Pencarian

Mata Air Dibayangan Bukit 13

Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja Bagian 13


berada diantara anak-anak muda Lumban Wetan yang berlatih
bersama-sama, pada giliran ketiga.
Namun diuar pengetahuan kawan-kawannya. Jlitheng telah
datang kepada Semi dan kawannya di banjar. Seolah-olah ia
bertemu dengan kedua pemburu itu kebetulan saja tanpa
maksud apapun juga. Namun dalam pada itu. Semi lelah
berbincang panjang dengan Jlitheng mengenai Daruwerdi.
"Apakah perkelahian yang mungkin sekali tidak akan
mengganggu" bertanya Semi.
"Dalam kedudukanmu sebagai pemburu, aku kIra t idak
akan ada persoalan yang bersangkut paut dengan penculikan
Pangeran itu" sahut Jlitheng.
"Aku tidak tabu, kenapa sampai saat ini orang-orang
Sanggar Gading masih belum sampai di daerah Sepapsang
Bukit Mati ini" gumami Semi
"Dapat dimengerti" jawab Jlitheng "Mereka memerlukan
persiapan yang khusus. Mereka tidak saja berhadapan dengan
Daruwerdi disini, tetapi mereka harus dapat bertahan jika
orang-orang Pusparuri atau pihak manapun juga akan
mengganggu mereka" "Tetapi Jlitheng" berkata Semi "bagaimana jika kami,
maksudku aku dan Daruwerdi tidak lagi dapat mengekang diri
dalam perkelahian itu sehingga perkelahian itu akan
meningkat sampai batas yang paling pahit. Bukan aku cemas
menghadapinya, tetapi apakah hal itu tidak akan merusak
semua usaha yang telah dilakukan sampai saat terakhir
olehmu sendiri dan oleh kakang Rahu"
"Kawanmu itu akan dapat menjadi saksi yang berdiri diluar
arena dan tidak terlibat dalam luapan perasaan. Ia harus
dapat bertindak tepat pada waktunya dan ia tentu akan dapat
menentukan keseimbangan dari pertempuran itu" berkata
Jlitheng. Kawannya mengangguk-angguk. Meskipun ia merasa, tugas
itu adalah tugas yang cukup berat baginya, karena iapun akan
dapat dijebak oleh panasnya darah yang mendidih di dalami
jantungnya menghadapi anak muda yang bernama Daruwerdi
itu. "Kita akan mendapat keuntungan dengan peristiwa itu"
berkata Jlitheng "Kita akan dapat menjajagi kemampuan
Daruwerdi" Semi menarik nafas dalam-dalam. Desisnya "Kau jugalah
yang akan mendapatkan keuntungan itu, He, kenapa tidak kau
tantang saja anak itu berkelahi"
Jlitheng tersenyum. Tetapi ia tidak menjawab.
Sikap itulah yang kemudian menentukan sikap Semi
selanjutnya Ia tidak akan pergi dari Lumban, dan ia tidak akan
menghentikan latihan-latihan yang diselenggarakannya
Seperti yang pernah dikatakan Semi kepada Daruwerdi
dihadapan kesepuluh anak-anak Lumban, maka ia benarbenar
bertekad untuk bertahan. Ia telah melakukan seperti
yang dikatakannya. Bahkan ia telah meningkatkan
laitihanHlatihan yang diberikan menjelang hari ketiga seperti
yang diikalkan oleh Daruwerdi,
Ternyata usaha Semi tidak sia-sia. Sepuluh orang yang
dipilihnya itu meningkat dengan cepat. Melampaui kawankawannya
yang lain. Bahkan karena latihan yang khusus,
maka kesepuluh orang itu telah berhasil menyusul dan bahkan
melampaui kemampuan anak-anak muda Lumban Kulon yang
tidak pernah terhenti, tetapi yang berlatih pada saat yang
lebih jarang dari anak-anak muda Lumban Wetan.
Pada hari yang ketiga, seperti yang diduga oleh Semi, maka
Daruwerdi benar-benar telah datang kepadanya. Tetapi seperti
yang dikatakan oleh J litheng, agar disamping kedua orang itu
masih ada orang lain yang agak terpisah dari persoalannya,
sehingga masih mempunyai kesempatan untuk membuat
pertimbangan-pertimbangan.
Karena itu pada hari ketiga, kawan Semi tidak berada
diantara anak-anak Lumban Wetan yang lain, tetapi ia
Bersama-sama dengan Semi berada dipategalan.
"Kau benar-benar keras kepala" geram Daruwerdi ketika ia
sudah berada di pategalan itu.
"Sudah aku katakan" desis Semi "Aku tidak akan
meninggalkan Kabuyutan ini jika itu bukan karena kehendakku
sendiri" "Kau bawa kawanmu kemari?" bertanya Daruwerdi, Lalu
"Kau sangka dengan demikian aku akan menarik ancamanku"
"Aku bawa ia untuk menjadi saksi. Aku sama sekali t idak
berniat untuk berbuat licik. Kita sama-sama laki-laki yang
mempunyai harga diri" jawab Semi.
Daruwerdi mengerutkan keningnya. Ia tidak menyangka
bahwa sikap pemburu itu justru sedemikian kerasnya. Tetapi
ia sama sekali tidak ingin menarik apa yang telah
dikatakannya. Bahkan seandainya kedua pemburu itu berbuat
curang, iapun tidak akan ingkar. Ia akan menyelesaikan
keduanya dan mengusir mereka dari tempat itu. Selain
keduanya lelah meningkatkan ketegangan, keduanya juga
akan dapat mcnggunggu usahanya untuk memecahkan
masalah pusaka yang tersimpan di daerah Sepasang Bukit
Mati itu. Karena itu, maka tekad Daruwerdipun menjadi bulat.
Dengan lantang ia berkata "Kau benar-benar sudah
menantang aku" "Kaulah yang menantang aku, karena kau telah
mencampuri urusanku dengan anak-anak muda Lumban
Wetan. Mereka membantu aku jika aku mendapatkan binatang
buruan. Apa salahnya jika aku memberikan imbalan yang
berarti bagi mereka, tetapi tidak mengurangi milikku sama
sekali" "Persetan" bentak Daruwerdi "Jangan membual. Tetapi
jangan menyesal jika langkahku akan terlalu panjang"
Semipun kemudian mempersiapkan diri. Kepada anak-anak
Lumban Wetan ia berkata "Kalianpun dapat menjadi saksi,
apakah ada kelebihan anak muda ini dari seorang pemburu
yang telah berhasil menangkap seekor harimau hanya dengan
tangannya" Wajah Daruwerdi yang membara, rasa-rasanya bagaikan
menyala. Ia tidak dapat menahan diri lagi. Pemburu itu terlalu
sombong, seolah-olah ia adalah orang yang paling berarti di
muka bumi Karena itu, maka Daruwerdipun berkata "Kita akan
berhadapan dengan jantan. Marilah. Jika kemudian ternyata
kau menyesal bertempur dengan jantan, kau dapat mengajak
kawanmu dan anak-anak Lumban Wetan untuk
mengeroyokku" Tetapi yang terdengar adalah jawaban yang sangat
menyakitkan bati. Pemburu itu justru tertawa sambil berkata
"Apakah kau sering melakukannya?"
Jawaban itu membuat Daruwerdi tidak dapat menahan bati
lagi. Dengan gigi gemeretak ia bergeser mendekat. Sementara
itu, Semi yang melihat bahwa Daruwerdi benar-benar akan
mulai, telah bergeser pula.
Kawan Semi berdiri termangu-mangu beberapa langkah.
Dengan tegang ia mengikut i perkembangan keadaan,
sementara sepuluh orang anak-anak muda Lumban Wetan
menjadi sangat gelisah. Tetapi mereka tidak meninggalkan
tempat itu, karena ada sesuatu yang mengikat mereka
Betapapun juga ada ke inginan mereka untuk melihat,
siapakah yang lebih kuat dian-tara kedua orang yang masih
sama-sam muda itu. Sementara itu, ternyata bahwa diluar pengamatan orangorang
yang sedang memusatkan perhatiannya kepada orangorang
yang sedang bertengkar itu, dua orang dengan
mengendap-endap telah mendekati arena pertempuran.
Mereka berusaha untuk dapat melihat pertempuran itu dari
sela-sela anak-anak Lumban Wetan yang berdiri mematung
melihat kedua anak-anak muda yang sudah siap untuk mulai
dengan pertempuran yang garang.
Dengan hati-hati keduanya bergeser semakin dekat. Ketika
Daruwerdi meloncat menyerang, maka kedua orang itupun
tertegun ditempatnya. Seorang diantaranya menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia
tidak berkata apapun, karena suaranya akan dapat menarik
perhatian salah seorang dari mereka yang sedang dicengkam
ketegangan itu. Sebenarnyalah bahwa Jlitheng telah menyampaikan persoalan
itu kepada Kiai Kanthi. Yang didengarnya dari Semi, telah
dikatakannya kepada orang itu. Dan merekapun sependapat,
bahwa Daruwerdi tentu tidak hanya sekedar menakut-nakuti
saja. Ia akan datang tepat pada hari yang disebutnya.
Karena itu, maka ketika Jlitheng dan Kiai Kantbi datang ke
tempat itu maka mereka benar-benar menyaksikan kedua
anak muda itu berhadapan dalam perang tanding.
Dengan tegang, maka Jlithengpun mengikut i perkelahian
yang kemudian telah menggetarkan pategalan itu. Serangan
Daruwerdi datang seperti badai, mengguncang pepohonan
dan menghentak bukit-bukit batu.
Namun sebenarnya Semi telah melawannya bagaikan angin
prahara yang bergulung-gulung mengguncang lautan dan
mendorong ombak berderu menghantam batu karang.
Benturan ilmu yang dahsyat dilambari dengan tenaga yang
kuat dari anak-anak muda yang sedang marah, telah
membuat pertempuran itu menjadi semakin sengit.
Jlitheng memperhatikan pertempuran itu dengan jantung
yang berdegup semakin keras. Sementara Kiai Kanthi benarbenar
telah terpukau oleh kemampuan kedua anak muda itu.
Ternyata Daruwerdi adalah anak muda yang memiliki
ketangkasan dan ketrampilan mempergunakan seluruh
anggauta badannya. Kaki, tangan jari-jari, siku dan lututnya.
Ia menyerang dengan tiba-tiba dan melontar menghindar
dengan cepat. Namun dalam pada itu, Semi yang bertubuh kekar dan kuat
itu bagaikan tonggak yang tidak tergoyahkan. Dengan gerak
dan geseran kaki, ia bertahan menghadapi kecepatan
serangan Daruwerdi. Meskipun geraknya satu-satu, tetapi ia
berdiri menghadap kemana saja arah serangan lawannya
datang. Dengan denukian, ia mampu bertahan dengan kelebihan
yang ada padanya. Kadang-kadang Semi sama sekali tidak
ingin menghindari serangan yang meluncur kearahnya. Tetapi
ia dengan membenturkan kekuatan raksasanya, sehingga
dengan demikian, ia langsung dapat mengetahui, tataran
kekuatan lawannya pada saat-saat tertentu.
Betapapun kuat daya tahan tubuhnya, namun karena
serangan Daruwerdi yang datang beruntun, semakin terasa,
bahwa sentuhan-sentuhan serangan itu telah mulai hinggap di
tubuhnya. Bahkan semakin lama terasa sentuhan-sentuhan itu
membuat kulit dagingnya menjadi sakit.
Tetapi dalam pada itu, Daruwerdi yang telah mengerahkan
segenap kemampuannya itupun mengumpat di dalam hati.
Seakan-akan Semi yang bertenaga raksasa itu, mampu
menahan rasa sakit yang betapapun juga menyengat
badannya. Bahkan Daruwerdi mulai, bertanya kepada diri
sendiri "Apakah anak ini mempunyai aji Lembu Sekilan?"
Namun ketika pada suatu saat ia sempat mendengar
pemburu itu berdesis, maka Daruwerdipun yakin, bahwa
lawannya tidak mempunyai aji Lembu Sekilan, atau Tameng
Waja atau ilmu kebal. Lambat laun Daruwerdi mengerti,
bahwa lawannya itupun telah didera oleh perasaan sakit yang
semakin tajam. Meskipun demikian, perlawanan Semi sama sekali t idak
mengendor. Bahkan tenaganya seakan-akan menjadi semakin
kuat, meskipun sekali-kali ia harus berdesis menahan sakit.
Dalam pada itu, Daruwerdi yang telah mengerahkan
segenap kemampuannya itu merasa bahwa ia mulai berhasil
membuat lawannya sakit. Tetapi iapun tidak dapat ingkar,
bahwa tenaganya yang terperas itu, semakin, lama menjadi
semakin susut. Karena itu, ia harus mempeihitungkan, bahwa
ia harus dapat melumpuhkan lawannya lebih dahulu sebelum
tenaganya sendiri terperas habis.
Namun dalam pada itu, Semipun telah membuat
perhitungan yang mapan pula. Ia tidak mau dihancurkan,
bahkan ia harus memancing Daruwerdi agar kehabisan tenaga
dan tidak mampu bergerak lagi.
Karena itulah, maka Semipun kemudian bertempur lebih
berhati-hati. Ia masih tetap berusaha membenturkan
kekuatannya. Tetapi dengan lebih mapan dengan
menghindarkan bagian tubuhnya yang akan dapat disakiti oleh
lawannya Dalam pada itu, Kiai Kanthi dan Jlithengpun memperhatikan
perkelahian yang menjadi semakin sengit itu dengan nafas
yang tertahan-tahan. Bahkan iapun beringsut setapak diluar
sadarnya. Untunglah bahwa Kiai Kanthi sempat
menggamitnya, sehingga Jlitheng tidak terdorong mendekati
arena. Sebenarnyalah pertempuran itu menjadi semakin dahsyat.
Meskipun Daruwerdi nampak mulai dipengaruhi oleh nafasnya
yang terengah-engah, sementara Semipun kadang-kadang
telah menyeringai menahan sakit, namun keduanya masih
bertempur dengan segenap kemampuan yang ada padanya
Semi yang mulai dijalari perasaan pedih itupun mulai
memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan lain. lai merasa
perlu untuk menyerang lebih banyak, agar iapun mempunyai
kesempatan untuk menyakit i lawannya, meskipun dengan
demikian iapun akan memeras tenaganya.
Dengan demikian, maka Kiai Kanthi dan Jlithengpun
kemudian melihat perubahan sikap Semi, meskipun tidak
dengan tiba-tiba. Sedikit demi sedikit Semi merubah cara
bagaimana ia harus menghadapi Daruwerdi yang sudah mulai
lelah itu. Sedikit demi sedikit, Semi mulai melangkah dan
meloncat menyerang dengan sengitnya. Ia tidak lagi berkisar
dan bergeser dengan sebelah kaki. Tetapi ia mulai menyerang
dengan langkah-langkah panjang dengan menghentak.
Daruwerdi melihat perubahan sikap itu. Tetapi ia tidak mau
menjadi sasaran serangan lawannya. Meskipun nafasnya mulai
mengalir semakin cepat, tetapi ia masih tetap mampu
bergerak cepat. Karena itu, maka ia masih mampu memotong
loncatan-loncatan panjang lawannya.
Tetapi Semi tidak menghentikan serangannya. Jika ia gagal,
maka iapun mulai dengan serangan-serangan baru. Hanya


Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kadang-kadang ia memang harus melangkah surut, jika
Daruwerdi mendahuluinya menyerang.
