Panasnya Bunga Mekar 20
Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja Bagian 20
mereka bawa masing-masing kemudian menggenggam
segumpal pondoh beras dengan lauknya.
Namun mulut-mulut yang sedang mengunyah itupun
seolah-oleh telah terhenti ketika seorang pengawas datang
melaporkan kepada Ki Benda "Iring-iringan itu telah
nampak" Ki Benda mengangguk-angguk. Kemudian katanya "Kita
harus bersembunyi dan membiarkan iring-iringan itu lewat
untuk mencari tempat yang mereka anggap baik untuk
bermalam. Mereka tidak akan meneruskan perjalanan
setelah matahari terbenam"
Demikianlah, maka para pemimpin dari setiap kelompok
itu telah memerintahkan orang-orangnya untuk
bersembunyi sebaik-baiknya di dalam hutan. Hanya satu
dua orang yang bertugas sajalah yang harus dengan sangat
hati-hati mengawasi iring-iringan itu dan memastikan di
mana mereka akan bermalam.
Ketika iring-iringan itu lewat, langit telah menjadi kelam.
Namun seperti yang diperhitungkan olen Pangeran Kuda
Padmadata, bahwa bulanpun segera terbit, sehingga malam
rasa-rasanya tidak terlalu kelam.
Namun bagaimanapun juga, ada kegelisahan di hati
isteri Pangeran Kuda Padmadata itu. Apalagi Pangeran
Kuda Padmadata tidak menyembunyikan kemungkinan
terjadinya sesuatu, agar isterinya tidak akan menjadi sangat
terkejut, apabila sesuatu itu benar-benar terjadi seperti yang
pernah diisyaratkan oleh Mehendra.
Seperti yang sudah diperhitungkan, maka ketika bulan
menjadi semakin tinggi, iring-iringan itupun akhirnya
berhenti. Mereka telah memilih sebuah padang rumput
yang tidak terlalu luas. beberapa puluh tonggak melalui
hutan perburuan. "Di sini kita dapat melihat ke arah yang agak luas di
sekitar kita" berkata Pangeran Kuda Parimadata "sehingga
jika ada sesuatu yang tidak kita kehendaki, akan dapat kita
lihat sebelumnya" Demikianlah, maka tiga buah pedati yang dibawa oleh
iring-iringan itupun segera ditempatkan dalam lingkaran,
sementara di tengah-tengah telah dipergunakan untuk
beristirahat isteri dan anak laki-laki Pangeran Kuda
Padmadata. Para sais pedati dan pembantunya tatah melepaskan sapi
penarik pedati dan memberinya makan dan minum
secukupnya. Kemudian ditambatkannya sapi-sapi itu
beberapa langkah menepi tidak jauh dari kuda-kuda para
pengawal. Namun ternyata firasat yang mendebarkan telah
menyentuh perasaan Pangeran Kuda Padmadata dan Ki
Wastu. Peringatan Mahendra bahwa ada orang-orang yang
menaruh perhatian yang besar terhadap rencana Pangeran
itu untuk membawa isterinya ke Kediri, telah memberikan
dorongan kepada Pangeran itu untuk selalu bersiaga.
"Jangan ada yang lengah" berkata Pangeran Kuda
Padmadata "kalian harus mengawasi segala arah. Lima dari
sepuluh orang harus tetap berjaga-jaga dan mengamati
keadaan sekitar kita"
Demikianlah, seperti yang diperintahkan oleh Pangeran
Kuda Padmadata, maka lima orang dari sepuluh orang
pengawal telah bersiaga sepenuhnya. Mereka sama sekali
tidak sempat untuk bermalas-malas. Bahkan kelima orang
itu telah berjalan mengitari tempat mereka beristirahat,
berurutan dalam lingkaran seperti anak-anak sedang
bermain jamuran dengan lingkaran yang besar, memutari
pedati dan tempat kuda dan sapi ditambatkan. Hanya
kadang-kadang saja mereka duduk menghadap ke segala
arah. Sementara itu, tiga orang pemimpin padepokan dari
aliran hitam itupun. telah mempersiapkan orang-orangnya.
Ternyata iring-iringan dari Singasari itu terhenti beberapa
puluh tonggak dari tempat mereka menunggu. Karena itu,
maka merekapun harus merayap mendekati mereka dan
pada saat yang tepat menyerang mereka dan
menghancurkannya. Dalam pada itu, selain kelima orang pengawal yang
berjaga-jaga itu, Pangeran Kuda Padmadata sendiri sama
sekali tidak meninggalkan isteri dan anaknya yang
disuruhnya berbaring di atas tikar yang mereka bawa.
"Tidurlah" berkata Pangeran Kuda Padmadata "para
pengawal akan selalu bersiaga mengawasi keadaan"
Isteri dan anaknya sama sekali tidak menunjukkan
kegelisahan yang sebenarnya mulai merayapi jantung.
Namun keduanyapun kemudian berbaring, berselimut kain
panjang sambil memandang taburan bintang di langit,
diantara cahaya bulan yang sedang bulat.
Sementara Pangeran Kuda Padmadata menunggui anak
isterinya yang sudah mulai berbaring sambil mencoba
menceriterakan ceritera-ceritera yang menarik bagi anak
laki-lakinya yang sudah terlalu lama berpisah itu, Ki
Wastupun tidak sempat berbaring sama sekali.
Bagaimanapun juga, hatinya meresa gelisah. Dan seolaholah
ia mendapat firasat, hahwa sesuatu akan terjadi.
Ketika Ki Wastu itu berdiri disebelah salah satu dari
ketiga pedati yang berada di dalam iring-iringan itu, maka
dilihatnya cahaya bulan yang terang bergerak diatas
dedaunan. Tidak terlalu jauh terdapat sebuah hutan
perburuan yang tidak terlalu lebat, meskipun cukup rimbun.
Di dalam pedati itu terdapat barang-barang yang cukup
berharga yang akan dibawa ke Kediri. Barang-barang yang
semula memang dibawa oleh Pangeran Kuda Padmadata
dari Kediri sebagai hadiah bagi isterinya.
Sementara itu, orang-orang yang menurut pengamatan
dua orang petugas yang dikirim oleh Macan Wahan ke
Singasari sebagai tiga orang sais dan pembantunyapembantunyanya,
masih duduk bersandar roda pedati
mereka sambil memandang kekejauhan.
"Beristirahatlah" berkata Ki Wastu.
Tetapi orang-orang itu tersenyum sambil berkata
"Senangnya duduk dibawah terang bulan. Dipadesan, anakanak
tentu sedang bermain-main. Mungkin bermain
sembunyi-sembunyian, mungkin gobag atau kejar-kejaran"
Ki Wastupun kemudian tersenyum. Katanya "Rasa-rasanya
malam terlampau sepi"
Orang-orang yang bersandar roda pedati itu tidak
menjawab. Merekapun kemudian melihat Ki Wastu
berjalan mendekati salah seorang pengawal yang duduk
diatas batu memandang kekejauhan.
"Tentu terasa dingin" desis Ki Wastu. Pengawal itu
beringsut. Katanya "Marilah, silahkan duduk Kiai"
Ki Wastupun duduk pula disebelah pengawal itu sambil
bertanya "Kau masih harus berjaga-jaga sampai tengah
malam, sebelum kawan-kawanmu menggantikanmu"
Pengawal itu tersenyum. Katanya "Aku sudah mulai
kantuk. Tetapi aku akan dapat bertahan sampai tengah
malam. Sudah terbisa. Kawan-kawanku akan berjaga-jaga.
dari tengah malam sampai Pagi"
Ki Wastu mengangguk-angguk. Katanya kemudian
"Hati-hatilah. Rasa-rasanya malam terlampau sepi"
"Ada firasat buruk agaknya" desis pengawal itu.
"Hanya sekedar kekhawatiran orang tua saja "jawab Ki
Wastu "tetapi tidak ada buruknya untuk berhati-hati"
Ki Wastu yang kemudian bangkit melangkah mendekati
pengawal yang lain. berturut-turut ia memberi peringatan
kepada para pengawal agar mereka berhati-hati.
Ketika ia sampai kepada pengawal yang terakhir, maka
pengawal itupun berkata "Lintang gubug penceng itu
hampir tegak. Sebentar lagi, malam sudah lewat separo.
Dan aku akan segera mendapat kesempatan untuk tidur
dibawah sinar bulan yang manis.
Ki Wastu tertawa pnndek. Katanya "Kau masih cukup
muda untuk menikmati sinar bulan purnama. Silahkan.
Tetapi jangan lengah"
Ki Wastupun kemudian berjalan mendekati Pangaran
Kuda Padmadata yang masih duduk menunggui anak
isterinya. Tetapi ia sudah tidak berceritera lagi. Agaknya
anak laki-lakinya sudah tidur. Sementara isterinyapun telah
mulai memejamkan matanya.
Sambil duduk disebelah Pangeran Kuda Padmadata, Ki
Wastu itupun berkata "Silahkan Pangeran beristirahat. Aku
akan berjaga-jaga sampai saatnya aku akan membangunkan
Pangeran, jika aku akan ganti beristirahat"
Pangeran Kuda Padmadata mengerutkan keningnya.
Kemudian katanya "Ki Wastu sajalah dahulu beristirahat.
Aku sama sekali belum mengantuk"
"Tetapi beristirahatlah" berkata Pangeran Kuda
Padmadata "meskipun hanya berbaring"
Ki Wastupun kemudian melangkah mendekati sebuah
pedati yang lain. Disebelah roda pedati itu terbentang
sehelai tikar. Dua orang pengawal yang sedang tidak
bertugas, telah tertidur dengan nyenyaknya, sementara yang
tiga orang lainnya tidur di tempat yang lain.
Ki Wastupun kemudian telah membaringkan dirinya
setelah ia melepas perisainya yang targantung pada ikat
pinggangnya dan kemudian meletakkan didadanya. Tetapi
mata orang tua itupun rasa-rasanya tidak mau terpejam
juga. Dalam pada itu, ketiga orang pemimpin padepokan yang
beraliran hitam itu telah merayap semakin dekat. Mereka
berusaha untuk mendekati orang-orang Kediri itu dari arah
yang paling aman. Mereka merayap dari balik gerumbul
perdu yang satu kebalik gerumbul yang lain. Berurutan.
Duapuluh satu orang ditambah dengan tiga orang
pemimpin mereka yang dapat mereka banggakan.
"Kita akan memusnakan mereka" berkata Ki Benda.
"Barang-barang itu tentu berada disalah satu pedati itu"
desis Ki Walikat "sementara pedati yang lain tentu berisi
bekal makanan atau pakaian"
"Apakah perempuan dan anak itu tidur disalah satu dari
ketiga pedati itu?" desis Gampar Wungkul.
"Mungkin. Tetapi aku kira perempuan dan anak lakilakinya
itu lebih senang tidur diluar pedati yang sempit
meskipun agak dingin" sahut Ki Benda.
"Hampir tengah malam" berkata Ki Walikat tiba-tiba
"apakah kita masih akan menunggu?"
"Aku kira kita cukup bersabar. Tetapi baiklah kita
menunggu sejenak, sehingga mereka menjadi lengah. Jika
lewat tengah malam tidak terjadi sesuatu, mereka tentu
mengira, bahwa untuk selanjutnya tidak akan terjadi apaapa"
desis Ki Gampar Wulung. Kawan-kawannya sependapat. Mereka menunggu lewat
tengah malam. Demikianlah bintang Gubug Penceng tegak
dilangit, maka merekapun segera mempersiapkan orangorangnya.
Sebenarnya, bahwa setelah lewat tengah malam tidak
terjadi sesuatu, maka Pangeran Kuda Padmadatapun
menganggap bahwa kemungkinan untuk terjadi sesuatu
menjadi semakin kecil. Meskipun demikian. Pangeran
Kuda Padmadata itu memerinthakan kepada pengawalnya
yang bertugas di tengah malam kedua, agar mereka tidak
lengah menghadapi segala kemungkinan yang dapat saja
terjadi. Seperti para pengawal yang terdahulu, maka kelima
orang pengawal itu berusaha untuk mengawasi segala arah.
Untuk mengusir perasaan kantuk yang tersisa, maka mereka
telah berjalan mengelilingi tempat pemberhentian itu seperti
yang dilakukan oleh para pengawal sebelumnya.
Dalam pada itu, ternyata bahwa Ki Wastupun masih belum
dapat tidur sekejappun, ketika yang berbaring di tikar
bersamanya berganti orang, maka iapun justru duduk
sambil bersandar pedati. "Apalah isteri dan putera Pangeran Kuda Padmadata itu
sudah tidur?" bertanya Ki Wastu ketika Pangeran Kuda
Padmadata mendekatinya. "Mereka tidur dengan nyenyak" jawab Pangeran Kuda
Padmadata. "Sukurlah" berkata Ki Wastu "sebaiknya Pangeran juga
beristirahat, besok kita masih akan menempuh perjalanan
yang sangat panjang, justru karena perjalanan kita sangat
lambat" Pangeran itu tersenyum, katanya "Baiklah, aku akan
mencoba untuk beristirahat"
Namun demikian, Pangeran Kuda Padmadata masih
melihat orang-orang yang berada di sekitar pedati-pedati
itu. "Kalian tidak tidur?" bertanya Pangeran Kuda
Padmadata. "Anak-anak itu sedang tidur" jawab salah seorang dari
mereka. Ternyata bahwa, dua diantara mereka sudah tertidur
telah tidur. Namun dalam pada itu, beberapa saat lewat tengah
malam, maka orang-orang yang bersembunyi tidak terlalu
jauh dari tempat pemberhentian iring-iringan itupun mulai
bergerak. Ki Benda, Ki Walikat dan Ki Gampar Wungkul telah
membagi diri bersama orang mereka masing-masing.
Mereka sepakat untuk menyerang dari tiga jurusan. Masingmasing
dengan delapan orang termasuk pimpinan
kelompok itu sendiri. "Aku akan berputar" berkata Ki Benda.
"Kau kesebelah kiri, aku kesebelah kanan" desis Ki
Walikat. "Beri aku isyarat" berkata Ki Gampar Wungkul "kapan
aku harus maju jika kalian sudah mencapai arah yang
kalian kehendaki" "Aku akan memberikan isyarat itu" berkata Ki Walikat
"suara burung hantu"
Dengan demikian, maka Ki Benda dan Ki Walikatpun
segara merayap dibalik lindungan bayangan perdu, timan
diiangu memang harus diperhitungkan, meskipun sudah
mulai menurun di Barat.
Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Beberapa saat lamanya, Ki Gampar Wungkul
menunggu. Sehingga akhirnya, dikajauhan didengarnya
suara burung hantu yang ngelangut.
Suara burung hantu itu ternyata telah menarik perhatian
para pengawal. Sejak sore mereka sama sekali tidak
mendengar suara burung hantu. Yang mereka dengar
adalah suara binatang buas di hutan yang tidak terlalu
dekat. Dan sekali-kali mereka mendengar suara burung
hence yang terbang melintas dilangit.
Namun tiba-tiba mereka telah mendengar suara yang
lain, burung hantu. Dalam pada itu, selagi pengawal itu dicengkam
kebimbangan, maka salah seorang sais padati itu berdesis
"Berhati-hatilah. Itu bukan suara burung yang sebenarnya"
Para pengawal itupun menyadarinya pula, bahwa suara
itu memang bukan suara burung hantu.
Seorang dari para pengawal itupun segera
melaporkannya kepada Pangeran Kuda Padmadata,
sementara yang lain telah bersiap menghadap keempat
arah. "Semuanya bersiap" terdengar perintah Pangeran "Kuda
Padmadata" Para pengawal yang baru saja tertidur itupun telah
dibangunkan. Mereka segera bangkit sambil meraba senjata
masing-masing. Pada saat itulah, tiba-tiba dari beberapa arah terdengar
teriakan-teriakan yang bagaikan memecah langit. Beberapa
orang berlari-larian dengan senjata terhunus menyerang
sekelompok orang yang sedang bersiap-siap menghadapi
segala kemungkinan. Para pengawal yang telah bersiap seluruhnya itupun
segera menarik senjata masing-masing, sementara orangorang
yang dianggap sebagai sais pembantu-pembantunya
itupun telah berdiri pula di sekitar pedati masing-masing.
"Pangeran" berkata Ki Wastu "ambillah seorang dari
para pengawal. Jagalah isteri dan putera Pangeran itu
sebaik-baiknya. Mereka adalah sasaran utama dari, orangorang
yang tentu mempunyai sangkut paut dengan Ki
Dukut Pakering. Namun dalam pada itu, salah seorang dari sais pedati itu
berkata "Biarlah kedua anak-anak ini membantu Pangeran"
"Terima kasih" berkata Pangeran Kuda Padmadata.
Dalam pada itu, suara hiruk pikuk itu telah mengejutkan
isteri dan anak Pangeran Kuda Padmadata itu. Namun
Pangeran itu segera mendekatinya sambil berkata "Jangan
takut. Aku ada disini"
Namun bagaimanapun juga, perasaan takut itu telah
menjalari jantung kedua ibu dan anak laki-laki itu.
Dalam waktu yang pendek, maka para pengawal, sais
dan pembantunya telah bersiap menghadapi segala
kemungkinan. Merekapun segera membagi diri, sesuai
dengan arah para penyerang itu datang.
Tiga orang sais pedati itupun telah berdiri ditiga arah
bersama para pengawal. Sementara Ki Wastu masih berdiri
termangu-mangu. Rasa-rasanya kakinya menjadi berat
untuk meninggalkan anak perempuan dan cucunya yang
telah dipertahankannya mati-matian untuk waktu yang
lama. "Tetapi kini ia berada disisi suaminya" berkata Ki Wastu
di dalam hatinya "apa yang akan terjadi, bukan merupakan
tanggung jawabku semata-mata. Nampaknya Pangeran
Kuda Padmadata itupun telah siap mengorbankan apa saja
yang ada padanya" Dengan demikian, maka yang berdiri di dalam lingkaran,
dekat disisi anak dan cucu Ki Wastu itu adalah Pangeran
Kuda Padmadata, seorang pengawal dan dua orang anak
muda yang semula berada bersama para sais pedati itu.
Dalam pada itu, maka ketiga orang sais, seorang
pembantunya dan para pengawalnyapun segera
menyongsong para penyerang. Dengan senjata ditangan
mereka segera menebar. Sejenak kemudian, terjadilah benturan yang sengit antara
kedua pasukan. Pasukan yang menyerang, yang terdiri dari
orang-orang padepokan yang berilmu hitam, melawan para
pengawal dari Kediri. Pengawal yang benar-benar terpilih
untuk melaksanakan tugas yang berat itu.
Pada benturan pertama, maka masing-masing masih
berusaha menjajagi kemampuan lawan. Para pengawal
telah menunjukkan kesigapannya, membendung serangan
dari kelompok yang lebih banyak jumlahnya.
Namun dalam pada itu, merekapun segera melihat,
seorang yang memiliki kelebihan dari yang lain. Dan
mereka itu adalah pemimpin padepokan dari orang-orang
yang berilmu hitam itu. Dalam pada itu, ketiga orang sais itupun segera
menempatkan diri diantara para pengawal. Setelah mereka
pasti, siapakah yang menjadi pemimpin dari setiap
kelompok penyerang itu. maka ketiga orang sais itu telah
bergeser mendekati mereka diarena masing-masing, sesuai
dengan arah mereka. Ki Gampar Wulung yang melihat serangan seorang yang
nampak agak lain dari para pengawal itupun terkejut Sambil
melangkah surut ia bertanya "He, apakah kau bukan
termasuk para pengawal?"
"Bukan. Aku bukan salah seorang dari para pengawal"
jawab orang itu "aku adalah sais salah satu dari pedatipedati
itu" Orang itu menggeram. Katanya "minggirlah. Jangan
ganggu aku. Tidak seorangpun dapat melawan aku. Biarlah
Pangeran Kuda Padmadata sendiri datang kepadaku, agar
ia mengetahui, bahwa ia berhadapan dengan orang yang
memiliki kemampuan setingkat gurunya"
"Aku akan melawanmu" jawab sais itu
Gampar Wulung tertawa berkepanjangan. Ketika sekilas
ia melihat pertempuran yang terjadi disekitarnya, maka
iapun berkata "lihatlah. Para pengawal itu sudah mulai
terdesak. Apakah kau akan membunuh diri" Kau Sialah sais
pedati. Jagalah pedatimu. Jagalah lembumu agar tidak lepas
dan lari. Jangan ikut campur dipeperangan ini"
"Aku laki-laki seperti para pengawal. Karena itu, akupun
berhak bertempur bersama para pengawal" jawab sais itu.
"Kau sudah gila. Tetapi jika kau memang ingin
membunuh diri, apaboleh buat. He, siapa namamu, agar
aku dapat berceritera kepada orang-orangku, bahwa ada
seorang sais yang membunuh diri diantara para pengawal
Kediri. Mungkin kau seorang abdi yang amat setia dari
Pangeran Kuda Padmadata, sehingga kau telah dengan
suka rela menyerahkan hidupmu sebelum Pangeran itu
sendiri terbunuh disini. Apakah kau tidak sampai hati
melihat Pangeran itu bersama anak dan isterinya terbantai
disini, sehingga kau ingin mati lebih dahulu daripada
mereka" "Aku tidak sedang membunuh diri" jawab sais itu.
"Siapa namamu?" desak Gampar Wulung.
Sais itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia
menjawab "Namaku Mahisa Agni"
Gampar Wulung mengerutkan keningnya. Rasa-rasanya
ia pernah mendengar nama itu. Tetapi ia tidak begitu jelas,
dimana dan kapan ia pernah mendengar nama itu.
"Siapa kau" sais itulah yang bertanya kemudian.
Gampar Wulung memandang sais itu sekilas. Namun iapun
mulai menyadari, bahwa sais itu tentu bukan sais
kebanyakan. Karena itu, maka iapun mulai menyadari,
bahwa ia berhadapan dengan seseorang yang dengan
sengaja telah menunggunya.
"Baiklah" berkata Gampar Wulung "kau tentu memiliki
kelebihan. Karena itu, kau berhak mendengar namaku.
Namaku adalah Gampar Wulung"
Mahisa Agni mengangguk-angguk. Katanya kemudian
"Sebaiknya kau menyadari, bahwa yang kau lakukan ini
tentu akan sia-sia. Kau terjebak kedalam kekuatan para
pengawal yang tidak mungkin dapat kau kalahkan
meskipun jumlahmu berlipat"
"Jangan mencoba menakut-nakuti aku seperti anak kecil.
Lihat para pengawal mulai terdesak. Sekarang datang
giliranku untuk membunuhmu" berkata Gampar Wulung
sambil maju setapak. Mahisa Agni yang menyebut dirinya sais pedati itupun
telah bersiaga sepenuhnya. Iapun sadar, bahwa lawannya
tentu orang pilihan, meskipun menilik sikap dan ujudnya, ia
tentu dari lingkungan yang kelam. Namun justru karena itu,
maka ia harus berhati-hati. Dan bahkan setiap pengawalpun
harus berhati-hati. Selangkah Gampar Wulung itupun beringsut. Dilihatnya
Mahisa Agnipun telah bersiaga sepenuhnya. Karena itu,
maka ia tidak menunggu lebih lama lagi. Tiba-tiba saja
iapun telah meloncat menyerang dengan garangnya.
Mahisa Agni melihat, betapa kegarangan ilmu terpancar
pada serangan yang pertama. Tetapi seperti pada
umumnya, serangan yang pertama tidak akan banyak
menentukan. Karena itu, maka iapun bergeser selangkah.
Namun serangan-serangan berikutnyalah yang datang
beruntun, seolah-olah mengejarnya kemana ia bergeser.
Orang yang menyebut dirinya Gampar Wulung itu
berusaha untuk menekannya dan dalam waktu yang singkat
mengalahkannya. Tetapi Mahisa Agni seolah-olah dengan sengaja
membiarkan lawannya mendesaknya. Sekali ia meloncat
menghindar. Sekali ia menangkis sambil berkisar surut.
Dengan demikian ia berhasil menjajagi kemampuan
lawannya yang garang itu, meskipun iapun sadar, bahwa
kemampuan itu tentu belum merupakan puncak
kemampuannya. Meskipun demikian, serba sedikit Mahisa Agni sudah
mempunyai takaran dari kekuatan dan kemampuan
lawannya. Dengan demikian ia dapat menilai, apakah yang
harus dilakukannya kemudian menghadapi lawannya yang
garang itu. Di sekitar Mahisa Agni dan Gampar Wulung yang
bertempur semakin seru, para pengawalpun telah bertahan
dengan sekuat kemampuan mereka. Jumlah lawan ternyata
lebih banyak dari jumlah mereka. Tetapi para pengawal itu
masih mampu untuk bertahan. Meskipun kadang-kadang
terasa, betapa kasar dan garangnya orang-orang yang
datang menyerbu itu. Tetapi para pengawal itu adalah pengawal terpilih dari
tataran terbaik para pengawal di Kediri. Karena itu, maka
merekapun telah bertempur dengan dahsyatnya pula
menghadapi lawan yang bagaimanapun juga.
Ternyata ada beberapa orang pengawal yang harus
bertempur sekaligus melawan dua orang lawan. Namun
mereka sama sekali tidak menjadi gentar. Meskipun
kadang-kadang mereka harus berloncatan surut, namun
mereka merasa, bahwa mereka akan dapat mengatasi
kesulitan mereka. Dalam pada itu, di lingkaran pertempuran yang lain, Ki
Benda terkejut bahwa dihadapannya berdiri seorang yang
nampaknya dengan sengaja menunggunya. Apalagi ketika
orang itu dengan tegas menyebut dirinya sebagai sais pedati
yang membawa perlengkapan iring-iringan dari Singasari
menuju ke Kediri. "Kau jangan berbuat aneh-aneh sais yang malang"
berkata Ki Benda "darahmu tidak berarti apa-apa bagi
pusakaku. Hanya darah orang-orang penting dan memiliki
kemampuan sajalah yang akan memberikan arti bagi
pusakaku ini. Setiap titik darah orang berilmu akan
merupakan lapisan-lapisan kekuatan yang membuat
pusakaku ini semakin bertuah. Tetapi darah orang-orang
dungu hanya akan mengotori nya saja"
Orang yang berdiri di hadapannya itupun tersenyum.
Katanya "Jika pusakamu itu pantang dikotori darah orangorang
tidak berarti, maka sarungkan saja. Kita akan
bertempur dengan tangan"
Ki Benda mengerutkan keningnya. Orang yang
menyebut dirinya sais itu agaknya memiliki kepercayaan
yang tinggi kepada dirinya sendiri. Karena itu
pengamatannya yang tajam segera menangkap
kemungkinan yang tersimpan di dalam orang yang semula
dianggapnya tidak berarti itu.
"Jadi kau tetap pada niatmu untuk melawan aku?"
bertanya Ki Benda. "Ya" jawab sais itu.
"Baiklah. Sebut namamu. Mungkin aku pernah
mendengarnya. Barulah aku yakin, bahwa kamu memang
berhak melawan aku dan darahmu akan berguna bagi
pusakaku" berkata Ki Benda.
"Namaku Mahendra" jawab sais itu.
"O" Ki Benda mengerutkan keningnya. Kemudian
diingatnya keterangan orang yang pernah datang ke
Singasari dan menyebut salah satu dari nama-nama para
pedagang yang pernah dihubungi.
"Kau pedagang besi bertuah dan batu-batu berharga"
bertanya Ki Benda lebih lanjut.
"Ya. Darimana kau pernah mendengar namaku?"
bertanya Mahendra. "Itu tidak penting. Marilah kita menyelesaikan persoalan
kita sekarang. Aku akan membunuhmu. Mudah-mudahan
kebiasaanmu dengan wesi aji itu akan berpengaruh pada
pusakaku ini" Mahendra mengerutkan keningnya. Di dalam
keremangan sinar bulan ia melihat sebilah keris yang besar
dan panjang. "Kerisku luk sebelas" berkata Ki Benda.
"Menggetarkan. Kerismu terlalu besar dan terlalu
panjang menurut ukuranku. Tetapi agaknya kerismu benarbenar
keris yang bertuah. Aku terbiasa dengan berbagai
jenis senjata yang memiliki tuah seperti kerismu. Namun
karena itu, maka akupun memiliki kekuatan yang mantap
untuk menguasai setiap tuah dari pusaka siapapun juga"
berkata Mahendra.
Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Gila" geram Ki Benda "kau belum tahu arti dan kuasa
pusakaku" "Tidak akan lebih baik dari luwukku ini" sahut
Mahendra yang menggenggam sebilah pedang yang tidak
terlalu panjang. Ki Benda memandang senjata Mahendra sejenak. Ia
melihat jenis pedang yang memang agak lain dari pedang
kebanyakan. Hulunya yang berukir dihias dengan anyaman
rambut yang khusus. Pamor yang bagaikan berkeredipan di
bawah cahaya bulan yang kekuning-kuningan.
"Jarang sekali aku melihat sebilah pedang memakai
pamor seperti itu" berkata Ki Benda di dalam hatinya.
Karena itu, meskipun yang digenggam oleh sais yang
menyebut dirinya Mahendra itu bukan sebilah keris, tetapi
besi dan buatannya tidak ubahnya dengan sebilah keris.
Karena orang yang memimpin sekelompok penyerang itu
nampaknya mengagumi pedangnya, maka Mahendrapun
berkata "Nah, bukankah seperti yang aku katakan" Baiklah.
Nampaknya kau tertarik kepada pedangku. Apakah kau
akan membelinya?" "Gila" geram Ki Benda "aku tahu sifat seorang
pedagang. Baiklah aku akan membelinya jika pedang itu
dapat aku pergunakan untuk memenggal lehermu"
Mahendra tertawa. Katanya "Nampaknya senjata di
tanganku saat ini memang tidak untuk aku tawarkan.
Tetapi pedangku ini akan melawan kerismu yang besar dan
berat itu" "Sais yang gila. Aku mengerti, bahwa kau bukan sais
yang sebenarnya. Tetapi baiklah, aku akan membunuhmu.
Aku akan mendapatkan pusakamu tanpa membelinya sama
sekali" Mahendra tidak menjawab, la melihat Ki Benda itu
sudah bergerak. Karena itu, maka iapun segera
mempersiapkan diri menghadapinya.
Namun sesaat kemudian Ki Benda itu masih berkata
"Serahkan sajalah Pangeran Kuda Padmadata itu beserta
isleri dan anaknya. Kau akan bebas. Dan barangkali aku
benar-benar akan membeli senjatamu itu"
"Siapa kau sebenarnya?" bertanya Mahendra.
"Itu tidak penting" jawab Ki Benda.
Mahendra tidak menjawab lagi. Ia bergeser setapak maju
sambil menggerakkan ujung pedangnya.
Ki Benda bergeser pula. Namun tiba-tiba saja ia telah
meloncat sambil memutar kerisnya menyerang lambung.
Mahendra menggeliat sambil menangkis serangan itu.
