Elemen Kekosongan 7
Elemen Kekosongan Karya Nein Arimasen Bagian 7
pai ke Tlatah Langit (Himalaya), melampui Tlatah Barat (Alemania)
dan sekitarnya, akhirnya sampai ke Tlatah Antara. Tadinya ia per-
nah mendengar jauh di selatan terdapat Tlatah Gurun (Osetralia) dan
Tlatah Kebekuan (Artika). Tapi melihat kehidupan di Tlatah Antara,
kakek Gu pun jatuh cinta dan memutuskan untuk menetap.
Selagi mencari-cari tempat yang akan didiaminya untuk menghabiskan
hari tua, kakek Gu tiba desa sebelah timur yang menjadi pokok pem-
bicaraan mereka itu. Di sana kakek Gu melihat bahwa orang-orang
hidup dengan sangat sederhana bahkan cenderung miskin. Padahal
alam sekitarnya kaya akan keanekaragaman hayati. Karena ingin tahu
ia pun mulai berdiam di sana. Baru seminggu di sana ia mulai menge-
nal bahwa kesederhanaan dan kemiskinan para penghuni desa adalah
akibat adanya tekanan, bahwa mereka harus menyetor pajak kepada
para penjaga keamanan di sana.
Namanya saja penjaga keamanan, sebenarnya mereka itu adalah
pemeras. Orang-orang yang memeras para penduduk desa sebelah
timur dan juga desa-desa lain di sekitar tempat itu, dipimpin oleh
Su-Mo. Akan tetapi penduduk desa hampir tidak pernah melihat
Su-Mo, mereka hanya bisa merasakan pukulan dan tendangan para
kaki-tangannya saja, apabila telat membayar.
Naluri kependekaran kakek Gu pun bangkit, ia mendatangi para
petani dan menganjurkan agar mereka tak usah lagi membayar pajak
kepada Su-Mo. Tapi seperti kebanyakan rakyat yang berada dalam
tekanan, mereka takut. Mereka tidak mau mengikuti anjuran kakek
Gu, walaupun itu untuk kebaikan mereka sendiri.
Akhirnya karena jengkel kakek Gu pun merampok pajak yang seyo-
gyanya diberikan kepada kaki-tangan Su-Mo dan menunggu seorang
diri kedatangan mereka. Sementara semua penduduk desa bersem-
bunyi dengan ketakukan dalam rumahnya masing-masing.
Kaki tangan Su-Mo bukanlah sesuatu kekuatan yang berarti bagi
kakek Gu. Mereka semua tunggang-langgang dibuatnya. Terkencing-
kencing dalam celana selagi berlari pulang.
291 Walaupun telah diselamatkan uangnya, para penduduk masih was-was
akan pembalasan yang akan tiba dari Su-Mo dan tukang pukul-tukang
pukul lainnya. Kakek Gu akhirnya menyanggupi untuk melindungi
mereka untuk berhadapan dengan Su-Mo. Dengan jaminan itu para
penduduk berani untuk dua masa penarikan pajak berikutnya tidak
memberikan bayaran, melainkan mereka simpan untuk diri mereka
sendiri. Su-Mo yang saat itu sedang berada di Tlatah Tengah tidak tahu-
menahu mengenai kejadian itu. Saat mereka kembali ke Tlatah An-
tara, berang wajah mereka mendengar ada ketidak-beresan pada
daerah kekuasaan mereka. Sebenarnya masalahnya tidak sesederhana
itu. Su-Mo sendiri memiliki hak menarik pajak karena dukungan dari
Pemerintah Pusat, yang tidak peduli pada nasib rakyatnya. Seseo-
rang atau sekelompok orang yang dapat menjanjikan akan menyetor
pajak sejumlah tertentu dari suatu daerah, akan diberikan hak untuk
menarik pajak. Begitulah sistem pada masa itu.
Setelah mendapat informasi cukup dari para tukang pukulnya yang
babak-belur dipukul balik berulang-ulang oleh kakek Gu dan juga
informasi dari pemerintah bahwa kakek Gu itu sebenarnya adalah se-
orang perantau yang dikenal sebagai Zahnloserbauer, masih saudara
dari seorang pengujar terkenal, akhirnya Su-Mo pun berniat untuk
bertemu dengannya. Jika mungkin mengajak kakek Gu menjadi
rekanan mereka. Seorang dengan kemampuan beladiri seperti kakek
Gu sudah tentu banyak gunanya.
Tapi bukanlah kakek Gu jika dengan mudah dapat dibujuk. Jabatan
dan pembagian hasil keuntungan yang awalnya ditawarkan oleh Su-Mo
melalui utusannya ditampik mentah-mentah. Sudah tentu ini mem-
buat darah Su-Mo mendidih.
Akhirnya diputuskan bersama bahwa mereka akan bertemu hari itu
di suatu padang rumput yang luas untuk "menyelesaikan" permasalah
itu. Su-Mo merasa tidak ada lagi gunanya untuk membujuk kakek Gu,
mereka saling melirik satu sama lain. Kebersamaan yang telah pu-
luhan tahun dilewati, membuat pengertian tanpa kata-kata dapat
dengan mudah terjadi. Keempatnya kemudian bergerak mengurung.
292 BAGIAN 5. YANG KEMBALI DAN YANG TUMBUH
Mengelilingi kakek Gu dari keempat penjuru angin.
Hek-Mo tampak telah dapat bergerak normal kembali. Ceng-Mo tadi
telah membubuhkan obat dan juga mengurut-urut kakinya sedikit.
Rupanya kakek Gu belum menurunkan kaki kejam sehingga Hek-Mo
masih dapat berjalan dan menggunakan kakinya. Hanya mengkalnya
hati masih dapat terlihat pada wajah Hek-Mo. Ia yang hari-hari di-
takuti orang, hari ini dapat segebrakan dipacul kakinya oleh tumit
kakek Gu. Hampir saja remuk atas telapak kakinya.
"Begini lebih baik," kata kakek Gu, "langsung bak-buk-bak-buk.
Lebih jelas dan tegas!" Walaupun tampaknya masih tenang-tenang,
kakek Gu sudah mulai menimbang-nimbang, siapa yang akan menjadi
konsentrasi serangannya nanti. Ia pernah mendengar bahwa Su-Mo
telah menciptakan semacam serangan bersama. Jika mereka meng-
gunakan barisan serangan itu, bisa repot dirinya. Ia harus cepat
memecah belah mereka, sebelum tenaganya habis terkuras.
Bagai dikomando, Su-Mo berempat mencabut golok masing-masing
dan mulai menyerang. Kakek Gu dengan santainya menari-nari di
tengah-tengah hujan golok yang riuh-rendah itu. Sesekali perlu juga
ia menepis tangan atau kaki dari Su-Mo yang ingin mencicipi tubuh-
nya. Selebihnya, ia hanya perlu bergeser, depan belakang kiri kanan.
Langkah-langkah ajaib, Langkah-langkah Kering di Bawah Hujan.
Sepeminum kopi dan sepenghisap rokok telah lewat, tapi tetap saja
Su-Mo belum pernah mencapai seujung kulit pun kakek Gu. Akan
tetapi pakaiannya sudah sering tersambar angin sabetan golok. Terli-
hat semakin compang-camping saja pakaian yang dikenakannya.
Tidak seperti melawan Hek-Mo tadi, kakek Gu terlihat agak kewala-
han. Ia terkejut juga bahwa serangan berempat Su-Mo ini benar-benar
rapat. Saling mengisi dan melindungi. Satu menyerang, yang lain
menangkis. Satu kosong, yang lain mengisinya. Dengan cara itu ia
hanya punya peluang terbesar untuk mengelak ketimbang menyerang
balik. Su-Mo pun tidak terlalu berani menyerang dengan kekuatan
penuh, mengingat kepandaian kakek Gu dalam serangan balik. Jadi
sampai saat itu kedua pihak masih melihat-lihat kesempatan untuk
memberikan pukulan maut. Untung pertarungan jangka panjang faktor usia mulai menunjukkan
293 perannya. Su-Mo yang masing-masing baru berumur tiga puluhan
tahun menang stamina atas kakek Gu yang telah berusia hampir enam
puluh tahun. Napasnya mulai kembang-kempis dan bajunya yang
sobek sana-sini tampak telah benar-benar basah mandi keringat.
Senyum-senyum mulai mengembang di wajah keempat orang lawan-
nya. Su-Mo telah merasa yakin bahwa tak lama lagi kemenangan
akan singgah di tangan mereka. Tinggal masalah waktu saja untuk
menunggu salah satu golok mereka singgah di tubuh kakek Gu. Bila
terjadi sudah dipastikan cairan merah akan memuncrat. Darah.
Berputar pula dengan keras pikiran kakek Gu. Ia harus menemukan
akal agar dapat lolos dari situasi ini. Tadinya dipikir bahwa meng-
hadapi Su-Mo seorang diri tidaklah terlalu sulit. Tetapi ternyata hal
ini diluar perkiraannya semula. Jika satu per satu, ia dapat dengan
yakin dapat mengalahkan Su-Mo, seperti tadi ia menghadapi Hek-
Mo. Akan tetapi dengan maju berbareng, Su-Mo menciptakan su-
atu barisan yang saling bekerja sama sehingga seakan-akan kekuatan
serang mereka menjadi berlipat-lipat.
Pada saat-saat genting seperti itu tiba-tiba terdengar ucapan seseo-
rang, "Wah-wah, betapa tak tahu malu ini, empat orang mengeroyok
seorang kakek tua!" Ucapan yang disertai pengerahan tenaga dalam ini sontak mem-
buat kelima orang yang sedang bertarung itu meloncat mundur dan
menghentikan kegiatannya. Masing-masing pihak masih menebak-
nebak siapa yang barusan mengeluarkan perkataan tersebut.
Tak lama sang pengucap pun tiba. Seorang pemuda dengan wajah
yang tampan dan berperawakan bagus. Pakaiannya sederhana dan
berwarna cerah. Jalannya ringan seringan pembawaannya yang terli-
hat riang. Mendadak kakek Gu mendapat ide yang tiba-tiba terlintas dalam
kepalanya, lalu katanya, "Anak Yo, ayo bantu paman usir begal-begal
ini!" Terkejut pemuda itu dan apalagi Su-Mo. Mereka belum tahu
kepandaian pemuda itu, tapi dengan kakek Gu saja mereka telah se-
imbang, bisa runyam apabila ditambah dengan adanya pemuda itu.
Gelengan kepala dan tangan yang dilakukan pemuda itu dengan cepat
294 BAGIAN 5. YANG KEMBALI DAN YANG TUMBUH
dibuyarkan oleh kakek Gu yang terus menyerocos, "Bagus kamu cepat
datang anak Yo, ayo kita pukul pantat keempat setan ini! Gunakan
jurusmu, Menendang Pantat Setan, Usir ke Seberang Lautan!" Sebe-
narnya ucapan yang terakhir ini hanya untuk menakut-nakuti Su-Mo
belaka. Ia sendiri juga belum tahu kemampuan pemuda itu. Hanya
saja ia yakin akan sesuatu bahwa pemuda itu bukanlah dari golongan
begal, paling tidak orang-orang yang tidak akan memihak golongan
hitam. Untung saja tebakan kakek Gu tidak meleset. Melihat bahwa pemuda
itu adalah keponakan atau memiliki hubungan dengan kakek Gu, Pek-
Mo dan Hek-Mo tidak mau buang banyak waktu, mereka langsung
menyerang pemuda yang dipanggil anak Yo oleh kakek Gu dengan
serangan maut mereka. Jika bisa dituntaskan dengan cepat, pertarun-
gan akan kembali seimbang seperti semula. Sementara itu Huang-Mo
dan Ceng-Mo masih menanti pergerakan kakek Gu sebelum mereka
membuka serangan kembali.
"Anak Yo, hati-hati!" ucap kakek Gu yang kuatir pula melihat bahwa
serangan pembuka yang dihambur oleh Pek-Mo dan Hek-Mo adalah
serangan maut. Serangan satu tindak cabut nyawa, suatu jenis seran-
gan tanpa basa-basi dan belas kasihan.
Tapi bukan pemuda itu kalau ia diam saja dan menantikan kedua
golok yang datang menyilang itu membasuh keduanya dengan dag-
ing dan darahnya. Dengan tenang sang pemuda mengesek kakinya,
memiringkan tubuhnya, lalu dengan menggunakan hawa dalam tubuh-
nya yang bisa memanipulasi gravitasi, ia melayang miring condong.
Menyelinap tubuh pemuda itu dengan cantik di antara sabetan diag-
onal golok-golok Hek-Mo dan Pek-Mo.
Dan tidak hanya sampai di sana, setelah kedua golok itu yang hanya
berjarak sejari di atas dan bawah tubuhnya lewat, ia mendaratkan
kembali tubuhnya yang tadi berlevetasi dengan empuk di atas tanah.
Setelah mengeramkan kakinya sehingga berakar di atas tanah ia kemu-
dian mendorong-dorong kedua tangannya ke arah Hek-Mo dan Pek-
Mo yang masih tampak terkejut karena serangan mereka dapat dengan
mudahnya dihindari oleh pemuda itu.
Sebelum Hek-Mo dan Pek-Mo sadar apa yang dilakukan oleh pemuda
295 itu, semacam kabut yang terbuat dari debu dan pasir yang ada di
sekitar situ mulai terbentuk. Mengambang kecoklatan dan perlahan
makin pekat warnanya. "Jarum Terbang Debu Pasir, awas!!!" ucapan Huang-Mo, orang yang
paling banyak makan asam garam di antara keempat Hek-Mo, datang
terlambat. Elakan dari Hek-Mo dan Pek-Mo tidak sempat menyela-
matkan seluruh tubuh mereka. Pinggang ke bawah tampak bertitik-
titik merah meneteskan darah. Kabut debu dan pasir yang tadi ter-
bentuk dihentakkan oleh pemuda itu dengan kibasan tangannya ke
arah Hek-Mo dan Pek-Mo. Dalam perjalanannya debu dan pasir terse-
but berurut-urut membentuk semacam garis. Mirip seperti jarum-
jarum yang terbang. Benar-benar ilmu yang menggiriskan. Sekujur tubuh Pek-Mo dan
Hek-Mo bagian bawah tampak terluka parah. Bolong-bolong mirip
saringan. Sempat mereka memiringkan tubuh sehingga bagian sensitif
dari seorang lelaki yang mereka miliki tidak sempat terhujani jarum-
jarum debu dan pasir itu. Jika tidak, maut sudah dijelang keduanya.
Tanpa banyak cakap lagi, Huang-Mo dan Ceng-Mo segera bergerak.
Huang-Mo mengambil Pek-Mo dan Ceng-Mo mengambil Hek-Mo.
Mereka bergegas pergi tanpa menoleh lagi. Satu serangan pemuda
itu telah cukup membuktikan ketangguhannya. Belum lagi di sana
masih ada kekek Gu, si Zahnloserbauer. Urusan lain bisa diselesaikan
lain hari, yang penting hari ini adalah menyelamatkan kedua saudara
mereka. Untung saja keempat penjahat itu telah lama lalu dari sana, karena
jika mereka tahu, mereka mungkin masih dapat meraih kesempatan.
Pemuda yang tadi dipanggil anak Yo oleh kakek Gu, setelah melepaskan
serangan tampak masih berdiri dalam posisi semula. Wajahnya yang
kemerahan tiba-tiba memucat dan tampak darah mengalir dari ping-
giran mulut dan juga lubang mata, telinga dan hidungnya. Kakek Gu
yang berada di sampingnya dapat dengan jelas melihatnya.
"Nak, engkau kenapa...?" sebelum pertanyaannya diselesaikan, pe-
muda itu terhuyung bagai layangan putus tanpa angin, ia melorot
jatuh. Bila kakek Gu tidak bergegas menangkapnya sudah terhempas
tubuh pemuda itu di atas tanah.
296 BAGIAN 5. YANG KEMBALI DAN YANG TUMBUH
"Hmm, ilmu sesat. Benar-benar mengacaukan jalan darah yang mer-
apalnya," gumam kakek Gu sambil memeriksa denyut nadi pemuda
yang dipanggilnya anak Yo itu. Menggeleng-geleng kepalanya melihat
kekacauan jalan darah sang pemuda. Untung saja pemuda itu telah
memiliki dasar yang kuat sehingga luka dalamnya tidak terlalu parah
ketimbang seorang pemula yang merapat Jarum Terbang Debu Pasir.
Bergegas kakek Gu membopong pemuda itu. Urusan para petani bisa
ditunda, pun dua orang dari Su-Mo juga sama-sama terluka. Un-
tuk beberapa saat mereka pasti tidak akan berani melakukan gerakan
apa-apa. Saat membuka matanya, pemuda itu tampak agak bingung. Hal ter-
akhir yang diingatnya adalah saat ia sedang menyerang dua orang ja-
hat menggunakan suatu ilmu yang baru saja dipelajarinya dari kitab-
kitab yang dibawanya. Jarum Terbang Debu Pasir, adalah salah satu
penggunaan Tenaga Tanah yang memanipulasi gerakan debu dan pasir
sehingga dengan pengerahan hawa tenaga dalam bisa diarah sesuka
pikiran. Tetapi terdapat pula kelemahan dari ilmu tersebut, yaitu
perlu pencurahan tenaga dan pikiran yang cukup besar, sehingga
kadang dapat membuat pengguanya kehabisan tenaga. Dan bila sam-
pai pingsan atau tak sadarkan diri, si perapal bisa bertambah parah
dengan kekacauan jalan darah yang belum sempat diselaraskan setelah
merapal gerakan tersebut. Suatu ilmu yang benar-benar memerlukan
penguasaan tingkat tinggi.
Ia melihat dirinya berbaring di dalam suatu pondok kayu yang seder-
hana. Ia rebah di atas suatu dipan kayu yang dialasi kain berwarna
coklat tua agak kasar. Dengan bau-bau khas kayu dan tumbuh-
tumbuhan hutan, rumah itu dipenuhi oleh pernah-pernik dari kayu.
Berbotol-botol potongan-potongan daun tampak menghiasi sebuah
rak yang terletak tak jauh dari tempatnya berbaring. Hanya itu yang
bisa dilihatnya dari posisinya sekarang.
Dicobanya untuk bangkit, tapi tubuhnya masih melawan. Dunia men-
jadi berputar dan terbalik-balik saat dicobanya duduk. Akhirnya pe-
muda itu menyerah dan membiarkan waktu berlalu agar tubuhnya
dapat sembuh dengan sendirinya, sebelum berusaha untuk bangkit
kembali. "Kreeekk!!" tiba-tiba pintu pondok itu terbuka. Pemuda itu tak da-
297
Elemen Kekosongan Karya Nein Arimasen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pat melihatnya karena terhalang sebuah meja besar yang di atas-
nya bertumpukkan buku-buku dan segala macam benda, benda-benda
pengobatan agaknya. "Kakek Gu, untung kau bawa pemuda itu cepat ke mari. Jika terlam-
bat, bisa putus nyawanya," ucap seorang wanita. Dari getar suaranya
terlihat bahwa wanita itu sudah cukup tua, akan tetapi suaranya masih
cukup nyaring dan jelas. "Nenek Po, tolong kau sembuhkan anak itu! Ia telah menyelamatkan
hidupku ini. Aku akan amat berhutang budi padamu..," ucap lawan
bicaranya. "Tak usah ucap-ucap hutang budi, kakek Gu! Kita orang, orang-orang
di akhir hidup, buat apa membawa-bawa pikiran nanti ke liang kubur.
Apa yang bisa dikerjakan, kita kerjakan. Setelah itu pasrahkan kepada
Sang Pencipta," jawab suara yang pertama tadi.
Lalu terdengar seperti sebuah bungkusan besar dijatuhkan berdebam
di atas lantai pondok itu. Perempuan tua itu kemudian mengin-
struksikan agar rekannya mengambil ini dan itu, sebanyak sekian dan
sekian. Mencampurkannya dalam sebuah belanga hitam yang dile-
takkannya dengan kasar di atas meja.
Tak lama kemudian tercium bau harum mengembang di udara, ter-
bawa angin dan menyebar ke mana-mana, termasuk menggelitik
hidung pemuda yang masih berbaring di atas dipan kayu itu. Tak
dapat dicegah, perutnya pun berkerotak, berkukuruyuk meminta diisi.
"Hehehe, kakek Gu, lihat anak sudah siuman! Bahkan perutnya sudah
minta diisi..," terkekeh-kekeh perempuan tua yang dipanggil nenek Po
menghampiri pembaringan sang pemuda.
Semburat merah tampak menyebar pelan di atas wajah pucat sang
pemuda. Ya, ia merasa malu sekali atas ketidaksopanan perutnya
yang tanpa tedeng aling-aling meminta untuk segera diisi.
Seakan-akan tahu akan pikiran sang pemuda, kakek Gu pun berkata,
"Jangan kuatir anak Yo, nenek Po ini memang suka menggoda orang.
Tapi walaupun demikian sup buatannya tak ada tandingannya di
daerah tiga empat sungai dari sini."
298 BAGIAN 5. YANG KEMBALI DAN YANG TUMBUH
Berseri wajah nenek Po mendengar pujian kakek Gu akan makanan-
nya. Sudah menjadi suatu kekurangan pada manusia bahwa kadang
mereka suka dipuji. Sebenarnya hal itu tidaklah salah, asalkan tidak
berlebihan dan menjadi melakukan segala sesuatu karena ingin mem-
peroleh pujian. Bergegas nenek Po kemudian mengambil sup yang sejak tadi sudah ter-
cium keharumannya. Diambilnya semangkok besar. Porsi dua orang.
Lalu ia kemudian kembali ke dekat tempat sang pemuda berbaring dan
menotok beberapa jalan darah dan juga mengambil beberapa jarum
halus yang tadinya ditusukkan di beberapa titik di kepala sang pe-
muda. "Bangunlan dan coba makan..," ucapnya.
Sang pemuda tampak ragu-ragu mengingat tadi ia hampir terjatuh
saat mencoba bangun. "Tak usah takut, tadi engkau pusing saat bangun karena beberapa
jalan darahmu sedang diarahkan ke tempat lain, agar mempercepat
kesembuhanmu. Setelah dipindahkan kembali engkau tidak akan ke-
hilangan keseimbangan saat bangun," jelas nenek Po yang ternyata
mengetahui bahwa sang pemuda telah mencoba bangun tadi.
Dengan malu-malu karena kembali pikirannya dapat ditebak orang,
sang pemuda mencoba duduk. Pertama-tama perlahan-lahan, karena
ia masih kuatir akan pusing dan kehilangan keseimbangan seperti tadi
saat ia mencoba duduk. Setelah merasa yakin dengan sedikit men-
gangkat tubuhnya bahwa ia tidak lagi pusing, ia pun mendudukkan
dirinya di atas tempat ia tadi berbaring.
Saat ia masih ragu-ragu untuk menggapai mangkuk sup yang dibuat
oleh nenek Po itu, kakek Gu dengan sigap mengambilkannya dan mele-
takkannya di atas tangan pemuda itu. "Makanlah pelan-pelan.., jika
mampu habiskan. Ini mengandung banyak obat-obatan dan ramuan
untuk kesembuhanmu."
Pemuda itu mengangguk dan mulai mencoba menyuap makanan yang
disiapkan untuknya itu. Dimasukkannya perlahan sesuap sup yang
masih mengepul panas itu. Harumnya yang merebak memacu gemu-
ruh perutnya semakin kerap. Rasa hangat pun mulai menyebar dalam
299 tubuh sesaat sesuap demi sesuap sup buatan nenek Po memasuki
tubuhnya. Tak terasa sudah setengah isi dari mangkok ukuran jumbo
itu pindah ke perutnya. Saat sang pemuda menyantap makanan itu, kedua orang tua dihada-
pannya tak habis-habisnya memperhatikan dirinya. Mau tak mau
terasa pula jengahnya, seakan-akan ada yang salah pada wajah atau
dirinya. Ia sampai mencari-cari dengan jarinya apa ada sisa-sisa sayur
dalam sup yang nyangkut di gigi atau nempel dekat pipinya akibat gi-
atnya ia menyantap sup itu setelah isi mangkuknya kurang dari seten-
gahnya. Melihat kekikukkannya itu, kedua orang tua itu tertawa hampir
berbarengan. Ketawa yang ramah dan hangat. "Kakek Gu, kita
tinggalkan dulu anak Yo-mu ini. Tak tertelan nanti kalau kita pelototi
terus-menerus," seraya nenek Po beranjak dari situ untuk mengerjakan
sesuatu di sudut ruang sana.
Kakek Gu pun beranjak dari sana ia mengambil tempat di seberang
tempat pemuda itu duduk dan mengasolah ia. Cepat, tak lama, ia
pun segera tertidur. Napasnya yang keluar masuk dengan teratur
menandakan ia sudah lelap. Lelah setelah bertempur dengan Su-Mo
dan juga memanggul pemuda itu serta mencari bahan-bahan untuk
mengobatinya. Setelah habis semangkut sup yang lezat dan juga berkasiat itu, pe-
muda yang terus saja dipanggil anak Yo oleh kakek Gu, merasa dirinya
lebih enakan. Ia kemudian mencoba untuk merebahkan dirinya. Tak
terasa ia pun terlelap. Menyusul Kakek Gu yang telah pergi lebih
dahulu ke dunia mimpi. *** "Hiaattt!! Haahh!" begitu bentakan Sarini saat ia membacok Rakrakrak,
perambok bertubuh subur dan berkulit gelap itu. Walaupun cukup
gemuk, Rakrakrak dapat dengan lincah meloncat sana-sini untuk
menghindari tangan Sarini. Tak lupa celoteh ganjen dan centil dilon-
tarkan Rakrakrak untuk menggoda Sarini yang makin lama makin
merah bagai kepiting rebus pipinya itu.
"Duh, dada yang ranum, mari sini ke dalam dekapanku!!" ucapnya
300 BAGIAN 5. YANG KEMBALI DAN YANG TUMBUH
sambil kembali menyerang Sarini dengan kepalan tangannya yang
besar-besar itu. Sesekali dikenakannya juga tangannya agak bers-
inggungan dengan tangan Sarini yang halus dan mulus. Malah sang
gadis yang berusaha untuk menghindar. Ia berusaha hanya menyen-
tuh bagian-bagian lemah dari Rakrakrak dengan tangannya. Jijik
rasanya bila harus menyentuh bagian tubuh dari orang yang berk-
eringat dan ceriwis itu. "Pinggang molek, kaki jenjang, pujaan hati..!" kembali Rakrakrak
mengeluarkan celoteh untuk mengganggu Sarini dan juga mengelu-
arkan hasrat hatinya yang telah membayangkan suatu saat akan dapat
mendekap dara yang memikat hatinya itu. Bagi mereka, para peram-
pok, jarang-jarang mendapat rejeki bertarung dengan dara semanis
Sarini di dekat tempat tinggal mereka. Umumnya bila ingin bertemu
dengan wanita, mereka harus perg jauh merampok desa atau pelesir
ke kota. Suatu saat Sarini bergerak lambat sehingga pergelangan tangannya
dapat tertangkap oleh Rakrakrak. Girang sudah wajah perampok
gembul itu. Dibayangkannya dara itu dalam pelukannya setelah tan-
gan itu ditariknya mendekat. Dan memang dengan sentakan yang
kuat dara itu tertari memutar ke arah dekapannya, tetapi bukan untuk
dipeluk melainkan untuk melancarkan gerakan menyerang. Ilmu Sa-
betan dan Tangkapan Tangan adalah ilmu tangan kosong yang penuh
dengan tipu-tipu. Kedudukan yang lemah dapat menjadi suatu titik
awal serangan yang kuat apabila tahu memanfaatkannya.
Sarini sebagai putri Arasan, jelas-jelas menguasai ilmu itu dengan
amat baik. Ini yang tidak diketahui oleh Rakrakrak, bahwa ia ma-
suk perangkap dalam gerakan itu. Saat berpusing, Sarini tidak diam
pasrah di bawa masuk dalam lingkaran tangan Rakrakrak melainkan
berputar searah putaran yang menariknya, tapi lebih cepat sehingga
ia bisa mengambil celah kosong dari persendian Rakrakrak yang
saat itu tidak menyadarinya, berbalik dan berganti memiting tangan
Rakrakrak sampai batas sendinya. Dan tidak tanggung-tanggung, ia
terus menggerakkan sampai melalui batas putaran sendi umumnya.
Akibatnya, "krakkk!!" patahlah tangan kanan Rakrakrak yang sempat
terlena sehingga tidak waspada itu.
Kejadian itu sudah tentu mengejutkan kawan-kawannya. Lima orang
301 yang lain pun menjadi marah. Rupanya mereka tadi telah dibohongi
oleh dara itu untuk bertarung tangan kosong. Suatu teknik yang
dimahiri oleh sang gadis. Akan tetapi saat kelimanya ingin meny-
erang setelah meraup senjata masing-masing dalam genggamannya,
Walinggih berseru, "tahan!!"
"Orang tua, mau apa lagi engkau" Sekarang tidak ada lagi permainan-
permaian, apa yang telah muridmu lakukan itu akan dibayar dengan
darahmu dan juga gadis itu," kata seorang dari mereka.
"Apa hubungan kalian dengan Asasin?" tanya Walinggih. Sekarang
ia teringat adanya kesamaan ciri-ciri orang-orang itu dengan orang-
orang Asasin. Orang-orang yang telah berkali-kali berupaya mem-
bunuh dirinya. Terkejut pula keenam orang itu atas pertanyaan yang diajukan Wal-
inggih. Tak banyak orang yang tahu bahwa mereka ada bekas anggota
Asasin. Mereka telah lama tidak lagi bekerja pada kelompok pem-
bunuh bayaran itu karena ketidakdisiplinannya dan juga kurang dapat
menjaga rahasia. "Siapa kamu" Apa hubunganmu dengan Asasin?" balas bertanya se-
orang dari mereka. "Hehehe," tertawa Walinggih mendengar pertanyaan itu, "Siapa aku"
Tak perlu engkau tahu. Asal aku sekarang sudah yakin siapa kalian
sebenarnya, bisa lega aku memulangkan kalian."
Mendengar itu keenam orang itu menjadi pucat wajahnya. Selama ini
ternyata kakek dan gadis itu masih menahan diri untuk tidak meng-
habisi mereka. Setelah tahu bahwa mereka adalah Asasin atau tepat-
nya bekas anggota kelompok itu, malah mereka menjadi terdorong
untuk melepaskan tangan kejam.
"Nan..., nanti dulu!" jawab seorang dari mereka dengan cepat, "Sudah
lama, lebih dari satu tahun kami tidak lagi turut pada kegiatan Asasin.
