Pencarian

Sepasang Ular Naga 9

Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja Bagian 9


Ketika tangan Witantra terentang, maka kuda-kuda itu pun tibatiba
saja menebar. Sebagian mengikuti Witantra berbelok ke kiri,
yang lain mengikuti Mahendra berbelok kekanan. Dengan cekatan
Witantra dan Mahendra meloncat kepunggung kuda yang lain, dan
penunggangnya berganti berpindah ke kuda Witantra dan Mahendra
untuk menjaga Ranggawuni dan Mahisa Cempaka.
"Kau tenang saja di situ." berkata Witantra, "Paman akan
menghalau orang itu."
Gerakan yang dilakukan oleh sekelompok kecil yang dipimpin
langsung oleh Witantra dan Mahendra itu sama sekali tidak diduga
oleh prajurit-prajurit Singasari yang mengejarnya, sehingga karena
itu, kelambatan beberapa saat telah mendorong mereka masuk
kedalam jebakan. Mereka kemudian seolah-olah berada di dalam
kepungan. Belum lagi mereka dapat mempersiapkan diri menghadapi
keadaan yang tiba-tiba itu, Witantra dan Mahendra telah menyerang
mereka diikuti oleh beberapa orang pengawalnya dari sebelah
menyebelah. Tidak banyak dapat mereka lakukan. Serangan itu begitu tibatiba,
dan terlebih-lebih lagi dilakukan oleh Witantra dan Mahendra
sendiri beserta beberapa pengawalnya.
Prajurit Singasari yang terkejut itu, sebagai prajurit-prajurit
terlatih secara naluriah segera mengadakan perlawanan. Namun
seorang demi seorang mereka terluka dan bahkan beberapa orang
telah terpental dari kudanya.
"Kita tinggalkan mereka." Witantra kemudian memberikan
perintah kepada anak buahnya yang dengan segera mempersiapkan
diri melepaskan sisa-sisa lawannya.
Sejenak kemudian Witantra dan Mahendra diikuti oleh anak
buahnya telah melanjutkan perjalanan mereka meninggalkan
499 lawannya yang termangu-mangu. Beberapa orang yang masih utuh
menjadi ragu-ragu. Jumlah mereka tinggal tidak lebih dari separo.
Karena itu maka mereka tidak ingin menyerahkan diri ketangan
orang-orang yang mereka buru.
Tetapi dengan demikian mereka telah dapat memastikan bahwa
sebenarnyalah yang dilarikan oleh orang-orang itu adalah
Ranggawuni dan Mahisa Cempaka.
Dalam keragu-raguan itu, para prajurit Singasari itu hampir saja
bersorak ketika mereka melihat iringan kedua telah menyusul
mereka di bawah pimpinan seorang Senapati pilihan.
"Kami telah menemukan mereka." berkata pemimpin kelompok
prajurit yang telah dilumpuhkan itu.
"Kenapa kalian berhenti?" bertanya Senapati itu.
"Kami tidak mampu melawan mereka. Sebagian dari kawankawan
kami telah terluka. Lebih dari separo. Bahkan mungkin ada
yang tidak tertolong lagi."
Senapati itu mengerutkan keningnya. Dipandanginya beberapa
orang yang terbaring berserakan.
"Rawatlah mereka." berkata Senapati itu, "Sebagian dari kalian
ikutilah bersama kami. Kami harus menemukan mereka."
"Kami telah memastikan bahwa yang mereka larikan adalah
tuanku Ranggawuni dan Mahisa Cempaka."
"Kami sudah menduga. Marilah. Kita tidak boleh kehilangan
jejak." Demikianlah sekelompok pasukan itu pun segeta menyusul.
Mereka mengikuti jejak kaki-kaki kuda Witantra dan anak buahnya,
karena mereka bertekad untuk membawa Ranggawuni dan Mahisa
Cempaka kembali. Sementara itu, Lembu Ampal yang sedang dicengkam oleh
keragu-raguan, terkejut bukan kepalang mendengar berita
hilangnya Ranggawuni dan Mahisa Cempaka. Belum lagi ia dapat
500 mengambil sikap, ternyata kedua anak-anak itu telah hilang. Bagi
Lembu Ampal, hilangnya kedua anak-anak itu tentu ada
hubungannya dengan perintah yang diterima dari Tohjaya.
"Yang mendengar dengan pasti perintah tuanku Tohjaya
hanyalah aku sendiri. Kemudian pendeta istana itu mendengar dari
mulutku." berkata Lembu Ampal kepada dirinya sendiri, "Jika kedua
anak-anak itu hilang dan aku gagal melakukan tugasku, maka
akulah yang akan digantung."
Justru karena kedua anak-anak itu telah hilang, maka sebuah
hentakan telah mendorong Lembu Ampal untuk mengambil
keputusan. Ia merasa tersinggung sekali karena kedua anak-anak
yang diserahkan kepadanya itu hilang. Usaha menyelamatkan
Ranggawuni dan Mahisa Cempaka oleh orang lain, adalah suatu
tantangan baginya. "Mungkin aku tidak akan sampai hati membunuh kedua anakanak
itu jika keduanya masih tetap berada di istana. Tetapi bahwa
ada orang lain yang ikut campur itu benar-benar telah menghinaku."
Namun bagi Lembu Ampal, orang yang pertama-pertama harus
dihubungi adalah pendeta istana itu. Baginya tidak ada orang lain
yang dapat merembeskan rahasia itu selain pendeta itu.
Dengan tergesa-gesa Lembu Ampal memacu kudanya, pergi
mendapatkan pendeta itu di sanggarnya. Dengan wajah yang
tegang ia datang menghadap dan langsung bertanya, "Apakah tuan
sudah mendengar berita tentang hilangnya kedua anak-anak itu?"
Pendeta itu mengangguk perlahan, "Aku sudah mendengarnya
Lembu Ampal." "Tuan." Lembu Ampal menggeram, "Tidak ada orang lain yang
mengetahui tugasku dengan pasti kecuali tuanku Tohjaya, aku dan
tuan. Mungkin ada satu dua orang Senapati terpercaya yang
mendapat tugas untuk membayangi kedua anak-anak itu. Namun
perintah itu hanya diberikan kepadaku. Sedangkan para prajurit dan
Senapati itu hanyalah sekedar mendapat perintah untuk mengawasi
501 kedua anak-anak yang akan dijadikan korban ketenangan
Singasari." "Memang tidak ada orang lain yang mendengar. Tetapi aku
sudah memberitahukan hal itu kepada seseorang. Akulah yang
melakukannya." "Tuan. Apakah tuan tahu artinya?"
"Kau akan dihukum mati. Tetapi jika kau berterus terang tentang
keragu-raguanmu dan kedatanganmu kepadaku, juga tentang
rahasia yang telah terbuka itu, maka kau akan dibebaskan. Dan
akulah yang akan mengantikanmu. Mungkin aku akan digantung,
dipacung atau hukuman apapun juga. Tetapi itu lebih baik dari tiada
kedua anak-anak yang tidak bersalah sama sekali itu."
Terasa darah Lembu Ampal bagaikan mendidih. Ia menaruh
hormat kepada pendeta istana itu. Bahkan secara rohani ia banyak
menggantungkan dirinya kepadanya. Sampai saatnya ia kehilangan
akal karena ia mendapat perintah untuk membunuh Ranggawuni
dan Mahisa Cempaka yang tidak bersalah sama sekali.
Tetapi bahwa pendeta itu dengan sengaja telah memberitahukan
akan hal itu, benar-benar telah menyinggung perasaannya sebagai
seorang prajurit, sehingga ia akan mendapat noda karenanya.
Bukan saja ia akan dihukum mati, tetapi tentu juga mencemarkan
nama baiknya karena Tohjaya dapat mengambil alasan apapun
untuk membunuhnya. Meskipun Lembu Ampal berkata terus terang, dan meskipun
kemudian diketahui bahwa pendeta itulah yang telah membuka
rahasia istana itu, namun tentu dirinyalah yang akan mendapat
hukuman terberat, karena ialah yang pertama-tama telah
membocorkannya kepada pendeta itu.
Karena itu maka dengan wajah yang tegang ia berkata, "Tuan.
Aku datang kepada tuan dengan penuh kepercayaan bahwa keraguraguanku
akan dapat berkurang. Aku akan menemukan ketetapan
hati, apapun keputusanku. Jika aku ingin melaksanakan tugas itu
dan membunuh keduanya, aku akan melakukan dengan
502 ketenteraman hati. Jika tidak, aku akan menjalani hukuman dengan
damai. Tetapi sekarang keadaannya sangat berbeda. Anak itu hilang
sebelum aku dapat memastikan sikapku."
"Tidak banyak bedanya Lembu Ampal. Aku telah mendesakmu
untuk mengambil keputusan seperti kata nuraniku."
"Tetapi tidak dengan nuraniku. Bagaimana jika aku kemudian
memutuskan untuk membunuh keduanya."
"Keduanya telah tidak ada lagi di istana."
"Aku dapat menuntut karena persoalannya akan menyangkut
bukan saja mati dan hidupku. Tetapi juga nama baikku."
"Aku tidak keberatan. Sejak semula aku memutuskan untuk
mengatakan hal itu kepada orang-orang yang akan dapat
menyelamatkan, aku sudah menyediakan diriku, nyawaku dan apa
saja yang dapat aku berikan. Aku bersedia menjalani hukuman mati,
atau karena kemarahanmu yang tidak terkendali kau akan
membunuhku." "O, tuan." Lembu Ampal menunduk lesu, "Tuan telah membuat
aku semakin bingung. Aku dapat menjadi gila karena perintah ini."
namun tiba-tiba ia mengangkat wajahnya, "Siapakah yang telah
tuan beritahu dan kemudian melarikan anak itu. Siapa?"
"Aku tidak akan mengatakannya. Tetapi orang-orang itu ternyata
telah berhasil." "Mahisa Agni?" "Mahisa Agni masih ada di istana atau ikut serta mencarinya
bersama Mahisa Wonga Teleng dan beberapa orang Senapati."
"Jadi s iapa?" "Sudah aku katakan, aku tidak akan menyebut namanya."
"Apakah tuan tahu bahwa dengan demikian tuan telah
berkhianat?" 503 "Aku tidak berniat untuk berkhianat. Niatku semata-mata
hanyalah melindungi dua nyawa yang tidak bersalah. Hanya itu."
"Tetapi tuan harus mengatakan, siapakah orang yang telah
berhasil melarikan Ranggawuni dan Mahisa Cempaka."
"Aku tidak dapat menyebutkan Lembu Ampal. Sudah berkali-kali
aku katakan. Dan aku sudah siap menerima akibat apapun. Aku
akan pasrah diri untuk menerima hukuman. Hukuman mati
sekalipun dengan cara apapun."
"O." Lembu Ampal menggelengkan kepalanya. Terasa seakanakan
kepalanya berputar seperti baling-baling.
"Tuan." tiba-tiba Lembu Ampal berkata, "Tuan telah berhasil
melakukan sesuatu sesuai dengan nurani tuan, sehingga karena itu
hati tuan menjadi damai. Tetapi aku tidak. Aku selalu dikejar oleh
kegelisahan dan ketakutan."
"Lembu Ampal. Kau masih mempunyai waktu untuk menentukan
sikap." "Tidak. Kedua anak-anak itu sudah hilang."
"Maksudku, kau dapat memastikan sikapmu. Apakah kau akan
melaporkan semuanya kepada Tohjaya, atau kau akan pergi
mencari kedua anak-anak itu sampai ketemu."
Sejenak Lembu Ampal merenung. Namun kemudian ia berkata,
"Tidak. Aku tidak akan mencari kedua anak-anak itu. Biarlah mereka
tetap hidup. Mereka benar-benar tidak tahu, apakah sebenarnya
maka nyawa mereka terancam karenanya."
"Jadi kau akan menghukum aku" Atau kau sendiri akan pasrah
diri?" Lembu Ampal tidak menyahut.
"Lembu Ampal. Memang ada bedanya antara seorang prajurit
dan seorang pendeta. Aku adalah seorang pendeta yang tidak lagi
diikat oleh persoalan hidup dan mati di dalam sikap yang didasari
atas keyakinan sesuai dengan kata nuraniku. Tetapi kau tidak. Kau
504 dapat bersikap lain justru karena kau adalah seorang kesatria yang
wajib melindungi sesama dengan jalan yang jantan. Karena itu, kau
dapat menghindari hukuman yang seharusnya kau jalani."
"Maksud tuan?" "Kau tidak perlu kembali menghadap tuanku Tohjaya."
Lembu Ampal menegang sejenak. Namun kemudian ia
menundukkan kepalanya dalam-dalam, "Aku mengerti tuan. Maksud
tuan aku harus lari?"
"Bukan lari dalam arti seorang pengecut Lembu Ampal. Tetapi
menghindari maut adalah perbuatan yg wajar."
Lembu Ampal mengerutkan keningnya. Terasa sebuah
pergolakan telah terjadi di dalam dadanya. Sebagai seorang prajurit
ia harus mempertanggung jawabkan beban yang dipikulkan
dipundaknya. Kesetiaannya kepada raja dan Singasari membuatnya
ragu-ragu untuk memenuhi anjuran Pendeta itu.
"Lembu Ampal." berkata pendeta itu kemudian, "Bagiku, keraguraguanmu
yang memberi kesempatan kepada kedua anak-anak itu
untuk diselamatkan, adalah perbuatan yang lebih baik dari sikap
seorang prajurit. Tentu saja ini berlawanan dengan pendirianmu.
Juga usaha untuk menyelamatkan diri itu pun tentu tidak akan
sesuai dengan sifat seorang prajurit. Namun barangkali kelak kau
mempunyai kesempatan yang baik untuk membuktikan tugas
kesatria yang harus kau pikul. Justru melindungi yang lemah dari
kesewenang-wenangan."
Lembu Ampal tidak segera menjawab.
"Tetapi jika kau menghadap tuanku Tohjaya, maka kau akan
mendapat hukuman yang berat. Atau jika kau jujur dan mengatakan
apa yang sebenarnya terjadi, maka aku pun akan dihukum."
Pendeta itu berhenti sejenak, lalu, "Lembu Ampal, bukan karena aku
ingin membebaskan diri dari hukuman dengan membujukmu untuk
pergi, sehingga dengan demikian kau tidak akan sempat menyebut
505 namaku, tetapi mati bukanlah kebanggaan yang harus kau
dambakan, meskipun kau seorang prajurit."
Lembu Ampal mengangguk-anggukkan kepalanya. Kesempatan
itu memang ada. Sebelum persoalan yang sebenarnya dapat di
ketahui dengan pasti, maka Tohjaya pasti belum menjatuhkan
perintah untuk menangkapnya.
Karena itu, maka akhirnya Lembu Ampal berkata, "Tuan. Aku
memang akan mempertimbangkan tindakan apakah yang sebaiknya
aku lakukan. Mungkin aku akan lari, tetapi mungkin pula aku
memilih tiang gantungan."
"Terserahlah kepadamu. Kau memang seorang prajurit. Dan aku
pun tidak akan ingkar bahwa akulah yang telah menguakkan rahasia
itu, sehingga kedua anak-anak itu diselamatkan oleh orang yang
aku sendiri tidak mengetahuinya."
Lembu Ampal mengerutkan keningnya. Ia pun kemudian minta
diri dan meninggalkan sanggar itu dengan persoalan yang semakin
rumit di dalam dirinya. Pada pendeta istana itu ia sama sekali tidak
menemukan ketenangan yang dicarinya. Pendeta itu tidak
menunjukkan keputusan yang harus diambilnya atas kedua anakanak
itu. Bahkan kini ia telah menyebabkan kedua anak-anak itu
diselamatkan oleh orang lain. Dan itu adalah suatu sentuhan pada
perasaannya. "Aku mengharap ia menunjukkan jalan bahwa aku dapat
melakukan tugasku itu dengan tenang dan tidak selalu di bayangi
oleh penyesalan. Tetapi ia tidak berbuat demikian. Ia tidak


Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memberikan ketenangan itu kepadaku seperti yang aku harapkan,
bahkan ia telah mengacaukan segala-segalanya. Dan kini ia
membujukku untuk lari menghindari tanggung jawab."
