Pencarian

Panasnya Bunga Mekar 7

Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja Bagian 7


kakek itu dapat menyatu dengan bekal yang memang sudah
ada padaku. Jika keadaannya sebaliknya maka justru aku
akan kehilangan. Benturan ilmu di dalam diriku, akan
dapat membuatku menjadi orang yang paling dungu di
muka bumi ini" Orang tua itu mengangguk-angguk. Katanya "Angger
benar. Dan setelah aku melihat ilmu yang ada padamu,
maka aku kira, apa yang aku tawarkan padamu itu sama
sekali tidak akan bertentangan. Namun demikian, ada
baiknya aku mengetahui, jenis ilmu apa sajakah yang
memang sudah ada padamu. Maksudku, bukan bentuk
wantahnya, tetapi jiwa dari ilmu yang angger miliki itulah"
Mahisa Bungalan termangu-mangu sejenak. Namun
kemudian orang tua itu berkata "Marilah ngger. Kita pergi
ke kandang sebentar"
Mahisa Bungalan masih saja ragu-ragu. Tetapi orang tua
itupun kemudian berdiri dan melangkah tanpa
menghiraukan Mahisa Bungalan lagi.
Mahisa Bungalanpun kemudian berdiri mengikutinya.
Mereka melingkari rumah dan menuju ke kandang. Tetapi
mereka tidak memasuki kandang yang gelap.
"Kita masuk ke sebelah dapur itu ngger. Ruang itu
adalah ruang yang jarang sekali dibuka. Udaranya mungkin
terasa pengab. Bahkan cucuku itupun tidak pernah
memasuki ruangan itu"
Mahisa Bungalan menjadi termangu-mangu. Ada
sepercik keragu-raguan di dalam hatinya. Namun iapun
kemudian mengikuti orang tua itu memasuki sebuah pintu
ke dalam. ruang yang gelap.
"Aku akan menyalakan lampu" berkata orang tua itu.
Mahisa Bungalan menunggu sejenak ketika orang tua itu
meraba-raba dinding dan membawa sebuah lampu minyak
keluar. Sejenak kemudian iapun telah kembali dengan
lampu yang menyala. Dengan demikian maka Mahisa Bungalanpun dapat
melihat seluruh ruangan itu. Tidak ada yang menarik
perhatiannya. Ruangan itu seolah-olah kosong. Tetapi
Mahisa Bungalan melihat beberapa jenis senjata tersangkut
di dinding, beberapa utas tali terentang antara tiang dengan
tiang dan beberapa tonggak bambu yang tertanam dengan
ketinggian yang tidak sama.
Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Katanya
dalam hati "Ternyata orang tua ini memiliki sanggar yang
tersembunyi" Justru karena itu, maka Mahisa Bungalanpun menjadi
lebih berhati-hati. Ia belum tahu pasti, apakah orang tua itu
benar-benar dapat dipercaya.
"Silahkan duduk ngger" berkata orang tua itu.
Mahisa Bungalan termangu-mangu, ia tidak melihat
sebuah amben atau dingklik kayu. Karena itu, maka ia tetap
saja berdiri. Namun iapun kemudian mengerutkan keningnya ketika
ia melihat orang tua itu mendekati sebuah tonggak bambu
yang tertanam. Tonggak itu tidak terlalu tinggi dan tidak
terlalu rendah. Tanpa menghiraukan Mahisa Bungalan,
maka iapun kemudian duduk di atas tonggak bambu itu.
Bukan dengan kaki yang berpijak lantai sanggar untuk
menjaga menjaga keseimbangannya. Tetapi iapun telah
mengangkat kedua kakinya dan disilangkannya seperti
seorang yang sedang duduk bersila.
Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Ia sadar,
bahwa orang tua itu memiliki keseimbangan tubuh yang
baik sekali, sehingga ia dapat duduk dengan cara yang aneh
itu. "Hanya permainan keseimbangan" berkata Mahisa
Bungalan di dalam hatinya.
"Silahkan" sekali lagi orang tua itu mempersilahkan.
Mahisa Bungalan termangu-mangu. Apakah iapun akan
melakukannya duduk di atas ujung tonggak bambu setinggi
amben". Karena Mahisa Bungalan masih saja termangu-mangu,
maka sekali lagi ia mempersilahkan "Duduklah ngger"
Mahisa Bungalan tidak tahan lagi, dengan nada yang
dalam ia berkata "Jangan bermain-main demikian kek.
Marilah kita bersikap seperti orang-orang yang telah
dewasa. Aku tahu, kakek senang bergurau. Tetapi
menghadapi persoalan yang sungguh-sungguh, maka
sebaiknya kita bersikap bersungguh-sungguh pula"
"O" wajah orang tua itu berkerut "jadi kau tidak berani
melihat sikapku ngger. Bahwa dalam usia setua aku,
keseimbanganku masih tetap utuh"
"Aku cukup heran kakek. Bahwa dalam usia setua
kakek, keseimbangan kakek masih tetap utuh"
Namun sekali lagi Mahisa Bungalan terkejut. Orang tua
itu bagaikan berkisar. Yang dilihatnya kemudian, orang tua
itu bergeser dan melenting beberapa jengkal. Ketika ia
mencapai keseimbangannya lagi, maka ia sudah berdiri di
atas lututnya pada ujung patok bambu itu.
Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia
mulai menjadi jengkel dengan sikap orang tua yang masih
saja bergurau itu. Ketika sekali lagi orang tua itu melenting
dan tiba-tiba saja ia bagaikan berputar di udara, dan
melekat pada ujung patok bambu itu pada kepalanya,
Mahisa Bungalan duduk memeluk lututnya di atas lantai. Ia
bahkan menggeretakkan giginya ketika ia melihat orang tua
itu bermain-main dengan kakinya. Kaki itu sekali terbuka
kemudian terkatup kembali. Bahkan kadang-kadang
diputarnya kedua kakinya searah dan berlawanan arah.
Mahisa Bungalan benar-benar menjadi jemu, bahkan
muak. Tetapi ketika ia hampir saja berteriak, tiba-tiba saja
wajahnya menjadi tenang. Terlonjak Mahisa Bungalan berdiri. Selangkah ia maju.
Diamat-amatinya patok bambu yang bertebaran di beberapa
tempat dalam sanggar itu. Bahkan diluar sadarnya ia telah
meraba dan mengguncang salah satu diantaranya. Tetapi
patok itu benar-benar tertanam dalam lantai tanah sanggar
itu. Ketika kemudian orang tua itu melenting dan berdiri
pada kedua kakinya, Mahisa Bungalan menarik nafas
dalam-dalam sambil berkata "Maaf Kiai. Kini memang
mempunyai cara tersendiri untuk meyakinkan orang lain
bahwa Kiai adalah seorang yang luar biasa. Tetapi cara Kiai
yang nampaknya hanya bergurau itu membuat aku kurang
sabar menunggu" Orang itu tersenyum. Katanya "Itulah kelebihanku dari
padamu. Permainan keseimbangan. Seandainya angger
Mahisa Bungalan dapat juga bermain keseimbangan,
namun kelebihanku adalah, bahwa aku tidak segan-segan
melakukannya, meskipun angger akan marah kepadaku"
Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Dengan
hati yang berdebar-debar ia melihat patok tempat orang tua
itu bermain-main telah terhujam semakin dalam. Bahkan
kemudian patok yang semula setinggi amben itu telah
menghunjam sampai setinggi mata kaki.
"Adalah kekuatan yang luar biasa. Nampaknya ia tidak
berbuat apa-apa. Tetapi ia dapat menekan patok itu
sedemikian dalamnya" berkata Mahisa Bungalan di dalam
hatinya. "Nah ngger. Ini adalah suatu permainan yang barangkali
tidak penting bagi angger. Namun demikianlah yang
barangkali dapat aku tunjukkan pada permulaan rencanaku
untuk membuat angger memiliki sesuatu yang belum angger
miliki. Aku tahu bahwa angger telah memiliki kekuatan
yang luar biasa, yang tersalur dalam ungkapan ilmu tanpa
senjata, dan terpusat pada tangan angger, maka angger akan
dapat memecahkan batu padas sebesar gubug di sawah.
Kekuatan itu pernah kau lihat tersalur pada permainan
pedang angger yang tidak ada duanya. Namun angger,
dengan kekuatan dasar yang lebih besar dan kecepatan
bergerak yang lebih tangkas, maka angger akan menjadi
seorang yang memiliki bekal sangat besar. Kemudian
dengan bekal yang terserahlah apa yang akan angger
perbuat. Apakah angger akan berada di jalur jalan
pengabdian, atau sekedar menuruti keinginan pribadi atau
bahkan akan mempergunakan kelebihan itu untuk tujuan
yang bertentangan dengan kemanusiaan, itu sepenuhnya
tergantung kepada angger sendiri, aku mohon, angger dapat
membantuku, mambawa anak itu ke suatu tempat yang
akan aku katakan kemudian"
Mahisa Bungalan menjadi termangu-mangu. Ia sadar,
bahwa ia sudah dibekali ilmu oleh ayahnya, Mahendra,
oleh pamannya Witantra dan Mahisa Agni, dan beberapa
cabang perguruan yang luluh menjadi satu ilmu yang
dahsyat. Tetapi agaknya oreng tua itu tidak akan
mempengaruhi ilmunya dengan unsur-unsur gerak. Tetapi
dengan kemampuan dasar yang mengalami segala macam
ilmu yang ada padanya. Jika kekuatan dasarnya memang meningkat, maka
dalam pemusatan dan pelepasan ilmu pamungkasnyapun
tenaga itu tentu akan menjadi berlipat ganda. Demikian
juga kemampuannya bergerak akan menjadi semakin cepat
dan tangkas dalam puncak ilmunya.
"Angger Mahisa Bungalan" berkata orang tua itu
"segalanya itu masih merupakan satu tawaran. Kau masih
mempunyai waktu untuk memikirkannya. Bahkan
seandainya kau bersedia membantuku untuk mengantar
cucuku, tetapi menolak keinginanku untuk menambahsesuatu
pada angger Mahisa Bungalan, akupun akan
mengucapkan beribu-ribu terima kasih, karena anggerpun
memang sudah memiliki ilmu yang memadai. Tetapi
dengan demikian maka hutangku akan menjadi terlalu
besar kepadamu. Apalagi jika pada Suatu saat di
perjalanan, kau mengalami luka betapapun kecilnya karena
kau sedang membantuku, maka hutangku tidak akan
tertebus sepanjang sisa umurku yang mungkin sudah tidak
sepanjang umurmu lagi"
"Kek, apakah kakek yakin, bahwa dengan memiliki
bekal tambahan yang dapat kakek berikan pada dasar
kekuatan dan kecepatan bergerak, aku akan selamat dari
segala gangguan di perjalanan?" bertanya Mahisa
Bungalan. "O, tentu tidak ngger. Tentu tidak. Tetapi segala usaha
itu akan baik dilakukan untuk mencegah hal-hal yang tidak
kita inginkan. Namun usaha itu merupakan suatu
kewajiban bagi kita"
Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Ia mulai
yakin bahwa ilmu orang tua itu bukannya ilmu dari dunia
yang hitam, yang dapat mempengaruhi sikap dan cara
berpikir seseorang, sehingga pandangan hidupnyapun akan
terpengaruh pula karenanya.
"Angger Mahisa Bungalan" berkata orang tua itu "aku
tidak tergesa-gesa. Aku menunggu kapan saja kau akan
menjawab. Tetapi sekali lagi, aku hanya memiliki sesuatu
yang barangkali tidak begitu berharga. Namun hal itu akan
dapat membantu yang sudah ada pada diri angger"
"Aku akan memikirkan kakek. Besok aku akan
mengatakan, apakah aku bersedia atau tidak" Mahisa
Bungalan berhenti sejenak, Lalu "tetapi kenapa kakek
memilih aku?" "Angger Mahisa Bungalan" jawab kakek itu "hampir
setiap hari aku mencari seseorang yang dapat menolongku.
Tetapi aku tidak pernah menjumpainya. Sekali-kali aku
melihat satu dua orang anak muda yang dengan kepala
tengadah memamerkan kemampuannya. Tetapi selain
hanya kesombongan yang kosong. Adalah kebetulan sekali
aku melihat angger mengalami bencana di perjalanan
karena dua orang kasar itu. Namun semuanya telah
teratasi" "Dan karena itu kakek memilih aku?"
Orang tua itu mengangguk sambil menjawab "Ya ngger"
Mahisa Bungalan menarik naias dalam-dalam. Rasarasanya
ia memang tidak dapat menolak permintaan orang
tua itu untuk menolongnya, mengantar cucunya ke tempat
yang akan ditentukan kemudian. Namun mengenai ilmu itu
sendiri, ia masih tetap ragu-ragu. Ia sudah memiliki dasar
ilmu yang sangat dahsyat dari ayahnya, Mahisa Agni dan
Witantra. Ia hanya tinggal mengembangkan
kesempurnaannya saja di dalam dirinya, meskipun Mahisa
Bungalan mengetahui bahwa tidak ada sesuatu yang akan
menjadi sempurna. Orang tua yang mengetahui keragu-raguan Mahisa
Bungalan itupun berkata "Marilah, kita akan beristirahat.
Tetapi yang perlu angger ketahui adalah, bahwa yang dapat
aku berikan kepadamu adalah sekedar dorongan
kemampuan dan ilmu yang sudah ada pada angger sendir
Pada saat-saat permulaan, angger dapat mengetahui,
apakah yang akan aku berikan itu akan justru dapai
menganggu ilmu yang sudah angger miliki, atau benarbenar
dapat memacu untuk berkembang lebih cepat tanpa
menyisipinya dengan unsur-unsur lain. Ilmu yang sudah
ada pada angger itu akan tetap pada bentuk, ujud dan
sifatnya" Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Namun katanya
kemudian "Baiklah kakek. Aku akan memberikan
jawabannya besok" Orang tua itu tersenyum. Katanya "Angger memang
seorang yang cukup berhati-hati. Tetapi justru karena itu,
aku semakin mengagumimu. Sekali lagi aku harus
mengakui, bahwa pada dasarnya ilmu yang kau miliki
adalah jauh lebih baik dari ilmuku sendiri. Tetapi hanya
karena ketuaanku sajalah, maka aku dapat memberikan
sesuatu yang belum angger miliki. Meskipun sebenarnya,
banyak sekali yang angger miliki tetapi tidak aku punyai"
Dengan demikian, maka merekapun kemudian keluar
dari sanggar yang tidak begitu luas itu setelah lampu
dipadamkannya. Masing-masing segera pergi ke dalam
biliknya dan berbaring di pembaringan.
Dalam pada itu, Mahisa Bungalan tidak segera dapat
memejamkan matanya. Ia mencoba untuk mengurai


Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tawaran orang tua yang ternyata telah mendapat beban
seorang cucu. Bukan saja dalam pemeliharaan hidupnya
sehari-hari dari segi jasmani dan rohaninya, namun ternyata
masih ada masalah lain yang harus diperhatikan, yaitu
keselamatannya. "Siapakah sebenarnya anak itu?" pertanyaan itu selalu
menganggunya. Tetapi menilik ujud dan sikapnya, anak itu
adalah anak yang baik dari lingkungan yang baik pula"
berkata Mahisa Bungalan kepada diri sendiri.
Beberapa hal yang dikenalnya dalam waktu dekat itu
mulai diingat-ingatnya. Sikap, perkataan dan tingkah
lakunya. "Iapun orang tua yang baik. Aku tidak melihat tandatanda
kekelaman hati. Entahlah jika mataku memang kabur
memandanginya" desis Mahisa Bungalan.