Kami bukan lagi Asasin." Berusaha orang itu untuk membela dirinya.
"Satu tahun. Belum lama," jawab Walinggih, "Biar kalian tak pe-
nasaran, aku sebutkan satu tempat. Desa Batu Barat dan Timur."
Mendengar nama tempat itu, pucatlah keenam orang itu, mereka
302 BAGIAN 5. YANG KEMBALI DAN YANG TUMBUH
tentu telah mendengar nama tempat yang menjadi salah satu dan
mungkin satu-satunya kegagalan pekerjaan yang diemban Asasin dari
para pemesannya. Di sana mereka bertemu dengan orang yang pilih
tanding. Hakim Haus Darah.
"Engkau... Hakim Haus Darah..!!" ujar seorang dari mereka pucat.
Tanpa mengangguk Walinggih pun memegang posisi pedangnya
sedemikian rupa. Posisi untuk mengeluarkan gerakan Kadal Pelangi
Makan Pagi, suatu gerakan yang ditiru dari kadal-kadal pelangi saat
mereka mencari makan di batu-batu yang diperciki buih-buih air.
Menyadari bahwa tak ada gunanya lagi untuk berdepat keenam-
nya langsung mengambil posisi mengurung Walinggih. Sarini pun
mengambil langkah mundur dan melihat dari kejauhan. Rakrakrak
yang sebelah tangannya telah dipatahkan oleh Sarini tampak memegang
senjatanya dengan tangannya yang lain. Keenamnya pun bersiap un-
tuk mempertahankan satu-satunya nyawa mereka.
Tak perlu waktu terlalu lama bagi Walinggih untuk menumbangkan
mereka. Satu persatu dari mereka tersungkur di atas tanah dengan
tubuh terpotong. Tidak lagi terbelah dua seperti dahulu ia menggu-
nakan gerakan Sabetan Tunggal Menuai Dua, gerakan Kadal Pelangi
Makan Pagi lebih menitikberatkan pada loncatan-loncatan berbalik
yang membingunkan lawan. Sabetannya tidaklah seindah gerakan Sa-
betan Tunggal Menuai Dua akan tetapi lebih efesien dan telak.
Termangu tampak Walinggih setelah keenam orang lawannya itu
tidak lagi bernyawa, ingatan masa lalu akan keluarganya, anak dan
istrinya yang terbunuh kembali datang. Ditepisnya rasa sedih yang
kembali menjelang, juga amarah untuk selalu membalas dendam dan
menghukum orang-orang yang berseteru. Ia telah berubah. Bukan
lagi Walinggih si Hakim Haus Darah.
Tak terasa sebuah tangan menepuk bahunya. Tangan kecil dan halus
milik Sarini. "Paman, sudahlah. Jangan lagi paman bersedih atas
perginya bibi dan adik. Mereka-mereka ini memang patut untuk
dibasmi." Mengangguk sedikit Walinggih mendengar hiburan Sarini. Lalu ia
mengisyaratkan agar mereka menggali sebuah lubang yang cukup be-
303 sar untuk menguburkan keenam orang itu. Senjata-senjata mereka
pun dimakamkan bersama-sama dengan jasadnya. Setelah itu sebuah
batu besar dipotong Sarini untuk diletakkan di atas makam itu. Dig-
oreskannya di atas batu tersebut
"Makam enam perampok mantan Asasin. Salah seorang bernama
Rakrakrak." Hanya itu saja, karena ia tidak tahu nama-nama mereka kecuali
Rakrakrak tadi. Setelah itu mereka berdua kembali meneruskan per-
jalan mereka ke arah utara untuk menjumpai orang tua Telaga untuk
memberitahukan mengenai perjodohan Telaga dan Sarini.
*** "Maaf, bila sedari tadi engkau kupanggil terus dengan anak Yo," kata
kakek Gu kepada pemuda yang menolongnya dari serangan Su-Mo.
"Tidak apa-apa, paman!" balasnya, "Malah saya pikir paman cerdik
sekali pada saat itu, tanpa ba-bi-bu langsung menyapa saya seakan-
akan kita telah kenal sehingga mereka kena dikadali."
"Ah, tidak terlalu berarti jika engkau tidak selihai itu ilmu beladirinya.
Sayang sekali akibatnya engkau jadi menderita luka seperti ini," ucap
kakek Gu sedih. "Ini juga salahku, paman. Aku belum memahami jurus Jarum Ter-
bang Debu Pasir dengan baik tetapi telah mencoba-coba," jelas pe-
muda itu. Mengangguk-angguk kakek Gu mendengar penjelasan pemuda itu.
"Omong-omong, tenagamu itu boleh juga, benar-benar menunjukkan
penguasaan Tenaga Tanah yang sudah mumpuni," puji kakek Gu.
"Ah, paman bisa saja. Saya juga baru belajar dari para Troll," jelas
pemuda itu sambil lalu menjelaskan kisahnya di mana ia mempelajari
Tenaga Tanah itu. Nenek Po yang sedari tadi sedang membaca-baca buku-buku pen-
gobatan di mejanya, mengguman-gumam, "Tidak baik, tidak baik!
Hukum alam tidak boleh dibolak-balik..!"
304 BAGIAN 5. YANG KEMBALI DAN YANG TUMBUH
Gumaman itu memecah pembicaraan antara kakek Gu dan pemuda
itu. "Nenek Po, apa maksudmu?"
"Ah, aku kembali ngomong sendiri ya?" ucapnya malu. "Ini dalam
buku ini tertulis bahwa hukum-hukum alam sebaiknya tidak dicoba-
coba untuk dilawan. Konsekuensinya berat."
Melihat tatapan bingung dari kedua orang di depannya itu, nenek
Po pun tersenyum. Lalu lanjutnya, "Anak muda ini.. telah meng-
gunakan Tenaga Tanah untuk memanipulasi gaya berat. Itu melawan
Elemen Kekosongan Karya Nein Arimasen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
alam. Alam ini terdiri dari materi. Ada empat unsur air, tanah, udara
dan api. Semunya punya isi. Dan semuanya patuh pada gaya berat.
Dengan mengubah-ubah gaya berat, keseimbangan akan terganggu.
Terutama aliran hawa dalam tubuh."
Kedua orang itu pun mengangguk-angguk, baru ngeh dengan apa yang
dijelaskan oleh nenek Po.
"Nak Paras Tampan, boleh-boleh saja engkau menggunakan jurus
Jarum Terbang Debu Pasir, tapi dengan perhitungan tentunya. Jan-
gan semua tenagamu dikerahkan ke sana. Sisakan untuk mengemba-
likan aliran hawamu ke sirkulasinya semula."
Lalu dijelaskannya bahwa apa yang barusan dilakukan oleh Paras
Tampan adalah dengan mengubah kerapatan benda-benda diseke-
lilingnya atau juga disekitarnya sehingga debu-debu dan pasir da-
pat bergerak seperti keinginannya. Lain dengan benda-benda yang
berukuran cukup besar sehingga kekuatan dapat dipusatkan, benda-
benda seperti pasir dan debu amatlah kecil dan banyak, sehingga
tenaga yang dikeluarkan pun harus ekstra besar dan tersebar. Belum
lagi upaya untuk membuat mereka terbang dan berurutan sehingga
berbentuk jarum-jarum padat. Setelah hawa dikeluarkan untuk men-
gendalikan butiran-butiran itu, tubuh menjadi kosong. Tenaga alami
alam yang terdiri dari empat unsur itu berebut masuk untuk mengisi
kekosongan itu. Oleh karena itu perlu ada tenaga yang dicadangkan
untuk menghalangi luapan tenaga yang ingin mengisi hawa tubuh
yang kosong itu. Itulah yang terjadi sehingga tubuh Paras Tampan
saat itu melupa terisikan tenaga alami dan mengalami luka dalam.
Menjadi jelas sekarang bagi Paras Tampan perihal ilmu yang baru
dipelajarinya itu. Ia pun berjanji untuk lebih hati-hati dalam mera-
305 pal ilmu itu. Jika tidak benar-benar diperlukan tidak akan digunakan-
nya. Selain berbahaya bagi lawan, ilmu itu juga berbahaya bagi sang
perapalnya sendiri, bila menggunakannya dengan benar.
Sudah seminggu Paras Tampan tinggal di pondok nenek Po. Kakek
Gu pun tinggal di sana menemaninya. Kakek Gu sendiri sebenarnya
punya rumah, tapi tak tak bisa dibilang benar-benar rumah mengingat
letaknya yang di atas pohon dan dibangun sekenanya. Cukup asal
nyaman untuk tidur dan tidak kepanasan saat hari cerah dan tidak
kehujanan saat hari hujan, ditambah tidak kedinginan saat malam
hari. Dalam seminggu itu sudah banyak perubahan dalam kesehatannya.
Tubuhnya berangsur-angsur membaik dan juga ia memperoleh banyak
cerita, baik dari nenek Po maupun kakek Gu.
Kakek Gu yang bernama Gu Ming itu ternyata adalah masih saudara
jauh dari seorang pengujar terkenal Gu Long. Pengujar yang banyak
menghasilkan karya-karya cerita tentang kehidupan orang-orang di
rimba persilatan. Diceritakan bahwa Gu Long adalah seorang yang
cerdas akan tetapi agak nyeleneh. Tidak seperti kebanyakan orang
yang umumnya bekerja setelah tamat belajar, ia malah berandai-andai
dahulu dan berusaha menjadi seorang penulis di kotanya. Hidup seder-
hana seperti pengujar Tao Yuan Ming (penyair jaman dinasti Han dari
Tlatah Tengah). Gu Long adala seorang yang cerdas, ia telah dapat menulis kisah
pada usia yang amat muda. Sekitar 12 tahun. Dan bisa memper-
oleh penghasilan pertama saat berusia 19 tahun. Kakek Gu kemu-
dian menceritakan bahwa saudara tuanya itu, hampir selalu mencer-
itakakan sesuatu yang berkaitan dengan cinta. Sampai suatu saat ia
mendapat saran untuk menulis mengenai orang-orang rimba persila-
tan. Walaupun demikian, unsur cintanya tetap kental dalam kisah-
kisah orang-orang rimba persilatan.
Saat itu terdapat empat pengujar besar penghasil cerita orang-orang
rimba persilatan di Tlatah Tengah Sempalan (Taiwan), yaitu Chu
Qing Yun, Wu Lung Sheng dan Shi Ma Ling, serta Gu Long sendiri.
Kakek Gu sendiri sampai merantau ke sana ke mari karena terinsipirasi
atas karya-karya para pengujar-pengujar tersebut, yang menceritakan
306 BAGIAN 5. YANG KEMBALI DAN YANG TUMBUH
keanekaragaman dunia dalam kisah-kisah persilatan.
Sayangnya saudara tuanya itu mempunyai suatu sifat jelek, yaitu
gemar minum dan mabuk-mabukkan. Kerap sekali sehingga jatuh
sakit. Setelah sembuh ia sempat beberapa saat terbebas dari arak,
akan tetapi tidak lama. Bila sedih ia minum arak. Kebiasaan ini
datang kembali sehingga akhirnya membuat kesehatannya menjadi se-
makin parah dan akhirnya ia meninggal. Saat ia meninggal kakek Gu
sedang merantau sehingga tidak dapat menjenguk saudara tua yang
dikaguminya itu. Paras Tampan dapat merasakan keharuan kakek Gu saat menceritakan
kisah saudaranya itu. Ia melihat kekaguman kakek Gu pada sosok
pengujar Gu Long. Ia sendiri pernah mendengar, tapi belum pernah
membaca hasil karya atau pun cerita mengenai orang itu.
"Ada seorang pengujar dari Tlatah Tengah Sempalan, Gu Long na-
manya. Karyanya amat gemilang tentang orang-orang rimba persi-
latan di Tlatah Tengah. Tapi apa-apa tentang cinta yang ditulisnya
tidak dapat diwujudkannya dalam dunia nyata. Ia hidup tidak baha-
gia. Tidak sebahagia tokoh-tokoh rekaannya," jelas Ki Tapa suatu saat
pada Paras Tampan. "Sebaiknya seimbang, apa yang kita tuangkan
dalam karya, ucapan dan pelaksanaan. Itu yang terbaik."
Paras Tampan tidak tahu mengapa Ki Tapa menceritakan perihal pen-
gujar Gu Long padanya saat itu. Setelah lama baru disadari bahwa Ki
Tapa ingin mengingatkan bahwa apa-apa yang dihadapi haruslah dire-
sapi. Jangan terlalu berhadap atau terlena seperti dalam kisah-kisah.
Sifat Paras Tampan yang cenderung romantis mungkin mengundang
kekuatiran sendiri pada Ki Tapa sehingga ia menceritakan tentang
kisah itu. *** Lantang mengambil satu buah ubi dan sejumput rempah. Digigitnya
ubi, dikunyahnya perlahan, lalu rempah-rempah. Ubi itu untuk mem-
buat agar rempah-rempah yang mengandung obat itu dapat termakan.
Tanpa ubi mungkin akan termuntahkan kembali.
Tak terasa setengah rempah-rempah obat yang harus dimakannya
telah mengisi perutnya. Ubinya tinggal sebuah. Tidak cukup kiranya
307 untuk memakan rempah-rempah yang tersisa. Lantang pun celingak-
celinguk mencari-cari dengan matanya, apa-apa yang bisa menggan-
tikan ubi untuk memakan rempah-rempah itu.
Tiba-tiba bahunya ditepuk. Xyra yang tadinya tertidur telah ban-
gun. Rambutnya yang awut-awutan tampak manis menghias wajah-
nya. Khas kecantikan seorang Undinden.
Ia tampak mengangsurkan beberapa buah pisang.
"Makanlah untuk teman rempah-rempah," katanya pelan.
Lantang pun mengangguk diambilnya dua buah pisang. Segigit pisang
dan rempah-rempah. Segigit lagi dan juga rempah-rempah sampai
akhirnya takaran yang harus dimakannya habis. Pindah mengisi lam-
bungnya. Xyra tampak senang melihat hal itu. Ia mengeluarkan nada tinggi,
nada khas Undinen apabila hatinya gembira. Gembira bahwa Lantang
akan kembali sehat. "Di mana orang tua itu tadi?" tanya Lantang tiba-tiba. Ia teringat
pada orang tua yang tadi memasakkannya obat.
"Wananggo, maksudmu?" tanya Xyra.
"Kakek itu bernama Wananggo?" balik bertanya Lantang.
"Ia memperkenalkan diri dengan nama itu," jelas Xyra. "Ia tadi pergi
sebentar. Akan kembali untuk menengok kesehatanmu. Ada sesuatu
yang harus dicarinya. Ditunggu saja sambil beristirahat."
Lantang pun menurut. Sambil berbaring ia minta Xyra untuk
mengisahkan perjalanannya dan mengapa saat ia ingin pamit Xyra
tidak bisa ditemuinya di Danau Tengah Gunung.
Dengan perlahan sambil tertunduk malu Xyra pun menceritakan
bahwa ia dulu merasa marah dan sedih, bahwa Lantang akan mening-
galkan tempat di mana mereka bertemu. Ia menyangka Lantang
membenci dirinya dan meninggalkan dirinya. Oleh karena itu ia
tidak mau menemui Lantang. Akan tetapi jauh setelah Lantang
pergi Xyra pun merasa kehilangan. Dan ia menemui Ki dan Nyi
308 BAGIAN 5. YANG KEMBALI DAN YANG TUMBUH
Sura untuk minta penjelasan keamana perginya Lantang. Setelah
tahu ia pun pergi mengikuti. Dengan kemampuannya berbicara pada
binatang-binatang air, Xyra memperoleh keterangan ke arah mana
Lantang berlalu. Setelah menemukan, ia pun membayangi sosok yang
dirindukannya itu dengan diam-diam. Saat Lantang menderita sakit,
ia pun tidak tahan dan memunculkan diri untuk membantu Wananggo
merawat pemuda itu. Terharu Lantang mendengar penjelasan sang Undinen. Tak terasa
tangannya menggenggam dan mengelus lembut telapak tangan Xyra
yang berhasil digapainya. Xyra hanya tertunduk semakin dalam sam-
bil memainkan rambutnya dengan tangannya yang lain.
Keduanya pun terdiam. Perasaan dalam hati masing-masing bergolak.
Menggelora jiwa muda. Jiwa yang ingin berpadu dan dekat selalu.
Bagian 6 Tato "Deru pun perlahan melembut. Menghilang. Sunyi dan sepi. Dan
jiwa pun tenteram kembali.
Menghela napas. Menghirup keheningan. Mengekang nafsu. Senyap.
Lepas. Lega. Setelah semuanya berakhir. Secarik kulit dicabik halus. Darah
menetes lembut. Menegaskan guratan-guratan mistis. Guratan di
atas kulit nan indah. Tato."
Sajak di atas berjudul "Pembicaraan Angin" hasil karya seorang
Eremit (petapa) tak dikenal, Unbekanteeremit. Bergetar hati seo-
rang pemuda saat membaca sajak dalam kitab itu, salah satu kitab
yang harus dicari keturunan dari pemiliknya semula. Kitab yang di-
curi oleh guru pemuda itu dan disembunyikannya, untuk disalin dan
dikumpulkan. Sekarang jauh masa setelah kematian sang pencuri, ia
menugaskan muridnya, sang pemuda melalui para saudaranya para
Troll, agar sang murid mengembalikan kitab tersebut kepada yang
berhak. Keturunan orang dari mana kitab tersebut semua diambil.
Ia sekarang bernama Gu Yo, keponakan jauh dari Gu Ming, seorang
kakek yang menyelamatkan nyawanya dan membawanya ke rumah
nenek Po untuk diobati. Dari perkenalannya yang singkat dengan
kakek Gu dan nenek Po, pemuda itu mendapat banyak cerita men-
genai situasi dunia persilatan dalam puluhan tahun terakhir ini dan
309 310 BAGIAN 6. TATO juga orang-orang yang muncul dan menghilang.
"Jadi engkau mencari keturunan seseorang yang senang mengumpulkan
koleksi tato dari tubuh manusia?" tanya kakek Gu saat itu hampir
tidak percaya. Kakek Gu tidak percaya bahwa ada orang yang punya
kegemaran mengumpulkan bagian tubuh manusia. Kulit yang bertato,
yang disayat dari tubuh empunya.
"Ya, kekek Gu. Saya mencari keturunan dari orang itu," jawab pe-
muda itu hormat. "Untuk apa mencari orang atau keturunan orang gila seperti itu?"
tanya nenek Po menyelak. Penasaran juga ia mendengar keperluan
pemuda yang baru disembuhkannya itu untuk mencari seseorang yang
dalam pandangannya cukup sesat.
Terdiam sebentar pemuda itu. Ia bimbang apakah ia harus mencer-
itakan apa sebenarnya tujuan ia mencari keturunan dari orang yang
dimaksud atau tidak. Kedua orang tua dihadapannya nampak mem-
perhatikannya saat ia berpikir.
"Bila ada rahasia yang enggan engkau ceritakan, tak usalah," ujar
nenek Po ramah. Ia dapat melihat kebimbangan pada wajah pemuda
itu. "Sebenarnya...," bingung pula pemuda itu. Ia merasa tak enak hati
dengan pertolongan kedua orang yang telah menyelamatkannya itu.
Tapi apabila ia menceritakan hal yang sebenarnya, bisa pula men-
datangkan masalah baru bagi misinya.
"Begini saja," ucap kakek Gu kemudian menengahi, "cukup kamu
katakan bahwa tidak ada sama sekali niat untuk berseteru dengan
keturunan orang ini, dan kamipun akan merasa lega."
Pemuda itu pun mengangguk, "Tidak sama sekali. Saya tidak berpikir
untuk berseteru dengan keturunan orang ini."
Kedua orang tua yang berada di hadapannya pun menggangguk lega.
"Dulu, ada seorang berjulukan Ceng-Liong Hui-To (Naga Hijau Pisau
Terbang) yang memiliki kegemaran untuk mengeletek kulit tubuh
musuh-musuhnya meniru legenda tradisi suatu suku bangsa yang
311 mengambil kulit kepala musuh yang dikalahkannya. Akan tetapi ia
tidak sembarangan mencari musuh. Musuh yang dicari umumnya
adalah para golongan orang-orang jahat yang memiliki tato pada
bagian tubuhnya," cerita kakek Gu.
"Benar..," lanjut nenek Po, "orang-orang jahat pada masa itu berkumpul
dan membentuk suatu kumpulan yang dicirikan dengan adanya tato
pada tubuh mereka. Semacam kejahatan yang diatur oleh para
pemimpinnya. Jika suatu suku bangsa di suatu tempat dicirikan
oleh corak sarung yang dipakainya (Skotlandia), maka para begal ini
dicirikan oleh tato yang dikenakannya. Beda kelompok, beda ciri khas
tato yang digunakan."
"Dan corak yang semakin rumit menunjukkan ketinggian kedudukan
atau pengalaman yang telah dimiliki seorang anggota kelompok keja-
hatan ini," tambah kakek Gu.
"Bagaimana kakek Gu dan nenek Po bisa tahu banyak tentang soal
ini?" tanya pemuda itu ingin tahu.
Keduanya saling berpandangan satu sama lain dan kemudian meledak-
lah tawa di antara mereka. Pemuda itu hanya dapat menatap bin-
gung pada kelakukan dua orang tua dihadapannya, yang dianggapnya
benar-benar membingungkan.
Setelah tawa berderai keduanya usai, kakek Gu dengan masih menga-
pus air mata yang meleleh pada matanya berkata, "Sebenarnya, kami
berdua pernah juga ikut pada kelompok semacam itu..."
"Eh..!," pemuda itu tampak kaget mendengar jawaban kakek Gu, "tapi
berarti, kakek dan nenek..." tak diselesaikannya ucapan itu. Sungkan
ia melanjutkannya. Apalagi terhadap orang yang baru saja beberapa
hari ini menolongnya. "Bukan, kami bukan menjadi begal atau mungkin belum," ucap nenek
Po. "Pada jaman itu, sebelum orang-orang bertato itu dipandang se-
bagai penjahat, budaya tato itu sebenarnya telah ada jauh sebelum-
nya. Dan budaya itu dianggap sebagai suatu tanda kematangan.
Orang yang sudah dewasa, dianggap lengkap bila telah memiliki tato."
Sambil berkata demikian nenek Gu menggulung salah satu lengannya
312 BAGIAN 6. TATO ke atas. Di atas lengan yang kepucatan itu tampak dua ekor naga
yang saling berbelit. Satu berwarna merah dan satu berwarna biru.
"Ini kelompok Naga Merah Naga Biru," jelasnya. "Kelompok yang
hanya terdiri dari para wanita."
"Oh, begitu!" jawab pemuda itu. Lalu sambungnya, "Dan kakek Gu
punya.." Kakek Gu tertawa kecil mendengar pertanyaan itu. Dibukanya ba-
junya sambil berbalik membelakangi. Tampak di punggungnya gam-
bar sebuah naga hitam dan lingkaran di tengah yang dicengkeramnya.
"Itu kelompok Naga Hitam Penjaga Mutiara," jelas nenek Po, "bagian
yang bulat ini adalah mutiara yang dijaga."
"Itulah sebabnya kakek dan nenek bertanya apa saya bermaksud
berseteru dengan keturunan Ceng-Liong Hui-To?" tanya pemuda itu
kemudian.
Elemen Kekosongan Karya Nein Arimasen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ceng-Liong Hui-To, boleh dikatakan adalah pahlawan pada saat itu.
Ialah yang membantu penduduk menghalau para begal bertato." kali
ini kakek Gu yang menjawab, "dan pertanyaanmu itu sama sekali
salah. Jika Ceng-Liong Hui-To adalah musuh dari penjahat bertato,
maka kami yang juga bertato bisa saja salah sasaran dan menjadi
musuhnya." "Untunglah Ceng-Liong Hui-To bukan seorang gelap mata yang main
bunuh saja seorang yang bertato tanpa tahu terlebih dahulu asal-usul
dan kesalahannya," lanjut nenek Po, "malah ia adalah orang yang
yang amat terpelajar, dan boleh dikatakan menawan." Dari tekanan-
nya pada kata terakhir yang diucapkannya, nenek Po terlihat bahwa
ia amat mengagumi sosok Ceng-Liong Hui-To tersebut.
Lalu mereka berdua menceritakan bahwa Ceng-Liong Hui-To menase-
hati para pemuda dan pemudi tidak lagi menato dirinya, karena hal
itu dianggapnya tidak baik. Merusak tubuh yang telah diberikan oleh
Sang Pencipta dengan gambar-gambar yang kadang tak jelas artinya.
Sebagian orang menuruti anjuran tersebut, akan tetapi sebagian lain
tidak. Bagian yang tidak ini yang kemudian menjadi lepas kendali.
Mereka malah menuduh Ceng-Liong Hui-To mengekang kebebasan
berekspresi orang-orang, padahal itu adalah tubuhnya sendiri.
313 Atas bumbu-bumbu hasutan para begal, orang-orang yang mendukung
"kebebasan bertato" ini kemudian membentuk kelompok yang anti
keteraturan, anti kemapanan. Mereka melakukan apa-apa yang di-
larang. Apa-apa yang tidak dianjurkan.
Rasa kebersamaan yang tumbuh di antar orang-orang yang tidak
mempunyai tujuan hidup yang jelas, membuat orang-orang tersebut
benar-benar merasa di rumah, di antara orang-orang senasib. Mereka
tidak menyadari bahwa sebenarnya mereka hanyalah dimanfaatkan
oleh sedikit begal demi keuntungan mereka.
Akibat pesatnya pertumbuhan orang-orang yang mendukung kebe-
basan bertato ini, pemerintah menjadi kalang-kabut. Kerusuhan-
kerusuhan pun terjadi di mana-mana. Dengan dalih kebebasan mereka
menyiarkan ketakukan dan rasa tidak aman di antara orang-orang
yang berseberangan dengan mereka. Merampas "kebebebasan" orang
yang tidak sepaham. Ceng-Liong Hui-To pernah suatu kali menyatakan pendapatnya kepada
beberapa rekannya yang duduk di pemerintah bahwa budaya tato yang
telah turun-temurun dilakukan orang di kota itu, agar dihapuskan. Ia
pernah mendengar bahwa budaya itu cenderung membuat orang-orang
menjadi kasar dan tak tentu arah.
Alih-alih mendengarkan, para rekannya itu malah menenangkan
dirinya, dan berujar bahwa ketakutannya yang masih saja terbawa
dari jaman perang dulu, dan selalu saja berlebihan.
Ucapan Ceng-Liong Hui-To terbukti tidak sampai setahun kemu-
dian. Kelompok pemuda dan pemudi bertato tumbuh dengan pesat.
Bersamaan dengan itu terjadi pula perampokkan, pencurian dan
lain-lain oleh orang-orang bertopeng dan bertato. Sengaja mereja
menggunakan topeng, akan tetapi memperlihatkan tato di tangan dan
punggung mereka. Akibatnya jelas, pemerintah yang tidak memiliki bukti keterlibatan
begal-begal yang seakan-akan merupakan kelompok pemuda anti
kemapanan itu, main tangkap saja orang-orang yang bertato. Dengan
jumlah yang banyak mulai timbullah perlawanan. Suatu pertentangan
yang bukan disebabkan oleh mereka.
314 BAGIAN 6. TATO Pada saat itulah Ceng-Liong Hui-To turun tangan. Dengan hati-hati
ia menyelediki kelompok-kelompok bertato, menyelinan sana dan sini
dan mendengarkan percakapan-percakapan. Akhirnya ia bisa men-
emukan orang-orang atau begal-begal yang bertanggung jawab atas
kejahatan-kejahatan yang menyebabkan pemerintah bersiteru dengan
para pemuda bertato secara umum.
Dengan membawa beberapa saksi dan bukti, para pemuda dan juga
pemerintah disadarkan. Organisasi-organisasi kepemudaan bertato
pun dibubarkan oleh para massanya sendiri. Mereka merasa telah
diperalat oleh para begal. Walaupun telah salah tangkap, tapi pemer-
intah masih berdalih bahwa itu untuk kepentingan umum. Sebuah
luka yang kelak akan kembali bernanah. Luka antara penguasa dan
rakyat yang seharusnya diayominya.
Pendek kata kerusuhan dan ketegangan akibat tato pun menghilang.
Suasana kembali seperti semula. Tenang dan damai. Roda perekono-
mian kembali bergulir normal.
Akan tetapi ada yang hilang di akhir pergolakkan itu, yaitu Ceng-
Liong Hui-To sendiri. Tidak ada seorang pun yang mengetahui ke-
beradaannya. Pemerintah sebenarnya ingin mengangkatnya sebagai
perwira kerajaan untuk menangani masalah-masalah kerusuhan, in-
formasi rahasia dan keamanan. Akan tetapi dengan hilangnya, tidak-
lah jadi hal itu dilakukan. Untuk mengenangnya, kantor polisi di kota
itu dinamakan Rumah Jaga Ceng-Liong Hui-To.
*** "Kota Siaw Tionggoan" begitulah yang tertulis di atas sebuah gerbang
batu setinggi pohon kelapa dan selebar empat kalinya. Gerbang yang
menandakan awal kota tersebut. Kota Siaw Tionggoan terletak di tepi
suatu sungai kecil pecahan dari sungai Merah yang mengarah jauh ke
timur laut meninggalkan pantai selatan dan padang Batu-batu. Kota
yang banyak dihuni oleh perantau dari Tlatah Tiongkok.
Berseri wajah pemuda itu melihat gerbang batu yang megah itu.
Walaupun terlihat sederhana dengan sedikit ukir-ukiran, akan tetapi
komposisinya yang bernuansakan warna yang teduh keabuan, men-
datangkan kesan masif dan keren. Besar dan gagah.
315 Ia tidak tahu bahwa gerbang sebelah timur itu memang dibuat
sedemikian rupa dengan warna keabuan. Warna udara dan asap.
Oleh karena memang gerbang tersebut bernama Gerbang Udara atau
Angin. Terdapat lambang besar segitiga dengan puncaknya meng-
hadap ke atas, dan tengahnya dicoret garis mendatar, terpahat pada
tengah batang melintang. Kepala dari gerbang itu. Lambang elemen
kuno udara. Sesuatu yang diapungkan atau diresapi oleh api, yang
dilambangkan dengan segitiga puncak ke atas.
Setelah kekagumannya atas gerbang sebelah timur itu, Gerbang
Udara, terpenuhi mulailah ia melihat-lihat hal-hal lain. Di sepan-
jang jalan yang lurus dan panjang itu, yang ujungnya hampir-hampir
tak bisa diperkirakan, ia melihat berbagai aneka toko-toko. Belum
pernah ia melihat kota yang seramai ini. Tidak juga kota tempat
asalnya, kota Luar Rimba Hijau.
