Pencarian

Sepasang Ular Naga 6

Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja Bagian 6


harimau lapar di medan pertempuran. Namun kemudian aku tidak
lebih dari seekor harimau tua yang sudah tidak bergigi." Orang itu
berhenti sejenak, lalu, "he, kau si Kuda liar itu?"
Orang itu tersenyum. Katanya, "Apakah kau sekedar menebak
atau kau benar-benar mengenal aku?"
"Kedua-keduanya. Rasa-rasanya aku sudah mengenalmu, dan
karena itu aku telah menebak sebutanmu di antara para Pelayan
Dalam." "Kau benar. Akulah itu."
"Kuda Sempana?"
"Ya, Kuda Sempana."
Beberapa orang terkejut mendengar nama itu. Nama yang telah
lama hilang dari istana. Justru sejak masa Akuwu Tunggul Ametung
masih berkuasa. Bahkan beberapa orang tua-tua masih teringat,
apa yang pernah terjadi, ketika Kuda Sempana masih seorang anak
muda yang perkasa. Ia pernah berusaha melarikan Ken Dedes dari
padepokannya. Namun yang ternyata telah dikehendaki oleh Akuwu
Tunggul Ametung sendiri. Dan kini Kuda Sempana itu tiba-tiba telah muncul kembali.
"Kuda Sempana." Tohjaya bergumam.
"Ya, aku adalah Kuda Sempana. Seorang Pelayan Dalam pada
masa pemerintahan Akuwu Tunggul Ametung."
"Dan apakah yang kau kehendaki sekarang?"
"Aku tidak tahu, apakah yang sebenarnya telah terjadi di dalam
diriku. Aku tidak tahu, perkembangan apakah yang tumbuh di dalam
jiwaku. Namun sekarang, yang aku ketahui bahwa aku berpihak
kepada tuanku Anusapati, putera tuan Puteri Ken Dedes."
316 "Kau pernah menculiknya." tiba-tiba seorang perwira yang lain
berdesis. "Ya. Aku pernah mencintainya. Mungkin ada hubungannya
dengan keputusanku sekarang, bahwa aku berpihak kepada tuanku
Anusapati, putera tuan Puteri Ken Dedes itu."
"Persetan." Tohjaya menggeram, "cepat, selesaikan orang itu."
Panglima Pelayan Dalam itu memang tidak dapat bersabar lagi.
Karena itu, maka ia pun segera bersiap untuk bertempur melawan
orang yang bernama Kuda Sempana itu.
Kuda Sempana pun kemudian mempersiapkan dirinya pula. Sekali
lagi berkata, "Kita berperang tanding. Dan aku ingin melihat, apakah
para perwira di Jaman Singasari yang besar ini lebih baik dari para
perwira pada masa Akuwu Tunggul Ametung berkuasa di sebuah
daerah yang sempit yang disebut Tumapel."
"Persetan. Jangan menyesal kalau kau mati di arena ini seperti
seekor ayam yang mati di dalam arena sabungan."
"Justru aku akan berbangga, bahwa kematianku adalah kematian
seorang prajurit." Panglima itu tidak dapat menahan hatinya lagi. Tiba-tiba saja ia
menyerang Kuda Sempana dengan sepenuh kemampuannya.
Tetapi Kuda Sempana pun telah bersiap pula. Dengan
tangkasnya ia berhasil menghindar dan bahkan kemudian iapun
telah menyerang kembali dengan cepatnya.
Sejenak kemudian keduanya telah terlibat di dalam perkelahian
yang seru. Prajurit-prajurit yang lain bagaikan terpesona melihat
pertempuran yang dahsyat itu. Mereka seakan-akan telah
melupakan, bahwa di antara mereka masih terdapat beberapa orang
pengawal Anusapati yang setia.
Ternyata bahwa Panglima itu benar-benar memiliki kemampuan
bertempur melampaui para prajurit dan Senapati. Ia memiliki ilmu
317 yang dahsyat dan tata gerak yang kadang-kadang di luar
perhitungan. Namun lawannya, Kuda Sempana, telah memperdalam ilmunya
sampai tuntas. Bukan saja olah keprajuritan dengan segala macam
kemungkinannya, tetapi ia adalah murid Empu Sada yang telah
berhasil mewarisi segenap ilmu dan kemampuannya.
Itulah sebabnya, maka Panglima yang berada di puncak jabatan
keprajuritan itu tidak segera dapat menguasainya. Bahkan semakin
lama semakin ternyata bahwa Kuda Sempana masih memiliki
beberapa kelebihan dari padanya.
Berbagai perasaan bercampur baur di dalam hati Panglima itu. Ia
merasa malu jika ia tidak dapat mengalahkan orang yang menyebut
dirinya seorang Pelayan Dalam dari jaman Akuwu Tunggul Ametung.
Namun bagaimanapun juga, akhirnya ia tidak dapat lari dari
kenyataan, bahwa Kuda Sempana adalah benar-benar seorang yang
pilih tanding. Dengan demikian maka pertempuran itu semakin lama menjadi
semakin seru. Panglima Pelayan Dalam itu semakin dibakar oleh
perasaan marah, cemas dan nafsu untuk segera dapat mengalahkan
lawannya. Jika ia sekarang seorang Panglima di dalam masa
kejayaan Singasari tidak dapat mengalahkan hanya seorang Pelayan
Dalam di masa pemerintahan seorang Akuwu kecil bernama Tunggul
Ametung, maka ia tentu akan mengalami penderitaan batin tiada
taranya. Meskipun demikian Panglima itu tidak segera berhasil menguasai
Kuda Sempana. Bahkan semakin lama Kuda Sempana semakin
mendesaknya dan tidak memberinya kesempatan untuk menyerang.
Kuda Sempana lah yang kemudian seakan-akan menguasai
arena. Panglima Pelayan Dalam yang bagi bawahannya dan
kawannya merupakan seorang yang pilih tanding itu, hampir tidak
dapat berbuat apa-apa di hadapan Kuda Sempana, yang hanya
seorang Pelayan Dalam dan yang kemudian menjadi seorang yang
setiap kali datang membawa ayam aduan.
318 Tetapi bagi Tohjaya, persoalannya semakin lama menjadi
semakin jelas baginya. Tentu Kuda Sempana itu dengan sengaja
telah dikirim oleh Anusapati kepadanya. Anusapati ingin mengetahui
apa yang telah terjadi di arena.
"Agaknya kakanda Anusapati telah mencurigai aku selama ini."
berkata Tohjaya di dalam hati, "tetapi kenapa, ia masih bersedia
hadir di arena hari ini" Jika orang itu menyampaikan semua
peristiwa yang ada di arena ini, tentu kakanda Anusapati akan
berkeberatan memenuhi undanganku."
Dalam kebimbangan, Tohjaya yang tidak dapat menahan
perasaannya itu tiba-tiba berteriak, "He Kuda Sempana. Ternyata
bahwa kau sengaja dikirim oleh kakanda Anusapati kemari."
"Ya." Kuda Sempana tidak lagi berusaha untuk menyelubungi
dirinya lagi. Sambil bertempur ia menjawab lebih lanjut, "hamba
adalah utusan Kakanda Anusapati."
"Jika demikian kau adalah seorang kepercayaan yang bodoh.
Akhirnya Kakanda Anusapati terbunuh pula di arena ini."
"Tidak." Kuda Sempana masih sempat berbicara meskipun ia
masih harus bertempur terus, "kakanda tuanku adalah orang yang
paling baik di muka bumi. Hamba telah melaporkan semuanya yang
hamba ketahui. Bahkan kecurigaan hamba terhadap tuanku
Tohjaya. Sebenarnya tuanku Anusapati dapat menghubungkan
semua laporan hamba dengan keris yang tuanku minta kepadanya.
Kemudian undangan tuanku yang tentu sangat aneh ini. Tetapi
tuanku Anusapati sengaja memerangi kecurigaa di dalam dirinya
karena tuanku Anusapati menganggap bahwa tuanku Tohjaya
adalah adiknya sendiri yang selama ini diberinya kesempatan untuk
mengembangkan semua kesenangan, keinginan dan cita-citanya.
Namun dengan demikian kepribadian tuankupun berkembang.
Kepribadian seorang yang dengki dan tamak, sehingga akhirnya
sampai hati membunuh saudara sendiri."
319 "Ia bukan saudaraku. Kakanda Anusapati ternyata bukan
saudaraku. Ia telah membunuh Ayahanda Ken Arok. Aku yakin. Dan
aku telah membalaskan dendam Ayahanda Sri Rajasa."
"Jika demikian maka tuanku harus tahu sebabnya, kenapa tuanku
Anusapati sampai pada kesimpulan untuk membunuh tuanku Sri
Rajasa jika itu benar." Kuda Sempana berhenti sejenak, karena
serangan Panglima itu hampir saja menyambar hidungnya.
"Tunggu." berkata Kuda Sempana kemudian, "beri kesempatan aku
berbicara." "Berikesempatan ia berbicara sebelum ia mati." berkata Tohjaya
kemudian. Panglima itu terhenti sejenak. Tetapi sebenarnya kesempatan itu
sangat menguntungkannya. Ia dapat menarik nafas sepuas-puasnya
dan sedikit beristirahat, karena tenaganya sudah mulai susut.
"Cepat katakan, apa yang telah dilakukan kakanda Anusapati."
"Bukan yang dilakukan oleh tuanku Anusapati, tetapi oleh tuanku
Sri Rajasa. Tuanku harus mengetahuinya bahwa sebenarnya tuanku
Anusapati bukan kakanda tuanku. Tetapi kakanda Anusapati adalah
putera Akuwu Tunggul Ametung."
"Aku sudah tahu, aku sudah tahu." teriak Tohjaya.
"Dan apakah tuanku sudah tahu, kenapa tuanku Tunggul
Ametung terbunuh." "Kebo Ijo membunuhnya."
"Tidak. Kebo Ijo sekedar korban fitnah ayahanda tuanku Sri
Rajasa. Yang membunuh ayahanda tuanku Anusapati adalah Ken
Arok yang kemudian bergelah Sri Rajasa Batara Sang Amurwabumi."
"Bohong." "Bertanyalah kepada ibunda tuanku Ken Umang. Tentu ayahanda
pernah berceritera kepadanya, karena tuan puteri Ken Umang
merupakan tumpuan perasaan tuanku Ken Arok setelah ia
melupakan tuan puteri Ken Dedes. Dan sebaiknya tuanku
320 mengetahui, bahwa kekuasaan atas Tumapel saat itu tidak ada pada
tuanku Ken Arok yang bergelar Sri Rajasa tetapi ada pada tuan
puteri Ken Dedes, sehingga tuanku Anusapati lah yang berhak atas
tahta dari Singasari yang merupakan kelanjutan dari Tumapel.
Sepeninggal tuanku Anusapati, maka keturunannyalah yang berhak
atas tahta, atau putera Sri Rajasa yang lahir dari tuan puteri Ken
Dedes. Tidak dari tuan Putri Ken Umang yang diketemukan oleh
tuanku Sri Rajasa di dalam perburuan dengan cara yang paling hina,
sehingga lahirlah tuanku Tohjaya."
Wajah Tohjaya menjadi merah padam. Rasa-rasanya telinganya
telah tersentuh bara api tempurung. Karena itu dengan gigi
gemeretak ia berteriak. "Bunuh orang gila itu."
Tetapi Kuda Sempana masih sempat tertawa. Katanya,
"seharusnya aku sudah mati sejak lama. Tetapi Mahisa Agni yang
mempunyai hak untuk membunuhku karena seribu alasan tidak
melakukannya. Karenanya itu, jika aku sekarang mati maka aku
masih harus mengucapkan terima kasih kepada Mahisa Agni itu."
Suara Kuda Sempana terputus. Panglima itu menyerangnya
dengan garang. Namun Kuda Sempana masih sempat mengelak.
Perkelahian itupun kini terulang kembali dengan dahsyatnya.
Namun karena Panglima itu tidak akan dapat berhasil mengalahkan
Kuda Sempana, maka Tohjaya pun berteriak.
"Bunuh orang itu. Aku memerintahkan kepada semua prajurit
yang ada di sini." "He." sahut Kuda Sempana, "tuanku akan menyiksa Panglima
tuanku untuk selamanya" Perasaannya tentu akan terhina karena ia
sudah berjanji atas nama kejantanannya, bahwa ia akan melakukan
perang tanding." "Persetan. Aku perintahkan kepada semua prajurit, Senapati, dan
Panglima yang ada di sini."
321 Kuda Sempana mengerutkan keningnya. Sekilas ia melihat semua
prajurit bersiaga dan bahkan beberapa orang telah maju
mendekatinya. Sekali ia menarik nafas. Namun hatinya telah mapan. Seakanakan
ia melihat maut telah siap untuk menjemputnya. Dan ia tidak
akan lari. Ia sudah siap untuk mati karena menurut perasaannya,
hidupnya sudah cukup panjang. Seperti yang dikatakannya,
seharusnya ia sudah lama mati. Tetapi ia masih tetap hidup sampai
saat itu. Karena itu, maka mati bukan lagi sesuatu yang menakutkan
baginya. Tetapi Kuda Sempana tidak mau mati begitu saja. Ia ingin mati
seperti seorang prajurit. Rasa-rasanya ia kini kembali menjadi
seorang Pelayan Dalam yang ada di medan pertempuran.
Karena itulah maka ketika ia melihat beberapa orang prajurit
mengepungnya, ia justru tersenyum. Namun dalam pada itu, ia
sempat menyilangkan tangan di dadanya. Kuda Sempana masih
sempat membangunkan puncak kekuatannya pada aji yang
diwarisinya dari Empu Sada. Kala Bama.
Beberapa orang terkejut melihat sikapnya. Tetapi mereka tidak
sempat berbuat banyak. Panglima Pelayan Dalam yang sedang
berusaha menangkapnyapun terkejut. Ia mencoba untuk
memusatkan segenap kekuatannya untuk melawan kekuatan yang
tidak dapat diduganya lebih dahulu itu.
Tetapi ia telah terlambat. Sejenak kemudian Kuda Sempana yang
sudah mapan untuk mati itu telah meloncat dan mengayunkan
tangannya kearah Panglima Pelayan Dalam itu.
Yang terjadi adalah sebuah benturan yang dahsyat. Tetapi tidak
seimbang. Kuda Sempana sudah ada di puncak kekuatannya,
sedang Panglima itu sama sekali belum berhasil mengimbanginya,
karena bekalnya memang belum cukup untuk menyogsong aji Kala
Bama yang dahsyat itu. Orang-orang yang menyaksikan benturan itu memalingkan
wajahnya. Mereka melihat tubuh Panglima Pelayan Dalam itu
322 terhempas di tanah, dan tidak sempat lagi untuk menggeliat.
Agaknya tulang belulangnya telah hancur menjadi debu di dalam
tubuhnya. Yang tampak hanyalah darah meleleh dari mulutnya pada
saat ia sudah tidak bernafas lagi.
Sejenak Tohjaya terpesona. Namun kemuidan ia berteriak sekali
lagi. "Bunuh orang gila ini."
Betapapun setiap hati dicengkam oleh kengerian, namun para
prajurit itu pun mengepungnya semakin rapat. Kini yang ada di
antara mereka adalah Panglima Pasukan Pengawal yang memiliki
bekal lebih lengkap dari Panglima Pelayan Dalam untuk melawan
Kuda Sempana. Namun demikian ia masih memerlukan para
Senapati pilihan untuk membantunya.
