Pencarian

Para Ksatria Penjaga Majapahit 23

Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana Bagian 23


muda. Langkah mereka terlihat begitu ringan dan penuh
rasa percaya diri yang amat tinggi.
Ternyata tiga orang lelaki itu adalah Ki Pasunggrigis,
Ki Anupati dan Putu Risang yang akan menemui Raja
Bali di sekitar Gunung Batur.
Meski jalan di hutan itu mendaki, ketiganya terlihat
tidak begitu kepayahan melangkah dengan begitu
ringannya, sebagai pertanda ilmu meringankan tubuh
mereka memang nyaris sudah mendekati sempurna.
Bau tanah subur dan dedaunan yang lapuk sekali-kali
tercium oleh hidung ketiga orang itu manakala angin
berhembus perlahan. Nampaknya sinar matahari
memang tidak mampu menembus tanah hutan karena
terhalang pepohonan yang sangat kerap dan lebat di
perbukitan hutan Kintamani itu. Dan kicau burung hutan
selalu mengiringi langkah mereka.
Terlihat ketiganya sudah semakin masuk lebih dalam
lagi di hutan yang selalu remang dan teduh itu. Hingga
akhirnya mata ketiganya yang sudah sangat terlatih itu
telah melihat sepuluh orang yang sepertinya tengah
menunggu kedatangan mereka.
"Para penghuni hutan ini", berkata Ki Pasunggrigis
masih sambil tetap berjalan.
1637 Nampaknya Putu Risang dan Ki Anupati juga telah
melihat kesepuluh orang itu, para penghuni hutan
Kintamani yang sehari-hari berburu untuk kelangsungan
hidup mereka, bukan sebagai petani seperti umumnya
penduduk Balidwipa. Wajah dan penampilan kesepuluh orang itu sangat
lusuh dan kasar, sungguh sangat menakutkan dengan
wajah yang selalu penuh kecurigaan menatap dengan
tajamnya. "Berhenti!!!", berkata salah seorang
kesepuluh orang itu dengan begitu lantangnya.
diantara "Sejak kapan ada pelarangan memasuki wilayah hutn
ini", berkata Ki Pasunggrigis dengan suara lembut tidak
menunjukkan rasa takut sedikitpun.
"Jangan banyak bertanya, kami hanya menjalankan
perintah", berkata salah seorang diantara mereka dengan
suara sangat tegas sepertinya tidak dapat ditawar-tawar
lagi. "Perintah siapa?" berkata Ki Pasunggrigis masih
dengan suara sangat lembut.
Mendengar pertanyaan Ki Pasunggrigis, kesepuluh
orang itu saling berpandangan. Terlihat salah seorang
yang nampaknya sangat dituakan diantara mereka telah
menggelengkan kepalanya. "Tidak perlu bertanya perintah siapa, lekas pergi dan
tinggalkan hutan kami ini", berkata orang yang dituakan
itu. "Apakah kalian merasa pernah menanam seluruh
pepohonan di hutan ini hingga harus memaksa kami
keluar dari hutan ini?" berkata Ki Anupati dengan nada
suara tinggi tidak selembut Ki Pasunggrigis.
1638 "Hukum di hutan ini adalah aturan kami, jangan
membantah atau kalian akan menyesal", berkata salah
seorang yang dituakan itu.
"Kalian belum menjawab pertanyaan kami, siapa
yang memerintah kalian mengusir kami dari hutan ini",
berkata Ki Pasunggrigis masih dengan suara yang
lembut. "Benar, katakan saja. Apakah dari dewa hutan, dewa
langit atau dewa lautan", berkata Ki Anupati dengan nada
suara lebih tinggi dari sebelumnya.
Mendengar suara Ki Anupati yang sudah seperti tidak
sabaran itu telah membuat Putu Risang tidak dapat
menahan senyumnya. Ternyata senyum tertahan dari Putu Risang itu
terlihat oleh salah seorang yang dituakan diantara
kesepuluh orang itu dan menganggap sebuah
penghinaan bagi mereka. "Beri pelajaran kepada ketiga
orang ini !!!", berkata orang itu memberi perintah.
Serentak kesepuluh orang itu terlihat telah melepas
senjatanya berupa kapak dengan mata yang berkilat
tajam. Perlahan kesepuluh orang itu telah mengepung
musuh mereka sepertinya tidak menginginkan ketiganya
dapat lolos hidup-hidup dari hutan itu.
Melihat kepungan orang-orang kasar itu tidak
membuat Putu Risang, Ki Anupati dan Ki Pasunggrigis
menjadi gugup. Terlihat ketiganya hanya berdiri dengan
sangat tenang penuh rasa percaya diri yang amat tinggi.
"Enyahkan ketiga orang asing itu", berkata salah
seorang yang dituakan dri orang-orang kasar itu penuh
nada perintah. Serentak kesepuluh orang itu terlihat bergerak menerjang
1639 dengan kapak tajam ditangan mereka seperti tengah
mengepung tiga ekor kuda liar buruan mereka.
Namun kesepuluh orang itu tidak mengenal dengan
siapa mereka berhadapan. Entah dengan cara apa
kesepuluh orang itu terlihat terjungkal secara bersamaan.
Ternyata Putu Risang, Ki Anupati dan Ki Pasunggrigis
telah menurunkan sedikit tenaga sakti mereka lewat
tangan mereka yang bergerak amat cepat menghantam
para penyerang itu. Empat orang terlihat meringis rebah di tanah kotor
meresakan tulang rusuk mereka seakan remuk, enam
orang lagi duduk diatas tanah kotor sambil menutup
rapat-rapat mulut mereka dengan kedua tangan masingmasing, ternyata beberapa gigi mereka sompal dengan
sedikit darah keluar. "Aku dan dua kawanku ini masih bermurah hati
kepada kalian, jadi jangan mencoba kembali
menghadang perjalanan kami, atau kami akan membuat
kalian tidak bergerak selama-lamanya", berkata Putu
Risang kepada kesepuluh orang itu dengan suara penuh
ancaman. Terlihat kesepuluh orang itu hanya dapat
memandang ketiganya yang melangkah berjalan
menjauhi mereka, hilang terhalang kerimbunan hutan
yang lebat. Ki Pasunggrigis, Ki Anupati dan Putu Risang terlihat
terus berjalan di kedalaman hutan yang terlihat semakin
terjal mendaki. Ternyata kesepuluh orang yang menghadang mereka
bukan satu-satunya rintangan yang mencoba menghalangi perjalanan mereka. Karena ditengah
perjalanan mereka tercium sebuah wewangian yang
1640 sangat tajam menyengat. "Wangi kemenyan", berkata Ki Pasungrigis perlahan
kepada Putu Risang dan Ki Anupati.
