Pencarian

Panasnya Bunga Mekar 19

Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja Bagian 19


"Hanya mereka yang mampu berpikir" jawab Ki Dukut
"aku sudah mencoba berhubungan dengan beberapa
padepokan. Ternyata mereka lebih senang tidur mendekur
seperti para bangsawan"
Macan Wahan termangu-mangu sejenak. Namun
kemudian iapun tertawa sambil berkata "Kau nampaknya
tidak berhasil mempengaruhi beberapa orang pemimpin
padepokan. He, bukankah pendengaranku tidak salah" Kau
pernah berusaha melakukannya sebelum kau datang
kemari?" "Ya. Aku telah menghubungi beberapa orang pemimpin
padepokan untuk memulai dengan rencana besarku
sebelum orang-orang Kediri membersihkan para perampok
yang menurut pendengaranku dipimpin oleh orang yang
menyebut dirinya Rajawali Penakluk itu" berkata Ki Dukut
kemudian "tetapi aku gagal, karena tidak ada keberanian
sama sekali diantara pemimpin padepokan yang berjiwa
kerdil itu" "Kaulah yang bodoh" berkata Macan Wahan sambil
tertawa "siapa yang telah kau datangi" Dan kenapa kau
tidak lebih dahulu datang kepadaku?"
"Aku masih memilih. Aku ingin bekerja bersama dengan
pemimpin padepokan yang tidak berhaluan hitam seperti
kau. Tetapi ternyata aku tidak mendapatkan apa-apa"
berkata Ki Dukut Pakering.
Macan Wahan menegang sejenak. Namun iapun ke,
mudian tertawa. Katanya "Sekarang kau datang juga kei
padaku. He, apakah kau baru melihat, bahwa kekuasaan
ilmuku memiliki banyak kelebihan dari orang yang
mengatakan dirinya bersumber pada ilmu putih. Siapakah
yang menyebut ilmu hitam dan ilmu putih itu" Mungkin
cara kita meneguk ilmu berbeda. Tetapi jika yang putih itu
yang baik dan yang hitam itu yang buruk, maka sekarang
kau ternyata telah datang kepada yang buruk"
"Semula aku memang menganggap begitu" jawab Ki
Dukut "menurut pendengaranku, cara yang kalian
pergunakan untuk menyadap ilmu sangat mengerikan.
Bahkan kadang-kadang tidak menghiraukan lagi nilai dan
martabat manusia" "Itu hanya dugaan. Mungkin menurut pendar orang
yang tidak menyukai perkembangan cabang ilmu dari
perguruanku dan kawan-kawanku yang disebutnya berilmu
hitam" berkata Macan Wahan. Lalu "Tetapi kami memang
mempunyai batasan dan ketentuan yang berat dan ketat.
Ada beberapa keharusan yang tidak dapat disingkirkan dari
perguruan kami. Tetapi maksudnya adalah, bahwa setiap
orang yang menyelesaikan penyadapan ilmu di perguruan
ini, benar-benar memiliki ilmu yang berbobot. Dan
barangkali cara dan keharusan- keharusan itulah yang
menyebabkan orang lain menilai cara-cara yang kami
tempuh melanggar nilai dan peradaban manusia"
Ki Dukut menarik nafas dalam-dalam. Katanya
"Mungkin begitu. Tetapi aku tidak peduli cara yang kau
tempuh. Aku hanya ingin kau bekerja bersama aku
menegakkan kewibawaan Kediri kembali. Aku mempunyai
cara dan jalan yang dapat ditempuh. Kau mempunyai
kekuatan yang dapat disusun berdasarkan hubungan kita
yang luas" "Aku akan melihat, apa yang akan kau lakukan. Untuk
sementara aku akan memberikan tempat kepadamu di
padepokan ini. Mungkin aku dapat membantumu dalam
beberapa hal. Aku dapat berhubungan dengan kawankawanku.
Tetapi aku belum menentukan dengan pasti, apa
yang akan aku lakukan" berkata Macan Wahan.
"Terserah kepadamu. Tetapi kita tidak boleh terlambat.
Apakah kau tidak dapat mencium kelicikan orang-orang
Singasari pada saat-saat terakhir" Mereka telah mengikut
sertakan beberapa orang prajurit untuk membantu para
pengawal dari Kediri melakukan tugasnya, terutama atas
orang-orang yang tidak dikehendaki. Bukankah dengan
demikian akan berarti kekuatan Singasari di Kediri akan
semakin bertambah-tambah" berkata Ki Dukut "tetapi yang
lebih parah bukannya jumlah pasukan Singasari yang
semakin banyak di Kediri. Tetapi bahwa rakyat Kediri akan
merasa berterima kasih kepada orang-orang Singasari.
Dengan demikian maka Kediri akan semakin lelap tertidur"
Macan Wahan tertawa. Katanya "Aku akan
memikirkannya bersama beberapa orang kawan. He, Ki
Dukut. Jika semula kau curiga terhadap kami, sehingga kau
lebih senang memilih orang-orang yang kau anggap berilmu
putih, apakah tidak sewajarnya jika akupun mencurigaimu.
Mungkin kau sekarang dapat bekerja bersama dengan kami
yang kau sebut berilmu hitam. Tetapi jika Kediri telah
tegak, dan kau berhasil menghrmpn kekuatan dan
membangunkan para bangsawan yang kau katakan tidur
lelap itu, maka kaupun mulai bergerak. Tidak untuk
memulihkan kebesaran Kediri dengan menggulung semua
pengaruh Singasari, tetapi kau mulai dengan melenyapkan
pengaruh kekuatan yang kau sebut ilmu hitam"
"Kau berprasangka" desis Ki Dukut.
"Tentu, seperti juga kau berprasangka" jawab Macan
Wahan. "Terserahlah atas penilaianmu. Aku bersedia menunggu
di sini, meskipun akupun sadar, bahwa mungkin satu dua
orang kawan-kawanmu akan berpendapat lain. Mungkin
satu dua orang kawanmu justru ingin menangkap aku,
memeras darahku untuk mencuci tangan mereka, agar
kekuatan mereka bertambah-tambah karena mereka
menganggap kemampuanku dan kesempurnaan ilmuku
akan berpengaruh terhadap mereka" desis Ki Dukut.
Tetapi Macan Wahan tertawa. Katanya "Itu adalah
pengertian yang salah. Agaknya pengertian yang
demikianlah, maka orang-orang diluar lingkungan kami
menganggap bahwa ilmu kami adalah ilmu hitam"
"Apakah hal itu tidak pernah terjadi" Korban darah?"
bertanya Ki Dukut. "He, kau ingin berbicara tentang Kediri atau tentang
korban darah yang kau salah artikan itu?" bertanya Macan
Wahan yang masih juga tertawa.
Ki Dukut terdiam sejenak. Namun wajahnya nampak
iegang. Sesaat ia memandang Macan Wahan yang tertawa.
Sebenarnyalah, bahwa mungkin saja dapat terjadi seperti
yang dikatakannya sendiri hampir diluar sadarnya itu.
"Tetapi aku bukan golek kayu yang dapat diperlakukan
menurut kehendak mereka" berkata Ki Dukut yang merasa
juga mempunyai kemampuan yang tidak kalah dari orangorang
yang berilmu hitam itu "jika mereka memaksa aku
berkelai, maka aku akan mati bersama sedikitnya tiga atau
empat orang diantara mereka"
Demikianlah, atas persetujuan Ki Dukut sendiri, maka ia
telah berada di padepokan Macan Wahan. Sementara itu
Macan Wahan telah memanggil beberapa orang kawannya
yang terpilih untuk membicarakan persoalan yang dihadapi
oleh Ki Dukut Pakering. Ketika satu-satu mereka berdatangan, maka Ki Dukut
itupun menjadi cemas. Jika ada satu saja diantara mereka
yang mengetahui dengan pasti persoalan yang tumbuh
antara dirinya dengan muridnya yang kini tentu sedang
memburunya itu, atau ada seorang diantara mereka yang
mengetahui bahwa Ki Dukut adalah juga orang yang
bernama Rajawali Penakluk, maka pembicaraannya dengan
Macan Wahan yang nampaknya sudah mulai mengena itu,
tentu akan pecah lagi. Bahkan mungkin nasibnya akan
menjndi lebih buruk lagi daripada apabila ia jatuh ke tangan
muridnya. "Apapun yang akan terjadi" berkata Ki Dukut.
Sebenarnyalah, ketika empat orang telah berkumpul maka
Macan Wahan telah mempersilahkan Ki Dukut hadir
diantara mereka. Melihat wajah-wajah yang buram dan
kelam, ada juga sedikit keragu-raguan di hati Ki Dukut.
"Jika hati mereka benar-benar tercermin pade wajahwajah
itu, sebenarnya mereka orang-orang berhati hitam"
berkata Ki Dukut di dalam hatinya "ternyata Macan
Wahan yang garang itu termasuk wajah yang paling jernih
diantara mereka" Tetapi Ki Dukut agak merasa lega, ketika ia melihat
pengaruh Macan Wahan yang besar atas keempat orang
kawan-kawannya. la telah memberikan penjelasan menurut
pendengarannya dari Ki Dukut. Dan selebihnya, ia telah
mempersilahkan Ki Dukut untuk berbicara langsung kepada
mereka. Namun tanggapan yang pertama sangat mengecewakan.
Seorang berwajah cacat dibawah telinga kirinya berkata
dengan nada kasar "jangan umpankan kami. Kami
mempunyai cara tersendiri untuk mempertahankan hidup
kami" Macan Wahan tertawa. Katanya "Kami sudah memilih
dunia kami sendiri. Tetapi kadang-kadang kami terpaksa
berpikir juga tentang anak cucu. Apakah kita akan tetap
menimangi mereka di dalam dunia kita ini, atau
memberikan nafas yang lebih baik bagi kehidupan mereka
kelak" "Kau mulai menjadi cengeng Macan Wahan" berkata
seorang yang berkumis dan barjambang lebat hampir
menutupi mulutnya yang besar. Matanya nampak liar dan
kemerah-merahan. sementara keningnya digores oleh bekas
luka yang menyilang sampai ke dahi.
"Mungkin aku sudah menjadi cengeng" sahut Macan
Wahan "tetapi cobalah renungkan"
"Aku tidak sempat merenungi masalah-masalah cengeng
seperti itu" sahut orang yang cacat dibawah telinga kirinya.
"Baiklah" berkata Macan Wahan "terserah kepada
kalian. Tetapi aku mempunyai anak dan cucu. He, siapakah
diantara kalian tidak mempunyai anak dan cucu?"
"Anakku laki-laki telah memiliki kemampuan tingkat
keenam belas dari perguruan kami" geram orang yang
berbekas luka di kening. "Apakah ukuran tingkat di dalam perguruanmu"
bertanya Ki Dukut tiba-tiba.
Macan Wahanlah yang menyahut "Kau akan dapat
menafsirkan lain. Seperti yang kau sebut dengan korban
darah itu" "Aku ingin tahu, bagaimanapun juga aku menafsirkan"
jawab Ki Dukut. "Sulit untuk mengatakannya tanpa memberikan
peragaan" jawab orang yang wajahnya berbekas luka itu.
"Tetapi sebagai gambaran kasar. Baiklah aku sebutkan saja,
bahwa ia telah berhasil membunuh dengan cara tertentu
sesuai dengan tingkatannya"
"Bagaimana?" desak Ki Dukut.
Macan Wahan tertawa. Katanya "Kau mencari perkara
Ki Dukut" "Aku akan mengatakannya" sahut orang itu "anakku
telah berhasil membunuh lawannya dengan jari-jarinya
langsung menusuk sampai ke jantungnya dan
mengambilnya dari dadanya"
Terasa bulu tengkuk Ki Dukut meremang. Tetapi ia
masih bertanya "Siapa yang dibunuh dalam pendadaran
untuk menentukan tingkat seperti itu?"
Orang yang terluka di kening itu tertawa berkepanjang
an. Katanya "Dapat terjadi pada setiap orang yang kami
tangkap sengaja atau tidak. Mungkin seorang yang nasibnya
memang sangat buruk. Dalam kesempatan yang pendek
karena didesak oleh waktu, kami bertemu dengan
seseorang, siapapun mereka. Laki-laki atau perempuan"
"Mungkin dapat terjadi atasmu" tiba-tiba seorang yang
bertubuh gemuk menyambung sambil tertawa pula.
Ki Dukut mengerutkan keningnya. Dengan nada berat ia
bertanya "Kau memakai cara yang sama?"
Orang bertubuh gemuk itu menggeleng. Jawabnya
"Tidak. Aku tidak mau mempergunakan cara yang
setengah-tengah seperti itu. Aku memilih cara yang pasti,
menyakinkan dan akan diterima dengan baik oleh
sesembahan kami" Jantung Ki Dukut serasa berdenyut semakin cepat. Yang
dihadapinya saat itu adalah benar-benar orang yang tidak
dapat dikatakan lain, kecuali disebut orang-orang gila yang
berhasil memiliki ilmu yang tinggi. Dengan demikian, maka
mereka justru adalah orang-orang yang sangat berbahasa.
Bagi Ki Dukut, diantara mereka. Macan Wahan adalah
orang yang paling jernih nalarnya. Yang masih sempat
berpikir bagi masa yang lebih panjang.
Dalam pada itu, Macan Wahanpun berkata "Sebaiknya
kita berbicara tentang Kediri. Tidak tentang cara kita
menyadap ilmu kita masing-masing. Kita mempunyai cara
yang berbeda-beda. Kita tidak usah mencampurinya.
Apapun yang kita lakukan, sepenuhnya adalah hak kita"
"Berbicaralah tentang Kediri" berkata orang yang
bertubuh gemuk "aku sudah puas dengan kebanggaanku
sendiri" "Apakah tidak sebaiknya kita berbicara tentang satu
masa yang lebih panjang dari umur kita sendiri" berkata
Macan Wahan. "Sudah aku katakan" desis orang yang wajahnya terluka
dan berkumis dan berjambang lebat "aku tidak mau
berbicara tentang masalah-masalah cengeng seperti itu. jika
aku tahu, bahwa disini kita hanya disuguhi dengan
masalah-masalah yang tidak berarti, kami tidak akan
datang" "Kalian orang-orang yang tidak mau berpikir" berkata
Macan Wahan "masalahnya bukan tidak berarti, tetapi
justru sebaliknya. Mungkin bagi kalian terlalu berarti,
sehingga kalian tidak mampu menjangkau jarak waktu yang
diperlukan untuk memperhitungkan persoalan ini. Karena
hidup kalian adalah masa kini. Tanpa masa depan.
"Sudah cukup" potong orang yang bertubuh gemuk "
sebenarnya apa yang terjadi atasmu Macan Wahan. Kau
seperti orang yang sedang kesurupan. He, apakah orang ini
yang telah berhasil merubah caramu berpikir?"


Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku berpikir sejak semula. Terasa di hatiku sejak aku
belum bertemu dengan Ki Dukut, bahwa hidup kita tidak
terbatas pada batas umur kita sendiri" berkata Macan
Wahan. "Macan Wahan" berkata orang yang cacat dibawah
telinga kirinya "kau agaknya sudah terbius oleh bujukan
orang ini. Apakah sebenarnya yang dikehendakinya" Buat
apa kita berbincang dengan orang yang tidak tahu diri itu"
Sebaiknya orang yang demikian itu hanyalah sekedar untuk
menjajagi ilmu murid-muridku, sampai ditingkat mana ia
berhasil menyadap ilmu diperguruanku. Ternyata disini. ia
mendapat tempat yang agaknya sangat terhormat. He,
apakah ia pamanmu, kakakmu atau siapa dan dalam
hubungan yang bagaimana?"