Jalan-jalan yang sudah dipadatkan dan dilapisi batu-batu persegi di
atasnya, membuat jalan orang dan juga pedati yang lewat menjadi
lebih mudah. Saat hari hujan, tidak ada lagi lumpur atau genangan
air yang mengganggu. Jalan batu.
Kebingungan pemuda itu akhirnya berdiri pada suatu persimpangan
jalan. Jalan di depannya masih lurus jauh, bagai tanpa akhir. Jalan di
belakangnya mengarah kembali ke Gerbang Udara. Kedua jalan kiri
dan kanan sama-sama menarik, tapi tidak ada yang memberatkannya,
sehingga ia tak dapat dengan segera memilih salah satunya.
Tiba-tiba matanya tertarik pada gerakan seseorang yang membelok
pada suatu jalan kecil di sisi kanan jalan yang berarah ke kiri. Suatu
sosok yang menghentakkan kenangan lama, Citra Wangi. Bergegas
pemuda itu mengikuti nalurinya membuntuti sosok bayangan yang
memincut rasanya itu. Dia merasa yakin bahwa sosok itu adalah orang yang ada dalam ke-
nangannya. Sosok tubuhnya yang langsing dan cukup tinggi. Gerakan
langkahnya yang mengalir dan mantap. Lenggak-lenggoknya yang se-
cukupnya dan tidak berlebihan. Pastilah itu dia. Tak terpikirkan
lagi oleh Gu Yo bagaimana sosok yang disangkanya sang kekasih bisa
berada di kota Siaw Tionggoan dan bukan di Kota Pinggiran Sungai
Merah seperti diberitakan oleh Nyi Antini, istri mendiang Ki Baja dari
316 BAGIAN 6. TATO Kota Luar Rimba Hijau. Nalarnya telah ditundukkan oleh kenangan
yang menggelora. Bergegas dipacu langkahnya. Tak dihiraukannya saat ia tak sengaja
berpapasan dengan beberap orang yang hampir saja ditabraknya. Be-
berapa dari mereka sempat mengumpat-umpat dengan bahasa yang
kurang dimengertinya, karena dialek mereka yang cukup kental.
Sesampainya ia di jalan kecil di sebelah kanan dari jalan besar yang
mengarah ke kiri, dilihatnya sosok gadis yang diikutinya tersebut be-
rada pada jarak belasan tombak di depannya. Bergegas ia kembali
menaikkan laju langkahnya, agar dapat cepat dicapainya orang yang
diharapkan sebagai kekasihnya itu.
Entah kebetulan atau memang sang gadis memang sedang juga dalam
kegergesaan, ia pun memacu langkahnya. Cepat. Akibatnya jarak
ia dan Gu Yo masih tetap belasan tombak lebarnya. Tak lama ia
membelok ke kiri satu dua gang kecil dan akhirnya kembali mengambil
jalan kecil di kanan, yang kemudian membawa sang penguntit dan
yang dikuntit kembali ke suatu jalan besar. Jalan yang sejajar dengan
jalan besar sebelah kiri yang pertama-tama diambil Gu Yo sejak di
persimpangan, saat ia bingung tadi.
Sekarang dengan banyak berlalu-lalangnya kereta kuda, pedati dan
juga kereta tanpa kuda, yang digerakkan oleh orang atau mesin
bersuara ribut, jarak antara Gu Yo dan sang gadis semakin lebar.
Gu Yo yang tidak terbiasa berjalan di suatu tempat dengan banyak
kendaraan dan orang, berkali-kali hampir tertabrat, dan sudah tentu
kaya dengan umpatan dan makian, seperti "Pake matamu!", atau
"Matamu kemana?" dan sejenisnya.
Akhirnya perburuan itu pun berakhir, dengan sampainya sang gadis di
suatu rumah atau toko yang cukup besar. Besar dan mewah menurut
Gu Yo, dilihat dari papan namanya yang lebar dan berwarna cerah di
atas wuwungan depannya. "Rumah Tato Ceng-Liong Hui-To".
"Lagi-lagi Ceng-Liong Hui-To..," bergumam Gu Yo dan teringat pada
cerita kakek Gu dan nenek Po. Tapi rasanya bukan ini, pikirnya.
Lamunannya pun terhenti saat seorang penjaga menegurnya. Seorang
pemuda berbadan tegap yang terlihat ramah.
317 "Tahan dulu, anak muda!" katanya bersahabat, "Apa keperluanmu"
Apa sudah ada janji?"
"Janji?" bengong Gu Yo mendapati pertanyaan itu diajukan padanya.
Ia tidak tahu bahwa di kota-kota besar seperti kota Siaw Tionggoan
ini, orang sedemikian sibuknya, sehingga untuk bertemu, mereka ter-
lebih dahulu harus membuat janji.
"Eh, itu.., anu..!" katanya gagap sambil menunjuk kepada bayangan
gadis yang diikutinya tadi. Bayangan yang sudah lenyap di balik pintu
bangunan itu. Bayangan yang tadi sempat bertegur sapa dengan pen-
jaga yang menyapanya, dan disapa balik dengan, "Nona Lin!"
"Hah" Apa maksudmu dengan eh, itu.., anu..?" tanya sang penjaga
kembali, yang merasa tak mengerti dengan ucapan yang dikeluarkan
oleh sang pemuda. "Maaf, maksud saya, saya ingin bertemu dengan nona tadi. Nona yang
baru saja masuk itu!" jawabnya kemudian setelah dapat menenangkan
dirinya. "Ah, maksudmu nona Lin?" tanya penjaga itu kembali untuk mene-
gaskan. Lalu lanjutnya, "dan apa urusannya" Sudah ada janji atau
belum?" "Eh, harus sudah ada janji ya?" tanya Gu Yo kembali. Janji, sesuatu
yang tidak ia temui di kotanya. Orang-orang di sana bila ingin berkun-
jung, dapat langsung datang kapan saja. Tak perlu ada janji-janjian
segala. Mungkin lain kota, lain tata cara-nya. Demikian pikirannya
menyimpulkan. Penjaga itu melihat kebingungan sang pemuda, akhirnya mengga-
painya untuk ikut. Lalu ditunjukkannya seorang gadis yang sedang
duduk di meja dekat tempat penjaga tadi berdiri. Seorang gadis yang
juga terlihat manis seperti sang nona Lin. Posisi gadis yang tersem-
bunyi di balik tembok setinggi dada orang dewasa berdiri itu, sempat
tidak terlihat dari luar apabila tidak benar-benar diperhatikan dan
diketahui keberadaannya. Rupanya itu tempat untuk membuat perjanjian untuk bertemu den-
gan penghuni gedung itu, entah toko atau apalah, Gu Yo tidak tahu.
318 BAGIAN 6. TATO Setelah dijelaskan oleh sang penjaga bahwa pemuda itu ingin bertemu
dengan nona Lin akan tetapi belum membuat janji, lalu sang gadis
membuka bukunya dan melirik pada kolom-kolom yang di atasnya ter-
tuliskan "Swee Sian Lin", nama sebenarnya dari nona Lin. Akhirnya
sampailah ia pada suatu kolom, dan bertanyalah ia pada Gu Yo, "nanti
sore, antara pukul empat dan setengah lima nona Lin belum ada janji,
anda bisa berkunjung pada saat itu" Apakah anda bisa dan mau?"
Mengangguk saja Gu Yo atas usulan itu. Persoalan membuat janji
masih asing baginya. Kemudia saat ditanya namanya, ia menyebutkan
"Gu Yo", yang kemudian dituliskan oleh gadis itu. Untuk keperluan-
nya, ia hanya membubuhkan "ingin bertemu" tanpa bertanya dulu
kembali kepada Gu Yo, sebagaimana disampaikan oleh penjaga tadi.
"Anda bisa berjalan-jalan dulu, melihat-lihat kota Siaw Tionggoan
untuk membunuh waktu. Masih sekitar empat jam untuk bertemu
dengan nona Lin," saran sang gadis tersebut.
Gu Yo pun mengangguk mengiyakan. Saat itu dilihatnya beberapa
orang masuk, memberi salam kepada penjaga dan menuju tempat sang
gadis, gadis yang mencatatkan janji-janji untuk bertemu dengan para
penghui gedung itu. Beberapa di antaranya menyebutkan nama yang
akan dikunjungi, keperluannya dan waktunya. Dua orang dari mereka
rupanya telah membuat janjinya kemarin. Setelah diakurkan dengan
apa yang tertera dalam buku janji tersebut mereka dipersilakan untuk
masuk. Seorang pelayan mengantarkan mereka, menunjukkan jalan ke
bagian ke mana mereka akan menuju. Sedangkan sisanya baru akan
membuat janji untuk bertemu dengan penghuni gedung itu sore ini
atau keesokan harinya. Mengangguk-angguk Gu Yo melihat hal yang baru itu. Rupanya ia
harus membuat janji dulu untuk bertemu orang-orang yang tinggal
dalam rumah itu. Suatu pengalaman yang baru dialaminya di sini, di
kota Siaw Tionggoan. Setelah cukup memperhatikan dan merasa mengerti, Gu Yo pun keluar
untuk menghabiskan waktu, sebelum bertemu dengan nona Lin. Sosok
gadis yang dipikirnya adalah Citra Wangi, kekasihnya dulu. Orang
yang telah ditunangkan dengan dirinya.
Di tepi jalan besar di muka Rumah Tato Ceng-Liong Hui-To tampak
319 Gu Yo celingak-celinguk kebingungan. Ia tidak tahu harus kemana
untuk membunuh waktu sebelum jam empat nanti. Saat ia sedang
memandang ke kiri dan ke kanan, suatu suara dalam lambungnya
merekah, membujuknya untuk pergi ke suatu arah di mana aroma
lezat hidangan mengambang di udara.
Setelah berjalan beberapa saat, ditemukannya sumber kelezatan yang
seakan-akan mengundangnya ke tempat itu. Sebuah kedai yang
menyajikan berbagai masakan yang dipanggang atau dibakar. Kedai
Daging Bakar namanya. Berbagai jenis daging dapat ditemui di sana,
dari ayam, sapi, kerbau, kambing sampai ular dan kelinci. Berbagai
jenis-jenis daging yang telah kering dan diasap, dipajang di suatu
bagian depan kedai dan diberi nama. Takjub juga Gu Yo melihat
model iklan dari kedai tersebut.
Saat ia sedang melihat-lihat "hiasan" berupa daging yang sudah diker-
ingkan itu, berwarna merah dan masih menyajikan bau sedap khasnya
masing-masing, seorang tua menyapanya, "Ayo jangan malu-malu,
mari masuk mencicipi!" ajaknya.
"Eh, tapi..," Gu Yo tak bisa melanjutkan ucapannya. Ia tak tahu
Elemen Kekosongan Karya Nein Arimasen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
harus berucap bagaimana. Sebagaimana diketahui tidak banyak
Tigaan yang dibekalinya sedari keluar dari Rimba Hijau dan juga
sehabis bertemu kakek Gu dan nenek Po. Dan ia memang telah
berniat untuk mencari pekerjaan di kota ini, sembari menunaikan
misinya mencari keturunan dari Ceng-Liong Hui-To.
"Ah, pasti kau tidak cukup punya uang, "kan" Ayo anak muda, ma-
suk saja. Aku pemilik kedai ini. Kamu boleh makan sepuasmu, tapi
setelah itu bantu-bantu, bagaimana?" jawabnya ramah. Yok Seng,
orang tua itu memang pemilik kedai itu. Ia baru saja berjalan ke
bagian lain kota untuk mencari tenaga tambahan. Rencananya be-
berapa hari lagi akan ada perayaan menyambut tamu dari pemerintah
pusat. Biasanya pada hari-hari "besar" seperti itu pengunjung akam
membeludak. Untuk itu ia perlu tenaga segar agar bisnisnya dapat
tetap berjalan dengan baik. Sukur-sukur pemasukannya bisa berlipat-
lipat pada saat-saat itu.
Ia telah berusaha menuju ke suatu bagian kota di mana di sana terda-
pat suatu semacam agen yang menyalurkan tenaga-tenaga kerja paruh
320 BAGIAN 6. TATO waktu. Tapi berhubung suatu peristiwa kunjungan oleh pemerintah
pusat ke kota Siaw Tionggoan adalah suatu peristiwa yang jarang
terjadi, toko-toko dan kedai-kedai lain pun sudah memborong tenaga
kerja. Habis. Tiada yang tersisia. Bahkan ia hanya menemui tulisan
"tutup" di sana. Mungkin sang penyalur tenaga kerja bahkan ikut
"bekerja" sebagai tenaga paruh waktu, mengingat permintaan yang
banyak, sudah bisa dipastikan gajinya pun akan lumayan.
Demi melihat seorang pemuda di depan kedainya yang sedang ter-
mangu menatap daging-daging keringnya, langsung saja Yok Seng
menawarkannya pekerjaan. Dari perawakannya yang tegap dan berisi,
sudah pasti pemuda itu kuat untuk bekerja keras. Sosok yang dibu-
tuhkannya untuk saat itu.
"Eh, benar paman" Saya boleh bekerja di sini?" tanya Gu Yo tak per-
caya. Ini adalah betul-betul suatu kesempatan yang tidak disangka-
sangkanya. Ia tidak harus sulit-sulit mencari pekerjaan, akan tetapi
dapat dengan mudah memperolehnya. Orang bilang itu memang su-
dah rejekinya atau suratan langit.
Yok Seng yang ditanya hanya mengangguk. Ia melihat bahwa pemuda
itu, Gu Yo, masih baru dan belum ada pengalaman sama sekali. Ke-
jujuran pun tampak dari wajahnya. Jujur itu adalah sifat yang dibu-
tuhkan untuk dapat bekerja dengan langgeng. Yok Seng yang telah
berpuluh tahun mengelola kedai itu dapat dengan segera melihat sifat
seseorang dari percakapan singkat saja, hasil asahan pengalaman yang
menahun. "Eh, tapi.. saya..," ucap Gu Yo bingung dan ia pun lalu menceritakan
keperluannya ke kota itu yang memang ingin mencari kerja, tapi telah
membuat janji dengan nona Lin, Swee Sian Lin di Rumah Tato Ceng-
Liong Hui-To. "Engkau tidak akan bekerja di sana, bukan?" tanya Yok Seng penuh
selidik. Entah bagaimana ia tak rela calon tenaga kerjanya akan di-
ambil oleh orang lain. Rumah Tato Ceng-Liong Hui-To adalah suatu
galeri seni tato yang cukup beken di kota itu. Suatu saingan dalam
mempekerjakan orang pada saat hari-hari "besar".
"Tidak, paman! Saya hanya ingin bertemu dengan nona Lin saja.
Tidak ingin bekerja di sana," jawabnya.
321 "Bagus kalau begitu! Ayo kita makan dulu, sudah terdengar ususmu
itu belingsatan," kelakar Yok Seng.
Memerah wajah Gu Yo itu. Malu ia akan ususnya yang tidak sungkan-
sungkan untuk menyuarakan isi hatinya. Lapar.
Yok Seng tidak menyuruhnya duduk di depan, tempat orang-orang
yang sedang menjadi pelanggan kedai itu makan, melainkan menga-
jaknya terus ke belakang, ke suatu ruangan besar yang berfungsi seba-
gai dapur dan juga tempat orang-orang pekerja kedai itu berkumpul.
Di sana ada sebuah meja besar dan panjang yang dipenuhi berbagai
macam benda. Di keempat sisi meja tersebut terdapat kursi panjang
tanpa sandaran. Entah berapa jumlahnya. Satu kursi bisa muat em-
pat sampai lima orang kiranya.
"Ini Ma She," ucap Yok Seng kepada Gu Yo, "kepala koki di sini. Dan
juga yang bertanggung jawab jika aku tidak ada."
"Ma She, pemuda ini akan kerja sini mulai hari ini. Kasih dia makan
terus atur tugasnya. Oh, ya untuk hari ini kasih dia waktu nanti jam
empat untuk keluar sampai jam lima. Ada keperluan dia di Rumah
Tato Ceng-Liong Hui-To," sambil tak lupa Yok Seng memberi tahu.
Ma She hanya mengangguk. Orangnya tak banyak senyum. Tapi wa-
jahnya ramah. Mukanya lebar dan besar. Tubuhnya tak terlalu tinggi.
Tulang tangan dan kakinya lebar-lebar, sehingga tampak gemuk pada-
hal tidak. "Siapa namamu?" tanyanya singkat kepada Gu Yo setelah Yok Seng
meninggalkan mereka untuk memeriksa pekerjaan lain-lain yang di-
lakukan lain orang. "Gu Yo!" jawab pemuda itu pendek.
"Duduk di sini dan makan semampumu," katanya kemudian sambil
mengangsurkan piring kosong lebar. Piring paling lebar yang pernah
dilihat Gu Yo. Hampir sebesar nampan bundar.
Saat Gu Yo terlihat agak ragu-ragu mengisikan lauk dan juga nasi ke
dalam piringnya, Ma She dengan cekatan mengambil sejumput besar
nasi dengan sendok besar dan dua kerat daging seukuran dua kepalan
tangan dan meletakkan di piring Gu Yo. Tak lupa diambilnya den-
322 BAGIAN 6. TATO gan sumpit sejumput sayur-sayuran dan terkahir dituangkannya saus
merah harum di atas dua kerat daging tersebut.
Takjub Gu Yo melihat hidangan yang harus disantapnya itu. Dan
semakin takjud saat masih Ma She berkata, "kalau kurang, tambah
lagi!" Ia juga tak lupa meletakkan sendok, garpu, pisau, sumpit. Ia
tidak menanyakan alat makan apa yang biasa digunakan oleh Gu Yo,
hanya meletakkan semua yang biasa digunakan.
Setelah Ma She berlalu dari sana, mulailah Gu Yo menyantap hidan-
gan yang ada dalam piring jumbonya itu. Mula-mula dicobanya dag-
ing keratan pertama yang berwarna lebih gelap dari keratan kedua.
Dengan sumpit gumpalan daging keras itu tak bisa diceraikan. Lalu
dicobanya dengan menggunakan sendok. Juga tidak bisa.
Saat itu lewatlah seorang gadis. Melihat kesulitan Gu Yo dalam
menyantap penganannya, ia pun berkata, "Bisa" Perlu dibantu?"
Gu Yo hanya menggangguk. Tanpa dipersilakan gadis itu dengan duduk di samping Gu Yo. Begitu
dekat sehingga hidungnya bisa mencium keharuman keringatnya yang
tercampur dengan semerbak masakan-masakan. Suatu sensasi yang
belum pernah ditemuinya. Lain dengan semerbak wangi tunangannya
dulu. Ucapan sang gadis membuyarkan lamunan sesaat itu, "Begini caranya:
tangan kanan memegang pisau, tangan kiri memegang garpu." Lalu
diperagakannya cara memantapkan daging agar tidak bergulir untuk
kemudian dipotong dengan pisau. Satu bagian Potongan telah lepas
dan sisanya masih tertancap pada garpu. Dipotongnya lagi potongan
yang masih tertancap berulang kali sehingga tersisa seukuran setengah
telur ayam. Lalu dengan jenaka gadis itu mengucapkan, "jika sudah
cukup kecil, langsung dimakan." Dan "Hap!!" daging tersebut lenyap
di mulut mungilnya yang menawan. Gu Yo hanya dapat melongo
melihat hal itu. "Eh, terus nasi ini gimana?" masih bingung dirinya bagaimana bisa
makan nasi menggunakan garpu dan pisau tersebut.
Alih-alih menjawab, si gadis menyisir nasi dalam piring besar itu ke
323 arah garpunya menggunakan pisau, memadatkan sedikit di atasnya
dan menggerakkan garpu yang sudah berisi nasi itu ke arah mulutnya.
Dan kembali "happ!" lenyap di balik mulutnya.
"Ah, begitu!" sahut Gu Yo menggangguk-angguk. "Bisa juga iisau
digunakan seperti itu." Suatu pengalaman baru lagi yang didapatnya
di tempat ini. "Ma Siang!" tiba-tiba terdengar suara mengguntur di belakang mereka.
Si gadis dengan cepat bangkit dan bergegas pergi. Sambil tak lupa
berucap, "selamat makan!!"
Ma She yang tiba-tiba berada di sana, tampak menggeleng-gelengkan
kepala. Ia kebetulan saja melihat gadis itu bersama dengan Gu Yo.
Dan seperti yang diduganya, sedang mengerjai Gu Yo.
"Sudah habis makanmu?" tanyanya setelah sampai di samping pe-
muda itu. "Eh, belum, paman!" jawabnya. "Masih belum bisa pakai garpu dan
pisau ini. Untung ada gadis itu tadi yang mengajari."
"Ma Siang" Mengajari?" tersenyum Ma She mendengar itu, walaupun
ia tahu bahwa gadis itu mungkin memang mengajari Gu Yo, tapi pasti
ada sesuatu yang dinakalinya.
"Iya, paman!" jawab Gu Yo sambil memperagakan cara makan yang
diajari oleh Ma Siang. Bagaimana ia memotong daging, menyuapnya
dengan garpu di tangan kiri dan memadatkan nasi pada garpu dengan
pisau di tangan kanan dan menyantapnya.
"Bagus kalau begitu. Ayo, habiskan makananmu! Kerjaan sudah me-
nunggu," ucapnya kemudian. Ma She masih berpikir-pikir apa yang
telah dikerjakan oleh Ma Siang. Masak cuma itu, benar-benar men-
gajari. Tapi saat ini bukan waktunya. Ia pun kembali membiarkan
pemuda itu menyantap makan siangnya.
Setelah diajari oleh Ma Siang, Gu Yo dapat dengan mudah menyantap
hidangannya. Kuah atau saus merah harum yang tergenang pun dapat
dengan mudah disisirnya, atau sayur yang harus dipotong dulu, ke atas
daging atau nasi yang telah siap untuk untuk diangkat oleh garpu.
Gu Yo pun mulai dapat menikmati makan siangnya dengan cara itu.
324 BAGIAN 6. TATO Cara makan yang baru, menggunakan alat makan yang belum pernah
dialaminya. Biasanya ia hanya makan menggunakan tangan kosong
saja. Setelah habis ia pun sedikit mengelus perutnya yang telah terisikan.
Kenyang dan tenang. Dibawanya piring bekas santapannya itu ke su-
atu sudut, di mana ia melihat beberapa orang sedang mencuci alat-alat
makan. Saat seorang menunjukkan padanya tempat untuk meletakkan
piring kotor beserta garpu, sendok, sumpit dan pisaunya, Gu Yo pun
mengikuti dan meletakkannya di sana. Terpisah, masing-masing ada
wadahnya sendiri-sendiri.
Saat ia bingung tentang apa yang harus dikerjakannya, seorang meng-
gapai bahunya. "Ikut aku!" katanya.
*** Dua orang tua tampak sedang duduk-duduk di depan sebuah gubuk
di tengah hutan. Seorang wanita tua dan lainnya lelakit tua. Nenek
Po dan kakek Gu, kedua orang yang sebelumnya telah merawat luka
Gu Yo atau Paras Tampan akibat merapal ilmu Jarum Terbang Debu
Pasir yang belum dikuasainya dengan benar.
"Heh, kakek Gu! Apa yang kamu pikirkan" Sedari Gu Yo pergi ke
kota Siaw Tiong Goan, kau banyak sekali berdiam," ucap nenek Po
terhadap orang sedang duduk tak jauh darinya itu.
"Hmmm...," jawap kakek Gu pendek. Ucapan yang kiranya menan-
dakan bahwa pikirannya masih mengembara ke sana kemari dalam
alam khayalannya sendiri.
"Ya, sudah! Aku mau masak dulu, sebentar lagi kita makan bareng,"
ucap nenek Po kembali sambil bangkit dan berbalik masuk ke dalam
pondoknya. Sibuk ia kemudian mengaduk-aduk kuali besar yang
menebarkan di udara suatu keharuman menggoda lambung. Ke-
haruman akan kelezatan yang tidak akan didiamkan begitu saja oleh
cacing-cacing penghuni perut. Segera mereka akan berontak minta
diasup. Kakek Gu, sepeninggal nenek Po, masih saja tenggelam dalam lamu-
nannya. Dan benar seperti perkataan nenek tersebut, bahwa ia
325 terlamun-lamun ada kaitannya dengan pemuda yang disebut-sebut
itu. Gu Yo. Ia terpikir akan pemuda itu. Entah bagaimana, ada hal
yang menarik dari pemuda itu, sehingga tetap lekat pada ingatannya.
Ia masih teringat bagaimana ia yang saat itu sedang bertarung sengit
dengan Su-Mo ditolong oleh pemuda itu. Tetapi akibat ilmu mujijat
yang dirapalnya yaitu Jarum Terbang Debu Pasir, suatu ilmu dasyat
yang dapat mengubah butir-butir debu di sekeliling perapalnya men-
jadi padat dan berbentuk jarum untuk diterbangkan menyerang sang
lawan, yang melukai sang pemuda sendiri karena belum benar-benar
menguasainya. Di situlah perkenalan antar keduanya dimulai.
Dengan dibantu nenek Po, kakek Gu mencarikan daun-daun obat un-
tuk ramuan kesembuhan pemuda itu, yang kerap dipanggil "anak Yo"
oleh kakek Gu. Sampai akhirnya ia diberi nama dengan she kakek
Gu, menjadi Gu Yo. Nama yang juga memudahkan perjalanan anak
tersebut di kota Siaw Tiong Goan, suatu kota di mana penduduknya
kerap berasal dari Tlatah Tengah (Tionggoan) yang kadang sulit untuk
melafalkan nama dari tempat lain, dalam rangka mencari keturunan
dari Ceng-Liong Hui-To. Lamunan kakek Gu terhenti saat beberapa orang memasuki halaman
rumah nenek Po. Orang-orang dengan tubuh-tubuh kekar dan kasar.
Diantara mereka terdapat empat orang yang sekilas terlihat berbeda
karena langkahnya yang lebih ringan dan berisi. Orang berilmu.
"Zahnloserbauer (Petani Ompong), saatnya kita putuskan perhitun-
gan kita! Utangmu padaku harus lunas hari ini," ucap seorang dari
mereka, yang berwajah agak gelap. Hek-Mo, salah seorang dari Su-Mo
(Empat Setan). Kakek Gu yang saat itu sedang menerawang pada sosok Gu Yo, son-
tak terkoyak, ia pun menoleh, memperhatikan benar-benar kedelapan
orang yang ada di hadapannya sekarang. Empat orang Su-Mo dan em-
pat orang baru yang belum pernah ditemuinya. Akan tetapi melihat
dari tongkrongan dan busana yang dikenakan, ilmu keempat orang
yang baru dilihatnya ini tidak lebih tinggi dari Su-Mo. Meskipun
demikian jumlah yang berlipat dua ini pasti akan menjadi masalah
baginya, karena dulu dengan hanya berempat, jika tidak dibantu oleh
Gu Yo, ia tidak mungkin memang. Apalagi sekarang.
326 BAGIAN 6. TATO Kakek Gu bukanlah takut untuk mati. Konsekuensi perbuatannya
yang membela para petani yang diharuskan membayar "pajak" kepada
Su-Mo dan kaki-tangannya, akan dihadapinya dengan jantan. Tapi
adanya suatu rahasia yang mesti disampaikannya kepada Gu Yo, yang
merisaukan hatinya. Ia menyesal kenapa tidak dulu-dulu hari ia ceri-
takan hal tersebut kepada pemuda itu.
"Su-Mo, bagaimana keadaan kalian" Sudah baikan?" tanyanya meng-
goda sambil mengulur-ulur waktu untuk memikirkan suatu siasat agar
dapat meninggalkan pesan pada Gu Yo.
Orang yang ditanya sudah tentu memerah wajahnya. Itu bukan per-
tanyaan yang menandakan keingintahuan mencari kabar, tetapi lebih
merupakan ejekan karena dilontarkan oleh orang yang menjadi lawan
dan penyebab keadaan mereka "tidak baik" yang ditekankan dengan
"sudah baikan".
Hek-Mo, seorang dari Su-Mo yang terkenal dengan keberangasan-
nya, tidak biasanya berdiam diri. Rupanya hampir remuknya tela-
pak kakinya akibat tendangan cangkul kakek Gu, si Petani Ompong,
membuatnya lebih mawas diri akan siapa yang dihadapinya saat ini.
Hanya napasnya saja yang berderu-deru, menunjukkan emosi yang
telah meningkat. Alih-alih Su-Mo yang menjawab, keempat orang yang baru hari itu
dilihat kakek Gu yang mengambil pembicaraan, kata seorang dari
mereka, "Salam, orang tua yang bergelar Petani Ompong. Kami Em-
pat Begal Hutan datang untuk mencoba-coba kemampuanmu."
Elemen Kekosongan Karya Nein Arimasen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hmm," jawab kakek Gu pendek, "apa hubungan kalian dengan Su-
Mo?" "Su-Mo menjanjikan pekerjaan penarikan pajak di daerah ini bagi
kami, bila kami bisa menundukkan dirimu, wahai orang tua!" jawab
yang ditanya. Mengangguk-angguk kakek Gu mendengar penjelasan itu, "baiklah,
sudah jelas kedudukan kita masing-masing. Aku berada pada pi-
hat petani yang keberatan akan pajak yang berlebihan besarnya, dan
kalian berada pada pihak Su-Mo yang berlaku sebagai penarik pajak."
327 Tiba-tiba percakapan itu terhenti oleh terbukanya pintu pondok dan
keluarnya nenek Po. "Ah, banyak tamu ternyata! Mari-mari, se-
belum "berdiskusi", kita isikan dulu perut yang meronta-ronta!" Entah
bagaimana, nenek Po seakan-akan tahu akan kedatangan kedelapan
orang itu, sehingga ia telah membawa sebuah nampan besar berisikan
sepuluh buah mangkok besar. Setengah semangka ukurannya. Bisa
dibayangkan adanya suatu "keahlian" karena ia membawa nampan
yang panjangnya seukuran peti mati dan di atasnya terdapat sepuluh
mangkok besar-besar berisi sup.
Tamu-tamu tak diundang yang datang untuk menagih "utang" dengan
kakek Gu, entah bagaimana hanya bisa menurut dan bersama-sama
menuju sebuah meja panjang yang terletak di depan pondok nenek
Po. Semuah meja kayu besar bundar yang dilengkapi dengan enam
belas kursi. Setelah nenek Po selesai melempar-lemparkan mangkok-mangkok
yang "terbang" dan mendarat dengan sunyi di kesepuluh tempat
dari enambelas tempat yang ada, orang-orang itu duduk pada tem-
patnya masing-masing. Delapan buah tempat duduk pada sebelah
sisi telah terisi. Dua buah pada sisi yang berlawanan ditempati oleh
nenek Po dan kakek Gu. Dan mereka pun mulailah makan. Sunyi. Hanya suara-suara menyeruput
yang terdengar sesekali dan juga kunyahan ringan serta telanan sepi
bahan-bahan dalam sup nenek Po.