Namun akhirnya ia memutuskan untuk mencoba
menjajagi ilmu orang tua itu. Apakah yang akan diberikan
kepadanya. "Jika ilmu itu bertentangan dengan sikap dan pandangan
hidupku, maka aku akan menolaknya" berkata Mahisa
Bungalan di dalam hatinya.
Dengan keputusannya itu, maka akhirnya Mahisa
Bungalanpun mulai merasa, matanya menjadi berat.
Bahkan kemudian ia berkata kepada diri sendiri "Jika ia
berniat jahat kepadaku, maka nyawaku tidak akan
diselamatkannya" Tetapi ia mengerutkan keningnya ketika
ia sadar bahwa orang tua itu telah menolongnya karena ia
memerlukannya. Tetapi akhirnya Mahisa Bungalanpun telah tertidur
nyenyak. Ketika matahari mulai membayang di langit,
maka isi rumah itupun telah terbangun pula. Seperti
biasanya Mahisa Bungalan telah membantu pekerjaan
mereka sehari-hari. Anak laki-laki yang disebut cucunya
itupun dengan rajinnya menyapu halaman dan kebun di
belakang. Sehari itu, Mahisa Bungalan mencoba mengetahui sifat
dan watak anak laki-laki itu. Ia ingin mengetahui serbu
sedikit latar belakang dari kehidupannya. Namun agaknya
anak itu telah mendapat pesan dari kakaknya, bahwa ia
harus berhati-hati. Karena itu maka anak itu nampaknya
mempunyai perasaan yang tertutup. Ia tidak mudah
mengatakan sesuatu. "Pesan saja tidak cukup kuat untuk mengatupkan
hatinya" berkata Mahisa Bungalan di dalam hatinya "tentu
ada sesuatu yang pernah terjadi atasnya, sehingga meskipun
ia masih kanak-kanak, tetapi ia sudah mampu
menyembunyikan sesuatu. Menyembunyikan keadaan
dirinya dan bersikap sangat hati-hati. Tentu sesuatu yang
terjadi itu benar-benar mengguncang perasaannya dan
sangat berkesan di hatinya"
Tetapi Mahisa Bungalan tidak memaksanya untuk
berbicara. Ia hanya sekali-kali saja bertanya sambil
tersenyum. Namun jika kening anak itu mulai berkerut,
Mahisa Bungalan segera mengalihkan pembicaraannya.
Meskipun Mahisa Bungalan tidak mendapatkan
keterangan apapun juga tentang anak itu, namun ia mulai
tertarik kepadanya. Anak itu ternyata adalah anak yang
rajin. Rendah hati dan sama sekali tidak menunjukkan
kemanjaannya. Adalah wajar sekali bahwa sekali-kali anak
itu menginginkan sesuatu. Tetapi tidak berlebih-lebihan dan
dengan pengertian yang tinggi terhadap kemampuan dan
kemungkinan yang dapat diadakan oleh kakeknya yang tua
dan miskin. Ketika kemudian langit menjadi merah dan matahari
tenggelam di Barat. Mahisa Bungalan mulai menilai dirinya
sendiri. Ia menjadi berdebar-debar juga menghadapi ilmu
yang akan diberikan oleh orang tua itu, meskipun secara
kasar ia dapat merabanya. Seperti dikatakan oleh orang itu,
bahwa ilmu itu akan berkisar kepada pernafasannya dan
mengungkapkan tenaga cadangan yang ada di dalam
dirinya. Demikianlah, maka akhirnya Mahisa Bungalanpun
bersedia untuk menerima ilmu orang tua itu, yang menurut
pengakuannya, satu-satunya kemungkinan yang dapat
diberikan kepada Mahisa Bungalan, karena pada bagian
yang lain, justru Mahisa Bungalan telah memiliki jauh lebih
lengkap Tetapi yang akan diberikan itu akan dapat menjadi
alas dan pendukung dari setiap kemungkinan
perkembangan ilmu Mahisa Bungalan.
Ketika malam kemudian turun, dan cucu kakek tua itu
sudah tertidur, nyenyak, maka mulailah Mahisa Bungalan
berada di ruang yang terasing itu. Seperti yang sudah di
katakan oleh kakek tua itu, maka yang kemudian diberikan
kepada Mahisa Bungalan adalah tuntunan pernafasan.
"Kau tentu sudah mempelajarinya dengan baik" berkata
orang tua itu "tetapi ada kemungkinan untuk
mengembangkannya dengan cara yang khusus. Cara yang
kebetulan saja aku temukan di luar kehendakku sendiri,
karena seseorang yang tidak banyak dikenal telah
memberikannya kepadaku"
"Siapakah orang itu kakek?" bertanya Mahisa Bungalan.
"Aku menemukan seorang tua yang sudah sangat lemah
terbaring di hutan ilalang. Aku tidak tahu, apakah sebabnya
dan siapakah orang tua itu?"
"Bukankah kakek dapat bertanya kepadanya?" Orang tua
itu menggeleng. Jawabnya "Tidak banyak kata-kata yang
dapat diucapkan. Ketika ia yakin, bahwa aku tidak berbuat
jahat dan justru berusaha menolongnya, maka iapun
memberikan beberapa petunjuk kepadaku tentang sebuah
kitab rontal yang disimpannya. Agaknya ia juga berusaha
memperkenalkan dirinya. Tetapi aku tidak jelas, siapakah
orang itu dan darimana asalnya"
"Apakah ada tanda-tanda penganiayaan atau bekasbekas
perkelahian atau tindakan kekerasan yang lain?"
Orang tua itu menggeleng. Katanya "Nampaknya tidak.
Orang itu memang sudah terlalu tua. Aku menduga, hanya
sekedar menduga, karena aku tidak mempunyai saksi akan
kebenarannya, bahwa orang tua itu telah duduk di sebuah
batu hitam untuk waktu yang lama di tempat itu. Aku
melihat sebuah batu hitam tidak jauh dari tempat orang itu
terbaring. Aku melihat beberapa buah lubang di seputar
batu itu, nampaknya seperti bekas jari-jari tangan"
"Bekas jari-jari tangan?"
"Bayangkan, betapa besar kekuatannya. Orang itu duduk
bertapa di atas sebuah batu, sementara tangannya
menyentuh batu hitam itu dengan meninggalkan bekasbekas
jari. Agaknya hal itu dilakukannya di saat-saat
terakhir dari hidupnya, sebelum ia dengan ikhlas, berbaring
di rerumputan ilalang di saat terakhir. Namun sebelum ia
meninggalkan segala-galanya, ia masih menunggu
seseorang untuk menguasai ilmunya yang luar biasa itu"
Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Sambil
mengangguk-angguk ia berkata "Dan kakek menguasai isi
kitab rontal itu?" Orang tua itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya
"Aku sudah mencobanya. Tetapi bekalku terlampau sedikit,
sehingga yang aku capaipun tidak memadai. iMeskipun
demikian ada sebagian daripadanya yang benar-benar aku
pahami. Yaitu dasar dari segalanya yang dapat memberikan
landasan pada ilmu yang manapun juga, karena sifat dan
wataknya yang hanya merupakan pendukung saja"
Mahisa Bungalan termangu-mangu sejenak.
"Tetapi bahwa ia kemudian terasing itulah yang
mengherankan. Sampai saat ini aku tidak mengetahui,
apakah ia mempunyai satu dua orang murid yang tidak
dapat ditemuinya di saat terakhirnya, atau orang tua itu
memang tidak mempunyai seorang muridpun sehingga ia
menyerahkan kitab itu kepada orang yang terakhir ditemui
di saat ia menjelang kembali ke Tuhan Yang Maha Esa"
Mahisa Bungalan masih mengangguk-angguk. Namun
tiba-tiba ia bertanya "Kek. Apakah isi yang lain dari kitab
itu?" Orang tua itu termangu-mangu. Katanya kemudian
"Ada, bermacam-macam ngger. Tetapi yang lain akan
dapat menumbuhkan persoalan yang memerlukan banyak
pertimbangan. Mungkin dapat menumbuhkan pertentangan
di dalam diri. Mungkin dapat menimbulkan benturan dan
pergolakan di dalam tubuh dan penyaluran ilmu yang
berbeda. Meskipun jika seseorang yang sudah memiliki
pengamatan yang kuat, akan segera mengetahui, apakah
dasar-dasar ilmu yang ada dan yang akan diserap itu dapat
atau tidak dapat saling mengisi atau luluh sama sekali.
Bahkan seorang yang memiliki ilmu yang hampir sempurna
akan dapat memanfaatkan ilmu yang bagaimanapun juga
jauh berbeda sifat dan wataknya untuk mengisi sudut-sudut
yang kosong dari ilmunya sendiri. Karena itulah, maka
seseorang yang sudah berilmu tinggi, ilmunya justru akan
lebih cepat berkembang"
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Ia sadar, bahwa
bukan wewenangnya untuk bertanya lebih jauh tentang
kitab itu. Jika hal itu bukan suatu pantangan, orang tua itu
tentu akan mengatakannya atau bahkan menunjukkannya.
Namun yang dikatakan oleh Mahisa Bungalan adalah
"Kek, dengan rontal itu di tangan kakek apakah
persoalannya tidak bergeser dari persoalan yang kakek
katakan. Apakah yang kakek sembunyikan dan yang ingin
kakek sampaikan ke tempat yang belum kakek katakan itu
justru kitab rontal itu, dan bukan cucu kakek"
Orang tua itu mengerutkan keningnya. Namun
kemudian katanya "Bukan ngger. Bukan. Aku berkata
sebenarnya, bahwa cucukulah yang harus aku selamatkan.
Kitab itu tidak seorangpun yang mengetahuinya, selain kau.
Namun kemudian terserah kepadamu, apakah kau akan
mengaduk ketenangan dengan berceritera tentang kitab
rontal itu, sehingga banyak orang yang akan mengaku
berhak memilikinya karena mereka adalah murid orang tua
yang meninggalkan kitab rontal itu kepadaku"
Mahisa Bungalan termangu-mangu sejenak.
Dipandanginya wajah orang itu. Nampaknya ia
bersungguh-sungguh. Bukan sekedar bergurau seperti yang
sering dilakukannya. Karena itu, maka Mahisa Bungalanpun menjawab
"Apakah untungnya aku berbuat demikian" Seandainya aku
ingin membuat kisruh, aku tidak akan berceritera kepada
siapapun tentang kitab itu. Dan akulah orang pertama-tama
akan mengaku bahwa aku adalah murid dari orang tua yang
meninggal itu. Bahkan jika kakek tidak memberikan juga
kitab itu, aku dapat memanggil beberapa orang yang dapat
membantuku" Orang tua itu tersenyum. Jawabnya "Aku percaya
kepadamu ngger. Justru karena kepercayaanku itulah, aku
mengatakan kepadamu serba sedikit tentang kitab rontal
itu" ia berhenti sejenak, Lalu "Nah, sekarang bersiaplah.
Aku ingin mulai dengan bentuknya yang paling sederhana
dari ungkapan kekuatan raksasa yang ada di dalam dirimu
yang akan dapat mendorong kekuatanmu berlipat. Apalagi
dengan kekuatan cadanganmu"
Mahisa Bungalanpun segera mempersiapkan diri.
Sejenak kemudian maka keduanya telah tenggelam dalam
pemusatan pikiran dengan mengatur pernafasan mereka,
sesuai dengan petunjuk dari orang tua itu.
Dalam pada itu, Mahisa Bungalan telah mulai dengan
sangat berhati-hati. Ia mulai dengan menjajagi
kemungkinan yang tidak dikehendakinya yang dapat terjadi
atasnya. Namun ternyata bahwa dasar-dasar pengungkapan
kekuatan yang diberikan orang tua itu, sama sekali tidak
menumbuhkan gangguan di dalam dirinya. Sehingga
dengan demikian, Mahisa Bungalanpun telah
meningkatkan penempaan dirinya sesuai dengan petunjuk
orang tua itu. Beberapa saat telah dilaluinya. Cara yang dilakukan oleh
orang tua itu, tidak terlalu berbeda dengan cara-cara yang
telah dipelajari oleh Mahisa Bungalan. Namun ada
beberapa hal yang menyimpang dan seolah-olah
memberikan tekanan yang mendalam pada bagian-bagian
tertentu dari cara-cara yang pernah dipelajarinya.
Untuk beberapa saat lamanya, maka Mahisa
Bungalanpun duduk dengan menyilangkan tangan di
dadanya berhadapan dengan orang tua itu. Dengan kalimatkalimat
pendek sambil memejamkan matanya orng tua itu
memberikan tuntunan. Terus menerus.
Di luar sadar, maka Mahisa Bungalanpun telah sampai
pada kemungkinan berikutnya. Seolah-olah di luar
kehandaknya, maka iapun mulai berdiri karena petunjuk
orang tua itu. Kata demi kata diucapkan, seolah-olah
mencengkam kesadaran Mahisa Bungalan sehingga anak
muda itu melakukan apa saja yang dikehendaki oleh kakek
itu. Sejenak keduanya telah berdiri berhadapan dengan
tangan bersilang di dada. Kemudian keduanya mulai
membuat gerakan-gerakan keseimbangan.
Mahisa Bungalan telah mempelajari ilmu kanuragan
dengan lengkap sebelumnya. Karena itu, gerak-gerak
keseimbangan itu sama sekali tidak ada yang baru baginya.
Namun demikian, dengan petunjuk-petunjuk khusus dari
orang tua itu, seakan-akan ada yang mengalir disepanjang
urat darahnya. Namun Mahisa Bungalan cukup berhatihati.
Ia tidak dengan begitu saja menerima yang baru di
dalam dirinya. Demikian ia merasakan sesuatu yang asing
di dalam dirinya, maka iapun segera memusatkan
pikirannya untuk membangun kembali kesadarannya
seutuhnya. Ia mulai menjajagi perasaan yang asing itu,
apakah mempunyai pengaruh yang tidak dikehendakinya.
Namun rasa-rasanya yang asing itu justru dapat sejalan
dengan ilmu yang telah ada padanya. Yang asing itu tidak
banyak menumbuhkan masalah di dalam dirinya, karena
yang baru itu bagaikan menempatkan diri sebagai kekuatan
yang mengalami kemampuan yang memang sudah ada
dalam dirinya.

Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Meskipun demikian Mahisa Bungalan tetap berhati-hati.
Ia tidak menerima terlalu banyak pada hari pertama.
Sehingga karena itulah, maka lewat tengah malam iapun
menyatakan kepadaa orang tua itu, untuk menghentikan
penyaluran ilmu itu. "Aneh" berkata orang tua itu "kau sudah lelah?"
Mahisa Bungalan menggelengkan kepalanya. Katanya
"Aku harus menilai, apa yang telah terjadi dalam diriku.
Sebelum aku dapat memutuskan apakah aku akan
melanjutkannya besok malam"
Orang tua itu mengangguk-angguk Ia mengerti, bahwa
Mahisa Bungalan memang cukup berhati-hati"
Karena itu. maka orang tua itupun tidak memaksanya.
Iapun kemudian menghentikannya, dan mengajak Mahisa
Bungalan keluar dari sanggarnya. Orang tua itupun
mengerti, bahwa Mahisa Bungalan Ingin menjajagi
perkembangan di dalam dirinya. Karena itu, maka
dibiarkannya Mahisa Bungalan melakukan apa saja yang
ingin dilakukannya. Ternyata bahwa Mahisa Bungalan
tidak segera dapat tidur malam itu. Setelah membersihkan
dirinya di pakiwan, maka iapun memasuki biliknya. Tetapi
ia masih tetap berdiri tegak untuk beberapa saat lamanya,
meskipun pintu biliknya sudah ditutupnya.
