Pencarian

Makhluk Manis Dalam Bis 2

Lupus Makhluk Manis Dalam Bis Bagian 2


"He, Bang, ke gelanggang berapa"" tanya Lupus.
"Tujuh ratus lima puluh!" abang becak itu berkata spontan.
"Wah, kok mahal banget" Empat ratus aja deh, Bang. Kan deket. Itu, puncak gedungnya aja kelihatan dari sini."
"Puncak Monas juga kelihatan, Dik, dari sini!" sahut abang becak itu ketus.
Lupus keki berat. Langsung ngeloyor pergir. Mending jalan kaki deh, daripada naik becak kapitalis kayak gitu!
Tapi Lupus memang lagi keburu-buru banget. Jadi mau nggak mau dia celingukan cari becak lainnya. Sampai tiba di depan rumah tetangga yang baru. Yang kalau nggak salah Lupus pernah ada sepeda balap nongkrong di depan rumahnya. Maka ketika dia melihat Lulu lagi asyik ngocol di situ, langsung aja Lupus memanggil.
"Ada apa sih, Pus" Nggak bisa geliat orang seneng ya"" maki Lulu berbisik. Si Dodol adik Lupus itu emang lagi feeling berat sama tetangga baru itu. Dasar cewek zaman sekarang, naksir cowok malah nyamperin duluan.
"Kamu boleh aja maen sama dia di sini, tapi tolongi saya dong pinjemin sepeda balapnya. Sebentar kok. Paling enggak sampai mitnait udah dipulangi. Ayo deh, soalnya ogut mau nonton basket."
"Kamu aja bilang sendiri," tolak Lulu.
"Alaaa, tolongin deh, ogut mokal. Kamu kan udah deket sama dia."
Dibilangi gitu, Lulu senyum-senyum girang. Langsung aja dia ngebilangin maksud dan tujuan Lupus pada tetangga baru itu.
"Oto, boleh kok. Pake aja!" sahut cowok itu ramah.
Dengan cengengesan Lupus pun mengambil sepeda balap yang terparkir di halaman.
"Ini kuncinya."
"Trims. Saya nggak lama kok!"
"Lama juga nggak apa-apa!" sahut cowok tetangga itu sambil mengedipkan matanya. Lupus nyengir.
Beberapa saat kemudian, Lupus nampak asyik bersepeda ria menuju gelanggang remaja. Duile gayanya, pake ngesot segala. Sempat beberapa kali menyalip anak-anak cewek yang pulang sekolah. Dan sempat juga nambrak tukang kacang rebus ketika lagi asyik ngeliatin cewek manis nyiram bunga di depan rumahnya.
"He, Dodol, mate lu ke mana"" bentak tukang kacang sewot.
"Nggak ke mana-mana kok, jangan kuatir," sahut Lupus langsung mengayuh sepedanya cepat-cepat. Dan ketika hendak belok, dia ketemu Vera-teman sekolahnya-lagi naik becak. Dengan lagak bak setan jalanan, dai langsung nyalip.
"Halo, Ver, mau ke gelanggang ya"" sapa Lupus.
Tukang becak itu merem becaknya secara mendadak dan ngamuk-ngamuk.
Lupus cuek. "Iya, kamu mau ke mana""
"Samaan sama kamu. Ikut saya aja yuk, biar cepet. Kita udah telat lho!"
Vera setuju. Dan langsung melompat turun dan membayar becaknya.
Beberapa saat kemudian, mereka sudah asyik berboncengan. Lupus semakin semangat mengayuh. Dan Vera sesekali menggelitik pinggang Lupus yang ramping. Sampai dia kegelian. Kalau sudah begitu, sepeda balapnya jadi jaipongan gila-gilaan. Vera berteriak-teriak ngeri.
"Sepeda kamu bagus, Pus. Baru beri, ya""
"Iya dong. Asli nih dari luar negeri," Lupus nyombong.
"Wa, mahal dong harganya..."
"Ya begitulah."
Semilir angin dan canda-canda ceria anak-anak yang berjalan beriringan sepulang sekolah, menyemarakkan suasana sore itu. Sesekali mereka bersorak-sorak menggoda Lupus dan Vera yang asyik berboncengan.
*** Sesampai di gelanggang, suasana sudah ramai. Banyak orang bersorak-sorak ribut. Pertandingan pasti lagi berjalan dengan serunya. Hari ini memang pertandingan final antara SMA Merah Putih dan SMA Adikarya.
"Buruan, Pus. Kita udah terlambat banget nih!" kata Vera.
"Iya, kamu ke sana duluan deh, nukerin kupon konsumsi. Biar saya nyimpan sepeda."
Vera pun berlari ke arah penukaran kupon. Sementara Lupus dengan terburu-buru menyelipkan sepedanya di antara sepeda-sepeda lain yang juga malang-melintang parkir di pelataran. Tak lupa juga dia mengunci sepeda sebelum berlari menyusul Vera.
Dan ketika Lupus celingukan nyariin Vera, Vera tiba-tiba sudah nongol di belakangnya, dan langsung menepuk pundak Lupus.
"Ini konsumsi kamu. Kita masuk lewat pintu sebelah sana aja. Rada kosongkan!"
Dan dengan berlari-lari kecil, mereka pun memutar ke samping.
"Karcis! Karcis! Mana karcisnya!" teriak Boim yang kebetulan jadi penjaga karcis, ketika Lupus dan Vera langsung ngeloyor masuk.
"Sori, Im, tadi malem kecuci," sahut Lupus nyengir. Sementara Vera langsung memberikan karcisnya.
"Wah, enggak bisa, Pus. Temen sih temen, tapi bisnis jalan terus!" kata Boim dengan belagunya.
"Kapitalis! Lu belagu amat mentang-mentang jadi orang penting!" cetus Lupus geram. Vera lansung menarik tangannya. Tinggal Boim yang dengan sewotnya marah-marah.
Di dalam ternyata belum dimulai. Biasa, ngaret. Dan anak-anak ternyata lagi ngeributin acara pembukaan. Sepuluh orang cewek dengan pakaian mini, dan bagian dada yang nyaris open-kap, asyik ber-dancing queen, diiringi laguu meriah dari Lenggang Puspita-nya Guruh. Ini memang acara pembukaan ala pertandingan besar di barat. Dan bisa ditebak, Fifi Alone, artis
kita itu pasti ada di situ. Dengan hotnya, dia melenggak-lenggokkan pinggulnya mengikuti irama lagu. Nggak lupa juga kakinya yang indah, piknik ke sana kemari. Tinggal Gusur, seniman sableng yang hobi fotografit itu, bela-belain sampai tiarap di lantai lapangan untuk mengabadikan objek yang menarik itu. Walhasil, dia dikejar-kejar seksi keamanan, karena melanggar kode etik jurnalistik (Iya dong, orang yang lagi hot-hotnya menari sampai angkat-angkat kaki segala bisa rikuh karena ulah fotografi sableng macam Gusur!).
Dan ketika pertandingan dimulai, Lupus sudah tenggelam di antara penonton. Ikut bersorak-sorak mendukung kelasnya. Sambil sesekali asyik ngeliatin anak-anak cewek yang mendadak kece saat itu. Atau tepatnya dikece-kecein. Biasa, pada saat setiap kesempatan acara beginian, semua pasti memanfaatkannya semaksimal mungkin. Boim apalagi. Dari tadi nampak sok sibuk sekali. Sebelum pertandingan dimulai, dia sudah sibuk mondar-mandir di tengah lapangan. Biar top kali! Ada aja yang dikerjai. Mungutin plastik yang jatuh, atau sesekali nampak memerintah temannya untuk mengangkut ini-itu. Sambil matanya piknik ke mana-mana. Kali aja ada yang naksir. Duile, lagaknya kayak yang punya hajat aja.
Tapi maklum aja. Boim emang suka banget jadi perhatian orang. Dan ini juga dalam rangka usahanya menarik perhatian Svida yang kece itu. Tapi Svida-nya nampak adem-ayem aja (emangnya sayur asem"). Nggak ada reaksi. Dan si Boim makin penasaran. Bayangkan, padahal sore itu dia nampak sophisticated sekali! Rambutnya yang mengkilap itu disisir rapi kebelakang (niru pemain Return to Eden). Dan meski tampangnya-yeah-memang gabungan improvisasi dari wajah Jaja Miharja dan Benyamin itu, tapi dengan baju ddan celana model Alibaba (itu lho, yang atasnya kegombrangan, sedang bawahnya lancip!), dia nampak kecean sedikit.
*** Jam setengah tujuh, acara selesai. Semua anak puas dengan tontonan yang mengesankan. Semua mengelu-elukan Fahrul. Tapi Lupus nggak peduli. Dia suka karena dari tadi Vera selalu ada di sampingnya. Sampai keluar gedung, mereka masih terus berduaan.
"Ver, kamu ada yang jemput, ya"" tanya Lupus.
"Ada. Tuh sopir saya, nongkrong di tempat parkir! Soalnya saya harus buru-buru pulang. Ada pe-er," sahut Vera sambil menunjuk bapak tua yang berdiri di samping mobil. Lupus nampak kecewa. Vera bukannya tak melihat perubahan di wajah Lupus.
"Emangnya kenapa, Pus" Kamu mau boncengin saya lagi"" selidik Vera.
"Maunya sih begitu."
