Pelangi Di Langit Singosari 24
03 Pelangi Di Langit Singosari Karya S H Mintardja Bagian 24
Demikianlah maka para Senapati yang segera mendapat perintah untuk melaksanakan latihan terbuka itu, mempersiapkan segala sesuatu yang dilakukan. Mereka mulai membuat patok-patok dialun-alun. Kemudian menarik tali diantara patok-patok itu untuk membatasi agar kuda para peserta tidak berlari-lari sampai kegaris penonton. Dengan demikian akan dapat menimbulkan kecelakaan bagi mereka yang mungkin terinjak kaki-kaki kuda para peserta itu.
Ternyata bahwa pengumuman itu mendapat sambutan yang baik dari kalangan anak-anak muda Singasari. Apalagi suatu ketentuan yang mengatakan bahwa siapakah yang paling menang diantara para peserta, akan diberi kesempatan bertanding melawan Tuanku Tohjaya, dan kesempatan pertama untuk langsung diangkat menjadi seorang perwira jika dikehendaki dan hadiah berupa seekor kuda yang sangat baik. Apalagi jiga ia dapat menang atas Tohjaya, maka hadiahnya akan ditambah lagi dengan kesempatan yang lebih luas di bidang keprajuritan dan tiga ekor kuda yang paling baik.
Demikianlah pada saatnya, maka sejak pagi-pagi buta, berduyun-duyun orang-orang Singasari pergi kealun-alun untuk menyaksikan suatu arena terbuka bagi anak-anak muda Singasari. Sebuah panggungan khusus telah dibuat untuk tempat menonton bagi Sri Rajasa dan pada Panglima.
Para anak muda yang akan mengikutinya telah berkumpul disudut alun-alun yang ditentukan. Masing-masing diatas punggung kuda masing-masing yang dihias dengan kelengkapan beraneka warna dan dibungai dengan janur kuning
Ternyata bahwa arena terbuka itu menjadi sangai meriah dan menarik perhatian. Berjejal-jejal rakyat Singasari memenuhi alun-alun mengitari arena yang dibatasi dengan tali-tali yang terentang.
Beberapa orang Senapati dan prajurit yang bertugas menyelenggarakan arena terbuka itu telah siap ditempat masing-masing. Semuanya juga berkuda mengelilingi arena. Selain mereka harus mengawasi para penonton agar tidak masuk kearena, mereka harus mengamati jalannya sodoran di arena itu sendiri. Kecuali para petugas itu, ada dua orang petugas khusus yang akan menilai setiap perkelahian tongkat yang akan terjadi. Tidak boleh ada kecurangan dan tidak boleh ada kekerasan yang melampaui batas.
Seorang petugas yang berada diantara para peserta masih memberi kesempatan kepada anak-anak muda yang ingin mengikuti sodoran diarena itu. Namun agaknya sudah tidak ada lagi yang menyatakan dirinya menambah jumlah dan anak-anak muda yang ikut serta. Mereka sebenarnya ingin juga mencoba-coba, tetapi mereka harus mempunyai bekal kecakapan mengendalikan kuda dan kemampuan dalam olah kanuragan. Ketahanan tubuh dan ketrampilan menggerakkan tongkat panjang yang seakan-akan merupakan sebuah tombak bertangkai panjang.
Ketika semuanya sudah siap, serta persiapan-persiapan sudah selesai diselenggarakan, maka permainan itu-pun segera dibuka. Sebelum pertandingan dimulai, maka terlebih dahulu, putera Sri Rajasa, Tohjaya, berkuda mengelilingi arena pambil melambai-lambaikan tangannya.
Yang menyambut mula-mula adalah mereka yang berada diatas panggung kehormatan. Namun kemudian setiap orang yang menyaksikan pertandingan ketangkasan itu-pun bertepuk tangan dan melambai-lambaikan tangan mereka pula.
Tohjaya yang namanya semakin dikenal oleh rakyat Singasari itu berkenan untuk bertanding melawan pemenang terakhir dari permainan ketangkasan itu.
Setelah mengelilingi arena beberapa kali, maka Tohjaya-pun segera turun dari kudanya di muka tangga panggungan. Setelah sekali lagi melambaikan tangannya kepada setiap orang yang ada diseputar arena, maka ia-pun segera naik dan duduk disamping ayahanda Sri Rajasa dan ibunda Ken Ken Umang.
Disini yang lain dari ayahanda Sri Rajasa adalah Permaisuri Ken Dedes, kemudian Mahisa Agni dan seharusnya diantara mereka duduk Putera Mahkota. Tetapi ternyata Putera Mahkota tidak menghadiri permainan itu. Namun dibelakang mereka, para Panglima dan Senapati memenuhi panggung kehormatan itu.
"Apakah Anusapati tidak berminat ?" bertanya Sri Rajasa kepada Tohjaya.
Tohjaya mengangkat bahu. Jawabnya,"Hamba tidak tahu pasti ayahanda. Hamba sudah minta agar kakanda Anusapati hadir. Tetapi agaknya kakanda Anusapati tidak mau apabila dengan tiba-tiba saja diminta untuk turun kearena, karena kakanda Anusapati sama sekali tidak menguasai kendali kuda, apalagi dengan sebelah tangan memegang tongkat panjang."
Sri Rajasa mengangguk-anggukkan kepalanya.Namun Ken Dedes yang mendengar jawaban itu mengerutkan keningnya. Tanpa sesadarnya ia berpaling. Tetapi Anusapati memang tidak ada diantara mereka. Yang tampak disebelah para Panglima dan Senapati adalah putera-puteranya yang lain, diantaranya adalah Mahisa Wonga Teleng.
Ken Dedes menarik nafas dalam-dalam. Ia sadar, bahwa ternyata Sri Rajasa benar-benar bersikap kurang adil terhadap putera-puteranya. Sri Rajasa tidak mendidik puteranya menjadi laki-laki yang sejajar didalam berbagai macam hal. Juga didalam olah kanuragan.
Namun terasa sesuatu berdesir didalam dadanya. Ken Dedes tidak dapat mengingkari kenyataan, bahkan ia adalah orang yang paling tahu, siapakah sebenarnya Anusapati itu.
Sekilas terbayang Akuwu Tunggul Ametung yang perkasa. Yang terbunuh dengan cara yang licik sekali. Dan ia-pun akhirnya mengetahui, siapakah yang telah membunuh Akuwu Tunggul Ametung itu. Sama sekali bukan Kebo Ijo yang namanya telah dicemarkan.
Tetapi saat itu hatinya sedang digelapkan oleh suatu perasaan yang tidak dimengerti dan tidak dapat dikendalikannya terhadap orang yang bernama Ken Arok itu. Baru kini ia merasa seakan-akan ia harus menanggung dosa yang disandangnya itu.
Tetapi Ken Dedes yang telah cukup lama harus selalu menanggung rasa itu, berhasil mengendalikan dirinya, sehingga seolah-olah ia sama sekali tidak terpengaruh oleh ketidak hadiran Anusapati. Namun ia masih berharap, bahwa Mahisa Wonga Teleng dapat berbuat seperti seorang laki-laki yang baik.
Jadi bukan saja Tohjaya. Namun agaknya Mahisa Wonga Teleng-pun sama sekali tidak bersiap untuk mengikuti permainan di arena terbuka itu.
Demikianlah setelah semuanya dipersiapkan, mulailah perkelahian yang pertama diarena itu. Setelah diundi, maka dua orang anak muda muncul diarena. Mereka adalah anak-anak muda yang tegap dan kuat. Mereka duduk diatas kuda yang tegar dan sebuah tongkat panjang ditangan kanan. Tongkat panjang yang ujungnya dibalut dengan sabut yang terbungkus kain, agar sentuhan ujung tongkat panjang itu tidak berbahaya.
Dengan senyum dibibir, meski-pun tampak juga keringat mengembun dikening, keduanya pergi keujung yang berbeda dari arena itu. Sejenak mereka mempersiapkan diri. Sementara itu seorang prajurit telah siap memukul tengara.
Seorang Senapati yang duduk diatas punggung kudanya pula, memeriksa keduanya berganti-ganti. Pada mereka tidak boleh terdapat senjata yang lain kecuali tongkat itu.
Ketika ternyata tidak terdapat pelanggaran apapun, maka Senapati itu-pun mengangkat tangannya. Jika tangannya melambai maka prajurit yang sudah siap itu akan segera memukul tengara sebagai pertanda bahwa latihan perkelahian berkuda yang pertama ini segera dimulai.
Yang menang pada latihan pertama ini, harus melawan orang kedua pada pertarungan yang kedua. Demikianlah setiap orang yang memenangkan pertandingan, harus melawan orang-orang berikutnya, sampai pada orang yang terakhir. Apabila pemenang itu berhasil mengalahkan lawannya terus menerus, sehingga ia menjadi lelah sekali, maka setelah perkelahian yang kesepuluh, ia mendapat kesempatan beristirahat, sampai pada saatnya ia akan muncul lagi kegelanggang melawan orang yang akan memenangkan pertandingan babak baru berikutnya.
Demikianlah, maka setelah semuanya siap, maka Senapati yang mengangkat tangannya itu-pun segera melambai ke pada prajurit yang segera memukul tengara sebagai pertanda bahwa, perkelahian berkuda dengan tombak yang tumpul itu dimulai.
Kedua anak muda yang duduk diatas punggung kuda diujung dan ujung yang berlawanan itu segera memacu kudanya. Tombak mereka-pun kemudian merunduk mengarah ke^ pada lawannya yang berpacu pula kearahnya.
Demikianlah maka dada para penonton menjadi berdebaran. Meski-pun tongkat itu tidak runcing, tetapi apabila ujungnya mengenai dada, dan jika yang dikenainya tidak mempunyai daya tahan yang kuat, maka ujung tongkat yang telah dilunakkan dengan sabut itu-pun cukup berbahaya.
Semakin dekat kedua ekor kuda yang berpacu berlawanan arah itu, para penonton menjadi semakin berdebar-debar. Sejenak kemudian terdengar perempuan-perempuan menjerit kecil dan bahkan ada yang memejamkan matanya.
Kedua tongkat panjang itu bagaikan saling memukul. Masing-masing berusaha untuk menghindarkan ujung tongkat itu agar tidak mengenai tubuhnya. Namun agaknya yang seorang lebih trampil dari yang lain, sehingga tombaknya masih juga mengenai pundak lawannya.
Anak muda yang terkena itu menyeringai menahan sakit. Hampir saja ia terlempar dari kudanya. Tetapi ia masih dapat bertahan. Namun pundak serasa telah retak.
Meski-pun demikian ia masih belum dinyatakan kalah, karena ia belum terjatuh. Mereka harus mengulanginya sekali lagi. Jika keduanya masih tetap berada dipunggung kuda. maka mereka akan berkelahi dalam jarak dekat tanpa ancang-ancang lagi sampai salah seorang dari mereka terjatuh.
Sejenak kemudian kedua ekor kuda itu telah berpacu kembali.Seperti semula, kedua tongkat itu telah merunduk. Dengan segala macam usaha, masing-masing ingin menjatuhkan lawannya dari punggung kuda.
Tetapi seperti yang terjadi pertama kali, mereka sekedar saling menangkis, sehingga mereka sama sekali tidak berhasil menjatuhkan lawannya.
Dengan demikian, mereka-pun segera berkelahi tanpa ancang-ancang lagi. Mereka saling mendorong dengan tongkat, saling memukul dan saling menarik.
Akhirnya, salah seorang dari keduanya memang harus kalah. Ketika salah seorang dari padanya mengayunkan tongkatnya, maka yang lain berhasil menghindarinya dengan membungkukkan bandannya melekat kepunggung kuda. Demikian tongkat itu terayun, secepatnya tongkat itu dipukul kearah yang sama dengan ayunan itu, sehingga justru orang itu tertarik oleh kekuatannya sendiri. Belum lagi ia berhasil memperbaiki keadaannya, maka lawannya mendorongnya dengan ujung tongkatnya, tidak saja pada tubuh anak muda itu sendiri, tetapi pada tubuh kudanya sehingga kuda itu terlonjak.
Penunggangnya tidak sempat mempertahankan diri.Ia-pun kemudian terguling dan jatuh ditanah.
Sorak para penonton rasa-rasanya seperti membelah langit. Mereka bertepuk dan berteriak-teriak sekuat-kuatnya. Kemenangan yang pertama itu mendapat sambutan yang luar biasa dari para penontonnya.
Demikianlah perkelahian yang pertama itu disusul dengan yang kedua, ketiga dan selanjutnya. Ternyata orang yang memenangkan pertandingan yang pertama itu memang memiliki kelebihan dari yang lain, ternyata ia mampu bertahan sampai tujuh kali. Tetapi pada perkelahian yang ketujuh ia menemukan lawannya yang justru lebih lincah. Selain tenaganya yang memang sudah susut, anak muda yang menang sejak pertama kali itu, kurang mempunyai pertimbangan-pertimbangan atas kudanya sendiri. Karena itu, didalam perkelahian yang ketujuh, lawannya berhasil mendorongnya jatuh, justru hanya dengan tangannya, karena tongkatnya ada disisi lain dari tubuhnya.
Tetapi pemenang itu tidak bertahan lebih dari dua kali. Datanglah kemudian seorang anak muda yang gagah tegap dan berdada bidang. Anak muda ini berhasil dengan mudah menjatuhkan lawannya yang telah menang itu.
Agaknya anak muda yang berdada bidang itu akan mampu bertahan beberapa kali. Tetapi ternyata ia tidak dapat bertahan sampai lima kali.
Demikianlah maka menjelang orang yang terakhir, turunlah kegelanggang orang-orang yang semakin kuat, semakin lincah dan trampil, sehinggga pada saatnya, tinggal dua orang sajalah yang masih ada digelanggang.
Sorak para penonton bagaikan meruntuhkan langit. Para peserta yang tidak mampu lagi bertahan kini ikut pula berteriak-teriak dan bersorak-sorak. Mereka telah mengikat kuda masing-masing di pinggir alun-alun dan memusatkan perhatiannya pada perkelahian yang dahsyat dibabak terakhir itu.
Para pemimpin Singasari yang ada dipanggung menjadi berdebar-debar. Ternyata keduanya adalah anak-anak muda yang tangkas dan kuat. Salah seorang dari keduanya, yang dapat memenangkan pertandingan dibabak terakhir, itu akan mendapat kesempatan untuk bertanding melawan Tohjaya.
Demikianlah maka ternyata kedua anak-anak muda yang sampai pada pertandingan terakhir itu adalah anak-anak muda yang tangguh dan tangkas. Setelah mereka dua kali bertanding dengan ancang-ancang dan tidak seorang-pun dari mereka yang terjatuh, maka mulailah mereka bertanding dengan dahsyatnya pada jarak yang dekat. Tongkat mereka terayun-ayun dan mematuk dengan cepatnya. Sekali-sekali tubuh mereka terpukul oleh tongkat itu, namun mereka masih juga tetap bertahan.
Matahari yang telah mulai condong ke Barat terasa panasnya membakar arena. Tetapi tidak seorang penonton-pun yang menjadi jemu dan meninggalkan alun-alun. Mereka benar-benar terikat melihat ketangkasan anak-anak muda Singasari bertanding diatas punggung kuda, apalagi dua orang yang berakhir itu.
Yang masih anak-anak-pun rasa-rasanya tidak mengenal lapar. Bahkan mereka yang terlupa belum makan pagi-pun masih juga bertahan ditempatnya, meski-pun agak gemetar juga.
Dipanggung kehormatan para pemimpin Singasari memperhatikan perkelahian diantara keduanya itu dengan berdebar-debar. Ternyata bahwa Singasari memiliki bibit-bibit yang baik bagi seorang prajurit. Jika perkelahian ini berakhir, maka pantaslah bagi yang menang untuk mendapat penghargaan menjadi seorang perwira apabila dihendaki. Ketangkasan dan kemampuannya dapat dikagumi.
"Apakah tuanku Tohjaya dapat mengalahkannya?" timbul juga pertanyaan didalam hati para Senapati.
Tetapi mereka percaya bahwa Tohjaya adalah seorang anak muda yang perkasa.
Demikianlah maka Tohjaya sendiri memperhatikan pertandingan itu dengan tegang. Keduanya memang tangkas dan lincah.
Setelah bertanding beberapa lama, maka akhirnya tampak jugalah perbedaan kemampuan dari keduanya, meski-pun perlahan-lahan dan hampir tidak jelas. Yang seorang memiliki ketahanan nafas yang luar biasa sehingga setelah bertanding beberapa lama, seakan-akan ia sama sekali tidak menunjukkan gejala-gejala kelelahan. Dalam pada itu lawannya tampak menjadi semakin susut tenaganya. Nafasnya mulai mengganggu meski-pun ia masih tetap mempertahankan ketangkasannya. Namun sampai jugalah batas dari kemampuannya. Ketika salah seorang daripadanya tidak mampu lagi bertahan pada batas kekuatan nafasnya, maka perlahan-lahan ia mulai terdesak. Semakin lama semakin berat, sehingga pada akhirnya ia terdorong dari punggung kudanya. Betapa-pun ia bertahan, namun ia-pun terjatuh juga, meski-pun perlahan-lahan, seolah-olah sengaja turun dari kudanya dengan cara tersendiri.
Sorak sorai meledak seperti seribu guruh dilangit. Anak muda yang terjatuh itu-pun cepat berdiri. Tetapi ia tidak dapat mengelak, bahwa lawannya yang masih berada dipunggung kuda dengan tongkat ditangan itulah menang.
Setelah menganggukkan kepalanya kearah panggung kehormatan, maka dengan tersipu-sipu ia menangkap kendali kudanya dan dituntunnya keluar arena.
Meski-pun demikian, ternyata para penonton-pun menghormatinya.Sambil melambaikan tangan mereka, para penonton itu bersorak-sorak tidak henti-hentinya.
Setelah anak muda yang seorang itu menepi dan mengikat kudanya diluar arena, maka seorang Senapati yang bertugas diarena segera mengumumkan bahwa anak muda yang masih berada diarena itulah pemenang dari pertandingan sodoran pada hari itu.
Sementara itu, matahari sudah menjadi semakin condong ke Barat. Senapati itu pula kemudian mempersilahkan Tohjaya turun dari panggung kehormatan, untuk memenuhi janjinya, bertanding melawan anak muda yang memenangkan latihan terbuka diatas punggung kuda itu.
Tohjaya menganggukkan kepalanya sambil tersenyum.Ia cukup yakin akan kemampuannya. Kemampuan berkuda dan ketrampilan mempergunakan senjata. Ketahanan tubuhnya-pun dapat dibanggakannya pula.
Demikianlah, maka disambut dengan sorak yang membahana, Tohjaya berdiri dari tempat duduknya. Setelah bersujud didepan ayahanda dan ibunda Ken Umang, maka Tohjaya-pun segera berdiri dan berjalan perlahan-lahan kepintu panggungnya. Sekali ia masih berpaling memandang Ken Dedes yang termangu-mangu. Dengan senyum yang aneh ia mengangguk kecil seakan-akan ingin mengatakan kepadanya, bahwa anak Ken Umanglah yang akan menjadi anak muda yang paling perkasa di Singasari, bukan anak Ken Dedes. Bukan Putera Mahkota yang sama sekali tidak hadir dan tidak berani melihat kenyataan kemenangannya.
Tiba-tiba saja Ken Dedes menjatuhkan wajahnya.Terasa hatinya bagaikan terluka. Ia benar-benar merasa, betapa keturunannya sama sekali tidak mampu mengangkat derajadnya. Derajad padepokan Panawijen, meski-pun ayahnya, mPu Purwa adalah seorang laki-laki yang mumpuni.
Tanpa sesadarnya Ken Dedes berpaling memandang Mahisa Agni, tetapi karena Mahisa Agni tidak sedang memandangnya, maka ia-pun berkisar pada Mahisa Wonga Teleng. Tetapi anaknya itu-pun sedang menundukkan wajahnya dalam-dalam.
Demikianlah, Tohjaya-pun kemudian naik keatas punggung kuda yang tegar berwarna hitam. Kuda itu adalah kuda kesayangannya, yang selalu dipakainya apabila ia pergi berburu. Kuda itu bagaikan seseorang yang sudah mengenalnya dan dikenalnya baik-baik segala sifat dan tabiatnya.
Sambil melambaikan tangannya Tohjaya kemudian mengelilingi arena. Disambut dengan gemuruh oleh para penonton yang semakin berjejalan. Sejenak kemudian dipandanginya anak muda yang menang didalam pertandingan itu sambil bertanya,"Apakah kau sudah cukup beristirahat?"
"Ampun tuanku. Agaknya hamba sudah cukup lama menunggu."
Tohjaya tertawa. Sambil mengangguk-angguk ia berkata,"Baiklah kita akan segera mulai."
Anak muda itu tidak menyahut. Tetapi hatinya menjadi semakin berdebar-debar. Kesempatan serupa ini tidak pernah diimpikannya sebelumnya. Bertanding melawan putera Sri Rajasa yang perkasa.
"Puteranya-pun tentu seorang yang pilih tanding," berkata anak muda itu didalam hatinya,"dan ternyata pula bahwa ia selalu berhasil mengusir perampok-perampok diseluruh daerah Singasari. Hampir seperti Kesatria Putih."
Tetapi anak muda itu tidak sempat berangan-angan lebih lama lagi, karena ia-pun harus segera bersiap menghadapi putera Sri Rajasa itu.
Sejenak anak muda itu memusatkan perhatiannya. Dipandanginya Tohjaya yang berada dipunggung kudanya yang hitam.
"Tuanku Tohjaya memang seorang yang perkasa," berkata anak muda itu didalam hatinya.
Sejenak kemudian, maka Isyarat-pun segera diberikan dan prajurit yang sudah siap dengan pemukul tanda ditangannya, segera mengayunkan tangannya.
Demikian tengara itu berbunyi, maka kedua ekor kuda di arena itu-pun segera berpacu. Masing-masing kemudian merundukkan badannya dan mempersiapkan tongkatnya masing-masing.
Benturan antara keduanya disambut dengan sorak yang gegap gempita. Anak muda yang memenangkan segala pertandingan itu hanya bergetar sedikit, tetapi ia masih dapat bertahan diatas punggung kudanya, sehingga mereka-pun harus mengulanginya sekali lagi.
Dan yang sekali lagi itu-pun disambut dengan sorak yang gemuruh. Juga pada benturan yang kedua anak muda itu masih mampu bertahan meski-pun hampir saja ia terlempar dari punggung kudanya.
Tohjaya tersenyum melihat lawannya masih tetap berada diatas punggung kuda. Dengan demikian mereka harus bertanding pada jarak dekat tanpa ancang-ancang lagi.
Keduanya-pun kemudian saling memukul dan saling mendorong. Namun seperti pada benturan-benturan yang terjadi, segera nampak bahwa Tohjaya memang seorang anak muda luar biasa. Tidak banyak kesempatan diberikan kepada lawannya. Setiap kali anak muda itu harus menghindar menjauh dan memperbaiki keadaannya. Namun setiap kali kembali serangan-serangan Tohjaya membuatnya terdesak terus.
Semua orang yang menyaksikan pertandingan diarena itu bagaikan disengat oleh kebanggaan yang tidak tertahankan, melihat Tohjaya yang dengan lincah dan tangkas mendesak lawannya. Mereka melihat dengan pasti, bahwa Tohjaya dengan sengaja membiarkan lawannya tetap bertahan agak lama, karena sebenarnya Tohjaya mempunyai kesempatan yang luas untuk menjatuhkannya.
Kebanggaan yang tidak ada taranya telah membakar hati rakyat Singasari. Tohjaya sekaligus berhasil merebut hati setiap orang. Tidak ada lagi yang sempat mengingat-ingat bahwa di Singasari ada seorang Putera Mahkota. Apalagi saat itu Putera Mahkota yang bernama Anusapati tidak menampakkan dirinya.
Ken Umang yang melihat sambutan rakyat Singasari kepada anak laki-lakinya demikian menggetarkan jantung, menjadi semakin berbangga. Hampir pasti ia dapat mengharap dukungan rakyat itu terhadap anaknya apabila terjadi suatu perebutan tahta kelak.
"Anusapati tidak akan mendapatkan tempat dihati rakyat ini," berkata Ken Umang didalam hatinya.
Dan sebenarnyalah bahwa kata hati Ken Dedes-pun hampir serupa. Ia melihat suatu permainan yang licik. Dengan sengaja Sri Rajasa ingin menyingkirkan anaknya dari hati rakyat Singasari. Namun demikian, Ken Dedes tidak dapat menyesali lebih jauh, karena Anusapati sendiri agaknya tidak memiliki kemampuan sebesar Tohjaya.
Karena itu, maka Ken Dedes-pun segera menundukkan kepalanya. Terasa hatinya bagaikan pecah. Sekali-sekali ia berpaling kepada Mahisa Wonga Teleng. Tetapi anaknya itu-pun hanya dapat menundukkan kepalanya.
"Agaknya telah menjadi takdir Yang Maha Agung," akhirnya Ken Dedes mencoba menenangkan hatinya dan menyerahkan semuanya kembali kepada pencipta alam dan seisinya.
Sejenak kemudian maka sorak yang membahana terdengar lagi dari arena. Ken Dedes hampir tidak berani mengangkat wajahnya. Ia tidak berani melihat kemenangan Tohjaya dan sambutan rakyat Singasari yang meledak-ledak.
Sebenarnyalah sejenak kemudian, Tohjaya berhasil mendesak lawannya. Sambil tersenyum ia menyentuh lawannya itu dengan ujung tongkatnya. Hampir saja lawannya itu terbanting jatuh, namun Tohjaya kemudian membiarkannya memperbaiki keadaannya. Bahkan dengan sengaja menjauhinya agar kesempatan itu dapat dilihat dengan jelas oleh para penonton diseputar arena.
Namun demikian, akhirnya Tohjaya menjadi jemu. Setelah berputar-putar beberapa lama, Tohjaya-pun berniat mengakhiri permainan itu.
Demikianlah, sejenak kemudian, tohjaya menjadi semakin cepat berputar. Sentuhan demi sentuhan membuat lawannya bingung, sehingga akhirnya lawannya itu-pun terdorong dan perlahan-lahan jatuh dari punggung kudanya.
Meledaklah sorak yang gemuruh, seakan-akan hendak meruntuhkan langit. Namun pada saat yang demikian itu, dilangit telah terbang sebatang anak panah sendaren dari pinggir alun-alun tanpa dihiraukan oleh siapa-pun karena mereka sedang ribut dengan kemenangan Tohjaya.
Namun sejenak kemudian, arena itu bagaikan dicengkam oleh tangan-angan hantu ketika tiba-tiba saja, hampir tidak ada seorang-pun yang mengetahui dari mana datangnya, berlarilah seekor kuda putih yang tegar dengan penunggangnya yang berkerudung putih. Hampir berbareng rakyat Singasari berdesis,"Kesatria Putih. Ya, Kesatria Putih."
Ternyata bukan saja rakyat yang berdiri berjejal-jejal disekitar arena sajalah yang terperanjat melihat kehadiran Kesatria Putih, tetapi para pemimpin Singasari yang berada dipanggung kehormatan-pun terkejut karenanya. Sri Rajasa bergeser setapak maju dan bahkan Mahisa Wonga Teleng telah berdiri dari tempat duduknya, sementara Mahisa Agni memanjangkan lehernya untuk dapat melihat seekor kuda yang kemudian perlahan-lahan berjalan kedepan panggung kehormatan itu.
Rakyat Singasari dengan sendirinya telah bersibak. Bagi mereka Kesatria Putih adalah seorang kesatria yang telah berhasil merebut hati mereka. Karena itu, meski-pun mereka belum mengenal siapakah sebenarnya Kesatria Putih itu, namun kehadirannya telah mendapat sambutan yang membuat Tohjaya menjadi iri hati.
Meski-pun rakyat Singasari tidak berteriak dan bersorak, namun tatapan mata mereka, bisik-bisik diantara mereka,"serta orang-orang yang berdiri dibelakang berusaha mendesak maju, adalah suatu pertanda bahwa Kesatria Putih mendapat banyak perhatian dari rakyat yang berdiri diseputar arena itu.
"Ampun tuanku," katanya dalam nada yang berat, seolah-olah suaranya berputar didalam perutnya,"bahwa hamba berani hadir didalam pertandingan sodoran ini adalah didorong oleh niat hamba untuk ikut meramaikan permainan yang diselenggarakan dialun-alun ini. Tetapi ampun tuanku, bahwa hamba telah datang terlambat karena hamba harus menyelesaikan tugas yang telah hamba bebankan kepundak hamba atas kehendak hamba sendiri. Selagi hamba berada didalam perjalanan yang jauh, hamba telah bertemu dengan segerombolan perampok yang agaknya ingin memanfaatkan kesempatan ini. Mereka sadar, bahwa hari ini tuanku Tohjaya pasti tidak akan dapat memberikan perlindungan kepada rakyatnya, karena tuanku berada diarena ini. Karena itulah maka segerombolan perampok itu telah berani berbuat jahat. Dengan demikian maka hamba terpaksa berhenti sejenak menyelesaikan para perampok itu." Kesatria Putih berhenti sejenak. Namun ceriteranya itu ternyata telah mendebarkan jantung orang-orang Singasari yang mendengarnya,"Sehingga dengan demikian tuanku, kedatangan hamba telah terlambat. Meski-pun demikian, jika diperkenankan hamba akan mengikuti pertandingan sodoran terbuka ini."
Jantung Sri Rajasa menjadi berdebar-debar. Ia sudah mendengar kemampuan Kesatria Putih, sehingga karena itu, ia menjadi ragu-ragu, apakah Tohjaya akan dapat melawannya. Tetapi untuk menolaknya, pasti akan sangat mengecewakan rakyat Singasari. Mereka pasti menganggap bahwa Tohjaya tidak akan dapat menandinginya. Dan hal ini tentu akan Sangat merugikan nama Tohjaya untuk selanjutnya.
