Tangkaplah Daku Kau Kujitak 2
Lupus Tangkaplah Daku Kau Kujitak Bagian 2
Kini keadaannya tidak lebih dari tikus yang baru kejebur got. Basah kuyup. Rambutnya yang tadinya keren, kini mlepek. Bisa dibayangkan, betapa dongkolnya dia. Bagaimana bisa datang ke rumah Poppi dengan keadaan basah kuyup begini" Betapa memalukan. Dan apa kata orang tuanya nanti"
Kini dia pun dilanda dilema. Tetap datang atau balik ke rumah. Kalau balik ke rumah. tak bisa dibayangkan, betapa terpingkal-pingkalnya Lulu melihat rambut Lupus yang kini benar-benar basah, bukan hanya efek basahnya saja. Ah, itu tidak boleh terjadi. Lagi pula sudah kepalang tanggung, rumah Poppi sudah beberapa kilometer lagi.
*** Sesampainya di Cilandak, hujan masih turun. Lupus cuma berjalan lemas ke tempat pember- hentian bis, dan menyandar lemas pada tiang penyangga. Benar-benar don t know what to do. Tak ada gairah lagi untuk terus ke rumah Poppi yang tinggal beberapa meter lagi. Semuanya sirna bersama tetes air huian yang membasahi tubuhnya. Lupus mengusap wajahnya dengan sedih. Baru kali ini dia merasa begitu menderita. Kedinginan sekujur tubuh. Bibirnya pun mulai membiru. Setengah mati menahan air matanya yang hendak berbaur bersama air hujan, karena kesal. Tidak, saya harus pulang! Harga diri saya bakalan jatuh di pasaran! batinnya.
Dan dia hendak melangkah pergi, ketika matanya tertumbuk pada seorang gadis yang berpayung beberapa langkah dari situ.
Lupus mencoba mtnghampiri.
"Poppi"" tanyanya ragu. Gadis itu terkejut dan menoleh. "Lagi ngapain, Pop""
"Ya, Tuhan, Lupus. Kok basah kuyup begini" Dan bibir kamu itu... birunya! Aduh, kamu kehujanan. ya"" berondong Poppi sambil meng- guncang-guncangkan bahu Lupus.
"Enggak!" sahut Lupus kering
"Ayo ke rumah. Saya udah cemas banget, lho. Saya pikir kamu nggak bakalan datang, hujan-hujan begini .... " sahutnya lagi sambil menarik tangan Lupus.
"Tapi saya malu, Pop. Basah kuyup begini .... "
"Kenapa malu" Saya malah bangga, karena kamu bela-belain dateng meski hujan deras, itu kan tandanya kamu bertanggung jawab. Selalu menepati janji. Saya suka orang yang menghargai janji .... " sahut Poppi ceria. "Ayolah, nanti kamu kedinginan. Di rumah akan saya suruh sediakan air hangat, dan baju buat ganti. Biar nggak masuk angin .... "
Lupus jadi terharu. "Satu pertanyaan lagi, Poppi. Apa kamu lagi nungguin saya dengan berpayung kaya tadi""
"Pertanyaan jelek! Abis nunggu siapa lagi dong" Saya pikir kamu belum basah kuyup begini. jadi saya bawain payung. Tapi ternyaxa kamu doyan basah-basahan. Senang mandi hujan. Dasar, masa kecil kurang bahagia, ya""
Lupus tersenyum kecut. Nah, kan, punya pacar itu enak"
7. Some Things Are Better Left Unsaid
MALAM telah larut (emangnya gula"), ketika Lupus dan Anto melintasi jalan sepi sekitar kuburan Belanda. Udara dingin menggigit, dan bunyi- bunyi jangkrik nyaring di kejauhan. Seperti hendak mendramatisir keadaan. Dan memang, suasana di situ hening sekali. Bibir Lupus saja terkatup rapat, sama sekali tak berminat memecah- kan kesunyian yang mencekam. Bukan apa-apa, nanti jangan-jangan dia malah kaget sendiri. Sementara Anto, temannya yang pendiam itu, tak mencoba mengakrabkan suasana. Padahal di daerah ini, dia tuan rumahnya. Lupus kan cuma pendatang. Diajak menginap, mumpung besok ada libur sehari. Kalau mau tahu hari libur besar atau tanggalan merah, tanya saja pada Lupus. Dia memang paling hafal. Jauh-jauh hari kerjaannya memang cukup ngafalin begituan. Hobi kayanya.
Dan sekarang, mereka berdua baru saja pulang dari nonton midnight di bioskop murahan dekat pasar
inpres. Nomon film lamanya Linda Blair, Hell Night. Serem juga. Tak heran kalau kini mereka masih merasa tegang. Mana pulangnya lewat kuburan, lagi.
"Nto, nggak ada jalan lain yang lebih sepi, ya"" Akhirnya Lupus nggak betah diam melulu.
"Lho-kamu bilang tadi kita cari jalan yang terdekat. Ya, di sini ini. Kalau lewat jalan raya. udah nggak ada kendaraan. Bisa sih, jalan kaki, tapi nyampenya besok. Kan rada capek juga lho! Memang serem juga lewat sini. Apalagi kalau kamu pernah dengar cerita-cerita aneh yang sering terjadi di sini. Seperti minggu lalu. Pak Karta-yang biasa jaga malam itu-cerita bahwa dia melihat seseo- rang berjalan tanpa kepala di kuburan di sebelah sana. Dia menjinjing sesuatu, yang nggak taunya kepalanya sendiri .... "
Lupus cepat-cepat menutup telinganya. Dia keki berat. Lagi seram-seram begini malah cerita yang nggak keruan.
"Lho, kamu nggak percaya, Pus" Beneran, kok. Pak Karta orang jujur, saleh, dan hampir nggak pernah bo ong, kecuali kalau nggak ada orang yang tahu bahwa dia bo ong...," sela Anto tanpa merasa salah.
"Anto, apa kamu nggak pernah diajari bagaima- na cara melawak yang baik"" ujar Lupus geram.
"Terserah kalau kamu nggak pereaya. Saya nggak maksa. Saya juga nggak lagi melawak. Kamu jangan nuduh sembarangan dong. Itu fitnah namanya. Dan fintah itu adalah perbuatan setan. jadi kamu sama aja dengan setan .... "
"Ya, dan saya akan mencekikmu bila kamu nggak mau berhemi berkicau!"
Tapi tiba-tiba keduanya terpekik perlahan, ketika terdengar suara botol dibanting tepat di dekat mereka.
Secara refleks, keduanya berpe- gangan. Memandang sekeliling dengan hati berdebar. Dan muncullah sebuah sosok yang seram dari balik pohon kamboja. Memandang sinis ke arah mereka.
"Sst..., itukah setan yang diliat Pak Karta" Kok ada kepalanya, ya"" bisik Anto ketakutan.
"Diam kamu!" Sosok itu mendekat. Diikuti oleh beberapa sosok tubuh lainnya. Rata-rata berwajah kasar dan seram. Anto berbisik pelan pada Lupus.
"Gawat, Pus. Itu bukan hantu. Mereka anak-anak berandal seberang kuburan sana! Mereka pasti mau bikin setori dengan kita!"
"GiIa, apa alasan mereka mengganggu kita"" sahut Lupus keras.
"Sst, jangan keras-keras. Ya, Tuhan, kamu bisa dihajarnya .... "
Dan kini wajah sosok yang pertama terlihat sudah sangat dekat di depan mata Lupus. Menatap tak berkedip dengan sorotan mata yang tajam. Lupus pun, seperti tak terjadi apa-apa, berbisik kepada Anto, "Kamu benar, Nto. Dia bukan hantu. Tapi lihatlah, dia mencoba menakut-nakuti kita dengan sorotan mata seperti itu. Dikira kita takut, ya ...."
Tapi bisikan Lupus cukup jelas terdengar oleh orang itu. Maknadengan sekali gerakan, kerah Lupus pun dicengkeramnya. Anto ketakutan setengah mati.
"Lu pikir gue hantu yang nakut-nakutin lu, ya" Lu mau belagak jagoan di sini" Anak mana lu sampe berani-beranian ngebacot di depan gue!" sahut orang itu kasar, sementara teman-temannya mulai mendekat.
Lupus memberontak, dan melepaskan cengkeraman tadi. Lalu mundur beberapa langkah dengan mata yang masih menatap berandalan tersebut. Anto segera menahannya, dan berkata terpatah- patah, "Ma-maaf, Bang. Kita berdua kemaleman pulang. dan mau numpang lewat sini. Kita nggak bermaksud mau koboi-koboian kok .... "
Berandalan itu meludah ke tanah. Lupus mau ikut-ikutan, tapi tenggorokannya kok ya terasa kering.
"He. lu punya duit nggak"" salah seorang temannya yang dari tadi diam, tak sabaran. Maju beberapa langkah. dan mencengkeram bahu Anto. Lupus yang nggak tegaan, langsung maju hendak menolong Anto. Tapi tangan lain menariknya keras-keras.
"Jangan, Bang. jangan pukul teman saya. Ini saya ada beberapa ribu. Ambil aja, Bang. Cuma itu uang kami!" sahut Anto cepat. Lupus pun didorong sampai jatuh di kaki Anto. Dia mencoba bangkit dan mau membalas. Tapi Anto menahan- nya, "Kalem. Pus. Mereka banyakan. Nggak ada gunanya melawan .... "
Akhirnya dengan beberapa ribu dan maki- makian kotor, mereka pun membiarkan Lupus dan Anto pergi. Setelah jauh, Anto menghela napas lega.
"Enak amat mereka minta-minta uang" Emang- nya jalan nenek moyangnya"" gerutu Lupus! Tapi, tentu sa
ja anak-anak berandalan itu tak mende- ngar. Wong mereka udah ngacrit.
"Ya, memang begitu kerjaan mereka. Ngom- pasin orang-orang yang lewat. Mereka-mereka itu sebenarnya tinggal nggak jauh dari rumah saya. Saya kenal sama yang tadi dorong kamu. Si jalil. Tapi memang saya nggak pernah main sama mereka. Ngapain! Kerjaannya saban malem nongkrong di jalanan. Godain orang yang lewat, atau sengaja cari gara-gara. Untung aja kamu nggak jadi ngelawan. Pus. Kalau mereka marah, habislah kita .... "
"Eeeee... emangnya saya berani""
*** Sore berikutnya Lupus masih di rumah Anto. Seharian mendekam di kamar sama Anto. Anto ini memang jarang ke luar rumah. Kerjanya cuma pasang kaset atau dengar radio seharian. Semua acara radio dari berbagai radio swasta, dia hafal. Sampai laporan ekonomi tentang harga pasaran bawang putih, bawang merah, bengkuang, kunyit, dan sejenisnya itu didengar dengan khusyuk sekali. Mau jualan apa"
Lupus yang tak ada kerjaan cuma menemani sambil membaca beberapa buku.
"Nto, saya pulangnya diundur besok aja, ya. Malam ini, saya mau ke markas para berandal yang tadi malam itu. Markasnya di dekat pos yang kemarin kamu bilang, kan""
Anto terkejut. "Gila. Ngapain ke sana" Mau cari penyakit" Lupakan uang kita yang amblas, Pus. Itu jalan yang terbaik. Nggak usah dipikirin terus. Dan jangan berlagak kaya jagoan. Di kandangnya, mereka lebih berbahaya lagi. Oh, Tuhan, lupakan pikiran gila itu, Pus. Nggak usah balas dendam. Ini kan bukan zamannya film koboi .... Lupakanlah!"
Lupus memang bukan tipe orang yang suka filsuf-filsufan dalam berbicara. Dia lebih condong pada orang yang berbicara seenaknya, polos, dan kadang bikin keki. Tapi kini dia menatap Anto dengan wajah serius.
"Ada hal-hal yang lebih baik kita lupakan dalam hidup ini. Apalagi pikiran-pikiran negatif yang hanya akan membuat kita resah. Tapi kamu nggak usah cemas, To. Saya bukannya jagoan yang mau mengobrak-abrik sarang mereka. Saya tertarik untuk mengungkapkan cerita yang mungkin menarik dari remaja-remaja macam mereka. Kenapa mereka tak betah di rumah seperti kamu" Atau, bagaimana mereka memandang masa depannya .... "
Anto terdiam, menatap bingung pada Lupus. Dia memamg sudah lama berkawan dengan Lupus, tapi hingga kini, dia sering tak bisa menebak bagaimana jalan pikiran Lupus sebenarnya. Dan dia benar-benar tak habis pikir ketika malamnya Lupus nekat pergi sendirian ke pos anak berandalan itu.
*** Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, Lupus baru pulang. Dengan wajah pucat karena mungkin semalaman tak tidur.
"Alhamdulillah, ternyata kamu masih hidup!" sahut Anto sambil menyerbu Lupus. Lupus cuma mencibir, lalu merebahkan tubuhnya di tempat tidur.
"Lho, kok langsung semaput" Kamu nggak di apa-apain""
"Apa hak mereka memukul saya" Saya datang secara baik-baik kok, dan dengan maksud yang baik juga!" jawab Lupus sombong. Tapi kalau kamu tau, bagaimana gemetarnya Lupus ketika datang ke markas berandalan itu, kamu pasti nggak bisa menahan nya. Untung saja bagian itu disensor.
"Memangnya mereka kenal kompromi juga""
"Nah, itulah kesalahan kamu. Kamu terlalu cepat menuduh orang lain jelek. Tanpa berusaha membuat pendekatan lebih dahulu. Saya nggak percaya ada orang yang begitu jahatnya di dunia ini sampai tak punya perasaan sama sekali. Kadang malah dari merekalah kita menemukan pribadi yang menarik. Seperti rasa setia kawan yang begitu hebat. Sampai-sampai rela mengorbankan kebaha- giaannya sendiri. Memang rasa setia kawan mereka kadang tak pada tempatnya. Suka merugikan orang lain. Tapi itu nggak selamanya benar. Makanya saya tertarik ketika kamu cerira banyak tentang perbuatan-perbuatan mereka yang selalu merugi " kan orang lain. Saya ingin membuktikan. apa itu benar" Kalau ya, atas dasar apa" Saya pun pergi ke sana. Mengadakan pendekatan dengan mereka. Meski memang tak mudah. Saya sampai keluar banyak uang untuk membelikan mereka rokok. Korban perasaan dan korban lain-lainnya, tetapi saya toh berhasil. Saya ngaku aja sebagai orang baru di sini. Saya nggak betah di rumah karena banyak problem keluarga. Saya ingin gabung dengan mereka. Dan mereka
pun menerima dengan terbuka. Pada dasamya, mereka selalu menaruh simpati pada orang-orang yang senasib dengan mereka. Mereka bahkan mau menolong saya. Nah, hebat, kan" Dari pengalaman semalam, mereka banyak cerita tentang dirinya, cara hidupnya, dan juga bagaimana mereka meman- dang masa depan. Ternyata luar biasa, Nto! Kebanyakan mereka ingin jadi ABR!. Pembela Negara. Hebat, kan" ltulah, mereka tak seharus- nya dimusuhi, malah patut dikasihi. Diberi harapan. Ini kan bagus buat bahan tulisan .... "
"Bahan tulisan" Maksud kamu, kamu pergi tadi malam itu untuk bikin tulisan di majalah kamu""
"Kok heran" Ini kan baik umuk tulisan yang bersifat human interest. Penulisan yang menonjol- kan sifat-sifat kemanusiaan yang memiliki banyak dimensi dalam hidupnya, kan menarik" Bisa menimbulkan rasa haru, simpati dari mereka- mereka yang dulunya tak pernah peduli dengan mereka. Siapa tahu setelah membaca artikel saya, anak-anak berandalan itu mau mengubah diri. Dan pandangan umum tentang mereka juga dapat berubah, sehingga yang tadinya nggak peduli, kini mencoba meraih mereka .... "
Anto terdiam. Lama. Seperti berpikir. Lalu berkara pelan, "Kadang, saya iri dengan kamu, Pus. Kamu selalu bisa berbuat seauatu dari apa-apa yang terjadi. Saya sering merasa iri. Kamu tau, saya adalah orang yang nggak pernah punya inisiatif. Apalagi untuk berbuat sesuatu bagi orang-orang yang paling saya benci. Saya yang sekian lama tinggal di lingkungan mereka, tak pemah punya pikiran seperti kamu. Saya jadi merasa sebagai orang yang tak berarti .... "
Kini giliran Lupus yang kaget dan terdiam. Agak lama. Sampai Anto mengira dia tertidur.