Tetapi ketika ia memukul keris lawannya, maka lawannya
telah menarik serangannya. Dengan putaran mendatar Ki
Benda telah menyerangnya sekali lagi.
Mahendra meloncat surut, la sudah siap menghadapi
serangan berikutnya. Karena itu, ketika Ki Benda siap
untuk meloncat, maka Mahendralah yang justru telah
mendahuluinya, menjulurkan pedangnya lurus mengarah
dada. Tetapi Ki Bendapun sempat menghindar. Dengan cepat
ia berputar. Ternyata ia mampu bergerak cepat dan
kekuatannyapun dapat dibanggakannya. Dalam benturan
yang kemudian terjadi, Mahendra segera mengetahui,
bahwa lawannya mempunyai tenaga raksasa yang
berbahaya baginya. Apalagi sejenak kemudian, Ki Benda yang berilmu hitam
itu telah mengerahkan kemampuannya. Karena itu, maka
ilmunyapun segera mulai nampak. Geraknya semakin lama
menjadi semakin kasar dan liar. Demikian ia menyadari,
dengan siapa ia berhadapan, maka iapun telah
mengerahkan segenap kemampuannya untuk dengan cepat
mengakhiri pertempuran. Tetapi ternyata bahwa ilmu lawannyapun meningkat
dengan cepat, dan berhasil mengimbangi ilmunya. Sehingga
dengan demikian, Ki Benda merasa, bahwa ia tidak akan
segera dapat berhasil. "Gila" geram Ki Benda "apakah hubungan dengan
Pangeran Kuda Padmadata, sehingga kau bersedia menjadi
sais pedatinya dan bahkan mempertaruhkan nyawamu
baginya?" "Pangeran Kuda Padmadata adalah seorang Pangeran
dari Kediri yang banyak mengambil barang-barangku
meskipun aku jarang mengunjunginya karena aku tinggal di
Singasari" jawab Mahendra "dengan demikian, maka
Pangeran Kuda Padmadata telah banyak memberikan
keuntungan kepadaku"
"Gila" Ki Benda mengumpat "ternyata harga dirimu
tidak lebih tinggi dari keuntungan yang kau dapat dari
barang-barang daganganmu"
Mahendra tertawa. Jawabnya "Jangan ribut siapa aku
dan apa hubunganku dengan Pangeran itu. Tetapi adalah
kewajiban setiap orang untuk membantu seseorang yang
mengalami perlakuan yang tidak adil dan tidak berperikemanusiaan"
"Persetan" Ki Benda menggeretakkan giginya. Dengan
garang ia menyerang sambil berteriak nyaring.
Mahendra mengerutkan keningnya. Teriakan itu meng
getarkan jatungnya. Iapun semakin menyadari, bahwa
lawannya adalah seseorang dari lingkungan hitam. Dan
ternyata pula di dalam sikap dan tandangnya kemudian.
Keris Ki Benda terayun-ayun mengerikan. Setiap kali
terdengar ia berteriak dan menggeram. Bahkan kadangkadang
suaranya mirip dengan aum seekor harimau yang
kelaparan. Dengan demikian maka Mahendrapun merasa bahwa ia
harus lebih berhati-hati menghadapi lawannya. Bukan saja
.kerisnya yang berbahaya baginya, namun melihat jari-jari
tangan kirinya yang mengembang, agaknya orang itupun
akan dapat menerkamnya jika ia gagal menikam dengan
kerisnya. Pertempuran diantara keduanyapun menjadi semakin
seru. Masing-masing telah meningkatkan ilmunya.
Kakasran dan kekerasan telah mewarnai tata gerak Ki
Benda Bahkan hampir menjadi buas dan liar.
Ditempat lain, Witantra yang melihat seseorang yang
memiliki kelebihan tidak membiarkannya. Iapun segera
menempatkan diri untuk melawannya. Kemarahan orang
itu tidak tertahankan ketika ia mendengar bahwa orang
yang berdiri dihadapannya adalah salah seorang dari ketiga
sais pedati yang di dalam iring-iringan itu.
Namun seperti kedua kawannya yang lain, maka Ki
Walikat harus melihat kenyataan, bahwa sebenarnya orang
yang menyebut dirinya sais itu adalah justru orang-orang
yang memiliki ilmu yang mengagumkan.
"Kenapa kau menempatkan dirimu sebagai seorang
sais?" bertanya Ki Walikat.
Witantra tidak dapat menjawab seperti yang diharapkan
oleh lawannya. Katanya "Aku memang seorang sais"
"Gila. Kau berpura-pura. Agaknya kau sengaja
mengelabuhi kami, agar kami terjebak kedalam kekuatan
pengawal Pangeran Kuda Padmadata" geram Ki Walikat.
Sebenarnyalah, ketakutan yang sangat telah
mencengkam isteri dan anak laki-laki Pangeran Kuda
Padmadata itu. Peristiwa masa lampau mereka, tetapi
membayang kembali. Ketakutan demi ketakutan telah
mereka lalui, sehingga akhirnya mereka bertemu dengan
orang yang akan dapat memberikan perlindungan kepada
mereka. Namun kini ketakutan itu telah terulang kembali.
Meskipun demikian, kini laki-laki yang bernama Kuda
Padmadata itu ada diantara isteri dan anaknya dengan
pedang terhunus. Laki-laki itu telah siap memberikan
pengorbanan yang paling tinggi bagi isteri dan anaknya.
Pertempuran yang terjadi itupun semakin lama men jadi
semakin sangit. Orang-orang berilmu hitam itu bertempur
dengan kasar, liar dan buas. Mereka berteriak-berteriak
sambil mengumpat-umpat dengan kata-kata yang paling
kotor. Tetapi ternyata mereka telah membentur dinding
pertahanan yang kuat dan berlapis. Mereka yang menyusup
diantara para pengawal telah membentur kekuatan Mahisa
Bungalan, Ki Wastu dan dua orang adik Mahisa Bungalan.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, yang meskipun masih
sangat muda, tetapi keduanya ternyata telah memiliki
ketrampilan ayahnya. Karena itulah, maka mereka yang telah berhadapan
dengan Ki Wastu dan Mahisa Bungalanlah yang
mengalami nasib yang buruk. Mereka segera terdesak oleh
kemampuan ilmu yang tidak mereka perhintungkan
sebelumnya. Namun dalam pada itu, seorang diantara mereka yang
telah dirangsang oleh nafsu kebencian dan dendam yang
memang dinyalakan disetiap hati orang-orang berilmu
hitam, telah berhasil menyusup langsung menyerang orang
orang yang berada dipusat lingkaran pertempuran.
Tetapi, iapun telah tertahan. Justru oleh Pangeran Kuda
Padmadata sendiri. Lindungi mereka" geram Pangeran
Kuda Padmadata kepada pengawalnya yang terpilih "aku
akan membunuh orang ini"
Kemarahan dan kebencian Pangeran itu ternyata tidak
dapat dikekangnya lagi. Iapun segera meloncat menyerang
dengan garangnya, sementara pengawalnya itu telah berdiri
selangkah dari isteri dan anak laki-laki Pangeran yang
ketakutan itu, dengan senjata telanjang di tangan.
Demikian panasnya jantung Pangeran Kuda Padmadata,
maka ia sudah tidak mempunyai pertimbangan lagi.
Beberapa langkah ia mendesak lawannya. Namun
kemudian tanpa ampun lagi, senjatanya telah menggores
tubuh lawannya yang liar.
Tetapi kemarahan Pangeran itu telah mendorongnya
untuk bertempur dengan keras pula mengimbangi kekasaran
lawannya. Tetapi, sejenak kemudian yang terdengar adalah
keluhan tertahan. Senjata Pangeran Kuda Padmadata telah
menyobek kulitnya lagi. Semakin dalam.
Witantra tertawa. Katanya kemudian "Bagaimana
mungkin kami menjebakmu. Kami tidak tahu apa yang
akan terjadi disepanjang perjalanan. Kaulah yang telah
dengan senjata bagaikan sulung masuk ke dalam api. Dan
itu bukan salah kami"
Ki Walikat menggeram "Persetan. Kalianlah yang akan
tumpas malam ini, termasuk Pangeran Kuda Padmadata
dengan anak dan isterinya"
Witantra tidak menjawab. Tetapi iapun segera bersiaga.
Agaknya lawannya sudah siap untuk bertempur semakin
garang. Dengan demikian maka pertempuran di segala arah
itupun menjadi semakin seru. Orang-orang yang berilmu
hitam itu benar-benar tidak mempunyai pertimbangan
apapun juga. Bahkan mereka telah dibekali satu sikap,
bahwa jika senjata mereka basah oleh darah seseorang yang
berilmu, maka senjata itu akan bertambah tuah dan
bobotnya. Karena itulah, maka setiap orang dari mereka yang
berilmu hitam itupun bernafsu untuk membunuh sebanyakbanyak
agar senjata mereka basah oleh darah lawan.
Tetapi para pengawal itu adalah pengawal pilihan.
Apalagi di antara mereka terdapat Mahisa Agni, Witantra
dan Mahendra yang telah melibatkan dirinya.
Namun dalam pada itu, orang berilmu hitam itupun
mengerti, bahwa yang terlindung dibalik pedati-pedati itu,
tentu perempuan dan anak laki-laki yang termasuk mereka
dan yang harus mereka bunuh. Karena itu, maka beberapa
orang di antara mereka dengan sengaja telah menyusup di
antara para pengawal, karena jumlah mereka memang lebih
banyak, langsung mencari isteri dan anak laki-laki Pangeran
Kuda Padmadata itu. Tetapi di sela-sela pedati-pedati itu, ternyata mereka
telah bertemu dengan beberapa orang yang telah
menunggu. Mereka adalah Mahisa Bungalan, yang berada
di antara para pembantu sais pedati-pedati yang berada di
dalam iring-iringan itu, Ki Wastu dan di dalam lingkaran
itu pula terdapat Pangeran Kuda Padamadata, Mahisa
Pukat. Mahisa Murti dan seorang pengawal.
Karena itulah, maka orang-orang berilmu hitam yang
menyusup masuk ke dalam jantung lingkaran itu telah
membentur selapis kekuatan yang sebenarnyalah tidak
mudah untuk ditembus. Dalam pada itu. Ki Wastu yang selalu mengamati
tingkah laku Pangeran Kuda Padmadata masih sempat
berbisik "Jangan terpancing sehingga Pangeran
meninggalkan isteri dan anak Pangeran. Dekatilah. Biarlah
kami menyelesaikan orang-orang ini. Jika Pangeran terlibat
langsung kedalam pertempuran ini, maka satu dua orang
yang terlepas dari pengamatan kami akan dapat dengan
mudah melakukan perbuatan kejinya atas orang-orang yang
tidak berdaya itu" Karena itulah, betapa darah Pangeran itu mendidih,
maka ia berusaha menahan diri, berdiri di antara isteri dan
anaknya dibayangi oleh seorang pengawalnya yang terpilih.
Lawan Pangeran Kuda Padmadata itupun kemudian
terhuyung-huyung. Sesaat ia masih mencoba bertahan.
Namun kemudian iapun terjatuh di tanah dengan nafas
yang tersendat-sendat. Dalam pada itu, selagi Pangeran Kuda Padmadata
merenungi orang yang terbaring itu, terdengar pengawalnya
berdesis "Pangeran"
Pangeran Kuda Padmadata berpaling. Ternyata
pengawalnya telah bertempur pula melawan seseorang yang
berhasil menyusup pula diantara pertempuran dan langsung
berusaha membunuh isteri dan anak laki-laki Pangeran
Kuda Padmadata. Pangeran Kuda Padmadata menggeram. Dengan darah
yang mendidih dijantungnya ia berkata "Biarlah aku
membunuhnya pula" Pengawal itu tidak menjawab. Tetapi ia mendesak
lawannya menjauhi isteri dan anak laki-laki Pangeran Kuda
Padmadata. Karena itu, maka Pangeran Kuda
Padmadatalah yang kemudian berdiri mengawasi keadaan
Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
serta melindungi isteri dan anak laki-lakinya.
Ternyata pengawal itu benar-benar pengawal terpilih dari
para pengawal pilihan. Karena itu, maka iapun segera dapat
menguasai keadaan Dengan kecepatannya bergerak, maka
pengawal itu segera berhasil mengimbangi kegarangan
lawannya yang bertempur sambil berteriak-teriak.
Dalam pada itu, pertempuran disekitar tempat itupun
berlangsung dengan sengitnya. Jumlah para penyerang yang
berilmu hitam itu lebih banyak. Namun mereka telah
membentur kekuatan yang sulit ditembusnya. Bahkan
kemudian mulai terasa, bahwa para pengawal akan dapat
menguasai keadaan. Dengan demikian, maka tiga orang pemimpin
padepokan yang berilmu hitam itu rasa-rasanya bagaikan
dibakar oleh kemarahan yang tidak terkendali. Dengan
segenap kemampuan, mereka berusaha untuk segera dapat
membunuh lawan masing-masing, agar mereka segera
dapat membantu para pengikutnya.
Tetapi lawan merekapun ternyata orang-orang yang
berilmu tinggi. Gampar Wulung yang dengan kasarnya
berusaha mendesak Mahisa Agni ternyata sama sekali tidak
berhasil. Betapapun ia berusaha, namun, Mahisa Agni
selalu dapat mengimbanginya. Rasa-rasanya Gampar
Wulung telah berhadapan dengan perlawanan yang selalu
selapis lebih tinggi dari kemampuannya. Setiap ia berusaha
menghentakkan kekuatannya, maka kekuatan lawannya
itupun seolah-olah dengan sendirinya telah meningkat pula.
Demikian pula dengan para pemimpin golongan hitam
itu yang lain. Ki Benda berteriak-teriak seperti orang gila.
Kemarahan yang membakar jantungnya telah membuatnya
seakan-akan menjadi kehilangan pengamatan diri. Namun
bagaimanapun juga, ia sama sekali tidak berhasil mendesak
lawannya, yang semula menyebut dirinya seorang sais
pedati, namun kemudian mengakuinya sebagai seorang
pedagang batu-batu berharga dan besi bertuah.
Bahkan semakin lama semakin terasa, bahwa lawannya
itu memiliki kemampuan yang melampauinya. Namun
demikian, Ki Benda masih berusaha untuk membunuhnya
dengan ilmunya yang garang. Dalam keadaan yang
terdesak itulah, maka kekuatan hitamnya seolah-olah telah
diperasnya. Matanya seolah-olah telah membara, sementara
tata geraknya menjadi semakin cepat dan liar. Senjatanya
terayun-ayun dengan ganasnya dengan hentakan kekuatan
yang luar biasa dilambari dengan tenaga cadangannya.
Bahkan kekuatan ilmunya yang ditumpahkan kedalam ke
mampuan senjatanya yang dianggapnya bertuah itu, telah
membuat senjata bagaikan menyala.
Mahendra yang mengenal berbagai macam senjala dan
besi bertuah telah melihat keris Ki Benda yang besar itu
berbahaya. Karena itu, maka iapun mengerti, bahwa Ki
Benda telah sampai kepada ilmu pamungkasnya yang
seolah-olah telah tertuang dan terungkap pada pusakanya.
"Jangan takut" geram Ki Benda "pusakaku adalah
benar-benar pusaka yang akan dapat membunuhmu,
betapapun tinggi ilmumu. Pedangmu itu akan segera luluh
menjadi lumpur jika bersentuhan dengan senjataku yang
bertuah ini" Mahendra yang melangkah surut justru tertawa. Katanya
"Ki Sanak. Aku mengenal berbagai macam jenis besi
bertuah. Aku melihat dengan mata hatiku, bahwa kerismu
yang besar itu berwarna merah kehitam-hitaman. Itu adalah
pertanda betapa buramnya nilai pusakamu dan betapa
kotornya tuah yang ada di dalamnya"
"Persetan" bentak Ki Benda "aku tidak ingkar. Pusakaku
selalu bermandikan darah. Tetapi setiap titik darah berarti
lapisan tuah yang melekat padanya. Karena itu jangan
mengingkari perasaanmu. Kau menjadi ketakutan, karena
kau tidak akan dapat melawan pusakaku.
Betapapun tebal kulitmu, bahkan seandainya kau
mempunyai ilmu kebal, maka kau tidak akan dapat
bertahan dari patukan kerisku ini"
Mahendra mengerutkan keningnya. Tetapi ia sadar,
bahwa kemampuan puncak ilmu Ki Banda benar-benar
berbahaya baginya. Karena itulah maka iapun telah
mengerah kan segenap ilmu yang ada padanya. Ia tidak
memusatkan ilmunya pada genggaman tangannya dan
memukul lawan nya sampai lumat. Dengan demikian,
maka sentuhan senjata lawannya akan dapat berbahaya
baginya. Karena itu. maka iapun telah mengimbangi
lawannya dengan memusatkan kemampuan ilmunya pada
tangannya yang seakan-akan telah menjalari senjatanya
pula. Pedang Mahendrapun bukan sembarang pedang. Karena
itu, maka dengan lembaran kekuatan ilmunya, pe dang
itupun seolah-olah telah bercahaya pula.
"Lihatlah" berkata Mahendra kemudian "seandainya
kau membeli besi-besi bertuah itu daripadaku, aku akan
memberitahukan kepadamu, bahwa pusaka yang berarti
adalah pusaka yang bercahaya kebiru-biruan seperti
pedangku ini" Sebenarnyalah, Ki Bendapun berhasil melihat, bahwa
pedang Mahendra seolah-olah telah bercahaya kebirubiruan.
Wajah Ki Benda telah menegang. Urat-uratnya bagaikan
telah melonjak keluar dari keningnya. Iapun melihat,
seolah-olah pedang lawannya itu telah menyala putih
kebiru-biruan. "Gila" geramnya. Warna itu telah menyilaukannya.
Jauh lebih silau dari warna nyala kerisnya.
Meskipun demikian, Ki Benda menganggap bahwa
warna besi pusaka itu tidak banyak mempengaruhi kemam
puan pusaka-pusaka itu. Ia sudah mengakui bahwa ilmunya
sering disebut ilmu hitam. Dan ia tidak mengingkarinya.
Karena itulah, maka nyala pusakanya berwarna merah
kehitam-hitaman Tetapi bahwa ilmu hitam itupun tidak
perlu merasa selapis dibawah ilmu putih.
Karena itulah maka Ki Benda kemudian telah
menyerang dengan garangnya. Kerisnya yang besar dan
yang menyala merah kehitam-hitaman itu berputar seperti
baling-baling. Kadang-kadang menyambar mendatar.
Namun kemudian mematuk lurus kedepan mengarah dada.
Tetapi pedang Mahendra yang berwarna putih kebirubiruan
itu mampu mengimbangi kecepatan gerak keris
lawannya. Karena itu, maka setiap kali ayunan pusaka Ki
Benda itu telah membentur pedang Mahendra. Disetiap
benturan, telah terpercik bunga-bunga api yang berwarna
merah kehitam-hitaman dan yang berwarna putih kebirubiruan.
Benturan-benturan itupun telah mendebarkan
jantung kedua orang yang sedang bertempur itu. Namun
yang menjadi cemas kemudian adalah Ki Benda yang harus
melihat kenyataan yang telah terjadi. Kakuatan Mahendra
ternyata melampaui kekuatannya. Dan kecepatan gerak
Mahendrapun melampaui kecepatan geraknya.
Sementara itu, maka pertempuran disekitar tempat
itupun berlangsung dengan sengitnya. Ternyata orang-orang
berilmu hitam yang menyerang iring-iringan dari Singasari
yang akan pergi keKediri itu telah menemui kesulitan.
Mereka telah membentur kekuatan yang meskipun lebih
kecil jumlahnya tetapi tidak mampu dipatahkannya.
Setiap orang yang berilmu hitam itu, yang bertempur
melawan setiap orang pengawal dari Kediri, harus
mengakui, bahwa pengawal terpilih itu memiliki
kemampuan yang lebih besar dari kemampuan mereka.
Sementara beberapa orang diantara para pengawal itu, yang
justru dikira benar-benar sais dan pembantu-pembantunya,
ternyata justru orang-orang yang memiliki kelebihan dari
para pengawal, sehingga mereka langsung menempatkan
diri berhadapan dengan para pemimpin mereka yang
selama itu mereka banggakan sebagai orang-orang yang
tidak terkalahkan. Dalam pada itu, Ki Walikat yang berhadapan dengan
Witantra itupun harus mengakui, bahwa Witantra memiliki
kemampuan ilmu yang luar biasa. Ketika Ki Walikat itu
sampai kepada puncak ilmunya, maka iapun telah
menghadapi ilmu Witantra yang jarang ada duanya.
Sementara itu Ki Wastu dan Mahisa Bungalan telah
bertempur pula dengan serunya. Namun lawan mereka
ternyata tidak dapat mengimbangi kemampuan mereka
seorang melawan seorang. Karena itu, maka beberapa
orang telah bersama-sama melawan mereka.
Dalam pada itu, Mahisa Murti dan Manisa Pukatpun
bertempur dengan sengitnya. Mereka bertempur seperti
seekor burung, melonjak-lonjak, melayang, kemudian
menukik menyerang, Sehingga dengan demikian lawan
merekapun menjadi semakin lama semakin kebingungan.
Namun kehadiran kedua anak-anak muda itu di dalam
lingkaran pertemuan, benar-benar telah merupakan selapis
bendungan yang dapat menahan para penyerang yang
berhasil menyusup pada lingkaran pertempuran yang
pertama. Sementara itu, isteri dan anak laki-laki Pangeran
Kuda Padmadata yang ketakutan itu saling berpelukan.
Mereka berdua merasa diri mereka sebagai orang-orang
yang sangat lemah diantara benturan senjata. Mereka tidak
dapat berbuat apa-apa. selain pasrah kepada Tuhan Yang
Maha Kuasa. Namun justru karena ditempat itu ada Pangeran Kuda
Padmadata, ada pula ayahnya Ki Wastu dan ada pula
seorang muda yang telah berbuat terlalu banyak baginya,
bagi keselamatannya, maka hatinya serasa lebih tenang dari
masa-masa yang pernah dialaminya. Ketika ia seorang diri
di dalam lingkungan orang-orang kasar yang dapat berbuat
apa saja padanya, maka ia sama sekali tidak
berpengharapan. Untunglah bahwa Tuhan Yang Maha
Kuasa masih selalu melindunginya, sehingga ia dapat
terlepas dari tangan orang-orang kasar itu dengan selamat.
Bukan saja nyawanya, tetapi ia masih tetap utuh seperti saat
ia ditinggalkan oleh suaminya.
Sementara itu, walaupun menjadi semakin malam,
bintang-bintang sudah bergeser semakin ke Barat. Bahkan
sejenak kemudian mulai membayang cahaya bintang panjer
esuk yang bagaikan menyala di Timur.
Orang-orang yang dapat mengenal bintang sebagai
pertanda waktu akan segera mengetahui, bahwa sebentar
lagi fajar akan segera menyingsuig. Di Selatan Bintang
Gubug Penceng seakan-akan telah hampir datar menyentuh
cakrawala disebelah Barat.
Kegilisahan telah merayapi jantung ketiga orang
pemimpin dari orang-orang berilmu hitam itu. Apalagi
setelah satu iemi satu orang-orang mereka tergores oleh
tajamnya senjata. Bahkan satu demi satu orang-orang
merekapun mulai berjatuhan. Apalagi mereka sendiri
merasa, bahwa mereka tidak akan mampu menghadapi
lawan mereka yang ternyata me miliki ilmu yang luar biasa.
Ki Gampar Wulung yang telah sampai kepuncak
ilmunya menyadari, bahwa ia tidak akan dapat melepaskan
diri dari kemampuan ilmu lawannya. Meskipun Mahisa
Agni masih belum sampai kepada ilmu pamungkasnya
sepenuhnya, namun sudah terasa oleh lawannya, bahwa
tekanan ilmu Mahisa Agni itu tidak akan dapat
dihindarinya. Demikian pula kawan-kawannya. Ki Benda yang
berbangga dengan pusakanya, tidak dapat berbuat banyak
melawan pedang Mahendra yang putih kebiru-biruan.
Orang-orang berilmu hitam yang semula berharap untuk
dapat berbuat sesuatu bagi Ki Dukut Pakering, yang sedang
berusaha untuk mengguncang Kediri, ternyata harus
mengakui kenyataan yang mereka hadapi. Satu demi satu
orang-orang merekapun telah jatuh. Luka-luka yang parah
telah tergores di tubuh mereka, sehingga mereka tidak dapat
lagi bangkit untuk melawan. Bahkan sebagian dari mereka
telah terbunuh karenanya.
Kenyataan itu benar-benar telah menggelisahkan para
pemimpin mereka. Maka sebelum sampai kepada orang
terakhir, maka pemimpin mereka itupun harus meng ambil
satu sikap. Sikap itu adalah sikap yang paling mungkin
mereka lakukan. Melarikan diri.
Justru ketiga orang pemimpin yang bertempur melawan
orang-orang yang tidak disangka sama sekali itu, telah
mempunyai pertimbangan yang sama di dalam hati mereka.
Karena itu, selagi masih ada kesempatan, maka Ki Gampur
Wulungpun tiba-tiba telah melontarkan satu isyarat bagi
kawan-kawannya. Isyarat itu tidak perlu diulang. Dengan serta merta, maka
orang-orang berilmu hitam itupun segera berusaha menarik
diri. Mereka telah berusaha membaurkan diri dengan gerak
yang membingungkan sambil berlari meninggalkan arena.
Mahisa Agni, Mahendra dan Witantra, sebenarnya agak
terkejut melihat sikap lawannya yang garang itu. Mereka
tidak menyangka, bahwa jalan itu ternyata terlalu pendek,
sehingga apa yang terjadi itu benar-benar tidak mereka
duga. Orang-orang yang garang itu, tiba-tiba saja telah
meninggalkan arena dengan sikap yang licik.
Tetapi Mahisa Agni, Mahendra dan Witantra tidak dapat
mengejar mereka. Kecuali karena orang-orang itu telah
berbaur, maka ketiganya masih dibayangi oleh kecurigaan,
bahwa jika mereka meninggalkan Pangeran Kuda
Padmadata terlalu jauh, maka kelicikan dapat saja terjadi.
Jika masih ada orang-orang yang tersembunyi di dalam
gelapnya malam, dan tiba-tiba saja datang menyergap,
apalagi orang itu Ki Dukut Pakering sendiri dengan orangorang
yang justru terpilih, maka keadaan akan menjadi
gawat. Para pengawal dari Kediripun ternyata tidak mengejar
mereka pula. Para pengawal itupun tidak ingin
meninggalkan Pangeran Kuda Padmadata, isteri dan anak
luki-lakinya. Karena merekalah sebenarnya yang harus
mereka lindungi. Namun dalam pada itu Mahisa Bungalanlah yang
bertanya kepada ayahnya "Kita tidak menangkap
pemimpin-pemimpin mereka?"
"Mereka telah melarikan diri" jawab Mahendra.
Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ya. Dan kita tidak mengejarnya?" sahut Mahisa
Bungalan. Mahendra menarik nafas dalam-dalam. Katanya "Tidak
ada gunanya. Mereka dapat melarikan diri secepat kita
mengejarnya, sehingga belum tentu kita akan dapat
menangkap mereka. Mereka mempunyai peluang beberapa
kejap sebelum kita menyadari langkah mereka. Karena itu,
maka menurut pertimbanganku, mereka akan dapat
mencapai hutan itu beberapa langkah di depan kita, karena
merekapun, terutama para pemimpinnya adalah orangorang
berilmu, justru ilmu hitam. Karena itu, mengejar
mereka adalah sia-sia. Mereka dapat berlari secepat kita lari,
sementara kemungkinan lain masih dapat terjadi jika kita
meninggalkan tempat ini. Mungkin orang yang paling kita
perlukan selama ini, sehingga kita telah membuka padang
perburuan yang luas itu, akan datang selama kita berlarilarian
mengejar orang-orang berilmu hitam itu"
Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Iapun
kemudian mengerti, bahwa mengejar orang-orang yang
tidak berarti. Pemimpin-pemimpin mereka, seperti yang di
katakan oleh ayahnya, tentu memiliki kesempatan yang
paling besar untuk menyelamatkan diri.
"Tidak ada gunanya membantai mereka semakin
banyak" berkata Mahisa Bungalan di dalam hatinya "dan
tidak ada pula gunanya menangkap mereka. Kecuali hanya
akan menjadi beban perjalanan, mereka tidak akan dapat
memberikan keterangan apapun juga yang dapat
memberikan kejelasan melampaui orang-orang yang terluka
yang akan dapat menjadi sumber keterangan"
Karena itu, maka Mahisa Bungalanpun segera
berkumpul bersama para pengawal dan orang-orang yang
semula dianggap sais pedati-pedati oleh orang-orang dari
golongan hitam itu. Dalam pada itu, Pangeran Kuda Padmadata yang
melihat orang-orang yang menyerang iring-iringan dari
Singasari ke Kediri itu telah meninggalkan arena, maka
iapun menarik nafas dalam-dalam sambil berkata "Ternyata
Tuhan Yang Maha Kuasa masih melindungi kita
semuanya. Agaknya mereka telah pergi"
Isterinya yang masih memeluk anak laki-lakinya itupun
menahan isak yang hampir meledak. Namun
bagaimanapun juga, terasa pipinya menjadi basah oleh air
mata yang-meluap dari pelupuknya.
"Kita selamat anakku" desis perempuan itu. Anak lakilakinya
masih melekatkan kepalanya di dada ibunya.
Namun kemudian iapun menyadari, bahwa pertempuran
itu sudah selesai. Dalam pada itu, Ki Wastu berdiri tegak dengan hati yang
bergetar melihat anak perempuan dan cucunya yang sudah
berhasil diselamatkan. Seakan-akan ia telah diguncang oleh
satu pertanyaan yang melingkar-lingkar di rongga dadanya
"Kenapa semuanya itu harus terjadi atas anak
perempuannya." Namun seperti Pangeran Kuda Padmadata, seperti artak
perempuannya dan seperti orang-orang yang lain. ia
mengucap sukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, bahwa
malapetaka itu telah dapat dicegah.
Ketika Pangeran Kuda Padmadata dan Ki Wastu
kemudian berusaha menenangkan ibu dan anak itu, para
pengawal telah dihadapkan pada tugas-tugas baru. Mereka
harus mengumpulkan orang-orang yang lerluka dan kemui
iiau mereka yang telah terbunuh. Beruntunglah, bahwa
korban diantara pengawal yang paling parah, tidak sampai
merenggut nyawanya, meskipun tiga orang tidak lagi dapat
bangkit. Tetapi karena perawatan yang cepat, maka nyawa
mereka masih dapat diharapkan untuk dipertahankan.
Sebelum matahari terbit, para pengawal telah
menguburkan empat orang lawan yang terbunuh.
Kemudian mengumpulkan dua orang yang terluka berat,
dan dua orang lagi yang tidak membahayakan jiwanya,
meskipun mereka tidak sempat melarikan diri.
