Pencarian

Backstreet 2

Olga 05 Backstreet Bagian 2


Tak sadar mereka obral-obrol, jam sudah menunjukkan pukul dua belas. Papi pulang dari Bandung. Papi udah berharap bakal disambut dengan hidangan makanan lezat, karena kernaren ia udah telepon ke Mami agar jangan lupa sama ulang tahunnya.
Tapi gak taunya, kedatangan Papi disambut wajah-wajah memelas penuh penyesalan dari Mami, Olga, Fiona, dan Inka.
Mami buru-buru menceritakan kejadiannya.
"Terus kamu gak apa-apa, Ol"" tanya Papi.
Olga menggeleng lemah. "Tapi Papi tak usah kuatir, paling tidak Mami masih punya cadangan kue tarcis dan black forest untuk...," ucapan Mami terhenti karena tiba-tiba ia mencium bau sesuatu yang gosong. "ASTAGA! KUE TARCIS MAMI!"
Mami buru-buru berlarian ke dapur yang mengepulkan asap item.
Papi hanya geleng-geleng kepala.
5. BAZAR B-DAY WONDER WOMAN itu, eh sori, maksudnya mobil Wonder warna kuning itu meliuk-liuk lincah di antara jejeran mobil yang bejibun di Jalan Thamrin. Yang nyetir seorang cewek manis, dengan navigator yang gak kalah manis. Yang jelas navigator ini lebih manis ketimbang Wonder Woman, namanya Olga. Sedang cewek manis yang jadi pak sopir, namanya Wina.
Lho, tapi dua anak manis itu ngapain siang-siang begini udah ikutan ngantre di Jalan Thamrin saat matahari begitu panas memba
kar" Saat mereka masih mengenakan seragam SMA"
Wina keliatan serius di balik setirnya. Saking seriusnya sampe dia nggak ngeliat apa-apa lagi selain setir! Dia berusaha menyalip kendaraan-kendaraan di depannya. Sementara Olga sebagai navigator tidak bekerja dengan baik. Selagi Wina sibuk putar setir kanan-kiri dan mengatur posisi persneling, Olga malah enak-enakan mendengkur. Padahal lagunya Guns N' Roses membahana kenceng banget. Tentu, Wina jadi sebel ngeliat sobatnya seperti itu. Maka begitu sampai di tempat tujuan, Wina langsung menepuk bahu Olga keras-keras.
"Hoi, bangun! Udah sampe ni kita!" bentak Wina kejam.
Olga gelagepan. "A-apa, langsung nonton film Nikita""
"Guoblok! Makanya jangan tidur terus, dong!" maki Wina sewot.
Olga ngucek-ucek mata sebentar, lalu memandang Wina dengan tatapan bego.
"Hei, lo kesurupan, ya" Kita udah sampe, tau!" tukas Wina ketus.
"Sampe" Sampe mana""
"Lo tadi minta anterin ke mana""
"Ke MODE." "Lha, ya ini MODE itu. Ayo turun, jangan bengong begitu!"
Wina lompat dari mobilnya, dan ngegubrakin. pintu keras-keras, sampe Olga akhirnya terlontar keluar. Wina berharap supaya Olga langsung siuman. Eh, taunya di aspal itu Olga malah nerusin tidurnya.
"Olgaaa...!" jerit Wina kesel banget. "Sekali-sekali jadi orang jangan bego gitu kenapa, sih!"
Wina yang keselnya udah sampe ubun-ubun, dengan cuek bergegas melangkah ke kantor MODE. Tinggal Olga yang masih belon sadar ngucek-ucek matanya di aspal parkir yang cukup panas itu sendirian.
"Eh, Win... tunggu!" panggil Olga yang mulai ngeh.
Wina menoleh. Bibirnya cemberut. Mukanya berkerut. Dahinya berdenyut. Pantatnya kentut. He-hehe. Tapi nggak urung Wina nggak tega juga ngeliat Olga yang masih ngedeprok di aspal itu. Disambutnya uluran tangan Olga itu lalu dilepas lagi. Olga ngegubrak lagi. Wina ketawa. Hihihihi. Olga misuh-misuh. Wina mengajaknya masuk kantor MODE bareng-bareng.
MODE saat itu lagi ngerayain ulang tahunnya yang kelima. Dan dalam rangka memeriahkan ulang tahunnya, MODE punya ide bikin acara Warung Pekik. Dalam acara itu akan dibuka stan-stan yang menjual aneka produk dari zaman baheula sampe zaman kuda gigit besi. Dalam kesempatan itu bakal digelar juga berbagai acara gila-gilaan sampe yang sinting-sintingan, yang bakal membuat para pengunjungnya terpekik-pekik! Kalo para pengunjungnya nggak terpekik-pekik, MODE juga telah membentuk panitia yang siap ngagetin pengunjung yang dateng. Yang pasti liap pengunjung kudu terpekik! Selain itu ada juga lomba-lomba menarik seperti lomba lama-lamaan digantung di pohon pinang, dan lomba dilelepin di kolam ikan yang banyak ikan piranha-nya.
Dan tujuan Olga ke MODE sebetulnya cuma mo beli karcis supaya bisa ikutan di acara yang so pasti menarik itu. Tapi begitu ketemu Mbak Threes, buntut-buntutnya Olga malah diminta buka, stan sendiri. Karena kebetulan Mbak Threes salah satu penggemar Olga di Radio Ga Ga.
"Eh, kamu Olga, ya"" tanya Mbak Threes waktu itu.
"Iya!" jawab Olga pendek.
"Yang penyiar di Radio Ga Ga""
"Iya !" "Wah, kebetulan kalo gitu."
"Lho, kok kebetulan""
"Yee, daripada kesalahan! Eh, tapi gini, jangan bilang-bilang ya, saya ini sebenernya salah satu penggemar kamu."
"Oh, penggemar saya, toh. Tapi kenapa nggak boleh bilang-bilang""
"Bukan gitu, soalnya saya di sini kan pimpinan. "
"O, pimpinan. Pimpinan apaan""
"Pimpinannya bawahan. Nah, gimana kalo kamu ikutan buka stan sendiri di acara Warung Pekik ini" Saya kasih gratis, tapi stan-nya harus menarik dan kreatif, ya!" tawar Mbak Threes kemudian.
"Tapi saya ke sini cuma mo beli karcis, Mbak!"
"Alaa, soal karcis gampang, deh. Nanti saya kasih, deh. Mau ya buka stan sendiri" Mau, kan""
"Oke, deh!" jawab Olga setengah ragu-ragu.
Mbak Threes tersenyum. Manis sekali.
"Jangan lupa ya bikin stan yang menarik dan bisa bikin kaget. orang. Kalo bisa besok kamu bilang ke saya apa rencananya. Kan tinggal sedikit hari lagi!" tukas Mbak Threes sekali lagi waktu Olga mau buru-buru pergi.
Olga mengangguk. Dari kejauhan Wina memanggil-manggil Olga dengan klakson mobilnya.
Malamnya Olga dan Wina langsung bekerja keras
merancang strategi, sambil mikir materi yang bakal digelar di stan-nya.
"Ini kesempatan emas, Win, makanya kita harus bikin sesuatu yang menarik," tukas Olga sungguh-sungguh.
Wina mengangguk pelan. "Kamu ada ide"" tanya Olga kemudian.
"Nggak!" Tak! Olga langsung ngejitak kepala Wina. "Kebiasaan! Kalo ditanya bukan mikir dulu, pasti langsung bilang nggak!" semprot Olga keki.
Wina cuma tersenyum kecut.
"Pokoknya gini, Win, materi yang kita jual di stan kita harus memenuhi syarat sebagai berikut: kreatif, menarik, unik, menggelitik, dan memekik!"
"Kalo gitu kamu teriak-teriak aja kayak orang India, bisa menarik dan bikin orang terpekik, tuh!" usul Wina.
Pak! Sekali lagi Olga menepuk kepala Wina.
"Nggak lucu!" bentak Olga.
"Abis apa dong""
"Ya, makanya cari."
Olga kembali mikir. Wina juga ikut-ikutan mikir di pojokan. Keningnya berkerut-kerut. Sesekali Olga ngelirik ke arah Wina yang nampak serius.
"Udah dapet, Win"" tanya Olga iseng.
"Belon, tuh," jawab Wina tanpa membagi perhatiannya ke Olga.
Olga tersenyum kecut. Tapi nggak lama kemudian Wina menjerit histeris.
"Hiaaa!!!" Olga langsung melambung beberapa senti.
"Wina! Apa-apaan si lo bikin kaget orang""
"Gue dapet ide, Ol!" jawab Wina masib histeris.
"Ide apaan""
"Gimana kalo kita buka stan ramalan nasib" Nih gue dapet ide dari sini. Remaja kan pada suka diramal, suka ngebaca nasib lewat bintang. Rubrik ini kan jadi rubrik yang paling demen dibaca, meski gak bisa dipercaya!" tukas Wina seraya menyodorkan rubrik bintang MODE ke arah Olga.
Olga terjelepak ke belakang, dan buru-buru meraup MODE dari tangan Wina.
"Sebentar gue pertimbangin!" kata Olga kemudian.
Sementara jidat Olga mulai berkerut-kerut, tanda lagi berpikir keras.
Wina menunggu dengan harap-harap cemas. Dan nggak lama kemudian Olga menjerit histeris sampe Wina melambung beberapa senti.
"Winnaa...!" teriak Olga.
"Apaaa...!" jawab Wina dengan teriakan nggak kalah keras.
"Ide lo bagus. Bisa diterima!"
"Iya, tapi jangan bikin orang kaget, dong!"
"Tadi juga lo bikin orang kaget. Jadi samaan!"