Tapi akhirnya terdengar suara Lupus, pelan, "Jangan punya pikiran begitu, Nto. Tuhan toh menciptakan berbagai orang dengan sifat yang berlainan. Saya justru yang ingin seperti kamu. Tanpa pernah merasa peduli atau terusik kalau ada kejadian apa pun. Yang bisa tidur enak, walau sejuta masalah hadir di benakmu. Sungguh! Saya ingin seperti kamu. Yang tak pernah merasa terpanggil, merasa bersalah, merasa tergoda kalau ada sesuatu yang terasa ganjil. Yang selalu menjalani hidup ini dengan tenang. Sedang saya" Mana bisa saya rertidur begitu mudah, saat sejuta masalah hadir di benak saya seperti ini .... "
Tapi menit berikutnya, Lupus sudah tertidur dengan nyenyaknya. Pakai ngorok segala. Semen- tara Anto tetap tak bisa menebak jalan pikiran makhluk Tuhan yang aneh ini ....
8. Kantin Sekolah TAU nggak, di SMA-nya Lupus cuma ada satu kantin. Terletak di ujung lapangan dan terlindung di balik pohon-pohon yang rindang. Tempat yang sangat strategis untuk ngeceng anak-anak yang berolahraga di lapangan, membolos pelajaran, numpang nggosip atau benar-benar mau makan (asal jangan nembak!). Hampir semua anak menyukai tempat itu, kecuali Lupus dan beberapa teman cowoknya. Dia jauh lebih suka meloncati pagar untuk jajan di luaran, daripada pergi ke kantin sekolah. Banyak hal yang memaksa Lupus berbuat begitu, meski risikonya kalau ketauan ke luar lingkungan sekolah pada saat jam-jam belajar, bisa disuruh membersihkan kamar mandi dan WC. Sebuah kerja paksa yang paling dibenci semua murid karena dirasakan tanpa kemanusiaan. (Bayangkan saja kalau kamu disuruh membersih- kan tempat di mana orang-orang justru membuang sesuatu yang paling kotor. Ih!)
Alasan pertama kenapa Lupus tak menyukai kantin rersebut, karena di sana sama sekali tidak dijual permen karet. Dan tega sekali, tuh! Padahal Lupus punya prinsip, lebih baik makan permen karet daripada tidak makan permen karet. Nah, itulah. Suatu ketika, Lupus pernah meminta ibu kantin yang janda itu untuk juga menjual permen karet barang satu stoples. Tapi usul itu ditolak mentah-mentah. Katanya bikin kotor. Karena ampas permen karet tidak dapat ditelan dan bisa mengotori dinding.
Alasan kedua, pelayanan di kantin ini sama sekali tidak efektif. Terutama untuk makanan- makanan primer seperti mie ayam, mie bakso, atau yang lainnya yang perlu dimasak dulu. Kalau mau pesan mie ayam sekarang, bisa-bisa besok pagi baru jadi. Kan agak lama juga tuh. Dan kita rada kurang sabar nungguinnya. B
agaimana tidak lama kalau setelah diselidiki ternyata yang punya kantin baru mengejar-ngejar ayam tetangga yang lagi bengong. Itu juga belum tentu dapat. Kalau misalnya sudah dapat, baru kemudian disembelih, dicabuti bulunya satu-satu, dibersihkan lagi, direbus, dan dipotong kecil-kecil untuk mie ayam. Alangkah kasihannya nasib si pembeli!
Pernah waktu pelajaran koseng, Lupus kelaparan. Belum sarapan. Mau makan di luaran, situasi kurang memungkinkan, karena tak bisa mengon- trol kelas yang siapa tau gurunya tiba-tiba datang. Maka Lupus pun pesan mie bakso di situ. Sengaja mie bakso, karena dengan begitu berarti dia tak usah menunggu yang punya kantin berkejar-kejar ria dengan ayam-ayam yang berkeliaran itu. Tapi ditunggu-tunggu ternyata lama sekali. Mungkin baksonya baru dibikin. Setengah jam lebih belum jadi juga. Sampai guru kimia yang galak, sok disiplin, konyol namun adil dalam memperlakukan murid itu nongol di ujung koridor. Kontan saja Lupus, masih dengan semangat 45, pontang- panting lari menuju kelasnya. Soalnya kalau terlambat selangkah saja di belakang guru kimia itu, jangan harap diperbolehkan masuk kelas. Itu peraturan yang dia... eh, beliau terapkan. Dan konyolnya, begitu melihat Lupus lari-larian menuju kelas dari arah yang berlawanan, sang guru itu pun ikut-ikutan lari. Maka, terjadilah adu cepat-cepatan masuk kelas. Syukurlah, perlomba- an itu dimenangkan oleh Lupus dengan selisih jarak yang kecil sekali. Dan dengan senyum kemenangan, Lupus berjalan masuk kelas. Dia berhak mengikuti pelajaran kali ini.
Namun ketika pelajaran sedang berlangsung, seorang pesuruh dari kantin mengetuk pintu kelas untuk mengantarkan mie bakso pesanan Lupus. Kontan saja Lupus kaget dan jadi bahan tertawaan anak sekelas.
Tapi sekarang ada cerita baru tentang kantin sekolah itu. Anaknya ibu kantin yang sekolah di Bandung datang. Dan ikut melayani di kantin tersebut. Gila, cakep juga! Dan pelayanannya bisa lebih cepat lagi. lni kan jadi menarik perhatian cowok-cowok yang tadinya suka jajan di luar, kecuali Lupus. Karena dia masih keki dengan pendiskriminasian mereka untuk tidak menjual permen karet.
Bisa ditebak, anak yang paling ribut kalau ada barang baru yang cakep adalah si Boim, playboy Duren Tiga. Pagi-pagi sekali, waktu Lupus baru memasuki kelas, dia sudah ngocol ke sana kemari. Ribut sekali, kaya orang kebakaran janggut.
"Hei, Kucing! Kok dua hari ini nggak masuk" Gimana..., emak lu baek"" sapanya begitu melihat Lupus.
"Baek. Emang kenapa" Mau diaduin sama emak lu"" balas Lupus seenaknya.
Boim nyengir, lalu tanpa tedeng aling-aling dia langsung ngoceh tentang anaknya ibu kantin.
Tapi bukan hanya Boim saja. Semua anak cowok kalau ada pelajaran kosong atau waktu istirahat, selalu betah nongkrong di kantin. Jajan nggak jajan pokoknya ngumpul. Puas biar cuma memandangi wajah cantik anak ibu kantin. Oya, nama itu lndah. Tentu saja primadona-primadona SMA Merah Putih ini pada keki berat dapat saingan begitu. Pasaran mereka jatuh drastis. Bangsanya Elsa, Ayu, Svida, atau Ruri (yang terakhir ini nggak kece, tapi suka sok kece. jadi daripada nangis, lebih baik diikut-sertakan. itung-itung amal.) yang biasa suka ber ge-er ria kalau lagi digodain, kini ditegur pun jarang. Apa nggak bikin sebel tuh"
"Huh, baru anak tukang jualan aja direbutin. Dasar cowok di sini seleranya rendah semua!" maki Ruri, si biang gosip.
"Bukan selera kita rendah...," balas Irvan membela kaumnya, "tapi kalian-kalian sudah terlalu uzur buat digodain. Makanya, rajin-rajin dong sembahyang, biar masuk surga .... "
Ruri makin dongkol. "Tapi anak itu memang benar-benar kece, Pus. Tempel aja!" promosi David kepada lupus, di suatu siang nan gersang.
"Dikata salonpas apa" Maen tempel aja!" balas Lupus spontan.
"lya, Cing, kamu kok nggak pernah ikutan nongkrong di kantin, sih" Bego. Saya lagi naksir berat nih sama dia. Gimana ya caranya sampai dia tau kalau saya naksir" Ayo dong, Pus, kamu kan suka banyak ide!" Lagi-lagi Boim ngegombal. Lupus ogah-ogahan mendengar celoteh Boim. Dia malah lagi mikir, gimana bisa tidur enak di kelas tanpa diganggu cecuru
t macam Boim begini. "Say it with flowers!" jawab Lupus sekenanya. Tapi reaksi Boim benar-benar luar biasa. Ide yang cemerlang, teriaknya. Keesokan harinya, pagi- pagi sekali, dia sudah membawa seikat bunga buat anak ibu kantin itu. Dan bisa ditebak, cintanya ditolak!
*** Tapi belum sampai tiga hari sejak kedatangan Indah, kantin sekolah tiba-tiba ditutup. Begitu mendadak. Perintah pemboikotan kantin itu datang langsung dari Kep-Sek. Sang Kep-Sek ini shock berat ketika mendengar bahwa di kantin sekolah dijual juga minuman keras (bukan es, lho, tapi yang mengandung alkohol) dalam kemasan plastik. SMA Merah Putih, yang selama ini menjadi SMA teladan karena nama baiknya, yang para siswanya tak pernah terlibat perkelahian meski bersebelahan dengan sekolah lain (tentu saja, wong sekolah ini bersebelahan dengan SD inpres. Mana bisa diajak perang"), dan juga prestasi siswa-siswinya yang sering memenangkan cepat- tepat di TV (ini juga, setelah diselidiki ternyata mereka ikutan Cepat Tepat-Tingkat SLTP, tentu saja menang!), dan kebanyakan siswanya bisa masuk perguruan tinggi negeri tanpa ikut sipenmaru, tentu saja tak mau tercemar dengan berita mengejutkan macam itu.
Lupus tadinya tidak begitu ambil pusing, karena dia toh jarang jajan di kantin itu. Pengalaman buruk masa lampau cukup membuatnya kapok. Tetapi ketika suatu siang, sepulang sekolah dia ketemu lndah di dekat terminal Grogol, dia jadi ingin tahu. Soalnya lndah itu malah jualan makanan kecil buat para kondektur. Indah berusaha menghindar ketika tau Lupus itu siswa SMA Merah Putih. Tapi Lupus memergokinya.
"Kamu lndah, kan" Kok jualan beginian" lbu kantin sekarang di mana""
Indah cuma diam beberapa saat. Tapi kemudian dia cerita banyak. Tentang bagaimana hidup dia tanpa usaha kantin di sekolah Lupus.
"ltu penghasilan kami satu-satunya. Dengan begitu, setelah kejadian ini saya tak bisa melanjutkan sekolah lagi di Bandung. Terpaksa bantu-bantu ibu jualan makanan kecil .... " sahut Indah sedih.
"Tapi, kenapa kalian sampai bisa terlibat kasus penjualan minuman keras itu" Kekurangan duit, ya""
"Kami memang cereboh. Kami mau saja menerima titipan dagangan dari orang luar. Kami benar-benar tak tau kalau bungkusan plastik itu minuman keras. Bagaimana kami bisa curiga kalau yang menitipkan dagangan itu siswi SMA itu sendiri""
"Siswi SMA Merah Putih" Siapa" Kok kamu tidak lapor saja""
"Lapor" Mana mau mereka mendengar suara kami, kaum lemah" Mereka begitu mudahnya mengusir kami tanpa memberi kesempatan untuk membela diri!"
"Jangan berprasangka buruk. Mungkin sang Kep-Sek lagi panik. Soalnya terus terang. ini pukulan pertama bagi beliau. Apalagi dia itu jantungan! Ngomong-ngomong, siapa yang meni- tipkan minuman keras itu""
"Ruri." "Ruri"" Lupus tiba-tiba bisa menangkap latar belakang semua ini.
Dan sore harinya, Lupus sudah berada di rumah Ruri.
"Kamu jangan nuduh sembarangan dong! Kalau memang naksir anak tukang jualan itu bilang aja. Nggak usah berlagak sok pahlawan!" jawab Ruri ketus.
"Naksir dia" Oh, kamu salah, Ruri. Saya lebih baik memilihmu daripada dia. Tapi masalahnya, kau telah merampas mata pencarian utama mereka, sehingga lndah tak bisa melanjutkan sekolah. lni soal perikemanusiaan, bukan soal naksir-naksiran. Bayangin aja kalau hal itu terjadi pada diri kamu. Ayahmu di-PHK dengan mendadak, dan kamu terpaksa harus berhenti sekolah. Harus jualan serabi di terminal, hanya untuk bisa bertahan hidup. Ginmna, coba" Indah kan sudah tak punya ayah lagi...," celoteh Lupus tenang.
Ruri memang suka iri, sirik, usil, biang gosip, dan sederetan predikat jelek lainnya. Tapi dia toh tetap seorang wanita. Yang mempunyai perasaan. ltulah sela yang diserang oleh Lupus.
"Yang perlu kamu lakukan hanya lapor ke Kep-Sek. Bilang, mereka tak bersalah dan akui kesalahanmu. Saya tau, ini bukan kehendak kamu. Pasti ada pihak lain yang mempergunakan kesempatan ini." Ruri termangu. "Iya, Pus. Meski saya iri pada kecantikan Indah, tapi saya nggak akan sejahat itu. Minuman keras plastik itu diberikan oleh Tante Mari. Yang rumahnya dekat sekolah. Dia sengaja ingin menjatuhkan citr
a ibu kantin, karena saya tau Tante Mari ingin sekali menguasai kantin sekolah kita. Tak jarang dia mengejek masakan dan makanan yang disediakan oleh ibu kantin. Saya tak bisa mengerti, dia kan sudah punya banyak toko makanan di pasar-pasar, dan hidup serba kecukup- an. Kok ya masih mau merampas jatah orang!" sahut Ruri tanpa ekspresi.
"Saya percaya, ini memang bukan keinginanmu. Dan kamu masih bisa menebus dosa. Laporkan hal ini kepada Kep-Sek besok pagi. Dan kamu akan jadi pahlawan. Kamu telah menolong nasib orang lain yang menderita. Ayolah, Rur. Kalau Bob Geldof yang doyan kumpul kebo itu saja bisa menjadi malaikat penolong, kenapa kamu tidak" Biar begini-begini, kamu toh nggak doyan kumpul kebo. Iya, kan" Nah, makanya..."