"Ia bukan sanak bukan kadangku. Ia termasuk orang
yang berilmu meskipun cara penyadapannya agak berbeda
dengan kita. Dalam hubungan itulah kita berbicara" jawab
Macan Wahan. Orang yang cacat dibawah telinga kirinya itu
mengerutkan keningnya. Kemudian katanya "Aku tidak
yakin bahwa ia memiliki ilmu yang memadai untuk
berbicara dengan kita. Sebaiknya kita pergi saja daripada
membuang waktu. Jika kami tidak menghormatimu Macan
Wahan. maka orang ini tentu sudah aku tangkap dan aku
hadapkan kepada murid-muridku untuk melihat tingkat
kemampuan anak-anak itu"
"Kau salah menilai orang ini" jawab Macan Wahan
"tetapi jika kau perlu meyakinkannya, terserah kepada Ki
Dukut. Apakah ia bersedia untuk memberikan keyakinan
kepada kalian, bahwa ia mempunyai hak untuk berbicara
dengan kita dalam tataran ilmu yang setingkat"
"Jangan mencelakai tamumu yang nampaknya sangat
kau hormati itu Macan Wahan. Biarlah kami pulang
meskipun sambil mengumpat di dalam hati" berkata orang
yang cacat itu. Tetapi orang yang berkumis dan berjambang lebat serta
segores bekas luka dikeningnya itu berkata "Aku sudah
terlanjur bernafsu untuk menjajagi ilmunya. Mungkin ia
memiliki sesuatu yang menarik. Aku kira aku
memerlukannya. Tentu saja jika Macan Wahan
mengijinkannya" "Jawablah Ki Dukut" berkata Macan Wahan.
Ki Dukutlah yang mengumpat di dalam hatinya. Tetapi
iapun seorang yang yakin akan ilmunya. Meskipun ia
merasa ngeri melihat wajah-wajah itu, serta ngeri
mendengar apa saja yang pernah mereka lakukan, namun
berhadapan dangan mereka. Ki Dukut sama sekali tidak
menjadi gentar. Karena itu, Ki Dukutpun kemudian berkata "Baiklah Ki
Sanak. Aku akan memenuhi keinginan kalian. Siapa yang
ingin menjajagi kemampuanku agar kalian yakin bahwa aku
dapat berbicara sesuai dengan ungkat kemampuanku
diantara kalian. Siapa yang harus berdiri menjadi lawanku"
Kalian dapat mengajukan diri, tetapi dengan keikhlasan
untuk mati tanpa dendam"
"Gila" geram orang yang bertubuh gemuk " ternyata
orang ini sangat sombong"
"Sombong atau tidak sombong, tetapi kita harus berjanji.
Janji jantan. Siapa yang memasuki arena, bersedia untuk
mati. Kematian itu sudah disepakati bersama dibawah saksi
kita semua yang masih sempat hidup, bahwa kematian itu
tidak akan menyeret persoalan-persoalan lain. Sementara
kita yang masih hidup akan berbicara tentang Kediri" jawab
Ki Dukut. "Aku akan memilin lehernya sampai putus" geram orang
bertubuh gemuk itu. "Serahkan kepadaku" berkata orang yang cacat dibawah
telinga kirinya "aku ingin memeras darahnya sampai
kering. Mungkin darahnya akan bermanfaat bagiku"
"Tidak akan berharga sama sekali" geram yang berkumis
dan berjambang lebat serta segores bekas luka dikening
"tetapi biarlah aku mencincang dengan tanganku"
Dalam pada itu, Ki Dukut dengan-hati yang berdebardebar
menunggu, siapakah diantara mereka yang di
sepakati untuk berperang tanding.
Sementara itu, ketiga orang kawan Macan Wahan itu
masih berebut untuk menjadi lawan Ki Dukut. Mereka
menganggap bahwa dengan membunuh orang yang juga
memiliki ilmu, akan dapat menambah ilmu mereka sendiri.
Bahkan kadang-kadang dengan cara yang aneh, yang
mengerikan, sehingga mereka disebut orang berilmu hitam.
Akhirnya ketiga orang itu menemukah satu cara untuk
menentukan, siapakah yang akan bertempur melawan Ki
Dukut. Orang yang bertubuh gemuk itu kemudian
mengajak kedua orang kawannya berdiri saling berhadapan.
"Kita akan mengangkat tangan kita dan
mengucapkannya kedepan. Terlentang atau menelungkup"
berkata orang yang gemuk itu "siapa yang paling berbeda
dari yang lain, maka ialah yang menang dan berhak untuk
membunuh dan menghisap darah orang dungu itu"
"Baik" desis orang yang cacat dibawah telinga kirinya
"kita akan segera mulai. Waktuku sudah tersia-sia. He,
bagaimana dengan kau Macan Wahan?"
Macan Wahan menggelengkan kepalanya. Katanya
"Aku tidak ragu-ragu lagi atas orang yang memang sudah
aku kenal ini. Ia memiliki ilmu yang pantas, sehingga ia
akan dapat berbicara diantara kita. Jika ada diantara kalian
yang masih ingin menjajaginya, silahkan. Tetapi aku setuju,
bahwa siapa yang turun kegelanggang akan mengikhlaskan
kematiannya. Apakah Itu Ki Dukut Pakering, atau salah
seorang dari kalian bertiga yang beruntung mendapat
kesempatan berperang tanding"
"Bagus. Agaknya kau benar-benar sudah menjadi
cengeng. Tetapi baiklah jika kau tidak ingin ikut dalam
kegembiraan ini" berkata orang yang berjambang dan
berkumis lebat serta segords bekas luka dikening.
"Terserah. Tetapi aku 9ebagai tuan rumah memang tidak
ingin merebut kegembiraan tamu-tamuku. Jika dengan
membunuh orang itu kalian mendapat kegembiraan, maka
silahkan. Lakukanlah. Aku akan ikut bergembira jika tamutamuku
bergembira" jawab Macan Wahan.
"Gila, jangan hiraukan orang itu" geram orang yang
gemuk "marilah kita mulai"
Ketiganyapun kemudian berdiri melingkar. Orang yang
gemuk itupun mulai menghitung "Satu, dua, tiga"
Orang bertubuh gemuk itu mengumpat. Ternyata telapak
tangannya menelungkup seperti tangan orang yang cacat
dibawah telinga kirinya. "Kau bodoh. Kenapa kau samai aku, sehingga dengan
demikian aku kehilangan kesempatan untuk melumatkan
perut orang tua yang dungu itu" geram orang yang gemuk
itu. "Kau yang bodoh" sahut orang yang cacat dibawah
telinganya itu. "Jangan ribut" berkata orang yang berjambang dan
berkumis lebat serta segores bekas luka menyilang di kening
"akulah yang mendapat kesempatan. Aku akan
membunuhnya dengan caraku. Aku ingin mambuktikan,
bahwa aku memiliki ilmu yang sempurna. Macan Wahan
boleh percaya atau tidak. Tetapi segalanya akan tergantung
kepada orang tua yang malang itu. Semakin tinggi
kemampuannya mengimbangi ilmuku, maka ilmuku itupun
akan nampak semakin sempurna. Tetapi jika ilmu orang itu
hanya setataran alas dari ilmu pamungkasku, maka ilmuku
tidak akan sempat nampak betapa agung dan angkernya"
Ki Dukut menarik nafas dalam-dalam. Katanya "Kalian
sudah menentukan. Marilah. Kita akan melihat, apa kah
aku akan mati, atau aku akan mendapat kesempatan
berbicara tentang Kediri. Akupun sadar, tanpa
membuktikah, bahwa aku memiliki kemampuan yang
cukup untuk me nempatkan diriku dijajaran orang-orang
seperti kalian, aku memang harus membuktikan"
"Kita akan turun ke halaman" berkata orang berjambang
dan berkumis lebat "biarlah murid-muridmu menjadi saksi
Macan Wahan. Tetapi mereka yang belum sampai pada
tataran yang memungkinkan, jangan kau beri kesempatan
untuk melihat. Mareka tentu akan pingsan karena aku akan
menunjukkan satu ungkapan ilmuku yang paling dahsyat"
Macan Wahan tertawa. Katanya "Mulailah. Aku
mengenalmu seperti kau juga mangenal aku. Yang belum
kau kenal adalah bakal lawanmu itu"
"Persetan" geram orang berkumis dan berjambang lebat
itu. "Apakah kita akan bersenjata atau tidak?" bertanya Ki
Dukut tiba-tiba. Orang berjambang lebat itu tertawa. Katanya "Itulah
ukuranmu" Kau masih bertanya tentang senjata" Jika kau
mau memakai senjata, pakailah segala jenis senjata.
Tanganku lebih berbahaya dari senjata apapun juga"
Ki Dukut mengarutkan keningnya. Orang itu terlalu
yakin akan dirinya. Namun dengan demikian Ki Dukut
memang harus berhati-hati menghadapinya. Mungkin
orang itu memang memiliki ilmu iblis yang menggetarkan.
"Balkiah" berkata Ki Dukut kemudian "kita berjanji,
bahwa kita masing-masing tidak akan mempergunakan
senjata apapun juga kecuali tangan kita. Marilah. Aku
sudah siap untuk mulai dengan permainan ini. Sekali lagi
aku katakan, kita akan bertempur sampai kematian
merenggut salah seorang diantara kita dari arena perang
tanding. Tanpa dendam, tanpa persoalan samping yang
akan dapat tumbuh. Yang berada diluar arena akan menjadi
saksi" Orang berjambang dan berkumis lebat itu tertawa
berkepanjangan. Diantara suara tertawanya terdengar
Orang itu berkata "Kau tidak ubahnya seperti orang yang
menggapai-menggapai menjelang tenggelam di dalam arus
putaran. Tetapi baiklah katakan apa yang ingin kau
katakan. Mungkin kau tidak akan mempunyai kesempatan
lagi" Ki Dukut menarik nafas dalam-dalam. Namun ia tidak
menjawab lagi. Sejenak kemudian, keduanya telah bersiap sepenuhnya.
Meskipun lawan Ki Dukut itu masih saja tertawa, namun ia
sudah mulai bersungguh-sungguh mengamati sikap Ki
Dukut. Ki Dukutpun segera bersikap. Ia berdiri tegak
menghadap lawannya. Kemudian satu kakinya melangkah
setengah langkah ke depan. Baru kemudian ia merendah
sambil memiringkan tubuhnya. Kedua tangannyapun
terangkat dan bersilang di dadanya.
Lawannyapun telah bersiap pula. Sambil berteriak
nyaring ia meloncat menyerang Ki Dukut Pakering.
Ki Dukut bergeser sedikit. Ia mengerti bahwa lawannya
masih belum bersungguh-sungguh. Namun demikian ia
tidak boleh lengah. Kekalahan dalam perang tanding itu
berarti mati. Karenanya serangannya tidak mengenai sasarannya,
mqka lawan Ki Dukut itupun segera meloncat berbalik.
Tetapi ternyata Ki Dukut bersikap sangat berhati-hati. Ia
tidak segera menyerang, tetapi bersiap-siap untuk menerima
serangan berikutnya. Sebenarnyalah orang itupun telah sekali lagi menyerang.
Kakinya terjulur lurus menyamping, Ketika Ki Dukut
menghindar setengah langkah, tiba-tiba saja lawannya
berputar. Sekali lagi kakinya yang lain terjulur lurus
mengarah lambung. Hampir saja tumit orang itu menyentuhnya. Namun Ki
Dukut masih sempat menarik tubuhnya selangkah surut.
Bahkan kemudian dengan serta merta ia menghantam kaki
lawannya yang terjulur. Tetapi lawannya cepat menarik kakinya. Setengah
langkah ia meloncat. Terdengar ia berteriak nyaring sambil
merendah pada lututnya. Kedua kakinya yang renggang
seakan-akan menggeletar. Sementara jari-jari kedua
tangannya tiba-tiba saja telah mengembang, seperti jari-jari
seekor harimau yang siap menerkam dan merobek tubuh
mangsanya. Ki Dukut mengerutkan keningnya, la melihat satu
tingkat perkembangan ilmu lawannya. Iapun mulai melihat
kegarangan ilmu orang berkumis dan berjambang lebat itu.
"Jari-jari tangannya itu tentu berbahaya" berkata Ki
Dukut. Sebenarnyalah bahwa orang itu telah berteriak sekali
lagi. Dengan garangnya ia meloncat menerkam dengan jarijari
tangannya yang mengembang.
Ketika Ki Dukut mengelak, maka lawannya itupun
segera memburunya. Menerkamnya pula dengan loncatan
panjang. Beberapa kali Ki Dukut memang harus berloncatan
menghindar. Ia masih ingin melihat, apakah yang dapat
dilakukan oleh lawannya yang garang itu. Loncatanloncatan
dan teriakan-teriakan panjang dengan jari-jari
tangan yang mengembang. Dalam pada itu, orang-orang yang menyaksikan perang
tanding itu mulai menjadi berdebar-debar. Namun orang
yang bertubuh gemuk dan orang yang cacat dibawah telinga
kirinya itupun mengumpat. Yang gemuk berteriak "Tikus
kecil. Nasibnya sangat malang. Ia hanya mampu
berloncatan menghindar. He, jangan segera bunuh orang
tua sombong itu. Biarlah ia mengetahui, bagaimana
perasaan seseorang yang menjadi sangat ketakutan
menghadapi maut" Sementara kawannya berkata lantang "Nasibkulah yang
buruk. Kenapa aku tidak mendapat kesempatan dengan
permainan yang mengasikkan ini. Tentu senang sekali
dapat melubangi dadanya dengan tangan dan mengambil
jantungnya yang masih basah"
Macan Wahanlah yang berdiri diam sambil mengerutkan
keningnya. Iapun menjadi kecewa. Ia ingin melihat Ki
Dukut bertempur dengan garang. Meskipun seandainya ia


Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

akan kalah dan mati dibantai lawannya, namun
perlawanannya yang kuat akan menyelamatkan tanggapan
kawan-kawannya terhadap dirinya. Karena dengan
demikian, ia tidak dapat dianggap mengotori diri
berhubungan dengan orang yang tidak berarti sama sekali
itu. Tetapi perhatian orang-orang yang mengitari arena itu
tersentak ketika mereka melihat, tiba-tiba saja Ki Dukut lah
yang menyerang. Tidak terlampau garang, tetapi
kecepatannya bergerak benar-benar mengejutkan.
Dengan jantung yang berdebaran, lawannya berj usaha
mengelakkan serangan itu. Bahkan sambil berteriak
nyaring, lawannya telah membalas menyerang dengan jarijarinya
yang mengembang itu. Ki Dukut yang gagal mengenai lawannya berputar. Ia
tidak mengelakkan serangan lawannya. Tetapi dengan
kakinya ia justru menghantam siku tangan lawannya yang
sedang terjulur. Sekali lagi lawannya terkejut. Dan sekali lagi terdengar
teriakan nyaring. Lawannya tidak sempat mengelak lagi.
Tetapi ia berusaha untuk menarik serangannya dan
menghentakkan sikunya melawan serangan lawannya.
Ketika terjadi sebuah benturan, maka keduanya
menyeringai menahan sakit. Namun ternyata Ki Dukut
lebih cepat menguasai diri. Satu putaran kaki telah
menyambar lawannya yang sedang berusaha menahan sakit
pada sikunya. Orang yang berkumis dan berjambang lebat itu
mengumpat sambil meloncat surut. Namun Ki Dukut cepat
memburu dan mengayunkan tangannya.
