Pencarian

Panasnya Bunga Mekar 16

Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja Bagian 16


Panakluk Bumi ini bersedia melayanimu"
"Aku akan membunuhnya. Melawan atau tidak
melawan. Ia sudah melihat daerah ini. Ia sudah melihat
tempat kedudukan kita yang mungkin akan berakibat buruk
bagi kita" geram orang itu.
Pemimpin perampok yang sudah dikalahkan itupun
kemudian bersikap acuh tidak acuh sambil berkata "Aku
bukan pemimpin lagi disini. Bicarakan dengan orang asing
itu" "Persetan" orang berwajah cacad itu menggeram
"apakah kau benar-benar ingin menjadi pemimpin disini?"
iapun kemudian bertanya kepada Ki Dukut.
"Ya" jawab Ki Dukut singkat "apakah kau
berkeberatan?" Sikap Ki Dukut benar-benar menyakitkan
hati. Karena itu, maka orang itupun membentak "Baik.
Kita akan melihat, siapakah yang paling pantas untuk
menjadi pimpinan disini"
Ki Dukut tersenyum. Katanya "Sikapmu bagus sekali.
Bukan hanya kau, tetapi setiap orang disini akan yakin
tentang aku" Kata-kata itu semakin membuat jantung orang berwajah
kasar itu bagaikan terbakar. Orang tua itu nampaknya tidak
menyakinkan bahwa ia dapat mengalahkan pemimpin
perampok yang diakui dan disegari! oleh beberapa
kelompok yang lain. Karena itu, maka orang berwajah kasar itupun segera
melangkah semakin mendekat. Dengan suara lantang ia
berkata "Jangan menyesal jika kau akan mati disini sebelum
kau berhasil memperdayakan aku. Agaknya kau telah
membius pemimpinku dan memaksanya mengakui kau
sebagai pemimpinnya dalam ketidak sadarannya"
"Aku telah dikalahkan" teriak pemimpin perampok yang
sudah menyerahkan pimpinan itu.
"Persetan" geram orang berwajah cacat itu.
"Sebaiknya kau memang mengetahui siapakah yang kau
hadapi. Baru kemudian kau dan orang-orang lain yang ada
disini akan yakin, bahwa aku memang Rajawali Penakluk
Bumi. Bukan hanya kelompok ini sajalah yang akan aku
taklukkan. Tetapi setiap gerombolan perampok yang kita
dengar namanya, akan kita datangi dan kita taklukkan.
Yang melawan kita hancurkan, yang dengan suka. rela
menyerah, akan kita beri wewenang di daerah jelajah
tertentu" "Omong kosong" geram orang berwajah kasar itu
"bersiaplah untuk mati. Kita akan berperang tanding. Kau
atau aku" "Kau tidak usah sesorah" jawab Ki Dukut "marilah. Jika
kau ingin mati, sebaiknya kau memang membunuh diri.
Tetapi kau tidak akan berarti apa-apa bagiku"
Orang itu tidak lagi dapat menahan diri. Darahnya sudah
mendidih, sehingga dengan serta merta iapun telah
meloncat menyerang. Ki Dukut mengerutkan keningnya. Ia melihat orang itu
memang memiliki kemampuan dan kekuatan yang cukup,
yang memang dapat dibanggakan diantara mereka. Tetapi
bagi Ki Dukut, yang dilakukan oleh orang itu memang
tidak banyak berarti. Karena itu, maka Ki Dukutpun
sempat mengelak dan dengan cepat ia menangkap tangan
orang itu menariknya dan kemudian memutarnya dengan
kekuatan yang besar. Orang itu bertempur satu lingkaran. Ketika Ki Dukut
melepaskannya, maka ia justru terlempar dan jatuh
terguling di tanah. Ki Dukut tertawa. Katanya "Bangkitlah anak nakal.
Jangan banyak tingkah. Menyerah sajalah dan akui aku
sebagai pemimpinmu" Orang berwajah kasar yang terbanting itu memandang
Ki Dukut dengan mata yang bagaikan membara. Perlahanlahan
ia bangkit sambil menggeram.
"Anak setan" katanya "kau kira caramu yang kasar itu
dapat menggetarkan hatiku"
"O, kau anggap aku bermain kasar" jawab Ki Dukut
"baiklah. Aku akan mengimbangi permainanmu"
"Kau sudah melakukannya" jawab orang berwajah kasar
itu "sekarang sudah saatnya aku membunuhmu"
Ki Dukut mengerutkan keningnya melihat orang
berwajah kasar itu meloncat mengambil senjatanya yang
bersandar pada dinding padas. Sebuah bindi kayu yang
besar belimbingan dengan lingir baja.
"Senjatamu memang menakutkan" geram Ki Dukut
"tetapi itu tidak akan berarti apa-apa bagi Rajawali
Penakluk Bumi" Orang berwajah kasar itu sama sekali tidak menjawab. Ia
langsung meloncat menerkam dengan ayunan bindinya
yang berat. Tetapi Ki Dukut masih sempat tertawa. Ia sudah
bertekad untuk menunjukkan kemampuannya sehingga
orang-orang yang menyaksikannya menjadi yakin, bahwa ia
memang orang yang tidak ada bandingnya.
Karena itu, Ki Dukut tidak mau memperpanjang waktu
perlawanan orang berwajah kasar itu. Demikian senjata itu
terayun, maka Ki Dukutpun telah meloncat kesamping.
Pada saat senjata itu lewat tanpa menyentuh tubuhnya,
maka Ki Dukutlah yang meloncat demikian cepatnya
sehingga hampir tidak tertangkap oleh tatapan mata
telanjang. Dengan serta merta, Ki Dukut menangkap pergelangan
tangan orang itu, memilinnya dan dengan hentaknya yang
kuat melemparkan senjata itu dari tangan orang berwajah
kasar itu. Ternyata Ki Dukut benar-benar ingin
menyelesaikan pertempuran itu dengan cepat. Karena itu,
maka tanpa melepaskan tangan yang dipilihnya, Ki Dukut
menangkap tengkuk lawannya dan menekannya dengan
kuat. Terdengar orang itu mengaduh. Dengan sisa
kekuatannya ia berusaha menghentakkan dirinya. Tetapi
tangkapan tangan Ki Dukut bagaikan himpitan sepasang
gunung, sehingga semakin kuat ia berusaha, maka tangan
dan tengkuknya justru menjadi semakin sakit.
"Aku dapat membunuhmu sekarang" berkata Ki Dukut
"tetapi aku tidak ingin melakukannya. Kau memang tidak
berarti apa-apa bagiku, tetapi bagi kelompok kecil ini, aku
kira tenagamu memang dibutuhkan"
Orang itu tidak menjawab. Yang terdengar adalah
gejolak jantungnya yang berdentangan.
"Katakan" desak Ki Dukut "apakah yang kau kehendaki
kemudian. Pimpinan, kematian atau apa?"
Orang itu tidak segera menjawab. Masih terdengar ia
menggeram. Tetapi masih terdengar pula ia mengeluh
kesakitan. "Jawablah" berkata Ki Dukut "aku adalah orang yang
baik bagi kalian. Juga bagi orang gila ini. Kau mau apa
sekarang" Aku akan memenuhi permintaanmu"
Orang itu masih berdiam diri. Tetapi ketika tangan Ki
Dukut menekan semakin keras, maka iapun mengeluh
semakin keras pula. Tetapi Ki Dukut Pakering melepaskannya. Ia justru
menekan semakin keras, sehingga orang itu berteriak
karenanya. "Tanganmu dapat patah, dan kau akan aku biarkan
terkapar disini. He, apakah begitu maumu?" bertanya Ki
Dukut. "Tidak" orang itu berteriak.
"Jadi apa?" bentak Ki Dukut.
"Aku menyerah" akhirnya orang itu tidak dapat
mengingkari kenyataan itu lagi. Ia tidak ingin tangannya
patah dan kemudian dibiarkannya dirinya terkapar diantara
batu-batu padas. Ki Dukut termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
iapun melepaskan orang itu dan mendorongnya sehingga
orang itu jatuh terjerembab.
"Nah, siapa lagi yang tidak yakin terhadap
kemampuanku?" bertanya Ki Dukut kepada orang-orang
yang memandang perkelaian itu dengan tegang.
Tidak seorangpun yang menjawab. Bahkan seolah-olah
mereka telah membeku di tempatnya. Ujung jaripun tidak
dapat mereka gerakkan, karena rasa-rasanya mereka telah
dicengkam oleh kecemasan yang sangat.
"Nah, jika tidak ada lagi yang ingin mencoba
kemampuanku, maka sekarang aku adalah pemimpinmu"
berkata Ki Dukut. Tidak seorangpun yang membantah. Mereka tidak dapat
menolak kehadiran orang baru itu. Karena adalah suatu
kenyataan bahwa orang itu memang tidak dapat dikalahkan
oleh orang-orang terbaik dari gerombolan itu.
Karena itu, maka tidak seorangpun yang tidak menerima
keadaan baru di dalam lingkungan kecil itu. Dengan
berbagai pertanyaan yang bergulat disetiap hati, mereka
menunggu, apakah yang kemudian akan terjadi.
Ternyata Ki Dukut yang kemudian menjadi pemimpin
sekelompok perampok dan penyamun itu tidak membuat
ketentuan-ketentuan baru. Ia lebih banyak membiarkan
pemimpin yang lama melakukan kegiatan seperti yang
selalu mereka lakukan. Namun pada saat tertentu, tiba-tiba Ki Dukut itu
memanggil semua orang di dalam gerombolannya untuk
berkumpul. Dengan hati yang bertanya-tanya, maka setiap
orangpun kemudian berkumpul diseputar Ki Dukut yang
duduk berdampingan dengan pengikutnya yang setia, yang
datang bersamanya ke tempat itu.
Ternyata yang dikatakan oleh Ki Dukut agak
mengejutkan setiap orang di dalam gerombolan itu. Dengan
nada yang pasti Ki Dukut berkata "Aku adalah Rajawali
Penakluk Bumi. Karena itu, aku tidak dapat duduk berdiri
dan puas dengan keadaan seperti ini"
"Apakah maksudmu?" bertanya bekas pemimpin
gerombolan itu. "Kita harus menembus batas jelajah kita. Kita tidal tidak
puas dengan batas yang sekarang. Kita harus bebas
menentukan daerah petualangan kita" berkata Ki Dukut
Orang-orang yang ada di dalam kelompok itu termangumangu.
Bahkan orang berwajah kasar itu berkata "Rajawali
Penakluk Bumi. Bukankah dengan demikian berarti kita
akan membenturkan diri dengan kekuatan-kekuatan di
sekitar kita" "Itulah yang aku kehendaki. Dengan demikian kita akan
menunjukkan bahwa kita adalah kelompok yang paling
kuat di antara gerombolan-gerombolan perampok dan
penyamun yang ada di daerah ini. kita akan menguasai
keadaan dan akhirnya kita akan mengatur segala-galanya"
Para pengikutnya menjadi ragu-ragu. Meskipun
gerombolan itu adalah gerombolan yang disegani, tetapi
jika gerombolan itu mulai melanggar persetujuan, maka
gerombolan itu akan berhadapan dengan beberapa
kelompok sekaligus. Tetapi agaknya Ki Dukut yang disebut Rajawali
Penakluk Bumi itu menjadi gembira. Bahkan katanya "Kita
harus dapat membuktikan, bahwa kita benar-benar dapat
menjadi sebuah gerombolan yang paling berkuasa. Nah,
siapakah yang berkeberatan"
Orang-orang yang mendengarkan rencana itu menjadi
ragu-ragu. Tetapi mereka tidak berani menyatakan perasaan
mereka. Bahkan mereka mencoba menilai Ki Dukut itu
sendiri dihadapkan pada kemungkinan pelaksanaan rencana
itu. "Orang itu memang luar biasa" berkata orang-orang itu
di dalam hati. Karena tidak ada yang menjawab, maka Ki
Dukutpun berkata "Baiklah. Kediaman kalian dapat aku
baca. Kalian ragu-ragu. Mungkin kalian kurang
kepercayaan kepada diri kalian sendiri" ia berhenti sejenak,
lalu "baiklah. Mulai hari ini, kalian akan aku latih
bertempur lebih baik lagi. Bertempur dengan tata gerak
yang lebih teratur, sehingga dengan demikian, kemampuan
kalian akan meningkat. Dasar yang ada pada kalian akan
aku coba untuk aku kembangkan"
Sepercik kegembiraan nampak di wajah orang-orang
kasar itu. Sebenarnyalah ada rasa muak di hati Ki Dukut
melihat orang-orang yang berada di sekitarnya. Jika ia
harus mengajar mereka berlatih olah kanuragan, maka itu
berarti bahwa peningkatan kemampuan itu akan dapat
dimanfaatkannya. "Tidak harus mendapat pengikut yang cukup untuk
menghancurkan padepokan Ki Kasang Jati dan kemudian
menghancurkan istana Pangeran yang gila itu meskipun aku
harus mengorbankan semua orang-orang dungu yang kasar
ini" berkata Ki Dukut di dalam hatinya.
Demikianlah, maka sejak hari itu, Ki Dukut mulai
meningkatkan kemampuan orang-orang kasar itu. Pada
dasarnya mereka sudah memiliki kemampuan berkelahi
meskipun masih terlalu kasar, bodoh dan kadang-kadang
hanya bersandarkan pada kekuatan tenaga semata-mata
tanpa landasan ilmu yang paling sederhana sekalipun.
Yang mula-mula dikerjakan oleh Ki Dukut adalah,
memilih orang-orangnya dalam kelompok-kelompok kecil
yang terpisah. Ia mempergunakan cara yang berbeda bagi
mereka yang berbeda dasar ilmu dan pengalaman.
Dibantu oleh pengikutnya yang setia, ia mulai mengajari
orang-orang kasar itu. Bagi mereka yang sudah mempunyai
landasan ilmu yang cukup, Ki Dukut berusaha untuk
memperkaya unsur-unsur gerak yang mereka miliki.
Memberikan arah dan petunjuk apa yang dapat mereka
lakukan dengan unsur-unsur gerak itu. Sedangkan bagi
"mereka yang hanya mampu berkelahi dengan tenaga kasar
mereka, pengikut Ki Dukut itu mulai memperkenalkan
mereka dengan olah kanuragan. Bagaimana mereka harus
mempergunakan anggauta badan mereka sebaik-baiknya.
Bagaimana mereka harus mempergunakan tenaga dan
kekuatan mereka. Dengan demikian maka mereka tidak
akan lagi menghambur-hamburkan tenaga dan kekuatan


Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tanpa arti di dalam perkelahian-perkelahian yang akan
terjadi. Dengan menguasai tubuh mereka sebaik-baiknya,
maka mereka akan dapat melakukan gerak yang benarbenar
terarah. Karena pada dasarnya orang-orang itu adalah orangorang
yang berpengalaman berkelahi dan bertempur
betapapun kasarnya, maka usaha Ki Dukut untuk
meningkatkan kemampuan mereka ternyata tidak begitu
sulit. Orang-orang itu dengan penuh kemauan telah
berusaha sebaik-baiknya melakukannya semua petunjuk
dan latihan-latihan yang diberikan oleh Ki Dukut dan
pengikutnya, karena dengan demikian mereka merasa
mendapat bekal yang lebih baik bagi pekerjaan mereka yang
telah mereka lakukan sejak lama.
Dalam waktu yang terhitung singkat, maka para
perampok yang dipimpin oleh Ki Dukut itu sudah menjadi
semakin trampil bermain senjata. Mereka tidak lagi sekedar
bergerak dan meloncat-loncat sambil mengayunkan senjata,
tetapi mereka sudah mulai dapat memperhitungkan untung
dan rugi bagi gerakan-gerakan mereka yang meskipun
masih nampak kasar, tetapi sudah mulai terkendali.