Ruri cemberut. *** Pagi hari udara cerah. Lupus berjalan me- nyeberangi lapangan sekolah sambil menenteng tasnya di pundak. Dua hari sudah Lupus terpaksa bolos. Gara-gara disuruh meliput berita oleh majalahnya. Kini dia melewati kantin sekolah. Tersenyum lebar ketika melihat kantin itu kembali dibuka. Secara iseng, dia melongokkan kepalanya ke dalam kantin. Dan terkesima ketika melihat satu stoples penuh berisi permen karet terpampang rapi di meja tempat jualan.
"Eh, Nak Lupus. Kok baru kelihatan" Kemarin lndah mencarimu. Tapi nggak ketemu. Sekarang dia sudah kembali ke Bandung," sapa ramah ibu kantin mengejutkannya, "Mari masuk. Sudah sarapan" Mau dibikinkan mie bakso""
"Eh, enggak deh. Terima kasih, Bu. Saya cuma mau beli permen karet itu!"
"Ooo..., iya. Itu memang disediakan khusus untukmu. lndah yang memesankan. Oya, dia juga titip surat ini."
Dan pada saat itu Poppi masuk. Tersenyum sebentar pada ibu kantin dan langsung menarik Lupus ke luar.
"Hm, bagus ya! Ternyata kamu juga ikut-ikutan anak-anak ngejar si Indah. Ayo, mana suratnya. Biar saya yang baca!"
Lupus cuma melongo, tanpa bisa berbuat apa-apa.
9. Kolak Pisang buat Lupus
BULAN puasa adalah bulan suci. Bulan yang penuh berkah Tuhan. Tapi tak bisa dipungkiri, bahwa pada bulan-bulan seperti ini, kelesuan hampir menjalari wajah-wajah siswa SMA Merah Putih. Di mana kegiatan sekolah tetap dilaksanakan seperti biasa. Bisa dibayangkan, betapa sulitnya mereka mencoba berkonsentrasi pada pelajaran yang diterangkan, sementara perut masing-masing mereka asyik ber- keroncong-ria .
Tapi kata Wak Haji, kalau puasa itu nggak boleh dipikirin laparnya. Dosa, dan bisa dituduh nggak rela puasa sama Tuhan. Dan berpuasa bukan cuma nahan lapar dan haus. Tapi juga nafsu lainnya, termasuk ngomongin orang lain. Nah, ini yang kayaknya berat buat mereka. Bayangin aja, sebulan penuh nggak boleh nggosip di sekolah. Wu, mana tahan" Dan bagaimana dengan nasib Ruri yang biang gosip itu" Makanya di saat keluar main, kerjaan anak-anak cuma luntang-lantung, bengong, atau paling banter masuk perpustakaan, terus tidur. Tak ada yang nampak becanda. Boro-boro becanda, ketawa aja males. Habisnya banyak larangan yang bisa membatalkan puasa. Cowok dilarang ngeceng. Cewek juga. Dilarang pacaran, dilarang ngetawain orang, dilarang baca buku yang serem-serem . Pokoknya semuanya yang membangkitkan hawa nafsu. Mau main basket atau voli, segen. Takut haus.
Tapi itu tetap peraturan. Buktinya di pojokan perpustakaan, Ruri masih menyempatkan diri untuk nggosip sama teman-temannya. Lupus yang lagi nyari buku dekat-deka: situ, bisa memergoki. "Hayo, mulai ya nggosip lagi!"
Ruri kaget, tapi dengan cepat menjawab, "Enak aja nuduh. Kita kan cuma menceritakan sesuatu yang kurang sreg di hati. Daripada dipendam terus, malah bikin lapar"
"Apa bedanya" Kamu kira dengan kamu menemukan definisi yang baru macam itu, akan mengurangi dosa" Tunda aja nggosipnya sampai beduk magrib. Nanti begitu buka puasa, nah, buru-buru deh. telepon teman-reman terdekat kamu. Kali-kali aja Tuhan bisa memaklumi!" nasihat Lupus.
Ruri mendengus, lalu pindah ke bangku lain. Dan mulai nggosip lagi.
Dan Lupus meneruskan mencari buku. Di dekat jendela. dia memergoki Sri Sajita, cewek keraton yang akrab dengan panggilan Ita, lagi ngelamun sendirian (tentu dong, kalau ngelamun berdua mana enak").
"Hayo , ngelamun yang jorok-jorok, ya" Batal Iho!" goda Lupus, Ita terkejut.
"Ih, bikin kaget aja! Siapa yang ngelamun jorok""
"Kalau gitu, pasti ngelamunin doi yang dijawa, ya" Aduh, Ita, saya kan udah bilang, kalau kamu kesepian ditinggal merantau sama cowok kamu, buka cabang aja di sini. Buat iseng, supaya nggak ngelamun terus. Nggak dosa, kok. Dan bannyak yang mau. Seperti saya. misalnya .... "
Ita cuma mencibir. Tapi bulan puasa tidak selalu diisi dengan kemuraman. Bisa tambah Iapar. Kadang anak-anak juga ngumpul di depan kelas masing-masing. Bikin cerita lucu atau teka-teki yang aneh-aneh. Sampai beberapa hari, teka-teki itu mulai nggak sehat. Mulai dicari-cari. Tapi malah semakin lucu. Seperti teka-teki yang diberikan oleh Lupus: "Benda apa yang kalau siang ada di dapur, tapi kalau malam ada di pohon"" Semua pada mikir. Dan mulai berspekulasi umuk menjawab dengan sembarang- an. Sampai besoknya, Lupus baru memberikan jawaban.
"jawabnya adalah panci!"
Tentu saja semua anak pada protes. Bagaimana mungkin panci bisa berada di pohon di waktu malam"
"Lho, itu kan panci saya ini. Terserah dong saya mau taruh di mana aja...," elak Lupus yang langsung dimaki-maki penonton.
Dan canda-canda itu berlangsung sampai mereka tak sadar kalau hari mulai senja. ***
Meski sebenamya tak ada masalah, anak-anak sempat protes juga, karena sekolah belum libur meski sudah mendekati ulangan umum. Waktu istirahat untuk minggu tenangnya cuma dikasih dua hari. Sabtu dan Minggu.
"Itu sih cuma cukup untuk ngeraut pensil!" maki Rosfita. teman Lupus yang punya prinsip: jangan pernah mengecewakan orang yang nawarin makan.
Tapi Lupus lebih suka sekolah. Kalau diam di rumah, waktu bisa terasa berjalan lebih lama. Enakan cari kesibukan di luaran. Dan saat itu dia sedang berada di metro mini juruan Blok M. Sekadar mau jalan-jalan aja untuk killing time. Buang-buang waktu. Sebab, jarang lho orang di bulan puasa punya prinsip time is money. Mereka condong berprinsip time is time, faster is better. Dan Lupus setengah mati menahan diri untuk tidak memandangi cewek-cewek kece di pinggir jalan. Sok cuwek. Tapi, apa iya lihat cewek cakep bisa ngebatalin puasa" Padahal cewek cakep itu kan karunia Tuhan yang menyenangkan untuk dilihat. Masa iya kita harus pake kaca mata kuda" Apalagi menyia-nyiakan karunia Tuhan kan dosa, lho!
Terserahlah. Yang penting. Lupus jelas tak bisa menahan diri lagi ketika seorang eewek naik dan duduk tepat berhadap-hadapan dengannya. Gile, wajahnya benar-benar jet-set, kulitnya kuning langsat, rambutnya hitam panjang terurai, bibir- nya dipolesi lipstik merah muda yang tipis. Benar-benar mubazir untuk tidak dilihat. Dan... sempurnalah godaan itu.
Saat-saat pertama Lupus masih bisa menahan diri untuk tidak terus-terusan memandang. Cewek itu terlalu keren untuk ditaksir. Nggak bakalan ditanggapi. Dia mencoba mengalihkan perhatian- nya ke luar jendela. Tapi ternyata gadis itu mencuri-curi pandang ke arah Lupus. Lupus masih mencoba untuk tetap cuwek. Dia harus tabah, jangan tergoda. Untuk menghilangkan keresahan- nya, dia mencoba melamun. Dan tiba-tiba aja jadi ingat Mas Wedha, yang suka nggambar di majalah Hai. Dia itu, katanya sendiri. orang yang sangat tabah. Tahan godaan.
"Bagaimana nggak tabah." sahutnya suatu ketika, "walaupun bapak saya haji, tetangga dan lingkungan saya orangnya pada alim-alim, rajin sembahyang, rajin puasa, rajin tarawih, rajin mengaji, tapi saya tetap tak tergoda untuk ikutan puasa."
Lupus cuma ngakak. Dan kemarin, ketika Lupus ketemu dia lagi, Lupus iseng menegur, "Gimana, Mas, masih tetap tabah""
"Alhamdulillah masih...," jawabnya kalem. "Tuhan tau bahwa saya nggak bakalan kuat berpuasa. Jadi buat apa membohongi diri" Kalau saya puasa nantinya Tuhan malah marah. Menyangka saya orang yang sombong... sok ikut-ikutan .... "
Lupus sering tak bisa menahan senyum kalau ingat hal ini. Seperti sekarang, secara nggak sadar, dia tersenyum-senyum sendirian di metro mini. Di depan cewek cakep tadi. Dan, oh God, cewek itu membalas senyum nyasar dari Lupus. Gimana nggak ge-er"
"Halo." sapa Lupus berani. "Mau ke
mana"" Gadis itu tersenyum lagi. Senyum yang penuh godaan. "Ke Blok M, nih. Mau shopping. Anterin, yuk""
Lupus agak kaget. Agresif banget cewek ini. Dan tanpa menunggu ajakan kedua, beberapa saat kemudian, Lupus telah berjalan keliling-keliling blok M berdua cewek tadi. Dari situ dia tau, namanya Evan. Banyak sekali yang dibelinya. Seluruh pasar Blok M dikelilingi. Dan Lupus jadi agak risi ketika Evan dengan seenaknya menggan- deng tangan Lupus. Gimana kalau ceweknya tau"
Jam tiga siang, mereka berhenti di depan A-ha (maksudnya American Hamburger, bukan grup bandnya si Morten). Evan mengajak masuk. Lupus jelas menolak, meski dia merasa sangat lapar dan haus.
"Ayo deh, saya yang traktir, kok...," rayu Evan.
"Bukan masalah itu. Saya kan puasa!" "Batal sehari kan nggak apa-apa. Ayo deh, kan capek lho udah keliling-keliling. Dikiiit aja. Yuk"" "Kamu ajah deh, saya nggak."
"Ya..., kok gitu. Nggak seru, ah. Tadi kita kan udah bareng. Ayo dong, Anak manis!"
Dan jebollah pertahanan Lupus. Akhirnya dengan langkah sedikit ragu, dibarengi celingak- celinguk kanan-kiri, takut kepergok orang rumah, Lupus masuk ke A-ha. Langsung dipesankan steak, strawberry milk-shake dan sprite dingin.
*** Hari mulai senja ketika Lupus melangkah masuk ke rumahnya. Saat itu ibunya masih sibuk kerja di dapur. Memasuk-masukkan makanan ke rantang. Sepeninggal ayah Lupus, ibunya memang buka usaha katering. Lumayan, buat menyambung hidup, komentarnya. Dan hasilnya memang luar biasa. lbu Lupus termasuk wanita yang ulet, yang tak menyerah kepada takdir. Seperti sekarang ini, dia masih tetap bekerja meski puasa. Berbeda dengan Lulu, adik Lupus. Kerjanya kalo puasa tidur melulu. "Itu lebih baik daripada nggosip!" belanya suatu ketika.
Lupus masuk ke ruang tengah dengan perlahan. Tapi ibunya melihat.
"Eh, Lupus. Baru pulang" Itu lbu bikinkan kolak pisang kesukaan kamu buat buka puasa. Cepat mandi, sebentar lagi beduk, lho-!"
Lupus tercekat. lbunya yang sibuk itu masih sempat membikinkan makanan kesukaannya. Betapa ingin dia membahagiakan anak-anaknya. Sedang Lupus"
"Lho, kok malah bengong" Lapar, ya" Tahan aja sedikit. sebentar lagi buka. kok. Cepat mandi biar segar .... "
Tanpa berkata apa-apa. Lupus langsung nge- loyor ke kamar mandi. Dan sempat ketemu Lulu di depan kamar. "Eh, Lupus, udah pulang. Itu ada oleh-oleh buat kamu. Sekotak permen karen. Tadi ogut iseng beli waktu nganterin lbu ke pasar. Hayo, kamu masih puasa nggak""
Lupus makin terpojok. Di kamar mandi, dia ingin teriak keras-keras. Meneriakkan ganjelan hatinya. Dia memang ngaku masih puasa sampai kini. Dia tak ingin mengecewakan semuanya. Tapi, siapa sangka kalau membohongi diri sendiri itu lebih menderita daripada ngebohongin orang lain
*** Beduk magrib berdentum di kejauhan. Diiringi oleh teriakan azan. Saat itu Lupus malah berlari ke telepon umum di depan rumahnya.
"Halo" Bisa bicara dengan Evan"" "Ya, ini Evan .... "
"SEJUTA TOPAN BADAI BUAT KAMU!!!"
10. Tante Neli "Beli kolor ni yee .... "
Sapaan serempak dari arah belakang mengagetkan Lupus yang lagi asyik mengaduk-aduk bak obralan di toko pakaian. Dengan spontan dia melepas barang antik yang tadi dia pegang, lalu membalik ke arah sumber suara tadi. Di situ berdiri Ita, Meta, dan Utari. Dengan senyum yang mengembang. Lupus malu berat. Padahal tadi dia sudah begitu berhati-hati. Lirik kanan-kiri untuk menyakinkan bahwa tak ada orang yang dikenal- nya di sekitar situ. Dia ingin sekali membeli beberapa celana dalam baru untuk mengganti dia punya yang sudah pada melar-melar karetnya. Tapi, kok ya kepergok teman juga. Cewek lagi! Tiga cewek mini ini memang ke mana-mana selalu bertiga. Makanya sering dijuluki trio the kids . meski mereka sama sekali nggak setuju dengan julukan itu. Hobi mereka gila-gilaan: keliling- keliling pasaraya cuma untuk mergokin orang- orang yang belanja. Syukur-syukur bisa minta traktir. Lupus suka heran, apa mereka nggak takut dikira anak hilang nantinya"
"Apa khabar, Pus" Abis lebaran kemaren kok nggak nongol-nongol lagi" Makin langsing aja. Oya, poni kamu juga masih tetap gondrong tuh. Ce
ritanya mau nyaingin john Taylor, ya" Moga-moga aja mata kamu nggak kelilipan tiap menit. Moga-moga cuma sedikit juling. hehehe... nggak apa-apa kok juling dikit. Buktinya si Vina Panduwinata, biar bola matanya suka rada juling, tetap aja kece. Iya, nggak"" cerocos Meta.