"Gila" geram seorang pengawal "mereka benar-benar
menjadi beban diperjalanan. Kitalah yang harus merawat
mereka. Menyediakan makan dan minum. Mengobati dan
melayani" "Apaboleh buat" desis yang lain.
"Sementara kawan-kawan kita sendiripun telah terluka
pula berkata yang pertama.
"Ada dua orang yang dapat melayani kawan-kawannya
yang parah" berkata yang lain.
"Yang dua itupun memerlukan pelayanan" geram yang
lain lagi. Tetapi mereka tidak dapat mengingkari tugas-tugas itu.
Mereka tidak dapat membunuh orang-orang yang lelah
menjadi tawanan mereka. Ketika matahari terbit, maka merekapun mulai
berbiiuah. Dua pedati telah dipergunakan untuk
mengangkut orang-orang yang terluka. Satu pedati untuk
tiga orang pengawal dan satu pedati untuk orang-orang
yang tertawan. Namun dengan demikian, maka semua
perlengkapan telah dipindahkan kepedati yang satu lagi,
sehingga dengan demikian isteri Pangeran Kuda Padmadata
dan anak laki-lakinya, tidak lagi dapat duduk di dalam
pedati. Tetapi mereka telah dipersilahkan untuk duduk
dipunggung kuda dengan seorang pengawal yang
membantu menuntun kuda itu. Karena sebenarnyalah
bahwa perjalanan itu tidak dapat lebih cepat dari orang
yang berjalan kaki karena diantara iring-iringan itu terdapat
juga tiga buah pedati. Para pengawal akan bergantian berjalan menuntun dua
ekor kuda. Tetapi anak laki-laki Pangeran Kuda
Padmadata, telah berani duduk bersama seorang pengawal.
Bahkan diperjalanan berikutnya, pengawal itu kadangkadang
melarikan kudanya mendahului meskipun tidak
terlalu cepat. Kemudian kembali menyongsong iring-iringan
itu. "Jangan terlalu jauh mendahului kami" berkata Mahisa
Bungalan kemudian. Pengawal itu mengerti. Meskipun jarak itu hanya
beberapa tombak, namun akan dapat terjadi sesuatu, justru
anak laki-laki itu menjadi sasaran utama dari setiap usaha
pembunuhan. Ketika iring-iringan itu melewati sebuah sungai yang
jernih, maka merekapun berhenti sejenak. Mereka sempat
memberi minum kuda dan lembu penarik pedati, sementara
merekapun sempat menyegarkan tubuh mereka.
-oo0dw0oo- Jilid 17 DENGAN penuh kewaspadaan, iring-irangan itupun
melanjutkan perjalanan. Perjalanan yang masih panjang.
Bahkan mereka masih harus bermalam satu malam lagi
diperjalanan, meskipun sudah tidak terlalu jauh dari Kediri.
Namun mereka tidak akan memaksa diri untuk mencapai
kota itu. Tetapi bahwa mereka harus bermalam lagi diperjalanan
meskipun sudah tidak terlalu jauh dari Kediri, namun hal
itu harus mereka perhitungkan sebaik-baiknya.
Dalam pada itu, ketiga orang pemimpin dari lingkungan
hitam itupun telah berhasil melepaskan diri dari tangan
lawan-lawannya yang garang. Namun demikian, terasa
pada Ki Gampar Wulung, Ki Benda dan Ki Walikat, bahwa
tubuh mereka yang tidak terluka itu bagaikan remuk di
dalam. Tulang-tulang mereka bagaikan retak dan ruasruasnya
bagaikan saling terlepas.
"Gila" geram Ki Walikat "apakah orang itu anak iblis"
"Diluar dugaan" berkata Ki Benda "orang-orang yang
kita anggap sebagai sais itu justru orang yang berilmu iblis
seperti yang kau katakan itu"
"Meraka dengan sengaja mengelabui kita" berkata
Gampar Wulung "aku sama sekali tidak terluka. Tetapi
rasa-rasanya aku sudah memeras semua tenaga dan
kemampuanku. Jika aku harus bertempur beberapa kejap
lagi, mungkin aku tidak akan mampu bertahan sama sekali.
Bahkan rasa-rasanya sais kereta yang langsung aku hadapi
itu, masih belum sampai kepuncak ilmunya"
"Beruntunglah bahwa kita masih sempat melarikan diri"
sahut Ki Benda "kita harus cepat menghubungi Ki Macan
Wahan" "Untuk apa cepat-cepat?" bertanya Ki Walikat "rasarasanya
malas aku berjalan" "Bodoh" geram Ki Benda "kita masih mempunyai
kesempatan untuk membalas dendam malam nanti. Jika
dua orang diantara kita sempat menemui Macan Wahan
dan minta ia datang bersama Ki Dukut dan sepuluh orang
lagi, maka aku kira, kita akan berhasil"
Kedua orang kawannya mengerutkan keningnya.
Nampaknya mereka sedang berpikir.
Tiba-tiba saja Gampar Wulung berkata "Mungkin kau
benar. Tetapi Macan Wahan dan Ki Dukut itulah yang
penting" "Juga yang sepuluh orang. Lihat, kawan-kawan kita
sudah berkurang. Meskipun lawan juga berkurang, tetapi
nempaknya setiap orang di dalam pasukan lawan memilikikelebihan.
Karena itulah maka aku kira Macan Wahan dan
Ki Dukut perlu membawa sepuluh orang lagi atau lebih.
Sementara ketiga orang sais dan pembantu-pembantunya
itu akan kita hadapi bersama Macan Wahan dan Ki Dukut
sendiri" Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Tetapi Ki
Walikat berkata "Aku sependapat. Tetapi jangan hanya
sepuluh orang. Kita tidak boleh terjebak lagi. Meskipun
kekuatan lawan sudah berkurang, tetapi mereka benarbenar
memiliki ilmu iblis. Jika kita menyuruh dua orang
diantara kita menemui Ki Macan Wahan, maka biarlah kita
pesankan agar ia membawa orang sebanyak-banyaknya dan
tidak kurang dari sepuluh disamping Macan Wahan dan Ki
Dukut sendiri" "Baiklah. Kita akan segera menyuruh dua orang diantara
kita untuk menemui mereka. Berkuda dan secepatnya"
desis Gampar Wulung. "Bagaimana dengan kita?" bertanya yang lain. Gampar
Wulung termangu-mangu sejenak. Dipandanginya Ki
Benda dan Ki Walikat berganti-ganti. Baru sejenak
kemudian ia berkata "Bukankah sebaiknya kita
memperhitungkan kemungkinan, sampai di-mana-mana
iring-iringan itu akan berhenti lagi nanti malam"
"Ya. Kita akan berada ditempat itu. Tengah malam kita
menyerang mereka sekali lagi dengan kekuatan yang lebih
besar, sementara kekuatan lawan telah berkurang. Apalagi
diantara kita terdapat Macan Wahan dan Ki Dukut
Pakering sendiri, selain sepuluh orang kawan atau lebih
akan datang bersema mereka"
Demikianlah, maka mereka telah menunjuk dua orang
yang harus berkuda secepatnya kembali kepadukuhan
Macan Wahan. Keduanya harus melaporkan apa yang
terjadi. Dan Merekapun harus kembali bersama Macan
Wahan dan Ki Dukut bersama paling sedikit sepuluh orang
kawan lagi. Setelah semua pesan diterima dengan jelas, maka dua
orang diantara mereka telah berpacu kembali kepadepokan
Macan Wahan. Keduanyapun mendapat pesan, dimana
kira-kira pasukan yang gagal itu akan menunggu.
"Kegagalan ini bagikan membakar jantungku" berkata
Ki Benda "aku benar-benar ingin mencincang orang yang
menyebut dirinya pedagang besi betuah dan batu-batu ber
harga itu" "Bukan hanya orang itu" geram Ki Walikat "semua
orang di dalam kelompok itu. Mereka harus mengerti
bahwa kita mempunyai kemampuan untuk melakukannya.
Jika kita gagal itu semata hanya karena kelengahan kita
saja" Gampar Wulung mengangguk-angguk. Katanya "Jangan
cemas, Malam nanti kita akan dapat melepaskan dendam
kita bersama Ki Dukut dan Mancan Wahan. Pasukan kecil
yang membawa perempuan dari Singasari ke Kediri itu ten
tu tidak akan mampu berbuat apa-apa"
"Kita akan melakukannya" sahut Ki Benda "dan
sekarang kita masih mempunyai waktu untuk beristirahat.
Pedati-pedati itu merayap seperti siput. Sementara kita akan
tidur barang sekejap untuk melupakan sakit hati sambil
memberikan kesempatan orang-orang kita yang terluka,
untuk sedikit mendapatkan kesegaran baru, sebelum kita
bersama-sama melepaskan dendam yang membara di hati"
Demikianlah, maka orang-orang dari lingkungan ilmu
hitam itu masih sempat beristirahat, yang terluka masih
sempat mendapat perawatan dan pengobatan, sementara
mereka harus bersiap-siap untuk bertempur lagi malam
nanti. Namun dengan beberapa orang kawan yang masih
segar dan dua orang yang pilih tanding.
"Tugasku tidak akan terlalu berat malam nanti" berkata
salah seorang dari mereka yang terluka di lengan.
"Mudah-mudahan yang kita harapkan benar-benar akan
datang" berkata yang lain" jika benar, maka jumlah kita
akan berlipat. Dan orang-orang Kediri itu sudah semakin
surut. Apalagi mereka tentu akan ketakutan melihat Ki
Dukut diantara kita"
"Kita pergunakan waktu ini sebaik-baiknya" lewat
tengah hari kita akan menyusul mereka, dan menemukan
tempat yang kita harapkan dapat menjadi tempat
persembunyian yang baik sebelum kita menyerang"
"Sebaiknya kita berangkat menjelang senja. Kita
mempunyai waktu banyak. Berapa jarak yang dapat dicapai
oleh pedati-pedati itu?" berkata yang lain pula.
Tetapi mereka tidak dapat mengatur segalanya. Mereka
harus tunduk perintah pemimpin mereka. Apapun yang
harus mereka lakukan, harus mereka lakukan.
Sementara itu, dua orang kawan mereka telah berpacu
sekencang-kencangnya. Mereka berusaha untuk tidak
terlambat, karena kesempatan mereka untuk menyerang
iring-iringan itu memang tidak terlalu panjang lagi.
Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Semalam mereka harus melakukannya sebelum iringiringan
itu memasuki tlatah Kediri.
Sementara Ki Macan Wahan terkejut mendengar derap
kuda menuju rumahnya. Dengan tergesa-gesa ia keluar dari
ruang dalamnya. Dua orang yang datang itu dengan tergesa-gesa pula
mendapatkannya. Ketika mereka sudah duduk di pendapa, maka Macan
Wahanpun segera bertanya, apakah yang telah terjadi.
Kedua orang itu kemudian berceritera berganti-ganti.
Mereka menceriterakan kegagalan mereka. Karena itu,
maka serangan itu harus diulangi.
Macan Wahan menggeretakkan giginya. Ia rasa-rasa nya
ikut terjebak bersama ketiga orang kawannya itu.
"Untunglah, mereka bertiga selamat" berkatai Macan
Wahan " dengan demikian mereka masih mendapat
kesempatan untuk melepaskan dendam mereka kepada
orang-orang Kediri itu"
"Ya" jawab salah seorang yang datang menghubungi
Macan Wahan " kita harus berangkat dengan pasukan yang
kuat. Paling sedikit sepuluh orang ditambah Ki Macan
Wahan dan Ki Dukut sendiri"
"Tidak hanya sepuluh" berkata Macan Wahan
"kita akan pergi dengan lima belas orang atau lebih.
Semua orang yang sekarang ada di padepokan, akan aku
bawa bersama kita" "Bagus" geram salah seorang dari kedua penghubung itu
"kita akan dapat melepaskan dendam atas kematian kawankawan
kita yang terjebak itu"
"Kita akan segera memberitahukan kepada Ki Dukut"
berkata Macan Wahan. "Ya. Dan kita memang harus segera berangkat" berkata
salah seorang dari kedua orang penghubung itu "menjelang
tengah malam kita akan sampai"
Macan Wahan itupun kemudian telah menyuruh
seseorang memanggil Ki Dukut yang masih berada
dipadepokan itu untuk diberi tahu masalah yang sedang
mereka hadapi. Namun demikian Ki Dukut yang kemudian duduk
dipendapa itu mendengar rencana Macan Wahan untuk
mengirimkan beberapa orang itupun berkata "Rencana itu
sangat tergesa-gesa"
"Ya, Kita harus dengan cepat melakukannya" berkata
Macan Wahan. "Ya. Menurut perhitunganku, ia akan berbuat demikian"
jawab Ki Dukut. Macan Wahan menjadi tegang. Katanya "Tetapi hal itu
masih belum tentu. Kita dapat mencoba. Mungkin mereka
tidak berbuat demikian, sehingga kita mendapat
kesempatan yang baik untuk membinasakan seorang
Pangeran dan merampas segala miliknya yang dibawanya.
Bukankah sejalan dengan rencana Ki Dukut untuk
mengguncang Kediri, agar mereka terbangun dari mimpi
yang manis, sementara angin yang sejuk masih ditiupkan
oleh orang-orang Singasari"
Ki Dukut tertawa. Katanya "Kau sudah mulai
menyadari, betapa rendahnya martabat Kediri dimata orang
Singasari. Karena itu, maka kita harus menjaga diri, agar
kita tidak terperosok kedalam kesalahan demi kesalahan.
Percayalah kepadaku, menurut perhitunganku. Pangeran
Kuda Padmadatapun akan berbuat seperti yang kita
lakukan. Menjemput sepasukan pengawal. Jika kita akan
terjebak dan hancur sama sekali, maka tidak akan ada orang
yang masih bercita-cita untuk memulihkan kebesaran Kediri
dan memaksa Singasari mempersempit kekuasaannya
kembali menjadi Pakuwon seperti masa Tunggul Ametung
menjadi seorang Akuwu"
Macan Wahan terdiam. Namun masih nampak di
wajahnya. betapa dendam menyala dihatjnya. Betapa ia
ingin menumpahkan dendamnya dengan memusnakan
iring-iringan Pangeran Padmadata yang telah berhasil
mengelabui kawan-kawannya dan menjebaknya. Untunglah
bahwa tiga orang kawannya berhasil menyelamatkan diri.
Tetapi iapun dapat mengerti, keterangan yang dikata kan
oleh Ki Dukut. Kemungkinan itu memang dapat terjadi.
Jika sekali lagi ia terjebak, maka mungkin sekali orangorangnya
akan benar-benar dihancurkan.
Meskipun demikian, Macan Wahan tidak ingin
melepaskan kemungkinan yang baik itu. Maka katanya
"Kita Dukut Biarlah kita melihat kemungkinannya. Kita
akan pergi. Tetapi kitapun akan melihat, apakah pasukan
Kediri itu datang atau tidak. Jika pasukan Kediri itu datang,
kita tidak akan berbuat apa-apa. Tetapi jika tidak, maka kita
akan memusnakan iring-iringan itu sampai lumat" Ki
Dukut tertawa. Katanya "Baiklah. Mungkin hal ini
memang dapat dicoba"
"Jika demikian, kita harus segera berangkat, semua
orang yang ada akan kita bawa. Kita hanya perlu tiga orang
untuk menunggui padepokan ini, disamping beberapa orang
perempuan" berkata Macan Wahan.
Demikianlah, maka dengan tergesa-gesa padepokan itu
bersiap-siap. Bagaimanapun juga, masih tersimpan harapan
dihati Macan Wahan, bahwa ia akan dapat membalas sakit
hati kawan-kawannya yang terjebak. Bahkan masih ada
harapan Untuk dapat mencincang iring-iringan dari
Singasari ke Kediri itu sampai lumat.
Sejenak kemudian, maka pasukan dari padepokan yang
diselimuti oleh ilmu hitam itu sudah siap. Ternyata masih
ada sembilan orang ditambah dengan sisa orang-orang Ki
Benda, Ki Walikat dan Ki Gampar Wulung yang memang
tidak dibawa, karena mereka telah membawa orang
berlebihan dari padepokannya dan mereka harus
mempersiapkan segala sesuatu jika diperlukan.
"Semua ada tigabelas orang" berkata Macan Wahan
"ditambah kita berdua. Nampaknya kita akan dapat
berhasil" "Apa yang berhasil?" bertanya Ki Dukut.
Macan Wahan menegang. Namun iapun tersenyum
pahit sambil menjawab " Aku masih mengharap hal itu
terjadi. Mencincang sampai lumat"
"Mudah-mudahan harapan itu akan dapat kita lakukan"
sahut Ki Dukut "tetapi kita tidak boleh terseret oleh arus
perasaan. Kita harus mempertimbangkan tingkah laku kita
dengan nalar. Sehingga kita tidak akan kehilangan
perhitungan yang mapan"
Macan Wahan menarik nafas. Namun ia tetap berniat
untuk melepaskan dendamnya. Apapun yang akan terjadi,
jika orang-orang Kediri itu tidak memanggil pasukan yang
kuat dari kota. Demikian, maka iring-iringan sekelompok orang-orang
berilmu hitam itupun kemudian berangkat dari padepokan
Macan Wahan. Mereka langsung menuju tempat yang
sudah ditunjuk lewat penghubung yang kembali
kepadepokan itu. Dalam pada itu, ternyata kawan-kawan Macan Wahan
yang gagal, masih saja beristirahat ditempatnya. Mereka
merasa tidak perlu tergesa-gesa, karena mereka masih
mempunyai banyak waktu. Jika iringkan yang lebih lambat
dari berjalan kaki, karena ada beberapa buah pedati
bersama mereka itu menempuh satu hari perjalanan, maka
mereka akan dapat menyusul jarak itu beberapa saat saja
dengan kuda yang berpacu.
"Kita tidak usah membuang banyak waktu" berkata Ki
Benda "kita sudah dapat memperhitungkan, sampai di
mana kira-kira perjalanan pedati itu dalam satu hari"
Karena itulah, maka orang-orang berilmu hitam itu
dapat tidur dengan nyenyak. Mereka benar-benar dapat
beristirahat untuk pada malam harinya kembali
mengerahkan kemam puan untuk bertempur melawan para
pengawal dari Kediri. Tetapi kekuatan pengawal itu sudah
berkurang, sementara kekuatan orang berilmu hitam itu
tentu akan bertambah. Meskipun ada diantara mereka yang
terbunuh atau terluka parah, tetapi yang akan datang,
jumlahnya tentu akan lebih banyak.
Baru pada saat yang diperkirakan sudah cukup, maka
orang-orang berumu hitam itupun mulai mengemasi diri.
Mereka membenahi pakaian dan senjata mereka. Kemudian
mereka pun berusaha untuk mendapatkan air pada sebatang
sungai untuk menyegarkan tubuh mereka.
Agar tidak menimbulkan kecurigaan di sepanjang jalan
yang akan mereka lewati, maka orang-orang berilmu hitam
itupun telah membagi diri ke dalam kelompok-kelompok
yang lebih kecil. Mereka telah membagi pula arah yang
akan mereka lalui. Sesuai dengan pengembaraan mereka
dalam kehidupan mereka yang hitam, maka sebagian dari
mereka telah dapat mengenali daerah itu dengan cukup
baik, sehingga orang-orang itulah yang akan menjadi
penunjuk jalan menuju ke tempat yang sudah mereka
tentukan. Ki Walikat tertawa. Katanya "Kau benar. Mereka tentu
lebih senang bermimpi indah daripada menjaga
kemungkinan kedatangan kita, karena mereka mengira
bahwa kita sudah berhasil mereka hancurkan"
"Kita akan sampai ke tempat itu menjelang.tengah
malam" berkata Ki Gampar Wulung "dengan demikian
maka kewaspadaan orang-orang Kediri itu sudah mulai
susut. Seperti semalam, jika bukan karena mereka memiliki
kemampuan yang jauh melampaui kemampuan kita, maka
mereka sudah mulai menjadi lengah. Apalagi malam nanti.
Mereka tentu mengira bahwa kita tidak akan kembali"
*** Dalam pada itu, perlahan-lahan pedati-pedati yang
diiringi oleh para pengawal itupun maju terus. Beberapa
orang yang terluka mengerang di dalamnya. Sementara
isteri Pangeran Kuda Padmadata yang terpaksa
menunggang kuda dengan tubuh yang miring, cepat
menjadi letih. Karena itu, maka kadang-kadang justru ia
lebih senang berjalan bersama Pangeran Kuda Padmadata
yang menyerahkan kudanya kepada orang lain. Namun
dalam pada itu, ketika perjalanan itu menjadi semakin jauh,
maka Mahisa Agnipun kemudian mendapatkan Pangeran
Kuda Padmadata untuk memberikan beberapa
pertimbangan mengenai perjalanan yang gawat itu.
"Pangeran" berkata Mahisa Agni "semalam kita masih
akan bermalam diperjalanan"
"Ya" sahut Pangeran Kuda Padmadata.
"Bukankah dengan demikian masih akan dapat terjadi
beberapa hal yang tidak kita inginkan" berkata Mahisa Agni
lebih lanjut. "Ya, agaknya memang demikian" jawab Pangeran Kuda
Padmadata "bukankah dengan demikian kita harus berhatihati"
"Tidak cukup sekedar berhati-hati" berkata Mahisa Agni
kemudian. "Jadi?" "Pangeran" berkata Mahisa Agni lebih lanjut "orang
yang gagal itu akan dapat menghimpun kekuatan lagi
setelah mereka mengetahui kekuatan kita. Mereka akan
dapat datang lagi dengan kekuatan yang jauh lebih besar
untuk menghancurkan kita"
Pangeran Kuda Padmadata mengerutkan keningnya.
Namun iapun mengangguk-angguk sambil menjawab
"Memang benar. Kemungkinan itu besar sekali"
"Nah, karena itu, kita harus berjaga-jaga" Mahisa Agni
menambahkan. "Apa yang baik kita lakukan?" bertanya Pangeran Kuda
Padmadata "mempercepat perjananan ini, dan memaksa
memasuki Kediri, meskipun lewat malam?"
Tetapi Mahisa Agni menggeleng sambil menjawab
"Tidak perlu Pangeran. Isteri Pangeran dan putera
Pangeran akan terlalu letih."
Pangeran Kuda Padamata mengangguk-angguk. Namun
kemudian iapun bertanya. "Jika kita tidak dapat memaksa
diri memasuki kota, apa yang harus kita lakukan?"
"Pangeran sebaik mengutus dua atau tiga orang
mendahului perjalanan ini dengan nama Pangneran Kuda
Padmata, kedua atau tiga orang itu dapat memerintahkan
sepasukan pengawal untuk menjemput atau menyongsong
iring-iringan ini" Pangeran Kuda Padmata mengangguk-angguk. katanya
"Tepat sekali, ternyata pikiranku tidak cukup jernih
menanggapi keadaan seperti ini"
Dengan demikian maka Pangeran Kuda Padmatapun
segera memerintahkan tiga orang pengawalnya untuk
mendahului memasuki kota. Meraka dapat berkuda secara
cepat. Mereka dapat berpacu sehingga mereka akan segera
sampai ke kota. Dengan cepat pasukan pengawal akan
disiapkan untuk segera menyongsong iring-iringan yang
berjalan lambat, justru karena ada beberapa buah pedati di
dalamnya. "Pasukan pengawal itu tentu akan dapat mencapai
tempat kita bermalam sebelum tengah malam" berkata
Mahisa Agni kemudian. Pangeran Kuda Padmadata mengangguk-angguk.
Beberapa orang yang kemudian mengetahui pula rencana
itu, telah sependapat. Karena orang-orang yang menyerang
itu akan dapat berbuat apa saja untuk kepentingan mereka
yang tidak lagi mempertimbangkan martabat kemanusiaan
mereka lagi. *** Ketika tiga orang itu berpacu menuju ke Kediri, maka
dua orang dari antara yang berilmu hitam itupun telah
berpacu pula menuju ke padepokan Macan Wahan. Dengan
tangkasnya kuda-kuda mereka menyusup, diantara
gerumbul-gerumbul dan hutan. Karena penjelajahan yang
pernah mereka lakukan, maka merekapun dapat memilih
jalan memintas yang akan dapat memperpendek jarak.
"Kita harus sampai ke padepokan dan kemudian
membawa sekelompok kawan-kawan kita dengan cepat.
Kita harus sampai ketempat yang ditunjuk itu sebelum
tengah malam. Beristirahat sejenak. Kemudian dia lewat
Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tengah malam, menyerang iring-iringan yang tentu sedang
beristirahat seperti semalam" berkata salah seorang dari
mereka. "Tentu" jawab yang lain "Kita akan segera sampai dan
kitapun akan segera berangkat lagi"
"Tetapi kita masih harus berpikir dengan bening. Apakah
kau pikir rencana itu akan berhasil?" bertanya Ki Dukut.
"Tentu. Kenapa tidak" Orang-orang Kediri itu telah
susut, mungkin terbunuh, mungkin terluka. Sementara
jumlah kita bertambah. Bahkan kita berduapun ikut
bersama mereka" Ki Dukut merenungi kata-kata Macan Wahan itu
sejenak. Namun rasa-rasanya ia tidak sependapat. Karena
itu. maka katanya "Sebaiknya kita berpikir dua tiga kali
lagi" Jawaban itu mengejutkan. Dengan dahi yang berkerut,
Macan Wahan bertanya kepada Ki Dukut "Kanapa kita
masih harus ragu-ragu. Persoalannya sudah jelas. Dan kita
tidak dapat menunggu lagi"
Tetapi Ki Dukut masih menggeleng sambil berkata
"Persoalannya masih belum jelas"
"Yang mana yang belum jelas?" bertanya Macan
Wahan. "Kau kira, bahwa Pangeran Kuda Padmadata tidak
dapat minta bantuan ke Kediri, seperti kawan-kawan kita
minta bantuan kepada kita?"
Macan Wahan tertegun sejenak. Namun kemudian
katanya "Apakah meraka sempat juga berpikir seperti itu?"
"Tentu. Ia tentu berpikir tangkas seperti kawan-kawan
kita. Dua orang diantara mereka pergi ke Kediri untuk
menjemput sekelompok pengawal, jika kita masih harus
menghitung, berapa orang kawan kita yang dapat
melakukan hal itu, maka di Kediri, Pangeran Kuda
Padmadata tinggal menyebut, berapa orang pengawal yang
diinginkannya. Sepuluh, dua puluh, tiga puluh, bahkan
seratus. Meskipun yang seratus itu bukan pengawal pilihan
seperti yang sepuluh orang dan para sais yang telah
menjebak kawan-kawan kita itu, namun mereka adalah
pengawal-pengawal yang terlatih baik" jawab Ki Dukut.
Macan Wahan menjadi tegang. Katanya "Memang
mungkin. Tetapi, apakah kira-kira Pangeran Kuda
Padmadata akan berbuat domikian"
"Kita akan mencincang setiap orang dari para pengawal
itu" sahut Ki Benda "hatiku masih terlalu pedih melihat
kesombongan Mahendra dengan pedangnya yang mampu
mengimbangi pusakaku. Jika aku tidak mengingat nasib
orang-orang kita yang seolah-olah kehilangan kesempatan
sama sekali, maka aku tentu sudah berhasil membunuhnya"
Tetapi Ki Gampar Wungkul menyahut "Bagaimana
anggapan kita, tetapi ternyata kita telah gagal. Sebaiknya
kita menjadi lebih berhati-hati dan berbuat lebih banyak
lagi, agar kita akan dapat berhasil"
Ki Benda menarik nafas dalam-dalam. Tetapi iapun
mengangguk-angguk sambil berkata "Kau benar. Dan aku
akan menebus kegagalan itu"
Demikianlah maka kelompok-kelompok kecil itupun
segera berangkat menuju ke tempat yang telah mereka
sepakati. Mereka telah menebar melalui jalan masingmasing.
Justru mereka memilih jalan yang tidak banyak
dilalui orang, dan jalan-jalan setapak. Meskipun kadangkadang
kuda mereka tidak dapat berlari kencang, namun
perjalanan mereka tidak banyak bertemu dengan orangorang
yang bagaimanapun juga akan memperhatikan
mereka. Dalam pada itu, di Kediri, seorang perwira pengawal
tengah sibuk menyiapkan sepasukan pengawal yang akan
menjemput Pangeran Kuda Padmadata. Tiga orang utusan
Pangeran Kuda Padmadata telah menghadap dan
menyampaikan apa yang telah terjadi.
"Pangeran Kuda Padmadata telah bermain dengan api"
berkata perwira itu "kenapa Pangeran hanya membawa
sepuluh orang pengawal. Untunglah, diantara mereka
terdapat tiga orang Singasari yang bersedia membantu
mereka, meskipun mereka hanya sais pedati"
"Mereka bukan sebenarnya sais" sahut seorang utusan.
"Aku tahu" jawab perwira itu. Lalu "Aku siapkan
sekarang sepuluh orang pengawal lagi. Tetapi bersama
mereka akan ikut serta tiga orang perwira, sehingga
jumlahnya akan menjadi tiga belas orang. Dan akupun
masih mengirimkan pengganti kawan-kawanmu yang
terluka sebanyak tiga orang. Dengan demikian, maka kami
semuanya akan berjumlah enam belas orang. Kami akan
bersamamu menyongsong Pangeran Kuda Padmadata"
"Marilah. Kita harus bertemu dengan iring-iringan itu
tidak terlalu jauh memasuki malam hari" berkata salah
seorang utusan itu. Ternyata para pengawal itupun segera dapat memper
siapkan diri. Dalam waktu yang pendek, maka iring-iringan
itupun telah siap untuk berangkat. Sepuluh orang pengawal
pilihan, tiga orang perwira dan tiga orang pengawal lagi
untuk meggantikan tiga pengawal yang terluka. Bersama
dengan tiga orang utusan, maka mereka akan berjumlah
sembilan belas orang"
"Apakah jumlah ini terlalu kecil?" bertanya perwira
pengawal itu. "Aku kira tidak. Dan akupun tidak pasti, apakah mereka
masih akan mengganggu" berkata utusan itu.
"Siapa tahu. Mungkin mereka sempat memanggil
kawan-kawannya yang lain. Tetapi pasukan yang aku bawa
ini cukup kuat menghadapi jumlah orang berlipat dua"
berkata perwira itu. Demikianlah, maka sepasukan kecil pengawal dari
Kediri itupun segera berpacu menyongsong Pangeran Kuda
Padmadata. Mereka tidak ingin terlambat, dan tinggal
menemukan sisa-sisa pasukan dan iring-iringan Pangeran
Kuda Padmadata. Karena itu, maka merekapun telah
berpacu secepat-cepatnya menyusuri jalan yang
menghubung kan jarak yang cukup panjang, Kediri dan
Singasari. Dalam pada itu. Pangeran Kuda Padmadata masih
merayapi jalan yang berdebu. Di siang hari matahari bagai
kan membakar kulit. Pada keadaan yang terpaksa, maka
isteri Pangeran Kuda Padmadata dan anak laki-lakinya
telah berada di dalam pedati yang membawa bekal dan
barang-barang yang lain. Lebih baik berada di dalam satu
pedati meskipun berdesakan dengan barang-barang,
daripada berada di dalam satu pedati dengan orang-orang
yang terluka. Ketika langit menjadi buram, maka isteri dan anak
Pangeran Kuda Padmadata itu menjadi berdebar-debar
kembali. Rasa-rasanya peristiwa semalam masih akan
terulang lagi. Apalagi pengawal yang berada di antara
mereka tinggal empat orang. Tiga orang terluka, dan tiga
yang lain menghubungi pengawal di Kediri. Dalam
keadaan yang demikian, maka kemungkinan yang paling
pahit akan dapat terjadi.