Namun semakin dalam dipikirkannya, maka Lembu Ampal pun
menemukan kesimpulan lain. Katanya kepada diri sendiri, "Apakah
artinya kesetiaanku kepada tuanku Tohjaya jika aku harus
melakukan tugas yang bertentangan dengan nuraniku. Keraguraguanku
adalah pertanda bahwa yang harus aku lakukan itu tidak
506 sejalan dengan kata-kata hatiku sendiri. Selama aku menjadi
prajurit, aku menjalankan tugasku dengan patuh. Jika kadangkadang
ada keragu-raguan, maka aku segera dapat mengatasinya.
Tetapi sekali ini, sebenarnyalah bahwa tuanku Tohjaya sudah
berlaku tidak adil." Lembu Ampal menarik nafas dalam-dalam, lalu,
"Apakah artinya kesetiaanku terhadap ketidak adilan itu?"
Sejenak Lembu Ampal menjadi bingung. Namun akhirnya Lembu
Ampal pun berkata kepada diri sendiri, "Apa salahnya jika aku
berusaha menyelamatkan diri, sementara aku dapat mencari kedua
anak-anak itu. Jika suatu saat aku memutuskan untuk
membunuhnya, aku akan membunuh mereka dan menyerahkan
persoalannya kepada tuanku Tohjaya. Tetapi jika aku tetap
berpendapat, bahwa kematian kedua anak-anak itu tidak adil, aku
tidak akan mempedulikan mereka lagi."
Demikianlah, setelah dada Lembu Ampal bergejolak dengan
dahsyatnya, akhirnya ia memutuskan untuk meninggal kan pusat
pemerintahan Singasari. "Aku dapat hidup dimana saja." katanya.
Dengan tekad yang bulat akhirnya Lembu Ampal meninggalkan
kota dengan diam-diam, justru ketika para prajurit sedang berusaha
mengejar Witantra dan Mahendra yang telah melarikan Ranggawuni
dan Mahisa Cempaka. Sedang Mahisa Agni dan beberapa orang
prajurit yang lain sedang mengelilingi kota untuk berpura-pura
mencari kedua anak-anak itu pula.
Dengan lajunya Lembu Ampal pun melarikan kudanya. Ia
meninggalkan Singasari dengan persoalan yang belum terpecahkan.
Apakah ia akan tetap mencari dan membunuh Ranggawuni dan
Mahisa Cempaka untuk mendapatkan pengampunan, atau sama
sekali tidak mempersoalkannya lagi, namun dengan demikian ia
akan hidup dipelarian sepanjang umurnya.
Tetapi Lembu Ampal tidak cemas. Ia mempunyai banyak kawan
yang dapat melindunginya di padepokan-padepokan terpencil. Ia
507 dapat menyebut dirinya dengan nama lain dan dengan bentuk yang
sedikit berbeda dengan bentuknya sekarang.
Dan persoalan itulah yang masih harus dipertimbangkannya
untuk waktu yang cukup lama. Namun agaknya hidup adalah
keadaan yang paling baik baginya saat itu, sehingga dengan
demikian maka Lembu Ampal pun memutuskan bahwa ia harus
mempertahankan hidupnya lebih dahulu sebelum ia dapat
memikirkan, apakah yang akan dilakukannya nanti.
Karena Lembu Ampal pun kemudian meninggalkan Singasari
sebelum memberikan laporan tentang dirinya sendiri dan bahwa ia
sama sekali belum melakukan tugasnya, maka Tohjaya pun tidak
segera dapat memastikan, apakah yang sebenarnya terjadi. Bahkan
ia menjadi cemas bahwa para prajurit yang mencari Ranggawuni
dan Mahisa Cempaka akan menghukum Lembu Ampal apabila
benar-benar ia telah melaku kan tugas yang dibebankan kepadanya.
Kegelisahannya itulah yang mendorongnya untuk memanggil
Pranaraja menghadap. "Ampun tuanku, apakah titah tuanku kepada hamba?"
"Kau dengar keributan yang telah terjadi?"
"Hamba tuanku. Hamba mendengar bahwa tuanku Ranggawuni
dan Mahisa Cempaka telah hilang."
"Dan kau tahu pasti, siapakah yang telah mengambil mereka?"
"Hamba belum tahu dengan pasti tuanku. Tetapi pasti bukan
tuanku Mahisa Agni."
"Ya. justru paman Mahisa Agni menuntut perlindungan
keselamatan kedua kemanakannya itu."
Pranaraja tertawa, katanya, "Dan tuanku tentu
menyanggupinya." "Ya, aku menyanggupinya."
508 "Tetapi jika yang diketemukan adalah mayatnya, itu sama sekali
bukan salah tuanku."
"Paman Mahisa Agni dengan beberapa orang prajurit sedang
mencarinya." Pranaraja mengerutkan keningnya. Lalu, "Bagaimana jika tuanku
Mahisa Agni berhasil menyelamatkannya?"
"Jaraknya terlampau panjang. Sejak anak itu hilang sehingga
paman Mahisa Agni meninggalkan istana, memerlukan waktu cukup
lama bagi Ranggawuni dan Mahisa Cempaka. Tetapi, siapakah
sebenarnya yang telah membawanya pergi" Apakah kau sudah
berhubungan dengan Lembu Ampal?"
"Belum tuanku. Tetapi menurut perhitungan hamba, tentu Lembu
Ampallah yang melakukannya. Jika tidak, maka para prajurit dan
Senapati tentu akan menemukannya,"
"Pranaraja. Ada beberapa persoalan yang mendesak di dalam
hatiku. Jika yang melarikan bukan Lembu Ampal kita masih
mempunyai harapan, bahwa keduanya dapat diketemukan. Tetapi
bagaimana jika Lembu Ampallah yang telah membawanya."
"Lembu Ampal akan membunuhnya."
"Bagaimana jika terjadi salah paham, dan Lembu Ampal justru
terbunuh oleh para prajurit dan Senapati yang mengejarnya?"
Pranaraja mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia justru
tertawa sambil menjawab, "Itu lebih baik tuanku."
"Pranaraja." Tohjaya tiba-tiba membentak, "Kau jangan bergurau
dalam keadaan seperti ini."
"Hamba tidak bergurau tuanku."
"Jadi apa maksudmu?"
"Tuanku. Jika mereka yang mengejar tuanku Ranggawuni dan
Mahisa Cempaka itu membunuh Lembu Ampal, maka akan
lenyaplah semua jalur penyelidikan yang mungkin dilakukan oleh
509 Mahisa Agni. Dengan demikian maka tidak seorang pun yang dapat
berceritera bahwa tuanku telah memerintahkan kepada Lembu
Ampal untuk membunuh Ranggawuni dan Mahisa Cempaka."
Tohjaya menjadi tegang. Sejenak ia merenungi kata-kata
Pranaraja itu. Namun kemudian ia pun mengangguk-anggukkan
kepalanya sambil berkata, "Kau benar Pranaraja. Aku kira kita
memang tidak memerlukan lagi orang seperti Lembu Ampal. Di
Singasari masih banyak terdapat Senapati yang jauh lebih baik dari
Lembu Ampal itu." "Demikianlah tuanku. Sebaiknya tuanku tidak usah menghiraukan
lagi. Jika yang membawa lari itu bukan Lembu Ampal, kita dapat
mengharapkan kedua anak-anak itu akan dibawa kembali oleh para
Senapati. Jika kita dapat menangkap satu dua orang diantara
mereka, kita akan dapat menyelediki siapakah orang yang berdiri di
belakang mereka. Tetapi jika usaha itu adalah usaha Lembu Ampal
melakukan tugas yang dibebankan kepadanya, biarlah apa yang
akan terjadi atasnya."
"Tetapi." tiba-tiba Tohjaya mengerutkan keningnya,
"Bagaimanakali jika karena tekanan para prajurit yang
menangkapnya, Lembu Ampal justru mengatakan yang sebenarnya
kepada mereka?" "Jika demikian kitalah yang akan membunuhnya karena Lembu
Ampal telah memberikan kesaksian palsu untuk menyelamatkan
dirinya." "Yang manakah yang kau maksud kesaksian palsu itu Pranaraja?"
Pranaraja tertawa. Katanya, "Tentu sebenarnya bukan palsu.
Kitalah yang harus berlaku palsu. Kita ingkari perintah itu, dan kita
bunuh saja Lembu Ampal."
Tohjaya mengangguk-angguk. Lalu, "Baiklah. Aku mengerti.
Tetapi sebaiknya kau pun pergi melihat apa yang sedang
berlangsung sekarang ini. Jika keadaan kira-kira tidak
menguntungkan kita, kau harus cepat memberitahukan kepadaku.
510 Aku akan segera berbicara dengan para Panglima dan Senapati
yang dapat kita percaya sepenuhnya."
"Baiklah tuanku. Hamba mohon diri. Hamba akan pergi ke regol
depan. Jika perlu hamba akan keluar halaman istana untuk mencari
keterangan." Tohjaya mengerutkan keningnya. Namun ia dapat menyetujui
pendapat Pranaraja dan membiarkan Lembu Ampal dibunuh oleh
para prajurit jika ia tertangkap.
Dalam pada itu, para prajurit yang mengejar Witantra dan
Mahendra, masih terus menyelusuri jejak yang semakin lama
tampak semakin jelas. Meskipun Witantra melintasi padang rumput,
batu-batu padas dan daerah yang basah, namun beberapa orang
yang ahli mengenal jejak tidak dapat dikelabuinya, sehingga
kemanapun Witantra pergi, para prajurit dapat mengikutinya.
Bahkan kelompok yang berikutnya pun tetap mengikuti jejak itu
sampai kemanapun. Witantra pun sadar, bahwa seperti yang terdahulu, ia tidak akan
dapat menghindar lagi. Pada suatu saat ia harus sekali lagi
menjebak para prajurit. Namun Witantra pun mengetahui bahwa
jumlah prajurit yang mengejarnya itu tentu bertambah semakin
banyak. "Kita mencari tempat yang cukup luas untuk bermain-main lagi."
berkata Witantra kepada Mahendra.
Ranggawuni yang kemudian berkuda dengan orang lain
menyahut, "Apakah masih ada orang lain yang mengejar kita
paman?" "Masih ada Ranggawuni. Tetapi jangan cemas. Kita akan
menghalaunya lagi seperti tadi."
"Tetapi setiap kali pengawal kita akan berkurang paman.
Bukankah ada di antara kita yang terluka?"
"Kita akan berusaha." sahut Witantra, "Mudah-mudahan kita
tidak perlu memberikan korban. Yang terluka di antara kita agaknya
511 tidak begitu parah. Mereka sudah membalut luka-luka mereka
sehingga darahnya sudah mampat."
"Tetapi apakah mereka masih mampu bertempur?"
"Mereka akan mengawani kalian berdua. Hanya jika terpaksa
mereka akan bertempur. Jika tidak, maka biarlah mereka
beristirahat." Ranggawuni tidak begitu mengerti. Tetapi ia tidak bertanya lagi.
Dahinyalah yang kemudian berkerut merut ketika kudanya
menyeberangi sebuah rawa yang sempit.
Tetapi ketika mereka sudah melintasi rawa-rawa itu dan berada
di tempat yang agak terbuka, maka mereka pun mulai melihat
prajurit-prajurit Singasari yang semakin mendekat.
"Itulah mereka." desis Mahendra.
"Seperti yang kita duga. Jumlah mereka lebih banyak."
"Tetapi masih belum melampaui kemampuan kita." sahut
Mahendra. Witantra mengangguk-anggukkan kepalanya. Sejenak ia
memandangi wajah-wajah para pengawal yang mengiringinya.
Pengawal-pengawal terpilih dari antara prajurit yang ada di Kediri.
Bahkan sebagian dari mereka adalah prajurit-prajurit Singasari juga.
Demikianlah maka akhirnya Witantra harus mengatur siasat
bersama Mahendra. Beberapa orang ditugaskan untuk melindungi
Ranggawuni dan Mahisa Cempaka di samping orang yang
menjagainya di punggung kuda. Sedang Witantra dan Mahendra
bersama orang-orang yang lain akan menjebak mereka seperti yang
pernah terjadi. "Mereka tentu telah mempersiapkan diri." berkata Mahendra,
"Orang-orang yang telah terjebak itu tentu dapat memperingatkan
kawan-kawannya yang datang kemudian."
"Kita akan menghadapi mereka." sahut Witantra, "Tetapi
memang sebaiknya kita berpencaran."
512 Demikianlah maka setelah mereka sampai ketempat yang agak
lapang, Witantra dan Mahendra sengaja memperlambat kuda
mereka, sedang Ranggawuni dan Mahisa Cempaka mendahului
mereka beberapa puluh langkah di depan.
Ketika jarak itu sudah dipandang cukup oleh Witantra, maka ia
pun segera memberikan aba-aba kepada anak buahnya, Dengan
cekatan anak buahnya menarik kendali kudanya dan berputar
haluan. Dengan tiba-tiba mereka menghentakkan kudanya dan
berlari menyerang lawannya yang sedang memburu mereka.
Serangan itu meskipun sudah diperhitungkan, namun cukup
mengejutkan. Senapati yang memimpin prajurit Singasari itu
menyangka bahwa Witantra dan anak buahnya akan menebar dan
menyerang mereka dari lambung sebelah menyebelah seperti yang
telah mereka lakukan. Tetapi kini ternyata bahwa Witantra dan
Mahendra menyerang mereka langsung dari depan, sedang anak
buahnyalah yang berpencaran di sebelah menyebelah.
Sejenak kemudian maka terjadilah benturan kedua kelom pok itu
dengan dahsyatnya. Keduanya adalah prajurit-prajurit yang sudah
terlatih menghadapi medan yang berat, sehingga karena itu, maka
pertempuran yang segera terjadi adalah pertempuran yang sengit.
Namun kedua belah pihak segera dapat mengenal, bahwa
sebenarnya mereka adalah prajurit-prajurit dari kesatuan yang
sama. Meskipun ada di antara pengawal Ranggawuni dan Mahisa
Cempaka yang terdiri dari orang-orang pilihan dari Kediri. Tetapi
sebagian besar dari mereka adalah prajurit-prajurit Singasari.
Yang mengejutkan para prajurit Singasari yang sedang berusaha
mengambil kembali Ranggawuni dan Mahisa Cempaka adalah
Witantra dan Mahendra. Ternyata keduanya memiliki kemampuan
yang jauh berada di atas kemampuan para prajurit. Bahkan
Senapati yang memimpin prajurit singasari itu pun merasa dirinya
terlampau kecil menghadapi mereka.
Tetapi Senapati itu tidak dapat ingkar. Bersama beberapa orang
prajurit yang dipilihnya, ia mencoba melawan Witantra dan memutar
513 pedangnya seperti baling-baling. Namun dalam pada itu, Mahendra
telah bertempur bagaikan harimau lapar. Banyak prajurit yang
terpaksa menghindari dan dengan tergesa-gesa berusaha menyusun
sebuah kelompok yang dapat membatasi gerak Mahendra.
Namun para pengawal yang datang dari Kediri itu pun tidak
tinggal diam. Mereka segera melibat para prajurit Singasari sehingga
mereka tidak sempat berbuat apa-apa.
Dengan demikian maka perkelahian itu pun semakin lama
menjadi semakin kisruh. Para prajurit dari Singasari menjadi
bingung menghadapi Witantra dan Mahendra. Meskipun mereka
dapat membatasi gerak para pengawal yang datang dari Kediri,
namun mereka tidak dapat berbuat banyak menghada pi Wintantra
dan Mahendra. Karena itulah maka pasukan Singasari itu pun segera terdesak.
