Sepasang Ular Naga 24
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja Bagian 24
itu sebagaimana seharusnya. Amatilah orang-orang yang kau
rasa asing didalam kota kecilmu ini. Jika mungkin ketiga orang itu."
"Apakah kalian akan tetap berada di sini"."
"Setidak-tidaknya malam nanti aku masih di sini."
"Dimanakah kalian bermalam".
"Aku akan datang ke gardumu. Pusat pengawalan kota ini Aku
akan berada di sana."
Para pengawal itu termangu-mangu.
"Jangan takut. Uruslah mayat itu. Jika kawan-kawannya
mengetahuinya dan timbul salah sangka, katakanlah kepadaku.
Mungkin aku akan dapat memberikan penjelasan, bahwa bukan
kalian yang telah membunuhnya."
"Tetapi kau berdua di mana."
"Aku berada di sini. He, bukankah kau lihat, aku berada di sini"."
Pengawal-pengawal itu menjadi bingung. Tetapi mereka tidak
bertanya lebih lanjut. Seorang dari merekapun segera memanggil kawan-kawannya
untuk bersama-sama menyingkirkan mayat-mayat itu dan
menyelenggarakan sebagaimana seharusnya.
1428 Baru kemudian, setelah mayat-mayat itu dibawa pergi oleh para
pengawal, maka mereka yang meninggalkan barang-barangnya di
pasar itu pun. mulai berani mendekat. Meskipun ragu-ragu mereka
pun segera mengemasi barang-barang yang tersisa. Mereka
menduga, bahwa bencana yang lain masih akan meyusul jika
kawan-kawan orang yang terbunuh itu akan datang untuk
membalas dendam, sementara ketiga orang yang membunuh
mereka telah pergi. Namun dalam pada itu, kedua anak-anak muda itu menimbulkan
berbagai dugaan pada orang-orang yang berada dipasar itu.
Keduanya adalah anak-anak muda yang berani. Yang memiliki
kemampuan yang tinggi dan tingkah lakunya tidak sekasar ketiga
orang yang telah membunuh lawannya, apalagi dengan kelima
orang yang terbunuh itu. "Mereka tidak kalah tangkasnya dengan ketiga orang yang telah
pergi itu." berkata seseorang.
"Darimana kau tahu". Apakah kau mampu menilai perkelahian
yang sama sekali tidak dapat ditebak ujung pangkalnya itu.?"
"Tidak. Tetapi keduanya sama sekali tidak takut menghadapi
ketiga orang yang telah berhasil membunuh lima lawannya setelah
pertempuran melawan orang-orang yang disebutnya berilmu hitam
itu berakhir." "Ya. Dua orang itu tidak takut melawan tiga orang. Tentu mereka
bukan sembarang anak muda. Mengagumkan sekali. Alangkah
bangganya orang tuanya."
Dalam pada itu, seseorang dengan tergesa-gesa bahkan berlarilari
kecil menuju kepasar yang sibuk oleh orang-orang yang sedang
mengumpulkan barang-barangnya itu. Ia sama sekali tidak
menghiraukan ketika ia berpapasan dengan tiga orang yang
tangannya basah oleh darah.
Dengan dada yang berdebaran orang itu langsung menuju
kepasar yang kisruh, la masih melihat beberapa orang dengan
1429 tergesa gesa membawa barang-barang yang dapat dikumpulkan
meninggalkan pasar itu. "Apa yang sudah terjadi"." orang itu bertanya, "apakah benar
terjadi perkelahian antara beberapa orang didalam kelompok
melawan kelompok yang lain"."
"Ya. Ada pertentangan segi tiga. Lima orang terbunuh."
Orang itu menjadi semakin gelisah. Dan tanpa bertanya lagi
iapun langsung memasuki gerbang pasar itu.
Ia menarik nafas dalam-dalam ketika ia melihat dua orang anak
muda yang kemudian berdiri di depan sebuah warung yang mulai
menutup pintunya dan mengemasi dagangannya.
"Aku tidak mau mengalami akibat yang lebih buruk lagi jika
sekelompok orang lain berkelahi pula di pasar ini" berkata penunggu
warung itu. "Aku kira tidak akan terjadi Lagi." desis salah seorang dari kedua
anak-anak muda itu. "Siapa tahu. Mereka mendendam kepadamu." Anak-anak muda
itu tertawa. "Jika terpaksa anak-anak muda saling berkelahi, tetapi jangan di
pasar." Kedua anak muda itu tidak menyahut.
Sementara itu, orang yang tergesa-gesa memasuki pasar itupun
segera mendapatkan kedua anak muda itu yang menyambutnya
dengan senyuman yang hambar.
"Kalian tidak apa-apa"." bertanya orang itu.
"Tidak ayah." jawab yang seorang dari keduanya.
"Apa yang telah terjadi"."
Mereka kemudian dengan lancar menceriterakan apa yang telah
terjadi dipasar itu. Orang-orang berilmu hitam yang tiba-tiba saja
1430 muncul dipasar iru, dan tiga orang yang agaknya sudah mengenal
serba sedikit tentang orang-orang berilmu hitam.
"Salah seorang dari mereka menyebut dirinya Mahisa Bungalan
ayah." "Mahisa Bungalan", Bukankah kau tahu dengan pasti, apakah ia
benar Mahisa Bungalan atau bukan"."
"Tentu bukan. Aku kira orang itulah yang bernama Linggadadi
yang pernah berkelahi dengan kakang Mahisa Bungalan di Kota
Raja., " Orang itu menarik nafas dalam-dalam Katanya, "Untunglah
bahwa kalian tidak terlibat dalam perkelahian melawan ketiga orang
itu." "Jika mereka menyerang, apa boleh buat."
"Ya. Tetapi mereka bukan lawan yang dapat dianggap ringan."
"Memang tidak ayah. Aku tahu. Tetapi kami berdua agaknya
akan mampu bertahan sampai ayah datang."
Orang itu memandang kedua anaknya dengan wajah yang
tegang. Namun kemudian ia berkata, "Kau tentu tidak akan dapat
memastikannya. Untunglah bahwa tidak terjadi sesuatu atas kalian."
la berhenti sejenak, lalu, "tetapi apakah kalian mengatakan kepada
orang yang mengaku bernama Manisa Bungalan itu, bahwa kau
berdua adalah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, adik Mahisa
Bungalan dan anak Mahendra"
Hampir berbareng kedua anak muda itu menjawab , "Tentu tidak
ayah." Orang itu mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah. Untunglah
kalian tidak menyebut namaku Lain kali sebaiknya kalian harus lebih
berhati-hati. Apalagi jika kalian pergi berdua tanpa ayah."
"Bukankah ayah berjanji akan segera menyusul kami ke pasar
setelah urusan ayah selesai"."
1431 Mahendra mengangguk-angguk. Lalu katanya, "Aku menjadi
tergesa-gesa ketika aku mendengar kabar bahwa telah terjadi
perkelahian di dalam pasar. Antara lima orang, tiga orang dan dua
orang anak-anak muda yang telah terlibat. Dan aku sudah
menduga, bahwa kalian berdua tentu terlibat di dalamnya."
"Kami tidak akan dapat tinggal diam ayah."
"Tetapi sekali lagi aku peringatkan. Hati-hatilah. Dalam persoalan
yang tidak jelas, sebaiknya kalian menunggu lebih dahulu."
"Tetapi kami memang sudah memperhitungkan sebelumnya
ayah, bahwa akhir dari peristiwa itu adalah demikian."
Mahendra menarik nafas. Kemudian katanya, "Marilah. Kita pergi.
Mungkin kabar ini akan terdengar oleh orang-orang berilmu hitam.
Mereka akan beramai-ramai datang kemari. Kita tidak tahu pasti,
dimanakah sarang mereka. Apakah jauh atau dekat. Atau malahan
ada di sebelah pasar ini. Tiga orang yang membunuh mereka telah
pergi. Kita akan dapat menjadi sasaran kemarahan mereka."
Kedua anak Mahendra itu mengangguk-angguk.
"Baiklah ayah. Tetapi jika mereka datang, dan mereka tidak
menemukan siapapun disini, apakah bukan orang-orang yang tidak
tahu menahu inilah yang akan menjadi sasaran"."
Kita akan mengatakan kepada mereka, bahwa pembunuh orangorang
berilmu hitam itu bernama Linggadadi. Dengan demikian
maka orang-orang berilmu hitam itu tentu akan mencari orang yang
bernama Linggadadi."
Kedua anak muda itu tidak menyahut lagi. Karena itulah maka
mereka pun kemudian melangkah meninggalkan pasar itu. Diluar
regol, Mehendra masih sempat mengatakan kepada beberapa
orang, bahwa salah seorang dari pembunuh orang berilmu hitam itu
bernama Linggadadi. "Ya, Linggadadi yang bergelar pembunuh orang berilmu hitam"
desis Mahendra. 1432 Orang-orang di luar regol pasar itu sama sekali belum pernah
mendengar nama Linggadadi. Tetapi nama itupun segera menjalar
dari mulut kemulut. Tanpa mengerti ujung pangkalnya mereka
mengatakan kepada orang-orang lain yang dijumpainya, bahwa
telah terjadi perkelahian dan pembunuhan di pasar.
"Yang membunuh lima orang adalah sekelompok orang yang
dipimpin oleh Linggadadi, pembunuh, eh maksudku yang bergelar
pembunuh orang berilmu hitam." berkata seseorang kepada
kawannya. "Apakah ilmu itu mempunyai warna", Selain yang hitam, apakah
ada yang merah, hijau dan yang lain"." bertanya seorang
kawannya. Yang mendapat pertanyaan itu hanya mengerutkan dahinya saja
tanpa dapat menjawab sama sekali.
Tetapi seorang yang sudah tua yang dikenal sebagai seorang
bekas prajurit menyahut, "Anak-anak muda yang bodoh. Yang
disebut ilmu hitam adalah ilmu yang dibayangi oleh kekuatan yang
buruk. Kekuatan roh-roh jahat dan hantu-hantu. Sedangkan ilmu
putih adalah ilmu yang datang dari kuasa Yang Maha Agung."
Yang mendengarkan penjelasan itu mengangguk-angguk. Dan
bahkan salah seorang dari mereka bertanya, "Jadi yang terbunuh itu
adalah mereka yang mendapat kekuatan dari roh-roh jahat"."
"Ya." "Jadi bagaimanakah akibatnya jika roh-roh jahat itu
mengamuk"." "Roh-roh jahat, betapapun besar kekuatan dan Kuasanya, namun
tidak akan dapat melawan kekuatan dan kuasa Yang Maha Agung."
Yang mendengar keterangan itu menarik nafas dalam-dalam.
Dengan demikian, maka dalam waktu yang singkat, berita
kematian orang-orang berilmu hitam itu pun segera tersebar
diantara penghuni kota kecil itu. Bahkan sampai ke padesanTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
1433 padesan di sekitar nya. Setiap hari berita itu menjalar semakin jauh.
Bahkan lebih cepat dari perjalanan seorang perantau yang
menyusuri jalan-jalan di bulak-bulak panjang.
Tetapi di samping berita yang disebarkan oleh Mahendra itu,
ternyata tersebar pula berita yang lain. Ternyata satu dua orang
mendengar, Linggadadi menyebut dirinya Mahisa Bungalan,
sehingga di samping Linggadadi, maka tersebar pula berita, bahwa
yang telah membunuh orang-orang berilmu hitam itu adalah Mahisa
Bungalan yang bergelar pembunuh orang-orang berilmu hitam.
Dengan demikian maka berita yang kemudian sampai ke tempat
yang jauh adalah, bahwa Linggadadi bersama Mahisa Bungalan
telah melawan orang-orang berilmu hitam dan membunuh lima
orang dari antara mereka.
Dalam pada itu. ternyata Mahendra dan kedua anak-anaknya pun
tidak terlalu lama berada di kota kecil itu. Pada hari itu juga,
Mahendra menyelesaikan semua persoalan-persoalan yang
menyangkut perjalanan dagangnya.
"Kota ini tidak aman lagi" berkata Mahendra kepada orang-orang
yang berurusan dengannya, "aku akan segera kembali"
"Kapan lagi kau datang"." Bertanya salah seorang dari
langganannya. "Aku tidak dapat mengatakannya. Sebenarnya sekarang ini
akupun tidak ingin kemari. Tetapi anak-anakku lah yang telah
memaksaku. Mereka aku bawa ke Kota Raja. Tetapi mereka tidak
puas sebelum mereka melihat kota-kota lain betapapun kecilnya. Di
sini mereka telah melihat peristiwa yang mengerikan."
"Tetapi persoalan itu tentu tidak akan berkepanjangan." berkata
orang itu, "kami mengharap kedatanganmu dengan batu jamrut.
Ada orang kaya raya memerlukannya. Sedang orang yang lain lagi
memesan batu akik Mata Kucing, tetapi berwarna ungu seperti akik
Kumbang Laras." "Ah, mana ada akik serupa itu."
1434 "Ia pernah melihatnya. Karena itu, jika kau menemukannya, ia
ingin membeli berapa saja harganya, atau ditukar dengan emas
dalam bobot yang kau minta."
"Baik, baik" jawab Mahendra,, "tetapi aku masih harus bertanyatanya
tentang keselamatan nyawaku disini."
"Bukankah kau tidak berurusan dengan orang-orang berilmu
hitam itu atau dengan pembunuh-pembunuhnya."
Mahendra menarik nafas. Kawnnya itu memang belum mengerti
bahwa orang yang disebut bernama Mahisa Bungalan itu adalah
anaknya, yang mau tidak mau tentu akan menyangkut dirinya.
Tetapi di dalam urusan dengan kawan-kawannya tentang
barang-barang dagangan serupa itu, Mahendra tidak prenah
menyatakan dirinya sebagai seorang yang memiliki ilmu yang dapat
dijadikannya kebanggaan. Bagi kawan-kawannya ia tidak lebih dari
seorang pedagang barang-barang yang khusus, wesi aji, batu-batu
berharga dan permata. Meskipun kadang-kadang Mahendra juga
membawa barang-barang lain yang dipesan oleh kawan-kawannya
di kota-kota kecil itu. Demikianlah, maka Mahendra pun kemudian membawa kedua
anak-anaknya meninggalkan kota kecil itu. Seperti yang
dikatakannya, sebenarnya ia sama sekali tidak akan datang kekota
terpencil itu. Tetapi anak-anaknya mendesaknya untuk melihat
bagian-bagian lain dari Singasari. Sehingga akhirnya mereka justru
melihat peristiwa yang sama sekali tidak diduganya.
"Jika Mahisa Bungalan yang menjumpai peristiwa ini akibatnya
tentu lain" desis Mahendra diperjalanan.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memandang ayahnya sejenak.
Desis ayahnya itu sangat menarik perhatian mereka, sehingga
Mahisa Murti pun kemudian bertanya, "Kenapa jika kakang Mahisa
Bungalan yang menjumpai peristiwa ini"."
"Kakakmu tentu tidak hanya akan berhadapan dengan orangorang
berilmu hitam. Di Kota Raja ia sudah bertempur melawan
1435 orang berilmu hitam dan sekaligus terlibat dalam persoalan dengan
Linggadadi. Dengan demikian, maka peristiwa, itu tentu akan
terulang, jika ia bertemu dengan kedua pihak. itu sekaligus di sini."
"Jika benar orang itu Linggadadi ayah, agaknya ia memang orang
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang kasar, yang aku kira tidak banyak bedanya dengan orangorang
berilmu hitam. Tetapi seorang yang lain, yang agaknya
mempunyai pengaruh yang kuat atas Linggadadi mempunyai sifatsifat
yang agak berbeda." "Tetapi pada dasarnya, mereka bukan orang-orang berilmu
hitam." jawab ayahnya.
Kedua anaknya meng-angguk-angguk. Mereka masih berpacu
meninggalkan kota kecil yang baru saja diguncang oleh peristiwa
yang mengerikan itu. "Aku akan singgah di Kota Raja sebentar" berkata Mahendra.
Mudah-mudahan kita dapat mencapainya hari ini. Besok pagi-pagi
kita meneruskan perjalanan pulang." berkata ayahnya.
"Kenapa singgah di Kota Raja?" bertanya Mahisa Pukat, "lebih
baik kita melalui jalan lain. Jalan yang.belum pernah aku lihat"
"Ah kau ini Aku mempunyai keperluan di Kota Raja. Bukankah
kau mendengar", bahwa ada seseorang yang memerlukan jamrut
yang baik dan akik Mata Kucing tetapi berwarna ungu seperti akik
Kumbang Laras." "Ah ayah selalu memikirkan dagangan ayah saja. Sekali-sekali
kita melupakannya dan bertamasya melalui jalan-jalan yang belum
pernah kita lihat. Tidak ada salahnya jika kita bertemu dengan
orang-orang berilmu hitam yang agaknya memang tersebar dimana-
mana." Mahendra. mengerutkan keningnya". Tetapi iapun kemudian
tersenyum, "Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, bukankah dengan
demikian ayah dapat melengkapi kebutuhan kita sekeluarga.
Kadang-kadang ayah harus pergi berhari-hari. Bahkan sampai
sebulan atau dua bulan jika tugas memanggil. Terutama dari istana
1436 Singasari, Jika pada kesempatan seperti ini ayah tidak menabung
barang sedikit, maka pada suatu saat, keluarga kita akan kehabisan
kebutuhan hidup sehari-hari."
"Kita mempunyai sawah ayah."
"Tetapi kita tidak sekedar makan hasil sawah. Kita perlu barangbarang
kebutuhan yang lain. Pakaian dan kadang-kadang juga
perhiasan sedikit-sedikit. Bagi isi rumah kita dan bagi kita masingmasing."
"Tetapi paman Witantra sempat melakukan pengembaraan yang
jauh lebih panjang dari ayah."
"Ada bedanya anak-anak. Pamanmu Witantra diam di sebuah
padepokan. Ia tidak mempunyai kebutuhan yang banyak seperti
kita. Keluarganya adalah keluarga kecil. Jika ada beberapa orang
dipadepokannya, maka mereka adalah orang-orang yg bekerja di
sawah dan ladang, yang seolah-olah telah mencari makan bagi
mereka sendiri. Tetapi kau tahu, tidak ada orang lain kecuali paman
dan bibimu. Sedangkan mereka sama sekali tidak mempunyai
kebutuhan seperti kalian dan kakakmu Mahisa Bungalan. Mereka
tidak pernah memerlukan kain lurik hijau lumut Kamus dan timang
bermata berlian. Keris dengan pendok emas bersalut intan. Mereka
juga tidak memerlukan kuda yang berbulu dawuk. Tetapi kemudian
setelah jemu, harus diganti dengan yang berbulu merah tembaga."
Ia berhenti sejenak, lalu, "Tidak anak-anak. Mereka hidup dengan
yang mereka punyai sehari-hari. Kuda mereka adalah kuda yang
tegar dan kuat, apapun warna bulunya."
"Tetapi kuda putih itu"."
"Tentu karena ada gunanya, kenapa dahulu pamanmu
memerlukan kuda berbulu putih. Tidak hanya seekor. Tetapi
beberapa ekor." "Untuk membuat ceritera tentang Satria Putih." desis Mahisa
Murti. "Ya." 1437 "Ayah" tiba-tiba saja Mahisa Pukat memotong, "apakah salahnya
jika sekarang lahir lagi Satria Putih untuk menghadapi orang-orang
berilmu hitam. Bukan untuk membayangi pemerintahan yang ada
sekarang, karena agaknya tuanku Ranggawuni dan tuanku Mahisa
Campaka dapat memerintah dengan bijaksana, meskipun mereka
masih cukup muda." Mahendra menarik nafas dalam-dalam. Katanya , "Aku belum
dapat mengatakannya, apakah hal itu pantas dilakukan atau tidak,
Tetapi sudah tentu bahwa untuk melahirkan Satria Putih, masih
harus dipikirkan masak-masak, untung dan ruginya."
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Desisnya, "Ayah selalu
memperhitungkan untung dan rugi dalam segala hal."
Wajah Mahendra menegang, Tetapi iapun kemudian tertawa.
Katanya, "Kau aneh Pukat. Bukankah setiap langkah harus
diperhitungkan sebaiknya", Bukan hanya dalam masalah jual beli
saja kita memperhitungkan untung dan rugi. Tetapi di segala
persoalan meskipun yang disebut untung dan rugi itu bukan selalu
berwujud uang dan untuk kepentingan diri, tetapi untuk
kepentingan tindakan itu sendiri."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menjawab lagi.
"Tetapi baiklah aku akan membicarakannya dengan ke dua
pamanmu yang kini sedang mengadakan perjalanan dengan Mahisa
Bungalan." Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan. Dari
tatapan mata mereka berbesit kekecewaan. Bahkan kemudian
Mahisa Murti bertanya , "Jika demikian, maka kapan kira-kira ayah
dapat bertemu dengan paman Mahisa Agni dan paman Witantra"."
"Aku belum dapat mengatakan Murti. Tetapi tentu secepatnya
setelah mereka kembali."
"Tetapi kapan mereka akan kembali"." Desis Mahisa Pukat.
Mahendra menarik nafas. Katanya kemudian, "Kita tidak dapat
berbuat dengan tergesa-gesa menghadapi masalah yang gawat ini,
1438 karena persoalannya akan menyangkut ketenteraman seluruh
Singasari. Sudah tentu akan memerlukan tanggung jawab yang
berat. Nama Kesatria Putih sampai saat ini masih tetap dihargai. Jika
kita gagal memerankannya, maka nama yang baik itu akan segera
surut. Dan akhirnya nama Kesatria Putih itu akan lenyap dari hati
rakyat Singasari. Bahkan akan meninggalkan bekas yang buram
dalam ingatan mereka."
Kedua anak Mahendra itu mengangguk-angguk. Agaknya mereka
dapat mengerti penjelasan ayahnya itu, sehingga mereka tidak
menyinggung lagi persoalan Satria Putih.
Sementara itu kuda mereka masih tetap berpacu. Sekali-kali
mereka harus berhenti memberi kesempatan kuda mereka untuk
minum dan makan. Demikian juga Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
memerlukan untuk beristirahat dan sekedar makan di tengah
perjalanan. Ketika mereka memasuki sebuah warung di pinggir jalan, maka
mereka sudah mendengar, orang-orang di dalam warung itu
mempercakapkan peristiwa yang telah terjadi di kota kecil yang
mereka tinggalkan. Namun ketiga orang itu sama sekali tidak
menyahut. Mereka hanya sekedar mendengarkannya tanpa
menanggapinya. Ketika sekali-sekali Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
hampir tidak dapat menahan diri lagi, karena ceritera tentang
kematian orang-orang berilmu hitam itu benar-benar sudah
menyimpang jauh dari kenyataan yang diketahuinya, ayahnya selalu
menggamitnya. "Tetapi yang dikatakan itu sama sekali tidak benar ayah." bisik
Mahisa Murti. Mahendra hanya mengedipkan matanya saja.
Kedua anak muda itu menarik nafas. Adalah tidak benar sama
sekali, bahwa orang-orang itu menyebut seolah-olah Mahisa
Bungalan bersama Linggadadi dan seorang yang tidak dikenal
bersama-sama bertempur melawan orang-orang berilmu hitam.
Ceritera itu sama sekali tidak menyebut peristiwa yang telah terjadi,
1439 sehingga mereka yang mendengarnya mendapat gambaran yang
salah sama sekali. Mereka menyangka bahwa Mahisa Bungalan dan
Linggadadi adalah dua orang yang bersama-sama melakukan
petualangan untuk membasmi orang-orang berilmu hitam.
"Itu sudah lumrah." berbisik Mahendra, "tidak ada kabar yang
beredar dari mulut kemulut itu dapat tepat meng gambarkan
peristiwa yang sebenarnya terjadi. Pada umumnya kabar yang
demikian tentu menyimpang jauh dari kebenarannya."
"Tetapi hal itu dapat menimbulkan prasangka yang buruk bagi
kakang Mahisa Bungalan, seolah-olah ia adalah kawan dari
Linggadadi. Jika benar orang yang membunuh orang berilmu hitam
itu Linggadadi, maka tidak sepantasnya kakang Mahisa Bungalan
dihubung-hubungkan dengan orang itu, meskipun hanya namanya."
"Kenapa"."
"Cara orang itu membunuh lawannya adalah memuakkan sekali.
Bahkan kawannya yang sebenarnya telah mengumpatinya."
Mahendra meng-angguk-angguk. Tetapi katanya, "Biarlah pada
suatu saat mereka mendengar berita yang lain tentang Mahisa
Bungalan. Tetapi bukan oleh kita sekarang."
Kedua anak-anaknya tidak menjawab lagi. Mereka kemudian
sibuk dengan mangkuk masing-masing. Minuman hangat dan nasi
panas, setelah mereka menempuh perjalanan yang jauh dan masih
akan meneruskan perjalanan itu untuk sehari penuh.
Namun kadang-kadang mereka masih harus menahan hati jika
ceritera yang mereka dengar benar-benar membuat dada mereka
bagai meledak. "Mudah2an orang-orang berilmu hitam itu tidak sampai kemari"
desis salah seorang dari mereka yang ada di warung itu.
"Seandainya mereka datang juga kemari, kita berdoa agar
Mahisa Bungalan dan Linggadadi yang kedua-duanya bergelar
pembunuh orang berilmu hitam itu datang juga kemari."
1440 "Tentu mereka selalu membayangi orang-orang berilmu hitam."
"Tetapi mereka hanya bertiga. Sedang orang berilmu hitam itu
berjumlah banyak sekali. Sudah barang tentu bahwa pada suatu
saat, orang berilmu hitam itu dapat mencari kesempatan untuk
memanjakan kebuasannya."
"Ssssst." desis seorang yang duduk di sudut, "jangan menyebutnyebut
mereka lagi. Apalagi dengan sebutan-sebutan yang buruk.
Jika ada kaki tangan mereka yang mendengar, maka kita semua
akan celaka." "O" nampaknya beberapa orang menyesali keterlanjurannya.
Bahkan beberapa orang di antara mereka memandangi Mahisa Murti
kakak beradik dan ayahnya yang sedang menikmati makan dan
minuman masing-masing. Tetapi Mahisa Pukat tidak mampu lagi menahan gejolak di
dadanya. Tiba-tiba saja ia mengambil sebuah pisang raja. Sambil
mengupas ia bergumam seolah-olah kepada diri sendiri, "Aku kupas
kulitmu seperti aku mengupas kulit orang-orang gila."
Kata-kata itu ternyata telah menghentak setiap jantung. Bahkan
Mahendra terkejut pula karenanya sedangkan Mahisa Murti
menahan tertawanya. Beberapa orang yang ada di warung itupun kemudian tidak
berani lagi menatap ketiga orang yang sedang berada pula di antara
mereka. Namun demikian, kadang-kadang keinginan yang tidak
tertahan telah mendesak mereka untuk seolah-olah mengintip
wajah-wajah yang tidak mereka kenal itu. Dengan sudut mata
mereka mencoba melihat, apakah yang mereka dengar itu benarbenar
telah terlontar dari mulut salah seorang dari ketiga orang
asing itu. Mereka menjadi semakin berdebar-debar ketika mereka melihat
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sendiri tertawa, sementara wajah
Mahendra menjadi tegang. 1441 Meskipun Mahendra tahu, bahwa Mahisa Pukat dengan sengaja
ingin menakut-nakuti orang-orang yang ada didalam warung itu,
namun permainannya agaknya cukup berbahaya. Bukan karena
kemungkinan bahwa seseorang akan memusuhi mereka, tetapi
dengan demikian ia telah membuat sekian banyak orang dicengkam
oleh ketakutan yang dapat berakibat buruk bagi mereka.
Seperti yang dikehendaki oleh Mahisa Pukat, maka orang-orang
di dalam warung itu menjadi ketakutan karenanya. Mereka juga
sudah mendengar bahwa orang-orang berilmu hitam sering
mempergunakan istilah-istilah yang menakutkan seperti yang
diucapkan oleh Mahisa Pukat itu. Mengelupas kulit seperti
mengelupas kulit pisang. "Jangan menakut-nakuti mereka Pukat." desis Mahendra. Mahisa
Pukat masih tersenyum. "Kau tahu, bahwa dengan demikian kau telah menyebarkan
ketakutan di antara mereka", Mungkin kau tidak menyangka bahwa
yang kau lakukan itu akan menimbulkan akibat yang parah. Mungkin
orang-orang itu menjadi ketakutan, dan di antara mereka tidak
merasa tenteram lagi tinggal di rumahnya. Dengan demikian maka
mereka akan menyingkir dari rumahnya untuk mencari
ketenteraman." Mahisa Pukat mengerutkan keningnya. Ia mencoba
membayangkan kata-kata ayahnya. Wajahnya yang mula-mula
nampak gembira karena permainannya yang berhasil, berubah
perlahan-lahan dengan kerut-merut di kening.
"Mereka akan menjadi ketakutan. Seperti kata ayah, keluarga
mereka akan ketakutan pula, sehingga mereka terpaksa
mengungsi." berkata Mahisa Pukat di dalam hatinya, "dan sudah
barang tentu keadaan itu akibatnya sangat buruk bagi mereka."
Tetapi ia sudah terlanjur mengatakannya. Dan ia tidak melihat
cara yang baik untuk menariknya kembali.
"Apakah aku harus mengaku bernama Mahisa Bungalan atau
Linggadadi"." ia bertanya kepada ayahnya sambit berbisik.
1442 "__________Sudahlah. Tetapi jangan kau ulang lagi. Jika untuk beberapa
hari tidak terjadi sesuatu di sini, maka mereka akan mulai
melupakannya." "Tetapi jika terjadi sesuatu, mereka akan mengingat kembali
bahwa aku pernah mengatakan kata-kata itu di hadapan mereka di
sini." Mahendra menggelengkan kepalanya, katanya, "Sudahlah. Tetapi
hati-hati lah untuk lain kali."
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia memandang
wajah kakaknya, ia melihat kesan yang sama seperti di dalam
hatinya sendiri. Sejenak kemudian, maka ketiganya pun minta diri. Setelah
mereka menghitung jumlah harga makan dan minum yang telah
mereka habiskan, maka Mahendra pun mengambil uang dari kampil
kecilnya. "Sudahlah Ki Sanak" berkata penjual di warung itu, "yang Ki
Sanak makan dan minum tidak seberapa harganya, Ki Sanak tidak
usah membayarnya." "Kenapa"." Mahendra menjadi heran. Namun ia pun kemudian
segera mengetahui, bahwa penjual itu tentu menjadi ketakutan pula
seperti beberapa orang yang lain tentang dirinya dan kedua anakanaknya.
