan kemarin"
Mobil yovi berhenti didepan rumah aninda. Si pengemudi menghela napas, lalu menengok ke
kiri, menatap mata aninda yang sengaja belum turun. "Percuma ngelanjutin hubungan kita.
Apalah arti semua ini kalau ternyata salah satu diantara kita membohongi perasaan yang
sebenarnya. Aku nggak mau maksa kamu lagi nin. Kejarlah umar, mungkin dia yang terbaik
buatmu" Aninda menangis. Perasaan bersalah menjebol pertahanannya.
Yovi mengelus kepala aninda. "Jangan nangis gini dong nin. Aku nggak mau kamu nangis"
"Maafin aku yov. Pasti kamu marah sama aku. Benci sama aku"
"Nggak nin, aku nggak bakal benci sama orang yang paling aku sayangi"
Tangisan aninda malah semakin menjadi.
"Cinta itu nggak bisa dipaksain, dia datang dengan sendirinya dan akan pergi dengan sendirinya
pulsa. Ada yang bilang, cinta nggak harus memiliki, kupikir itu omong kosong tapi ternyata
bener. Buat apa memiliki raganya doang, sedangkan jiwanya entah berkelana kemana. Itu malah
bikin aku sakit dan aku yakin kamu juga sakit. Yang penting sekarang kita intropeksi diri dulu
aja, ada pelajaran yang bisa kita ambil dari semua kejadian ini"
Aninda masih menangis karena rasa bersalahnya.
"Nin, mulai sekarang kita jadi kakak-adik aja oke" Aku bakal jadi kakak terbaik buatmu"
"Maaf" bisik aninda parau.
yovi mengangguk pelan. "Cinta tercipta bukan untuk saling menyakiti, tapi untuk saling
mengerti" Air mata aninda masih mengalir.
Memang dari luar yovi tak tampak menangis, tapi batinnya perih merintih sejak kemarinn itulah
akhir kisah cintanya dengan aninda. Menyakitkan.
*** Berita yovi putus dengan aninda langsung merebak pada hari ketiga. Aninda sendiri bingung
kenapa semua orang bisa langsung tahu. Mestinya hanya dirinyalah dan yovi yang tahu.
Wajah-wajah semringah siswi SMA Harapan Jaya menyinari pagi yang mendung. Berita
putusnya aninda dan yovi telah menggugah semangat mereka. Pujaan hati satu sekolah kembali
melajang, dan inilah saat paling tepat untuk mencuri sekaligus mencari perhatian. Caranya
mudah, beri perhatian untuk memancing perhatian balik.
Itulah yang dilakukan segerombolan kakak kelas cewek. Mereka menggoda yovi yang sedang
berjalan menuju ruang OSIS. Yovi yang memang ramah medengan senyum simpatiknya.
Sebelumnya, ada cewek kelas X yang kentara sekali berpura-pura menjatuhkan buku didepan
yovi agar dia berhenti, dan syukur-syukur keluar sikap gentlemannya untuk mengambilkan buku
tersebut. Dan lebih syukur lagi bila yovi mau menyapa dan ngobrol sebentar. Duh!
Ulah para siswi tersebut membuat aninda frustasi. Yovi benar-benar bukan miliknya lagi.
"Nin, kamu cemburu?" Rupanya restiana tidak tahan dengan gerutuan aninda sepanjang pagi ini.
"Sedikit" jawab aninda sambil menyipitkan mata.
"Terus, kenapa putus?"
"Ke perpus aja yuk!"
"Lagi-lagi ngeles!" Restiana mau tak mau membuntuti aninda menuju perpustakaan.
*** Marsya dan kedua abdi setianya duduk lunglai diruang OSIS. Pagi ini memang jadwal mereka
bertiga untuk menyiapkan keperluan classmeeting. Mereka harus datang pagi sekali untuk
mengecek keadaan lapangan, tempat para penonton, dan sore harinya mereka harus memastikan
lapangan sudah bersih kembali.
Merli sibuk mengipasi wajahnya, syifa asyik dengan sisirnya yang sedari tadi tak pernah berhenti
mengelus rambutnya yang bisa dibilang sudah sangan, sangat rapi. Sedangkan marsya hanyut
dengan pikirannya. Merli menyenggol syifa agar berhenti menyisir rambut. Dagunya menunjuk kearah marsya yang
semakin hari berubah menjadi aneh.
"Sya!" Syifa membuyarkan lamunan marsya.
Wajah marsya menampakkan ekspresi penuh tanya.
"Kamu kenapa?" Merli berhenti mengipas.
Marsya menggeleng perlahan.
Kedua temannya bertatapan, mendelik satu sama lain.
"Yovi putus sama aninda" kata marsya akhirnya.
"Terus?" Tanya merli dan syifa berbarengan.
Marsya berpikir sejenak. "Aku rasa itu..."
"Jangan bilang kamu mau ngejar yovi lagi" potong syifa kesal.
Marsya menatap syifa bingung. "Aku cuma pengen memperbaiki semuanya syif"
"Yovi udah berubah sya" syifa mencoba meyakinkan marsya.
Merli manggut-manggut menyetujui pendapat syifa.
Marsya menggeleng, kemudian menatap tajam kedua teman setianya. "Dia berubah karena aku
berubah" Merli dan syifa mendelik. Mereka yakin marsya sudah sinting.
*** "Oh, jadi yovi yang memutuskan hubungan kalian?" Restiana menyimpulkan cerita aninda.
"Iya res, dan itu yang bikin aku jadi ngerasa bersalah"
Udah, yang penting sekarang udah beres masalahnya. Setahuku sih yovi bukan tipe pendendam"
Aninda manggut-manggut pasrah.
*** Marsya menyalin kembali laporan kegiatan classmeeting sore hari ini. Kedua temannya sedang
mengecek keadaan lapangan. Sekilas marsya melihat ricko berjalan menyebrangi lapangan.
Tumben sesore ini masih ada di sekolah, batin marsya heran. Yang ia tahu hari ini bukan jadwal
adiknya latihan karate. "Belum pulang?" Yovi masuk keruang OSIS tanpa suara.
Marsya gelagapan mendapati yovi sudah berdiri didepannya. "Hari ini jadwalku piket"
Yovi tersenyum, senang dengan perubahan marsya akhir-akhir ini. Yovi mengamati penampilan
marsya, tak ada polesan diwajahnya. Itu mengingatkan yovi pada pertemuan pertamanya dengan
marsya. Dulu marsya tampil polos. Tapi kembalinya kepolosan wajah marsya tak berarti telah
berhasil meruntuhkan dinding pembatas antara keduanya.
*** Sore itu suasana lapangan basket SMA Harapan Jaya ramai. Anak-anak cowok kelas aninda
masih giat berlatih basket, di pinggir lapangan cewek-cewek yang sejak tadi memberi semangat
pada tim basket kelas mereka masih semangat berteriak. Kelas aninda berhasil masuk semifinal,
dan besok lawan mereka adalah kelas vigo. Bagaimana seisi kelas tidak gelagapan" Vigo kan
pemain terbaik SMA mereka. Bisa dipastikan kelas vigo akan bermain sangat bagus besok.
Lolipop Love Lies Promise Past Karya Titi Setiyoningsih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Aninda melirik ruang OSIS yang berada tak jauh dari lapangan basket. Di depan ruang OSIS
duduk dua sosok yang sangat dikenalnya, marsya dan yovi. Sudah tentu ada rasa cemburu dalam
lubuk hati aninda, tapi ia berusaha menepisnya.
Aninda mengalihkan pandangannya ke pokok lapangan. Ada syifa dan merli yang tampaknya
kesal menyaksikan kehebohan kelas aninda. Beberapa detik kemudian syifa dan merli mendekati
ketua kelas aninda yang sedang beristirahat. Aninda mendengus kesal. Syifa dan merli selalu saja
membuatnya tidak nyaman. "Ayo! Semangat, teman-teman!" Teriakan rizka membuat telinga aninda berdenging. Rizka
memang berdiri persis di sebelah aninda.
"Nin, mana semangatmu?" Protes restiana yang berdiri di sebelah aninda juga.
"Haus res. Aku kekelas dulu ya ambil minum" pamit aninda lemes. Sejak tadi kerongkongannya
memang kering kerontong. Saat berjalan menuju kelasnya, aninda melihat ricko yang hendak keluar menuju gerbang.
Perasaan hari ini nggak ada jadwal latihan karate, batin aninda heran. Ia tahu persis hal itu karena
teman sekelasnya juga anak karate. Mungkin ada yang ketinggalan tadi, pikir aninda sambil
kembali melangkah. Dikelas aninda minum dengan cepat. Rasa hausnya tak kira-kira, seperti orang yang mengalami
dehidrasi parah. Puas minum, aninda mengelus perutnya yang menjadi kembung.
Sewaktu kembali kelapangan, aninda melihat vigo berjalan cepat menuju gerbang. Ini yang lebih
aneh, batin aninda. Setahunya vigo paling anti pulang sekolah sore. Ia hanya pulang sore saat
latihan basket. Tapi hari ini kan lapangan yang cuma satu-satunya itu dipakai kelas aninda. Kelas
vigo juga nggak ada jadwal latihan. Tiba-tiba muncul kecurigaan dalam diri aninda.
*** Marsya yang sejak tadi duduk disamping yovi masih dia membisu. Yovi juga tak mengajaknya
ngobrol, ia terlalu sibuk memperhatikan permainan kelas aninda. Sementara marsya sibuk
memikirkan adiknya, ricko. Baginya sangat aneh ricko pulang sesore itu. Dan kenapa tak lama
setelah kepergian ricko, tahu-tahu vigo muncul"
*** Pada waktu yang sama di tempat yang berbeda...
Yasmin terus memegangi perutnya yang mulas bukan main. Ia berjalan dengan susah payah
keluar kamarnya. Sejak semalam perutnya memang sudah terasa mulas. Ia tak memberitahu
suaminya semalam karena tak mau membuatnya khawatir.
"Yah!" Teriak yasmin setengah merintih.
Tak ada jawaban dari satriya.
"Pasti dihalaman belakang" gumam yasmin kesal. Pelan-pelan ia menuruni tangga menuju lantai
bawah. Satriya, suaminya tertidur pulas didepan TV yang masih menyala. "Yah!" Yasmin
merasa kecapekan. Satriya terbangun. Istrinya terlihat pucat. "Kenapa bun?"
"Kerumah sakit yah!" Jerit yasmin tak kuat menahan sakit.
Dengan segera satriya memapah istrinya ke mobil. Sesuai yang dijadwalkan, rumah bersalin
memang telah menanti mereka.
*** Aninda merogoh hp yang bergetar disaku roknya. Tertera nama "satriya" memanggil. Cepatcepat aninda menjawabnya. Perasaan kaget sekaligus senang membuncah didada aninda.
Beberapa kali ia manggut-manggut, kemudian sambungan putus.
"Res, yasmin udah melahirkan" bisik aninda sangat pelan. Bisa dipastikan hanya dirinya dan
restiana yang tahu. Restiana menutup mulutnya, terkejut.
"Jenguk yuk!" Ajak aninda bersemangat.
"Tapi hari ini aku ada acara keluarga nin. Titip salam aja buat dia ya!"
Aninda kecewa, bagaimana ia bisa sampai dengan cepat dirumah sakit kalau tidak ada tebengan"
Ia teringat yovi. Cepat-cepat ia menggendong tas dan berlari menuju tempat yovi dan marsya
masih duduk berduaan. "Maaf mengganggu" kata aninda sambil mendekat ke samping yovi.
Marsya tampak terganggu dengan kehadiran aninda.
"Boleh minta anterin kerumah bersalin?"
Yovi dan marsya mengernyit.
"Jangan salah paham dulu. Yasmin udah melahirkan, tadi satriya telepon"
Dengan segera yovi berdiri. "Marsya, kamu ikut?"
Marsya mengangguk cepat-cepat, lupa bahwa kedua sahabatnya masih berada disekolah. Aninda
menarik napas lega karena berhasil mendapat tebengan.
*** Vigo rupanya sudah datang mendahului rombongan aninda. Satriya kan sohibnya. Tatapan vigo
sedingin es ketika matanya bertemu dengan mata aninda. Aninda tak menggubrisnya, ia lebih
berminat melihat kondisi yasmin serta bayinya.
"Yasmin!" Seru aninda girang sambil mendekati yasmin yang sedang duduk menggendong bayi
ditempat tidur. Yasmin tersenyum senang, namun wajahnya masih terlihat lelah. Proses bersalin memang
menyita energi. "Cowok nin!" Pamer yasmin bangga.
Aninda segera mengelus si bayi dengan lembut.
"Sini yov, sya" ajak yasmin lembut ketika ia menyadari ada yovi dan marsya juga.
"Aduh, gemes deh lihat baby mungil gini" ingin sekali aninda mencubit bayi mungil dan putih
itu. "Gimana babynya?" Tanya marsya kaku mengingat dulu hubungannya dengan yasmin kurang
baik. "Alhamdulilah, sehat. Aku juga kaget, kupikir lahirnya kecepatan. Tapi kata dokter, kayaknya
bayi udah diperut sepuluh bulan" yasmin menepuk-nepik si bayi yang sepertinya mulai
terganggu dengan sentuhan aninda.
"Oh, syukurlah" kata marsya pelan. Kemudian ia mendekati bayi karena aninda sudah beranjak,
sengaja memberi kesempatan padanya dan yovi.
"Selamat ya yas, sat!" Ucap yovi bersahaja.
Satriya yang ada disamping yasmin tersenyum kalem.
*** Sementara itu didepan ruang OSIS SMA Harapan Jaya, syifa dan merli kebingungan mencari
teman mereka. Beberapa kali mereka sibuk menelepon. Sekolah sudah sepi, hanya tinggal
mereka berdua. "Syif, udah hampir magrib nih!" Protes merli cemas.
"Terus, gimana marsya" Aduh.. Tega amat sih kamu!" Syifa berkacak pinggang.
"Kayaknya dia digondol nenek gayung deh!"
Kedua cewek itu ngakak sambil berlari menuju gerbang.
Bab 10 It is not night when I do see your face.
(William shakespeare) *** Azan magrib berkumandang sepuluh menit lalu. Marsya dan yovi segera pamit karena diluar
sudah mulai gelap. Aninda sebenarnya juga ingin pulang, namun urung karena tarikan tangan
vigo. "Kamu pulang sama aku aja" bisik vigo sangat pelan, tapi terdengar jelas ditelinga aninda.
"Nin, kamu nggak mau pulang bareng?" Tanya marsya ramah.
Aninda meringis, menggeleng ragu-ragu.
"Dia pulang bareng aku" kata vigo ketus.
Tak lama kemudian datanglah sanak saudara yasmin dan satriya berduyun-duyun. Vigo menarik
tangan aninda, mengajaknya berpamitan pada yasmin dan satriya.
"Makhluk mars ngajak balik nih. Besok aku kesini lagi" pamit aninda setengah berbisik.
Yasmin mengangguk pelan. "Trims. Ati-ati ya nin"
*** Mobil yovi berhenti tepat didepan rumah marsya. Gerimis mulai turun, membuat malam terasa
dingin. Marsya bimbang, ada sesuatu yang ingin dikatakannya.
"Kamu mau nerima aku lagi kan yov?" Tanya marsya setelah keberaniannya terkumpul.
"Aku nggak yakin kamu bakal nggak ngecewain aku lagi sya" kata yovi pelan. Tersirat nada
khawatir. Marsya mengangguk. "Aku bakal nunjukin bahwa aku sungguh-sungguh yov"
*** Hujan deras memaksa aninda dan vigo berteduh dihalte bus terdekat. Kalau nekat menerjang
hujan, bisa-bisa besok keduanya sakit. Apalagi besok vigo harus bertanding basket melawan
kelas aninda. Jalanan sunyi karena derasnya hujan yang bercampur angin kencang. Badan aninda
menggigil. Batinnya waswas karena hanya ada dia dan vigo.
Vigo melepas jaket yang membalut bagian luar baju OSISnya yang sudah tak rapi lagi. "Nih
pake" ujarnya sambil menyodorkan jaket pada aninda.
Aninda menepis jaket vigo. "Nggak usah vig"
Vigo sedikit kesal. "Kalau ntar sakit gimana?" Tandas vigo ketus. Dengan terpaksa ia
memakaikan jaket pada aninda.
Aninda tak kuasa menolak. "Kalau aku sakit kamu senengkan?" Aninda memeletkan lidah.
Vigo diam saja. Ia memperhatikan hujan yang tak kunjung reda. Orangtua aninda bisa cemas
kalau ia memulangkan putri mereka sampai larut malam. Kemudian ia mendesah karena
dinginnya malam mulai mengenai tulangnya. Kondisi tubuhnya memang kurang fit akhir-akhir
ini. Aninda bergeser mendekati vigo, berusaha membuat vigo merasa hangat disampingnya.
"Ngapain deket-deket?" Celetuk vigo sambil melirik aninda. Sejak tadi ia terus-menerus
meremas-remas kedua tangannya karena kedinginan.
"Kamu kedinginan kan?"
"Siapa bilang?"
"Kenapa sih kamu selalu kasar padaku" Kalau benci bilang aja. Jangan kaya gini dong!"
Vigo terkejut mendengar ucapan aninda. Ia menatap aninda tajam.
Aninda yang tahu dirinya sedang dipelototi, beringsut menjauhi vigo. Sepertinya ia sudah
kebablasan ngomong sehingga ngeri membayangkan kemarahan vigo.
Vigo masih memandangi aninda tanpa ekspresi, berusaha menyelami ketakutan yang tampak di
mata cewek itu. Vigo dengan sigap menarik tangan aninda, kemudian memeluknya erat-erat. Aninda kaget bukan
main. Ia meronta, meminta vigo melepaskan pelukannya. Tapi semakin ia meronta, semakin erat
dekapan vigo. Jadi yang bisa dilakukan aninda adalah pasrah dalam pelukan vigo.
"Kamu tahu kenapa aku bersikap keras, kasar padamu?" Vigo bertanya dalam nada lembut.
Aninda menggeleng pelan. Kenyamanan karena pelukan vigo mulai mengaliri tubuhnya.
