Pencarian

Panasnya Bunga Mekar 9

Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja Bagian 9


"Tidak ada" berkata kakek tua itu kepada Mahisa
Bungalan. Orang-orang yang berkuda itupun kemudian memasuki
halaman. Salah seorang dari merekapun berteriak "He,
siapakah penghuni rumah ini?"
Mahisa Bungalan berdesis "Aku saja kek yang menemui
mereka. Berhati-hatilah. Jika perlu, terserah kebijaksanaan
yang manakah yang akan kau ambil"
"Akulah yang mempunyai rumah ini. Biarlah aku yang
menemui mereka" "Aku pernah melihat mereka, dan merekapun pernah
melihat aku pula. Setidak-tidaknya dua orang di antara
mereka di warung itu"
Kakek tua itu termangu-mangu sejenak. Namun
kemudian katanya "Terserahlah. Tetapi berhati-hatilah.
Jangan terlalu terikat akan harga diri. Jika perlu, panggil
aku sabelum aku mengambil keputusan yang sesuai, karena
sebenarnyalah otakku memang tumpul"
Mahisa Bungalan tidak menjawab lagi. Ketika ia
mendengar salah seorang dari ke empat orang berkuda, itu
memanggil sekali lagi, maka iapun segera mendorong pintu
dan melangkah keluar sambil bergumam "Tidak ada pilihan
lain. Aku belum membawa tombak ini. Tetapi setiap saat
aku akan mempergunakannya"
Kakek tua itupun menerima tombak pendek dari tangan
Mahisa Bungalan. Ia sadar, setiap saat ia harus bertindak
cepat dalam keadaan yang gawat.
Sejanak kemudian Mahisa Bungalanpun keluar dari
pintu depan. Ketika ia turun ke halaman, dilihatnya ke
empat orang itu berpencar. Sementara itu, kakek tua di
dalam rumah itupun berusaha berlindung di balik daun
pintu. "He, kau penghuni rumah ini?" bertanya salah seorang
dari penunggang kuda itu.
"Ya. Aku penghuni rumah ini. Bukankah kau yang aku
lihat berada di warung di padukuhan sebelah?"
Orang itu termangu-mangu sejenak. Kemudian katanya
"Kau masih mengenal aku"
"Ya. Aku masih mengenalmu" jawab Mahisa Bungalan.
Orang itu termangu-mangu sejenak. Sekilas ia
memandang wajah kawan-kawannya yang mulai berpencar
di halaman rumah itu. Kemudian kembali ia memandang
Mahisa Bungalan sambil berkata "Adalah kebetulan sekali
bahwa aku telah bertemu dengan pemilik rumah ini"
"Apakah kau mempunyai sesuatu keperluan?" bertanya
Mahisa Bungalan. "Ya. Aku ingin berbicara dengan kau barang sejenak"
Ketika orang itu kemudian meloncat turun dari kudanya,
maka kawan-kawannyapun kemudian berloncatan turun
pula. Merekapun kemudian mengikat kuda mereka di
pohon-pohon perdu yang bertebaran di pinggir halaman.
Orang yang agaknya pemimpin dari kelompok kecil
itupun kemudian mendekati Mahisa Bungalan, sementara
kawan-kawannya berdiri beberapa langkah daripadanya.
"Ki Sanak" berkata orang itu "aku ingin bertanya
langsung kepada persoalannya. Apakah saudara
perempuanku ada disini?"
Mahisa Bungalan mengerutkan keningnya. Ia sadar,
bahwa orang-orang itu sebenarnya tidak akan dapat dibawa
dalam pembicaraan apapun juga. Mereka tentu akan
memaksa memasuki rumahnya untuk melihat apakah
perempuan yang dicarinya ada di rumah itu.
Meskipun demikian Mahisa Bungalan menjawab
"Bagaimana mungkin saudara perempuanmu ada di rumah
ini" "Jangan banyak bicara" desak orang itu "bawalah
perempuan itu kemari. Aku memerlukannya. Bawa pulla
anak laki-lakinya. Dengan demikian maka kau akan
selamat" Mahisa Bungalan tidak melihat kemungkinan apapun
lagi kecuali bertempur. Karena itu, maka jawabnya
mengatasi kegarangan lawannya "Ki sanak. Sebenarnyalah
bahwa aku tidak tahu dimanakah saudara perempuanmu itu
bersembunyi. Jika kau memaksa untuk melihat, silahkan.
Di rumah ini hanya ada seorang perempuan. Yaitu isteri
Pangeran Kuda Padmadata dan anaknya laki-laki.
Perempuan itu aku ambil dari hutan tutupan dengan
membunuh semua penjaganya. Karena itu, jika kau
memerlukannya, kaupun harus berbuat serupa. Membunuh
semua penjaganya" Jantung ke empat orang yang datang kehalaman rumah
itu berdentang terlalu keras. Mereka sama sekali tidak
menduga bahwa mereka akan mendapat jawaban yang
demikian langsung dan terbuka.
Dengan demikian, maka merakapun mulai menilai anak
muda yang berdiri di hadapan mereka. Anak muda itulah
agaknya yang telah membunuh para penjaga di hutan
tutupan itu. Sambil menggeram pemimpin kelompok kecil itu berkata
"Jangan berbangga dengan tingkah lakumu. Kau dapat
membunuh kucing-kucing itu dengan mudah. Tetapi jika
kau bertemu dengan harimau-harimau yang buas, maka kau
harus berpikir ulang untuk menentukan langkah
sebelumkan menyesal"
"Aku tidak melihat perbedaan antara kucing hutan dan
harimau yang jinak dan tidak bergigi lagi" jawab Mahisa
Bungalan. Terdengar orang itu menggeram. Darahnya mulai
menjadi panas. Bahkan kawan-kawannya tidak lagi sabar
untuk menunggu pembicaraan yang berkepanjangan.
Namun merekapun menjadi berdebar-debar melihat sikap
Mahisa Bungalan yang yakin akan dirinya sendiri
manghadapi orang-orang yang seharusnya ditakuti.
"Anak muda" berkata pemimpin kelompok itu "sekarang
baiklah kita memikirkan cara yang terbaik untuk
menyelesaikan hal ini. Serahkan perempuan itu kepadaku,
dan kau akan tetap hidup tanpa aku usik sama sekali"
"Perempuan itu adalah kakakku. Huh, sekarang kau tahu
apa yang harus kau lakukan. Aku tidak akan
mempertahankannya dan kau tantu akan memaksakan
kehendakmu. Karena itu, kita akan bertempur. Kecuali jika
kalian mengurungkan niat kalian"
"Persetan. Anak yang tidak tahu diri. Kau masih ter lalu
muda untuk mati" geram pemimpin kelompok itu.
"Karena itu aku akan bertahan. Kalianlah yang akan
mati seperti ke enam kawanmu di pinggir hutan tutupan itu,
saat aku merebut kakakku dari tangan kawan-kawanmu
yang kau sebut kucing-kucing hutan itu"
Orang-orang yang datang di halaman rumah itu sudah
tidak sabar lagi. Tiba-tiba saja salah seorang dari mereka
telah meloncat menyerang Mahisa Bungalan yang berdiri
termangu-mangu. Namun tidak kehilangan kewaspadaan.
Karena itu, maka serangan yang meluncur dengan
kerasnya itu tidak berarti sama sekali baginya. Dengan
mudah ia bergeser mengelak.
Namun dengan demikian pertempuran itupun telah
meledak. Ke empat orang itu telah mengepung Mahisa
Bungalan dari segala penjuru.
"Jangan menyesal" geram pemimpin kelompok itu.
Mahisa Bungalan telah bersiap menghadapi segala
kemungkinan, sementara Ki Wastu memperhatikannya
dengan hati yang berdebar-debar. Namun untuk sementara
la masih tetap berada di tempatnya. Ia masih curiga, bahwa
mungkin masih ada orang lain yang datang kemudian.
Meskipun demikian, maka ia tidak lengah. Selain senjata
yang akan dipergunakan, ia memegangi tombak yang akan
dipergunakan oleh Mahisa Bungalan apabila diperlukan.
Pertempuran itupun semakin lama menjadi semakin
seru. Mahisa Bungalan yang masih menjajagi kemampuan
lawan itupun segera mengetahui, bahwa ke empat orang itu
memang memiliki ilmu yang dapat mereka banggakan.
Namun ternyata kecepatan Mahisa Bungalan sulit
diimbangi oleh ke empat lawannya. Mahisa Bungalan
berloncatan diantara ke empat lawannya. Menyusup
diantara serangan-serangan yang datang beruntun. Bahkan
dengan tangkasnya, kadang-kadang ia berhasil menipu
lawannya, sehingga dua orang diantaranya mereka hampir
saja saling berbenturan. Dalam pada itu, ternyata perkelahian di halaman rumah
itu telah menarik perhatian. Beberapa orang yang melihat
pertempuran itupun menjadi berdebar-debar. Namun
ternyata bahwa yang seorang telah memberitahukan kepada
yang lain, sehingga sejenak kemudian, seisi padukuhan itu
mengetahui, bahwa di halaman rumah Ki Wastu telah
terjadi pertempuran yang sengit.
"Anak itu mempunyai banyak musuh" berkata salah
seorang dari antara mereka "ketika ia datang, ia
diketemukan hampir mati oleh Ki Wastu, karena anak itu
berkelahi dan membunuh lawan-lawannya"
"Mungkin bukan kesalahannya" sahut yang lain
"mungkjn ia telah disudutkan pada satu-satunya
kemungkinan yang dapat ditempuh. Nampaknya ia bukan
seorang anak muda yang jahat, atau seorang yang memang
mempunyai kesenangan berkelahi"
Beberapa orang telah melihat pertempuran itu dari
kejauhan. Mereka menjadi berdebar-debar. ketika mereka
melihat pertempuran yang semakin lama menjadi semakin
seru. Apalagi karena Mahisa Bungalan harus bertempur
melawan empat orang yang garang.
Namun ternyata bahwa Mahisa Bungalan masih tetap
dapat bertahan. Ia masih mampu menghindari setiap
serangan. Ia berloncatan dari sudut ke sudut halaman, dari
seberang ke seberang. Dengan demikian, maka ke empat
lawannya harus memburunya susul menyusul. Mereka
tidak berhasil mengepung Mahisa Bungalan dalam
lingkaran, karena kecepatan geraknya.
Dalam pertempuran yang sengit itu, Mahisa Bungalan
merasa betapa manfaat landasan ilmu yang diberikan oleh
orang tua itu. Yang meskipun hanya sekedar alas bagaikan
ompak bagi tiang, namun alas itu telah mengangkat dan
meningkatkan keseluruhan ilmunya dengan segala macam
kemungkinannya. Karena itulah, maka Mahisa Bungalanpun kemudian
mampu bergerak lebih cepat. Mempunyai kekuatan yang
bagaikan berlipat sementara pernafasannyapun menjadi
semakin landung dan teratur, sesuai dengan setiap keadaan
yang terjadi pada tubuhnya.
Dengan demikian, maka lawannyapun menjadi bingung
karenanya. Setiap kali mereka kehilangan Mahisa
Bungalan. Meskipun Mahisa Bungalan juga masih belum
berhasil melumpuhkan salah seorang dari lawannya, namun
lawannyapun tidak dapat berbuat terlalu banyak atasnya.
"Anak setan" geram pemimpin kelompok itu "ternyata
anak ini licik seperti demit. Ia hanya dapat berlari-lari
mengelilingi halaman"
"Siapa yang licik" sahut Mahisa Bungalan "aku hanya
seorang diri. Tetapi kalian berempat"
"Aku kira anak muda yang telah berhasil membunuh
enam orang pengawal itu adalah seorang anak muda yang
tanggon. Tetapi ternyata dugaanku keliru" desis yang lain.
Mahisa Bungalan justru tertawa. Katanya "Inilah aku.
Apapun yang kau katakan tentang diriku, inilah
kenyataannya. Dan kalian memang tidak dapat
mengalahkan aku" Pemimpin, kelompok itu tidak sabar lagi. Dengan
garangnya ia berkata "Kita akan membantainya. Kita akan
membunuhnya dengan senjata dan mencincang mayatnya
sampai lumat" Sekejap kemudian, maka ke empat orang itu telah
menggenggam senjata mereka masing-masing. Dengan
garangnya mereka mengacu-acukan senjata mereka dan
agaknya mereka benar-benar siap untuk mencincang
Mahisa Bungalan. Pada saat yang demikian, Ki Wastu melihat, bahwa
keadaan menjadi gawat bagi Mahisa Bungalan. Betapapun
ia mampu bergerak cepat, namun empat pucuk senjata di
tangan empat orang yang benar-benar mampu
menguasainya, akan merupakan bahaya yang mungkin sulit
untuk dilakukan. Karena itu, maka Ki Wastu mulai berpikir, apakah ia
sudah waktunya untuk berbuat sesuatu. Apalagi ternyata
selain empat orang itu, tidak ada orang lain yang memasuki
halaman lewat regol yang manapun juga.
Dalam pada itu, orang-orang yang melihat pertempuran
itu dari kejauhan yang jumlahnya semakin lama manjadi
semakin banyak, menjadi semakin berdebar-debar. Mereka
melihat empat pucuk senjata teracu ke arah Mahisa
Bungalan yang berdiri termangu-mangu.
"Apakah anak muda itu masih mampu bertahan" desis
salah seorang. "Ia tidak mempunyai senjata apapun juga" sahut yang
lain. Dalam pada itu, Ki Wastu tidak dapat menunggu lebih
lama lagi. Jika ia membiarkan Mahisa Bungalan bertempur
tanpa senjata melawan empat orang itu, betapapun ia
mampu berloncatan seperti burung sikatan, namun ia tentu
akan sedikit demi sedikit tergores ujung senjata lawannya.
Karena itu, ketika ke empat orang lawan Mahisa
Bungalan itu siap untuk menerkam Mahisa Bungalan
dengan senjatanya, maka orang itu tiba-tiba saja telah
muncul dari balik pintu sambil berkata "Angger. Inilah
senjatamu. Apakah belum waktunya kau pergunakan?"
Semua orang berpaling kepada orang tua itu. Ia
membawa sebatang tombak pendek. Sementara itu, iapun
membawa pula pedang yang khusus dengan sebuah perisai
kecil di tangan kirinya. Sejenak ke empat orang lawan Mahisa Bungalan itu
memperhatikan orang tua itu yang berdiri termangu-mangu
itu.

Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ki Wastu masih berdiri tegak. Iapun sempat memandang
ke empat orang yang berdiri membeku sambil
memperhatikannya. Sasaat kemudian, orang tua itupun
melangkah maju tanpa menghiraukan orang-orang yang
berdiri berpencar di halaman rumahnya. Sambil
mengacukan tombak pendek itu ia berkata "Inilah
senjatamu" Mahisa Bungalanpun maju selangkah. Sambil menerima
senjatanya ia berkata "Terima kasih kek. Ke empat orang
ini ternyata adalah orang-orang yang licik. Mereka hanya
berani bertempur dalam kelompok. Mereka tidak herani
berperang tanding, dengan atau tidak dengan senjata"
"Persetan" pemimpin kelompok itu berteriak "aku tidak
peduli apa yang kau katakan, karena sebentar lagi kau akan
mati. Kecuali jika kau bersedia menyerahkan perempuan itu
bersama dengan anaknya"
"Maksudmu isteri Pangeran Kuda Padmadata itu Ki
Sanak?" bertanya kakek tua itu.