*** Olga ternyata nggak segera ngelaporin rencananya ke Mbak Threes. Ulah Olga tentu aja bikin Mbak Threes nyangka kalo Olga batal ikutan buka stan. Tapi sehari sebelum acara Warung Pekik digelar, sekonyong-konyong Olga dan Wina nongol di MODE lengkap dengan senyum bajingnya. Olga langsung konfirmasi ke Mbak Threes kalo dia jadi ikutan.
"Ah, kirain kamu nggak jadi ikutan, Ol!" tukas Mbak Threes.
"Wah, ya jadi dong, Mbak, masa nggak, sih!"
"Terus kamu mo jualan apa nanti"" tanya Mbak Threes akhirnya.
Olga memandang ke arah Wina. Wina membalasnya dengan senyum. Lalu Olga mendekat ke arah Mbak Threes buat membisikkan sesuatu. Mbak Threes begitu dapat bisikan dari Olga, langsung ketawa cekikikan.
"Lucu ya, Mbak"" tanya Olga demi ngeliat reaksi Mbak Threes yang ketawa-tawa.
Olga merasa bangga. "Nggak. Geli," jawab Mbak Threes cuek.
"Ih, kirain..." Olga dan Wina nampak kecewa.
Sedang Mbak Threes senyum-senyum sendirian. "Tapi bukan berarti ide kamu nggak hebat. Mbak malah salut sama ide kamu. Abis unik, sih!"
Ucapan Mbak Threes segera melegakan perasaan Olga dan Wina. Kedua anak itu pun semangat lagi.
"Kalo gitu sampe besok, deh, Mbak!" kata Olga menutup pembicaraan.
Dan esoknya, pukul delapan pagi, ketika acara Warung Pekik digelar, ternyata Olga dan Wina belon nongol. di stan-nya. Boro-boro nongol, tu stan malah belum didekor kayak yang lain-lainnya. Mbak Threes yang sempetin ngontrol jadi stress juga.
"Aduh, tu anak pada ke mana!" Mbak Threes mengungkapan rasa khawatirnya. Dan rasa khawatir Mbak Threes memang beralasan. Sebab sampe pukul seblas, Olga dan Wina ternyata belum juga nongol. Baru pada pukul setengah dua, ketika acara lagi rame-ramenya, Olga dan Wina nongol dengan senyum bajingnya. Mbak Threes cuma bisa geleng-geleng kepala.
"Sori, Mbak Threes, abis kita pada sibuk nyari aksesori dan perlengkapan dekor!" Olga coba kasih alasan.
"Lha, mestinya kamu kan bisa cari jauh-jauh hari. Tapi sudahlah, cepet kamu dekor stanmu!" Mbak Threes lalu pergi meninggalkan Olga dan Wina.
Se peninggal Mbak Threes, Olga dan Wina buru-buru menghias stan mereka dengan gambar tengkorak. Di bagian depan nggak lupa Olga memasang karton dengan tulisan: OLGA, dukun ramal. Meramal nasib Anda. Gratis. Ditanggung nasib Anda jadi tambah ruwet. Sedang di bagian dalamnya Olga juga memasang berbagai aksesori yang mengerikan. Seperti tengkorak kepala manusia, hio, pedang sepanjang satu meter, patung Asmat, dan bola kristal berwarna putih yang ditaruh di meja. Tapi selain itu ada juga kotak sumbangan sukarela bertuliskan: Yang nyumbang cepek ditanggung benjol.
Olga sendiri dandannya udab kayak dukun beneran. Mengenakan jubah hitam. Dan mukanya juga ditutupi cadar hitam. Sedang Wina yang bertugas mencari klien, tetap berpenampilan umum. Kecuali bahwa Wina keliatan lebih kece, soalnya tampangnya udah dipoles abis dengan bedak tujuh merek.
Dan Olga masih sibuk mengutak-atik lampu warna merah, kuning, ijo yang dipasang dekat bola kristal ketika Wina bengak-bengok dari arah luar.
"Udah siap belon, Ol" Kayaknya udah ada orang yang mulai tertarik ama stan kita nih!"
"Belon, Win. Dikit lagi. Tapi ngomong-ngomong siapa yang tertarik""
"Seorang ibu dengan lima anaknya!"
"Kalo gitu suruh tunggu aja dulu."
Olga terus berkemas-kemas, sampe akhirnya apa yang dibayangkan terwujud. Sebuah stan dengan interior bersuasana magis.
Olga tersenyum puas. Lalu keluar sebentar buat ngasih tau Wina kalo dia udah siap tempur. Sebentar kemudian Olga udah duduk di pojokan, di hadapan bola kristalnya. Sementara di luar Wina mulai teriak-teriak mencari mangsa.
"Ayo para pengunjung Warung Pekik, datanglah ke kita punya stan. Ditanggung sip. Kita bisa meramal nasib Anda, atau jodoh Anda. Mau minta kode SDSB juga bisa. Dukunnya hebat. Baru turun dari gunung. Gunung Sahari. O ya, buat para pelajar, ada ramalan khusus mengenai soal-soal yang bakal keluar dalam ulangan. Makanya, datanglah ke kita punya stan. Coba. Sekali coba pasti disuka, dan pasti nasib Anda bakal lebih ruwet kalo masuk ke stan kita," teriak Wina bercuap-cuap.
Ternyata stan Olga dan Wina memang stan yang lain dari yang lain. Bentuk interiornya yang unik dan syerem ditambah teriakan-teriakan Wina yang merayu, membuat para pengunjung Warung Pekik langsung tertarik. Beberapa pengunjung berkerumun di stan Olga dan Wina. Wina lalu menyeret salah seorang dari mereka. Semula orang itu ragu-ragu, tapi akhirnya pasrah. Sesampai di dalam orang itu rada kaget juga ngeliat penampilan Olga yang mirip nenek sihir.
"Astaga!" gumamnya.
"Nggak apa-apa, kok. Nggak nggigit, masuk aja!" dorong Wina seraya menendang pantat orang itu. Orang itu pun masuk dengan terpaksa. Belum sempat orang itu berpikir, tiba-tiba Olga sudah bergumam dengan bahasa yang susah dimengerti,
"Ierese, menekete, marihe jihe-jihe, emangnye kite kenape... "
Orang itu melongo. "Tangan kirinya, saya mau liat," ujar Olga meyakinkan.
Dengan ragu-ragu orang itu menyodorkan tangan kirinya. Olga segera memegangnya, dan memeriksa garis-garis di telapak tangannya. Orang itu memperhatikan tingkah Olga dengan bingung.
Olga geleng-geleng kepala.
"Kenapa"" tanya orang itu cemas.
"Ah, nggak kenapa-napa. Tangan situ ternyata bersih juga, ya! Sering dicuci, ya""
"Lalu gimana dengan nasib saya""
"Nasib situ" Tunggu, kita serahin aja sama lampu wasiat ini. Liat ya, kalo nyalanya kuning berarti situ harus waspada. Kalo nyetir mobil jangan ngebut. Kalo nyebrang jalan di jembatan jangan sambil merem. Atau naik pohon jambu nggak usah pake sendal jepit. Coba liatin lampunya," pinta Olga.
Orang itu mengikuti perintah Olga dengan sungguh-sungguh. Olga lalu mencet tombol yang ada di dekat kakinya dengan jempol kaki.
"Saya rasa, lampu kuning yang nyala. Itu tandanya situ harus ati-ati!"
Orang itu nggak berkedip memperhatikan lampu. Betul juga, yang nyala ternyata lampu kuning.
"Wah, kok tepat sih dugaannya""
"Ya, namanya aja dukun sakti!" ujar Olga nyombong. Tapi dalam hati Olga cekikikan.
"Terus, apa lagi, Dukun sakti""
"Ng... situ orangnya pemarah, ya"" jawab Olga yakin.
"Ah, enggak." "Kalo ditimpuk""
"Oh, iya, ya..."
Olga kembali te kun membaca rajah tangan tu orang.
"Kamu pendiem sekali."
"Ah, masa'""
"...kalo lagi tidur..."
Sementara itu dari luar Wina ngasih isyarat ke Olga kalo ada orang yang mau masuk lagi. Olga yang paham isyarat Wina, lalu buru-buru menyudahi ramalannya.
"Eh, udah ya ramalannya, kasian yang lain nunggu. Tapi sebelum pergi, isi dulu nih kotak sumbangan!" usir Olga sambil menyodorkan kotak sumbangan ke arah pasiennya.
"Wah, katanya gratis."
"Katanya, tapi nyatanya kan tidak!" balas Olga.
Dengan berat hati orang itu memasukkan duit ke dalam kotak, lalu keluar sambil menggerutu.
Pada pasien berikutnya Olga langsung nuduh.
"Kamu sering nonton RCTI, ya""
"Wah, kok situ tau, sih"" 'ujar si pasien bersemangat.
"Ya, soalnya kan acara RCTI bagus-bagus dibanding TVRI." Olga lalu cengingisan. Buntut-buntutnya Olga malah nanyain khabarnya Mc-Gyver.
"Kok Mbah tau kalo saya suka McGyver""
"Ya, soalnya Mbah juga suka," jawab Olga. "Eh, situ non ton nggak episode yang minggu kemaren" Gimana sih, ceritanya" Gue gak sempet, nih!"
Si pasien cuma melongo. Dan mereka malah asyik ngomongin McGyver. Sampe akhirnya Olga nyodorin kotak sumbangan, baru pasien itu sadar. Pasien berikutnya ternyata seorang pelajar yang minta ramalan khusus ten tang jawaban soal-soal ulangan Biologi.
"Kapan ulangannya"" tanya Olga.
"Besok!" "Udah belajar""
"Belon!" Olga manggut-manggut. Lalu memeriksa garis tangan si pasien sambil membaca mantera yang nggak jelas.