"Karena aku sayang kamu nin. Aku cinta kamu"
Aninda membisu, kaget mendengar pernyataan vigo. Dan juga kaget karena petir baru saja
terdengar. "Aku sayang kamu nin, dan aku nggak berdaya saat yovi bilang dia juga cinta kamu. Yang bisa
aku lakukan cuma sembunyi, nyari kesempatan biar bisa bareng kamu. Karena aku nggak mau
ngerebut sesuatu dari yovi lagi. Udah terlalu banyak yang yovi berikan padaku. Dan kamu nggak
tahu batinku tersiksa setiap aku lihat kamu bareng yovi. Kamu nggak tahu kan?"
Jantung aninda berdegup kencang.
"Aku nggak mau lagi kehilangan kamu nin" lanjut vigo, "semakin keras aku berusaha ngejauhin
kamu, semakin bertambah rasa cinta ini. Benar-benar menyiksaku"
"Aku, aku..." Aninda mulai menangis.
*** Jam dinding menunjukkan pukul setengah satu malam. Beberapa kali aninda berusaha
memejamkan mata, tetap saja tak bisa. Ia bergerak gelisah ke kanan ke kiri, menutup kepala
dengan bantal, menelungkupkan badan. Semua usaha untuk tidur sia-sia. Bayangan vigo tak mau
pergi dari pikirannya. Oke, aninda mengakui, ia memang tertarik pada vigo sejak pertama kali bertemu, sekalipun
pertemuan itu diwarnai pertengkaran. Dan entah kenapa, aninda senang saat vigo memaksanya
pulang sekolah bareng, saat vigo menatapnya lembut, dan puncaknya saat vigo menyanyikan
lagu untuknya dikafe. Vigo tak pernah tahu bagaimana tersiksanya aninda lantaran mencintainya. Gengsilah yang
membuat dia menyembunyikan perasaan itu dalam-dalam, sampai akhirnya malah yovi yang
menyatakan cintanya. Aninda sangat berharap pada malam yovi menembaknya, vigo akan menarik tangannya kuatkuat seperti biasanya. Dengan begitu dia dan vigo bisa berlari ke luar aula. Tapi, apa yang
terjadi" Vigo justru menghilang tak jelas! Kebayang dong kecewanya hati aninda.
Aninda baru saja tahu vigo menghindarinya karena sengaja ingin memberi kesempatan pada
kembarannya untuk mewujudkan cintanya. Dan itu ternyata sia-sia karena toh hubungan cinta
aninda dan yovi sudah tamat.
Saat akhirnya vigo menyatakan cintanya ternyata aninda sedang berharap banyak pada umar.
Oh! Rentetan perjalanan cinta aninda begitu rumit. Sekarang ia mencinta vigo, dan juga umar.
Egonya menang karena ia tak mau kehilangan dua-duanya. Namun, hati kecilnya juga tahu kalau
bersikap seperti itu terus-terusan pastilah ia bakal kehilangan dua-duanya. Aninda menggeleng
kuat-kuat. Aku harus mendapatkan kepastian dari umar besok.
*** Pertandingan basket antara kelas aninda melawan kelas vigo segera dimulai. Anak-anak sudah
berkumpul dipinggir lapangan.
Semua penasaran dengan babak semifinal ini. Cuaca yang mendung justru menjadi magnet bagi
cewek-cewek untuk menonton pertandingan. Setidaknya mereka tak perlu takut menjadi hitam
atau kepanasan. Priiit! Pertandingan dimulai. Sekejap saja bola berhasil dikuasai kelas vigo. Dan menit-menit
selanjutnya permainan lebih banyak terjadi di daerah kelas aninda karena serangan bertubi-tubi
pihak lawan. Entah berapa kali jaring kelas aninda bergetar.
Aninda gemes sendiri melihat teman-teman sekelasnya yang mati angin di lapangan. Mereka
seperti takut memegang bola, apalagi merebutnya. Tak heran bila bola selalu saja dikuasai kelas
vigo. Ups, bahkan lihatlah! Dengan mudahnya vigo melakukan tembakan three point. Cewekcewek dari segala penjuru kelas langsung bersorak heboh memuji penampilan vigo yang
memang superkeren. Hampir semua kelas mendukung kelas vigo.
"Ayo, jangan mau kalah sama makhluk mars!" Teriak aninda berang.
Mendengar teriakan aninda, vigo jadi lebih ganas lagi. Dengan tenang ia merebut bola dan
berhasil melakukan three point lagi.
Aninda makin kesal. Vigo berpaling dan kemudian mengedipkan sebelah matanya pada aninda. Skor akhir
pertandingan 41-6. Kelas aninda benar-benar dibantai.
"Aduh! Kalian mainnya gimana sih" Kemarin pas latihan bagus, kok sekarang jadi melempem
gini!" Cerocos rizka kesal sambil melangkah bersama-sama para pemain kekelas.
Jangan ditanya betapa sewotnya aninda. Ia masih berada dilapangan, sengaja menunggu vigo
yang sedang berjalan kearahnya. Begitu jarak mereka sudah dekat, aninda memelototi vigo.
Cowok itu tersenyum angkuh.
Belum sempat aninda mengomeli vigo, guru olahraga memanggil vigo. "Kamu dipanggil kepala
sekolah" Vigo berjalan lurus mengikuti guru olahraga tanpa sempat menyapa aninda.
"Ninda!" Panggil restiana setelah kepergian vigo. "Kamu masih disini rupanya. Ada temen
sekelas umar yang nyariin kamu. Dia nunggu didepan kelas kita"
Tanpa ba-bi-bu aninda berlari menuju kelasnya. Seorang cewek yang tak asing lagi dimata
aninda terlihat sedang menunggu dirinya. Cewek itulah yang pernah mengatakan umar amnesia.
"Hai nin, aku cuma mau ngasih alamat umar padamu. Dia sakit" kata cewek itu sambil
menyodorkan potongan kertas yang berisi alamat umar.
"Umar yang nyuruh kamu?" Tanya aninda bingung.
Restiana yang berdiri disamping aninda juga tak kalah bingungnya.
Cewek itu mengangguk. Kemudian ia langsung pergi tanpa memperkenalkan dirinya.
Aninda berdiri mematung. Semoga jalan takdirku segera terungkap, batinnya senang.
*** Tidak sulit menemukan rumah umar yang ternyata tak begitu jauh dari sekolah. Rumahnya
tampak sederhana. Hati-hati aninda mengetuk pintu.
Seorang nenek yang sudah sangat tua membukakan pintu.
"Permisi nek, saya aninda, temen sekolah umar. Bisa saya ketemu umar?" Sapa aninda halus.
"Umar baru saja tidur. Besok saja ya" nenek itu sepertinya tak suka ada yang mengganggu umar.
"Oh... Tolong beritahu umar, aninda mencarinya ya nek"
*** Hp aninda berbunyi keras. Aninda yang sedang menonton TV segera mengangkatnya begitu
membaca nama "Yovi" dilayarnya.
"Vigo disitu?" Terdengar nada panik yovi.
"Nggak. Kenapa yov" Kok panik banget?"
"Dia dituduh ngancurin piala karate nin! Tadi dia dipanggil kepala sekolah. Dan sampe saat ini
belum pulang. Udah kucari kemana-mana, tapi nggak ada" jelas yovi terburu-buru.
"Kok bisa?" Seru aninda terkejut.
"Salah satu piala yang ada di ruang karate ilang. Terus ditemuin diruang basket dalam kondisi
rusak. Katanya, ada anak yang ngaku lihat vigo yang ngelakuin"
"Siapa anaknya?"
"Kepala sekolah nggak mau bilang. Sekarang yang terpenting adalah mastiin vigo nggak macemmacem. Udah dulu ya nin, aku mau nyari dia di kafe"
Sambungan telepon terputus.
Muncul rasa khawatir dalam benak aninda. Vigo pasti lagi frustasi sekarang, orangnya emang
susah ditebak. Dan kalau vigo putus asa, bisa-bisa dia... Tak berani melanjutkan dugaannya,
cepat-cepat aninda mengambil jaket.
Tempat pertama yang terlintas dalam benak aninda adalah sekolah. Ini hari sabtu, jadi bisa
dipastikan masih ada siswa yang berlatih olahraga. Benar saja. Hampir semua ruang olahraga
terdengar riuh. Aninda pusing, sekolahnya luas dan vigo bisa berada dimana aja. Aninda mencari
vigo hingga sampai disuduh sekolah tempat anak-anak olimpiade sedang berkumpul.
Aninda sedikit grogi melewati ruangan anak-anak yang super genius itu.
"Ninda!" Seru seseorang dari arah berlawanan. Rupanya rossi, siswi olimpiade yang sekelas
dengan aninda. "Lagi ngapain nin" Tumben"
"Kamu lihat vigo nggak?" Tanya aninda putus asa.
"Tadi siang aku lihat dia di menara astronomi nin" jawab rossi sangat halus dan sopan.
"Oh ya" Makasih banget ros. Aku kesana deh"
*** Dalam langkah mantap aninda menaiki tangga yang menuju puncak menara. Menara astronomi
Lolipop Love Lies Promise Past Karya Titi Setiyoningsih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
biasa digunakan anak-anak klub pecinta astronomi untuk meneropong bintang. Tinggu menara
itu kurang lebih sepuluh meter. Untuk mencapai puncak menara yang berupa teras terbuka,
tersedia tangga beton seperti yang biasa dijumpai dirumah. Dengan tersengal-sengal karena tak
mau melepas lelah diperhentian yang ada, aninda sampai juga dipuncak menara. Pada anak
tangga terakhir ia melihat punggung vigo yang bidang.
Pelan-pelan aninda mendekati vigo. Ia memilih berdiri disampingnya. Udara dipuncak menara
terasa lebih dingin. Vigo sama sekali tak menggubris kehadiran aninda, yang napasnya masih memburu.
Pedih hati aninda melihat vigo yang begitu tak berdaya. Ia meraih tangan vigo, yang ternyata
dingin, kemudian mengelusnya lembut.
Vigo bangkit dengan cepat dan langsung memeluk aninda erat. Aninda mengelus punggung vigo
lembut. Ia tahu sebenarnya vigo ingin menangis. Apa yang menimpa laki-laki ini"
Bab 11 If you feel like it's your true love, go for. Don't wait until 50 years like me. Don't wait until
words "what if" run like crazy in your mind the whole time of your life.
(Letters to Juliet) *** Lima tahun lalu... Daun-daun meranggas berjatuhan lemah dari pohon rindang, tertiup embusan angin bulan mei.
Aninda kecil memperhatikan umar yang sejak tadi memunguti daun yang sudah menguning. Hari
itu terik sehingga mereka memutuskan berteduh dibawah pohon cinta mereka. Aninda tersenyum
melihat kegigihan umar memilah daun yang dianggapnya masih bagus.
"Buat apa sih?" Celoteh aninda penasaran.
Umar tetap sibuk dengan daun-daun jatuh itu. "Nanti juga kamu tahu"
Aninda tersenyum ceria. Umar selalu membuat kejutan untuknya, membuat hari-harinya terasa
indah dan mengasyikkan. Meski masih SD, ketulusan cinta mereka satu sama lain seakan tak
kalah dibandingkan ketulusan cinta orang dewasa yang sudah berkomitmen. Umar merangkai
daun-daun itu dengan ranting pohon yang ditemukannya. Susah payah ia merangkai daun yang
menguning itu, berusaha menatanya seindah mungkin. Aninda hanya duduk terdiam
disampingnya, memperhatikan ketekunan jari-jari umar sambil tersenyum.
"Jadi deh!" Umar memamerkan hasil karyanya. Sebuah mahkota kecil dari daun kuning yang
tampak seperti emas. "Itu buat apa?" Tanya aninda polos. Ia takjub melihat hasil karya umar yang begitu
mengagumkan saat itu. Umar mendekati aninda, kemudian meletakkan mahkota itu di atas kepala aninda. "Ini buat Tuan
Putri yang paling cantik dari seorang pangeran gagah!"
Aninda tersipu malu. "Makasih, pangeranku"
"Karena sekarang aku udah ngasih kamu mahkota, nanti pas kita udah gede aku tinggal
melengkapinya dengan memberimu kalung" kata umar yang terdengar seperti janji.
"Kenapa kalung?"
"Karena kemarin aku nonton film bareng kakak sepupu. Di situ pangerannya ngasih kalung ke
tuan putrinya, lalu bibir mereka nempel gitu." Ah, saat itu umar memang benar-benar masih
polos. "Aku nggak ngerti kok bibir mereka nempel?" Aninda mengerenyit heran.
"Kata kakak sepupuku, itu namanya ciuman, dan hanya boleh dilakuin orang gede pada cinta
sejatinya" Aninda yang tampak antusias tidak mengerti penjelasan umar. Ia hanya manggut-manggut
dengan wajah kanak-kanaknya.
"Kalau udah gede nanti kita ciuman ya nin. Ciuman pertama kita berdua. Kamu mau kan jadi
ciuman pertamaku?" Tanya umar malu-malu.
Aninda tersenyum polos. "Pasti!"
"Janji?" "Janji!" Dan hari itu mereka membuat lagi sebuah janji, menambah deretan janji mereka sebelumnya.
Kepolosan membuat mereka yakin janji-janji itu kelak terwujud menjadi nyata. Benarkah"
*** Aninda sesegukan dikamar tidur, menyesali perbuatan vigo tadi. Ia kaget dan marah karena vigo
telah mengambil ciuman pertamanya. Kesembronoan vigo membuat aninda terpaksa
mengingkari janji suci masa lalunya. Apa sih maunya vigo melakukan itu" Batin aninda geram.
Kan masih banyak cewek yang mau diperlakukan seperti itu olehnya, lalu ngapain dia
memilihku" Ciuman pertama seharusnya sakral dan bukan seperti tadi...
Aninda menjotosi guling dipelukannya. Ia menyesal telah memercayai vigo, sosok yang kini
kembali berubah menjadi cowok menyebalkan.
Tak aneh bila aninda perlu seminggu untuk meredakan perasaan dongkolnya gara-gara ciuman
vigo. Disekolah maupun dirumah bawaannya uring-uringan terus. Restiana sampai harus berpikir
dua kali kalau mau mengobrol dengan aninda.
Kalau mau jujur, sebenarnya bukan ciuman vigo, tapi ketidakjelasan keberadaan umarlah yang
membuat aninda belingsatan. Bahkan saat dirinya kerumah umar untuk kedua kalinya, tak
seorang pun ada di sana. Tidak juga neneknya. Rumahnya sepi.
Kabar vigo bakal dikeluarkan dari sekolah juga sudah didengar aninda. Cowok itu harus
meninggalkan SMA Harapan Jaya senin besok. Padahal hari sabtu rapor semester satu akan
dibagikan, yang berarti liburan panjang sudah menanti. Aninda membayangkan liburannya akan
indah karena ada umar, tapi sekarang harapannya kandas.
*** Mata aninda jelalatan sewaktu berdiri didepan kelasnya, mencari restiana yang sejak pagi tak
dilihatnya. Apa iya restiana absen" Biasanya dia paling rajin sekolah. Saat kekantin aninda
melihat syifa dan merli tanpa marsya. Itu juga kejadian langka mengingat mereka bertiga selalu
kemana-mana bersama. Sampai-sampai aninda suka meledek, mungkin ke neraka pun mereka
bersama. Kenapa hari itu banyak keganjilan" Tiba-tiba ada panggilan dari hpnya.
"Nin, kerumahku sini!" Teriakan yasmin langsung mengenai saraf kaget aninda.
"Ada apa yas?" Tanya aninda datar.
"Aku sendirian dirumah nih. Cuma sama si baby. Barusan satriya pergi sama yovi" keluh
yasmin. "Ouw, pantesan aku nggak lihat yovi disekolah. Tapi hari ini emang banyak banget yang nggak
kelihatan disekolah"
"Kamu nggak tahu kenapa pada nggak sekolah?" Tanya yasmin menggoda.
Spontan aninda menggeleng. Tentu saja yasmin tidak melihatnya.
"Makanya main sini nin, ntar aku ceritain sesuatu deh!"
"Oke!" Aninda menutup sambungan telepon.
*** Saat aninda berjalan melewati gerbang sekolah, hpnya berbunyi lagi. Ia mengerenyit melihat
nomor asing yang tertera dilayar hp. Penasaran ia mengangkatnya.
"Halo, selamat siang?" Suara wanita yang sepertinya berumur setengah baya.
"Selamat siang" jawab aninda sopan.
"Benar ini nak aninda?" Tanya suara diseberang sana untuk memastikan dirinya berbicara
dengan orang yang dicari.
"Betul. Ibu siapa ya?"
"Saya ibunya umar. Begini, nak aninda, umar sedang dirawat dirumah sakit" mata aninda
membuat saat mendengarnya. "Umar minta agar nak aninda datang kerumah sakit sekarang. Bisa
kan?" "Bisa bu! Rumah sakit mana?"
"Harapan Sehat"
"Baik bu, sebentar lagi saya kesana"
"Ya, ibu tunggu ya nak aninda. Terima kasih"
Sambungan terputus. Tergesa-gesa aninda mencari nomor yasmin, kemudian ia memencet warna hijau pada hpnya.
"Ada apa nin?" Tanya yasmin halus.
"Aku nggak jadi kerumahmu, ada urusan mendadak dan gawat darurat! Oke?" Tanpa menunggu
jawaban yasmin, aninda langsung memencet tombol merah. Ia bergegas mencari angkutan umum
kerumah sakit Harapa Sehat.
*** Yovi, satriya, dan tim inti basket SMA Harapan Jaya sepakat melakukan rencana yang disusun
beberapa hari lalu. "Jadi biar aku, satriya, dan rian aja yang dateng. Aku nggak mau ngerusuh dirumah orang. Ntar
kalau ada apa-apa, kuhubungi kalian. Nah, kalian nganter vigo kebandara ya" Ntar aku, satriya,
dan rian nyusul. Deal?" Yovi sekali lagi mengulangi kesepakatan mereka dengan tenang.
"Deal!" Jawab yang lain serempak.
Yovi, satriya, dan rian menaiki mobil yovi menuju rumah yang tak asing lagi bagi yovi.