Dalam pada itu, ketika orang-orangnya sudah semakin
meningkat kemampuannya, maka Ki Dukut telah
mengulangi niatnya untuk melebarkan daerah pengaruh
mereka. Meskipun masih ada juga satu dua orang yang
ragu-ragu, namun sebagian besar dari mereka yang merasa
sudah mempunyai bekal yang lebih mantap itupun dengan
senang hati menerima pendapat Ki Dukut yang ternyata
memang lebih baik dari pemimpin mereka yang terdahulu.
"Kita akan menerobos batas perjanjian yang telah
dibuat" berkata Ki Dukut "dengan demikian akan segera
timbul perselisihan. Justru perselisihan itulah yang kita
kehendaki" Sebagian besar dari orang-orangnya justru menjadi
gembira. Mereka ingin mencoba, apakah mereka benarbenar
sudah menjadi lebih baik dari masa-masa
sebelumnya. "Kita tidak lebih baik dari mereka" berkata salah seorang
dari mereka kepada kawannya "tetapi sekarang mungkin
keadaannya akan berbeda"
Demikianlah, maka Ki Dukutpun telah merencanakan
hari yang akan dipergunakan untuk mulai dengan
usahanya, memperluas pengaruhnya terhadap gerombolangerombolan
yang ada di sekitarnya. Tetapi jarak terdekat dari batas jelajah gerombolan yang
dipimpin oleh Ki Dukut itu adalah sebuah gerombolan yang
berada di seberang bukit padas, di hutan yang lebat. Mereka
tinggal di dalam gubug-gubug yang mereka buat di dalam
hutan itu. Untuk mencapai tempat itu, mereka harus
berjalan sehari penuh. Namun Ki Dukut benar-benar telah bertekad. Karena
itu, maka di dini hari, sebagian besar dari anggauta
gerombolan itu dipimpin oleh Ki Dukut sendiri yang
mereka kenal dengan gelar Rajawali Penakluk Bumi itu,
berangkat ke hutan di seberang bukit padas.
Hanya sebagian kecil saja dari anggauta gerombolan itu
yang tinggal. Mereka menunggui tempat tinggal dan harta
benda yang mereka peroleh dari kejahatan yang mereka
lakukan. Sehari penuh gerumbolan itu berjalan, Baru setelah
malam menjadi kelam mereka telah mendekati sarang
gerombolan yang ingin mereka jerat ke dalam pengaruh
mereka. "Kita tidak boleh tergesa-gesa" berkata Ki Dukut "kita
sekarang sedang telah. Karena itu, jika terjadi benturan
kekuatan, maka sebagian kekuatan kita telah terhisap di
perjalanan. Karena itu kita akan beristirahat semalam
suntuk. Besok pagi-pagi kita akan melihat keadaan. Baru
kemudian kita akan menentukan langkah. Sementara itu
kekuatan kita sebagian telah pulih kembali"
Dengan demikian maka Ki Dukut dan orang-orangnya
semalam suntuk telah tidur nyenyak. Hanya dua orang
berganti-ganti sajalah yang berjaga-jaga jika ada sesuatu
diluar perhitungan mereka.
Ketika matahari terbit di Timur, maka orang-orang
itupun mulai mempersiapkan diri. Tetapi mereka tidak
segera berbuat sesuatu, sementara tubuh mereka telah
menjadi segar kembali. "Kita akan memancing mereka" berkata Ki Dukut
"mereka harus kita buat marah dan mereka akan
kehilangan pengamatan diri"
Namun sebelumnya Ki Dukut telah memberikan banyak
pesan kepada anak buahnya agar mereka tidak kehilangan
pengamatan diri. Bahwa mereka harus tetap
mempergunakan nalar selama mereka menghadapi lawan
yang bagaimanapun juga. "Jangan sekali-kali merendahkan lawan" berkata Ki
Dukut " jika kita lengah, maka kita sudah mulai
menginjakkan sebelah kaki kita ke dalam bencana"
Ki Dukut dan bekas pemimpin gerombolan itu bersama
pengikut Ki Dukut yang setia telah lebih dahulu melihat
keadaan gerombolan yang tinggal di hutan itu. Dengan hatihati
mereka berusaha untuk mendekat. Dari jarak yang
memungkinkan dapat mereka capai tanpa diketahui oleh
penghuni gubug-gubug itu, Ki Dukut dapat menduga,
berapa besar kekuatan yang bakal dihadapinya.
"Di siang hari mereka berkumpul" berkata bekas
pemimpin gerombolan itu. Ki Dukut Pakering yang menyebut dirinya Rajawali
Penakluk itu mengangguk-angguk. Katanya "Kebetulan
sekali. Jika mereka berkumpul, maka mereka akan melihat,
bahwa mereka tidak dapat berbuat banyak menghadapi
kelompok kita. Kita tidak usah berbuat lagi untuk menyakinkan
orang-orang yang sedang tidak ada di dalam sarang
mereka" Bekas pemimpin gerombolan itu mengangguk-angguk
Lalu iapun bertanya "Jadi, bagaimana maksudmu
kemudian?" "Menilik jumlah barak dan kesibukan mereka, maka
mereka tidak memiliki kekuatan melampaui kekuatan kita.
Karena itu, maka kita akan memancingnya dan kemudian
mengalahkan mereka. Tetapi kita datang tidak untuk
membunuh. Kita datang untuk menaklukkan mereka,
sehingga mereka akan menjadi sekelompok penjahat yang
berada dibawah pengaruh kita" jawab Ki Dukut.
"Jika demikian, apakah aku harus memanggil kawankawan"
bertanya bekas pemimpin gerombolan itu.
Ki Dukut mengangguk-angguk. Katanya "Siapkan
mereka. Aku akan memancing mereka keluar dari
sarangnya. Kita akan bertempur di tempat yang luas,
sehingga kita berkesempatan menunjukkan kemampuan
kita. Jika mereka kemudian menyerah, maka kita tidak
akan membunuh seorangpun diantara mereka. Kecuali jika
ada diantara mereka yang keras kepala"
Bekas pemimpin gerombolan itupun kemudian bergeser
surut dan kembali ke tempat kawan-kawannya. Setelah
memberikan beberapa pesan seperti yang diberikan oleh Ki
Dukut, maka iapun membawa orang-orangnya mendekati
tempat Ki Dukut bersembunyi.
Tetapi yang ditemukan di tempat itu tinggallah
pengikutnya saja. Ternyata Ki Dukut telah merayap
mendekat, memancing perhatian lawan agar mereka keluar
dari sarangnya. "Kita akan menunggu di sini" berkata pengikut Ki Dukut
itu. "Apakah kita akan menunggu perintah?" bertanya bekas
pemimpin gerombolan itu. "Ya. Ki Dukut akan memberikan isyarat. Kita akan
segera bertindak" jawab pengikutnya.
Dalam pada itu, maka orang-orang yang sudah siap itu
masih menunggu beberapa saat, sementara Ki Dukut
merayap mendekati sarang gerombolan yang menjadi
sasaran perluasan pengaruhnya.
Sejenak Ki Dukut menunggu. Ketika kemudian ia
melihat dua orang lewat beberapa langkah di hadapannya,
maka Ki Dukut itupun meloncat berlari ke balik sebuah
gerumbul. Ternyata Ki Dukut berhasil menarik perhatian kedua
orang itu. Salah seorang dari keduanya berteriak "He, siapa
kau?" Ki Dukut tidak menjawab. Tetapi ia meloncat lagi ke
balik gerumbul yang lain lagi.
Kedua orang itupun yakin, bahwa orang itu bukan salah
seorang dari kawan-kawannya. Karena itu, maka
keduanyapun segera mengejarnya.
Tetapi keduanya tidak menyadari, siapakah orang yang
bersembunyi di balik gerumbul itu. Karena itulah, maka
demikian mereka mendekat, maka keduanya bagaikan
dilemparkan oleh kekuatan yang tidak mereka mengerti.
Demikian mereka terbanting di tanah, maka rasa-rasanya
punggung mereka bagaikan patah.
Kemarahan yang memuncak telah mendorong mereka
untuk segera bangkit dan menarik senjata masing-masing.
Bahkan hampir diluar sadar, maka keduanyapun berteriak
memanggil kawan-kawannya.
"Ada apa?" seorang yang bertubuh tinggi, berdada
bidang dan berjambang datang berlari-lari.
"Seseorang bersembunyi di balik gerumbul itu"
"Setan alas. Tetapi apakah kau tidak mengigau?"
bertanya orang berdada bidang itu.
"Aku melihat sendiri"
"Kenapa kau berteriak-teriak seperti melihat hantu,
apalagi hanya seseorang" Geram orang bertubuh tinggi itu.
Keduanya tidak menjawab. Mereka merasa agak malu
juga mengatakan bahwa mereka telah terlempar tanpa
dapat berbuat apa-apa. Namun dalam pada itu, beberapa orang yang lain telah
datang pula. Masing-masing dengan jenis senjata mereka
yang menyeramkan. "Kepung tempat itu, agar orang itu tidak dapat lari"
geram orang bertubuh tinggi itu.
Namun dalam pada itu, orang-orang itupun terkejut
ketika mereka melihat Ki Dukut telah meloncat berlari.
Dengan serta merta orang-orang itupun berteriak "Jangan
biarkan mereka lari"
Tetapi mereka terkejut ketika mereka mendengar orang
yang akan mereka kejar itu bersuit nyaring. Mereka pun
segera menyadari bahwa orang itu tentu tidak sendiri.
"Bersiaplah" orang bertubuh tinggi itu menggeram
"agaknya ada orang-orang gila jemu hidup datang ke rumah
kita. Kita akan menyambutnya sebagai tamu yang paling
terhormat" Dalam pada itu, ketika orang-orang berikutnya ke luar
dari gubug-gubug di hutan itu, maka orang-orang yang
berpihak kepada Ki Dukutpun telah mendekat pula. Tetapi
sesuai dengan pesan Ki Dukut, mereka berada di tempat
yang agak terbuka. Dalam pada itu, maka orang-orang yang keluar dari
sarangnya dengan senjata masing-masing itupun segera
bergerak maju. Mereka sadar, bahwa mereka akan
berhadapan dengan sekelompok orang yang belum mereka
ketahui. Bukan hanya berhadapan dengan seseorang saja.
Pemimpin mereka ternyata adalah seorang yang
bertubuh tinggi pula. Tetapi orang itu tidak berjambang.
Bahkan kepalanya hampir tidak ditumbuhi rambut lagi.
Namun demikian, matanya bagaikan menyorotkan api,
sementara giginya terdengar gemeretak.
"Orang-orang gila manakah yang telah berani mendekati
tempat ini" geramnya.
Dalam pada itu, maka orang-orang Ki Dukutpun telah
bersiap pula. Ketika Ki Dukut kembali kepada mereka,
maka iapun berkata "Mereka akan segera datang"
Sejenak orang-orang Ki Dukut yang manyebut dirinya
sebagai seekor Rajawali itu masih harus menunggu. Ki
Dukut telah berhasil mengusik mereka seperti membasahi
sarang semut. "Berhati-hatilah" berkata Ki Dukut kepada orangorangnya
"mereka sedang dibakar oleh kemarahan. Tetapi
kalian jangan kehilangan akal. Kalian telah memiliki dasardasar
olah kanuragan yang barangkali lebih dari mereka.
Karena itu, kalian harus tetap mempergunakan akal yang
terang, sehingga kalian tidak akan kehilangan kemampuan
kalian yang baru pada tataran permulaan itu. Hadapi
mereka dengan sadar"
Orang yang sudah bersiap itu menjadi semakin mantap.
Rasa-rasanya mereka tidak sabar lagi menunggu, karena
mereka segera ingin menunjukkan bahwa mereka telah
memiliki dasar-dasar kemampuan ilmu kanuragan. Bukan
sekedar mengandalkan kekuatan tenaga wadag mereka
dengan kasar. Sejenak kemudian, orang-orang yang marah itu telah
datang berlari-lari sambil mengacungkan senjata mereka.
Bahkan ada diantara mereka yang berteriak-teriak.
"Mereka datang" berkata Ki Dukut "marilah, kita akan
menyongsong mereka" Ki Dukutpun kemudian meloncat dari
persembunyiannya. Demikian Ki Dukut berdiri, maka
orang-orangnyapun berloncatan pula sendiri di sebelah
menyebelah. Mereka sudah diajari oleh Ki Dukut,
bagaimana mereka harus menempatkan diri. Meskipun
tidak lengkap, tetapi mereka telah berdiri di dalam gelar.
Gelar garuda nglayang. Sementara Ki Dukut menjadi,
paruh dari gelarnya. Pengikutnya yang setia menjadi
pendamping yang selalu dekat padanya. Sementara bekas
pemimpin gerombolan itu dan orang yang berwajah cacat
telah berdiri dikedua ujung menjadi sayap pasukannya,
masing-masing bersama beberapa orang.
"Mereka akan terjebak" desis Ki Dukut "mereka akan
menyerang paruh yang nampaknya lemah. Tetapi sayap
sebelah menyebelah itu akan segera mencengkam mereka


Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan sekaligus menguasainya.
Pengikutnya mengangguk-angguk. Diparuh pasukan itu
memang hanya ada dua orang. Ki Dukut dan pengikutnya
yang setia. Kemudian dua orang di belakang yang menjadi
dada pasukannya, sementara diekor gelar itu terdapat tiga
orang berdiri termangu-mangu.
Demikianlah, seperti yang sudah diperhitungkan, maka
gerombolan yang marah itu tidak mempunyai perhitungan
yang luas seperti Ki Dukut. Mereka langsung menyerang
paruh pasukan yang nampaknya tidak akan berdaya sama
sekali menghadapi serangan itu.
Ki Dukut dan pengikutnya telah bersiap sepenuhnya.
Kemudian terdengar Ki Dukut berkata kepada orang-orang
yang berada di belakangnya "Jika mereka membentur aku.
maka aku akan mundur. Kalian akan segera terlibat.
Beritahukan kepada ekor pasukan ini, jika ada diantara
lawan yang menerobos langsung, maka mereka berkewajib
an untuk menahan, sementara sayap itu akan segera
bergerak pula. Demikianlah, maka dengan permainan yang
mengasyikkan itu, Ki Dukut menunggu lawannya yang
marah. Sekelompok orang berwajah kasar telah berlari-lari
mendatangi mereka. Namun beberapa langkah di hadapan
Ki Dukut, mereka memperlambat langkah mereka, dan
bahkan kemudian mereka telah berhenti.
"Gila, siapakah kalian, ha?" bertanya orang bertubuh
tinggi dan berkepala botak.
"Aku Rajawali Panakluk Bumi" jawab Ki Dukut.
"Persetan" geram orang bertubuh tinggi itu "apa maumu
datang ke sarangku. Apakah kau pemimpin dari
sekelompok orang-orang dungu yang tidak tahu, siapakah
aku ini he?" bertanya orang bertubuh tinggi itu.
"Kami adalah kelompok yang semula dipimpin oleh Iblis
Pencabut Nyawa. Tetapi kini pemimpin itu ada di tanganku
atas kehendaknya, karena aku adalah saudara tuanya yang
baru datang dari menyadap ilmu kanuragan yang tidak ada
duanya di muka bumi. Karena itulah maka aku disebut
Rajawali Panakluk Bumi" jawab Ki Dukut.