Meskipun demikian, Pangeran Kuda Padmadata sempat
juga menenangkan hati mereka. Bahwa orang-orang yang
telah mencegat iring-iringan itu benar-benar telah
dihancurkan. "Seandainya mereka akan melakukannya lagi, mereka
tentu memerlukan bantuan. Untuk mendapatkan bantuan
itu mereka memerlukan waktu yang tidak kalah panjangnya
dengan perjalanan pengawal-pengawal kita ke Kediri"
Isteri Pangeran itupun mengangguk-angguk. Tentu ia
percaya kepada suaminya. Suaminya adalah seorang
Pangeran yang memiliki ilmu yang cukup dan pengetahuan
serta pengalaman yang luas. Meskipun pada suatu saat,
perempuan itu pernah berprasangka bahwa suaminya
dianggapnya tidak setia. Namun ternyata bahwa dugaan itu
salah. Suaminyapun telah terjerar ke dalam satu permainan
yang hampir saja menelan nyawanya.
Waktu rasa-rasanya berjalan dengan lamban dan
mendebarkan. Ketika malam turun, maka iring-iringan
itupun segera mencari tempat yang paling baik untuk
berhenti. Seperti malam sebelumnya mereka lebih senang
berada di tempat yang terbuka dan dapat memandang ke
arah yang jauh, sehingga mereka akan segera dapat melihat,
jika ada orang-orang yang dengan maksud buruk mendekati
mereka. "Kita tidak dapat bersembunyi" berkata Pangeran Kuda
padmadata "karena itu, buatlah perapian. Biarlah malam
menjadi sedikit hangat"
Ketika dingin malam mulai menyentuh kulit, maka di
tengah-tengah lingkaran peristirahatan itu, terdapat sebuah
perapian yang cukup besar, sehingga panasnya dapat
menghangatkan keadaan diseputarnya. Bahkan pedatipedati
yang berada beberapa langkah dari perapian itupun
telah dihangatkan pula. Orang-orang yang terluka, yang
berada di dalam pedati itupun merasa, hangatnya perapian
yang menyala cukup besar.
Para pengawal telah melemparkan beberapa potong
kayu, ranting-ranting kering dan batang-batang perdu.
Sehingga api itu dapat dipertahankan nyalanya.
Sementara itu, langit menjadi cerah. Bulan yang masih
cukup bulat mulai menerangi alam yang terbentang dari
ujung ke ujung cakrawala.
Anak laki-laki Pangeran Kuda Padmadata di saat-saat
melupakan kegelisahannya berbicara juga tentang langit,
bulan dan bintang-bintang. Bahkan rasa-rasanya tidak jemujemunya
ia memandang cahaya bulan yang kekuningan
jatuh di atas dedaunan dan rerumputan. Tetapi derik
cengkerik dan belalang, terasa membuat kulitnya berkerut.
Karena para pengawal tinggal empat orang, maka
mereka telah membagi tugas mereka dengan Mahisa
Bungalan, Mahisa Pukat dan Mahisa Murti. Sementara Ki
Wastupun telah menghitung dirinya sendiri untuk ikut serta
berjaga-jaga. "Setiap saat, empat orang harus siap mengamati empat
arah" berkata Ki Wastu.
Mahisa Bungalan dan kedua adiknya sama sekali tidak
berkeberatan. Bahkan kemudian Mahisa Agni, Witantra
dan Mahendrapun telah bersedia pula ikut berjaga-jaga.
"Biarlah, empat orang pengawal dan anak-anak muda itu
berjaga-jaga bergantian bersama aku" berkata Ki Wastu.
Tetapi Mahisa Agni manjawab "Kami akan membuat
giliran tersendiri" Ki Wastu tersenyum, jawabnya "Terima kasih. Dengan
demikian, kami akan merasa semakin tenang"
Namun dalam pada itu, Pangeran Kuda Padmadata
menjadi gelisah, karena utusannya ke Kediri masih belum
kembali. Apakah mereka selamat sampai ke Kediri atau
tidak. Jika ketiganya sampai ke Kediri, maka para
pemimpin pengawal di Kediri tentu tidak akan
berkeberatan. Tetapi kegelisahan itu tidak berlangsung terlalu lama.
Ketika bulan naik sepenggalah, maka terdengar derap kaki
kuda gemuruh dari arah Kediri.
"Apakah mereka datang?" desis Mahisa Agni. Sementara
itu, Pangeran Kuda Padmadatapun telah berdiri di dekat
perapian. Ketika Mahisa Agni, Witantra dan Mehendra
datang mendekatinya, ia berkata "Agaknya mereka telah
datang" "Tetapi berhati-hatilah Pangeran" desis Ki Wastu
"mudah-mudahan mereka. Tetapi jika bukan kita jangan
lengah" Derap kaki kuda itu terdengar semakin lama menjadi
semakin dekat. Dalam keremangan cahaya bulan, iringiringan
itu mulai nampak bergerak di sepanjang jalan dari
arah Kediri. Karena itu, maka para pengawal Kediri yang tinggal
empat orang itupun rasa-rasanya menjadi semakin tenang.
Mereka akan mendapat kawan-kawan baru yang akan dapat
berbuat lebih banyak dari mereka sendiri.
Namun agaknya Pangeran Kuda Padmadata sendiri
benar-benar tidak ingin terjebak. Karena itu, maka iapun
kemudian melangkah mendekati seorang pengawalnya
sambil berkata "Hati-hatilah"
"Kami yakin" desis pengawal itu.
Sebenarnyalah, bahwa di dalam keremangan bulan,
iring-iringan itu sudah nampak semakin jelas. Merekaadalah
para pengawal dari Kediri, yang datang lebih cepat
yang diduga. Para pengawal dari Kediri itupun segera melihat
perapian yang menyala tidak terlalu jauh dari jalan yang
mereka lalui. Sesuai dengan perhitungan para pengawal
menghubungi mereka, maka di sekitar daerah itulah, iringiringan
Pangeran Kuda Padmadata akan berhenti.
Kedatangan para pengawal itu telah disambut dengan
gembira oleh setiap orang yang berada di dalam iringiringan
itu. Para perwira yang datang bersama para
pengawal itupun segera diperkenalkan dengan orang-orang
yang berada di dalam iring-iringan Pangeran Kuda
Padmadata. Namun seorang dari para perwira itupun tiba-tiba
berdesis "Aku sudah mengenal Senapati Agung dari
Singasari yang pernah berada di Kediri ini"
"Sstt" desis Pangeran Kuda Padmadata "jangan sebut
itu. Ia tidak ingin hal itu diketahui banyak orang. Ada dua
orang yang pernah mendapat kedudukan seperti itu di sini.
Mahisa Agni dan Witantra"
"Ya" berkata Perwira itu "tetapi bagaimana aku harus
bersikap" "Bersikaplah biasa saja seperti kalian bersikap dengan
orang-orang lain yang pantas mendapat kehormatan
sewajarnya, tidak berlebih-lebihan"
Perwira itu mengangguk-angguk. Namun rasa-rasanya
segan juga ia menghadapi Mahisa Agni dan Witantra.
Dalam pada itu, maka para pengawal yang baru datang
itupun dipersilahkan beristirahat barang sejenak. Para
Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pengawal yang terdahulu ternyata sudah mempersiapkan air
hangat dengan gula kelapa yang dapat membuat para
pengawal yang baru datang itu menjadi segar.
"Beristirahatlah" berkata Pangeran Kuda Padmadata
"mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu. Sehingga kalian
tidak perlu bersusah payah mempermainkan senjata kalian.
Tetapi jika hal itu harus terjadi, maka kalian sudah
mendapat kesempatan beristirahat barang sejenak"
Para pengawal itupun kemudian berpencar setelah
minum beberapa teguk. Mereka benar-benar ingin
beristirahat. Bagaimanapun juga perjalanan mereka,
memang perjalanan yang melelahkan karena mereka harus
berpacu secepat-cepatnya agar mereka tidak terlambat.
Ternyata yang mereka temukan, iring-iringan yang masih
utuh. Beberapa orang diantara pengawal itupun telah berbaring
di atas rerumputan di sebelah pedati yang berhenti dalam
lingkaran. Orang-orang yang terluka, masih berada di
dalamnya. Namun ada juga di antara mereka yang merasa
dirinya masih mampu, merasa lebih senang turun dari
pedati dan berbaring di atas rerumputan pula. Udara malam
yang sejuk telah mernbuat tubuh mereka serasa bertambah
segar. Namun bagaimanapun juga. Orang-orang yang berilmu
hitam itu masih juga perlu mendapat pengawasan,
meskipun mereka terluka. Dalam pada itu, Ki Benda, Ki Walikat dan Ki Gampar
Wungkul semakin lama menjadi semakin dekat pula.
Mereka benar-benar merasa tidak perlu tergesa-gesa.
Mereka menganggap perlu untuk manghemat tenaga
mereka, karena mereka masih akan mempergunakannya
lewat tengah malam. Ternyata perhitungan mereka tidak terlalu jauh meleset.
Setelah berusaha menemukan tempat bagi mereka sesuai
dengan pembicaraan di antara mereka, maka orang-orang
berilmu hitam itupun mulai mengatur diri. Meraka
menugaskan dua orang diantara mereka untuk meyakinkan,
tempat peristirahatan iring-iringan Pangeran Kuda
Padmadata. Usaha itu tidak terlalu sulit. Perapian yang menyala
diantara para pengawal itu segera menarik perhatian kedua
orang itu. Karena itu, maka dengan hati-hati merekapun
merayap mendekat sedapat mereka capai. Karena
merekapun sadar, bahwa diantara orang-orang yang berada
di dalam iring-iringan itu adalah orang-orang berilmu
tinggi. "Nampaknya sepi-serpi saja" desis yang seorang.
"Aku tinggal di sini. Berikan laporan, bahwa kami telah
menemukan tempat itu, tidak terlalu jauh dari tempat yang
kita perkirakan. Aku akan mengawasi jika ada perubahan
terjadi pada mereka" sahut yang seorang.
Yang lainpun segera memberikan laporan, sementara
kawannya tetap mengawasinya.
Namun karena ternyata kedatangan para pengawal dari
Kediri lebih dahulu dari mereka, maka orang berilmu hitam
itu tidak sempat melihat, sebuah iring-iringan telah berada
di dalam lingkungan iring-iringan dari Singasari itu pula.
Sementara itu. Macan Wahan dan Ki Dukut
Pakeringpun telah sampai ke tempat yang disebut-sebut
oleh para penghubung. Merekapun tidak terlalu sulit untuk
menemukan kawan-kawan mereka, karena satu dua orarig
diantara mereka telah mengenal daerah itu.
"Kita cukup kuat" desis Macan Wahan kemudian
setelah ia mendengar laporan Ki Walikat.
"Sekali lagi aku peringatkan, apakah orang-orang Kediri
itu tidak mendapat bantuan dari kawan-kawan mereka"
berkata Ki Dukut. Macan Wahan menarik nafas dalam-dalam. Dengan
nada berat ia berkata "Ternyata Ki Dukut Pakering adalah
orang yang sangat berhati-hati. He, apakah Kalian yang
berada di sini dapat mengatakan, apakah orang-orang
Kediri itu telah memanggil kawan-kawannya?"
Ki Benda, Ki Walikat dan Ki Gampat Wungkul termangumangu
sejenak. Namun kemudian Ki Walikat bertanya
kepada orang yang telah melihat keadaan tempat peristira
hatan Pangeran Kuda Padmadata itu "Sepengetahuanku,
keadaan di tempat itu terasa sangat sepi. Aku hanya melihat
api yang menyala diantara tiga buah pedati yang
melingkarinya" "Agaknya Pangeran Kuda Padmadata menjadi
ketakutan" berkata Ki Benda "untuk membesarkan hatinya
ia telah membuat perapian sebesar-besarnya"
Ki Gampar Wungkul mengangguk-angguk. Katanya
"Aku sependapat. Tetapi sebaiknya, biarlah kita melihat
sekali lagi. Mungkin sepeninggal pengamat itu, pengawal
dari Kediri telah berdatangan"
"Aku sependapat" desis Macan Wahan "perintahkan
kepada dua orang untuk melihat kembali di tempat itu"
"Aku akan berangkat" berkata Ki Dukut "aku ingin
melihat apakah kita akan mampu berbuat sesuatu"
Macan Wahan mengerutkan keningnya. Ia melihat
kesungguhan pada Ki Dukut menghadapi orang-orang
Kediri. Karena itu. maka katanya "Aku akan pergi bersama
Ki Dukut. Akupun ingin melihat apakah kekuatan kita
cukup memadai" Ternyata bahwa Ki Dukut benar-benar telah pergi untuk
meyakini segala keterangan yang didengarnya tentang
orang-orang Kediri itu. Dangan diantar oleh pengawas yang
semula telah datang bersama seorang kawannya, maka
merekapun menemui pengawas yang seorang lagi, yang
ditinggalkannya untuk selalu mengamati keadaan.
"Apakah kau melihat satu peruhahan?" bertanya
pengawas yang melapor kepada para pemimpin orangorang
berilmu hitam itu. "Tidak" jawab kawannya.
"Apakah tidak ada orang-orang Kediri yang datang?"
bertanya Macan Wahan. "Tidak" jawab pengawas itu.
"Nah. Bukankah sudah pasti" berkata Macan Wahan
"apa lagi yang kita ragukan?"
Tetapi nampaknya Ki Dukut masih belum puas. Katanya
"Aku akan berusaha merayap lebih dekat"
"Berbahaya sekali" desis pengawas yang telah berada di
tempat itu. Ki Dukutpun menyadari, bahwa terlalu sulit untuk dapat
merapat lebih dekat lagi. Namun ia tidak akan dapat
mengambil satu sikap tanpa mengetahui keadaan yang agak
lebih mantap tentang sasarannya.
Karena itu, maka iapun berusaha untuk bergeser sambil
menelengkup di balik batang rerumputan liar. Namun
karena Ki Dukut juga seorang yang memiliki ilmu yang
tinggi, maka iapun cukup cermat memperhitungkan
keadaan. Meskipun Ki Dukut tidak dapat mendekat, tetapi dari
jarak yang lebih dekat dari tempat para pengawas, maka ia
dapat melihat kuda yang cukup-banyak. Karena itu, ia
berkesimpulan, meskipun hanya sedikit, tetapi Kediri telah
mengirimkan bantuan kepada Pangeran Kuda Padmadata.
"Kuda itu tidak hanya sepuluh atau dua belas. Tetapi
lebih banyak dari itu" berkata Ki Dukut di dalam hatinya.
Karena itu, ketika ia kembali kepada Macan Wahan, ia
berkata "Macan Wahan, jika kau sempat memperhatikan
jumlah kuda mereka, maka kau tentu akan mengambil
kesimpulan yang sama dengan aku. Kediri telah
mengirimkan pengawal-pengawalnya kepada Pangeran
Kuda Padmadata" "Tetapi berapa banyak" Seratus" Lima puluh?" bertanya
Macan Wahan. "Tentu tidak sebanyak itu. Tetapi cobalah. Jika kau
cukup berhati-hati, kau akan dapat mencapai jarak seperi
yang dapat aku lakukan. Tahankan ilmumu sedikit sehingga
kau tidak bertindak dengan kasar dan tergesa-gesa" berkata
Ki Dukut. Macan Wahanpun melakukannya. Iapun merayap
seperti yang dilakukan cleh Ki Dukut, dengan lindungan
batang rumput liar yang cukup tinggi, maka ia dapat
mendekat, meskipun tidak terlalu dekat. Dan seperti Ki
Dukut, maka Macan Wahanpun dapat melihat kuda-kuda
yang tertambat. Memang lebih banyak dari sepuluh atau
duabelas ekor kuda. Macan Wahanpun agaknya mengakui, tentu ada
sekelompok pengawal baru yang datang. Tetapi menilik
pengamatannya, jumlahnya tentu tidak terlalu banyak.
Kuda-kuda itupun tidak terlalu banyak.
Karena itu. ketika ia kembali kepada Ki Dukut. iapun
berkata "Tidak ada yang perlu dicemaskan Ki Dukut.
jumlah mereka tidak terlalu banyak seandainya ada
sekelompok pengawal yang baru dalang dari Kediri.
Kedatangan pengawal itu tentu bukan karena peristiwa
yang baru terjadi. Mungkin dalam rangka upacara atau
dalam rangka apapun juga. Jika Kediri sengaja
mengirimkan bantuan karena peristiwa yang baru terjadi
semalam, maka yang datang tentu segelar sepapan.
Agaknya pengawal-pengawal itu datang secara kebetulan
dalam persoalan yang tidak ada hubungannya dengan
peristiwa semalam, meskipun secara kebetulan pula mereka
akan dapat membantu. Tetapi kekuatan mereka tidak akan
berarti apa-apa bagi kami"
"Jangan mengabaikan peristiwa yang sedang kita hadapi
ini Macan Wahan" berkata Ki Dukut "lebih baik kita
berhati-hati agar kita tidak terperosok ke dalam kegagal an
lagi" Ki Dukut masih selalu dibayangi oleh seribu kegagalan
yang pernah dialami. Karena itu, ia menjadi semakin
berhati-hati untuk bertindak lebih jauh lagi dalam persoalan
dengan orang-orang Kediri itu.
Tetapi agaknya sikap Macan Wahan agak berbeda. Ia
tidak lagi berpikir tentang rencananya seperti yang di
katakan oleh Ki Dukut, ia tidak lagi berpijak kepada
keinginannya untuk membantu Ki Dukut mengguncang
Kediri agar Kediri terbangun dari tidurnya yang terlalu
nyenyak dibuai oleh sejuknya kipas orang-orang Singasari.
Meskipun makna yang paling dalam tentang hal itupun
tidak banyak dimengertinya.
Namun yang ada kemudian di dalam kepalanya adalah
nyala api dengan semata-mata. Seakan-akan orang berilmu
hitam menurut penilaian orang lain itu tidak mampu
berbuat apa-apa menghadapi para pengawal di Kediri.
Selebihnya, di pedati itu tentu terdapat barang-barang yang
cukup berharga. Karena jtu, maka katanya "Ki Dukut. Jangan
mengecilkan tekad kami yang sudah menyala sampai ke
ubun-ubun. Biarlah kami menentukan sikap menghadapi
orang-orang Kediri yang sombong itu. Kami tentu akan
dapat menghancurkannya. Aku bukan anak-anak lagi yang
hanya mampu berteriak tanpa arti. Tetapi tangan dan
kakiku telah pernah aku parami dengan darah orang yang
paling ditakuti oleh beberapa pihak"
"Kau terburu nafsu" desis Ki Dukut "menurut
pendapatku, niat ini harus ditunda. Kita mencari
kesempatan lain. Mungkin kita justru akan datang ke
istananya pada suatu saat, karena orang-orang yang
memiliki kemampuan tinggi, yang telah menjebak kalian
dengan berpura-pura menjadi sais itupun tidak akan terlalu
lama berada di Kediri"
"Aku sudah cukup bersabar. Aku akan berbicara dengan
kawan-kawanku itu" desis Ki Macan Wahan.
Ki Dukut tidak dapat mencegah. Tetapi dihadapan Ki
Benda, Walikat dan Gampar Wungkul ia ingin mencoba
memberikan penjelasan tentang orang-orang Kediri itu.
Namun agaknya api dendam yang sudah menyala di hati
orang-orang berilmu hitam itu sulit untuk disurutkan barang
sedikit. Mereka menganggap bahwa mereka terlalu kuat
untuk melakukan pembalasan. Apalagi menurut kesaksian
Macan Wahan, jumlah orang-orang Kediri itu tidak cukup
banyak menghadapi meraka.
"Jumlah kita berlipat. Betapapun tinggi ilmu para
pengawal kebanyakan itu, orang-orang kita akan dapat
menghancurkannya. Sementara kita akan menghadapi
orang-orang yang menyebut dirinya sais pedati, sementara
Ki Dukut akan Berurusan dengan Pangeran itu dan isteri
serta anaknya laki-laki" berkata Macan Wahan.
Ki Dukut hanya dapat menarik nafas dalam-dalam.
Namun ia benar-benar tidak berdaya lagi untuk mencegah
orang-orang itu melepaskan dendamnya kepada orangorang
Kediri dengan tanpa perhitungan dan pertimbangan
sebaik-baiknya. Karena itu, maka iapun hanya dapat menyerahkan
segala sesuatunya kepada Macan Wahan yang juga telah
terbakar hatinya mendengar ceritera penghubung yang telah
datang menjemputnya. Ternyata Ki Benda, Ki Walikat dan Gampar Wungkul
telah berbulat tekad. Mereka akan menyerang orang-orang
Kediri itu dengan segenap kekuatan yang ada dengan
taruhan yang paling mahal yang akan dapat mereka
berikan. Jika mereka gagal, maka mereka tidak akan dapat
melepaskan diri dari maut, tetapi jika mereka berhasil maka
di samping dendam yang dapat mereka lepaskan, juga isi
pedati itu akan sangat menarik perhatian.
"Kita akan mengepung mereka" berkata Ki Benda "kita
akan menyerang dari arah yang berbeda"
"Seperti yang pernah kita lakukan" sahut Ki Walikat.
"Mereka akan kebingungan" sambung Ki Gampar
Wungkul. "Dan yang pernah kalian lakukan itu ternyata gagal"
potong Ki Dukut. "Jumlah kami tidak memadai" sahut Macan Wahan
"sekarang. orang-orang yang menyebut dirinya sais itu tidak
akan dapat berbuat banyak. Mereka akan kita hadapi, dan
mereka akan mati di ujung senjata kami"
Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku masih tetap ingin mencincang orang yang bernama
Mahendra" berkata Ki Benda "jika saat itu perhatianku
tidak terpecah melihat kekalahan pasukanku, maka aku
tidak akan melepaskan orang yang bernama Mahendra,
yang mengaku sebagai pedagang besi bertuah dan batu-batu
berharga itu" "Siapapun lawanmu, namun sasaran utama adalah
Pangeran Kuda Padmadata, isteri dan anak laki-lakinya"
berkata Macan Wahan. "Dendam dan ketamakan" desah Ki Dukut.
"Ki Dukut" berkata Macan Wahan "yang mendorong
kami untuk melakukan hal ini adalah Ki Dukut sendiri.
Karena itu, sekarang Ki Dukut jangan menghalangi kami"
"Bukan menghalangi, tetapi aku ingin kalian belajar
mempergunakan nalar. Bukan hanya kemampuan tenaga
dan kekuatan ilmu kanuragan tanpa nalar" Ki Dukut
hampir berteriak. Tetapi jawab Macan Wahan "Marilah. Kami sudah
terlanjur basah. Tidak sebaiknya kita melangkah kembali"
Ki Dukut hanya dapat menarik nafas dalam-dalam.
Dengan, jantung yang serasa berdegup semakin keras, ia
mengikuti orang-orang berilmu hitam itu mempersiapkan
diri. Mereka kemudian telah membagi diri menjadi empat
kelompok. Mereka akan menyerang dari segenap jurusan.
Jika jatuh perintah Macan Wahan, maka mereka serentak
akan menyerang, termasuk Ki Dukut Pakering.
"Apakah aku juga harus ikut membunuh diri?" bertanya
Ki Dukut kepada diri sendiri. Meskipun ia tidak pasti,
bahwa orang-orang yang berilmu hitam itu akan kalah,
namun itulah kemungkinan terbesar yang dapat terjadi.
Para pengawal Kediri jukan orang-orang yang dipungut
begitu saja di pinggir jalan, kemudian diletakkan pedang di
lambungnya dan diberi berpakaian seorang pengawal.
Tetapi Macan Wahan, Ki Benda, Ki Walikat dan
Gampar Wungkul itu sudah mengambil sikap. Dendam
yang menyala di hati mereka, tidak lagi dapat memberikan
kesempatan kepada meraka untuk berpikir lebih panjang.
Apalagi Macan Wahan sudah merasa dirinya mengetahui
dengan pasti persoalan yang dihadapinya. Ia merasa sudah
melihat dengan matanya sendiri, bahwa jumlah orangorang
Kediri itu tidak terlalu banyak.
Betapapun juga ia mengusahakan, namun Macan
Wahan nampaknya justru sudah memerintahkan kepada
kawan-kawannya untuk bersiaga.
"Kita akan segera melakukannya. Bulan sudah melewati
puncak langit" berkata Macan Wahan.
Ki Benda, Ki Walikat dan Ki Gampar Wungkulpun
segera bersiap. Mereka telah membagi kekuatan yang ada
dalam empat kelompok yang akan dipimpin oleh Ki Benda,
Ki Walikat, Ki Gampar Wungkul dan Macan Wahan
sendiri. Sementara itu Ki Dukut sudah tidak dapat berbuat sama
sekali. Apalagi ketika Macan Wahan berkata "Ki Dukut.
Kami serahkan Pangeran, isteri dan anaknya kepada Ki
Dukut. Kami akan menghancurkan semuanya. Sementara
Ki Dukut kami persilahkan untuk langsung menusuk
sampai ke pusat jantung dari persoalan yang sedang kita
hadapi-nya, sekaligus memberikan satu peringatan kepada
para bangsawan Kediri, bahwa mereka harus bangun dari
tidur mereka yang nyenyak. Pangeran Kuda Padmadata
adalah satu contoh dari seorang bangsawan yang menjilat
kekuasaan Singasari atas Kediri"
Ki Dukut tidak dapat berbuat lain kecuali menganggukangguk,
betapapun keragu-raguan telah mencengkam
dadanya. Debar jantung Ki Dukut menjadi semakin keras, ketika
orang-orang berilmu hitam itu mulai bergerak. Mereka
sudah mendapat petunjuk, bagaimana mereka harus
menyerang. Beberapa kelompok di antara mereka telah melingkar
untuk mengambil jarak. Sementara Macan Wahan sendiri
akan memimpin sergapan itu dengan memberikan isyarat,
kapan mereka mulai menyerang.
"Ki Dukut" berkata Macan Wahan "terserahlah kepada
Ki Dukut dari mana Ki Dukut akan menyerang. Apakah Ki
Dukut akan berada di dalam kelompokku, atau berada di
kelompok yang lain" Ki Dukut merenung sejenak. Kemudian katanya "Aku
akan berada di dalam kelompok Ki Benda"
"Bagus" sahut Ki Benda "kita akan menyerang mereka
dari arah bintang Gubug Penceng"
Demikianlah, maka empat kelompok orang-orang
berilmu hitam itu telah mendekati tempat peristirahatan
Pangeran Kuda Padmadata dengan para pengawalnya.
Mereka telah memperhitungkan waktu yang paling tepat.
Beberapa saat, kelompok-kelompok itu telah berada di
tempatnya sambil menunggu isyarat dari Macan Wahan.
Dalam pada itu, Ki Dukut memang berada di antara
kelompok yang dipimpin oleh Ki Benda. Tetapi nampaknya
ia selalu digelisahkan oleh karagu raguannya. Menurut
perhitungannya, sulit bagi orang-orang berilmu hitam itu
untuk dapat mengatasi kemampuan para pengawal
meskipun mungkin jumlah mereka lebih banyak.
Sementara itu bulan telah mulai turun. Malam menjadi
semakin dingin. Sementara perapian diantara para
pengawal dari Kediri itu masih tetap menyala. Mereka yang
menunggui perapian itu selalu melontarkan kekayuan dan
ranting-ranting kering yang mereka dapatkan di sekitar
tempat itu ke dalam api. Sejenak Macan Wahan menunggu untuk meyakinkan
bahwa kawan-kawannya telah berada di tempat yang
ditentukan Baru setelah ia menunggu sejenak dan yakin,
maka iapun segera melontarkan isyarat bunyi kepada
kawan-kawannya. "Tidak usah dengan bunyi tersamar. Pukul saja
kentongan kecil atau berteriak sajalah" berkata Macan
Wahan kepada pengikutnya yang terdekat.
Ternyata orang-orang berilmu hitam itu memang sudah
menyiapkan sebuah kentongan kecil. Karena itu, maka ia
pun kemudian telah memukul kentongan itu sekuatkuatnya.
Hampir .serentak, terdengar orang-orang itu bersorak
dan berteriak sekuat-kuatnya. Suaranya meledak seakanakan
memecahkan langit. Teriakan-teriakan itu benar-benar telah mengejutkan.
Namun dengan serentak pula, para pengawal dari Kediri
itupun segera bersiap. Mereka yang sempat tertidurpun
segera bangkit. Sambil menyambar senjata masing-masing
maka merekapun segera bersiap menurut kelompok mereka
masing-masing. "Mereka datang dari empat arah" seorang pengawas
telah berteriak. Ki Waktu menarik nafas dalam-dalam. Katanya kepada
Pangeran Kuda Padmadata "Pangeran kembali kepada
tugas Pangeran. Tetapi nampaknya mereka datang dengan
kekuatan yang lebih besar. Karena itu, biarlah mahisa
Bungalan berada bersama Pangeran dengan kedua adikadiknya
beserta seorang pengawal.
Mahisa Bungalan yang diberi tahu kemudian tidak
membantah. Iapun segera minta kepada Mahisa Pukat dan
Mahisa Murti untuk bersamanya menjaga Pangeran Kuda
Padmadata bersama isterinya, ditambah dengan seorang
pengawal yang pilih tanding.
Mahisa Agni, Mahendra, Witantra dan Ki Wastupun
segera menempatkan dirinya. Mereka telah berada di dalam
kelompok-kelompok yang akan menghadapi serangan
lawan yang datang dari empat arah.
"Mereka memang sudah memperkuat diri" gumam
Mahisa Agni kepada seorang pengawal yang berdiri di
sisinya. "Ya, jumlah itu tidak susut. Justru telah bertambah"
berkata pengawal itu yang kebetulan adalah pengawal yang
mengikuti Pangeran Kuda Padmadata sejak dari Kediri, ke
Singasari dan kembali lagi ke Kediri.
Dalam pada itu, Witantra, Mahendra dan mereka yang
telah mengikuti iring-iringan itu dari Kediri telah melihat,
bahwa orang-orang berilmu hitam itu memang menjadi
semakin kuat. Karena itu, maka merekapun telah
memperingatkan para pengawal, agar mereka menjadi
semakin berhati-hati. "Kita tidak boleh kehilangan mereka lagi" berkata
Witantra kepada para pengawal yang bersamanya
Kisah Pedang Bersatu Padu 10 Kekayaan Yang Menyesatkan Karya Ken Follet Iblis Sungai Telaga 12
mereka bawa masing-masing kemudian menggenggam
segumpal pondoh beras dengan lauknya.