Sedangkan rifki dan keempat anak lain bergegas menuju Bandara Soekarno-Hatta.
*** Hari itu marsya demam sehingga tak sekolah. Semalaman ia tak bisa tidur, dan sekarang matanya
terasa berat sekali. Restiana ada dirumahnya, menemaninya bersama ricko. Obrolan kecil mereka
dalam nada rendah hampir tak terdengar oleh marsya. Ketika matanya hampir tertutup, terdengar
ketukan di pintu kamar. Yovi. Marsya tersenyum lemah sekalipun terkejut melihat kedatangan yovi. Baik hati betul dia sengaja
menjengukku, pikir marsya agak bingung. Tapi senyumnya hilang ketika menyaksikan yovi
menghampiri ricko, menarik kerah baju cowok itu... Lalu menonjoknya mantap.
Restiana menjerit nyaring.
Marsya hanya melongo, badannya terasa lemah sekali.
"Kamu yang ngelakuin sema pada vigo kan?" Teriak yovi emosi.
Satriya dan rian berdiri tegap dipintu, sekadar berjaga-jaga.
"Ngelakuin apa?" tanya ricko tenang sambil mengusap-usap pipinya yang sebentar lagi pasti
memar. "Nggak usah sok suci deh! Kamu yang ngelaporin tuduhan bohong itu kan rick" Kamu juga yang
jadi ketua pengeroyokan vigo beberapa bulan lalu!" Seru yovi.
Marsya dan restiana tercengang mendengarnya.
Ricko tertawa sinis, "akhirnya kamu tahu juga"
Kemarahan yovi bertambah karena reaksi ricko yang tampak meremehkannya. "Kenapa kamu
ngelakuin itu semua!" Tanya yovi menuntut penjelasan sambil mengangkat tangannya.
Tampaknya ia ingin menonjok ricko lagi.
Untung satriya keburu menahannya, "yov, jaga emosimu!"
Yovi menarik napas perlahan, seakan memberi kesempatan pada ricko untuk menjawab
pertanyaannya. "Seharusnya kamu lebih tahu masalah ini. Kamu kan kakak dia" ujar ricko kalem. Rasa sakit
dipipinya tak membuatnya menjadi lemah.
"Nggak usah basa-basi! Kenapa?" Yovi bertanya dengan intonasi yang sengaja dilembutkan.
"Kamu pengen tahu kenapa?" Ricko balik bertanya dengan tak kalah kalem.
Yang lain justru menunggu dengan tegang.
*** Ruang perawatan umar berada dibagian ujung rumah sakit yang cukup besar itu. Aninda
melewati lorong-lorong dengan hati yang berdetak tak karuan. Beberapa kali ia berlari pelan
saking tak sabar ingin melihat kondisi umar. Ternyata umar tak berada dirumah karena harus
dirawat dirumah sakit, entah sakit apa. Perasaan cemas dan penasaran aninda membesar ketika
melihat pintu ruangan umar berada tepat didepannya. Ia mengetuk dan pelan-pelan membuka
pintu itu. Terlihat umar terbaring lemah dengan selang infus dilengannya. Aninda menutup mulutnya
sendiri, sedih menyaksikan kondisi pangeran kecilnya.
Umar membuka mata perlahan karena merasakan kehadiran seseorang. Ibu umar menyambut
gembira kedatangan aninda.
"Nak aninda ngobrol dulu sama umar ya, tante mau beli minuman dikantin" kata ibu umar sambil
menarik kursi dan memberi tanda agak aninda duduk. Sosok wanita ramah itu seperti kurang
tidur karena ada garis hitam dibawah matanya.
Aninda mengangguk sopan. Dengan hati-hati ia duduk dikursi yang tersedia disamping ranjang
umar. "Kamu sakit apa?"
"Penyakitku nggak penting buat kamu nin. Aku cuma pengen ngasih tau kamu sesuatu yang
penting banget" kata umar serius.
Aninda mengerutkan dahi. Bingung. "Sesuatu apa mar?"
"Ini berhubungan dengan masa lalumu"
"Masa lalu kita maksudmu?" Koreksi aninda.
Umar menggeleng. "Selama ini kamu keliru nin. Kamu mengira aku umar, masa lalumu"
Seketika petir dahsyat seperti menyambar aninda. "Maksud kamu apa" Mar, aku tahu kamu lagi
sakit sekarang, nggak usah bilang macem-macem dulu deh"
"Nggak nin, aku pengen kamu tahu sebelum aku mati. Aku bukan umar masa lalumu nin.
Beberapa bulan lalu saudaraku memaksaku pindah sekolah agar kamu mengira aku umar.
Sebelumnya dia nyeritain semuanya ke aku. Tentang dia, kamu dan umar"
"Dia.. dia siapa maksudmu?" Potong aninda penasaran.
"Ricko" *** Ricko tersenyum sinis melihat teman-teman disekelilingnya tegang menunggu jawabannya.
"Karena vigo adalah masa lalu aninda yov!" Rikco tertawa nyaring.
"Maksudmu apa" Nggak usah ngarang cerita!" Yovi menarik kerah ricko lagi.
Senyuman sinis ricko menghilang. "Kamu kaget kan" Tapi ini emang faktanya, vigo
sesungguhnya adalah umar, pangeran kecil aninda, orang yang selalu aninda damba!"
"Nggak usah macem-macem sama aku rick!" Ancam yovi pelan.
"Dia bener yov. Vigo emang masa lalu aninda" tiba-tiba satriya angkat bicara agar
mempersingkat waktu. Yovi menoleh, menatap tajam pada satriya, mencari kesungguhan.
Ekspresi bingung yovi membuat ricko kembali tertawa. "Biar lebih jelas, nama belakang kalian
berdua kumara sastrodjoyo kan" Dan saat SD vigo lebih senang dipanggil nama tengahnya,
umar" "Shit!" Yovi tak berminat mendengar kelanjutan kisah ricko dan justru memilih mengajak kedua
temannya ke bandara. *** "Aku butuh penjelasanmu sat" kata yovi pada satriya dalam perjalanan menuju bandara.
Satriya mulai bercerita dalam nada tenang.
*** "Ricko melakukan ini karena dia nggak mau kamu ketemu umar lagi, dia cinta banget sama
kamu nin. Tapi cara dia ngedapetin kamu salah. Tepatnya, licik" umar melanjutkan ceritanya
yang sempat dipotong aninda.
"Seharusnya ricko tahu aku nggak tahu keberadaan umar saat ini. Jadi kenapa ricko ngelakuin ini
semua?" Aninda bingung.
"Karena selama ini umar ada di dekat kamu nin. Dekat banget"
"Mkasudmu mar?" Penjelasan umar seperti sebuah teka-teki bagi aninda.
"Umar ada vigo, vigo kumara sastrodjoyo. Saat SD dia lebih suka dipanggil nama tengahnya,
umar" Aninda menutup mulutnya yang melongo dengan kedua tangan yang gemetaran. Matanya
berkaca-kaca. *** Yovi, satriya dan rian tiba dibandara. Vigo terlihat sedang duduk bersama teman-teman basket
didekat pintu keberangkatan. Setengah berlari yovi mendekati kembarannya. Ia langsung
melayangkan tonjokan keras ke wajah mulus adiknya. Teman-temannya terbengong-bengong,
tak percaya menyaksikan perbuatan yovi yang biasanya santun dan tenang.
"Pengecut kamu!l teriak yovi parau.
Orang-orang disekeliling mereka mulai mengerubungi yovi dan vigo. "Kenapa kamu nggak
bilang" Kenapa kamu nggak nunjukkin ke aninda bahwa kamulah orang yang selama ini dia
nanti" Kenapa?"
Vigo mengelap darah dibibirnya dengan tangannya yang dingin.
"Karena aku nggak mau lagi ngerebut sesuatu dari kamu yov"
"Bego banget sih kamu!" Aku aja nggak pernah mikir gitu. Aninda milikmu dari dulu sampai
sekarang. Seharusnya kamu tahu itu. Cara pengecutmu yang kayak gini justru nyakitin banyak
orang." Yovi menarik napas panjang, berusaha meredakan emosinya.
"Ya... Terserah penilaianmulah yov. Aku memang salah." Vigo mengulurkan tangan. "Aku minta
maaf" vigo mengangguk lalu melepaskan pelukan. "Pesawatku hampir berangkat, aku harus
segera masuk" ujar vigo kalem. "Yov, jagain aninda ya" Ceritain semua kebenaran pada dia"
yovi terdiam sejenak, lalu perlahan menyambut uluran tangan vigo. Kedua bersaudara itu
berpelukan erat. "Hati-hati ya vig. Maafin aku juga"
"Oke" Vigo, kemudian bersalaman dengan semua temannya. Selamat tinggal indonesia, batinnya
hampa. *** Aninda berjalan meninggalkan rumah sakit sambil tersedu pelan. Jadi vigo sebenernya umar.
Pangeran kecil yang selama ini ia cari, yang selama ini ia nanti. Jadi itu penjelasan kenapa
selama itu vigo tahu segalanya tentang dirinya. Itulah alasan vigo menonjok ricko di menara,
karena mereka memang musuh bebuyutan sejak dulu.
*** Setelah naik bus yang cukup lama, sampai juga aninda didepan rumah vigo yang tampak sepi.
Gerbangnya terbuka lebar sehingga aninda memutuskan langsung masuk tanpa perlu memencet
bel. Ia menuju beranda dan mengetuk pintu.
"Non ninda cari den yovi?" Tanya mbok tiyem begitu membukakan pintu ruang tamu untuknnya.
"Nggak mbok, saya cari vigo!" Ujar aninda tergesa-gesa.
"Lho, den vigo pergi ke amerika hari ini. Katanya ada sekolah yang ngundang den vigo main
basket. Non ninda nggak tahu toh?"
"Haa" Apa?" Aninda seperti ingin pingsan mendengarnya.
"Jam berapa berangkatnya?"
"Wah, udah daritadi kok. Masuk dulu non, biar mbok buatkan teh"
Aninda mengangguk. Tubuhnya terasa lemas. Dia langsung duduk disofa yang terdekat dengan
pintu agar tak keburu jatuh. Aneh, hatinya tak merasakan apapun lagi. Apakah ia sudah mati
rasa"
Lolipop Love Lies Promise Past Karya Titi Setiyoningsih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Mbok, vigo bakal balik lagi kan?" Tanya aninda datar saat mbok tiyem menyuguhkan segelas es
teh. Mbok tiyem terdiam sejenak. Raut wajahnya terlihat khawatir.
"Katanya sih nggak non. Den vigo bakal nerusin sekolah di sana"
"Aninda?" Yovi muncul dari pintu depan. "Kebetulan kamu ke sini. Aku pengen ngasih tahu
kamu sesuatu" kata yovi lembut, padahal beberapa jam lalu ia baru menonjok dua orang dengan
emosi tinggi. Yovi mulai bercerita tentang kasus pencurian piala yang dituduhkan pada vigo, serta
pengeroyokan teman-teman ricko pada adiknya.
"Jadi ricko yang ngelakuin ini semua?" Tanya aninda terkejut.
Yovi mengangguk pelan. "Apa hakmu ngelarang aku deket sama ricko" Dia temenku sejak SD! Benarkah kamu yang
nyuri piala itu" Aku nggak tahu kamu selicik itu vig! Sejahat itu! Pergi kamu vig!"
"Aku emang mau pergi nin. Bilang kamu cinta aku nin!" vigo mencium bibir aninda. Aninda
menampar vigo. Rentetan peristiwa bersama vigo terlintas kembali dalam ingatan aninda. Ketololannya membuat
dia tak menyadari selama itu umar ternyata berada didekatnya.
"Vigo juga salah nin" hibur yovi seakan bisa memba pikiran aninda.
"Aku bingung. Kok vigo bisa jadi kakak kelasku" Itu yang bikin aku nggak pernah berpikir atau
mencurigai dia adalah umar" tanya aninda.
"Aku dan vigo ikut program penyetaraan pas SMP. Waktu dia SD aku masih di amrik. Dulu
disini dia ikut nenek dari pihak ibu. Ketika kelas lima SD dia disuruh ke amrik karena kondisi
nenek disini yang mulai sakit-sakitan. Tamat dari SMP diamrik, vigo maksa pindah ke indonesia.
Dia ngotot pengen balik dan bersekolah disini. Aku terpaksa ngikut, buat jagain dia yang
emosinya susah dikendaliin. Ternyata kamulah penyebab dia pengen banget pulang ke
indonesia." "Terus, kenapa sekarang kamu nggak ikut dia ke amrik?"
Aninda rupanya belum puas bertanya.
"Buat apa coba" Dia ke amrik diundang salah satu SMA di sana. Aku nggak diundang"
"Kata mbok tiyem dia nggak bakal pulang"
"Doain aja dia nggak betah"
Bab 12 Sometimes the time when we really love him is the time we should actually let him go.
(The Writer) *** Senin pagi... Akhirnya semua siswa SMA Harapan Jaya tahu vigo ternyata tak bersalah. Dan biang kerok
semua kekacauan itu adalah ricko. Ternyata rickolah si pelapor hilangnya piala karate ke kepala
sekolah. Sudah tentu ricko mendapatkan sanksi berat dari sekolah atas perbuatannya itu.
Aninda menceritakan semuanya pada restiana setelah restiana menceritakan kejadian dirumah
marsya. Restiana hampir menangis mendengar cerita sahabatnya itu.
"Dan sekarang aku mengerti maksud kalimat Kita boleh menanti, tapi jangan terlalu menanti
yang tak pasti" ujar aninda lemah.
"Maksudnya apa nin?" tanya restiana penasaran.
"Alasan cewek yang terus menanti cowoknya karena dia menanti sesuatu yang tak pasti, yaitu si
cowok" "Nin, aku tetep bingung"
"Aku juga sebenernya bingung" aninda tersenyum melihat ekspresi lugu restiana.
Tiba-tiba wajah restiana berubah menjadi sendu. "Ricko bakal pergi ke London hari ini"
"Kamu udah ketemu dia?"
Restiana menggeleng pelan. "Mau nggak temenin aku kerumahnya sepulang sekolah?"
"Kayaknya aku nggak bisa res. Aku belum siap ketemu dia. Mungkin ini memang belum
saatnya" Restiana tersenyum kecil, berusaha memahami perasaan aninda.
Aninda enggan bertemu ricko yang telah berlaku licik dibelakangnya.
*** Yovi membenahi catatan seluruh kegiatan OSIS, lalu memasukkannya ke salah satu lemari
diruang OSIS. Ia menoleh saat pintu ruang OSIS berderit. Ternyata marsya yang membukanya.
Wajahnya masih pucat. Yovi sempat heran melihatnya memaksakan diri ke sekolah.
"Urusan OSIS udah beres kok sya" kata yovi.
"Aku kesini mau minta maaf atas perbuatan adikku padamu"
Marsya tulus mengatakannya.
"Semua udah berlalu sya, ngapain sih dibahas lagi?" Yovi tampak cuek sambil terus sibuk
menata berkas-berkas. "Marsya memeluk yovi dari belakang. "Biar kita seperti ini beberapa detik aja yov. Aku..."
Marsya jatuh pingsan sebelum sempat melanjutkan kata-katanya.
*** Waktu restiana tiba dirumah ricko, sebuah koper jumbo terlihat diruang tamu. Ricko kaget
melihat kehadiran restiana.
"Rick, kamu mau pergi?" Tanya restiana sedih.
"Ya res, aku mau ke London. Aku pengen nyari kedamaian disana. Res, maafin aku ya." Ricko
mendekati restiana, kemudian memegang kedua tangan cewek itu.
"Ma..af karena apa rick?" tanya restiana terbata. Dia grogi tangannya dipegang oleh orang yang
sangat dicintainya. "Karena aku belum bisa membalas cintamu"
"Nggak papa rick" ujar restiana lirih.
"Res, aku mesti berangkat sekarang, pesawatku berangkat sebentar lagi. Sampein maafku pada
temen-temen ya. Terutama pada aninda dan vigo. Aku bener-bener nyesel"
Restiana hanya mengangguk lemah.
Sebelum naik ke mobil, ricko mengecup kening restiana. Hari itu restiana bahagia sekaligus
berduka. *** "Sya?" yovi mengelus kening marsya lembut saat marsya siuman.
Mata marsya mengerjap karena sinar lampu diruang UKS.
"Yov, tadi aku mau bilang bahwa aku..."
"Aku cinta kamu sya" yovi memotong kalimat marsya.
Marsya mendengarnya tak percaya. "Yov" Aku mimpi" Aku masih pingsan?"
Yovi tersenyum lepas, kemudian mengecup kening marsya.
"Kamu udah bangun, marsya sayang. Kamu mau jadi cewekku lagi kan?"
Air mata marsya mengalir, tak sanggup mengatakan apa-apa. Ia mengangkat badannya untuk
memeluk yovi. Sebenarnya yovi memang tak pernah berhenti mencintai marsya. Dulu ia pernah mencintai
aninda, tapi ia menyadari aninda hanya cinta sesaat atas sakit hatinya karena marsya. Ia mulai
yakin marsya mau berubah untuknya saat marsya tak mau lagi memakai aksesori lebay, juga tak
pernah lagi memoles wajahnya. Marsya berusaha keras menjadi dewasa, dan itu membahagiakan
yovi. Dengan demikian marsya membuka dirinya agar yovi bisa mencintai marsya apa adanya,
termasuk menerima semua kekurangan marsya.
*** Hari pembagian rapor di SMA Harapan Jaya tiba. Sabtu yang lumayan cerah mengingat akhirakhir ini hujan selalu turun. Karena semester satu, rapor tidak perlu diambil oleh orangtua,
melainkan langsung diberikan kepada masing-masing siswa. Warga kelas aninda sudah lengkap
pagi itu. Sesuai urutan abjad, aninda tak perlu menunggu lama untuk menerima rapor.
"Aninda chandraningsih" panggil Bu Purwanti, wali kelasnya.
Aninda berlari kecil ke depan.
Bu Purwanti sedikit heran melihat aninda yang biasanya tidak bisa diam.
"Kenapa hari ini, nin?" tanya Bu Purwanti heran.
"Nggak papa kok, Bu" jawab aninda lesu.