Korbannya pun berjatuhan dan bahkan ada di antara mereka yang


Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kehilangan nyawanya. Akhirnya Senapati yang memimpin prajurit dari Singasari itu
harus menyadari keadaannya. Ia tidak akan dapat mengingkari
kenyataan yang dihadapinya.
Untuk menghindari kemusnahan maka Senapati itu pun segera
memerintahkan pasukannya untuk mengundurkan diri sambil
menunggu pasukan yang akan datang kemudian. Namun menurut
perhitungan Senapati itu, meskipun ada dua gelombang pasukan
yang bakal datang, tetapi mereka tidak akan dapat memaksa orangorang
yang diburunya itu untuk menyerahkan Ranggawuni dan
Mahisa Cempaka. Witantra dan Mahendra tertegun sejenak, melihat lawannya
menarik diri dengan tergesa-gesa. Tetapi keduanya kemudian
bersepakat untuk tidak mengejar mereka.
"Lebih baik kita menghindar." berkata Witantra.
"Jejak kita akan selalu dapat diikuti."
514 "Kita akan memilih jalan rawa-rawa. Jika cukup lama berada di
daerah berair, maka jejak kita akan sulit diikuti. Sementara itu, kita
melingkar dan menuju kepadepokanku."
Mahendra menganggukakan kepalanya. Katanya kemudian,
"Baiklah kakang. Kita memilih jalan rawa-rawa meskipun agak sulit.
Kemudian kita akan menyeberang sungai dan hilang di hutan-hutan
perdu seberang." Demikianlah maka Witantra pun kemudian melanjutkan
perjalanan. Ia masih memperhitungkan bahwa pasukan yang lebih
besar masih akan mengejarnya.
Karena itu seperti yang direncanakan, maka ia pun memilih jalan
rawa-rawa. Ia mencoba menghilangkan jejak iring-iringan itu di
dalam air. Beberapa kali kudanya hampir saja terperosok ke dalam
endapan lumpur yang dalam. Namun akhirnya iring-iringan itu
berhasil keluar dari rawa-rawa dan langsung turun ke dalam sungai
yang tidak terlampau dalam. Namun dengan melawan arus air
sebentar, mereka pun kemudian naik ke tebing sebelah.
Seperti yang diharapkannya, maka amat sulitlah untuk
menemukan jejak iring-iringan itu. Di rawa-rawa jejak kuda-kuda
mereka telah hilang-hilang timbul. Adalah terlampau lama untuk
menemukan jalur jejak iring-iringan itu, karena sebagian dari jejak
mereka telah hilang di dalam air yang keruh.
Di seberang Witantra berhenti sejenak sambil memandang rawarawa
dan yang ditumbuhi ilalang setinggi tubuh, di antara
gerumbul-gerumbul yang rimbun. Sambil tersenyum ia berkata,
"Mereka tidak akan dapat mengikuti perjalanan kita. Bahkan
mungkin satu dua dari kuda-kuda mereka seandainya mereka
berusaha juga untuk mengikuti kita, akan terperosok ke dalam
lumpur yang dalam-dalam. Tentu mereka tidak pernah mengenal
daerah ini sebelumnya. Berbeda dengan aku yang mengenal jalan
ini menuju kepadepokaku."
515 Mahendra mengangguk-anggukan kepalanya. Ia pun yakin
bahwa para prajurit itu tidak akan dapat menemukan jejak mereka
lagi. "Marilah." berkata Witantra, "Biarlah kita tinggalkan mereka."
Sejenak mereka masih memandang arus sungai yang tidak begitu
deras itu. Namun kemudian kuda-kuda itu pun mulai melangkahkan
kaki mereka di atas pasir menjauhi batang sungai yang mengalirkan
air yang jernih di sisi daerah-daerah rawa-rawa berlumpur yg kotor.
Namun dalam pada itu, sesuatu telah menyentuh perasaan kedua
anak-anak yang masih sangat muda itu. Rasa-rasanya mereki
benar-benar akan pergi jauh sekali dan tidak akan pernah kembali
ke Singasari. Karena itu hampir di luar sadarnya Ranggawuni bertanya, "Jika
aku pergi jauh sekali, bagaimana dengan ibunda di Singasari?"
"Ya." sahut Mahisa Cempaka, "Bagaimana dengan ibunda,
ayahanda dan neneknda Ken Dedes?"
"Di sana ada pamanmu Mahisa Agni." berkata Witantra,
"Percayakan ibunda, ayahanda dan nenenda kepadanya. Pamanda
Mahisa Agni akan menjaga mereka dengan baik."
Ranggawuni dan Mahisa Cempaka terdiam. Namun sesuatu
terasa menjadi semakin lama semakin jauh, bahkan seolah-olah
tidak akan pernah dapat dicapainya lagi.
Meskipun demikian mereka tidak bertanya lagi. Mereka pun
sudah dapat menyadari keadaan mereka. Bahaya yang setiap saat
akan dapat menerkam mereka dari segala penjuru.
Demikianlah iringan itu pun menembus hutan kecil menuju
ketempat yang terpencil. Sebuah padepokan kecil yang terpisah dari
padukuhan di sekitarnya. Padepokan itu adalah padepokan Witantra
yang kemudian juga disebut Pati-pati.
Sementara itu, para prajurit Singasari yang merasa tidak mampu
lagi melawan Witantra dan para pengawalnya mencoba menunggu
516 pasukan yang bakal datang berikutnya. Dengan pasukan itu mereka
menyusun kekuatan mereka kembali dan berusaha mengikuti jejak
Witantra dan pengawalnya yang telah melarikan Ranggawuni dan
Mahisa Cempaka. Tetapi yang mereka lakukan kemudian adalah kesiapan saja.
Meskipun sekelompok pasukan berikutnya benar-benar datang,
namun mereka tidak berhasil menemukan jejak Witantra dan
Mahendra yang seakan-akan telah hilang di dalam rawa-rawa.
"Kita memerlukan waktu yang panjang untuk dapat menyelusuri
jejak mereka." berkata seorang yang memahami berbagai jenis
jejak manusia dan binatang.
"Tetapi mereka tidak akan dapat terbang. Jejak mereka tentu
masih ada." berkata Senopati yang bertanggung jawab atas
pasukan yang kemudian bergabung itu.
"Tentu. Tetapi kali kita harus mencarinya di seberang rawa-rawa
dan genangan-genangan air. Belum tentu satu dua kali kita dapat
menemukan arah. Untuk maju sampai beberapa patok saja, kita
sudah akan kemalaman di perjalanan."
"Bodoh kau. Matahari baru saja naik."
"Dan kerja mengikuti jejak itu akan maju selangkah demi
selangkah secepat siput merangkak di tanah kering."
Senapati itu termenung sejenak. Lalu, "Jadi menurut pen
dapatmu, kita tidak akan dapat mengejar orang-orang yang telah
melarikan tuanku Ranggawuni dan Mahisa Cempaka itu?"
Pencari jejak itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian,
"Mungkin kita dapat mengikutinya sampai berhari-hari. Tetapi
sementara itu mereka yang kita cari sudah sampai ke seberang
gunung." "Gila." bentak Senapati itu, "Katakan saja bahwa kau sudah tidak
sanggup lagi." 517 Pencari jejak itu menundukkan kepalanya. Namun terdengar
suaranya datar, "Demikianlah. Tetapi penjelasan dari ketidak
sanggupanku perlu." Senapati itu menggeretakkan gigiknya. Namun ia pun tidak dapat
menolak kenyataan bahwa untuk dapat mengejar orang-orang yang
melarikan kedua anak-anak yang masih sangat muda itu adalah
suatu kemustahilan. Karena itu, maka pasukan Singasari itu pun terpaksa menarik diri
meninggalkan daerah yang berrawa-rawa.
"Kita kembali dan melaporkannya kepada tuanku Tohjaya."
berkata Senopati yang memimpin pasukan itu.
Demikianlah maka pasukan itu pun segera ditarik kembali ke
Singasari. Iring-iringan dari beberapa kelompok pasukan yang
kemudian bergabung itu terpaksa memasuki kota tanpa membawa
Ranggawuni dan Mahisa Cempaka, tetapi balikan membawa kawankawan
mereka yang terluka dan terbunuh.
"Tentu Mahisa Agni tidak dapat mencuci tangan." berkata
seorang perwira, "Pada malam hari saat anak-anak itu hilang, para
pengawalnya melakukan hal yang aneh-aneh. Dan ternyata pula di
antara mereka yang melarikan kedua anak-anakitu terdapat prajuritprajurit
Singasari yang berada di Kediri. Tentu mereka telah
mendapat perintah lebih dahulu dari Mahisa Agni sebelum ia pergi
ke Singasari." Yang lain hanya menganggukkan kepalanya saja. Namun mereka
masih dicengkam keheranan. "Siapakah yang telah membawa kedua
anak-anak itu. Mereka tentu bukan orang kebanyakan. Mereka
mampu memasuki halamanan istana tanpa diketahui oleh para
prajurit. Bahkan ketika mereka keluar dari istana mendukung
Ranggawuni dan Mahisa Cempaka pun mereka masih dapat
melepaskan diri." Demikianlah Senapati yang telah gagal membawa Ranggawuni
dan Mahisa Cempaka kembali itu pun segera melaporkan semua
peristiwa yang telah terjadi.
518 "Jadi kalian telah gagal?" bertanya Tohjaya.
"Ampun tuanku. Kami tidak dapat mengikuti mereka seterusnya.
Mereka masuk ke dalam rawa-rawa dan jejak mereka pun menjadi
kabur. Meskipun kemudian kami dapat menelusur terus, namun
kami memerlukan waktu yang sangat panjang, sehingga orangorang
itu tentu sudah menjadi semakin jauh."
"Siapakah mereka itu?" bertanya Tohjaya.
"Kami tidak dapat menyebutnya dengan pasti tuanku. Tetapi
hamba yakin bahwa di antara mereka ada beberapa orang prajurit
Singasari yang ada di Kediri."
"Apakah kalian melihat Lembu Ampal?" tiba-tiba saja Tohjaya
bertanya. Senapati itu menjadi bingung. Kemudian jawabnya, "Tidak
tuanku. Hamba tidak melihat Lembu Ampal. Tetapi apakah
hubungannya hal ini dengan Lembu Ampal?"
Tohjaya terdiam sejenak. Ia menjadi agak bingung. Namun
kemudian Pranarajalah yang menyahut, "Lembu Ampal mempunyai
banyak hubungan dengan prajurit-prajurit Singasari yang ada di
Kediri." "Maksudmu dengan Mahisa Agni." bertanya seorang perwira
kepada Pranaraja. Tetapi Pranaraja menggeleng. Katanya, "Mereka mempunyai jalur
yang berlainan." "Jika Lembu Ampal terlibat di dalamnya. apakah pamrihnya?"
bertanya seorang Senapati yang lain.
Pranaraja menggelengkan kepalanya, "Kita tidak tahu."
"Jadi, kenapa tiba-tiba hal ini menyangkut Lembu Ampal?"
seorang Senapati yang lain bertanya.
Pranaraja menjadi termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
jawabnya, "Ada persoalan yang perlu dipecahkan dengan Lembu
519 Ampal. Tetapi belum waktunya dibicarakan sekarang." lalu katanya
kepada Tohjaya, "Bukankah begitu tuanku."
"Ya. Persoalannya masih ada di tanganku. Tetapi jika ia
kemudian tidak nampak lagi di istana, persoalan ini akan menjadi
semakin jelas." Beberapa orang yang menghadap Tohjaya itu menjadi heran.
Persoalan anak-anak yang hilang itu agaknya telah menyangkut
Lembu Ampal. Tetapi Tohjaya tidak mau mengatakan persoalan itu
kepada para Senapati. Dalam pada itu, seorang Senapati telah bertanya, "Dan
bagaimana dengan tuanku Mahisa Agni?"
Tohjaya masih saja termangu-mangu. Namun kemudian katanya,
"Aku sudah mendengar laporan kalian tentang orang-orang yang
mengambil Ranggawuni dan Mahisa Cempaka. Sekarang kalian
boleh meninggalkan tempat ini."
Senapati yang menghadap Tohjaya itu pun menjadi bingung.
Mereka belum mendapat jawaban atas pertanyaan mereka tentang
Mahisa Agni. Namun mereka tidak berani memaksa agar Tohjaya
memberikan jawaban. Apalagi nampaknya Tohjaya sedang diliputi
oleh kebingungan dan kecemasan.
Sepeninggal para Senapati itu, maka Tohjaya pun segera
membicarakannya dengan Pranaraja. bahwa agaknya ada persoalan
yang gawat sedang terjadi di Singasari.
"Siapakah menurut pendapatmu yang telah melarikan anak-anak
itu" Apakah mereka ada hubungannya dengan Lembu Ampa! atau
Mahisa Agni?" Pranaraja termangu-mangu sejenak, namun kemudian jawabnya,
"Ampun tuanku, hamba memang menjadi bingung. Agaknya
memang ada benarnya kita mencurigai Mahisa Agni."
"Tetapi ia justru mohon perlindungan bagi kedua kemanakannya
itu." 520 "Hamba kira itu sekedar usahanya untuk membersihkan diri."
"Jadi bagaimana dengan Lembu Ampal?" Pranaraja tidak
menyahut. "Pranaraja." berkata Tohjaya dengan wajah yang tegang,
"Suruhlah memanggil Lembu Ampal sekarang. Aku harus mendapat
penjelasan daripadanya Jika ia tidak ada di rumahnya ia harus dicari
di mana saja. Ia harus menghadap aku sekarang."
Pranaraja pun kemudian memerintahkan dua orang prajurit untuk
memanggil Lembu Ampal. "Kau harus mencarinya sampai kau dapat menemukannya."
Kedua prajurit itu pun kemudian dengan tergesa-gesa berkuda ke
rumah Lembu Ampal. Karena Lembu Ampal tidak ada, maka mereka
pun kemudian bertanya kepada setiap orang yang mengenal Lembu
Ampal. Tetapi tidak seorang pun yang mengetahuinya kemana ia
pergi. "Kemana lagi kita harus mencarinya." desis salah seorang dari
kedua prajurit itu. Keduanya menjadi bingung. Mereka harus menemukan Lembu
Ampal. Padahal mereka sudah mencarinya hampir di seluruh kota.
Hampir setiap orang yang mungkin dapat memberikan petunjuk
kepada mereka, sudah mereka temui. Tetapi mereka tidak berhasil
menemukan Lembu Ampal, seperti juga Mahisa Agni yang
memasuki hampir setiap rumah, tetapi tidak diketemukan yang
dicarinya. Akhirnya kedua prajurit itu memberanikan diri kembali Mereka
tidak berani langsung melaporkannya kepada Tohjaya, tetapi
mereka menghadap Pranaraja.
"Gila." Pranaraja menggeram, "Jadi Lembu Ampal tidak dapat kau
ketemukan?" "Kami sudah mengelilingi seluruh kota."
521 "Kau masih harus mencarinya sampai ketemu. Malam nanti dan
besok sehari penuh. Jika sampai besok malam kau tidak dapat
menemukan Lembu Ampal, maka kita akan menghadap bersamasama."
"Tetapi apakah hal itu merupakan kesalahan kami ?"
"Kalian tidak bersalah."
Kedua prajurit itu menarik nafas dalam-dalam. Namun demikian
mereka masih tetap berdebar-debar. Jika besok malam Pranaraja
berkata lain, maka nasib mereka akan menjadi sangat buruk. Adalah
kebetulan saja mereka waktu itu sedang bertugas, pada saat
Tohjaya memerlukan Lembu Ampal. Jika karena Lembu Ampal tidak


Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ada, kemudian kesalahan itu ditimpakan kepada mereka, alangkah
malangnya mereka berdua. Ketika prajurit itu kemudian melanjutkan usahanya, Pranaraja
sudah mendahului menghadap Tohjaya, dan mengatakan bahwa
kedua prajurit itu tidak dapat menemukan Lembu Ampal, sedang
keduanya masih terus melakukan usaha pencarian itu.
"Apakah Lembu Ampal memang sedang menunggu kedua anakanak
itu di suatu tempat?"