"Boleh aja. Kalau gitu saya suruh sopir saya pulang duluan, ya""
Lupus kegirangan. "Iya deh. Nanti saya ngebut, biar kamu bisa cepat bikin pe-er. Dan kamu nanti tunggu aja di bawah pohon situ, ya" Saya yang ngambil sepeda."
Lupus pun berlari-lari riang ke pelataran parkir. Sementara Vera nampak bercakap-cakap dengan sopirnya. Sopirnya itu pun segera pulang. Dan Vera menunggu di bawah pohon flamboyan.
Lupus celingukan mencari sepedanya. Ya, Tuhan, banyak sekali sepeda balap yang terparkir di sana. Mana yang tadi Lupus bawa" Dia mulai senewen, karena tadi bener-bener enggak inget warnanya apa, bentuknya gimana, dan disimpan di sebelah mana. Abis keburu-buru banget sih! Akhirnya di berputar-putar berkeliling pelataran parkir.
Sementara itu satu demi satu anak-anak sudah pada pulang. Sudah setengah jam lebih Lupus berputar-putar di pelataran. Vera jadi nggak sabar. Dia pergi menyusul Lupus.
"Idih, ditunggui lama banget! Ngapain aja sih kamu""
"Ng.. anu-saya nyari-nyari sepeda saya tapi nggak ketemu!"
"Ada yang nyuri"!" Vera kaget.
"Enggak-tapi saya lupa, yang mana ya sepedanya""
"Lho" Itu kan sepeda kamu" Kok nggak inget sih""
Lupus gelagapan. "Eng... ya kan masih baru. Jadi saya nggak sempet ngapalin bentuknya!" bela Lupus.
Vera menatap tak percaya.
"Jadi gimana""
"Kamu tau tadi saya taruh di sebelah mana""
"Enggak. Saya kan nukerin kupon waktu itu. Mana sempet ngeliatin kamu naruh sepeda""
Walhasil mereka pun berkeliling-keliling pelataran parkir. Tapi Lupus tetap tak bisa mengenali.
Lama kemudian, Lupus baru mengaku.
"kayaknya saya harus jujur deh sama kamu, Ver. Terus terang aja, itu sep
eda punya tetangga saya."
Vera menoleh kaget. "Dan sekarang kayaknya kita harus nunggu semua pemilik sepeda ini pulang ya, sampai ada satu sepeda yang tersisa!" sungut Vera.
"Ya, kayaknya memang begitu."
Vera cemberut. Dan mereka pun bener-bener harus menunggu semua pengunjung itu pulang membawa sepeda mereka masing-masing. Sampai ada satu sepeda balap yang tersisa. Dan itulah sepeda yang dibawa Lupus. Soalnya Lupus benar-benar lupa sama sepeda yang dia bawa. Sialnya lagi, pengunjung lain tak segera pulang. Mereka malah pada asyik nongkrong di taman-taman sekitar gelanggang.
Sampai jauh malam, Lupus dan Vera masih tampak terbengong-bengong nungguin sepedanya. Serasa petugas penitipan sepeda aja. Sementara Vera masih memikirkan pe-ernya yang belum dibuat. Coba tadi dia ikut sopir!
"Sori ya, Ver. Mungkin ini karunia Tuhan untuk kita agar terus berduaan sepanjang malam. Tapi saya janji deh, nanti mau bantuin kamu bikin pe-er..."
Vera masih cemberut. 7. Kebanjiran DAERAH tempat Lupus tinggal termasuk daerah yang cukup aneh juga. Suka kebanjiran. Nggak peduli hujan lebat atau sekedar rintik-rintik, ya tetap kebanjiran. Kalau sudah begitu, daerah sekelilingnya menjadi nggak ketulungan beceknya. Kayak kandang bebek. Namun Lupus toh tak pernah sombong meski tinggal di daerah elit macam begitu. Biasa-biasa aja. Dan banjirnya nggak menentu juga. Kadang-kadang meski hujan turun dengan derasnya sehari semalam, besok paginya malah nggak banjir. Sebaliknya, seperti hari itu, hujan turun Cuma sebentar, tapi bisa membuat daerah situ menjadi danau buatan. Jadi, ya suka-suka aja banjirnya. Nggak bisa dipaksa. Kata orang sih itu banjir kiriman dari bogor. Tapi Lupus nggak percaya. Masalahnya, apa orang-orang bogor segitu kurang kerjaannya sampai sempat-sempatnya ngirim banjir segala ke rumah Lupus" Lagian, memaketkan air sebanyak itu rada sulit juga lho! Belum lagi ongkos kirimnya. Jadi jelas bo ong.
Lantas, dari mana banjirnya"
Entahlah. Yang pasti saat itu Lupus lagi tertidur dengan nyenyaknya, ketika orang seisi rumah pada ribut-ribut kebanjiran. Soalnya tadi sore Lupus baru ikutan latihan atletik sekolah di senayan, dalam rangka memberingati Hari ABRI tanngal 5 Oktober. (Lho, apa hubungannya") Sore itu Lupus lari-lari keliling stadion utama, lompat jauh, tolak peluru, sampai lemas total. Begitu pulang, langsung bobok. Tanpa cuci kaki, copot sepatu apalagi sikat gigi terlebih dahulu. Tapi katanya, Lupus suka ikut kegiatan atletik begitu, untuk menjaga kelangsingan tubuhnya (duile!).
Makanya sekarang dia nggak tau kalau air sudah masuk ke rumahnya. Saat itu sudah agak malam pukul 21.30. di luar kamarnya, ibunya beserta para asistennya (alias babu-babunya) dan Lulu sudah ribut-ribut mengangkat perabotan rumah. Mendengar ribut-ribut begitu, Lupus langsung terbangun. Sempat juga mikir, siapa yang malam-malam begini buka bazar" Tapi dia kaget waktu geliat sandalnya dengan cueknya piknik ke mana-mana. Sementara botol-botol bekas yang menjadi koleksinya asyik berkejar-kejar ria ke sana kemari. Lupus melompat turun, dan seketika itu juga dia baru sadar kalau rumahnya kebanjiran. Tamu nggak tau diri, makinya pada banjir, nggak diundang nekat datang. Apa ada urusan yang begitu pentingnya, sehingga nggak bisa ditunda sampai besok pagi"
"Pus, Lupus, bangun. Ada banjir nih!" seru ibunya sambil menggedor-gedor pintu.
"Ya, tunggu sebentar. Suruh duduk aja dulu, dan tawarkan minum, barangkali dia haus setelah berjalan jauh Bogor-Jakarta," jawab Lupus sambil bergegas membuka sepatunya yang belum terbuka. Lalu dia pun langsung keluar kamar.
Keadaan kamar rumah Lupus begitu porak-poranda. Kasur-kasur yang digulung, sepatu barunya si Lulu, tivi, kaset, video, semua ngumpul jadi satu di meja makan. Belum lagi karpet bulu yang ngujubilehh bin jalik baunya, lantaran nggak sempat diangkat ketika air menyerbu masuk. Praktis rumah Lupus jadi kayak kolam renang balita. Air sebatas mata kaki menggenang di mana-mana. Belum lagi para kecoa, cacing dan binatang yang bisa membuat Lulu histeris lainnya pada transmigrasi ke situ. Tapi Lupus yang kalau ge
liat air bawaannya kepingin berenang melulu (kayak bebek!), cenderung jadi suka dengan situasi begitu. Dari tadi asyik mondar-mandir ke sana kemari. Ribut sekali. Dan yang bikin sial adalah dipadamkannya aliran listrik, karena memang berbahaya dalam situasi kebanjiran seperti itu.
Walhasil, semalaman mereka semua nggak ada yang bisa tidur. Pada begadang. Yang kasihan sih Lulu. Dia besok pagi ada ulangan kimia. Mana bisa ngapalin dalam situasi yang porak-poranda seperti itu" Belum lagi pe-er matematikanya yang belum dia buat. Wah, rasanya mau nangis aja.
Maka dengan ditemani lilin, dia duduk di pojokan. Ngapalin kimia. Tapi konsentrasinya tak bisa terus terpusat, karena Lupus yang hilang rasa kantuknya, terus-menerus menggoda. Dia kalau lagi senang memang ngoceh melulu. Nggak bisa kalem.
"Kamu kok pendiem amat, Lu"" godanya ketika Lulu lagi asyik memusatkan konsentrasi. "Lagi baca surat cinta, ya""
Lulu cuek. Mendingan kita main tebak-tebakan aja. Kucing apa yang kalau loncat dari Monas kagak mati"" cerocos Lupus.
"Kuno!" "Oke deh, yang lainnya. Kenapa pantat orang itu cenderung keriput""
Lulu mendelik sewot. "Kamu kok jorok gitu sih" Diem dong, jangan ngoceh melulu. Nggak tau ya saya lagi ngapalin""
"Bilang aja kalau nggak bisa jawab!"
"Siapa bialng" Tapi buat menjawab teka-teki yang kagak ilmiah sih, buat apa"
"Lho, ini ilmiah. Dan siapa tau keluar dalam ulangan kimia kamu besok. Ya, siapa tau aja. Mau tau jawabannya" Karena pantat sering dicuci tapi nggak pernah diseterika. Makanya keriput..."
Lulu menyembunyikan senyumnya di balik buku kimia.