Serangan Ki Dukut tidak dapat mengenai sasarannya
karena lawannya masih sempat bergeser. Bahkan orang be
jambang dan berkumis lebat itulah yang kemudian
menyerang Ki Dukut dengan garangnya. Seolah-olah jarijarinya
yang mengembang ingin mencengkam isi dada Ki
Dukut Pakering dan meremasnya sampai lumat.
Ki Dukut menyadari, jari-jari itu tentu akan sangat
berbahaya baginya. Karena itu, maka iapun berusaha untuk
selalu menghindari. Bahkan kemudian iapun telah
memutuskan untuk mempergunakan jari-jarinya. Namun
cara Ki Dukut agak berbeda. Keempat jari-jari Ki Diikut
merapat dengan ibu jari yang agak ditekuk ke dalam.
Dengan ujung jari-jarinya itulah maka Ki Dukutlah yang
kemudian meloncat menyerang dengan kecepatan yang
mengejutkan. Ujung jari-jarinya langsung menusuk,
menghantam pundak lawannya.
Ternyata kecepatan yang tidak terduga-duga itu tidak
dapat diimbangi oleh lawannya. Karena lawannya tidak
sempat mengelak, maka ia berusaha menangkis serangan
itu. Tetapi ia tidak dapat membebaskan diri seluruhnya dari
ujung jari Ki Dukut Pakering. Karena itulah, maka ujung
keempat jari yang merapat itu meskipun tidak mengenai
sasarannya, namun telah menyentuh lengan orang
berjambang dan berkumis lebat itu.
Akibatnya sangat mengejutkan. Lengan orang
berjambang itu bagaikan terkelupas. Perasaan pedih telah
menyengat ketika darah mulai meleleh dari luka itu.
"Gila" geram orang berjambang dan berkumis lebat itu
"kau telah menitikkan darah dari tubuhku. Itu ukan
berakibat gawat bagimu"
Tetapi Ki Dukut justru tertawa. Katanya "Sejak
perkelahian ini dimulai, aku sudah bersiap menghadapi
keadaan yang paling gawat sekalipun. Marilah, kau sudah
mulai terluka. Titik darah yang mengalir dari lukamu,
berarti susutnya ilmu iblis yang kau miliki dengan cara yang
sebaliknya. Setitik darah yang kau hisap dari korbanmu,
telah menambah kekuatan ilmu iblismu. Dan sebaliknya,
setitik darah yang keluar dari tubuhmu, akan berakibat
berkurangnya kemampuan dan kekuatanmu"
"Tutup mulutmu" teriak lawannya.
Tetapi Ki Dukut masih tertawa. Katanya "Agaknya
memang demikian anggapan orang-orang dungu seperti
kau. Tetapi ketahuilah, bahwa titik darah itu tentu akan
melepaskan kekuatan dan ketahanan seseorang. Dengan
atau tidak dengan ilmu iblis"
Orang berjambang dan berkumis lebat itu berteriak keraskeras.
Satu loncatan panjang yang tiba-tiba telah
melontarkannya menyerang Ki Dukut. Tetapi Ki Dukut
sempat mengelak. Namun lawannya yang bagaikan gila itu
memburunya dengan jari-jari tangannya yang
mengembang. Ki Dukut menjadi semakin berdebar-debar. Lawannya
benar-benar telah menjadi wuru. Agaknya ia sudah
menggapai ilmu puncaknya yang diwarnai dengan kekuatan
hitam kelam. Sebenarnyalah bahwa orang berjambang dan berkumis
lebat itu menjadi semakin liar. Matanya menjadi merah
membara, sementara mulutnya nampak membusa, Namun
yang mendebarkan jantung Ki Dukut adalah bahwa seolaholah
dari hidung orang itu telah membayang semacam asap
yang kekuning-kuningan. "Itu adalah kekuatan iblisnya" berkata Ki Dukut di
dalam hatinya. Namun Ki Dukutpun mempunyai andalan ilmu
puncaknya. Keempat jari-jarinya yang merapat itulah yang
ke mudian bergetar. Seolah-olah tangannya itu mampu
menentukan arah geraknya sendiri, sementara keempat jarijarinya
yang merapat menjadi sedikit lengkung pada ruasruasnya.
-oo0dw0oo- Jilid 16 KARENA itulah, maka sambaran-sambaran Ki
Dukutpun telah mendebarkan jantung lawannya.
Betapapun juga ia berusaha menghindar, namun tangan Ki
Dukut berhasil menggapainya pula.
Selain kemampuan untuk menyobek kulit dan daging,
maka serangan-serangan Ki Dukutpun berhasil mematuk
langsung ke bagian tubuh lawannya yang berbahaya. Ketika
lawannya menyerang Ki Dukut dengan sambaran jarijarinya
yang mengembang kearah kening, Ki Dukut telah
menghindar dengan merendahkan dirinya. Namun
sekaligus tangannya sempat terjulur lurus dengan ujung jarijarinya
menghentak dada. Terdengar lawannya berdesis sambil meloncat surut.
Rasa-rasanya nafasnya telah terhenti sesaat. Namun
lawannya itupun segera berhasil mengatur jalur
pernafasannya kembali. Tetapi Ki Dukut tidak membiarkannya. Dengan serta
merta ia meloncat memburu. Tangannya tidak lagi
mematuk tubuh lawannya, tetapi terayun menyambar
pundaknya. "Karena lawannya berusaha menghindar, maka sentuhan
jari Ki Dukut hanya menyinggung kulitnya saja. Tetapi
kulit itupun telah koyak seleret panjang.
"Gila" geram lawannya. Iapun telah bertekad untuk
bertempur sampai kemungkinan terakhir. Karena itu maka
ketika Ki Dukut kemudian menyerangnya, ia sama sekali
tidak mengelak. Tetapi ia justru membentur serangan Ki
Dukut dengan jari-jarinya yang mengembang.
Benturan itu ternyata sangat mengejutkan kedua belah
pihak. Jari-jari orang- berjambang dari berkumis lebat itu
rasa-rasanya bagaikan berpatahan. tulangnya bagaikan
terlepas dari sendi-sendinya.
Namun, akibatnya bagi Ki Dukutpun terasa sangat
menyakitkan. Bukan saja tangannya yang bagikan
terperosok kedalam perapian yang sedang menyala. Namun
dorongan kekuatan lawannya telah mendesaknya beberapa
langkah surut. Sejenak kedua orang yang sedang bertempur itu justru
berloncatan surut untuk mengambil jarak. Rasa-rasanya
keduanya memerlukan waktu sekejap untuk memperbaiki
keadaannya. Semantara itu, orang yang berjambang dan berkumis
lebat itu mengumpat sejadi-jadinya. Jari-jarinya, andalan
kekuatannya, rasanya menjadi terlalu lemah untuk dapat
dipergunakannya lagi, sementara tangan Ki Dukutpun
seakan-akan telah terluka bakar.
Tetapi keduanya tidak ingin menghentikan perkelahian
ilu. Bagaimanapun juga, mereka ingin menyelesaikan
pertempuran itu. Yang dilakukan Ki Dukut kemudian adalah sangat
mengejutkan. Tiba-tiba saja ia meloncat menyerang dengan
kakinya. Ketika lawannya menghindar, maka demikian
kaki Ki Dukut menyentuh tanah, maka tubuhnya telah
melenting lagi dengan serangan kaki yang gawat.
Lawannya terpaksa berloncatan menghindar. Serangan
Ki Dukut yang cepat itu memaksanya untuk setiap kali
menghindarinya. Ki Dukut bagaikan berterbangan
mengitarinya dengan serangan-serangan kaki yang gawat.
Apalagi betapapun tangannya terasa sakit, Ki Dukut
masih juga mencoba mempergunakannya untuk
menyerang. Ia tidak lagi mempergunakan ujung jari-jarinya
yang serasa hangus. Tetapi ia kemudian mempergunakan
sisi telapak tangannya dan sikunya.
Serangan-serangan Ki Dukut masih juga
membingungkan lawannya. Meskipun jari-jarinya terasa
berpatahan. Namun ketika sekali tubuh Ki Dukut tersentuh
telapak tangannya, maka rasa-rasanya kulitnya masih juga
terbakar. "Benar-benar anak iblis" geram Ki Dukut. Seranganserangannyapun
menjadi semakin cepat. Dan iapun
semakin sering mengenai tubuh, lawannya dengan tumit
dan sisi telapak tangannya.
Meskipun sisi telapak tangannya tidak mampu merobek
kulit, tetapi rasa-rasanya bagaikan meremukkan tulang
belulang orang yang berjambang dan berkumis lebat itu.
Macan Wahan yang menyaksikan pertempuran itu me
narik nafas dalam-dalam. Kawan-kawannya tidak lagi dapat
menyalahkannya, bahwa ia sudah bersedia berbicara dalam
kedudukan setataran dengan orang yang di sebut Ki Dukut
Pakering itu. Ternyata kemampuannya benar-benar
dahsyat, sedahsyat kemampuan kawannya yang
berjambang dan berkumis labat itu. Bahkan kadang-kadang
Macan Wahan dikejutkan oleh kemampuan Ki Dukut yang
tidak diduganya sama sekali. Sehingga dengan demikian,
maka pertempuran itu benar-benar telah memukaunya
bersama orang yang bertubuh gemuk dan orang yang cacat
di bawah telinganya itu. Pertempuran itupun berlangsung dengan dahsyatnya. Ki
Dukut yang sudah terluka bakar di beberapa bagian
tubuhnya, seakan-akan telah kehilangan pertimbanganpertimbangan
yang jernih. Yang nampak dihadapannya
adalah seseorang yang dianggapnya berilmu iblis yang yang
hanya pantas dimusnakan. "Jika aku tidak berbuat seperti yang akan diperbuat nya,
maka aku tidak akan mandapat tempat di dalam
lingkungannya" berkata Ki Dukut di dalam hatinya.
Karena itu, ia sudah bertekad untuk membinasakan
lawannya dengan cara yang mungkin dipergunakan pula
oleh lawannya itu, meskipun dengan demikian akan sangat
mengerikan. "Mereka tidak berperasaan sama sekali" geram Ki Dukut
di dalam hatinya "karena itu aku harus benar-benar dapat
melakukan sesuatu yang dapat menggetarkan jantung
mereka" Dengan tekad yang demikian itulah, muku Ki Dukut
telah mengerahkan segenap sisa kemampuannya. Ia masih
mampu bergerak dengan cepat, menghantam lawannya
dengan sisi telapak tangannya, dengan sikunya dan dengar
kakinya. Semakin lama kecepatan gerak Ki Dukut semakin
membingungkan lawannya yang mulai susut
kemampuannya. Tubuhnya telah dicengkam oleh perasaan
sakit. Jari-jarinya serasa berpatahan dan tulang-tulangnya
bagaikan menjadi retak. Tetapi ia tidak akan menyerah. Ia masih belum percaya
bahwa Ki Dukut yang tua itu akan dapat mengalahkannya.
Sehingga dengan demikian, maka orang berjambang dan
berkumis lebat itu masih juga bertempur dengan gigihnya.
Dengan segenap sisa tenaga yang ada padanya.
Tetapi jari-jarinya tidak lagi mampu mengembang untuk
menerkam lawan dengan panasnya api. Yang dapat
dilakukan kemudian adalah menyerang lawan dengan
telapan tangan dan kakinya.
Namun setiap kali tubuhnya tersentuh kekuatan Ki
Dukut, maka ia telah terhuyung-huyung. Demikian, ia
berusaha untuk tetap tegak, maka serangan-serangan,
berikutnya datang beruntun.
"Setan alasan" orang itu mengumpat. Tetapi ia telah
terdorong dua langkah surut. Namun ketika Ki Dukut
memburunya sambil menyerang, ia masih sempat mengelak
Tetapi serangan berikutnya oleh putaran kaki Ki Dukut,
orang berjambang itu tidak lagi dapat beringsut. Dengan
sikunya ia berusaha menangkis serangan itu. Ketika terjadi
benturan, maka ia masih sempat menghantam kaki Ki
Dukut dengan telapak tangannya yang lain.
Ki Dukut terlonjak. Kakinya bagaikan disengat bara.
Namun iapun segera menyadari keadaannya, ia meloncat
selangkah surut. Namun ia tidak mau terlambatl. Dengan
serta merta ia meloncat dengan kaki terjulur, ia sudah
memperhitungkan, bahwa orang berjambang dan berkumis
lebat itu lidak akan sempat menghindar lagi. Mungkin ia
dapat menepuk kakinya dengan telapak tangannya yang
panas seperti api, tetapi Ki Dukut benar-benar telah
memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan yang lain.
Sebenarnyalah, orang berjambang itu terkejut melihat
serangan yang datang demikian cepat, tiba-tiba dan
demikian derasnya Karena itu, ia tidak sempat iagi
mengelak. Namun ia berusaha untuk menangkis serangan
iiu. Dengan telapak tangannya ia memukul kaki Ki Dukut
yaag terjulur itu, sehingga rasa-rasanya kaki itu benar-benar


Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

telah terbakar. Tetapi seperti yang telah diperhitungkannya pula. maka
kaki Ki Dukut yang terjulur itu tidak berubah arah,
meskipun disentuh oleh tangan lawannya, karena
serangannya itu datang dengan kecepatan yang tinggi, dan
dengan sepenuh sisa tenaganya.
Karena itu, maka kaki Ki Dukut itupun telah
menghantam dada orang berjambang dan berkumis lebat itu
demikian kerasnya sehingga orang itu terlempar beberapa
langkah dan jatuh terbanting di tanah.
Terasa dada orang berjambang itu bagaikan pecah.
Nafasnya tiba-tiba saja seolah-olah telah terhenti. Namun
demikian ia masih berusaha untuk meloncat bangkit.
Ki Dukut yang sudah merasa tenaganya susut, tidak mau
memberinya kesempatan. Jika bertempuran itu
berkepanjangan, maka iapun akan menjadi lelah dan
kehabisan tenaga. Karena itu, maka Ki Dukutpun telah
memuluskan untuk menyelesaikan pertempuran itu.
Ketika lawannya masih sedang berusaha untuk
menemukan keseimbangannya, maka tiba-tiba Ki Dukut
talah meloncat maju mendekat. Dengan sekuat tenaganya
ia menghantam kedua puncak lawannya sebelah
menyebelah dengan kedua sisi telapak tangannya.
Lawannya menggeliat oleh perasaan sakit yang luar
biasa. Tetapi tangannya masih sempat menggapai dada Ki
Dukut. Telapak tangannya yang membara telah membakar
dada Ki Dukut, sehingga Ki Dukut terpaksa bergaser
setapak. Tetapi tiba-tiba saja ia telah menyerang lawannya
dengan pangkal telapak tangannya tepat pada dagu
lawannya. Demikian lawannya terangkat kepalanya maka
Ki Dukut meloncat mendekat. Dengan sepenuh tenaganya
Ki Dukut sekali lagi manghantam perut lawannya denga
sikunya. Demikian lawannya tertunduk oleh perasaan sakit
yang sangat, maka satu pukulan yang dahsyat dengan
sikunya telah menghantam tengkuk orang berjambang dan
ber kumis lebat itu. Yang terdengar adalah keluhan tertahan. Tetapi orang
itu tidak sempat mengeluh lagi, ketika sekali lagi sisi telapak
tangan Ki Dukut telah mengenai tengkuk orang yang
sedang terhuyung-huyung itu.
Orang itupun kemudian jatuh terjerembab. Tetapi ia
masih menggeliat. Ketika kemudian ia berguling
menengadah, maka satu pukulan yang dahsyat telah
menghantam lehernya. Leher itu bagaikan tercekik. Sesaat mata orang itu
terbelalak, namun kemudian nafasnya yang terakhir
menghentak pendek. Ki Dukut Pakeringpun tiba-tiba telah terduduk. la telah
mengerahkan segenap kemampuannya, sehingga seakanakan
tenaganya telah terhisap habis di saat ia
menghentakkan kekuatannya yang tersisa.