Lupus cuma mengangguk. Nurut aja.
"Terusin aja milihnya, kok jadi diem" Buat lebaran, ya""
"Enak aja! Lebaran kan udah lewat!"
"lya. Lebaran taun depan... hahaha .... "
Dan tiga cewek itu pergi lagi. Cari mangsa baru. Lupus sudah nggak semangat lagi mau milih-milih. Dia langsung ke tempat bakery. Beli beberapa roti pesanan ibunya untuk menyambut tamu agung di rumahnya.
*** Sore hari, tamu agung yang ditunggu-tunggu datang. Ibu Lupus dan Lulu menyambut dengan hangat. Lupus yang baru bangun tidur, ogah- ogahan ikut ke depan.
"Here comes the grump," komentarnya yang langsung di- hush oleh ibunya. Dan tamu agung itu tak lain adalah Tante Neli. Kakak tertua ibu Lupus yang luar biasa cerewetnya. Turut serta dalam rombongan, kakak nomor dua ibu Lupus dan Ridwan, anak Tante Neli. Mereka semua datang dalam rangka akan menghadiri upacara pernikahan anaknya Tante Mia.
Lupus sebetulnya kurang suka rame-rame begitu. Apalagi kalau sampai terpaksa tidurnya digusur ke ruang tengah, karena kamarnya dipakai. (Maklumlah, kamar di rumah Lupus tak banyak). Wah, sedih sekali. Nyamuk di situ Iuar biasa ganasnya. Lupus yang memang kurang begitu hobi tidur dikerumuni nyamuk (lagi, apa iya ada yang suka begitu" Kahu dikerumuni cewek sih boleh aja!), jelas jadi merasa tersiksa.
"Lupus, ini lho ada Ridwan!" sahut ibunya ketika Lupus malah buru-buru balik takut kamarnya di-booking. Lupus juga kurang suka pada makhluk kesayangan Tante Neli ini. Si Ridwan. Dia suka cari muka dan meremehkan orang lain. Kalau bukan saudara, pasti sudah diajak musuhan oleh Lupus dari dulu-dulu.
"Hei, apa kabar Lupus!" sapanya dengan gaya yang dibuat-buat.
Lupus cuma nyengir. Lalu membiarkan makh- luk itu bercerita panjang lebar sama Lulu. Biasa, cowok memang begitu. Dan bersikap sok jentel di depan Lulu dan tante-tante yang lain. Bolak-balik membawa keranjang yang berat-berat. Nggak kaya Lupus yang malah sibuk bongkar-bongkar oleh-oleh. Kali-kali aja ada permen karet.
*** Besoknya Lupus pulang ketika hari sudah senja. Letih, karena sepulang sekolah langsung me- nyelesaikan laporan di kantor majalahnya, dia terus menuju kamar tidur. Untung makhluk yang bernama Ridwan itu sudah pulang sejak pagi tadi. "Belum liburan," katanya. Syukurlah. Setelah mengganti baju sekolahnya. Lupus Iangsung melompat ke tempar tidur. Wah, betapa nikmat- nya! Pusing-pusing sedikit yang tadi merongrong di jalan, berangsur-angsur hilang bersama terbang- nya dia ke alam mimpi.
Namun, belum lagi tertidur pulas, dia mendengar suara beduk bertalu-talu. Serasa jauuuh sekali. Lupus setengah sadar setengah tidak, menajamkan pendengarannya. Apa iya sudah magrib" Kok cepat sekali" lni bukan bulan puasa, tapi yang namanya tidur di waktu magrib tetap saja bisa dianggap kualat. Setidaknya, ini kata Wak Haji. Tapi, eh, kok beduknya rada lain bunyinya" Dan rasanya terdengar semakin dekat dan dekat sekali. Lupus terjaga. Ealah, ternyata bukan beduk. Tapi ada orang menggedor-gedor pintu kamarnya. Oh, God! Siapa makhluk yang tak berperikemanusiaan itu" Keluh Lupus yang dengan malas langsung membuka pintunya sedikit. Seperti juga matanya yang terasa berat unruk dibuka.
Di situ tersembul wajah Tante Neli yang tertekuk. "Kamu ini bagaimana sih" Datang- datang langsung tidur. Tak punya kesadaran sama sekali! Lihat ibumu yang sibuk ngurus pesanan masakan para langganan di dapur. Bantu-bantu sedikit, kek! Bungkusin kerupuk atau apa gitu!" semprotnya nggak tanggung-tanggung.
"No way!" sahut Lupus pendek dan langsung mengunci kamarnya. Sesaat kemudian dia sudah asyik tiduran lagi, sambil menutup kepalanya erat-erat dengan bantal. Di luar Tante Neli masih marah-marah dan menggedor-gedor. Tapi Lupus tak peduli.
Tante Neli, begitu tepat nama itu untuknya. Dia memang persis nenek-nenek cerewet yang kelin- cahan. Lupus bukannya tak mau bantu
ibunya, tapi dia memang benar-benar letih. Ibunya iuga maklum. Dan lagi, bukankah ibunya sudah mempunyai empat orang pembantu yang siap menolong setiap saat" Ditambah Tante Neli dan tante-tante lainnya yang bisa digunakan tenaga- nya, daripada nggosip nggak keruan. jadi, dasar aja Tante Neli yang nggak bisa lihat orang senang! Begitu kesimpulan yang diambil Lupus. Dan dia pun bisa melanjutkan tidumya dengan tenang. Tanpa merasa berdosa.
Tapi kesimpulan itu memang tak terlalu salah. Seperti keesokan sorenya ketika Lupus lagi asyik main ayunan yang diikatkan pada pohon jambu bersama Lulu. Lupus mendorong kuat-kuat, sehingga ayunan itu terayun gila-gilaan, membuat Lulu menjerit ketakutan. Di tengah keasyikan itu, Tante Neli tiba-tiba muncul dengan jeritan histerisnya, "Hei, hentikan! Hentikan! Lihat daun-daun jambunya pada berjatuhan. Ayo, bersihkan! Kalian ini bagaimana, sih" Sudah pada gede-gede juga masih kayak anak kecil tingkahnya. Kalian pikir tidak berbahaya main ayun-ayunan Kencang-kencang begitu" Nggak punya otak! Kamu juga, Lupus, kamu kan anak laki-laki tertua. Satu-satunya lagi. Kamu seharusnya bisa meng- gantikan kedudukan ayahmu almarhum. Bersikap- lah dewasa sedikit, tidak seperti anak kecil begitu. Boro-boro deh mau bantuin ibu kamu kerja .... "
Begitulah usilnya Tante Neli. Bahkan hiburan Satu-satunya yang mereka miliki juga dilarang. Terpaksa sore itu Lupus dan Lulu kena setrap untuk menyapu seluruh halaman belakang rumah yang cukup luas itu. Ayam-ayam yang berkeliaran di situ, sengaja mondar-mandir terus dekat Lupus. Seolah mau meledek. Soalnya mereka tadi agak terganggu ketika lagi asyik-asyik tidur di atas pohon jambu, tiba-tiba pohonnya bergoyang- goyang ikut terayun. Dengan keki, Lupus menyambit ayam-ayam sialan itu dengan sapu lidi.
"Lupus, kalau kerja yang betul. ya!" lagi-lagi terdengar teriakan Tante Neli.
Dan begitulah. selama ada Tante Neli, hidup di rumah serba nggak bebas. Dia sok ngatur sana-sini. Sampai ibu Lupus juga suka diatur-atur. Bangun harus jam berapa, jangan kemalaman nonton tivi, de el el. lbu Lupus cuma senyum- senyum aja ketika Lulu mengadukan semua kejengkelannya.
"Tantemu itu bermaksud baik. Dia memang orang yang teliti dan sangat disiplin."
Tapi Tante Neli orangnya memang suka panikan juga. Suka ribut-ribut sendiri. Pernah pulang sekolah, Lupus dengan terengah-engah lari-lari masuk ke rumah. langsung ngoceh, "Gila, Iho, tadi di pasar ada yang dikeroyokin orang. Sampai berdarah-darah. Kasihan sekali. Hampir orang sepasar ikut mengeroyoki!"
Tante Neli langsung berdiri panik. "Siapa"Siapa orangnya" Kasihan betul! Tega, benar-benar nggak berperikemanusiaan orang-orang zaman sekarang ini. Terus bagaimana nasib orang itu" Masih hidup" Siapa, Lupus" Pelajar" Atau pencuri""
"Bukan. Tikus.... " sahut lupus tenang dan langsung masuk kamar.
*** Lupus juga paling kesal kalau tante itu mulai membicarakan dirinya saat saudara-saudara yang lain pada kumpul di rumah Lupus. Dia suka membanding-bandingkan Lupus dengan Ridwan.
"Saya tak bisa mengerti anak itu. Kalau Saudara-saudaranya lagi pada kumpul-kumpul begini, dia pasti tak mau keluar. Kerjanya men- dekam di kamar terus. Tak ada sedikit pun rasa hormat atau perhatian pada kita, para sesepuh. Padahal kalau ada apa-apa, kita juga yang nolong. Kalau diajak bicara, suka sembarangan menjawab sampai terus mengunyah permen. Betapa tidak sopannya. Tamu dari jauh seperti saya ini, tidak pernah disambutnya dengan hangat. Atau ketika Tante Mia diopname, dia sama sekali tak menjenguk!"
Lupus jadi kena tegur ibunya. Ya. dia memang lebih menyambut hangat oleh-oleh yang dibawa daripada orangnya, kalau kedatangan tamu dari jauh.
"Abis percuma, Bu. Kalau saya ada atau tidak, kan tak ada pengaruhnya buat beliau-beliau. Seperti juga menjenguk Tante Mia, apa lantas setelah saya jenguk dia lantas langsung sembuh" jangan-jangan malah bertambah parah...." jawab Lupus membela diri. "Sebab, apa sih arti seorang Lupus buat mereka""
"Tapi kamu nggak boleh begitu, dong!"
Lupus memang tak suka basa-basi. Sama ketika ibu Lupus akhirnya jadi ikut ke Band
ung, ke rumah Tante Neli untuk melihat rumahnya yang baru, serelah acara perkawinan selesai.
"Boro-boro mau mengantar sampai ke Ban- dung. Bantuin mengangkat kopor ibunya sendiri saja tak mau. Benar-benar anak tak tau diri. Tak tau berterima kasih kepada orang tua. Lain sekali dengan Ridwan. Biar mau ujian, dia pasti mengantar kalau saya mau ke Jakarta," kata Tante Neli ketus. Lupus jadi merah mukanya dan pergi dari situ. Dia paling tak suka kalau sudah dibanding-bandingkan dengan orang lain. Bukan- nya Lupus tak mau mengangkat kopor, tapi bawaan ibunya kan cuma sebuah tas kecil yang bisa dibawa dengan mudah, jadi buat apa berbasa-basi membawakannya" Dan lagi, kenapa harus diban- drngkan dengan Ridwan yang tak disukainya itu"
*** Sepeninggalan Tante Neli, keadaan rumah jadi sepi. Lupus jadi sering mikir, benarkah ia tak mempunyai rasa hormat seperri yang dikatakan Tame Neli" lbu Lupus memang tipe ibu yang tak banyak omong. Dia selalu mengerjakan apa- apanya sendiri tanpa banyak tuntutan. Tuntutan kepada anak-anaknya agar mau membantu atau mau dihormati. Dia tak pemah mengganggu kalau Lupus lagi tertidur nyenyak di kursi panjang saat mendengarkan kaset. Dia rela menunggui Lupus yang belum pulang sampai tengah malam. Dia tipe Ibu yang mengabdi, seperti ibu-ibu lainnya. Tanpa pernah menuntut imbalan.
Tapi apakah selama ini sikap itu membuat Lupus jadi tak hormat padanya"jadi seperti dimanjakan- nya" Apakah ibunya terkadang iri dengan Ridwan yang penuh perhatian pada Tante Neli itu" Yang pandai membawa diri kala berkumpul dengan keluarga lain" Yang selalu menjadi kebanggaan, karena suka menganrar ke mana ibunya pergi. meski ada ujian" Yang suka memijiti kaki ayahnya kala pulang kanror"
Lupus jadi melamun terus. Dia memang melihat pancaran duka yang terbersit sedikirt dari mata ibunya, ketika Tante Neli menyindir Lupus. Dan Tante Neli seakan hendak menunjukkan, bagaimana mendidik anak yang baik, seperti caranya itu. Penuh disiplin!
*** Lupus lagi asyik tiduran, ketika Lulu mengge- dor-gedor pintu sambil berteriak, "Bangun. Pus, Ibu pulang tuh! lbu pulangl" Tanpa pikir panjang lagi, Lupus Iangsung melompat dan berlari ke luar kamar. Menyusul Lulu yang sudah duluan menyambut.
"Kok lama, Bu, di Bandungnya" Kirain nggak inget pulang," kata Lulu. Ibunya cuma tersenyum sambil memerintah sopir taksi umuk menurunkan barang-barang bawaannya dari bagasi.
"Gimana keadaan rumah, Pus" Baik-baik saja""
"Tentu dong, Bu. Semuanya lancar. Kok lama di sananya" Betah, ya""
lbunya terdiam sebentar. Lalu memandang Lupus dan Lulu bergantian.
"Sebetulnya Ibu mau pulang lebih awaI. Nggak tega ninggalin pekerjaan yang menumpuk di rumah. Tapi..."
"Lho, ada apa sih, Bu...""
"ltu lho, anaknya Tante Neli, si Ridwan, dia terlibat beberapa kasus yang harus berurusan dengan polisi .... "
"Ridwan" Memangnya dia kenapa""
"Rupanya sepeninggal Tante Neli ke jakarta, dia berbuat sesuatu yang kurang baik. Mengajak teman-temannya menginap di rumah yang baru. Pakai bawa-bawa perempuan segala. Dan ketika digebrak polisi, ternyata di sana juga terdapat beberapa obat terlarang. Saat itu ayahnya kan lagi tugas di Semarang, jadi lbu terpaksa tinggal beberapa hari menemani Tante Neli mengurusi perkara itu."
Lulu dan Lupus terdiam. Mereka saling berpandangan. Suasana menjadi hening.
"Itulah. Bu." sahut Lulu setelah beberapa saat. "Pada akhirnya fakta juga yang berbicara. Kita meski bandel-bandel, tetapi masih dalam batas kewajaran .... "
"Ya, ya. Ibu akui bahwa pada akhimya, Ibu lebih bangga pada kalian," sahutnya sambil menggandeng kedua anaknya masuk rumah.
"Eh, Lupus. Kamu tidak membawa masuk Barang-baraang itu"" kata ibunya tiba-tiba, setelah berada di dalam.
"O iya, lupa. Sori deh...," sahut Lupus cengar-cengir sambil buru-buru lari ke luar lagi. Ibunya cuma geleng-geleng kepala.
"Kadang Ibu pikir Lulu benar juga. Ibu akan lebih kebingungan kalau kehilangan sendok daripada kehilangan kamu, Pus!"