Kuda Sempana tiba-tiba menjadi liar. Matanya menjadi merah,
dan rasa-rasanya ia telah kehilangan sifatnya yang lembut. Ia
benar-benar telah menjadi seorang prajurit di medan perang
brubuh. Karena itulah, maka iapun segera mengamuk dalam puncak ilmu
Kala Bama. Setiap sentuhan tangannya telah melemparkan
lawannya dan membantingnya jatuh ke tanah tanpa dapat bangun
lagi untuk selama-lamanya.
Dalam pada itu, selagi Kuda Sempana harus berjuang
menghadapi sepasukan prajurit, maka pengawal-pengawal
Anusapati yang setiapun mulai bangkit kembali. Tiba-tiba saja
mereka pun mengayun-ayunkan senjatanya, menyerang siapa saja
yang dekat padanya. Karena itu, maka arena itu pun menjadi semakin kisruh. Korban
berjatuhan satu-satu dengan cepatnya. Tangan Kuda Sempana yang


Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terayun-ayun dalam puncak ilmunya itu bagaikan tangan dewa maut
yang memungut nyawa orang-orang yang dikehendakinya. Sedang
senjata keempat pengawal Anusapati itupun terayun-ayun tanpa
kekang. 323 Namun jumlah lawan mereka jauh lebih banyak. Karena para
prajurit dan Senapati tidak berhasil mendekati Kuda Sempana, maka
merekapun mulai menghujani Kuda Sempana dengan senjata.
Mula-mula Kuda Sempana berhasil menangkis senjata-senjata itu
dan melontarkan kembali ke arah prajurit yang mengepungnya dan
menyambar beberapa orang korban di antara mereka. Tetapi lambat
laun, senjata yang menyerangnya bagaikan hujan yang semakin
lebat. Karena itu, satu-satu senjata-senjata itu mulai menyentuh
tubuhnya. Agnibaya yang melihat semuanya yang terjadi meronta-ronta
sekuat tenaganya. Tetapi ia tidak banyak dapat berbuat. Tangannya
bagaikan dicengkam oleh kekuatan raksasa, karena beberapa orang
prajurit masih saja memeganginya.
Sementara itu, Kuda Sempana semakin lama menjadi semakin
garang. Ia sudah pasrah diri kepada maut yang siap merenggutnya.
Namun justru karena itu, maka iapun menjadi semakin tenang
meskipun senjata yang menyentuh tubuhnya menjadi semakin
banyak. Lukanya menjadi bagaikan arang kranjang. Keringat yang
bercampur warna darah telah membasahi seluruh tubuhnya.
Namun satu demi satu korban di pihak lawannya pun berjatuhan.
Sisa-sisa kekuatan aji pamungkasnya masih berhasil merenggut
beberapa orang korban sebelum kemudian cucuran darahnya yang
tidak terbendung membuatnya semakin tidak berdaya.
Akhirnya, Kuda Sempana menjadi kehilangan segenap
kekuatannya. Pukulannya yang terakhir dengan kekuatan puncaknya
masih menyentuh Panglima Pasukan Pengawal. Tetapi kekuatan
puncaknya itu sudah susut, sehingga akibatnya pun tidak terlampau
parah bagi lawannya, meskipun Panglima itupun terdorong
beberapa langkah surut dan hampir tidak berhasil mempertahankan
keseimbangannya. Namun dengan mengerahkan segenap kemampuannya itu, Kuda
Sempana telah melepaskan segenap sisa tenaga yang ada padanya.
324 Disaat terakhir Kuda Sempana masih melihat seorang dari
keempat pengawai yang setia kepada Anusapati itu mengayunkan
senjatanya, namun iapun segera jatuh menelungkup dengan luka
tidak terhitung jumlahnya. Meskipun mereka adalah pengawal
pilihan, tetapi mereka tidak mampu melawan prajurit yang
jumlahnya berlipat ganda.
Dorongan ujung tombak seorang Senapati telah mendorong Kuda
Sempana yang lemah itu. Sejenak ia menggeliat. Namun kemudian
iapun tertelentang di tanah dengan lemahnya.
Tetapi Kuda Sempana masih sempat tersenyum melihat para
prajurit yang mengerumuninya dengan senjata telanjang. Bahkan ia
masih dapat berkata, "Nah, bukankah kau lihat, bahwa seorang
Pelayan Dalam pada masa Akuwu Tunggul Ametung jauh lebih baik
dari Panglima di masa kini?"
Tidak seorang pun yang menjawab. Beberapa orang menjadi
termangu-mangu. Namun mereka kemudian melihat Kuda Sempana
memejamkan matanya. Seperti Sumekar, adik seperguruannya, Kuda Sempana merasa
bahwa ia telah memberikan pengorbanan dengan nyawanya bagi
keturunan Ken Dedes yang dianggapnya memang berhak atas tahta
Singasari. Tetapi lebih daripada itu, Kuda Sempana merasa berdosa,
karena ialah sumber malapetaka yang sebenarnya bagi Ken Dedes.
Jika ia tidak tergila-gila kepada gadis itu dan mengambilnya dari
Panawijen, sebagai ternyata berakibat kematian Wiraprana, maka
Ken Dedes tidak akan mengalami kepahitan hidup yang seolah-olah
tidak kunjung berakhir. Karena itu, kematiannya seakan-akan merupakan sebagian
tebusan bagi dosanya itu.
Meskipun demikian, di saat terakhir itu Kuda Sempana tidak
dapat lagi menghindari penyesalan yang mendalam. Bahwa
semuanya itu harus terjadi.
Namun demikian, meskipun terlambat, rasa-rasanya ia telah
mengurangi dosa yang pernah dibuatnya atas Ken Dedes dan
325 Mahisa Agni. Karena itulah, maka seakan-akan di dalam saat
terakhir dari hidupnya itu, ia masih sempat tersenyum.
Kematian Kuda Sempana di arena itu, benar-benar telah
menggemparkan. Berita tentang kehadirannya segera tersebar
sampai keujung kota. Kuda Sempana, seorang Pelayan Dalam pada
masa pemerintahan Akuwu Tunggul Ametung, telah terbunuh di
halaman istana bersama dengan tuanku Anusapati.
Namun pada saat berita itu tersebar, prajurit yang berpihak
kepada Tohjaya benar-benar telah berhasil menguasai seluruh kota
Singasari dan sekitarnya.
Maka berlakulah satu lagi kutuk Empu Purwa dari Panawijen atas
orang-orang yang melarikan anaknya. Bahwa mereka akan mati
ditikam dengan keris. Pada Kuda Sempana bukan saja luka oleh
keris yang menyobek dadanya, tetapi lukanya yang arang kranjang
itu adalah bekas luka oleh segala jenis senjata.
Rasa-rasanya Agnibaya akan pingsan melihat peristiwa itu. Tetapi
ia masih berhasil untuk tetap mempertahankan kesadarannya.
Meskipun ia masih sangat muda, namun ia berhasil menghubungkan
peristiwa yang baru saja terjadi dengan prajurit-prajurit yang
banyak berkeliaran di halaman istana. Bahkan ketika ia akan pergi
ke arena sabung ayam ini pun, dua orang prjurit telah
mengawalnya. Berita kematian Anusapati itu benar-benar telah menggemparkan
Singasari. Terlebih-lebih lagi seluruh isi istana. Para emban,
pemimpin pemerintahan yang tidak ikut serta di dalam perencanaan
yang ternyata cukup matang. Terapi mereka tidak dapat berbuat
apa-apa. Istana Singasari bagaikan di pihak Tohjaya. Terutama para
Pelayan Dalam dan Para Pengawal.
Ketika Ken Dedes mendengar berita itu, ia tidak dapat menahan
kejutan yang seakan-akan menghantam dadanya. Sesaat ia
memegangi dadanya, namun iapun kemudian jatuh pingsan di
pembaringannya. 326 Para emban dan hamba-hambanya menjadi bingung. Mereka
berlarikan kian kemari. Orang-orang yang agak mengerti tentang
obat-obatan pun segera berusaha membangunkan Ken Dedes.
Minyak kelapa, kunir dan jahe. Beberapa jenis akar dan dedaunan.
Yang lain memijit-mijit kakinya dan di bawah telinganya sebelah
menyebelah. Namun dalam kekisruhan itu, seorang emban yang sudah
menjadi semakin tua menangis dengan nada yang sangat pedih. Ia
adalah pemomong Anusapati yang kemudian berada di bangsal Ken
Dedes. Anusapati baginya tidak kurang dari anaknya sendiri. Ia
sudah berkhianat kepada Ken Umang, dan mengasuh Anusapati
sebaik-baiknya sejak kanak-kanak. Ia tidak mampu memaksa dirinya
untuk membentuk anak itu menjadi seorang yang dungu dan bebal.
Bahkan ia tidak dapat berkhianat meskipun ia tahu bahwa Anusapati
mendapat banyak pengaruh dan ilmu dari pamannya Mahisa Agni,
meskipun emban itu pernah mendengar siapakah sebenarnya
Mahisa Agni itu dari Jun Rumanti, ibu Mahisa Agni yang menjadi
emban pemomong Ken Dedes.
Kini Anusapati itu terbunuh.
Belum cukup lama ia duduk di atas tahta. Namun agaknya ia
harus menerima pembalasan dendam dari adiknya, Tohjaya. Yang
Sebenarnya telah diketahuinya, bahwa antara Anusapati dan
Tohjaya itu tidak ada sangkut pautnya kekeluargaan sama sekali.
"Itulah bedanya tuanku Anusapati dengan tuanku Sri Rajasa."
berkata emban itu di dalam hatinya seperti banyak orang yang
berkata demikian pula kepada diri sendiri. "Anusapati tidak dapat
melupakan peristiwa yang menyangkut namanya pada kematian Sri
Rajasa. Tetapi Sri Rajasa dapat berbuat seakan-akan benar-benar
tidak bersalah pada saat kematian Tunggul Ametung."
Tetapi bagaimanapun juga Anusapati sudah tidak ada lagi. Ia
terbunuh bersama keempat pengawalnya yang paling setia dan
Kuda Sempana. 327 Dalam pada itu ketika Ken Dedes mulai menyadari keadaannya,
maka iapun telah terbenam di dalam air matanya yang mengalir
hampir tidak ada hentinya sepanjang hari. Kematian anaknya itu
benar-benar merupakan suatu pukulan yang dahsyat bagi hidupnya.
Ia sudah banyak mengalami penderitaan dan menahan perasaan.
Tetapi kali ini, duka citanya hampir tidak tertanggungkan lagi
sehingga, di dalam sisa hidupnya, rasa-rasanya Ken Dedes sudah
tidak lagi memiliki niat dan kemauan lagi. Ia seolah-olah telah mati
di dalam hidupnya yang pahit.
Demikianlah, perubahan telah terjadi dengan cepatnya di istana
Singasari yang kemudian menjalar ke seluruh kota. Para utusan dan
penghubung, hilir mudik di seluruh kota dan daerah di sekitarnya.
Kuda-kuda yang tegar berlari-larian membawa berita dan perintahperintah
bagi para Senapati yang telah berada di bawah pengaruh
Tohjaya. Ketika seorang Senapati melaporkan kematian Anusapati kepada
Ken Umang, maka ibunda Tohjaya itu tidak dapat menahan gejolak
perasaannya. Tiba-tiba saja suara tertawanya melontar lepas tanpa
dapat dikendalikan lagi, sehingga beberapa orang hambanya
menjadi heran. Suara tertawa itu bagaikan ringkik iblis betina yang
mendapatkan korban sesajian beberapa sosok mayat yang baru.
"Aku akan menguasai seluruh Singasari." katanya di sela-sela
tertawanya, "dan anakku akan menjadi Maharaja sangat dihormati
melampaui anak Ken Dedes, gadis Panawijen yang dungu itu. Ia
menganggap bahwa dirinya masih saja seorang ratu sampai saat
terakhir tubuhnya menjadi kurus kering dimakan penyakit. Kini ia
harus tahu, bahwa akulah yang berkuasa. Bukan gadis Panawijen
itu. Kakaknya tidak akan dapat lagi menyombongkan dirinya,
menghinakan aku sejak aku masih seorang gadis yang sangat
cantik. Ia harus segera dipanggil dari Kediri, bersimpuh dan
mencium kakiku sebagai permintaan maaf atas kesombongannya.
Tetapi ia tidak akan dapat lagi berbuat apa-apa terhadapku
sekarang, karena aku adalah seorang yang paling berkuasa, ibunda
Maharaja Singasari yang besar."
328 Dan suara tertawa Ken Umang pun mengumandang di seluruh
bangsal. Berkepanjangan bagaikan gelombang laut yang tidak
hentinya melanda pantai. Susul menyusul, sehingga akhirnya
perempuan itu menjadi kelahan, dan terduduk dengan lemahnya di
atas pembaringannya. "Minum, ambilkan aku minum." Ken Umang berteriak.
Seorang emban dengan tergesa-gesa bergeser surut untuk
mengambil mangkuk minuman.
"Cepat, he, Cepat. Aku sekarang berkuasa melampaui permaisuri
itu. Aku wenang berbuat apa saja atas nama anakku yang akan
menjadi Maharaja di Singasari."
Emban itupun menjadi gemetar. Justru karena ia menjadi sangat
tergesa-gesa, maka di luar bilik iapun tergelincir jatuh. Dengan
tertatih-tatih ia segera bangkit dan berlari-lari mengambil mangkuk
minuman Ken Umang. Pada hari itu juga. Tohjaya benar-benar telah duduk di atas
Tahta Singasari. Ia mengadakan paseban Agung yang pertama, dan
mengangkat dirinya sendiri menjadi Maharaja di Singasari.
Tidak seorang pun dapat melawan kehendaknya. Di luar paseban
prajurit segelar sepapan berbaris lengkap dengan senjata telanjang.
Demikian pula di setiap regol istana dan hilir mudik di jalan-jalan
kota Singasari yang justru menjadi sangat sepi.
Namun, Tohjaya tidak dapat memaksa setiap hati untuk
menyetujui s ikapnya meskipun untuk sementara mereka harus tetap
diam. Sementara itu seekor kuda yang berwarna putih bagaikan
terbang di jalan-jalan padesan, mengambil jalan memintas dan
bahkan menyusup hutan-hutan perdu menuju ke Kediri.
Penunggangnya seorang yang menjelang usia lanjutnya dengan
tangkas mengemudikan kudanya yang lari bagaikan dikejar hantu.
"Aku harus datang mendahului setiap utusan dari Singasari."
berkata orang itu. 329 Dengan demikian, maka orang itu seakan-akan tidak beristirahat
sama sekali selain memberi kesempatan kudanya minum beberapa
teguk dan sedikit rerumputan yang hijau yang tumbuh di tanggultanggul
parit di pinggir jalan. Ketika malam menjadi semakin kelam, ia sampai di regol istana
Penguasa yang mewakili Maharaja Singasari di Kediri, hatinya terasa
bergetar semakin cepat. Meskipun regol itu nampak sepi, namun di
dalamnya api yang setiap saat dapat menyala dan membakar
seluruh Singasari. "Aku harus menemukan kata-kata yang paling baik untuk
menyampaikan berita ini." berkata orang itu di dalam hatinya.
Dengan ragu-ragu orang itu pun kemudian mendekati regol
istana yang besar itu. Perlahan-lahan ia mengetuk pintunya yang
tertutup. Seorang kemudian menjengukkan kepalanya pada sebuah lubang
di regol itu sambil bertanya, "Siapa?"
Orang itu termangu-mangu sejenak, namun kemudian ia tidak
mau membuang-buang waktu lagi. Katanya, "Aku Witantra. Aku
ingin menghadap tuanku Mahisa Agni."
"Dimalam hari begini?"
"Ya. Ada persoalan yang penting sekali."