Macan Wahan, kedua orang kawannya, dan para cantrik
yang melihat perkelahian itu sampai saat-saat terakhir, telah
dicengkam oleh ketegangan. Meskipun mereka termasuk
orang-orang yang berilmu hitam, namun kematian seorang
kawannya dengan cara yang dahsyat itu, telah
menggetarkan jantung mereka.
Namun sementara itu, Ki Dukut Pakering, seakan-akan
sudah tidak berdaya lagi. Tenaganya telah dihentakkan
sekuat-kuatnya, sementara perasaan sakit dan pedih mulai
mencengkamnya. Luka-luka di tubuhnya, yang bagaikan
luka-luka api itu benar-benar telah menggigit sampai ke
tulang. Tetapi dengan demikian ketiga orang yang menyaksikan
pertempuran dengan hati yang berdebar-debar itu benarbenar
telah mengaguminya. Ia tidak terlalu kasar seperti
orang-orang diantara mereka. Namun disaat-saat terakhir,
ia benar-benar telah menunjukkan kemampuan dan
kekuatannya. Tanpa ragu-ragu ia membunuh lawannya,
seperti ia melakukan pekerjaannya yang lain-lain. Sejanak
Ki Dukut mengatur pernafasannya dan menahan rasa sakit.
Namun kemudian iapun mencoba untuk berdiri.
Meskipun ia masih harus bertahan atas keseimbangan
yang goyah, namun Ki Dukut yang menahan rasa sakit itu
berkata "Aku telah membunuhnya. Bukan kebiasaanku
mempergunakan cara yang kasar dan garang untuk
membunuh lawan. Tetapi sengaja aku melakukannya kali
ini. Aku mengerti, bahwa perasaan kalian yang mati itu
tentu tidak akan tersentuh sama sekali, jika aku tidak
mempergunakan cara seperti yang kalian pergunakan.
Karena itulah, aku telah membunuhnya seperti jika kalian
melakukannya" Ketiga orang berilmu hitam itu masih berdiri termangumangu.
Namun kemudian Macan Wahan berkata "Luar
biasa. Kau telah melakukan sesuatu yang luar biasa Ki
Dukut. Dengan demikian kau telah membuktikan
kebesaran namamu. Lawan yang kau bunuh itu termasuk
seseorang yang memiliki beberapa kalebihan dari kami,
kawan-kawannya" "Aku sengaja ingin membuktikan kepada kalian, bahwa
aku bukan orang yang hanya pandai berbicara" jawab Ki
Dukut "dan aku telah bersikap sebagaimana seharusnya
menghadapi orang-orang berilmu hitam. Jika iku berkata
akan membunuhnya, maka aku benar-benar akan
membunuh" "Sudahlah" berkata Macan Wahan "kita menjadi saksi.
Kematiannya. Tidak ada akibat yang akan terjadi atas
kematiannya. Kalian melakukan perang tanding. Dan
perang tanding itu sudah selesai dengan tuntas. Biarlah
orang-orangku menyelenggarakan mayatnya.
Ki Dukut menarik nafas dalam-dalam, dipandanginya
orang yang bertubuh gemuk dan orang yang cacat di bawah
telinga kirinya. Agaknya merekapun dengan rela menerima kemalian
seorang kawannya yang bernasib buruk.
Bahkan, keduanya telah berkata di dalam hatinya "Jika
akulah yang mendapat kesempatan bertempur, akupun
akan mengalami akibat yang serupa"
Ki Dukut Pakeringpun kemudian telah dibawa ke
pendapa oleh Macan Wahan bersama kedua orang
kawannya. Sejenak mereka duduk merenungi luka-luka di
tubuh Ki Dukut Pakering. "Orang itu memang luar biasa" berkata Ki Dukut sambil
mengusap tubuhnya yang terluka, bagaikan tersentuh bara
api. Juga jari-jarinya yang serasa terbakar karena benturan
yang terjadi, namun dengan benturan itu, jari-jari lawannya
seakan-akan telah berpatahan.
"Apakah pendapat kalian?" bertanya Ki Dukut kepada
Macan Wahan dan kedua kawannya.
"Luar biasa" jawab orang yang bertubuh gemuk
"ternyata aku salah menilaimu. Aku sama sekali tidak
menyangka bahwa kau memiliki kemampuan melampaui
kemampuan kami, bahkan telah mengherankan kami"
Ki Dukut Pakering tersenyum. Namun kemudian
katanya "Tetapi lihatlah, tubuhku yang hangus ini.
Sebenarnyalah kawanmu itu benar-benar memiliki
kemampuan yang jarang ada duanya. Namun ia terlalu
sombong dan tidak dapat menilai, siapakah yang
dilawannya. Jika ia tidak menjadi gila atas kemampuannya,
maka ia tidak akan bertindak terlalu bodoh untuk
menyelesaikan pertempuran itu sebagaimana dengan
perang tanding yang sebenarnya. Jika ia bersedia
menghentikan perkelahian sebelum aku kehilangan
kesabaran, maka aku akan memanfaatkannya"
Macan Wahan dan kedua kawannya menganggukangguk.
Mereka percaya bahwa sebenarnyalah Ki Dukut
tidak ingin membunuh jika bukan karena tingkah laku
lawannya itu sendiri. Yang penting bagi Ki Dukut jika
lawannya itu tidak terbunuh, akan dapat dipergunakannya
untuk membantu rencananya.
Tetapi Ki Dukut Pakering merasa perlu untuk
menunjukkan kemampuannya di hadapan orang-orang
yang akan dibawanya bekerja bersama, agar mereka
mempercayainya bahwa iapun seorang yang memiliki ilmu
yang mumpuni. Meskipun yang seorang itu telah terbunuh, tetapi masih
ada tiga orang yang akan dapat diajaknya untuk melakukan
rencananya. Bahkan ia masih yakin, bahwa kekuatan itu
masih akan dapat perkembangan, karena yang tiga orang
itu adalah orang-orang yang berpengaruh di antara
golongannya. "Aku memerlukan beberapa hari untuk berobat" berkata
Ki Dukut kemudian kepada orang-orang itu "dengan
demikian aku sudah kehilangan lagi waktu tanpa arti sama
sekali. Tetapi setelah itu, aku harus mengejar ketinggalan
ini" Ketiga orang berilmu hitam itu mengangguk-angguk.
Mereka sudah terjerat untuk mempercayai Ki Dukut itu
sepenuhnya. Kepada Macan Wahan Ki Dukut minta ijin untuk
tinggal di padepokannya sambil menyembuhkan luka-luka
tubuhnya, sementara orang-orang Macan Wahan telah
sibuk dengan mayat seorang pemimpin yang disegani dari
golongan orang-orang berilmu litam.
Demikianlah, maka Ki Dukut telah menunda segala
macam pembicaraan karena ia memusatkan segala
perhatiannya kepada penyembuhan luka-lukanya. Atas
bantuan Macan Wahan dan kedua orang kawannya, maka
Ki Dukut berhasil mendapatkan dedaunan dan jenis akarakaran
yang dapat dipergunakannya untuk mengobati lukalukanya.
Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja Ki Dukut Pakering
sendiri telah hanyut di dalam angan-angannya yang semula
hanyalah sekedar untuk memancing kesediaan Macan
Wahan dan kawan-kawannya membantunya melepaskan
dendam atas orang-orang yang pernah menyakiti hatinya.
Tetapi setelah ia berhasil mengalahkan salah seorang dari
pemimpin orang-orang berilmu hitam itu, maka timbullah
desakan di dalam dirinya, bahwa yang diucapkannya
sekedar untuk memancing kesediaan orang-orang berilmu
hitam itu benar-benar dapat dilaksanakan.
"Apa salahnya, jika rencana itu benar-bennar aku
jalankan" katanya di dalam hati"
Ternyata bahwa angan-angan itu benar-benar telah
mencengkam jantungnya. Selama ia manunggu
kesembuhan luka-lukanya, maka, ia telah mengancam
kemungkinan-kemungkinan yang dapat dilakukan. Semakin
lama, maka keinginan itu justru semakin jelas membayang
di dalam rongga mata angan-angannya.
Namun kadang-kadang ia dikejutkan oleh pertanyaan
yang tumbuh dari dasar hatinya "Apakah sebenarnya yang
aku kehendaki" jika aku berhasil membuat Kediri
berguncang, dan kemudian membangunkan beberapa orang
bangsawan yang masih mampu berpikir tentang harga diri,
lalu apakah yang akan aku dapatkan buat diriku sendiri"
Menjadi raja" Menjadi Akuwu atau menjadi apapun yang
memiliki kemukten" Setelah aku mendapat kamukten, apa
lagi?" Ki Dukut menarik nafas dalam-dalam. Iapun kemudian
telah terlempar ke dalam kenyataan, bahwa dirinya adalah
sendiri. Kesendiriannya itulah yang kemudian
mencengkamnya sebagai kesepian yang pedih.
"Aku tidak akan dapat membagi hasil perjuanganku itu
dengan siapapun juga" katanya di dalam hati.
Terasa betapa keringnya hidupnya. Ia tidak mempunyai
sanak kadang. Tidak mempunyai seorang muridpun yang
akan dapat menerima kemukten yang seandainya lelah
berada di tangannya. "Pangeran itu memang gila" geram Ki Dukul Pakering.
Namun iapun tidak dapal mengelabui dirinya sendiri.
Siapakah sumber dari malapetaka yang kemudian
dialaminya itu. Untuk waktu-waktu yang kosong selama ia mengobati
luka-lukanya, ternyata Ki Dukut lelah diombangambingkan
oleh sikap batinnya yang goyah. Tetapi jika
teringat olehnya, dendam yang menyala dihatinya, maka
iapun menggeram "Aku harus melepaskan dendam yang
membakar jantung. Apapun yang akan aku lakukan
kemudian, terserah kepada perkembangan yang timbul di
dalam hati ini. Tetapi orang-orang yang pernah menyakiti
hatiku, harus aku musnahkan. Aku mendapat kawankawan
yang tangguh, yang memiliki kemampuan
malampaui orang-orang yang pernah bekerja bersama
selama im. Pemimpin-pemimpin padepokan yang berjiwa
kerdil, dan sama sekali tidak berilmu. Atau pemimpinpemimpin
perampok kecil yang hanya dapat berteriak-teriak
dan menakut-nakuti perempuan yang pergi ke pasar. Semua
itu tidak ada artinya. Baru sekarang aku menemukan
kekuatan yang sebenarnya"
Demikianlah, maka Ki Dukutpun kamudian telah
tersekap kedalam satu lingkungan, yang selama itu
disebutnya sebagai lingkungan hitam. Namun lingkungan
yang baru itu agaknya akan dapat memberikan dukungan
kepadanya, atas satu angan-angan yang semula hanya
sekedar satu cara untuk memancing dukungan orang-orang
berilmu hitam, namun yang kemudian telah tumbuh dan
berkembang di dalam hatinya.
Meskipun kadang-kadang timbul pertentangan di dalam
dirinya, namun ia masih saja berangan-angan tentang
Kediri. "Kenapa aku tidak berusaha untuk menjadi seorang
pahlawan, meskipun tidak akan memberikan apa-apa lagi
kepadaku selain bagi aku sendiri, dan sama sekali tidak
berkelanjutan?" pertanyaan itupun selalu timbul di dalam
hatinya. Persoalan-persoalan itulah yang di hari-hari berikutnya
telah bergumul di dalam hati Ki Dukut Pakering.
Sementara itu, Macan Wahan dan kawan-kawannya,
meskipun belum mematangkan pembicaraan mereka
dengan Ki Dukut, namun mereka sudah menganggap
bahwa segala akan berjalan dengan persiapan yang harus


Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memadai. Tidak ada gambaran lain yang akan mereka
lakukan, selain mempergunakan kekerasan.
Karena itulah, maka Macan Wahan dan kawankawannya
pun telah menemui Ki Dukut untuk menyatakan
kesediaan mereka memulai segala rencana yang akan di
susun oleh Ki Dukut. "Silahkan Ki Dukut beristirahat di sini" berkata Macan
Wahan "sementara kami akan mempersiapkan diri. Kedua
kawanku akan kambali ke padepokannya dan, menyusun
kekuatannya sampai ke puncak kemampuannya"
Ki Dukut yang masih belum sembuh benar itupun setuju.
Biarlah orang-orang dari padepokan hitam itu
mempersiapkan diri mereka dengan cara mereka yang
barangkali terlalu mengerikan bagi Ki Dukut. Namun
demikian, ada niat di hati Ki Dukut untuk berbuat sesuatu
setelah keadaannya menjadi baik. Orang-orang berilmu
hitam itu akan dapat berbuat lebih baik tanpa perbuatanperbuatan
yang dapat menggetarkan jantung.
"Bersiaplah" berkata Ki Dukut "pada satu saat yang
pendek kita akan segera mulai"
Kedua kawan Macan Wahan itupun segera minta diri.
Mereka akan kembali ke padepokan masing-masing,
mereka akan m uiempa para murid dan para cantrik untuk
menghadapi tugas yang berat.
"Tidak ada keterbatasan" berkata Ki Dukut Pakering
"kalian dapat menghubungi kawan-kawan kalian yang
dapat dipercaya untuk tugas besar ini. Kita akan
mengguncang Kediri dan membangunkan para bangsawan
yang lelap. Kediri harus bangkit menjadi satu negara besar
seperti saat Singasari masih sebuah Pakuwon yang bernama
Tumapel" Demikianlah, kalau-kalau Macan Wahan itu
meninggalkan padepokan itu dengan tugas yang
membebani hati. Meskipun mereka masih juga di bayangi
oleh satu pertanyaan, apakah yang akan terjadi jika para
bangsawan di Kediri telah terbangun dan mengambil
kembali kebesaran nama Kediri dari bayangan
pemerintahan Singasari. "Apakah kami tidak justru akan terjerumus kedalam
kesulitan?" pertanyaan itupun selalu menganggu mereka.
Namun merekapun akhirnya mengambil kesimpulan "Jika
kami memiliki kekuatan yang cukup, maka tidak ada satu
pihakpun yang akan berani mengorbankan kami. Ki Dukut
Pakeringpun tidak. Bahkan kami harus dapat mengambil
keuntungan dari keadaan itu. Mungkin kami akan memiliki
tanah perdikan yang luas untuk mengembangkan
padepokan kami dengan terbuka karena hak kami sudah
diakui. Atau mungkin daerah yang lebih luas sebagai satu
Pakuwon atau hak apapun juga"
Dengan bekal sikap itulah, maka merekapun bertekad
untuk menyusun kekuatan. "Kami bukan sekedar alat yang
akan dapat dipergunakan dimana diperlukan oleh Ki
Dukut" berkata kawan-kawan Macan Wahan itu diantara
mereka "tetapi kami pada suatu saat akan menentukan.
Menentukan diri kami sendiri pada satu keadaan yang kami
kehendaki" Sementara itu, Ki Dukut masih tetap berada di
padepokan Macan Wahan. Dari hari kehari, maka lukalukanyapun
segera nampak berangsong baik. Bekas-bekas
luka bakar itupun kemudian mengelupas dan tumbuhlah
kulit yang baru meskipun warnya agak berbeda. Tetapi
lambat laun, segala bekas itupun akan terhapus.
