Pencarian

Panasnya Bunga Mekar 32

Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja Bagian 32


bingung. Guru dari para Pangeran yang berada di dalam
sapit gelar itupun tidak banyak berarti menghadapi Mahisa
Agni dan Witantra. Dalam keadaan yang pahit itulah, maka Pangeran
Suwelatama mengurai gelarnya. Di rubahnya gelarnya yang
melingkar dan bergerigi itu menjadi gelar yang lebih besar.
Gelar Wulan Punanggal. Perbahan itu semakin membingungkan lawannya. Gelar
itu ternyata telah mencakup arena yang panjang, karena
kekuatan lawan tidak lagi berbahaya. Karena itu gelar yang
tipis dan melebar itu tidak iagi dicemaskan akan pecah.
Perlahan-lahan gelar Wulan Punggal itupun mendesak
maju. Gelar Sapit Urang dari pasukan Pangeran Indrasunu
benar-benar telah kehilangan kekuatannya. Mereka terdesak
menuju ke gerbang kota. Sepeninggal Resi Damar Pamali serta murid-muridnya
yang terpercaya karena menyingkirkan tubuhnya, kekuatan
gelar Sapit Urang itu sebenarnyalah telah pecah. Karena itu,
ketika pasukan itu semakin dekat dengan gerbang kota,
maka sebagian dari meraka tidak dapat menahan diri lagi.
Dengan serta merta sebagian dari merekapun telah berlari
larian memasuki pintu gerbang. Bahkan Pangeran
Indrasunupun tidak lagi berharap untuk dapat
memenangkan pertempuran itu, sehingga iapun telah
berusaha meninggalkan lawannya dan berlari masuk ke
dalam pintu gerbang. Demikian Pangeran Indrasunu memasuki gerbang,
ternyata bahwa kedua Pangeran yang lain bersama guru
merekapun telah berlari-lari memasuki pintu itu pula.
Bahkan mereka menjadi berjejal-jejal dan saling mendesak
diantara mereka sendiri. "Tutup pintu gerbang" teriak Pangeran Indrasunu.
Perintah itu tidak perlu diulang. Karena kedua orang
Pangeran yang lain bersama guru mereka yang semula
berada di Sapit dalam gelar sapit urang telah memasuki
gerbang pula, sementara Pangeran yang bertubuh kecil telah
bersama-sama dengan tubuh Resi Damar Pamali masuk
lebih dahulu, maka orang-orang yang berada didalam pintu
gerbang itupun telah berusaha menutup pintu itu.
"Tunggu-tunggu" teriak orang-orang yang masih ada
diluar. Tetapi orang-orang yang di dalam tidak
menghiraukannya lagi. Jika mereka menunggu, maka yang
kemudian akan masuk bukan lagi kawan-kawannya, tetapi
mungkin sekali adalah justru pasukan lawan.
Karena itu, maka pintu gerbang itupun kemudian telah
ditutup rapat. Sebuah selarak yang besar telah menyilang
pintu gerbang itu. Dengan demikian, maka tidak
seorangpun lagi yang akan dapat masuk lewat pintu
gerbang itu. "Jika mereka akan memaksa memasuki kota lewat pintu
gerbang yang lain, mereka tentu memerlukan waktu.
Selama itu kita sudah dapat menerobos keluar lewat pintu
gerbang yang lain atau bersembunyi di dalam kota. di
rumah-rumah penduduk yang tidak tahu menahu tentang
peperangan ini berkata salah seorang diantara mereka.
Sebenarnyalah, keempat Pangeran itupun segera saling
mencari dan berbincang. Atas pentunjuk beberapa orang tua
termasuk dua orang guru dari dua orang Pangeran diantara
mereka, menasehatkan agar mereka segera meninggalkan
kota. Ternyata keempat Pangeran itupun, sepakat, Mereka
segera berusaha mengumpulkan pengawal-pengawal
mereka yang paling setia. Dengan mengerahkan kuda yang
ada di dalam kota sekitar jalan yang mereka lalui, maka
akhirnya merekapun melarikan diri melalui pintu gerbang
yang lain. setelah para pengawal mereka berusaha menahan
setiap gerakan untuk menahan mereka yang berusaha
melarikan diri itu. Namun akhirnya para pengawal itu
sendiri tidak sempat berbuat sesuatu, karena pasukan
Pangeran Suwelatama telah berada di dalam kota itu pula.
Mereka tidak perlu memecah pintu gerbang, meskipun
mereka harus melingkari jalan yang agak panjang,
memasuki kota lewat jalan-jalan butulan.
Namun sebenarnyalah mereka datang terlambat.
Keempat Pangeran itu telah melarikan diri dari kota
Pakuwon Kabanaran yang telah mereka rebut beberapa saat
yang lewat. Sementara itu, selebihnya dari sisa pasukan Pangeran
Indrasunu ternyata telah menyerah. Beberapa bagian kecil
diantara mereka telah melarikan diri bercerai berai.
Dengan demikian, maka Akuwu Suwelatama telah
berhasil merebut kembali tempat kedudukannya, meskipun
ia harus mendapat bantuan dari Singasari. Bukan karena
Akuwu itu terlalu lemah, tetapi ia tidak sampai hati
menarik pasukannya dari daerah yang mulai menjadi gawat
oleh kelompok-kelompok penjahat.
Dalam pada itu Pangeran indrasunu telah meninggalkan
Pakuwon Kabanaran dengan tergesa-gesa. Tidak banyak
pengawalnya yang menyertainya. Bahkan yang sedikit
itupun nampaknya bukan pengawal yang setia. Sebagaian
dari mereka telah dengan diam-diam memisahkan diri
untuk mencari hidup masing-masing.
Bahkan Pangeran yang bertubuh kecil yang telah
kehilangan gurunya itupun telah menemui Pangeran
indrasunu. Dengan nada menyesal ia berkata "Aku sudah
kehilangan segala-galanya. Karena itu, untuk sementara aku
ingin menyendiri sambil membawa tubuh guruku kembali
ke padepokannya" "Perjuangan kita masih panjang" berkata Pangeran
indrasunu. "Aku tahu. Tetapi aku perlu beristirahat sepeninggal
guru. Jika hatiku telah pulih kembali, aku akan menentukan
sikap" berkata Pangeran bertubuh kecil, murid Resi Damai
Pamali yang terbunuh di peperangan.
Pangeran Indrasunu tidak dapat mencegahnya. Katanya
"Baiklah. Beristirahatlah. Pada saatnya aku akan dapat
menjemputmu" Pangeran bertubuh kecil itu mengangguk-angguk. Tetapi
ia tidak menjawab. Demikianlah Pangeran bertubuh kecil itu telah
memisahkan diri. Sementara itu ketiga Pangeran yang
lainpun akhirnya merasa bahwa mereka memang harus
beristirahat untuk menyusun rencana yang lebih baik.
Kegagalan mereka itu harus mereka jadikan dasar
pengalaman untuk melakukan tindakan-tindakan
selanjutnya. Tetapi para Pangeran itu tidak mau kembali ke Kediri.
Jika persoalan mereka sudah didengar oleh para petugas di
Kediri, maka kedatangan mereka ke Kediri hanya akan
mengundang bencana. Karena itu. maka para Pangeran itu telah memilih untuk
kembali ke padepokan, ke tempat mereka berguru. Tetapi
karena Pangeran Indrasunu tidak akan dapat kembali
kepada gurunya, maka iapun telah memilih salah satu dari
kedua padepokan tempat saudaranya berguru.
"Kita memang tidak boleh tergesa-gesa" berkata guru
salah seorang dari kedua Pangeran itu "kali ini kita telah
gagal. Tetapi pada kesempatan lain, kita akan
memenangkan pertempuran seperti ini"
Para Pangeran itu hanya mengangguk-angguk saja.
Namun gambaran mereka tentang masa depan mereka,
tiba-tiba telah menjadi buram.
Sementara itu, dendam Pangeran Indrasunu justru
tertuju paling banyak kepada seorang gadis yang bernama
Ken Padmi. Bagi Pangeran Indrasunu. gadis itu menjadi
sumber dari malapetaka yang telah dialaminya. Jika ia pada
suatu malam tidak melihat gadis itu di perapian dalam
perjalanannya ke Singasari, serta kemudian gadis itu tidak
menolaknya dengan seribu macam alasan dan cara, maka
agaknya ia tidak terlempar ke dalam keadaan seperti yang
dialaminya saat ini. Namun selebihnya iapun telah mendendam kepada
Akuwu Suwelatama yang dianggapnya menipu serta
mengkhianatinya. Dendam selanjutnya ditujukan kepada gurunya sendiri,
Wasi Sambuja. "Mudah-mudahan iapun mati dalam
benturan itu" geramnya.
Namun dalam pada itu, ternyata Wasi Sambuja yang
justru menjadi pingsan, tidak terlalu banyak menghamburhamburkan
sisa kekuatannya. Ia justru telah terbaring
tenang, juga pada saat ia telah sadar kembali.
"Apa yang terjadi?" bertanya Wasi Sambuja. Akuwu
Suwelatama yang berdiri disamping pembaringannyapun
kemudian mendekat Perlahan-lahan ia menyahut "Kau
pingsan ketika terjadi benturan dengan Resi Damar Pamali"
"O" Wasi Sambuja menganguk-angguk "ternyata
ilmunya bertambah maju di hari-hari tuanya "Apakah ia
kemudian telah merusak gelar Akuwu?"
"Tidak. Tentu tidak. Sebab ketika Wasi Sambuja
membentur ilmu Resi Damar Pamali, Wasi Sambuja
menjadi pingsan. Tetapi Resi Damar Pamali telah terbunuh
dalam benturan itu" jawab Akuwu.
"O" Wasi Sambuja menarik nafas dalam-dalam.
Desisnya "Bukan maksudku membunuhnya. Tetapi ia mati
karena pokalnya sendiri. Jika aku ikut dalam arus
kekecewaan muridku, akupun akan mati seperti Resi
Damar Pamali" Wasi Sambuja berhenti sejenak, lalu "tetapi
dimana aku sekarang?"
"Kita sudah merebut kembali kota Pakuwon Kabanaran"
jawab Pangeran Suwelatama.
"Sukur. Sukurlah" Wasi Sambuja itu menyahut.
Meskipun ia masih nampak sangat lemah, tetapi sorot
matanya membayangkan kegembiraannya.
"Tetapi dimana para Pangeran itu sekarang?" bertanya
Wasi Sambuja. "Mereka melarikan diri. Kami belum berhasil
menemukan jejaknya. Nampaknya pasukan mereka
menjadi bercerai-berai meskipun ada juga sekelompok kecil
yang tetap berada dalam satu ikatan. Yang lain telah
terkepung dan menyerah kepada pasukan kami"
"Sukurlah" jawab Wasi Sambuja "Jika demikian maka
perang mi sudah selesai"
"Mudah-mudahan para Pangeran itu tidak membuat
onar lagi dengan cara lain. Namun agaknya jika mereka
akan bertindak lagi, mereka harus mempertimbangkan
pengalaman ini, sehingga mereka tidak akan terperosok lagi
ke dalam kesulitan yang semakin parah"
"Mudah-mudahan mereka mengerti arti dari
pengalamannya" sahut Wasi Sambuja "bukan berakibat
sebaliknya. Dendam yang tidak berkesudahan"
Akuwu Suwelatama mengerutkan keningnya. Dicobanya
untuk melihat tabiat saudara-saudaranya itu seorang demi
seorang. Namun sambil menarik nafas dalam-dalam ia
berkata "Mudah-mudahan. Pengalaman mereka kali ini
cukup pahit bagi mereka. Tetapi kadang-kadang aku masih
dibayangi oleh keragu-raguan justru aku mengenal silat-sifat
mereka. Kali ini aku berusaha untuk mengatasi kekalutan
ini sebagaimana kita mengatasi kekacauan biasa. Bukan
satu pemberontakan. Karena akibatnya akan berbeda.
Tetapi jika ia mengulangi lagi. mungkin aku sudah tidak
dapat lagi membatasi tuduhan, bahwa yang mereka lakukan
benar-benar satu pemberontakan"
"Adalah bodoh sekali jika mereka tidak mengetahui akan
hal itu" sahut Wasi Sambuja "Akuwu sudah berbuat lembut
terhadap mereka" Wasi Sambuja berhenti sejenak, lalu
"tetapi agaknya memang sulit untuk menjajagi perasaan
seseorang" Demikianlah maka Akuwu Suwelatamapun berusaha
untuk menegakkan kembali pemerintah di Pakuwonnya.
Orang-orang yang terlibat dalam pertempuran itupun
mendapat perhatiannya sepenuhnya. Mereka yang dengan
sadar memihak Pangeran-pangeran yang melawannya,
diperlakukan berbeda dengan mereka yang kurang mengerti
persoalannya meskipun mereka ikut berperang. Tetapi
untuk membedakan sikap itu pada setiap orang tentu akan
banyak mengalami kesulitan.
Meskipun demikian Akuwu Suwelatamapun telah
memerintahkannya demikian. Ia membuat beberapa
ketentuan yang akan dapat menjadi petunjuk para
pembatunya untuk melakukan pengusutan.
Namun dalam pada itu, tidak dapat diingkari bahwa
sikap pribadi setiap orang akan berbeda, sehingga tanggapan
mereka terhadap orang-orang yang akan menglami
pengusutan itupun akan berbeda pula.
Dalam pada itu, untuk beberapa saat pasukan Singasari
masih tetap berada di Pakuwon Kabanaran. Bahkan Akuwu
minta agar. mereka sempat mengikuti perkembangan
keadaan di Pakuwon itu untuk beberapa lama. Bahkan saja
pulihnya tata pemerintahan, tetapi juga perkembangan
keadaan didaerah yang gawat. Didaerah hutan perbatasan
dan di Kedung Sertu yang masih selalu dibayangi oleh
kejahatan yang belum dapat diatasi.
"Apakah mereka terlalu kuat?" bertanya Mahisa
Bungalan. "Tidak karena mereka terlalu kuat" jawab Akuwu
Suwelatama "Tetapi juga bukan berarti mereka dapat
diabaikan kekuatannya. Yang paling menyulitkan adalah
kedudukan mereka. Bagi mereka yang berada di hutan
perbatasan, maka mereka bersarang di daerah seberang
perbatasan. Sementara di daerah rawa-rawa Kedung Seru,
mereka mempunyai cara yang sulit untuk ditiru bagaimana
mereka menyusup diantara pepohonan air dan menghilang.
Kedung Sertu adalah daerah rawa-rawa yang hampir setiap
saat di selubungi oleh kabut yang tebal, sehingga sulit untuk
dapat mengejar para perampok yang sudah lebih menguasai
medan didaerah yang berawa-rawa itu"
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk, daerah itu
nampaknya memang daerah yang sulil untuk di jamah.
Meskipun Mahisa Bungalan belum pernah melihat daerah


Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu, tetapi ia dapat membayangkan kesulitan-kesulitan yang
dialami oleh pasukan akuwu didaerah itu.
"Sebenarnyalah korban yang kita berikan sudah cukup
mahal untuk mengatasinya. Tetapi kita masih belum dapat
dengan pasti manghancurkan mereka. Selama pasukan kita
berada didaerah itu, seolah-olah segala kegiatannya sudah
dihentikan. Namun pada saat-saat pasukan itu lengah maka
tiba-tiba saja mereka menyergap dan merampok orangorang
yang sebenarnya tidak terlalu berkecukupan didaerah
rawa-rawa Kedung Sertu. Namun bahwa diantara rakyat
didaerah rawa-rawa itu semula dengan berhasil,
mengusahakan kulit ular dan kulit buaya bagi perhiasan dan
perlengkapan khusus, maka mereka sempat menabung
barang sedikit" Akuwu Suwelatama menjelaskan.
Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Memang
sulit untuk mengatasi mereka yang mempunyai daerah
perlindungan yang mapan. "Tetapi Akuwu" bertanya Mahisa Bungalan "Apakah
Akuwu pernah berbicara dengan Pakuwon di seberang
hutan perbatasan, untuk mendapat ijin memasuki daerah itu
dan langsung mengnancurkan asuhan perampok itu
disarangnya" "Pemimpin pasukan pengawal di hutan perbatasan itu
pernah mencoba melakukannya. Tetapi pemimpin pasukan
pengawal Pakuwon sebelah, menganggap bahwa
pernyataan itu terlalu di buat-buat"
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Namun iapun
tidak berkeberatan untuk menunda barang beberapa hari
untuk kembali ke Singasari. Namun Mahisa Bungalan telah
mengirimkan penghubungnya untuk melaporkan
perkembangan keadaan dengan para pemimpin prajurit di
Singasari. Bahkan ketika Pangeran Wirapaksi kemudian
terpaksa mendahului bersama para pengawalnya, maka
pesan Mahisa Bungalan itupun telah diulangi.
Memang ada juga beberapa orang prajurit Singasari yang
mengeluh. Calon perwira mereka itu adalah seorang
petualangan dan pengembara yang tidak akan pernah
pulang" desis seorang prajurit.
Kawannya menarik nafas dalam-dalam. Namun katanya
kemudian "Tetapi menarik juga. Jika aku tidak terlalu rindu
pada anakku yang bungsu, maka aku kira senang juga
pengembara ke tempat-tempat yang belum pernah
dirambah" Ternyata bahwa keluh kesah itu telah didengar oleh
Mahisa Bungalan. Karena itu, maka iapun segera menemui
Mahisa Agni dan Witantra untuk membicarakannya.
"Aku tidak sampai hati untuk meninggalkan Pakuwon
ini begitu saja" berkata Mahisa Bungalan "Tetapi akupun
mengerti, prajurit-prajurit itu sudah terlalu lama
meninggalkan keluarganya dalam hubungannya dengan
tugasnya kali ini" Mahisa Agni dan Witantra saling berpandangan sejenak.
Kemudian Mahisa Agnipun berkata "Seorang prajurit
kadang-kadang harus meninggalkan keluarganya sampai
berbulan-bulan. Yang mereka lakukan belum apa apa.
Mereka seolah-olah baru kemarin sampai di daerah ini. Kau
sudah memikirkan keluh kesah mereka. Prajurit-prajurit
yang masih muda memang memerlukan pengalaman"
"Untuk peperangan yang besar, mungkin mereka
memang harus berbulan-bulan meninggalkan keluarga
mereka. Namun yang mereka hadapi sekarang bukan
persoalan yang terlalu besar. Dan merekapun merasa bahwa
tugas yang dibebankan kepada mereka telah selesai" jawab
Mahisa Bungalan "Jadi bagaimana maksudmu yang sebenarnya?" bertanya
Witantra. "Biarlah mereka kembali kekesatuan mereka. Biarlah
mereka melaporkan bahwa ada beberapa orang yang
terpaksa tidak dapat kembali pulang. Selainnya masih harus
dirawat" berkata Mahisa Bungalan "sementara itu, aku
masih akan melanjutkan tugas yang masih belum
diselesaikan oleh Akuwu Suwelatama. Para perampok yang
menghantui daerah hutan perbatasan, serta daerah rawarawa
di Kedung Sertu itu memerlukan pemecahan"
Mahisa Agni mengangguk-angguk kecil. Katanya "Aku
mengerti maksudmu Mahisa Bungalan. Ternyata kau masih
belum dapat melepaskan diri dari jiwa pengembaraanmu.
Tetapi bahwa kau tidak dapat mendengarkan keluhan
sesaorang tanpa berbuat sesuatu adalah satu sikap yang
sesuai dengan sikap seorang kesatria"
"Jadi paman sependapat dangan rencanaku?" bertanya
Mahisa Bungalan. "Aku akan memberi pertanda kepada mereka, bahwa
mereka kembali atas perintah. Bukan karena mereka
meninggalkan tugas" berkata Mahisa Agni.
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Jika pasukan itu
sudah kembali, maka ia akan dapat membantu Akuwu
Suwelatama untuk menjebak para perampok itu.
Demikianlah, maka Mahisa Agnipun kemudian
memberikan pertanda kepada para prajurit Singasari.
Senapati tertua diantara mereka telah membawa rontal dari
Mahisa Agni, yang menyebutkan bahwa prajurit-prajurit itu
memang sudah selesai bertugas dan diperintahkan kembali
ke dalam pasukan induknya, sementara Mahisa Bungalan,
Mahisa Agni dan Witantra masih akan tinggal di Pakuwon
Kabanaran untuk menyelesaikan persoalan kekisruhan di
Pakuwon itu sampai tuntas.
Sepeninggal para prajurit, maka Mahisa Bungalanpun
telah mengusulkan kepada Akuwu Suwelatama untuk
menjebak para perampok itu. Pasukan yang berada di hutan
perbatasan itu, agar diperintahkan untuk menarik kembali.
Demikian pula bergantian akan dilakukan bagi pasukan di
daerah rawa-rawa Kedung Sertu.
Akuwu Suwelatama menjadi heran. Dengan ragu-ragu ia
bertanya "Kenapa justru ditarik kembali?"
"Hanya sebagian dari mereka harus meninggalkan
tempat itu. Tetapi pada kesempatan yang tidak mudah
diketahui oleh para perampok itu, sebagian pengawal yang
tersisa, akan tinggal bersama rakyat di padukuhanpadukuhan
yang terpencil itu. Dengan demikian, jika para
perampok itu datang kepada mereka, maka yang akan
melawan mereka adalah para pengawal yang tersembunyi.
Aku akan berada diantara mereka" sahut Mahisa Bungalan.
"Menarik sekali" desis Akuwu Suwelatama "baiklah.
Kita akan mulai dengan daerah rawa-rawa Kedung Sertu.
Aku akan ikut pula dalam rencana itu. Aku kira, kita untuk
sementara tidak usah mencemaskan keadaan kota Pakuwon
ini. Adimas Pangeran berempat itu tentu memerlukan
waktu yang lama untuk membuat pertimbanganpertimbangan"
Demikianlah rencana itu disusun sebaik-baiknya. Akuwu
Suwelatama, Mahisa Bungalan, Mahisa Agni dan Witantra
akan ikut bersama mereka. Bersama para pengawal yang
akan membaurkan diri dengan rakyat di daerah yang sering
menjadi sasaran perampokan apabila ditinggalkan oleh para
pengawal. Setelah rencana itu disusun sebaik-baiknya, maka
Akuwu telah memanggil Senopati yang memimpin pasukan
di daerah rawa-rawa Kedung Sertu untuk mendengar
penjelasannya. Senopati yang kemudian datang menghadap itu
mengangguk-angguk. Ia mengerti sepenuhnya apa yang
dimaksud oleh Akuwu Suwelatama.
"Kembalilah, dan aturlah seperti yang kita ren-canakan.
Jika kami kemudian dengan diam-diam tiba, maka sebagian
dari para pengawal yang telah kau sisihkan, akan
meninggalkan tempat itu"
Dalam pada itu, sebelum Senapati itu kembali ke
tugasnya ia masih sempat melihat akibat dari perebutan
kekuasaan yang berlangsung hanya dalam waktu singkat
itu. Sayang ia tidak dapat ikut serta mempertahankan kota
Pakuwon. Namun ternyata iapun menyadari, bahwa
tugasnya tidak kalah pentingnya dengan tugas untuk
merebut kembali kota Pakuwon itu.
Ketika beberapa hari kemudian, segalanya sudah siap,
serta dengan diam-diam orang-orang terpenting dari
Pakuwon Kabanaran dan Singasari telah ada diantara
rakyat Kedung Sertu, maka Senopati itupun telah
memerintahkan sebagian dari para pengawal untuk berbaur
pula diantara rakyat. Sedangkan sebagian lagi dari mereka
telah diperintahkan untuk meninggalkan daerah itu.
Upacara melepaskan para pengawal itu dilakukan dengan
meriah. Hampir semalam suntuk mereka bersuka ria.
Dengan demikian maka yang terjadi itu telah memancing
perhatian para perampok yang tersembunyi. Berita
pelepasan itu akhirnya telah sampai pula ketelinga mereka.
Sehingga mereka mengira bahwa para pengawal memang
telah jemu berada di Kedung Sertu.
Orang-orang yang dengan ikhalas atau tidak, sering
memberikan keterangan tentang keadaan para pengawal,
telah mengatakan kepada para perampok yang tersembunyi,
bahwa para pengawal telah ditarik.
"Kau yakin?" bertanya salah seorang perampok yang
dengan sandi memasuki padukuhan.
"Lihat saja sendiri" jawab orang yang memberikan
keterangan itu. Untuk beberapa hari perampok-perampok itu berusaha
untuk meyakinkan diri. Dua tiga orang diantara mereka
yang dengan tidak menarik perhatian melintasi padukuhanpadukuhan
yang menjadi daerah sasaran mereka, memang
sudah tidak melihat lagi adanya para pengawal yang sering
berkeliaran di padukuhan itu.
Bahkan di pasar-pasar, mereka mendengar bahwa
pelepasan para pengawal itu telah dilakukan dengan
meriah. Mereka mengadakan kembul bujana dengan rakyat
yang akan mereka tinggalkan, sebagai ucapan terima kasih
atas sikap dan bantuan rakyat terhadap mereka. Sebaliknya
rakyat pun mengucapkan terima kasih atas perlindungan
mereka selama mereka berada di padukuhan itu.
"Bodoh sekali" desis salah seorang diantara mereka yang
mendengar ceritera itu dari seorang penjual nasi di sudut
pasar. Lalu katanya "Ternyata merekalah yang jemu lebih
dahulu. Mungkin mereka mengira bahwa kita sudah
kehilangan kekuatan, atau bahkan mereka mengira bahwa
kita sudah musnah karena kelaparan"
"Ya. Bodoh sekali" sahut kawannya "dengan
mengadakan keramaian itu, mereka telah memberikan
tanda kepada kita, agar kita mulai melakukan tugas kita
kembali" Dalam pada itu, para perampok itu sama sekali tidak
menyadari, bahwa masih ada sebagian dari para pengawal
yang berada di padukuhan itu dengan membaurkan diri
bersama rakyat. Mereka tinggal di rumah-rumah rakyat dan
tersebar diperbagai tempat.
Namun mereka telah melakukan satu usaha untuk
mengajari rakyat di daerah Kedung Sertu itu untuk
berusaha menjaga diri mereka sendiri. Para pengawal yang
tinggal telah mengajak anak-anak muda dan orang-orang
yang lebih tua tetapi masih mampu melakukannya, untuk
meronda di malam hari. Mereka membuat gardu-gardu dan
kentongan-kentongan yang mereka pasang tidak hanya di
gardu-gardu. Tetapi juga di setiap rumah.
Perkembangan baru itu ternyata mendapat sambutan
yang baik dari rakyat di daerah Kedung Sertu. Anak-anak
mudanya telah berbuat lebih banyak dari masa-masa yang
lewat. Mereka mulai berusaha untuk mengenal senjata dan
mempergunakannya sebaik-baiknya.
Gardu-gardu dan kentongan-kentongan itu telah menarik
perhatian para perampok yang bersembunyi di seberang
rawa. Namun setiap orang di padukuhan-padukuhan itu
telah mendapat pesan, terutama yang di rumahnya tinggal
pengawal yang membaurkan diri diantara rakyat, agar
mereka mengatakan bahwa yang tinggal di rumah itu
adalah saudaranya yang datang dari jauh. Saudaranya yang
sudah lama tidak saling berkunjung.
Tidak banyak yang menghiraukan, bahwa di padukuhanpadukuhan
disekitar Kedung Sertu itu banyak menerima
tamu. Namun karena mereka tinggal pada rumah yang
berpencar, maka kehadiran mereka tidak begitu menarik
perhatian. Ternyata usaha Mahisa Bungalan untuk memancing para
perampok mulai nampak akan berhasil. Para perampok itu
tidak senang melihat gardu-gardu yang mulai terisi oleh
anak-anak muda dan laki-laki yang meskipun sudah lebih
tua, tetapi masih sanggup melakukannya.
Karena itu, maka merekapun memutuskan untuk segera
bertindak untuk menakut-nakuti rakyat di padukuhan itu.
Bahkan sekaligus merampok orang-orang yang mereka
anggap cukup berada. Demikianlah, pada hari yang sudah ditentukan,
sekelompok perampok mulai merayap mendekati
padukuhan yang paling besar diantara beberapa padukuhan
disekitar daerah rawa-rawa Kedung Sertu. Mereka
mengenal seorang saudagar kulit yang cukup mampu,
sahingga para perampok itu menduga bahwa di dalam
rumah itu terdapat perhiasan emas dan permata simpanan
saudagar yang mereka anggap cukup mampu itu.
"Kita sekaligus menunjukan, kepada rakyat yang
sombong itu, bahwa usaha mereka sia-sia. Para pengawal
yang telah meninggalkan tempat itu agaknya telah
berpesan, agar mereka mulai dengan menjaga ketentraman
daerah mereka sendiri. "Mereka akan menyesali kesombongan mereka.
Mungkin kesombongan mereka itu pulalah yang
menyebabkan para pengawal meninggalkan tempat itu.
Rakyat yang sombong itu merasa dirinya sudah cukup kuat,
hanya oleh latihan-latihan sekedarnya" sahut seorang
kawannya. Kawan-kawannya yang lain tertawa. Mereka
menganggap bahwa permainan yang akan mereka lakukan
tentu akan menggembirakan.


Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sebenarnya kita tidak perlu membawa pasukan sebesar
ini" desis salah seorang diantara mereka,
"Kita akan mengajari rakyat di padukuhan-padukuhan
itu untuk mengenal diri mereka sendiri" berkata pemimpin
perampok itu "meskipun demikian, kita tidak boleh lengah.
Siapa tahu ada perubahan yang memang telahterjadi di
padukuhan-padukuhan itu, sehingga jika demikian kita
tidak akan terjebak karenanya"
Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Sementara itu
mereka sudah mendekati padukuhan yang mereka pilih
sebagai sasaran mereka malam itu.
Dalam pada itu, malam yang turunpun menjadi semakin
dalam. Meskipun dilangit terdapat bintang-bintang yang
berkeredipan, tetapi malam terasa sangat gelap.
Namun demikian, di padukuhan-padukuhan disekitar,
Kedung Sertu, gardu-gardupun mulai diterangi dengan
obor-obor. Anak-anak muda mulai turun dari rumahnya
dan sebagian dari mereka telah berkumpul di gardu-gardu
untuk berkelakar. Namun diantara mereka terdapat orang-orang yang
sedang mengunjungi sanak kadang mereka di padukuhan
itu. Tiga ampat orang tamu itupun telah bertemu dan
berkumpul di gardu-gardu itu. sedangkan beberapa orang
lainnya, berkumpul di gardu yang lain.