"Tunda sampai besok. Tuanku Mahisa Agni tentu sedang tidur
nyenyak." "Maaf. Ada persoalan yang penting sekali meskipun persoalan
keluarga. Aku datang dari Panawijen."
"Tunda sampai besok." terdengar suara yang lain lagi.
"Jika tertunda sampai besok, maka aku akan dimarahinya.
Bahkan mungkin kepalaku akan dapat dipenggalnya. Persoalan
keluarga ini sudah diserahkan kepadaku. Jika persoalan yang
penting ini terjadi, kapanpun, siang atau malam, aku harus
menghadap dan memberitahukan kepadanya. Jika tidak, aku akan
330 mati sia-sia. Meskipun umurku sudah mendekati saat kelam, tetapi
aku tidak ingin mati dicekiknya."
Para penjaga itu berpikir sejenak, lalu, "Siapa namamu?"
"Witantra. Jika kalian menyampaikan nama itu kepada tuanku
Mahisa Agni, maka aku tentu akan diijinkannya menghadap. Justru
karena pesan tuanku Mahisa Agni sendiri."
Sejenak Witantra menunggu. Ketika ia mendengar regol itu
berderit dan terbuka, hatinya menjadi sedikit lega.
Seorang yang bertubuh tinggi kekar, yang agaknya menjadi
pemimpin penjaga yang bertugas malam itupun mendekatinya dan
berkata, "Apakah kau salah seorang anggauta keluarganya."
"Ya. Aku adalah kakak sepupunya. Aku masih tetap tinggal di


Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

padepokan Panawijen."
"Masuklah. Tunggulah di regol sebentar. Biarlah para pelayan
menyampaikannya. Tetapi jika kau berbohong, dan tuanku Mahisa
Agni menjadi marah, kau pun akan mengalami perlakuan yang
buruk sekali dari kami."
"Baiklah. Aku bersedia menanggung semua akibat."
Witantra itupun kemudian dibawanya masuk dan dipersilahkan
menunggu di regol itu setelah mengikat kudanya pada sebatang
pohon perdu di sebelah regol itu.
Tidak banyak yang dibicarakan dengan para penjaga. Sedang
seorang penjaga yang ditugaskan masuk kebagian belakang istana
itu dan berbicara dengan seorang pelayan.
"Biarlah seorang emban menyampaikan."
"Hus." desis pelayan itu, "tidak ada seorang emban pun yang
boleh masuk di malam hari."
"O." prajurit itu mengangguk-anggukkan kepalanya. "Jadi."
"Kenapa tidak menunggu sampai besok?"
331 "Orang itu memaksa. Kami menjadi kasihan melihatnya, jika tidak
disampaikannya berita yang dikatakannya sangat penting itu, ia
akan dapat dicekik oleh tuanku Mahisa Agni. Karena, baiklah kita
mencoba." Pelayan itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
"Baiklah. Biarlah berita ini disampaikan. Jika tidak kebetulan ada
hantu lewat, tuanku Mahisa Agni biasanya tidak marah."
"Ya. Karena kami mengetahui bahwa bukan kebiasaannya cepat
menjadi marah, maka kami berani menerima keluarganya itu di
malam hari." Demikianlah, seorang pelayan telah membangunkan Mahisa Agni
meskipun dengan ragu-ragu.
Ketika Mahisa Agni mendengar pintu biliknya diketuk, ia terkejut
bukan kepalang. Tiba-tiba saja ia sudah meloncat dan berdiri tegak
di s isi pembaringannya. Namun sesaat kemudian iapun menarik nafas dalam-dalam.
Bahkan kemudian diusapnya wajahnya yang berkeringat.
"Aku mimpi buruk." katanya di dalam hati. "Tetapi ketukan pintu
itu benar-benar aku dengar."
Karena iu, maka iapun bertanya, "Siapa di luar?"
"Hamba tuanku."
Karena itu, maka iapun bertanya, "Siapa di luar?"
"Seseorang telah memaksa menghadap tuanku malam ini.
Menurut katanya, ada berita yang sangat penting bagi tuanku
Mahisa Agni." Mahisa Agni termangu-mangu sejenak. Ia mencoba untuk
mengingat-ingat, apakah kira-kira yang dapat terjadi dalam waktu
yang dekat. "Tuanku." berkata pelayan itu kemudian, "orang itu mengaku
datang dari padukuhan. Tuanku telah berpesan kepadanya untuk
332 menyampaikan berita yang penting ini pada saatnya. Jika tidak,
orang itu akan mendapat hukuman."
"Apakah harus malam ini?" bertanya Mahisa Agni.
"Ketika para penjaga bertanya kepadanya, maka jika ia terlambat
sampai esok, ia akan dapat digantung."
Mahisa Agni menjadi berdebar-debar. Ia tidak pernah berpesan
kepada siapa pun tentang sesuatu yang sangat penting di
padukuhannya. Namun demikian akhirnya Mahisa Agni bertanya,
"Apakah kau tahu nama orang itu?"
"Menurut pengakuannya, namanya Witantra."
"Witantra." Mahisa Agni mengulang. Namun dalam pada itu
jantungnya serasa berdentangan semakin cepat. Jika benar orang
itu Witantra, apakah ia akan menyebut namanya.
Tetapi dengan demikian, justru ia menjadi sangat tertarik untuk
menerima orang itu. Karena itu maka katanya, "Baiklah. Bawalah ia
ke ruang dalam. Aku akan menerimanya di sana."
"Hamba tuanku."
Mahisa Agni mendengar langkah pelayan itu menjauh. Sementara
itu iapun kemudian berkemas dan pergi ke ruang dalam menunggu
tamunya yang menyebut dirinya bernama Witantra.
Ketika seorang prajurit mengantarkan tamunya itu masuk, maka
sebenarnyalah orang itu Witantra.
"Witantra." Mahisa Agni menjadi berdebar-debar.
Witantra tersenyum. Ia tidak mau melontarkan kesan yang
dengan tiba-tiba telah membuat Mahisa Agni menjadi tegang.
Namun demikian kehadirannya di malam hari itu telah
menumbuhkan persoalan di dalam hati Mahisa Agni.
"Maafkan aku Agni." berkata Witantra sepeninggal prajurit yang
mengantarkannya, "aku memaksa untuk menghadapmu di malam
hari." 333 "Aku tidak berkeberatan Witantra. Tetapi kehadiranmu ini
membuat aku menjadi berdebar-debar. Tentu ada persoalan yang
sangat penting yang ingin kau sampaikan kepadaku. Jika tidak maka
kau tidak akan datang di malam hari begini. Seandainya demikian,
bukanlah kau telah mempunyai pintu tersendiri di belakang?"
Witantra masih saja tersenyum. Katanya, "Kali ini aku datang
dengan kepentingan khusus. Lagipula aku belum memberitahukan
bahwa aku akan datang dengan melalui jalan yang biasa aku lalui
setelah agak lama tidak aku lakukan."
"Aku menjadi berdebar-debar. Sebaiknya kau segera menyebut
keperluanmu itu." Witantra menarik nafas dalam-dalam. Sesaat ia memandang
berkeliling, seakan-akan ingin meyakinkan bahwa tidak ada orang
lain di dalam bilik itu. "Berkatalah Witantra. Tidak ada orang lain yang dapat
mendengar pembicaraan kita dari luar ruangan ini." berkata Mahisa
Agni. Witantra memandang Mahisa Agni sejenak. Kini wajahnya mulai
menjadi berkerut merut dan bersungguh-sungguh.
"Agni." berkata Witantra dengan nada yang dalam dan datar.
"Memang ada sesuatu yang sangat penting yang akan aku
sampaikan kepadamu. Aku kira lebih baik bagimu mendengar dari
mulutku daripada orang lain."
"Kau membuat aku gelisah sekali."
"Baiklah." Witantra termangu-mangu sejenak, lalu, "sebuah
berita sedih dari Singasari."
"He." Mahisa Agni mengerutkan keningnya.
"Ternyata kita telah lengah. Tuanku Anusapati pun telah lengah."
"Maksudmu" Bukankah kolam itu berhasil melindunginya di
dalam tidurnya yang nyenyak di malam hari, sedang di siang hari
tuanku Anusapati akan dapat melindungi dirinya sendiri."
334 "Kau benar Agni. Tetapi jika lawan kita adalah orang-orang
jantan yang berani beradu dada." sahut Witantra.
"Katakan. Katakanlah dahulu apa yang terjadi."
"Tuanku Anusapati telah terbunuh."
"He?" nafas Mahisa Agni bagaikan berhenti mengaili dan
jantungnya serasa berhenti berdenyut.
Sejenak ia diam mematung. Ditatapnya Witantra seakan ingin
melihat langsung ke dalam lubuk hatinya.
"Apakah kau bergurau Witantra?" bertanya Manis Agni kemudian.
"Kali ini tidak Agni."
Mahisa Agni tiba-tiba menjadi gemetar. Dengan suara yang
dalam ia bergumam, "Katakanlah yang telah terjadi."
Witantrapun kemudian menceriterakan apa yang telah terjadi,
yang didengarnya dari orang-orang yang menyaksikan peristiwa itu
di arena sabung ayam. Anusapati terbunuh bersama pengawalpengawalnya
yang setia dan Kuda Sempana.
Mahisa Agni menekan dadanya dengan telapak tangannya.
Seakan-akan menahan ledakan jantungnya, yang hampir tidak
dapat ditahankannya lagi.
"Jadi hal itu telah terjadi?" ia bergumam.
"Ya. Dengan licik sekali."
"Kuda Sempana dan pengawal-pengawal yang malang. Mereka
telah mengorbankan nyawanya. Tetapi keadaan sama sekali tidak
akan dapat ditolong lagi."
Mahisa Agni menundukkan kepalanya dalam-dalam. Terasa
tenggorokannya menjadi panas. Kecemasannya tentang
keselamatan Anusapati ternyata kini telah terjadi betapapun sudah
diusahakan untuk melindunginya. Dengan pengawal-pengawal yang
setia, dengan kolam di seputar bangsalnya dan dengan usaha-usaha
yang lain. Namun agaknya Anusapati sendiri selalu dikejar oleh
335 perasaan bersalah karena kematian Sri Rajasa, sehingga karena itu
justru tidak dapat berbuat sesuatu untuk menolak permintaan
Tohjaya. Ia sudah memberikan keris Empu Gandring kepadanya.
Kemudian memenuhi undangannya di arena sabung ayam yang
kisruh. "Mahisa Agni." berkata Witantra kemudian, "kau adalah orang
yang paling dekat dengan Anusapati sejak ia masih anak-anak.
Setiap orang kini mengetahui bahwa kau adalah gurunya. Karena itu
di dalam pergolakan ini kau harus dapat menempatkan dirimu."
"Aku menyadari Witantra." sahut Mahisa Agni, "aku harus
memilih tindakan yang paling tepat. Sebenarnyalah bahwa aku tidak
rela membiarkan Anusapati mati terbunuh dengan cara yang sangat
licik itu." "Apakah yang akan kau lakukan itu."
"Kabut yang gelap akan menyelubungi Singasari untuk beberapa
saat lamanya." berkata Mahisa Agni kemudian, "yang terjadi itu
tentu akan terasa juga akibatnya bagi Kediri. Bukan saja prajuritprajurit
Singasari yang ada di Kediri, tetapi bagi keluarga
bangsawan-bangsawan Kediri."
Witantra mengangguk-anggukkan kepalanya. Dengan ragu-ragu
ia pun bertanya, "Apakah kau akan tetap berada di Kediri dan
berbuat sesuatu?" Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya Witantra
sejenak, lalu, "Aku harus memilih Witantra. Apakah aku akan
memanjakan perasaanku yang bergejolak ini, atau aku harus
mengingat kepentingan Singasari dan hari depannya. Jika aku
memanjakan perasaanku, dan bukannya sekedar sikap yang
sombong dan tidak berperhitungan apabila aku aka dapat membuat
kekuatan tandingan bagi Tohjaya. Aku dapat membangunkan Kediri
yang sedang tidur ini. Aku masih mempunyai modal. Prajurit
Singasari yang setia, yang kini berada di Kediri dan prajurit-prajurit
Kediri yang sampai saat ini masih tetap ada meskipun kekuatannya
sangat kecil. Tetapi aku masih sanggup membangun suatu pasukan
336 yang kuat, yang dapat membendung kekuatan Tohjaya yang tentu
tidak akan dalam waktu yang sangat singkat, menguasai seluruh
pasukan. Jika ada pihak yang berdiri berseberangan dengan
kekuasaannya, maka aku kira masih banyak prajurit yang bersedia
membantu." Mahisa Agni berhenti sejenak, lalu, "namun dengan
demikiai Singasari akan terpecah belah. Negeri yang sebenarnya
sudah mulai berkembang ini akan berserakan kembali."
"Jadi apakah yang akan kau lakukan" Jika sekiranya Tohjaya
memanggilmu menghadap, apakah kau akan datang?"
"Aku akan dihadapkan ke tiang gantungan." sahut Mahisa Agni,
"aku adalah pendukung yang paling baik bagi Anusapati bukan saja
karena aku mempunyai sikap dan pandangan yang sama bagi
Singasari, tetapi aku adalah pamannya aku adalah gurunya dan
akulah yang selama ini berdiri di belakangnya di dalam perang yang
berlangsung dengan diam-diam di istana antara Tohjaya dan
Anusapati." Witantra mengerutkan keningnya. Dilihatnya wajah Mahisa Agni
menjadi tegang. Sesuatu telah membayang di rongga matanya
meskipun tidak dikatakannya kepada Witantra.
Ken Umang bagi Mahisa Agni adalah sesosok hantu betina yang
sangat mengerikan. Justru lebih mengerikan dari Tohjaya sendiri.
Sejak mudanya Ken Umang telah membuatnya gelisah.
Kini Ken Umang memiliki kekuasaan yang tidak terbatas. Bahkan
mungkin melampaui kekuasaan Tohjaya sendiri yang tentu akan
segera mengangkat dirinya menjadi Maharaja di Singasari. Ken
Umang yang mendendamnya itu tentu akan mempergunakan
kekuasaannya untuk memuaskan dirinya sendiri.
"Bahkan mungkin sesuatu yang sangat mengerikan dapat terjadi
atasku." tiba-tiba saja ia bergumam.
Witantra mengangguk-anggukkan kepalanya. Meskipun Mahisa
Agni tidak mengatakan, namun rasa-rasanya getaran di dalam
dadanya terasa juga pada Witantra, karena Witantra mengetahui
337 serba sedikit sikap Ken Umang itu terhadap Mahisa Agni sejak ia
masih seorang gadis. "Witantra." berkata Mahisa Agni kemudian, "keadaan ini sangat
tidak menguntungkan bagi Singasari. Tetapi aku kira, aku akan
dapat mengendalikan diri agar aku tidak ikut merobek-robek
kesatuan Singasari yang masih ada."
"Jadi kau akan menjadi penonton saja setelah ini?"
"Bukan maksudku Witantra." jawab Mahisa Agni, "aku masih
harus melihat apa yang dilakukan oleh Tohjaya. Jika yang dilakukan
oleh Tohjaya akan menguntungkan Singasari, maka apaboleh buat.
Aku hanya sebutir debu di atas tanah ini. Aku sama sekali tidak
berarti dibandingkan dengan kepentingan Singasari yang besar.
Karena itu jika Tohjaya kelak dapat memimpin Singasari dengan
baik, biarlah, aku tidak berbuat sesuatu."
"Lalu bagaimana dengan tuan puteri Ken Dedes dan puteraputeranya
yang lain?" "Sikap Tohjaya terhadap mereka termasuk penilaianku atasnya.
Apakah ia seorang yang berjiwa besar atau berjiwa kerdil."