Lupus dan Lulu tertawa berbarengan.
tamat Penelitian Rahasia 1 Pedang Siluman Darah 5 Hidung Belang Penghisap Darah Sembilan Pembawa Cincin 10
Kini keadaannya tidak lebih dari tikus yang baru kejebur got. Basah kuyup. Rambutnya yang tadinya keren, kini mlepek. Bisa dibayangkan, betapa dongkolnya dia. Bagaimana bisa datang ke rumah Poppi dengan keadaan basah kuyup begini" Betapa memalukan. Dan apa kata orang tuanya nanti"
Kini dia pun dilanda dilema. Tetap datang atau balik ke rumah. Kalau balik ke rumah. tak bisa dibayangkan, betapa terpingkal-pingkalnya Lulu melihat rambut Lupus yang kini benar-benar basah, bukan hanya efek basahnya saja. Ah, itu tidak boleh terjadi. Lagi pula sudah kepalang tanggung, rumah Poppi sudah beberapa kilometer lagi.
*** Sesampainya di Cilandak, hujan masih turun. Lupus cuma berjalan lemas ke tempat pember- hentian bis, dan menyandar lemas pada tiang penyangga. Benar-benar don t know what to do. Tak ada gairah lagi untuk terus ke rumah Poppi yang tinggal beberapa meter lagi. Semuanya sirna bersama tetes air huian yang membasahi tubuhnya. Lupus mengusap wajahnya dengan sedih. Baru kali ini dia merasa begitu menderita. Kedinginan sekujur tubuh. Bibirnya pun mulai membiru. Setengah mati menahan air matanya yang hendak berbaur bersama air hujan, karena kesal. Tidak, saya harus pulang! Harga diri saya bakalan jatuh di pasaran! batinnya.
Dan dia hendak melangkah pergi, ketika matanya tertumbuk pada seorang gadis yang berpayung beberapa langkah dari situ.
Lupus mencoba mtnghampiri.
"Poppi"" tanyanya ragu. Gadis itu terkejut dan menoleh. "Lagi ngapain, Pop""
"Ya, Tuhan, Lupus. Kok basah kuyup begini" Dan bibir kamu itu... birunya! Aduh, kamu kehujanan. ya"" berondong Poppi sambil meng- guncang-guncangkan bahu Lupus.
"Enggak!" sahut Lupus kering
"Ayo ke rumah. Saya udah cemas banget, lho. Saya pikir kamu nggak bakalan datang, hujan-hujan begini .... " sahutnya lagi sambil menarik tangan Lupus.
"Tapi saya malu, Pop. Basah kuyup begini .... "
"Kenapa malu" Saya malah bangga, karena kamu bela-belain dateng meski hujan deras, itu kan tandanya kamu bertanggung jawab. Selalu menepati janji. Saya suka orang yang menghargai janji .... " sahut Poppi ceria. "Ayolah, nanti kamu kedinginan. Di rumah akan saya suruh sediakan air hangat, dan baju buat ganti. Biar nggak masuk angin .... "
Lupus jadi terharu. "Satu pertanyaan lagi, Poppi. Apa kamu lagi nungguin saya dengan berpayung kaya tadi""
"Pertanyaan jelek! Abis nunggu siapa lagi dong" Saya pikir kamu belum basah kuyup begini. jadi saya bawain payung. Tapi ternyaxa kamu doyan basah-basahan. Senang mandi hujan. Dasar, masa kecil kurang bahagia, ya""
Lupus tersenyum kecut. Nah, kan, punya pacar itu enak"
7. Some Things Are Better Left Unsaid
MALAM telah larut (emangnya gula"), ketika Lupus dan Anto melintasi jalan sepi sekitar kuburan Belanda. Udara dingin menggigit, dan bunyi- bunyi jangkrik nyaring di kejauhan. Seperti hendak mendramatisir keadaan. Dan memang, suasana di situ hening sekali. Bibir Lupus saja terkatup rapat, sama sekali tak berminat memecah- kan kesunyian yang mencekam. Bukan apa-apa, nanti jangan-jangan dia malah kaget sendiri. Sementara Anto, temannya yang pendiam itu, tak mencoba mengakrabkan suasana. Padahal di daerah ini, dia tuan rumahnya. Lupus kan cuma pendatang. Diajak menginap, mumpung besok ada libur sehari. Kalau mau tahu hari libur besar atau tanggalan merah, tanya saja pada Lupus. Dia memang paling hafal. Jauh-jauh hari kerjaannya memang cukup ngafalin begituan. Hobi kayanya.
Dan sekarang, mereka berdua baru saja pulang dari nonton midnight di bioskop murahan dekat pasar
inpres. Nomon film lamanya Linda Blair, Hell Night. Serem juga. Tak heran kalau kini mereka masih merasa tegang. Mana pulangnya lewat kuburan, lagi.
"Nto, nggak ada jalan lain yang lebih sepi, ya"" Akhirnya Lupus nggak betah diam melulu.
"Lho-kamu bilang tadi kita cari jalan yang terdekat. Ya, di sini ini. Kalau lewat jalan raya. udah nggak ada kendaraan. Bisa sih, jalan kaki, tapi nyampenya besok. Kan rada capek juga lho! Memang serem juga lewat sini. Apalagi kalau kamu pernah dengar cerita-cerita aneh yang sering terjadi di sini. Seperti minggu lalu. Pak Karta-yang biasa jaga malam itu-cerita bahwa dia melihat seseo- rang berjalan tanpa kepala di kuburan di sebelah sana. Dia menjinjing sesuatu, yang nggak taunya kepalanya sendiri .... "
Lupus cepat-cepat menutup telinganya. Dia keki berat. Lagi seram-seram begini malah cerita yang nggak keruan.
"Lho, kamu nggak percaya, Pus" Beneran, kok. Pak Karta orang jujur, saleh, dan hampir nggak pernah bo ong, kecuali kalau nggak ada orang yang tahu bahwa dia bo ong...," sela Anto tanpa merasa salah.
"Anto, apa kamu nggak pernah diajari bagaima- na cara melawak yang baik"" ujar Lupus geram.
"Terserah kalau kamu nggak pereaya. Saya nggak maksa. Saya juga nggak lagi melawak. Kamu jangan nuduh sembarangan dong. Itu fitnah namanya. Dan fintah itu adalah perbuatan setan. jadi kamu sama aja dengan setan .... "
"Ya, dan saya akan mencekikmu bila kamu nggak mau berhemi berkicau!"
Tapi tiba-tiba keduanya terpekik perlahan, ketika terdengar suara botol dibanting tepat di dekat mereka.
Secara refleks, keduanya berpe- gangan. Memandang sekeliling dengan hati berdebar. Dan muncullah sebuah sosok yang seram dari balik pohon kamboja. Memandang sinis ke arah mereka.
"Sst..., itukah setan yang diliat Pak Karta" Kok ada kepalanya, ya"" bisik Anto ketakutan.
"Diam kamu!" Sosok itu mendekat. Diikuti oleh beberapa sosok tubuh lainnya. Rata-rata berwajah kasar dan seram. Anto berbisik pelan pada Lupus.
"Gawat, Pus. Itu bukan hantu. Mereka anak-anak berandal seberang kuburan sana! Mereka pasti mau bikin setori dengan kita!"
"GiIa, apa alasan mereka mengganggu kita"" sahut Lupus keras.
"Sst, jangan keras-keras. Ya, Tuhan, kamu bisa dihajarnya .... "
Dan kini wajah sosok yang pertama terlihat sudah sangat dekat di depan mata Lupus. Menatap tak berkedip dengan sorotan mata yang tajam. Lupus pun, seperti tak terjadi apa-apa, berbisik kepada Anto, "Kamu benar, Nto. Dia bukan hantu. Tapi lihatlah, dia mencoba menakut-nakuti kita dengan sorotan mata seperti itu. Dikira kita takut, ya ...."
Tapi bisikan Lupus cukup jelas terdengar oleh orang itu. Maknadengan sekali gerakan, kerah Lupus pun dicengkeramnya. Anto ketakutan setengah mati.
"Lu pikir gue hantu yang nakut-nakutin lu, ya" Lu mau belagak jagoan di sini" Anak mana lu sampe berani-beranian ngebacot di depan gue!" sahut orang itu kasar, sementara teman-temannya mulai mendekat.
Lupus memberontak, dan melepaskan cengkeraman tadi. Lalu mundur beberapa langkah dengan mata yang masih menatap berandalan tersebut. Anto segera menahannya, dan berkata terpatah- patah, "Ma-maaf, Bang. Kita berdua kemaleman pulang. dan mau numpang lewat sini. Kita nggak bermaksud mau koboi-koboian kok .... "
Berandalan itu meludah ke tanah. Lupus mau ikut-ikutan, tapi tenggorokannya kok ya terasa kering.
"He. lu punya duit nggak"" salah seorang temannya yang dari tadi diam, tak sabaran. Maju beberapa langkah. dan mencengkeram bahu Anto. Lupus yang nggak tegaan, langsung maju hendak menolong Anto. Tapi tangan lain menariknya keras-keras.
"Jangan, Bang. jangan pukul teman saya. Ini saya ada beberapa ribu. Ambil aja, Bang. Cuma itu uang kami!" sahut Anto cepat. Lupus pun didorong sampai jatuh di kaki Anto. Dia mencoba bangkit dan mau membalas. Tapi Anto menahan- nya, "Kalem. Pus. Mereka banyakan. Nggak ada gunanya melawan .... "
Akhirnya dengan beberapa ribu dan maki- makian kotor, mereka pun membiarkan Lupus dan Anto pergi. Setelah jauh, Anto menghela napas lega.
"Enak amat mereka minta-minta uang" Emang- nya jalan nenek moyangnya"" gerutu Lupus! Tapi, tentu sa
ja anak-anak berandalan itu tak mende- ngar. Wong mereka udah ngacrit.
"Ya, memang begitu kerjaan mereka. Ngom- pasin orang-orang yang lewat. Mereka-mereka itu sebenarnya tinggal nggak jauh dari rumah saya. Saya kenal sama yang tadi dorong kamu. Si jalil. Tapi memang saya nggak pernah main sama mereka. Ngapain! Kerjaannya saban malem nongkrong di jalanan. Godain orang yang lewat, atau sengaja cari gara-gara. Untung aja kamu nggak jadi ngelawan. Pus. Kalau mereka marah, habislah kita .... "
"Eeeee... emangnya saya berani""
*** Sore berikutnya Lupus masih di rumah Anto. Seharian mendekam di kamar sama Anto. Anto ini memang jarang ke luar rumah. Kerjanya cuma pasang kaset atau dengar radio seharian. Semua acara radio dari berbagai radio swasta, dia hafal. Sampai laporan ekonomi tentang harga pasaran bawang putih, bawang merah, bengkuang, kunyit, dan sejenisnya itu didengar dengan khusyuk sekali. Mau jualan apa"
Lupus yang tak ada kerjaan cuma menemani sambil membaca beberapa buku.
"Nto, saya pulangnya diundur besok aja, ya. Malam ini, saya mau ke markas para berandal yang tadi malam itu. Markasnya di dekat pos yang kemarin kamu bilang, kan""
Anto terkejut. "Gila. Ngapain ke sana" Mau cari penyakit" Lupakan uang kita yang amblas, Pus. Itu jalan yang terbaik. Nggak usah dipikirin terus. Dan jangan berlagak kaya jagoan. Di kandangnya, mereka lebih berbahaya lagi. Oh, Tuhan, lupakan pikiran gila itu, Pus. Nggak usah balas dendam. Ini kan bukan zamannya film koboi .... Lupakanlah!"
Lupus memang bukan tipe orang yang suka filsuf-filsufan dalam berbicara. Dia lebih condong pada orang yang berbicara seenaknya, polos, dan kadang bikin keki. Tapi kini dia menatap Anto dengan wajah serius.
"Ada hal-hal yang lebih baik kita lupakan dalam hidup ini. Apalagi pikiran-pikiran negatif yang hanya akan membuat kita resah. Tapi kamu nggak usah cemas, To. Saya bukannya jagoan yang mau mengobrak-abrik sarang mereka. Saya tertarik untuk mengungkapkan cerita yang mungkin menarik dari remaja-remaja macam mereka. Kenapa mereka tak betah di rumah seperti kamu" Atau, bagaimana mereka memandang masa depannya .... "
Anto terdiam, menatap bingung pada Lupus. Dia memamg sudah lama berkawan dengan Lupus, tapi hingga kini, dia sering tak bisa menebak bagaimana jalan pikiran Lupus sebenarnya. Dan dia benar-benar tak habis pikir ketika malamnya Lupus nekat pergi sendirian ke pos anak berandalan itu.
*** Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, Lupus baru pulang. Dengan wajah pucat karena mungkin semalaman tak tidur.
"Alhamdulillah, ternyata kamu masih hidup!" sahut Anto sambil menyerbu Lupus. Lupus cuma mencibir, lalu merebahkan tubuhnya di tempat tidur.
"Lho, kok langsung semaput" Kamu nggak di apa-apain""
"Apa hak mereka memukul saya" Saya datang secara baik-baik kok, dan dengan maksud yang baik juga!" jawab Lupus sombong. Tapi kalau kamu tau, bagaimana gemetarnya Lupus ketika datang ke markas berandalan itu, kamu pasti nggak bisa menahan nya. Untung saja bagian itu disensor.
"Memangnya mereka kenal kompromi juga""
"Nah, itulah kesalahan kamu. Kamu terlalu cepat menuduh orang lain jelek. Tanpa berusaha membuat pendekatan lebih dahulu. Saya nggak percaya ada orang yang begitu jahatnya di dunia ini sampai tak punya perasaan sama sekali. Kadang malah dari merekalah kita menemukan pribadi yang menarik. Seperti rasa setia kawan yang begitu hebat. Sampai-sampai rela mengorbankan kebaha- giaannya sendiri. Memang rasa setia kawan mereka kadang tak pada tempatnya. Suka merugikan orang lain. Tapi itu nggak selamanya benar. Makanya saya tertarik ketika kamu cerira banyak tentang perbuatan-perbuatan mereka yang selalu merugi " kan orang lain. Saya ingin membuktikan. apa itu benar" Kalau ya, atas dasar apa" Saya pun pergi ke sana. Mengadakan pendekatan dengan mereka. Meski memang tak mudah. Saya sampai keluar banyak uang untuk membelikan mereka rokok. Korban perasaan dan korban lain-lainnya, tetapi saya toh berhasil. Saya ngaku aja sebagai orang baru di sini. Saya nggak betah di rumah karena banyak problem keluarga. Saya ingin gabung dengan mereka. Dan mereka
pun menerima dengan terbuka. Pada dasamya, mereka selalu menaruh simpati pada orang-orang yang senasib dengan mereka. Mereka bahkan mau menolong saya. Nah, hebat, kan" Dari pengalaman semalam, mereka banyak cerita tentang dirinya, cara hidupnya, dan juga bagaimana mereka meman- dang masa depan. Ternyata luar biasa, Nto! Kebanyakan mereka ingin jadi ABR!. Pembela Negara. Hebat, kan" ltulah, mereka tak seharus- nya dimusuhi, malah patut dikasihi. Diberi harapan. Ini kan bagus buat bahan tulisan .... "
"Bahan tulisan" Maksud kamu, kamu pergi tadi malam itu untuk bikin tulisan di majalah kamu""
"Kok heran" Ini kan baik umuk tulisan yang bersifat human interest. Penulisan yang menonjol- kan sifat-sifat kemanusiaan yang memiliki banyak dimensi dalam hidupnya, kan menarik" Bisa menimbulkan rasa haru, simpati dari mereka- mereka yang dulunya tak pernah peduli dengan mereka. Siapa tahu setelah membaca artikel saya, anak-anak berandalan itu mau mengubah diri. Dan pandangan umum tentang mereka juga dapat berubah, sehingga yang tadinya nggak peduli, kini mencoba meraih mereka .... "
Anto terdiam. Lama. Seperti berpikir. Lalu berkara pelan, "Kadang, saya iri dengan kamu, Pus. Kamu selalu bisa berbuat seauatu dari apa-apa yang terjadi. Saya sering merasa iri. Kamu tau, saya adalah orang yang nggak pernah punya inisiatif. Apalagi untuk berbuat sesuatu bagi orang-orang yang paling saya benci. Saya yang sekian lama tinggal di lingkungan mereka, tak pemah punya pikiran seperti kamu. Saya jadi merasa sebagai orang yang tak berarti .... "
Kini giliran Lupus yang kaget dan terdiam. Agak lama. Sampai Anto mengira dia tertidur.