"Berhati-hatilah, ada yang tengah menyebar gendam,
mencoba merusak akal dan pikiran kita", berkata Putu
Risang mencoba memberi peringatan kepada kedua
kawannya itu. Terlihat ketiganya dengan kekuatan tenaga sakti
yang mereka miliki telah meredam kekuatan yang
mencoba masuk mempengaruhi akal dan pikiran mereka.
Nampaknya gendam yang tersebar lewat asap
kemenyan itu tidak dapat mempengaruhi akal dan pikiran
ketiga orang sakti itu, terlihat ketiganya terus berjalan
seperti tidak merasakan apapun.
"Hebat, hebat, hebat!!!, baru kali ini kudapati ada
orang yang mampu meredam ajian perasuk sukmaku",
terdengar suara yang bergulung-gulung berputar sukar
ditemukan tempat dan sumber suaranya berasal.
"Ajian Tarumenyan hanya permainan anak-anak
kecil, jangan harap dapat mempengaruhi akal dan pikiran
kami", berkata Putu Risang sambil melepas ajian gelap
ngamparnya lewat suara yang dilontarkannya.
"Gila!!!" terdengar suara seseorang yang muncul tibatiba dari sebuah semak belukar sambil memegang
dadanya kuat-kuat. Ternyata lontaran suara yang dilepas oleh Putu
Risang lewat ajian gelap ngamparnya memang ditujukan
kepada seseorang yang diketahuinya bersembunyi di
sebuah semak belukar. "Nampaknya aku tidak dapat menahan perjalanan
kalian, silahkan melanjutkannya dan aku tidak akan
1641 mengganggu", berkata orang yang muncul tiba-tiba itu
yeng terlihat sudah begitu tua renta, lebih tua dari usia Ki
Pasunggrigis. Terlihat Ki Pasunggrigis berhenti sebentar ketika
dekat dengan orang tua renta itu.
"Apakah aku berhadapan dengan Ki Manju, ketua
adat hutan Kintamani ini?" berkata Ki Pasunggrigis
sambil memberi penghormatan dihadapan orang tua
yang sudah sepuh itu. "Bagaimana kamu dapat mengenal namaku?"
bertanya kakek tua itu kepada Ki Pasunggrigis penuh
rasa penasaran. "Nama Ki Manju sudah sangat dikenal di penjuru
Balidwipa ini, dan ajian Taru menyan hanya diwarisi oleh
seorang ketua adat Kintamani dan keturunannya",
berkata Ki Pasunggrigis kepada kakek tua itu yang
ternyata bernama Ki Manju, sesepuh yang sangat di
hormati di hutan Kintamani itu.
"Penglihatan dan pengetahuanmu sangat luas, aku
hanya sekedar melaksanakan perintah untuk menahan
orang asing masuk ke hutan ini", berkata Ki Manju
"Apakah kami boleh mengetahui, siap gerangan yang
memberi perintah kepada Ki Manju?" bertanya Ki
Pasunggrigis kepada Ki Manju.
"Perintah ini datang dari Baginda Raja Bali, Sri Ratna
Astasura Bumi Banten yang tengah mengasingkan diri
bersama keluarganya di sekitar lereng Gunung Batur",
berkata Ki Manju "Kami memeng bermaksud untuk datang mengunjungi Baginda Raja Bali, namun percayalah
bahwa kedatangan kami tidak bermaksud jahat atau
1642 mencelakai junjungan kita itu", berkata Ki Pasunggrigis
dengan suara penuh persahabatan.
"Ucapanmu sungguh amat bersahabat, bolehkah aku
mengenal dengan siapa gerangan aku berhadapan?"
berkata orang tua itu kepada Ki Pasunggrigis.
"Namaku adalah Ki Pasunggrigis", berkata Ki
Pasunggrigis memperkenalkan dirinya dan dua orang
kawan perjalanannya, Putu Risang dan Ki Anupati.
"Ternyata aku berhadapan dengan Mahapatih
Kerajaan Bali yang sangat perkasa, maafkan bila aku
telah menjual sedikit ilmu murahan di hadapan kalian",
berkata Ki Manju sambil memberi penghormatan.
Demikianlah, diiringi tatapan mata Ki Manju,
ketiganya telah melangkahkan kakinya terus berjalan
masuk ke pedalaman hutan Kintamani yang lebat, teduh
dan terus mendaki. Hingga akhirnya ketiganya dapat merasakan sudah
berada diatas sebuah perbukitan yang cukup tinggi
manakala melihat pepohonan yang tidak lagi mengurung
langkah kaki mereka. "Sungguh pemandangan yang sangat indah", berkata
Putu Risang sambil memandang sebuah danau besar
dibawah jurang didekatnya berjalan.
"Itulah Danau Batur yang memisahkan bukit
Kintamani dan Gunung Batur". Berkata Ki Pasunggrigis.
Namun pandangan mata ketiganya terbentur kesebuah
sosok tubuh yang tengah berdiri seperti tengah
menunggu kedatangan mereka bertiga.
Terlihat Ki Pasunggrigis tersenyum memandang
kearah orang itu, sepertinya sudah sangat mengenalnya.
"Sungguh perjalanan yang sangat melelahkan 1643 mendaki perbukitan ini, namun akhirnya terbalas rasa
penat kami manakala dapat diperjumpakan denganmu,
wahai sahabatku Ki Trunyam", berkata Ki Pasunggrigis
menyapa orang itu yang ternyata adalah Ki Trunyam.
"Selamat datang di tanah kelahiranku, wahai
sahabatku Ki Pasunggrigis", berkata Ki Trunyam
membalas sapaan Ki Pasunggrigis.
"Dibawah sana kami mendapatkan dua kali
penghadangan yang sungguh amat ketat, bila memang
kehadiran Ki Trunyam disini akan ikut sebagai barisan
penghadang, tentu kami akan mendapatkan sebuah
tantangan yang sungguh amat berat", berkata Ki
Pasunggrigis masih dengan suara yang lembut namun
tatapan matanya terlihat begitu tajam menyambar kearah
Ki Trunyam. Sejenak Ki Trunyam sempat merasakan hentakan di
dadanya manakala beradu pandang dengan Ki
Pasunggrigis sebagai pertanda bahwa orang tua yang
santun itu punya simpanan tenaga sakti yang sangat


Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tinggi, sukar diukur berada dimana puncaknya.
"Tugasku memang menjaga Baginda Raja Bali dan
keluarganya, namun aku bukan orang bodoh yang tidak
dapat melihat tingginya puncak gunung di hadapanku.
Siapa gerangan orang yang tidak mengenal Ki
Pasunggrigis", berkata Ki Trunyam dengan penuh rasa
penghormatan dihadapan Ki Pasunggrigis.
"Dari Padukuhan Tengkulak yang jauh, kami sengaja
datang ke bukit ini hanya untuk menjenguk keadaan
Baginda Raja Bali yang juga adalah muridku sendiri",
berkata Ki Pasunggrigis menyampaikan maksud dan
tujuan perjalanannya itu.