"Ya. Aku memerlukannya"
"Untuk apa?" "Akan aku bawa menghadap Pangeran Kuda
Padmadata" Tiba-tiba saja Mahisa Bungalan tertawa. Katanya
"Jangan mengigau. Siapa yang akan menyerahkan
perempuan itu kepada Pangeran Kuda Padmadata"
Bukankah kalian telah menyimpannya di hutan tutupan itu"
Aku tahu, bahwa perempuan dan anak laki-lakinya itu
harus dibunuh. Dengan demikian, maka tidak seorangpun
yang akan mempersoalkan warisan yang kelak akan
ditinggalkan oleh Pangeran Kuda Padmadata"
"Parsetan" teriak pemimpin kelompok itu "apa pedulimu
tentang kematian parempuan dan anak laki-lakinya jika itu
memang kami kehendaki. Minggirlah kakek tua, supaya
kau tidak terinjak oleh kaki-kaki kami"
"Maaf Ki Sanak. Aku tidak dapat minggir, karana
perempuan itu adalah anakku, sedangkan anak laki-laki itu
adalah cucuku. Diakui atau tidak, dikenal atau tidak oleh
Pangeran Kuda Padmadata, namun aku akan
mempertahankannya karena mereka adalah jiwa yang akan
mempertahankan garis keturunanku. Yang akan mewarisi
namaku, karena aku tidak mempunyai warisan apapun juga
selain nama dan darah katurunan"
Terdangar salah seorang dari ke empat orang itu tertawa.
Katanya "Kakek tua yang malang. Jika kau ingin
membunuh diri, minumlah racun warangan. Atau cobalah
menggantung diri di pengeret rumahmu, atau hanyutkan
dirimu jika kali sedang banjir. Tetapi jangan
mempergunakan tangan-tangan kami karena kami akan
membunuh orang-orang yang menentang kami, karena
kami tidak ingin dirintangi. Bukan sebagai alat untuk
membunuh diri" Orang tua itu termangu-mangu. Katanya "Aku tidak
akan membunuh diri. Aku akan mempertahankan anakku
perempuan dan cucuku laki-laki. Jika aku mati, merekapun
akan mati. Karena itu, aku akan bertahan untuk tetap
hidup" Pemimpin kelompok itupun menggeram. Katanya "Aku
tidak peduli apa yang kau katakan. Akupun tidak akan
memberikan siapapun yang terlibat dalam persoalan ini
untuk tetap hidup. Aku akan membunuh semuanya. Aku
akan membakar rumah ini dan memasukkan tubuh kalian
ke dalamnya bersama perempuan dan anak laki-laki itu.
Dengan demikian, benar seperti yang dikatakan oleh anak
muda itu, bahwa Pengeran Kuda Padmadata tidak akan
diganggu lagi oleh perempuan dan anak pedesaan yang
tidak berarti apa-apa itu. Darah yang mengalir di tubuhnya
akan mengotori keturunan Kediri sehingga kemurnian
darah bangsawan dari istana Kediri akan menjadi kabur"
Kakek tua itu mengerutkan keningnya. Dengan suara
bergetar ia berkata "Kau sudah menghina keturunanku Aku
memang seorang dari padesan. Tetapi bukan anakkulah
yang datang menyerahkan dirinya kepada Pangeran Kuda
Padmadata. Tetapi Pangeran itulah yang datang ke rumah
kami dan dengan memelas mohon kapadaku, agar aku
mengijinkan anakku manjadi isterinya"
"Tetapi kau harus melihat dirimu sendiri. Kau harus
merasa bahwa kau adalah orang padesan. Kau tidak berhak
mewarisi apapun juga dari Pangeran Kuda Padmadata.
Karena hanya darah para bangsawan sajalah yang akan
dapat mawarisi harta benda dari istana Kediri"
"Aku dan anakku tidak mimpi untuk mendapat warisan
apapun juga. Kami sudah merasa bahagia hidup dengan
tata cara dan kebiasaan kami. Tetapi kami tidak mau selalu
terganggu tingkah laku kalian yang gila itu"
"Persetan" geram pemimpin kelompok itu "kau kira aku
tidak tahu, bahwa pamrih itu kau dukung, kau jinjing, kau
junjung di atas kepalamu. Jangan banyak bicara. Serahkan
mareka untuk aku binasakan. Dengan damikian aku sudah
membersihkan darah keturunan Kediri"
"He Ki Sanak" berkata orang tua itu "apakah aku dapat
bertanya serba sedikit tentang dirimu sendiri" Apakah
kalian juga berdarah bangsawan murni, sehingga kalian
sangat barnafsu untuk membersihkan noda-noda pada
darah katurunan Kediri?"
Sejenak orang itu terbungkam. Wajahnya menjadi
marah, dan mulutnya bagaikan tersumbat. Namun sejenak
kemudian suaranya bagaikan meledak "Persetan. Bunuh
mereka berdua. Lemparkan mayat meraka ke dalam api
yang akan berkobar membakar rumah itu. Perempuan dan
anak laki-lakinya itupun harus dilemparkan pula ke dalam
api hidup-hidup" Orang tua itu surut selangkah. Ia mengambil jarak dari
Mahisa Bungalan, karena mereka tidak akan bertempur
berpasangan. Orang tua itupun sadar, bahwa ia akan
melawan dua orang diantara ke empat orang yang
mendatangi rumahnya itu. Sejenak ketegangan yang panas telah mambakar
halaman itu. Beberapa orang yang melihat peristiwa itu dari
kejauhan menjadi, semakin berdebar-debar. Apalagi karena
Ki Wastu telah turun kehalaman itu pula. Ki Wastu yang
mereka kenal sebagai saorang petani yang hanya mampu
mengganggam cangkul dan menyabit rumput untuk
memberi makan binatang peliharaannya. Kini ia memegang
pedang yang khusus di tangan kanan, dan perisai di tangan
kiri. Nampaknya memang anah. Orang tua itu seolah-olah
menjadi orang lain dari yeng mereka kenal sehari-hari.
Dalam pada itu, Ki Wastu dan Mahisa Bungalan telah
bersiap untuk bertempur. Ki Wastu yang sudah melihat,
bagaimana Mahisa Bungalan mengalahkan kedua orang
yang memburunya di bulak di saat anak muda itu datang ke
padukuhan itu, diatasi dengan ilmu yang disadap dari orang
tua itu, maka anak muda itu adalah anak muda yang
memiliki kemampuan yang pilih tanding. Sementara Ki
Wastu sendiri adalah seorang yang mamiliki ilmu yang
mengagumkan. Tetapi untuk waktu yang lama, orang tua
itu telah mamiliki jalan kehidupan yang tenang sebagai
seorang petani. Namun ternyata pada suatu saat, ia harus
mengambil senjatanya dari simpanan, karana ia harus
mampertahankan anak perempuan dan cucunya.
Ketegangan itu memuncak ketika ke empat orang yang
memasuki halaman itu mulai bergerak. Tanpa berjanji
mereka telah membagi diri. Mereka telah melihat kecepatan
bergerak Mahisa Bungalan. Namun bagi mereka, yang
dilakukan oleh Mahisa Bungalan itu hanyalah sekedar
berlari-lari kian kemari.
Kini, dua ditantara mereka harus menghadapinya,
sementara dua orang yang lain telah menghadapi Ki Wastu
dari dua arah. "Bunuh kakak tua itu secepatnya" berkata pemimpin
kelompok itu "kemudian kita berramai-ramai mencincang
anak muda ini. Keduanya akan kita lemparkan ke dalam
api yang segera akan menelan gubuk kakek gila ini"
Orang-orangnyapun segera mapan. Sementara Ki Wastu
telah menggerakkan pedangnya. Seolah-olah ia ingin
mengetahui, apakah tangannya yang tua itu masih mampu
melakukannya. Tetapi sebenarnyalah bahwa Ki Wastu
masih tetap seorang yang pilih tanding. Meskipun ia
menjadi semakin tua, tetapi ia tidak pernah lupa memasuki
sanggarnya meskipun hanya untuk sesaat setiap hari.
Kadang-kadang pagi-pagi sebelum cucunya bangun.
Namun kadang-kadang di malam hari, selagi cucunya
tertidur nyenyak. Kini ia berdiri berhadapan dengan dua orang yang
berwajah kasar dan bengis. Namun untuk mempertahankan
anak dan cucunya, Ki Wastu sama sekali tidak menjadi
gentar. Mahisa Bungalan yang kemudian menggenggam
sebatang tombak pendek, telah bersiap sepenuhnya. Setiap
saat ia dapat maloncat menyerang, atau menangkis jika
serangan datang. Ternyata pemimpin kelompok itu tidak menunggu lebih
lama lagi. Ialah yang pertama-tama meloncat menyerang
Mahisa Bungalan, disusul dangan seorang kawannya.
Namun Mahisa Bungalan telah siap dengan tombaknya.
Ia menangkis serangan partama dan kemudian meloncat
menghindari serangan yang kadua. Namun dalam pada itu,
tombaknya telah berputar menyambar seorang lawannya.
Tetapi lawannya mampu bergerak cepat. Ia berhasil
bergaser menghindari sarangan tombak Mahisa bungalan
yang mengarah lambung. Bahkan kamudian dengan serta
marta ia memukul Mahisa Bungalan.
Mahisa Bungalan tidak kalah cepatnya, menarik
tombaknya agar landesannya tidak manjadi cacat karena
sentuhan senjata pada sentuhan tegak. Dengan tangkasnya
ia meloncat surut. Namun ketika seorang lawannya
meloncat memburu, tiba-tiba saja ia terkejut dan dengan
serta merta menggeliat sambil menjatuhkan diri ke samping.
Ternyata Mahisa Bungalan meloncat surut, namun dengan
mengacukan tombaknya menyongsong lawannya yang
memburunya. Tetapi Mahisa Bungalan tidak dapat berbuat sesuatu atas
lawannya yang sedang berguling itu. Ketika ia berusaha
untuk menyerang, tiba-tiba serangan yang lain telah
meluncur ke arah tengkuk. Dengan sigap ia bergeser
menghindari serangan itu. Kemudian memutar tombaknya
mendatar, menyambar lawan yang seorang lagi.
Namun serangan itupun gagal, karena lawannya sempat
meloncat surut. Sementara itu, dua orang yang lain telah bertempur
melawan Ki Wastu, yang ternyata keduanya telah salah
hitung Mereka mengira, bahwa Ki Wastu akan jatuh dan
terbunuh pada tusukan yang pertama.
Namun ternyata bahwa Ki Wastu memiliki kecapatan
bergerak yang mengagumkan. Meskipun orang itu telah tua.
dan dalam hidupnya sehari-hari ia tidak lebih dari seorang
petani yang selalu bekerja di sawah, namun dengan pedang
dan perisainya, ternyata orang tua itu telah berubah
menjadi seorang yang sangat garang.
Ketika serangan pertama dari lawannya gagal, maka Ki
Wastu telah memulai menunjukkan kemampuannya. Ia
melenting tinggi dengan menyerang seorang lawannya.
Senjatanya terjulur lurus kening, ia masih mampu
menggeliat dan berputar di udara. Demikian ujung kakinya
menyentuh tanah, maka iapun telah melenting sekali lagi,
menghindari serangan lawan yang menyambarnya. Namun
ketika lawannya yang seorang mamburunya sambil
menyerangnya, orang tua itu tidak sempat menghindar lagi.
Karena itu, maka ia telah mempergunakan perisainya untuk
menangkis serangan itu. Namun dengan demikian, telah terjadi benturan
kekuatan. Orang yang menyerangnya benar-benar tidak
manduga, bahwa orang tua itu memiliki kekuatan yang luar
biasa. Karena itulah, maka ketika senjatanya membentur
perisai orang tua itu. hampir saja ia kehilangan
keseimbangan. Tangannya terasa pedih dan seakan-akan
pada tangan itu ia telah didorong selangkah surut.
"Gila" geram lawannya "orang tua itu masih
mempunyai kekuatan yang luar biasa"
Namun orang itu merasa, bahwa yang terjadi itu adalah
karana ia kurang berhati-hati. Ia menganggap orang tua itu
terlalu lemah, sehingga karena itu, maka ia telah didesak
oleh ketidak hati-hatiannya sendiri.
Dengan demikian, maka kedua orang yang bertempur
melawan orang tua itu menjadi semakin berhati-hati.
Mereka tidak lagi manganggap orang tua itu sebagaimana
dilihatnya pada wadagnya yang mulai berkeriput. Namun
yang ternyata masih memiliki kemampuan yang luar biasa.
Karana itulah, maka pertempuran itupun semakin lama
justru menjadi semakin sengit. Dugaan kedua orang
lawannya, bahwa pada dua tiga langkah orang tua itu telah
kehabisan nafas, ternyata keliru sama sekali.
Dalam pada itu, orang-orang yang menyaksikanpertempuran
itupun semakin lama menjadi semakin
banyak, maskipun hanya dari kajauhan. Mereka sama
sekali tidak berani mendekat. Mereka bahkan kadangkadang
menjadi gemetar melihat senjata beradu.
Beberapa orang yang berhati kecil, telah meninggalkan
tempatnya untuk menyingkir jauh-jauh. Mereka menjadi
cemas, apabila orang-orang itu kemudian mengamuk dan
menyerang orang yang tidak terlibat sama sekali dalam
persoalan mereka. Sementara itu, Mahisa Bungalan ternyata tidak lagi
mengekang diri menghadapi kedua orang lawannya. Justru
kemudian ia berharap untuk dapat menyelesaikan
pertempuran itu dengan segera. Ketika ia melihat beberapa
orang di kejauhan, maka iapun menjadi berdebar-debar.
Jika pertempuran itu berkepanjangan, maka semakin
banyak orang yang mengetahuinya, dan persoalan itupun
akan menjadi semakin tersebar luas.
Dengan demikian, maka Mahisa Bungalan dengan


Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tombak pendeknya bertempur semakin garang. Tombaknya
berputar-putar semakin cepat. Kadang-kadang mematuk,
namun kadang-kadang menyambar mendatar.
Kedua lawannya semakin lama semakin menjadi
semakin terdasak. Ujung tombak Mahisa Bungalan itu
seakan-akan telah bercabang. Mahisa Bungalan tidak lagi
terlalu banyak memikirkan akibat putaran tombaknya atas
lawannya. Karena lawannyapun telah bertempur semakin
kasar dan buas. Kedua orang yang bertempur malawan Mahisa Bungalan
itupun merasa semakin terdesak. Tetapi mereka berusaha
untuk tetap bertahan. Mereka berharap agar kedua
kawannya dengan cepat menyalesaikan kakek tua yang
bersenjata pedang dan perisai itu.
Namun ternyata bahwa kedua orang yang bertempur
melawan kakek tua itupun tidak segera berhasil
menyelasaikan tugasnya. Kakek tua itu ternyata masih
memiliki kecepatan gerak dan kekuatan yang sulit untuk
diimbangi oleh lawannya. Karena itu, bukannya kedua
lawannya segera mengalahkannya, tetapi justru keduanya
semakin lama merasa, semakin terdesak seperti kadua orang
lawan Mahisa Bungalan. Sementara di halaman terjadi pertempuran yang sengit,
di dalam sanggar anak perempuan Ki Wastu beserta
cucunya laki-laki menunggu dengan gelisah. Kedua-duanya
mendangar sasuatu telah terjadi. Tetapi keduanya tidak
tahu dengan pasti. Namun mereka dapat menduga, bahwa
yang terjadi itu adalah pertempuran yang sangit di halaman.
Kedua orang itu menjadi cemas dan gametar. Mereka
pernah mengalami keadaan yang serupa. Meraka pernah
mangalami parlakuan yang tidak berperi-kemanusiaan
setelah sebelumnya terjadi pertempuran yang sengit.
Untunglah pada waktu itu anaknya dapat disalamatkan,
kemudian dirinya sandiri tidak segera dibunuh karena
masih akan dipergunakan sebagai umpan untuk menangkap
anak laki-lakinya. Kini pertempuran itu telah berlangsung
lagi. Ia sama sekali tidak tahu, akibat apa yang akan terjadi.