Setelah makan semuanya duduk lemas, kenyang dengan apa-apa yang
ada dalam sup nenek Po. Setelah semua perabotan makan dibereskan
dan meja kembali kosong seperti semula, kakek Gu mulai angkat
bicara, "Ah, enaknya perut telah kenyang, Su-Mo dan kalian Empat
Begal Hutan, mari kita bicarakan "urusan kita" sekarang."
Kelompok lawan bicaranya yang duduk di separuh meja sana mengangguk-
angguk. Hek-Mo yang biasanya berangasan tampak agak terkantuk-
kantuk. Puas rupanya ia telah terisi perutnya, sehingga napsu mem-
balas dendamnya agak berkurang.
Seorang dari Empat Begal Hutan berkata, "Wahai orang tua, terima
kasih atas jamuanmu. Benar seperti yang diberitakan di tanah Alema-
nia, bahwa Zahnloserbauer tidak membeda-bedakan kalangan. Semua
328 BAGIAN 6. TATO dijamu baik, dengan makanan maupun dengan pedang dan tendangan
serta pukulan. Kami merasa tersanjung atas kehormatan ini."
"Tidak, tidak..," kata kakek Gu sambil menggoyang-goyangkan tela-
pak tangannya, "tidak perlu sungkan-sungkan. "Jamuan" selalu siap
tersedia bagi tamu-tamu kami. Mari kita langsung pada permasala-
hannya." Setelah itu, keempat orang Empat Begal Hutan diikuti oleh Su-Mo
berdiri dan mengambil tempat di suatu tempat terbuka tidak jauh
dari sana. Mengikuti dari belakang kakek Gu dan nenek Po. Kedu-
anya tampak senyam-senyum di antara mereka, menganggap "urusan"
seperti ini adalah suatu yang "biasa".
Keempat orang Empat Begal Hutan lalu mengambil posisi mengepung
kakek Gu saat ia berdiri di tengah tempat terbuka tersebut. Su-Mo
hanya tampak memperhatikan dari pinggir. Ya, Su-Mo ingin terlebih
dahulu melihat kemampuan orang-orang yang menawarkan diri untuk
menjadi penarik pajak bagi mereka. Jika tidak mampu menundukkan
kakek Gu, apalah gunanya Empat Begal Hutan ini, pikir mereka.
"Wahai orang tua, bukannya kami tidak sopan, tapi kami biasa
bertempur berempat. Bila engkau keberatan, katakan saja," ucap
seorang dari Empat Begal Hutan tersebut pada kakek Gu.
Kakek Gu hanya menggeleng ramah, lalu ia pun menggerakkan tan-
gannya sedikit, seperti mengucapkan, "silakan mulai!"
Kelimanya pun mulai berlaga. Pukulan-pukulan dan tendangan-
tendangan mulai dilemparkan oleh yang punya. Tulang beradu tu-
lang. Empat Begal Hutan, sebagaimana kakek Gu adalah orang-orang
yang ahli menyerang dengan tangan kosong. Tenaga kasar dan otot.
Walaupun demikian, gerakan-gerakan mereka cukup bagus dan kom-
pak. Mengejar setiap ruan kosong yang akan dimasuki oleh kakek Gu.
Dalam sepeminum teh, terlihat bahwa kakek Gu hampir-hampir tidak
memperoleh ruang untuk bernapas.
Su-Mo tampak senyam-senyum melihat ketangguhan Empat Begal
Hutan yang akan menjadi penarik pajak bagi mereka. Serangan keem-
patnya cukup bagus, bahkan cenderung bagus. Dengan hanya puku-
lan dan tendangan mereka dapat mendesak kakek Gu sedemikian rupa
329 apalagi bila menggunakan senjata. Sebenarnya tingkatan Su-Mo dan
Empat Begal Hutan tidaklah berbeda jauh. Perbedaan ini hanyalah
karena Su-Mo seringkali menggunakan senjata tajam golok, sedan-
gkan Empat Begal Hutan hanya kepalan dan tendangan. Kelebihan
tipis yang tidak terlalu berarti bagi orang-orang yang telah tinggi ilmu
silatnya. Selain itu Empat Begal Hutan masih terhitung belia, baru
belasan tahun apabila dibandingkan dengan Su-Mo yang telah tiga
puluhan tahun. convert txt : http://www.mardias.mywapblog.com
Su-Mo sebenarnya sudah agak gatal pula untuk turun tangan melihat
pertarungan yang seimbang itu, tapi mereka masih menanti-nanti ke-
munculan pemuda yang dulu melukai Hek-Mo dan Pek-Mo. Mereka
perlu berhati-hati bila orang yang diwaspadai itu terlihat batang
hidungnya. *** Pukul empat kurang sepuluh menit saat itu. Gu Yo telah berada
kembali di jalan raya. Ia telah meminta ijin kepada Ma She yang
telah diberitahu sebelumnya oleh Yok Seng, sang pemilik Kedai Dag-
ing Bakar, bahwa ia diberikan waktu luang antara jam empat dan jam
lima untuk keperluan memenuhi janjinya. Janji untuk menemui nona
Sian Lin di Rumah Tato Ceng-Liong Hui-To.
Kedai Daging Bakar dan Rumah Tato Ceng-Liong Hui-To terletak
pada jalan besar yang sama. Akan tetapi tidak terlalu berdekatan.
Ada persimpangan jalan yang memisahkan keduanya. Selain itu ked-
uanya berada pada sisi jalan yang berseberangan.
Karena ia telah cukup memperhatikan jalan yang dilalui tadi dari
Rumah Tato Ceng-Liong Hui-To sampai tiba ke Kedai Daing Bakar,
Gu Yo dapat dengan mudah menemukan tempat itu kembali, tanpa
perlu bertanya-tanya kepada orang-orang yang berpapasannya di
jalan. Rumah Tato Ceng-Liong Hui-To tampak lebih sepi dari pada tadi
siang saat ia pertama kali dalam hidupnya membuat janji. Penjaga
yang tadi menyapanya pun sudah tidak kelihatan juga gadis yang tadi
menuliskan janjinya. Sekarang seorang pemuda juga berbadan tegap
dan gadis lain yang juga manis untuk dilihat tampak menggantikan
tempat mereka bertugas. 330 BAGIAN 6. TATO Dengan meniru pada cara satu dua orang yang datang, menegur sapa
terlebih dahulu sang penjaga untuk kemudian mencocokkan janji,
nama pengunjung dan nama yang dikunjungi atau membuat janji
baru, Gu Yo pun melakukannya. Karena sikapnya yang baik dan
mirip orang-orang tersebut, kedua petugas itu, sang penjaga dan
gadis pencatat janji, tidak menyadari bahwa Gu Yo tadi pagi adalah
orang yang sama sekali belum mengetahui tata cara mengunjungi
penghuni Rumah Tato Ceng-Liong Hui-To.
Ruangan itu lebar dan terang. Di sana-sini tampak sekat-sekat
ruangan sehingga ruangan yang berlangit-langit lebar itu menjadi
bersegmen-segmen terkotak-kotakkan secara acak oleh sekat-sekat
tadi. "Mungkin ini yang disebut labyrinth," pikir Gu Yo. Ia tadi
dibawa ke ruang ini oleh seorang gadis penunjuk jalan, selepas jan-
jinya untuk bertemu nona Sian Lin dicocokkan.
Pada masing-masing panel baik langsung pada dinding maupun sekat
tampak semacam obyek mirip lukisan atau ukiran pada alas dua di-
mensi yang berlatar belakang warna kecoklatan, kadang kekuningan
atau agak gelap. Gambar yang terlihat kadang berupa naga, tulisan
kaligra" ataupun obyek-obyek lain. Kadang sederhana berwarna satu
atau pun berwarna banyak. Di bawah benda-benda tersebut selalu
diawali dengan kata "Tato".
"Bagaimana, apakah anda menyukainya?" ucap sebuah suara merdu
yang memecahkan lamunan Gu Yo yang sedang menikmati atau
sekedar melihat-lihat obyek-obyek pada panel-panel tersebut.
"Eh, anu..," jawab Gu Yo gugup. Ia tidak tahu harus menjawab
apa. Ini merupakan pengalaman pertamanya berada dalam suatu
ruang dengan dihiasi banyak benda-benda yang memberikan nuansa
tersendiri. Benda seni menurut beberapa orang.
"Halo, saya Swee Sian Lin, ada urusan apa anda ingin bertemu den-
gan saya?" tanyanya sambil mengangsurkan tangannya. Gu Yo yang
bingung hanya menjura. Ia tidak tahu bahwa di beberapa tempat,
orang kadang bersalaman saat pertama kali berkenalan.
Melihat itu sang gadis hanya tersenyum. Lalu katanya, "Ah, anda
pasti dari kalangan pesilat, melihat cara anda memberi salam."
331 Gu Yo hanya mengangguk saja. Bingung.
"Mari silakan melihat-lihat!" ucap gadis itu kemudian saat melihat
bahwa Gu Yo masih kikuk dengan pertemuan mereka.
Lalu dengan lugas dan menawan gadis itu menerangkan bahwa obyek-
obyek yang dilihat Gu Yo adalah tato atau rajah. Lukisan yang digam-
barkan di atas tubuh orang. Digambar dengan menggunakan jarum
yang dibubuhi ramuan dan ditorehkan di atas kulit sang pemiliki.
Suatu proses yang menyakitkan tapi menurut mereka tak sebanding
dengan keindahan serta kepuasan yang diperoleh kemudian.
Saat Gu Yo memastikan bahwa apa yang disajikan sebagai obyek seni
tersebut adalah benar-benar kulit manusia, dengan ringan gadis itu
mengiyakan dan menambahkan bahwa dulu lukisan-lukisan ini meru-
pakan koleksi seorang penjahat yang gemar mengoleksi tato. Tato dari
seorang korban yang hidup. Bisa dibayangkan bagaimana menderi-
tanya sang korban saat kulitnya dilepas atau dikletek untuk diambil
tatonya. Tapi itu masa lalu. Saat ini sudah tidak ada lagi hal-hal
semacam itu. Dilarang oleh hukum.
Manggut-manggut Gu Yo mendengarkan penjelasan tersebut. Baginya
seni bukan merupakan sesuatu yang benar-benar penting. Keindahan
yang terpancar dari sang gadis lebih menarik untuk dinikmati. Tapi
ia tahu diri dan tidak memandang terus-menerus terlalu lekat.
"Jadi, apa sebenarnya maksud kedatangan anda ke mari, menemui
saya?" tanya gadis itu lagi setelah ia menjelaskan panjang lebar menge-
nai apa-apa yang umumnya diceritakan oleh seorang pemandu dalam
suatu galeri atau musium.
"Itu, sebenarnya.., agak memalukan untuk diceritakan," jawab Gu Yo
sambil tak bisa ditahan wajahnya pun sedikit memerah.
Swee Sian Lin benar-benar baru menemui seorang seperti Gu Yo hari
ini. Sopan, sederhana dan kikuk akan tetapi tampan dengan per-
awakan yang bagus. Biasanya orang-orang yang datang menemuinya
adalah tipe-tipe pesolek dan manis mulut. Memuji-muji akan tetapi
tidak tahu apa yang dipuji, karena sebenarnya tujuannya adalah men-
cari nona Swee Sian Lin sendiri. Pemuda ini lain, walaupun ia tidak
mengerti mengenai tato, tapi ia menyimak dan tidak berpura-pura
332 BAGIAN 6. TATO mengerti. Gadis itu pun menyadari bahwa Gu Yo juga memandang kagum pada
kecantikannya. Sebagai seorang gadis yang sudah sering dipuji orang,
ia bisa mengerti dari cara pandangannya. Walaupun demikian ia
menyukai cara pemuda itu memandangnya, hanya kagum tetapi tidak
kurang ajar. Pandangan kurang ajar adalah pendangan menjelajah
yang seakan-akan mengerayangi seluruh tubuhnya, memandanginya
seakan-akan membayangkan dirinya tanpa busana. Berdasarkan pen-
galaman Sian Lin dapat membedakan cara pandang seorang pemuda
kepadanya. "Eh, anu.., saya saat tadi pagi menjelang siang melihat orang yang
sosoknya mengingatkan saya pada seseorang sehingga saya pun kemu-
dian mengikutinya. Akan tetapi ternyata sosok itu bukan orang yang
saya perkirakan, melainkan nona Sian Lin," jelas Gu Yo dengan wajah
yang agak kemerahan. Jengah ia mengatakan hal yang sebenarnya itu.
"Siapa orang yang anda maksud itu?" tanya gadis itu ingin tahu.
"Tunangan saya," jawab Gu Yo pendek.
"Ah, saya mengerti sekarang. Jadi anda salah lihat orang," mengangguk-
angguk gadis itu mendengar penjelasan sang pemuda. Rupanya hanya
masalah salah lihat saja, sehingga pemuda itu sampai membuat janji
untuk bertemu dengannya. Hanya untuk memastikan apakah dirinya
adalah tunangan sang pemuda.
"Karena anda telah di sini, dan saya juga telah meluangkan waktu bagi
anda, marilah kita tuntaskan melihat-lihat Rumah Tato Ceng-Liong
Hui-To ini," usul sang gadis. Baginya tak jadi soal bahwa ternyata pe-
muda itu tidak memiliki keperluan sebenar-benarnya dengan dirinya.
Gu Yo hanya mengangguk mengiyakan. Ia sengan bahwa gadis itu
tidak marah karena waktunya terbuang percuma.
Kemudian mereka pun berkeliling lagi dalam galeri itu, meninjau
ruangan-ruangan yang terbentuk oleh panel-panel sekat yang tadi
belum dirampungkan. Saat ini Gu Yo benar-benar menyimak apa-
apa yang dijelaskan oleh gadis itu. Entah bagaimana, mungkin karena
suara yang merdu dan juga caranya menjelaskan, dirinya menjadi lebih
333 tertarik pada kisah-kisah di balik tato-tato tersebut.
"Ini tato seorang gadis panggilan, Bunga Merah. Ia dipesan oleh sang
penjahat pengumpul tato. Kemudian ia dibunuh di ruangan tempat
seyogyanya orang pelesir dalam rumah bordil dan ditinggalkan di sana
mayatnya.. dan juga bayarannya plus bonus..," begitu salah satu dari
cerita-cerita seram di balik pengumpulan bagian tubuh manusia yang
berlukiskan macam-macam itu.
Tiba-tiba terdengar teriakan histeris seorang wanita, "Ahhhhhh!!!
Ada darahhh!!" Bergegas Sian Lin diikuti oleh Gu Yo menuju sumber suara tersebut.
Berbelok ke kiri dan ke kanan di antara panel-panel yang ada sampai
mereka tiba di suatu lorong panjang yang tidak lagi menjadi bagian
ruangan besar tadi, melainkan suatu bagian lain ruangan yang meru-
pakan koridor dari dua ruang besar. Salah satunya ruangan tempat
ia dan Sian Lin tadi berada.
Di tengah-tengah koridor itu tampak seorang gadis yang terduduk di
salah satu dinding dan memandang dinding lain dihadapannya. Di
sininya telah ada seorang pemuda, pemuda yang tadi pagi bertugas
menjaga dan membantu Gu Yo membuat janji. Di hadapan gadis itu
tampak sehelai tato segar, baru dan berdarah-darah pada panel diding.
Ditempelkan sedemikian rupa sehingga melengkapi tato yang telah ada
sebelumnya. Keduanya saat itu menjadi tato pasangan burung merak
hitam dan putih. "Nona Sian Lin, itu...!" tunjuknya dengan muka pucat. Dan tidak
hanya ia, sang pemuda yang berusaha membantunya bangkit juga
terlihat pasi saat melihat tato tersebut.
Tak luput dari pengamatan Gu Yo bahwa wajah Swee Sian Lin pun
berubah, akan tetapi tidak sepucat kedua karyawannya itu.
Elemen Kekosongan Karya Nein Arimasen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Dia datang kembali...!" ucap sang pemuda tak selesai karena lirikan
mata Swee Sian Lin. *** "Hidup membujang ada enak dan tidaknya, memang...," guman seo-
rang pemuda yang tampaknya sedang memasak sesuatu di atas kom-
334 BAGIAN 6. TATO por. Badannya tegap, perawakannya tidak terlalu tinggi, dengan wa-
jah bulat dan selalu diselipi senyum yang ramah, membuatnya menarik
untuk dilihat. San Cek Kong nama pemuda itu.
Ruangan tempat San Cek Kong berada tidak terlalu besar, hanya dua
tombak kali dua tombak ukurannya. Di salah satu sudut ada tempat
tidurnya yang ditemani dengan sebuah lemari kayu besar. Di sudut
lain ada kotak kecil yang berfungsi sebagai jamban dan juga tempat
mandi menggunakan pancuran. Tak jauh dari kotak mandi tersebut
adalah tempat ia berdiri sekarang, dapur kecil. Tempat ia memasak
masakan sehari-harinya. Ia biasa pulang saat waktu makan dan masak
serta makan sendiri di rumah. Tidak seperti teman-temannya yang bi-
asanya diberi bekal oleh istri-istrinya dan memakan bekalnya di tem-
pat mereka bekerja. Saat ia sedang menjerang sayur-sayuran untuk ditumis. Tiba-tiba
berdering dan berderu selang besi yang ada di depan meja kerjanya.
Atau tepatnya meja serba-serbi. Ia makan, bekerja dan juga membaca-
baca di atas meja tersebut.
Selang besi yang dikenal orang sebagai Selang Surat. Suatu selang
atau pipa tepatnya yang menghubungkan satu tempat dengan tempat
lain, yang di dalamnya dengan menggunakan tekanan udara dari suatu
mesin, dapat mengantarkan surat yang terlebih dahulu dimasukkan
dalam suatu tabung dari kayu. Tabung ringan dan kuat, yang akan
terhembus dengan cepat oleh udara bertekanan tinggi, dan dialirkan
ke tempat tujuan. Sebuah teknologi surat mekanik.
Bergegas ia beranjak ke meja tersebut, dicari-carinya di mana ujung
selang atau pipa besi yang berada di atas meja, yang telah tertutup
oleh timbunan kertas-kertas dan buku-buku itu. Akhirnya berhasil
didapatkannya. Di ujung selang tersebut tersembul sebuah gulungan
kecil surat. Lubang gulungan surat itu pas dengan ukuran ibu jari
orang dewasa. Warna penanda gulungan surat itu hitam. Kematian. Warna yang
dilukiskan pada sisi gulungan sehingga berlaku seolah-olah pita pengikat
gulungan itu. Pengikatnya sendiri adalah seutas benang berwarna
sembarang. "Pembunuhan atau bunuh diri, ya?" gumam San Cek Kong, sam-
335 bil ia menggigit sendok pencicip makanan yang saat itu sedang
dipegangnya dan membuka surat itu dengan tangannya yang lain.
Berubah matanya saat membaca isi dari surat itu. Bukan karena
kasus itu sendiri melainkan lokasi tempat kasus itu terjadi. Rumah
Tato Ceng-Liong Hui-To. Jarang-jarang terjadi kasus pada suatu tempat seterkenal Rumah Tato
Ceng-Liong Hui-To. Di sana umumnya hanya dipamerkan lukisan
berupa tato-tato pada kulit manusia yang langka dan mahal. Su-
atu koleksi yang saat ini telah dilarang karena berkaitan dengan rasa
kemanusiaan. Ya, siapa orang yang rela kulitnya ditato untuk kemu-
dian dikletek dan dijadikan pajanganan. Sudah tentu dulunya koleksi-
koleksi itu didapatkan dengan cara yang tidak manusiawi dan legal.
Dan dalam surat itu tertera bahwa suatu "koleksi baru" telah di-
pasang orang di dekat sebuah tato. Sebuah kulit yang masih segar dan
mengeluarkan darah. Suatu cara yang tak lazim untuk menandakan
adanya suatu kasus pembunuhan. Dengan kata lain, belum tentu ter-
jadi pembunuhan, bisa saja korbannya, sang pemilik tato masih hidup,
walau dalam keadaan kritis. Untuk itu kasus ini memang memerlukan
penanganan sesegera mungkin.
Dengan tatapan sedik San Cek Kong memandang sayuran yang baru
dimasaknya. Makan siang yang sudah jauh telat dari waktu seharus-
nya pun tak bisa dinikmatinya. Tak ada lagi waktu untuk makan
sekarang. Ia hanya mengambil sepotong daging setengah kepal dari
sayur telah masak itu, menjejalkannya ke dalam mulut dan bergegas
memakai seragam dinasnya. Seragam seorang Paturan (penegak atu-
ran atau polisi). Dengan langkah ringan karena rapalan gerak Terbang Menyentuh
Ujung Rumput, San Cek Kong segera sampai pada tempat keja-
dian. Ia tidak terlebih dahulu ke kantornya, Rumah Jaga Ceng-Liong
Hui-To, melainkan langsung ke tempat kejadian. Dari surat yang
diterimanya, dikatakan bahwa para rekannya telah dalam perjalanan
ke tempat peristiwa tersebut terjadi. Jadi tidak ada gunanya ia pergi
terlebih dahulu kembali ke kantor, meskipun buku catatan yang biasa
digunakannya ada di sana.
*** 336 BAGIAN 6. TATO "Hai Inspektur San Cek Kong, cepat sekali anda datang!" sapa se-
orang pegawai Paturan kota Siaw Tionggoan, Ang Tiong namanya.
"Rasanya baru saja saya kirimkan anda surat mekanik. Saya perki-
rakan anda seharunya masih dalam perjalanan," lanjutnya kemudian.
San Cek Kong atau tepatnya Inspektur San Cek Kong tidak ter-
lalu menghiraukan ucapan itu melainkan langsung meminta catatan
situasi di lapangan yang telah dirangkum oleh Ang Tiong. Dengan
sigap pegawai Paturan tersebut menyerahkan sebundel kertas-kertas
bertuliskan tangan berbeda-beda. Hasil catatan beberapa orang men-
genai peristiwa yang terjadi. Orang-orang yang bekerja dalam tim
forensik pimpinan Ang Tiong.
Dari catatan para rekannya yang bertugas pertama-tama mengumpulkan
bukti-bukti forensik di lapangan, tidak banyak informasi yang bisa
diserap San Cek Kong, kecuali posisi tempat terdapatnya tato segar
yang masih berdarah, saksi-saksi dan waktu kejadian. Korbannya
sendiri, bila memang ada, belum ditemukan atau bisa diindikasikan.
Pada jaman itu, tato tidak lagi menjadi tren, sehingga sulit untuk
mencari keterangan mengenai hal itu secara cepat.
Selain itu ada hal lain pula yang membuat San Cek Kong tertarik un-
tuk menuntaskan masalah ini, yaitu siapa lagi jika bukan nona Swee
Sian Lin, pemilik Rumah Tato Ceng-Liong Hui-To, tempat kejadian
itu berlangsung. Antara keduanya tidak terdapat hubungan khusus
kecuali bahwa keduanya dulu pernah bersekolah bersama-sama di su-
atu perguruan silat yang kebetulan juga tempat seorang yang namanya
digunakan pada kedua tempat mereka bekerja sekarang, Ceng-Liong
Hui-To. Perguruan silat tanpa nama itu terletak di sebuah bukit di lu-
aran kota Siaw Tionggoan. Agak desa suasananya, jauh di arah barat
dari kota. "Cek Kong-koko!" sapa Sian Lin saat melihat San Cek Kong masuk ke
dalam ruangan tempat ia sedang menenangkan pegawainya yang men-
jadi saksi ditemukannya tato burung merak hitam yang masih segar,
yang melengkapi tato burung merak putih yang telah ada sebelum-
nya. Gu Yo saat itu telah kembali ke Kedai Daging Bakar karena
waktunya untuk rehat di sela-sela pekerjaannya telah habis. Tapi ia
telah dipesankan oleh seorang paturan bahwa sekali-kali ia akan di-
panggil untuk diminta keterangan, karena ia pada saat tersebut berada
337 di tempat kejadian. "Sian Lin-moymoy, engkau baik-baik saja?" tanya Cek Kong kepada
gadis itu. Gadis itu mengangguk mengiyakan sambil menunjuk pada
pegawainya yang kelihatannya masih dalam keadaan stres akibat pen-
emuan tato segar tersebut. Ya, tidak setiap orang siap dengan keadaan
tersebut, apalagi bila yang ditemui dalah mayat korbannya dan bukan
hanya kletekan kulitnya yang bertato.
Tak banyak informasi tambahan yang diperoleh San Cek Kong, tim
forensik pimpinan Ang Tiong telah bekerja sangat baik. Semua pi-
hak, kecuali gadis yang sedang stres dan masih sesengukan itu, telah
ditanyai. Dan saat ditanya ulang oleh San Cek Kong, keterangan
mereka tidak banyak berbeda.
"Eh, katamu tadi engkau mendapat tamu?" tanya Cek Kong kemudian
pada Sian Lin. "Ya, ada seorang pemuda, Gu Yo namanya. Ia bekerja di Kedai Dag-
ing Bakar paman Yok Seng di seberang simpang jalan sana, masih
jalan yang sama," jelas gadis itu.
"Tentu saja aku kenal Kedai Daging Bakar paman Yok Seng, sering
kami makan-makan di sana. Selain lezat, harganya juga agak ter-
jangkau bagi kantung kami-kami ini, pegawai paturan," senyum Cek
Kong. "Bagaimana bila kita makan malam di sana, kebetulan aku
belum sempat makan siang, dan eh " sekalian berbicara dengan pe-
muda itu, Gu Yo "kan namanya?" usul pemuda itu kemudian.
Gadis itu menggangguk mengiyakan.
Setelah sedikit melihat-lihat tempat kejadian tersebut, mencatat hal-
hal yang dipikirkan agak janggal di tempat kejadian, Cek Kong pun
pamit pada rekannya sesama paturan. Ia kemudian berjalan bersama
nona Sian Lin menuju Kedai Daging Bakar, tempat di mana Gu Yo
bekerja. *** Perbedaan usia dalam suatu pertempuran akan menampakkan hasil-
nya apabila telah berjalan cukup lama. Dulu waktu kakek Gu
bertarung dengan Su-Mo setelah lama berlangsung, mulailah kakek
338 BAGIAN 6. TATO Gu terlihat terdesak karena perbedaan usia. Tapi saat itu perlu be-
berapa saat mengingat usia Su-Mo yang kira-kira telah setengah usia
kakek Gu. Saat ini dengan Empat Begal Hutan yang usianya baru
kira-kira seperempat usia kakek Gu, lebih cepat kakek Gu mengalami
kelelahan. Ia mencoba untuk tidak terlalu menggunakan kecepatan
dan tenaga. Bergerak hanya saat-saat diperlukan saja. Untung keem-
pat orang lawannya itu hanya menggunakan tendangan dan pukulan,
sehingga ia tidak terlalu terancam bahaya seperti saat dulu bertarung
langsung dengan Su-Mo. "Bukkk!" sebuah tendangan mendarat pada punggunggnya, yang
membuat kakek Gu terdorong maju selangkah. Akibat ketidakwas-
apadaannya itu ia harus kehilangan beberapa saat yang mengun-
tungkan. Dalam pertempuran dengan banyak lawan, satu langkah
yang salah, harus dibayar dengan tiga sampai empat pukulan. Dan
benar saja, "Desss!!" sebuah pukulan pun masuk ke dalam perutnya,
ini akibat langkah maju yang seharusnya tidak dilakukannya tadi.
Dan kemudian masih, "plakk!!" sebuah tamparan mengenai pinggang
kanannya. Untuk mengakhiri kedudukannya yang tidak menguntungkan itu kakek
Gu pun merendahkan dirinya, memasang kuda-kuda dengan kaki lebar
terpentang. Ia akan menyerang kaki-kaki para lawannya itu dengan
tumitnya, seperti dulu saat ia gunakan jurus itu untuk menyerang
Hek-Mo, yang hampir meretakkan tulang atas telapak kaki dari Hek-
Mo tersebut. "Hati-hati tendangan pacul rendahnya!" tiba-tiba Hek-Mo berucap.
Ia yang pernah mengalami sendiri keampuhan jurus itu tanpa sadar
berucap. Mendengar kata-kata tersebut keempat orang Empat Begal Hutan
melambatkan geraknya, berhati-hati terhadap serangan mendadak
kakek Gu. Akan tetapi sayang ucapan itu telat, belum sempat mereka
berempat sadar apa yang akan dikeluarkan oleh kakek Gu, sang peny-
erang telah bergerak. Cepat. Kiranya dengan sisa-sisa tenaganya
kakek Gu mengharapkan setidaknya ada satu dua kaki yang bisa
remuk oleh tumitnya. Tumit si Zahnloserbauer.
"Hiaatt!!" serangan kakek Gu ke arah kepala dan pundak beberapa
339 orang dielakkan dengan mudah dan tipis dengan hanya menarik kepala
ke belakang dan memindahkan sedikit titik berat tubuh. Setelah
dua orang lolos, kakek Gu masih berusaha untuk menyerang orang
ketiga dan keempat. Kedua orang terakhir inilah yang sebenarnya
merupakan tujuan kakek Gu. Seketika mereka melihat bahwa rekan-
nya dengan cara sebegitu saja dapat mengelak, mereka menjadi tidak
berwaspada, dan hal itu yang diharapkan oleh kakek Gu.
Dengan hanya memindahkan sedikit titik berat dan menarik kepala,
membiarkan kaki depan mereka tidak berpindah, membiarkannya
dalam jangkauan tumit cankul kakek Gu, si Zahnloserbauer. Dan
"takk!!" serta "krakkk!!" dua buah kaki dari dua orang yang berbeda
terkena tendangan cankul bergantian kanan dan kiri dan kakek Gu.
Tendangan yang awalnya ditipukan untuk menyerang kepala dan pu-
dak kedua orang tersebut, suatu tipuan yang telah dipertontonkan
sebelumnya kepada kedua orang rekan mereka. Tipuan manis yang
menghanyutkan. Tipuan yang meraih korbannya dengen telak.
Seruan Hek-Mo pun datang terlambat, "itu kaki.., awas....!!"