"Gila. Jadi kalian ini anak buah si Iblis dungu itu"
Seharusnya ia mengenal dengan siapa kalian berhadapan.
Kalian tidak akan dapat berbuat apa-apa atas kami. Tetapi
apakah maksud kalian sebenarnya datang ke tempat ini"
Apakah kalian akan menyerahkan pimpinan gerombolan
kepadaku atau kalian minta perlindunganku karena kalian
telah diganggu oleh gerombolan lain sehingga daerah
buronmu menjadi sempit?" bertanya orang yang botak itu.
"Tidak" jawab Ki Dukut "kami datang untuk
memperluas daerah pengaruh kami. Kalian harus tunduk
kepada kami. Meskipun kalian akan tetap kami beri hak
untuk berburu di padang perburuan kalian, tetapi kalian
berada dibawah perintah kami. Setiap saat jika kami
perlukan, kalian tidak akan dapat menolak. Apakah itu
tenaga kalian, apakah harta kekayaan yang telah kalian
kumpulkan" "Kau benar-benar gila" teriak orang berkepala botak itu
belum pernah mendengar serba sedikit tentang aku.
Tentang Macan Wulung. He, akulah Macan Wulung itu.
Ki Dukut mengangguk-angguk. Katanya "Namamu
lebih baik dari Iblis Pencabut Nyawa. Macan Wulung
terdengar lebih sederhana, tetapi lebih berkesan. Sayang,
aku datang untuk menaklukanmu"
"Persetan" jawab orang berkepala botak itu "kalian
datang untuk mengantarkan nyawa kalian. Kamisudah siap
mencincang kalian disini" geram orang itu sambil
memandang berkeliling, lalu "kenapa kalian berdiri
berpencaran" Kau kira dengan demikian kalian dapat
menyebak kami?" "Kami sama sekali tidak ingin menjebak kalian. Kami
datang dengan gelar perang yang tidak kau kenal
sebelumnya. Sebenarnyalah kami ingin mengalahkan kalian
tanpa membunuh seorangpun apabila mungkin. Tetapi jika
terpaksa, apaboleh buat"
Orang yang menyebut dirinya Macan Wulung itu
menggeram marah. Sikap Ki Dukut benar-benar telah
menyakitkan hatinya. Karena itu, maka ia tidak ingin menunda lebih lama lagi.
Orang-orang yang datang dengan sikap yang sombong itu
harus dihancurkan. Mereka harus menyadari kebodohan
mereka, bahwa mereka telah datang ke sarang gerombolan
yang dipimpin oleh seorang yang bernama Macan Wulung.
Dengan demikian maka orang berkepala botak itupun
kemudian berteriak "Bunuh mereka semuanya. Jangan ada
yang tersisa" Tetapi pada saat itu pula Ki Dukut tertawa. Kemudian
demikian perintah itu selesai, Ki Dukutpun berteriak
"Jangan kau bunuh seorangpun dari lawan-lawanmu yang
menyerah" "Persetan" Macan Wulung itu berteriak semakin keras.
Demikianlah, sejenak kemudian, maka Macan Wulung
itu telah meloncat menyerang Ki Dukut yang menyebut
dirinya Rajawali Penakluk Bumi. Demikian ia meloncat
maju, maka pengikut-pengikutnyapun segera berlari-larian
menyerang pula. Ki Dukut bergeser setapak. Pengikutnya yang setia
itupun telah menggenggam senjatanya. Demikian orangorang
yang dipimpin oleh Macan Wulung itu meloncat
menyerang, maka senjatanyapun segera berputaran.
Dua orang yang menjadi dada pasukan itupun
melangkah maju. Merekapun segera terlihat ke dalam
pertempuran. Sementara orang-orang yang lain langsung
menyerang tiga yang berdiri agak terpisah. Tiga orang yang
menjadi ekor gelar Ki Dukut.
Dalam pada itu, maka untuk sekejap, orang-orang yang
berada dipusat gelar itu bagaikan telah ditimbuni dengan
lawan yang jumlahnya terlalu banyak. Namun hanya
sekejap. Sebelum mereka sempat berbuat sesuatu, maka
sayap gelar itupun telah menyergap dari sebelah
menyebelah, sehingga dengan demikian, maka orang-orang
Macan Wulung itu seolah-olah menghadapi lawan yang
datang dari tiga arah. Pertempuran berikutnya menjadi semakin sengit. Orangorang
Ki Dukut dengan sengaja memancing pertempuran
agar meluas. Mereka telah mendapat latihan yang khusus
Bertempur bersama-sama dalam satu kelompok, atau
bertempur seorang lawan seorang.
Sejenak kemudian, pertempuran itupun telah menebar.
Orang-orang Macan Wulung, yang melihat lawan mereka
mundur, mula-mula mengira bahwa lawan-lawan mereka
telah terdesak justru baru saja kedua gerombolan itu
berbenturan. Tetapi dugaan itu ternyata salah. Demikian pertempuran
itu menebar, maka mulai terasa, bahwa orang-orang yang
datang itupun ternyata memiliki kemampuan yang cukup
sebagai bekal kedatangan mereka ke gerombolan Macan
Wulung itu. Orang-orang Ki Dukut tetap terbagi dalam tiga
kelompok. Sayap Kiri dan sayap Kanan menghadap ke
induk gelar, sementara induk gelarnya, dipimpin langsung
oleh Ki Dukut, sehingga dengan demikian maka Ki Dukut
seorang diri dan pengawalnya itu, dapat dihitung sebagai
sekelompok orang yang tangguh.
Karena itu, maka Macan Wulung yang berada di dalam
arena pertempuran di induk gelar pasukan Rajawali
Penakluk itu menjadi heran, bahwa jumlah orangnya yang
lebih banyak di bagian pertempuran di induk gelar lawan itu
sama sekali tidak berhasil mendesak lawannya.
Bahkan kemudian. Macan Wulung itu melihat betapa
orang yang memimpin pasukan lawan itu telah bertempur
dengan laku yang aneh. Sementara itu, orang-orang yang berada di sayap
pasukan Ki Dukut itupun telah mengejutkan lawan-lawan
mereka. Orang-orang yang datang menyerang sarang
mereka itu ternyata memiliki kemampuan yang melampaui
kemampuan mereka. Dengan demikian, maka beberapa saat kemudian,
mulailah keseimbangan pertempuran itu goyah. Orangorang
Ki Dukut sedikit demi sedikit mulai menguasai
seluruh arena. Mereka yang harus bertempur seorang
melawan seorangpun nampak, bahwa orang-orang Ki
Dukut memiliki ketrampilan dan memainkan senjatanya
melampaui lawannya. Macan Wuling mulai bingung menghadapi lawan yang
seorang ini. Ia sudah mempunyai pengalaman bertempur
yang luas di padang perburuan. Ia pernah bertempur
melawan berbagai macam lawan dengan ilmunya masingmasing.
Tetapi Macan Wuling belum pernah melihat
seseorang mampu berbuat seperti yang dilakukan oleh
orang yang menyebut dirinya Rajawali Penakluk itu.
Tetapi Macan Wuling bukan pengecut. Ia masih
bertempur untuk meyakinkan diri, apakah benar-benar ia
berhadapan dengan lawan yang memiliki ilmu yang aneh.
Sementara itu, seperti yang dipesan oleh Ki Dukut, maka
orang-orangnya berusaha untuk bertempur dan
mengalahkan lawannya tanpa membunuhnya, meskipun
diluar kehendak mereka, kadang-kadang senjata mereka
telah melukai lawannya. Tetapi kadang-kadang merekapun
tidak dapat mengendalikan diri, sehingga dengan marah
mereka menggoreskan senjata mereka ke tubuh lawannya,
karena lawannyapun telah melukainya.
Demikianlah pertempuran itu berlangsung dengan
sengitnya. Tetapi terasa pada orang-orang Macan Wulung
bahwa gerombolan yang datang menyerang itu tidak
dengan penuh nafsu berusaha membunuh sebanyakbanyaknya.
"Menyerah sajalah" tiba-tiba mereka mendengar Ki
Dukut berteriak "kami datang tidak untuk membunuh.
Kami datang untuk memperluas pengaruh kami. Jika kalian
menyerah, maka kalian berada di bawah perlindungan
kami. Tetapi kalian harus tunduk kepada perintah kami"
"Aku sobek mulutmu" geram Macan Wulung.
"Kau sudah berusaha untuk melakukannya" sahut Ki
Dukut "tetapi kau tidak mampu"
Ketika Macan Wulung itu menggeram, maka Ki Dukut
justru tertawa berkepanjangan.
Jantung Macan Wulung rasa-rasanya hampir meledak
menahan marah melihat sikap Ki Dukut. Tetapi ia benarbenar
tidak dapat berbuat banyak. Ki Dukut benar-benar
seorang yang memiliki kemampuan yang tidak dapat
diimbanginya. Bahkan orang-orangnyapun ternyata
memiliki beberapa kelebihan daripada orang-orang Macan
Wulung yang dibanggakannya itu.
Demikianlah, akhirnya perlawanan Macan Wulung
benar-benar telah dilumpuhkan. Beberapa orangnya telah
terluka dan tidak mampu lagi berbuat sesuatu, meskipun
mereka tidak dibunuh. Sementara Macan Wulung sendiri
menjadi bingung, bagaimana ia menghadapi Rajawali yang
bertempur bagaikan iblis itu.
Dalam pada itu, untuk laripun rasa-rasanya tidak ada
kesempatan lagi bagi Macan Wulung. Pasukan Rajawali
Penakluk itu seolah-oleh telah mengepung mereka dengan
rapat. Demikianlah, maka Macan Wulung itu benar-benar
tidak lagi dapat menemukan jalan lain kecuali satu-satunya
yang ditawarkan oleh Ki Dukut. Menyerah.
Karena itu, ketika sekali lagi Ki Dukut berteriak agar
mereka menyerahkan, maka Macan Wulungpun menjawab
"Aku akan menyerah bersama orang-orangku asal kau
bersikap jujur" "Maksudmu?" bertanya Ki Dukut.
"Kau jamin keselamatan kami" jawab Macan Wulung.
"Sudah aku katakan bahwa aku memerlukan kalian
Karena itu, aku jamin keselamatan kalian" berkata Ki
Dukut kemudian. Macan Wulungpun kemudian berdiri termangu-mangu.
Namun akhirnya ia melepaskan senjatanya sambil berkata
"Aku menyerah" Ki Dukut tertawa. Iapun kemudian meneriakkan isyarat
agar pertempuran dihentikan, karena Macan Wulung telah
menyerah. Dengan demikian, maka anak buah Macan Wulungpun
telah melepaskan senjata mereka pula. Setelah mereka
melihat pemimpinnya menyerah, maka tidak seorang lagi
yang berhasrat untuk melawan.
Tetapi mereka menjadi heran, ketika Ki Dukutpun
kemudian berkata "Ambillah senjata kalian. Sudah aku
katakan, bahwa aku tidak akan berbuat apa-apa"
Macan Wulung dan anak buahnya menjadi ragu-ragu.
Tetapi Ki Dukut berkata sekali lagi "Ambillah senjata
kalian" Betapapun kebimbangan mencekam hati, tetapi orang
orang Macan Wulung itupun kemudian mengambil senjata
mereka. Sementara itu Ki Dukut berkata "Persilahkan kami
datang ke sarang kalian. Kami akan berada disini beberapa
saat. Tetapi kami akan segera kembali setelah kami
memberikan beberapa pesan kepada kalian"
Orang-orang yang keheranan itupun kemudian kembali
ke sarang mereka diikuti oleh Ki Dukut dan orangorangnya.
Diantara barak-barak yang berserakkan
melingkar, anak buah Macan Wulung itu duduk di tanah.
"Obatilah mereka yang terluka" berkata Ki Dukut baru
kemudian aku akan berbicara"
Macan Wulung dan orang-orangnyapun kemudian sibuk
mengobati kawan mereka yang terluka dengan obat-obatan
yang ada pada mereka. Baru kemudian setelah selesai, Ki
Dukut berkata "Sayang, bahwa ada beberapa orang
diantara kalian dan orang-orangku yang terluka. Terlebihlebih
lagi, bahwa ada satu dua orang-orangmu yang terluka
berat. Tetapi aku yakin, bahwa mereka akan sembuh"
"Mudah-mudahan" desis Macan Wulung.
"Nah. Sekarang dengarlah. Aku sudah mengatakan
bahwa aku tidak akan berbuat apa-apa atas kalian kecuali


Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

didorong oleh keinginanku untuk memperluas pengaruh.
Aku ingin mendapat bantuan kalian pada saat-saat yang
aku inginkan" "Bantuan apa?" bertanya Macan Wulung.
"Aku ingin berkuasa di daerah yang luas. Bahkan aku
ingin berkuasa seluas daerah Kediri. Kemudian aku ingin
berkuasa seluas tlatah Singasari"
Macan Wulung itu mengerutkan keningnya. Namun
kemudian ia tertawa sambil berkata "Kau mimpi. Meskipun
aku sudah melihat sendiri, bahwa kau mempunyai ilmu
yang ajaib, tetapi Kediri dan apalagi Singasari bukan
sekedar padukuhan kecil atau sebuah padepokan dengan
satu dua orang cantrik, Putut atau jejanggan"
"Jangan menggurui aku" jawab Ki Dukut "barang kali
aku lebih tahu dari pada kau tentang tlatah Kediri dan
Singasari" potong Ki Dukut "tetapi aku memang
berkeinginan demikian. Sebagai langkah pertama aku telah
mengalahkan kalian disini. Besok atau lusa, aku akan
mengalahkan gerombolan-gerombolan yang lain.
Kemudian aku akan menguasai padepokan-padepokan
yang berpencaran. Menyusun kekuatan untuk mengalahkan
Pakuwon-pakuwon kecil. Baru kemudian aku akan madeg
kraman, melawan Kediri"
"Aku tidak mengerti" desis Macan Wulung.
"Kau memang bodoh. He. apakah kau tidak pernah
mendengar ceritera tentang Sri Ranggah Rajasa Sang
Amurwabumi, yang pada masa kecilnya bernama Ken
Arok" Ia mula-mula hidup di daerah kelam seperti aku
sekarang. Tetapi akhirnya ia dapat menguasai Tumapel.
Dari Tumapel baru ia memanjatkan kekuasaannya lewat
pecahnya Kediri. Sehingga akhirnya berdiri Singasari
sampai sekarang, meskipun setelah itu terjadi banyak
kematian" "Kau akan menirukannya?" bertanya Macan Wulung.
"Ya" jawab Ki Dukut.
"Aku juga pernah mendengar ceritera itu meskipun tidak
lengkap. Tetapi tentu bukan dalam umur setua kau.
Waktumu tinggal sedikit" berkata Macan Wulung.
"Tetapi aku akan melakukannya. Ternyata aku dapat
bergerak lebih cepat dari Ken Arok. Karena itu, aku
memerlukan waktu yang lebih pendek untuk mencapai
maksudku" Ki Dukut berhenti sejenak, lalu "tetapi
seandainya tidak sepenuhnya, sebagianpun aku tentu sudah
merasa puas, Seandainya aku dapat menguasai padepokan
kecil itu" Macan Wulung mengerutkan keningnya. Agaknya
tujuan utama orang yang menyebut dirinya Rajawali
Penakluk itu adalah sebuah padepokan kecil. Karena itu,
maka iapun bertanya "Padepokan apakah yang kau
maksud?" "Sebuah padepokan" jawab Ki Dukut "di dalam
padepokan itu tinggal sekelompok perampok dan
penyamun seperti kita semuanya. Tetapi mereka berada
dalam lingkungan hidup yang lebih teratur.. Meskipun
demikian, aku akan menaklukkannya juga"
"Hanya sampai padepokan kecil itu?" bertanya Macan
Wulung. "Di padepokan kecil itu tersimpan syarat dan cara untuk
mencapai tataran tertinggi dari derajad manusia di
Singasari" desis Ki Dukut.
