Pencarian

Sepasang Ular Naga 42

Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja Bagian 42


Tetapi justru memberikan bentuk jiwani pada anak-anak muda yang
telah tersesat. Ternyata bahwa Linggapati pun memperhatikan semua yang
telah dilakukan oleh Singasari. Dengan saksama ia mendengarkan
laporan-laporan yang beruntun datang dari beberapa daerah oleh
penghubung-penghubung yang di tempatkannya khusus utuk
mengamati keadaan. "Kita terlambat." berkata salah seorang pengawalnya yang sejak
semula telah mendesaknya untuk bertindak.
Linggapati menggeleng. Jawabnya, "Tidak. Singasari masih
belum dapat menangkap Empu Baladatu. Ia masih berkeliaran dan
memberikan perlawanan di mana-mana."
"Tetapi kekuatan Empu Baladatu telah hampir dapat di
lumpuhkan di segala tempat."
"Biarlah yang tersisa itu memeras kekuatan Singasari. Yang
tersisa itu masih sempat membunuh beberapa puluh orang korban
di medan yang tersebar."
2549 Pengawalnya hampir-hampir tidak telaten lagi menunggu
perintah Linggapati. Dengan cemas ia mengikuti setiap laporan
mengenai perkembangan keadaan di daerah-daerah. Apalagi jika
ada di antara para penghubung itu memberikan laporan tentang
kemungkinan terbentuknya satu kekuatan cadangan dari anak-anak
muda yang justru semula berpihak kepada Empu Baladatu.
Dalam pada itu, prajurit-prajurit Singasari telah benar-benar
bertindak tegas terhadap para pengikut Empu Baladatu.
Dibeberapa tempat korban menjadi terlalu banyak. Namun hal itu
tidak dapat dihindarinya dalam keadaan yang gawat bagi Singasari.
Apalagi ketika Singasari mendapat laporan dari para petugas
sandinya tentang kegiatan yang semakin meningkat di Mahibit,
maka mereka pun menjadi semakin banyak memperhatikan
kemungkinan untuk meningkatkan ketahanan prajurit Singasari yang
semakin lemah karena perlawan Empu Baladatu.
"Perlawanan itu harus diakhiri segera." berkata Manisa Agni
ketika ia berada di dalam sidang para pemimpin Singasari.
"Ia berada di tengah-tengah induk pasukan yang kuat yang
bergerak mendekati Kota Raja." berkata seorang petugas sandi yang
mengikuti gerakan di induk pasukan Empu Baladatu.
Ranggawuni dan Mahisa Cempaka mulai menjadi cemas karena
perkembangan keadaan yang gawat. Mereka sadar, bahwa setelah
mereka menyelesaikan dan mematahkan kekuatan Empu Baladatu,
mereka masih harus berhadapan dengan kekuatan yang sudah
tersusun di Mahibit. "Tuanku." berkata Mahisa Agni, "Menurut pertimbangan hamba,
biarlah kekuatan induk pasukan Empu Baladatu itu mendekat Kota
Raja. Kita harus menjebaknya dan membinasakannya. Sebelum
Empu Baladatu sendiri dapat dilumpuhkan, maka perkembangan
keadaan masih akan tetap memburuk. Menurut pertimbangan
hamba, Mahibit sengaja menunggu segalanya selesai, karena
dengan demikian Singasari menurut perhitungan mereka telah
menjadi lemah." 2550 Linggapati menggeleng. Jawabnya, "Tidak. Singasari masih
belum dapat menangkap Empu Baladatu. la masih berkeliaran dan
memberikan perlawanan di mana-mana."
Ranggawuni mengangguk. Katanya, "Pasukan Singasari memang,
telah terpencar. Kesatuan-kesatuan yang ditarik dari daerah-daerah
yang jauhpun telah terlibat. Tetapi pasukan cadangan di Kota Raja
masih tetap kuat untuk melawan induk pasukan Empu Baladatu jika
mereka benar-benar memotong perlawanan mereka langsung ke
Kota Raja." "Hamba tuanku. Namun masih harus diperhitungkan kekuatan
Linggapati yang akan menyusul kemudian."
"Jadi bagaimana menurut pertimbangan paman?"
"Kita dapat mempercayakan kepada para prajurit yang telah
menyelesaikan tugasnya untuk menghadapi kekuatan yang akan
digerakkan oleh Mahibit tuanku. Tetapi induk kekuatan Mahibit itu
tentu akan melanda Kota Raja juga seperti yang akan dilakukan oleh
Empu Baladatu. Justru beruntun, karena Linggapati memiliki
perhitungan yang baik. Lebih dari Empu Baladatu."
"Aku dapat mengerti."
"Untuk menghadapi kekuatan Mahibit tentu diperlukan kekuatan
yang segar. Bukan dari pasukan yang telah telah bertempur
melawan pasukan Empu Baladatu."
"Apakah pasukan cadangan itu harus dibagi" Bukankah dengan
demikian berarti kekuatan Singasari akan nampak terlalu kecil?"
"Tuanku. Masih ada kekuatan yang tersimpan. Untuk
menghadapi Empu Baladatu hamba kira kira dapat berhubungan
dengan Empu Sanggadaru. Padepokan itu kini menjadi besar.
Kekuatan yang ada di padepokan itu adalah kekuatan dari
padepokan Empu Sanggadaru sendiri, dari padepokan Macan
Kumbang, dan Serigala Putih. Bersama sekelompok kecil prajurit,
mereka akan dapat kita hadapkan, kepada pasukan Empu Baladatu.
Beberapa orang Senapati Singasari akan menyertai mereka. Dengan
2551 demikian maka seperti kekuatan anak-anak muda yang berpencaran
di setiap daerah perlawanan, maka kekuatan Empu Sanggadaru
akan berada di Kota Raja."
Ranggawuni mengangguk-angguk. Ia mengenal kekuatan dan
kesetiaan Empu Sanggadaru, sehingga jika anak buahnya diserahi
tugas tertentu, maka Empu Sanggadaru akan melaksanakannya
dengan sepenuh hati. Sementara Ranggawunipun mengetahui,
bahwa jumlah pasukan Empu Sanggadaru cukup besar, apalagi
ditambah dengan Serigala Putih dan Macan Kumbang.
Dalam pada itu Mahisa Agni pun berkata, "Tuanku, jika kita
berhubungan dengan Empu Sanggadaru, maka ia akan merasa
mendapat kehormatan atas kepercayaan kita. Sedangkan hal itu
bukanlah sesuatu yang berlebihan kita bebankan kepada mereka,
karena mereka pun mempunyai kewajiban untuk ikut serta
mempertahankan dan menyelamatkan seluruh Singasari dari
kemunduran." "Baiklah." jawab Ranggawuni kemudian, "Tetapi jangan beri
beban terlalu berat kepada mereka. Apalagi beban yang tidak
terpikulkan." "Baiklah tuanku. Kita akan segera mengatur segala sesuatu
menghadapi keadaan yang akan berkembang dengan cepat. Tetapi
penghubung-penghubung kita pun mampu bergerak cepat untuk
menyesuaikan segala gerakan dengan keadaan yang berkembang
terus." "Kita harus melihat Singasari dalam keseluruhan paman."
berkata Mahisa Cempaka, "Bukan bagian-bagian kecil yang
diselesaikan dalam potongan-potongan kecil pula."
"Hamba mengerti tuanku. Dan hamba pun selalu mencoba
memperhatikan setiap gejala yang berkembang, seperti yang terjadi
di Mahibit di samping kerusuhan yang timbul karena tindakan Empu
Baladatu." Demikianlah, maka atas ijin Ranggawuni dan Mahisa Cempaka
maka Mahisa Agni pun telah memerlukan pergi ke padepokan Empu
2552 Sanggadaru yang telah menjadi sebuah padepokan yang besar dan
ganda. Seolah-olah ada tiga buah padepokan yang berkembang
menjadi padukuhan- padukuhan terpisah.
Kedatangan Mahisa Agni telah disambut dengan kegembiraan di
padepokan Empu Sanggadaru. Mahisa Agni tidak dapat mengenal
lagi orang-orang Serigala Putih dan Macan Kumbang sebagai dua
kelompok yang, hampir tidak akan pernah dapat bertemu. Namun
ternyata bahwa akhirnya keduanya yang memiliki aliran dari satu
sumber itu, kembali menggenang dalam satu pelimpahan.
Sebenarnyalah Empu Sanggadaru bukannya sama sekali tidak
acuh terhadap perkembangan keadaan. Ia pun selalu mengikuti
pergolakan yang terjadi. Ia menyebar petugas-petugas sandi sampai
ke tempat yang jauh sekedar untuk mengetahui apakah yang
sebenarnya telah terjadi, dan apakah yang telah di lakukan oleh
adiknya yang telah berkhianat terhadap pemerintahan Singasari itu.
Karena itu, maka Empu Sanggadaru sama sekali tidak terkejut
ketika Mahisa Agni membeberkan keadaan di beberapa tempat di
Singasari. "Sementara memang memerlukan perhatian." berkata Empu
Sanggadaru, "Kami telah mencoba untuk mengikuti setiap
perkembangan. Tetapi kami di padepokan kecil ini tidak banyak
mengetahui apa yang terjadi. Namun agaknya adikku itu kembali
telah menimbulkan kegemparan yang lebih merata lagi."
Mahisa Agni mengangguk-angguk. Katanya, "Empu. Agaknya
Empu sudah mengetahui beberapa hal tentang kekalutan yang
terjadi. Ternyata bahwa Singasari akan mengalami kesulitan jika
Singasari hanya sekedar menumpukan kekuatannya kepada prajuritprajuritnya."
Empu Sanggadaru tersenyum. Ia justru meneruskan, "Karena itu
maka rakyat Singasari pun berkewajiban untuk ikut serta membantu
dan bersama-sama dengan para prajurit mempertahankan
keseimbangan keadaan, karena tanpa kekuatan rakyat Singasari,
prajurit-prajurit Singasari tidak aka banyak dapat berbuat."
2553 Mahisa Agni pun tersenyum pula. Jawabnya, "Kau benar Empu.
Dan kini kami datang untuk mendengarkan prasetya Empu sebagai
rakyat Singasari yang baik, yang melihat dan mengetahui kekalutan
yang terjadi di seluruh negeri."
Empu Sanggadaru masih tersenyum. Katanya, "Sebenarnyalah
kami sudah menyiapkan diri. Kami telah menunggu perintah yang
menurut perhitungan kami tentu akan dilimpahkan kepada kami."
"Baiklah Empu." jawab Mahisa Agni, "Agaknya aku tidak perlu
memberikan banyak petunjuk dan penjelasan. Empu telah banyak
mengetahui keadaan ini."
"Kami memang telah mempersiapkan diri. Apapun perintah yang
akan diberikan kepada kami untuk ikut menegakkan keutuhan
Singasari, kami telah siap melakukannya."
Tidak banyak kesulitan dalam pembicaraan itu. Empu
Sanggadaru telah mendapat perintah untuk mempertahankan Kota
Raja. Sepasukan prajurit akan memancing pasukan induk Empu
Baladatu yang kuat yang akan menyerbu Kota Raja mendahului
serangan yang akan menyusul dari Mahibit. Agaknya Linggapati pun
telah memperhitungkan setiap kemungkinan.
"Untuk menghadapi Mahibit, kami telah mengambil langkahlangkah
tertentu." berkata Mahisa Agni, "Di antaranya
pengampunan yang luas kepada pengikut-pengikut Baladatu yang
tidak menyadari keterlibatannya dalam pengertian jiwani."
Empu Sanggadaru mengangguk-angguk. Ia mengerti, tugas
apakah yang harus dilakukannya. Membantu prajurit-prajurit
Singasari mempertahankan Kota Raja. Kemudian dengan pasukan
cadangannya berbuat serupa menghadapi pasukan Mahibit.
Dalam pada itu, selama Mahisa Agni berada di padepokan Empu
Sanggadaru, ia sempat menyaksikan kesiagaan padepokan itu.
Bersama orang-orang yang semula menyebut dirinya gerombolan
Macan Kumbang dan Serigala, Putih Empu Sanggadaru telah
membentuk satu pasukan yang kuat.
2554 Anak-anak muda yang sebelumnya masih belum diikut sertakan
karena umurnya, kemudian telah mendapatkan latihan-latihan yang
berat untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan pribadinya. Di
masa-masa datang yang dekat, mereka akan segera memikul
tanggung jawab seperti angkatan sebelumnya. Bahkan mereka
mempunyai dasar jiwani yang lebih bersih dan kuat.
"Inilah yang dapat kami sediakan bagi Singasari." berkata Empu
Sanggadaru, "Mudah-mudahan mereka dapat memenuhi tugasnya
dengan baik, sesuai dengan kedudukan mereka sebagai rakyat
Singasari." "Terima kasih." berkata Mahisa Agni, "Pada saatnya kami
menghubungi Empu. Kami telah menyediakan segalanya di
Singasari. Barak-barak dan persediaan senjata yang mungkin dapat
dipergunakan." "Kami membuat senjata kami sendiri di padepokan ini. Mereka
dapat membuat senjata sesuai dengan keinginan masing-masing.
Yang lebih kuat dapat membuat pedang yang lebih besar dan berat.
Yang kurang kuat, perlu membuat senjata yang tipis tetapi tajamnya
dapat diandalkan." Mahisa Agni mengangguk-angguk. Ia percaya bahwa Empu
Sanggadaru sanggup membuat semuanya yang diperlukannya.
Demikianlah sepeninggal Mahisa Agni, Empu Sanggadaru menjadi
semakin tekun mempersiapkan pasukannya. Anak-anak muda di
padepokan itu telah menempa diri dengan sungguh-sungguh.
Mereka menyadari tugas apakah yang akan segera dibebankan di
pundak mereka. Karena itulah, maka mereka pun telah berlatih sesuai dengan
kemungkinan yang bakal terjadi. Mereka selain mempertinggi
kemampuan setiap pribadi, maka mereka pun telah berusaha untuk
berlatih perang di dalam gelar yang besar.
Dalam pada itu. pasukan Empu Baladatu yang kuat telah
bergerak mendekati Kota Raja. Ia sadar, bahwa di beberapa tempat,
pasukan orang-orang yang berada di bawah pengaruhnya telah
2555 dapat diatasi oleh prajurit-prajurit Singasari. Namun ia pun
mengetahui, bahwa kekuatan Singasari benar-benar telah terpecah
belah. Beberapa daerah telah memerlukan kekuatan yang cukup
besar untuk mengatasi kekalutan yang sengaja ditimbulkannya.
Namun Empu Baladatu sadar, bahwa jika ia berhasil, maka ia
masih mempunyai persoalan dengan Mahibit. Mungkin Linggapati
dapat dibujuknya. Tetapi mungkin pula tidak. Itulah sebabnya, maka
ia harus segera menguasai Kota Raja dan memaksa para Senapati
untuk mempergunakan sisa prajurit yang ada dengan jaminan
pengampunan. "Mereka harus mempunyai harapan, bahwa setelah perang
melawan Mahibit itu berakhir, keadaan mereka akan tetap baik.
Sementara mereka harus diberi gambaran yang parah jika Mahibit
yang akan memegang kekuasaan di Singasari." berkata Empu
Baladatu kepada orang-orang yang paling dekat dengan dirinya.
