Pencarian

Panasnya Bunga Mekar 17

Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja Bagian 17


dengan perasaan takut orang lain. Kemudian dengan
sekehendak hati memperlakukan mereka yang sadang
ketakutan itu. "Kapan kita akan mulai" tiba-tiba seseorang tidak sabar
lagi. "Jangan tergesa-gesa" desis Ki Dukut.
"Sekarang kita dapat mulai" berkata yang lain.
Kita Dukut yang bergelar Rajawali Penakluk itu tertawa.
Ia menemukan cara yang paling baik untuk membangkitkan
kepercayaan kepada diri sendiri bagi anak buahnya yang
hampir saja menjadi putus asa dan kehilangan harapan.
Bahwa mereka merasa diri mereka menang ketika mereka
berhasil membebaskan kawan-kawan mereka, meskipun
dengan korban yang sangat banyak, Ki Dukut sudah mulai
berharap bahwa orang-orangnya itu akan bangkit. Cara
yang akan menyenangkan pengikutnya menghadapi
padepokan itupun akan dapat mempertebal gairah
perjuangan mereka. "Sasaran utamaku adalah Kasang Jati" gumam Ki
Dukut Pakering. Balam pada itu, maka Ki Dukut Pakeringpun telah
mempersiapkan pasukan yang kuat. Mereka yang tidak
terpilih untuk ikut serta, merasa sangat kecewa. Rasarasanya
mereka tidak akan dapat ikut melihat satu
pertunjukkan yang akan sangat mengesankan dan jarang
kali dapat dijumpainya pada waktu mendatang.
"Tentu tidak semuanya" berkata Ki Dukut "sebagian
dari kalian harus menunggui kekayaan yang telah kita
kumpulkan. Meskipun untuk daerah yang luas, kita telah
bersatu dan tidak akan saling mengganggu, tetapi masih
perlu ada pengawasan atas segalanya yang telah kita
kumpulkan" Betapa perasaan kecewa mencengkeram jantung, tetapi
mereka harus patuh. Tinggal dibarak bersama beberapa
orang tanpa berbuat sesuatu.
Agaknya para pengikutnya tidak sabar untuk menunggu
sampai hari berikutnya. Agar tidak mengecewakan, maka
Ki Dukutpun kemudiain mempersiapkan pasukannya dan
memberi tahukan kepada mereka "Sebaiknya hal ini kita
lakukan disiang hari. Mereka akan dapat melihat kekuatan
kita. Mereka akan menjadi cemas dan ketakutan, sementara
kita hanya duduk-duduk saja melingkari padepokan itu"
"Malam nanti kita berangkat" berkata seseorang " ketika
pagi-pagi mereka terbangun, maka mereka akan melihat
bahwa padepokan mereka telah terkepung. Sebagian dari
mereka tentu akan segera jatuh pingsan. Kita akan
mengepung mereka tiga hari tiga malam, agar mereka
merasakan ketakutan untuk waktu yang cukup sebelum jiwa
mereka kita renggut dari batang tubuhnya"
Yang terdengar adalah suara tertawa berkepanjangan
sambil teriak-teriakan gembira. Bahkan beberapa orang
berteriak "Setuju sekali dengan cara itu. Kita akan
mendapat permainan yang menyenangkan"
Seperti yang direncanakan, maka Ki Dukut itupun telah
membawa pasukannya mendekati padepokan kecil itu,
maka merekapun segera mengatur diri, mengepung
padepokan itu. Sebagian terbesar dari mereka berada di
depan padepokan. Beberapa orang telah mendapat tugas
untuk mengawasi setiap pintu butulan dan sudut
padepokan, agar tidak seorangpun yang sempat melarikan
diri. Dengan gembira para pengikut Ki Dukut itu berharap,
agar pagi segera terbit. Mereka seolah-olah tidak sabar lagi
menunggu, isi padepokan itu menjadi ketakutan dan
menggigil sambil memohon ampun.
"Tetapi tidak ada ampun. Mereka akan mati dalam
keadaan yang paling pahit" berkata salah seorang dari
mereka. "Kami akan membunuh mereka dengan perlahan-lahan"
berkata yang lain. "Apapun dapat kita lakukan. Jika kita mengepung
mereka tiga hari tiga malam, maka sebagian mereka tentu
sudah mati dengan sendiri dalam keadaan yang sangat
ketakutan" Orang-orang itu tertawa. Mereka sama sekali tidak
mengekang diri, seperti sepasukan prajurit yang dengan
diam-diam mengepung benteng lawan. Tetapi mereka
seolah-olah telah dengan sengaja menunjukkan kepada
orang-orang di dalam dinding padepokan itu, bahwa
mereka telah datang. Para penjaga regol di padepokan itupun akhirnya
mendengar kegaduhan diluar meskipun tidak terlalu dekat.
Tetapi mereka tidak segera dapat mengetahui, apakah yang
telah terjadi. Seorang dari antara mereka telah memasang tangga,
untuk melihat, siapakah yang berada diluar dinding.
Dari sisi gapura, seseorang menjenguk keluar. Tetapi
gelapnya malam masih belum dapat ditembusnya dengan
tatapan mata. "Siapa?" bertanya kawannya. "Tidak tahu" jawab yang
memanjat "aku tidak melihat dengan jelas, tetapi aku kira
sekelompok orang yang tidak kita kenal berada di depan
padepokan ini" "Sebentar lagi tajar akan menyingsing" sahut yang lain
"kita akan segara melihat. Namun mungkin sukali sebelum
fajar telah terjadi sesuatu atas padepokan ini"
"Jadi, apakah yang akan Kita lakukan" Memukul tanda
bahaya?" bertanya kawannya.
"Belum tentu. Aku akan melaporkan saja kepada kawankawan
agar mareka bersiaga"
Salah seorang dari para cantrik yang berjaga-jaga di regol
itupun segera pergi ke barak. Ia membangunkan beberapa
orang kawannya dan mengatakan apa yang diketahuinya.
"Kau sudah melaporkannya kepada pemimpin kita dan
para tamu itu" bertanya seorang cantrik.
"Belum" jawab kawannya " kukira masih belum perlu
sebelum kita yakin, apa yang terjadi"
Beberapa orang cantrik itupun telah bersiaga. Bahkan
kemudian dua orang putut Yang memimpin para cantrik
itupun telah terbangun pula. Ternyata keduanyapun
berpendapat, bahwa sebaiknya, mereka tidak usah
melaporkannya lebih dahulu, kerena mereka masih belum
ielas mengetahui persoalannya.
"Kita sajalah yang berjaga-jaga" berkata kedua orang
putut itu kepada para cantrik yang telah terbangun.
Para cantrik yang telah terbangun itupun segera
mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan.
Mereka sadar, bahwa mereka masih belum memiliki dasar
yang cukup. Tetapi kemenangan yang pernah mereka
saksikan di padepokan itu, telah membuat hati mereka
berkembang. Beberapa orang diantara mereka pun kemudian
berpencar. Namun merekapun telah bersiap dengan tanda
tanda siasat apabila keadaan menjadi semakin gawat.
Dengan diam-diam, para cantrik itu duduk bersandar
dinding di beberapa bagian halaman padepokan mereka.
Satiap kelompok telah tersedia sebuah kentongan kecil yang
setiap saat dapat mereka bunyikan.
Tetapi ternyata menjelang pagi, tidak terjadi sesuatu atas
padepokan itu. Namun demikian gelap malam terkuak
maka seseorang diantara para cantrik yang memanjat
tangga di sebelah regol itupun segera melihat, bahwa
padepokan mereka telah dikepung.
Cantrik itu memang benar-benar hampir saja menjadi
pingsan Namun dengan kata-kata gagap, ia masih sempat
menceriterakan kepada kawan-kawannya, apa yang telah
dilihatnya. "Kau tidak bermimpi?" bertanya saiaii seorang putut.
"Kau lihatlah sendiri" berkata cantrik itu.
Seorang Putut yang terbaik diantara kawan-kawannya
itupun kemudian memanjat tangga di sebelah regol.
Ternyata iapun melihat, beberapa kelompok orang sedang
duduk-duduk berpencar di depan padepokan. Sedang
beberapa yang lain tersebar mengelilingi padepokan itu.
"Kita benar-benar menghadapi bahaya yang gawat"
katanya bersungguh-sungguh.
"Lalu, apakah yang akan kita kerjakan?" bertanya seorang
cantrik. "Bukan kita yang mengambil keputusan. tetapi pimpinan
padepokan ini" jawab putu itu.
Putut itupun dengan tergesa-gesa telah menemui
pemimpin padepokannya yang telah bangun pula dan
membersihkan diri. Laporan itu memang mengejutkannya,
Namun iapun berusaha untuk tidak menjadi bingung dan
kehilangan akal. Ketika ia masuk ke ruang dalam, dilihatnya seorang
cantrik yang lain sedang mencarinya.
"Ada apa?" bertanya pemimpin padepokan itu.
"Nampaknya mereka sedang bersiap sekarang. Mungkin
mereka sudah kan mulai bergerak" berkata cantrik itu.
"Bersiaplah menghadapi segala kemungkinan" perintah
pemimpin padepokan itu "bagaimanapun juga, kita harus
mempertahankan padepokan ini sejauh dapat kita lakukan"
Para cantrik itupun kembali kepada kawan-kawannya.
Atas perintah memimpin padepokan itu, maka semua orang
yang berada di dalam lingkungan padepokan itupun telah
mempersiapkan diri. Para cantrik, para pembantu yang setiap hari juga berada
di padepokan itu, meskipun mereka bukan cantrik yang
dengan sengaja menyadap ilmu kanuragan dan kajiwan.
"Dendam mereka telah membakar jantung" berkata
pemimpin padepokan itu "karena itu, kita justru harus
bersikap jantan. Jika kita menyerah, maka leher kita akan
mereka patahkan. Tetapi jika kita melawan, seandainya kita
akan mati juga namun kematian kita adalah kemati seorang
laki-laki" Kata-kata itu telah menumbuhkan gairah perjuangan
bagi para cantrik yang semula merasa cemas menghadapi
perkembangan keadaan. Dalam pada itu, pemimpin padepokan itupun segera
menemui Mahisa Agni, Witantra dan Ki Wastu yang masih
tinggal. Iapun segera menyampaikan, apa yang telah terjadi
diluar dinding padepokan.
Mahisa Agni mengangguk-angguk. Ia menyadari, betapa
keadaan memang menjadi gawat. Karena itulah, maka
iapun segera memanggil beberapa orang prajurit yang masih
tinggal untuk membantu kawan-kawan mereka yang terluka
dan mengawasi beberapa orang tawanan yang tidak sempat
melarikan diri, namun yang justru telah terluka pula.
"Kita menghadapi keadaan yang gawat" berkata Mahisa
Agni. Para prajurit itu mengangguk-angguk. Jumlah mereka
memang terlalu kecil dibandingkan dengan orang-orang
yang dilaporkan berada diluar dinding. Tetapi mereka
mempunyai kemampuan untuk mempertahankan, diri.
Sementara di antara mereka terdapat para cantrik yang
jumlahnya tidak terlalu kecil.
"Bersiaplah" berkata Mahisa Agni "sisihkan kawankawanmu
yang terluka, dan simpanlah para tawanan baikbaik"
"Sebagian dari kawan-kawan yang terluka, masih
mampu bertempur pula" berkata pemimpin prajurit dan
pengawal yang ditinggal di padepokan itu.
"Jangan paksa mereka" berkata Mahisa Agni "dengan
demikian, maka luka-luka yang sudah akan berangsur baik
akan menjadi parah lagi"
"Tetapi itu masih lebih baik daripada kita harus
menyerahkan leher kita" jawab pemimpin prajurit itu.
"Meskipun demikian, kalian dapat memperhitungkan,
siapakah yang akan dapat turun ke arena, dan siapa yang
harus tetap tinggal diam" berkata Mahisa Agni kemudian.
Pemimpin prajurit dan pengawal itu menganggukangguk.
Iapun kemudian meninggalkan Mahisa Agni dan
menemui kawan-kawannya untuk menyampaikan perintah
agar mereka bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan.
Agak berbeda dengan para cantrik, meskipun para
prajurit dan pengawal itu menjadi berdebar-debar juga,
namun mereka sudah cukup terlatih dan ditempa badani
dan jiwani menghadapi segala kemungkinan. Karena itu,
mereka masih nampak selalu tenang.
Beberapa orang yang terluka, yang merasa dirinya sudah
berangsur baik, telah bertekad untuk ikut serta
mempertahankan padepokan itu dengan senjata di tangan.
Seperti yang dikatakan oleh pemimpin prajurit dan
pengawal itu, bahwa bertempur akan jauh lebih baik dari
pada menyerahkan leher tanpa perlawanan apapun.
"Aku akan membubuhkan obat yang cukup pada lukaku,
agar darah tidak lagi mengalir dari luka itu meskipun aku
harus bertempur sambil mengerahkan tenaga" berkata salah
seorang dari antara mereka.
Demikianlah, maka para prajurit dan pengawalpun
segera bersiap. Yang terluka telah mencoba untuk menjaga
luka-luka mereka sebaik-baiknya. Sementara orang yang
mereka anggap sebagai tawanan dan terjuka pula, telah
mereka singkirkan. "Kami terpaksa mengikat kalian" berkata seorang
pengawal. Dalam pada itu, maka di dalam dinding padepokan itu,
para putut, para cantrik, para pengawal dan prajuritpun
telah bersiaga sepenuhnya. Mereka menunggu, orang-orang
yang mengepung diluar dinding itu akan segera menyerang.
Tetapi ternyata Ki Dukut Pakering tidak segera
memerintahkan orang-orangnya untuk menyerang. Mereka
justru berada diluar dinding dengan tingkah laku yang aneh.
Mereka makan, minum dan bergembira, seolah-olah
meraka tidak sedang menghadapi dinding padepokan yang
akan dihancurkannya. "Tentu tikus-tikus itu menjadi gelisah dan ketakutan"
berkata orang-orang itu "kita akan menunggui mereka
sampai tiga hari tiga malam. Pada hari keempat, mereka


Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

telah membeku karena ketakutan dan kecemasan"
Karena itu, di hari pertama itu, yang mereka lakukan
justru sekedar menarik perhatian.
Kegelisahan orang-orang yang berada di dalam dinding
padepokan menjadi semakin menghunjam kedasar jantung.
Satu dua diantara mereka yang sempat menjenguk mereka
dari atas tangga merasa betapa orang-orang yang
mengepung mereka itu telah memastikan, bahwa mereka
akan dapat melakukan apa saja yang mereka kehendaki.
Mereka dapat melakukan kapan saja sesuai dengan
keinginan mereka. Kadang-kadang terdengar suara tertawa meninggi
diantara gurau yang kasar. Bahkan sekali-sekali satu dua
orang yang berada diluar dinding itu telah melemparkan
satu dua butir batu kearah padepokan diiringi suara tertawa
berkepanjangan. Tingkah laku mereka benar-benar membuat para cantrik
menjadi kecut. Hati mereka kuncup semakin kecil. Setiap
kali mereka bagaikan terhenyak ke dalam sebuah mimpi
yang paling buruk. "Tetapi bukan sekedar mimpi" desis seseorang "ketika ia
memanjat dinding dan melihat keluar, ternyata yang selalu
mengelisahkan itu masih ada. Memang bukan sekedar
mimpi yang akan segera hilang jika mereka terbangun.
Dihari pertama, para cantrik dengan gelisah mencoba
untuk mendapatkan penjelasan dari putut yang lehih tua
dari mereka. Namun putut-putut itupun sama sekali tidak
dapat memberikan penjelasan, selain pesan, agar mereka
selalu bersiap menghadapi segala kemungkinan.
Ketika matahari kemudian turun diujung Barat,
kegelisahanpun menjadi semakin memuncak. Seisi
padepokan itu memperhitungkan,, bahwa apabila malam
turun maka orang-orang itu akan menyerang padepokan
yang mereka anggap terlalu lemah itu.
"Kita akan memasang obor disegala sudut "berkata putut
yang tertua "dengan demikian, kita akan dapat mengamati
keadaan sebaik-baiknya. Kita akan dapat mengamati
keadaan orang yang memanjat dan meloncat turun di
halaman" "Itu akan menghahiskan minyak" desis seorang cantrik.
"Tetapi itu lebih baik" jawab Putut itu "besok kalian
akan memanjat kelapa sehanyak-banyaknya. Kita akan
membuat minyak kelapa yang cukup selain kita harus
mengumpulkan biji jarak, kelenteng randu dan apapun yang
dapat kita krengseng menjadi minyak"
Para cantrik tidak membantah. Bagaimanapun mereka
menghargai minyak kelapa yang dapat mereka pergunakan
untuk kepentingan dapur, namun dalam keadaan yang
gawat mereka tidak dapat menyimpannya saja.
Karena itulah, maka para cantrik telah membuat oborobor
kecil yang akan mereka pasang dibeberapa tempat di
sudut-sudul halaman. Dengan tangkai-tangkai panjang,
mereka menempatkan obor-obor kecil itu di dekat dinding,
agar mereka dapat mengawasi setiap kemungkinan
seseorang meloncat masuk.
" Tidak perlu dengan obor-obor itu" desis Mahisa Agni
yang melihat seorang cantrik memasang obor.
"Tetapi putut-putut itu memerintahkannya" jawah
cantrik itu. Mahisa Agni mengangguk-angguk. Tetapi karenaperintah
itu telah diberikan, maka ia tidak mencegahnya
lagi. Bagi Mahisa Agni dan para prajurit dan pengawal,
lampu-lampu obor itu memang tidak perlu. Tetapi mereka
harus langsung mengawasi setiap jengkal dinding
padepokan semalam suntuk, meskipun berganti-ganti.
Demikianlah, ketika gelap malam mulai turun, maka
beberapa obor telah dinyalakan. Meskipun tidak terlalu
terang, tetapi cahaya obor itu memang dapat menerangi
bibir dinding padepokan, sehingga jika ada satu dua orang
yang meloncat turun ke halaman, maka orang itu akan
segera dapat dilihat. Sementara itu beberapa orang cantrik telah membagi diri
dalam kelompok-kelompok yang dipimpin oleh para putut
di padepokan itu. Selain daerah pengawasan, merekapun
telah menentukan saat-saat mereka berjaga-jaga.
Para cantrik telah membagi malam menjadi tiga kerat
waktu. Namun meskipun mereka yang tidak sedang
bertugas, para cantrik itu harus berada di tempat yang telah
ditentukan dengan senjata masing-masing.
Selain para cantrik, maka para pengawal dan prajurit
telah menentukan waktu dan tempat tersendiri. Dalam pada
itu Mahisa Agni, Witantra dan Ki Wastu akan selalu berada
di pendapa untuk melihat setiap perkembangan yang
terjadi, sementara pemimpin padepokan itu akan selalu
mengelilingi padepokannya untuk memberikan dorongan
gairah perjuangan bagi para cantrik dan putut yang sedang
diliputi oleh ketegangan yang semakin memuncak.
Namun dalam pada itu, justru karena para cantrik, para
prajurit dan pengawal harus berjaga-jaga sepenuhnya, maka
perapian didapurpun tidak pernah padam. Petugas-petugas
yang khusus didapur telah menyediakan air panas semalam
suntuk agar mereka yang bersiaga tetap segar.
Dengan hati yang berdebar-debar para cantrik
menunggu. Obor-obor yang menyala di sudut-sudut
halaman dan hampir diseputar padepokan itu nyalanya
mulai redup. Satu dua diantara obor-obor itu telah padam.
Namun yang lain telah diisi lagi dengan minyak tanah, atau
diganti dengan biji-biji jarak kering yang dirangkai dengan
lidi. Tetapi biji-biji jarak itu tidak dapat mencapai waktu
terlalu lama, sehingga harus diganti yang baru pula.
Menjelang pagi, kegelisahan para cantrik hampir tidak
dapat ditahan lagi. Meskipun mereka yang sebenarnya
mendapat kesempatan untuk tidur, ternyata sama sekali
tidak dapai memejamkan mata, karena mereka cemas,
bahwa tiba-tiba saja di dalam tidurnya, sehelai pedang telah
menghunjam keperutnya. "Tidurlah" berkata Mahisa Agni yang kemudian,
memutari halaman itu bersama pemimpin padepokan
"jangan cemas" Para cantrik itu memandang Mahisa Agni dengan sorot
mata penuh kebimbangan. Seolah-olah mereka ingin
menyaksikan, apakah yang dikatakan oleh Mahisa Agni itu
benar. Mahisa Agni dapat menangkap keragu-raguan itu.
Karena itu. maka katanya "Beristirahatlah. Biarlah para
pengawal dan prajurit sajalah yang berjaga-jaga menjelang
pagi. jika orang-orang itu ingin bertempur di dalam
kegelapan malam, mereka tentu sudah menyerang. Bukan
saat seperti ini, karena sehentar lagi, matahari sudah akan
terbit" Para cantrik tidak menjawab. Dan Mahisa Agnipun
meneruskan "Tetapi jika kalian sama sekali tidak
beristirahat, maka jika nanti matahari terbit, dan orangorang
itu datang menyerang, kalian sudah kehabisan tenaga
untuk melawan" Para cantrik itu saling berpandangan. Sementara Mahisa
Agni berkata terus "Para pengawal dan prajurit sudah
terhatih untuk berjaga-jaga semalam suntuk. Meskipun
demikian, merekapun telah membagi diri pula, sehingga
masing-masing akan sempat beristirahat, jika keadaan
menjadi gawat, maka mereka akan memukul kentongan,
dan kalian akan segera terbangun"
Para cantrik itu masih ragu-ragu. Namun pemimpin
padepokan itupun menegaskan "Percayakan pengamatan
padepokan ini kepada para prajurit, pengawal dan kami"
Penegasan itu membuat para cantrik agak tenang.
Karena itu, merekapun segera mencari tempat yang paling
haik untuk beristirahat. Bahkan ada diantara mereka yang
tidur di tempat yang tersembunyi.
"Kenapa kau tidur disitu?" bertanya kawannya.
"Disini aku merasa aman. Seandainya dengan cepat
sekali orang-orang itu memasuki halaman padepokan,
mereka tidak segera dapat menemukan aku. Dengan
demikian, aku akan sempat terbangun dan memberikan
perlawanan. Meskipun aku akan mati juga, tetapi aku
sudah melawan" berkata cantrik itu.
Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Merekapun
kemudian berusaha, untuk mendapat tempat yang paling
baik pula menurut perhitungan mereka.
Ternyata para cantrik itu tidak menyadari, berapa
lamanya mereka tertidur oleh telah dan kantuk, justru
karena tempat mereka tersembunyi, maka kawan-kawannya
yang lain tidak segera melihat mereka dan membangun kan
ketika matahari sudah memanjat naik tanpa terjadi sesuatu.
Baru ketika terasa udara menjadi semakin panas, mereka
telah terhangun dengan sendirinya. Namun mereka
mengumpat ketika mereka sadar, bahwa matahari telah
naik sepenggalah. "Kau tidak mau membangunkan aku" geramnya ketika
ia bertemu dengan kawannya yang melintas dengan pedang
dilamhung. "Kau tidur dimana?" bertanya kawannya itu. Tetapi
cantrik itu tidak menjawab. Iapun kemudian langsung
menuju kepakiwan. Namun agaknya ada juga satu dua
orang yang baru saja terbangun pula.
Ternyata bahwa orang-orang yang berada diluar dinding
itu sama sekali belum berbuat sesuatu. Mereka masih
duduk-duduk saja sambil bergurau dan mengumpatmengumpat.
Dengan sengaja mereka berteriak-teriak agar
suara mereka dapat di dengar dari dalam dinding.
Seorang cantrik yang menjenguk mereka dengan
memanjat tangga melihat, bahwa mereka telah membuat
perapian untuk merebus air dan menanak nasi.
"Gila" geram cantrik itu "apakah-sebenarnya yang ingin
mereka lakukan" Kawan-kawannya tidak dapat menjawab. Namun setiap
cantrik di dalam padepokan itu merasa, betapa kegeli sahan
semakin mencengkam dada mereka. Seolah-olah berada di
ambang pintu bilik hantu yang sangat menakutkan.
"Mereka membuat kita disini hampir gila" berkata
seorang cantrik kepada kawannya.
"Ya. Agaknya mereka memang dengan sengaja berbuat
demikian sehingga akhirnya mereka akan dengan sangat
mudah membinasakan kita" desis seorang putut.
Para cantrik itu mengangguk-angguk. Tetapi mereka
tidak dapat berbuat sesuatu untuk mengusir ketegangan
yang mencengkam hati. Meskipun para prajurit dan pengawal masih tetap
tenang, tetapi sebenarnyalah hati merekapun mulai dirayapi
oleh kegelisahan yang semakin memuncak. Setiap kali
mereka mendengar teriakan-teriakan dan suara tertawa
yang meledak, jantung mereka rasa-rasanya akan pecah
oleh kemarahan yang meluap.
Tetapi para prajurit dan pengawal masih dapat menahan
diri. Mereka masih tetap tenang betapapun hati mereka
bergejolak dan dengan seksama mengikuti perkembangan
keadaan. Satu dua di antara merekapun telah menjenguk lewat
tangga di sebelah gerbang untuk mengamati apa yang
dilakukan oleh-orang-Orang yang herada diluar dinding. Di
siang hari yang terik, orang-orang yang mengepung
padepokari itu telah berkerumun di bawah bayangan pohon
rindang. Mereka berbaring sambil berkelakar. Ada yang
berdendang dengan suara parau, dan bahkan ada yang
berteriak-teriak tanpa arti.
"Nampaknya ada juga kejemuan di hati mereka" desis
seorang prajurit. "Tentu. Merekapun tentu akan merasa jemu. Namun
jantung mereka tidak terasa setegang kita di sini, karena
mereka dapat menentukan, apa yang akan mereka lakukan.
Agak berbeda dengan kita. Kejemuan yang paling
mencengkam adalah, bahwa kita harus menunggu, apa
yang akan mereka lakukan atas kita" jawab kawannya.
Yang lain mengangguk-angguk. Mereka benar-benar
menjadi tegang, gelisah dan juga kamarahan yang tertahan.
Tetapi tidak ada yang dapat mereka lakukan kecuali
menunggu dengan jantung yang berdentangan semakin
cepat. Para cantrik yang gelisah, setiap kali telah memanjat
tangga dan manjenguk orang-orang yang berada diluar
dinding. Mereka masih saja berpencar dan berteduh di
bawah bayangan pepohonan.
"Beruntunglah bahwa mereka tidak menyerang kita
sekarang" seorang prajurit yang terluka berdesis
"Kenapa?" bertanya kawannya.
"Jika mereka menyerang kemarin saat matahari terbit,
atau pagi-pagi tadi, maka lukaku tentu masih terasa sakit.
Tetapi ternyata aku masih mempunyai waktu untuk
menyembuhkan luka-lukaku. Kini lukaku sudah berangsur
baik. Malam nanti, dan besok pagi, aku sudah dapat
bertempur seperti sebelum aku terluka" jawab prajurit yeng
terluka itu. Para prajurit dan pengawal yang lainpun mengiakannya.
Seorang yang terluka di lambung berkata "Jika aku
mendapat kesempatan sampai besok saja. maka aku sudah
siap untuk bertempur dengan sepenuh tenaga. Lukaku tidak
akan mengganggu aku lagi"
"Ternyata mereka bodoh" berkata yang terluka di
pundak dan punggung "akupun merasa sudah sembuh sama
sekali sekarang. Apa lagi waktu yang satu malam lagi"
Para pemimpin dan prajurit yang tidak terluka dan di
tinggalkan untuk mengawasi dan melayani mereka tidak
membantah. Merekapun sadar, bahwa para prajurit yang
terluka itu sekedar menghibur diri dalam kejemuan yang
mencengkam, meskipun sebenarnyalah bahwa waktu satu
dua hari akan sangat berarti bagi mereka yang terluka itu.
Hari-hari yang menjemukan itu berlangsung sangat
lamban. Para cantrik mengisi kejemuan itu dengan tingkah
laku yang kadang-kadang nampak aneh. Namun para


Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

prajurit yang juga ingin mengisi waktunya telah mengajak
para cantrik itu untuk berlatih olah kanuragan.
"Satu dua hari ini dapat kalian pergunakan sebaikbaiknya"
berkata para prajurit "kau akan dapat
memperdalam cara kalian mempergunakan senjata.
Meskipun hampir tidak berarti, tetapi daripada kalian
duduk dengan gelisah"
Para cantrik dan putut itupun melakukannya dengan
penuh minat. Kecuali untuk mengisi waktu, merekapun
menganggap bahwa hal itu akan dapat beguna bagi mereka.
Dalam kelompok-kelompok kecil para cantrik itupun
berlatih dengan sungguh-sungguh. Mereka ingin
memperdalam pengetahuan mereka tentang jenis-jenis
senjata mereka masing-masing.
Ternyata cara mereka mengisi waktu itu benar-benar
dapat mengurangi kejemuan dan kegelisahan. Bahkan
mereka mulai mengharap, agar orang-orang yang
mengepung padepokan itu tidak segera menyerang,
sehingga mereka akan mendapat kesempatan lebih banyak
lagi untuk melatih diri. Meskipun kemudian malam turun menyelubungi
padepokan itu, namun para cantrik itu masih tetap berlatih
dengan sungguh-sungguh. Menjelang malam mereka
beristirahat sebentar untuk makan. Namun kemudian
merekapun mulai lagi dengan latihan-latihan meskipun para
prajurit telah mendapat pesan, agar mereka tidak
menghabiskan tenaga mereka dalam latihan-latihan itu.
"Jika kalian telah menjadi sangat letih, maka untuk
benar-benar turun ke arena pertempuran, kalian telah
kehabisan tenaga" berkata Mahisa Agni.
Dengan demikian, maka baik para prajurit, maupun para
cantrik telah mematuhinya. Mereka berlatih sekedar untuk
membiasakan gerak tangan dan kaki mereka tanpa memeras
tenaga. Ketika obor-obor sudah dipasang, maka latihanlatihanpun
menjadi semakin susut. Beberapa orang mulai
mengatur diri dalam kelompok-kelompok seperti malam
sebelumnya. Mereka mulai lagi dengan pengawasan yang
teliti diseputar padepokan. Tidak seorangpun boleh
meloncat masuk. Di saat keringat sudah kering, maka kegelisahanpun
telah mulai merayapi hati para cantrik itu lagi. Sebenarnya
mereka lebih senang berlatih menggerakkan senjata. Tetapi
merekapun menyadari, bahwa mereka tidak sebaiknya
memeras tenaga mereka, sehingga mereka menjadi letih.
Dalam pada itu, kegelisahan pemimpin padepokan itu
bukan saja karena mereka, harus menunggu saat-saat yang
mendebarkan, apabila orang-orang yang mengepung
padepokan itu datang menyerang. Namun pada satu saat,
maka persediaan bahan mentah di padepokan itu akan
menjadi semakin tipis, sehingga akhirnya habis sama sekali.
Meskipun di lumbung masih ada padi, tetapi jika persediaan
garam dan kepentingan-kepentingan lain sudah habis, maka
mereka akan mengalami kesulitan.
"Itupun harus mendapat perhatian" berkata Mahisa Agni
kepada pemimpin padepokan itu.
"Kita masih akan dapat bertahan dua hari lagi" berkata
pemimpin padepokan itu "selebihnya kita akan mengalami
kesulitan untuk mendapatkan garam"
Mahisa Agni mengangguk-angguk. Hal itu harus mereka
perhatikan karena pada suatu saat pertempuran akan
berkobar, merekapun merasa gelisah pula setiap kali mereka
masak di dapur, karena persediaan yang semakin tipis.
"Kita harus membicarakannya dengan sungguhsungguh"
berkata Mahisa Agni "sebaiknyalah kita
mengumpulkan para prajurit, pengawal dan para putut di
padepokan ini. Aku akan memberikan sedikit persoalan
yang akan dapat mereka pecahkan bersama"
Pemimpin padepokan itu mengangguk-angguk. Katanya
"Baiklah. Kita akan berbicara di pendapa sekarang juga"
Sejenak kemudian, maka para putut, prajurit dan
pengawal telah berkumpul di pendapa. Yang tersisa di
halam an adalah mereka yang bertugas dan para cantrik
padepok an itu. Mahisa Agni yang kemudian berbicara kepada para
prajurit, pengawal dan putut itupun menjelaskan, bahwa
keadaan mereka akan menjadi semakin gawat.
"Bukan maksudku membuat kalian bertambah gelisah"
berkata Mahisa Agni "tetapi hal ini memerlukan
pemecahan" Para prajurit, pengawal dan putut di padepokan itu
mendengarkan penjelasan itu dengan sungguh-sungguh.
Namun merekapun tidak melihat, jalan manakah yang
paling baik dilalui untuk mengatasi kesulitan yang sungguhsungguh
itu. Karena tidak ada seorangpun yang memberikan
tanggapan, maka Mahisa Agnipun berkata "Bagaimanakah
jika aku mencoba untuk mencari jalan keluar"
Pemimpin padepokan itu memandanginya dengan
tajamnya. Kemudian katanya "Bukankah itu yang kami
tunggu-tunggu" "Bailah" berkata Mahisa Agni "sudah sekian lama kami
dicengkam oleh kegelisahan, kecemasan dan barangkali
perasaan-perasaan lain di dalam hati kita karena orangorang
itu tiba-tiba saja telah mengepung kita. Kita tentu
tahu pasti, siapakah mereka. Dan kitapun dapat
membayangkan betapa besarnya kekuatan mereka. Tetapi
kitapun bukan anak-anak yang hanya mampu merengek.
Kita dapat berbuat sesuatu. Nah, kenapa kita tidak berbuat
sesuatu untuk menghadapi mereka"
"Apakah yang kau maksud?" bertanya pemimpin
padepokan. "Selama ini kita dicengkam oleh ketegangan sambil
menunggu, kapan orang-orang itu datang menyerang.
Kenapa kita tidak mengambil sikap lain daripada sekedar
menunggu. Misalnya, kenapa bukan kita saja yang
menyerang mereka" Pertanyaan itu bagaikan menghentak di setiap hati.
Seorang perwira prajurit yang bertugas tinggal bersama
beberapa orang kawannya dan pare pengawal dengan serta
merta menyahut "Kita dapat melakukannya. Kita akan
menyerang mereka justru di saat yang tidak mereka duga"
Kemungkinan itu ternyata telah menggerakkan hati
setiap orang di pendapa itu. Karena itu, maka pemimpin
padepokan itupun berkata "Aku kira hal itu dapat
dipertimbangkan. Aku kira itu akan lebih baik daripada
kita" "Apakah ada yang menyatakan keberatan dengan
pertimbangan yang lain?" bertanya Mahisa Agni.
"Kami sependapat" desis beberapa orang bersama-sama.
Mahisa Agnipun kemudian berpaling kepada Witantra
dan Ki Wastu. Namun agaknya keduanyapun sependapat
dengan rencana itu, sehingga keduanya menganggukangguk
kecil. Dalam pada itu, Mahisa Agnipun berkata "Jika
semuanya telah setuju, maka biarlah kita segera bertindak.
Kita tidak akan melangkah dengan Lamban sekali seperti
orang-orang itu. Tetapi kita akan melangkah dengan cepat"
"Kapan kita akan melakukannya?" bertanya pemimpin
padepokan itu. "Sebagian dari para cantrik memang kurang berlatih"
berkata Mahisa Agni "karena itu, maka lebih baik bagi kita
untuk bertempur di siang hari. Karena itu, kita akan
menunggu, apakah malam ini mereka akan menyerang atau
tidak. Jika tidak, maka besok pagi-pagi menjelang matahari
terbit, kitalah yang akan menyerang"
"Kenapa tidak sekarang?" bertanya perwira prajurit,
yang tinggal di padepokan itu.
"Sebagian besar dari para cantrik belum terbiasa
bertempur di malam hari. Bahkan di siang haripun mereka
masih akan banyak mengalami kesulitan" jawab Mahisa
Agni. Perwira itu mengangguk-angguk. Katanya "Mudahmudahan
mereka tidak mendahului kita. Kitalah yang akan
menyerang mereka" "Karena itu, biarlah para cantrik malam ini lebih banyak
beristirahat. Kitalah yang akan mengawasi keadaan terus
menerus. Kita akan dapat mengetahui, apakah persiapan
mereka sudah sampai tingkat terakhir" berkata Mahisa
Agni. "Baiklah" berkata pemimpin para prajurit dan pengawal
yang tinggal itu "aku akan mengatur penjagaan malam ini"
Demikianlah, maka para prajurit dan pengawal sudah
mendapat perintah untuk, bersiap-sebaik-baiknya.
Sementara itu, maka para cantrikpun diperintahkan untuk
beristirahat seluruhnya. "Meskipun demikian, jangan lengah. Kalian harus
mendengarkan tanda sebaik-baiknya dengan cirinya
masing-masing" berkata para putut "nah, carilah tempat
yang paling baik untuk tidur. Percayakan penjagaan malam
mi kepada para prajurit dan pengawal.
Para cantrik itu menjadi ragu-ragu. Tetapi karena
perintah itu nampaknya meyakinkan, maka merekapun
kemudian mencari tempat yang paling baik untuk tidur.
Ada satu dua di antara mereka yang tidur di sebelah dapur.
Tetapi ada pula yang tidur di bagian atas kandang.
Para prajurit dan pengawallah yang mengambil alih
tugas penjagaan. Merekapun harus membagi diri, sehingga
merekapun sempat beristirahat. Menjelang pagi mereka
harus sudah bersiap untuk bertempur.
Justru karena pengawasan langsung dari sebelah regol,
maka seisi padepokan itu merasa tenang untuk beristirahat.
Orang-orang yang mengepung padepokan itu tidur
berserakan, sementara beberapa orang di antara mereka
sajalah yang berjaga-jaga di dekat perapian-perapian yang
merekanyalakah untuk penghangat tubuh.
"Pasti bahwa mereka tidak akan menyerang malam ini"
berkata seorang prajurit yang mengawasi mereka dari atas
tangga. Para prajurit dan pengawal yang lainpun percaya, seperti
yang dikatakan oleh prajurit itu. Seseorang pengawal yang
kemudian menjenguk pula, telah yakin, bahwa orang-orang
itu justru tidak menghiraukan lagi kedudukan mereka yang
sedang mengepung tempat lawan.
"Mereka menjadi lengah karena mereka merasa terlalu
kuat" berkata seorang prajurit "mudah-mudahan keadaan
itu sampai pagi hari"
Ketika hal itu dilaporkan kepada pimpinan padepokan
dan kepada Mahisa Agni, maka Mahisa Agnipun telah
memerlukan pula menjenguk mereka. Agaknya iapun
berkesimpulan serupa. Orang-orang itu menganggap bahwa
di padepokan kecil itu sama sekali tidak ada lagi kekuatan
yang akan dapat melindungi para penghuninya.
"Mereka menganggap kita terlalu lemah" berkata Mahisa
Agni kemudian "karena itu, beristirahatlah sebaik-baiknya
sebelum pagi. Meskipun demikian, pengawasan harus
berjalan terus" Mahisa Agni, Witantra, Ki Wastu dan pemimpin di
padepokan itupun ternyata sempat pula beristirahat.
Mereka sempat tidur di ruang dalam. Namun mereka telah
berpesan, bahwa para petugas jangan sampai lengah
"Meskipun nampaknya mereka tidur berserakan, tetapi
dalam sekejap mereka telah mampu mempersiapkan diri
untuk menyerang" berkata Mahisa Agni "karena itu, jika
kalian mendengar aba-aba yang dapat diartikan sebagai satu
gerakan untuk menyerang, maka kalian harus segera
melihat, apakah yang terjadi diluar. Seterusnya memberikan
isyarat dengan kentongan"
Namun ternyata bahwa diluar padepokan itu tidak
terjadi sesuatu. Orang yang mengepung padepokan itu
masih saja tidur berserakan, sementara beberapa kelompok
masih mengerumuni perapian yang menyala. Satu dua
orang diantara mereka berjalan hilir mudik dari satu
perapian keperapian yang lain. Betapapun juga, ternyata
merekapun masih merasa perlu untuk mengawasi keadaan.
Menjelang dini hari, maka Mahisa Agni, Witantra, Ki
Wastu dan pemimpin padepokan kecil itu telah bersiap-siap
untuk melakukan rencana mereka. Mereka tidak dapat
menunggu lebih lama lagi. Dengan demikian, maka para
cantrik akan menjadi semakin cemas dan ketegangan yang
setiap hari mencengkam mereka, akan sangat
mempengaruhi perasaan mereka.
Dengan hati-hati, Mahisa Agni memanggil pemimpin
prajurit dan pengawal yang tinggal di padepokan itu.
Bersamanya, telah dipanggil pula para putut padepokan itu.
Dengan cermat mereka telah mendapat perintah dan pesan,
apa yang harus mereka lakukan tanpa menimbulkan
kegaduhan dan suara yang dapat menarik perhatian.
Demikianlah dengan diam-diam, maka para putut itupun
telah membangunkan para cantrik. Mereka telah
diperintahkan untuk mempersiapkan diri sebaik-baiknya
Satu dua diantara mereka telah sempat mencuci muka di
pakiwan untuk menghilangkan kantuk yang masih tersisa.
Namun ketika mereka sadar, bahwa mereka akan
bertempur, maka merekapun telah menjadi berdebar-debar.
Satu dua diantara mereka hampir menyatakan diri untuk
menghindarinya dengan alasan apapun juga, karena
bertempur itu akan dapat berakibat kematian.
Namun ketika mereka melihat para prajurit dan
pengawal yang dengan penuh tekad telah bersiap pula. hati
mereka menjadi kembang. Para prajurit dan pengawal itu
bukan orang-orang yang paling berkepentingan dengan
padepokan itu. Tetapi mereka tidak segan untuk melibatkan
diri langsung ke dalam arena pertempuran.
Seperti yang diharapkan, persiapan itu sama sekali tidak
menimbulkan keributan dan sama sekali tidak menarik
perhatian. Semua pesan disampaikan kepada setiap
pemimpin kelompok yang akan meneruskan kepada
kelompok masing-masing. "Dengan doa di dalam hati, kita akan melakukan


Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kewajiban kita" berkata Mahisa Agni kepada para
pemimpin kelompok yang akan meneruskan kepada
kelompok masing-masing. Dengan tertib Mahisa Agnipun kemudian mengatur jalan
yang akan mereka lalui. Mereka semuanya tidak akan
mengambil jalan pada pintu gerbang. Sebagian dari
merekamkan keluar dari pintu-pintu butulan.
Para cantrik itu menjadi berdebar-debar. Namun setelak
melihat kesiagaan sepenuhnya, ternyata mereka lebih
senang untuk ikut bertempur diluar padepokan dari pada
harus tinggal sambil menunggu kemungkinan yang belum
pasti akan terjadi. "Sebagian dari para cantrik akan tinggal" berkata Mahisa
Agni "mereka harus menjaga padepokan ini. Adalah tugas
kalian yang tinggal untuk melawan mereka. Kalian akan
dibantu oleh para prajurit dan pengawal yang karena lukalukanya
tidak akan dapat bertempur diluar padepokan"
Tetapi mereka yang kemudian ditunjuk, tidak dapat
ingkar lagi. Mereka harus tinggal bersama prajurit dan
pengawal yang lukanya masih terlalu parah untuk ikut serta
dalam pertempuran diluar padepokan.
Setelah semuanya selesai, maka para prajurit dan
pengawal yang akan menjadi ujung pasukan, telah bersiap
dibeberapa pintu butulan dan pintu gerbang. Para cantrik
yang sudah berada di dalam kelompoknya masing-masing
itupun telah bersiap pula di belakang para prajurit dan
pengawal. "Semua senjata harus sudah dipersiapkan" para
pemimpin kelompok masih memperingatkan.
Demikianlah ketika matahari mulai membayang di
langit, Mahisa Agni sendiri telah menjenguk dari tangga di
sebelah regol. Ia melihat, orang-orang yang berada di
sekeliling padepokan itu sebagian tersebar telah bangun
pula, meskipun masih ada satu dua diantara mereka yang
berbaring dengan malasnya. Beberapa diantara mereka
telah pergi ke sebuah mata air yang tidak terlalu jauh untuk
mandi, sementara yang lain telah sibuk menanak nasi di
atas perapian. Diantara mereka, masih nampak beberapa orang yang
bersiaga berjalan hilir mudik dengan senjata telanjang.
Namun agaknya mereka sama sekali tidak menduga, bahwa
orang-orang di padepokan itu sedang merencanakan
sesuatu yang akan sangat mengejutkan.
Setelah yakin akan keadaan lawan, maka Mahisa
Agnipun kemudian membangi diri dengan Witantra dan Ki
Wastu. menurut pendengarannya diantara orang-orang
yang mengepung itu terdapat seorang yang disebut Rajawali
Penakluk. Tetapi menurut Pangeran Kuda Padmadata,
maka besar kemungkinannya, bahwa orang itu adalah Ki
Dukut Pakering. Sejenak kemudian, setelah semuanya siap, Mahisa
Agnipun segera memberikan isyarat. Seseorang dengan
cepat telah menarik selarak pintu regol dan pintu-pintu
butulan. Serentak para prajurit yang ada dipating depan
bersama para pengawalpun segera berlari menuju sasaran
diikuti oleh para cantrik di belakang.
Ternyata hal itu benar-benar telah mengejutkan orang
orang yang sedang mengepung padepokan itu. Mereka
sama sekali tidak menduga, bahwa justru orang-orang di
padepokan itulah yang keluar menyerang. Mereka
menyangka, bahwa setelah hari-hari yang tegang itu, orangorang
di dalam padepokan kecil itu akan menjadi bingung,
cemas, ketakutan dan akhirnya mereka akan menjadi putusasa.
Namun tiba-tiba mereka melihat satu penyataan yang
berlawanan sama sekali. Para penjaga yang siap dengan senjata di tangan, segera
berteriak memberikan isyarat kepada kawan-kawannya.
Namun justru teriakan itu telah mengejutkan dan membuat
mereka menjadi kebingungan.
Namun, akhirnya merekapun menyadari, bahwa mereka
harus berbuat sesuatu. Berlari-larian mereka segera
menempatkan diri. Yang sedang berada diperapian, segera
meloncat meraih senjata masing-masing dan menariknya
dari sarungnya. Sementara yang sedang mandipun dengan
tergesa-gesa telah mempersiapkan dirinya dan menggapai
senjata masing-masing pula.
Tetapi kesiagaan yang tergesa-gesa itu ternyata
mempengaruhi sikap dan ketahanan hati mereka. Ketika
para prajurit dan pengawal mencapai tempat mereka, maka
masih belum siap seluruhnya, sehingga pada benturan
pertama, orang-orang yang mengepung padepokan itu telah
terdesak. Para penjaga yang sudah bersiap sajalah yang dapat
menyongsong para penyerang itu. Tetapi jumlah para
penjaga itu tidak cukup banyak, sehingga merekapun tidak
banyak dapat berbuat. Para cantrik yang berlari-larian di belakang para prajurit
dan pengawalpun segera menyerang dengan senjata-senjata
telanjang. Adalah satu kebetulan bahwa lawan mereka
masih belum bersiap seluruhnya.
Pada benturan pertama, ternyata para penjaga telah
dikejutkan oleh kesigapan para prajurit dan pengawal.
Mereka tidak menyangka, bahwa mereka akan berhadapan
dengan orang-orang yang memiliki kemampuan yang cukup
dalam olah senjata, sehingga karena itu, maka merekapun
segera terdesak pula. Bahkan karena mereka sebagian.masih
diliputi oleh kebingunan, maka satu dua telah jatuh korban
diantara mereka yang mengepung padepokan itu"
Para cantrik yang sebenarnya merasa kekurangannya,
justru ingin mempergunakan saat-saat layyan mereka masih
lemah. Itulah sebabnya, mereka justru berbuat lebili garang.
semata-mata karena usaha mereka untuk memperkecil
kemungkinan yang paling pahit. Kecemasan merekalah
yang telah mendorong mereka untuk bertingkah laku lebih
garang dari para prajurit dan pengawal.
Tetapi sebenarnyalah jumlah orang-orang yang
mengepung padepokan itu lebih banyak dari para prajurit,
pengawal dan para cantrik. Karena perhitungan itulah,
maka para prajurit dan pengawalpun harus bergerak
secepat-cepatnya. Jika lawan mereka sempat mengatur diri,
maka kemungkinan yang sulit akan segera terjadi. Apalagi
para prajurit dan pengawal itu mengerti, bahwa para cantrik
masih belum memiliki kemampuan yang cukup untuk meng
hadapi lawan yang ganas dan kasar itu.
Dalam pada itu, ternyata usaha para prajurit itu
nampaknya akan berhasil. Mereka sempat membuat lawan
mereka menjadi bingung. Mereka yang sedang dengan
tergesa-gesa meninggalkan mata air telah disergap dengan
tiba-tiba oleh para prajurit dan pengawal. Meskipun jumlah
para prajurit dan pengawal itu jauh lebih sedikit, tetapi
mereka lebih mapan sikap, sehingga karena itu, maka
orang-orang yang sedang mandipun menjadi kebingungan
meskipun mereka telah berhasil menggapai senjata masingmasing.
Dalam saat yang pendek, maka para perampok dan
penyamun yang menjadi pengikut Ki Dukut Pakering itu
telah berjatuhan. Mereka kehilangan kesempatan untuk
melawan. Mereka sadar akan keadaan ketika mereka telah
terkapar dengan luka ditubuh mereka.
Sejenak kemudian, tubuh-tubuh yang terluka telah
berserakkan terbujur lintang. Meskipun para prajurit dan
pengawal bukannya pembunuh-pembunuh yang kejam,
namun meraka tidak dapat menghindarkan diri dari
kemungkinan menghabisi jiwa lawannya di dalam
pertempuran brubuh itu. Tetapi lambat laun, para perampok dan penyamun
itupun sedikit demi sedikit mampu menyusun diri.
Meskipun sebagian dari mereka telah terluka, tetapi jumlah
mereka masih cukup memadai untuk bertempur melawan
orang-orang padepokan kecil itu.
Dengan demikian, maka pertempuran itupun menjadi
semakin sengit. Para perampok yang penyamun yang
marah itupun kemudian bertempur sambil berteriak-teriak
dengan kasarnya. Mereka mengayunkan senjata mereka
dengan sepenuh tenaga, serta mengacung-acung-kannya
dengan garang. Tetapi kemenangan-kemenangan kecil pada benturan
pertama itu telah membuat hati para cantrik menjadi
berkembang. Mereka tidak lagi dicengkam oleh ketakutan.
Ternyata bahwa lawan mereka itupun dengan mudah dapat
dilukai dengan senjata. Karena itu, maka gairah merekapun segera meningkat
semakin tinggi. Apalagi serba sedikit mereka telah memiliki
kemampuan menggerakkan senjata, sehingga mereka pun
kemudian telah memutar senjata mereka pula dibawah
pimpinan beberapa orang putut yang memang memiliki
ilmu yang cukup. Sementara itu, para prajurit dan pengawal yang terpencar
diantara para cantrik telah mengambil tempat yang
menguntungkan. Mereka tidak saja berada pada garis
perang yang datar, tetapi beberapa orang diantara mereka
justru berada diantara lawan mereka. Namun tidak
kehilangan kesempatan mendapat jalan segera mendesak
maju mengikuti jejak mereka.
Diantara para prajurit, pengawal putut dan cantrik
terdapat orang-orang yang memiliki kemampuan yang tidak
dapat dibandingkan dengan mareka, maupun lawan-lawan
mereka. Mahisa Agni, Witantra, Ki Wastu dan pemimpin
padepokan kecil itu telah mengambil tempatnya masingmasing.
Mereka tidak hanya tinggal diam melihat
pertempuran yang semakin seru itu. Tetapi merekapun telah
melibatkan diri mereka di dalamnya.
Tetapi mereka bukannya orang yang termasuk haus akan
kematian. Karena itu, apa yang mereka lakukanpun
bukannya sekedar tindakan pembunuhan. Mereka tidak
berniat membunuh lawan sebanyak-banyaknya tanpa
mengingat akibatnya. Meskipun demikian, merekapun bukannya tinggal diam
melihat para perampok dan penjahat itu membunuh para
cantrik. Karena itu, maka merekapun telah berusaha untuk
melindungi para cantrik dengan mendorong lawan-lawan
mereka surut, bahkan kadang-kadang mereka terpaksa
melukai dan menitikkan darah satu dua orang lawan,
sakedar untuk memperlemah tekanan mereka.
Karena itu, maka Mahisa Agni, Witantra, Ki Wastu dan
pemimpin padepokan itupun seolah-olah telah mengitari
daerah pertempuran itu. Mereka bergeser dari satu tempat
ke tempat yang lain. Jika mereka melihat beberapa orang
cantrik yang terdesak, sementara para prajurit dan pengawal
masih sibuk melayani lawan mereka masing masing, maka
merekapun telah mendekat dan membantu para cantrik itu
untuk mendesak lawannya. Namun kematian-kematian memang sulit dihindarkan
dalam pertempuran seperti itu. Mahisa Agni, Witantra dari
Ki Wastupun tidak dapat menghindarkan diri sepenuhnya
dari langkah yang dapat mengakibatkan kematian.
Dalam pada itu, ternyata diantara para perampok dan
penyamun itu terdapat seorang tua yang memperhatikan
pertempuran itu dengan saksama. Orang itu berusaha untuk
dapat memperhatikan setiap sudut arena pertempuran.
Karena itu, maka dengan diam-diam, ia bergeser dari satu
sisi kesisi yang lain dari padepokan itu. Tetapi karena
pertempuran yang paling seru terjadi di bagian depan dari
padepokan itu, maka iapun berada di tempat itu.
Sekilas ia melihat beberapa orang prajurit dan pengawal
dari Singasari dan Kediri. Meskipun jumlahnya tidak terlalu
banyak, tetapi mereka ternyata mampu menggetar kan
jantung para perampok dan penyamun yang garang itu.
"Gila" geram Ki Dukut "aku ternyata masih tertipu juga.
Masih ada beberapa prajurit Singasari dan pengawal dari
Kediri yang berada di padepokan ini. Jumlah mereka
ternyata masih cukup banyak untuk mempengaruhi
keadaan. Tanpa mereka, maka para cantrik itu tentu akan
segera menjadi bagaikan tebasan batang ilalang"
Ki Dukut itupun menggeretakkan giginya. Dengan suara
yang dalam ia berdesis kepada diri sendiri "Aku harus
memusnahkannya tanpa belas kasihan"
Namun sebelum Ki Dukut berbuat sesuatu, ia melihat
pemimpin padepokan kecil itu. Dengan tangkasnya ia
bertempur diantara para cantriknya. Bersama dua orang
prajurit, ia berhasil menahan pengikut Ki Dukut yang siap
menyapu para cantrik. "Orang inilah yang lebih dahulu harus dimusnahkan"
berkata Ki Dukut di dalam hatinya.
Dengan cermat ia melihat dua orang prajurit Singasari
yang bertempur bersama pemimpin padepokan itu untuk
melindungi para cantrik. Dengan tersenyum hambar ia
berkata "Bersama dua orang prajurit itu, mereka tidak akan
berdaya. Aku dapat membunuhnya tidak sampai
sepenginang" Tetapi sebelum ia bertindak, ternyata Ki Dukut itu
terkejut. Ia melihat bayangan yang sepintas menyusup
diantara dentang senjata. Seperti pemimpin padepokan itu,
maka ketika Orang itu berhenti di satu sudut pertempuran,
maka iapun telah bertempur untuk melindungi para cantrik.
Dengan sebilah pedang pendek, ia mampu berbuat terlalu
banyak diantara para cantrik.
"Siapakah orang itu" desis Ki Dukut di dalam hatinya.
Tetapi orang itu benar-benar telah mendebarkan jantung
Ki Dukut. Orang itu mampu bertempur dengan sikap yang
aneh. Sekali-sekali ia mendesak lawannya, namun
kemudian ia seakan-akan telah menahan senjatanya.
"Apakah ia orang gila?" bertanya Ki Dukut di dalam
hatinya "ia mampu membunuh berapa orang saja yang
dikehendakinya. Tetapi ia tidak melakukannya"
Ki Dukut memandang orang itu dengan debar di
dadanya, orang itu lebih berbahaya dari pemimpin
padepokan kecil itu. Dengan demikian, maka Ki Dukutpun
berkata di dalam hatinya "Aku akan menyelesaikan orang
itu lebih dahulu" Karena itulah maka Ki Dukutpun kemudian dengan


Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

diam-diam mendekati orang itu, menyusup diantara orangorangnya.
Ketika orang itu bergeser iapun mengikuti pula,
sehingga akhirnya orang itu telah berada diarena
pertempuran di sisi padepokan itu.
Sejenak Ki Dukut Menunggu. Kemudian iapun bergeser
lagi. Ia ingin memancing perhatian orang itu. Katanya
kepada diri sendiri "Jika aku membunuh cantrik sebanyakbanyaknya,
maka orang itu tentu akan datang kepadaku"
Karena itulah, maka Ki Dukutpun menggeram. Dengan
lantang ia berteriak sambil meloncat ke arena. Di tangannya
telah tergenggam sebilah pedang yang siap untuk mem
bantai cantrik-cantrik yang masih belum memiliki
kemampuan yang cukup, apalagi berhadapan dengan orang
yang bernama Ki Dukut Pakering.
Suaranya memang telah menarik perhatian. Orang yang
diikuti oleh Ki Dukut itupun masih berjarak beberapa puluh
langkah. Sementara Ki Dukut sempat untuk melakukan
pembantaian agar lawan-lawannya menjadi ngeri dan
terpengaruh. Namun demikian ia tampil di arena, maka tiba-tiba saja
seorang yang juga bersenjata pedang telah
menghampirinya. Bukan orang yang diharapkannya.
"Jangan menakut-nakuti anak-anak" desis orang itu
"'apakah kau sebenarnya" Apakah kau yang disebut
Rajawali Penakluk?" Pertanyaan itu datang beruntum, sehingga Ki Dukut
tidak sempat untuk menjawab.
"Katakan, siapa kau sebenarnya" bertanya orang itu.
Ki Dukut menggeram. Dengan marah ia berkata
"Apakah kau sudah jemu hidup" Akulah Rajawali
Penakluk, aku akan membunuh siapapan yang berdiri di
hadapanku. Jika kau tidak minggir, maka kau adalah orang
yang pertama akan mati"
Tetapi orang itu tertawa. Pertempuran di sekitarnya tidak
dihiraukannya lagi. "Bailah" berkata Ki. Dukut "kau akan mati. Para cantrik
disekitarmu akan mati. Aku ingin mengundang orang yang
bersenjata pedang pendek itu. Agaknya ia memiliki
kelebihan dari kawan-kawannya. Aku ingin menunjukkan
kepada orang-orangku, bagaimana aku akan
membunuhnya" Orang itu tersenyum. Katanya "Ia akan menangkapmu.
Bukan kau yang akan membunuhnya"
"Persetan. Kalian belum mengenal, siapakah aku" geram
Rajawali Penakluk itu. Tetapi sambil tertawa orang yang berdiri di hadapannya
itu menjawab "Tentu kami mengenalmu. Kau adalah
Rajawali Penakluk. Tetapi apakah bukan lebih
menggetarkan jika kau sebut namamu, Ki Dukut Pakering"
Kata-kata itu memang menggetarkan jantung Ki Dukut
Pakering. Dengan suara bergetar ia berkata "Siapa kau,
bahwa kau tahu siapakah sebenarnya aku"
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Namun
kemudian katanya "Aku adalah orang yang sama sekali
tidak banyak dikenal. Aku bernama Witantra. Sedangkan
orang yang ingin kau tarik perhatiannya itu bernama
Mahisa Agni" Ki Dukut mengerutkan keningnya. Namun tiba-tiba ia
bergumam "Kalian orang-orang Singasari?"
"Ya. Apakah kau pernah mendengar namaku?" bertanya
Witantra. "Persetan dengan orang-orang Singasari" Apakah
kepentinganmu dengan padepokan ini sehingga kalian
berada di sini?" bertanya Ki Dukut dengan geram.
"Tidak ada kepentingan khusus. Tetapi seperti orangorang
lain di tlatah Singasari, kita akan saling menolong"
jawab Witantra. Ki Dukut itupun menggeram. Lalu katanya "Baiklah.
Aku justru berterima kasih bahwa aku akan dapat
menunjukkan bahwa orang-orang Singasari bukannya
orang-orang yang pinunjul tanpa dapat dikalahkan, seolaholah
Singasari adalah pengejawantahan dari istana para
dewata yang memiliki kelebihan tanpa batas"
"Ah, kau keliru. Orang-orang Singasari tidak pernah
merasa dirinya seperti itu. Kami adalah orang-orang biasa.
Tidak lebih, tetapi juga tidak kurang. Karena itu,
berhadapan dengan orang-orang lain, kami merasa diri
kami sederajad dalam banyak hal. Juga dengan seorang
yang bernama Ki Dukut Pakering"
"Gila" geram Ki Dukut "ternyata bahwa aku akan
membunuh orang-orang Singasari yang berada di sini,
seorang demi seorang. Tetapi jika kau keberatan, ajaklah
kawan-kawanmu yang ada di sini untuk bertempur
berpasangan melawan Ki Dukut Pakering"
Witantra menggeleng sambil menjawab "Tidak usah
orang lain. Kita akan berhadapan hanya berdua saja"
"Jangan sombong orang Singasari. Kau bukan apa-apa
bagi Ki Dukut Pakering" jawab Ki Dukut.
Witantra tidak menyahut. Iapun kemudian bersiap
menghadapi segala kemungkinan, sementara, pertempuran
masih berlangsung dengan sengitnya. Para prajurit dan
pengawal sibuk melayani para perampok dan penyamun
yang semakin terdesak. Sementara beberapa orang yang lain
masih harus bertempur bersama para cantrik yang belum
memiliki bekal cukup. Namun, ternyata bahwa para cantrik
itupun sudah mampu untuk melindungi diri sendiri
terhadap serangan para penyamun yang kasar. Untunglah,
bahwa di padepokan gambaran tentang kekasaran itu telah
pernah mereka dengar. Para prajurit pun pernah mengajari
mereka dengan laku yang kasar, agar para cantrik tidak
terkejut apabila mereka harus berhadapan dengan
perampok dan penyamun. Sejanak kemudian, maka Ki Dukut yang marah itupun
tidak mengendalikan dirinya lagi. Dengan garangnya iapun
segera meloncat menyerang orang yang menyebut dirinya
Witantra itu. Demikianlah, maka pertempuran yang dahsyatpun tidak
dapat dihindarkan lagi. Dua orang yang memiliki
kemampuan raksasa tauh bertemu di arena pertempuran.
Ki Dukut Pakering yang menyebut dirinya Rajawali
Penakluk itu adalah orang yang luar biasa. Ia telah
menggetarkan hati Pangeran Kuda Padmadata dan
adiknya, sehingga keduanya telah menyatakan kesediaan
mereka untuk menjadi muridnya. Dan ternyata kemudian
bahwa kedua Pangeran itu berkembang dengan pesatnya.
Ki Dukut memang memiliki kemampuan yang luar biasa
untuk menempa kedua Pangeran kakak beradik itu,
sehingga keduanya telah menjadi dua orang yang pilih
tanding di antara para bangsawan di Kediri.
Namun dalam pada itu, Ki Dukut yang jarang sekali
terbentur pada ilmu yang setingkat itu, terkejut ketika
benturan-benturan ilmu kemudian meningkat semakin seru.
Ternyata orang Singasari yang bernama Witantra itu benarbenar
memiliki bekal yang cukup untuk menghadapinya.
Bukan saja dalam ketrampilan dan kecepatan gerak, tetapi
ketika ilmu mereka saling berbenturan, maka mereka pun
saling menyadari, bahwa pertempuran yang terjadi itu
adalah pertempuran yang akan berlangsung sangat seru.
Meskipun pada benturan pertama keduanya masih
belum mengerahkan segenap kemampuan mereka, namun
setingkat demi setingkat ilmu merekapun segera
berkembang. 08_SHM_Panasnya_Bunga_Mekar
Ki Dukut yang dibakar oleh dendam karena kegagalankegagalan
yang pernah dialaminya itupun segera berusaha
untuk menumpahkan segala sakit hatinya kepada orang
yang bernama Witantra itu. Setelah ia menyelesaikannya,
maka Ki Dukut akan segera membunuh orang-orang lain,
sehingga orang terakhir dari padepokan itupun akan
dibantainya. Tetapi ternyata bahwa ilmunya telah membentur
kemampuan ilmu yang tidak mudah ditembusnya. Witantra
yang menjadi tegang juga mengalami tekanan orang yang
bernama Ki Dukut dan menyebut dirmya Rajawali
Penakluk itu, segera berusaha untuk menyesuaikan
ilmunya. Ia tidak dapat ingkar, bahwa lawannya adalah
benar-benar orang yang pilih tanding. Guru dari dua orang
Pangeran kakak beradik yang mumpuni.
Karena itulah, maka pertempuran di antara keduanya
elah menggetarkan padepokan kecil itu. Para pengikut Ki
Dukut dan para prajurit serta pengawal, apalagi para antrik
telah bergeser menjauhinya. Meskipun pertempuran di
seluruh halaman itu masih berlangsung, tetapi mereka
seolah-olah telah menjauhi arena pertempuran antara lua
kekuatan raksasa yang sulit dicari bandingnya itu.
Ki Dukut yang semula merasa tidak terlalu sulit untuk
mengakhiri pertempuran itu, ternyata menjadi semakin
panas ketika ilmunya selapis demi selapis dapat diimbangi
oleh lawannya. Bahkan ketika kemudian Ki Dukut telah
mengerahkan segenap ilmunya, ternyata bahwa lawannya
masih mampu mengimbanginya.
"Gila orang Singasari ini" geram Ki Dukut.
Namun Witantrapun harus mengerahkan kemampuan
iya. Ia tidak boleh lengah, karena Ki Dukut memiliki
kelampuan yang dapat meningkatkan getar geraknya,
sehingga orang itu seakan-akan tidak berjejak di atas tanah.
Tetapi Witantrapun memiliki ilmu yang luar biasa. Ilmu
yang berkembang pada dirinya sehingga sulit untuk
diimbangi dengan ilmu yang manapun juga. Hanya orangorang
mg memiliki tataran ilmu tertinggi sejalah yang akan
apat melawan ilmu Witantra yang dahsyat.
Dengan demikian, maka kedua orang itu seakan-akan
telah terpisah dari arena pertempuran dalam keseluruhan.
Keduanya saling menyerang, saling mendesak dengan
keuatan yang sulit dimengerti oleh para cantrik di
padepokan itu. Di tempat yang lain, beberapa orang telah tertarik
perhatian mereka melihat pertempuran yang dahsyat itu.
merekapun segera mengerti, bahwa yang bertempur itu
tentu pimpinan dari orang-orang yang menyerang
padepokan yang menyebut dirinya Rajawali Penakluk itu.
Tetapi baik Mahisa Agni, maupun Ki Wastu serta
pemimpin padepokan itu, tidak segera dapat meninggalkan
empat mereka untuk menyaksikan pertempuran yang
dahsyat itu, karena pertempuran masih menyala di halaman
adepokan itu. Para perampok dan penyamun yang melihat
ahwa Rajawali Penakluk itu telah terjun pula ke dalam
arena pertempuran, seakan-akan menjadi mabuk.
Merekapun tiba-tiba meningkatkan serangan-serangan
mereka den, kasar dan buas. Mereka berteriak-teriak tanpa
terkendali lagi. Para cantrik mulai dirayapi lagi oleh kengerian lihat
sikap orang-orang yang menyerang padepokan. Tetapi jika
mereka melihat para prajurit dan penga yang bertempur
dengan gigihnya, maka gairah mereka segera timbul
kembali. Mereka sadar, bahwa mereka adalah orang-orang
yang lebih berkepentingan untuk mempertahankan
padepokan itu daripada para prajurit dan pengawal.
Sementara itu, Mahisa Agni, Ki Wastu dan pemimpin
padepokan yang ingin segera menyelesaikan pertempui itu,
agar mereka berkesempatan untuk menyaksikan
pertempuran yang sengit antara Witantra dan Ki Dukut,
segera meningkatkan ilmu mereka. Meskipun mereka masih
nu batasi diri untuk melumpuhkan lawannya tanpa
membunuhnya, namun yang mereka lakukan telah cukup
mengagetkan hati para pengikut Ki Dukut.
Mahisa Agni yang bukan saja melindungi para cantrik
itu, bagaikan menjelajahi satu sisi daerah pertempuran itu.
Seakan-akan setiap ayunan tangan dan kakinya, ia telah
melemparkan satu orang pengikut Ki Dukut keluar arena
dengan luka yang parah Di bagian lain, Ki Wastu telah banyak membungkam
para perampok, penyamun dan pengikut-pengikut yang
kasar dari Ki Dukut itu. Sebenarnyalah, yang dilakukan oleh Mahisa Agni, Ki
Wastu dan pemimpin padepokan itu telah sangat
mempengaruhi pertempuran yang berlangsung di seputar
padepokan itu. Beberapa orang pengikut Ki Dukut yang
bergelar Rajawali itu telah terdesak sampai ke tempat yang
semakin jauh dari padepokan, sementara yang lain justru
terdorong kedinding. Dengan demikian, maka pertempuran itu telah
menyebar. Tidak dapat lagi ditarik batas antara kedua
pasukan yang sedang bertempur itu. Di halaman luar
padepokan itu telah berserak, lawan dan kawan dari kedua
belah pihak. Beberapa orang yang tinggal di dalam lingkungan
dinding padepokan, masih sempat menjenguk pertempuran
yang terjadi diluar dinding padepokan itu. Sejenak mereka
telah terpukau melihat arena yang menebar. Namun
merekapun kemudian melihat, betapa dua orang yang
memiliki kamampuan yang luar biasa telah terlibat dalam
pertempuran yang dahsyat.
Tetapi orang-orang yang mendapat perintah untuk tetap
tinggal di dalam itu, tidak dapat meninggalkan tugas
mereka. Beberapa orang cantrik dan prajurit serta pengawal
yang dianggap masih terlalu lemah untuk bertempur
diarena yang kasar dan buas.
Namun, akhirnya para pengikut Ki Dukut itupun
menjadi semakin cemas. Mereka mulai merasa terdesak dan
mengalami kesulitan untuk mempertahankan diri.
Tetapi karena pemimpin mereka masih bertempur
dengan sengitnya, maka merekapun masih tetap berusaha
untuk bertahan. Meskipun pertempuran itu sudah menebar
semakin luas, namun ternyata kekasaran dan keliaran para
perampok dan penyamun itu masih mampu membuat para
cantrik menjadi ngeri. Dalam pada itu, Ki Dukut Pakering masih bertempur
dengan garangnya melawan Witantra yang harus menjadi
sangat berhati-iiati Ki Dukut ternyata memiliki ilmu yang


Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

luar biasa. Ia mampu bergerak secepat tatit. Namun getar
tangannya seakan-akan memiliki pancaran kekuatan yang
tiada taranya. "Luar biasa" desis Witantra. Tetapi Witantrapun bukan
orang kebanyakan. Dalam keadaan yang gawat, maka
tangannya mampu melepaskan aji pamungkas, yang dapat
meremukkan bukit dan dapat memecahkan batu karang.
Dengan demikian, maka dua ilmu yang dahsyat itu benarbenar
telah mengguncangkan arena. Pepohonan bagaikan
dihembus angin prahara, sementara bebatuan telah
terlempar kesegenap penjuru.
Mahisa Agni yang masih belum berhasil menyelesaikan
tugasnya, karena jumlah lawan yang cukup banyak masih
saja berkeliaran diarena pertempuran. Namun daerah
pertempuran yang menebar itu seakan-akan telar
memperluas daerah yang harus dijelajahinya untuk
melindungi para cantrik dari kekasaran para perampok dan
penyamun itu. Dalam pada itu, apa yang terjadi diarena itu, ternyata
sempat pula diamati oleh Ki Dukut Pakering. Betapa
dendam dan kemarahan menghentak-hentak di dadanya,
namun ia tidak dapat mengingkari kenyataan, apa yang
telah terjadi di halaman luar padepokan itu.
Di dalam hati ia telah mengumpat-umpat, betapa ia
sendiri telah menjadi lengah. Justru orang-orang di dalam
dinding padepokan itulah yang telah keluar menyerang
pada saat-saat yang tidak diduganya. Dengan demikian,
maka pada benturan pertama, isi padepokan itu telah
berhasil mendesak orang-orangnya dan menjatuhkan
korban yang menentukan bagi pertempuran-pertempuran
berikutnya. Sambil bertempur, Ki Dukut sempat membuat
pertimbangan. Agaknya ia masih belum ingin mati atau
terhenti, sebelum ia berhasil melepaskan dendamnya atas
lawan bebuyutannya. Apalagi setelah muridnya yang
berhasil dipengaruhinya dan berdiri dipihaknya telah
terbunuh, sementara muridnya yang lain, bagi Ki Dukut,
ternyata telah berkhianat.
Sejenak Ki Dukut masih bertempur terus. Namun ia
sudah mulai membuat perhitungan-perhitungan lain. Ia
berusaha menggeser arena pertempuran itu semakin jauh
dari dinding padepokan, mendekati pategalan dan padang
perdu yang berada di sekitar padepokan itu.
Mula-mula Witantra sama sekali tidak menduga, apakah
yang akan dilakukan oleh Ki Dukut. Karena ia harus
memusatkan perlawanannya kepada orang yang memiliki
ilmu yang tinggi itu, maka ia tidak melihat kemungkinan
yang dapat dilakukan oleh lawannya. Bahkan Witan tra
sama sekali tidak menduga, bahwa orang yang berilmu
tinggi itu akan berbuat licik dan merendahkan harga
dirinya. Tetapi Ki Dukut tidak menghiraukan harga diri lagi. Yang
menjadi tujuannya adalah lepasnya dendam yang justru
semakin bertimbun di dalam hatinya.
"Aku tidak mau mati dalam timbunan dendam seperti
ini" geram Ki Dukut Pakering di dalam hatinya. Karena
itulah, maka ia telah menyusun satu kesempatan untuk
melepaskan diri dari arena pertempuran.
Adalah tidak diduga sama sekali oleh Witantra yang
masih menghargai lawannya sebagai seorang jantan yang
berilmu tinggi, bahwa tiba-tiba saja Ki Dukut Pakering itu
telah meneriakkan aba-aba yang melengking memenuhi
arena pertempuran. Bahkan orang-orang yang berada di
dalam lingkungan dinding padepokanpun dapat
mendengarnya. Karena itulah, maka sejenak kemudian, arena itupun
menjadi kisruh. Para pengikutnya tidak lagi memikirkan,
bagaimana sebaiknya yang mereka lakukan. Tetapi
merekapun segera mencoba untuk melepaskan diri dari
arena pertempuran yang sangat mendebarkan itu.
Ternyata suasana itulah yang memang dikehendaki oleh
Ki Dukut Pakering. Dalam keadaan yang kisruh dan tidak
menentu itulah, maka iapun telah meninggalkan lawannya
dan berbaur dalam suasana itu, Apalagi sejenak kemudian
mereka telah terbenam dalam ribunnya pepohonan di hutan
perdu dan pategalan. Jika saja yang melarikan diri itu bukan Ki Dukut
Pakering, maka Witantra dan apalagi bersama-sama dengan
Mahisa Agni dan Ki Wastu, tentu tidak akan mengalami
kesulitan untuk menangkapnya. Namun yang melarikan
diri itu adalah orang yang memiliki ilmu yang tinggi, yang
mumpuni dan berlindung dibalik suasana yang kisruh dan
diantara pepohonan pategalan dan perdu.
Dengan demikian maka Witantra merasa, bahwa tidak
akan ada gunanya untuk mengejarnya.
Namun dalam pada itu, yang dilakukan oleh Witantra,
Mahisa Agni, Ki Wastu dan pemimpin padepokan itu
adalah berusaha untuk menenangkan para cantrik yang
merasa telah memenangkan pertempuran itu. Mereka
menge jar para perampok dan penyamun pengikut Rajawali
Penakluk itu dengan senjata teracu. Bahkan kadang-kadang
mereka benar-benar telah mengayunkan senjata mereka
kearah lawannya yang sedang berusaha untuk melarikan
diri itu. Tetapi Mahisa Agni. Witantra, Ki Wastu dan Pemimpin
padepokan itupun menjadi cemas, bahwa apabila para
cantrik itu mengejar lawannya semakin jauh terpisah dari
kawan-kawannya, maka jika orang yang dikejarnya itu
kemudian berbalik dan melawannya, maka cantrik itu tentu
akan mengalami kesulitan.
Karena itulah, maka pemimpin padepokan itupun segera
berlari ke pintu gerbang padepokannya. Setelah pintu
gerbang itu terbuka, maka iapun segera memerintahkan
untuk memukul kentongan seperti yang biasa mereka
lakukan untuk mengumpulkan para cantrik.
Sejenak kemudian, maka suara kentongan itupun
bergema. Dengan demikian, para cantrik yang sudah
menebar tanpa perhitungan itupun segera menyadari
keadaannya. Merekapun kemudian bergegas untuk
berkumpul di halaman luar padepokannya.
Sementara itu, para prajurit, pengawal dan para cantrik
termasuk putut-pututnya telah berkumpul. Para prajurit dan
pengawal yang dengan sadar menghadapi keadaan terakhir,
telah berhasil menawan beberapa orang lawan. Selebihnya
mereka yang terluka parah dan tidak mampu lagi melarikan
diri akan menjadi tawanan pula. Bahkan akan menjadi
beban bagi padepokan kecil itu.
Selintas terbayang kembali peristiwa yang telah terjadi.
Disaat para prajurit dan pengawal membawa para tawanan
ke Kediri. Tiba-tiba saja mereka telah disergap oleh pasukan
yang dipimpin orang yang menyebut dirinya Rajawali
Penakluk. Tetapi para prajurit dan pengawal itu tidak akan dapat
mengambil kesimpulan, bahwa sebaiknya setiap orang yang
tertangkap akan dibinasakan saja untuk menghindari
persoalan yang pernah terjadi. Namun mereka harus
berpegangan kepada martabat kemanusiaan mereka dalam
hubungan mereka dengan sesama.
Karena itulah, maka sekali lagi padepokan itu dihuni
oleh beberapa orang yang dapat mereka tawan dalam
pertempuran yang terjadi diluar dinding padepokan itu.
Dalam keadaan terluka maupun yang sama sekali tidak
tergores seujung duripun oleh senjata lawan di medan
pertempuran itu. Demikianlah, maka para prajurit, pengawal dan para
cantrik segera membenahi padepokan yang baru saja
dibakar oleh api pertempuran itu. Pertempurah yang bagi
Ki Dukut dan para pengikutnya, telah sangat mengejutkan.
Yang tidak mereka sangka sama sekali telah terjadi. Justru
orang-orang dari dalam dinding padepokan, yang mereka
sangka sedang menggigil ketakutan itu, telah menyerang
mereka dengan tiba-tiba. Namun dalam pada itu, sekali lagi Ki Dukut Pakering
berhasil melepaskan diri. Pada jarak yang cukup jauh, ia
masih sempat berusaha mengumpulkan sisa orang-orangnya
yang sudah tekoyak dan tercerai berai.
"Kita akan kembali" berkata Ki Dukut "aku yakin,
mereka belum mengetahui tempat kita. Kita akan
melakukan segala macam usaha dalam waktu yang sangat
singkat" Beberapa orang pengikutnyapun segera dengan
tergesa-gesa kembali bersama Ki Dukut. Bahkan beberapa
orang yang tercerai berai telah langsung menuju ke
persembunyian mereka tanpa menghiraukan orang-orang
lain diantara mereka. "Orang-orang yang tertawan tentu dapat menunjukkan
persembunyian kita" berkata Ki Dukut Pakering yang
dikenal bergelar Rajawali Penakluk "karena itu, kita harus
segera mengambil langkah. Meskipun aku tahu, mereka
tidak akan dengan serta merta menyusul kita, karena
sebenarnya kekuatan merekapun tidak cukup besar untuk
melakukannya. Yang mereka lakukan sebenarnya adalah
sekedar mengejutkan kita, sehingga kita telah kehilangan
pengamatan diri" Pengikut tidak menjawab. Mereka masih dengan tergesagesa
kembali ke sarang mereka.
Tetapi seperti yang diperhitungkan oleh Ki Dukut,
meskipun orang-orang di padepokan itu berusaha untuk
mengetahui sarang orang yang menyebut dirinya Rajawali
Penakluk itu, namun merekapun tidak dapat dengan serta
merta menelusuri jejak lawan mereka. Karena merekapun
harus bertindak dengan hati-hati, dan tidak terjebak oleh
perhitungan yang salah seperti yang dilakukan oleh Ki
Dukut Pakering. Karena itu, maka ketika Ki Dukut yang bergelar
Rajawali Penakluk itu sampai ke sarangnya, maka ia masih
sempat memerintahkan orang-orangnya untuk bersiap-siap
memindahkan sarang mereka dengan segala isinya, ke
sarang gerombolan yang lain. Bahkan jika mungkin ke
tempat yang baru sama sekali.
Ada beberapa orang yang sebenarnya agak berkeberatan
dengan keputusan Rajawali Panakluk itu. Apalagi mereka
yang berasal dari gerombolan yang memiliki sarang dan
sebagian besar dari barang-barang yang ditimbun di tempat
itu. Jika barang-barang itu dipindahkan, mungkin barangbarang
itu akan lebur dengan milik gerombolan yang
semula berbeda sumbernya.
Tetapi Ki Dukut yang bergelar Rajawali Penakluk itupun
kemudian menjelaskan "Jika kita bertahan di tempat ini,
maka kita akan mengalami kesulitan. Seperti yang aku
katakan, bahwa orang-orang kita yang tertawan akan dapat
menunjukkan tempat kita. Mungkin setelah mereka berhasil
mengumpulkan kekuatan mereka, maka mereka akan
datang kemari. Jika mereka datang dengan pasukan yang
ada di padepokan itu beserta para cantrik, maka mereka
akan binasa di sini. Tetapi jika mereka sempat memanggil
beberapa orang prajurit dan pengawal dari Kediri dan
Singasari, maka kitalah yang akan binasa. Sementara milik
kita akan mereka rampas"
Orang-orang yang semula berkeberatan, akhirnya harus
menerimanya pula. Namun mereka berpendapat, bahwa
lebih baik mereka mencari tempat yang baru sama sekali.
"Jika kita hanya berpindah tempat dari sarang ini ke
sarang yang lain, maka kemungkinan besar, orang-orang itu
akan menelusuri jejak kita. Orang-orang yang mereka
tawan tentu akan menunjukkan satu demi satu tempattempat
yang mungkin kita pergunakan sebagai tempat
persembunyian. Karena itu, sebaiknya kita mencari tempat
yang baru sama sekali. Kita dapat Mempergunakan goa di
lereng bukit di tebing-tebing sungai, yang justru dekat
dengan air. Atau di tengah hutan yang lebat, sehingga jika
kita inginkan binatang buruan, kita tinggal duduk di muka
barak sambil menarik busur" berkata salah seorang dari
pengikutnya. Ki Dukut yang bergelar Rajawali Penakluk itupun
mengangguk-angguk. Sebenarnyalah bahwa iapun
mengerti, ada beberapa keberatan bagi salah satu
gerombolan yang telah menjadi pengikutnya untuk
menggabungkan milik mereka dengan milik gerombolan
yang semula terpisah itu.
"Baiklah" berkata Rajawali Penakluk "masih ada waktu
untuk mencari tempat. Aku kira kita mempunyai waktu
sekitar dua tiga hari. Orang-orang padepokan itu tentu akan
membenahi diri lebih dahulu. Baru kemudian, jika menurut
perhitungan mereka, mereka akan dapat mengatasi, mereka
akan datang kemari. Tetapi jika mereka tidak yakin untuk
melakukannya, maka barulah pada saat lain mereka akan
datang bersama orang-orang Kediri dan Singasari"
Orang-orangnyapun mengangguk-angguk. Mereka
mengerti sepenuhnya apa yang, dikatakan oleh Ki Dukut
yang bergelar Rajawali Penakluk itu. Namun seperti yang
dikatakan oleh KiDukut, mereka tidak perlu terlalu tergesagesa.
Di hari berikutnya, setelah orang-orangnya berkumpul
seluruhnya, termasuk mereka yang terluka tetapi sempat
melarikan diri, mulailah Ki Dukut membagi tugas.
Beberapa orang yang sama sekali tidak cidera di dalam
pertempuran yang baru saja terjadi, telah diperintahkannya
untuk men cari tempat yang penting bagi pusat
kekuasaannya di antara para perampok dan penyamun itu.
Mereka dipecah menjadi empat kelompok yang akan
berjalan ke arah empat mata angin.
"Aku beri kalian waktu empat hari perjalanan ber angkat
dan kembali" berkata Ki Dukut "dapat atau tidak dapat,
kalian harus kembali pada hari keempat. Dua hari kalian
berjalan mencari, dan dua hari kemudian perjalanan kalian
kembali. Jarak itu sudah cukup jauh dari tempat ini,
sementara menurut perhitunganku, selama empat hari,
masih belum terjadi sesuatu di tempat ini"
Meskipun demikian, ketika orang-orang itu telah
berangkat kearah empat mata angin dengan bekal
secukupnya, maka Ki Dukutpun telah memerintahkan


Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

penjagaan di segala arah pula.
"Kita harus mengawasi keadaan. Kita harus membagi
diri selama sehari semalam terus menerus. Mungkin orangorang
gila itu akan menyergap kita, seperti yang
dilakukannya tanpa kita duga-duga sebelumnya itu" berkata
Rajawali Penakluk itu kepada orang-orangnya.
Demikianlah, maka para pengikut Ki Dukut itu telah
membagi tugas dengan cepat. Mereka harus mengawasi
setiap arah disetiap saat, agar mereka tidak lagi dapat
disergap dengan tiba-tiba. Karena itu, maka para pengawas
itupun telah dilengkapi dengan alat dan tanda-tanda untuk
mengirimkan isyarat. Mereka membawa panah api atau
panah sendaren. Tetapi merekapun telah membawa
kentongan pula. Dalam pada itu, Ki Dukut sendiri menjadi semakin
berprihatin mengalami kegagalan yang langsung terjadi di
depan hidungnya. Kepercayaannya kepada para perampok
dan penyamunpun telah hampir lenyap sama sekali. Para
perampok yeng kasar itu ternyata tidak banyak dapat
membantunya. Mereka masih belum memiliki kemampuan
yang memadai, jika mereka berhadapan dengan prajurit
Singasari dan apalagi dengan para Senapatinya.
Prihatin dan dendam yang bercampur baur di dalam
dirinya, telah mendorongnya untuk mencari jalan lain.
Meskipun ia tidak melepaskan para perampok dan
penyamun itu, namun ia mulai memikirkan kemungkinankemungkinan
yang lain. Jika saja ia menempuh satu
perjalanan panjang, menemui orang-orang yang dikenalnya
meskipun dari golongan hitam sekalipun.
"Apa boleh buat" geramnya "dendamku tidak akan
dapat lenyap sebelum aku masih sempat merenunginya.
Dendam itu akan hilang bersama pecatnyanyawaku, atau
sasaran dendam itu sendiri"
Dalam pada itu, maka di padepokan kecil, yang telah
ditinggalkan oleh Ki Dukut dan pengikutnya, yang telah
mengalami sergapan yang tiba-tiba, sedang sibuk
membenahi keadaan padepokan itu. Ternyata bahwa
diantara para prajurit dan pengawal, ada juga yang terluka.
Bahkan terluka parah. Sementara para cantrikpun tidak
dapat, menghindarkan korban. Yang terluka parah dan
bahkan ada dua orang cantrik yang telah gugur selama
pertempuran itu. Yang ternyata jumlahnya jauh lebih
sedutit dari jumlah para perampok dan penyamun yang
dengan tiba-tiba telah disergap sebelum mereka bersiap
untuk melawan. Dengan demikian, maka peristiwanya bagaikan terulang
kembali. Mereka yang tidak cidera apapun juga, segera
tenggelam dalam kesibukan mengurus kawan-kawannya
yang terluka dan yang telah gugur.
Namun dalam pada itu, ternyata bahwa Ki Dukut
Pakering adalah orang yang memang sangat berbahaya. Ia
sama sekali tidak menghiraukan, apakah yang bakal terjadi
atas diri orang-orang yang telah dipergunakan olehnya.
Sementara itu, orang-orang yang telah dikirim oleh Ki
Dukut untuk mencari tempat persembunyian yang baru,
telah berusaha sejauh dapat mereka lakukan Yang pergi
kesebelan Barat, telah menemukan satu tempat yang bagus
sekali di lereng bukit, di tengah-tengah hutan. Pada lereng
itu terdapat dataran yang cukup luas bagi sebuah
padepokan kecil. Tempat itu akan dapat dibangun menjadi tempat
persembunyian Rajawali Penakluk. Bukan saja untuk
sementara, tetapi untuk waktu yang panjang.
Untuk memenuhi waktu yang diberikan, orang itu masih
melanjutkan sisa waktunya yang tinggal sedikit. Tetapi ia
tidak menemukan tempat yang lebih baik dari tempat yang
telah ditemukannya. "Tempat itu cukup terlindung" katanya di dalam hati
"namun cukup menyenangkan. Di lereng bukit itu dapat
dibuat tangga untuk memanjat sampai ke dataran itu.
Namun dapat juga dibuat tangga untuk turun dari atas bukit
itu" Dalam pada itu, pada saatnya mereka kembali, maka
merekapun kembali dengan keyakinan, bahwa tempat yang
diketemukannya adalah tempat yang paling baik.
Sementara itu, yang pergi ke Selatan, telah meneruskan
sebuah bukit kecil. Tidak mudah untuk memanjat.
Dibeberapa bagian terdapat lereng-lereng terjal. Namun
dengan sedikit ketekunan, akan dapat dibuat tangga yang
bersusun beberapa tingkat mendaki sampai kepuncak.
Dipuncak bukit itu terdapat sebuah dataran yang tidak
terlalu luas, yang nampaknya akan dapat ditanami dengan
beberapa jenis pepohonan. Yang lebih meyakinkan bagi
mereka adalah sebuah mata air yang cukup besar dan
jernih. "Rajawali Penakluk itu tentu akan berkenan di hati"
berkata orang itu. Karena itulah, maka merekapun dengan tergesa-gesa
telah kembali. Mereka berpendapat, bahwa semakin cepat
mereka meninggalkan sarang mereka yang lama, akan
menjadi semakin baik. Yang pergi kearah Timur, telah menemukan sebuah
belumbang dicelah-celah lereng yang terjal. Memang agak
sulit untuk mencapai tempat itu. Tetapi tempat yang agak.
tersembunyi itu akan memberikan perlindungan yang
mapan. Untuk mencapai tempat itu, seolah-olah telah
dibuat dua buah pintu ke dua arah yang berlawanan. Dalam
keadaan bahaya, maka kedua pintu itu akan dapat ditutup.
Tetapi jika perlu,, maka satu pintu akan dapat dijadidkan
pintu rahasia untuk melarikan diri apabila tidak ada jalan
lain yang dapat ditempuh.
"Tidak ada tempat yang lebih tenang dan aman dari
tempat ini" berkata orang-orang yang menemukannya
"sementara itu belumbang itu akan memberikan lauk yang
tidak akan ada habisnya"
Sementara mereka menghabiskan waktunya di tempat
itu, ternyata mereka sempat menangkap ikan belumbang
yang tersembunyi itu. Belumbang yang tidak pernah
dijamah oleh tangan manusia. Namun dalam pada itu, di
belumbang itu terdapat ikan yang tidak terhitung jumlahnya
lari segala macam jenis ikan air tawar.
"Seluruh permukaan bumi, tidak ada pilihan yang akan
melampaui tempat ini" berkata orang-orang yang
nenemukannya itu diantara mereka.
Karena itu, maka pada saatnya mereka telah kembali
dengan bangga, karena mereka menganggap, bahwa pilihan
Rajawali Penakluk tentu akan jatuh kepada penemuan
mereka. Kelompok yang keempat adalah mereka yang pergi
kearah Utara. Semula kelompok ini merasa ragu-ragu,
apakah mereka akan dapat menemukan tempat yang baik,
karena mereka berjalan di sebuah padang rumput. Sejenak
kemudian mereka memasuki hutan perdu yang kering,
sehingga tempat itu tidak mungkin akan dapat dijadikan
persembunyian yang baik. Namun akhirnya, mereka sampai kesebuah sungai,
sungai yang nampaknya tidak terlampau besar, tetapi juga
tidak terlampau kecil. "Marilah, kita selusuri sungai ini" berkata pemimpin
kelompok itu. Adalah diluar dugaan mereka, bahwa akhirnya meeka
menemukan sebuah goa di lereng sebuah bukit di pinggir
sungai itu. Di muka goa itu terdapat sebuah halaman yang
ukup luas. Penemuan itu ternyata telah membuat mereka
berbangga. Mereka yakin, tidak ada tempat yang lebih baik
ari penemuan mereka itu. Tempat yang tersembunyi,
memadai dan di hadapannya air mengalir tanpa kering di
musim kemarau. Demikianlah maka orang-orang yang bertugas untuk
menemukan tempat terbaik itu, berusaha kembali tepat
pada waktu yang telah disediakan oleh pimpinan mereka,
Rajawali Penakluk yang bagi mereka merupakan orang
ajaib yang tidak ada bandingnya.
Jika gada suatu saat Rajawali Penakluk itu harus
menghindar dari medan pertempuran, itu karena ia
mempunyai pertimbangan-pertimbangan tersendiri yang
tidak dapat dimengerti oleh pengikut-pengikutnya.
Namun, ketika orang-orang yang merasa dirinya berjasa
itu kembali ke tempat mereka yang akan mereka tinggalkan,
mereka menjadi kecewa. Dari orang yang dianggap tertua
diantara mereka, orang-orang itu mendapat keterangan,
bahwa Rajawali Penakluk itu telah pergi meninggalkan
mereka. "Jangan bergurau" berkata salah seorang dari mereka
yang menemukan lembah dengan belumbang yang panuh
dengan ikan air tawar. "Aku tidak bergurau. Sebenarnyalah bahwa Rajawali
Penakluk sudah pergi" jawab orang tertua itu.
"Gila. Apakah maksudnya" Apakah ia tidak percaya lagi
kepada kami dan mencari tempat itu sendiri?" bertanya
yang lain. "Tidak" jawab orang tertua itu "ia sama sekali tidak
berpesan tentang tempat. Bahkan ia berkata, agar kita
menentukan tempat itu menurut pendapat dan
pertimbangan kita bersama"
"Jadi apa maksudnya?" bertanya yang lain tidak sabar.
"Ia telah pergi untuk waktu yang tidak ditentukan.
Bukan karena ia takut menghadapi pasukan Singasari atau
Kediri, tetapi ia merasa wajib untuk melakukan sesuatu
karena dendamnya masih belum dapat ditumpahkannya"
jawab orang tertua itu. "Aku menjadi bingung" potong salah seorang dari
mereka yang menemukan goa di lereng pinggir sungai itu
"apa maksudnya sebenarnya"
"Rajawali Penakluk nampak menjadi sangat gelisah,
Tiba-tiba saja ia memanggil kami dan berpesan, agar kami
menentukan tempat itu tanpa menunggunya" jawab orang
tertua itu. "Jika ia kembali?" bertanya yang lain.
"Ia akan mencarinya. Dan akupun yakin, hal itu tidak
akan merupakan kesulitan baginya" jawab, orang tertua itu.
Sejenak suasana menjadi tegang. Namun tiba-tiba orang
yang menganggap sebuah lereng yang dilindungi oleh hutan
itu tempat terbaik, berkata lantang "Kita pindahkan
semuanya ke tempat yang telah aku ketemukan. Tempat
yang tidak ada duanya didunia ini"
"Omong kosong" berkata seorang yang lain "aku
menemukan sebuah bukit yang paling pantas kita
pergunakan sebagai padepokan kita. Bukit yang mempunyai
sebuah dataran yang rata dan subur, karena di atas bukit itu
terdapat sebuah mata air"
Tetapi yang lain memotong kata-kata itu. Mereka
berusaha untuk menjelaskan penemuan mereka masingmasing.
Mereka menganggap bahwa yang mereka
ketemukan masing-masing adalah tempat yang paling baik
bagi mereka. Karena itu, maka mereka tidak segera menemukan
kesepakatan. Masing-masing berusaha bertahan. Sehingga
akhirnya seseorang yang bertubuh tinggi, kekar dan
berwajah kasar berteriak "Persetan dengan semuanya itu.
Aku akan kembali kekelompokku semula. Aku akan
melakukan pekerjaanku seperti yang selalu aku lakukan.
Aku tidak peduli lagi dengan tempat-tempat yang tidak
dikenal itu. Tetapi, karena aku sudah berada di tempat ini,
maka aku akan pergi dengan membawa bekal secukupnya"
"Persetan" seorang bertubuh tinggi dan berkumis lebat
menyahut "bekal apa yang dapat kau bawa" Yang ada disinl
adalah milik kelompok kami. Kalian datang untuk
mengikuti perintah Rajawali Penakluk. Bukan untuk
mendapat warisan dari kelompok kami"
"Semua yang ada disini harus dipindahkan" tiba-tiba
seorang bertubuh kecil berteriak melengking "kalian jangan
gila. Semuanya harus dibawa kesuatu tempat yang tidak
dikenal, karena semua yang ada disini akan dapat dirampas
oleh orang-orang Singasari dan orang-orang Kediri jika
pada suatu saat mereka datang kemari"
"Biarlah kami sendiri yang memindahkannya" geram
orang bertubuh tinggi itu "Persetan. Persetan. Kami akan
kembali ke tempat kami. Tetapi barang-barang ini lebih baik
kita bagi" teriak orang bertubuh gemuk "apapun yang
kalian katakan, kami sudah berada disini"
Tetapi orang bertubuh tinggi itupun segera meloncat
memisahkan diri. Sementara orang-orang yang sekelompok
dengan orang itupun segera berloncatan pula. Karena
tempat itu adalah tempat mereka, maka jumlah merekalah
yang terbanyak. Tetapi agaknya orang-orang yang berada di
tempat itu, yang terdiri dari beberapa kelompok itu,
jumlahnya masih lebih banyak lagi apabila mereka akan
bergabung. Namun dalam pada itu, orang tertua itupun berdiri pula
sambil berkata "Kalian sudah gila. Kalian sudah dijangkiti
oleh kegilaan kalian yang lama. He, apa kalian mengira
bahwa Rajawali Penakluk itu tidak akan kembali sama
sekali" Jika ia mendengar apa yang telah kalian lakukan
disini, maka ia tentu akan marah. Meskipun kalian merasa,
bahwa daam satu kelompok kalian akan dapat
melawannya, tetapi kalian harus memikirkan, apakah
jadinya, jika kalian seorang demi seorang akan mati tanpa
diketahui sebabnya, Kapan dan dimana. Karena Rajawali
itu akan dapat berbuat sesuatu diluar kemampuan nalar
kita" Kata-kata orang tertua itu ternyata telah menyentuh
perasaan orang-orang kasar itu. Bagaimanapun juga mereka
masih juga dijalari oleh perasaan takut dan ngeri. Mereka
mengakui, bahwa Rajawali Penakluk memang orang yang
luar biasa. Ia dapat berbuat sesuatu yang sama sekali tidak
pernah mereka bayangkan. Karena itu, maka oreng bertubuh tinggi itupun bertanya
"Lalu apa yang sebaiknya kita lakukan"


Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Seperti yang dipesankan oleh Rajawali Penakluk itu"
"Berpindah tempat?" bertanya orang yang bertubuh
gemuk. "Kita akan memilih salah satu dari keempat tempat yang
nampaknya sama-sama baik. Masing-masing mempunyai
kelebihan dan kekurangannya" jawab orang tertua itu.
"Jadi, yang manakah yang akan kita pilih" bertanya
orang bertubuh tinggi. Orang tertua itu termangu-mangu sejenak. Namun ke
mudian katanya "Kita akan membicarakan bersama"
Tetapi karena kita masing-masing belum melihatnya,
kecuali yang menemukannya, maka memang sulit bagi kita
untuk membuat perbandingan. Yang sudah melihatpun,
baru melihat satu dari yang empat"
"Kau sajalah yang menentukan" berkata seorang yang
bertubuh tinggi kekar dan berwajah kasar.
"Ya, kau sajalah" sahut yeng bertubuh tinggi. Beberapa
orengpun sepakat untuk memberi kesempatan kepada orang
itu untuk memilih tempat. Tetapi orang itupun kemudian
berkata "Sulit bagiku untuk memilih. Marilah, kita akan
mengadakan pilihan sesuai dengan keinginan kalian. Aku
akan menyebut satu demi satu tempat yang sudah kita
dengar sesuai dengan laporan mereka yang
menemukannya. Kalianlah yeng akan memilih. Yang
berkenan di hati kalian atau sebagian dari kalian, maka
orang itu harus menyatakannya. Kita akan menghitung.
Jumlah yang paling banyaklah yang akan kita taati. Dengan
demikian kita tidak akan saling menyalahkan apabila
ternyata pilihan itu salah. Tetapi satu hal yeng harus kita
lakukan, kita harus meninggalkan tempat ini"
Orang-orang yang berkumpul itu mengangguk-angguk.
Mereka semuanya belum melihat tempat yang akan mereka
bicarakan. Karena itu, semuanya hanya berdasarkan pada
bayangan dan angan-angan, sesuai dengan pendengaran
mereka dari penjelasan masing-masing kelompok yang
menemukan tempat-tempat itu.
Sejenak kemudian, orang tertua itu sudah mulai.
Disebutnya satu demi satu. Dan dihitungnya jumlah orang
yang menyatakan perasaannya dan tanggapannya atas
tempat-tempat yang disebutnya.
Setelah semuanya menyatakan pendapatnya, dan dari
hasil pernyataan itu, maka orang tertua itu berhasil
menentukan tempat ke mana mereka harus pindah.
"Kita akan memindahkan sarang ini ke sebuan lembah
yang diapit oleh lereng yang tinggi, yang hanya mempunyai
dua pintu di ujung dan ujung. Tetapi kita akan mempunyai
sebuah belumbang yang akan sangat penting artinya. Bukan
karena ikan tawarnya, tetapi air itu agaknya memang tidak
akan dapat dipisahkan dari kehidupan kita"
Demikianlah, maka telah menjadi Keputusan mereka,
bahwa sarang mereka akan mereka pindahkan ke tempat
yang baru, yang terlindung dari kemungkinan pelacakan
jejak oleh para prajurit Singasari atau oleh para pengawal di
Kediri. Tetapi ternyata bahwa tidak semua orang akan ikut serta
menempati tempat tinggal mereka yang baru. Yang
terutama akan tinggal di tempat itu adalah kelompok yang
berada di sarang mereka yang mungkin sekali akan menjadi
pusat perhatian para prajurit dan pengawal, karena untuk
terakhir kalinya Rajawali Penakluk berada di tempat itu,
dan mempergunakan tempat itu sebagai tempat untuk
memberikan perintah terakhir dalam perlawanannya
terhadap prajurit Singasari dan para pengawal Kediri.
"Kami akan kembali ke dalam kelompok kemi" berkata
beberapa orang di antara mereka.
"Kami datang bersama banyak orang. Tetapi kami akan
kembali dalam jumlah yang susut hampir separo" berkata
yang lain. "Tetapi kalian tidak akan dapat memisahkan diri"
berkata orang tertua "pada satu saat Rajawali Penakluk itu
akan datang. Mungkin ia akan memerlukan kalian,
seningga kalian akan dipanggil. Mungkin kalian, tetapi
mung kin orang-orang baru dari kelompok kalian masingmasing"
Tidak ada yang akan dapat ingkar. Semua orang hanya
dapat mengangguk-angguk kecil.
Demikianlah, maka pada satu malam yang ditentukan,
seisi sarang yang sebenarnya sudah cukup tersembunyi itu
telah berpindah tempat. Mereka membawa apa saja yag ada
di dalam simpanan mereka. Hasil dalam malam-malam
perampokan dan saat-saat mereka menyamun di bulakbulak
panjang. Namun setulah semuanya itu disimpan dalam tempat
mereka yang baru. dalam barak-barak yang mereka dirikan
dengan tergesa-gesa, maka sebagian dari orang-orang itu
telah kembali ke kelompok masing-masing.
"Jika Rajawali Penakluk datang kepada kelompok kalian
masing-masing, maka kalian akan dapat menunjukkan, di
mana kami menunggu" berkata orang tertua.
"Tetapi mungkin pula pada suatu saat, sarang kamilah
yang akan didatangi oleh prajurit-prajurit Singasari" berkata
orang berwajah kasar dan bertubuh tinggi tegap.
"Kemungkinan itu memang ada, tetapi kecil sekali.
Mungkin kawanmu yang tertangkap akan dipaksa untuk
menyebut tempatnya. Tetapi aku kira perhatian utama
adalah tempat tinggal Rajawali Penakluk itu sendiri" jawab
orang tertua. Orang berwajah kasar itu mengangguk-angguk. Namun
orang tertua itu berpesan "Meskipun demikian, kalian
jangan meninggalkan kewaspadaan"
Demikianlah, orang-orang yang berasal dari kelompokkelompok
lain telah kembali. Namun mereka masih tetap
menunggu kedatangan Rajawali Penakluk.
Dalam pada itu, di padepokan kecil yang baru saja
berhasil mengusir orang-orang yang mengepung padepokan
mereka, masih saja selalu sibuk dengan orang-orang mereka
yang terluka. Suasana suram masih meliputi padepokan itu,
karena terpaksa melepaskan beberapa orang cantrik yang
tidak dapat tertolong lagi. Sementara itu, mereka masih
harus mengurus orang-orang yang dapat mereka tangkap.
Tetapi juga mereka yang tidak dapat lagi meninggalkan
medan karena luka-luka yang parah.
Ada semacam dendam di hati para cantrik. Jika mereka
harus melepaskan dua tiga orang kawan mereka yang
gugur, alangkah pedih hati mereka, bahwa mereka harus
mengobati lawan mereka yang luka parah.
"Kenapa mereka tidak dibiarkan saja mati seperti kawankawanku
itu" berkata para cantrik di dalam hatinya.
Namun merekapun mendapat ajaran dari pemimpin
padepokan mereka, bahwa tidak seharusnya mereka dengan
sengaja membiarkannyawa seseqrang hilang selagi masih
ada kesempatan untuk menolongnya, siapapun mereka
"Peperangan adalah salah satu ujud betapa manusia ini
mempunyai tabiat aneh" berkata pemimpin padepokan itu.
Karena itu, maka para cantrik itupun telah berbuat
seperti yang diajarkan oleh pemimpin padepokan mereka.
Betapa anehnya perasaan mereka, namun mereka berusaha
untuk berbuat sebaik-baiknya atas orang-orang yang terluka
dan para tawanan dalam keseluruhan.
Namun dalam pada itu, Mahisa Agni, Witantra dan Ki
Wastu telah bersepakat untuk tidak dengan tergesa-gesa
meninggalkan padepokan itu. Masih banyak kemungkinan
dapat terjadi. Dendam yang menyala di hati Rajawali
Penakluk, yang ternyata adalah Ki Dukut Pakering itu tentu
bagaikan api yang disiram minyak. Kegagalan-kegagalan
yang dialaminya rasa-rasanya tidak tertanggungkan lagi.
Karena itu, maka Mahisa Agni, Witantra dan Ki Wastu
masih merasa wajib untuk melindungi padepokan kecil itu.
Namun dalam pada itu, terhadap orang-orang yang
dapat ditawannya Mahisa Agni telah berhasil mengetahui
dimanakah sarang orang yang menyebut dirinya Rajawali
Penakluk itu. Dari mereka yang tertawan Mahisa Agni
mendapat gambaran, bagaimana Ra|awali Penakluk itu
mendapatkan banyak pengikut. Namun yang ternyata tidak
dapat memenuhi harapannya. Orang-orang yang di
angkatnya dari daerah hitam itu tidak berhasil dibentuk
untuk memenuhi keinginannya. Adalah justru karena
mereka harus berhadapan dengan beberapa orang prajurit
Singasari dan Kediri. Pada suatu saat, kita akan mencarinya" berkata Mahisa
Agni. "Kita harus membuat perhitungan yang mapan" berkata
Witantra "kita sudah mengenal, bahwa orang yang semula
mempunyai nama yang agung itu. kini telah berubah sama
sekali, la tidak lebih dari seorang yang licik dan tidak
mempunyai harga diri"
Mahisa Agni mengangguk-angguk. Dengan nada dalam
ia berkata "Orang tua itu hampir menjadi putus asa. Itulah
sebabnya, maka perubahan-perubahan itu terjadi demikian
cepat pada dirinya" "Ia akan menjadi orang yang sangat berbahaya" desis Ki
Wastu. "Benar" sahut Witantra "dalam keputusasaan, ia akan
dapat berbuat apa saja, yang kadang-kadang tidak dapat
dimengertinya sendiri"
"Tetapi untuk beberapa saat, ia tentu tidak akan bergerak
lagi" berkata Ki Wastu "ia sudah kehilangan banyak
pengikutnya. Ia memerlukan waktu untuk membentuk satu
pasukan yang dianggapnya cukup kuat"
Mahisa Agni mengangguk-angguk. Tetapi ia kemudian
bergumam "Mungkin ia akan berbuat demikian. Tetapi
selama ia menyiapkan satu pasukan yang cukup kuat
menurut perhitungannya, maka ia dapat berbuat apa saja
diantara lingkungan hidup yang kemudian dibencinya"
Witantra dan Ki Wastu mengangguk-angguk. Bagi
mereka sendiri, mungkin Ki Dukut yang putus asa itu tidak
akan berbahaya. Mereka masing-masing akan dapat
menolong diri mereka sendiri, jika mereka pada satu saat
bertemu dengan Ki Dukut dimanapun. Tetapi ada
lingkungan lain yang akan dapat menjadi sasaran
dendamnya, meskipun lingkungan itu sama sekali tidak
mengerti ujung-dan pangkalnya.
"Orang itu harus dapat dibatasi geraknya" desis Mahisa
Agni tiba-tiba. "Lebih baik jika kita dapat menangkapnya" sahut Ki
Wastu. "Sulit sekali" sahut Witantra "betapapun orang itu
kehilangan harga dirinya, maka untuk menangkapnya tentu
akan mengalami kesulitan. Orang itu tentu akan memilih
melarikan diri atau mati, daripada harus tertangkap hiduphidup"
"Apaboleh buat" tiba-tiba saja Ki Wastu berdesis lambat.
Mahisa Agni dan Witantra menarik nafas dalam-lalam.
Mereka mengerti arti kata-kata itu. Memang tidak da
pilihan lain. Apalagi bagi Ki Wastu yang tentu saja nasih
terasa betapa pedihnya peristiwa yang menimpa anak
perempuannya, justru karena sikap Ki Dukut Pakering.
Hampir saja anak dan cucunya menjadi korban dengki dan
ketamakannya. Nampaknya sikap itulah yang akan diambil menghadapi
Ki Dukut Pakering. Perburuan di padang yang sangat luas
dan samar akan segera dilanjutkan, meskipun tidak dalam
waktu yang terlalu pendek, karena rasa-rasanya nasih belum
sampai hati meninggalkan padepokan yang nenjadi sasaran
Ki Dukut Pakering yang bergelar Rajawali Penakluk itu.
Karena itulah, selain untuk melindungi langsung, maka
Mahisa Agnipun memerintahkan para prajurit untuk
memberikan latihan oiah kanuragan kepada para cantrik.
Tetapi Mahisa Agni tidak dapat berada untuk waktu
yang tidak terbatas di padepokan itu. Iapun harus berbuat
sesuatu dalam perburuan yang harus dilakukannya.
Karena itu, maka Mahisa Agnipun segera mengatur diri.
Ia harus segera menghubungi Pangeran Kuda Padmadata di
Kediri agar rencana perburuan itu segera dapat dilanjutkan.
Akhirnya Mahisa Agni memutuskan untuk pergi ke
Kediri bersama Witantra dan tidak lebih dari dua orang
pengawal. Mereka harus dapat berhubungan dengan orang
yang telah mendahului mereka ke Kediri. Segalanya akan
diatur kemudian apabila Mahisa Agni telah bertemu dengan
Pangeran Kuda Padmadata. Mahisa Agni tidak menunggu lebih lama. Meskipun
kemungkinan yang pahit dapat terjadi di perjalanan, namun
tidak ada pilihan lain yang dapat dilakukannya. Sementara
Ki Wastu akan tetap berada di padepokan itu bersama
beberapa orang prajurit dan Pengawal.
"Menurut perhitunganku, satu-satunya orang orang yang
harus diperhitungkan adalah Ki Dukut Pakering itu seorang
diri saja. Karena itu, kehadiran Ki Wastu di padepokan itu.
akan dapat akan dapat melawan Ki Dukut pakering, apabila
orang itu akan datang kembali.
Demikianlah, maka Mahisa Agni dan Witantra pada hari
yang ditentukan telah meninggalkan padepokan itu. Mereka
dengan laju berkuda menuju ke Kediri. Bagaimanapun juga,
mereka harus bersiap menghadapi segala kemungkinan
yang dapat terjadi di sepanjang jalan.
Namun ternyata bahwa perjalanan mereka sama sekali
tidak terganggu. Mereka sampai di Kediri dengan selamat.
Ternyata bahwa di Kediri, Pangeran Kuda
Padmadatapun telah menyiapkan sepasukan pengawal.
Tidak terlalu banyak, tetapi mereka adalah orang-orang
pilihan yang akan dilibatkan dalam perburuan di padang
yang sangati luas. "Ayah masih akan ikut serta" berkata Mahisa Bungalan
kepada Mahisa Agni. "Baiklah, Bagaimana dengan adik-adikmu?" bertanya
Mahisa Agni. "Mereka tidak mau ditinggalkan. Sebenarnya ayah ingin
mengantar mereka kembali ke Singasari. Tetapi mereka
lebih senang ikut dalam perburuan ini" jawab Mahisa
Bungalan yang seolah-olah merasa tidak sabar lagi.
Ketika Mahisa Agni bertemu dengan Mahendra yang
masih sempat mengurusi barang-barang dagangannya di


Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kediri, maka katanya Kau masih sempat mempergunakan
setiap waktu yang bagimu sangat berharga"
Mahendra tertawa. Katanya "Aku tidak dapat duduk
terkantuk-kantuk saja di Kediri. Aku mempunyai beberapa
orang yang dapat bekerja bersama dengan aku disini.
Hubungan kami sudah lama. jika aku datang ke Kediri
dengan jenis-jenis batu akik dan wesi aji, maka orang-orang
itulah yang aku hubungi mula-mula.
"Itu adalah ujud dari seorang pedagang yang sebenarnya
desis Mahisa Bungalan. Mahisa Agnipun tersenyum. Sementara Mahendra berkata
"Aku memang sudah terbiasa mempergunakan setiap waktu
yang tertuang. Ah, apakah salahnya jika aku memanfaatkan
waktu yang berlebihan disini?"
Mahisa Agnipun menjawab "Tentu tidak ada salahnya.
Agaknya Mahisa Bungalan sama sekali tidak mewarisi sifatsifat
seorang pedagang" "Ya" jawab Mahendra "mudah-mudahan adik-adiknya
kelak dapat membantu aku"
Mahisa Bungalan sama sekali tidak menyahut. Ia tidak
tertarik untuk berbicara tentang jual beli batu akik dan wesi
aji. Ia lebih tertarik berbicara tentang Ki Dukut Pakering
yang hileng dari pengamatan mereka. Yang mungkin telah
keluar dari medan yang diduga sebelumnya oleh mereka
yang memburunya. Demikianlah, pada akhirnya Mahisa Agni, Witantra,
Mahendra telah berbicara dengan Mahisa Bungalan dan
pangeran Kuda Padmadata tentang perburuan yang akan
mereka teruskan. Mereka bersepakat untuk bertemu lebih
dahulu dengan Ki Wastu dan para prajurit serta pengawal
yang mereka tinggalkan. Mereka akan mempergunakan
segala macam petunjuk dan keterangan dari orang-orang
yang dapat mereka tawan untuk mencari jejak Ki Dukut
Pakering yang bergelar Rajawali Penakluk itu.
Seperti yang dikatakan oleh Mahisa Bungalan, ternyata
kedua adiknya tidak mau ketinggalan. Mereka telah ikut
pula bersama ayahnya kembali ke padepokan kecil yang
menjadi sasaran pertama dari serangan Ki Dukut Pakering.
Dari sanalah perburuan itu akan diatur lebih jauh.
Kehadiran kembali Pangeran Kuda Padmadata telah
memberikan kegembiraan bagi para prajurit dan pengawal.
Mereka merasa kawan-kawan mereka lebih banyak
sehingga mereka akan dapat bergantian mengawasi orangorang
yang tertawan. Sebenarnya Mahisa Bungalan rasa-rasanya sudah tidak
sabar lagi. Ialah yang bergerak lebih, cepat dari orang-orang
yang dianggapnya sudah terlalu lamban karena umur
mereka yang semakin tua. Kepada para tawanan Mahisa Bungalan mendapat
keterengan dimana Ki Dukut bersembunyi dan mengatur
pasukannya. "Besok aku akan pergi" berkata Mahisa Bungalan.
Orang-orang yang dianggapnya terlalu tua dan lamban
itu tidak dapat mencegah. Bersama dengan Pangeran Kuda
Padmadata ia telah menyiapkan pasukannya untuk pergi ke
tempat persembunyian Ki Dukut Pakering.
"Jangan hanya berdua" berkata Witantra, yang
kemudian menyatakan diri untuk ikut bersama kedua anakanak
muda yang ingin dengan segera menemukan tempat
Ki Dukut mengatur pasukannya.
Ketika matahari terbit dipagi hari berikutnya, maka
Mahisa Bungalan dan Pangeran Kuda Padmadata telah
bersiap untuk berangkat. Diantara mereka terdapat
Witantra yang tidak sampai hati melepas keduanya
menghadapi Ki Dukut. Mahisa Agni hanya dapat menarik nafas dalam-dalam.
Mahendrapun tidak akan dapat menundanya. Sehingga
karena itu, maka Mahisa Agni, Mahendra, Ki Wastu dan
kedua adik Mahisa Bungalan itu melepas pasukan itu
sampai kedepan regol padepokan. Pemimpin padepokan itu
bersama para putut dan cantrikpun mengantar mereka
sampai diluar regol. "Mudah-mudahan mereka berhasil" desis pemimpin
padepokan itu. Dengan demikian, maka ia tidak akan selalu
dibayangi oleh kemungkinan-kemungkinan yang pahit jika
Ki Dukut datang, kepada mereka.
Mahisa Bungalan dan Pangeran Kuda Padmadata yang
tidak sabar lagi itupun langsung membawa pasukannya
sesuai dengan petunjuk orang-orang yang telah tertawan.
Diantara pasukan itu terdapat dua orang dari mereka.
Orang itu harus menunjukkan, dimanakah tempat Ki Dukut
bersembunyi. "Jangan mencoba mengelabui kami" berkata Mahisa
Bungalan kepada kedua orang itu.
Kedua orang itu tidak menjawab. Namun mereka selalu
dibayangi oleh kecemasan. Mereka tidak tahu, apa yang
akan terjadi setelah pasukan itu sampai ke tempat Ki Dukut
yang mereka kenal bergelar Rajawali Penakluk itu tinggal.
"Pasukan Rajawali Penakluk itupun cukup banyak"
berkata orang-orang itu di dalam hatinya. Tetapi mereka
pun mengakui, bahwa para prajurit itu memiliki
kemampuan yang lebih tinggi dari kawan-kawannya.
Meskipun kawan-kawannya berjumlah lebih banyak,
namun agaknya jnereka tidak akan dapat melawan
sepasukan prajurit dan pengawal yang dipimpin langsung
oleh Pangeran Kuda Padmadata itu.
"Apakah yang aku lakukan ini bukan pengkhianatan"
pertanyaan itu timbul pula di hati orang-orang yang
tertawan itu. Namun ternyata mereka memilih untuk
melakukan perintah para prajurit daripada mereka harus
mengalami perlakuan yang mendebarkan jantung.
Dalam pada itu, perjalanan pasukan itu semakin lama
menjadi semakin dekat. Mereka beristirahat sejenak ketika
Bara Maharani 14 Pembunuhan Atas Roger Ackroyd The Murder Of Roger Ackroyd Karya Agatha Christie Api Di Bukit Menoreh 12
^