"Terus, ayam apa yang kalau kita masuk ke kandangnya selalu dikira kita mau ngasih makan""
"Ayam ge-er!" sahutnya cepat, menjawab pertanyaan sendiri. Bukan takut keduluan kejawab sama Lulu, tapi dia merasa pertanyaan rada sukar dan tak mungkin bisa dijawab. Tapi seketika itu juga, dia kaget. Dia baru inget kalau letak kandang ayam peliharaannya cukup rendah. Pasti kebanjiran. Maka Lupus pun langsung berlari ke belakang. Ibunya sempat gahar, ketika lagi asyik-asyik bengong di atas tumpukan kasur, kena cipratan kaki Lupus.
"Oh, ayam-ayamku sayang!" sahutnya sedih, ketika melihat ayam-ayamnya tampak pasrah terjebak di kandangnya yang tergenang air. Beberapa di antaranya malah pingsan. (Eh, ayam itu bisa pingsan nggak sih" Bisa ja ya kalau lagi shock berat). Lupus langsung memindahkannya ke kandang yang lebih tinggi. Mengumpulkannya jadi satu. Ayam-ayam yang tadinya asyik sendirian di kadang yang di atas menatapnya dengan pandangan tak suka ke arah Lupus. Protes berat dia, karena jadi berdesakan dengan ayam-ayam lainnya. Lupus sendiri cuek aja ketika ayam-ayam itu pada kurang ajar. Nemplok di rambutnya yang kayak sarang burung, atau berkaok-kaok dengan ributnya. Tapi ya kalau ayam lagi panik memang begitu kok.
Tak lama kemudian, Lupus sudah asyik menggoda Lulu lagi.
"Sekarang, ayam apa yang selalu berkokok tepat jam satu malam""
"Lupus, kamu nggak bisa diem ya" Bukannya nolongin saya yang lagi kebingungan!"
"Nggak usah bingung. Jawabnya mudah kok; ayam kurang kerjaan."
"Kalau kau memang suka pada hal-hal yang berbau teka-teki begitu, kenapa nggak nolongin saya bikin pe-er matematik aja" Ayo dong, Pus. Saya nggak sempet nih!"
"Wah sori, Lu, saya lagi sibuk," sahut Lupus sambil asyik mengejar-ngejar kodok yang nyasar masuk ke rumahnya. Kemudian dia duduk di pagar depan rumahnya. Asyik melihat-lihat orang yang pada ngungsi, karena daerah rumahnya lebih rendah dari rumah Lupus. Atau menggoda cewek-cewek yang lewat sambil menjinjing perabotan-perabotan. Suasana di depan rumah Lupus itu memang ramai sekali. Banyak anak-anak yang hilir mudik.
"Pus, rumah kamu kemasukan air nggak"" sapa Ika, tetangganya yang kebetulan lewat, sambil mendongakkan kepalanya ke dalam rumah Lupus.
"Memangnya kenapa"" tanya Lupus galak. "Mau numpang berenang, ya" Boleh aja kok. Cuma, boleh diintip nggak""
Ika keki. Langsung ngeloyor pergi.
Lulu juga keki. Dia sebel setengah mati geliat tingkah Lupus yang sama sekali nggak mau menolongnya. Tapi dia kini mencoba konsentrasi lagi pada pelajar
an. Lulu menyesal juga, kenapa nggak dari tadi siang atau kemarin-kemarin aja menghapalnya. Jadi kan nggak kerepotan seperti ini. Anak sekolah memang rata-rata begitu. Meski pengalaman bersekolah sudah sejak kecil, tapi mereka cenderung hobi numpuk-numpukin pelajaran. Walhasil, kalau mau ulangan jadi kerepotan sendiri. Semua catatan, buku teks, numplek jadi satu di meja belajar. Wah, geliatnya aja udah pesimis duluan. Tapi, salah sendiri, kan" Saat seperti inilah Lulu baru merasa, betapa enaknya jadi si Lupus yang besok nggak ada ulangan, nggak ada pe-er matematik. Bisa ikutan begadang semalaman.
Dan karena kelelahan, Lulu akhirnya tertidur di kursi panjang. Dia tak memikirkan lagi pe-er matematiknya yang baru dikerjai satu nomor. Matanya sudah begitu capek. Sepet banget.
*** Besok paginya Lulu terjaga. Sempat kaget juga. Tapi begitu melirik ke jam dinding, dia jadi lega. Baru jam enam pagi. Sementara banjir udah surut. Tapi lantainya jadi kotor sekali. Banyak tanah dan cacing-cacing. Ih. Kebayang deh, nanti siang bakalan repot membersihkan rumah. Tapi pagi ini Lulu harus sekolah dulu, soalnya ada ulangan kimia. Dan hatinya rada kecut ketika mengingat pelajaran pertama adalah matematik yang gurunya galak. Soalnya dia belum bikin pe-er. Mau bikin sekarang, mana keburu" Wah, pasti kena damprat habis-habisan. Guru itu memang benar-benar nggak kenal kompromi.
Tapi Lulu pasrah. Memang salah sendiri kok.
Dengan lesu dia memberesi buku-bukunya yang berserakan di meja. Dikumpulkannya jadi satu. Tapi begitu melihat buku matematiknya, dia sempat terkejut. Semua pe-ernya sudah selesai dikerjakan. Mukjizat apa pula ini" Lulu hampir tak percaya. Kembali meneliti hasil pekerjaan itu dengan yang di buku cetak. Semua sesuai. Malaikat mana yang telah berbaik hati menolongnya" Tapi sebentar saja dia sudah bisa menebak tulisan siapa yang ada di bukunya itu. Siapa lagi yang punya tulisan sejelek ini selain Lupus"
Lulu langsung mencari Lupus ke kamarnya. Tapi nggak ada. Di kolong tempat tidur, di bawah taplak meja, di lemari baru, juga nggak ada. Akhirnya lewat jendela, di bisa melihat Lupus yang masih asyik duduk di pagar depannya. Lulu langsung berlari ke sana.
"Wah, makasih ya, Pus. Kamu ternyata baik juga!"
Lupus menoleh. "Makasih apanya" Soal tebak-tebakan itu" Kalau kamu masih mau, saya punya satu tebak-tebakan lagi. Makhluk apa yang ribut sekali kalau banjir, hobi berenang, berkaki panjang, kece, tapi bukan kodok!"
Lulu berlagak mikir. "Apa ya" Nggak tau tuh""
"Saya!" sahut Lupus cepat sambil tertawa terkekeh-kekeh. Girang banget doi karena tebakannya nggak ketebak terus. Tapi Lulu nggak keki. Dia malah tertawa....
8. Ngutang LUPUS lagi bingung. Kerjaannya mondar-mandir terus dari tadi. Sambil kakinya iseng menendang-nendang apa saja yang bisa ditendang. Kelereng, kaset kusut, bola bekel, pokoknya semua, kecuali kulkas. Mukanya kalau lagi bingung begitu tampak lucu sekali. Dahinya berkerut-kerut, mulutnya dimonyong-monyongkan, saingan sama idungnya. Sementara rambutnya nampak berantakan. Kayak semak belukar di afrika.
"Kalau bingung, pegangan saja!" nasihat Lulu, adiknya.
Lupus berkacak pinggang dan menjawab dengan galak, "Orang bingung kok malah disuruh pegangan" Kalau mau jatuh, baru boleh pegangan!"
Ya, Lupus memang tidak mau jatuh. Dia lagi bingung beneran. Soalnya dia lagi butuh duit lumayan banyak. Sedang tadi pagi, waktu bongkar-bongkar laci di kamarnya, ternyata Cuma terkumpul lima ribu rupiah. Wah, nggak nangka. Saya kok miskin begini sih" Pikirnya. Padahal dia sering merasa dirinya kaya lho. Bukan apa-apa, soalnya dia kan sering juga dapat uang kalau habis nulis-nulis berita atau cerpen atau karikatur di majalah. Tapi sekarang kok"
"Lu, kamu punya duit, nggak" Saya pinjam dong," sahut Lupus kepada Lulu.
"Ya ampun. Saya aja baru mau minjem duit sama kamu. Buat beli kado temen yang ulang tahun. Ada nggak""
"Dasar miskin. Orang mau ngutang kok malah balik ngutang!"
Tapi apa iya duit Lupus sudah habis-habisan" Padahal dia terima duit belum lama juga. Jadi berarti, terlalu malu untuk minta duit lagi ke majala
hnya. Tapi, eh, tunggu. Perasaan minggu kemarin pernah ada yang pinjam duit sama Lupus. Tapi siapa, ya" Wah Lupus memang pelupa. Minggu kemarin tak kurang dari tiga orang datang padanya. Semua pada pinjam duit. Gila nggak tuh! Mau ngutang kok bisa kompakan kayak gitu! Eh, tapi enggak semua ding. Ada yang Cuma nodong minta traktir, ada yang berulang tahun, dan dalam kartu undangannya tercantum enbe : Tiada kesan tanpa kehadiran kado Anda . Nah, yang begini-begini kan tidak bisa dianggap utang. Iya dong, bayangkan saja jika semua itu dianggap utang, betapa banyaknya utang orang-orang yang berulang tahun. Makanya Lupus sukarela kalau ngasih kado ke orang yang ulang tahun. Nggak usah dipikirin. Apalagi sampai nggak bisa tidur. Tapi ada jeleknya, Lupus tak pernah mau membelikan barang-barang yang belum dia punya kepada orang lain sebagai kado ulang tahun. Soalnya dia suka tiba-tiba kepingin memiliki barang itu. Kalau sudah begitu, maka rencana pemberian kadonya jadi gagal. Makanya, jika kamu merasa pernah diberi kado oleh Lupus pada hari ulang tahunmu, berarti Lupus telah memiliki barang tersebut di kamarnya. Dan tak usah heran kalau yang punya Lupus itu jauh lebih bagus dari yang dia berikan kepadamu. Tapi tak apa. Orang kan kadang punya kecenderungan untuk lebih membahagiakan dirinya sendiri daripada orang lain. He he he...