"Nin, you must know it. Sometimes the time when we really love him is the time we should
actually let him go"
Aninda tercengang mendengar kalimat Bu Purwanti, yang sama sekali tak ia mengerti.
Bu Purwanti tertawa melihat wajah tolol aninda. "Terkadang pada saat kita benar-benar
mencintainy, justru kita harus merelakannya"
Aninda tersenyum kecil, mencoba memahami makna kata-kata mutiara dari Bu Purwanti.
Kemudian ia berbalik menuju bangkunya.
"Nin, kamu ranking satu ya" Kok tadi Bu Pur kelihatan seneng banget?" Bisik rossi penasaran.
Rossi khawatir kalah saing dari aninda, yang terkenal rada bodoh.
"Tenang ros, masih kamu yang ranking satu kok!" Jawab aninda asal.
Rossi langsung cekikikan, senangnya bukan main.
*** Sepulang sekolah aninda membuka lagi rapornya sambil menggeleng-geleng. Ia sudah belajar
mati-matian, tetap saja semua nilainya pas-pasan. Restiana yang berada disebelahnya puas
karena mendapat peringat dua. Ternyata peringkat satu benar-benar rossi.
Aninda mengeluh pelan, rasanya ia takkan semangat menjalani hari esok. Apalagi liburan
panjang yang bakal sangat membosankan telah menantinya.
*** Liburan telah berjalan satu minggu. Benar dugaan aninda, liburan justru bikin frustasi. Benarbenar tak ada yang bisa membuatnya bergairah. Yang ada hanya omelan ibunya setiap pagi, yang
menyuruhnya ini-itu. Bahkan aninda harus mengisi malam tahun baru bersama anak-anak kecil
dikompleks rumahnya dengan menonton kembang api dilapangan.
Aninda pusing sekaligus iri pada teman-temannya. Bagaimana tidak" Yasmin dan satriya sedang
bulan madu di Australia, menggantikan bulan madu mereka yang tertunda. Restiana bersama
keluarganya berlibur ke Hongkong. Yovi dengan marsya jalan-jalan ke Bali.
Astaga! Kepala aninda hampir pecah memikirkan kesenangan dan nasib baik mereka. Mereka
pasti tak tahu kondisi dirinya yang begitu mengenaskan. Si pengecut vigo pasti juga sedang asik
di Amerika. Ah, lagi-lagi vigo. Seharusnya ia melupakan vigo karena kali ini pangeran kecilnya
itu benar-benar tak akan kembali.
"Aninda, waktunya cuci piring!" Seru ibunya nyaring.
Aninda mendengus kesal. "Yes, mam!"
*** Dua minggu yang berjalan begitu lambat...
Sebuah undangan bersampul merah tergeletak di depan aninda. Undangan pesta pernikahan
yasmin dan satriya. Itu beban untuk aninda, mengingat ia tak punya pakaian pesta yang layak.
Apalagi pestanya di hotel berbintang yang baru saja diresmikan. Hotel yang dibangun dibekas
SDnya. Hotel yang di halamannya ada pohon kenangannya.
Dalam kebingungan aninda mendengar suara mobil berhenti, yang kemudian disusul dengan
suara derit pintu pagar rumahnya. Marsya datang sendirian, tanpa yovi. Aneh sekali.
"Nin, kamu mesti ikut aku" kata marsya setelah memberi salam.
"Ada apa kak" Kok pagi-pagi begini?" Tanya aninda bingung.
"Kamu diundang ke pesta pernikahan yasmin kan?"
Aninda mengangguk cepat. "Kamu udah beli kado buat dia" Udah ada baju yang mau dipake ntar malem?"
Sekarang aninda menggeleng cepat.
"Ya udah, ganti baju sana. Kita belanja gila-gilaan hari ini"
Tanpa aba-aba aninda bergegas kekamar, mengganti bajunya dengan celana jeans dan cardigan
merah. *** Ternyata marsya membawa aninda ke mal paling mewah. Marsya langsung mengajak aninda ke
tempat yang menyediakan gaun-gaun pesta. Kaum shopholic pasti ngiler melihat keindahan
gaun-gaun glamor disitu. "Ayo nin, pilih baju yang kjamu suka. Kok malah bengong?" Kata marsya sedikit geli dengan
keluguan aninda. "Aduh kak, aku nggak punya duit buat beli gaun mahal begini" kata aninda jujur.
"Nggak usah mikirin itu nin. Aku yang traktir"
"Tapi, kak..." "Kamu tenang aja"
Terpaksa aninda menuruti marsya. Tapi untuk memilih gaun yang pas saja aninda tidak becus.
Marsya lagi-lagi menggeleng melihat aninda yang sejak tadi bingung. Beberapa kali aninda
mencoba gaun-gaun itu, tapi ada saja yang membuat aninda tidak suka. Seperti belahan dada
yang terlalu rendah, terlalu mini, warna terlalu ngejreng, pokoknya ada-ada saja alasan aninda.
Marsya sendiri sudah menemukan gaun yang pas untuknya. Gaun pink selutut dengan lengan
dibagian kiri saja. Aninda berdecak kagum menyaksikan keanggunan marsya saat mencoba gaun
itu. "Ini aja ya nin!" Marsya menunjuk gaun merah yang indah.
Saat mengenakannya, aninda terkejut. "Aduh kak, gaun ini nggak ada lengannya. Dan bawahnya
juga pas diatas lutut"
"Udah deh nin, ini bagus banget. Cocok untukmu" kata marsya mencoba meyakikan aninda.
Dengan berat hati akhirnya aninda setuju untuk mengenakan gaun itu nanti malam. Ia merasa tak
enak pada marsya yang mulai kelelahan mencarikan gaun untuknya. Berikutnya mereka pergi
ketempat pernak pernik untuk mencari kado. Kali ini aninda mantap memilih sendiri kadonya.
Baru sekitar pukul tiga sore mereka keluar dari pusat pembelanjaan itu dengan menenteng tas
belanjaan. "Nin, aku udah izin sama orangtuamu supaya kamu boleh langsung ke pesta nanti malem. Jadi
setelah ini kamu nggak usah pulang dulu" celoteh marsya saat mobil mulai berjalan.
"Terus, sekarang kita mau kemana kak?" Aninda sedikit heran dengan rencana marsya yang
tersusun rapi. "Kerumahku. Kita mesti dandan, dan waktunya pasti nggak sebentar"
*** Dalam undangan tertera pesta pernikahan yasmin dimulai pukul tujuh malam. Aninda dan
marsya sudah siap, tinggal menunggu dijemput yovi, marsya tampak begitu cantik dan berkilau.
Yang tidak biasa aninda. Ia benar-benar cantik walaupun hanya diberi sedikit polesan
diwajahnya. Rambut aninda diombak besar-besar sehingga terkesan alamiah dan indah pastinya.
Gaun merah tadi memang pas dan bagus dibadannya, belum lagi sepatu hak tinggi bertali hitam
yang membuatnya terlihat anggun. Marsya benar-benar sukses mengubahnya menjadi cinderella.
"Oke, dua putri yang sudah siap ke pesta malam ini" ujar yovi saat tiba diruang tamu marsya.
Setelah berpamitan, ketiganya berjalan memasuki mobil yovi yang diparkir di luar gerbang.
"Siap sayang?" Tanya yovi pada marsya yang duduk disampingnya. Aninda duduk dibelakang,
menatap sepasang kekasih itu dengan iri.
"Oke, kita berangkat" mobil yovi melaju dengan kecepatan standar menuju tempat pesta.
*** Aninda menatap pohon besar yang penuh kenangan itu. Pohon yang berdiri indah dengan
ranting-ranting menjuntai seakan ikut menyambut para tamu. Aninda menunduk lesu,
memikirkan masa lalunya yang penuh sekarung harapan dibawah pohon itu.
"Yuk nin!" Ajak marsya sambil menggandeng yovi dengan mesra. Aninda berjalan di sebelah
marsya. Dekorasi pesta yang mewah dan gemerlap indah seakan menyihir perasaan aninda hingga
sejenak melupakan duka dan kenangan. Tamu yang datang mengalir tanpa henti hingga berjibun
jumlahnya. Benar-benar pesta yang megah dan meriah. Mereka berada di ruang bergaya timur
tengah yang dipenuhi pohon palem serta dominasi warna emas.
"Aih, yasmin, kamu cantik banget!" Puji marsya sewaktu menyalami yasmin.
"Duh, makasih. Kamu dan aninda juga cantik malam ini!" Balas yasmin sungguh-sungguh.
"Selamat ya yas!" Ujar aninda saat gilirannya bersalaman.
"Okay my baby, muka kamu kok kurang senyum ya?" Cibir yasmin menggoda mantan teman
sebangkunya itu. "Ye, perasaan kamu doang tuh!" Aninda mengerucutkan bibirnya. Ia tak bisa lama-lama
mengobrol dengan yasmin karena tamu yang lain sudah mengantre di belakangnya. Gilirannya
menyalami satriya. "Selamet ya sat"
Satriya mengangguk. "Nin?"
"Apa?" "Jemput pangeranmu di bawah pohon cinta kalian"
Epilog Aninda membuka matanya sambil merasakan semilir angin yang sedari tadi membuainya.
Dengan kaki gemetar ia melangkah mendekati pohon besar itu. Samar-samar ia melihat sosok
pangeran kecilnya berdiri tegap di naungi pohon itu. Air matanya mengalir tanpa bisa di cegah.
Air mata kerinduan yang begitu lama terbendung dilubuk hatinya yang terdalam.
Aninda mengubah langkah kecilnya menjadi setengah berlari hingga bisa melihat pangeran
kecilnya dengan jelas. Jarak mereka sudah sangat dekat sekarang, tapi aninda memilih untuk
berhenti. Air mata memenuhi kedua pipi, napasnya memburu.
Tatapannya tak pernah lepas dari pangeran kecilnya.
Entah apa yang akan aninda lakukan. Perasaan senang membanjiri batinnya. Tapi perasaan
marah dan kecewa juga datang silih berganti. Ingin sekali ia menampar pangerannya,
memarahinya habis-habisan karena bersikap pengecut. Namun, rindu yang membuncah membuat
dia ingin memeluknya. Dilema membuat tangisnya semakin deras.
Vigo berjalan mendekati aninda pelan-pelan. Malam ini ia sungguh tampan dalam balutan jas
hitam. Aninda mundur beberapa langkah, takut dengan perasaannya yang kacau. Dengan sigap vigo
menarik tubuh aninda ke dalam pelukan hangatnya.
Aninda tersedu. Vigo hanya diam sambil mengelus kepala aninda. "Kenapa menangis?" Bisik vigo lembut.
Aninda memukul pelan dada vigo yang bidang. "Kamu tega! Jahat!"
Vigo tersenyum. "Maafin aku, putri kecilku, aku nggak bakal ninggalin kamu lagi"
Aninda masih terisak. Vigo menuntunnya untuk bersandar di bawah pohon rindang yang disoroti
lampu itu. Vigo merogoh kantong celananya, dan mengambil sesuatu yang kemudian ia
pasangkan di leher aninda. Sebuah kalung emas dengan bandul berlian mungil yaang indah.
Inilah salah satu janji mereka dulu.
Aninda memandangi wajah vigo lekat-lekat. Dengan lembut vigo mencium keningnya. Aninda
memeluk vigo lagi, tak ingin melepaskannya untuk yang kedua kalinya.
"Kamu mau jadi cewekku lagi?" Tanya vigo.
Aninda mengangguk. "Kita belum pernah putus. Dan aku mau jadi cewekmu yang sekarang"
Kemudian vigo mengaku bahwa ia memang sengaja menyuruh yovi mengatakan bahwa dirinya
takkan kembali, menyuruh marsya untuk mempersiapkan pesta. Semua kejadian beruntun yang
membuat aninda bingung. Yang pasti, vigo masih akan sekolah di SMA Harapan Jaya.
Tampaknya kehidupan aninda akan menjadi indah. Ia telah menemukan pangeran kecilnya.
Lolipop Love Lies Promise Past Karya Titi Setiyoningsih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Aninda tersenyum puas pada bulan temaram.
"Aku cinta kamu, Aninda Chandraningsih" bisik vigo lembut dengan sepenuh hati.
The End Sumber: https://www.facebook.com/pages/Kumpulan-cerbungcerpen-dan-novelremaja/398889196838615"fref=photo
Pembunuhan Terpendam 3 Pendekar Rajawali Sakti 38 Dewa Iblis Kill Mocking Bird 3
didekat cowok itu. Vigo mulai membersihkan salah satu bilik toilet, aninda membersihkan bilik sebelahnya.
"Hei, makhluk mars, jadi orang jangan sentimen banget napa sih?" Teriak aninda parau.
Vigo tak menjawab, membuat aninda jengkel.
Keduanya bekerja dalam bisu. Yang terdengar hanya suara siraman air dan sikat.
"Vig!" "Hmm..." Jawab vigo ketus.
"Kenapa yovi nggak main basket lagi?"
"Emang penting?"
"Penting tau! Aku kan ceweknya!"
"Menurutku nggak penting!"
Aninda mendengus kesal, kemudian dengan berapi-api mendekati vigo. "Vig aku serius!"
Vigo menghela napas jengkel.
*** Marsya masih sibuk dengan berkas-berkas diruang OSIS, sementara kedua sahabatnya pamit beli
jajanan dikantin sekolah. Gelak tawa para pemain basket terdengar jelas ditelinga marsya. Ia
memandang keluar jendela, anak-anak basket sedang latihan. Satriya juga ikut bersama mereka
dan tentu saja yovi. Rupanya kubu yovi sedang bertanding melawan kubu satriya. Beberapa kali
bola ada ditangan yovi, namun selalu saja gagal masuk ke ring.
Hati marsya serasa dicabik luka lama yang berusaha ia kubur. Seharusnya yovi menjadi kapten
tim basket sekolahnya, seharusnya yovilah yang menjadi pemain terbaik, bukan vigo. Mata
marsya memanas mengingat masa lalunya.
Marsya baru kelas sepuluh dan ia masih sangat lugu. Belum tersentuh salon dan segala macam
polesan alat kecantikan. Rambut panjangnya selalu dikucir dua, dan kacamata tebal membingkai
matanya yang indah. Saat itu perpustakaan sekolah sepi seperti biasa. Ia menarik sebuah buku tebal dari rak kecil, lalu
mulai membuka-buka isinya. Tiba-tiba dari arah samping seseorang cewek menarik rambutnya.
"Heh! Cewek cupu! Rajin amat kamu!" Teriak senior yang menjambaknya. Dia bersama temanteman satu geng.
Marsya mengaduh kesakitan. Mereka justru tertawa. Tawa yang malamnya menghantui mimpi
marsya. Salah seorang dari mereka yang berpenampilan tomboi mendorong marsya hingga dia jatuh
tersungkur mengenai rak kecil itu. Rak itu berderit karena hantaman tubuh marsya. Semua
kembali tertawa melengking.
"Aku peringatin, jangan berani lagi deketin yovi. Dia inceranku!"
Itu kata-kata terakhir dari gerombolan cewek jahat itu. Mereka pergi dengan gelak tawa
mengerikan. Marsya yang masih ketakutan menangis. Tubuhnya masih tersungkur gemetaran.
"Sya?" Yovi muncul dari balik rak. Ia kaget mendapati marsya menangis ketakutan.
Marsya dengan segera berdiri, tangannya bertumpu pada rak yang ditabraknya tadi. Rak itu
kembali berderit keras dan mulai bergoyang.
"Awas!" Teriak yovi yang sigap mendorong marsya untuk menjauhi tubuhnya dari rak yang akan
roboh itu. Marsya terhindar dari tumpahan buku-buku tebal yang jatuh secara berbarengan.
Sayangnya justru yovilah yang menjadi korban. Jari-jarinya mengalami cedera permanen karena
berusaha menyangga rak. Sejak itu yovi tak bisa bermain basket lagi. Tangannya tak bisa digunakan dengan sempurna
untuk menembak bola, untuk mendribel saja kadang sulit. Kalaupun sesekali ikut bermain, yovi
melakukannya sekadar sebagai rekreasi dan bukan mengejar prestasi.
Kejadian itu mengubah marsya secara drastis. Ia bertekad menjadi pribadi yang ditakuti semua
siswa disekolahnya. Ia mengubah penampilannya menjadi marsya yang sekarang.
*** "Apa kamu benar-benar mencintai yovi?" Aninda terkejut mendengar pertanyaan vigo yang
diucapkan tanpa tedeng aling-aling itu.
"Kenapa kamu bertanya seperti itu?" Aninda melirik vigo yang kini memandanganya serius.
Mereka terdiam. Mungkin keduanya merasa sedikit bingung dengan situasi yang tiba-tiba
berubah menjadi serius. "Aku cuma tanya" kata vigo akhirnya.
"Aku akan selalu berada didekatnya selama dia masih menginginkanku" kata aninda kaku.
Dalam hati ia menyesali telah mengatakan hal seperti itu.
"Bukan itu jawaban yang ingin kudengar" vigo kembali menatap aninda tajam.
"Lalu?" "Oh, susah juga ngobrol dengan si superloading!" Tatapan mata vigo tampak meremehkan
aninda. Aninda mendengus. "Dasar makhluk mars!" Ujarnya sebal.
"Apa kamu bilang?" Oh, ternyata vigo peduli.
Aninda menjawab santai. "Emang aku bilang apa barusan?"
Vigo menggeram dongkol. Aninda cekikikan puas. Bab 9 To be brave is to love someone unconditionally, without expecting anything in return. Just give.
That takes courage; because we don't want to fall on our faces or leave ourselves open to hurt.
(Madonna) *** Ulangan umum semester ganjil berlalu juga. Tibalah saat melepas ketegangan belajar dengan
melakukan classmeeting selama seminggu. Semester itu giliran lomba basket antarkelas,
bergantian dengan voli yang dipertandingkan semester lalu. Senin kemarin kelas aninda menang
melawan kelas X-2 sehingga berhak masuk babak perempat final. Lawan mereka berikutnya
kelas XI IPA 3. Aninda dan restiana menerobos kerumunan yang memenuhi sekeliling lapangan. Hari itu ada
pertandingan kelas vigo versus kelas X-9. Dengan susah payah aninda berhasil menembus
penonton yang berjubel. Sekarang ia bisa jelas menyaksikan pertandingan. Restiana yang
membuntutinya tampak kelelahan.