Macan Wulung tidak begitu mengerti apa yang
dikatakan oleh Ki Dukut. Namun iapun kemudian
mengangguk. "Nah" berkata Ki Dukut "kalian telah berjanji untuk
mengikuti segala perintahku. Kali ini aku tidak akan
berbuat sesuatu atas kalian. Aku dan orang-orangku akan
segera kembali. Mungkin pada suatu saat aku akan
memanggil kalian untuk satu tugas yang penting"
Macan Wulung menjadi heran. Apakah artinya
perbuatan Ki Dukut yang menyebut dirinya Rajawali
Penakluk itu. Apakah ia sekedar ingin menunjukkan
kelebihannya atau ingin berbuat gila tanpa tujuan tertentu.
Atau barangkali ia benar-benar ingin melakukan seperti
yang dikatakannya, yang bagi Macan Wulung tidak lebih
dari sebuah mimpi. Tetapi Ki Dukut benar-benar akan meninggalkan sarang
Macan Wulung ita Namun demikian ia menyatakan
niatnya, maka iapun berpesan "Jika kalian ingkar, maka
pada saat lain kami akan datang bukan dengan niat yang
baik seperti sekarang. Tetapi kami akan datang sebagai
perampok dan penyamun yang hanya mengenal maut
sebagai penyelesaian setiap masalah. Kalian harus
menyadari, bahwa kami dapat berbuat demikian"
Macan Wulung tidak menjawab. Tetapi sebenarnyalah
bahwa orang yang menyebut dirinya Rajawali Penakluk itu
akan dapat berbuat demikian.
Ki Dukut dan orang-orangnya tidak tinggal terlalu lama
disarang Macan Wulung. Setelah beristirahat secukupnya,
maka merekapun segera meninggalkan sarang itu tanpa
membawa kekayaan dan harta benda yang tertimbun
disarang itu. Demikian Ki Dukut dan orang-orangnya hilang dibalik
pepohonan, maka Macan Wulung bergumam "Agaknya
orang itu orang gila yang sakti. Ia berbuat sesuatu tanpa
maksud. Bahkan mungkin diluar sadarnya"
"Tetapi orang gila yang demikian tentu sangatberbanaya.
Apalagi bersamanya adalah Iblis yang tamak itu. Pada
suatu saat orang gila yang sakti itu akan diperalat oleh Iblis
yang tamak dan dengki itu" berkata salah seorang anak
buahnya. "Apakah iblis itu juga yang membawanya kemari?"
bertanya yang lain. "Tentu tidak" jawab Macan Wulung "jika Iblis itu yang
membawanya, maka ia tentu akan memanfaatkannya,
membawa barang-barang yang ada itu sampai tuntas"
Yang lain mengangguk-angguk. Namun Macan Wulung
itupun kemudian berkata "Memang ada dua kemungkinan.
Orang tua itu seorang gila yang sakti, atau kitalah yang
sudah dibuatnya gila"
Yang lain tidak menjawab. Tetapi orang yang menyebut
dirinya Rajawali Penakluk itu memang orang aneh bagi
mereka. Orang itu datang, bertempur, melukai beberapa
orang dan kemudian pergi.
Tetapi Macan Wulungpun sudah memperhitungkan, jika
orang tua itu bukan orang gila, maka pada suatu saat ia
akan datang dan benar-benar akan melakukan seperti yang
dikatakannya, merintis jalan ke ahta Singasari.
"Itupun perbuatan gila" geram Macan Wulung.
Demikian, dalam pada itu, Ki Dukut dan orangorangnyapun
langsung kembali ke baraknya. Mereka sama
sekali tidak membawa apapun juga. Bukan saja orang-orang
Macan Wulung yang heran, bahkan orang-orangnyapun
merasa heran juga. "Barang-barang Macan Wulung itu cukup banyak"
berkata salah seorang dari mereka.
"Ya. Sebenarya kita dapat mengambil separuh tanpa
dapat mereka cegah" desis yang lain.
"Tetapi Rajawali itu nampaknya sama sekali tidak
menghiraukannya" berkata yang pertama.
"Ia mimpi tentang kedudukan tertinggi. Bukan tentang
harta benda" desis yang lain pula.
Tetapi kawannya mencibirkan bibirnya sambil menjawab
"Itu tidak mungkin. Mimpi itu justru mimpi buruk yang
dapat menyeretnya ke dalam dekapan maut"
"Dan kita bersama-sama akan diseretnya pula" Tetapi
mereka tidak berani menentang kehendak Ki Dukut.
Mereka sudah mengetahui betapa tinggi tingkat
kemampuan orang itu. Tidak seorangpun yang akan dapat
mengimbanginya. Bahkan semua orang yang ada diantara
mereka, tidak akan dapat mengalahkannya.
Ternyata ketika mereka sampai ke dalam sarang mereka
sendiri, hampir setiap orang diantara mereka berpendapat
serupa. Alangkah bodohnya Ki Dukut yang menyebut
dirinya Rajawali Penakluk itu. Mereka sebenarnya dengan
leluasa dapat mengambil apa saja yang mereka kehendaki
dengan kemenangan mutlak yang mereka dapatkan. Tanpa
membunuh, mereka sudah menunjukkan kelebihan dari
gerombolan-gerombolan lain yang sejalan dengan mereka.
Apalagi ternyata mereka tidak mengambil sekeping
uangpun dari simpanan Macan Wulung itu.
Namun dalam pada itu, ternyata bahwa Ki Dukut sama
sekali tidak pernah menyebut tentang harta benda itu. Yang
setiap kali dikatakan, bagaimana ia dapat memperluaskan
pengaruhnya dan memilih orang-orang terbaik untuk
membantunya. Ternyata bahwa Ki Dukut tidak hanya sekedar berbicara
tentang pengaruh dan kekuasaan. Tetapi ia benar-benar
melakukannya. Kecuali Macan Wulung, maka Ki Dukut
telah menaklukkan beberapa gerombolan yang lain pula.
Ternyata bahwa gerombolan-gerombolan yang lainpun
menjadi heran, bahwa orang yang menyebut dirinya
Rajawali Penakluk Bumi itu tidak berbuat apa-apa atas
mereka. Ia benar-benar hanya mengalahkan dan memaksa
untuk menyerah saja. Namun, akhirnya datang juga suatu saat, bahwa Ki
Dukut bukan sekedar mengalahkan mereka, gerombolangerombolan
yang berpencaran. Tetapi Ki Dukutpun
kemudian telah meminta kepada mereka untuk
menyerahkan beberapa orang-orangnya yang terbaik.
"Kita akan segera mulai berkata Ki Dukut kepada orangorang
yang telah dikumpulkannya. Ternyata Ki Dukut telah
membawa mereka ke tempat yang terpencil. Sebelum ia
berbuat sesuatu, maka Ki Dukut ingin meningkatkan ilmu
orang-orangnya yang telah dipilihnya itu. Sementara ia
sama sekali tidak perlu cemas akan kekurangan makan dan
pakaian, karena gerombolan-gerombolan yang berada
dibawah pengaruhnya akhirnya harus membantunya juga,
menyediakan uang dan bahan yang diperlukan oleh Ki
Dukut dan orang-orangnya yang terpilih itu.
Ki Dukut telah mempersiapkan orang-orang itu untuk
mencapai maksudnya. Sebenarnyalah bahwa ia sama sekali
tidak ingin melawan Kediri dan apalagi Singasari. Tetapi
yang ingin dilakukannya adalah menghancurkan
padepokan kecil yang dipimpin oleh Ki Kasang Jati. musuh
bebuyutannya. Di tempat yang terpisah, maka Ki Dukut telah menempa
beberapa orang yang dipilih dari antara gerombolangerombolan
yang pernah di kalahkannya. Ki Dukut
memilih orang-orang muda diantara mereka, yang menurut
pertimbangannya masih menyimpan kemungkinan yang
besar bagi masa depannya.
Dalam pada itu, selama Ki Dukut sibuk menempa orangorang
yang telah dipilihnya, maka orang-orang yang
memburunyapun telah menjelajahi beberapa padukuhan
dan padepokan. Mereka singgah dibeberapa tempat yang
pernah tersangkut ke dalam usaha Ki Dukut untuk
menghancurkan Ki Kasang Jati, Tetapi gagal.
"Seorang pemimpin padepokan yang menerima Mahisa
Agni, Witantra dan Pangeran Kuda Padmadata singgah di
padepokannya, telah menyatakan kepada mereka, bahwa
masih belum ada tanda-tanda bahwa Ki Dukut akan datang
ke padepokannya. "Sukurlah" berkata Mahisa Bungalan "mudah-mudahan
ia tidak lagi menuruti kata hatinya yang sesaat itu"
"Mudah-mudahan" sahut pemimpin padepokan itu.
"Meskipun demikian, kalian jangan menjadi lengah"
pesan Mahisa Agni. "Kami akan menjaga padepokan kami sejauh-jauh dapat
kami lakukan, meskipun kami tahu, bahwa Ki Dukut
adalah seorang yang pilih tanding. Tetapi ia kini seorang
diri" berkata pemimpin padepokan itu "bagaimanapun
juga, maka seisi padepokan ini harus diperhitungkannya"
Mahisa Agni mengangguk-angguk. Ia dapat mengerti,
bahwa seorang diri memang sulit untuk melawan seisi
padepokan betapapun juga ia seorang yang mumpuni.
Namun demikian, seandainya seisi padepokan itu akhirnya
dapat mengalahkannya, tetapi korbannyapun tentu tidak
sedikit. Ketika ketiga orang itu kemudian, meneruskan
perjalanan mereka, dan singgah di padepokan lain, maka
keterangan yang didengarnyapun hampir serupa.
Namun ketika ia singgah di padepokan yang lain lagi,
maka ketika orang itu telah mendengar keterangan yang
lain, meskipun tidak menyangkut tentang Ki Dukut, tetapi
keterangan itu agaknya cukup menarik.
"Bahaya yang mengancam padepokan ini, ternyata
bukan saja datang dari Ki Dukut" berkata pemimpin
padepokan itu. "Apakah ada pihak lain yang telah melakukan pesan
dendam dari Ki Dukut?" bertanya Mahisa Agni.
"Bukan, sama sekali bukan. Tetapi diujung hutan
sebelah, telah berhimpun beberapa orang yang telah terpilih
dari lingkungan para perampok untuk mendapat latihanlatihan
khusus" berkata pemimpin padepokan itu.
"Dari mana kau mengetahuinya?" bertanya Witantra.
"Perampok-perampok itu tidak terlalu ganas terhadap
orang-orang yang sering berhubungan dengan mereka untuk
mendapatkan persediaan makan. Mereka membeli dengan
harga yang wajar. Mereka sama sekali tidak memaksakan
kehendaknya kepada orang-orang yang sempat
berhubungan dengan mereka untuk menjual bahan-bahan
makanannya" jawab pemimpin padepokan itu
"pemimpinnya seorang tua bernama Rajawali Penakluk
Bumi" Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Nama itu
terdengar aneh ditelinganya. Namun demikian ia tidak
memberikan tanggapan atas nama itu. Demikian juga
Witantra dan Pengeran Kuda Padmadata.
Namun demikian Pangeran itu bertanya "Apa saja yang
mereka katakan tentang kelompok mereka itu?"


Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Mereka tidak mangatakan sesuatu yang penting. Yang
mereka katakan hanyalah, bahwa kawan-kawan mereka
terdiri dari orang-orang yang berasal dari lingkungan yang
berbeda. Mereka di tempat terpencil itu mendapat latihanlatihan
kanuragan dari pemimpin mereka yang yang mereka
sebut Rajawali Penakluk itu"
"Memang suatu masalah tersendiri" berkata Witantra
"masalah yang tidak terdapat pada padepokan-padepokan
lain yang jauh dari tempat ini"
"Ya" sahut pemimpin padepokan itu "berita itu
membuat kami cemas. Meskipun sampai sekarang, mereka
tidak membuat kesulitan apapun, namun kita tidak tahu,
apa yang akan mereka lakukan kemudian"
Mahisa Agni, Witantra dan Pangeran Kuda Padmadata
ternyata sangat tertarik kepada berita itu. Nampaknya
persoalannya tidak ada hubungannya dengan tugas mereka,
mencari seseorang yang bernama Ki Dukut Pakering.
Namun agaknya mereka tidak dapat melepaskan perhatian
mereka kepada peristiwa yang nampaknya akan dapat
mempengaruhi ketenangan lingkungannya.
Karena itu, maka Mahisa Agni, Witantra dan Pangeran
Kuda Padmadata, memutuskan untuk tinggal di padepokan
itu untuk beberapa saat lamanya. Mungkin ada sesuatu
yang harus mendapat perhatian mereka.
"Kesediaan kalian tinggal di sini sangat menyenang kan
kami" berkata pemimpin padepokan itu "namun mudahmudahan
tidak akan terjadi sesuatu disini"
Demikianlah maka ketiga orang pendatang itupun
mendapat tempat tinggal untuk beberapa lamanya di
padepokan itu. Meskipun ada juga semacam kecurigaan
terhadap mereka, karena ketiga orang itu sama sekali belum
dikenalnya. Hanya karena keterangan mereka yang jelas
dan pasti, tentang seorang anak muda bernama Mahisa
Bungalan yang pernah berkunjung ke padepokan Ki Kasang
Jati sajalah, maka ketiganya dapat diterima.
Namun demikian, pemimpin padepokan itu masih
memerintahkan kepada para cantriknya untuk mengawasi
ketiganya dengan diam-diam. Jika nampak sesuatu yang
muncurigakan, maka mereka harus segera melaporkan
kepadanya. Dalam pada itu, Mahendra dan kelompok kecilnya telah
menelusuri jalur jalan yang telah ditentukan pula. Mereka
juga mengunjungi padepokan-padepokan yang terlibat
dalam usaha Ki Dukut untuk mengalahkan Ki Kasang Jati
tetapi gagal. Namun dalam pada itu, Mahisa Bungalan ternyata
masih belum membawa ayahnya ke padepokan yang
pernah dikunjunginya, dan yang pernah menumbuhkan
persoalan di dalam hatinya. Meskipun kadang-kadang ada
juga getar kegelisahannya, bahwa justru padepokan itulah
yang akan didatangi oleh Ki Dukut, namun ada semacam
hambatan yang menghalanginya untuk berkunjung ke
tempat itu mendahului padepokan-padepokan yang lain.
Ki Wastu yang mengerti perasaan anak muda itu sama
sekali tidak mengusulkan sesuatu. Diikutinya saja arah yang
ditentukan oleh Mahisa Bungalan. Bahkan ketika mereka
sampai ke padepokan yang manjadi tempat yang dijanjikan
untuk saling bertemu, ternyata bahwa Mahisa Agni dan
kedua orang yang pergi bersamanya masih belum berada di
tempat itu. "Kita memang terlalu cepat sehari" berkata Mahisa
Bungalan kepada ayahnya. "Kita akan menunggu sampai besok. Biasanya paman
mu Mahisa Agni memegang hitungan waktu sebaikbaiknya.
Jika besok mereka tidak datang, maka agaknya
ada persoalan yang mereka hadapi diperjalanan.
Dengan demikian, maka Mahisa Bungalan yang sudah
dikenal oleh pemimpin padepokan itu, telah diterima
dengan senang hati. Bahkan kedatangannya telah ditunggutunggu
oleh kegelisahan dan kecemasan bahwa Ki Dukut
akan datang untuk melepaskan dendamnya.