Sejenak perempuan itu termangu-mangu. Namun ketika
malihat pedang di dinding, ia menarik nafas dalam-dalam.
Tarnyata perempuan itu akan memilih mati daripada jatuh
ke tangan orang-orang itu sekali lagi. Ia pernah mangalami
siksaan lahir dan batin yang tidak ada taranya. Hanya
karana katabahannya sajalah, maka ia tidak menjadi korban
yang lebih biadab lagi dari orang-orang yang
menyembunyikannya di hutan.
Namun gambaran-gambaran yang buram menjadi
samakin jelas. Sekali-sekali bayangan yang mengerikan itu
bagaikan siap untuk menerkamnya.
"Satu dua pekan lagi, jika aku tidak berhasil dilepaskan
dari tangan mereka, aku tentu sudah menjadi korban
kebiadaban mereka" berkata perempuan itu di dalam
hatinya. Karena itu, maka ia tidak akan dapat mambiarkan
dirinya sekali lagi jatuh ke tangan mereka.
Yang dapat dilakukan oleh perempuan itu hanyalah
berdoa di dalam sanggar yang tertutup itu. Sekali-sekali ia
mendengar dentang senjata beradu.
Jika anak laki-lakinya dengan wajah yang pucat
memandanginya, maka dipeluknya anak itu melekat
dadanya. Namun ia tidak dapat berbuat sasuatu.
Seperti pesan Ki Wastu, maka kedua orang anak dan ibu
itu selalu berusaha untuk tidak berbuat sesuatu yang dapat
menarik perhatian. Karena itu, betapapun tekanan beresaan
yang menghimpit dada, namun kedua orang itu bertahan
untuk tidak menimbulkan suara apapun juga.
Di luar Mahisa Bungalan bertempur dengan tombak
pendeknya. Semakin lama tombak itu berputar semakin
cepat. Jika Mahisa Bungalan menyambar lawannya yang
seorang, maka ia harus memperhatikan lawannya yang lain.
Ternyata kedua lawannya itu mampu bekerja bersama
dengan baiknya. Keduanya saling mengisi, dan seakan-akan
keduanya mempunyai pusat kehendak yang bersamaan.
Namun Mahisa Bungalan mampu bergerak terlampau
cepat. Betapapun lawannya mampu bekerja bersama,
namun mereka tidak segera dapat menguasai anak muda
itu. Bahkan setiap usaha untuk mengurungnya, selalu dapat
dibelah oleh kemampuan Mahisa Bungalan yang
mengagumkan. Ketika seorang lawannya berusaha untuk berada dalam
garis serangan dari arah punggung, sementara yang lain
memancing perhatian Mahisa Bungalan dari depan, anak
muda itu telah, menempatkan diri pada keseimbangan
tubuh, sehingga ketika benar-benar terjadi seperti yangi
diperhitungkannya, serangan yang datang bersama dari dua
arah, maka ia sempat melenting kasamping. Tetapi ternyata
seorang lawannya menarik serangannya, la meloncat
selangkah surut. Namun demikian kakinya menjejak tanah,
maka iapun bagaikan dilontarkan menyerang Mahisa
Bungalan dengan ujung senjatanya secepat tatit menyambar
di langit. Namun Mahisa Bungalan sempat menggeliat, ia sempat
memukul senjata lawannya dengan tangkai tombaknya,
sehingga ujung senjata itu berubah arah dan sama sekali
tidak menyentuhnya. Bahkan Mahisa Bungalan sempat
mempersiapkan diri untuk memburunya dan menyerang
lambung. Tetapi ketika Mahisa Bungalan siap untuk meloncat, ia
justru harus meloncat surut. Serangan dari lawannya yang
seorang hampir saja mematuk lehernya. Untunglah ia
sempat mengelak dengan memiringkan kepalanya.
Namun lawannya bergerak cukup cepat. Senjata itupun
tiba-tiba saja telah terayun mendatar, menebas leher Mahisa
Bungalan. Mahisa Bungalan tergetar meHhat serangan itu. Namun
ia tidak menjadi bingung, Selagi senjatanya tidak pada
kemungkinan untuk menangkis, maka iapun harus
merundukkan kepalanya dalam-dalam.
Tetapi pada saat itu pula, lawannya yang lain telah
menyerangnya dengan serangan mendatar setinggi
lambung, Mahisa Bungalan tidak dapat berbuat lain daripada
melemparkan dirinya beberapa langkah surut. Namun
sekilas ia melihat kaki lawannya mulai bergerak. Serangan
berikutnya dari lawannya yang lain telah menyusul.
Karena itu, demikian kedua kakinya berdiri tegak di atas
tanah, maka dengan serta merta, Mahisa Bungalanpun
berjuang dengan tombak terjulur lurus ke depan,
menyongsong lawannya yang meloncat menyerang.
Lawannya terkejut melihat gerak yang demikian cepat.
Dengan serta merta iapun berusaha untuk menahan dirinya
dan menghindari ujung tombak yang justru siap
menyongsongnya. Karena dorongan kekuatan sendiri, lawannya ternyata
terlalu sulit untuk menghindarkah diri dari ujung tombak
Mahisa Bungalan. Karena itu, maka dengan senjatanya ia
berusaha memukul ujung tembak lawannya.
Mahisa Bungalan sempat menarik ujung tombaknya.
Tetapi dengan satu putaran, tombak itu telah mematuk
sekali lagi ke arah lambung.
Sekali lagi orang itu berusaha menghindar dan
menangkis. Tetapi tubuhnya telah menjadi condong dan
kehilangan keseimbangan. Karena itu, maka orang itupun
justru telah terjatuh ke samping. Meskipun ia berhasil lepas
dari sasaran ujung tombak Mahisa Bungalan, namun
ternyata bahwa ia telah terjatuh karena kehilangan
keseimbangan. Mahisa Bungalan tidak melepaskan kesempatan itu.
Iapun segera memburunya dan siap untuk menghunjamkan
tombaknya pada saat orang itu belum sempat untuk
memperbaiki kedudukannya.
Tetapi Mahisa Bungalan tidak sempat melakukannya.
Serangan yang dahsyat telah datang menyusul dari
samping. Lawannya yang seorang tidak membiarkan
Mahisa Bungaian menghunjamkan ujung tombak
pendeknya kepada lawannya.
Dengan demikian, maka Mahisa Bungalan harus
mengurungkan serangannya. Ia harus meloncat
menghindar. Namun karena itu, lawannya yang terjatuh itu
telah sempat berguling dan melenting berdiri siap
menghadapi segala kamungkinan.
Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Ia harus
mulai lagi dari permulaan. Tetapi dengan demikian, ia
sudah mengetahui dengan pasti tingkat kemampuan kedua
lawannya dalam olah senjata.
Sementara itu, kedua lawan Mahisa Bungalan itupun
sekali-kali berusaha mengamati kedua kawannya yang
bertempur melawan kakek tua itu. Mereka berharap agar
orang tua itu akan segera dapat dibunuh. Sehingga kedua
kawannya itu akan bertempur bersama mereka melawan
Mahisa Bungalan. Tetapi ternyata orang tua itupun masih cukup kuat. Ia
masih mampu berloncatan dengan cepatnya seperti orangorang
muda yang berilmu tinggi.
Bahkan kemudian kedua lawannya itupun harus
mengakui, bahwa orang tua itu memiliki kemampuan jauh
di atas mereka seorang-seorang.
Dengan demikian, maka kedua orang itu harus
bertempur berpasangan sebaik-baiknya. Keduanya harus
dapat saling mengisi agar mereka tidak terjebak, dalam
kesulitan. Karena itulah, maka keduanya, seperti juga lawan
Mahisa Bungalan, telah bertempur bagaikan dikendalikan
oleh satu kehendak. Keduanya seolah-olah mengerti, apa
dan dalam keadaan yang bagaimana kedudukan kawannya.
Tetapi lawannya adalah orang tua yang berpengalaman.
Ki Wastu adalah perantau dan sekaligus pemburu yang baik
di masa mudanya. Yang pernah melakukan pengembaraan
dengan berbagai macam suasana. Ki Wastu di masa
mudanya terlalu sering bertempur berhadapan dengan
sesama dan melawan orang-orang jahat yang dijumpainya.
Tetapi Ki Wastu juga terlalu sering bertempur melawan
berbagai jenis binatang. Binatang yang tidak
mempergunakan ilmu apapun juga, salah satu kekuatan dan
gerak nalurinya. Namun demikian, beberapa jenis binatang
memiliki kecepatan bergerak dan senjata pada dirinya yang
sangat berbahaya. Karena itulah, meskipun umurnya menjadi semakin tua,
tetapi kemampuan Ki Wastu seolah-olah tidak berkurang.
Bahkan semakin lama ia manjadi semakin matang.
Meskipun Ki Wastu tidak dapat mengingkari keharusan
alam yang berlaku bagi dirinya yang menjadi semakin tua,
namun latihan yang teratur, telah membuat tubuhnya yang
tua itu masih tetap memiliki kelebihan dari orang-orang
kebanyakan. Itulah sebabnya, maka melawan dua orang sekaligus, Ki
Wastu masih tetap berbahaya. Loncatan-loncatan yang
cepat, disusul dengan gerak pedangnya yang berputaran,
membuat kedua lawannya harus berhati-hati.
Namun sejenak kemudian ternyata Ki Wastu telah
sampai ke puncak ilmunya. Serangannya meningkat dengan
cepat dan cermat. Seolah-olah tidak ada langkahnya yang
salah, dan tidak ada gerak senjatanya yang tidak berarti.
Maskipun kadang-kadang serangannya gagal sama sekali,
namun dengan demikian ia sudah berhasil mendesak
lawannya surut, dan memecah kerja sama yang terjalin
dengan rapi. "Orang tua ini bertenaga iblis" geram salah seorang
lawannya. Ia sama sekali tidak menyangka, bahwa
lawannya memiliki kemampuan yang luar biasa dalam
umurnya yang sudah tua itu.
Dalam pada itu, orang-orang yang menyaksikan
pertempuran itupun menjadi semakin berdebar-debar.
Mereka tidak tahu, apa yang dapat terjadi pada mereka
yang sedang bertempur itu. Namun yang mereka lihat
adalah benturan senjata yang mengerikan. Enam pucuk
senjata telah beradu di halaman itu. Setiap saat ujung
senjata itu akan dapat menjemput maut.
Dalam pada itu, Mahisa Bungalan yang ternyata
memiliki kemampuan yang tinggi, di atasi dengan ilmu
yang dipelajarinya dari orang tua itu, sehingga ilmunyapun
menjadi semakin mengagumkan, perlahan-lahan mulai
mendesak lawannya. Dengan tombak pendeknya ia
memaksa lawannya untuk mengerahkan kemampuan
puncaknya. Tombak yang berputar seperti baling-baling,
dengan ujungnya yang berputar membatasi jarak serangan
lawannya. Namun yang tiba-tiba mampu mematuk
lawannya seperti ujung anak panah yang meloncat dari
busurnya. Menebas mendatar seperti pedang dan kemudian
menerkam bagaikan kuku seekor burung Garuda.
Dengan demikian, maka lawannya harus mengakui,
bahwa mereka semakin lama menjadi semakin terdesak.
Mereka seolah-olah tidak banyak mendapat kesempatan
lagi untuk menyerang. Namun mereka masih mempunyai harapan. Agaknya
Mahisa Bungalan telah mengerahkan segenap
kemampuannya, sehingga beberapa saat kemudian maka
anak muda itupun akan segara kehabisan nafas.
Selebihnya, kedua orang yang bertempur melawan
Mahisa Bungalan itupun masih mengharap, bahwa kedua
kawannya akan dapat menyelesaikan orang tua itu lebih
cepat lagi. Orang tua itu nampaknya akan lebih cepat
menjadi lelah dan kehilangan keseimbangan, meskipun
mula-mula ia memiliki kemampuan yang mengejutkan.
Tetapi ternyata bahwa kedua lawan Ki Wastupun tidak
dapat segera manguasainya. Kedua orang itu bahkan
kadang-kadang menjadi bingung dan karena orang tua itu
masih mampu bergerak dongan tangkasnya.
Dalam pada itu, tarnyata Mahisa Bungalan tidaklah
seperti yang diharapkan oleh kedua orang lawannya. Anak
muda itu tidak segera menjadi letih dan kehilangan
kemampuan dan kekuatan perlawanannya. Semakin lama


Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

anak muda itu justru menjadi semakin cepat bergerak dan
kekuatannyapun menjadi semakin bertambah-tambah.
Agaknya pengaruh ilmu yang dipelajarinya dari orang
lua itu benar-benar mulai menjalari seluruh tubuhnya.
Pernafasannya yang mulai berkejaran, justru mulai teratur.
Keringatnya yang mengalir di tubuhnya, seolah-olah seperti
embun yang menitik di keringnya padang yang luas Karena
itu, maka kedua orang lawan Mahisa Bungalan itu menjadi
bingung. Anak muda itu ternyata memiliki kemampuan
yang mengagumkan dan keadaan yang kurang dapat
mereka mengerti. Semakin lama ia tidak semakin lemah,
bahkan juslru sebaliknya.
Karena itu, maka kedua lawannya itupun harus berjuang
semakin keras, justru pada saat-saat mereka telah
mengerahkan segenap kemampuan mereka.
Dengan demikian mereka merasa, bahwa akhirnya
mereka akan ketinggalan dari anak muda itu, yang seolaholah
suma sekali tidak terpengaruh oleh pengerahan
kemampuannya. Yang diharapkan kemudian adalah kedua orang
kawannya yang bertempur melawan orang tua di bagian
lain halaman itu. Seharusnya mereka segara dapat
mengalahkan lawannya dan kemudian bersama-sama
menghancurkan anak muda yang telah membunuh enam
orang di hutan tutupan itu.
"Ternyata anak ini memang anak iblis" salah seorang
dari kedua lawan Mahisa Bungalan itu manggeram di
hatinya "itulah agaknya, ia dapat membunuh orang-orang
yang diparcaya mengawasi parempuan itu"
Kini, orang itu sendiri telah berhadapan dengan anak
muda itu. Orang yang merasa dirinya jauh lebih kuat dari
enam orang yang terbunuh itu.
Namun berdua, mareka sama sekali tidak segera dapat
mangalahkan Mahisa Bungalan, maskipun mula-mula
mereka merasa dapat malakukannya seorang diri.
Sementara itu, dua orang yang bertempur melawan Ki
Wastupun tidak dapat berbuat banyak. Meskipun keduanya
telah mengarahkan kekuatannya, namun mereka tidak
sagara dapat mengalahkan orang tua itu. Bahkan semakin
terasa, bahwa orang tua itu dapat bergerak semakin cepat.
"Gila" geram yang seorang.
Namun tiba-tiba saja telah timbul akal liciknya. Ketika ia
melihat seonggok belarak kering disudut rumah orang tua
itu. "Jika perempuan dan anak itu berada di dalam rumah
itu, maka api akan dapat melemahkan perlawanannya"
Dengan demikian, maka iapun telah memikirkan suatu
cara yang paling licik. Ketika tidak mungkin lagi baginya
untuk mengalahkan orang tua itu, maka iapun berkata
kepada kawannya "Tahan orang tua itu. Aku akan berbuat
sesuatu yang sangat menarik hati"
Kawannya termangu-mangu Ia tidak segara mengerti apa
yang dimaksud oleh kawannya. Namun iapun menjawab
"Lakukanlah. Aku akan membunuhnya seorang diri"
Dalam pada itu, yang seorang itupun segara meloncat
meninggalkan arena, sementara kawannya telah
menghentakkan segenap kemampuannya untuk menahan
orang tua itu, agar ia tetap bertempur melawannya.