"Nin, sinting kamu ya! Nerobos orang segitu banyak" restiana memegangi dadanya yang naik
turun. "Yaelah, kalau nggak gitu kita nggak bisa ngeliat apa-apa" kata aninda membela diri.
Aninda mengamati sekelilingnya. Kebanyakan supporter kelas X-9. Di samping aninda berdiri
segerombolan cewek heboh yang sejak tadi berteriak-teriak menyuarakan kelas X-9, padahal
belum satupun pemain yang memasuki lapangan. Aninda dan restiana sampai harus menutupi
telinga saking takut tuli permanen.
Begitu para pemain memasuki lapangan, suara teriakan memekakkan telinga membahana dari
semua sudut lapangan. "Vigo! Vigo! Vigo!" Jerit para cewek penghuni kelas XI IPA 5.
"Umar! Umar! Umar!" Teriak para cewek penghuni kelas X-9.
Vigo memasang tampang jutek, tak memedulikan teriakan teman-teman yang menjagokannya.
Berbeda dengan umar yang langsung tersenyum simpatik pada teman-teman sekelasnya.
Batin aninda kembali merintih mengingat masa lalunya dengan umar. Senyuman umar seperti
tertuju padanya, tapi aninda langsung tersadar bahwa senyuman itu untuk teman-teman
sekelasnya yang berdiri heboh disekitarnya.
"Astaganaga! Senyuman umar manis banget!" Teriak seorang cewek kelas X-9.
"Udahlah sil, percuma aja. Dia juga nggak bakal inget namamu!" Temen yang berada disebelah
cewek tadi mengernyit cuek.
"Tapi itu karena amnesianyakan, lu?" Cewek yang pertama membela diri.
A m n e s i a. Dunia serasa berhenti bagi aninda. Bisakah sang waktu juga berhenti agar ia memiliki ruang
kosong sejenak untuk mencerna informasi yang didengarnya barusan"
Umar amnesia" Sejak kapan dan kenapa" Apa ini alasan dia tak datang ketempat kenangan
mereka. Pohon perjanjian" Kalau ya, lalu kenapa dia bisa mengingat aninda saat menulis surat
itu" Kepala aninda seperti berputar. Ia memandang lurus kedepan. Perutnya bergejolak, tak sanggup
menahan emosi yang begitu cepat menyelimutinya. Ia harus segera mencari kepastian tentang
amnesia umar. Segera. Ah, dunia kembali berputar. Dan aninda kembali menyadari keberadaannya. Ia mengamati para
pemain yang berada dilapangan, mencari sosok yang telah meracuni kehidupannya. Dia---umar---ada disana, berlari cepat mendribel bola sambil mengamati posisinya yang terkepung pemain
lawan. Permainan itu tampak berjalan begitu lambat bagi aninda. Kepalanya berkedut. Setiap melihat
bola memantul dari tangan umar. Keseimbangannya hilang. Sekuat tenaga aninda menahan
tubuhnya agar tetap berdiri tegak. Namun gagak. Gedebuk!
*** Samar-samar aninda melihat langit-langit kamar. Disampingnya ada yovi yang memandanganya
lekat-lekat. Raut cemas membungkus wajah yovi.
"Nin?" Bisik yovi pelan.
"Udah berapa lama aku pingsan?" Pandangan aninda sudah cukup jelas.
"Nggak lama kok nin. Udah enakan?"
Aninda mengangguk pelan, matanya menerawang.
Ada sekelumit kekecewaan dalam hati yovi.
*** Hari berikutnya restiana lebih memilih mengajak aninda duduk dikantin daripada nonton berdiri
dibawah terik matahari. Ia tak mau kejadian kemarin terulang lagi pada aninda. Suasana kantin
sepi karena hampir semua mu
rid SMA Harapan Jaya menonton pertandingan basket yang makin
seru. Restiana sedikit kagok melihat kebisuan aninda.
"Masih pusing nin?" Bisik restiana.
Aninda menggeleng. "Mau makan?" Aninda kembali menggeleng.
Restiana berdecak pelan. "Aku masih mencintainya res" air mata aninda mengalir begitu saja. "Aku masih mendambanya,
walaupun dia udah nggak inget aku lagi. Aku bodoh telah menyakiti yovi karena sesungguhnya
aku masih mencintai umar"
Restiana merangkul pundak aninda. Ia tahu persis perasaan yang sedang melingkupi hati
temannya. Perasaan tentang cinta bertepuk sebelah tangan yang masih menyiksanya hingga kini.
Tanpa mereka berdua tahu, sesungguhnya dua sosok yang begitu mencintai aninda tahu
kenyataan yang baru diucapkan aninda. Salah satu diantara mereka tersenyum getir karena
ternyata aninda masih menunggunya sampai saat ini. Sedangkan sosok yang lain semakin
tersayat hatinya dengan pernyataan aninda.
*** From Princess Yasmin Nin, aku udah nemuin umar!
Aninda membalas sms dari yasmin dengan malas-malasan.
Aku juga udah tau... From Princess Yasmin : oh yeah" Terus"
Aninda : terus apa" Dia kena amnesia, yas
From Princess Yasmin : ?""
Aninda : !!! *** Mobil yang ditumpangi aninda dan yovi melaju pelan menuju rumah aninda. Kegiatan disekolah
belum selesai, tapi aninda ingin sekali pulang dan tidur.
"Nin" Kita putus" kata yovi kalem.
Aninda tersengat mendengar pernyataan kekasihnya. Bibirnya bergetar. "Kenapa?"
"Seharusnya kamu udah tahu jawabannya. Kamu nggak mencintaiku nin. Kamu masih mencintai
umar kan?" Aninda diam membisu, bibirnya terkatup rapat.
"Kamu beberapa kali menyebut nama umar saat pingsan kemarin"
Mobil yovi berhenti didepan rumah aninda. Si pengemudi menghela napas, lalu menengok ke
kiri, menatap mata aninda yang sengaja belum turun. "Percuma ngelanjutin hubungan kita.
Apalah arti semua ini kalau ternyata salah satu diantara kita membohongi perasaan yang
sebenarnya. Aku nggak mau maksa kamu lagi nin. Kejarlah umar, mungkin dia yang terbaik
buatmu" Aninda menangis. Perasaan bersalah menjebol pertahanannya.
Yovi mengelus kepala aninda. "Jangan nangis gini dong nin. Aku nggak mau kamu nangis"
"Maafin aku yov. Pasti kamu marah sama aku. Benci sama aku"
"Nggak nin, aku nggak bakal benci sama orang yang paling aku sayangi"
Tangisan aninda malah semakin menjadi.
"Cinta itu nggak bisa dipaksain, dia datang dengan sendirinya dan akan pergi dengan sendirinya
pulsa. Ada yang bilang, cinta nggak harus memiliki, kupikir itu omong kosong tapi ternyata
bener. Buat apa memiliki raganya doang, sedangkan jiwanya entah berkelana kemana. Itu malah
bikin aku sakit dan aku yakin kamu juga sakit. Yang penting sekarang kita intropeksi diri dulu
aja, ada pelajaran yang bisa kita ambil dari semua kejadian ini"
Aninda masih menangis karena rasa bersalahnya.
"Nin, mulai sekarang kita jadi kakak-adik aja oke" Aku bakal jadi kakak terbaik buatmu"
"Maaf" bisik aninda parau.
yovi mengangguk pelan. "Cinta tercipta bukan untuk saling menyakiti, tapi untuk saling
mengerti" Air mata aninda masih mengalir.
Memang dari luar yovi tak tampak menangis, tapi batinnya perih merintih sejak kemarinn itulah
akhir kisah cintanya dengan aninda. Menyakitkan.
*** Berita yovi putus dengan aninda langsung merebak pada hari ketiga. Aninda sendiri bingung
kenapa semua orang bisa langsung tahu. Mestinya hanya dirinyalah dan yovi yang tahu.
Wajah-wajah semringah siswi SMA Harapan Jaya menyinari pagi yang mendung. Berita
putusnya aninda dan yovi telah menggugah semangat mereka. Pujaan hati satu sekolah kembali
melajang, dan inilah saat paling tepat untuk mencuri sekaligus mencari perhatian. Caranya
mudah, beri perhatian untuk memancing perhatian balik.
Itulah yang dilakukan segerombolan kakak kelas cewek. Mereka menggoda yovi yang sedang
berjalan menuju ruang OSIS. Yovi yang memang ramah medengan senyum simpatiknya.
Sebelumnya, ada cewek kelas X yang kentara sekali berpura-pura menjatuhkan buku didepan
yovi agar dia berhenti, dan syukur-syukur keluar sikap gentlemannya untuk mengambilkan buku
tersebut. Dan lebih syukur lagi bila yovi mau menyapa dan ngobrol sebentar. Duh!
Ulah para siswi tersebut membuat aninda frustasi. Yovi benar-benar bukan miliknya lagi.
"Nin, kamu cemburu?" Rupanya restiana tidak tahan dengan gerutuan aninda sepanjang pagi ini.
"Sedikit" jawab aninda sambil menyipitkan mata.
"Terus, kenapa putus?"
"Ke perpus aja yuk!"
"Lagi-lagi ngeles!" Restiana mau tak mau membuntuti aninda menuju perpustakaan.
*** Marsya dan kedua abdi setianya duduk lunglai diruang OSIS. Pagi ini memang jadwal mereka
bertiga untuk menyiapkan keperluan classmeeting. Mereka harus datang pagi sekali untuk
mengecek keadaan lapangan, tempat para penonton, dan sore harinya mereka harus memastikan
lapangan sudah bersih kembali.
Merli sibuk mengipasi wajahnya, syifa asyik dengan sisirnya yang sedari tadi tak pernah berhenti
mengelus rambutnya yang bisa dibilang sudah sangan, sangat rapi. Sedangkan marsya hanyut
dengan pikirannya. Merli menyenggol syifa agar berhenti menyisir rambut. Dagunya menunjuk kearah marsya yang
semakin hari berubah menjadi aneh.
"Sya!" Syifa membuyarkan lamunan marsya.
Wajah marsya menampakkan ekspresi penuh tanya.
"Kamu kenapa?" Merli berhenti mengipas.
Marsya menggeleng perlahan.
Kedua temannya bertatapan, mendelik satu sama lain.
"Yovi putus sama aninda" kata marsya akhirnya.
"Terus?" Tanya merli dan syifa berbarengan.
Marsya berpikir sejenak. "Aku rasa itu..."
"Jangan bilang kamu mau ngejar yovi lagi" potong syifa kesal.
Marsya menatap syifa bingung. "Aku cuma pengen memperbaiki semuanya syif"
"Yovi udah berubah sya" syifa mencoba meyakinkan marsya.
Merli manggut-manggut menyetujui pendapat syifa.
Marsya menggeleng, kemudian menatap tajam kedua teman setianya. "Dia berubah karena aku
berubah" Merli dan syifa mendelik. Mereka yakin marsya sudah sinting.
*** "Oh, jadi yovi yang memutuskan hubungan kalian?" Restiana menyimpulkan cerita aninda.
"Iya res, dan itu yang bikin aku jadi ngerasa bersalah"
Udah, yang penting sekarang udah beres masalahnya. Setahuku sih yovi bukan tipe pendendam"
Aninda manggut-manggut pasrah.
*** Marsya menyalin kembali laporan kegiatan classmeeting sore hari ini. Kedua temannya sedang
mengecek keadaan lapangan. Sekilas marsya melihat ricko berjalan menyebrangi lapangan.
Tumben sesore ini masih ada di sekolah, batin marsya heran. Yang ia tahu hari ini bukan jadwal
adiknya latihan karate. "Belum pulang?" Yovi masuk keruang OSIS tanpa suara.
Marsya gelagapan mendapati yovi sudah berdiri didepannya. "Hari ini jadwalku piket"
Yovi tersenyum, senang dengan perubahan marsya akhir-akhir ini. Yovi mengamati penampilan
marsya, tak ada polesan diwajahnya. Itu mengingatkan yovi pada pertemuan pertamanya dengan
marsya. Dulu marsya tampil polos. Tapi kembalinya kepolosan wajah marsya tak berarti telah
berhasil meruntuhkan dinding pembatas antara keduanya.
*** Sore itu suasana lapangan basket SMA Harapan Jaya ramai. Anak-anak cowok kelas aninda
masih giat berlatih basket, di pinggir lapangan cewek-cewek yang sejak tadi memberi semangat
pada tim basket kelas mereka masih semangat berteriak. Kelas aninda berhasil masuk semifinal,
dan besok lawan mereka adalah kelas vigo. Bagaimana seisi kelas tidak gelagapan" Vigo kan
pemain terbaik SMA mereka. Bisa dipastikan kelas vigo akan bermain sangat bagus besok.
Lolipop Love Lies Promise Past Karya Titi Setiyoningsih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Aninda melirik ruang OSIS yang berada tak jauh dari lapangan basket. Di depan ruang OSIS
duduk dua sosok yang sangat dikenalnya, marsya dan yovi. Sudah tentu ada rasa cemburu dalam
lubuk hati aninda, tapi ia berusaha menepisnya.
Aninda mengalihkan pandangannya ke pokok lapangan. Ada syifa dan merli yang tampaknya
kesal menyaksikan kehebohan kelas aninda. Beberapa detik kemudian syifa dan merli mendekati
ketua kelas aninda yang sedang beristirahat. Aninda mendengus kesal. Syifa dan merli selalu saja
membuatnya tidak nyaman. "Ayo! Semangat, teman-teman!" Teriakan rizka membuat telinga aninda berdenging. Rizka
memang berdiri persis di sebelah aninda.
"Nin, mana semangatmu?" Protes restiana yang berdiri di sebelah aninda juga.
"Haus res. Aku kekelas dulu ya ambil minum" pamit aninda lemes. Sejak tadi kerongkongannya
memang kering kerontong. Saat berjalan menuju kelasnya, aninda melihat ricko yang hendak keluar menuju gerbang.
Perasaan hari ini nggak ada jadwal latihan karate, batin aninda heran. Ia tahu persis hal itu karena
teman sekelasnya juga anak karate. Mungkin ada yang ketinggalan tadi, pikir aninda sambil
kembali melangkah. Dikelas aninda minum dengan cepat. Rasa hausnya tak kira-kira, seperti orang yang mengalami
dehidrasi parah. Puas minum, aninda mengelus perutnya yang menjadi kembung.
Sewaktu kembali kelapangan, aninda melihat vigo berjalan cepat menuju gerbang. Ini yang lebih
aneh, batin aninda. Setahunya vigo paling anti pulang sekolah sore. Ia hanya pulang sore saat
latihan basket. Tapi hari ini kan lapangan yang cuma satu-satunya itu dipakai kelas aninda. Kelas
vigo juga nggak ada jadwal latihan. Tiba-tiba muncul kecurigaan dalam diri aninda.
*** Marsya yang sejak tadi duduk disamping yovi masih dia membisu. Yovi juga tak mengajaknya
ngobrol, ia terlalu sibuk memperhatikan permainan kelas aninda. Sementara marsya sibuk
memikirkan adiknya, ricko. Baginya sangat aneh ricko pulang sesore itu. Dan kenapa tak lama
setelah kepergian ricko, tahu-tahu vigo muncul"
*** Pada waktu yang sama di tempat yang berbeda...
Yasmin terus memegangi perutnya yang mulas bukan main. Ia berjalan dengan susah payah
keluar kamarnya. Sejak semalam perutnya memang sudah terasa mulas. Ia tak memberitahu
suaminya semalam karena tak mau membuatnya khawatir.
"Yah!" Teriak yasmin setengah merintih.
Tak ada jawaban dari satriya.
"Pasti dihalaman belakang" gumam yasmin kesal. Pelan-pelan ia menuruni tangga menuju lantai
bawah. Satriya, suaminya tertidur pulas didepan TV yang masih menyala. "Yah!" Yasmin
merasa kecapekan. Satriya terbangun. Istrinya terlihat pucat. "Kenapa bun?"
"Kerumah sakit yah!" Jerit yasmin tak kuat menahan sakit.
Dengan segera satriya memapah istrinya ke mobil. Sesuai yang dijadwalkan, rumah bersalin
memang telah menanti mereka.
*** Aninda merogoh hp yang bergetar disaku roknya. Tertera nama "satriya" memanggil. Cepatcepat aninda menjawabnya. Perasaan kaget sekaligus senang membuncah didada aninda.
Beberapa kali ia manggut-manggut, kemudian sambungan putus.
"Res, yasmin udah melahirkan" bisik aninda sangat pelan. Bisa dipastikan hanya dirinya dan
restiana yang tahu. Restiana menutup mulutnya, terkejut.
"Jenguk yuk!" Ajak aninda bersemangat.
"Tapi hari ini aku ada acara keluarga nin. Titip salam aja buat dia ya!"
Aninda kecewa, bagaimana ia bisa sampai dengan cepat dirumah sakit kalau tidak ada tebengan"
Ia teringat yovi. Cepat-cepat ia menggendong tas dan berlari menuju tempat yovi dan marsya
masih duduk berduaan. "Maaf mengganggu" kata aninda sambil mendekat ke samping yovi.
Marsya tampak terganggu dengan kehadiran aninda.
"Boleh minta anterin kerumah bersalin?"
Yovi dan marsya mengernyit.
"Jangan salah paham dulu. Yasmin udah melahirkan, tadi satriya telepon"
Dengan segera yovi berdiri. "Marsya, kamu ikut?"
Marsya mengangguk cepat-cepat, lupa bahwa kedua sahabatnya masih berada disekolah. Aninda
menarik napas lega karena berhasil mendapat tebengan.
*** Vigo rupanya sudah datang mendahului rombongan aninda. Satriya kan sohibnya. Tatapan vigo
sedingin es ketika matanya bertemu dengan mata aninda. Aninda tak menggubrisnya, ia lebih
berminat melihat kondisi yasmin serta bayinya.
"Yasmin!" Seru aninda girang sambil mendekati yasmin yang sedang duduk menggendong bayi
ditempat tidur. Yasmin tersenyum senang, namun wajahnya masih terlihat lelah. Proses bersalin memang
menyita energi. "Cowok nin!" Pamer yasmin bangga.