Tetapi seperti keterangan yang didengar oleh Mahisa
Agni, bahwa tidak ada tanda-tanda gerakan sama sekali
yang akan dapat mengganggu ketenangan padepokannya.
Tetapi ternyata dihari yang sudah ditentukan, Mahisa
Agni, Witantra dan Pangeran Kuda Padmadata tidak
datang ke padepokan itu. Karena itu. maka Mahendra dan mereka yang datang
bersamanya menjadi gelisah.
"Tentu terjadi sesuatu di perjalanan" berkata Mahisa
Murti. "Mudah-mudahan tidak demikian. Mungkin ada sesuatu
yang menarik perhatian, sehingga mereka tidak segera
datang ke tempat ini"
"Kita akan dapat menelusurinya" berkata Mahisa
Bungalan "bukankah arah perjalanan paman Mahisa Agni,
paman Witantra dan Pangeran Kuda Padmadata telah
ditentukan?" "Ya. Kita akan segera melihat, apakah yang terjadi atas
mereka" berkata Mahendra.
Dengan demikian maka Mahendra telah minta diri
kepada pemimpin padepokan itu untuk mencari tiga orang
kawan mereka yang menempuh perjalanan yang lain.
"Tetapi bukankah kalian akan datang lagi ke padepokan
ini?" bertanya pemimpin padepokan itu.
"Mungkin. Tetapi mungkin pula tidak. Kami sedang
memburu buruan yang berbahaya dan tangkas. Mungkin
kami akan mengambil sikap tertentu sesuai dengan
perkembangan keadaan" jawab Mahendra.
Demikianlah, maka Mahendra dan mereka yang pergi
bersamanya segera meninggalkan padepokan itu. Mereka
menuju ke padepokan berikutnya sesuai dengan rencana
perjalanan Mahisa Agni. Ketika mereka sampai ke tempat itu, ternyata bahwa
Mahisa Agni, Witantra dan Pangeran Kuda Padmadata
masih berada di tempat itu. Mereka tidak dapat dengan
segera meninggalkan padepokan itu sesuai dengan waktu
yang sudah ditentukan, karena mereka menghadapi
persoalan yang khusus. "Kami tahu, bahwa kalian tentu akan datang" desis
Witantra. Mahendra mengerutkan keningnya. Namun iapun
kemudian berkata "Kamilah yang menjadi gelisah.
Syukurlah bahwa tidak terjadi sesuatu di perjalanan kalian"
"Kami mengawasi perkembangan sekelompok orang
yang dengan sungguh-sungguh sedang mempelajari olah
kanuragan di hutan sebelah" berkata Mahisa Agni yang
kemudian memberikan beberapa keterangan sebagaimana
didengarnya. Bahkan di hari terakhir, pemimpin padepokan
itu telah memberikan pesan-pesan khusus kepada orang
yang pernah melaporkan tentang sekelompok orang yang
sedang meningkatkan ilmunya di hutan itu, agar apabila ia
menjual beberapa jenis bahan makanan, ia memperhatikan
orang-orang itu dengan lebih seksama.
Hal itu nampaknya memang sangat menarik hati
Mahendra. Bahkan Ki Wastupun berpendapat, bahwa
kelompok itu memang memerlukan perhatian yang lebih
besar. "Ada yang sangat menarik pada kelompok itu" berkata
Ki Wastu "nampaknya mereka mempunyai maksud
tertentu. Mereka ingin meningkatkan kemampuan mereka,
sementara mereka tidak ingin terganggu. Ternyata mereka
sama sekali tidak berbuat sesuatu selain meningkatkan ilmu
di tempat yang terpencil itu"
Pendapat itu sesuai dengan pandapat orang-orang lain
yang berada di padepokan itu. Pemimpin padepokan itupun
berpendapat demikian. Karena itu, maka yang perlu mereka
ketahui, apakah yang sebenarnya dikehendaki oleh
kelompok yang dengan sungguh-sungguh sedang menempa
diri itu. Dalam pada itu, orang-orang yang ditugaskan untuk
mengetahui lebih banyak tentang kelompok itu, ternyata
tidak dapat memberikan keterangan yang lebih jelas, selain
bahwa orang-orang di tempat terpencil itu telah membeli
beberapa jenis bahan makan dari mereka.
"Kita tidak dapat membiarkan mereka melakukan
sesuatu yang dapat menggangu ketenangan daerah
disekelilingnya" berkata Mahisa Bungalan yang nampaknya
tidak sabar menunggu. Tetapi Mahisa Agni berkata "Kita akan mencari
keterangan yang lebih banyak tentang mereka"
"Sementara itu Ki Dukut telah merayap dari satu
padepokan ke padepokan yang lain" sahut Mahisa
Bungalan. Pendapat Mahisa Bungalan itu dapat dimengerti oleh
Mahisa Agni. Karena itu, maka katanya "Apakah kita
harus mempercepat perkembangan menempa diri itu"
"Maksud paman?" bertanya Mahisa Bungalan.
"Kita akan memancing mereka, agar mereka segera
berbuat sesuatu yang dapat memberikan petunjuk, apa yang
sebenarnya akan mereka lakukan" berkata Mahisa Agni.
"Apakah yang dapat kita lakukan" bertanya Mahisa
Bungalan. Mahisa Agni merenung sejenak. Lalu katanya
"Sebaiknya di padepokan ini juga melakukan hal yang
sama" "Maksud paman di padepokan ini juga diselenggarakan
latihan olah kanuragan seperti yang dilakukan di tempat
terpencil itu?" bertanya Mahisa Bungalan pula.
"Ya" jawab Mahisa Agni singkat.
Ternyata pendapat itu disetujui oleh pemimpin
padepokan itu. Selagi beberapa orang yang berada
dipadepok-annya itu tetap berada bersama mereka, maka
jika terjadi sesuatu, tamu-tamunya itu akan dapat
membantunya. . Demikian seperti yang telah direncanakan, maka dihari
berikutnya, di padepokan itu telah diselenggarakan latihanlatihan
olah kanuragan melampaui kebiasaan. Para cantrik
dari padepokan itu mengikutinya justru di-tempat yang
dapat dilihat dari luar padepokan.
Meskipun mereka berlatih di kebun belakang, namun
pada saat-saat tertentu, para cantrik itu telah diperintahkan
oleh pemimpin padepokannya untuk berbuat sesuatu yang
dengan sengaja dapat memancing perhatian orang-orang
yang menyaksikan. Demikianlah, maka seperti yang diharapkan, maka berita
tentang latihan-latihan yang melampaui kebiasaan itu,
bahkan yang nampaknya dilakukan dengan sungguhsungguh
dan sangat berat itu dapat didengar oleh Ki Dukut
yang menyebut dirinya Rajawali Penakluk itu.
"Apakah orang-orang padepokan itu sudah gila" berkata
Ki Dukut kepada seseorang yang sedang mengantar beras
kepada kelompok yang terpencil itu.
"Aku tidak tahu" jawab orang yang menjual beras itu
"yang aku ketahui mereka sedang berlatih melampaui saatsaat
sebelumnya" Ki Dukut mengerutkan keningnya sambil berkata
"Apakah kau pernah datang ke padepokan itu?"
"Jarang sekali. Mereka tidak pernah membeli beras,
karena para cantrik mempunyai tanah yang cukup luas dan
menghasilkan bahan makanan yang cukup bagi mereka"
Ki Dukut mengangguk-angguk. Iapun mengerti, bahwa
pada umumnya setiap padepokan memiliki sawah dan
ladang yang cukup bagi persediaan makan mereka. Agak
berbeda dengan kedudukannya di tempat terpencil itu. Ia
tidak mempunyai waktu untuk membuka hutan bagi tanah
persawahan. Dan ia tidak perlu minta agar orang-orangnya
memberikan beras atau bahan makanan yang lain bagi
orang-orangnya yang sedang ditempa, karena mereka
mempunyai banyak uang untuk membeli dari orang-orang
padukuhan di sekitarnya. Ki Dukut tidak bertanya lebih banyak lagi kepada orang
yang menjual beras kepadanya, karena orang itu tidak akan
mengetahui terlalu banyak tentang para cantrik yang
berlatih di padepokan itu. Hanya dari penjual beras itu, Ki
Dukut dapat mengerti, saat-saat yang sering dipergu nakan
oleh para cantrik untuk berlatih.
Karena itu, maka Ki Dukut telah mengirimkan orangorangnya
yang terpercaya, termasuk pengikutnya yang
setia, untuk melihat apakah yang dikatakan oleh penjual
beras itu memang benar. "Orang itu tidak berbohong" berkata pengikutnya yang
setia "Aku melihat para cantrik itu berlatih. Agaknya
mereka bersembunyi atau setidak-tidaknya agar tidak
mudah diketahui orang, karena mereka melakukan latihanlatihan
itu di kebun belakang. Tetapi agaknya aku masih
sempat melihatnya dari sela-sela pintu butulan kebun
belakang yang terbuka"
"Apakah mereka tidak mempunyai sanggar?" bertanya
Ki Dukut. "Mungkin ada" jawab pengawalnya "tetapi yang agak
menarik perhatian adalah, bahwa cantrik di padepokan itu
agaknya terlalu banyak"
"Bagaimana dapat kau katakan terlalu banyak?"
bertanya Ki Dukut. "Aku tidak dapat menghitung dengan pasti. Tetapi aku
kira, padepokan itu dengan sengaja telah memperkuat diri"
Ki Dukut menjadi gelisah mendangar berita itu. Bahkan
ia mulai bertanya kepada diri sendiri, apakah orang-orang
di padukuhan itu mengetahui rencananya.
"Aku tidak pernah mengganggu mereka atau perbuatanperbuatan
lain yang dapat menimbulkan kecurigaan
mereka" berkata Ki Dukut kepada diri sendiri.
Namun kemudian Ki Dukutpun menggeram "Pemimpin
padepokan itu pernah aku bawa ke padepokan Ki Kasang
Jati. Tetapi ia tidak berbuat apa-apa. Bahkan orang itu telah
berkhianat" Tiba-tiba saja dendam Ki Dukut telah bergejolak di
dalam hatinya. Apabila pemimpin padepokan itu
mengetahui bahwa yang memimpin sekelompok orang yang


Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sedang menempa diri di tempat terpencil itu adalah Ki
Dukut, maka mungkin sekali ia telah mempersiapkan diri.
"Bukan salahku" berkata Ki Dukut "orang itu telah
menantang agar aku bertindak atas mereka. Perbuat an
mereka benar-benar telah menggugah dendamku
kepadanya. Sebenarnya aku tidak akan menghiraukannya
lagi, karena orang itu tidak lebih dari tikus celurut yang
tidak tahu diri" Ki Dukutpun kemudian telah memanggil pengawalnya
yang setia, yang mengikutinya dari satu tempat ke tempat
yang lain. "Selesaikan saja padepokan kecil yang berisi orang-orang
gila itu" berkata Ki Dukut "mereka mencoba menantang
aku, seakan-akan mereka memiliki kekuatan yang cukup
untuk membendung dendam dan kemarahanku"
Pengawalnya pun mengangguk-angguk, meskipun ia
masih bertanya "Apakah aku pergi sendiri bersama para
pengikut yang lain?"
"Bawalah sebagian besar dari orang-orang yang telah
menempa diri ini. Hancurkan saja padepokan itu dari pada
akan dapat menimbulkan persoalan di hari depan. Agaknya
aku tidak perlu ikut bersamamu. Padepokan itu hanya akan
mengotori tanganku saja jika aku pergi bersamamu"
Pengikutnya yang setia itupun kemudian mempersiapkan
sepasukan laskarnya yang telah ditempa beberapa saat
lamanya. Mereka merasa bahwa mereka memilki kekuatan
yang telah sempurna sehingga orang-orang di padepokan itu
tidak akan dapat berbuat sesuatu kecuali menyerahkan leher
mereka untuk dibantai. "Kita akan mencoba, betapa kemampuan kita akan
membuat orang-orang padepokan itu benar-benar menjadi
gila. Tetapi sayang, bahwa mereka tidak mendapat
kesempatan untuk mengagumi kemampuanku terlalu lama,
karena mereka harus dimusnahkan" berkata salah seorang
dari mereka. Ketika pasukan itu sudah bersiap, maka mulailah mereka
dengan tugas mereka untuk menghancurkan padepokan
kecil yang menurut pemimpin mereka yang bergelar
Rajawali Penakluk itu terlalu sombong dan tinggi hati,
karena mereka telah berani menantangnya dengan latihanlatihan
yang berat untuk mengimbangi latihan-latihan yang
selenggarakan di tempat terpencil itu.
"Mereka harus mangerti, bahwa tanpa aku mereka sudah
dapat kalian hancurkan. Apalagi jika aku, Rajawali
Penakluk datang pula diantara pasukannya" berkata Ki
Dukut itu. Dengan gambira, sepasukan kecil yang terdiri dari orangorang
terbaik yang dikumpulkan oleh Ki Dukut dari
beberapa gerombolan perampok itu menuju ke padepokan
yang menurut penilaian mereka adalah padepokan yang
tidak berarti. Hanya seorang sajalah di antara mereka yang
dapat dihitung dalam lingkungan orang-orang yang
berilmu. Selebihnya adalah para cantrik yang dungu, yang
tidak memiliki bekal apapun juga. Jika mereka mendapat
latihan sedikit di padepokan, itu sama sekali tidak akan
berarti apa-apa melawan segerombolan perampok terpilih
yang sudah ditempa beberapa saat lamanya oleh seorang
yang bernama Ki Dukut Pakering yang menyebut dirinya
Rajawali Penakluk itu. Ternyata sepasukan kecil orang-orang yang mendendam
itu, sama sekali tidak berusaha mendekati padepokan itu
dengan diam-diam. Mereka sama sekali tidak takut bahwa
perjalanan mereka telah diketahui oleh orang-orang
padepokan. "Mungkin ada di antara mereka yang sempat melarikan
diri" berkata pengawal Ki Dukut yang memimpin pasukan
kecil itu. Lalu "tetapi agaknya mereka akan menunggu.
Mereka dengan sombong telah berani menantang kita. Aku
kira mereka terlalu bodoh untuk menilai, betapa
kemampuan kita sudah meningkat. Setiap orang di antara
kita akan dapat bertanding seorang lawan seorang dengan
pemimpin padepokan yang sombong itu. Apalagi kita
bersama-sama" "Jika mereka menunggu kedatangan kita, maka tidak
seorangpun yang akan sempat lari. Padepokan itu akan
menjadi karang abang. Satu contoh yang baik bagi
pedepokan-pedepokan lain yang berani menantang kita"
sahut kawannya. "Yang kita lakukan ini adalah sekedar pendahuluan.
Kita merencanakan untuk mendatangi bukan hanya satu
padepokan ini saja. Tetapi beberapa, terutama yang telah
berkhianat terhadap pemimpin kita" desis pengawal itu.
Orang-orangnya tidak bertanya, kapan dan bagaimana
pemimpin padepokan itu telah berkhianat. Yang menyesak
di dalam dada mereka adalah satu kegembiraan bahwa
akan dapat menjajagi kemampuan mereka sendiri.