Dalam pada itu, selagi Ki Dukut berada di padepokan
Macan Wahan, maka Mahisa Bungalan dengan
pasukannya dan Pangeran Kuda Padmadata dengan
pasukannya pula masih melanjutkan perburuan. Namun
mereka sama sekali tidak menemukan jejak orang yang
mereka cari. Tidak seorangpun yang dapat mengatakan,
dimanakah orang yang menyebut dirinya Rajawali
Penakluk. Setiap gerombolan yang mereka datangi, sama
sekali tidak terdapat jejak Rajawali Penakluk yang sedang
mereka buru. "Kita harus menemukan cara lain yang lebih baik"
berkata Witantra pada suatu saat ketika mereka sedang
berkumpul di padepokan kecil yang mereKa pergunakan
sebagai tempat pancadan perburuan mereka.
Mahisa Agni, Ki Wastu, Mahendra dan orang-orang
yang bersama-sama berbincang itu sependapat. Tetapi cara
baru itu tidak segera dapat mereka ketemukan.
"Orang itu bagaikan hilang ditelan padang belantara"
berkata Mahisa Bungalan. "Tidak sulit bagi seseorang yang menyebut dirinya
Rajawali Penakluk itu" desis Mahisa Agni "jika ia berada
disatu tempat tanpa berbuat apa-apa, kita tidak akan dapat
menemukannya. Baru apabila ia melakukan sesuatu kita
akan dapat mencium jejaknya"
"Jadi, apa yang harus kita lakukan?" bertanya Mahisa
Bungalan. "Aku kira untuk waktu yang dekat, orang itu tidak akan
banyak berbuat" berkata Mahisa Agni "tetapi itu bukan
berarti, bahwa ia tidak akan dapat muncul disetiap waktu.
Karena itu, maka setiapnya padepokan harus
mempersiapkan diri" Pemimpin padepokan kecil itu menjadi berdebar-debar.
Tetapi itu sudah menjadi kewajibannya. Apapun yang akan
terjadi namun ia harus bertanggung jawab.
Karena itu, maka pemimpin padepokan itupun berkata
"Kami akan mencoba menempa diri sebaik-baiknya
Betapapun tinggi ilmu dan kemampuannya, jika kami
dengan sepenuh hati, tekad dan kemampuan
mempertahankan padepokan itu, maka kami yakin, bahwa
kami akan tetap dapat bertahan"
"Ya" desis Witantra "memang tidak ada kekuatan yang
tidak terlawan. Kalian harus menyusun kekuatan. Kalian
harus menunjuk patut yang sudah memiliki kelebihan dari
kawan-kawannya agar mereka menempa diri lebih baik dan
tekun. Mungkin dengan demikian, maka kalian akan dapat
menghadapi kelebihan dari seseorang yang datang dengan
maksud buruk di padepokan ini. Karena sudah pasti, bahwa
kami tidak akan dapat berada padepokan ini untuk waktu
yang terlalu lama" "Tetapi bagaimana dengan perburuan ini?" bertanya
Pangeran Kuda Padmadata "jika masih belum dapat
menangkap orang yang menyebut dirinya Rajawali
Penakluk itu, maka rasa-rasanya keadaan di daerah yang
luas ini masih akan selalu terganggu"
"Mungkin demikian" sahut Mahendra "tetapi
padepokan-padepokan terpencar ini akan dapat
mengadakan hubungan yang satu dengan yang lain untuk
saling membantu. Bagaimanapun caranya, mereka akan
dapat membangun satu jaringan isyarat dari padepokan
yang satu dengan padepokan lain yang berdekatan"
Pangeran Kuda Padmadatapun mengangguk-angguk.
Namun rasa-rasanya bagi dirinya sendiri, Rajawali
Penakluk itu akan tetap menjadi bayangan yang buram.
Apalagi jika ia mengingat isteri dan anaknya yang masih
dititipkannya di Singasari.
"Apakah aku dapat mengambilnya dan membawanya ke
Kediri di bawah bayangan kekejaman orang itu?"
Tetapi persoalan Pangeran Kuda Padmadata itu adalah
persoalan yang sangat khusus. Persoalan diri pribadinya,
meskipun dalam keseluruhan tidak dapat dipisahkan dari
persoalan yang menyeluruh, karena sebenarnyalah sumber
dari dorongan sikap Ki Dukut adalah karena persoalan
pribadinya pula, meskipun kemudian berkembang menjadi
pamrih atas harta kekayaannya.
Karena itu, maka akhirnya Pangeran Kuda Padmadata
tidak dapat lagi menghindari pembicaraan tentang dirinya
sendiri bersama Mahisa Agni, Witantra, Mehendra dan
apalagi dengan Ki Wastu. "Sebaiknya isteri Pangeran itu dibawa saja ke Kediri. Ia
sudah terlalu lama mengalami tekanan batin. Meskipun,
kini ia merasa aman di bawah perlindungan para prajurit di
Singasari, tetapi kesejahteraan jiwanya masih juga belum
didapatinya. Ia tentu masih merasa kesepian meskipun ada
seorang puteranya yang dapat mengisi hari-harinya yang
tentu terasa sangat panjang" berkata Mahendra.
"Tetapi bagaimana dengan Ki Dukut" desis Pangeran
itu. "Sebenarnya Pangeran tidak usah terlalu mencemaskan"
sahut Witantra "Ki Wastu tentu akan berada di istana
Pangeran di Kediri. Tentu ia akan mengawasi anak
perempuannya sebaik-baiknya"
Sepercik kecerahan memancar di wajah Pangeran Kuda
Padmadata. Katanya "Jika bapa bersedia tinggal bersama
kami, tentu tidak akan ada masalah lagi yang perlu kami
gelisahkan" Ki Wastu menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya
"Aku memang merasa mempunyai kewajiban atas anak
perempuanku. Sebelum keadaan yang pasti dapat kita
ketahui tentang Ki Dukut Pakaring, aku akan berada di
istana Pangeran" "Terima kasih" desis Pangeran Kuda Padmadata
"dengan demikian, aku sudah mendapatkan pemecahan
tentang keadaan keluargaku. Tetapi itu bukan berarti,
bahwa persoalan guru dapat dilupakan begi tu saja"
"Kita akan tetap berusaha menemukannya" berkata
Mahisa Agni "tetapi tentu tidak akan dapat melanjutkan
perburuan dengan cara ini. Kita tidak pernah berhasil
menemukan meskipun hanya jejaknya. Apalagi orangnya"
Pangeran Kuda Padmadata mengangguk-angguk. Di luar
sadarnya dipandanginya Mahisa Bungalan. Anak muda itu
rasa-rasanya tidak akan dapat bersabar menunggu.
Namun diluar dugaan, Mahisa Bungalanpun kemudian
berkata "Kita memang harus menemukan cara lain. Kita
akan kembali ke Kediri untuk mengambil sikap yang lebih
baik dari sikap kita selama ini terhadap Ki Dukut.
Sementara Pangeran akan dapat menyusun kehidupan
keluarga sewajarnya, sebagaimana layaknya sebuah
keluarga. Tentu dengan harapan, bahwa Ki Wastu akan
memberikan perlindungan kepada keluarga Pangeran.
Sementara itu, biarlah kami melanjutkan perburuan dengan
cara yang akan kami bicarakan kemudian"
"Tentu aku tidak akan dapat tenang duduk di serambi
dengan anak isteriku, sementara kalian menyusup hutan
dan melintasi padang-padang yang gersang untuk mencari
orang yang akun dapal mengganggu ketenangan
keluargaku" gumam Pangeran Kuda Padmadata.
"Tidak seperli yang pangeran katakan" jawab Mahisa
Bungalan "semuanya masih harus dituuggu. Mungkin ada
perkembangan keadaan yang akan ikut menentukan,
apakah yang sebaiknya kila lakukan kemudian"
Pangeran Kuda Padmadata hanya dapal menganggukangguk,
la memang belum melihat, cara yang manakah
yang dapat ditempuh dalam keadaan seperti itu.
Karena itulah, maka akhirnya, sekelompok orang yang
sedang memburu Ki Dukut itupun memutuskan untuk
kembali ke Kediri membawa semua pasukan dan tawanan.
Tetapi mereka sudah memberikan beberapa petunjuk yang
dapat dilakukan oleh padepokan-padepokan kecil yang
mungkin akan dapat menjadi sasaran dendam.
"Kalian harus berlatih dengan sungguh-sungguh" berkata
Mahisa Bungalan "aku tahu. bahwa disetiap padepokan
tentu ada satu atau dua orang yang memiliki kelebihan.
Orang itulah yang harus menempa kawan-kawannya. para
cantrik dan pengikut-pengikutnya sejauh-jauh dapat
dilakukan, agar orang-orang yang berada disekitarnya akan
dapat membantunya jika mereka mengalami kesulitan"
Atas pesetujuan para pemimpin prajurit dan pengawal,
maka mereka telah meninggalkan beberapa jenis senjata
yang akan dapat dipergunakan untuk melengkapi senjatasenjata
yang telah ada di padepokan kecil itu.
Pada hari-hari yang tersisa, sebelum pasukan itu
meninggalkan padepokan, maka para prajurit dan pengawal
telah memberikan latihan sebaik-baiknya. Karena jumlah
para prajurit dan pengawal cukup banyak, maka mereka
dapat membagi diri, langsung menjadi pasangan setiap
cantrik dalam latihan-latihan yang berat dan mengarah.
Dengan sungguh-sungguh para cantrik itu berlatih
mempergunakan jenis-jenis senjata yang ada pada pasukan
dari Kediri itu. disamping mereka berlatih dengan sungguhsungguh
mempergunakan senjata-senjata mereka sendiri.
Karena latihan-latihan yang bersungguh-sungguh,
meskipun waktunya tidak terlalu banyak, namun mereka
telah mendapat pengetahuan yang cukup bagi diri mereka
sendiri dan bagi kawan-kawan mereka.
Akhirnya, sampailah saatnya Pangeran Kuda Padmadata
dan para prajurit serta pengawal meninggalkan padepokan
itu bersama beberapa orang yang memiliki ilmu yang tinggi.
Ternyata kehadiran mereka beberapa lama benar-benar
telah merubah tata kehidupan di padepokan kecil itu.
Padepokan itu telah menerima petunjuk bukan saja dalam
olah kanuragan, tetapi juga cara-cara yang lebih baik bagi
kesejahteraan hidup mereka.
Demikianlah pada suatu pagi yang cerah, pasukan
Singasari dan Kediri itupun berangkat dalam iringan yang
paniang, karena di samping para praiurit dan pengawai,
terdapat juga beberapa orang tawanan. Dianlara iringiringan
itu terdapat pula beberapa pedati yang membawa
beberapa orang prajurit, pengawal dan bahkan lawanan
yang masih belum sembuh benar dari luka-luka mereka di
pertempuran-pertempuran yang terjadi selama pasukan itu
menjelajahi padepokan dan sarang-sarang penjahat.
Namun di sepanjang jalan, beberapa orang telah di
cengkam oleh perasaan yang pahit. Seolah-olah apa yang
telah mereka kerjakan dengan korban jiwa dan raga itu,
sama seiali tidak memberikan hasil yang memadai. Yang
mereka lakukan tidak lebih dari berjalan beriringan
menyerang sarang-sarang penjahat yang kemudian
menyerah. Meskipun kekuatan para penjahat itu tidak


Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rnemdadai, namun kadang-kadang ada juga diantara para
prajurit dan pengawal yang menjadi korban.
"Yang aku temui hanyalah kesia-siaan belaka" berkata
Pangeran Kuda Padmadata di dalam hatinya.
Namun perasaan yang sama tumbuh juga di dalam hati
Mahisa Bungalan. Bahkan rasa-rasanya jantungnya menjadi
panas karena kegagalannya menemukan buruannya.
Ternyata di perjalanan pasukan itu sama sekali tidak
menemukan hambatan apapun juga. Ketika di malam hari
mereka terpaksa berhenti dan bermalam di pinggir hutan,
maka dengan penuh kewaspadaan para prajurit dan
pengawal selalu berjaga-jaga.
Tetapi malam itu mereka lalui dengan tenang. Hanya
sekali-sekali terdengar geram binatang buas yang
berkeliaran di hutan yang lebat.
Demikianlah maka pasukan itupun akhirnya sampai ke
Kediri dengan selamat. Para tawanan itupun segera dibawa
ke barak-barak yang tersedia, sementara para prajurit dan
pengawalpun telah ditempatkan di kesatuan-kesatuan
mereka kembali. Dalam pada itu. Pangeran Kuda Padmadata telah
mengundang Mahisa Bungalan, Mahisa Agni, Witantra,
Mahendra dan anak-anaknya yang lain dan terutama Ki
Wastu untuk berada di istananya.
Mereka masih akan membicarakan beberapa hal yang
menyangkut keluarga Pangeran Kuda Padmadata.
Seperti yang sudah dibicarakan, maka akhirnya Pangeran
itu memutuskan untuk mengambil isteri dan anaknya
seperti seharusnya. Isteri dan anaknya itu akan tinggal
bersama mereka di dalam istana itu, di bawah pengawasan
Ki Wastu. Bagaimanapun juga, mereka tidak akan dapat
mengabaikan kehadiran Ki Dukut Pakering pada saat-saat
yang tidak diduga-duga. Setelah niat itu bulat di hati Pangeran Kuda Padmadata,
maka merekapun menentukan saat-saat mereka akan
menjemput isteri dan anak Pangeran Kuda Padmadata itu
untuk dibawa ke Kediri dari tempat mereka dilindungi oleh
prajurit Singasari. Namun demikian, Pangeran Kuda Padmadatapun tidak
akan dapat mengabaikan pandangan dan sikap beberapa
orang di Kediri atas keputusannya itu. Terutama para
bangsawan. Mereka mengira bahwa Pangeran Kuda
Padmadata benar-benar telah beristeri seorang yang
memiliki derajad yang pantas. Karena tidak seorangpun
yang mengerti, apa yang sebenarnya telah terjadi di
lingkungan dinding istana Pangeran Kuda Padmadata.
Tidak seorangpun yang tahu, betapa adik Pangeran Kuda
Padmadata itu telah berkhianat bersama seorang
perempuan yang disebut isteri dari Pangeran Kuda
Padamadata itu. Bahkan ternyata semuanya itu telah
berlangsung sesuai dengan rencana yang dibuat oleh Ki
Dukut Pakering, guru Pangeran Kuda Padmadata sendiri.
"Segalanya memang harus mendapat perhatian sebaikbaiknya"
berkata Mahisa Agni "memang tidak mustahil,
akan timbul masalah. Bagaimana mungkin Pangeran lebih
mementingkan isteri Pangeran yang Pangeran ambil dari
lingkungan rakyat daripada seorang isteri yang memiliki
derajad yang pantas"
Pangeran Kuda Padmadata memang menjadi bingung.
Ia tidak sampai hati untuk menyatakan dengan terbuka, apa
yang pernah dilakukan oleh adik dan perempuan yang
disebut isterinya itu. Bagaimanapun juga, jika mungkin.
Pangeran itu masih ingin melindungi nama baik adik
kandungnya. Sementara iapun tidak akan dapat mengorbankan nama
perempuan yang ternyata telah diperalat pula oleh gurunya.
Bagaimanapun juga, ia masih berharap bahwa perempuan
itu akan memiliki hari depannya sendiri.
"Aku akan berbicara dengan perempuan itu" berkata
Pangeran Kuda Padmadata "bagaimana sebaiknya aku
mengatakah tentang dirinya, justru untuk kepentingannya"
Mahisa Agni mengangguk-angguk. Namun kemudian
katanya "Tetapi Pangeran harus tetap berhati-hati.