"Mahisa Pukat lelah membuat mereka ketakutan." katanya di
dalam hati. Namun yang dikatakannya kepada penjual itu adalah,
"Ki Sanak. Harga barang-barang daganganmu seluruhnya tidak
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
begitu banyak. Jika aku tidak membayar, maka kau akan rugi
karenanya." "Tidak, tidak Ki Sanak. Sebagian yang aku jual adalah hasil
sawah dan kebunku sendiri." jawab orang itu.
Tetapi Mahendra menggelengkan kepalanya, "Pergunakan untuk
membeli bahan-bahan mentah atau katakanlah untuk membelikan
mainan buat anak-anakmu."
1443 Penjual itu masih akan menjawab, tetapi Mahendra telah
meletakkan uangnya sambil berdiri diikuti oleh kedua anaknya.
"Kami minta diri." berkata Mahendra, "perjalanan kami masih
jauh." Penjual di warung itu menjadi termangu-mangu. Rasa-rasanya
tidak sesuai jika ketiga orang itu termasuk di antara mereka yang
berilmu hitam. Wajah mereka, tingkah laku dan sifat mereka sama
sekali tidak mencerminkan keliaran dan kekasaran orang-orang
berilmu hitam. Ketika Mahendra dan kedua anaknya meninggalkan warung itu
dan berpacu menjauh meskipun tidak begitu cepat, maka penjual itu
menarik nafas sambil berkata, "Sungguh aku tidak mengerti, apakah
sebenarnya yang telah aku hadapi sekarang ini."
Orang-orang yang lainpun menjadi bimbang pula karenanya.
Tetapi sebagian dari mereka masih tetap merasa ketakutan.
Dengan ragu-ragu penjual di warung itu mengambil uang yang
ditinggalkan oleh Mahendra. Ia menjadi semakin heran ketika ia
menghitungnya. Ternyata jumlah uang itu lebih banyak dari yang
seharusnya. "Aku menjadi semakin tidak mengerti." gumam penjual makanan
dan minuman itu. Beberapa orang yang ada didalam warung itu pun menjadi heran
pula. Seorang yang berkumis lebat bergumam, "Mereka tentu bukan
orang-orang berilmu hitam yang sering mengelupas kulit korbannya.
Hanya kebetulan saja salah seorang dari mereka mengucapkan
kata-kata yang mirip dengan kebiasaan orang berilmu hitam."
Penjual itu mengangguk-angguk.
"Mungkin. Memang mungkin sekali." gumamnya.
Dalam pada itu, maka Mahendra dan kedua orang anak-anaknya
itu masih saja menjadi pusat pembicaraan. Namun pada umumnya
mereka berkesimpulan, bahwa ketiganya adalah orang yang baik
1444 yang secara kebetulan saja mengucapkan kata-kata yang
mendirikan bulu roma, justru di luar sadarnya.
Namun mereka tidak tahu, bahwa Mahisa Pukat sengaja
mengucapkannya untuk melepaskan gejolak di dalam dadanya
ketika ia mendengar orang-orang di warung itu sekali-kali menyebut
peristiwa yang pernah terjadi di pasar dalam kota kecil itu, tetapi
sudah jauh menyimpang dari kenyataan yang terjadi sebenarnya.
Sementara itu, ketika debar jantung orang yang berada di
warung itu mulai mereda, sekali lagi mereka dikejutkan oleh
kehadiran tiga orang berkuda yang tidak mereka kenal, Salah
seorang dari merekapun kemudian turun dan memasuki warung itu.
"Ki Sanak." berkata orang itu , "aku ingin bertanya sesuatu.
Siapakah penjual di warung ini"."
Pertanyaan itu benar-benar mendebarkan. Tetapi semua orang
yang ada di dalam warung itu serentak memandang kepada
pemiliknya. Pemilik warung itu tidak dapat ingkar lagi. Dengan ragu-ragu ia
menjawab , "Aku, aku Ki Sanak."
Orang yang baru masuk kedalam warung itu menganggukangguk.
"Jadi kau pemilik warung ini"."
"Ya Ki Sanak." "Apakah kau melihat pada hari ini tiga orang berkuda melalui
jalan ini"." Penjual itu menjadi ragu-ragu. Ia sadar bahwa yang
dimaksudkan tentu tiga orang yang tadi singgah di warungnya.
Namun ia masih bertanya, "Tiga orang yang bagaimana Ki Sanak.
Baru saja lewat seiring orang-orang berkuda."
"Ke arah ini"." orang itu bertanya sambil menunjuk kearah ia
berkuda. 1445 "O. tidak Ki Sanak. Mereka pergi kearah kota. Ki Sanak tentu
berjumpa dengan mereka di perjalanan."
"O bukan mereka. Yang aku cari adalah tiga orang yang pada
hari ini telah meninggalkan kota kecil itu."
Pemilik warung itu termangu-mangu sejenak. Tiba-tiba saja ada
prasangka yang kurang baik, justru kepada ketiga orang yang baru
saja datang. Menilik sikap dan tatapan mata mereka, maka ketiga
orang ini agak berbeda dengan ketiga orang yang baru
meninggalkan warungnya "Ketiga orang yang terdahulu nampaknya orang baik-baik.
Apalagi dua orang yang masih muda itu agaknya anak-anak muda
yang berhati bersih dan jujur. Pandangan matanya yang cerah dan
tidak berprasangka." berkata penjual itu di dalam hatinya.
"He, kenapa kau menjadi bingung" tiba-tiba saja orang itu
membentak Pemilik warung itu terkejut. Dengan serta merta ia mea jawab.,
"Tidak Ki Sanak. Aku tidak melihatnya. Aku memang sedang
mencoba mengingat-ingat apakah ada tiga orang yang lewat. Tetapi
agaknya tidak ada. Mungkin ia mengambil jalan lain, atau kebetulan
saja aku tidak melihat mereka."
Beberapa orang yang ada di dalam warung itu menjadi berdebardebar.
Tetapi di dalam hati mereka sependapat dengan jawaban
pemilik warung itu, sehingga ketika orang asing itu memandang
mereka seorang demi seorang, tidak ada di antara mereka yang
memberikan keterangan yang berbeda, atau dengan sengaja
mengatakan sesuatu tentang Mahendra dan ke dua anak-anaknya.
Bahkan ketika orang itu bertanya kepada mereka, apakah ada di
antara mereka yang melihat, maka orang-orang yang ada di dalam
warung itu menggelengkan kepalanya.
Sejenak orang itu termangu-mangu. Kemudian ia pergi
mendapatkan kawan-kawannya yang masih tetap berada di
punggung kuda. 1446 "Mereka tidak melihat." katanya.
Kedua orang yang lain termangu-mangu. Namun yang seorang
berkata, "Tetapi aku tidak salah lagi. Beberapa orang tahu, bahwa
Mahendra dan dua anaknya ada dikota itu, dan pada hari ini telah
meninggalkannya. Kedua anak muda yang ada dipasar itu tentu
kedua anak Mahendra."
"Kita belum pernah mengenal dengan baik orang yang bernama
Mahendra itu meskipun kita sudah mengenal namanya sebagai salah
seorang Senapati yang tidak terikat pada kedudukan keprajuritan. Ia
datang kekota itu untuk memperdagangkan barang-barang
berharga. Emas, intan dan sebagainya. Dengan demikian apakah
kita akan berhasil menyusulnya". Jika kita sudah menemukannya,
apakah kita dapat berbuat sesuatu atasnya."
"Kita bertiga."
Untuk beberapa saat tidak ada yang menjawab. Kedua orang
lainnya menjadi termangu-mangu. Namun kemudian yang tertua
diantara mereka berkata, "Kita tidak yakin bahwa kita akan berhasil
menguasai mereka. Karena itu, kita lebih baik membuat rencana lain
yang lebih baik daripada sekedar menuruti gejolak perasaan."
"Tetapi paman" berkata salah seorang yang lain , "jika benar
kedua anak-anak muda yang berada di dalam pasar itu adalah
kedua anak Mahendra, maka mereka tentu menertertawakan aku."
"Kenapa"." bertanya yang lain lagi.
"Aku mengaku bernama Mahisa Bungalan. Bukankah dengan
demikian mereka tahu pasti bahwa aku berbohong."
Yang tertua di antara merekapun kemudian berkata, "Ya, Mereka
mengetahui bahwa kau berbohong."
"Darimana paman mengetahuinya."
"Ketika ia bertanya kepadaku, apakah benar kau bernama Mahisa
Bungalan, dan aku membenarkannya, maka sambil tersenyum anakanak
itu mengatakan bahwa aku berbohong."
1447 "Setan alas." desis yang paling muda dari ketiga orang itu,
"mereka sepantasnya kita bunuh. Dengan demikian mereka tentu
tahu pasti, bahwa akulah Linggadadi."
"Kenapa kau menjadi cemas" bertanya kakaknya, "biar sajalah
mereka menetahui bahwa kau adalah Linggadadi, aku bernama
Linggapati. Apa yang dapat mereka lakukan". Mereka tentu juga
menyadari, bahwa mereka bertiga tidak akan dapat berbuat apa-apa
atas kita." "Mereka tidak mempedulikan kita." berkata yang paling tua.
Sejenak mereka bertiga termangu-mangu. Kemudian yang paling
tua itupun berkata., "Terserah kepada Angger Linggapati. Aku akan
menjalankan segala perintah."
Linggapati berpikir sejenak. Lalu, "Aku kira tidak ada gunanya
lagi menyusul Mahendra. Kita akan menemui kesu litan untuk
menemukan jejaknya, karena ia tidak melalui jalan ini. Mungkin ia
sudah jauh atau mungkin ia pergi ke arah yang sama sekali tidak
kita duga-duga. Apalagi kita memang tidak yakin akan dapat
berbuat sesuatu atas mereka bertiga, karena ternyata kedua anakanak
muda itu sudah memiliki kemampuan yang harus
diperhitungkan." "Jadi"." "Kita merubah arah. Kita pergi seperti rencana semula."
"Menemukan sarang orang-orang berilmu hitam"."
"Setidak-tidaknya mengetahui arahnya. Aku ingin membuat
hubungan. Tetapi jika hubungan itu gagal, aku ingin
menghancurkannya, agar mereka tidak mengganggu kepentingan
kita kelak." "Kita akan menyerang mereka"."
"Mungkin kita akan menyerang padepokan orang-orang berilmu
hitam. Tetapi mungkin kita dapat mempergunakan tangan orangorang
Singasari." 1448 Kedua orang yang lain mengangguk-angguk.
"Nah, sekarang, marilah kita pergi." berkata Linggapati
kemudian. Ketiganya pun kemudian meninggalkan warung itu tanpa minta
diri. Beberapa orang yang berada di dalam warung itupun
termangu-mangu. Mereka melihat ketiga orang itu jauh berbeda
sifat dan tingkah lakunya dengan tiga orang yang terdahulu.
"Mereka menyebut-nyebut beberapa nama" berkata salah
seorang yang duduk didalam warung itu, "tetapi tidak begitu jelas
kedengarannya." "Mereka menyebut nama Mahisa Bungalan."
"Tetapi juga Linggadadi, bahkan Linggapati."
"Membingungkan sekali." sahut penjual di warung itu, "tetapi
agaknya mereka itulah pembunuh orang-orang berilmu hitam.
Nampaknya mereka sendiri juga orang-orang kasar dan mungkin
juga kejam seperti orang berilmu hitam."
"Atau mungkin orang-orang berilmu hitam itu sendiri yang ingin
menuntut kematian kawan-kawannya"."
"Tentu tidak. Salah seorang dari mereka menyebut juga orangorang
berilmu hitam. Malahan mereka akan menghancurkan orangorang
berilmu hitam itu." Seorang yang berkulit kuning dan bermata lebar berkata sambil
menggelengkan kepalanya, "Aku tidak tahu. Kepalaku justru
menjadi pening, setelah jantungku rasa-rasanya akan rontok.
Sudahlah, kaki. Berapa aku harus membayar", Aku akan pulang
sebelum jalan di depan warung ini benar-benar menjadi jalur
kelompok-kelompok yang bertengkar itu saling bertemu."
Tetapi sebelum pemilik warung itu menjawab, mereka telah
dikejutkan lagi oleh derap kaki-kaki kuda. Seorang yang
menjengukkan kepalanya, melihat tiga ekor kuda berpacu meskipun
tidak begitu cepat. Tetapi kali ini dari arah lain.
1449 "Tiga orang berkuda lagi" desisnya.
"O, dari arah yang berlawanan. Apakah mereka tidak berpapasan
dengan ketiga orang itu"."
"Mungkin jalan yang dilalui berbeda dengan arah dari ketiga
orang itu. Diujung padukuhan itu ada simpang tiga. sedang di sisi
yang lain terdapat simpang empat."
Yang lain mengangguk-angguk. Tetapi hati mereka menjadi
berdebar-debar ketika kuda-kuda itu menjadi semakin dekat.
"Siapa lagi yang akan datang kali ini"." desis pemilik warung itu.
"Orang-orang berilmu hitam itu sendiri."
"O" wajah-wajah di dalam warung itu menjadi pucat. Tetapi
mereka justru bagaikan membeku, sehingga mereka tidak dapat
berbuat apapun lagi. Ketiga ekor kuda yang berderap itupun menjadi semakin dekat.
Dengan demikian maka orang-orang di dalam warung itu seakanakan
telah berkerut semakin kecil. Bahkan nafas mereka rasarasanya
menjadi sesak dan warung itu bagaikan bertambah sempit
sehingga dindingnya bagaikan menghimpit tubuh mereka.
Mereka sama sekali tidak berani bergerak ketika tiga ekor kuda
itu menjadi semakin dekat pula. Mereka berdoa mudah-mudahan
kuda-kuda itu tidak berhenti dimuka warung itu. Apa lagi
penunggangnya turun dan masuk ke dalamnya.
Tetapi darah mereka serasa membeku ketika mereka mendengar
bahwa ketiga ekor kuda itu ternyata kemudian berhenti tepat
dimuka pintu warung itu. Ketika terdengar derak pintu warung yang didorong dari luar,
seolah pintu ubun-ubun merekapun sudah terbuka, sehingga
sebentar lagi, nyawa merekapun akan meloncat keluar.
Seorang anak muda yang bertubuh kekar memasuki warung itu.
Sejenak ia berdiri di muka pintu sambil memperhatikan setiap orang
yang ada didalamnya. 1450 "Siapakah pemilik warung ini"." terdengar suaranya yang dalam
dan berat. Tidak ada seorang pun yang berani mengangkat wajah mereka.
Meskipun demikian, mereka telah mencoba memandang pemilik
warung dengan sudut matanya.
"Siapa"." anak muda itu mengulang.
Pemilik warung itu tidak dapat ingkar. Meskipun ia duduk di
antara para pembelinya, namun ia terpaksa mengangkat wajahnya
sejenak sambil menjawab, "Aku, aku Ki Sanak."
Anak muda itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Kau tidak
berada di tempatmu, sehingga aku kira pemiliknya sedang pergi." Ia
berhenti sejenak lalu katanya, "apakah masih ada tempat bagi kami
bertiga"." Pemilik warung itu termangu-mangu. Namun katanya dengan
suara gemetar , "Ya, ya. Silahkan Ki Sanak. Masih ada tempat bagi
kalian bertiga." Anak muda itu justru melangkah keluar untuk memberitahukan
kepada kedua kawannya, bahwa masih ada tempat bagi mereka.
Setelah menambatkan kuda mereka, maka ketiga orang itu pun
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kemudian memasuki warung yang dicengkam oleh suasana yang
aneh itu. Ketiga orang itu semula tidak begitu menghiraukan orang-orang
lain yang juga berada didalam warung itu. Namun lambat laun
mereka melihat juga suasana yang beku, Bahkan penjual di warung
itupun nampaknya tidak begitu ramah dan canggung.
Ketiga orang itu saling berpandangan sejenak. Namun mereka
pun, segera melihat suasana yang buram telah mencengkam seisi
warung itu. "Ki Sanak." berkata yang muda, "kami memerlukan minuman
panas." 1451 "O." pemilik itu tergagap. Dengan gemetar iapun kemudian
menyiapkan tiga mangkuk minuman panas.
Ketika pemilik warung itu menghidangkan mangkuknya, oleh
tangannya yang gemetar, maka minuman yang ada di dalamnya
pun telah terpercik dan membasahi pakaian salah seorang dari
ketiga orang itu. Justru yang paling muda di antara mereka.
Dengan gerak naluriah oleh percikan air panas, maka anak muda
itu pun meloncat berdiri. Namun agaknya geraknya itu justru
mengejutkan pemilik warung itu, sehingga mangkuk yang ada di
tangannya justru telah tertumpah.
Yang kemudian meloncat bukan saja anak muda itu. Tetapi
ketiga orang itu semuanya telah bergeser menghindari air yang
bukan saja panas, tetapi juga akan membasahi pakaian mereka.
Pemilik warung ilu menjadi semakin gemetar. Sejenak ia
dicengkam oleh kebingungan. Bahkan rasa-rasanya tubuhnya
menjadi beku dan mulutnya seperti tersumbat.
Anak muda yang terpercik air panas itupun kemudian berkata,
"Hati-hatilah Ki Sanak. Percikan airmu dapat membuat pakaian
basah dan mungkin dikerumuni semut, karena air panasmu berbau
gula kelapa", Bukankah kau menghidangkan air sere dengan gula
kelapa"." "Eh, ya, ya Ki Sanak" jawab pemilik warung itu tergagap, "tetapi,
tetapi aku sama sekali tidak sengaja."
"Aku sudah tahu bahwa kau tidak sengaja" jawab anak muda itu,
"karena itu, hati-hatilah. Untunglah, kami sempat menghindar
sehingga air sere itu tidak menyiram pakaian kami bertiga."
Pemilik warung itu menjadi semakin gemetar. Dengan wajah
yang tegang ia memandang ketiga orang yang kemudian duduk
kembali di tempatnya. "Nah, kami memesan lagi minuman. Kami memang haus. Tetapi
kamilah yang haus itu. Bukan pakaian kami."
1452 Pemilik warung itu masih gemetar. Tetapi ia telah menyiapkan
tiga mangkuk minuman lagi bagi ketiga tamunya. Betapapun ia
mencoba menenangkan hatinya dan berhati-hati. tetapi ketiga orang
itu melihat, bahwa penjual itu sedang diganggu oleh perasaan takut
dan gelisah. Tetapi mereka belum bertanya sesuatu. Mereka masih ingin
melepaskan haus mereka dahulu dengan semangkuk minuman
hangat. Pemilik warung itu menarik napas lega ketika mangkuknya tidak
tertumpah lagi. Dengan berbagai macam pertanyaan yang
menggelegak dihatinya tentang ketiga orang tamunya yang baru itu,
ia duduk di samping perapian seperti orang yang kedinginan.
Baru setelah ketiga orang tamunya itu menghirup separo isi
mangkuknya, maka salah seorang dari mereka bertuiya, "Aku
melihat suasana yang lain di dalam warung ini. Apakah benar
begitu"." Pemilik warung itu termangu-mangu, sedang orang-orang yang
ada di dalam warung itu bagaikan membeku.
"Apakah kalian berada dalam ketakutan?" bertanya orang yang
lain dari ketiga orang itu. T idak ada yang menjawab.
Karena itu maka yang paling muda di antara metekapun
kemudian berkata, "Baiklah. Agaknya kalian memang menyimpan
rahasia. Namun bagaimanapun juga, kami dapat melihat bahwa ada
yang kalian sembunyikan. Meskipun demikian kami tidak akan dapat
memaksa kalian untuk membuka rahasia itu."
Pemilik warung itu termangu-mangu. Ketiga orang ini mempunyai
pertanda yang lain lagi dari ketiga orang yang baru saja pergi.
Agaknya ketiga orang ini bukanlah kawan-kawan dari mereka yang
baru saja singgah mencari tiga orang yang lewat terdahulu.
Suasana di dalam warung itu menjadi sepi. Orang yang sudah
lebih dahulu ada di dalam warung itu, rasa-rasanya bagaikan
membeku. Mereka tidak dapat meninggalkan ruangan itu lebih
1453 dahulu oleh perasaan tidak menentu yang telah mencengkam
mereka. Tetapi sejenak kemudian, salah seorang dari ketiga orang yang
datang kewarung itu berkata, "Baiklah Ki Sanak. Jika kehadiran kami
telah mengganggu kalian, kami minta maaf Kami akan segera
melanjutkan perjalanan."
Kata-kata itu benar-benar telah menimbulkan tanggapan baru
bagi ketiganya. Sudah tentu dengan demikian mereka tidak berniat
buruk. Bahkan pemilik warung itupun kemudian menduga, bahwa
ketiganya benar-benar orang yang sedang lewat dan kehausan,
sehingga tidak mempunyai hubungan apapun juga dengan peristiwa
yang telah terjadi dikota kecil itu.
Karena itu, maka pemilik warung itu telah memberanikan diri
untuk bertanya, "Ki Sanak. Maaf bahwa sikap kami telah membuat
Ki Sanak ragu-ragu menghadapi kami. Sebenarnyalah bahwa kami
pun menjadi ragu-ragu terhadap setiap orang yang lewat karena
peristiwa yang baru saja kami alami."
"Apakah yang telah terjadi"." bertanya yang paling muda di
antara mereka bertiga. "Dikota kecil di sebelah ini telah terjadi malapetaka."
Ketiga orang itu ternyata telah tertarik kepada keterangan itu,
sehingga dengan serta merta hampir berbareng mereka bertanya,
"Apakah yang telah terjadi ?"
Pemilik warung itu menjadi ragu-ragu. Tetapi kemudian iapun
berkata, "Kota kecil itu telah diamuk oleh ketakutan setelah terjadi
peristiwa yang mengerikan di dalam pasar."
"Ya, apa yang telah terjadi itu" yang paling muda di antara
mereka tidak sabar lagi menunggu.
"Mahisa Bungalan dan Linggadadi, pembunuh orang-orang
berilmu hitam telah membunuh orang-orang berilmu hitam di dalam
pasar." 1454 "He." anak muda itu tersentak sehingga di luar sadarnya ia telah
meloncat berdiri. Ternyata sikap itu telah membuat pemilik warung dan beberapa
orang yang lain menjadi ketakutan kembali. Namun kawannya yang
lebih tua telah menggamitnya dan menyuruhnya duduk kembali.
"Dengarlah baik-baik" desis orang itu kepada yang paling muda.
Orang yang paling muda itu menarik nafas dalam-dalam. Sambil
mengangguk-angguk ia berkata, "Baiklah. Aku akan
mendengarkan." Tetapi pemilik warung itu telah dicengkam oleh ketakutan
sehingga untuk beberapa saat ia masih tetap berdiam diri.
"Nah, teruskan Ki Sanak. Kau tadi mengataakn bahwa Mahisa
Bungalan dan Linggadadi telah bersama-sama membunuh orangorang
berilmu hitam. Keterangan itu memang mengejutkan sekali,
Apalagi kau menyebut orang-orang berilmu hitam yang menakutkan
itu sehingga kemanakanku ini terkejut karenanya. Tetapi seterusnya
kami memang ingin mendengar agar kami tidak terperosok kedalam
peristiwa yang mengerikan itu pula."
Pemilik warung itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
iapun menceriterakan bahwa di pasar telah terjadi perkelahian yang
membingungkan antara beberapa kelompok yang semula tidak
diketahui siapakah mereka. Namun akhirnya tersebar berita bahwa
yang terlibat didalamnya adalah Mahisa Bungalan bersama
Linggadadi melawan orang-orang berilmu hitam. Tetapi selain
mereka masih ada lagi dua orang anak-anak yang masih terlampau
muda., "Selanjutnya kami tidak mengetahui dengan pasti. Yang
kami ketahui adalah bahwa pada hari ini, telah singgah di warung
kami, beberapa orang berkuda yang keluar dari kota kecil itu."
"Orang berilmu hitam itu ?"
"Kami tidak tahu pasti. Tetapi agaknya bukan mereka, meskipun
sikapnya juga mendebarkan jantung."
"Seperti kami bertiga ?" bertanya yang paling muda.
1455 "Tidak. Jauh berbeda."
Ketiga orang itu menjadi semakin tertarik kepada ceritera pemilik
warung itu. Karena itu maka salah seorang dari mereka
mendesaknya, "Ceriterakan Ki Sanak. Mungkin ceriteramu sangat
menarik." Pemilik warung itu termangu-mangu.
Orang yang paling muda dari ketiga orang itu tiba-tiba saja
melemparkan beberapa keping uang sambil berkata, "Ambillah.
Mungkin uang itu masih tersisa dari pembayaran makanan dan
minuman kami bertiga."
Pemilik warung itu terkejut. Ia memandang uang yang
berserakan di antara barang-barang jualannya.
"Ki Sanak. Kami bukan orang-orang yang akan berbuat apapun
juga. Jika kami sangat ingin mendengar ceriteramu, semata-mata
agar kami tidak terperosok kedalam keterlibatan yang sangat kami
cemaskan." Pemilik warung itu menatap wajah anak muda diantara ketiga
orang itu. Lalu katanya, "Kepada tiga orang yang kedua singgah di
warung ini aku tidak berterus terang tentang penglihatan kami atas
orang-orang berkuda yang lewat dijalan ini."
"Ada berapa kelompok orang-orang berkuda ?" bertanya anak
muda itu. "Tiga dengan kalian. Masing-masing tiga-tiga."
"O, coba ceriterakan."
Pemilik warung itupun kemudian dengan ragu-ragu mulai
berceritera tentang tiga orang berkuda yang pertama dan yang
kedua. "Sedang yang ketiga adalah Ki Sanak bertiga sekarang ini."
Ketiga orang itu mengangguk-angguk. Namun ternyata mereka
tidak memberikan tanggapan apapun juga. Yang dikatakan oleh
1456 salah seorang dari ketiga orang itu adalah, "Terima kasih Ki Sanak.
Kami akan mencoba menghindari mereka Di kota kecil itu pun kami
akan langsung menemui beberapa orang kenalan kami, agar tidak
terjadi salah paham dan mungkin beberapa pertanyaan dari
penghuninya. Adalah kebetulan pula bahwa kali ini kami pergi
bertiga" "Bagaimana jika kalian bertemu dengan orang-orang berilmu
hitam, atau orang-orang yang semacam itu. termasuk tiga orang
berkuda yang kedua singgah di warung kami ?"
"Kami akan menghindarkan diri jauh-jauh. Atau mungkin kami
akan mati membeku jika kami tidak berhasil lari dari mereka."
Pemilik warung dan orang-orang yang mendengar jawaban itu
menjadi ragu-ragu. Nampaknya mereka sangat merendahkan diri.
Meskipun mereka menyebut dirinya akan mati membeku, namun
nampaknya mereka sama sekali tidak menjadi ketakutan dan cemas.
Wajah mereka masih tetap cerah dan sikap mereka sama sekali
tidak berubah. Sejenak kemudian maka ketiga orang itupun minta diri. Yang
paling muda di antara mereka berkata, "Jika uang itu tersisa, biarlah
di sini. Ambillah. Aku mengucapkan terima kasih atas segala
keteranganmu. Mudah-mudahan kami tidak terperosok kedalam
kekalutan yang dapat mencelakai kami."
Pemilik warung itu hanya termangu-mangu saja kebingungan.
Sekali-kali ia memandang uang yang berserakan itu dengan sudut
matanya. Sesaat kemudian ketiga orang itu telah meloncat kepunggung
kuda masing-masing dan meneruskan perjalanannya justru menuju
kekota kecil yang diceriterakan oleh pemilik warung itu.
"Kau sudah berceritera tentang orang-orang berilmu hitam"
berkata salah seorang yang berada diwarung itu.
1457 "Nampaknya mereka orang baik" berkata pemilik warung itu
sambil memunguti beberapa keping uang yang di tinggalkan oleh
orang yang paling muda dari ketiga orang ber kuda itu.
"Ya. Nampaknya mereka orang baik" berkata yang lain, "apalagi
dengan uang itu." "Ada beberapa persamaan sikap antara ketiga orang yang
terakhir dengan ketiga orang yang pertama" berkata pemilik warung
itu. "Ya Meskipun yang pertama sekali-kali menyebut tentang kulit
yang terkelupas-" "Dan sikap ketiga orang yang terakhir yang nampak garang
ketika mereka hampir tersentuh air panas yang tertumpah."
"Kau tidak berhati-hati. Untunglah mereka orang baik. Justru kau
mendapat uang begitu banyak. Jika orang-orang itu termasuk
pemarah dan orang-orang kasar seperti tiga orang yang kedua
singgah di warung ini, mungkin kulitmu benar-beanr akan
dikelupas." Bulu-bulu tengkuk pemilik warung itu mememang. Namun
kemudian ia berkata kepada orang-orang yang berada diwarungnya,
"Kalianpun akan mendapat bagian dari uang itu. Hari ini kalian
hanya akan membayar separo dari yang seharusnya, Aku tentu tidak
akan mengalami kerugian karena uang ini."
"He" orang-orang yang ada di dalam warung itu membelalakkan
matanya, "terima kasih" jawab yang gemuk, "untunglah aku belum
meninggalkan warung ini dan belum membayar pula."
Demikianlah maka orang-orang yang masih ada didalam warung
itu hanyalah dipungut separo dari yang seharusnya mereka bayar.
Dengan bibir yang tersenyum ramah, mereka mulai menghitung
makanan yang telah mereka makan dan minuman yang telah
mereka minum. 1458 "Tutup sajalah warungmu hari ini" berkata salah seorang dari
mereka, "sebelum tiga orang yang lain lagi akan lewat. Dan mereka
adalah orang-orang berilmu hitam."
Pemilik warung itu termangu-mangu. Tetapi ia menjadi ngeri
juga bahwa orang-orang berilmu hitam akan benar-benar lewat dan
apa lagi singgah diwarungnya. Mereka tentu akan berlaku kasar
seperti yang mereka lakukan dipasar. Hampir setiap orang dapat
menceriterakan pengalaman seorang anak muda yang hampir mati
dicincang oleh orang-orang berilmu hitam itu tanpa berbuat
kesalahan apuapun, karena orang-orang berilmu hitam itu sekedar
ingin menakut-nakuti lawannya.
"Baiklah" berkata pemilik warung itu, "warung ini lebih baik aku
tutup saja. Aku akan membawa sisa makanan pulang ke rumah.
Anak-anakku tentu akan senang sekali. Biasanya mereka tidak
pernah dapat ikut makan barang-barang daganganku, selain
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sepotong-sepotong yang aku berikan kepada mereka. Kali ini
mereka akan mendapat agak banyak, karena aku pun telah
mendapat uang buat menyiapkan dagangan besok pagi."
Dengan demikian ketika orang-orang yang berada di warung itu
pergi, maka pemilik warung itu pun kemudian menutup pintu dan
mengemasi barang dagangannya yang tersisa. Setelah
memadamkan api di perapian dan membersihkan amben besarnya,
maka ia pun segera meninggalkan warungnya sambil membawa
barang-barangnya di dalam bakul.