Demikianlah maka pasukan itu semakin lama menjadi
semakin dekat dengan padepokan kecil yang menurut
pengamatan para perampok itu sedang mempersiapkan diri,
yang dinilai oleh Ki Dukut sebagai dengan sengaja telah
menantang mereka. Dalam pada itu, padepokan kecil itupun sebenarnya
telah bersiaga menghadapi segala kemungkinan. Seoreng
pengawas yang melihat kehadiran sepasukan kecil, segera
memasuki ruang dalam rumah induk padepokan itu untuk
memberikan laporan. Namun sebenarnyalah bahwa pemimpin padepokan itu
menjadi berdebar-debar pula. Yang diketahuinya memiliki
kemampuan yang tinggi diantara mereka, barulah Mahisa
Bungalan dan Ki Wastu yang pernah berada di padepokan
Ki Kasang Jati. Seandainya yang datang itu benar-benar
orang yang terlatih dan bahkan dengan guru mereka, yang
disebut Rajawali Penakluk itu, apakah padepokan itu dapat
bertahan, meskipun tamu-tamu mereka bersedia
membantunya. "Mereka langsung menuju padepokan ini" berkata
pengawas itu. "Baiklah" berkata pemimpin padepokan itu, meskipun
detak jantungnya terasa semakin cepat "siapkan kawankawanmu.
Para Cantrik harus menyadari apa yang dapat
terjadi pada padepokan mereka. Karena itu, maka biarlah
mereka berbuat sesuatu bagi padepokan ini"
Pengawas itupun kemudian keluar dari ruang dalam.
Dengan berlari-lari kecil ia kemudian memanggil kawankawannya.
Setengah berteriak ia berkata "Bersiaplah
menghadapi segala kemungkinan. Orang-orang yang
berlatih di hutan itu datang dengan senjata mereka"
Meskipun hal itu tidak mengejutkan mereka, karena
merekapun mengerti, bahwa padepokan itu sengaja
memancing orang-orang yang tidak mereka ketahui dengan
pasti, yang dengan tekun tengah menempa diri di hutan
dekat dengan padepokan mereka, namun rasa-rasanya
mereka menjadi berdebar-debar pula.
Sejenak kemudian, merekapun telah menyiapkan diri
menghadapi segala kemungkinan. Regol halaman telah
mereka tutup. Sementara itu setiap sudut padepokan,
mendapat pengawasan yang ketat dari para cantrik sesuai
dengan petunjuk-petunjuk yang pernah mereka dengar, dan
bahkan merekapun pernah melakukannya dalam latihanlatihan
yang khusus. Dalam pada itu dua orang telah berdiri pada dua buah
tangga di sebelah menyebelah regol halaman, sementara
beberapa orang cantrik telah bersiap di belakang regol.
Di pendapa rumah induk padepokan itu, Pemimpin
padapokan bersama tamu-tamunya berdiri dengan
termangu-mangu. Masih ada keragu-raguan di dalam
hatinya, apakah mereka akan dapat menyelamatkan
padepokan itu dari ancaman orang-orang yang tidak
mereka kenal. "Agaknya bukan dendam Ki Dukut yang akan
menghancurkan padepokan ini, tetapi justru dari pihak yang
tidak aku kenal sama sekali" berkata pemimpin padepokan
itu di dalam hatinya. Sementara itu, dari kejauhan telah terdengar suara sorak
yang riuh. Agaknya orang-orang yang datang menyerang
padepokan itu berusaha untuk mengecilkan hati lawannya
dengan teriakan-teriakan yang mendebarkan.
"Mereka sudah dekat" desis Mahisa Bungalan.
Mahisa Agni mengangguk. Kemudian iapun berkata
"Marilah kita akan menunggu di halaman"
Dengan hati yang berdebar-debar pemimpin padepokan
bersama tamunya itupun segera turun ke halaman. Mereka
melihat para cantrik yang sudah bersiaga. Di depan regol
beberapa orang cantrik dengan tombak dan pedang
terhunus sedang menunggu. Demikian orang-orang yang
menyerang padepokan itu memecah pintu regol. maka perut
mereka akan segera dilubangi dengan ujung-ujung tombak.
Namun ternyata Mahisa Agni kemudian berkata
"Kemarilah. Kita akan mempertahankan padepokan ini di
halaman. Tidak semua orang dari meraka akan memasuki
halaman ini lewat regol. Tetapi sebagian dari mereka
bahkan sebagian besar, akan memasuki halaman ini dengan
meloncati dinding" "Setiap sudut telah diawasi" desis seorang cantrik yang
terhitung tua. "Bagus. Tetapi jika mereka berloncatan masuk, Maka
kita akan menjadi terlalu sibuk, kareua sebagian besar dari
kita berkumpul di depan regol"
"Apakah mereka harus membiarkan penyerang itu
memasuki regol halaman tanpa perlawanan?" bertanya
cantrik itu pula. "Kita bertempur di halaman dan di kebun. Tidak
berjejal-jejal di regol" desis Mahisa Agni.
Cantrik itu tidak menjawab. Sementara beberapa orang
cantrik yang lain telah meninggalkan regol dan memencar
di halaman dalam kelompok-kelompok kecil.
"Kita akan membagi diri pula" desis Mahisa Bungalan.
Mahisa Agni mengangguk-angguk. Sementara Witantra
berkata "Kita harus berada disegala arena. Kita belum tahu
kemampuan lawan tetapi juga kemampuan padepokan ini"
"Aku berada di halaman" tiba-tiba saja Mahisa Murti
memotong. "Mahisa Murti dan Mahisa Pukat akan berada bersama
ayah" desis Mahisa Agni.
"Tetapi di halaman ini" Mahisa Pukat Menyela pula.
"Baiklah" desis Mahisa Agni "Mahendra dan kedua
anak itu akan berada di halaman. Mahisa Bungalan akan
berada di sisi kanan bersama aku, sementara Witantra dan
Ki Wastu akan berada di sisi Kiri"
"Aku" pemimpin padepokan itu bertanya.
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Justru pemimpin
padepokan itulah yang bertanya kepadanya. Namun iapun
kemudian menjawab. "Kau disini, bersama Mahindra dan kedua anakanaknya"
Namun dalam pada itu. Pangeran Kuda
Padmadata bertanya pula. "Apakah aku tidak akan ikut dalam pertempuran ini?"
Mahisa Agni justru termangu-mangu. Namun kemu dian
jawabnya ragu. "Silahkan. Apa yang baik menurut pendapatmu.
Pangeran Kuda Padmadata menyadari. Bahwa Mahisa
Agni tidak dapatnya menyebutnya sebagai seorang
Pangeran, karena ia memang tidak berpakaian seorang
Pangeran. Namun Mahisa Agni ragu-ragu pula untuk tidak
mengucapkan sebutannya. Namun dalam pada itu. Pangeran Kuda Padmadata
tidak sempat memikirkannya terlalu panjang, seperti juga
Mahisa Agni. Diluar padepokan telah terdengar orangorang
yang datang itu bersorak-sorak gemuruh.
"Satu cara untuk mempengaruhi lawannya" desis
Mahisa Agni kepada pemimpin padepokan itu.
Ternyata sorak yang gemuruh itu benar-benar telah
mempengaruhi para cantrik. Rasa-rasanya jantung mereka
bardebar semakin cepat. Apalagi jika mereka mendengar
diantara sorak sorai itu. kata-kata umpatan yang kasar.
"Mereka sudah sangat dekat" orang yang memanjat
tangga di sisi regol berteriak.
"Baiklah" desis Mahisa Agni "kita mengambil tempat kita
masing-masing. Namun ia sempat berkata kepada Mahisa
Bungalan "Lawan kita adalah orang-orang yang tidak
mengerti persoalan yang sebenarnya kita hadapi. Mungkin
mereka sekedar terpancing oleh latihan-latihan yang sengaja
kita lakukan disini. Karena itu, kita jangan dibakar oleh
nafsu berlebihan" Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam.
Sementara Mahendra berkata kepada Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat "Berhati-hatilah. Tetapi ingatlah pesan
pamanmu Mahisa Agni"
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengerutkan
keningnya. Namun merekapun kemudian mengangguk
kecil. Dalam pada itu, kedua orang yang berada ditangga
sebelah menyebelah regolpun telah turun pula sambil
berkata "Mereka telah berpencar"
Mahisa Agni mengangguk kecil. Ia memang sudah
memperhitungkan bahwa orang-orang itu tidak berjejal-jejal
memasuki padepokan itu lewat regol. Karena itu, maka
para cantrikpun telah dimintanya untuk berpencar pula.
Sejenak kemudian, maka suara riuh sorak dan teriakanteriakan
itu seolah-olah telah mengepung padepokan.
Seakan-akan di sekitar padepokan itu telah berkumpul
lawan yang jumlahnya tidak terhitung.
Karena itu, para cantrik yang belum berpengalaman,
bahkan pemimpin padepokan itu, menjadi sangat gelisah
Apalagi mereka belum mengetahui tingkat kemampuan
orang-orang yang berada di padepokannya selain Mahisa
Bungalan dan Ki Wastu. Apakah artinya kedua orang itu
jika mereka harus berhadapan dengan lawan yang tidak
terhitung. Sejenak kemudian, para cantrik telah dikejutkan oleh


Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

loncatan-loncatan lawan mereka keatas dinding padepokan,
sementara suara teriakan dan sorak yang mengguruh masih
saja terdengar. "Hancurkan semuanya" terdengar seseorang berteriak.
"Bunuh semua" yang lain menyahut lebih keras "kita
jadikan padepokan ini menjadi kuburan yang besar"
"Bantai para cantrik yang dungu" terdengar suara yang
lain lagi "jangan beri kesempatan mereka tetap hidup.
Seorangpun jangan" Teriakan-teriakan itu membuat para cantrik menjadi
ngeri. Seolah-olah mereka dihadapkan kepada sekelompok
hantu yang sudah siap mencabut nyawa mereka menghisap
darah mereka sampai kering.
Karena itu. maka terasa tangan meraka meskipun
menggenggam senjata, namun agak gemetar.
Bahkan ada diantara "para cantrik yang menyesal,
kenapa mereka telah bersedia menurut petunjuk para
pendatang yang belum mereka kenal dengan baik.
Akibatnya ternyata sangat buruk bagi padepokan itu serta
penghuninya. Pemimpin padepokan itupun menjadi termangu-mangu
pula. Ia memiliki kemampuan yang cukup. Namun ia
menya dari, bahwa cantrik-cantriknya masih dalam tataran
permulaan dihidang olah kanuragan. Meskipun ada seorang
di antara, mereka yang sudah memiliki ilmu lebih baik dari
kawannya serta dua orang lainnya selapis lebih tinggi dari
kebanyakan para cantrik, namun mereka tidak akan banyak
dapat membantu kawan-kawannya.
Dalam pada itu, orang-orang yang menyerang
padepokan itu sudah mulai berloncatan turun. Wajah
mereka yang kasar dan sikap mereka yang garang, benarbenar
membuat para cantrik menjadi sangat cemas.
"Apakah kalian akan melawan" seorang yang masih
berdiri di atas dinding padepokan berteriak sambil bertolak
pinggang. Tidak seorangpun yang menyahut.
"He, apakah kalian akan melawan kami?" orang itu
bertanya lagi dengan suara lantang"
Tidak seorangpun dari para cantrik, bahkan pemimpin
padepokan itu yang menjawab.
"Sebaiknya kalian tidak melawan. Dengan demikian maka
tugas kami akan cepat selesai. Kalian berdiri berjajar sambil
menundukkan kepala. Kami akan memenggal kepala kalian
seorang demi seorang. Dengan demikian maka kalian akan
mengalami saat kematian yang menyenangkan" orang itu
berhenti sejenak, lalu "tetapi jika kalian melawan, maka
kalian akan mengalami saat kematian yang paling
mengerikan yang pernah terjadi atas seseorang"
Suasana di halaman itu menjadi semakin tegang. Bahkan
ada diantara para cantrik yang menjadi pucat.
Namun dalam ketegangan itu, tiba-tiba saja terdengar
suara tertawa tertahan-tahan. Ketika semua orang berpaling
kearah suara tertawa itu; mereka melihat Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat berdiri berdesakkan sambil menahan tawa
mereka. "He, anak gila" teriak orang yang berdiri diatas dinding
"kau akan mati lebih dahulu dengan cara yang akan aku
pilih" Mahisa Murti masih tertawa tertahan-tahan. Sementara
Mahisa Pukat menjawab "Jangan seperti orang mengigau"
Jawaban Mahisa Pukat itu telah mendebarkan segenap
jantung mereka yang mendengarnya. Bukan saja orang
yang berdiri di atas dinding, tetapi para cantrikpun menjadi
berdebar-debar. Sebagian dari mereka merasa heran, namun
sebagian lagi telah menyesali sikap yang gila itu. Dengan
demikian, maka orang-orang yang menyerang padepokan
kecil itu akan menjadi semakin marah, sehingga mereka
akan bertindak semakin kasar. Dengan demikian tidak akan
ada harapan lagi bagi mereka untuk mendapat kesempatan
hidup. Namun dalam pada itu, kedua anak muda itu
agaknya sama sekali tidak merasa takut.
Orang yang berdiri di atas dinding itu benar-benar
menjadi marah. Namun sebelum ia sempat berkata sesuatu
Mahisa Murti telah mendahului "Aku belum pernah
melihat lelucon seperti ini. Alangkah menarik jika kami
bersama-sama harus berdiri dengan kepala tunduk.
Kemudian satu demi kepala kami akan dipenggal"
Terdengar orang itu mengumpat kasar. Dengan geram ia
berteriak "Tangkap semuanya hidup-hidup. Jangan
seorangpun yang terbunuh. Aku sendirilah yang akan
membunuh mereka seorang demi seorang. Aku
memerlukan waktu lima hari untuk melakukannya"
Perintah itu benar-benar mengerikan bagi para cantrik
dan pemimpin padepokan itu. Tetapi dalam pada itu,
Mahisa Bungalan yang tidak sabar lagi itupun berteriak
lantang "Cepatlah mulai. Kami sudah menunggu"
Orang yang berdiri di atas dinding itu berpaling kearah
Mahisa Bungalan. Namun terasa darahnya berdesir di
jantungnya. Meskipun sekilas, ia merasa pernah melihat
anak muda itu. Karena itu, maka tiba-tiba saja sikapnya telah berubah.
Ia tidak lagi merasa ia akan dapat berbuat sekehendak
hatinya. Bahkan tiba-tiba ia memperingatkan orangorangnya
"Berhati-hatilah. Terlengah, setiap orang tidak
boleh terlepas dari tangan kita"
Yang terdengar adalah suara tertawa Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat lagi. Bahkan terdengar Mahisa Pukat berkata
"Orang itu hanya pandai berteriak-teriak saja.
Para cantrik dan pamimpin padepokan itu menjadi
bingung. Selagi hati mereka dicengkam oleh kengerian,
maka anak-anak muda itu seolah-olah hanya bergurau saja
menghadapi ancaman maut yang hampir menerkamnya.
Kemarahan orang yang berdiri di atas dinding itu tidak
lagi dapat ditahan. Karena itu, maka iapun berteriak
nyaring sambil meloncat "Sekarang, bunuh mereka"
Bersama dengan itu, Mahendrapun berdisis "Lindungi
para cantrik. Berpencarlah"
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang berdiri berdesakan
itupun berpencar. Merekapun mengerti, bahwa para cantrik,
bahkan pemimpin padepokan itu menjadi cemas. Jumlah
orang-orang yang memasuki padepokan itu nampaknya
lebih banyak dari jumlah orang-orang yang berada di
padepokan. Apalagi orang-orang itu nampak kasar dan
menilik sikapnya, mereka memiliki kemampuan yang
menyakinkan. Sementara itu, para cantrik yang baru mengenal dasardasar
olah kanuragan itupun merasa, betapa kecilnya
mereka di hadapan orang-orang yang garang itu.