Witantra menarik nafas dalam-dalam. Sekilas terbayang betapa
pahit penderitaan yang harus dialami oleh, Ken Dedes sepeninggal
Anusapati justru karena Witantra mengenal sifat dan watak Ken
Umang. Karena itu maka ia berdesis. "Apakah kau sampai hati
membiarkan tuanku Ken Dedes di dalam kepedihan dan
menanggungkannya sendiri?"
"Aku harus mempertimbangkan, Witantra." berkata Mahisa Agni,
"tetapi jika aku datang ke Singasari dan digantung di alun-alun,
maka ia akan menjadi semakin menderita. Karena itu, biarlah aku
tetap hidup. Aku akan menilai sikap dan perbuatan Tohjaya,
terutama bagi Singasari. Jika ia berjalan di atas jalan yang sesat,
adalah kuwajiban kita bersama untuk menyelamatkan Singasari.
Tetapi jika ia berhasil mengendalikan pemerintahan seperti
338 ayahandanya Sri Rajasa, biarlah aku menekan perasaan dalamdalam,
karena sebenarnyalah bahwa kepentingan Singasari jauh
lebih besar dari dendam dan kebencian di dalam hatiku."
Witantra menarik nafas dalam-dalam. Ia menjadi semakin hormat
kepada Mahisa Agni atas sikapnya. Sebenarnya ia dapat berbuat
banyak untuk menentang kekuasaan Tohjaya. Bahkan jika Mahisa
Agni menghendaki, ia dapat membangun Kediri yang besar, yang


Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memang sudah didasari oleh perasaan dendam kepada Sri Rajasa di
Singasari. Apalagi yang kini menjadi Maharaja di Singasari adalah
anak Sri Rajasa dari isterinya yang kedua.
Mahisa Agni adalah orang yang mumpuni. Ia mempunyai banyak
kawan dan pengikut, baik di Kediri maupun di Singasari.
Tetapi Mahisa Agni memandang kepentingan Singasari lebih
besar daripada dendam yang melonjak di hatinya.
"Baiklah Mahisa Agni." berkata Witantra, "aku tidak mau
membakar hatimu yang tetap dingin menghadapi persoalan yang
sebenarnya cukup mengguncangkan Singasari. Agaknya kau
memang berjiwa besar, dan sejak mula-mula kau tampil di dalam
pergaulan dari yang paling sempit sehingga yang paling luas seperti
sekarang ini, kau tidak dikendalikan oleh pamrih pribadimu. Ketika
aku belum mengenal sifatmu dengan baik, hampir saja aku
kehilangan akal karena kau pernah mengalahkan Mahendra di dalam
perang tanding memperebutkan Ken Dedes. Tetapi kau tidak
berkelahi atas namamu sendiri, tetapi atas nama orang lain,
Wiraprana. Dan sekarang sifatmu yang seperti itu aku lihat lagi.
Betapa kau dilanda oleh kekecewaan dan dendam karena kematian
kemenakanmu itu, namun kau masih dapat melihat dengan terang,
bahwa kepentingan Singasari ada di atas segala kepentingan."
"Tentu aku mempunyai pamrih pribadi Witantra. Tetapi sudahlah.
Jangan memuji. Aku hanya sekedar tidak ingin melihat perang
berkecamuk lagi di atas Singasari yang baru tumbuh kembali setelah
terguncang karena terbunuhnya Sri Rajasa. Muda-mudahan
kematian Anusapati merupakan bebanten yang justru membuat
Singasari bertambah kuat."
339 "Apakah kau benar-benar bermaksud demikian?"
"Kau menguji aku Witantra. Tetapi sudah barang tentu aku harus
memilih salah satu di antara dua. Perasaanku atau nalarku. Aku
dapat bersikap jujur terhadap perasaanku, bahwa sebenarnya aku
memang mendendam. Aku tidak rela Anusapati terbunuh. Aku tidak
rela melihat Tohjaya duduk di atas tahta. Apalagi aku merasa bahwa
aku mempunyai kekuatan. Tetapi jika aku ingin jujur terhadap
pertimbangan nalarku, maka aku harus menahan diri. Dan kau tentu
mengerti, bahwa demikianlah isi dari hidup kita ini. Pertentangan
yang tidak kunjung berakhir. Baik di dalam diri kita sendiri sebagai
suatu dunia kecil maupun di dalam hidup kita di dalam dunia yang
besar. Peperangan demi peperangan telah terjadi. Dan hampir
setiap pihak mengatakan bahwa peperangan itu terpaksa dilakukan
justru melindungi perikemanusiaan, sedang di dalam setiap
peperangan maka perikemanusiaan itu telah dikorbankan."
Witantra menarik nafas dalam-dalam. Ia sendiri bagaikan terjun
ke dalam pusaran air yang memutarnya tanpa arah, menurut tepi
sebuah lingkaran tanpa ujung dan pangkal.
Bahkan di luar sadarnya ia berdesis, "Sebenarnyalah demikian
Agni. Kehidupan ini selalu dibayangi oleh ketidak pastian sikap dan
perbuatan." "Dan aku telah menentukan sikap yang pasti di dalam ketidak
pastian itu Witantra."
Witantra memandang Mahisa Agni sejenak, lalu, "Baiklah. Kau
tidak akan berbuat apa-apa. Tetapi apakah kau akan tetap tinggal di
istana ini?" "Aku akan menunggu utusan dari Singasari. Menurut
perhitunganku, utusan itu akan segera datang. Mungkin besok,
mungkin lusa." "Jika demikian, aku akan mencoba menyesuaikan diriku dengan
sikapmu Mahisa Agni. Sebenarnya bagiku, hidup di padepokan
terpencil, tidak akan banyak terpengaruh oleh pergantian pimpinan
pemerintahan seperti ini. Tetapi karena hubungan di antara kita
340 sajalah yang membuat aku ikut merasa tersentuh oleh peristiwa
yang mengejutkan ini."
"Sebaiknya kau tetap di sini untuk beberapa hari Witantra. Jika
utusan itu datang, maka aku harus segera mengambil keputusan,
apakah yang akan aku lakukan. Mungkin aku tidak dapat mengelak
lagi untuk menghadap Tohjaya. Tetapi mungkin aku masih
mempunyai pilihan lain atau justru hatiku yang nampaknya kini
tetap dingin itu akan menyala dan membakar perasaanku."
Witantra mengerutkan keningnya. Sebenarnyalah hidup Mahisa
Agni pun tidak luput dari ketidak pastian itu, sehingga yang
dikatakannya sudah pasti itu pun masih bukan suatu kepastian.
Setelah merenung sejenak, maka Witantra pun berkata, "Baiklah
Agni, aku akan tetap tinggal di sini untuk beberapa lama. Bahkan
mungkin tidak lebih dari satu atau dua hari, karena menurut
dugaanku, Singasari tentu akan segera mengirimkan utusan kemari.
Apapun maksudnya." "Ya. Tentu, Dan aku berharap bahwa utusan itu tidak memaksa
aku menjadi gila." Witantra menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak berkata
apapun lagi. Demikianlah maka percakapan merekapun terhenti. Mahisa Agni
mempersilahkan Witantra menempati salah satu bilik di dalam
bangsalnya sebagai Witantra. Tidak lagi dengan diam-diam masuk
lewat pintu butulan. Sedang seorang pelayan telah diperintahkannya
untuk mengurusi kuda Witantra yang masih berada di sisi regol
depan. "He, akan kau bawa kemana kuda itu." bertanya seorang prajurit
penjaga regol. "Ke gedogan." "Bagaimana dengan Witantra itu?"
"Ia akan bermalam di sini atas perintah tuanku Mahisa Agni."
341 Prajurit itu mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian
mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berkata, "Siapakah yang
memberikan perintah membawa kuda itu ke kandang" Witantra atau
tuanku Mahisa Agni."
"Tuanku Mahisa Agni."
Prajurit itu tidak bertanya lagi. Ternyata bahwa tamunya benarbenar
keluarga Mahisa Agni. Apalagi ia mendapat kesempatan untuk
bermalam di bangsal itu pula.
Dihari berikutnya, tidak ada seorang utusanpun yang datang dari
Singasari. Namun berita kematian Anusapati sudah mulai terdengar
di pinggir-pinggir kota. Pedagang yang hilir mudik antara Singasari
dan Kediri membawa berita itu sebagai berita yang diragukan
kebenarannya. Namun demikian Kediripun segera menjadi sibuk
membicarakan. "Dari siapa kau dengar?" bertanya seorang buyut di pinggir kota
kepada seorang pedagang kain beludru dari seberang.
"Orang-orang di Singasari memperbincangkannya."
"Kapan hal itu terjadi?"
"Kemarin pagi."
"Bohong. Jika itu terjadi kemarin pagi, kau tentu belum
mendengarnya, karena saat ini kau sudah ada di sini."
"Setelah mendengar berita itu aku segera kembali. Bahkan aku
berjalan terus di malam hari."
"Meskipun kau berjalan semalam suntuk, sekarang kau belum
akan tiba di sini." "Maksudku, aku tidak berjalan kaki. Aku berjalan terus di malam
hari dengan naik seekor kuda yang tegar dan baik."
Orang itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu, "Tetapi
apakahan benar tuanku Anusapati terbunuh?"
342 "Menurut pendengaranku. Tetapi sudah tentu aku tidak dapat
mengatakan kepastiannya."
Berita itu pun kemudian tersebar sampai ke segenap sudut
Kediri. Orang-orang yang pergi kepasar memperbincangkannya
sehingga seluruh isi pasar mendengarnya. Ketika mereka pulang
maka merekapun menceriterakannya kepada tetangga2 mereka,
sehingga sepadukuhan mendengar pula karenanya.
Seorang prajurit yang mendengar cerita itu pun segera
menceriterakannya di dalam lingkungannya, sehingga akhirnya
seorang pelayan di istana Mahisa Agni pun mendengarnya pula.
Mahisa Agni yang sudah mengetahui peristiwa itu melihat
kegelisahan di kalangan para prajurit. Karena itu ia segera mengerti,
bahwa berita kematian Anusapati telah sampai ke telinga mereka,
lebih cepat dari utusan yang resmi memberitahukan hal itu
kepadanya. Karena itu, maka dipanggillah pemimpin prajurit yang ada di
regol halaman istananya. "Apa yang kalian percakapkan dengan gelisah?" bertanya Mahisa
Agni. Pemimpin prajurit yang sedang bertugas di regol itu ragu-ragu
sejenak. Namun katanya kemudian, "Sebuah berita lewat dendang
pedagang di sepanjang jalan tuanku. Tetapi hamba sudah
memerintahkan agar anak buah hamba menghentikan kabar yang
menggelisahkan itu."
"Berita apakah yang kalian dengar?"
Prajurit itu ragu-ragu sejenak, dan Mahisa Agnipun berkata
selanjutnya, "Jangan ragu-ragu. Katakanlah bahwa kau telah
mendengar berita penting dari Singasari."
Prajurit itu termangu-mangu.
"Bukankah kau mendengar berita dari Singasari tentang tuanku
Anusapati?" 343 "Tuanku sudah mendengarnya?"
"Seperti kau aku mendengar desas-desus. Nah katakanlah apa
yang kau dengar." Dengan ragu-ragu prajurit itu berkata, "Tuanku Anusapati
terbunuh." Mahisa Agni mengerutkan keningnya, lalu, "Siapakah yang
membunuhnya?" Prajurit itu masih tetap ragu-ragu.
"Katakanlah. Aku tahu bahwa bukan kaulah yang membuat
ceritera itu, tetapi desas-desus yang tersebar luas."
"Menurut pendengaran hamba, rakyat Singasari lah yang telah
membunuh tuanku Anusapati."
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Ia mencoba menekan
perasaannya yang justru mulai melonjak. Pada saat ia mendengar
bahwa Anusapati terhunuh oleh Tohjaya dari Witantra, meskipun
dengan susah payah, ia berhasil menguasai perasaannya. Namun
kini rasa-rasanya perasaannya itu telah terungkat kembali. Justru
karena ia mendengar ceritera yang tidak benar sama sekali.
Tetapi Mahisa Agni masih tetap bersikap tenang. Dengan nada
yang datar ia bertanya, "Bagaimanakah tuanku Anusapati itu
terbunuh menurut pendengaranmu?"
"Rakyat yang bergolak telah menyerbu ke istana di saat tuanku
Anusapati melihat sabung ayam di arena. Mereka tidak dapat
dicegah oleh para prajurit dan pengawal."
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. "Teruskan."
katanya. Prajurit itu menjadi ragu-ragu. Bahkan ia bertanya, "Tetapi
tuanku sudah mendengarnya. Apakah pendengaran hamba tidak
sesuai?" "Sebagian besar sesuai. Teruskan."
344 "Setelah rakyat membunuh tuanku Anusapati, pengawalpengawalnya
yang setia dan seorang yang menyebut dirinya
bernama Kuda Sempana, yang mencoba melindungi tuanku
Anusapati dari kemarahan rakyat, maka rakyat itupun kemudian
meneriakkan nama tuanku Tohjaya untuk menggantikan kedudukan
tuanku Anusapati." "Begitu?" suara Mahisa Agni mulai menjadi tegang.
Sambil mengerutkan lehernya prajurit itu menjawab, "Sekedar
menurut pendengaran hamba. Sama sekali bukan pendapat
hamba." Mahisa Agni menyadari hal itu. Karena itu betapapun
perasaannya bergetar, ia masih tetap bersikap tenang.
"Apakah kau percaya?" tiba-tiba ia bertanya.
Prajurit itu termenung sejenak. Ia tidak mengerti arah
pembicaraan Mahisa Agni. Bahkan ia tidak mengerti, dimanakah
sebenarnya Mahisa Agni berdiri.
"Tetapi tuanku Mahisa Agni adalah guru tuanku Anusapati sejak
mudanya." berkata prajurit itu di dalam hati, sehingga karena itu ia
berkata, "Tidak tuanku. Sudah barang tentu hamba tidak percaya.
Hamba tahu bahwa rakyat Singasari mencintai tuanku Anusapati
sejak tuanku Anusapati belum naik ke atas tahta. Sejak tuanku
Anusapati masih sering disebut sebagai Kesaria Putih."
"Tetapi bagaimana hal itu dapat terjadi?" bertanya Mahisa Agni
kemudian. "Hamba tidak dapat membayangkan, apakah sebenarnya yang
telah terjadi." Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Tiba-tiba saja ia
memerintahkan prajurit itu memanggil Senapati tertinggi pasukan
Singasari yang berada di Kediri.
345 Ketika Senapati itu menghadap, maka dipanggilnya pula Witantra
yang memang masih berada di dalam istananya untuk bersamasama
menemui Senapati itu. "Kau adalah Senapati Singasari yang termasuk angkatan yang
tua. Sejak tuanku Sri Rajasa masih seorang prajurit, kau sudah
menjadi hamba di istana Tumapel, meskipun saat itu kau masih
muda sekali." "Hamba tuanku." jawab Senapati itu.
"Tetapi aku kira kau sudah dapat mengenal beberapa orang
pemimpin prajurit Tumapel waktu itu."
"Tentu tuanku. Hamba sudah mengenal beberapa orang
pimpinan prajurit. Hamba kenal juga tuanku Sri Rajasa, yang waktu
itu masih disebut Ken Arok."
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Dan sekarang
kita menjadi semakin tua. Tetapi apakah kau masih dapat mengenal
seseorang yang waktu itu menjadi seorang Panglima di Tumapel."
"Tentu tuanku. Jika aku bertemu dengan para Panglima itu.
Tetapi tidak seorang pun dari mereka yang masih ada beritanya.