Tetapi tidak semua pengawal yang membaurkan diri
diantara rakyat itu keluar di gardu-gardu. Agar tidak segera
mudah menimbulkan kecurigaan, maka mereka telah
membuat giliran dengan diam-diam diantara mereka
sendiri. Gardu yang berada di mulut lorong, tiba-tiba telah
dikejutkan oleh seseorang yang berlari-lari dari sawah.
Dengan terengah-engah orang itu berusaha berbicara
kepada orang-orang yang berada di dalam gardu itu.
"Tenangkan sedikit hatimu" berkata orang yang sudah
separo baya yang juga berada di gardu itu"
"Di sawah. Mereka menuju kemari" katanya gugup.
"Apa yang di sawah" Dan sipakah yang menuju kemari"
bertanya yang lain. "Sekelompok orang yang tidak aku kenal" berkata orang
itu "cepat menyingkir. Mereka terlalu kuat"
"Siapa?" desak kawannya yang duduk terkantuk-kantuk
di gardu, namun yang tiba-tiba matanya menjadi terbelalak.
"Aku kira sepasukan perampok" berkata orang itu
"Cepat berbuatlah sesuatu. Mereka berada dekat
dibelakangku. Untunglah mereka tidak melihat aku berlarilari
mendahului lewat pematang"
Seorang yang bukan penduduk Kedung Sertu itu tiba-tiba
meloncat turun dari gardu "Kau tidak berbohong?"
"Tentu tidak. Biar apa aku harus berbohong?" jawabnya.
Karena itu, orang yang meloncat dari gardu itupun berkata
"Cepat bersiaga. Aku akan melihat keluar regol"
"Aku ikut bersamamu" desis seorang yang lain, yang
juga orang padukuhan itu.
Dua orang itupun segera meninggalkan gardu itu.
Dengan hati-hati merekapun telah keluar dari gerbang
padukuhan. Namun jatung mereka menjadi berdebar-debar.
Ternyata bahwa sekelompok orang-orang yang berjalan
dalam gelap benar-benar telah mendekati padukuhan itu.
Karena itu, maka orang itupun tidak telaten lagi,
sementara orang-orang yang datang itu telah mencapai
regol padukuhan. Dengan tangkasnya orang itupun segera meloncat
menyambat pemukul kentongan. Sekejap kemudian, telah
terdengar isyarat bunyi kentongan itu mengumandang
seluruh padukuhan. Sambil memukul kentongan orang itu berkata "Cepat
menyingkir. Jangan main-main. Taruhannya adalah
lehermu. Jika kalian diketemukan di gardu ini, maka kalian
akan dicincang sampai lumat"
Barulah orang-orang yang berada di gardu itu sadar,
bahwa mereka benar-benar menghadapi bahaya. Karena
itu, maka merekapun dengan serta merta telah berloncatan
dan hilang di dalam gelap.
Sementara itu, sekelompok orang yang memasuki regol
itupun mendengar suara kentongan. Tetapi mereka sama
sekali tidak menjadi gentar, biarpun orang-orang seluruh
padukuhan atau dari padukuhan di sekitar tempat itu
datang seluruhnya, mereka tidak akan cemas.
Orang yang memukul kentongan itupun menjadi gelisah.
Belum ada satupun kentongan di tempat lain yang
menyahut. Sementara itu iapun yakin bahwa sekelompok
orang-orang yang datang ke padukuhan itu telah sampai ke
pintu gerbang. "Gila" geramnya "Apakah orang padukuhan ini telah
tertidur semua?" Karena itulah maka ia telah memukul kentongan
semakin lama semakin keras.
"Mereka sudah terlalu dekat" desis seorang.
"Hampir tidak ada waktu "Kita harus mengundang
kawan-kawan kita yang tersebar. Di pedukuhan ini hanya
ada enam orang diantara kita dan orang yang bernama
Mahisa Bungalan itu, yang dikirim oleh Akuwu
Suwelatama untuk bergabung dengan kita"
"Apakah orang itu benar-benar mempunyai kemampuan
sebagaimana seorang pengawal seperti kita?" Bertanya yang
seorang. "Kita akan membuktikannya malam ini" jawab yang lain
"Tetapi kita harus bertindak cepat sekarang. Pergilah ke
gardu. Segalanya harus dilakukan dengan cepat. Termasuk
isyarat. Karena yang datang berjumlah begitu banyak"
Waktu memang hanya sedikit sekali. Orang-orang itu
sudah menjadi semakin dekat. Sedangkan jumlah mereka
cukup mendebarkan. Sementara itu, seorang dari kedua orang yang keluar dari
gerbang itupun telah kembali ke gardu dengan nafas yang
terengah-engah. Dengan sendat, sepeti orang yang
terdahulu, ia berkata "Mereka hampir memasuki gerbang,
tidak ada waktu. Menyingkirlah dan bersiaplah. Kita akan
membunyikan isyarat"
"Apakah kau tidak bermimpi?" bertanya salah seorang
diantara mereka yang berada di gardu itu.
"Cepatlah, tidak ada waktu untuk berbincang dalam
keadaan seperti ini" geram orang itu.
Ternyata orang-orang yang masih berada di gardu itu
tidak dapat mengikuti kehendak orang itu. Mereka terlalu
lamban dan membuat seribu macam pertimbangan.
Tetapi ia bertekad untuk tidak berhenti memukul
kentongan sehingga ada meskipun hanya satu, suara
kentongan yang menyahut dan yang akan memanggil orang
lain untuk membunyikaimya pula.
Dalam pada itu, orang-orang yang datang ke padukuhan
itu benar-benar sudah berada di dalam regol. Untunglah,
tepat pada waktunya, terdengar suara kentongan meskipun
agak jauh, menyahut suara kentongan pertama.
Demikian suara kentongan yang lain itu berbunyi, maka
suara ketongan yang pertama itupun terdiam, karena
penabuhnya dengan tergesa-gesa telah menyusup
menghilang di dalam gelap, tepat pada saat orang-orang
yang memasuki regol itu mendekati gardunya.
"Kosong" desis orang-orang itu "Mereka telah pergi.
Baru saja. Lihat, kentongan itu masih terayun"
Kawannya tertawa. Jawabnya "Orang-orang yang
sombong. Ternyata mereka tidak berbuat apa-apa ketika
kami datang" "Belum tentu" berkata yang lain lagi. Lalu "Dengar
suara kentongan yang lain telah menyahut"
Tetapi yang tertawa itu masih juga tertawa. Katanya
"Merekapun akan segera melarikan diri, demikian kita
mendekati" Demikianlah maka orang-orang itu telah memasuki
padukuhan itu semakin dalam. Mereka sama sekali tidak
menghiraukan rumah-rumah dengan pintu tertutup rapat.
Yang ingin mereka datangi, kecuali gardu-gardu adalah
rumah seorang saudagar kulit buaya yang cukup kaya.
Yang mereka duga menyimpan barang-barang berharga
yang pantas untuk mereka ambil.
Dalam pada itu, suara kentongan dikejauhan masih
terdengar. Tetapi seperti suara kentongan yang pertama,
maka suara yang lainpun tidak segera menyahut.
Baru kemudian terdengar suara kentongan yang lain,
agak lebih dekat dari suara kentongan yang jauh itu.
Ternyata bahwa pemukul kentongan yang pada
waktunya berhasil menyelinap itu telah menemukan sebuah
kentongan tergantung di di serambi sebuah rumah. Tanpa
minta ijin dahulu, maka iapun telah memukul kentongan
itu sekeras-kerasnya. Karena itulah, maka dari padakuhan sebelah itupun telah
terdengar pula suara kentongan yang justru sahut
menyahut. Hampir setiap kentongan di gardu-gardu telah
dibunyikan. Justru karena mereka menganggap bahwa
bahaya yang sebenarnya tidak terdapat di padukuhan
mereka. Dengan tanda-tanda khusus dari bunyi kantongan, maka
para penghuni padukuhan di sekitar Kedung Sertu itu
mengenal dengan pasti sumber dari suara kentongan itu.
Demikian juga kentongan yang mulai merayap di
padukuhan-padukuhan yang lain itupun telah memberikan
isyarat, dari manakah sumber bunyi kentongan itu. Pukulan
rangkap yang berulang terus-menerus telah mengoyak
senyapnya malam di padukuhan-padukuhan disekitar
Kedung Sertu yang biasanya memang senyap.
"Orang-orang gila" geram para perampok itu "apa yang
dapat mereka lakukan dengan suara kentongan yang bising
itu" Sebenarnyalah untuk beberapa saat lamanya, tidak ada
sesuatu yang dapat menggangu para perampok itu.
Mereka dengan leluasa telah mendatangi gardu-gardu
yang kosong. Ada satu dua kentongan yang nampaknya
memang baru saja dibunyikan. Namun orang-orang yang
membunyikannya telah hilang di dalam gelapnya malam
"Persetan" geram pemimpin perampok itu "kita akan
pergi kerumah saudagar kulit sekarang. Nanti kita akan
melihat-lihat kentongan di gardu dipadukuhan-padukuhan
lain yang berteriak-teriak seperti telah gila itu. Kita akan
membungkamnya dan kita akan segera memusnahkan
semua gardu yang ada di padukuhan-padukuhan itu.
"Kita apakan gardu-gardu itu?" bertanya salah seorang
perampok. "Kita akan membakarnya" jawab pemimpin perampok
itu. "Bagus sekali. Aku ingin melihat, apa yang akan
dilakukan oleh orang-orang padukuhan yang sombong itu,
yang seolah-olah telah menyatakan dirinya berani melawan
kita" Pemimpin perampok itupun kemudian membawa orangorangnya
menuju ke rumah saudara kulit yang yang
dimaksudkan. Mereka ingin menyelesaikan pekerjaan itu
dengan cepat. Kemudian seperti yang sudah mereka
katakan, bahwa mereka akan membakar gardu-gardu yang
ada. Sementara itu, beberapa orang pengawal yang berada di
padukuhan itu telah berkumpul. Enam orang pengawal dan
Mahisa Bungalan. "Orang itu menuju kerumah saudagar kulit itu" berkata
salah seorang pengawal. "Kita akan mencegah mereka. Kita akan pergi ke rumah
itu pula" sahut Mahisa bungalan.
"Jangan bodoh. Mereka terdiri dari sekelompok orang
yang cukup banyak dan mempunyai kemampuan tinggi.
Kita bertujuh tidak akan dapat berbuat apa-apa"
"Kawan-kawan kita akan berdatangan dari padukuhanpadukuhan
lain. Salebihnya, apakah anak-anak muda dari
padukuhan ini tidak dapat dikerahkan"
"Mereka tidak akan dapat berbuat apa-apa. Jika mereka
tampil, mereka akan menjadi korban yang tidak berarti
sama sekali" Mahisa Bungalan termangu-mangu sejenak. Ia mengerti,
bahwa anak-anak muda padukuhan itu tidak akan dapat
mengimbangi kemampuan para perampok itu. Tetapi pada
suatu saat, anak-anak muda itupun harus mendapatkan
kesempatan untuk percaya kepada kemampuan mereka.
Jika hal itu tidak segera dimulai, maka mereka tidak akan
pernah dapat menjaga diri mereka sendiri.
Karena itu, maka Mahisa Bungalanpun berkata "Kita
akan berada di paling depan. Biarlah anak-anak muda itu
dalam jumlah yang besar mempengaruhi perlawanan para
perampok itu" "Mereka belum siap untuk melakukannya" jawab salah
seorang pengawal. Mahisa Bungalan tidak membantah lagi. Ia memang
tidak dapat memaksa para pengawal mengerahkan anakanak
muda yang memang belum siap. Tetapi Mahisa
Bungalanpun tidak akan dapat membiarkan tingkah laku
para perampok itu. Karena itu, maka katanya "Kita akan mengganggu
mereka sambil menunggu kawan-kawan kita yang tentu
akan segera datang" "Apa yang dapat kita lakukan?" bertanya salah seorang
pengawal. "Kita ikuti mereka dari kegelapan. Tetapi kita harus
memberikan kesan, bahwa kita memang mengikutinya"
jawab Mahisa Bungalan "dengan demikian maka mereka
akan memperhitungkan kehadiran kita. Jika kita berpencar,
maka kesannya, kita terdiri dari banyak orang yang
mengintai mereka dari dalam gelap"
Para pangawal itupun mengangguk-angguk. Agaknya
mereka sependapat dengan Mahisa Bungalan. Karena itu,
maka merekapun segera mencari orang-orang yang telah
memasuki padukuhan itu sambil berpencar. Usaha itu tidak
begitu sulit. Sambil menyusup di halaman dan pekarangan,


Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mereka kadang-kadang menemukan anak-anak muda yang
sedang bersembunyi. Anak-anak muda yang bersembunyi itulah yang dapat
memberikan petunjuk, kemana para perampok itu pergi.
"Agaknya mereka pergi kerumah saudagar kulit itu desis
salah seorang anak muda yang bersembunyi di serambi
rumah di pinggir jalan padukuhan.
Demikianlah para pengawal dan Mahisa Bungalan
itupun akhirnya menemukan mereka. Mahisa Bungalanlah
yang pertama-tama dengan sengaja menampakan diri.
Namun iapun segera menghilang ke dalam gelap.
"Anak setan" geram para perampok "ada juga anak-anak
yang mengikuti kita"
"Hanya seorang" desis Dara perampok itu. Namun
ternyata mereka telah melihat gerumbul yang berguncang di
halaman sebelah. Dua orang diantara para perampok itu
segera meloncat memasuki halaman itu. Namun seorang
pengawal telah hilang pula dalam kegelapan.
Gangguan yang serupa telah terjadi pula di arah yang
lain. Sehingga dengan demikian, seperti yang dikehendaki,
maka seolah-olah para perampok itu telah diintai oleh
berpuluh-puluh pasang mata dari balik gerumbul dan
kegelapan. "Persetan" berkata pemimpin perampok itu "mereka
hanya berani mengintai. Jangan pedulikan. Kita datangi
rumah itu dan kita rampas harta bendanya.
Mahisa Bungalan mengerutkan keningnya Orang-orang
itu tidak menghiraukan gangguan mereka lagi. Mereka
berjalan terus menuju ke rumah saudagar kulit yang cukup
kaya itu. Mahisa Bungalan tidak membiarkannya. Iapun menjadi
semakin berani menganggu. Sekali-sekali maka mulailah
Mahisa Bungalan melempari iring-iringan itu dengan batu.
Jika batu dilemparkan oleh anak-anak muda padukuhan
itu dan mengenai seseorang, maka orang itu akan
menyeringai kesakitan. Tetapi jika yang melemparkan batu
itu adalah Mahisa Bungalan. maka seseorang yang
dikenainya telah menjadi pingsan.
"Gila" geram searang perampok "Kita cari tikus itu dan
kita cincang sampai lumat.
Tetapi Mahisa Bungalan telah menghilang di balik pagarpagar
batu yang mengelilingi halaman-halaman rumah.
Sementara itu, para pengawal yang berada di
padukuhan-padukuhan yang lain, telah dengan tergesa-gesa
menuju ke padukuhan yang telah memberikan isyarat vang
pertama. Namun sementara itu, isyarat yang masih
mengumandang di padukuhan padukuhan lain, justru di
padukuhan yang pertama itu sekali telah berhenti.
Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja telah terdengar
suara kentongan yang mengejutkan di gardu di ujung
lorong, menghadap ke pintu gerbang. Semakin lama
semakin keras. "Mereka telah datang" desis Mahisa Bungalan kepada
seorang pengawal yang berada di dekatnya "yang
membunyikan isyarat itu tentu bukan anak-anak muda di
padukuhan ini" "Ya. Aku juga berpendapat demikian" desis pengawal
itu. "Carilah hubungan" desis Mahisa Bungalan, Pengawal
itupun segera menyusup di dalam rimbunnya tanaman di
kebun dan pekarangan. Dengan tergesa-gesa ia meloncati
pagar dan dinding halaman, menuju ke gardu yang masih
saja mengumandangkan suara kentongan.
"Orang-orang itu telah menjadi gila" geram para
perampok. Tetapi pemimpin perampok itu mambantak "Kita akan
terus. Setelah kita berhasil, maka seluruh padukuhan ini
akan kita bakar sampai lumat menjadi debu"
Para perampok yang lainpun mengikutinya. Seorang
diantara mereka telah membawa kawannya yang pingsan
itu. Sementara itu Mahisa Bungalanpun mengikutinya
bersama para pengawal yang lain. Tetapi mereka tidak
mengganggunya lagi. Jika orang-orang itu menjadi marah,
maka mereka akan benar-benar kehilangan akal dan
membakar setiap rumah di sekitar jalan padukuhan itu.
Karena itu, maka Mahisa Bungalan harus menunggu.
Jika kawan-kawannya dari padukuhan-padukuhan lain
telah berkumpul, meskipun jumlahnya tidak sebanyak para
perampok yang telah berada di padukuhan itu, barulah ia
akan bertindak. Ternyata suara kentongan yang mengejutkan itu telah
menjadi pertanda bagi para pengawal yang datang dari
padukuhan-padukuhan yang berbeda. Merekapun secara
naluriah, telah mencari hubungan dengan orang yang
membunyikan kentongan itu. Karena sudah pasti bagi
mereka, bahwa yang membunyikan itu bukan para
perampok yang mendatangi padukuhan itu.
Pengawal yang memisahkan diri dari Mahisa Bungalan
itulah yang kemudian memberikan penjelasan apa yang
talah terjadi. Sementara itu, Mahisa Bungalan dan para
pengawal yang berada di padukuhan itu telah mengikuti
para perampok yang memang sudah mereka perhitungkan,
akan mendatangi rumah saudagar kulit yang cukup kaya
itu. "Kita harus bertindak cepat" berkata pengawal
itu."Mereka sudah mendekati rumah itu"
"Kita akan segera mencegahnya" desis pemimpin
pengawal yang berada di padukuhan-padukuhan disekitar
Kedung Sertu itu. Namun demikian ia memandang Mahisa
Agni dan Witantra yang berada ditempat itu pula untuk
mendapatkan pertimbangan. Namun ternyata bahwa
keduanya tidak mengambil keputusan. Bahkan mereka
telah mendekati seseorang yang nampaknya tidak ada
bedanya dengan para pengawal yang lain, karena orang
itupun mempergunakan pakaian sehari-hari sebagai mana
dipakai oleh rakyat di padukuhan di sekitar Kedung Sertu
itu. "Bagaimana pendapat Akuwu?" bertanya Mahisa Agni.
"Kita akan melakukan secepatnya" jawab Akuwu
Suwelatama yang ternyata telah ikut serta di dalam
lingkungan para pengawal itu.
Demikianlah maka para pengawal yang kemudian
dipimpin langsung oleh Akuwu Suwelatama itupun telah
dengan tergesa-gesa pergi ke rumah saudagar kulit yang
cukup kaya, yang pada malam itu berada di dalam bahaya.
Sementara itu, ternyata para perampok itu telah berada
didepan regol rumah saudagar kulit itu. Untuk beberapa
saat mereka berkumpul di luar regol. Sementara pemimpin
mereka telah berusaha untuk membuka regol yang diselarak
dari dalam. "Satu atau dua orang memanjat dinding" perintahnya
"jika ada penjaga di dalam regol dan agaknya orang itu
akan mengganggu, kalian aku beri wewenang untuk
bertindak apa saja yang baik menurut kalian.
Perintah itu tidak usah diulang. Dua orang diantara
merekapun segera meloncat dinding. Ternyata bahwa di
dalam regol itu tidak terdapat seorang penjagapun.
Namun sebenarnyalah bahwa ada dua orang yang
diupah oleh saudagar kulit itu untuk menjaga rumahnya.
Tetapi karena yang datang itu jumlahnya jauh berlipat
ganda, maka keduanya sama sekali tidak akan dapat
berbuat apa-apa. Ketika keduanya mandengar suara kentongan, maka
merekapun sudah menduga, bahwa sasaran yang pertama
setelah pasukan pengawal ditarik dari daerah itu, adalah
rumah saudagar kaya itu. Karena itu, maka seorang dari keduanya telah berusaha
mengamati jalan yang menuju ke rumah saudagar, itu.
Ternyata yang mereka lihat sangat mendebarkan.
Jumlahnya terlalu banyak, sehingga mereka tidak akan
dapat berbuat apa-apa. Dengan demikian, maka dengan tergesa-gesa orang
itupun kembali menemui kawannya. Kemudian keduanya
menyelarak pintu dan dengan tergesa-gesa mereka telah
mengetuk pintu dan memberitahukan apa yang akan terjadi.
"Jadi bagaimana menurut pendapatmu?" bertanya
saudagar itu. "Mereka akan segera datang" jawab salah satu dari
kedua penjaga itu "Jika sempat, kita sebaiknya
meninggalkan tempat ini"
"Tetapi bagaimana dengan perempuan dan anak-anak
yang sudah tidur lelap?" bertanya saudagar itu.
Kedua penjaga itu menjadi ragu-ragu. Tentu tidak
mungkin untuk membawa mereka. Sedangkan jika mereka
harus dibangunkan, waktunyapun terlalu sempit.
Dalam keragu-raguan itu mereka telah mendengar
selarak pintu regol dibuka. Sejenak kemudian merekapun
mendengar orang-orang yang ribut di halaman rumah.
"Mereka telah datang" berkata penjaga itu "tidak ada
waktu lagi untuk menyingkir"
Saudagar itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya
"Baiklah. Aku terpaksa menyerahkan apa saja yang pernah
aku miliki sebagai hasil jerih payahku selama ini. Agaknya
itu akan lebih baik dari pada aku harus mempertahankan
nyawaku. Apalagi jika kemarahan orang-orang itu akan
menyentuh anak istriku" Ia berhenti sejenak, lalu "ternyata
para pengawal tidak lagi memegang teguh janji mereka
untuk melindungi rakyatnya. Aku tahu, satu dua orang
tinggal di padukuhan ini. Namun dalam keadaan gawat ini,
mereka tidak dapat berbuat apa-apa"
Kedua penjaga itu tidak menjawab. Tetapi merekapun
menjadi cemas akan nasib mereka sendiri. Salah seorang
dari mereka berkata "Aku terpaksa melepaskan senjataku.
Dengan senjata dilambung, maka mereka akan
berprasangka buruk, seolah-olah aku akan melawan
mereka" "Terserah kepada kalian" berkata saudagar itu "tidak ada
pilihan apapun juga"
Kedua penjaga itupun kemudian melepaskan pedang
dilambungnya, dan menyembunyikannya dibawah amben
yang besar. Sementara itu, demikian pintu regol terbuka, maka para
perampok itupun telah memasuki halaman yang cukup
luas. Merekapun segera berpencar sebelum pemimpin
mereka memberikan perintah.
Dalam pada itu, Mahisa Bungalan dengan para
pengamal yang mengikuti para perampok itupun telah
berada disekitar halaman itu pula. Mereka masih
menunggu, apakah para pengawal yang berada di
padukuhan sebelah-menyebelah sempat juga datang.
"Jika mereka tidak datang, apa boleh buat" desis Mahisa
Bungalan "Tetapi jika kami yang ada disini harus melawan
perampok yang banyak itu, maka korban akan terlalu
banyak jatuh. Aku harus membunuh sebanyak-banyaknya
sebelum aku sendiri akan mereka lumatkan disini"
Tetapi Mahisa Bungalan tentu tidak akan dapat
membiarkan perampokan itu terjadi dihadapan matanya.
Namun dalam pada itu, selagi para perampok itu sibuk
mengatur diri di halaman, maka Akuwu Suwelatama telah
menjadi semakin dekat. Meskipun pengawal yang
dibawanya jumlahnya tidak cukup banyak dibanding
dengan perampok yang datang dengan jumlah yang besar
itu, namun Akuwu berpendapat, bahwa kesempatan itu
tidak boleh disia-siakan.
Sementara itu, anak-anak muda padukuhan itu yang
sedang bersembunyi, ketika mereka melihat sekelompok
orang menelusuri jalan padukuhannya menuju kearah para
perampok yang mendatangi rumah saudagar kaya itu
menjadi termangu-mangu. Diantara mereka justru
menyangka, bahwa orang-orang itu adalah kawanan
perampok itu pula yang menyusul kemudian. Namun ada
diantara anak-anak muda itu berpendapat lain. Bahkan
ketika iring-iringan itu lewat didepan gardu di simpang
empat, maka seorang anak muda yang bersembunyi di balik
gardu itu sempat melihat, bahwa diantara mereka adalah
laki-laki yang pernah ikut serta membantu membuat gardugardu.
"Mereka adalah orang-orang yang selama ini tinggal
diantara kami" berkata anak muda itu di dalam hatinya.
Karena itu maka iapun yakin, bahwa iring-iringan kecil itu
dalah iring-iringan orang-orang yang tinggal di padukuhanpadukuhan
itu dengan maksud baik. Dan karena itulah,
maka timbul pula harapannya bahwa perampokan itu akan
dapat dicegah. Karena itulah, maka iapun kemudian berusaha
menemukan kawan-kawannya yang bersembunyi. Dengan
nafas terengah-engah ia berkata "Mereka akan membantu,
kita. Mereka adalah orang-orang yang tinggal dipadukuhanpadukuhan
sebelah menyebelah bersama saudara-saudara
kita di padukuhan itu"
"Mereka yang mencoba mempengaruhi cara hidup kita"
Mereka yang mendesak kami untuk membuat gardu-gardu
dan kentongan?" bertanya seorang kawannya.
"Ya" jawab anak muda yang sempat memperhatikan
iring-iringan itu. "Apakah termasuk orang-orang asing yang berada
diantara kita di padukuhan ini?" bertanya anak muda yang
lain. "Aku belum melihat. Tetapi mereka juga tidak ada
diantara kita yang sedang bersembunyi. Mungkin mereka
telah mengambil sikap sendiri atas para perampok itu"
jawab anak muda yang melihat iring-iringan itu.
Anak-anak muda itupun kemudian berbincang diantara
mereka. Sehingga akhirnya mereka menemukan
kesepakatan untuk melihat apa yang akan terjadi.
"Jika terjadi benturan kekuatan, maka kita akan
membantu. Tetapi jika tidak terjadi sesuatu, maka apa yang
akan kita lakukan itupun tentu sia-sia. Kita tidak akan dapat
melawan para perampok itu tanpa bantuan orang-orang
yang memiliki kemampuan cukup untuk mengimbangi


Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mereka" berkata seorang anak muda.
Kawannya sependapat. Karena itu maka katanya "Kita
akan mengumpulkan kawan-kawan kita. Kita akan melihat
perkembangan keadaan"
Demikianlah, maka anak-anak muda itupun telah
mencari kawan-kawan mereka. Bukan saja anak-anak
muda, tetapi juga laki-laki yang masih sanggup untuk
berbuat sesuatu bersama mereka.
Karena itulah, maka dengan senjata yang ada, mereka
telah berkumpul. Sementara itu, mereka telah menugaskan
dua orang anak muda yang paling berani untuk melihat apa
yang terjadi di rumah saudagar kulit itu.
Dalam pada itu, maka para perampok di halaman rumah
saudagar itupun sudah siap untuk bertindak. Pemimpinnya
telah naik ke pendapa mendekati pintu peringgitan yang
tertutup. Dalam keremangan lampu di pendapa itu, maka Mahisa
Bungalan melihat, perampok yang garang itu telah
mendekati pintu peringgitan dan siap untuk mengetuknya.
Mahisa Bungalanpun menjadi termangu-mangu.
Semantara itu ia belum melihat para pengawal mendekati
halaman itu. Karena itu, maka ia merasa wajib untuk mencegahnya.
Jika satu atau dua orang perampok telah berhasil masuk ke
dalam rumah itu, maka orang-orang yang ada di dalam
akan dapat dipergunakan sebagai perisai dengan
mengancam akan menumpas mereka jika para pengawal
tidak mengikuti perintah-perintah mereka.
Karena itu, ketika perampok itu sudah siap untuk
mengetuk pintu, terdengar Mahisa Bungalan justru tertawa
di belakang dinding halaman rumah saudagar yang kaya
itu. Pemimpin perampok yang sudah siap mengetuk pintu itu
terkejut. Ketika ia berpaling, terdengar suara Mahisa
Bungalan yang mengikuti tingkah laku pemimpin perampok
itu dari sebatang pohon diluar halaman "kerjamu sia-sia"
"Siapa kau" teriak pemimpin perampok itu.
"Kau tidak akan dapat mengenal aku" berkata Mahisa
Bungalan "Tetapi dengan mudah aku akan dapat
mengenalmu. Kau adalah pemimpin perampok yang bodoh
dan tidak tahu diri"
Sejenak pemimpin perampok itu termangu-mangu.
Namun kemudian iapun menjawab lantang "Orang gila.
Apakah kau kira caramu itu akan berhasil"
"Tentu" jawab Mahisa Bungalan "kami sudah siap
menumpas kalian" "Omong kosong" pemimpin perampok itu menjadi
semakin marah. Karena itu, maka katanya kemudian
kepada orang-orangnya "cepat, cari orang itu diluar
halaman" Namun dalam pada itu, Mahisa Bungalanpun berkata
pula "Kau melakukan kebodohan yang kedua. Kau suruh
anak buahmu untuk keluar regol dan membunuh dirinya
Mendiri. Kami sudah siap"
"Omong kosong" teriak pemimpin perampok jangan
hiraukan. Cari dan tangkap orang itu. Tentu orang itu pula
yang telah melempar salah seorang diantara kita dengan
batu. Bawa orang itu kepadaku. Aku akan memenggal
lehernya di pendapa ini. Jangan mudah ditakut-takuti. Jika
ia mempunyai sekelompok orang yang cukup kuat melawan
kita, mreka tidak akan berbuat dengan sembunyi-sembunyi
seperti itu. Cepat, sebelum orang itu lari"
Tiga orang diantara para perampok itu segera bergeser
menuju ke regol halaman. Namun dalam pada itu, para pengawal di padukuhan itu
yang tinggal berjumlah lima orang itupun telah mendengar
dan mengataui apa yang dilakukan oleh Mahisa Bungalan.
Karena itu, maka salah seorang dari mereka berdesis "Anak
muda itu memang berani. Karena itu ia dikirim oleh
Akuwu untuk berada disini"
"Dengar" berkata pengawal yang lain "perampok itupun
keras kepala. Ia memerintahkan orang-orangnya untuk
mencari Mahisa Bungalan"
Ternyata bahwa para pengawal itupun dengan cepat
menyesuaikan dirinya. Ia mendengar Mahisa Bungalan
mengancam jika ada orang yang berani keluar regol
halaman. Justru karena itu, maka merekapun telah
berusaha melakukan seperti yang dikatakan oleh Mahisa
Bungalan itu. Dengan hati-hati mereka merayap keregol halaman.