Namun kadang-kadang Daruwerdi tidak memberinya
kesempatan. Ketika serangan semi. dapat dihindarinya, maka
Semi telah bersiap untuk menyerangnya dengan hentakkan
kaki. Tetapi demikian Semi mempersiapkan dirinya,
Daruwerdilah yang justru meloncat menyerangnya. Semi yang
terkejut itu sempat menghindar. Dengan satu loncatan
panjang ia berusaha mengambil jarak. Sehingga ia sempat
mempersiapkan diri menghadapi saat-saat berikutnya
Sebenarnyalah, Daruwerdi telah meluncur dengan kakinya
menyerang lambung. Namun Semi tidak lagi sempat
menghindar. Tetapi iapun sadar, bahwa serangan itu akan
dapat menyakitinya Jika kaki Daruwerdi mengenai
lambungnya, maka perutnya tentu akan menjadi mual. Bahkan
mungkin matanyapun akan menjadi berkunang-kunang,
sehingga lawannya akan sempat menyerangnya lebih sengit
lagi. Karena itu, sekali lagi Semi harus menunjukkan
kemampuan tenaganya. Meskipun t idak menghindar, tetapi ia
memiringkan tubuhnya. Dengan sedikit merendah ia menahan
serangan lawannya dengan sikunya.
Sekali lagi terjadi benturan. Daruwerdi merasa, betapa
serangannya membentur kekuatan yang luar biasa, sehingga
ia justru terdorong selangkah surut
Dalam pada itu, Semi tidak mau kehilangan kesempatan.
Meskipun siku dan lengannya merasa betapa sakitnya
hentakkan kekuatan Daruwerdi, namun sambil menahan
perasaan sakit itu, Semilah yang kemudian meloncat
menyerang Daruwerdi. Tidak terlalu keras, karena serangan
itu datang dengan tergesa-gesa, tetapi cukup mengejutkan,
sehingga Daruwerdilah yang kemudian dengan tergesa-gesa
meloncat ke samping. Kesempatan itu kemudian dipergunakan oleh Semi sebaikbaiknya.
Ia sempat mengerahkan kekuatannya, sehingga
ayunan serangan berikutnya merupakan serangan yang cepat
dan kuat, dilambari dengan kekuatan cadangannya.
Daruwerdi sekali lagi terkejut melihat serangan itu. Semi
yang sejak semula tidak banyak menyerang, tiba-tiba menjadi
garang. Karena itu, maka Daruwerdilah yang kemudian
barusaha bertahan. Dengan kaki yang bagaikan menghunjam ke dalam bumi
Daruwerdi menunggu benturan yang dahsyat, dengan sedikit
merendah. Seperti juga lawannya maka iapun telah
mengerahkan segenap tenaga cadangan.
Sebenarnyalah yang terjadi kemudian adalah benturan
yang sangat kuat antara dua kekuatan yang dilambari ilmu
yang tinggi. Benturan yang bukan saja mendebarkan jantung
kedua orang yang sedang bertempur itu. Namun Kiai Kanthi.
Jlitheng, kawan Semi dan anak-anak Lumban Wetanpun
menahan nafasnya. Ternyata keduanya telah terlempar beberapa langkahi Semi
yang bagaikan membentur dinding baja itu terlempar surut
beberapa langkah. Bahkan iapun telah kehilangan
keseimbangan, dan terbanting jatuh. Kekuatan yang bagaikan
membalik menghantam dirinya sendiri itu telah membuat
dadanya menjadi sesak dan nafasnya bagaikan tersumbat.
Sementara itu. Daruwerdi yang bertahan dengan segenap
kemampuannya, ternyata telah terlempar pula. Rasa-rasanya
ia telah terayun tanpa pegangan dan jatuh berguling ditanak
Kepalanya menjadi pening, dan langit menjadi bagaikan
berputar. Bintang-bintang yang bermunculan dilangit
mengabur dan seakan-akan hilang satu demi satu. Hari yang
semakin malam itupun rasa-rasanya telah menjadi hitam
pekat. Sejenak semua orang diam mematung. Namun sejenak
kemudian, kawan pemburu yang berdiri menjadi saksi dari
benturan kekuatan itu telah melangkah maju. Kemudian
dengan hati-hati ia berjongkok disamping Semi dan kemudian
mendekati Daruwerdi. "Keduanya pingsan" desisnya.
Anak-anak Lumban itupun kemudian berloncatan
mendekat. Tetapi mereka lebih berani mendekati tubuh Semi
yang terbujur diam. "Apakah ada air didekat tempat ini?" bertanya pemburu
yang seorang itu. "Ada" jawab salah seorang dari anak-anak Lumban Wetan
itu "di pinggir pategalan ini ada sumur"
"Ambillah air. Biarlah keduanya menjadi sadar" desis
pemburu itu. Dua orang dari anak-anak Lumban Wetan itupun kemudian
berlari-lari. Mereka mengambil air dengan timba upih dan
membawanya kembali ke tempat dua orang pingsan itu
Dengan hati-hati pemburu itu menit ikkan beberapa titik air
di bibir Semi dan Daruwerdi. Untuk beberapa saat, ia
menunggu. Namun kemudian silirnya angin dan segarnya titik
air, membuat keduanya perlahan-lahan menyadari dari
masing-masing. Ketika keduanya kemudian bangkit dan mengenang
seluruhnya apa yang telah terjadi, maka rasanya kekuatan di
dalam tubuh mereka masing-masing telah tumbuh kembali.
Dengan serta merta keduanya berusaha untuk tegak berdiri
betapapun letih dan lemahnya.
Namun rasa-rasanya, kekuatan mereka itupun dengan
cepatnya telah larut kembali. Tulang-tulang mereka bagaikan
terlepas dari sendi-sendinya. Sehingga hampir saja keduanya
terjatuh lagi. Hanya dengan mengerahkan sisa tenaga mereka
sajalah, maka akhirnya mereka dapat bertahan untuk tetap
berdiri, betapapun letihnya. Seolah-olah jika angin yang agak
kencang menyentuhnya, merekatidak akan dapat lagi
bertahan untuk tetap berdiri.
Dalam pada itu, pemburu yang seorang, yang tidak terlibat
dalam perkelahian itupun kemudian melangkah maju sambil
berkata "Inilah akhir dari perkelahian kalian. Aku menjadi saksi
bahwa kalian-berdua tidak akan mampu berbuat apa-apa lagi"
"Persetan" geram. Daruwerdi "Aku akan membunuhnya"
"Lakukan jika kau mampu" sahut Semi sambil
menggertakkan giginya. Tetapi pemburu yang seorang itupun berkata "Kalian
adalah laki-laki jantan. Apakah kalian tidak dapat melihat
kenyataan ini?" Daruwerdi masih tetap berdiri tegak. Tetapi nampaknya ia
mulai memikirkan keadaannya. Ia mulai melihat keadaan
lawannya. Sebenarnyalah bahwa keduanya tentu tidak akan
mampu lagi berbuat banyak. Keduanya hanya akan dapat
melangkah satu-satu. Jika keduanya memaksa untuk
menyerang, maka mereka tentu akan jatuh, tersungkur tanpa
berhasil menyentuh lawannya, meskipun lawannya tidak dapat
lagi untuk mengelak. Karena itu, maka keduanya masih tetap berdiri tanpa
berbuat sesuatu. "Kenapa kalian diam saja" Perkelahian ini harus diakhiri
sampai sekian. Kita semuanya harus mengakui apa yang telah
terjadi disini sebagai satu kenyataan" berkata pemburu yang
searang itu pula. Daruwerdi yang kemudian bergeser sambil menggeram
"Jangan menganggap bahwa persoalan kita sudah selesai"
"Tidak. Selama kau menganggap bahwa persoalan kita
belum selesai, maka selama itu pula aku juga menganggap
bahwa persoalan diantara kita belum selesai" jawab Semi.
Daruwerdi tidak berbicara lebih panjang lagi.
Bagaimanapun juga ia menghargai sikap kedua pemburu itu.
Ternyata keduanya tidak merendahkan diri dan bertempur
berpasangan, meskipun ia sudah menantangnya.
Karena itu, maka Daruwerdi menghargai sikap itu sebagai
sikap seorang laki-laki Dengan demikian, maka iapun merasa,
bahwa jika ia meninggalkan arena itu, maka iapun telah
bersikap sebagaimana sikap lawannya yang dapat melihat
kenyataan. Tertatih-tatih Daruwerdipun kemudian meninggalkan
pategalan itu. Sekilas ia masih sempat berpaling- Ia mclihal
lawannya masih tetap berdiri di tempatnya, sementara anakanak
muda Lumban Wetanpun seolah-olah masih membeku di
tempatnya. Baru ketika Daruwerdi telah hilang di dalam gelapnya
malam yang menjadi semakin dalam, maka anak-anak muda
Lumban Wetan itupun mulai bergeser mendekati Semi yang
masih berdiri dengan letih,
"Bagaimana?" seorang anak muda Lumban Wetan
bertanya, "Anak itu memang luar biasa" desis Semi. Namun kemudian
"Tetapi seperti kalian lihat, akupun masih tetap tegak"
Anak-anak muda Lumban Wetan itu mengangguk-angguk.
Mereka mengerti, bahwa Daruwerdi memang seorang anak
muda yang pilih tanding. Namun ternyata ia tidak dapat
mengalahkan salah seorang dari kedua pemburu itu.
"Kita kembali sekarang" berkata Semi "Tetapi sejak besok,
ktman-ktihan akan meningkat. Siapa tahu, bahwa Daruwerdi
telah dibakar oleh dendam yang tidak terkendali-kan, sehingga
ia dengan segera dan tergesa-gesa akan menggerakkan anakanak
muda Lumban Kulon, Tentu ada saja persoalan yang
dapat dipergunakan sebagai alasan untuk memulai dengan
permusuhan. Bahkan kekerasan"
Anak-anak muda Lumban Wetan itu menjadi berdebardebar.
Merekapun sependapat bahwa kemarahan Daruwerdi
mungkin akan mempercepat pecahnya kekerasan antara anak
anak muda Lumban Wetan dan Lumban Kulon.
Namun demikian, anak-anak Lumban Wetan yang berada
dipategalan itupun bertekad untuk mempertahankan
kepentingan padukuan mereka. Mereka tidak akan menerima
perlakukan yang tidak adil dari anak-anak Lumban Kulon atas
air yang mengalir di sungai kecil itu. Apalagi satu kenyataan
yang tidak dapat diungkiri, bahwa anak-anak Lumban
Wetanlah yang lebih banyak berbuat atas air itu terutama
Jlitheng. Karena itu, maka dengan sungguh-sungguh anak-anak
Lumban Wetan menyatakan kesediaan mereka untuk berlatih
lebih tekun. Apalagi kesepuluh orang itu merasa, bahwa
mereka adalah orang-orang terpilih yang akan berada dipaling
depan dari kawan-kawannya.
Demikianlah, sebenarnyalah bahwa Daruwerdi yang marah
itu tidak dapat mengambil sikap lain kecuali memaksa anakanak
Lumban Wetan untuk memenuhi keinginan anak-anak
Lumban Kulon. Bahwa ia tidak dapat mengalahkan pemburu
itu dihadapan kesaksian anak-anak Lumban Wetan, telah
mendorongnya untuk mencari imbangan peristiwa yang dapat
menekan kebanggaan anak-anak Lumban Wetan.
"Anak-anak Lumban Kulon telah lama berlatih" berkata
Daruwerdi. Meskipun Daruwerdi t idak dapat ingkar, bahwa
sepuluh orang yang mengadakan latihan khusus itu memiliki
kelebihan dari anak-anak muda Lumban Wetan yang lain.
bahkan mungkin juga atas anak-anak muda Lumban Kulon.
Namun jumlah mereka terlalu sedikit untuk dapat menentukan
kesejmbangan antara kekuatan anak-anak Lumban Kulon dan
anak-anak Lumban Wetan. Namun dalam pada itu, Daruwerdi seakan-akan tidak
memperhitungkan sama sekali anak-anak Lumban Wetan yang
lain, yang serba sedikit pernah juga berlatih bersama anakanak
muda Lumban Kulon, yang kemudian setelah terhenti
beberapa saat karena tingkah anak-anak Lumban Kulon,
mereka telah mulai lagi di bawah ajaran pemburu yang
ternyata juga memiliki kemampuan yang cukup, yang ternyata
salah seorang dari mereka telah dapat mengimbangi
kemampuan Daruwerdi, Demikianlah, maka dipagi hari berikutnya, Daruwerdi telah
mulai dengan rencananya. Ia telah menemui Nugata yang
memang telah dijangkiti oleh satu keinginan untuk memaksa
anak-anak Lumban Wetan menuruti keinginan anak-anak
muda Lumban Kulon, agar pintu air yang mengalir ke Lumban
Kulon dibuat lebih lebar dari pintu air yang mengaliri paridparit
di Lumban Wetan. "Saatnya sudah tiba" berkata Daruwerdi tanpa mengatakan
bahwa pemburu yang berada di Lumban Wetan dapat
mengimbangi kemampuannya.
"Kami sudah siap" sahut Nugata "kapan kita lakukan hal
itu?" "Terserah kepada kalian. Semakin cepat, semakin baik"
jawab Daruwerdi. "Kau yang akan memimpinnya?" bertanya Nugata pula.
Tetapi Daruwerdi menggeleng. Jawabnya "Tentu bukan
aku" "Lalu siapa?" bertanya Nugata dengan heran.
"kalianlah yang melakukan. Bukan aku. Aku hanya akan
mengawasi saja. Dengan demikian, kedua pemburu di Lumban
Wetan itupun tidak akan melibatkan diri" berkata Daruwerdi.
"Jika mereka melibatkan diri juga?"
"Itu kewajibanku" jawab Daruwerdi. Namun ada juga
semacam keragu-raguan, bahwa jika kedua pemburu itu
bersama turun kearena, maka sudah pasti, bahwa ia tidak
akan dapat melawannya. Ia sudah menjajagi kemampuan
salah seorang dari keduanya. Dan yang seorang itupun
mampu mengimbanginya. Tetapi Daruwerdi percaya, bahwa kedua pemburu itu bukan
orang-orang yang licik. Bukan pengecut dan tidak akan
berbuat curang. Karena itu, ia berharap, bahwa jika ia tidak
melibatkan diri secara langsung, kedua pemburu itupun tentu
tidak akan berbuat apa-apa, selain menyaksikan dan
barangkali mengumpat-umpat.
Nugata yang memang sudah lama menunggu, tiba-tiba saja
bagaikan anak-anak mendapat tawaran untuk bermain kejarkejaran.
Dengan segera ia menemui kawan-kawannya yang di
anggapnya orang terbaik di Lumban Kulon untuk
membantunya memimpin anak-anak Lumban Kulon membuka
pintu air. "Kita tidak peduli lagi, apa yang akan dilakukan oleh anakanak
Lumban Wetan. Kita akan melakukan sesuai dengan
keinginan kita. Jika anak-anak Lumban Wetan, menentang,
maka kita akan memaksanya dengan kekerasan" berkata
Nugata kepada kawan-kawannya.
Kawan-kawannyapun menjadi gembira pula. Merekapun


Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menganggap bahwa anak-anak Lumban Wetan belum terlalu
lama berlatih. Mereka tidak tahu apa yang sudah dilakukan
oleh sepuluh orang anak-anak muda Lumban Wetan yang
berlatih tanpa mengenal lelah. Sementara yang lainpun telah
berlatih hampir setiap hari, sehingga kemampuan mereka
telah meningkat lebih cepat dari anak-anak Lumban Kulon,
meskipun waktunya lebih pendek.
Dalam pada itu, selagi anak-anak Lumban Wetan dan
Lumban Kulon mempersiapkan diri untuk mempertahankan
keinginan masing-masing, maka telah hadir pula dengan diamdiam
di daerah Lumban dua orang berkuda. Mereka langsung
pergi ke bukit gundul pada saat matahari telah tenggelam di
bawah cakrawala. "Kau panggil anak itu" berkata yang seorang.