"Sia-sia bila aku berkeras menghalangi langkah Ki
1644 Pasunggrigis, lagi pula kehadiran Ki Pasunggrgis adalah
sebagai seorang guru dari Baginda Raja Sri Ratna
Astasura Bumi Banten. Namun bolehkah aku bertanya
apakah ada keperluan yang lain, selain kunjungan
seorang Guru kepada seorang muridnya?" bertanya Ki
Trunyam sambil matanya melirik ke arah Putu Risang
dan Ki Anupati yang memang sama sekali belum
dikenalnya itu. "Ini adalah sahabatku Putu Risang, sementara yang
ini adalah Anupati saudara kandungku. Kehadiran
mereka berdua hanya sebagai pengiring orang tua
sepertiku ini karena mataku sudah banyak lamurnya",
berkata Ki Paunggrigis seperti dapat membaca rasa
kecurigaan di hati Ki Trunyam.
"Maaf bila diriku terlalu waspada dn banyak bertanya
kepada Ki Pasunggrigis", berkata Ki Trunyam merasa
kurang enak hati. "Kamu telah melakukan tugasmu dengan penuh rasa
tanggung jawab", berkata Ki Pasunggrigis.
"Mari kuantar kalian menemui Baginda Raja Sri
Ratna Astasura Bumi Banten", berkata Ki Trunyam
kepada Ki Pasunggrigis. Maka terlihat ketiganya mengikuti langkah kaki Ki
Trunyam menuju arah tepian Danau Batur. Diperjalanan
menuju tempat kediaman Baginda Raja Bali, Ki
Pasunggrigis mencoba bertanya beberapa hal tentang
keadaan Baginda Raja dan keluarganya kepada Ki
Trunyam. Terlihat wajah Ki Trunyam berubah begitu muram
manakala bercerita tentang keadaan Baginda Raja dan
keluarganya selama tinggal di pengungsian itu.
1645 "Selama di istana Bali Baginda Raja dan keluarganya
penuh dilipahkan kecukupan dan kemewahan, nampaknya mereka belum siap menghadapi suasana
penuh kekurangan di tempat pengungsian ini. Aku
melihat Baginda Raja sering termenung seorang diri
seperti tengah menyesali semua yang terjadi", berkata Ki
Trunyam kepada Ki Pasunggrigis.
Terlihat wajah Ki Pasunggrigis menengadah ke atas
seperti menahan sebuah keharuan yang besar di lam
dadanya. Sebagai seorang guru tentunya dirinya sangat
tahu betul bahwa sejak kecil Bagind Raja Bali selalu
hidup dalam kemanjaan dan serba berkecukupan di
istana Bali. Terlihat Ki Pasunggrigis dapat menahan rasa haru di
dalam dirinya dan berusaha untuk dapat mengendalikan
perasaannya. Namun manakala dirinya telah mendekati
rumah kediaman Baginda Raja di pengungsiannya itu,
terlihat orang tua itu tidak dapat menahan rasa keharuan
yang begitu dalam menghentak-hentak dadanya. Terlihat
di hadapannya sebuah rumah yang sangat sederhana. Ki
Pasunggrigis benar-benar tidak mampu menahan rasa
keharuannya manakala seorang lelaki dengan rambut
terurai tanpa ikat kepala menubruk dan memeluknya
erat-erat. "Ampuni muridmu ini yang tidak mematuhi
nasehatmu", berkata seorang lelaki kepada Ki
Pasunggrigis yang ternyata adalah Baginda Raja Sri
Ratna Astasura bumi Banten yang sangat terkenal itu.
"Pattawa, muridku", berkata Ki Pasunggrigis
menyebut nama kecil baginda Raja Bali itu. "Janganlah
kamu sekali-kali menengok ke belakang, tapi pandanglah
terus kedepan. Semua sudah digariskan oleh Yang Maha
Agung, hari kemarin, hari ini dan hari esok di masa yang
1646 akan datang. Para Brahma, Ksatria, Waisya dan Sudra
adalah warna-warni dunia. Seorang raja besar bukanlah
yang mampu menguasai dunia, namun seorang raja
yang besar adalah manusia yang mampu mengendalikan
hawa nafsunya sendiri, meski manusia itu berasal dari
kaum paria", berkata kembali Ki Pasunggrigis sambil
memegang kedua bahu muridnya itu.
"Mendengar suara guru, telah membangunkan
kembali kesadaranku. Guru benar, Gusti Yang Maha
Agung telah menggariskan jalan hidupku", berkata
Baginda Raja Bali dengan wajah penuh ditegakkan
seperti telah menemukan kebenaran dan kesadaran di
balik perkataan gurunya itu.
"Pandanglah Danau Batur itu, Gusti Yang Maha
Agung telah membangunnya untuk dirimu hari ini.
Pandanglah mata hatimu, Gusti Yang Maha Agung telah
membangun nirwana penuh keindahan dalam setiap
denyut jantungmu, didalam setiap nafasmu dan disetiap
kehidupanmu", berkata Ki Pasunggrigis.
Terlihat Bagind Raja memandang Danau Batur dari
panggung pendapa rumahnya yang sangat sederhana
itu. Terlihat senyum didalam raut wajahnya.
"Terima kasih telah datang mengunjungiku", berkata
Baginda Raja sambil tersenyum kearah Ki Pasunggrigis.
"Pertama aku datang sebagai seorang guru untuk
menengok seorang muridnya. Kedua aku datang sebagai
utusan juru damai dari kerajaan Majapahit", berkata Ki
Pasunggrigis kepada Baginda Raja Bali itu.
"Kerajaan Majapahit meminta Guru sebagai utusan
juru damainya?" berkata Baginda Raja Bali.
"Benar, pihak Majapahit telah mempercayakan diriku
1647 sebagai seorang juru damai. Nampaknya mereka merasa
percaya bahwa hanya diriku ini yang dapat menjadi
seorang penengah diantara pertikaian Kerajaan
Majapahit dan kerajaan Bali", berkata Ki Pasunggrigis.
"Aku percaya guruku sendiri. Apa gerangan yang
mereka tawarkan dariku?" berkata Baginda Raja Bali
kepada Ki Pasunggrigis. "Mereka menawarkan Baginda Raja kembali ke
istana", berkata Ki Pasunggrigis sambil memendang
wajah Baginda Raja Bali seperti ingin melihat apa dan
bagaimana pandangan Baginda Raja Bali lewat raut
wajahnya. Namun Ki Pasunggrigis hanya melihat tatapan mata
yang kosong dari Baginda Raja Bali yang memandang
jauh kedepan. "Mereka memintaku untuk kembali ke istanaku, pasti
ada beberapa persyaratan yang harus kupenuhi, apa
gerangan yang mereka persyaratkan itu, wahai guruku?"
berkata Baginda Raja Bali kepada Ki Pasunggrigis.