Kedua orang yang menjadi korban tampak sesegera mungkin bersalto
ke belakang, menghindari adanya kemungkinan mendapat serangan
Muridku Macho 1 Misteri Elang Hitam Karya Aryani W Darah Olympus 4
pai ke Tlatah Langit (Himalaya), melampui Tlatah Barat (Alemania)
dan sekitarnya, akhirnya sampai ke Tlatah Antara. Tadinya ia per-
nah mendengar jauh di selatan terdapat Tlatah Gurun (Osetralia) dan
Tlatah Kebekuan (Artika). Tapi melihat kehidupan di Tlatah Antara,
kakek Gu pun jatuh cinta dan memutuskan untuk menetap.
Selagi mencari-cari tempat yang akan didiaminya untuk menghabiskan
hari tua, kakek Gu tiba desa sebelah timur yang menjadi pokok pem-
bicaraan mereka itu. Di sana kakek Gu melihat bahwa orang-orang
hidup dengan sangat sederhana bahkan cenderung miskin. Padahal
alam sekitarnya kaya akan keanekaragaman hayati. Karena ingin tahu
ia pun mulai berdiam di sana. Baru seminggu di sana ia mulai menge-
nal bahwa kesederhanaan dan kemiskinan para penghuni desa adalah
akibat adanya tekanan, bahwa mereka harus menyetor pajak kepada
para penjaga keamanan di sana.
Namanya saja penjaga keamanan, sebenarnya mereka itu adalah
pemeras. Orang-orang yang memeras para penduduk desa sebelah
timur dan juga desa-desa lain di sekitar tempat itu, dipimpin oleh
Su-Mo. Akan tetapi penduduk desa hampir tidak pernah melihat
Su-Mo, mereka hanya bisa merasakan pukulan dan tendangan para
kaki-tangannya saja, apabila telat membayar.
Naluri kependekaran kakek Gu pun bangkit, ia mendatangi para
petani dan menganjurkan agar mereka tak usah lagi membayar pajak
kepada Su-Mo. Tapi seperti kebanyakan rakyat yang berada dalam
tekanan, mereka takut. Mereka tidak mau mengikuti anjuran kakek
Gu, walaupun itu untuk kebaikan mereka sendiri.
Akhirnya karena jengkel kakek Gu pun merampok pajak yang seyo-
gyanya diberikan kepada kaki-tangan Su-Mo dan menunggu seorang
diri kedatangan mereka. Sementara semua penduduk desa bersem-
bunyi dengan ketakukan dalam rumahnya masing-masing.
Kaki tangan Su-Mo bukanlah sesuatu kekuatan yang berarti bagi
kakek Gu. Mereka semua tunggang-langgang dibuatnya. Terkencing-
kencing dalam celana selagi berlari pulang.
291 Walaupun telah diselamatkan uangnya, para penduduk masih was-was
akan pembalasan yang akan tiba dari Su-Mo dan tukang pukul-tukang
pukul lainnya. Kakek Gu akhirnya menyanggupi untuk melindungi
mereka untuk berhadapan dengan Su-Mo. Dengan jaminan itu para
penduduk berani untuk dua masa penarikan pajak berikutnya tidak
memberikan bayaran, melainkan mereka simpan untuk diri mereka
sendiri. Su-Mo yang saat itu sedang berada di Tlatah Tengah tidak tahu-
menahu mengenai kejadian itu. Saat mereka kembali ke Tlatah An-
tara, berang wajah mereka mendengar ada ketidak-beresan pada
daerah kekuasaan mereka. Sebenarnya masalahnya tidak sesederhana
itu. Su-Mo sendiri memiliki hak menarik pajak karena dukungan dari
Pemerintah Pusat, yang tidak peduli pada nasib rakyatnya. Seseo-
rang atau sekelompok orang yang dapat menjanjikan akan menyetor
pajak sejumlah tertentu dari suatu daerah, akan diberikan hak untuk
menarik pajak. Begitulah sistem pada masa itu.
Setelah mendapat informasi cukup dari para tukang pukulnya yang
babak-belur dipukul balik berulang-ulang oleh kakek Gu dan juga
informasi dari pemerintah bahwa kakek Gu itu sebenarnya adalah se-
orang perantau yang dikenal sebagai Zahnloserbauer, masih saudara
dari seorang pengujar terkenal, akhirnya Su-Mo pun berniat untuk
bertemu dengannya. Jika mungkin mengajak kakek Gu menjadi
rekanan mereka. Seorang dengan kemampuan beladiri seperti kakek
Gu sudah tentu banyak gunanya.
Tapi bukanlah kakek Gu jika dengan mudah dapat dibujuk. Jabatan
dan pembagian hasil keuntungan yang awalnya ditawarkan oleh Su-Mo
melalui utusannya ditampik mentah-mentah. Sudah tentu ini mem-
buat darah Su-Mo mendidih.
Akhirnya diputuskan bersama bahwa mereka akan bertemu hari itu
di suatu padang rumput yang luas untuk "menyelesaikan" permasalah
itu. Su-Mo merasa tidak ada lagi gunanya untuk membujuk kakek Gu,
mereka saling melirik satu sama lain. Kebersamaan yang telah pu-
luhan tahun dilewati, membuat pengertian tanpa kata-kata dapat
dengan mudah terjadi. Keempatnya kemudian bergerak mengurung.
292 BAGIAN 5. YANG KEMBALI DAN YANG TUMBUH
Mengelilingi kakek Gu dari keempat penjuru angin.
Hek-Mo tampak telah dapat bergerak normal kembali. Ceng-Mo tadi
telah membubuhkan obat dan juga mengurut-urut kakinya sedikit.
Rupanya kakek Gu belum menurunkan kaki kejam sehingga Hek-Mo
masih dapat berjalan dan menggunakan kakinya. Hanya mengkalnya
hati masih dapat terlihat pada wajah Hek-Mo. Ia yang hari-hari di-
takuti orang, hari ini dapat segebrakan dipacul kakinya oleh tumit
kakek Gu. Hampir saja remuk atas telapak kakinya.
"Begini lebih baik," kata kakek Gu, "langsung bak-buk-bak-buk.
Lebih jelas dan tegas!" Walaupun tampaknya masih tenang-tenang,
kakek Gu sudah mulai menimbang-nimbang, siapa yang akan menjadi
konsentrasi serangannya nanti. Ia pernah mendengar bahwa Su-Mo
telah menciptakan semacam serangan bersama. Jika mereka meng-
gunakan barisan serangan itu, bisa repot dirinya. Ia harus cepat
memecah belah mereka, sebelum tenaganya habis terkuras.
Bagai dikomando, Su-Mo berempat mencabut golok masing-masing
dan mulai menyerang. Kakek Gu dengan santainya menari-nari di
tengah-tengah hujan golok yang riuh-rendah itu. Sesekali perlu juga
ia menepis tangan atau kaki dari Su-Mo yang ingin mencicipi tubuh-
nya. Selebihnya, ia hanya perlu bergeser, depan belakang kiri kanan.
Langkah-langkah ajaib, Langkah-langkah Kering di Bawah Hujan.
Sepeminum kopi dan sepenghisap rokok telah lewat, tapi tetap saja
Su-Mo belum pernah mencapai seujung kulit pun kakek Gu. Akan
tetapi pakaiannya sudah sering tersambar angin sabetan golok. Terli-
hat semakin compang-camping saja pakaian yang dikenakannya.
Tidak seperti melawan Hek-Mo tadi, kakek Gu terlihat agak kewala-
han. Ia terkejut juga bahwa serangan berempat Su-Mo ini benar-benar
rapat. Saling mengisi dan melindungi. Satu menyerang, yang lain
menangkis. Satu kosong, yang lain mengisinya. Dengan cara itu ia
hanya punya peluang terbesar untuk mengelak ketimbang menyerang
balik. Su-Mo pun tidak terlalu berani menyerang dengan kekuatan
penuh, mengingat kepandaian kakek Gu dalam serangan balik. Jadi
sampai saat itu kedua pihak masih melihat-lihat kesempatan untuk
memberikan pukulan maut. Untung pertarungan jangka panjang faktor usia mulai menunjukkan
293 perannya. Su-Mo yang masing-masing baru berumur tiga puluhan
tahun menang stamina atas kakek Gu yang telah berusia hampir enam
puluh tahun. Napasnya mulai kembang-kempis dan bajunya yang
sobek sana-sini tampak telah benar-benar basah mandi keringat.
Senyum-senyum mulai mengembang di wajah keempat orang lawan-
nya. Su-Mo telah merasa yakin bahwa tak lama lagi kemenangan
akan singgah di tangan mereka. Tinggal masalah waktu saja untuk
menunggu salah satu golok mereka singgah di tubuh kakek Gu. Bila
terjadi sudah dipastikan cairan merah akan memuncrat. Darah.
Berputar pula dengan keras pikiran kakek Gu. Ia harus menemukan
akal agar dapat lolos dari situasi ini. Tadinya dipikir bahwa meng-
hadapi Su-Mo seorang diri tidaklah terlalu sulit. Tetapi ternyata hal
ini diluar perkiraannya semula. Jika satu per satu, ia dapat dengan
yakin dapat mengalahkan Su-Mo, seperti tadi ia menghadapi Hek-
Mo. Akan tetapi dengan maju berbareng, Su-Mo menciptakan su-
atu barisan yang saling bekerja sama sehingga seakan-akan kekuatan
serang mereka menjadi berlipat-lipat.
Pada saat-saat genting seperti itu tiba-tiba terdengar ucapan seseo-
rang, "Wah-wah, betapa tak tahu malu ini, empat orang mengeroyok
seorang kakek tua!" Ucapan yang disertai pengerahan tenaga dalam ini sontak mem-
buat kelima orang yang sedang bertarung itu meloncat mundur dan
menghentikan kegiatannya. Masing-masing pihak masih menebak-
nebak siapa yang barusan mengeluarkan perkataan tersebut.
Tak lama sang pengucap pun tiba. Seorang pemuda dengan wajah
yang tampan dan berperawakan bagus. Pakaiannya sederhana dan
berwarna cerah. Jalannya ringan seringan pembawaannya yang terli-
hat riang. Mendadak kakek Gu mendapat ide yang tiba-tiba terlintas dalam
kepalanya, lalu katanya, "Anak Yo, ayo bantu paman usir begal-begal
ini!" Terkejut pemuda itu dan apalagi Su-Mo. Mereka belum tahu
kepandaian pemuda itu, tapi dengan kakek Gu saja mereka telah se-
imbang, bisa runyam apabila ditambah dengan adanya pemuda itu.
Gelengan kepala dan tangan yang dilakukan pemuda itu dengan cepat
294 BAGIAN 5. YANG KEMBALI DAN YANG TUMBUH
dibuyarkan oleh kakek Gu yang terus menyerocos, "Bagus kamu cepat
datang anak Yo, ayo kita pukul pantat keempat setan ini! Gunakan
jurusmu, Menendang Pantat Setan, Usir ke Seberang Lautan!" Sebe-
narnya ucapan yang terakhir ini hanya untuk menakut-nakuti Su-Mo
belaka. Ia sendiri juga belum tahu kemampuan pemuda itu. Hanya
saja ia yakin akan sesuatu bahwa pemuda itu bukanlah dari golongan
begal, paling tidak orang-orang yang tidak akan memihak golongan
hitam. Untung saja tebakan kakek Gu tidak meleset. Melihat bahwa pemuda
itu adalah keponakan atau memiliki hubungan dengan kakek Gu, Pek-
Mo dan Hek-Mo tidak mau buang banyak waktu, mereka langsung
menyerang pemuda yang dipanggil anak Yo oleh kakek Gu dengan
serangan maut mereka. Jika bisa dituntaskan dengan cepat, pertarun-
gan akan kembali seimbang seperti semula. Sementara itu Huang-Mo
dan Ceng-Mo masih menanti pergerakan kakek Gu sebelum mereka
membuka serangan kembali.
"Anak Yo, hati-hati!" ucap kakek Gu yang kuatir pula melihat bahwa
serangan pembuka yang dihambur oleh Pek-Mo dan Hek-Mo adalah
serangan maut. Serangan satu tindak cabut nyawa, suatu jenis seran-
gan tanpa basa-basi dan belas kasihan.
Tapi bukan pemuda itu kalau ia diam saja dan menantikan kedua
golok yang datang menyilang itu membasuh keduanya dengan dag-
ing dan darahnya. Dengan tenang sang pemuda mengesek kakinya,
memiringkan tubuhnya, lalu dengan menggunakan hawa dalam tubuh-
nya yang bisa memanipulasi gravitasi, ia melayang miring condong.
Menyelinap tubuh pemuda itu dengan cantik di antara sabetan diag-
onal golok-golok Hek-Mo dan Pek-Mo.
Dan tidak hanya sampai di sana, setelah kedua golok itu yang hanya
berjarak sejari di atas dan bawah tubuhnya lewat, ia mendaratkan
kembali tubuhnya yang tadi berlevetasi dengan empuk di atas tanah.
Setelah mengeramkan kakinya sehingga berakar di atas tanah ia kemu-
dian mendorong-dorong kedua tangannya ke arah Hek-Mo dan Pek-
Mo yang masih tampak terkejut karena serangan mereka dapat dengan
mudahnya dihindari oleh pemuda itu.
Sebelum Hek-Mo dan Pek-Mo sadar apa yang dilakukan oleh pemuda
295 itu, semacam kabut yang terbuat dari debu dan pasir yang ada di
sekitar situ mulai terbentuk. Mengambang kecoklatan dan perlahan
makin pekat warnanya. "Jarum Terbang Debu Pasir, awas!!!" ucapan Huang-Mo, orang yang
paling banyak makan asam garam di antara keempat Hek-Mo, datang
terlambat. Elakan dari Hek-Mo dan Pek-Mo tidak sempat menyela-
matkan seluruh tubuh mereka. Pinggang ke bawah tampak bertitik-
titik merah meneteskan darah. Kabut debu dan pasir yang tadi ter-
bentuk dihentakkan oleh pemuda itu dengan kibasan tangannya ke
arah Hek-Mo dan Pek-Mo. Dalam perjalanannya debu dan pasir terse-
but berurut-urut membentuk semacam garis. Mirip seperti jarum-
jarum yang terbang. Benar-benar ilmu yang menggiriskan. Sekujur tubuh Pek-Mo dan
Hek-Mo bagian bawah tampak terluka parah. Bolong-bolong mirip
saringan. Sempat mereka memiringkan tubuh sehingga bagian sensitif
dari seorang lelaki yang mereka miliki tidak sempat terhujani jarum-
jarum debu dan pasir itu. Jika tidak, maut sudah dijelang keduanya.
Tanpa banyak cakap lagi, Huang-Mo dan Ceng-Mo segera bergerak.
Huang-Mo mengambil Pek-Mo dan Ceng-Mo mengambil Hek-Mo.
Mereka bergegas pergi tanpa menoleh lagi. Satu serangan pemuda
itu telah cukup membuktikan ketangguhannya. Belum lagi di sana
masih ada kekek Gu, si Zahnloserbauer. Urusan lain bisa diselesaikan
lain hari, yang penting hari ini adalah menyelamatkan kedua saudara
mereka. Untung saja keempat penjahat itu telah lama lalu dari sana, karena
jika mereka tahu, mereka mungkin masih dapat meraih kesempatan.
Pemuda yang tadi dipanggil anak Yo oleh kakek Gu, setelah melepaskan
serangan tampak masih berdiri dalam posisi semula. Wajahnya yang
kemerahan tiba-tiba memucat dan tampak darah mengalir dari ping-
giran mulut dan juga lubang mata, telinga dan hidungnya. Kakek Gu
yang berada di sampingnya dapat dengan jelas melihatnya.
"Nak, engkau kenapa...?" sebelum pertanyaannya diselesaikan, pe-
muda itu terhuyung bagai layangan putus tanpa angin, ia melorot
jatuh. Bila kakek Gu tidak bergegas menangkapnya sudah terhempas
tubuh pemuda itu di atas tanah.
296 BAGIAN 5. YANG KEMBALI DAN YANG TUMBUH
"Hmm, ilmu sesat. Benar-benar mengacaukan jalan darah yang mer-
apalnya," gumam kakek Gu sambil memeriksa denyut nadi pemuda
yang dipanggilnya anak Yo itu. Menggeleng-geleng kepalanya melihat
kekacauan jalan darah sang pemuda. Untung saja pemuda itu telah
memiliki dasar yang kuat sehingga luka dalamnya tidak terlalu parah
ketimbang seorang pemula yang merapat Jarum Terbang Debu Pasir.
Bergegas kakek Gu membopong pemuda itu. Urusan para petani bisa
ditunda, pun dua orang dari Su-Mo juga sama-sama terluka. Un-
tuk beberapa saat mereka pasti tidak akan berani melakukan gerakan
apa-apa. Saat membuka matanya, pemuda itu tampak agak bingung. Hal ter-
akhir yang diingatnya adalah saat ia sedang menyerang dua orang ja-
hat menggunakan suatu ilmu yang baru saja dipelajarinya dari kitab-
kitab yang dibawanya. Jarum Terbang Debu Pasir, adalah salah satu
penggunaan Tenaga Tanah yang memanipulasi gerakan debu dan pasir
sehingga dengan pengerahan hawa tenaga dalam bisa diarah sesuka
pikiran. Tetapi terdapat pula kelemahan dari ilmu tersebut, yaitu
perlu pencurahan tenaga dan pikiran yang cukup besar, sehingga
kadang dapat membuat pengguanya kehabisan tenaga. Dan bila sam-
pai pingsan atau tak sadarkan diri, si perapal bisa bertambah parah
dengan kekacauan jalan darah yang belum sempat diselaraskan setelah
merapal gerakan tersebut. Suatu ilmu yang benar-benar memerlukan
penguasaan tingkat tinggi.
Ia melihat dirinya berbaring di dalam suatu pondok kayu yang seder-
hana. Ia rebah di atas suatu dipan kayu yang dialasi kain berwarna
coklat tua agak kasar. Dengan bau-bau khas kayu dan tumbuh-
tumbuhan hutan, rumah itu dipenuhi oleh pernah-pernik dari kayu.
Berbotol-botol potongan-potongan daun tampak menghiasi sebuah
rak yang terletak tak jauh dari tempatnya berbaring. Hanya itu yang
bisa dilihatnya dari posisinya sekarang.
Dicobanya untuk bangkit, tapi tubuhnya masih melawan. Dunia men-
jadi berputar dan terbalik-balik saat dicobanya duduk. Akhirnya pe-
muda itu menyerah dan membiarkan waktu berlalu agar tubuhnya
dapat sembuh dengan sendirinya, sebelum berusaha untuk bangkit
kembali. "Kreeekk!!" tiba-tiba pintu pondok itu terbuka. Pemuda itu tak da-
297
Elemen Kekosongan Karya Nein Arimasen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pat melihatnya karena terhalang sebuah meja besar yang di atas-
nya bertumpukkan buku-buku dan segala macam benda, benda-benda
pengobatan agaknya. "Kakek Gu, untung kau bawa pemuda itu cepat ke mari. Jika terlam-
bat, bisa putus nyawanya," ucap seorang wanita. Dari getar suaranya
terlihat bahwa wanita itu sudah cukup tua, akan tetapi suaranya masih
cukup nyaring dan jelas. "Nenek Po, tolong kau sembuhkan anak itu! Ia telah menyelamatkan
hidupku ini. Aku akan amat berhutang budi padamu..," ucap lawan
bicaranya. "Tak usah ucap-ucap hutang budi, kakek Gu! Kita orang, orang-orang
di akhir hidup, buat apa membawa-bawa pikiran nanti ke liang kubur.
Apa yang bisa dikerjakan, kita kerjakan. Setelah itu pasrahkan kepada
Sang Pencipta," jawab suara yang pertama tadi.
Lalu terdengar seperti sebuah bungkusan besar dijatuhkan berdebam
di atas lantai pondok itu. Perempuan tua itu kemudian mengin-
struksikan agar rekannya mengambil ini dan itu, sebanyak sekian dan
sekian. Mencampurkannya dalam sebuah belanga hitam yang dile-
takkannya dengan kasar di atas meja.
Tak lama kemudian tercium bau harum mengembang di udara, ter-
bawa angin dan menyebar ke mana-mana, termasuk menggelitik
hidung pemuda yang masih berbaring di atas dipan kayu itu. Tak
dapat dicegah, perutnya pun berkerotak, berkukuruyuk meminta diisi.
"Hehehe, kakek Gu, lihat anak sudah siuman! Bahkan perutnya sudah
minta diisi..," terkekeh-kekeh perempuan tua yang dipanggil nenek Po
menghampiri pembaringan sang pemuda.
Semburat merah tampak menyebar pelan di atas wajah pucat sang
pemuda. Ya, ia merasa malu sekali atas ketidaksopanan perutnya
yang tanpa tedeng aling-aling meminta untuk segera diisi.
Seakan-akan tahu akan pikiran sang pemuda, kakek Gu pun berkata,
"Jangan kuatir anak Yo, nenek Po ini memang suka menggoda orang.
Tapi walaupun demikian sup buatannya tak ada tandingannya di
daerah tiga empat sungai dari sini."
298 BAGIAN 5. YANG KEMBALI DAN YANG TUMBUH
Berseri wajah nenek Po mendengar pujian kakek Gu akan makanan-
nya. Sudah menjadi suatu kekurangan pada manusia bahwa kadang
mereka suka dipuji. Sebenarnya hal itu tidaklah salah, asalkan tidak
berlebihan dan menjadi melakukan segala sesuatu karena ingin mem-
peroleh pujian. Bergegas nenek Po kemudian mengambil sup yang sejak tadi sudah ter-
cium keharumannya. Diambilnya semangkok besar. Porsi dua orang.
Lalu ia kemudian kembali ke dekat tempat sang pemuda berbaring dan
menotok beberapa jalan darah dan juga mengambil beberapa jarum
halus yang tadinya ditusukkan di beberapa titik di kepala sang pe-
muda. "Bangunlan dan coba makan..," ucapnya.
Sang pemuda tampak ragu-ragu mengingat tadi ia hampir terjatuh
saat mencoba bangun. "Tak usah takut, tadi engkau pusing saat bangun karena beberapa
jalan darahmu sedang diarahkan ke tempat lain, agar mempercepat
kesembuhanmu. Setelah dipindahkan kembali engkau tidak akan ke-
hilangan keseimbangan saat bangun," jelas nenek Po yang ternyata
mengetahui bahwa sang pemuda telah mencoba bangun tadi.
Dengan malu-malu karena kembali pikirannya dapat ditebak orang,
sang pemuda mencoba duduk. Pertama-tama perlahan-lahan, karena
ia masih kuatir akan pusing dan kehilangan keseimbangan seperti tadi
saat ia mencoba duduk. Setelah merasa yakin dengan sedikit men-
gangkat tubuhnya bahwa ia tidak lagi pusing, ia pun mendudukkan
dirinya di atas tempat ia tadi berbaring.
Saat ia masih ragu-ragu untuk menggapai mangkuk sup yang dibuat
oleh nenek Po itu, kakek Gu dengan sigap mengambilkannya dan mele-
takkannya di atas tangan pemuda itu. "Makanlah pelan-pelan.., jika
mampu habiskan. Ini mengandung banyak obat-obatan dan ramuan
untuk kesembuhanmu."
Pemuda itu mengangguk dan mulai mencoba menyuap makanan yang
disiapkan untuknya itu. Dimasukkannya perlahan sesuap sup yang
masih mengepul panas itu. Harumnya yang merebak memacu gemu-
ruh perutnya semakin kerap. Rasa hangat pun mulai menyebar dalam
299 tubuh sesaat sesuap demi sesuap sup buatan nenek Po memasuki
tubuhnya. Tak terasa sudah setengah isi dari mangkok ukuran jumbo
itu pindah ke perutnya. Saat sang pemuda menyantap makanan itu, kedua orang tua dihada-
pannya tak habis-habisnya memperhatikan dirinya. Mau tak mau
terasa pula jengahnya, seakan-akan ada yang salah pada wajah atau
dirinya. Ia sampai mencari-cari dengan jarinya apa ada sisa-sisa sayur
dalam sup yang nyangkut di gigi atau nempel dekat pipinya akibat gi-
atnya ia menyantap sup itu setelah isi mangkuknya kurang dari seten-
gahnya. Melihat kekikukkannya itu, kedua orang tua itu tertawa hampir
berbarengan. Ketawa yang ramah dan hangat. "Kakek Gu, kita
tinggalkan dulu anak Yo-mu ini. Tak tertelan nanti kalau kita pelototi
terus-menerus," seraya nenek Po beranjak dari situ untuk mengerjakan
sesuatu di sudut ruang sana.
Kakek Gu pun beranjak dari sana ia mengambil tempat di seberang
tempat pemuda itu duduk dan mengasolah ia. Cepat, tak lama, ia
pun segera tertidur. Napasnya yang keluar masuk dengan teratur
menandakan ia sudah lelap. Lelah setelah bertempur dengan Su-Mo
dan juga memanggul pemuda itu serta mencari bahan-bahan untuk
mengobatinya. Setelah habis semangkut sup yang lezat dan juga berkasiat itu, pe-
muda yang terus saja dipanggil anak Yo oleh kakek Gu, merasa dirinya
lebih enakan. Ia kemudian mencoba untuk merebahkan dirinya. Tak
terasa ia pun terlelap. Menyusul Kakek Gu yang telah pergi lebih
dahulu ke dunia mimpi. *** "Hiaattt!! Haahh!" begitu bentakan Sarini saat ia membacok Rakrakrak,
perambok bertubuh subur dan berkulit gelap itu. Walaupun cukup
gemuk, Rakrakrak dapat dengan lincah meloncat sana-sini untuk
menghindari tangan Sarini. Tak lupa celoteh ganjen dan centil dilon-
tarkan Rakrakrak untuk menggoda Sarini yang makin lama makin
merah bagai kepiting rebus pipinya itu.
"Duh, dada yang ranum, mari sini ke dalam dekapanku!!" ucapnya
300 BAGIAN 5. YANG KEMBALI DAN YANG TUMBUH
sambil kembali menyerang Sarini dengan kepalan tangannya yang
besar-besar itu. Sesekali dikenakannya juga tangannya agak bers-
inggungan dengan tangan Sarini yang halus dan mulus. Malah sang
gadis yang berusaha untuk menghindar. Ia berusaha hanya menyen-
tuh bagian-bagian lemah dari Rakrakrak dengan tangannya. Jijik
rasanya bila harus menyentuh bagian tubuh dari orang yang berk-
eringat dan ceriwis itu. "Pinggang molek, kaki jenjang, pujaan hati..!" kembali Rakrakrak
mengeluarkan celoteh untuk mengganggu Sarini dan juga mengelu-
arkan hasrat hatinya yang telah membayangkan suatu saat akan dapat
mendekap dara yang memikat hatinya itu. Bagi mereka, para peram-
pok, jarang-jarang mendapat rejeki bertarung dengan dara semanis
Sarini di dekat tempat tinggal mereka. Umumnya bila ingin bertemu
dengan wanita, mereka harus perg jauh merampok desa atau pelesir
ke kota. Suatu saat Sarini bergerak lambat sehingga pergelangan tangannya
dapat tertangkap oleh Rakrakrak. Girang sudah wajah perampok
gembul itu. Dibayangkannya dara itu dalam pelukannya setelah tan-
gan itu ditariknya mendekat. Dan memang dengan sentakan yang
kuat dara itu tertari memutar ke arah dekapannya, tetapi bukan untuk
dipeluk melainkan untuk melancarkan gerakan menyerang. Ilmu Sa-
betan dan Tangkapan Tangan adalah ilmu tangan kosong yang penuh
dengan tipu-tipu. Kedudukan yang lemah dapat menjadi suatu titik
awal serangan yang kuat apabila tahu memanfaatkannya.
Sarini sebagai putri Arasan, jelas-jelas menguasai ilmu itu dengan
amat baik. Ini yang tidak diketahui oleh Rakrakrak, bahwa ia ma-
suk perangkap dalam gerakan itu. Saat berpusing, Sarini tidak diam
pasrah di bawa masuk dalam lingkaran tangan Rakrakrak melainkan
berputar searah putaran yang menariknya, tapi lebih cepat sehingga
ia bisa mengambil celah kosong dari persendian Rakrakrak yang
saat itu tidak menyadarinya, berbalik dan berganti memiting tangan
Rakrakrak sampai batas sendinya. Dan tidak tanggung-tanggung, ia
terus menggerakkan sampai melalui batas putaran sendi umumnya.
Akibatnya, "krakkk!!" patahlah tangan kanan Rakrakrak yang sempat
terlena sehingga tidak waspada itu.
Kejadian itu sudah tentu mengejutkan kawan-kawannya. Lima orang
301 yang lain pun menjadi marah. Rupanya mereka tadi telah dibohongi
oleh dara itu untuk bertarung tangan kosong. Suatu teknik yang
dimahiri oleh sang gadis. Akan tetapi saat kelimanya ingin meny-
erang setelah meraup senjata masing-masing dalam genggamannya,
Walinggih berseru, "tahan!!"
"Orang tua, mau apa lagi engkau" Sekarang tidak ada lagi permainan-
permaian, apa yang telah muridmu lakukan itu akan dibayar dengan
darahmu dan juga gadis itu," kata seorang dari mereka.
"Apa hubungan kalian dengan Asasin?" tanya Walinggih. Sekarang
ia teringat adanya kesamaan ciri-ciri orang-orang itu dengan orang-
orang Asasin. Orang-orang yang telah berkali-kali berupaya mem-
bunuh dirinya. Terkejut pula keenam orang itu atas pertanyaan yang diajukan Wal-
inggih. Tak banyak orang yang tahu bahwa mereka ada bekas anggota
Asasin. Mereka telah lama tidak lagi bekerja pada kelompok pem-
bunuh bayaran itu karena ketidakdisiplinannya dan juga kurang dapat
menjaga rahasia. "Siapa kamu" Apa hubunganmu dengan Asasin?" balas bertanya se-
orang dari mereka. "Hehehe," tertawa Walinggih mendengar pertanyaan itu, "Siapa aku"
Tak perlu engkau tahu. Asal aku sekarang sudah yakin siapa kalian
sebenarnya, bisa lega aku memulangkan kalian."
Mendengar itu keenam orang itu menjadi pucat wajahnya. Selama ini
ternyata kakek dan gadis itu masih menahan diri untuk tidak meng-
habisi mereka. Setelah tahu bahwa mereka adalah Asasin atau tepat-
nya bekas anggota kelompok itu, malah mereka menjadi terdorong
untuk melepaskan tangan kejam.
"Nan..., nanti dulu!" jawab seorang dari mereka dengan cepat, "Sudah
lama, lebih dari satu tahun kami tidak lagi turut pada kegiatan Asasin.