Aninda segera mengelus si bayi dengan lembut.
"Sini yov, sya" ajak yasmin lembut ketika ia menyadari ada yovi dan marsya juga.
"Aduh, gemes deh lihat baby mungil gini" ingin sekali aninda mencubit bayi mungil dan putih
itu. "Gimana babynya?" Tanya marsya kaku mengingat dulu hubungannya dengan yasmin kurang
baik. "Alhamdulilah, sehat. Aku juga kaget, kupikir lahirnya kecepatan. Tapi kata dokter, kayaknya
bayi udah diperut sepuluh bulan" yasmin menepuk-nepik si bayi yang sepertinya mulai
terganggu dengan sentuhan aninda.
"Oh, syukurlah" kata marsya pelan. Kemudian ia mendekati bayi karena aninda sudah beranjak,
sengaja memberi kesempatan padanya dan yovi.
"Selamat ya yas, sat!" Ucap yovi bersahaja.
Satriya yang ada disamping yasmin tersenyum kalem.
*** Sementara itu didepan ruang OSIS SMA Harapan Jaya, syifa dan merli kebingungan mencari
teman mereka. Beberapa kali mereka sibuk menelepon. Sekolah sudah sepi, hanya tinggal
mereka berdua. "Syif, udah hampir magrib nih!" Protes merli cemas.
"Terus, gimana marsya" Aduh.. Tega amat sih kamu!" Syifa berkacak pinggang.
"Kayaknya dia digondol nenek gayung deh!"
Kedua cewek itu ngakak sambil berlari menuju gerbang.
Bab 10 It is not night when I do see your face.
(William shakespeare) *** Azan magrib berkumandang sepuluh menit lalu. Marsya dan yovi segera pamit karena diluar
sudah mulai gelap. Aninda sebenarnya juga ingin pulang, namun urung karena tarikan tangan
vigo. "Kamu pulang sama aku aja" bisik vigo sangat pelan, tapi terdengar jelas ditelinga aninda.
"Nin, kamu nggak mau pulang bareng?" Tanya marsya ramah.
Aninda meringis, menggeleng ragu-ragu.
"Dia pulang bareng aku" kata vigo ketus.
Tak lama kemudian datanglah sanak saudara yasmin dan satriya berduyun-duyun. Vigo menarik
tangan aninda, mengajaknya berpamitan pada yasmin dan satriya.
"Makhluk mars ngajak balik nih. Besok aku kesini lagi" pamit aninda setengah berbisik.
Yasmin mengangguk pelan. "Trims. Ati-ati ya nin"
*** Mobil yovi berhenti tepat didepan rumah marsya. Gerimis mulai turun, membuat malam terasa
dingin. Marsya bimbang, ada sesuatu yang ingin dikatakannya.
"Kamu mau nerima aku lagi kan yov?" Tanya marsya setelah keberaniannya terkumpul.
"Aku nggak yakin kamu bakal nggak ngecewain aku lagi sya" kata yovi pelan. Tersirat nada
khawatir. Marsya mengangguk. "Aku bakal nunjukin bahwa aku sungguh-sungguh yov"
*** Hujan deras memaksa aninda dan vigo berteduh dihalte bus terdekat. Kalau nekat menerjang
hujan, bisa-bisa besok keduanya sakit. Apalagi besok vigo harus bertanding basket melawan
kelas aninda. Jalanan sunyi karena derasnya hujan yang bercampur angin kencang. Badan aninda
menggigil. Batinnya waswas karena hanya ada dia dan vigo.
Vigo melepas jaket yang membalut bagian luar baju OSISnya yang sudah tak rapi lagi. "Nih
pake" ujarnya sambil menyodorkan jaket pada aninda.
Aninda menepis jaket vigo. "Nggak usah vig"
Vigo sedikit kesal. "Kalau ntar sakit gimana?" Tandas vigo ketus. Dengan terpaksa ia
memakaikan jaket pada aninda.
Aninda tak kuasa menolak. "Kalau aku sakit kamu senengkan?" Aninda memeletkan lidah.
Vigo diam saja. Ia memperhatikan hujan yang tak kunjung reda. Orangtua aninda bisa cemas
kalau ia memulangkan putri mereka sampai larut malam. Kemudian ia mendesah karena
dinginnya malam mulai mengenai tulangnya. Kondisi tubuhnya memang kurang fit akhir-akhir
ini. Aninda bergeser mendekati vigo, berusaha membuat vigo merasa hangat disampingnya.
"Ngapain deket-deket?" Celetuk vigo sambil melirik aninda. Sejak tadi ia terus-menerus
meremas-remas kedua tangannya karena kedinginan.
"Kamu kedinginan kan?"
"Siapa bilang?"
"Kenapa sih kamu selalu kasar padaku" Kalau benci bilang aja. Jangan kaya gini dong!"
Vigo terkejut mendengar ucapan aninda. Ia menatap aninda tajam.
Aninda yang tahu dirinya sedang dipelototi, beringsut menjauhi vigo. Sepertinya ia sudah
kebablasan ngomong sehingga ngeri membayangkan kemarahan vigo.
Vigo masih memandangi aninda tanpa ekspresi, berusaha menyelami ketakutan yang tampak di
mata cewek itu. Vigo dengan sigap menarik tangan aninda, kemudian memeluknya erat-erat. Aninda kaget bukan
main. Ia meronta, meminta vigo melepaskan pelukannya. Tapi semakin ia meronta, semakin erat
dekapan vigo. Jadi yang bisa dilakukan aninda adalah pasrah dalam pelukan vigo.
"Kamu tahu kenapa aku bersikap keras, kasar padamu?" Vigo bertanya dalam nada lembut.
Aninda menggeleng pelan. Kenyamanan karena pelukan vigo mulai mengaliri tubuhnya.
"Karena aku sayang kamu nin. Aku cinta kamu"
Aninda membisu, kaget mendengar pernyataan vigo. Dan juga kaget karena petir baru saja
terdengar. "Aku sayang kamu nin, dan aku nggak berdaya saat yovi bilang dia juga cinta kamu. Yang bisa
aku lakukan cuma sembunyi, nyari kesempatan biar bisa bareng kamu. Karena aku nggak mau
ngerebut sesuatu dari yovi lagi. Udah terlalu banyak yang yovi berikan padaku. Dan kamu nggak
tahu batinku tersiksa setiap aku lihat kamu bareng yovi. Kamu nggak tahu kan?"
Jantung aninda berdegup kencang.
"Aku nggak mau lagi kehilangan kamu nin" lanjut vigo, "semakin keras aku berusaha ngejauhin
kamu, semakin bertambah rasa cinta ini. Benar-benar menyiksaku"
"Aku, aku..." Aninda mulai menangis.
*** Jam dinding menunjukkan pukul setengah satu malam. Beberapa kali aninda berusaha
memejamkan mata, tetap saja tak bisa. Ia bergerak gelisah ke kanan ke kiri, menutup kepala
dengan bantal, menelungkupkan badan. Semua usaha untuk tidur sia-sia. Bayangan vigo tak mau
pergi dari pikirannya. Oke, aninda mengakui, ia memang tertarik pada vigo sejak pertama kali bertemu, sekalipun
pertemuan itu diwarnai pertengkaran. Dan entah kenapa, aninda senang saat vigo memaksanya
pulang sekolah bareng, saat vigo menatapnya lembut, dan puncaknya saat vigo menyanyikan
lagu untuknya dikafe. Vigo tak pernah tahu bagaimana tersiksanya aninda lantaran mencintainya. Gengsilah yang
membuat dia menyembunyikan perasaan itu dalam-dalam, sampai akhirnya malah yovi yang
menyatakan cintanya. Aninda sangat berharap pada malam yovi menembaknya, vigo akan menarik tangannya kuatkuat seperti biasanya. Dengan begitu dia dan vigo bisa berlari ke luar aula. Tapi, apa yang
terjadi" Vigo justru menghilang tak jelas! Kebayang dong kecewanya hati aninda.
Aninda baru saja tahu vigo menghindarinya karena sengaja ingin memberi kesempatan pada
kembarannya untuk mewujudkan cintanya. Dan itu ternyata sia-sia karena toh hubungan cinta
aninda dan yovi sudah tamat.
Saat akhirnya vigo menyatakan cintanya ternyata aninda sedang berharap banyak pada umar.
Oh! Rentetan perjalanan cinta aninda begitu rumit. Sekarang ia mencinta vigo, dan juga umar.
Egonya menang karena ia tak mau kehilangan dua-duanya. Namun, hati kecilnya juga tahu kalau
bersikap seperti itu terus-terusan pastilah ia bakal kehilangan dua-duanya. Aninda menggeleng
kuat-kuat. Aku harus mendapatkan kepastian dari umar besok.
*** Pertandingan basket antara kelas aninda melawan kelas vigo segera dimulai. Anak-anak sudah
berkumpul dipinggir lapangan.
Semua penasaran dengan babak semifinal ini. Cuaca yang mendung justru menjadi magnet bagi
cewek-cewek untuk menonton pertandingan. Setidaknya mereka tak perlu takut menjadi hitam
atau kepanasan. Priiit! Pertandingan dimulai. Sekejap saja bola berhasil dikuasai kelas vigo. Dan menit-menit
selanjutnya permainan lebih banyak terjadi di daerah kelas aninda karena serangan bertubi-tubi
pihak lawan. Entah berapa kali jaring kelas aninda bergetar.
Aninda gemes sendiri melihat teman-teman sekelasnya yang mati angin di lapangan. Mereka
seperti takut memegang bola, apalagi merebutnya. Tak heran bila bola selalu saja dikuasai kelas
vigo. Ups, bahkan lihatlah! Dengan mudahnya vigo melakukan tembakan three point. Cewekcewek dari segala penjuru kelas langsung bersorak heboh memuji penampilan vigo yang
memang superkeren. Hampir semua kelas mendukung kelas vigo.
"Ayo, jangan mau kalah sama makhluk mars!" Teriak aninda berang.
Mendengar teriakan aninda, vigo jadi lebih ganas lagi. Dengan tenang ia merebut bola dan
berhasil melakukan three point lagi.
Aninda makin kesal. Vigo berpaling dan kemudian mengedipkan sebelah matanya pada aninda. Skor akhir
pertandingan 41-6. Kelas aninda benar-benar dibantai.
"Aduh! Kalian mainnya gimana sih" Kemarin pas latihan bagus, kok sekarang jadi melempem
gini!" Cerocos rizka kesal sambil melangkah bersama-sama para pemain kekelas.
Jangan ditanya betapa sewotnya aninda. Ia masih berada dilapangan, sengaja menunggu vigo
yang sedang berjalan kearahnya. Begitu jarak mereka sudah dekat, aninda memelototi vigo.
Cowok itu tersenyum angkuh.
Belum sempat aninda mengomeli vigo, guru olahraga memanggil vigo. "Kamu dipanggil kepala
sekolah" Vigo berjalan lurus mengikuti guru olahraga tanpa sempat menyapa aninda.
"Ninda!" Panggil restiana setelah kepergian vigo. "Kamu masih disini rupanya. Ada temen
sekelas umar yang nyariin kamu. Dia nunggu didepan kelas kita"
Tanpa ba-bi-bu aninda berlari menuju kelasnya. Seorang cewek yang tak asing lagi dimata
aninda terlihat sedang menunggu dirinya. Cewek itulah yang pernah mengatakan umar amnesia.
"Hai nin, aku cuma mau ngasih alamat umar padamu. Dia sakit" kata cewek itu sambil
menyodorkan potongan kertas yang berisi alamat umar.
"Umar yang nyuruh kamu?" Tanya aninda bingung.
Restiana yang berdiri disamping aninda juga tak kalah bingungnya.
Cewek itu mengangguk. Kemudian ia langsung pergi tanpa memperkenalkan dirinya.
Aninda berdiri mematung. Semoga jalan takdirku segera terungkap, batinnya senang.
*** Tidak sulit menemukan rumah umar yang ternyata tak begitu jauh dari sekolah. Rumahnya
tampak sederhana. Hati-hati aninda mengetuk pintu.
Seorang nenek yang sudah sangat tua membukakan pintu.
"Permisi nek, saya aninda, temen sekolah umar. Bisa saya ketemu umar?" Sapa aninda halus.
"Umar baru saja tidur. Besok saja ya" nenek itu sepertinya tak suka ada yang mengganggu umar.
"Oh... Tolong beritahu umar, aninda mencarinya ya nek"
*** Hp aninda berbunyi keras. Aninda yang sedang menonton TV segera mengangkatnya begitu
membaca nama "Yovi" dilayarnya.
"Vigo disitu?" Terdengar nada panik yovi.
"Nggak. Kenapa yov" Kok panik banget?"
"Dia dituduh ngancurin piala karate nin! Tadi dia dipanggil kepala sekolah. Dan sampe saat ini
belum pulang. Udah kucari kemana-mana, tapi nggak ada" jelas yovi terburu-buru.
"Kok bisa?" Seru aninda terkejut.
"Salah satu piala yang ada di ruang karate ilang. Terus ditemuin diruang basket dalam kondisi
rusak. Katanya, ada anak yang ngaku lihat vigo yang ngelakuin"
"Siapa anaknya?"
"Kepala sekolah nggak mau bilang. Sekarang yang terpenting adalah mastiin vigo nggak macemmacem. Udah dulu ya nin, aku mau nyari dia di kafe"
Sambungan telepon terputus.
Muncul rasa khawatir dalam benak aninda. Vigo pasti lagi frustasi sekarang, orangnya emang
susah ditebak. Dan kalau vigo putus asa, bisa-bisa dia... Tak berani melanjutkan dugaannya,
cepat-cepat aninda mengambil jaket.
Tempat pertama yang terlintas dalam benak aninda adalah sekolah. Ini hari sabtu, jadi bisa
dipastikan masih ada siswa yang berlatih olahraga. Benar saja. Hampir semua ruang olahraga
terdengar riuh. Aninda pusing, sekolahnya luas dan vigo bisa berada dimana aja. Aninda mencari
vigo hingga sampai disuduh sekolah tempat anak-anak olimpiade sedang berkumpul.
Aninda sedikit grogi melewati ruangan anak-anak yang super genius itu.
"Ninda!" Seru seseorang dari arah berlawanan. Rupanya rossi, siswi olimpiade yang sekelas
dengan aninda. "Lagi ngapain nin" Tumben"
"Kamu lihat vigo nggak?" Tanya aninda putus asa.
"Tadi siang aku lihat dia di menara astronomi nin" jawab rossi sangat halus dan sopan.
"Oh ya" Makasih banget ros. Aku kesana deh"
*** Dalam langkah mantap aninda menaiki tangga yang menuju puncak menara. Menara astronomi
Lolipop Love Lies Promise Past Karya Titi Setiyoningsih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
biasa digunakan anak-anak klub pecinta astronomi untuk meneropong bintang. Tinggu menara
itu kurang lebih sepuluh meter. Untuk mencapai puncak menara yang berupa teras terbuka,
tersedia tangga beton seperti yang biasa dijumpai dirumah. Dengan tersengal-sengal karena tak
mau melepas lelah diperhentian yang ada, aninda sampai juga dipuncak menara. Pada anak
tangga terakhir ia melihat punggung vigo yang bidang.
Pelan-pelan aninda mendekati vigo. Ia memilih berdiri disampingnya. Udara dipuncak menara
terasa lebih dingin. Vigo sama sekali tak menggubris kehadiran aninda, yang napasnya masih memburu.
Pedih hati aninda melihat vigo yang begitu tak berdaya. Ia meraih tangan vigo, yang ternyata
dingin, kemudian mengelusnya lembut.
Vigo bangkit dengan cepat dan langsung memeluk aninda erat. Aninda mengelus punggung vigo
lembut. Ia tahu sebenarnya vigo ingin menangis. Apa yang menimpa laki-laki ini"
Bab 11 If you feel like it's your true love, go for. Don't wait until 50 years like me. Don't wait until
words "what if" run like crazy in your mind the whole time of your life.
(Letters to Juliet) *** Lima tahun lalu... Daun-daun meranggas berjatuhan lemah dari pohon rindang, tertiup embusan angin bulan mei.
Aninda kecil memperhatikan umar yang sejak tadi memunguti daun yang sudah menguning. Hari
itu terik sehingga mereka memutuskan berteduh dibawah pohon cinta mereka. Aninda tersenyum
melihat kegigihan umar memilah daun yang dianggapnya masih bagus.
"Buat apa sih?" Celoteh aninda penasaran.
Umar tetap sibuk dengan daun-daun jatuh itu. "Nanti juga kamu tahu"
Aninda tersenyum ceria. Umar selalu membuat kejutan untuknya, membuat hari-harinya terasa
indah dan mengasyikkan. Meski masih SD, ketulusan cinta mereka satu sama lain seakan tak
kalah dibandingkan ketulusan cinta orang dewasa yang sudah berkomitmen. Umar merangkai
daun-daun itu dengan ranting pohon yang ditemukannya. Susah payah ia merangkai daun yang
menguning itu, berusaha menatanya seindah mungkin. Aninda hanya duduk terdiam
disampingnya, memperhatikan ketekunan jari-jari umar sambil tersenyum.
"Jadi deh!" Umar memamerkan hasil karyanya. Sebuah mahkota kecil dari daun kuning yang
tampak seperti emas. "Itu buat apa?" Tanya aninda polos. Ia takjub melihat hasil karya umar yang begitu
mengagumkan saat itu. Umar mendekati aninda, kemudian meletakkan mahkota itu di atas kepala aninda. "Ini buat Tuan
Putri yang paling cantik dari seorang pangeran gagah!"
Aninda tersipu malu. "Makasih, pangeranku"
"Karena sekarang aku udah ngasih kamu mahkota, nanti pas kita udah gede aku tinggal
melengkapinya dengan memberimu kalung" kata umar yang terdengar seperti janji.
"Kenapa kalung?"
"Karena kemarin aku nonton film bareng kakak sepupu. Di situ pangerannya ngasih kalung ke
tuan putrinya, lalu bibir mereka nempel gitu." Ah, saat itu umar memang benar-benar masih
polos. "Aku nggak ngerti kok bibir mereka nempel?" Aninda mengerenyit heran.