Selagi para cantrik dan pemimpin padepokan itu
termangu-mangu, Mahendra yang berdiri tidak terlalu jauh
dari pemimpin padepokan itu berbisik " Perintahkan kepada
para cantrikmu, agar mereka tidak membunuh diri dengan
kecemasannya sendiri. Yang mereka hadapi adalah orangorang
yang memiliki kelemahan seperti kebanyakan orang.
Karena itu, mereka harus mempertahankan hidup mereka
sesuai dengan kodratnya"
Pemimpin padepokan yang cemas itu, ternyata tersentuh
hatinya mendengar bisik Mahendra. Rasa-rasanya iapun
seperti terbangun dari mimpi buruknya. Ia sadar, bahwa
menghadapi orang-orang yang liar itu, para cantrik tidak
dapat berbuat lain kecuali mempertahankan hidup mereka.
Karena itu, maka tiba-tiba saja ia berteriak "Siapa yang
ingin hidup, berusahalah untuk tetap hidup. Siapa yang
ingin membunuh diri, serahkanlah kepalamu kepada orangorang
liar yang memasuki padepokan ini"
Kata-kata pemimpin padepokan itu bagaikan
gemuruhnya guruh dilangit. Para cantrik yang ragu-ragu
itupun menyadari keadaanya. Jika mereka ragu-ragu dan
apalagi kehilangan keberanian untuk melawan, maka tidak
ada ubahnya seperti mereka yang berdiri sambil
menyerahkan lehernya untuk dipenggal.
Karena itu, maka para cantrik itupun tiba-tiba telah
menggenggam senjata mereka erat-erat. Meskipun masih
ada satu dua diantara mereka yang ragu-ragu, namun
senjata-senjata mereka pada umumnya telah teracu.
Sejenak kemudian, orang-orang yang memasuki
padepokan itu telah bergerak maju dari beberapa arah.
Mereka ternyata memasuki padepokan bukan saja
meloncati dinding halaman, tetapi ada diantara mereka
yang meloncatl masuk dari sisi padepokan. Namun
sementara itu, Mahisa Agni dan Mahisa Bungalan sudah
berdiri di sisi kanan, Sementara Witantra dan Ki Wastu di
sisi kiri. Disamping mereka ada juga beberapa orang cantrik
yang berdiri termangu-mangu. Namun yang kemudian,
mereka bagaikan menemukan kekuatan mereka kembali.
"Marilah" berkata Mahisa Agni "kita akan segera mulai.
Jangan ragu-ragu lagi, agar seperti kata-kata pemimpin
padepokanmu, bahwa kalian harus mempertahankan
hidupmu" Karena itu, ketika orang-orang yang menyerang
padepokan itu menyerang mereka, para cantrik itupun
bersiap melawan dengan senjata di tangan.
Namun yang datang itu adalah sekelompok orang-orang
yang terpilih diantara beberapa kelompok penjahat dan
penyamun yang tersebar di daerah yang luas, yang ternyata
telah dapat ditaklukkan oleh Ki Dukut yang
mempergunakan gelar yang mengerikan. Apalagi mereka
telah mendapat tempaan yang khusus dari Ki Dukut
sendiri, selunggu mereka benar-benar merupakan orangorang
yang berbahaya. Karena itu, maka orang-orang itupun merasa, bahwa
yang mereka hadapi di padepokan itu adalah cantrik-cantrik
yang dungu dan bodoh. Yang sama sekali tidak mengerti,
betapa berbahayanya ujung pedang.
Beberapa orang yang memasuki padepokan itu, masih
saja berusaha menakut-nakuti lawannya. Ketika mereka
mulai bergerak, maka satu dua orang diantara mereka telah
berteriak-teriak pula dengan mengucapkan kata-kata yang
mengerikan. Yang mula-mula bertempur diantara mereka adalah
orang-orang yang berada di halaman. Mahisa Pukat dan
Mahisa Murti agaknya tidak sabar lagi menunggu terlalu
lama. Karena itu, maka merekapun segera meloncat
menyerang orang-orang yang bergerak maju sambil
berteriak-teriak itu. Orang-orang yang menyerang Padepokan itu tidak
menghiraukan sikap Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Justru mereka menganggap bahwa kedua anak-anak itu
belum mengenal bahaya yang gawat yang akan dapat
terjadi atas mereka. Namun apa yang dilakukan oleh kedua anak-anak muda
itu benar-benar telah mengejutkan lawan-lawan mereka.
Bahkan Mahendrapun harus menarik nafas dalam dalam
melihat tingkah kedua anaknya itu.
Ketika keduanya meloncat menyerang, maka tiba-tiba
saja diantara teriakan-teriakan yang mengerikan dari orangorang
yang datang menyerang itu telah terdengar teriakan
kesakitan. Adalah diluar dugaan setiap orang, bahwa tibatiba
saja dua orang telah terhuyung-huyung. Seleret luka
telah menganga di dada dan lambung. Yang seorang
terdorong beberapa langkah surut sambil berusaha menahan
darah yang mengalir dari lukanya didada, sedang seorang
lagi tidak sempat bergeser dari tempatnya. Ia telah terjatuh
di atas lututnya. Namun kemudian sambil memegangi
lambungnya maka iapun jatuh menelungkup.
-oo0dw0oo- Jilid 14 Setiap gerak maju. ternyata telah dihalangi oleh batu
batu padas yang berguguran dan sisa-sisa senjata para
perampok itu yang kemudian dilemparkannya pula.
Namun dalam pada itu, para prajurit dan pengawal itu
tidak membiarkan lawannya meninggalkan arena begitu
saja. Karena itulah, maka yang bersenjata panah, segera
mengambil busur dan anak panah. Seperti pada saat para
perampok itu datang menyerang, maka anak panahpun
kemudian meluncur seperi hujan.
Beberapa orang tidak berhasil mencapai bibir tebing
Bahkan sebagian lagi terguling jatuh, meluncur kembali
kearah para pengawal. Namun sejenak kemudian, maka para perampok itupun
telah hilang dibalik gerumbul-gerumbul di atas tebing.
Para prajurit dan pengawal itupun segera menghenti
usahanya ketika Senopati yang memimpin pasukan dari
Kediri itu memberikan isyarat.
Dalam waktu yang pendek, para prajurit dan pengawal
itu telah berkumpul dalam barisan memanjang. Beberapa
orang dari mereka ternyata telah menjadi korban. Bukan
saja luka-luka tetapi ada beberapa orang yang ternyata telah
terbunuh. Kemarahan yang sangat membayang di wajah Senopati itu.
Tetapi ia menyadari, bahwa ia tidak boleh sekedar menuruti
perasaannya saja. Ia harus mempergunakan nalarnya
sepenuhnya menghadapi keadaan yang berkembang diluar
dugaan. "Kumpulkan kawan-kawan kita yang terluka dan yang
telah gugur" berkata Senopati itu "kita tidak dapat
meneruskan perjalanan. Para tawanan telah terlepas,
kecuali beberapa orang yang terluka parah. Tetapi mereka
harus kita bawa sebagai bahan pengusutan lebih lanjut"
Para prajurit dan pengawal itupun segera mengumpulkan
kawan-kawan mereka yang terluka dan gugur. Dengan
kemarahan yang menghentak disetlap dada, maka
merekapun kemudian mengambil satu sikap untuk
membawa orang-orang yang terluka kembali ke padepokan
kecil. Demikian juga para tawanan yang tidak sempat
melarikan diri karena luka-lukanya.
Namun demikian, para prajurit itu masih menyematkan
diri untuk mengubur kawan-kawan mereka yang gugur,
sementara di bagian lain, merekapun telah mengubur para
perampok dan penyamun yang terbunuh.


Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Pada saatnya kita akan memindahkan kawan-kawan
kita untuk dapat diselenggarakan sebagaimana seharusnya"
berkata Senopati itu. Demikianlah, pasukan yang parah itupun kemudian
mengambil keputusan untuk kembali saja ke padepokan
kecil. Mereka akan melaporkan apa yang telah terjadi.
Tetapi lebih dari itu, mereka akan memberikan sekedar
laporan sebagai peringatan, bahwa memang ada kekuatan
yang membayangi mereka yang sedang bertugas memburu
orang yang dianggap berbahaya bagi Kediri.
Ternyata perjalanan kembali itu memerlukan waktu yang
lebih panjang dari saat mereka berangkat. Pada saat
matahari sepenggalah, mereka telah sampai ke tempat itu.
Namun ternyata mereka memerlukan waktu jauh lebih
lama ketika mereka kembali ke padepokan, setelah
bertempur beberapa lama di lembah itu.
Kedatangan pasukan itu kembali ke padepokan kecil
dalam keadaan yang parah itu benar-benar mengejutkan
Dalam sekejap, seisi padepokan telah tertumpah di
halaman, sementara mereka yang datang sibuk
menempatkan para prajurit dan pengawal yang terluka.
"Masih ada beberapa tawanan yang tertinggal" berkata
Senopati yang memimpin pasukan itu" terutama mereka
yang terluka. Tetapi sebagian terbesar dari mereka telah
terlepas atau justru terbunuh disaat mereka melarikan diri"
Pangeran Kuda Padmadata menggeretakkan giginya.
Kemalangan itu benar-benar talah menyinggung
kehormatannya. "Bagaimana dengan kelompok yang kau tugaskan
melawan pemimpin mereka?" bertanya Pangeran Kuda
Padmadata. "Tidak banyak gunanya" jawab Senopati itu "meskipun
pemimpin mereka yang bagaikan iblis itu tidak dapat
mengalahkan keempat orang itu, namun keempat orang itu
sama sekali tidak berhasil mengikatnya dalam satu
lingkaran pertempuran. Pemimpin mereka yang tur itu
sempat melepaskan diri dan bertempur disegala tempat di
perang brubuh yang kasar itu.
Mahisa Bungalan yang masih muda itu menggeram
"Kita akan mencarinya sekarang"
Tetapi Mahisa Agni menggeleng " Jangan. Kita
memerlukan keterangan lebih banyak lagi tentang mereka"
Mahisa Bungalan hanya menarik nafas dalam-dalam
Namun nampak betapa wajahnya menjadi kecewa,
Sementara di dalam hatinya ia berkata "Paman Mahisa
Agni salalu terlambat bertindak"
Tetapi ternyata Witantra dan Mahendra serta Ki
Wastupun sependapat, bahwa persoalannya memang harus
dibicarakan lebih dahulu. Ternyata kekuatan yang
tersembunyi itu mampu melawan sepasukan prajurit dan
pengawal yang memang sudah dipersiapkan membawa para
tawanan ke Kediri. "Kalian akan beristirahat disini untuk dua tiga hari" berkata
Muliisa Agni " jika sebagian besar kekuatan pasukanmu
sudah pulih, maka kalian akan kembali ke Kediri. Tetapi
dalam pada itu, kekuatan pasukan yang mencegat kalian
itupun telah pulih pula"
Senopati yang memimpin pasukan itu mengerti maksud
Mahisa Agni, sehingga kerena itu, maka iapun mengangguk
angguk. Demikianlah, maka pasukan yang telah dirobek oleh
serangan, yang kuat dari para perampok dan penyamun itu
untuk satu dua hari akan tetap tinggal di padepokan.
Pasukan itu masih harus berusaha membenahi diri dan me
ngobati luka-luka yang parah. Beberapa orang pengawal
dan prajurit telah terluka parah. Mereka tidak akan
mungkin dapat sembuh dalam waktu dua tiga hari saja.
Karena itulah, maka para pemimpin prajurit dan
pengawal serta yang berada di padepokan itupun harus
mengambil satu sikap bagi pasukan itu.
"Tinggalkan yang terluka di padepokan ini, termasuk
para tawanan" berkata Mahisa "Agni aku akan menunggui
mereka bersama Witantra dan Pangeran Kuda Padmadata.
Sementara perjalanan kalian ke Kediri akan diikuti oleh
Mahisa Bungalan, Ki Wastu, Mahendra dan kedua anaknya
yang lain" "Aku akan melakukan apa saja yang baik menurut
kalian" berkata Mahendra.
"Apakah tidak sebaiknya aku ikut kembali ke Kediri"
berkata Pangeran Kuda Padmadata " aku harus
mempertanggung jawabkan keadaan para prajurit dan
pengawal. Bahkan ada di antara mereka yang ternyata telah
gugur" Mahisa Agni mengangguk-angguk. Katanya "Baiklah.
Jika Pangeran ingin kembali bersama pasukan itu, silahkan.
Aku akan tinggal bersama Witantra. Mungkin dendam
orang itu akan tertuju kembali kepada padepokan kecil ini"
"Baiklah" berkata Pangeran Kuda Padmadata " aku
akan kembali ke Kediri. Biarlah Ki Wastu sajalah yang
tinggal di sini" Demikianlah, merekapun mengambil keputusan, bahwa
jika saatnya mereka akan kembali ke Kediri, maka
Pangeran Kuda Padmadata, Mahisa Bungalan, Mahendra
dan kedua anaknya yang lain akan ikut bersama mereka.
Namun karena keadaan pasukan yang masih parah itu,
maka mereka tidak dapat tergesa-gesa kembali ke Kediri.
Sementara itu, Ki Dukutpun tidak kalah gelisah dari
orang-orang Kediri yang berada di padepokan terpencil itu.
Ternyata ketika Ki Dukut yang dikenal oleh para
pangikutnya bernama Rajawali Penakluk itu berhasil
mengumpulkan orang-orangnya, korban yang telah jatuh
benar-benar membuatnya pening. Ia tidak mengira bahwa
para prajurit dan pengawal itu memiliki kemampuan yang
tinggi, sehingga mereka berhasil membunuh demikian
banyak orang-orangnya. "Yang menjadi korban, ternyata lebih banyak dari yang
berhasil dibebaskan" berkata Rajawali Panakluk itu kepada
diri sendiri. Namun kemudian "Tetapi orang-orang yang
dapat dibebaskan itu mempunyai kemampuan yang lebih
baik dari kawan-kawannya yang menjadi korban"
Tetapi para pengikut Rajawali itu mempunyai penilaian
yang lain dari pimpinan tertingginya. Mereka tidak sem pat
memperhitungkan jumlah kawan-kawannya yang terbunuh.
Yang mereka lihat adalah justru kemenangan mereka,
karena mereka berhasil membebaskan kawan-kawan
mereka yang tertawan ketika mereka, menyerang
padepokan kecil itu. Ki Dukut membiarkan saja kesan itu. Dengan demikian
maka para pengikutnya akan merasa berbesar hati dengan
akhir yang mereka anggap sebagai satu kemenangan itu.
Perasaan menang itu akan sangat berpengaruh pada
mereka, karena perasaan itu akan mendorong mereka
menjadi semakin.berani dan percaya kepada diri sendiri.
Untuk satu dua hari, Ki Dukut yang dikenal bernama
Rajawali Penakluk itu membiarkan keadaan orangorangnya.
Seolah-olah ia memberi mereka kesempatan
untuk beristirahat. Makan dan tidur. Ki Dukut sengaja tidak
memberikan tugas apapun kepada mereka. Apalagi
persediaan mereka masih cukup banyak, sehingga mereka
tidak perlu tergesa-gesa merampok dan menyamun.
Namun, ketika keadaan orang-orangnya menjadi
semakin baik, maka Ki Dukutpun mulai berpikir, apakah
prajurit dan pengawal dari Kediri itu akan segera kembali
ke Kediri atau masih lama berada di padepokan itu.