Meskipun kekalahan-kekalahan di beberapa tempat yang terpisah
telah sampai ketelinganya, namun Empu Baladatu masih tetap
berpengharapan, karena pusat pemerintahan ada di Kota Raja. Jika
ia dapat menguasai pemimpin-pemimpin pemerintahan di Singasari,
maka semuanya akan berjalan sesuai dengan rencananya.
Sementara itu. Singasari telah mempersiapkan pasukan yang
akan memancing Empu Baladatu untuk langsung mendekati, Kota
Raja dan menjebaknya dalam jaringan yang telah di siapkan.
Mahisa Agni yang memimpin langsung perlawanan terhadap
Empu Baladatu telah membuat Singasari seolah-olah benar-benar
tidak berdaya, sehingga para petugas sandi, baik yang dikirim oleh
Empu Baladatu, maupun orang-orang Mahibit, menganggap bahwa
Singasari benar-benar telah kosong.
Namun dalam pada itu, Mahisa Agni telah menempatkan
pasukannya yang kuat terpercar di beberapa padukuhan di luar


Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gerbang Kota,Raja. Namun dalam keadaan tertentu mereka akan
dapat dikumpulkan dalam waktu yang dekat.
2556 Sementara itu, maka pasukan Empu Sanggadaru pun telah
dihubunginya pula. Mereka diminta bersiap untuk datang setiap saat
di Kota Raja. Dalam pada itu, pasukan yang telah disiapkan untuk memancing
pasukan Empu Baladatu telah berada di hadapan hidung pasukan
Empu Baladatu yang kuat. Dengan keterangan-keterangan yang
masak, maka pasukan kecil itu telah memperhitungkan setiap
kemungkinan yang harus dilakukan.
Sesuai dengan kemampuannya, maka Mahisa Bungalan sudah di
tempatkan pula pada pasukan kecil itu mendampingi seorang
Senapati muda. Ia harus melawan pasukan Empu Baladatu dengan
gerak surut mendekati .Kota Raja sesuai dengan keinginan. Empu
,Baladatu sendiri. Sementara para pemimpin di Singasari telah
mempersiapkan kekuatan yang akan langsung menghancurkan.
Dengan perhitungan yang cermat, maka akhirnya pasukan
Singasari itu pun telah bertemu dengan pasukan Empu Baladatu
yang dipimpinnya sendiri. Dengan penuh nafsu maka pasukan Empu
Baladatu itu pun segera menghadapi lawannya yang menurut
keterangan para petugas sandinya, tidak cukup kuat untuk
menghentikan gerakannya. "Singasari sudah kehabisan prajurit." laporan itu memberikan
harapan yang besar kepadanya.
Sentuhan pertama antara pasukan Empu Baladatu dengan
pasukan Singasari telah terjadi di sebuah padukuhan kecil di ujung
sebuah hutan. Dengan tiba-tiba saja pasukan Singasari telah
menyergap pasukan Empu Baladatu yang sedang terhenti di
padukuhan itu dalam gerakannya mendekati Kota Raja.
Meskipun pasukan Empu Baladatu terbagi dalam tiga padukuhan,
namun ternyata pasukan yang besar itu tidak perlu menggerakkan
seluruh kekuatannya. Dengan pasukan yang ada di satu padukuhan,
saja, Empu Baladatu telah berhasil mengusir pasukan Singasari.
"Untunglah bahwa gerakan itu dilakukan menjelang malam."
berkata Empu Baladatu, "Jika tidak, kita akan mengejar pasukan itu
2557 sampai ke ujung hutan dan menghancurkan mereka sampai orang
terakhir." Kemenangan kecil itu telah membuat Empu Baladatu semakin
bernafsu. Di hari berikutnya pasukannya telah bergerak lebih jauh
mendekati Kota Raja. "Di depan kita terdapat sebuah pertahanan yang kuat Empu."
seorang pengawas melaporkan kepada Empu Baladatu.
"Apakah kekuatan mereka melampaui kekuatan kita?" bertanya
Empu Baladatu. "Aku kurang yakin bahwa mereka memiliki ketahanan yang
dapat menghentikan gerakan kita. Tetapi mereka berada di sebuah
padukuhan yang besar dan banjar panjang. Mereka telah
menyiapkan senjata-senjata jarak jauh. Agaknya mereka ingin
menghentikan gerakan kita dengan anak panah dan busur."
Empu Baladatu tertawa. Katanya, "Prajurit Singasari ternyata
telah menjadi kebingungan. Meskipun mereka berhasil
memenangkan pertempuran di beberapa tempat yang terpisah,
tetapi mereka benar-benar telah kekurangan prajurit, sehingga yang
ada hanyalah pasukan-pasukan kecil yang tidak memiliki ketahanan
sama sekali. Dengan bingung mereka berusaha menghentikan gerak
maju kita. Tetapi semuanya tentu tidak akan berarti apa-apa."
"Kita akan sampai ke Kota Raja." berkata seorang pengawalnya.
"Ya. Tetapi itu belum berarti bahwa perjuangan kita selesai. Kita
akan berhadapan dengan orang-orang Mahibit. Jika mereka sengaja
menunggu kita kehabisan tenaga melawan orang-orang yang setia
kepada Ranggawuni, maka ia akan menyesal. Justru kita akan
memanfatkan prajurit-prajurit Singasari itu sendiri dengan
memberikan harapan kepada mereka, meskipun pada saatnya
mereka akan kita binasakan juga kelak setelah kita tidak
memerlukan mereka lagi."
2558 Para pemimpin pasukan Empu Baladatu itu mengangguk-angguk.
Mereka mengerti rencana itu dan merekapun sama sekali tidak
berkeberatan. Di hari berikutnya, pasukan Empu Baladatu yang kuat telah
dipersiapkan untuk menyerang kedudukan pasukan Singasari.
Namun ternyata bahwa seorang petugas sandi berhasil mendapat
beberapa keterangan dari seorang petani yang berada di sawahnya.
"Kau dari padukuhan sebelah?" bertanya petugas itu.
"Ya. Ki Sanak."
"Apakah kau justru menjadi yakin akan keselamatan padukuhan
karena rasukan Singasari ada di padukuhan mu."
Orang itu mengerutkan keningnya. Dengan ragu-ragu ia
bertanya, "Pertempuran apakah yang kau maksud?"
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, "Prajurit itu
telah pergi. Kami mohon mereka meninggalkan padukuhan kami.
Mereka merupakan beban yang tidak tertanggungkan oleh orangorang
miskin seperti aku."
"Kenapa?" bertanya pengawas itu.
"Mereka adalah orang-orang besar. Mereka makan dengan
kebiasaan mereka di Kota Raja, sehingga ternak kami hampir habis
punah bagi mereka." "O. Lalu?" "Kami mohon mereka mencari tempat lain yang lebih baik dari
padukuhan kami. Tetapi adalah kebetulan sekali bahwa petugas
mereka melihat pasukan yang besar di padukuhan lain. Pasukan
yang akan dapat membebaskan kami dari kesulitan itu."
"Apakah mereka tidak mempersiapkan pertahanan?"
Petani itu tertawa. Katanya, "Itulah yang aneh. Mereka dengan
tergesa-gesa meninggalkan padukuhan kami. Namun dengan
demikian kami merasa tenang, bahwa di tempat ini tidak akan
2559 terjadi pertempuran. Sejauh-jauh penderitaan kami, adalah
padukuhan kami akan menjadi jalur jalan yang akan dilewati
pasukan yang besar itu. Tetapi kami tidak akan berkeberatan."
Laporan itu segera sampai ketelinga Empu Baladatu. Sepasukan
kecil kemudian meyakinkan keterangan itu. Dan ternyata bahwa
padukuhan itu benar-benar telah dikosongkan dengan tergesa-gesa.
Pasukan Empu Baladatu yang kemudian datang, masih menemukan
beberapa busur dan anak panah yang masih tertimbun di sebuah
bilik kecil di banjar padukuhan itu.
"Inilah yang kita temukan pada prajurit-prajurit Singasari.
Beberapa hari lagi, kita akan memasuki Kota Raja dengan tanpa
perlawanan sama sekali seperti yang kita alami sekarang ini. Kita
akan melihat, apakah kita akan memasuki lewat satu pintu gerbang,
atau lebih. Jika mereka mencoba mempertahankan Kota Raja, maka
mungkin kita akan menyerang mereka dari beberapa arah."
Pengawal-pengawal Empu Baladatu menjadi semakin yakin akan
kemenangan yang sudah berada diambang pintu. Mereka tidak mau
menghiraukan lagi, pasukan-pasukan mereka yang terserak-serak
oleh prajurit Singasari di beberapa daerah terpencil. Bahkan di
beberapa daerah, anak-anak muda yang, semula terbius oleh
harapan-harapan yang kosong, telah menyadari kesalahan mereka
dan menempatkan diri pada alas yang; benar. Mereka telah
menerima pengampunan dan bahkan telah bergabung dengan
prajurit-prajurit Singasari, mengatasi kekalutan yang terjadi di
daerah-daerah terpencil karena sisa-sisa pengikut Empu Baladatu
yang segan menyerah. Dalam waktu yang singkat, prajurit-prajurit Singasari yang
terpencar itupun ditarik kembali. Tetapi tidak semua prajurit dapat,
meninggalkan tempatnya. Beberapa daerah masih dicengkam oleh
kekalutan dan bahkan di beberapa tempat yang lain keadaannya
cukup parah. Namun prajurit Singasari yang ada, telah siap menghadapi segala
kemungkinan yang timbul. Juga seandainya Mahibit tiba-tiba saja
mengangkat senjata. 2560 Tetapi perintah yang mereka terima adalah, bahwa mereka harus
menempati padukuhan-padukuhan yang telah ditentukan. Mereka
harus memasuki pedukuhan itu dengan hati-hati dan tersamar.
Mereka harus hilang berbaur dengan penduduk padukuhan yang
telah disiapkan untuk menjebak pasukan Empu Baladatu.
Padukuhan yang sebagian besar penduduknya yang sebenarnya
telah diungsikan. Namun padukuhan-padukuhan itu dalam keadaan sehari-hari
masih nampak hidup. Masih ada suara pande besi menempa alatalat.
Pertanian. Masih terdengar lembu melenguh dan kambing
mengembik. Pasukan Singasari yang mundur ketakutan menurut penilaian
Empu Baladatu itupun telah menentukan akhir dari permainan
mereka. Mereka segera memasuki daerah pertahanan yang benarbenar
akan mereka pergunakan sebagai alas untuk menghentikan
gerak maju pasukan Empu Baladatu.
"Di sini kita akan berhenti." berkata Mahisa Bungalan, "Kita tidak
akan mundur lagi. apapun yang akan terjadi. Di padukuhanpadukuhan
sebelah, prajurit Singasari telah menunggu kedatangan
lawan yang berhasil kita pancing mendekati Kota Raja dari arah ini.
Demikian cermatnya rencana yang disusun oleh prajurit-prajurit
Singasari, maka petugas sandi yang disebar oleh Empu Baladatu
tidak melihat, bahwa yang bertebaran di padukuhan-padukuhan itu
adalah prajurit-prajurit Singasari yang siap menunggu kedatang an
mereka. "Singasari tidak berhasil menyusun penahanan yang kuat."
seorang pengawas melaporkan kepada Empu Baladatu.
"Apakah kau tidak melihat prajurit-prajurit Singasari di luar
dinding Kota Raja?" bertanya Empu Baladatu.
"Tidak. Kami melihat beberapa kelompok prajurit di pintu
gerbang kota. Tetapi mereka sama sekali tidak berarti bagi pasukan
kami yang besar ini."
2561 "Mungkin Singasari ingin mengelabuhi kita. Mungkin di dalam
rumah-rumah yang besar di dalam Kota Raja, prajurit Singasari
bersembunyi." desis Empu Baladatu.
"Tidak. Mereka justru mencoba mengelabui kita dengan cara
yang lain. Beberapa orang prajurit berkuda berkeliling kota. Seolaholah
beberapa kelompok peronda sedang mengamati keadaan.
Tetapi kami tidak dapat dikelabui. Dimana kami menjumpai empat
prajurit berkuda yang sama, sehingga kami mengambil kesimpulan,
bahwa jumlah prajurit Singasari memang sangat kecil."
Empu Baladatu mengangguk-angguk. Katanya, "Jika demikian,
kita akan bersiap untuk memasuki Kota Raja. Aku memberikan
waktu sehari lagi bagi para petugas sandi untuk meyakinkan
keadaan, sementara petugas-petugas sandi yang pergi ke Mahibit
akan memberikan laporan pula, apakah orang-orang Mahibit
bersiaga untuk mengambil keuntungan dati pertempuran ini."
Seperti yang diperintahkan oleh Empu Baladatu, maka di hari
berikutnya beberapa orang petugas sandi ingin meyakinkan, apakah
Kota Raja Singasari itu benar-benar tidak memiliki prajurit cukup
untuk mempertahankan diri.
Seperti penglihatan mereka di hari-hari sebelumnya, Singasari
benar-benar tidak memiliki kekuatan cukup. Meskipun para petugas
sandi itu melihat Senapati-senapati yang lengkap. Mahisa Agni
sendiri turun untuk mengawasi beberapa kelompok kecil prajuritnya.
"Tetapi jumlah mereka terlalu kecil." berkata petugas sandi itu.
Sementara itu, menilik sikap dan gelar pasukan Empu Baladatu
maka petugas-petugas sandi Singasari sudah dapat membaca,
bahwa mereka telah bersiap-siap untuk memasuki kota. Karena itu,
maka Mahisa Agni pun segera memerintahkan untuk menghubungi
pasukan Empu Sanggadaru. Mereka mendapat petunjuk untuk
menyelusuri kembali gerak pasukan Empu Baladatu, sehingga pada
saatnya, jika pasukan Empu Baladatu mundur, mereka harus
bertindak cepat. 2562 "Pasukan Empu Sanggadaru tidak perlu terlibat langsung.
Kecuali karena Empu Baladatu adalah adiknya, pasukannya kita
perlukan untuk menghadapi orang-orang Mahibit." berkata Mahisa
Agni kepada para Senapati, "Mudah-mudahan prajurit-prajurit
Singasari yang tersembunyi dapat menyelesaikan lawan. Hanya
dalam keadaan yang terpaksa, kita memerlukan sebagian dari
pasukan Empu Sanggadaru. Namun mereka sudah disiapkan
sehingga tidak akan terjadi bencana karena salah perhitungan."
Para Senapati Singasari menyadari bahwa mereka menghadapi
tugas yang berlapis-lapis. Itulah sebabnya maka mereka harus
membuat perhitungan yang cermat. Penggunaan pasukan harus
dipertimbangkan dua tiga kali sebelum mengambil keputusan.
Sementara itu, Empu Sanggadaru yang telah menerima pesan
Mahisa Agni, segera menggerakkan pasukannya. Pasukan yang
telah dipersiapkan sebaik-baiknya.
Ternyata bahwa pasukan Empu Sanggadaru benar-benar
merupakan pasukan yang kuat. Para cantrik dari padepokannya.
Orang-orang yang berguru kepadanya khusus dalam kanuragan.
Ditambah dengan orang-orang dari bekas gerombolan Mancan
Kumbang dan Serigala Putih yang telah mendapat banyak
pengalaman dan unsur-unsur ilmu kanuragan dari para prajurit
Singasari yarg sengaja berada di aratara mereka, sehingga dengan
demikian, maka mereka hampir tidak ada bedanya dengan prajurit
Singasari sendiri. Seperti yang dipesankan oleh Mahisa Agni, maka Empu
Sanggadaru telah membawa pasukannya ke jalur jalan pasukan
Empu Baladatu. Seakan-akan mereka dengan sengaja mengikuti
pasukan itu dari belakang.