Betapapun beratnya, namun dengan menghentakkan
segenap kemampuannya, orang itu dapat bertahan baberapa
saat. Sementara kawannya dengan tergesa-gesa telah
mengambil titikan dari kantong ikat pinggangnya.
Tarnyata orang tua itu segera mangerti apa yang akan
dilakukan oleh orang itu. Karana itu, maka hatinyapun
telah berdesir. Sekejap ia menjadi bingung, sehingga dengan
demikian maka ia telah kehilangan sikap yang mantap,
karana di dalam rumah itu terdapat anak dan cucunya. Jika
api benar-benar berkobar, maka kedua orang itu tentu akan
hangus di dalamnya. Pada saat-saat yang demikian lawannya barusaha
memanfaatkan keadaan. Meskipun ia hanya seorang diri,
namun menghadapi orang tua yang mendapat goncangan
perasaan itu. justru hampir saja ia barhasil menghunjamkan
senjatanya kaperut orang tua itu.
Hanya karena gerak-gerak naluriah sajalah, maka orang
tua itu sampat menghindar, sementara pikirannya masih
tetap terikat pada seonggok belarak kering.
Dalam pada itu, maka orang yang menyalakan api
titikan itu telah mempergunakannya. Ketika api mulai
merambat, maka emput itupun telah dilemparkan ke dalam
belarak kering yang teronggok di sudut rumah.
"Kau licik, gila" teriak orang tua itu.
Tetapi orang itu tidak menghiraukannya. Ketika ia sudah
malemparkan emput yang barasap, maka iapun tertawa
sambil berkata "Jika anak dan cucumu bersembunyi di
dalam rumah itu kakek tua, maka ia akan mati terbakar"
Orang tua itu benar-benar kehilangan akal, sementara
lawannya masih saja menyerangnya dengan ujung senjata.
Dalam kebimbangan itulah, maka tiba-tiba saja terdengar
Mahisa Bungalan berteriak "Kakek. Masih ada kesempatan.
Jika kau lumpuhkan lawanmu, kau akan dapat
memadamkan api itu" Kata-kata Mahisa Bungalan terputus karena lawannya
berbareng telah menyerangnya dengan dahsyatnya.
Tetapi kata-kata itu seakan-akan telah membangunkan
kakek tua itu dari mimpinya yang buruk. Tiba-tiba saja ia
sadar, bahwa lawannya tinggal seorang, karena yang
seorang masih sibuk dengan apinya.
Karena itulah, maka orang tua itu tidak dapat berpikir
lebih panjang lagi. Ketika ia melihat asap yang semakin
besar, sebelum api benar-benar berkorbar, maka
kemarahannya tidak lagi dapat dikendalikan.
Dalam pada itu, maka orang yang menyaksikan dari
kejauhan menjadi semakin berdebar-debar. Jika api benarbenar
berkobar, maka rumah itu akan menjadi musnah dan
jika benar di dalam rumah itu bersembunyi anak
parampuan dan cucunya, maka merekapun akan manjadi
arang pula jika keduanya tidak sempat melarikan diri keluar
dari rumah yang akan dimakan api itu.
Tetapi tidak seorangpun yang berani berbuat sesuatu.
Mereka menjadi ketakutan melihat ampat orang yang buas
dan liar di halaman orang tua itu.
Namun dalam pada itu, ternyata orang tua itu benarbenar
telah sampai ke puncak kemarahannya. Ia tidak mau
membiarkan rumahnya terbakar. Lebih daripada itu, anak
dan cucunya yang berada di dalam sanggarnya.
Karena itu, maka iapun telah menghentakkan
kemampuan puncaknya untuk mengalahkan lawannya.
-oo0w0oo- Jilid 08 Sementara itu, seorang lawannya yang bermain dengan
api itu telah berdiri dan melangkah selangkah surut. Ia
melihat api mulai menyala. Lidah yang merah terjulur
menjilat-jilat dinding yang terbuat dari anyaman bambu
yang sudah kering. Namun tiba-tiba orang itu terkejut. Selagi ia memandang
api yang mulai membakar rumah itu, ia mendengar jerit
ngeri yang bagaikan membelah langit. Ketika ia berpaling,
ia terkejut luar biasa. Baru ia sadar akan kelengahannya
Seandainya ia tidak tercengkam oleh lidah api yang mulai
menjilat, dan segera kembali ke arena pertempuran, maka
hal itu agaknya tidak terjadi.
Dalam pada itu, ia melihat kawannya terlempar dengan
dada yang menganga oleh pedang orang tua itu. Darah
yang merah segera mengalir membasahi halaman.
"Mati" desis kawannya yang baru saja menyalakan api.
Orang tua itu berlari ke sudut rumahnya, maka dengan serta
merta iapun mencegahnya. Dengan garangnya orang itu
menyerang Ki Wastu yang berusaha untuk memadamkan
api yang mulai membakar rumahnya.
Tetapi Ki Wastu tertahan oleh kawannya yang seorang.
Karena itu. tanpa berpikir lagi, Ki Wastu telah bertempur
dengan segenap kemampuannya. Ternyata ia masih mampu
bergerak dengan cepat dan kuat, sehingga pada serangan
yang garang, lawannya terdorong selangkah surut.
Ki Wastu tidak membiarkan lawannya menghalang-halangi
lagi, sehingga karena itu, maka iapun memburunya, dengan
cepat ia meloncat menebas lambung lawannya dengan
pedangnya. Tetapi karena serangan yang tergesa-gesa itu. Lawannya
justru sempat mengelak. Ia meloncat selangkah mundur.
Bahkan kemudian dengan tangkasnya orang itu meloncat
membalas serangan Ki Wastu dengan serangan yang garang
pula. Orang tua itupun sempat menangkis serangan itu dengan
perisai kecilnya. Dengan demikian. justru lumbung
lawannya telah terbuka. Ki Wastu tidak menyia-nyiakan
kesempatan itu. Apalagi ia telah kehilangan pertimbangan
karena kegelisahannya. Sejenak kemudian terdengar sekali lagi pekik yang
meninggi. Lawan Ki Wastu itu terdorong surut, ketika Ki
Wastu menarik pedangnya yang menghunjam ke dada
lawannya, maka orang yang garang itu terhuyung-huyung
uti kemudian jatuh terlelungkup.
Ki Wastu tidak menunggu apa yang terjadi atas
lawannya. Ia tidak menghiraukan lagi, apakah lawannya itu
mati atau pingsan. Yang dilakukan kemudian adalah
berlari-lari ke sudut rumahnya, melepaskan senjata dan
perisainya, kemudian berusaha untuk memadamkan api
yang mulai berkobar. Tanpa menghiraukan panasnya api yang menyala, ia
menarik dinding rumahnya dengan segenap tenaganya,
sehingga dinding itu justru telah terlepas. Tali-talinya putus
dan tiang rumah itupun telah berderak patah.
Tetapi api telah merayap sampai menjilat atap. Sehingga
dengan demikian, usaha orang tua itu seakan-akan telah siasia.
Dalam pada itu, beberapa orang yang menyaksikan api
itupun menjadi sangat gelisah. Namun kematian dua orang
yang buas dan liar di halaman itu, membuat mereka
menjadi lebih berani. Beberapa orang mulai mendekat,
sedang yang lain mulai melingkar dari arah lain.
Dalam pada nu, maka Mahisa Bungalanpun menjadi
sangat gelisah pula. Iapun menjadi bingung seperti Ki
Wastu. Api yang menyala itu telah menyalakan
kemarahannya pula. Karena itu, seperti Ki Wastu, iapun
tidak memikirkan apapun juga kecuali melumpuhkan
lawannya dengan segera. Di saat yang gawat itu, maka orang-orang yang
mendekati rumah itu dari arah lain tidak dapat menunggu
lebih lama lagi. Merekapun bagaikan mendapat aba-aba
untuk segera menolong. Namun kemudian mereka tertegun sejenak ketika
mereka mendengar suara menggelegar "Orang-orang gila,
siapa yang membantu memadamkan api itu, akan aku
bunuh di halaman ini"
Namun suara itu terputus, karena tombak Mahisa
Bungalan telah mematuk dadanya. Sehingga orang itu
menggeliat. Dengan tatapan mata yang penuh dengan
kemarahan. Namun akhirnya orang itu jatuh di tanah.
Sesaat kemudian, kawannya yang merasa tidak mampu
berbuat apa-apa, ternyata telah menjadi putus asa. Ketika ia
menyerang Mahisa Bungalan dengan membabi buta, maka
nasibnyapun tidak lagi dapat ditolong. Ujung tombak
Mahisa Bungalan sekali lagi menembus tubuh lawannya
yang mengamuk seperti orang gila.
Yang terdengar kemudian adalah suara teriakan
tertahan. Ketika teriakan itu terputus, maka orang itupun
kemudian roboh di tanah. Sejenak Mahisa Bungalan mengawasi kedua kawannya
itu berganti-ganti. Tetapi ia tidak sempat mengamatinya,
apakah keduanya benar telah terbunuh. Yang dilakukannya
kemudian adalah berlari-lari membantu memadamkan api
yang menyala membakar rumah orang tuai itu.
Dalam hiruk pikuk itu, Ki Wastu masih sadar, bahwa ia
harus menyelamatkan anak dan cucunya apabila api sulit
dipadamkan. Karena itu, maka iapun segera berlari
memutari rumahnya. Dengan serta meria, Ki Wastu yang
tidak sempat lagi membuka pintu sanggar itu, telah berlari
melanggar daun pintu yang berderak patah.
Hampir saja Ki Wastu melanggar anak dan cucunya
yang menjadi ketakutan. Sanggar itu ternyata telah penuh
dengan asap. Tetapi perempuan dan anak laki-laki itu tidak
berani keluar seperti pesan Ki Wastu. Dengan demikian,
maka yang dapat dilakukan hanyalah berkisar menyudut
sanggar. Namun mereka tidak berani melanggar pesan
dengan mencari jalan keluar.
Karena itu, demikian Ki Wastu masuk, keduanya telah
menghambur mendapatkannya sambil bertanya dengan
cemas "Bagaimana ayah?"
"Cepat keluarlah. Rumah ini telah terbakar"
Perempuan dan anak laki-lakinya itu tidak bertanya lebih
banyak lagi. Mereka mulai melihat api yang menjilat
dinding. Bukan saja asapnya yang menyesak di dalam
sanggar itu. Karena itu, maka perempuan itupun kemudian
membimbing anaknya berlari-lari keluar dari sanggar.
Ternyata Ki Wastu masih tetap berhati-hati. Meskipun
keempat erang yang datang ke rumahnya telah terbunuh.
Namun mungkin masih ada orang lain yang berbahaya bagi
keselamatan anak dan cucunya itu.
Karena itu, maka iapun telah memungut senjata dan
perisainya. Ia sudah melepaskan harapan untuk
menyelamatkan rumahnya. Meskipun orang-orang di
sekitarnya telah datang membantu, namun api yang sudah
mulai membakar rumah yang terbuat dari bambu dan kayu
itu, tidak dapat dikuasai lagi.
Sejenak kemudian, maka orang-orang yang mencoba
memadamkan api itupun telah melepaskan usaha mereka.
Mereka justru berdiri semakin jauh, karena mereka tidak
tahan lagi dipanggang oleh panasnya api yang menelan
seluruh rumah dan isinya.


Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Di tengah-tengah halaman itu berdiri Ki Wastu dengan
anak dan cucunya. Kemudian di belakangnya Mahisa
Bungalan berdiri tegak dengan tombak di tangan.
Dengan tegang mereka memandangi api yang bagaikan
menjilat langit. Asap mengepul tinggi ke udara. Orangorang
yang berdiri melingkari halaman rumah itu sama
sekali tidak berdaya untuk menguasai lagi. meskipun
jumlah mereka semakin lama menjadi semakin banyak.
Beberapa orang yang datang kemudian berusaha untuk
mengetahui apa yang telah terjadi. Mereka melihat empat
sosok mayat yang tergolek di halaman dengan darah yang
mulai membeku. "Kami tidak tahu, apakah persoalannya" berkata salah
seorang dari tetangganya yang melihat apa yang telah
terjadi di halaman itu "aku hanya melihat perkelahian itu
terjadi dengan sengitnya. Kemudian keempat orang itupun
telah terbunuh. Dua orang dibunuh oleh anak muda itu,
sedangkan yang dua lagi, telah dibunuh oleh Ki Wastu"
"Ki Wastu?" beberapa orang saling bertanya. Mereka
sama sekali tidak mengira, bahwa orang tua itu ternyata
memiliki kemampuan yang luar biasa, sehingga ia mampu
membunuh dua orang yang garang dan kasar itu.
Namun dalam pada itu, tidak seorangpun yang dapat
mengatakan dengan pasti, kenapa keempat orang itu tibatiba
saja telah mendatangi rumah Ki Wastu dan kemudian
terjadi perselisihan sehingga mengakibatkan keempat orang
itu terbunuh. "Mungkin mereka akan merampok" desis yang seorang.
"Apakah ada hubungannya dengan perempuan yang
baru saja datang ke rumah Ki Wastu itu" Yang katanya
adalah anaknya, ibu dari anak laki-laki yang tinggal
bersamanya" "Mungkin sekali" sahut yang lain "aku melihat
seseorang melihat-lihat rumah dan halaman Ki Wastu dari
arah belakang" "Besok kita bertanya kepadanya"
Merekapun terdiam. Mereka hanya dapat melihat api
yang sudah menelan seluruh rumah dan isinya. Bahkan
dengan perlahan-lahan api itupun mulai surut. Asap yang
hitam keputih-putihan mengepul tinggi sampai ke langit.
Orang-orang yang menyaksikan api yang mulai surut itu
hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Mereka tidak
dapat berbuat apa-apa, selain merasa iba kepada orang
tuam anak dan cucunya. "Benar-benar suatu malapetaka" gumam seseorang.
Kawannya hanya berpaling. Namun ia tidak menjawab.
Dalam pada itu, ternyata yang terjadi itu telah di dengar
oleh bebahu padukuhan. Ki Buyut dengan beberapa orang
pembantunya dengan tergesa-gesa telah datang untuk
menyaksikan apa yang telah terjadi. Ketika mereka
menyaksikan orang-orang berkerumun, terdengar ia
menarik nafas dalam-dalam. "Rumah itu telah menjadi
abu" Ki Buyut berdiri termangu-mangu di halaman yang
panas itu. Ia masih melihat asap yang mengepul, empat
sosok mayat yang tergelatak di tanah, dan senjata-senjata
yang terlempar dari tangan.
"Apa yang terjadi Ki Wastu?" bertanya Ki Buyut kepada
Ki Wastu. Ki Wastu mengangguk hormat sambil menjawab "Aku
mohon maaf Ki Buyut. Mungkin aku telah membuat seisi
padukuhan ini menjadi gelisah. Tetapi aku tidak berniat
untuk berbuat demikian"
"Siapakah mereka?" bertanya Ki Buyut.
Ki Wastu memang sudah gelisah jika pada suatu saat la
mendapat pertanyaan yang demikian. Namun ia arus
menjawab, karena itu, maka katanya "Ki Buyut. Masalah
ini sebenarnya menyangkut masalah keluarga. Tetapi pihakpihak
tertentu telah mengupah beberapa orang untuk
berbuat kejahatan atas diri kami. Jika Ki Buyut berkenan,
biarlah pada satu saat aku akan menceritakan segalanya.
Ki Buyut mengangguk-angguk. Jawabnya "Aku ingin
tahu Ki Wastu. Peristiwa ini benar-benar peristiwa penting
bagi padukuhan ini. Kedatangan keempat orang yang tidak
kami kenal ini telah menumbuhkan persoalan yang gawat.