"Korban yang jatuh di antara mereka akan membuat
mereka marah" berkata Ki Dukut " tetapi hal itu akan
memberikan peringatan kepada mereka, bahwa prajurit dan
pengawal dari Kediri itupun terdiri dari manusia-sia biasa
yang dapat juga mati karena tubuhnya luka tertusuk
pedang" Sekilas melintas di dalam pikirannya untuk berbuat
sasuatu. Apakah terhadap pasukan yang akan kembali ke
Kediri, atau mereka yang berada di padepokan itu.
" Apakah masih ada gunanya " pertanyaan itu timbul
pula di dalam hatinya, Tetapi menurut perhitungan Ki Dukut Pakering, orangorangnya
yang masih tertawan tentu tinggal sedikit. Itupun
mereka yang terluka, sehingga orang-orang itu tidak akan
banyak berarti lagi. Karena itu, jika ia akan menyerang pasukan Kediri yang
kembali ke padepokan itu, yang pada saatnya akan kembali
ke Kediri, bukan sekedar karena ia ingin membebaskan
orang-orangnya. Tetapi niat itu harus dilambari dengan
tujuan, untuk memusnahkan pasukan dari Kediri itu, atau
seluruh isi padepokan yang sombong itu.
"Tetapi setiap langkah kini harus diperhitungkan lebih
baik lagi" berkata Ki Dukut di dalam hatinya " kegagalan
berikutnya akan berakibat lebih parah lagi. Bahkan
mungkin akan menghancurkan seluruh harapanku untuk
membalas sakit hatiku"
Oleh karagu-raguan itu, maka Ki Dukut yang dikenal
dengan gelar Rajawali Penakluk itu ingin mendengar bagai
mana pendapat orang-orangnya. Karena itu, maka dengan
sengaja ia memanggil beberapa orang dari kelompok yang
barbeda mendengar pendapat kalian" berkata KiDukut.
"Tentang apa?" bertanya salah seorang dan mereka.
"Tentang orang-orang Kediri itu. Apakah kita sudah
merasa puas satelah kita berhasil membebaskan sebagian
dari kawan-kawan kita yang tertawan, meskipun ada juga
korban yang jatuh di antara kita"
Seorang yang berwajah kasar, yang termasuk salah
seorang yang telah dibebaskan berkata "Mereka adalah
orang-orang yang luar biasa. Mereka memiliki ilmu iblis
yang tidak dapat dimengerti"
"Kau sudah jera?" bertanya Ki Dukut.
"Tetapi mereka tidak berada di dalam iring-iringan para
prajurit dan pengawal yang membawa kami ke Kediri.
Mereka semuanya tertinggal di padepokan itu" berkata
orang itu "jika mereka tetap tinggal di padepokan, maka
iring-iringan itu sebaiknya kita hancurkan dengan kekuatan
yang masih ada, karena pasukan itupun telah mengalami
luka-luka yang cukup parah. Tetapi jika orang-orang yang
mempunyai ilmu iblis itu mengantar mereka ke Kediri, kita
mempunyai peluang untuk menghancurkan isi padepokan
kecil itu" Ki Dukut mengerutkan keningnya. Namun iapun
kemudian mengangguk-angguk. Katanya "Pikiranmu baik
sekali. Tetapi tentu hanya satu dua orang sajalah yang
memiliki ilmu iblis itu. Sementara kita akan dapat
mempersiapkan diri lebih baik. Beberapa orang yang telah
mengalami tempaan yang keras telah dibebaskan. Bersama
mereka, kekuatan kita sudah meningkat. Apalagi jika kita
siapkan semuanya dengan lebih baik"
"Kita panggil kawan-kawan kita lebih banyak lagi"
berkata seorang di antara mereka.
"Kita akan memanggil orang-orang terbaik yang tersisa.
Tetapi bahwa mereka yang telah mendapat tempaan yang
sungguh-sungguh itu ada di antara kita, maka kitapun'
sudah menjadi lebih kuat kedudukan kita" berkata Ki
Dukut " karena itu kita akan menyiapkan diri.
Dua orang akan mengawasi keadaan bersama anu. Mudahmudahan
aku akan mendapat beberapa pertanda dan
mereka" Demikianlah Ki Dukut mempersiapkan orang-orangnya
yang masih saja dibakar oleh dendam. Tetapi Ki Dukut
harus benar-benar meyakini, bahwa orang-orang terpenting
yang disebut berilmu iblis itu tidak berada di antara mereka.
Ketika di malam hari, Ki Dukut yang mendekati
padepokan itu melihat bahwa para prajurit dan pengawal
sudah mengatur diri dan disibukkan oleh persiapanpersiapan
perjalanan yang panjang, maka untuk beberapa
saat Ki Dukut berusaha untuk mendengarkan satu
percakapan di antara mereka. Seperti yang pernah
dilakukan, maka iapun mengendap diluar pintu gerbang,
mendengarkan para pengawal itu berbicara untuk
melenyapkan kejemuan. Ketika Ki Dukut sudah hampir menjadi jemu dan tidak
sabar lagi, tiba-tiba saja ia mendengar penjaga itu berkata
"Mungkin orang-orang gila itu akan mencegat kita lagi"
"Justru kita mengharap demikian. Jika kali ini mereka
melakukannya, maka mereka akan tertumpas habis" sahut
yang lain. "Kita berharap demikian. Di saat matahari sepenggalah,
kita akan sampai di lembah itu lagi" desis kawannya.
Percakapan itu sudah cukup memberi tahukan kepada Ki
Dukut Pakering, apa yang bakal dilakukan oleh para
prajurit dan Pengawal. Mereka tentu akan kembali ke
Kediri bersama dengan orang-orang yang disebut berilmu
iblis itu. Karena itu, maka Ki Dukut yeng disebut Rajawali
Penakluk itupun kemudian meninggalkan regol padepokan
itu, kembali kepada orang-orangnya.
" Kita tidak akan dapat berbuat apa-apa terhadap para
prajurit dan pengawal yang akan kembali ke Kediri "
barkata Ki Dukut kepada pengikut-pengikutnya" ternyata
orang-orang yang kalian sebut berilmu iblis itu akan
bersama mereka. Para prajurit dan pengawal itu justru
berhsrap, agar kita besok mencegat mereka lagi, sehingga
seperti saat kita depokan kecil itu maka kita bagaikan
serangga masuk ke dalam api"
"Jadi kita tidak akan berbuat apa-apa?" bertanya salah
seorang dari pengikutnya.
"Jangan bodoh. Dengan demikian, padepokan itu akan
merupakan sasaran yang baik bagi kita. Kita akan
menyerang padepokan itu dan menghancurkannya"
"Besok pagi?" bertanya yang lain.
"Sesudah para prajurit meninggalkan padepokan itu"
JawabKi Dukut. Para pengikutnya mengangguk-angguk. Mereka
merasakan satu sentunan harapan untuk dapat melepaskan


Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dendam mereka. Di padepokan itu hanya akan ditunggui
para cantrik yang pada umumnya belum memiliki
kemampuan bertempur. "Sekarang kalian dapat beristirahat" berkata Ki Dukut
"besok kita akan mensere"ikan kemampuan kita.
Padepokan kecil itu akan menjadi karang abang. Mayat
para cantrik dan pemimpin padepokan yena sombong
itupun akan terbakar bersama padepokan mereka"
Seperti yang didengar Ki Dukut Pakering, maka prajurit
aan para pangawal dari Kediri itu telah bersiap-siap untuk
kembali ke Kediri pada pagi hari berikutnya bersama
Pangeran Kuda Padmadata, Mahendra, Mahisa Bungalan
dan kedua adik-adiknya. Namun atas berbagai macam pertimbangan, karena
masih ada beberapa prajurit yang terluka dan beberapa
orang tawanan, maka Pangeran Kuda Padmadata
memutuskan, ada beberapa orang prajurit dan pengawal
yang akan tinggal melayani kawan-kawannya yang terluka
sambil mengawasi tawanan yang masih ada di padepokan
itu. Ketika tajar menyingsing, padepokan itu telah menjadi
sibuk. Ketika semua parsiapan telah selesai, maka iringiringan
itupun siap meninggalkan padepokan itu menuju ke
Kediri. "Jangan lengan " pesan Pangeran Kuda Padmadata
meskipun ia sendiri ikut serta dalam iring-iringan itu "Yang
pernah terjadi menjadi pengalaman yang tidak boleh
terulang lagi" Demikianlah, maka Pangeran Kuda Padmadata serta
mereka yang akan kembali ke Kediri itupun segera minta
diri. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sebenarnya tidak
ingin segera kembali. Tetapi karena ayahnya menjanjikan
bahwa setelah mereka sampai ke Kediri, maka akan
kembali lagi untuk melakukan pemburuan yang besar,
maka merekapun telah bersedia ikut pula.
Dengan penuh kewaspadaan iring-iringan itu menyusuri
jalan persawahan menjauhi padepokan kecil itu menuju ke
Kediri. Seperti yang pernah dilakukan, maka iring-iringan
itupun semakin lama semakin mendekati lembah yang telah
dipergunakan sebagai perangkap oleh Ki Dukut Pakering.
Tetapi iring-iringan yang dipimpin oleh Pangeran Kuda
Padmadata itu tidak berjalan kaki seperti yang telah terjadi.
Karena mereka tidak membawa tawanan, maka iringiringan
itupun melaju di atas punggung kuda.
Ki Dukut Pakering dan beberapa pengiringnya, sengaja
ingin membuktikan, apakah benar di dalam iring-iringan itu
terdapat orang-orang yang memiliki ilmu yang tinggi,
sehingga orang-orangnya menyebutnya memiliki ilmu iblis.
Dari jarak yang cukup, Ki Dukutpun melihat iringiringan
itu semakin lama menjadi semakin dekat.
"Mereka lebih cepat sampai ke tempat ini" desis Ki
Dukut yang dikenal oleh orang-orangnya bergelar Rajawali
Penakluk. "Mereka berkuda" desis yang lain.
"Ya. Mereka tidak membawa seorang tawananpun,
karena mereka telah kita hebaskan. Mungkin masih ada
satu dua orang yang terlawan dan luka-luka, tetapi itu
sudah tidak berarti sama sekali"
Pengikutnya mengangguk-angguk. Sementara itu Ki
Dukut memperhatikan dengan seksama, siapakah orangorang
yang disebut memiliki ilmu iblis itu.
Jantungnya berdesir ketika ia melihat Pangeran Kuda
Padmadata berada di dalam iring-iringan itu. Tahulah Ki.
Dukut Pakering, bahwa permusuhannya dengan muridnya
itu benar-benar telah mencengkam sampai kedasar jantung.
Ia sendiri dan muridnya itu tidak akan dapat lagi
menemukan jalan yang baik untuk menyelesaikan persoalan
diantara mereka, karena pertentangan diantara me reka
justru semakin lama menjadi semakin dalam.
Di sisi Pangeran Kuda Padmadata berkuda seorang anak
muda yang pernah dikenal pula oleh Ki Dukut, telah
membuat Ki Dukut semakin berdebar-debar. Bahkan diluar
sadarnya ia mengumpat "Gila. Agaknya iblis-iblis itulah
yang telah menghancurkan orang-orangku. Kenapa tiba-tiba
saja mereka berada di padepokan itu" Apakah mereka
mengetahui bahwa aku berada di tempat ini?"
Namun Ki Dukutpun mengetahui, bahwa Pangeran
Kuda Padmadata tentu mengenal pengikutnya yang paling
setia, yang telah terbunuh di padepokan itu.
"Dengan demikian, maka Pangeran itu tentu
mengetahui, bahwa aku berada di sekitar tempat ini. Dan
agaknya Pangeran itupun mengetanui bahwa akulah yang
telah mencegat prajurit dan pengawal Kediri yang
membawa tawanan melalui lembah itu" berkata Ki Dukut
di hatinya pula. Dalam pada itu, iring-iringan itu melaju tanpa
mengalami gangguan apapun juga. Pangeran Kuda
Padmadata yang mengharap dapat bertemu dengan
gurunya, menjadi kecewa, bahwa pasukan yang mencegat
itu tidak melakukannya lagi.
Tetapi Pangeran Kuda Padmadata tetap berhati-hati.
Mungkin pasukan yang diduganya dipimpin oleh Ki Dukut
itu telah mengambil tempat yang lain.
Namun ternyata bahwa Ki Dukut yang bergelar Rajawali
Penakluk itu hanya memandangi saja pasukan yang lewat,
karena ia telah mempunyai rencana yang lain.
Ketika iring-iringan itu menjadi semakin jauh. maka Ki
Dukut itupun tertawa sambil berkata "Kita mendapat
kesempatan untuk melakukan sesuatu atas padepokan kecil
itu" Para pengikutnyapun tertawa. Seseorang yang pernah
tertawa di padepokan itupun berkata "Ada beberapa orang
yang memiliki ilmu iblis. Selain yang disebut Pangeran itu
ada pula beberapa anak muda yang gila diantara mereka
dan seorang tua. Tetapi agaknya masih ada satu dua orang
yang tertinggal di padepokan"
"Ada beberapa orang mereka semuanya?" bertanya Ki
Dukut. Orang itu mengerutkan keningnya. Katanya "Aku tidak
tahu pasti" "Yang lewat bersama mereka, para prajurit dan
pengawal itu ada beberapa?" bertanya Ki Dukut pula.
"Lima atau enam. Aku kurang pasti" jawab orang itu
"Agaknya semuanya telah kembali ke Kediri. Mungkin
masih ada satu dua orang prajurit dan pengawal yang
mengawasi para tawanan yang terluka. Tetapi itu tidak
akan berarti apa-apa" desis Ki Dukut Pakering.
Dangan demikian, maka Ki Dukut telah mengambil satu
keputusan untuk menyerang padepokan kecil yang telah di
tinggalkan oleh pera prajurit dan pengawal dari Kediri.
Beberapa orang yang telah mendapat tempaan yang keras
telah dibebaskan. Bersama dengan pengikatnya dalam
jumlah yang besar, maka Ki Dukut Pakering yang dikenal
sebagai Rajawali Penakluk itu merencanakan untuk
melumatkan sama sekali padepokan yang telah
dianggapnya menantang dan bahkan berkhianat itu.
Ketika Ki Dukut kemudian kembali ke sarangnya, maka
iapun segera menghimpun orang-orangnya. Memilih yang
terbaik diantara mereka. Namun ia tidak mengabaikan pula
jumlah yang akan dibawanya, sehingga semuanya sudah
meyakinkannya, bahwa ia akan dapat menghancurkan
padepokan itu. "Kita tidak tergesa-gesa seperti saat kita menjebak iringiringan
itu" berkata Ki Dukut "padepokan itu tidak akan
pergi kemana-mana. Sedangkan iring-iringan pasukan itu
harus diperhitungkan tempat dan waktu yang tepat, agar
kita tidak terlambat"
Para pengikutnya mengangguk-anggiik. Merekapun
mengerti, bahwa mereka dapat melangkah dengan
perhitungan yang lebih cermat.
"Kita dapat berlaku sebagai seekor kucing terhadap
seekor tikus" berkata Ki Dukut "kita kepung padepokan itu.
Kita akan menakut-nakuti mereka, sebelum kita berbuat
sesuatu. Jika mereka semuanya telah menggigil ketakutan
untuk beberapa lamanya, maka barulah kita mema suki
padepokan itu. Mereka tentu akan mati membeku dengan
sendirinya sebelum kita berbuat apa-apa"
Para pengikutnya tertawa. Agaknya memang
menyenangkan. Setelah mereka dicengkam oleh ketegangan
beberapa saat lamanya, maka mereka akan menyaksikan
sesuatu yang akan sangat menyenangkan. Bermain-main
Bagus Sajiwo 10 Mushasi Karya Eiji Yoshikawa Hati Seorang Pemburu 1
^