Namun Empu Sanggadaru pun menyadari, bahwa mereka hanya
akan bertindak, jika ada perintah khusus dari para Senapati di
Singasari, atau jika pasukan Empu Baladatu menarik diri untuk
menghindari tekanan pasukan Singasari.
2563 "Mereka tidak boleh lolos." berkata Empu Sanggadaru kepada
pengikut-pengikutnya, "Jika pasukan Singasari gagal menjebak
mereka, sehingga mereka sempat mengundurkan diri, maka tanpa
perintah khusus, kita harus bertindak cepat."
Para pemimpin kelompok di dalam pasukan Empu Sanggadaru
telah menyadari apa yang harus mereka lakukan. Namun sebagian
dari orang-orang Serigala Putih dan Macan Kumbang, hampir tidak
dapat menahan diri lagi. Betapapun prajurit Singasari berusaha
untuk mengaburkan dendam di dalam hati mereka namun rasarasanya
dalam keadaan yang gawat itu, hati mereka telah tergerak
lagi untuk melepaskan sakit hati.
Tetapi mereka merasa terikat kepada perintah Empu Sanggadaru
sehingga mereka tidak dapat berbuat menurut kehendak mereka
sendiri. Dalam pada itu, ketika sampai pada saatnya, menurut
perhitungan Empu Baladatu, pasukannya telah disiapkan sebaikbaiknya.
Setelah kesempatan terakhir diberikan kepada petugas


Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sandinya untuk melihat sekali lagi keadaan Kota Raja, dan laporan
yang diterimanya masih saja seperti laporan sebelumnya, maka
Empu Baladatu pun segera menempatkan pasukannya pada
tindakan terakhir yang akan menentukan.
Empu Baladatu sadar, bahwa Linggapati mempunyai kekuatan di
banyak daerah. Namun ia masih tetap mempunyai harapan, bahwa
pada saatnya ia akan dapat mempergunakan prajurit Singasari yang
tersisa dari pertempuran yang telah berlangsung, di daerah-daerah
dan di Kota Raja. Ketika fajar menyingsing, di ujung Timur, Empu Baladatu telah
berada di induk pasukannya. Ia sudah memutuskan, bahwa hari itu
adalah hari yang akan sangat menentukan. Ia akan membawa
pasukannya memasuki Kota yang hanya di pertahankan oleh
kekuatan kecil saja. "Kita sadar, bahwa prajurit yang ada di Kota Raja di bawah para
Senapati yang terkenal itu tidak akan mau menyerah." berkata
2564 Empu Baladatu kepada pemimpin-pemimpin kelompoknya sebagai
pesannya terakhir. "Tetapi jangan ragu-ragu. Binasakan saja
mereka. Karena mereka adalah ular-ular berbisa yang setiap saat
dapat menggigit tumitmu dan membinasakanmu. Mereka sadar,
bahwa yang mereka lakukan adalah membunuh diri di Kota Raja.
Bahkan mungkin Ranggawuni dan Mahisa Ccmpaka pun akan
membunuh diri mereka pula bersama para Senapatinya."
Para pemimpin kelompok di dalam pasukan Empu Baladatu yang,
besar itupun menyadari, bahwa mereka akan menghadapi prajuritprajurit
yang meskipun hanya sedikit, tetapi mereka tentu bagaikan
orang-orang gila yang memilih mati dari kesempatan-kesempatan
yang manapun juga. Demikianlah, maka sebelum matahari naik ke punggung
cakrawala, Empu Baladatu telah mengerahkan pasukannya. Ia
membagi pasukannya dalam tiga kelompok yang cukup besar.
Mereka akan bersama-sama menuju ke dinding yang melingkari
Kota Raja. Induk pasukan mereka akan memasuki Kota Raja yang
pertama-tama. Jika prajurit yang ada di regol kota itu melawan dan
menutup jalan, maka yang lain akan meloncat dinding dan
kemudian menyergap gerbang justru dari dalam.
Dalam keremangan cahaya fajar, maka tiga kelompok pasukan
yang cukup besar itu nampak bagikan awan yang hitam, bergulunggulung
di atas tanah persawahan menerkam dinding Kota Raja yang
sepi senyap. Saat-saat yang memang sudah diperhitungkan oleh para prajurit
Singasari itu datang. Di pintu gerbang prajurit Singasari siap
menyongsong lawan yang mendekat. Jumlah prajurit yang ada di
pintu gerbang itu memang tidak banyak.
Di hadapan pintu gerbang, adalah prajurit Singasari yang selalu
mundur dan menghindar. Selain seorang Senapati, maka Mahisa
Bungalan pun ada di dalam pasukan itu pula.
Namun jumlahnya yang sangat kecil benar-benar tidak
dipehitungkan oleh Empu Baladatu. Mereka tentu hanya dapat
2565 menghambat jalan seperti seonggok sampah. Tetapi dengan sekali
dorong, maka sampah itu tentu akan berhamburan dan lenyap
ditiup angin. Karena itulah, maka pasukan Empu Baladatu itu maju dengan
penuh kepastian, bahwa sebentar lagi, mereka akan memasuki Kota
Raja. Namun dalam pada itu, berita tentang gerak pasukan Empu
Baladatu itu telah merambat dari satu padukuhan ke padukuhan
yang lain. Hampir setiap orang laki-laki yang ada di padukuhanpadukuhan
itupun segera mempersiapkan diri. Meskipun tidak
mengenakan pakaian seorang prajurit, tetapi setiap orang telah
mengenakan tanda-tanda yang menyatakan tentang diri mereka.
"Mereka terbagi dalam tiga kelompok." berkata seorang
penghubung kepada seorang yang berada di gerbang padukuhan.
Segala gerak pasukan Empu Baladatu pun ternyata telah di
ketahui oleh setiap orang di padukuhan yang akan dilaluinya.
Karena itulah, maka di setiap padukuhan itu pun telah timbul segala
macam persiapan untuk menghadapi setiap kemungkinan.
Mahisa Bungalan dan pasukan kecilnya telah mempersiapkan diri.
Mereka akan berada di padukuhan yang ada dihadapan pintu
gerbang, sehingga padukuhan itu tentu akan dilalui oleh induk
pasukan Empu Baladatu. Sesaat kemudian, maka di setiap padukuhan yang berpencaran
agak jauh itupun telah siap beberapa kelompok pasukan yang akan
menyongsong kedatangan pasukan Empu Baladatu.
Di sebuah padukuhan, Mahendra telah menunggu bersama
sekelompok prajurit Singasari dalam pakaian sandi, sehingga tidak
diketahui oleh para petugas lawan. Di padukuhan yang lain Witantra
telah menunggu perintah untuk bertindak. Sementara itu Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat berada di sebuah padukuhan, bersama
seorang Senapati yang, telah agak lanjut usia. Seperti yang lain,
maka merekapun tidak menyatakan diri sebagai prajurit-prajurit
2566 Singasari. Sedangkan di paduhan yang lain lagi, Lembu Ampal siap
bertindak cepat bersama pasukannya.
Sementara itu. Di pintu gerbang Kota Raja, Mahisa Agni bersama
sekelompok prajurit telah bersiap pula. Mereka ternyata tidak hanya
terdiri dari beberapa orang seperti yang dilihat oleh petugas-petugas
sandi. Tetapi mereka terdiri dari sepasukan prajurit pilihan yang
berada di beberapa rumah sebelah menyebelah jalan yang
memanjang melalui gerbang, dinding Kota Raja itu.
Ranggawuni-dan Mahisa Cempaka ternyata tidak dapat dipaksa
untuk tetap tinggal di dalam istana dengan pengawalan yang kuat.
Di saat-saat yang menentukan, mereka telah berada di pintu
gerbang bersama sekelompok pengawal pilihan.
"Tuanku." desis Mahisa Agi.
Ranggawuni tersenyum. Katanya, "Aku merasa lebih aman
berada di sini daripada di dalam istana. Selebihnya, aku akan dapat
melihat langsung apa yang akan terjadi. Bukan sekedar sebuah
laporan yang barangkali tidak akan dapat sejelas jika aku
menyaksikannya sendiri."
"Tuanku." berkata Mahisa Agni, "Pasukan Empu Baladatu kali ini
adalah pasukan yang kuat dan buas. Mereka terdiri dari kumpulan
orang-orang yang tidak mengenal batasan antara peradaban,
karena sebagian besar dari mereka adalah orang-orang berilmu
hitam." Tetapi Rangsrawuni masih tetap tersenyum Katanya, "Bukankah
aku seorang prajurit paman."
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak berhasil
mempersilahkan Ranggawuni dan Mahisa Cempaka berada di dalam
istana. Namun dengan demikian, maka tanggung jawab Mahisa Agni
yang menjadi semakin tua itu menjadi bertambah berat. Kedua
orang pemimpin tertinggi dari Singasari itu berada di dalam
lingkungan pasukannya. 2567 Dalam pada itu. Empu Sanggadaru ternyata telah berada di
belakang pasukan Empu Baladatu. Mereka siap untuk bertindak, jika
perintah datang. Setiap saat, demikian perintah itu sampai
kepadanya, maka Empu Sanggadaru langsung dapat menikam
pasukan Empu Baladatu dari belakang.
Sementara itu, tanpa prasangka atas kesiagaan pasukan
Singasari yang tersembunyi itu, Empu Baladatu telah membawa
pasukannya maju dalam tiga jalur. Ternyata Empu Baladatu masih
juga berhati-hati. Ia menghentikan pasukannya beberapa ratus
langkah dari pintu gerbang.
Sejenak Empu Baladatu mengawasi pasukan-pasukan yang mulai
menjadi terang. Ia sudah menerima laporan, bahwa di padukuhan
itu tidak ada rintangan yang pantas diperhitungkan. Beberapa orang
petani tinggal di dalam gubug-gubug kecil tanpa menghiraukan
pertentangan yang timbul di Singasari.
"Setiap laki-laki akan dapat menjadi hambatan gerakan kita."
berkata Empu Baladatu. "Tetapi mereka tidak dapat berbuat apa-apa. Seandainya
mereka mencoba, menunjukkan kesetiaannya kepada Singasari
maka jumlah mereka tidak cukup banyak."
Empu Baladatu mengangguk-angguk. Sejenak ia melihat
beberapa puluh langkah sebelah menyebelah, kelompok-kelompok
pasukan yang seakan-akan merupakan sayap dari gelar yang belum
berbentuk itu, siap melakukan segala perintahnya.
Tetapi Empu Baladatu tidak perlu memasang gelar, karena lawan
yang dihadapinya tidak akan banyak berarti.
Sejenak kemudian, maka Empu Baladatu pun telah
memerintahan pasukan kecilnya untuk mendahului pasukannya
dalam keseluruhan. Pasukan kecil itu akan melalui jalan yang akan
dilewati oleh pasukan induk yang dipimpin langsung oleh Empu
Baladatu. 2568 Namun agaknya, para pengawas dari Singasari telah melihatnya,
sehingga merekapun segera melaporkannya kepada setiap
pemimpin pasukan di padukuhan-padukuhan tertentu.
Pengawas-pengawas itupun memberikan laporan terperinci
tentang gerakan pasukan Empu Baladatu yang menjadi tiga
kelompok yang terpisah. "Menurut perintah, maka setiap kelompok pasukan harus
menyesuaikan diri. Pertempuran tentu akan segera pecah. Pasukan
Empu Baladatu belum memasang gelar, sehingga yang akan terjadi
adalah perang yang terpisah." berkata pengawas itu kepada para
Senapati yang terpisah-pisah.
"Kita akan bertempur dalam perang brubuh." berkata salah
seorang Senapati, "Dengan demikian maka kita harus
mempercayakan setiap tingkah laku di medan atas dasar
kepercayaan kepada diri sendiri."
"Demikianlah agaknya yang akan terjadi."
Sepeninggal pengawas itu, maka setiap Senapati memberikan
beberapa keterangan singkat kepada setiap pemimpin kelompok.
Masing-masing diri, berusaha untuk menjaga keselamatan diri
sendiri, karena yang akan terjadi adalah perang brubuh.
"Jumlah pasukan gabungan yang dipimpin oleh Empu Baladatu
itu cukup banyak. Kita harus berhati-hati dan memperhatihan setiap
keadaan yang berkembang." berkata seorang Senapati kepada
pemimpin kelompok di dalam pasukannya.
Dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah
mepersiapkan diri. Rasa-rasanya tidak sabar menunggu perintah
untuk menyergap pasukan Empu Baladatu. Dari kejauhan keduanya
telah melihat, pasukan yang datang mendekati pintu gerbang.
"Pasukan itu adalah sayap sebelah kanan dari pasukan Empu
Baladatu." berkata Mahisa Pukat.
"Kita akan bertempur di sayap kanan. Siapakah yang berada di
induk pasukan?" bertanya Mahisa Murti.
2569 "Kakang Mahisa Bungalan."
"Kenapa kita tidak ikut kakang, Mahisa Bungalan saja?"
Mahisa Pukat mengerutkan keningnya. Katanya, "Sebenarnya kita
lebih senang berada di dalam pasukan kakang Mahisa Bungalan.
Kita akan berada di induk pasukan dan bertempur melawan induk
pasukan lawan." Mereka terkejut ketika mereka mendengar suara di belakangnya,
"Tetapi Senapati Besar. Mahisa Agni memerintahkan kalian berdua
di s ini." Mahisa Pukat dan Mahisa Murti mengerutkan keningnya. Tetapi
mereka tidak menjawab. Sementara Senapati itu meneruskan sambil
tersenyum, "Aku kira tidak ada bedanya. Bertempur di sayap atau di
induk pasukan. Kita akan melakukan perang brubuh. Karena itu kau
berdua harus berhati-hati. Kita masing-masing tidak akan dapat
mempercayakan diri pada kerjasama di antara setiap orang di dalam
pasukan kita. karena pertempuran akan menjadi kacau dan
bercampur baur. Kita hanya dapat mengenal ciri-ciri dan sekedar
memberikan tekanan pada titik-titik tertentu dimana kita bertempur.
Memang mungkin hal itu akan berakibat memberikan bantuan
kepada kawan kita. Namun dalam hal tertentu kita akan terpisah
dan bertempur dengan kekuatan sendiri. Tetapi itu bukan berarti
bahwa apabila ada kesempatan kita akan tetap membiarkan seorang
kawan kita mengalami kesulitan."
Mahisa Pukat dan Mahisa Murti mengangguk-angguk. Mereka
sadar bahwa perang yang akan mereka hadapi adalah perang yang
sangat ribut. Dalam pada itu, pasukan kecil yang dikirim Empu Baladatu telah
mendekati gerbang. Prajurit yang ada di sebuah padukuhan yang
dilalui oleh sekelompok kecil itu sengaja membiarkan mereka lewat
tanpa gangguan. Bahkan sebagian besar dari prajurit yang ada di
padukuhan itu bersembunyi di balik dinding-dinding batu halaman.
2570 "Empu Baladatu tetap berhati-hati." desis Senapati yang ada di
padukuhan itu. Tetapi kemudian, "Namun ia akan terkejut jika induk
pasukannya akan menghadapi pasukan yang tidak tergoyahkan."