Seperti yang sudah mereka perhitungkan, maka beberapa
orang telah keluar dari regol dan memburu kearah suara
Mahisa Bungalan. Selagi Mahisa Bungalan menjadi berdebar-debar,
ternyata para pengawal itu telah menyerang ketiga orang itu
dengan tiba-tiba. Selain jumlah pengawal itu lebih banyak,
juga karena para pengawal itupun memiliki kemampuan
yang cukup. Sehingga dengan demikian, maka tanpa
sempat melawan, ketiga orang perampok, itu telah terkapar
diluar dinding halaman. Mahisa Bungalan yang masih berada di cabang sebatang
pohon itupun melihat. Karena itu, maka iapun kemudian
berdesis "terima kasih"
Para pengawal itu sempat memandanginya sejenak.
Seorang diantara mereka menjawab "Teruskan permainan
ini. Agaknya cukup menarik sambil menunggu kawankawan
kita yang lain" Mahisa Bungalan mengangguk. Sementara itu, ia melihat
pemimpin perampok masih berada di pendapa. Acaknya ia
tidak menghiraukan lagi orang-orangnya yang sedang
mencari Mahisa Bungalan, sehingga perhatiannya telah
tertuju kembali kepada pintu yang masih tertutup.
Dalam pada itu saudagar kulit yang berada di dalam
rumah itu menjadi bingung. Iapun mendengar suara dari
luar halamannya. Meskipun tidak begitu jelas, tetapi ia
pasti, bahwa ada kekuatan lain yang berusaha mencegah
tingkah laku para perampok itu.
"Kau dengar suara itu?" bisik saudagar itu kepada kedua
orang pengawalnya. "Ya" desis kedua orang pengawal itu.
"Bagaimana sikap kita?" bertanya saudagar itu pula.
Kedua pengawal itu menjadi bimbang. Mereka telah
meletakan dan bahkan menyembunyikan senjata mereka.
Sementara itu, mereka mendengar pula suara Mahisa
Bungalan diluar halaman "He, pemimpin perampok yang
dungu. Orang-orang yang kau perintahkan untuk mencari
aku, ternyata tidak akan kembali lagi kepadamu. Bukankah
aku sudah memperingatkan. Mereka terkapar diluar
halaman. Tetapi mereka belum mati. Kami tidak sampai
hati membunuh mereka, karena sebenarnyalah kau yang
harus bertanggung jawab"
Wajah, pemimpin perampok itu menjadi tegang. Dengan
lantang ia berteriak "Bohong"
"Kau tidak percaya" Lihatlah sendiri. Atau tentu kau
tahu, bahwa seharusnya keduanya telah menangkap aku.
Tetapi mereka tidak sempat melakukannya" jawab Mahisa
Bungalan Pemimpin perampok yang marah itu ternyata telah
kehilangan, kesabarannya. Dengan lantang ia berkata "Kita
akan keluar halaman. Kita akan melihat siapakah orangorang
gila yang telah berusaha mengganggu kita"
Perintah itu memang mendebarkan. Jika mereka benarbenar
menghambur keluar, maka lima orang pengawal dan
Mahisa Bungalan sendiri, tentu tidak akan mampu
melawan mereka. Namun dalam pada itu, ternyata Akuwu Suwelatama
mendengar suara Mahisa Bungalan. Karena itu, maka
iapun berdesis "Aku akan mencarinya"
"Akuwu jangan terpisah dari pasukan ini" desis Mahisa
Agni "biar aku sajalah yang menemuinya"
Akuwu tidak membantah. Sementara itu Mahisa
Agnipun telah mendahului mencari hubungan dengan
Mahisa Bungalan. Memang tidak begitu sukar, karena
ketajaman pendengarannya segera dapat menuntunnya
kearah suara Mahisa Bungalan itu.
Kehadiran Mahisa Agni telah membuat Mahisa
Bungalan semakin yakin bahwa pasukan pengawal di
padukuhan-padukuhan di sekitar Kedung Sertu akan dapat
menyelesaikan tugasnya Karena itu maka katanya
"Sebaiknya kita membuka pertempuran sebelum satu atau
dua orang diantara mereka memasuki rumah itu"
Mahisa Agnipun ternyata sependapat Karena itu katanya
"Jika demikian, kami akan langsung menuju ke regol"
"Silahkan paman. Aku akan meloncat kedinding dan
mengganggu mereka, sementara paman dan para pengawal
mendekati dinding. Seterusnya terserah kepada paman"
berkata Mahisa Bungalan. "Akuwu Suwelatama sendiri memimpin pasukan
pengawal" "Bagus. Silahkan" sahut Mahisa Bungalan.
Mahisa Agnipun segera kembali ke pasukannya dan
melaporkannya kepada Akuwu Suwelatama. Karena itu,
maka Akuwu itupun segera membawa pasukannya menuju
kepintu gerbang halaman rumah saudagar kulit yang cukup
kaya itu. Lima orang pengawal yang berada di padukuhan itupun
segera menggabungkan diri pula bersama mereha.
Meskipun jumlah mereka tidak sebanyak para perampok di
padukuhan itu, tetapi para pengawal itu yakin akan dapat
mengatasi keadaan. Apalagi diantara mereka terdapat
Akuwu Suwelatama sendiri yang dengan diam-diam telah
berada di padukuhan itu pula.
Demikianlah maka sejenak kemudian, para pengawal
sudah berada di hadapan regol halaman. Sementara itu
Mahisa Bungalanpun telah memloncat keatas dinding
halaman sambil berkata "He, para perampok yang dungu.
Kalian tidak akan mendapat kesempatan sama sekali. Kami
sudah benar-benar kehilangan kesabaran. Meskipun
demikian, jika kalian bersedia berdiri di halaman dan
meletakan senjata bersama-sama, masih ada kesempatan
untuk mohon ampun kepada Akuwu Suwelatama. Kalian
akan mendapat pengampunan meskipun kalian akan tetap
dihukum. Namun hukuman kalian bukan hukuman
gantung sebagaimana jika kalian ditangkap dalam
pertempuran" Pemimpin perampok itu menjadi tegang. Dengan wajah
yang membara ia berkata lantang "Bunuh orang itu"
Beberapa oreng berlari-lari kearah Mahisa Bungalan
sambil mengacukan pedang. Ujung pedang itu akan dapat
mengenai tubuhnya jika ia tetap berdiri ditempat itu.
Tetapi orang-orang itu telah dikejutkan oleh sikap
"Mahisa Bungalan. Ia tidak melarikan diri atau meloncat
keluar. Ketika orang-orang yang membawa pedang itu
semakin dekat, Mahisa Bungalan justru meloncat ke
halaman. Orang-orang yang berlari-lari mendekatinya itu terkejut.
Karena itu, justru mereka terhenti beberapa langkah
dihadapan Mahisa Bungalan, sementara Mahisa
Bungalanpun telah mencabut pedangnya pula.
"Marilah" berkata Mahisa Bungalan "Aku tidak akan
lari. Justru sebentar lagi kawan-kawanku akan memasuki
halaman ini" Orang-orang yang memburunya itupun termangu-mangu
Namun kemudian pemimpin mereka yang mendengar katakata
Mahisa Bungalan itupun berteriak "Bunuh orang itu"
Orang-orang mendekati Mahisa Bungalan bagaikan
termangu-mangu. Namun pada saat itu, tiba-tiba saja pintu
halaman itupun telah terbuka selebar-lebarnya. Beberapa
orangpun lelah menerobos masuk langsung berpencar.
Tidak hanya satu atau dua orang. Tetapi sekelompok orang
dalam pakaian sebagaimana orang-orang padukuhan itu.
"Nah" berkata Mahisa Bungalan "bukankah aku tidak
membual" Pemimpin perampok itu mengeram. Dipandanginya
orang-orang yang berpencar di halaman, sebagaimana
orang-orangnya sendiri. "Gila. Apakah kalian sudah ingin mati" teriak pemimpin
perampok itu. "Tentu tidak" sahut Akuwu Suwelatama yang juga
dalam pakaian orang kebanyakan "kami sudah lama
menunggu kedatangan kalian. Sekarang kita bertemu.
Mudah-mudahan kami sempat membuat penyelesaian"
"Bagus" berkata pemimpin perampok itu "semula kami
ingin menyelesaikan pekerjaan kami. Baru kemudian kami
akan memancing kalian jika kalian mempunyai keberanian.
Ternyata kalian memang orang-orang yang berani. He,
apakah hanya sekian banyak orang padukuhan ini yang
berani keluar?" "Sudah cukup banyak" jawab Akuwu Suwelatama "di
luar tinggal ada dua orang kami yang menunggui regol dan
mengamati keadaan" "Jika demikian, kami akan menyelesaikan kalian dengan
cepat" berkata pemimpin perampok itu.
Namun dalam pada itu, anak muda yang berusaha
mencari hubungan dengan para pengawal itupun telah
menemui dua orang yang berada di regol. Seorang
pengawal sedangkan yang seorang adalah Witantra sendiri.
"Anak-anak muda padukuhan ini akan dapat
membantu" berkata anak muda itu.
"Kalian mampu bertempur?" bertanya Witantra.
"Sejauh dapat aku lakukan" jawab anak muda itu.
"Lawan itu sangat berbahaya" berkata Witantra "karena
itu kalian akan dapat membantu kami dengan cara yang
khusus. Pulanglah ambillah obor sebanyak-banyaknya.
Kemudian kalian datang beramai-ramai mengepung
halaman rumah ini diluar dinding. Dengan demikian maka
kalian akan mempengaruhi keberanian para perampok itu
meskipun kalian tidak akan bertempur secara langsung.
Biarlah kami menghadapi mereka"
Anak-anak muda itu termangu-mangu sejenak. Namun


Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kemudian iapun berdesis "Baik. Aku akan segera kembali
dengan obor-obor itu"
Dengan tergesa-gesa anak muda itupun meninggalkan
Witantra kembali ke kawan-kawan mereka. Dengan gagap
dan nafas terengah-engah anak muda itu menceriterakan
apa yang dikatakan oleh Witantra.
"Bagus" desis orang yang sudah melampaui masa
mudanya "Aku mengerti maksud orang itu. Aku setuju.
Mari kita siapkan obor sebanyak-banyaknya. Obor minyak
dan obor biji jarak yang kita beri tangkai bambu yang agak
panjang. Kira-kira setinggi pagar halaman rumah saudagar
itu" Anak-anak muda itupun segera mengambur kerumah
masing-masing setelah mereka sepakat untuk berkumpul
lagi ditempat itu. Adalah kebiasaan mereka menyimpan
obor di rumah. Ada yang menyimpan obor minyak. Ada
yang menyimpan biji jarak kering.
Dalam pada itu. selagi anak-anak muda itu
mengumpulkan obor, maka dihalaman rumah saudagar
kulit itupun telah terjadi ketegangan yang semakin
meningkat. Akuwu Suwelatama telah menyiapkan para pengawal,
termasuk Mahisa Bungalan dan Mahisa Agni untuk
bertempur menghadapi perampok yang jumlahnya lebih
banyak. Sementara itu Witantra dan seorang pengawal
berada di regol sambil mengamati keadaan.
"Aku memberi kalian kesempatan" teriak pemimpin
perampok itu "Jika kalian mohon maaf kepadaku, maka
rakyat padukuhan ini akan aku ampuni. Tetapi justru
karena tingkah laku kalian, maka kita akan mengambil
penyelesaian yang tuntas. Upeti apa yang harus kalian
serahkan kepadaku setiap sepekan satu kali"
"Upeti yang sekarang sudah siap adalah ujung pedang"
jawab Akuwu Suwelatama "He, apakah kami boleh
menyerahkan upeti kami sekarang. Ujung pedang yang
akan mengoyak perut kalian"
"Orang yang tidak tahu diri" geram pemimpin perampok
"Jangan menunggu lagi. Musnahkan mereka, karena
mereka sudah tidak mau mendengarkan nasehatku agar
mereka mohon maaf kepadaku"
Para perampok itupun segera bersiap. Nampaknya
perkelahian itu akan memberikan kegembiraan kepada
mereka. Jumlah lawan mereka lebih sedikit dari jumlah
para perampok. Apalagi mereka hanyalah orang padukuhan
yang tidak terbiasa memegang senjata.
Dalam pada itu, dua orang pengawal saudagar yang
berada di dalam rumah itupun telah mengambil keputusan
lain. Dengan tergesa-gesa mereka telah mengambil senjata
mereka kembali. Bahkan saudagar kulit itu sendiri telah
memungut tombaknya pula, meskipun ia bukan orang yang
memiliki ilmu yang tinggi.
"Tenangkan keluarga Ki Saudagar yang terbangun"
berkata kedua pengawalnya "Aku akan menunggui pintu
depan. Jika mereka mencoba memaksa membuka pintu,
maka kami berdua akan menghadapi. Nampaknya di luar
mereka mendapat perlawanan yang cukup meyakinkan"
Saudagar itu termangu-mangu. Namun iupun kemudian
pergi ke bilik tengah untuk menengok isteri dan anakanaknya
yang tidur nyenyak. Namun ternyata bahwa isteri
saudagar itu telah terbangun, meskipun ia tidak berani
bergerak sama sekali. "Kakang" desisnya ketika ia melihat saudagar itu
memasuki biliknya. "Tenanglah" berkata saudagar itu "nampaknya kita tidak
berdiri sendiri. Diluar nampaknya para perampok itu akan
mendapat perelawanan. Sementara dua orang pengawal
kitapun sudah siap" "Aku takut kakang" desis perempuan itu.
"Jangan takut. Jagalah anak-anak agar mereka tidak
terbangun dan apalagi berteriak-teriak. Aku akan berada di
ruang tengah" berkata saudagar itu.
"Jangan tinggalkan kami" desis perempuan itu.
"Tidak. Aku berada di ruang tengah dengan tombak ini
ditangan" jawab saudagar itu.
Isterinya terdiam. Namun kemudian iapun berdesis
"Hati-hatilah kakang"
Saudagar itu kemudian pergi keruang tengah, di belakang
pintu pringgitan kedua orang pengawalnya telah bersiapsiap
dengan pedang terhunus. Dalam pada itu, telah mulai terdengar dentang senjata,
di halaman. Para perampok telah mulai menyerang para
pengawal yang mereka sangka adalah rakyat padukuhan itu
dan sekitarnya yang memiliki sedikit keberanian dan telah
mendapat sedikit latihan kanuragan dari para pengawal
yang telah meninggalkan padukuhan itu.
Para perampok itu menyangka bahwa dalam waktu
singkat mereka akan menebas lawan mereka seperti
menebas ilalang. Senjata mereka akan segera merah oleh
darah. Dan mayatpun akan segera terbujur lintang di
halaman. "Seterusnya tidak seorangpun akan berani melakukannya
lagi" berkata para perampok itu di dalam hatinya.
Mereka sama sekali tidak mempunyai pertimbangan lain
kecuali membunuh sebanyak-banyaknya dan membuat
mereka jera. Jika demikian, maka apa yang akan mereka
lakukan seterusnya, tidak seorangpun yang akan berani
menentang. Tetapi ketika senjata mereka mulai membentur senjata
orang-orang yang mereka sangka orang-orang yang sekedar
sombong dan dungu, mereka menjadi terkejut. Benturan itu
telah mengguncang tangan mereka. Bukan sekedar
kebetulan. Tetapi tenaga orang-orang yang mereka anggap
dungu itu terlalu kuat. "Ada iblis yang merasuk ketangan itu" geram salah
seorang perampok yang kebetulan telah menyerang Mahisa
Agni, Namun yang lebih mengejutkan adalah orang yang
menyerang Mahisa Bungalan.