Yang seorang termangu-mangu. Namun kemudian. Katanya
"Cempaka, apakah kita tidak melihat perkembangan keadaan
di daerah ini lebih dahulu?"
Cempaka menggeleng Katanya "Daerah ini adalah daerah
mati. Tidak akan ada perkembangan apapun juga. Orangorang
Lumban hidup seperti kakek dan neneknya hidup
Mereka berbuat seperti apa yang telah diperbuat oleh orangorang
tua sebelumnya. Jika kita pernah datang beberapa saat
lampau, maka pada saat ini, Lumban masih seperti saat ini,
Lumban masih seperti saat-saat lampau itu. Karena itu,
pergilah Rahu" "Apakah anak itu tidak merupakan sumber gerak dari
kehidupan di Lumban?" bertanya Rahu.
Cempaka menggeleng lemah. Jawabnya "Aku kira ia tidak
sempat berbuat apa-apa disini. Mungkin karena malas, tetapi
mungkin karena acuh tidak acuh. Ia mempunyai kepentingan
tersendiri" Rahu tidak menjawab. Namun kemudian setelah
menambatkan kudanya ia melangkah meninggalkan Cempaka
seorang diri di daerah yang kering tandus itu. Namun
Cempakapun mengetahui, bahwa parit-parit dibeberapa
bagian telah mulai basah oleh air yang naik dari sungai kecil
yang menampung air dari bukit berhutan itu.
Dalam pada itu, Rahupun berusaha untuk mencapai rumah
Daruwerdi tanpa diketahui oleh orang lain. Dalam gelapnya
malam, ia tidak menemui kesulitan apapun untuk menyusup
tanpa diketahui oleh anak-anak Lumban Kulon yang berada di
gardu-gardu. Yang sedang sibuk mematangkan rencana
mereka untuk membuka pintu air tanpa persetujuan anakanak
Lumban Wetan. Bahkan mereka telah berkepu-tusan
untuk mempergunakan kekerasan apabila anak-anak Lumban
Wetan berusaha mencegah mereka.
Kedatangan Rahu memang mengejutkan Daruwerdi.
Namun Rahupun segera memberitahukan, bahwa Cempaka
telah berada di bukit gundul.
"Aku akan segera datang" berkata Daruwerdi kemudian.
Seperti yang dikatakannya, begitu Rahu kembali ke bukit
Gundul, dan memberitahukan kesediaan Daruwerdi untuk
datang, maka anak muda itu sudah nampak dalam
keremangan malam, beberapa langkah saja dari keduanya.
"Aku kira kau sudah menyerah" berkata Daruwerdi,
demikian ia berdiri dihadapan Cempaka.
"Jangan Gila" potong Cempaka "kau kira kami termasuk
golongan anjing yang hanya dapat menggonggong" Apa yang
sudah dapat dilakukan oleh orang-orang Pusparuri dan orangorang
Kendali Putih?" "Katakan sajalah, bahwa kau sudah berhasil menangkap
Pangeran itu" desis Cempaka "Aku tidak perlu dengan
bualanmu" "Kau hanya wajib mendengarkan. Apapun yang akan aku
katakan, biarlah aku katakan" geram Cempaka "Dan sekarang,
aku mengemban tugas dari pimpinan tertinggi kami"
"Menyerahkan orang itu?" bertanya Daruwerdi dengan
serta-merta. "Kau benar-benar iblis. Dengar dahulu. Kami akan membawa
Pangeran itu dan melindunginya disepanjang perjalanan.
Sudah barang tentu kami tidak ingin kehilangan apabila orangorang
Pusparuri atau orang-orang Kendali Putih, atau orangorang
Gunung Kunir, bahkan mungkin para prajurit Demak
yang ingin mengambil Pangeran itu dari tangan kami"
Daruwerdi tersenyum. Sekilas ditatapnya wajah Cempaka
yang tegang. Namun kemudian katanya "Baiklah. Aku akan
menunggu. Tetapi jika kalian masih menunggu tanpa ada
batasnya, maka justru kalian akan menyesal, karena orangorang
Pusparuri, orang-orang Kendali Putih dan barangkali
dari kelompok-kelompok yang lain akan sempat merebutnya
dari tangan kalian" "Itu urusan kami" jawab Cempaka "Tetapi ketahuilah,
bahwa kami akan datang dalam waktu dekat, mungkin ini.
Bersiaplah untuk menerimanya dan siapkan pusaka itu
sebelum kami datang. Ingat, jika kau ingkar, maka kau tidak
akan dapat mengelak lagi jika kami berbuat sesuatu yang
akan menyakit i tubuhmu, sebelum nyawamu lepas dari
wadagmu" Daruwerdi tertawa. Katanya "Kau hanya dapat mengancam.
Sudahlah, bawa Pangeran itu kemari. Aku memerlukannya
segera" "Sudah aku katakan, aku akan datang lagi mungkm dalam
pekan ini" jawab Cempaka.
Daruwerdi mengangguk-angguk. Katanya kemudian "Aku
akan menunggu. Segalanya sudah siap"
Cempaka tidak berbicara terlalu panjang. Ketika semua
masalah yang penting sudah dikatakannya, maka iapun
berkata "Aku akan kembali untuk melaporkan pertemuan ini"
"Demikian tergesa-gesa" bertanya Daruwerdi.
"Apakah kau ingin menahan kami berdua?" bertanya
Cempaka pula. Daruwerdi mengerutkan keningnya. Katanya "Tidak.
Kembalilah dan segera bawa Pangeran itu kemari"
Cempaka memandang Daruwerdi dengan tegang. Namun
kemudian katanya kepada Rahu "Kita akan kembali sekarang
juga" Rahu tidak menjawab. Iapun kemudian berdiri dan
melangkah kekudanya yang tertambat, disusul oleh Cempaka
sambil berkata "Aku akan datang lagi untuk menyelesaikan
masalah kita sampai tuntas"
Daruwerdi tertawa. Tetapi ia tidak beranjak dari. tempatnya
ketika ia melihat Cempaka dan Rahu meninggalkan bukit
gundul itu. Di dalam gelapnya malam yang semakin kelam, Rahu
berkuda di belakang Cempaka menyusuri bulak panjang.
Namun kuda mereka t idak berpacu dengan kencang.
"Cempaka" berkata Rahu kemudian "Apakah kau percaya
kepada anak itu?" Cempaka mengerutkan keningnya. Katanya kemudian "Aku
memang ragu-ragu" "Aku ingin mengawasinya" berkata Rahu
"Maksudmu?" "Aku akan tinggal disini. Aku akan melihat-lihat apakah ia
bertindak dengan jujur. Mungkin ia mempersiapkan
penyambutan yang sama sekali tidak kita duga-duga. Mungkin
ia akan menerima Pangeran itu, namun ia berkeberatan
menyerahkan pusakanya. Untuk itu ia tentu tidak akan
bertindak seorang diri"
Cempaka mengangguk-angguk, la dapat mengerti jalan
pikiran Rahu. Namun ia masih bertanya "Jika Daruwerdi
mengetahui bahwa kau berada disini, mungkin ia akan
berusaha untuk merubah rencananya"
Rahu merenung sejenak. Namun kemudian Katanya "Sulit
untuk tidak diketahui oleh Daruwerdi. Karena itu, tidak ada
salahnya jika aku dengan terang-terangan berada disini"
"Itu akan dapat membahayakan jiwamu. Daruwerdi akan
dapat mempergunakan kekuatan lain untuk menangkap dan
mungkin membunuhmu sebelum kau sempat melaporkan, apa
yang kau lihat disini"
"Aku akan berusaha untuk melindungi diriku sendiri" jawab
Rahu. Namun kemudian Katanya "Cempaka, marilah kita
membuat janji Aku akan berada di tempat yang akan kita
tentukan pada akhir pekan, untuk memberikan laporan. Jika
aku tidak ada di tempat itu, maka berhati-hatilah. Mungkin
aku benar-benar telah ditangkap atau dibunuh oleh peng-ikutikut
Daruwerdi" "Jadi, apapun yang terjadi disini, kau akan menunggu kami
di tempat yang akan kita tentukan?" bertanya Cempaka "Dan
apabila kau tidak berada di tempat itu, berarti bahwa keadaan
tentu gawat bagi kita"
"Ya. Aku akan ada di tempat itu. Kecuali jika aku mat i"
jawab Rahu. Cempaka mengangguk-angguk. Iapun kemudian
menentukan tempat yang paling baik bagi Rahu untuk
menunggu kedatangan orang-orang Sanggar Gading yang
akan dipimpin langsung oleh Pemimpin Tertingginya. Namun
yang di dalam iring-iringan itu ternyata telah terdapat benihbenih
perselisihan yang gawat diantara mereka.
Dengan demikian, maka Rahupun tidak meneruskan
perjalanannya. Di padanginya Cempaka yang kemudian
memacu kudanya sampai hilang ditelan kelamnya malam.
Sejenak Rahu termangu-mangu. Namun kemudian ia
menarik nafas dalam-dalam. Rasa-rasanya udara di daerah
Sepasang Bukit Mati itu akan dihirupnya sampai habis.
Ketika ia kemudian berpaling, dilihatnya dalam keremangan
malam bayangan Sepasang Bukit Mati yang jaraknya
sebenarnya tidak terlalu dekat. Bukit yang sebelah adalah
bukit gundul berbatu-batu, sedang yang lain adalah bukit
berhutan lebat "Di daerah ini ada Semi dan Bantaradi" berkata Rahu di
dalam hatinya "Aku harus menemukan keduanya"
Sejenak Rahu masih berada di tempatnya. Namun
kemudian iapun menarik kendali kudanya. Ketika kuda itu
sudah berputar, maka Rahupun menyentuh leher kudanya,
sehingga kudanya itupun mulai berjalan perlahan-lahan
menuju kembali ke bukit gundul.
"Aku tidak perlu bersembunyi" Katanya "dengan demikian,
aku akan lebih mudah untuk bertemu dengan Semi atau
Bantaradi, karena mereka akan segera mengetahui bahwa aku
berada disini" Perlahan-lahan Rahu maju semakin dekat dengan Bukit
Gundul. Namun iapun kemudian membelokkan kudanya,
menuju kebagian Timur dari dua Kabuyutan yang semula
hanya satu. "Bantaradi berada di Lumban Wetan" katanya kepada diri
sendiri. Perlahan-lahan kuda Rahu menyusuri jalan bulak ke Lumban
Wetan. Tetapi malam menjadi semakin kelam, sehingga
Lumbanpun rasa-rasanya telah tertidur dengan nyenyaknya.
"Mungkin di gardu-gardu ada juga anak-anak muda yang
berjaga-jaga" berkata Rahu di dalamhatinya.
Karena itu, ketika dari kejauhan ia melihat nyala obor
disudut sebuah padukuhan, maka iapun mendekatinya. Lampu
itu tentu lampu minyak disebuah gardu.
Ketika Rahu kemudian mendekatinya, maka anak-anak di
dalam gardu itupun terkejut. Mereka segera berloncatan
turun. Lima orang yang berjaga-jaga di gardu itupun
kemudian memencar. Rahu mengerutkan keningnya. Sikap anak-anak Lumban
Wetan ternyata cukup cermat menghadapi orang yang belum
dikenalnya. Seorang yang tertua diantara anak-anak yang berada di
gardu itupun kemudian melangkah maju sambil bertanya
"Siapakah Ki Sanak?"
Rahu meloncat turun dari kudanya Jawabnya "Aku seorang
petualang yang tidak mempunyai tempat tinggal. Aku tidak
mempunyai tujuan dan niat apapun dengan perjalananku.
Namaku Rahu" Anak-anak di gardu itu termangu-mangu. Memang mereka
agak curiga melihat seorang berkuda di malam yang gelap.
Apalagi ketika orang itu menyatakan dirinya seorang
petualang. "Ki Sanak"- berkata penjaga di gardu itu "Jika demikian,
kemana Ki Sanak akan pergi malam ini"
"Aku lewat dipadukuharrmu. Seperti yang aku katakan,
tanpa maksud" jawab Rahu.
"Aneh" desis anak Lumban Wetan itu. Namun kemudian
katanya "Tetapi jika kau ingin lewat, lewatlah. Tetapi jangan
mengganggu padukuhan kami"
Rahu mengerutkan keningnya. Sejenak ia merenung.
Namun kemudian katanya "Aku memang akan lewat. Tetapi
aku ingin bermalam dibanjar padukuhan ini semalam. Aku
sudah terlalu lelah"
Anak-anak muda Lumban Wetan itu termangu-mangu.
Namun mereka memang melihat orang berkuda itu nampak
lelah. Tetapi untuk memberinya tempat di banjar, ia masih
juga ragu-ragu. Terbayang peristiwa-peristiwa yang pernah
terjadi di padukuhan itu. Orang-orang berkuda telah sering
membuat padukuhan mereka menjadi gemetar.
Karena anak-anak muda itu tidak segera menjawab, maka
Rahupun kemudian berkata "Tunjukkan kepadaku, dimanakah
letak banjar padukuhan Lumban Wetan"
"Ada beberapa banjar" jawab anak-anak itu "Hampir
disetiap padukuhan ada banjar. Jika yang kalian maksud
banjar di padukuhan induk Kabuyutan Lumban Wetan,
pergilah ke padukuhan disebelah bulak yang tidak terlalu
panjang ini" Orang itu termangu-mangu sejenak. Dipandangnya jalan
yang diselubungi oleh kegelapan. Namun akhirnya ia berkata
"Baiklah. Aku akan pergi ke padukuhan induk Kabuyutan
Lumban Wetan" Rahu tidak menunggu lagi. Iapun segera meninggalkan
anak-anak muda di gardu itu menuju ke padukuhan induk.
"Kenapa kau tunjukkan banjar itu?" bertanya seorang anak
muda kepada kawannya yang tertua, yang telah menunjukkan
banjar itu kepada Rahu. "Biarlah ia kesana" jawabnya "dibanjar ada kedua pemburu
itu. Jika orang itu ternyata ingin berbuat jahat, maka
pemburu-pemburu itu tentu akan mencegahnya"
Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Seorang


Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

diantaranya bergumam "Cepat juga kau berpikir"
Sambil menengadahkan dadanya ia menjawab "Aku
termasuk orang terbaik di padukuhan ini. Satu-satunya orang
yang termasuk sepuluh terpilih"
"Ah, sombongnya kau" desis yang lain "meskipun kami
tidak termasuk yang sepuluh, kami tidak kalah pesatnya maju
dibanding dengan kalian"
Kawannya itu tertawa. Katanya "Sudahlah. Biarlah orang itu
bertemu dengan kedua pemburu itu. Aku masih lelah. Latihan
yang baru saja selesai ini rasa-rasanya telah memeras
segenap tenagaku" "Dan kau langsung datang kemari?" bertanya kawannya.
"Tentu tidak. Pulang dahulu, mandi dan makan sekenyangkenyangnya"
jawab anak muda itu. Dalam pada itu, Rahupun menuju keinduk Kebuyutan
Lumban Wetan, la berharap dapat bertemu dengan Jlitheng.
Mungkin di gardu-gardu. Mungkin disepanjang jalan, apabila
anak muda itu berada di sawah. Seandainya tidak malam itu.
besok anak-anak Lumban tentu sudah akan mempercakapkan
kehadirannya. Seorang petualang yang bernama Rahu.
"Bantaradi mengenal namaku dengan baik" desisnya.