"Persyaratan yang mereka pinta adalah menyerahkan
seluruh kekuatan bala prajurit dalam kendali mereka",
berkata Ki Pasunggrigis. "Kerajaan tanpa bala prajurit?" bertanya Baginda
Raja Bali sambil mengerutkan keningnya.
"Mereka akan melepaskan pengendalian kekuatan
bala prajurit secara bertahap, melihat sejauh mana
kesetiaan Kerajaan Bali menjadi bagian dari
persemakmuran Majapahit Raya. Melihat sejauh mana
kedamaian tumbuh kembali di bumi Bali ini", berkata Ki
Pasunggrigis. "Nampaknya mereka telah menemukan orang yang
1648 tepat sebagai juru damai, aku menerima seluruh
persyaratan mereka", berkata Baginda Raja Bali.
Terlihat Ki Pasunggrigis, Ki Anupati dan Putu Risai ng
menarik nafas lega. Perkataan Baginda Raja Bali seperti
danau Batur yang luas turun mengalir ke bawah
perbukitan, memberi kesejukan hati.
"Aku seperti menemukan muridku yang hilang,
seorang Pattawa yang bijaksana", berkata Ki
Pasunggrigis penuh kegembiraan hati.
Dan hari itu Ki Pasunggrigis, Ki Anupati dan Putu
Risang telah sepakat untuk bermalam di rumah
sederhana di tepian Danau Batur itu, keesokan harinya,
pagi-pagi sekali ketiganya berpamit diri untuk kembali ke
Kotaraja Bali. "Kami berpamit diri untuk kembali ke Kotaraja Bali
guna menyampaikan kesepakatan yang telah kita
dapatkan. Semoga Balidwipa kembali dalam damainya
hari ini dan di masa yang akan dalang, selamanya",
berkata Ki Pasunggrigis kepada Baginda Raja Sri
Astasura Ratna Bumi Banten.
"Aku berdoa semoga keselamatan selalu menyertai
kalian bertiga", berkata Baginda Raja Bali melepas
kepergian Ki Pasunggrigis, Ki Anupati dan Putu Risang.
Demikianlah, tiga orang yang mencintai jalan damai
itu terlihat telah meninggalkan Danau Batur, menuruni
perbukitan Kintamani menuju arah Kotaraja Bali.
Tidak ada hambatan apapun dalam perjalanan
mereka. Ketiga orang sakti itu terlihat seperti para
pengembara yang menikmati perjalanan mereka.
Akhirnya mereka terlihat telah memasuki Kotaraja Bali.
Gembira hati Patih Gajahmada manakala mendengar
1649 penuturan dari Ki Pasunggrigis bahwa Baginda Raja Bali
bersedia menerima penawarannya untuk kembali ke
istana Bali. Sebagai seorang yang punya pandangan sangat
luas, Patih Gajahmada memang sangat mengkhawatirkan bahwa pemberontakan akan menjadi
sangat berkepanjangan, orang-orang yang masih sangat
setia kepada Baginda Raja Bali akan membangun
kekuatan baru di beberapa tempat. Juga para
pembohong besar yang mengatasnamakan kesetiaan
kepada Raja Bali akan mencoba mengambil keuntungan
pribadi dengan dalih perjuangan menghalalkan segala
cara, perampokan, pemerasan dan pengumpulan dana
untuk kekayaan sendiri. "Ki Pasunggrigis", berkata Patih Gajahmada kepada
Ki Pasunggrigis yang baru saja melaporkan tentang
penugasannya sebagai juru damai itu di istana Bali
tempat Patih Gajahmada untuk sementara bermukim
setelah menaklukkan Kotaraja Bali. "Sebagai seorang
yang banyak mengenal bumi Bali, tunjukkan kepada kami
dimanakah tempat-tempat yang sangat sesuai bagi
pasukan Majapahit agar perdamaian dapat kami jaga,
kehidupan orang Bali dapat berjalan sebagaimana
sebelum peperangan ini", berkata kembali Patih
Gajahmada. Terlihat Ki Pasunggrigis tersenyum mendengar
permintaan Senapati Agung yang masih muda itu.
"Terima kasih atas kepercayaanmu kepadaku, wahai
orang muda", berkata Ki Pasunggrigis sambil
menguraikan beberapa tempat untuk diisi oleh pasukan
Majapahit. Maka pada hari itu juga Patih Gajahmada telah
1650 memanggil para prajurit perwiranya yang diketahui punya
kesetiaan amat tinggi untuk membawa pasukan mereka
ke beberapa tempat yang telah disebutkan oleh Ki
Pasunggrisgis, termasuk Tumenggung Adityawarman
yang ditempatkan di daerah sebelah selatan Kotaraja
Bali, yaitu di daerah sekitar Denpasar Bali.
Sementara itu Patih Gajahmada bersama sahabatnya
Kresna Kepakisan telah mengambil tempat sendiri, yaitu
di sebuah hutan Semprangan sebelah selatan kotaraja
Bali. Sebuah tempat dimana di masa peperangan
sebagai tempat mengendalikan seluruh pasukan yang
berada di Balidwipa. Nampaknya di hutan yang telah
terbakar itu Patih Gajahmada akan membangun sebuah
pusat kekuatan baru yang dapat mengendalikan
pasukannnya yang tersebar itu di beberapa tempat,
menjaga dan melindungi warga Balidwipa agar dapat
kembali dalam kehidupannya semula, sebagai anak
pulau dewata yang penuh kedamaian.
"Besok aku ingin kalian telah membawa pasukan
kalian ke tempat baru sebagai sebuah pasukan
Majapahit yang dapat menjaga dan melindungi warga
Bali. Para prajurit adalah para ksatria sejati yang dapat
membuat perasaan aman tumbuh di hati setiap orang.
Para prajurit adalah para ksatria sejati yang dapat
menjadi pengayom, obor penggerak membangun bumi
tempat kalian berpijak. Sarungkan pedang kalian, basahi
keringat kalian dengan bakti dan cinta sesama", berkata
Patih Gajahmada sebagai seorang Senapati Agung di
hadapan para prajurit perwiranya.
Ki Pasunggrigis, Ki Anupati dan Putu Risang yang
mendengar penuturan Patih Gajahmada di hadapan para
prajurit perwiranya itu, diam-diam memuji kemampuan
anak muda itu berlaku sebagai seorang pemimpin besar


Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

1651 yang begitu dapat disegani, punya pengaruh dan wibawa
yang sangat kuat di hadapan para pengikutnya itu.