Tapi akhirnya terdengar suara Lupus, pelan, "Jangan punya pikiran begitu, Nto. Tuhan toh menciptakan berbagai orang dengan sifat yang berlainan. Saya justru yang ingin seperti kamu. Tanpa pernah merasa peduli atau terusik kalau ada kejadian apa pun. Yang bisa tidur enak, walau sejuta masalah hadir di benakmu. Sungguh! Saya ingin seperti kamu. Yang tak pernah merasa terpanggil, merasa bersalah, merasa tergoda kalau ada sesuatu yang terasa ganjil. Yang selalu menjalani hidup ini dengan tenang. Sedang saya" Mana bisa saya rertidur begitu mudah, saat sejuta masalah hadir di benak saya seperti ini .... "
Tapi menit berikutnya, Lupus sudah tertidur dengan nyenyaknya. Pakai ngorok segala. Semen- tara Anto tetap tak bisa menebak jalan pikiran makhluk Tuhan yang aneh ini ....
8. Kantin Sekolah TAU nggak, di SMA-nya Lupus cuma ada satu kantin. Terletak di ujung lapangan dan terlindung di balik pohon-pohon yang rindang. Tempat yang sangat strategis untuk ngeceng anak-anak yang berolahraga di lapangan, membolos pelajaran, numpang nggosip atau benar-benar mau makan (asal jangan nembak!). Hampir semua anak menyukai tempat itu, kecuali Lupus dan beberapa teman cowoknya. Dia jauh lebih suka meloncati pagar untuk jajan di luaran, daripada pergi ke kantin sekolah. Banyak hal yang memaksa Lupus berbuat begitu, meski risikonya kalau ketauan ke luar lingkungan sekolah pada saat jam-jam belajar, bisa disuruh membersihkan kamar mandi dan WC. Sebuah kerja paksa yang paling dibenci semua murid karena dirasakan tanpa kemanusiaan. (Bayangkan saja kalau kamu disuruh membersih- kan tempat di mana orang-orang justru membuang sesuatu yang paling kotor. Ih!)
Alasan pertama kenapa Lupus tak menyukai kantin rersebut, karena di sana sama sekali tidak dijual permen karet. Dan tega sekali, tuh! Padahal Lupus punya prinsip, lebih baik makan permen karet daripada tidak makan permen karet. Nah, itulah. Suatu ketika, Lupus pernah meminta ibu kantin yang janda itu untuk juga menjual permen karet barang satu stoples. Tapi usul itu ditolak mentah-mentah. Katanya bikin kotor. Karena ampas permen karet tidak dapat ditelan dan bisa mengotori dinding.
Alasan kedua, pelayanan di kantin ini sama sekali tidak efektif. Terutama untuk makanan- makanan primer seperti mie ayam, mie bakso, atau yang lainnya yang perlu dimasak dulu. Kalau mau pesan mie ayam sekarang, bisa-bisa besok pagi baru jadi. Kan agak lama juga tuh. Dan kita rada kurang sabar nungguinnya. B
agaimana tidak lama kalau setelah diselidiki ternyata yang punya kantin baru mengejar-ngejar ayam tetangga yang lagi bengong. Itu juga belum tentu dapat. Kalau misalnya sudah dapat, baru kemudian disembelih, dicabuti bulunya satu-satu, dibersihkan lagi, direbus, dan dipotong kecil-kecil untuk mie ayam. Alangkah kasihannya nasib si pembeli!
Pernah waktu pelajaran koseng, Lupus kelaparan. Belum sarapan. Mau makan di luaran, situasi kurang memungkinkan, karena tak bisa mengon- trol kelas yang siapa tau gurunya tiba-tiba datang. Maka Lupus pun pesan mie bakso di situ. Sengaja mie bakso, karena dengan begitu berarti dia tak usah menunggu yang punya kantin berkejar-kejar ria dengan ayam-ayam yang berkeliaran itu. Tapi ditunggu-tunggu ternyata lama sekali. Mungkin baksonya baru dibikin. Setengah jam lebih belum jadi juga. Sampai guru kimia yang galak, sok disiplin, konyol namun adil dalam memperlakukan murid itu nongol di ujung koridor. Kontan saja Lupus, masih dengan semangat 45, pontang- panting lari menuju kelasnya. Soalnya kalau terlambat selangkah saja di belakang guru kimia itu, jangan harap diperbolehkan masuk kelas. Itu peraturan yang dia... eh, beliau terapkan. Dan konyolnya, begitu melihat Lupus lari-larian menuju kelas dari arah yang berlawanan, sang guru itu pun ikut-ikutan lari. Maka, terjadilah adu cepat-cepatan masuk kelas. Syukurlah, perlomba- an itu dimenangkan oleh Lupus dengan selisih jarak yang kecil sekali. Dan dengan senyum kemenangan, Lupus berjalan masuk kelas. Dia berhak mengikuti pelajaran kali ini.
Namun ketika pelajaran sedang berlangsung, seorang pesuruh dari kantin mengetuk pintu kelas untuk mengantarkan mie bakso pesanan Lupus. Kontan saja Lupus kaget dan jadi bahan tertawaan anak sekelas.
Tapi sekarang ada cerita baru tentang kantin sekolah itu. Anaknya ibu kantin yang sekolah di Bandung datang. Dan ikut melayani di kantin tersebut. Gila, cakep juga! Dan pelayanannya bisa lebih cepat lagi. lni kan jadi menarik perhatian cowok-cowok yang tadinya suka jajan di luar, kecuali Lupus. Karena dia masih keki dengan pendiskriminasian mereka untuk tidak menjual permen karet.
Bisa ditebak, anak yang paling ribut kalau ada barang baru yang cakep adalah si Boim, playboy Duren Tiga. Pagi-pagi sekali, waktu Lupus baru memasuki kelas, dia sudah ngocol ke sana kemari. Ribut sekali, kaya orang kebakaran janggut.
"Hei, Kucing! Kok dua hari ini nggak masuk" Gimana..., emak lu baek"" sapanya begitu melihat Lupus.
"Baek. Emang kenapa" Mau diaduin sama emak lu"" balas Lupus seenaknya.
Boim nyengir, lalu tanpa tedeng aling-aling dia langsung ngoceh tentang anaknya ibu kantin.
Tapi bukan hanya Boim saja. Semua anak cowok kalau ada pelajaran kosong atau waktu istirahat, selalu betah nongkrong di kantin. Jajan nggak jajan pokoknya ngumpul. Puas biar cuma memandangi wajah cantik anak ibu kantin. Oya, nama itu lndah. Tentu saja primadona-primadona SMA Merah Putih ini pada keki berat dapat saingan begitu. Pasaran mereka jatuh drastis. Bangsanya Elsa, Ayu, Svida, atau Ruri (yang terakhir ini nggak kece, tapi suka sok kece. jadi daripada nangis, lebih baik diikut-sertakan. itung-itung amal.) yang biasa suka ber ge-er ria kalau lagi digodain, kini ditegur pun jarang. Apa nggak bikin sebel tuh"
"Huh, baru anak tukang jualan aja direbutin. Dasar cowok di sini seleranya rendah semua!" maki Ruri, si biang gosip.
"Bukan selera kita rendah...," balas Irvan membela kaumnya, "tapi kalian-kalian sudah terlalu uzur buat digodain. Makanya, rajin-rajin dong sembahyang, biar masuk surga .... "
Ruri makin dongkol. "Tapi anak itu memang benar-benar kece, Pus. Tempel aja!" promosi David kepada lupus, di suatu siang nan gersang.
"Dikata salonpas apa" Maen tempel aja!" balas Lupus spontan.
"lya, Cing, kamu kok nggak pernah ikutan nongkrong di kantin, sih" Bego. Saya lagi naksir berat nih sama dia. Gimana ya caranya sampai dia tau kalau saya naksir" Ayo dong, Pus, kamu kan suka banyak ide!" Lagi-lagi Boim ngegombal. Lupus ogah-ogahan mendengar celoteh Boim. Dia malah lagi mikir, gimana bisa tidur enak di kelas tanpa diganggu cecuru
t macam Boim begini. "Say it with flowers!" jawab Lupus sekenanya. Tapi reaksi Boim benar-benar luar biasa. Ide yang cemerlang, teriaknya. Keesokan harinya, pagi- pagi sekali, dia sudah membawa seikat bunga buat anak ibu kantin itu. Dan bisa ditebak, cintanya ditolak!
*** Tapi belum sampai tiga hari sejak kedatangan Indah, kantin sekolah tiba-tiba ditutup. Begitu mendadak. Perintah pemboikotan kantin itu datang langsung dari Kep-Sek. Sang Kep-Sek ini shock berat ketika mendengar bahwa di kantin sekolah dijual juga minuman keras (bukan es, lho, tapi yang mengandung alkohol) dalam kemasan plastik. SMA Merah Putih, yang selama ini menjadi SMA teladan karena nama baiknya, yang para siswanya tak pernah terlibat perkelahian meski bersebelahan dengan sekolah lain (tentu saja, wong sekolah ini bersebelahan dengan SD inpres. Mana bisa diajak perang"), dan juga prestasi siswa-siswinya yang sering memenangkan cepat- tepat di TV (ini juga, setelah diselidiki ternyata mereka ikutan Cepat Tepat-Tingkat SLTP, tentu saja menang!), dan kebanyakan siswanya bisa masuk perguruan tinggi negeri tanpa ikut sipenmaru, tentu saja tak mau tercemar dengan berita mengejutkan macam itu.
Lupus tadinya tidak begitu ambil pusing, karena dia toh jarang jajan di kantin itu. Pengalaman buruk masa lampau cukup membuatnya kapok. Tetapi ketika suatu siang, sepulang sekolah dia ketemu lndah di dekat terminal Grogol, dia jadi ingin tahu. Soalnya lndah itu malah jualan makanan kecil buat para kondektur. Indah berusaha menghindar ketika tau Lupus itu siswa SMA Merah Putih. Tapi Lupus memergokinya.
"Kamu lndah, kan" Kok jualan beginian" lbu kantin sekarang di mana""
Indah cuma diam beberapa saat. Tapi kemudian dia cerita banyak. Tentang bagaimana hidup dia tanpa usaha kantin di sekolah Lupus.
"ltu penghasilan kami satu-satunya. Dengan begitu, setelah kejadian ini saya tak bisa melanjutkan sekolah lagi di Bandung. Terpaksa bantu-bantu ibu jualan makanan kecil .... " sahut Indah sedih.
"Tapi, kenapa kalian sampai bisa terlibat kasus penjualan minuman keras itu" Kekurangan duit, ya""
"Kami memang cereboh. Kami mau saja menerima titipan dagangan dari orang luar. Kami benar-benar tak tau kalau bungkusan plastik itu minuman keras. Bagaimana kami bisa curiga kalau yang menitipkan dagangan itu siswi SMA itu sendiri""
"Siswi SMA Merah Putih" Siapa" Kok kamu tidak lapor saja""
"Lapor" Mana mau mereka mendengar suara kami, kaum lemah" Mereka begitu mudahnya mengusir kami tanpa memberi kesempatan untuk membela diri!"
"Jangan berprasangka buruk. Mungkin sang Kep-Sek lagi panik. Soalnya terus terang. ini pukulan pertama bagi beliau. Apalagi dia itu jantungan! Ngomong-ngomong, siapa yang meni- tipkan minuman keras itu""
"Ruri." "Ruri"" Lupus tiba-tiba bisa menangkap latar belakang semua ini.
Dan sore harinya, Lupus sudah berada di rumah Ruri.
"Kamu jangan nuduh sembarangan dong! Kalau memang naksir anak tukang jualan itu bilang aja. Nggak usah berlagak sok pahlawan!" jawab Ruri ketus.
"Naksir dia" Oh, kamu salah, Ruri. Saya lebih baik memilihmu daripada dia. Tapi masalahnya, kau telah merampas mata pencarian utama mereka, sehingga lndah tak bisa melanjutkan sekolah. lni soal perikemanusiaan, bukan soal naksir-naksiran. Bayangin aja kalau hal itu terjadi pada diri kamu. Ayahmu di-PHK dengan mendadak, dan kamu terpaksa harus berhenti sekolah. Harus jualan serabi di terminal, hanya untuk bisa bertahan hidup. Ginmna, coba" Indah kan sudah tak punya ayah lagi...," celoteh Lupus tenang.
Ruri memang suka iri, sirik, usil, biang gosip, dan sederetan predikat jelek lainnya. Tapi dia toh tetap seorang wanita. Yang mempunyai perasaan. ltulah sela yang diserang oleh Lupus.
"Yang perlu kamu lakukan hanya lapor ke Kep-Sek. Bilang, mereka tak bersalah dan akui kesalahanmu. Saya tau, ini bukan kehendak kamu. Pasti ada pihak lain yang mempergunakan kesempatan ini." Ruri termangu. "Iya, Pus. Meski saya iri pada kecantikan Indah, tapi saya nggak akan sejahat itu. Minuman keras plastik itu diberikan oleh Tante Mari. Yang rumahnya dekat sekolah. Dia sengaja ingin menjatuhkan citr
a ibu kantin, karena saya tau Tante Mari ingin sekali menguasai kantin sekolah kita. Tak jarang dia mengejek masakan dan makanan yang disediakan oleh ibu kantin. Saya tak bisa mengerti, dia kan sudah punya banyak toko makanan di pasar-pasar, dan hidup serba kecukup- an. Kok ya masih mau merampas jatah orang!" sahut Ruri tanpa ekspresi.
"Saya percaya, ini memang bukan keinginanmu. Dan kamu masih bisa menebus dosa. Laporkan hal ini kepada Kep-Sek besok pagi. Dan kamu akan jadi pahlawan. Kamu telah menolong nasib orang lain yang menderita. Ayolah, Rur. Kalau Bob Geldof yang doyan kumpul kebo itu saja bisa menjadi malaikat penolong, kenapa kamu tidak" Biar begini-begini, kamu toh nggak doyan kumpul kebo. Iya, kan" Nah, makanya..."