Dengan tidak disangka-sangka Mahisa Bungalan lelah
memutar pedangnya pada saat benturan terjadi. Karena itu,
maka pedang lawannyapun bagaikan telah terhisap oleh
putaran itu, sangga lawannya yang tidak menduga sama
sekali akan hal itu, telah kehilangan kesempatan untuk
mempertahankan pedangnya.
Orang itu meloncat surut ketika pedangnya terlepas dan
terlempar beberapa langkah dari padanya.
Mahisa Bungalan tertawa. Katanya "Kau terlalu
merendahkan martabat kami dalam olah kanuragan. Kau
sangka hanya para perampok saja yang mampu bermain
senjata. Tetapi sekarang kau harus melihat kenyataan,
bahwa rakyat padukuhan inipun telah mampu
meningkatkan dirinya dan mampu melawanmu"
"Persetan" geram orang yang kehilangan senjatanya
"Kau sangka bahwa kemenanganmu yang kebetulan itu
dapat kau banggakan?"
"O" desis Mahisa Bungalan "jadi kau anggap yang telah
terjadi ini hanya sekedar kebetulan. Baiklah Aku beri
kesempatan kau mengambil senjatamu. Kemudian lawan
aku" "Kau terlalu sombong" geram perampok yang
kehilangan senjata itu "Apakah kau tidak
memperhitungkan kemungkinan, bahwa dengan demikian
aku akan dapat memenggal lehermu?"
Mahisa Bungalan tertawa. Katanya "Pertempuran lelah
membakar halaman ini. Marilah, jangan merajuk lagi"
Kemarahan yang tidak tertahankan telah membakar
jantung orang itu. Dengari ragu-ragu ia bergeser mendekati
pedangnya. Tetapi Mahisa Agni sama sekali tidak
mencegahnya. Namun dalam pada itu, selagi Mahisa Bungalan
menunggu orang itu mengambil pedangnya, ternyata
pemimpin perampok itu telah melakukan sesuatu yang
mendebarkan jantung Mahisa Bungalan.
Pemimpin perampok yang kurang memperhitungkan
keadaan itu telah meninggalkan arena, karena menurut
perhitungannya, orang-orangnya akan cepat menyelesaikan
pertempuran itu. Pemimpin perampok itu telah membuat langkah
tersendiri. Selagi pertempuran itu berkobar, ia akan
memasuki rumah saudagar kulit itu untuk merampas harta
bendanya. Jika pertempuran itu selesai, maka iapun telah
selesai pula, sehingga semuanya dapat berlangsung cepat.
Karena itu, maka pemimpin perampok itupun tidak
menghiraukan lagi pertempuran yang sedang terjadi di
halaman. Dengan tangkai pedangnya ia telah mengetuk
pintu pringgitan rumah saudagar kulit itu.
Tetapi kedua orang penjaga yang berada di pringgitan
tidak mau membukanya. Bahkan mereka telah menyiapkan
diri untuk melawan si apapun yang memasuki pintu itu.
Pemimpin perampok itu menjadi sangat marah. Karena
itu, maka iapun telah bertekad untuk memecahkan pintu
itu. Meskipun ia mengerti bahwa pintu itu diselarak, tetapi
ia yakin akan kekuatannya, bahwa ia akan dapat memecah
pintu itu. Karena itu, maka iapun memerintahkan seorang
mengikutnya untuk berjaga-jaga, sementara ia akan
memecahkan pintu itu. Mahisa Bungalan ternyata tidak sempat melayani
perampok yang dengan ragu-ragu memungut pedangnya.
Ketika ia melihat pemimpin perampok itu mundur dua
langkah untuk mengambil ancang-ancang, maka Mahisa
Bungalanpun telah bersiap-siap.
Sejenak kemudian maka pintu pringgitan rumah
saudagar itu telah berderak. Ketika pintu itu pecah, maka
Mahisa Bungalanpun segera meloncat memburunya, epat
pada saat perampok yang memungut pedangnya itu berhasil
meraih senjatanya. "Pengecut" perampok itu berteriak "Jangan lari"
Tetapi teriakan itu terputus ketika ia melihat, bahwa
orang yang disangkanya melarikan diri itu justru telah
mendekati pemimpinnya. Pada saat pintu berderak, maka seorang perampok yang
mengikuti pemimpinnya itu dengan serta merta telah
menerobos masuk. Namun pada saat itu, dua ujung pedang
lelah menahannya sehingga orang itu terkejut dan meloncat
surut. Sementara itu, pemimpin perampok yang telah
memecahkan pintu itu tidak sempat memasuki rumah
saudagar kulit itu, karena Mahisa Bungalan telah berdiri di
belakangnya sambil mengacukan senjatanya "Jangan
bodoh. Kau akan mati paling awal"
"Gila" geram pemimpin perampok itu "Kau akan
membunuh diri he?" "Tinggalkan pintu itu" desak Mahisa Bungalan "Jika kau
ingin bertempur, marilah"
Pemimpin perampok itu menjadi sangat marah. Maka
iapun tidak bertanya lebih lanjut. Dengan serta merta iapun
segera menyerang Mahisa Bungalan dengan kemarahan
yang meluap-luap. Tetapi ternyata pemimpin perampok itu telah
membentur kekuatan yang tidak diduganya. Ia menyangka
bahwa ia akan dapat dengan mudah menguasai lawannya.
Kemudian membunuhnya dan meneruskan niatnya
memasuki rumah yang pintunya telah dipecahkannya itu.
Tetapi ternyata anak muda yang lelah mengganggunya
itu mampu mengimbangi kecepatan bergerak dan bahkan
kekuatannya. "Iblis Buruk" geramnya "kau menyombongkan
kemampuanmu yang tidak berarti itu?"
Mahisa Bungalan tidak menjawab. Tetapi iapun
kemudian membalas serangan itu dengan serangan pula.
Dalam pada itu, kedua penjaga rumah saudagar itupun
telah berhadapan dengan perampok yang seorang, yang
telah melangkah surut ke pendapa ketika dua orang penjaga
rumah itu mendesaknya dengan pedang teracu.
Perkelahianpun tidak dapat dihindarkan lagi. Kedua
orang penjaga rumah itu telah bertempur melawan
perampok yang seorang. Sementara itu, maka pertempuran telah berkobar dengan
sengitnya. Ternyata jumlah para perampok yang banyak itu
telah berpengaruh pula. Para pengawal yang memiliki bekal
olah kanuragan itupun harus mengerahkan segenap
kemampuannya, karena sebagian besar dari mereka harus
bertempur melawan dua orang lawan.
Witantra yang melihat kesulitan para pengawalpun
kemudian memasuki arena pula, setelah ia minta agar salah
seorang pengawal mengawasi pengawal yang lain
mengawasi keadaan di luar regol.
"Jika kalian yakin akan ada apapun juga, masuklah, dan
bantulah kawan-kawanmu" berkata Witantra "atau jika
anak-anak muda padukuhan ini telah datang dengan obor
di tangan" Pengawal itu mengangguk. Demikian ia meninggalkan
halaman keluar regol menemui seorang pengawal yang lain,
Witantra telah terjun ke dalam arena pertempuran.
Seperti Mahisa Agni, Witantra berusaha mengurangi
lawan sebanyak-banyaknya. Tetapi seperti juga Mahisa
Agni, Witantra hanya melumpuhkan lawannya, tetapi ia
berusaha menghindari kematian. Para perampok itu
sebaiknya ditundukkan tanpa mengorbankan hidup mereka.
Tetapi dalam pertempuran seru, para pengawal tidak
dapat dipersalahkan apabila merekapun telah membunuh
lawan-lawan mereka, sebagaimana para perampok itu juga
berusaha untuk membunuh. Karena itu, maka
keduanyapun telah bekerja keras di tempat yang terpisah.
Ternyata Akuwu Suwelatama sempat memperhatikan
keduanya. Bagaimanapun juga ia menjadi sangat kagum
melihat ketrampilan mereka bergerak meskipun keduanya
telah menjadi semakin tua. Seolah-olah keduanya sama
sekali tidak berbuat apa-apa. Lawan-lawan merekalah yang
datang, kemudian terlempar keluar gelanggang oleh luka


Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang tergores di tubuh mereka.
Justru karena kehadiran Mahisa Agni dan Witantra
itulah, maka lambat laun, para pengawal semakin
mendapat kesempatan untuk menyesuaikan diri. Lawan
mereka susut dengan cepat, meskipun jumlah para
pengawalpun telah berkurang. Tetapi pada umumnya para
pengawal memiliki kemampuan yang cukup untuk
mempertahankan diri dalam pertempuran yang kalut itu.
Jika seseorang terdesak oleh dua orang lawan, maka tibatiba
saja pengawal yang lain telah mengisi tempatnya
meskipun dengan demikian ia telah meninggalkan
lawannya. Namun pada saat yang singkat, kedudukannya
telah digantikan pula oleh kawannya yang lain pula.
Dengan demikian, maka para perampok itu kadangkadang
memang menjadi agak bingung. Kesempatan yang
demikian itulah yang kemudian dipergunakan oleh para
pengawal untuk menyesuaikan diri lebih mapan lagi.
Karena itulah, maka setiap kali para perampok itu telah
kehilangan korbannya. Bahkan kadang-kadang justru
mereka sendirilah yang terjebak ke dalam ujung senjata.
Dalam pada itu. Mahisa Bungalanpun telah bertempur
dengan sengitnya melawan pemimpin perampok itu di
pendapa. Ternyata pemimpin perampok itu memang
memiliki kemampuan untuk melakukan kewajibannya.
Untuk beberapa saat ia mampu mengimbangi kemampuan
Mahisa Bungalan. Namun dalam pada itu, Mahisa
Bungalan memang belum sampai ke puncak
kemampuannya. Sementara itu, dua orang penjaga rumah saudagar kulit
itupun telah bertempur dengan segenap kemampuan
mereka. Ternyata bahwa keduanya harus berjuang untuk
tetap dapat mempertahankan diri melawan seorang
perampok yang garang. -oo0dw0oo- Jilid 27 NAMUN dalam pada itu, ternyata saudagar kulit itu
sendiri tidak mau berdiam diri. Ketika ia melihat arena, dan
menganggap bahwa tidak akan ada seorangpun yang akan
masuk ke dalam rumahnya dan mengganggu keluarganya,
maka iapun telah keluar pintu pringgitan dengan senjata di
tangannya. Dengan serta merta ia telah menggabungkan diri dengan
dua orang penjaga rumahnya melawan seorang perampok
yang sudah siap memasuki rumahnya itu.
Meskipun saudagar itu bukan seorang berilmu linggi,
tetapi kehadirannya dapat membantu kedua orang penjaga
rumahnya melawan perampok yang garang itu. Bahkan
dengan kehadirannya maka perampok itu mulai terdesak.
Bagaimanapun juga, ujung tombak orang itu harus
diperhitungkan oleh perampok itu.
Demikianlah, halaman rumah saudagar kulit itu, benarbenar
telah terbakar oleh api pertempuran yang sengit.
Tubuh yang berlumuran darah mulai terbaring
berserakan. Bahkan ada diantara mereka yang sudah tidak
bernyawa lagi. Dalam pada itu, Mahisa Bungalan akhirnya telah sampai
di tempat yang semakin tinggi. Karena itulah, maka ia
mulai mendesak lawannya. Bagaimanapun juga pemimpin
perampok itu harus mengakui bahwa Mahisa Bungalan
memiliki ilmu yang tidak dapat diimbanginya.
Karena itulah, maka pemimpin perampok itu telah
bergeser menepi pendapa. Ia sadar, bahwa jumlah orangorangnya
lebih banyak dari jumlah lawan mereka. Karena
itu, maka ia ingin berada diantara mereka, sehingga ia akan
mendapat satu dua orang kawan untuk melawan Mahisa
Bungalan. Sebenarnyalah Mahisa Bungalan mendesaknya terus.
Namun jumlah yang banyak di halaman masih belum
teratasi. Pertempuran itu masih berlangsung dengan
sengitnya, meskipun Mahisa Agni dah Witantra berusaha
mengurangi jumlah lawan sebanyak-banyaknya.
Sementara itu, dalam hiruk pikuk pertempuran itu, tibatiba
telah terdengar sorak yang gegap gempita. Sejenak
kemudian, udara di luar dinding halaman rumah itu
bagaikan terbakar oleh beberapa puluh obor yang menyala.
Pemimpin perampok itu terkejut. Dengan serta merta ia
meloncat panjang mengambil jarak dari Mahisa Bungalan.
Ia berusaha untuk melihat apa yang telah terjadi diluar
halaman. Ternyata Mahisa Bungalan sengaja memberi kesempatan
kepada lawannya itu untuk menilai keadaan. Mahisa
Bungalan sendiri tidak tahu, apakah yang sebenarnya
terjadi. Tetapi menilik suasananya, maka agaknya anakanak
muda padukuhan itu telah mulai bergerak.
Witantralah yang mengerti dengan pasti apa yang telah
terjadi, sehingga karena ttu, maka iapun berteriak nyaring
mengatasi dentang senjata beradu "He, para perampok yang
malang. Lihatlah, kawan-kawan kami dalam jumlah yang
tidak terhitung telah mengepung halaman rumah ini. Kami
yang berada di halaman ini dalam jumlah yang lebih kecil
dari kalian, tentulah dapat menahan dan bahkan lambat
laun akan mengalahkan kalian. Apalagi jika pemimpin
padukuhan ini memerintahkan kepada semua orang untuk
memasuki halaman ini"
Sejenak suasana menjadi hening. Baik pada perampok
maupun para pengawal berusaha mendengarkan kata-kata
Witantra. Karena itu, pertempuran itupun seolah-olah telah
dihentikan. Sementara itu, Witantra yang mengerti, bahwa katakatanya
masih kurang dimengerti telah mengulanginya,
lebih keras dari semula. Dalam pada itu, maka Mahisa Agni dan Mahisa
Bungalanpun segera mengetahui, bahwa agaknya Witantra
telah mengatur mereka. Setidak-tidaknya Witantra telah
menyetujui atas apa yang telah terjadi. Karena itu, maka
Mahisa Bungalanpun telah berkata pula kepada pemimpin
perampok itu "Nah, kau dengar keterangan kawanku itu"
"Persetan" geram pemimpin perampok "Yang kalian
suruh membawa obor itu adalah perempuan dan anak-anak.
Kalian menyangka bahwa kami akan menjadi Ketakutan
karenanya" "Bukankah kalian tidak cacat telinga" Jika demikian
kalian akan dapat mendengar, bahwa suara yang cukup
gempita itu bukan suara perempuan dan anak-anak" sahut
Mahisa Bungalan. "Tetapi mereka pengecut seperti perempuan dan anakanak"
teriak pemimpin perampok itu.
"Bagus. Bukankah dengan demikian kalian telah
menantang, agar kawan-kawan kami itu memasuki regol
ini?" jawab Witantra.