"Anak muda yang perkasa", berkata Ki Pasunggrigis
dalam hati. "Gajahmada telah tumbuh sebagai seorang lelaki,
seorang pemimpin sejati", berkata Putu Risang dalam
hati penuh kebanggaan. Hingga ketika senja mulai memenuhi langit diatas
istana Bali, terlihat Ki Pasunggrigis, Ki Anupati dan Putu
Risang telah berniat untuk kembali ke Padukuhan
Tengkulak. "Aku ingin kalian bertiga datang mengunjungi
pasukan kami di hutan Samprangan", berkata Patih
Gajahmada yang tidak dapat mengikat ketiganya untuk
lebih lama lagi berada di istana Bali.
Demikianlah, keesokan harinya, Kotaraja Bali benarbenar di kosongkan oleh pasukan Majapahit. Mereka
telah berangkat ke berbagai tempat di Balidwipa sesuai
yang disarankan oleh Ki Pasunggrigis.
Di Padepokannya di padukuhan Tengkulak, Ki
Pasunggrigis telah mendengar kabar berita keberangkatan pasukan Majapahit dari Kotaraja Bali.
Terlihat orang tua yang sangat bijaksana itu merasa
gembira bahwa Patih Gajahmada benar-benar telah
memenuhi janjinya kepada Baginda Raja Sri Astasura
Ratna Bumi Banten. Sepekan kemudian, Raja Bali dan keluarganya telah
menempati kembali istananya. Hanya satu orang
keluarganya yang menolak untuk kembali ke istana, dia
adalah Raden Makambika. Ternyata anak muda itu
masih tetap beranggapan bahwa Balidwipa telah berada
1652 dibawah kekuasaan orang asing dan bermaksud untuk
menggalang sebuah kekuatan.
"Kamu salah menilai maksud baik mereka", berkata
Raja Bali kepada putranya itu.
Namun Raden Makambika telah begitu mengeras
hatinya untuk tidak ikut kembali ke istana Bali.
"Tidakkah Ayahanda menyadari bahwa pasukan
Majapahit telah berada di delapan mata penjuru angin
mengepung istana Bali, kita kembali keistana hanya
sebagai para tawanan perang tanpa kekuatan, tawanan
perang di istananya sendiri, di bumi kita sendiri", berkata
Raden Makambika tetap berkeras hati untuk tidak ikut
kembali ke istana Bali. Mendengar kekerasan hati putranya itu, Baginda
Raja Bali tidak dapat berbuat apapun. Dengan penuh
rasa cinta dan kasihnya telah meminta Ki Trunyan untuk
tetap mendampingi putranya itu.
"Dampingi putraku, lindungilah dirinya sebagaimana
kamu melindungiku selama ini", berkata Baginda Raja
Bali berpesan kepada Ki Truyan manakala akan
berangkat membawa seluruh keluarganya kembali ke
Kotaraja Bali. Sebagai seorang kepala pengawal prajurit istana,
ternyata Ki Trunyam tahu betul apa yang telah membuat
hati Raden Makambika itu begitu keras untuk tidak ikut
kembali ke istana Bali. Diam-diam Ki Trunyam telah
mengetahui bahwa sumber kekerasan hati putra Raja itu
berawal dari kekalahannya merebut hati seorang gadis
jelita bernama Manik Danda, Putri Ki Pasunggrigis.
Kekecewaan Raden Makambika semakin menjadi-jadi
manakala mengetahui bahwa Manik Danda lebih tertarik
kepada salah seorang perwira tinggi pasukan Majapahit
1653 yang dikenalnya bernama Arya Damar.
Demikianlah. Sejak saat itu Raden Makambika tetap
bertahan dan menggalang sebuah kekuatan baru di
sekitar perbukitan Kintamani bersama para pengikutnya.
Sementara itu, sehari setelah datang kembali di
istana Bali, Baginda Raja Astasura Ratna Bumi Banten
berkenan mengutus seorang prajuritnya untuk datang ke
Padepokan Pasunggrigis di padukuhan Tengkulak,
meminta orang tua itu kembali ke istana untuk menjadi
Mahapatihnya. Ternyata Ki Pasunggrigis tidak dapat menolak
permintaan muridnya itu, bersedia kembali menjadi
seorang Mahapatih kerajaan Bali.
"Aku ingin guru selalu ada mendampingiku, selalu
menjaga kekeliruanku, selalu menjadi penerang hati ini",
berkata Baginda Raja Sri Astasura kepada Ki
Pasunggrigis yang telah datang menghadap di istana
Bali. "Wahai muridku, kupenuhi permintaanmu untuk
menjadi seorang Mahapatih di kerajaan ini", berkata Ki
Pasunggrigis menyampaikan kesanggupan dirinya.
Ternyata keberadaan Ki Pasunggrigis sebagai
seorang Mahapatih di kerajaan Bali sangat membantu
terjalinnya hubungan perdamaian antara kerajaan Bali
dan pasukan Majapahit yang berada di Balidwipa itu.
Baginda Raja Bali tidak merasa di kebiri kekuatannya,
bahkan merasa gembira melihat para prajurit Majapahit
bahu-membahu ikut membangun daerahnya.
"Apa arti seorang raja bila tidak dapat mengayomi
para kawula, menumbuhkan rasa kedamaian dan
keamanan para kawula", berkata Ki Pasunggrigis kepada
1654 muridnya, Raja Astasura Ratna Bumi banten.
Dan malam itu hujan turun cukup deras tiada henti di
Padukuhan Tengkulak hingga datangnya sang fajar.
Halaman depan padepokan Pasunggrigis terlihat masih
tergenang air, pagi itu nampaknya para cantrik menunda
menyapu dedaunan yang jatuh di halaman yang masih
basah itu. Terlihat seekor ayam betina tengah membawa
enam ekor anaknya mencari makan. Kemanapun
induknya berjalan, keenam anaknya terus mengikutinya.
"Bukankah pagi ini kamu telah merencanakan untuk
mengunjungi hutan Samprangan?" berkata Ki Anupati
kepada Putu Risang. "Benar, namun aku masih menunggu istriku yang
tengah menyiapkan jagung manis dan minuman hangat
untuk kita", berkata Putu Risang sambil tersenyum.
Dan tidak lama berselang istri Putu Risang terlihat
muncul dari pintu pringgitan sambil membawa jagung
manis rebus bersama minuman hangatnya.
"Suamimu sudah menunggunya sedari tadi", berkata
Ki Anupati kepada Nyi Putu Risang.