"Kata kakak sepupuku, itu namanya ciuman, dan hanya boleh dilakuin orang gede pada cinta
sejatinya" Aninda yang tampak antusias tidak mengerti penjelasan umar. Ia hanya manggut-manggut
dengan wajah kanak-kanaknya.
"Kalau udah gede nanti kita ciuman ya nin. Ciuman pertama kita berdua. Kamu mau kan jadi
ciuman pertamaku?" Tanya umar malu-malu.
Aninda tersenyum polos. "Pasti!"
"Janji?" "Janji!" Dan hari itu mereka membuat lagi sebuah janji, menambah deretan janji mereka sebelumnya.
Kepolosan membuat mereka yakin janji-janji itu kelak terwujud menjadi nyata. Benarkah"
*** Aninda sesegukan dikamar tidur, menyesali perbuatan vigo tadi. Ia kaget dan marah karena vigo
telah mengambil ciuman pertamanya. Kesembronoan vigo membuat aninda terpaksa
mengingkari janji suci masa lalunya. Apa sih maunya vigo melakukan itu" Batin aninda geram.
Kan masih banyak cewek yang mau diperlakukan seperti itu olehnya, lalu ngapain dia
memilihku" Ciuman pertama seharusnya sakral dan bukan seperti tadi...
Aninda menjotosi guling dipelukannya. Ia menyesal telah memercayai vigo, sosok yang kini
kembali berubah menjadi cowok menyebalkan.
Tak aneh bila aninda perlu seminggu untuk meredakan perasaan dongkolnya gara-gara ciuman
vigo. Disekolah maupun dirumah bawaannya uring-uringan terus. Restiana sampai harus berpikir
dua kali kalau mau mengobrol dengan aninda.
Kalau mau jujur, sebenarnya bukan ciuman vigo, tapi ketidakjelasan keberadaan umarlah yang
membuat aninda belingsatan. Bahkan saat dirinya kerumah umar untuk kedua kalinya, tak
seorang pun ada di sana. Tidak juga neneknya. Rumahnya sepi.
Kabar vigo bakal dikeluarkan dari sekolah juga sudah didengar aninda. Cowok itu harus
meninggalkan SMA Harapan Jaya senin besok. Padahal hari sabtu rapor semester satu akan
dibagikan, yang berarti liburan panjang sudah menanti. Aninda membayangkan liburannya akan
indah karena ada umar, tapi sekarang harapannya kandas.
*** Mata aninda jelalatan sewaktu berdiri didepan kelasnya, mencari restiana yang sejak pagi tak
dilihatnya. Apa iya restiana absen" Biasanya dia paling rajin sekolah. Saat kekantin aninda
melihat syifa dan merli tanpa marsya. Itu juga kejadian langka mengingat mereka bertiga selalu
kemana-mana bersama. Sampai-sampai aninda suka meledek, mungkin ke neraka pun mereka
bersama. Kenapa hari itu banyak keganjilan" Tiba-tiba ada panggilan dari hpnya.
"Nin, kerumahku sini!" Teriakan yasmin langsung mengenai saraf kaget aninda.
"Ada apa yas?" Tanya aninda datar.
"Aku sendirian dirumah nih. Cuma sama si baby. Barusan satriya pergi sama yovi" keluh
yasmin. "Ouw, pantesan aku nggak lihat yovi disekolah. Tapi hari ini emang banyak banget yang nggak
kelihatan disekolah"
"Kamu nggak tahu kenapa pada nggak sekolah?" Tanya yasmin menggoda.
Spontan aninda menggeleng. Tentu saja yasmin tidak melihatnya.
"Makanya main sini nin, ntar aku ceritain sesuatu deh!"
"Oke!" Aninda menutup sambungan telepon.
*** Saat aninda berjalan melewati gerbang sekolah, hpnya berbunyi lagi. Ia mengerenyit melihat
nomor asing yang tertera dilayar hp. Penasaran ia mengangkatnya.
"Halo, selamat siang?" Suara wanita yang sepertinya berumur setengah baya.
"Selamat siang" jawab aninda sopan.
"Benar ini nak aninda?" Tanya suara diseberang sana untuk memastikan dirinya berbicara
dengan orang yang dicari.
"Betul. Ibu siapa ya?"
"Saya ibunya umar. Begini, nak aninda, umar sedang dirawat dirumah sakit" mata aninda
membuat saat mendengarnya. "Umar minta agar nak aninda datang kerumah sakit sekarang. Bisa
kan?" "Bisa bu! Rumah sakit mana?"
"Harapan Sehat"
"Baik bu, sebentar lagi saya kesana"
"Ya, ibu tunggu ya nak aninda. Terima kasih"
Sambungan terputus. Tergesa-gesa aninda mencari nomor yasmin, kemudian ia memencet warna hijau pada hpnya.
"Ada apa nin?" Tanya yasmin halus.
"Aku nggak jadi kerumahmu, ada urusan mendadak dan gawat darurat! Oke?" Tanpa menunggu
jawaban yasmin, aninda langsung memencet tombol merah. Ia bergegas mencari angkutan umum
kerumah sakit Harapa Sehat.
*** Yovi, satriya, dan tim inti basket SMA Harapan Jaya sepakat melakukan rencana yang disusun
beberapa hari lalu. "Jadi biar aku, satriya, dan rian aja yang dateng. Aku nggak mau ngerusuh dirumah orang. Ntar
kalau ada apa-apa, kuhubungi kalian. Nah, kalian nganter vigo kebandara ya" Ntar aku, satriya,
dan rian nyusul. Deal?" Yovi sekali lagi mengulangi kesepakatan mereka dengan tenang.
"Deal!" Jawab yang lain serempak.
Yovi, satriya, dan rian menaiki mobil yovi menuju rumah yang tak asing lagi bagi yovi.
Sedangkan rifki dan keempat anak lain bergegas menuju Bandara Soekarno-Hatta.
*** Hari itu marsya demam sehingga tak sekolah. Semalaman ia tak bisa tidur, dan sekarang matanya
terasa berat sekali. Restiana ada dirumahnya, menemaninya bersama ricko. Obrolan kecil mereka
dalam nada rendah hampir tak terdengar oleh marsya. Ketika matanya hampir tertutup, terdengar
ketukan di pintu kamar. Yovi. Marsya tersenyum lemah sekalipun terkejut melihat kedatangan yovi. Baik hati betul dia sengaja
menjengukku, pikir marsya agak bingung. Tapi senyumnya hilang ketika menyaksikan yovi
menghampiri ricko, menarik kerah baju cowok itu... Lalu menonjoknya mantap.
Restiana menjerit nyaring.
Marsya hanya melongo, badannya terasa lemah sekali.
"Kamu yang ngelakuin sema pada vigo kan?" Teriak yovi emosi.
Satriya dan rian berdiri tegap dipintu, sekadar berjaga-jaga.
"Ngelakuin apa?" tanya ricko tenang sambil mengusap-usap pipinya yang sebentar lagi pasti
memar. "Nggak usah sok suci deh! Kamu yang ngelaporin tuduhan bohong itu kan rick" Kamu juga yang
jadi ketua pengeroyokan vigo beberapa bulan lalu!" Seru yovi.
Marsya dan restiana tercengang mendengarnya.
Ricko tertawa sinis, "akhirnya kamu tahu juga"
Kemarahan yovi bertambah karena reaksi ricko yang tampak meremehkannya. "Kenapa kamu
ngelakuin itu semua!" Tanya yovi menuntut penjelasan sambil mengangkat tangannya.
Tampaknya ia ingin menonjok ricko lagi.
Untung satriya keburu menahannya, "yov, jaga emosimu!"
Yovi menarik napas perlahan, seakan memberi kesempatan pada ricko untuk menjawab
pertanyaannya. "Seharusnya kamu lebih tahu masalah ini. Kamu kan kakak dia" ujar ricko kalem. Rasa sakit
dipipinya tak membuatnya menjadi lemah.
"Nggak usah basa-basi! Kenapa?" Yovi bertanya dengan intonasi yang sengaja dilembutkan.
"Kamu pengen tahu kenapa?" Ricko balik bertanya dengan tak kalah kalem.
Yang lain justru menunggu dengan tegang.
*** Ruang perawatan umar berada dibagian ujung rumah sakit yang cukup besar itu. Aninda
melewati lorong-lorong dengan hati yang berdetak tak karuan. Beberapa kali ia berlari pelan
saking tak sabar ingin melihat kondisi umar. Ternyata umar tak berada dirumah karena harus
dirawat dirumah sakit, entah sakit apa. Perasaan cemas dan penasaran aninda membesar ketika
melihat pintu ruangan umar berada tepat didepannya. Ia mengetuk dan pelan-pelan membuka
pintu itu. Terlihat umar terbaring lemah dengan selang infus dilengannya. Aninda menutup mulutnya
sendiri, sedih menyaksikan kondisi pangeran kecilnya.
Umar membuka mata perlahan karena merasakan kehadiran seseorang. Ibu umar menyambut
gembira kedatangan aninda.
"Nak aninda ngobrol dulu sama umar ya, tante mau beli minuman dikantin" kata ibu umar sambil
menarik kursi dan memberi tanda agak aninda duduk. Sosok wanita ramah itu seperti kurang
tidur karena ada garis hitam dibawah matanya.
Aninda mengangguk sopan. Dengan hati-hati ia duduk dikursi yang tersedia disamping ranjang
umar. "Kamu sakit apa?"
"Penyakitku nggak penting buat kamu nin. Aku cuma pengen ngasih tau kamu sesuatu yang
penting banget" kata umar serius.
Aninda mengerutkan dahi. Bingung. "Sesuatu apa mar?"
"Ini berhubungan dengan masa lalumu"
"Masa lalu kita maksudmu?" Koreksi aninda.
Umar menggeleng. "Selama ini kamu keliru nin. Kamu mengira aku umar, masa lalumu"
Seketika petir dahsyat seperti menyambar aninda. "Maksud kamu apa" Mar, aku tahu kamu lagi
sakit sekarang, nggak usah bilang macem-macem dulu deh"
"Nggak nin, aku pengen kamu tahu sebelum aku mati. Aku bukan umar masa lalumu nin.
Beberapa bulan lalu saudaraku memaksaku pindah sekolah agar kamu mengira aku umar.
Sebelumnya dia nyeritain semuanya ke aku. Tentang dia, kamu dan umar"
"Dia.. dia siapa maksudmu?" Potong aninda penasaran.
"Ricko" *** Ricko tersenyum sinis melihat teman-teman disekelilingnya tegang menunggu jawabannya.
"Karena vigo adalah masa lalu aninda yov!" Rikco tertawa nyaring.
"Maksudmu apa" Nggak usah ngarang cerita!" Yovi menarik kerah ricko lagi.
Senyuman sinis ricko menghilang. "Kamu kaget kan" Tapi ini emang faktanya, vigo
sesungguhnya adalah umar, pangeran kecil aninda, orang yang selalu aninda damba!"
"Nggak usah macem-macem sama aku rick!" Ancam yovi pelan.
"Dia bener yov. Vigo emang masa lalu aninda" tiba-tiba satriya angkat bicara agar
mempersingkat waktu. Yovi menoleh, menatap tajam pada satriya, mencari kesungguhan.
Ekspresi bingung yovi membuat ricko kembali tertawa. "Biar lebih jelas, nama belakang kalian
berdua kumara sastrodjoyo kan" Dan saat SD vigo lebih senang dipanggil nama tengahnya,
umar" "Shit!" Yovi tak berminat mendengar kelanjutan kisah ricko dan justru memilih mengajak kedua
temannya ke bandara. *** "Aku butuh penjelasanmu sat" kata yovi pada satriya dalam perjalanan menuju bandara.
Satriya mulai bercerita dalam nada tenang.
*** "Ricko melakukan ini karena dia nggak mau kamu ketemu umar lagi, dia cinta banget sama
kamu nin. Tapi cara dia ngedapetin kamu salah. Tepatnya, licik" umar melanjutkan ceritanya
yang sempat dipotong aninda.
"Seharusnya ricko tahu aku nggak tahu keberadaan umar saat ini. Jadi kenapa ricko ngelakuin ini
semua?" Aninda bingung.
"Karena selama ini umar ada di dekat kamu nin. Dekat banget"
"Mkasudmu mar?" Penjelasan umar seperti sebuah teka-teki bagi aninda.
"Umar ada vigo, vigo kumara sastrodjoyo. Saat SD dia lebih suka dipanggil nama tengahnya,
umar" Aninda menutup mulutnya yang melongo dengan kedua tangan yang gemetaran. Matanya
berkaca-kaca. *** Yovi, satriya dan rian tiba dibandara. Vigo terlihat sedang duduk bersama teman-teman basket
didekat pintu keberangkatan. Setengah berlari yovi mendekati kembarannya. Ia langsung
melayangkan tonjokan keras ke wajah mulus adiknya. Teman-temannya terbengong-bengong,
tak percaya menyaksikan perbuatan yovi yang biasanya santun dan tenang.
"Pengecut kamu!l teriak yovi parau.
Orang-orang disekeliling mereka mulai mengerubungi yovi dan vigo. "Kenapa kamu nggak
bilang" Kenapa kamu nggak nunjukkin ke aninda bahwa kamulah orang yang selama ini dia
nanti" Kenapa?"
Vigo mengelap darah dibibirnya dengan tangannya yang dingin.
"Karena aku nggak mau lagi ngerebut sesuatu dari kamu yov"
"Bego banget sih kamu!" Aku aja nggak pernah mikir gitu. Aninda milikmu dari dulu sampai
sekarang. Seharusnya kamu tahu itu. Cara pengecutmu yang kayak gini justru nyakitin banyak
orang." Yovi menarik napas panjang, berusaha meredakan emosinya.
"Ya... Terserah penilaianmulah yov. Aku memang salah." Vigo mengulurkan tangan. "Aku minta
maaf" vigo mengangguk lalu melepaskan pelukan. "Pesawatku hampir berangkat, aku harus
segera masuk" ujar vigo kalem. "Yov, jagain aninda ya" Ceritain semua kebenaran pada dia"
yovi terdiam sejenak, lalu perlahan menyambut uluran tangan vigo. Kedua bersaudara itu
berpelukan erat. "Hati-hati ya vig. Maafin aku juga"
"Oke" Vigo, kemudian bersalaman dengan semua temannya. Selamat tinggal indonesia, batinnya
hampa. *** Aninda berjalan meninggalkan rumah sakit sambil tersedu pelan. Jadi vigo sebenernya umar.
Pangeran kecil yang selama ini ia cari, yang selama ini ia nanti. Jadi itu penjelasan kenapa
selama itu vigo tahu segalanya tentang dirinya. Itulah alasan vigo menonjok ricko di menara,
karena mereka memang musuh bebuyutan sejak dulu.
*** Setelah naik bus yang cukup lama, sampai juga aninda didepan rumah vigo yang tampak sepi.
Gerbangnya terbuka lebar sehingga aninda memutuskan langsung masuk tanpa perlu memencet
bel. Ia menuju beranda dan mengetuk pintu.
"Non ninda cari den yovi?" Tanya mbok tiyem begitu membukakan pintu ruang tamu untuknnya.
"Nggak mbok, saya cari vigo!" Ujar aninda tergesa-gesa.
"Lho, den vigo pergi ke amerika hari ini. Katanya ada sekolah yang ngundang den vigo main
basket. Non ninda nggak tahu toh?"
"Haa" Apa?" Aninda seperti ingin pingsan mendengarnya.
"Jam berapa berangkatnya?"
"Wah, udah daritadi kok. Masuk dulu non, biar mbok buatkan teh"
Aninda mengangguk. Tubuhnya terasa lemas. Dia langsung duduk disofa yang terdekat dengan
pintu agar tak keburu jatuh. Aneh, hatinya tak merasakan apapun lagi. Apakah ia sudah mati
rasa"
Lolipop Love Lies Promise Past Karya Titi Setiyoningsih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Mbok, vigo bakal balik lagi kan?" Tanya aninda datar saat mbok tiyem menyuguhkan segelas es
teh. Mbok tiyem terdiam sejenak. Raut wajahnya terlihat khawatir.
"Katanya sih nggak non. Den vigo bakal nerusin sekolah di sana"
"Aninda?" Yovi muncul dari pintu depan. "Kebetulan kamu ke sini. Aku pengen ngasih tahu
kamu sesuatu" kata yovi lembut, padahal beberapa jam lalu ia baru menonjok dua orang dengan
emosi tinggi. Yovi mulai bercerita tentang kasus pencurian piala yang dituduhkan pada vigo, serta
pengeroyokan teman-teman ricko pada adiknya.
"Jadi ricko yang ngelakuin ini semua?" Tanya aninda terkejut.
Yovi mengangguk pelan. "Apa hakmu ngelarang aku deket sama ricko" Dia temenku sejak SD! Benarkah kamu yang
nyuri piala itu" Aku nggak tahu kamu selicik itu vig! Sejahat itu! Pergi kamu vig!"
"Aku emang mau pergi nin. Bilang kamu cinta aku nin!" vigo mencium bibir aninda. Aninda
menampar vigo. Rentetan peristiwa bersama vigo terlintas kembali dalam ingatan aninda. Ketololannya membuat
dia tak menyadari selama itu umar ternyata berada didekatnya.
"Vigo juga salah nin" hibur yovi seakan bisa memba pikiran aninda.
"Aku bingung. Kok vigo bisa jadi kakak kelasku" Itu yang bikin aku nggak pernah berpikir atau
mencurigai dia adalah umar" tanya aninda.
"Aku dan vigo ikut program penyetaraan pas SMP. Waktu dia SD aku masih di amrik. Dulu
disini dia ikut nenek dari pihak ibu. Ketika kelas lima SD dia disuruh ke amrik karena kondisi
nenek disini yang mulai sakit-sakitan. Tamat dari SMP diamrik, vigo maksa pindah ke indonesia.
Dia ngotot pengen balik dan bersekolah disini. Aku terpaksa ngikut, buat jagain dia yang
emosinya susah dikendaliin. Ternyata kamulah penyebab dia pengen banget pulang ke
indonesia." "Terus, kenapa sekarang kamu nggak ikut dia ke amrik?"