Tetapi karena hal itu memang sudah dipertimbangkan oleh Sri Rajasa sebelumnya, maka Sri Rajasa-pun kemudian berkata,"Kesatria Putih, kehadiranmu sangat mencengangkan hati kami. Kami sudah mendengar betapa besar namamu karena pengorbanan yang pernah kau berikan kepada Rakyat Singasari, seperti apa yang pernah diberikan oleh puteraku Tohjaya. Tetapi ketahuilah, bahwa pertandingan sodoran ini adalah pertandingan untuk anak-anak. Jika kau akan menjajal kemampuan pimpinan Singasari, apakah ia mampu menamakan dirinya pemimpin didalam segala segi, maka kau tidak pantas untuk bertanding dengan anak-anak karena kebesaran namamu."
"Ampun tuanku," jawab Kesatria Putih,"hamba tidak mengira bahwa hamba akan mendapat pujian setinggi itu. Tetapi tuanku, pujian itu sebenarnya terlampau memberati pundakku, karena sebenarnyalah hamba tidak pernah berbuat apa-apa yang lebih berarti dari tuanku Tohjaya." Kesatria Putih itu berhenti sebentar. Lalu,"dalam pada itu tuanku, hamba-pun agaknya dapat, memenuhi persyaratan bagi pengikut pertandingan terbuka ini, atau katakanlah suatu latihan terbuka, karena sebenarnyalah bahwa umur hamba-pun tidak terpaut banyak dari tuanku Tohjaya. Jika hamba diperkenankan mengikuti permainan ini tuanku, hamba berjanji, jika hamba kalah, maka tidak ada gunanya setiap orang mengenal akan hamba, dan biarlah hamba menjalankan tugas hamba dengan rahasia seperti saat-saat lampau. Tetapi jika hamba menang, maka hamba berjanji, betapa jeleknya wajah hamba yang hamba sembunyikan ini, hamba akan menyatakan diri, bahwa sebenarnyalah hamba masih berhak mengikuti permainan ini, karena umur hamba tidak terpaut banyak dari tuanku Tohjaya."
Dada Sri Rajasa menjadi berdebar-debar. Sejenak ia merenung. Dipandanginya Kesatria Putih dengan tajamnya. Apakah benar umurnya belum terpaut banyak"
"Kesatria Putih, apakah kata-katamu dapat aku percaya?"
"Jika hamba berbohong tuanku, tuanku dapat memancung hamba sekarang juga dihadapan rakyat Singasari. Tetapi berhubung wajah hamba tidak pantas dipandang, sebaiknya wajah ini hamba sembunyikan. Hanya apabila hamba menang, hamba akan sekedar mendapat penghiburan betapa jeleknya hamba. Namun agaknya hal itu mustahil akan terjadi."
"Kalau kau sadari mustahil akan terjadi, kenapa kau memasuki arena?" bertanya Sri Rajasa."
"Hamba akan sekedar menilai diri, setelah sekian lama hamba mencoba membaktikan kemampuan hamba tanpa pamrih terhadap rakyat Singasari yang hamba cintai dengan cara hamba sendiri."
Sri Rajasa menjadi termangu-mangu. Tetapi ketika ia memandang wajah Rakyat Singasari, tampaklah dari sorot mata mereka, bahwa mereka ingin melihat kesempatan yang barangkali tidak akan pernah mereka jumpai lagi."
Sejenak Sri Rajasa berdiri mematung. Ia sadar, bahwa Kesatria Putih bagi rakyat Singasari adalah seorang pahlawan, sehingga ia tidak akan dapat berbuat sesuatu yang dapat menyinggung perasaan rakyatnya.
Dan kini, dua orang pahlawan rakyat Singasari akan berhadapan diarena, karena Tohjaya bagi rakyat Singasari juga seorang pahlawan.
Tetapi, bagi rakyat Singasari, tidak ada keberatan apa-pun jika keduanya turun ke arena. Seandainya salah satu dari keduanya itu kalah, rakyat Singasari sama sekali tidak akan dirugikan. Kekalahan itu diharapkan oleh rakyat Singasari akan dapat menjadi pendorong bagi salah seorang dari keduanya untuk lebih banyak berbuat lagi bagi Singasari.
Karena itu, maka mereka benar-benar mengharap agar Sri Rajasa memperkenankan Kesatria Putih untuk turun ke arena. Rakyat Singasari yang selama ini mengagumi kepahlawanannya, ingin melihat bagaimana ia bertanding.
Akhirnya, Sri Rajasa yang berdiri dipanggung kehormatan tidak dapat ingkar dari keinginan rakyat Singasari yang tampak pada sorot mata mereka. Karena itu maka katanya betapa-pun ia dilanda oleh kebimbangan,"Baiklah orang yang disebut Kesatria Putih. Aku tidak berkeberatan kau mengikuti pertandingan ini. Tetapi jika ternyata bahwa kau tidak memenuhi segala ketentuan yang ada, maka kau akan dipancung dialun-alun ini. Menang atau kalah, aku berhak untuk menuntut kau menyatakan dirimu kepada rakyat Singasari."
"Ampun tuanku. Apakah gunanya wajah hamba yang jelek ini akan diperlihatkan kepada rakyat Singasari, jika hamba kalah?"
"Itu terserah kepada keputusanku. Jika aku memutuskan demikian, kau tidak boleh menolak. Jika tidak, pergilah sebelum terlambat."
Kesatria Putih tampak merenung sejenak. Dalam pada itu Rakyat Singasari menjadi bertanya-tanya kenapa justru sikap Sri Rajasa tidak begitu baik terhadap Kesatria Putih yang selama ini telah banyak berjasa bagi bumi Singasari ini.
Sejenak kemudan barulah Kesatria Putih itu berkata,"Ampun tuanku, biarlah hamba menundukkan kepala atas titah tuanku. Tidak ada yang dapat membantah ketentuan yang telah tuanku jatuhkan."
"Baiklah. Masuklah kedalam arena. Tetapi kau tidak akan dapat lari dari ketentuan yang sudah aku katakan."
"Ampun tuanku, hamba akan selalu menjunjung titah tuanku itu."
Demikianlah, maka Kesatria Putih itu memutar kudanya. Dilihatnya Tohjaya termangu-mangu diarena. Namun sejenak kemudian Tohjaya itu-pun berkata dari kejauhan,"Ayahanda, jika Kesatria Putih ingin memasuki arena, biarlah hamba melayainya."
Sri Rajasa menganggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak berteriak menjawab kata-kata Tohjaya itu.
Demikianlah, maka Kesatria Putih itu-pun perlahan-lahan memasuki arena.Seorang Senapati yang bertugas segera memberikan sebatang tongkat panjang kepadanya dan memberikan beberapa penjelasan tentang pertandingan yang bakal berlangsung.
Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya Kesatria Putih itu berkata,"Baiklah tuan. Aku akan menyesuaikan diriku. Mudah-mudahan aku dapat melayani tuanku Tohjaya barang satu atau dua kejap saja."
Senapati itu tidak menyahut. Kemudian keduanya ditempatkan pada ujung yang berlawanan.
Seorang prajurit telah berdiri dengan tegang didepan tengara yang harus dipukulnya apabila Senapati yang bertugas diarena melambaikan tangan yang sudah diangkatnya itu.
Sejenak suasana menjadi tegang. Tohjaya dan Kesatria Putih sudah siap ditempat masing-masing. Tongkat panjang mereka telah mulai merunduk.
Dalam ketegangan yang memuncak itulah tangan Senapati yang berada diarena mulai bergerak terayun jatuh disisi tubuhnya. Pada saat itu pula, sebuah tengara telah dibunyikan oleh seorang prajurit yang bertugas.
Demikianlah kedua kesatria yang berada diarena itu mulai memacu kudanya. Keduanya merasa bahwa lawannya adalah seorang yang memiliki kekuatan dan ketrampilan yang melampaui anak-anak muda yang lain, yang kini berjajar di pinggir arena.
Para penonton yang ada diseputar arena menjadi tegang. Semua mulut tiba-tiba justru telah terkatup rapat-rapat. Dengan keringat yang mengembun dikening mereka menyaksikan dua orang kesatria yang selama ini menjadi kebanggaan mereka sedang bertanding di arena dalam suatu latihan terbuka.
Sekilas melintas diangan-angan mereka, kenapa justru Tohjayalah yang sekarang berada di arena.Kenapa bukan Putera Mahkota.
Hal itu semakin memperdalam kekecewaan rakyat Singasari atas Anusapati. Agaknya permainan Ken Arok selama ini telah berhasil semakin mendesak Anusapati jauh ketepi dan bahkan semakin kabur dihati rakyat Singasari.
(Bersambung ke jilid 71) Pelangi Di Langit Singasari
BAGIAN KE 2 Bara di Atas Singgasana Karya : SH Mintarja Jilid : 71 " 75 ________________________________________
BARA DIATAS SINGGASANA Jilid 71 " Tabir Terbuka
SEJENAK KEMUDIAN keduanya telah menjadi semakin dekat. Darah rakyat Singasari yang mengelilingi arena seakan-akan berhenti mengalir ketika kedua orang diarena itu saling berbenturan.
Mulut mereka terbungkam ketika mereka melihat Tohjaya terdorong oleh ujung tongkat lawannya. Tetapi ternyata bahwa ia benar-benar memiliki ketangkasan berkuda. Meskipun ia sudah menjadi miring, namun ia berhasil memperbaiki, kemudian Tohjayapun telah tegak kembali diatas punggung kuda.
Sri Rajasa terkejut juga melihat kedudukan Tohjaya yang goyah itu, sehingga ia bergeser setapak. Namun kemudian ia menarik nafas dalam-dalam, ketika puteranya terkasih itu ternyata berhasil memperbaiki keseimbangannya.
Namun demikian, pada benturan yang pertama Sri Rajasa melihat, bahwa agaknya Kesatria Putih memang memiliki kemampuan yang lebih besar dari Tohjaya.
"Mudah-mudahan Tohjaya mampu bertahan, sehingga ia mendapat kesempatan untuk bertanding pada jarak yang pendek" Sri Rajasa berharap, bahwa kepandaian Tohjaya mengendalikan kudanya akan berpengaruh didalam pertandingan itu.
Ketika kedua orang yang berada diarena itu harus mengulangi benturan dengan ancang-ancang itu, Sri Rajasa telah menahan nafasnya. Demikian juga para penonton disekeliling arena. Tidak seorangpun yang bergerak dan tidak seorangpun yang mengucapkan sepatah kata. Semuanya seakan-akan membeku karenanya.
Yang terdengar hanyalah derap kaki-kaki kuda, diikuti oleh tatapan mata yang tegang.
Sejenak kemudian, sekali lagi setiap orang harus menahan nafasnya ketika benturan kedua itu terjadi.
Sri Rajasa hampir meloncat berdiri. Untunglah ia sadar, bahwa ia adalah seorang Maharaja yang besar. Karena itu maka ia tetap saja duduk ditempatnya.
Ternyata benturan yang kedua menguntungkan Tohjaya ketika Kesatria Putih agak terlambat mengangkat tongkatnya. Sentuhan tongkat Tohjaya telah menggerakkan ujung tongkat Kesatria Putih sehingga sama sekali tidak mengenai sasarannya. Namun dalam pada itu, Tohjaya dengan cepat berhasil menggerakkan ujung tongkatnya sehingga menyentuh pundak Kesatria Putih.
Kesatria Putih mencoba untuk menghindar. Tetapi geraknya sangat terbatas, karena kudanya berlari terus. Meskipun ia berusaha memutar tubuhnya, namun ujung tongkat Tohjaya masih mengenainya sehingga hampir saja Kesatria Putih terlempar dari kudanya. Tetapi seperti Tohjaya, Kesatria Putih masih berhasil mempertahankan dirinya. Kakinya masih berpegangan dengan kuat, sedang sebelah tangannya memeluk kudanya sementara tangannya yang lain memegangi, tongkatnya erat-erat.
Untunglah bahwa kudanya adalah kuda yang baik, sehingga meskipun kendalinya lepas sama sekali, tetapi kuda putih itu tidak melonjak dan melemparkan penunggangnya yang sedang dalam kesulitan.
Tohjaya melihat kedudukan Kesatria Putih yang lemah itu. Karena itu, setelah kedua benturan itu tidak berhasil menjatuhkan salah seorang daripada mereka yang bertanding, mereka akan meneruskan pertandingan pada jarak pendek tanpa ancang-ancang.
Dalam pada itu Tohjaya ingin mempergunakan kesempatan selagi Kesatria Putih masih berusaha memperbaiki keseimbangannya. Dengan serta-merta ia menarik kendali kudanya berputar. Dengan tergesa-gesa Tohjaya memacu kudanya kembali mengejar kuda Kesatria Putih. Namun sementara itu, Kesatria Putih sudah sempat duduk kembali diatas punggung kudanya. Ia sudah berhasil menguasai keadaan sepenuhnya. Karena itu ketika ia sadar bahwa Tohjaya menyerangnya, maka iapun segera memutar kudanya menghadap lawannya.
Sejenak kemudian keduanyapun telah terlihat dalam pertandingan yang seru. Masing-masing menggerakkan tongkatnya dengan cepatnya. Sekali-sekali terdengar kedua tongkat panjang itu berbenturan. Namun kemudian tongkat-tongkat itu terayun mengenai tubuh-tubuh mereka berganti-ganti. Bahkan kadang-kadang tongkat itu berhasil mendorong lawannya. Tetapi keduanya adalah orang-orang yang trampil dan seakan-akan mumpuni mempergunakan senjata panjang dan naik diatas punggung kuda.
Mereka yang berada diatas panggung kehormatanpun menjadi tegang. Sri Rajasa hampir tidak berkedip menyaksikan pergulatan yang sengit itu. Mahisa Agni bagaikan patung batu. Bahkan seakan-akan bernafaspun tidak.
Apalagi Ken Umang yang menyaksikan putranya bertempur dengan orang yang penuh rahasia, yang oleh rakyat Singasari dianggap sebagai seorang Pahlawan.
Demikianlah perkelahian itu menjadi semakin dahsyat. Bahkan kemudian mereka seakan-akan telah menjadi bersungguh-sungguh. Hanya karena ujung tongkat-tongkat itu dilapisi dengan sabut, serta daya tahan tubuh-tubuh itu sangat kuat, maka mereka berdua masih tetap berada dipunggung kuda.
Anak-anak muda Singasari menyaksikan pertandingan itu dengan dada yang berdebaran. Kini mereka merasa, betapa kecilnya diri mereka sendiri dibandingkan dengan kedua kesatria yang tengah beradu ketrampilan ditengah-engah arena.
Tetapi lambat laun, ternyata bahwa Kesatria Putih memiliki ketahanan tubuh dan kelebihan setingkat didalam olah ketrampilan. Bahkan semakin lama, mereka yang memiliki ilmu yang cukup dapat melihat, bahwa sebenarnyalah Kesatria Putih berusaha untuk mengekang diri. Mereka yang berilmu matang, seperti para Panglima dan para Senapati pilihan, Mahisa Agni dan Sri Rajasa sendiri merasa bahwa Kesatria Putih berusaha menghormati Tohjaya sebaik-baiknya, sehingga meskipun Tohjaya akan kalah juga, namun ia kalah dengan hormat, setelah berjuang habis-habisan serta melayani lawannya hampir seimbang. Kekalahan itu seakan-akan hanyalah sekedar kekalahan kecil atau justru karena Tohjaya sudah lelah, karena ia sudah dua kali bertanding melawan orang-orang yang memiliki kemampuan tinggi.
Dengan demikian Sri Rajasa menjadi semakin cemas. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa. Ia tidak dapat menghentikan pertandingan. Ia tidak akan dapat berbuat sesuatu atas Kesatria Putih, karena ia adalah seorang pahlawan.
"Kesatria Putih akan memenangkan pertandingan ini" ia berdesah, "jika demikian, maka ia harus dilenyapkan, agar di Singasari hanya ada seorang pahlawan saja, Tohjaya"
Tanpa sesadarnya Sri Rajasa berpaling kepada Mahisa Agni sambil berkata didalam hati, "Ia harus menyelesaikannya nanti"
Dalam pada itu Mahisa Agni sendiri duduk dengan tegangnya menyaksikan pertandingan itu. Karena itu ia sama sekali tidak menyadari bahwa Sri Rajasa sedang memandanginya dan bahkan berkata didalam hatinya, bahwa Mahisa Agni akan mendapat tugas yang sangat berat. Membinasakan Kesatria Putih tanpa diketahui oleh orang lain, agar tidak menimbulkan kesan, bahwa Singasari telah berkhianat terhadap kesatria yang selama ini telah mengabdi kepada rakyat tanpa pamrih.
Demikianlah pertandingan di arena itu berlangsung terus.
Tetapi agaknya Tohjaya sudah menjadi semakin letih. Serangan-serangannya sama sekali sudah tidak mapan lagi. Bahkan sekali dua kali apabila Kesatria Putih berhasil menghindar, maka ayunan tongkatnya hampir-hampir saja menyeretnya jatuh dari atas punggung kuda.
Dalam pada itu Kesatria Putih nampaknya masih segar, sesegar ketika ia datang. Dengan sentuhan kecil, Tohjaya pasti sudah akan terlempar dari kudanya. Namun ternyata Kesatria Putih tidak melakukannya. Seperti pada saat Tohjaya bertanding melawan anak muda yang terakhir. Kesatria Putih banyak memberi kesempatan kepada lawannya untuk bertahan duduk diatas punggung kudanya.
Demikianlah sebenarnya tampak oleh mereka yang berdiri disekitar arena, apalagi bagi yang duduk diatas panggung kehormatan, bahwa Tohjaya sudah kehilangan kemampuan karena kelelahan meskipun ia masih tetap duduk diatas punggung kuda. Ternyata bahwa Kesatria Putih tidak berhasrat sama sekali menjatuhkannya dari atas punggung kuda itu. Bagi orang-orang yang berada dipanggung kehormatan, tampak jelas, bagaimana Kesatria Putih masih berpura-pura menyerang Tohjaya. Namun serangan-serangan itu sama sekali bukan serangan sebenarnya yang dapat menjatuhkannya.
Sri Rajasa tidak mengerti, apa sebabnya Kesatria Putih berbuat demikian. Tohjayapun tidak mengerti, kenapa Kesatria Putih itu tidak menyentuh saja tubuhnya, dan ia akan segera terpelanting jatuh.
Adalah diluar dugaan, ketika Kesatria Putih itu kemudian mendekati Senapati yang menjadi saksi utama didalam pertandingan itu sambil berkata. "Apakah ketentuan dari pertandingan ini, jika tidak seorangpun terjatuh dari kudanya, dapat dianggap bahwa pertandingan ini berakhir tanpa ada yang menang dan kalah?"
Senapati itu mengerutkan keningnya. Ia sama sekali tidak membuat ketentuan itu. Pertandingan akan berlangsung terus, sehingga salah seorang dapat dikalahkan. Bahkan meskipun tidak dengan sengaja, ada juga salah seorang peserta yang jatuh dan pingsan.
"Bagaimana?" Kesatria Putih mendesak.
Sebelum ia menjawab, Tohjayalah yang menyahut, "Aku tahu, kau memenangkan pertandingan ini. Kenapa kau tidak mau mendorong aku jatuh?"
"Tidak. Kau, eh, maksud hamba, tuanku adalah seorang yang memiliki kemampuan yang mengagumkan. Tuanku bukan seorang yang dengan mudah dapat dikalahkan. Dan hamba kira, hamba tidak akan dapat menjatuhkan tuanku, meskipun tampaknya tuanku sudah lelah. Hambapun sadar, bahwa hal ini juga disebabkan bahwa tuanku sudah bertempur dua kali berturut-turut"
"Jangan mengigau, ayo, selesaikan tugasmu, kau akan dielu-elukan oleh rakyat Singasari sebagai pahlawan terbesar melampaui kebesaranku"
Kesatria Putih tidak menyahut. Namun tiba-tiba saja ia mengangkat wajahnya memandang Sri Rajasa yang kemudian berdiri di panggung kehormatan, "Tohjaya. Kau harus mengakui kelebihan Kesatria Putih kali ini, meskipun kau dapat bertahan sampai saat terakhir. Kau sudah bertempur dua kali melawan orang-orang terkuat di Singasari. Namun itu bukan alasan yang dapat kau pergunakan untuk membela diri. Sudahlah, turunlah dari kudamu sebagai pertanda kemenangan lawanmu"
Tohjaya memandang Sri Rajasa dengan tegangnya. Tetapi iapun kemudian turun dari kudanya didepan panggung kehormatan. Dengan tergesa-gesa iapun naik keatas panggung itu, lalu bersimpuh dihadapan Sri Rajasa sambil berkata, "Ampun ayahanda, hamba tidak dapat mempertahankan kebesaran nama ayahanda diarena ini karena kehadiran Kesatria Putih"
"Kau sudah berbuat sebaiknya. Marilah sekarang kita menuntut janji Kesatria Putih. Jika ia memenangkan pertandingan ini, ia akan membuka kerudung putihnya dihadapan kita disini, sehingga rakyat Singasari akan mengenalnya, siapakah sebenarnya pahlawan yang besar ini, yang selama ini sudah menyelamatkan puluhan, bahkan ratusan rakyat yang mengalami bencana"
Tohjaya mengangkat wajahnya. Kini ia memandang Kesatria Putih yang masih duduk diatas punggung kudanya dengan tongkat panjang ditangan kanannya.
"Kesatria Putih" panggil Sri Rajasa, "kemarilah"
Kesatria Putih tampak ragu-ragu sejenak.
"Buat apa kakanda memanggil setan itu" desis Ken Umang, "biarlah ia segera pergi. Ia sudah melepaskan harapan Tohjaya untuk menjadi anak muda terkuat diseluruh negeri"
Ketika Sri Rajasa berpaling, dilihatnya wajah Ken Umang yang merah padam. Setitik air matanya mengambang disudut matanya yang basah itu.
"Aku memerlukannya. Aku ingin tahu, apakah Kesatria Putih memenuhi ketentuan yang ada didalam pertandingan ini. Jika tidak, ia sudah menipu kita semua, dan hukumannya adalah hukuman pancung disini juga"
Ken Umang tidak menjawab lagi. Kini dilihatnya Kesatria Putih yang masih duduk diatas punggung kudanya perlahan-lahan mendekati panggung kehormatan.
"Mendekatlah" berkata Sri Rajasa, "aku ingin melihat, apakah kau masih berhak ikut didalam pertandingan ini"
Kesatria Putih itu menjadi termangu-mangu sejenak. Dipandanginya Sri Rajasa yang berdiri diatas panggung kehormatan. Kemudian Senapati yang menjadi saksi utama dari pertandingan terbuka itu, serta beberapa orang Senapati dan prajurit yang berada disekitar arena.
"Mendekatlah" panggil Sri Rajasa sekali lagi, "bukalah kerudung wajahmu seperti yang kau janjikan"
Ken Umang yang kehilangan harapan atas puteranya untuk mendapat gelar pahlawan terbesar itu mulai terisak. Dengan tangannya ia mengusap air mata yang jatuh satu-satu dipangkuannya. Air mata yang mencerminkan betapa tamaknya hati perempuan itu.
Sedang disebelah lain, mata Ken Dedespun berlinang-linang pula. Ia mulai membayangkan wajah Anusapati yang seakan-akan semakin lama semakin tersisih. Didalam kesempatan serupa ini, Anusapati sama sekali tidak terucapkan. Hampir saja Tohjaya berhasil merebut hati rakjat Singasari. Jika Tohjaya memenangkan pertandingan terakhir, maka sempurnalah permainan Sri Rajasa.
Lamat-lamat terbayang kembali bagaimana Tunggul Ametung tersingkir dari kedudukannya. Bagaimanapun juga akhirnya Ken Dedespun mengerti, bahwa sebenarnya Ken Arok saat itu telah berhasil melakukan peranannya dengan baik sekali.
Hanya karena hatinya yang disaput oleh gejolak naluri seorang perempuan, serta kemudian diikuti oleh kenyataan bahwa Ken Arok berhasil memerintah Singasari lebih baik dari Tunggul Ametung, Ken Dedes tidak pernah mempersoalkan kematian Tunggul Ametung. Tetapi kini, dengan cara yang selembut itu pula Sri Rajasa berusaha menyingkirkan keturunan Tunggul Ametung, meskipun anak itu sendiri sama sekali tidak mengetahuinya.
Seperti Ken Umang, Ken Dedespun mengusap air matanya. Tetapi seakan-akan cahaya yang terpantul dari butiran-butiran air mata dari kedua risteri Sri Rajasa itu berwarna lain.
Demikianlah kuda Kesatria Putih kini sudah berdiri di depan panggung kehormatan. Perlahan-lahan Kesatria Putih itupun meloncat turun dari kudanya. Katanya kemudian, "Ampun tuanku Sri Rajasa Batara Sang Amurwabumi. Apakah tuanku benar-benar berkeinginan melihat wajah hamba yang jelek ini"
"Aku tidak peduli. Namun aku ingin mengetahui, apakah kau masih pantas untuk ikut bermain-main bersama anak-anak di arena ini"
Kesatria Putih membungkukkan badanya dalam-dalam. Tetapi ia tidak segera membuka kerudung putihnya. Perlahan-lahan ia mendekati tangga panggung kehormatan itu. Dan tanpa diduga-duga oleh siapapun ia mulai naik setapak demi setapak.
Langkahnya ternyata telah mempesona setiap orang. Mereka bagaikan membeku melihat Kesatria Putih naik ke atas panggung. Bahkan Sri Rajasapun bagaikan kehilangan nalar sejenak, melihat Kesatria Putih itu semakin lama semakin mendekat.
Yang mendebarkan jantung setiap orang adalah, tiba-tiba saja Kesatria Putih itupun berlutut. Tidak dihadapan Sri Rajasa tetapi yang mula-mula adalah dihadapan Permaisuri.
Semua orang terkejut karenanya. Ken Dedespun terkejut bukan kepalang, sehingga ia hanya diam mematung, tidak tahu apa yang akan dilakukan.
Baru setelah berlutut dihadapan Permaisuri, Kesatria Putih bersimpuh dihadapan Sri Rajasa sambil berkata, "Perkenankanlah hamba membuka kerudung putih hamba betapapun jeleknya wajah ini"
"Berdirilah" berkata Sri Rajasa yang serasa masih terpesona oleh peristiwa-peristiwa yang tidak mereka perhitungkan sebelumnya, "dan bukalah kerudung putihmu menghadap rakyat Singasari yang akan menilai, siapakah Kesatria Putih sebenarnya, dan apakah ia masih dapat disebut kanak-anak"
Kesatria Putih termangu-mangu sejenak. Namun seperti perintah Sri Rajasa, maka Kesatria Putih itupun kemudian berdiri. Sekali ia berpaling memandang Tohjaya dan Ken Umang, barulah kemudian tangannya bergerak menggapai kerudung putihnya.
Darah Tohjaya serasa berhenti mengalir. Ia menjadi sangat tegang menunggu. Demikian juga rakyat Singasari.
Nafas mereka tertahan-tahan. Mereka tidak sabar lagi menunggu, siapakah sebenarnya Kesatria Putih itu.
Tiba-tiba hati mereka terjerat oleh kata-kata Kesatria Putih yang lantang, "Rakyat Singasari. Inilah kenyataanku, Kesatria Putih yang selama ini menumbuhkan teka-teki bagi kalian"
Bersamaan dengan terkatubnya bibir Kesatria Putih itu, maka direnggutnya tirai yang selama ini menutup wajahnya. Tirai putih yang membuatnya disebut Kesatria Putih selain kudanya yang putih pula.
Ketika tirai di wajah itu terbuka, setiap dada telah dihentakkan oleh kenyataan yang tidak mereka duga-duga sama sekali. Demikian wajah itu terbuka, setiap mulut telah menyebut namanya dengan wajah tegang penuh keheranan dan bahkan pertanyaan yang ragu-ragu, "Anusapati Putera Mahkota"
Mereka menjadi yakin ketika Kesatria Putih yang sudah tidak berkerudung lagi itu berkata, "Akulah Anusapati, Putera Mahkota Kerajaan Singasari yang besar, Putera Sri Rajasa Batara Sang Amurwabumi yang lahir dari ibunda Permaisuri Ken Dedes"
Arena itu menjadi gegap gempita. Lebih dahsyat dari ledakan seribu guntur bersama-sama. Langit rasa-rasanya akan runtuh dan demikian pula hati Tohjaya dan Ken Umang. Seperti belanga yang terbanting dibatu pualam, maka hati merekapun pecah berkeping-keping.
Dalam pada itu Sri Rajasa berdiri dengan wajah yang merah padam. Sejenak dipandanginya Anusapati, namun kemudian dipandanginya wajah Mahisa Agni tenang. Tetapi wajah yang tenang itu bagaikan air pusaran yang dahsyat yang menghisapnya kedalam kehancuran yang mutlak.
Mahisa Agni sendiri masih tetap berada ditempatnya. Ia sama sekali tidak berbuat sesuatu. Dibiarkannya semuanya terjadi menurut perkembangan yang wajar dari peristiwa yang sudah diperhitungkannya masak-masak. Sri Rajasa pasti tidak akan berani berbuat apapun juga dihadapan rakyat Singasari yang selama ini menganggap Kesatria Putih sebagai pelindung mereka. Apalagi kini mereka mengetahui, bahwa Kesatria Putih itu tidak lain adalah Putera Mahkota. Putera Mahkota yang selama ini mereka anggap sebagai seorang laki-laki yang hanya mampu menunggui isterinya, tanpa menghiraukan keadaan pemerintah sama sekali, tanpa berbuat apapun juga untuk kesejahteraan rakyatnya. Ternyata bahwa dugaan itu keliru. Yang mereka anggap sebagai pahlawan selama ini ternyata adalah orang yang tepat, orang yang dapat mereka pergunakan sebagai tempat berpegangan yang kokoh dimasa mendatang.