Pranaraja termangu-mangu. Namun kemudian jawabnya,
"Memang mungkin tuanku. Mungkin Lembu Ampal menyusul atau
justru mendahului orang-orang yang telah mengambil kedua anakanak
itu. Di suatu tempat yang jauh, keduanya akan diselesaikannya
agar tidak ada seorang pun yang melihat mereka"
"Tetapi memang mungkin Mahisa Agni telah menyingkirkan
mereka karena ia tahu bahwa kedua anak-anak itu akan di bunuh."
"Dari siapakah ia mendengarnya tuanku." Tohjaya
menggelengkan kepalanya, "Aku tidak tahu."
"Tidak ada orang lain yang mendengarnya."
522 "Bahkan mungkin dari Lembu Ampal sendiri." Wajah Pranaraja
menegang sesaat, lalu, "Apakah mungkin Lembu Ampal
berkhianat?" Tohjaya tidak segera menjawab. Tetapi nampak wajahnya
sedang diliputi oleh ketegangan yang luar biasa.
"Tidak mustahil para prajurit yang mendapat perintah berjaga itu
menjadi curiga, dan mereka membuat perhitungan dan dugaan
semacam itu." Pranaraja mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia sependapat
dengan Tohjaya, bahwa prajurit-prajurit yang mendapat tugas
untuk menjaga dan mengawasi Mahisa Agni, kemudian Ranggawuni
dan Mahisa Cempaka mempunyai dugaan demikian, sehingga
mereka tidak dengan sengaja saling berbicara di antara mereka
sendiri. Namun bagaimanapun juga Tohjaya dan Pranaraja tidak dapat
melepaskan kecurigaan mereka terhadap Mahisa Agni. Apalagi
setelah mereka mendengar laporan bahwa pada malam itu para
pengawal Mahisa Agni bersikap aneh. Mereka hampir tidak tidur
semalam suntuk, bahkan ada di antara mereka yang berada di
halaman. "Tetapi mereka tidak pergi kemanapun." berkata Pranaraja,
"Bahkan hamba sudah memerintahkan untuk menghitung para
pengawal. Ternyata pengawal-pengawal Mahisa Agni jumlahnya
masih tetap, sehingga orang yang melarikan kedua anak-anak itu
tentu bukan pengawal-pengawal Mahisa Agni yang di bawanya dari
Kediri, meskipun diketahui bahwa mereka sebagian adalah prajuritprajurit
Singasari yang ada di Kediri."
"Baiklah." berkata Tohjaya, "Aku harus berbicara dengan Mahisa
Agni. Jika ternyata Mahisa Agni pantas dicurigai, apa boleh buat. Ia
harus ditangkap bersama para pengawalnya. Betapapun tinggi
ilmunya, tetapi ia tidak akan dapat melawan semua Panglima dan
Senapati yang ada di Singasari."
523 Pranaraja mengerutkan keningnya. Katanya, "Tetapi tuanku.
Hamba masih selalu mengingatkan kepada tuanku pendapat
Panglima Pelayan Dalam yang pada saat itu pergi ke Kediri dan
melihat sendiri apa yang tumbuh di sana."
Tohjaya menarik nafas dalam-dalam. Tetapi kemudian sambil
menggeretakkan giginya ia berkata, "Aku tidak peduli. Aku adalah
Maharaja yang paling berkuasa di Singasari. Jika aku tidak berani
bertindak terhadap seseorang, maka aku tidak akan dapat
menegakkan keadilan di atas Singasari ini. Dengan demikian
kedudukanku tidak akan ada artinya sama sekali."
Pranaraja tidak berani membantah lagi. Karena itu ia hanya dapat
menundukkan kepalanya saja.
"Pranaraja." berkata Tohjaya kemudian, "Sekarang kau pergi
kepada Senapati yang sedang bertugas. Kau minta laporan dari
perkembangan keadaan. Apakah orang yang mencari Lembu Ampal
sudah ketemu atau perkembangan yang lain. Aku akan menghadap
ibunda untuk mohon pertimbangannya."
Demikianlah, di dalam keadaan yang paling sulit, Tohjaya masih
selalu datang kepada ibunya dan minta pertimbangannya.
"Kita pantas mencurigai Mahisa Agni." berkata Ken Umang,
"Sejak dahulu Mahisa Agni adalah orang yang paling banyak
membuat kesulitan. Sejak pada masa Akuwu Tunggul Ametung
memerintah Tumapel. Ia adalah orang yang menentang Akuwu
ketika Ken Dedes, gadis dari Panwijen itu diambil ke istana."
"Bukankah ia saudara laki ibunda Ken Dedes?"
"Saudara angkatnya. Ia ingin mengawinkan Ken Dedes dengan
putera Buyut Panawijen."
"Bodoh sekali."
"Nah, kau sudah dapat menilainya. Kemudian pada jaman
ayahandamu memegang kekuasaan, Mahisa Agni pun selalu
membuat kesulitan di Singasari Anusapati ditempanya menjadi
seorang yang memiliki ilmu yang tinggi. Dengan demikian Mahisa
524 Agni dengan sengaja telah berusaha menyingkirkan ayahandamu
dan menempatkan Anusapati di atas tahta. Hanya di saat Anusapati
berada di atas tahta Mahisa Agni tidak berbuat apa-apa. Sekarang,
setelah kau menggantikan Anusapati, Mahisa Agni kembali
melakukan pengacauan dengan caranya."
"Jadi menurut ibunda, aku pantas menangkapnya?"
"Jika kau menangkapnya, bawa ia kepadaku. Aku akan
memaksanya untuk berbicara."
"Ibunda?" "Ya." "Tetapi ibunda, Mahisa Agni memiliki kekuatan yang cukup di
belakangnya." "Kekuatan yang manakah yang kau maksud?"
Tohjaya pun kemudian menceriterakan sikap para prajurit yang
ada da Kediri. "Dan itu adalah pertanda bahwa orang-orang yang melarikan
Ranggawuni dan Mahisa Cempaka adalah bagian dari mereka yang
mendukung Mahisa Agni di Kediri."
"Tetapi Lembu Ampal sampai saat ini belum diketemukan. Jika
orang-orang yang melarikan Ranggawuni dan Mahisa Cempaka itu
bukan orang-orang Lembu Ampal, maka Lembu Ampal tentu akan
datang menghadap dan melaporkan peristiwa ini."
"Kau pernah mengancamnya. Jika ia gagal, maka ia akan
menerima hukuman yang sangat berat."
Tohjaya merenung sejenak, lalu, "Tetapi ia belum gagal. Bahkan
ia belum melakukan apa-apa."
Ken Umang mengangguk-anggukkan kepalanya Tetapi nafsunya
untuk menghinakan Mahisa Agni masih saja menyala di dadanya. Ia
merasa bahwa hutang Mahisa Agni kepadanya, karena
525 penolakannya di masa mudanya, bahkan setelah ia berada di istana,
adalah penghinaan yang harus dibalas dengan penghinaan pula.
"Tohjaya." berkata ibunya kemudian, "Baiklah, jika kau tidak
dapat menangkapnya, panggillah Mahisa Agni. Aku akan berbicara
kepadanya." Tohjaya menarik nafas dalam-dalam. Terasa persoalan ibundanya
agaknya telah bergeser dari kepentingannya. Namun mungkin sekali
akan dapat ditelusur pula lewat persoalan yang dikemukakan oleh
ibunya, apakah Ranggawuni dan Mahisa Cempaka telah
disembunyikannya. Karena itu maka untuk memenuhi permintaan ibundanya Tohjaya
pun segera memerintahkan memanggil Mahisa Agni. Ia harus
menghadap Tdhjaya di bangsalnya.
Mahisa Agni menjadi berdebar-debar. Panggilan di dalam saat
yang kabur itu membuatnya berprasangka sehingga karena itu
maka ia pun segera berpesan kepada para pengawalnya yang masih
ada di bangsalnya, "Kalian harus melihat keadaan. Kalian dapat
menentukan manakah yang baik kalian lakukan. Jika kalian harus
berbuat sesuatu karena pertanda keadaan, maka lakukanlah dengan
hati-hati. Tetapi kalian harus yakin bahwa kalian harus
melakukannya. Dengan demikian kalian tidak boleh tergesa-gesa."
Setelah memberikan pesan-pesan dan petunjuk, maka Mahisa
Agni pun segera minta diri kepada para pengawalnya, katanya, "Aku
hlarus pergi sekarang. Tidak mustahil bahwa mereka telah
mengetahui apa yang telah terjadi. Mereka tentu akan
memperhitungkan tingkah laku kalian semalam."
Demikianlah maka Mahisa Agni pun segera pergi menghadap
Tohjaya di bangsalnya. Bangsal yang pernah dipergunakan oleh
Anusapati. Sebuah bangsal yang dikelilingi oleh kolam buatan dan
kebun-kebun bunga yang sedang berkembang manis sekali.
Para penjaga yang sudah mengetahui bahwa Mahisa Agni akan
datang ke bangsal itu, menerima kedatangannya dengan penuh
526 hormat, dan mempersilahkannya memasuki regol, jembatan di atas
kolam yang dibuat pada masa kekuasaan Anusapati itu.
Di atas jembatan Mahisa Agni berhenti sejenak. Dilihatnya
beberapa ekor ikan emas yang kekuning-kuningan sebesar telapak
tangan berenang hilir mudik di sela-sela daun teratai. Dengan
cekatan ikan-ikan emas itu menggeliat dan hilang di bawah
dedaunan ketika idua ekor angsa nampak berenang dengan
tenangnya mendekati mereka.
"Ikan pun secara naluriah berusaha menyelamatkan hidupnya."
berkata Mahisa Agni di dalam hatinya, "Apalagi seseorang."
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia berpaling
dilihatnya beberapa orang prajurit termangu-mangu di depan regol.
Agaknya mereka menjadi curiga melihat Mahisa Agni berhenti dan
berdiri bersandar pagar jembatan kecil itu.
Mahisa Agni tersenyum. Bahkan ia pun melambaikan tangannya
sehingga para prajurit itu justru menjadi tersipu-sipu. Sambil
menundukkan kepala mereka pun segera bergeser menepi dan
berlindung di balik tiang regol di mulut jembatan itu.
Mahisa Agni masih berdiri di tempatnya sejenak. Kemudi an ia
pun melangkahkan kakinya menuju kepintu bangsal itu.
Seorang Pelayan Dalam yang sedang bertugas agaknya sudah
mendapat pesan pula bahwa Mahisa Agni akan segera datang.
Karena itu, maka ia pun segera mempersilahkannya masuk dan
menyampaikannya kepada Tohjaya.
(Bersambung Jilid 8). Koleksi : Ismoyo Scanning: Arema Convert/proofing: Mahesa Rechecking/editing: Arema
-oo0dw0ooTiraikasih Website http://kangzusi.com/
527 Karya SH MINTARDJA Sepasang Ular Naga di Satu Sarang
Sumber djvu : Koleksi Ismoyo & Arema
http://kangzusi.com/ atau http://dewi-kz.info/
Jilid 08 MAHISA AGNI memasuki ruangan
depan bangsal itu dengan hati yang
berdebar-debar, apalagi ketika
kemudian seorang pelayan dalam
berkata kepadanya, "Tuanku ditunggu
di ruang dalam." Sejenak Mahisa Agni termangumangu.
Apakah di ruang dalam telah
berhimpun para panglima dan senapati
yang akan menangkapnya"
Sekilas terbayang beberapa ekor
ikan emas yang berenang di kolam.
Ikan emas yang menghindarkan diri
dari cengkeraman maut. "Silakan Tuanku," berkata pelayan dalam itu dengan hormatnya.
Mahisa Agni tidak membantah. Dengan ragu-ragu ia
melangkahkan kakinya masuk ke ruang dalam.
Namun tiba-tiba saja langkahnya terhenti, seperti juga darahnya
serasa berhenti mengalir ketika dilihatnya Ken Umang berada di
bangsal itu bersama Tohjaya.
"Marilah, Kakang Mahisa Agni," Ken Umang mempersilakan
sambil tertawa. 528 Wajah Mahisa Agni menjadi tegang. Untuk beberapa saat ia
masih diam mematung. "Silakan, Paman," berkata Tohjaya kemudian. Mahisa Agni pun
kemudian bergeser maju. Dengan kepala tunduk ia duduk
menghadap Tohjaya. "Sudah lama kita tidak berjumpa, Kakang," berkata Ken Umang
kemudian. "Ya, Tuan Putri," sahut Mahisa Agni singkat.
Tohjaya memandang ibundanya sejenak. Tetapi sebelum ia
mengatakan sesuatu Ken Umang sudah mendahuluinya," Aku
mengenal Mahisa Agni sejak mudaku Tohjaya."
Tohjaya tidak menyahut. "Kakang Mahisa Agni sering kali datang ke rumah kakak iparku.
Witantra." "Witantra?" sahut Tohjaya.
"Ya, kenapa?" Tohjaya merenung sejenak. Rasa-rasanya ia pernah mendengar
nama itu. Tetapi ia tidak berkata sesuatu.
"Sejak mudanya Kakang Mahisa Agni adalah orang yang paling
sombong yang pernah aku temui. Jauh lebih sombong dari
ayahandamu, Sri Rajasa."
Tohjaya tidak menyahut. Namun dalam pada itu terasa dada Mahisa Agni menjadi
berdebar-debar. Ia sadar bahwa dendam yang tersimpan di hati Ken
Umang yang pernah merasa dihinakannya itu tidak akan hilang
sampai akhir hayatnya. Tetapi ia masih tetap berdiam diri.
"Bukankah begitu Kakang Mahisa Agni," berkata Ken Umang
kemudian, "tetapi tidak selamanya kau dapat menyombongkan diri.
Aku adalah istri kedua dari Sri Rajasa, Maharaja di Singasari.
Mungkin kau masih dapat berbangga pula karena kau adalah
529 saudara Tuanku Permaisuri pada masa pemerintahan Sri Rajasa,
dan apalagi kau mendapat kedudukan yang tinggi di Kediri. Tetapi
sekarang aku adalah ibunda dari maharaja itu sendiri. Semua katakataku
adalah kata-kata putraku Tohjaya. Dan kau tahu arti dari
kata-katanya." Mahisa Agni masih belum menyahut.
"Mahisa Agni," berkata Ken Umang kemudian, "apakah dalam
keadaanmu sekarang, kau masih dapat menyombongkan dirimu"
Nah, katakan sebelum aku mengambil sikap yang lain sesuai dengan
perbuatan yang pernah kau lakukan atasku, apakah kau melihat
Ranggawuni dan Mahisa Cempaka?"


Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mahisa Agni mengangkat wajahnya, lalu, "Ampun Tuan Putri,
hamba sama sekali tidak melihat Ranggawuni dan Mahisa Cempaka.
Pada saat hamba mendengar kedua cucu kemenakan hamba itu
hilang, hamba sudah datang menghadap Tuanku Tohjaya dan
mohon perlindungannya. Karena kedua cucu kemenakan hamba itu
adalah permata bagi ibundanya. Apa lagi Ranggawuni. Ibunya tidak
memiliki apapun lagi kecuali anak laki-laki itu."
Ken Umang tertawa. Katanya, "Tentu kau dapat ingkar Mahisa
Agni. Tetapi apakah sebenarnya maksudmu mengambil kedua anakanak
itu" Bukankah ia mendapat haknya di istana ini?"
"Sekali lagi hamba mengatakan, bahwa justru hambalah yang
harus bertanya, di manakah kedua anak-anak itu."