Sejenak Olga tersenyum begitu selesai dengan manteranya. Si pasien juga ikut-ikutan tersenyum.
"Gimana, Wak Dukun"" tanyanya.
"Menurut garis tangan lo, kalo lo mau tau jawaban ulangan Biologi besok, sekarang lo mesti buru-buru pulang dan belajar."
"Pasien berikutnya!" teriak Olga keras tanpa memperhatikan pasien yang ada di depannya supaya masukin uang sumbangan di kotak. Pasien 'berikutnya muncul. Ternyata seorang cowok kece.
Kayak si Johnny Depp. Olga begitu ngeliat langsung melambung beberapa senti.
"Eh... ng... coba liat tangan kamu," pinta Olga gugup.
Si cowok menyodorkan tangannya, yang segera diterima Olga. Olga langsung mengelus-elusnya dengan mesra.
Cowok kece itu bengong. "Lalu gimana dengan perjalanan nasib saya, nih"" ujar cowok itu membuyarkan lamunan Olga.
Olga terkejut. "Eh, oh, ng... menurut garis tangan situ sih, kayaknya akhir bulan ini kamu jangan pergi ke mana-mana dulu."
"Wah, kenapa" Apa kalo saya bepergian dari rumah pada hari itu bakal dapet celaka""
"Nggak, kok. Soalnya pada hari itu saya mau maen-maen ke rumah situ. Boleh, kan""
Cowok itu langsung nyengir, dan ngeloyor tanpa nyemplungin duit ke kotak sumbangan.
"Tapi nasib Anda bakalan buruk, Dik!" ujar Olga buru-buru sebelum cowok itu pergi.
"Oya" Kenapa"""
"Soalnya situ belum masukin duit sumbangan!"
Cowok itu menjulurkan lidah.
Olga menghela napas. Fiuh. Lalu berdiri sejenak buat meluruskan pinggangnya.
"Wina, apa masih ada yang berminat"" teriaknya.
"Ada, Ol, bapak-bapak!" jawab Wina.
"Aduh, kalo gitu lo aja deh yang jadi dukun," tolak Olga.
"Olga, jangan gitu, dong. Dia udah nafsu banget, nih!"
"Kalo gitu suruh dia masuk!" Olga akhirnya pasrah. Dan Olga begitu kaget ketika yang masuk ternyata seorang bapak dengan perut yang gendut banget.. Tampangnya nggak jelas, mana idung, mana mata, mana bibir, dan mana dengkul. Tapi Olga menyuruh bapak itu duduk di hadapannya.
"Apa keluhannya, Pak""
"Aduh, Wak Dukun, tolong saya, dong. Saya punya anak lima semuanya masih kecil-kecil. Yang paling bontot sakit keras. Yang paling tua udah tiga bulan ini nunggak SPP. Mana kontrakan saya mo abis. Mana mertua saya yang di udik minta kiriman. Istri saya juga lagi hamil, dan kayaknya sebentar lagi ngelahirin. Tolong saya, dong Wak Dukun!" ratap bapak itu.
Olga melongo. *** Penyelenggaraan Warung Pekik yang direncanakan selama dua hari berakhir sudah. Olga dan Wina nampak kelelahan di stan-nya. Menjelang acara penutupan pada pukul sembilan nanti, kedua anak itu keliatan girang betul dengan usahanya.
Ya, biar badan rasanya capek, tapi setelah diitung-itung duit yang terkumpul di kotak sumbangan lumayan ju
ga. Cukup buat beli cendol setempayan. Olga dan Wina melakukan toast buat kesuksesannya. Sementara itu acara penutupan sudah berlangsung beberapa saat. Olga dan Wina baru aja mau mengemasi barang-barangnya, ketika dari arah panggung tempat acara penutupan berlangsung namanya disebut-sebut.
"Ya, juara untuk stan paling cerewet, paling berantakan, dan paling nyebelin, direbut oleh stan-nya Olga dan Wina. Untuk ini mereka berhak mendapatkan hadiah selusin ember buat nyuci!" teriak protokol lewat mik.
Olga melongo. Wina menatap Olga dengan tatapan bego. Keduanya lalu berteriak keras sekali. Mereka seneng juga dapat hadiah, walau dituding sebagai stan paling brengsek oleh panitia. Apalagi waktu Mbak Threes tiba-tiba muncul, dan memberi selamat kepada mereka berdua.
"Selamat ya, taon depan ikutan lagi, ya!" tawar Mbak Threes.
Olga dan Wina cuma tersenyum.
6. SERENADA NATAL SABAN menjelang Natal dan Taon Baru suasana Radio Ga Ga selalu keliatan lebih meriah dari biasanya. Kemeriahan itu bukan cuma terletak di ruang kerja Mbak Vera yang dipasangi pohon cemara kecil dengan lampu wama-warni yang berkelap-kelip, tapi juga di wajab anak-anak yang berstatus karyawan Radio Ga Ga. Nggak ketinggalan Mas Darmo, si pembantu umum Radio Ga Ga yang berkumis bak pisang ambon. Belakangan ini, setiap kali ngepel, setiap kali itu pula dari mulutnya meluncur senandung White Christmas atau jingle Bells. dalam ketukan empat perempat dibagi empat, alms fals. Apalagi suka-suka Mas Daro brsenndungnya sembari makan kerupuk.
Tapi biar gitu suasana Radio Ga Ga betul-betul meriah. Ada kesan romantik dan menggelitik yang bikin perasaan seperti dikitik-kitik pake bulu itik. Maklumlah, Natal dan Taon Baru kan merupakan momen menarik di mana kita akan memasuki kehidupan baru, sambil berharap-harap semoga di taon yang baru itu kita akan lebih sukses lagi. Tapi sebetulnya bukan itu yang bikin tampang anak-anak jadi pada ceria ria, melainkan soal bonus yang biasa diberikan Radio Ga Ga tiap tutup buku di akhir taon. Bonusnya sendiri belon ada tanda-tanda akan dikasih, tapi demi mengingat pasti dikasih, sebab biasanya juga begitu, anak-anak pun girang. Dan kayak biasanya, anak-anak, pun udah punya rencana yang indah-indah dengan bonus itu. Ada yang mo liburan di Puncak, ada yang mo beliin kado buat pacar.
"Saya mau belikan istri kain baru sekaligus ngelunasin duit kontrakan, tapi kenapa bonusnya nggak dikasih-kasih, ya"" ujar Mas Darmo harap-harap cemas.
Diding Zunaeding, dari bagian pembantu umum juga, yang diajak bicara, nanggapin.
"Bentar lagi kali, Dar, biasanya kan lima hari sebelon Natal," tukas Diding sok tabah.
Dan Mas Darmo dan Diding masih terlibat pembicaraan serius ketika Olga muncul dari arah depan dengan baju basah kuyup. Hari menjelang sore. Di luar memang lagi turun hujan deras. Anak-anak Ra'dio Ga Ga yang lain juga masih asyik ngerumpiin soal bonus di ruang istirahat. Beberapa yang belon rapi, masih tenggelam dengan kerjaannya. Edmond, penyiar baru yang kece, masih asyik cuap-cuap di kotak siaran dengan ditemani Waldi sebagai operator. Tapi karena Olga masuknya sambil mengibas-ngibas rambut yang basah, anak-anak yang lagi asyik ngerumpi jadi kocar-kacir. Terutama Bowo yang langsung ketularan basah, karena paling deket dengan Olga.
Anak-anak misuh-misuh, tapi Olga cuma cengengesan.
"Sableng lo, Ol!" maki Sandra kesel.
"Susah senang kita bagi sama-sama, San. Namanya juga temen," balas Olga sambil tersenyum.
Bowo langsung ngejitak pala Olga.
"Eh, tapi ada apa nih pada ngumpul-ngumpul"" tanya Olga kemudian setelah mengusap-usap kepalanya. "Apa ada gosip menarik""
"Kita lagi ngerumpiin soal bonus yang belon dikasih-kasih," jawab Bowo sambil ngajak Olga duduk.
"Lho, emangnya kenapa, kok pada bingung keliatannya" Nlar juga dikasih. Sabar aja dulu," kata Olga sok bijak.
"Bukan gitu, Ol, saya kan ikutan Natal. Tentunya saya perlu biaya agar Natal saya jadi meriah!" sambar Sandra.
"Biar saya nggak ikutan Natal, tapi saya kan perlu biaya juga buat ngebahagiain pacar saya di malam Taon Baru. Saya udah janji ngebeliin dia gaun yang harga
nya di atas dua ratus ribu!" timpal Ucup nyombong.
"Alah, Ucup, siapa sih pacar lo" Kalo cuma pembantu tetangga sebelah sih, nggak usah dibeliin gaun seharga dua ratus ribu," tangkis Olga dengan mencibirkan bibirnya.
Ucup keki berat. Dan berusaha ngejitak pala Olga. Untung Olga cepat mengelak. Olga buru-buru meninggalkan Ucup, dan merapat ke Sandra.
Di luar ujan masih turun deras. Pukul lima sore. Karyawan dari bagian administrasi yang seharusnya udah boleh pulang, terpaksa ikutan ngerumpi di ruang istirahat karena takut basab kuyup. Suasana ruang istirahat jadi tambah riuh rendah. Olga menyelinap keluar buat. mempersiapkan bahan-bahan siaran. Di kotak siaran Edmond baru aja menyelesaikan tugasnya. Selesai merapikan kertas-kertas script, Edmond langsung keluar, dan berpapasan dengan Olga yang siap masuk kotak siaran.
"Hai, Olga!" sapa Edmond sambil melontarkan senyum manisnya.
Olga ngebales dengan penuh minat. Hatinya berbunga-bunga. Sampe di meja siaran, di pelupuk mata Olga masih terbayang senyum manis Edmond.