Namun mulut-mulut yang sedang mengunyah itupun
seolah-oleh telah terhenti ketika seorang pengawas datang
melaporkan kepada Ki Benda "Iring-iringan itu telah
nampak" Ki Benda mengangguk-angguk. Kemudian katanya "Kita
harus bersembunyi dan membiarkan iring-iringan itu lewat
untuk mencari tempat yang mereka anggap baik untuk
bermalam. Mereka tidak akan meneruskan perjalanan
setelah matahari terbenam"
Demikianlah, maka para pemimpin dari setiap kelompok
itu telah memerintahkan orang-orangnya untuk
bersembunyi sebaik-baiknya di dalam hutan. Hanya satu
dua orang yang bertugas sajalah yang harus dengan sangat
hati-hati mengawasi iring-iringan itu dan memastikan di
mana mereka akan bermalam.
Ketika iring-iringan itu lewat, langit telah menjadi kelam.
Namun seperti yang diperhitungkan olen Pangeran Kuda
Padmadata, bahwa bulanpun segera terbit, sehingga malam
rasa-rasanya tidak terlalu kelam.
Namun bagaimanapun juga, ada kegelisahan di hati
isteri Pangeran Kuda Padmadata itu. Apalagi Pangeran
Kuda Padmadata tidak menyembunyikan kemungkinan
terjadinya sesuatu, agar isterinya tidak akan menjadi sangat
terkejut, apabila sesuatu itu benar-benar terjadi seperti yang
pernah diisyaratkan oleh Mehendra.
Seperti yang sudah diperhitungkan, maka ketika bulan
menjadi semakin tinggi, iring-iringan itupun akhirnya
berhenti. Mereka telah memilih sebuah padang rumput
yang tidak terlalu luas. beberapa puluh tonggak melalui
hutan perburuan. "Di sini kita dapat melihat ke arah yang agak luas di
sekitar kita" berkata Pangeran Kuda Parimadata "sehingga
jika ada sesuatu yang tidak kita kehendaki, akan dapat kita
lihat sebelumnya" Demikianlah, maka tiga buah pedati yang dibawa oleh
iring-iringan itupun segera ditempatkan dalam lingkaran,
sementara di tengah-tengah telah dipergunakan untuk
beristirahat isteri dan anak laki-laki Pangeran Kuda
Padmadata. Para sais pedati dan pembantunya tatah melepaskan sapi
penarik pedati dan memberinya makan dan minum
secukupnya. Kemudian ditambatkannya sapi-sapi itu
beberapa langkah menepi tidak jauh dari kuda-kuda para
pengawal. Namun ternyata firasat yang mendebarkan telah
menyentuh perasaan Pangeran Kuda Padmadata dan Ki
Wastu. Peringatan Mahendra bahwa ada orang-orang yang
menaruh perhatian yang besar terhadap rencana Pangeran
itu untuk membawa isterinya ke Kediri, telah memberikan
dorongan kepada Pangeran itu untuk selalu bersiaga.
"Jangan ada yang lengah" berkata Pangeran Kuda
Padmadata "kalian harus mengawasi segala arah. Lima dari
sepuluh orang harus tetap berjaga-jaga dan mengamati
keadaan sekitar kita"
Demikianlah, seperti yang diperintahkan oleh Pangeran
Kuda Padmadata, maka lima orang dari sepuluh orang
pengawal telah bersiaga sepenuhnya. Mereka sama sekali
tidak sempat untuk bermalas-malas. Bahkan kelima orang
itu telah berjalan mengitari tempat mereka beristirahat,
berurutan dalam lingkaran seperti anak-anak sedang
bermain jamuran dengan lingkaran yang besar, memutari
pedati dan tempat kuda dan sapi ditambatkan. Hanya
kadang-kadang saja mereka duduk menghadap ke segala
arah. Sementara itu, tiga orang pemimpin padepokan dari
aliran hitam itupun. telah mempersiapkan orang-orangnya.
Ternyata iring-iringan dari Singasari itu terhenti beberapa
puluh tonggak dari tempat mereka menunggu. Karena itu,
maka merekapun harus merayap mendekati mereka dan
pada saat yang tepat menyerang mereka dan
menghancurkannya. Dalam pada itu, selain kelima orang pengawal yang
berjaga-jaga itu, Pangeran Kuda Padmadata sendiri sama
sekali tidak meninggalkan isteri dan anaknya yang
disuruhnya berbaring di atas tikar yang mereka bawa.
"Tidurlah" berkata Pangeran Kuda Padmadata "para
pengawal akan selalu bersiaga mengawasi keadaan"
Isteri dan anaknya sama sekali tidak menunjukkan
kegelisahan yang sebenarnya mulai merayapi jantung.
Namun keduanyapun kemudian berbaring, berselimut kain
panjang sambil memandang taburan bintang di langit,
diantara cahaya bulan yang sedang bulat.
Sementara Pangeran Kuda Padmadata menunggui anak
isterinya yang sudah mulai berbaring sambil mencoba
menceriterakan ceritera-ceritera yang menarik bagi anak
laki-lakinya yang sudah terlalu lama berpisah itu, Ki
Wastupun tidak sempat berbaring sama sekali.
Bagaimanapun juga, hatinya meresa gelisah. Dan seolaholah
ia mendapat firasat, hahwa sesuatu akan terjadi.
Ketika Ki Wastu itu berdiri disebelah salah satu dari
ketiga pedati yang berada di dalam iring-iringan itu, maka
dilihatnya cahaya bulan yang terang bergerak diatas
dedaunan. Tidak terlalu jauh terdapat sebuah hutan
perburuan yang tidak terlalu lebat, meskipun cukup rimbun.
Di dalam pedati itu terdapat barang-barang yang cukup
berharga yang akan dibawa ke Kediri. Barang-barang yang
semula memang dibawa oleh Pangeran Kuda Padmadata
dari Kediri sebagai hadiah bagi isterinya.
Sementara itu, orang-orang yang menurut pengamatan
dua orang petugas yang dikirim oleh Macan Wahan ke
Singasari sebagai tiga orang sais dan pembantunyapembantunyanya,
masih duduk bersandar roda pedati
mereka sambil memandang kekejauhan.
"Beristirahatlah" berkata Ki Wastu.
Tetapi orang-orang itu tersenyum sambil berkata
"Senangnya duduk dibawah terang bulan. Dipadesan, anakanak
tentu sedang bermain-main. Mungkin bermain
sembunyi-sembunyian, mungkin gobag atau kejar-kejaran"
Ki Wastupun kemudian tersenyum. Katanya "Rasa-rasanya
malam terlampau sepi"
Orang-orang yang bersandar roda pedati itu tidak
menjawab. Merekapun kemudian melihat Ki Wastu
berjalan mendekati salah seorang pengawal yang duduk
diatas batu memandang kekejauhan.
"Tentu terasa dingin" desis Ki Wastu. Pengawal itu
beringsut. Katanya "Marilah, silahkan duduk Kiai"
Ki Wastupun duduk pula disebelah pengawal itu sambil
bertanya "Kau masih harus berjaga-jaga sampai tengah
malam, sebelum kawan-kawanmu menggantikanmu"
Pengawal itu tersenyum. Katanya "Aku sudah mulai
kantuk. Tetapi aku akan dapat bertahan sampai tengah
malam. Sudah terbisa. Kawan-kawanku akan berjaga-jaga.
dari tengah malam sampai Pagi"
Ki Wastu mengangguk-angguk. Katanya kemudian
"Hati-hatilah. Rasa-rasanya malam terlampau sepi"
"Ada firasat buruk agaknya" desis pengawal itu.
"Hanya sekedar kekhawatiran orang tua saja "jawab Ki
Wastu "tetapi tidak ada buruknya untuk berhati-hati"
Ki Wastu yang kemudian bangkit melangkah mendekati
pengawal yang lain. berturut-turut ia memberi peringatan
kepada para pengawal agar mereka berhati-hati.
Ketika ia sampai kepada pengawal yang terakhir, maka
pengawal itupun berkata "Lintang gubug penceng itu
hampir tegak. Sebentar lagi, malam sudah lewat separo.
Dan aku akan segera mendapat kesempatan untuk tidur
dibawah sinar bulan yang manis.
Ki Wastu tertawa pnndek. Katanya "Kau masih cukup
muda untuk menikmati sinar bulan purnama. Silahkan.
Tetapi jangan lengah"
Ki Wastupun kemudian berjalan mendekati Pangaran
Kuda Padmadata yang masih duduk menunggui anak
isterinya. Tetapi ia sudah tidak berceritera lagi. Agaknya
anak laki-lakinya sudah tidur. Sementara isterinyapun telah
mulai memejamkan matanya.
Sambil duduk disebelah Pangeran Kuda Padmadata, Ki
Wastu itupun berkata "Silahkan Pangeran beristirahat. Aku
akan berjaga-jaga sampai saatnya aku akan membangunkan
Pangeran, jika aku akan ganti beristirahat"
Pangeran Kuda Padmadata mengerutkan keningnya.
Kemudian katanya "Ki Wastu sajalah dahulu beristirahat.
Aku sama sekali belum mengantuk"
"Tetapi beristirahatlah" berkata Pangeran Kuda
Padmadata "meskipun hanya berbaring"
Ki Wastupun kemudian melangkah mendekati sebuah
pedati yang lain. Disebelah roda pedati itu terbentang
sehelai tikar. Dua orang pengawal yang sedang tidak
bertugas, telah tertidur dengan nyenyaknya, sementara yang
tiga orang lainnya tidur di tempat yang lain.
Ki Wastupun kemudian telah membaringkan dirinya
setelah ia melepas perisainya yang targantung pada ikat
pinggangnya dan kemudian meletakkan didadanya. Tetapi
mata orang tua itupun rasa-rasanya tidak mau terpejam
juga. Dalam pada itu, ketiga orang pemimpin padepokan yang
beraliran hitam itu telah merayap semakin dekat. Mereka
berusaha untuk mendekati orang-orang Kediri itu dari arah
yang paling aman. Mereka merayap dari balik gerumbul
perdu yang satu kebalik gerumbul yang lain. Berurutan.
Duapuluh satu orang ditambah dengan tiga orang
pemimpin mereka yang dapat mereka banggakan.
"Kita akan memusnakan mereka" berkata Ki Benda.
"Barang-barang itu tentu berada disalah satu pedati itu"
desis Ki Walikat "sementara pedati yang lain tentu berisi
bekal makanan atau pakaian"
"Apakah perempuan dan anak itu tidur disalah satu dari
ketiga pedati itu?" desis Gampar Wungkul.
"Mungkin. Tetapi aku kira perempuan dan anak lakilakinya
itu lebih senang tidur diluar pedati yang sempit
meskipun agak dingin" sahut Ki Benda.
"Hampir tengah malam" berkata Ki Walikat tiba-tiba
"apakah kita masih akan menunggu?"
"Aku kira kita cukup bersabar. Tetapi baiklah kita
menunggu sejenak, sehingga mereka menjadi lengah. Jika
lewat tengah malam tidak terjadi sesuatu, mereka tentu
mengira, bahwa untuk selanjutnya tidak akan terjadi apaapa"
desis Ki Gampar Wulung. Kawan-kawannya sependapat. Mereka menunggu lewat
tengah malam. Demikianlah bintang Gubug Penceng tegak
dilangit, maka merekapun segera mempersiapkan orangorangnya.
Sebenarnya, bahwa setelah lewat tengah malam tidak
terjadi sesuatu, maka Pangeran Kuda Padmadatapun
menganggap bahwa kemungkinan untuk terjadi sesuatu
menjadi semakin kecil. Meskipun demikian. Pangeran
Kuda Padmadata itu memerinthakan kepada pengawalnya
yang bertugas di tengah malam kedua, agar mereka tidak
lengah menghadapi segala kemungkinan yang dapat saja
terjadi. Seperti para pengawal yang terdahulu, maka kelima
orang pengawal itu berusaha untuk mengawasi segala arah.
Untuk mengusir perasaan kantuk yang tersisa, maka mereka
telah berjalan mengelilingi tempat pemberhentian itu seperti
yang dilakukan oleh para pengawal sebelumnya.
Dalam pada itu, ternyata bahwa Ki Wastupun masih belum
dapat tidur sekejappun, ketika yang berbaring di tikar
bersamanya berganti orang, maka iapun justru duduk
sambil bersandar pedati. "Apalah isteri dan putera Pangeran Kuda Padmadata itu
sudah tidur?" bertanya Ki Wastu ketika Pangeran Kuda
Padmadata mendekatinya. "Mereka tidur dengan nyenyak" jawab Pangeran Kuda
Padmadata. "Sukurlah" berkata Ki Wastu "sebaiknya Pangeran juga
beristirahat, besok kita masih akan menempuh perjalanan
yang sangat panjang, justru karena perjalanan kita sangat
lambat" Pangeran itu tersenyum, katanya "Baiklah, aku akan
mencoba untuk beristirahat"
Namun demikian, Pangeran Kuda Padmadata masih
melihat orang-orang yang berada di sekitar pedati-pedati
itu. "Kalian tidak tidur?" bertanya Pangeran Kuda
Padmadata. "Anak-anak itu sedang tidur" jawab salah seorang dari
mereka. Ternyata bahwa, dua diantara mereka sudah tertidur
telah tidur. Namun dalam pada itu, beberapa saat lewat tengah
malam, maka orang-orang yang bersembunyi tidak terlalu
jauh dari tempat pemberhentian iring-iringan itupun mulai
bergerak. Ki Benda, Ki Walikat dan Ki Gampar Wungkul telah
membagi diri bersama orang mereka masing-masing.
Mereka sepakat untuk menyerang dari tiga jurusan. Masingmasing
dengan delapan orang termasuk pimpinan
kelompok itu sendiri. "Aku akan berputar" berkata Ki Benda.
"Kau kesebelah kiri, aku kesebelah kanan" desis Ki
Walikat. "Beri aku isyarat" berkata Ki Gampar Wungkul "kapan
aku harus maju jika kalian sudah mencapai arah yang
kalian kehendaki" "Aku akan memberikan isyarat itu" berkata Ki Walikat
"suara burung hantu"
Dengan demikian, maka Ki Benda dan Ki Walikatpun
segara merayap dibalik lindungan bayangan perdu, timan
diiangu memang harus diperhitungkan, meskipun sudah
mulai menurun di Barat.
Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Beberapa saat lamanya, Ki Gampar Wungkul
menunggu. Sehingga akhirnya, dikajauhan didengarnya
suara burung hantu yang ngelangut.
Suara burung hantu itu ternyata telah menarik perhatian
para pengawal. Sejak sore mereka sama sekali tidak
mendengar suara burung hantu. Yang mereka dengar
adalah suara binatang buas di hutan yang tidak terlalu
dekat. Dan sekali-kali mereka mendengar suara burung
hence yang terbang melintas dilangit.
Namun tiba-tiba mereka telah mendengar suara yang
lain, burung hantu. Dalam pada itu, selagi pengawal itu dicengkam
kebimbangan, maka salah seorang sais padati itu berdesis
"Berhati-hatilah. Itu bukan suara burung yang sebenarnya"
Para pengawal itupun menyadarinya pula, bahwa suara
itu memang bukan suara burung hantu.
Seorang dari para pengawal itupun segera
melaporkannya kepada Pangeran Kuda Padmadata,
sementara yang lain telah bersiap menghadap keempat
arah. "Semuanya bersiap" terdengar perintah Pangeran "Kuda
Padmadata" Para pengawal yang baru saja tertidur itupun telah
dibangunkan. Mereka segera bangkit sambil meraba senjata
masing-masing. Pada saat itulah, tiba-tiba dari beberapa arah terdengar
teriakan-teriakan yang bagaikan memecah langit. Beberapa
orang berlari-larian dengan senjata terhunus menyerang
sekelompok orang yang sedang bersiap-siap menghadapi
segala kemungkinan. Para pengawal yang telah bersiap seluruhnya itupun
segera menarik senjata masing-masing, sementara orangorang
yang dianggap sebagai sais pembantu-pembantunya
itupun telah berdiri pula di sekitar pedati masing-masing.
"Pangeran" berkata Ki Wastu "ambillah seorang dari
para pengawal. Jagalah isteri dan putera Pangeran itu
sebaik-baiknya. Mereka adalah sasaran utama dari, orangorang
yang tentu mempunyai sangkut paut dengan Ki
Dukut Pakering. Namun dalam pada itu, salah seorang dari sais pedati itu
berkata "Biarlah kedua anak-anak ini membantu Pangeran"
"Terima kasih" berkata Pangeran Kuda Padmadata.
Dalam pada itu, suara hiruk pikuk itu telah mengejutkan
isteri dan anak Pangeran Kuda Padmadata itu. Namun
Pangeran itu segera mendekatinya sambil berkata "Jangan
takut. Aku ada disini"
Namun bagaimanapun juga, perasaan takut itu telah
menjalari jantung kedua ibu dan anak laki-laki itu.
Dalam waktu yang pendek, maka para pengawal, sais
dan pembantunya telah bersiap menghadapi segala
kemungkinan. Merekapun segera membagi diri, sesuai
dengan arah para penyerang itu datang.
Tiga orang sais pedati itupun telah berdiri ditiga arah
bersama para pengawal. Sementara Ki Wastu masih berdiri
termangu-mangu. Rasa-rasanya kakinya menjadi berat
untuk meninggalkan anak perempuan dan cucunya yang
telah dipertahankannya mati-matian untuk waktu yang
lama. "Tetapi kini ia berada disisi suaminya" berkata Ki Wastu
di dalam hatinya "apa yang akan terjadi, bukan merupakan
tanggung jawabku semata-mata. Nampaknya Pangeran
Kuda Padmadata itupun telah siap mengorbankan apa saja
yang ada padanya" Dengan demikian, maka yang berdiri di dalam lingkaran,
dekat disisi anak dan cucu Ki Wastu itu adalah Pangeran
Kuda Padmadata, seorang pengawal dan dua orang anak
muda yang semula berada bersama para sais pedati itu.
Dalam pada itu, maka ketiga orang sais, seorang
pembantunya dan para pengawalnyapun segera
menyongsong para penyerang. Dengan senjata ditangan
mereka segera menebar. Sejenak kemudian, terjadilah benturan yang sengit antara
kedua pasukan. Pasukan yang menyerang, yang terdiri dari
orang-orang padepokan yang berilmu hitam, melawan para
pengawal dari Kediri. Pengawal yang benar-benar terpilih
untuk melaksanakan tugas yang berat itu.
Pada benturan pertama, maka masing-masing masih
berusaha menjajagi kemampuan lawan. Para pengawal
telah menunjukkan kesigapannya, membendung serangan
dari kelompok yang lebih banyak jumlahnya.
Namun dalam pada itu, merekapun segera melihat,
seorang yang memiliki kelebihan dari yang lain. Dan
mereka itu adalah pemimpin padepokan dari orang-orang
yang berilmu hitam itu. Dalam pada itu, ketiga orang sais itupun segera
menempatkan diri diantara para pengawal. Setelah mereka
pasti, siapakah yang menjadi pemimpin dari setiap
kelompok penyerang itu. maka ketiga orang sais itu telah
bergeser mendekati mereka diarena masing-masing, sesuai
dengan arah mereka. Ki Gampar Wulung yang melihat serangan seorang yang
nampak agak lain dari para pengawal itupun terkejut Sambil
melangkah surut ia bertanya "He, apakah kau bukan
termasuk para pengawal?"
"Bukan. Aku bukan salah seorang dari para pengawal"
jawab orang itu "aku adalah sais salah satu dari pedatipedati
itu" Orang itu menggeram. Katanya "minggirlah. Jangan
ganggu aku. Tidak seorangpun dapat melawan aku. Biarlah
Pangeran Kuda Padmadata sendiri datang kepadaku, agar
ia mengetahui, bahwa ia berhadapan dengan orang yang
memiliki kemampuan setingkat gurunya"
"Aku akan melawanmu" jawab sais itu
Gampar Wulung tertawa berkepanjangan. Ketika sekilas
ia melihat pertempuran yang terjadi disekitarnya, maka
iapun berkata "lihatlah. Para pengawal itu sudah mulai
terdesak. Apakah kau akan membunuh diri" Kau Sialah sais
pedati. Jagalah pedatimu. Jagalah lembumu agar tidak lepas
dan lari. Jangan ikut campur dipeperangan ini"
"Aku laki-laki seperti para pengawal. Karena itu, akupun
berhak bertempur bersama para pengawal" jawab sais itu.
"Kau sudah gila. Tetapi jika kau memang ingin
membunuh diri, apaboleh buat. He, siapa namamu, agar
aku dapat berceritera kepada orang-orangku, bahwa ada
seorang sais yang membunuh diri diantara para pengawal
Kediri. Mungkin kau seorang abdi yang amat setia dari
Pangeran Kuda Padmadata, sehingga kau telah dengan
suka rela menyerahkan hidupmu sebelum Pangeran itu
sendiri terbunuh disini. Apakah kau tidak sampai hati
melihat Pangeran itu bersama anak dan isterinya terbantai
disini, sehingga kau ingin mati lebih dahulu daripada
mereka" "Aku tidak sedang membunuh diri" jawab sais itu.
"Siapa namamu?" desak Gampar Wulung.
Sais itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia
menjawab "Namaku Mahisa Agni"
Gampar Wulung mengerutkan keningnya. Rasa-rasanya
ia pernah mendengar nama itu. Tetapi ia tidak begitu jelas,
dimana dan kapan ia pernah mendengar nama itu.
"Siapa kau" sais itulah yang bertanya kemudian.
Gampar Wulung memandang sais itu sekilas. Namun iapun
mulai menyadari, bahwa sais itu tentu bukan sais
kebanyakan. Karena itu, maka iapun mulai menyadari,
bahwa ia berhadapan dengan seseorang yang dengan
sengaja telah menunggunya.
"Baiklah" berkata Gampar Wulung "kau tentu memiliki
kelebihan. Karena itu, kau berhak mendengar namaku.
Namaku adalah Gampar Wulung"
Mahisa Agni mengangguk-angguk. Katanya kemudian
"Sebaiknya kau menyadari, bahwa yang kau lakukan ini
tentu akan sia-sia. Kau terjebak kedalam kekuatan para
pengawal yang tidak mungkin dapat kau kalahkan
meskipun jumlahmu berlipat"
"Jangan mencoba menakut-nakuti aku seperti anak kecil.
Lihat para pengawal mulai terdesak. Sekarang datang
giliranku untuk membunuhmu" berkata Gampar Wulung
sambil maju setapak. Mahisa Agni yang menyebut dirinya sais pedati itupun
telah bersiaga sepenuhnya. Iapun sadar, bahwa lawannya
tentu orang pilihan, meskipun menilik sikap dan ujudnya, ia
tentu dari lingkungan yang kelam. Namun justru karena itu,
maka ia harus berhati-hati. Dan bahkan setiap pengawalpun
harus berhati-hati. Selangkah Gampar Wulung itupun beringsut. Dilihatnya
Mahisa Agnipun telah bersiaga sepenuhnya. Karena itu,
maka ia tidak menunggu lebih lama lagi. Tiba-tiba saja
iapun telah meloncat menyerang dengan garangnya.
Mahisa Agni melihat, betapa kegarangan ilmu terpancar
pada serangan yang pertama. Tetapi seperti pada
umumnya, serangan yang pertama tidak akan banyak
menentukan. Karena itu, maka iapun bergeser selangkah.
Namun serangan-serangan berikutnyalah yang datang
beruntun, seolah-olah mengejarnya kemana ia bergeser.
Orang yang menyebut dirinya Gampar Wulung itu
berusaha untuk menekannya dan dalam waktu yang singkat
mengalahkannya. Tetapi Mahisa Agni seolah-olah dengan sengaja
membiarkan lawannya mendesaknya. Sekali ia meloncat
menghindar. Sekali ia menangkis sambil berkisar surut.
Dengan demikian ia berhasil menjajagi kemampuan
lawannya yang garang itu, meskipun iapun sadar, bahwa
kemampuan itu tentu belum merupakan puncak
kemampuannya. Meskipun demikian, serba sedikit Mahisa Agni sudah
mempunyai takaran dari kekuatan dan kemampuan
lawannya. Dengan demikian ia dapat menilai, apakah yang
harus dilakukannya kemudian menghadapi lawannya yang
garang itu. Di sekitar Mahisa Agni dan Gampar Wulung yang
bertempur semakin seru, para pengawalpun telah bertahan
dengan sekuat kemampuan mereka. Jumlah lawan ternyata
lebih banyak dari jumlah mereka. Tetapi para pengawal itu
masih mampu untuk bertahan. Meskipun kadang-kadang
terasa, betapa kasar dan garangnya orang-orang yang
datang menyerbu itu. Tetapi para pengawal itu adalah pengawal terpilih dari
tataran terbaik para pengawal di Kediri. Karena itu, maka
merekapun telah bertempur dengan dahsyatnya pula
menghadapi lawan yang bagaimanapun juga.
Ternyata ada beberapa orang pengawal yang harus
bertempur sekaligus melawan dua orang lawan. Namun
mereka sama sekali tidak menjadi gentar. Meskipun
kadang-kadang mereka harus berloncatan surut, namun
mereka merasa, bahwa mereka akan dapat mengatasi
kesulitan mereka. Dalam pada itu, di lingkaran pertempuran yang lain, Ki
Benda terkejut bahwa dihadapannya berdiri seorang yang
nampaknya dengan sengaja menunggunya. Apalagi ketika
orang itu dengan tegas menyebut dirinya sebagai sais pedati
yang membawa perlengkapan iring-iringan dari Singasari
menuju ke Kediri. "Kau jangan berbuat aneh-aneh sais yang malang"
berkata Ki Benda "darahmu tidak berarti apa-apa bagi
pusakaku. Hanya darah orang-orang penting dan memiliki
kemampuan sajalah yang akan memberikan arti bagi
pusakaku ini. Setiap titik darah orang berilmu akan
merupakan lapisan-lapisan kekuatan yang membuat
pusakaku ini semakin bertuah. Tetapi darah orang-orang
dungu hanya akan mengotori nya saja"
Orang yang berdiri di hadapannya itupun tersenyum.
Katanya "Jika pusakamu itu pantang dikotori darah orangorang
tidak berarti, maka sarungkan saja. Kita akan
bertempur dengan tangan"
Ki Benda mengerutkan keningnya. Orang yang
menyebut dirinya sais itu agaknya memiliki kepercayaan
yang tinggi kepada dirinya sendiri. Karena itu
pengamatannya yang tajam segera menangkap
kemungkinan yang tersimpan di dalam orang yang semula
dianggapnya tidak berarti itu.
"Jadi kau tetap pada niatmu untuk melawan aku?"
bertanya Ki Benda. "Ya" jawab sais itu.
"Baiklah. Sebut namamu. Mungkin aku pernah
mendengarnya. Barulah aku yakin, bahwa kamu memang
berhak melawan aku dan darahmu akan berguna bagi
pusakaku" berkata Ki Benda.
"Namaku Mahendra" jawab sais itu.
"O" Ki Benda mengerutkan keningnya. Kemudian
diingatnya keterangan orang yang pernah datang ke
Singasari dan menyebut salah satu dari nama-nama para
pedagang yang pernah dihubungi.
"Kau pedagang besi bertuah dan batu-batu berharga"
bertanya Ki Benda lebih lanjut.
"Ya. Darimana kau pernah mendengar namaku?"
bertanya Mahendra. "Itu tidak penting. Marilah kita menyelesaikan persoalan
kita sekarang. Aku akan membunuhmu. Mudah-mudahan
kebiasaanmu dengan wesi aji itu akan berpengaruh pada
pusakaku ini" Mahendra mengerutkan keningnya. Di dalam
keremangan sinar bulan ia melihat sebilah keris yang besar
dan panjang. "Kerisku luk sebelas" berkata Ki Benda.
"Menggetarkan. Kerismu terlalu besar dan terlalu
panjang menurut ukuranku. Tetapi agaknya kerismu benarbenar
keris yang bertuah. Aku terbiasa dengan berbagai
jenis senjata yang memiliki tuah seperti kerismu. Namun
karena itu, maka akupun memiliki kekuatan yang mantap
untuk menguasai setiap tuah dari pusaka siapapun juga"
berkata Mahendra.
Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Gila" geram Ki Benda "kau belum tahu arti dan kuasa
pusakaku" "Tidak akan lebih baik dari luwukku ini" sahut
Mahendra yang menggenggam sebilah pedang yang tidak
terlalu panjang. Ki Benda memandang senjata Mahendra sejenak. Ia
melihat jenis pedang yang memang agak lain dari pedang
kebanyakan. Hulunya yang berukir dihias dengan anyaman
rambut yang khusus. Pamor yang bagaikan berkeredipan di
bawah cahaya bulan yang kekuning-kuningan.
"Jarang sekali aku melihat sebilah pedang memakai
pamor seperti itu" berkata Ki Benda di dalam hatinya.
Karena itu, meskipun yang digenggam oleh sais yang
menyebut dirinya Mahendra itu bukan sebilah keris, tetapi
besi dan buatannya tidak ubahnya dengan sebilah keris.
Karena orang yang memimpin sekelompok penyerang itu
nampaknya mengagumi pedangnya, maka Mahendrapun
berkata "Nah, bukankah seperti yang aku katakan" Baiklah.
Nampaknya kau tertarik kepada pedangku. Apakah kau
akan membelinya?" "Gila" geram Ki Benda "aku tahu sifat seorang
pedagang. Baiklah aku akan membelinya jika pedang itu
dapat aku pergunakan untuk memenggal lehermu"
Mahendra tertawa. Katanya "Nampaknya senjata di
tanganku saat ini memang tidak untuk aku tawarkan.
Tetapi pedangku ini akan melawan kerismu yang besar dan
berat itu" "Sais yang gila. Aku mengerti, bahwa kau bukan sais
yang sebenarnya. Tetapi baiklah, aku akan membunuhmu.
Aku akan mendapatkan pusakamu tanpa membelinya sama
sekali" Mahendra tidak menjawab, la melihat Ki Benda itu
sudah bergerak. Karena itu, maka iapun segera
mempersiapkan diri menghadapinya.
Namun sesaat kemudian Ki Benda itu masih berkata
"Serahkan sajalah Pangeran Kuda Padmadata itu beserta
isleri dan anaknya. Kau akan bebas. Dan barangkali aku
benar-benar akan membeli senjatamu itu"
"Siapa kau sebenarnya?" bertanya Mahendra.
"Itu tidak penting" jawab Ki Benda.
Mahendra tidak menjawab lagi. Ia bergeser setapak maju
sambil menggerakkan ujung pedangnya.
Ki Benda bergeser pula. Namun tiba-tiba saja ia telah
meloncat sambil memutar kerisnya menyerang lambung.
Mahendra menggeliat sambil menangkis serangan itu.
Tetapi ketika ia memukul keris lawannya, maka lawannya
telah menarik serangannya. Dengan putaran mendatar Ki
Benda telah menyerangnya sekali lagi.