Mungkin sakil hati dan dendam yang tersimpan dihatinya
tidak kalah berbahaya dari sakit hati dan dendam di dalam
hati Ki Dukut Pakering itu sendiri"
Pangeran Kuda Padmadata mengangguk-angguk. Ia
mengerti maksud Mahisa Agni. Karena itu, maka katanya
"Aku akan berusaha. Mudah-mudahan aku tidak salah
langkah" Tetapi sementara itu, ternyata Pangeran Kuda
Padmadata cenderung untuk mengambil isteri dan anaknya
itu lebih dahulu dari segala macam langkah yang akan
diambil. "Ia akan dapat berada di istana ini tanpa, menimbulkan
persoalan sebelum aku menyatakan dengan terbuka, bahwa
isteri dan anakku yang sebenarnya sudah berada di sini"
berkata Pangeran Kuda Padmadata.
Ternyata pendapat itu disepakati. Sehingga dengan
demikian maka Pangeran Kuda Padmadata akan segera
pergi ke Kediri menjemput isteri dan anaknya, meskipun
hal itu tidak akan segera diberitahukan kepada siapapun
juga di Kediri, sebelum Pangeran Kuda Padmadata
menghubungi beberapa pihak yang akan langsung
bersentuhan dengan persoalan itu.
Dalam pada itu, maka untuk beberapa saat lamanya,
Mahisa Agni, Witantra dan Mahendra tidak akan
disibukkan dengan perburuan yang gagal dipandang yang
sangat luas. Tetapi mereka akan terlibat ke alam kesibukan
yang lain, membawa isteri dan anak Pangeran Kuda
Padmadata dari Singasari ke Kediri.
Untuk beberapa saat Pangeran Kuda Padmadata telah
mengadakan persiapan-persiapan seperlunya. Rumahnya
telah diatur sebaik-baiknya. Yang mengalami kerusakan
telah diperbaikinya. Sementara para abdi disana itupun
mulai berteka-teki. "Pangeran Kuda Padmadata akan kawin lagi" berkata
seorang hamba di istananya.
"Tentu tidak" sahut yang lain "jika demikian, bagaimana
dengan isterinya itu?"
"Uh. Lagaknya kau tidak tahu apa yang pernah terjadi"
desis yang lain. Kawannya tidak menjawab. Bagaimanapun juga, mereka
tidak akan dapat melupakan, apa yang pernah terjadi di
istana itu. Meskipun demikian, mereka berusaha untuk
tidak menceriterakan kepada siapapun, apa yang
sebenarnya telah terjadi. Untunglah bahwa sebagian besar
dari mereka, memang tidak mengerti peristiwa itu di dalam
keseluruhan, sehingga ceritera yang pernah merembes
keluar dinding istana itupun tidak jelas pula.
Namun adalah satu kenyataan, bahwa setelah peristiwa
yang menggetarkan istana itu, isteri Pangeran Kuda
Padmadata yang dianggap mempunyai derajad yang
memadai itu telah dikembalikan kepada ayahandanya.
Memang ada beberapa orang yang bertanya-tanya di
dalam hati. Setelah istana itu dirampok orang, sehingga
adik Pangeran Kuda Padmadata itu menjadi korban,
kenapa justru puteri itu telah diserahkan kembali kepada
ayahandanya. "Bukan diserahkan" seseorang berusaha menduga-duga
tetapi agaknya puteri itu sudah diambil kembali oleh
ayahandanya karena kemungkinan buruk yang dapat terjadi
di istana itu sepeninggal adik Pangeran Kuda Padmadata"
"Bukan diserahkan" seseorang berusaha menduga-duga
tetapi agaknya puteri itu sudah diambil kembali oleh
ayahandanya karena kemungkinan buruk yang dapat terjadi
di istana itu sepeninggal adik Pangeran Kuda Padma data"
Orang yang lain mengangguk-angguk. Katanya
"Pangeran Kuda Rukmasanti adalah seorang Pangeran
yang pilih tanding. Tetapi ia terbunuh. Karena itu, maka
mungkin sekali ayahanda puteri itu benar-benar
mencemaskan nasib puterinya, sehingga puteri itu telah
diambilnya. Telapi untuk menjaga kewibawaan Pangeran
Kuda Padmadata, maka dikatakannya, seolah-olah puteri
itu telah di kembalikan"
Kawannya mengangguk-angguk. Tetapi sebenarnyalah
banyak ceritera telah terjadi tentang istana Pangeran itu.
Bahkan ketika Pangeran Kuda Padmadata untuk beberapa
saat lamanya tidak nampak di Kediripun, timbul pula
dugaan-dugaan yang bersimpang siur.
"Pangeran Kuda Padmadata telah membawa pasukan
segelar sepapan" berkata orang-orang yang sedang duduk
mengaso dipematang sawahnya.
Kawannya segera menyahut "Itu adalah tugasnya. Ia
adalah seorang Pangeran, tetapi juga seorang Senopati
pengawal di Kediri. Ia sedang mengejar sekelompok
penjahat yang membuat daerah yang jauh dari kota menjadi
tidak aman. Banyak korban yang telah jatuh, sehingga
Pangeran itu merasa perlu untuk memburunya, dan
menumpas mereka sampai kepusat sarangnya"
Demikianlah, ketika semua persiapan sudah selesai,
maka Mahisa Agni dan Mahendra telah mendahului
Pangeran Kuda Padmadata ke Singasari untuk
memberitahukan, bahwa Pangeran Kuda Padmadata akan
datang mengambil isteri dan anak laki-lakinya.
Para prajurit Singasari itupun merasa laga. Dengan
demikian mereka merasa terbebas dari satu tanggung jawab
yang tidak ringan. Selama isteri Pangeran ilu masih berada
di Singasari, maka para prajurit yang diserahi untuk
menjaganya, harus selalu berjaga-jaga. Apalagi di malam
hari. Mungkin seseorang dengan diam-diam merunduk
keselamatan perempuan itu lewat kemungkinan yang tidak
terduga sebelumnya. Tetapi ternyata bahwa berita itupun segera tersebar
diantara para prajurit di Singasari. Bahkan kemudian hal itu
telah didengar oleh keluarga para prajurit itu. Karena
mereka menganggap bahwa hal itu bukan satu rahasia yang
perlu disembunyikan, akhirnya berita itupun telah ter sebar.
Seorang Pangeran dari Kediri akan mengambil perempuan
yang berada di Singasari, yang ternyata adalah isterinya.
Meskipun berita itu tidak meluas keseluruh kota, dan
bukan merupakan berita terpenting pada satu saat, namun
berita itu ternyata sampai juga ketelinga seseorang yang
berada di Singasari untuk satu tujuan yang khusus.
Orang itu adalah anak buah Macan Wahan yang sedang
mencari kemungkinan untuk mendapatkan daerah jelajah
yang lebih luas bagi gerombolannya.
"Pangeran Kuda Padmadata dari Kediri akan mengambil
isterinya di Singasari" desis orang itu.
"Apa pedulimu" desis kawannya "yang penting, kita
harus mengetahui, apakah ada tempat-tempat yang
memungkinkan untuk mencari sumber baru. Ada berapa
pedagang barang-barang berharga di Singasari. Mungkin
satu dua diantara mereka mempunyai simpanan emas dan
permata yang cukup untuk menutup perjalanan kita yang
panjang ini" Tetapi kawannya nampaknya tidak tertarik sama sekali.
Ia lebih mementingkan kemungkinan-kemungkinan yang
baik bagi gerombolannya. Karena itu, maka katanya
"Nampaknya kau tidak bekerja dengan sungguh-sungguh
sehingga perhatianmu ternyata telah terpecah belah. Buat
apa kau memperhatikan isteri orang?"
"Orang itu mempunyai sangkut paut dengan Ki Lurah
Macan Wahan" desis kawannya.
"Tetapi tidak penting. Yang penting bagi kita, kita harus
mengetahui, apakah kita dapat berbuat sesuatu di tempat
yang gawat seperti ini. Di tempat yang dibayangi oleh
prajurit-prajurit yang pilih tanding. Di tempat yang
memiliki sejuta Senapati pilihan" sahut yang lain "Coba,
kau ingat. Sudah berapa kali, kawan-kawan kita, mencoba
untuk menembus daerah ini. Tetapi tidak seorangpun yang
pernah berhasil. Mereka segan berbuat sesuatu di antara
para prajurit dan Senapati yang siap untuk memenggal leher
mereka" Kawannya mengerutkan keningnya. Dan orang itupun
meneruskan kata-katanya "Kita akan merupakan orang
pertama yang akan berhasil di daerah ini"
"Apa yang akan kau lakukan?" bertanya yang lain.
"Kita adalah pedagang-pedagang kaya yang akan
berbicara tentang emas dan permata. Dengan demikian kita
akan dapat berhubungan dengan pedagang-pedagang
terpenting di Singa sari" sahut kawannya.
Tetapi kawannya tertawa kecut, jawabnya "Kau terlalu
bodoh untuk mengetahui seseorang. Pedagang-pedagang itu
sudah saling mengenal dengan baik. Hampir setiap pekan
atau bulan mereka saling berhubungan. Jika tiba-tiba datang
orang yang sama sekali belum dikenalnya, maka mereka
tentu akan meniadi curiga"
Yang lain mengerutkan keningnya. Lalu katanya "Kau
benar. Para pedagang itu tentu akan bertanya kepadaku.
dari mana asalku dan kenapa tiba-tiba saja aku datang ke
Singasari sebagai orang baru di dalam lingkungan mereka"
"Aku mempunyai cara" desis kawannya.
"Apa?" "Kita bukan pedagang. Tetapi kita adalah orang-orang
kaya yang akan membeli perhiasan emas dan permata.
Sekali-kali kita memang harus menawar. Jika terpaksa, kita
benar-benar akan membelinya. Narnun kemudian, kita
akan mengambil uang kita kembali, dan sekaligus dengan
bunganya yang berlimpah-limpah"
Yang lain mengerutkan keningnya. Namun kemudian
sambil menepuk pundak kawannya ia berkata "Kau
memang cerdas. Terima kasih. Kita akan memakai cara itu"
"Aku tidak berkeberatan" jawab kawannya. Namun tibatiba
"Tetapi kitapun harus memperhatikan berita tentang
Pangeran Kuda Padmadata. Mungkin kita
memerlukannya" "Maksudmu?" "Sekaligus kita menangkap berita itu. Bagaimana
Pangeran itu akan mengambil isterinya"


Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ah" desah yang lain "kau selalu memikirkan
perempuan itu. Apakah sebenarnya kepentinganmu"
"Bukan apa-apa. Tetapi aku hanya ingin membawa satu
ceritera yang menarik buat Ki Lurah Macan Wahan dan
tamunya, orang tua yang memiliki kemampuan iblis yang
paling garang itu" Kawannya termangu-mangu sejenak. Tiba-tiba saja ia
berkata "Ya. Akupun mendengar ia menyebut nama
Pangeran Kuda Padmadata. Mungkin ada juga
hubungannya dengan keinginannya untuk membangunkan
Kediri yang sedang tertidur itu"
"Bagus. Kita akan mencari keterangan tentang keduaduanya"
berkata yang lain. Demikianlah, maka kedua orang itupun mulai dengan
peranannya sebagai dua orang kaya yang sedang mengada
kan perjalanan ke Singasari. Mereka berusaha menghubungi
para pedagang. Tetapi merekapun seolah-olah tidak dengan
sengaja, menangkap berita tentang perempuan yang disebut
sebagai isteri Pangeran Kuda Padmadata itu.
Kedua orang yang menurut pengamatan lahiriah adalah
dua orang yang kaya itu, mendapat kehormatan, bermalam
di sebuah banjar padukuhan, meskipun di tepi Kota
Singasari. Namun dari tempat itu, mereka dapat
mengetahui banyak hal tentang Kota Raja yang disebut
Singasari itu. Ternyata bahwa keduanya benar-benar telah membeli
barang-barang berharga dari seorang pedagang. Mereka
membeli barang-barang emas dan permata, meskipun tidak
terlalu besar dan tidak terlalu mahal.
"Kami menginginkan permata yang lebih baik lagi, tetapi
yang cocok dengan kepribadian kami" berkata salah
seorang dari keduanya. Dengan demikian, maka beberapa pedagang yang lain
telah datang pula kepada mereka berdua. Diantara mereka
yang datang itu adalah Mahendra.
Tetapi dari Mahendra mereka tidak membeli apapun
juga. Barang-barang yang dibawa oleh Mahendra
nampaknya tidak terlalu murah dan mereka, telah
mengelak, bahwa barang-barang itu, terutama batu
berharga, tidak cocok dengan kepribadian mereka.
Namun demikian, para pedagang itu sama sekali tidak
menyadari, bahwa kedua orang itu hanya ingin mengetahui
keadaan mereka seorang demi seorang. Rumah mereka dan
kemungkinan-kemungkinan dapat mereka lakukan.
Selebihnya, mereka ingin mendengar serba sedikit tentang
seorang perempuan yang akan diambil oleh suaminya,
seorang Pangeran dari Kediri.
Nampaknya tidak ada masalah yang timbul di antara
kedua orang itu dengan para pedagang. Bahkan keduanya
telah benar-benar membeli meskipun bukan barang yang
sangat mahal. Namun sebenarnyalah, keduanya telah
menarik perhatian Mahendra, bukan karena mereka telah
berhubungan dengan para pedagang, tetapi justru karena
keduanya telah berbicara tentang Pangeran Kuda Padma
data. Tetapi Mahendra tidak tergesa-gesa mempersoalkannya.
Iapun tidak berbuat sesuatu, ketika orang itu kemudian
meninggalkan Singasari. Namun demikian, Mehendra telah memperbincangkan
hal itu dengan Mahisa Agni yang bersama-sama telah
datang mendahului Pangeran Kuda Padmadata ke Singasari
untuk mempersiapkan isteri Pangeran Kuda Padmadata
yang akan dijemput oleh suaminya.
"Memang sangat menarik perhatian" berkata Mahisa
Agni "tetapi mungkin secara kebetulan, ia mendengarnya
dan tanpa maksud apa-apa, mereka bertanya tentang
Pangeran itu" Mahendra mengangguk-angguk, jawabnya "Salah satu
kemungkinan dari sekian banyak kemungkinan"
Mahisa Agni mengangguk-angguk sambil tersenyum.
Katanya "Kita memang harus berhati-hati. Tetapi hal ini
agaknya tidak perlu kita persoalkan. Pangeran Kuda
Padmadata masih diliputi oleh kecemasan. Jika ia
mendengar hal itu, mungkin ia akan menentukan sikap lain.
Mungkin ia telah membuka padang perburuan baru di
daerah yang sangat luas. bahkan tidak terbatas"
Mahendra mengangguk-angguk. Namun katanya "Selain
persoalan Pangeran Kuda Padmadata, yang menarik
perhatian pada mereka adalah usahanya untuk
berhubungan dengan pedagang sebanyak-banyaknya"
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Katanya "Itupun
harus mendapat perhatian. Tetapi mungkin pula ia sekedar
ingin memperbandingkan harga"
Sambil tertawa Mahendra berkata "Itu juga salah satu
dari sekian banyak kemungkinan"
Mahisa Agnipun tertawa. Katanya "Agaknya memang
demikian. Mudah-mudahan"
"Mudah-mudahan apa?" bertanya Mehendra.