Ruri cemberut. *** Pagi hari udara cerah. Lupus berjalan me- nyeberangi lapangan sekolah sambil menenteng tasnya di pundak. Dua hari sudah Lupus terpaksa bolos. Gara-gara disuruh meliput berita oleh majalahnya. Kini dia melewati kantin sekolah. Tersenyum lebar ketika melihat kantin itu kembali dibuka. Secara iseng, dia melongokkan kepalanya ke dalam kantin. Dan terkesima ketika melihat satu stoples penuh berisi permen karet terpampang rapi di meja tempat jualan.
"Eh, Nak Lupus. Kok baru kelihatan" Kemarin lndah mencarimu. Tapi nggak ketemu. Sekarang dia sudah kembali ke Bandung," sapa ramah ibu kantin mengejutkannya, "Mari masuk. Sudah sarapan" Mau dibikinkan mie bakso""
"Eh, enggak deh. Terima kasih, Bu. Saya cuma mau beli permen karet itu!"
"Ooo..., iya. Itu memang disediakan khusus untukmu. lndah yang memesankan. Oya, dia juga titip surat ini."
Dan pada saat itu Poppi masuk. Tersenyum sebentar pada ibu kantin dan langsung menarik Lupus ke luar.
"Hm, bagus ya! Ternyata kamu juga ikut-ikutan anak-anak ngejar si Indah. Ayo, mana suratnya. Biar saya yang baca!"
Lupus cuma melongo, tanpa bisa berbuat apa-apa.
9. Kolak Pisang buat Lupus
BULAN puasa adalah bulan suci. Bulan yang penuh berkah Tuhan. Tapi tak bisa dipungkiri, bahwa pada bulan-bulan seperti ini, kelesuan hampir menjalari wajah-wajah siswa SMA Merah Putih. Di mana kegiatan sekolah tetap dilaksanakan seperti biasa. Bisa dibayangkan, betapa sulitnya mereka mencoba berkonsentrasi pada pelajaran yang diterangkan, sementara perut masing-masing mereka asyik ber- keroncong-ria .
Tapi kata Wak Haji, kalau puasa itu nggak boleh dipikirin laparnya. Dosa, dan bisa dituduh nggak rela puasa sama Tuhan. Dan berpuasa bukan cuma nahan lapar dan haus. Tapi juga nafsu lainnya, termasuk ngomongin orang lain. Nah, ini yang kayaknya berat buat mereka. Bayangin aja, sebulan penuh nggak boleh nggosip di sekolah. Wu, mana tahan" Dan bagaimana dengan nasib Ruri yang biang gosip itu" Makanya di saat keluar main, kerjaan anak-anak cuma luntang-lantung, bengong, atau paling banter masuk perpustakaan, terus tidur. Tak ada yang nampak becanda. Boro-boro becanda, ketawa aja males. Habisnya banyak larangan yang bisa membatalkan puasa. Cowok dilarang ngeceng. Cewek juga. Dilarang pacaran, dilarang ngetawain orang, dilarang baca buku yang serem-serem . Pokoknya semuanya yang membangkitkan hawa nafsu. Mau main basket atau voli, segen. Takut haus.
Tapi itu tetap peraturan. Buktinya di pojokan perpustakaan, Ruri masih menyempatkan diri untuk nggosip sama teman-temannya. Lupus yang lagi nyari buku dekat-deka: situ, bisa memergoki. "Hayo, mulai ya nggosip lagi!"
Ruri kaget, tapi dengan cepat menjawab, "Enak aja nuduh. Kita kan cuma menceritakan sesuatu yang kurang sreg di hati. Daripada dipendam terus, malah bikin lapar"
"Apa bedanya" Kamu kira dengan kamu menemukan definisi yang baru macam itu, akan mengurangi dosa" Tunda aja nggosipnya sampai beduk magrib. Nanti begitu buka puasa, nah, buru-buru deh. telepon teman-reman terdekat kamu. Kali-kali aja Tuhan bisa memaklumi!" nasihat Lupus.
Ruri mendengus, lalu pindah ke bangku lain. Dan mulai nggosip lagi.
Dan Lupus meneruskan mencari buku. Di dekat jendela. dia memergoki Sri Sajita, cewek keraton yang akrab dengan panggilan Ita, lagi ngelamun sendirian (tentu dong, kalau ngelamun berdua mana enak").
"Hayo , ngelamun yang jorok-jorok, ya" Batal Iho!" goda Lupus, Ita terkejut.
"Ih, bikin kaget aja! Siapa yang ngelamun jorok""
"Kalau gitu, pasti ngelamunin doi yang dijawa, ya" Aduh, Ita, saya kan udah bilang, kalau kamu kesepian ditinggal merantau sama cowok kamu, buka cabang aja di sini. Buat iseng, supaya nggak ngelamun terus. Nggak dosa, kok. Dan bannyak yang mau. Seperti saya. misalnya .... "
Ita cuma mencibir. Tapi bulan puasa tidak selalu diisi dengan kemuraman. Bisa tambah Iapar. Kadang anak-anak juga ngumpul di depan kelas masing-masing. Bikin cerita lucu atau teka-teki yang aneh-aneh. Sampai beberapa hari, teka-teki itu mulai nggak sehat. Mulai dicari-cari. Tapi malah semakin lucu. Seperti teka-teki yang diberikan oleh Lupus: "Benda apa yang kalau siang ada di dapur, tapi kalau malam ada di pohon"" Semua pada mikir. Dan mulai berspekulasi umuk menjawab dengan sembarang- an. Sampai besoknya, Lupus baru memberikan jawaban.
"jawabnya adalah panci!"
Tentu saja semua anak pada protes. Bagaimana mungkin panci bisa berada di pohon di waktu malam"
"Lho, itu kan panci saya ini. Terserah dong saya mau taruh di mana aja...," elak Lupus yang langsung dimaki-maki penonton.
Dan canda-canda itu berlangsung sampai mereka tak sadar kalau hari mulai senja. ***
Meski sebenamya tak ada masalah, anak-anak sempat protes juga, karena sekolah belum libur meski sudah mendekati ulangan umum. Waktu istirahat untuk minggu tenangnya cuma dikasih dua hari. Sabtu dan Minggu.
"Itu sih cuma cukup untuk ngeraut pensil!" maki Rosfita. teman Lupus yang punya prinsip: jangan pernah mengecewakan orang yang nawarin makan.
Tapi Lupus lebih suka sekolah. Kalau diam di rumah, waktu bisa terasa berjalan lebih lama. Enakan cari kesibukan di luaran. Dan saat itu dia sedang berada di metro mini juruan Blok M. Sekadar mau jalan-jalan aja untuk killing time. Buang-buang waktu. Sebab, jarang lho orang di bulan puasa punya prinsip time is money. Mereka condong berprinsip time is time, faster is better. Dan Lupus setengah mati menahan diri untuk tidak memandangi cewek-cewek kece di pinggir jalan. Sok cuwek. Tapi, apa iya lihat cewek cakep bisa ngebatalin puasa" Padahal cewek cakep itu kan karunia Tuhan yang menyenangkan untuk dilihat. Masa iya kita harus pake kaca mata kuda" Apalagi menyia-nyiakan karunia Tuhan kan dosa, lho!
Terserahlah. Yang penting. Lupus jelas tak bisa menahan diri lagi ketika seorang eewek naik dan duduk tepat berhadap-hadapan dengannya. Gile, wajahnya benar-benar jet-set, kulitnya kuning langsat, rambutnya hitam panjang terurai, bibir- nya dipolesi lipstik merah muda yang tipis. Benar-benar mubazir untuk tidak dilihat. Dan... sempurnalah godaan itu.
Saat-saat pertama Lupus masih bisa menahan diri untuk tidak terus-terusan memandang. Cewek itu terlalu keren untuk ditaksir. Nggak bakalan ditanggapi. Dia mencoba mengalihkan perhatian- nya ke luar jendela. Tapi ternyata gadis itu mencuri-curi pandang ke arah Lupus. Lupus masih mencoba untuk tetap cuwek. Dia harus tabah, jangan tergoda. Untuk menghilangkan keresahan- nya, dia mencoba melamun. Dan tiba-tiba aja jadi ingat Mas Wedha, yang suka nggambar di majalah Hai. Dia itu, katanya sendiri. orang yang sangat tabah. Tahan godaan.
"Bagaimana nggak tabah." sahutnya suatu ketika, "walaupun bapak saya haji, tetangga dan lingkungan saya orangnya pada alim-alim, rajin sembahyang, rajin puasa, rajin tarawih, rajin mengaji, tapi saya tetap tak tergoda untuk ikutan puasa."
Lupus cuma ngakak. Dan kemarin, ketika Lupus ketemu dia lagi, Lupus iseng menegur, "Gimana, Mas, masih tetap tabah""
"Alhamdulillah masih...," jawabnya kalem. "Tuhan tau bahwa saya nggak bakalan kuat berpuasa. Jadi buat apa membohongi diri" Kalau saya puasa nantinya Tuhan malah marah. Menyangka saya orang yang sombong... sok ikut-ikutan .... "
Lupus sering tak bisa menahan senyum kalau ingat hal ini. Seperti sekarang, secara nggak sadar, dia tersenyum-senyum sendirian di metro mini. Di depan cewek cakep tadi. Dan, oh God, cewek itu membalas senyum nyasar dari Lupus. Gimana nggak ge-er"
"Halo." sapa Lupus berani. "Mau ke
mana"" Gadis itu tersenyum lagi. Senyum yang penuh godaan. "Ke Blok M, nih. Mau shopping. Anterin, yuk""
Lupus agak kaget. Agresif banget cewek ini. Dan tanpa menunggu ajakan kedua, beberapa saat kemudian, Lupus telah berjalan keliling-keliling blok M berdua cewek tadi. Dari situ dia tau, namanya Evan. Banyak sekali yang dibelinya. Seluruh pasar Blok M dikelilingi. Dan Lupus jadi agak risi ketika Evan dengan seenaknya menggan- deng tangan Lupus. Gimana kalau ceweknya tau"
Jam tiga siang, mereka berhenti di depan A-ha (maksudnya American Hamburger, bukan grup bandnya si Morten). Evan mengajak masuk. Lupus jelas menolak, meski dia merasa sangat lapar dan haus.
"Ayo deh, saya yang traktir, kok...," rayu Evan.
"Bukan masalah itu. Saya kan puasa!" "Batal sehari kan nggak apa-apa. Ayo deh, kan capek lho udah keliling-keliling. Dikiiit aja. Yuk"" "Kamu ajah deh, saya nggak."
"Ya..., kok gitu. Nggak seru, ah. Tadi kita kan udah bareng. Ayo dong, Anak manis!"
Dan jebollah pertahanan Lupus. Akhirnya dengan langkah sedikit ragu, dibarengi celingak- celinguk kanan-kiri, takut kepergok orang rumah, Lupus masuk ke A-ha. Langsung dipesankan steak, strawberry milk-shake dan sprite dingin.
*** Hari mulai senja ketika Lupus melangkah masuk ke rumahnya. Saat itu ibunya masih sibuk kerja di dapur. Memasuk-masukkan makanan ke rantang. Sepeninggal ayah Lupus, ibunya memang buka usaha katering. Lumayan, buat menyambung hidup, komentarnya. Dan hasilnya memang luar biasa. lbu Lupus termasuk wanita yang ulet, yang tak menyerah kepada takdir. Seperti sekarang ini, dia masih tetap bekerja meski puasa. Berbeda dengan Lulu, adik Lupus. Kerjanya kalo puasa tidur melulu. "Itu lebih baik daripada nggosip!" belanya suatu ketika.
Lupus masuk ke ruang tengah dengan perlahan. Tapi ibunya melihat.
"Eh, Lupus. Baru pulang" Itu lbu bikinkan kolak pisang kesukaan kamu buat buka puasa. Cepat mandi, sebentar lagi beduk, lho-!"
Lupus tercekat. lbunya yang sibuk itu masih sempat membikinkan makanan kesukaannya. Betapa ingin dia membahagiakan anak-anaknya. Sedang Lupus"
"Lho, kok malah bengong" Lapar, ya" Tahan aja sedikit. sebentar lagi buka. kok. Cepat mandi biar segar .... "
Tanpa berkata apa-apa. Lupus langsung nge- loyor ke kamar mandi. Dan sempat ketemu Lulu di depan kamar. "Eh, Lupus, udah pulang. Itu ada oleh-oleh buat kamu. Sekotak permen karen. Tadi ogut iseng beli waktu nganterin lbu ke pasar. Hayo, kamu masih puasa nggak""
Lupus makin terpojok. Di kamar mandi, dia ingin teriak keras-keras. Meneriakkan ganjelan hatinya. Dia memang ngaku masih puasa sampai kini. Dia tak ingin mengecewakan semuanya. Tapi, siapa sangka kalau membohongi diri sendiri itu lebih menderita daripada ngebohongin orang lain
*** Beduk magrib berdentum di kejauhan. Diiringi oleh teriakan azan. Saat itu Lupus malah berlari ke telepon umum di depan rumahnya.
"Halo" Bisa bicara dengan Evan"" "Ya, ini Evan .... "
"SEJUTA TOPAN BADAI BUAT KAMU!!!"
10. Tante Neli "Beli kolor ni yee .... "
Sapaan serempak dari arah belakang mengagetkan Lupus yang lagi asyik mengaduk-aduk bak obralan di toko pakaian. Dengan spontan dia melepas barang antik yang tadi dia pegang, lalu membalik ke arah sumber suara tadi. Di situ berdiri Ita, Meta, dan Utari. Dengan senyum yang mengembang. Lupus malu berat. Padahal tadi dia sudah begitu berhati-hati. Lirik kanan-kiri untuk menyakinkan bahwa tak ada orang yang dikenal- nya di sekitar situ. Dia ingin sekali membeli beberapa celana dalam baru untuk mengganti dia punya yang sudah pada melar-melar karetnya. Tapi, kok ya kepergok teman juga. Cewek lagi! Tiga cewek mini ini memang ke mana-mana selalu bertiga. Makanya sering dijuluki trio the kids . meski mereka sama sekali nggak setuju dengan julukan itu. Hobi mereka gila-gilaan: keliling- keliling pasaraya cuma untuk mergokin orang- orang yang belanja. Syukur-syukur bisa minta traktir. Lupus suka heran, apa mereka nggak takut dikira anak hilang nantinya"
"Apa khabar, Pus" Abis lebaran kemaren kok nggak nongol-nongol lagi" Makin langsing aja. Oya, poni kamu juga masih tetap gondrong tuh. Ce
ritanya mau nyaingin john Taylor, ya" Moga-moga aja mata kamu nggak kelilipan tiap menit. Moga-moga cuma sedikit juling. hehehe... nggak apa-apa kok juling dikit. Buktinya si Vina Panduwinata, biar bola matanya suka rada juling, tetap aja kece. Iya, nggak"" cerocos Meta.
Lupus cuma mengangguk. Nurut aja.