Dalam pada itu, ketika Rahu memasuki padukuhan induk,
maka digerbang ia terpaksa berhenti karena beberapa orang
anak-anak muda yang berada di gardu itupun berloncatan
turun pula. Seperti di gardu pertama, maka anak-anak muda
itupun bertanya kepadanya, siapakah namanya dan
keperluannya. Ternyata Rahu menjawab dengan jawaban yang agak
berbeda. Katanya "Namaku Rahu. Aku seorang perantau yang
kemalaman dijalan. Apakah aku diperkenankan bermalam
disini?" Anak-anak muda itupun termangu-mangu. Merekapun telah
dibayangi oleh kegelisahan yang timbul karena kehadiran
orang-orang berkuda sebelumnya. Namun, seperti anak muda
di gardu pertama, dibanjar telah t inggal untuk sementara dua
orang pemburu yang memiliki kamampuah yang tinggi. Yang
seorang diantara mereka telah terbukti mampu mengimbangi
kemampuan Daruwerdi. Karena itu, maka mereka tidak begitu cemas lagi dengan
kehadiran orang berkuda itu. Salah seorang dari anak-anak
muda yang berjaga-jaga digerdu itu berkata "Baiklah. Pergilah
ke banjar. Kau akan mendapat tempat untuk beristirahat
malamini" "Apakah dibanjar ada orang yang dapat menerima
kehadiranku dan memberikan tempat kepadaku?" bertanya
Rahu. Anak-anak muda itu termangu-mangu sejenak. Biasanya
dibanjar ada beberapa orang anak muda yang duduk-duduk
sambil berbincang-bincang dengan kedua pemburu itu. Namun
kadang-kadang pada satu saat banjar itu menjadi sepi. Anakanak
itu masih belum datang, atau mereka berada di gardugardu
yang lain. Karena itu, maka seseorang yang paling disegani diantara
anak-anak muda itupun berkata kepada seorang kawannya "
Antarkan orang itu" Tetapi kawannya tidak segera beringsut. Masih membayang
kecemasan di wajahnya. Karena itulah maka anak muda yang
paling berpengaruh itupun berkata pula "Pergilah berdua"
Dalam pada itu, sambil tersenyum Rahu berkata "Kalian
mencurigai aku?" Tidak seorangpun yang menjawab. Namun Rahu
meneruskan "Aku mengerti, kenapa kalian mencurigai
seseorang yang memang belum kalian kenal"
Anak-anak muda Lumban Wetan itu hanya saling
berpandangan, semenetara Rahu berkata lebih lanjut" Marilah.
Siapakah yang akan mengantar aku ke banjar.
Akhirnya dua orang anak muda bergeser maju. Seorang
dari mereka berkata "Marilah. Ikutlah aku.
Ana-anak muda itupun kemudian berjalan mendahului
petualang yang mengaku bernama Rahu itu menuju ke banjar
Baru kemudian, setelah Rahu mengikutinya beberapa langkah
di belakangnya, anak muda yang seorang lagi melangkah pula
menyusul. Rahu tersenyum melihat kesiagaan anak-anak Lumbar,
Wetan itu. Tetapi iapun mengerti, bahwa Lumban Kulon dan
Lumban Wetan memang pernah disentuh oleh orang-orang
Pusparuri dan orang-orang Kendali Putih.
Namun ingatan tentang orang-orang Pusparuri dan Kendali
Putih itu telah menggetarkan hatinya pula. Tidak mustahil
bahwa perjalanan orang-orang Sanggar Gading telah dicegat
oleh orang-orang Pusparuri atau orang-orang Sanggar Gading
telah dicegat oleh orang-orang Pusparuri atau orang-orang
Kendali Putih atau padepokan yang manapun. Bahkan
mungkin, satu dua padepokan telah bergabung menjadi satu,
meskipun akhirnya mereka akan saling bergabung pula.
Ternyata jalan ke banjar itu tidak terlalu panjang. Beberapa
saat kemudian, merekapun telah sampai ke pintu regol banjar
yang ternyata masih terbuka.
Dalam pada itu, ketika Rahu memasuki regol itu, iapun
tertegun. Dilihatnya dua ekor kuda tertambat disamping
pendapat, seolah-olah tengah dipersiapkan untuk satu
perjalanan. "Kuda siapa?" bertanya Rahu tiba-tiba.
Anak muda yang mengantarnya, yang kemudian berdiri
disebelahnya berkata "Ada dua orang pemburu bermalam di
banjar ini pula. Malam ini mereka akan pergi berburu. Agaknya
kuda-kuda itu adalah kuda mereka yang siap berangkat"
Rahu menjadi berdebar-debar. Ia harus memperhitungkan
kedua orang pemburu itu pula. Mungkin ia benar-benar dua
orang pemburu yang tidak berarti apa-apa karena mereka
hanya mampu memburu binatang. Tetapi dalam kemelut didaerah
Sepasang Bukit Mati itu, ada orang-orang lain yang
ikut pula mengambil keuntungan.
Karena itu, Rahu yang kemudian menambatkan kudanya
pula di depan banjar itupun menjadi sangat berhati-hati
menghadapi keadaan. Sejenak ia berdiri termangu-mangu,
sementara anak-anak muda yang mengantarnya telah naik ke
pendapa sambil mempersilahkan "Marilah. Duduklah. Biarlah
aku menyiapkan segala sesuatunya. Ada bilik di belakang
banjar yang dapat kau pergunakan. Jika semuanya sudah
siap. aku akan mempersilahkanmu"
Rahu naik ke pendapa. Kemudian iapun duduk dialas
sehelai tikar yang memang sudah terbentang. Di tengahtengah
pendapa itu terdapat lampu minyak yang tidak terlalu
besar. Dalam pada itu, maka kedua anak-anak muda itupun telah
memasuki ruang dalam banjar dan kemudian langsung
menuju kebelakang. Keduanya tertegun ketika mereka
mendengar suara orang-orang yang sedang bercakap-cakap.
Seperti yang diduganya, ketika ia memasuki bilik yang
diperuntukkan bagi kedua pemburu itu, mereka melihat bahwa
kedua orang pemburu itu sudah siap berangkat.
"Kalian akan berburu?" bertanya anak-anak muda itu.
"Ya" jawab kedua orang pemburu "Aku sudah
mengatakannya kepada orang tua yang menunggui banjar ini.
Bahkan orang tua itu telah menyiapkan bekal bagi kami"
"Ada tamu di pendapa" desis salah seorang dari kedua
anak-anak muda itu. "Siapa?" bertanya salah seorang dari kedua pemburu itu.
"Aku kurang tahu. Bertanyalah sendiri kepadanya, la
mengaku seorang petualang" jawab anak muda itu.
Semi dan kawannya termangu-mangu. Namun
keduanyapun kemudian melangkah keluar dari bilik mereka
menuju ke pendapa. Demikian mereka berdiri di pintu pringgitan, hatinya
menjadi berdebar. Ia langsung dapat mengenal orang itu.
Rahu. Tetapi sejenak kemudian ia berusaha menguasai
dirinya. Ia tidak segera mengetahui, manakah yang lebih baik.
Apakah ia langsung bersikap sebagai seseorang yang telah
mengenalnya, atau sebaliknya.
Sementara itu Rahu yang duduk ditikar yang terbentang
itupun telah melihat, siapa yang berdiri di pintu. Tetapi
diwajahnya sama sekali t idak membayang kesan, bahwa ia
telah mengenalnya. Karena itu, maka Semipun bersikap
serupa pula. Perlahan-lahan ia mendekati tamunya diikuti oleh
kawannya yang ragu-ragu pula.
"Selamat datang Ki Sanak" berkata Semi.
Rahu mengangguk hormat sambil menjawab "Terima kasih.
Apakah kalian pemimpin anak-anak muda Lumban Wetan?"
Semi tersenyum. Jawabnya "Bukan. Aku adalah seorang
pemburu yang menumpang dibanjar ini bersama kawanku ini"
"O, begitu" desis Rahu "kebetulan sekali Kita akan samasama
menumpang di banjar ini"
Semi tersenyum. Bersama kawannya iapun segera duduk
menemani tamu yang baru datang itu.
Sejenak kemudian, maka anak-anak muda yang
mengantarkan Rahu ke banjar itupun minta diri untuk kembali
ke gardu. "Terima kasih atas kebaikan kalian" berkata Rahu kepada
anak-anak muda itu "Ternyata disini aku mendapat kawan"
"Silahkan" jawab salah seorang anak muda itu "Jika kedua
pemburu itu akan pergi juga berburu, kau dapat pergi ke
bilikmu yang sudah kami siapkan. Disebelah banjar ini t inggal
seorang tua yang menunggui banjar ini. Aku sudah
memberitahukan kepadanya, bahwa selain kedua pemburu itu,
ada seorang lagi yang harus dilayaninya"
"Terima kasih, terima kasih. Kalian terlalu baik" desis Rahu.
Anak-anak muda itu hanya tersenyum saja, Merekapun
kemudian meninggalkan banjar itu, kembali kegardu.
"Bagaimana sikap petualang itu?" bertanya kawankawannya.
"Nampaknya ia orang baik, meskipun agak kasar. Ia
sekarang duduk bersama kedua pemburu. Untunglah bahwa
keduanya masih belum berangkat, meskipun sudah siap. Jika
kami lambat beberapa langkah, tentu ia sudah meninggalkan
banjar" Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Mereka tidak perlu
mencemaskan kehadiran orang yang menyebut dirinya
petualang bernama Rahu itu, justru karena di banjar ada
kedua pemburu yang mereka anggap memiliki ilmu yang luar
biasa, sehingga keduanya tentu akan dapat mencegah jika
petualang itu berbuat sesuatu yang tidak pada tempatnya.
Sementara itu, ketika anak-anak muda itu telah kembali
kegardunya, maka mulailah Rahu dan kedua pemburu itu
berbicara wajar. Dengan singkat Rahu menceritakan, bahwa
Cempaka sudah mempersiapkan saat-saat penyerahan
Pangeran yang akan ditukarkan dengan sebuah pusaka yang
sangat di hormati banyak orang itu.
"Kau sengaja tinggal disini?" bertanya Semi.
"Ya. Aku sudah mendapat ijin Cempaka. Aku harus
mengamati keadaan, agar Daruwerdi tidak melakukan pokal
yang dapat mengganggu saat-saat penyerahan itu" jawab
Rahu. "Kau lakukan dengan diam-diam, atau sengaja kau lakukan
dengan terbuka?" bertanya Semi.
"Aku lakukan dengan terbuka. Biarlah Daruwerdi
mengetahui kehadiranku disini" jawab Rahu, lalu "Cempaka
mencemaskan keadaanku karena ia tidak mengetahui bahwa
disini hadir kalian berdua dan Bantaradi" Rahu berhenti
sejenak, kemudian tiba-tiba saja "He, apakah kau sudah
berhubungan dengan anak itu?"
"Ya. Aku sudah berhubungan dengan anak yang dipanggil
Jlitheng itu meskipun diluar hubungan wajar, karena disini ia
adalah seorang yang tidak terhitung anak-anak muda terbaik"
jawab Semi. "Bagaimana menurut penilaianmu atas anak itu" Meskipun
ia dapat membuktikan, bahwa ia adalah putera Pangeran
Surya Sangkaya, namun kita tidak mengetahui perkembangan
pribadinya" "Nampaknya ia dapat dipercaya, la telah berbuat banyak
bagi Lumban. Namun diluar kemampuannya, ia tidak dapat
mencegah pertentangan antara anak-anak Lumban Kulon dan
Lumban Wetan yang sedang berebut air"
"Air?" bertanya Rahu.
"Satu persoalan tersendiri bagi Lumban" jawab Semi yang
kemudian menceriterakan pertentangan yang semakin panas
antara anak-anak muda Lumban Kulon dan Lumban Wetan.
"Aku justru telah terlibat" berkata Semi, yang
menyelesaikan ceriteranya dengan keterlibatannya.
Rahu justru tersenyum. Katanya "Kau sudah menjajagi
kemampuan Daruwerdi. Namun justru karena itu, kita harus
memikirkan apa yang akan dilkukan kemudian. Seandainya ia
seorang diri menerima Pangeran yang sakit itu, yang pada
satu saat akan sembuh atau sakitnya menjadi semakin
berkurang. Apakah ia dapat berbuat sesuatu, mungkin
memaksakan kehendaknya, apalagi membalas dendam seperti
yang dikatakannya. Aku menduga, bahwa Pangeran itu
mempunyai kemampuan ilmu yang tinggi Jika saja ia tidak
sedang sakit, maka mungkin sekali kedatangan kami di
istananya itupun akan kehilangan arti sama sekali. Mungkin
kitapun akan mengalami nasib yang tidak baik. Agaknya itu
adalah salah satu kecermatan kerja Sanggit Raina"
Semi mengangguk-angguk. Katanya "Memang menarik
sekali. Bahkan cukup menumbuhkan kecurigaan bahwa
Daruwerdi akan menjebak orang-orang Sanggar Gading"
"Alasan itulah yang aku sebutkan sehingga aku dapat
tinggal disini" desis Rahu.
"Tetapi orang-orang Sanggar Gading telah mengenal aku.
Apakah kehadiranmu bersamaku disini tidak menarik perhatian
mereka?" bertanya Semi t iba-tiba.
"Yang ada disini baru aku. Cempaka telah kembali. Aku kira
orang-orang Sanggar Gading itu tidak akan mengirimkan
orang lain lagi" jawab Rahu. Namun kemudian "Tetapi
seandainya demikian, aku dapat mengatakan, bahwa kau
sengaja aku panggil untuk membantuku disini, tentu saja atas
tanggung jawabku jika terjadi kebocoran"
Semi mengangguk-angguk. "Tetapi bagi Daruwerdi kita adalah orang lain" berkata
Rahu kemudian. Ternyata malam itu Semi mengurungkan niatnya untuk
berburu. Ia harus membicarakan banyak hal dengan Rahu.


Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tetapi pembicaraan mereka sama sekali tidak menumbuhkan
kecurigaan anak-anak muda Lumban yang ketika nganglang
dari gardu parondan masih melihat mereka duduk berbincang
di pendapa. "Mereka justru dapat menyesuaikan diri masing-masing"
berkata anak-anak muda itu "nampaknya mereka sedang
menceriterakan pengalaman masing-masing, sehingga
pemburu itu mengurungkan rencananya malam ini"
Dalam pada itu, Rahu dan Semi sudah menemukan
beberapa kesepakatan atas kehadiran mereka di Lumban
Wetan. Semilah yang wajib memberikan keterangan tentang
kehadirannya kepada Jlitheng pada kesempatan yang dapat
dicarinya sendiri. "Besok aku akan menemui Daruwerdi" berkata Rahu
"supaya ternyata bahwa kehadiranku bukanlah kehadiran yang
diam-diam dan bersembunyi Dengan demikian, maka ialah
yang harus melakukan rencananya dengan diam-diam, jika ia
memang mempunyai niat untuk menjebak kami"
"Apakah itu bukan satu kekeliruan" desis Semi "sebaiknya
biarlah Daruwerdi melakukannya dengan terbuka. Dengan
demikian kau akan segera mengetahuinya"
"Kita akan dapat memanfaatkan Jlitheng untuk membantu
kita. Jika ia melakukannya dengan diam-diam, maka berharap
bahwa Jlitheng akan dapat mengetahuinya" sahut Rahu.
Semi mengangguk-angguk. Desisnya "Aku percaya kepada
anak muda yang aneh itu. Meskipun aku tidak tahu, apakah
sifat-sifat kesatria dan keluhuran budi Pangeran Surya
Sangkaya ada pada dirinya"
"Agaknya memang demikian" jawab Rahu.