"Tempat simpanan kayu bakar nampaknya semalaman basah terkena air, jadi cukup lama membuat
perapian", berkata Nyi Putu Risang sambil melepas
senyumnya. "Nanti kuperintahkan salah seorang cantrik untuk
memperbaiki atapnya yang bocor", berkata Ki Aupati
kepada Nyi Putu Risang. Demikianlah, setelah menyelesaikan sarapan paginya, terlihat Putu Risang tengah berpamit diri kepada
istrinya dan Ki Anupati. "Sampaikan salamku kepada Gajahmada", berkata
1655 Nyi Putu Risang kepada suaminya yang tengah akan
berangkat itu. "Bila tidak ada banyak pekerjaan hari ini, mungkin
aku dapat menemanimu ke hutan Samprangan itu",
berkata Ki Anupati kepada Putu Risang yang tengah
menuruni anak tangga. Matahari pagi terlihat sudah mulai naik menghangatkan bumi manakala Putu Risang tengah
melangkah keluar dari padukuhan Tengkulak. Padukuhan Tengkulak memang berada di pinggiran
Kotaraja Bali, maka tidak begitu lama terlihat Putu Risang
telah berada di jalan Kotaraja Bali yang sudah cukup
ramai itu "Kotaraja Bali telah kembali hidup seperti
sebelumnya", berkata Putu Risang sambil menatap
beberapa pedati pedagang yang tengah berjalan menuju
arah pasar Kotaraja Bali serta beberapa orang yang
berlalu lalang disepanjang jalan Kotaraja Bali.
Tujuan Putu Risang kali ini adalah untuk menjenguk
keadaan Patih Gajahmada yang diketahui berada di
hutan Samprangan. Maka terlihat lelaki yang sudah tidak
muda belia itu telah keluar melewat gapura pintu gerbang
batas kotaraja Bali disebelah timur.
Gemuruh suara batang pohon yang tumbang
terdengar oleh Putu Risang yang tengah melangkah
semakin dalam memasuki wilayah hutan Samprangan.
Ternyata hari itu para prajurit Majapahit tengah
menyiapkan lahan baru untuk pemukiman mereka.
"Dimanakah aku dapat menemui Patih Gajahmada?"
bertanya Putu Risang kepada salah seorang prajurit
Majapahit yang tengah menebang sebuah pohon kayu
1656 besar dengan kampaknya. Mendengar seseorang menanyakan nama pimpinannya, terlihat prajurit itu langsung menghentikan
pekerjaannya dan memandang kearah Putu Risang
dengan mata penuh selidik.
"Siapakah Kisanak dan ada keperluan apakah
menemui pimpinan kami?" berkata prajurit itu masih
dengan sikap penuh selidik.
Terlihat Putu Risang hanya tersenyum melihat sikap
prajurit itu yang penuh rasa selidik kepadanya.
"Aku adalah sanak keluarganya yang kebetulan
sudah cukup lama tinggal di Balidwipa ini", berkata Putu
Risang masih dengan senyum penuh keramahan.
Mendengar perkataan Putu Risang, tiba-tiba saja raut
wajah prajurit itu berubah menjadi penuh penerimaan.
"Oh, Kisanak adalah sanak keluarganya. Mari kuantar
dirimu untuk menemuinya", berkata prajurit itu berkemas
untuk mengantar Putu Risang.
Terlihat Putu Risang mengikuti langkah prajurit itu
yang tengah membawanya ke sebuah tempat untuk
menemui Patih Gajahmada. Ternyata prajurit itu
membawa Putu Risang kesebuah tempat lain dimana
para prajurit tengah sibuk menebang kayu hutan untuk
disiapkan sebagai sebuah lahan pemukiman.
Sekejap pikiran Putu Risang seperti terbawa ke masa
silam, suasana hiruk pikuk di dalam hutan itu telah
membawa lamunan Putu Risang ke masa-masa
manakala ikut bersama Raden Wijaya membangun
sebuah pemukiman baru di hutan Maja, sebuah tempat
yang kini telah menjadi sebuah Kotaraja Majapahit yang
sangat ramai itu. 1657 Namun lamunan Putu Risang terhenti manakala
langkah prajurit itu mendekati arah dimana ada seorang
anak muda dengan dada telanjang dan rambut terurai
tanpa ikat kepala tengah membelah sebuah batang kayu
yang cukup besar. Siapapun tentunya tidak akan
mengira bahwa pemuda itu adalah seorang senapati
agung pasukan Majapahit yang sangat di hormati itu.
"Gajahmada masih seperti yang dulu, seorang yang
sangat rendah hati dan tidak merasa sungkan berbaur
dengan para prajurit bawahannya sendiri bahu membahu
membasahi keringatnya", berkata Putu Risang dalam hati
sambil terus memandang ke arah anak muda yang
tengah asyik bekerja menebang sebuah batang kayu
besar itu. Maka tidak lama berselang Putu Risang terlihat telah
berada di dekat anak muda itu.
Pendengaran Patih Gajahmada sudah begitu sangat
tajam, meski tengah bekerja masih dapat mendengar
suara langkah kaki menuju kearahnya. Seketika anak
muda itu menghentikan kerjanya dan berbalik badan ke
arah dua orang yang tengah datang mendekatinya itu.
"Kakang Putu Risang", berkata Patih Gajahmada
penuh kegembiraan hati. Melihat sambutan penuh kegembiraan dari Patih
Gajahmada kepada tamunya itu, telah membuat prajurit
yang mengantar Putu Risang ikut merasa gembira,
setidaknya dirinya telah membawa orang yang benar di
hadapan pimpinannya itu. "Terima kasih Lurah Bonek, kamu telah mengantar
saudaraku", berkata Patih Gajahmada kepada prajurit itu
yang berpamit diri untuk kembali bekerja.
1658 "Terima kasih telah mengantarku", berkata pula Putu
Risang menyampaikan rasa terima kasihnya kepada
prajurit itu.

Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Maka setelah Lurah Bonek meninggalkan mereka
untuk kembali ke tempat kerjanya, terlihat keduanya
saling menanyakan keselamatan masing-masing.
"Aku sengaja datang menjengukmu, melihat
keadaanmu berada di pemukiman baru ini", berkata Putu
Risang kepada patih Gajahmada.
"Seperti yang kakang lihat sendiri, pemukiman ini
baru saja di mulai", berkata Patih Gajahmada kepada
Putu Risang. "Aku dulu pernah bersama Raja Sanggrama Wijaya
dan Ki Sandikala membangun sebuah pemukiman baru
di Hutan Maja, sebuah tempat yang kini telah menjadi
Kotaraja yang sangat ramai", berkata Putu Risang
kepada Patih Gajahmada. "Pastinya Kakang dapat sebuah pelajaran berharga
bersama kedua orang ahli perancang itu", berkata Patih
Gajahmada kepada Putu Risang.
"Yang kudapat dari mereka adalah sebuah pelajaran
berharga yang merupakan sebuah ajaran leluhur kita
untuk membangun sebuah pemukiman", berkata Putu
Risang kepada Patih Gajahmada.
"Sampaikan kepadaku ajaran leluhur itu, wahai
Kakang Putu Risang", berkata Patih Gajahmada penuh
rasa ketertarikan. "Ajarannya sungguh sangat sederhana, yang pendek
jangan dipanjangkan, yang panjang jangan dipendekkan", berkata Putu Risang sambil tersenyum.