Mahisa Bungalan yang ada di padukuhan itu pula, menganggukangguk.
Katanya, "Pasukan kecil itu tidak akan pernah bertemu lagi
dengan induk pasukannya."
Seperti yang dikatakan oleh Mahisa Bungalan, maka di
padukuhan yang cukup besar, mendekati gerbang kota, maka
pasukan Singasari tidak membiarkan mereka lewat. Meskipun
mereka tidak langsung menyergapnya, namun seorang penghubung
telah memberikan isyarat kepada prajurit yang berada di pintu
gerbang untuk bersiap-siap menghadapi segala ke mungkinan.
Pasukan kecil itu melalui padukuhan demi padukuhan dengan
tanpa gangguan. Mereka mendengar isyarat yang di lontarkan dari
padukuhan yang baru saja mereka lewati.
Pasukan kecil itu termangu-mangu sejenak, ketika mereka
melihat pintu gerbang masih terbuka. Agaknya setelah mendengar
isyarat itu, barulah beberapa orang berusaha untuk dengan tergesagesa
menutupnya. Tetapi gerakan prajurit-prajurit Singasari terlalu lamban. Masih
ada beberapa orang yang berada di luar, sehingga mereka masih
harus menunggu. "Kita akan mencegahnya." berkata pemimpin kelompok kecil
yang dikirim oleh Empu Baladatu. Lalu, "Lontarkan isyarat agar
Empu Baladatu menyerang. Kita akan berusaha mencegah gerbang
itu ditutup dan diselarak dengan sebatang kayu yang besar. Dengan
demikian pasukan kita akan dengan mudah memasuki gerbang Kota
Raja." Dengan demikian, maka pasukan kecil itu pun telah berlari
langsung menuju ke pintu gerbang, sementara seorang di antara
mereka telah membunyikan isyarat. Sebuah kentongan kecil yang
melengking-melengking. 2571 Suara kentongan kecil itu ternyata melengking terdengar sampai
ke tempat yang jauh. Apalagi ternyata bahwa ada penghubung yang
ada di antara pasukan kecil itu dengan induk pasukan yang dapat


Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyambung isyarat itu dengan suara kentongan pula.
Para prajurit Singasari sengaja telah membiarkan suara itu
bersambung, agar terdengar oleh induk pasukan Empu Baladatu.
Namun dengan demikian, mereka pun telah bersiap menghadapi
kemungkinan yang bakal terjadi.
Empu Baladatu yang berada di dalam induk pasukan mendengar
isyarat itu. Karena itu, maka ia pun segera memerintahkan orangorangnya
untuk maju dengan cepat, menuju langsung ke pintu
gerbang. Sementara itu, pasukan kecil yang mencoba untuk mencegah
agar pintu gerbang itu tidak tertutup, telah menyerang para prajurit.
Tetapi prajurit-prajurit Singasari yang ada di pintu gerbang itu tidak
mempertahankan diri. Mereka segera terdesak masuk ke dalam
gerbang Kota Raja Singasari.
Dengan penuh gairah perjuangan pengikut-pengikut Empu
Baladatu merasa bahwa mereka berhasil mendesak lawanlawannya.
Itulah sebabnya, mereka telah mengejar para prajurit
memasuki pintu gerbang untuk mencegah agar pintu itu tidak
tertutup dan diselarak dengan kuat dari dalam.
Ketika pengikut-pengikut itu memasuki gerbang, mereka merasa
bahwa kemenangan telah mulai mereka miliki dengan menguasai
gerbang Kota Raja itu. Sebentar lagi, induk pasukan mereka akan
memasuki-Kota Raja dan menguasai seluruh isinya, termasuk tahta.
Tetapi yang kemudian terjadi, benar-benar telah mengejutkan
para pengikut Empu Baladatu itu. Demikian mereka memasuki pintu
gerbang, maka tiba-tiba saja sekelompok prajurit yang kuat telah
menyerang dan mendesak mereka kesamping, sehingga mereka
telah tergeser dari pintu gerbang itu.
Ketika sepasukan prajurit menyerang, mereka dengan anak
panah bagaikan hujan dari balik dinding batu di sebelah pintu
2572 gerbang itu. maka mereka telah bergeser. Apalagi ketika kemudian
berloncatan prajurit-prajurit Singasari dengan tombak di tangan.
Sejenak kemudian pertempuran telah terjadi .di dalam pintu
gerbang Kota Raja itu. Sekelompok prajurit yang lain telah berusaha
untuk menutup pintu itu dilindungi oleh prajurit-prajurit yang lain
dari serangan para pengikut Empu Baladatu.
"Licik." geram pemimpin kelompok pengikut Empu Baladatu.
Tetapi tidak seorang prajurit pun yang menjawab. Mereka
dengan keras telah menekan pengikut-pengikut Empu Baladatu itu
sehingga mereka benar-benar telah terdesak.
Tetapi mereka tidak dapat lagi keluar dari pintu yang telah
tertutup rapat dan diselarak kuat-kuat dari dalam.
Namun demikian para pengikut Empu Baladatu itu tidak cemas.
Jumlah prajurit Singasari terlalu sedikit. Jika Empu Baladatu tidak
dapat memecahkan pintu, maka mereka akan meloncati dinding
tanpa kesulitan apapun juga.
Karena itu dengan suara lantang pemimpin kelompok pasukan
yang memasuki pintu gerbang itu berteriak, "Bertahanlah. Sebentar
lagi, induk pasukan akan memasuki pintu gerbang ini, dan
memusnakan segalanya. Kota Raja akan rata dengan tanah. Menjadi
Karang .abang dan tidak berbekas. Kita akan membangun Kota Raja
yang baru, yang jauh lebih besar dan agung dari Kota Raja ini."
Para pengikutnya pun telah bersorak. Mereka ternyata benarbenar
telah dibakar oleh hasrat untuk memenangkan pertempuran
dengan membunuh lawan sebanyak- banyaknya.
Pertempuran di dalam gerbang Kota Raja itu pun segera
berkobar dengan sengitnya. Prajurit-prajurit Singasari ternyata tidak
terlalu sedikit sebagai yang mereka perhitungkan. Mereka muncul
seorang demi seorang dari balik setiap daun dan bebatuan.
Tetapi para pengikut Empu Baladatu yang menganggap bahwa
sebentar lagi induk pasukannya akan memasuki pintu itu, sama
sekali tidak gentar menghadapi jumlah lawan yang semakin banyak.
2573 Dalam pada itu, di atas regol dinding Kota Raja itu, dua orang
prajurit berdiri mengawasi keadaan, Mereka seolah-olah tidak
memperdulikan, apa yang terjadi di dalam pintu gerbang itu.
Dengan saksama mereka mengamati keadaan, terutama jika ada
gerakan yang mencurigakan, atau kedatangan pasukan Empu
Baladatu. Namun dalam pada itu, ketika semua pimpinan prajurit Singasari
menerima keterangan mengenai keadaan di pintu gerbang, maka
merekapun sadar, pengikut Empu Baladatu harus diserang sebelum
mereka mendekati pintu gerbang itu dan memberi kesempatan
orang-orangnya memanjat dinding.
Di padukuhan yang terletak langsung di hadapan pintu gerbang
itu, Mahisa Bungalan telah bersiap. Pasukannya yang semula
tersembunyi telah muncul di sebelah jalan yang akan dilalui pasukan
Empu Baladatu. "Demikian mereka memasuki padukuhan ini, kita akan
menyergapnya." berkata Mahisa Bungalan kepada Senapati yang
ada di padukuhan itu pula, "Sementara itu, isyarat harus dibunyikan.
Setiap pasukan akan keluar dari menyamaran mereka dan
menyergap ketiga kelompok pasukan Empu Baladatu sesuai dengan
arah masing-masing."
Senapati itu pun mengangguk. Diperintahkannya pasukannya
bersiap dan seorang penghubung dengan panah sendaren yang
akan meluncur kesegala arah.
Sejenak kemudian suasana pun menjadi semakin tegang.
Pasukan Empu Baladatu yang tergesa-gesa menjadi semakin dekat.
Mereka akan melintasi padukuhan itu menuju langsung ke pintu
gerbang. Sementara itu, prajurit Singasari lelah berada di balik dinding
padukuhan. Jika ujung pasukan Empu Baladatu memasuki
padukuhan itu, maka merekapun akan segera bertoncatan keluar
dan menyerang pasukan Empu Baladatu dari segala arah.
2574 Empu Baladatu sama sekali tidak menyangka, bahwa prajurit
Singasari akan menyergapnya. Menurut perhitungannya maka
prajurit Singasari tidak akan cukup banyak untuk menahan
serangannya. Tetapi prajurit Singasari yang sebagian telah ditarik dari daerahdaerah
yang telah dikalahkan, telah siap menunggu mereka. Justru
suasana peperangan yang masih bergejolak di dalam dada mereka,
membuat prajurit-prajurit Singasari itu bersiap dengan darah yang
panas. Demikian ujung pasukan yang tergesa-gesa itu memasuki
padukuhan, maka Senapati yang memimpin prajurit Singasari di
dalam padukuhan itupun telah melambaikan tangannya. Isyarat itu
kemudian telah diikuti dengan meluncurnya panah sendaren. Tidak
hanya sebatang, tetapi disusul oleh yang lain, berurutan.
Ketika anak panah sendaren yang pertama meraung di udara
maka para pemimpin kelompok tidak menunggu lagi. Mereka pun
segera meneriakkan aba-aba, yang melepaskan setiap prajurit untuk
menyerang lawannya dengan senjata di tangan.
Empu Baladatu yang memimpin langsung pasukannya terkejut.
Mereka benar-benar tidak menyangka bahwa di balik dinding itu
telah bersembunyi prajurit Singasari yang menunggunya.
Karena itu, maka langkahnya pun terhenti. Dengan serta merta ia
memberikan isyarat, agar pasukannya melangkah surut, keluar dari
mulut lorong yang memasuki gerbang padukuhan.
Pertempuran tidak dapat dihindarkan lagi. Kedua pasukan itupun
segera berbenturan. Prajurit-prajurit Singasari berlari-larian di luar
dinding padukuhan menyerang pengikut Empu Baladatu yang
berada di ekor iring-iringan itu.
Sementara itu .pasukan Empu Baladatupun tidak menunggu.
Mereka pun segera menghambur menebar menyongsong prajurit
yang menyerang mereka dari balik dinding batu.
2575 "Inikah cara prajurit Singasari bertempur." teriak Empu
Baladatu, "Aku kira prajurit Singasari akan bersikap menunggu
kedatangan kami dalam gelar dan dengan dada terbuka. Ternyata
kalian telah bersembunyi seperti perempuan, kemudian dengan licik
telah menyergap kami."
Tidak seorangpun yang menjawab. Tetapi prajurit-prajurit
Singasari itu menyergap mereka dengan garangnya.
Dalam benturan itu ternyata bahwa prajurit Singasari jumlahnya
memang terlalu kecil dibandingkan dengan jumlah pengikut Empu
Baladatu. Bukan saja di induk pasukan. Tetapi di kedua kelompok
yang lain, yang telah disergap pula oleh prajurit-prajurit Singasari
dari padukuhan terdekat, pasukan Empu Baladatu merasa bahwa
tugas mereka akan segera selesai.
Tetapi Empu Baladatu menjadi tegang, ketika ia melihat dari
padukuhan-padukuhan yang lain, kelompok-kelompok kecil prajurit
Singasari lelah berlari-larian menuju ke arena pertempuran yang
menjadi semakin panas. Sekali lagi Empu Baladatu berteriak, "Licik. Singasari telah
kehilangan sifat kesatrianya. Kalian tidak lebih dari berandalberandal
kecil yang menunggu pedagang lewat untuk menyamun
barang-barang dagangan mereka."
Prajurit-prajurit Singasari tidak menjawab. Tetapi kata-kata Empu
Baladatu itu telah membuat darah mereka menjadi semakin panas.
Mahisa Bungalan yang berada di induk pasukan masih berdiri
termangu-mangu. Ia sadar, bahwa Empu Baladatu adalah orang
yang memiliki kelebihan dari orang-orang kebanyakan. Apalagi
karena dasar ilmu hitamnya, maka Empu Baladatu adalah orang
yang sangat berbahaya. Karena itu, maka ia merasa mempunyai kewajiban untuk berbuat
sesuatu, agar Empu Baladatu tidak dengan garang menghancurkan
pasukan Singasari. Ia merasa ikut bertanggung jawab, bahwa
keganasan Empu Baladatu itu harus dicegah.
2576 Dengan demikian, maka Mahisa Bungalan pun telah
mempersiapkan diri untuk berhadapan dengan pemimpin tertinggi
dari mereka yang menganut ilmu hitam dan yang telah terpengaruh
olehnya dengan harapan yang disangkanya dapat memberikan
kemukten di masa depan. Dalam pada itu, kelompok-kelompok yang dipersiapkan sebagai
sayap pasukan jika mereka harus memasang gelar, telah terlibat
pula dalam pertempuran melawan prajurit Singasari. Mahisa Pukat
dan Mahisa Murti yang tidak sabar lagi menunggu, telah berlari-lari
demikian mereka mendengar isyarat.
"Berhati-hatilah." Senapati yang berada di dalam kelompoknya
mencoba memperingatkannya.
Tetapi kedua anak muda itu tidak mendengarnya lagi. Mereka
telah menghambur bersama prajurit-prajurit Singasari yang berada
di paling depan. Di bagian lain. Lembu Ampal menghadapi keadaan dengan
tenang. Ia tidak terlalu tergesa-gesa. Dengan tenang pula
prajuritnya mempersiapkan diri. Meskipun mereka bertindak cepat
namun tidak ada kesan ketergesa-gesaan pada pasukannya.
Namun dalam pada itu, maka sejenak kemudian, maka di depan
pintu gerbang. Kota Raja itupun telah terjadi pertempuran yang seru
menebar pada arena yang luas.
Induk pasukan Empu Baladatu telah membentur pasukan yang
kuat di padukuhan yang terletak langsung di depan gerbang,
sementara pasukan yang telah dipersiapkan menjadi sayap pasukan
jika kemudian membentuk gelar yang utuh, telah bertempur
melawan kelompok-kelompok prajurit yang menyerang mereka.
Ternyata bahwa prajurit Singasari masih cukup banyak dan
cukup kuat untuk menahan pasukan Empu Baladatu yang besar.
Agaknya pasukan Empu Baladatu yang terkejut itu untuk beberapa
saat masih harus menyesuaikan diri dengan medan yang tidak
disangka-sangkanya. 2577 Sementara itu, Empu Sanggadaru telah siap pula dengan
pasukannya di belakang medan. Jika perintah Senapati prajurit
Singasari jatuh, maka pasukannya telah siap untuk melakukan apa
saja. Tetapi Empu Sanggadaru pun menyadari kedudukan pasukannya
sebagai pasukan cadangan. Jika tidak ada perintah, maka
pasukannya akan tetap berada di tempat. Seperti pesan Senapati
prajurit Singasari kepadanya, bahwa pertempuran yang membakar
Kota Raja itu bukanlah bencana yang terakhir.
"Kita masih harus tetap berhati-hati terhadap Mahibit." pesan
Senapati Singasari kepada Empu Sanggadaru.