"Bagus" sahut pemimpin perampok itu "biarlah mereka
masuk, agar pekerjaan akan lebih cepat selesai"
"Omong kosong" geram Witantra. Lalu "Baiklah. Aku
akan membawa mereka masuk dan kita akan
menghancurkan mereka sampai lumat"
Witantra tidak menunggu jawaban. Iapun kemudian
beringsut. Ketika seorang pengawal sudah mengambil alih
tempatnya, maka iapun segera meninggalkan arena, pergi
keluar regol halaman. Kepada kedua orang pengawal yang berada di luar regol
ia berkata "Mintalah obor kepada anak-anak muda itu. Kita
bertiga akan memasuki halaman. Kemudian suruhlah
sepuluh anak muda yang paling berani memasuki halaman
itu. Tetapi tugas kita untuk melindungi mereka"
Kedua pengawal itupun kemudian menemui anak-anak
muda itu. Keduanyalah yang kemudian membawa obor
bersama Witantra memasuki halaman. Namun merekapun
telah berpesan, bahwa sesaat kemudian, sepuluh orang
diantara anak-anak muda itu, yang dipilih berdasarkan suka
rela, agar memasuki halaman dengan senjata di tangan.
Mungkin mereka harus bertempur. Tetapi para pengawal
akan berusaha melindungi mereka.
Demikianlah, maka tiga orang pembawa obor telah
memasuki halaman itu, sehingga halaman itu menjadi
sedikit terang. Tetapi cahaya tiga buah obor itu tidak dapat
menjangkau terlalu jauh. Sementara itu, para perampok itupun dengan serta merta
telah berusaha menyerang mereka bertiga. Tetapi mereka
telah terbentur oleh kemampuan ketiga orang itu. Dengan
obor di tangan kiri, mereka mampu bertempur dengan
tangan kanannya. Bahkan sekali-sekali api obor mereka
itupun dapat mereka pergunakan sebagai senjata.
"Itulah mereka" desis Mahisa Bungalan "Mereka bukan
perempuan dan anak-anak. Dan ternyata merekapun
mampu bertempur menghadapi anak buahmu"
Pemimpin perampok itu menjadi bimbang. Ia benarbenar
melihat dari pendapa, tiga orang pemegang obor itu
mampu bertempur dengan kemampuan yang tinggi.
Dalam keragu-raguan itu, tiba-tiba sepuluh anak muda
telah memasuki halaman itu pula sambil membawa obor di
tangan kiri dan senjata di tangan kanan. Namun agaknya
para perampok itupun menjadi semakin berhati-hati.
Apalagi para pengawal yang laigun telah berusaha untuk
melihat setiap orang yang ingin menyerang anak-anak
muda yang membawa obor itu.
Di luar halaman masih terdengar sorak yang gegap
gempita. Ternyata sorak itu telah mempengaruhi tekad para
perampok itu untuk bertempur terus. Dengan obor yang
kemudian berada di halaman rumah itu, maka halaman
itupun menjadi semakin terang. Sebenarnyalah bahwa
kemudian ternyata bahwa kekuatan para pengawal seolaholah
menjadi lebih besar dari kekuatan para perampok yang
dengan cepat susut di sebelah menyebelah Mahisa Agni dan
Witantra. Dalam pada itu, sebenarnyalah kehadiran anak-anak
muda itu sangat mempengaruhi keadaan. Tiga belas obor di
halaman itu, rasa-rasanya bagaikan berpuluh-puluh orang
yang datang untuk ikut melibatkan diri ke dalam
pertempuran. "Menyerahlah" berkata Akuwu Suwelatama mengatasi
segala hiruk pikuk "Aku adalah pemimpin dari anak-anak
muda yang datang memasuki halaman ini. Jika kalian
menyerah, aku berjanji, untuk memerlakukan kalian dengan
baik. Tetapi jika tidak, maka aku akan memerintahkan
semua orang untukmasuk halaman ini"
Perampok-perampok itu menjadi ragu-ragu. Ternyata
mereka telah berhadapan dengan orang-orang yang benarbenar
memiliki kemampuan untuk bertempur. Mereka
bukan orang-orang dungu yang hanya sekedar mengenal
hulu pedang dan tangkai tombak, tetapi mereka benar-benar
mampu mempergunakannya di medan.
Namun dalam pada itu, pemimpin perampok itupun
berteriak "Jangan diperbodoh. Hanya satu dua orang saja
diantara mereka yang mampu bertempur. Yang lain mereka
sama sekali tidak berarti. Karena itu, hancurkan mereka"
Para perampok yang semula ragu-ragu itu tiba-tiba telah
dijalari oleh kemarahannya kembali. Teriakan
pemimpinnya seolah-olah telah memanaskan kembali darah
mereka yang hampir membeku.
Karena itu, maka senjata yang sudah mulai
merundukpun telah terangkat kembali. Sehingga dengan
demikian, maka pertempuranpun telah berkobar lagi
dengan dahsyatnya. Dalam pada itu, Mahisa Agni dan Witantraiah yang
kemudian menempatkan diri diantara anak-anak muda
yang membawa obor itu. Karena mereka mengerti, bahwa
anak-anak muda itu akan mengalami kesulitan jika para
perampok itu benar-benar menyerang mereka.
Sementara itu, beberapa orang pengawalpun telah berada
pula diantara anak-anak muda itu. Bersama Mahisa Agni
dan Witantra maka mereka lelah siap menghadapi para
perampok yang akan menyerang anak-anak muda yang
membawa obor itu. "Lawanlah setiap orang menyerangmu" berkata Mahisa
Agni kepada mereka "kami akan selalu dekat bersama
kalian" Anak-anak muda menjadi tenang, meskipun mereka
merasa bahwa kemampuan mereka bertempur masih jauh
dari tataran kemampuan para pengawal. Tetapi dengan
senjata ditangan, mereka harus berusaha melindungi diri
mereka sendiri bersama para pengawal yang berada di
sekitar mereka. Demikianlah ketika pertempuran telah berkobar lagi,
maka Mahisa Agni dan Witantra telah, bekerja lebih keras.
Ternyata mereka berharap bahwa dengan mengurangi
lawan sebanyak-banyaknya pertempuranpun akan segera
dapat dihentikan. Karena itulah, maka setiap orang yang mendekati kedua
orang itu telah terlempar dengan luka di tubuh. Bahkan
luka-luka itu kadang-kadang benar-benar telah
melumpuhkan kemampuan mereka dan membahayakan
jiwamereka. Tetapi seperti kebiasaan para pengawal, para
perampokpun selalu membawa obat-obat yang dapat
mereka pergunakan untuk sementara. Setidak-tidaknya
untuk rnengurangi darah yang mengalir dari luka.
Sekali lagi para perampok itu merasa, bahwa mereka
benar-benar berhadapan dengan orang-orang yang
berkemampuan. Sehingga merekapun telah meragukan
kata-kata pemimpin mereka, bahwa diantara lawan mereka
hanya satu dua orang sajalah yang memiliki kemampuan
olah kanuragan. Dalam pada itu, pemimpin mereka sendiri itupun telah
mengalami kesulitan pula. Mahisa Bungalan semakin lama
telah menekan pemimpin perampok itu semakin berat, sehingga
akhirnya pemimpin perampok itu tidak dapat lagi
lari dari kenyataan bahwa ia tidak akan dapat bertahan
lebih lama lagi. Dengan susah payah ia telah berusaha
menggeser diri dan kemudian bergabung diantara kawankawannya
dengan harapan, bahwa satu atau dua orang


Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kawannya akan dapat membantunya.
Tetapi jumlah perampok yang banyak itu ternyata telah
jauh susut. Sebagian dari mereka telah terkapar di pinggir
halaman dalam keadaan luka. Bahkan ada yang terlalu
parah dan bahkan ada satu dua yang tidak akan tertolong
lagi jiwanya. "Kau tidak akan mampu lagi berbuat apa-apa" desis
Mahisa Bungalan yang memburunya.
"Persetan" geram pemimpin perampok itu.
Namun Mahisa Bungalanpun telah memaksanya untuk
mengakui satu kenyataan baru, tiba-tiba saja lengannya
telah tergores senjata. "Gila" geram pemimpin perampok itu.
"Jangan mengumpat-umpat" desis Mahisa Bungalan
"Kau harus mengakui kenyataan itu. Kaupun akan melihat,
sebentar lagi pemimpin kami akan memerintahkan kawankawan
kami yang berada diluar untuk masuk"
"Omong kosong" jawab pemimpin perampok itu. Tetapi
kata-katanya telah patah, karena sekali lagi senjata Mahisa
Bungalan telah mematuk pundaknya.
"Sebentar lagi kau akan terluka arang kranjang" geram
Mahisa Bungalan. Tetapi pemimpin perampok itu masih mengumpatumpat.
Dalam pada itu, Mahisa Agni dari Witantrapun
mendengar kata-kata Mahisa Bungalan tentang anak-anak
muda yang membawa obor diluar. Karena itu, maka
Mahisa Agnipun berbisik kepada salah seorang pembawa
obor "Suruh kawan-kawanmu masuk. Tetapi hati-hati.
Kalian harus membawa senjata siap untuk dipergunakan.
Jumlah kalian yang banyak, akan sangat berpengaruh.
Sementara api obor kalianpun merupakan senjata yang
dapat kalian pergunakan pula jika perlu"
Demikianlah seorang anak muda telah meninggalkan
halaman untuk memanggil kawan-kawan mereka. Yang
sejenak kemudian, sambil berteriak gegap gempita, mereka
telah memasuki, halaman dan langsung berdiri memutari
arena sambil mengacungkan senjata mereka di tangan
kanan. Senjata apa saja yang dapat mereka bawa. Pedang,
tombak, parang dan bahkan kapak dan dandang.
Namun dalam pada itu, kehadiran anak-anak muda itu
benar-benar telah membuat hati para perampok yang
garang itu menjadi kecut. Betapapun lemahnya mereka
orang per orang, namun bersama-sama mereka akan
merupakan kekuatan yang sulit untuk dilawan. Apalagi
diantara mereka benar-benar terdapat kemampuan yang
melampaui kemampuan para perampok itu sendiri.
Pemimpin para perampok itu termangu-mangu. Orang
itu tidak banyak ambil peranan. Tetapi ternyata lawannya
yang masih muda, yang memiliki ilmu yang melampaui
kemampuannya itu tidak banyak membantah.
Karena itu, maka pemimpin perampok ilupun kemudian
melemparkan senjatanya diikuti oleh para perampok yang
lain. "Kalian menjadi tawananku" berkata Akuwu
Suwelatama. Orang-orang yang sudah melemparkan senjatanya itu
sama sekali tidak menjawab. Namun merekapun sadar,
bahwa mereka akan diikat tangannya dan dipaksa duduk
dipendapa itu sampai saatnya mereka akan dihadapkan
kepada Akuwu. "Tetapi jika terdapat orang-orang gila di padukuhan ini,
kita akan dibantai besok" berkata para perampok itu di
dalam hatinya. Namun justru karena kawan mereka cukup
banyak, maka mereka masih berpengharapan bahwa
mereka tidak akan diperlakukan demikian.
Sebenarnyalah seperti yang mereka duga, maka para
perampok itupun telah diikat tangannya dibelakang
tubuhnya. Hanya beberapa orang saja yang dibiarkan lepas
dari ikatan, namun mereka mempunyai kewajiban untuk
menyelenggarakan kawan-kawannya yang terbunuh di
peperangan itu, sementara yang terluka harus mereka
kumpulkan di pendapa. Demikianlah, hampir semalam suntuk mereka
membersihkan halaman rumah saudagar kulit itu.
Sementara saudagar kulit itupun telah menemui Akuwu
Suwelatama untuk mengucapkan terima kasih.
"Aku belum pernah mengenal Ki Sanak" berkata
Saudagar kulit itu "Tetapi bahwa Ki Sanak telah datang dan
memimpin sekelompok orang yang mampu mengalahkan
para perampok ini tentu akan sangat membesarkan hati kita
semuanya" Akuwu Suwelatama itu tersenyum. Katanya "Apakah
kau sudah mengenal kawan-kawanku yang lain?"
"Ada satu dua orang yang dapat aku kenal" berkata
saudagar itu "Mereka adalah orang-orang dari padukuhan
lain yang sedang berkunjung kepada sanak keluarganya di
sini Atau?" "Atau?" ulang Akuwu Suwelatama.
Saudagar itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya
"Kepergian para pengawal dari padukuhan ini telah
meninggalkan beberapa orang diantara mereka secara
tersembunyi" "Ya" jawab Akuwu Suwelatama.
"Itukah kalian?" bertanya saudagar itu.
Akuwu Suwelatama tersenyum. Akhirnya ia berkata
kepada anak-anak muda yang ada di halaman, kepada para
perampok yang telah menyerah dan kepada saudagar itu
"Kami adalah para pengawal yang memang bertugas di
daerah ini sepeninggalkan para pengawal yang dengan
wajar tinggal di sini sebelumnya"
"Gila" geram para perampok. Baru mereka sadar, bahwa
mereka telah dijebak oleh para pengawal itu.
Bagaimanapun juga para perampok itu harus membuat
perhitungan. Sebelum anak-anak muda yang membawa
obor itu memasuki halaman, mereka sudah mengalami
kesulitan. Karena itu, kehadiran anak-anak muda yang
membawa obor itu, tentu akan sangat besar pengaruhnya
karena jumlah mereka cukup banyak.
Dalam pada itu, pemimpin perampok itupun terkejut. Ia
sama sekali tidak mengira, bahwa di padukuhan ika
terdapat kekuatan yang seimbang dengan kekuatan orangorangnya,
ditambah dengan sejumlah anak-anak muda.
Seandainya anak-anak muda itu tidak berkemampuan
apapun juga, namun bersama-sama dengan kekuatan yang
terdahulu, maka mereka memang tidak akan terlawan.
Selagi pemimpin perampok itu termangu-mangu, maka
Mahisa Bungalanpun berkata "Pikirkan masak-masak. Kau
dapat membunuh diri dalam pertempuran ini. Tetapi jangan
semua pengikutmu kau paksa untuk membunuh diri juga"
"Persetan" geram pemimpin perampok itu.
"Kau lihat keseimbangan pertempuran ini?" bertanya
Mahisa Bungalan. Pemimpin perampok itu terpaksa merenung. Dalam saatsaat
yang demikian, ternyata Mahisa Bungalan tidak
menyerangnya. Ia sengaja memberi kesempatan kepada
pemimpin perampok itu untuk menilai keadaan.
Ternyata bahwa pemimpin perampok itu tidak dapat
mengingkari kenyataan itu. Para perampok itu tidak akan
dapat melawan sejumlah orang yang memiliki ilmu yang
cukup untuk melawan para perampok itu, selebihnya
sejumlah anak-anak muda yang membawa obor di sekitar
arena yang jumlahnya cukup banyak itu.
Karena itu, maka akhirnya iapun harus mengakui
kenyataan yang dihadapinya itu. Dengan berat hati, maka
apun kemudian memberikan isyarat kepada anak buahnya
untuk menghentikan perlawanan.
"Tidak ada gunanya lagi kita bertempur" berkata
pemimpin perampok itu. "Tegaskan, bahwa kalian telah menyerah" desak Mahisa
Bungalan. Pemimpin perampok itu tidak dapat ingkar. Maka
katanya kemudian "Kita menyerah"
Pertempuran di halaman itupun segera berhenti. Para
perampok itupun kemudian bergeser berkumpul di tengahtengah
halaman. Pemimpin perampok itupun telah berada
diantara mereka pula. Tiba-tiba dalam pada itu terdengar perintah Pangeran
Suwelatama " Letakkan senjatamu"
"Siapa kau?" bertanya pemimpin perampok itu.