"Mudah-mudahan satu kemungkinan benar"
Mahendra masih tertawa. Lalu katanya "Baiklah. Kita
akan memperhitungkan Segala kemungkinan. Tetapi kita
tidak akan menunda lagi rencana Pangeran Kuda
Padmadata mengambil isteri dan anaknya"
Keduanyapun sepakat, bahwa mereka tidak akan
menelan lagi dengan alasan apapun juga. Perempuan dan
anak laki-lakinya itu sudah cukup lama menderita. Yang
terakhir, meskipun penderitaan jasmaniahnya telah
berakhir, tetapi ia masih tetap menderita batiniah, karena ia
masih tetap merupakan seorang perempuan titipan di
Singasari. Namun dalam pada itu, selagi Pangeran Kuda
Padmadata mempersiapkan rencana penjemputan itu,
kedua orang yang datang di Singasari sebagai dua orang
kaya yang mencari batu-batu berharga dan barang-barang
perhiasan itu telah berada di antara lingkungannya di
padepokan yang dipimpin oleh Macan Wahan. Kecuali
pengenalan mereka terhadap beberapa orang pedagang,
ternyata mereka telah berbicara tentang rencana seorang
Pangeran di Kediri bernama Kuda Padmadata untuk
menjemput isterinya dari Singasari.
"Siapa?" bertanya Ki Dukut Pakering yang masih berada
di padepokan Macan Wahan.
"Pangeran Kuda Padmadata" jawab kedua orang itu.
Ki Dukut menarik nafas dalam-dalam. Katanya "Itu
adalah contoh dan seorang Pangeran di Kediri yang tidak
tahu diri. Ia adalah budak yang paling setia bagi orangorang
Singasari" "Kenapa?" bertanya Macan Wahan.
"Bukankah Pangeran itu muridku?" desis Ki Dukut
"tetapi ia tidak pantas menjadi contoh sifat dan sikap
seorang Pangeran. Kediri harus bangkit. Kediri tidak
memerlukan lagi Pangeran seperti Kuda Padmadata"
"Jika demikian, kita tidak akan menghiraukannya" desis
Macan Wahan. Ki Dukut termangu-marigu sejenak. Terbayang sekilas,
apa yang pernah dilakukannya pada saat-saat lampaunya.
Ia telah menginginkan kematian Pangeran itu dengan cara
yang khusus. Dengan memperalat adik kandungnya sendiri.
Selain usahanya itu, iapun telah berusaha pula mematahkan
tunas keturunan. Pangeran Kuda Padmadata. Dengan
demikian, maka segala harta warisan Pangeran itu akan
jatuh kepada adik kandungnya, juga muridnya.
"Tetapi apa peduliku sekarang?" pertanyaan itu telah
tumbuh di dalam hatinya "jika aku membunuh Pangeran
itu, apakah pamrihku" Juga jika aku membunuh isteri dan
anaknya. Aku tidak akan dapat menerima apapun juga
lewat satu-satunya adik kandungnya, karena adik
kandungnya itu telah terbunuh"
Karena itu, maka untuk beberapa saat Ki Dukut
termangu-mangu. Namun yang kemudian membayang di
rongga matanya adalah tumpahan dendam yang membakar
jantungnya. Meskipun ia tidak akan mendapatkan apapun
juga, namun membunuh Pangeran Kuda Padmadata, isteri
dan anaknya, akan dapat memberikan kepuasan tersendiri"
Tetapi setiap kau terbersit keragu-raguan di hatinya.
Kematian itu tidak ada artinya sama sekali, selain
pemuasan dendam yang membakar jantungnya.
Namun tiba-tiba menggeram "Berita itu sangat menarik
perhatian. Aku akan merenungkannya. Mungkin aku
mempunyai kepentingan dengan muridku yang telah
berkhianat itu. Setidak-tidaknya berkhianat terhadap Kediri.
Tanah tumpah darahnya. Aliran darah keturunannya. Ia
sama sekali tidak menghormatinya dengan merendahkan
diri, berlutut di bawah kaki orang-orang Singasari"
"Terserah kepadamu" berkata Macan Wahan "aku dan
kawan-kawanku sudah menanamkan kepercayaan kami
kepadamu. Mungkin masih ada juga timbul beberapa
macam pertanyaan. Tetapi sebaiknya kau menentukan
sikap. Biarlah kami mempertimbangkan untuk membantu"
Ki Dukut mengangguk-angguk. Meskipun keragu-raguan
masih membayang, namun iu kemudian menentukan
"Memang aku ingin berbuat sesuatu. Aku akan mulai
mengguncang Kediri dengan anak yang malang, yang telah
menjual harga dirinya itu"
"Kita akan membunuhnya" geram Ki Dukut "bersama
dengan anak isterinya. Orang-orang yang mengiringinya
akan kita biarkan hidup. Tetapi mereka harus mendengar
sikap kami, kenapa Pangeran itu harus mati. Pangeran itu
adalah satu contoh bahwa Pangeran-pangeran yang lainpun
akan mengalami nasib yang sama jika mereka menjual
harga dirinya kepada orang-orang Singasari"
"Dengan demikian kita akan mulai dengan perjuangan
yang panjang" berkata Macan Wahan "apakah dengan
demikian kita sudah siap?"
"Baru langkah permulaan" berkata Ki Dukut "kita tidak
akan melakukannya dengan terbuka.
Kita hanya meninggalkan kesan yang akan disusul
dengan kesan-kesan berikutnya"
Macan Wahan mengangguk-angguk. Ia mengerti
maksud Ki Dukut. Bahwa yang akan dilakukannya itu baru
sekedar permulaan dari perjuangan yang masih belum
sebenarnya dimulai. Sehingga dengan demikian, maka
peristiwa yang akan terjadi itu, tidak harus disusul dengan
langkah-langkah berikutnya dalam waktu singkat dan
beruntun. Tetapi dengan langkah itu, Ki Dukut sudah mulai
melontarkan pertanyaan kepada para bangsawan di Kediri,
apakah mereka akan tetap tertidur nyenyak.
"Kediri sudah lerlalu lama berada di bawah kekuasaan
Singasari" berkata Ki Dukut kemudian.
"Jadi langkah apa yang akan kita ambil?" bertanya
Macan Wahan. 09_SHM_Panasnya_Bunga_Mekar
"Mencegat iring-iringan yang akan berangkat dari
Singasari menuju ke Kediri itu" berkata Ki Dukut.
"Kita akan pergi bersama-sama" berkata Macan Wahan.
"Itu tidak perlu. Serahkan kepada satu dua orang
kepercayaanmu. Dua orang terbaik di lingkungan kita,
meskipun bukan kau dan aku sendiri" berkata Ki Dukut
"namun mereka harus membawa pasukan secukupnya.
Dalam iring-iringan itu, aku yakin, akan terdapat banyak
.harta dan benda yang dapat kau miliki di samping pesan
yang akan kita lontarkan lewat orang-orang yang masih
akan dibiarkan hidup"
"Bagaimana dengan Pangeran Kuda Padmadata, isteri
dan anak laki-lakinya?" bertanya Macan Wahan.
"Mereka adalah sasaran utama. Mereka harus dibunuh,
karena mereka adalah pengkhianat dengan keturunannya"
jawab Ki Dukut. "Menarik sekali" jawab Macan Wahan "nampaknya dua
ekor ikan akan sekaligus kita tangkap. Kematian Pangeran
Kuda Padmadata, dan harta benda yang tentu dibawa oleh
isteri Pangeran itu"
"Tetapi hati-hatilah. Kalian harus menyelidiki kekuatan
para pengawal. Ada beberapa orang gila di sekitar Pangeran
Kuda Padmadata. Dua atau tiga orang, termasuk ayah
perempuan yang menjadi isteri Pangeran.Kuda Padmadata
itu" "Jika demikian, kita akan mengirimkan tiga orang. Tentu
cukup. Orang-orang kita adalah orang-orang yang pilih
tanding. Sementara kita akan menyertakan pasukan pilihan
pula. Dari setiap padepokan dapat diambil lima orang
terbaik, sehingga dari tiga padepokan termasuk
pimpinannya yang tiga orang itu, akan berjumlah delapan
belas orang" berkata Macan Wahan.
Ki Dukut mengangguKi. Katanya "Tetapi perhitungkan
kekuatan itu sebaik-baiknya. Mungkin pengawal
perempuan itu tidak lebih dari sepuluh orang-orang berkuda
yang terpilih termasuk Pangeran Kuda Padmadata dan
ayah perempuan itu sendiri. Tetapi jika jumlahnya lebih
banyak lagi, kalianpun harus mempertimbangkannya"
"Baiklah" jawab Macan Wahan "aku akan memanggil
mereka untuk memulai dengan tugas permulaan ini.
Mungkin tugas ini baru akan menjadi pemanasan dari
tugas-tugas yang akan kita sandang kemudian. Yang
barangkali akan jauh lebih berat"
"Tentu" jawab ki Dukut "tugas berikutnya adalah
masalah yang jauh lebih berat. Bukan sekedar seorang
Pangeran dengan isteri dan anaknya. Tetapi masalah Kediri
dalam keseluruhan" Demikianlah, seperti yang dikatakan oleh Ki Dukut,
maka Macan Wahanpun telah memanggil beberapa orang
kawan-kawannya yang berada di bawah pengaruhnya.
Dengan jelas ia menyampaikan rencana yang diinginkan
oleh Ki Dukut, untuk berbuat sesuatu yang akan dapat
menarik perhatian para bangsawan di Kediri.
"Karena itu. kalian harus mengirimkan orang lagi ke
Singasari untuk mengetahui, saat-saat yang lebih pasti dari
rencana keberangkatan perempuan itu menuju ke Kediri"
berkata Ki Dukut Pakering.
Kawan-kawan Macan Wahanpun nampaknya tidak


Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berkeberatan untuk melakukan tugas itu. Bahkan mereka
mulai berpengharapan, bahwa Ki Dukut akan dapat
menjadi pengikat bagi padepokan-padepokan yang
meskipun mempunyai hubungan, tetapi mereka sulit untuk
melakukan kerja sama yang besar dalam usaha mereka
untuk mendapatkan barang-barang rampasan. Bahkan
kadang-kadang mereka bersaing sehingga tidak jarang
timbul pertentangan di antara mereka sendiri.
Tetapi dengan tugas yang lain, mereka lelah mengikat
diri dalam satu kerja yang rangkap. Membunuh seorang
Pangeran yang telah menjual harga dirinya, sekaligus
mengerahkan kekuatan untuk menghancurkan kekuatan
yang cukup besar dan yang tentu membawa barang-barang
rampasan yang bernilai tinggi.
"Kalian menyerahkan kekuatan seimbang" berkata Ki
Dukut "karena itu, bagaimanapun akhir dari keadaan
kalian masing-masing namun apa yang kalian dapatkan
merupakan hasil kalian bersama dan kalian akan mendapat
bagian yang sama. Dengan demikian, maka sekali lagi Macan Wahan telah
mengirimkan orang-orangnya ke Singasari untuk
mengetahui dengan pasti, saat-saat Pangeran Kuda
Padmadata mengambil isteri dan anaknya, serta
membawanya ke Kediri. Pekerjaan itupun bukan pekerjaan yang sulit. Ternyata
bahwa berita itupun telah banyak didengar orang. Bahwa
pada satu saat yang telah ditentukan, Pangeran dari Kediri
akan datang ke Singasari untuk menjemput isteri dan
anaknya. "Menjelang purnama" berkala seseorang ketika
kawannya bertanya tentang keberangkatan isteri seorang
Pangeran dari Kediri itu "menjelang bulan bulat di langit
mereka akan berangkat"
"Kenapa menjelang purnama?" bertanya kawannya pula.
"Jika mereka terpaksa menginap di perjalanan karena
perjalanan yang sangat lambat, maka malam tidak terlalu
kelam di tempat pemberhentian itu" jawab yang
ditanyainya. Kawannya mengangguk-angguk. Nampaknya saat itu
memang sudah diperhitungkan sebaik-baiknya.
Ternyata bahwa saat yang ditentukan itu telan terdengar
pula oleh pengikut Macan Wahan, sehingga saat itupun
segera dilaporkannya kepada pemimpin padepokannya itu.
"Baiklah, segala persiapan segera dilakukan. Jangan
hanya delapan belas orang. Tetapi bawalah duapuluh orang
ditambah dengan tiga orang pemimpin mereka" berkata
Macan Wahan kemudian setelah ia mendengar laporan itu.
Dengan demikian, maka setiap kelompok dari tiga
padepokan telah membawa tujuh orang terbaik ditambah
seorang pemimpin mereka, sehingga dengan demikian,
yang akan berangkat memenuhi tugas itu adalah duapuluh
empat orang. "Aku kira pengawalnya tidak akan sebanyak itu" berkata
Ki Dukut "mungkin sepuluh, mungkin lima belas orang"
"Tetapi mereka adalah prajurit-prajurit. Masih harus
diperhitungkan orang-orang yang aneh itu, termasuk ayah
dari perempuan itu sendiri" berkata Macan Wahan.
Ki Dukut mengangguk-angguk. Ia berpengharapan,
bahwa usaha itu akan berhasil. Orang-orang padepokan
yang berilmu hitam itu, jauh berbeda dari para penjahat
kecil yang pernah dipergunakannya. Orang-orang
padepokan yang ber ilmu hitam itu memiliki kemampuan
yang jauh lebih tinggi, dan sangat mengerikan, sehingga
meskipun Senopati terbaik dari Singasari, akan menjadi
ngeri melihat tingkah laku mereka. Apalagi tiga orang
diantara mereka adalah orang terbaik yang hampir setingkat
dengan Macan Wahan sendiri.
"Jika kali ini aku berhasil" berkata Ki Dukut di dalam
hatinya "maka dendamku akan terobati. Tetapi lebih dari
itu, agaknya aku telah benar-benar didorong untuk berbuat
sesuatu bagi Kediri. Atau barangkali, yang lebih nampak
adalah warna kebencianku kepada Singasari yang telah
sekian lama berkuasa atas Kediri"
Namun kadang-kadang debar jantung Ki Dukut tidak
dapat diungkiri, bahwa segalanya itu telah berpijak pada
ketamakannya, sehingga seluruh hidupnya telah dibakar
oleh dendam dan kebencian.
Demikianlah, pada saat yang ditentukan, maka orangorang
yang akan mencegat perjalanan Pangeran Kuda
Padmadata itupun telah mempersiapkan diri. Mereka telah
memilih tempat yang paling baik yang akan dilalui oleh
iring-iringan dari Singasari ke Kediri itu. Bahkan yang
menurut perhitungan mereka iring-iringan yang mungkin
sekali akan memper gunakan pedati itu, akan bermalam di
sekitar tempat yang telah dipilih itu.
"Kita akan bertindak di malam hari" berkata salah
seorang dari mereka. Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Perhitungan itu
nampaknya sesuai dengan perhitungannya.
Sementara itu, dua orang yang lain telah pergi ke
Singasari untuk mengetahui, berapakah jumlah para
pengawal yang akan ikut serta mengantar puteri itu dari
Singasari ke Kediri. Dalam pada itu, Pangeran Kuda Padmadata memang
telah menentukan, untuk membawa isterinya dari Singasari
ke Kediri menjelang malam purnama, agar jika mereka
bermalam di perjalanan, maka malam tidak nampak hitam
pekat seperti selembar tirai hitam saja. Dengan demikian,
maka isterinya itu tidak akan terlalu ketakutan setelah
untuk beberapa saat ia mengalami tekanan jiwa yang
menegangkan. Menurut persiapan yang telah dilakukan, maka Pangeran
Kuda Padmadata akan membawa pengawal seluruhnya dari
Kediri, la telah memilih sepuluh orang pengawal yang
paling dipercaya. Mereka adalah pengawal yang memiliki
ilmu yang tinggi, sementara kesepuluh orang itu adalah
orang-orang yang telah menyerahkan dirinya ke dalam
kesetiaan pengabdian kepada Kediri.
Namun disamping sepuluh orang pengawal terkuat itu.