"Anak itu emang kece," batin Olga.
"Kamu baik-baik aja kan, Ol"" sapa Waldi ngagetin. Olga tergeragap dari lamunannya.
"O-o ke, Di, yuk kita mulai!"
*** Olga nggak salah. Edmond yang penyiar baru di Radio Ga Ga emang kece. Penampilannya mengingatkan Olga sama Keanu Reeves, yang maen film Point Break.
Dasar nggak boleh liat jidat licin, sejak pertama kali ketemu, Olga udah naksir berat. Tapi dasar cewek, ada aja muna-nya. Olga pura-pura nggak niat, waktu suatu hari dateng ke Radio Ga Ga buat siaran, Bowo memperkenalkannya.
"Kenalin nih, Ol, Edmond. Anak baru!"
"O ya!" Olga menanggapi biasa-biasa aja, walau perasaannya sempat tercekat ngeliat senyum manis Edmond.
Edmond menjabat tangan Olga. Hati Olga berdesir ketika menerima tangan Edmond. Sepeninggal Edmond, Olga langsung tanya-tanya penuh selidik pada Bowo.
"Siapa sih dia, Wo"" Olga menowel pundak Bowo.
"Penyiar baru di sini."
"Maksud gue, latar belakangnya."
"Ya, sebetulnya dia rada nggak tepat dibilang penyiar. Soalnya dia cuma ngasuh acara-acara tertentu yang berhuhungan dengan psikologi remaja. Misalnya konsultasi seks dan cinta. Maklum, dia itu psikolog, Ol. Dulu, katanya, waktu masih mahasiswa, aktif sebagai peragawan. Di sini dia cuma kerja part-time. Kerja tetapnya di Rumah Sakit Carolus. Selain itu ia juga buka praktek sendiri sebagai konsultan kejiwaan," Bowo berkata panjang lebar.
"Tapi orangnya masih muda ya, Wo."
"Dibanding Ucup, emang tuaan Ucup ke mana-mana. Lulusnya aja baru. Eh, tapi kayaknya lo serius banget, Ol. Naksir, ya""
"A-ah, siapa bilang" Gue kan cuma tanya." Olga gelagapan.
Bowo tersenyum penuh arti. "Ntar gue salamin, deh."
"Bowo, apa-apaan sih lo."
"Jadi, nggak usah""
"Buat apa lo repot-repot begitu, kalo gue sendiri juga bisa!"
"Ah, dasar ganjen lo!" umpat Bowo.
Olga tertawa berderai. *** Olga keluar dari kotak siara. Acara. KMKT (Kamu Minta Kita Tolak) baru aja selesai dipandunya. Waldi merentangkan badannya. Ngendorin urat-urat yang pada tegang. Hujan masih turun deras. Di ruang istirahat, anak-anak masih asyik ngerumpiin soal bonus. Malah obrolannya makin meriah aja. Kadang-kadang diselingi dengan saling ngejitak, saling tabok. Anak-anak radio becandanya emang suka barbar begitu.
Olga menuruni tangga. Tapi sebelum memasuki ruang istirahat buat ngegabung sama anak-anak, Edmond terlebih dahulu menghadangnya.
"Olga...," sapa Edmond ragu-ragu.
Olga kaget. "O, Mas Edmond, ada apa" Kok belon pulang" Takut keujanan, ya""
"Saya sengaja nunggu kamu, Ol."
"Nunggu saya" Ada apa" Mau minta traktir somai""
"Kalo kamu bersedia pulang bareng. Kebetulan saya bawa mobil."
Olga betul-betul nggak nyangka apa yang dibilang Edmond.
"Bener, nih"" tanya Olga ragu-ragu.
Edmond mengangguk. Olga ragu, tapi tetap ngikut waktu Edmond menarik tangannya buru-buru, melalui anak-anak radio yang lagi pada kanibal. Sejenak anak-anak radio itu menghentikan kegiatannya. Mereka menoleh ke arah Edmond dan Olga yang bergandengan tangan.
Di Twin Cam yang berlari slow dalam tebar hujan, banyak yang bikin Olga heran. Sikap Edmond
nggak biasa-biasanya. Biasanya pendiem. Malah terkesan cuek. Kalo selesai siaran, dia langsung pulang. Nggak pernah dia ngegabung sama temen-temen buat ngobrol yang memang nggak ada gunanya itu. Selama kenal Edmond, belon pernah rasanya Olga bisa ngobrol lebih dari sepuluh menit dengannya. Ah, itu kan karena Edmond sibuk. Akhirnya anak-anak maklum. Juga Olga yang emang udah lama simpati sama Edmond.
Tapi kini Olga malah bisa menikmati jalan-jalan dengan Edmond. Apalagi ternyata Edmond pinter ngocol juga. Nggak kaku kayak biasanya. Olga sampe heran.
Hujan belon juga abis ketika Edmond membelokkan Twin Cam-nya ke Ponderosa. Cuaca mulai gelap.
"Kita makan dulu ya, Ol!" tawar Edmond.
Olga nggak langsung bisa ngejawab, soalnya masih bengong diajak ke restoran yang mewah itu. Restoran tempat Olga kencan sama Andi pas Valentine kemaren.


Olga 05 Backstreet di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kita makan dulu ya, Ol. Kamu laper, kan"" tawar Edmond lagi dengan suara lembut.
Olga mengangguk gugup. Seorang anak kecil berlari ke arah Edmond dan Olga dengan sebuah payung. Edmond menuntun Olga masuk.
*** Awalnya adalah itu. Tapi meski Olga bersikap biasa, anak-anak radio jadi tau kalo belakangan Olga makin lengket sama Edmond.
Ucup yang paling rese dalam soal ini. Perjaka tua itu tentu aja cemburu. "Kapan nih nyebar-nyebar undangan" Jangan ampe keburu 'tek-dung' duluan, lho!" sindir Ucup kejam.
Olga jelas sewot. "Eh tua bangka gila, sirik aja sih, lo. Kalo lo udah kegatelan, kenapa nggak lo aja yang kawin duluan," tangkis Olga galak.
"Wah, marah. Ini berarti dugaan saya nggak meleset, dong."
Itulah Ucup, dasar kurang ajar, semakin Olga marah ternyata dia makin demen ngeledekin. Apalagi, kali ini, anak-anak suka ngasih spirit ke Ucup. Olga jadi betul-betul terpojok. Olga akhirnya cuma bisa berlalu bak kafilah, sementara Ucup terus-terusan menggonggong.
Seiringan dengan itu suasana di Radio Ga Ga mulai memanas. Keceriaan yang semula masih tampak, perlahan-lahan sirna. Sebabnya apalagi kalo bukan soal bonus. Karena empat hari menjelang Natal, bonus itu belon nongol-nongol juga.
Olga sendiri nggak terlalu ngerasain soal itu. Karena kebutuhan Olga beda sama kebutuhan anak-anak lain yang rata-rata udah berkeluarga. Lagian Olga lagi lengket sama Edmond. Sehingga segalanya jadi tampak indah.
Waktu anak-anak asyik ngerumpiin soal, bonus yang tertunda, Olga cuek. Sampe anak-anak pada
sirik. Olga dianggap nggak solider. Mentang-mentang. Yang bikin anak-anak makin panas, boleh jadi lantaran nggak ada penjelasan apa-apa dari pimpinan. Mbak Vera yang biasanya begitu bijaksana, kali ini pun terasa begitu tertutup. Mbak Vera selalu berusaha menghindari anak-anak. Kayaknya emang ada yang nggak beres. Wajab Mbak Vera keliahatan kusut dan bingung. Sementara kesibukannya juga jadi bertambah-tambah.
*** Malam Minggu itu rumah Olga kedatangan seorang. Mami dan Papi kebetulan lagi ngobrol akrab di ruang tengah sambil nonton TV. Begitu bel berdering, Mami dan Papi saling bertatapan.
"Buka pintu tuh, Pi, mungkin yang dateng tamu buat Papi."
"Kamu aja yang buka, Mi, mungkin itu tamu buat Mami."
"Papi aja, deh!"
"Mami aja, deh!"
"Aduh, Papi ini gimana sih, buka pintu aja males""
"Mami juga gimana sih..."
Tu kan, baru aja dibilang akrab, tau-tau udah mau ribut lagi. Tapi untung keributan nggak jadi berlangsung, karena Papi keburu ngalah demi ngeliat mata Mami udah mendelik merah, kuning, ijo.
Papi bergegas ke arah pintu. Membukanya.
Edmond tersenyum manis. "Selamat malam, Oom."
"Cari siapa, ya"" tanya Papi spontan.
"Apa bisa ketemu Olga, Oom" Kami ada janji malam ini," jawab Edmond simpatik.
Papi mendehem, dan mempersilakan Edmond masuk.
"Siapa, Pi"" tanya Mami.
"Panggil Olga, Mi."
Mami melirik ke arah Edmond yang mengangguk ramah, lalu berteriak memanggil Olga. Olga segera muncul sebelum panggilan yang kedua. Mami terperangah. Papi juga ikut-ikutan kaget begitu ngeliat dandanan Olga yang menor.
"Baru lagi, ya, Ol"" sindir Papi.
Olga menggeolkan pantatnya. Tapi Papi dan Mami nggak sempat ngomong apa-apa lagi, karena Olga keburu minta diri.
"Pi, Mi, Olga pergi dulu ya sama Mas E
dmond." Kali ini ternyata Papi dan Mami nggak kuasa menolak perminlaan Olga. Mungkin karena terhipnotis oleh penampilan Edmond yang berwibawa dan sopan.
Dan malam itu Olga begitu bahagia bisa pergi bareng Edmond. Sepanjang perjalanan Olga merasakan kesejukan mengguyur hatinya. Perjalanan ke Plaza Indonesia pun jadi terkesan begitu singkat.