Mahendra meloncat surut, la sudah siap menghadapi
serangan berikutnya. Karena itu, ketika Ki Benda siap
untuk meloncat, maka Mahendralah yang justru telah
mendahuluinya, menjulurkan pedangnya lurus mengarah
dada. Tetapi Ki Bendapun sempat menghindar. Dengan cepat
ia berputar. Ternyata ia mampu bergerak cepat dan
kekuatannyapun dapat dibanggakannya. Dalam benturan
yang kemudian terjadi, Mahendra segera mengetahui,
bahwa lawannya mempunyai tenaga raksasa yang
berbahaya baginya. Apalagi sejenak kemudian, Ki Benda yang berilmu hitam
itu telah mengerahkan kemampuannya. Karena itu, maka
ilmunyapun segera mulai nampak. Geraknya semakin lama
menjadi semakin kasar dan liar. Demikian ia menyadari,
dengan siapa ia berhadapan, maka iapun telah
mengerahkan segenap kemampuannya untuk dengan cepat
mengakhiri pertempuran. Tetapi ternyata bahwa ilmu lawannyapun meningkat
dengan cepat, dan berhasil mengimbangi ilmunya. Sehingga
dengan demikian, Ki Benda merasa, bahwa ia tidak akan
segera dapat berhasil. "Gila" geram Ki Benda "apakah hubungan dengan
Pangeran Kuda Padmadata, sehingga kau bersedia menjadi
sais pedatinya dan bahkan mempertaruhkan nyawamu
baginya?" "Pangeran Kuda Padmadata adalah seorang Pangeran
dari Kediri yang banyak mengambil barang-barangku
meskipun aku jarang mengunjunginya karena aku tinggal di
Singasari" jawab Mahendra "dengan demikian, maka
Pangeran Kuda Padmadata telah banyak memberikan
keuntungan kepadaku"
"Gila" Ki Benda mengumpat "ternyata harga dirimu
tidak lebih tinggi dari keuntungan yang kau dapat dari
barang-barang daganganmu"
Mahendra tertawa. Jawabnya "Jangan ribut siapa aku
dan apa hubunganku dengan Pangeran itu. Tetapi adalah
kewajiban setiap orang untuk membantu seseorang yang
mengalami perlakuan yang tidak adil dan tidak berperikemanusiaan"
"Persetan" Ki Benda menggeretakkan giginya. Dengan
garang ia menyerang sambil berteriak nyaring.
Mahendra mengerutkan keningnya. Teriakan itu meng
getarkan jatungnya. Iapun semakin menyadari, bahwa
lawannya adalah seseorang dari lingkungan hitam. Dan
ternyata pula di dalam sikap dan tandangnya kemudian.
Keris Ki Benda terayun-ayun mengerikan. Setiap kali
terdengar ia berteriak dan menggeram. Bahkan kadangkadang
suaranya mirip dengan aum seekor harimau yang
kelaparan. Dengan demikian maka Mahendrapun merasa bahwa ia
harus lebih berhati-hati menghadapi lawannya. Bukan saja
.kerisnya yang berbahaya baginya, namun melihat jari-jari
tangan kirinya yang mengembang, agaknya orang itupun
akan dapat menerkamnya jika ia gagal menikam dengan
kerisnya. Pertempuran diantara keduanyapun menjadi semakin
seru. Masing-masing telah meningkatkan ilmunya.
Kakasran dan kekerasan telah mewarnai tata gerak Ki
Benda Bahkan hampir menjadi buas dan liar.
Ditempat lain, Witantra yang melihat seseorang yang
memiliki kelebihan tidak membiarkannya. Iapun segera
menempatkan diri untuk melawannya. Kemarahan orang
itu tidak tertahankan ketika ia mendengar bahwa orang
yang berdiri dihadapannya adalah salah seorang dari ketiga
sais pedati yang di dalam iring-iringan itu.
Namun seperti kedua kawannya yang lain, maka Ki
Walikat harus melihat kenyataan, bahwa sebenarnya orang
yang menyebut dirinya sais itu adalah justru orang-orang
yang memiliki ilmu yang mengagumkan.
"Kenapa kau menempatkan dirimu sebagai seorang
sais?" bertanya Ki Walikat.
Witantra tidak dapat menjawab seperti yang diharapkan
oleh lawannya. Katanya "Aku memang seorang sais"
"Gila. Kau berpura-pura. Agaknya kau sengaja
mengelabuhi kami, agar kami terjebak kedalam kekuatan
pengawal Pangeran Kuda Padmadata" geram Ki Walikat.
Sebenarnyalah, ketakutan yang sangat telah
mencengkam isteri dan anak laki-laki Pangeran Kuda
Padmadata itu. Peristiwa masa lampau mereka, tetapi
membayang kembali. Ketakutan demi ketakutan telah
mereka lalui, sehingga akhirnya mereka bertemu dengan
orang yang akan dapat memberikan perlindungan kepada
mereka. Namun kini ketakutan itu telah terulang kembali.
Meskipun demikian, kini laki-laki yang bernama Kuda
Padmadata itu ada diantara isteri dan anaknya dengan
pedang terhunus. Laki-laki itu telah siap memberikan
pengorbanan yang paling tinggi bagi isteri dan anaknya.
Pertempuran yang terjadi itupun semakin lama men jadi
semakin sangit. Orang-orang berilmu hitam itu bertempur
dengan kasar, liar dan buas. Mereka berteriak-berteriak
sambil mengumpat-umpat dengan kata-kata yang paling
kotor. Tetapi ternyata mereka telah membentur dinding
pertahanan yang kuat dan berlapis. Mereka yang menyusup
diantara para pengawal telah membentur kekuatan Mahisa
Bungalan, Ki Wastu dan dua orang adik Mahisa Bungalan.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, yang meskipun masih
sangat muda, tetapi keduanya ternyata telah memiliki
ketrampilan ayahnya. Karena itulah, maka mereka yang telah berhadapan
dengan Ki Wastu dan Mahisa Bungalanlah yang
mengalami nasib yang buruk. Mereka segera terdesak oleh
kemampuan ilmu yang tidak mereka perhintungkan
sebelumnya. Namun dalam pada itu, seorang diantara mereka yang
telah dirangsang oleh nafsu kebencian dan dendam yang
memang dinyalakan disetiap hati orang-orang berilmu
hitam, telah berhasil menyusup langsung menyerang orang
orang yang berada dipusat lingkaran pertempuran.
Tetapi, iapun telah tertahan. Justru oleh Pangeran Kuda
Padmadata sendiri. Lindungi mereka" geram Pangeran
Kuda Padmadata kepada pengawalnya yang terpilih "aku
akan membunuh orang ini"
Kemarahan dan kebencian Pangeran itu ternyata tidak
dapat dikekangnya lagi. Iapun segera meloncat menyerang
dengan garangnya, sementara pengawalnya itu telah berdiri
selangkah dari isteri dan anak laki-laki Pangeran yang
ketakutan itu, dengan senjata telanjang di tangan.
Demikian panasnya jantung Pangeran Kuda Padmadata,
maka ia sudah tidak mempunyai pertimbangan lagi.
Beberapa langkah ia mendesak lawannya. Namun
kemudian tanpa ampun lagi, senjatanya telah menggores
tubuh lawannya yang liar.
Tetapi kemarahan Pangeran itu telah mendorongnya
untuk bertempur dengan keras pula mengimbangi kekasaran
lawannya. Tetapi, sejenak kemudian yang terdengar adalah
keluhan tertahan. Senjata Pangeran Kuda Padmadata telah
menyobek kulitnya lagi. Semakin dalam.
Witantra tertawa. Katanya kemudian "Bagaimana
mungkin kami menjebakmu. Kami tidak tahu apa yang
akan terjadi disepanjang perjalanan. Kaulah yang telah
dengan senjata bagaikan sulung masuk ke dalam api. Dan
itu bukan salah kami"
Ki Walikat menggeram "Persetan. Kalianlah yang akan
tumpas malam ini, termasuk Pangeran Kuda Padmadata
dengan anak dan isterinya"
Witantra tidak menjawab. Tetapi iapun segera bersiaga.
Agaknya lawannya sudah siap untuk bertempur semakin
garang. Dengan demikian maka pertempuran di segala arah
itupun menjadi semakin seru. Orang-orang yang berilmu
hitam itu benar-benar tidak mempunyai pertimbangan
apapun juga. Bahkan mereka telah dibekali satu sikap,
bahwa jika senjata mereka basah oleh darah seseorang yang
berilmu, maka senjata itu akan bertambah tuah dan
bobotnya. Karena itulah, maka setiap orang dari mereka yang
berilmu hitam itupun bernafsu untuk membunuh sebanyakbanyak
agar senjata mereka basah oleh darah lawan.
Tetapi para pengawal itu adalah pengawal pilihan.
Apalagi di antara mereka terdapat Mahisa Agni, Witantra
dan Mahendra yang telah melibatkan dirinya.
Namun dalam pada itu, orang berilmu hitam itupun
mengerti, bahwa yang terlindung dibalik pedati-pedati itu,
tentu perempuan dan anak laki-laki yang termasuk mereka
dan yang harus mereka bunuh. Karena itu, maka beberapa
orang di antara mereka dengan sengaja telah menyusup di
antara para pengawal, karena jumlah mereka memang lebih
banyak, langsung mencari isteri dan anak laki-laki Pangeran
Kuda Padmadata itu. Tetapi di sela-sela pedati-pedati itu, ternyata mereka
telah bertemu dengan beberapa orang yang telah
menunggu. Mereka adalah Mahisa Bungalan, yang berada
di antara para pembantu sais pedati-pedati yang berada di
dalam iring-iringan itu, Ki Wastu dan di dalam lingkaran
itu pula terdapat Pangeran Kuda Padamadata, Mahisa
Pukat. Mahisa Murti dan seorang pengawal.
Karena itulah, maka orang-orang berilmu hitam yang
menyusup masuk ke dalam jantung lingkaran itu telah
membentur selapis kekuatan yang sebenarnyalah tidak
mudah untuk ditembus. Dalam pada itu. Ki Wastu yang selalu mengamati
tingkah laku Pangeran Kuda Padmadata masih sempat
berbisik "Jangan terpancing sehingga Pangeran
meninggalkan isteri dan anak Pangeran. Dekatilah. Biarlah
kami menyelesaikan orang-orang ini. Jika Pangeran terlibat
langsung kedalam pertempuran ini, maka satu dua orang
yang terlepas dari pengamatan kami akan dapat dengan
mudah melakukan perbuatan kejinya atas orang-orang yang
tidak berdaya itu" Karena itulah, betapa darah Pangeran itu mendidih,
maka ia berusaha menahan diri, berdiri di antara isteri dan
anaknya dibayangi oleh seorang pengawalnya yang terpilih.
Lawan Pangeran Kuda Padmadata itupun kemudian
terhuyung-huyung. Sesaat ia masih mencoba bertahan.
Namun kemudian iapun terjatuh di tanah dengan nafas
yang tersendat-sendat. Dalam pada itu, selagi Pangeran Kuda Padmadata
merenungi orang yang terbaring itu, terdengar pengawalnya
berdesis "Pangeran"
Pangeran Kuda Padmadata berpaling. Ternyata
pengawalnya telah bertempur pula melawan seseorang yang
berhasil menyusup pula diantara pertempuran dan langsung
berusaha membunuh isteri dan anak laki-laki Pangeran
Kuda Padmadata. Pangeran Kuda Padmadata menggeram. Dengan darah
yang mendidih dijantungnya ia berkata "Biarlah aku
membunuhnya pula" Pengawal itu tidak menjawab. Tetapi ia mendesak
lawannya menjauhi isteri dan anak laki-laki Pangeran Kuda
Padmadata. Karena itu, maka Pangeran Kuda
Padmadatalah yang kemudian berdiri mengawasi keadaan
Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
serta melindungi isteri dan anak laki-lakinya.
Ternyata pengawal itu benar-benar pengawal terpilih dari
para pengawal pilihan. Karena itu, maka iapun segera dapat
menguasai keadaan Dengan kecepatannya bergerak, maka
pengawal itu segera berhasil mengimbangi kegarangan
lawannya yang bertempur sambil berteriak-teriak.
Dalam pada itu, pertempuran disekitar tempat itupun
berlangsung dengan sengitnya. Jumlah para penyerang yang
berilmu hitam itu lebih banyak. Namun mereka telah
membentur kekuatan yang sulit ditembusnya. Bahkan
kemudian mulai terasa, bahwa para pengawal akan dapat
menguasai keadaan. Dengan demikian, maka tiga orang pemimpin
padepokan yang berilmu hitam itu rasa-rasanya bagaikan
dibakar oleh kemarahan yang tidak terkendali. Dengan
segenap kemampuan, mereka berusaha untuk segera dapat
membunuh lawan masing-masing, agar mereka segera
dapat membantu para pengikutnya.
Tetapi lawan merekapun ternyata orang-orang yang
berilmu tinggi. Gampar Wulung yang dengan kasarnya
berusaha mendesak Mahisa Agni ternyata sama sekali tidak
berhasil. Betapapun ia berusaha, namun, Mahisa Agni
selalu dapat mengimbanginya. Rasa-rasanya Gampar
Wulung telah berhadapan dengan perlawanan yang selalu
selapis lebih tinggi dari kemampuannya. Setiap ia berusaha
menghentakkan kekuatannya, maka kekuatan lawannya
itupun seolah-olah dengan sendirinya telah meningkat pula.
Demikian pula dengan para pemimpin golongan hitam
itu yang lain. Ki Benda berteriak-teriak seperti orang gila.
Kemarahan yang membakar jantungnya telah membuatnya
seakan-akan menjadi kehilangan pengamatan diri. Namun
bagaimanapun juga, ia sama sekali tidak berhasil mendesak
lawannya, yang semula menyebut dirinya seorang sais
pedati, namun kemudian mengakuinya sebagai seorang
pedagang batu-batu berharga dan besi bertuah.
Bahkan semakin lama semakin terasa, bahwa lawannya
itu memiliki kemampuan yang melampauinya. Namun
demikian, Ki Benda masih berusaha untuk membunuhnya
dengan ilmunya yang garang. Dalam keadaan yang
terdesak itulah, maka kekuatan hitamnya seolah-olah telah
diperasnya. Matanya seolah-olah telah membara, sementara
tata geraknya menjadi semakin cepat dan liar. Senjatanya
terayun-ayun dengan ganasnya dengan hentakan kekuatan
yang luar biasa dilambari dengan tenaga cadangannya.
Bahkan kekuatan ilmunya yang ditumpahkan kedalam ke
mampuan senjatanya yang dianggapnya bertuah itu, telah
membuat senjata bagaikan menyala.
Mahendra yang mengenal berbagai macam senjala dan
besi bertuah telah melihat keris Ki Benda yang besar itu
berbahaya. Karena itu, maka iapun mengerti, bahwa Ki
Benda telah sampai kepada ilmu pamungkasnya yang
seolah-olah telah tertuang dan terungkap pada pusakanya.
"Jangan takut" geram Ki Benda "pusakaku adalah
benar-benar pusaka yang akan dapat membunuhmu,
betapapun tinggi ilmumu. Pedangmu itu akan segera luluh
menjadi lumpur jika bersentuhan dengan senjataku yang
bertuah ini" Mahendra yang melangkah surut justru tertawa. Katanya
"Ki Sanak. Aku mengenal berbagai macam jenis besi
bertuah. Aku melihat dengan mata hatiku, bahwa kerismu
yang besar itu berwarna merah kehitam-hitaman. Itu adalah
pertanda betapa buramnya nilai pusakamu dan betapa
kotornya tuah yang ada di dalamnya"
"Persetan" bentak Ki Benda "aku tidak ingkar. Pusakaku
selalu bermandikan darah. Tetapi setiap titik darah berarti
lapisan tuah yang melekat padanya. Karena itu jangan
mengingkari perasaanmu. Kau menjadi ketakutan, karena
kau tidak akan dapat melawan pusakaku.
Betapapun tebal kulitmu, bahkan seandainya kau
mempunyai ilmu kebal, maka kau tidak akan dapat
bertahan dari patukan kerisku ini"
Mahendra mengerutkan keningnya. Tetapi ia sadar,
bahwa kemampuan puncak ilmu Ki Banda benar-benar
berbahaya baginya. Karena itulah maka iapun telah
mengerah kan segenap ilmu yang ada padanya. Ia tidak
memusatkan ilmunya pada genggaman tangannya dan
memukul lawan nya sampai lumat. Dengan demikian,
maka sentuhan senjata lawannya akan dapat berbahaya
baginya. Karena itu. maka iapun telah mengimbangi
lawannya dengan memusatkan kemampuan ilmunya pada
tangannya yang seakan-akan telah menjalari senjatanya
pula. Pedang Mahendrapun bukan sembarang pedang. Karena
itu, maka dengan lembaran kekuatan ilmunya, pe dang
itupun seolah-olah telah bercahaya pula.
"Lihatlah" berkata Mahendra kemudian "seandainya
kau membeli besi-besi bertuah itu daripadaku, aku akan
memberitahukan kepadamu, bahwa pusaka yang berarti
adalah pusaka yang bercahaya kebiru-biruan seperti
pedangku ini" Sebenarnyalah, Ki Bendapun berhasil melihat, bahwa
pedang Mahendra seolah-olah telah bercahaya kebirubiruan.
Wajah Ki Benda telah menegang. Urat-uratnya bagaikan
telah melonjak keluar dari keningnya. Iapun melihat,
seolah-olah pedang lawannya itu telah menyala putih
kebiru-biruan. "Gila" geramnya. Warna itu telah menyilaukannya.
Jauh lebih silau dari warna nyala kerisnya.
Meskipun demikian, Ki Benda menganggap bahwa
warna besi pusaka itu tidak banyak mempengaruhi kemam
puan pusaka-pusaka itu. Ia sudah mengakui bahwa ilmunya
sering disebut ilmu hitam. Dan ia tidak mengingkarinya.
Karena itulah, maka nyala pusakanya berwarna merah
kehitam-hitaman Tetapi bahwa ilmu hitam itupun tidak
perlu merasa selapis dibawah ilmu putih.
Karena itulah maka Ki Benda kemudian telah
menyerang dengan garangnya. Kerisnya yang besar dan
yang menyala merah kehitam-hitaman itu berputar seperti
baling-baling. Kadang-kadang menyambar mendatar.
Namun kemudian mematuk lurus kedepan mengarah dada.
Tetapi pedang Mahendra yang berwarna putih kebirubiruan
itu mampu mengimbangi kecepatan gerak keris
lawannya. Karena itu, maka setiap kali ayunan pusaka Ki
Benda itu telah membentur pedang Mahendra. Disetiap
benturan, telah terpercik bunga-bunga api yang berwarna
merah kehitam-hitaman dan yang berwarna putih kebirubiruan.
Benturan-benturan itupun telah mendebarkan
jantung kedua orang yang sedang bertempur itu. Namun
yang menjadi cemas kemudian adalah Ki Benda yang harus
melihat kenyataan yang telah terjadi. Kakuatan Mahendra
ternyata melampaui kekuatannya. Dan kecepatan gerak
Mahendrapun melampaui kecepatan geraknya.
Sementara itu, maka pertempuran disekitar tempat
itupun berlangsung dengan sengitnya. Ternyata orang-orang
berilmu hitam yang menyerang iring-iringan dari Singasari
yang akan pergi keKediri itu telah menemui kesulitan.
Mereka telah membentur kekuatan yang meskipun lebih
kecil jumlahnya tetapi tidak mampu dipatahkannya.
Setiap orang yang berilmu hitam itu, yang bertempur
melawan setiap orang pengawal dari Kediri, harus
mengakui, bahwa pengawal terpilih itu memiliki
kemampuan yang lebih besar dari kemampuan mereka.
Sementara beberapa orang diantara para pengawal itu, yang
justru dikira benar-benar sais dan pembantu-pembantunya,
ternyata justru orang-orang yang memiliki kelebihan dari
para pengawal, sehingga mereka langsung menempatkan
diri berhadapan dengan para pemimpin mereka yang
selama itu mereka banggakan sebagai orang-orang yang
tidak terkalahkan. Dalam pada itu, Ki Walikat yang berhadapan dengan
Witantra itupun harus mengakui, bahwa Witantra memiliki
kemampuan ilmu yang luar biasa. Ketika Ki Walikat itu
sampai kepada puncak ilmunya, maka iapun telah
menghadapi ilmu Witantra yang jarang ada duanya.
Sementara itu Ki Wastu dan Mahisa Bungalan telah
bertempur pula dengan serunya. Namun lawan mereka
ternyata tidak dapat mengimbangi kemampuan mereka
seorang melawan seorang. Karena itu, maka beberapa
orang telah bersama-sama melawan mereka.
Dalam pada itu, Mahisa Murti dan Manisa Pukatpun
bertempur dengan sengitnya. Mereka bertempur seperti
seekor burung, melonjak-lonjak, melayang, kemudian
menukik menyerang, Sehingga dengan demikian lawan
merekapun menjadi semakin lama semakin kebingungan.
Namun kehadiran kedua anak-anak muda itu di dalam
lingkaran pertemuan, benar-benar telah merupakan selapis
bendungan yang dapat menahan para penyerang yang
berhasil menyusup pada lingkaran pertempuran yang
pertama. Sementara itu, isteri dan anak laki-laki Pangeran
Kuda Padmadata yang ketakutan itu saling berpelukan.
Mereka berdua merasa diri mereka sebagai orang-orang
yang sangat lemah diantara benturan senjata. Mereka tidak
dapat berbuat apa-apa. selain pasrah kepada Tuhan Yang
Maha Kuasa. Namun justru karena ditempat itu ada Pangeran Kuda
Padmadata, ada pula ayahnya Ki Wastu dan ada pula
seorang muda yang telah berbuat terlalu banyak baginya,
bagi keselamatannya, maka hatinya serasa lebih tenang dari
masa-masa yang pernah dialaminya. Ketika ia seorang diri
di dalam lingkungan orang-orang kasar yang dapat berbuat
apa saja padanya, maka ia sama sekali tidak
berpengharapan. Untunglah bahwa Tuhan Yang Maha
Kuasa masih selalu melindunginya, sehingga ia dapat
terlepas dari tangan orang-orang kasar itu dengan selamat.
Bukan saja nyawanya, tetapi ia masih tetap utuh seperti saat
ia ditinggalkan oleh suaminya.
Sementara itu, walaupun menjadi semakin malam,
bintang-bintang sudah bergeser semakin ke Barat. Bahkan
sejenak kemudian mulai membayang cahaya bintang panjer
esuk yang bagaikan menyala di Timur.
Orang-orang yang dapat mengenal bintang sebagai
pertanda waktu akan segera mengetahui, bahwa sebentar
lagi fajar akan segera menyingsuig. Di Selatan Bintang
Gubug Penceng seakan-akan telah hampir datar menyentuh
cakrawala disebelah Barat.
Kegilisahan telah merayapi jantung ketiga orang
pemimpin dari orang-orang berilmu hitam itu. Apalagi
setelah satu iemi satu orang-orang mereka tergores oleh
tajamnya senjata. Bahkan satu demi satu orang-orang
merekapun mulai berjatuhan. Apalagi mereka sendiri
merasa, bahwa mereka tidak akan mampu menghadapi
lawan mereka yang ternyata me miliki ilmu yang luar biasa.
Ki Gampar Wulung yang telah sampai kepuncak
ilmunya menyadari, bahwa ia tidak akan dapat melepaskan
diri dari kemampuan ilmu lawannya. Meskipun Mahisa
Agni masih belum sampai kepada ilmu pamungkasnya
sepenuhnya, namun sudah terasa oleh lawannya, bahwa
tekanan ilmu Mahisa Agni itu tidak akan dapat
dihindarinya. Demikian pula kawan-kawannya. Ki Benda yang
berbangga dengan pusakanya, tidak dapat berbuat banyak
melawan pedang Mahendra yang putih kebiru-biruan.
Orang-orang berilmu hitam yang semula berharap untuk
dapat berbuat sesuatu bagi Ki Dukut Pakering, yang sedang
berusaha untuk mengguncang Kediri, ternyata harus
mengakui kenyataan yang mereka hadapi. Satu demi satu
orang-orang merekapun telah jatuh. Luka-luka yang parah
telah tergores di tubuh mereka, sehingga mereka tidak dapat
lagi bangkit untuk melawan. Bahkan sebagian dari mereka
telah terbunuh karenanya.
Kenyataan itu benar-benar telah menggelisahkan para
pemimpin mereka. Maka sebelum sampai kepada orang
terakhir, maka pemimpin mereka itupun harus meng ambil
satu sikap. Sikap itu adalah sikap yang paling mungkin
mereka lakukan. Melarikan diri.
Justru ketiga orang pemimpin yang bertempur melawan
orang-orang yang tidak disangka sama sekali itu, telah
mempunyai pertimbangan yang sama di dalam hati mereka.
Karena itu, selagi masih ada kesempatan, maka Ki Gampur
Wulungpun tiba-tiba telah melontarkan satu isyarat bagi
kawan-kawannya. Isyarat itu tidak perlu diulang. Dengan serta merta, maka
orang-orang berilmu hitam itupun segera berusaha menarik
diri. Mereka telah berusaha membaurkan diri dengan gerak
yang membingungkan sambil berlari meninggalkan arena.
Mahisa Agni, Mahendra dan Witantra, sebenarnya agak
terkejut melihat sikap lawannya yang garang itu. Mereka
tidak menyangka, bahwa jalan itu ternyata terlalu pendek,
sehingga apa yang terjadi itu benar-benar tidak mereka
duga. Orang-orang yang garang itu, tiba-tiba saja telah
meninggalkan arena dengan sikap yang licik.
Tetapi Mahisa Agni, Mahendra dan Witantra tidak dapat
mengejar mereka. Kecuali karena orang-orang itu telah
berbaur, maka ketiganya masih dibayangi oleh kecurigaan,
bahwa jika mereka meninggalkan Pangeran Kuda
Padmadata terlalu jauh, maka kelicikan dapat saja terjadi.
Jika masih ada orang-orang yang tersembunyi di dalam
gelapnya malam, dan tiba-tiba saja datang menyergap,
apalagi orang itu Ki Dukut Pakering sendiri dengan orangorang
yang justru terpilih, maka keadaan akan menjadi
gawat. Para pengawal dari Kediripun ternyata tidak mengejar
mereka pula. Para pengawal itupun tidak ingin
meninggalkan Pangeran Kuda Padmadata, isteri dan anak
luki-lakinya. Karena merekalah sebenarnya yang harus
mereka lindungi. Namun dalam pada itu Mahisa Bungalanlah yang
bertanya kepada ayahnya "Kita tidak menangkap
pemimpin-pemimpin mereka?"
"Mereka telah melarikan diri" jawab Mahendra.
Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ya. Dan kita tidak mengejarnya?" sahut Mahisa
Bungalan. Mahendra menarik nafas dalam-dalam. Katanya "Tidak
ada gunanya. Mereka dapat melarikan diri secepat kita
mengejarnya, sehingga belum tentu kita akan dapat
menangkap mereka. Mereka mempunyai peluang beberapa
kejap sebelum kita menyadari langkah mereka. Karena itu,
maka menurut pertimbanganku, mereka akan dapat
mencapai hutan itu beberapa langkah di depan kita, karena
merekapun, terutama para pemimpinnya adalah orangorang
berilmu, justru ilmu hitam. Karena itu, mengejar
mereka adalah sia-sia. Mereka dapat berlari secepat kita lari,
sementara kemungkinan lain masih dapat terjadi jika kita
meninggalkan tempat ini. Mungkin orang yang paling kita
perlukan selama ini, sehingga kita telah membuka padang
perburuan yang luas itu, akan datang selama kita berlarilarian
mengejar orang-orang berilmu hitam itu"
Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Iapun
kemudian mengerti, bahwa mengejar orang-orang yang
tidak berarti. Pemimpin-pemimpin mereka, seperti yang di
katakan oleh ayahnya, tentu memiliki kesempatan yang
paling besar untuk menyelamatkan diri.
"Tidak ada gunanya membantai mereka semakin
banyak" berkata Mahisa Bungalan di dalam hatinya "dan
tidak ada pula gunanya menangkap mereka. Kecuali hanya
akan menjadi beban perjalanan, mereka tidak akan dapat
memberikan keterangan apapun juga yang dapat
memberikan kejelasan melampaui orang-orang yang terluka
yang akan dapat menjadi sumber keterangan"
Karena itu, maka Mahisa Bungalanpun segera
berkumpul bersama para pengawal dan orang-orang yang
semula dianggap sais pedati-pedati oleh orang-orang dari
golongan hitam itu. Dalam pada itu, Pangeran Kuda Padmadata yang
melihat orang-orang yang menyerang iring-iringan dari
Singasari ke Kediri itu telah meninggalkan arena, maka
iapun menarik nafas dalam-dalam sambil berkata "Ternyata
Tuhan Yang Maha Kuasa masih melindungi kita
semuanya. Agaknya mereka telah pergi"
Isterinya yang masih memeluk anak laki-lakinya itupun
menahan isak yang hampir meledak. Namun
bagaimanapun juga, terasa pipinya menjadi basah oleh air
mata yang-meluap dari pelupuknya.
"Kita selamat anakku" desis perempuan itu. Anak lakilakinya
masih melekatkan kepalanya di dada ibunya.
Namun kemudian iapun menyadari, bahwa pertempuran
itu sudah selesai. Dalam pada itu, Ki Wastu berdiri tegak dengan hati yang
bergetar melihat anak perempuan dan cucunya yang sudah
berhasil diselamatkan. Seakan-akan ia telah diguncang oleh
satu pertanyaan yang melingkar-lingkar di rongga dadanya
"Kenapa semuanya itu harus terjadi atas anak
perempuannya." Namun seperti Pangeran Kuda Padmadata, seperti artak
perempuannya dan seperti orang-orang yang lain. ia
mengucap sukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, bahwa
malapetaka itu telah dapat dicegah.
Ketika Pangeran Kuda Padmadata dan Ki Wastu
kemudian berusaha menenangkan ibu dan anak itu, para
pengawal telah dihadapkan pada tugas-tugas baru. Mereka
harus mengumpulkan orang-orang yang lerluka dan kemui
iiau mereka yang telah terbunuh. Beruntunglah, bahwa
korban diantara pengawal yang paling parah, tidak sampai
merenggut nyawanya, meskipun tiga orang tidak lagi dapat
bangkit. Tetapi karena perawatan yang cepat, maka nyawa
mereka masih dapat diharapkan untuk dipertahankan.
Sebelum matahari terbit, para pengawal telah
menguburkan empat orang lawan yang terbunuh.
Kemudian mengumpulkan dua orang yang terluka berat,
dan dua orang lagi yang tidak membahayakan jiwanya,
meskipun mereka tidak sempat melarikan diri.