Karena itu, Empu Sanggadaru pun telah menahan diri. Betapapun
besar keinginannya untuk ikut serta membinasakan pasukan Empu
Baladatu, yang meskipun adik kandungnya sendiri, tetapi yang
sudah dilumuri oleh ketamakan dan kedengkian, namun pasukannya
tetap berada di tempatnya.
Sebenarnyalah bahwa pimpinan pasukan Singasari masih belum
memerlukan bantuan pasukan Empu Sanggadaru. Pasukan induk
Singasari tidak terlalu mengalami kesulitan. Kejutan yang
ditimbulkan telah berhasil mempengaruhi gairah perjuangan para
prajurit untuk membinasakan lawannya. Dalam pada itu, pasukan
kecil Empu Baladatu yang terjebak di dalam pintu gerbang Kota Raja
tidak dapat bertahan terlalu lama. Mereka segera terdesak dan
terhimpit oleh kekuatan yang, jauh lebih besar dari kekuatan
mereka. Dengan gelisah mereka mencoba bertahan sambil menunggu.
Namun ternyata pasukan induk mereka tidak segera datang
memasuki dinding dengan cara apapun juga.
"Jika mereka tidak dapat memecahkan pintu gerbang, maka
tentu tidak akan terlalu sulit untuk memanjat dan meloncati
dinding." berkata pemimpin kelompok kecil itu di dalam hatinya.
Tetapi ternyata bahwa pasukan itu tidak kunjung datang.
Sehingga kekuatan merekapun semakin lama menjadi semakin tipis
2578 dibandingkan dengan kekuatan prajurit Singasari yang mendesak
mereka tanpa ampun. Namun agaknya pemimpin prajurit. Singasari itu bukannya
seseorang yang haus darah. Setiap kali ia masih memberikan
kesempatan dan menawarkan agar para pengikut Empu Baladatu itu
menyerah saja. "Kau tidak akan dapat bertahan lebih lama lagi." berkata
seorang prajurit muda, "Letakkan senjatamu dan menyerahlah.
Kami akan memperlakukan kalian sebaik-baiknya, karena kami tahu
bahwa kalian tidak sadar apa yang sedang kalian lakukan."
Para pengikut Empu Baladatu itu menjadi ragu-ragu. Mereka pun
menyadari bahwa mereka tidak akan dapat berlahan lebih .ama lagi.
Harapan mereka satu-satunya adalah kedatangan induk pasukan
yang dipimpin langsung oleh Empu Baladatu. Tetapi ternyata bahwa
pasukan itu tidak segera memasuki pintu gerbang.
Bahkan sejenak kemudian prajurit muda yang nampaknya
memiliki pengaruh sangat besar di antara prajurit-prajurit Singasari
itu berkata pula, "Induk pasukan yang tentu kalian tunggu itu tidak
akan pernah memasuki Kota Raja lewat pintu gerbang atau
memanjat dinding. Agaknya mereka telah membentur pasukan
Singasari yang kuat di depan pintu gerbang."


Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pemimpin kelompok kecil yang masih mencoba bertahan itu
berteriak mengatasi kecemasan yang tumbuh di hatinya, "Tidak ada
prajurit Singasari di luar pintu gerbang."
"Kau salah. Aku menawarkan kesempatan. Jika kau ingin
mengirimkan seorang, penghubung untuk melihat kenyataan
tentang induk pasukanmu, aku akan menjamin, bahwa ia akan
dapat melihat induk pasukanmu yang menjelang saat
kehancurannya dan kembali dengan selamat memasuki pintu
gerbang itu." Pemimpin kelompok kecil itu termangu-mangu. Namun tiba-tiba
ia bertanya, "Siapakah kau" Apakah kau benar-benar memiliki
2579 wibawa, untuk menjamin keselamatannya jika aku benar-benar
mengirimkan seorang penghubung untuk melihat induk pasukan?"
"Aku menjamin." sahut prajurit muda itu.
Pemimpin kelompok itu termangu-mangu. Namun pasukannya
benar-benar sudah tidak berdaya lagi. Sabagian dari orangorangnya
telah terluka dan tidak mampu lagi mengangkat
senjatanya. Yang lain terkurung oleh tiga atau empat orang prajurit,
sehingga ia terpaksa melepaskan senjatanya.
"Tetapi siapa kau. Sebut kedudukanmu."
Prajurit muda itu ragu-ragu. Namun ia ingin menghentikan
pertumpahan darah lebih lama lagi di dalam pintu gerbang itu.
Karena itu, maka iapun segera menjawab, "Aku adalah
Ranggawuni." Pengakuan itu telah mengejutkan orang-orang yang
mendengarnya. Pemimpin kelompok itupun terkejut bukan buatan.
Ternyata yang ada di hadapannya itu adalah Ranggawuni. Maharaja
di Singasari yang bergelar Wisnuwardhana.
Ia tidak menyangka sama sekali bahwa Maharaja Singasari itu
berada di medan dengan pakaian seorang prajurit dan bertempur
langsung di medan. Namun dengan demikian pemimpin pasukan lawan itu dapat
mengenal langsung, bahwa Ranggawuni adalah seorang anak muda
yang luar biasa. Seorang, anak muda yang memiliki kelebihan bukan
saja kemampuan dalam olah kanuragan, tetapi menilik sikapnya, ia
tentu seorang yang bijaksana.
Ia bukan saja karena kebetulan lahir dalam kedudukan yang
memungkinkannya memegang pimpinan atas Singasari, namun ia
memang memiliki kemampuan untuk melakukannya.
Pemimpin pasukan yang terjepit itu masih sempat membuat
pertimbangan dengan nalarnya. Pasukannya tidak akan mampu
berbuat apa-apa. Sementara induk pasukannya tidak juga kunjung
datang memasuki dinding Kota Raja.
2580 "Aku menawarkan kesempatan itu sekali lagi." berkata
Ranggawuni. Pemimpin pasukan pengikut Empu Baladatu yang ada di dalam
regol dinding Kota Raja itu benar-benar telah tersudut ke dalam
suatu kenyataan, jika ia tidak menyerah, maka akhirnya pasukannya
akan hancur. Mungkin terbunuh atau terluka parah tanpa tersisa
seorangpun. Karena itu, maka tiba-tiba saja pemimpin pasukan itupun
melemparkan senjatanya. Pengaruh kehadiran Ranggawuni dan
menawarkan kesempatan langsung di medan peperangan itu telah
menimbulkan kepercayaannya, bahwa Maharaja Singasari itu tentu
akan bertindak bijaksana.
"Hamba menyerah tuanku." berkata pemimpin pasukan itu,
"Hamba mohon ampun."
Ranggawuni termangu-mangu sejenak. Ia menunggu sikap dari
para pengikut Empu Baladatu yang lain.
Ternyata bahwa sebagian dari mereka pun tidak lagi dapat
mengingkari kenyataan, bahwa mereka tidak akan dapat
melepaskan diri dari ujung senjata prajurit Singasari jika mereka
berkeras untuk tetap melawan.
Sesaat kemudian Ranggawuni pun memberikan isyarat kepada
para prajurit untuk menghentikan pertempuran. Ternyata bahwa
pasukan yang memasuki regol itu benar-benar sudah tidak berdaya.
Satu-satu mereka melepaskan senjata mereka dan menyerahkan diri
untuk diperlakukan apapun juga.
Tetapi ternyata bahwa prajurit Singasari bukannya orang orang
yang buas seperti yang pernah mereka bayangkan. Prajurit-prajurit
Singasari dengan patuh melakukan segala perintah Senapatinya.
Juga perlakuan atas para tawanan itupun di landasi pada sikap dan
ketentuan yang ada di dalam lingkungan keprajuritan Singasari.
Dalam waktu yang, singkat, maka para tawanan itupun telah
dibawa ke tempat yang sudah ditentukan, seolah-olah Singasari
2581 memang sudah menyediakan tempat untuk menampung lawan yang
akan tertawan. Beberapa orang prajuritpun segera ditugaskan untuk menjaga
mereka dengan ketat, sementara yang lain segera menempatkan
diri pada tugas-tugas yang baru sesuai dengan perkembangan
keadaan. Ranggawuni dan Mahisa Cempaka ternyata tidak sekedar ingin
bermain-main di dalam dinding Kota Raja. Setelah pasukan yang
memasuki Kota Raja itu menyerah, maka Ranggawuni pun berkata
kepada Mahisa Agni, "Paman, agaknya pasukan Empu Baladatu
tidak sempat mencapai pintu gerbang. Tetapi kita belum yakin,
bahwa induk pasukan kita akan dapat bertahan atas tekanan
pasukan Empu Baladatu yang kuat."
Mahisa Agni segera menangkap maksud Ranggawuni dan Mahisa
Cempaka. Karena itu, maka katanya, "Tuanku, di seberang arena
pertempuran, pasukan Empu Sanggadaru sudah siap menunggu
perintah. Jika induk pasukan itu terdesak dan tidak mungkin lagi
bertahan, maka perintah yang akan dilontarkan lewat isyarat akan
segera menggerakkan pasukan itu."
Ranggawuni tersenyum. Jawabnya, "Kita akan membiarkan
pasukan Empu Sanggadaru di tempatnya. Bukankah kita masih
harus mempertimbangkan kemungkinan yang akan datang" Jika kita
tidak mempunyai pasukan yang segar, maka jika Mahibit benarbenar
bergerak, maka kita semuanya sudah kehabisan nafas."
"Seandainya tuanku memerintahkan, biarlah hamba dengan
pasukan yang tidak diperlukan di sini, turun kemedan perang di
induk pasukan itu." berkata Mahisa Agni.
"Aku akan berada di medan. Aku tahu kecemasan paman
tentang aku dan adinda Mahisa Cempaka. Tetapi aku berjanji bahwa
aku akan berlaku sebaik-baiknya, sesuai dengan petunjuk paman."
sahut Ranggawuni. 2582 Mahisa Agni tidak dapat menahannya lagi. Karena itu, maka
iapun segera menyiapkan sekelompok pengawal pilihan yang akan
pergi bersama Ranggawuni dan Mahisa Cempaka kemedan perang.
Namun Mahisa Agni sendiri tidak dapat melepaskan kedua
pemimpin Singasari itu pergi ke medan di luar pengamatannya.
Karena itu, maka ia pun telah ikut pula di dalam kelompok pengawal
yang menyertai Ranggawuni dan Mahisa Cempaka ke garis
pertempuran di depan pintu gerbang.
Karena itu, maka sesaat kemudian, perlahan-lahan pintu gerbang
itupun terbuka. Dua orang prajurit yang berada di atas dinding
mengawasi keadaan dengan saksama.
Demikian pintu Gerbang itu terbuka, maka sepasukan kecil telah
keluar dengan cepat. Tidak ada tanda-tanda kebesaran pada
pasukan itu. Tidak ada tanda-tanda umbul-umbul atau panji-panji
dan tunggul yang memberikan pertanda bahwa Maharaja Singasari
turun kearena pertempuran.
Ranggawuni dan Mahisa Cempaka yang dikawal dengan kuat
oleh prajurit-prajurit pilihan itu, seakan-akan sepasukan prajurit
biasa yang dipimpin seorang Senapati pergi kemedan membantu
pasukan yang sedang dalam tekanan lawan.
Mahisa Agni yang sangat berhati-hati karena di dalam
pasukannya terdapat Ranggawuni dan Mahisa Cempaka, telah
mengirimkan dua orang pengawas mendahului perjalanan mereka
untuk melihat dari dekat, apakah yang telah terjadi di medan, di
seberang padukuhan. "Kita akan berhenti sejenak di muka padukuhan itu tuanku."
berkata Mahisa Agni. "Untuk apa?" bertanya Ranggawuni.
"Kita menunggu laporan pengawas yang mendahului perjalanan
kita." Ranggawuni menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak dapat
memaksa Mahisa Agni berjalan terus, karena ketika Mahisa Agni
2583 melihat gelagat itu ia berkata, "Bukankah tuanku akan menurut
petunjuk-petunjuk hamba?"
Ranggawuni menarik nafas dalam-dalam. Tetapi sambil
tersenyum ia mengangguk. Jawabnya, "Baiklah paman. Aku akan
tetap patuh." Tetapi mereka tidak menunggu terlalu lama. Pengawas itupun
segera datang menghadap untuk melaporkan bahwa pertempuran
masih berkobar dengan sengitnya.
"Empu Baladatu sendiri memimpin induk pasukannya." berkata
pengawas itu. "Bagaimana dengan Mahisa Bungalan?" bertanya Mahisa Agni.
"Mahisa Bungalan telah terlibat dalam pertempuran melawan
Empu Baladatu sendiri."
Ranggawuni yang mendengarkan laporan itu pun segera
bertanya, "Bukankah kita dapat meneruskan perjalanan ini paman.
Mudah-mudahan Mahisa Bungalan tidak menjumpai kesulitan
apapun juga." Mahisa Agni mengangguk kecil. Katanya, "Baiklah tuanku. Kita
akan melanjutkan perjalanan ke medan yang berada di seberang
padukuhan ini." Ranggawuni mengangguk kecil, iapun kemudian berjalan
bersama Mahisa Cempaka menyusuri jalan induk. Tetapi Mahisa
Agni masih tetap berhati-hati dengan menempatkan beberapa orang
pengawal di depan pasukannya.
Ternyata bahwa pertempuran di seberang padukuhan masih
tetap berjalan dengan serunya. Suara dentang senjata di antara
pekik dan erang. Tetapi juga teriakan penuh dendam dan
kemarahan. Empu Baladatu memang sedang bertempur melawan Mahisa
Bungalan yang datang menyongsongnya.
2584 Kehadiran pasukan kecil itu semula tidak begitu menarik
perhatian. Pasukan Singasari yang sedang bertahan itu nampak
berhasil menahan desakan pasukan Empu Baladatu meskipun
mereka harus mengerahkan segenap kemampuan. Ketika tubuh
mereka telah basah oleh keringat, serta nafas mereka mulai
berkejaran, barulah mereka menjadi agak cemas, bahwa mereka
lelah memeras terlalu banyak tenaga menghadapi pasukan Empu
Baladatu yang kuat. Yeng terbersit pertama-tama di hati setiap prajurit Singasari
adalah kemungkinan untuk memperpanjang perlawanan. Jika
mereka kehabisan tenaga, sementara pertempuran masih
berlangsung dengan sengitnya, maka akibatnya akan sangat berat
bagi para prajurit Singasari.
Kehadiran sekelompok prajurit itu akan membantu mereka
menghemat tenaga meskipun masih belum berarti akan dapat
menentukan akhir dari pertempuran itu dalam keseluruhan.
Tetapi ketika Senapati di induk pasukan itu melihat, siapakah
yang hadir, hampir saja ia meneriakkan gejolak perasaannya.
Namun Mahisa Agni sempat memberikan isyarat, agar Senapati itu
tidak berteriak-teriak menyambut kedatangan Ranggawuni dan
Mahisa Cempaka di medan yang sengit itu.
"Kami akan bertempur." berkata Mahisa Agni, "Tetapi kami akan
bertempur sebagai prajurit."
Senapati itu tidak mengerti, kenapa prajurit Singasari tidak boleh
mengerti, bahwa kedua pemimpin tertinggi Singasari berada di
antara mereka. Tetapi Senapati itu tidak berani melanggar pesan Mahisa Agni. Ia
benar-benar tidak memberitahukan kepada siapapun bahwa
Ranggawuni dan Mahisa Cempaka ada di antara prajurit Singasari
yang bertempur dengan garangnya itu.