Edmond ngebukain pintu mobil buat Olga. Lagi-Iagi Olga terpesona. Ah, Edmond emang betul-betul galan. Olga betul-betul merasa diperlakukan istimewa. Rasanya belon pernah Olga ketemu cowok sebaik dia. Rasanya belon pernah Olga suka sama cowok seperti rasa suka Olga terhadap Edmond. Banyak hal menarik pada diri Edmond. Intelektualitasnya, penampilannya, kesopanannya.
Plaza Indonesia malam itu sangat meriah. Suasana Taon Baru yang masih beberapa hari lagi mulai terasa. Ampir semua toko dihias dengan lampu warna-warni yang bertuliskan Selamat Nalal dan Tahun Baru. Edmond mengajak Olga memasuki sebuah butik, dan menyuruh Olga memilih gaun yang disukainya. Olga menatap Edmond dengan pandangan ragu.
"Ambillah, Ol. Anggap aja sebagai hadiah tahun baru, sekalian merayakan perkenalan kita."
"Kok"" "Ayo, dong, Ol."
Olga langsung memilih sebuah gaun berwarna pink, dengan model yang baru ia liat di majalah Vogue. Edmond membayarnya dengan VISA. Sementara itu Olga terpekik kaget, karena sekonyong-konyong bahunya ditepak dari belakang.
"Winaaa!" pekik Olga kaget.
"Naaa... ketauan sekarang lo, ya. Pantes kalo di telepon nggak pernah ada, pantes nggak pernah kontak gue lagi, ternyata lagi sibuk sama gacoan baru. Katanya mo setia sama Andi. Kok..."
"Wina.... pelan-pelan kek, " bisik Olga sambil mencubit tangan Wina. "Kan malu!"
"Alaah... sejak kapan lo kenal malu. Tapi ngomong-ngomong gacoan lo boleh juga."
"Winaaaa!" Wina mesem. Sementara Edmond selesai melakukan pembayaran.
"Eh, tapi siapa cowok yang di belakang lo tuh, Win"" kemudian Olga nyeletuk demi ngeliat seorang cowok berambut metal selalu mengikuti gerak-gerik Wina.
"Gila lo, emang lo doang yang bisa punya cowok"" jawab Wina galak.
Olga mesem. "O pantes, gue kalo nelepon lo nggak pernah ada. Rupanya itu penyebabnya."
Kini Wina yang mesem. Olga dan Wina terpaksa berpisah karena acara masing-masing. Setelah itu Edmond melarikan Olga ke Peacock.
*** Radio Ga Ga akhirnya meledak. Anak-anak tak mampu membendung emosinya lagi. Mereka mengadakan rapat gelap di ruang istirahat. Solusinya, mogok kerja.
"Pokoknya kita jangan mau ngelakuin aktivitas yang berhuhungan dengan kerjaan, kalo bonus itu belon keluar," teriak Ucup dengan semangatnya.
"Ya, abis kelewatan sih, Natal tinggal dua hari, tapi bonus belon juga ada tanda-tanda dikasih," timpal Sandra.
Mbak Vera tentu aja panik. Ah, orang sebijaksana dan setegar Mbak Vera ternyata bisa panik juga menghadapi keadaan itu.
Di ruang kerjanya Mbak Vera mondar-mandir tanpa juntrungan. Mas Ray juga ada di situ dalam posisi terduduk pasrah.
"Jadi gimana ini, Ver"" tukas Mas Ray yang di Radio Ga Ga termasuk dalam jajaran direksi.
"Situasinya betul-betul sulit. Tapi ini kesalahan kita juga."
"Apa nggak sebaiknya kamu bicara aja sama mereka. Mudah-mudahan mereka mau mengerti."
"Aku nggak punya muka buat ngomong ke mereka, Ray. Aku nggak nyangka rencana yang disusun masak-masak, justru berakibat menyengsarakan mereka."
"Sebetulnya kita bisa saja nggak peduli sama mereka, namanya juga bonus. Kan gak mesti tiap laun dikasih. Toh mereka nggak akan keluar dari Radio Ga Ga!"
"Ah, omonganmu sungguh nggak simpatik, Ray."
"Jadi gimana, dong""
"Ya kita harus menyelesaikan masalah ini."
"Apa kamu bisa" Mereka kayaknya sulit diajak kompromi."
"Saya mungkin bisa, tapi saya butuh bicara sama seseorang. Saya rasa dia bakal banyak ngebantu."
"Siapa"" "Olga!" Sore itu juga Mbak Vera menelepon Olga supaya dateng ke Radio Ga Ga. Olga yang lagi asyik bobo, gelagapan juga dapet undangan mendadak itu.
"Ada apa nih, Mbak Ver, kayaknya penting banget! "
"Penting banget, Ol, sebaiknya kamu cepet dateng."
Meski bingung, Olga buru-buru menghambur ke Radio Ga Ga. Dan suasana di Radio Ga Ga masih pana
s ketiga Olga sampe. Olga langsung masuk ke ruangan Mbak Vera, setelah matanya sia-sia mencari Edmond.
"Ada apa sih, Mbak Ver" Kok anak-anak pada rame gitu, sih"" tanya Olga begitu duduk di hadapan Mbak Vera.
"Itulah masalahnya, Ol. Mereka menuntut bonus," jawab Mbak Vera lesu.
Olga manggut-manggut. "Ya, mestinya mereka memang udah dapet, mengingal Natal tinggal dua hari lagi. Tapi itu kan soal keterlambatan, mestinya mereka nggak perlu segalak itu. Nanti juga dikasih kan, Mbak Ver""
"Ini yang bikin Mbak Ver bingung, Ol. Tapi ini kesalahan kami juga. Kamu tau kan, Ol, Radio Ga Ga adalah perusahaan keluarga."
"Apa Radio Ga Ga mengalami rugi, Mbak Ver""
"Justru sebaliknya, Ol. Radio Ga Ga dapat untung besar. Keuntungan itulah yang lalu membuat kami berpikir untuk memperluas usaha dengan membuka anak perusahaan baru. Sebuh production house yang nanti akan melibatkan tenaga-tenaga kreatif Radio Ga Ga juga. Dan kami merasa nggak perlu ngebuka kredit di bank. Akibatnya dana di Radio Ga Ga dialokasikan untuk membiayai perusahaan baru itu. Tapi perusahaan itu belum lagi jalan, sementara dana yang terserap udah terlalu banyak. Akibatnya sumber dana yang ada di Radio Ga Ga menipis. Selanjutnya..., ah kamu rasanya udah tau sendiri, Ol. Kami akhirnya bahkan kesulitan ngebayar gaji karyawan."
Olga terbengong. Suasana sunyi mencekam.
"Ol...," Mbak Vera ngomong lagi, tapi dengan suara lirih, "kalo boleh Mbak Ver minta tolong""
"Kalo saya bisa, Mbak Ver."
"Kamu bisa, Ol. Kamu orang yang vokal buat hal seperti ini."
"Maksud Mbak Ver""
"Mbak Ver minta kamu ngomong ke anak-anak tentang kesulitan yang dihadapi perusahaan. Mudah-mudahan mereka mau mengerti. Yang penting adalah cara pendekatannya. Rasanya kamu adalah orang yang tepat untuk itu, Ol."
"Mbak Ver jauh lebih baik.."
"Tapi Mbak Ver telanjur nggak ada muka lagi sama mereka, Ol! Itu makanya Mbak Ver selama ini selalu menghindar."
"Tetapi kurang bijaksana kalo cuma saya sendiri. Mbak Ver harus tetap tampil, dan saya akan mendukung Mbak Ver."
"Kalo itu yang terbaik, Ol!"
Dengan ditemani Olga, Mbak Vera akhirnya tampil juga di hadapan anak-anak menjelaskan semua persoalan. Tentu nggak gampang membujuk dan meyakinkan anak-anak. Tapi di situ peranan Olga nampak sekali. Dengan segala rayuan dan keluwesan sikapnya, Olga akhirnya berhasil menenteramkan anak-anak. Anak-anak memang akhirnya mau mengerti.
Mbak Vera menarik napas lega di ruang kerjanya. Ah, ternyata nggak ada persoalan sesulit apa pun yang nggak bisa diatasi.
"Makasih ya, Ol. Tanpa bantuanmu, mungkin segalanya bisa jadi runyam," desah Mbak Ver.
Olga tersenyum kecil. "Ah, biasa aja, Mbak Ver," tukas Olga setelah menggapai fanta merah di atas meja.
"O iya, Ol, malam Natal nanti kamu ada acara""
"Enggak. " "Kalo gitu nanti ikut Mbak Ver aja!"
"Ke mana, Mbak Ver""
"Ke rumah Edmond. Penyiar kita juga yang bawain acara. konsultasi psikologi remaja itu. Kamu pasti kenal dia, kan""
Olga tersentak. "Istri Edmond temen Mbak Ver waktu SMA dulu. Lewat dialah kenapa akhirnya Edmond bisa Mbak Ver ajak buat ngasuh acara di sini. Mintanya udah dari dulu, tapi dia selalu nolak. Sampe tau-tau Edmond dateng sendiri kira-kira sebulan lalu menyatakan kesediaannya buat ngebantu Mbak Ver. Tentu aja Mbak Ver girang banget. Dan biasanya tiap Natal gini, kita saling berkunjung, Ol. Ikut ya nanti!"
Olga bagai disambar geledek.
"Istrinya Edmond""
"Ya, kenapa" Kok kamu seperti kaget begitu, Ol""
"Ah nggak, nggak apa-apa kok." Olga berusaha menekan perasaannya.