Dalam pada itu, ketika orang berkuda yang baru saja
meninggalkan warung itupun telah berpacu langsung menuju kekota
kecil yang baru saja dicengkam oleh kengerian dan ketakutan
karena orang-orang berilmu hitam yang terbunuh di pasar. Mereka
mempunyai perhitungan, bahwa pada suatu saat orang-orang
berilmu hitam yang lain akan berkeliaran di kota itu dan membuat
kerusuhan-kerusuhan yang mengerikan sekali. Mereka tentu ingin
membalas dendam atas kematian kawan-kawannya. Jika mereka
tidak menemukan Mahisa Bungalan dan Linggadadi yang mereka
sangka telah membunuh orang-orang berilmu hitam itu, mereka
1459 tentu akan melepaskan dendamnya kepada siapapun juga yang
mereka jumpai. Ketika mereka menjadi semakin dekat dengan pintu ger bang
kota kecil itu, maka orang yang paling muda di antara mereka
bertiga itupun bertanya, "Apakah yang akan kita lakukan kemudian
paman?" Kedua orang yang lain berpikir sejenak. Salah seorang dari
mereka pun kemudian berkata, "Tentu mengherankan bahwa
mereka menyangka bahwa Mahisa Bungalan dan Linggadadi telah
bersama-sama melakukan pembunuhan atas orang-orang berilmu
hitam itu." "Agaknya berita yang tersebar di sekitar kota ini benar-benar
membingungkan. Setiap orang akan mendapat gambaran yang
salah tentang apa yang sebenarnya terjadi."
"Tetapi yang pasti" sahut yang lain, "beberapa orang telah
terbunuh di dalam pasar."
"Kita akan mendapat berita yang lain dikota kecil itu. Mudahmudahan
dapat memperjelas apa yang sebenarnya sudah terjadi."
"Atau justru membuat kita semakin bingung."
Ketiganya mengangguk-angguk. Namun yang paling muda
berkata, "kita akan melihat paman."
Kuda-kuda itu pun berpacu semakin cepat. Sementara itu
gerbang kota kecil itu pun kemudian sudah nampak dari kejauhan
sehingga mereka mulai memperlambat derap kudanya.
"Paman" berkata yang paling muda di antara mereka, "aku
mempunyai dugaan aneh kepada tiga orang yang terdahulu singgah
di warung itu." "Dugaan apa?" bertanya yang lain.,
"Aku mengira bahwa mereka adalah ayah Mahendra dengan
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat."
1460 "Darimana kau menduga demikian ?"
"Sifat-sifat mereka yang dikatakan oleh pemilik warung itu. Tentu
Mahisa Pukat yang telah menakut-nakuti orang-orang di warung itu
dengan menyebutnyebut pisang yang terkelupas atau semacam itu."
Kedua orang yang lain tersenyum. Salah seorang berkata,
"Memang mungkin sekali. Tetapi kenapa mereka tiba-tiba berada di
kota kecil itu?" "Ayah adalah seorang penjual barang-barang perhiasan dan wesi
aji. Mungkin beberapa sahabat ayah di kota kecil itu memesan
berbagai bentuk keris atau mungkin barang-barang perhiasan emas
dan intan. Bahkan ayah juga sering membawa batu-batu akik dan
permata-permata yang lain."
Yang lain Mengangguk-angguk.
"Paman" berkata yang muda, "Nama Mahisa Bungalan telah
benar-benar dipertentangkan dengan orang-orang berilmu hitam."
"Karena itu kau harus berhati-hati. Dan sebaiknya kau tidak
mempergunakan nama itu disembarang tempat. Bukan berarti kau
bersembunyi atau ingkar akan tanggung jawab. Tetapi sekedar
untuk menghindari benturan-benturan yang tidak berarti agar usaha
kita untuk menemukan orang-orang berilmu hitam itu dapat
berhasil." "Dan apakah paman berdua juga akan mempergunakan nama
lain " Bukan lagi paman Witantra dan Mahisa Agni ?"
Keduanya mengerutkan keningnya. Sejenak kemudian
Witantralah yang menjawab, "Agaknya demikian Mahisa Bungalan.
Dengan tanpa dibebani nama-nama itu. kita akan dapat berbuat
lebih banyak." "Baiklah paman" berkata Mahisa Bungalan, "tetapi dengan
demikian, kemanakah kita akan langsung menuju " Aku mengerti
beberapa orang kawan ayah di kota itu. Tetapi dengan demikian aku
tidak dapat menyembunyikan namaku dan juga sudah tentu bahwa
aku adalah anak Mahendra akan segera diketahui orang."
1461 Mahisa Agni dan Witantra tidak segera dapat menjawab. Sejenak
mereka mencoba merenungi, yang manakah yang sebaiknya mereka
lakukan Dengan ragu-ragu Witantra kemudian berkata, "Mahisa
Bungalan. Bagaimanakah jika kita singgah kerumah salah seorang
kawan ayahmu dan berterus terang, bahwa kita mempergukan
nama lain dikota kecil itu justru untuk mengetahui perkembangan
kota itu sepeninggalan ayahmu dan mungkin benar bahwa
Linggadadi juga pernah datang kekota itu."
Mahisa Bungalan ragu-ragu. Katanya, "Jika orang itu dapat
diyakinkan, demi keamanannya sendiri, maka aku kira ia tidak akan
berkeberatan." "Itulah yang meragukan"
"Tetapi mungkin dapat kita coba paman. Aku mengenal seorang
kawan ayah yang cukup kaya dikota kecil itu."
Mahisa Agni dan Witantra Mengangguk-angguk. Agaknya mereka
sependapat dengan Mahisa Bungalan untuk mencoba menghubungi
kawan Mahendra yang telah dikenal oleh Mahisa Bungalan itu.
Kedatangan mereka di kota kecil itu telah menarik perhatian
beberapa orang. Demikian mereka memasuki pintu gerbang kota,
beberapa orang telah mulai berbisik-bisik tentang mereka bertiga.
"Tiga orang pimpinan dari orang-orang berilmu hitam yang ingin
membalas kematian kawan-kawannya" desis seseorang.
"Nampaknya bukan dari mereka. Tetapi entahlah, siapa tahu"
"Wajahnya nampaknya penuh dengan rahasia"
"Tetapi pengaruh wibawanya lain sekali dengan orang orang
berilmu hitam yang terbunuh di pasar itu, yang justru mula-mula
berusaha menakut-nakuti lawannya. Namun yang akhirnya justru
lawannya telah melakukan kekejaman yang luar biasa."
"Yang tidak ada bedanya dengan orang-orang berilmu hitam itu
sendiri." 1462 Tidak seorang pun yang mengetahui siapakah mereka bertiga
dan kenapa mereka datang ketempat mereka, yang baru-baru saja
telah dikacaukan oleh peristiwa yang mengerikan itu.
Tetapi tiba-tiba saja seseorang yang berdiri termangu-mangu di
pinggir jalan meloncat maju sambil melambaikan tangannya ."He,
kau." Mahisa Bungalan terkejut. Orang itu adalah kawan ayahnya.
Satu-satunya kawan ayahnya yang mengenalnya, bahwa Mahisa
Bungalan adalah anak Mahendra. Sedang sahabat-sahabat dan
langganan ayahnya yang lain tidak ada yang mengenalnya sebagai
anak Mahendra. Jika ada orang lain yang dikenalnya, maka orang
itu justru tidak mengetahuinya bahwa ialah Mahisa Bungalan anak
Mahendra yang mereka kenal sebagai pedagang permata. Bahkan
beberapa orang meskipun pernah mendengar nama Mahendra,
namun mereka sama sekali tidak menghubungkan nama itu dengan
Mahendra, yang mempunyai seorang anak laki yang bernama
Mahisa Bungalan bergelar pembunuh orang berilmu hitam.
Mahisa Bungalan segera meloncat turun dari kudanya ke tika
orang itu mulai menyapanya, "Kemana kau he ?"
"Ssst" desis Mahisa Bungalan, "jangan sebut namaku"
Orang itu mengerutkan keningnya. Lalu sambil tersenyum ia
berbisik, "Aku mengerti. Bukankah kau telah membunuh orang
berilmu hitam di pasar itu ?"
"Bukan aku" "He. Berita itu telah tersebar. Mahisa Bungalan dan Linggadadi."
"Berita itu tidak benar. Aku baru datang hari ini. Bahkan aku
sebenarnya ingin singgah kerumah paman. Aku datang bersama
kedua pamanku." Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian timbullah
keinginannya untuk mengetahui ceritera Mahisa Bungalan tentang
dirinya. Karena itu maka iapun berkata, "Baiklah. Singgahlah
kerumahku. Aku akan segera pulang."
1463 "Apakah paman akan mempergunakan kudaku ?"
"Tidak. Aku akan cepat-cepat berjalan pulang. Kau dapat berkuda
melalui pasar yang masih sepi. Sedang aku akan melintas jalan
sempit itu." Mahisa Bungalan pun kemudian meneruskan perjalanannya
melalui jalan-jalan di kota kecil itu. Beberapa orang masih saja
mengawasinya. Apalagi ketika mereka bertiga melewati pasar yang
sepi. Orang-orang yang ada di sekitar tempat itu memandang
mereka dengan cemas. "Ki Anjas menyangka bahwa akulah yang telah membunuh
orang-orang berilmu hitam itu."
"Bagaimana ia dapat menyangka demikian?" bertanya Mahisa
Agni. "Ia tidak melihat sendiri. Tentu ia hanya mendengar orang-orang
itu saling berceritera. Dan ia menduga bahwa yang di ceriterakan itu
adalah aku. Jika ia telah berceritera serba sedikit tentang aku,
mungkin aku tidak dapat bersembunyi lagi dikota kecil ini."
Tetapi orang-orang yang melihat siapakah yang telah berkelahi di
pasar itu justru akan yakin bahwa bukan kaulah orangnya yang
telah membunuh orang-orang berilmu hitam itu." sahut Witantra
"Kita akan melihat. manakah yang menguntungkan paman.
Tetapi seandainya aku tidak dapat bersembunyi lagi apa boleh buat.
Bukankah begitu paman ?"
Mahisa Agni tersenyum. Katanya, "Aku tahu Bungalan, bahwa
sebenarnya itulah yang kau inginkan. Dan akupun mengerti bahwa
kau masih dengan mudah dibakar oleh gejolak darah mudamu."
Mahisa Bungalan termenung sejenak. Namun ia pun kemudian
tersenyum sambil berkata, "Entahlah paman" Tetapi aku sudah
berusaha untuk menahan diri, agar aku tidak terjerumus kedalam
pilihan yang salah. Apalagi menghadapi orang berilmu hitam."
1464 Witantra dan Mahisa Agni Mengangguk-angguk. Namun masih
nampak senyum di bibir mereka.
Demikianlah mereka pun berkuda di sepanjang jalan kota kecil
yang tidak begitu ramai itu.
Namun dengan demikian, ternyata kehadiran mereka bertiga
telah menumbuhkan persoalan yang bermacam-macam di dalam
lingkungan hidup orang-orang yang sedang dicengkam oleh
kecemasan itu. Rasa-rasanya bau darah di pasar itu masih belum
lenyap. Dan kini mereka telah dikejutkan lagi oleh derap kaki-kaki
kuda yang menyusuri kota mereka yang sebelumnya terasa tenang
dan sepi. Beberapa lama kemudian, maka Mahisa Bungalan pun menunjuk
pada sebuah regol halaman rumah yang luas. Kata nya, "Itulah
rumahnya." "Apakah kau sudah mengenalnya dengan baik ?"
"Belum begitu akrab. Tetapi ia adalah salah seorang langganan
ayah yang dekat. Aku kira ia adalah Satu-satunya orang yang
mengenal aku disini."
"Baiklah. Tetapi kita harus tetap berhati-hati."
Demikianlah mereka pun kemudian memasuki regol rumah Ki
Anjas itu dengan ragu-ragu. Satu-satu mereka meloncat turun dari
kuda mereka dan menuntunnya memasuki regol halaman yang luas
itu. Dengan tergesa-tergesa Ki Anjas pun menyambut mereka
dihalaman. Kemudian mempersilahkan mereka naik kependapa
setelah membersihkan kaki mereka di jambangan di ujung tangga.
Sejenak mereka saling memperkenalkan diri dan bertanya
tentang keselamatan masing-masing- Baru kemudian Ki Anjas mulai
bertanya kepada Mahisa Bungalan tentang peristiwa yang pernah
terjadi di pasar itu. 1465 "Aku sama sekali tidak mengerti Ki Anjas" jawab Mahisa
Bungalan. Berita yang tersebar di daerah ini mengatakan, bahwa salah
seorang pembunuh itu menyebut dirinya bernama Mahisa Bungalan.
Tetapi seseorang berbisik dipintu regol pasar, bahwa yang telah
membunuh itu di antaranya bernama Linggadadi."
Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Katanya" Tentu
ada orang yang mengaku namaku. Mungkin dengan sengaja untuk
menumbuhkan benturan antara aku dan orang-orang berilmu hitam
itu." "Mahisa Bungalan" berkata Ki Anjas, "aku sebenarnya sudah
mengetahui bahwa ayahmu, yang sering membawa wesi aji dan
batu akik itu bukan orang kebanyakan. Namanya justru pernah
disebut-sebut dalam hubungannya dengan para Senapati prajurit di
Singasari." Mahisa Agni dan Witantra menjadi berdebar-debar. Tetapi karena
mereka telah memperkenalkan diri mereka tidak dengan nama
mereka yang sebenarnya, maka mereka pun tidak berusaha
mengalihkan pembicaraan."
"Apakah Ki Anjas yakin, bahwa Mahendra yang sering di sebutsebut
bersama para Senapati itu adalah Mahendra ayahku ?"
"Ya." kemudian Ki Anjas bergeser mendekat, seolah-olah ia raguragu
mengatakannya, "kau sangka aku tidak mempunvai dugaan
yang pasti, bahwa dua orang adikmu yang pada saat ayahmu
datang kekota ini ikut serta, adalah anak-anak muda yang luar
biasa" Tidak seorang pun yang tahu, bahwa keduanya adalah anak
Mahendra. Juga tidak banyak orang yang memperhatikan bahwa
Mahendra sendiri lelah datang ke pasar itu. He, kau jangan menipu
aku. Seorang dari mereka tentu Mahisa Bungalan."
"Kesimpulan yang salah," sahut Mahisa Bungalan, "Mahendra
yang menjadi perwira cadangan di Singasari itu tentu bukan
Mahendra ayahku yang kerjanya sehari-hari hanyalah berdagang
batu akik." 1466 Ki Anjas tertawa. Katanya, "Jangan membohongi orang tua
seperti aku. Hanya orang yang percaya kepada diri sendiri sajalah
yang berani membawa perhiasan dan batu-batu berharga sepeti
kecil penuh." Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Tetapi
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
jika Ki Anjas sempat membawa seseorang yang melihat dengan
mata kepala sendiri peristiwa di pasar itu tentu akan mengatakan
bahwa ia tidak melihat aku di antara mereka."
Ki Anjas mengerutkan keningnya.
"Kau berkata sebenarnya?"
"Aku tidak berbohong" jawab Mahisa Bungalan.
Ki Anjas memperhatikan kedua orang yang datang bersama
Mahisa Bungalan itu satu persatu. Tetapi ia sama sekali tidak
mengenal mereka sebagai Mahisa Agni dan Witantra, karena
keduanya memperkenalkan dirinya dengan nama yang lain itu.
"Ah sudahlah" berkata Ki Anjas, "aku tidak mau di bingungkan
oleh peristiwa yang sudah lewat. Nah, sekarang apakah
keperluanmu datang kemari ?"
Mahisa Bungalan menjadi bingung sejenak. Namun kemudian ia
berkata, "Justru karena tersebar nama Mahisa Bungalan dan
Linggadadi, pembunuh orang-orang berilmu hitam. Karena itu
paman, aku mohon paman menyebutku dengan nama lain."
"Kenapa?" "Supaya usahaku menemukan kebenaran tentang peristiwa itu
tidak terganggu oleh prasangka yang tidak dikehendaki."
Ki Anjas termangu-mangu sejenak. Bahkan kemudian
dipandanginya Mahisa Agni dan Witantra yang telah
mempergunakan nama lain itu berganti-ganti, seolah-olah ia ingin
mendapatkan penjelasan lebih banyak tentang keterangan Mahisa
Bungalan. 1467 Tetapi agaknya Mahisa Agni dan Witantra justru menundukkan
kepalanya tanpa memberikan isyarat apapun juga.
"Mahisa Bungalan" berkata Ki Anjas, "jika pada suatu saat,
orang-orang berilmu hitam itu datang lagi ke kota ini untuk
mengusut sebab-sebab kematian kawan-kawannya, sedangkan pada
suatu saat mereka mengenal bahwa kau adalah Mahisa Bungalan,
maka apakah kau telah mempersiapkan diri menghadapi
kemungkinan itu dengan kedua kawanmu ini ?"
"Karena itu, aku tidak ingin disebut namaku paman."
"Jika terpaksa. Aku mengatakannya jika secara kebetulan atau
dengan cara apapun juga, mereka mengenalmu, apakah kedua
orang kawanmu ini dapat kau bawa untuk menghadapi segala
kemungkinan" Menilik sikap dan tubuhnya, mereka cukup
meyakinkan. Tetapi sebenarnya mereka sudah terlalu tua untuk
menghadapi orang-orang berilmu hitam itu."
Mahisa Agni menarik nafas, sedang Witantra bergeser setapak,
"Apakah paman dapat mengatakan serba sedikit tentang orang
berilmu hitam itu?" bertanya Mahisa Bungalan.
"Aku tidak melihat mereka. Tetapi menurut orang-orang yang
menyaksikan, perkelahian itu ternyata sangat dahsyatnya. Sungguh
di luar kemampuan mereka untuk menilai." Namun Ki Anjas tiba-tiba
saja terdiam. Dipandanginya Mahisa Agni dan Witantra sambil
berdesis, "He, apakah salah seorang kawanmu ini bernama
Linggadadi?" "Bukan paman. Bukankah mereka sudah memperkenalkan
dirinya. Yang seorang ini benar-benar bernama Lumban dan yang
lain paman Werdi. Bukankah nama mereka bukan Linggadadi."
"Ya" sahut Ki Anjas, "menurut orang-orang yang menyaksikan,
yang seorang sudah tua, tetapi yang dua orang masih muda."
"Dan sekali lagi aku ingin memastikan bahwa dugaan itu sama
sekali tidak mendasar. Sebaiknya paman memanggil seseorang yang
menyaksikan perkelahian itu dan biarlah orang itu mengatakan
1468 bahwa ketiga orang itu sama sekali bukan kami bertiga atau salah
satu di antara kami."
Ki Anjas mengangguk-angguk. Katanya, "Aku mulai percaya
kepadamu. Dan sekarang, apakah yang akan kau lakukan?"
"Paman," berkata Mahisa Bungalan, "apakah aku boleh bermalam
di rumah paman untuk beberapa hari ?"
Ki Anjas menjadi ragu-ragu. Jika kemudian ternyata orang-orang
berilmu hitam itu mengetahui, bahwa Mahisa Bungalan tinggal
bersamanya, maka rumahnya akan dapat menjadi sasaran
kemarahan orang-orang berilmu hitam itu. Tetapi menurut
perhitungannya, jika benar-benar Mahisa Bungalan menyamarkan
namanya, maka tentu tidak akan ada orang yang mengetahui
bahwa yang tinggal bersamanya itu adalah benar-benar Mahisa
Bungalan. Apa lagi sementara Mahisa Bungalan berada di
rumahnya, maka tentu rumahnya akan menjadi aman dan tidak
akan terganggu meskipun oleh orang-orang berilmu hitam. Karena
yang tinggal di rumahnya itu adalah Mahisa Bungalan, yang
mendapat gelar, dikehendaki atau tidak, pembunuh orang-orang
berilmu hitam. Mahisa Bungalan menunggu jawaban Ki Anjas dengan ragu-ragu.
Jika Ki Anjas berkeberatan, maka ia tidak mempunyai gambaran
kemana lagi ia akan mencari tempat untuk bermalam. Apalagi
beberapa hari. "Jika terpaksa, kami akan bermalam dipasar itu" berkata Mahisa
Bungalan di dalam hatinya, "tetapi dengan demikian kami akan
dapat diusir oleh para peronda di malam hari."
Baru sejenak kemudian Ki Anjas Mengangguk-angguk sambil
berkata, "Baiklah Mahisa Bungalan. Aku mempunyai pertimbangan
yang bertentangan. Kadang-Kadang aku menjadi cemas, bahwa jika
samaran namamu itu pada suatu saat terbuka, maka rumahku akan
dapat dijadikan debu oleh orang-orang berilmu hitam, termasuk
keluargaku. Tetapi jika samaranmu rapat, maka aku tidak akan
mengalami apapun juga."
1469 "Aku akan berusaha untuk merahasiakan diriku sebaik-baiknya
paman." "Kau tahu, taruhannya amat mahal bagiku."
"Aku tahu. Dan karena itulah aku pun mohon, agar paman tidak
keliru menyebut namaku."
"Nah, dengan nama siapakah aku harus memanggilmu ?"
"Terserah kepada paman. Nama yang manakah yang paling baik
buatku." Ki Anjas termangu-mangu sejenak, lalu, "Namamu Singkir.
Jangan lupa." "Baik paman. Namaku sekarang adalah Singkir. Nama yang baik
sekali bagiku." "Kau adalah kemanakanku. Dan kedua kawanmu ini adalah
sahabatku. Dengan demikian, maka tidak akan timbul kecurigaan
apapun di antara para tetangga dan terlebih-lebih jika tanpa kita
ketahui, hadir orang-orang berilmu hitam itu."
"Baik paman. Aku akan selalu ingat."
"Nah, jika demikian marilah, aku akan menunjukkan dimana kau
harus tidur. Ingat keluargaku sendiri harus tidak boleh mengetahui
namamu yang sebenarnya. Apalagi para pembantu Jika salah
seorang saja dari mereka mendengar namamu maka mereka akan
dengan bangga mengatakan kepada semua orang yang dikenalnya,
bahwa Mahisa Bungalan, pembunuh orang berilmu hitam itu berada
di s ini." Demikianlah, maka Mahisa Agni, Witantra dan Mahisa Bungalan
mendapat tempatnya di dalam gandok. Mereka mendapat
kesempatan untuk bermalam di rumah itu beberapa hari. Tetapi
dengan pesan, agar tidak seorang pun yang mengetahui siapakah
mereka itu, justru yang dikehendaki oleh Mahisa Bungalan sendiri.
Di hari berikutnya, maka Mahisa Bungalan bersama Mahisa Agni
dan Witantra telah mencoba berjalan-jalan menyusuri jalan- jalan
1470 kota kecil yang tidak begitu ramai itu. Mereka melihat tata
kehidupan yang sebenarnya tenang dan tidak banyak di bayangi
oleh persoalan-persoalan yang rumit. Kota kecil itu tidak ubahnya
merupakan pusat kegiatan pedagang dari padukuhan-padukuhan di
sekitarnya, sehingga tumbuh menjadi lebih ramai dari sebuah
padukuhan biasa. Apalagi karena penduduknya pandai
memanfaatkan keadaan itu, mereka telah membuat tempat tinggal
mereka menjadi sebuah kota, lengkap dengan dinding batu yang
meskipun tidak terlalu tinggi. Gerbang di beberapa penjuru dan
sebuah pasar yang semakin lama menjadi semakin ramai. Pasar
yang ternyata bukan saja merupakan pusat penjualan hasil sawah
dan hasil kerja tangan mereka, tetapi juga merupakan arena
pertukaran beberapa macam kebutuhan hidup yang semakin lama
menjadi semakin banyak ragamnya.
Tetapi ternyata pasar itu kemudian telah dinodai dengan darah.
Karena itu, ketika Mahisa Bungalan bersama kedua pamannya
sampai ke gerbang pasar itu, mereka melihat pasar itu masih agak
sepi. Masih belum banyak orang yang berani datang ke pasar
karena peristiwa yang baru saja terjadi.
Dengan ragu- ragu Mahisa Bungalan masuk ke dalamnya.
Dilihatnya berbagai macam kegiatan yang masih nampak canggung.
Tetapi agaknya para penjual kebutuhan sehari-sehari terutama
untuk hidup, sudah mulai menjadi ramai kembali.
Di sudut pasar, beberapa orang pandai besi telah menyalakan
perapiannya. Mereka sudah mulai menempa meskipun dengan agak
ragu- ragu. Sedangkan beberapa orang yang sedang berbelanja pun
nampaknya masih terlalu tergesa-gesa.
"Hanya ada sebuah warung yang mulai menjajakan makanan dan
minuman" desis Mahisa Bungalan.
"Kau lapar ?" bertanya Witantra.
"Tidak. Tetapi apakah kita dapat mendengar beberapa ceritera
dari penjual diwarung itu ?"
1471 "Ceritera yang tersebar tidak akan terlalu banyak bedanya
dengan yang akan diceriterakannya. Tetapi karena orang itu
agaknya melihat sendiri apa yang terjadi, mungkin ada juga baiknya
kita berbicara sekedarnya dengan mereka."
"Marilah paman. Barangkali ada juga baiknya kita singgah
sebentar." "Tetapi ingat, namamu adalah Singkir" berkata Witantra, "dan
agaknya kita harus mempertimbangkan pendapat Ki Anjas jika ia
melihatnya kita berada di warung itu."
"Kenapa paman ?"
"Seolah-olah apa yang dihidangkannya kepada kita masih belum
cukup, sehingga kita masih harus singgah ke dalam warung untuk
memesan makanan dan minuman."
"Kita memang harus menjelaskan kepadanya, bahwa jika kita
singgah ke dalam warung itu, bukannya karena yang
dihidangkannya kita anggap kurang cukup, tetapi karena ada
kepentingan-kepentingan yang lain."
Demikianlah maka mereka bertiga pun memasuki satu-satuya
warung yang telah menjajakan jualannya.
Namun agaknya kehadiran mereka bertiga benar-benar telah
menarik perhatian. Bagaimanapun juga, mereka melihat kelainan
pada Mahisa Bungalan, Mahisa Agni dan Witantra.
Setelah mendapatkan masing-masing semangkuk minuman
panas, maka Mahisa Bungalan pun mencoba untuk memancing
keterangan dari penjaual di warung itu tentang peristiwa yang telah
terjadi di dalam pasar itu.
"Apakah Ki Sanak bertiga bukan penduduk kota kecil ini?"
bertanya penjual itu. "Bukan," jawab Mahisa Bungalan, "aku adalah kemanakan Ki
Anjas. Baru kemarin aku datang. Kota ini menjadi bertambah sepi,
1472 sedangkan pada beberapa saat yang lalu, aku melihat gejala
perkembangan yang cepat."
"Apakah Ki Anjas tidak mengatakan apa-apa kepadamu?"
"Tentu. Paman menceriterakan serba sedikit tentang peristiwa
yang terjadi di pasar ini. Tetapi karena saat itu paman tidak berada
di pasar ini, maka ia hanya berdasar kepada ceritera-ceritera yang
didengarnya." "Tentu Ki Anjas sudah menceriterakan semuanya. Yang
diketahui, tentu yang aku ketahui dan sebaliknya."
Mahisa Bungalan Mengangguk-angguk. Lalu, "Kau melihat dua
orang anak muda yang menurut Ki Anjas, terlibat juga dalam
perkelahian itu?" "Ya. Aku melihatnya. Tetapi aku tidak dapat mengatakan apa-apa
tentang keduanya karena mula-mula keduanya tidak menunjukkan
sesuatu yang lain dari orang-orang yang ada di pasar ini. Baru
kemudian setelah terjadi pertengkaran itu, nampaknya ia bukan
orang kebanyakan." "Kau tahu nama dari orang-orang yang berkelahi itu?"
"Mahisa Bungalan dan yang lain disebut Linggadadi. Hanya itu
selain lawan mereka, orang-orang berilmu hitam."
Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Ia kini yakin,
bahwa nama Mahisa Bungalan telah dipertentangkan langsung
dengan orang-orang berilmu hitam. Tetapi demikian juga
Linggadadi. Beberapa saat mereka masih duduk di warung itu menghabiskan
minuman panas dan beberapa potong makan. Kemudian setelah
membayar harga minuman dan makanannya, maka mereka bertiga
pun meninggalkan warung itu.
Hampir sehari penuh mereka berjalan-jalan. Bahkan tidak hanya
di dalam kota, bahkan mereka telah keluar pintu gerbang kota kecil
itu dan menyusuri bulak-bulak persawahan yang sebagian adalah
1473 milik orang-orang yang tinggal di dalam kota itu juga, namun masih
menggantungkan penghidupan mereka dari hasil sawahnya,
sedangkan sebagian yang lain adalah mereka yang sengaja
menyediakan tenaganya untuk membuat alat-alat pertanian dan
alat-alat rumah tangga yang lain.
Tetapi dalam pengamatan mereka bertiga, tidak ada tanda-tanda
sama sekali, bahwa akan timbul lagi keributan dikota kecil itu
Namun demikian, keadaan yang tiba-tiba memang dapat saja
terjadi. "Mungkin saat ini segerombolan orang-orang berilmu hitam itu
sedang menuju kekota ini" desis Mahisa Bungalan.
Mahisa Agni dan Witantra mengangguk-angguk.
"Itu mungkin sekali" jawab Witantra, "dendam yang memang
sudah membara di dada mereka, akan segera berkobar di dalam
sarang mereka. Dan memang mungkin sekali akan datang orangorang
yang mengindap dendam itu di dalam dirinya."
"Apakah kita akan berada di tempat ini beherapa hari seperti
yang kita rencanakan paman?" bertanya Mahisa Bungalan.
"Ada juga baiknya" jawab Mahisa Agni, "dengan demikian kita
akan meyakinkan diri, bahwa orang-orang berilmu hitam itu benarbenar
tidak mendendam kepada kota ini, tetapi kepada Mahisa
Bungalan dan Linggadadi."
Mahisa Bungalan tersenyum. Katanya, "Baiklah. Kita akan berada
di tempat ini untuk beberapa hari."
Dalam pada itu, di perguruan ilmu hitam, Empu Baladatu yang
sedang berkumpul dengan murid-muridnya, Rasa-rasanya tidak
dapat menahan dirinya lagi. Kemarahan yang hampir tidak dapat
dikendalikan telah meledak di dadanya.
Kematian yang berturut-turut menjerat anak-anak muridnya,
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
membuatnya seperti orang gila.
1474 "Mereka adalah anak-anak yang paling dungu dari perguruan ini.
Kenapa mereka tidak dapat mempertahankan diri dan bahkan
semuanya dapat ditumpas oleh Mahisa Bungalan anak Mahendra
dan Linggadadi yang masih belum kita kenal dengan pasti itu ?"