Apalagi mereka ternyata telah terbunuh disini. Kami tidak
akan dapat mengingkari kenyataan, bahwa meskipun Ki
Wastu termasuk orang tua yang dihormati dipadukuhan ini,
tetapi sebenarnya bahwa Ki Wastu digolongkan sebagai
orang baru disini" Ki Wastu mengangguk-angguk. Katanya "Benar Ki
Buyut. Aku dapat mengerti seandainya tumbuh pertanyaan
di dalam hati Ki Buyut dan orang-orang dipadukuhan ini
"Siapakah orang tua ini sebenarnya"
"Ya" sahut Ki Buyut "selebihnya hampir tidak masuk
akal. bahwa Ki Wastu, seorang petani tua yang mencari
selembar tanah untuk bertani, ternyata mampu bertempur
melawan empat orang meskipun barang kali dibantu oleh
anak muda itu. Menurut pengamatan kami sebelumnya, Ki
Wastu tentu akan mati ketakutan melihat satu orang saja
yang segarang itu datang dengan pedang teracu"
Ki Wastu menarik nafas dalam-dalam. Katanya "Aku
akan mengatakan yang sebenarnya pada suatu saat Ki
Buyut, bersamaan waktu aku akan menyebut segala sebab
bahwa hal ini dapat terjadi"
Ki Buyut mengangguk-angguk. Katanya "Kami para
bebahu, para tetangga tentu akan berbelas kasihan. Tetapi
merekapun selalu dibayangi oleh kecemasan akibai dari
peristiwa ini. Sudah sepantasnya kami memberikan tempat
berteduh kepadamu. Sebenarnya aku ingir mempersilahkan
kau tinggal di rumahku. Tetapi apakah dapat menjamin
bahwa tidak akan terjadi sesuatu. Bahwa sanak kadang
orang-orang yang terbunuh ini tidak akan mendendam dan
kemudian mencarimu dalam kelompok yang lebih besar.
Jika demikian, maka keluargaku ikut terpercik oleh keadaan
yang gawat tanpa aku ketahui sebab musababnya"
"Ki Buyut" berkata Ki Wastu aku tidak dapat ingkar,
bahwa kemungkinan-kemungkinan masih akan dapat
terjadi. Dendam akan berkembang dan pembalasanakan
dapat mengejar kami, kapanpun dan dimanapun kami
berada. Karena itu, maka biarlah kami berada di halaman
ini" "Ah, itu tidak mungkin" sahut Ki Buyut, bagaimana jika
hujan turun. Dan apakah yang dapat kalian lakukan antara
debu yang berserakan itu"
"Kami akan membangun sebuah gubug keiil. Kami
dapat tinggal di dalamnya. Itupun masih harus kami
perhitungkan, sampai kapan kami berani bertahan tinggal di
padukuhan ini" Ki Buyut mariarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya "Ki
Wastu. Jika kau tidak berkeberatan, kau dapat tinggal untuk
sementara di dalam banjar. Tidak ada keluarga yang lain
yang tinggal disana. Banjar itu dapat menampung siapa saja
yang memerlukan. Jangankan penghuni padukuhan ini jika
ia benar-benar membutuhkan. Orang lewatpun dapat tidur
di banjar jika mereka kemalaman di padukuhan ini dan
memerlukan penginapan"
Ki Wastu mengerutkan keningnya. Kemudian jawabnya
sambil mengangguk hormat "Terima kasih Ki Buyut. Kami
sekeluarga mengurapkan terima kasih atas kemurahan itu,
sementara kami akan mendirikan gubug kecil"
"Tinggalah di banjar" Ki Buyut melanjutkan "dan
datanglah ke rumahku nanti malam. Aku ingin kau
berceritera tentang dirimu dan keadaanmu sekarang ini"
"Baiklah Ki Buyut. Aku akan datang" jawab Ki Wastu.
"Kau membuat aku dan seluruh isi padukuhan ini
menjadi heran. Tetapi kau jangan sakit hati bahwa karena
itu. kami akan bertanya, kenapa selama ini kini selalu
berpura-pura menjadi seorang petani yung bodoh dan
lemah. Mungkin kau sedang bersembunyi. Tetapi mungkin
kau sedang menyembunyikan sesuatu"
"Ki Buyut benar. Aku akan menceritakannya" jawab Ki
Wastu. Ki Buyut mengangguk-angguk. Lalu katanya "Aku akun
pulang. Tetangga-tetanggamu tentu tidak akan berkeberatan
membantumu. Disini banyak terdapat bahan-bahan yang
dapat kau pergunakan untuk membangun rumahmu
kembali. Di hutan sebelah kau akan mendapatkan jenis
kayu yang cukup. Semantara diujung padang perdu
terdapat hutan bambu"
"Terima kasih Ki Buyut. Kami mengucapkan terima
kasih. Segalanya akan kami pertimbangkan. Tetapi kami
juga mempertimbangkan, apakah kami memerlukan tempat
baru untuk bersembuyi dan sekaligus menyembunyikan
sesuatu" Ki Buyut hanya dapat menarik nafas dalam-dalam.
Namun ia sudah mengerti bahwa sesuatu tersembunyi
dibalik kehidupan petani tua itu. Sejenak kemudian, Ki
Buyutpun minta diri. Katanya "Ki Wastu. Pergunakan
banjar padukuhan ini unluk sementara kau perlukan. Aku
tidak tahu apa yang akan kau lakukan kemudian. Apakah
kau akan membangun kembali rumahmu, yang tentu akan
dibantu oleh tetangga-tetanggamu dan bahkan para bebahu
padukuhan, atau kau akan melakukan hal yang lain yang
tidak kami ketahui sebelumnya"
"Terima kasih Ki Buyut. Kami akan mempergunakan
kemurahan Ki Buyut sebaik-baiknya. Untuk sementara
kami memang akan tinggal di banjar" sahut Ki Wastu.
Setelah memerintahkan beberapa orang untuk
menyelenggarakan mayat-mayat yang terkapar di halaman
itu, maka Ki Buyutpun kemudian meninggalkan halaman
rumah Ki Wastu yang sudah hangus menjadi abu.
Sementara itu, beberapa orang telah sibuk dengan mayatmayat
yang terbujur dengan darah yang sudah membeku.
Beberapa orang justru tidak berani menyentuh mayat itu.
Mereka lebih senang mengerjakan yang lain meskipun ada
juga keinginan mereka untuk membantu.
Ketika halaman rumah itu dibersihkan, maka beberapa
orang mempersilahkan Ki Wastu. anak perempuan dan
cucunya untuk pergi ke Banjar. Sementara Mahisa
Bungaian tetap berada di halaman itu untuk mengawasi
keadaan. Ia tidak sampai hati melepaskan orang-orang
padukuhan itu bekerja tanpa perlindungan. Jika masih ada
satu dua orang kawan-kawan mereka yang terbunuh itu
berkeliaran, maka ia harus berbuat sesuatu.
Demikian juga, keselamatan anak dan cucu Ki
Wastupun harus mendapat perlindungan. Sehingga karena
itu, maka Ki Wastu harus tetap berada di dekat dengan
anak dan cucunya. Sejenak kemudian, maka halaman rumah itupun teluh
dibersihkan. Bersih dari mayat-mayat yang terkapar, dan
bersih dari bara yang panas. Asap tidak lagi mengepul dan
sisa-sisa api yang berserakanpun telah dikumpulkan.
"Terima kasih" gumam Mahisa Bungalan "Tuhan Yang
Maha Pemurahlah yang akan membalas segala kebaikan
budi" "Yang kami lakukan adalah kewajiban kami" jawab
salah seorang tetangganya "adalah menjadi beban kami
bersama, suka dan duka diantara kita bertetangga"
Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Katanya
"Bagaimanapun juga, kalian sudah berbuat sesuatu di atas
atas kemanusiaan" Sementara itu, Mahisa Bungalanpun kemudian bersama
tetangga-tetangganya meninggalkan halaman itu. Mahisa
Bungalan menyusul Ki Wastu ke Banjar, sementara
tetangga-tetangganyapun pulang ke rumah masing-masing.
Di Banjar, Ki Wastu masih saja dicengkam oleh
kegelisahan. Ia tidak meletakkan senjatanya jauh
daripadanya. Seolah-olah ia masih saja dibayangi oleh
kecemasan, bahwa tiba-tiba akan muncul beberapa orang
untuk menangkap anak dan cucunya dan membunuh
mereka bersama-sama. Ketika Mahisa Bungalan dalang ke Banjar, Ki Wastupun
menarik nafas dalam-dalam. Katanya "Kehadiranmu telah
mengurangi keteganganku"
Mahisa Bungalan mengagguk sambil menjawab "Ya.
Kita masih harus berhati-hati"
Ki Wastu mengangguk-angguk Katanya "Anak dan
cucuku di ruang belakang. Mereka mendapat yang baik untuk tidur.
Di sebelah ada ruang untuk memasak. Tetapi aku tidak
tahu, apakah ada yang dapat dimasak besok, karena
semuanya telah menjadi abu"
"Kita dapat mengambil di sawah. Ketela pohon itu
mungkin sudah dapat dipetik hasilnya, meskipun sedikit
demi sedikit" jawab Mahisa Bungalan.
"Dengan itu kita hanya dapat bertahan beberapa waktu"
jawab Ki Wastu. Tetapi katanya kemudian "Namun yang
penting, apakah yang akan terjadi besok atau lusa. Apakah
kematian keempat orang itu tidak akan disusul dengan
peristiwa-peristiwa lain yang akan dapat meningkatkan
kematian" "Mungkin sekali" sahut Mahisa Bungalan "tetapi kita
harus mampu mengurusi segala peristiwa dan kemudian
mencari penyelesaian sebaik-baiknya"
Ki Wastu menarik nafas dalam-dalam. Katanya "Kita
akan berbicara dengan Ki Buyut. Beristirahatlah"
Mahisa Bungalan memang merasa letih. Ia memiliki
kemampuan dan daya tahan yang luar biasa. Tetapi
keletihan jiwanya membuatnya ingin beristirahat barang
sejenak. Setelah membersihkan dirinya, maka Mahisa
Bungalanpun kemudian duduk di serambi belakang. Ia
ingin duduk seorang diri tanpa diganggu oleh siapapun
juga. Sambil memandang kebun yang terbentang, Mahisa
Bungalan sempat berangan-angan tentang peristiwa yang
baru saja terjadi. Ia melihat, betapa buruk nasib anak
perempuan Ki Wastu. Ia ditinggal suaminya tanpa dapat
berbuat sesuatu meskipun ia mengerti dan mengetahui
tempat tinggalnya. Di Kediri. Semantara orang-orang yang


Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jahat ingin memusnahkannya, karena anak laki-lakinya itu
mempunyai hak warisan dari Pangeran yang sudah lama
tidak menjenguknya. Sementara itu, Ki Wastu justru duduk di pendapa banjar.
Juga seorang diri. Diluar persetujuan mereka, seolah-olah
mereka sengaja mengawasi bagian depan dan belakang dari
banjar itu. Sementara, itu, di dalam banjar, di ruang bagian
belakang, anak perempuan Ki Wastu duduk memeluk anak
laki-lakinya. Betapa ia berjuang untuk dapat mengendalikan
perasaannya. Ingin kiranya ia berteriak menangis.
Tetapi dengan demikian, anak laki-lakinya tentu semakin
gelisah dan ketakutan. Karena itu, betapa pampat dadanya. Perempuan itu tetap
menahan diri. Bahkan ia masih berusaha untuk dapat
menenangkan hati anaknya.
"Kenapa rumah kita dibakar ibu?" bertanya anak itu.
Ibunya membelai rambut anak itu sambil berkata "Tidak
ada yang membakar rumah kita ngger. Tetapi agaknya
suatu kecelakaan sudah terjadi"
"Tetapi siapakah yang sudah berkelahi di halaman?"
bertanya anak itu. Ibunya tidak akan dapat ingkar. Anak itu mendengar
dengan telinga sendiri, apa yang telah terjadi. Iapun
mengerti, bahwa perkelahian di halaman itu telah
merenggut beberapa nyawa. Anak itu melihat, meskipun
kemudian menyembunyikan wajahnya, bahwa beberapa
sosok mayat telah terkapar.
Karena ibunya tidak segera menjawab, maka anak itu
bertanya lagi "Siapa yang telah berkelahi dengan kakek dan
paman Mahisa Bungalan?"
"Mereka orang-orang jahat ngger. Mereka menyerang
kakek dan pamanmu Mahisa Bungalan" jawab ibunya.
"Kenapa ibu?" anak itu mendesak.
Hampir saja ibunya tidak dapat menahan air matanya.
Tetapi ia berusaha sejauh yang dapat dilakukan. Dengan
suara yang mulai parau ia berkata "Sudahlah, jangan kau
pikirkan lagi. Apapun yang sudah terjadi, mereka dapat
dikalahkan oleh kakek dan paman Mahisa Bungalan.
Mereka tidak dapat menggaggu kita lagi"
Anak itu tidak berkata lagi, maka ibunya berkata
"Tidurlah. Kau harus mencoba menenangkan dirimu.
Tidak akan ada apa-apa lagi ngger. Pamanmu Mahisa
Bungalan dan kakek ada di banjar ini. Sementara para
bebahu padukuhan inipun sangat baik kepada kita"
Anak itu termangu-mangu. Namun iapun kemudian
berbaring di sebuah amben bambu yang besar di bagian
belakang dari banjar padukuhan itu, sementara ibunya
duduk di sebelahnya sambil memijit kakinya. Betapapun
hatinya dibakar oleh kegelisahan, namun ia berusaha untuk
tidak menunjukkannya kepada anak laki-lakinya bahwa
hatinya bergejolak. Untuk beberapa saat, anak laki-laki itu masih belum
memejamkan matanya. Seolah-olah ia masih memandangi
atap yang agak lain dari atap di rumahnya. Atap itu tidak
terbuat dari raguman sebelah bambu yang dilindungi oleh
anyaman rumput ilalang. Tetapi rusuk atap rumah itu
terbuat dari kayu dan dilindungi dengan anyaman ijuk yang
tebal. Namun sejenak kemudian seperti dibuai oleh ayunan,
maka matanya mulai menjadi redup. Silirnya angin
kemudian mengipasinya, sehingga anak itupun sejenak
kemudian telah tertidur. Betapa sesak yang menyumbat jantung ibunya bagaikan
meledak. Betapapun juga perempuan itu bertahan, akhirnya
air matanya telah pecah dan mengalir di pipinya. Meskipun
ia tidak menangis memekik tinggi, namun iapun menjadi
terisak-isak. Diluar sadarnya ia mulai membayangkan,
betapa panasnya saat-saat ia mulai mekar di sebuah
padukuhan kecil. Kadang-kadang ia berbangga karena
kurnia kecantikan wajahnya. Jika tidak ada seorangpun
yang menyaksikan, ia menyempatkan diri bercermin di
wajah belumbang yang bening. Jika air sedang tenang, ia
dapat melihat wajahnya sendiri yang mulai menginjak usia
dewasa. "Apakah aku cantik?" kadang-kadang ia bertanya kepada
dirinya sendiri. Namun iapun sadar, bahwa ia adalah bunga
yang sedang mekar. Tetapi sesaat kemudian, iapun mulai dipanggang di atas
panasnya bara nasibnya yang malang. Ia masih sempat
menikmati kebahagiaan beberapa saat bersama suaminya
Pangeran Kuda Padmadata. Tetapi setelah itu, iapun mulai
merasa sepi. Suaminya pergi ke daerah yang sesuai dengan
tataran dan derajatnya. Untuk beberapa tahun, hatinya
justru dibakar oleh sepi. Hanya karena anak laki-lakinya
sajalah maka ia masih tetap pempunyai gairah untuk tetap
hidup dan menjalani kehidupan.