Hati Olga langsung tak menentu. Ada seberkas cahaya mendung di matanya yang nggak ditangkap Mbak Vera. Ya, Mbak Vera memang nggak mengerti apa yang dialami Olga, Mbak Vera nggak pernah tau huhungan Olga dengan Edmond. Semua itu bisa saja terjadi, mengingat Mbak Vera belakangan ini selalu menutup diri. Apalagi Mbak Vera lebih banyak keluar buat mengurus perusahaan barunya itu.
*** Lilin menyala redup. Hanya ada beberapa orang di Ogawaya Restaurant itu. Olga duduk menghadapi Edmond dengan sorot mata murung.
"Saya juga nggak nyangka segalanya bisa bakal sejauh ini, O
l. Kalo saya salah, saya harap Olga mau memaafkan saya."
Olga mendesah. Edmond ragu-ragu melanjutkan omongannya.
"T-tapi saya punya alasan, Ol. Situasi rumah tangga saya berjalan kacau. Kami nggak bisa lagi menyatukan prinsip yang berbeda. Sudah tiga bulan belakangan ini kami nggak tinggal serumah. Januari nanti kami akan mengurus perceraian. Ya, dengan sangat terpaksa perkawinan itu tak lagi bisa kami pertahankan, meski udah ada seorang anak yang seharusnya bisa mengikat kami."
Olga menelan ludahnya. Tatapannya tajam ke arah Edmond. Edmond makin kikuk.
"Tapi percayalah, Ol, saya tak ada niatan sedikit pun mau mempermainkan kamu, walaupun saya nggak tau apakah semua itu lahir karena saya kesepian. Tapi apa yang saya lakukan terhadap Olga betul-betul keluar dari hati yang tulus. Saya butuh seseorang yang bisa menenteramkan hati saya. Saya merasa cocok denganmu, Ol."
Olga berusaha menahan emosinya.
"Apa yang Mas Edmond katakan mungkin betul. Tapi soalnya sekarang adalah Mas Edmond harus memperbaiki kemelut rumah tangga Mas Edmond. "
"Saya nggak ingin mencobanya. Rasanya percuma, Ol!"
"Segalanya bisa jadi percuma, jika nggak dilakukan dengan kesungguhan. Mas Edmond harus mencobanya. Rumah tangga Mas Edmond masih bisa diperbaiki. Apalagi Mas Edmond sudah punya seorang anak. Ayolah, ini momen yang pas, Mas Edmond. Natal tinggal sehari lagi. Apakah Mas Edmond nggak ingin merayakan Natal bersama keluarga tercinta""
"T-tapi..., Ol."
"Ayolah, Mas, demi saya. Saya hanya mau memaafkan Mas Edmond, jika Mas Edmond bisa mempertahankan perkawinan. Sekarang antar saya pulang... "
*** Natal yang meriah dan ramah. Bintang-bintang bertaburan di langit, meski sejak sore mendung membuat waswas. Mbak Ver menjemput Olga pergi ke rumah Edmond.
"Ayo, Ol, cepetan, tadi istri Edmond udah ngebel Mbak Ver. Mereka sangat menunggu kedatangan kita. Katanya, udah dimasakin makanan yang enak-enak."
"Tenang dikit, kek, Mbak Ver, saya kan mesti cari baju yang cocok dulu. Kalo dengar makanan enak, langsung deh nafsu rakusnya kumat."
Untung nggak lama Olga nyari baju yang cocok. Mereka lalu berangkat dengan tergesa. Sesampai di rumah Edmond, sambutan memang sangat meriah. Mbak Ver langsung sun-sunan dengan istri Edmond. Sedang Edmond dengan seorang anak kecil di gendongannya menghampiri Olga yang berdiri mematung. Dan berbisik, "Makasih, Ol, sikapmu telah menyelamatkan keluarga kami dari ambang kehancuran. Tanpa itu semua, entah apa jadinya."
Olga mengangguk. Tak terasa sebutir bening menetes di pipinya. Banyak orang yang ternyata bisa bijak untuk orang lain, tanpa bisa berbuat banyak buat dirinya sendiri. Tapi Olga tak pernah menyesal cintanya kandas jika itu untuk kebahagiaan orang lain.
Sedang di rumah, Mami dan Papi lagi asyik dua-duaan sambil denger lagu nostalgia....
7. WINA PADA setiap awal tahun, di hari pertama masuk sekolah, pasti semangat Olga juga masih kenceng. Lihat saja, pas pulang sekolah di hari pertama belajar itu, Olga masih bersiul-siul sambil tersenyum simpul. Melangkah ke luar pekarangan sekolah dengan segudang rencana. Ya, menurut ramalan di horoskop, tahun ini bintangnya bersinar terang. Ya, itu jelas. Soalnya pada pembagian rapot kemaren, tak disangka-sangka, Olga dapet ranking dua. IP-nya 7,9. Gile.
Masalah Edmond, masalah utang sama kantin sekolah, dan lain-Iainnya, udah minder ikutan mengisi pikirannya yang jernih. Pas ngambil rapot aja, maminya langsung berkomentar, "Mami makin yakin kalo bakat kamu ternyata gak nurunin Papi. Ranking dua, wah, sesuatu yang tak pernah papimu alami seumur hidupnya. Tapi meski begitu, Mami yakin, pasti kamu nurunin bakat salah satu dari kedua orangtuamu, kecuali Papi."
Olga cuma cengar-cengir, sambil idungnya kembang-kempis karena bangga.
Ibrohim, temen sekelasnya yang entah karena alasan apa selalu maksa minta dipanggil 'Bob', menyapa Olga di dekat lapangan pinggir jalan,
"Tumben pulang sendiri, Ol. Biasanya nebeng Wina."
"Wah, sejak pacaran sama anak metal yang rambutnya kayak ijuk itu, Wina sibuk. Enak dia, punya sopir pribadi, antar-jemput terus," ujar Olga sambil nye
nder di tiang listrik. Dia nunggu 'bi-je', alias bajaj. Dia percaya kok, bajaj pasti berlalu.
"Loh, Wonder kuningnya emang ke mana"" Bob ternyala masih bertanya-tanya soal Wina.
"Itu dia, Wonder kuningnya sekarang dibawa cowoknya terus. Iadi Wina kalo mau ke mana-mana baru dijemput," jelas Olga sambil ngelirik ke jam tangannya. Jamnya baru. Benetton. Hadiah dari Andi, cowoknya, karena ia dapet ranking. Makanya tiap detik, diliatin terus.
"Ooo." Kemudian Olga dan Bob diem.
"Ol, cerita-cerita, dong. Daripada bengong."
Olga menatap Bob. "Cerita""
"Iya." "Oke. Gini, Bob. Pada suatu hari ada seorang nenek yang tinggal berdua sama cucunya. Nah, cucunya ini kagak bisa bobo. Terus neneknya nanya, 'Cu, kenapa elo belon bobo, hah"' Maklum aja, Bob, neneknya anak metal. Terus cucunya jawab, 'Cucu baru mau bobo kalo Nenek dongengin dulu.' Ya udah, neneknya berdongeng-ria. Gini dongengnya. Pada suatu hari ada seorang nenek yang tinggal berdua sama cucunya. Nah, cucunya kagak bisa bobo. Terus neneknya nanya, 'Cu, kenapa elo belon bobo, hah"' Terus cucunya jawab, 'Cucu baru mau hobo kalo Nenek dongengin dulu.' Ya udah, neneknya berdongeng-ria. Gini dongengnya. Pada suatu hari... Oke, stop ceritanya. Itu, bi-je gue udah dateng. Daaaag!"
Olga langsung menytop bajaj, dan duduk di belakang. (Iya, dong, emangnya mau duduk di depan sama tukang bajaj" Dipangku, dooong!) Sedang Bob yang penasaran sama lanjutan cerita Olga, dengan gobloknya mengejar-ngejar bi-je yang dinaikin Olga, "Olll! Lanjutan kisahnya gimana""
"Lanjutin aja sendiri!!!" teriakan Olga bersaing keras dengan suara bajaj.
*** Olga lagi asyik main sepatu roda sore-sore, ketika ketemu Wina di tako kelontong. Wina sibuk nyari bi-je, sambil bawain belanjaan berupa susu, komet, dan makanan kucing.
"Hei, Win. Long time no see. Ke mana aja, lo"" sapa Olga sambil atret mendadak di depan Wina.
Wina sampe kaget. "Eh, Ol. Iya, nih, sampe kangen. Gimana liburan di Bandung-nya, Ol""
"Asyik. Saban malem ke SE: Hahahah..."
"Kalo gue malah kebalikannya, Ol!' timpal Wina. Sementara Olga sibuk mengamati keranjang belanjaan Wina kalo-kalo ada makanan yang bisa dipindahin ke mulutnya.
"Kebalikan gimana, Win"" Olga masih penasaran sambil sibuk ngelirik-lirik ke keranjang. Kok, isinya tetelan melulu"
"Ya ini, gara-gara gue pengen bisa maen sepatu roda kayak lo. Terus gue belajar rnati-matian. Hasilnya, gue malah jatoh nyungsep. Jari-jari gue pada patah."
"Terus gimana, Win""
"Gue berobat ke dokter, eh dokternya malah misuh-misuhin gue!"
"Lho, kok bisa gitu, Win"" ujar Olga sambil girang karena nemu cenil yang nyempil dengan centil di ujung keranjang.
"Iya, gara-garanya waktu dokter itu lagi berusaha ngobatin jari gue yang patah, gue nanya ke dia, 'Dokter apakah setelah jari saya sembuh, saya bisa main suling"' Dokter itu dengan yakinnya manggut-manggut sambil bilang bisa."
"Terus"" Olga berhasil nyolong kue cenil.