Tapi yang penting sekarang, siapa yang ngutang minggu lalu itu" Nggak tanggung-tanggung lagi, ngutangnya dua puluh lima ribu. Wah! Lupus Cuma ingat orang itu datang ke rumahnya dengan wajah kebingungan. Katanya dia lagi butuh duit, "Tolonglah, Pus. Saya janji, tiga hari lagi saya balikin!"
Dan kenyataannya sampai hari ini, tak satu makhluk pun muncul dengan membawa uang dipinjamnya. Apa Lupus harus membuat iklan baris di koran dengan isi : Barang siapa yang dengan sengaja atau tidak merasa pernah ngutang sama saya, harap jangan pura-pura lupa untuk membayarnya. Karena saya lagi butuh uang. Ingatlah, janji adalah utang. Jadi kamu punya utang dua kali lipat sama saya. Soalnya waktu itu kamu janji mau ngebalikin dan sekaligus ngutang. Tapi supaya kamu tidak begitu berat membayarnya kamu dibebaskan dari pungutan bunga yang 10% itu.
Ya, tentu saja Lupus bisa membuat iklan macam begitu. Tapi apa tidak kepanjangan" Ongkosnya bisa jadi mahal lho. Jadi harus dipersingkat. Dan Lupus pun mulai mengetik-ngetik lagi untuk menulis iklan yang lebih singkat. Tapi lima menit kemudian, dia merobek kertas itu menjadi bagian yang kecil-kecil. "Nggak praktis!" makinya dalam hati. "Kenapa tidak mencoba-coba saja langsung menemui teman-teman dan menanyakan, apakah dia merasa punya utang""
Maka Lupus pun mulai berjalan keluar. Yang pertama dikunjungi adalah Boim.
"Bagaimana kamu bisa menuduh kalau saya yang ngutang"" ujar Boim sewot.
"Jadi bener kamu yang ngutang sama saya""
"Enak aja! Saya heran, kok kamu bisa sampai pada kesimpulan semacam itu. Kamu tau, pus. Seseorang itu dalam menarik kesimpulan harus punya fakta dan data yang jelas. Jadi mana mungkin wajah sekeren saya ini ngutang" Apa saya punya tampang suka ngutang""
"Justru tidak," sahut Lupus sambil menggeleng beberapa kali. "Malah sebaliknya. Kamu lebih cocok jadi tukang kredit. Memang itu ya cita-cita kamu""
Boim marah-marah. Lupus langsung pergi.
Tapi belum jauh berjalan, dia sudah balik lagi. "Sori, Im, ada yang kelupaan. Kalau kamu memang serius nanti mau jadi tukang kredit, gimana kalau saya pesan barang sekarang aja" Nggak apa-apa, kan, sama teman ini kok. Soalnya saya lagi butuh sesuatu nih. Makanya lagi bingung nyari duit saya yang ngilang dipinjam orang..."
Boim makin marah. Dia pun langsung mencopot sandalnya. Untung Lupus sudah berlari jauh.
Kini Lupus sudah capek. Dia baru saja keliling-keliling dari rumah teman-temannya, tapi tak ada yang merasa pernah ngutang. Lupus jadi curiga, jangan-jangan memang tak ada yang pinjam uang darinya. Akhirnya, dia pun mampir di rumah Rina.
"Halo, Pus, dari mana aja" Tampangmu kok aneh begitu" Lagi mikir apa sih"" tegur Rina sambil memesankan segelas air jeruk pada pembantunya.
"Ah, enggak..."
"Atau... ka mu sakit"" ujar Rina lagi seraya menarik bangkunya.
"Jangan nuduh sembarangan dong!" jawab Lupus galak.
"Galak amat. Habs kenapa dong""
Lupus tak menjawab, hanya sibuk mengipas-ngipas tubuhnya yang kepanasan. Sementara lidahnya terjulur-julur kehausan. Buset, sopan sekali kelakuannya di depan cewek.
"Ada apa, Pus" Bilang sajalah, jangan ragu-ragu. Tampangmu kayak orang nggak punya duit aja..."
"Yak! Tebakan yang jitu sekali. Jadi memudahkan saya untuk langsung ke pokok persoalan!" seru Lupus sambil melompat dari bangkunya. Oto, rupanya tadi itu dia lagi bingung mikirin gimana memulainya, ya" Rina jadi tersenyum geli.
"Kalau mau pinjam uang, bilang dong."
"Jadi boleh nih""
"Tentu saja. Buat orang yang suka nolong orang lain macam kamu, jelas boleh dong. Minggu kemarin kan kamu menolong teman saya yang perlu uang itu. Apa dia sudah ngembaliin""
"Ya ampun, sekarang baru inget. Jadi temen kamu toh yang pinjam uang sama saya"Iya-ya, saya lupa. Siapa namanya" Oiya, si Eko temen sekelas kamu ya"" Wajah Lupus nampak berseri-seri.
"Lho, emangnya kamu lupa" Apa dia belum bayar""
"Belum. Itulah, tadi saya sampai keliling-keliling ke rumah temen-temen saya untuk nanyain apa mereka pernah ngutang sama saya. Tapi nggak ada yang ngaku. Jadi saya bingung. Sekarang baru ingat. Waktu itu kamu kan yang nganterin dia ke rumah""
"Tidak. Eko kan ketemu kamu di sekolah. Waktu kita pulang bareng. Jadi dia belum bayar, ya""
"Ah, sudahlah biar aja. Mungkin belum punya uang. Saya pinjem kamu dulu, ya""
Rina pun langsung ke kamar. Mengambil uang yang diperlukan Lupus.
*** Besoknya pagi-pagi sekali Rina menemui Eko yang duduk di pojok.
"Kamu ini gimana sih" Kok pinjam uang nggak dibaliki" Kasihan kan Lupus sampe kebingungan begitu. Padahal waktu kamu pinjem, janjinya dua hari mau dibalikin. Tapi sampai sekarang" Ternyata belum juga. Makanya, jadi orang itu jangan suka ngutang. Karena pasti segen kalau disuruh bayar, meskipun sudah dapat uang. Padahal waktu mau pinjem, wu... sampe bersumpah bakal dibalikin. Tapi ternyata"
"Saya yakin, pasti kamu sekarang sudah punya uang lagi. Tapi kamu terus menunda-nunda. Padahal kamu nggak tau, siapa tau orang yang kamu utangi itu lagi butuh duit. Misalnya, belum bayar uang sekolah, uang les, uang berenang. Dan lain-lainnya. Seperti Lupus itu. Belum pernah ia begitu nampak kebingungan jika nggak punya uang. Mungkin uang itu untuk bayaran sekolahnya. Untuk bayar praktikum sekolah. Atau hal-hal yang penting lainnya. Sedang kamu, pinjam duit enak-enakan untuk traktir pacar kamu. Iya, kan" Emangnya saya nggak tau" Kamu pinjam duit waktu itu cuma untuk membelikan kado pacar kamu yang ulang tahun. Hebat sekali. Sementara Lupus bela-belain meminjami uang hanya untuk itu. Hu."
Eko diam. Dia tak berani mengangkat mukanya.
Setelah beberapa saat hening, dia berkata. Pelan, " Kamu kok jadi sinis sekali sama saya, Rin" Lupus itu pacar kamu, ya""
"Bukan soal itu! Ini soal tanggung jawab juga. Soal janji. Adalah perbuatan yang banget buat orang-orang yang tak menghargai orang lain yang telah berbaik hati padanya. Yang telah menolongnya kala susah. Seperti Lupus. Meski dia sekarang lagi butuh uang untuk bayaran sekolah atau apa, tapi dia tak tega menagih utang padamu. Soalnya, katanya, mungkin kamu belum punya uang. Padahal, ngapain kamu kemarin itu ikut anak-anak ke Puncak" Berfoya-foya."
Eko menunduk makin dalam.
"Hargailah pengorbanan orang lain, Ko. Kamu harus berjanji lagi untuk itu. Untuk ngebalikin semua uang yang kamu pinjam. Memang berat, tapi paksakan saja. Kamu pikir, apa orang yang meminjami kamu uang itu tidak merasa berat juga""
Dengan susah payah, Eko mengangkat wajahnya.
"Sori banget deh, Rin. Saya sekarang janji. Bilangin ke Lupus ya, saya minta maaf."
"Ya, tentu saja Lupus mau maapin kamu. Tapi kali ini kamu harus konsekuen, ya" Kasihan lho Lupus. Padahal dia sudah berbaik hati sama kamu."
Eko mengangguk mantap. *** Hari Minggu, pagi-pagi sekali, Lupus sudah muncul di rumah Rina. Wajahnya nampak berseri-seri. Sambil sesekali membuat balon-balonan dari permen karet yang dikunyahnya. P
oninya yang hampir menutup mata, kerap mencolok-colok mata Lupus yang bulat, karena tertiup angin. Sehingga menyebabkan Lupus mengerjap-ngerjapkan matanya beberapa kali.