Rakyat Singasari sama sekali tidak menghiraukan, perasaan apakah yang sedang bergejolak didalam hati Sri Rajasa. Bahkan sebagian dari mereka menganggap, bahwa Sri Rajasapun akan menjadi gembira sekali menghadapi kenyataan itu.
Namun dalam pada itu Sri Rajasa terpaksa mengakui didalam hati, bahwa kini ia menghadapi permainan Mahisa Agni yang ternyata berhasil mengatasi permainannya. Ketika ia berhasil menyingkirkan Tunggui Ametung, Mahisa Agni hanyalah seorang anak muda Panawijen yang sedang sibuk membuat bendungan, ia sama sekali tidak berbuat sesuatu, selain justru membantunya, mengalahkan Witantra ketika ia berusaha membersihkan nama Kebo Ijo yang telah dibunuhnya pula.
Tetapi kini, ia menghadapi permainan Mahisa Agni. Dan Sri Rajasapun sadar, bahwa Anusapati adalah kemenakan Mahisa Agni. Meskipun kecurigaan itu timbul sejak lama, dan menyingkirkan Mahisa Agni ke Kediri, namun ternyata bahwa Mahisa Agni masih sempat membentuk Anusapati menjadi seorang anak muda yang pilih tanding, yang melampaui kemampuan Tohjaya.
Meskipun demikian, Sri Rajasa bukannya seorang yang terlampau bodoh. Ia adalah seorang pemikir yang masak. Yang mampu menyingkirkan Tunggul Ametung dan sekaligus memperisteri Ken Dedes, kemudian menggunakan gejolak perasaan orang-orang Kediri sendiri untuk menjatuhkan Maharaja Kediri yang termashur.
Karena itu, setelah ia berhasil menguasai gejolak perasaannya, maka tiba-tiba Sri Rajasa itupun melangkah maju mendekati Anusapati. Sambil menepuk bahunya ia berkata kepada rakyat Kediri. "Rakyatku yang baik. Sekarang kalian sudah melihat kenyataan ini. Yang kalian elu-elukan sebagai pahlawan dan kalian sebut Kesatria Putih itu adalah seorang yang memang seharusnya menjadi seorang pahlawan. Ia adalah Putera Mahkota. Itulah sebabnya aku ikut berbangga, bahwa pilihanku tidak salah. Anak sulungku, yang selama ini aku bentuk untuk menjadi seorang pahlawan dimasa datang, telah menunjukkan kemampuannya. Selama ini aku simpan ia didalam istana dalam penempaan yang tidak mengenal jemu bersama Tohjaya. Dan harapanku atas keduanya ternyata tidak sia-sia. Tohjaya telah mencoba berbuat sejauh dapat dilakukan, sedang Anusapati telah menunjukkan baktinya pula kepada rakyat Singasari dengan caranya, karena ia tidak mau menyanjung diri. Dan adalah wajar sekali bila Tohjaya tidak dapat mengalahkan Kesatria Putih, karena ternyata bahwa Kesatria Putih bukan saja saudara tuanya, tetapi juga saudara tua seperguruan. Kini terimalah kedua Puteraku ditengah-engah kalian"
Rakyat Singasari itu menyambut kata-kata Sri Rajasa dengan tepuk tangan dan sorak mawurahan.
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Ternyata Sri Rajasa masih mempunyai cara untuk meneruskan permainan. Tetapi bagaimanapun juga, Mahisaa Agni sudah memiliki separo kemenangan. Sedang separo lagi masih diperebutkan. Jika Mahisa Agni mendapat sebagiadan yang separo, maka bagiannya sudah lebih banyak dari yang akan didapat oleh Sri Rajasa.
Tetapi Mahisa Agnipun mempertimbangkan semuanya dengan saksama. Kemungkinan-kemungkinan yang bakal datang didalam istana. Tetapi kesempatan untuk merebut hati rakyat dihadapan rakyat itu adalah kesempatan yang hampir mustahil didapatkannya jika bukan karena tingkah Tohjaya sendiri.
Dalam pada itu, kedua isteri Sri Rajasa ternyata tengah menekuni perasaan masing-masing yang bergejolak didalam dada. Ternyata mereka telah menjumpai persoalan yang sama sekali tidak diduga-duga. Begitu besar hati Ken Dedes menyaksikan putranya yang tanpa disangkanya, bahkan mimpipun tidak, tiba-tiba saja menjadi seorang pahlawan yang paling besar di kalangan anak-anak muda Singasari sesuai dengan kedudukannya sebagai Putera Mahkota. Sebagai seorang yang berpikir cerah, Ken Dedespun segera dapat menyelusuri, apakah yang sebenarnya telah terjadi dibalik dinding istana yang tinggi itu. Tentu Mahisa Agni memegang peranan yang penting didalam permainan ini. Tanpa Mahisa Agni, Anusapati hanyalah sekedar abu didalam kobaran api ketamakan istana Singasari.
Tanpa disadarinya, maka air mata Permaisuri itu mengalir dengan derasnya. Setiap kali tangannya mengusap maka air itu telah tumbuh pula dipelupuk.
Ken Umangpun telah menangis pula. Betapa ia mencoba bertahan menghadapi kenyataan. Betapa ia mencoba menghibur diri dengan keterangan Sri Rajasa. Namun ternyata bahwa dendam telah menyala tanpa terkendali didalam hati. Kekalahan Tohjaya dari Anusapati, dan kenyataan bahwa pahlawan besar yang selama ini dielu-elukan rakyat Singasari melampaui puteranya, dan yang mereka sebut Kesatria Putih itu adalah Anusapati.
"Kenapa ia tidak dibunuh saja" geram Ken Umang didalam hatinya, sedang Tohjaya berkata didalam hati pula, "Pantas Mahisa Agni dan Anusapati begitu mudahnya menyingkirkan Kesatria Putih seperti yang dikatakan ayahanda itu"
Tetapi sekarang tidak mudah bagi siapapun juga untuk menyingkirkan Kesatria Putih yang ternyata adalah Anusapati. Tentu Anusapati kini merupakan pahlawan besar pula bagi rakyat Singasari, yang dengan demikian tidak akan dapat dengan begitu saja disingkirkan dari hati rakyat itu.
Ternyata bahwa latihan dan pertandingan terbuka yang diminta oleh Tohjaya itu telah menimbulkan kecut dihati Sri Rajasa dan Ken Umang beserta puteranya terkasih, yang diharapkan akan dapat menjadi anak muda yang paling perkasa diseluruh Singasari. Namun mereka tidak dapat menghindarkan diri dari kenyataan, bahwa Anusapati adalah anak muda yang lebih besar dari padanya.
Dengan demikian, bukan saja Anusapati yang harus menengadahkan dadanya, bahwa ia bukan seorang anak muda yang dungu seperti yang diduga oleh para prajurit dan Senapati, juga oleh Tohjaya dan gurunya, namun setiap orangpun akan menilai Mahisa Agni, orang terdekat disisi Anusapati. Tidak seorangpun yang tidak menyorotkan pandangan matanya atas ilmu Anusapati pada kemampuan Mahisa Agni.
"Akupun tidak dapat menyembunyikan diri lagi" berkata Mahisa Agni, "kini kita bermain dengan pintu terbuka"
Anusapati yang dengan patuh menjalankan semua petunjuk Mahisa Agni ternyata mendapat cara untuk tampil langsung didepan mata rakyat Singasari.
Setelah pertandingan itu dinyatakan selesai dan rakyat Singasari yang ada di sekitar arena pergi meninggalkan alun-alun, maka yang mereka percakapkan tidak ada lain kecuali Putera Mahkota.
"Ternyata aku telah sesat" berkata salah seorang dari mereka. "selama ini aku menganggap bahwa Putera Mahkota itu adalah seorang laki-laki yang tidak mampu menunjukkan kejantanan diri. Berbeda dengan adindanya Tohjaya, yang dengan penuh tanggung jawab telah berusaha menyelamatkan rakyatnya dari kesusahan. Tetapi ternyata bahwa bukan demikian yang sebenarnya. Tuanku Putera Mahkotapun adalah seorang pahlawan yang besar"
"Ia tidak mendapat kesempatan itu" seseorang berbisik.
"Kenapa?" Seorang yang berjanggut putih berkata diantara kedua telapak tangannya, "Apakah kau lupa, bahwa tuanku Permaisuri melahirkan puteranda Anusapati hanya enam bulan setelah perkawinannya dengan Ken Arok yang kemudian bergelar Sri Rajasa Batara Sang Amurwabumi?"
"Ah, jangan menyinggung itu lagi. Mungkin itu memang suatu dosa, bahwa tuanku Permaisuri mengandung sebelum perkawinannya. Tetapi Ken Arok tidak ingkar"
"Bodoh sekali. Putera yang dikandung itu bukan hadir dari dosa. Ia ada didalam kandungan dari suaminya yang dahulu"
"O, ya. Ia adalah putera Tunggul Ametung"
"Sst" Kawannya terdiam. Namun mereka sadar, bahwa bukan hanya mereka sajalah yang mengerti bahwa Anusapati lahir terlampau cepat, setelah perkawinan Ken Dedes dengan Ken Arok, sehingga sebenarnya hampir setiap orang tua-tua di Singasari mengerti, bahwa Anusapati adalah Putera Tunggul Ametung.
Demikian pula akhirnya para Senapati mengambil kesimpulan yang sama. Tetapi susunan keprajuritan yang lahir setelah Sri Rajasa memegang pemerintahan, mencerminkan kesetiaan mereka kepada Sri Rajasa. Terlebih-lebih adalah Senapati-Senapati muda yang diangkat di saat-saat Sri Rajasa sudah berkuasa.
Namun Mahisa Agni sudah memperhitungkannya juga.
Dalam pada itu, Sri Rajasa yang kemudian duduk termangu-mangu menerima keluh kesah puteranya yang lahir dari Ken Umang. Bukan saja Tohjaya, tetapi Ken Umang sendiri menangis berkata. "Memalukan sekali tuanku, Tohjaya sudah turun kearena dan dikalahkan oleh anak sakit-sakitan itu"
"Jangan berkata begitu, ia adalah Putera Mahkota"
"Tetapi ia tidak berhak menghancurkan nama Tohjaya dihadapan rakyat Singasari"
"Tidak seorangpun yang tahu bahwa akan terjadi demikian"
"Tentu pokal Mahisa Agni. Kenapa tuanku masih juga mempergunakan orang yang jelas tidak setia kepada tuanku?"
"Tidak mudah untuk menuduh demikian, Mahisa Agnilah yang datang bersama aku ke Kediri dan menundukkan Gubar Baleman. Tidak ada seorangpun yang dapat melakukan hal itu"
"Tentu tuanku sendiri dapat melakukannya"
"Aku tidak yakin, setelah aku memeras tenaga melawan Maharaja dari Kediri itu" sahut Sri Rajasa, "apalagi jika tanpa Mahisa Agni saat itu, kedua kekuatan itu pasti akan bergabung. Dan aku tidak akan pernah kembali ke Singasari. Tidak ada kekuatan yang dapat melawan Gubar Baleman dan Maharaja Kediri bersama-sama"
Ken Umang tidak menyahut lagi. Ia memang tidak dapat ingkar, tanpa Mahisa Agni, Singasari tidak akan dapat sebesar saat ini. Bahkan mungkin Kediri akan mampu mematahkannya sebelum tumbuh dan berkembang. Namun kini ternyata Mahisa Agni menjadi penghalang baginya, bagi puteranya Tohjaya, karena Mahisa Agni adalah paman Anusapati.
"Jangan kau risaukan" berkata Sri Rajasa, "aku mempunyai seribu jalan. Tetapi aku tidak dapat berbuat kasar. Aku harus berhati-hati. Sekarang aku tahu, bahwa pasti Anusapati sendirilah yang telah berhasil membunuh Kiai Kisi ketika ia pergi menumpas penjahat itu. Dan akupun harus memperhitungkannya sebagai orang berkerudung hitam yang berkeliaran di istana ini. Jika demikian, maka aku harus menjadi semakin berhati-hati permainan Mahisa Agni cukup matang"
Ken Umang dan Tohjaya tidak menyahut. Mereka harus mengerti, bahwa tidak menguntungkan apabila mereka berbuat dengan tergesa-gesa. Ternyata orang Panawijen itu bukannya seorang yang tidak mampu menanggap permainan Sri Rajasa.
"Mahisa Agni sudah dapat membaca rencanaku" berkata Sri Rajasa didalam hatinya. Dan Sri Rajasapun agaknya sudah menduga bahwa Mahisa Agni sudah mengetahui apa yang sebenarnya terjadi atas Tunggul Ametung.
"Tidak mustahil ia akan mengambil sikap yang menentukan" katanya didalam hati. Tetapi Sri Rajasa tidak pernah menyatakan kecemasannya kepada , ken Umang, maupun kapada Tohjaya.
Dalam pada itu, Permaisuri sedang menangisi kenyataan yang tidak terduga-duga. Dihadap oleh putera-puteranya. ia mengucapkan syukur kepada Yang Tunggal, bahwa ternyata Anusapati bukan seekor domba yang lemah dipadang rumput yang penuh dengan serigala.
03 Pelangi Di Langit Singosari Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Dimana kau mendapat kemungkinan untuk mengalahkan Tohjaya?" bertanya ibunya.
Anusapati tidak menyahut. Ia hanya menundukkan kepalanya saja disamping isteri dan anaknya yang mulai nakal.
"Aku benar-benar iri hati kanda" berkata Mahisa Wonga Teleng, "kanda tentu tidak berkeberatan mengajari aku"
Anusapati tersenyum. Jawabnya, "Tentu. Tetapi kau akan banyak kehilangan waktu"
"Kenapa" Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali"
"Baiklah, pada saatnya, kau dapat saja belajar ilmu tata bela diri. Mungkin bersama dengan anak-anak kita"
Mahisa Wonga Teleng tertawa. Anak-anak mereka memang telah tumbuh semakin besar. Mereka adalah laki-laki yang kuat dan nakal.
"Tetapi dengan demikian kau harus berhati-hati Anusapati" berkata ibunya.
"Kenapa ibu?" Ken Dedes tidak segera menyahut. Dipandanginya wajah Anusapati sejenak. Masih tampak kegembiraan disorot matanya meskipun mata itu basah. Namun lambat laun, mata itu menjadi suram. Terbayang dimata Ken Dedes itu, kenyataan tentang Anusapati. Wajah puteranya itu mirip benar dengan wajah Tunggul Ametung, Akuwu Tumapel yang telah disingkirkan oleh Ken Arok.
Sebagai seorang ibu, maka Ken Dedes justru mulai dirayapi oleh kecemasan tentang puteranya itu. Ia sadar, bahwa Ken Arok tidak bersikap jujur. Gelar Putera Mahkota diberikan kepada Anusapati bukan karena hatinya berkata demikian. Tetapi sekedar untuk mengelabui kata hatinya yang sebenarnya. Beberapa orang tua-tua di Tumapel mengetahui, bahwa sumber kekuasaan atas Tumapel ada ditangan Tunggul Ametung yang melimpah kepada Ken Dedes, sehingga kekuasaan itu sudah sewajarnya diwarisi oleh Anusapati. Tetapi tentu Ken Arok yang bergelar Sri Rajasa itu tidak ikhlas membiarkan Anusapati kelak benar-benar bertahta di Singasari.
Betapa perasaan itu menghentak-hentak didadanya, sehingga pada suatu saat, ia tidak dapat bertahan lagi. Dipanggilnya Anusapati menghadap seorang diri, dan terloncat dibibirnya pesan, "kau memang harus berhati-hati Anusapati"
Anusapati yang memang sudah menyimpan berbagai pertanyaan didalam hati, seolah-olah mendapat jalan untuk bertanya kepada ibunya. "Kenapa ibu setiap kali berpesan kepada hamba untuk berhati-hati. Dan kenapa hamba merasa bahwa memang hamba selalu dibayangi oleh pengawasan yang tidak sewajarnya didalam istana ini?"
Ken Dedes yang dadanya sudah dipenuhi oleh berbagai macam perasaan itu hampir saja menuangkan segala sesuatu kepada Anusapati. Namun tiba-tiba ia merasa sesuatu telah menahannya.
Karena itu yang terlontar dari bibirnya hanyalah sebagian saja, "Kau mempunyai ibu tiri Anusapati. Dan ibu tirimu juga mempunyai seorang anak laki-laki, hampir sebaya dengan kau"
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian, "Tetapi ibu, apakah hamba harus mencurigai saudaraku sendiri meskipun bukan lahir dari ibu yang sama?"
Pertanyaan itu menyentuh hati Ken Dedes. Maka sejenak ia merenung. Ada sesuatu yang memberati hatinya untuk berkata berterus terang. Apalagi setelah ia tahu bahwa anaknya bukan seorang laki-laki dungu yang hanya dapat mengeluh dan meratap. Kini baginya Anusapati adalah seorang laki-laki, seorang jantan sepenuhnya, sehingga iapun pasti akan dapat mengambil sikap jika hatinya tersinggung.
Karena itu, Ken Dedes hanyalah dapat menarik nafas dalam-dalam.
Namun desakan perasaan didada Anusapatilah yang kemudian mendorongnya bertanya, "Bunda, hamba tidak mengerti, apakah hanya sekedar perasaan hamba, bahwa sebenarnyalah ayahanda tidak bersikap adil terhadap hamba dan adinda Tohjaya. Sejak hamba kanak-anak, hamba merasakan perbedaan sikap itu. Didalam banyak hal ayahanda Sri Rajasa tidak membantu hamba. Juga didalam olah kanuragan. Hamba seakan-akan selalu tersisih. Hanya adinda Tohjayalah yang mendapat kesempatan sebaik-baiknya. Baginya, sebelum hamba muncul sebagai Kesatria Putih di arena, hamba adalah seorang yang tidak berharga. Dengan demikian hamba harus menempuh jalan lain untuk dapat mengimbanginya"
"Jalan apakah yang sudah kau tempuh Anusapati?"
"Untunglah ada pamanda Mahisa Agni. Pamanda Mahisa Agnilah yang telah membentuk hamba menjadi seorang yang mampu mengimbangi Tohjaya tanpa diketahui olehnya dan oleh ayahanda Sri Rajasa. Jika hamba tidak mendapat kesempatan atas permainan pamanda Mahisa Agni, sebagai Kesatria Putih yang sudah dikenal Rakyat Singasari, mungkin hamba akan mengalami akibat lain, jika diketahui bahwa hamba mempunyai ilmu yang cukup"
Ken Dedes mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi tanpa disadarinya air matanya mengalir semakin deras. Terbayang keadaan Anusapati yang seakan-akan selalu terdorong menjauh dari setiap kesempatan.
Tetapi Ken Dedes tidak dapat mengatakannya. Ken Dedes tidak dapat mengemukakan perasaan yang sebenarnya bergejolak didalam hatinya.
"Ibu" bertanya Anusapati lebih lanjut, "kenapa ayahanda Sri Rajasa bersikap demikian" Apakah sesuatu yang membuatnya membenci hamba?"
"Tidak Anusapati, tidak. Itu hanya sekedar perasaanmu saja. Sikap ayahandamu kepadamu tidak ubahnya dengan sikap Sri Rajasa kepada putera-puteranya yang lain. Aku juga pernah mendengar Tohjaya mengeluh kepada ibunya, menanyakan sikap ayahanda Sri Rajasa. Kenapa ia selalu tersisih dan dengan tergesa-gesa menyerahkan gelar Putera Mahkota kepadamu, seakan-akan ayahanda Sri Rajasa cemas, bahwa Tohjaya ingin merebutnya"
Anusapati mengerutkan keningnya. Jika benar demikian, maka adalah bayangan yang tumbuh dari mimpi buruk sajalah yang menyebabkannya merasa tersisih.
Tetapi Anusapati yang sudah dewasa itu menangkap sesuatu yang tersirat di wajah dan titik air mata ibunya. Meskipun ibunya mencoba menyembunyikan perasaannya, namun Anusapati berhasil menangkapnya, dan merasa bahwa apa yang dikatakan oleh ibunya itu bukannya yang sebenarnya dirasakannya.
Namun Anusapati tidak mendesaknya. Ia sadar, dengan demikian ia akan membuat ibunya menjadi semakin sakit hati. Karena itu untuk sementara Anusapati terpaksa menyimpannya didalam hati.
Tetapi demikian ia mundur dari hadapan ibunya, maka dicarinya pamannya yang masih berada di istana Singasari.
Ia kini tidak perlu mencari kesempatan tersembunyi. Setiap orang didalam istana itu tanpa mendapat penjelasan dari siapapun, mulai meraba-raba, bahwa kemampuan Anusapati pasti diturunkan oleh Mahisa Agni, karena mereka tahu. bahwa latihan-latihan yang dilakukan bersama Tohjaya hampir tidak berarti sama sekali. Terlebih-lebih adalah Tohjaya sendiri dan gurunya, yang tidak segan-segan berbicara tentang kemungkinan itu dengan siapapun juga.
"Curang" katanya, "kakanda Anusapati merahasiakan kemampuannya selama ini. Tentu maksudnya tidak baik. Hanya orang-orang yang licik sajalah yang merahasiakan ilmunya. Tentu untuk tujuan-tujuan yang kurang baik"
Tetapi hampir setiap orang berkata, "Ternyata bahwa Anusapati mampu mendapatkan ilmu dengan caranya sendiri dan mengamalkannya sebagai Kesatria Putih"
Meskipun demikian, beberapa orang perwira yang mempunyai kepentingan tersendiri berkata diantara mereka, "Licik. Tuanku Tohjaya harus berhati-hati menghadapinya"
Dan untuk sikap itu para perwira itupun mendapat janji yang baik dihari mendatang.
"Ayahanda ada dipihakku" berkata Tohjaya. Tetapi semuanya itu disadari oleh Mahisa Agni. Ia sudah membuka daun pintu yang selama ini ditutupnya, dan semua orang sudah melihat apa yang terdapat didalamnya. Ternyata bahwa rakyat Singasari menerima kehadiran Anusapati yang tiba-tiba itu.
"Kau harus meneruskan amalmu sebagai Kesatria Putih" berkata Mahisa Agni ketika Anusapati menghadapnya.
"Ya paman. Aku akan melakukannya. Tetapi disamping tugas itu, aku harus memperhatikan sikap Tohjaya. Aku yakin bahwa ada suatu yang tidak wajar pada ayahanda. Aku sudah mencoba bertanya kepada ibunda Permaisuri. Tetapi setiap kali ibunda Ken Dedes hanya menangis. Dan akupun yakin, ada sesuatu yang disembunyikan. Agaknya ibunda berusaha melindungi pula sikap ayahanda"
"Jangan salah mengerti Anusapati" berkata Mahisa Agni, "bukan maksud ibundamu melindungi sikap yang tidak wajar dari ayahandamu Sri Rajasa. Tetapi sebagai seorang ibu ia harus bijaksana. Ibundamu memang tidak boleh membakar perasaanmu. Dan kaupun harus menyadari, jangan memaksa ibumu mengatakan sesuatu, agar hatinya tidak semakin sakit"
Anusapati menundukkan kepalanya. Namun perlahan-lahan ia berkata, "Kenapa ibunda Permaisuri masih harus menyimpan perasaannya itu. Hampir setiap orang didalam istana ini mengetahui, bahwa sikap ayahanda tidak adil, bukan saja terhadap putera-puteranya, tetapi juga terhadap ibunda berdua, Ayahanda Sri Rajasa lebih mementingkan ibunda Ken Umang. Mungkin ibunda Ken Umang adalah seseorang yang lebih terbuka dari ibunda Ken Dedes yang lebih dalam menyimpan perasaannya"
"Sudahlah Anusapati" potong Mahisa Agni, "tidak baik bagimu untuk selalu menyesali diri. Kau sudah mendapat kesempatan. Pergunakan sebaik-baiknya. Bentuklah hari depanmu sendiri tanpa menggantungkannya kepada orang lain, meskipun kepada ayahanda Sri Rajasa sendiri"
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Baiklah paman"
Demikianlah maka Anusapatipun mulai keluar lagi dari istana dimalam hari dengan kuda putihnya. Tetapi ia masih merasa perlu menyembunyikan wajahnya meskipun kadang-kadang dibukanya. Tetapi rakyat yang jauh dari kota, meskipun mereka sudah mendengar pula bahwa Kesatria Putih itu adalah Putera Mahkota, namun mereka masih sering menjumpai Kesatria Putih lengkap dalam pakaiannya yang semula. Kuda Putih dan kerudung putih.
Demikianlah bagi rakyat Kesatria Putih masih tetap merupakan teka-teki. Ia berada disegala tempat dan disegala waktu. Seolah-olah Kesatria Putih dapat mengelilingi seluruh Singasari dalam waktu sekejap.
Namun dalam pakaian Kesatria Putih, Anusapati dapat keluar masuk pintu gerbang istana dengan leluasa. Kini tidak seorangpun yang berani menegurnya. Bahkan setiap Kesatria Putih lewat pintu gerbang istana, maka hati para prajurit menjadi tenang, karena para penjahat pasti akan menjauh dan Singasari menjadi makin tenteram.
Dalam pada itu kebesaran nama Kesatria Putih semakin hari menjadi semakin menambat hati rakyat Singasari. Hampir tidak masuk akal, bahwa Anusapati dalam waktu hampir berbareng telah menangani dan menghancurkan dua kelompok penjahat ditempat yang berbeda-beda.
Tetapi tidak seorangpun yang memperhatikan, bekas tangan Kesatria Putih. Hanya Mahisa Agnilah yang dengan teliti mengikutinya. Didalam hati ia masih menyebut perbedaan akibat dari tindakan Kesatria Putih.
"Dibagian Utara kota Singasari. Kesatria Putih jarang sekali membinasakan lawannya, tetapi dibagian Barat, hampir setiap penjahat tidak lolos dari ujung pedangnya"
Dengan demikian, Mahisa Agni merasa perlu untuk menertibkan tindakan Kesatria Putih sebelum orang lain mencurigainya juga, karena sebenarnya bukan saja Anusapati, tetapi ia masih juga dibantu oleh orang-orang yang sebelumnya telah mengenakan pakaian Kesatria Putih diatas kudanya yang putih.
"Untunglah, bahwa Anusapati sudah pantas dilepaskan dalam bentuk Kesatria Putih" berkata Mahisa Agni didalam hatinya pula, "meskipun Anusapati masih belum menyamai Witantra. Kuda Sempana dan Mahendra, tetapi dengan bekal yang ada, ia cukup mampu menghadapi kejahatan didaerah padesan"
Sejalan dengan memanjatnya nama Kesatria Putih yang dikenal sebagai Putera Mahkota, maka hati Sri Rajasapun menjadi semakin kecut. Kadang-kadang ia menjadi hampir berputus asa. Ia mengakui, betapa cerahnya hati Mahisa Agni melawan permainannya.
"Aku lengah menghadapinya karena ia berada jauh dari istana. Ternyata ditempat yang jauh itu, ia masih mampu melakukan permainan yang matang" katanya setiap kali kepada diri sendiri.
Apalagi semakin lama nama Tohjaya semakin tidak pernah diucapkan lagi oleh rakyat Singasari diluar istana, karena Tohjaya hampir tidak pernah mendapat kesempatan apapun. Setelah mereka mengetahui bahwa Kesatria Putih itu adalah Anusapati, maka mereka mulai ragu-ragu mempergunakan prajurit-prajurit sebagai umpan yang akan dipergunakan untuk memanjatkan nama Tohjaya.
Meskipun demikian, beberapa orang perwira dipuncak pimpinan prajurit Singasari, masih berhasil dikuasainya dengan berbagai macam janji dan kesempatan.
Namun bagi Sri Rajasa, semuanya itu tidak akan banyak memberi harapan.
Bahkan di saat-saat ia duduk sendiri dibelakang bangsalnya, jika matahari sudah tenggelam, kadang-kadang Sri Rajasa tidak dapat menghindarkan diri dari kenangan masa lampaunya. Bahkan kadang-kadang kenangan itu bagaikan hantu yang merayap mengintainya dan menerkamnya setiap saat.
"Apakah dewa-dewa sudah mulai melepaskan aku sendiri?" katanya kepada diri sendiri.
Sekilas terkenang kata-kata mPu Purwa dipadang Karautan, "Kembalilah kepada Yang Maha Agung"
Dan Ken Arok yang saat itu menghantui padang Karautan bertanya kepada diri sendiri, "Siapakah Yang Maha Agung itu?"
Terkenanglah olehnya bagaimana ia dikejar-kejar oleh orang-orang padesan didaerah Kemundungan. Karena kebingungan ia segera memanjat pohon tal. Tetapi orang-orang itu berusaha menebang pohon tal tempat ia memanjat. Di saat yang gawat itulah ia mendengar suara di angkasa, "Ambil daun tal, pakailah sebagai sayapmu kiri dan kanan"
Dan Ken Arok selamatlah menyeberangi sungai dengan sayap daun tal.
"Itu adalah suara Yang Maha Agung" desisnya.
Saat itu, ia ternyata dekat sekali dengan Yang Maha Agung. Beberapa kali ia menjumpai keajaiban yang tidak dimengertinya sendiri, sehingga sampai saat ini ia masih bertanya, "Ilmu apakah yang sebenarnya aku miliki sekarang, sehingga aku dapat mengalahkan Maharaja di Kediri?"
"Tetapi apakah kini Yang Maha Agung itu masih dekat dengan aku?" pertanyaan itu mulai mengganggunya.
Bahkan kadang-kadang didalam kegelapan. Sri Rajasa melihat bayangan seseorang yang duduk bersimpuh sambil memegang dadanya yang terluka. Namun kadang-kadang bayangan itu mengangkat tangannya yang menuding wajahnya, "Kau membunuh aku Ken Arok"
"Tidak, tidak" Ken Arok yang bergelar Sri Rajasa itu berdesis sambil menutup wajahnya. Bayangan itu adalah bayangan mPu Gandring yang telah dibunuhnya dengan keris yang dibuat oleh mPu Gandring itu sendiri.