Sambil berdiri tegak, Mahisa Bungalan seolah-olah
meneliti seluruh bagian tubuhnya. Ia mencoba
mengungkapkan segala macam ilmu yang pernah
dimilikinya lebih dahulu. Luluhnya ilmu yang diterima dari
ayahnya dan pamannya Witantra yang bersumber pada
perguruan yang sama, serta ilmu yang diterimanya dari
Mahisa Agni. Namun seperti yang dirasakannya sebelumnya,
segalanya tidak terganggu. Bahkan ia merasa, bahwa yang
dilakukannya bersama orang tua itu, seolah-olah telah
memberikan kemantapan pada setiap unsur ilmu di dalam
dirinya. "Aku harus mencoba dengan tata gerak" berkata Mahisa
Bungalan di dalam hatinya. Sehingga karena itulah, maka
dimalam yang kelam itupun, dengan sangat hati-hati, agar
tidak mengejutkan anak yang sedang tidur, iapun pergi
keluar rumah. Mahisa Bungalan menyadari, bahwa orang tua itu
sendiri tentu belum tidur pula, dan mengetahui bahwa ia
telah pergi keluar rumah. Tetapi Mahisa Bungalan tidak
mempedulikannya. Ketika ia sudah berdiri di kebun belakang, di tempat
yang terlindung, ia berdiri tegak sambil menjajagi
pernafasannya. Sedikit demi sedikit, ia memusatkan
segenap perasaan dan pikirannya. Dengan sangat hati-hati
ia merasakan pada setiap tarikan dan pelepasan nafasnya.
Namun yang terasa, seakan-akan pernafasannya menjadi
semakin lancar dan ruang-ruang di dalam rongga paruparunya
seakan-akan menjadi bertambah lapang. Sehingga
dengan demikian, maka dukungan pernafasannya pada
dasar ilmunya terasa menjadi semakin mantap.
Perlahan-lahan Mahisa Bungalanpun kemudian
menggerakkan tangannya. Kedua tangannya diangkatnya
tinggi. Kemudian direntangkannya ke samping dan
dijulurkannya ke depan. Demikian dilakukannya beberapa
kali, semakin lama semakin cepat.
Mahisa Bungalan sama sekali tidak merasakan hambatan
apapun juga. Bahkan pernafasannya yang lapang, seakanakan
membuat gerakan tangannya semakin ringan dan
cepat. Beberapa saat kemudian, iapun berhenti. Yang kemudian
digerakkannya adalah kakinya. Sebelah kakinya, kemudian
berganti dengan kakinya yang lain. Akhirnya Mahisa
Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Sambil berdesah ia
berkata kepada diri sendiri "Aku menemukan sesuatu di
sini" Dengan demikian, maka Mahisa Bungalan memutuskan
untuk mengikuti latihan-latihan berikutnya dari orang tua
itu meskipun ia masih harus tetap berhati-hati. Ia tidak
boleh lengah, bahwa tiba-tiba saja telah disusupi dengan
ilmu yang akan dapat menghambat, bahkan mengganggu
ilmu yang telah ada dalam dirinya.
Sejenak kemudian, maka Mahisa Bungalan telah duduk
di serambi untuk mengeringkan keringatnya setelah ia
mencuci kaki dan tangannya. Udara malam yang sejuk dan
semilirnya angin yang dingin, membuat tubuh Mahisa
Bungalan terasa menjadi segar.
Namun dengan demikian, akhirnya Mahisa
Bungalanpun menjadi mengantuk. Karena itu, maka iapun
kemudian memasuki rumah dan biliknya. Sejenak ia
berbaring, sehingga akhirnya iapun tertidur dengan
nyenyaknya. Di malam berikutnya, ia telah berada pula di dalam
sanggar kecil itu bersama kakek penghuni rumah itu.
Dengan hati-hati Mahisa Bungalan menerima petunjukpetunjuknya
dan melakukannya. Setingkat demi setingkat.
Namun, karena pada dasarnya, Mahisa Bungalan telah
memiliki bekal yang cukup, maka segalanya dapat
dilakukannya dengan lancar. Ia memiliki keseimbangan dan
ketahanan tubuh yang sudah dalam tingkat yang tinggi.
Karena itulah, maka ia sama sekali tidak mengalami
kesulitan apapun juga untuk menerima ilmu yang pada
hakekatnya, hanyalah merupakan alas dan dukungan dari
ilmu yang telah ada padanya.
Demikianlah Mahisa Bungalan telah melakukannya,
untuk beberapa lamanya. Setiap malam ia telah berada di
dalam sanggar itu bersama dengan orang tua yang
menuntunnya dalam latihan-latihan yang khusus, tetapi
yang setelah ditekuninya, sangat bermanfaat bagi dirinya
dan ilmunya. Karena itu, maka Mahisa Bungalanpun akhirnya
percaya, bahwa orang tua itu sama sekali tidak bermaksud
buruk. Ia benar-benar telah memberikan sesuatu yang
berguna baginya dan bagi masa depannya.
"Yang aku alami di sini, jauh lebih bermanfaat dari yang
pernah aku alami di kedua padepokan kecil itu" berkata
Mahisa Bungalan di dalam hatinya. Namun apabila ia
teringat kepada seorang gadis padepokan Kenanga, maka
hatinyapun menjadi berdebar-debar. Wajah itu seolah-olah
masih saja melekat di rongga matanya, dan setiap kali telah
kembali di dunia angan-angannya.
"Apakah aku masih mungkin kembali kepadanya"
berkata Mahisa Bungalan kepada diri sendiri.
Tetapi Mahisa Bungalan tidak mengatakannya.
Dalam pada itu, maka kemampuan Mahisa Bungalan
telah meningkat. Ia dapat bergerak jauh lebih cepat dari
yang dapat dilakukannya sebelumnya. Dan
kekuatannyapun seakan-akan telah berlipat pula. Apalagi
jika ia telah mengerahkan kekuatan cadangannya, maka
Mahisa Bungalan benar-benar seorang yang memiliki
kekuatan bagaikan raksasa.
Dengan kecepatan bergerak dan kekuatan yang berlipat,
maka Mahisa Bungalan benar-benar telah menjadi seorang
yang pilih tanding. Ternyata bahwa Mahisa Bungalan mengalami
penempaan diri untuk beberapa hari lamanya. Pekan
pertama dilaluinya dengan peningkatan kecepatan geraknya
sementara pada pekan kedua, Mahisa Bungalan telah
membentuk dirinya menjadi seorang yang mempunyai
kekuatan seekor gajah. Dan pada pekan ketiga Mahisa
Bungalan telah berhasil mengetrapkan kecepatannya
bergerak dan kekuatannya yang berlipat pada alas dari
ilmunya dengan mapan. "Luar biasa" desis orang tua itu "kau sekarang menjadi
seorang anak muda yang jarang ada bandingnya"
Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Dengan
nada yang dalam penuh kesungguhan ia berkata "Aku
mangucapkan banyak terima kasih, kek"
Orang tua itu tertawa. Jawabnya "Apa yang kau
dapatkan adalah hasil kerjamu sendiri. Aku hanya
mengarahkannya dan memberikan petunjuk jalan yang
harus kau tempuh" "Dan aku telah menemukan sesuatu yang sangat
berharga bagiku" "Tetapi, bukankah aku sudah mengatakan, bahwa aku
mempunyai suatu permintaan setelah kau meningkatkan
ilmumu pada alas dan dukungan yang telah berhasil kau
kuasai itu" Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak
akan dapat ingkar janji. Orang tua itu telah berterus terang
sejak semula, bahwa ia memerlukan pertolongannya untuk
mengantarkan cucunya ke tempat yang belum
dikatakannya. Karena itu, maka katanya kemulian "Kek. Aku sama
sekali tidak berkeberatan untuk melakukannya, selama
permintaan kakek itu tidak bertentangan dengan hati
nuraniku" "Aku mengerti ngger. Aku sudah mencoba mengenalmu
sejak pertama kita bertemu. Kau tentu bukan seorang yang
mudah goyah dalam sikap dan pendirian. Karena itu.
akupun telah mempertimbangkan segala-galanya. Juga
permintaanku kali ini"
"Apakah yang harus aku kerjakan?" bertanya Mahisa
Bungalan. "Aku memerlukan seorang kawan untuk mengantarkan
cucuku kepada ayahnya. Itu adalah yang sebenarnya. Aku
tidak berpura-pura atau menutupi keadaan yang memang
telah dibebankan kepadaku"
"Apakah aku dapat mengerti, kemana kita akan pergi?"
"Cucuku itu adalah putera seorang Pangeran di Kediri.
Pangeran Kuda Padmadata. Seorang Pangeran yang
memiliki beberapa pucuk senjata pusaka yang menjadi
rebutan beberapa orang keluarga istana Kediri. Diantaranya
sebuah tombak bernama Kiai Saptapratala dan sepucuk
keris, Kiai Rontek. Beberapa orang keluarga Pangeran
Kuda Padmadata ingin mendapatkan kedua pusaka itu,
sementara cucuku adalah pewaris dari kedua pusaka itu
yang sah. Jika cucuku masih tetap hidup, maka ialah yang
akan mewarisi pusaka-pusaka itu. Sehingga dengan
demikian, maka beberapa orang telah berusaha untuk
melenyapkannya" "Apakah Pangeran Kuda Padmadata sama sekali tidak
berbuat sesuatu dengan sikap dan perbuatan beberapa orang
atas anak laki-lakinya itu?"
"Pangeran Kuda Padmadata tidak mengetahuinya"
"Bagaimana mungkin?"
Kakek tua itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya
kemudian "Itu adalah nasib buruk dari anak perempuanku.
Ketika ia didatangi oleh seorang laki-laki yang lelah dalam
perburuan bersama dua orang pengiringnya, maka anak
perempuanku telah memberikan apa yang dibutuhkannya,
terutama minum dan makan. Ternyata laki-laki itu adalah
Pangeran Kuda Padmadata, yang mengambil anak
perempuanku menjadi isterinya. Ketika ia kembali ke
Kediri, maka ditinggalkannya salah seorang pengiringnya,
yang kelak akan menjadi saksi, bahwa anak yang bakal lahir
dari perempuan itu adalah anaknya. Tetapi yang terjadi
adalah tidak seperti yang diharapkan. Adik Kuda
Padmadata ingin mewarisi semua peninggalan kakaknya
kelak. Dengan diam-diam ia berusaha melenyapkan
keturunan Pangeran Kuda Padmadata. Untunglah bahwa
cucuku masih sempat diselamatkan. Tetapi anak
perempuanku, hilang tanpa aku ketahui dimana ia
sekarang. Apakah ia sudah mati atau masih hidup, tidak
seorangpun yang mengetahui kecuali mereka yang telah
datang ke rumahnya di malam yang buta itu dengan
maksud yang sangat jahat"
Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Namun ia
mempercayai ceritera orang tua itu. Orang tua itu tentu
tidak membohonginya. "Aku sudah mengira bahwa anak kecil itu bukan
keturunan pidak pedarakan" berkata Mahisa Bungalan di
dalam hatinya. Sementara itu, orang tua itupun berkata selanjutnya
"Sekarang, aku ingin membawa anak itu kepada ayahnya.
Meskipun saksi yang seorang itu telah terbunuh, namun aku
masih mempunyai satu macam bukti yang akan dapat aku
tunjukkan kepada Pangeran Kuda Padmadata"
"Apakah bukti itu kek?" bertanya Mahisa Bungalan.
"Kalung yang dipakainya. Kalung itu adalah cincin
ibunya. Cincin yang diberinya pengikat yang dapat
dipergunakannya sebagai kalung di lehernya. Pengikat itu
sama sekali tidak berharga. Tetapi cincin yang terikat itulah
yang akan dapat dipakainya sebagai bukti kenyataan
dirinya, bahwa ia adalah anak Pangeran Padmadata"
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Dengan
demikian berarti bahwa ia harus pergi ke Kediri. Ke daerah
yang berada di bawah kekuasaan Singasari.
Mahisa Bungalan termangu-mangu sejenak. Ia sudah
mengenal daerah yang pada suatu saat telah dikalahkan
oleh seorang Akuwu Singasari yang bernama Ken Arok.
Yang untuk seterusnya, masih tetap berada di bawah
kekuasaan Singasari yang kini diperintah oleh dua orang
bersaudara yang digelari Dua Ekor Ular di Satu Sarang.
"Apakah angger ragu-ragu" bertanya orang tua itu.
"Tidak kakek. Aku tidak ragu-ragu. Aku bersedia
membantu kakek, membawa anak itu ke Kediri.
Menyerahkannya kepada Pangeran Padmadata"
"Terima kasih ngger. Tetapi tantangannya tentu akan
berat sekali. Mungkin saat ini, satu dua orang sedang
mengintai anak itu. Karena orang-orang yang
menginginkan kematiannya, tentu tidak akan berhenti
mencarinya" orang tua itu berhenti sejenak, Lalu "tetapi
agaknya sampai saat ini, mereka belum menemukan anak
itu disini" "Mudah-mudahan mereka tidak menemukannya, dan
kita dapat membawanya tanpa gangguan di perjalanan"


Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berkata Mahisa Bungalan. "Mudah-mudahan. Tetapi kita harus berhati-hati. Segala
kemungkinan dapat terjadi. Juga kemungkinan yang buruk
atas kita berdua dan anak yang tidak tahu menahu itu"
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Tetapi iapun
sudah membayangkan, bahwa kemungkinan yang paling
buruk itupun akan dapat terjadi.
"Menurut Kakek, kapan kita akan berangkat ke Kediri?"
bertanya Mahisa Bungalan kemudian.
Orang tua itu termangu-mangu sejenak. Nampaknya ia
sedang mencoba merenungi keadaan. Namun akhirnya ia
menggeleng sambil berkata "Aku tidak pasti ngger. Aku
akan mencoba melihat keadaan. Meskipun aku sudah
mendapat seorang kawan yang dapat aku percaya, namun
aku tidak boleh meninggalkan sikap berhati-hati" Mahisa
Bungalan mengangguk-angguk.
"Angger Mahisa Bungalan" berkata orang tua itu "selain
membawa anak itu kepada ayahnya, sebenarnya aku masih
juga berniat untuk menemukan ibu anak itu. Jika ia mati,
aku dapat mengetahuinya dengan pasti. Jika ia masih
hidup, mungkin kita masih akan dapat menyelamatkannya"
Mahisa Bungalan masih mengangguk-angguk.
"Tetapi untuk menyelidikinya, tentu akan merupakan
suatu kerja yang sangat rumit" berkata orang tua itu pula.
"Kek" berkata Mahisa Bugalan "manakah yang lebih
dahulu dikerjakan. Membawa anak itu kepada ayahnya
kemudian mencari ibunya, atau berusaha menemukan
ibunya dan jika ia masih hidup, membawanya bersamasama
kepada ayahnya" "Itulah yang membingungkan ngger" jawab orang tua
itu. Namun dalam pada itu, Mahisa Bungalan bertanya "
Kek, apakah Pangeran Kuda Padmadata itu benar-benar
tidak pernah menengok atau sekedar mendengar kabar
berita dari isteri dan anaknya?"
Orang tua itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya
"Aku tidak mengerti ngger. Mungkin Pangeran Kuda
Padmadata benar-benar telah melupakan isteri dan
anaknya. Justru orang-orang lainlah yang ingat akan hal itu.
Adik laki-lakinya adalah sumber dari perbuatan jahat ini. Di
Kediri, Pangeran Kuda Padmadata juga mempunyai
seorang isteri yang setataran dalam jajaran kebangsawanan.