Tidak seorang pun dari murid-muridnya yang berani mengangkat
wajahnya. "Kita sudah kehilangan kesempatan untuk mendapatkan seorang
korban. Purnama sudah naik malam ini. Bahkan kita telah
kehilangan lagi beberapa orang dari lingkungan kita."
Murid-muridnya masih tetap menundukkan kepalanya.
"He, apakah kalian tuli?" tiba-tiba saja Empu Baladatu berteriak
sehingga murid-muridnya terkejut karenanya.
Namun dengan demikian mereka telah mengangkat wajah
masing-masing meskipun dengan hati yang berdebar-debar. Dengan
ragu-ragu mereka memandang wajah Empu Baladatu yang merah
membara. "Siapakah dari antara kalian yang segera mendapat giliran
berikutnya?" teriak Empu Baladatu.
Meskipun murid-muridnya tidak lagi menunduk, namun mereka
masih tetap berdiam diri dengan hati yang berdebaran.
Akhirnya, bahkan Empu Baladatu yang dicengkam oleh
kemarahan itu, terduduk di atas sebuah batu hitam yang dipahat
dalam ujud seekor kura-kura yang memang diperuntukkan baginya.
Namun demikian, setiap kali ia masih memukuli dadanya sendiri
yang Rasa-rasanya menjadi pepat.
"Kita menghadapi orang-orang yang tangguh." Geramnya, "yang
paling gila adalah saudara-saudaramu yang lari dan kemudian
mendirikan sanggar pamujan di daerah bayangan hantu. Ia adalah
pangkal dari bencana yang akan menimpa kita. Jika saja mereka
belum mati dibunuh oleh Mahisa Bungalan, maka akulah yang akan
mencincang mereka seperti yang terjadi di pasar itu. Justru seorang
dari kitalah yang sudah terbunuh dengan kulit yang tersayat-sayat."
1475 Murid-muridnya masih tetap berdiam diri.
"Permulaan yang gila itu, telah memaksa Mahisa Bungalan,
Linggadadi dan bahkan kemudian para Panglima dan Senapati dari
Singasari bertindak." desah Empu Baladatu dengan penuh
penyesalan, "diantara mereka tentu terdapat Mahendra, ayah
Mahisa Bungalan, Mahisa Agni dan beberapa orang yang lain."
Tidak seorang pun yang berani menyambung. Tetapi tiba-tiba
saja Empu Baladatu itu mengangkat wajahnya. Seolah-olah sesuatu
lebih membersit di dalam hatinya. Dengan nada yang tinggi ia
kemudian berteriak, "Apa boleh buat. Aku tidak mau berjalan
sendiri. Aku masih mempunyai seorang saudara tua."
Murid-muridnya mengerutkan keningnya. Mereka tahu bahwa
Empu Baladatu memang mempunyai seorang saudara tua. Meskipun
tidak seperguruan, namun agaknya saudara tua Empu Baladatu itu
akan tidak sampai hati membiarkan adiknya menjadi hancur.
"Tetapi ia bukan orang-orang yang menghisap ilmu serupa
dengan Empu Baladatu" persoalan itu tumbuh juga di dalam hati
murid-muridnya. Sampai saat terakhir, kedua perguruan itu Rasa-rasanya tidak
pernah berhubungan meskipun tidak bermusuhan. Empu Baladatu
agaknya merasa harga dirinya tersinggung apabila ia harus
merendahkan diri meskipun terhadap kakaknya. Namun dalam
keadaan yang sulit, ia tidak mempunyai pilihan lain.
Untuk beberapa saat lamanya, ruangan pertemuan itu menjadi
sepi. Empu Baladatu agaknya masih membuat pertimbanganpertimbangan
didalam hatinya. Tetapi agaknya ia memang tidak
mempunyai jalan lain untuk mengatasi kesulitan yang semakin
mendesak karena ia sudah mulai membayangkan prajurit-prajurit
Singasari dengan diam-diam lewat petugas-petugas sandinya
berusaha menemukan sarangnya dan kemudian dengan pasukan
segelar sepapan datang mengepung dan menghancur lumatkan
padepokannya. 1476 "Bahkan mungkin orang yang menyebut dirinya Mahisa Bungalan
dan Linggadadi adalah prajurit-prajurit sandi" tiba-tiba sa ja ia
menggeram. Murid-muridnya yang mendengarpun menjadi berdebar-debar.
Kemungkinan itu memang dapat terjadi. Dan merekapun mulai
membayangkan pula, hukuman yang dapat mereka alami, jika
prajurit-prajurit Singasari kemudian menemukan bukt-bukti segala
perbuatan mereka. "Untunglah, Empu Baladatu menyadari keadaannya dan ia
bersedia menemui kakaknya" berkata murid-muridnya di dalam hati.
Demikianlah Empu Baladatu kemudian memutuskan untuk menemui
kakaknya, menyampaikan kesulitan yang sedang dihadapinya.
"Kalian jangan berbuat apa-apa" berkata Empu Baladatu, "selama
aku pergi, kalian tidak boleh melakukan kegiatan sama sekali di luar
padepokan. Bahkan kalian harus berusaha menghilangkan segala
jejak yang dapat menumbuhkan kecurigaan atas kita semuanya.
Jika terpaksa kalian harus bertempur melawan siapapun juga, kalian
harus merusaha menyembunyikan ciri-ciri perguruan kita sejauhnya
sampai saatnya nanti tiba, kita akan bangkit dan menguasai seluruh
Singasari. Agaknya kita sekarang telah melakukan kesalahan.
Sebelum kica cukup kuat, kita sudah melakukan perbuatan yang
dapat mengundang malapetaka."
Murid-muridnya hanya mengangguk-angguk saja.
"Tinggallah sebanyak mungkin di antara kalian di luar padepokan
Satu dua orang sajalah yang menunggui padepokan ini untuk
melakukan kerja sehari-hari, sehingga tidak memancing perhatian
siapapun juga yang kebetulan berada di sekitar sarang kita."
Empu Baladatu kemudian menunjuk tiga orang terpilih untuk
tetap berada dipadepokan. Yang lain, diperintahkannya tinggal di
luar padepokan, meskipun hanya di sekitarya. Di pategalan yang
sebelumnya tidak didiami oleh seorang pun, karena pategalan itu
merupakan tanah garapan dari murid-murid Empu Baladatu sendiri.
1477 Tetapi pategalan itu sudah banyak di tumbuhi pepohonan buahbuahan.
Demikianlah, maka pada dini hari berikutnya, Empu Baladatu dan
dua orang pengawal terbaiknya telah meninggalkan padepokannya
menuju ke padepokan kakaknya, yang justru terletak tidak jauh dari
Kota Raja. Sepeninggal Empu Baladatu, dengan patuh murid-muridnya
melakukan perintahnya. Bukan semata-mata karena kesetiaan
mereka terhadap gurunya, tetapi juga karena mereka merasa
cemas, bahwa pembalasan akan benar-benar datang disaat gurunya
tidak ada. Mereka memang merasa ngeri juga mendengar namanama
Mahisa Bungalan dan Linggadadi. Belum lagi jika Mahendra
dan para Senapati Singasari ikut campur.
Ternyata selama ini mereka telah salah menilai diri mereka
sendiri. Mereka sebelumnya merasa, bahwa ilmu mereka akan dapat
menggetarkan seluruh Singasari. Tidak ada kekuatan yang akan
dapat membendung mereka jika mereka mulai bergerak, meskipun
jumlah mereka tidak terlampau banyak dibanding dengan jumlah
prajurit Singasari, khususnya hanya yang berada di Kota Raja.
Tetapi ternyata bahwa dihadapan mereka tiba-tiba saja telah
berdiri Mahisa Bungalan dan Linggadadi yang masing-masing
digelari pembunuh- pembunuh orang berilmu hitam.
Itulah sebabnya maka mereka kemudian dengan patuh membuat
gubug-gubug di pategalan, di antara pohon- pohon buah. Yang ada
di padepokan berusaha untuk membersihkan semua bekas-bekas
korban yang akan dapat menjadikan kedudukan mereka lebih sulit
lagi apabila petugas-petugas sandi menemukan sarang mereka.
Sementara itu, Empu Baladatu dengan kedua pengawalnya telah
menempuh perjalanan yang cukup jauh. Mereka masih juga sempat
melihat-lihat di sepanjang perjalanan, apakah tanggapan orangorang
lain terhadap yang mereka namakan orang-orang berilmu
hitam. Karena itulah, maka ketiga orang itu tidak langsung sampai
ke padepokan yang mereka tuju, tetapi dengan sengaja mereka
1478 bermalam beberapa malam di perjalanan. Bahkan yang pertamatama
mereka singgahi adalah kota kecil yang telah menelan lima
orang korban dari antara murid-muridnya.
Tetapi dalam pada itu, Empu Baladatu telah berusaha
menyamarkan dirinya. Ia sama sekali tidak mengesankan, bahwa ia
adalah pimpinan dan guru dari orang-orang berilmu hitam itu.
Bahkan Empu Baladatu telah menjadikan dirinya seorang tua
yang ramah dan nampak sakit-sakitan. Dalam perjalanan yang jauh,
orang tua yang lemah dan sakit-sakitan itu harus banyak ber
istirahat di sepanjang jalan yang dilaluinya, meskipun ia berkuda.
Kehadiran ketiga orang baru dikota kecil itupun telah mendapat
perhatian dari para penghuninya pula. Tetapi ketika mereka melihat
bahwa seorang di antara mereka adalah orang tua yang sakitsakitan.
maka mereka pun kemudian tidak menaruh perhatian sama
sekali. Juga para pemimpin dikota kecil itu sama sekali tidak menaruh
curiga ketika ketiga orang itu mohon untuk bermalam didalam
banjar. Apalagi Empu Baladatu dan kedua pengawalnya yang terpercaya
seolah-olah tidak dengan sengaja ingin bermalam. Hanya karena
ketuaannya dan penyakitnya sajalah ia terpaksa berhenti dan
bermalam. "Kau dapat beristirahat menurut kebutuhanmu," berkata
pemimpin pengawal kota kecil itu, "tetapi jika kau sudah merasa
baik, kau dipersilahkan meninggalkan banjar itu."
"Terima kasih tuan. Tuan sangat baik terhadap kami" jawab
Empu Baladatu. Dengan demikian, maka Empu Baladatu sempat untuk tinggal di
banjar kota kecil itu. Ia sempat melihat pertemuan para pemimpin
kota itu di banjar, dan bahkan ia sempat pula melihat latihan-latihan
pertunjukan dan upacara di banjar itu.
1479 "Kota ini telah membunuh lima orang di antara kalian" tiba-tiba
saja Empu Baladatu menggeram ketika ia melihat anak anak muda
berada di banjar itu. Kedua pengawalnya tidak menjawab.
"Tentu di antara anak-anak muda itu ada yang mempunyai darah
yang paling manis untuk kita jadikan korban di bulan purnama"
Empu Baladatu masih saja bergumam. Namun kemudian, "Tetapi
sayang, bahwa kita sekarang sedang tidak memerlukan mereka."
Kedua pengawalnya masih tetap berdiam diri. Tetapi di dalam
hati merekapun berdesis, "Kita dengan mudah dapat menangkap
mereka. Kenapa kelima orang yang datang kekota ini bersama
Paguh ia mengalami nasib yang paling pahit?"
Sesuai dengan keadaan dirinya yang sakit-sakitan, Empu
Baladatu tidak pernah meninggalkan banjar. Tetapi kedua
pengawalnyalah yang melihat-lihat isi dari kota kecil itu. Bahkan ia
pun berusaha untuk mendengar sebutan Mahisa Bungalan dan
Linggadadi. Tetapi seperti ceritera yang tersebar di antara penghuni
kota itu, Mahisa Bungalan dan Linggadadi telah lenyap dari kota
tanpa diketahui oleh siapapun seperti pada saat mereka datang.
"Gila," Empu Baladatu menggeram ketika ia mendengar laporan
dari kedua pengawalnya, "sungguh gila. Agaknya kita menemukan
kesulitan untuk mencari kedua orang itu."
"Tetapi mencari rumah Mahendra tidak begitu sulit" berkata
pengawalnya. "Mahisa Bungalan tentu tidak ada di rumahnya. Sedangkan bila ia
ada dirumah, apakah itu berarti bahwa kita akan membunuh diri
karena di rumah itu kita akan bertemu dengan Mahendra" Mungkin
aku dapat mengimbangi kemampuan Mahendra. Tetapi bagaimana
dengan kau berdua" Kalian berdua harus bertempur melawan
Mahisa Bungalan yang bergelar pembunuh orang berilmu hitam itu.
Apalagi jika Linggadadi ada di rumah itu pula."
Kedua pengawalnya hanya Mengangguk-angguk saja. Memang
terbayang kengerian yang dapat terjadi atas mereka. Agaknya yang
disebut bernama Mahisa Bungalan dan Linggadadi itu demikian
1480 membenci orang-orang berilmu hitam, bahkan nampaknya disertai
dengan dendam yang menyala di dalam hati, ternyata dengan bekas
pembunuhan yang pernah terjadi atas salah seorang dari mereka
yang berilmu hitam itu- Kematian yang di alami adalah demikian
mengerikan, seperti orang-orang berilmu hitam itu sendirilah yang
melakukannya. Sementara itu, selagi di banjar kota kecil itu tinggal seorang tua
yang sakit-sakitan dikawani oleh dua orang kemanakannya, Mahisa
Bungalan memang masih berada dikota kecil itu pula. Tetapi ia
sama sekali tidak menaruh perhatian pula atas orang-orang yang
berada dibanjar itu, karena orang- orang itu pun sama sekali tidak
berbuat apa-apa, selain benar-benar beristirahat, karena salah
seorang dari mereka menderita sakit di perjalanan.
Namun sebaliknya, orang-orang berilmu hitam itupun tidak
menaruh perhatian terhadap orang-orang yang berada di rumah Ki
Anjas, karena menurut mereka, orang-orang itu pun tidak berbuat
apa-apa. Mereka sama sekali tidak melakukan kegiatan apapun juga
yang memberikan kesan perlawanan terhadap orang-orang berilmu
hitam. Apalagi nama-nama mereka adalah nama-nama yang sama
sekali tidak dikenal pula. Seorang anak muda di antara mereka yang
berada di rumah Ki Anjas itu bernama Singkir. Nama yang memang
tidak menarik perhatian- Sekali ketika berlangsung upacara dibanjar, setelah musim panen
yang berlangsung pada saat orang berimu hitam itu masih berada
dibanjar, dan Mahisa Bungalan serta kedua pamannya masih pula
berada dirumah Ki Anjas, diantara mereka yang melihat upacara itu,
terdapat kedua belah pihak. Tetapi baik Mahisa Bungalan maupun
Empu Baladatu sama sekali tidak memperhitungkan kemungkinan
yang demikian, sehingga justru tidak terjadi sentuhan apapun juga
diantara mereka. Namun demikian, diam-diam beberapa orang di kota kecil itu
mulai membuat ceritera tersendiri. Seorang yang bertubuh bulat
berbisik kepada kawan-kawannya., "He. apakah kau tidak
1481 memperhatikan keadaan terakhir di kota kita yang semakin panas
ini ?" "Kita melihat seolah-olah angka tiga memegang peranan."
"Angka tiga ?" "Ya. Jika sekali-kali kau singgah di warung di bulak panjang
diluar kota itu, kau akan mendengar ceritera tentang tiga orang
berkuda." "Apa anehnya dengan tiga orang berkuda ?" bertanya yang lain.
Kawannya tidak segera menjawab. Diedarkannya tatapan
matanya, seolah-olah ingin meyakinkan, bahwa kata-katanya tidak
akan didengar oleh orang-orang yang tidak dikenalnya.
"Jika hanya ada tiga orang berkuda, maka hal itu tidak akan
menarik perhatian." "Lalu ?" kawannya bertanya.
"Ada tiga kali tiga orang berkuda."
"He, kata-mu membuat aku bingung."
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Dengar baik-baik. Tiga kali tiga orang berkuda." ia berhenti
sejenak, lalu, "dengarlah. Ada tiga orang berkuda. Kemudian tiga
orang yang lain. Setelah ketiga orang yang kedua itu pergi, datang
tiga orang lagi." Kawannya Mengangguk-angguk. Katanya, "Aku mengerti
sekarang. Agaknya kau masih akan mengatakan, bahwa ada tiga
orang berkuda pula di banjar. Dan tiga orang yang lain bermalam di
rumah Ki Anjas, yang dikatakannya kemanakannya dan bernama
Singkir itu." "Nah, kau mulai merasakan, betapa gawatnya jumlah tiga itu.
Kau ingat, orang-orang yang membunuh orang-orang berilmu hitam
itu jumlahnya juga tiga. Sedang dua orang anak-anak muda itu
ternyata bertiga pula setelah seorang lagi datang kepada mereka."
1482 "Tetapi kau tidak tahu, bahwa tiga kali tiga orang yang lewat di
muka warung itu adalah di antara tiga orang yang sudah kau
sebutkan. Mungkin tiga orang yang membunuh orang-orang berilmu
hitam itulah yang lewat di muka warung, sehingga kau
menghitungnya dua kali. Demikian juga tiga-tiga orang yang lain."
"Meskipun seandainya demikian, tentu ada beberapa kelompok
pula." Yang lain Mengangguk-angguk.
"Sekarang" berkata orang yang pertama, "masih ada dua
kelompok yang berada di kota kecil ini."
"Ya. Yang dibanjar dan yang tinggal di rumah Ki Anjas."
"Tetapi agaknya mereka saling tidak mengenal dan tidak
menaruh perhatian. Ternyata pada saat upacara di banjar, kedua
kelompok itu ada disana. Mereka menonton upacara tanpa berbuat
apa-apa, " "Mudah-mudahan."
Dan seperti yang mereka duga, kedua belah pihak memang tidak
berbuat apa-apa. Empu Baladatu yang merasa sudah cukup lama
berada di banjar itupun kemudian minta diri. Di kota kecil itu ia tidak
mendapatkan keterangan apapun juga selain yang pernah
didengarnya tentang Mahisa Bungalan dan Linggadadi.
Meskipun ia mendengar juga tentang tiga orang yang berada di
rumah Ki Anjas, tetapi Empu Baladatu tidak menghiraukannya,
karena ketiga orang itu bukannya tiga orang yang telah membunuh
murid-muridnya. Dari beberapa orang ia mendengar ceritera, bahwa
ketiga orang yang telah membunuh lima orang berilmu hitam itu
sudah pergi, dan tidak kembali lagi-Demikian juga dua orang anakanak
muda yang ikut terlibat didalamnya.
"Tiga orang yang berada di rumah .Ki Anjas itu adalah
kemanakannya yang tidak tahu menahu tentang orang-orang
berilmu hitam." 1483 "Terkutuklah orang-orang berilmu hitam itu, " sahut Empu
Baladatu, "dan terpujilah Mahisa Bungalan dan Linggadadi, yang
bergelar pembunuh orang-orang berilmu hitam. Jika sekiranya aku
dapat bertemu dengan mereka, maka akupun akan menyatakan
kcgembiraanku, bahwa mereka telah membantu membersihkan
kericuhan karena polah orang-orang berilmu hitam itu."
"Sayang, mereka telah pergi."
Empu Baladatu pun kemudian meninggalkan kota kecil itu.
Seperti orang yang mengerti unggah-ungguh, ia mengucapkan
terima kasih kepada para pemimpin yang telah memberikan ijin
kepadanya untuk singgah beberapa hari di banjar karena
kesehatannya yang terganggu.
"Apakah kau sudah sehat Kiai ?" bertanya pemimpin pengawal
kota. "Sudah tuan. Dan aku ingin segera melanjutkan perjalanan, agar
kami tidak selalu membuat gaduh di banjar."
"Banjar itu terbuka bagi yang memerlukan." jawab pemimpin
pengawal itu. Namun Empu Baladaiupun kemudian meninggalkan banjar dan
meneruskan perjalanan. Ia masih nampak letih ketika kudanya
mulai berlari meninggalkan gerbang kota.
Tetapi demikian ia sampai di bulak, maka ia pun mengumpat
tanpa hentinya. "Jika saja aku bertemu langsung dengan Mahisa Bungalan dan
Linggadadi. Aku ingin mencincangnya sampai lumat. Bukan saja
menyobek kulitnya silang menyilang. Tetapi aku ingin
menumbuknya sampai lumat."
Kedua pengawalnya sama sekali tidak menjawab. Mereka
mengerti, bahwa jantung Empu Baladatu benar-benar telah dibakar
oleh kemarahan. Apalagi setelah dengan langsung ia mendengar
ceritera tentang kematian murid-muridnya di pasar itu. Tentang dua
1484 anak muda yang ikut campur, bahkan membantu salah seorang dari
tiga orang yang telah membunuh murid-muridnya.
"Jika aku menemukan mereka, anak-anak muda itu, maka
mereka adalah korban yang paling baik bagi perguruan kita." geram
Empu Baladatu. Namun ia tidak dapat ingkar, bahwa ternyata di luar
perguruannya, masih banyak orang yang memiliki ilmu yang tinggi,
yang mampu membendung keganasan ilmu hitam yang rereka
banggakan itu. Dalam pada itu, Mahisa Bungalan, Mahisa Agni dan Witantra
yang berada di rumah Ki Anjas itu pun tidak menemukan
keterangan yang lebih lengkap tentang orang-orang berilmu hitam.
Meskipun sebenarnya kota kecil itu sudah cukup dekat dengan
sarang mereka, tetapi tidak seorang pun yang dapat memberikan
petunjuk tentang sarang itu.
Karena itu, maka Mahisa Bungalan pun sependapat dengan
kedua pamannya, bahwa mereka tidak perlu lebih lama lagi berada
di kota kecil itu. "Tiga orang yang berada di banjar itu semula telah menarik
perhatianku" berkata Witantra, "tetapi agaknya mereka tidak
berbuat apa-apa yang dapat menunjukkan, meskipun hanya
sepeletik kecil, tanda-tanda siapakah mereka itu. Mereka hanya
berada di banjar dan sekali-kali dua orang di antara mereka berada
di pasar untuk membeli makan mereka sehari-hari, selain yang
mereka terima atas uluran tangan para pejabat kota kecil ini."
"Apakah yang seorang itu benar-benar sakit paman ?" bertanya
Mahisa Bungalan. "Tentu kita tidak dapat mengetahui dengan pasti. Jika kita
mendapat kesempatan untuk mendekat dan berbicara beberapa
patah kata, maka kita akan dapat meraba-raba, apakah benar ia
sakit-sakitan" 1485 "Tetapi mereka telah pergi tanpa berbuat apa-apa. Seandainya
mereka orang-orang berilmu hitam, mereka ternyata hanya sekedar
lewat dan mencari keterangan tentang kematian kawan kawannya."
"Agaknya lebih baik jika mereka mendengar kematian itu lebih
jelas. Dengan demikian, mereka harus membuat pertimbanganpertimbangan
baru jika mereka akan melakukan kejahatan di
manapun juga, karena di luar mereka ternyata masih terdapat
orang-orang yang akan mampu menghancurkan mereka."
"Nah, jika demikian, apakah kita akan melanjutkan perjalanan?"
"Kita akan berjalan terus" jawab Witantra, "kita akan mengelilingi
daerah Utara. Barangkali kita akan menemukan tanda-tanda yang
dapat menunjukkan letak sarang mereka."
"Kota ini tentu letaknya tidak terlampau jauh. Di sini diketemukan
lima orang berilmu hitam."
"Ya. Di Kota Raja terbunuh dua orang berilmu hitam. Didaerah
bayangan hantu ada tiga orang. Dan kini, dikota kecil ini lima orang.
Jalur itu menunjukkan jumlah yang semakin banyak, sehingga
kesimpulannya memang daerah ini menjadi semakin dekat."
"Tetapi tidak dapat dijadikan pegangan. Biarlah kita meneruskan
pengembaraan ini. Perjalanan mengelilingi padukuhan yang jauh
masih terasa menyenangkan."
"Apakah paman Mahisa Agni dapat mempertimbangkan arah
yang barangkali lebih tepat daripada sekedar perjalanan melingkar?"
Mahisa Agni menggeleng. Katanya, "Aku tidak mempunyai
dugaan sama sekali, dimanakah sarang orang-orang berilmu hitam
itu. Karena itu, maka perjalanan kita adalah sekedar perjalanan
tamasya melihat-lihat sawah yang hijau dan pegunungan yang biru
kemerah-merahan di waktu pagi."
Witantra tersenyum. Katanya, "Baiklah. Perjalanan yang demikian
Kadang-Kadang memang perlu bagi orang-orang tua untuk
melengkapi bekal sebelum sampai di batas hidupnya."
1486 Mahisa Agni dan Mahisa Bungalan pun tertawa. Demikianlah
mereka memutuskan untuk meninggalkan kota kecil yang mulai
menjadi tenang. Pasar yang sepi telah menjadi semakin ramai, dan
orang-orang mulai melupakan apa yang pernah terjadi.
"Kami mengucapkan terima kasih yang sebesarnya Ki Anjas, "
berkata Mahisa Bungalan, "kami telah cukup lama berada di sini.
Kami telah cukup lama membuat Ki Anjas bertambah sibuk."
Ki Anjas tersenyum. Katanya, "Tidak banyak bantuan yang dapat
aku berikan Singkir, eh, aku akan tetap menyebut namamu
demikian, agar aku tidak salah lidah jika aku berceritera kepada
orang lain." Mahisa Bungalan tersenyum pula. Jawabnya, "Agaknya memang
lebih baik demikian Ki Anjas. Sebab kesalahan yang mungkin terjadi,
akan dapat berakibat panjang sekali."
"Tetapi permintaanku Singkir, di saat-saat yang lain, kau
sebaiknya menengok kami di sini. Jika ternyata kehadiranmu di
rumah ini tercium oleh orang-orang berilmu hitam, barangkali di lain
waktu, kau hanya akan tinggal menemukan rumah ini tanpa aku."
"Ah, tentu tidak Ki Anjas. Tidak ada orang yang mengenal aku
sebagai Mahisa Bungalan dan apalagi anak Mahendra di sini."
Ki Anjas mengangguk-angguk Katanya, "Mudah-mudahan."
Demikianlah maka Mahisa Bungalan, Mahisa Agni dan Witantra
mohon diri kepada Ki Anjas. Dimuka regol halaman Mahisa Bungalan
berbisik, "Aku berjanji untuk tidak mengatakan kepada siapapun
bahwa aku, Mahisa Bungalan pernah tinggal di rumah ini. Demikian
juga hendaknya Ki Anjas."
"Ya, ya Aku masih ingin panjang umur."
"Dan tentu sebaiknya jangan mengatakan sesuatu tentang kedua
kawanku ini." "He ?" 1487 Mahisa Agni akan mencegah, tetapi sudah terlambat. Mahisa
Bungalan sudah terlanjur berbisik, "Sebenarnyalah mereka adalah
paman Mahisa Agni dan paman Witantra. Bukankah Ki Anjas telah
mendengar namanya ?"
"He" Ki Anjas seolah-olah telah membeku di tempatnya.
Dipandanginya Mahisa Agni dan Witantra berganti-ganti, seolah-olah
ia tidak percaya bahwa ia telah berdiri berhadapan dengan kedua
orang yang sebelumnya hanya dikenal namanya saja. Tetapi
baginya keduanya adalah raksasa-raksasa yang perkasa di atas
jenjang kekuasaan Singasari.
Sambil tersenyum Mahisa Bungalan berkata, "Jangan terkejut Ki
Anjas. Keduanya tidak akan menakut-nakuti s iapapun juga."
"Aku sama sekali tidak menjadi ketakutan" suara Ki Anjas masih
dipengaruhi oleh getar perasaannya , "tetapi aku tidak menyangka
bahwa aku akan dapat bertemu dengan kedua Senapati Agung ini."
"Ah, sudahlah Ki Anjas" berkata Mahisa Agni, "sebenarnya Mahisa
Bungalan tidak perlu menyebut nama kami."
"O, itu membuat aku berbahagia sekali" desis Ki Anjas.
"Tetapi sekali lagi Ki Anjas, " berkata Mahisa Bungalan,
"sebaiknya Ki Anjas menyimpan rahasia iai rapat-rapat. Dan Ki Anjas
jangan sampai salah ucap, sehingga justru akan menyulitkan
keadaan Ki Anjas sendiri"
"Baiklah. Aku mengerti. Tetapi karena itu justru aku ingin kau
dan kedua Senapati Agung ini untuk datang lagi ke pondokku.
Barangkali aku dapat memberikan pelayanan yang lebih baik dari
yang pernah aku lakukan, sebelum aku mengetahuinya."
"Sudah cukup Ki Anjas, " sahut Witantra, "kami me ngucapkan
terima kasih. Tetapi baiklah lain kali kami akan berusaha untuk
singgah lagi di rumah Ki Anjas."
1488 "Aku menunggu, " jawab Ki Anjas. Ketiganya pun kemudian
sekali lagi minta diri sambil menuntun kuda mereka beberapa
langkah, sebelum mereka kemudian meloncat naik dan berpacu
meninggalkan kota kecil yang pernah digoncangkan oleh peristiwa
yang mengerikan. Namun yang justru menimbulkan teka-teki di hati
ketiga orang itu. Di kota kecil itu masih tetap tersebar pendapat bahwa yang telah
membunuh orang-orang berilmu hitam itu adalah Mahisa Bungalan
dan Linggadadi yang kedua-duanya bergelar pembunuh orangorang
berilmu hitam. Mahisa Bungalan, Mahisa Agni dan Witantra tidak mempunyai
tujuan yang pasti. Mereka bermaksud untuk melingkar ke Utara dan
kemudian kembali ke Kota Raja. Pengembaraan yang mereka
lakukan telah cukup lama dan jauh. Tetapi mereka tidak berhasil
menemukan sarang orang-orang berilmu hitam itu. selain bekasbekasnya
saja di sepanjang jalan. "Semakin jauh perjalanan ini, aku menjadi semakin senang"
berkata Mahisa Bungalan, "aku akan dapat melihat tempat-tempat
yang sebelumnya belum pernah aku kunjungi."
Mahisa Agni hanya mengangguk-angguk saja. Sekilas terkenang
masa-masa mudanya, masa pengembaraan yang pernah
dialaminya. Masa gejolak di dadanya hampir tidak dapat dibendung
lagi karena persoalan-persoalan yang sangat menyangkut sentuhan
yang paling dalam di sudut hatinya.
"Paman" tiba-tiba saja Mahisa Bungalan berdesis , "apakah dalam
perjalanan kembali paman tidak ingin singgah di Panawijen ?"