Sebagian dari mereka telah meninggalkan istana dan menyepi ke
tempat yang jauh." "Jika tiba-tiba mereka kembali ?"
"Hamba akan mengenalnya."
"Kau kenal Witantra?"
"Witantra." orang itu mengingat-ingat, "O, tentu tuanku. Witantra
adalah Panglima Pasukan Pengawal yang paling terkenal."
"Kau tahu dimanakah ia sekarang tinggal?"
"Tidak tuanku."
"Jika ia berada di s ini?"
346 "Ah." orang itu mengerutkan keningnya. Lalu dipandanginya
Witantra yang tersenyum. "Kenalilah tamuku kali ini."
"Tuan. Tuankah Panglima itu?"


Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Witantra tertawa kecil. Jawabnya, "Ternyata kau tidak dapat
mengenali aku lagi."
"O, jadi tuankah yang bernama Witantra." Senapati itu terdiam
sejenak, lalu, "tentu, sekarang aku ingat. Meskipun tuan menjadi
tua, aku masih tetap mengingat garis-garis wajah tuan. Tentu tidak
dengan segera. Tetapi sekarang aku ingat benar, bahwa tuan
adalah Panglima itu."
Witantra masih saja tertawa. Lalu katanya, "Tetapi aku tidak ada
artinya lagi sekarang. Aku memang sudah lama pergi menyepi."
"Dan tuan muncul kembali di dalam keadaan yang buram ini"
"Apakah yang kau maksud?" bertanya Mahisa Agni.
"Hamba memang akan datang menghadap seandainya tuanku
tidak memanggil hamba. Ada berita yang memanaskan telinga
hamba datang dari Singasari."
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Tetapi ia mengerti bahwa
yang dimaksud oleh Senapati itu tentu berita tentang terbunuhnya
Anusapati. Meskipun demikian ia masih juga bertanya, "Berita
apakah yang kau maksudkan memanaskan telinga itu."
"Apakah tuanku belum mendengarnya?"
"Mungkin sudah. Tetapi jika yang kau maksud lain, maka lebih
baik kau katakan saja."
"Tuan." berkata Senapati itu, "meskipun berita ini bukan berita
resmi, tetapi hamba dapat mempercayainya. Memang mungkin
berita ini sudah jauh menyimpang dari keadaan yang sebenarnya,
namun, bahwa aku melihat asap, tentu ada apinya."
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya.
347 "Tuan. Hamba mendengar berita bahwa rakyat Singasari yang
marah telah membunuh tuanku Anusapati." Senapati itu berhenti
sejenak lalu, "tetapi tentu tidak begitu yang terjadi sebenarnya.
Hamba tahu pasti perasaan rakyat Singasari terhadap tuanku
Anusapati, sehingga karena itu tidak mungkin mereka melakukan
perbuatan itu." "Aku juga mendengar. Dan Witantrapun mendengar."
"Apakah benar seperti berita itu?"
"Bagaimana tanggapanmu sebenarnya."
Senapati itu ragu-ragu sejenak. Dipandanginya Mahisa Agni dan
Witantra berganti-ganti. "Katakanlah tanggapanmu dengan jujur. Aku ingin mendengar
pendapat seseorang yang tidak dipengaruhi oleh tekanan-tekanan
dari atasannya. Aku berjanji, sependapat atau tidak dengan
tanggapanmu, aku tidak akan berbuat apa-apa atasmu."
Senapati itu menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, "tuan,
sebenarnyalah hamba berpendapat, bahwa tentu bukan rakyat
Singasari yang melakukan. Mungkin memang demikianlah yang
kasat mata. Tetapi jiwa dari pembunuhan itu tentu dilakukan oleh
tuanku Tohjaya. Jika benar-benar dugaan hamba, maka sebagian
dari prajurit yang berada di Singasari agaknya telah berada di
bawah pengaruhnya. Seandainya benar rakyat yang membunuhnya,
tentu rakyat yang telah diupahnya pula untuk melakukan
pembunuhan itu sekedar membuang bekas."
Mahisa Agni menganggukkan kepalanya. Dan iapun kemudian
bertanya, "Apakah demikian tanggapan prajurit Singasari yang
berada di Kediri." "Ya. Dan hamba yakin bahwa kami tetap setia kepada tuanku
Anusapati, hambapun yakin bahwa jika tuanku menjatuhkan
perintah, hamba akan bersedia menghimpun kekuatan yang ada di
dalam maupun di luar kota Kediri. Bahkan di sekitar Singasari itu
348 sendiri. Hamba berjanji bahwa hamba akan memasuki kota
Singasari dan menjalankan semua perintah tuan."
Mahisa Agni tidak segera menyahut. Dan karena Mahisa Agni
masih tetap berdiam diri Senapati itu berkata seterusnya, "Kediri
adalah kekutan yang sampai sekarang bagaikan tertidur karena tuan
ada di sini. Tetapi jika kami membangunkannya, maka kekuatan
yang akan kami dapatkan daripadanya akan mengejutkan sekali."
"Terima kasih." berkata Mahisa Agni, "apakah kau yakin bahwa
kau akan dapat merebut Singasari."
"Hamba yakin." "Dengan kekerasan."
"Dengan kekerasan."
"Perang?" Senapati itu termenung sejenak. Ia pun mulai sadar dengan
siapa ia berbicara. Dan mulailah Senapati itu melihat seperti yang
selalu dilihatnya, sikap Mahisa Agni yang lemah.
Sambil menarik nafas dalam. Senapati itu berkata, "Hamba
mengerti apa yang akan tuanku katakan. Kita tidak dapat saling
membunuh di antara kita sendiri."
Mahisa Agni mengangguk. Katanya, "Perang akan membuat
Singasari semakin lemah."
"Tuan. Hamba kadang-kadang tidak mengerti. Kenapa perang
harus terjadi. Tetapi hambapun tidak mengerti, kenapa perang
kadang-kadang tidak dapat dihindari. Bagi kami, para prajurit, lebih
baik membunuh musuh di peperangan daripada kita harus
menyerahkan nyawa kami. Dan hamba tahu, tuanku pun seorang
prajurit, tetapi tuanku tidak berjiwa prajurit, meskipun tuanku
berjiwa kesatria sejati."
"Sudahlah. Jangan menilai aku lagi. Tetapi sebenarnyalah bahwa
yang kau katakan itu telah terjadi. Dan seperti yang kau katakan,
ceritera itu sudah menyimpang dari kenyataan yang sebenarnya.
349 Yang terjadi adalah, bahwa tuanku Anusapati telah dibunuh oleh
tuanku Tohjaya yang selalu dibayangi oleh dendam kepada
kakaknya, karena Tohjaya menuduh Anusapati lah yang telah
membunuh Sri Rajasa. Kemudian terbunuh pula ke empat pengawal
khususnya yang setia dan seorang sahabatku bernama Kuda
Sempana setelah Kuda Sempana berhasil membunuh seorang
Panglima Pelayan Dalam."
"Kuda Sempana?"
"Tentu kau mengenalnya. Ia juga seorang Pelayan Dalam selama
pemerintahan Akuwu Tunggul Ametung. Tetapi ia pernah
meninggalkan tugasnya karena Akuwu mengambil Ken Dedes dari
padanya." Senapati itu mencoba mengingat-ingat. Meskipun tidak jelas
sekali namun lamat-lamat ia dapat mengingatnya.
"Ya, Kuda Sempana. Dimanakah ia berdiri sebelum matinya?"
"Ia berdiri di pihak tuanku Anusapati."
Senapati itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Sambil
memandang ke kejauhan ia berkata, "Sebenarnya masih banyak
sekali orang yang akan berdiri di pihak tuanku Anusapati. Perbuatan
tuanku Tohjaya adalah perbuatan yang sangat berbahaya. Ia tentu
belum dapat meyakini bahwa ia akan dapat mempertahankan
kedudukannya jika mereka yang setia kepada tuanku Anusapati
mengangkat senjata."
"Tetapi apakah kau dapat membayangkan, akibat yang dapat
terjadi karena orang-orang yang setia kepada tuanku Anusapati
akan bertahan. Peperangan besar-besaran akan memecah
Singasari." Mahisa Agni berhenti sejenak, lalu, "orang yang paling
sedih atas kematian Anusapati selain ibunya adalah aku, pamannya.
Tetapi aku tidak akan dapat menangis untuk kesekian kalinya
melihat Singasari menyobek-nyobek dirinya sendiri."
"Jadi maksud tuanku?"
350 "Biarlah yang sudah terjadi. Tetapi kita tidak berarti sama sekali
tidak menghiraukan kelanjutan dari peristiwa ini. Jika Tohjaya
berjalan di atas jalan yang lurus, marilah kita melupakan dendam di
dalam hati, karena Singasari lebih berarti bagi kita daripada
kepentingan yang manapun juga."
Senapati itu menarik nafas dalam-dalam. Lalu, "Aku mengerti
tuanku. Tetapi bagaimanakah kira-kira nasib kita sendiri" Nasib kita
masing-masing. Seandainya tuanku Tohjaya memutuskan untuk
membantai orang-orang yang dianggapnya setia kepada tuanku
Anusapati, apakah kita akan menyerahkan leher kita?"
"Kita sudah bertekad untuk melihat jalan yang akan dilalui oleh
Tohjaya. Jika ia memilih jalan yang menyimpang, maka kita akan
berdiri di atas jalan yang lurus."
Tetapi wajah Senapati itu masih tetap muram. "Mungkin tuanku.
Tetapi mungkin pula kita melihat setelah terlambat. Tentu tuanku
Tohjaya tidak akan melakukannya dengan sekaligus. Tetapi
perlahan-lahan. Hari ini hamba, besok seorang Senapati yang lain,
dan sepekan lagi orang lain lagi, sehingga akhirnya kita akan punah
tanpa kita sadari." Mahisa Agni memandang Senapati itu dengan saksama, lalu,
"Jangan terlampau berprasangka. Marilah kita melihatnya untuk
beberapa saat, sehingga cukup waktu bagi kita untuk menilai."
"Sebelum leher ini dijerat di tiang gantungan."
Mahisa Agni mengerti perasaan Senapati itu. Ia adalah orang
setia kepada Anusapati, tetapi juga mencemaskan nasib dirinya
sendiri. Namun demikian Mahisa Agni berkata, "Baiklah kita tidak
berbuat setelah terlambat. Aku akan melihat semua peristiwa yang
akan terjadi di Singasari. Jika kau masih percaya kepadaku, aku
akan sangat berterima kasih."
Senapati itu terdiam sejenak. Namun kemudian ia berdesis,
"Hamba percaya kepada tuanku."
351 "Terima kasih. Aku berharap, mudahkan Singasari terhindar dari
malapetaka karena kesalahan Tohjaya. Mungkin aku adalah orang
yang berhati lemah. Tetapi aku kira, aku mencintai Singasari lebih
dari segala-galanya." Mahisa Agni terdiam sejenak, lalu, "namun
demikian, kita tidak boleh menunjukkan kekecilan arti kita masingmasing."
"Maksud tuanku?"
"Tentu akan ada sesuatu terjadi. Maksudku perubahanperubahan
yang mungkin cukup besar. Dan akupun tentu akan
dipanggil ke Istana Singasari apapun alasannya."
"Apakah tuanku akan pergi?"
"Mungkin aku akan digantung."
"Sebaiknya tuanku tidak usah pergi."
Mahisa Agni terdiam sejenak, tetapi kemudian, "Aku akan pergi
jika aku dipanggil,"
"Bukankah itu berarti membunuh diri?"
"Tidak. Aku harus meyakini, bahwa aku tidak akan digantung.
Atau aku harus berbuat sesuatu, supaya aku tidak digantung."
"Apakah tuanku akan membawa pengawal segelar sepapan?"
"Hampir seperti itu, tetapi tidak usah mengikuti perjalanan ke
Singasari." "Maksud tuanku."
Suara Mahisa Agni merendah, "Siapkan seluruh kekuatan yang
ada di Kediri. Pasukan Singasari yang ada di Kediri dan sekitarnya
harus kau tarik ke dalam kota. Kemudian kau s iapkan pula pasukan
keamanan yang terdiri dari orang-orang Kediri sendiri, yang
meskipun sedikit, tetapi dapat menambah kebesaran seluruh gelar
perang yang akan kau siapkan di alun-alun."
"Tetapi apakah maksudnya?"
352 "Tidak apa-apa. Kita akan menunjukkan saja kepada utusan dari
Singasari, bahwa kita memiliki kekuatan."
Senapati itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian sambil
tersenyum ia berkata, "Hamba tuanku. Hamba mengerti. Hamba
akan menyiapkan seluruh pasukan di bawah pimpinan hamba.
Pasukan keamanan Kediri pun akan hamba siapkan pula. Sepasukan
prajurit berkuda akan berada di dalam gelar itu pula."
"Hanya beberapa orang."
"Tidak tuanku. Di Kediri ada beberapa ratus kuda tegar yang
dapat kita pinjam." Mahisa Agni tersenyum. Katanya, "Kau benar-benar mengerti
akan maksudku." "Hambapun dapat berlindung pula pada gelar itu."
"Baiklah." tiba-tiba Mahisa Agni berpaling kepada Witantra,
"Sudah saatnya kau menyebut namamu di dalam gelar itu."
Witantra terkejut, lalu, "Apakah ada gunanya?"
"Mudah-mudahan ada." jawab Mahisa Agni.
Witantra mengangguk-anggukkan kepalanya. Sejenak ia
merenungi kata-kata Mahisa Agni, bahwa sudah saatnya ia
menyebut namanya. "Agni." berkata Witantra kemudian, "jika hal ini kau anggap
bermanfaat, aku serahkan saja kepada keputusanmu."
"Baiklah. Kita tidak akan berbuat apa-apa. Tetapi kita pun tidak
akan diam." Demikianlah Senapati itupun mohon diri. Namun ia langsung
menghubungi Perwira-perwira di bawah pimpinannya.
"Kita siapkan semua kekuatan Singasari yang ada di Kediri. Dan
kita ikut sertakan pasukan keamanan Kediri seluruhnya. Setiap saat
mereka akan kita panggil dan kita pasang di dalam gelar di alunalun."
353 Para perwira mengerutkan keningnya, karena mereka masih
belum mengerti, apakah gunanya memasang gelar di alun-alun
Kediri. Tetapi Senapati itu pun kemudian memberikan penjelasan
dengan singkat. Diterangkannya keadaan yang terjadi di Singasari
menurut pendengaran Witantra. Dan bagi Senapati itu, berita itulah
yang paling dapat dipercayainya. Diterangkannya pula rencana
kepergian Mahisa Agni apabila ia dipanggil menghadap oleh Tohjaya
yang tentu sudah duduk di atas tahta kekuasaan Singasari.
"Ketika menunggu pernyataan resmi dari istana yang barangkali
tidak seperti yang terjadi sebenarnya. Tetapi kita sudah menentukan
sikap seperti yang dimaksudkan oleh tuanku Mahisa Agni." Senapati
itu mengakhiri. Beberapa orang perwira menjadi kecewa. Mereka memang
mengenal Mahisa Agni sebagai seorang prajurit yang memiliki ilmu
yang dahsyat, yang dapat mengimbangi kekuatan ilmu Sri Rajasa,
tetapi hatinya selunak hati seorang Pendeta yang menjauhkan diri
dari rasa dendam dan kebencian.
"Tetapi ia tidak akan dapat memimpin pemerintahan yang
berisikan watak dan sifat yang beraneka ragam dari manusiamanusianya."
berkata seorang perwira kepada kawannya.