"Terusin aja milihnya, kok jadi diem" Buat lebaran, ya""
"Enak aja! Lebaran kan udah lewat!"
"lya. Lebaran taun depan... hahaha .... "
Dan tiga cewek itu pergi lagi. Cari mangsa baru. Lupus sudah nggak semangat lagi mau milih-milih. Dia langsung ke tempat bakery. Beli beberapa roti pesanan ibunya untuk menyambut tamu agung di rumahnya.
*** Sore hari, tamu agung yang ditunggu-tunggu datang. Ibu Lupus dan Lulu menyambut dengan hangat. Lupus yang baru bangun tidur, ogah- ogahan ikut ke depan.
"Here comes the grump," komentarnya yang langsung di- hush oleh ibunya. Dan tamu agung itu tak lain adalah Tante Neli. Kakak tertua ibu Lupus yang luar biasa cerewetnya. Turut serta dalam rombongan, kakak nomor dua ibu Lupus dan Ridwan, anak Tante Neli. Mereka semua datang dalam rangka akan menghadiri upacara pernikahan anaknya Tante Mia.
Lupus sebetulnya kurang suka rame-rame begitu. Apalagi kalau sampai terpaksa tidurnya digusur ke ruang tengah, karena kamarnya dipakai. (Maklumlah, kamar di rumah Lupus tak banyak). Wah, sedih sekali. Nyamuk di situ Iuar biasa ganasnya. Lupus yang memang kurang begitu hobi tidur dikerumuni nyamuk (lagi, apa iya ada yang suka begitu" Kahu dikerumuni cewek sih boleh aja!), jelas jadi merasa tersiksa.
"Lupus, ini lho ada Ridwan!" sahut ibunya ketika Lupus malah buru-buru balik takut kamarnya di-booking. Lupus juga kurang suka pada makhluk kesayangan Tante Neli ini. Si Ridwan. Dia suka cari muka dan meremehkan orang lain. Kalau bukan saudara, pasti sudah diajak musuhan oleh Lupus dari dulu-dulu.
"Hei, apa kabar Lupus!" sapanya dengan gaya yang dibuat-buat.
Lupus cuma nyengir. Lalu membiarkan makh- luk itu bercerita panjang lebar sama Lulu. Biasa, cowok memang begitu. Dan bersikap sok jentel di depan Lulu dan tante-tante yang lain. Bolak-balik membawa keranjang yang berat-berat. Nggak kaya Lupus yang malah sibuk bongkar-bongkar oleh-oleh. Kali-kali aja ada permen karet.
*** Besoknya Lupus pulang ketika hari sudah senja. Letih, karena sepulang sekolah langsung me- nyelesaikan laporan di kantor majalahnya, dia terus menuju kamar tidur. Untung makhluk yang bernama Ridwan itu sudah pulang sejak pagi tadi. "Belum liburan," katanya. Syukurlah. Setelah mengganti baju sekolahnya. Lupus Iangsung melompat ke tempar tidur. Wah, betapa nikmat- nya! Pusing-pusing sedikit yang tadi merongrong di jalan, berangsur-angsur hilang bersama terbang- nya dia ke alam mimpi.
Namun, belum lagi tertidur pulas, dia mendengar suara beduk bertalu-talu. Serasa jauuuh sekali. Lupus setengah sadar setengah tidak, menajamkan pendengarannya. Apa iya sudah magrib" Kok cepat sekali" lni bukan bulan puasa, tapi yang namanya tidur di waktu magrib tetap saja bisa dianggap kualat. Setidaknya, ini kata Wak Haji. Tapi, eh, kok beduknya rada lain bunyinya" Dan rasanya terdengar semakin dekat dan dekat sekali. Lupus terjaga. Ealah, ternyata bukan beduk. Tapi ada orang menggedor-gedor pintu kamarnya. Oh, God! Siapa makhluk yang tak berperikemanusiaan itu" Keluh Lupus yang dengan malas langsung membuka pintunya sedikit. Seperti juga matanya yang terasa berat unruk dibuka.
Di situ tersembul wajah Tante Neli yang tertekuk. "Kamu ini bagaimana sih" Datang- datang langsung tidur. Tak punya kesadaran sama sekali! Lihat ibumu yang sibuk ngurus pesanan masakan para langganan di dapur. Bantu-bantu sedikit, kek! Bungkusin kerupuk atau apa gitu!" semprotnya nggak tanggung-tanggung.
"No way!" sahut Lupus pendek dan langsung mengunci kamarnya. Sesaat kemudian dia sudah asyik tiduran lagi, sambil menutup kepalanya erat-erat dengan bantal. Di luar Tante Neli masih marah-marah dan menggedor-gedor. Tapi Lupus tak peduli.
Tante Neli, begitu tepat nama itu untuknya. Dia memang persis nenek-nenek cerewet yang kelin- cahan. Lupus bukannya tak mau bantu
ibunya, tapi dia memang benar-benar letih. Ibunya iuga maklum. Dan lagi, bukankah ibunya sudah mempunyai empat orang pembantu yang siap menolong setiap saat" Ditambah Tante Neli dan tante-tante lainnya yang bisa digunakan tenaga- nya, daripada nggosip nggak keruan. jadi, dasar aja Tante Neli yang nggak bisa lihat orang senang! Begitu kesimpulan yang diambil Lupus. Dan dia pun bisa melanjutkan tidumya dengan tenang. Tanpa merasa berdosa.
Tapi kesimpulan itu memang tak terlalu salah. Seperti keesokan sorenya ketika Lupus lagi asyik main ayunan yang diikatkan pada pohon jambu bersama Lulu. Lupus mendorong kuat-kuat, sehingga ayunan itu terayun gila-gilaan, membuat Lulu menjerit ketakutan. Di tengah keasyikan itu, Tante Neli tiba-tiba muncul dengan jeritan histerisnya, "Hei, hentikan! Hentikan! Lihat daun-daun jambunya pada berjatuhan. Ayo, bersihkan! Kalian ini bagaimana, sih" Sudah pada gede-gede juga masih kayak anak kecil tingkahnya. Kalian pikir tidak berbahaya main ayun-ayunan Kencang-kencang begitu" Nggak punya otak! Kamu juga, Lupus, kamu kan anak laki-laki tertua. Satu-satunya lagi. Kamu seharusnya bisa meng- gantikan kedudukan ayahmu almarhum. Bersikap- lah dewasa sedikit, tidak seperti anak kecil begitu. Boro-boro deh mau bantuin ibu kamu kerja .... "
Begitulah usilnya Tante Neli. Bahkan hiburan Satu-satunya yang mereka miliki juga dilarang. Terpaksa sore itu Lupus dan Lulu kena setrap untuk menyapu seluruh halaman belakang rumah yang cukup luas itu. Ayam-ayam yang berkeliaran di situ, sengaja mondar-mandir terus dekat Lupus. Seolah mau meledek. Soalnya mereka tadi agak terganggu ketika lagi asyik-asyik tidur di atas pohon jambu, tiba-tiba pohonnya bergoyang- goyang ikut terayun. Dengan keki, Lupus menyambit ayam-ayam sialan itu dengan sapu lidi.
"Lupus, kalau kerja yang betul. ya!" lagi-lagi terdengar teriakan Tante Neli.
Dan begitulah. selama ada Tante Neli, hidup di rumah serba nggak bebas. Dia sok ngatur sana-sini. Sampai ibu Lupus juga suka diatur-atur. Bangun harus jam berapa, jangan kemalaman nonton tivi, de el el. lbu Lupus cuma senyum- senyum aja ketika Lulu mengadukan semua kejengkelannya.
"Tantemu itu bermaksud baik. Dia memang orang yang teliti dan sangat disiplin."
Tapi Tante Neli orangnya memang suka panikan juga. Suka ribut-ribut sendiri. Pernah pulang sekolah, Lupus dengan terengah-engah lari-lari masuk ke rumah. langsung ngoceh, "Gila, Iho, tadi di pasar ada yang dikeroyokin orang. Sampai berdarah-darah. Kasihan sekali. Hampir orang sepasar ikut mengeroyoki!"
Tante Neli langsung berdiri panik. "Siapa"Siapa orangnya" Kasihan betul! Tega, benar-benar nggak berperikemanusiaan orang-orang zaman sekarang ini. Terus bagaimana nasib orang itu" Masih hidup" Siapa, Lupus" Pelajar" Atau pencuri""
"Bukan. Tikus.... " sahut lupus tenang dan langsung masuk kamar.
*** Lupus juga paling kesal kalau tante itu mulai membicarakan dirinya saat saudara-saudara yang lain pada kumpul di rumah Lupus. Dia suka membanding-bandingkan Lupus dengan Ridwan.
"Saya tak bisa mengerti anak itu. Kalau Saudara-saudaranya lagi pada kumpul-kumpul begini, dia pasti tak mau keluar. Kerjanya men- dekam di kamar terus. Tak ada sedikit pun rasa hormat atau perhatian pada kita, para sesepuh. Padahal kalau ada apa-apa, kita juga yang nolong. Kalau diajak bicara, suka sembarangan menjawab sampai terus mengunyah permen. Betapa tidak sopannya. Tamu dari jauh seperti saya ini, tidak pernah disambutnya dengan hangat. Atau ketika Tante Mia diopname, dia sama sekali tak menjenguk!"
Lupus jadi kena tegur ibunya. Ya. dia memang lebih menyambut hangat oleh-oleh yang dibawa daripada orangnya, kalau kedatangan tamu dari jauh.
"Abis percuma, Bu. Kalau saya ada atau tidak, kan tak ada pengaruhnya buat beliau-beliau. Seperti juga menjenguk Tante Mia, apa lantas setelah saya jenguk dia lantas langsung sembuh" jangan-jangan malah bertambah parah...." jawab Lupus membela diri. "Sebab, apa sih arti seorang Lupus buat mereka""
"Tapi kamu nggak boleh begitu, dong!"
Lupus memang tak suka basa-basi. Sama ketika ibu Lupus akhirnya jadi ikut ke Band
ung, ke rumah Tante Neli untuk melihat rumahnya yang baru, serelah acara perkawinan selesai.
"Boro-boro mau mengantar sampai ke Ban- dung. Bantuin mengangkat kopor ibunya sendiri saja tak mau. Benar-benar anak tak tau diri. Tak tau berterima kasih kepada orang tua. Lain sekali dengan Ridwan. Biar mau ujian, dia pasti mengantar kalau saya mau ke Jakarta," kata Tante Neli ketus. Lupus jadi merah mukanya dan pergi dari situ. Dia paling tak suka kalau sudah dibanding-bandingkan dengan orang lain. Bukan- nya Lupus tak mau mengangkat kopor, tapi bawaan ibunya kan cuma sebuah tas kecil yang bisa dibawa dengan mudah, jadi buat apa berbasa-basi membawakannya" Dan lagi, kenapa harus diban- drngkan dengan Ridwan yang tak disukainya itu"
*** Sepeninggalan Tante Neli, keadaan rumah jadi sepi. Lupus jadi sering mikir, benarkah ia tak mempunyai rasa hormat seperri yang dikatakan Tame Neli" lbu Lupus memang tipe ibu yang tak banyak omong. Dia selalu mengerjakan apa- apanya sendiri tanpa banyak tuntutan. Tuntutan kepada anak-anaknya agar mau membantu atau mau dihormati. Dia tak pemah mengganggu kalau Lupus lagi tertidur nyenyak di kursi panjang saat mendengarkan kaset. Dia rela menunggui Lupus yang belum pulang sampai tengah malam. Dia tipe Ibu yang mengabdi, seperti ibu-ibu lainnya. Tanpa pernah menuntut imbalan.
Tapi apakah selama ini sikap itu membuat Lupus jadi tak hormat padanya"jadi seperti dimanjakan- nya" Apakah ibunya terkadang iri dengan Ridwan yang penuh perhatian pada Tante Neli itu" Yang pandai membawa diri kala berkumpul dengan keluarga lain" Yang selalu menjadi kebanggaan, karena suka menganrar ke mana ibunya pergi. meski ada ujian" Yang suka memijiti kaki ayahnya kala pulang kanror"
Lupus jadi melamun terus. Dia memang melihat pancaran duka yang terbersit sedikirt dari mata ibunya, ketika Tante Neli menyindir Lupus. Dan Tante Neli seakan hendak menunjukkan, bagaimana mendidik anak yang baik, seperti caranya itu. Penuh disiplin!
*** Lupus lagi asyik tiduran, ketika Lulu mengge- dor-gedor pintu sambil berteriak, "Bangun. Pus, Ibu pulang tuh! lbu pulangl" Tanpa pikir panjang lagi, Lupus Iangsung melompat dan berlari ke luar kamar. Menyusul Lulu yang sudah duluan menyambut.
"Kok lama, Bu, di Bandungnya" Kirain nggak inget pulang," kata Lulu. Ibunya cuma tersenyum sambil memerintah sopir taksi umuk menurunkan barang-barang bawaannya dari bagasi.
"Gimana keadaan rumah, Pus" Baik-baik saja""
"Tentu dong, Bu. Semuanya lancar. Kok lama di sananya" Betah, ya""
lbunya terdiam sebentar. Lalu memandang Lupus dan Lulu bergantian.
"Sebetulnya Ibu mau pulang lebih awaI. Nggak tega ninggalin pekerjaan yang menumpuk di rumah. Tapi..."
"Lho, ada apa sih, Bu...""
"ltu lho, anaknya Tante Neli, si Ridwan, dia terlibat beberapa kasus yang harus berurusan dengan polisi .... "
"Ridwan" Memangnya dia kenapa""
"Rupanya sepeninggal Tante Neli ke jakarta, dia berbuat sesuatu yang kurang baik. Mengajak teman-temannya menginap di rumah yang baru. Pakai bawa-bawa perempuan segala. Dan ketika digebrak polisi, ternyata di sana juga terdapat beberapa obat terlarang. Saat itu ayahnya kan lagi tugas di Semarang, jadi lbu terpaksa tinggal beberapa hari menemani Tante Neli mengurusi perkara itu."
Lulu dan Lupus terdiam. Mereka saling berpandangan. Suasana menjadi hening.
"Itulah. Bu." sahut Lulu setelah beberapa saat. "Pada akhirnya fakta juga yang berbicara. Kita meski bandel-bandel, tetapi masih dalam batas kewajaran .... "
"Ya, ya. Ibu akui bahwa pada akhimya, Ibu lebih bangga pada kalian," sahutnya sambil menggandeng kedua anaknya masuk rumah.
"Eh, Lupus. Kamu tidak membawa masuk Barang-baraang itu"" kata ibunya tiba-tiba, setelah berada di dalam.
"O iya, lupa. Sori deh...," sahut Lupus cengar-cengir sambil buru-buru lari ke luar lagi. Ibunya cuma geleng-geleng kepala.
"Kadang Ibu pikir Lulu benar juga. Ibu akan lebih kebingungan kalau kehilangan sendok daripada kehilangan kamu, Pus!"
Lupus dan Lulu tertawa berbarengan.
tamat Penelitian Rahasia 1 Pedang Siluman Darah 5 Hidung Belang Penghisap Darah Sembilan Pembawa Cincin 10