"Mahisa Agni," berkata Ken Umang, "kau tahu bahwa di sini ada
Tohjaya yang kini memegang kekuasaan. Dan aku adalah
ibundanya. Ketahuilah Mahisa Agni, bahwa sebenarnya aku dapat
menjatuhkan hukuman apapun terhadapmu karena penghinaan
yang pernah kau lemparkan kepadaku saat itu, seolah-olah aku
adalah perempuan yang tidak berharga. Tetapi semuanya itu
tergantung atas pengakuanmu. Jika kau tidak mau menunjukkan di
mana Ranggawuni dan Mahisa Cempaka kau sembunyikan, maka
aku dapat menjatuhkan hukuman yang paling berat atasmu. Tidak
ada orang yang dapat mencegahnya. Kekuasaan putraku adalah
530 mutlak. Kau tidak akan dapat membanggakan pengikut- pengikutmu
yang ada di Kediri, karena tidak semuanya dapat kau kuasai."
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Memang Ken Umang
memiliki kelebihan dari Ken Dedes. Ken Dedes adalah seorang istri
yang baik dan seorang ibu yang baik. Tetapi kadang-kadang
memang diperlukan seorang perempuan yang ingin mengetahui
banyak hal dari keadaan di sekitarnya. Meskipun Ken Dedes kadangkadang
juga berbincang dengan Sri Rajasa pada masa hidupnya,
namun Ken Dedes tidak terlampau banyak ingin mengerti dan
bahkan kemudian menentukan sikap atas pemerintahan di Singasari.
Ken Dedes lebih banyak mendorong dan membesarkan hati
suaminya. Tetapi Ken Umang kadang-kadang mempunyai sikapnya sendiri.
Bukan saja karena kini ia ikut berkuasa bersama anak laki-lakinya,
tetapi sejak masa pemerintahan Sri Rajasa, Ken Umang memang
banyak menunjukkan sikapnya. Namun agaknya perempuan yang
demikianlah yang menarik hati Sri Rajasa. Perempuan yang memiliki
gairah yang menyala-nyala.
"Kenapa kau diam saja Mahisa Agni?" berkata Ken Umang,
"Apakah kau telah terlempar ke dalam sikap masa bodoh"
Seharusnya kau tetap pada sikapmu sebagai seorang kesatria yang
berani bertanggung jawab. Nah, katakan. Di mana Ranggawuni dan
Mahisa Cempaka supaya aku tidak melipat gandakan hukuman yang
dapat aku jatuhkan atasmu. Mungkin aku akan dapat
memaafkanmu, asal kau dapat menunjukkan kedua anak-anak itu."
Mahisa Agni masih tetap berdiam diri sambil menundukkan
kepalanya. "Mahisa Agni," suara Ken Umang meninggi, "apakah aku harus
memaksamu berbicara?"
"Tuan Putri," berkata Mahisa Agni kemudian sambil memandang
wajah Tohjaya sejenak, "hamba sudah mengatakan bahwa hamba
tidak tahu. Justru hamba mohon perlindungan kepada Tuanku
Tohjaya." 531 "Jangan memperbodoh kami!" bentak Ken Umang, "Orangorangmu
yang ada di bangsalmu itu berbuat aneh-aneh pada malam
hari itu juga. Apakah kau masih akan ingkar?"
"Hamba tidak mengerti Tuan Putri. Tuan Putri jangan memaksa
hamba mengatakan yang hamba tidak mengetahui. Hamba memang
dapat menyebut nama-nama tempat. Tetapi tentu saja tidak ada
hubungannya dengan Ranggawuni dan Mahisa Cempaka."
Ken Umang menjadi semakin marah. Dengan lantang ia berkata,
"Tohjaya, Mahisa Agni masih tetap sombong seperti dahulu. Jika ia
tetap keras tidak mau mengatakan apapun juga, maka jangan kau
anggap ia seorang yang memiliki hak lebih banyak dari orang lain.
Jika ia kau anggap bersalah tentu kau dapat menghukumnya."
Tohjaya justru menjadi bingung mendengar kata-kata ibunya.
Namun agaknya ia pun terpengaruh juga. Apalagi ketika ibunya
berkata lebih lanjut, "Kau jangan silau memandang pengaruhnya
yang sebenarnya tidak begitu besar. Apalagi ia sekarang berada di
sini. Kau dapat memanggil para senapati yang ada di luar. Jika
Mahisa Agni hendak melawan, maka ia dapat dibunuh di sini seperti
kalian membunuh seekor ular berbisa."
Ken Umang memang sangat berpengaruh atas putranya. Karena
itu Tohjaya mulai mempertimbangkan pendapat ibunya. Baginya,
dugaan bahwa Mahisa Agni tahu benar ke mana perginya
Ranggawuni dan Mahisa Cempaka, agaknya perlu mendapat
perhatian yang besar. "Tohjaya, kenapa kau menjadi termangu-mangu. Kau dapat
memaksanya berbicara."
Tohjaya masih juga ragu-ragu. Ia masih saja teringat kepada
Lembu Ampal. "Jika ternyata Lembu Ampal yang membawa Ranggawuni dan
Mahisa Cempaka, maka akan timbul keributan tanpa arti," katanya
di dalam hati. Sehingga dengan demikian Tohjaya masih belum
dapat mengambil keputusan. Tetapi sudah barang tentu bahwa ia
tidak akan dapat mengatakannya langsung di hadapan Mahisa Agni.
532 Dalam keragu-raguan itu Tohjaya masih mendengar ibunya
berkata, "Tohjaya. Kau tidak usah mempertimbangkan lagi,
meskipun Mahisa Agni adalah saudara ibundamu Ken Dedes. Ken
Dedes kini bukan permaisuri lagi. Hidupnya tergantung pada belas
kasihanmu. Jika Ken Dedes saja tergantung pada kebesaran jiwamu,
apalagi orang yang bernama Mahisa Agni ini. Anak pedesaan yang
tidak tahu peruntungan nasibnya, yang justru kini berusaha
mengacaukan pemerintahanmu dengan menyembunyikan
Ranggawuni dan Mahisa Cempaka. Apakah arti anak Panawijen ini
bagimu sekarang?" Betapapun Mahisa Agni mencoba menahan hatinya, namun
terasa darahnya bagaikan mendidih. Ia sadar, bahwa ia telah masuk
ke dalam perangkap. Mahisa Agni itu sadar sepenuhnya bahwa kini
di sekitar bangsal itu telah siap sepasukan prajurit Singasari terpilih.
Para panglima dan senapati.
Sekilas Mahisa Agni teringat kepada para pengawalnya yang
sudah siap pula mempertaruhkan jiwanya. Jika terjadi sesuatu,
maka mereka tentu akan bergerak pula. Adalah tidak mustahil
baginya berusaha untuk melarikan diri dari tangkapan para prajurit
Singasari bersama para pengawalnya. Namun yang selalu
memberati hatinya adalah akibat yang timbul kemudian. Jika benar
terjadi benturan senjata, maka Singasari akan benar-benar menjadi
koyak. Tetapi Mahisa Agni pun tidak dapat dengan suka rela
menyerahkan lehernya sendiri. Jika ia yakin bahwa dengan
kematiannya Singasari akan menjadi tenteram dan damai, maka
Mahisa Agni sama sekali tidak akan mengelak. Tetapi dalam
kekuasaan Tohjaya dan ibundanya Ken Umang, keadaannya tentu
akan terjadi sebaliknya. Karena itu, untuk sementara Mahisa Agni memutuskan, jika
terjadi tindakan kekerasan atas dirinya, maka ia harus berusaha
menghindar, apapun cara yang dapat dipergunakannya.
Dalam pada itu, karena Tohjaya masih juga ragu-ragu, Ken
Umang berkata, "Kenapa kau masih belum bertindak apapun juga
533 Tohjaya" Bukankah kau tinggal memanggil para senapati" Cepat!
Sebelum orang yang sombong ini berusaha melakukan
pengkhianatan yang lebih banyak lagi. Seandainya Mahisa Agni
ternyata tidak menyembunyikan Ranggawuni dan Mahisa Cempaka
pun, kau tidak akan kehilangan apapun juga karena kematian anak
Panawijen ini, yang tentu akan segera disusul oleh adiknya Ken
Dedes yang sudah sakit-sakitan itu."
Dada Mahisa Agni rasa-rasanya akan meledak mendengar hinaan
yang tiada henti-hentinya itu. Betapapun ia menahan hati, namun
akhirnya tepercik jugalah kemarahan yang ditahankannya itu. Ia
tidak dapat menerima hinaan terus menerus tanpa membela diri,
karena ia masih juga mempunyai telinga dan hati.
"Ampun Tuan Putri," berkata Mahisa Agni kemudian,
"sebenarnyalah yang Tuan Putri katakan itu benar semata-mata.
Tetapi sudah barang tentu bahwa hamba sama sekali tidak
bermaksud menyombongkan diri. Apa yang pernah hamba lakukan
justru karena hamba merasa diri hamba terlampau kecil. Juga saat
ini hamba tidak akan berani berbuat apa-apa selain mohon
perlindungan Tuanku Tohjaya."
"Bohong! Kau pernah menyakiti hatiku," bentak Ken Umang, "dan
dendam itu masih tetap membara sampai sekarang."
Tak ada jalan lain bagi Mahisa Agni selain mempertahankan diri
meskipun ia masih mencari jalan yang lebih baik dari kekerasan.
Katanya, "Tuan Putri, bagaimana, mungkin hamba dapat menyakiti
hati Tuan Putri" Jika sekiranya demikian, kenapa Tuan Putri tidak
mengambil tindakan apapun juga saat itu?"
Pertanyaan itu membuat hati Ken Umang tergetar. Namun ia
masih menyahut, "Sikap sombongmu itulah yang menyakiti hatiku
karena kau merasa dirimu keluarga terdekat dari Ken Dedes yang
kini terpaksa berlindung di bawah kebaikan hati anakku."
Sakit di hati Mahisa Agni menjadi semakin pedih, sehingga
terloncat dari bibirnya, "Apakah benar demikian?"
534 Wajah Ken Umang menjadi semakin merah, dan bibirnya
bergetar menahan marah. Ternyata kesombongan Mahisa Agni
masih juga terasa olehnya sampai di hari tua.
"Mahisa Agni," berkata Ken Umang, "kau sekarang tidak akan
dapat menyombongkan dirimu lagi. Jika kemarahan hatiku tidak
terkendali, maka akibatnya akan menyentuh adikmu yang pernah
menjadi seorang permaisuri di Singasari. Jika putraku mengibaskan
perlindungan atasnya, maka ia akan mengalami nasib seburuk
suaminya dan anak laki-lakinya."
"Itu lebih baik Tuan Putri," dengan lantang Mahisa Agni
menyahut, "ia memang sudah semakin tua. Tetapi ia tetap seorang
perempuan yang bersih dari noda-noda yang memercik dari nafsu
dan ketamakan." "Agni, apakah maksudmu?" bentak Ken Umang dengan
membelalakkan matanya. Ternyata Mahisa Agni tidak dapat menahan diri lagi. Maka
meluncurlah kata-katanya, "Ken Dedes tidak pernah melakukan
perbuatan nista. Ia diambil oleh Akuwu Tunggul Ametung dengan
paksa. Dan ia kemudian diperistri oleh Sri Rajasa sepeninggal
Akuwu Tunggul Ametung. Ken Dedes tidak pernah dengan sengaja
menawarkan dirinya, apalagi menjebaknya di tengah-tengah hutan
perburuan. Di daerah jelajah binatang-binatang liar."
"Mahisa Agni!" Ken Umang hampir berteriak.
Tetapi suara Mahisa Agni yang hampir tidak tertahankan itu pun
mengatasinya, "Tuan Putri. Hamba tidak akan dapat menutup mata,
bahwa hal itu telah terjadi di hutan perburuan pada saat Sri Rajasa
berburu bersama beberapa orang pengawal. Meskipun tidak ada
orang yang melihat apa yang telah terjadi, tetapi yang telah terjadi
itu telah tercium oleh beberapa orang pengawal. Dan bukankah Sri
Rajasa sendiri bukannya orang yang dapat menyembunyikan
perasaannya terhadap seorang perempuan. Ketika hal itu terjadi,
maka tidak ada jalan lain bagi Sri Rajasa selain bertanggung jawab
sebagai seorang laki-laki. Maka Tuan Putri pun telah berhasil
535 memaksa Maharaja yang paling berkuasa itu untuk tunduk di bawah
kemauan Tuan Putri."
Kemarahan yang memuncak telah membakar jantung Ken
Umang, sehingga hampir tanpa disadarinya ia telah berdiri dan
meloncat mendekati Mahisa Agni. Dengan derasnya tangan Ken
Umang itu terayun menampar wajah Mahisa Agni yang masih tetap
duduk di tempatnya. "Ibunda!" Tohjaya pun meloncat mencegahnya. Tetapi ayunan
tangan Ken Umang telah mengenai wajah Mahisa Agni, meskipun
bagi Mahisa Agni yang telah terbiasa berada di medan itu hampir
tidak merasakannya. "Bunuh orang gila ini, Tohjaya! Bunuh orang gila ini sekarang
juga!" "Bunuhlah hamba," berkata Mahisa Agni, "tetapi sebaiknya
Tuanku Tohjaya mendengarkannya, bahwa karena itulah maka
Tuanku Tohjaya dilahirkan."
"Gila, gila, gila!" teriak Ken Umang.
"Ibunda," Tohjaya termangu-mangu, Dan tiba-tiba saja ia
bertanya, "Apa yang telah terjadi Paman Mahisa Agni?"
"Jangan biarkan mulutnya berbicara, kau dapat membunuhnya
sekarang." Teriakan Ken Umang agaknya telah menarik perhatian beberapa
orang senapati yang memang bertugas di luar bangsal. Karena itu,
karena mereka tidak tahu pasti apa yang telah terjadi beberapa
orang telah berdiri di muka pintu untuk melakukan tugas apabila
perintah Tohjaya tiba-tiba saja jatuh. Atau bahkan mereka merasa
cemas bahwa sesuatu telah terjadi di luar dugaan, karena Mahisa
Agni adalah seorang yang memiliki ilmu yang jarang imbangnya.
Namun agaknya Tohjaya yang mulai dipengaruhi oleh kata-kata
Mahisa Agni itu membentak keras sekali, "Pergi! Pergi kalian! Aku
tidak memerlukan kalian sekarang."
536 Para senapati itu pun surut beberapa langkah. Mereka pun
kemudian meninggalkan bangsal itu dan berdiri termangu-mangu di
atas jembatan kecil di atas kolam yang ditaburi dengan berjenisjenis
ikan itu. Sepeninggal para senapati maka Tohjaya pun sekali lagi bertanya
kepada Mahisa Agni, "Paman, cobalah katakan. Apa yang telah
terjadi dengan ibunda."
"Oh," tiba-tiba Ken Umang menutup wajahnya dengan kedua
telapak tangannya. Sambil menangis ia berkata, "Jangan biarkan ia
berbicara. Ia berbohong semata-mata. Sekedar untuk memburukkan
namaku dan namamu Tohjaya,."
"Katakan Paman. Tetapi jika Paman berbohong aku akan
menghukum Paman dengan hukuman picis di alun-alun. Hukuman
yang paling berat yang dapat dijatuhkan kepada seseorang."
"Hamba tidak berbohong Tuanku. Ibunda Tuanku telah berhasil
menjerat ayahanda Sri Rajasa di hutan perburuan."
"Di hutan perburuan?"
"Ya. Di hutan perburuan. Dan terjadilah hal itu. Jika kemudian
lahir seorang putra, maka Tuankulah putra ibunda Tuanku yang
pertama. Ayahanda Sri Rajasa tidak dapat ingkar lagi. Sebagai lakilaki,
maka terpaksalah ayahanda Sri Rajasa mengambil ibunda
Tuanku menjadi istrinya yang kedua."
"Begitu" Ibunda, benarkah begitu?" teriak Tohjaya.
"Bohong, bohong!. Sama sekali bohong!"
"Memang tidak ada saksi selain hati nurani Tuan Putri sendiri."


Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tidak, tidak."
Tohjaya pun kemudian dengan lemahnya terduduk di tempat
duduknya sambil menekan dadanya yang serasa retak.
537 Sejenak ruangan itu dicengkam sepi. Yang terdengar hanyalah
desah-desah nafas yang semakin cepat berkejaran di lubang hidung,
dan isak Ken Umang yang semakin menyesak di dadanya.