"Ia akan menekan dadanya, dan mengendapkan kesalahan setiap
orang di dalam hatinya. Ia akan melihat kepada dirinya sendiri,
kenapa orang lain telah melakukan kesalahan. Dan dicarinya sebab
kesalahan orang lain itu di dalam dirinya." sahut kawannya.
Namun perintah itu telah mereka dengar. Mereka tidak akan
melakukan kekerasan dalam bentuk apapun, selain sekedar
menampakkan diri di alun-alun Kediri.
"Kami bukannya prajurit-prajurit yang bersenjata telanjang.
Tetapi kami adalah penari-penari yang harus mempertunjukkan tari
perang dengan senjata di dalam sarungnya." desis seorang perwira
muda yang berjambang hampir sepenuh wajahnya.
354 Senapati itu mengerti, kenapa para perwira di bawah
pimpinannya itu menjadi kecewa. Tetapi ia tidak dapat melanggar
perintah Mahisa Agni. Yang dilakukan kemudian adalah berusaha


Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

untuk meyakinkan mereka agar mereka tidak berbuat di luar
pengawasannya. Namun agaknya Tohjaya tidak segera teringat untuk memberikan
perintah atau memanggil Mahisa Agni. Baru pada hari yang ketiga ia
berbicara tentang pemerintahan Singasari yang ada di Kediri.
"Mahisa Agni harus dipanggil." berkata seorang Panglima yang
merasa dirinya ikut berkuasa.
"Siapakah yang akan pergi memanggil Pamanda Mahisa Agni."
bertanya Tohjaya. "Sekelompok perwira tertinggi." berkata Panglima itu, "Mahisa
Agni adalah orang yang paling berbahaya."
"Apa yang akan kita lakukan atasnya" Menangkapnya?"
"Tuanku." berkata Panglima itu, "kita tidak akan dapat
membiarkan Mahisa Agni berkeliaran. Ia adalah orang yang paling
dekat dengan tuanku Anusapati. Kematian tuanku Anusapati tentu
akan menumbuhkan dendam di dalam hatinya. Dan dendam itu
akan sangat berbahaya bagi Singasari."
"Jadi menurut pertimbanganmu Mahisa Agni harus ditangkap?"
"Dilenyapkan. Ia merupakan duri di dalam pemerintahan tuanku
sekarang." "Apakah ia tidak mempunyai kekuatan?"
"Kita lihat. Kita akan mengirimkan beberapa orang perwira
tertinggi untuk memanggil Mahisa Agni. Tetapi juga mengadakan
pertemuan dengan Senapati yang ada di Kediri."
"Senapati itu tentu berada di bawah pengaruh Mahisa Agni."
355 "Kita dapat menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Singasari
sepenuhnya telah kita kuasai. Karena itu tidak akan ada gunanya
untuk melawan." "Baiklah. Jika demikian, maka kau sajalah yang akan berangkat
menemui pamanda Mahisa Agni dan membawanya kembali ke
Singasari. Kau jugalah yang mendapat limpahan kekuasaanku untuk
menemui Senapati itu."
Tiba-tiba wajah Panglima itu menegang. Katanya, "Kenapa harus
hamba tuanku. Bukankah tugas hamba masih terlampau banyak.
Hamba harus melindungi tuanku dan mengamankan seluruh
Singasari." Tohjaya termangu-mangu sejenak, lalu, "Jadi siapa menurut
pertimbanganmu?" "Panglima Pelayan Dalam yang baru itu."
Tohjaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Ketika ia berpaling
memandang Panglima yang baru, menggantikan Panglima yang
terbunuh oleh Kuda Sempana, dilihatnya wajah Panglima itu
menjadi pucat. Sejenak Tohjaya memandanginya. Tetapi agaknya ia dibayangi
oleh keragu-raguan untuk memberikan perintah kepadanya.
Panglima itu baru saja diangkatnya. Dengan demikian maka Tohjaya
belum mengenal dengan pasti kemampuannya menjalankan
tugasnya sebagai seorang Panglima.
Namun demikian, agaknya pantas juga tugas itu diberikan
kepadanya sebagai ujian di dalam jabatannya yang baru.
Sejenak Tohjaya termangu-mangu. Dipandanginya Panglima
Pelayan Dalam itu sejenak. Kemudian dipandanginya pula beberapa
orang perwira tertinggi yang lain, yang sudah dikenalnya pula
sebagai perwira yang baik dan setia kepadanya.
Karena itu, maka Tohjaya pun kemudian berkata, "Baiklah. Aku
akan memerintahkan beberapa orang perwira tertinggi di Singasari
356 yang akan dipimpin oleh Panglima Pelayan Dalam yang baru aku
angkat." Panglima itu menarik nafas dalam-dalam. Betapa kecut hatinya,
namun ia tidak ingin segera terusir dari jabatannya yang baru saja
diterimanya. Karena itu, dengan menyembunyikan debar di dadanya
ia menyahut. "Ampun tuanku. Hamba tentu akan menjalankan tugas
yang manapun yang dibebankan kepada hamba. Jangankan pergi ke
Kediri sekedar memanggil tuanku Mahisa Agni atau menangkapnya.
Bahkan menjadikan Kediri lautan api, hamba tidak akan ingkar."
"Tentu tidak. Kediri kini merupakan bagian dari Singasari." sahut
Tohjaya, lalu, "tugasmu hanyalah memanggil pamanda Mahisa Agni
dan membawanya menghadap kepadaku. Jika ia menolak,
terserahlah kepadamu. Kau aku beri wewenang mempergunakan
seluruh pasukan Singasari yang berada di Kediri dan sekitarnya."
Panglima itu mengerutkan keningnya.
"Kau dapat membawa panji-panji dengan tunggul kerajaan. Kau
merupakan wakil yang mendapat limpahan kekuasaan dari Maharaja
di Kediri." Tiba-tiba saja Panglima itu membusungkan dadanya. Ia akan
menerima panji-panji dan tunggul kerajaan sebagai bukti limpahan
kekuasaan yang tidak terbatas. Karena itu maka katanya dengan
nada bergetar. "Ampun tuanku. Adalah suatu kebanggaan yang
tiada taranya, bahwa hamba diperkenankan untuk membawa panjipanji
dan tunggul kerajaan. Hamba akan melakukan tugas hamba
sebaik-baiknya. Hamba akan membawa tuanku Mahisa Agni
menghadap." "Adalah wewenangmu. Kau harus membawanya hidup atau
mati." "Hamba tuanku."
"Tentu ia sudah mendengar tentang peristiwa di istana ini.
Mungkin ia justru sudah menyiapkan pasukan. Tetapi panji-panji
dan tunggul kerajaan itu akan menundukkan setiap hati dari
357 prajurit-prajurit Singasari yang ada di Kediri." Tohjaya berhenti
sejenak, lalu, "meskipun demikian, sebaiknya kalian mengirimkan
satu dua orang yang akan memasuki kota lebih dahulu. Jika kota itu
tidak dikelilingi oleh sebuah pertahanan yang kuat, maka kalian
akan aman memasukinya."
Demikianlah maka Panglima Pelayan Dalam diantar oleh
beberapa perwira tinggi dan sepasukan pengawal segera
mempersiapkan diri. Ketika matahari terbit dipagi berikutnya, maka
mereka pun segera berangkat ke Kediri.
Di sepanjang jalan, prajurit-prajurit Singasari itu selalu dibayangi
oleh berbagai macam perasaan. Kadang-kadang mereka berbangga
melihat panji-panji dan tunggul kerajaan. Namun kadang-kadang
mereka menjadi cemas, justru karena mereka mengetahui, siapakah
Mahisa Agni itu. "Tentu prajurit Singasari di Kediri sudah dipengaruhinya."
"Aku belum yakin." berkata Panglima Pelayan Dalam itu, "aku
akan berbicara dengan Senapati tertingginya."
Perwira-perwira yang lainpun hanya mengangguk-anggukkan
kepalanya saja. Namun menurut perhitungan mereka, kekuatan di
Kediri memang tidak akan berani menentang Singasari.
Meskipun demikian sepercik kecemasan masih melekat pula di
dalam hati para prajurit itu. Yang diperhitungkan sampai saat
terakhir adalah kekuatan yang dapat dilihat di Singasari dan
sekitarnya. Tetapi Singasari seluruhnya bukannya kota Singasari
yang sekedar mengelilingi benteng istana.
"Mahisa Agni tidak akan berani berbuat apapun juga." berkata
Panglima itu sambil tersenyum, "sejak dipaseban sebenarnya aku
sudah mempunyai gagasan yang tidak akan salah. Bukankah di
halaman istana masih ada tuan puteri Ken Dedes dan beberapa
orang putera dan puterinya" Nah, apakah yang dapat dilakukan oleh
Mahisa Agni jika tuan Puteri Ken Dedes ada di bawah kekuasaan
kami?" 358 Para perwira yang lain mengerutkan keningnya. Namun sejenak
kemudian merekapun mengangguk-anggukkan kepalanya sambil
tersenyum, "Kau benar. Ken Dedes dan putera-puteranya akan
memudahkan usaha kita menangkap dan membawa Mahisa Agni
menghadap Tuanku Tohjaya."
Panglima Pelayan Dalam itupun kemudian menjadi yakin bahwa
ia akan berhasil. Namun demikian ia masih tetap berhati-hati. Ia
tidak segera membawa pasukannya masuk kota Kediri. Tetapi ia
berhenti dalam jarak yang cukup dan mengirimkan dua orang
petugas sandinya untuk melihat Kediri dari dekat.
"Cepat kembali. Jika kau tidak segera kembali, aku akan
mengambil kesimpulan bahwa kau tertangkap, dan aku akan
mengambil s ikap khusus." berkata Panglima itu, "aku tunggu sampai
bintang gubug penceng tepat berada di atas ujung Selatan."
Kedua orang prajurit sandi itu mendengarkan perintah Panglima
Pelayan Dalam yang baru saja diangkat itu dengan saksama.
Kemudian mereka menganggukkan kepalanya. Salah seorang dari
mereka berkata, "Kami akan melakukan tegas kami sebaik-baiknya.
Sebelum bintang gubug penceng tepat berada di atas ujung Selatan,
aku berdua tentu sudah kembali."
"Cepat. Lakukanlah tugasmu baik-baik."
Kedua orang itupun kemudian mendekati kota Kediri tanpa
membawa kuda sama sekali. Mereka merayap dengan hati-hati
mendekati regol kota. Namun agaknya regol itu nampak sepi. Yang
bertugas tidak lebih dari beberapa orang prajurit seperti hari-hari
yang lewat tanpa ada kesan bahwa telah terjadi perubahan dalam
tata pemerintahan. "Berapa orang?"
"Tidak lebih dari enam orang."
Keduanya merayap semakin dekat. Dibawah lampu minyak yang
redup mereka melihat dua orang berdiri sebelah menyebelah regol
sedang empat orang yang lain berada di dalam gardu. Dua diantara
359 mereka duduk bersandar tiang terkantuk-terkantuk. Agaknya
mereka mendapat kesempatan lebih dahulu untuk tidur, meskipun
hanya sekedar sambil bersandar.
"Kita masuk ke dalam."
"Lewat regol?" "Tidak. Kita akan terlampau banyak menjawab pertanyaanpertanyaan
mereka." "Jadi?" "Kita meloncati dinding batu."
Keduanya pun kemudian bergeser menjauhi regol. Dengan hatihati
mereka merayap semakin maju. Di tempat yang gelap dan
dibayangi oleh rimbunnya batang-batang perdu, maka keduanya
pun kemudian meloncat ke atas dinding yang cukup tinggi.
Ternyata bahwa tidak seorang pun yang melihat mereka. Dengan
leluasa mereka dapat menjelajahi daerah di sebelah dinding batu
itu. Bahkan lewat lorong-lorong yang sempit dan gelap mereka
berhasil melihat beberapa bagian dari Kota Kediri.
"Tidak ada persiapan apapun juga." desis salah seorang dari
mereka. "Ya. Di dekat istana itu pun tidak banyak prajurit yang berjagajaga."
"Bagaimana dengan Istana Mahisa Agni?"
Keduanya pun berhasil mendekati Istana Mahisa Agni.
Ternyata yang mereka lihat adalah keadaan seperti biasanya.
Mereka tidak melihat kesibukan apapun juga. Obor yang terpancang
di muka regol pun adalah obor yang redup, seperti yang dipasang
sehari-hari. Untuk beberapa lamanya mereka mengawasi regol itu. Karena
tidak ada sesuatu yang menarik perhatian, maka salah seorang dari
mereka berkata, "Apakah kau yakin bahwa Mahisa Agni memiliki
360 kemampuan yang sempurna seperti tuanku Sri Rajasa semasa
hidupnya?" "Mungkin sekali." jawab yang lain.
"Aku kurang yakin."
"Maksudmu?" "Memang ia memiliki kelebihan, tetapi tidak lebih dari para
Panglima kita." "Mungkin." Kawannya terdiam sejenak, namun tiba-tiba, "Aku ingin melihat
keadaan di dalam halaman istananya."
"Ah, jangan mencari perkara."
"Kau takut?" "Bukan takut. Tetapi kita sedang mengemban tugas. Jangan
melakukan hal-hal yang tidak ada manfaatnya. Mungkin akan dapat
mendapatkan bencana."
Kawannya tidak menyahut. Namun ia mengerti keberatannya
sehingga karena itu, maka ia pun tidak memaksanya.
Dengan demikian, maka ketika mereka sudah yakin, bahwa Kediri
sama sekali tidak menyiapkan pasukan untuk melawan kekuatan
Tohjaya, maka kedua petugas itu pun segera kembali kepada induk
pasukan kecilnya untuk melaporkan kepada Panglimanya.
Dalam pada itu, selagi para prajurit Singasari mempunyai
kepastian bahwa Kediri akan dapat dengan mudah dikuasai, maka
pada saat itu Mahasi Agni masih duduk dengan gelisah di dalam
biliknya. Meskipun ia berhasil menguasai perasaannya dengan nalar,
karena ia seorang Senapati Besar yang mengabdikan dirinya semata
bagi Singasari, namun sebagai manusia ia tidak segera dapat
melepaskan diri dari goncangan perasaan. Beberapa malam, Mahisa
Agni digelitik oleh perasaan yang rasa-rasanya justru semakin
361 membara. Kematian Anusapati benar-benar merupakan suatu
peristiwa yang sebenarnya tidak dapat diterimanya. Namun setiap
kali jantung membara, maka mulailah membayang Singasari yang
menjadi karang abang. Perempuan menangis melolong-melolong
dan anak-anak berteriak memanggil nama ibu dan ayahnya.
Perawan-perawan meratap kehilangan kekasih dan perempuan akan
menjadi janda. Kematian akan berkuasa di seluruh kota Singasari.
Darah akan membasahi jalan-jalan kota dan mayat bagaikan
ditebarkan di sepanjang lorong.
"Perang selalu mengerikan." berkata Mahisa Agni. Terbayang
kematian yang saling susul menyusul. Kematian Tunggul Ametung,
Kebo Ijo, Sri Rajasa, Pangalasan Batil, disusul oleh Anusapati dan
Kuda Sempana. Meskipun Mahisa Agni tidak mendengar, tetapi rasa-rasanya ia
yakin bahwa Empu Gandring tentu pernah melepaskan kutuk bagi
Ken Arok yang membunuhnya.
Betapapun baik hati Empu Gandring tetapi mengalami perlakuan
yang sama sekali tidak adil dari Ken Arok, maka Empu Gandring
tentu tidak dapat menerimanya begitu saja. Apalagi ia tidak sempat
berpikir dengan nalar, sehingga ia idak sempat memaafkan
kesalahan Ken Arok. "Meskipun tidak terucapkan, tetapi goncangan hatinya akan
tercermin pada keris buatannya yang menuntut kematian demi
kematian." berkata Mahisa Agni di dalam hatinya.