Kami bukan lagi Asasin." Berusaha orang itu untuk membela dirinya.
"Satu tahun. Belum lama," jawab Walinggih, "Biar kalian tak pe-
nasaran, aku sebutkan satu tempat. Desa Batu Barat dan Timur."
Mendengar nama tempat itu, pucatlah keenam orang itu, mereka
302 BAGIAN 5. YANG KEMBALI DAN YANG TUMBUH
tentu telah mendengar nama tempat yang menjadi salah satu dan
mungkin satu-satunya kegagalan pekerjaan yang diemban Asasin dari
para pemesannya. Di sana mereka bertemu dengan orang yang pilih
tanding. Hakim Haus Darah.
"Engkau... Hakim Haus Darah..!!" ujar seorang dari mereka pucat.
Tanpa mengangguk Walinggih pun memegang posisi pedangnya
sedemikian rupa. Posisi untuk mengeluarkan gerakan Kadal Pelangi
Makan Pagi, suatu gerakan yang ditiru dari kadal-kadal pelangi saat
mereka mencari makan di batu-batu yang diperciki buih-buih air.
Menyadari bahwa tak ada gunanya lagi untuk berdepat keenam-
nya langsung mengambil posisi mengurung Walinggih. Sarini pun
mengambil langkah mundur dan melihat dari kejauhan. Rakrakrak
yang sebelah tangannya telah dipatahkan oleh Sarini tampak memegang
senjatanya dengan tangannya yang lain. Keenamnya pun bersiap un-
tuk mempertahankan satu-satunya nyawa mereka.
Tak perlu waktu terlalu lama bagi Walinggih untuk menumbangkan
mereka. Satu persatu dari mereka tersungkur di atas tanah dengan
tubuh terpotong. Tidak lagi terbelah dua seperti dahulu ia menggu-
nakan gerakan Sabetan Tunggal Menuai Dua, gerakan Kadal Pelangi
Makan Pagi lebih menitikberatkan pada loncatan-loncatan berbalik
yang membingunkan lawan. Sabetannya tidaklah seindah gerakan Sa-
betan Tunggal Menuai Dua akan tetapi lebih efesien dan telak.
Termangu tampak Walinggih setelah keenam orang lawannya itu
tidak lagi bernyawa, ingatan masa lalu akan keluarganya, anak dan
istrinya yang terbunuh kembali datang. Ditepisnya rasa sedih yang
kembali menjelang, juga amarah untuk selalu membalas dendam dan
menghukum orang-orang yang berseteru. Ia telah berubah. Bukan
lagi Walinggih si Hakim Haus Darah.
Tak terasa sebuah tangan menepuk bahunya. Tangan kecil dan halus
milik Sarini. "Paman, sudahlah. Jangan lagi paman bersedih atas
perginya bibi dan adik. Mereka-mereka ini memang patut untuk
dibasmi." Mengangguk sedikit Walinggih mendengar hiburan Sarini. Lalu ia
mengisyaratkan agar mereka menggali sebuah lubang yang cukup be-
303 sar untuk menguburkan keenam orang itu. Senjata-senjata mereka
pun dimakamkan bersama-sama dengan jasadnya. Setelah itu sebuah
batu besar dipotong Sarini untuk diletakkan di atas makam itu. Dig-
oreskannya di atas batu tersebut
"Makam enam perampok mantan Asasin. Salah seorang bernama
Rakrakrak." Hanya itu saja, karena ia tidak tahu nama-nama mereka kecuali
Rakrakrak tadi. Setelah itu mereka berdua kembali meneruskan per-
jalan mereka ke arah utara untuk menjumpai orang tua Telaga untuk
memberitahukan mengenai perjodohan Telaga dan Sarini.
*** "Maaf, bila sedari tadi engkau kupanggil terus dengan anak Yo," kata
kakek Gu kepada pemuda yang menolongnya dari serangan Su-Mo.
"Tidak apa-apa, paman!" balasnya, "Malah saya pikir paman cerdik
sekali pada saat itu, tanpa ba-bi-bu langsung menyapa saya seakan-
akan kita telah kenal sehingga mereka kena dikadali."
"Ah, tidak terlalu berarti jika engkau tidak selihai itu ilmu beladirinya.
Sayang sekali akibatnya engkau jadi menderita luka seperti ini," ucap
kakek Gu sedih. "Ini juga salahku, paman. Aku belum memahami jurus Jarum Ter-
bang Debu Pasir dengan baik tetapi telah mencoba-coba," jelas pe-
muda itu. Mengangguk-angguk kakek Gu mendengar penjelasan pemuda itu.
"Omong-omong, tenagamu itu boleh juga, benar-benar menunjukkan
penguasaan Tenaga Tanah yang sudah mumpuni," puji kakek Gu.
"Ah, paman bisa saja. Saya juga baru belajar dari para Troll," jelas
pemuda itu sambil lalu menjelaskan kisahnya di mana ia mempelajari
Tenaga Tanah itu. Nenek Po yang sedari tadi sedang membaca-baca buku-buku pen-
gobatan di mejanya, mengguman-gumam, "Tidak baik, tidak baik!
Hukum alam tidak boleh dibolak-balik..!"
304 BAGIAN 5. YANG KEMBALI DAN YANG TUMBUH
Gumaman itu memecah pembicaraan antara kakek Gu dan pemuda
itu. "Nenek Po, apa maksudmu?"
"Ah, aku kembali ngomong sendiri ya?" ucapnya malu. "Ini dalam
buku ini tertulis bahwa hukum-hukum alam sebaiknya tidak dicoba-
coba untuk dilawan. Konsekuensinya berat."
Melihat tatapan bingung dari kedua orang di depannya itu, nenek
Po pun tersenyum. Lalu lanjutnya, "Anak muda ini.. telah meng-
gunakan Tenaga Tanah untuk memanipulasi gaya berat. Itu melawan
Elemen Kekosongan Karya Nein Arimasen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
alam. Alam ini terdiri dari materi. Ada empat unsur air, tanah, udara
dan api. Semunya punya isi. Dan semuanya patuh pada gaya berat.
Dengan mengubah-ubah gaya berat, keseimbangan akan terganggu.
Terutama aliran hawa dalam tubuh."
Kedua orang itu pun mengangguk-angguk, baru ngeh dengan apa yang
dijelaskan oleh nenek Po.
"Nak Paras Tampan, boleh-boleh saja engkau menggunakan jurus
Jarum Terbang Debu Pasir, tapi dengan perhitungan tentunya. Jan-
gan semua tenagamu dikerahkan ke sana. Sisakan untuk mengemba-
likan aliran hawamu ke sirkulasinya semula."
Lalu dijelaskannya bahwa apa yang barusan dilakukan oleh Paras
Tampan adalah dengan mengubah kerapatan benda-benda diseke-
lilingnya atau juga disekitarnya sehingga debu-debu dan pasir da-
pat bergerak seperti keinginannya. Lain dengan benda-benda yang
berukuran cukup besar sehingga kekuatan dapat dipusatkan, benda-
benda seperti pasir dan debu amatlah kecil dan banyak, sehingga
tenaga yang dikeluarkan pun harus ekstra besar dan tersebar. Belum
lagi upaya untuk membuat mereka terbang dan berurutan sehingga
berbentuk jarum-jarum padat. Setelah hawa dikeluarkan untuk men-
gendalikan butiran-butiran itu, tubuh menjadi kosong. Tenaga alami
alam yang terdiri dari empat unsur itu berebut masuk untuk mengisi
kekosongan itu. Oleh karena itu perlu ada tenaga yang dicadangkan
untuk menghalangi luapan tenaga yang ingin mengisi hawa tubuh
yang kosong itu. Itulah yang terjadi sehingga tubuh Paras Tampan
saat itu melupa terisikan tenaga alami dan mengalami luka dalam.
Menjadi jelas sekarang bagi Paras Tampan perihal ilmu yang baru
dipelajarinya itu. Ia pun berjanji untuk lebih hati-hati dalam mera-
305 pal ilmu itu. Jika tidak benar-benar diperlukan tidak akan digunakan-
nya. Selain berbahaya bagi lawan, ilmu itu juga berbahaya bagi sang
perapalnya sendiri, bila menggunakannya dengan benar.
Sudah seminggu Paras Tampan tinggal di pondok nenek Po. Kakek
Gu pun tinggal di sana menemaninya. Kakek Gu sendiri sebenarnya
punya rumah, tapi tak tak bisa dibilang benar-benar rumah mengingat
letaknya yang di atas pohon dan dibangun sekenanya. Cukup asal
nyaman untuk tidur dan tidak kepanasan saat hari cerah dan tidak
kehujanan saat hari hujan, ditambah tidak kedinginan saat malam
hari. Dalam seminggu itu sudah banyak perubahan dalam kesehatannya.
Tubuhnya berangsur-angsur membaik dan juga ia memperoleh banyak
cerita, baik dari nenek Po maupun kakek Gu.
Kakek Gu yang bernama Gu Ming itu ternyata adalah masih saudara
jauh dari seorang pengujar terkenal Gu Long. Pengujar yang banyak
menghasilkan karya-karya cerita tentang kehidupan orang-orang di
rimba persilatan. Diceritakan bahwa Gu Long adalah seorang yang
cerdas akan tetapi agak nyeleneh. Tidak seperti kebanyakan orang
yang umumnya bekerja setelah tamat belajar, ia malah berandai-andai
dahulu dan berusaha menjadi seorang penulis di kotanya. Hidup seder-
hana seperti pengujar Tao Yuan Ming (penyair jaman dinasti Han dari
Tlatah Tengah). Gu Long adala seorang yang cerdas, ia telah dapat menulis kisah
pada usia yang amat muda. Sekitar 12 tahun. Dan bisa memper-
oleh penghasilan pertama saat berusia 19 tahun. Kakek Gu kemu-
dian menceritakan bahwa saudara tuanya itu, hampir selalu mencer-
itakakan sesuatu yang berkaitan dengan cinta. Sampai suatu saat ia
mendapat saran untuk menulis mengenai orang-orang rimba persila-
tan. Walaupun demikian, unsur cintanya tetap kental dalam kisah-
kisah orang-orang rimba persilatan.
Saat itu terdapat empat pengujar besar penghasil cerita orang-orang
rimba persilatan di Tlatah Tengah Sempalan (Taiwan), yaitu Chu
Qing Yun, Wu Lung Sheng dan Shi Ma Ling, serta Gu Long sendiri.
Kakek Gu sendiri sampai merantau ke sana ke mari karena terinsipirasi
atas karya-karya para pengujar-pengujar tersebut, yang menceritakan
306 BAGIAN 5. YANG KEMBALI DAN YANG TUMBUH
keanekaragaman dunia dalam kisah-kisah persilatan.
Sayangnya saudara tuanya itu mempunyai suatu sifat jelek, yaitu
gemar minum dan mabuk-mabukkan. Kerap sekali sehingga jatuh
sakit. Setelah sembuh ia sempat beberapa saat terbebas dari arak,
akan tetapi tidak lama. Bila sedih ia minum arak. Kebiasaan ini
datang kembali sehingga akhirnya membuat kesehatannya menjadi se-
makin parah dan akhirnya ia meninggal. Saat ia meninggal kakek Gu
sedang merantau sehingga tidak dapat menjenguk saudara tua yang
dikaguminya itu. Paras Tampan dapat merasakan keharuan kakek Gu saat menceritakan
kisah saudaranya itu. Ia melihat kekaguman kakek Gu pada sosok
pengujar Gu Long. Ia sendiri pernah mendengar, tapi belum pernah
membaca hasil karya atau pun cerita mengenai orang itu.
"Ada seorang pengujar dari Tlatah Tengah Sempalan, Gu Long na-
manya. Karyanya amat gemilang tentang orang-orang rimba persi-
latan di Tlatah Tengah. Tapi apa-apa tentang cinta yang ditulisnya
tidak dapat diwujudkannya dalam dunia nyata. Ia hidup tidak baha-
gia. Tidak sebahagia tokoh-tokoh rekaannya," jelas Ki Tapa suatu saat
pada Paras Tampan. "Sebaiknya seimbang, apa yang kita tuangkan
dalam karya, ucapan dan pelaksanaan. Itu yang terbaik."
Paras Tampan tidak tahu mengapa Ki Tapa menceritakan perihal pen-
gujar Gu Long padanya saat itu. Setelah lama baru disadari bahwa Ki
Tapa ingin mengingatkan bahwa apa-apa yang dihadapi haruslah dire-
sapi. Jangan terlalu berhadap atau terlena seperti dalam kisah-kisah.
Sifat Paras Tampan yang cenderung romantis mungkin mengundang
kekuatiran sendiri pada Ki Tapa sehingga ia menceritakan tentang
kisah itu. *** Lantang mengambil satu buah ubi dan sejumput rempah. Digigitnya
ubi, dikunyahnya perlahan, lalu rempah-rempah. Ubi itu untuk mem-
buat agar rempah-rempah yang mengandung obat itu dapat termakan.
Tanpa ubi mungkin akan termuntahkan kembali.
Tak terasa setengah rempah-rempah obat yang harus dimakannya
telah mengisi perutnya. Ubinya tinggal sebuah. Tidak cukup kiranya
307 untuk memakan rempah-rempah yang tersisa. Lantang pun celingak-
celinguk mencari-cari dengan matanya, apa-apa yang bisa menggan-
tikan ubi untuk memakan rempah-rempah itu.
Tiba-tiba bahunya ditepuk. Xyra yang tadinya tertidur telah ban-
gun. Rambutnya yang awut-awutan tampak manis menghias wajah-
nya. Khas kecantikan seorang Undinden.
Ia tampak mengangsurkan beberapa buah pisang.
"Makanlah untuk teman rempah-rempah," katanya pelan.
Lantang pun mengangguk diambilnya dua buah pisang. Segigit pisang
dan rempah-rempah. Segigit lagi dan juga rempah-rempah sampai
akhirnya takaran yang harus dimakannya habis. Pindah mengisi lam-
bungnya. Xyra tampak senang melihat hal itu. Ia mengeluarkan nada tinggi,
nada khas Undinen apabila hatinya gembira. Gembira bahwa Lantang
akan kembali sehat. "Di mana orang tua itu tadi?" tanya Lantang tiba-tiba. Ia teringat
pada orang tua yang tadi memasakkannya obat.
"Wananggo, maksudmu?" tanya Xyra.
"Kakek itu bernama Wananggo?" balik bertanya Lantang.
"Ia memperkenalkan diri dengan nama itu," jelas Xyra. "Ia tadi pergi
sebentar. Akan kembali untuk menengok kesehatanmu. Ada sesuatu
yang harus dicarinya. Ditunggu saja sambil beristirahat."
Lantang pun menurut. Sambil berbaring ia minta Xyra untuk
mengisahkan perjalanannya dan mengapa saat ia ingin pamit Xyra
tidak bisa ditemuinya di Danau Tengah Gunung.
Dengan perlahan sambil tertunduk malu Xyra pun menceritakan
bahwa ia dulu merasa marah dan sedih, bahwa Lantang akan mening-
galkan tempat di mana mereka bertemu. Ia menyangka Lantang
membenci dirinya dan meninggalkan dirinya. Oleh karena itu ia
tidak mau menemui Lantang. Akan tetapi jauh setelah Lantang
pergi Xyra pun merasa kehilangan. Dan ia menemui Ki dan Nyi
308 BAGIAN 5. YANG KEMBALI DAN YANG TUMBUH
Sura untuk minta penjelasan keamana perginya Lantang. Setelah
tahu ia pun pergi mengikuti. Dengan kemampuannya berbicara pada
binatang-binatang air, Xyra memperoleh keterangan ke arah mana
Lantang berlalu. Setelah menemukan, ia pun membayangi sosok yang
dirindukannya itu dengan diam-diam. Saat Lantang menderita sakit,
ia pun tidak tahan dan memunculkan diri untuk membantu Wananggo
merawat pemuda itu. Terharu Lantang mendengar penjelasan sang Undinen. Tak terasa
tangannya menggenggam dan mengelus lembut telapak tangan Xyra
yang berhasil digapainya. Xyra hanya tertunduk semakin dalam sam-
bil memainkan rambutnya dengan tangannya yang lain.
Keduanya pun terdiam. Perasaan dalam hati masing-masing bergolak.
Menggelora jiwa muda. Jiwa yang ingin berpadu dan dekat selalu.
Bagian 6 Tato "Deru pun perlahan melembut. Menghilang. Sunyi dan sepi. Dan
jiwa pun tenteram kembali.
Menghela napas. Menghirup keheningan. Mengekang nafsu. Senyap.
Lepas. Lega. Setelah semuanya berakhir. Secarik kulit dicabik halus. Darah
menetes lembut. Menegaskan guratan-guratan mistis. Guratan di
atas kulit nan indah. Tato."
Sajak di atas berjudul "Pembicaraan Angin" hasil karya seorang
Eremit (petapa) tak dikenal, Unbekanteeremit. Bergetar hati seo-
rang pemuda saat membaca sajak dalam kitab itu, salah satu kitab
yang harus dicari keturunan dari pemiliknya semula. Kitab yang di-
curi oleh guru pemuda itu dan disembunyikannya, untuk disalin dan
dikumpulkan. Sekarang jauh masa setelah kematian sang pencuri, ia
menugaskan muridnya, sang pemuda melalui para saudaranya para
Troll, agar sang murid mengembalikan kitab tersebut kepada yang
berhak. Keturunan orang dari mana kitab tersebut semua diambil.
Ia sekarang bernama Gu Yo, keponakan jauh dari Gu Ming, seorang
kakek yang menyelamatkan nyawanya dan membawanya ke rumah
nenek Po untuk diobati. Dari perkenalannya yang singkat dengan
kakek Gu dan nenek Po, pemuda itu mendapat banyak cerita men-
genai situasi dunia persilatan dalam puluhan tahun terakhir ini dan
309 310 BAGIAN 6. TATO juga orang-orang yang muncul dan menghilang.
"Jadi engkau mencari keturunan seseorang yang senang mengumpulkan
koleksi tato dari tubuh manusia?" tanya kakek Gu saat itu hampir
tidak percaya. Kakek Gu tidak percaya bahwa ada orang yang punya
kegemaran mengumpulkan bagian tubuh manusia. Kulit yang bertato,
yang disayat dari tubuh empunya.
"Ya, kekek Gu. Saya mencari keturunan dari orang itu," jawab pe-
muda itu hormat. "Untuk apa mencari orang atau keturunan orang gila seperti itu?"
tanya nenek Po menyelak. Penasaran juga ia mendengar keperluan
pemuda yang baru disembuhkannya itu untuk mencari seseorang yang
dalam pandangannya cukup sesat.
Terdiam sebentar pemuda itu. Ia bimbang apakah ia harus mencer-
itakan apa sebenarnya tujuan ia mencari keturunan dari orang yang
dimaksud atau tidak. Kedua orang tua dihadapannya nampak mem-
perhatikannya saat ia berpikir.
"Bila ada rahasia yang enggan engkau ceritakan, tak usalah," ujar
nenek Po ramah. Ia dapat melihat kebimbangan pada wajah pemuda
itu. "Sebenarnya...," bingung pula pemuda itu. Ia merasa tak enak hati
dengan pertolongan kedua orang yang telah menyelamatkannya itu.
Tapi apabila ia menceritakan hal yang sebenarnya, bisa pula men-
datangkan masalah baru bagi misinya.
"Begini saja," ucap kakek Gu kemudian menengahi, "cukup kamu
katakan bahwa tidak ada sama sekali niat untuk berseteru dengan
keturunan orang ini, dan kamipun akan merasa lega."
Pemuda itu pun mengangguk, "Tidak sama sekali. Saya tidak berpikir
untuk berseteru dengan keturunan orang ini."
Kedua orang tua yang berada di hadapannya pun menggangguk lega.
"Dulu, ada seorang berjulukan Ceng-Liong Hui-To (Naga Hijau Pisau
Terbang) yang memiliki kegemaran untuk mengeletek kulit tubuh
musuh-musuhnya meniru legenda tradisi suatu suku bangsa yang
311 mengambil kulit kepala musuh yang dikalahkannya. Akan tetapi ia
tidak sembarangan mencari musuh. Musuh yang dicari umumnya
adalah para golongan orang-orang jahat yang memiliki tato pada
bagian tubuhnya," cerita kakek Gu.
"Benar..," lanjut nenek Po, "orang-orang jahat pada masa itu berkumpul
dan membentuk suatu kumpulan yang dicirikan dengan adanya tato
pada tubuh mereka. Semacam kejahatan yang diatur oleh para
pemimpinnya. Jika suatu suku bangsa di suatu tempat dicirikan
oleh corak sarung yang dipakainya (Skotlandia), maka para begal ini
dicirikan oleh tato yang dikenakannya. Beda kelompok, beda ciri khas
tato yang digunakan."
"Dan corak yang semakin rumit menunjukkan ketinggian kedudukan
atau pengalaman yang telah dimiliki seorang anggota kelompok keja-
hatan ini," tambah kakek Gu.
"Bagaimana kakek Gu dan nenek Po bisa tahu banyak tentang soal
ini?" tanya pemuda itu ingin tahu.
Keduanya saling berpandangan satu sama lain dan kemudian meledak-
lah tawa di antara mereka. Pemuda itu hanya dapat menatap bin-
gung pada kelakukan dua orang tua dihadapannya, yang dianggapnya
benar-benar membingungkan.
Setelah tawa berderai keduanya usai, kakek Gu dengan masih menga-
pus air mata yang meleleh pada matanya berkata, "Sebenarnya, kami
berdua pernah juga ikut pada kelompok semacam itu..."
"Eh..!," pemuda itu tampak kaget mendengar jawaban kakek Gu, "tapi
berarti, kakek dan nenek..." tak diselesaikannya ucapan itu. Sungkan
ia melanjutkannya. Apalagi terhadap orang yang baru saja beberapa
hari ini menolongnya. "Bukan, kami bukan menjadi begal atau mungkin belum," ucap nenek
Po. "Pada jaman itu, sebelum orang-orang bertato itu dipandang se-
bagai penjahat, budaya tato itu sebenarnya telah ada jauh sebelum-
nya. Dan budaya itu dianggap sebagai suatu tanda kematangan.
Orang yang sudah dewasa, dianggap lengkap bila telah memiliki tato."
Sambil berkata demikian nenek Gu menggulung salah satu lengannya
312 BAGIAN 6. TATO ke atas. Di atas lengan yang kepucatan itu tampak dua ekor naga
yang saling berbelit. Satu berwarna merah dan satu berwarna biru.
"Ini kelompok Naga Merah Naga Biru," jelasnya. "Kelompok yang
hanya terdiri dari para wanita."
"Oh, begitu!" jawab pemuda itu. Lalu sambungnya, "Dan kakek Gu
punya.." Kakek Gu tertawa kecil mendengar pertanyaan itu. Dibukanya ba-
junya sambil berbalik membelakangi. Tampak di punggungnya gam-
bar sebuah naga hitam dan lingkaran di tengah yang dicengkeramnya.
"Itu kelompok Naga Hitam Penjaga Mutiara," jelas nenek Po, "bagian
yang bulat ini adalah mutiara yang dijaga."
"Itulah sebabnya kakek dan nenek bertanya apa saya bermaksud
berseteru dengan keturunan Ceng-Liong Hui-To?" tanya pemuda itu
kemudian.
Elemen Kekosongan Karya Nein Arimasen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ceng-Liong Hui-To, boleh dikatakan adalah pahlawan pada saat itu.
Ialah yang membantu penduduk menghalau para begal bertato." kali
ini kakek Gu yang menjawab, "dan pertanyaanmu itu sama sekali
salah. Jika Ceng-Liong Hui-To adalah musuh dari penjahat bertato,
maka kami yang juga bertato bisa saja salah sasaran dan menjadi
musuhnya." "Untunglah Ceng-Liong Hui-To bukan seorang gelap mata yang main
bunuh saja seorang yang bertato tanpa tahu terlebih dahulu asal-usul
dan kesalahannya," lanjut nenek Po, "malah ia adalah orang yang
yang amat terpelajar, dan boleh dikatakan menawan." Dari tekanan-
nya pada kata terakhir yang diucapkannya, nenek Po terlihat bahwa
ia amat mengagumi sosok Ceng-Liong Hui-To tersebut.
Lalu mereka berdua menceritakan bahwa Ceng-Liong Hui-To menase-
hati para pemuda dan pemudi tidak lagi menato dirinya, karena hal
itu dianggapnya tidak baik. Merusak tubuh yang telah diberikan oleh
Sang Pencipta dengan gambar-gambar yang kadang tak jelas artinya.
Sebagian orang menuruti anjuran tersebut, akan tetapi sebagian lain
tidak. Bagian yang tidak ini yang kemudian menjadi lepas kendali.
Mereka malah menuduh Ceng-Liong Hui-To mengekang kebebasan
berekspresi orang-orang, padahal itu adalah tubuhnya sendiri.
313 Atas bumbu-bumbu hasutan para begal, orang-orang yang mendukung
"kebebasan bertato" ini kemudian membentuk kelompok yang anti
keteraturan, anti kemapanan. Mereka melakukan apa-apa yang di-
larang. Apa-apa yang tidak dianjurkan.
Rasa kebersamaan yang tumbuh di antar orang-orang yang tidak
mempunyai tujuan hidup yang jelas, membuat orang-orang tersebut
benar-benar merasa di rumah, di antara orang-orang senasib. Mereka
tidak menyadari bahwa sebenarnya mereka hanyalah dimanfaatkan
oleh sedikit begal demi keuntungan mereka.
Akibat pesatnya pertumbuhan orang-orang yang mendukung kebe-
basan bertato ini, pemerintah menjadi kalang-kabut. Kerusuhan-
kerusuhan pun terjadi di mana-mana. Dengan dalih kebebasan mereka
menyiarkan ketakukan dan rasa tidak aman di antara orang-orang
yang berseberangan dengan mereka. Merampas "kebebebasan" orang
yang tidak sepaham. Ceng-Liong Hui-To pernah suatu kali menyatakan pendapatnya kepada
beberapa rekannya yang duduk di pemerintah bahwa budaya tato yang
telah turun-temurun dilakukan orang di kota itu, agar dihapuskan. Ia
pernah mendengar bahwa budaya itu cenderung membuat orang-orang
menjadi kasar dan tak tentu arah.
Alih-alih mendengarkan, para rekannya itu malah menenangkan
dirinya, dan berujar bahwa ketakutannya yang masih saja terbawa
dari jaman perang dulu, dan selalu saja berlebihan.
Ucapan Ceng-Liong Hui-To terbukti tidak sampai setahun kemu-
dian. Kelompok pemuda dan pemudi bertato tumbuh dengan pesat.
Bersamaan dengan itu terjadi pula perampokkan, pencurian dan
lain-lain oleh orang-orang bertopeng dan bertato. Sengaja mereja
menggunakan topeng, akan tetapi memperlihatkan tato di tangan dan
punggung mereka. Akibatnya jelas, pemerintah yang tidak memiliki bukti keterlibatan
begal-begal yang seakan-akan merupakan kelompok pemuda anti
kemapanan itu, main tangkap saja orang-orang yang bertato. Dengan
jumlah yang banyak mulai timbullah perlawanan. Suatu pertentangan
yang bukan disebabkan oleh mereka.
314 BAGIAN 6. TATO Pada saat itulah Ceng-Liong Hui-To turun tangan. Dengan hati-hati
ia menyelediki kelompok-kelompok bertato, menyelinan sana dan sini
dan mendengarkan percakapan-percakapan. Akhirnya ia bisa men-
emukan orang-orang atau begal-begal yang bertanggung jawab atas
kejahatan-kejahatan yang menyebabkan pemerintah bersiteru dengan
para pemuda bertato secara umum.
Dengan membawa beberapa saksi dan bukti, para pemuda dan juga
pemerintah disadarkan. Organisasi-organisasi kepemudaan bertato
pun dibubarkan oleh para massanya sendiri. Mereka merasa telah
diperalat oleh para begal. Walaupun telah salah tangkap, tapi pemer-
intah masih berdalih bahwa itu untuk kepentingan umum. Sebuah
luka yang kelak akan kembali bernanah. Luka antara penguasa dan
rakyat yang seharusnya diayominya.
Pendek kata kerusuhan dan ketegangan akibat tato pun menghilang.
Suasana kembali seperti semula. Tenang dan damai. Roda perekono-
mian kembali bergulir normal.
Akan tetapi ada yang hilang di akhir pergolakkan itu, yaitu Ceng-
Liong Hui-To sendiri. Tidak ada seorang pun yang mengetahui ke-
beradaannya. Pemerintah sebenarnya ingin mengangkatnya sebagai
perwira kerajaan untuk menangani masalah-masalah kerusuhan, in-
formasi rahasia dan keamanan. Akan tetapi dengan hilangnya, tidak-
lah jadi hal itu dilakukan. Untuk mengenangnya, kantor polisi di kota
itu dinamakan Rumah Jaga Ceng-Liong Hui-To.
*** "Kota Siaw Tionggoan" begitulah yang tertulis di atas sebuah gerbang
batu setinggi pohon kelapa dan selebar empat kalinya. Gerbang yang
menandakan awal kota tersebut. Kota Siaw Tionggoan terletak di tepi
suatu sungai kecil pecahan dari sungai Merah yang mengarah jauh ke
timur laut meninggalkan pantai selatan dan padang Batu-batu. Kota
yang banyak dihuni oleh perantau dari Tlatah Tiongkok.
Berseri wajah pemuda itu melihat gerbang batu yang megah itu.
Walaupun terlihat sederhana dengan sedikit ukir-ukiran, akan tetapi
komposisinya yang bernuansakan warna yang teduh keabuan, men-
datangkan kesan masif dan keren. Besar dan gagah.
315 Ia tidak tahu bahwa gerbang sebelah timur itu memang dibuat
sedemikian rupa dengan warna keabuan. Warna udara dan asap.
Oleh karena memang gerbang tersebut bernama Gerbang Udara atau
Angin. Terdapat lambang besar segitiga dengan puncaknya meng-
hadap ke atas, dan tengahnya dicoret garis mendatar, terpahat pada
tengah batang melintang. Kepala dari gerbang itu. Lambang elemen
kuno udara. Sesuatu yang diapungkan atau diresapi oleh api, yang
dilambangkan dengan segitiga puncak ke atas.
Setelah kekagumannya atas gerbang sebelah timur itu, Gerbang
Udara, terpenuhi mulailah ia melihat-lihat hal-hal lain. Di sepan-
jang jalan yang lurus dan panjang itu, yang ujungnya hampir-hampir
tak bisa diperkirakan, ia melihat berbagai aneka toko-toko. Belum
pernah ia melihat kota yang seramai ini. Tidak juga kota tempat
asalnya, kota Luar Rimba Hijau.