"Gila" geram seorang pengawal "mereka benar-benar
menjadi beban diperjalanan. Kitalah yang harus merawat
mereka. Menyediakan makan dan minum. Mengobati dan
melayani" "Apaboleh buat" desis yang lain.
"Sementara kawan-kawan kita sendiripun telah terluka
pula berkata yang pertama.
"Ada dua orang yang dapat melayani kawan-kawannya
yang parah" berkata yang lain.
"Yang dua itupun memerlukan pelayanan" geram yang
lain lagi. Tetapi mereka tidak dapat mengingkari tugas-tugas itu.
Mereka tidak dapat membunuh orang-orang yang lelah
menjadi tawanan mereka. Ketika matahari terbit, maka merekapun mulai
berbiiuah. Dua pedati telah dipergunakan untuk
mengangkut orang-orang yang terluka. Satu pedati untuk
tiga orang pengawal dan satu pedati untuk orang-orang
yang tertawan. Namun dengan demikian, maka semua
perlengkapan telah dipindahkan kepedati yang satu lagi,
sehingga dengan demikian isteri Pangeran Kuda Padmadata
dan anak laki-lakinya, tidak lagi dapat duduk di dalam
pedati. Tetapi mereka telah dipersilahkan untuk duduk
dipunggung kuda dengan seorang pengawal yang
membantu menuntun kuda itu. Karena sebenarnyalah
bahwa perjalanan itu tidak dapat lebih cepat dari orang
yang berjalan kaki karena diantara iring-iringan itu terdapat
juga tiga buah pedati. Para pengawal akan bergantian berjalan menuntun dua
ekor kuda. Tetapi anak laki-laki Pangeran Kuda
Padmadata, telah berani duduk bersama seorang pengawal.
Bahkan diperjalanan berikutnya, pengawal itu kadangkadang
melarikan kudanya mendahului meskipun tidak
terlalu cepat. Kemudian kembali menyongsong iring-iringan
itu. "Jangan terlalu jauh mendahului kami" berkata Mahisa
Bungalan kemudian. Pengawal itu mengerti. Meskipun jarak itu hanya
beberapa tombak, namun akan dapat terjadi sesuatu, justru
anak laki-laki itu menjadi sasaran utama dari setiap usaha
pembunuhan. Ketika iring-iringan itu melewati sebuah sungai yang
jernih, maka merekapun berhenti sejenak. Mereka sempat
memberi minum kuda dan lembu penarik pedati, sementara
merekapun sempat menyegarkan tubuh mereka.
-oo0dw0oo- Jilid 17 DENGAN penuh kewaspadaan, iring-irangan itupun
melanjutkan perjalanan. Perjalanan yang masih panjang.
Bahkan mereka masih harus bermalam satu malam lagi
diperjalanan, meskipun sudah tidak terlalu jauh dari Kediri.
Namun mereka tidak akan memaksa diri untuk mencapai
kota itu. Tetapi bahwa mereka harus bermalam lagi diperjalanan
meskipun sudah tidak terlalu jauh dari Kediri, namun hal
itu harus mereka perhitungkan sebaik-baiknya.
Dalam pada itu, ketiga orang pemimpin dari lingkungan
hitam itupun telah berhasil melepaskan diri dari tangan
lawan-lawannya yang garang. Namun demikian, terasa
pada Ki Gampar Wulung, Ki Benda dan Ki Walikat, bahwa
tubuh mereka yang tidak terluka itu bagaikan remuk di
dalam. Tulang-tulang mereka bagaikan retak dan ruasruasnya
bagaikan saling terlepas.
"Gila" geram Ki Walikat "apakah orang itu anak iblis"
"Diluar dugaan" berkata Ki Benda "orang-orang yang
kita anggap sebagai sais itu justru orang yang berilmu iblis
seperti yang kau katakan itu"
"Meraka dengan sengaja mengelabui kita" berkata
Gampar Wulung "aku sama sekali tidak terluka. Tetapi
rasa-rasanya aku sudah memeras semua tenaga dan
kemampuanku. Jika aku harus bertempur beberapa kejap
lagi, mungkin aku tidak akan mampu bertahan sama sekali.
Bahkan rasa-rasanya sais kereta yang langsung aku hadapi
itu, masih belum sampai kepuncak ilmunya"
"Beruntunglah bahwa kita masih sempat melarikan diri"
sahut Ki Benda "kita harus cepat menghubungi Ki Macan
Wahan" "Untuk apa cepat-cepat?" bertanya Ki Walikat "rasarasanya
malas aku berjalan" "Bodoh" geram Ki Benda "kita masih mempunyai
kesempatan untuk membalas dendam malam nanti. Jika
dua orang diantara kita sempat menemui Macan Wahan
dan minta ia datang bersama Ki Dukut dan sepuluh orang
lagi, maka aku kira, kita akan berhasil"
Kedua orang kawannya mengerutkan keningnya.
Nampaknya mereka sedang berpikir.
Tiba-tiba saja Gampar Wulung berkata "Mungkin kau
benar. Tetapi Macan Wahan dan Ki Dukut itulah yang
penting" "Juga yang sepuluh orang. Lihat, kawan-kawan kita
sudah berkurang. Meskipun lawan juga berkurang, tetapi
nempaknya setiap orang di dalam pasukan lawan memilikikelebihan.
Karena itulah maka aku kira Macan Wahan dan
Ki Dukut perlu membawa sepuluh orang lagi atau lebih.
Sementara ketiga orang sais dan pembantu-pembantunya
itu akan kita hadapi bersama Macan Wahan dan Ki Dukut
sendiri" Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Tetapi Ki
Walikat berkata "Aku sependapat. Tetapi jangan hanya
sepuluh orang. Kita tidak boleh terjebak lagi. Meskipun
kekuatan lawan sudah berkurang, tetapi mereka benarbenar
memiliki ilmu iblis. Jika kita menyuruh dua orang
diantara kita menemui Ki Macan Wahan, maka biarlah kita
pesankan agar ia membawa orang sebanyak-banyaknya dan
tidak kurang dari sepuluh disamping Macan Wahan dan Ki
Dukut sendiri" "Baiklah. Kita akan segera menyuruh dua orang diantara
kita untuk menemui mereka. Berkuda dan secepatnya"
desis Gampar Wulung. "Bagaimana dengan kita?" bertanya yang lain. Gampar
Wulung termangu-mangu sejenak. Dipandanginya Ki
Benda dan Ki Walikat berganti-ganti. Baru sejenak
kemudian ia berkata "Bukankah sebaiknya kita
memperhitungkan kemungkinan, sampai di-mana-mana
iring-iringan itu akan berhenti lagi nanti malam"
"Ya. Kita akan berada ditempat itu. Tengah malam kita
menyerang mereka sekali lagi dengan kekuatan yang lebih
besar, sementara kekuatan lawan telah berkurang. Apalagi
diantara kita terdapat Macan Wahan dan Ki Dukut
Pakering sendiri, selain sepuluh orang kawan atau lebih
akan datang bersema mereka"
Demikianlah, maka mereka telah menunjuk dua orang
yang harus berkuda secepatnya kembali kepadukuhan
Macan Wahan. Keduanya harus melaporkan apa yang
terjadi. Dan Merekapun harus kembali bersama Macan
Wahan dan Ki Dukut bersama paling sedikit sepuluh orang
kawan lagi. Setelah semua pesan diterima dengan jelas, maka dua
orang diantara mereka telah berpacu kembali kepadepokan
Macan Wahan. Keduanyapun mendapat pesan, dimana
kira-kira pasukan yang gagal itu akan menunggu.
"Kegagalan ini bagikan membakar jantungku" berkata
Ki Benda "aku benar-benar ingin mencincang orang yang
menyebut dirinya pedagang besi betuah dan batu-batu ber
harga itu" "Bukan hanya orang itu" geram Ki Walikat "semua
orang di dalam kelompok itu. Mereka harus mengerti
bahwa kita mempunyai kemampuan untuk melakukannya.
Jika kita gagal itu semata hanya karena kelengahan kita
saja" Gampar Wulung mengangguk-angguk. Katanya "Jangan
cemas, Malam nanti kita akan dapat melepaskan dendam
kita bersama Ki Dukut dan Mancan Wahan. Pasukan kecil
yang membawa perempuan dari Singasari ke Kediri itu ten
tu tidak akan mampu berbuat apa-apa"
"Kita akan melakukannya" sahut Ki Benda "dan
sekarang kita masih mempunyai waktu untuk beristirahat.
Pedati-pedati itu merayap seperti siput. Sementara kita akan
tidur barang sekejap untuk melupakan sakit hati sambil
memberikan kesempatan orang-orang kita yang terluka,
untuk sedikit mendapatkan kesegaran baru, sebelum kita
bersama-sama melepaskan dendam yang membara di hati"
Demikianlah, maka orang-orang dari lingkungan ilmu
hitam itu masih sempat beristirahat, yang terluka masih
sempat mendapat perawatan dan pengobatan, sementara
mereka harus bersiap-siap untuk bertempur lagi malam
nanti. Namun dengan beberapa orang kawan yang masih
segar dan dua orang yang pilih tanding.
"Tugasku tidak akan terlalu berat malam nanti" berkata
salah seorang dari mereka yang terluka di lengan.
"Mudah-mudahan yang kita harapkan benar-benar akan
datang" berkata yang lain" jika benar, maka jumlah kita
akan berlipat. Dan orang-orang Kediri itu sudah semakin
surut. Apalagi mereka tentu akan ketakutan melihat Ki
Dukut diantara kita"
"Kita pergunakan waktu ini sebaik-baiknya" lewat
tengah hari kita akan menyusul mereka, dan menemukan
tempat yang kita harapkan dapat menjadi tempat
persembunyian yang baik sebelum kita menyerang"
"Sebaiknya kita berangkat menjelang senja. Kita
mempunyai waktu banyak. Berapa jarak yang dapat dicapai
oleh pedati-pedati itu?" berkata yang lain pula.
Tetapi mereka tidak dapat mengatur segalanya. Mereka
harus tunduk perintah pemimpin mereka. Apapun yang
harus mereka lakukan, harus mereka lakukan.
Sementara itu, dua orang kawan mereka telah berpacu
sekencang-kencangnya. Mereka berusaha untuk tidak
terlambat, karena kesempatan mereka untuk menyerang
iring-iringan itu memang tidak terlalu panjang lagi.
Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Semalam mereka harus melakukannya sebelum iringiringan
itu memasuki tlatah Kediri.
Sementara Ki Macan Wahan terkejut mendengar derap
kuda menuju rumahnya. Dengan tergesa-gesa ia keluar dari
ruang dalamnya. Dua orang yang datang itu dengan tergesa-gesa pula
mendapatkannya. Ketika mereka sudah duduk di pendapa, maka Macan
Wahanpun segera bertanya, apakah yang telah terjadi.
Kedua orang itu kemudian berceritera berganti-ganti.
Mereka menceriterakan kegagalan mereka. Karena itu,
maka serangan itu harus diulangi.
Macan Wahan menggeretakkan giginya. Ia rasa-rasa nya
ikut terjebak bersama ketiga orang kawannya itu.
"Untunglah, mereka bertiga selamat" berkatai Macan
Wahan " dengan demikian mereka masih mendapat
kesempatan untuk melepaskan dendam mereka kepada
orang-orang Kediri itu"
"Ya" jawab salah seorang yang datang menghubungi
Macan Wahan " kita harus berangkat dengan pasukan yang
kuat. Paling sedikit sepuluh orang ditambah Ki Macan
Wahan dan Ki Dukut sendiri"
"Tidak hanya sepuluh" berkata Macan Wahan
"kita akan pergi dengan lima belas orang atau lebih.
Semua orang yang sekarang ada di padepokan, akan aku
bawa bersama kita" "Bagus" geram salah seorang dari kedua penghubung itu
"kita akan dapat melepaskan dendam atas kematian kawankawan
kita yang terjebak itu"
"Kita akan segera memberitahukan kepada Ki Dukut"
berkata Macan Wahan. "Ya. Dan kita memang harus segera berangkat" berkata
salah seorang dari kedua orang penghubung itu "menjelang
tengah malam kita akan sampai"
Macan Wahan itupun kemudian telah menyuruh
seseorang memanggil Ki Dukut yang masih berada
dipadepokan itu untuk diberi tahu masalah yang sedang
mereka hadapi. Namun demikian Ki Dukut yang kemudian duduk
dipendapa itu mendengar rencana Macan Wahan untuk
mengirimkan beberapa orang itupun berkata "Rencana itu
sangat tergesa-gesa"
"Ya, Kita harus dengan cepat melakukannya" berkata
Macan Wahan. "Ya. Menurut perhitunganku, ia akan berbuat demikian"
jawab Ki Dukut. Macan Wahan menjadi tegang. Katanya "Tetapi hal itu
masih belum tentu. Kita dapat mencoba. Mungkin mereka
tidak berbuat demikian, sehingga kita mendapat
kesempatan yang baik untuk membinasakan seorang
Pangeran dan merampas segala miliknya yang dibawanya.
Bukankah sejalan dengan rencana Ki Dukut untuk
mengguncang Kediri, agar mereka terbangun dari mimpi
yang manis, sementara angin yang sejuk masih ditiupkan
oleh orang-orang Singasari"
Ki Dukut tertawa. Katanya "Kau sudah mulai
menyadari, betapa rendahnya martabat Kediri dimata orang
Singasari. Karena itu, maka kita harus menjaga diri, agar
kita tidak terperosok kedalam kesalahan demi kesalahan.
Percayalah kepadaku, menurut perhitunganku. Pangeran
Kuda Padmadatapun akan berbuat seperti yang kita
lakukan. Menjemput sepasukan pengawal. Jika kita akan
terjebak dan hancur sama sekali, maka tidak akan ada orang
yang masih bercita-cita untuk memulihkan kebesaran Kediri
dan memaksa Singasari mempersempit kekuasaannya
kembali menjadi Pakuwon seperti masa Tunggul Ametung
menjadi seorang Akuwu"
Macan Wahan terdiam. Namun masih nampak di
wajahnya. betapa dendam menyala dihatjnya. Betapa ia
ingin menumpahkan dendamnya dengan memusnakan
iring-iringan Pangeran Padmadata yang telah berhasil
mengelabui kawan-kawannya dan menjebaknya. Untunglah
bahwa tiga orang kawannya berhasil menyelamatkan diri.
Tetapi iapun dapat mengerti, keterangan yang dikata kan
oleh Ki Dukut. Kemungkinan itu memang dapat terjadi.
Jika sekali lagi ia terjebak, maka mungkin sekali orangorangnya
akan benar-benar dihancurkan.
Meskipun demikian, Macan Wahan tidak ingin
melepaskan kemungkinan yang baik itu. Maka katanya
"Kita Dukut Biarlah kita melihat kemungkinannya. Kita
akan pergi. Tetapi kitapun akan melihat, apakah pasukan
Kediri itu datang atau tidak. Jika pasukan Kediri itu datang,
kita tidak akan berbuat apa-apa. Tetapi jika tidak, maka kita
akan memusnakan iring-iringan itu sampai lumat" Ki
Dukut tertawa. Katanya "Baiklah. Mungkin hal ini
memang dapat dicoba"
"Jika demikian, kita harus segera berangkat, semua
orang yang ada akan kita bawa. Kita hanya perlu tiga orang
untuk menunggui padepokan ini, disamping beberapa orang
perempuan" berkata Macan Wahan.
Demikianlah, maka dengan tergesa-gesa padepokan itu
bersiap-siap. Bagaimanapun juga, masih tersimpan harapan
dihati Macan Wahan, bahwa ia akan dapat membalas sakit
hati kawan-kawannya yang terjebak. Bahkan masih ada
harapan Untuk dapat mencincang iring-iringan dari
Singasari ke Kediri itu sampai lumat.
Sejenak kemudian, maka pasukan dari padepokan yang
diselimuti oleh ilmu hitam itu sudah siap. Ternyata masih
ada sembilan orang ditambah dengan sisa orang-orang Ki
Benda, Ki Walikat dan Ki Gampar Wulung yang memang
tidak dibawa, karena mereka telah membawa orang
berlebihan dari padepokannya dan mereka harus
mempersiapkan segala sesuatu jika diperlukan.
"Semua ada tigabelas orang" berkata Macan Wahan
"ditambah kita berdua. Nampaknya kita akan dapat
berhasil" "Apa yang berhasil?" bertanya Ki Dukut.
Macan Wahan menegang. Namun iapun tersenyum
pahit sambil menjawab " Aku masih mengharap hal itu
terjadi. Mencincang sampai lumat"
"Mudah-mudahan harapan itu akan dapat kita lakukan"
sahut Ki Dukut "tetapi kita tidak boleh terseret oleh arus
perasaan. Kita harus mempertimbangkan tingkah laku kita
dengan nalar. Sehingga kita tidak akan kehilangan
perhitungan yang mapan"
Macan Wahan menarik nafas. Namun ia tetap berniat
untuk melepaskan dendamnya. Apapun yang akan terjadi,
jika orang-orang Kediri itu tidak memanggil pasukan yang
kuat dari kota. Demikian, maka iring-iringan sekelompok orang-orang
berilmu hitam itupun kemudian berangkat dari padepokan
Macan Wahan. Mereka langsung menuju tempat yang
sudah ditunjuk lewat penghubung yang kembali
kepadepokan itu. Dalam pada itu, ternyata kawan-kawan Macan Wahan
yang gagal, masih saja beristirahat ditempatnya. Mereka
merasa tidak perlu tergesa-gesa, karena mereka masih
mempunyai banyak waktu. Jika iringkan yang lebih lambat
dari berjalan kaki, karena ada beberapa buah pedati
bersama mereka itu menempuh satu hari perjalanan, maka
mereka akan dapat menyusul jarak itu beberapa saat saja
dengan kuda yang berpacu.
"Kita tidak usah membuang banyak waktu" berkata Ki
Benda "kita sudah dapat memperhitungkan, sampai di
mana kira-kira perjalanan pedati itu dalam satu hari"
Karena itulah, maka orang-orang berilmu hitam itu
dapat tidur dengan nyenyak. Mereka benar-benar dapat
beristirahat untuk pada malam harinya kembali
mengerahkan kemam puan untuk bertempur melawan para
pengawal dari Kediri. Tetapi kekuatan pengawal itu sudah
berkurang, sementara kekuatan orang berilmu hitam itu
tentu akan bertambah. Meskipun ada diantara mereka yang
terbunuh atau terluka parah, tetapi yang akan datang,
jumlahnya tentu akan lebih banyak.
Baru pada saat yang diperkirakan sudah cukup, maka
orang-orang berumu hitam itupun mulai mengemasi diri.
Mereka membenahi pakaian dan senjata mereka. Kemudian
mereka pun berusaha untuk mendapatkan air pada sebatang
sungai untuk menyegarkan tubuh mereka.
Agar tidak menimbulkan kecurigaan di sepanjang jalan
yang akan mereka lewati, maka orang-orang berilmu hitam
itupun telah membagi diri ke dalam kelompok-kelompok
yang lebih kecil. Mereka telah membagi pula arah yang
akan mereka lalui. Sesuai dengan pengembaraan mereka
dalam kehidupan mereka yang hitam, maka sebagian dari
mereka telah dapat mengenali daerah itu dengan cukup
baik, sehingga orang-orang itulah yang akan menjadi
penunjuk jalan menuju ke tempat yang sudah mereka
tentukan. Ki Walikat tertawa. Katanya "Kau benar. Mereka tentu
lebih senang bermimpi indah daripada menjaga
kemungkinan kedatangan kita, karena mereka mengira
bahwa kita sudah berhasil mereka hancurkan"
"Kita akan sampai ke tempat itu menjelang.tengah
malam" berkata Ki Gampar Wulung "dengan demikian
maka kewaspadaan orang-orang Kediri itu sudah mulai
susut. Seperti semalam, jika bukan karena mereka memiliki
kemampuan yang jauh melampaui kemampuan kita, maka
mereka sudah mulai menjadi lengah. Apalagi malam nanti.
Mereka tentu mengira bahwa kita tidak akan kembali"
*** Dalam pada itu, perlahan-lahan pedati-pedati yang
diiringi oleh para pengawal itupun maju terus. Beberapa
orang yang terluka mengerang di dalamnya. Sementara
isteri Pangeran Kuda Padmadata yang terpaksa
menunggang kuda dengan tubuh yang miring, cepat
menjadi letih. Karena itu, maka kadang-kadang justru ia
lebih senang berjalan bersama Pangeran Kuda Padmadata
yang menyerahkan kudanya kepada orang lain. Namun
dalam pada itu, ketika perjalanan itu menjadi semakin jauh,
maka Mahisa Agnipun kemudian mendapatkan Pangeran
Kuda Padmadata untuk memberikan beberapa
pertimbangan mengenai perjalanan yang gawat itu.
"Pangeran" berkata Mahisa Agni "semalam kita masih
akan bermalam diperjalanan"
"Ya" sahut Pangeran Kuda Padmadata.
"Bukankah dengan demikian masih akan dapat terjadi
beberapa hal yang tidak kita inginkan" berkata Mahisa Agni
lebih lanjut. "Ya, agaknya memang demikian" jawab Pangeran Kuda
Padmadata "bukankah dengan demikian kita harus berhatihati"
"Tidak cukup sekedar berhati-hati" berkata Mahisa Agni
kemudian. "Jadi?" "Pangeran" berkata Mahisa Agni lebih lanjut "orang
yang gagal itu akan dapat menghimpun kekuatan lagi
setelah mereka mengetahui kekuatan kita. Mereka akan
dapat datang lagi dengan kekuatan yang jauh lebih besar
untuk menghancurkan kita"
Pangeran Kuda Padmadata mengerutkan keningnya.
Namun iapun mengangguk-angguk sambil menjawab
"Memang benar. Kemungkinan itu besar sekali"
"Nah, karena itu, kita harus berjaga-jaga" Mahisa Agni
menambahkan. "Apa yang baik kita lakukan?" bertanya Pangeran Kuda
Padmadata "mempercepat perjananan ini, dan memaksa
memasuki Kediri, meskipun lewat malam?"
Tetapi Mahisa Agni menggeleng sambil menjawab
"Tidak perlu Pangeran. Isteri Pangeran dan putera
Pangeran akan terlalu letih."
Pangeran Kuda Padamata mengangguk-angguk. Namun
kemudian iapun bertanya. "Jika kita tidak dapat memaksa
diri memasuki kota, apa yang harus kita lakukan?"
"Pangeran sebaik mengutus dua atau tiga orang
mendahului perjalanan ini dengan nama Pangneran Kuda
Padmata, kedua atau tiga orang itu dapat memerintahkan
sepasukan pengawal untuk menjemput atau menyongsong
iring-iringan ini" Pangeran Kuda Padmata mengangguk-angguk. katanya
"Tepat sekali, ternyata pikiranku tidak cukup jernih
menanggapi keadaan seperti ini"
Dengan demikian maka Pangeran Kuda Padmatapun
segera memerintahkan tiga orang pengawalnya untuk
mendahului memasuki kota. Meraka dapat berkuda secara
cepat. Mereka dapat berpacu sehingga mereka akan segera
sampai ke kota. Dengan cepat pasukan pengawal akan
disiapkan untuk segera menyongsong iring-iringan yang
berjalan lambat, justru karena ada beberapa buah pedati di
dalamnya. "Pasukan pengawal itu tentu akan dapat mencapai
tempat kita bermalam sebelum tengah malam" berkata
Mahisa Agni kemudian. Pangeran Kuda Padmadata mengangguk-angguk.
Beberapa orang yang kemudian mengetahui pula rencana
itu, telah sependapat. Karena orang-orang yang menyerang
itu akan dapat berbuat apa saja untuk kepentingan mereka
yang tidak lagi mempertimbangkan martabat kemanusiaan
mereka lagi. *** Ketika tiga orang itu berpacu menuju ke Kediri, maka
dua orang dari antara yang berilmu hitam itupun telah
berpacu pula menuju ke padepokan Macan Wahan. Dengan
tangkasnya kuda-kuda mereka menyusup, diantara
gerumbul-gerumbul dan hutan. Karena penjelajahan yang
pernah mereka lakukan, maka merekapun dapat memilih
jalan memintas yang akan dapat memperpendek jarak.
"Kita harus sampai ke padepokan dan kemudian
membawa sekelompok kawan-kawan kita dengan cepat.
Kita harus sampai ketempat yang ditunjuk itu sebelum
tengah malam. Beristirahat sejenak. Kemudian dia lewat
Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tengah malam, menyerang iring-iringan yang tentu sedang
beristirahat seperti semalam" berkata salah seorang dari
mereka. "Tentu" jawab yang lain "Kita akan segera sampai dan
kitapun akan segera berangkat lagi"
"Tetapi kita masih harus berpikir dengan bening. Apakah
kau pikir rencana itu akan berhasil?" bertanya Ki Dukut.
"Tentu. Kenapa tidak" Orang-orang Kediri itu telah
susut, mungkin terbunuh, mungkin terluka. Sementara
jumlah kita bertambah. Bahkan kita berduapun ikut
bersama mereka" Ki Dukut merenungi kata-kata Macan Wahan itu
sejenak. Namun rasa-rasanya ia tidak sependapat. Karena
itu. maka katanya "Sebaiknya kita berpikir dua tiga kali
lagi" Jawaban itu mengejutkan. Dengan dahi yang berkerut,
Macan Wahan bertanya kepada Ki Dukut "Kanapa kita
masih harus ragu-ragu. Persoalannya sudah jelas. Dan kita
tidak dapat menunggu lagi"
Tetapi Ki Dukut masih menggeleng sambil berkata
"Persoalannya masih belum jelas"
"Yang mana yang belum jelas?" bertanya Macan
Wahan. "Kau kira, bahwa Pangeran Kuda Padmadata tidak
dapat minta bantuan ke Kediri, seperti kawan-kawan kita
minta bantuan kepada kita?"
Macan Wahan tertegun sejenak. Namun kemudian
katanya "Apakah meraka sempat juga berpikir seperti itu?"
"Tentu. Ia tentu berpikir tangkas seperti kawan-kawan
kita. Dua orang diantara mereka pergi ke Kediri untuk
menjemput sekelompok pengawal, jika kita masih harus
menghitung, berapa orang kawan kita yang dapat
melakukan hal itu, maka di Kediri, Pangeran Kuda
Padmadata tinggal menyebut, berapa orang pengawal yang
diinginkannya. Sepuluh, dua puluh, tiga puluh, bahkan
seratus. Meskipun yang seratus itu bukan pengawal pilihan
seperti yang sepuluh orang dan para sais yang telah
menjebak kawan-kawan kita itu, namun mereka adalah
pengawal-pengawal yang terlatih baik" jawab Ki Dukut.
Macan Wahan menjadi tegang. Katanya "Memang
mungkin. Tetapi, apakah kira-kira Pangeran Kuda
Padmadata akan berbuat domikian"
"Kita akan mencincang setiap orang dari para pengawal
itu" sahut Ki Benda "hatiku masih terlalu pedih melihat
kesombongan Mahendra dengan pedangnya yang mampu
mengimbangi pusakaku. Jika aku tidak mengingat nasib
orang-orang kita yang seolah-olah kehilangan kesempatan
sama sekali, maka aku tentu sudah berhasil membunuhnya"
Tetapi Ki Gampar Wungkul menyahut "Bagaimana
anggapan kita, tetapi ternyata kita telah gagal. Sebaiknya
kita menjadi lebih berhati-hati dan berbuat lebih banyak
lagi, agar kita akan dapat berhasil"
Ki Benda menarik nafas dalam-dalam. Tetapi iapun
mengangguk-angguk sambil berkata "Kau benar. Dan aku
akan menebus kegagalan itu"
Demikianlah maka kelompok-kelompok kecil itupun
segera berangkat menuju ke tempat yang telah mereka
sepakati. Mereka telah menebar melalui jalan masingmasing.
Justru mereka memilih jalan yang tidak banyak
dilalui orang, dan jalan-jalan setapak. Meskipun kadangkadang
kuda mereka tidak dapat berlari kencang, namun
perjalanan mereka tidak banyak bertemu dengan orangorang
yang bagaimanapun juga akan memperhatikan
mereka. Dalam pada itu, di Kediri, seorang perwira pengawal
tengah sibuk menyiapkan sepasukan pengawal yang akan
menjemput Pangeran Kuda Padmadata. Tiga orang utusan
Pangeran Kuda Padmadata telah menghadap dan
menyampaikan apa yang telah terjadi.
"Pangeran Kuda Padmadata telah bermain dengan api"
berkata perwira itu "kenapa Pangeran hanya membawa
sepuluh orang pengawal. Untunglah, diantara mereka
terdapat tiga orang Singasari yang bersedia membantu
mereka, meskipun mereka hanya sais pedati"
"Mereka bukan sebenarnya sais" sahut seorang utusan.
"Aku tahu" jawab perwira itu. Lalu "Aku siapkan
sekarang sepuluh orang pengawal lagi. Tetapi bersama
mereka akan ikut serta tiga orang perwira, sehingga
jumlahnya akan menjadi tiga belas orang. Dan akupun
masih mengirimkan pengganti kawan-kawanmu yang
terluka sebanyak tiga orang. Dengan demikian, maka kami
semuanya akan berjumlah enam belas orang. Kami akan
bersamamu menyongsong Pangeran Kuda Padmadata"
"Marilah. Kita harus bertemu dengan iring-iringan itu
tidak terlalu jauh memasuki malam hari" berkata salah
seorang utusan itu. Ternyata para pengawal itupun segera dapat memper
siapkan diri. Dalam waktu yang pendek, maka iring-iringan
itupun telah siap untuk berangkat. Sepuluh orang pengawal
pilihan, tiga orang perwira dan tiga orang pengawal lagi
untuk meggantikan tiga pengawal yang terluka. Bersama
dengan tiga orang utusan, maka mereka akan berjumlah
sembilan belas orang"
"Apakah jumlah ini terlalu kecil?" bertanya perwira
pengawal itu. "Aku kira tidak. Dan akupun tidak pasti, apakah mereka
masih akan mengganggu" berkata utusan itu.
"Siapa tahu. Mungkin mereka sempat memanggil
kawan-kawannya yang lain. Tetapi pasukan yang aku bawa
ini cukup kuat menghadapi jumlah orang berlipat dua"
berkata perwira itu. Demikianlah, maka sepasukan kecil pengawal dari
Kediri itupun segera berpacu menyongsong Pangeran Kuda
Padmadata. Mereka tidak ingin terlambat, dan tinggal
menemukan sisa-sisa pasukan dan iring-iringan Pangeran
Kuda Padmadata. Karena itu, maka merekapun telah
berpacu secepat-cepatnya menyusuri jalan yang
menghubung kan jarak yang cukup panjang, Kediri dan
Singasari. Dalam pada itu. Pangeran Kuda Padmadata masih
merayapi jalan yang berdebu. Di siang hari matahari bagai
kan membakar kulit. Pada keadaan yang terpaksa, maka
isteri Pangeran Kuda Padmadata dan anak laki-lakinya
telah berada di dalam pedati yang membawa bekal dan
barang-barang yang lain. Lebih baik berada di dalam satu
pedati meskipun berdesakan dengan barang-barang,
daripada berada di dalam satu pedati dengan orang-orang
yang terluka. Ketika langit menjadi buram, maka isteri dan anak
Pangeran Kuda Padmadata itu menjadi berdebar-debar
kembali. Rasa-rasanya peristiwa semalam masih akan
terulang lagi. Apalagi pengawal yang berada di antara
mereka tinggal empat orang. Tiga orang terluka, dan tiga
yang lain menghubungi pengawal di Kediri. Dalam
keadaan yang demikian, maka kemungkinan yang paling
pahit akan dapat terjadi.