Pangeran Kuda Padmadata juga memperhitungkan dirinya
sendiri dan Ki Wastu, sementara kemungkinan lain,
terserah kepada Mahisa Agni yang sudah berada di
Singasari. Pada saat yang telah ditentukan, maka Pangeran dari
Kediri itupun telah datang ke Singasari bersama
pengiringnya. Betapa gejolak hati Pangeran itu, ketika ia
bertemu dengan isteri dan anaknya. Hampir saja Pangeran
Kuda Padmadata itu tidak dapat membendung air matanya
yang rasa-rasanya hampir pecah dipelupuknya. Apalagi jika
teringat olehnya, apa saja yang telah dialami oleh isteri dan
anaknya itu. Saat nyawanya hampir melayang. Saat-saat ia
berada di hutan kayu cendana. Dan pada saat lain yang
menegangkan. "Semuanya sudah berlalu" berkata Pangeran Kuda
Padmadata "kita akan memasuki hari-hari yang wajar
dalam kehidupan keluarga"
Isterinyalah yang tidak dapat menahan air matanya yang
tumpah tanpa dapat dikendalikan, seolah-olah justru
diperasnya sampai kering.
"Kita akan segera kembali ke Kediri" berkata Pangeran
Kuda Padmanya kepada isterinya" Kita akan mohon diri
kepada Sri Rajasa di Singasari"
Pertemuan itu telah mambuat isteri Pangeran Kuda
Padmadata itu merasa hidup kembali. Ia masih merasa
seorang yang berasal dari sebuah pedukuhan kecil.
Seandainya ia tidak usah dibawa ke istana kapangeranan, ia
sama sekali tidak menyesal, asal ia dapat hidup sewajarnya.
Selain perlindungan seorang suami, iapun ingin ketenangan
dan ketenteraman, agar ia dapat mengasuh anak lakilakinya
sebagaimana seharusnya. "Istana itu adalah milikmu" berkata Pangeran Kuda
Padmadata "kau adalah satu-satunya isteriku. Jika pernah
ada orang yang disebut isteriku dari tataran yang sederajad,
itu sama sekali tidak benar. Kehidupanku waktu itu
dikuasai oleh kekuatan yang tidak dapat aku singkirkan,
sehingga sebenarnyalah akupun tidak dapat disebut sebagai
seseorang yang hidup dalam kewajaran"
Isterinya hanya menundukkan kepalanya saja sambil
menangis. Di dalam hatinya terbersit satu luapan
perasaannya, bahwa yang dikehendakinya hanyalah
kehidupan yang wajar, tenang dan tidak dibayangi oleh
kedengkian dan apalagi dendam"
Tetapi seperti apa yang dikatakan oleh suaminya, bahwa
sebanarnyalah hubungan keluarga di antara mereka telah
melalui saat-saat yang paling gawat dengan selamat. Badai
dan topan telah menghembus dari segenap arah. Namun,
beruntunglah, bahwa Tuhan Yang Maha Kuasa masih
melindungi mereka, sehingga suami isteri dan seorang anak
laki-lakinya itu dapat berkumpul kembali dalam kehidupan
sewajarnya. Dalam pada itu, apa yang diketahui oleh Mahendra
tentang dua orang yang sibuk mencari permata dan batubatu
berharga yang sesuai, benar-benar telah menarik
perhatian Mahisa Agni dan Witantra dalam hubungan
keseluruhan setelah Pangeran itu berada di Singasari.
"Kita tidak akan mempersoalkannya dengan Pangeran
Kuda Padmadata dalam tahap-tahap ini" berkata Mahisa
Agni "biarlah ia menikmati kebahagiaannya"
"Tetapi saat-saat ia kembali ke Kediri, maka hatinya
harus sudah dibekali dengan pengertian ini" berkata
Mahendra "mudah-mudahan tidak ada apa-apa di
perjalanan. Tetapi jika ada hubungan antara orang-orang
yang mencari batu-batu berharga itu dengan rencana
penjemputan isteri Pangeran Kuda Padmadata itu, maka
sebaiknya ia sudah bersiaga. Namun sudah barang tentu,
bahwa hal ini tidak akan diberitahukan kepada isterinya
sebelumnya" Tetapi Witantra berkata "Jika isterinya sama sekali tidak
mangetahui kemungkinan itupun dapat menimbulkan
bahaya bagi jiwanya. Ia sudah terlalu lama hidup dalam
ketegangan jiwa. Jika pada suatu saat yang tidak terdugaduga,
ia dihadapkan pada satu peristiwa yang dapat
mengguncang jiwanya yang masih belum mapan, maka
dapat terjadi peristiwa itu akan sangat berpengaruh pada
perasaannya" Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Katanya
"Apakah sebaiknya dipertimbangkan kemungkinan untuk
merubah rencana?" Witantra mengerutkan keningnya. Katanya "Mungkin
ada juga baiknya. Kita akan berbicara dengan Pangeran
Kuda Padmadata. Jika kita menyebut perubahan rencana
itu, hanyalah penundaan untuk waktu yang pendek.
Mungkin kita justru menghindari saat-saat yang sudah
diperhitungkan oleh orang-orang yang bermaksud buruk"
Ketika Mahendrapun sependapat untuk membicarakan
nya dengan Pangeran Kuda Padmadata, maka merekapun
segera menemui Pangeran itu dan diajaknya berbicara tanpa
orang lain, kecuali Ki Wastu.
Namun sikap Pangeran itu benar-benar tidak
tergoyahkan. Katanya "lembaran sikapku adalah
membelanya sampai kemungkinan terakhir" berkata
Pangeran Kuda Padmadata "jika aku menundanya lagi,
maka hatinya akan menjadi semakin pedih.
Kepercayaannya kepadaku akan menjadi semakin susut,
setelah untuk waktu yang lama ia meragukannya, karena
ternyata aku tidak dapat melindunginya. Jika pada saat
diperjalanan, Ki Dukut Pakering itu datang, biarlah aku
menunjukkan kepada isteriku, jika aku sendiri hadir dalam
kesulitan seperti itu, aku akan mengorbankan apa saja yang
ada padaku bagi keselamatannya"
"Tetapi apakah hal itu tidak akan mengguncang
ketenangan isteri Pangeran yang hampir pulih kembali?"
bertanya Witantra. "Semuanya akan aku selesaikan sama sekali. Kemudian,
hidup kami tidak akan terganggu lagi" berkata Pangeran
itu. Lalu "untuk menjaga perasaannya, maka aku akan
memberikan alas pada perasaannya, bahwa kemungkinan
semacam itu masih mungkin terjadi. Tetapi iapun harus
mengerti, bahwa kini ia tidak seorang diri. Tetapi aku,
suaminya dan sepuluh orang pengawal ditambah pengaruh
kekuatan ilmu ayahnya yang tinggi, maka kami semuanya
akan dapat mengatasinya. Tetapi jika gagal, biarlah kami
semuanya tumpas tanpa sisa"
Witantra menarik nafas dalam-dalam. Pangeran Kuda
Padmadata yang masih muda itu memang mempunyai hati
yang keras. Adalah sejalan jika Pangeran Kuda Padmadata
itu berbincang dengan Mahisa Bungalan yang juga masih
muda" Karena itu, maka mahisa Agnipun kemudian berkata
"Baiklah Pangeran. Jika Pangeran bersikeras untuk
berangkat sesuai dengan waktu yang sudah direncanakan,
biarlah kami juga ikut dalam tamasya ini. Aku, Witantra,
Mahendra dan anak-anaknya di samping Ki Wastu dan
Pangeran sendiri" Wajah Pangeran Kuda Padmadata menegang. Namun
kemudian katanya "Terima kasih paman, terima kasih.
Dengan demikian, maka kami akan semakin yakin, bahwa
Tuhan Yang Maha Kuasa akan tetap melindungi kita
semuanya" "Baiklah. Dengan demikian saat-saat mohon diri ke
penghadapan Sri Maharajapun tidak perlu mengalami
perubahan" berkata Witantra kemudian.
Demikianlah, maka segala persiapan telah dilakukan
seperti rencana. Setelah mohon diri dan mengucapkan
terima kasih kepada berbagai pihak di Singasari, dari
Maharaja Singasari sampai kepada para Senopati dan para
prajurit yang telah dengan ikhlas melindungi isteri dan
anaknya, maka Pangeran Kuda Padmadatapun telah
berangkat meninggalkan Singasari menjelang bulan
purnama.

Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mereka berangkat dipagi yang cerah. Langit bersih dan
lembaran-lembaran awan yang putih menggantung satusatu
diujung langit yang sangat jauh.
Jika mereka malam nanti harus bermalam dimanapun,
maka bulan purnama akan menghiasi langit yang biru
bersih itu. Tidak terlalu banyak orang-orang Singasari yang
memperhatikan keberangkatan Pangeran Kuda Padmadata.
Ada beberapa orang yang mendengarnya dan menyebutkan
ketika mereka berpapasan. Bahkan ada juga satu dua orang
yang keluar dari regol rumahnya, ketika iring-iringan itu
lewat dijalan di depan rumah. Tetapi dalam keseluruhan,
kepergian isteri Pangeran Kuda Padmadata itu kembali ke
Kediri, bukanlah satu peristiwa yang mengguncang Kota
Raja. Meskipun demikian, ada juga orang-orang yang
memperhatikannya dengan sungguh-sungguh. Diluar
gerbang Kota Raja dan orang telah menghitung iringiringan
itu dengan saksama. "Sebuah pedati yang tentu ditumpangi isteri dan anak
laki-laki Pangeran Kuda Padmadata" berkata salah seorang
dari keduanya "yang dua buah, untuk membawa bekal.
Yang harus diperhitungkan adalah para pengawal. Sepuluh
orang pengawal dan dua orang yang memimpin perjalanan
itu. Mereka tentu Pangeran Kuda Padmadata sendiri, dan
yang tua itulah agaknya yang bernama Ki Wastu, ayah dari
isteri Pangeran Padmadata itu.
"Masih ada yang harus diperhitungkan" berkata yang
lain. "Perempuan dan anak laki-laki itu?" berkata kawannya.
"Bukan. Tetapi para sais pedati itu. Kau lihat, ada tiga
orang sais pada tiga dan tiga orang yang agaknya
membantunya. Mungkin mereka adalah pesuruh atau abdi
atau apapun juga. Tetapi mereka juga laki-laki yang
barangkali mampu juga berkelahi"
Kawannya tertawa. Katanya "Kau sudah dibayangi oleh
kecemasan yang berlebih2an. Yang kau hitung justru para
sais dan para abdi yang melayani pedati-pedati itu"
"Mungkin" jawab yang lain "tetapi aku hanya ingin
berbuat sebaik-baiknya dengan seteliti mungkin. Jangan
sampai kesalahan yang kecil dan nampaknya tidak berarti
itu membuat para pemimpin kita kehilangan kepercayaan.
"Baiklah. Kita akan menyampaikan kepada Macan
Wahan. Kekuatan orang-orang Kediri itu terdiri dari
sepuluh pengawal, dua orang pemimpin yang tentu
Pangeran Kuda Padmadata dan Ki Wastu, enam orang
termasuk sais dan mereka, para abdi yang melayani pedati
yang membawa isteri Pangeran Padmadata dan anak lakilakinya"
Yang seorang mengangguk-angguk. Tetapi jawabnya
kemudian "Kita tidak perlu menghadap Macan Wahan dan
Ki Dukut. Kita akan langsung menemui mereka yang
mendapat tugas untuk mencegat iring-iringan itu ditempat
yang sudah di tentukan, yang diperkirakan akan menjadi
tempat bermalam iring-iringan yang tentu akan sangat
lambatnya, justru karena ada tiga buah pedati di dalamnya"
"Ya, Maksudku juga demikian. Kita akan mendahului
iring-iringan itu. Mereka tentu tidak banyak menaruh
perhatian terhadap kita berdua"
Dengan demikian, maka kedua orang itupun kemudian
berlari diatas punggung kudanya mendahului iring-iringan
yang berjalan dengan lambat. Sekali lagi mereka
menyaksikan hitungan mereka. Dan merekapun kemudian
merasa yakin, bahwa jumlah yang mereka sebutkan tidak
akan salah lagi" Laporan itu telah diterima dengan senang hati oleh tiga
orang pemimpin padepokan dari mereka yang menyadap
ilmu hitam. Mereka bertiga menganggap, bahwa pekerjaan
mereka tidak akan terlalu berat.
"Betapapun tinggi kemampuan seorang prajurit, mereka
tidak akan dapat melawan dua orang pengikut kita"
"Tetapi jangan abaikan mereka" berkata Ki Walikat
yang bertubuh kurus, berwajah runcing, dengan mata yang
bulat seperti mata burung hantu.
Yang seorang, yang berwajah kasar bertubuh tinggi
kekar, bernama Gampar Wungkul menggegam "Kenapa
kita meributkan mereka yang akan lewat. Siapapun akan
kita binasakan. Kita memerlukan ketiga pedati yang tentu
berisi bermacam-macam barang berharga. Tentu ada
diantaranya perhiasan emas permata. Agaknya Pangeran
Kuda Padmadata tentu membawa barang-barang berharga
itu bagi isterinya" "Kau besar" desis Ki Benda "Kita akan menunggu"
"Menjemukan. Bagaimana jika kita menyongsong
mereka?" bertanya Gampar Wungkul.
"Sebaiknya kita menunggu disini. Mereka tentu akan
bermalam disekitar daerah ini. Maju atau mundur, tetapi
tidak akan terlalu jauh. Dimalam hari kita akan dapat
bekerja dengan lebih tenang tanpa diganggu oleh orangorang
lewat" berkata Ki Walikat.
"Sebaiknya memang demikian" sahut Ki Benda. Gempar
Wungkulpun tidak menjawab lagi. Bagaimanapun juga ia
harus menyesuaikan diri dengan pendapat kedua orang
kawannya yang dianggap membawa kekuatan yang sama
besar. Meskipun menunggu adalah pekerjaan yang paling
menjemukan, namun mereka sudah sepakat untuk melaku
karinya. Orang-orang yang tidak berbuat apapun juga itu,
telah berserakkan di hutan buruan. Sebagian besar mereka
telah tidur dengan nyenyaknya untuk membuang kejemuan.
Sementara satu dua orang telah mencoba mengejar binatang
buruan. Dengan busur dan panah mereka mencoba
menangkap seekor kijang. "Buat apa kalian menangkap kijang?" bertanya Ki
Walikat. "Sekedar mengisi waktu. Dan bukankah dagingnya
dapat dimakan?" jawab orang-orang yang sedang mencoba
berburu itu. "Jika kau menyalakan perapian, asap perapian itu akan
menarik perhatian iring-iringan yang sedang kita tunggu.
Mungkin ada di antara mereka orang yang memiliki
pengalaman yang luas, sehingga asap itu akan merupakan
isyarat bahaya bagi mereka" Ki Walikat memperingatkan.
Orang-orang yang sedang mengejar binatang buruan
itupun kemudian berhenti. Karena tidak ada satupun yang
akan dikerjakan, maka merekapun telah berbaring di antara
kawan-kawan mereka yang telah tidur nyenyak.
Ternyata hanya mereka yang bertugas mengawasi
kedatangan iring-iringan dari Singasari ke Kediri sajalah
yang tidak tertidur. Mereka dengan penuh kewaspadaan
menunggu, meskipun mereka mengerti, bahwa kedatangan
iring-iringan itu tentu masih terlalu lama.
Tetapi tugas mereka selain mengawasi iring-iringan itu
juga memastikan, di mana iring-iringan itu akan bermalam.
Ketika matahari sudah turun ke Barat, maka orang-orang
yang menunggu itu masih sempat makan bekal yang
Seruling Sakti 13 Pendekar Rajawali Sakti 9 Manusia Bertopeng Hitam Rahasia Candi Tua 2
^