Agaknya isterinya yang tidak mempunyai seorang anak
laki-laki, ikut serta dalam rencana jahat ini, agar semua
warisan Pangeran Kuda Padmadata tidak diwarisi oleh
anak laki-laki satu-satunya, tetapi adik laki-lakinya saja,
yang tentu masing-masing akan mendapat bagian karena
jasanya. Dan bukan mustahil bahwa sebenarnya antara adik
laki-laki Pangeran Kuda Padmadata dan isteri Pangeran itu
ada hubungan khusus yang tidak pantas dilakukan oleh
para bangsawan. Bahkan oleh setiap orang yang telah
bersuami isteri" Mahisa Bungalan termangu-mangu. Dengan ragu-ragu
iapun bertanya "Kini sudah banyak mengetahui tentang
mereka?" "Sebelum terjadi peristiwa yang pahit itu bagi anakku,
beberapa hal tentang keluarga Pangeran Kuda Padmadata
pernah aku dengar dari pengikutnya yang ditinggalkannya
itu. Ialah yang pada saat-saat tertentu datang ke Kediri
untuk mengambil bekal hidup bagi dirinya sendiri dan bagi
anak dan cucuku" Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Nasib itu
ternyata merupakan nasib yang kurang baik. Tetapi yang
lebih parah lagi adalah, sikap adik dan isteri Pangeran Kuda
Padmadata itu. "Agaknya Pangeran itu sendiri berhati lemah" berkata
Mahisa Bungalan. "Ya" sahut orang tua itu "ia memang seorang Pangeran
yang berhati lemah" Mahisa Bungalan termangu-mangu sejenak. Namun
kemudian katanya "apakah kakek bermaksud untuk
melihat-lihat keadaan lebih dahulu" Jika demikian, sebelum
kakek memutuskan untuk pergi ke Kediri, apakah aku dapat
melihat-lihat tempat tinggal anak perempuanmu itu
sebelum ia hilang?" Orang tua itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya
"Kerja itu akan mengandung bahaya yang sangat besar.
Orang-orang yang berbuat jahat itu benar-benar orang yang
tidak berperi-kemanusiaan"
"Aku tidak akan berbuat apa-apa kek. Kecuali jika
terpaksa aku harus membela diri"
Orang tua itu masih saja ragu-ragu. Namun akhirnya ia
berkata "Jika angger ingin berjalan lewat tempat itu, aku
persilahkan. Tetapi kau tidak perlu berbuat apa-apa. Banyak
masalah yang dapat timbul. Mungkin ada orang diantara
mereka yang pernah melihat angger di sekitar tempat ini.
sehingga hal itu merupakan jalan bagi mereka untuk
mencari cucuku di daerah ini"
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Ia mengerti
keberatan orang tua itu. Agaknya yang dihadapi benarbenar
sekelompok orang-orang jahat yang liar dan buas.
"Baiklah, kek" berkata Mahisa Bungalan "aku berjanji
untuk tidak berbuat apa-apa. Aku akan berjalan melewati
tempat itu sebagaimana seorang perantau yang lewat"
"Baiklah ngger. Sebelum lenyap, anakku tinggal di
padukuhan Rambi di daerah Badas Selatan. Hutan di
daerah Badas Selatan adalah hutan perburuan bagi para
bangsawan di Kediri. Di hutan itulah Pangeran Kuda
Padmadata berburu dan singgah sejenak di padukuhan
Rambi" Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Dari orang tua
itu ia mendapat beberapa petunjuk arah. Sebagai seorang
perantau, maka iapun segera dapat mengingat mengetahui,
kemana ia harus pergi. "Hutan di daerah Badas Selatan itu akan dapat
memberikan perlindungan kepadaku" berkata Mahisa
Bungalan. "Tetapi berhati-hatilah ngger. Aku tidak mengira, bahwa
kau akan memberikan pertolongan sedemikian jauh,
sehingga kau sama sekali tidak memperhitungkan
bahayanya" "Sudah aku katakan, kek. Aku tidak akan berbuat apaapa.
Aku sudah berjanji untuk membantu membawa cucu
kakek ke Kediri. Agaknya itulah tugas yang terpenting
bagiku, sementara perjalananku ke Rambi adalah sekedar
untuk melengkapi pengertianku tentang daerah ini dan
hubungan antara padukuhan itu dengan cucu Kakek"
Orang tua itu mengangguk-angguk. Katanya kemudian
"kita harus bergantian berada di sisi anak ini. Jika angger
sudah kembali, barulah aku dapat melihat, apakah jalan ke
Kediri dapat diselusupi"
"baiklah Kakek. Aku tidak akan terlalu lama. Mudahmudahan
aku tidak mengalami sesuatu di perjalanan"
Demikianlah, di hari berikutnya Mahisa Bungalan
meninggalkan rumah kakek tua itu, menuju ke tempat yang
sangat berbahaya bagi laki-laki yang telah kehilangan
ibunya itu. Sesuai dengan petunjuk kakek tua yang telah
menolong mengobatinya, maka Mahisa Bungalanpun
berjalan menyusuri bulak-bulak panjang sebagai seorang
perantau. Padukuhan yang ditujunya adalah sebuah padukuhan
yang cukup besar dan terletak di dekat hutan perburuan.
Tetapi padukuhan itu jaraknya cukup panjang. Ia harus
bermalam semalam di perialanan. Baru disenja berikutnya
ia akan sampai padukuhan Rambi dan daerah Badas
Selatan. Agaknya kakek tua itu berusaha untuk bersembunyi di
tempat yang tidak terlalu dekat, tetapi juga tidak terlalu
jauh. Tetapi karena ia hanya seorang diri, maka ia tidak
dapat berbuat sesuatu, la tidak berani meninggalkan
cucunya yang selalu diintai oleh bahaya. Karena itu, maka
ia terpaksa membiarkan anak perempuannya hilang tanpa
bekas. Tidak banyak hal yang menarik di perjalanan. Mahisa
Bungalan sama sekali tidak singgah di rumah siapapun atau
di banjar-banjar padukuhan. Ketika malam turun, Mahisa
Bungalan justru bermalam di sebuah hutan kecil yang tidak
terlalu lebat. Di pagi hari berikutnya, Mahisa Bungalan telah mencuci
mukanya pada sebuah parit yang berair bening. Kemudian
iapun melanjutkan perjalanannya yang masih cukup
panjang. Di sebuah padukuhan Mahisa Bungalan melihat
beberapa orang sedang berselisih. Bahkan mereka saling
berkelahi Tetapi karena menurut pengamatan Mahisa
Bungalan tidak membahayakan jiwa mereka, apalagi
beberapa orang berusaha melerainya, maka ia sama sekali
tidak mencampurinya, agar ia tidak terlibat ke dalam
persoalan yang tidak diketahuinya.
Menjelang tengah hari, maka Mahisa Bungalanpun
singgah di sebuah kedai kecil di pinggir sebuah pasar.
Seorang perempuan tua menunggui kedai kecil yang miring
dan hampir tidak terawat Pada kedai itu hanya
didapatkannya minuman semelak pace dengan gula kelapa.
Beberapa potong ketela pohon dan ubi.
Namun ternyata semelak pace itu terasa segar sekali di
kerongkongan Mahisa Bungalan yang haus. Kemudian
beberapa potong ubi telah dimakannya pula.
"Apakah hutan itu termasuk hutan perburuan?" bertanya
Mahisa Bungalan kepada perempuan tua pemilik kedai itu.
Perempuan itu menggeleng. Jawabnya "Bukan, bukan
hutan perburuan. Hutan itu adalah hutan peliharaan di
bagian tepi, dibatasi oleh sebuah sungai yang lebar. Hutan
yang diambil beberapa macam getah dari beberapa jenis
pohon yang dapat dipergunakan sebagai obat-obatan.
Bahkan ada diantaranya getahnya yang berbau harum dan
dapat dipergunakan untuk mengharumkan ruangan dengan
dibakar. Diujung adalah pohon yang justru dipagari, karena
terdapat beberapa jenis pohon cendana"
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Kemudian iapun
bertanya "Siapakah yang memelihara hutan itu nek?"
"Para bangsawan dari Kediri"
"Apakah mereka sering datang kemari?"
Perempuan itu menggelengkan kepalanya Katanya
"Tidak. Atau katakanlah, jarang sekali. Tetapi mereka
menanam orang yang mengawasi hutan itu dan
menyerahkan hasilnya setiap selapan sekali"
"Ke Kediri?" "Ya. Ke Kediri"
"Dan di mana letak hutan perburuan itu?"
"Masih agak jauh, ngger. Aku tidak tahu pasti di mana
letaknya. Tetapi aku memang pernah mendengar bahwa di
daerah Badas Selatan, terdapat hutan perburuan"
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Ketika ia
menengadahkan wajahnya maka dilihatnya matahari
berada di puncak langit. Karena itu, maka Badas Selatan
memang masih agak jauh. Namun dengan demikian, Mahisa Bungalan mengetahui,
bahwa para bangsawan Kediri yang seolah-olah sudah tidak
mempunyai kekuasaan lagi untuk memerintah, karena
mereka telah berada di bawah kekuasaan Singasari, telah
mempunyai kesibukannya sendiri. Mereka menghabiskan
waktunya dengan berburu atau kepentingan-kepentingan
lain bagi diri mereka sendiri.
Pasar itu telah menjadi sepi. Tidak banyak lagi orang
yang berjual beli. Tetapi di sudut pasar itu, seorang pandai
besi masih sibuk mengerjakan pekerjaannya. Agaknya ia
menerima pesan perkakas pertanian yang tergesa-gesa
untuk dipergunakan. "Pandai itu sibuk sekali" desis Mahisa Bungalan.
"Ya" jawab perempuan tua itu "kasihan"
"Kenapa?" "Ia harus mengerjakan pekerjaan yang sama sekali tidak
disukainya" "Kenapa" Bukankah ia memang seorang pandai besi?"
"Dua orang memaksanya untuk membuat senjata.
Meskipun pandai besi itu dapat mengerjakannya, tetapi hal
itu tidak biasa dilakukan. Apalagi ia tahu, bahwa jika
senjata itu selesai, ia tidak akan menerima upah sekeping
uang pun" "Bagaimana mungkin hal itu terjadi?" bertanya Mahisa
Bungalan. "Dua orang itu sangat ditakuti oleh siapapun juga di
daerah ini?" "Siapakah mereka" Apakah mereka memang penduduk
daerah ini?" "Bukan. Mereka adalah pengawal-pengawal yang
ditugaskan untuk mengawasi pohon-pohon cendana itu"
"Apakah mereka sudah lama di sini?"
"Belum terlalu lama. Dahulu, pengawasannya tidak
pernah dilakukan dengan cara seperti itu"
Keterangan itu sangat menarik perhatian Mahisa
Bungalan. Karena itu, ia bertanya lebih banyak lagi tentang
pandai besi dan pembantunya yang masih bekerja keras itu
"Apakah ada perubahan yang terjadi pada cara pengawasan
hutan cendana dan kayu yang menghasilkan getah berharga
itu?" "Ya. Tetapi aku tidak tahu pasti"
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Ia masih
meneguk semelak pacenya yang segar dengan sepotong ubi.
Baru kemudian, setelah ia membayar harganya, maka iapun
minta dirikepada perempuan tua itu.
"Sudahlah nek. Terima kasih. semelak pace dengan gula
kelapa itu segar sekali"
"Jika kau lewat anak muda, singgahlah barang sebentar"
Mahisa Bungalan tersenyum. Jawabnya "Besok saatnya
aku kembali melalui jalan ini, aku akan singgah Mungkin
nenek menemukan pace sukun. Tentu akan semakin segar"
"Disini jarang sekali ada pace sukun" sahut nenek itu.
Mahisa Bungalanpun kemudian melangkah pergi


Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

meninggalkan nenek tua itu. Tetapi ia tidak langsung
melanjutkan perjalanan. Dengan ragu-ragu ia mendekati
pandai besi yang masih bekerja keras dengan pembantunya
itu. "Paman sangat sibuk nampaknya" sapa Mahisa
Bungalan ketika ia sudah berdiri beberapa langkah di dekat
perapian pandai besi itu.
Pandai besi yang rambutnya sudah mulai disulam warna
putih itu berpaling, tetapi hanya sejenak. Iapun segera
tenggelam kembali ke dalam kerjanya. Namun demikian, ia
masih sempat menjawab "Aku harus menyelesaikan dua
pucuk pedang ini segera, agar aku dapat bekerja seperti
biasa untuk makan anak dan isteriku"
"O, paman membuat pedang?"
"Hampir sepekan aku mengerjakannya. Hanya sekalisekali
aku berhenti mengerjakan pekerjaan kecil yang segera
dan ditunggui oleh sanak yang membutuhkan. Selebihnya
waktuku habis untuk menempa pedang yang sangat besar
dari baja yang sangat keras ini"
"Pedang siapakah yang paman kerjakan itu?"
Sambil bekerja terus orang itu menjawab "Pengawal
hutan itu" "Di manakah rumah mereka?"
"Juga di dalam hutan itu"
Menarik sekali bagi mahisa Bungalan. Pengawal yang
tinggal di hutan dan berbuat sewenang-wenang kepada
orang yang lemah. Tetapi seperti yang dikatakan, bahwa
Mahisa Bungalan tidak ingin berbuat sesuatu yang dapat
menimbulkan permasalahan dalam perjalanannya. Apalagi
ia tidak berkepentingan dengan pengawal-pengawal itu.
Namun diluar kehendaknya, tiba-tiba saja bertanya
"Paman, apakah paman mengetahui, siapakah yang telah
nyengker beberapa jenis tanaman berharga itu?"
Pandai besi itu mengerutkan keningnya. Kemudian
jawabnya "Aku tidak tahu pasti ngger. tetapi dahulu daerah
ini dimiliki oleh para bangsawan dari Kediri seperti daerah
di ujung Selatan yang menjadi daerah perburuan. Bahkan
beberapa jenis kayu-kayuan di hutan itu telah diberi landa
dan patok-patok siapakah yang memilikinya"
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Katanya "Jadi
tidak hanya satu orang sajalah yang memilikinya"
"Tepat" jawab Pandai besi itu.
Mahisa Bungalan mengerutkan keningnya. Hampir saja
ia bertanya, dua orang pengawal itu, menunggu hutan milik
siapa. Tetapi niatnya diurungkannya, karena Pandai Besi
itu tentu tidak mengetahuinya pula.
Agar perjalanannya tidak terganggu, yang mungkin akan
dapat mengganggu seluruh rencana perjalanannya, maka
Mahisa Bungalanpun segera meninggalkan tempat itu. Ia
ingin segera sampai kedaerah hutan perburuan bagi para
bangsawan Kediri. "Nampaknya sangat aneh, bahwa Pangeran Kuda
Padmadata tidak mengetahui nasib anak dan isterinya"
berkata Mahisa Bungalan di dalam hatinya. Ada sedikit
kecurigaan pada Pangeran itu, bahwa sebenarnya iapun
terlibat pula dalam rencana yang jahat itu.
"Ah" desahnya "aku hanya berprasangka. Mungkin
Pangeran itu memang seorang yang berjiwa lemah, yang
berada di bawah kuasa isterinya, sehingga meskipun ia
mengetahuinya, namun ia tidak dapat berbuat apa-apa. Ia
harus mengikhlaskan anak dan isterinya yang di ambilnya
dari padukuhan itu menjadi korban ketamakan isteri
bangsawannya dan bahkan juga adiknya sendiri"
Sambil melangkah meninggalkan pasar itu, Mahisa
Bungalan selalu berpikir tentang dua orang pengawal yang
garang itu. Namun tiba-tiba saja langkahnya terhenti. Tibatiba
saja ia bertemu dengan dua orang yang agak lain dari
orang-orang padukuhan. Meskipun kedua orang itu
berpakaian seperti kebanyakan orang-orang di daerah itu,
namun ada beberapa perbedaan yang nampak pada
keduanya. Di luar sadarnya Mahisa Bungalan mendatangi orangorang
itu. Namun iapun terkejut ketika salah seorang dari
keduanya membentak "He, anak gila. Apa yang kau lihat?"