Tohjaya masih duduk dengan kepala tunduk. Di dalam anganangannya
tanpa disadarinya, terjadilah peristiwa itu. Seakan-akan ia
melihat apa yang telah terjadi.
"Alangkah nistanya," desisnya tiba-tiba.
"Tohjaya, "suara ibunya yang gemetar, "jangan kau percaya
kata-katanya. Ia memang dengan sengaja memfitnah aku. Ia
merasa bahwa ia tidak lagi mempunyai kekuatan untuk
menyelamatkan diri karena ia telah melarikan Ranggawuni dan
Mahisa Cempaka. Jika ia berhasil dan aku mempercayainya, maka
kau sudah terjebak di dalam akal liciknya."
Tiba-tiba Tohjaya meloncat bangkit. Dengan garangnya ia
berkata, "Benarkah begitu" Jadi kau sekedar berusaha
menyelamatkan dirimu dengan fitnah yang keji itu?"
"Tuanku Tohjaya," sahut Mahisa Agni, "seandainya Tuanku Sri
Rajasa masih hidup, maka tentu ia akan mengiakannya. Tentu ia
akan mengatakan bahwa semuanya itu memang sudah terjadi.
Seandainya ibunda Tuanku tetap pada kata-katanya maka aku dapat
menyebut rahasia yang lebih banyak lagi yang menyangkut ibunda
Tuanku." "Bohong!" teriak Ken Umang.
"Hamba tidak berbohong Tuanku. Dan Tuanku dapat bertanya
kepada orang yang bernama Witantra itu. Ia adalah saudara ipar
ibunda Tuanku." "Tidak ada orang bernama Witantra!" Ken Umang masih
berteriak. "Ibunda telah menyebut namanya," sahut Tohjaya.
538 Ken Umang terdiam. Tetapi ketegangan yang sangat telah
mencengkam jantungnya. Karena itu maka ia masih saja berteriak,
"Bunuh saja orang itu! Bunuh saja sekarang!"
Tohjaya masih berdiri termangu-mangu. Sekali lagi membayang
saat-saat dari permulaan hidupnya.
Mahisa Agni memandang keduanya berganti-ganti. Tetapi ia tidak
mau kehilangan kesempatan. Karena itu maka katanya kemudian,
"Tuanku Tohjaya. Sebaiknya Tuanku tidak usah menyesalinya.
Bagaimanapun juga yang terjadi, tetapi Tuan Putri Ken Umang
adalah ibunda Tuanku."
Terdengar Tohjaya menggeretakkan giginya. Dan Mahisa Agni
berkata seterusnya, "Tuanku pun tidak usah menyesali. Justru
karena Tuanku tahu. betapa seorang manusia telah lahir dari
kenistaan. Namun adalah suatu kenyataan bahwa Tuanku kini
adalah seorang maharaja. Seperti juga setiap orang mengetahui
siapakah Anusapati, maka sebenarnya setiap orang pun akhirnya
mengetahui, bagaimana Tuanku dapat terjadi."
Tohjaya hampir kehilangan seluruh tenaganya ketika Mahisa Agni
melanjutkan, "Namun bagaimanapun juga, Tuanku masih lebih baik
dari Anusapati. Anusapati adalah bukan putra Sri Rajasa. Setiap
orang mengetahui, terutama yang sudah berusia lanjut, bahwa pada
saat Tuanku Sri Rajasa mengawini Ken Dedes, Tuan Putri Ken
Dedes sudah mengandung. Tetapi orang-orang itu tetap berdiam
diri untuk menjaga perasaan Anusapati dan Ken Dedes itu sendiri.
Kemudian, seperti halnya Ken Dedes, maka setiap orang pun tahu
meskipun mula-mula bersumber dari kalangan istana sendiri, dari
orang-orang yang dekat dengan Sri Rajasa yang saat itu masih
sangat muda dan berbangga diri atas peristiwa yang telah terjadi,
bahwa demikianlah adanya."
Tetapi Tohjaya seolah-olah telah tidak mendengar lagi.
Kepalanya yang tunduk menjadi semakin tunduk, sedang keringat
dingin telah membasahi seluruh tubuhnya. Ia yang kini duduk di
atas tahta Singasari, ternyata adalah anak yang lahir dari perbuatan
539 nista ibundanya, justru di hutan perburuan seperti perbuatan
sepasang kijang yang tidak mengenal peradaban.
"Maaf Tuanku," berkata Mahisa Agni pula, "bukan maksud hamba
melukai hati, Tuanku. Tetapi semata-mata karena hamba tidak lagi
dapat berdusta kepada diri sendiri, karena hamba pun mendengar
peristiwa itu telah terjadi."
Tiba-tiba saja Tohjaya menjadi liar. Dipandanginya seisi ruangan
itu. Sejenak kemudian ia pun berlari ke luar bilik tanpa
mengucapkan sepatah kata pun lagi. Ia telah melupakan
kedudukannya sebagai seorang maharaja. Ia telah melupakan s ikap
dan suba sita. Sebagai manusia ia telah terhempas ke dalam jurang
kekecewaan yang dalam tiada taranya.
Ketika seorang prajurit yang berdiri di ujung jembatan mencoba
menunggu perintahnya dengan mulut ternganga melihat sikap
Tohjaya itu, maka prajurit itu telah ditendangnya sehingga ia
terdorong jatuh ke dalam kolam.
Dengan tergesa-gesa Tohjaya berjalan meninggalkan bangsal itu.
Sekejap ia berdiri termangu-mangu di luar regol di ujung jembatan
tanpa menghiraukan para prajurit yang ikut menjadi kebingungan
melihat sikapnya. "Tuanku?" pemimpin prajurit yang bertugas di regol itu mencoba
bertanya. Tetapi sebuah pukulan telah melayang menampar pipinya
sehingga pemimpin prajurit itu mengaduh tertahan.
Sementara itu Tohjaya pun kemudian berjalan dengan tergesagesa
meninggalkan bangsal itu menuju ke bangsalnya sendiri
sebelum ia tinggal di bangsal yang dikitari oleh kolam yang dibuat
oleh Anusapati itu. Dua orang pengawalnya berlari-lari menyusulnya. Tetapi
keduanya pun tidak berani bertanya sepatah kata pun selain
mengikutinya sambil berlari-lari kecil.
540 Sementara itu, di dalam bangsal di tengah-tengah kolam itu, Ken
Umang menangis sambil menutup wajahnya, sedang Mahisa Agni
duduk termangu-mangu di tempatnya.
"Kau gila!" terdengar suara Ken Umang di sela-sela isaknya, "Kau
telah membalas sakit hatimu dengan cara yang ke ji sekali."
"Ampun Tuan Putri," jawab Mahisa Agni, "bukan hamba yang
berusaha membalas dendam dan sakit hati. Tetapi Tuan Putri
sendiri. Hamba hanya sekedar mencoba mempertahankan diri."
"Tetapi kau telah menyiksa perasaannya. Perasaan Tohjaya. Kau
dapat menghinakan aku sekali lagi dan sekali lagi. Tetapi kau jangan
mematahkan gairah hidup Tohjaya karena ia mengetahui bahwa
yang telah terjadi itu adalah perbuatan yang nista."
Mahisa Agni tidak menjawab. Betapa keras hatinya, namun ia
merasa iba juga melihat Ken Umang yang menangis sehingga
nafasnya serasa menjadi sesak.
Namun tiba-tiba Ken Umang itu mengangkat wajahnya. Dengan
gelisah ia bergumam, "Aku harus memberi penjelasan kepada
Tohjaya. Aku akan menemuinya sendiri. Tidak bersamamu karena
kau ingin memanfaatkan keadaan ini untuk keuntunganmu.
Keuntungan pribadimu."
"Tuan Putri," berkata Mahisa Agni yang mulai lirih, "sebenarnya
bukan maksud hamba untuk menghinakan Tuan Putri. Tetapi karena
hamba harus berhadapan dengan maut, maka terpaksa hamba
membela diri sekedar untuk menyelamatkan hamba dari hukuman
mati atau hukuman apapun yang dapat menjerat hamba karena
hilangnya kedua anak-anak muda itu, yang justru hambalah orang
yang ikut kehilangan mereka."
"Persetan!" geram Ken Umang, "Aku akan memberikan
penjelasan kepada Tohjaya."
Dan tiba-tiba pula Ken Umang itu pun segera meloncat berlari
keluar bangsal. 541 Mahisa Agni yang untuk beberapa saat dicengkam oleh keraguraguan,
segera meloncat pula mengikati Ken Umang keluar bangsal.
Para prajurit yang bertugas menjadi heran. Mereka melihat
Tohjaya dengan sikap yang aneh meninggalkan bangsal itu.
Kemudian Ken Umang diikuti oleh Mahisa Agni. Sedangkan para
prajurit itu pun melihat, bendul di pelupuk mata Ken Umang yang
merah. "Apakah Tuanku Tohjaya telah berselisih dengan Tuan Putri?"
salah seorang dari para prajurit itu bergumam.
"Tidak seorang pun yang tahu. Kami hanya mendengar lamatlamat
Tuan Putri berteriak-teriak. Tetapi kami tidak mendengarnya
dengan jelas. Tetapi hal itu memang mungkin sekali terjadi."
"Tetapi apakah yang mereka persoalkan?"
"Bodoh kau, tentu aku tidak mengetahuinya."
Prajurit itu pun kemudian berdiam diri sejenak. Mereka
memandang Ken Umang yang berlari-lari kecil sampai hilang di
longkangan dalam. Dalam pada itu, sejenak Mahisa Agni mengikutinya dari belakang
ke mana Ken Umang pergi. Namun ia pun kemudian terhenti dan
berjalan kembali ke bangsalnya sendiri.
Di sepanjang langkahnya Mahisa Agni masih saja mencoba
menilai persoalan yang baru saja terjadi. Agaknya Tohjaya benarbenar
tersinggung karena peristiwa yang telah terjadi di hutan
perburuan, justru yang kemudian mengakibatkan Tohjaya itu lahir di
dunia. Agaknya Tohjaya tidak mau menerima kenyataan itu. Kenyataan
yang nista dan tidak pernah dibayangkannya.
Namun Tohjaya tidak dapat menolak pengakuan bahwa hal itu
memang telah terjadi. Menurut sorot mata dan warna wajah ibunya,
Tohjaya mempunyai keyakinan bahwa yang dikatakan oleh Mahisa
Agni itu bukan berbohong.
542 Terlebih parah lagi apabila terbayang di angan-angan Tohjaya
bahwa sebenarnya orang di seluruh Singasari sudah mengetahui
apa yang telah terjadi atas ibunya.
"Tentu Ayahanda yang waktu itu masih muda, telah bercerita
kepada orang terdekat. Bahkan mungkin justru sebagai kebanggaan
atas kehinaan Ibunda," berkata Tohjaya di dalam hati, "dan kini
setiap orang akan mempercakapkannya kembali. Mereka akan dapat
bersikap lebih kasar lagi di bawah perintah Tohjaya ini. Bahkan
mungkin bukan sekedar mempercakapkan, tetapi tentu ada yang
berani merendahkan martabatnya sebagai seorang maharaja di
Singasari. Dan berita itu akan segera tersebar. Tersebar sampai ke
ujung negeri ini." Tohjaya menutup wajahnya.
Selagi Tohjaya tenggelam di dalam kecemasan, malu dan
bingung, ibunya perlahan-lahan mendekatinya. Dengan nada yang
dalam diselubungi isaknya yang tertahan ia berkata, "Tohjaya,
cobalah kau dengarkan penjelasanku."
Tohjaya mengangkat wajahnya. Namun kemudian ia melangkah
menjauhi ibunya sambil berkata, "Ibunda, ternyata Ibunda telah
menghinakan diri sendiri dan keturunan Ibunda. Apalagi kini aku
menjadi pusat perhatian seluruh rakyat Singasari. Dan apakah kata
mereka tentang aku, jika cerita itu kemudian tersebar?"
"Ada jalan yang dapat kau tempuh," berkata ibundanya.
"Apa?" "Membungkam Mahisa Agni untuk selama-lamanya."
Tohjaya terdiam sejenak. Dipandanginya bayangan yang
bergerak-gerak di kejauhan. Namun kemudian ia berpaling dan
berkata kepada ibunya, "Tidak ada gunanya. Membunuh Mahisa
Agni akan sama halnya dengan mengaduk abu kering. Debunya
akan beterbangan dan justru tersebar merata."
"Kenapa?" bertanya ibundanya.
543 "Karena orang-orang yang berpihak kepada Mahisa Agni akan
menyebarkan berita itu semakin cepat. Dan orang-orang yang
memang pernah mendengarnya dahulu akan menganggukkan
kepalanya, mengiakannya."
"Tohjaya, apakah kau percaya bahwa cerita itu benar dan
memang pernah terjadi?"
Tohjaya menjadi ragu-ragu.
"Jawablah." Namun ternyata jawab Tohjaya sangat mengejutkan Ken Umang,
"Aku percaya Ibunda."
"Oh," Ken Umang terduduk lesu sambil tersedu, "Jadi kau lebih
percaya kepada Mahisa Agni, kepada orang yang kini berniat
memusnahkan ibundamu dan keturunannya termasuk kau daripada
kepada ibundamu sendiri?"
"Ibunda," bertanya Tohjaya, "jika demikian, apakah sebabnya
Ibunda mendendamnya" Apakah alasan Ibunda menyimpan dendam
sampai sekarang dan bahkan berusaha membunuhnya" Menurut
pertimbanganku, Mahisa Agni tentu mengetahui sesuatu rahasia
Ibunda yang paling besar."
"Cukup Tohjaya! Cukup!"
"Kenapa ibunda?" desak Tohjaya, "jika Mahisa Agni Ibunda sebut
sebagai orang yang paling menyombongkan diri, apa pula
alasannya?" "Jangan kau ulang pertanyaan itu Tohjaya, jangan!"
Tohjaya terdiam. Tetapi ia menjadi semakin yakin bahwa apa
yang dikatakan Mahisa Agni itu benar, atau setidak-tidaknya
sebagian terbesar adalah benar.
"Tohjaya, apakah kau benar-benar tidak mempunyai kepercayaan
lagi kepadaku?" "Ibunda, siapakah sebenarnya Witantra itu?"
544 "Witantra adalah kakak iparku."
"Di mana ia sekarang?"
"Tidak ada orang yang tahu."
"Apakah benar ia berada di Kediri seperti yang pernah disebutsebut
oleh panglima pelayan dalam yang aku tugaskan ke Kediri
untuk memanggil Mahisa Agni?"
"Tentu bukan. Witantra sudah lama hilang. Barangkali ia sudah
mati." "Aku akan memanggil panglima pelayan dalam itu. Ia akan dapat
bercerita tentang orang yang bernama Witantra itu."
"Tidak perlu, itu tidak perlu."
"Kenapa tidak Ibunda" Ia akan dapat banyak bercerita tentang
orang yang bernama Witantra. Yang menurut pendengarannya
adalah bekas seorang panglima di masa pemerintahan Akuwu
Tunggul Ametung di Tumapel."
"Tidak, jangan."
"Ibunda, jika orang itulah yang dimaksud, kebetulan sekali.
Dengan demikian Ibunda akan dapat bertemu dengan kakak
perempuan Ibunda, dan sudah tentu aku akan memanggilnya Bibi."
"Tidak. Itu tidak perlu!"
"Nah," suara Tohjaya tiba-tiba menjadi berat, "itu adalah
pertanda bahwa kehidupan Ibunda memang dibayangi oleh rahasia
yang dengan sengaja akan Ibunda sembunyikan. Tetapi rahasia itu
sebagian tentu apa yang dikatakan oleh Mahisa Agni."


Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Oh," Ken Umang menangis semakin keras.