"Aku pemimpin orang-orang padukuhan dan anak-anak
muda ini" jawab Akuwu Suwelatama.
Para perampok itupun kemudian mengerti, bahwa
kepergian para pengawal dengan mengadakan pertemuan
pelepasan yang sengaja dibuat cukup meriah itu adalah
untuk memancing agar mereka datang ke padukuhan itu,
karena mereka tentu menganggap bahwa mereka tidak akan
dihalangi lagi oleh para pengawal.
Namun ternyata bahwa secara tersembunyi, para
pengawal itu masih tinggal di padukuhan di sekitar Kedung
Sertu itu, sehingga pada saatnya para perampok itu datang,
maka mereka telah benar-benar masuk ke dalam jebakan,
dan tidak dapat lagi melepaskan diri.
Dalam pada itu, Akuwu Suwelatama berkata selanjutnya
"Nampaknya kalian memang belum pernah mengenal aku
dengan baik meskipun namaku mungkin sudah kalian
kenal" "Siapakah Ki Sanak sebenarnya?" saudagar itulah yang
bertanya, sementara para perampokpun segera ingin tahu,
dengan siapa ia berhadapan.
"Aku adalah Suwelatama. Akuwu Suwelatama"
jawabnya. "Akuwu Suwelatama" hampir setiap mulut berdesis.
Bahkan saudagar itupun tiba-tiba telah berjongkok di
hadapan Akuwu sambil berkata sendat " Ampun, Akuwu.
Sebenarnyalah hamba tidak tahu, bahwa hamba
berhadapan dengan Akuwu Pangeran Suwelatama"
Akuwu Suwelatama menarik bahu saudagar itu sambil
berkata "Berdirilah. Adalah menjadi kewajibanku untuk
melakukan tugas seperti ini. Namun selain aku, diantara
kami terdapat tiga orang prajurit Singasari. Mereka justru
para Senopati yang mempunyai kegemaran khusus,
menangani sendiri persoalan seperti yang terjadi di sini.
Mereka adalah Mahisa Bungalan, Mahisa Agni dan
Witantra" Ketika Akuwu menunjuk ketiga orang itu, maka
pemimpin perampok itu menarik nafas dalam-dalam.
Katanya kepada orang yang berada di dekatnya "Karena
itu, ia memiliki ilmu iblis yang tidak dapat aku atasi"
Tetapi justru karena itu, maka para perampok itu dapat
menempatkan dirinya. Mereka menyesal bahwa mereka
terlalu bodoh sehingga terjebak. Namun bahwa mereka
harus kalah dari para pengawal dan bahkan diantara
mereka terdapat Senopati dari Singasari adalah wajar sekali.
Karena itu, maka kemudian sama sekali tidak ada niat
sepercikpun untuk berusaha, melepaskan diri, karena yang
demikian itu tentu hanya akan sia-sia. Dan bahkan akan
dapat membuat mereka semakin sulit.
Dalam pada itu, maka Akuwu Suwelatamapun segera
membenahi pasukannya. Di hari berikutnya, ia telah
memeriksa pemimpin perampok itu dan beberapa orang
diantara mereka. Akuwu ingin meyakinkan, apakah yang
datang itu merupakan bagian kecil saja dari gerombolan
perampok yang berada di daerah Kedung Sertu, atau
merupakan sebagian besar sehingga yang tersisa tidak lagi
berbahaya bagi padukuhan itu.
Seorang perampok yang masih muda ketika dihadapkan
kepada Pangeran Suwelatama telah menjawab segala
pertanyaan dengan jujur, karena ia sama sekali tidak
mempunyai harapan apapun lagi. Sementara itu,
pemimpin, perampok itu sendiri telah mengatakan sebagian
besar sesuai dengan kenyataan, meskipun masih terasa
bahwa ia berusaha untuk melindungi sarang mereka yang
sebenarnya. Tetapi perampok muda dalam pemeriksaan terpisah
mengatakan "Tempat itu dapat dicapai dengan jalan darat.
Jika kami setiap kali menghilang di dalam rawa-rawa
dengan rakit-rakit khusus itu sebenarnya hanya sekedar
untuk mengelabui para pengawal. Namun ternyata bahwa
kini kami telah terjebak dan tidak mungkin untuk dapat
bangkit lagi. Kawan-kawan kami yang tersisa tinggal
sedikit. Diantara mereka tidak ada seorangpun yang akan
mampu memimpin kelompok kecil yang tinggal itu"
"Apakah kau dapat menunjukkan jalan darat itu?"
bertanya Akuwu Suwelatama.
"Tentu" jawab perampok yang masih muda itu.
Sebenarnyalah Akuwu Suwelatama berniat untuk
menghancurkan gerombolan perampok itu sampai tuntas.
Meskipun yang tersisa itu hanya kecil, tetapi yang kecil itu
akan dapat menjadi benih yang tumbuh, sehingga akan
menjadi sebatang pohon yang besar dan yang akar-akarnya
akan menghisap makanan di sekitarnya.
Karena itu, berdasarkan beberapa keterangan dari para
perampok itu, maka Akuwu Suwelatamapun telah
menyusun sepasukan pengawal yang ada padanya untuk
datang langsung ke sarang para perampok yang tersisa itu,
sekaligus untuk mengetahui apa saja yang telah tersimpan
di dalam sarang itu. "Kita harus bekerja cepat, sebelum berita tertangkapnya
para perampok ini sampai ke telinga merekar berkata
Akuwu Suwelatama. Dengan demikian, maka Akuwu Suwelatama telah
menyerahkan para perampok yang sudah tidak berdaya itu
untuk di simpan di dalam tempat-tempat khusus dengan
tangan terikat kepada anak-anak muda di padukuhan itu. Ia
sendiri akan memimpin para pengawal untuk langsung
datang ke sarang para perampok itu, meskipun ada
beberapa orang yang diperintahkannya untuk tinggal
bersama anak-anak muda padukuhan itu mengawasi para
perampok yang telah menyerah.
"Kita akan segera berangkat" berkata Akuwu


Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"sebenarnya jarak yang akan kita tempuh tidak terlalu jauh,
meskipun jalan memang agak sulit"
Dengan petunjuk seorang perampok yang masih muda
itu, maka pasukan pengawal itupun telah berangkat menuju
ke sarang para perampok yang masih tersisa.
Ternyata perjalanan menuju kelempat tujuan memang
sangat sulit. Mereka melalui hutan yang lebat dan tanah
yang berair. Meskipun mereka dapat menempuhnya tanpa
rakit, tetapi langkah mereka tersendat-sendat oleh alam
yang masih sangat buas. "Kenapa kalian memilih tinggal di tempat seperti ini?"
bertanya Mahisa Bungalan kepada perampok muda itu.
"Tentu kami memilih tempat yang sulit dijangkau oleh
orang lain" jawab perampok itu.
"Lalu, apakah arti dari hidupmu. Kau merampok harta
benda dengan taruhan nyawa. Kemudian kau sembunyikan
harta benda itu ditempat yang sulit dicapai. Kaupun tinggal
di tempat itu pula. Apakah dengan demikian harta benda
yang kau rampok dengan taruhan nyawa itu dapat berarti
bagi hidupmu. Apakah harta benda itu cukup kau taruh di
atas pembaringanmu tanpa dipergunakan untuk apapun?"
bertanya Mahisa Bungalan.
Perampok itu termangu-mangu. Pertanyaan itu memang
terdengar aneh ditelinganya.
"Jadi untuk apa sebenarnya harta benda yang kau
rampok itu?" desak Mahisa Bungalan.
"Bukankah harta benda itu sangat tinggi nilainya?"
bertanya perampok itu. "Sesuatu akan menjadi tinggi nilainya jika sesuatu itu
berarti bagi kehidupan" jawab Mahisa Bungalan "harta
benda yang tertimbun tanpa dipergunakan untuk apapun
juga, nilainya tidak lebih dari setumpuk jerami bagi atas
tidur. Atau nilainya sama dengan seonggok batu padas di
pinggir rawa-rawa itu. Renungkan"
Perampok itu termangu-mangu. Namun kepalanya
terangguk-angguk kecil. Ia mulai mengerti, bahwa harta
benda yang tertumpuk itu memang tidak mempunyai nilai
apapun juga selama harta benda itu tidak dipergunakan.
Emas dan perak memang tidak lebih dari batu dan padas
yang berserakkan jika emas dan perak itu hanya
disembunyikan di dalam goa.
"Sementara itu hidupmu terlantar, kau makan apa yang
dapat kau tangkap di hutan-hutan dan air di rawa-rawa"
berkata Mahisa Bungalan kemudian "sementara itu orang
lain yang mempunyai harta benda yang tidak berarti dapat
menikmati makanan yang jarang pernah kau makan dan
tidur dongan hangat bersama sanak keluarga di rumahnya
yang tidak jauh dari rumah sesamanya, sehingga mereka
dapat hidup dalam satu lingkungan yang menyenangkan"
Perampok itu mengangguk-angguk. Haru kemudian ia
merasakan arti dari kata-kata Mahisa Bungalan itu.
Tetapi ia tidak dapat menjawabnya, la hidup dalam satu
lingkungan tanua banyak mempersoalkan kehidupan itu
sendiri. Dalam pada itu, maka kelompok pengawal yang
dipimpin langsung Akuwu Suwelatama itupun semakin
lama menjadi semakin dalam memasuki daerah yang lebat,
liar dan basah. Setiap kali perampok muda itu
memperingatkan, agar mereka berhati-hati terhadap ular
air. Ular yang hidup didaerah rawa-rawa dan mempunyai
bisa yang sangat tajam. "Ular itu mirip dengan ranting ramin kering" berkata
perampok muda itu "kadang-kadang kita tidak dapat
membedakannya dengan ranting-ranting yang melintang di
hadapan kita. Tetapi jika kaki menginjak, maka ulur itupun
segera mematuk. Jika ular itu berhasil mengggigit kita,
maka harapan untuk dapat hidup kecil sekali.
Akuwupun selalu meneruskan peringatan itu kepada
para pengawal. Dengan demikian, maka mereka selalu
berhati-hati. Setiap langkah selalu diperhitungkan dengan
waspada. Karena banyak kemungkinan dapat terjadi.
Tergelincir jatuh membentur batang pepohonan, batu-batu
padas, atau menginjak kaki ular air dan binatang air yang
lain. Dalam pada itu, Mahisa Agni yang berada di belakang
tersama Witantra, berjalan dengan hati-hati pula. Namun
rasa-rasanya ia pernah hidup di daerah berawa-rawa seperti
itu. Daerah yang di kelilingi oleh binatang-binatang air yang
berbahaya. Buaya kerdil dan ular air yang ganas.
Jarak tidak terlalu jauh itu ternyata telah ditempuh untuk
waktu yang sangat lama. Bahkan hampir sehari penuh.
Sehingga karena itu, maka merekapun harus bermalam
semalam di daerah yang garang itu, karena baru pagi
harinya mereka dapat mendatangi sarang perampok itu.
Mereka tidak akan dapat bertindak di malam hari, karena
para perampok itu mengenal daerah mereka jauh lebih baik
dari para pengawal. Untuk menemukan tempat yang dapat mereka
pergunakan untuk bermalam, maka mereka harus
memasuki hutan lebih dalam. Mereka memanjat
pepohonan dan mencari cabang-cabang yang dapat mereka
pergunakan untuk beristirahat dan tidur. Meskipun mereka
tidak perlu mencari cabang yang terlalu tinggi, tetapi juga
tidak terlalu rendah, karena kadang-kadang air di rawarawa
itu sempat naik dan mengangkat binatang-binatang di
dalamnya pada permukaannya.
Untunglah bahwa para pengawal itu telah mendapat
tempaan yang luar biasa lahir dan batin, sehingga meskipun
mereka mengeluh di dalam hati, tatapi mereka tetap tabah
menghadapinya. Dengan bekal yang ada pada mereka, maka mereka
sempat menahan lapar. Namun seekor kijang yang sempat
mereka tangkap menjelang senja, dapat membantu mereka
untuk bertahan terhadap lembabnya udara.
Dengan perapian yang tidak begitu besar, mereka
mematangkan kijang itu. Baru kemudian, maka mereka
mulai memanjat pepohonan ketika malam menjadi sangat
gelap. Pagi-pagi benar mereka telah bersiap. Setelah mereka
menghitung jumlah mereka dan ternyata tidak ada yang
kurang dan mengalami kesulitan, barulah mereka
melanjutkan perjalanan. Ternyata perjalanan itupun menjadi semakin berat.
Meskipun mereka adalah orang-orang yang terlatih, namun
satu dua orang diantara mereka telah mulai mengeluh.
"Apakah anak itu tidak sengaja menyesatkan kita" desis
salah seorang pengawal. "Menilik keadaannya, ia tidak akan berbuat demikian"
jawab kawannya "tetapi siapa tahu. Kadang-kadang yang
kita lihat agak berbeda dari kenyataan yang sebenarnya"
"Jika ia menipu kami" sahut yang lain "Kita ikat dan
kita lemparkan saja ke rawa-rawa itu"
Namun dalam pada itu mereka berjalan terus. Akuwu
Suwelatama yang berada di belakang anak muda itupun
bertanya "Apakah tujuan masih jauh?"
"Tidak. Kita sudah dekat" jawab perampok muda itu
"memang lebih mudah lewat jalan air. Dengan rakit kita
akan dapat mengambil jalan yang tidak terlalu banyak
hambatan" "Binatang air" Buaya misalnya?" bertanya Akuwu
Suwelatama. Namun dalam pada itu, iring-iringan itupun tiba-tiba
telah berhenti. Mereka melihat dihadapan mereka, seekor
ular berwarna hijau coklat sebesar pohon pucang melintas
dengan tenangnya. Sekali binatang itu berhenti,
mengangkat kepalanya untuk melihat kesebelah
menyebelah. Rasa-rasanya tengkuk para pengawal itu meremang, jika
ular itu menyerang mereka, maka mereka akan mengalami
kesulitan. Meskipun mereka bersenjata, tetapi melawan
seekor ular raksasa yang muncul dari dalam kabel diatas
rawa-rawa adalah pekerjaan yang sangat berat. Dengan
ekornya saja ular itu akan dapat menyapu mereka.
Ketika ular itu telah berlalu, maka perampok muda itu
berkata "Ada tiga ekor ular raksasa di daerah rawa-rawa itu
menurut penglihatan kami"
"Tiga akor?" bertanya Akuwu Suwelatama.
"Ya. Seekor yang hijau kecoklatan itu jawab perampok
muda itu "Yang lain sering muncul dari dalam air.
Kepalanya sebesar kepala kerbau. Bertanduk meski pun
tidak sepanjang tanduk kerbau"
"Warnanya?" bertanya salah seorang pengawal.
"Hitam kelam" jawab perampok muda itu "Aku pernah
melihatnya sekali. Ketika rakit kami melintasi sebatang
pohon air yang mirip dengan sebatang pohon beringin,
dengan akar-akar yang bagaikan mecengkam jauh ke dalam
tanah dibawah air, tiba-tiba disebelah pohon itu muncul
sebuah kepala binatang air yang kami kira adalah seekor
Bukit Pemakan Manusia 12 Pendekar Bayangan Sukma 7 Pendekar Kedok Putih Belahan Jiwa 1
^