Sementara kemejanya yang berukuran all-size itu melambai-lambai tertiup angin. Kayak bendera merah putih. Betapa sejuknya udara pagi itu. Dan Rina pun lagi asyik membaca novel di beranda depan rumahnya.
"Baca apa, Rin" Boleh liat dong!"
"Maksud kalimat itu apa sih" Bertanya atau memohon" Kalau ngomong yang bener dong."
"Lho" Emangnya grammar-nya salah""
"Enggak sih. Kalau mau ngomong, pilih aja salah satu satu. Jangan mencampur-campur begitu. Boleh lihat , nggak" atau Lihat dong! Begitu."
Lupus ketawa sambil bermain-main dengan anjing kecil milik Rina. Anjing yang lucu, dengan bulunya yang panjang dan ikal. Sementara poninya juga seperti Lupus. Menutupi mata. Dari jauh, mereka berdua kayak adik-kakak. Maksudnya Lupus dengan anjing itu, bukan dengan Rina. He he he..
"Kamu kok tampak gembira sekali, Pus" Ada apa sih""
"Ah, apa kamu nggak melihat sesuatu yang lain pada saya"" Lupus berdiri tegak tepat di depan Rina.
"Apaan sih"" Rina meneliti Lupus dari ujung rambut sampai ujung kaki. Yak, di ujung kaki dia melihat sepasang sepatu pantofel model baru. Yang sering dipakai dengan menginjak bagian belakangnya.
"Naaa... pake sepatu baru, ya"" seru Rina langsung menginjak sepatu Lupus. "Buset deh. Jadi kamu bela-belain pagi-pagi ke sini cuma mau mamerin sepatu baru, ya" Lupus, Lupus... kamu kok lucu sekali sih""
"Enak aja! Saya ke sini Cuma mau bilang terima kasih atas pinjaman uangnya. Sekarang pikiran saya jadi tenang."
"Ah, pake terima kasih segala. Jadi gimana" Semua beres" Eh, uangnya untuk bayar uang sekolah, ya" Atau uang praktikum kimia""
"Siapa bilang" Kamu kok hobi banget nuduh sembarangan""
"Lho, habis buat apa""
"Ya buat beli sepatu ini. Aduh, saya padahal udah takut lho keburu dibeli orang. Akhirnya jatuh ke tangan saya juga. Kece nggak"" sahut Lupus sambil mengangkat kakinya tinggi-tinggi.
"Ha" Buat beli sepatu""
"Kok heran" Apa kamu belum pernah denger ada orang yang membeli sepatu""
"Bukan begitu. Tapi kan sepatu kamu yang kemarin itu masih bagus""
"Lho, memangnya kenapa" Apa di negara ini ada larangan buat orang punya sepatu dua" Ah, kamu jangan mengada-ada dong!"
Rina mencibir. Tapi Lupus kini asyik mengagumi sepatu barunya. Berjalan mondar-mandir keliling-keliling taman. Sambil sesekali mengangkat kakinya tinggi-tinggi.
"Oya, terima kasih atas pinjaman uangnya, ya"" seru Lupus di tengah kesibukannya,
"Ah, lupakan saja!" sahut Rina sewot.
9. Kepentok Gadis Desa SAAT itu memang bukan musimnya liburan sekolah, tapi toh Lupus dan beberapa kawan-kawannya tiba-tiba saja sudah berada di bis full-ac jurusan Bandung. Ceritanya mau pada kemping di lereng gunung. Ide gila-gilaan ini muncul begitu saja ketika Lupus lagi suntuk banget dengan berbagai pelajaran yang disodorkan guru setiap hari.
"Kita nggak bisa begini terus dong. Dijejelin berbagai ilmu setiap hari. Bayangin aja, hari ini kita mendapat sejumlah teori fisika. Belum lagi mengerti bener, besoknya sudah dijejelin teori yang lain. Betapa mengerikannya sekolah itu!" Lupus mulai dengan ngocol-ngocolnya.
Teman-temannya Cuma manggut-manggut aja.
"Kita butuh refreshing. Jalan-jalan atau kembali ke lereng gunung. Setelah pikiran kita seger, baru kita siap menerima pelajaran..."
Dan di luar dugaan, ternyata teman-temannya pada setuju. Lupus jadi kaget sendiri.
Jadilah mereka berangkat hari itu. Berhubung lagi pada punya duit, jadi mereka bisa agak santai-santai dengan bis Patas full-ac. Biar nggak desak-desakan sama ayam, kambing, sayur-mayur, dan sejenisnya. Anak cewek nggak ada yang ikut. Bukannya pada nggak mau, tapi emang nggak boleh ikut. Repot ngurusnya! Tadinya Fifi Alone-artis kita itu-maksa pingin ngikut. "Saya sebetulnya ada shooting, tapi demi kekompakan, saya bela-belain deh ikut kalian!"
Tapi anak-anak cowok tetap menolak. Soalnya dia kalau kemping bawaannya ngujubileh banyaknya. Kayak orang mau transmigrasi. Segala alat-alat kecantikan, baju tidur, baju s
antai, dan atribut-atribut lainnya dibawa. Udah gitu hak sepatunya tinggi banget. Gimana bisa ikut hiking""
Maka mereka pun sepakat pergi tanpa cewek.
Di Cililitan, waktu lagi nyari bis, Boim sempet malu-maluin juga. Di situ kan kebetulan banyak cewek kece yang pada mau pergi ke Bandung. Boim sibuk mondar-mandir ke sana kemari. Mejeng, ceritanya. Dan karena kebanyakan nonton film Return to Sen, gayanya jadi kayak Jake Sandera. Nyebelin banget. "Kalau bukan temen sendiri, wis ta slepet!" maki Lupus.
Apalagi ketika para kondektur dengan semangat 45 berebutan memaksa mereka naik ke bis, dengan norak Boim bertanya, "Eh, mas, ada bis yang full-cewek kece, nggak""
Kondektur jelas bengong. Tapi Boim cuek. Dan akhirnya mereka sepakat naik bis yang satu ini.
Di dalam bis, seperti biasa, makhluk-makhluk SMA Merah Putih ini resah banget. Becanda, saling geledek, atau main tebak-tebakan. Seperti teka-teki yang di kasih Boim. "Ayo... pelit bahasa Indianya apa""
"nggak ada yang bisa jawab. Kecuali Lupus, yang kebetulan pernah pacaran sama Popi yang ibunya orang Bandung. "Saya tau, mere ge hese!"
Boim kecele. Sementara bis melaju pesat meninggalkan pusat kota. Lupus yang pergi bersama lima temannya, Boim, Aji, Joko, Nanang dan Gusur, tetap asyik becanda. Tak peduli dengan video yang diputar, atau protes keras nenek-nenek yang mencoba ingin tidur nyenyak, tapi nggak bisa-bisa.
Di dekat Puncak, ketika anak-anak sudah mulai duduk dengan manisnya, sang kondektur mulai membagi-bagikan makanan kecil dan teh kotak. Melihat hal itu, anak-anak kontan berteriak-teriak ribut sambil menyalami sang kondektur. "Sore...hore... selamat ya, Mas, Mas ulang tahun, ya""
Kondekturnya jadi terheran-heran, dasar anak-anak ini memang pada norak. Nggak tau ya kalau naik bis Patas memang dapet konsumsi!
"Yaaa... kok nggak ada permen karetnya, Mas"" keluh Lupus ketika membuka bungkusan makanan kecil. "Lain kali kalau mau ulang tahun yang meriah dong makanannya. Tapi ya nggak apa-apa deh. Ini juga udah lumayan. Coba bilang-bilang dari kemarin kalau Mas ulang tahun, kita kan bisa bawa kado..."
Kondekturnya cuma nyengir.
Bis pun terus melaju tanpa hambatan. Dan anak-anak pun asyik memandangi pemandangan indah yang terhampar di kanan kiri. Perkebunan teh yang berbaris rapi, lembah-lembah hijau yang nampak samar, juga vila-vila indah yang bagai istana peri di cerita-cerita klasik. Sampai ketika mata Lupus tertumbuk pada segerombolan polisi yang sedang asyik menyetop truk-truk dan kendaraan lain yang lewat. Lupus panik dan langsung menarik kepala Boim yang melongok ke jendela. "Tiarap, Im! Tiarap!" serunya ribut sekali. Teman-teman yang lain jadi pada heran.
"Kenapa sih, Pus"" Boim bertanya heran bercampur kesal, karena gigi-giginya yang rada mancung itu sempet kepentok pinggiran jendela kaca bis. Sementara Lupus tetep menyembunyikan kepala Boim di balik jaketnya, sampai-sampai Boim sesak napas (Bayangin aja, jaket Lupus kan dicuci sebulan sekali. Itu juga kalau inget!)
"Kalem, Im, kalem!"
"Iya, tapi ada apa""
"Itu lho, ada razia orang jelek. Jadi kamu ngumpet aja di sini, nanti kalau ikut ketangkep kan gawat. Saya sih kasian aja sama kamu, Im!" sahut Lupus kalem.
Boim ngamuk-ngamuk. Anak-anak yang lain pada ketawa.