Untuk beberapa saat, kehadiran pasukan kecil itu memang belum
terasa pengaruhnya. Namun kemudian ternyata bahwa prajuritprajurit
pilihan di dalam pasukan kecil itu seolah-olah merupakan
2585 gulungan prahara yang menelan setiap lawan yang terlibat ke
dalamnya. Sementara itu, di bagian lain dari pertempuran itu, prajurit
Singasari telah bekerja keras untuk menahan tekanan lawan yang
jumlahnya cukup banyak. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat bertempur
seperti burung sikatan. Mereka menyambari dengan tangkasnya.
Setiap kali senjatanya berhasil menyentuh lawan dan menitikkan
darah. Namun lawan memang terlalu banyak, sehingga keduanya harus
bertempur mati-matian untuk menahan agar prajurit Singasari tidak
terdesak. Tetapi betapa lincahnya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat namun
kemampuan merekapun terbatas. Mereka tidak dapat bertempur
melampaui kemampuan mereka masing-masing, sehingga pada
suatu saat, terasa betapa beratnya medan.
Selagi keduanya mengalami kesulitan. Senapati yang sudah agak
lanjut usia yang memimpin pasukan Singasari itupun baru memeras
kemampuannya. Tiga orang lawan sekaligus harus dihadapinya,
sahingga Senapati itu tidak mampu berbuat banyak, selain
mempertahankan diri sambil sekali-sekali mengawasi keadaan anak
buahnya. Sekali-sekali terasa dadanya berdesir saat-saat ia melihat cara
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat bertempur. Di medan yang berat,
maka akan sangat berbahaya sekali, jika keduanya bagaikan
berterbangan. Suatu saat, tentu ada sekelompok lawan yang
jumlahnya memang lebih banyak itu, menjebaknya dan
membinasakannya. Namun dalam pada itu, selagi sekelompok lawan sedang
menyusun jaring untuk menjebak kedua anak-anak muda itu,
seseorang berdiri mengawasi dengan tajamnya. Sekelompok
pasukan Singasari yang lain telah datang membantu meskipun
jumlahnya juga tidak terlalu banyak.
2586 Tetapi bahaya bagi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tetap dapat
terjadi setiap saat, sehingga orang yang sedang mengawasinya itu
berusaha untuk selalu mengikuti setiap langkah kedua anak muda
itu. Yang dicemaskan oleh Senapati itupun ternyata telah mulai
membayang. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, dengan tidak sadar,
telah memasuki sebuah putaran lawan yang kuat. Demikian
keduanya berada di antara jebakan yang telah disiapkan, maka
seakan-akan sebuah lingkaran telah berputar dengan cepat.


Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Semakin lama semakin cepat.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat terkejut. Mereka sadar, bahwa
mereka telah memasuki putaran orang-orang berilmu hitam. Dan
merekapun mengerti, bahwa orang-orang yang terjebak dalam
putaran seperti itu, biasanya akan terlempar dengan kulit yang
bagaikan terkelupas oleh sentuhan senjata arang kranjang.
Sejenak keduanya menjadi berdebar-debar. Tetapi keduanya
sadar, bahwa mereka tidak boleh menjadi bingung dan apalagi
berputus asa. "Kita terseret ke dalam arus pusaran." desis Mahisa Pukat.
"Kita akan memecahkan dinding pusaran itu." sahut Mahisa
Murti, "Kita akan melihat, di bagian mana kita akan menembus dan
memutuskan lingkaran itu, dan bahkan membuatnya terkoyakkoyak."
Namun ternyata bahwa untuk melakukannya tidak semudah
seperti yang dikatakannya. Agaknya sekelompok orang-orang pilihan
dari perguruan Empu Baladatu telah mempersiapkan jebakan yang
sangat kuat. Setiap kali keduanya mencoba memecahkan kepungan, terasa
sambaran angin bagaikan menyobek kulit. Hanya karena
ketangkasan mereka berdua sajalah, maka senjata yang
menyambar seperti berpuluh-puluh kelelawar liar itu dapat
dihindarkan. 2587 Kegelisahan kedua anak muda itu menjadi semakin mengganggu
mereka. Lingkaran itu semakin lama seolah-olah menjadi semakin
sempit. Senjata-senjata yang berjuluran bagaikan hampir bertautan.
"Gila." geram Mahisa Murti, "Kita harus membuat kejutan yang
dapat menarik perhatian mereka untuk sesaat, sebelum kita berbuat
sesuatu." Mahisa Pukat diam saja. Ia sedang memikirkan kemungkinan itu.
Tetapi medan bagi mereka berdua menjadi terlalu sempit.
Ternyata bahwa orang-orang berilmu bitam itu yakin, akan dapat
menghancurkan kedua anak muda yang luar biasa, yang telah
mengoyak pasukan pengikut Empu Baladatu dengan ilmunya yang
mengagumkan. Namun setelah beberapa orang terpilih menjebaknya, maka
keduanya benar-benar dalam kesulitan.
Senapati yang memimpin pasukan Singasari itu melihat kesulitan
kedua anak muda itu. Karena itu, maka iapun segera meneriakkan
aba-aba, karena ia sendiri tidak dapat berbuat banyak.
Beberapa orang prajurit yang mendengar aba-aba itupun telah
berusaha mendekati kedua anak muda itu. Tetapi rasa-rasanya
lawan bertebaran di segala tempat, sehingga mereka merasa sulit
untuk melangkah maju. Ujung senjata teracu-acu di segala tempat,
dan maut bagaikan mengintai setiap saat.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat benar-benar berada dalam
kesulitan. Putaran di sekelilingnya menjadi bertambah rapat. Bahkan
kemudian kepalanya seolah-olah menjadi pening ketika ia
mendengar orang-orang yang berlari-larian berputaran itu bagaikan
bergumam dalam irama yang menghentak-hentak tetapi terus
menerus. "Gila. Ilmu ini ilmu iblis." tiba-tiba saja Mahisa Pukat berteriak.
Yang terdengar adalah suara tertawa. Benar-benar suara tertawa
iblis. Di sela-sela suara tertawa itu terdengar jawaban,
"Kegelisahanmu adalah pertanda akhir dari hayatmu. Anak manis.
2588 Berdoa sajalah agar akhir hidupmu akan kalian jalani dengan baik.
Sebutlah nama ayah ibumu."
Mahisa Murtilah yang kemudian berteriak, "Gila. Iblis gila."
Suara tertawa itu masih terdengar. Tetapi tiba-tiba saja suara itu
terputus oleh suara lain. "Ayahmu ada di sini anak-anak manis.
Sebutlah namanya. Mahendra."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat segera mengenal suara itu.
Karena itu sambil melonjak kegirangan mereka berbareng
menyebut, "Ayah."
Orang-orang yang mengepungnya terkejut pula. Mereka
mencoba untuk melihat, siapakah yang datang.
"Seperti yang kalian kehendaki." berkata Mahendra, "Kedua
anak-anakku sudah menyebut ayahnya. Tetapi jangan mimpi untuk
membunuh keduanya. Meskipun mereka anak nakal, tetapi bagi
ayahnya, keduanya adalah mutiara yang tidak ternilai harganya.
Karena itu, dalam keadaan yang paling gawat seperti sekarang, aku
akan mempertahankan kedua anak-anakku."
"Persetan." geram salah seorang dari mereka yang mengepung
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, "Kaupun akan kami bunuh sama
sekali." "Jika kalian ingin mencoba, baiklah. Aku akan memasuki
lingkaran kalian." Lingkaran yang tidak berputar lagi karena kejutan itu, bergerak
selangkah. Tiba-tiba saja pemimpinnya berkata kasar, "Masuklah
Mahendra. Kami akan mencincangmu menjadi bangkai."
Mahendra mengerutkan keningnya. Sekilas ia melihat
peperangan yang sengit. Tetapi ia tidak mencemaskan seluruh
pasukan yang sedang bertempur itu, sehingga karena itu, maka ia
telah mengikatkan diri. melawan orang-orang yang telah
mengepung anaknya. 2589 Ketika lingkaran itu menyibak, maka Mahendra benar-benar
melangkah memasukinya meskipun Mahisa Pukat berteriak, "Jangan
berada di dalam lingkaran ayah."
Mahendra tersenyum. Jawabnya, "Aku akan mencoba, apakah
putaran angin pusaran itu tidak dapat dipecahkan."
Sejenak kemudian, demikian Mahendra memasuki lingkaran,
maka orang-orang berilmu hitam itupun segera bergerak dan
putaran itupun kembali melingkari Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan
Mahendra. "Lingkaran itu berbahaya sekali ayah." desis Mahisa Murti.
"Ya, memang berbahaya sekali. Karena itu, kita bertiga memang
harus berhati-hati." jawab Mahendra.
Kedua anak-anaknya mengerutkan keningnya. Merekapun
kemudian mengerti bahwa yang mereka hadapi benar benar bahaya
yang dapat mengancam jiwa mereka bersama ayahnya, sehingga
merekapun bergumam di dalam hati, "Pertempuran bukannya arena
permainan yang selalu menyenangkan."
Mahendra memang menghendaki anak-anaknya mengerti, bahwa
pada suatu saat, lawan yang tangguh akan dapat mengurung
mereka dalam ancaman bahaya maut. Dengan demikian, maka
setiap orang yang memasuki arena pertempuran mempunyai
kemungkinan yang sama antara dua peristiwa. Hidup atau mati.
Tekanan yang hampir saja merenggut jiwa mereka, telah menjadi
pengalaman yang berharga bagi Mahisa Pukat dan Mahisa Murti.
Mereka bersukur kepada Yang Maha Agung bahwa ayah mereka
masih dapat melihat nasib yang hampir saja mencekik leher mereka.
Namun dalam pada itu, merekapun merasa bahwa medan adalah
tempat yang harus ditanggapi secara bersungguh-sungguh.
Dalam pada itu, sejenak kemudian orang-orang berilmu hitam itu
telah melingkari mereka kembali. Senjata mereka mulai teracu dan
menyambar-nyambar. Tetapi lingkaran itu telah menjadi lebih besar.
2590 Namun demikian, setiap orang di dalam pertempuran itu melihat,
bahwa lingkaran itu berputar semakin lama semakin cepat dan
menjadi semakin sempit seperti yang pernah terjadi. Sementara
ketiga orang yang ada di dalamnya akan meng hadapi masa-masa
yang sulit untuk mempertahankan diri.
Senapati prajurit Singasari yang melihat kehadiran Mahendra
menarik nafas dalam-dalam. Meskipun ketiga ayah beranak itu
masih akan menghadapi masa-masa yang berat, tetapi mereka
bertiga tentu akan menjadi lebih kuat daripada hanya kedua anakanak
muda itu saja. Lingkaran itu semakin lama memang menjadi semakin sempit.
Kehadiran Mahendra seolah-olah tidak banyak memberikan
perubahan. Orang-orang berilmu hitam itu masih tetap melingkari
lawan mereka dengan sekali-sekali menyerang dengan senjata
mereka yang tajam. Setiap kali Mahisa Murti dan Mahisa. Pukat harus menghindar dan
bahkan berdesakan. Mereka tidak dapat meloncat surut, karena di
bagian punggung, mereka, senjatapun siap menyobek kulit mereka
dari belakang, karena lawan berada dalam putaran.
Mahendra nampaknya tidak berbuat banyak menghadapi putaran
itu. Ia masih seperti juga kedua anak-anaknya, bergeser dan
beringsut. Namun Mahendra adalah orang yang luar biasa. Ia memiliki ilmu
yang hampir sempurna. Karena itu, maka iapun mulai mempelajari
kemungkinan yang dapat dilakukan untuk menyelamatkan kedua
anak-anaknya. Ketika putaran itu menjadi semakin cepat dan semakin sempit,
maka Mahendrapun berkata, "Berhati-hatilah. Jangan terpengaruh
oleh pendengaranmu. Mereka mulai berteriak-teriak dan membuat
kau bingung." Mahisa Pukat dan Mahisa Murti tidak menyahut tetapi mereka
telah mencoba untuk melawan pengaruh pendengaran mereka yang
2591 kacau karena orang-orang yang mengepungnya mulai mengganggu
mereka dengan suara dan kata yang membingungkan.
"Hati-hatilah." berkata Mahendra tiba-tiba, "Aku akan
memecahkan kepungan mereka. Mungkin mereka melakukan suatu
sikap dan gerakan yang tiba-tiba pula. Hadapi mereka dengan
tenang dan jangan bingung."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menyahut. Tetapi mereka
mencoba menyesuaikan diri dengan gerakan ayahnya yang akan
memecah kepungan orang-orang berilmu hitam itu, meskipun ia
sama sekali tidak memerintahkan anaknya untuk keluar.
Sejenak Mahendra memusatkan inderanya pada pusaran
lawannya. Ia berusaha untuk mengenali irama gerakan mereka,
yang ternyata berjalan ajeg.
Mahendra menarik nafas dalam-dalam. Seakali-seakali ia telah
menemukan jalan untuk keluar dari kepungan itu bersama dengan
anak-anaknya. Sejenak ia masih tetap berdiam diri. Ia hanya bergeser setapaksetapak
jika senjata lawan-lawannya menyambarnya.
Namun tiba-tiba saja Mahendra telah meloncat sambil berkata,
"Ikuti aku. Hati-hati. Serangan itu akan tetap mengarah ke
tubuhmu. Tetapi jika kita berhasil, maka lawan kita hanyalah
seorang dari antara mereka."
Kedua anaknya telah mengikutinya. Ketiganya telah menyusun
suatu lingkaran kecil yang berputar seirama dengan putaran
lawannya. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengerti maksud ayahnya.
Mereka telah memiliki lawan masing-masing dalam putaran itu.
sehingga justru kedua anak muda itulah yang mengejar lawannya
yang berada, di dalam lingkaran, sehingga dengan demikian maka
seakan-akan mereka telah bertempur sambil berlari-lari.
Orang-orang berilmu hitam di dalam putaran itu terkejut melihat
gerakan ketiga orang yang berada di dalam lingkaran. Mereka tidak
2592 dapat menyerang berurutan dan membuat ketiganya bingung,
karena ketiganya ikut pula berlari dengan telah memilih seorang
lawan. Tetapi sejenak kemudian, maka orang-orang berilmu hitam itu
dapat menguasai diri. Ketika salah seorang dari mereka memberikan
isyarat, maka tiba-tiba saja putaran itu berhenti.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah terdorong beberapa
langkah. Hampir saja mereka terjebak dalam senjata lawan yang
sengaja menunggu. Untunglah, bahwa Mahendra dapat bertindak
cepat. Dengan tangkasnya ia mengatasi keadaaan yang tiba-tiba itu.
la sempat menahan kedua anak-anaknya dan memberikan
peringatan, "Jaga serangan dari belakang kalian. Aku akan
menghadap ke arah lain."
Kedua anak muda itupun kemudian berdiri beradu punggung
dengan ayahnya menghadap lawan-lawan mereka yang tegang.
Namun kesempatan itulah yang ditunggu oleh Mahendra. saat
putaran itu telah berhenti.
"Sekarang." geram Mahendra, "Pecahkan dinding lingkaran."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengerti maksud ayahnya.
Karena itu, maka ketiganya hampir serentak telah menyerang
dinding lingkaran yang sudah tidak berputar lagi itu.