"Aku dapat memaknainya, bahwa kita tidak perlu lagi
1659 merubah apapun yang sudah tercipta di hutan ini",
berkata Patih Gajahmada mencoba mencerna ajaran
leluhur yang sangat berharga itu.
"Itulah yang kami lakukan di hutan Maja saat itu",
berkata Putu Risang penuh kegembiraan hati meresa
telah membawa pengajaran berharga kepada muridnya
yang dikenal sangat cerdas itu.
Pembicaraan Putu Risang dan Patih Gajahmada
terhenti manakala Lurah Bonek kembali membawa
seorang tamu bersamanya. Putu Risang melihat raut
wajah Patih Gjahmada penuh kegembiraan menatap
tamu yang baru datang itu sebagai pertanda telah
mengenalnya. "Supo Mandagri!!", berseru Patih Gajahmada
menyebut sebuah nama tamu yang datang didampingi
Lurah Bonek. Seperti sebelumnya, Patih Gajahmada menyampaikan rasa terima kasihnya kepada Lurah
Bonek yang kembali mengantar tamunya itu dan
langsung berpamit diri kembali bekerja.
Kepada Putu Risang, terlihat Patih Gajahmada
memperkenalkan Supo Mandagri sebagai seorang
sahabatnya dari Kotaraja Majapahit.
"Aku diutus oleh Baginda Ratu Tribuwana untuk
menemuimu", berkata Supo Mandagri menyampaikan
maksud kedatangannya. "Apa yang ingin disampaikan oleh Baginda Ratu?",
bertanya Patih Gajahmada kepada Supo Mandagri
"Beginikah caramu menghadapi seorang utusan
Kerajaan besar?" berkata Supo Mandagri layaknya
seorang pejabat tinggi. 1660 "Baiklah, aku akan membawamu ke istanaku yang
sangat megah di Balidwipa ini, wahai utusan Ratu besar",
berkata Patih Gajahmada sambil membimbing Supo
Mandagri dan Putu Risang menuju arah gubuknya.
"Inilah istanaku", berkata Patih Gajahmada kepada
Supo Mandagri dan Putu Risang ketika berada di depan
sebuah gubuk sederhana di hutan Samprangan.
"Sungguh sebuah istana yang paling megah yang
pernah kulihat", berkata Supo Mandagri sambil mengikuti
Patih Gajahmada masuk kedalam gubuknya.
Terlihat Patih Gajahmada memanggil seorang prajurit
untuk menyiapkan beberapa hidangan untuk kedua
tamunya itu. "Ceritakan kepadaku keadaan keluargaku di tanah
Ujung Galuh", berkata Patih Gajahmada kepada Supo
Mandagri ketika mereka bertiga duduk bersama diatas
sebuah bale-bale besar yang ada di dalam gubuk itu.
"Keluargamu semuanya dalam keadaan baik-baik
saja, semua merindukan dirimu. Beruntung saat ini ada
dua anak lelaki kecil yang menjadi penghibur mereka
setiap hari, kedua anak itu adalah Nala Putra Tanca dan
Rangga Seta", berkata Supo Mandagri bercerita tentang
keadaan di Puri Pasanggrahan Tanah Ujung Galuh.
"Apakah Rangga Seta sangat nakal?" bertanya Putu
Risang manakala mendengar Supo Mandagri menyebut
nama putranya. Kepada Supo Mandagri, terlihat Patih Gajahmada
mencoba menjelaskan bahwa Rangga Seta adalah putra
dari Putu Risang. "Rangga Seta seorang anak yang sangat cerdas,
kadang anak itu ikut membantuku membuat sebuah keris
1661 pusaka", berkata Supo Mandagri bercerita tentang
Rangga Seta. Gembira Putu Risang mendengar beberapa cerita
tentang putranya itu. "Sekarang ceritakan kepadaku, apa yang akan kamu
sampaikan kepadaku dari Baginda Ratu", berkata patih
Gajahmada kepada Supo Mandagri.
Terlihat Supo Mandagri tidak langsung menjawab,
menarik nafas panjang sambil memandang wajah
sahabatnya itu. "Baginda Ratu memerintahkan kepadamu untuk
segera datang menghadap ke istana Majapahit", berkata
Supo Mandagri dengan suara penuh kesungguhan.
"Aku belum sempurna menyelesaikan tugasku di
Balidwipa ini", berkata Patih Gajahmada seperti kurang
berkenan dengan perintah dari Baginda Ratu.
"Maafkan aku wahai sahabatku, aku hanya diutus
menyampaikan berita ini, tidak lebih dan tidak kurang.
Aku tidak mengetahui mengapa Baginda Ratu
memintamu untuk datang menghadap", berkata Supo
Mandagri kepada patih Gajahmada.
Tiba-tiba saja Patih Gajahmada teringat kepada
permintaan Mahapatih Arya Tadah yang berkenan
menjadikan dirinya sebagai penggantinya.
"Apakah kamu mendengar kabar bahwa Mahapatih
Arya Tadah tengah sakit keras?" berkata Patih
Gajahmada tanpa bercerita tentang permintaan
Mahapatih itu kepadanya. "Aku memang pernah mendengar bahwa Mahapatih
Arya Tadah saat ini tengah sakit keras", berkata Supo
Mandagri kepada Patih Gajahmada.
1662 Seketika itu juga Patih Gajahmada merasakan
sebuah getar panggraita yang sudah sangat dipahami
bahwa permintaan Baginda Ratu berkaitan dengan
keadaan Mahapatih Arya Tadah yang tengah sakit keras
itu. Namun kepada Supo Mandagri dan Putu Risang tidak
diceritakannya apa yang ada didalam hati dan pikirannya
itu. "Aku akan segera mempersiapkan diri untuk
berangkat ke Kotaraja Majapahit menghadap panggilan
Baginda Ratu", berkata Patih Gajahmada kepada Supo
Mandagri. Putu Risang yang banyak berdiam diri mendengarkan
pembicaraan Patih Gajahmada dan Supo Mandagri itu
terlihat hanya menduga bahwa pasti ada sebuah hal
besar di balik permintaan Baginda Ratu Majapahit itu.
Sementara itu terlihat seorang prajurit datang ke
gubuk mereka membawa hidangan dan minuman hangat
untuk mereka. Senja terlihat telah melapisi langit hutan Samprangan. Saat itu Patih Gajahmada tidak dapat menahan Putu
Risang yang telah berniat untuk pamit diri kembali ke
Padepokan Pasunggrigis di Padukuhan Tengkulak.
"Kasihan Mbakyumu semalaman akan mengkhawatirkan diriku bila aku bermalam di hutan
Samprangan ini. Aku hanya berdoa semoga
perjalananmu ke Kotaraja Majapahit selalu diiringi
keselamatan oleh Gusti Yang Maha Agung. Mungkin bila
tidak ada aral melintang, kami akan datang menjenguk
keadaan Rangga Seta. Sampaikan salamku kepadanya,
juga kepada seluruh keluargamu di Tanah Ujung Galuh",
berkata Putu Risang ketika berpamit diri kembali ke
1663 Padepokan Pasunggrigis. "Sampaikan salamku kepada Mbakyu Endang Trinil
dan Ki Anupati", berkata Patih Gajahmada kepada Putu
Risang yang tengah melangkah meninggalkan gubuk
kediaman Patih Gajahmada di hutan Samprangan itu.