*** Ceritanya mereka sudah sampai ke lereng gunung. Anak-anak juga sudah mendirikan tenda. Tapi dasar nggak berpengalaman, sampai di sana baru sadar kalau banyak banget barang-barang yang kelupaan dibawa. Misalnya panci dan sejenisnya. Tapi yang paling gawat adalah Boim. Dia panik sekali begitu sadar kalau obat gantengnya kelupaan dibawa. (nggak tau obat ganteng" Itu lho, sisir!). padahal udah jadi merek dagang kalau dia mau ke mana-mana sisirnya, yang gigi-giginya udah pada ompong, selalu nongol di kantong belakang celana.
Sedang Gusur sudah langsung asyik duduk di pinggir sungai dengan secarik kertas di tangannya. Ceritanya seniman ini mau bikin puisi lagi. Sementara Nanang yang hobinya nyanyi, dan kebetulan suaranya memang mendingan dari pada suara kaleng dipukul-pukul, menemani dengan gitarnya di samping Gusur asyik ber-Sabda
Alam-nya Ismail Marzuki. Dia ini memang nasionalis sekali, meski nyanyinya ngaco-ngaco:
"...wanita dijajah pria sejak dulu
Sejak dulu wanita dijajah priaaaa..."
Walhasil satu jam penuh nyanyinya nggak selesai-selesai. Bolak-balik di situ-situ terus. Tapi Boim yang kentut aja fales, ikutan nyumbang suara dua. Lumayan buat ngusir nyamuk.
Sorenya, Lupus mendapat tugas disuruh meminjam panci pada rumah penduduk di atas bukit sana mereka memang memasang tenda tak jauh dari perkampungan. Maklum, pada penakut semua. Jadi nggak berani jauh-jauh.
Dan sore itu pun Lupus nampak sedang asyik mendaki bukit. Sementara Joko, cowok Tegal yang punya prinsip biar miskin asal sombong , dan Aji yang doyan makan dodol, dapat tugas melapor pada er-te setempat.
Di dekat pemandian umum, Lupus berbelok masuk ke sebuah rumah yang nampaknya lumayan bagus, meski sederhana. Lalu mengetuk-ngetuk pintu.
"Assalamualaikum!" sapa Lupus. "Aniybody home""
Tak ada jawaban. Namun sesaat kemudian muncul seraut wajah penuh curiga dari balik jendela kaca.
"Siapa""

Lupus Makhluk Manis Dalam Bis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Saya Lupus." "Ada perlu apa"" Matanya tetap menatap curiga pada Lupus.
"Anu lho, saya sama teman-teman lagi kemping di lembah sana, dekat kali. Tapi kami kelupaan bawa panci buat masak air dan supermie. Boleh pinjam nggak""
Gadis itu diam sesaat. Seperti ragu-ragu. Tatapi kemudian menghilang dari pandangan. Beberapa saat, dia muncul lagi dengan panci di tangannya. Lupus baru sadar kalau gadis itu ternyata kece juga.
"Terima kasih, nanti kalau udah selesai saya kembalian."
Gadis itu mengangguk. "ngomong-ngomong pada ke mana nih" Kok sepi""
Gadis itu tak menjawab. Hanya matanya menatap tajam ke arah Lupus. Lupus jadi kikuk.
"Eh, iya deh. Saya balik dulu. Oiya, kalau kamu mau liat-liat tenda kami, ada tuh di dekat sungai. Mampir aja..."
Gadis itu cuma tersenyum kaku.
"Sudah ya, sampai ketemu lagi. Yuk!"
Lupus pun berlari menuruni bukit. Lebih riang dari waktu berangkatnya.
*** Tapi sialnya, keesokan harinya ketika Lupus bangun kesiangan, tau-tau anak-anak udah pada ngomongin cewek itu. Padahal Lupus baru mau merahasiakannya dan mau bikin surprise.
"Kamu bego sih, Pus, tidur melulu. Tadi pagi ada cewek kece banget lewat sini. Terus kita ikutin, nggak taunya rumahnya deket. Di atas bukit sana. Cewek itu anak Pak Haji. Wah, rugi kamu, Pus," cerocos Boim semangat.
"Saya udah tau!" sungut Lupus kesal.
"Kok"" "Iya, yang rambutnya panjang, kan" Matanya bagus" Saya kan kemarin pinjem panci sama dia!"
"Oya" Terima kasih, Tuhan. Engkau memang Mahabesar. Akhirnya Kau tunjukkan juga jalan bagi hambamu untuk kenalan dengannya!"
"Ngoceh apa kamu, Im"" Lupus heran.
"Mana pancinya" Biar saya aja yang balikin sekalian mau kenalan!" Boim girang setengah koit.
"Enak aja! Saya kan yang minjem!"
Dan mereka pun jadi pada rebutan pingin ngebalikin panci. Gusur, Aji, Nanang, dan Joko nggak ketinggalan. Akhirnya diputuskan untuk ngembaliin bareng-bareng nanti kalau mau pulang.
*** Sampai sorenya, mereka belum berhasil berkenalan dengan cewek itu. Padahal udah ngebela-belain kenalan dengan bapaknya yang hobi banget menceritakan masa lalunya saat revolusi fisik. Sampai seharian mereka betah mendengarkan bapaknya ngoceh sambil matanya melirik-lirik ke dalam rumah. Tapi anaknya yang kece itu nggak kelar-keluar juga. Bapaknya juga keterlaluan. Berlagak nggak tau. Asyik cerita terus.
Tapi anak-anak belum juga kapok.
Seperti pagi itu, anak-anak pada terjaga dari tidurnya ketika mendengar azan subuh dari jauh.
"Eh, suara azannya kok rada aneh, ya"" kata Lupus sambil mengucek-ngucek matanya.
"Iya tuh, nggak kayak biasanya. Kayaknya fales, gitu. Eh, Nanang, bangun! Kamu kan hobi banget nyanyi" Coba kalau bisa ikutan suara duanya!" Aji mengguncang-guncangkan bada Nanang. Nanang Cuma cemberut, wong orang azan kok malah disuruh ikutan suara duanya" Kualat baru tau rasa!
Sementara Gusur langsung asyik bersenam pagi dengan iringan lagu karangannya sendiri. Melenggak-lenggok ke sana kemari.
"Eh, ngomong-ngomong si Boim ke mana nih""
"Enggak tau. Hei, Sur, mau ikutan ke langgar nggak""
"Mau." Mereka p un berjalan beriringan menuju langgar. Ceritanya mau pada sembahyang subuh. Udara masih dingin menggigit. Lupus asyik menyelimuti tubuhnya dengan sarung, sambil terus berjalan mengikuti teman-temannya.
Sesampai di langgar, mereka berlima sempat melongo ketika melihat Boim yang asyi ber-azan-ria. Buset, pantesan aja suara azannya fales banget! Dan mereka berlima langsung maklum, kenapa Boim mendadak hobi bangun pagi-pagi untuk azan di langgar. Biasa, supaya dilihat cewek desa itu, dan supaya dikira dia itu orang alim. Soalnya cewek desa itu suka ikut bapaknya sembahyang di langgar. Coba aja, sampai bela-belain ikut azan segala.
Hari-hari selanjutnya, Boim mendadak jadi alim sekali. Subuh-subuh udah nongkrong di langgar.
"Pokoknya usaha saya hampir berhasil, Pus. Saya udah kenalan sama dia kemarin. Namanya kamu mau tau" Megasari. Bagus ya namanya" Cocok banget dengan nama saya, Boim le Bon," cerocos Boim. Lupus cuma bersungut-sungut kesal. Soalnya dia juga suka sama cewek itu.
*** Tapi meski cerita Boim sudah setinggi langit, sebetulnya dia itu belum pernah ngomong-ngomong langsung dengan Megasari. Soalnya cewek desa itu memang pendiam dan dingin sekali. Inilah yang makin memancing penasaran teman-teman Boim lainnya. Padahal sudah hari ke tiga mereka kemping di sana. Dan rencananya besok pagi mereka harus balik. Karena nggak enak ninggalin pelajaran lama-lama.
Malam itu, ketika yang lain pada tidur, Lupus nampak asyik sendirian di dekat api unggun yang baru dia buat sendiri. Nggak tau kenapa, dia nampak sentimentil banget malam itu. Wajah lembut Megasari selalu membayang di pelupuk mata. Senyumnya yang kaku, matanya yang bulat, rambutnya yang panjang, alisnya yang tebal. Wah, benar-benar kecantikan yang alami. Perwujudan dari keindahan yang ada di sekeliling desa kecil ini.
Tiba-tiba saja Lupus menyesal karena besok harus kembali ke kota. Kembali menekuni buku pelajaran. Padahal alangkah menyenangkan bila dia akan tetap tinggal di situ. Yang meskipun sulit, tapi masih bisa berharap untuk dapat bertemu dengannya. Bisa dekat dengannya.
Ah, Mega, kenapa harus dipisahkan oleh waktu"
Tapi meski tanpa kehadiran mega malam itu, Lupus tetap merasa senang bisa bermain-main dengan angan-angannya. Doa yang terucap malam itu tak lebih dari satu baris, "Ya, Tuhan, tundalah terbitnya mentari di esok pagi."
Dan mungkin, itulah doa terakhir yang pernah diucapkan dari mulut anak nakal macam Lupus. Doa tentang bunga desa.
*** Namun pagi hari toh tetap akan datang. Lupus beserta teman-temannya mulai membenahi barang-barang sebelum berpamitan pada penduduk setempat.
"Wah, sayang sekali kalian harus pergi sekarang!" sahut Pak er-te ketika mereka pada mau pamitan.