Serangan yang tiba-tiba itupun sudah diperhitungkan oleh orangorang
berilmu hitam itu, sehingga merekapun telah siap untuk
menghadapinya. Namun Mahendra ternyata terlalu kuat bagi mereka. Disaat
perhatian mereka terbagi oleh serangan Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat, yang membadai. Mahendra tiba-tiba saja, hampir tidak
diketahui apa yang telah dilakukannya, tiba-tiba saja telah berada di
luar lingkaran. Tiga orang telah terlempar dengan luka di tubuh
mereka. 2593 Oranga berilmu hitam itu benar-benar terkejut. Serentak mereka
bagaikan terpukau oleh peristiwa yang sama sekali tidak dapat
mereka mengerti itu. Dalam kebingungan itu. sekali lagi mereka dikejutkan oleh sikap
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Merekalah yang kemudian
mempergunakan kesempatan untuk melepaskan diri dari kepungan
maut itu. Seperti yang dilakukan oleh ayahnya, merekapun telah
menyerang serentak, meskipun keduanya tidak dapat melakukannya
dalam tataran ilmu Mahendra.
Namun demikian, ternyata bahwa kedua anak muda itu berhasil
membuka kepungan di depan mereka. Beberapa orang telah
menyibak, meskipun senjata kedua anak-anak muda itu tidak dapat
menyentuh mereka. Sejenak kemudian, maka ketiga orang ayah beranak itu telah
berada di luar kepungan orang-orang berilmu hitam itu. Dengan
sigapnya ketiganya segera bersikap uniuk menghadapi segala
kemungkinan yang dapat terjadi atas mereka.
Pecahnya kepungan itu telah membuat orang-orang berilmu
hitam itu bingung sesaat. Dengan demikian, maka akan sulitlah bagi
mereka untuk mengulanginya, menjebak ketiganya ke dalam
lingkaran maut itu. Sementara itu, Mahisa Murti. Mahisa Pukat dan Mahendra telah
bersiap untuk bertempur, sementara pertempuran berjalan semakin
lama semakin sengit. Namun, dengan pecahnya kepungan itu, maka kembali kedua
anak-anak muda itu bertempur seperti burung Sikatan. Mereka tidak
lagi menjadi cemas jika mereka terjebak. Ayahnya akan selalu
mengawasi mereka dalam keadaan yang paling sulit.
Mahendra menarik nafas dalam-dalam. Ia mengerti apa yang
terpikir oleh anaknya, sehingga karena itu, maka iapun telah
berkata kepada diri sendiri, "Seharusnya mereka tidak berbuat
demikian. Mereka mulai menggantungkan keselamatan mereka
justru aku berada di sini."
2594

Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Namun hal itu merupakan suatu pengalaman baru bagi
Mahendra. Ia harus berusaha untuk membuat anak-anaknya lebih
berhati-hati dan tidak menggantungkan diri kepada orang lain.
"Mereka masih cukup muda untuk menempuh masa depan yang
lebih baik." berkata Mahendra kepada diri sendiri, sementara ia
berusaha untuk menemukan anak-anaknya dan berpura-pura
meninggalkan arena pertempuran itu.
Untuk beberapa saat Mahendra masih berada di dalam kancah
peperangan. Namun kemudian ketika nampak olehnya Mahisa Pukat
dan Mahisa Murti bersama menghalau beberapa orang lawan, maka
Mahendra pun mendekatinya sambil berbisik, "Hati-hatilah Aku akan
melihat pertempuran di induk pasukan."
Mahisa Pukat dan Mahisa Murti terkejut. Dengan serta merta
Mahisa Pukat bertanya, "Kenapa ayah pergi" Bukankah pertempuran
di s ini masih cukup sengit?"
"Di sini ada Senapati itu."
"Ia sudah terlalu tua." jawab Mahisa Pukat.
"Ada kau ada Murti."
"Kami masih terlalu muda." sahut Mahisa Murti.
"Justru ada yang tua ada yang muda. Nah. berhati-hatilah."
Mahendra tidak menunggu jawaban. Iapun kemudian meloncat di
antara riuhnya pertempuran dan hilang di balik bayangan lawan dan
kawan. Mahisa Pukat dan Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Namun
mereka pun kemudian menjadi semakin berhati-hati. Ayahnya tidak
ada lagi di antara mereka, sehingga jika terjadi sesuatu tidak ada
lagi yang dapat membantu.
Tetapi memang sikap itulah yang dikehendaki oleh Mahendra.
Dengan demikian ia mengharap bahwa anaknya tidak lagi
menggantungkan diri kepada perlindungan orang lain, meskipun
dengan diam-diam Mahendra masih harus tetap mengawasi.
2595 Dalam pada itu, di bagian lain dari arena pertempuran yang
menebar semakin luas itu. Lembu Ampal bertempur dengan serunya
melawan beberapa orang lawan. Tetapi ia adalah Senapati pilihan,
sehingga ia sama sekali tidak menjadi gugup meskipun lawannya
berada di segala tempat. Beberapa langkah dari padanya, ternyata Witantra berusaha
menghalau lawan-lawannya seperti menghalau ayam yang
mengerumuni butiran-butiran nasi.
Sekali-sekali mereka berloncatan menjauh jika senjata Witantra
berputar. Namun kemudian mereka dengan hati-hati bergeser
mendekat. Bahkan satu dua orang mencoba untuk menyerang.
Namun merekapun terhalau lagi beberapa langkah surut jika
Witantra bergerak. Pertempuran itu memang agak menjemukan bagi Witantra.
Tetapi ia bukan pembunuh yang buas meski di medan perang
sekalipun. Meskipun sekali-sekali senjatanya menitikkan darah, dan bahkan
memungut nyawa lawannya, namun bukan maksudnya untuk
menebas lawannya di medan perang meskipun ia dapat
melakukannya. Ia lebih banyak berusaha melindungi kawankawannya
dan hanya jika terpaksa dan bahkan kadang-kadang di
luar kehendaknya sendiri, senjatanya mematuk jantung.
Namun demikian, kehadiran Witantra dan Lembu Ampal benarbenar
merupakan hantu yang menakutkan, sehingga lawan
merekapun bergeser menjauhinya. Hanya jika mereka bersamasama
beberapa orang sajalah mereka berani mendekati dan
menyerang keduanya. Di induk pasukan, pertempuran berlangsung dengan dahsyatnya.
Mahisa Bungalan yang bertempur melawan Empu Baladatu seakanakan
mendapat kesempatan untuk benar mengadu tenaga dan ilmu.
Tidak seorangpun yang. berusaha untuk mencampurinya, karena
mereka tidak ingin hangus tersentuh api pertempuran yang sangat
dahsyal itu. 2596 Empu Baladatu yang melandasi kemampuan dan tenaganya pada
ilmu hitam, bertempur semakin lama menjadi semakin buas.
Wajahnya yang tegang dan berkerut merut itu seolah-olah telah
berubah menjadi wajah iblis yang mengerikan.
Sikapnya telah berubah semakin liar dan buas, sementara dari
mulutnya sekali-sekali meloncat umpatan yang kasar.
Namun Mahisa Bungalan sama sekali tidak terpengaruh.
Ketahanan jiwanya cukup kuat untuk menangkis serangan-serangan
yangg tidak bersifat wadag. Bahkan kadang-kadang hentakan ilmu
yang tiba-tiba saja bagaikan menyusup ke pusat jantung.
Tetapi jantung Mahisa Bungalan tidak berhenti berdenyut.
Bahkan ia masih tetap segar dan tangkas. Ketahanan jiwanya
mampu mengatasi segala pengaruh yang tidak bersifat wadag, yang
dilontarkan oleh Empu Baladatu.
Sekali-sekali terdengar Empu Baladatu menggeram. Ia tidak
mengira bahwa di pertempuran itu ia akan bertemu dengan anak
muda yang bernama Mahisa Bungalan, yang pernah mendapat gelar
pembunuh orang berilmu hitam bersama Linggadadi. Tetapi
ternyata bahwa pada suatu saat. Linggadadi itu telah dibunuhnya
pula. Kini ia harus berhadapan dengan pembunuh orang berilmu hitam
dengan landasan ilmu hitam pula. Namun Empu Baladatu yakin,
bahwa ilmunya cukup masak untuk melawan ilmu pembunuh
saudara-saudara seperguruan yang menyadap ilmu dari sumber
yang sama itu. Namun semakin lama semakin ternyata bahwa Mahisa Bungalan
benar-benar seorang yang mumpuni. Ia tidak hanya sekedar
membunuh orang-orang yang baru mulai menyadap ilmu hitam,
tetapi kini, Empu Baladatu, pimpinan tertinggi dari orang-orang
berilmu hitam itu, dapat menjajagi, bahwa anak muda yang
bernama Mahisa Bungalan dan bergelar Pemhunuh orang berilmu
Hitam itu benar-benar orang yang pilih tanding.
2597 Dengan demikian maka pertempuran itupun semakin lama
menjadi semakin sengit. Masing-masing telah sampai pada puncak
ilmu pamungkasnya, sehingga saat yang menentukan agaknya telah
hampir tiba. Agaknya kedua orang yang sedang bertempur itupun menyadari
pula, apa yang mereka hadapi.
Dengan demikian, maka baik Mahisa Bungalan maupun Empu
Baladatu tidak lagi sempat memperhatikan seluruh arena
pertempuran. Mereka berdua telah tenggelam dalam pemusatan
ilmu untuk saling menghancurkan.
Pertempuran antara keduanya, benar-benar merupakan perang
tanding yang tidak ada taranya. Tidak ada seorangpun yang berani
mendekat, apalagi mengganggunya. Seolah-olah para prajurit dan
para pengawal Empu Baladatu sedang menyaksikan dua orang
raksasa yang sedang bersabung dengan mempertaruhkan
nyawanya. Dalam pada itu, Ranggawuni, Mahisa Cempaka dan Mahisa Agni
pun telah berada di sekitar arena pertempuran yang dahsyat itu.
Dengan berdebar-debar mereka melihat, betapa Mahisa Bungalan
sedang dalam puncak kemampuannya untuk mempertahankan
dirinya dari serangan Empu Baladatu yang membadai.
Ranggawuni dan Mahisa Cempaka menarik nafas dalam-dalam.
Mereka melihat, betapa kasarnya Empu Baladatu. Untuk
mengalahkan lawannya, Baladatu telah berbuat apa saja yang dapat
dilakukan. Kasar bahkan liar sekalipun.
Tetapi Mahisa Bungalan telah cukup berpengalaman menghadapi
orang-orang berilmu hitam. Mahisa Bungalan telah mengenal betapa
buas dan liarnya mereka. Sejak ia melihat orang-orang yang berada
di rumah seorang bekas prajurit yang menguasai sebuah padukuhan
terpencil. Mahisa Bungalan telah melihat, betapa buasnya mereka.
Sekilas Mahisa Bungalan sempat membayangkan, orang-orang
yang dikorbankan di saat purnama naik untuk memperdalam ilmu
yang sedang mereka sadap.
2598 "Gila." geram Mahisa Bungalan tiba-tiba. Wajah Empu Baladatu
benar-benar merupakan wajah hantu yang mengerikan. Bukan
karena Mahisa Bungalan menjadi ketakutan melihat wajah itu,
namun kebencian yang belum pernah dirasakannya telah melonjak
di dadanya, sehingga denyut jantungnya bagaikan semakin keras
berdetak. Dalam arena pertempuran yang semakin dahsyat itu, maka
Mahisa Bungalan dan Empu Baladatupun bertempur semakin
dahsyat pula. Empu Baladatu telah mencoba untuk membuat
lawannya bingung dengan gerakan-gerakan melingkar. Tetapi
Mahisa Bungalan yang sudah mengenalnya, tidak membiarkannya
dirinya terperosok ke dalam angin pusaran, sehingga setiap kali ia
pun harus cepat meloncat memotong usaha Empu Baladatu untuk
berputar mengitari Mahisa Bungalan itu.
Setiap kali Empu Baladatu mengalami kegagalan, ia selalu
mengumpat dengan kasarnya. Namun ia tidak dapat terbuat apaapa
untuk memaksa Mahisa Bungalan memberikan kesempatan
kepadanya. Bahkan Mahisa Bungalanpim berjuang semakin keras
untuk mempercepat penyelesaian yang nampaknya masih kabur itu.
Sekali-sekali Empu Baladatu masih saja berusaha untuk membuat
Mahisa Bungalan bingung. Kadang-kadang ia menyerang dengan
garang dalam kejutan-kejutan ilmu. Sementara Mahisa Bungalan
berusaha menghindarinya, maka Empu Baladatu telah meloncat, di
sampingnya dan berlari mengitarinya sambil menyerang dengan
senjatanya. Namun Mahisa Bungalan tidak membiarkannya. Ia tidak terputar
dengan bingung dan bahkan kehilangan pengamatan diri. Namun
setiap kali ia berhasil meloncat di hadapan lawannya sambil
menyerang dengan dahsyatnya, sehingga putaran Empu
Baladatupun telah terputus.
Dalam keadaan yang demikian Mahisa Bungalan tidak
memberikan kesempatan lagi. Iapun segera menyerang dengan
garangnya pula. Senjatanya berputar seperti baling-baling. Namun
kemudian mematuk ke arah jantung.
2599 Empu Baladatu masih selalu sempat menghindari. Ia mampu
bergerak dengan cepat dan tangkas. Namun Mahisa Bungalan tidak
membiarkannya. Ketika senjatanya tidak mengenai sasarannya,
maka senjatanya segera menebas mendatar.
Empu Baladatu adalah seorang yang buas, liar dan kasar. Sekalisekali
terdengar ia berteriak nyaring. Sambil menghindar ia masih
sempat mengumpat, kemudian berteriak keras-keras sambil
membalas serangan lawannya.
Sikap Empu Baladatu memang kadang-kadang menggelisahkan
Mahisa Bungalan. Bukan karena kemampuan ilmunya, tetapi justru
karena kekasaran dan keliarannya.
Sementara itu Mahisa Agni memperhatikan Mahisa Bungalan
dengan saksama. Ia telah dapat menghindarkan diri dan lawannya,
karena prajurit-prajurit Singasari telah melindunginya. Para
pengawal pilihan telah berada di seputarnya, sehingga Mahisa Agni
sendiri dapat meluangkan waktu untuk memperhatikan pertempuran
itu. Sepercik kecemasan telah membayang di wajahnya. Mahisa
Bungalan yang muda itu, kadang-kadang masih saja diburu oleh
perasaannya yang kurang terkendali. Jika kemarahannya memuncak
karena sikap kasar dan liar Empu Baladatu, maka ia akan menemui
kesulitan. Dalam keadaan marah yang tidak terkendali, maka sikap
dan perhitunganpun tidak terkendali pula.
Mahisa Agni sadar, bahwa Empu Baladatu tidak
memperhitungkan sampai sekian jauh. Tetapi tanpa sengaja Empu
Baladatu telah memancing kemarahan Mahisa Bungalan, sehingga
anak muda itu akan dapat terjerumus kedalam keadaan yang gawat
dan tidak berperhitungkan.