Mahisa Bungalan menyadari keadaannya. Karena itu,
maka iapun segera menundukkan kepalanya sambil
bergeser menjauh. Tetapi salah seorang dari kedua orang itu mendekatinya.
Tiba-tiba saja kakinya telah menendang Mahisa Bungalan
yang sama sekali tidak bertahan dan membiarkan tubuhnya
terdorong beberapa langkah, dan jatuh terguling di tanah.
Beberapa orang yang melihatnya menahan nafas. Anak
itu nampaknya bukan orang jahat. Bahkan nenek tua
pemilik kedai di sebelah pasar itu. Ia masih melihat anak
yang baru saja berhenti di kedainya itu terjatuh.
Kedua orang yang berpapasan dengan Mahisa Bungalan
itu memandanginya sejenak. Keduanya tiba-tiba saja
tertawa meledak. Salah seorang dari keduanya berkata
"Anak setan. Aku kira kau bukan pengemis gila soperti itu.
Pergilah, agar aku tidak mencekikmu"
Mahisa Bungalan tertatih berdiri. Tiba-tiba saja ia
meloncat berlari meninggalkan kedua orang itu.
Keduanya tertawa semakin keras, tetapi mereka tidak
mengejar Mahisa Bungalan.
Tetapi ternyata Mahisa Bungalan tidak berlari terlalu
jauh. Beberapa puluh langkah ia berdiri. Nampaknya ia
kelelahan, sehingga nafasnya menjadi tersengal-sebgal.
Ketika ia berpaling dilihatnya kedua orang itu telah
melangkah menuju ke pandai besi yang sedang menggarap
pedang. "Hem" Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam
"nampaknya kedua orang itulah pengawal hutan dari para
bangsawan di Kediri itu. Nampaknya mereka memang
garang dan menakut-nakuti orang"
Tetapi seperti yang dikatakan kepada kakek yang
ditinggalkannya, Mahisa Bungalan tidak ingin membuat
perkara. Karena itu ia tidak kembali dan mempersoalkan
kedua orang itu. "Aku akan meneruskan perjalananku. Jika ada waktu
aku memang wajib membebaskan orang-orang padukuhan
di sekitar hutan itu dari tingkah laku kedua orang pengawal
yang gila itu. Tetapi jika dengan demikian, dendam kawankawannya
justru tertuju kepada orang-orang padukuhan itu,
akan membuat keadaan mereka semakin buruk"
Mahisa Bungalan kemudian meneruskan perjalanannya.
Ia menuju ke tempat yang ditunjuk sebagai hutan perburuan
itu. Dari sana ia dapat melihat, mungkin juga mendengar
ceritera tentang isteri seorang Pangeran yang ditinggalkan
suaminya dan kemudian justru hilang dari rumahnya.
Perjalanan Mahisa Bungalan selanjutnya tidak
mengalami gangguan apapun juga. Sebelum gelap ia sudah
sampai ke tempat yang ditujunya. Karena ia tidak ingin
menginap di rumah seseorang atau dibanjar padukuhan,
maka iapun langsung menuju ke hutan perburuan di dekat
padukuhan Rambi di daerah Badas bagian Selatan.
Mahisa Bungalan sempat beristirahat sejenak. Untunglah
bahwa pada saat itu tidak ada seorangpun yang sedang
berburu di hutan itu. "Seharusnya Pangeran itu sering berburu di hutan ini
sambil menengok isteri dan anaknya. Kecuali jika ia
menjadi kecewa dan menyesal, bahwa ia sudah kawin
dengan seorang gadis padesan" desis Mahisa Bungalan.
Kecurigaannya kepada Pangeran Kuda Padmadata
menjadi semakin tajam, justru karena Pangeran itu tidak
berbuat apa-apa dan nampaknya justru tidak tahu apa-apa.
Ketika malam menjadi semakin larut, maka Mahisa
Bungalanpun kemudian meninggalkan hutan itu, menuju ke
padukuhan. Dengan hati-hati ia mendekati dinding
padukuhan dan ketika ia yakin tidak seorangpun yang
melihatnya, maka iapun segera meloncat masuk.
Mahisa Bungalan sengaja tidak melalui regol padukuhan,
agar tidak seorangpun yang mempersoalkan kehadirannya.
Biasanya di dekat regol terdapat gardu dan anak-anak muda
yang meronda. Di dalam padukuhan yang sepi itu, Mahisa Bungalan
segera mencari rumah seperti yang disebutkan oleh kakek
tua yang kehilangan anak perempuannya itu. Satu-satu ia
mengenal pertanda yang diberikan kepadanya. Pohon
nyamplung yang besar di sudut padukuhan. Kemudian
jalan menyilang di bawah sebatang pohon preh yang sudah
sangat tua, yang di bawahnya terdapat mata air kecil, tetapi
merupakan sumber air bagi padukuhan itu. Meskipun
sumber air itu tidak begitu besar, tetapi air itu tidak pernah
kering di sepanjang musim.
Setelah beberapa kali ia memotong jalan dan menyusuri
dinding halaman, sampailah ia kesebuah rumah yang agak
besar dengan halaman yang cukup luas.
"Inilah rumahnya" berkata Mahisa Bungalan di dalam
hati. Tetapi rumah itu memang sepi. Tidak ada sebuah obor
atau lampupun yang terpasang. Di luar atau di dalam
rumah. "Seperti rumah hantu" desis Mahisa Bungalan sambil
merayap mendekati. Dengan ketajaman pendengarannya ia
mencoba mengetahui, apakah ada seseorang yang berada di
dalam rumah itu. Namun menurut pendengaran Mahisa Bungalan, rumah
itu benar-benar telah kosong. Karena itulah, maka Mahisa
Bungalanpun kemudian memberanikan diri untuk
menyusup masuk. Dengan hati-hati ia membuka pintu
belakang. Ternyata pintu itu memang tidak diselarak.
"Gelap sekali" desisnya.
Karena itu, maka iapun menunggu sejenak. Setelah
matanya terbiasa, maka mulailah ia melihat dalam
keremangan. Tetapi mata Mahisa Bungalan adalah mata
yang terlatih baik, sehingga meskipun tidak jelas, tetapi ia
dapat melihat bayang-bayang.
Beberapa langkah ia masuk ke ruang dalam. Tetapi
rumah itu benar-benar sepi. Beberapa macam perabotnya
masih berserakkan. Agaknya sejak rumah itu ditinggalkan
dalam hiruk-pikuk, tidak seorangpun yang memeliharanya.
Apalagi ketika kemudian Mahisa Bungalan menyentuh
sarang laba-laba bergelantungan di dalam rumah itu.
"Rumah ini benar-benar tidak pernah diambah orang"
katanya di dalam hati. Namun karena itu, maka iapun
berniat untuk tetap berada di rumah itu. Bukan saja malam
itu, tetapi juga di esok hari.
"Tidak ada yang akan memasuki rumah ini" desisnya. Ia
yakin hal itu, karena sarang laba-laba yang menyangkut di
wajahnya dan bagian tubuhnya yang lain. Karena itulah,
maka Mahisa Bungalan tidak berniat meninggalkan rumah
itu. Bahkan iapun kemudian masuk ke dalam bilik dan
mendapatkan sebuah pembaringan.
Tetapi karena pembaringan itu ternyata kotor sakali
ketika tangannya meraba, Mahisa Bungalan tidak
bermaksud untuk tidur di pembaringan itu. Yang
dilakukannya kemudian adalah justru duduk lantai sambil
bersandar dinding. Namun dengan cara demikian iapun
dapat tidur dengan nyenyak.
Menjelang fajar, Mahisa Bungalan telah bangun, cahaya
pagi mulai menyusup lewat lubang-lubang dinding. Namun
justru karena itu, maka ia mulai melihat dengan jelas.
betapa kotornya rumah yang kosong itu. Bahkan beberapa,
bagian dari dindingnya telah miring. Yang lain berlubang
itu sebagian lagi telah runtuh.
"Aku tidak meraba bagian yang runtuh itu semalam"
berkata Mahisa Bungalan. Tetapi dengan bekas-bekas itu, ia semakin yakin, bahwa
pernah terjadi pergulatan di dalam rumah itu.
"Agaknya pengawal yang setia itu berusaha bertaihan
dan melarikan cucu kakek tua itu" berkata Mahisa ungalan
di dalam hatinya. Ketika Mahisa Bungalan bangkit dan mengibaskan
pakaiannya, maka debupun menghambur sehingga Mahisa
ungalan terpaksa melangkah berpindah tempat.
Untuk beberapa saat lamanya, Mahisa Bungalan tidak
berbuat sesuatu. Ia membersihkan sebuah dingklik kayu dan
duduk sambil merenungi isi rumah itu. Beberapa macam
perabotnya, temasuk perabot rumah yang baik. Tetapi sama
sekali tidak nampak lagi ujud yang sebenarnya karena tidak
pernah diraba oleh perawatan tangan.
Ketika matahari semakin tinggi, Mahisa Bungalan justru
menjadi bingung. Ia tidak dapat keluar dari rumah itu. Jika
seseorang melihatnya, maka akan timbul kecurigaannya,
sehingga mungkin akan dapat mendatangkan persoalan
baginya. Karena itu, ia justru merasa terbelenggu oleh
kehadirannya di dalam rumah itu.
"Nanti malam aku harus meninggalkan rumah ini"
geramnya "aku menyesal bahwa aku sudah berada di
dalamnya hingga pagi"
Karana itulah maka Mahisa Bungalan telah
menghabiskan waktunya dengan melihat-lihat isi rumah itu.
Ia menemukan beberapa macam senjata dari kayu. Sebuah
gerobag kecil yang agaknya ditarik oleh seekor kambing.
Di dalam geledeg justru ia masih menemukan beberapa
potong pakaian yang telah menjadi rapuh. Beberapa macam
barang yang berserakan. Agaknya sebelum meninggalkan
tempat itu, beberapa orang telah mencari sesuatu atau
sengaja menghamburkan seluruh isi rumah itu.
Tetapi Mahisa Bungalan tidak menemukan sesuatu yang
dapat memberikan suatu petunjuk apapun mengenai
hilangnya anak perempuan kakek yang malang itu. Namun
pada suatu sudut yang kotor, Mahisa Bungalan melihat
sesuatu. Ia melihat bekas darah menitik. Namun iapun
melihat sepotong ujung pedang yang nampaknya telah
patah. Meskipun ujung pedang itu tidak terlalu panjang,
dan barangkali tidak berarti sama sekali bagi pedang yang
patah, namun hal itu telah menarik perhatiannya.
"Pengawal hutan itu menyuruh seorang pandai besi
membuat pedang" berkata Mahisa Bungalan kepada diri


Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sendiri" Namun Mahisa Bungalan telah berbantah dengan
dirinya sendiri. Mereka telah menyuruh pandai besi itu
membuat dua buah pedang. Tidak hanya satu. Tetapi
menurut pertimbangan Mahisa Bungalan, mungkin saja
yang seorang ingin juga mempunyai sebilah pedang yang
baru. Berbagai macam pertimbangan telah berkecamuk di
kepala Mahisa Bungalan. Ia memutar balik segala ke
mungkinan. Namun ia tidak menemukan kepastian, selain
dugaan-dugaan. "Meskipun demikian, aku akan mencobanya" berkata
Mahisa Bungalan di dalam hatinya.
Tetapi ia tidak dapat segera keluar dari rumah itu. Ia
harus menunggu sampai gelap dan padukuhan itu menjadi
sepi. Demikian padukuhan itu menjadi sepi, maka Mahisa
Bungalanpun segera meninggalkan halaman rumah itu.
Dengan hati-hati ia merayap agar tidak seorangpun
melihatnya. Ujung pedang yang patah itu telah dibawanya.
Mungkin ada gunanya untuk mengetahui masalah yang
sedang diamatinya. Malam itu, meskipun Mahisa Bungalan telah berhasil
keluar dari padukuhan itu, namun ia masih bermalam di
hutan perburuan. Di rumah yang kosong itu, ia masih
menemukan beberapa ontong jagung. Namun ia berbuat
cukup berhati-hati, sehingga api yang dinyalakan tidak akan
nampak dari kejauhan. Dalam dinginnya malam ia sempat membakar beberapa
ontong jagung. Meskipun jagung itu terlalu tua dan keras,
tetapi Mahisa Bungalan dapat sekedar mengisi perutnya.
Dengan memotong beberapa jenis pohon merambat,
Mahisa Bungalan mendapatkan air jernih untuk dapat di
minumnya, meskipun hanya beberapa tetes saja.
Di pagi hari berikutnya, Mahisa Bungalanpun
melangkah kembali, menempuh perjalanan pada arah yang
berlawanan. Sebagai seorang perantau, maka iapun dapat
mengenal jalan dengan baik, sehingga ia tidak tersesat ke
jalan yang berbeda. Mahisa Bungalan menjadi berdebar-debar melihat pasar
yang dilaluinya. Ia sudah memperhitungkan waktu, bahwa
ia akan sampai ke tempat itu, menjelang pasar menjadi
sunyi, tetapi masih belum kosong sama sekali, sehingga ia
masih dapat menemui nenek tua dan pandai besi yang
sedang bekerja keras itu.
Ketika nenek tua penjual semelak itu melihat Mahisa
Bungalan, maka dengan serta merta ia bertanya "Apakah
kau mau minum lagi anak muda?"
Mahisa Bungalan tersenyum. Namun katanya "Nanti
Nek. Aku belum punya uang. Aku ingin menjual sesuatu
kepada pandai pandai besi itu dahulu"
Nenek tua itu mengerutkan keningnya. Namun katanya
"Apakah ia akan dapat membelinya, la tidak mendapat
upah apapun dari kedua orang yang memesan pedang
kepadanya itu" "Siapa tahu. Barang yang akan aku jual adalah barang
yang mungkin berharga baginya"
Nenek tua itu mengangguk-angguk. Namun katanya
"Anak muda. Jika kau ingin minum, minumlah meskipun
kau tidak mempunyai uang. Aku tidak akan menjadi lebih
miskin lagi dengan memberimu minum barang seteguk"
"Terima kasih nek, terima kasih. Tetapi biarlah aku
mencoba menghubungi pandai besi itu lebih dahulu"
Nenek tua itu tidak menahannya. Ia hanya memandangi
saja ketika Mahisa Bungalan kemudian mendekati pandai
besi yang berkeringat itu.
Sejenak Mahisa Bungalan berdiri termangu-mangu.
Namun kemudian ia melangkah setapak maju.
"Kau mau apa anak muda?" bertanya pandai besi
"Paman" berkata Mahisa Bungalan "aku ingin menjual
sesuatu pada paman" Orang itu memandang Mahisa Bungalan dengan
tajamnya. Kemudian tiba-tiba saja ia membentak "Jangan
ganggu aku. Kau lihat aku bekerja keras tanpa mendapat
upah. Aku harus menyelesaikan kerja ini segera, karena aku
harus makan dengan seluruh keluargaku"
"Tetapi barang yang aku miliki adalah barang yang
barangkali penting bagi paman"
"Pergi" bentak pandai besi itu "jangan ganggu aku.