Semi masih mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba saja ia
berkata "Rahu, jika kau lelah, silahkan beristirahat. Mungkin
besok kita akan berbicara lagi setelah tumbuh perkembangan
baru. Aku masih harus melihat, apakah anak-anak Lumban
Kulon benar akan bertindak kasar terhadap anak-anak Lumban
Wetan. Jika demikian, maka aku masih akan diganggu oleh
persoalan itu" "Selesaikan persoalanmu sebaik-baiknya" berkata Rahu
"Tetapi jika peristiwa itu bersamaan dengan kedatangan
orang-orang Sanggar Gading, maka mungkin akan dapat
timbul salah paham. Mungkin orang-orang Sanggar Gading
mempunyai dugaan yang salah, sehingga mereka mengambil
sikap yang salah pula terhadap anak-anak Lumban Kulon -dan
Lumban Wetan. Jika demikian maka akan jatuh korban yang
tidak berarti sama sekali. Mereka yang tidak bersangkut paut
sama sekali dengan persoalan Daruwerdi dan orang-orang
Sanggar Gading justru akan mengalami nasib yang buruk"
"Kau dapat mengatakannya kepada orang-orang Sanggar
Gading jika saatnya mereka datang" jawab Semi.
"Akan aku coba" desis Rahu.
Demikianlah maka Rahupun kemudian masuk ke dalam bilik
yang sudah disediakan baginya, sementara Semi dan
kawannyapun kembali pula ke dalam biliknya. Tetapi ia
sempat mengetuk pintu orang tua penunggu banjar itu dan
berkata dari luar pintu "Aku tidak jadi pergi. Tetapi makanan
yang kau berikan telah habis aku makan"
Ternyata orang tua itu hanya menggeliat sambil berguman
"Terserahlah" Semi tersenyum. Dihari berikutnya, Rahu sengaja ingin menemui Daruwerdi.
Ia ingin menyatakan bahwa ia tetap tinggal di padukuhan itu
dan ia ingin pula mengetahui perkembangan terakhir seperti
yang dikatakan oleh Semi tentang hubungan yang memburuk
antara anak-anak Lumban Kulon dan Lumban Wetan.
Kedatangan Rahu memang mengejutkan Daruwerdi. Ia
lebih terkejut dari saat ia melihat kehadirannya semalam.
"Kau masih disini?" bertanya Daruwerdi.
"Ya" jawab Rahu "Aku ingin meyakinkan, apakah kau t idak
berlaku curang" Daruwerdi tertawa. Katanya "Kau memang gila. Orangorang
Sanggar Gading memang gila. Kalian selalu dibayangi
oleh prasangka buruk, karena kelakuan kahan sendiri. Seolaholah
setiap orang berkelakuan buruk seperti orang Sanggar
Gading. Lebih dari itu setiap orang kau sangka berbuat licik
seperti yang kalian lakukan"
Rahu mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian
menjawab "Apakah kau beranggapan demikian?"
"Sejak semula. Bukan saja terhadap orang-orang Sanggar .
Gading. Tetapi juga orang-orang Pusparuri, orang-orang
Kendali Putih dan orang-orang lain yang tamak" jawab
Daruwerdi. Rahu menarik nafas dalam-dalam. Katanya "Terserah
anggapanmu. Tetapi kami wajib berhati-hati terhadap orang
seperti kau. Apakah kira-kira Pangeran yang akan diserahkan
kepadamu itu tidak akan menganggap bahwa kau juga
seorang yang sangat licik" Bahkan mungkin orang yang paling
licik diseluruh dunia?"
Daruwerdi tertawa. Katanya kemudian "Baiklah apa yang
ingin kau lakukan" Rahu mengangguk-angguk. Namun kemudian iapun
bertanya "Daruwerdi, menurut pendengaranku, ada persoalan
yang timbul antara anak-anak muda Lumban Kulon dan
Lumban Wetan?" "Ah, itu permainan anak-anak ingusan.-Apa
kepentinganmu?" bertanya Daruwerdi
"Aku mengingat peristiwa yang besar dalam, keselurhan"
jawab Rahu. "Peristiwa apa?" bertanya Daruwerdi.
"Jika peristiwa itu terjadi tepat pada kedatangan orangorang
Sanggar Gading, apakah tidak akan dapat menimbulkan
salah paham" Jika orang-orang Sanggar Gading tidak sempat
menelaah persoalan itu sebaik-baiknya, maka kami akan
menyangka, bahwa kau akan menjebaknya" jawab Rahu
sehingga dengan demikian mungkin akan menimbulkan
persoalan yang lain sama sekali dengan persoalan yang sudah
kita. bicarakan disini"
Tetapi Daruwerdi justru tertawa semakin panjang. Katanya
"Jangan memikirkan yang bukan-bukan. Sudahlah. Lupakan
saja semuanya" Daruwerdi berhenti sejenak, lalu "He, dimana
kau tinggal selama kau mengawasi aku?"
"Di banjar padukuhan induk Kabuyutan Lumban Wetan"
jawab Rahu. "Kau tinggal bersama dua orang pemburu?" bertanya
Daruwerdi dengan kerut merut dikeningnya.
Rahu tersenyum. Jawabnya "Dua ekor monyet yang
menjemukan. Mereka terlalu banyak bicara. Aku sekali-kali
ingin membungkam mulut mereka"
"Jangan main-main dengan kedua orang itu "Daruwerdi
memperingatkan "seperti yang kau cemaskan dengan anakanak
muda Lumban, maka dengan kedua orang itu mungkin
sekali akan dapat menumbuhkan persoalan lain. Bahkan
mungkin kau akan dibunuhnya seperti seekor kijang"
Tetapi Rahu tertawa. Dengan suara lantang ia menjawab
"Kau masih sempat bergurau dalam keadaan seperti ini
Daruwerdi Kau memang, orang yang luar biasa. Seolah-olah
kau anggap segala peristiwa yang akan sama-sama kita
hadapi itu sebagai lelucon saja"
"Aku tidak berbicara tentang persoalan kita. Tetapi tentang
kedua pemburu itu" jawab Daruwerdi.
"Ya. Itulah yang aku maksud. Kedua pemburu itu dalam
hubungannya dengan aku" berkata Rahu pula "Kau masih juga
sempat memperingatkan aku, bahwa orang itu mungkin akan
membunuhku. Bukankah itu satu lelucon yang sangat
menarik" Daruwerdi mengerutkan keningnya. Namun kemudian
dengan sungguh-sungguh ia berkata "Jangan berkata begitu.
Aku yakin, bahwa kedua orang pemburu itu bersama-sama
akan dapat membunuhmu jika kau hanya seorang diri"
Rahu tertawa semakin keras. Katanya "Aku, orang Sanggar
Gading kepercayaan Cempaka yang bertugas untuk
mengawasimu dalam keadaan yang gawat dan sungguhsungguh,
akan dapat dibunuh oleh dua orang pemburu
kancil?" Daruwerdipun ikut tersenyum. Tetapi hatinya terasa pahit,
bahwa ia yang pernah mengalaminya, tidak dapat
mengalahkan salah seorang dari keduanya. Tetapi ia sama
sekali tidak ingin mengatakannya kepada Rahu, orang
Sanggar Gading itu. Yang dikatakannya adalah kemampuan pemburu itu
menangkap seekor harimau yang besar tanpa melukai
harimau itu. "Bukankah itu hal yang sangat wajar?" sahut Rahu
"seorang petani yang tidak pernah berkelahipun akan dapat
melakukannya" "Mustahil" sahut Daruwerdi " bagaimana mungkin"
"Mudah sekali. Diberinya umpan sepotong daging yang
sudah diberi racun. Mungkin racun warangan, mungkin getah
salah satu pepohonan yang diketahui beracun, mungkin caracara
lain semacam itu. Bukankah orang itu akan dapat
menangkap harimau itu tanpa melukainya?"
Daruwerdi berpikir sejenak. Namun kemudian
mengangguk-angguk sambil tersenyum "Mungkin. Mungkin
sekali" Namun demikian Daruwerdi t idak dapat melepaskan
kenyataan bahwa ia tidak dapat mengalahkan salaH seorang
dari keduanya. Dalam pada itu, maka Rahupun berkata kepada Daruwerdi
"Di akhir pekan, orang-orang Sanggar Gading akan datang.
Jangan berbuat gila. Aku akan dapat melaporkannya sebelum
mereka memasuki jebakanmu"
Daruwerdi tertawa. Tetapi disela-sela tertawanya ia
bertanya "Bagaimana jika kau mati sebelum mereka datang"
Apakah kau akan dapat melaporkannya?"
"Tentu, meskipun dengan cara lain. Jika aku tidak datang di
tempat yang telah ditentukan, itu berarti bahwa aku mati"
jawab Rahu. "Dibunuh oleh pemburu-pemburu itu. meskipun mungkin
dengan cara yang dipakainya membunuh harimau?" desak
Daruwerdi. "Nasibmulah yang buruk" karena kau akan mati pula"
jawab Rahu. "Kenapa aku?" bertanya Daruwerdi.
"Orang-orang Sanggar Gading tentu akan menyangka
bahwa kaulah yang telah membunuh aku dengan cara yang
paling curang, karena mereka percaya bahwa kau tidak akan
berhasil mengalahkan aku dalamperkelahian yang jujur"
"Persetan. Kau sangka bahwa kau akan dapat mengalahkan
aku dalam perang tanding?" bertanya Daruwerdi dengan
wajah tegang. Rahu tertawa. Katanya "Tentu. Aku yakin, dan orang-orang
Sanggar Gadingpun yakin"
"Jika saja kha tidak sedang terlibat dalam persoalan yang
penting seperti sekarang ini, aku ingin membunuhmu" geram
Daruwerdi. Rahu tertawa. Katanya "Tetapi waktu masih panjang. Jika
kau benar-benar ingin melakukannya sesudah persoalan kita
selesai, maka kita masih mempunyai cukup waktu. Kecuali jika
kau akan mati dibunuh oleh Pangeran yang ingin kau tukar
dengan pusaka itu" "Jangan mengigau" bentak Daruwerdi "ingat Rahu. Sekalikali
aku ingin membukt ikan katamu"
"Kapanpun kau kehendaki Daruwerdi. Aku bukan orang
yang sekedar berbicara. Karena itu, akupun tidak cemas
menghadapi dua orang pemburu yang berada di banjar itu.
Daruwerdi menggeretakkan giginya. Tetapi ia masih
menyadari, bahwa masih ada tugas yang penting yang harus
dilakukannya di tempat itu. Karena itu, maka ia berusaha
menahan diri, apapun yang dikatakan oleh orang yang
bernama Rahu itu. Sementara itu, setelah Rahu kembali ke banjar, maka ia
telah mengatur waktu untuk dapat bertemu dengan Semi dan
Jlitheng sekaligus untuk membicarakan rencana mereka
menghadapi keadaan dalam keseluruhan.
Namun dalam pada itu, ternyata anak-anak Lumban Kulon
telah mengambil sikap sendiri. Mereka telah bersiap siap untuk
merubah pintu air yang terdapat di bendungan.
"Kita tidak dapat menunggu lagi. Daruwerdipun sudah
setuju. Tetapi seandainya Daruwerdi merubah pikirannya, kita
tidak peduli lagi. Ia tidak akan berbuat apa-apa. karena ia
memerlukan kita sekarang, setelah akan dapat mengalahkan
pemburu itu" berkata Nugata
"Apakah benar ia tidak dapat mengalahkannya?" bertanya
salah seorang kawannya. "Ya. Aku percaya akan beritu itu" jawab Nugata "dengan
demikian, maka ia memerlukan sandaran. Agaknya itu pulalah
sebab-sebanya maka ia jutru menganjurkan agar kita
melakukan dalam pekan-pekan ini?"
"Jadi?" bertanya kawannya yang lain.
"Besok kita pergi kebendungan. Kita akan membuka pintu
air yang menuju kesawah kita, lebih besar. Kita akan
menunggu, apa yang akan dilakukan oleh anak-anak Lumban
Wetan. Jika mereka akan merubah pintu air yang kita buka.
maka kita akan mencegahnya. Jika perlu dengan kekerasan.
Karena itu, bersiaplah sebaik-baiknya.
Dengan demikian, maka anak-anak Lumban Kulon itupun
segera mempersiapkan diri. Rasa-rasanya mereka mendapat
limpahan kepercayaan untuk melakukan satu tugas yang
sangat penting bagi padukuhan mereka.
Karena itu, maka menjelang, malam, mereka-telah berlatih
sebaik-baiknya. Jika besok pagi-pagi mereka harus bertempur
melawan anak-anak Lumban Wetan, maka mereka sudah
bersiap sepenuhnya Namun dalam pada itu, selagi anak-anak muda Lumban
Kulon bersiap menghadapi kemungkinan yang dapat terjadi
dengan anak-anak Lumban Wetan apabila mereka membuka
pintu air yang menghadap ke daerah persawahan di Lumban
Kulon, dua orang yang tidak dikenal telah mendekati
padukuhan itu. Dengan hati-hati mereka memperhatikan,
bagaimana anak-anak Lumban Kulon itu berlatih.
"Mereka telah mendapat kemajuan yang pesat" berkata
salah seorang dari keduanya.


Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hasil tangan anak gila itu" desis yang lain.
"Apakah yang akan kita lakukan terhadap mereka?"
bertanya kawannya. "Tidak apa-apa. Kita hanya melihat saja"
"Biasanya mereka bersama Daruwerdi. Tetapi kali ini
Daruwerdi tidak ada"
"Sebentar lagi ia akan datang"
"Dan kita tetap berada disini?"
"Ya. Kenapa" Kau takut?"
"Apa kau pernah melihat aku ketakutan?"
Kawannya tertawa tertahan. Namun mereka masih tetap
memperhatikan anak-anak Lumban Kulon yang sedang
berlatih. Ketika anak-anak muda itu sedang beristirahat, dan Nugata
memberikan penjelasan kepada mereka, maka kedua orang
itupun mengetahui, apa yang akan terjadi besok pagi.
Tetapi keduanya tertarik mendengar ceritera diantara anakanak
muda itu tentang dua orang pemburu di Lumban Wetan.
"Siapakah kedua pemburu itu?" bertanya yang seorang.
Aku datang bersamamu. Kenapa kau tanya kepadaku?"
jawab yang lain. Kawannya tersenyum. Katanya "Kau gelisah" Yang lain
tidak menjawab. Tetapi terdengar ia mengumpat
Sementara itu anak-anak Lumban Kulon masih tetap
berlatih. Setelah beristirahat sejenak, maka merekapun segera
mulai lagi. Terdengar seorang diantara mereka berkata
"Daruwerdi belum datang"
"Mungkin ia mengira bahwa kita berada di dekat bukit
gundul seperti biasanya" sahut yang lain.
"Tidak" berkata Nugata "Aku sudah mengatakan
kepadanya, bahwa hari ini kita berlatih disini. Kita akan dapat
mempersiapkan apa yang kurang menurut pendapat
Daruwerdi. Aku kira ia akan datang"
Beberapa saat anak-anak muda itu meneruskan latihan.
Bahkan ada diantara, mereka yang berlatih mempergunakan
senjata. Ketika kedua orangyaog memperhatikan latihan itu hampir
menjadi jemu, maka mereka melihat seseorang memasuki
tempat itu. Daruwerdi. Yang seorang penggamit kawannya sambil berdesis
"Daruwerdi telah datang"
Kawannya mengangguk. Tetapi ia tidak menjawab, karena
terdengar Daruwerdi berkata, lantang "Aku tidak ingin kalian
mempergunakan senjata"
"Kenapa?" bertanya Nugata.
"Senjata akan dapat membunuh. Apakah kalian memang
bertekad untuk saling membunuh?" bertanya Daruwerdi.