Kisah Hantu Goosebumps Ii 2 Kaki Tiga Menjangan Pangeran Menjangan Duke Of Moon Deer Karya Chin Yung Petualang Malam 1
itu sebagaimana seharusnya. Amatilah orang-orang yang kau
rasa asing didalam kota kecilmu ini. Jika mungkin ketiga orang itu."
"Apakah kalian akan tetap berada di sini"."
"Setidak-tidaknya malam nanti aku masih di sini."
"Dimanakah kalian bermalam".
"Aku akan datang ke gardumu. Pusat pengawalan kota ini Aku
akan berada di sana."
Para pengawal itu termangu-mangu.
"Jangan takut. Uruslah mayat itu. Jika kawan-kawannya
mengetahuinya dan timbul salah sangka, katakanlah kepadaku.
Mungkin aku akan dapat memberikan penjelasan, bahwa bukan
kalian yang telah membunuhnya."
"Tetapi kau berdua di mana."
"Aku berada di sini. He, bukankah kau lihat, aku berada di sini"."
Pengawal-pengawal itu menjadi bingung. Tetapi mereka tidak
bertanya lebih lanjut. Seorang dari merekapun segera memanggil kawan-kawannya
untuk bersama-sama menyingkirkan mayat-mayat itu dan
menyelenggarakan sebagaimana seharusnya.
1428 Baru kemudian, setelah mayat-mayat itu dibawa pergi oleh para
pengawal, maka mereka yang meninggalkan barang-barangnya di
pasar itu pun. mulai berani mendekat. Meskipun ragu-ragu mereka
pun segera mengemasi barang-barang yang tersisa. Mereka
menduga, bahwa bencana yang lain masih akan meyusul jika
kawan-kawan orang yang terbunuh itu akan datang untuk
membalas dendam, sementara ketiga orang yang membunuh
mereka telah pergi. Namun dalam pada itu, kedua anak-anak muda itu menimbulkan
berbagai dugaan pada orang-orang yang berada dipasar itu.
Keduanya adalah anak-anak muda yang berani. Yang memiliki
kemampuan yang tinggi dan tingkah lakunya tidak sekasar ketiga
orang yang telah membunuh lawannya, apalagi dengan kelima
orang yang terbunuh itu. "Mereka tidak kalah tangkasnya dengan ketiga orang yang telah
pergi itu." berkata seseorang.
"Darimana kau tahu". Apakah kau mampu menilai perkelahian
yang sama sekali tidak dapat ditebak ujung pangkalnya itu.?"
"Tidak. Tetapi keduanya sama sekali tidak takut menghadapi
ketiga orang yang telah berhasil membunuh lima lawannya setelah
pertempuran melawan orang-orang yang disebutnya berilmu hitam
itu berakhir." "Ya. Dua orang itu tidak takut melawan tiga orang. Tentu mereka
bukan sembarang anak muda. Mengagumkan sekali. Alangkah
bangganya orang tuanya."
Dalam pada itu, seseorang dengan tergesa-gesa bahkan berlarilari
kecil menuju kepasar yang sibuk oleh orang-orang yang sedang
mengumpulkan barang-barangnya itu. Ia sama sekali tidak
menghiraukan ketika ia berpapasan dengan tiga orang yang
tangannya basah oleh darah.
Dengan dada yang berdebaran orang itu langsung menuju
kepasar yang kisruh, la masih melihat beberapa orang dengan
1429 tergesa gesa membawa barang-barang yang dapat dikumpulkan
meninggalkan pasar itu. "Apa yang sudah terjadi"." orang itu bertanya, "apakah benar
terjadi perkelahian antara beberapa orang didalam kelompok
melawan kelompok yang lain"."
"Ya. Ada pertentangan segi tiga. Lima orang terbunuh."
Orang itu menjadi semakin gelisah. Dan tanpa bertanya lagi
iapun langsung memasuki gerbang pasar itu.
Ia menarik nafas dalam-dalam ketika ia melihat dua orang anak
muda yang kemudian berdiri di depan sebuah warung yang mulai
menutup pintunya dan mengemasi dagangannya.
"Aku tidak mau mengalami akibat yang lebih buruk lagi jika
sekelompok orang lain berkelahi pula di pasar ini" berkata penunggu
warung itu. "Aku kira tidak akan terjadi Lagi." desis salah seorang dari kedua
anak-anak muda itu. "Siapa tahu. Mereka mendendam kepadamu." Anak-anak muda
itu tertawa. "Jika terpaksa anak-anak muda saling berkelahi, tetapi jangan di
pasar." Kedua anak muda itu tidak menyahut.
Sementara itu, orang yang tergesa-gesa memasuki pasar itupun
segera mendapatkan kedua anak muda itu yang menyambutnya
dengan senyuman yang hambar.
"Kalian tidak apa-apa"." bertanya orang itu.
"Tidak ayah." jawab yang seorang dari keduanya.
"Apa yang telah terjadi"."
Mereka kemudian dengan lancar menceriterakan apa yang telah
terjadi dipasar itu. Orang-orang berilmu hitam yang tiba-tiba saja
1430 muncul dipasar iru, dan tiga orang yang agaknya sudah mengenal
serba sedikit tentang orang-orang berilmu hitam.
"Salah seorang dari mereka menyebut dirinya Mahisa Bungalan
ayah." "Mahisa Bungalan", Bukankah kau tahu dengan pasti, apakah ia
benar Mahisa Bungalan atau bukan"."
"Tentu bukan. Aku kira orang itulah yang bernama Linggadadi
yang pernah berkelahi dengan kakang Mahisa Bungalan di Kota
Raja., " Orang itu menarik nafas dalam-dalam Katanya, "Untunglah
bahwa kalian tidak terlibat dalam perkelahian melawan ketiga orang
itu." "Jika mereka menyerang, apa boleh buat."
"Ya. Tetapi mereka bukan lawan yang dapat dianggap ringan."
"Memang tidak ayah. Aku tahu. Tetapi kami berdua agaknya
akan mampu bertahan sampai ayah datang."
Orang itu memandang kedua anaknya dengan wajah yang
tegang. Namun kemudian ia berkata, "Kau tentu tidak akan dapat
memastikannya. Untunglah bahwa tidak terjadi sesuatu atas kalian."
la berhenti sejenak, lalu, "tetapi apakah kalian mengatakan kepada
orang yang mengaku bernama Manisa Bungalan itu, bahwa kau
berdua adalah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, adik Mahisa
Bungalan dan anak Mahendra"
Hampir berbareng kedua anak muda itu menjawab , "Tentu tidak
ayah." Orang itu mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah. Untunglah
kalian tidak menyebut namaku Lain kali sebaiknya kalian harus lebih
berhati-hati. Apalagi jika kalian pergi berdua tanpa ayah."
"Bukankah ayah berjanji akan segera menyusul kami ke pasar
setelah urusan ayah selesai"."
1431 Mahendra mengangguk-angguk. Lalu katanya, "Aku menjadi
tergesa-gesa ketika aku mendengar kabar bahwa telah terjadi
perkelahian di dalam pasar. Antara lima orang, tiga orang dan dua
orang anak-anak muda yang telah terlibat. Dan aku sudah
menduga, bahwa kalian berdua tentu terlibat di dalamnya."
"Kami tidak akan dapat tinggal diam ayah."
"Tetapi sekali lagi aku peringatkan. Hati-hatilah. Dalam persoalan
yang tidak jelas, sebaiknya kalian menunggu lebih dahulu."
"Tetapi kami memang sudah memperhitungkan sebelumnya
ayah, bahwa akhir dari peristiwa itu adalah demikian."
Mahendra menarik nafas. Kemudian katanya, "Marilah. Kita pergi.
Mungkin kabar ini akan terdengar oleh orang-orang berilmu hitam.
Mereka akan beramai-ramai datang kemari. Kita tidak tahu pasti,
dimanakah sarang mereka. Apakah jauh atau dekat. Atau malahan
ada di sebelah pasar ini. Tiga orang yang membunuh mereka telah
pergi. Kita akan dapat menjadi sasaran kemarahan mereka."
Kedua anak Mahendra itu mengangguk-angguk.
"Baiklah ayah. Tetapi jika mereka datang, dan mereka tidak
menemukan siapapun disini, apakah bukan orang-orang yang tidak
tahu menahu inilah yang akan menjadi sasaran"."
Kita akan mengatakan kepada mereka, bahwa pembunuh orangorang
berilmu hitam itu bernama Linggadadi. Dengan demikian
maka orang-orang berilmu hitam itu tentu akan mencari orang yang
bernama Linggadadi."
Kedua anak muda itu tidak menyahut lagi. Karena itulah maka
mereka pun kemudian melangkah meninggalkan pasar itu. Diluar
regol, Mehendra masih sempat mengatakan kepada beberapa
orang, bahwa salah seorang dari pembunuh orang berilmu hitam itu
bernama Linggadadi. "Ya, Linggadadi yang bergelar pembunuh orang berilmu hitam"
desis Mahendra. 1432 Orang-orang di luar regol pasar itu sama sekali belum pernah
mendengar nama Linggadadi. Tetapi nama itupun segera menjalar
dari mulut kemulut. Tanpa mengerti ujung pangkalnya mereka
mengatakan kepada orang-orang lain yang dijumpainya, bahwa
telah terjadi perkelahian dan pembunuhan di pasar.
"Yang membunuh lima orang adalah sekelompok orang yang
dipimpin oleh Linggadadi, pembunuh, eh maksudku yang bergelar
pembunuh orang berilmu hitam." berkata seseorang kepada
kawannya. "Apakah ilmu itu mempunyai warna", Selain yang hitam, apakah
ada yang merah, hijau dan yang lain"." bertanya seorang
kawannya. Yang mendapat pertanyaan itu hanya mengerutkan dahinya saja
tanpa dapat menjawab sama sekali.
Tetapi seorang yang sudah tua yang dikenal sebagai seorang
bekas prajurit menyahut, "Anak-anak muda yang bodoh. Yang
disebut ilmu hitam adalah ilmu yang dibayangi oleh kekuatan yang
buruk. Kekuatan roh-roh jahat dan hantu-hantu. Sedangkan ilmu
putih adalah ilmu yang datang dari kuasa Yang Maha Agung."
Yang mendengarkan penjelasan itu mengangguk-angguk. Dan
bahkan salah seorang dari mereka bertanya, "Jadi yang terbunuh itu
adalah mereka yang mendapat kekuatan dari roh-roh jahat"."
"Ya." "Jadi bagaimanakah akibatnya jika roh-roh jahat itu
mengamuk"." "Roh-roh jahat, betapapun besar kekuatan dan Kuasanya, namun
tidak akan dapat melawan kekuatan dan kuasa Yang Maha Agung."
Yang mendengar keterangan itu menarik nafas dalam-dalam.
Dengan demikian, maka dalam waktu yang singkat, berita
kematian orang-orang berilmu hitam itu pun segera tersebar
diantara penghuni kota kecil itu. Bahkan sampai ke padesanTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
1433 padesan di sekitar nya. Setiap hari berita itu menjalar semakin jauh.
Bahkan lebih cepat dari perjalanan seorang perantau yang
menyusuri jalan-jalan di bulak-bulak panjang.
Tetapi di samping berita yang disebarkan oleh Mahendra itu,
ternyata tersebar pula berita yang lain. Ternyata satu dua orang
mendengar, Linggadadi menyebut dirinya Mahisa Bungalan,
sehingga di samping Linggadadi, maka tersebar pula berita, bahwa
yang telah membunuh orang-orang berilmu hitam itu adalah Mahisa
Bungalan yang bergelar pembunuh orang-orang berilmu hitam.
Dengan demikian maka berita yang kemudian sampai ke tempat
yang jauh adalah, bahwa Linggadadi bersama Mahisa Bungalan
telah melawan orang-orang berilmu hitam dan membunuh lima
orang dari antara mereka.
Dalam pada itu. ternyata Mahendra dan kedua anak-anaknya pun
tidak terlalu lama berada di kota kecil itu. Pada hari itu juga,
Mahendra menyelesaikan semua persoalan-persoalan yang
menyangkut perjalanan dagangnya.
"Kota ini tidak aman lagi" berkata Mahendra kepada orang-orang
yang berurusan dengannya, "aku akan segera kembali"
"Kapan lagi kau datang"." Bertanya salah seorang dari
langganannya. "Aku tidak dapat mengatakannya. Sebenarnya sekarang ini
akupun tidak ingin kemari. Tetapi anak-anakku lah yang telah
memaksaku. Mereka aku bawa ke Kota Raja. Tetapi mereka tidak
puas sebelum mereka melihat kota-kota lain betapapun kecilnya. Di
sini mereka telah melihat peristiwa yang mengerikan."
"Tetapi persoalan itu tentu tidak akan berkepanjangan." berkata
orang itu, "kami mengharap kedatanganmu dengan batu jamrut.
Ada orang kaya raya memerlukannya. Sedang orang yang lain lagi
memesan batu akik Mata Kucing, tetapi berwarna ungu seperti akik
Kumbang Laras." "Ah, mana ada akik serupa itu."
1434 "Ia pernah melihatnya. Karena itu, jika kau menemukannya, ia
ingin membeli berapa saja harganya, atau ditukar dengan emas
dalam bobot yang kau minta."
"Baik, baik" jawab Mahendra,, "tetapi aku masih harus bertanyatanya
tentang keselamatan nyawaku disini."
"Bukankah kau tidak berurusan dengan orang-orang berilmu
hitam itu atau dengan pembunuh-pembunuhnya."
Mahendra menarik nafas. Kawnnya itu memang belum mengerti
bahwa orang yang disebut bernama Mahisa Bungalan itu adalah
anaknya, yang mau tidak mau tentu akan menyangkut dirinya.
Tetapi di dalam urusan dengan kawan-kawannya tentang
barang-barang dagangan serupa itu, Mahendra tidak prenah
menyatakan dirinya sebagai seorang yang memiliki ilmu yang dapat
dijadikannya kebanggaan. Bagi kawan-kawannya ia tidak lebih dari
seorang pedagang barang-barang yang khusus, wesi aji, batu-batu
berharga dan permata. Meskipun kadang-kadang Mahendra juga
membawa barang-barang lain yang dipesan oleh kawan-kawannya
di kota-kota kecil itu. Demikianlah, maka Mahendra pun kemudian membawa kedua
anak-anaknya meninggalkan kota kecil itu. Seperti yang
dikatakannya, sebenarnya ia sama sekali tidak akan datang kekota
terpencil itu. Tetapi anak-anaknya mendesaknya untuk melihat
bagian-bagian lain dari Singasari. Sehingga akhirnya mereka justru
melihat peristiwa yang sama sekali tidak diduganya.
"Jika Mahisa Bungalan yang menjumpai peristiwa ini akibatnya
tentu lain" desis Mahendra diperjalanan.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memandang ayahnya sejenak.
Desis ayahnya itu sangat menarik perhatian mereka, sehingga
Mahisa Murti pun kemudian bertanya, "Kenapa jika kakang Mahisa
Bungalan yang menjumpai peristiwa ini"."
"Kakakmu tentu tidak hanya akan berhadapan dengan orangorang
berilmu hitam. Di Kota Raja ia sudah bertempur melawan
1435 orang berilmu hitam dan sekaligus terlibat dalam persoalan dengan
Linggadadi. Dengan demikian, maka peristiwa, itu tentu akan
terulang, jika ia bertemu dengan kedua pihak. itu sekaligus di sini."
"Jika benar orang itu Linggadadi ayah, agaknya ia memang orang
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang kasar, yang aku kira tidak banyak bedanya dengan orangorang
berilmu hitam. Tetapi seorang yang lain, yang agaknya
mempunyai pengaruh yang kuat atas Linggadadi mempunyai sifatsifat
yang agak berbeda." "Tetapi pada dasarnya, mereka bukan orang-orang berilmu
hitam." jawab ayahnya.
Kedua anaknya meng-angguk-angguk. Mereka masih berpacu
meninggalkan kota kecil yang baru saja diguncang oleh peristiwa
yang mengerikan itu. "Aku akan singgah di Kota Raja sebentar" berkata Mahendra.
Mudah-mudahan kita dapat mencapainya hari ini. Besok pagi-pagi
kita meneruskan perjalanan pulang." berkata ayahnya.
"Kenapa singgah di Kota Raja?" bertanya Mahisa Pukat, "lebih
baik kita melalui jalan lain. Jalan yang.belum pernah aku lihat"
"Ah kau ini Aku mempunyai keperluan di Kota Raja. Bukankah
kau mendengar", bahwa ada seseorang yang memerlukan jamrut
yang baik dan akik Mata Kucing tetapi berwarna ungu seperti akik
Kumbang Laras." "Ah ayah selalu memikirkan dagangan ayah saja. Sekali-sekali
kita melupakannya dan bertamasya melalui jalan-jalan yang belum
pernah kita lihat. Tidak ada salahnya jika kita bertemu dengan
orang-orang berilmu hitam yang agaknya memang tersebar dimana-
mana." Mahendra. mengerutkan keningnya". Tetapi iapun kemudian
tersenyum, "Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, bukankah dengan
demikian ayah dapat melengkapi kebutuhan kita sekeluarga.
Kadang-kadang ayah harus pergi berhari-hari. Bahkan sampai
sebulan atau dua bulan jika tugas memanggil. Terutama dari istana
1436 Singasari, Jika pada kesempatan seperti ini ayah tidak menabung
barang sedikit, maka pada suatu saat, keluarga kita akan kehabisan
kebutuhan hidup sehari-hari."
"Kita mempunyai sawah ayah."
"Tetapi kita tidak sekedar makan hasil sawah. Kita perlu barangbarang
kebutuhan yang lain. Pakaian dan kadang-kadang juga
perhiasan sedikit-sedikit. Bagi isi rumah kita dan bagi kita masingmasing."
"Tetapi paman Witantra sempat melakukan pengembaraan yang
jauh lebih panjang dari ayah."
"Ada bedanya anak-anak. Pamanmu Witantra diam di sebuah
padepokan. Ia tidak mempunyai kebutuhan yang banyak seperti
kita. Keluarganya adalah keluarga kecil. Jika ada beberapa orang
dipadepokannya, maka mereka adalah orang-orang yg bekerja di
sawah dan ladang, yang seolah-olah telah mencari makan bagi
mereka sendiri. Tetapi kau tahu, tidak ada orang lain kecuali paman
dan bibimu. Sedangkan mereka sama sekali tidak mempunyai
kebutuhan seperti kalian dan kakakmu Mahisa Bungalan. Mereka
tidak pernah memerlukan kain lurik hijau lumut Kamus dan timang
bermata berlian. Keris dengan pendok emas bersalut intan. Mereka
juga tidak memerlukan kuda yang berbulu dawuk. Tetapi kemudian
setelah jemu, harus diganti dengan yang berbulu merah tembaga."
Ia berhenti sejenak, lalu, "Tidak anak-anak. Mereka hidup dengan
yang mereka punyai sehari-hari. Kuda mereka adalah kuda yang
tegar dan kuat, apapun warna bulunya."
"Tetapi kuda putih itu"."
"Tentu karena ada gunanya, kenapa dahulu pamanmu
memerlukan kuda berbulu putih. Tidak hanya seekor. Tetapi
beberapa ekor." "Untuk membuat ceritera tentang Satria Putih." desis Mahisa
Murti. "Ya." 1437 "Ayah" tiba-tiba saja Mahisa Pukat memotong, "apakah salahnya
jika sekarang lahir lagi Satria Putih untuk menghadapi orang-orang
berilmu hitam. Bukan untuk membayangi pemerintahan yang ada
sekarang, karena agaknya tuanku Ranggawuni dan tuanku Mahisa
Campaka dapat memerintah dengan bijaksana, meskipun mereka
masih cukup muda." Mahendra menarik nafas dalam-dalam. Katanya , "Aku belum
dapat mengatakannya, apakah hal itu pantas dilakukan atau tidak,
Tetapi sudah tentu bahwa untuk melahirkan Satria Putih, masih
harus dipikirkan masak-masak, untung dan ruginya."
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Desisnya, "Ayah selalu
memperhitungkan untung dan rugi dalam segala hal."
Wajah Mahendra menegang, Tetapi iapun kemudian tertawa.
Katanya, "Kau aneh Pukat. Bukankah setiap langkah harus
diperhitungkan sebaiknya", Bukan hanya dalam masalah jual beli
saja kita memperhitungkan untung dan rugi. Tetapi di segala
persoalan meskipun yang disebut untung dan rugi itu bukan selalu
berwujud uang dan untuk kepentingan diri, tetapi untuk
kepentingan tindakan itu sendiri."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menjawab lagi.
"Tetapi baiklah aku akan membicarakannya dengan ke dua
pamanmu yang kini sedang mengadakan perjalanan dengan Mahisa
Bungalan." Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan. Dari
tatapan mata mereka berbesit kekecewaan. Bahkan kemudian
Mahisa Murti bertanya , "Jika demikian, maka kapan kira-kira ayah
dapat bertemu dengan paman Mahisa Agni dan paman Witantra"."
"Aku belum dapat mengatakan Murti. Tetapi tentu secepatnya
setelah mereka kembali."
"Tetapi kapan mereka akan kembali"." Desis Mahisa Pukat.
Mahendra menarik nafas. Katanya kemudian, "Kita tidak dapat
berbuat dengan tergesa-gesa menghadapi masalah yang gawat ini,
1438 karena persoalannya akan menyangkut ketenteraman seluruh
Singasari. Sudah tentu akan memerlukan tanggung jawab yang
berat. Nama Kesatria Putih sampai saat ini masih tetap dihargai. Jika
kita gagal memerankannya, maka nama yang baik itu akan segera
surut. Dan akhirnya nama Kesatria Putih itu akan lenyap dari hati
rakyat Singasari. Bahkan akan meninggalkan bekas yang buram
dalam ingatan mereka."
Kedua anak Mahendra itu mengangguk-angguk. Agaknya mereka
dapat mengerti penjelasan ayahnya itu, sehingga mereka tidak
menyinggung lagi persoalan Satria Putih.
Sementara itu kuda mereka masih tetap berpacu. Sekali-kali
mereka harus berhenti memberi kesempatan kuda mereka untuk
minum dan makan. Demikian juga Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
memerlukan untuk beristirahat dan sekedar makan di tengah
perjalanan. Ketika mereka memasuki sebuah warung di pinggir jalan, maka
mereka sudah mendengar, orang-orang di dalam warung itu
mempercakapkan peristiwa yang telah terjadi di kota kecil yang
mereka tinggalkan. Namun ketiga orang itu sama sekali tidak
menyahut. Mereka hanya sekedar mendengarkannya tanpa
menanggapinya. Ketika sekali-sekali Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
hampir tidak dapat menahan diri lagi, karena ceritera tentang
kematian orang-orang berilmu hitam itu benar-benar sudah
menyimpang jauh dari kenyataan yang diketahuinya, ayahnya selalu
menggamitnya. "Tetapi yang dikatakan itu sama sekali tidak benar ayah." bisik
Mahisa Murti. Mahendra hanya mengedipkan matanya saja.
Kedua anak muda itu menarik nafas. Adalah tidak benar sama
sekali, bahwa orang-orang itu menyebut seolah-olah Mahisa
Bungalan bersama Linggadadi dan seorang yang tidak dikenal
bersama-sama bertempur melawan orang-orang berilmu hitam.
Ceritera itu sama sekali tidak menyebut peristiwa yang telah terjadi,
1439 sehingga mereka yang mendengarnya mendapat gambaran yang
salah sama sekali. Mereka menyangka bahwa Mahisa Bungalan dan
Linggadadi adalah dua orang yang bersama-sama melakukan
petualangan untuk membasmi orang-orang berilmu hitam.
"Itu sudah lumrah." berbisik Mahendra, "tidak ada kabar yang
beredar dari mulut kemulut itu dapat tepat meng gambarkan
peristiwa yang sebenarnya terjadi. Pada umumnya kabar yang
demikian tentu menyimpang jauh dari kebenarannya."
"Tetapi hal itu dapat menimbulkan prasangka yang buruk bagi
kakang Mahisa Bungalan, seolah-olah ia adalah kawan dari
Linggadadi. Jika benar orang yang membunuh orang berilmu hitam
itu Linggadadi, maka tidak sepantasnya kakang Mahisa Bungalan
dihubung-hubungkan dengan orang itu, meskipun hanya namanya."
"Kenapa"."
"Cara orang itu membunuh lawannya adalah memuakkan sekali.
Bahkan kawannya yang sebenarnya telah mengumpatinya."
Mahendra meng-angguk-angguk. Tetapi katanya, "Biarlah pada
suatu saat mereka mendengar berita yang lain tentang Mahisa
Bungalan. Tetapi bukan oleh kita sekarang."
Kedua anak-anaknya tidak menjawab lagi. Mereka kemudian
sibuk dengan mangkuk masing-masing. Minuman hangat dan nasi
panas, setelah mereka menempuh perjalanan yang jauh dan masih
akan meneruskan perjalanan itu untuk sehari penuh.
Namun kadang-kadang mereka masih harus menahan hati jika
ceritera yang mereka dengar benar-benar membuat dada mereka
bagai meledak. "Mudah2an orang-orang berilmu hitam itu tidak sampai kemari"
desis salah seorang dari mereka yang ada di warung itu.
"Seandainya mereka datang juga kemari, kita berdoa agar
Mahisa Bungalan dan Linggadadi yang kedua-duanya bergelar
pembunuh orang berilmu hitam itu datang juga kemari."
1440 "Tentu mereka selalu membayangi orang-orang berilmu hitam."
"Tetapi mereka hanya bertiga. Sedang orang berilmu hitam itu
berjumlah banyak sekali. Sudah barang tentu bahwa pada suatu
saat, orang berilmu hitam itu dapat mencari kesempatan untuk
memanjakan kebuasannya."
"Ssssst." desis seorang yang duduk di sudut, "jangan menyebutnyebut
mereka lagi. Apalagi dengan sebutan-sebutan yang buruk.
Jika ada kaki tangan mereka yang mendengar, maka kita semua
akan celaka." "O" nampaknya beberapa orang menyesali keterlanjurannya.
Bahkan beberapa orang di antara mereka memandangi Mahisa Murti
kakak beradik dan ayahnya yang sedang menikmati makan dan
minuman masing-masing. Tetapi Mahisa Pukat tidak mampu lagi menahan gejolak di
dadanya. Tiba-tiba saja ia mengambil sebuah pisang raja. Sambil
mengupas ia bergumam seolah-olah kepada diri sendiri, "Aku kupas
kulitmu seperti aku mengupas kulit orang-orang gila."
Kata-kata itu ternyata telah menghentak setiap jantung. Bahkan
Mahendra terkejut pula karenanya sedangkan Mahisa Murti
menahan tertawanya. Beberapa orang yang ada di warung itupun kemudian tidak
berani lagi menatap ketiga orang yang sedang berada pula di antara
mereka. Namun demikian, kadang-kadang keinginan yang tidak
tertahan telah mendesak mereka untuk seolah-olah mengintip
wajah-wajah yang tidak mereka kenal itu. Dengan sudut mata
mereka mencoba melihat, apakah yang mereka dengar itu benarbenar
telah terlontar dari mulut salah seorang dari ketiga orang
asing itu. Mereka menjadi semakin berdebar-debar ketika mereka melihat
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sendiri tertawa, sementara wajah
Mahendra menjadi tegang. 1441 Meskipun Mahendra tahu, bahwa Mahisa Pukat dengan sengaja
ingin menakut-nakuti orang-orang yang ada didalam warung itu,
namun permainannya agaknya cukup berbahaya. Bukan karena
kemungkinan bahwa seseorang akan memusuhi mereka, tetapi
dengan demikian ia telah membuat sekian banyak orang dicengkam
oleh ketakutan yang dapat berakibat buruk bagi mereka.
Seperti yang dikehendaki oleh Mahisa Pukat, maka orang-orang
di dalam warung itu menjadi ketakutan karenanya. Mereka juga
sudah mendengar bahwa orang-orang berilmu hitam sering
mempergunakan istilah-istilah yang menakutkan seperti yang
diucapkan oleh Mahisa Pukat itu. Mengelupas kulit seperti
mengelupas kulit pisang. "Jangan menakut-nakuti mereka Pukat." desis Mahendra. Mahisa
Pukat masih tersenyum. "Kau tahu, bahwa dengan demikian kau telah menyebarkan
ketakutan di antara mereka", Mungkin kau tidak menyangka bahwa
yang kau lakukan itu akan menimbulkan akibat yang parah. Mungkin
orang-orang itu menjadi ketakutan, dan di antara mereka tidak
merasa tenteram lagi tinggal di rumahnya. Dengan demikian maka
mereka akan menyingkir dari rumahnya untuk mencari
ketenteraman." Mahisa Pukat mengerutkan keningnya. Ia mencoba
membayangkan kata-kata ayahnya. Wajahnya yang mula-mula
nampak gembira karena permainannya yang berhasil, berubah
perlahan-lahan dengan kerut-merut di kening.
"Mereka akan menjadi ketakutan. Seperti kata ayah, keluarga
mereka akan ketakutan pula, sehingga mereka terpaksa
mengungsi." berkata Mahisa Pukat di dalam hatinya, "dan sudah
barang tentu keadaan itu akibatnya sangat buruk bagi mereka."
Tetapi ia sudah terlanjur mengatakannya. Dan ia tidak melihat
cara yang baik untuk menariknya kembali.
"Apakah aku harus mengaku bernama Mahisa Bungalan atau
Linggadadi"." ia bertanya kepada ayahnya sambit berbisik.
1442 "__________Sudahlah. Tetapi jangan kau ulang lagi. Jika untuk beberapa
hari tidak terjadi sesuatu di sini, maka mereka akan mulai
melupakannya." "Tetapi jika terjadi sesuatu, mereka akan mengingat kembali
bahwa aku pernah mengatakan kata-kata itu di hadapan mereka di
sini." Mahendra menggelengkan kepalanya, katanya, "Sudahlah. Tetapi
hati-hati lah untuk lain kali."
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia memandang
wajah kakaknya, ia melihat kesan yang sama seperti di dalam
hatinya sendiri. Sejenak kemudian, maka ketiganya pun minta diri. Setelah
mereka menghitung jumlah harga makan dan minum yang telah
mereka habiskan, maka Mahendra pun mengambil uang dari kampil
kecilnya. "Sudahlah Ki Sanak" berkata penjual di warung itu, "yang Ki
Sanak makan dan minum tidak seberapa harganya, Ki Sanak tidak
usah membayarnya." "Kenapa"." Mahendra menjadi heran. Namun ia pun kemudian
segera mengetahui, bahwa penjual itu tentu menjadi ketakutan pula
seperti beberapa orang yang lain tentang dirinya dan kedua anakanaknya.