"Ya, terusnya gue ngomong lagi. Wah, ajaib banget dong, Dok, padahal kan sebelumnya saya nggak bisa main suling!"
Olga langsung ngakak. Kak-kak-kak.
"Aduh, Win, gue kangen ama becandaan lo yang kayak gini. Elo, sih. Mentang-mentang punya pacar, gak pernah maen sama gue lagi. Siapa namanya si anak metal itu"" .
"Felix." "Felix" Kok kayak nama kucing""
"Iya. Ini juga, gue kan beli makanan kucing. Gue dikasih kucing Siam ama Felix. Lucu banget, deh," jelas Wina panjang lebar.
"Kucing" Tumben lo seneng kucing" Biasanya lo kan pembenei binatang."
"Abis dari pacar, sih."
"Duile, segitunya. Pantesan sampe lo repot-repol belanja segala. Trus, kucing Siamnya lo kasih nama apa""
"Felix juga. Hihihi..."
"Gila, lo." Olga menelan kue cenilnya, "Eh, ngomong-ngomong, lo ke mana aja jarang masuk" Ditanyain, tuh."
Wina gak langsung ngejawab. Dia diem barang beberapa detik. "Kan belum belajar" Masih nyusun mata pelajaran""
"Iya, sih. Tapi kan bukan berarti lo gak masuk, dong. Gue kesepian, nih. Eh, mobil lo mana" Kok nungguin bi-je""
"Ng-anu, Ol. Eh, dipinjem Felix."
"Dipinjem Felix""
"Katanya mamanya sakit. Mo nganter ke rumah sakit. "
"0." Dan sejak saat itu, Olg a jadi ngerasa ada sesuatu yang lain di diri sobatnya. Saban pulang, tu anak suka ngilang duluan. Gak ketauan ke mana. Pertama-tama sih Olga sering ngeliat si Felix itu nganter-jemput pake Wonder-nya Wina. Tapi belakangan, Olga pernah mergokin Wina pulang naik taxi, naik bi-je, atau ber-bis-ria. Malangnya, Olga gak pernah bisa ngebarengin. Dan Wina kayaknya emang gak mau dibarengin.
Sebenernya sebel juga. Dulu-dulu kan waktu si Wina belon pacaran sama Felix, nasib Olga selalu terjamin. Bisa nebeng Wina pulang. Tapi sekarang" Boro-boro. Wina sibuk mulu. Yeah, tapi Olga maklum. Dia harus tau diri, dong. Masa mau selamanya ngandelin Wina terus. Wina kan butuh mengenyam kebahagiaannya sendiri. Ya, mungkin sekaranglah saatnya. Dua sahabat kan suatu waktu harus rela pisah, kalo salah satunya udah dapet jodoh. Seidup-semati. Ya, kayaknya Wina emang cinta mati sama Felix. Tentu aja, Felix keren banget. Kayak gitaris Extreme. Olga aja sempet terkesima waktu dikenalin. Tapi meski udah pernah kenalan, Olga gak tau banyak soal cowok yang hobi nge-band itu. Karena Winanya juga jarang cerita. Dan sekalinya tau, kabar buruk yang Olga terima.
Bermula ketika Olga untuk kesekian kalinya, ngeliat Wina lagi nguber-nguber bi-je sepulang sekolah. Olga yang udah lama pengen pulang bareng, ikut nguber-nguber Wina. So di siang bolong itu, Wina, Olga dan bi-je main uber-uberan.
"Win, tunggu!" teriak Olga ketika Wina udah berhasil nguber bi-je, dan siap-siap naik ke bi-je. Wina nampaknya gak peduliin Olga. Dia langsung nyuruh abang bi-je buru-buru pergi.
"Win, lo gimana, sih" Tunggu!" Olga menggebrak bi-jenya. Si abang kaget setengah mati.
"Ada apa, Ol" lo mau ngerebut bi-je gue"" suara Wina kedengeran lain di telinga Olga. Ya, soalnya campur deru bising si bi-je.
"Gue mo ngomong, sekalian nebeng," ujar Olga sambil menyuruh si abang tancap gas.
Bi-je melesat. Suaranya menderu-deru kayak pesawat tempur, tapi larinya gak lebih dari lima kilo per hari.
"Gue yakin, ada sesuatu yang gak beres sama lo. Ada apa, sih"" tanya Olga di sela deru bi-je.
"Apaan"" Wina gak denger.
"ADA APA DENGAN LO, WIN" ADA YANG GAK BERES"" Olga berusaha teriak sekuat tenaga. Ternyata, emang gak enak ngegosip dalam bi-je.
"Ah, enggak. Gak ada apa-apa."
"Apaan"" Giliran Olga yang budek.
"GAK ADA APA-APA, KOK!"
"Jangan gitu, dong, Win. Lo gak bisa ngebo'ongin gue. Kenapa sih belakangan ini lo menghindar dari gue" Terus, lo kok gak pernah bawa Wonder lo lagi" lo jatuh miskin" Digadein""
Wina gak ngejawab apa-apa. Entah karena gak denger, atau emang gak bisa ngejawab.
Hanya pas mau turun aja Wina bilang, "Ini masalah pribadi, Ol. Biar gue atasi sendiri. Soalnya gak ada yang bisa nolong gue selain gue sendiri. "
Olga gak bisa ngomong apa-apa. Ya, udah, putus Olga dalam hati. Ia pun mulai sibuk ngerencanain mau jalan-jalan malem Minggu nanti sama Andi.
Tapi dasar Wina, sorenya ia malah dateng ke rumah Olga. Matanya sembap. Olga yang saat itu lagi ngerjain Papi pake sumpit isi kacang ijo, jadi terkejut.
"Ol, gue mo cerita."
Olga langsung ngajak Wina ngamar. Tampang Wina saat itu kayak tampang orang yang lagi hadir ke pemakaman. Sedih banget.
"Apa perlu gue siapin saputangan dan ember dulu"" kata Olga penuh simpati.
"Tak usah. Nangisnya udah kok ladi, di rumah seharian. Sekarang tinggal cerita ke elo," ujar Wina sedih.
Olga langsung serius dengerin.
"Ol, gue mo minta tolong sama elo. Soalnya cuma elo yang mau nolong gue. Selama ini emang gue gak cerita soal Felix ke elo. Soalnya, gue takut lo bakal ngelarang gue pacaran sama anak gak bener kayak gitu. Gue tau, dia suka nyimeng, Ol. Temennya kaco-kaco. Tapi saat itu dia kayaknya sayang banget sama gue, dan gue jadi yakin dia mau nurut apa yang gue nasihatin. Dan gue mentok banget sama dia. Gue mau memperbaiki dia, Ol. Niat gue baik, kan, Ol"" .
Olga mengangguk tanpa berkala sepatah pun.
"Tapi kok, dia tega, Ol" Gue baru sadar kalo gue tuh mencintai orang yang salah. Gue telah ngasih peluang yang besar buat dia untuk meraih segala-galanya. Sebenernya, sejak dia suka marah-marah, suka keliatan aslinya, gue nyad
ar kalo dia tuh gak sepenuh hati sama gue. Tapi semua kesadaran itu ketutup ama cinta buta gue, Ol. Aduh, gue sukaaaa banget sama dia..."
Olga makin serius, "Maksud lo ngasih peluang untuk dia meraih segalanya, apa, Win""
"Bukan. Gak usah ngeres. Bukan yang itu. Tapi, gue ngebebasin dia minjem bo'il gue dibawa ke mana aja. Gue suka ngasih uang jajan ke dia, karena gue kasian dia suka gak punya duit..," ujar Wina sedih.
Olga menggeleng-geleng, "Ck, ck, ck, Winaaa... "
"Dan puncaknya, Ol, waktu gue tau kalo dia tuh dengan modal bo'il gue, terus melancarkan keplayboy-annya, Ol. Dia suka jalan sama cewek lain pake bo'il gue. Gue pernah nemuin bukti-bukti, kupon minum Fire di mobil, dan beberapa temen gue yang mergokin dia. Itulah, Ol. Kenapa gue sekarang kalo ke mana-mana harus naik bi-je. Pulang sekolah, belanja, main. Soalnya makin lama, dia makin keenakan. Males jemput sekolah dengan alasan macem-macem. Padahal tu anak main melulu. Bo'il dibawa dia..."
"Lo gak tegur dia""
"Kalo ditegur, galakan dia daripada gue. Males jadinya, berantem melulu."
Olga jadi geram, "Aduh, kok ada cowok kayak gitu" Terus nyokap lo gimana" Gak nanyain bo'il""
"Itu bisa gue atur, Ol. Gue bilang, di bengkel. Tapi, lo pasti benci sama gue, Ol. Karena biar gue tau dia suka jalan sama cewek lain, gue tetap sayang banget sama dia. Susah banget untuk ngebenerin dia. Apalagi kalo dia udah minta maaf. Wah, perasaan gue terharu banget. Tapi setelah itu, dia begitu lagi. Kalo gue minta anter ke Blok M aja, dia suka marah-marah. Katanya ada latihan band-lah, ada apalah. Pokoknya jarang mau. Gue rasanya gak terima diperlakukan seperi ini, Ol, tapi aduh, rasanya gue pengen nangis, Ol. Gue benciiii sekali sama gue yang lemah ini. Gue selalu bahagia, kalo tiba-tiba dia datang, nemuin gue di rumah atau janjian di mana, gitu. Gue merasa bahagia bisa menatap wajahnya. Matanya yang dalam. Tulang pipinya yang tegas. Tapi, terus gue harus kecewa... soalnya... kedatangannya cuma pengen diajak makan malam, atau minta tolong bensinnya diisi, atau keabisan uang saku... Oh, Olgaaa, gue bisa gila kalo begini..."