Ketika bayangan itu lenyap, hadirlah bayangan yang lain, seorang anak muda yang berwajah riang. Tetapi wajah itu rasa-rasanya bagaikan menyala, "Kau memperdaya aku Ken Arok. Aku tidak pernah bersalah. Aku tidak pernah membunuh Akuwu Tunggul Ametung. Dan ketika bayangan yang kemudian hadir, hatinya menjadi semakin kecut. Dilihatnya Akuwu Tunggul Ametung dalang sambil menggeram, "Akan datang saatnya aku menuntut balas Ken Arok"
Ken Arok yang bergelar Sri Rajasa itu menjadi semakin kecut. Bayangan Tunggul Amelung itu semakin lama menjadi semakin jelas.
Bukan, bukan wajah Tunggul Ametung, tetapi wajah itu adalah wajah Anusapati. Wajah Kesatria Putih yang lahir dari Ken Dedes oleh tetesan darah Akuwu yang telah dibunuhnya itu.
Terasa kengerian yang sangat mencekam hati Sri Rajasa. Wajah demi wajah dari orang yang telah dibunuhnya silih berganti membayanginya, bercampur baur dengan wajah Anusapati, bahkan kemudian wajah Mahisa Agni.
"Mahisa Agni" tiba-tiba Sri Rajasa menggeram.
Bagi Sri Rajasa ternyata Mahisa Agnilah kini orang yang paling berbahaya. Tanpa Mahisa Agni, Anusapati sama sekali tidak berarti baginya.
Tetapi Sri Rajasa untuk sementara tidak akan dapat berbuat banyak terhadap Mahisa Agni, meskipun Sri Rajasa yakin bahwa Mahisa Agni tidak akan berhenti sampai sekian. Kemenangan yang pernah dicapainya akan mendorongnya untuk berbuat lebih banyak lagi.
Bagi Mahisa Agni perjuangan itu pasti dianggapnya sebagai kewajiban. Ia telah kehilangan pamannya, mPu Gandring, suami Ken Dedes, dan bahkan terjerumus kedalam perang tanding melawan Witantra untuk menetapkan kekalahan Kebo Ijo.
"Mahisa Agni pasti sudah menemukan kebenaran dari segala peristiwa yang terjadi" berkata Sri Rajasa kepada diri sendiri.
Dan tiba-tiba saja Sri Rajasapun teringat pula kepada Witantra dan saudara seperguruannya, Mahendra.
Ingatan yang tumbuh dihati Sri Rajasa itu membuatnya semakin gelisah. Terapi ia sudah melangkah. Tingkat demi tingkat dari suatu perjuangan yang berat sudah dilaluinya. Yang. kini ia sudah sampai pada titik perjuangan yang terakhir, mewariskan kekuasaan yang dibangunnya selama ini kepada keturunannya, bukan keturunannya Tunggul Ametung. Meskipun ada juga putra-putranya yang lahir dari Ken Dedes, tapi Sri Rajasa menganggapnya bahwa Ken Dedes pernah melahirkan anak Tunggul Ametung. Tapi kegagalannya menampilkan Tohjaya menjadi pahlawan terbesar diantara putra-putranya membuatnya kehilangan arah. Semua rencananya pecah bersama dengan kekalahan Tohjaya diarena melawan Kesatria Putih yang ternyata adalah Anusapati.
"Aku harus mulai dari permulaan lagi" berkata Sri Rajasa di dalam hatinya. Tapi ia belum tahu apa yang sebaiknya dilakukan. Namun yang terlintas didalam angan-angannya, Mahisa Agni harus segera kembali ke Kediri sehingga kesempatannya bertemu dan berbincang dengan Anusapati menjadi sangat terbatas.
Demikianlah maka dihari berikutnya jatuhlah perintah bahwa Mahisa Agni harus segera meninggalkan istana Singasari.
Mahisa Agnipun sebenarnya telah menduga bahwa ia harus segera meninggalkan Singasari untuk dijauhkan dari putra Mahkota. Tetapi jalan sudah terbuka meskipun justru bahaya menjadi semakin besar bagi Anusapati. Namun bertindak sesuatu atas Anusapati yang dikenal oleh rakyat Singasari sebagai kesatria Putih memerlukan pertanggungan yang besar.
Meskipun demikian Mahisa Agni tidak boleh lengah sebelum ia berangkat meninggalkan istana ia banyak sekali memberikan pesan kepada Anusapati.
Tetapi satu hal yang tidak dikatakannya, bahwa Anusapati sebenarnya bukan putera Sri Rajasa.
"Paman" Anusapati mendesak, "apakah sebabnya, aku harus menempuh jalan yang aneh untuk mendapatkan tempat dihati rakyat Singasari. Dan kenapa aku rasa-rasanya menjadi semakin jauh dari ayahanda Sri Rajasa?"
"Tidak ada persoalan apapun yang dapat menjadi alasan itu Anusapati" berkata Mahisa Agni, "jika sekarang kau menghadapi kenyataan itu, barangkali, karena ibumu seorang yang lebih banyak menyimpan perasaan. Seorang yang tidak ingin melontarkan diri keatas awang-awang, melampaui dan bahkan jika perlu beralaskan orang lain. Tetapi sifat-sifat Ken Umang memang tidak terpuji. Itulah agaknya yang menyebabkan ada perbedaan antara kau dan Tohjaya dihadapan Sri Rajasa. Tetapi percayalah bahwa hal itu tidak akan langgeng. Akhirnya akan tampak dan terbukti, mana yang baik dan mana yang tidak"
Anusapati menarik nafas dalam-dalam.
"Jalanmu sudah terbuka. Teruskan amalmu sebagai Kesatria Putih. Kau harus lebih banyak keluar dari istana. Jangan sampai terjadi, Kesatria Putih melakukan tindakan disuatu tempat tetapi kau berada didalam istana. Jika demikian pasti akan menimbulkan pertanyaan. Satu kali dua kali mungkin tidak akan diketahui, tetapi perasaan Sri Rajasa yang tajam, dan usaha Tohjaya untuk mencari kelemahanmu, akan memaksa mereka mencari setiap kesalahan yang mungkin terjadi"
Anusapati menganggukkan kepalanya.
"Pada suatu saat Anusapati, untuk tidak menimbulkan kesalahan, sebaiknya kau sendirilah yang akan menjadi Kesatria Putih. Kau seorang diri tanpa orang lain. Meskipun kegiatan Kesatria Putih akan berkurang, tetapi lubang-lubang yang dapat membuat kau terperosok kedalamnya menjadi semakin kecil"
"Ya, paman" "Sementara itu, untuk keselamatanmu, setiap kali salah seorang dari orang-orang tua itu akan mengawasimu dari kejauhan seperti yang juga sering terjadi. Menghadapi kejahatan yang besar dan dilakukan oleh penjahat-penjahat yang kuat, kau tidak boleh berjuang seorang diri. Satu atau dua orang akan membantumu. Tetapi hanya seorang sajalah yang boleh berperan sebagai Kesatria Putih"
"Tetapi bagaimana aku dapat berhubungan dengan mereka paman"
"Merekalah yang akan menghubungi kau setiap kali. Sumekar dapat menjadi penghubung yang baik pula"
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Nah, jagalah dirimu baik-baik. Tetapi jangan sekedar tenggelam dalam tugas Kesatria Putih. Kau harus menyempurnakan ilmumu sebaik-baiknya. Jika pada suatu saat kau menjumpai bahaya dari manapun datangnya, kau benar-benar sudah menjadi sempurna dan mampu mempertahankan dirimu. Orang-orang seperti Kiai Kisi masih akan berkeliaran mencarimu. Suatu saat akan datang orang yang jauh lebih dari kiai Kisi, karena ternyata Sri Rajasa kini pasti sudah memperhitungkan, bahwa kau sendirilah yang telah membunuh Kiai Kisi itu"
Demikianlah, maka pesan Mahisa Agni itu selalu diingat oleh Anusapati. Ia harus berhati-hati. Baik didalam lingkungan hidupnya sehari-hari, maupun apabila ia pergi keluar istana sebagai Kesatria Putih. Namun seperti yang dikatakan oleh Mahisa Agni, Anusapati masih selalu memerlukan waktu untuk menyempurnakan ilmunya. Setiap hari ia singgah di tempat yang terasing untuk mematangkan ilmu yang sudah dimilikinya.
Namun ternyata ada beban baru yang harus dilakukannya. Mahisa Wonga Teleng berkeras untuk mempelajari ilmu daripadanya.
"Aku jauh ketinggalan dari saudara-saudaraku" berkata Mahisa Wonga Teleng. "Tentu ada kesengajaan ayahanda Sri Rajasa untuk membedakan aku dengan saudara-saudaraku yang lahir dari ibunda Ken Umang"
"Tidak Mahisa Wonga Teleng" jawab Anusapati, "tidak ada perbedaan apa-apa. Itu hanyalah perasaan kita" Anusapati mencoba menirukan Mahisa Agni setiap kali ia mengeluh. Dan kini ia mencoba menenteramkan hati adiknya itu.
Mahisa Wonga Teleng mengangguk-anggukkan kepalanya. Meskipun Anusapati sendiri melihat kenyataan itu. Adalah tidak mustahil, terdorong oleh sikap Tohjaya maka adik-adiknya yang lahir dari Ken Umang telah membenci Mahisa Wonga Teleng karena ia adalah adik Anusapati.
"Kakanda Tohjaya juga mengajari adik-adiknya yang lahir dari ibunda Ken Umang. Apa salahnya aku minta kakanda Anusapati melatih aku?"
"Baiklah" berkata Anusapati, "kita mencari tempat yang baik. Di pagi-pagi benar kita mulai berlatih sampai matahari terbit"
"Waktunya hanya pendek sekali" sahut Mahisa Wonga Teleng, "bagaimana kalau sampai matahari sepenggalah?"
Anusapati tersenyum. Katanya, "Bukankah kau sudah mempunyai seorang guru yang mengajarimu bersama-sama dengan adinda yang lain"
"Tetapi tidak lagi bagiku setelah aku kawin. Seperti juga kakanda Anusapati tidak mendapat kesempatan berguru lagi. Untunglah ada pamanda Mahisa Agni. Jika aku tahu sebelumnya, aku pasti ikut berlatih pada paman Mahisa Agni. Akulah yang barangkali bernasib jelek. Aku tidak mendapat perhatian dari pamanda Mahisa Agni, dan tidak terhitung oleh Ramanda Sri Rajasa"
"Jangan begitu. Tidak ada perbedaan. Baik pada paman Mahisa Agni, maupun pada ayahanda Sri Rajasa"
"Entahlah" sahut Mahisa Wonga Teleng, "tetapi sekarang aku minta kepada kakanda Anusapati, ajari aku meskipun terlambat. Aku menjadi semakin tua, dan anakku menjadi semakin besar"
Anusapati tidak dapat menolak permintaan adiknya. Sebenarnyalah bahwa Mahisa Wonga Teleng belum menjadi tua. Ia masih sangat muda. Meskipun anaknya bertambah besar, tetapi saat perkawinannyalah yang terlampau maju. Anusapati tidak mengerti, kenapa ayahanda Sri Rajasa berlaku demikian. Apakah tujuannya, karena ternyata sikap ayahanda Sri Rajasapun jauh lebih baik pada Mahisa Wonga Teleng daripada kepada, dirinya sendiri.
Tidak seperti pada saat Anusapati mempelajari olah kanuragan dari pamannya, Mahisa Wonga Teleng tidak perlu bersembunyi-sembunyi. Ternyata ia berani menghadapi tantangan disekitarnya. Dan ternyata tidak ada seorangpun yang berani merintanginya, apalagi gurunya adalah Kesatria Putih.
Namun dalam pada itu, sebenarnya Tohjaya sama sekali masih belum mengakui kemenangan Anusapati daripadanya. Memang Anusapati dapat mengalahkannya dalam permainan sodoran di arena. Tetapi itu tidak berarti bahwa Anusapati dapat mengalahkannya apabila benar-benar mereka harus berperang tanding.
Tetapi Tohjaya tidak berani mencobanya. Ia masih belum mengetahui dengan pasti, kemampuan yang sebenarnya dimiliki oleh Anusapati.
"Tuanku" guru Tohjaya yang siang dan malam memikirkan cara untuk melenyapkan Kesatria Putih, sejak ia masih belum mengenakan bentuknya itu, berkata kepada muridnya, "adalah suatu keharusan untuk melenyapkan Kesatria Putih. Aku rasa kita tidak akan dapat bertindak atasnya. Jika kita memberikan beban ini kepada salah seorang diantara kita, atau setidak-tidaknya orang yang ada dilingkungan kita, jika orang itu tidak berhasil, maka akan sangat berbahaya akibatnya bagi kita. Untunglah bahwa sampai saat ini, usaha kita belum dapat diketahuinya dengan pasti"
Tohjaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi gurunya menjadi ragu-ragu sendiri. Terbayang didalam angan-angannya, seseorang berkerudung hitam telah memancingnya dan melibatnya dalam perkalahian. Ketika ia merasa, bahwa ia akan berhasil membunuh orang itu, rahasia yang disimpannya terlanjur dikatakannya.
"Apakah orang itu juga Anusapati?" katanya didalam hati, "Jika orang itu Putera Mahkota, kenapa ia masih tetap berdiam diri sampai sekarang?"
Hal itu ternyata sangat membingungkan sekali. Menurut pengamatannya, bentuk tubuhnya dan sikap terjangnya, orang itu bukan Putera Mahkota. Tetapi siapa"
Orang itu sama sekali tidak menduga, bahwa di halaman istana itu ada seorang juru taman yang memiliki kemampuan seperti Kesatria Putih dan seperti orang-orang berkerudung yang pernah dikenal di istana Singasari.
"Jadi bagaimana maksudmu?" bertanya Tohjaya kemudian.
"Kita minta pertolongan seseorang diluar lingkungan kita"
Tohjaya mengerutkan keningnya, namun kemudian ia berkata lemah, "Kau pernah gagal. Kiai Kisi tidak dapat berbuat apa-apa. Bukankah kau pernah mengatakannya meskipun kau tidak mengajak aku berbicara ketika kau merencanakan" Dan bukankah ayah pernah marah kepadamu?"
"Tetapi keadaannya sekarang berbeda. Kita tidak membenturkan orang itu langsung kepada Putera Mahkota, tetapi kepada Kesatria Putih"
"Apa bedanya" Setiap orang tahu bahwa Kesatria Putih adalah kakanda Anusapati"
"Tuanku" berkata Penasehat Sri Rajasa itu, "hamba mempunyai seorang sahabat. Seorang sakti yang bertapa dilereng Gunung Semeru"
"Jangan mengigau. Kita tidak tahu kekuatan yang sebenarnya tersimpan didalam diri kakanda Anusapati" potong Tohjaya, "sedangkan jika pertapa itu orang yang putih, ia pasti tidak akan bersedia memenuhi keinginan itu"
"Orang itu adalah kakak seperguruan Kiai Kisi"
"Tidak ada gunanya. Ilmunya tidak akan jauh lebih tinggi dari Kiai Kisi"
"Tentu dengan cara yang khusus. Ia mempunyai beberapa orang murid"
"Kesatria Putih dijebak, kemudian dikerubut bersama-sama?"
"Ya" "Kakanda Anusapati bukan seorang yang bodoh. Ia pasti mempunyai perhitungan tersendiri"
"Biarlah mereka menjadikan dirinya penjahat kecil yang mengotori daerah Singasari. Kesatria Putih pasti akan datang mencarinya"
"Seperti beberapa orang prajurit itu" Mereka dimusnakan oleh Kesatria Putih"
"Cecurut-cecurut yang tidak berarti itu. Kita telah salah hitung. Tetapi kali ini hamba akan berhati-hati. Jebakan ini harus mengena. Kalau tidak, kita memang akan menjumpai kesulitan. Tetapi betapapun kuatnya Kesatria Putih, tetapi seorang diri ia tidak akan dapat mengalahkan orang itu beserta beberapa orang muridnya. Apalagi dendam yang ada didalam dirinya kita hembus semakin besar"
Tohjaya merenung sejenak. Namun kemudian ia berkata, "Terserah kepada ayahanda. Aku tidak dapat mengambil kesimpulan"
Gurunya menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Aku tidak yakin kalau ayahanda memperkenankan"
"Mungkin ayahanda tidak menghendaki kematian Kesatria Putih. Meskipun ayah hendak menyingkirkannya, tetapi bukan membunuhnya"
Penasehat Sri Rajasa itu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia masih belum mengatakan, bahwa Anusapati bukan saudara Tohjaya. Sama sekali bukan, karena mereka tidak seayah dan tidak seibu"
Sejenak keduanya saling berdiam diri. Sebenarnya bagi Tohjaya, Anusapati memang lebih baik disingkirkan sama sekali, bukan saja dari kedudukannya sebagai Putera Mahkota, tetapi untuk seterusnya, sehingga ia tidak akan dapat mengganggunya lagi kapanpun juga.
"Tetapi aku kira ayahanda bersikap lain" berkata Tohjaya didalam hatinya, "apalagi setelah ayahanda tahu, bahwa Kesatria Putih adalah kakanda Anusapati. Bagaimanapun juga kematian kakanda Kesatria Putih akan sangat berpengaruh pada pemerintahan Singasari kelak. Ayahanda pasti akan terpaksa ikut berduka karena ibunda Permaisuri berduka, meskipun seandainya kematian Kesatria Putih itu dikehendaki oleh ayahanda. Setelah itu maka untuk mengangkat seorang Putera Mahkota pasti akan menimbulkan persoalan tersendiri pula. Aku yakin bahwa ayahanda akan memilih aku. Tetapi adalah sulit sekali untuk menembus ketentuan yang berlaku, bahwa Putera Mahkota adalah putera seorang Permaisuri"
Tohjaya menarik nafas dalam-dalam.
"Kematian itu dapat ditempuh" berkata Tohjaya pula didalam hatinya, "ayahanda adalah seorang Maharaja yang berkuasa. Kata-katanya adalah ketentuan yang tidak dapat dibantah mengatasi segala ketentuan yang sudah ada. Selagi ayahanda masih ada, tidak akan ada seorangpun yang berani menentang keputusannya"
Namun segera terlintas dikepalanya, wajah seorang Senapati Singasari yang tidak ada duanya, yang bersama-sama Sri Rajasa telah mengalahkan Kediri. Mahisa Agni.
"Orang itulah yang seharusnya disingkirkan" geram Tohjaya tiba-tiba.
"Siapa tuanku" " gurunya itu bertanya.
"O" Tohjaya baru sadar, bahwa ia sedang dihanyutkan oleh angan-angannya.
"Siapakah yang seharusnya disingkirkan tuanku?"
Tohjaya menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, "Semua rencana rusak oleh pamanda Mahisa Agni"
"Ya tuanku. Ternyata Mahisa Agni adalah seorang yang bukan saja memiliki ilmu kanuragan yang mumpuni, tetapi ia memiliki kemampuan berpikir yang tidak terduga-duga. Anak padesan itu hampir berhasil merusakkan seluruh rencana tuanku Sri Rajasa. Karena itu, kita harus bersikap lebih keras lagi. Ayahanda tuan memilih jalan yang paling lembut untuk mencapai maksudnya. Namun ternyata Mahisa Agni adalah seorang yang sangat licik"
"Kau nasehatkan kepada ayahanda. Jika mungkin mengambil jalan kekerasan meskipun ayahanda pernah tidak menyetujuinya. Tetapi saat itu, jalan masih terbuka dan ayahanda masih belum mengetahui betapa licik lawannya"
"Hamba akan mencoba. Tetapi sebelum ayahanda memutuskan, kita memang tidak akan dapat berbuat apa-apa" berkata gurunya.
"Aku menunggu, meskipun aku hampir tidak sabar"
Demikianlah guru Tohjaya yang juga menjadi penasehat Sri Rajasa itu mencoba untuk mendorong Sri Rajasa mempergunakan kekarasan didalam usahanya menyingkirkan Kesatria Putih.
"Kau memang bodoh sekali" berkata Sri Rajasa, "apakah kau masih belum jera atas kegagalanmu itu?"
"Tetapi kali ini jalan kita lebih lapang tuanku. Kesatria Putih adalah musuh setiap penjahat. Jika terjadi sesuatu atas Kesatria Putih, maka tidak seorangpun yang dapat dituntut. Berbeda dengan Putera Mahkota didalam sebuah pasukan. Hamba memang terlampau tergesa-gesa waktu itu"
"Bagaimana dengan Tohjaya?"
"Tuanku Tohjaya hampir tidak sabar menunggu"
"Apakah kau mengatakan kepadanya, siapakah Anusapati sebenarnya dan hubungan antara kedua anak-anak itu"
"Tidak tuanku" "Kau tidak berdusta?"
"Tidak tuanku" Sri Rajasa justru terdiam. Tiba-tiba saja ia merenung. "Bagaimanakah pendapat tuanku?" bertanya penasehatnya.
Sri Rajasa tidak segera menjawab. Tetapi yang terlintas di angan-angannya justru persoalan yang sama sekali menyimpang dari pertanyaan penasehatnya.
Tohjaya sampai hati menjatuhkan pilihan, menyingkirkan Anusapati. Bukan karena Sri Rajasa terlampau sayang kepada Anusapati tetapi ia sedang merenungi watak puteranya. Apalagi karena Tohjaya tidak tahu, hubungan yang sebenarnya antara ia dan Anusapati itu.
"Seharusnya ia menganggap Anusapati sebagai kakaknya. Dan ia sampai hati untuk melenyapkan kakaknya itu" berkata Sri Rajasa diadalam hatinya. Sekilas terbayang segala macam tingkah lakunya semasa ia masih muda. Petualangan, kejahatan, bahkan pembunuhan dan perkosaan telah dilakukannya. Apakah sifat dan watak itu menurun kepada puteranya"Ditambah dengan sifat-sifat Ken Umang yang tamak dan sombong"
Ken Arok yang bergelar Sri Rajasa itu memejamkan matanya. Dan bayangan-angan itu justru menjadi semakin jelas. Terlintas dalam angan-angannya itu, bagaimana ia menemukan Ken Umang dihutan perburuan. Bagaimana gadis itu menjeratnya dengan menyerahkan dirinya sendiri.
Gabungan dari sifat-sifat yang hitam itu kini tampak pada puteranya.
"Apakah anak-anakku yang lain juga bersifat seperti itu?" ia bertanya kepada diri sendiri. Tetapi suatu kenyataan bahwa Mahisa Wonga Teleng, memiliki sifat-sifat yang lain dari Tohjaya, justru karena ia lahir dari ibu yang lain.
"Apakah sifat itu menurun ataukah justru karena tuntunan yang diterimanya dari ibunyalah yang salah?" bertanya Ken Arok kepada dirinya sendiri pula.
Ternyata pertanyaan-pertanyaan itu telah membuat Ken Arok yang bergelar Sri Rajasa itu menjadi termangu-mangu. Kesadaran tentang tingkah lakunya dimasa mudanya, membuat ia kini bersedih atas kelakuan puteranya.
Namun tiba-tiba terbayang dendam yang membara di wajah Anusapati. Seakan-akan wajah itu memancarkan sorot mata Tunggal Ametung. Karena itu maka sambil menggeretakkan giginya Sri Rajasa menggeram didalam dadanya, "Ia harus dibunuh"
Saat-saat yang demikian menegangkan, membuat Sri Rajasa bagaikan kehilangan akal. Rasa-rasanya ia berada didalam suatu keadaan sesaat sebelum ia menghunjamkan kerisnya didada mPu Gandring dan juga didada Akuwu Tunggul Ametung. Ragu-ragu, bimbang dan segala macam perasaan bercampur-baur.
"Semuanya sudah terlanjur. Aku sudah mengorbankan, beberapa nyawa dan orang-orang yang terlalu baik kepadaku. Sekarang korban yang jatuh itu tidak boleh sia-sia, keturunan Ken Arok yang bergelar Sri Rajasa Batara Sang Amurwabumilah yang harus berkuasa di Singasari" katanya kepada diri sendiri.
Penasehatnya masih duduk sambil menundukkan kepalanya dihadapannya ia menunggu dengan sabar, keptutusan yang akan diambil oleh Ssi Rajasa tentang Anusapati.
Namun tiba-tiba saja Sri Rajasa itu berkata, "kita selesaikan dahulu Mahisa Agni. Itu adalah sumber kegagalan-kegagalanku menghadapi Anusapati. Setelah Mahisa Agni lenyap, kita akan dapat berbuat apa saja"
Penasehat menjadi tegang sejenak. Ia tidak menduga bahwa Mahisa Agni yang menjadi pusat perhatian Sri Rajasa.
"Kematian Mahisa Agni tidak akan banyak menimbulkan persoalan padaku. Aku tidak akan dibingungkan tentang jabatan Putera Mahkota untuk sementara, sebelum aku menemukan jalan. Dan kesalahan atas kematian Mahisa Agni dapat aku bebankan kepada orang-orang Kediri. Ternyata mereka telah membunuh wakil Mahkota di Kediri"
Penasehat Sri Rajasa itu menarik nafas dalam-dalam, "Soalnya, apakah orang yang kau katakan mempunyai kemampuan untuk melakukannya" Aku kira Mahisa Agni tidak akan menduga bahwa hal serupa itu dapat terjadi atasnya. Orang-orang itu harus memasuki istananya tanpa diketahui oleh para penjaga. Mereka harus menyerang Mahisa Agni dengan serta merta. Jangan hanya satu dua orang. Ambillah tiga atau empat orang yang setingkat. Aku dapat memberikan apa saja yang diminta. Hanya dengan demikian Mahisa Agni akan dapat terbunuh"
"Hamba tidak dapat mengatakannya tuanku. Apakah orang itu mampu mengalahkan Mahisa Agni"
"Jangan sendiri"
"Hamba juga belum tahu. apakah ada kawan-kawannya atau saudara-saudara seperguruannya yang dapat melakukannya"
"Cobalah, hubungi orang itu. Tetapi hati-hati supaya kau tidak terjerumus ketiang gantungan karena kesalahanmu"
Terasa sesuatu bergetar didada penasehat itu. Namun ia berkata, "Hamba tuanku. Hamba akan sangat berhati-hati"
"Jika kau temukan tiga atau empat orang, bawalah mereka kemari. Mereka harus menunjukkan kemampuan mereka. Aku akan menjajagi ilmu mereka langsung"
"Maksud tuanku"
"Aku akan mencoba melawan mereka seorang demi seorang. Baru aku dapat menentukan apakah mereka mampu melakukan tugas itu atau tidak, karena Mahisa Agni adalah seorang yang pilih tanding, hampir tidak ada duanya didunia ini"
"Hamba tuanku. Hamba mengerti"
"Nah, lakukanlah. Setelah itu baru aku akan menentukan sikap terhadap Anusapati. Kematian Anusapati pasti akan mempengaruhi perasaan Permaisuri dan pengaruhnya yang lain akan terasa sekali pada pemerintahan yang sedang berjalan di Singasari. Tetapi tidak demikian dengan Mahisa Agni. Meskipun ia akan diserahkan kembali kepada asalnya dengan upacara kebesaran salah seorang pemimpin tertinggi di Singasari, namun persoalannya akan segera selesai dan orang-orang Singasari dan Kediri akan segera melupakannya"
"Baiklah tuanku. Hamba mengerti tugas yang harus hamba lakukan"
"Kerjakan baik-baik. Jangan kau katakan lebih dahulu kepada Tohjaya. Aku sendirilah yang akan mengatakan kepadanya"
"Hamba tuanku. Hamba mengerti. Hamba mengerti" penasehat itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Nah, lakukanlah baik-baik. Jika kau sudah menemukan, bawalah mereka kemari. Didalam saat yang tepat, mereka akan pergi ke Kediri, sementara Anusapati harus diusahakan tetap berada di istana saat itu. Jika tidak, dan kebetulan sekali ia berada di Kediri, maka gabungan kekuatan keduanya benar-benar mencemaskan meskipun harus melawan tiga atau empat orang sekaligus"
"Hamba tuanku. Hamba mohon waktu sepekan. Hamba akan segera memberikan laporan tentang orang yang hamba katakan"
"Aku menunggu waktu yang kau katakan. Segala sesuatu harus kau bicarakah dahulu dengan aku. Kau mengerti" Jangan membuat rencana sendiri yang justru akan dapat menggagalkan semua rencana yang sudah tersusun"
"Hamba tuanku" penasehat itu mengangguk-angguk.
Sejenak kemudian maka iapun mohon diri. Bukan saja dari hadapan Sri Rajasa, tetapi ia mohon kesempatan sepekan untuk melakukan tugas itu, sehingga dalam waktu itu ia tidak akan berada di istana.
Demikianlah dengan gelisah Sri Rajasa menunggu kesempatan itu. Penasehat itu masih mohon diri pula, ketika ia siap meninggalkan istana dengan kudanya yang tegar.
Ketika kuda itu berlari keluar dari regol istana, sepasang mata mengikutinya dengan tajamnya. Mata seorang juru taman.
Sumekar menjadi curiga melihat kepergian orang itu. Menilik bekal yang dibawanya, yang tersangkut dipunggung kudanya pula, ia tidak hanya sekedar pergi keluar istana untuk beberapa saat. Tetapi ia pasti meninggalkan istana untuk beberapa hari.
"Kemana orang itu?" ia bertanya kepada diri sendiri. Tetapi tidak ada orang yang dapat menjadi tempat ia bertanya.
Namun karena ia mengetahui apa yang pernah dilakukan oleh orang itu atas Putera Mahkota, maka ia tidak dapat melepaskan perhatiannya kepada kepergiannya itu. Mungkin ia sedang merencanakan sesuatu untuk mencelakakan Putera Mahkota pula.
Karena itu, mau tidak mau, Sumekar harus menghubungi Anusapati dan memberi tahukan kepergian penasehat Sri Rajasa itu.