Meskipun demikian, Pangeran Kuda Padmadata sempat
juga menenangkan hati mereka. Bahwa orang-orang yang
telah mencegat iring-iringan itu benar-benar telah
dihancurkan. "Seandainya mereka akan melakukannya lagi, mereka
tentu memerlukan bantuan. Untuk mendapatkan bantuan
itu mereka memerlukan waktu yang tidak kalah panjangnya
dengan perjalanan pengawal-pengawal kita ke Kediri"
Isteri Pangeran itupun mengangguk-angguk. Tentu ia
percaya kepada suaminya. Suaminya adalah seorang
Pangeran yang memiliki ilmu yang cukup dan pengetahuan
serta pengalaman yang luas. Meskipun pada suatu saat,
perempuan itu pernah berprasangka bahwa suaminya
dianggapnya tidak setia. Namun ternyata bahwa dugaan itu
salah. Suaminyapun telah terjerar ke dalam satu permainan
yang hampir saja menelan nyawanya.
Waktu rasa-rasanya berjalan dengan lamban dan
mendebarkan. Ketika malam turun, maka iring-iringan
itupun segera mencari tempat yang paling baik untuk
berhenti. Seperti malam sebelumnya mereka lebih senang
berada di tempat yang terbuka dan dapat memandang ke
arah yang jauh, sehingga mereka akan segera dapat melihat,
jika ada orang-orang yang dengan maksud buruk mendekati
mereka. "Kita tidak dapat bersembunyi" berkata Pangeran Kuda
padmadata "karena itu, buatlah perapian. Biarlah malam
menjadi sedikit hangat"
Ketika dingin malam mulai menyentuh kulit, maka di
tengah-tengah lingkaran peristirahatan itu, terdapat sebuah
perapian yang cukup besar, sehingga panasnya dapat
menghangatkan keadaan diseputarnya. Bahkan pedatipedati
yang berada beberapa langkah dari perapian itupun
telah dihangatkan pula. Orang-orang yang terluka, yang
berada di dalam pedati itupun merasa, hangatnya perapian
yang menyala cukup besar.
Para pengawal telah melemparkan beberapa potong
kayu, ranting-ranting kering dan batang-batang perdu.
Sehingga api itu dapat dipertahankan nyalanya.
Sementara itu, langit menjadi cerah. Bulan yang masih
cukup bulat mulai menerangi alam yang terbentang dari
ujung ke ujung cakrawala.
Anak laki-laki Pangeran Kuda Padmadata di saat-saat
melupakan kegelisahannya berbicara juga tentang langit,
bulan dan bintang-bintang. Bahkan rasa-rasanya tidak jemujemunya
ia memandang cahaya bulan yang kekuningan
jatuh di atas dedaunan dan rerumputan. Tetapi derik
cengkerik dan belalang, terasa membuat kulitnya berkerut.
Karena para pengawal tinggal empat orang, maka
mereka telah membagi tugas mereka dengan Mahisa
Bungalan, Mahisa Pukat dan Mahisa Murti. Sementara Ki
Wastupun telah menghitung dirinya sendiri untuk ikut serta
berjaga-jaga. "Setiap saat, empat orang harus siap mengamati empat
arah" berkata Ki Wastu.
Mahisa Bungalan dan kedua adiknya sama sekali tidak
berkeberatan. Bahkan kemudian Mahisa Agni, Witantra
dan Mahendrapun telah bersedia pula ikut berjaga-jaga.
"Biarlah, empat orang pengawal dan anak-anak muda itu
berjaga-jaga bergantian bersama aku" berkata Ki Wastu.
Tetapi Mahisa Agni manjawab "Kami akan membuat
giliran tersendiri" Ki Wastu tersenyum, jawabnya "Terima kasih. Dengan
demikian, kami akan merasa semakin tenang"
Namun dalam pada itu, Pangeran Kuda Padmadata
menjadi gelisah, karena utusannya ke Kediri masih belum
kembali. Apakah mereka selamat sampai ke Kediri atau
tidak. Jika ketiganya sampai ke Kediri, maka para
pemimpin pengawal di Kediri tentu tidak akan
berkeberatan. Tetapi kegelisahan itu tidak berlangsung terlalu lama.
Ketika bulan naik sepenggalah, maka terdengar derap kaki
kuda gemuruh dari arah Kediri.
"Apakah mereka datang?" desis Mahisa Agni. Sementara
itu, Pangeran Kuda Padmadatapun telah berdiri di dekat
perapian. Ketika Mahisa Agni, Witantra dan Mehendra
datang mendekatinya, ia berkata "Agaknya mereka telah
datang" "Tetapi berhati-hatilah Pangeran" desis Ki Wastu
"mudah-mudahan mereka. Tetapi jika bukan kita jangan
lengah" Derap kaki kuda itu terdengar semakin lama menjadi
semakin dekat. Dalam keremangan cahaya bulan, iringiringan
itu mulai nampak bergerak di sepanjang jalan dari
arah Kediri. Karena itu, maka para pengawal Kediri yang tinggal
empat orang itupun rasa-rasanya menjadi semakin tenang.
Mereka akan mendapat kawan-kawan baru yang akan dapat
berbuat lebih banyak dari mereka sendiri.
Namun agaknya Pangeran Kuda Padmadata sendiri
benar-benar tidak ingin terjebak. Karena itu, maka iapun
kemudian melangkah mendekati seorang pengawalnya
sambil berkata "Hati-hatilah"
"Kami yakin" desis pengawal itu.
Sebenarnyalah, bahwa di dalam keremangan bulan,
iring-iringan itu sudah nampak semakin jelas. Merekaadalah
para pengawal dari Kediri, yang datang lebih cepat
yang diduga. Para pengawal dari Kediri itupun segera melihat
perapian yang menyala tidak terlalu jauh dari jalan yang
mereka lalui. Sesuai dengan perhitungan para pengawal
menghubungi mereka, maka di sekitar daerah itulah, iringiringan
Pangeran Kuda Padmadata akan berhenti.
Kedatangan para pengawal itu telah disambut dengan
gembira oleh setiap orang yang berada di dalam iringiringan
itu. Para perwira yang datang bersama para
pengawal itupun segera diperkenalkan dengan orang-orang
yang berada di dalam iring-iringan Pangeran Kuda
Padmadata. Namun seorang dari para perwira itupun tiba-tiba
berdesis "Aku sudah mengenal Senapati Agung dari
Singasari yang pernah berada di Kediri ini"
"Sstt" desis Pangeran Kuda Padmadata "jangan sebut
itu. Ia tidak ingin hal itu diketahui banyak orang. Ada dua
orang yang pernah mendapat kedudukan seperti itu di sini.
Mahisa Agni dan Witantra"
"Ya" berkata Perwira itu "tetapi bagaimana aku harus
bersikap" "Bersikaplah biasa saja seperti kalian bersikap dengan
orang-orang lain yang pantas mendapat kehormatan
sewajarnya, tidak berlebih-lebihan"
Perwira itu mengangguk-angguk. Namun rasa-rasanya
segan juga ia menghadapi Mahisa Agni dan Witantra.
Dalam pada itu, maka para pengawal yang baru datang
itupun dipersilahkan beristirahat barang sejenak. Para
Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pengawal yang terdahulu ternyata sudah mempersiapkan air
hangat dengan gula kelapa yang dapat membuat para
pengawal yang baru datang itu menjadi segar.
"Beristirahatlah" berkata Pangeran Kuda Padmadata
"mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu. Sehingga kalian
tidak perlu bersusah payah mempermainkan senjata kalian.
Tetapi jika hal itu harus terjadi, maka kalian sudah
mendapat kesempatan beristirahat barang sejenak"
Para pengawal itupun kemudian berpencar setelah
minum beberapa teguk. Mereka benar-benar ingin
beristirahat. Bagaimanapun juga perjalanan mereka,
memang perjalanan yang melelahkan karena mereka harus
berpacu secepat-cepatnya agar mereka tidak terlambat.
Ternyata yang mereka temukan, iring-iringan yang masih
utuh. Beberapa orang diantara pengawal itupun telah berbaring
di atas rerumputan di sebelah pedati yang berhenti dalam
lingkaran. Orang-orang yang terluka, masih berada di
dalamnya. Namun ada juga di antara mereka yang merasa
dirinya masih mampu, merasa lebih senang turun dari
pedati dan berbaring di atas rerumputan pula. Udara malam
yang sejuk telah mernbuat tubuh mereka serasa bertambah
segar. Namun bagaimanapun juga. Orang-orang yang berilmu
hitam itu masih juga perlu mendapat pengawasan,
meskipun mereka terluka. Dalam pada itu, Ki Benda, Ki Walikat dan Ki Gampar
Wungkul semakin lama menjadi semakin dekat pula.
Mereka benar-benar merasa tidak perlu tergesa-gesa.
Mereka menganggap perlu untuk manghemat tenaga
mereka, karena mereka masih akan mempergunakannya
lewat tengah malam. Ternyata perhitungan mereka tidak terlalu jauh meleset.
Setelah berusaha menemukan tempat bagi mereka sesuai
dengan pembicaraan di antara mereka, maka orang-orang
berilmu hitam itupun mulai mengatur diri. Meraka
menugaskan dua orang diantara mereka untuk meyakinkan,
tempat peristirahatan iring-iringan Pangeran Kuda
Padmadata. Usaha itu tidak terlalu sulit. Perapian yang menyala
diantara para pengawal itu segera menarik perhatian kedua
orang itu. Karena itu, maka dengan hati-hati merekapun
merayap mendekat sedapat mereka capai. Karena
merekapun sadar, bahwa diantara orang-orang yang berada
di dalam iring-iringan itu adalah orang-orang berilmu
tinggi. "Nampaknya sepi-serpi saja" desis yang seorang.
"Aku tinggal di sini. Berikan laporan, bahwa kami telah
menemukan tempat itu, tidak terlalu jauh dari tempat yang
kita perkirakan. Aku akan mengawasi jika ada perubahan
terjadi pada mereka" sahut yang seorang.
Yang lainpun segera memberikan laporan, sementara
kawannya tetap mengawasinya.
Namun karena ternyata kedatangan para pengawal dari
Kediri lebih dahulu dari mereka, maka orang berilmu hitam
itu tidak sempat melihat, sebuah iring-iringan telah berada
di dalam lingkungan iring-iringan dari Singasari itu pula.
Sementara itu. Macan Wahan dan Ki Dukut
Pakeringpun telah sampai ke tempat yang disebut-sebut
oleh para penghubung. Merekapun tidak terlalu sulit untuk
menemukan kawan-kawan mereka, karena satu dua orarig
diantara mereka telah mengenal daerah itu.
"Kita cukup kuat" desis Macan Wahan kemudian
setelah ia mendengar laporan Ki Walikat.
"Sekali lagi aku peringatkan, apakah orang-orang Kediri
itu tidak mendapat bantuan dari kawan-kawan mereka"
berkata Ki Dukut. Macan Wahan menarik nafas dalam-dalam. Dengan
nada berat ia berkata "Ternyata Ki Dukut Pakering adalah
orang yang sangat berhati-hati. He, apakah Kalian yang
berada di sini dapat mengatakan, apakah orang-orang
Kediri itu telah memanggil kawan-kawannya?"
Ki Benda, Ki Walikat dan Ki Gampat Wungkul termangumangu
sejenak. Namun kemudian Ki Walikat bertanya
kepada orang yang telah melihat keadaan tempat peristira
hatan Pangeran Kuda Padmadata itu "Sepengetahuanku,
keadaan di tempat itu terasa sangat sepi. Aku hanya melihat
api yang menyala diantara tiga buah pedati yang
melingkarinya" "Agaknya Pangeran Kuda Padmadata menjadi
ketakutan" berkata Ki Benda "untuk membesarkan hatinya
ia telah membuat perapian sebesar-besarnya"
Ki Gampar Wungkul mengangguk-angguk. Katanya
"Aku sependapat. Tetapi sebaiknya, biarlah kita melihat
sekali lagi. Mungkin sepeninggal pengamat itu, pengawal
dari Kediri telah berdatangan"
"Aku sependapat" desis Macan Wahan "perintahkan
kepada dua orang untuk melihat kembali di tempat itu"
"Aku akan berangkat" berkata Ki Dukut "aku ingin
melihat apakah kita akan mampu berbuat sesuatu"
Macan Wahan mengerutkan keningnya. Ia melihat
kesungguhan pada Ki Dukut menghadapi orang-orang
Kediri. Karena itu. maka katanya "Aku akan pergi bersama
Ki Dukut. Akupun ingin melihat apakah kekuatan kita
cukup memadai" Ternyata bahwa Ki Dukut benar-benar telah pergi untuk
meyakini segala keterangan yang didengarnya tentang
orang-orang Kediri itu. Dangan diantar oleh pengawas yang
semula telah datang bersama seorang kawannya, maka
merekapun menemui pengawas yang seorang lagi, yang
ditinggalkannya untuk selalu mengamati keadaan.
"Apakah kau melihat satu peruhahan?" bertanya
pengawas yang melapor kepada para pemimpin orangorang
berilmu hitam itu. "Tidak" jawab kawannya.
"Apakah tidak ada orang-orang Kediri yang datang?"
bertanya Macan Wahan. "Tidak" jawab pengawas itu.
"Nah. Bukankah sudah pasti" berkata Macan Wahan
"apa lagi yang kita ragukan?"
Tetapi nampaknya Ki Dukut masih belum puas. Katanya
"Aku akan berusaha merayap lebih dekat"
"Berbahaya sekali" desis pengawas yang telah berada di
tempat itu. Ki Dukutpun menyadari, bahwa terlalu sulit untuk dapat
merapat lebih dekat lagi. Namun ia tidak akan dapat
mengambil satu sikap tanpa mengetahui keadaan yang agak
lebih mantap tentang sasarannya.
Karena itu, maka iapun berusaha untuk bergeser sambil
menelengkup di balik batang rerumputan liar. Namun
karena Ki Dukut juga seorang yang memiliki ilmu yang
tinggi, maka iapun cukup cermat memperhitungkan
keadaan. Meskipun Ki Dukut tidak dapat mendekat, tetapi dari
jarak yang lebih dekat dari tempat para pengawas, maka ia
dapat melihat kuda yang cukup-banyak. Karena itu, ia
berkesimpulan, meskipun hanya sedikit, tetapi Kediri telah
mengirimkan bantuan kepada Pangeran Kuda Padmadata.
"Kuda itu tidak hanya sepuluh atau dua belas. Tetapi
lebih banyak dari itu" berkata Ki Dukut di dalam hatinya.
Karena itu, ketika ia kembali kepada Macan Wahan, ia
berkata "Macan Wahan, jika kau sempat memperhatikan
jumlah kuda mereka, maka kau tentu akan mengambil
kesimpulan yang sama dengan aku. Kediri telah
mengirimkan pengawal-pengawalnya kepada Pangeran
Kuda Padmadata" "Tetapi berapa banyak" Seratus" Lima puluh?" bertanya
Macan Wahan. "Tentu tidak sebanyak itu. Tetapi cobalah. Jika kau
cukup berhati-hati, kau akan dapat mencapai jarak seperi
yang dapat aku lakukan. Tahankan ilmumu sedikit sehingga
kau tidak bertindak dengan kasar dan tergesa-gesa" berkata
Ki Dukut. Macan Wahanpun melakukannya. Iapun merayap
seperti yang dilakukan cleh Ki Dukut, dengan lindungan
batang rumput liar yang cukup tinggi, maka ia dapat
mendekat, meskipun tidak terlalu dekat. Dan seperti Ki
Dukut, maka Macan Wahanpun dapat melihat kuda-kuda
yang tertambat. Memang lebih banyak dari sepuluh atau
duabelas ekor kuda. Macan Wahanpun agaknya mengakui, tentu ada
sekelompok pengawal baru yang datang. Tetapi menilik
pengamatannya, jumlahnya tentu tidak terlalu banyak.
Kuda-kuda itupun tidak terlalu banyak.
Karena itu. ketika ia kembali kepada Ki Dukut. iapun
berkata "Tidak ada yang perlu dicemaskan Ki Dukut.
jumlah mereka tidak terlalu banyak seandainya ada
sekelompok pengawal yang baru dalang dari Kediri.
Kedatangan pengawal itu tentu bukan karena peristiwa
yang baru terjadi. Mungkin dalam rangka upacara atau
dalam rangka apapun juga. Jika Kediri sengaja
mengirimkan bantuan karena peristiwa yang baru terjadi
semalam, maka yang datang tentu segelar sepapan.
Agaknya pengawal-pengawal itu datang secara kebetulan
dalam persoalan yang tidak ada hubungannya dengan
peristiwa semalam, meskipun secara kebetulan pula mereka
akan dapat membantu. Tetapi kekuatan mereka tidak akan
berarti apa-apa bagi kami"
"Jangan mengabaikan peristiwa yang sedang kita hadapi
ini Macan Wahan" berkata Ki Dukut "lebih baik kita
berhati-hati agar kita tidak terperosok ke dalam kegagal an
lagi" Ki Dukut masih selalu dibayangi oleh seribu kegagalan
yang pernah dialami. Karena itu, ia menjadi semakin
berhati-hati untuk bertindak lebih jauh lagi dalam persoalan
dengan orang-orang Kediri itu.
Tetapi agaknya sikap Macan Wahan agak berbeda. Ia
tidak lagi berpikir tentang rencananya seperti yang di
katakan oleh Ki Dukut, ia tidak lagi berpijak kepada
keinginannya untuk membantu Ki Dukut mengguncang
Kediri agar Kediri terbangun dari tidurnya yang terlalu
nyenyak dibuai oleh sejuknya kipas orang-orang Singasari.
Meskipun makna yang paling dalam tentang hal itupun
tidak banyak dimengertinya.
Namun yang ada kemudian di dalam kepalanya adalah
nyala api dengan semata-mata. Seakan-akan orang berilmu
hitam menurut penilaian orang lain itu tidak mampu
berbuat apa-apa menghadapi para pengawal di Kediri.
Selebihnya, di pedati itu tentu terdapat barang-barang yang
cukup berharga. Karena jtu, maka katanya "Ki Dukut. Jangan
mengecilkan tekad kami yang sudah menyala sampai ke
ubun-ubun. Biarlah kami menentukan sikap menghadapi
orang-orang Kediri yang sombong itu. Kami tentu akan
dapat menghancurkannya. Aku bukan anak-anak lagi yang
hanya mampu berteriak tanpa arti. Tetapi tangan dan
kakiku telah pernah aku parami dengan darah orang yang
paling ditakuti oleh beberapa pihak"
"Kau terburu nafsu" desis Ki Dukut "menurut
pendapatku, niat ini harus ditunda. Kita mencari
kesempatan lain. Mungkin kita justru akan datang ke
istananya pada suatu saat, karena orang-orang yang
memiliki kemampuan tinggi, yang telah menjebak kalian
dengan berpura-pura menjadi sais itupun tidak akan terlalu
lama berada di Kediri"
"Aku sudah cukup bersabar. Aku akan berbicara dengan
kawan-kawanku itu" desis Ki Macan Wahan.
Ki Dukut tidak dapat mencegah. Tetapi dihadapan Ki
Benda, Walikat dan Gampar Wungkul ia ingin mencoba
memberikan penjelasan tentang orang-orang Kediri itu.
Namun agaknya api dendam yang sudah menyala di hati
orang-orang berilmu hitam itu sulit untuk disurutkan barang
sedikit. Mereka menganggap bahwa mereka terlalu kuat
untuk melakukan pembalasan. Apalagi menurut kesaksian
Macan Wahan, jumlah orang-orang Kediri itu tidak cukup
banyak menghadapi meraka.
"Jumlah kita berlipat. Betapapun tinggi ilmu para
pengawal kebanyakan itu, orang-orang kita akan dapat
menghancurkannya. Sementara kita akan menghadapi
orang-orang yang menyebut dirinya sais pedati, sementara
Ki Dukut akan Berurusan dengan Pangeran itu dan isteri
serta anaknya laki-laki" berkata Macan Wahan.
Ki Dukut hanya dapat menarik nafas dalam-dalam.
Namun ia benar-benar tidak berdaya lagi untuk mencegah
orang-orang itu melepaskan dendamnya kepada orangorang
Kediri dengan tanpa perhitungan dan pertimbangan
sebaik-baiknya. Karena itu, maka iapun hanya dapat menyerahkan
segala sesuatunya kepada Macan Wahan yang juga telah
terbakar hatinya mendengar ceritera penghubung yang telah
datang menjemputnya. Ternyata Ki Benda, Ki Walikat dan Gampar Wungkul
telah berbulat tekad. Mereka akan menyerang orang-orang
Kediri itu dengan segenap kekuatan yang ada dengan
taruhan yang paling mahal yang akan dapat mereka
berikan. Jika mereka gagal, maka mereka tidak akan dapat
melepaskan diri dari maut, tetapi jika mereka berhasil maka
di samping dendam yang dapat mereka lepaskan, juga isi
pedati itu akan sangat menarik perhatian.
"Kita akan mengepung mereka" berkata Ki Benda "kita
akan menyerang dari arah yang berbeda"
"Seperti yang pernah kita lakukan" sahut Ki Walikat.
"Mereka akan kebingungan" sambung Ki Gampar
Wungkul. "Dan yang pernah kalian lakukan itu ternyata gagal"
potong Ki Dukut. "Jumlah kami tidak memadai" sahut Macan Wahan
"sekarang. orang-orang yang menyebut dirinya sais itu tidak
akan dapat berbuat banyak. Mereka akan kita hadapi, dan
mereka akan mati di ujung senjata kami"
Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku masih tetap ingin mencincang orang yang bernama
Mahendra" berkata Ki Benda "jika saat itu perhatianku
tidak terpecah melihat kekalahan pasukanku, maka aku
tidak akan melepaskan orang yang bernama Mahendra,
yang mengaku sebagai pedagang besi bertuah dan batu-batu
berharga itu" "Siapapun lawanmu, namun sasaran utama adalah
Pangeran Kuda Padmadata, isteri dan anak laki-lakinya"
berkata Macan Wahan. "Dendam dan ketamakan" desah Ki Dukut.
"Ki Dukut" berkata Macan Wahan "yang mendorong
kami untuk melakukan hal ini adalah Ki Dukut sendiri.
Karena itu, sekarang Ki Dukut jangan menghalangi kami"
"Bukan menghalangi, tetapi aku ingin kalian belajar
mempergunakan nalar. Bukan hanya kemampuan tenaga
dan kekuatan ilmu kanuragan tanpa nalar" Ki Dukut
hampir berteriak. Tetapi jawab Macan Wahan "Marilah. Kami sudah
terlanjur basah. Tidak sebaiknya kita melangkah kembali"
Ki Dukut hanya dapat menarik nafas dalam-dalam.
Dengan, jantung yang serasa berdegup semakin keras, ia
mengikuti orang-orang berilmu hitam itu mempersiapkan
diri. Mereka kemudian telah membagi diri menjadi empat
kelompok. Mereka akan menyerang dari segenap jurusan.
Jika jatuh perintah Macan Wahan, maka mereka serentak
akan menyerang, termasuk Ki Dukut Pakering.
"Apakah aku juga harus ikut membunuh diri?" bertanya
Ki Dukut kepada diri sendiri. Meskipun ia tidak pasti,
bahwa orang-orang yang berilmu hitam itu akan kalah,
namun itulah kemungkinan terbesar yang dapat terjadi.
Para pengawal Kediri jukan orang-orang yang dipungut
begitu saja di pinggir jalan, kemudian diletakkan pedang di
lambungnya dan diberi berpakaian seorang pengawal.
Tetapi Macan Wahan, Ki Benda, Ki Walikat dan
Gampar Wungkul itu sudah mengambil sikap. Dendam
yang menyala di hati mereka, tidak lagi dapat memberikan
kesempatan kepada meraka untuk berpikir lebih panjang.
Apalagi Macan Wahan sudah merasa dirinya mengetahui
dengan pasti persoalan yang dihadapinya. Ia merasa sudah
melihat dengan matanya sendiri, bahwa jumlah orangorang
Kediri itu tidak terlalu banyak.
Betapapun juga ia mengusahakan, namun Macan
Wahan nampaknya justru sudah memerintahkan kepada
kawan-kawannya untuk bersiaga.
"Kita akan segera melakukannya. Bulan sudah melewati
puncak langit" berkata Macan Wahan.
Ki Benda, Ki Walikat dan Ki Gampar Wungkulpun
segera bersiap. Mereka telah membagi kekuatan yang ada
dalam empat kelompok yang akan dipimpin oleh Ki Benda,
Ki Walikat, Ki Gampar Wungkul dan Macan Wahan
sendiri. Sementara itu Ki Dukut sudah tidak dapat berbuat sama
sekali. Apalagi ketika Macan Wahan berkata "Ki Dukut.
Kami serahkan Pangeran, isteri dan anaknya kepada Ki
Dukut. Kami akan menghancurkan semuanya. Sementara
Ki Dukut kami persilahkan untuk langsung menusuk
sampai ke pusat jantung dari persoalan yang sedang kita
hadapi-nya, sekaligus memberikan satu peringatan kepada
para bangsawan Kediri, bahwa mereka harus bangun dari
tidur mereka yang nyenyak. Pangeran Kuda Padmadata
adalah satu contoh dari seorang bangsawan yang menjilat
kekuasaan Singasari atas Kediri"
Ki Dukut tidak dapat berbuat lain kecuali menganggukangguk,
betapapun keragu-raguan telah mencengkam
dadanya. Debar jantung Ki Dukut menjadi semakin keras, ketika
orang-orang berilmu hitam itu mulai bergerak. Mereka
sudah mendapat petunjuk, bagaimana mereka harus
menyerang. Beberapa kelompok di antara mereka telah melingkar
untuk mengambil jarak. Sementara Macan Wahan sendiri
akan memimpin sergapan itu dengan memberikan isyarat,
kapan mereka mulai menyerang.
"Ki Dukut" berkata Macan Wahan "terserahlah kepada
Ki Dukut dari mana Ki Dukut akan menyerang. Apakah Ki
Dukut akan berada di dalam kelompokku, atau berada di
kelompok yang lain" Ki Dukut merenung sejenak. Kemudian katanya "Aku
akan berada di dalam kelompok Ki Benda"
"Bagus" sahut Ki Benda "kita akan menyerang mereka
dari arah bintang Gubug Penceng"
Demikianlah, maka empat kelompok orang-orang
berilmu hitam itu telah mendekati tempat peristirahatan
Pangeran Kuda Padmadata dengan para pengawalnya.
Mereka telah memperhitungkan waktu yang paling tepat.
Beberapa saat, kelompok-kelompok itu telah berada di
tempatnya sambil menunggu isyarat dari Macan Wahan.
Dalam pada itu, Ki Dukut memang berada di antara
kelompok yang dipimpin oleh Ki Benda. Tetapi nampaknya
ia selalu digelisahkan oleh karagu raguannya. Menurut
perhitungannya, sulit bagi orang-orang berilmu hitam itu
untuk dapat mengatasi kemampuan para pengawal
meskipun mungkin jumlah mereka lebih banyak.
Sementara itu bulan telah mulai turun. Malam menjadi
semakin dingin. Sementara perapian diantara para
pengawal dari Kediri itu masih tetap menyala. Mereka yang
menunggui perapian itu selalu melontarkan kekayuan dan
ranting-ranting kering yang mereka dapatkan di sekitar
tempat itu ke dalam api. Sejenak Macan Wahan menunggu untuk meyakinkan
bahwa kawan-kawannya telah berada di tempat yang
ditentukan Baru setelah ia menunggu sejenak dan yakin,
maka iapun segera melontarkan isyarat bunyi kepada
kawan-kawannya. "Tidak usah dengan bunyi tersamar. Pukul saja
kentongan kecil atau berteriak sajalah" berkata Macan
Wahan kepada pengikutnya yang terdekat.
Ternyata orang-orang berilmu hitam itu memang sudah
menyiapkan sebuah kentongan kecil. Karena itu, maka ia
pun kemudian telah memukul kentongan itu sekuatkuatnya.
Hampir .serentak, terdengar orang-orang itu bersorak
dan berteriak sekuat-kuatnya. Suaranya meledak seakanakan
memecahkan langit. Teriakan-teriakan itu benar-benar telah mengejutkan.
Namun dengan serentak pula, para pengawal dari Kediri
itupun segera bersiap. Mereka yang sempat tertidurpun
segera bangkit. Sambil menyambar senjata masing-masing
maka merekapun segera bersiap menurut kelompok mereka
masing-masing. "Mereka datang dari empat arah" seorang pengawas
telah berteriak. Ki Waktu menarik nafas dalam-dalam. Katanya kepada
Pangeran Kuda Padmadata "Pangeran kembali kepada
tugas Pangeran. Tetapi nampaknya mereka datang dengan
kekuatan yang lebih besar. Karena itu, biarlah mahisa
Bungalan berada bersama Pangeran dengan kedua adikadiknya
beserta seorang pengawal.
Mahisa Bungalan yang diberi tahu kemudian tidak
membantah. Iapun segera minta kepada Mahisa Pukat dan
Mahisa Murti untuk bersamanya menjaga Pangeran Kuda
Padmadata bersama isterinya, ditambah dengan seorang
pengawal yang pilih tanding.
Mahisa Agni, Mahendra, Witantra dan Ki Wastupun
segera menempatkan dirinya. Mereka telah berada di dalam
kelompok-kelompok yang akan menghadapi serangan
lawan yang datang dari empat arah.
"Mereka memang sudah memperkuat diri" gumam
Mahisa Agni kepada seorang pengawal yang berdiri di
sisinya. "Ya, jumlah itu tidak susut. Justru telah bertambah"
berkata pengawal itu yang kebetulan adalah pengawal yang
mengikuti Pangeran Kuda Padmadata sejak dari Kediri, ke
Singasari dan kembali lagi ke Kediri.
Dalam pada itu, Witantra, Mahendra dan mereka yang
telah mengikuti iring-iringan itu dari Kediri telah melihat,
bahwa orang-orang berilmu hitam itu memang menjadi
semakin kuat. Karena itu, maka merekapun telah
memperingatkan para pengawal, agar mereka menjadi
semakin berhati-hati. "Kita tidak boleh kehilangan mereka lagi" berkata
Witantra kepada para pengawal yang bersamanya
Kisah Pedang Bersatu Padu 10 Kekayaan Yang Menyesatkan Karya Ken Follet Iblis Sungai Telaga 12