Apalagi ketika teringat olehnya kemarahan Empu Purwa ketika
anak gadisnya yang bernama Ken Dedes itu hilang. Ia tanpa dapat
mengendalikan dirinya telah memecahkan bendungan dan
mengeringkan Panawijen sehingga harus dibuat sebuah padukuhan
baru di padang Karautan. Kemudian betapa hatinya melonjak
ternyata di dalam kutuknya, siapa yang ikut serta melarikan anak
gadisnya, akan mati tertusuk keris.
"Kutuk dati dua orang Empu yang memiliki pancaran nurani yang


Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tajam." berkata Mahisa Agni di dalam hati. Dan kini ia melihat
362 beberapa orang yang terlibat di dalam usaha untuk melarikan itu
seorang demi seorang telah terbunuh. Tunggul Ametung, Kuda
Sempana, dan Ken Arok yang meskipun pada waktu itu ia tidak lebih
dari seorang prajurit yang belum tahu apa-apa, yang hanya sekedar
mengikuti perintah Akuwu Tunggul Ametung. Sedang Witantra yang
saat itu menyatakan tidak ikut campur dengan usaha penculikan itu,
masih tetap selamat sampai hari tuanya.
"Jika dendam ini masih harus dinyalakan di dalam hati, maka
Singasari tidak akan sempat mengemasi dirinya. Singasari tentu
akan disibukkan saja oleh dendam yang tiada henti-hentinya."
berkata Mahisa Agni kepada dirinya sendiri.
Karena itulah, maka Mahisa Agni masih tetap berusaha
mengekang diri, agar tidak terbakar oleh dendam di dalam dadanya.
Ia sadar bahwa ia adalah seorang manusia biasa, manusia yang
lemah hati. Meskipun kini ia berhasil menguasai perasaannya,
namun Mahisa Agni sendiri sadar, bahwa hati yang goyah masih
mungkin saja berubah pendirian jika ada sesuatu rangsangan yang
tajam menyentuh perasaannya.
Namun Mahisa Agni masih selalu berusaha.
Ketika matahari di atas Singasari terbit di pagi berikutnya, maka
pasukan kecil Singasari yang dipimpin oleh Panglima Pelayan Dalam
yang baru itupun telah berkemas untuk memasuki kota Kediri.
Agar tidak menimbulkan kegelisahan, maka pasukan itu pun
sama sekali tidak menunjukkan sikap yang garang. Meskipun
mereka membawa tanda-tanda limpahan kekuasaan dari Maharaja
Singasari, namun mereka mendekati kota dengan sikap yang tenang
dan tidak tergesa-gesa. Namun demikian, kehadiran mereka di pintu gerbang kota benarbenar
telah menarik perhatian. Apalagi berita tentang kematian
Anusapati benar-benar telah tersebar di seluruh pelosok kota.
Sedangkan sebab kematian itu masih merupakan desas-desus yang
bersimpang siur. 363 "Utusan tuanku Tohjaya, yang kini untuk sementara memegang
kendali pemerintahan." berkata seseorang yang berdiri di pinggir
jalan menyaksikan iring-iringan itu memasuki kota.
"Tunggul Kerajaan." berkata yang lain, "tentu ada perintah bagi
tuanku Mahisa Agni di sini atas nama pimpinan tertinggi dari
Kerajaan Singasari."
Orang-orang yang menyaksikan tunggul dan panji-panji itu
membuat penilaian sendiri-sendiri yang berbeda-beda. Namun pada
umumnya mereka menduga, bahwa akan jatuh perintah yang
penting bagi Mahisa Agni dari Maharaja Singasari yang baru.
"Tuanku Mahisa Agni dekat sekali dengan tuanku Anusapati yang
terbunuh itu." berkata seseorang yang berjanggut putih.
"Ya. Mungkin tuanku Mahisa Agni akan ditarik dan diganti oleh
orang lain yang dianggap lebih sesuai bagi Kediri."
"Bukan bagi Kediri, tetapi yang dapat menyalurkan keinginan
tuanku Tohjaya di Kediri."
"Begitulah. Ya, begitu."
Betapapun Panglima Pelayan Dalam itu berusaha, namun
ternyata masih saja menumbuhkan kegelisahan dikalangan rakyat
Kediri. Bahkan ketika berita itu sampai ke telinga para bangsawan
yang masih mempunyai kekuasaan yang betapapun kecilnya, telah
menumbuhkan dugaan yang bermacam-macam. Bagi mereka
Mahisa Agni adalah orang yang paling baik karena Mahisa Agni
dapat mengerti setiap keinginan mereka, meskipun tidak selalu
terpenuhi. Namun bagi orang-orang dan para bangsawan Kediri,
apa yang dilakukan Mahisa Agni adalah yang paling jauh dapat
mereka jangkau. "Apakah akan ada kemungkinan orang lain yang akan dikuasakan
di Kediri?" desis para bangsawan.
Demikianlah maka pasukan kecil itupun kemudian berhenti di
depan gerbang di dalam kota. Panglima yang memimpin pasukan itu
memerintahkan dua orang mendahului dan menghadap Mahisa Agni
364 untuk menyampaikan dengan resmi, bahwa utusan kerajaan dengan
tanda-tanda kebesaran dan panji-panji serta tunggul kerajaan telah
datang untuk menemui Mahisa Agni sebagai wakil pemerintah
Singasari di Kediri sebelum utusan itu akan menguraikan dengan
resmi sebab-sebab kematian Anusapati kepada para Senapati dan
para bangsawan yang masih mempunyai jalur pemerintahan
terhadap lingkungan keluarga mereka sendiri.
"Aku akan menerima dengan senang hati." berkata Mahisa Agni
yang memang sudah mengharap utusan itu datang di Kediri.
Kedua utusan itupun segera menyampaikan kepada Panglima
Pelayan Dalam yang memimpin pasukan Singasari itu, bahwa
Mahisa Agni sudah siap untuk menerimanya.
"Aku datang dengan tanda-tanda kebesaran." berkata Panglima
itu kepada anak buahnya, "dengan demikian maka aku datang
seperti tuanku Tohjaya sendiri yang datang di Kediri."
Para prajurit yang ada di dalam pasukannya menjadi semakin
mantap, bahwa mereka telah mendapat kepercayaan ikut di dalam
pasukan yang membawa kekuasaan tertinggi, seperti kekuasaan
Maharaja Singasari itu sendiri.
Di istananya, Mahisa Agni pun segera mempesiapkan diri untuk
menerima kedatangan utusan dari Singasari yang membawa amanat
dari Maharaya Singasari yang baru itu.
Namun ternyata bahwa panji-panji dan tunggul kerajaan itu telah
membuat Panglima yang baru itu merasa dirinya terlampau besar.
Seakan-akan ia sendirilah yang telah menjadi Maharaja di Singasari.
Ketika Panglima itu memasuki istana Mahisa Agni, maka ia sama
sekali tidak mau turun dari kudanya sebelum kudanya itu berhenti di
depan tangga pendapa. Bahkan pasukannya pun mengikutinya pula
di belakangnya. Mahisa Agni menunggu di pendapa bersama beberapa orang
Senapati yang telah dipanggilnya menahan gejolak perasaan yang
365 bagaikan menghentak-hentak dada. Namun agaknya mereka tidak
ingin membuat suasana menjadi bertambah keruh.
Ketika Panglima itu sudah meloncat turun dari kudanya, maka
Mahisa Agnipun segera menyambutnya dan mempersilahkan mereka
naik kependapa. Di pendapa telah tersedia beberapa buah tempat
duduk dari batu yang paling keras berwarna kehitam-hitaman yang
terukir lembut, dialasi dengan kulit rusa yang berwarna coklat
kemerah-merahan. Sedang di sekitarnya terbentang tikar pandan
putih yang tebal dengan hiasan berwarna hitam di sudut-sudutnya.
"Silahkanlah." berkata Mahisa Agni mempersilahkan tamunya,
"kami di Kediri menyambut kedatangan kalian dengan penuh gairah.
Sudah lama kami tidak menerima kedatangan utusan dari
Singasari." "Baru beberapa hari ini kami sempat mengingat kedudukan
Singasari di Kediri." jawab Panglima itu, "dan baru setelah aku
menjabat kedudukanku sekarang, semua persoalan Singasari mulai
dilihat satu demi satu dengan saksama."
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
"Menarik sekali. Tentu seluruh rakyat Singasari mengharapkan hasil
dari perubahan yang telah terjadi dalam pimpinan pemerintahan di
Singasari." Panglima itu tertawa. Perlahan-lahan ia naik kependapa dan
duduk di atas sebuah batu berukir yang besar di tengah-tengah
pendapa itu. Sedang seorang Senapati duduk di sampingnya sambil
memegangi panji-panji yang terikat pada tunggul kerajaan sebagai
lambang kekuasaan yang dibawa oleh Panglima itu.
Sejenak Mahisa Agni sempat menanyakan keselamatan pasukan
itu dan sedikit tentang keselamatan para pemimpin di Singasari.
Namun sebelum ia bertanya lebih lanjut, tentang kepentingan
kunjungan Panglima itu ke Kediri, maka Panglima Pelayan Dalam
yang baru itu sudah mendahului "Kami datang dengan menjunjung
perintah tuanku Tohjaya bagi Senapati Agung Mahisa Agni."
366 Mahisa Agni menganggukkan kepalanya. Tetapi di luar
dugaannya, seorang Senapati yang tidak dapat menahan hati
melihat sikap Panglima itu menyahut hampir di luar sadarnya. "Dan
wakil Sri Maharaja di Singasari bagi Kediri."
Panglima itu berpaling. Dilihatnya seorang Senapati yang masih
muda memandanginya dengan tajamnya.
"O, ya." berkata Panglima itu, "Senapati Agung dan yang
dikuasakan oleh pimpinan pemerintah Singasari di Kediri."
"Ya." Senapati muda itu masih menyahut lagi.
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Dikedipkannya matanya
untuk memberi isyarat kepada Senapati muda itu agar berusaha
mengendalikan perasaannya.
"Bagus." berkata Panglima Pelayan Dalam itu, "aku memang
berhadapan dengan penguasa Singasari atas Kediri. Dan akupun
mendapat perintah dari Maharaja Singasari bagi Mahisa Agni. Bukan
sekedar sebuah kunjungan biasa dari seorang utusan, tetapi aku
membawa panji-panji dan tunggul kerajaan."
"Dan karena itu, aku mempunyai kekuasaan tidak terbatas."
"Aku sudah mengerti. Tetapi yang tidak terbatas itu pun tentu
ada batasnya. Kau hanya mendapat limpahan kekuasaan Maharaja
di Singasari. Bukan kaulah Maharaja di Singasari itu."
Panglima itu merenung sejenak. Ketika ia mengedarkan tatapan
matanya, dilihatnya beberapa orang Senapati tertinggi dari Singasari
yang berada di Kediri memandanginya dengan tajamnya, sehingga
Panglima itu pun kemudian menyadari, bahwa ia tidak dapat
mengabaikan mereka di dalam setiap tindakannya di Kediri. Karena
itu maka Panglima itupun kemudian tersenyum sambil berkata, "Kau
benar Mahisa Agni. Tetapi bahwa aku sekarang berada dalam
kedudukan tertinggi harus kau ketahui."
"Aku mengerti. Dan aku menerima kau dalam kedudukanmu
sekarang." 367 Panglima itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
Namun dalam pada itu, beberapa orang Senapati Singasari yang
bertugas di Kediri menjadi panas. Meskipun mereka berusaha untuk
menahan diri, namun tampak juga kegelisahan membayang di
wajah mereka. Kebanyakan dari para Senapati itu mengenal,
siapakah yang telah diangkat menjadi Panglima Pelayan Dalam, dan
yang sekaligus mendapat kepercayaan tertinggi dari Tohjaya itu.
Tetapi karena Mahisa Agni masih tetap bersikap tenang, para
Senapatipun tidak berbuat sesuatu yang dapat menimbulkan
persoalan. Sejenak kemudian maka Panglima itupun berkata, "Mahisa Agni.
Kedatanganku kali ini membawa berita yang penting bagimu dan
bagi para Senapati. Di dalam kesempatan berikutnya aku ingin
bertemu dengan para Senapati dan pemimpin prajurit Singasari
dalam jumlah yang lebih besar. Aku ingin menjelaskan apa yang
sebenarnya sudah terjadi."
"Katakanlah. Aku dapat menyambung berita yang kau bawa dan
menyampaikan kepada para Senapati dan prajurit."
"Aku akan bertemu dengan mereka sendiri."
"Apakah akan ada gunanya ?"
"Tentu." jawab Panglima itu, "ingat, aku adalah Panglima yang
mendapat limpahan kekuasaan tertinggi."
"Jangan kau ulang-ulang. Aku sudah mengerti. Tetapi kaupun
harus menyadari, bahwa kekuasaanmu yang tidak terbatas di dalam
batas-batasnya itu, hanya berlaku untuk beberapa hari. Jika lusa
kau kembali ke Singasari dan menyerahkan panji-panji dan tunggul
kerajaan itu, kau tidak lebih dari seorang Panglima Pelayan Dalam.
Sedang aku tanpa atau dengan panj dan tunggul kerajaan adalah
penguasa dan wakil raja di Kediri." sahut Mahisa Agni.
Panglima itu menjadi tegang sejenak. Namun ia menjawab,
"Biarlah apa yang akan terjadi lusa. Tetapi sekarang kekuasaanku
368 ada di atas kekuasaanmu. Di Singasari dan di Kediri, karena aku
membawa panji-panji dan tunggul kerajaan."
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnya ia
keberatan membawa Panglima itu di hadapan Senapati yang lebih
luas lagi dari Senapati tertinggi di Kediri. Jika mereka kehilangan
kendali karena sikap Panglima yang tidak menarik sama sekali itu,
maka keadaan akan menjadi kisruh, dan bahkan mungkin akan
timbul akibat yang tidak menyenangkan. Bukan saja bagi Panglima
itu, tetapi juga bagi Singasari.
Tetapi Mahisa Agni tidak dapat menolak keinginan itu agar tidak
timbul salah paham. Jika ia tetap menolak, maka Panglima itu akan
menganggap bahwa ia takut kehilangan pengaruh di Kediri karena
kedatangan Panglima itu. "Aku minta kau dapat menyiapkan pertemuan itu secepatnya
Mahisa Agni." perintah Panglima itu.
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Ketika sekilas terpandang
olehnya wajah para Senapati, maka rasa-rasan Mahisa Agni tidak
akan sanggup mengendalikannya apabila terjadi pertemuan yang
lebih besar lagi. Namun demikian Mahisa Agni terpaksa mejalankan perintah itu,
yang bernilai seperti perintah Maharaja di Singasari itu sendiri.
"Kapan pertemuan yang agak lebih besar dari pertemuan ini
harus aku adakan?" bertanya Mahisa Agni.
"Secepatnya." "Ya, secepatnya. Tetapi kapan. Sekarang, atau nanti sore atau
besok pagi" Cepat yang kau maksudkan tergantu sekali pada
rencanamu berapa hari kau akan tinggal di Kediri."
Panglima itu merenung sejenak, lalu, "Sore nanti. Mereka harus
datang ke pendapa ini sebelum matahari menjadi kemerahan
menjelang senja. Kita akan banyak berbicara, sehingga pertemuan
itu akan berlangsung cukup lama."
369 "Baiklah. Kami akan menyelenggarakannya."
"Dan sebelumnya, sebaiknya kau mendengar lebih dahulu apa
yang akan aku sampaikan kepada mereka."