Pedang Pusaka Buntung 4 Anak Dan Kemenakan Karya Marah Rusli Pedang Medali Naga 4
Demikianlah maka para Senapati yang segera mendapat perintah untuk melaksanakan latihan terbuka itu, mempersiapkan segala sesuatu yang dilakukan. Mereka mulai membuat patok-patok dialun-alun. Kemudian menarik tali diantara patok-patok itu untuk membatasi agar kuda para peserta tidak berlari-lari sampai kegaris penonton. Dengan demikian akan dapat menimbulkan kecelakaan bagi mereka yang mungkin terinjak kaki-kaki kuda para peserta itu.
Ternyata bahwa pengumuman itu mendapat sambutan yang baik dari kalangan anak-anak muda Singasari. Apalagi suatu ketentuan yang mengatakan bahwa siapakah yang paling menang diantara para peserta, akan diberi kesempatan bertanding melawan Tuanku Tohjaya, dan kesempatan pertama untuk langsung diangkat menjadi seorang perwira jika dikehendaki dan hadiah berupa seekor kuda yang sangat baik. Apalagi jiga ia dapat menang atas Tohjaya, maka hadiahnya akan ditambah lagi dengan kesempatan yang lebih luas di bidang keprajuritan dan tiga ekor kuda yang paling baik.
Demikianlah pada saatnya, maka sejak pagi-pagi buta, berduyun-duyun orang-orang Singasari pergi kealun-alun untuk menyaksikan suatu arena terbuka bagi anak-anak muda Singasari. Sebuah panggungan khusus telah dibuat untuk tempat menonton bagi Sri Rajasa dan pada Panglima.
Para anak muda yang akan mengikutinya telah berkumpul disudut alun-alun yang ditentukan. Masing-masing diatas punggung kuda masing-masing yang dihias dengan kelengkapan beraneka warna dan dibungai dengan janur kuning
Ternyata bahwa arena terbuka itu menjadi sangai meriah dan menarik perhatian. Berjejal-jejal rakyat Singasari memenuhi alun-alun mengitari arena yang dibatasi dengan tali-tali yang terentang.
Beberapa orang Senapati dan prajurit yang bertugas menyelenggarakan arena terbuka itu telah siap ditempat masing-masing. Semuanya juga berkuda mengelilingi arena. Selain mereka harus mengawasi para penonton agar tidak masuk kearena, mereka harus mengamati jalannya sodoran di arena itu sendiri. Kecuali para petugas itu, ada dua orang petugas khusus yang akan menilai setiap perkelahian tongkat yang akan terjadi. Tidak boleh ada kecurangan dan tidak boleh ada kekerasan yang melampaui batas.
Seorang petugas yang berada diantara para peserta masih memberi kesempatan kepada anak-anak muda yang ingin mengikuti sodoran diarena itu. Namun agaknya sudah tidak ada lagi yang menyatakan dirinya menambah jumlah dan anak-anak muda yang ikut serta. Mereka sebenarnya ingin juga mencoba-coba, tetapi mereka harus mempunyai bekal kecakapan mengendalikan kuda dan kemampuan dalam olah kanuragan. Ketahanan tubuh dan ketrampilan menggerakkan tongkat panjang yang seakan-akan merupakan sebuah tombak bertangkai panjang.
Ketika semuanya sudah siap, serta persiapan-persiapan sudah selesai diselenggarakan, maka permainan itu-pun segera dibuka. Sebelum pertandingan dimulai, maka terlebih dahulu, putera Sri Rajasa, Tohjaya, berkuda mengelilingi arena pambil melambai-lambaikan tangannya.
Yang menyambut mula-mula adalah mereka yang berada diatas panggung kehormatan. Namun kemudian setiap orang yang menyaksikan pertandingan ketangkasan itu-pun bertepuk tangan dan melambai-lambaikan tangan mereka pula.
Tohjaya yang namanya semakin dikenal oleh rakyat Singasari itu berkenan untuk bertanding melawan pemenang terakhir dari permainan ketangkasan itu.
Setelah mengelilingi arena beberapa kali, maka Tohjaya-pun segera turun dari kudanya di muka tangga panggungan. Setelah sekali lagi melambaikan tangannya kepada setiap orang yang ada diseputar arena, maka ia-pun segera naik dan duduk disamping ayahanda Sri Rajasa dan ibunda Ken Ken Umang.
Disini yang lain dari ayahanda Sri Rajasa adalah Permaisuri Ken Dedes, kemudian Mahisa Agni dan seharusnya diantara mereka duduk Putera Mahkota. Tetapi ternyata Putera Mahkota tidak menghadiri permainan itu. Namun dibelakang mereka, para Panglima dan Senapati memenuhi panggung kehormatan itu.
"Apakah Anusapati tidak berminat ?" bertanya Sri Rajasa kepada Tohjaya.
Tohjaya mengangkat bahu. Jawabnya,"Hamba tidak tahu pasti ayahanda. Hamba sudah minta agar kakanda Anusapati hadir. Tetapi agaknya kakanda Anusapati tidak mau apabila dengan tiba-tiba saja diminta untuk turun kearena, karena kakanda Anusapati sama sekali tidak menguasai kendali kuda, apalagi dengan sebelah tangan memegang tongkat panjang."
Sri Rajasa mengangguk-anggukkan kepalanya.Namun Ken Dedes yang mendengar jawaban itu mengerutkan keningnya. Tanpa sesadarnya ia berpaling. Tetapi Anusapati memang tidak ada diantara mereka. Yang tampak disebelah para Panglima dan Senapati adalah putera-puteranya yang lain, diantaranya adalah Mahisa Wonga Teleng.
Ken Dedes menarik nafas dalam-dalam. Ia sadar, bahwa ternyata Sri Rajasa benar-benar bersikap kurang adil terhadap putera-puteranya. Sri Rajasa tidak mendidik puteranya menjadi laki-laki yang sejajar didalam berbagai macam hal. Juga didalam olah kanuragan.
Namun terasa sesuatu berdesir didalam dadanya. Ken Dedes tidak dapat mengingkari kenyataan, bahkan ia adalah orang yang paling tahu, siapakah sebenarnya Anusapati itu.
Sekilas terbayang Akuwu Tunggul Ametung yang perkasa. Yang terbunuh dengan cara yang licik sekali. Dan ia-pun akhirnya mengetahui, siapakah yang telah membunuh Akuwu Tunggul Ametung itu. Sama sekali bukan Kebo Ijo yang namanya telah dicemarkan.
Tetapi saat itu hatinya sedang digelapkan oleh suatu perasaan yang tidak dimengerti dan tidak dapat dikendalikannya terhadap orang yang bernama Ken Arok itu. Baru kini ia merasa seakan-akan ia harus menanggung dosa yang disandangnya itu.
Tetapi Ken Dedes yang telah cukup lama harus selalu menanggung rasa itu, berhasil mengendalikan dirinya, sehingga seolah-olah ia sama sekali tidak terpengaruh oleh ketidak hadiran Anusapati. Namun ia masih berharap, bahwa Mahisa Wonga Teleng dapat berbuat seperti seorang laki-laki yang baik.
Jadi bukan saja Tohjaya. Namun agaknya Mahisa Wonga Teleng-pun sama sekali tidak bersiap untuk mengikuti permainan di arena terbuka itu.
Demikianlah setelah semuanya dipersiapkan, mulailah perkelahian yang pertama diarena itu. Setelah diundi, maka dua orang anak muda muncul diarena. Mereka adalah anak-anak muda yang tegap dan kuat. Mereka duduk diatas kuda yang tegar dan sebuah tongkat panjang ditangan kanan. Tongkat panjang yang ujungnya dibalut dengan sabut yang terbungkus kain, agar sentuhan ujung tongkat panjang itu tidak berbahaya.
Dengan senyum dibibir, meski-pun tampak juga keringat mengembun dikening, keduanya pergi keujung yang berbeda dari arena itu. Sejenak mereka mempersiapkan diri. Sementara itu seorang prajurit telah siap memukul tengara.
Seorang Senapati yang duduk diatas punggung kudanya pula, memeriksa keduanya berganti-ganti. Pada mereka tidak boleh terdapat senjata yang lain kecuali tongkat itu.
Ketika ternyata tidak terdapat pelanggaran apapun, maka Senapati itu-pun mengangkat tangannya. Jika tangannya melambai maka prajurit yang sudah siap itu akan segera memukul tengara sebagai pertanda bahwa latihan perkelahian berkuda yang pertama ini segera dimulai.
Yang menang pada latihan pertama ini, harus melawan orang kedua pada pertarungan yang kedua. Demikianlah setiap orang yang memenangkan pertandingan, harus melawan orang-orang berikutnya, sampai pada orang yang terakhir. Apabila pemenang itu berhasil mengalahkan lawannya terus menerus, sehingga ia menjadi lelah sekali, maka setelah perkelahian yang kesepuluh, ia mendapat kesempatan beristirahat, sampai pada saatnya ia akan muncul lagi kegelanggang melawan orang yang akan memenangkan pertandingan babak baru berikutnya.
Demikianlah, maka setelah semuanya siap, maka Senapati yang mengangkat tangannya itu-pun segera melambai ke pada prajurit yang segera memukul tengara sebagai pertanda bahwa, perkelahian berkuda dengan tombak yang tumpul itu dimulai.
Kedua anak muda yang duduk diatas punggung kuda diujung dan ujung yang berlawanan itu segera memacu kudanya. Tombak mereka-pun kemudian merunduk mengarah ke^ pada lawannya yang berpacu pula kearahnya.
Demikianlah maka dada para penonton menjadi berdebaran. Meski-pun tongkat itu tidak runcing, tetapi apabila ujungnya mengenai dada, dan jika yang dikenainya tidak mempunyai daya tahan yang kuat, maka ujung tongkat yang telah dilunakkan dengan sabut itu-pun cukup berbahaya.
Semakin dekat kedua ekor kuda yang berpacu berlawanan arah itu, para penonton menjadi semakin berdebar-debar. Sejenak kemudian terdengar perempuan-perempuan menjerit kecil dan bahkan ada yang memejamkan matanya.
Kedua tongkat panjang itu bagaikan saling memukul. Masing-masing berusaha untuk menghindarkan ujung tongkat itu agar tidak mengenai tubuhnya. Namun agaknya yang seorang lebih trampil dari yang lain, sehingga tombaknya masih juga mengenai pundak lawannya.
Anak muda yang terkena itu menyeringai menahan sakit. Hampir saja ia terlempar dari kudanya. Tetapi ia masih dapat bertahan. Namun pundak serasa telah retak.
Meski-pun demikian ia masih belum dinyatakan kalah, karena ia belum terjatuh. Mereka harus mengulanginya sekali lagi. Jika keduanya masih tetap berada dipunggung kuda. maka mereka akan berkelahi dalam jarak dekat tanpa ancang-ancang lagi sampai salah seorang dari mereka terjatuh.
Sejenak kemudian kedua ekor kuda itu telah berpacu kembali.Seperti semula, kedua tongkat itu telah merunduk. Dengan segala macam usaha, masing-masing ingin menjatuhkan lawannya dari punggung kuda.
Tetapi seperti yang terjadi pertama kali, mereka sekedar saling menangkis, sehingga mereka sama sekali tidak berhasil menjatuhkan lawannya.
Dengan demikian, mereka-pun segera berkelahi tanpa ancang-ancang lagi. Mereka saling mendorong dengan tongkat, saling memukul dan saling menarik.
Akhirnya, salah seorang dari keduanya memang harus kalah. Ketika salah seorang dari padanya mengayunkan tongkatnya, maka yang lain berhasil menghindarinya dengan membungkukkan bandannya melekat kepunggung kuda. Demikian tongkat itu terayun, secepatnya tongkat itu dipukul kearah yang sama dengan ayunan itu, sehingga justru orang itu tertarik oleh kekuatannya sendiri. Belum lagi ia berhasil memperbaiki keadaannya, maka lawannya mendorongnya dengan ujung tongkatnya, tidak saja pada tubuh anak muda itu sendiri, tetapi pada tubuh kudanya sehingga kuda itu terlonjak.
Penunggangnya tidak sempat mempertahankan diri.Ia-pun kemudian terguling dan jatuh ditanah.
Sorak para penonton rasa-rasanya seperti membelah langit. Mereka bertepuk dan berteriak-teriak sekuat-kuatnya. Kemenangan yang pertama itu mendapat sambutan yang luar biasa dari para penontonnya.
Demikianlah perkelahian yang pertama itu disusul dengan yang kedua, ketiga dan selanjutnya. Ternyata orang yang memenangkan pertandingan yang pertama itu memang memiliki kelebihan dari yang lain, ternyata ia mampu bertahan sampai tujuh kali. Tetapi pada perkelahian yang ketujuh ia menemukan lawannya yang justru lebih lincah. Selain tenaganya yang memang sudah susut, anak muda yang menang sejak pertama kali itu, kurang mempunyai pertimbangan-pertimbangan atas kudanya sendiri. Karena itu, didalam perkelahian yang ketujuh, lawannya berhasil mendorongnya jatuh, justru hanya dengan tangannya, karena tongkatnya ada disisi lain dari tubuhnya.
Tetapi pemenang itu tidak bertahan lebih dari dua kali. Datanglah kemudian seorang anak muda yang gagah tegap dan berdada bidang. Anak muda ini berhasil dengan mudah menjatuhkan lawannya yang telah menang itu.
Agaknya anak muda yang berdada bidang itu akan mampu bertahan beberapa kali. Tetapi ternyata ia tidak dapat bertahan sampai lima kali.
Demikianlah maka menjelang orang yang terakhir, turunlah kegelanggang orang-orang yang semakin kuat, semakin lincah dan trampil, sehinggga pada saatnya, tinggal dua orang sajalah yang masih ada digelanggang.
Sorak para penonton bagaikan meruntuhkan langit. Para peserta yang tidak mampu lagi bertahan kini ikut pula berteriak-teriak dan bersorak-sorak. Mereka telah mengikat kuda masing-masing di pinggir alun-alun dan memusatkan perhatiannya pada perkelahian yang dahsyat dibabak terakhir itu.
Para pemimpin Singasari yang ada dipanggung menjadi berdebar-debar. Ternyata keduanya adalah anak-anak muda yang tangkas dan kuat. Salah seorang dari keduanya, yang dapat memenangkan pertandingan dibabak terakhir, itu akan mendapat kesempatan untuk bertanding melawan Tohjaya.
Demikianlah maka ternyata kedua anak-anak muda yang sampai pada pertandingan terakhir itu adalah anak-anak muda yang tangguh dan tangkas. Setelah mereka dua kali bertanding dengan ancang-ancang dan tidak seorang-pun dari mereka yang terjatuh, maka mulailah mereka bertanding dengan dahsyatnya pada jarak yang dekat. Tongkat mereka terayun-ayun dan mematuk dengan cepatnya. Sekali-sekali tubuh mereka terpukul oleh tongkat itu, namun mereka masih juga tetap bertahan.
Matahari yang telah mulai condong ke Barat terasa panasnya membakar arena. Tetapi tidak seorang penonton-pun yang menjadi jemu dan meninggalkan alun-alun. Mereka benar-benar terikat melihat ketangkasan anak-anak muda Singasari bertanding diatas punggung kuda, apalagi dua orang yang berakhir itu.
Yang masih anak-anak-pun rasa-rasanya tidak mengenal lapar. Bahkan mereka yang terlupa belum makan pagi-pun masih juga bertahan ditempatnya, meski-pun agak gemetar juga.
Dipanggung kehormatan para pemimpin Singasari memperhatikan perkelahian diantara keduanya itu dengan berdebar-debar. Ternyata bahwa Singasari memiliki bibit-bibit yang baik bagi seorang prajurit. Jika perkelahian ini berakhir, maka pantaslah bagi yang menang untuk mendapat penghargaan menjadi seorang perwira apabila dihendaki. Ketangkasan dan kemampuannya dapat dikagumi.
"Apakah tuanku Tohjaya dapat mengalahkannya?" timbul juga pertanyaan didalam hati para Senapati.
Tetapi mereka percaya bahwa Tohjaya adalah seorang anak muda yang perkasa.
Demikianlah maka Tohjaya sendiri memperhatikan pertandingan itu dengan tegang. Keduanya memang tangkas dan lincah.
Setelah bertanding beberapa lama, maka akhirnya tampak jugalah perbedaan kemampuan dari keduanya, meski-pun perlahan-lahan dan hampir tidak jelas. Yang seorang memiliki ketahanan nafas yang luar biasa sehingga setelah bertanding beberapa lama, seakan-akan ia sama sekali tidak menunjukkan gejala-gejala kelelahan. Dalam pada itu lawannya tampak menjadi semakin susut tenaganya. Nafasnya mulai mengganggu meski-pun ia masih tetap mempertahankan ketangkasannya. Namun sampai jugalah batas dari kemampuannya. Ketika salah seorang daripadanya tidak mampu lagi bertahan pada batas kekuatan nafasnya, maka perlahan-lahan ia mulai terdesak. Semakin lama semakin berat, sehingga pada akhirnya ia terdorong dari punggung kudanya. Betapa-pun ia bertahan, namun ia-pun terjatuh juga, meski-pun perlahan-lahan, seolah-olah sengaja turun dari kudanya dengan cara tersendiri.
Sorak sorai meledak seperti seribu guruh dilangit. Anak muda yang terjatuh itu-pun cepat berdiri. Tetapi ia tidak dapat mengelak, bahwa lawannya yang masih berada dipunggung kuda dengan tongkat ditangan itulah menang.
Setelah menganggukkan kepalanya kearah panggung kehormatan, maka dengan tersipu-sipu ia menangkap kendali kudanya dan dituntunnya keluar arena.
Meski-pun demikian, ternyata para penonton-pun menghormatinya.Sambil melambaikan tangan mereka, para penonton itu bersorak-sorak tidak henti-hentinya.
Setelah anak muda yang seorang itu menepi dan mengikat kudanya diluar arena, maka seorang Senapati yang bertugas diarena segera mengumumkan bahwa anak muda yang masih berada diarena itulah pemenang dari pertandingan sodoran pada hari itu.
Sementara itu, matahari sudah menjadi semakin condong ke Barat. Senapati itu pula kemudian mempersilahkan Tohjaya turun dari panggung kehormatan, untuk memenuhi janjinya, bertanding melawan anak muda yang memenangkan latihan terbuka diatas punggung kuda itu.
Tohjaya menganggukkan kepalanya sambil tersenyum.Ia cukup yakin akan kemampuannya. Kemampuan berkuda dan ketrampilan mempergunakan senjata. Ketahanan tubuhnya-pun dapat dibanggakannya pula.
Demikianlah, maka disambut dengan sorak yang membahana, Tohjaya berdiri dari tempat duduknya. Setelah bersujud didepan ayahanda dan ibunda Ken Umang, maka Tohjaya-pun segera berdiri dan berjalan perlahan-lahan kepintu panggungnya. Sekali ia masih berpaling memandang Ken Dedes yang termangu-mangu. Dengan senyum yang aneh ia mengangguk kecil seakan-akan ingin mengatakan kepadanya, bahwa anak Ken Umanglah yang akan menjadi anak muda yang paling perkasa di Singasari, bukan anak Ken Dedes. Bukan Putera Mahkota yang sama sekali tidak hadir dan tidak berani melihat kenyataan kemenangannya.
Tiba-tiba saja Ken Dedes menjatuhkan wajahnya.Terasa hatinya bagaikan terluka. Ia benar-benar merasa, betapa keturunannya sama sekali tidak mampu mengangkat derajadnya. Derajad padepokan Panawijen, meski-pun ayahnya, mPu Purwa adalah seorang laki-laki yang mumpuni.
Tanpa sesadarnya Ken Dedes berpaling memandang Mahisa Agni, tetapi karena Mahisa Agni tidak sedang memandangnya, maka ia-pun berkisar pada Mahisa Wonga Teleng. Tetapi anaknya itu-pun sedang menundukkan wajahnya dalam-dalam.
Demikianlah, Tohjaya-pun kemudian naik keatas punggung kuda yang tegar berwarna hitam. Kuda itu adalah kuda kesayangannya, yang selalu dipakainya apabila ia pergi berburu. Kuda itu bagaikan seseorang yang sudah mengenalnya dan dikenalnya baik-baik segala sifat dan tabiatnya.
Sambil melambaikan tangannya Tohjaya kemudian mengelilingi arena. Disambut dengan gemuruh oleh para penonton yang semakin berjejalan. Sejenak kemudian dipandanginya anak muda yang menang didalam pertandingan itu sambil bertanya,"Apakah kau sudah cukup beristirahat?"
"Ampun tuanku. Agaknya hamba sudah cukup lama menunggu."
Tohjaya tertawa. Sambil mengangguk-angguk ia berkata,"Baiklah kita akan segera mulai."
Anak muda itu tidak menyahut. Tetapi hatinya menjadi semakin berdebar-debar. Kesempatan serupa ini tidak pernah diimpikannya sebelumnya. Bertanding melawan putera Sri Rajasa yang perkasa.
"Puteranya-pun tentu seorang yang pilih tanding," berkata anak muda itu didalam hatinya,"dan ternyata pula bahwa ia selalu berhasil mengusir perampok-perampok diseluruh daerah Singasari. Hampir seperti Kesatria Putih."
Tetapi anak muda itu tidak sempat berangan-angan lebih lama lagi, karena ia-pun harus segera bersiap menghadapi putera Sri Rajasa itu.
Sejenak anak muda itu memusatkan perhatiannya. Dipandanginya Tohjaya yang berada dipunggung kudanya yang hitam.
"Tuanku Tohjaya memang seorang yang perkasa," berkata anak muda itu didalam hatinya.
Sejenak kemudian, maka Isyarat-pun segera diberikan dan prajurit yang sudah siap dengan pemukul tanda ditangannya, segera mengayunkan tangannya.
Demikian tengara itu berbunyi, maka kedua ekor kuda di arena itu-pun segera berpacu. Masing-masing kemudian merundukkan badannya dan mempersiapkan tongkatnya masing-masing.
Benturan antara keduanya disambut dengan sorak yang gegap gempita. Anak muda yang memenangkan segala pertandingan itu hanya bergetar sedikit, tetapi ia masih dapat bertahan diatas punggung kudanya, sehingga mereka-pun harus mengulanginya sekali lagi.
Dan yang sekali lagi itu-pun disambut dengan sorak yang gemuruh. Juga pada benturan yang kedua anak muda itu masih mampu bertahan meski-pun hampir saja ia terlempar dari punggung kudanya.
Tohjaya tersenyum melihat lawannya masih tetap berada diatas punggung kuda. Dengan demikian mereka harus bertanding pada jarak dekat tanpa ancang-ancang lagi.
Keduanya-pun kemudian saling memukul dan saling mendorong. Namun seperti pada benturan-benturan yang terjadi, segera nampak bahwa Tohjaya memang seorang anak muda luar biasa. Tidak banyak kesempatan diberikan kepada lawannya. Setiap kali anak muda itu harus menghindar menjauh dan memperbaiki keadaannya. Namun setiap kali kembali serangan-serangan Tohjaya membuatnya terdesak terus.
Semua orang yang menyaksikan pertandingan diarena itu bagaikan disengat oleh kebanggaan yang tidak tertahankan, melihat Tohjaya yang dengan lincah dan tangkas mendesak lawannya. Mereka melihat dengan pasti, bahwa Tohjaya dengan sengaja membiarkan lawannya tetap bertahan agak lama, karena sebenarnya Tohjaya mempunyai kesempatan yang luas untuk menjatuhkannya.
Kebanggaan yang tidak ada taranya telah membakar hati rakyat Singasari. Tohjaya sekaligus berhasil merebut hati setiap orang. Tidak ada lagi yang sempat mengingat-ingat bahwa di Singasari ada seorang Putera Mahkota. Apalagi saat itu Putera Mahkota yang bernama Anusapati tidak menampakkan dirinya.
Ken Umang yang melihat sambutan rakyat Singasari kepada anak laki-lakinya demikian menggetarkan jantung, menjadi semakin berbangga. Hampir pasti ia dapat mengharap dukungan rakyat itu terhadap anaknya apabila terjadi suatu perebutan tahta kelak.
"Anusapati tidak akan mendapatkan tempat dihati rakyat ini," berkata Ken Umang didalam hatinya.
Dan sebenarnyalah bahwa kata hati Ken Dedes-pun hampir serupa. Ia melihat suatu permainan yang licik. Dengan sengaja Sri Rajasa ingin menyingkirkan anaknya dari hati rakyat Singasari. Namun demikian, Ken Dedes tidak dapat menyesali lebih jauh, karena Anusapati sendiri agaknya tidak memiliki kemampuan sebesar Tohjaya.
Karena itu, maka Ken Dedes-pun segera menundukkan kepalanya. Terasa hatinya bagaikan pecah. Sekali-sekali ia berpaling kepada Mahisa Wonga Teleng. Tetapi anaknya itu-pun hanya dapat menundukkan kepalanya.
"Agaknya telah menjadi takdir Yang Maha Agung," akhirnya Ken Dedes mencoba menenangkan hatinya dan menyerahkan semuanya kembali kepada pencipta alam dan seisinya.
Sejenak kemudian maka sorak yang membahana terdengar lagi dari arena. Ken Dedes hampir tidak berani mengangkat wajahnya. Ia tidak berani melihat kemenangan Tohjaya dan sambutan rakyat Singasari yang meledak-ledak.
Sebenarnyalah sejenak kemudian, Tohjaya berhasil mendesak lawannya. Sambil tersenyum ia menyentuh lawannya itu dengan ujung tongkatnya. Hampir saja lawannya itu terbanting jatuh, namun Tohjaya kemudian membiarkannya memperbaiki keadaannya. Bahkan dengan sengaja menjauhinya agar kesempatan itu dapat dilihat dengan jelas oleh para penonton diseputar arena.
Namun demikian, akhirnya Tohjaya menjadi jemu. Setelah berputar-putar beberapa lama, Tohjaya-pun berniat mengakhiri permainan itu.
Demikianlah, sejenak kemudian, tohjaya menjadi semakin cepat berputar. Sentuhan demi sentuhan membuat lawannya bingung, sehingga akhirnya lawannya itu-pun terdorong dan perlahan-lahan jatuh dari punggung kudanya.
Meledaklah sorak yang gemuruh, seakan-akan hendak meruntuhkan langit. Namun pada saat yang demikian itu, dilangit telah terbang sebatang anak panah sendaren dari pinggir alun-alun tanpa dihiraukan oleh siapa-pun karena mereka sedang ribut dengan kemenangan Tohjaya.
Namun sejenak kemudian, arena itu bagaikan dicengkam oleh tangan-angan hantu ketika tiba-tiba saja, hampir tidak ada seorang-pun yang mengetahui dari mana datangnya, berlarilah seekor kuda putih yang tegar dengan penunggangnya yang berkerudung putih. Hampir berbareng rakyat Singasari berdesis,"Kesatria Putih. Ya, Kesatria Putih."
Ternyata bukan saja rakyat yang berdiri berjejal-jejal disekitar arena sajalah yang terperanjat melihat kehadiran Kesatria Putih, tetapi para pemimpin Singasari yang berada dipanggung kehormatan-pun terkejut karenanya. Sri Rajasa bergeser setapak maju dan bahkan Mahisa Wonga Teleng telah berdiri dari tempat duduknya, sementara Mahisa Agni memanjangkan lehernya untuk dapat melihat seekor kuda yang kemudian perlahan-lahan berjalan kedepan panggung kehormatan itu.
Rakyat Singasari dengan sendirinya telah bersibak. Bagi mereka Kesatria Putih adalah seorang kesatria yang telah berhasil merebut hati mereka. Karena itu, meski-pun mereka belum mengenal siapakah sebenarnya Kesatria Putih itu, namun kehadirannya telah mendapat sambutan yang membuat Tohjaya menjadi iri hati.
Meski-pun rakyat Singasari tidak berteriak dan bersorak, namun tatapan mata mereka, bisik-bisik diantara mereka,"serta orang-orang yang berdiri dibelakang berusaha mendesak maju, adalah suatu pertanda bahwa Kesatria Putih mendapat banyak perhatian dari rakyat yang berdiri diseputar arena itu.
"Ampun tuanku," katanya dalam nada yang berat, seolah-olah suaranya berputar didalam perutnya,"bahwa hamba berani hadir didalam pertandingan sodoran ini adalah didorong oleh niat hamba untuk ikut meramaikan permainan yang diselenggarakan dialun-alun ini. Tetapi ampun tuanku, bahwa hamba telah datang terlambat karena hamba harus menyelesaikan tugas yang telah hamba bebankan kepundak hamba atas kehendak hamba sendiri. Selagi hamba berada didalam perjalanan yang jauh, hamba telah bertemu dengan segerombolan perampok yang agaknya ingin memanfaatkan kesempatan ini. Mereka sadar, bahwa hari ini tuanku Tohjaya pasti tidak akan dapat memberikan perlindungan kepada rakyatnya, karena tuanku berada diarena ini. Karena itulah maka segerombolan perampok itu telah berani berbuat jahat. Dengan demikian maka hamba terpaksa berhenti sejenak menyelesaikan para perampok itu." Kesatria Putih berhenti sejenak. Namun ceriteranya itu ternyata telah mendebarkan jantung orang-orang Singasari yang mendengarnya,"Sehingga dengan demikian tuanku, kedatangan hamba telah terlambat. Meski-pun demikian, jika diperkenankan hamba akan mengikuti pertandingan sodoran terbuka ini."
Jantung Sri Rajasa menjadi berdebar-debar. Ia sudah mendengar kemampuan Kesatria Putih, sehingga karena itu, ia menjadi ragu-ragu, apakah Tohjaya akan dapat melawannya. Tetapi untuk menolaknya, pasti akan sangat mengecewakan rakyat Singasari. Mereka pasti menganggap bahwa Tohjaya tidak akan dapat menandinginya. Dan hal ini tentu akan Sangat merugikan nama Tohjaya untuk selanjutnya.