Namun Mahisa Agni tidak ingin mengganggunya dalam
pemusatan ilmunya melawan pimpinan Ilmu Hitam itu.
oooOdwOooo Bersambung ke jilid 36 2600 Koleksi: Ki Ismoyo Scanning: Ki Arema Convert&Editing: Ki Mahesa
Recheck: Ki Arema 2601 Karya SH MINTARDJA Sepasang Ular Naga di Satu Sarang
Sumber djvu : Koleksi Ismoyo & Arema
http://kangzusi.com/ atau http://dewi-kz.info/
Jilid 36 DALAM pada itu, Mahisa Bungalan sendiri menyadari,
betapa berbahayanya lawannya
yang berilmu hitam itu. Selain
kekasaran dan keliarannya,
maka pada saat-saat tertentu
Empu Baladatu dapat menunjukkan sikap yang aneh
dan tidak masuk akal. Sejalan dengan ilmu hitamnya, dan segala macam
usaha yang pernah dilakukan
untuk mempertebal ilmunya, di
antaranya mengorbankan sesama, maka Empu Baladatu
yang licik itu tidak segan-segan
mempergunakan segala macam
cara untuk mengelebui lawannya. Ilmunya yang kasar dan liar itu, kadang-kadang dapat
menjerumuskan penglihatan lawannya, sehingga seakan-akan
Mahisa Bungalan mengalami suatu tekanan jasmaniah yang, tidak
terhingga. Namun Mahisa Bungalan memiliki ketahanan jiwani yang tinggi.
Dalam keadaan yang sulit, dalam keterlibatannya dalam pusaran
ilmu hitam, Mahisa Bungalan selalu berpegangan pada sikap
2602 seorang kesatria yang bertandasan pada perjuangan yang jujur dan
benar, melawan kejahatan dan segala sifat yang bertentangan
dengan tuntutan kemanusiaan.
Karena itulah, maka ia pun seakan-akan mempunyai pandangan
yang jernih terhadap kekaburan yang sengaja dibaurkan oleh Empu
Baladatu berdasarkan pada ilmunya di saat-saat yang paling gawat.
Mula-mula Mahisa Bungalan tekejut ketika tiba-tiba saja di medan
pertempuran itu telah meloncat seekor harimau loreng yang garang.
Dengan taring yang tajam dan runcing, harimau itu siap menerkam
dan merobek kulitnya. Namun secara jiwani Mahisa Bungalan sempat mengurai
penglihatannya yang tidak wajar itu. Seandainya benar-benar ada
seekor harimau yang, garang, ia tentu tidak demikian tiba-tiba ada


Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

di hadapannya dan langsung siap menerkamnya dalam kekalutan
itu. Karena itu, maka Mahisa Bungalan pun menyadari, bahwa ia
telah berhadapan dengan ilmu hitam yang kasar, sehingga dari
kebeningan budinya, akhirnya ia dapat melihat ujud yang
sebenarnya dari seekor harimau itu.
Ternyata bahwa yang dilihatnya tetap Empu Baladatu dalam
ujudnya yang garang, dalam penumpahan ilmu hitamnya.
Itulah sebabnya, maka Mahisa Bungalan tetap dapat bertempur
dengan mapan. Bahkan ketika di hadapannya tiba-tiba saja hadir
seekor naga raksasa dengan lidahnya yang terjulur panas api, ia
tidak gentar. Penglihatannya dapat mencairkan ujud itu kembali
kepada bentuknya yang wajar.
Mahisa Agni yang mengikuti pertempuran itu kadang-kadang
terperanjat melihat sikap Mahisa Bungalan, karena pada jarak dan
keadaan yang tidak langsung berbenturan ilmu, Mahisa Agni tidak
terpengaruh oleh bentuk-bentuk yang tertuang dari ilmu hitam
Empu Baladatu. 2603 Yang nampak pada Mahisa Agni hanyalah sikap dan benturan
ilmu yang kadang-kadang aneh pada kedua orang yang sedang
bertempur itu. Namun ketajaman rabaan batinnya, Mahisa Agni
seakan-akan mengetahui dari sikap masing-masing, bahwa ilmu
hitam Empu Baladatu telah dipergunakannya tidak dalam keadaan
sewajarnya. Dengan demikian, maka Empu Baladatu pun merasa, bahwa
lawannya yang masih muda itu benar-benar memiliki kemampuan
bukan saja secara wadag, tetapi juga secara batin, sehingga
baginya, Mahisa Bungalan benar-benar merupakan dinding yang;
sulit ditembus. Dalam pada itu, selagi Singasari sibuk melawan pasukan Empu
Baladaru yang kuat, baik di Kota Raja, maupun di daerah yang
terpencar sehingga prajurit-prajurit Singasari pun terpecah pula, di
Mahibit Linggapati sedang mempersiapkan diri.
Agaknya Linggapati bergerak lebih berhati-hati dari Empu
Baladatu yang kasar. Ia dapat mengendalikan diri sehingga setiap
langkahnya telah diperhitungkan dengan cermat. Kematian adiknya
merupakan pelajaran yang sangat berharga baginya, bahwa
ketergesa-gesaan tidak akan membawa manfaat apapun juga.
Itulah sebabnya, dengan sabar Linggapati menunggu. Ia telah
menyebarkan petugas-petugas sandinya untuk melihat keadaan di
Singasari. Baik di sekitar Kota Raja, maupun di daerah-daerah yang
sedang bergolak. Linggapati kadang-kadang diguncang oleh kecemasan, bahwa
prajurit Singasari dengan cepat berhasil menguasai daerah yang
jauh dari Kota Raja. Namun ia pun masih mempunyai pengharapan,
bahwa ia pun mampu menggerakkan beberapa daerah yang jauh
untuk menyerap prajurit-prajurit Singasari, sehingga kekuatan di
Kota Raja menjadi sangat kecil.
Kepada petugas sandinya ia sudah memerintahkan untuk
mengawasi pertempuran yang terjadi antara pasukan Empu
Baladatu melawan prajurit-prajurit Singasari. Jika petempuran itu
2604 berakhir, maka keadaan keduanya tentu akan sangat parah,
siapapun yang memenangkan petempuran itu.
Namun semuanya itu sudah diperhitungkan oleh pimpinan
pemerintahan di Singasari. Pertempuran yang terjadi di luar dinding
Kota Raja itupun memberikan gambaran yang dianggap kabur bagi
Linggapati. Sebenarnyalah bahwa Singasari telah membuat perhitungan yang
cukup cermat menghadapi keadaan yang dapat datang dengan tibatiba.
Pasukan Empu Sanggadaru yang masih belum dibebani dengan
tugas-tugas berat, merupakan suatu alas pertimbangan yang sangat
menguntungkan, jika terjadi sesuatu dengan orang-orang Mahibit
itu. Sementara itu pasukan Singasari di daerah-daerah terpencil telah
berhasil menguasai keadaan. Mereka telah melakukan perintah
pimpinan prajurit Singasari dengan cermat. Mereka tidak boleh
menyebarkan dendam di antara lawan, meskipun mereka sebagian
besar pernah menyadap ilmu hitam. Namun bagaimanapun juga,
mereka adalah masih dilandasi oleh sifat-sifat manusiawi. Jika
perasaan mereka tersentuh, maka mereka akan langsung
memberikan tanggap. Baik atau buruk.
Sikap prajurit Singasari ternyata sangat mempengaruhi perasaan
mereka. Tidak seorang pun di antara orang-orang berilmu hitam
yang menjadi korban karena dendam. Jika mereka terbunuh di
peperangan, itu memang sudah sewajarnya.
Tetapi bahwa sesudah perang selesai, maka para prajurit itu
bersikap baik dan seakan-akan telah memaafkan segala kesalahan
mereka, maka merekapun mulai menilai sikap mereka masingmasing.
Keadaan itulah yang tidak diperhitungkan oleh Linggapati. Bahwa
prajurit Singasari kemudian menghimpun anak-anak muda yang
sesat, meskipun tidak seluruhnya, sama sekali tidak diduganya.
Kelengahan itu ternyata telah memberikan gambaran yang salah
pada Linggapati. Juga karena Linggapati tidak mengetahui sikap dan
2605 kedudukan Empu Sanggadaru yang kurang di kenalnya sejak
kegagalannya. Linggapati menduga, bahwa ada perhitungan
tersendiri antara Empu Sanggadaru dan Empu Baladatu yang akan
diselesaikan oleh kedua kakak beradik yang berbeda arah hidupnya
itu. Dengan demikian, maka ketika prajurit Singasari mempersiapkan
diri dan kemudian bertempur melawan pasukan Empu Baladatu
yang kuat, maka persiapan berikutnya sebenarnya telah berjalan
dengan diam-diam. Setiap Senapati telah mengenal tugas masingmasing
dan melakukannya seperti yang tersirat dalam perintah.
Ternyata bahwa pertempuran itu berlangsung berkepanjangan.
Ketika matahari kemudian turun di ujung Barat, maka kedua
pasukan yang bertempur itu telah menjadi sangat telah.
Dengan demikian, maka seakan-akan seperti yang memang
seharusnya dilakukan, ketika matahari kemudian turun dan
tenggelam di balik cakrawala, maka pertempuran itupun temenjadi
surut. Tidak ada pertanda dan isyarat. Tetapi seakan-akan sudah
seharusnya demikian. Kedua pihak yang lelah itu, tanpa dilerai,
masing-masing telah bergerak semakin lamban, dan akhirnya
pertempuran itu terhenti.
Pasukan Empu Baladatu telah menarik diri beberapa puluh
langkah dan memasuki padukuhan di belakang medan. Sementara
dengan cepat, ia memerintahkan penghubung-penghubungnya
untuk memanggil setiap pimpinan kelompok untuk membicarakan
keadaan medan yang sangat sulit.
Mahisa Bungalan yang sebenarnya tidak ingin melepaskan
lawannya telah dicegah oleh Mahisa Agni. Bahkan Mahisa Agni telah
mengirimkan beberapa orang penghubung bagian pertempuran
yang lain, untuk memberi kesempatan kepada mereka beristirahat.
"Jangan memaksa diri." berkata Mahisa Agni, "Di malam hari
sudah sewajarnya kita berhenti dan beristirahat. Betapapun jiwa kita
bergejolak, tetapi jasmaniah kita sangat terbatas kekuatannya."
2606 Mahisa Bungalan tidak memaksa. Ia pun kemudian melepaskan
lawannya dan seperti yang dikehendaki oleh Mahisa Agni, maka
pasukannyapun telah beristirahat.
Tetapi tidak semua orang sempat beristirahat. Ada beberapa
orang yang justru masih tetap sibuk menyalakan api dan mulai
menanak nasi dan mempersiapkan makan bagi para prajurit.
Seperti juga prajurit Singasari, maka para pengikut Empu
Baladatu pun melakukan hal yang serupa. Mereka segera memasuki
setiap rumah. Mereka mengambil persediaan apa yang dapat
mereka pergunakan sebagai bahan makanan. Jika mereka
menemukan kambing, ayam atau binatang peliharaan apa pun juga,
maka daginya akan menjadi lauk bagi para pengikut Empu Baladatu.
Beberapa padukuhan menjadi sibuk. Namun prajurit Singasari
telah menempatkan diri pada kelompok-kelompok kecil seperti saat
mereka belum mulai terjun ke arena pertempuran.
Dengan demikian, maka kedudukan Empu Baladatu seolah-olah
telah dilingkari dan terkepung oleh prajurit Singasari. Sementara itu
dua orang penghubung telah menyampaikan pesan kedudukan dari
kedua belah pihak kepada Empu Sanggadaru.
"Mereka telah memperkuat kedudukan mereka di padukuhanpadukuhan
yang berdekatan." sahut penghubung itu.
"Mungkin sekali pada ujung malam ini tidak ada tanda atau kesan
bahwa mereka akan meninggalkan arena. Tetapi itu belum
menjamin bahwa mereka akan bertahan sampai matahari terbit
esok pagi." Penghubung itu termangu-mangu. Namun Empu Sanggadaru
berkata, "Sampaikan pesan ini kepada Senopati Besar Mahisa Agni.
Seluruh pasukan harus tetap bersiaga."
Kedua penghubung itu mengangguk-angguk. Salah seorang dari
mereka menjawab, "Tetapi nampak perapian di padukuhan yang
mereka pergunakan." 2607 Empu Sanggadaru mengerutkan keningnya. Namun kemudian
katanya, "Ia akan memberikan kesan sebaliknya dari apa yang akan
dilakukannya." Penghubung itu mengerti. Karena itu maka ia pun kemudian
kembali dan menyampaikan pesan Empu Sanggadaru kepada
Mahisa Agni. Mahisa Agni mengangguk-angguk. Ia memang tidak dapat
mempercayai tanda-tanda yang nampak pada gelar Empu Baladatu,
karena mungkin yang dilakukan sangat berbeda dengan tandatanda
dan kesan yang nampak. Itulah sebabnya, maka Mahisa Agni telah meneruskan pesan
Empu Sanggadaru kepada para Senapati dan pemimpin kelompok
agar mereka tetap bersiaga untuk bertindak sesuatu jika perlu.
Dalam pada itu. Empu Baladatu telah berkumpul dengan para
pemimpin kelompok di induk dan di sayap pasukannya. Mereka
memberikan laporan dan gambaran tentang segala yang terjadi di
lingkungan masing-masing.
Empu Baladatu melihat suasana yang suram pada pasukannya.
Ternyata perhitungannya telah salah. Para pengamat dan petugas
sandi, ternyata tidak memberikan gambaran yang sebenarnya dari
keadaan prajurit Singasari. Empu Baladatu pun telah mendapat
laporan bahwa sekelompok kecil pengikut yang mendahului
memasuki gerbang, tetapi mereka tidak pernah keluar kembali.
Betapa kemarahan meluap di hati Empu Baladatu. namun ia
tetap sadar, tidak ada gunanya lagi ia mencari siapakah yang
bersalah. Pertentangan dan apalagi pertengkaran di antara mereka
justru hanya akan memperlemah kedudukan mereka di hadapan
prajurit Singasari. Dalam pada itu, Empu Baladatu sempat melihat dalam
keseluruhan berdasarkan atas laporan para pemimpin di induk dan
sayap pasukannya, bahwa harapan untuk dapat menembus
pertahanan prajurit Singasari akan sangat tipis.
2608 "Mereka seolah-olah telah tumbuh dari dalam tanah " berkata
seorang petugas sandi, "Sebelumnya kami tidak pernah melihat dan
membahayakan, bahwa prajurit Singasari masih cukup banyak
sehingga mereka berhasil bertahan dan bahkan memberikan
tekanan yang cukup berat kepada kita."
"Itu adalah suatu kelicikan." geram Empu Baladatu, "Jika bukan
para petugas sandi yang terlalu bodoh, maka prajurit Singasari
terlalu cerdik dengan menyamar sebagai orang kebanyakan yang
hidup di padukuhan-padukuhan. Sebagaian dari penghuni yang
sebenarnya justru telah mereka ungsikan dan mereka masukkan
dalam barak-barak di dalam Kota Raja Sementara padukuhan yang
mereka tinggalkan, telah menjadi daerah pertahanan yang tersamar
dan kuat." Para pengikutnya pun merasa bahwa kesalahan para
pengamatan dan petugas sandilah yang sebenarnya telah membuat
seluruh pasukannya yang besar dan kuat itu mengalami kesulitan.
Tetapi seperti Empu Baladatu, mereka masih berusaha untuk
menghindari pertentangan di antara mereka sendiri.
"Sekarang, kita harus mengambil sikap. Seperti keadaan lawan
Para Ksatria Penjaga Majapahit 19 Pendekar Rajawali Sakti 39 Dendam Rara Anting Pertarungan Di Planet Iskoort 2
^