Namun akhirnya ia masih saja diburu oleh nasib buruk.
Sehingga akhirnya ia telah terlempar ke dalam suatu
suasana yang mengerikan dan selalu dibayangi oleh
ketakutan dan kecemasan. "Seandainya maut itu memang akan datang, aku akan
rela menyerah, asal anakku akan mendapatkan tempatnya
sebagai anak seorang Pangeran" keluhnya di dalam hati.
Tetapi ia sama sekali tidak mempunyai harapan.
Tidak ada jalan yang dapat ditempuh. Ia tidak akan
berani datang ke istana kepangeranan untuk menerangkan
bahwa anak itu adalah anak Pangeran Kuda Padmadata.
Dan iapun tidak akan berani menuntut apapun juga dari
suaminya yang meninggalkannya sekian lama tanpa kabar
berita. Tidak sulit untuk mencari istana Pangeran Kuda
Padmadata di Kediri" berkata perempuan itu kepada diri
sendiri. Tetapi jika itu hanya akan menghadapkan anak
kepada kematian, maka tidak ada gunanya menemukan
istana itu, bagaimanapun megahnya"
Perempuan itu menjadi semakin tirisak. Tetapi ia
mencoba untuk tidak menggangu perasaan ayahnya dan
seorang anak muda yang telah menolongnya. Ia ingin
menekan duka deritanya di dalam dadanya sendiri,
meskipun ia sadar, bahwa ayahnyapun tentu telah terlibat
pula dalam kegelisahan yang tiada taranya "Aku tidak
boleh menambah sakit hati ayah" berkata perempuan itu di
dalam hatinya. Sementara anak laki-lakinya tidur nyenyak, maka
perempuan itu duduk dengan air mata yang menitik di
pangkuannya. Sekali-kali tangannya mengusap pipinya.
Namun air mata itu masih saja mengalir.
Di pendapa, Ki Wastu merenungi keadaannya pula. Ia
mencoba untuk mencari, jalan manakah yang sebaiknya
akan ditempuhnya, la sadar, bahwa anak muda yang
bernama Mahisa Bungalan itu tentu tidak akan dapat
ditahannya terlalu lama. Anak yang luar biasa itu, pada
suatu saat tentu akan pergi, melanjutkan perjalanannya
"Apakah aku harus pergi jauh untuk mencari tempat
persembunyian" berkata Ki Wastu di dalam harinya
"Apakah dengan demikian, bagi kami sekeluarga dunia ini
tidak lebih baik dari sebuah hutan belantara" Kami adalah
kelinci-kelinci yang selalu diburu oleh serigala-serigala yang
buas dan liar" Tetapi Ki Wastu tidak menemukan cara yang paling baik
untuk menemukan jalan ke masa depan yang tenang bagi
anak dan cucunya. Ia masih selalu membayangkan,
beberapa orang memburu dengan senjata di tangan. Jika
mereka mengetahui bahwa empat orang yang memburunya
telah terbunuh, maka mereka tentu akan mengirimkan
enam orang. Jika enam orang terbunuh, mereka akan
mengirimkan sepuluh orang, sehingga akhirnya, sepasukan
segelar sepapan akan datang mengepungnya dan terjadi
rampokan seperti yang biasa dilakukan di alun-alun.
Beberapa orang prajurit dengan tombak telanjang
melingkari seekor harimau liar yang lapar, yang dilepaskan
di antara ujung-ujung tombak sebagai tontonan yang sangat
menarik perhatian. Betapapun kuat dan garangnya harimau
itu, namun ujung-ujung tombak yang bagaikan daun ilalang
di padang itu, akhirnya akan mengoyak tubuhnya sampai
lumat. "Kemana aku harus mencari perlindungan?" bertanya Ki
Wastu kepada diri sendiri. Namun ia tidak kunjung
mendapat jawaban. Tetapi yang selalu terbayang, langkah yang pertama yang
dapat dilakukannya, adalah menjauhkan diri. Lari dan
bersembunyi. Ia harus menemukan tempat yang dapat
dijadikan persembunyian meskipun untuk sementara,
sebelum ia menemukan langkah-langkah selanjutnya yang
lebih baik bagi masa depan anak dan cucunya.
Tetapi ada juga niatnya untuk menghubungi Pangeran
Kuda Padmadata. Apakah Pangeran itu sama sekali tidak
mempunyai perasaan, jika ia mengetahui anaknya dalam
keadaan yang gawat. Seandainya ia tidak mau tahu lagi
tentang keadaan isteri yang diketemukannya di padesan
kecil dan tidak berarti sama sekali di dalam jalur hidupnya,
apakah ia dapat berbuat demikian pula terhadap anaknya.
"Menurut pengamatanku. Pangeran Kuda Padmadata
bukannya orang yang terlalu mementingkan diri sendiri"
berkata Ki Wastu "jika saja ada kesempatan untuk
mengatakan tentang keadaan anaknya, mungkin hatinya
akan tersentuh" Ki Wastu menjadi ragu-ragu. Mahisa Bungalan telah
menyatakan diri untuk pergi ke Kediri, menghadap
Pangeran Kuda Padmadata. "Biarlah ia pergi. Tetapi selama ia dalam perjalanan,
apakah nasib kami tidak selalu berada di ujung duri"
berkata Ki Wastu kepada diri sendiri.
Dengan demikian maka Ki Wastupun condong untuk
mengambil keputusan, meninggalkan padukuhan itu untuk
menemukan tempat baru yang jauh. Setidak-tidaknya untuk
sementara, di saat-saat Mahisa Bungalan pergi ke Kediri.
Bukan berarti bahwa ia akan takut menghadapi bahaya
yang betapapun gawatnya, namun jika ia gagal bertahan,
maka anak dan cucunya itupun akan menjadi korban.
Ki Wastu menarik nafas dalam-dalam. Iapun kemudian
berdiri dan melangkah ke belakang mencari Mahisa
Bungalan. Ketika ia lewat di muka bilik anak perempuannya, maka
ia masih mendengar isak di dalam. Tetapi ia tidak berhenti.
Ia tahu pasti, perasaan apakah yang bergejolak di dalam
hati anak perempuannya itu. Ketika ia menjengukkan
kepalanya di serambi belakang, dilihatnya Mahisa Bungalan
duduk dengan mata redup. Nampaknya iapun sedang
merenungi keadaan yang gawat bagi kedua ibu dan
anaknya itu. Mahisa Bungalan beringsut ketika Ki Wastu
mendekatinya dan kemudian duduk di sisinya "Kita
memerlukan sikap" berkata Ki Wnstu.
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. katanya "Ya
kek. Mungkin bahaya itu akan datang menyusul. Berita
kematian empat orang itu diketahui oleh setiap orang di
padukuhan ini, bahkan oleh orang-orang di sekitarnya.
Berita demikian akan dengan cepat menjalar dan sampai ke
telinga kawan-kawan keempat orang yang terbunuh itu"
Mereka akan mengirimkan orang-orang yang lebih baik
untuk melepaskan dendam. Selain itu. kewajiban
merekapun belum dapat mereka lakukan dengan baik"
sambuug Ki Wastu yang gelisah.
Sejenak Mahisa Bungalan termangu-mangu. Ia
menyadari keadaan sepenuhnya, nyawa perempuan dan
anak laki-lakinya itu benar-benar berada dalam bahaya.
Diluar sadarnya. Mahisa Bungalanpun mula merenung.
Adalah diluar kemampuannya untuk menghalangi
keinginan sekelompok keluarga Pangeran Kuda Padmadata
untuk memiliki warisan tanpa dibagi dengan anak laki-laki
dari Pangeran itu. Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Warisan
adalah harapan bagi seorang anak, tetapi sekaligus sumber
bencana. Orang tua yang tidak mempunyai warisan apapun
yang dapat diberikan kupada anak keturunannya, akan
menjadi gelisah dan menyesal, bahwa hidupnya adalah siasia
bagi masa depan keturunannya. Tetapi warisan akan
dapat membuat seseorang menjadi cemas, bahwa anakanaknya
akan saling bertengkar karena warisan. Semakin
besar warisan itu, maka kemungkinan yang buruk akan
menjadi semakin besar pula, meskipun tidak berarti bahwa
semua orang akan terlibat ke dalam keadaan yang serupa.
Kini ternyata bahwa putera Pangeran Kuda Padmadata
itu telah terjerumus ke dalam keadaan yang gawat. justru
karena Pangeran Kuda Padmadata adalah seorang
Pangeran yang kaya, yang memiliki warisan yang banyak
sekali bagi keturunannya. Tetapi keluarganya tidak ingin
melihat, anak Kuda Padmadata yang lahir dari perempuan
desa itu sempal memiliki warisan yang tidak ternilai itu.
Mahisa Bungalan terkejut ketika orang tua yang duduk di
sampingnya itu bertanya "Bagaimana pendapatmu ngger?"
Mahisa Bungalan berpaling. Kemudian sambil beringsut
setapak ia berkata "Kita memang harus memperhitungkan
segala kemungkinan, kek. Jika aku pergi ke Kediri untuk
menghadap Pangeran Kuda Padmadata sebelum ibu dan
anak itu disembunyikan sebaik-baiknya, rasa-rasanya hati
ini tidak akan sampai. Seperti yang kakek katakan, mereka
dapat mengirimkan orang-orang yang lebih baik dan lebih
banyak. Padahal kita menyadari, bahwa kemampuan
seseorang itu sangat terbatas. Pada suatu saat kita akan
sampai pada batas kemampuan kita. Sehingga kita tidak
akan dapat mengatasinya lagi"
"Jadi apakah yang baik kita lakukan?" bertanya orang
tua itu. "Ya, apakah yang baik kita lakukan?" Mahisa Bungalan
mengulangi. Keduanya terdiam. Sejenak keduanya merenung.
Namun nampaknya hari depan masih terlalu suram.


Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kek" berkata Mahisa Bungalan kemudian "sebaiknya
kita mencari tempat persembunyian lebih dahulu"
Ki Wastu mengangguk-angguk. Katanya "Akupun
berpikir demikian ngger. Setelah kita menemukan tempat
yang sebaik-baiknya, maka salah seorang dari kita akan
pergi ke Kediri menghadap Pangeran Kuda Padmadata"
Mahisa Bungalan memandang orang tua itu sejenak.
Lalu "Jika demikian, kemanakah sebaiknya kita pergi" Ke
Utara atau Ke Selatan" Ke Barat atau Ke Timur?"
"Orang-orang yang datang itu datang dari arah Utara.
Dengan demikian, "kita akan bersembunyi ke tempat yang
semakin jauh. Kita akan pergi ke Selatan"
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk, tetapi iapun
bertanya "Apakah kita akan dapat menemukan tempat yang
dapat melindungi kita seperti padukahan ini" Artinya,
orang-orang dari tempat yang baru itu akan dapat
menerima kita dengan senag hati, dan dapat menganggap
kita sebagai petani yang mencari tanah garapan yang baru?"
"Kenapa tidak ngger?"
"Ki Wastu" Mahisa Bungalan berdesis "kedatangan Ki
Wastu ke tempat ini memang tidak mencurigakan. Seorang
laki-laki tua dan seorang cucunya. Baru kemudian aku
datang menyusul, selanjutnya seorang perempuan yang
ternyata adalah anak kakek. Tetapi di tempat yang baru,
maka kita datang lengkap seperti jumlah orang yang sedang
dicari. Mereka yang kehilangan empat orang itu tentu akan
dapat mengetahui, penghuni rumah yang terbakar itu
berjumlah empat orang. Jika mereka bertanya, maka
mereka akan dengan mudah menemukannya. empat orang"
Ki Wastu mengangguk-angguk. Katanya "Itu memang
mungkin sekali. Seorang laki-laki tua, seorang perempuan
dan anak laki-lakinya, dan seorang anak muda"
Mahisa Bungalan tidak menjawab. Tetapi ia sedang
memperhatikan segala kemungkinan. Kemungkinan yang
baik, tetapi juga kemungkinan yang pahit. Nampaknya
tidak ada jalan yang baik yang dapat ditempuh. Segalanya
mengandung bahaya dan kemungkinan-kemungkinan yang
gawat. Seolah-olah tidak ada tempat untuk
menyembunyikan diri. Ki Wastupun menyadari, bahwa jalan terlalu gelap. Hari
depan anak dan cucunya itu seolah-olah tidak akan dapat
diharapkan lagi. Sekilas terbayang padepokan-padepokan yang pernah
disinggahi oleh Mahisa Bungalan. Padepokan yang telah
meninggalkan bekas yang tidak terhapus dari hatinya. Di
padepokan itu, terdapat tidak hanya satu dua orang yang
dapat membantu melindungi perempuan dan anak lakilakinya.
Tetapi di padepokan itu terdapat beberapa orang
murid. Mereka tentu tidak akan berkeberatan jika Mahisa
Bungalan datang kepada mereka dan menitipkan laki-laki
tua itu dengan anak cucunya. Tetapi Mahisa Bungalan
menarik nafas dalam-dalam. Bayangan itupun mulai
mengabur ketika kemudian ia melihat kemungkinan yang
buruk bagi padepokan itu.
Meskipun di padepokan-padepokan itu ada beberapa
orang murid yang terpercaya, tetapi tingkat tertinggi yang
dimiliki oleh padepokan-padepokan itu masih belum dapat
dipercaya sepenuhnya. Jika orang-orang yang ditugaskan
oleh mereka yang ingin membinasakan perempuan dan
anak laki-lakinya itu datang setelah mereka menemukan
jejaknya, maka padepokan itu justru akan hancur menjadi
abu. Tidak akan ada kekuatan yang dapat melindungi
perempuan dan anak laki-lakinya itu yang dapat diharapkan
dari padepokan-padepokan kecil yang terpencil itu. Bahkan
dengan demikian maka ia akan dapat mengundang bencana
bagi perempuan dan anak-anak laki-lakinya itu, sekaligus
padepokan yang tidak tahu menahu tentang persoalan yang
terjadi di antara keluarga Pangeran Padmadata.
Karena itu, maka Mahisa Bungalanpun segera
menghapus kemungkinan itu dari angan-angannya. Ia tidak
akan menjerumuskan kedua belah pihak ke dalam
kesulitan. Namun dengan demikian, apakah yang sebaiknya
di lakukan. Untuk beberapa saat keduanya berdiam diri. Mereka
mencoba mencari kemungkinan yang sebaik-baiknya untu
bersembunyi. Sementara Mahisa Bungalan akan
meninggalkan mereka, pergi ke Kediri menemui Panger
Kuda Padmadata. Dalam kebingungan, akhirnya Mahisa Bungalan berdesis
"Kak. Jika keadaan tidak terpecahkan lagi, aku mempunyai
pertimbangan jika kau sependapat"
Ki Wastu memandang wajah Mahisa Bungalan dengan
kerut merut di keningnya, sambil bertanya "Apakah kau
menemukan jalan?" "Jika hany jika tidak ada jalan lain" berkata Mahisa
Bungalan. "Katakanlah" sahut Ki Wastu dengan penuh harapan.
Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Katanya
kemudian "Ki Wastu. Aku adalah seorang yang datang dari
Singasari. Aku mempunyai rumah dan tempat tinggal. Aku
mempunyai lingkungan dan keluarga. Jika memang tidak
ada jalan lain yang dapat ditempuh, apakah kakek bersedia
untuk pergi ke Singasari. Jaraknya memang cukup jauh.