Tetapi karena hal itu memang sudah dipertimbangkan oleh Sri Rajasa sebelumnya, maka Sri Rajasa-pun kemudian berkata,"Kesatria Putih, kehadiranmu sangat mencengangkan hati kami. Kami sudah mendengar betapa besar namamu karena pengorbanan yang pernah kau berikan kepada Rakyat Singasari, seperti apa yang pernah diberikan oleh puteraku Tohjaya. Tetapi ketahuilah, bahwa pertandingan sodoran ini adalah pertandingan untuk anak-anak. Jika kau akan menjajal kemampuan pimpinan Singasari, apakah ia mampu menamakan dirinya pemimpin didalam segala segi, maka kau tidak pantas untuk bertanding dengan anak-anak karena kebesaran namamu."
"Ampun tuanku," jawab Kesatria Putih,"hamba tidak mengira bahwa hamba akan mendapat pujian setinggi itu. Tetapi tuanku, pujian itu sebenarnya terlampau memberati pundakku, karena sebenarnyalah hamba tidak pernah berbuat apa-apa yang lebih berarti dari tuanku Tohjaya." Kesatria Putih itu berhenti sebentar. Lalu,"dalam pada itu tuanku, hamba-pun agaknya dapat, memenuhi persyaratan bagi pengikut pertandingan terbuka ini, atau katakanlah suatu latihan terbuka, karena sebenarnyalah bahwa umur hamba-pun tidak terpaut banyak dari tuanku Tohjaya. Jika hamba diperkenankan mengikuti permainan ini tuanku, hamba berjanji, jika hamba kalah, maka tidak ada gunanya setiap orang mengenal akan hamba, dan biarlah hamba menjalankan tugas hamba dengan rahasia seperti saat-saat lampau. Tetapi jika hamba menang, maka hamba berjanji, betapa jeleknya wajah hamba yang hamba sembunyikan ini, hamba akan menyatakan diri, bahwa sebenarnyalah hamba masih berhak mengikuti permainan ini, karena umur hamba tidak terpaut banyak dari tuanku Tohjaya."
Dada Sri Rajasa menjadi berdebar-debar. Sejenak ia merenung. Dipandanginya Kesatria Putih dengan tajamnya. Apakah benar umurnya belum terpaut banyak"
"Kesatria Putih, apakah kata-katamu dapat aku percaya?"
"Jika hamba berbohong tuanku, tuanku dapat memancung hamba sekarang juga dihadapan rakyat Singasari. Tetapi berhubung wajah hamba tidak pantas dipandang, sebaiknya wajah ini hamba sembunyikan. Hanya apabila hamba menang, hamba akan sekedar mendapat penghiburan betapa jeleknya hamba. Namun agaknya hal itu mustahil akan terjadi."
"Kalau kau sadari mustahil akan terjadi, kenapa kau memasuki arena?" bertanya Sri Rajasa."
"Hamba akan sekedar menilai diri, setelah sekian lama hamba mencoba membaktikan kemampuan hamba tanpa pamrih terhadap rakyat Singasari yang hamba cintai dengan cara hamba sendiri."
Sri Rajasa menjadi termangu-mangu. Tetapi ketika ia memandang wajah Rakyat Singasari, tampaklah dari sorot mata mereka, bahwa mereka ingin melihat kesempatan yang barangkali tidak akan pernah mereka jumpai lagi."
Sejenak Sri Rajasa berdiri mematung. Ia sadar, bahwa Kesatria Putih bagi rakyat Singasari adalah seorang pahlawan, sehingga ia tidak akan dapat berbuat sesuatu yang dapat menyinggung perasaan rakyatnya.
Dan kini, dua orang pahlawan rakyat Singasari akan berhadapan diarena, karena Tohjaya bagi rakyat Singasari juga seorang pahlawan.
Tetapi, bagi rakyat Singasari, tidak ada keberatan apa-pun jika keduanya turun ke arena. Seandainya salah satu dari keduanya itu kalah, rakyat Singasari sama sekali tidak akan dirugikan. Kekalahan itu diharapkan oleh rakyat Singasari akan dapat menjadi pendorong bagi salah seorang dari keduanya untuk lebih banyak berbuat lagi bagi Singasari.
Karena itu, maka mereka benar-benar mengharap agar Sri Rajasa memperkenankan Kesatria Putih untuk turun ke arena. Rakyat Singasari yang selama ini mengagumi kepahlawanannya, ingin melihat bagaimana ia bertanding.
Akhirnya, Sri Rajasa yang berdiri dipanggung kehormatan tidak dapat ingkar dari keinginan rakyat Singasari yang tampak pada sorot mata mereka. Karena itu maka katanya betapa-pun ia dilanda oleh kebimbangan,"Baiklah orang yang disebut Kesatria Putih. Aku tidak berkeberatan kau mengikuti pertandingan ini. Tetapi jika ternyata bahwa kau tidak memenuhi segala ketentuan yang ada, maka kau akan dipancung dialun-alun ini. Menang atau kalah, aku berhak untuk menuntut kau menyatakan dirimu kepada rakyat Singasari."
"Ampun tuanku. Apakah gunanya wajah hamba yang jelek ini akan diperlihatkan kepada rakyat Singasari, jika hamba kalah?"
"Itu terserah kepada keputusanku. Jika aku memutuskan demikian, kau tidak boleh menolak. Jika tidak, pergilah sebelum terlambat."
Kesatria Putih tampak merenung sejenak. Dalam pada itu Rakyat Singasari menjadi bertanya-tanya kenapa justru sikap Sri Rajasa tidak begitu baik terhadap Kesatria Putih yang selama ini telah banyak berjasa bagi bumi Singasari ini.
Sejenak kemudan barulah Kesatria Putih itu berkata,"Ampun tuanku, biarlah hamba menundukkan kepala atas titah tuanku. Tidak ada yang dapat membantah ketentuan yang telah tuanku jatuhkan."
"Baiklah. Masuklah kedalam arena. Tetapi kau tidak akan dapat lari dari ketentuan yang sudah aku katakan."
"Ampun tuanku, hamba akan selalu menjunjung titah tuanku itu."
Demikianlah, maka Kesatria Putih itu memutar kudanya. Dilihatnya Tohjaya termangu-mangu diarena. Namun sejenak kemudian Tohjaya itu-pun berkata dari kejauhan,"Ayahanda, jika Kesatria Putih ingin memasuki arena, biarlah hamba melayainya."
Sri Rajasa menganggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak berteriak menjawab kata-kata Tohjaya itu.
Demikianlah, maka Kesatria Putih itu-pun perlahan-lahan memasuki arena.Seorang Senapati yang bertugas segera memberikan sebatang tongkat panjang kepadanya dan memberikan beberapa penjelasan tentang pertandingan yang bakal berlangsung.
Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya Kesatria Putih itu berkata,"Baiklah tuan. Aku akan menyesuaikan diriku. Mudah-mudahan aku dapat melayani tuanku Tohjaya barang satu atau dua kejap saja."
Senapati itu tidak menyahut. Kemudian keduanya ditempatkan pada ujung yang berlawanan.
Seorang prajurit telah berdiri dengan tegang didepan tengara yang harus dipukulnya apabila Senapati yang bertugas diarena melambaikan tangan yang sudah diangkatnya itu.
Sejenak suasana menjadi tegang. Tohjaya dan Kesatria Putih sudah siap ditempat masing-masing. Tongkat panjang mereka telah mulai merunduk.
Dalam ketegangan yang memuncak itulah tangan Senapati yang berada diarena mulai bergerak terayun jatuh disisi tubuhnya. Pada saat itu pula, sebuah tengara telah dibunyikan oleh seorang prajurit yang bertugas.
Demikianlah kedua kesatria yang berada diarena itu mulai memacu kudanya. Keduanya merasa bahwa lawannya adalah seorang yang memiliki kekuatan dan ketrampilan yang melampaui anak-anak muda yang lain, yang kini berjajar di pinggir arena.
Para penonton yang ada diseputar arena menjadi tegang. Semua mulut tiba-tiba justru telah terkatup rapat-rapat. Dengan keringat yang mengembun dikening mereka menyaksikan dua orang kesatria yang selama ini menjadi kebanggaan mereka sedang bertanding di arena dalam suatu latihan terbuka.
Sekilas melintas diangan-angan mereka, kenapa justru Tohjayalah yang sekarang berada di arena.Kenapa bukan Putera Mahkota.
Hal itu semakin memperdalam kekecewaan rakyat Singasari atas Anusapati. Agaknya permainan Ken Arok selama ini telah berhasil semakin mendesak Anusapati jauh ketepi dan bahkan semakin kabur dihati rakyat Singasari.
(Bersambung ke jilid 71) Pelangi Di Langit Singasari
BAGIAN KE 2 Bara di Atas Singgasana Karya : SH Mintarja Jilid : 71 " 75 ________________________________________
BARA DIATAS SINGGASANA Jilid 71 " Tabir Terbuka
SEJENAK KEMUDIAN keduanya telah menjadi semakin dekat. Darah rakyat Singasari yang mengelilingi arena seakan-akan berhenti mengalir ketika kedua orang diarena itu saling berbenturan.
Mulut mereka terbungkam ketika mereka melihat Tohjaya terdorong oleh ujung tongkat lawannya. Tetapi ternyata bahwa ia benar-benar memiliki ketangkasan berkuda. Meskipun ia sudah menjadi miring, namun ia berhasil memperbaiki, kemudian Tohjayapun telah tegak kembali diatas punggung kuda.
Sri Rajasa terkejut juga melihat kedudukan Tohjaya yang goyah itu, sehingga ia bergeser setapak. Namun kemudian ia menarik nafas dalam-dalam, ketika puteranya terkasih itu ternyata berhasil memperbaiki keseimbangannya.
Namun demikian, pada benturan yang pertama Sri Rajasa melihat, bahwa agaknya Kesatria Putih memang memiliki kemampuan yang lebih besar dari Tohjaya.
"Mudah-mudahan Tohjaya mampu bertahan, sehingga ia mendapat kesempatan untuk bertanding pada jarak yang pendek" Sri Rajasa berharap, bahwa kepandaian Tohjaya mengendalikan kudanya akan berpengaruh didalam pertandingan itu.
Ketika kedua orang yang berada diarena itu harus mengulangi benturan dengan ancang-ancang itu, Sri Rajasa telah menahan nafasnya. Demikian juga para penonton disekeliling arena. Tidak seorangpun yang bergerak dan tidak seorangpun yang mengucapkan sepatah kata. Semuanya seakan-akan membeku karenanya.
Yang terdengar hanyalah derap kaki-kaki kuda, diikuti oleh tatapan mata yang tegang.
Sejenak kemudian, sekali lagi setiap orang harus menahan nafasnya ketika benturan kedua itu terjadi.
Sri Rajasa hampir meloncat berdiri. Untunglah ia sadar, bahwa ia adalah seorang Maharaja yang besar. Karena itu maka ia tetap saja duduk ditempatnya.
Ternyata benturan yang kedua menguntungkan Tohjaya ketika Kesatria Putih agak terlambat mengangkat tongkatnya. Sentuhan tongkat Tohjaya telah menggerakkan ujung tongkat Kesatria Putih sehingga sama sekali tidak mengenai sasarannya. Namun dalam pada itu, Tohjaya dengan cepat berhasil menggerakkan ujung tongkatnya sehingga menyentuh pundak Kesatria Putih.
Kesatria Putih mencoba untuk menghindar. Tetapi geraknya sangat terbatas, karena kudanya berlari terus. Meskipun ia berusaha memutar tubuhnya, namun ujung tongkat Tohjaya masih mengenainya sehingga hampir saja Kesatria Putih terlempar dari kudanya. Tetapi seperti Tohjaya, Kesatria Putih masih berhasil mempertahankan dirinya. Kakinya masih berpegangan dengan kuat, sedang sebelah tangannya memeluk kudanya sementara tangannya yang lain memegangi, tongkatnya erat-erat.
Untunglah bahwa kudanya adalah kuda yang baik, sehingga meskipun kendalinya lepas sama sekali, tetapi kuda putih itu tidak melonjak dan melemparkan penunggangnya yang sedang dalam kesulitan.
Tohjaya melihat kedudukan Kesatria Putih yang lemah itu. Karena itu, setelah kedua benturan itu tidak berhasil menjatuhkan salah seorang daripada mereka yang bertanding, mereka akan meneruskan pertandingan pada jarak pendek tanpa ancang-ancang.
Dalam pada itu Tohjaya ingin mempergunakan kesempatan selagi Kesatria Putih masih berusaha memperbaiki keseimbangannya. Dengan serta-merta ia menarik kendali kudanya berputar. Dengan tergesa-gesa Tohjaya memacu kudanya kembali mengejar kuda Kesatria Putih. Namun sementara itu, Kesatria Putih sudah sempat duduk kembali diatas punggung kudanya. Ia sudah berhasil menguasai keadaan sepenuhnya. Karena itu ketika ia sadar bahwa Tohjaya menyerangnya, maka iapun segera memutar kudanya menghadap lawannya.
Sejenak kemudian keduanyapun telah terlihat dalam pertandingan yang seru. Masing-masing menggerakkan tongkatnya dengan cepatnya. Sekali-sekali terdengar kedua tongkat panjang itu berbenturan. Namun kemudian tongkat-tongkat itu terayun mengenai tubuh-tubuh mereka berganti-ganti. Bahkan kadang-kadang tongkat itu berhasil mendorong lawannya. Tetapi keduanya adalah orang-orang yang trampil dan seakan-akan mumpuni mempergunakan senjata panjang dan naik diatas punggung kuda.
Mereka yang berada diatas panggung kehormatanpun menjadi tegang. Sri Rajasa hampir tidak berkedip menyaksikan pergulatan yang sengit itu. Mahisa Agni bagaikan patung batu. Bahkan seakan-akan bernafaspun tidak.
Apalagi Ken Umang yang menyaksikan putranya bertempur dengan orang yang penuh rahasia, yang oleh rakyat Singasari dianggap sebagai seorang Pahlawan.
Demikianlah perkelahian itu menjadi semakin dahsyat. Bahkan kemudian mereka seakan-akan telah menjadi bersungguh-sungguh. Hanya karena ujung tongkat-tongkat itu dilapisi dengan sabut, serta daya tahan tubuh-tubuh itu sangat kuat, maka mereka berdua masih tetap berada dipunggung kuda.
Anak-anak muda Singasari menyaksikan pertandingan itu dengan dada yang berdebaran. Kini mereka merasa, betapa kecilnya diri mereka sendiri dibandingkan dengan kedua kesatria yang tengah beradu ketrampilan ditengah-engah arena.
Tetapi lambat laun, ternyata bahwa Kesatria Putih memiliki ketahanan tubuh dan kelebihan setingkat didalam olah ketrampilan. Bahkan semakin lama, mereka yang memiliki ilmu yang cukup dapat melihat, bahwa sebenarnyalah Kesatria Putih berusaha untuk mengekang diri. Mereka yang berilmu matang, seperti para Panglima dan para Senapati pilihan, Mahisa Agni dan Sri Rajasa sendiri merasa bahwa Kesatria Putih berusaha menghormati Tohjaya sebaik-baiknya, sehingga meskipun Tohjaya akan kalah juga, namun ia kalah dengan hormat, setelah berjuang habis-habisan serta melayani lawannya hampir seimbang. Kekalahan itu seakan-akan hanyalah sekedar kekalahan kecil atau justru karena Tohjaya sudah lelah, karena ia sudah dua kali bertanding melawan orang-orang yang memiliki kemampuan tinggi.
Dengan demikian Sri Rajasa menjadi semakin cemas. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa. Ia tidak dapat menghentikan pertandingan. Ia tidak akan dapat berbuat sesuatu atas Kesatria Putih, karena ia adalah seorang pahlawan.
"Kesatria Putih akan memenangkan pertandingan ini" ia berdesah, "jika demikian, maka ia harus dilenyapkan, agar di Singasari hanya ada seorang pahlawan saja, Tohjaya"
Tanpa sesadarnya Sri Rajasa berpaling kepada Mahisa Agni sambil berkata didalam hati, "Ia harus menyelesaikannya nanti"
Dalam pada itu Mahisa Agni sendiri duduk dengan tegangnya menyaksikan pertandingan itu. Karena itu ia sama sekali tidak menyadari bahwa Sri Rajasa sedang memandanginya dan bahkan berkata didalam hatinya, bahwa Mahisa Agni akan mendapat tugas yang sangat berat. Membinasakan Kesatria Putih tanpa diketahui oleh orang lain, agar tidak menimbulkan kesan, bahwa Singasari telah berkhianat terhadap kesatria yang selama ini telah mengabdi kepada rakyat tanpa pamrih.
Demikianlah pertandingan di arena itu berlangsung terus.
Tetapi agaknya Tohjaya sudah menjadi semakin letih. Serangan-serangannya sama sekali sudah tidak mapan lagi. Bahkan sekali dua kali apabila Kesatria Putih berhasil menghindar, maka ayunan tongkatnya hampir-hampir saja menyeretnya jatuh dari atas punggung kuda.
Dalam pada itu Kesatria Putih nampaknya masih segar, sesegar ketika ia datang. Dengan sentuhan kecil, Tohjaya pasti sudah akan terlempar dari kudanya. Namun ternyata Kesatria Putih tidak melakukannya. Seperti pada saat Tohjaya bertanding melawan anak muda yang terakhir. Kesatria Putih banyak memberi kesempatan kepada lawannya untuk bertahan duduk diatas punggung kudanya.
Demikianlah sebenarnya tampak oleh mereka yang berdiri disekitar arena, apalagi bagi yang duduk diatas panggung kehormatan, bahwa Tohjaya sudah kehilangan kemampuan karena kelelahan meskipun ia masih tetap duduk diatas punggung kuda. Ternyata bahwa Kesatria Putih tidak berhasrat sama sekali menjatuhkannya dari atas punggung kuda itu. Bagi orang-orang yang berada dipanggung kehormatan, tampak jelas, bagaimana Kesatria Putih masih berpura-pura menyerang Tohjaya. Namun serangan-serangan itu sama sekali bukan serangan sebenarnya yang dapat menjatuhkannya.
Sri Rajasa tidak mengerti, apa sebabnya Kesatria Putih berbuat demikian. Tohjayapun tidak mengerti, kenapa Kesatria Putih itu tidak menyentuh saja tubuhnya, dan ia akan segera terpelanting jatuh.
Adalah diluar dugaan, ketika Kesatria Putih itu kemudian mendekati Senapati yang menjadi saksi utama didalam pertandingan itu sambil berkata. "Apakah ketentuan dari pertandingan ini, jika tidak seorangpun terjatuh dari kudanya, dapat dianggap bahwa pertandingan ini berakhir tanpa ada yang menang dan kalah?"
Senapati itu mengerutkan keningnya. Ia sama sekali tidak membuat ketentuan itu. Pertandingan akan berlangsung terus, sehingga salah seorang dapat dikalahkan. Bahkan meskipun tidak dengan sengaja, ada juga salah seorang peserta yang jatuh dan pingsan.
"Bagaimana?" Kesatria Putih mendesak.
Sebelum ia menjawab, Tohjayalah yang menyahut, "Aku tahu, kau memenangkan pertandingan ini. Kenapa kau tidak mau mendorong aku jatuh?"
"Tidak. Kau, eh, maksud hamba, tuanku adalah seorang yang memiliki kemampuan yang mengagumkan. Tuanku bukan seorang yang dengan mudah dapat dikalahkan. Dan hamba kira, hamba tidak akan dapat menjatuhkan tuanku, meskipun tampaknya tuanku sudah lelah. Hambapun sadar, bahwa hal ini juga disebabkan bahwa tuanku sudah bertempur dua kali berturut-turut"
"Jangan mengigau, ayo, selesaikan tugasmu, kau akan dielu-elukan oleh rakyat Singasari sebagai pahlawan terbesar melampaui kebesaranku"
Kesatria Putih tidak menyahut. Namun tiba-tiba saja ia mengangkat wajahnya memandang Sri Rajasa yang kemudian berdiri di panggung kehormatan, "Tohjaya. Kau harus mengakui kelebihan Kesatria Putih kali ini, meskipun kau dapat bertahan sampai saat terakhir. Kau sudah bertempur dua kali melawan orang-orang terkuat di Singasari. Namun itu bukan alasan yang dapat kau pergunakan untuk membela diri. Sudahlah, turunlah dari kudamu sebagai pertanda kemenangan lawanmu"
Tohjaya memandang Sri Rajasa dengan tegangnya. Tetapi iapun kemudian turun dari kudanya didepan panggung kehormatan. Dengan tergesa-gesa iapun naik keatas panggung itu, lalu bersimpuh dihadapan Sri Rajasa sambil berkata, "Ampun ayahanda, hamba tidak dapat mempertahankan kebesaran nama ayahanda diarena ini karena kehadiran Kesatria Putih"
"Kau sudah berbuat sebaiknya. Marilah sekarang kita menuntut janji Kesatria Putih. Jika ia memenangkan pertandingan ini, ia akan membuka kerudung putihnya dihadapan kita disini, sehingga rakyat Singasari akan mengenalnya, siapakah sebenarnya pahlawan yang besar ini, yang selama ini sudah menyelamatkan puluhan, bahkan ratusan rakyat yang mengalami bencana"
Tohjaya mengangkat wajahnya. Kini ia memandang Kesatria Putih yang masih duduk diatas punggung kudanya dengan tongkat panjang ditangan kanannya.
"Kesatria Putih" panggil Sri Rajasa, "kemarilah"
Kesatria Putih tampak ragu-ragu sejenak.
"Buat apa kakanda memanggil setan itu" desis Ken Umang, "biarlah ia segera pergi. Ia sudah melepaskan harapan Tohjaya untuk menjadi anak muda terkuat diseluruh negeri"
Ketika Sri Rajasa berpaling, dilihatnya wajah Ken Umang yang merah padam. Setitik air matanya mengambang disudut matanya yang basah itu.
"Aku memerlukannya. Aku ingin tahu, apakah Kesatria Putih memenuhi ketentuan yang ada didalam pertandingan ini. Jika tidak, ia sudah menipu kita semua, dan hukumannya adalah hukuman pancung disini juga"
Ken Umang tidak menjawab lagi. Kini dilihatnya Kesatria Putih yang masih duduk diatas punggung kudanya perlahan-lahan mendekati panggung kehormatan.
"Mendekatlah" berkata Sri Rajasa, "aku ingin melihat, apakah kau masih berhak ikut didalam pertandingan ini"
Kesatria Putih itu menjadi termangu-mangu sejenak. Dipandanginya Sri Rajasa yang berdiri diatas panggung kehormatan. Kemudian Senapati yang menjadi saksi utama dari pertandingan terbuka itu, serta beberapa orang Senapati dan prajurit yang berada disekitar arena.
"Mendekatlah" panggil Sri Rajasa sekali lagi, "bukalah kerudung wajahmu seperti yang kau janjikan"
Ken Umang yang kehilangan harapan atas puteranya untuk mendapat gelar pahlawan terbesar itu mulai terisak. Dengan tangannya ia mengusap air mata yang jatuh satu-satu dipangkuannya. Air mata yang mencerminkan betapa tamaknya hati perempuan itu.
Sedang disebelah lain, mata Ken Dedespun berlinang-linang pula. Ia mulai membayangkan wajah Anusapati yang seakan-akan semakin lama semakin tersisih. Didalam kesempatan serupa ini, Anusapati sama sekali tidak terucapkan. Hampir saja Tohjaya berhasil merebut hati rakjat Singasari. Jika Tohjaya memenangkan pertandingan terakhir, maka sempurnalah permainan Sri Rajasa.
Lamat-lamat terbayang kembali bagaimana Tunggul Ametung tersingkir dari kedudukannya. Bagaimanapun juga akhirnya Ken Dedespun mengerti, bahwa sebenarnya Ken Arok saat itu telah berhasil melakukan peranannya dengan baik sekali.
Hanya karena hatinya yang disaput oleh gejolak naluri seorang perempuan, serta kemudian diikuti oleh kenyataan bahwa Ken Arok berhasil memerintah Singasari lebih baik dari Tunggul Ametung, Ken Dedes tidak pernah mempersoalkan kematian Tunggul Ametung. Tetapi kini, dengan cara yang selembut itu pula Sri Rajasa berusaha menyingkirkan keturunan Tunggul Ametung, meskipun anak itu sendiri sama sekali tidak mengetahuinya.
Seperti Ken Umang, Ken Dedespun mengusap air matanya. Tetapi seakan-akan cahaya yang terpantul dari butiran-butiran air mata dari kedua risteri Sri Rajasa itu berwarna lain.
Demikianlah kuda Kesatria Putih kini sudah berdiri di depan panggung kehormatan. Perlahan-lahan Kesatria Putih itupun meloncat turun dari kudanya. Katanya kemudian, "Ampun tuanku Sri Rajasa Batara Sang Amurwabumi. Apakah tuanku benar-benar berkeinginan melihat wajah hamba yang jelek ini"
"Aku tidak peduli. Namun aku ingin mengetahui, apakah kau masih pantas untuk ikut bermain-main bersama anak-anak di arena ini"
Kesatria Putih membungkukkan badanya dalam-dalam. Tetapi ia tidak segera membuka kerudung putihnya. Perlahan-lahan ia mendekati tangga panggung kehormatan itu. Dan tanpa diduga-duga oleh siapapun ia mulai naik setapak demi setapak.
Langkahnya ternyata telah mempesona setiap orang. Mereka bagaikan membeku melihat Kesatria Putih naik ke atas panggung. Bahkan Sri Rajasapun bagaikan kehilangan nalar sejenak, melihat Kesatria Putih itu semakin lama semakin mendekat.
Yang mendebarkan jantung setiap orang adalah, tiba-tiba saja Kesatria Putih itupun berlutut. Tidak dihadapan Sri Rajasa tetapi yang mula-mula adalah dihadapan Permaisuri.
Semua orang terkejut karenanya. Ken Dedespun terkejut bukan kepalang, sehingga ia hanya diam mematung, tidak tahu apa yang akan dilakukan.
Baru setelah berlutut dihadapan Permaisuri, Kesatria Putih bersimpuh dihadapan Sri Rajasa sambil berkata, "Perkenankanlah hamba membuka kerudung putih hamba betapapun jeleknya wajah ini"
"Berdirilah" berkata Sri Rajasa yang serasa masih terpesona oleh peristiwa-peristiwa yang tidak mereka perhitungkan sebelumnya, "dan bukalah kerudung putihmu menghadap rakyat Singasari yang akan menilai, siapakah Kesatria Putih sebenarnya, dan apakah ia masih dapat disebut kanak-anak"
Kesatria Putih termangu-mangu sejenak. Namun seperti perintah Sri Rajasa, maka Kesatria Putih itupun kemudian berdiri. Sekali ia berpaling memandang Tohjaya dan Ken Umang, barulah kemudian tangannya bergerak menggapai kerudung putihnya.
Darah Tohjaya serasa berhenti mengalir. Ia menjadi sangat tegang menunggu. Demikian juga rakyat Singasari.
Nafas mereka tertahan-tahan. Mereka tidak sabar lagi menunggu, siapakah sebenarnya Kesatria Putih itu.
Tiba-tiba hati mereka terjerat oleh kata-kata Kesatria Putih yang lantang, "Rakyat Singasari. Inilah kenyataanku, Kesatria Putih yang selama ini menumbuhkan teka-teki bagi kalian"
Bersamaan dengan terkatubnya bibir Kesatria Putih itu, maka direnggutnya tirai yang selama ini menutup wajahnya. Tirai putih yang membuatnya disebut Kesatria Putih selain kudanya yang putih pula.
Ketika tirai di wajah itu terbuka, setiap dada telah dihentakkan oleh kenyataan yang tidak mereka duga-duga sama sekali. Demikian wajah itu terbuka, setiap mulut telah menyebut namanya dengan wajah tegang penuh keheranan dan bahkan pertanyaan yang ragu-ragu, "Anusapati Putera Mahkota"
Mereka menjadi yakin ketika Kesatria Putih yang sudah tidak berkerudung lagi itu berkata, "Akulah Anusapati, Putera Mahkota Kerajaan Singasari yang besar, Putera Sri Rajasa Batara Sang Amurwabumi yang lahir dari ibunda Permaisuri Ken Dedes"
Arena itu menjadi gegap gempita. Lebih dahsyat dari ledakan seribu guntur bersama-sama. Langit rasa-rasanya akan runtuh dan demikian pula hati Tohjaya dan Ken Umang. Seperti belanga yang terbanting dibatu pualam, maka hati merekapun pecah berkeping-keping.
Dalam pada itu Sri Rajasa berdiri dengan wajah yang merah padam. Sejenak dipandanginya Anusapati, namun kemudian dipandanginya wajah Mahisa Agni tenang. Tetapi wajah yang tenang itu bagaikan air pusaran yang dahsyat yang menghisapnya kedalam kehancuran yang mutlak.
Mahisa Agni sendiri masih tetap berada ditempatnya. Ia sama sekali tidak berbuat sesuatu. Dibiarkannya semuanya terjadi menurut perkembangan yang wajar dari peristiwa yang sudah diperhitungkannya masak-masak. Sri Rajasa pasti tidak akan berani berbuat apapun juga dihadapan rakyat Singasari yang selama ini menganggap Kesatria Putih sebagai pelindung mereka. Apalagi kini mereka mengetahui, bahwa Kesatria Putih itu tidak lain adalah Putera Mahkota. Putera Mahkota yang selama ini mereka anggap sebagai seorang laki-laki yang hanya mampu menunggui isterinya, tanpa menghiraukan keadaan pemerintah sama sekali, tanpa berbuat apapun juga untuk kesejahteraan rakyatnya. Ternyata bahwa dugaan itu keliru. Yang mereka anggap sebagai pahlawan selama ini ternyata adalah orang yang tepat, orang yang dapat mereka pergunakan sebagai tempat berpegangan yang kokoh dimasa mendatang.