Anak-anak Lumban Kulon itu saling berpandangan. Ada niat
mereka untuk mengalahkan lawannya mutlak. Jika perlu ada
satu dua orang korban diantara mereka, agar dengan
demikian mereka akan menjadi jera.
Daruwerdi nampaknya mengerti apa yang bergejolak di
dalam hati mereka. Karena itu maka Katanya "Mungkin
dengan demikian, kalian dapat berbuat sesuatu untuk
memuaskan hati kalian. Mungkin dengan jatuhnya korban satu
atau dua orang diantara mereka maka mereka akan menjadi
jera. Tetapi bagaimana jika korban itu tidak saja terdapat
diantara anak-anak Lumban Wetan. Bagaimana jika yang
menjadi korban itu anak-anak Lumban Kulon. Mungkin kau,
kau, kau atau kau?" Terasa bulu tengkuk anak-anak muda Lumban Kulon itu
meremang. Bahkan mereka yang telah ditunjuk oleh
Daruwerdi, merasa seolah-olah nafasnya telah terhenti.
Namun dalam pada itu, Nugata berkata "Bagaimana jika
anak-anak Lumban Wetan justru bersenjata"
"Jika kalian tidak bersenjata, aku kira anak-anak Lumban
Wetanpun tidak bersenjata. Tetapi jika mereka melihat kalian
bersenjata, maka mereka akan membawa senjata pula" jawab
Daruwerdi. Anak-anak itu itermangu-mangu. Namun akhirnya Nuga-ta
berkata "Baik. Kita tidak akan membawa senjata. Kita tidak
akan membawa pedang, tombak atau keris. Tetapi kita akan
membawa cangkul, parang dan mungkin linggis. Betapapun
juga alat-alat itu perlu untuk membuka pintu air yang
menghadap ketanah persawahan kita"
Daruwerdi menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak
mencegahnya lagi. Demikianlah, maka anak-anak Lumban Kulon itu
meneruskan latihan mereka. Tetapi t idak terlalu lama, karena
Daruwerdi berkata "Kalian akan menjadi kelelahan dan besok
kalian sudah tidak mempunyai tenaga lagi untuk membuka
bendungan itu. Menurut perhitunganku, besok anak-anak
Lumban Wetan belum akan berbuat sesuatu. Baru setelah
mereka menyadari, bahwa kalian telah mulai membuka dan
melebarkan pintu air itu, mereka akan berbuat sesuatu.
Nampaknya anak-anak Lumban Wetan juga bukan penakut
yang tidak berani menghadapi akibat yang pahit"
Dalam pada itu, salah seorang dari kedua orang yang
mengamati latihan itupun menggamit kawannya dan memberi
isyarat untuk pergi. Sambil beringsut dari tempatnya salah seorang dari
keduanya berbisik "Mereka akan segera meninggalkan tempat
itu. Kita harus menyingkir"
"Masih agak lama" jawab yang lain "Daruwerdi tentu masih
akan memberikan beberapa petunjuk"
"Lebih baik kita pergi. Kita harus mendapat keterangan
tentang dua orang pemburu yang disebut-sebut itu" berkata
yang lain. Keduanyapun segera meninggalkan tempat itu. Yang
seorang bergumam hampir kepada diri sendiri "Ternyata yang
kita dengar adalah benar. Anak-anak Lumban Kulon sudah
mampu menggenggam senjata"
"Tetapi hanya sekedar berkelahi dengan anak-anak Lumban
Wetan" sahut yang lain "bagi kita, apa yang mereka lakukan
tidak berharga sama sekali"
Kawannya tertawa. Tetapi ia tidak mengatakan sesuatu lagi
tentang anak-anak Lumban Kulon itu. Bahkan ia berkata
"Bagaimana kita dapat mengetahui tentang kedua pemburu
itu?" "Kita harus mencari jalan" jawab kawannya "menurut
pendengaran kami, hubungan antara Daruwerdi dan orangorang
Sanggar Gading nampaknya akan mencapai
kesepakatan. Pangeran itu telah hilang dari istananya"
"Apakah menurut dugaanmu, antara kedua pemburu dan
hilangnya Pangeran itu ada hubungannya?" bertanya yang
lain. "Mungkin kedua pemburu itu juga orang-orang Sanggar
Gading yang sedang mencari hubungan dengan Daruwerdi
untuk satu penyerahan timbal balik" jawab kawannya
"segalanya memang harus dipersiapkan sebaik-baiknya jika
orang-orang Sanggar Gading tidak ingin gagal. Daruwerdi
bukan seorang yang bodoh"
"Tetapi orang-orang Sanggar Gading juga bukan anak-anak
lagi" Kawannya mengangguk-angguk. Untuk beberapa saat
mereka t idak berbicara lagi. Langkah mereka telah membawa
keduanya kebulak panjang yang sepi dan gelap.
"Kita akan tinggal untuk beberapa hari di daerah ini"
berkata yang seorang kemudian.
"Ada hutan, ada bukit gundul ada tempat-tempat lain untuk
bersembunyi disiang hari. Tetapi mungkin kita harus langsung
bertemu dengan kedua pemburu itu" sahut kawannya.
"Kita akan melihat suasana" jawab yang lain.
"Tetapi kita akan dapat melihat tontonan yang akan
dipertunjukkan oleh anak-anak Lumban Kulon dan Lumban
Wetan. Mungkin akan dapat menjadi pengendor ketegangan
dalam tugas yang rumit ini"
"Asal dengan demikian, kita tidak terjerat. Mungkin oleh
Daruwerdi, mungkin oleh pemburu yang tidak kita kenal itu,
atau mungkin oleh siapapun juga"
"Kita cukup mempunyai perhitungan. Kita bukan anakanak"
gumam yang lain. Demikianlah, maka kedua orang itupun berusaha
menemukan tempat yang paling baik untuk bersembunyi.
Mereka mengambil kuda mereka yang disembunyikan, dan
kemudian menelusuri tempat-tempat yang mereka anggap
akan dapat memberikan perlindungan disiang hari.
Dalam pada itu, Rahu telah berhasil bertemu dengan Jlitheng
bersama Semi dan kawannya tanpa menarik perhatian.
Mereka telah membicarakan perkembangan terakhir dari
persoalan-persoalan yang mereka hadapi. Persiapan orangorang
Sanggar Gading untuk menyerahkan Pangeran itu
diakhir pekan. Sementara anak-anak Lumban Kulon yang
nampaknya benar-benar ingin memaksakan kehendaknya atas
anak-anak Lumban Wetan. "Kita harus berhati-hati" berkata Jlitheng "Kita jangan salah
langkah menanggapi persoalan anak-anak Lumban"
"Semuanya masih harus diperhitungkan dan
dipertimbangkan" desis Rahu. Lalu "Aku akan melihat, apa
yang dikerjakan anak-anak Lumban Kulon sekarang ini"
Meskipun agak lambat, tetapi Rahu masih sempat
mendengar percakapan beberapa orang anak-anak muda di
Lumban Kulon yang berada di gardu-gardu, setelah mereka
menyelesaikan latihan-latihan mereka atas petunjuk
Daruwerdi, agar tenaga mereka tidak terhisap habis"
Dari mereka Rahu yang mengendap-endap mendengar
bahwa anak-anak Lumban Kulon akan membuka bendungan
dihari berikutnya. "Biar saja mereka lakukan" berkata Rahu kepada Semi
ketika ia sudah berada di banjar.
"Anak-anak Lumban Wetan tidak akan membiarkannya"
berkata Semi. Kita akan melihat, apa yang mereka lakukan besok. Kau
nampaknya dekat sekali dengan anak-anak Lumban Wetan,
apalagi yang langsung kau latih dalam olah kanuragan.
Beri tahu mereka, agar mereka tidak bergerak besok. Kita
melihat apa yang akan dikerjakan oleh anak-anak Lumban
Kulon. Apakah Daruwerdi langsung melibatkan diri atau tidak"
pesan Rahu. Semi mengangguk. Ia mengerti, untuk menilai sikap
Daruwerdi, maka sebaiknya anak-anak Lumban Wetan tidak
langsung berbuat apa-apa.
Demikianlah, menjelang pagi, anak-anak Lumban Kulon
sudah siap. Mereka membawa alat-alat yang diperlukan untuk
membuka pintu air dan membuatnya lebih lebar. Meskipun
demikian, nampaknya alat-alat yang mereka bawa agak
berlebih-lebihan. Hampir setiap orang membawa parang
linggis atau kampak yang akan dapat mereka pergunakan
sebagai senjata jika perlu.
"Semipun telah bangun pagi-pagi. Dengan tergesa-gesa ia
menemui beberapa anak-anak muda yang berpengaruh.
Terutama sepuluh orang yang mendapat latihan khusus
daripadanya. "Jangan berbuat sesuatu hari ini " pesan Semi.
"Darimana kau tahu, bahwa mereka akan bergerak hari ini"
bertanya salah seorang dari anak-anak itu.
"Aku mendengar berita itu pagi ini. Beberapa orang yang
pergi kepasar melihat kesiagaan mereka. Tetapi jangan
memberikan perlawanan. Biarlah mereka melakukannya"
berkata Semi. "Dan sawah-sawah kita akan kering" Aku akan minta
pertimbangan Jlitheng. Ia adalah orang yang paling banyak
berbuat bagi air itu" sahut salah seorang dari anak-anak
Lumban Wetan itu. "Bukan tidak berbuat apa-apa. Tetapi kita menunggu dan
menilai apakah yang akan mereka perbuat" desis Semi.
Anak-anak itu menjadi tegang. Namung demikian, mereka
tetap akan berbicara dengan Jlitheng. Meskipun Jlitheng tidak
termasuk sepuluh anak muda terbaik di Lumban Wetan,
namun ia adalah orang yang bekerja bersama orang tua di
lereng bukit, untuk menjinakkan air yang melimpah di lereng
bukit itu. Semi tidak mencegahnya. Dibiarkannya anak-anak itu
menemui Jlitheng untuk minta perlindungannya,
bagaimanakah sebaiknya menghadapi anak-anak Lumban
Kulon. Bahkan ia telah mengikuti anak-anak itu mencari
Jlitheng. Jlitheng terkejut ketika ia melihat sekelompok anak-anak
muda bersama Semi datang kepadanya. Nampaknya ada
sesuatu hal yang sangat penting akan mereka sampaikan.
Sebenarnyalah, dengan singkat anak-anak muda itu
mengatakan apa yang mereka dengar dari Semi. Dan
merekapun ingin mendapat tanggapan Jlitheng apakah yang
sebaiknya mereka lakukan.
"Kaulah yang bekerja dengan susah payah bersama orang
tua di lereng bukit itu," berkata-seorang kawannya "Tentu
kami akan mendengar tanggapannmu. Apakah yang sebaiknya
harus kami lakukan. Apakah kami harus mencegahnya, atau
kami akan melihat lebih dahulu apa yang akan mereka lakukan
seperti pendapat pemburu ini"
Jlitheng memandang Semi sekilas. Namun kemudian iapun
berkata "Tentu ia lebih tahu menghadapi keadaan seperti ini.
Biarlah kita mendengar pendapatnya"
"Sudah aku katakan" sahut Semi.
Anak-anak muda itupun mengangguk-angguk. Dan sekali
lagi Semi menjelaskan "Kita jangan tergesa-gesa. Mungkin kita
terlampau berprasangka, sehingga kita dapat mengambil sikap
yang salah" "Ya" sahut Jlitheng "Kita akan melihat apa yang akan
terjadi pada bendungan itu. Akupun akan memberitahukan
kepada orang tua di lereng bukit itu. Ialah yang pertama-tama
berkenalan dengan air yang melimpah dan liar itu"
Demikianlah, anak-anak muda itupun kemudian
mengurungkan niatnya untuk mencegah anak-anak Lumban
Kulon. Namun dari mulut kemulut, berita tentang tingkah laku
anak-anak Lumban Kulon itu sudah tersebar diantara anakanak
muda Lumban Wetan. "Kita bersiap. Jika perlu, kita tidak segan bertindak. Kita
tidak silau lagi dengan olahi kanuragan yang mereka pelajari
dari Daruwerdi. Meskipun kita terlambat mulai, tetapi kita


Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melakukannya setiap hari. Sedangkan mereka t idak" berkata
salah seorang dari anak-anak muda itu.
"Bersiaplah" berkata Semi "tetapi jangan bertindak sendirisendiri
jika kalian masih mengakui aku sebagai pelatih kalian"
Anak-anak muda itupun kemudian meninggalkan Jlitheng
yang bersiap-siap untuk pergi ke bukit. Namun bagaimanapun
juga anak-anak muda itupun telah merasa tersinggung sekali,
bahwa anak-anak muda Lumban Kulon benar-benar akan
memaksakan kehendaknya. Anak-anak muda Lumban Wetan itupun kemudian telah
berkumpul dalam kelompok-kelompok kecil. Di sawah, disudut
desa, di padang tempat mereka menggembala dan saat-saat
mereka membelah kayu di kebun-kebun.
"Kita menunggu" desis seseorang.
"Apakah kita tidak ingin melihat apa yang akan dilakukan
oleh anak-anak Lumban Kulon" tiba-tiba seseorang bertanya.
"Sebaiknya kita melihat apa yang mereka lakukan,
meskipun kita tidak akan berbuat apa-apa" sahut yang lain.
Beberapa orang akhirnya sepakat untuk melihat meskipun
hanya dari kejauhan, apakah yang akan dilakukan oleh anakanak
Lumban Kulon atas pintu air yang telah mereka buat
bersama-sama Tetapi agar yang mereka lakukan itu tidak menumbuhkan
kekecewaan dihati Semi, maka anak-anak itupun memerlukan
menemuinya dan mengatakan maksudnya"
"Jangan terlalu banyak" berkata Semi "Aku kira sepuluh
orang sudah cukup. Tentu saja sepuluh orang terbaik diantara
kalian" Anak-anak muda Lumban Wetan itu tidak membantah.
Mereka telah menugaskan sepuluh orang terbaik untuk
menyaksikan tingkah laku anak-anak Lumban Kulon yang akan
membuka pintu air dibendungan.
Sebenarnyalah, bahwa anak-anak Lumban Kulon telah
melakukan rencananya. Beriringan disepanjang jalan mereka
menuju ke bendungan dengan alat-alat masing-masing.
Langkah mereka menunjukkan kegairahan kerja yang akan
mereka lakukan. Mereka merasa bahwa mereka telah
melakukan yang terbaik bagi anak-anak muda yang tahu
benar akan tugas dan kewajiban mereka.
Seperti yang sudah mereka rencanakan, maka demikian
mereka sampai dipinta air, maka Nugata telah memberikan
beberapa petunjuk pelaksanaannya. Mereka akan membuka
pintu air sehingga menjadi hampir dua kali lipat. Dengan
demikian maka air yang naik dibendungan itu akan mengalir
lebih banyak ke daerah persawahan di Lumban Kulon.
"Marilah" berkata Nugata kemudian "Kita melaksanakannya
dengan penuh tanggung jawab. Kita akan memberikan masa
depan lebih baik buat kampung halaman kita"
Anak-anak Lumban Kulon itupun bersorak. Mereka
menyambut perintah itu dengan gembira.
Sejenak kemudian maka merekapun segera mulai dengan
kerja mereka itu. Dengan cangkul, linggis, kapak dan alat-alat
yang lain, mereka mulai membuka pintu air dan mulai
menyesuaikan mulut parit induk yang akan menampung air
itu, setelah mereka menutup untuk sementara air yang
mengalir lewat pintu air yang sedang mereka kerjakan itu.
"He, ternyata anak-anak Lumban Wetan tidak lebih dari
tikus-tikus yang justru bersembunyi dalam saat seperti ini"
tiba-tiba salah seorang dari mereka berteriak.