"Mahisa Pukat lelah membuat mereka ketakutan." katanya di
dalam hati. Namun yang dikatakannya kepada penjual itu adalah,
"Ki Sanak. Harga barang-barang daganganmu seluruhnya tidak
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
begitu banyak. Jika aku tidak membayar, maka kau akan rugi
karenanya." "Tidak, tidak Ki Sanak. Sebagian yang aku jual adalah hasil
sawah dan kebunku sendiri." jawab orang itu.
Tetapi Mahendra menggelengkan kepalanya, "Pergunakan untuk
membeli bahan-bahan mentah atau katakanlah untuk membelikan
mainan buat anak-anakmu."
1443 Penjual itu masih akan menjawab, tetapi Mahendra telah
meletakkan uangnya sambil berdiri diikuti oleh kedua anaknya.
"Kami minta diri." berkata Mahendra, "perjalanan kami masih
jauh." Penjual di warung itu menjadi termangu-mangu. Rasa-rasanya
tidak sesuai jika ketiga orang itu termasuk di antara mereka yang
berilmu hitam. Wajah mereka, tingkah laku dan sifat mereka sama
sekali tidak mencerminkan keliaran dan kekasaran orang-orang
berilmu hitam. Ketika Mahendra dan kedua anaknya meninggalkan warung itu
dan berpacu menjauh meskipun tidak begitu cepat, maka penjual itu
menarik nafas sambil berkata, "Sungguh aku tidak mengerti, apakah
sebenarnya yang telah aku hadapi sekarang ini."
Orang-orang yang lainpun menjadi bimbang pula karenanya.
Tetapi sebagian dari mereka masih tetap merasa ketakutan.
Dengan ragu-ragu penjual di warung itu mengambil uang yang
ditinggalkan oleh Mahendra. Ia menjadi semakin heran ketika ia
menghitungnya. Ternyata jumlah uang itu lebih banyak dari yang
seharusnya. "Aku menjadi semakin tidak mengerti." gumam penjual makanan
dan minuman itu. Beberapa orang yang ada didalam warung itu pun menjadi heran
pula. Seorang yang berkumis lebat bergumam, "Mereka tentu bukan
orang-orang berilmu hitam yang sering mengelupas kulit korbannya.
Hanya kebetulan saja salah seorang dari mereka mengucapkan
kata-kata yang mirip dengan kebiasaan orang berilmu hitam."
Penjual itu mengangguk-angguk.
"Mungkin. Memang mungkin sekali." gumamnya.
Dalam pada itu, maka Mahendra dan kedua orang anak-anaknya
itu masih saja menjadi pusat pembicaraan. Namun pada umumnya
mereka berkesimpulan, bahwa ketiganya adalah orang yang baik
1444 yang secara kebetulan saja mengucapkan kata-kata yang
mendirikan bulu roma, justru di luar sadarnya.
Namun mereka tidak tahu, bahwa Mahisa Pukat sengaja
mengucapkannya untuk melepaskan gejolak di dalam dadanya
ketika ia mendengar orang-orang di warung itu sekali-kali menyebut
peristiwa yang pernah terjadi di pasar dalam kota kecil itu, tetapi
sudah jauh menyimpang dari kenyataan yang terjadi sebenarnya.
Sementara itu, ketika debar jantung orang yang berada di
warung itu mulai mereda, sekali lagi mereka dikejutkan oleh
kehadiran tiga orang berkuda yang tidak mereka kenal, Salah
seorang dari merekapun kemudian turun dan memasuki warung itu.
"Ki Sanak." berkata orang itu , "aku ingin bertanya sesuatu.
Siapakah penjual di warung ini"."
Pertanyaan itu benar-benar mendebarkan. Tetapi semua orang
yang ada di dalam warung itu serentak memandang kepada
pemiliknya. Pemilik warung itu tidak dapat ingkar lagi. Dengan ragu-ragu ia
menjawab , "Aku, aku Ki Sanak."
Orang yang baru masuk kedalam warung itu menganggukangguk.
"Jadi kau pemilik warung ini"."
"Ya Ki Sanak." "Apakah kau melihat pada hari ini tiga orang berkuda melalui
jalan ini"." Penjual itu menjadi ragu-ragu. Ia sadar bahwa yang
dimaksudkan tentu tiga orang yang tadi singgah di warungnya.
Namun ia masih bertanya, "Tiga orang yang bagaimana Ki Sanak.
Baru saja lewat seiring orang-orang berkuda."
"Ke arah ini"." orang itu bertanya sambil menunjuk kearah ia
berkuda. 1445 "O. tidak Ki Sanak. Mereka pergi kearah kota. Ki Sanak tentu
berjumpa dengan mereka di perjalanan."
"O bukan mereka. Yang aku cari adalah tiga orang yang pada
hari ini telah meninggalkan kota kecil itu."
Pemilik warung itu termangu-mangu sejenak. Tiba-tiba saja ada
prasangka yang kurang baik, justru kepada ketiga orang yang baru
saja datang. Menilik sikap dan tatapan mata mereka, maka ketiga
orang ini agak berbeda dengan ketiga orang yang baru
meninggalkan warungnya "Ketiga orang yang terdahulu nampaknya orang baik-baik.
Apalagi dua orang yang masih muda itu agaknya anak-anak muda
yang berhati bersih dan jujur. Pandangan matanya yang cerah dan
tidak berprasangka." berkata penjual itu di dalam hatinya.
"He, kenapa kau menjadi bingung" tiba-tiba saja orang itu
membentak Pemilik warung itu terkejut. Dengan serta merta ia mea jawab.,
"Tidak Ki Sanak. Aku tidak melihatnya. Aku memang sedang
mencoba mengingat-ingat apakah ada tiga orang yang lewat. Tetapi
agaknya tidak ada. Mungkin ia mengambil jalan lain, atau kebetulan
saja aku tidak melihat mereka."
Beberapa orang yang ada di dalam warung itu menjadi berdebardebar.
Tetapi di dalam hati mereka sependapat dengan jawaban
pemilik warung itu, sehingga ketika orang asing itu memandang
mereka seorang demi seorang, tidak ada di antara mereka yang
memberikan keterangan yang berbeda, atau dengan sengaja
mengatakan sesuatu tentang Mahendra dan ke dua anak-anaknya.
Bahkan ketika orang itu bertanya kepada mereka, apakah ada di
antara mereka yang melihat, maka orang-orang yang ada di dalam
warung itu menggelengkan kepalanya.
Sejenak orang itu termangu-mangu. Kemudian ia pergi
mendapatkan kawan-kawannya yang masih tetap berada di
punggung kuda. 1446 "Mereka tidak melihat." katanya.
Kedua orang yang lain termangu-mangu. Namun yang seorang
berkata, "Tetapi aku tidak salah lagi. Beberapa orang tahu, bahwa
Mahendra dan dua anaknya ada dikota itu, dan pada hari ini telah
meninggalkannya. Kedua anak muda yang ada dipasar itu tentu
kedua anak Mahendra."
"Kita belum pernah mengenal dengan baik orang yang bernama
Mahendra itu meskipun kita sudah mengenal namanya sebagai salah
seorang Senapati yang tidak terikat pada kedudukan keprajuritan. Ia
datang kekota itu untuk memperdagangkan barang-barang
berharga. Emas, intan dan sebagainya. Dengan demikian apakah
kita akan berhasil menyusulnya". Jika kita sudah menemukannya,
apakah kita dapat berbuat sesuatu atasnya."
"Kita bertiga."
Untuk beberapa saat tidak ada yang menjawab. Kedua orang
lainnya menjadi termangu-mangu. Namun kemudian yang tertua
diantara mereka berkata, "Kita tidak yakin bahwa kita akan berhasil
menguasai mereka. Karena itu, kita lebih baik membuat rencana lain
yang lebih baik daripada sekedar menuruti gejolak perasaan."
"Tetapi paman" berkata salah seorang yang lain , "jika benar
kedua anak-anak muda yang berada di dalam pasar itu adalah
kedua anak Mahendra, maka mereka tentu menertertawakan aku."
"Kenapa"." bertanya yang lain lagi.
"Aku mengaku bernama Mahisa Bungalan. Bukankah dengan
demikian mereka tahu pasti bahwa aku berbohong."
Yang tertua di antara merekapun kemudian berkata, "Ya, Mereka
mengetahui bahwa kau berbohong."
"Darimana paman mengetahuinya."
"Ketika ia bertanya kepadaku, apakah benar kau bernama Mahisa
Bungalan, dan aku membenarkannya, maka sambil tersenyum anakanak
itu mengatakan bahwa aku berbohong."
1447 "Setan alas." desis yang paling muda dari ketiga orang itu,
"mereka sepantasnya kita bunuh. Dengan demikian mereka tentu
tahu pasti, bahwa akulah Linggadadi."
"Kenapa kau menjadi cemas" bertanya kakaknya, "biar sajalah
mereka menetahui bahwa kau adalah Linggadadi, aku bernama
Linggapati. Apa yang dapat mereka lakukan". Mereka tentu juga
menyadari, bahwa mereka bertiga tidak akan dapat berbuat apa-apa
atas kita." "Mereka tidak mempedulikan kita." berkata yang paling tua.
Sejenak mereka bertiga termangu-mangu. Kemudian yang paling
tua itupun berkata., "Terserah kepada Angger Linggapati. Aku akan
menjalankan segala perintah."
Linggapati berpikir sejenak. Lalu, "Aku kira tidak ada gunanya
lagi menyusul Mahendra. Kita akan menemui kesu litan untuk
menemukan jejaknya, karena ia tidak melalui jalan ini. Mungkin ia
sudah jauh atau mungkin ia pergi ke arah yang sama sekali tidak
kita duga-duga. Apalagi kita memang tidak yakin akan dapat
berbuat sesuatu atas mereka bertiga, karena ternyata kedua anakanak
muda itu sudah memiliki kemampuan yang harus
diperhitungkan." "Jadi"." "Kita merubah arah. Kita pergi seperti rencana semula."
"Menemukan sarang orang-orang berilmu hitam"."
"Setidak-tidaknya mengetahui arahnya. Aku ingin membuat
hubungan. Tetapi jika hubungan itu gagal, aku ingin
menghancurkannya, agar mereka tidak mengganggu kepentingan
kita kelak." "Kita akan menyerang mereka"."
"Mungkin kita akan menyerang padepokan orang-orang berilmu
hitam. Tetapi mungkin kita dapat mempergunakan tangan orangorang
Singasari." 1448 Kedua orang yang lain mengangguk-angguk.
"Nah, sekarang, marilah kita pergi." berkata Linggapati
kemudian. Ketiganya pun kemudian meninggalkan warung itu tanpa minta
diri. Beberapa orang yang berada di dalam warung itupun
termangu-mangu. Mereka melihat ketiga orang itu jauh berbeda
sifat dan tingkah lakunya dengan tiga orang yang terdahulu.
"Mereka menyebut-nyebut beberapa nama" berkata salah
seorang yang duduk didalam warung itu, "tetapi tidak begitu jelas
kedengarannya." "Mereka menyebut nama Mahisa Bungalan."
"Tetapi juga Linggadadi, bahkan Linggapati."
"Membingungkan sekali." sahut penjual di warung itu, "tetapi
agaknya mereka itulah pembunuh orang-orang berilmu hitam.
Nampaknya mereka sendiri juga orang-orang kasar dan mungkin
juga kejam seperti orang berilmu hitam."
"Atau mungkin orang-orang berilmu hitam itu sendiri yang ingin
menuntut kematian kawan-kawannya"."
"Tentu tidak. Salah seorang dari mereka menyebut juga orangorang
berilmu hitam. Malahan mereka akan menghancurkan orangorang
berilmu hitam itu." Seorang yang berkulit kuning dan bermata lebar berkata sambil
menggelengkan kepalanya, "Aku tidak tahu. Kepalaku justru
menjadi pening, setelah jantungku rasa-rasanya akan rontok.
Sudahlah, kaki. Berapa aku harus membayar", Aku akan pulang
sebelum jalan di depan warung ini benar-benar menjadi jalur
kelompok-kelompok yang bertengkar itu saling bertemu."
Tetapi sebelum pemilik warung itu menjawab, mereka telah
dikejutkan lagi oleh derap kaki-kaki kuda. Seorang yang
menjengukkan kepalanya, melihat tiga ekor kuda berpacu meskipun
tidak begitu cepat. Tetapi kali ini dari arah lain.
1449 "Tiga orang berkuda lagi" desisnya.
"O, dari arah yang berlawanan. Apakah mereka tidak berpapasan
dengan ketiga orang itu"."
"Mungkin jalan yang dilalui berbeda dengan arah dari ketiga
orang itu. Diujung padukuhan itu ada simpang tiga. sedang di sisi
yang lain terdapat simpang empat."
Yang lain mengangguk-angguk. Tetapi hati mereka menjadi
berdebar-debar ketika kuda-kuda itu menjadi semakin dekat.
"Siapa lagi yang akan datang kali ini"." desis pemilik warung itu.
"Orang-orang berilmu hitam itu sendiri."
"O" wajah-wajah di dalam warung itu menjadi pucat. Tetapi
mereka justru bagaikan membeku, sehingga mereka tidak dapat
berbuat apapun lagi. Ketiga ekor kuda yang berderap itupun menjadi semakin dekat.
Dengan demikian maka orang-orang di dalam warung itu seakanakan
telah berkerut semakin kecil. Bahkan nafas mereka rasarasanya
menjadi sesak dan warung itu bagaikan bertambah sempit
sehingga dindingnya bagaikan menghimpit tubuh mereka.
Mereka sama sekali tidak berani bergerak ketika tiga ekor kuda
itu menjadi semakin dekat pula. Mereka berdoa mudah-mudahan
kuda-kuda itu tidak berhenti dimuka warung itu. Apa lagi
penunggangnya turun dan masuk ke dalamnya.
Tetapi darah mereka serasa membeku ketika mereka mendengar
bahwa ketiga ekor kuda itu ternyata kemudian berhenti tepat
dimuka pintu warung itu. Ketika terdengar derak pintu warung yang didorong dari luar,
seolah pintu ubun-ubun merekapun sudah terbuka, sehingga
sebentar lagi, nyawa merekapun akan meloncat keluar.
Seorang anak muda yang bertubuh kekar memasuki warung itu.
Sejenak ia berdiri di muka pintu sambil memperhatikan setiap orang
yang ada didalamnya. 1450 "Siapakah pemilik warung ini"." terdengar suaranya yang dalam
dan berat. Tidak ada seorang pun yang berani mengangkat wajah mereka.
Meskipun demikian, mereka telah mencoba memandang pemilik
warung dengan sudut matanya.
"Siapa"." anak muda itu mengulang.
Pemilik warung itu tidak dapat ingkar. Meskipun ia duduk di
antara para pembelinya, namun ia terpaksa mengangkat wajahnya
sejenak sambil menjawab, "Aku, aku Ki Sanak."
Anak muda itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Kau tidak
berada di tempatmu, sehingga aku kira pemiliknya sedang pergi." Ia
berhenti sejenak lalu katanya, "apakah masih ada tempat bagi kami
bertiga"." Pemilik warung itu termangu-mangu. Namun katanya dengan
suara gemetar , "Ya, ya. Silahkan Ki Sanak. Masih ada tempat bagi
kalian bertiga." Anak muda itu justru melangkah keluar untuk memberitahukan
kepada kedua kawannya, bahwa masih ada tempat bagi mereka.
Setelah menambatkan kuda mereka, maka ketiga orang itu pun
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kemudian memasuki warung yang dicengkam oleh suasana yang
aneh itu. Ketiga orang itu semula tidak begitu menghiraukan orang-orang
lain yang juga berada didalam warung itu. Namun lambat laun
mereka melihat juga suasana yang beku, Bahkan penjual di warung
itupun nampaknya tidak begitu ramah dan canggung.
Ketiga orang itu saling berpandangan sejenak. Namun mereka
pun, segera melihat suasana yang buram telah mencengkam seisi
warung itu. "Ki Sanak." berkata yang muda, "kami memerlukan minuman
panas." 1451 "O." pemilik itu tergagap. Dengan gemetar iapun kemudian
menyiapkan tiga mangkuk minuman panas.
Ketika pemilik warung itu menghidangkan mangkuknya, oleh
tangannya yang gemetar, maka minuman yang ada di dalamnya
pun telah terpercik dan membasahi pakaian salah seorang dari
ketiga orang itu. Justru yang paling muda di antara mereka.
Dengan gerak naluriah oleh percikan air panas, maka anak muda
itu pun meloncat berdiri. Namun agaknya geraknya itu justru
mengejutkan pemilik warung itu, sehingga mangkuk yang ada di
tangannya justru telah tertumpah.
Yang kemudian meloncat bukan saja anak muda itu. Tetapi
ketiga orang itu semuanya telah bergeser menghindari air yang
bukan saja panas, tetapi juga akan membasahi pakaian mereka.
Pemilik warung ilu menjadi semakin gemetar. Sejenak ia
dicengkam oleh kebingungan. Bahkan rasa-rasanya tubuhnya
menjadi beku dan mulutnya seperti tersumbat.
Anak muda yang terpercik air panas itupun kemudian berkata,
"Hati-hatilah Ki Sanak. Percikan airmu dapat membuat pakaian
basah dan mungkin dikerumuni semut, karena air panasmu berbau
gula kelapa", Bukankah kau menghidangkan air sere dengan gula
kelapa"." "Eh, ya, ya Ki Sanak" jawab pemilik warung itu tergagap, "tetapi,
tetapi aku sama sekali tidak sengaja."
"Aku sudah tahu bahwa kau tidak sengaja" jawab anak muda itu,
"karena itu, hati-hatilah. Untunglah, kami sempat menghindar
sehingga air sere itu tidak menyiram pakaian kami bertiga."
Pemilik warung itu menjadi semakin gemetar. Dengan wajah
yang tegang ia memandang ketiga orang yang kemudian duduk
kembali di tempatnya. "Nah, kami memesan lagi minuman. Kami memang haus. Tetapi
kamilah yang haus itu. Bukan pakaian kami."
1452 Pemilik warung itu masih gemetar. Tetapi ia telah menyiapkan
tiga mangkuk minuman lagi bagi ketiga tamunya. Betapapun ia
mencoba menenangkan hatinya dan berhati-hati. tetapi ketiga orang
itu melihat, bahwa penjual itu sedang diganggu oleh perasaan takut
dan gelisah. Tetapi mereka belum bertanya sesuatu. Mereka masih ingin
melepaskan haus mereka dahulu dengan semangkuk minuman
hangat. Pemilik warung itu menarik napas lega ketika mangkuknya tidak
tertumpah lagi. Dengan berbagai macam pertanyaan yang
menggelegak dihatinya tentang ketiga orang tamunya yang baru itu,
ia duduk di samping perapian seperti orang yang kedinginan.
Baru setelah ketiga orang tamunya itu menghirup separo isi
mangkuknya, maka salah seorang dari mereka bertuiya, "Aku
melihat suasana yang lain di dalam warung ini. Apakah benar
begitu"." Pemilik warung itu termangu-mangu, sedang orang-orang yang
ada di dalam warung itu bagaikan membeku.
"Apakah kalian berada dalam ketakutan?" bertanya orang yang
lain dari ketiga orang itu. T idak ada yang menjawab.
Karena itu maka yang paling muda di antara metekapun
kemudian berkata, "Baiklah. Agaknya kalian memang menyimpan
rahasia. Namun bagaimanapun juga, kami dapat melihat bahwa ada
yang kalian sembunyikan. Meskipun demikian kami tidak akan dapat
memaksa kalian untuk membuka rahasia itu."
Pemilik warung itu termangu-mangu. Ketiga orang ini mempunyai
pertanda yang lain lagi dari ketiga orang yang baru saja pergi.
Agaknya ketiga orang ini bukanlah kawan-kawan dari mereka yang
baru saja singgah mencari tiga orang yang lewat terdahulu.
Suasana di dalam warung itu menjadi sepi. Orang yang sudah
lebih dahulu ada di dalam warung itu, rasa-rasanya bagaikan
membeku. Mereka tidak dapat meninggalkan ruangan itu lebih
1453 dahulu oleh perasaan tidak menentu yang telah mencengkam
mereka. Tetapi sejenak kemudian, salah seorang dari ketiga orang yang
datang kewarung itu berkata, "Baiklah Ki Sanak. Jika kehadiran kami
telah mengganggu kalian, kami minta maaf Kami akan segera
melanjutkan perjalanan."
Kata-kata itu benar-benar telah menimbulkan tanggapan baru
bagi ketiganya. Sudah tentu dengan demikian mereka tidak berniat
buruk. Bahkan pemilik warung itupun kemudian menduga, bahwa
ketiganya benar-benar orang yang sedang lewat dan kehausan,
sehingga tidak mempunyai hubungan apapun juga dengan peristiwa
yang telah terjadi dikota kecil itu.
Karena itu, maka pemilik warung itu telah memberanikan diri
untuk bertanya, "Ki Sanak. Maaf bahwa sikap kami telah membuat
Ki Sanak ragu-ragu menghadapi kami. Sebenarnyalah bahwa kami
pun menjadi ragu-ragu terhadap setiap orang yang lewat karena
peristiwa yang baru saja kami alami."
"Apakah yang telah terjadi"." bertanya yang paling muda di
antara mereka bertiga. "Dikota kecil di sebelah ini telah terjadi malapetaka."
Ketiga orang itu ternyata telah tertarik kepada keterangan itu,
sehingga dengan serta merta hampir berbareng mereka bertanya,
"Apakah yang telah terjadi ?"
Pemilik warung itu menjadi ragu-ragu. Tetapi kemudian iapun
berkata, "Kota kecil itu telah diamuk oleh ketakutan setelah terjadi
peristiwa yang mengerikan di dalam pasar."
"Ya, apa yang telah terjadi itu" yang paling muda di antara
mereka tidak sabar lagi menunggu.
"Mahisa Bungalan dan Linggadadi, pembunuh orang-orang
berilmu hitam telah membunuh orang-orang berilmu hitam di dalam
pasar." 1454 "He." anak muda itu tersentak sehingga di luar sadarnya ia telah
meloncat berdiri. Ternyata sikap itu telah membuat pemilik warung dan beberapa
orang yang lain menjadi ketakutan kembali. Namun kawannya yang
lebih tua telah menggamitnya dan menyuruhnya duduk kembali.
"Dengarlah baik-baik" desis orang itu kepada yang paling muda.
Orang yang paling muda itu menarik nafas dalam-dalam. Sambil
mengangguk-angguk ia berkata, "Baiklah. Aku akan
mendengarkan." Tetapi pemilik warung itu telah dicengkam oleh ketakutan
sehingga untuk beberapa saat ia masih tetap berdiam diri.
"Nah, teruskan Ki Sanak. Kau tadi mengataakn bahwa Mahisa
Bungalan dan Linggadadi telah bersama-sama membunuh orangorang
berilmu hitam. Keterangan itu memang mengejutkan sekali,
Apalagi kau menyebut orang-orang berilmu hitam yang menakutkan
itu sehingga kemanakanku ini terkejut karenanya. Tetapi seterusnya
kami memang ingin mendengar agar kami tidak terperosok kedalam
peristiwa yang mengerikan itu pula."
Pemilik warung itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
iapun menceriterakan bahwa di pasar telah terjadi perkelahian yang
membingungkan antara beberapa kelompok yang semula tidak
diketahui siapakah mereka. Namun akhirnya tersebar berita bahwa
yang terlibat didalamnya adalah Mahisa Bungalan bersama
Linggadadi melawan orang-orang berilmu hitam. Tetapi selain
mereka masih ada lagi dua orang anak-anak yang masih terlampau
muda., "Selanjutnya kami tidak mengetahui dengan pasti. Yang
kami ketahui adalah bahwa pada hari ini, telah singgah di warung
kami, beberapa orang berkuda yang keluar dari kota kecil itu."
"Orang berilmu hitam itu ?"
"Kami tidak tahu pasti. Tetapi agaknya bukan mereka, meskipun
sikapnya juga mendebarkan jantung."
"Seperti kami bertiga ?" bertanya yang paling muda.
1455 "Tidak. Jauh berbeda."
Ketiga orang itu menjadi semakin tertarik kepada ceritera pemilik
warung itu. Karena itu maka salah seorang dari mereka
mendesaknya, "Ceriterakan Ki Sanak. Mungkin ceriteramu sangat
menarik." Pemilik warung itu termangu-mangu.
Orang yang paling muda dari ketiga orang itu tiba-tiba saja
melemparkan beberapa keping uang sambil berkata, "Ambillah.
Mungkin uang itu masih tersisa dari pembayaran makanan dan
minuman kami bertiga."
Pemilik warung itu terkejut. Ia memandang uang yang
berserakan di antara barang-barang jualannya.
"Ki Sanak. Kami bukan orang-orang yang akan berbuat apapun
juga. Jika kami sangat ingin mendengar ceriteramu, semata-mata
agar kami tidak terperosok kedalam keterlibatan yang sangat kami
cemaskan." Pemilik warung itu menatap wajah anak muda diantara ketiga
orang itu. Lalu katanya, "Kepada tiga orang yang kedua singgah di
warung ini aku tidak berterus terang tentang penglihatan kami atas
orang-orang berkuda yang lewat dijalan ini."
"Ada berapa kelompok orang-orang berkuda ?" bertanya anak
muda itu. "Tiga dengan kalian. Masing-masing tiga-tiga."
"O, coba ceriterakan."
Pemilik warung itupun kemudian dengan ragu-ragu mulai
berceritera tentang tiga orang berkuda yang pertama dan yang
kedua. "Sedang yang ketiga adalah Ki Sanak bertiga sekarang ini."
Ketiga orang itu mengangguk-angguk. Namun ternyata mereka
tidak memberikan tanggapan apapun juga. Yang dikatakan oleh
1456 salah seorang dari ketiga orang itu adalah, "Terima kasih Ki Sanak.
Kami akan mencoba menghindari mereka Di kota kecil itu pun kami
akan langsung menemui beberapa orang kenalan kami, agar tidak
terjadi salah paham dan mungkin beberapa pertanyaan dari
penghuninya. Adalah kebetulan pula bahwa kali ini kami pergi
bertiga" "Bagaimana jika kalian bertemu dengan orang-orang berilmu
hitam, atau orang-orang yang semacam itu. termasuk tiga orang
berkuda yang kedua singgah di warung kami ?"
"Kami akan menghindarkan diri jauh-jauh. Atau mungkin kami
akan mati membeku jika kami tidak berhasil lari dari mereka."
Pemilik warung dan orang-orang yang mendengar jawaban itu
menjadi ragu-ragu. Nampaknya mereka sangat merendahkan diri.
Meskipun mereka menyebut dirinya akan mati membeku, namun
nampaknya mereka sama sekali tidak menjadi ketakutan dan cemas.
Wajah mereka masih tetap cerah dan sikap mereka sama sekali
tidak berubah. Sejenak kemudian maka ketiga orang itupun minta diri. Yang
paling muda di antara mereka berkata, "Jika uang itu tersisa, biarlah
di sini. Ambillah. Aku mengucapkan terima kasih atas segala
keteranganmu. Mudah-mudahan kami tidak terperosok kedalam
kekalutan yang dapat mencelakai kami."
Pemilik warung itu hanya termangu-mangu saja kebingungan.
Sekali-kali ia memandang uang yang berserakan itu dengan sudut
matanya. Sesaat kemudian ketiga orang itu telah meloncat kepunggung
kuda masing-masing dan meneruskan perjalanannya justru menuju
kekota kecil yang diceriterakan oleh pemilik warung itu.
"Kau sudah berceritera tentang orang-orang berilmu hitam"
berkata salah seorang yang berada diwarung itu.
1457 "Nampaknya mereka orang baik" berkata pemilik warung itu
sambil memunguti beberapa keping uang yang di tinggalkan oleh
orang yang paling muda dari ketiga orang ber kuda itu.
"Ya. Nampaknya mereka orang baik" berkata yang lain, "apalagi
dengan uang itu." "Ada beberapa persamaan sikap antara ketiga orang yang
terakhir dengan ketiga orang yang pertama" berkata pemilik warung
itu. "Ya Meskipun yang pertama sekali-kali menyebut tentang kulit
yang terkelupas-" "Dan sikap ketiga orang yang terakhir yang nampak garang
ketika mereka hampir tersentuh air panas yang tertumpah."
"Kau tidak berhati-hati. Untunglah mereka orang baik. Justru kau
mendapat uang begitu banyak. Jika orang-orang itu termasuk
pemarah dan orang-orang kasar seperti tiga orang yang kedua
singgah di warung ini, mungkin kulitmu benar-beanr akan
dikelupas." Bulu-bulu tengkuk pemilik warung itu mememang. Namun
kemudian ia berkata kepada orang-orang yang berada diwarungnya,
"Kalianpun akan mendapat bagian dari uang itu. Hari ini kalian
hanya akan membayar separo dari yang seharusnya, Aku tentu tidak
akan mengalami kerugian karena uang ini."
"He" orang-orang yang ada di dalam warung itu membelalakkan
matanya, "terima kasih" jawab yang gemuk, "untunglah aku belum
meninggalkan warung ini dan belum membayar pula."
Demikianlah maka orang-orang yang masih ada didalam warung
itu hanyalah dipungut separo dari yang seharusnya mereka bayar.
Dengan bibir yang tersenyum ramah, mereka mulai menghitung
makanan yang telah mereka makan dan minuman yang telah
mereka minum. 1458 "Tutup sajalah warungmu hari ini" berkata salah seorang dari
mereka, "sebelum tiga orang yang lain lagi akan lewat. Dan mereka
adalah orang-orang berilmu hitam."
Pemilik warung itu termangu-mangu. Tetapi ia menjadi ngeri
juga bahwa orang-orang berilmu hitam akan benar-benar lewat dan
apa lagi singgah diwarungnya. Mereka tentu akan berlaku kasar
seperti yang mereka lakukan dipasar. Hampir setiap orang dapat
menceriterakan pengalaman seorang anak muda yang hampir mati
dicincang oleh orang-orang berilmu hitam itu tanpa berbuat
kesalahan apuapun, karena orang-orang berilmu hitam itu sekedar
ingin menakut-nakuti lawannya.
"Baiklah" berkata pemilik warung itu, "warung ini lebih baik aku
tutup saja. Aku akan membawa sisa makanan pulang ke rumah.
Anak-anakku tentu akan senang sekali. Biasanya mereka tidak
pernah dapat ikut makan barang-barang daganganku, selain
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sepotong-sepotong yang aku berikan kepada mereka. Kali ini
mereka akan mendapat agak banyak, karena aku pun telah
mendapat uang buat menyiapkan dagangan besok pagi."
Dengan demikian ketika orang-orang yang berada di warung itu
pergi, maka pemilik warung itu pun kemudian menutup pintu dan
mengemasi barang dagangannya yang tersisa. Setelah
memadamkan api di perapian dan membersihkan amben besarnya,
maka ia pun segera meninggalkan warungnya sambil membawa
barang-barangnya di dalam bakul.