"Aku tidak berkeberatan." jawab Mahisa Agni.
"Berkeberatan atau tidak berkeberatan, ini adalah kuwajibanmu."
Terasa telinga Mahisa Agni menjadi panas. Tetapi ia tetap duduk
dengan tenang di tempatnya.
"Nah, perintahkan kepada Senapatimu untuk memanggil
Senapati-senapati bawahan mereka, dan para pemimpin prajurit
yang lain." "Nanti akan aku perintahkan. Tetapi sebaiknya sekarang kau
berbicara tentang keadaan di Singasari yang terakhir agar kami
tidak selalu dibingungkan oleh berita-berita yang belum pasti
kebenarannya." Panglima itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Dipandanginya
prajurit yang membawa panji-panji dan tunggul kerajaan itu
sejenak, lalu katanya, "Baiklah. Atas nama Maharaja di Singasari
tuanku Tohjaya, aku memberitahukan bahwa di Singasari telah
terjadi perubahan pimpinan pemerintahan."
Tidak seorangpun yang menyahut.
Panglima itupun kemudian menceriterakan apa yang sudah


Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terjadi di halaman istana, di arena sabung ayam.
"Yang mula-mula terjadi adalah sebuah kerusuhan kecil. Seorang
Panglima dari Singasari telah terbunuh oleh seorang bekas Pelayan
Dalam semasa pemerintahan Akuwu Tunggul Ametung. Agaknya hal
itu menumbuhkan kemarahan pada para prajurit dan terlebih-lebih
lagi Pelayan Dalam. Kerusuhan tidak dapat dicegah lagi, dan di luar
kemampuan para pengawal maka tuanku Anusapati pun terbunuh
oleh kebencian yang sudah terlalu lama tersimpan di hati rakyat."
Yang mendengar keterangan Panglima itu mengerutkan
keningnya. Berita serupa itulah yang tersiar di seluruh Singasari.
370 Dan agaknya bahwa memang berita itulah yang disebarkan oleh
Tohjaya dan orang-orangnya yang dipercayainya.
Beberapa saat Panglima Pelayan Dalam yang baru itu terdiam,
sehingga Mahisa Agni mendesaknya, "Bagaimana kelanjutan dari
keteranganmu itu?" "Untuk kali ini aku tidak akan memberikan keterangan lebih dari
itu." "Kami menunggu penjelasan. Bagaimana peristiwa itu terjadi.
Dimana saat itu tuanku Anusapati berada. Dimana terjadinya
kerusuhan itu dan bagaimana dengan keluarga istana yang lain
lain." "Sudah aku katakan. Aku tidak akan memberikan keterangan
lebih dari itu. Nanti sore aku akan menjelaskan persoalannya."
"Kau belum memberikan gambaran yang jelas bagi kami." desis
Mahisa Agni. "Memang. Tidak itu pun tidak mengapa. Sore nanti aku akan
memberikan keterangan sejelas- jelasnya."
Mahisa Agni tidak mendesaknya lagi. Katanya, "Baiklah. Berita itu
sudah cukup bagi kami sekarang. Bahkan jika kau memberi
penjelasan semakin panjang, semakin banyak pertanyaan akan
timbul di hati kami."
"Apa maksudmu?"
"Tidak apa." "Tentu ada maksud tersembunyi pada kata-katamu." Pelayan
Dalam itulah yang mendesak.
"Persoalannya akan jelas jika aku sudah mendengar semua
keterangan yang terperinci." jawab Mahisa Agni.
Pelayan Dalam itu mengerutkan keningnya. Namun iapun
menjawab, "Baik. Semua persoalan akan menjadi jelas nanti sore.
Sebelum para Senapati mendengar keterangan langsung
371 daripadaku, mereka tidak boleh mendengar keterangan ini dari
orang lain agar tidak terjadi salah paham. Jika aku menjelaskannya
sekarang, maka setiap orang akan berusaha memberikan penjelasan
menurut tanggapannya masing. Dan ini tidak boleh terjadi."
Demikianlah maka pertemuan itupun berakhir. Mahisa Agni
menyediakan ruang yang khusus bagi Pelayan Dalam yang
mendapat limpahan kekuasaan Maharaja Kediri itu di dalam
istananya, di sebelah biliknya sendiri. Sedang para pengikutnya
ditempatkannya di gandok sebelah menyebelah, dipisahkan oleh
sebuah longkangan kecil. Namun dalam pada itu dua orang
pengawal Pelayan Dalam itu selalu berada di ruang dalam, berjagajaga
di depan bilik Panglimanya.
Sementara itu Witantra pun masih tetap berada di istana. Namun
ia berada di bilik belakang, sebuah bilik yang tersekat dari ruang
dalam, yang disediakan bagi tamu-tamu yang kurang penting bagi
jabatan Mahisa Agni. Namun Witantra, bukan karena ia kurang
penting bagi Mahisa Agni, tetapi Witantra memang harus terpisah
dari tamu-tamu yang datang dari Singasari itu. Tetapi dalam saatsaat
tertentu Witantra dapat menemuinya tanpa menumbuhkan
kecurigaan bagi tamu-tamunya dari Singasari.
Diluar pengetahuan Mahisa Agni, Panglima Pelayan Dalam itu
telah memerintahkan beberapa orang perajuritnya untuk mengamati
keadaan di Kediri. Apakah dalam waktu yang singkat itu Mahisa Agni
telah mengadakan persiapan yang dapat membahayakan
kedudukannya. Tetapi ternyata Kediri tetap sepi. Tidak ada kesibukan pasukan
sama sekali. Meskipun Mahisa Agni telah memerintahkan beberapa
orang Senapati menghubungi kawan-kawannya dalam lingkungan
yang lebih luas, namun kesibukan itu terbatas sekali pada para
perwira saja. "Mahisa Agni agaknya sama sekali tidak ingin berbuat sesuatu,
apalagi yang bersifat menentang kekuasaan pimpinan pemerintahan
yang baru." berkata salah seorang prajurit.
372 "Ia tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi." sahut yang lain.
"Seandainya demikian, seandainya ia mengerti bahwa tuanku
Anusapati telah dibunuh oleh tuanku Tohjaya, namun Mahisa Agni
harus mengingat, bahwa karma telah berlaku. Menurut dugaan
beberapa orang, tuanku Anusapati pun telah membunuh tuanku Sri
Rajasa dan merahasiakan pembunuhan itu. Bukankah berita yang
tersiar, seorang Pangalasan telah membunuh tuanku Sri Rajasa dan
kemudian dibunuh oleh tuanku Anusapati" Dan berita itupun tentu
bukan berita yang sebenarnya."
"Dan sekarang karma itu berlaku. Apakah dengan demikian akan
terjadi bunuh membunuh tidak hentinya" Dan apakah dengan
demikian seumur kita tidak akan mengalami masa tenang di
Singasari?" Prajurit yang lain tidak menyahut. Namun katanya kemudian,
"Kita laporkan kepada Panglima bahwa tidak ada persiapan apapun
di Kediri." Tetapi sebenarnyalah para prajurit yang menyamar sebagai
rakyat biasa itu tidak melihat bahwa setiap prajurit justru telah
bersiap di dalam barak masing-masing. Mereka seakan-akan tetap
tenang, namun mereka selalu siap untuk berbuat sesuatu apabila
diperlukan, karena persiapan yang diam itu justru sudah dimulai
sejak Panglima dari Singasari itu belum datang di Kediri. Tetapi
seperti yang dimaksud oleh Mahisa Agni, persiapan itu memang
bukan suatu persiapan untuk perang, meskipun seandainya perang
itu pecah, maka mereka tidak akan mengecewakan.
Ketika Panglima Pelayan Dalam itu mendengar laporan petugaspetugas
sandinya, maka ia pun mulai tenang dan dapat beristirahat
dengan tanpa dibayangi oleh kecurigaan. Ia menganggap bahwa
Mahisa Agni tidak akan dapat berbuat apa-apa di Singasari
meskipun anggapan itu belum dapat diyakininya, karena masih ada
kemungkinan-kemungkinan lain yang dapat terjadi.
"Ada dua sebab, kenapa tidak ada tindakan apapun yang
dilakukan oleh Mahisa Agni." berkata Pelayan Dalam itu kepada
373 pengawal kepercayaannya. "Mahisa Agni tidak mengerti apa yang
sebenarnya telah terjadi, atau Mahisa Agni tidak lagi mempunyai
pengaruh yang luas di kalangan para prajurit Singasari di Kediri."
Pengawal kepercayaan Pelayan Dalam itu mengiakannya saja.
Ketika matahari menjadi semakin condong ke Barat dan
kemudian langit menjadi merah, para Senapati pun mulai
berdatangan ke halaman istana Mahisa Agni. Mereka duduk di atas
tikar pandan di pendapa. Sedang di sudut pendapa di hadapan
mereka terdapat batu-batu berukir yang beralaskan kulit kijang
berwarna coklat kemerah-merahan.
Ketika para Senapati dan pimpinan para prajurit Singasari dan
beberapa orang pimpinan pasukan keamanan Kediri telah lengkap di
pendapa, maka Panglima Pelayan Dalam yang mendapat limpahan
kekuasaan Maharaja Singasari, dengan pertanda panji-panji dan
tunggul kerajaan itupun keluar dari pintu tengah diiringi oleh Mahisa
Agni dan pengawal-pengawal kepercayaannya serta tanda-tanda
kebesaran itu. Beberapa orang Senapati menundukkan kepala ketika terpandang
oleh mereka panji-panji dan tunggul kerajaan itu. Ada semacam
ketidak seimbangan di dalam tanggapan mereka. Mereka hormat
kepada panji-panji dan tunggul Kerajaan. Tetapi mereka tidak dapat
berbuat demikian terhadap Panglima yang kini mendapat limpahan
kekuasaan dengan pertanda panji-panji dan tunggul itu.
Meskipun demikian para Senapati itu tetap duduk tenang sambil
menundukkan kepalanya. Mereka mencoba untuk menenteramkan
hati dan mendengarkan apa yang akan dikatakan oleh Panglima itu.
Namun sebenarnya mereka telah membawa bekal di dalam hati,
bahwa ada sesuatu yang tidak benar di dalam keterangan yang
akan dikatakan oleh Panglima itu.
Tetapi para Senapati yang dekat dengan Mahisa Agni telah
berpesan kepada mereka, jangan tunjukkan sikap yang dapat
menimbulkan persoalan yang tidak dikehendaki. Jika mereka benarbenar
seorang yang setia kepada Singasari, maka mereka harus
374 dapat mementingkan persoalan Singasari di atas segala macam
persoalan. "Jika ternyata bahwa siapapun akan merugikan Singasari maka
barulah kita akan berbuat sesuatu. Termasuk terhadap Tohjaya."
Sebenarnya para Senapati tidak dapat mengerti pendirian Mahisa
Agni, dan sebagian terbesar dari mereka mengangap bahwa sikap
itu adalah sikap yang lemah sekali. Tetapi mereka masih dicengkam
oleh pengaruh wibawa Mahisa Agni yang besar atas mereka.
"Tuanku Mahisa Agni tentu mempunyai perhitungan yang jauh
lebih luas dari perhitungan kita yang sekedar menilai setiap keadaan
berdasarkan tajamnya pedang." berkata seorang Senapati kepada
kawannya. Kawannya menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Mudahmudahanan
tajamnya pedang itu tidak memotong leher kita
sebelum kita menyadari apa yang telah terjadi sebenarnya."
Keduanyapun terdiam. Dan kini mereka dihadapkan kepada
seorang Panglima yang baru saja menjabat kedudukannya. Karena
mereka adalah prajurit-prajurit Singasari, maka sebagian dari
prajurit Singasari yang ada di Kediri telah mengetahui siapakah
Panglima itu, dan sampai berapa jauh kemampuannya memegang
pimpinan dan di dalam olah kanuragan.
Setelah memandangi para Senapati yang duduk sambil
menundukkan kepalanya itu, maka Panglima yang mendapat
limpahan wewenang Maharaja Singasari itu mulai membuka
pembicaraan. Disampaikannya salam sejahtera dari Maharaja
Singasari kepada mereka. Mudah-mudahan merekapun selamat
sejahtera. Para Senapati masih tetap menundukkan kepalanya.
Sejenak kemudian maka mulailah Panglima itu memberikan
keterangan tentang keadaan istana Singasari. Diberinya beberapa
kata pengantar secukupnya untuk memberikan arah berpikir bagi
para Senapati itu. 375 "Kami, para pemimpin yang ada di sekitar Tuanku Anusapati
sudah berusaha untuk mengelakkan hal yang akan terjadi. Beberapa
kali kami telah memberikan peringatan, agar sikap tuanku Anusapati
dapat berubah sedikit demi sedikit, sehingga sakit hati yang semakin
lama semakin bertimbun di hati rakyat itu dapat dikurangi."
Panglima itu berhenti sejenak, lalu, "namun agaknya tuanku
Anusapati tidak menghiraukannya. Untunglah bahwa tuanku
Tohjaya bersikap baik terhadap rakyat, bahkan ia sempat
memberikan tempat hiburan yang mapan di halaman bangsalnya
sendiri. Dengan sikap itu, maka rakyat menjadi segan untuk berbuat
sesuatu terhadap tuanku Anusapati, justru karena mereka
memandang kecintaan tuanku Tohjaya terhadap mereka. Tetapi
tuanku Anusapati masih saja membuat banyak kesalahan. Sebagai
seorang Maharaja yang masih cukup muda, maka ia terlampau
banyak menaruh minat kepada perempuan. Dan yang parah,
kadang-kadang perempuan-perempuan yang dikehendakinya itu
adalah perempuan-perempuan yang sudah bersuami."
Pendapa itu dicengkam oleh suasana yang aneh. Tetapi para
Senapati itu pun masih tetap diam di tempatnya.
Panglima Pelayan Dalam yang sedang memberikan keterangan
tentang keadaan di Singasari itu mencoba mengamati tanggapan
dari kata-katanya. Tetapi para Senapati di Kediri itu menundukkan
kepala sehingga kesan yang tersirat di wajah mereka tidak segera
dapat dilihatnya. "Akhirnya." Panglima itu meneruskan, "terjadilah peristiwa yang
menyedihkan itu. Semula yang terjadi adalah pertentangan kecil.
Tidak seorang pun tahu dengan pasti sebab-sebabnya. Tetapi yang
terjadi, Panglima Pelayan Dalam itu terbunuh. Tentu saja dengan
licik. Kemarahan para prajurit telah menyebabkan orang yang
menyebut dirinya Kuda Sempana itu mati. Tetapi kerusuhan tidak
berhenti. Tanpa dapat dicegah lagi, rakyat yang sudah lama
membenci tuanku Anusapati seolah-olah mendapat kesempatan.
Maka terbunuhlah tuanku Anusapati. Untunglah tuanku Tohjaya ada
376 di tempat itu, sehingga atas pengaruhnya maka kerusuhan yang
lebih besar dapat dicegah."
Terasa gejolak di setiap hati para Senapati yang ada di pendapa
itu. Namun seperti pesan Mahisa Agni, mereka harus dapat
menahan perasaan. Seorang Senapati muda hampir pingsan justru karena ia
menahan hati dan berusaha untuk tetap diam sambil mendengarkan
keterangan yang bagaikan menyobek jantungnya.
Sejenak kemudian Panglima itu meneruskan, "Kalian kini berada
di Kediri, agak jauh dari pusat pemerintahan. Tentu kalian tidak
dapat membayangkan apa yang sebenarnya terjadi. Kalian tentu
Kelelawar Hijau 3 Pendekar Rajawali Sakti 102 Pembunuh Berdarah Dingin Api Di Puncak Merapi 1
^