Aninda rupanya belum puas bertanya.
"Buat apa coba" Dia ke amrik diundang salah satu SMA di sana. Aku nggak diundang"
"Kata mbok tiyem dia nggak bakal pulang"
"Doain aja dia nggak betah"
Bab 12 Sometimes the time when we really love him is the time we should actually let him go.
(The Writer) *** Senin pagi... Akhirnya semua siswa SMA Harapan Jaya tahu vigo ternyata tak bersalah. Dan biang kerok
semua kekacauan itu adalah ricko. Ternyata rickolah si pelapor hilangnya piala karate ke kepala
sekolah. Sudah tentu ricko mendapatkan sanksi berat dari sekolah atas perbuatannya itu.
Aninda menceritakan semuanya pada restiana setelah restiana menceritakan kejadian dirumah
marsya. Restiana hampir menangis mendengar cerita sahabatnya itu.
"Dan sekarang aku mengerti maksud kalimat Kita boleh menanti, tapi jangan terlalu menanti
yang tak pasti" ujar aninda lemah.
"Maksudnya apa nin?" tanya restiana penasaran.
"Alasan cewek yang terus menanti cowoknya karena dia menanti sesuatu yang tak pasti, yaitu si
cowok" "Nin, aku tetep bingung"
"Aku juga sebenernya bingung" aninda tersenyum melihat ekspresi lugu restiana.
Tiba-tiba wajah restiana berubah menjadi sendu. "Ricko bakal pergi ke London hari ini"
"Kamu udah ketemu dia?"
Restiana menggeleng pelan. "Mau nggak temenin aku kerumahnya sepulang sekolah?"
"Kayaknya aku nggak bisa res. Aku belum siap ketemu dia. Mungkin ini memang belum
saatnya" Restiana tersenyum kecil, berusaha memahami perasaan aninda.
Aninda enggan bertemu ricko yang telah berlaku licik dibelakangnya.
*** Yovi membenahi catatan seluruh kegiatan OSIS, lalu memasukkannya ke salah satu lemari
diruang OSIS. Ia menoleh saat pintu ruang OSIS berderit. Ternyata marsya yang membukanya.
Wajahnya masih pucat. Yovi sempat heran melihatnya memaksakan diri ke sekolah.
"Urusan OSIS udah beres kok sya" kata yovi.
"Aku kesini mau minta maaf atas perbuatan adikku padamu"
Marsya tulus mengatakannya.
"Semua udah berlalu sya, ngapain sih dibahas lagi?" Yovi tampak cuek sambil terus sibuk
menata berkas-berkas. "Marsya memeluk yovi dari belakang. "Biar kita seperti ini beberapa detik aja yov. Aku..."
Marsya jatuh pingsan sebelum sempat melanjutkan kata-katanya.
*** Waktu restiana tiba dirumah ricko, sebuah koper jumbo terlihat diruang tamu. Ricko kaget
melihat kehadiran restiana.
"Rick, kamu mau pergi?" Tanya restiana sedih.
"Ya res, aku mau ke London. Aku pengen nyari kedamaian disana. Res, maafin aku ya." Ricko
mendekati restiana, kemudian memegang kedua tangan cewek itu.
"Ma..af karena apa rick?" tanya restiana terbata. Dia grogi tangannya dipegang oleh orang yang
sangat dicintainya. "Karena aku belum bisa membalas cintamu"
"Nggak papa rick" ujar restiana lirih.
"Res, aku mesti berangkat sekarang, pesawatku berangkat sebentar lagi. Sampein maafku pada
temen-temen ya. Terutama pada aninda dan vigo. Aku bener-bener nyesel"
Restiana hanya mengangguk lemah.
Sebelum naik ke mobil, ricko mengecup kening restiana. Hari itu restiana bahagia sekaligus
berduka. *** "Sya?" yovi mengelus kening marsya lembut saat marsya siuman.
Mata marsya mengerjap karena sinar lampu diruang UKS.
"Yov, tadi aku mau bilang bahwa aku..."
"Aku cinta kamu sya" yovi memotong kalimat marsya.
Marsya mendengarnya tak percaya. "Yov" Aku mimpi" Aku masih pingsan?"
Yovi tersenyum lepas, kemudian mengecup kening marsya.
"Kamu udah bangun, marsya sayang. Kamu mau jadi cewekku lagi kan?"
Air mata marsya mengalir, tak sanggup mengatakan apa-apa. Ia mengangkat badannya untuk
memeluk yovi. Sebenarnya yovi memang tak pernah berhenti mencintai marsya. Dulu ia pernah mencintai
aninda, tapi ia menyadari aninda hanya cinta sesaat atas sakit hatinya karena marsya. Ia mulai
yakin marsya mau berubah untuknya saat marsya tak mau lagi memakai aksesori lebay, juga tak
pernah lagi memoles wajahnya. Marsya berusaha keras menjadi dewasa, dan itu membahagiakan
yovi. Dengan demikian marsya membuka dirinya agar yovi bisa mencintai marsya apa adanya,
termasuk menerima semua kekurangan marsya.
*** Hari pembagian rapor di SMA Harapan Jaya tiba. Sabtu yang lumayan cerah mengingat akhirakhir ini hujan selalu turun. Karena semester satu, rapor tidak perlu diambil oleh orangtua,
melainkan langsung diberikan kepada masing-masing siswa. Warga kelas aninda sudah lengkap
pagi itu. Sesuai urutan abjad, aninda tak perlu menunggu lama untuk menerima rapor.
"Aninda chandraningsih" panggil Bu Purwanti, wali kelasnya.
Aninda berlari kecil ke depan.
Bu Purwanti sedikit heran melihat aninda yang biasanya tidak bisa diam.
"Kenapa hari ini, nin?" tanya Bu Purwanti heran.
"Nggak papa kok, Bu" jawab aninda lesu.
"Nin, you must know it. Sometimes the time when we really love him is the time we should
actually let him go"
Aninda tercengang mendengar kalimat Bu Purwanti, yang sama sekali tak ia mengerti.
Bu Purwanti tertawa melihat wajah tolol aninda. "Terkadang pada saat kita benar-benar
mencintainy, justru kita harus merelakannya"
Aninda tersenyum kecil, mencoba memahami makna kata-kata mutiara dari Bu Purwanti.
Kemudian ia berbalik menuju bangkunya.
"Nin, kamu ranking satu ya" Kok tadi Bu Pur kelihatan seneng banget?" Bisik rossi penasaran.
Rossi khawatir kalah saing dari aninda, yang terkenal rada bodoh.
"Tenang ros, masih kamu yang ranking satu kok!" Jawab aninda asal.
Rossi langsung cekikikan, senangnya bukan main.
*** Sepulang sekolah aninda membuka lagi rapornya sambil menggeleng-geleng. Ia sudah belajar
mati-matian, tetap saja semua nilainya pas-pasan. Restiana yang berada disebelahnya puas
karena mendapat peringat dua. Ternyata peringkat satu benar-benar rossi.
Aninda mengeluh pelan, rasanya ia takkan semangat menjalani hari esok. Apalagi liburan
panjang yang bakal sangat membosankan telah menantinya.
*** Liburan telah berjalan satu minggu. Benar dugaan aninda, liburan justru bikin frustasi. Benarbenar tak ada yang bisa membuatnya bergairah. Yang ada hanya omelan ibunya setiap pagi, yang
menyuruhnya ini-itu. Bahkan aninda harus mengisi malam tahun baru bersama anak-anak kecil
dikompleks rumahnya dengan menonton kembang api dilapangan.
Aninda pusing sekaligus iri pada teman-temannya. Bagaimana tidak" Yasmin dan satriya sedang
bulan madu di Australia, menggantikan bulan madu mereka yang tertunda. Restiana bersama
keluarganya berlibur ke Hongkong. Yovi dengan marsya jalan-jalan ke Bali.
Astaga! Kepala aninda hampir pecah memikirkan kesenangan dan nasib baik mereka. Mereka
pasti tak tahu kondisi dirinya yang begitu mengenaskan. Si pengecut vigo pasti juga sedang asik
di Amerika. Ah, lagi-lagi vigo. Seharusnya ia melupakan vigo karena kali ini pangeran kecilnya
itu benar-benar tak akan kembali.
"Aninda, waktunya cuci piring!" Seru ibunya nyaring.
Aninda mendengus kesal. "Yes, mam!"
*** Dua minggu yang berjalan begitu lambat...
Sebuah undangan bersampul merah tergeletak di depan aninda. Undangan pesta pernikahan
yasmin dan satriya. Itu beban untuk aninda, mengingat ia tak punya pakaian pesta yang layak.
Apalagi pestanya di hotel berbintang yang baru saja diresmikan. Hotel yang dibangun dibekas
SDnya. Hotel yang di halamannya ada pohon kenangannya.
Dalam kebingungan aninda mendengar suara mobil berhenti, yang kemudian disusul dengan
suara derit pintu pagar rumahnya. Marsya datang sendirian, tanpa yovi. Aneh sekali.
"Nin, kamu mesti ikut aku" kata marsya setelah memberi salam.
"Ada apa kak" Kok pagi-pagi begini?" Tanya aninda bingung.
"Kamu diundang ke pesta pernikahan yasmin kan?"
Aninda mengangguk cepat. "Kamu udah beli kado buat dia" Udah ada baju yang mau dipake ntar malem?"
Sekarang aninda menggeleng cepat.
"Ya udah, ganti baju sana. Kita belanja gila-gilaan hari ini"
Tanpa aba-aba aninda bergegas kekamar, mengganti bajunya dengan celana jeans dan cardigan
merah. *** Ternyata marsya membawa aninda ke mal paling mewah. Marsya langsung mengajak aninda ke
tempat yang menyediakan gaun-gaun pesta. Kaum shopholic pasti ngiler melihat keindahan
gaun-gaun glamor disitu. "Ayo nin, pilih baju yang kjamu suka. Kok malah bengong?" Kata marsya sedikit geli dengan
keluguan aninda. "Aduh kak, aku nggak punya duit buat beli gaun mahal begini" kata aninda jujur.
"Nggak usah mikirin itu nin. Aku yang traktir"
"Tapi, kak..." "Kamu tenang aja"
Terpaksa aninda menuruti marsya. Tapi untuk memilih gaun yang pas saja aninda tidak becus.
Marsya lagi-lagi menggeleng melihat aninda yang sejak tadi bingung. Beberapa kali aninda
mencoba gaun-gaun itu, tapi ada saja yang membuat aninda tidak suka. Seperti belahan dada
yang terlalu rendah, terlalu mini, warna terlalu ngejreng, pokoknya ada-ada saja alasan aninda.
Marsya sendiri sudah menemukan gaun yang pas untuknya. Gaun pink selutut dengan lengan
dibagian kiri saja. Aninda berdecak kagum menyaksikan keanggunan marsya saat mencoba gaun
itu. "Ini aja ya nin!" Marsya menunjuk gaun merah yang indah.
Saat mengenakannya, aninda terkejut. "Aduh kak, gaun ini nggak ada lengannya. Dan bawahnya
juga pas diatas lutut"
"Udah deh nin, ini bagus banget. Cocok untukmu" kata marsya mencoba meyakikan aninda.
Dengan berat hati akhirnya aninda setuju untuk mengenakan gaun itu nanti malam. Ia merasa tak
enak pada marsya yang mulai kelelahan mencarikan gaun untuknya. Berikutnya mereka pergi
ketempat pernak pernik untuk mencari kado. Kali ini aninda mantap memilih sendiri kadonya.
Baru sekitar pukul tiga sore mereka keluar dari pusat pembelanjaan itu dengan menenteng tas
belanjaan. "Nin, aku udah izin sama orangtuamu supaya kamu boleh langsung ke pesta nanti malem. Jadi
setelah ini kamu nggak usah pulang dulu" celoteh marsya saat mobil mulai berjalan.
"Terus, sekarang kita mau kemana kak?" Aninda sedikit heran dengan rencana marsya yang
tersusun rapi. "Kerumahku. Kita mesti dandan, dan waktunya pasti nggak sebentar"
*** Dalam undangan tertera pesta pernikahan yasmin dimulai pukul tujuh malam. Aninda dan
marsya sudah siap, tinggal menunggu dijemput yovi, marsya tampak begitu cantik dan berkilau.
Yang tidak biasa aninda. Ia benar-benar cantik walaupun hanya diberi sedikit polesan
diwajahnya. Rambut aninda diombak besar-besar sehingga terkesan alamiah dan indah pastinya.
Gaun merah tadi memang pas dan bagus dibadannya, belum lagi sepatu hak tinggi bertali hitam
yang membuatnya terlihat anggun. Marsya benar-benar sukses mengubahnya menjadi cinderella.
"Oke, dua putri yang sudah siap ke pesta malam ini" ujar yovi saat tiba diruang tamu marsya.
Setelah berpamitan, ketiganya berjalan memasuki mobil yovi yang diparkir di luar gerbang.
"Siap sayang?" Tanya yovi pada marsya yang duduk disampingnya. Aninda duduk dibelakang,
menatap sepasang kekasih itu dengan iri.
"Oke, kita berangkat" mobil yovi melaju dengan kecepatan standar menuju tempat pesta.
*** Aninda menatap pohon besar yang penuh kenangan itu. Pohon yang berdiri indah dengan
ranting-ranting menjuntai seakan ikut menyambut para tamu. Aninda menunduk lesu,
memikirkan masa lalunya yang penuh sekarung harapan dibawah pohon itu.
"Yuk nin!" Ajak marsya sambil menggandeng yovi dengan mesra. Aninda berjalan di sebelah
marsya. Dekorasi pesta yang mewah dan gemerlap indah seakan menyihir perasaan aninda hingga
sejenak melupakan duka dan kenangan. Tamu yang datang mengalir tanpa henti hingga berjibun
jumlahnya. Benar-benar pesta yang megah dan meriah. Mereka berada di ruang bergaya timur
tengah yang dipenuhi pohon palem serta dominasi warna emas.
"Aih, yasmin, kamu cantik banget!" Puji marsya sewaktu menyalami yasmin.
"Duh, makasih. Kamu dan aninda juga cantik malam ini!" Balas yasmin sungguh-sungguh.
"Selamat ya yas!" Ujar aninda saat gilirannya bersalaman.
"Okay my baby, muka kamu kok kurang senyum ya?" Cibir yasmin menggoda mantan teman
sebangkunya itu. "Ye, perasaan kamu doang tuh!" Aninda mengerucutkan bibirnya. Ia tak bisa lama-lama
mengobrol dengan yasmin karena tamu yang lain sudah mengantre di belakangnya. Gilirannya
menyalami satriya. "Selamet ya sat"
Satriya mengangguk. "Nin?"
"Apa?" "Jemput pangeranmu di bawah pohon cinta kalian"
Epilog Aninda membuka matanya sambil merasakan semilir angin yang sedari tadi membuainya.
Dengan kaki gemetar ia melangkah mendekati pohon besar itu. Samar-samar ia melihat sosok
pangeran kecilnya berdiri tegap di naungi pohon itu. Air matanya mengalir tanpa bisa di cegah.
Air mata kerinduan yang begitu lama terbendung dilubuk hatinya yang terdalam.
Aninda mengubah langkah kecilnya menjadi setengah berlari hingga bisa melihat pangeran
kecilnya dengan jelas. Jarak mereka sudah sangat dekat sekarang, tapi aninda memilih untuk
berhenti. Air mata memenuhi kedua pipi, napasnya memburu.
Tatapannya tak pernah lepas dari pangeran kecilnya.
Entah apa yang akan aninda lakukan. Perasaan senang membanjiri batinnya. Tapi perasaan
marah dan kecewa juga datang silih berganti. Ingin sekali ia menampar pangerannya,
memarahinya habis-habisan karena bersikap pengecut. Namun, rindu yang membuncah membuat
dia ingin memeluknya. Dilema membuat tangisnya semakin deras.
Vigo berjalan mendekati aninda pelan-pelan. Malam ini ia sungguh tampan dalam balutan jas
hitam. Aninda mundur beberapa langkah, takut dengan perasaannya yang kacau. Dengan sigap vigo
menarik tubuh aninda ke dalam pelukan hangatnya.
Aninda tersedu. Vigo hanya diam sambil mengelus kepala aninda. "Kenapa menangis?" Bisik vigo lembut.
Aninda memukul pelan dada vigo yang bidang. "Kamu tega! Jahat!"
Vigo tersenyum. "Maafin aku, putri kecilku, aku nggak bakal ninggalin kamu lagi"
Aninda masih terisak. Vigo menuntunnya untuk bersandar di bawah pohon rindang yang disoroti
lampu itu. Vigo merogoh kantong celananya, dan mengambil sesuatu yang kemudian ia
pasangkan di leher aninda. Sebuah kalung emas dengan bandul berlian mungil yaang indah.
Inilah salah satu janji mereka dulu.
Aninda memandangi wajah vigo lekat-lekat. Dengan lembut vigo mencium keningnya. Aninda
memeluk vigo lagi, tak ingin melepaskannya untuk yang kedua kalinya.
"Kamu mau jadi cewekku lagi?" Tanya vigo.
Aninda mengangguk. "Kita belum pernah putus. Dan aku mau jadi cewekmu yang sekarang"
Kemudian vigo mengaku bahwa ia memang sengaja menyuruh yovi mengatakan bahwa dirinya
takkan kembali, menyuruh marsya untuk mempersiapkan pesta. Semua kejadian beruntun yang
membuat aninda bingung. Yang pasti, vigo masih akan sekolah di SMA Harapan Jaya.
Tampaknya kehidupan aninda akan menjadi indah. Ia telah menemukan pangeran kecilnya.
Lolipop Love Lies Promise Past Karya Titi Setiyoningsih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Aninda tersenyum puas pada bulan temaram.
"Aku cinta kamu, Aninda Chandraningsih" bisik vigo lembut dengan sepenuh hati.
The End Sumber: https://www.facebook.com/pages/Kumpulan-cerbungcerpen-dan-novelremaja/398889196838615"fref=photo
Pembunuhan Terpendam 3 Pendekar Rajawali Sakti 38 Dewa Iblis Kill Mocking Bird 3