Hingga manakala hari telah terlihat menjadi mulai
gelap di hutan Samprangan, terlihat patih Gajahmada
meminta salah seorang prajuritnya untuk memanggil
Lurah Bonek datang menghadap.
Bukan main terkejutnya Lurah Bonek manakala
seorang prajurit datang menemuinya dan mengatakan
perintah Patih Gajahmada yang memeintanya untuk
segera datang menghadap. Ki Lurah Bonek segera
teringat kejadian tadi siang manakala mengantar kedua
tamu Patih Gajahmada. "Apakah ada kesalahanku ketika mengantar kedua
tamunya itu?" berkata Lurah Bonek dalam hati mendugaduga.
Maka dengan diliputi perasaan penuh kekhawatiran
terlihat Lurah Bonek berjalan bersama seorang prajurit
yang menjemputnya itu menuju arah gubuk kediaman
Patih Gajahmada di hutan Samprangan.
Hingga manakala Luruh Bonek telah tiba di gubuk
kediaman Patih Gajahmada, dilihatnya Patih Gajahmada
tengah bersama Kresna Kepakisan dan salah seorang
tamunya yang tadi sempat diantarnya itu, yang tidak lain
adalah Supo Mandagri. Ternyata Patih Gajahmada tengah memberi
beberapa pesan kepada Kresna Kepakisan yang telah
ditunjuknya untuk mewakilinya selama kepergiannya ke
Kotaraja Majapahit. 1664 "Silahkan masuk Lurah Bonek", berkata
Gajahmada dengan wajah penuh senyum ramah.
Patih Melihat senyum ramah di wajah Patih Gajahmada,
mencair sudah rasa khawatir di diri Lurah Bonek. Terlihat
lelaki dengan tampilan rahang yang kokoh itu tengah
melangkah menuju bale-bale besar dan langsung ikut
duduk bersama. "Kakang Kepakisan, aku bermaksud untuk membawa
Lurah Bonek ke Kotaraja Majapahit. Bilamana aku harus
tinggal lebih lama di sana, aku berharap Lurah Bonek
yang akan menjadi penghubung kita", berkata Patih
Gajahmada. Mendengar tutur kata Patih Gajahmada, terlihat
Lurah Bonek menarik nafas panjang, berbunga hatinya.
Siapa yang tidak menjadi berbunga hatinya manakala
mendengar bahwa pimpinannya akan mengajaknya pergi
bersama ke Kotaraja Majapahit.
"Bagaimana Lurah Bonek, apakah kamu bersedia
pergi bersamaku ke Kotaraja Majapahit?" berkata
Gajahmada, kali ini langsung kepada Lurah Bonek.
Maka tanpa berpikir banyak, langsung Lurah Bonek
menyampaikan kesediannya.
"Tuan adalah pimpinan hamba, kewajiban seorang
prajurit adalah mengikuti perintah pimpinannya", berkata
Lurah Bonek dengan sikap penuh kepatuhan.
"Untuk sementara waktu, kutitipkan seluruh pasukan
Majapahit yang ada di Balidwipa ini kepada Kakang
Kepakisan", berkata Patih Gajahmada beralih kepada
Kresna Kepakisan. "Mudah-mudahan diriku dapat memikul amanat yang
sangat besar ini", berkata Kresna Kepakisan kepada
1665 Patih Gajahmada. Demikianlah, setelah mendengar beberapa pesan
dari Patih Gajahmada, terlihat Kresna Kepakisan
berpamit diri untuk kembali ke tempatnya. Begitu pula
dengan Lurah Bonek yang juga ikut berpamit diri kembali
ke gubuknya untuk beristirahan dan mempersiapkan
dirinya karena besok pagi-pagi sekali sudah harus
berangkat meninggalkan hutan Samprangan.
Di gubuk kediaman Patih Gajahmada itu hanya ada
Supo Mandagri dan Patih Gajahmada. Dari tutur Supo
Mandagri banyak keluar cerita tentang keadaan
keluarganya di Tanah Ujung Galuh, juga perihal
perkembangan Kotaraja dan istana Majapahit.


Para Ksatria Penjaga Majapahit Karya Arief Sudjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Istana Majapahit yang tengah dibangun di Hutan
Sastrawulan kudengar sudah hampir rampung.
Nampaknya istana Majapahit dalam waktu dekat ini akan
berpindah ke sana". Berkata Supo Mandagri perihal
pembangunan istana Majapahit di Hutan Sastrawulan.
"Mimpi Kanjeng Ibunda Suri Gayatri akhirnya akan
terwujud, membangun sebuah istana yang kuat dan
terlindungi lebih ke barat lagi dari garis tepi lautan
Jawadwipa. Menjadikan istana Majapahit sebagai sang
Siwa diantara delapan kekuatan para dewa yang
mengelilinginya, sebagai perwujudan kekuatan dewa
Nawasanga di bumi", berkata patih Gajhmada penuh
kegembiraan hati mendengar cerita Supo Mandagri
tentang pembangunan istana Majapahit di Hutan
Sastrawulan itu. Sementara itu malam terlihat sudah
hutan Samprangan, suara binatang
terdengar memenuhi suasana malam,
srigala, pekik seekor anak celeng
semakin larut di hutan kadang lengking anjing diujung taring 1666 pemangsanya, atau suara burung hantu yang terdengar
semakin menjauh telah membuat malam di hutan
Samprangan menjadi begitu mencekam di dalam
kesepiannya. "Beristirahatlah, besok pagi kita akan melakukan
sebuah perjalanan yang cukup jauh", berkata Patih
Gajahmada kepada Supo Mandagri.
Dan malam pun berlalu di hutan Samprangan
diantara semilir angin yang berhembus begitu dingin
menyelinap disela-sela bilik bambu, gubuk-gubuk para
prajurit Majapahit. Dan denyit suara pintu gubuk yang terbuka adalah
suara yang mengawali warna kehidupan pagi itu di hutan
Samprangan. Terlihat Patih Gajahmada tengah melangkah keluar
gubuknya menuju sebuah sungai kecil yang tidak jauh
dari gubuknya. Nampaknya anak muda perkasa itu akan bersihbersih diri sebelum melaksanakan kewajiban dirinya
sebagai seorang muslim di awal pagi yang masih gelap
dan senyap itu. bersambung ke senthong kanan 19
1667 Bunga Ceplok Ungu 7 Legenda Kematian Karya Gu Long Kereta Berdarah 2
^