Beberapa orang emban mengintip dari balik pintu yang tidak
tertutup rapat. Namun mereka pun segera pergi karena mereka
menjadi ketakutan. Jika mereka mendengar rahasia maharaja, atau
diduga mendengarnya, maka mereka akan dapat dihukum mati
tanpa sebab. 545 "Ibunda," berkata Tohjaya dengan nada yang meninggi, "Jika
demikian, rahasia yang menyelubungi Ibunda ternyata sebuah
rahasia yang besar. Dan angan-anganku pun menjadi berkembang
karenanya. Jika Ibunda telah memasrahkan harga diri, dan bahkan
tubuh Ibunda untuk sekedar mengejar keinginan lahiriah, maka
Ibunda tentu pernah melakukan kecemaran yang serupa."
"Tidak, tidak! Demi dewa-dewa aku bersumpah," teriak Ken
Umang. Tohjaya menarik nafas dalam-dalam. Samar ia mulai
membayangkan apa yang pernah terjadi atas dirinya. Apa yang
dilakukan ibundanya selama ini. Ibundanya yang telah
mendorongnya untuk melakukan apa saja agar ia sampai pada
puncak tertinggi dari seluruh kekuasaan yang ada di Singasari. Sejak
kecil ibundanya sudah mengajarinya membenci Anusapati yang
kemudian disebut sebagai anak Tunggul Ametung. Kemudian
berusaha mendesaknya dan menyingkirkannya.
Kebencian kepada Anusapati dan adik-adiknya yang lahir dari Ken
Dedes telah mendorongnya sampai ke puncaknya dengan segala
macam usaha untuk membunuh Anusapati.
"Tetapi Anusapati telah membunuh Sri Rajasa," Tohjaya
mencoba membela sikapnya sendiri di dalam hatinya.
Namun kemudian ia terlempar pada suatu kenyataan, bahwa
ibunyalah yang telah membentuknya menjadi seorang manusia yang
dicengkam oleh kebencian, dendam dan permusuhan.
Tohjaya menggigit bibirnya. Terasa dadanya menjadi sesak oleh
kegelisahan. Ken Umang masih saja menangis tertahan-tahan. Penyesalan
yang dalam, bukan karena ia telah melakukan sesuatu yang hina,
tetapi ia telah memberi kesempatan kepada Mahisa Agni untuk
membuka rahasia itu. Dan karena Tohjaya yang ternyata tidak mau
menerima kenyataan itu dengan senang hati.
546 "Terkutuklah Mahisa Agni!" berkata Ken Umang di dalam hatinya,
"Ia harus mati. Jika tidak ia tentu akan membuka rahasiaku yang
lain, bahwa aku telah mencoba untuk membujuknya. Bahkan
setelah aku sudah menjadi istri Sri Rajasa."
Ken Umang terperanjat ketika ia kemudian mendengar Tohjaya
berkata, "Ibunda, tinggalkan aku sendiri."
"Tohjaya," desis Ken Umang, "aku sebenarnya perlu memberikan
banyak sekali penjelasan. Kau seharusnya tidak mempercayai fitnah
yang keji itu." "Aku akan memikirkannya. Tetapi silakan Ibunda meninggalkan
aku sendiri." Ken Umang termangu-mangu. Namun ia pun kemudian
melangkah meninggalkan anak laki-lakinya yang duduk merenungi
dirinya sendiri. Sepeninggal ibunya, maka Tohjaya semakin dapat melihat
kenyataan hidupnya yang pernah dilaluinya. Sejak ia masih kanakkanak.
Hubungannya dengan Anusapati memang tidak begitu baik.
Ia dibentuk oleh ibunya untuk membenci Anusapati, apalagi setelah
Anusapati diangkat oleh Sri Rajasa menjadi Pangeran Pati.
Sekilas terlintas di angan-angannya yang melambung tinggi ke
masa silamnya, Anusapati. Namun ternyata bahwa justru karena itu,
yang terjadi adalah sebaliknya. Bukan Anusapati yang tersisih dari
hati rakyat ternyata bahwa Pangeran Pati itu mendapat tempat yang
sebaik-baiknya. Perang tanding di alun-alun, yang maksudnya untuk
menunjukkan bahwa ia adalah anak muda yang terbaik di Singasari,
ternyata muncul seorang yang menyebut dirinya Kesatria Putih yang
ternyata adalah Anusapati.
"Waktu itu aku hampir tidak mau menerima kenyataan bahwa
aku memang tidak dapat mengalahkan kakanda Anusapati apapun
caranya," katanya di dalam hati, "dan yang terakhir aku memang
berhasil membunuhnya dengan curang."
547 Namun setelah Tohjaya berhasil duduk di atas tahta, ia justru
mengetahui tentang dirinya sendiri. Dan yang lebih parah, ia
mengetahui bahwa sebenarnya rahasia ibunya itu telah banyak
diketahui orang, terutama yang sebaya dengan Mahisa Agni. Tetapi
karena ayahandanya adalah seorang raja yang besar, maka tidak
seorang pun yang berani mengatakannya.
Sementara itu, Ken Umang yang mendendam hatinya serasa
menjadi semakin membara. Mahisa Agni baginya adalah hantu yang
paling menakutkan meskipun pada masa mudanya ia pernah tergilagila
kepadanya. Karena itu, tidak ada cara lain untuk melapangkan
hatinya selain membunuh Mahisa Agni, disetujui atau tidak oleh
anaknya. "Tidak ada kekuatan yang cukup untuk menumbangkan
kekuasaan Tohjaya. Pengikut-pengikut Mahisa Agni tidak akan
mampu berbuat apapun juga untuk membelanya," Ken Umang
bergumam di dalam dadanya yang bagaikan akan retak.
Sejenak itulah maka Ken Umang mulai berusaha sepenuh hati
untuk menemukan orang yang dapat diupahnya untuk membunuh
Mahisa Agni dengan cara yang kasar atau halus.
Namun Mahisa Agni pun ternyata telah menyadari bahwa
kemungkinan yang demikian itu akan terjadi. Itulah sebabnya maka
ia menjadi semakin berhati-hati.
Di hari-hari berikutnya, para pemimpin di Singasari melihat
perubahan yang terjadi atas maharajanya yang sedang memerintah.
Tohjaya menjadi pendiam dan lebih murung. Tidak banyak
persoalan yang diperbincangkannya di dalam paseban. Bahkan
bicaranya pun rasa-rasanya telah berubah pula. Suaranya menjadi
serak dan dalam. "Hilangnya kedua anak-anak itu membuat Tuanku Tohjaya
menjadi sangat murung," berkata seorang senapati yang kurang
mengetahui persoalan yang sebenarnya.
Namun sebenarnyalah persoalan yang berurutan telah membuat
Tohjaya semakin murung. Tidak seorang pun yang kemudian
548 berhasil menemukan Lembu Ampal. Tidak seorang pun pula yang
dapat mengatakan di manakah Ranggawuni dan Mahisa Cempaka.
"Tuanku," berkata Pranaraja, "Lembu Ampal itu bagaikan hilang
tidak ada bekasnya. Kedua anak-anak muda itu pun tidak lagi
diketahui nasibnya. Setiap hari hamba mengirimkan prajurit-prajurit
sandi menjelajahi kota ini. Tetapi mereka tidak pernah mendengar
berita tentang keduanya dan Lembu Ampal."
Tetapi Rasa-rasanya Tohjaya tidak tertarik lagi meskipun setiap
kali ia teringat usaha pembunuhan itu, dadanya rasanya berdesir.
"Mungkin Lembu Ampal sudah berhasil," desis Pranaraja.
Tohjaya tidak menyahut. Dan Pranaraja berkata seterusnya, "Jika
demikian, tidak akan ada orang lagi yang akan dapat merintangi
kekuasaan Tuanku." Tetapi di dalam hatinya Pranaraja berkata kepada diri sendiri,
"Jika Lembu Ampal berhasil, ia tentu akan segera kembali untuk
menerima hadiahnya."
Tetapi Pranaraja tidak mengatakannya. Ia masih belum tahu
pasti, apakah sebenarnya yang sedang mempengaruhi s ikapnya.
Kemurungan Tohjaya memang menimbulkan banyak pertanyaan
di hati para pemimpin di Singasari. Namun tidak seorang pun yang
dapat menebak arti dari kemurungan wajah ini selain Tohjaya
sendiri dan ibundanya. Dalam pada itu Ken Umang masih saja memikirkan cara untuk
dapat menyingkirkan Mahisa Agni. Sebenarnya Ken Umang sendiri
sangsi, apakah dengan demikian rahasianya akan ikut terkubur
bersama lenyapnya Mahisa Agni. Apakah Tohjaya dapat melupakan
semua persoalan yang pernah dikatakan oleh Mahisa Agni"
Namun demikian dendam yang membara diliatinya telah
mendorongnya untuk melakukannya. Ia tidak peduli apakah
lenyapnya Mahisa Agni akan berpengaruh pada Singasari, pada
kepercayaan Tohjaya terhadapnya atau kepada apapun juga. Ia
ingin melepaskan dendam, kemarahan dan kebencian. Apalagi
549 setelah Mahisa Agni membuka rahasianya di hadapan anak lakilakinya
yang dimanjakannya selama ini.
Ken Umang menyadari betapa sulitnya pekerjaan yang akan
dilakukannya itu. Ia menyadari bahwa Mahisa Agni adalah orang
yang pilih tanding, sehingga dengan demikian ia tidak akan dapat
berbuat tanpa perhitungan yang sebaik-baiknya.
Karena Ken Umang tidak dapat memecahkan cara yang akan
ditempuhnya, maka ia pun kemudian memanggil Pranaraja pula.
Karena Ken Umang tahu pula, bahwa Pranarajalah yang mendorong
usaha untuk menyingkirkan Ranggawuni dan Mahisa Cempaka.
"Kau tidak dapat ingkar bahwa kaulah yang telah menyebabkan
kedua anak-anak itu lenyap dari istana. Apakah hal itu karena
Lembu Ampal benar-benar telah berhasil membunuhnya, atau
karena orang lain yang mendengar rencana itu kemudian
menyelamatkannya." "Hamba memang tidak akan dapat ingkar Tuan Putri. Apa lagi di
hadapan Tuan Putri dan Tuanku Tohjaya."
"Pranaraja," berkata Ken Umang, "Aku minta pertimbanganmu,
karena kau tidak akan dapat lari dari tangan Mahisa Agni jika ia
mendengarnya." Pranaraja mengerutkan keningnya. Lalu dengan ragu-ragu ia pun
bertanya, "Maksud Tuan Putri?"
"Baiklah kita menyeberang terus, karena kita memang telah
basah kuyup." Pranaraja tidak menyahut.
"Karena itu, kenapa kau sekedar berusaha menyingkirkan
Ranggawuni dan Mahisa Cempaka saja" Kenapa bukan Mahisa Agni
dan kemudian Ken Dedes dan anak-anaknya yang lain?"
"Oh," Pranaraja termangu-mangu, "begitu banyak orang yang
harus dikorbankan?" 550 "Jika kau hanya sekedar menyingkirkan Ranggawuni dan Mahisa
Cempaka, itu tidak akan banyak artinya. Keduanya memang orangorang
yang penting di Singasari. Tetapi kau harus memperhitungkan
pula anak-anak Ken Dedes yang lain. Mereka adalah adik-adik
Tohjaya, dan mereka adalah anak-anak Sri Rajasa yang lahir dari
permaisuri." Pranaraja mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Tetapi semuanya itu akan dapat kau lakukan jika Mahisa Agni
sudah tidak ada. Karena itu, yang pertama-tama dari kerja yang
besar dan meyakinkan itu adalah membunuh Mahisa Agni terlebih
dahulu." Pranaraja masih tetap ragu-ragu. Usaha untuk membunuh
beberapa orang sekaligus, dan mereka itu adalah orang-orang yang
penting di Singasari tentu akan menimbulkan banyak persoalan bagi
Singasari sendiri. Namun Pranaraja pun mengetahui bahwa tekanan
dari pembunuhan itu adalah pada Mahisa Agni. Jika Mahisa Agni
sudah mati, maka semuanya itu seolah-olah sudah tidak akan
mempunyai kekuatan apapun juga.
"Bagaimana pendapatmu Pranaraja?"
"Ampun Tuan Putri," jawab Pranaraja, "sampai sekarang Tuan
Putri Ken Umang apakah sudah pernah membicarakannya dengan
Tuanku Tohjaya. Karena menurut pengamatan hamba, Tuanku
Tohjaya masih agak berkeberatan untuk langsung berhadapan atas
dasar kekerasan dengan Mahisa Agni."
"Persetan!" desis Ken Umang, "Tohjaya masih terlampau kanakkanak.
Ia masih selalu dipengaruhi oleh perasaan anak-anaknya
daripada pertimbangan nalar seorang maharaja. Menurut
pendapatku tidak ada yang perlu dicemaskan pada Mahisa Agni."
"Tuan Putri," berkata Pranaraja, "tetapi hampir setiap pemimpin
dan senapati di Singasari memberikan peringatan itu."
"Peringatan apa?"
551 "Bahwa Mahisa Agni mempunyai pengaruh yang sangat kuat
pada anak buahnya, terutama di Kediri. Sementara itu panglima
pelayan dalam yang datang langsung ke Kediri telah melihat pihakpihak
yang tentu tidak akan tinggal diam. Dengan tiba-tiba saja
telah muncul seorang bekas panglima pada masa pemerintahan
Akuwu Tunggul Ametung dan bernama Witantra. Tentu ia bukan
orang kebanyakan. Dan tentu ia mempunyai pengaruh atas
lingkungan tertentu. Dan ternyata Witantra itu berpihak kepada
Mahisa Agni." "Apa artinya orang yang bernama Witantra itu?"
"Apakah Tuan Putri tidak pernah mendengar sesuatu tentang
dirinya?" "Tidak." "Apakah Tuan Putri lupa, bahwa hamba adalah orang yang
banyak mengetahui semasa Akuwu Tunggul Ametung berkuasa, dan
hamba mengetahui pula hubungan keluarga antara Tuan Putri
dengan Witantra." Ken Umang tersentak mendengar jawaban Pranaraja itu. Namun
kemudian ia memaksa dirinya untuk tetap tegak sambil berkata,
"Baiklah jika kau memang mengetahuinya Pranaraja. Tetapi kita
sama-sama orang yang sekarang mempunyai cela masing-masing.
Kita di hadapan Mahisa Agni adalah orang-orang yang penuh
dengan noda. Aku mendendamnya, dan kau telah berusaha
melenyapkan kedua anak-anak itu."
"Tetapi Tuan Putri, perintah untuk membunuh kedua anak-anak
muda itu keluar dari Tuanku Tohjaya sendiri."
"Semula ia tidak bermaksud demikian. Namun kaulah yang telah
memaksanya atau setidak-tidaknya mempengaruhinya."
Pranaraja menarik nafas. "Sekarang, usahakan agar kita terlepas dari tangan Mahisa Agni
jika pada saatnya ia mengetahuinya. Jika ia tahu bahwa kau adalah
otak dari usaha membinasakan Ranggawuni dan Mahisa Cempaka,
552 maka lehermu akan dicekiknya sampai mati tanpa kesulitan apapun
karena setiap orang berpendapat, bahwa membunuh Mahisa Agni
akan sama dengan memecah Singasari."
Pranaraja termenung sejenak.
"Nah, pikirkan masak-masak."
"Tuan Putri," berkata Pranaraja kemudian, "membunuh Mahisa
Agni adalah pekerjaan yang sangat sulit. Ia adalah seorang yang
memiliki kemampuan hampir di luar batas kemampuan siapa pun
juga selain Tuanku Sri Rajasa semasa hidupnya."
"Kau bodoh. Sudah barang tentu tidak akan dilakukan oleh satu
dua orang. Tetapi dengan sekelompok orang yang atas dasar
perhitungan, pasti dapat mengalahkannya."
"Sepuluh orang maksud Tuan Putri?"
"Kira-kira. Atau jika perlu dua puluh orang, atau tiga puluh."
"Kita menyerang bangsalnya?"


Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau memang dungu sekali. Tentu tidak. Tentu tidak di halaman
istana ini," geram Ken Umang, "tetapi kau harus memancingnya
keluar dengan alasan apapun. Misalnya seseorang melihat tempat
persembunyian Ranggawuni dan Mahisa Cempaka, dan memberikan
petunjuk kepadanya agar ia mengambilnya dengan diam-diam."
Pranaraja mengerutkan keningnya.
"Sepeninggal Mahisa Agni, kau dapat menjebak pengawalpengawal
yang ada di bangsal itu."
"Jika pengawal-pengawal itu menyertainya?"
"Mereka adalah pengawal-pengawal biasa. Berapa jumlahnya
dapat diperhitungkan. Jika seorang senapati pilihan membawa
pasukan segelar sepapan, tentu akan dapat membunuhnya,
betapapun ia seorang yang memiliki ilmu yang sempurna."
Pranaraja termangu-mangu.
553 "Dengan demikian kau pun akan terbebas dari tangannya jika
pada saatnya rahasia rencana pembunuhan Ranggawuni dan Mahisa
Cempaka dapat diketahui orang."
Pranaraja tidak segera menjawab.
"Pranaraja," berkata Ken Umang kemudian, "kau mempunyai
banyak hubungan dengan para senapati. Jika sekiranya Tohjaya
tidak menghendaki pembunuhan ini terjadi, kau tidak perlu minta
pertimbangannya. Kau dapat menawarkannya kepada seorang
senapati dengan pasukan pilihan. Kau dapat menawarkan upah
yang tinggi baginya. Aku akan menyediakannya. Aku mempunyai
seperti permata yang nilainya tidak terhitung besarnya. Aku dapat
memberikannya segenggam mutiara atau intan berlian yang dapat
dibagikan kepada para prajurit itu. Atau jika masih kurang, aku
dapat memberikan seperempat dari seluruh isi peti itu kepada
mereka." Pranaraja mengangguk-angguk kecil. Katanya kemudian, "Tuan
Putri. Jika demikian hamba akan mencobanya. Hamba akan
menghubungi seorang senapati yang pernah menunjukkan
keunggulannya bersama pasukannya. Seperempat peti permata
akan menjadi pendorong kepada mereka untuk menerima tawaran
Tuan Putri itu." "Tetapi hati-hatilah. Kau tentu tidak akan mengatakan bahwa
akulah yang telah memerintahkan kepadanya."
"Maksud Tuan Putri?"
"Jangan menambah orang-orang yang mengetahui rahasiaku.
Kau tidak perlu mengatakan siapa yang akan mengupah mereka.
Tetapi kau dapat meyakinkan bahwa upah itu mempunyai jaminan
akan terbayar." "Dan Tuan Putri akan membayarnya kelak?"
"Kau gila! Jika aku ingkar, kau dapat membuka rahasia ini kepada
siapa pun juga." 554 "Baiklah Tuan Putri. Hamba akan mencoba mencari jalan, tetapi
untuk mendapatkan orang yang berani menanggung akibat
perlawanan dengan kekerasan menghadapi Mahisa Agni bukannya
pekerjaan yang mudah meskipun sepasukan segelar sepapan."
"Kau dapat menghubungi salah seorang panglima yang paling
membenci Mahisa Agni, atau yang dapat kau libatkan dalam usaha
pembunuhan Anusapati. Seperti kau sendiri, maka setiap orang
yang terlibat saat kematian Anusapati, mempunyai kemungkinan
serupa di hadapan Mahisa Agni."
"Baiklah Tuan Putri. Mahisa Agni pun sebenarnya adalah seorang
manusia biasa. Pada saatnya tentu ada orang yang akan mampu
membinasakannya." "Tetapi cepat-cepatlah bekerja."
"Hamba Tuan Putri. Hamba akan segera melakukannya."
"Ingat, bahwa kau sendiri adalah sasaran dendam Mahisa Agni
itu, seperti juga aku, dan orang-orang yang terlibat kematian
Anusapati, yang sebenarnya termasuk Tohjaya sendiri. Jika kau
mengingkari persepakatan kita, kau akan dicekiknya sampai mati."
Pranaraja tidak dapat bersikap lain. Ia harus memenuhi
permintaan Ken Umang. Bahkan sebenarnyalah ia sendiri memang
ingin menyingkirkan Mahisa Agni untuk selama-lamanya. Bukan
hanya Ranggawuni dan Mahisa Cempaka.
Sementara itu, maka Pranaraja pun mulai mencari-cari
keterangan, siapakah yang sebaliknya dipergunakannya untuk
membunuh Mahisa Agni. Kini ia sudah mendapatkan jaminan untuk
mengupah orang itu dari Ken Umang. Upah yang cukup banyak bagi
mereka yang berhasil. Seperempat dari isi sebuah peti yang penuh
dengan permata. Tetapi Pranaraja tidak dapat berbuat tergesa-gesa. Jika ia salah
sasaran, maka persoalannya akan menjadi lain. Dan barangkali ia
sendirilah yang akan lebih dahulu dipeluk oleh maut daripada
Mahisa Agni. 555 Dalam pada itu, Ranggawuni dan Mahisa Cempaka telah berada
di sebuah padepokan terpencil. Padepokan yang dibangun oleh
Witantra pada saat ia membuang diri dari pergaulan setelah ia
dikalahkan oleh Mahisa Agni di dalam perang tanding. Di padepokan
itulah ia kemudian mendapatkan kesempurnaan dari ilmu yang
diturunkan oleh gurunya. Di padepokan yang terpencil itulah ia
bersama adik seperguruan Mahendra, mencoba mencari-cari dan
menyusun kelengkapan dari ilmu yang disadapnya dari gurunya,
sehingga keduanya berhasil mencapai tingkat tertinggi dari olah
kanuragan. Kini ia tidak tinggal sendiri dan keluarganya saja di padepokan
itu, tetapi ia kini bersama dengan dua orang dari istana Singasari
yang memencilkan diri, diiringi oleh beberapa orang prajurit yang
mengawalnya. "Apakah kalian kerasan tinggal di s ini?" bertanya Witantra kepada
kedua anak-anak muda itu.
"Tentu Paman. Di sini Rasa-rasanya kami mendapatkan
ketenangan," jawab Ranggawuni.
"Di sini udaranya sangat sejuk. Dan seakan-akan padepokan ini
merupakan daerah yang paling damai dari seluruh wilayah
Singasari," sahut Mahisa Cempaka.
Witantra tersenyum. Katanya, "Mungkin kedamaian dan
ketenangan ini pada suatu saat akan segera berubah, jika petugas
sandi dari istana Singasari mencium berita bahwa kalian berdua ada
di s ini, maka keadaan akan segera berubah."
"Karena itu, kalian harus tetap berhati-hati. Jangan bermain-main
terlampau jauh, dan ingat, jangan hanya berdua. Jika kalian ingin
berjalan-jalan keluar padepokan ini, kalian harus disertai oleh dua
atau tiga orang pengawal. Mungkin kalian tiba-tiba saja bertemu
dengan petugas-petugas yang bertebaran di seluruh Singasari untuk
mencari kalian." Ranggawuni dan Mahisa Cempaka mengangguk-anggukkan
kepalanya Namun pesan itu rasa-rasanya telah mengusik perasaan
556 damai dan tenang selama mereka di padepokan itu. Tetapi mereka
pun menyadari bahwa setiap kelengahan akan berakibat bencana.
Karena itulah maka setiap hari keduanya selalu berjalan-jalan
bersama dua tiga orang pengawal. Apalagi jika mereka keluar dari
padepokan dan menyusuri tanah pategalan.
"Beberapa orang penghuni padepokan ini rasa-rasanya
mempunyai sifat dan tabiat yang lain dengan orang-orang
Singasari," desis Mahisa Cempaka.
"Sudah tentu," jawab Ranggawuni, "mereka adalah orang-orang
yang dengan sengaja memencilkan diri. Menyerahkan hidup mereka
kepada ketenangan dan kedamaian. Mereka tidak ingin berbuat
lebih banyak dari yang mereka lakukan. Te tapi mereka dengan
demikian merasa dekat dengan Penciptanya."
Mahisa Cempaka mengerutkan keningnya. Dan Ranggawuni
berkata seterusnya, "Bukankah begitu kata Paman Witantra kepada
kita?" Mahisa Cempaka tersenyum sambil mengangguk," Ya, mereka
tidak mempunyai cita-cita yang lain dari ketenteraman hidup. Kini
dan kelak yang abadi."
"Nah bukankah begitu?"
"Tetapi siapakah mereka sebenarnya?" Mahisa Cempaka tiba-tiba
bertanya, "mereka seakan-akan terlempar ke daerah ini dengan
diselubungi oleh rahasia yang tidak dapat ditebak."
Ranggawuni menggelengkan kepalanya. Katanya, "Tentu kita
tidak tahu. Tapi kita dapat menduga, bahwa mereka terlempar ke
daerah ini tanpa kesengajaan. Mungkin mereka perantau yang jemu
melihat kehidupan di tempat-tempat aman. Ketika mereka melintasi
daerah yang tenang ini, mereka minta izin untuk tinggal di s ini pula.
Atau barangkali sebagian memang datang bersama Paman Witantra.
Mungkin pelayannya semasa lampau. Bukankah Paman Witantra itu
dahulu seorang panglima dari Tumapel."
557 Mahisa Cempaka menganggukkan kepalanya. Tetapi keduanya
kemudian tidak membicarakan lebih lanjut.
Mereka hanya merenungi saja orang-orang yang bekerja dengan
tidak banyak berbicara. Orang yang nampaknya jarang sekali
berhubungan dengan dunia di luar mereka. Wajah mereka selalu
bersungguh-sungguh. Namun terbayang ketenangan dan kedamaian
di hati mereka. Harapan yang mantap bagi hidup mereka yang
abadi kelak. Hidup abadi dalam pelepasan segala macam derita
kehidupan fana. Namun dalam pada itu, kedua anak-anak itu tidak hanya sekedar
bersembunyi, dan sekali-kali menghirup udara pagi di padepokan
yang sepi. Sejak mereka berada di padepokan itu, Witantra sudah
mulai memperkenalkan mereka dengan olah kanuragan.
"Jangan mengganggu ketenangan orang di padepokan ini dengan
tingkah yang bagi mereka tentu dianggap aneh," berkata Witantra,
"sudah beberapa lamanya mereka memusatkan hidup mereka di
dalam nafas kedamaian."
Ranggawuni dan Mahisa Cempaka termangu-mangu sejenak.
Mereka tidak mengerti maksud Witantra.
Meskipun anak-anak itu tidak bertanya, namun agaknya Witantra
dapat menangkap perasaan mereka. Karena itu maka katanya,
"Ranggawuni dan Mahisa Cempaka. Penduduk padepokan ini yang
hanya beberapa keluarga sudah lama sekali tidak melihat
kekerasan. Mereka tidak pernah lagi memikirkan kemungkinan
seseorang mempergunakan olah kanuragan. Apa lagi olah
kanuragan untuk memaksakan kehendaknya atas orang lain."
Ranggawuni dan Mahisa Cempaka mendengarkan kata-kata
Witantra itu dengan seksama.
Dan Witantra meneruskan, "Selama ini mereka merasa bahwa di
tempat ini mereka menemukan kehidupan yang tenang dan damai.
Mereka dapat bekerja tanpa gangguan apapun juga, berbakti
kepada Penciptanya dengan hikmat. Tidak ada persoalan apapun
yang timbul di dalam keluarga kecil di padepokan ini."
558 Ranggawuni dan Mahisa Cempaka yang masih terlalu mu da itu
termenung sejenak. Namun kemudian Ranggawuni berkata, "Tetapi
kehidupan yang demikian itu agaknya memang sangat menarik,
Paman. Sebenarnya aku pun menjadi jemu hidup di lingkungan
orang-orang yang selalu bertengkar. Aku kini menyadari bahwa
usaha untuk membunuh aku berdua dengan Adinda Mahisa
Cempaka adalah akibat dari pertentangan yang pernah terjadi di
Singasari. Pertentangan yang selalu diselesaikan dengan kekerasan.
Sehingga dengan demikian, aku justru ingin hidup di padepokan ini
dengan tata kehidupannya yang tenang dan damai."
Witantra menarik nafas. Katanya, "Kau dapat bersikap damai
Ranggawuni. Tetapi kau adalah seorang kesatria. Tugasmu sebagai
kesatria menuntut cara hidup yang berbeda dengan mereka yang
mengasingkan diri di padepokan ini. Sebagai kesatria kau
mempunyai tugas untuk membantu membersihkan segala bentuk
yang salah di muka bumi. Kau tidak dapat berpangku tangan,
menikmati kedamaian hatimu sendiri, sedangkan di bagian lain dari
bumi ini orang-orang lain mengalami penindasan dan perlakuan
yang tidak adil. Kau harus bangkit dan berusaha untuk membantu
mereka yang diperlakukan tidak adil itu."
Kedua anak-anak muda itu menganggukkan kepalanya.
"Kau berdua masih terlalu muda. Pada saatnya kau berdua akan
melihat, bahwa masih banyak tugas yang belum terselesaikan. Dan
agaknya di sepanjang jaman, masih saja perlakuan yang tidak adil
itu akan terjadi. Dan karena itulah maka kesatria di sepanjang
jaman harus selalu berdiri tegak menunaikan tugasnya dengan
sebaik-baiknya, sehingga pada suatu saat yang tidak dimengerti,
manusia menemukan ketenangan dan kedamaian yang sejati."
"Tetapi apakah saat itu akan datang, Paman?" bertanya Mahisa
Cempaka. Witantra menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya kedua
anak-anak itu sejenak, lalu katanya dengan nada yang dalam,
"Ranggawuni dan Mahisa Cempaka. Sebagai manusia kita memang
mengharap bahwa pada suatu saat kita akan hidup tenang dan
559 damai. Dan agaknya setiap orang memang mendambakan
ketenangan dan kedamaian itu. Namun sifat manusiawi tidak
terkendali telah mendorong manusia untuk saling bertengkar. Usaha
untuk menemukan ketenangan dan kedamaian agaknya memang
diusahakan oleh manusia. Tetapi rasa-rasanya bagaikan membagi
sebuah bilangan. Semakin lama menjadi semakin kecil, namun kita
tidak akan pernah sampai pada ketiadaan bilangan itu."
Mahisa Cempaka dan Ranggawuni mengangguk-angguk. Mereka
tidak begitu mengerti, tetapi mereka dapat menangkap maksud
kata-kata Witantra itu. Karena itulah maka kedua anak-anak itu kemudian mempelajari
oleh kanuragan di tempat yang terpencil. Untuk beberapa saat
Mahendra masih berada di padepokan itu, sehingga mereka berdua
mendapat tuntunan dari Witantra dan Mahendra berganti-ganti.
Ternyata kedua anak-anak muda itu memiliki daya serap yang
tinggi. Mereka dengan segera menguasai dasar-dasar tata gerak
dari ilmu yang diturunkan oleh Witantra dan Mahendra. Meskipun
nampaknya baru meloncat-loncat dan berlari-lari saja, tetapi pada
dasarnya mereka sudah mulai memasuki latihan-latihan yang
mapan. Hampir setiap hari Ranggawuni dan Mahisa Cempaka di bawa
oleh Witantra masuk ke dalam hutan yang tidak begitu lebat.
Kadang-kadang bersama dengan Mahendra, namun kadangkadang
dengan Mahendra seorang diri. Tetapi yang diberikan oleh
Witantra dan Mahendra sama sekali tidak ada bedanya.
Dalam pada itu, selagi Ranggawuni dan Mahisa Cempaka mulai
dengan mesu diri mempelajari ilmu kanuragan, di Singasari
Pranaraja sedang sibuk mencari kemungkinan untuk menyingkirkan
Mahisa Agni. Segala cara yang mungkin dapat di tempuh, telah
dicobanya dengan sangat berhati-hati.
Manusia Setengah Dewa 6 Keponakan Penyihir The Magician's Nephew Karya C S. Lewis Mata Air Dibayangan Bukit 13
^