"Oya" Memangnya kenapa, Pak""
"Besok malam kan Pak Haji mau bikin pesta besar-besaran. Beliau kan mau mantu."
"Mau mantu" Siapa yang mu dinikahkan""
"Siapa lagi kalau bukan Neng Megasari, anak gadisnya semata wayang. Wah, calonnya hebat lho, Dik, insinyur lulusan i-te-be. Makanya Pak Haji benar-benar bangga. Beruntung sekali nasib beliau!"
Sejenak Lupus termangu. Lalu berpandangan dengan Boim, Gusur, Aji, Nanang, dan Joko. Lalu tertawa kera berbarengan. Sampai Pak Er-te-nya heran.
"Im, katanya kamu mau banget kalau disuruh ngembaliin pancinya Pak Haji. Sana gih, kembalian," ledek Lupus. Boim malah berjalan cuek meninggalkan mereka. Anak-anak ketawa lagi.
Di bis, mereka becanda seperti biasa. Tertawa lepas sambil saling meledek satu sama lain. Tiga hari kemping di lereng gunung benar-benar membuat pikiran mereka menjadi segar. Siap menerima pelajaran lagi.
Dan orang-orang macam mereka memang tak pernah merasa punya beban. Segala mudah datang dan pergi
10. Mr. Punk Tersayang MR. PUNK sakit. Kontan kelas Lupus jadi rame. Boim si playboy duren tiga yang paling benci pelajaran fisika, lantara kalau udah belajar fisika ia merasa menjadi manusia paling bego di dunia, jejingkrakan girang persis monyet sarap. Mulutnya yang rada mancung itu sibut komat-kamit dengan tangan menadah ke atas.
"Ya, Tuhan. Akhirnya...akhirnya kebahagiaan ini datang juga. Pertahankanlah ini bua
t saya, sebab semakin si Punk jelek itu sakit, maka semakin bahagialah saya!" katanya sendu mirip dukun minta hujan.
Gila juga tu anak. Guru sakit kok malah disyukuri. Meta, Ita dan Utari yang paling pinter fisika dan murid kesayangan Mr. Punk sekaligus, tentu saja protes berat melihat ulah Boim.
"Im, kamu gimana sih" Kira-kira dong jadi orang! Masak guru sakit malah seneng" Harusnya kasihan dong, beliau kan membagi ilmunya buat kita!" sergah Meta kepada Boim yang masih sibuk komat-kamit.
Boim berlagak nggak denger. Atau memang budi (budek dikit)! Ya mungkin juga. Soalnya dia nggak hobi beli korek kuping. Duit gocapnya lebih suka dia beliin kerupuk, daripada korek kuping. Tapi waktu Meta nekat colak-colek pundaknya, Boim itu langsung melompat sambil pasang kuda-kuda.
"Ngapain ente colak-colek" Naksir, ya""
"Enak aja. Saya cuma mau ngebilangin. Kamu kok girang amat kalau Mr. Punk, eh, Pak Pangaribuan sakit" Dia kan guru. Prihatin dikit kek!"
"Hanya orang gila yang nggak senang terhindar dari kesulitan!"
"Kamu memang gila kok!" timpal Utari ngebantuin Meta.
"Siapa" Kamu gila"" tukas Boim balik menyerang.
"Kamu itu lho yang gila. Kok nggak gila, masak guru sakit malah kesenangan"" balas Ita yang sejak tadi diam. Maksudnya memperjelas ucapan Utari. Charlie s Angels ini memang kompak banget.
"Ah, udah-kalian memang sirikan. Nggak boleh liat orang laen senang. Kalian tau apa jadinya kalau hari ini Mr. Punk nggak sakit dan ngajar kita" Saya bisa gawat berat. Dia kan punya rencana mau ngadain ulangan. Sedang pe-er yang dikasih minggu lalu, harus dikumpuli sekarang juga. Saya belon bikin pe-er dan belon siap ulangan. Jadi apa ganjil kalau saya jadi seneng kalau Mr. Punk sakit" Rasain, guru galak begitu udah mestinya sekali-sekali sakit. Sejak hampir dua taun kita di sini, kan baru sekarang doi ngalamin sakit. Kedot banget tu orang. Jadi, sori aja kalau hari ini saya begitu bahagia!"
Meta, Utari dan Ita merengut. Muka mereka merah menahan sebal.
"Uh, soal nunggak bikin pe-er dan belon siap ulangan emang udah langganan kamu. Kapan kamu bisa siap ulangan kalau kerjanya cuma nampang melulu di depan cewek-cewek. Mending kece kali. Ngaca dong, Im, ngaca... !" omel tiga serangkai itu akhirnya.
"Kalian memang makhluk paling sirik. Saya kira cuma Andi yang suka sirik, tapi ternyata kamu-kamu juga. Kecil orangnya, tapi niat sirik kok gede banget kayak gunung. Udah, saya mau ke kantin. Persetanlah dengan semua kesirikan kalian!" ujar Boim dalam kemarahan yang memuncak. Itu memang kebiasaannya kalau lagi kepepet betul. Soalnya dia punya prinsip: Anjing pun menggonggong kalau sudah terdesak . (Bego bener sih tu anak. Secara sadar, dengan prinsip macam gitu kan sama saja menyejajarkan diri dengan anjing).
Meta, Utari, dan Ita ngikik. Boim ngeloyor pergi dengan menaikkan sedikit pundaknya yang begeng. Biar begitu, dia toh masih sempet ngingsot. Maka monyonglah bibirnya, yang dasarnya emang udah kayak bemper truk itu. Lagunya jenis lagu nostalgiaan, jangan ditanya ke mana aku pergi...
Dengan keminggaran Boim ke kantin (biasa, mau ngutang!), keadaan kelas ternyata tak berkurang gaduhnya. Maklum aja, anak-anak cenderung punya prinsip: mumpung-mumpung guru galak nggak ada, maka manfaatkanlah kesempatan ini sebaik mungkin.
Ada yang mulai bikin tebakan.
"Kecil, item, tapi kalau dijentil njitak. Ayo apaan"" pancing Andang kepada teman-temannya. Gito, Anto, Aji, -dan artis kita Fifi Alone, karena merasa ditantang, jadi terperanjat dan emosi.
"Kereta api diliat dari jauh!" tebak Gito sekenanya. Artinya, syukur kalau ketebak. Kalau enggak, ya minta ampun deh.
"Salah!" tangkis Andang bangga, lantaran teka-tekinya nggak ketebak.
"Nyamuk kejebur aspal!" Anto mengira-ngira.
"Saya tau! Saya tau! Idi Amin nongkrong di menara Eiffel!" ujar Fifi nggak mau ketinggalan.
"Ngaco-ngaco! Semua salah. Payah ah, masa tebakan segitu gampang pada nggak tau"" cerocos Andang tambah bangga. Fifi yang meski penampilannya sok ngartis, tapi daya pikirnya cekak itu mulai merajuk.
"Ini salah, itu salah, abis apa dong yang bener Ndang"" rajuknya manja sambi
l gelayutan di pundak Andang (emang tarsan").
"Tai laler hansip! Item, kecil... tapi coba jentil kalau berani!" jawab Andang akhirnya, tak tahan rayuan Fifi.
Anak-anak pada keki. Akhirnya kelas tambah gaduh dan tak bisa ditolerir lagi. Beginilah akibatnya kalau jam pelajaran kosong. Ada yang mulai sambit-sambitan kapur. Boim yang baru datang dari kantin, begitu masuk ke pintu, langsung disambut hangat dengan sepotong kapur. Puji Tuhan, tepat kena jidatnya. Yang sempet geliat adegan langka itu langsung pada cekikikan gila-gilaan. Kelanjutannya bisa ditebak, Boim ngomel abis-abisan persis nenek-nenek kehilangan konde.
"Siapa yang nimpuk gue barusan! Cepat ngaku. Apa nggak tau ada orang ganteng kayak gini" Jangan sembarangan dong, engkong gue aje belon pernah nyambit gue di jidat!" makinya sembari bertolak pinggang. Badannya melengkung persis koboi ngadepin bandit.
Gito yang merasa kapur timpukannya yang mampir ke jidat Boim, cuma nginyem. Untung temen-temen lain pada kompakan bikin aksi tutup mulut. Ita, Utari dan Meta, yang dasarnya lagi sebel sama Boim, malah bersyukur.
"Sayang ya, It," kata Utari.
"Sayang apanya"" tanya Ita kurang paham maksud Utari.
"Sayang yang ngebentur jidat Boim cuma kapur. Coba penghapus, pasti jidatnya yang kayak jalan tol itu jadi ada polisi tidurnya! Kan asyik tuh!"
Ita cekikikan. Boim tambah marah. Karena nggak nemuin siapa yang nyambit. Tapi sebentar kemudian, dia malah ikut-ikutan perang kapur. Dan sempat kaget juga ketika ada sebuah celana kolor mendarat mulus di mukanya. Kolor siapa ini" Makinya dalam hati, dan pas diangkat, di situ ada tulisan pemilik kolor tersebut : Boim le Bon. Itu memang kolor kepunyaannya, buat jaga-jaga, karena dia hobi banget ngompol di kelas kalau ada ulangan fisika.
Boim pun ngamuk-ngamuk lagi. Siapa yang berani nyolong dari tasnya"
Di sisi lain, Fifi yang merasa penasaran sama Andang karena nggak bisa menerka tebakannya, mulai bikin seteru lagi.