Suara tertawa telah meledak. Seorang lain menjawab
dengan tidak segan-segannya "Mulut mereka sajalah yang
terlalu besar. Tetapi mereka tidak berani berbuat apa-apa
sama sekali" Sekali lagi suara tertawa meledak, justru lebih keras.
Seolah-olah gurau itu merupakan iringan yang menyenangkan
bagi kerja yang sedang mereka lakukan.
Dengan penuh gairah anak-anak muda Lumban Kulon itu
melakukan pekerjaan mereka Mereka mengayunkan alat-alat
mereka dengan sepenuh tenaga. Parit yang akan menampung
arus yang akan menjadi lebih besar itu harus mereka perlebar.
Namun parit induk yang kemudian menyalurkan air itu keparit-
parit yang lebih kecil dijarak yang agak jauh dari pintu air,
sudah cukup dalam untuk menampung air yang akan menjadi
lebih deras mengalir. Yang terdengar kemudian adalah suara gelak tertawa
dalam sendau gurau yang gembira. Pada permulaan kerja itu.
mereka merasa, bahwa tidak akan ada hambatan apapun
yang akan ditimbulkan oleh anak-anak Lumban Wetan.
"Pemburu-pemburu itupun tentu harus membuat
perhitungan sepuluh duapuluh kali lipat jika mereka akan
membantu anak-anak Lumban Wetan" berkata salah seorang
dari mereka "karena pemburu-pemburu itu tahu, disini ada
Daruwerdi" Kawan-kawannya tertawa. Dan hampir diluar sadar, mereka
telah memandang kekejauhan, ke bukit gundul tempat mereka
berlatih bersama Daruwerdi.
Tetapi mereka tidak melihat, bahwa dari kejauhan Daruwerdipun
mengamati kerja itu dengan saksama. Wajahnya
nampak muram. Namun ia t idak berbuat sesuatu yang
meyakinkan. Ia sendiri dibayangi oleh keragu-raguan, karena
selain kedua pemburu itu, ternyata di daerah Lumban itu telah
hadir pula seorang dari Sanggar Gading, Rahu.
Karena itu, ia harus mempertimbangkan sebaik-baiknya apa
yang akan dilakukannya. Juga pada saat-saat orang-orang
Sanggar Gading datang dengan membawa Pangeran yang
dimintanya, seperti yang dikatakan oleh Cempaka.
Namun sebenarnyalah, bahwa yang sedang memperhatikan
anak-anak Lumban Kulon itu memperoleh pintu air bukannya
Daruwerdi seorang diri. Dari arah lain, dua orang yang
berwajah kasar berusaha untuk mengamatinya pula, meskipun
dari jarak yang cukup jauh. Kedua orang itupun mengerti,
bahwa Daruwerdi tentu berada disekitar tempat itu, sehingga
keduanya harus sangat berhati-hati agar mereka tidak
bertemu dengan Daruwerdi.
Tetapi selain mereka, dari arah Lumban Wetan, Rahu, Semi
dan kawannyapun memperhatikan peristiwa itu juga.
Meskipun mereka juga harus mengawasi kesepuluh orang
anak-anak Lumban Wetan yang akan menyaksikan pula
bagaimana anak-anak Lumban Kulon membuka bendungan.
Namun berbeda dengan yang lain, kesepuluh anak-anak
Lumban Wetan itu tidak berusaha untuk bersembunyi. Mereka
justru berusaha untuk dapat menyaksikannya dari jarak yang
cukup dekat. Karena itu, maka tanpa menghiraukan
tanggapan anak-anak Lumban Kulon merekapun berjalan
menyusuri pematang, mendekati bendungan. Beberapa puluh
langkah dari bendungan mereka berhenti dan berdiri berjajar
diatas pematang dengan tatapan mata yang tegang.
Kedatangan kesepuluh orang anak-anak muda itu memang
mengejutkan. Justru hanya sepuluh. Mereka tahu, bahwa
jumlah anak-anak muda Lumban Wetan hampir sama dengan
jumlah anak-anak Lumban Kulon. Tetapi ternyata hanya
sepuluh orang saja yang dengan beraninya melihat apa yang
terjadi di bendungan itu.
"Anak-anak Gila" geram Nugata "Apakah mereka ingin
wajah-wajah mereka menjadi berubah"
"Tentu sepuluh anak muda terbaik di Lumban. Wetan"
desis yang lain. "Apa maksudmu dengan sepuluh terbaik?" bertanya
Nugata. "Sepuluh orang yang menyelenggarakan latihan terpisah"
jawab kawannya. Nugata tersenyum. Katanya "Apa bedanya. Aku tahu bahwa
seorang dari kedua pemburu itu mengadakan latihan khusus
buat sepuluh orang, yang barangkali kau sebut dengan
sepuluh orang terbaik itu. Tetapi aku tidak yakin, bahwa
hasilnya cukup memadai"
"Nampaknya mereka terlalu yakin akan diri mereka sendiri"
desis yang lain lagi. "Jangan hiraukan" berkata Nugata "Jika mereka akan
berbuat sesuatu, biarlah mereka mencobanya. Tetapi jika
mereka hanya datang untuk melihat, biarlah mereka berdiri
disana. Aku kira mereka tidak akan tahan sampai matahari
naik. kepuncak. Kawan-kawannya tidak menyahut lagi. Mereka kembali
terbenam ke dalam kerja mereka. Dengan penuh
kesungguhan mereka mengayunkan cangkul, linggis dan alatalat
yang lain untuk menambah arus air yang mengalir ke
Lumban Kulon. Sementara pintu air yang sedang mereka perlebar itu
ditutup, maka justru air yang mengalir ke Lumban Wetanlah
yang menjadi semakin besar meskipun tidak terlalu banyak.
Untuk beberapa saat anak-anak Lumban Kulon itu dapat
melepaskan perhatian mereka kepada kesepuluh orang anakanak
Lumban Wetan itu. Namun karena anak-anak Lumban
Wetan itu berdiri saja di tempatnya, bahkan satu dua orang
justru melangkah semakin dekat, maka kehadiran mereka
semakin terasa mengganggu perasaan.
"Suruh mereka pergi" geram salah seorang anak muda
Lumban Kulon yang bertubuh raksasa, yang pernah
mengancam untuk memukul Jlitheng pada saat-saat Jlitheng
ingin menengahi sengketa mengenai air.
"Biar sajalah" desis yang lain "Mereka akan pergi dengan
sendirinya, jika panas matahari terasa membakar tubuh maka
mereka tidak akan betah berdiri disita. Berbeda dengan kita.
Meskipun punggung kita kepanasan, tetapi justru karena kita
bekerja, maka kita t idak merasakan sengatan matahari itu.
"Tetapi aku muak melihat mereka" geram orang yang
bertubuh raksasa itu. "Jangan hiraukan" Nugata membentak.
Orang itu terdiam. Tetapi ternyata bahwa perasaan itu
tidak hanya tumbuh dihati anak muda bertubuh raksasa itu
saja. Beberapa orang anak muda yang lainpun merasa,
seolah-olah sepuluh pasang mata anak-anak Lumban Wetan
itu selalu memandanginya. Sorot matanya menggelitik
hatinya, sehingga merekapun menjadi gelisah.
Nugata yang membentak kawannya yang merasa
terganggu oleh anak-anak Lumban Wetan itupun semakin
lama merasa pula, bahwa kehadiran kesepuluh orang anakanak
Lumban Wetan itu telah mempengaruhi kerja kawankawannya.
Karena itu, beberapa saat kemudian, perhatiannya
justru tertuju kepada mereka.
"Anak-anak Gila" tiba-tiba saja Nugata mendengar
seseorang mengumpat di belakangnya.
Ketika ia berpaling dilihatnya orang bertubuh tinggi besar
itu bergumam lagi. Nugata menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian
Katanya "Mereka memang sangat mengganggu. Suruh mereka
pergi" Orang bertubuh raksasa itu memandang Nugata sejenak,
seolah-olah ia ingin meyakinkan, apakah yang dikatakan
Nutaga itu sebenarnya atau sekedar rasa jengkelnya karena ia
selalu bergeremang. Tetapi Nugata itu sekali lagi berkata "Suruh mereka pergi"
Perintah itu tidak perlu diulanginya. Anak muda bertubuh
raksasa itupun segera meletakkan cangkulnya dan meloncat
turun menyeberangi sungai di bawah bendungan.
"Kenapa anak itu?" bertanya seorang kawannya.
Kawan-kawannya yang lainpun termangu-mangu.
Sementara anak muda bertubuh raksasa itu meloncat dengan
tangkasnya dari batu ke batu.
Nugata yang juga mendengar pertanyaan salah seorang
anak Lumban Kulon itupun menjawab "Aku suruh anak itu
mengusir anak-anak Lumban Wetan yang gila itu"
"Bagus" tiba-tiba beberapa orang berdesis hampir
bersamaan. Merekapun telah dihinggapi perasaan yang serupa
bahwa kehadiran kesepuluh orang itu benar-benar sangat
mengganggu. "Tetapi kenapa ia hanya pergi sendiri?" bertanya yang lain.
"Bukankah kita berada disini" Kita akan melihat, apakah
anak-anak Lumban Wetan akan berbuat gila. Jika sepuluh
orang anak-anak Lumban Wetan itu berani berbuat gila atas
kawan kita, maka kita tidak akan tinggal diam. Kita tidak
takut, seandalnya anak-anak Lumban Wetan seluruhnya sudah
siap keluar dari balik gerombol di padukuhan terdekat itu dan
berlari-lari membantu mereka" geram Nugata.
"Kita sudah siap. Sahut yang lain dengan lantang meskipun
kita tidak bersenjata, tetapi kita sudah siap untuk bertempur.
Nugata tidak menjawab lagi. Ia mulai memperhatikan
kawannya yang bertubuh raksasa itu memanjat tebing.
Langkahnya ringan meskipun tubuhnya tinggi besar.
"Anak itu memang dapat dibanggakan" berkata Nugata.
"Ya, jika la harus berkelahi dengan jujur seorang lawan
seorang tidak akan ada anak Lumban Wetan yang dapat
mengalahkannya. Bahkan aku berani bertaruh uang sekeping
bahwa ia akan menang melawan t iga orang sekaligus dari
kesepuluh anak-anak Lumban Wetan itu" sahut yang lain.
Nugata tidak menjawab. Tetapi iapun menganggap
demikian pula. Anak muda bertubuh raksasa itu akan dapat
mengalahkan tiga orang sekaligus dari anak-anak yang
disebut anak-anak terbaik dari Lumban Wetan itu.
Sejenak anak-anak Lumban Kulon itu memperhatikan
kawannya yang telah meloncat sampai keatas tanggul.
Kemudian dengan langkah tetap dan pasti ia mendekati anakanak
Lumban Wetan yang berdiri dipematang.
Kedatangan anak bertubuh raksasa itu membuat anak-anak
Lumban Wetan menjadi tegang. Tetapi merekapun segera
bersiaga menghadapi segala kemungkinan. Rasa-rasanya
mereka sudah bersiap apapun yang akan terjadi atas mereka.
Beberapa langkah dari kesepuluh anak-anak Lumban
Wetan, maka anak muda bertubuh raksasa itu berhenti.
Dengan wajah tegang dan bersungguh-sungguh ia berkata
"Nugata memerintahkan kalian meninggalkan tempat ini"
Salah seorang dari kesepuluh orang itu melangkah maju.
Seorang anak muda yang bertubuh sedang, bahkan agak ke
kurus-kurusan. Tetapi ia adalah anak muda yang tertua
umurnya diantara kesepuluh kawan-kawannya.
"Kenapa kami Harus meninggalkan tempat ini?" bertanya
anak bertubuh sedang itu.
"Kehadiran kalian sangat mengganggu perasaan kami "-
jawab anak muda bertubuh raksasa itu.


Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apakah kau merasa terganggu?" bertanya anak Lumban
Wetan itu. "Kami semua merasa terganggu. Karena itu pergilah?"
Tetapi anak muda Lumban Wetan itu menarik nafas sambil
menjawab "Kau memang aneh. Kami hanya berdiri diam disini
tanpa berbuat apa-apa. Tetapi kalianlah yang dengan
langsung telah mengganggu kami. Perbuatan kalian adalah
perbuatan yang tidak bertanggung jawab"
"Aku tidak akan berbantah tentang bendungan, air, pintu
air dan parit-parit. Itu adalah hak kami untuk menentukan
karena bendungan ini terletak di daerah Lumban Kulon. Bukit
yang bermata air itupun terletak di daerah Lumban Kulon"
sahut anak muda dari Lumban Kulon itu.
"Tidak seorangpun yang pernah mengatakan demikian.
Sungai ini adalah sungai kita bersama. Bukit-bukit itu adalah
bukit kita bersama. Dan orang-orang tua kitapun pernah hidup
bersama tanpa batas" berkata anak-anak Lumban Wetan itu
"kitapun telah mencoba untuk hidup bersama. Meskipun
dalam batas yang telah disepakati, namun kita masih mencoba
untuk meneguk air dari jambangan yang sama dan memetik
padi dari hamparan sawah yang mempunyai harapan yang
sama. Tetapi kalian telah berusaha untuk merusak usaha itu.
Kalian merasa memiliki hak dan wewenang lebih banyak atas,
sungai, bukit dan air diatas tanah Lumban ini.
"Jangan merajuk. Kita memang lebih banyak mempunyai
hak atas air itu" berkata anak Lumban Kulon.
"kalian lebih mement ingkan ketamakan daripada
persaudaraan. Persaudaraan antara kita orang-orang Lumban"
geramanak Lumban.Wetan itu.
Anak muda Lumban Kulon itu menggeretakkah giginya.
Dengan sorot mata yang garang ia menggeram "Jangan
banyak bicara lagi. Pergilah. Kawan-kawanku telah berusaha
untuk tetap bersabar. Karena itu maka aku pergi seorang diri"
Ketika ia kemudian berpaling, dilihatnya dalam keremangan
malam bayangan Sepasang Bukit Mati yaag jaraknya
sebenarnya tidak terlalu dekat Bukit yang sebelah adalah bukit
gundul berbatu-batu, sedang yang lain adalah bukit berhutan
lebat, untuk memberitahukan kepada kalian, agar kalian
meninggalkan tempat ini. Kalian telah mengganggu kerja
kami. Tidak ada alasan yang dapat kalian katakan kepada
kami" Tetapi jawab anak muda Lumban Wetan itu mengejutkan
"Kami berdiri di tempat kami. Di daerah Kabuyutan kami. Apa
pedulimu. Kami tidak akan pergi dari tempat ini. Kami ingin
melihat, sampai seberapa jauh kalian memanjakan ketamakan
hati kalian" Kemarahan anak muda bertubuh raksasa itu tidak
tertahankan lagi. Karena itu, maka ia berkata "Kami dapat
memaksa kalian pergi dengan kekerasan. Kami sudah berniat
untuk membuka pintu air yang menuangkan air ketanah
persawahan di Lumban Kulon lebih lebar. Bahkan dua kali lipat
dari pintu air yang melepaskan air ketanah persawahanmu"
"Aku sudah melihat, bahwa kalian sedang melakukannya"
jawab anak muda Lumban Wetan itu "Dan kami sedang
menilai bobot kemanusiaan kalian, anak-anak muda Lumban
Kulon" Anak muda Lumban Kulon itu masih menahan diri sehingga
tubuhnya menjadi gemetar. Katanya "Aku berkata sekali lagi,
pergilah. Jika kalian tidak mau pergi, maka aku t idak akan
dapat menahan diri lagi. Aku akan memaksa kalian untuk
pergi" "Kau sendiri" Atau kau akan memanggil kawan-kawanmu"
bertanya anak muda yang tertua dari Lumban Wetan itu.