Wina langsung nangis sesunggrukan. Olga meluknya. Matanya panas membara. Hatinya terbakar. Ia marah, sobatnya diperlakukan seperti itu. Penjajahan kan sudah lama dihapuskan dari muka bumi ini. Tapi Olga berusaha menekan emosi, "Tenang, Win. Gue akan bantu elo..."
"Tolong gue, Ol. Bebasin gue dari dia..." Wina makin keras nangisnya.
*** Olga menatap Felix dengan garang. Sedang Wina berdiri sambil menunduk di belakang Olga. Felix dengan gaya cowok maskulin, duduk di kap mesin Wonder kuning. Kebetulan sekali saat itu Felix sudi ngejemput Wina ke sekolah. Mungkin lagi perlu uang saku. Olga punya kesempatan untuk ketemu.
"Gue udah tau tipe cowok kayak lo. Balikin bo'il Wina, dan lo boleh pergi selama-Iamanya. Jangan coba-coba temui Wina lagi.!"
Felix tergelak. "Aduh, lo makin manis aja kalo lagi melotot begitu. Win, lo kok gak bilang-bilang kalo lo juga punya temen yang manis" Galak, lagi."
Olga makin sewot, "Jangan kurang ajar, ya, Fel. Apa lo gak malu jadi parasit terus kayak gini""
"Apa maksud lo"" Felix tersinggung dikatain parasit.
"Maksud gue jelas. Kalo lo mau enak-enakan, lo harus usaha sendiri. Masa cowok nebeng cewek. Di mana lo mau taro muka lo""
Felix bangkit dengan emosi, dan mendorong Olga. Olga bales mendorong dengan kuat, sampe si Felix hampir jatuh. Felix kaget sama kenekatan cewek satu ini.
"Eh, cewek," ujar Felix dengan muka merah karena marah, "lo gak usah sok ikut campur urusan gue sama Wina, ya""
"Gue gak bakal ikut campur kalo gak disuruh Wina."
"Disuruh Wina""
"Ya, disuruh agar lo ngembaliin semua barang milik Wina, dan jangan temui Wina lagi," ujar Olga tegas.
Felix terdiam, lalu ketawa jelek, "Disuruh jangan temui Wina" Hahahaha..., bukan sebaliknya" Apa lo gak tau, kalo Wina-nya yang justru ngebet supaya gue ketemu dia""
Olga makin kesel, "Lo jangan kege-eran. Siapa yang ngebet pengen ketemu lo" Lo tanya aja sendiri ke Wina."
"Boleh," Felix tersenyum mantap, lalu melangkah ke arah Wina. "Hei, Wina. Lo yang nyuruh sup
aya gue jangan nemuin lo lagi""
Wina jadi kikuk. Matanya merah menahan tangis. Olga berdiri cemas menatap Wina. Sejenak Wina gak langsung menjawab. Ia bergantian menatap Felix dan Olga. Mata Felix menentang mata Wina.
Sejenak, perang batin berkecamuk di dada Wina. Mata Olga memberi dorongan kekuatan terhadap Wina.
Tiba-tiba suara Wina terdengar lantang, "Ya, pergi, pembohong! Kembaliin bo'il gue. Dan jangan nemuin gue lagil"
Felix terperanjat. Ia sama sekali gak nyangka. Sejenak terpaku.
"Tapi, Win..." "Nunggu apa lagi, lo" Minggat sana!" bentak Olga.
Dengan muka malu, ia melempar kunci mobil ke Wina, lalu ngambil beberapa kaset dan barangnya di mobil, dan bergegas pergi.
"He, tunggu!" teriak Wina. Olga rada kaget.
Felix juga. Ia berbalik menatap Wina. Wah, Wina
berubah pikiran"

Olga 05 Backstreet di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kaset Michael Jackson itu punya gue!" bentak Wina galak, sambil merebut salah satu kaset yang dibawa Felix.
Felix kaget. "Lho, ini kan gue yang beli, eh, lo yang beliin buat gue waktu itu..."
"Gak bisa! Punya gue!"
"Tap-tapi kan gue juga ikut nyumbang waktu itu..." Felix masih ngotot.
"Alaaah, cuma nyumbang seribu aja! Gue lima ribu. Nih, gue kembaliin yang seribunya!" ujar Wina melempar duit seribuan.
Olga ketawa ngakak. *** Dan pas Minggu Olga ke rumah Wina, ternyata Wina masih suka mikirin Felix. Wina emang thanx banget sama Olga yang udah nolongin memutuskan percintaan yang berat sebelah ini. Dan Wina mikir itu emang keputusan yang paling tepat, meski menyakitkan. Wina tadinya ngerasa akan bisa mengatasi segala-galanya. Akan bisa kembali normal lagi. Tapi ternyata enggak. Wina malah makin mencintai Felix. Makin suka kangen. Tapi pas kangen itu numpuk, dan Felix tak datang-datang, Wina meledak. Ia jadi benei setengah mati. Dan yang kena sasaran, jelas si 'Felix', kucing Siam pemberiannya itu. Wina jadi benci banget ngeliat kehadiran kucing itu. Kucing itu yang bikin ia inget sama tuannya. Dan akibatnya, kalo si Felix lagi enak-enak tidur di sofa, tiba-tiba Wina suka sirik dan menendangnya keras-keras. Sampe tu kucing mental ke halaman lewat jendela.
Nah, itu pemandangan yang dilihat Olga, ketika pertama ke rumah Wina. Seekor kucing Siam yang lucu melayang dari jendela rumah Olga. Olga kaget, dan buru-buru menangkap kucing itu. Gadis memang aneh, batin Olga sambil menggendong-gendong si Felix ke dalam.
"Kenapa kamu, Win"" kata Olga cemas sambil mengelus-elus si kudng Siam yang ketakutan. Tampang Wina kusut banget.
"Lo bener, Ol. Gue emang gak suka binatang," ujar Wina ketus.
"Katanya udah berubah...," goda Olga.
"Iya, tapi kucing itu manja banget. Makanannya harus spesial. Susu, kornet, belum lagi suka menempel-nempel di kaki, belum lagi suka pipis seenaknya, belum lagi suka mencakar-cakar karpet, belum lagi..."
"Ah, dulu lo gak bilang begitu, Win. Dan lo sendiri yang dulu ngebiasain dia bermanja-manja. Kalo dari dulu lo kasih ikan asin, dia pasti mau ikan asin."
"Ah, pokoknya gue benci banget sama si Felix!" teriak Wina.
Olga cuma geleng-geleng. Kalo lagi angot begini, ia gak bisa berbuat apa-apa. Olga pun yang jadinya mo minta dianterin beli sepatu kets, jadi urung. Lebih baik beli sendiri. Lagian, gak enak jalan-jalan sama orang yang lagi patah hati.
Olga melangkah keluar, dan melirik ke garasi. Ha, Wonder kuningnya udah ngejogrok di situ lagi.
Lima meter dari situ, terdengar jeritan kucing yang dipukul pake sapu, "MIAOOOW!" Olga cuma menggeleng-geleng.
Dan nasib si kucing sepeninggal Olga, memang malang. Dia ibarat tinggal sama ibu tiri nan kejam. Dulu, ke mana-mana, si Felix kan biasa ngikutin Wina untuk minta dielus-elus. Tapi kini ditendang terus. Si Felix jadi gak abis pikir. Apa yang terjadi dengan 'nona' -nya ini" Dan kekejaman paling sadis, ketika Wina dengan teganya melempar dia dari kamar tingkat dua, ketika si Felix mengikuti Wina yang mo nyepi di loteng. Pas mendarat di rumput (ya, untung di rumput, jadi rada empuk), si Felix jadi sesak napas. Doi gak bisa bergerak barang beberapa jenak. Stress. Tapi setelah dikumpulkan kekuatannya, Felix bisa jalan lagi. Dan doi masih penasaran, karena perasaan du
lu si Wina ini sayang banget sama dia. Kok sekarang enggak.
Tapi hasilnya" Usaha pertama, buntut Felix yang panjang dipegang dan diputar-putar, lalu dilempar ke udara. Terus, usaha kedua, buntut Felix' diiket kaleng susu, kaleng kerupuk, panci, sampe gardu pas hansip, hingga si Felix lari panik ke sana kemari dengan segudang benda aneh terikat di buntutnya. Usaha ketiga, dia dimasukin ke mesin cuci, dan dicemplungkan ke sumur.
Nah, pas mau usaha keempat, Felix baru nyadar bahwa ia sesungguhnya dibenci. Masa-masa indah telah berlalu. Felix sedih. Tapi kucing Siam ini cukup cerdas mikir, pasti ada sesuatu yang gak beres dengan Wina. Pasti bukan maksud Wina jahat sama dia. Dan itu memang terbukti, waktu si Felix mengintip dari jendela ke kamar Wina. Wina lagi nangis sesunggrukan. Sedih banget tampangnya. Si Felix terharu. Ia menggosok-gosokan bulunya yang lebat ke tirai kamar Wina. Tampangnya ikutan sedih.
Sejak saat itu, meski gak berani dekat-dekat, si Felix selalu menemani kala Wina termenung di loteng. Kala Wina melamun di teras. Kala Wina jalan-jalan di taman bunga mamanya di halaman belakang. Si Felix selalu menemani. Ia mulai ngerti kesedihan nonanya.
Suatu hari di Minggu pagi, ketika Wina baru selesai keramas, dan sibuk mengeringkan rambut dengan handuk, bel rumahnya berbunyi. Mama dan papanya lagi nginep di Puncak. Wina pun dengan males menuju ke ruang depan, dan mem- buka gerendel pintu.
Pembalasan Nyoman Dwipa 1 Memburu Iblis Lanjutan Pendekar Penyebar Maut Karya Sriwidjono Para Ksatria Penjaga Majapahit 23
^