Tetapi jika kita dapat mencapai tempat tinggalku yang juga
tidak berada di dalam pusat pemerintahan, maka aku kira
untuk sementara kakek dan keluargamu akan mendapat
perlindungan" Ki Wastu menegang sejenak. Namun kemudian ia
bertanya "Tetapi anak muda. Setiap tempat di muka bumi
ini akan menjadi sasaran pencarian. Mungkin mereka akan
sampai juga ke Singasari. Mungkin satu dua orang akan
menelusuri sejak padukuhan ini mengikuti jejak perjalanan
kita, sampai ke Singasari. Mungkin mereka akan
menemukan kita juga. Apakah dengan demikian, kami
tidak akan mempersulit keadaan keluargamu?"
Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Katanya
"Mungkin memang demikian. Tetapi adalah menjadi
kewajiban setiap orang untuk saling menolong. Aku kira
keluargaku tidak akan berkeberatan. Bukankah
kemungkinan bahwa orang-orang yang mencari anak dan
cucu kakek itu sampai ke Singasari sangat kecil"
"Betapapun kecilnya tetapi itu mungkin sekali terjadi"
sahut Ki Wastu. "Kakek sendiri adalah seorang yang memiliki ilmu yang
dapat dipergunakan untuk melindungi anak dan cucumu.
Sementara aku pergi ke Kediri, maka di rumah akan ada
ayahku, Mahendra. Kedua adikku, Mahisa Pukat dan
Mahisa Murti. Jika perlu, maka paman-pamankupun akan
dapat membantu" "Siapakah mereka?"
"Aku kira aku tidak perlu menjelaskan semua orang yang
bersedia berbuat sesuatu atas dasar kewajiban itu. Tetapi
percayalah, bahwa anak dan cucumu akan mendapat
perlindungan di rumahku. Bahkan jika masih meragukan,
kita akan dapat mohon perlindungan kepada prajuritprajurit
Singasari. "Apakah itu mungkin?" bertanya Ki Wastu.
"Kenapa tidak. Prajurit-prajurit Singasari akan dapat
diminta perlindungannya, karena mereka memang berdiri
pada sikap seorang kesatria. Adalah menjadi kewajiban
mereka untuk melindungi siapapun yang memerlukannya"
jawab Mahisa Bungalan. Orang tua itu termangu-mangu sejenak. Terbayang
harapan yang cerah bagi anak dan cucunya. Namun
terbayang juga perjuangan yang berat menuju ke Singasari.
Apalagi ia membawa seorang perempuan dan seorang anak
laki-laki. Tiba-tiba saja Ki Wastu itu berkata "Anakmas, aku
pasrah kepada anakmas. Tentu anakmas lebih banyak
mengenal Singasari daripada aku. Sementara aku akan
dapat menjual sesuatu yang masih ada padaku untuk
membeli bekal perjalanan"
Mahisa Bungalan mengerutkan keningnya. Namun
kemudian Ki Wastu menunjukkan selingkar cincin di jarijarinya.
Katanya "Aku akan menjualnya. Mungkin
timangku ini dapat juga aku jual. Aku akan membeli sebuah
pedati, seekor lembu dan perlengkapannya. Jika pada anak
perempuanku masih juga ada perhiasan, aku akan dapat
menjualnya pula untuk menambahinya jika masih kurang"
Mahisa Bungalan mengerutkan keningnya. Katanya
"Apakah pedati tidak justru memperlambat perjalanan" Ki
Wastu menarik nafas. Katanya "Mungkin. Tetapi apakah
seorang perempuan dan seorang anak-anak akan dapat
berjalan sampai ke Singasari"
"Tentu dapat" berkaja Mahisa Bungalan. Tetapi iapun
tidak dapat ingkar, bahwa mungkin sekali mereka akan
kelelahan. Karena itu, maka Mahisa Bungalanpun justru meraba
kantong ikat pinggangnya. Ia membawa beberapa bekal
yang diberi oleh ayahnya, yang sewakla-waktu dapat
dijualnya. Tetapi Mahisa Bungalan tidak mengatakannya, bahwa ia
mempunyai beberapa bentuk cincin, beberapa butir permata
dan logam mulia. Hanya jika diperlukan sekali sajalah, ia
akan memberikannya satu dua butir kepada orang tua itu
untuk menambah, agar dapat membeli sebuah pedati dan
dua ekor lembu untuk membawa anak perempuan dan
cucunya pergi ke Singasari.
Dalam pada itu, Ki Wastu berkata "Angger Mahisa
Bungalan. Seandainya kita memaksa seorang perempuan
dan anak-anak untuk berjalan ke Singasari, maka aku kira
kita baru akan sampai dalam waktu yang terhitung akan
lebih panjang daripada kita membawa sebuah pedati yang
akan dapat berjalan terus, meskipun lambat. Sudah tentu
kita akan beristirahat disepanjang jalan. Namun aku kira,
perjalanan kita akan dapat lebih rancak"
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Tetapi ia belum
mengatakan bahwa jika diperlukan, iapun akan dapat
membantu menjual sesuatu yang masih ada padanya. Jika
benda-benda itu terpisah dari ikat pinggangnya dan ikut
terbakar, maka ia tidak akan dapat berbuat apa-apa.
Namun dalam pada itu, Ki Wastupun ingat, bahwa ia
harus pergi ke rumah Ki Buyut. Ia akan mengatakan
sesuatu yang berhubungan dengan peristiwa yang telah
memusnahkan rumahnya, namun ia harus menjelaskan
juga, bahwa ada empat sosok mayat yang terkapar di
halaman. "Tetapi, aku harus pergi ke rumah Ki Buyut, ngger"
berkata Ki Wastu kemudian "apakah aku dapat
mengatakan, bahwa kita akan meninggalkan padukuhan ini
ke tempal yang belum pasti?"
Sebaliknya Ki Wastu mengatakan demikian, agar jejak
kita tidak terlalu cepat diikuti. Siapa tahu, bahwa beberapa
orang akan datang dan memaksa Ki Buyut untuk
mengatakan. Jika Ki Buyut benar-benar tidak mengetahui,
maka mereka tentu tidak akan dapat berbuat terlalu banyak
terhadapnya" berkata Mahisa Bungalan.
"Tetapi, apakah dengan demikian Ki Buyut tidak akan
mengalami kesulitan?" bertanya Ki Wastu.
"Kita dapat mempertimbangkannya. Tetapi aku kira,
bagi orang-orang itu akan dapat dilihat, apakah Ki Buyut
berkata sebenarnya atau sekedar berpura-pura"
Ki Wastupun kemudian bersiap-siap untuk pergi. Tetapi
ia masih juga berpesan "Angger Mahisa Bungalan. Jika
sesuatu terjadi, biarlah anak itu memukul kentongan. Aku
akan segera datang" Mahisa Bungalan menyadari, bahwa orang tua itu tentu
masih selalu dibayangi oleh kegelisahan. Karena itu maka
Mabisa Bungalanpun berkata "Kek, untuk sementara kita
akan aman. Meskipun demikian, aku akan selalu ingat
pesan itu" Demikianlah, maka kakek tua itupun kemudian minta
diri kepada anak perempuannya untuk pergi sebentar ke
rumah Ki Buyut. "Aku takut ayah" desis ariak perempuannya.
Ki Wastu memandangi cucunya yang masih tidur
nyenyak. Kemudian katanya "Angger, Mahisa Bungalan
ada di sini. Meskipun demikian, jika terjadi, sesuatu, kau
dapat memukul kentongan itu. Aku akan mendengarnya
dari rumah Ki Buyut"
Anak perempuannya itupun menarik nafas dalam-dalam.
Katanya kemudian "Tetapi jangan terlalu lama ayah"
"Aku hanya sebentar" jawab ayahnya "jika kemudian
ruangan-ruangan ini menjadi gelap,nyalakan lampu yang
ada" "Dari mana aku mendapat api?" bertanya perempuan itu
"Aku tidak berani minta kepada tetangga. Dan aku tidak
berani ditinggalkan oleh Ki Sanak Mahisa Bungalan jika
ayah belum datang" Ki Wastu menarik nafas dalam-dalam. Namun katanya
"Biarlah angger Mahisa Bungalan membuat api"
Sepeninggal Ki Wastu maka seperti yang dipesan oleh
kakek tua itu, maka Mahisa Bungalanpun membuat api
dengan batu thithikan. Kemudian dinyalakannya seikat
belarak kering yang didapatkannya di belakang. Dengan api
itu, maka iapun kemudian menyalakan lampu dan bahkan
perapian untuk merebus air.
Dalam pada itu, Ki Wastupun telah diterima oleh Ki
Buyut di pendapa rumahnya. Tanpa orang lain, Ki Wastu
menceriterakan sebagian dari keadaannya yang sebenarnya.
Tetapi ia masih belum menyinggung, bahwa laki-laki yang
meninggalkan anak perempuannya itu adalah seorang
Pangeran. "Jadi laki-laki itu sampai hati untuk mengupah orang
agar membunuh isterinya" bertanya Ki Buyut.
"Bukan laki-laki itu Ki Buyut. Tetapi keluarganya yang
tidak mau kehilangan warisan" jawab Ki Wastu.
Ki Buyut mengangguk-angguk. Katanya "Adalah
perbuatan yang terkutuk"


Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Karena itu, maka kami sudah memutuskan untuk
menyingkir saja Ki Buyut. Agar tidak terjadi pembunuhanpembunuhan
lagi, alau pada suatu saat kamilah yang akan
terbunuh" berkata Ki Wastu kemudian.
"Kalian akan menyingkir ke mana?" bertanya Ki Buyut.
"Itulah yang kami tidak tahu Ki Buyut. Mungkin kami
akan menjelajahi daerah yang luas dan panjang, sehingga
pada suatu saat kami menemukan daerah yang
meyakinkan, tidak akan dicapai oleh orang-orang yang
berniat buruk itu" Ki Buyut mengangguk-angguk. Tetapi nampak wajahnya
dibayangi oleh iba di hatinya. Bahkan seakan-akan kepada
diri sendiri ia berkata "Nasib itu memang sulit untuk
dihindari. Kalian telah mengalami suatu kesulitan, yang
sebenarnya bukan karena kesalahan yang pernah kalian
lakukan" Ki Wastu menarik nafas dalam-dalam, ia memang
dibayangi oleh masa depan yang sangat suram, seakan-akan
segalanya yang akan dilakukan, tidak banyak bermanfaat
baginya untuk menghindarkan diri dari orang-orang yang
bermaksud buruk terhadap anak dan cucunya.
Kesediaan Mahisa Bungalan untuk membawa anak dan
cucunya ke Singasari, agaknya memang memberikan
harapan. Tetapi jika bencana itu terjadi di sepanjang, maka
sangat sulit baginya untuk melawannya.
Jika orang-orang itu kemudian mengirimkan orangorangnya
lagi. maka jumlahnya akan tentu berlipat, dan
diantara mereka tentu akan terdapat orang-orang yang
memiliki ilmu yang semakin tinggi.
Tetapi keluarganya memang harus berbuat sesuatu. Jika
ia tidak berusaha sama sekali, maka bencana itu akan lebih
cepat datang, tanpa harapan untuk dapat mengelak sama
sekali. Karena itu. maka Ki Wastupun kemudian berkata "Ki
Buyut. Kami berniat untuk menjauhkan diri tanpa mengerti
tujuan sama sekali. Tetapi dimana kami merasa bahwa
kami dapat hidup tenang, maka kami akan tinggal di tempat
itu untuk waktu yang tidak dapat direncanakan, mungkin
kami harus berpindah tempat lagi, jika kami merasa, bahwa
hidup kami akan mulai diusik oleh orang-orang yang
berniat jahat terhadap keluarga kami itu"
"Jadi, kalian akan merantau tanpa tujuan?" beranya Ki
Buyut. "Begitulah agaknya Ki Buyut. Kami harus melakukan
yang bukan pilihan kami. Tetapi kami tidak dapat mengelak
lagi" berkata Ki Wastu.
"Sulit bagiku untuk membayangkan, apa yang akan
terjadi atas seorang perempuan dan anak-anak. Apakah
mereka harus berjalan menempuh teriknya matahari dan
dinginnya embun malam disepanjang bulak-bulak panjang
tanpa batas?" bertanya Ki Buyut.
"Apaboleh buat Ki Buyut" sahut Ki Wastu. Namun Ki
Wastupun kemudian mengatakan, bahwa dengan menjual
sisa-sia barangnya yang melekat pada tubuhnya, ia ingin
mendapatkan sebuah pedati. Dengan pedati itu ia dan
keluarganya akan menempuh perjalanan tanpa batas.
Ki Buyut mengerutkan keningnya. Sejenak ia termangumangu.
Namun kemudian katanya "Ki Wastu. Meskipun
kau bukan orang yang cikal bakal di pudukuhan ini, namun
kau sudah kami anggap sebagai keluarga kami. Kau sudah
kami anggap sebagai orang tua yang pantas kami hormati.
Karena itu, Ki Wastu, jika kau memang memerlukan
sebuah pedati, maka kau tidak perlu menjual sisa barangbarangmu
yang masih melekat pada tubuhmu. Biarlah,
orang-orang padukuhan ini memberimu sebuah kenangkenangan,
bahwa kau pernah tinggal di padukuhan ini"
"Apakah maksud Ki Buyut?" bertanya Ki Wastu.
Ki Buyut termangu-mangu sejenak. Kemudian katanya
"Biarlah kau tidak usah membeli pedati dengan menjual
barang-barangmu. Jika kau memerlukan pedati, pakailah
pedatiku. Pedati yang akan selalu mengingatkanmu kepada
padukuhan ini, kepada penghuninya, tetapi juga kepada
pengalaman pahit yang pernah terjadi"
Ki Wastu mengerutkan dahinya. Setapak ia bergeser.
Dengan suara yang bergetar karena getar jantungnya ia
berkata "Ki Buyut, apakah benar pendengaranku, betapa
besar belas kasihan Ki Buyut terhadap keluarga kami"
"Sudah menjadi kewajiban kita Ki Wastu" sahut Ki
Buyut "kita harus saling menolong. Agaknya hanya itulah
yang dapat kami berikan. Padukuhan ini sudah tentu tidak
akan dapat memberikan perlindungan kepada keluargamu.
Kami sama sekali tidak memiliki kekuatan unluk melawan
kekerasan" Ki Wastu untuk sejenak bagaikan membeku. Ia sama
sekali tidak menyangka, bahwa Ki Buyut demikian baik
hati, sehingga ia tidak perlu menjual apapun juga untuk
mendapatkan sebuah pedati.
"Betapa besar rasa terima kasih kami sekeluarga Ki
Buyut" suara Ki Wastu menjadi semakin bergetar "kami
sekeluarga tidak akan melupakannya. Kami selalu
mengenang padukuhan ini. Kami akan selalu mengenang
Ki Buyut dan semua penghuninya"
"Besok pedati itu sudah siap Ki Wastu" berkata Ki Buyut
"bukan maksudku agar kau cepat meninggalkan padukuhan
ini, tetapi setiap saat, pedati itu sudah siap kau pergunakan
bersama keluargamu" "Terima kasih Ki Buyut. terima kasih. Aku akan segera
membicarakannya dengan anak dan cucuku. Juga
membicarakannya dengan Mahisa Bungalan, anak muda
yang telah ikut menyelamatkan keluargaku"
"Bukan saja sebuah pedati dengan dua ekor lembu.
Tetapi aku akan dapat memberimu sekedar bekal bahan
makan di perjalanan. Mungkin kau tidak segera
mendapatkan tempat untuk sekedar tinggal beberapa saat.