Dalam pada itu, ketika orang berkuda yang baru saja
meninggalkan warung itupun telah berpacu langsung menuju kekota
kecil yang baru saja dicengkam oleh kengerian dan ketakutan
karena orang-orang berilmu hitam yang terbunuh di pasar. Mereka
mempunyai perhitungan, bahwa pada suatu saat orang-orang
berilmu hitam yang lain akan berkeliaran di kota itu dan membuat
kerusuhan-kerusuhan yang mengerikan sekali. Mereka tentu ingin
membalas dendam atas kematian kawan-kawannya. Jika mereka
tidak menemukan Mahisa Bungalan dan Linggadadi yang mereka
sangka telah membunuh orang-orang berilmu hitam itu, mereka
1459 tentu akan melepaskan dendamnya kepada siapapun juga yang
mereka jumpai. Ketika mereka menjadi semakin dekat dengan pintu ger bang
kota kecil itu, maka orang yang paling muda di antara mereka
bertiga itupun bertanya, "Apakah yang akan kita lakukan kemudian
paman?" Kedua orang yang lain berpikir sejenak. Salah seorang dari
mereka pun kemudian berkata, "Tentu mengherankan bahwa
mereka menyangka bahwa Mahisa Bungalan dan Linggadadi telah
bersama-sama melakukan pembunuhan atas orang-orang berilmu
hitam itu." "Agaknya berita yang tersebar di sekitar kota ini benar-benar
membingungkan. Setiap orang akan mendapat gambaran yang
salah tentang apa yang sebenarnya terjadi."
"Tetapi yang pasti" sahut yang lain, "beberapa orang telah
terbunuh di dalam pasar."
"Kita akan mendapat berita yang lain dikota kecil itu. Mudahmudahan
dapat memperjelas apa yang sebenarnya sudah terjadi."
"Atau justru membuat kita semakin bingung."
Ketiganya mengangguk-angguk. Namun yang paling muda
berkata, "kita akan melihat paman."
Kuda-kuda itu pun berpacu semakin cepat. Sementara itu
gerbang kota kecil itu pun kemudian sudah nampak dari kejauhan
sehingga mereka mulai memperlambat derap kudanya.
"Paman" berkata yang paling muda di antara mereka, "aku
mempunyai dugaan aneh kepada tiga orang yang terdahulu singgah
di warung itu." "Dugaan apa?" bertanya yang lain.,
"Aku mengira bahwa mereka adalah ayah Mahendra dengan
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat."
1460 "Darimana kau menduga demikian ?"
"Sifat-sifat mereka yang dikatakan oleh pemilik warung itu. Tentu
Mahisa Pukat yang telah menakut-nakuti orang-orang di warung itu
dengan menyebutnyebut pisang yang terkelupas atau semacam itu."
Kedua orang yang lain tersenyum. Salah seorang berkata,
"Memang mungkin sekali. Tetapi kenapa mereka tiba-tiba berada di
kota kecil itu?" "Ayah adalah seorang penjual barang-barang perhiasan dan wesi
aji. Mungkin beberapa sahabat ayah di kota kecil itu memesan
berbagai bentuk keris atau mungkin barang-barang perhiasan emas
dan intan. Bahkan ayah juga sering membawa batu-batu akik dan
permata-permata yang lain."
Yang lain Mengangguk-angguk.
"Paman" berkata yang muda, "Nama Mahisa Bungalan telah
benar-benar dipertentangkan dengan orang-orang berilmu hitam."
"Karena itu kau harus berhati-hati. Dan sebaiknya kau tidak
mempergunakan nama itu disembarang tempat. Bukan berarti kau
bersembunyi atau ingkar akan tanggung jawab. Tetapi sekedar
untuk menghindari benturan-benturan yang tidak berarti agar usaha
kita untuk menemukan orang-orang berilmu hitam itu dapat
berhasil." "Dan apakah paman berdua juga akan mempergunakan nama
lain " Bukan lagi paman Witantra dan Mahisa Agni ?"
Keduanya mengerutkan keningnya. Sejenak kemudian
Witantralah yang menjawab, "Agaknya demikian Mahisa Bungalan.
Dengan tanpa dibebani nama-nama itu. kita akan dapat berbuat
lebih banyak." "Baiklah paman" berkata Mahisa Bungalan, "tetapi dengan
demikian, kemanakah kita akan langsung menuju " Aku mengerti
beberapa orang kawan ayah di kota itu. Tetapi dengan demikian aku
tidak dapat menyembunyikan namaku dan juga sudah tentu bahwa
aku adalah anak Mahendra akan segera diketahui orang."
1461 Mahisa Agni dan Witantra tidak segera dapat menjawab. Sejenak
mereka mencoba merenungi, yang manakah yang sebaiknya mereka
lakukan Dengan ragu-ragu Witantra kemudian berkata, "Mahisa
Bungalan. Bagaimanakah jika kita singgah kerumah salah seorang
kawan ayahmu dan berterus terang, bahwa kita mempergukan
nama lain dikota kecil itu justru untuk mengetahui perkembangan
kota itu sepeninggalan ayahmu dan mungkin benar bahwa
Linggadadi juga pernah datang kekota itu."
Mahisa Bungalan ragu-ragu. Katanya, "Jika orang itu dapat
diyakinkan, demi keamanannya sendiri, maka aku kira ia tidak akan
berkeberatan." "Itulah yang meragukan"
"Tetapi mungkin dapat kita coba paman. Aku mengenal seorang
kawan ayah yang cukup kaya dikota kecil itu."
Mahisa Agni dan Witantra Mengangguk-angguk. Agaknya mereka
sependapat dengan Mahisa Bungalan untuk mencoba menghubungi
kawan Mahendra yang telah dikenal oleh Mahisa Bungalan itu.
Kedatangan mereka di kota kecil itu telah menarik perhatian
beberapa orang. Demikian mereka memasuki pintu gerbang kota,
beberapa orang telah mulai berbisik-bisik tentang mereka bertiga.
"Tiga orang pimpinan dari orang-orang berilmu hitam yang ingin
membalas kematian kawan-kawannya" desis seseorang.
"Nampaknya bukan dari mereka. Tetapi entahlah, siapa tahu"
"Wajahnya nampaknya penuh dengan rahasia"
"Tetapi pengaruh wibawanya lain sekali dengan orang orang
berilmu hitam yang terbunuh di pasar itu, yang justru mula-mula
berusaha menakut-nakuti lawannya. Namun yang akhirnya justru
lawannya telah melakukan kekejaman yang luar biasa."
"Yang tidak ada bedanya dengan orang-orang berilmu hitam itu
sendiri." 1462 Tidak seorang pun yang mengetahui siapakah mereka bertiga
dan kenapa mereka datang ketempat mereka, yang baru-baru saja
telah dikacaukan oleh peristiwa yang mengerikan itu.
Tetapi tiba-tiba saja seseorang yang berdiri termangu-mangu di
pinggir jalan meloncat maju sambil melambaikan tangannya ."He,
kau." Mahisa Bungalan terkejut. Orang itu adalah kawan ayahnya.
Satu-satunya kawan ayahnya yang mengenalnya, bahwa Mahisa
Bungalan adalah anak Mahendra. Sedang sahabat-sahabat dan
langganan ayahnya yang lain tidak ada yang mengenalnya sebagai
anak Mahendra. Jika ada orang lain yang dikenalnya, maka orang
itu justru tidak mengetahuinya bahwa ialah Mahisa Bungalan anak
Mahendra yang mereka kenal sebagai pedagang permata. Bahkan
beberapa orang meskipun pernah mendengar nama Mahendra,
namun mereka sama sekali tidak menghubungkan nama itu dengan
Mahendra, yang mempunyai seorang anak laki yang bernama
Mahisa Bungalan bergelar pembunuh orang berilmu hitam.
Mahisa Bungalan segera meloncat turun dari kudanya ke tika
orang itu mulai menyapanya, "Kemana kau he ?"
"Ssst" desis Mahisa Bungalan, "jangan sebut namaku"
Orang itu mengerutkan keningnya. Lalu sambil tersenyum ia
berbisik, "Aku mengerti. Bukankah kau telah membunuh orang
berilmu hitam di pasar itu ?"
"Bukan aku" "He. Berita itu telah tersebar. Mahisa Bungalan dan Linggadadi."
"Berita itu tidak benar. Aku baru datang hari ini. Bahkan aku
sebenarnya ingin singgah kerumah paman. Aku datang bersama
kedua pamanku." Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian timbullah
keinginannya untuk mengetahui ceritera Mahisa Bungalan tentang
dirinya. Karena itu maka iapun berkata, "Baiklah. Singgahlah
kerumahku. Aku akan segera pulang."
1463 "Apakah paman akan mempergunakan kudaku ?"
"Tidak. Aku akan cepat-cepat berjalan pulang. Kau dapat berkuda
melalui pasar yang masih sepi. Sedang aku akan melintas jalan
sempit itu." Mahisa Bungalan pun kemudian meneruskan perjalanannya
melalui jalan-jalan di kota kecil itu. Beberapa orang masih saja
mengawasinya. Apalagi ketika mereka bertiga melewati pasar yang
sepi. Orang-orang yang ada di sekitar tempat itu memandang
mereka dengan cemas. "Ki Anjas menyangka bahwa akulah yang telah membunuh
orang-orang berilmu hitam itu."
"Bagaimana ia dapat menyangka demikian?" bertanya Mahisa
Agni. "Ia tidak melihat sendiri. Tentu ia hanya mendengar orang-orang
itu saling berceritera. Dan ia menduga bahwa yang di ceriterakan itu
adalah aku. Jika ia telah berceritera serba sedikit tentang aku,
mungkin aku tidak dapat bersembunyi lagi dikota kecil ini."
Tetapi orang-orang yang melihat siapakah yang telah berkelahi di
pasar itu justru akan yakin bahwa bukan kaulah orangnya yang
telah membunuh orang-orang berilmu hitam itu." sahut Witantra
"Kita akan melihat. manakah yang menguntungkan paman.
Tetapi seandainya aku tidak dapat bersembunyi lagi apa boleh buat.
Bukankah begitu paman ?"
Mahisa Agni tersenyum. Katanya, "Aku tahu Bungalan, bahwa
sebenarnya itulah yang kau inginkan. Dan akupun mengerti bahwa
kau masih dengan mudah dibakar oleh gejolak darah mudamu."
Mahisa Bungalan termenung sejenak. Namun ia pun kemudian
tersenyum sambil berkata, "Entahlah paman" Tetapi aku sudah
berusaha untuk menahan diri, agar aku tidak terjerumus kedalam
pilihan yang salah. Apalagi menghadapi orang berilmu hitam."
1464 Witantra dan Mahisa Agni Mengangguk-angguk. Namun masih
nampak senyum di bibir mereka.
Demikianlah mereka pun berkuda di sepanjang jalan kota kecil
yang tidak begitu ramai itu.
Namun dengan demikian, ternyata kehadiran mereka bertiga
telah menumbuhkan persoalan yang bermacam-macam di dalam
lingkungan hidup orang-orang yang sedang dicengkam oleh
kecemasan itu. Rasa-rasanya bau darah di pasar itu masih belum
lenyap. Dan kini mereka telah dikejutkan lagi oleh derap kaki-kaki
kuda yang menyusuri kota mereka yang sebelumnya terasa tenang
dan sepi. Beberapa lama kemudian, maka Mahisa Bungalan pun menunjuk
pada sebuah regol halaman rumah yang luas. Kata nya, "Itulah
rumahnya." "Apakah kau sudah mengenalnya dengan baik ?"
"Belum begitu akrab. Tetapi ia adalah salah seorang langganan
ayah yang dekat. Aku kira ia adalah Satu-satunya orang yang
mengenal aku disini."
"Baiklah. Tetapi kita harus tetap berhati-hati."
Demikianlah mereka pun kemudian memasuki regol rumah Ki
Anjas itu dengan ragu-ragu. Satu-satu mereka meloncat turun dari
kuda mereka dan menuntunnya memasuki regol halaman yang luas
itu. Dengan tergesa-tergesa Ki Anjas pun menyambut mereka
dihalaman. Kemudian mempersilahkan mereka naik kependapa
setelah membersihkan kaki mereka di jambangan di ujung tangga.
Sejenak mereka saling memperkenalkan diri dan bertanya
tentang keselamatan masing-masing- Baru kemudian Ki Anjas mulai
bertanya kepada Mahisa Bungalan tentang peristiwa yang pernah
terjadi di pasar itu. 1465 "Aku sama sekali tidak mengerti Ki Anjas" jawab Mahisa
Bungalan. Berita yang tersebar di daerah ini mengatakan, bahwa salah
seorang pembunuh itu menyebut dirinya bernama Mahisa Bungalan.
Tetapi seseorang berbisik dipintu regol pasar, bahwa yang telah
membunuh itu di antaranya bernama Linggadadi."
Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Katanya" Tentu
ada orang yang mengaku namaku. Mungkin dengan sengaja untuk
menumbuhkan benturan antara aku dan orang-orang berilmu hitam
itu." "Mahisa Bungalan" berkata Ki Anjas, "aku sebenarnya sudah
mengetahui bahwa ayahmu, yang sering membawa wesi aji dan
batu akik itu bukan orang kebanyakan. Namanya justru pernah
disebut-sebut dalam hubungannya dengan para Senapati prajurit di
Singasari." Mahisa Agni dan Witantra menjadi berdebar-debar. Tetapi karena
mereka telah memperkenalkan diri mereka tidak dengan nama
mereka yang sebenarnya, maka mereka pun tidak berusaha
mengalihkan pembicaraan."
"Apakah Ki Anjas yakin, bahwa Mahendra yang sering di sebutsebut
bersama para Senapati itu adalah Mahendra ayahku ?"
"Ya." kemudian Ki Anjas bergeser mendekat, seolah-olah ia raguragu
mengatakannya, "kau sangka aku tidak mempunvai dugaan
yang pasti, bahwa dua orang adikmu yang pada saat ayahmu
datang kekota ini ikut serta, adalah anak-anak muda yang luar
biasa" Tidak seorang pun yang tahu, bahwa keduanya adalah anak
Mahendra. Juga tidak banyak orang yang memperhatikan bahwa
Mahendra sendiri lelah datang ke pasar itu. He, kau jangan menipu
aku. Seorang dari mereka tentu Mahisa Bungalan."
"Kesimpulan yang salah," sahut Mahisa Bungalan, "Mahendra
yang menjadi perwira cadangan di Singasari itu tentu bukan
Mahendra ayahku yang kerjanya sehari-hari hanyalah berdagang
batu akik." 1466 Ki Anjas tertawa. Katanya, "Jangan membohongi orang tua
seperti aku. Hanya orang yang percaya kepada diri sendiri sajalah
yang berani membawa perhiasan dan batu-batu berharga sepeti
kecil penuh." Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Tetapi
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
jika Ki Anjas sempat membawa seseorang yang melihat dengan
mata kepala sendiri peristiwa di pasar itu tentu akan mengatakan
bahwa ia tidak melihat aku di antara mereka."
Ki Anjas mengerutkan keningnya.
"Kau berkata sebenarnya?"
"Aku tidak berbohong" jawab Mahisa Bungalan.
Ki Anjas memperhatikan kedua orang yang datang bersama
Mahisa Bungalan itu satu persatu. Tetapi ia sama sekali tidak
mengenal mereka sebagai Mahisa Agni dan Witantra, karena
keduanya memperkenalkan dirinya dengan nama yang lain itu.
"Ah sudahlah" berkata Ki Anjas, "aku tidak mau di bingungkan
oleh peristiwa yang sudah lewat. Nah, sekarang apakah
keperluanmu datang kemari ?"
Mahisa Bungalan menjadi bingung sejenak. Namun kemudian ia
berkata, "Justru karena tersebar nama Mahisa Bungalan dan
Linggadadi, pembunuh orang-orang berilmu hitam. Karena itu
paman, aku mohon paman menyebutku dengan nama lain."
"Kenapa?" "Supaya usahaku menemukan kebenaran tentang peristiwa itu
tidak terganggu oleh prasangka yang tidak dikehendaki."
Ki Anjas termangu-mangu sejenak. Bahkan kemudian
dipandanginya Mahisa Agni dan Witantra yang telah
mempergunakan nama lain itu berganti-ganti, seolah-olah ia ingin
mendapatkan penjelasan lebih banyak tentang keterangan Mahisa
Bungalan. 1467 Tetapi agaknya Mahisa Agni dan Witantra justru menundukkan
kepalanya tanpa memberikan isyarat apapun juga.
"Mahisa Bungalan" berkata Ki Anjas, "jika pada suatu saat,
orang-orang berilmu hitam itu datang lagi ke kota ini untuk
mengusut sebab-sebab kematian kawan-kawannya, sedangkan pada
suatu saat mereka mengenal bahwa kau adalah Mahisa Bungalan,
maka apakah kau telah mempersiapkan diri menghadapi
kemungkinan itu dengan kedua kawanmu ini ?"
"Karena itu, aku tidak ingin disebut namaku paman."
"Jika terpaksa. Aku mengatakannya jika secara kebetulan atau
dengan cara apapun juga, mereka mengenalmu, apakah kedua
orang kawanmu ini dapat kau bawa untuk menghadapi segala
kemungkinan" Menilik sikap dan tubuhnya, mereka cukup
meyakinkan. Tetapi sebenarnya mereka sudah terlalu tua untuk
menghadapi orang-orang berilmu hitam itu."
Mahisa Agni menarik nafas, sedang Witantra bergeser setapak,
"Apakah paman dapat mengatakan serba sedikit tentang orang
berilmu hitam itu?" bertanya Mahisa Bungalan.
"Aku tidak melihat mereka. Tetapi menurut orang-orang yang
menyaksikan, perkelahian itu ternyata sangat dahsyatnya. Sungguh
di luar kemampuan mereka untuk menilai." Namun Ki Anjas tiba-tiba
saja terdiam. Dipandanginya Mahisa Agni dan Witantra sambil
berdesis, "He, apakah salah seorang kawanmu ini bernama
Linggadadi?" "Bukan paman. Bukankah mereka sudah memperkenalkan
dirinya. Yang seorang ini benar-benar bernama Lumban dan yang
lain paman Werdi. Bukankah nama mereka bukan Linggadadi."
"Ya" sahut Ki Anjas, "menurut orang-orang yang menyaksikan,
yang seorang sudah tua, tetapi yang dua orang masih muda."
"Dan sekali lagi aku ingin memastikan bahwa dugaan itu sama
sekali tidak mendasar. Sebaiknya paman memanggil seseorang yang
menyaksikan perkelahian itu dan biarlah orang itu mengatakan
1468 bahwa ketiga orang itu sama sekali bukan kami bertiga atau salah
satu di antara kami."
Ki Anjas mengangguk-angguk. Katanya, "Aku mulai percaya
kepadamu. Dan sekarang, apakah yang akan kau lakukan?"
"Paman," berkata Mahisa Bungalan, "apakah aku boleh bermalam
di rumah paman untuk beberapa hari ?"
Ki Anjas menjadi ragu-ragu. Jika kemudian ternyata orang-orang
berilmu hitam itu mengetahui, bahwa Mahisa Bungalan tinggal
bersamanya, maka rumahnya akan dapat menjadi sasaran
kemarahan orang-orang berilmu hitam itu. Tetapi menurut
perhitungannya, jika benar-benar Mahisa Bungalan menyamarkan
namanya, maka tentu tidak akan ada orang yang mengetahui
bahwa yang tinggal bersamanya itu adalah benar-benar Mahisa
Bungalan. Apa lagi sementara Mahisa Bungalan berada di
rumahnya, maka tentu rumahnya akan menjadi aman dan tidak
akan terganggu meskipun oleh orang-orang berilmu hitam. Karena
yang tinggal di rumahnya itu adalah Mahisa Bungalan, yang
mendapat gelar, dikehendaki atau tidak, pembunuh orang-orang
berilmu hitam. Mahisa Bungalan menunggu jawaban Ki Anjas dengan ragu-ragu.
Jika Ki Anjas berkeberatan, maka ia tidak mempunyai gambaran
kemana lagi ia akan mencari tempat untuk bermalam. Apalagi
beberapa hari. "Jika terpaksa, kami akan bermalam dipasar itu" berkata Mahisa
Bungalan di dalam hatinya, "tetapi dengan demikian kami akan
dapat diusir oleh para peronda di malam hari."
Baru sejenak kemudian Ki Anjas Mengangguk-angguk sambil
berkata, "Baiklah Mahisa Bungalan. Aku mempunyai pertimbangan
yang bertentangan. Kadang-Kadang aku menjadi cemas, bahwa jika
samaran namamu itu pada suatu saat terbuka, maka rumahku akan
dapat dijadikan debu oleh orang-orang berilmu hitam, termasuk
keluargaku. Tetapi jika samaranmu rapat, maka aku tidak akan
mengalami apapun juga."
1469 "Aku akan berusaha untuk merahasiakan diriku sebaik-baiknya
paman." "Kau tahu, taruhannya amat mahal bagiku."
"Aku tahu. Dan karena itulah aku pun mohon, agar paman tidak
keliru menyebut namaku."
"Nah, dengan nama siapakah aku harus memanggilmu ?"
"Terserah kepada paman. Nama yang manakah yang paling baik
buatku." Ki Anjas termangu-mangu sejenak, lalu, "Namamu Singkir.
Jangan lupa." "Baik paman. Namaku sekarang adalah Singkir. Nama yang baik
sekali bagiku." "Kau adalah kemanakanku. Dan kedua kawanmu ini adalah
sahabatku. Dengan demikian, maka tidak akan timbul kecurigaan
apapun di antara para tetangga dan terlebih-lebih jika tanpa kita
ketahui, hadir orang-orang berilmu hitam itu."
"Baik paman. Aku akan selalu ingat."
"Nah, jika demikian marilah, aku akan menunjukkan dimana kau
harus tidur. Ingat keluargaku sendiri harus tidak boleh mengetahui
namamu yang sebenarnya. Apalagi para pembantu Jika salah
seorang saja dari mereka mendengar namamu maka mereka akan
dengan bangga mengatakan kepada semua orang yang dikenalnya,
bahwa Mahisa Bungalan, pembunuh orang berilmu hitam itu berada
di s ini." Demikianlah, maka Mahisa Agni, Witantra dan Mahisa Bungalan
mendapat tempatnya di dalam gandok. Mereka mendapat
kesempatan untuk bermalam di rumah itu beberapa hari. Tetapi
dengan pesan, agar tidak seorang pun yang mengetahui siapakah
mereka itu, justru yang dikehendaki oleh Mahisa Bungalan sendiri.
Di hari berikutnya, maka Mahisa Bungalan bersama Mahisa Agni
dan Witantra telah mencoba berjalan-jalan menyusuri jalan- jalan
1470 kota kecil yang tidak begitu ramai itu. Mereka melihat tata
kehidupan yang sebenarnya tenang dan tidak banyak di bayangi
oleh persoalan-persoalan yang rumit. Kota kecil itu tidak ubahnya
merupakan pusat kegiatan pedagang dari padukuhan-padukuhan di
sekitarnya, sehingga tumbuh menjadi lebih ramai dari sebuah
padukuhan biasa. Apalagi karena penduduknya pandai
memanfaatkan keadaan itu, mereka telah membuat tempat tinggal
mereka menjadi sebuah kota, lengkap dengan dinding batu yang
meskipun tidak terlalu tinggi. Gerbang di beberapa penjuru dan
sebuah pasar yang semakin lama menjadi semakin ramai. Pasar
yang ternyata bukan saja merupakan pusat penjualan hasil sawah
dan hasil kerja tangan mereka, tetapi juga merupakan arena
pertukaran beberapa macam kebutuhan hidup yang semakin lama
menjadi semakin banyak ragamnya.
Tetapi ternyata pasar itu kemudian telah dinodai dengan darah.
Karena itu, ketika Mahisa Bungalan bersama kedua pamannya
sampai ke gerbang pasar itu, mereka melihat pasar itu masih agak
sepi. Masih belum banyak orang yang berani datang ke pasar
karena peristiwa yang baru saja terjadi.
Dengan ragu- ragu Mahisa Bungalan masuk ke dalamnya.
Dilihatnya berbagai macam kegiatan yang masih nampak canggung.
Tetapi agaknya para penjual kebutuhan sehari-sehari terutama
untuk hidup, sudah mulai menjadi ramai kembali.
Di sudut pasar, beberapa orang pandai besi telah menyalakan
perapiannya. Mereka sudah mulai menempa meskipun dengan agak
ragu- ragu. Sedangkan beberapa orang yang sedang berbelanja pun
nampaknya masih terlalu tergesa-gesa.
"Hanya ada sebuah warung yang mulai menjajakan makanan dan
minuman" desis Mahisa Bungalan.
"Kau lapar ?" bertanya Witantra.
"Tidak. Tetapi apakah kita dapat mendengar beberapa ceritera
dari penjual diwarung itu ?"
1471 "Ceritera yang tersebar tidak akan terlalu banyak bedanya
dengan yang akan diceriterakannya. Tetapi karena orang itu
agaknya melihat sendiri apa yang terjadi, mungkin ada juga baiknya
kita berbicara sekedarnya dengan mereka."
"Marilah paman. Barangkali ada juga baiknya kita singgah
sebentar." "Tetapi ingat, namamu adalah Singkir" berkata Witantra, "dan
agaknya kita harus mempertimbangkan pendapat Ki Anjas jika ia
melihatnya kita berada di warung itu."
"Kenapa paman ?"
"Seolah-olah apa yang dihidangkannya kepada kita masih belum
cukup, sehingga kita masih harus singgah ke dalam warung untuk
memesan makanan dan minuman."
"Kita memang harus menjelaskan kepadanya, bahwa jika kita
singgah ke dalam warung itu, bukannya karena yang
dihidangkannya kita anggap kurang cukup, tetapi karena ada
kepentingan-kepentingan yang lain."
Demikianlah maka mereka bertiga pun memasuki satu-satuya
warung yang telah menjajakan jualannya.
Namun agaknya kehadiran mereka bertiga benar-benar telah
menarik perhatian. Bagaimanapun juga, mereka melihat kelainan
pada Mahisa Bungalan, Mahisa Agni dan Witantra.
Setelah mendapatkan masing-masing semangkuk minuman
panas, maka Mahisa Bungalan pun mencoba untuk memancing
keterangan dari penjaual di warung itu tentang peristiwa yang telah
terjadi di dalam pasar itu.
"Apakah Ki Sanak bertiga bukan penduduk kota kecil ini?"
bertanya penjual itu. "Bukan," jawab Mahisa Bungalan, "aku adalah kemanakan Ki
Anjas. Baru kemarin aku datang. Kota ini menjadi bertambah sepi,
1472 sedangkan pada beberapa saat yang lalu, aku melihat gejala
perkembangan yang cepat."
"Apakah Ki Anjas tidak mengatakan apa-apa kepadamu?"
"Tentu. Paman menceriterakan serba sedikit tentang peristiwa
yang terjadi di pasar ini. Tetapi karena saat itu paman tidak berada
di pasar ini, maka ia hanya berdasar kepada ceritera-ceritera yang
didengarnya." "Tentu Ki Anjas sudah menceriterakan semuanya. Yang
diketahui, tentu yang aku ketahui dan sebaliknya."
Mahisa Bungalan Mengangguk-angguk. Lalu, "Kau melihat dua
orang anak muda yang menurut Ki Anjas, terlibat juga dalam
perkelahian itu?" "Ya. Aku melihatnya. Tetapi aku tidak dapat mengatakan apa-apa
tentang keduanya karena mula-mula keduanya tidak menunjukkan
sesuatu yang lain dari orang-orang yang ada di pasar ini. Baru
kemudian setelah terjadi pertengkaran itu, nampaknya ia bukan
orang kebanyakan." "Kau tahu nama dari orang-orang yang berkelahi itu?"
"Mahisa Bungalan dan yang lain disebut Linggadadi. Hanya itu
selain lawan mereka, orang-orang berilmu hitam."
Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Ia kini yakin,
bahwa nama Mahisa Bungalan telah dipertentangkan langsung
dengan orang-orang berilmu hitam. Tetapi demikian juga
Linggadadi. Beberapa saat mereka masih duduk di warung itu menghabiskan
minuman panas dan beberapa potong makan. Kemudian setelah
membayar harga minuman dan makanannya, maka mereka bertiga
pun meninggalkan warung itu.
Hampir sehari penuh mereka berjalan-jalan. Bahkan tidak hanya
di dalam kota, bahkan mereka telah keluar pintu gerbang kota kecil
itu dan menyusuri bulak-bulak persawahan yang sebagian adalah
1473 milik orang-orang yang tinggal di dalam kota itu juga, namun masih
menggantungkan penghidupan mereka dari hasil sawahnya,
sedangkan sebagian yang lain adalah mereka yang sengaja
menyediakan tenaganya untuk membuat alat-alat pertanian dan
alat-alat rumah tangga yang lain.
Tetapi dalam pengamatan mereka bertiga, tidak ada tanda-tanda
sama sekali, bahwa akan timbul lagi keributan dikota kecil itu
Namun demikian, keadaan yang tiba-tiba memang dapat saja
terjadi. "Mungkin saat ini segerombolan orang-orang berilmu hitam itu
sedang menuju kekota ini" desis Mahisa Bungalan.
Mahisa Agni dan Witantra mengangguk-angguk.
"Itu mungkin sekali" jawab Witantra, "dendam yang memang
sudah membara di dada mereka, akan segera berkobar di dalam
sarang mereka. Dan memang mungkin sekali akan datang orangorang
yang mengindap dendam itu di dalam dirinya."
"Apakah kita akan berada di tempat ini beherapa hari seperti
yang kita rencanakan paman?" bertanya Mahisa Bungalan.
"Ada juga baiknya" jawab Mahisa Agni, "dengan demikian kita
akan meyakinkan diri, bahwa orang-orang berilmu hitam itu benarbenar
tidak mendendam kepada kota ini, tetapi kepada Mahisa
Bungalan dan Linggadadi."
Mahisa Bungalan tersenyum. Katanya, "Baiklah. Kita akan berada
di tempat ini untuk beberapa hari."
Dalam pada itu, di perguruan ilmu hitam, Empu Baladatu yang
sedang berkumpul dengan murid-muridnya, Rasa-rasanya tidak
dapat menahan dirinya lagi. Kemarahan yang hampir tidak dapat
dikendalikan telah meledak di dadanya.
Kematian yang berturut-turut menjerat anak-anak muridnya,
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
membuatnya seperti orang gila.
1474 "Mereka adalah anak-anak yang paling dungu dari perguruan ini.
Kenapa mereka tidak dapat mempertahankan diri dan bahkan
semuanya dapat ditumpas oleh Mahisa Bungalan anak Mahendra
dan Linggadadi yang masih belum kita kenal dengan pasti itu ?"