Sehari ini aku tidak sempat mengerjakan pekerjaan yang
lain kecuali menyelesaikan pedang ini, karena terdapat
beberapa hal sesuai dengan keinginan pemiliknya, Aku
masih harus membawanya kepada seseorang yang dapat
memberikan hulu berukir sebelum menyerahkannya kepada
pemiliknya. Karena itu kesempatanku untuk mencari
makan dalam beberapa hari ini sangat sempit. Dan kau
datang untuk mengganggu aku"
"Maaf paman. Tetapi aku mempunyai bahan yang
barangkali dapat paman pergunakan untuk membuat
pedang itu" "Kau gila. Pedang ini sudah tidak memerlukan bahan
lagi. Aku tinggal menyelesaikannya. Kedua orang itu masih
saja selalu mencela, bahwa buatanku adalah buatan yang
sangat kasar. Tentu saja, pandai besi di kota-kota itu dapat
bekerja jauh lebih baik, lebih halus dan lebih tekun, karena
mereka mendapat upah yang cukup dan bahan yang
memang bagus" "Tetapi paman, aku juga membawa bahan yang sangat
bagus. Aku persilahkan paman untuk melihatnya" berkata
Mahisa Bungalan. Tanpa menunggu jawaban orang itu, maka Mahisa
Bungalanpun mengambil potongan pedang yang
diketemukannya di dalam rumah kotor itu. Dengan raguragu
ditunjukkannya potongan pedang itu sambil berkata
"Inilah paman. Paman dapat membelinya dengan harga
sekehendak paman" Pandai besi itu memandang sepotong ujung pedang di
tangan Mahisa Bungalan. Tiba-tiba saja ia membentak
"Anak dungu. Buat apa sepotong ujung pedang itu bagiku
Aku tidak memerlukannya. Apa lagi membelinya"
Tiba-tiba saja pandai besi itu melangkah ke belakang
perapian. Dipungutnya sebilah pedang yang patah ujungnya
dan melemparkannya kepada Mahisa Bungalan "Nih, kalau
kau mau beli, belilah. Pedang itu masih jauh lebil panjang
dari potongan pedangmu"
Mahisa Bungalan termangu-mangu. Sejenak ia berdiri
mematung. Namun kemudian ia memungut pedang itu
sambil berguman "Pedang ini buntung paman"
"Itu lebih panjang dari potongan pedangmu"
Mahisa Bungalan menjadi berdebar-debar. Dengar
tangan bergetar ia mencoba untuk menghubungkan kedua
potongan pedang yang patah itu.
Hatinya bergejolak ketika ternyata bahwa potongat
pedang yang diketemukannya itu adalah potongan pedang
yang dilemparkan oleh pandai besi itu. Karena itu, dengan
serta rnerta ia bertanya "Apakah pedang ini milik salah
seorang dari kedua orang yang memesan pedang kepada
paman" "Ya. Aku harus membuat pedang seperti itu" Sejenak
Mahisa Bungalan termangu-mangu. Namun kemudian
katanya "Jadi paman tidak memerlukan po tongan
pedangku meskipun hanya sekedar diambil sebagai bahan.
Mungkin tidak untuk membuat pedang, tetapi untuk
membuat kejen bajak atau tajam parang"
"Cukup. Kau sudah mengganggu aku. Pergilah"
Mahisa Bungalan meninggalkan pandai besi itu setelah
menyerahkan pedang yang patah. Tetapi ujung pedang itu
masih juga dibawanya. Selangkah demi selangkah ia
berjalan mendekati nenek tua penjual semelak itu.
Kemudian duduk dengan lemahnya di sisi perempuan tua
itu. "Bagaimana?" bertanya perempuan tua itu.
"Paman pandai besi itu tidak mau membelinya nek"
jawab Mahisa Bungalan. "Tidak apa. Minumlah jika kau ingin minum semelak
Aku mengambil buah pace di kebun sendiri"
"Tetapi gula kelapanya?"
"Gula kelapanya tidak terlalu mahal ngger. Marilal
minumlah" berkata nenek itu sambil memberikan
semangkuk semelak. Mahisa Bungalan tidak dapat menolak belas kasihan nenek
tua itu. Iapun menerima semangkuk semelak sambil berkata
"Aku mengucapkan banyak terima kasih, nek"
Nenek tua itu tersenyum. Sekali lagi ia memersilahkan
"Minumlah" Mahisa Bungalanpun kemudian duduk bersandar
sebatang pohon dadap di sisi warung yang miring itu.
Nampaknya ia sedang menikmati semelak pace yang segar
di panasnya siang hari. Namun Mahisa Bungalan menjadi berdebar-debar ketika
ia melihat dua orang yang dijumpainya ketika ia berangkat
Dua orang yang sedang memesan dua bilah pedang kepada
pandai besi yang malang itu.
"Yang seorang dari keduanya masih berpedang" berkata
Mahisa Bungalan di dalam hatinya "sedang yang seorang
membawa senjata yang lain. Sebuah tongkat besi. Orang
itulah agaknya yang pedangnya patah"
Sambil meneguk semelaknya Mahisa Bugalan berpikir
tentang kedua orang itu, tentang pedang yang patah dan
ujung pedang yang diketemukan, dan tentang isteri
Pangeran Kuda Padmadata yang hilang itu. Ia mencoba
menghubungkan peristiwa-peristiwa yang nampaknya
berdiri sendiri-sendiri. Tetapi yang ternyata yang satu berkait dengan yang lain.
"Nek" bertanya Mahisa Bungalan kemudian "apakah
kedua orang itu yang kemarin mendorong aku jatuh?"
"Ya ngger. Karena itu, duduk sajalah disini. Mudahmudahan
ia tidak memperhatikanmu"
"Bagaimana kalau mereka melihatku?"
"Asal kau tidak berbuat sesuatu, maka mereka tentu
akan membiarkanmu duduk sambil minum"
Mahisa Bungalan termangu-mangu. Kedua orang itu
sudah berdiri di dekat pandai besi yang sedang
menyelesaikan pedang yang dipesan oleh kedua orang itu.
Meskipun lamat-lamat, namun ketika kedua orang itu
membentak, Mahisa Bungalan dapat mendengarnya "He,
ternyata kasar sekali. Yang harus kau kerjakan adalah
pedang Bukan parang pembelah kayu. Mengerti?"
"Ya, ya tuan. Aku mengerti"
"Jika sekali lagi aku datang, dan kau belum berhasil
membuat pedang seperti yang aku pesankan, maka
kepalamu akan aku penggal disini"
"Ya, ya tuan. Tetapi kemampuanku sangat terbatas.
Mungkin jauh di bawah kepandaian pandai besi di kotakota
besar, tuan" "Persetan. Lakukan perintahku"
"Ya, ya tuan" Mahisa Bungalan berdesis sambil meletakkan
mangkuknya "Nek, mungkin salah seorang dari kedua
orang tua itu bersedia membeli sepotong besi baja"
"Apa maksudmu?" bertanya nenek tua itu.
"Aku mempunyai sepotong besi baja. Aku akan
menjualnya kepada kedua orang itu"
"Jangan kau lakukan ngger. Lihat, orang itu sedang
marah-marah. Seandainya ia memerlukan barangmu, maka
barang itu tentu akan diambilnya saja tanpa memberimu
sekeping uangpun" "Ah, aku akan mencoba nek. Jika nasibku baik"
"Jika nasibmu buruk?"
"Apaboleh buat. Barang ini hanya aku dapatkan di
pinggir jalan. Aku tidak akan kehilangan"
"Tetapi jangan sekarang" berkata nenek tua itu. Namun
Mahisa Bungalan tidak menghiraukannya. Bahkan katanya
"Jika aku mendapat uang, aku akan membeli semelakmu
lagi nek" Nenek tua itu mencoba mencegahnya "Jangan anak
muda. Jangan mencari perkara"
Tetapi Mahisa Bungalan tidak menghiraukannya. Iapun
kemudian berdiri dan berjalan menuju ke arah kedua orang
yang sedang marah-marah itu.
Beberapa langkah di hadapan pandai besi itu ia berhenti.
Namun kemudian ia maju lagi sambil berkata "Tuan,
apakah tuan memerlukan sesuatu yang barangkali penting
bagi tuan" Kedua orang yang sedang mengamat-amati pedang yang
belum siap seperti yang mereka kehendaki sambil
menggeremeng itu berpaling. Mereka heran melihat Mahisa
Bungalan mendekatinya. "He, pengemis yang malas. Apa maumu?" bertanya
salah seorang dari keduanya.
"Tuan, apakah tuan bersedia membeli sepotong besi
baja?" bertanya Mahisa Bungalan.
"Bodoh" pandai besi itulah yang berteriak "pergi, pergi"
Kedua orang itu termangu-mangu. Salah seorang dari
keduanya bertanya "Apa yang kau maksud?"
Mahisa Bungalan mengeluarkan sepotong besi baja
ujung sebilah pedang yang patah sambil berkata "Apakah
tuan mau membeli sepotong besi baja yang barangkali dapat
tuan pergunakan untuk membuat senjata" Aku memerlukan
uang untuk membeli semelak, tuan"
Ketika keduanya melihat ujung pedang itu wajah mereka
menegang. Tiba-tiba saja salah seorang dari keduanya
membentak "He, darimana kau dapatkan barang itu he?"
Sebelum Mahisa Bungalan menjawab, pandai besi itu
sudah mendahului berteriak "Pergi. Pergilah cepat"
Tetapi Mahisa Bungalan tidak segera pergi. Bahkan ia
masih berkata "Tuan. Aku menemukan ujung pedang ini di
sebuah rumah di padukuhan Rambi di daerah Badas
Selatan. Apakah tuan kenal rumah itu" Pedang tuan yang
patah itu ternyata pangkal dari ujung pedang yang aku


Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ketemukan" Wajah kedua orang itu menegang. Sementara Mahisa
Bungalan berkata seterusnya "Nah, apakah kata tuan?"
Kedua orang itu masih diam mematung memandangi
ujung pedang yang dibawa oleh Mahisa Bungalan itu.
Namun dalam pada itu, pandai besi yang menjadi sangat
cemas melihat nasib Mahisa Bungalan segera mengambil
sekeping uang dari kantong ikat pinggangnya yang besar
sambil berkata "Ini, aku mempunyai sekeping uang.
Pergilah, cepat pengemis dungu"
Mahisa Bungalan tersenyum melihat wajah pandai besi
yang tegang itu. Katanya "Paman sangat baik. Ternyata
hati paman lembut meskipun paman nampaknya kasar.
Tetapi paman tidak usah mencemaskan nasibku. Aku
memang ingin tahu, apakah kedua orang ini mengetahui
asal usul potongan pedang yang sesuai dengan pangkal
pedang dari salah seorang diantara meraka"
"Siapa kau he?" tiba-tiba saja salah seorang dari kedua
orang itu menggeram. "Aku adalah seorang perantau, tuan. Aku menemukan
ujung pedang ini. Nah, aku kira pedang tuan tidak patah
dengan sendirinya. Tentu ada sebabnya. Apakah tuan dapat
mengatakan, apakah sebabnya" Justru di rumah yang kini
kosong, karena menurut para tetangganya, penghuni rumah
itu telah hilang dalam satu keributan?"
"Diam" teriak salah seorang dari keduanya. Teriakan itu
benar-benar telah menggetarkan seisi pasar.
Pandai besi itu menjadi pucat. Dan penjual semelak itu
menjadi gemetar. "O, ngger. Kenapa kau tidak pergi saja" gumamnya.
Tetapi yang hanya dapat didengarnya sendiri.
"Ki Sanak" berkata Mahisa Bungalan kemudian
"sebaiknya kau beli ujung pedang ini dengan sebatang
pohon cendana yang sudah cukup besar, yang dapat aku
buat menjadi sebuah peti sebesar geledeg untuk menyimpan
pakaian. Atau barangkali kau mempunyai pendok emas
atau timang tretes berlian. Jika kau tidak mau memberikan
tebusan itu, aku akan menghadap Pangeran Kuda
Padmadata dan menyampaikan masalah hilangnya isteri
dan anaknya" Wajah kedua orang itu menjadi merah padam. Salah
seorang dari keduanya menggeram "Apakah kau sudah
gila" Kau tahu, dengan siapa kau berhadapan?"
"Ya. Aku tahu pasti, dengan siapa aku berbicara. Kalian
adalah orang-orang yang telah datang ke rumah isteri
pangeran Kuda Padmadata. Bertempur dengan
pengawalnya yang pilih tanding, sehingga pedangmu patah.
Pengawal itu sempat membawa putera Pangeran itu lari.
Tetapi kalian sempat menyusulnya dan membunuh
pengawal itu" "Gila" kedua orang itu menggeram "kau harus mati"
"Jangan kau bunuh aku. Beri aku tebusan untuk
membungkam mulutku" Sejenak kedua orang itu termangu-mangu. Namun tibatiba
saja diluar dugaan, salah seorang dari keduanya itu
berteriak "Membungkam mulutmu dengan cara yang paling
baik adalah ini" Mahisa Bungalan sudah mengira. Karena itu, ia sudah
bersiap. Ketika orang itu dengan tiba-tiba menarik
pedangnya dan menusuk dadanya, ia sempat meloncat
menghindar. Nenek tua penjual semelak itu terpekik. Ia memejamkan
matanya dan dengan serta merta memutar tubuhnya,
membelakangi peristiwa yang mengerikan itu. Sementara
pandai besi itupun berdiri gemetar sambil kebingungan.
Namun ia masih sempat melihat Mahisa Bungalan
menghindarkan dirinya. "Jangan marah Ki sanak" berkata Mahisa Bungalan
"aku hanya ingin beberapa keping uang, atau sepotong
emas dan beberapa butir berlian. Kenapa kau marah dan
akan membunuhku?" Orang itu tidak menjawab. Iapun kemudian menyerang
Mahisa Bungalan dengan kasar. Bahwa Mahisa Bungalan
sempat menghindarkan dirinya pada serangannya yang
pertama, agaknya telah memperingatkannya, bahwa anak
itu bukan seorang pengemis sewajarnya.
Mahisa Bungalan kemudian meloncat ke balik perapian
tiba-tiba saja telah memungut pedang yang patah ujungnya.
Sambil mengacungkan pedang itu ia berkata "Bukan aku
yang mulai dengan pertengkaran ini. Tetapi adalah
kebetulan sekali. Sebenarnya aku tidak ingin terlibat ke
dalam persoalan-persoalan yang kurang aku pahami ujung
dan pangkalnya. Tetapi akupun tidak ingin menyia-nyiakan
kesempatan ini" Kedua orang itupun kemudian berpencar. Mereka
melangkah mendekati Mahisa Bungalan dari dua arah.
Namun Mahisa Bungalanpun kemudian bergeser menjauhi
pandai besi itu, agar jika benar-benar ia harus bertempur, ia
mendapat kesempatan yang cukup.
Ternyata bahwa kedua orang itu tidak banyak berbicara
lagi. Dengan serta merta keduanya telah menyerang Mahisa
Bungalan. Yang seorang dengan pedang, yang lain dengan
sepotong besi. Mahisa Bungalan telah bersiap menghadapi segala
kemungkinan. Karena itu, maka serangan kedua orang itu
sama sekali tidak mengenainya. Ia sempat mengelak, dan
bahkan iapun telah mulai dengan serangan-serangannya.
Ternyata bahwa Mahisa Bungalan benar-benar seorang
yang cekatan dan tangkas. Ia bukan saja hanya mampu
menghindar, tetapi serangan-serangannya kemudian telah
membuat lawannya menjadi bingung. Sejenak kemudian
pertempuran itupun menjadi semakin dahsyat. Ternyata
anak muda yang disangkanya pengemis itu adalah anak
muda yang luar biasa. Dalam pada itu, Mahisa Bungalan yang mendapat alas
bagi ilmunya dari kakek anak laki-laki yang terancam
jiwanya itu, ternyata benar-benar menjadi semakin perkasa.