Rakyat Singasari sama sekali tidak menghiraukan, perasaan apakah yang sedang bergejolak didalam hati Sri Rajasa. Bahkan sebagian dari mereka menganggap, bahwa Sri Rajasapun akan menjadi gembira sekali menghadapi kenyataan itu.
Namun dalam pada itu Sri Rajasa terpaksa mengakui didalam hati, bahwa kini ia menghadapi permainan Mahisa Agni yang ternyata berhasil mengatasi permainannya. Ketika ia berhasil menyingkirkan Tunggui Ametung, Mahisa Agni hanyalah seorang anak muda Panawijen yang sedang sibuk membuat bendungan, ia sama sekali tidak berbuat sesuatu, selain justru membantunya, mengalahkan Witantra ketika ia berusaha membersihkan nama Kebo Ijo yang telah dibunuhnya pula.
Tetapi kini, ia menghadapi permainan Mahisa Agni. Dan Sri Rajasapun sadar, bahwa Anusapati adalah kemenakan Mahisa Agni. Meskipun kecurigaan itu timbul sejak lama, dan menyingkirkan Mahisa Agni ke Kediri, namun ternyata bahwa Mahisa Agni masih sempat membentuk Anusapati menjadi seorang anak muda yang pilih tanding, yang melampaui kemampuan Tohjaya.
Meskipun demikian, Sri Rajasa bukannya seorang yang terlampau bodoh. Ia adalah seorang pemikir yang masak. Yang mampu menyingkirkan Tunggul Ametung dan sekaligus memperisteri Ken Dedes, kemudian menggunakan gejolak perasaan orang-orang Kediri sendiri untuk menjatuhkan Maharaja Kediri yang termashur.
Karena itu, setelah ia berhasil menguasai gejolak perasaannya, maka tiba-tiba Sri Rajasa itupun melangkah maju mendekati Anusapati. Sambil menepuk bahunya ia berkata kepada rakyat Kediri. "Rakyatku yang baik. Sekarang kalian sudah melihat kenyataan ini. Yang kalian elu-elukan sebagai pahlawan dan kalian sebut Kesatria Putih itu adalah seorang yang memang seharusnya menjadi seorang pahlawan. Ia adalah Putera Mahkota. Itulah sebabnya aku ikut berbangga, bahwa pilihanku tidak salah. Anak sulungku, yang selama ini aku bentuk untuk menjadi seorang pahlawan dimasa datang, telah menunjukkan kemampuannya. Selama ini aku simpan ia didalam istana dalam penempaan yang tidak mengenal jemu bersama Tohjaya. Dan harapanku atas keduanya ternyata tidak sia-sia. Tohjaya telah mencoba berbuat sejauh dapat dilakukan, sedang Anusapati telah menunjukkan baktinya pula kepada rakyat Singasari dengan caranya, karena ia tidak mau menyanjung diri. Dan adalah wajar sekali bila Tohjaya tidak dapat mengalahkan Kesatria Putih, karena ternyata bahwa Kesatria Putih bukan saja saudara tuanya, tetapi juga saudara tua seperguruan. Kini terimalah kedua Puteraku ditengah-engah kalian"
Rakyat Singasari itu menyambut kata-kata Sri Rajasa dengan tepuk tangan dan sorak mawurahan.
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Ternyata Sri Rajasa masih mempunyai cara untuk meneruskan permainan. Tetapi bagaimanapun juga, Mahisaa Agni sudah memiliki separo kemenangan. Sedang separo lagi masih diperebutkan. Jika Mahisa Agni mendapat sebagiadan yang separo, maka bagiannya sudah lebih banyak dari yang akan didapat oleh Sri Rajasa.
Tetapi Mahisa Agnipun mempertimbangkan semuanya dengan saksama. Kemungkinan-kemungkinan yang bakal datang didalam istana. Tetapi kesempatan untuk merebut hati rakyat dihadapan rakyat itu adalah kesempatan yang hampir mustahil didapatkannya jika bukan karena tingkah Tohjaya sendiri.
Dalam pada itu, kedua isteri Sri Rajasa ternyata tengah menekuni perasaan masing-masing yang bergejolak didalam dada. Ternyata mereka telah menjumpai persoalan yang sama sekali tidak diduga-duga. Begitu besar hati Ken Dedes menyaksikan putranya yang tanpa disangkanya, bahkan mimpipun tidak, tiba-tiba saja menjadi seorang pahlawan yang paling besar di kalangan anak-anak muda Singasari sesuai dengan kedudukannya sebagai Putera Mahkota. Sebagai seorang yang berpikir cerah, Ken Dedespun segera dapat menyelusuri, apakah yang sebenarnya telah terjadi dibalik dinding istana yang tinggi itu. Tentu Mahisa Agni memegang peranan yang penting didalam permainan ini. Tanpa Mahisa Agni, Anusapati hanyalah sekedar abu didalam kobaran api ketamakan istana Singasari.
Tanpa disadarinya, maka air mata Permaisuri itu mengalir dengan derasnya. Setiap kali tangannya mengusap maka air itu telah tumbuh pula dipelupuk.
Ken Umangpun telah menangis pula. Betapa ia mencoba bertahan menghadapi kenyataan. Betapa ia mencoba menghibur diri dengan keterangan Sri Rajasa. Namun ternyata bahwa dendam telah menyala tanpa terkendali didalam hati. Kekalahan Tohjaya dari Anusapati, dan kenyataan bahwa pahlawan besar yang selama ini dielu-elukan rakyat Singasari melampaui puteranya, dan yang mereka sebut Kesatria Putih itu adalah Anusapati.
"Kenapa ia tidak dibunuh saja" geram Ken Umang didalam hatinya, sedang Tohjaya berkata didalam hati pula, "Pantas Mahisa Agni dan Anusapati begitu mudahnya menyingkirkan Kesatria Putih seperti yang dikatakan ayahanda itu"
Tetapi sekarang tidak mudah bagi siapapun juga untuk menyingkirkan Kesatria Putih yang ternyata adalah Anusapati. Tentu Anusapati kini merupakan pahlawan besar pula bagi rakyat Singasari, yang dengan demikian tidak akan dapat dengan begitu saja disingkirkan dari hati rakyat itu.
Ternyata bahwa latihan dan pertandingan terbuka yang diminta oleh Tohjaya itu telah menimbulkan kecut dihati Sri Rajasa dan Ken Umang beserta puteranya terkasih, yang diharapkan akan dapat menjadi anak muda yang paling perkasa diseluruh Singasari. Namun mereka tidak dapat menghindarkan diri dari kenyataan, bahwa Anusapati adalah anak muda yang lebih besar dari padanya.
Dengan demikian, bukan saja Anusapati yang harus menengadahkan dadanya, bahwa ia bukan seorang anak muda yang dungu seperti yang diduga oleh para prajurit dan Senapati, juga oleh Tohjaya dan gurunya, namun setiap orangpun akan menilai Mahisa Agni, orang terdekat disisi Anusapati. Tidak seorangpun yang tidak menyorotkan pandangan matanya atas ilmu Anusapati pada kemampuan Mahisa Agni.
"Akupun tidak dapat menyembunyikan diri lagi" berkata Mahisa Agni, "kini kita bermain dengan pintu terbuka"
Anusapati yang dengan patuh menjalankan semua petunjuk Mahisa Agni ternyata mendapat cara untuk tampil langsung didepan mata rakyat Singasari.
Setelah pertandingan itu dinyatakan selesai dan rakyat Singasari yang ada di sekitar arena pergi meninggalkan alun-alun, maka yang mereka percakapkan tidak ada lain kecuali Putera Mahkota.
"Ternyata aku telah sesat" berkata salah seorang dari mereka. "selama ini aku menganggap bahwa Putera Mahkota itu adalah seorang laki-laki yang tidak mampu menunjukkan kejantanan diri. Berbeda dengan adindanya Tohjaya, yang dengan penuh tanggung jawab telah berusaha menyelamatkan rakyatnya dari kesusahan. Tetapi ternyata bahwa bukan demikian yang sebenarnya. Tuanku Putera Mahkotapun adalah seorang pahlawan yang besar"
"Ia tidak mendapat kesempatan itu" seseorang berbisik.
"Kenapa?" Seorang yang berjanggut putih berkata diantara kedua telapak tangannya, "Apakah kau lupa, bahwa tuanku Permaisuri melahirkan puteranda Anusapati hanya enam bulan setelah perkawinannya dengan Ken Arok yang kemudian bergelar Sri Rajasa Batara Sang Amurwabumi?"
"Ah, jangan menyinggung itu lagi. Mungkin itu memang suatu dosa, bahwa tuanku Permaisuri mengandung sebelum perkawinannya. Tetapi Ken Arok tidak ingkar"
"Bodoh sekali. Putera yang dikandung itu bukan hadir dari dosa. Ia ada didalam kandungan dari suaminya yang dahulu"
"O, ya. Ia adalah putera Tunggul Ametung"
"Sst" Kawannya terdiam. Namun mereka sadar, bahwa bukan hanya mereka sajalah yang mengerti bahwa Anusapati lahir terlampau cepat, setelah perkawinan Ken Dedes dengan Ken Arok, sehingga sebenarnya hampir setiap orang tua-tua di Singasari mengerti, bahwa Anusapati adalah Putera Tunggul Ametung.
Demikian pula akhirnya para Senapati mengambil kesimpulan yang sama. Tetapi susunan keprajuritan yang lahir setelah Sri Rajasa memegang pemerintahan, mencerminkan kesetiaan mereka kepada Sri Rajasa. Terlebih-lebih adalah Senapati-Senapati muda yang diangkat di saat-saat Sri Rajasa sudah berkuasa.
Namun Mahisa Agni sudah memperhitungkannya juga.
Dalam pada itu, Sri Rajasa yang kemudian duduk termangu-mangu menerima keluh kesah puteranya yang lahir dari Ken Umang. Bukan saja Tohjaya, tetapi Ken Umang sendiri menangis berkata. "Memalukan sekali tuanku, Tohjaya sudah turun kearena dan dikalahkan oleh anak sakit-sakitan itu"
"Jangan berkata begitu, ia adalah Putera Mahkota"
"Tetapi ia tidak berhak menghancurkan nama Tohjaya dihadapan rakyat Singasari"
"Tidak seorangpun yang tahu bahwa akan terjadi demikian"
"Tentu pokal Mahisa Agni. Kenapa tuanku masih juga mempergunakan orang yang jelas tidak setia kepada tuanku?"
"Tidak mudah untuk menuduh demikian, Mahisa Agnilah yang datang bersama aku ke Kediri dan menundukkan Gubar Baleman. Tidak ada seorangpun yang dapat melakukan hal itu"
"Tentu tuanku sendiri dapat melakukannya"
"Aku tidak yakin, setelah aku memeras tenaga melawan Maharaja dari Kediri itu" sahut Sri Rajasa, "apalagi jika tanpa Mahisa Agni saat itu, kedua kekuatan itu pasti akan bergabung. Dan aku tidak akan pernah kembali ke Singasari. Tidak ada kekuatan yang dapat melawan Gubar Baleman dan Maharaja Kediri bersama-sama"
Ken Umang tidak menyahut lagi. Ia memang tidak dapat ingkar, tanpa Mahisa Agni, Singasari tidak akan dapat sebesar saat ini. Bahkan mungkin Kediri akan mampu mematahkannya sebelum tumbuh dan berkembang. Namun kini ternyata Mahisa Agni menjadi penghalang baginya, bagi puteranya Tohjaya, karena Mahisa Agni adalah paman Anusapati.
"Jangan kau risaukan" berkata Sri Rajasa, "aku mempunyai seribu jalan. Tetapi aku tidak dapat berbuat kasar. Aku harus berhati-hati. Sekarang aku tahu, bahwa pasti Anusapati sendirilah yang telah berhasil membunuh Kiai Kisi ketika ia pergi menumpas penjahat itu. Dan akupun harus memperhitungkannya sebagai orang berkerudung hitam yang berkeliaran di istana ini. Jika demikian, maka aku harus menjadi semakin berhati-hati permainan Mahisa Agni cukup matang"
Ken Umang dan Tohjaya tidak menyahut. Mereka harus mengerti, bahwa tidak menguntungkan apabila mereka berbuat dengan tergesa-gesa. Ternyata orang Panawijen itu bukannya seorang yang tidak mampu menanggap permainan Sri Rajasa.
"Mahisa Agni sudah dapat membaca rencanaku" berkata Sri Rajasa didalam hatinya. Dan Sri Rajasapun agaknya sudah menduga bahwa Mahisa Agni sudah mengetahui apa yang sebenarnya terjadi atas Tunggul Ametung.
"Tidak mustahil ia akan mengambil sikap yang menentukan" katanya didalam hati. Tetapi Sri Rajasa tidak pernah menyatakan kecemasannya kepada , ken Umang, maupun kapada Tohjaya.
Dalam pada itu, Permaisuri sedang menangisi kenyataan yang tidak terduga-duga. Dihadap oleh putera-puteranya. ia mengucapkan syukur kepada Yang Tunggal, bahwa ternyata Anusapati bukan seekor domba yang lemah dipadang rumput yang penuh dengan serigala.
03 Pelangi Di Langit Singosari Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Dimana kau mendapat kemungkinan untuk mengalahkan Tohjaya?" bertanya ibunya.
Anusapati tidak menyahut. Ia hanya menundukkan kepalanya saja disamping isteri dan anaknya yang mulai nakal.
"Aku benar-benar iri hati kanda" berkata Mahisa Wonga Teleng, "kanda tentu tidak berkeberatan mengajari aku"
Anusapati tersenyum. Jawabnya, "Tentu. Tetapi kau akan banyak kehilangan waktu"
"Kenapa" Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali"
"Baiklah, pada saatnya, kau dapat saja belajar ilmu tata bela diri. Mungkin bersama dengan anak-anak kita"
Mahisa Wonga Teleng tertawa. Anak-anak mereka memang telah tumbuh semakin besar. Mereka adalah laki-laki yang kuat dan nakal.
"Tetapi dengan demikian kau harus berhati-hati Anusapati" berkata ibunya.
"Kenapa ibu?" Ken Dedes tidak segera menyahut. Dipandanginya wajah Anusapati sejenak. Masih tampak kegembiraan disorot matanya meskipun mata itu basah. Namun lambat laun, mata itu menjadi suram. Terbayang dimata Ken Dedes itu, kenyataan tentang Anusapati. Wajah puteranya itu mirip benar dengan wajah Tunggul Ametung, Akuwu Tumapel yang telah disingkirkan oleh Ken Arok.
Sebagai seorang ibu, maka Ken Dedes justru mulai dirayapi oleh kecemasan tentang puteranya itu. Ia sadar, bahwa Ken Arok tidak bersikap jujur. Gelar Putera Mahkota diberikan kepada Anusapati bukan karena hatinya berkata demikian. Tetapi sekedar untuk mengelabui kata hatinya yang sebenarnya. Beberapa orang tua-tua di Tumapel mengetahui, bahwa sumber kekuasaan atas Tumapel ada ditangan Tunggul Ametung yang melimpah kepada Ken Dedes, sehingga kekuasaan itu sudah sewajarnya diwarisi oleh Anusapati. Tetapi tentu Ken Arok yang bergelar Sri Rajasa itu tidak ikhlas membiarkan Anusapati kelak benar-benar bertahta di Singasari.
Betapa perasaan itu menghentak-hentak didadanya, sehingga pada suatu saat, ia tidak dapat bertahan lagi. Dipanggilnya Anusapati menghadap seorang diri, dan terloncat dibibirnya pesan, "kau memang harus berhati-hati Anusapati"
Anusapati yang memang sudah menyimpan berbagai pertanyaan didalam hati, seolah-olah mendapat jalan untuk bertanya kepada ibunya. "Kenapa ibu setiap kali berpesan kepada hamba untuk berhati-hati. Dan kenapa hamba merasa bahwa memang hamba selalu dibayangi oleh pengawasan yang tidak sewajarnya didalam istana ini?"
Ken Dedes yang dadanya sudah dipenuhi oleh berbagai macam perasaan itu hampir saja menuangkan segala sesuatu kepada Anusapati. Namun tiba-tiba ia merasa sesuatu telah menahannya.
Karena itu yang terlontar dari bibirnya hanyalah sebagian saja, "Kau mempunyai ibu tiri Anusapati. Dan ibu tirimu juga mempunyai seorang anak laki-laki, hampir sebaya dengan kau"
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian, "Tetapi ibu, apakah hamba harus mencurigai saudaraku sendiri meskipun bukan lahir dari ibu yang sama?"
Pertanyaan itu menyentuh hati Ken Dedes. Maka sejenak ia merenung. Ada sesuatu yang memberati hatinya untuk berkata berterus terang. Apalagi setelah ia tahu bahwa anaknya bukan seorang laki-laki dungu yang hanya dapat mengeluh dan meratap. Kini baginya Anusapati adalah seorang laki-laki, seorang jantan sepenuhnya, sehingga iapun pasti akan dapat mengambil sikap jika hatinya tersinggung.
Karena itu, Ken Dedes hanyalah dapat menarik nafas dalam-dalam.
Namun desakan perasaan didada Anusapatilah yang kemudian mendorongnya bertanya, "Bunda, hamba tidak mengerti, apakah hanya sekedar perasaan hamba, bahwa sebenarnyalah ayahanda tidak bersikap adil terhadap hamba dan adinda Tohjaya. Sejak hamba kanak-anak, hamba merasakan perbedaan sikap itu. Didalam banyak hal ayahanda Sri Rajasa tidak membantu hamba. Juga didalam olah kanuragan. Hamba seakan-akan selalu tersisih. Hanya adinda Tohjayalah yang mendapat kesempatan sebaik-baiknya. Baginya, sebelum hamba muncul sebagai Kesatria Putih di arena, hamba adalah seorang yang tidak berharga. Dengan demikian hamba harus menempuh jalan lain untuk dapat mengimbanginya"
"Jalan apakah yang sudah kau tempuh Anusapati?"
"Untunglah ada pamanda Mahisa Agni. Pamanda Mahisa Agnilah yang telah membentuk hamba menjadi seorang yang mampu mengimbangi Tohjaya tanpa diketahui olehnya dan oleh ayahanda Sri Rajasa. Jika hamba tidak mendapat kesempatan atas permainan pamanda Mahisa Agni, sebagai Kesatria Putih yang sudah dikenal Rakyat Singasari, mungkin hamba akan mengalami akibat lain, jika diketahui bahwa hamba mempunyai ilmu yang cukup"
Ken Dedes mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi tanpa disadarinya air matanya mengalir semakin deras. Terbayang keadaan Anusapati yang seakan-akan selalu terdorong menjauh dari setiap kesempatan.
Tetapi Ken Dedes tidak dapat mengatakannya. Ken Dedes tidak dapat mengemukakan perasaan yang sebenarnya bergejolak didalam hatinya.
"Ibu" bertanya Anusapati lebih lanjut, "kenapa ayahanda Sri Rajasa bersikap demikian" Apakah sesuatu yang membuatnya membenci hamba?"
"Tidak Anusapati, tidak. Itu hanya sekedar perasaanmu saja. Sikap ayahandamu kepadamu tidak ubahnya dengan sikap Sri Rajasa kepada putera-puteranya yang lain. Aku juga pernah mendengar Tohjaya mengeluh kepada ibunya, menanyakan sikap ayahanda Sri Rajasa. Kenapa ia selalu tersisih dan dengan tergesa-gesa menyerahkan gelar Putera Mahkota kepadamu, seakan-akan ayahanda Sri Rajasa cemas, bahwa Tohjaya ingin merebutnya"
Anusapati mengerutkan keningnya. Jika benar demikian, maka adalah bayangan yang tumbuh dari mimpi buruk sajalah yang menyebabkannya merasa tersisih.
Tetapi Anusapati yang sudah dewasa itu menangkap sesuatu yang tersirat di wajah dan titik air mata ibunya. Meskipun ibunya mencoba menyembunyikan perasaannya, namun Anusapati berhasil menangkapnya, dan merasa bahwa apa yang dikatakan oleh ibunya itu bukannya yang sebenarnya dirasakannya.
Namun Anusapati tidak mendesaknya. Ia sadar, dengan demikian ia akan membuat ibunya menjadi semakin sakit hati. Karena itu untuk sementara Anusapati terpaksa menyimpannya didalam hati.
Tetapi demikian ia mundur dari hadapan ibunya, maka dicarinya pamannya yang masih berada di istana Singasari.
Ia kini tidak perlu mencari kesempatan tersembunyi. Setiap orang didalam istana itu tanpa mendapat penjelasan dari siapapun, mulai meraba-raba, bahwa kemampuan Anusapati pasti diturunkan oleh Mahisa Agni, karena mereka tahu. bahwa latihan-latihan yang dilakukan bersama Tohjaya hampir tidak berarti sama sekali. Terlebih-lebih adalah Tohjaya sendiri dan gurunya, yang tidak segan-segan berbicara tentang kemungkinan itu dengan siapapun juga.
"Curang" katanya, "kakanda Anusapati merahasiakan kemampuannya selama ini. Tentu maksudnya tidak baik. Hanya orang-orang yang licik sajalah yang merahasiakan ilmunya. Tentu untuk tujuan-tujuan yang kurang baik"
Tetapi hampir setiap orang berkata, "Ternyata bahwa Anusapati mampu mendapatkan ilmu dengan caranya sendiri dan mengamalkannya sebagai Kesatria Putih"
Meskipun demikian, beberapa orang perwira yang mempunyai kepentingan tersendiri berkata diantara mereka, "Licik. Tuanku Tohjaya harus berhati-hati menghadapinya"
Dan untuk sikap itu para perwira itupun mendapat janji yang baik dihari mendatang.
"Ayahanda ada dipihakku" berkata Tohjaya. Tetapi semuanya itu disadari oleh Mahisa Agni. Ia sudah membuka daun pintu yang selama ini ditutupnya, dan semua orang sudah melihat apa yang terdapat didalamnya. Ternyata bahwa rakyat Singasari menerima kehadiran Anusapati yang tiba-tiba itu.
"Kau harus meneruskan amalmu sebagai Kesatria Putih" berkata Mahisa Agni ketika Anusapati menghadapnya.
"Ya paman. Aku akan melakukannya. Tetapi disamping tugas itu, aku harus memperhatikan sikap Tohjaya. Aku yakin bahwa ada suatu yang tidak wajar pada ayahanda. Aku sudah mencoba bertanya kepada ibunda Permaisuri. Tetapi setiap kali ibunda Ken Dedes hanya menangis. Dan akupun yakin, ada sesuatu yang disembunyikan. Agaknya ibunda berusaha melindungi pula sikap ayahanda"
"Jangan salah mengerti Anusapati" berkata Mahisa Agni, "bukan maksud ibundamu melindungi sikap yang tidak wajar dari ayahandamu Sri Rajasa. Tetapi sebagai seorang ibu ia harus bijaksana. Ibundamu memang tidak boleh membakar perasaanmu. Dan kaupun harus menyadari, jangan memaksa ibumu mengatakan sesuatu, agar hatinya tidak semakin sakit"
Anusapati menundukkan kepalanya. Namun perlahan-lahan ia berkata, "Kenapa ibunda Permaisuri masih harus menyimpan perasaannya itu. Hampir setiap orang didalam istana ini mengetahui, bahwa sikap ayahanda tidak adil, bukan saja terhadap putera-puteranya, tetapi juga terhadap ibunda berdua, Ayahanda Sri Rajasa lebih mementingkan ibunda Ken Umang. Mungkin ibunda Ken Umang adalah seseorang yang lebih terbuka dari ibunda Ken Dedes yang lebih dalam menyimpan perasaannya"
"Sudahlah Anusapati" potong Mahisa Agni, "tidak baik bagimu untuk selalu menyesali diri. Kau sudah mendapat kesempatan. Pergunakan sebaik-baiknya. Bentuklah hari depanmu sendiri tanpa menggantungkannya kepada orang lain, meskipun kepada ayahanda Sri Rajasa sendiri"
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Baiklah paman"
Demikianlah maka Anusapatipun mulai keluar lagi dari istana dimalam hari dengan kuda putihnya. Tetapi ia masih merasa perlu menyembunyikan wajahnya meskipun kadang-kadang dibukanya. Tetapi rakyat yang jauh dari kota, meskipun mereka sudah mendengar pula bahwa Kesatria Putih itu adalah Putera Mahkota, namun mereka masih sering menjumpai Kesatria Putih lengkap dalam pakaiannya yang semula. Kuda Putih dan kerudung putih.
Demikianlah bagi rakyat Kesatria Putih masih tetap merupakan teka-teki. Ia berada disegala tempat dan disegala waktu. Seolah-olah Kesatria Putih dapat mengelilingi seluruh Singasari dalam waktu sekejap.
Namun dalam pakaian Kesatria Putih, Anusapati dapat keluar masuk pintu gerbang istana dengan leluasa. Kini tidak seorangpun yang berani menegurnya. Bahkan setiap Kesatria Putih lewat pintu gerbang istana, maka hati para prajurit menjadi tenang, karena para penjahat pasti akan menjauh dan Singasari menjadi makin tenteram.
Dalam pada itu kebesaran nama Kesatria Putih semakin hari menjadi semakin menambat hati rakyat Singasari. Hampir tidak masuk akal, bahwa Anusapati dalam waktu hampir berbareng telah menangani dan menghancurkan dua kelompok penjahat ditempat yang berbeda-beda.
Tetapi tidak seorangpun yang memperhatikan, bekas tangan Kesatria Putih. Hanya Mahisa Agnilah yang dengan teliti mengikutinya. Didalam hati ia masih menyebut perbedaan akibat dari tindakan Kesatria Putih.
"Dibagian Utara kota Singasari. Kesatria Putih jarang sekali membinasakan lawannya, tetapi dibagian Barat, hampir setiap penjahat tidak lolos dari ujung pedangnya"
Dengan demikian, Mahisa Agni merasa perlu untuk menertibkan tindakan Kesatria Putih sebelum orang lain mencurigainya juga, karena sebenarnya bukan saja Anusapati, tetapi ia masih juga dibantu oleh orang-orang yang sebelumnya telah mengenakan pakaian Kesatria Putih diatas kudanya yang putih.
"Untunglah, bahwa Anusapati sudah pantas dilepaskan dalam bentuk Kesatria Putih" berkata Mahisa Agni didalam hatinya pula, "meskipun Anusapati masih belum menyamai Witantra. Kuda Sempana dan Mahendra, tetapi dengan bekal yang ada, ia cukup mampu menghadapi kejahatan didaerah padesan"
Sejalan dengan memanjatnya nama Kesatria Putih yang dikenal sebagai Putera Mahkota, maka hati Sri Rajasapun menjadi semakin kecut. Kadang-kadang ia menjadi hampir berputus asa. Ia mengakui, betapa cerahnya hati Mahisa Agni melawan permainannya.
"Aku lengah menghadapinya karena ia berada jauh dari istana. Ternyata ditempat yang jauh itu, ia masih mampu melakukan permainan yang matang" katanya setiap kali kepada diri sendiri.
Apalagi semakin lama nama Tohjaya semakin tidak pernah diucapkan lagi oleh rakyat Singasari diluar istana, karena Tohjaya hampir tidak pernah mendapat kesempatan apapun. Setelah mereka mengetahui bahwa Kesatria Putih itu adalah Anusapati, maka mereka mulai ragu-ragu mempergunakan prajurit-prajurit sebagai umpan yang akan dipergunakan untuk memanjatkan nama Tohjaya.
Meskipun demikian, beberapa orang perwira dipuncak pimpinan prajurit Singasari, masih berhasil dikuasainya dengan berbagai macam janji dan kesempatan.
Namun bagi Sri Rajasa, semuanya itu tidak akan banyak memberi harapan.
Bahkan di saat-saat ia duduk sendiri dibelakang bangsalnya, jika matahari sudah tenggelam, kadang-kadang Sri Rajasa tidak dapat menghindarkan diri dari kenangan masa lampaunya. Bahkan kadang-kadang kenangan itu bagaikan hantu yang merayap mengintainya dan menerkamnya setiap saat.
"Apakah dewa-dewa sudah mulai melepaskan aku sendiri?" katanya kepada diri sendiri.
Sekilas terkenang kata-kata mPu Purwa dipadang Karautan, "Kembalilah kepada Yang Maha Agung"
Dan Ken Arok yang saat itu menghantui padang Karautan bertanya kepada diri sendiri, "Siapakah Yang Maha Agung itu?"
Terkenanglah olehnya bagaimana ia dikejar-kejar oleh orang-orang padesan didaerah Kemundungan. Karena kebingungan ia segera memanjat pohon tal. Tetapi orang-orang itu berusaha menebang pohon tal tempat ia memanjat. Di saat yang gawat itulah ia mendengar suara di angkasa, "Ambil daun tal, pakailah sebagai sayapmu kiri dan kanan"
Dan Ken Arok selamatlah menyeberangi sungai dengan sayap daun tal.
"Itu adalah suara Yang Maha Agung" desisnya.
Saat itu, ia ternyata dekat sekali dengan Yang Maha Agung. Beberapa kali ia menjumpai keajaiban yang tidak dimengertinya sendiri, sehingga sampai saat ini ia masih bertanya, "Ilmu apakah yang sebenarnya aku miliki sekarang, sehingga aku dapat mengalahkan Maharaja di Kediri?"
"Tetapi apakah kini Yang Maha Agung itu masih dekat dengan aku?" pertanyaan itu mulai mengganggunya.
Bahkan kadang-kadang didalam kegelapan. Sri Rajasa melihat bayangan seseorang yang duduk bersimpuh sambil memegang dadanya yang terluka. Namun kadang-kadang bayangan itu mengangkat tangannya yang menuding wajahnya, "Kau membunuh aku Ken Arok"
"Tidak, tidak" Ken Arok yang bergelar Sri Rajasa itu berdesis sambil menutup wajahnya. Bayangan itu adalah bayangan mPu Gandring yang telah dibunuhnya dengan keris yang dibuat oleh mPu Gandring itu sendiri.