Mungkin kalian harus merantau untuk waktu yang tidak
dapat dibatasi" Ki Wastu mengangguk-angguk. Suaranya masih bergetar
ketika ia menjawab "Tidak ada kata-kata yang dapat aku
ucapkan Ki Buyut Aku dan keluargaku telah berhutang
budi kepada Ki Buyut, kepada padukuhan ini dan
penghuninya" "Tidak perlu kau bebani perasaanmu dengan anggapan
seperti itu. Semuanya terserah kepadamu. Kapan kau akan
berangkat, dan sampai kapan kau akan tinggal di banjar.
Kaulah yang dapat menduga, apakah keadaan menjadi
gawat atau masih dapat kau anggap tenang"
Setelah mengucapkan terima kasih berulang kali. maka
Ki Wastupun kemudian minta diri. Betapa baik sikap dan
tanggapan Ki Buyut tentang keadaannya. Dengan
demikian, maka ketika ia sampai ke banjar, hampir tidak
sabar lagi menunggu Mahisa Bungalan yang sedang berada
di belakang berjalan mendapatkannya di pendapa banjar.
"Ternyata Ki buyut adalah orang yang sangat baik"
berkata Ki Wastu yang kemudian menceriterakan apa yang
disanggupkan oleh Ki Buyut bagi keluarganya.
"Sukurlah" berkata Mahisa Bungalan "jika keadaan
berangsur baik dan tidak ada kecemasan lagi di dalam
kehidupan kakek kelak, maka kakek tidak akan melupakan
padukuhan ini" "Tentu, tentu ngger. Aku tidak akan melupakannya"
jawab Ki Wastu. "Dengan demikian, apakah kakek berhasrat untuk segara
meninggalkan tempat ini?" bertanya Mahisa bungalan.
"Aku kira begitu ngger. Semakin cepat semakin baik.
Mungkin orang-orang yang bermaksud buruk itupun
bekerja cepat, agar mereka tidak kehilangan kita. Terutama
anak dan cucuku itu"
"Baiklah Ki Wastu Besok kita sudah bersiap, jika benar
Ki Buyut akan memberikan pedati, maka demikian pedati
itu ada, maka kita akan berangkat" berkata Mahisa
Bungalan. Ki Wastu mengangguk-angguk. Lalu katanya "Aku akan
berbicara dengan anak dan cucuku"
Ketika Ki Wastu kemudian masuk ke ruang di bagian
belakang banjar itu, maka Mahisa Bungalanpun kemudian
turun kehalaman dan berjalan-jalan hilir mudik. Ketika
malam menjadi semakin gelap maka di gardu di muka
banjar itupun mulai terisi oleh beberapa orang anak muda
yang meronda. Mahisa Bungalan yang kemudian berada diantara anakanak
muda itupun mulai dihujani dengan berbagai macam
pertanyaan tentang peristiwa yang telah terjadi. Anak-anak
muda itu tidak puas mendapat keterangan sekedarnya.
Teetapi mereka ingin mengetahui lebih banyak.
letapi Mahisa Bungalan tidak dapat menceriterakan
Semuanya, la hanya menyatakan apa yang sebenarnya
dapat dilihat oleh tetangga-tetangganya.
Agar ia tidak terlalu banyak mengalami kesulitan untuk
menjawab, maka Mahisa Bungalanpun kemudian
meninggalkan gardu itu dan masuk ke ruang dalam banjar.
Sementara Ki Wastu sedang duduk terkantuk-kantuk di
ruang dalam. "Aku akan tidur sejenak, ngger" berkata Ki Wastu.
"Tidurlah kek. Aku akan berada di serambi belakang.
Kita akan mendapat kesempatan untuk tidur bergantian"
"Aku akan tidur lebih dahulu" berkata kakek tua itu.
Ketika Mahisa Bungalan turun ke serambi belakang dan
duduk di dalam gelap, maka Ki Wastupun membaringan
dirinya pada sebuah kayu yang rendah di depan pintu bilik
anak perempuan dan cucunya, seolah-olah ia sama sebali
tidak mau melepaskan pengawasannya atas pintu itu.
Namun sejenak kemudran Ki Wastu itupun telah tertidur.
Dalam pada itu. ibu dan anak laki-laki yang berada di
dalam bilik itupun menjadi gelisah. Anak laki-laki itu
merasa perutnya menjadi lapar. Tetapi ia sadar, bahwa ia
tidak akan dapat merengek minta makan. Yang dapat
dilakukannya hanyalah sekedar mereguk air dan beberapa
potong gula kelapa yang didapatkannya dari seorang
tetangga yang baik. "Besok kakek akan ke sawah" ibunya menghibur,
bukankah kita masih mempunyai beberapa batang pohon
ketela?" Anak laki-lakinya yang sedang terbangun itupun
mengangguk. Namun ia tidak dapat menyembunyikan
bunyi perutnya yang lapar.
Menjelang pagi, Ki Wastu sudah terbangun, iapun
kemudian pergi ke serambi belakang dan mempersilahkan
Mahisa Bungalan untuk beristirahat.
"Akupun duduk terkantuk-kantuk disini" berkata Mahisa
bungalan "aku juga tertidur meskipun hanya sekejapsekejap"
"Sekarang tidurlah sampai pagi. Aku akan duduk disini"
Mahisa Bungalan tidak menjawab. Tetapi ia tidak pergi
ke ruang dalam. Betapapun dinginnya malam menjelang
pagi, namun Mahisa Bungalan telah berbaring di sebuah
amben bambu di serambi. Sejenak kemudian Mahisa Bungalanpun sempat tidur
meskipun tidak terlalu lama, karena fajarpun kemudian
mulai menyingsing. Malam itu telah dilampaui dengan tanpa terjadi peristiwa
yang tidak dikehendaki. Menjelang pagi, anak-anak muda
yang berada di gardupun telah pulang ke rumah masingmasing.
Namun bagi Mahisa Bungalan, anak-anak muda itu
justru mencemaskannya. Jika orang-orang yang berusaha
membunuh ibu dan anak itu benari datang menyusul di
malam itu maka anak-anak muda yang tidak tahu menahu
itu akan mengalami kesulitan. Mungkin tanpa mereka
sadari, mereka mencoba untuk melawan. Namun dengan
demikian, maka akibatnya akan sangat gawat bagi mereka.
Ternyata bahwa datangnya pagi telah membual Mahisa
Bungalan justru agak tenang. Di siang hari segalanya
menjadi semakin jelas dan pasti. Namun, yang bergejolak di
dalam hatinya juga sebuah pengharapan agar pedati itu
benar-benar datang. Dengan demikian, mereka akan
semakin cepat meninggalkan tempal itu. Tempat yang
mungkin masih akan dikunjungi oleh orang-orang yang
tidak dikehendakinya. Ternyata seperti yang dikatakan, bahwa menjelang
matahari naik sepenggalah, maka Ki Buyut sendiri telah
dalang kebanjar membawa sebuah pedati diikuli oleh
beberapa orang pamong. Dengan hati tergetar Ki Wastu menerima pedati itu.
Berpuluh kali ia mengucapkan terima kasih atas kebaikan
hati Ki Buyut. Ki Buyut dan para pamongpun mengerti, betapa
perasaan terimakasih itu benar-benar melonjak dari dasar
hati Ki Wastu. Bukan sekedar sikap lahiriahnya saja.
Dengan tangan gemetar Ki Wastu meraba pedati itu
hampir pada setiap bagiannya. Kemudian dua ekor lembu
yang besar dan kuat. "Luar biasa" desis Ki Wastu.
"Nah Ki Wastu. Kami sudah memberikan sesuatu yang
barangkali bermanfaat bagi Ki Wastu. Tetapi itu bukan
berarti bahwa aku mempersilahkan Ki Wastu segera
meninggalkan tempat ini. Kami masih akan dengan senang
hati menerima Ki Wastu tinggal bersama kami di
padukuhan ini, tetapi kamipun tahu keadaan Ki Wiastu
yang sulit itu" berkata Ki Buyut kemudian. Lalu "Karena
itu, terserahlah kepada Ki Wastu. Dan akupun tidak akan
bertanya dan tidak akan berusaha mengerti, ke mana Ki
Wastu akan pergi, karena pengertianku tentang tujuan Ki
Wastu, akan dapat berbahaya bagi Ki Wastu"
Wajah Ki Wastu menegang. Seolah-olah Ki Buyut itu
mengerti apa yang pernah dipikirkannya. Karena itu,
dengan ragu-ragu ia berkata "Kami percaya sepenuhnya
kepada Ki Buyut. Tetapi sebenarnyalah kami tidak tahu,
kemana kami akan pergi"
Ki Buyut tersenyum. Katanya "Baiklah. Di dalam pedati
itu terdapat beberapa onggok bekal yang dapat kalian
pergunakan di sepanjang jalan"
Terima kasih yang tidak terhingga masih saja selalu


Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

diucapkan oleh Ki Wastu. Dan sekali-kali Mahisa Bungalan
juga menyatakannya. Sejenak kemudian, maka Ki Buyutpun minta diri
meninggalkan banjar itu. Di regol ia berpesan "Ki Wastu.
Kapan saja Ki Wastu akan berangkat, aku harap Ki Wastu
sudi memberitahukan kepadaku"
"Baiklah Ki Buyut. Kami akan singgah di rumah Ki
Buyut. Kami akan minta diri. dan kami tidak akan pernah
melupakan kebaikan hati ini" sahut Wastu.
Sepeninggal Ki Buyut, maka Ki Wastupun mulai
berbicara bersungguh-sungguh dengan keluarganya dan
Mahisa Bungalan. Mereka menganggap bahwa semakin
cepat meninggalkan tempat itu, akan semakin baik. Setiap
saat, kawan-kawan dari keempat orang itu akan dapat
datang, karena berita kematian mereka tentu sudah tersebar
dari mulul ke mulut, dari pasar ke pasar dan dari
padukuhan ke padukuhan. "Malam nanti kita berangkat" berkata Mahisa Bungalan.
"Kenapa malam?" bertanya Ki Wastu.
"Tidak banyak orang yang mengetahui kepergian kita"
"Aku berjanji untuk singgah di rumah Ki Buyut"
"Senja kita pergi ke rumah Ki Buyut dengan pedati ini.
Selanjutnya kita tinggulkan daerah ini menuju ke Singasari"
berkata Mahisa Bungalan kemudian.
Ki Buyut mengangguk-angguk. Iapun ternyata
sependapat dengan Mahisa Bungalan. Sementara anak dan
cucunya tidak dapat memberikan pendapat lain karena
moreka merasa hidup mereka hanya sekedar terganlung
kepada Ki Wastu dan Mahisa Bungalan.
Demikian, maka merekapun segera bersiap-siap. Tetapi
karena tidak ada lagi yang dapat mereka persiapkan, maka
mereka segera selesai. Pedati itu sudah siap untuk
berangkat. Di dalamnya telah tersimpan seonggok bahan
makanan yang dapat mereka pergunakan beberapa saat di
perjalanan menjelang tempal baru yang masih akan mereka
cari. Menunggu senja, Ki Wastu masih sempat mencari
rumput di pinggir parit, di ujung padukuhan. Lembu yang
akan membawa mereka itupun tidak boleh lapar. Di
perjalanan, mereka akan dapat mencari rumput untuk
makanan lembu-lembu itu tanpa takut kekurangan.
Demikianlah, ketika matahari telah turun, pedati dan
keluarga Ki Wastupun telah bersiap-siap. Mereka sempal
minta diri kepada satu dua orang tetangga. Namun Ki
Wastu sama sekali tidak pernah menyebut arah perjalanan
mereka. Ki Wastu selalu berkata bahwa ia menuju ke
tempat yang sama sekali tidak diketahui.
Ketika senja datang, maka Ki Wastupun segera
berangkat meninggalkan banjar menuju ke rumah Ki Buyut.
Sekali lagi Ki Wastu minta diri.
Dengan iba hati, Nyai Buyutpun telah memberikan bekal
pakaian kepada anak perempuan Ki Wastu. Sebagai
seorang perempuan, Nyai Buyut mengetahui, bahwa anak
perempuan Ki Wastu itu tidak akan dapat memakai
pakaian gantung kepuh seperti seorang laki-laki.
Ketika gelap mulai turun, dengan berat hati Ki Wastu
berangkat meninggalkan padukuhan yang untuk beberapa
saat lamanya telah memberikan tempat tinggal baginya.
Namun akhirnya ia harus meninggalkan padukuhan itu,
karena tingkah beberapa orang yang tidak mengenal perikemanusiaan.
Ketika mereka meninggalkan gerbang padukuhan, cucu
Ki Wastu itu masih sempat menjengukkan kepalanya.
Dengan nada ragu ia bertanya kepada ibunya "Kita akan
pergi ke mana ibu?" Ibunya membelai kepala anak laki-lakinya sambil
menjawab "Kita akan mengikuti kakek dan pamanmu
Mahisa Bungalan ngger. Kita akan pergi ke tempat yang
belum pernah kita lihat"
Anak itu memandang ibunya dengan wajah yang tegang.
Namun ia tidak bertanya lagi. Iapun menyadari bahwa
mereka sedang mencari tempat untuk mencari ketenangan.
Demikianlah maka pedati itupun berjalan dengan
lambannya menempuh jalan-jalan padukuhan. Kemudian
lewat gerbang di ujung lorong, dan turun ke jalan di tengah
bulak panjang. Tidak banyak orang yang menghiraukan. Karena pedati
memang berjalan di malam hari membawa hasil sawah
untuk dijual di pasar yang agak jauh, karena pemiliknya
memerlukan barang lain yang akan didapatkannya di pasar
itu pula. Dengan demikian, maka perjalanan pedati itupun sama
sekali tidak mendapat hambatan apapun juga. Semakin
lama menjadi semakin jauh dari padukuhan yang telah
menjadi tempat tinggal Ki Wastu untuk beberapa lamanya.
"Jika kau telah dan mengantuk, tidurlah" berkata Ki
kastu kepada anak dan cucunya.
Tetapi rasa-rasanya mereka selalu diguncang oleh rodaroda
pedati yang melintasi di sepanjang jalan. Karena itu,
maka anak perempuannya itupun menjawab "Aku belum
mengantuk ayah" Namun kemudian sambil membelai
rambul di anak laki-lakinya ia berkata "Tidurlah. Seolaholah
kau berada di dalam ayunan"
Anak itu tersenyum. Tetapi ia tidak menjawab.
Dipandanginya kakeknya dan Mahisa Bungalan duduk di
bagian depan. Ki Wastu memegang kendali lembu yang
berjalan seenaknya di gelapnya malam yang menjadi
emakin pekat. "Perjalanan kita akan cukup panjang" berkata Ki Wastu
kepada anak perempuannya "mudah-mudahan kau dan
anakmu tidak jemu berada di dalam pedati ini hampir siang
dan malam" "Apakah pedati ini tidak akan pernah berhenti?" tiba-tiba
aja cucunya yang sudah mulai menguap bertanya.
"Tentu. Pedati ini akan berhenti setiap kali. Lembulembu
itu tentu juga mengenal lelah. Ibumu akan merebus
ubi kayu atau ubi rambat yang kita bawa. Mungkin jika
sempat juga menanak nasi. Sementara lembu itu beristirahat
dan makan rumput, kau mendapat kesempatan untuk
makan nasi. Mungkin kita berhenti di dekat sebatang
sungai. Kita akan turun ke sungai, mandi dan mencari
ikan" Anak itu mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak
menjawab. la mulai membayangkan perjalanan yang
panjang dan lama. Namun tiba-tiva ia tersenyum sendiri
sambil berkata "Perjalanan yang menyenangkan sekali"
Ki Wastu menarik nafas dalam-dalam. Diluar sadarnya
disentuhnya senjatanya yang diletakkan di bawah tikar yang
terbentang di dalam pedati itu, di atasi dengan damen
Elemen Kekosongan 7 Inferno Karya Dan Brown Pedang Asmara 16
^