Geraknya menjadi semakin cepat, kekuatannyapun seolaholah
menjadi berlipat dalam ilmu yang memang sudah
dimilikinya. Sejenak pandai besi itu berdiri kebingungan. Ia tidak
mengerti, apakah yang sebenarnya telah terjadi. Ia tidak
mengerti bagaimana ia harus menilai anak muda dungu
yang akan menjual sepotong ujung pedang kepadanya itu.
Namun dalam pada itu ternyata bahwa anak muda yang
disangkanya perantau dungu itu dapat menempatkan diri
untuk melawan dua orang penjaga hutan peliharaan itu,
Dua orang yang selama itu telah menjadi hantu yang sangat
ditakuti oleh orang-orang di sekitarnya. Jika ia ingin makan,
maka tidak ada kedai yang berani memaksanya untuk
membayar harga makanan yang dimakannya. Jika ia
menghendaki, apapun akan di berikan oleh orang-orang di
sekitar hutan itu. Bahwa seandainya kedua orang itu
memerlukan anak atau isteri mereka.
Tetapi kini dua orang itu berhadapan dengan seorang
anak muda yang tidak dikenal sebelumnya. Anak muda
yang disangka seorang perantau yang tidak mampu berbuat
sesuatu kecuali minta-minta kepada siapapun yang
mempunyai belas kasihan. Dengan wajah yang tegang dan tubuh gemetar, pandai
besi itu di luar sadarnya telah menyaksikan perkelahian
yang semakin lama menjadi semakin dahsyat. Dua orang
yang menjadi hantu di daerah itu, adalah dua orang luar
biasa. Keduanya memiliki kekuatan yang tidak ada taranya
sementara keduanya memiliki ilmu pedang yang tidak ada
duanya. Tetapi lawannya adalah anak muda yang tangkas dan
ternyata memiliki tenaga raksasa. Sekali-sekali senjata
mereka saling bentur. Namun ternyata bahwa yang telah
patah itu benar-benar merupakan senjata yang sangat
mengerikan bagi kedua lawanya.
Semakin lama kemudian semakin nampak, bahwa
kecepatan bergerak Mahisa Bungalan sulit diimbangi oleh
kedua orang itu. Dengan demikian, maka keduanyapun
semakin lama menjadi semakin terdesak.
Meskipun demikian, keduanya adalah orang yang sudah
berpengalaman menghadapi berbagai macam kemungkinan.
Karena itu, untuk bertahan lebih lama lagi, merekapun
telah bertempur semakin lama semakin garang, kasar dan
bahkan keduanya seakan-akan menjadi buas.
Namun bagaimanapun juga, mereka berdua tidak dapat
mengatasi kemampuan Mahisa Bungalan. Meskipun
keduanya berusaha menyerang anak muda itu dari arah
yang berlawanan, namun keduanya tidak berhasil membuat
Mahisa Bungalan menjadi bingung dan apalagi dengan
ujung senjata, berhasil menyentuh tubuh anak muda itu.
Yang kemudian justru terjadi adalah sebaliknya. Ketika
Mahisa Bungalan menjadi muak terhadap kebuasan dan
keliaran kedua lawannya, maka ia tidak ingin bertempur
lebih lama lagi. Dengan garang, iapun kemudian
menyerang dengan senjatanya yang telah patah. Dengan
loncatan-loncatan cepat ia membuat kedua lawannya
kadang-kadang kehilangan arah.
Selagi Keduanya kebingungan, maka terdengar salah
seorang dari kedua orang itu mengeluh. Orang yang
bersenjata sepotong besi itu terdesak surut. Ternyata bahwa
lengannya telah tersobek oleh ujung senjata yang telah
patah itu. "Gila" geram orang bersenjata tongkat besi itu.
Tetapi ia tidak sempat mengumpat untuk kedua kalinya,
karena sekali lagi senjata Mahisa Bungalan menyobek
pundaknya. Yang terdengar sekali lagi adalah rintihan kesakitan.
Namun agaknya orang itu masih berusaha untuk melawan.
Namun Mahisa Bungalan ternyata benar-benar mampu
bergerak cepat Serangannya sempat mendesak salah
seorang lawannya yang bersenjata pedang, sementara iapun
kemudian meloncat dan memukul tengkuk lawannya yang
telah terluka itu, tidak dengan tajam pedangnya, tetapi
justru dengan tangkainya.
Terhuyung-huyung orang itu jatuh di tanah. Ia sama
sekali tidak menyadari lagi, apa yang telah terjadi, Dunia
menjadi gelap dan iapun telah menjadi pingsan.
Sementara itu Mahisa Bungalan tinggal menghadapi
seorang lawannya. Karena itu, maka pekerjaannya tidak
terlalu berat lagi. Ketika lawannya menyerangnya dengan
ujung pedang, Mahisa Bungalan sengaja tidak
menghindarnya. Dibiarkannya pedang lawannya terjulur,
namun tiba-tiba saja ia telah menangkis dangan pedang
patahnya dan memutar menghentak.
Demikian cepat dan kuatnya, sehingga lawannya tidak
mampu lagi bertahan. Rasa-rasanya pedangnya telah
terputar dan tangannya bagaikan tersentuh bara api.
Dengan demikian maka pedangnya itupun telah terlepas
dari tangannya dan jatuh di tanah.
Tidak ada kemungkinan lagi baginya untuk bertahan.
Karena itu maka tidak ada jalan lain yang dapat ditempuh,
kecuali melarikan diri. Tetapi demikian ia meloncat, terasa
tengkuknya tersentuh sesuatu. Ketika ia mencoba untuk
melenting menghindari sentuhan berikutnya, terasa
tubuhnya menjadi sangat lemah, sehingga seolah-olah
tulang-tulangnya telah terlepas dari kulitnya.
Orang itupun tiba-tiba telah terjatuh. Ketika ia berusaha
untuk berdiri, maka tubuhnya bagaikan menjadi timah yang
sangat berat, sedangkan kekuatannya bagaikan telah lenyap
sama sekali. "Kau akan lari?" terdengar suara Mahisa Bungalan.
Orang itu masih dapat bergerak. Ia masih berdiri tegak.
Tetapi kemampuannya bergerak menjadi terbatas sekali.
"Kau tidak akan dapat lari. Aku telah menyentuh pusat
syarafmu, sehingga sebagian dari kekuatanmu telah
membeku" berkata Mahisa Bungalan.
Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun seperti yang
dikatakan oleh anak muda itu, kekuatannya tidak mampu
lagi untuk melakukan sesuatu.
"Tetapi kau masih dapat berjalan sampai ke tempat
persembunyianmu. Tunjukkan, dimanakah isteri Pangeran
Kuda Padmadata itu kau sembunyikan"
"Aku tidak tahu. Aku tidak kenal Pangeran Kuda
Padmadata" "Kau benar-benar tidak mengenalnya?"
"Tidak. Aku adalah abdi seorang Pangeran yang lain,
yang memiliki beberapa batang pohon cendana di hutan itu,
serta beberapa jenis pohon yang getahnya berbau wangi"
Mahisa Bungalan termangu-mangu sejenak.
Dipandanginya orang itu orang yang sedang pingsan itu
berganti-ganti. Kemudian dengan nada datar ia bergumam
"Baiklah kau memang tidak tahu menahu, biarlah aku
pergi" Tetapi ketika Mahisa Bungalan melangkah, orang itu
hampir berteriak "He, kau tinggalkan aku dalam keadaan
begini?" "Kenapa?" "Aku hidup tidak, matipun tidak. Jika kau ingin mem
bunuhku, bunuhlah. Tetapi jangan kau biarkan aku dalam
keadaan seperti ini"
"Itu urusanmu" jawab Mahisa Bungalan " kalau kau
memang ingin mati, kau dapat membunuh dirimu. Kau
dapat terjun ke dalam sumur, atau menggantung diri, atau
masuk ke dalam perapian yang sedang menyala"
"Tidak. Jangan tinggalkan aku dalam keadaan seperti
ini" minta orang itu.
"Aku tidak peduli" jawab Mahisa Bungalan.
Tetapi orang itu masih saja berteriak "Bunuhlah aku"
"Aku tidak akan membunuhmu, Tetapi aku akan
menyembuhkanmu jika kau mengatakan yang sebenarnya
tentang isteri Pangeran Kuda Padmadata"
Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun ketika
Mahisa Bungalan melangkah menjauh, orang itu berteriak
"Kembalilah. Aku akan mengatakannya "


Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mahisa Bungalan kemudian melangkah kembali
mendekati orang itu. Lalu katanya "Nah, sekarang
katakanlah apa yang kau ketahui tentang puteri itu"
"Ia sudah mati"
Seperti warna merah membayang di wajah Mahisa
Bungalan. Namun kemudian katanya "Kau jangan ber
bohong" "Aku berkata sebenarnya"
"Dimana ia kau bunuh?"
"Bukan aku. tetapi kawan-kawanku"
"Ya, dimana" "Di rumahnya" "Dan mayatnya?"
"Kami tinggalkan di rumahnya"
Tiba-tiba saja Mahisa Bungalan tertawa. Katanya di
antara suara tertawanya "Kau ingin menipu aku lagi. Jika
mayat itu kau tinggalkan, tentu tetangganya akan
mengurusinya. Menyelenggarakannya sebagaimana
mestinya. Tetapi tidak seorangpun yang mengetahui
tentang mayat itu" "Tentu tidak ada yang mengetahuinya. Tidak ada yang
berani memasuki rumah itu sepeninggal kami"
"Jadi mayat itu masih tetap berada di dalam rumah?"
"Ya" Mahisa Bungalan tidak segera menjawab.
Kemarahannya tiba-tiba saja telah membakar jantungnya
sehingga tangannya telah terayun menghantam wajah orang
itu. Orang itu melihat tangan Mahisa Bungalan bergerak. Ia
masih manyadari akibatnya, sehingga orang itupun
berusaha untuk menghindar. Tetapi rasa-rasanya tubuhnya
tidak lagi dapat dikuasainya. Ia sama sekali tidak berhasil
menghindarkan diri. Justru usahanya untuk menghindar,
serta dorongan tangan Mahisa Bungalan yang sebenarnya
tidak begitu keras itu telah melemparkannya jatuh di tanah.
"berdiri" bentak Mahisa Bungalan "atau aku akan
menginjak perutmu" Tertatih-tatih orang itu berdiri. Betapa sulitnya. Namun
akhirnya ia berhasil tegak. Meskipun demikian kakinya
terasa gemetar karena tubuhnya yang menjadi sangat berat.
"Sudahlah. Jangan banyak bicara. Aku menjadi muak.
Karena itu lebih baik aku pergi saja"
"Jangan, jangan pergi" orang itu berteriak pula.
"Tidak ada gunanya aku menungguimu disini" Ketika
Mahisa Bungalan melangkah, orang itu berteriak lagi
sambil berkata "Baiklah. Baiklah aku berkata sebenarnya"
Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Dengan
geram ia berkata "Jangan memperbodoh aku. Jika mayat
itu tetap berada di dalam rumah, tentu aku sudah
menemukannya. Sekarang, katakan yang sebenarnya. Aku
benar-benar sudah muak melihat wajahmu dan mendengar
suaramu" Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Lalu "Ia berada
di hutan itu. Kami telah menyembunyikannya"
"Kau tidak berbohong?" bertanya Mahisa Bungalan.
"Tidak. Aku tidak berbohong"
"Tetapi kenapa ia tidak kau bunuh saja?" bertanya
Mahisa Bungalan. Orang itu mengerutkan keningnya. Dengan heran ia
bertanya "Kau tidak mau mendengar jawabanku bahwa ia
sudah aku bunuh" "Aku tidak perlu jawabanmu, tetapi aku perlu
kenyataan. Ia pasti masih hidup. Tetapi kenapa kau tidak
membunuhnya, atau orang yang memerintahkanmu tidak
membunuhnya?" Orang itu menjadi bingung. Ia sadar, bahwa pada suatu
saat tentu akan sampai sebuah pertanyaan kepadanya,
siapakah yang telah memerintahkannya. Tetapi ia tidak
dapat berbuat apa-apa. Hidup dalam keadaan seperti yang
dialaminya adalah hidup yang paling menderita. Keadaan
tubuhnya tidak akan lebih baik dari pada orang yang cacat
paling parah. "Ia masih hidup" desisnya "sepengetahuanku, ia masih
diperlukan untuk memancing agar anak laki-lakinya dapat
ditangkap pula. Mungkin ia masih dapat dipergunakan
dengan cara apapun juga untuk mempertemukannya
dengan anak laki-lakinya"
Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Lalu
katanya "Marilah, antarkan aku kepadanya. Biarlah
kawanmu tetap disini. Pandai besi itu akan mengikatnya
erat-erat" Orang itu termangu-mangu. Namun Mahisa Bungalan
kemudian mendorongnya sehingga orang itu hampir saja
jatuh terjerembab, justru karena tubuhnya rasa-rasanya
tidak dapat dikuasainya lagi.
"Berjalanlah" perintah Mahisa Bungalan
"Kakiku berat sekali"
"aku dapat membuatmu lumpuh sama sekali dan aku
akan dapat meninggalkan di pinggir hutan, sehingga anjing
liar akan menerkammu selagi kau masih hidup, tetapi
lumpuh" Orang itu menjadi ngeri. Tetapi ia percaya bahwa anak
muda itu dapat memperlakukannya demikian. Karena itu,
maka ia tidak dapat berbuat sesuatu. Ia berjalan betapapun
beratnya menuju kehulan peliharaan yang di dalamnya
terdapat beberapa batang pohon cendana.
Dalam pada itu sepeninggal Mahisa Bungalan, maka
pandai besi itupun telah melakukan seperti apa yang
dikatakan oleh Mahisa Bungalan. Orang yang pingsan
itupun diikatnya erat-erat pada sebatang pohon, agar
apabila ia sadar, ia tidak dapat berbuat apa-apa.
Sementara itu, Mahisa Bungalanpun menjadi semakin
dekat dengan hutan peliharaan. Namun ia tidak percaya
sepenuhnya kepada orang yang telah tidak mampu berbuat
apa-apa itu lagi. Ia masih tetap berhati-hati. Mungkin di
hutan itu terdapat beberapa orang kawan-kawannya yang
mengawal isteri Pangeran Kuda Padmadata yang berasal
dari padukuhan itu. Tertatih-tatih orang itupun berjalan memasuki hutan.
Sikapnya yang nampak ragu-ragu dan gelisah, membuat
Mahisa Bungalan semakin berhati-hati. Beberapa langkah
di dalam rimbunnya dedaunan pada hutan peliharaan yang
nampak teratur pada bagian tepinya itu. Mahisa Bungalan
melihat jalan setapak. Menurut pengamatan Mahisa
Hungalan, jalan itu adalah jalan yang sering diambah kaki
manusia yang hilir mudik masuk dan keluar hutan itu.
"Tentu bukan jalan yang hanya dilalui oleh dua orang
saja berkata Mahisa Bungalan di dalam hatinya.
Karena itu, maka iapun menjadi semakin berhati-hati.
Semakin dalam ia masuk, maka ia semakin memperhatikan
keadaan di sekelilingnya.
Mahisa Bungalan mengerutkan keningnya ketika ia
mendengar orang itu berkata agak keras "Kau jangan
memaksa aku melakukan sesuatu yang tidak aku mengerti"
"Aku hanya menghendaki kau berjalan di depanku.