Ketika bayangan itu lenyap, hadirlah bayangan yang lain, seorang anak muda yang berwajah riang. Tetapi wajah itu rasa-rasanya bagaikan menyala, "Kau memperdaya aku Ken Arok. Aku tidak pernah bersalah. Aku tidak pernah membunuh Akuwu Tunggul Ametung. Dan ketika bayangan yang kemudian hadir, hatinya menjadi semakin kecut. Dilihatnya Akuwu Tunggul Ametung dalang sambil menggeram, "Akan datang saatnya aku menuntut balas Ken Arok"
Ken Arok yang bergelar Sri Rajasa itu menjadi semakin kecut. Bayangan Tunggul Amelung itu semakin lama menjadi semakin jelas.
Bukan, bukan wajah Tunggul Ametung, tetapi wajah itu adalah wajah Anusapati. Wajah Kesatria Putih yang lahir dari Ken Dedes oleh tetesan darah Akuwu yang telah dibunuhnya itu.
Terasa kengerian yang sangat mencekam hati Sri Rajasa. Wajah demi wajah dari orang yang telah dibunuhnya silih berganti membayanginya, bercampur baur dengan wajah Anusapati, bahkan kemudian wajah Mahisa Agni.
"Mahisa Agni" tiba-tiba Sri Rajasa menggeram.
Bagi Sri Rajasa ternyata Mahisa Agnilah kini orang yang paling berbahaya. Tanpa Mahisa Agni, Anusapati sama sekali tidak berarti baginya.
Tetapi Sri Rajasa untuk sementara tidak akan dapat berbuat banyak terhadap Mahisa Agni, meskipun Sri Rajasa yakin bahwa Mahisa Agni tidak akan berhenti sampai sekian. Kemenangan yang pernah dicapainya akan mendorongnya untuk berbuat lebih banyak lagi.
Bagi Mahisa Agni perjuangan itu pasti dianggapnya sebagai kewajiban. Ia telah kehilangan pamannya, mPu Gandring, suami Ken Dedes, dan bahkan terjerumus kedalam perang tanding melawan Witantra untuk menetapkan kekalahan Kebo Ijo.
"Mahisa Agni pasti sudah menemukan kebenaran dari segala peristiwa yang terjadi" berkata Sri Rajasa kepada diri sendiri.
Dan tiba-tiba saja Sri Rajasapun teringat pula kepada Witantra dan saudara seperguruannya, Mahendra.
Ingatan yang tumbuh dihati Sri Rajasa itu membuatnya semakin gelisah. Terapi ia sudah melangkah. Tingkat demi tingkat dari suatu perjuangan yang berat sudah dilaluinya. Yang. kini ia sudah sampai pada titik perjuangan yang terakhir, mewariskan kekuasaan yang dibangunnya selama ini kepada keturunannya, bukan keturunannya Tunggul Ametung. Meskipun ada juga putra-putranya yang lahir dari Ken Dedes, tapi Sri Rajasa menganggapnya bahwa Ken Dedes pernah melahirkan anak Tunggul Ametung. Tapi kegagalannya menampilkan Tohjaya menjadi pahlawan terbesar diantara putra-putranya membuatnya kehilangan arah. Semua rencananya pecah bersama dengan kekalahan Tohjaya diarena melawan Kesatria Putih yang ternyata adalah Anusapati.
"Aku harus mulai dari permulaan lagi" berkata Sri Rajasa di dalam hatinya. Tapi ia belum tahu apa yang sebaiknya dilakukan. Namun yang terlintas didalam angan-angannya, Mahisa Agni harus segera kembali ke Kediri sehingga kesempatannya bertemu dan berbincang dengan Anusapati menjadi sangat terbatas.
Demikianlah maka dihari berikutnya jatuhlah perintah bahwa Mahisa Agni harus segera meninggalkan istana Singasari.
Mahisa Agnipun sebenarnya telah menduga bahwa ia harus segera meninggalkan Singasari untuk dijauhkan dari putra Mahkota. Tetapi jalan sudah terbuka meskipun justru bahaya menjadi semakin besar bagi Anusapati. Namun bertindak sesuatu atas Anusapati yang dikenal oleh rakyat Singasari sebagai kesatria Putih memerlukan pertanggungan yang besar.
Meskipun demikian Mahisa Agni tidak boleh lengah sebelum ia berangkat meninggalkan istana ia banyak sekali memberikan pesan kepada Anusapati.
Tetapi satu hal yang tidak dikatakannya, bahwa Anusapati sebenarnya bukan putera Sri Rajasa.
"Paman" Anusapati mendesak, "apakah sebabnya, aku harus menempuh jalan yang aneh untuk mendapatkan tempat dihati rakyat Singasari. Dan kenapa aku rasa-rasanya menjadi semakin jauh dari ayahanda Sri Rajasa?"
"Tidak ada persoalan apapun yang dapat menjadi alasan itu Anusapati" berkata Mahisa Agni, "jika sekarang kau menghadapi kenyataan itu, barangkali, karena ibumu seorang yang lebih banyak menyimpan perasaan. Seorang yang tidak ingin melontarkan diri keatas awang-awang, melampaui dan bahkan jika perlu beralaskan orang lain. Tetapi sifat-sifat Ken Umang memang tidak terpuji. Itulah agaknya yang menyebabkan ada perbedaan antara kau dan Tohjaya dihadapan Sri Rajasa. Tetapi percayalah bahwa hal itu tidak akan langgeng. Akhirnya akan tampak dan terbukti, mana yang baik dan mana yang tidak"
Anusapati menarik nafas dalam-dalam.
"Jalanmu sudah terbuka. Teruskan amalmu sebagai Kesatria Putih. Kau harus lebih banyak keluar dari istana. Jangan sampai terjadi, Kesatria Putih melakukan tindakan disuatu tempat tetapi kau berada didalam istana. Jika demikian pasti akan menimbulkan pertanyaan. Satu kali dua kali mungkin tidak akan diketahui, tetapi perasaan Sri Rajasa yang tajam, dan usaha Tohjaya untuk mencari kelemahanmu, akan memaksa mereka mencari setiap kesalahan yang mungkin terjadi"
Anusapati menganggukkan kepalanya.
"Pada suatu saat Anusapati, untuk tidak menimbulkan kesalahan, sebaiknya kau sendirilah yang akan menjadi Kesatria Putih. Kau seorang diri tanpa orang lain. Meskipun kegiatan Kesatria Putih akan berkurang, tetapi lubang-lubang yang dapat membuat kau terperosok kedalamnya menjadi semakin kecil"
"Ya, paman" "Sementara itu, untuk keselamatanmu, setiap kali salah seorang dari orang-orang tua itu akan mengawasimu dari kejauhan seperti yang juga sering terjadi. Menghadapi kejahatan yang besar dan dilakukan oleh penjahat-penjahat yang kuat, kau tidak boleh berjuang seorang diri. Satu atau dua orang akan membantumu. Tetapi hanya seorang sajalah yang boleh berperan sebagai Kesatria Putih"
"Tetapi bagaimana aku dapat berhubungan dengan mereka paman"
"Merekalah yang akan menghubungi kau setiap kali. Sumekar dapat menjadi penghubung yang baik pula"
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Nah, jagalah dirimu baik-baik. Tetapi jangan sekedar tenggelam dalam tugas Kesatria Putih. Kau harus menyempurnakan ilmumu sebaik-baiknya. Jika pada suatu saat kau menjumpai bahaya dari manapun datangnya, kau benar-benar sudah menjadi sempurna dan mampu mempertahankan dirimu. Orang-orang seperti Kiai Kisi masih akan berkeliaran mencarimu. Suatu saat akan datang orang yang jauh lebih dari kiai Kisi, karena ternyata Sri Rajasa kini pasti sudah memperhitungkan, bahwa kau sendirilah yang telah membunuh Kiai Kisi itu"
Demikianlah, maka pesan Mahisa Agni itu selalu diingat oleh Anusapati. Ia harus berhati-hati. Baik didalam lingkungan hidupnya sehari-hari, maupun apabila ia pergi keluar istana sebagai Kesatria Putih. Namun seperti yang dikatakan oleh Mahisa Agni, Anusapati masih selalu memerlukan waktu untuk menyempurnakan ilmunya. Setiap hari ia singgah di tempat yang terasing untuk mematangkan ilmu yang sudah dimilikinya.
Namun ternyata ada beban baru yang harus dilakukannya. Mahisa Wonga Teleng berkeras untuk mempelajari ilmu daripadanya.
"Aku jauh ketinggalan dari saudara-saudaraku" berkata Mahisa Wonga Teleng. "Tentu ada kesengajaan ayahanda Sri Rajasa untuk membedakan aku dengan saudara-saudaraku yang lahir dari ibunda Ken Umang"
"Tidak Mahisa Wonga Teleng" jawab Anusapati, "tidak ada perbedaan apa-apa. Itu hanyalah perasaan kita" Anusapati mencoba menirukan Mahisa Agni setiap kali ia mengeluh. Dan kini ia mencoba menenteramkan hati adiknya itu.
Mahisa Wonga Teleng mengangguk-anggukkan kepalanya. Meskipun Anusapati sendiri melihat kenyataan itu. Adalah tidak mustahil, terdorong oleh sikap Tohjaya maka adik-adiknya yang lahir dari Ken Umang telah membenci Mahisa Wonga Teleng karena ia adalah adik Anusapati.
"Kakanda Tohjaya juga mengajari adik-adiknya yang lahir dari ibunda Ken Umang. Apa salahnya aku minta kakanda Anusapati melatih aku?"
"Baiklah" berkata Anusapati, "kita mencari tempat yang baik. Di pagi-pagi benar kita mulai berlatih sampai matahari terbit"
"Waktunya hanya pendek sekali" sahut Mahisa Wonga Teleng, "bagaimana kalau sampai matahari sepenggalah?"
Anusapati tersenyum. Katanya, "Bukankah kau sudah mempunyai seorang guru yang mengajarimu bersama-sama dengan adinda yang lain"
"Tetapi tidak lagi bagiku setelah aku kawin. Seperti juga kakanda Anusapati tidak mendapat kesempatan berguru lagi. Untunglah ada pamanda Mahisa Agni. Jika aku tahu sebelumnya, aku pasti ikut berlatih pada paman Mahisa Agni. Akulah yang barangkali bernasib jelek. Aku tidak mendapat perhatian dari pamanda Mahisa Agni, dan tidak terhitung oleh Ramanda Sri Rajasa"
"Jangan begitu. Tidak ada perbedaan. Baik pada paman Mahisa Agni, maupun pada ayahanda Sri Rajasa"
"Entahlah" sahut Mahisa Wonga Teleng, "tetapi sekarang aku minta kepada kakanda Anusapati, ajari aku meskipun terlambat. Aku menjadi semakin tua, dan anakku menjadi semakin besar"
Anusapati tidak dapat menolak permintaan adiknya. Sebenarnyalah bahwa Mahisa Wonga Teleng belum menjadi tua. Ia masih sangat muda. Meskipun anaknya bertambah besar, tetapi saat perkawinannyalah yang terlampau maju. Anusapati tidak mengerti, kenapa ayahanda Sri Rajasa berlaku demikian. Apakah tujuannya, karena ternyata sikap ayahanda Sri Rajasapun jauh lebih baik pada Mahisa Wonga Teleng daripada kepada, dirinya sendiri.
Tidak seperti pada saat Anusapati mempelajari olah kanuragan dari pamannya, Mahisa Wonga Teleng tidak perlu bersembunyi-sembunyi. Ternyata ia berani menghadapi tantangan disekitarnya. Dan ternyata tidak ada seorangpun yang berani merintanginya, apalagi gurunya adalah Kesatria Putih.
Namun dalam pada itu, sebenarnya Tohjaya sama sekali masih belum mengakui kemenangan Anusapati daripadanya. Memang Anusapati dapat mengalahkannya dalam permainan sodoran di arena. Tetapi itu tidak berarti bahwa Anusapati dapat mengalahkannya apabila benar-benar mereka harus berperang tanding.
Tetapi Tohjaya tidak berani mencobanya. Ia masih belum mengetahui dengan pasti, kemampuan yang sebenarnya dimiliki oleh Anusapati.
"Tuanku" guru Tohjaya yang siang dan malam memikirkan cara untuk melenyapkan Kesatria Putih, sejak ia masih belum mengenakan bentuknya itu, berkata kepada muridnya, "adalah suatu keharusan untuk melenyapkan Kesatria Putih. Aku rasa kita tidak akan dapat bertindak atasnya. Jika kita memberikan beban ini kepada salah seorang diantara kita, atau setidak-tidaknya orang yang ada dilingkungan kita, jika orang itu tidak berhasil, maka akan sangat berbahaya akibatnya bagi kita. Untunglah bahwa sampai saat ini, usaha kita belum dapat diketahuinya dengan pasti"
Tohjaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi gurunya menjadi ragu-ragu sendiri. Terbayang didalam angan-angannya, seseorang berkerudung hitam telah memancingnya dan melibatnya dalam perkalahian. Ketika ia merasa, bahwa ia akan berhasil membunuh orang itu, rahasia yang disimpannya terlanjur dikatakannya.
"Apakah orang itu juga Anusapati?" katanya didalam hati, "Jika orang itu Putera Mahkota, kenapa ia masih tetap berdiam diri sampai sekarang?"
Hal itu ternyata sangat membingungkan sekali. Menurut pengamatannya, bentuk tubuhnya dan sikap terjangnya, orang itu bukan Putera Mahkota. Tetapi siapa"
Orang itu sama sekali tidak menduga, bahwa di halaman istana itu ada seorang juru taman yang memiliki kemampuan seperti Kesatria Putih dan seperti orang-orang berkerudung yang pernah dikenal di istana Singasari.
"Jadi bagaimana maksudmu?" bertanya Tohjaya kemudian.
"Kita minta pertolongan seseorang diluar lingkungan kita"
Tohjaya mengerutkan keningnya, namun kemudian ia berkata lemah, "Kau pernah gagal. Kiai Kisi tidak dapat berbuat apa-apa. Bukankah kau pernah mengatakannya meskipun kau tidak mengajak aku berbicara ketika kau merencanakan" Dan bukankah ayah pernah marah kepadamu?"
"Tetapi keadaannya sekarang berbeda. Kita tidak membenturkan orang itu langsung kepada Putera Mahkota, tetapi kepada Kesatria Putih"
"Apa bedanya" Setiap orang tahu bahwa Kesatria Putih adalah kakanda Anusapati"
"Tuanku" berkata Penasehat Sri Rajasa itu, "hamba mempunyai seorang sahabat. Seorang sakti yang bertapa dilereng Gunung Semeru"
"Jangan mengigau. Kita tidak tahu kekuatan yang sebenarnya tersimpan didalam diri kakanda Anusapati" potong Tohjaya, "sedangkan jika pertapa itu orang yang putih, ia pasti tidak akan bersedia memenuhi keinginan itu"
"Orang itu adalah kakak seperguruan Kiai Kisi"
"Tidak ada gunanya. Ilmunya tidak akan jauh lebih tinggi dari Kiai Kisi"
"Tentu dengan cara yang khusus. Ia mempunyai beberapa orang murid"
"Kesatria Putih dijebak, kemudian dikerubut bersama-sama?"
"Ya" "Kakanda Anusapati bukan seorang yang bodoh. Ia pasti mempunyai perhitungan tersendiri"
"Biarlah mereka menjadikan dirinya penjahat kecil yang mengotori daerah Singasari. Kesatria Putih pasti akan datang mencarinya"
"Seperti beberapa orang prajurit itu" Mereka dimusnakan oleh Kesatria Putih"
"Cecurut-cecurut yang tidak berarti itu. Kita telah salah hitung. Tetapi kali ini hamba akan berhati-hati. Jebakan ini harus mengena. Kalau tidak, kita memang akan menjumpai kesulitan. Tetapi betapapun kuatnya Kesatria Putih, tetapi seorang diri ia tidak akan dapat mengalahkan orang itu beserta beberapa orang muridnya. Apalagi dendam yang ada didalam dirinya kita hembus semakin besar"
Tohjaya merenung sejenak. Namun kemudian ia berkata, "Terserah kepada ayahanda. Aku tidak dapat mengambil kesimpulan"
Gurunya menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Aku tidak yakin kalau ayahanda memperkenankan"
"Mungkin ayahanda tidak menghendaki kematian Kesatria Putih. Meskipun ayah hendak menyingkirkannya, tetapi bukan membunuhnya"
Penasehat Sri Rajasa itu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia masih belum mengatakan, bahwa Anusapati bukan saudara Tohjaya. Sama sekali bukan, karena mereka tidak seayah dan tidak seibu"
Sejenak keduanya saling berdiam diri. Sebenarnya bagi Tohjaya, Anusapati memang lebih baik disingkirkan sama sekali, bukan saja dari kedudukannya sebagai Putera Mahkota, tetapi untuk seterusnya, sehingga ia tidak akan dapat mengganggunya lagi kapanpun juga.
"Tetapi aku kira ayahanda bersikap lain" berkata Tohjaya didalam hatinya, "apalagi setelah ayahanda tahu, bahwa Kesatria Putih adalah kakanda Anusapati. Bagaimanapun juga kematian kakanda Kesatria Putih akan sangat berpengaruh pada pemerintahan Singasari kelak. Ayahanda pasti akan terpaksa ikut berduka karena ibunda Permaisuri berduka, meskipun seandainya kematian Kesatria Putih itu dikehendaki oleh ayahanda. Setelah itu maka untuk mengangkat seorang Putera Mahkota pasti akan menimbulkan persoalan tersendiri pula. Aku yakin bahwa ayahanda akan memilih aku. Tetapi adalah sulit sekali untuk menembus ketentuan yang berlaku, bahwa Putera Mahkota adalah putera seorang Permaisuri"
Tohjaya menarik nafas dalam-dalam.
"Kematian itu dapat ditempuh" berkata Tohjaya pula didalam hatinya, "ayahanda adalah seorang Maharaja yang berkuasa. Kata-katanya adalah ketentuan yang tidak dapat dibantah mengatasi segala ketentuan yang sudah ada. Selagi ayahanda masih ada, tidak akan ada seorangpun yang berani menentang keputusannya"
Namun segera terlintas dikepalanya, wajah seorang Senapati Singasari yang tidak ada duanya, yang bersama-sama Sri Rajasa telah mengalahkan Kediri. Mahisa Agni.
"Orang itulah yang seharusnya disingkirkan" geram Tohjaya tiba-tiba.
"Siapa tuanku" " gurunya itu bertanya.
"O" Tohjaya baru sadar, bahwa ia sedang dihanyutkan oleh angan-angannya.
"Siapakah yang seharusnya disingkirkan tuanku?"
Tohjaya menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, "Semua rencana rusak oleh pamanda Mahisa Agni"
"Ya tuanku. Ternyata Mahisa Agni adalah seorang yang bukan saja memiliki ilmu kanuragan yang mumpuni, tetapi ia memiliki kemampuan berpikir yang tidak terduga-duga. Anak padesan itu hampir berhasil merusakkan seluruh rencana tuanku Sri Rajasa. Karena itu, kita harus bersikap lebih keras lagi. Ayahanda tuan memilih jalan yang paling lembut untuk mencapai maksudnya. Namun ternyata Mahisa Agni adalah seorang yang sangat licik"
"Kau nasehatkan kepada ayahanda. Jika mungkin mengambil jalan kekerasan meskipun ayahanda pernah tidak menyetujuinya. Tetapi saat itu, jalan masih terbuka dan ayahanda masih belum mengetahui betapa licik lawannya"
"Hamba akan mencoba. Tetapi sebelum ayahanda memutuskan, kita memang tidak akan dapat berbuat apa-apa" berkata gurunya.
"Aku menunggu, meskipun aku hampir tidak sabar"
Demikianlah guru Tohjaya yang juga menjadi penasehat Sri Rajasa itu mencoba untuk mendorong Sri Rajasa mempergunakan kekarasan didalam usahanya menyingkirkan Kesatria Putih.
"Kau memang bodoh sekali" berkata Sri Rajasa, "apakah kau masih belum jera atas kegagalanmu itu?"
"Tetapi kali ini jalan kita lebih lapang tuanku. Kesatria Putih adalah musuh setiap penjahat. Jika terjadi sesuatu atas Kesatria Putih, maka tidak seorangpun yang dapat dituntut. Berbeda dengan Putera Mahkota didalam sebuah pasukan. Hamba memang terlampau tergesa-gesa waktu itu"
"Bagaimana dengan Tohjaya?"
"Tuanku Tohjaya hampir tidak sabar menunggu"
"Apakah kau mengatakan kepadanya, siapakah Anusapati sebenarnya dan hubungan antara kedua anak-anak itu"
"Tidak tuanku" "Kau tidak berdusta?"
"Tidak tuanku" Sri Rajasa justru terdiam. Tiba-tiba saja ia merenung. "Bagaimanakah pendapat tuanku?" bertanya penasehatnya.
Sri Rajasa tidak segera menjawab. Tetapi yang terlintas di angan-angannya justru persoalan yang sama sekali menyimpang dari pertanyaan penasehatnya.
Tohjaya sampai hati menjatuhkan pilihan, menyingkirkan Anusapati. Bukan karena Sri Rajasa terlampau sayang kepada Anusapati tetapi ia sedang merenungi watak puteranya. Apalagi karena Tohjaya tidak tahu, hubungan yang sebenarnya antara ia dan Anusapati itu.
"Seharusnya ia menganggap Anusapati sebagai kakaknya. Dan ia sampai hati untuk melenyapkan kakaknya itu" berkata Sri Rajasa diadalam hatinya. Sekilas terbayang segala macam tingkah lakunya semasa ia masih muda. Petualangan, kejahatan, bahkan pembunuhan dan perkosaan telah dilakukannya. Apakah sifat dan watak itu menurun kepada puteranya"Ditambah dengan sifat-sifat Ken Umang yang tamak dan sombong"
Ken Arok yang bergelar Sri Rajasa itu memejamkan matanya. Dan bayangan-angan itu justru menjadi semakin jelas. Terlintas dalam angan-angannya itu, bagaimana ia menemukan Ken Umang dihutan perburuan. Bagaimana gadis itu menjeratnya dengan menyerahkan dirinya sendiri.
Gabungan dari sifat-sifat yang hitam itu kini tampak pada puteranya.
"Apakah anak-anakku yang lain juga bersifat seperti itu?" ia bertanya kepada diri sendiri. Tetapi suatu kenyataan bahwa Mahisa Wonga Teleng, memiliki sifat-sifat yang lain dari Tohjaya, justru karena ia lahir dari ibu yang lain.
"Apakah sifat itu menurun ataukah justru karena tuntunan yang diterimanya dari ibunyalah yang salah?" bertanya Ken Arok kepada dirinya sendiri pula.
Ternyata pertanyaan-pertanyaan itu telah membuat Ken Arok yang bergelar Sri Rajasa itu menjadi termangu-mangu. Kesadaran tentang tingkah lakunya dimasa mudanya, membuat ia kini bersedih atas kelakuan puteranya.
Namun tiba-tiba terbayang dendam yang membara di wajah Anusapati. Seakan-akan wajah itu memancarkan sorot mata Tunggal Ametung. Karena itu maka sambil menggeretakkan giginya Sri Rajasa menggeram didalam dadanya, "Ia harus dibunuh"
Saat-saat yang demikian menegangkan, membuat Sri Rajasa bagaikan kehilangan akal. Rasa-rasanya ia berada didalam suatu keadaan sesaat sebelum ia menghunjamkan kerisnya didada mPu Gandring dan juga didada Akuwu Tunggul Ametung. Ragu-ragu, bimbang dan segala macam perasaan bercampur-baur.
"Semuanya sudah terlanjur. Aku sudah mengorbankan, beberapa nyawa dan orang-orang yang terlalu baik kepadaku. Sekarang korban yang jatuh itu tidak boleh sia-sia, keturunan Ken Arok yang bergelar Sri Rajasa Batara Sang Amurwabumilah yang harus berkuasa di Singasari" katanya kepada diri sendiri.
Penasehatnya masih duduk sambil menundukkan kepalanya dihadapannya ia menunggu dengan sabar, keptutusan yang akan diambil oleh Ssi Rajasa tentang Anusapati.
Namun tiba-tiba saja Sri Rajasa itu berkata, "kita selesaikan dahulu Mahisa Agni. Itu adalah sumber kegagalan-kegagalanku menghadapi Anusapati. Setelah Mahisa Agni lenyap, kita akan dapat berbuat apa saja"
Penasehat menjadi tegang sejenak. Ia tidak menduga bahwa Mahisa Agni yang menjadi pusat perhatian Sri Rajasa.
"Kematian Mahisa Agni tidak akan banyak menimbulkan persoalan padaku. Aku tidak akan dibingungkan tentang jabatan Putera Mahkota untuk sementara, sebelum aku menemukan jalan. Dan kesalahan atas kematian Mahisa Agni dapat aku bebankan kepada orang-orang Kediri. Ternyata mereka telah membunuh wakil Mahkota di Kediri"
Penasehat Sri Rajasa itu menarik nafas dalam-dalam, "Soalnya, apakah orang yang kau katakan mempunyai kemampuan untuk melakukannya" Aku kira Mahisa Agni tidak akan menduga bahwa hal serupa itu dapat terjadi atasnya. Orang-orang itu harus memasuki istananya tanpa diketahui oleh para penjaga. Mereka harus menyerang Mahisa Agni dengan serta merta. Jangan hanya satu dua orang. Ambillah tiga atau empat orang yang setingkat. Aku dapat memberikan apa saja yang diminta. Hanya dengan demikian Mahisa Agni akan dapat terbunuh"
"Hamba tidak dapat mengatakannya tuanku. Apakah orang itu mampu mengalahkan Mahisa Agni"
"Jangan sendiri"
"Hamba juga belum tahu. apakah ada kawan-kawannya atau saudara-saudara seperguruannya yang dapat melakukannya"
"Cobalah, hubungi orang itu. Tetapi hati-hati supaya kau tidak terjerumus ketiang gantungan karena kesalahanmu"
Terasa sesuatu bergetar didada penasehat itu. Namun ia berkata, "Hamba tuanku. Hamba akan sangat berhati-hati"
"Jika kau temukan tiga atau empat orang, bawalah mereka kemari. Mereka harus menunjukkan kemampuan mereka. Aku akan menjajagi ilmu mereka langsung"
"Maksud tuanku"
"Aku akan mencoba melawan mereka seorang demi seorang. Baru aku dapat menentukan apakah mereka mampu melakukan tugas itu atau tidak, karena Mahisa Agni adalah seorang yang pilih tanding, hampir tidak ada duanya didunia ini"
"Hamba tuanku. Hamba mengerti"
"Nah, lakukanlah. Setelah itu baru aku akan menentukan sikap terhadap Anusapati. Kematian Anusapati pasti akan mempengaruhi perasaan Permaisuri dan pengaruhnya yang lain akan terasa sekali pada pemerintahan yang sedang berjalan di Singasari. Tetapi tidak demikian dengan Mahisa Agni. Meskipun ia akan diserahkan kembali kepada asalnya dengan upacara kebesaran salah seorang pemimpin tertinggi di Singasari, namun persoalannya akan segera selesai dan orang-orang Singasari dan Kediri akan segera melupakannya"
"Baiklah tuanku. Hamba mengerti tugas yang harus hamba lakukan"
"Kerjakan baik-baik. Jangan kau katakan lebih dahulu kepada Tohjaya. Aku sendirilah yang akan mengatakan kepadanya"
"Hamba tuanku. Hamba mengerti. Hamba mengerti" penasehat itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Nah, lakukanlah baik-baik. Jika kau sudah menemukan, bawalah mereka kemari. Didalam saat yang tepat, mereka akan pergi ke Kediri, sementara Anusapati harus diusahakan tetap berada di istana saat itu. Jika tidak, dan kebetulan sekali ia berada di Kediri, maka gabungan kekuatan keduanya benar-benar mencemaskan meskipun harus melawan tiga atau empat orang sekaligus"
"Hamba tuanku. Hamba mohon waktu sepekan. Hamba akan segera memberikan laporan tentang orang yang hamba katakan"
"Aku menunggu waktu yang kau katakan. Segala sesuatu harus kau bicarakah dahulu dengan aku. Kau mengerti" Jangan membuat rencana sendiri yang justru akan dapat menggagalkan semua rencana yang sudah tersusun"
"Hamba tuanku" penasehat itu mengangguk-angguk.
Sejenak kemudian maka iapun mohon diri. Bukan saja dari hadapan Sri Rajasa, tetapi ia mohon kesempatan sepekan untuk melakukan tugas itu, sehingga dalam waktu itu ia tidak akan berada di istana.
Demikianlah dengan gelisah Sri Rajasa menunggu kesempatan itu. Penasehat itu masih mohon diri pula, ketika ia siap meninggalkan istana dengan kudanya yang tegar.
Ketika kuda itu berlari keluar dari regol istana, sepasang mata mengikutinya dengan tajamnya. Mata seorang juru taman.
Sumekar menjadi curiga melihat kepergian orang itu. Menilik bekal yang dibawanya, yang tersangkut dipunggung kudanya pula, ia tidak hanya sekedar pergi keluar istana untuk beberapa saat. Tetapi ia pasti meninggalkan istana untuk beberapa hari.
"Kemana orang itu?" ia bertanya kepada diri sendiri. Tetapi tidak ada orang yang dapat menjadi tempat ia bertanya.
Namun karena ia mengetahui apa yang pernah dilakukan oleh orang itu atas Putera Mahkota, maka ia tidak dapat melepaskan perhatiannya kepada kepergiannya itu. Mungkin ia sedang merencanakan sesuatu untuk mencelakakan Putera Mahkota pula.
Karena itu, mau tidak mau, Sumekar harus menghubungi Anusapati dan memberi tahukan kepergian penasehat Sri Rajasa itu.
Pedang Pusaka Buntung 4 Anak Dan Kemenakan Karya Marah Rusli Pedang Medali Naga 4