Jalan-jalan yang sudah dipadatkan dan dilapisi batu-batu persegi di
atasnya, membuat jalan orang dan juga pedati yang lewat menjadi
lebih mudah. Saat hari hujan, tidak ada lagi lumpur atau genangan
air yang mengganggu. Jalan batu.
Kebingungan pemuda itu akhirnya berdiri pada suatu persimpangan
jalan. Jalan di depannya masih lurus jauh, bagai tanpa akhir. Jalan di
belakangnya mengarah kembali ke Gerbang Udara. Kedua jalan kiri
dan kanan sama-sama menarik, tapi tidak ada yang memberatkannya,
sehingga ia tak dapat dengan segera memilih salah satunya.
Tiba-tiba matanya tertarik pada gerakan seseorang yang membelok
pada suatu jalan kecil di sisi kanan jalan yang berarah ke kiri. Suatu
sosok yang menghentakkan kenangan lama, Citra Wangi. Bergegas
pemuda itu mengikuti nalurinya membuntuti sosok bayangan yang
memincut rasanya itu. Dia merasa yakin bahwa sosok itu adalah orang yang ada dalam ke-
nangannya. Sosok tubuhnya yang langsing dan cukup tinggi. Gerakan
langkahnya yang mengalir dan mantap. Lenggak-lenggoknya yang se-
cukupnya dan tidak berlebihan. Pastilah itu dia. Tak terpikirkan
lagi oleh Gu Yo bagaimana sosok yang disangkanya sang kekasih bisa
berada di kota Siaw Tionggoan dan bukan di Kota Pinggiran Sungai
Merah seperti diberitakan oleh Nyi Antini, istri mendiang Ki Baja dari
316 BAGIAN 6. TATO Kota Luar Rimba Hijau. Nalarnya telah ditundukkan oleh kenangan
yang menggelora. Bergegas dipacu langkahnya. Tak dihiraukannya saat ia tak sengaja
berpapasan dengan beberap orang yang hampir saja ditabraknya. Be-
berapa dari mereka sempat mengumpat-umpat dengan bahasa yang
kurang dimengertinya, karena dialek mereka yang cukup kental.
Sesampainya ia di jalan kecil di sebelah kanan dari jalan besar yang
mengarah ke kiri, dilihatnya sosok gadis yang diikutinya tersebut be-
rada pada jarak belasan tombak di depannya. Bergegas ia kembali
menaikkan laju langkahnya, agar dapat cepat dicapainya orang yang
diharapkan sebagai kekasihnya itu.
Entah kebetulan atau memang sang gadis memang sedang juga dalam
kegergesaan, ia pun memacu langkahnya. Cepat. Akibatnya jarak
ia dan Gu Yo masih tetap belasan tombak lebarnya. Tak lama ia
membelok ke kiri satu dua gang kecil dan akhirnya kembali mengambil
jalan kecil di kanan, yang kemudian membawa sang penguntit dan
yang dikuntit kembali ke suatu jalan besar. Jalan yang sejajar dengan
jalan besar sebelah kiri yang pertama-tama diambil Gu Yo sejak di
persimpangan, saat ia bingung tadi.
Sekarang dengan banyak berlalu-lalangnya kereta kuda, pedati dan
juga kereta tanpa kuda, yang digerakkan oleh orang atau mesin
bersuara ribut, jarak antara Gu Yo dan sang gadis semakin lebar.
Gu Yo yang tidak terbiasa berjalan di suatu tempat dengan banyak
kendaraan dan orang, berkali-kali hampir tertabrat, dan sudah tentu
kaya dengan umpatan dan makian, seperti "Pake matamu!", atau
"Matamu kemana?" dan sejenisnya.
Akhirnya perburuan itu pun berakhir, dengan sampainya sang gadis di
suatu rumah atau toko yang cukup besar. Besar dan mewah menurut
Gu Yo, dilihat dari papan namanya yang lebar dan berwarna cerah di
atas wuwungan depannya. "Rumah Tato Ceng-Liong Hui-To".
"Lagi-lagi Ceng-Liong Hui-To..," bergumam Gu Yo dan teringat pada
cerita kakek Gu dan nenek Po. Tapi rasanya bukan ini, pikirnya.
Lamunannya pun terhenti saat seorang penjaga menegurnya. Seorang
pemuda berbadan tegap yang terlihat ramah.
317 "Tahan dulu, anak muda!" katanya bersahabat, "Apa keperluanmu"
Apa sudah ada janji?"
"Janji?" bengong Gu Yo mendapati pertanyaan itu diajukan padanya.
Ia tidak tahu bahwa di kota-kota besar seperti kota Siaw Tionggoan
ini, orang sedemikian sibuknya, sehingga untuk bertemu, mereka ter-
lebih dahulu harus membuat janji.
"Eh, itu.., anu..!" katanya gagap sambil menunjuk kepada bayangan
gadis yang diikutinya tadi. Bayangan yang sudah lenyap di balik pintu
bangunan itu. Bayangan yang tadi sempat bertegur sapa dengan pen-
jaga yang menyapanya, dan disapa balik dengan, "Nona Lin!"
"Hah" Apa maksudmu dengan eh, itu.., anu..?" tanya sang penjaga
kembali, yang merasa tak mengerti dengan ucapan yang dikeluarkan
oleh sang pemuda. "Maaf, maksud saya, saya ingin bertemu dengan nona tadi. Nona yang
baru saja masuk itu!" jawabnya kemudian setelah dapat menenangkan
dirinya. "Ah, maksudmu nona Lin?" tanya penjaga itu kembali untuk mene-
gaskan. Lalu lanjutnya, "dan apa urusannya" Sudah ada janji atau
belum?" "Eh, harus sudah ada janji ya?" tanya Gu Yo kembali. Janji, sesuatu
yang tidak ia temui di kotanya. Orang-orang di sana bila ingin berkun-
jung, dapat langsung datang kapan saja. Tak perlu ada janji-janjian
segala. Mungkin lain kota, lain tata cara-nya. Demikian pikirannya
menyimpulkan. Penjaga itu melihat kebingungan sang pemuda, akhirnya mengga-
painya untuk ikut. Lalu ditunjukkannya seorang gadis yang sedang
duduk di meja dekat tempat penjaga tadi berdiri. Seorang gadis yang
juga terlihat manis seperti sang nona Lin. Posisi gadis yang tersem-
bunyi di balik tembok setinggi dada orang dewasa berdiri itu, sempat
tidak terlihat dari luar apabila tidak benar-benar diperhatikan dan
diketahui keberadaannya. Rupanya itu tempat untuk membuat perjanjian untuk bertemu den-
gan penghuni gedung itu, entah toko atau apalah, Gu Yo tidak tahu.
318 BAGIAN 6. TATO Setelah dijelaskan oleh sang penjaga bahwa pemuda itu ingin bertemu
dengan nona Lin akan tetapi belum membuat janji, lalu sang gadis
membuka bukunya dan melirik pada kolom-kolom yang di atasnya ter-
tuliskan "Swee Sian Lin", nama sebenarnya dari nona Lin. Akhirnya
sampailah ia pada suatu kolom, dan bertanyalah ia pada Gu Yo, "nanti
sore, antara pukul empat dan setengah lima nona Lin belum ada janji,
anda bisa berkunjung pada saat itu" Apakah anda bisa dan mau?"
Mengangguk saja Gu Yo atas usulan itu. Persoalan membuat janji
masih asing baginya. Kemudia saat ditanya namanya, ia menyebutkan
"Gu Yo", yang kemudian dituliskan oleh gadis itu. Untuk keperluan-
nya, ia hanya membubuhkan "ingin bertemu" tanpa bertanya dulu
kembali kepada Gu Yo, sebagaimana disampaikan oleh penjaga tadi.
"Anda bisa berjalan-jalan dulu, melihat-lihat kota Siaw Tionggoan
untuk membunuh waktu. Masih sekitar empat jam untuk bertemu
dengan nona Lin," saran sang gadis tersebut.
Gu Yo pun mengangguk mengiyakan. Saat itu dilihatnya beberapa
orang masuk, memberi salam kepada penjaga dan menuju tempat sang
gadis, gadis yang mencatatkan janji-janji untuk bertemu dengan para
penghui gedung itu. Beberapa di antaranya menyebutkan nama yang
akan dikunjungi, keperluannya dan waktunya. Dua orang dari mereka
rupanya telah membuat janjinya kemarin. Setelah diakurkan dengan
apa yang tertera dalam buku janji tersebut mereka dipersilakan untuk
masuk. Seorang pelayan mengantarkan mereka, menunjukkan jalan ke
bagian ke mana mereka akan menuju. Sedangkan sisanya baru akan
membuat janji untuk bertemu dengan penghuni gedung itu sore ini
atau keesokan harinya. Mengangguk-angguk Gu Yo melihat hal yang baru itu. Rupanya ia
harus membuat janji dulu untuk bertemu orang-orang yang tinggal
dalam rumah itu. Suatu pengalaman yang baru dialaminya di sini, di
kota Siaw Tionggoan. Setelah cukup memperhatikan dan merasa mengerti, Gu Yo pun keluar
untuk menghabiskan waktu, sebelum bertemu dengan nona Lin. Sosok
gadis yang dipikirnya adalah Citra Wangi, kekasihnya dulu. Orang
yang telah ditunangkan dengan dirinya.
Di tepi jalan besar di muka Rumah Tato Ceng-Liong Hui-To tampak
319 Gu Yo celingak-celinguk kebingungan. Ia tidak tahu harus kemana
untuk membunuh waktu sebelum jam empat nanti. Saat ia sedang
memandang ke kiri dan ke kanan, suatu suara dalam lambungnya
merekah, membujuknya untuk pergi ke suatu arah di mana aroma
lezat hidangan mengambang di udara.
Setelah berjalan beberapa saat, ditemukannya sumber kelezatan yang
seakan-akan mengundangnya ke tempat itu. Sebuah kedai yang
menyajikan berbagai masakan yang dipanggang atau dibakar. Kedai
Daging Bakar namanya. Berbagai jenis daging dapat ditemui di sana,
dari ayam, sapi, kerbau, kambing sampai ular dan kelinci. Berbagai
jenis-jenis daging yang telah kering dan diasap, dipajang di suatu
bagian depan kedai dan diberi nama. Takjub juga Gu Yo melihat
model iklan dari kedai tersebut.
Saat ia sedang melihat-lihat "hiasan" berupa daging yang sudah diker-
ingkan itu, berwarna merah dan masih menyajikan bau sedap khasnya
masing-masing, seorang tua menyapanya, "Ayo jangan malu-malu,
mari masuk mencicipi!" ajaknya.
"Eh, tapi..," Gu Yo tak bisa melanjutkan ucapannya. Ia tak tahu
Elemen Kekosongan Karya Nein Arimasen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
harus berucap bagaimana. Sebagaimana diketahui tidak banyak
Tigaan yang dibekalinya sedari keluar dari Rimba Hijau dan juga
sehabis bertemu kakek Gu dan nenek Po. Dan ia memang telah
berniat untuk mencari pekerjaan di kota ini, sembari menunaikan
misinya mencari keturunan dari Ceng-Liong Hui-To.
"Ah, pasti kau tidak cukup punya uang, "kan" Ayo anak muda, ma-
suk saja. Aku pemilik kedai ini. Kamu boleh makan sepuasmu, tapi
setelah itu bantu-bantu, bagaimana?" jawabnya ramah. Yok Seng,
orang tua itu memang pemilik kedai itu. Ia baru saja berjalan ke
bagian lain kota untuk mencari tenaga tambahan. Rencananya be-
berapa hari lagi akan ada perayaan menyambut tamu dari pemerintah
pusat. Biasanya pada hari-hari "besar" seperti itu pengunjung akam
membeludak. Untuk itu ia perlu tenaga segar agar bisnisnya dapat
tetap berjalan dengan baik. Sukur-sukur pemasukannya bisa berlipat-
lipat pada saat-saat itu.
Ia telah berusaha menuju ke suatu bagian kota di mana di sana terda-
pat suatu semacam agen yang menyalurkan tenaga-tenaga kerja paruh
320 BAGIAN 6. TATO waktu. Tapi berhubung suatu peristiwa kunjungan oleh pemerintah
pusat ke kota Siaw Tionggoan adalah suatu peristiwa yang jarang
terjadi, toko-toko dan kedai-kedai lain pun sudah memborong tenaga
kerja. Habis. Tiada yang tersisia. Bahkan ia hanya menemui tulisan
"tutup" di sana. Mungkin sang penyalur tenaga kerja bahkan ikut
"bekerja" sebagai tenaga paruh waktu, mengingat permintaan yang
banyak, sudah bisa dipastikan gajinya pun akan lumayan.
Demi melihat seorang pemuda di depan kedainya yang sedang ter-
mangu menatap daging-daging keringnya, langsung saja Yok Seng
menawarkannya pekerjaan. Dari perawakannya yang tegap dan berisi,
sudah pasti pemuda itu kuat untuk bekerja keras. Sosok yang dibu-
tuhkannya untuk saat itu.
"Eh, benar paman" Saya boleh bekerja di sini?" tanya Gu Yo tak per-
caya. Ini adalah betul-betul suatu kesempatan yang tidak disangka-
sangkanya. Ia tidak harus sulit-sulit mencari pekerjaan, akan tetapi
dapat dengan mudah memperolehnya. Orang bilang itu memang su-
dah rejekinya atau suratan langit.
Yok Seng yang ditanya hanya mengangguk. Ia melihat bahwa pemuda
itu, Gu Yo, masih baru dan belum ada pengalaman sama sekali. Ke-
jujuran pun tampak dari wajahnya. Jujur itu adalah sifat yang dibu-
tuhkan untuk dapat bekerja dengan langgeng. Yok Seng yang telah
berpuluh tahun mengelola kedai itu dapat dengan segera melihat sifat
seseorang dari percakapan singkat saja, hasil asahan pengalaman yang
menahun. "Eh, tapi.. saya..," ucap Gu Yo bingung dan ia pun lalu menceritakan
keperluannya ke kota itu yang memang ingin mencari kerja, tapi telah
membuat janji dengan nona Lin, Swee Sian Lin di Rumah Tato Ceng-
Liong Hui-To. "Engkau tidak akan bekerja di sana, bukan?" tanya Yok Seng penuh
selidik. Entah bagaimana ia tak rela calon tenaga kerjanya akan di-
ambil oleh orang lain. Rumah Tato Ceng-Liong Hui-To adalah suatu
galeri seni tato yang cukup beken di kota itu. Suatu saingan dalam
mempekerjakan orang pada saat hari-hari "besar".
"Tidak, paman! Saya hanya ingin bertemu dengan nona Lin saja.
Tidak ingin bekerja di sana," jawabnya.
321 "Bagus kalau begitu! Ayo kita makan dulu, sudah terdengar ususmu
itu belingsatan," kelakar Yok Seng.
Memerah wajah Gu Yo itu. Malu ia akan ususnya yang tidak sungkan-
sungkan untuk menyuarakan isi hatinya. Lapar.
Yok Seng tidak menyuruhnya duduk di depan, tempat orang-orang
yang sedang menjadi pelanggan kedai itu makan, melainkan menga-
jaknya terus ke belakang, ke suatu ruangan besar yang berfungsi seba-
gai dapur dan juga tempat orang-orang pekerja kedai itu berkumpul.
Di sana ada sebuah meja besar dan panjang yang dipenuhi berbagai
macam benda. Di keempat sisi meja tersebut terdapat kursi panjang
tanpa sandaran. Entah berapa jumlahnya. Satu kursi bisa muat em-
pat sampai lima orang kiranya.
"Ini Ma She," ucap Yok Seng kepada Gu Yo, "kepala koki di sini. Dan
juga yang bertanggung jawab jika aku tidak ada."
"Ma She, pemuda ini akan kerja sini mulai hari ini. Kasih dia makan
terus atur tugasnya. Oh, ya untuk hari ini kasih dia waktu nanti jam
empat untuk keluar sampai jam lima. Ada keperluan dia di Rumah
Tato Ceng-Liong Hui-To," sambil tak lupa Yok Seng memberi tahu.
Ma She hanya mengangguk. Orangnya tak banyak senyum. Tapi wa-
jahnya ramah. Mukanya lebar dan besar. Tubuhnya tak terlalu tinggi.
Tulang tangan dan kakinya lebar-lebar, sehingga tampak gemuk pada-
hal tidak. "Siapa namamu?" tanyanya singkat kepada Gu Yo setelah Yok Seng
meninggalkan mereka untuk memeriksa pekerjaan lain-lain yang di-
lakukan lain orang. "Gu Yo!" jawab pemuda itu pendek.
"Duduk di sini dan makan semampumu," katanya kemudian sambil
mengangsurkan piring kosong lebar. Piring paling lebar yang pernah
dilihat Gu Yo. Hampir sebesar nampan bundar.
Saat Gu Yo terlihat agak ragu-ragu mengisikan lauk dan juga nasi ke
dalam piringnya, Ma She dengan cekatan mengambil sejumput besar
nasi dengan sendok besar dan dua kerat daging seukuran dua kepalan
tangan dan meletakkan di piring Gu Yo. Tak lupa diambilnya den-
322 BAGIAN 6. TATO gan sumpit sejumput sayur-sayuran dan terkahir dituangkannya saus
merah harum di atas dua kerat daging tersebut.
Takjub Gu Yo melihat hidangan yang harus disantapnya itu. Dan
semakin takjud saat masih Ma She berkata, "kalau kurang, tambah
lagi!" Ia juga tak lupa meletakkan sendok, garpu, pisau, sumpit. Ia
tidak menanyakan alat makan apa yang biasa digunakan oleh Gu Yo,
hanya meletakkan semua yang biasa digunakan.
Setelah Ma She berlalu dari sana, mulailah Gu Yo menyantap hidan-
gan yang ada dalam piring jumbonya itu. Mula-mula dicobanya dag-
ing keratan pertama yang berwarna lebih gelap dari keratan kedua.
Dengan sumpit gumpalan daging keras itu tak bisa diceraikan. Lalu
dicobanya dengan menggunakan sendok. Juga tidak bisa.
Saat itu lewatlah seorang gadis. Melihat kesulitan Gu Yo dalam
menyantap penganannya, ia pun berkata, "Bisa" Perlu dibantu?"
Gu Yo hanya menggangguk. Tanpa dipersilakan gadis itu dengan duduk di samping Gu Yo. Begitu
dekat sehingga hidungnya bisa mencium keharuman keringatnya yang
tercampur dengan semerbak masakan-masakan. Suatu sensasi yang
belum pernah ditemuinya. Lain dengan semerbak wangi tunangannya
dulu. Ucapan sang gadis membuyarkan lamunan sesaat itu, "Begini caranya:
tangan kanan memegang pisau, tangan kiri memegang garpu." Lalu
diperagakannya cara memantapkan daging agar tidak bergulir untuk
kemudian dipotong dengan pisau. Satu bagian Potongan telah lepas
dan sisanya masih tertancap pada garpu. Dipotongnya lagi potongan
yang masih tertancap berulang kali sehingga tersisa seukuran setengah
telur ayam. Lalu dengan jenaka gadis itu mengucapkan, "jika sudah
cukup kecil, langsung dimakan." Dan "Hap!!" daging tersebut lenyap
di mulut mungilnya yang menawan. Gu Yo hanya dapat melongo
melihat hal itu. "Eh, terus nasi ini gimana?" masih bingung dirinya bagaimana bisa
makan nasi menggunakan garpu dan pisau tersebut.
Alih-alih menjawab, si gadis menyisir nasi dalam piring besar itu ke
323 arah garpunya menggunakan pisau, memadatkan sedikit di atasnya
dan menggerakkan garpu yang sudah berisi nasi itu ke arah mulutnya.
Dan kembali "happ!" lenyap di balik mulutnya.
"Ah, begitu!" sahut Gu Yo menggangguk-angguk. "Bisa juga iisau
digunakan seperti itu." Suatu pengalaman baru lagi yang didapatnya
di tempat ini. "Ma Siang!" tiba-tiba terdengar suara mengguntur di belakang mereka.
Si gadis dengan cepat bangkit dan bergegas pergi. Sambil tak lupa
berucap, "selamat makan!!"
Ma She yang tiba-tiba berada di sana, tampak menggeleng-gelengkan
kepala. Ia kebetulan saja melihat gadis itu bersama dengan Gu Yo.
Dan seperti yang diduganya, sedang mengerjai Gu Yo.
"Sudah habis makanmu?" tanyanya setelah sampai di samping pe-
muda itu. "Eh, belum, paman!" jawabnya. "Masih belum bisa pakai garpu dan
pisau ini. Untung ada gadis itu tadi yang mengajari."
"Ma Siang" Mengajari?" tersenyum Ma She mendengar itu, walaupun
ia tahu bahwa gadis itu mungkin memang mengajari Gu Yo, tapi pasti
ada sesuatu yang dinakalinya.
"Iya, paman!" jawab Gu Yo sambil memperagakan cara makan yang
diajari oleh Ma Siang. Bagaimana ia memotong daging, menyuapnya
dengan garpu di tangan kiri dan memadatkan nasi pada garpu dengan
pisau di tangan kanan dan menyantapnya.
"Bagus kalau begitu. Ayo, habiskan makananmu! Kerjaan sudah me-
nunggu," ucapnya kemudian. Ma She masih berpikir-pikir apa yang
telah dikerjakan oleh Ma Siang. Masak cuma itu, benar-benar men-
gajari. Tapi saat ini bukan waktunya. Ia pun kembali membiarkan
pemuda itu menyantap makan siangnya.
Setelah diajari oleh Ma Siang, Gu Yo dapat dengan mudah menyantap
hidangannya. Kuah atau saus merah harum yang tergenang pun dapat
dengan mudah disisirnya, atau sayur yang harus dipotong dulu, ke atas
daging atau nasi yang telah siap untuk untuk diangkat oleh garpu.
Gu Yo pun mulai dapat menikmati makan siangnya dengan cara itu.
324 BAGIAN 6. TATO Cara makan yang baru, menggunakan alat makan yang belum pernah
dialaminya. Biasanya ia hanya makan menggunakan tangan kosong
saja. Setelah habis ia pun sedikit mengelus perutnya yang telah terisikan.
Kenyang dan tenang. Dibawanya piring bekas santapannya itu ke su-
atu sudut, di mana ia melihat beberapa orang sedang mencuci alat-alat
makan. Saat seorang menunjukkan padanya tempat untuk meletakkan
piring kotor beserta garpu, sendok, sumpit dan pisaunya, Gu Yo pun
mengikuti dan meletakkannya di sana. Terpisah, masing-masing ada
wadahnya sendiri-sendiri.
Saat ia bingung tentang apa yang harus dikerjakannya, seorang meng-
gapai bahunya. "Ikut aku!" katanya.
*** Dua orang tua tampak sedang duduk-duduk di depan sebuah gubuk
di tengah hutan. Seorang wanita tua dan lainnya lelakit tua. Nenek
Po dan kakek Gu, kedua orang yang sebelumnya telah merawat luka
Gu Yo atau Paras Tampan akibat merapal ilmu Jarum Terbang Debu
Pasir yang belum dikuasainya dengan benar.
"Heh, kakek Gu! Apa yang kamu pikirkan" Sedari Gu Yo pergi ke
kota Siaw Tiong Goan, kau banyak sekali berdiam," ucap nenek Po
terhadap orang sedang duduk tak jauh darinya itu.
"Hmmm...," jawap kakek Gu pendek. Ucapan yang kiranya menan-
dakan bahwa pikirannya masih mengembara ke sana kemari dalam
alam khayalannya sendiri.
"Ya, sudah! Aku mau masak dulu, sebentar lagi kita makan bareng,"
ucap nenek Po kembali sambil bangkit dan berbalik masuk ke dalam
pondoknya. Sibuk ia kemudian mengaduk-aduk kuali besar yang
menebarkan di udara suatu keharuman menggoda lambung. Ke-
haruman akan kelezatan yang tidak akan didiamkan begitu saja oleh
cacing-cacing penghuni perut. Segera mereka akan berontak minta
diasup. Kakek Gu, sepeninggal nenek Po, masih saja tenggelam dalam lamu-
nannya. Dan benar seperti perkataan nenek tersebut, bahwa ia
325 terlamun-lamun ada kaitannya dengan pemuda yang disebut-sebut
itu. Gu Yo. Ia terpikir akan pemuda itu. Entah bagaimana, ada hal
yang menarik dari pemuda itu, sehingga tetap lekat pada ingatannya.
Ia masih teringat bagaimana ia yang saat itu sedang bertarung sengit
dengan Su-Mo ditolong oleh pemuda itu. Tetapi akibat ilmu mujijat
yang dirapalnya yaitu Jarum Terbang Debu Pasir, suatu ilmu dasyat
yang dapat mengubah butir-butir debu di sekeliling perapalnya men-
jadi padat dan berbentuk jarum untuk diterbangkan menyerang sang
lawan, yang melukai sang pemuda sendiri karena belum benar-benar
menguasainya. Di situlah perkenalan antar keduanya dimulai.
Dengan dibantu nenek Po, kakek Gu mencarikan daun-daun obat un-
tuk ramuan kesembuhan pemuda itu, yang kerap dipanggil "anak Yo"
oleh kakek Gu. Sampai akhirnya ia diberi nama dengan she kakek
Gu, menjadi Gu Yo. Nama yang juga memudahkan perjalanan anak
tersebut di kota Siaw Tiong Goan, suatu kota di mana penduduknya
kerap berasal dari Tlatah Tengah (Tionggoan) yang kadang sulit untuk
melafalkan nama dari tempat lain, dalam rangka mencari keturunan
dari Ceng-Liong Hui-To. Lamunan kakek Gu terhenti saat beberapa orang memasuki halaman
rumah nenek Po. Orang-orang dengan tubuh-tubuh kekar dan kasar.
Diantara mereka terdapat empat orang yang sekilas terlihat berbeda
karena langkahnya yang lebih ringan dan berisi. Orang berilmu.
"Zahnloserbauer (Petani Ompong), saatnya kita putuskan perhitun-
gan kita! Utangmu padaku harus lunas hari ini," ucap seorang dari
mereka, yang berwajah agak gelap. Hek-Mo, salah seorang dari Su-Mo
(Empat Setan). Kakek Gu yang saat itu sedang menerawang pada sosok Gu Yo, son-
tak terkoyak, ia pun menoleh, memperhatikan benar-benar kedelapan
orang yang ada di hadapannya sekarang. Empat orang Su-Mo dan em-
pat orang baru yang belum pernah ditemuinya. Akan tetapi melihat
dari tongkrongan dan busana yang dikenakan, ilmu keempat orang
yang baru dilihatnya ini tidak lebih tinggi dari Su-Mo. Meskipun
demikian jumlah yang berlipat dua ini pasti akan menjadi masalah
baginya, karena dulu dengan hanya berempat, jika tidak dibantu oleh
Gu Yo, ia tidak mungkin memang. Apalagi sekarang.
326 BAGIAN 6. TATO Kakek Gu bukanlah takut untuk mati. Konsekuensi perbuatannya
yang membela para petani yang diharuskan membayar "pajak" kepada
Su-Mo dan kaki-tangannya, akan dihadapinya dengan jantan. Tapi
adanya suatu rahasia yang mesti disampaikannya kepada Gu Yo, yang
merisaukan hatinya. Ia menyesal kenapa tidak dulu-dulu hari ia ceri-
takan hal tersebut kepada pemuda itu.
"Su-Mo, bagaimana keadaan kalian" Sudah baikan?" tanyanya meng-
goda sambil mengulur-ulur waktu untuk memikirkan suatu siasat agar
dapat meninggalkan pesan pada Gu Yo.
Orang yang ditanya sudah tentu memerah wajahnya. Itu bukan per-
tanyaan yang menandakan keingintahuan mencari kabar, tetapi lebih
merupakan ejekan karena dilontarkan oleh orang yang menjadi lawan
dan penyebab keadaan mereka "tidak baik" yang ditekankan dengan
"sudah baikan".
Hek-Mo, seorang dari Su-Mo yang terkenal dengan keberangasan-
nya, tidak biasanya berdiam diri. Rupanya hampir remuknya tela-
pak kakinya akibat tendangan cangkul kakek Gu, si Petani Ompong,
membuatnya lebih mawas diri akan siapa yang dihadapinya saat ini.
Hanya napasnya saja yang berderu-deru, menunjukkan emosi yang
telah meningkat. Alih-alih Su-Mo yang menjawab, keempat orang yang baru hari itu
dilihat kakek Gu yang mengambil pembicaraan, kata seorang dari
mereka, "Salam, orang tua yang bergelar Petani Ompong. Kami Em-
pat Begal Hutan datang untuk mencoba-coba kemampuanmu."
Elemen Kekosongan Karya Nein Arimasen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hmm," jawab kakek Gu pendek, "apa hubungan kalian dengan Su-
Mo?" "Su-Mo menjanjikan pekerjaan penarikan pajak di daerah ini bagi
kami, bila kami bisa menundukkan dirimu, wahai orang tua!" jawab
yang ditanya. Mengangguk-angguk kakek Gu mendengar penjelasan itu, "baiklah,
sudah jelas kedudukan kita masing-masing. Aku berada pada pi-
hat petani yang keberatan akan pajak yang berlebihan besarnya, dan
kalian berada pada pihak Su-Mo yang berlaku sebagai penarik pajak."
327 Tiba-tiba percakapan itu terhenti oleh terbukanya pintu pondok dan
keluarnya nenek Po. "Ah, banyak tamu ternyata! Mari-mari, se-
belum "berdiskusi", kita isikan dulu perut yang meronta-ronta!" Entah
bagaimana, nenek Po seakan-akan tahu akan kedatangan kedelapan
orang itu, sehingga ia telah membawa sebuah nampan besar berisikan
sepuluh buah mangkok besar. Setengah semangka ukurannya. Bisa
dibayangkan adanya suatu "keahlian" karena ia membawa nampan
yang panjangnya seukuran peti mati dan di atasnya terdapat sepuluh
mangkok besar-besar berisi sup.
Tamu-tamu tak diundang yang datang untuk menagih "utang" dengan
kakek Gu, entah bagaimana hanya bisa menurut dan bersama-sama
menuju sebuah meja panjang yang terletak di depan pondok nenek
Po. Semuah meja kayu besar bundar yang dilengkapi dengan enam
belas kursi. Setelah nenek Po selesai melempar-lemparkan mangkok-mangkok
yang "terbang" dan mendarat dengan sunyi di kesepuluh tempat
dari enambelas tempat yang ada, orang-orang itu duduk pada tem-
patnya masing-masing. Delapan buah tempat duduk pada sebelah
sisi telah terisi. Dua buah pada sisi yang berlawanan ditempati oleh
nenek Po dan kakek Gu. Dan mereka pun mulailah makan. Sunyi. Hanya suara-suara menyeruput
yang terdengar sesekali dan juga kunyahan ringan serta telanan sepi
bahan-bahan dalam sup nenek Po.