Setiap saat aku akan dapat membunuhmu dengan mudah,
tetapi jika seseorang membunuhku lebih dahulu dari arah
yang tidak aku ketahui, maka untuk seluruh sisa hidupmu,
kau akan mengalami nasib yang buruk dengan keadaan
seperti yang kau alami sekarang. Tidak seorangpun yang
akan dapat membebaskanmu selain orang-orang dari
perguruanku. Padahal, aku adalah satu-satunya murid
guruku, sementara guruku tidak akan dapat kau jumpai
dimanapun juga orang mencarinya"
Orang itu menjadi tegang. Tetapi ia masih
berpengharapan bahwa kawan-kawannya dapat
menolongnya. Menangkap Mahisa Bungalan dan
memaksanya mengobatinya, membebaskannya dari
kekangan syaraf yang gila itu. Karena itu, maka katanya
"Kau jangan berbuat terlalu kejam kepadaku Ki Sanak.
Tetapi jika kawan-kawanku memaksamu, apakah kau juga
tetap akan ingkar" Seandainya hidupmu ditukar dengan
pembebasan syarafku, apakah kau bersedia?"
Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Katanya
berbisik "Aku mendengar sesuatu. Aku tahu, kau sedang
memberikan aba-aba kepada kawan-kawanmu yang ada di
sekitar tempat ini, agar mereka tidak membunuhku"
"Jangan berprasangka buruk" orang itu berkata semakin
keras "aku bermaksud baik"
Tetapi pendengaran Mahisa Bungalan yang tajam tidak
dapat dikelabuinya. Karena itu. ia berbuat sesuatu agar ia
tidak terjerat kepada tindakan biadab orang-orang itu. Jika
orang-orang di hutan itu mengetahui persoalannya dengan
pasti, maka orang itu tentu tidak akan segan-segan
mempergunakan isteri Pangeran Kuda Padmadata untuk
memaksanya menyerah. Karana itu, maka katanya kemudian perlahan-lahan
"Kau cerdik. Aku telah terjebak ke dalam satu lingkungan.
Tetapi kau masih tetap lumpuh meskipun tidak mutlak"
"Kau akan dipaksa untuk membebaskan aku" katanya
semakin berani. Mahisa Bungalan menyadari, pendengarannya yang
tajam telah menduga suara di sekitarnya. Dengan demikian
ia dapat menduga bahwa lebih dari dua orang yang sudah
mengepungnya. "Tiga atau empat orang. Aku tidak boleh berbuat terlalu
baik hati kepada mereka, jika aku sendiri tidak ingin
terjebak dan mati" Karena itu, seolah-olah Mahisa Bungalan menggenggam
pedang patah yang ternyata dibawanya itu semakin erat.
Pedang itu akan sangat berguna baginya, jika keadaan
memang memaksanya berbuat demikian.
Beberapa langkah kemudian Mahisa Bungalan berkata
"Kita berhenti disini. Marilah kita menyelesaikan masalah
kita. Aku tidak tahu, kemana kau akan membawa aku"
Orang itu termangu-mangu. Namun katanya "Aku akan
membawamu sesuai dengan permintaanmu, karena orang
itu".." Kata-katanya terputus. Mahisa Bungalan tahu, bahwa
orang itu akan memberikan isyarat, tentang apa yang akan
dilakukannya. Karena itu, maka tiba-tiba saja Mahisa
Uungalan telah menyentuh bagian bawah telinga orang itu
dengan ibu jarinya, sehingga iapun telah terdiam. Rasarasanya
mulutnya manjadi kejang dan ia tidak dapat lagi
mengucapkan kata-kata, kecuali hanya sekedar menggeram.
Mahisa Bungalan memandang orang itu dengan
tajamnya. Dangan nada dalam ia berkata hampir berbisik
"Itulah yang kau kehendaki. Kau sekarang tidak dapat
mengucapkan kata-kata. Aku masih dapat berbuat lebih
buruk lagi dengan mengganggu pendengaran dan
penglihatanmu. Jika perlu aku terpaksa melakukannya"
Orang itu akan menjawab, tetapi tidak sepatah katapun
yang dapat diucapkan. Dalam pada itu, seperti yang diduga
oleh Mahisa Bungalan, bahwa beberapa orang sedang
mengintipnya, ternyata tidak salah.
Pada saat yang sudah diperhitungkan, maka orang-orang
itupun benar-benar telah berloncatan mengelilinginya
dengan pedang terhunus. "Tiga orang" desis Mahisa Bungalan.
Ketiga orang itu memandang Mahisa Bungalan dengan
sorot mata penuh kemarahan. Bahkan salah seorang dari
mereka tidak sabar lagi melihat keadaan kawannya. Dengan
serta merta ia bertanya "Apa yang telah terjadi denganmu?"
Tetapi ketiga orang itu terkejut, bahwa kawannya sama
sekali tidak menjawab. Ia hanya dapat memberi mereka
isyarat dengan tangannya. Tetapi tidak jalas, apakah yang
dimaksudkannya. "Ia memang bisu" berkata Mahisa Bungalan.
"Tidak mungkin. Aku masih mendengar suaranya ketika
ia memasuki hutan ini" jawab salah seorang dari mereka.
"O, apakah begitu" tetapi sejak aku mengantarkannya,
aku mengira ia memang bisu"
"Kau mencoba untuk membohongi kami" berkata salah
seorang dari mereka. "Kenapa aku membohongimu. Lihatlah, kau dapat
menyaksikannya sendiri. Ia benar-benar bisu"
Sikap Mahisa Bungalan membuat orang-orang itu
semakin marah. Ketiganya menganggap, bahwa tidak ada
kemungkinan lain kecuali membunuh anak muda itu.
Karena itu, maka salah seorang dari mereka, yang agaknya
adalah orang tertua diantara mereka berkata "tidak ada
kesempatan bagi anak gila ini untuk keluar dari hutan ini
hidup-hidup. Ia harus kita bunuh dan mayatnya akan kita
lempar ke hutan yang dihuni oleh binatang buas itu"
Namun dalam pada itu, Mahisa Bungalan menjawab
"Jika hal itu kau lakukan, maka nasib kawanmu inilah yang
paling buruk. Tidak ada orang yang akan dapat
menyelamatkannya dari keadaannya"
"Guru tentu dapat mengobatinya. Kami sudah mengira
bahwa kaulah yang telah membuatnya demikian"
"Hanya aku yang dapat menyembuhkan gangguan syaraf
itu. Tidak ada orang lain"
"Persetan" geram yang tertua "bunuh orang itu" Mahisa
Bungalanpun segera bersiaga menghadapi setiap
kemungkinan. Agaknya orang-orang itu bukannya orangorang
yang dapat diajaknya berbicara.
Sejenak kemudian, maka salah seorang dari ketiga orang
itu telah meloncat mendekat sambil menjulurkan senjata,
sementara yang lain telah menyerang Mahisa bungalan dari
arah belakang. Tetapi Mahisa Bugalan telah bersiap. Dengan
tangkasnya ia meloncat menghindar. Sekali ia berputar
setengah lingkaran. Namun tiba-tiba senjatapun telah
menyambar dengan cepatnya.
Tetapi serangan Mahisa Bugalan itu bukannya serangan
yang sebenarnya. Ketika lawannya meloncat menghindar,
maka iapun segera bersiap-siap menghadapi kemungkinan
yang lebih berat, karena ketiga orang lawannya itupun tentu
akan menyerangnya bersama-sama.
Namun dalam pada itu, Mahisa Bungalan seakan-akan


Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

telah mengerahkan landasan ilmunya. Terasa sesuatu telah
menjalari seluruh urat nadinya, sehingga sekejap kemudian,
maka rasa-rasanya seluruh tubuhnya telah dialiri oleh nafas
kemampuannya yang jarang ada duanya.
Dengan demikian, maka ketika kemudian Mahisa
Bungalan meloncat, terasa betapa tubuhnya menjadi ringan,
namun kekuatannya bagaikan berlipat ganda.
Karena itulah, maka perlawanan Mahisa Bungalanpun
menjadi semakin sengit. Ia berloncatan bagaikan sikatan.
Namun sentuhan senjatanya melontarkan kekuatan seperti
seekor gajah. Tetapi ketiga orang lawannya adalah orang-orang yang
telah kaya dengan pengalaman. Mereka adalah orang-orang
yang hampir disegenap umurnya dikerumuni oleh
kekerasan dan perkelaian. Karena itu maka dengan
garangnya mereka melawan Mahisa Bungalan yang
bertempur seorang diri melawan mereka bertiga.
Seorang dari antara mereka yang seakan-akan telah
menjadi bisu itu menyaksikan pertempuran itu dengan hati
yang berdebar-debar. Ia sadar sepenuhnya atas apa yang
terjadi, tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa. Tenaganya
seakan-akan telah lenyap sementara mulutnya bagaikan
menjadi kejang. Dengan demikian maka yang dapat
dilakukannya hanyalah menyaksikan apa yang akan terjadi.
Demikianlah maka sejenak kemudian Mahisa Bungalan
telah terlibat dalam pertempuran yang sengit. Jika dipasar ia
bertempur melawan dua orang lawan, kini ia berhadapan
dengan tiga orang yang memiliki kemampuan setingkat.
Karena itu, maka. ia harus bertempur dengan hati-hati serta
mengerahkan kemampuannya agar ia tidak menjadi korban.
Tetapi akibatnya, bahwa Mahisa Bungalanpun tidak
dapat mengamati diri, bahwa ia tidak akan melakukan
pembunuhan. Dalam perang yang seru, maka seseorang
akan sulit untuk menguasai diri sebaik-baiknya agar tidak
melakukan sesuatu yang dapat merampas jiwa seseorang.
"Aku masih terlalu muda untuk mati" berkata Mahisa
Bungalan di dalam hatinya "karena itu, semoga Tuhan
Yang Maha Penyayang melindungi aku"
Tetapi ketiga orang lawan Mahisa Bungalan itupun telah
mengerahkan segenap kemampuan mereka. Pengalaman
mereka menghadapi berbagai macam lawan, telah
menempatkan mereka pada arah yang berbeda. Mereka
menyerang berganti-ganti, susul menyusul dari segala arah.
Namun Mahisa Bungalan memang memiliki kecepatan dan
ketangkasan bergerak, sehingga serangan-serangan itu tidak
mengenainya. Namun demikian, ketiga orang lawannya tidak
mengurangi tekanannya. Mereka mempergunakan berbagai
cara untuk membuat Mahisa Bungalan menjadi
kebingungan. Ketika pertempuran itu meningkat semakin cepat, maka
ketiga orang lawannya itupun telah bertempur dalam satu
lingkaran yang bergerak. Di antara pepohonan hutan, ketiga
orang itu seakan-akan telah berputar mengitari Mahisa
Bungalan sambil menyerang berganti-ganti.
Sejenak Mahisa Bungalan tergetar. Putaran itu
membuatnya menjadi gelisah. Namun kemudian, iapun
berhasil menyesuaikan diri. Justru Mahisa Bungalanpun
mulai bergerak agar lawannya tidak selalu berada pada
putaran yang tetap. Ketika Mahisa Bungalan berloncatan diantara putaran
lawannya, kadang-kadang putaran itu memang terganggu.
Serangan yang memusat pada salah seorang diantara
mereka, kadang-kadang telah menghentikan putaran itu.
Namun kedua orang lawannya segera berhasil menolong
kawannya yang didesak oleh Mahisa Bungalan dan sejenak
kemudian mereka telah berada dalam putarannya kembali.
"Gila" desis Mahisa Bungalan.
Di luar sadarnya, kemarahan yang menghentak di dalam
dirinya telah memeras segenap kemampuannya. Ternyata
pada keadaan yang demikian, alas pada kecepatan bergerak
dan kekuatan tenaganya menjadi semakin berkembang.
Mahisa Bungalan seakan-akan menjadi semakin ringan,
namun tenaganya menjadi semakin besar berlipat ganda.
Karena itu, maka pedangnya yang telah patah pada
ujungnya itu berputar semakin cepat Kemampuan kakinya
yang melontarkan tubuhnya menyusup pepohonan seakanakan
tidak terbatas lagi. Bahkan kemudian putaran
lawannya bukannya merupakan persoalan yang
membingungkannya lagi. Kecepatan bergerak Mahisa Bungalan ternyata telah
berhasil melontarkannya keluar dari kepungan yang
berputar itu. Bahkan dengan perhitungan yang matang,
Mahisa Bungalanlah yang berlari-larian memutari ketiga
orang itu. Demikian cepatnya, sehingga ketiga orang itu
justru merasa terkepung oleh beberapa orang bersenjata
pedang yang patah. "Gila" geram mereka hampir bersamaan.
Sejenak ketiga orang itu termangu-mangu. Namun
akhirnya, salah seorang dari mereka telah memotong gerak
Mahisa Bungalan, sementara kedua orang kawannya telah
menyerangnya bersama-sama.
Tetapi serangan itu justru telah mengejutkan ketiga orang
itu sendiri. Mahisa Bungalan yang terpotong putarannya,
justru meloncat ke samping. Dengan putaran yang cepat
dan loncatan selangkah surut, Mahisa Bungalan telah
mengambil ancang-ancang. Karena itu, ketika ia kemudian
meloncat maju. maka ayunan pedangnya mengarah ke
kening salah seorang lawannya yang telah memotong
geraknya. Demikian cepatnya, sehingga orang itu tidak sempat
mengelak. Yang dilakukannya adalah menyilangkan
pedangnya untuk menangkis pedang Mahisa Bungalan.
Tetapi yang dilakukan Mahisa Bungalan benar-benar
diluar perhitungan mereka. Ayunan pedangnya itu ternyata
telah ditariknya. Mahisa Bungalan yang kemudian
merendah pada lututnya itupun melenting dan berputar,
justru menyerang orang yang berada selangkah di
sampingnya. Pedang patahnya terjulur lurus mengarah ke
dada lawannya. Dengan tangkasnya lawannya telah menangkis serangan
Mahisa Bungalan dengan memukul pedang patah itu.
Mahisa Bungalan tidak menahan pukulan itu. Bahkan ia
mempergunakan dorongan pedang lawannya untuk
kemudian memutar pedangnya dan sekali lagi menyerang
lawannya itu. Yang dilakukan adalah demikian cepatnya. Namun
lawannya berusaha untuk menangkis sekali lagi.
Tetapi Mahisa Bungalan telah mengerahkan segenap
kemampuannya dan kecepatannya bergerak. Ketika
lawannya menangkis, maka ia sempat memutar pedangnya
sehingga pedang lawannya justru tidak menyentuh
pedangnya. Tetapi pada saat yang demikian, dada
lawannya telah terbuka. Namun Mahisa Bungalan tidak dapat mempergunakan
kesempatan itu sebaik-baiknya. Pada saat ia menusuk dada
lawannya, maka seorang lawannya yang lain telah
menyerangnya pula, sehingga Mahisa Bungalan harus
menghindar. Karena itulah, maka serangannyapun tidak berhasil
mengenai dada lawannya. Namun sebuah goresan kecil
telah menyobek kulit lawannya itu pada lengannya.
Terdengar orang yang terluka itu menggeram. Sementara
Mahisa Bungalan sudah meloncat dan berkisar menghadapi
lawan-lawannya yang lain "Anak iblis" desis seorang
lawannya. Mahisa Bungalan tidak menjawab. Sementara orang
yang tidak berdaya di pinggir arena itupun menjadi
berdebar-debar juga. Ia tahu bahwa Mahisa Bungalan
sangat berbahaya. Tetapi ia tidak dapat mengatakan sepatah
katapun kepada kawan-kawannya untuk memperingatkan
mereka agar mereka lebih berhati-hati menghadapi anak
muda itu. Di pasar, seorang kawannya telah pingsan
sementara ia sendiri telah kehilangan tenaga dan suaranya.
Namun yang dapat dilakukannya hanyalah berdesah dan
kebingungan. Dalam pada itu, pertempuran itupun semakin lama
menjadi semakin sengit. Sementara itu, kekuatan yang
Dewi Olympia Terakhir 3 Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo Thalita 1
^