"Aku sendiri sanggup mengusir kalian semuanya,
bersepuluh" jawab anak muda bertubuh raksasa itu.
Sejenak, anak muda Lumban Wetan termangu-mangu.
Namun kemudian katanya "Kau terlalu sombong. Baiklah
akupun mengimbangi kesombonganmu. Kami tidak akan
pergi. Jika kau seorang diri ingin memaksa kami pergi,
mungkin dengan kekerasan, maka aku seorang dirilah yang
akan melawanmu dengan kekerasan pula, karena
sebenarnyalah bahwa kami t idak mau pergi dari tempat ini"
Anak muda Lumban Kulon itu menggeram. Katanya "Kau
memang dungu. Kau kira, karena kalian bersepuluh ini
termasuk anak-anak muda terbaik dari Lumban Wetan,
dengan serta merta berani melawan aku, he?"
"Kenapa tidak" Jika kau berlatih pada Daruwerdi, aku
berlatih pada pemburu itu. Ternyata bahwa Daruwerdi tidak
dapat mengalahkan pemburu itu dalam perkelahian seorang
melawan seorang" jawab anak muda Lumban Wetan itu.
"Kau memang bodoh. Seandainya benar Daruwerdi tidak
dapat mengalahkan pemburu itu. tentu ia memang tidak ingin
melakukannya untuk menjaga perasaan pemburu itu. Tetapi
kami berlatih jauh lebih lama dari yang kalian lakukan. Dan
bagaimanapun juga, maka kau akan menyesal jika kau tidak
merubah keputusanmu" berkata anak muda bertubuh raksasa
itu dengan lantang. "Aku tetap pada pendirianku" jawab anak tertua dari
sepuluh anak muda dari Lumban Wetan itu.
Anak muda dari Lumban Kulon yang bertubuh tinggi besar
itu menjadi semakin tegang. Namun tiba-tiba iapun kemudian
tertawa berkepanjangan sambil berkata "Kau memang aneh.
Kau kira yang kau lakukan itu akan memberikan kebanggaan
bagimu" Sebenarnyalah yang kau lakukan itu tidak lebih dari
satu lelucon yang pahit. Kita, kau, aku dan siapapun yang
akan menyaksikannya, tidak akan tertawa karenanya. Tetapi
kita semuanya akan menangisimu yang menjadi pingsan
dipematang ini. Karena itu, pertimbangkan sikapmu itu baikbaik"
Anak Lumban Wetan itupun bertambah tegang pula.
Sejenak ia memandang anak muda bertubuh raksasa itu.
Kemudian dilayangkan pandangan matanya keseberang
sungai. Dilihatnya anak-anak Lumban Kulon yang sedang
membuka pintu air itupun telah dicengkam oleh ketegangan
pula. Mereka berdiri diam mematung sambil menunggu, apa
yang akan terjadi. "Bagus" berkata anak muda bertubuh raksasa dari Lumban
Kulon itu " nampaknya kau sudah mulai melihat kenyataan.
Pikirkanlah sebaik-baiknya. Ambillah sikap yang benar untuk
kepentinganmu dan kepentingan kawan-kawanmu"
Tetapi jawab anak Lumban Wetan itu tidak diduganya
Katanya "Terima kasih. Kau masih berpikir panjang. Kau masih
berusaha untuk menghindari kekerasan. Tetapi sayang, bahwa
usahamu untuk menghindari kekerasan ternyata masih juga
dengan memaksakan kehendakmu untuk mengusir kami.
Sebaiknya, kau tetap berdiri pada sikapmu, menghindari
kekerasan. Tetapi tidak dengan mengusir kami. Kau sajalah
yang" kembali kepada kawan-kawanmu dan biarlah kami tetap
disini. Akan lebih baik lagi, dan kamipufl akan berterima kasih,
apabila kau bawa kawan-kawanmu kembali dan memulihkan
pintu air itu seperti sediakala"
"Anak Gila"- geram anak muda bertubuh raksasa itu
"Ternyata tidak ada pilihan bagiku. Baiklah. Marilah kita lihat,
bahwa aku akan berhasil mengusirkalian"
Anak muda dari Lumban Wetan itu bergeser setapak.
Katanya "Kami tetap pada pendirian kami"
"Jangan kau hadapi aku sendiri. Ajaklah dua tiga orang
kawanmu untuk melawan aku, atau barangkali kalian
bersepuluh akan maju bersama-sama" geram anak muda
Lumban} Kulon itu. Tetapi anak muda Lumban Wetan itu menjawab "Aku akan
menjajagi kemampuanmu seorang diri. Kau berlatih pada
Daruwerdi untuk waktu yang lebih lama, sementara aku
berlatih pada pemburu itu untuk waktu yang meskipun lebih
pendek, tetapi dengan cara yang lebih baik"
Anak muda bertubuh raksasa itu tidak menjawab lagi.
tapun segera bersiap. Dipandanginya sembilan orang yang
lain, yang nampaknya memang tidak akan melibatkan diri ke
dalam perkelahian yang akan segera terjadi itu.
"Mereka anak-anak yang sombong sekali" katanya di dalam
hati. Dalam pada itu, beberapa orang anak muda dari Lumban
Kulon telah meninggalkan kerjanya, melangkah mendekat ke
bibir tebing. Bahkan ada satu dua orang yang meloncat turun
untuk menyeberang. Sejenak kemudian. Nugatapun telah berada disebelah
Timur sungai. Ia berdiri dengan tatapan mata membara.
Ternyata anak Lumban Wetan itu benar-benar ingin melawan
seorang lawan seorang. "Tidak tahu diri" geram Nugata. Kemudian katanya kepada
anak muda bertubuh raksasa itu "Selesaikan anak itu. Tetapi
juga, agar ia tidak akan mati. Bagaimanapun juga Kabuyutan
kita masih mempunyai hubungan dengan Kabuyutan Lumban
Wetan" Anak muda bertubuh raksasa itu mengangguk Sementara
anak-anak Lumban Wetan yang lainpun bergeser semakin
dekat pula. Karena anak-anak muda dari Lumban Kulon dan Lumban
Wetan seolah-olah telah berkerumun melingkari kedua anak
muda yang akan berkelahi itu, maka anak-anak muda Lumban
Kulon yang berada diseberang tidak dapat melihat dengan
jelas, Karena itu, maka merekapun telah menyeberang pula ke
Timur. "Bersiaplah" berkata anak muda bertubuh raksasa itu. Anak
muda Lumban Wetan itupun telah bersiap. Ia bergeser
setapak ketika lawannya mendekat maju sambil menjulurkan
tangannya. Karena anak muda Lumban Wetan tidak mau menyerang
lebih dulu, maka anak muda Lumban Kulon itulah yang
melangkah maju sambil menggerakkan tangannya memancing
serangan. Ketika lawannya hanya bergeser kesamping, maka
anak muda bertubuh raksasa itu kehilangan kesabaran.
Dengan keras ia melangkah sambil memukul kening.
Tetapi lawannya mengelak sambil meloncat. Dengan satu
putaran ia menyerang dengan tumitnya. Namun lawannya
telah menangkisnya dengan tangannya, sekaligus berusaha
menghantamdengan kakinya pula mengarah lambung.
Anak muda Lumban Wetan itu masih sempat menggeliat
Kaki lawannya tidak menjangkau lambungnya. Demikian anak
muda bertubuh raksasa itu berdiri tegak, maka Lumban Wetan
itupun meloncat menggapai leher lawannya dengan ujungujung
jarinya. Anak muda Lumban Kulon itu sempat menangkis dengan
kedua tangannya yang memukul kesamping, sekaligus
menghantam lawannya dengan sikunya sambil melangkah
maju. Tetapi sekali lagi serangannya itu dapat dielakkan. Bahkan
lawannya telah mendapat kesempatan menyerangnya pula
dengan kakinya. Semakin lama perkelahian itu menjadi semakin cepat.
Anak-anak muda Lumban Kulon menjadi semakin banyak
melingkari pertempuran Itu, sementara kesembilan anak-anak
muda Lumban Wetan bagaikan tenggelamdiantara mereka.
Dari kejauhan, Daruwerdi menarik nafas dalam-dalam. Ia
tidak sempat lagi melihat apa yang terjadi. Ia hanya melihat
kerumunan anak-anak muda Lumban Kulon yang kemudian
justru berteriak-teriak seperti sedang menyabung ayam.
Meskipun demikian, ia tidak meninggalkan tempatnya. Jika
mungkin terjadi sesuatu, ia tidak boleh membiarkannya. Dari
gerak dan sikap anak-anak Lumban Kulon ia akan dapat
menduga apakah yang sedang mereka lakukan.
"Mereka tidak boleh beramai-ramai mengeroyok kesepuluh
anak-anak Lumban Wetan" berkata Daruwerdi dida-lam
hatinya. Ia sadar, bahwa kedua pemburu di Lumban Wetan itu
tentu tidak akan tinggal diam. Mereka dapat menggerakkan
anak-anak Lumban Wetan yang lain bersama mereka berdua.
Apalagi di Lumban Wetan ada Rahu, meskipun orang itu sama
sekali tidak terlibat langsung, namun jika ia mendapat
keterangan yang dapat mempengaruhinya, mungkin ia dapat
berbuat sesuatu. Karena itu, maka Daruwerdi telah memperhatikan
perkelahian itu lewat sikap dan tingkah laku anak-anak
Lumban Kulon. Ia akan segera mengetahui jika anak-anak
Lumban Kulon itu bertindak bersama-sama atas anak-anak
Lumban Wetan. Dalam pada itu, Semi dan kawannya menjadi berdebardebar
pula. Mereka juga tidak dapat melihat apa yang terjadi
sebenarnya. Tetapi seperti Daruwerdi, mereka akan segera
mengetahui jika anak-anak Lumban Kulon seluruhnya terlibat
dalam perkelahian. Rahupun termangu-mangu pula. Ia masih tetap menunggu,
karena ia tidak mempunyai pilihan apapun juga dalam
persoalan yang tiba-tiba saja dihadapinya di daerah Sepasang
Bukit Mati itu Namun dalam pada itu, anak Lumban Wetanpun telah
melihat pula dari kejauhan apa yang telah terjadi. Tetapi
mereka masih tetap menahan diri, karena mereka mengerti,
bahwa hanya sepuluh orang kawannya sajalah yang boleh
mendekat. Tetapi sorak sorai anak-anak Lumban Kulon yang
terdengar lamat-lamat dari ujung padukuhan, ternyata telah
menggelitik hati mereka. "Cegah anak-anak itu mendekat" berkata Semi kepada
kawannya yang melihat anak-anak Lumban Wetan
berkerumun diujung lorong.
Kawan Semi itupun mendatangi mereka dan menasehatkan
agar mereka tetap menahan hati.
"Bagaimana jika anak-anak Lumban Kulon itu mengeroyok
kesepuluh kawan-kawan kami" bertanya salah seorang dari
mereka. "Tidak. Mereka tidak akan melakukannya. Namun jika
demikian, kita akan mengambil sikap" berkata pemburu itu.
Anak-anak muda Lumban Wetan itu menjadi gelisah
Jlitheng yang kemudian berada pula diantara mereka, ikut
menjadi tegang pula. Dalam pada itu, perkelahian antara kedua anak Lumban itu
menjadi semakin seru. Ternyata anak muda bertubuh raksasa
dari Lumban Kulon itu mulai merasa, bahwa lawannya tidak
selemah seperti yang dibayangkan.
Meskipun anak muda Lumban Kulon itu yakin, bahwa
kekuatan tenaganya melampaui kekuatan lawannya, namun


Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lawannya telah mempergunakan kelebihan yang tidak dapat
diatasinya. Lawannya yang lebih kecil itu mampu bergerak
lebih cepat. Bahkan kadang-kadang ia merasa mulai
kehilangan sasaran. Anak-anak muda Lumban Kulon menjadi semakin tegang.
Suara sorak yang gemuruh mulai menurun. Mereka lebih
banyak memperhatikan dengan jantung yang berdebar-debar.
Beberapa kali serangan-serangan mereka telah saling
mengenai sasaran. Hentakkan yang keras, telah melemparkan
anak muda Lumban Wetan itu beberapa kali. Tetapi dengan
tangkas ia masih sempat meloncat berdiri menghadapi segala
kemungkinan. Ketegangan yang mencengkam jantung anak-anak Lumban
Kulon yang menyaksikan perkelahian itu mulai terasa pula oleh
Daruwerdi. Anak-anak muda itu tidak lagi berteriak-teriak dan
bersorak-sorak. Semakin tegang mereka dicengkam oleh
perkelahian itu, maka teriakan-teriakan merekapun menjadi
semakin menurun. Dalam pada itu, sembilan anak-anak muda Lumban Wetan
yang ada diantara anak-anak Lumban Kulon yang semakin
banyak itupun menjadi tegang pula. Setiap kali kawannya
dikenai serangan lawannya dan terlempar beberapa langkah,
jantung mereka serasa berhenti berdenyut. Namun
merekapun segera melihat, kawannya itu melenting berdiri
dengan tangkasnya Sentuhan-sentuhan serangan lawannya itu memang mulai
terasa sakit ditabuhnya. Karena itu, maka anak muda Lumban
Wetan itupun menjadi semakin berhati-hati. Setelah berkelahi
beberapa saat, maka iapun sempat memperhitungkan
kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi.
Karena latihan-latihan yang lebih mengkhusus dari anakanak
Lumban Kulon, maka anak muda Lumban Wetan itu
mendapat petunjuk yang lebih terperinci dari pemburu yang
melatihnya. Ia tidak saja mempergunakan kekuatan tenaga
dan kecepatan geraknya, tetapi iapun harus mempergunakan
otaknya. Karena itulah, maka anak muda Lumban Wetan itu mulai
memancing lawannya dengan gerak yang cepat dan langkahlangkah
yang panjang. Setiap kali ia meloncat menjauh.
Namun tiba-tiba saja ia telah menyerang dari arah yang tidak
terduga-duga sama sekali.
Meskipun anak muda Lumban Wetan itu t idak memiliki
kekuatan tenaga seperti lawannya, namun dengan
perhitungan yang lebih cermat ia berhasil membuat lawannya
kadang-kadang menjadi bingung. Sentuhan-sentuhan
serangan anak Lumban Wetan memang tidak sekuat serangan
lawannya, namun semakin lama terasa juga semakin
mengganggu. Sekali-sekali terdengar anak muda Lumban Kulon yang
bertubuh raksasa itu menggeram. Kadang-kadang ia
mengumpat keras-keras jika hentakkan tenaganya untuk
menyerang lawannya, sama sekali tidak menyentuh sasaran.
Bahkan kadang-kadang tubuhnya sendiri telah terseret oleh
kekuatan yang dilontarkannya.
Anak muda Lumban Wetan yang cerdik itu, telah
memanfaatkan tenaga dorong lawannya itu untuk
menghantamnya. Dengan satu loncatan kecil, ia menghindari
serangan kaki yang meluncur dengan kekuatan penuh. Namun
demikian tubuh lawannya itu bagaikan terbang sejengkal
dihadapannya, maka anak muda Lumban Wetan itu justru
telah menyerangnya dengan tangannya kearah lambung
searah dengan serangan lawannya itu sendiri.
Oleh dorongan serangan itu, maka anak muda Lumbap
Kulon itu justru terlempar beberapa langkah sebelum dengan
susah payah ia mempertahankan keseimbangannya. Tetapi
begitu ia berhasil berdiri tegak, dengan kecepatan yang tinggi,
anak muda Lumban Wetan itulah yang kemudian
Malaikat Dan Iblis 11 Raja Petir 10 Sengketa Pewaris Tunggal Pendekar Guntur 17
^