Tidak seorang pun dari murid-muridnya yang berani mengangkat
wajahnya. "Kita sudah kehilangan kesempatan untuk mendapatkan seorang
korban. Purnama sudah naik malam ini. Bahkan kita telah
kehilangan lagi beberapa orang dari lingkungan kita."
Murid-muridnya masih tetap menundukkan kepalanya.
"He, apakah kalian tuli?" tiba-tiba saja Empu Baladatu berteriak
sehingga murid-muridnya terkejut karenanya.
Namun dengan demikian mereka telah mengangkat wajah
masing-masing meskipun dengan hati yang berdebar-debar. Dengan
ragu-ragu mereka memandang wajah Empu Baladatu yang merah
membara. "Siapakah dari antara kalian yang segera mendapat giliran
berikutnya?" teriak Empu Baladatu.
Meskipun murid-muridnya tidak lagi menunduk, namun mereka
masih tetap berdiam diri dengan hati yang berdebaran.
Akhirnya, bahkan Empu Baladatu yang dicengkam oleh
kemarahan itu, terduduk di atas sebuah batu hitam yang dipahat
dalam ujud seekor kura-kura yang memang diperuntukkan baginya.
Namun demikian, setiap kali ia masih memukuli dadanya sendiri
yang Rasa-rasanya menjadi pepat.
"Kita menghadapi orang-orang yang tangguh." Geramnya, "yang
paling gila adalah saudara-saudaramu yang lari dan kemudian
mendirikan sanggar pamujan di daerah bayangan hantu. Ia adalah
pangkal dari bencana yang akan menimpa kita. Jika saja mereka
belum mati dibunuh oleh Mahisa Bungalan, maka akulah yang akan
mencincang mereka seperti yang terjadi di pasar itu. Justru seorang
dari kitalah yang sudah terbunuh dengan kulit yang tersayat-sayat."
1475 Murid-muridnya masih tetap berdiam diri.
"Permulaan yang gila itu, telah memaksa Mahisa Bungalan,
Linggadadi dan bahkan kemudian para Panglima dan Senapati dari
Singasari bertindak." desah Empu Baladatu dengan penuh
penyesalan, "diantara mereka tentu terdapat Mahendra, ayah
Mahisa Bungalan, Mahisa Agni dan beberapa orang yang lain."
Tidak seorang pun yang berani menyambung. Tetapi tiba-tiba
saja Empu Baladatu itu mengangkat wajahnya. Seolah-olah sesuatu
lebih membersit di dalam hatinya. Dengan nada yang tinggi ia
kemudian berteriak, "Apa boleh buat. Aku tidak mau berjalan
sendiri. Aku masih mempunyai seorang saudara tua."
Murid-muridnya mengerutkan keningnya. Mereka tahu bahwa
Empu Baladatu memang mempunyai seorang saudara tua. Meskipun
tidak seperguruan, namun agaknya saudara tua Empu Baladatu itu
akan tidak sampai hati membiarkan adiknya menjadi hancur.
"Tetapi ia bukan orang-orang yang menghisap ilmu serupa
dengan Empu Baladatu" persoalan itu tumbuh juga di dalam hati
murid-muridnya. Sampai saat terakhir, kedua perguruan itu Rasa-rasanya tidak
pernah berhubungan meskipun tidak bermusuhan. Empu Baladatu
agaknya merasa harga dirinya tersinggung apabila ia harus
merendahkan diri meskipun terhadap kakaknya. Namun dalam
keadaan yang sulit, ia tidak mempunyai pilihan lain.
Untuk beberapa saat lamanya, ruangan pertemuan itu menjadi
sepi. Empu Baladatu agaknya masih membuat pertimbanganpertimbangan
didalam hatinya. Tetapi agaknya ia memang tidak
mempunyai jalan lain untuk mengatasi kesulitan yang semakin
mendesak karena ia sudah mulai membayangkan prajurit-prajurit
Singasari dengan diam-diam lewat petugas-petugas sandinya
berusaha menemukan sarangnya dan kemudian dengan pasukan
segelar sepapan datang mengepung dan menghancur lumatkan
padepokannya. 1476 "Bahkan mungkin orang yang menyebut dirinya Mahisa Bungalan
dan Linggadadi adalah prajurit-prajurit sandi" tiba-tiba sa ja ia
menggeram. Murid-muridnya yang mendengarpun menjadi berdebar-debar.
Kemungkinan itu memang dapat terjadi. Dan merekapun mulai
membayangkan pula, hukuman yang dapat mereka alami, jika
prajurit-prajurit Singasari kemudian menemukan bukt-bukti segala
perbuatan mereka. "Untunglah, Empu Baladatu menyadari keadaannya dan ia
bersedia menemui kakaknya" berkata murid-muridnya di dalam hati.
Demikianlah Empu Baladatu kemudian memutuskan untuk menemui
kakaknya, menyampaikan kesulitan yang sedang dihadapinya.
"Kalian jangan berbuat apa-apa" berkata Empu Baladatu, "selama
aku pergi, kalian tidak boleh melakukan kegiatan sama sekali di luar
padepokan. Bahkan kalian harus berusaha menghilangkan segala
jejak yang dapat menumbuhkan kecurigaan atas kita semuanya.
Jika terpaksa kalian harus bertempur melawan siapapun juga, kalian
harus merusaha menyembunyikan ciri-ciri perguruan kita sejauhnya
sampai saatnya nanti tiba, kita akan bangkit dan menguasai seluruh
Singasari. Agaknya kita sekarang telah melakukan kesalahan.
Sebelum kica cukup kuat, kita sudah melakukan perbuatan yang
dapat mengundang malapetaka."
Murid-muridnya hanya mengangguk-angguk saja.
"Tinggallah sebanyak mungkin di antara kalian di luar padepokan
Satu dua orang sajalah yang menunggui padepokan ini untuk
melakukan kerja sehari-hari, sehingga tidak memancing perhatian
siapapun juga yang kebetulan berada di sekitar sarang kita."
Empu Baladatu kemudian menunjuk tiga orang terpilih untuk
tetap berada dipadepokan. Yang lain, diperintahkannya tinggal di
luar padepokan, meskipun hanya di sekitarya. Di pategalan yang
sebelumnya tidak didiami oleh seorang pun, karena pategalan itu
merupakan tanah garapan dari murid-murid Empu Baladatu sendiri.
1477 Tetapi pategalan itu sudah banyak di tumbuhi pepohonan buahbuahan.
Demikianlah, maka pada dini hari berikutnya, Empu Baladatu dan
dua orang pengawal terbaiknya telah meninggalkan padepokannya
menuju ke padepokan kakaknya, yang justru terletak tidak jauh dari
Kota Raja. Sepeninggal Empu Baladatu, dengan patuh murid-muridnya
melakukan perintahnya. Bukan semata-mata karena kesetiaan
mereka terhadap gurunya, tetapi juga karena mereka merasa
cemas, bahwa pembalasan akan benar-benar datang disaat gurunya
tidak ada. Mereka memang merasa ngeri juga mendengar namanama
Mahisa Bungalan dan Linggadadi. Belum lagi jika Mahendra
dan para Senapati Singasari ikut campur.
Ternyata selama ini mereka telah salah menilai diri mereka
sendiri. Mereka sebelumnya merasa, bahwa ilmu mereka akan dapat
menggetarkan seluruh Singasari. Tidak ada kekuatan yang akan
dapat membendung mereka jika mereka mulai bergerak, meskipun
jumlah mereka tidak terlampau banyak dibanding dengan jumlah
prajurit Singasari, khususnya hanya yang berada di Kota Raja.
Tetapi ternyata bahwa dihadapan mereka tiba-tiba saja telah
berdiri Mahisa Bungalan dan Linggadadi yang masing-masing
digelari pembunuh- pembunuh orang berilmu hitam.
Itulah sebabnya maka mereka kemudian dengan patuh membuat
gubug-gubug di pategalan, di antara pohon- pohon buah. Yang ada
di padepokan berusaha untuk membersihkan semua bekas-bekas
korban yang akan dapat menjadikan kedudukan mereka lebih sulit
lagi apabila petugas-petugas sandi menemukan sarang mereka.
Sementara itu, Empu Baladatu dengan kedua pengawalnya telah
menempuh perjalanan yang cukup jauh. Mereka masih juga sempat
melihat-lihat di sepanjang perjalanan, apakah tanggapan orangorang
lain terhadap yang mereka namakan orang-orang berilmu
hitam. Karena itulah, maka ketiga orang itu tidak langsung sampai
ke padepokan yang mereka tuju, tetapi dengan sengaja mereka
1478 bermalam beberapa malam di perjalanan. Bahkan yang pertamatama
mereka singgahi adalah kota kecil yang telah menelan lima
orang korban dari antara murid-muridnya.
Tetapi dalam pada itu, Empu Baladatu telah berusaha
menyamarkan dirinya. Ia sama sekali tidak mengesankan, bahwa ia
adalah pimpinan dan guru dari orang-orang berilmu hitam itu.
Bahkan Empu Baladatu telah menjadikan dirinya seorang tua
yang ramah dan nampak sakit-sakitan. Dalam perjalanan yang jauh,
orang tua yang lemah dan sakit-sakitan itu harus banyak ber
istirahat di sepanjang jalan yang dilaluinya, meskipun ia berkuda.
Kehadiran ketiga orang baru dikota kecil itupun telah mendapat
perhatian dari para penghuninya pula. Tetapi ketika mereka melihat
bahwa seorang di antara mereka adalah orang tua yang sakitsakitan.
maka mereka pun kemudian tidak menaruh perhatian sama
sekali. Juga para pemimpin dikota kecil itu sama sekali tidak menaruh
curiga ketika ketiga orang itu mohon untuk bermalam didalam
banjar. Apalagi Empu Baladatu dan kedua pengawalnya yang terpercaya
seolah-olah tidak dengan sengaja ingin bermalam. Hanya karena
ketuaannya dan penyakitnya sajalah ia terpaksa berhenti dan
bermalam. "Kau dapat beristirahat menurut kebutuhanmu," berkata
pemimpin pengawal kota kecil itu, "tetapi jika kau sudah merasa
baik, kau dipersilahkan meninggalkan banjar itu."
"Terima kasih tuan. Tuan sangat baik terhadap kami" jawab
Empu Baladatu. Dengan demikian, maka Empu Baladatu sempat untuk tinggal di
banjar kota kecil itu. Ia sempat melihat pertemuan para pemimpin
kota itu di banjar, dan bahkan ia sempat pula melihat latihan-latihan
pertunjukan dan upacara di banjar itu.
1479 "Kota ini telah membunuh lima orang di antara kalian" tiba-tiba
saja Empu Baladatu menggeram ketika ia melihat anak anak muda
berada di banjar itu. Kedua pengawalnya tidak menjawab.
"Tentu di antara anak-anak muda itu ada yang mempunyai darah
yang paling manis untuk kita jadikan korban di bulan purnama"
Empu Baladatu masih saja bergumam. Namun kemudian, "Tetapi
sayang, bahwa kita sekarang sedang tidak memerlukan mereka."
Kedua pengawalnya masih tetap berdiam diri. Tetapi di dalam
hati merekapun berdesis, "Kita dengan mudah dapat menangkap
mereka. Kenapa kelima orang yang datang kekota ini bersama
Paguh ia mengalami nasib yang paling pahit?"
Sesuai dengan keadaan dirinya yang sakit-sakitan, Empu
Baladatu tidak pernah meninggalkan banjar. Tetapi kedua
pengawalnyalah yang melihat-lihat isi dari kota kecil itu. Bahkan ia
pun berusaha untuk mendengar sebutan Mahisa Bungalan dan
Linggadadi. Tetapi seperti ceritera yang tersebar di antara penghuni
kota itu, Mahisa Bungalan dan Linggadadi telah lenyap dari kota
tanpa diketahui oleh siapapun seperti pada saat mereka datang.
"Gila," Empu Baladatu menggeram ketika ia mendengar laporan
dari kedua pengawalnya, "sungguh gila. Agaknya kita menemukan
kesulitan untuk mencari kedua orang itu."
"Tetapi mencari rumah Mahendra tidak begitu sulit" berkata
pengawalnya. "Mahisa Bungalan tentu tidak ada di rumahnya. Sedangkan bila ia
ada dirumah, apakah itu berarti bahwa kita akan membunuh diri
karena di rumah itu kita akan bertemu dengan Mahendra" Mungkin
aku dapat mengimbangi kemampuan Mahendra. Tetapi bagaimana
dengan kau berdua" Kalian berdua harus bertempur melawan
Mahisa Bungalan yang bergelar pembunuh orang berilmu hitam itu.
Apalagi jika Linggadadi ada di rumah itu pula."
Kedua pengawalnya hanya Mengangguk-angguk saja. Memang
terbayang kengerian yang dapat terjadi atas mereka. Agaknya yang
disebut bernama Mahisa Bungalan dan Linggadadi itu demikian
1480 membenci orang-orang berilmu hitam, bahkan nampaknya disertai
dengan dendam yang menyala di dalam hati, ternyata dengan bekas
pembunuhan yang pernah terjadi atas salah seorang dari mereka
yang berilmu hitam itu- Kematian yang di alami adalah demikian
mengerikan, seperti orang-orang berilmu hitam itu sendirilah yang
melakukannya. Sementara itu, selagi di banjar kota kecil itu tinggal seorang tua
yang sakit-sakitan dikawani oleh dua orang kemanakannya, Mahisa
Bungalan memang masih berada dikota kecil itu pula. Tetapi ia
sama sekali tidak menaruh perhatian pula atas orang-orang yang
berada dibanjar itu, karena orang- orang itu pun sama sekali tidak
berbuat apa-apa, selain benar-benar beristirahat, karena salah
seorang dari mereka menderita sakit di perjalanan.
Namun sebaliknya, orang-orang berilmu hitam itupun tidak
menaruh perhatian terhadap orang-orang yang berada di rumah Ki
Anjas, karena menurut mereka, orang-orang itu pun tidak berbuat
apa-apa. Mereka sama sekali tidak melakukan kegiatan apapun juga
yang memberikan kesan perlawanan terhadap orang-orang berilmu
hitam. Apalagi nama-nama mereka adalah nama-nama yang sama
sekali tidak dikenal pula. Seorang anak muda di antara mereka yang
berada di rumah Ki Anjas itu bernama Singkir. Nama yang memang
tidak menarik perhatian- Sekali ketika berlangsung upacara dibanjar, setelah musim panen
yang berlangsung pada saat orang berimu hitam itu masih berada
dibanjar, dan Mahisa Bungalan serta kedua pamannya masih pula
berada dirumah Ki Anjas, diantara mereka yang melihat upacara itu,
terdapat kedua belah pihak. Tetapi baik Mahisa Bungalan maupun
Empu Baladatu sama sekali tidak memperhitungkan kemungkinan
yang demikian, sehingga justru tidak terjadi sentuhan apapun juga
diantara mereka. Namun demikian, diam-diam beberapa orang di kota kecil itu
mulai membuat ceritera tersendiri. Seorang yang bertubuh bulat
berbisik kepada kawan-kawannya., "He. apakah kau tidak
1481 memperhatikan keadaan terakhir di kota kita yang semakin panas
ini ?" "Kita melihat seolah-olah angka tiga memegang peranan."
"Angka tiga ?" "Ya. Jika sekali-kali kau singgah di warung di bulak panjang
diluar kota itu, kau akan mendengar ceritera tentang tiga orang
berkuda." "Apa anehnya dengan tiga orang berkuda ?" bertanya yang lain.
Kawannya tidak segera menjawab. Diedarkannya tatapan
matanya, seolah-olah ingin meyakinkan, bahwa kata-katanya tidak
akan didengar oleh orang-orang yang tidak dikenalnya.
"Jika hanya ada tiga orang berkuda, maka hal itu tidak akan
menarik perhatian." "Lalu ?" kawannya bertanya.
"Ada tiga kali tiga orang berkuda."
"He, kata-mu membuat aku bingung."
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Dengar baik-baik. Tiga kali tiga orang berkuda." ia berhenti
sejenak, lalu, "dengarlah. Ada tiga orang berkuda. Kemudian tiga
orang yang lain. Setelah ketiga orang yang kedua itu pergi, datang
tiga orang lagi." Kawannya Mengangguk-angguk. Katanya, "Aku mengerti
sekarang. Agaknya kau masih akan mengatakan, bahwa ada tiga
orang berkuda pula di banjar. Dan tiga orang yang lain bermalam di
rumah Ki Anjas, yang dikatakannya kemanakannya dan bernama
Singkir itu." "Nah, kau mulai merasakan, betapa gawatnya jumlah tiga itu.
Kau ingat, orang-orang yang membunuh orang-orang berilmu hitam
itu jumlahnya juga tiga. Sedang dua orang anak-anak muda itu
ternyata bertiga pula setelah seorang lagi datang kepada mereka."
1482 "Tetapi kau tidak tahu, bahwa tiga kali tiga orang yang lewat di
muka warung itu adalah di antara tiga orang yang sudah kau
sebutkan. Mungkin tiga orang yang membunuh orang-orang berilmu
hitam itulah yang lewat di muka warung, sehingga kau
menghitungnya dua kali. Demikian juga tiga-tiga orang yang lain."
"Meskipun seandainya demikian, tentu ada beberapa kelompok
pula." Yang lain Mengangguk-angguk.
"Sekarang" berkata orang yang pertama, "masih ada dua
kelompok yang berada di kota kecil ini."
"Ya. Yang dibanjar dan yang tinggal di rumah Ki Anjas."
"Tetapi agaknya mereka saling tidak mengenal dan tidak
menaruh perhatian. Ternyata pada saat upacara di banjar, kedua
kelompok itu ada disana. Mereka menonton upacara tanpa berbuat
apa-apa, " "Mudah-mudahan."
Dan seperti yang mereka duga, kedua belah pihak memang tidak
berbuat apa-apa. Empu Baladatu yang merasa sudah cukup lama
berada di banjar itupun kemudian minta diri. Di kota kecil itu ia tidak
mendapatkan keterangan apapun juga selain yang pernah
didengarnya tentang Mahisa Bungalan dan Linggadadi.
Meskipun ia mendengar juga tentang tiga orang yang berada di
rumah Ki Anjas, tetapi Empu Baladatu tidak menghiraukannya,
karena ketiga orang itu bukannya tiga orang yang telah membunuh
murid-muridnya. Dari beberapa orang ia mendengar ceritera, bahwa
ketiga orang yang telah membunuh lima orang berilmu hitam itu
sudah pergi, dan tidak kembali lagi-Demikian juga dua orang anakanak
muda yang ikut terlibat didalamnya.
"Tiga orang yang berada di rumah .Ki Anjas itu adalah
kemanakannya yang tidak tahu menahu tentang orang-orang
berilmu hitam." 1483 "Terkutuklah orang-orang berilmu hitam itu, " sahut Empu
Baladatu, "dan terpujilah Mahisa Bungalan dan Linggadadi, yang
bergelar pembunuh orang-orang berilmu hitam. Jika sekiranya aku
dapat bertemu dengan mereka, maka akupun akan menyatakan
kcgembiraanku, bahwa mereka telah membantu membersihkan
kericuhan karena polah orang-orang berilmu hitam itu."
"Sayang, mereka telah pergi."
Empu Baladatu pun kemudian meninggalkan kota kecil itu.
Seperti orang yang mengerti unggah-ungguh, ia mengucapkan
terima kasih kepada para pemimpin yang telah memberikan ijin
kepadanya untuk singgah beberapa hari di banjar karena
kesehatannya yang terganggu.
"Apakah kau sudah sehat Kiai ?" bertanya pemimpin pengawal
kota. "Sudah tuan. Dan aku ingin segera melanjutkan perjalanan, agar
kami tidak selalu membuat gaduh di banjar."
"Banjar itu terbuka bagi yang memerlukan." jawab pemimpin
pengawal itu. Namun Empu Baladaiupun kemudian meninggalkan banjar dan
meneruskan perjalanan. Ia masih nampak letih ketika kudanya
mulai berlari meninggalkan gerbang kota.
Tetapi demikian ia sampai di bulak, maka ia pun mengumpat
tanpa hentinya. "Jika saja aku bertemu langsung dengan Mahisa Bungalan dan
Linggadadi. Aku ingin mencincangnya sampai lumat. Bukan saja
menyobek kulitnya silang menyilang. Tetapi aku ingin
menumbuknya sampai lumat."
Kedua pengawalnya sama sekali tidak menjawab. Mereka
mengerti, bahwa jantung Empu Baladatu benar-benar telah dibakar
oleh kemarahan. Apalagi setelah dengan langsung ia mendengar
ceritera tentang kematian murid-muridnya di pasar itu. Tentang dua
1484 anak muda yang ikut campur, bahkan membantu salah seorang dari
tiga orang yang telah membunuh murid-muridnya.
"Jika aku menemukan mereka, anak-anak muda itu, maka
mereka adalah korban yang paling baik bagi perguruan kita." geram
Empu Baladatu. Namun ia tidak dapat ingkar, bahwa ternyata di luar
perguruannya, masih banyak orang yang memiliki ilmu yang tinggi,
yang mampu membendung keganasan ilmu hitam yang rereka
banggakan itu. Dalam pada itu, Mahisa Bungalan, Mahisa Agni dan Witantra
yang berada di rumah Ki Anjas itu pun tidak menemukan
keterangan yang lebih lengkap tentang orang-orang berilmu hitam.
Meskipun sebenarnya kota kecil itu sudah cukup dekat dengan
sarang mereka, tetapi tidak seorang pun yang dapat memberikan
petunjuk tentang sarang itu.
Karena itu, maka Mahisa Bungalan pun sependapat dengan
kedua pamannya, bahwa mereka tidak perlu lebih lama lagi berada
di kota kecil itu. "Tiga orang yang berada di banjar itu semula telah menarik
perhatianku" berkata Witantra, "tetapi agaknya mereka tidak
berbuat apa-apa yang dapat menunjukkan, meskipun hanya
sepeletik kecil, tanda-tanda siapakah mereka itu. Mereka hanya
berada di banjar dan sekali-kali dua orang di antara mereka berada
di pasar untuk membeli makan mereka sehari-hari, selain yang
mereka terima atas uluran tangan para pejabat kota kecil ini."
"Apakah yang seorang itu benar-benar sakit paman ?" bertanya
Mahisa Bungalan. "Tentu kita tidak dapat mengetahui dengan pasti. Jika kita
mendapat kesempatan untuk mendekat dan berbicara beberapa
patah kata, maka kita akan dapat meraba-raba, apakah benar ia
sakit-sakitan" 1485 "Tetapi mereka telah pergi tanpa berbuat apa-apa. Seandainya
mereka orang-orang berilmu hitam, mereka ternyata hanya sekedar
lewat dan mencari keterangan tentang kematian kawan kawannya."
"Agaknya lebih baik jika mereka mendengar kematian itu lebih
jelas. Dengan demikian, mereka harus membuat pertimbanganpertimbangan
baru jika mereka akan melakukan kejahatan di
manapun juga, karena di luar mereka ternyata masih terdapat
orang-orang yang akan mampu menghancurkan mereka."
"Nah, jika demikian, apakah kita akan melanjutkan perjalanan?"
"Kita akan berjalan terus" jawab Witantra, "kita akan mengelilingi
daerah Utara. Barangkali kita akan menemukan tanda-tanda yang
dapat menunjukkan letak sarang mereka."
"Kota ini tentu letaknya tidak terlampau jauh. Di sini diketemukan
lima orang berilmu hitam."
"Ya. Di Kota Raja terbunuh dua orang berilmu hitam. Didaerah
bayangan hantu ada tiga orang. Dan kini, dikota kecil ini lima orang.
Jalur itu menunjukkan jumlah yang semakin banyak, sehingga
kesimpulannya memang daerah ini menjadi semakin dekat."
"Tetapi tidak dapat dijadikan pegangan. Biarlah kita meneruskan
pengembaraan ini. Perjalanan mengelilingi padukuhan yang jauh
masih terasa menyenangkan."
"Apakah paman Mahisa Agni dapat mempertimbangkan arah
yang barangkali lebih tepat daripada sekedar perjalanan melingkar?"
Mahisa Agni menggeleng. Katanya, "Aku tidak mempunyai
dugaan sama sekali, dimanakah sarang orang-orang berilmu hitam
itu. Karena itu, maka perjalanan kita adalah sekedar perjalanan
tamasya melihat-lihat sawah yang hijau dan pegunungan yang biru
kemerah-merahan di waktu pagi."
Witantra tersenyum. Katanya, "Baiklah. Perjalanan yang demikian
Kadang-Kadang memang perlu bagi orang-orang tua untuk
melengkapi bekal sebelum sampai di batas hidupnya."
1486 Mahisa Agni dan Mahisa Bungalan pun tertawa. Demikianlah
mereka memutuskan untuk meninggalkan kota kecil yang mulai
menjadi tenang. Pasar yang sepi telah menjadi semakin ramai, dan
orang-orang mulai melupakan apa yang pernah terjadi.
"Kami mengucapkan terima kasih yang sebesarnya Ki Anjas, "
berkata Mahisa Bungalan, "kami telah cukup lama berada di sini.
Kami telah cukup lama membuat Ki Anjas bertambah sibuk."
Ki Anjas tersenyum. Katanya, "Tidak banyak bantuan yang dapat
aku berikan Singkir, eh, aku akan tetap menyebut namamu
demikian, agar aku tidak salah lidah jika aku berceritera kepada
orang lain." Mahisa Bungalan tersenyum pula. Jawabnya, "Agaknya memang
lebih baik demikian Ki Anjas. Sebab kesalahan yang mungkin terjadi,
akan dapat berakibat panjang sekali."
"Tetapi permintaanku Singkir, di saat-saat yang lain, kau
sebaiknya menengok kami di sini. Jika ternyata kehadiranmu di
rumah ini tercium oleh orang-orang berilmu hitam, barangkali di lain
waktu, kau hanya akan tinggal menemukan rumah ini tanpa aku."
"Ah, tentu tidak Ki Anjas. Tidak ada orang yang mengenal aku
sebagai Mahisa Bungalan dan apalagi anak Mahendra di sini."
Ki Anjas mengangguk-angguk Katanya, "Mudah-mudahan."
Demikianlah maka Mahisa Bungalan, Mahisa Agni dan Witantra
mohon diri kepada Ki Anjas. Dimuka regol halaman Mahisa Bungalan
berbisik, "Aku berjanji untuk tidak mengatakan kepada siapapun
bahwa aku, Mahisa Bungalan pernah tinggal di rumah ini. Demikian
juga hendaknya Ki Anjas."
"Ya, ya Aku masih ingin panjang umur."
"Dan tentu sebaiknya jangan mengatakan sesuatu tentang kedua
kawanku ini." "He ?" 1487 Mahisa Agni akan mencegah, tetapi sudah terlambat. Mahisa
Bungalan sudah terlanjur berbisik, "Sebenarnyalah mereka adalah
paman Mahisa Agni dan paman Witantra. Bukankah Ki Anjas telah
mendengar namanya ?"
"He" Ki Anjas seolah-olah telah membeku di tempatnya.
Dipandanginya Mahisa Agni dan Witantra berganti-ganti, seolah-olah
ia tidak percaya bahwa ia telah berdiri berhadapan dengan kedua
orang yang sebelumnya hanya dikenal namanya saja. Tetapi
baginya keduanya adalah raksasa-raksasa yang perkasa di atas
jenjang kekuasaan Singasari.
Sambil tersenyum Mahisa Bungalan berkata, "Jangan terkejut Ki
Anjas. Keduanya tidak akan menakut-nakuti s iapapun juga."
"Aku sama sekali tidak menjadi ketakutan" suara Ki Anjas masih
dipengaruhi oleh getar perasaannya , "tetapi aku tidak menyangka
bahwa aku akan dapat bertemu dengan kedua Senapati Agung ini."
"Ah, sudahlah Ki Anjas" berkata Mahisa Agni, "sebenarnya Mahisa
Bungalan tidak perlu menyebut nama kami."
"O, itu membuat aku berbahagia sekali" desis Ki Anjas.
"Tetapi sekali lagi Ki Anjas, " berkata Mahisa Bungalan,
"sebaiknya Ki Anjas menyimpan rahasia iai rapat-rapat. Dan Ki Anjas
jangan sampai salah ucap, sehingga justru akan menyulitkan
keadaan Ki Anjas sendiri"
"Baiklah. Aku mengerti. Tetapi karena itu justru aku ingin kau
dan kedua Senapati Agung ini untuk datang lagi ke pondokku.
Barangkali aku dapat memberikan pelayanan yang lebih baik dari
yang pernah aku lakukan, sebelum aku mengetahuinya."
"Sudah cukup Ki Anjas, " sahut Witantra, "kami me ngucapkan
terima kasih. Tetapi baiklah lain kali kami akan berusaha untuk
singgah lagi di rumah Ki Anjas."
1488 "Aku menunggu, " jawab Ki Anjas. Ketiganya pun kemudian
sekali lagi minta diri sambil menuntun kuda mereka beberapa
langkah, sebelum mereka kemudian meloncat naik dan berpacu
meninggalkan kota kecil yang pernah digoncangkan oleh peristiwa
yang mengerikan. Namun yang justru menimbulkan teka-teki di hati
ketiga orang itu. Di kota kecil itu masih tetap tersebar pendapat bahwa yang telah
membunuh orang-orang berilmu hitam itu adalah Mahisa Bungalan
dan Linggadadi yang kedua-duanya bergelar pembunuh orangorang
berilmu hitam. Mahisa Bungalan, Mahisa Agni dan Witantra tidak mempunyai
tujuan yang pasti. Mereka bermaksud untuk melingkar ke Utara dan
kemudian kembali ke Kota Raja. Pengembaraan yang mereka
lakukan telah cukup lama dan jauh. Tetapi mereka tidak berhasil
menemukan sarang orang-orang berilmu hitam itu. selain bekasbekasnya
saja di sepanjang jalan. "Semakin jauh perjalanan ini, aku menjadi semakin senang"
berkata Mahisa Bungalan, "aku akan dapat melihat tempat-tempat
yang sebelumnya belum pernah aku kunjungi."
Mahisa Agni hanya mengangguk-angguk saja. Sekilas terkenang
masa-masa mudanya, masa pengembaraan yang pernah
dialaminya. Masa gejolak di dadanya hampir tidak dapat dibendung
lagi karena persoalan-persoalan yang sangat menyangkut sentuhan
yang paling dalam di sudut hatinya.
"Paman" tiba-tiba saja Mahisa Bungalan berdesis , "apakah dalam
perjalanan kembali paman tidak ingin singgah di Panawijen ?"
Kisah Hantu Goosebumps Ii 2 Kaki Tiga Menjangan Pangeran Menjangan Duke Of Moon Deer Karya Chin Yung Petualang Malam 1