"Gua juga punya tebakan, Ndang, emang lu doang"" katanya sambil mengais-ngais rambutnya yang model Farah Fawcet. "Tebakan ini rada susah makannya yang lain boleh ikutan ngebantu. Kalo perlu seisi kelas ini. Tapi pasti nggak bakalan ketebak, lantaran ike punya tebakan terlampau sulit buat rasio kalian. So pasti itu!" ngocolnya begitu yakin.
"Boleh, coba apa tebakannya"" serodot Andang mulai penasaran. Yang lain pun ikut ngedengerin apa yang bakal Fifi katakan.
"Coba tebak ya, kueh-kueh apa yang bungkusnya di dalem!" ujarnya keras.
"Kueh salah bikin!" jawab anak-anak hampir seisi kelas serentak, dan betul. Fifi jadi kemaluan sendiri.
"Kalian curang! Kalau udah tau bilang-bilang dong. Kan ike jadi nggak repot-repot bikin tebakan!" umpatnya di tengah rasa malu. Anak-anak cekakakan. Akhirnya kena batunya juga tu artis!
Kini keadaan kelas tanpa guru mutlak kacau. Tapi ternyata ada sesosok makhluk langsing yang nggak berminat ikut-ikutan ngegabung bikin keributan. Cowok yang rambutnya kayak John Taylor itu duduk sendirian di pojok, asyik dengan permen karetnya.
Seisi kelas baru sadar kalau sejak tadi Lupus nggak ikut gila-gilaan. Aneh. Biasanya anak itu yang paling aktif. Apalagi kalau lagi pas pelajaran kosong, Lupus yang biasanya jadi pelopor. Melempar tebak-tebakan sableng, ngeduran-duran dengan menggebuk-gebuk meja atau nggodain cewek-cewek yang lalu-lalang di depan kelas karena kebelet kencing.
Tapi lucunya hari ini ia memang lain dari biasanya. Malaikat mana yang tega membuat Lupus jadi suntuk seperti itu>
Ita, Utari, Gito, Fifi, Meta dan Aji yang menduga ada something wrong dengan Lupus, coba-coba mendekati.
"Kok tumben kalem, Pus"" tegur Utari.
"Kena santet jin irit, ya"" tebak ifi sekenanya.
Lupus cuek. Mereka makin penasaran.
"Mungkin ribut lagi sama Rina" Atau, oiya, Boim dan Joko pernah cerita, kamu lagi patah hati sama gadis desa yang dilamar insinyur itu, ya" Atau, inget lagi sama Popi" Kalau enggak, kok ngelamun sih"" cecar Ita.
"Saya lagi sedih. Saya sendiri juga heran. Soalnya sakit Mr. Punk itu lho. Biar kejam dan jelek, dia kan guru kita juga. Kita harus ikut prihatin. Apa kamu pada n
ggak tau malapetaka yang dialami Mr. Punk"" ucap Lupus pelan.
"Enggak. Kenapa sih dia"" tanya anak-anak yang merubungi Lupus hampir berbarengan.
"Tadi pagi saya kebetulan lewat kantor guru. Saya liat guru-guru di sana lagi pada tegang. Mereka berembuk. Saya sempet nguping bahwa ternyata Mr. Punk diopname karena ketabrak mobil. Menurut mereka sih, keadaannya cukup gawat juga. Saya jadi sedih, karena waktu ulang tahun dulu Mr. Punk sempet berbaik hati pada saya."
Mendengar cerita Lupus, anak-anak spontan kaget. Wajah mereka menampakkan kecemasan.
"Saya kira Cuma sakit biasa. Jadi gimana kita ini, Pus"" tanya Meta yang paling disayang Mr. Punk.
"Itulah yang lagi saya pikirin. Atau gini aja, besok pulang sekolah kita bezuk ramai-ramai. Kita tunjukkan pada Mr. Punk bahwa kita adalah murid-murid yang baik, biar kadang-kadang suka nyebelin. Bagaiman, setuju, ya-ya-ya-"" tawar Lupus maksa.
"Setuju!" jawab anak-anak serentak. Rencana itu pun disebarluaskan ke teman-teman sekelas yang lain. Keributan terhenti sejenak. Boim yang lagi ngegodain Wiwi jadi sewot. Ruri yang lagi seru-serunya nggosip, jadi kecewa berat. Lupus tampil di muka kelas mengemukakan rencananya untuk menjenguk Mr. Punk. Kebanyakan anak-anak, kecuali Boim dan Ruri yang memang anti Mr. Punk, menanggapi hangat. Mereka setuju. Akhirnya diputuskanlah, besok seusai pelajaran sekolah mereka akan membezuk Mr. Punk di rumah sakit.
Uang pun dikumpulkan secara kolektif untuk membeli buah-buahan. Meta yang ditunjuk sebagai bendahara. Boim dengan sangat terpaksa menyumbangkan ratusannya yang lumayan lecek.
"Ya, ini sekedar rasa solidaritas sesama teman!" katanya acuh. Meta sebenernya menolak pemberian Boim, tapi dicegah Lupus.
"Setidak-tidaknya sebagai tumbal. Jadi terima aja pemberian Boim!" katanya menghibur Meta. Boim malah gusar.
Rencana mereka memang sudah matang benar.
*** Esoknya sesuai rencana, anak-anak kelas II pun berkumpul di kelas seusai pelajaran. Semua dengan kostum putih abu-abu, kecuali Fifi. Ternyata dia bawa baju ekstra dari rumah. Pantesan, waktu bel usai sekolah gedombrangan, Fifi tergopoh-gopoh lari ke belakang. Rupanya mau ganti baju dulu. Wah, pakaiannya seronok betul, celana panjang hitam garis-garis kuning, rompi jaket, lengkap dengan kaca mata itemnya. Tampangnya begitu dikece-kecein.
"Ah, ini kan Cuma menjaga penampilan. Saya tidak mau penggemar saya kecewa kalau lihat saya pake baju seragam sekolah. Jadi itulah tuntutan seorang artis, harus tampil secanggih mungkin di hadapan masyarakat!" katanya menjawab pertanyaan Lupus yang sempat kesel melihat dandanannya.
Ternyata tidak hanya Lupus yang kesel. Semua juga. Masak mau menjenguk orang sakit aja dandanannya kaya peragawati begitu sih" Tapi dasar mental artisnya sudah ada, Fifi cuek aja. Persetan dengan pendapat umum, yang penting penggemar saya jangan kecewa, begitu kira-kira pikiran yang ngendon di benaknya. Jadi ya perlu di maklumi.
Lupus lalu membagi tugas kilat. Gito ditugaskan membeli buah-buahan. Meta, Ita, Utari dan Yunita membeli kembang. Sedang Lupus sendiri sibuk menulis sesuatu di secarik kertas. Setelah semuanya beres, berangkatlah mereka ke rumah sakit.
Di sana mereka menjumpai Mr. Punk yang dibalut kepalanya. Kedua kakinya digantung. Mr. Punk terbaring tak berdaya, tapi masih menyempatkan melirik dengan ekor matanya. Pertama yang dilihatnya Lupus membawa seikat kembang. Lalu menyusul belerot-lerot Meta, Utari, Aji dan seterusnya. Fifi hampir ketinggalan lantaran sempat ngeceng dokter muda yang kece. Kaca matanya belum dicopot juga. Dalam rombongan itu, ternyata ada Boim juga. Gusur yang bukan satu kelas, dan enggak diajar Mr. Punk kelihatan ikut-ikutan. Waktu ditanya, alasannya, "Kan ada Fifi, inilah kesempatan saya untuk mendekatkan diri!"
Lupus lalu menyerahkan kembang kepada Mr. Punk yang lansung diterima dengan senyum lepas. Mata Mr. Punk yang tersembunyi di bawah jidat yang menonjol, langsung membaca tulisan Lupus :
Pak Pangaribuan tercinta, lekaslah sembuh. Kami tau, tanpa Bapak, kami tidak berarti apa-apa sebagai murid. Hadirlah di tengah-tengah kami sepert
i sediakala. Dengan kegalakan Bapak, dengan kedisiplinan Bapak. Karena, ternyata itulah yang membuat kami jadi lebih disiplin. Jangan lupa, lekaslah sembuh, Pak. Apa pun alasannya, murid tak bisa lepas dari gurunya.
Wassalam, Siswa-siswi kelas IIa2 Mata Mr. Punk berkaca-kaca.
"Ternyata kalian memang anak-anak baik, walau kalian zuka bikin marah Bapak. Dengan reztu kalian, Bapak bertekad untuk cepat-cepat zembuh. Karena setidaknya, Bapak masih diperlukan di tengah-tengah kalian. Terima kazih bunganya ya, Puz. Akan Bapak pajang di gizi pembaringan zebagai dorongan semangat untuk zembuh!" ujar Mr. Punk dalam logatnya yang khas (enggak bisa ngomong s ), sambil mendekap erat bunga pemberian anak-anak.
Mr. Punk terharu. Lupus terpana. Ruri dan Boim tersadar. Meta, Utari, dan Ita menitikkan air mata.
Mereka trenyuh. Mereka semua memang anak-anak baik. Mesti nakal, mereka ternyata bisa juga menghormati gurunya.
tamat Strangers 2 Pendekar Rajawali Sakti 140 Mustika Bernoda Darah Iblis Dan Bidadari 1
^