Setelah makan semuanya duduk lemas, kenyang dengan apa-apa yang
ada dalam sup nenek Po. Setelah semua perabotan makan dibereskan
dan meja kembali kosong seperti semula, kakek Gu mulai angkat
bicara, "Ah, enaknya perut telah kenyang, Su-Mo dan kalian Empat
Begal Hutan, mari kita bicarakan "urusan kita" sekarang."
Kelompok lawan bicaranya yang duduk di separuh meja sana mengangguk-
angguk. Hek-Mo yang biasanya berangasan tampak agak terkantuk-
kantuk. Puas rupanya ia telah terisi perutnya, sehingga napsu mem-
balas dendamnya agak berkurang.
Seorang dari Empat Begal Hutan berkata, "Wahai orang tua, terima
kasih atas jamuanmu. Benar seperti yang diberitakan di tanah Alema-
nia, bahwa Zahnloserbauer tidak membeda-bedakan kalangan. Semua
328 BAGIAN 6. TATO dijamu baik, dengan makanan maupun dengan pedang dan tendangan
serta pukulan. Kami merasa tersanjung atas kehormatan ini."
"Tidak, tidak..," kata kakek Gu sambil menggoyang-goyangkan tela-
pak tangannya, "tidak perlu sungkan-sungkan. "Jamuan" selalu siap
tersedia bagi tamu-tamu kami. Mari kita langsung pada permasala-
hannya." Setelah itu, keempat orang Empat Begal Hutan diikuti oleh Su-Mo
berdiri dan mengambil tempat di suatu tempat terbuka tidak jauh
dari sana. Mengikuti dari belakang kakek Gu dan nenek Po. Kedu-
anya tampak senyam-senyum di antara mereka, menganggap "urusan"
seperti ini adalah suatu yang "biasa".
Keempat orang Empat Begal Hutan lalu mengambil posisi mengepung
kakek Gu saat ia berdiri di tengah tempat terbuka tersebut. Su-Mo
hanya tampak memperhatikan dari pinggir. Ya, Su-Mo ingin terlebih
dahulu melihat kemampuan orang-orang yang menawarkan diri untuk
menjadi penarik pajak bagi mereka. Jika tidak mampu menundukkan
kakek Gu, apalah gunanya Empat Begal Hutan ini, pikir mereka.
"Wahai orang tua, bukannya kami tidak sopan, tapi kami biasa
bertempur berempat. Bila engkau keberatan, katakan saja," ucap
seorang dari Empat Begal Hutan tersebut pada kakek Gu.
Kakek Gu hanya menggeleng ramah, lalu ia pun menggerakkan tan-
gannya sedikit, seperti mengucapkan, "silakan mulai!"
Kelimanya pun mulai berlaga. Pukulan-pukulan dan tendangan-
tendangan mulai dilemparkan oleh yang punya. Tulang beradu tu-
lang. Empat Begal Hutan, sebagaimana kakek Gu adalah orang-orang
yang ahli menyerang dengan tangan kosong. Tenaga kasar dan otot.
Walaupun demikian, gerakan-gerakan mereka cukup bagus dan kom-
pak. Mengejar setiap ruan kosong yang akan dimasuki oleh kakek Gu.
Dalam sepeminum teh, terlihat bahwa kakek Gu hampir-hampir tidak
memperoleh ruang untuk bernapas.
Su-Mo tampak senyam-senyum melihat ketangguhan Empat Begal
Hutan yang akan menjadi penarik pajak bagi mereka. Serangan keem-
patnya cukup bagus, bahkan cenderung bagus. Dengan hanya puku-
lan dan tendangan mereka dapat mendesak kakek Gu sedemikian rupa
329 apalagi bila menggunakan senjata. Sebenarnya tingkatan Su-Mo dan
Empat Begal Hutan tidaklah berbeda jauh. Perbedaan ini hanyalah
karena Su-Mo seringkali menggunakan senjata tajam golok, sedan-
gkan Empat Begal Hutan hanya kepalan dan tendangan. Kelebihan
tipis yang tidak terlalu berarti bagi orang-orang yang telah tinggi ilmu
silatnya. Selain itu Empat Begal Hutan masih terhitung belia, baru
belasan tahun apabila dibandingkan dengan Su-Mo yang telah tiga
puluhan tahun. convert txt : http://www.mardias.mywapblog.com
Su-Mo sebenarnya sudah agak gatal pula untuk turun tangan melihat
pertarungan yang seimbang itu, tapi mereka masih menanti-nanti ke-
munculan pemuda yang dulu melukai Hek-Mo dan Pek-Mo. Mereka
perlu berhati-hati bila orang yang diwaspadai itu terlihat batang
hidungnya. *** Pukul empat kurang sepuluh menit saat itu. Gu Yo telah berada
kembali di jalan raya. Ia telah meminta ijin kepada Ma She yang
telah diberitahu sebelumnya oleh Yok Seng, sang pemilik Kedai Dag-
ing Bakar, bahwa ia diberikan waktu luang antara jam empat dan jam
lima untuk keperluan memenuhi janjinya. Janji untuk menemui nona
Sian Lin di Rumah Tato Ceng-Liong Hui-To.
Kedai Daging Bakar dan Rumah Tato Ceng-Liong Hui-To terletak
pada jalan besar yang sama. Akan tetapi tidak terlalu berdekatan.
Ada persimpangan jalan yang memisahkan keduanya. Selain itu ked-
uanya berada pada sisi jalan yang berseberangan.
Karena ia telah cukup memperhatikan jalan yang dilalui tadi dari
Rumah Tato Ceng-Liong Hui-To sampai tiba ke Kedai Daing Bakar,
Gu Yo dapat dengan mudah menemukan tempat itu kembali, tanpa
perlu bertanya-tanya kepada orang-orang yang berpapasannya di
jalan. Rumah Tato Ceng-Liong Hui-To tampak lebih sepi dari pada tadi
siang saat ia pertama kali dalam hidupnya membuat janji. Penjaga
yang tadi menyapanya pun sudah tidak kelihatan juga gadis yang tadi
menuliskan janjinya. Sekarang seorang pemuda juga berbadan tegap
dan gadis lain yang juga manis untuk dilihat tampak menggantikan
tempat mereka bertugas. 330 BAGIAN 6. TATO Dengan meniru pada cara satu dua orang yang datang, menegur sapa
terlebih dahulu sang penjaga untuk kemudian mencocokkan janji,
nama pengunjung dan nama yang dikunjungi atau membuat janji
baru, Gu Yo pun melakukannya. Karena sikapnya yang baik dan
mirip orang-orang tersebut, kedua petugas itu, sang penjaga dan
gadis pencatat janji, tidak menyadari bahwa Gu Yo tadi pagi adalah
orang yang sama sekali belum mengetahui tata cara mengunjungi
penghuni Rumah Tato Ceng-Liong Hui-To.
Ruangan itu lebar dan terang. Di sana-sini tampak sekat-sekat
ruangan sehingga ruangan yang berlangit-langit lebar itu menjadi
bersegmen-segmen terkotak-kotakkan secara acak oleh sekat-sekat
tadi. "Mungkin ini yang disebut labyrinth," pikir Gu Yo. Ia tadi
dibawa ke ruang ini oleh seorang gadis penunjuk jalan, selepas jan-
jinya untuk bertemu nona Sian Lin dicocokkan.
Pada masing-masing panel baik langsung pada dinding maupun sekat
tampak semacam obyek mirip lukisan atau ukiran pada alas dua di-
mensi yang berlatar belakang warna kecoklatan, kadang kekuningan
atau agak gelap. Gambar yang terlihat kadang berupa naga, tulisan
kaligra" ataupun obyek-obyek lain. Kadang sederhana berwarna satu
atau pun berwarna banyak. Di bawah benda-benda tersebut selalu
diawali dengan kata "Tato".
"Bagaimana, apakah anda menyukainya?" ucap sebuah suara merdu
yang memecahkan lamunan Gu Yo yang sedang menikmati atau
sekedar melihat-lihat obyek-obyek pada panel-panel tersebut.
"Eh, anu..," jawab Gu Yo gugup. Ia tidak tahu harus menjawab
apa. Ini merupakan pengalaman pertamanya berada dalam suatu
ruang dengan dihiasi banyak benda-benda yang memberikan nuansa
tersendiri. Benda seni menurut beberapa orang.
"Halo, saya Swee Sian Lin, ada urusan apa anda ingin bertemu den-
gan saya?" tanyanya sambil mengangsurkan tangannya. Gu Yo yang
bingung hanya menjura. Ia tidak tahu bahwa di beberapa tempat,
orang kadang bersalaman saat pertama kali berkenalan.
Melihat itu sang gadis hanya tersenyum. Lalu katanya, "Ah, anda
pasti dari kalangan pesilat, melihat cara anda memberi salam."
331 Gu Yo hanya mengangguk saja. Bingung.
"Mari silakan melihat-lihat!" ucap gadis itu kemudian saat melihat
bahwa Gu Yo masih kikuk dengan pertemuan mereka.
Lalu dengan lugas dan menawan gadis itu menerangkan bahwa obyek-
obyek yang dilihat Gu Yo adalah tato atau rajah. Lukisan yang digam-
barkan di atas tubuh orang. Digambar dengan menggunakan jarum
yang dibubuhi ramuan dan ditorehkan di atas kulit sang pemiliki.
Suatu proses yang menyakitkan tapi menurut mereka tak sebanding
dengan keindahan serta kepuasan yang diperoleh kemudian.
Saat Gu Yo memastikan bahwa apa yang disajikan sebagai obyek seni
tersebut adalah benar-benar kulit manusia, dengan ringan gadis itu
mengiyakan dan menambahkan bahwa dulu lukisan-lukisan ini meru-
pakan koleksi seorang penjahat yang gemar mengoleksi tato. Tato dari
seorang korban yang hidup. Bisa dibayangkan bagaimana menderi-
tanya sang korban saat kulitnya dilepas atau dikletek untuk diambil
tatonya. Tapi itu masa lalu. Saat ini sudah tidak ada lagi hal-hal
semacam itu. Dilarang oleh hukum.
Manggut-manggut Gu Yo mendengarkan penjelasan tersebut. Baginya
seni bukan merupakan sesuatu yang benar-benar penting. Keindahan
yang terpancar dari sang gadis lebih menarik untuk dinikmati. Tapi
ia tahu diri dan tidak memandang terus-menerus terlalu lekat.
"Jadi, apa sebenarnya maksud kedatangan anda ke mari, menemui
saya?" tanya gadis itu lagi setelah ia menjelaskan panjang lebar menge-
nai apa-apa yang umumnya diceritakan oleh seorang pemandu dalam
suatu galeri atau musium.
"Itu, sebenarnya.., agak memalukan untuk diceritakan," jawab Gu Yo
sambil tak bisa ditahan wajahnya pun sedikit memerah.
Swee Sian Lin benar-benar baru menemui seorang seperti Gu Yo hari
ini. Sopan, sederhana dan kikuk akan tetapi tampan dengan per-
awakan yang bagus. Biasanya orang-orang yang datang menemuinya
adalah tipe-tipe pesolek dan manis mulut. Memuji-muji akan tetapi
tidak tahu apa yang dipuji, karena sebenarnya tujuannya adalah men-
cari nona Swee Sian Lin sendiri. Pemuda ini lain, walaupun ia tidak
mengerti mengenai tato, tapi ia menyimak dan tidak berpura-pura
332 BAGIAN 6. TATO mengerti. Gadis itu pun menyadari bahwa Gu Yo juga memandang kagum pada
kecantikannya. Sebagai seorang gadis yang sudah sering dipuji orang,
ia bisa mengerti dari cara pandangannya. Walaupun demikian ia
menyukai cara pemuda itu memandangnya, hanya kagum tetapi tidak
kurang ajar. Pandangan kurang ajar adalah pendangan menjelajah
yang seakan-akan mengerayangi seluruh tubuhnya, memandanginya
seakan-akan membayangkan dirinya tanpa busana. Berdasarkan pen-
galaman Sian Lin dapat membedakan cara pandang seorang pemuda
kepadanya. "Eh, anu.., saya saat tadi pagi menjelang siang melihat orang yang
sosoknya mengingatkan saya pada seseorang sehingga saya pun kemu-
dian mengikutinya. Akan tetapi ternyata sosok itu bukan orang yang
saya perkirakan, melainkan nona Sian Lin," jelas Gu Yo dengan wajah
yang agak kemerahan. Jengah ia mengatakan hal yang sebenarnya itu.
"Siapa orang yang anda maksud itu?" tanya gadis itu ingin tahu.
"Tunangan saya," jawab Gu Yo pendek.
"Ah, saya mengerti sekarang. Jadi anda salah lihat orang," mengangguk-
angguk gadis itu mendengar penjelasan sang pemuda. Rupanya hanya
masalah salah lihat saja, sehingga pemuda itu sampai membuat janji
untuk bertemu dengannya. Hanya untuk memastikan apakah dirinya
adalah tunangan sang pemuda.
"Karena anda telah di sini, dan saya juga telah meluangkan waktu bagi
anda, marilah kita tuntaskan melihat-lihat Rumah Tato Ceng-Liong
Hui-To ini," usul sang gadis. Baginya tak jadi soal bahwa ternyata pe-
muda itu tidak memiliki keperluan sebenar-benarnya dengan dirinya.
Gu Yo hanya mengangguk mengiyakan. Ia sengan bahwa gadis itu
tidak marah karena waktunya terbuang percuma.
Kemudian mereka pun berkeliling lagi dalam galeri itu, meninjau
ruangan-ruangan yang terbentuk oleh panel-panel sekat yang tadi
belum dirampungkan. Saat ini Gu Yo benar-benar menyimak apa-
apa yang dijelaskan oleh gadis itu. Entah bagaimana, mungkin karena
suara yang merdu dan juga caranya menjelaskan, dirinya menjadi lebih
333 tertarik pada kisah-kisah di balik tato-tato tersebut.
"Ini tato seorang gadis panggilan, Bunga Merah. Ia dipesan oleh sang
penjahat pengumpul tato. Kemudian ia dibunuh di ruangan tempat
seyogyanya orang pelesir dalam rumah bordil dan ditinggalkan di sana
mayatnya.. dan juga bayarannya plus bonus..," begitu salah satu dari
cerita-cerita seram di balik pengumpulan bagian tubuh manusia yang
berlukiskan macam-macam itu.
Tiba-tiba terdengar teriakan histeris seorang wanita, "Ahhhhhh!!!
Ada darahhh!!" Bergegas Sian Lin diikuti oleh Gu Yo menuju sumber suara tersebut.
Berbelok ke kiri dan ke kanan di antara panel-panel yang ada sampai
mereka tiba di suatu lorong panjang yang tidak lagi menjadi bagian
ruangan besar tadi, melainkan suatu bagian lain ruangan yang meru-
pakan koridor dari dua ruang besar. Salah satunya ruangan tempat
ia dan Sian Lin tadi berada.
Di tengah-tengah koridor itu tampak seorang gadis yang terduduk di
salah satu dinding dan memandang dinding lain dihadapannya. Di
sininya telah ada seorang pemuda, pemuda yang tadi pagi bertugas
menjaga dan membantu Gu Yo membuat janji. Di hadapan gadis itu
tampak sehelai tato segar, baru dan berdarah-darah pada panel diding.
Ditempelkan sedemikian rupa sehingga melengkapi tato yang telah ada
sebelumnya. Keduanya saat itu menjadi tato pasangan burung merak
hitam dan putih. "Nona Sian Lin, itu...!" tunjuknya dengan muka pucat. Dan tidak
hanya ia, sang pemuda yang berusaha membantunya bangkit juga
terlihat pasi saat melihat tato tersebut.
Tak luput dari pengamatan Gu Yo bahwa wajah Swee Sian Lin pun
berubah, akan tetapi tidak sepucat kedua karyawannya itu.
Elemen Kekosongan Karya Nein Arimasen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Dia datang kembali...!" ucap sang pemuda tak selesai karena lirikan
mata Swee Sian Lin. *** "Hidup membujang ada enak dan tidaknya, memang...," guman seo-
rang pemuda yang tampaknya sedang memasak sesuatu di atas kom-
334 BAGIAN 6. TATO por. Badannya tegap, perawakannya tidak terlalu tinggi, dengan wa-
jah bulat dan selalu diselipi senyum yang ramah, membuatnya menarik
untuk dilihat. San Cek Kong nama pemuda itu.
Ruangan tempat San Cek Kong berada tidak terlalu besar, hanya dua
tombak kali dua tombak ukurannya. Di salah satu sudut ada tempat
tidurnya yang ditemani dengan sebuah lemari kayu besar. Di sudut
lain ada kotak kecil yang berfungsi sebagai jamban dan juga tempat
mandi menggunakan pancuran. Tak jauh dari kotak mandi tersebut
adalah tempat ia berdiri sekarang, dapur kecil. Tempat ia memasak
masakan sehari-harinya. Ia biasa pulang saat waktu makan dan masak
serta makan sendiri di rumah. Tidak seperti teman-temannya yang bi-
asanya diberi bekal oleh istri-istrinya dan memakan bekalnya di tem-
pat mereka bekerja. Saat ia sedang menjerang sayur-sayuran untuk ditumis. Tiba-tiba
berdering dan berderu selang besi yang ada di depan meja kerjanya.
Atau tepatnya meja serba-serbi. Ia makan, bekerja dan juga membaca-
baca di atas meja tersebut.
Selang besi yang dikenal orang sebagai Selang Surat. Suatu selang
atau pipa tepatnya yang menghubungkan satu tempat dengan tempat
lain, yang di dalamnya dengan menggunakan tekanan udara dari suatu
mesin, dapat mengantarkan surat yang terlebih dahulu dimasukkan
dalam suatu tabung dari kayu. Tabung ringan dan kuat, yang akan
terhembus dengan cepat oleh udara bertekanan tinggi, dan dialirkan
ke tempat tujuan. Sebuah teknologi surat mekanik.
Bergegas ia beranjak ke meja tersebut, dicari-carinya di mana ujung
selang atau pipa besi yang berada di atas meja, yang telah tertutup
oleh timbunan kertas-kertas dan buku-buku itu. Akhirnya berhasil
didapatkannya. Di ujung selang tersebut tersembul sebuah gulungan
kecil surat. Lubang gulungan surat itu pas dengan ukuran ibu jari
orang dewasa. Warna penanda gulungan surat itu hitam. Kematian. Warna yang
dilukiskan pada sisi gulungan sehingga berlaku seolah-olah pita pengikat
gulungan itu. Pengikatnya sendiri adalah seutas benang berwarna
sembarang. "Pembunuhan atau bunuh diri, ya?" gumam San Cek Kong, sam-
335 bil ia menggigit sendok pencicip makanan yang saat itu sedang
dipegangnya dan membuka surat itu dengan tangannya yang lain.
Berubah matanya saat membaca isi dari surat itu. Bukan karena
kasus itu sendiri melainkan lokasi tempat kasus itu terjadi. Rumah
Tato Ceng-Liong Hui-To. Jarang-jarang terjadi kasus pada suatu tempat seterkenal Rumah Tato
Ceng-Liong Hui-To. Di sana umumnya hanya dipamerkan lukisan
berupa tato-tato pada kulit manusia yang langka dan mahal. Su-
atu koleksi yang saat ini telah dilarang karena berkaitan dengan rasa
kemanusiaan. Ya, siapa orang yang rela kulitnya ditato untuk kemu-
dian dikletek dan dijadikan pajanganan. Sudah tentu dulunya koleksi-
koleksi itu didapatkan dengan cara yang tidak manusiawi dan legal.
Dan dalam surat itu tertera bahwa suatu "koleksi baru" telah di-
pasang orang di dekat sebuah tato. Sebuah kulit yang masih segar dan
mengeluarkan darah. Suatu cara yang tak lazim untuk menandakan
adanya suatu kasus pembunuhan. Dengan kata lain, belum tentu ter-
jadi pembunuhan, bisa saja korbannya, sang pemilik tato masih hidup,
walau dalam keadaan kritis. Untuk itu kasus ini memang memerlukan
penanganan sesegera mungkin.
Dengan tatapan sedik San Cek Kong memandang sayuran yang baru
dimasaknya. Makan siang yang sudah jauh telat dari waktu seharus-
nya pun tak bisa dinikmatinya. Tak ada lagi waktu untuk makan
sekarang. Ia hanya mengambil sepotong daging setengah kepal dari
sayur telah masak itu, menjejalkannya ke dalam mulut dan bergegas
memakai seragam dinasnya. Seragam seorang Paturan (penegak atu-
ran atau polisi). Dengan langkah ringan karena rapalan gerak Terbang Menyentuh
Ujung Rumput, San Cek Kong segera sampai pada tempat keja-
dian. Ia tidak terlebih dahulu ke kantornya, Rumah Jaga Ceng-Liong
Hui-To, melainkan langsung ke tempat kejadian. Dari surat yang
diterimanya, dikatakan bahwa para rekannya telah dalam perjalanan
ke tempat peristiwa tersebut terjadi. Jadi tidak ada gunanya ia pergi
terlebih dahulu kembali ke kantor, meskipun buku catatan yang biasa
digunakannya ada di sana.
*** 336 BAGIAN 6. TATO "Hai Inspektur San Cek Kong, cepat sekali anda datang!" sapa se-
orang pegawai Paturan kota Siaw Tionggoan, Ang Tiong namanya.
"Rasanya baru saja saya kirimkan anda surat mekanik. Saya perki-
rakan anda seharunya masih dalam perjalanan," lanjutnya kemudian.
San Cek Kong atau tepatnya Inspektur San Cek Kong tidak ter-
lalu menghiraukan ucapan itu melainkan langsung meminta catatan
situasi di lapangan yang telah dirangkum oleh Ang Tiong. Dengan
sigap pegawai Paturan tersebut menyerahkan sebundel kertas-kertas
bertuliskan tangan berbeda-beda. Hasil catatan beberapa orang men-
genai peristiwa yang terjadi. Orang-orang yang bekerja dalam tim
forensik pimpinan Ang Tiong.
Dari catatan para rekannya yang bertugas pertama-tama mengumpulkan
bukti-bukti forensik di lapangan, tidak banyak informasi yang bisa
diserap San Cek Kong, kecuali posisi tempat terdapatnya tato segar
yang masih berdarah, saksi-saksi dan waktu kejadian. Korbannya
sendiri, bila memang ada, belum ditemukan atau bisa diindikasikan.
Pada jaman itu, tato tidak lagi menjadi tren, sehingga sulit untuk
mencari keterangan mengenai hal itu secara cepat.
Selain itu ada hal lain pula yang membuat San Cek Kong tertarik un-
tuk menuntaskan masalah ini, yaitu siapa lagi jika bukan nona Swee
Sian Lin, pemilik Rumah Tato Ceng-Liong Hui-To, tempat kejadian
itu berlangsung. Antara keduanya tidak terdapat hubungan khusus
kecuali bahwa keduanya dulu pernah bersekolah bersama-sama di su-
atu perguruan silat yang kebetulan juga tempat seorang yang namanya
digunakan pada kedua tempat mereka bekerja sekarang, Ceng-Liong
Hui-To. Perguruan silat tanpa nama itu terletak di sebuah bukit di lu-
aran kota Siaw Tionggoan. Agak desa suasananya, jauh di arah barat
dari kota. "Cek Kong-koko!" sapa Sian Lin saat melihat San Cek Kong masuk ke
dalam ruangan tempat ia sedang menenangkan pegawainya yang men-
jadi saksi ditemukannya tato burung merak hitam yang masih segar,
yang melengkapi tato burung merak putih yang telah ada sebelum-
nya. Gu Yo saat itu telah kembali ke Kedai Daging Bakar karena
waktunya untuk rehat di sela-sela pekerjaannya telah habis. Tapi ia
telah dipesankan oleh seorang paturan bahwa sekali-kali ia akan di-
panggil untuk diminta keterangan, karena ia pada saat tersebut berada
337 di tempat kejadian. "Sian Lin-moymoy, engkau baik-baik saja?" tanya Cek Kong kepada
gadis itu. Gadis itu mengangguk mengiyakan sambil menunjuk pada
pegawainya yang kelihatannya masih dalam keadaan stres akibat pen-
emuan tato segar tersebut. Ya, tidak setiap orang siap dengan keadaan
tersebut, apalagi bila yang ditemui dalah mayat korbannya dan bukan
hanya kletekan kulitnya yang bertato.
Tak banyak informasi tambahan yang diperoleh San Cek Kong, tim
forensik pimpinan Ang Tiong telah bekerja sangat baik. Semua pi-
hak, kecuali gadis yang sedang stres dan masih sesengukan itu, telah
ditanyai. Dan saat ditanya ulang oleh San Cek Kong, keterangan
mereka tidak banyak berbeda.
"Eh, katamu tadi engkau mendapat tamu?" tanya Cek Kong kemudian
pada Sian Lin. "Ya, ada seorang pemuda, Gu Yo namanya. Ia bekerja di Kedai Dag-
ing Bakar paman Yok Seng di seberang simpang jalan sana, masih
jalan yang sama," jelas gadis itu.
"Tentu saja aku kenal Kedai Daging Bakar paman Yok Seng, sering
kami makan-makan di sana. Selain lezat, harganya juga agak ter-
jangkau bagi kantung kami-kami ini, pegawai paturan," senyum Cek
Kong. "Bagaimana bila kita makan malam di sana, kebetulan aku
belum sempat makan siang, dan eh " sekalian berbicara dengan pe-
muda itu, Gu Yo "kan namanya?" usul pemuda itu kemudian.
Gadis itu menggangguk mengiyakan.
Setelah sedikit melihat-lihat tempat kejadian tersebut, mencatat hal-
hal yang dipikirkan agak janggal di tempat kejadian, Cek Kong pun
pamit pada rekannya sesama paturan. Ia kemudian berjalan bersama
nona Sian Lin menuju Kedai Daging Bakar, tempat di mana Gu Yo
bekerja. *** Perbedaan usia dalam suatu pertempuran akan menampakkan hasil-
nya apabila telah berjalan cukup lama. Dulu waktu kakek Gu
bertarung dengan Su-Mo setelah lama berlangsung, mulailah kakek
338 BAGIAN 6. TATO Gu terlihat terdesak karena perbedaan usia. Tapi saat itu perlu be-
berapa saat mengingat usia Su-Mo yang kira-kira telah setengah usia
kakek Gu. Saat ini dengan Empat Begal Hutan yang usianya baru
kira-kira seperempat usia kakek Gu, lebih cepat kakek Gu mengalami
kelelahan. Ia mencoba untuk tidak terlalu menggunakan kecepatan
dan tenaga. Bergerak hanya saat-saat diperlukan saja. Untung keem-
pat orang lawannya itu hanya menggunakan tendangan dan pukulan,
sehingga ia tidak terlalu terancam bahaya seperti saat dulu bertarung
langsung dengan Su-Mo. "Bukkk!" sebuah tendangan mendarat pada punggunggnya, yang
membuat kakek Gu terdorong maju selangkah. Akibat ketidakwas-
apadaannya itu ia harus kehilangan beberapa saat yang mengun-
tungkan. Dalam pertempuran dengan banyak lawan, satu langkah
yang salah, harus dibayar dengan tiga sampai empat pukulan. Dan
benar saja, "Desss!!" sebuah pukulan pun masuk ke dalam perutnya,
ini akibat langkah maju yang seharusnya tidak dilakukannya tadi.
Dan kemudian masih, "plakk!!" sebuah tamparan mengenai pinggang
kanannya. Untuk mengakhiri kedudukannya yang tidak menguntungkan itu kakek
Gu pun merendahkan dirinya, memasang kuda-kuda dengan kaki lebar
terpentang. Ia akan menyerang kaki-kaki para lawannya itu dengan
tumitnya, seperti dulu saat ia gunakan jurus itu untuk menyerang
Hek-Mo, yang hampir meretakkan tulang atas telapak kaki dari Hek-
Mo tersebut. "Hati-hati tendangan pacul rendahnya!" tiba-tiba Hek-Mo berucap.
Ia yang pernah mengalami sendiri keampuhan jurus itu tanpa sadar
berucap. Mendengar kata-kata tersebut keempat orang Empat Begal Hutan
melambatkan geraknya, berhati-hati terhadap serangan mendadak
kakek Gu. Akan tetapi sayang ucapan itu telat, belum sempat mereka
berempat sadar apa yang akan dikeluarkan oleh kakek Gu, sang peny-
erang telah bergerak. Cepat. Kiranya dengan sisa-sisa tenaganya
kakek Gu mengharapkan setidaknya ada satu dua kaki yang bisa
remuk oleh tumitnya. Tumit si Zahnloserbauer.
"Hiaatt!!" serangan kakek Gu ke arah kepala dan pundak beberapa
339 orang dielakkan dengan mudah dan tipis dengan hanya menarik kepala
ke belakang dan memindahkan sedikit titik berat tubuh. Setelah
dua orang lolos, kakek Gu masih berusaha untuk menyerang orang
ketiga dan keempat. Kedua orang terakhir inilah yang sebenarnya
merupakan tujuan kakek Gu. Seketika mereka melihat bahwa rekan-
nya dengan cara sebegitu saja dapat mengelak, mereka menjadi tidak
berwaspada, dan hal itu yang diharapkan oleh kakek Gu.
Dengan hanya memindahkan sedikit titik berat dan menarik kepala,
membiarkan kaki depan mereka tidak berpindah, membiarkannya
dalam jangkauan tumit cankul kakek Gu, si Zahnloserbauer. Dan
"takk!!" serta "krakkk!!" dua buah kaki dari dua orang yang berbeda
terkena tendangan cankul bergantian kanan dan kiri dan kakek Gu.
Tendangan yang awalnya ditipukan untuk menyerang kepala dan pu-
dak kedua orang tersebut, suatu tipuan yang telah dipertontonkan
sebelumnya kepada kedua orang rekan mereka. Tipuan manis yang
menghanyutkan. Tipuan yang meraih korbannya dengen telak.
Seruan Hek-Mo pun datang terlambat, "itu kaki.., awas....!!"
Kedua orang yang menjadi korban tampak sesegera mungkin bersalto
ke belakang, menghindari adanya kemungkinan mendapat serangan
Muridku Macho 1 Misteri Elang Hitam Karya Aryani W Darah Olympus 4